Bunga Di Batu Karang Jilid 07

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam.

Di perjalanan Ki Dipanala tidak terlalu sering beristirahat meskipun ia tidak berpacu terlalu cepat. Sekali-sekali ia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan kudanya beristirahat.

Apalagi ketika ia sudah mendekati kota. Kudanya berjalan semakin lamban. Ia berharap bahwa apabila ia datang di istana Ranakusuman, Pangeran Ranakusuma sudah ada di istana, jika Pangeran itu pergi menghadap Susuhunan.

Karena itulah maka ketika ia mendekati regol Ranakusuman matahari sudah condong jauh ke Barat, meskipun panasnya masih terasa menyengat kulit

Meskipun sejak ia memasuki kota ia sudah berusaha mengatur perasaannya, namun ia masih merasa berdebar-debar juga ketika ia berdiri di depan regol yang terbuka. Dengan agak gemetar ia meloncat turun dari kudanya dan menuntunnya masuk halaman.

Para penjaga regol mengangguk sambil menyapanya. Salah seorang bertanya, “Kau bermalam di padepokan itu?”

“Ya” jawab Ki Dipanala.

Lalu yang lain, “Kau bawa ubi manis atau gembili?”

Ki Dipanala mencoba tersenyum. Jawabnya, “Sayang, aku tidak sempat. Aku datang lewat senja, dan pagi-pagi aku sudah berangkat lagi”

“Seharusnya kau membawa gembili ungu. Manisnya bukan main”

Ki Dipanala masih saja tersenyum, namun ia tidak menjawab. Debar jantungnya terasa justru menjadi semakin keras sehingga sejenak ia masih saja berdiri di regol sambil termangu-mangu.

Namun kemudian hatinya pun menjadi bulat. Apapun yang akan dihadapi. Karena itu, maka ia pun melangkah maju sambil menuntun kudanya.

Ki Dipanala terkejut ketika ia mendengar suara seorang perempuan menyapanya. Ketika ia berpaling dilihatnya Raden Ayu Galihwarit berdiri di pintu butulan.

“He, kau sudah pulang Dipanala?”

Ki Dipanala mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Ya Raden Ayu. Baru saja hamba datang”

“Kemarilah” Panggil Raden Ayu Galihwarit.

“Apakah hamba diperkenankan menambatkan kuda ini?”

“Ikat saja pada pohon itu. Kemarilah”

Ki Dipanala menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat membantah. Diikatnya kudanya pada sebatang pohon soka putih yang tumbuh di halaman samping, dan dengan hormatnya ia mendekati Raden Ayu Galihwarit

Dadanya berdesir ketika ia melihat di belakang Raden Ayu itu berdiri anak laki-lakinya. Raden Rudira.

Ketika Ki Dipanala berjalan mendekat, maka Raden Ayu Galihwarit pun masuk ke ruang dalam dan duduk menghadap pintu, sementara Ki Dipanala merayap naik tangga dan kemudian duduk bersila di lantai di hadapan Raden Ayu Galihwarit.

Raden Rudira yang kemudian masuk ke ruang itu pula berdiri di sisi ibundanya. Dengan tajamnya. dipandanginya Ki Dipanala yang menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Bagaimana kabar kepergianmu ke padepokan Jati Aking?” bertanya Raden Ayu Galihwarit.

“Hamba telah melakukan tugas hamba sebaik-baiknya Raden Ayu. Hamba telah sampai ke padepokan Jati Aking”

“O” Raden Ayu Galihwarit mengangguk-angguk. Lalu, “Apakah kau sudah bertemu dengan Juwiring?”

Namun sebelum Ki Dipanala menjawab, ia mendengar suara dari ruang dalam, “Suruh Dipanala kemari”

Raden Ayu Galihwarit mengerutkan keningnya. Tetapi ia kenal betul, bahwa suara itu adalah suara Pangeran Ranakusuma sehingga ia tidak dapat lagi membantahnya.

“Menghadaplah” berkata Raden Ayu Galihwarit.

Ki Dipanala pun kemudian bergeser sambil berjongkok bagaikan merayap masuk ke ruang dalam menghadap Pangeran Ranakusuma yang duduk dengan wajah yang buram, sementara Raden Ayu Galihwarit mengikutinya di belakang, dan yang kemudian duduk di sisi Pangeran Ranakusuma.

Tetapi Rudira tidak ikut masuk ke ruang dalam. Bahkan dengan wajah bersungut-sungut ia berjalan keluar menemui Mandra di halaman belakang.

“Dipanala sudah datang” bisiknya di telinga Mandra.

“O. apakah yang dikatakannya kepada Pangeran”

“Aku tidak tahu. Ibunda duduk bersama ayahanda. Lebih baik aku menyingkir”

Mandra mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita menunggu perintah Raden Ayu”

Dalam pada itu, Dipanala yang menghadap Pangeran Ranakusuma duduk tepekur. Ia tidak berani mengangkat wajahnya sebelum Pangeran Ranakusuma bertanya sesuatu kepadanya.

Baru sejenak kemudian terdengar suara Pangeran Ranakusuma, “Apakah semua kiriman kami sudah kau sampaikan?”

“Sudah Pangeran. Hamba sudah sampai di padepokan Jati Aking. Hamba sudah bertemu dengan Kiai Danatirta dan Raden Juwiring”

“Baik. Mereka tentu senang menerima kiriman itu. Barangkali kali ini adalah kiriman kami yang paling banyak sejak ia berada di padepokan itu”

“Hamba Pangeran”

“Dan apakah kirimanku untuk Arum juga sudah kau sampaikan?” bertanya Raden Ayu Galihwarit.

“Sudah Raden Ayu. Hamba sudah menyampaikannya langsung kepada anak itu”

“Apa katanya?”

“Anak padepokan itu belum pernah melihat kain sebagus itu sehingga ia menjadi kagum karenanya. Bahkan hampir tidak dapat mengerti, bahwa ada kain yang sebagus itu”

Raden Ayu Galihwarit tersenyum sambil mengangguk-angguk. Tetapi hatinya mengumpat tidak habis-habisnya. Kain itu seharusnya tidak sampai ke tangan Arum. Kain itu seharusnya merupakan hadiah khusus bagi penyamun-penyamun yang berjanji akan membunuh Ki Dipanala

“Dan uang itu?” bertanya Pangeran Ranakusuma.

“Semuanya sudah hamba sampaikan. Raden Juwiring dan Kiai Danatirta beserta anak perempuannya mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas kemurahan Pangeran”

Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak berprasangka apapun terhadap perjalanan Dipanala. Karena itu maka ia tidak bertanya lebih lanjut. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Beristirahatlah. Kau sendiri tentu akan mendapat bagianmu juga”

“Hamba telah menerimanya sebelum hamba berangkat Pangeran”

“Itu masih belum cukup. Aku akan menambah besok”

“Terima kasih Pangeran. Hamba mengucapkan beribu-ribu terima kasih”

“Kau boleh pulang sekarang” berkata Pangeran Ranakusuma.

“Tetapi tuan, apakah hamba diperkenankan memberitahukan apa yang terjadi di perjalanan yang baru saja hamba jalani”

“He?”

“Maafkan hamba Pangeran, bahwa hamba akan sekedar berceritera.

“Tentang apa?” bertanya Pangeran Ranakusuma.

“Tentang perjalanan hamba yang baru saja hamba lakukan”

“Tentu perjalanan yang menarik sekali” potong Raden Ayu Galihwarit, namun diteruskannya, “sebenarnya Pangeran Ranakusuma sudah akan beristirahat. Karena itu aku tidak menghadapkan kau kepada Pangeran, jika Pangeran sendiri tidak memanggilmu karena aku tidak mau mengganggunya. Simpanlah ceriteramu itu untuk besok atau lusa apabila Pangeran tidak sedang sibuk atau akan beristirahat seperti sekarang ini”

“O” Ki Dipanala menjadi kecewa. Tetapi ia masih menunggu perintah Pangeran Ranakusuma.

Sejenak Pangeran Ranakusuma berpikir. Lalu katanya, “Sebenarnya aku memang ingin tidur sebentar. Tetapi baiklah, katakan apa yang kau alami”

Hati Raden Ayu Galihwarit menjadi berdebar-debar. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Rudira, jika Dipanala menuduh Rudira telah membunuh perampok itu, maka Dipanala harus dapat membuktikannya. Jika tidak, maka ia justru dapat dianggap memfitnahnya.

Karena itu Raden Ayu Galihwarit tidak dapat mencegahnya lagi. Mau tidak mau ia harus mendengar apa yang akan dikatakannya. Tetapi jika Dipanala itu berceritera sampai kepada ceritera yang paling dirahasiakannya, maka semuanya pasti akan menjadi kacau.

“Pangeran” berkata Dipanala kemudian, “ternyata bahwa perjalanan hamba kali ini mengalami sebuah gangguan yang hampir saja menewaskan hamba”

“He” Pangeran Ranakusuma terkejut mendengar ceritera Dipanala itu, sehingga ia tergeser maju, “Apa yang kau katakan?”

“Empat orang penyamun telah menunggu hamba di bulak Jati Sari. Tidak jauh lagi dari padepokan Jati Aking”

“Penyamun?”

Ki Dipanala mengangguk sambil menjawab, “Hamba Pangeran”

Wajah Pangeran Ranakusuma menjadi tegang. Sementara itu Ki Dipanala mencoba untuk menilainya, apakah Pangeran Ranakusuma benar-benar tidak mengetahui apa yang terjadi. Namun menilik sikapnya, agaknya Pangeran Ranakusuma benar-benar tidak terlibat di dalamnya.

Ketika Ki Dipanala mencoba memandang wajah Raden Ayu Galihwarit, tampaklah wajah itu menjadi merah. Namun sejenak kemudian terdengar Raden Ayu itu bertanya, “Bagaimana mungkin penyamun itu menunggumu di bulak Jati Sari?”

“Hamba tidak mengerti Raden Ayu, tetapi sebenarnyalah hamba telah ditunggu oleh empat orang penyamun. Apakah penyamun itu sengaja menunggu hamba atau tidak, hamba sama sekali tidak tahu. Tetapi yang hamba heran, penyamun itu mengetahui bahwa hamba membawa barang-barang dan sekedar uang ke padepokan Jati Aking”

“Ah, aneh sekali” sahut Raden Ayu Galihwarit.

“Apakah di bulak itu memang sering terjadi hal serupa itu menurut ceritera orang-orang Jati Sari?” bertanya Pangeran Ranakusuma.

Ki Dipanala menggelengkan kepalanya, “Tidak Pangeran. Bulak itu adalah bulak yang aman. Bahkan seluruh daerah Jati Sari hampir tidak pernah lagi terdengar kerusuhan apapun yang terjadi”

Pangeran Ranakusuma merenung sejenak. Ceritera itu ternyata sangat menarik perhatiannya.

“Tetapi” Raden Ayu Galihwarit lah yang berkata kemudian, “sekarang kerusuhan memang mulai menjalar. Orang-orang yang tidak tahu diri berusaha menentang persahabatan antara orang-orang asing itu dengan bangsa sendiri. Mereka yang berjiwa kerdil menganggap bahwa persahabatan itu merugikan diri sendiri”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam.

“Tetapi hal itu masih belum terasa sampai ke padepokan Jati Aking Raden Ayu” Sahut Dipanala.

“Mungkin baru sekarang kerusuhan itu mulai, dan kau adalah korban yang pertama. Dengan alasan yang dibuat-buat, seolah-olah orang-orang itu mencoba menegakkan harga diri, namun sebenarnya mereka hanya sekedar menumbuhkan keributan dan akibatnya mereka dengan leluasa dapat melakukan kejahatan”

Terasa dada Ki Dipanala berdesir. Kata-kata itu sama sekali tidak dapat diterima oleh perasaannya. Namun ia tidak membantahnya, karena kata-kata itu diucapkan oleh Raden Ayu Galihwarit di hadapan Pangeran Ranakusuma yang berkuasa di lingkungan istana Ranakusuma ini.

Pangeran Ranakusuma sendiri tidak menyahut. Namun kemudian ia justru bertanya, “Tetapi bukankah kau berhasil melepaskan diri dari tangan para penyamun itu?”

“Ya Pangeran. Hamba terpaksa berkelahi melawan mereka. Tetapi karena hamba hanya seorang dan hamba tidak lebih hanya bersenjatakan sebilah keris yang pendek maka hamba hampir saja tidak dapat melihat sinar matahari yang terbit di pagi hari ini dan hamba tidak akan dapat menghadap Pangeran sekarang ini”

“Jadi? Kenapa kau masih hidup?”

“Seseorang telah menolong hamba”

“Siapa?” bertanya Raden Ayu Galihwarit dengan serta-merta. Seperti Raden Rudira, maka ia pun ingin sekali mendengar nama orang yang telah menolong Dipanala itu.

Sejenak Dipanala berpikir. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Sayang Raden Ayu, hamba tidak mengenal orang itu. Hamba hanya melihatnya sepintas di dalam gelap, dan ia adalah seorang petani”

“Petani dari Sukawati itu?” bertanya Pangeran Ranakusuma dengan wajah tegang.

“Hamba tidak dapat mengatakan dengan pasti. Malam sudah terlampau gelap, dan hamba tidak mendapat kesempatan untuk berbicara terlampau lama, karena orang itu segera meninggalkan hamba”

“Kenapa ia segera pergi?”

Ki Dipanala pun lalu menceriterakan bahwa orang yang menolongnya itu berhasil menangkap seorang dari para penyamun itu, tetapi sayang, sebuah anak panah telah membunuh penyamun itu.

“Orang itu pun kemudian memburu orang yang melepaskan anak panah itu Pangeran” berkata Dipanala kemudian, “dan hamba tidak bertemu lagi sampai sekarang, sehingga hamba masih belum sempat mengucapkan terima kasih”

“Tidak mungkin” tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit membantah, “Kau tentu tahu siapa orang itu”

Ki Dipanala menjadi terheran-heran. Dipandanginya Raden Ayu Galihwarit dan Pangeran Ranakusuma berganti-ganti.

“Kalau orang itu tidak mengenalmu dan sebaliknya, tentu ia tidak akan menolongmu. Dan di daerah yang jauh terpencil itu tentu tidak banyak orang yang mampu memberikan pertolongan kepadamu melawan para perampok itu”

Ki Dipanala masih juga terheran-heran. Lalu jawabnya, “Ampun Raden Ayu. Hamba benar-benar tidak tahu. Dan apakah salahnya jika hamba tahu siapakah yang menolong hamba itu mengatakan kepada Raden Ayu dan Pangeran Ranakusuma?”

Wajah Raden Ayu Galihwarit menjadi gelisah sejenak. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata lembut, “Sebenarnya aku ingin tahu siapakah orang itu. Ia sudah menyelamatkan kau dan barang-barang yang kami kirimkan ke padukuhan Jati Sari. Seharusnya kami pun mengucapkan terima kasih dan sekedar hadiah baginya dengan tulus”

“Ya” sahut Pangeran Ranakusuma, “Kami wajib mengucapkan terima kasih kepadanya”

Ki Dipanala mengumpat di dalam hati. Ada saja alasan yang dapat diberikan oleh Raden Ayu Galihwarit untuk membayangi sikapnya. Hampir saja ia berhasil memancing sikap Raden Ayu itu sehingga menimbulkan kecurigaan Pangeran Ranakusuma, tetapi ada juga cara untuk mengaburkannya.

Namun dalam pada itu, Ki Dipanala masih belum mengatakan semuanya yang telah dipersiapkannya. Masih ada satu persoalan lagi yang akan dikatakannya. Karena itu maka katanya kemudian, “Pangeran, hamba akan berusaha untuk menemukan orang itu. Memang Di tempat terpencil tidak banyak orang yang dapat membantu hamba berkelahi melawan empat orang perampok. Tentu tidak banyak petani yang memiliki kemampuan serupa itu di Jati Sari. Hanya petani-petani di Sukawati sajalah yang memiliki kemampuan demikian” Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu, “ternyata bahwa petani dari Sukawati itu pulalah yang pernah ikut campur dalam persoalan putera-putera tuanku di bulak Jati Sari beberapa waktu yang lalu”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Raden Ayu Galihwarit berkata, “Tidak semua petani di Sukawati. Tentu hanya satu dua orang yang kebetulan memiliki kemampuan serupa itu, seperti juga satu dua orang Jati Sari”

“Mungkin juga demikian Raden Ayu?” sahut Ki Dipanala, “dan karena itulah hamba akan mencarinya untuk mengucapkan terima kasih hamba sendiri dan pernyataan terima kasih dari Pangeran berdua”

“Kau harus segera menemukannya” berkata Raden Ayu Galihwarit, “supaya ia tidak sempat menganggap kami sebagai orang yang tidak mengenal terima kasih”

“Tetapi itu bukan salah kami” Pangeran Ranakusuma lah yang menjawab, “Ia sengaja merahasiakan dirinya”

“Belum tentu. Mungkin ia mengejar orang yang melepaskan anak panah itu sampai jarak yang jauh. Ketika ia kembali Dipanala sudah meninggalkan tempatnya”

“Seandainya demikian, itu pun bukan salah kami pula. Ia tentu tahu bahwa semuanya itu terjadi karena ketidak sengajaan”

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa pembicaraan itu seakan-akan merupakan pembicaraan yang tidak mapan. Masing-masing mencari kelemahan dan mencoba menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya diketahuinya, kecuali Pangeran Ranakusuma yang kadang-kadang menjadi bingung mendengar pembicaraan itu.

Dalam pada itu Raden Ayu Galihwarit pun menjawab pula, “Tetapi bukankah lebih cepat akan menjadi lebih baik Pangeran?”

“Ya, memang lebih cepat lebih baik” lalu katanya kepada Dipanala, “Bukankah lebih cepat lebih baik Dipanala?”

“Ya Pangeran. Hamba akan mencarinya secepat-cepatnya. Lebih cepat memang lebih baik” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi hamba pun akan mencari perampok-perampok yang berhasil melarikan diri itu. Hamba pun akan mencari orang yang membunuh perampok yang telah tertangkap itu. Hamba tahu bahwa orang yang melepaskan anak panah itu tentu mempunyai sangkut paut dengan penyamun yang terbunuh itu”

“Ya. Itu dapat dimengerti. Orang itu tentu sekedar ingin menghilangkan jejak”

“Atau dengan tujuan lain yang tidak kita mengerti” Raden Ayu Galihwarit memotong, “Tetapi bagiku Dipanala, mencari orang yang telah menolongmu itu jauh lebih penting dari mencari pembunuh itu. Sebenarnya kita tidak bersangkut paut dengan pembunuh itu. Apalagi kau sudah dapat kembali dengan selamat”

“Tentu tidak” Pangeran Ranakusuma lah yang menjawab, “Ia masih tetap berbahaya bagi Dipanala. Lain kali, jika Dipanala pergi ke Jati Aking, ia akan mengalami keadaan yang serupa jika orang itu masih belum diketemukan”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Dengan dada yang berdebar-debar ia mengikuti pembicaraan selanjutnya. Dan Ki Dipanala pun berkata, “Pangeran, sebenarnyalah hamba mempunyai bahan untuk memulainya, mencari orang yang melepaskan anak panah itu. Walaupun terlampau kecil dan barangkali kurang cukup untuk sampai pada orang yang aku cari itu”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Namun Raden Ayu Galihwarit lah yang menjadi sangat berdebar-debar dan cemas.

“Apakah yang kau punyai?” bertanya Pangeran Ranakusuma.

“Apakah hamba dapat mengambilnya tuan?” bertanya Ki Dipanala.

“Ambillah. Aku ingin melihatnya”

“Ki Dipanala pun kemudian bergeser surut dan turun ke halaman samping mengambil barang yang dikatakannya. Kemudian sambil menjinjing sebuah anak panah ia menghadap Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit kembali.

“Inilah yang dapat hamba bawa Pangeran. Anak panah inilah yang telah membunuh penyamun itu. Anak panah ini adalah satu-satunya landasan yang dapat hamba pakai untuk menemukan siapakah pembunuh penyamun itu yang seperti tuan katakan, bahwa pembunuh itu tentu tersangkut dalam usaha perampokan itu”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya, sedang wajah Raden Ayu Galihwarit menjadi tegang.

“Berikan anak panah itu” berkata Pangeran Ranakusuma. Ki Dipanala pun bergeser maju untuk menyerahkan anak panah itu. Anak panah yang masih dikotori dengan noda-noda darah yang sudah kering.

Ketika Pangeran Ranakusuma, melihat anak panah itu, tiba-tiba saja jantungnya serasa menghentak-hentak. Tangannya menjadi gemetar dan keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya. Sebagai seorang ayah yang sering ikut serta dalam kesenangan anaknya yang paling dimanjakannya, Pangeran Ranakusuma dapat mengenal anak panah itu meskipun belum pasti, karena pada umumnya setiap anak panah telah diberinya ciri tersendiri sebagai suatu kebanggaan. Anak panah yang kemudian dipegang oleh Pangeran Ranakusuma itu adalah anak panah yang pernah dikenalnya dengan ciri-ciri yang jelas pada warna dan garis-garis yang melingkar. Warna kuning emas di pangkal anak panah itu dan sebuah guratan pada bedornya. Guratan yang tidak terdapat pada anak panah yang lain selain jenis anak panah itu.

Bukan saja Pangeran Ranakusuma, tetapi Raden Ayu Galihwarit pun menjadi pucat. Jika Dipanala dapat mengenal ciri-ciri anak panah itu, maka ia akan mendapat rintisan jalan untuk menemukan pembunuh itu.

Raden Ayu Galihwarit tidak begitu mengerti akan ciri-ciri anak panah puteranya. Tetapi ia tahu bahwa ciri-ciri itu pasti ada karena puteranya dapat membedakan antara anak panahnya dengan anak panah pemburu-pemburu yang lain apabila kebetulan mereka berbareng pergi ke hutan perburuan.

Namun Raden Ayu Galihwarit tidak dapat mengatakan apapun juga. Ia hanya menunggu saja, apa yang akan diperbuat oleh Pangeran Ranakusuma.

Ki Dipanala yang memperhatikan wajah-wajah itu dapat meraba, bahwa sebenarnyalah Pangeran Ranakusuma dapat mengenali anak panah itu meskipun ia belum mengatakannya. Sedang kecemasan yang membayang di wajah Raden Ayu Galihwarit pun mempunyai kesan tersendiri pada Ki Dipanala, sehingga ia hampir pasti bahwa yang terjadi adalah seperti yang diduganya. Dan ia pun hampir pasti bahwa rencana pembunuhan itu hanya dibuat oleh Raden Ayu Galihwarit dan Raden Rudira di luar pengetahuan Pangeran Ranakusuma.

Pangeran Ranakusuma masih dengan tegang mengamat-amati anak panah yang kemudian sudah di tangannya. Namun ia tidak mengatakan sesuatu tentang anak panah itu.

“Pangeran” Ki Dipanala yang mula-mula berkata, “Apakah Pangeran dapat mengenal anak panah itu? Jika Pangeran dapat mengenalnya, maka pembunuh itu akan segera dapat diketemukan”

“Bodoh sekali” tiba-tiba Pangeran Ranakusuma membentak. Wajahnya menjadi merah padam. Dengan anak panah itu ia menunjuk hidung Ki Dipanala sambil berkata, “Kau sangka aku seorang cucuk yang melayani para bangsawan yang sedang berburu, sehingga dengan demikian aku dapat mengenal anak panah yang beratus-ratus jenisnya itu? Dan alangkah bodohnya jika kau berpikir bahwa pemilik anak panah inilah yang telah membunuh penyamun itu. Tentu siapapun juga dapat mempergunakan anak panah yang manapun. Mungkin satu dua anak panah jenis ini tertinggal di hutan perburuan. Orang yang menemukan anak panah itu dapat saja mempergunakan untuk berbuat apa saja. Hanya orang gila sajalah yang percaya dan pasti bahwa pembunuh itu adalah pemilik anak panah ini”

Ki Dipanala yang ditunjuk hidungnya bergeser sejengkal surut. Namun kemudian ia memberanikan diri berkata, “Pangeran. Memang demikianlah kemungkinan itu dapat terjadi. Tetapi kemungkinan seperti yang hamba katakan pun dapat pula terjadi. Karena itu, apakah salahnya jika anak panah itu hamba simpan dan hamba jadikan bukti dalam pengusutan. Seandainya tuduhan itu salah, maka bukankah tertuduh belum menjalani hukuman apapun juga”

“Tuduhan adalah hukuman yang paling keji bagi orang yang tidak bersalah. Karena itu, anak panah ini sama sekali tidak ada gunanya dan tidak ada harganya sebagai barang bukti”

Adalah di luar dugaan Dipanala bahwa dengan wajah yang seakan-akan terbakar Pangeran Ranakusuma pun kemudian mematahkan anak panah itu menjadi potongan-potongan yang kecil. Menghancurkan bulu-bulu dijuntainya dan melemparkannya ke sudut ruangan.

“Pangeran” desis Ki Dipanala.

“Jangan kau sebut lagi anak panah itu. Kau sudah cukup lama menghamba di istana ini setelah kau tidak lagi menjadi seorang prajurit. Menurut pendengaranku kau adalah prajurit yang cakap. Tetapi ternyata kau bodoh sekali seperti kerbau yang paling dungu”

Raden Ayu Galihwarit yang melihat Pangeran Ranakusuma menghancurkan satu-satunya bukti itu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa seakan-akan dadanya yang terbakar itu tersiram oleh air yang sejuk. Dengan demikian maka tidak ada bukti lagi yang dapat dipergunakan unluk menuduh Rudira jika benar ciri-ciri panah itu adalah ciri-ciri anak panah puteranya.

Dalam pada itu Ki Dipanala yang masih duduk di lantai berkata, “Pangeran, apakah tindakan yang Pangeran lakukan itu cukup bijaksana?”

“Aku meyakini perbuatanku. Aku akan sangat merasa malu atas kebodohanmu jika orang lain mengetahuinya. Karena itu sekarang pergilah. Pulang ke rumahmu dan kalau kau ingin mencari orang yang telah menolongmu, carilah. Juga jika kau ingin menemukan pembunuh itu usahakanlah. Tetapi jangan mempergunakan cara yang paling bodoh dan memalukan itu”

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia pun bertanya, “Tetapi bagaimanakah cara yang paling baik dapat hamba tempuh Pangeran”

“Aku tidak sempat memikirkannya”

Ki Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang banyak sekali kenyataan yang tidak dapat diungkapkan. Kenyataan yang paling buruk dan kenyataan yang paling baik. Mungkin hamba tidak dapat menemukan penolong hamba, tetapi hamba juga tidak dapat menemukan pembunuh penyamun itu. Kedua-duanya adalah kenyataan yang telah terjadi, tetapi kedua-duanya tetap tidak akan pernah dapat diketahui kebenarannya. Siapakah mereka itu”

“Cukup. Cukup. Kau tidak usah mengigau” bentak Pangeran Ranakusuma.

“Baiklah Pangeran” jawab Ki Dipanala, “Memang demikianlah agaknya. Seperti kenyataan yang berlaku atas diri hamba sendiri. Mungkin hamba pun pernah melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk tanpa diketahui orang lain, sehingga perbuatan hamba itu akan tetap tersembunyi untuk selama-lamanya tanpa mendapat hukuman apapun”

Tiba-tiba saja wajah Pangeran Ranakusuma menjadi pucat. Dan hampir bersamaan itu pula keringat dingin mengalir di tubuh Raden Ayu Galihwarit. Kedua-duanya menjadi sangat cemas bahwa Ki Dipanala akan mengatakan rahasia yang selama ini telah disimpannya rapat-rapat. Rahasia yang ada pada kedua-duanya dan yang kedua-duanya diketahui oleh Ki Dipanala.

Tetapi Ki Dipanala kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Baiklah hamba mohon diri. Hamba melihat bahwa Pangeran dan Raden Ayu agaknya merasa terganggu oleh kehadiran hamba di sini. Hamba mohon maaf. Hamba sama sekali tidak bermaksud membuat Pangeran dan Raden Ayu menjadi gelisah. Hamba akan berusaha menemukan orang yang telah menolong hamba dan sekaligus pembunuh penyamun itu tanpa mengganggu ketenangan dan ketenteraman Pangeran berdua”

“Aku tidak peduli” sahut Pangeran Ranakusuma, “pergilah. Aku akan beristirahat. Aku akan mencoba melupakan kebodohan yang pernah kau perbuat”

Ki Dipanala mengangguk dalam-dalam. Tetapi katanya, “Namun perkenankanlah hamba sekali lagi menyampaikan terima kasih putera Pangeran, Raden Juwiring, Kiai Danatirta dan anak gadisnya Arum”

Pangeran Ranakusuma tidak menjawab. Wajahnya masih buram, serta tatapan matanya hinggap di sudut yang jauh.

Ki Dipanala pun kemudian bergeser surut. Raden Ayu Galihwarit lah yang kemudian berkata, “Beristirahatlah. Jika kau masih terlalu lelah, jangan kau hiraukan lagi apa yang sudah terjadi. Kau sudah diselamatkan sehingga kau wajib mengucap sukur kepada Tuhan. Dan kau tidak perlu mencari keributan lagi dimana-mana dengan mencari orang yang tidak jelas tanda-tandanya”

“Baiklah Raden Ayu. Hamba akan melepaskan persoalan ini seperti persoalan-persoalan yang telah pernah hamba jumpai sebelumnya. Sengaja atau tidak sengaja”

Sepercik warna merah membayang di wajah Raden Ayu Galihwarit, sedang Pangeran Ranakusuma membelalakkan matanya memandanginya. Tetapi Ki Dipanala menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil bergeser surut. Akhirnya ia turun dari tangga dan meninggalkan pintu ruang dalam.

Sejenak ia berdiri sambil menghela nafas dalam-dalam, serasa udara di halaman itu menjadi semakin segar. Ketika ia mengedarkan tatapan matanya di halaman samping itu, dilihatnya Raden Rudira dan Mandra berdiri agak jauh di kebun belakang.

Tetapi Ki Dipanala tidak menghiraukannya lagi. Kini ia sudah mendapat kepastian justru karena tingkah laku Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit. Karena itu, kemudian ia pun melepaskan kudanya dan menuntunnya ke belakang. Seperti yang diperintahkan oleh Pangeran Ranakusuma maka ia pun langsung lewat pintu butulan pulang ke rumahnya di belakang dinding halaman istana Ranakusuman.

Sepeninggal Ki Dipanala, maka Pangeran Ranakusuma pun masih duduk merenung di tempatnya. Raden Ayu Galihwarit yang duduk di sampingnya tidak berani menegurnya, sehingga dengan demikian keduanya duduk sambil berdiam diri untuk beberapa saat lamanya. Masing-masing dihanyutkan oleh angan-angan yang buram tentang peristiwa yang baru saja terjadi atas Dipanala, tentang anak panah dan tentang usaha Dipanala untuk menemukan orang yang menolongnya dan sekaligus orang yang telah membunuh penyamun itu dengan anak panah. Anak panah yang sebenarnya dapat dikenal langsung oleh Pangeran Ranakusuma.

Raden, Ayu Galihwarit menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Pangeran Ranakusuma bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke sudut ruangan. Diambilnya anak panah yang telah dipatah-patahkannya dan sekali lagi diamat-amatinya.

“Apakah kau mengenal anak panah ini?” bertanya Pangeran Ranakusuma kepada isterinya.

Raden Ayu Galihwarit termangu-mangu sejenak. Kemudian jawabnya, “Apalagi aku Pangeran. Aku sama sekali tidak mengetahui ciri-ciri dari anak panah milik siapapun karena aku tidak pernah melihatnya”

“Bukan milik orang lain. Tetapi anak panah semacam ini?”

Raden Ayu Galihwarit menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu, kangmas”

Pangeran Ranakusuma memandang isterinya dengan tajamnya. Sebagai seorang Pangeran ia memiliki pandangan yang jauh dan luas, ia mampu mengurai persoalan yang dihadapinya dan kemudian mengambil kesimpulan. Pembicaraan yang singkat dengan Dipanala dan anak panah yang dikenalnya baik-baik itu memberikan gambaran kepadanya, siapakah yang telah merencanakan pembunuhan atas Ki Dipanala itu. Pangeran Ranakusuma pun masih dapat mengingat apa yang telah dilakukan oleh isterinya ketika Dipanala akan berangkat ke padepokan Jati Aking.

“Itulah sebabnya, ia berusaha memperlambat keberangkatan Ki Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hati. Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak tahu pasti, alasan apakah yang telah mendorong Raden Ayu Galihwarit untuk melakukan rencana pembunuhan itu.

Setelah merenungi anak panah yang telah patah-patah itu, Pangeran Ranakusuma pun berkata, “Baiklah. Aku akan beristirahat. Aku akan tidur”

“Silahkanlah Pangeran” sahut Raden Ayu Galihwarit.

Raden Ayu Galihwarit mengantarkan suaminya sampai ke pintu biliknya. Ketika Pangeran Ranakusuma masuk maka Raden Ayu itu pun berdiri sejenak di muka pintu. Kemudian pintu itu pun didorongnya dan tertutup rapat.

Dengan tergesa-gesa pergi ke ruang dalam. Disuruhnya seorang pelayannya memanggil puteranya Raden Rudira.

Dengan gelisah Raden Rudira mendapatkan ibunya yang tidak kalah gelisahnya. Dengan suara yang dalam dan lambat Raden Ayu Galihwarit berkata, “Ki Dipanala membawa anak panah yang bernoda darah. Anak panah yang telah membunuh penyamun itu”

“He” wajah Raden Rudira menjadi pucat. Lalu, “Di manakah anak panah itu sekarang?”

“Ada pada ayahandamu. Ketika ayahandamu menerima anak panah itu, ia menjadi marah dan anak panah itu dipatahkannya”

“Apakah ayahanda mengetahui bahwa anak panah itu anak panahku?”

“Mungkin”

“Dan ayahanda marah kepadaku?”

“Tidak” Raden Ayu Galihwarit menggeleng. Lalu diceritera-kannya apa yang dilakukan dan dikatakan oleh Pangeran Ranakusuma kepada Ki Dipanala.

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi ayah justru marah kepada Dipanala?”

“Ya”

“Memang Dipanala bodoh sekali. Jika ada orang yang tahu bahwa anak panah itu anak panahku, tentu itu tidak dapat menjadi bukti yang kuat, bahwa aku telah melakukannya. Aku memang sering kehilangan anak panah selagi aku berburu seperti yang dikatakan oleh ayahanda itu”

Raden Ayu Galihwarit mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun menjadi agak tenang pula, bahwa anaknya tidak dapat langsung mendapat tuduhan. Tetapi ia masih tetap gelisah tentang dirinya sendiri. Apakah pada suatu saat Dipanala tidak akan membuka rahasianya?

Karena itu maka Raden Ayu Galihwarit pun berkata, “Tetapi Rudira, bagaimanapun juga Dipanala adalah orang yang paling berbahaya bagi kita sekarang. Tentu ia masih tetap menuduhmu, karena agaknya Dipanala pun mengenal anak panah itu”

“Ia akan segera terbunuh” geram Raden Rudira.

“Tetapi biarlah ia menemukan orang yang menolongnya lebih dahulu. Orang itu pun cukup berbahaya bagi kita”

“Mustahil kalau ia tidak mengetahui siapakah yang menolongnya itu”

“Mungkin petani dari Sukawati itu”

Raden Rudira menggeretakkan giginya. Katanya, “Seharusnya Sukawati pun dihancurkan pula. Kumpeni harus mengambil tindakan yang tegas terhadap Pangeran Mangkubumi”

“Ssst” desis ibunya, “itu bukan persoalanmu. Kangjeng Susuhunan dan Kumpeni tentu sudah membuat perhitungan sebaik-baiknya. Mereka menyadari sikap Pangeran Mangkubumi”

“Tetapi tidak boleh terlambat. Jika terlambat, maka semuanya akan menyesal, karena agaknya Sukawati sudah sampai pada persiapan untuk melakukan perang. Perang yang sebenarnya”

“Apakah yang dapat dilakukan oleh orang-orang Sukawati untuk melawan senjata kumpeni?”

“Ya” Raden Rudira mengangguk-angguk pula, “Mereka akan ditumpas. Tetapi lebih baik membunuh anak macan daripada menunggu ia menjadi besar dan buas”

Ibunya mengangguk-angguk. Tanpa sesadarnya ia berkata, “Aku akan berusaha meyakinkan Kumpeni”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Katanya, “Ibunda akan meyakinkan mereka?”

“Ya. Bukankah aku mengenal beberapa orang perwira yang sering berkunjung kemari”

Raden Rudira tidak segera menjawab. Kumpeni baginya adalah orang-orang yang aneh. Ia kadang-kadang merasa bahwa kehadiran kumpeni di Surakarta itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya. Tetapi kadang-kadang ia merasa bahwa kumpeni itu sangat menyinggung perasaannya. Ia tidak senang melihat ibunya bergaul terlampau rapat dengan mereka. Bahkan kadang-kadang Raden Rudira merasa cemas, bahwa ia akan kehilangan ibunya yang sangat mengasihinya dan memanjakannya.

Dan Raden Rudira tidak dapat mengerti kenapa ayahandanya tidak berbuat sesuatu melihat ibunya kadang-kadang hadir di dalam pertemuan-pertemuan tanpa dikawaninya. Betapapun sibuknya ayahandanya dalam keadaan yang gawat akhir-akhir ini, tetapi ia wajib memberikan sebagian waktunya bagi ibunya. Atau jika tidak, ayahandanya dapat melarangnya sama sekali.

Tetapi Raden Rudira yang sudah menginjak dewasa itu dapat mengerti juga bahwa ayahandanya memerlukan kumpeni. Untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar di istana, ayahnya memerlukan dukungan. Kini kumpeni ternyata mempunyai pengaruh yang kuat di istana, sehingga dukungan dari kumpeni akan dapat menentukan.

Namun setiap kali Raden Rudira memikirkan hal itu, terasa kulitnya meremang. Tetapi ia selalu berusaha menghindarkan diri dari perasaannya yang kadang-kadang dengan kuat mencengkamnya, “Apakah ayahanda telah mempergunakan ibunda untuk kepentingan dirinya dan apakah agaknya ibunda sendiri merasa bahwa hal itu justru suatu kesempatan baginya?”

Raden Rudira terkejut ketika ibunya berkata, “Apakah yang kau renungkan Rudira?”

“O” Rudira tergagap, “Tidak apa-apa ibu. Tetapi anak panah itu?”

“Anak panah itu sudah di tangan ayahandamu. Dan sudah tentu bahwa ayahandamu tidak akan berbuat apa-apa. terhadapmu”

“Apakah ibu yakin?”

“Ibu yakin. Mungkin ayahanda akan bertanya kepadamu. Tetapi sebaiknya kau menghindar untuk sementara”

Raden Rudira mengangguk-angguk. Memang masih belum terlintas di kepalanya, untuk mengucapkan pengakuan meskipun kepada ayahnya sendiri. Ia masih akan berusaha untuk melakukan tugasnya sampai berhasil. Dipanala harus mati.

Pada saat yang bersamaan, di dada ibunya pun menggeletar semacam keputusan yang pasti, “Dipanala harus mati”

Tetapi mereka tidak dapat mengerti, apakah yang sebenarnya dipikirkan oleh Pangeran Ranakusuma. Sambil berbaring ia mencoba untuk melihat kembali apa yang sudah dilakukan oleh isteri dan anak-anaknya, sehingga akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan, bahwa sebenarnyalah Rudira telah melakukannya bersama-sama dengan Raden Ayu Galihwarit.

“Aku harus meyakinkannya. Aku harus mendengar sendiri dari mereka pengakuan itu” katanya sambil menghentakkan tangannya.

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak bertindak tergesa-gesa. Ia tidak segera memanggil anaknya selagi ada ibunya.

Untuk mendapatkan waktu itu sebenarnya Pangeran Ranakusuma tidak terlampau sulit. Ketika Raden Ayu Galihwarit mengajaknya pergi atas undangan seorang Pangeran yang sedang menyambut kedatangan seorang perwira kumpeni setelah senja, Pangeran Ranakusuma berkata, “Aku sedang sibuk sekali. Keadaan menjadi semakin panas. Pergilah sendiri dan katakan, bahwa aku minta maaf karena aku tidak dapat hadir. Aku harus menghadap ke istana”

“Apakah kakanda tidak dapat menunda sampai esok pagi?”

“Tidak. Aku harus segera menghadap” Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak, lalu, “Apakah pertemuan itu harus aku hadiri?”

“Bukankah Pangeran juga menerima undangan khusus”

“Terlalu mendadak. Seharusnya mereka mengundang aku sehari atau dua hari sebelumnya, sehingga aku sempat mengatur waktu”

“Pertemuan ini bukan pertemuan resmi kangmas. Sekedar pertemuan di antara beberapa orang terpenting di Surakarta”

“Tetapi aku lebih penting menghadap Susuhunan malam ini”

“Kangmas Pangeran selalu membiarkan aku pergi sendiri”

“Maaf, aku adalah seorang Pangeran yang selalu harus memberikan pertimbangan-pertimbangan yang penting bersama dengan beberapa orang penasehat Susuhunan. Itulah sebabnya aku harus hadir dalam pertemuan-pertemuan khusus”

“Baiklah Pangeran” Raden Ayu Galihwarit memberengut, “Aku terpaksa pergi sendiri. Tetapi aku akan kembali segera sebelum terlampau malam”

“Bawalah keretanya jika kau perlukan”

“Tidak Pangeran. Bukankah biasanya mereka datang menjemput?”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi.

Namun demikian setiap kali Pangeran Ranakusuma harus menahan perasaannya melihat Raden Ayu Galihwarit itu merias dirinya agak berlebih-lebihan, seperti seorang gadis yang terlambat kawin menghadiri peralatan sambil mengharap untuk mendapatkan perhatian dari para jejaka.

Sebenarnya di dalam hati kecilnya, ada juga perasaan yang menggelitik hatinya. Namun karena Pangeran Ranakusuma mengharapkan kekuasaan yang terlalu besar di istana Kangjeng Susuhunan, maka kadang-kadang ia menghindarkan diri dari perasaan-perasaan di hatinya itu. Bahkan kadang-kadang ia bersikap tidak jujur kepada diri sendiri dan berkata, “Ia adalah seorang isteri yang setia. Aku memberikan apa yang dimintanya. Tentu ia tidak akan membiarkan orang lain melanggar pagar ayu”

Tetapi bagaimanapun juga, Pangeran Ranakusuma tidak dapat menghapus getar yang kadang-kadang mengguncangkan dadanya.

Derap kereta yang kemudian membawa Raden Ayu Galihwarit pergi meninggalkan halaman istana Ranakusuman terasa menggetarkan jantung Pangeran Ranakusuma. Meskipun hal itu bukan untuk yang pertama kalinya, namun ia tidak dapat mengingkari kata hatinya meskipun kadang-kadang ia berhasil berpura-pura dan acuh tidak acuh.

Ternyata bukan saja Pangeran. Ranakusuma yang memandang kereta itu sampai hilang ditelan pintu regol. Raden Rudira pun memandang dari kejauhan dengan hati yang berdebar-debar. Ibunya selalu pergi dengan atau tidak dengan ayahnya. Meskipun ibunya mengasihi dan memanjakannya, tetapi rasa-rasanya perhatian ibunya terhadap pertemuan-pertemuan, makan-makan dan kegembiraan di antara para bangsawan dan orang-orang asing itu telah merampas sebagian perhatian ibunya terhadap dirinya.

“Tetapi pada suatu saat ibunda memerlukan orang asing itu” berkata Raden Rudira di dalam hatinya. Tetapi Raden Rudira itu sekedar berpikir tentang dirinya sendiri. Jika orang asing itu dapat dimanfaatkan oleh ibunya, maka hal itu pun sekedar untuk kepentingannya sendiri. Raden Rudira hampir tidak pernah memikirkan pergolakan yang terjadi di Surakarta dari sumber persoalannya. Ia melihat Surakarta pada permukaannya saja. Dan ia berusaha untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa menghiraukan masalah lain yang akan bersangkut paut.

Raden Rudira yang sedang merenung tingkah ibunya itu mengerutkan keningnya, ketika seorang pelayan datang kepadanya dan berkata, “Raden dipanggil oleh ayahanda”

“Ayahanda memanggil aku?” Rudira menjadi berdebar-debar.

“Ya. Ayahanda Raden ada di ruang dalam”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Namun ia harus datang menghadap.

Dengan dada yang berdebaran Raden Rudira masuk ke ruang dalam. Dilihatnya ayahandanya duduk dengan wajah yang berkerut merut.

“Kemarilah” suara Pangeran Ranakusuma datar.

Raden Rudira menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah ayahnya yang dingin dan sama sekali tidak memandang kepadanya. Tetapi ia pun melangkah semakin dekat dan kemudian berdiri termangu-mangu. Sikap ayahnya itu bagi Raden Rudira adalah sikap yang agak lain dari sikapnya sehari-hari terhadapnya.

“Duduklah” desis ayahnya.

Raden Rudira pun kemudian duduk dengan gelisah menunggu apakah yang akan dikatakan oleh ayahnya.

Tetapi untuk beberapa saat lamanya Pangeran Ranakusuma masih berdiam diri, sehingga Raden Rudira pun menjadi semakin gelisah pula.

Akhirnya Raden Rudira tidak dapat menahan desakan di dalam hatinya yang meronta-ronta. Karena itulah maka ia pun memaksa dirinya untuk bertanya, “Apakah ayahanda memanggil aku?”

Ayahnya menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya. Aku ingin berbicara sedikit”

“Apakah yang akan ayahanda bicarakan?”

Raden Rudira memandanginya sejenak. Namun kemudian dilemparkannya pandangannya kembali kekejauhan.

“Rudira” berkata ayahanda kemudian, “apakah kau sudah mendengar ceritera yang terjadi atas Dipanala?”

Raden Rudira menjadi berdebar-debar. Namun ia pun menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya ayah. Aku sudah mendengar”

Ayahnya mengangguk. Tetapi pembicaraan itu pun terputus ketika seorang abdi menyalakan semua lampu di setiap ruangan di dalam istana Ranakusuman. Dari ruang yang paling belakang sampai pendapa dan bahkan regol halaman, melengkapi beberapa buah lampu yang sudah dinyalakan lebih dahulu.

Raden Rudira menundukkan kepalanya. Rasanya ia sedang menghadap untuk diadili karena kesalahan yang telah dilakukannya.

“Rudira” berkata ayahandanya lebih lanjut, “Apakah kau tidak tertarik oleh ceritera itu?”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam untuk menenteramkan hatinya. Jawabnya, “Ceritera itu menarik sekali ayahanda. Ternyata di daerah Surakarta mulai terjadi kerusuhan-kerusuhan sejak beberapa orang bangsawan yang iri hati melihat perkembangan kekuasaan bangsawan yang lain, menarik diri dari pemerintahan di Surakarta”

Ayahandanya terkejut dan bertanya, “Siapa yang mengatakan kepadamu?”

“Bukankah ayahanda pernah mengatakan?”

“Bukan menarik diri. Tetapi ada beberapa orang putera Pangeran yang lolos dari kota. Karena itulah maka ayah mereka untuk sementara terpaksa membekukan diri dari pemerintahan karena tingkah anak mereka. Tetapi sekelompok anak-anak muda itu bukan pergi dari rumah mereka untuk merampok”

“Tetapi akibat dari kerusuhan yang mereka lakukan, maka ketenteraman menjadi semakin buruk di Surakarta”

“Memang hal itu mungkin sekali. Tetapi menurut pendengar-anku, mereka sama sekali tidak berbuat apa-apa. Salah seorang dari mereka telah bertapa di lereng pegunungan untuk mendapat pepadang, apakah yang sebaiknya dilakukannya”

“Tetapi jika mereka dibiarkan saja berkeliaran di luar kota Surakarta ayah, keadaan pasti akan bertambah buruk. Apalagi jika ayahanda mengetahui keadaan padukuhan Sukawati. Karena itu Kangjeng Susuhunan seharusnya mulai memperhatikan sikap Pangeran Mangkubumi”

“Rudira” berkata ayahandanya kemudian, “lepas dari setuju atau tidak setuju terhadap tujuan dan cara mereka mencapai tujuan, namun aku masih menaruh hormat kepada mereka, karena mereka adalah anak-anak muda yang bercita-cita. Mereka ikut memikirkan hari depan Surakarta menurut penilaian mereka”

“Ayah sependapat dengan mereka?”

Ayahnya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Aku tidak sependapat dengan mereka. Tetapi aku menghormati mereka dengan cita-citanya”

“Tetapi bukankah ayah berpihak kepada Kangjeng Susuhunan dan Kumpeni, sehingga jika terjadi sesuatu, ayah pasti akan berhadapan dengan siapapun yang melawan kekuasaan Kangjeng Susuhunan di Surakarta?”

Pangeran Ranakusuma menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya. Tetapi aku tetap hormat kepada mereka. Soalnya adalah perbedaan pendapat antara mereka dan aku. Aku tetap setia kepada kekuasaan Raja, dan mereka memerlukan perubahan”

Raden Rudira tidak menjawab lagi. Kepalanya terangguk-angguk kecil.

“Nah Rudira” berkata ayahandanya, “seharusnya kau pun mulai memperhatikan keadaan yang berkembang terus ini. Kau harus mulai menempatkan dirimu dalam sikap tertentu. Bukankah saudara-saudara sepupumu yang sebaya dengan kau sudah mulai bersikap pula?”

“Yang ayahanda maksud, mereka yang meninggalkan kota?”

“Ya, dan mereka yang setia. Kau tidak dapat berdiri sendiri di dalam keadaan yang gawat. Kau harus tergabung di dalam suatu kelompok bersama saudara-saudara sepupumu yang sesuai pendirian dan sikapnya”

Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kau termasuk anak muda yang memiliki kemampuan. Kau adalah pembidik yang baik. Jika kau masih saja menuruti kata hatimu sendiri, pada suatu saat yang paling gawat, kau akan mendapat kesulitan”

Raden Rudira tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih terangguk-angguk.

“Tetapi jika berada di antara saudara-saudaramu itu, kau pasti akan mendapat tempat yang baik karena kelebihanmu. Bukankah mereka menyebutmu sebagai pemburu terbaik di antara mereka?”

“Ya ayah”

“Nah, karena itu, beradalah di lingkungan mereka agar kau dapat mengikuti perkembangan keadaan secara terus-menerus”

Raden Rudira tidak menyahut. Tetapi ia masih agak bingung. Apakah yang dikatakan ayahandanya itu ada sangkut pautnya dengan ceritera tentang Dipanala yang ditanyakannya itu.

“Rudira” suara ayahnya tiba-tiba menjadi dalam, “karena itu kau jangan terlampau dalam hanyut dalam kepentinganmu sendiri. Dalam pergolakan yang semakin panas ini, setiap keadaan akan menjadi sepercik api yang dapat menyala dan membakar suasana. Pertentangan yang tidak perlu harus dihindarkan. Kita harus dapat mengikat hati rakyat Surakarta, agar mereka tidak mudah dipengaruhi oleh sikap dan usaha yang tampaknya akan menguntungkan mereka”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Tetapi terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya ayahnya sudah mulai mempersoalkan dirinya dan tindakannya atas Ki Dipanala.

Dan dugaannya itu tidak salah. Sejenak kemudian ayahanda-nya berkata, “Rudira. Seharusnya kau pun membantu agar rakyat Surakarta menganggap bahwa para bangsawan yang kini berkuasa di bawah perintah Kangjeng Susuhunan Pakubuwana sekarang ini, adalah pelindung rakyat. Dengan demikian kau jangan menyakiti hati rakyat dan orang-orang terdekat yang dapat menimbulkan kesan kesewenang-wenangan”

Raden Rudira masih tetap berdiam diri.

“Nah, barangkali kau tahu maksudku. Kiai Danatirta adalah orang yang berpengaruh atas lingkungannya. Kau harus bersikap baik terhadapnya dan terhadap keluarganya”

Raden Rudira sama sekali masih belum menyahut. Tetapi jantungnya seakan-akan berdetak semakin cepat. Namun demikian Raden Rudira menjadi heran, bahwa ayahnya mulai dari Kiai Danatirta. Apakah ayahnya tidak akan berbicara tentang Dipanala?

“Jika kau berbuat kasar terhadap mereka, Rudira, maka orang-orang di Jati Sari akan mempunyai kesan yang kurang baik terhadap kita. Dengan demikian maka mereka akan dengan cepat dapat dipengaruhi oleh para bangsawan yang menentang kekuasaan Kangjeng Susuhunan”

Dengan suara yang dalam Raden Rudira menjawab, “Ya ayahanda” Namun ia mengharap agar ayahnya hanya sekedar membicarakan hubungannya dengan Kiai Danatirta. Dan ia mengharap agar itulah yang dimaksud dengan ceritera Dipanala. Mungkin Kiai Danatirta pernah mengeluh kepada Ki Dipanala, atau barangkali persoalan-persoalan lain yang dikemukakan kepadanya. Atau persoalannya sekedar rentetan dari persoalan yang dahulu pada saat ia hampir saja menghukum Dipanala dengan caranya.

Namun rasa-rasanya jantungnya berhenti berdenyut ketika ayahnya kemudian berkata, “Rudira, kenapa kau sakiti hati Dipanala? Tentu bukan karena sekedar dendam bahwa niatmu membawa anak gadis Danatirta itu gagal”

Rudira menjadi semakin gelisah.

“Dipanala dan Danatirta mempunyai hubungan yang rapat. Menurut katamu Sukawati sudah menyusun bentuk yang aneh yang menurut dugaanmu adalah suatu persiapan dari usaha mereka menyusun kekuatan. Apakah kau ingin Jati Sari juga membentuk dirinya menjadi padukuhan yang dibayangi oleh rahasia seperti Sukawati? Mungkin Jati Sari tidak mempunyai seorang seperti Adimas Pangeran Mangkubumi. Tetapi orang-orang Jati Sari dapat mencari hubungan dan bergabung dengan mereka”

Sekali-sekali Rudira mencoba memandang ayahnya, namun kemudian wajahnya tertunduk dalam-dalam.

“Rudira” suara Pangeran Ranakusuma menjadi dalam, “Kenapa kau mencoba membunuh Dipanala?”

Pertanyaan itu bagaikan menghentak isi dadanya. Sejenak Rudira menjadi tegang dan bahkan terbungkam.

“Kenapa?” desak ayahnya, “Katakan. Kau dan ibumu sudah mencoba melakukan pembunuhan dengan meng-upah beberapa orang penjahat. Tetapi karena mereka tidak berhasil, dan justru salah se-orang dari mereka tertangkap, maka kau telah membunuhnya”

Rudira tidak segera dapat menjawab. Wajahnya bagaikan membeku dalam ketegangan. Dengan mata yang tidak berkedip ditatapnya wajah ayahnya. Namun ketika ayahnya memandangnya ia pun segera melemparkan pandangannya dan jatuh pada ujung jari kakinya.

“Kenapa?” desak ayahnya.

“Aku, aku tidak melakukan ayah” sahut Rudira tergagap setelah ia memaksa dirinya untuk menjawab.

“Rudira, aku bukan orang yang terlampau dungu. Karena itu jangan menipu aku. Kau dan ibumu sudah bersepakat untuk membunuhnya”

Raden Rudira masih akan mengingkarinya lagi. Tetapi ayahnya kemudian melemparkan anak panah yang sudah terpotong-potong kehadapan Rudira, sehingga karena itu, maka anak muda itu pun telah terbungkam lagi.

“Agaknya dendam yang membakar jantungmu sudah kau tiup-tiupkan ke telinga ibumu sehingga ibumu telah membantumu untuk memusnahkan Dipanala, meskipun aku agak curiga, bahwa alasan itu terlampau kecil untuk mengambil keputusan untuk membunuh seseorang”

Rudira sama sekali tidak dapat menjawab lagi. Karena itu dengan mulut yang bagaikan terbungkam ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Rudira” Ia mendengar suara ayahnya, “Apakah pantas bagimu dan ibumu, bahwa karena persoalan yang kecil itu, kau sudah memutuskan untuk membunuhnya? Jika masalahnya adalah masalah Arum yang saat itu gagal kau bawa, sama sekali bukan alasan yang kuat untuk membunuhnya. Nah, apakah kau tahu alasan lain yang lebih dapat diterima dengan akal, bahwa Ki Dipanala harus dibunuh?”

Rudira sama sekali tidak menyahut

“Rudira” Ayahnya mendesak, “jawablah pertanyaanku. Apakah kau mengetahui alasan lain atau alasanmu sendiri yang lebih mantap agar orang itu dapat dibunuh?”

Rudira masih belum menjawab.

“Apakah kau tidak mendengar pertanyaanku, atau kau memang tidak dapat mengatakan apapun juga?”

“Aku tidak tahu ayah. Aku sama sekali tidak tahu”

“Jadi alasanmu satu-satunya adalah karena Dipanala selalu mengganggu niatmu? Hanya itu?”

Rudira mengangguk.

“Jika itu Rudira, kau adalah anak muda yang paling kejam dan bengis. Dipanala mempunyai keluarga. Mempunyai anak-anak yang makan karena jerih payahnya. Jika kau membunuhnya, maka anak -anak itu akan terlantar, dan kau tidak akan mendapat keuntungan apa-apa karena Danatirta sendiri akan dapat mencegahnya”

Rudira tidak dapat menjawab lagi. Dan kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk.

“Rudira” berkata ayahnya, “seharusnya untuk melakukan hal serupa itu, kau harus minta pertimbangan kepadaku, kepada ayahmu. Masalahnya adalah masalah yang besar. Jiwa manusia. Dan kau agaknya hanya berbicara dengan ibumu. Aku tidak tahu kenapa ibumu dapat menyetujui rencanamu yang bengis itu”

Rudira menjadi semakin tunduk.

“Kenapa?” tiba-tiba ayahnya membentak sehingga Raden Rudira menjadi terkejut karenanya. Tetapi ia sama sekali tidak dapat menjawabnya.

“Rudira, aku ingin mendengar jawabmu. Sebelum kau menjawab dengan jawaban yang dapat aku mengerti, kau masih harus tetap duduk di situ”

Dada Raden Rudira menjadi berdebar-debar. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Ibunda justru menganjurkan aku membunuhnya ayah”

“He?” Ayahnya terkejut. Tetapi kesan di wajahnya itu pun segera lenyap. Bahkan wajah Pangeran Ranakusuma itu seakan-akan menjadi semakin terang.

Raden Rudira yang mencoba memandang wajah ayahnya sekilas menjadi heran Ayahnya tampaknya menjadi tidak marah lagi kepadanya. Bahkan kemudian ia melihat Pangeran Ranakusuma itu tersenyum. Katanya, “Jadi ibundamu yang menganjurkan kepadamu agar Dipanala dibunuh saja?”

Raden Rudira menjadi ragu-ragu. Lalu jawabnya, “Ya ayah. Ibunda lah yang menganjurkan agar aku membunuh Dipanala”

“Apakah alasan ibumu?”

“Dipanala dapat mengganggu semua cita-citaku. Ia adalah orang yang berbahaya karena mulutnya berbisa” Raden Rudira berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia bertanya dengan hati yang kosong, “Kenapa ayahanda selalu mendengarkan kata-katanya? Ibunda kadang-kadang merasakan suatu kejanggalan, seakan-akan Dipanala lah yang menentukan semua keputusan di sini. Ayahanda selalu menuruti pendapatnya, meskipun pendapat itu bertentangan dengan kepentinganku dan kepentingan ibunda”

“He?” Sekali lagi Pangeran Ranakusuma terkejut. Namun kesan itu pun segera lenyap pula dari wajahnya.

Namun demikian, terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya. Bahkan kemudian timbul pertanyaan di dalam dirinya, “Apakah Galihwarit mengetahui hubunganku dengan adiknya?”

Tetapi ia pun kemudian menjawabnya sendiri, “Tentu tidak. Jika demikian tentu bukan Dipanala yang akan dibunuhnya”

Sejenak Pangeran Ranakusuma itu merenung. Sekali-sekali dipandanginya kepala Rudira yang tertunduk. Kemudian dilemparkannya pandangannya itu jauh menembus kegelapan di luar daun pintu yang terbuka.

Namun dalam ada itu tumbuh pula persoalan di dalam dirinya dibumbui oleh perasaan yang selama ini dicobanya untuk menekan dalam-dalam di dalam lubuk hatinya, apabila ia melihat sikap dan rias isterinya itu agak berlebih-lebihan jika ia pergi mengunjungi pertemuan dan kadang-kadang makan dan minum bersama orang-orang asing itu. Dengan atau tidak dengan dirinya. Bahkan dengan bercermin kepada diri sendiri, maka timbul pertanyaan pula, “Apakah isteriku juga menyimpan suatu rahasia yang diketahui oleh Dipanala sehingga ia akan membunuhnya?”

Sejenak kemudian Pangeran Ranakusuma itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada anaknya, “Rudira. Kenapa kau tidak membicarakan rencanamu itu dengan ayahmu?”

Rudira tidak berani menengadahkan wajahnya, dan sama sekali tidak menjawab.

Tetapi kata ayahnya lebih lanjut sama sekali tidak diduganya. “Jika kau membicarakannya dengan aku, mungkin aku akan dapat memberimu jalan sehingga kau tidak akan gagal”

Tiba-tiba saja Raden Rudira mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah ayahnya dengan penuh pertanyaan. Tetapi ayahnya itu justru tersenyum kepadanya, “Kau tidak percaya?”

Raden Rudira tidak menyahut. Ia masih belum mengerti tangkapan yang sebenarnya dari ayahanda itu.

“Rudira” berkata ayahnya kemudian, “Kau menjadi bingung?”

“Aku tidak mengerti ayahanda, perasaan apakah yang sekarang bergolak di dalam hatiku”

“Kau memang sedang bingung. Tetapi baiklah. Dengarlah. Aku akan membantumu jika kau dapat mengatakan alasan, kenapa ibumu menganjurkan kepadamu untuk membunuh Dipanala? Apakah benar bahwa hal itu sekedar karena cintanya dan kasih sayangnya kepadamu? Jika demikian, maka ia dapat mengambil jalan lain. Karena itu, untuk kepentinganmu dan kepentingan ibundamu sendiri Rudira, cobalah, usahakanlah mengerti, apakah alasan ibumu yang sebenarnya”

“Apakah aku harus bertanya kepada ibunda?”

“Terserahlah kepadamu. Tetapi hati-hati. Jangan menyakiti hati ibundamu. Ia memang sangat mengasihimu” ayahandanya berhenti sejenak, lalu, “Jika aku mengetahui alasan yang sebenarnya itu. Maka aku akan menentukan sikap. Jika masalahnya memang penting sekali dan wajar, aku akan menolongmu”

Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, pergilah. Tetapi untuk selanjutnya kau harus berhati-hati. Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan kau sendiri dan dapat menimbulkan kesan yang tidak baik. Jika terjadi sesuatu, dan rakyat yang bodoh itu dapat dibakar, maka kita akan menjadi sasaran pertama apabila kita selalu menyakiti hati mereka”

Raden Rudira mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya ayah. Aku akan mengingat semuanya”

Sejenak kemudian maka Raden Rudira pun segera minta diri, sementara ayahandanya masih duduk di tempatnya. Jika Rudira berhasil menemukan alasan ibundanya yang sebenarnya, dan alasan itu benar-benar dapat dimengertinya, maka hal itu pasti akan menenteramkannya. Ia tidak akan selalu dikejar oleh perasaan curiga dan cemas. Ia akan dapat berbuat sesuatu dengan mantap, karena sebenarnyalah Ki Dipanala tidak berguna lagi baginya sekarang. Hubungannya dengan adik kandung Raden Ayu Galihwarit telah berjalan dengan lancar tanpa diketahui oleh siapapun, kecuali oleh Ki Dipanala.

“Jika Galihwarit mengetahuinya dan terlebih-lebih lagi suami adik kandungnya itu, maka keadaan pasti akan bergejolak. Suaminya itu pasti akan menentukan sikap dan barangkali kami terpaksa melakukan perang tanding” berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hatinya, “Tetapi itu tentu memalukan sekali meskipun aku dapat berbuat lebih dahulu dengan bantuan kumpeni”

Sejenak kemudian Pangeran Ranakusuma itu pun segera berkemas. Ia memang benar-benar harus pergi ke istana meskipun hanya sekedar untuk mendengarkan perkembangan terakhir dari Kerajaan Surakarta di bawah pemerintahan Kangjeng Susuhunan Pakubuwana. Namun yang semakin lama tampak menjadi semakin suram karena selalu dibayang-bayangi oleh kekuasaan asing yang semakin dalam mencengkeram kekuasaan di Surakarta.

Dalam pada itu Raden Rudira duduk termenung di ruang belakang. Tetapi ia selalu saja gelisah karena kata-kata ayahnya.

Tetapi tidak seperti yang dikehendaki oleh ayahnya, agar ia dapat mengemukakan alasan ibunya seperti yang dikehendaki oleh ayahandanya, tetapi hatinya justru ditumbuhi oleh kecurigaan. Bahkan setiap kali timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah benar ada alasan rahasia yang tidak dikatakan oleh ibunda tentang rencana pembunuhan itu? Jika demikian apakah alasan itu dapat langsung aku tanyakan kepada ibunda?”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang ibunya yang cantik dan masih tampak selalu muda itu berada di antara orang asing yang meskipun tidak banyak jumlahnya, tetapi cukup mencemaskannya.

“Apa saja yang dilakukan oleh ibunda dan kadang-kadang bersama ayahanda di dalam pertemuan-pertemuan serupa itu? Apalagi jika ibunda pergi seorang diri?”

Perasaan kasih seorang ibu kepada anaknya, terasa setiap saat membelai hati Raden Rudira, Namun setiap kali ia selalu dicemaskan oleh tindak dan sikap ibunya. Bahkan kadang-kadang ia tidak rela apabila ibundanya pergi dan duduk di dalam sebuah kereta bersama orang asing itu, meskipun kadang-kadang ibunya berkata kepadanya sebelum ia bertanya, “Bagi mereka, hal serupa itu adalah menjadi kebiasaan. Mereka bukan orang-orang yang lekas menjadi cemburu seperti kita. Mereka menganggap persahabatan sebagai sesuatu yang harus dihormati, seperti mereka menghormati diri mereka sendiri. Karena itulah maka tidak seorang pun dari mereka yang berbuat tidak senonoh”

Raden Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Mereka menghormati persahabatan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian mereka tentu akan menghormati keluarga dan ikatan keluarga sahabat-sahabat mereka. Dan mereka pun akan menghormati ibunda dan ayahanda, apalagi ayahanda adalah seorang Pangeran”

Meskipun demikian hati Raden Rudira tidak juga menjadi tenteram. Sebagai seorang anak laki-laki yang dewasa, ia dapat membayangkan kemungkinan yang dapat timbul. Tetapi setiap kali terngiang kata-kata ibunya, “Mereka menghormati persahabatan seperti dirinya sendiri. Seperti dirinya sendiri”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia kemudian berdiri dam melangkah keluar, dilihatnya bayangan lampu obor yang menyala di sudut istananya bergetar oleh angin malam yang lembut.

Tanpa maksud tertentu Rudira berjalan saja di halaman di sebelah rumahnya. Dingin malam yang semakin menggigit terasa membuat hatinya agak sejuk. Ketika ia kemudian menengadah-kan kepalanya, dilihatnya bintang-bintang gemerlapan di langit yang seakan-akan tanpa batas.

Rudira terkejut ketika seseorang menyapanya dari kegelapan.

Namun mendengar suaranya yang agak parau, Rudira segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah Mandra.

“Apakah tuan menghadap ayahanda?” bertanya Mandra. Raden Rudira menganggukkan kepalanya.

“Apakah yang ditanyakan oleh ayahanda tuan kepada tuan ada hubungannya dengan kegagalan kita?”

Sekali lagi Raden Rudira mengangguk sambil menjawab, “Ya. Ayah bertanya tentang penyamun itu, tentang anak panah yang ternyata telah disimpan oleh Dipanala, dan kemudian ayah langsung menunjuk hidungku sambil bertanya, “Kenapa kau berusaha membunuh Dipanala?”

“Apakah tuan mengiyakan?”

“Sebenarnya aku ingin mengingkarinya seperti pesan ibunda. Tetapi aku tidak berhasil. Ayah mempunyai alasan yang kuat untuk menuduh aku”

Mandra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia bertanya, “Dengan demikian apakah ayahanda tuan juga menyebut namaku?”

“Tidak”

“Tetapi Pangeran Ranaku-suma tentu mengetahuinya. Jika yang seorang Raden Rudira, maka yang seorang tentu aku”

“Apaboleh buat”

“Tetapi, tetapi apakah ayahanda marah?”

Rudira menggeleng. Kata-nya, “Aku harus mengetahui alasan ibunda yang sebenarnya, kenapa ibunda pun dengan sangat bernafsu ingin membunuh Ki Dipanala. Aku pun mulai mempertimbangkannya, jika tidak ada alasan yang kuat, ibunda tentu tidak akan mengambil langkah demikian”

Mandra pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula sambil berkata, “Ya. Tentu ada alasan yang cukup kuat”

“Itulah yang harus aku tanyakan kepada ibunda”

Mandra tidak menyahut. Tetapi menurut dugaannya, alasan itu memang dapat saja alasan yang lain, tetapi mungkin juga bagi seorang ibu yang sangat memanjakan anaknya, kegagalan Rudira di Jati Aking, membuatnya marah sekali sehingga tampak di luar sadarnya ia memerintahkan agar orang yang bernama Dipanala itu dibunuh saja. Tetapi tidak mustahil pula bahwa memang ada alasan lain yang cukup kuat bagi Raden Ayu Galihwarit.

“Aku memerlukan waktu” berkata Rudira kepada pengiringnya yang-setia itu.

“Tetapi tidak terlalu lama. Keadaan kota ini bagaikan bisul yang akan pecah. Dan itu dapat terjadi siang, malam, pagi atau sore”

Raden Rudira mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi kenapa justru ibunda semakin sering pergi dengan atau tidak dengan ayahanda? Kumpeni sama sekali tidak menghiraukan keadaan yang sebenarnya terjadi di Surakarta. Mereka masih saja mengadakan bujana makan dan minum. Justru semakin lama bagaikan orang-orang yang tidak mempunyai persoalan sama sekali selain makan, minum bersenang-senang dan seakan-akan melepaskan semua kekangan nafsunya”

“Ya, demikianlah agaknya”

Namun ternyata kata-kata Raden Rudira itu telah mengejut-kan dirinya sendiri. Tiba-tiba saja kecurigaannya menjadi semakin memuncak. Sekali lagi terngiang kata-katanya sendiri yang seolah-olah begitu saja terlontar dari sela-sela bibirnya, “Makan, minum, bersenang-senang dan seakan-akan melepaskan semua kekangan nafsunya”

“Apakah betul begitu?” Ia bertanya kepada diri sendiri.

Namun pertanyaan yang lain telah membuat hatinya semakin gelisah, “Jika tidak, apa saja yang mereka lakukan? Pada suatu saat mereka tentu akan jemu makan dan minum betapa enak dan beraneka macamnya makanan. Tetapi mereka tentu mencari kepuasan yang lain, tidak sekedar makan minum”

Terasa bulu-bulu Raden Rudira meremang. Sekilas terbayang wajah ibunya yang cantik dan masih selalu tampak muda. Pakaian dan rias yang berlebih-lebihan.

“Apakah ayahanda tidak pernah merasa cemburu, atau justru karena dengan demikian ayah akan mendapatkan apa yang dikehendakinya. Jabatan, kekuasaan dan segala macam benda yang selama ini belum pernah kita miliki?”

“Tidak. Tentu tidak” tiba-tiba saja hatinya melonjak, “Ayah tentu tidak akan mengorbankan harga dirinya sampai serendah itu. Apalagi ayahanda adalah seorang Pangeran. Jika terjadi sesuatu yang menyimpang dari keterangan ibunda, bahwa mereka menghormati persahabatan seperti dirinya sendiri, maka ayahanda tentu akan bertindak. Tentu ayahanda tidak akan menjual harga dirinya, berapapun juga mereka akan membeli”

Tiba-tiba terasa hati Raden Rudira itu menjadi panas. Ia tidak mau, meskipun sekedar di dalam angan-angan, ibunya akan membagi kasih sayangnya. Ibunya mencintainya dan mencintai ayahandanya. Dan tidak boleh ada sangkutan kasih yang lain pada ibunya, apapun alasannya. Sadar atau tidak sadar, jujur atau tidak jujur.

Tetapi Raden Rudira bahkan telah dicengkam oleh perasaan curiga yang amat sangat. Dan perasaan itu bagaikan mengorek dasar hatinya yang manja.

Karena itu, maka terbersit suatu keinginan di dalam hatinya untuk sekali-sekali mengetahui meskipun dari kejauhan, apakah yang sebenarnya dilakukan oleh ibunda di dalam pertemuan-pertemuan serupa itu.

“O” Raden Rudira mengeluh di dalam hati, “Apakah aku sudah kehilangan kepercayaan kepada ibunda?”

Tetapi Raden Rudira. tidak dapat menyingkirkan keinginan itu. Bahkan semakin ia mencoba melupakannya, rasa-rasanya bagaikan semakin dalam menghunjam ke dalam jantungnya.

Dalam pada itu, pengaruh perkembangan hubungan antara pimpinan pemerintahan di Surakarta dan kumpeni mempunyai pengaruh di dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa orang bangsawan dengan tegas menunjukkan penolakan atas pengaruh yang semakin besar mencengkam Surakarta, sedang beberapa orang Pangeran yang lain dengan senang hati menerima keadaan itu sebagai suatu karunia bagi mereka yang haus akan kekayaan dan kemewahan yang melimpah-limpah, tanpa menghiraukan kemungkinan apapun yang dapat terjadi atas bangsa dan negaranya.

Pertentangan itulah yang bagaikan jalur yang menyelusur dari atas sampai ke bawah. Pengaruh para Pangeran ternyata mempunyai warna tersendiri di daerah palenggahan mereka atau di daerah pengaruh mereka masing-masing.

Dan itulah yang menyedihkan. Mereka yang tidak banyak mengerti tentang persoalan yang menyangkut pemerintahan dan hubungannya dengan perkembangan tanah mereka, menjadi terpecah pula. Sebagian dengan sadar menentukan sikap, dan yang sebagian lagi tanpa memikirkan sebab dan akibatnya, langsung saja berpihak.

Dalam keseluruhan Surakarta sudah mulai retak. Para bangsawan saling mencurigai di antara mereka. Dan demikian juga rakyat di suatu daerah terhadap rakyat di daerah yang lain. Seakan-akan mereka bukan lagi terdiri dari kesatuan yang selama ini telah bersama-sama membina Surakarta dengan segala keprihatinan.

Di Jati Aking, udara yang panas itu pun sudah terasa semakin. panas. Dengan demikian maka baik Raden Juwiring maupun Buntal telah menempa diri sejauh-jauh dapat dilakukan dengan cara masing-masing. Buntal masih saja mengisi segenap waktunya tanpa mengenal lelah, sedang Juwiring mempergunakan cara yang lebih sederhana namun mempunyai hasil yang cukup mengagumkan. Sedang Arum di bawah bimbingan khusus dari Kiai Danatirta, justru karena ia seorang gadis, meningkat dengan cepatnya pula mengiringi kemajuan kedua saudara angkatnya meskipun mereka adalah laki-laki.

Namun sejalan dengan kemajuan mereka di dalam olah kanuragan, maka di mata Buntal, Arum pun berkembang seperti kuncup yang mulai mekar. Baunya yang semerbak dan warnanya yang cerah semakin menumbuhkan kesan yang lain. di dalam dirinya. Tetapi setiap kali ia masih saja harus mengusap dadanya, betapa ia merasa dirinya terlampau kecil. Di antara dirinya dan gadis itu seakan-akan telah berdiri seorang raksasa yang perkasa. Raden Juwiring.

Setiap kali Buntal melihat Arum memakai pakaiannya yang paling bagus, yang diterimanya dari Raden Ayu Galihwarit, hatinya menjadi berdebar-debar. Sekali-sekali teringat pula olehnya Raden Rudira yang setiap saat dapat datang ke padukuhan ini atas perintah ayahandanya untuk mengambil gadis itu. Dengan umpan yang tidak ternilai harganya atau dengan kekerasan. Tetapi seandainya Raden Rudira itu tidak datang lagi ke padepokan ini maka di sini masih ada Raden Juwiring.

Namun hal itu telah mendorongnya untuk menempa diri tanpa mengenal batas waktu. Kapan saja ia ingin, maka hal itu dilakukannya. Bahkan kadang-kadang di tengah malam, selagi ia terbangun dari tidurnya dan ia tidak berhasil memejamkan matanya kembali, ma ka ia pun kemudian pergi ke tempat yang sepi dan jarang disentuh kaki para penghuni padepokan itu, apalagi di malam hari, untuk melakukan latihan seorang diri.

“Meskipun aku keturunan pidak pedarakan, tetapi aku tidak mau kalah dengan keturunan bangsawan” katanya di dalam hati. Namun apabila kemudian ia sadar, ia menjadi malu sendiri, seakan-akan ia telah memusuhi Raden Juwiring yang bersikap terlalu baik kepadanya.

“Gila” desisnya, “hatiku sudah dicengkam oleh kuasa iblis yang paling jahat. Tidak demikian seharusnya aku bersikap, di dalam perbuatan dan angan-angan terhadap saudara angkat apabila aku seseorang yang jujur”

Namun setiap kali persoalan itu kembali menggelitik hatinya.

Adalah suatu hal yang mengejutkannya ketika pada suatu hari Kiai Danatirta telah memanggilnya bersama Raden Juwiring. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh Kiai Danatirta itu pun berkata, “Anak-anakku, ternyata keadaan kini menjadi semakin gawat. Di sebelah Timur telah timbul kegelisahan yang sangat. Mungkin masih belum terasa dari daerah yang aman seperti Jati Sari. Namun kadang-kadang telah terjadi bentrokan yang gawat. Masih sering terjadi kesalah pahaman, sehingga seakan-akan yang terjadi adalah perselisihan di antara rakyat Surakarta. Seolah-olah terjadi perselisihan antara padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, tetapi tidak demikian yang sebenarnya. Persoalannya jauh lebih dalam dari persoalan padukuhan yang kecil dan barangkali persoalan kerusuhan biasa”

Raden Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Apakah sebabnya yang terjadi adalah demikian ayah? Bukankah dengan demikian para petani lah yang menjadi korban tanpa menyentuh sasarannya. Bukankah kerusuhan yang demikian itu tidak akan berarti apa-apa bagi kumpeni?”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Jika yang terjadi demikian, memang Kumpeni tidak akan merasa terguncang sama sekali. Bahkan mereka dapat memanfaatkan bentrokan-bentrokan kecil yang telah terjadi itu. Tetapi bagaimanapun juga yang telah terjadi itu merupakan persoalan. Jika para bangsawan masih saja berbeda sikap dan pendirian, maka hal serupa itu masih saja akan terjadi. Yang parah adalah apabila Kumpeni justru dapat mengambil keuntungan dan meniupkan pertentangan di antara kita menjadi lebih besar lagi”

Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dengan suara yang dalam Raden Juwiring berkata, “Dengan menyesal aku harus menyaksikan sikap ayahanda yang condong berpihak kepada kumpeni”

“Ya” sahut Kiai Danatirta, “Tetapi tanpa sesadarnya. Raden Ayu Galihwarit lah yang telah mendorongnya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Dipanala, bahwa pemberian kumpeni yang berlimpah-limpah itu agaknya telah mengaburkan sikap satria yang seharusnya dimiliki oleh para bangsawan di Surakarta”

Raden Juwiring mengangguk-angguk. Tetapi wajahnya menjadi semakin buram. Agaknya sesuatu sedang bergejolak di dalam hatinya.

“Anak-anakku” berkata Kiai Danatirta kemudian, “dalam keadaan yang gawat ini, sebenarnya Surakarta memerlukan seorang yang kuat. Seorang yang dapat berdiri diatas segala kepentingan, sehingga justru tidak terjadi benturan di antara kita sendiri. Dan jauh sebelum semuanya terjadi, kita harus sudah memilih tempat. Dan aku percaya, bahwa Ki Demang di Sambi Sari akan sependapat dengan kita. Sebelum kita semua terlambat, kita harus mengambil sikap, agar apabila banjir bandang melanda Surakarta, kita tidak akan sekedar hanyut dan hilang tenggelam tanpa arti. Kita harus merupakan butir-butir air dalam arus banjir bandang, atau menjadi sebutir debu dari batu karang yang tidak tergoyahkan”

Kedua anak-anak muda ku mengangguk-angguk. Mereka mengerti sikap guru dan sekaligus ayah angkatnya. Dalam keadaan yang paling gawat dan menentukan, mereka tidak dapat menunggu.

Dan ternyata bahwa Kiai Danatirta pun kemudian berkata, “Karena itu anak-anakku, jika kita ingin menentukan sikap, maka kita harus memilih sekarang, juga. Kita sudah dapat menduga, siapakah yang dapat dijadikan sandaran di dalam saat yang paling gawat”

Juwiring mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu. Dan Kiai Danatirta berkata selanjutnya, “Anak-anakku. Sebenarnya aku ingin mendengar pendapatmu. Yang kita kenal dan pasti, ada dua pihak yang berdiri berseberangan di Surakarta. Katakanlah, bahwa yang satu pihak telah dipengaruhi oleh kehadiran orang asing itu dan justru membantunya memper-sempit kemerdekaan diri, sedang yang lain berdiri pada atas yang sewajarnya di bumi sendiri. Bukan untuk sesuatu yang berlebih-lebihan. Mereka yang tidak dapat menerima pengaruh yang semakin besar dari orang asing itu tidak menginginkan sesuatu di luar haknya. Mereka hanya ingin agar rumah tangganya tidak terganggu. Dan itu adalah wajar sekali”

Wajah Raden Juwiring menjadi semakin berkerut.

“Sekarang, menurut pendapatmu, dimana kita harus berdiri? Aku tahu bahwa Juwiring menghadapi masalah yang cukup berat bagi dirinya sendiri, karena kebetulan ia adalah putera Pangeran Ranakusuma”

Wajah Raden Juwiring pun menjadi semakin tunduk.

“Karena itu” berkata Kiai Danatirta lebih lanjut, “pikirkanlah sebaik-baiknya. Dimanakah kau akan berdiri. Tentu kau tidak akan dapat menjawabnya sekarang. Aku tidak mau kau meng-ambil keputusan yang tergesa-gesa. Hal ini akan menyangkut masalah yang sangat luas bagimu”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam.

“Namun sementara itu Juwiring, aku ingin memberitahukan kepada kalian, bahwa aku berniat untuk menghubungi Pangeran Mangkubumi atau orang-orangnya di Sukawati. Aku ingin mendapat penjelasan, apakah yang telah mereka lakukan, karena menurut pendengaranku, mereka telah mempersiapkan diri jika terjadi sesuatu”

Juwiring pun kemudian mengangkat wajahnya. Dengan ragu-ragu ia, berkata, “Ayah, aku memang menjadi bingung sekali. Tetapi pada dasarnya aku adalah salah seorang yang lahir dan dibesarkan diatas bumi Surakarta. Itulah yang mendorong aku untuk mencintai tanah ini. Meskipun aku wajib mencintai ayah dan ibunda, tetapi apakah salahnya bahwa aku tidak menempuh jalan yang sama seperti yang dilakukan oleh ayahanda Pangeran Ranakusuma. Apalagi seperti ibunda Galihwarit”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata, “Kau tergesa-gesa Juwiring. Jika aku mengambil sikap itu adalah sikap padepokan Jati Aking. Tetapi aku tidak mengharuskan kau bersikap seperti aku. Aku tidak akan marah dan apalagi mengingkari kau sebagai murid dan anak angkatku. Aku menghargai perbedaan pendirian. Jika kita memang harus menempuh jalan yang berbeda, kita akan berjalan diatas jalan kita masing-masing. Tetapi jika kita bersetuju untuk menempuh satu jalan, aku akan senang sekali”

“Ayah, aku seolah-olah tidak mempunyai tempat lagi di rumah ayahanda Pangeran Ranakusuma. Karena itu, aku tidak akan dapat berada di dalam lingkungannya”

“Apakah itu alasanmu? Sekedar untuk menempatkan diri dalam lingkungan yang baru karena kau kehilangan tempat di lingkunganmu yang lama?”

“Tidak ayah, bukan itu. Tetapi aku merasa bahwa aku tidak sesuai lagi dengan lingkungan ayahanda bukan karena aku disingkirkan, tetapi juga karena sikap ayahanda terhadap Kumpeni dan pengaruhnya”

“Jadi bukan semata-mata sebuah luapan dendam terhadap kedudukanmu dalam keluargamu?”

“Sama sekali bukan ayah”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Meskipun demikian kau masih mempunyai kesempatan yang panjang untuk memikirkannya” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “semen-tara itu, hubungan yang aku inginkan dengan Sukawati, akan aku teruskan”

Sejenak Kiai Danatirta termangu-mangu. Namun kemudian katanya selanjutnya, “Anak-anakku. Aku ingin kalianlah yang pergi ke Sukawati. Apalagi setelah aku mendengar isi hati Juwiring. Sambil berjalan ke Sukawati ia dapat berpikir dan memperbincangkan kedudukannya di dalam lingkungannya dengan kau Buntal. Bersikaplah jujur terhadap diri sendiri, sehingga semua tindakan yang akan kalian lakukan adalah tindakan yang berakar di dalam hati” Kedua anak muda itu tidak menjawab, “Apakah kalian sanggup melakukannya?”

Buntal lah yang lebih dahulu menjawab meskipun nada suaranya agak dalam, “Tentu kami akan bersedia ayah. Seperti yang selalu ayah pesankan kepada kami, bahwa tanah yang kami injak, air yang kami minum dan butir-butir beras yang kami makan adalah bagian dari bumi yang mengandung kami, seperti seorang ibu yang mengandung dan kemudian membesarkan anaknya. Adalah wajib bagi kami untuk berbuat sesuatu terhadapnya sesuai dengan tuntutan keadaan dan kemampuan kami masing-masing”

“Bagus Buntal” Kiai Danatirta mengangguk-angguk, “Jika demikian, aku percaya kepada kalian berdua. Kalian adalah anak-anakku yang akan pergi ke Sukawati. Aku sudah tidak sangsi lagi. Jika Pangeran Mangkubumi tidak ada, maka bertemulah dengan orang-orang yang dipercayanya atau Ki Demang di Sukawati”

“Bagaimana kami dapat menghadap Pangeran Mangkubumi ayah?”

Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Dalam keadaan seperti ini, tentu setiap orang mempunyai prasangka terhadap orang-orang yang tidak dikenalnya.

Karena itu, setelah merenung sejenak, maka Kiai Danatirta pun berkata, “Kau harus menemukan jalan yang tepat. Jika tidak, kau tidak akan sampai padanya” orang itu berhenti sejenak, lalu, “Aku mempunyai seorang sahabat yang tinggal di Sukawati. Aku berharap bahwa ia pun ikut di dalam arus pergolakan yang telah terjadi di daerah itu. Menurut pendengaranku, orang-orang Sukawati bukan saja mempersiapkan segala jenis senjata, tetapi mereka pun sibuk menyempurnakan ilmu mereka lahir dan batin. Beberapa orang lelah menempa diri di dalam olah kanuragan. Yang lain mengasingkan diri di lereng-lereng gunung dan tebing-tebing untuk mendapatkan jalan terang dan petunjuk, namun juga untuk membajakan ilmu mereka dan menyadap kekuatan alam di sekitarnya”

Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sahabatku adalah seorang yang memiliki kemampuan yang cukup. Itulah sebabnya aku mengharap bahwa ia pun mempergunakan kemampuan itu untuk kepentingan tanah kelahiran ini” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Orang itu bernama Kiai Sarpa Srana, yang sering disebut orang Kiai Sarpa Ireng. Ia adalah seorang yang menguasai hubungan dengan ular. Seakan ia dapat berbicara dengan segala jenis ular. Ia dapat mempergunakan racun ular untuk kepentingan yang dianggapnya baik”

Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk pula.

“Temuilah Kiai Sarpa Ireng. Katakanlah bahwa kau berdua adalah muridku. Katakanlah apa maksud kedatanganmu. Mudah-mudahan orang itu dapat menolongmu”

Juwiring mengangkat kepalanya, lalu katanya, “Kami siap melakukannya ayah. Kapankah kami harus berangkat?”

“Jika matahari besok terbit, kalian berangkat dari padepokan ini. Sekarang kalian sempat menyediakan bekal secukupnya. Sukawati tidak terlalu jauh, meskipun bukan jarak yang dekat”

“Baiklah ayah. Kami akan berkemas”

“Kalian bukan saja harus menyediakan bekal, tetapi juga alat untuk menjaga diri”

“Senjata?”

“Ya”

“Pedang maksud ayah, atau tombak”

Kiai Danatirta menggeleng. Jawabnya, “Bukan senjata yang justru dapat mengundang kesulitan. Bawalah senjata yang dapat kalian sembunyikan”

“Pisau?”

“Semacam itu. Kau dapat membawa sebilah keris dan beberapa buah pisau kecil. Bukan semata-mata karena kalian ingin berkelahi. Tetapi keadaan ternyata sangat gawat. Semakin lama semakin panas. Jika karena sesuatu hal, di daerah Sukawati kau bertemu dengan kumpeni yang memiliki senjata yang dapat meledak dan membunuh dari jarak yang jauh, kau dapat melawannya dengan pisau-pisau kecil itu jika perlu, meskipun jangkau lontaran tanganmu tidak sejauh jangkau peluru”

Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka memang sudah melatih diri melontarkan pisau-pisau kecil untuk menghadapi lawan pada jarak yang tidak dapat dijangkau dengan tangan. Dan jika mereka bertemu dengan Kumpeni, maka mereka mempunyai senjata yang dapat menyerang mereka dari jarak yang jauh.

Meskipun demikian Buntal masih juga bertanya, “Ayah, apakah Kumpeni akan pergi ke Sukawati?”

“Hanya suatu kemungkinan Buntal. Menurut pendengaranku, Kumpeni sangat membenci daerah itu. Jika mereka datang kesana, maka akan mungkin sekali timbul bentrokan karena orang-orang Sukawati juga membenci mereka sampai ke ujung rambut”

Buntal mengangguk-angguk. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia mendengar juga dari Ki Dipanala atau kadang-kadang justru dari para pedagang yang keluar masuk kota Surakarta, bahwa keadaan memang memanjat semakin panas.

“Nah, sekarang kalian dapat beristirahat” berkata Kiai Danatirta, “besok pagi-pagi kalian akan berangkat”

Kedua anak-anak muda itu pun kemudian meninggalkan gurunya yang telah mengangkat mereka menjadi anak-anaknya. Perintahnya memberikan sesuatu yang terasa lain di hati kedua anak-anak muda itu. Jika selama ini mereka ditempa untuk melatih diri di dalam ruangan yang tertutup dan hampir tidak dilihat orang lain, maka kini mereka mendapat tugas untuk pergi keluar dari lingkungan mereka, meskipun tugas itu sekedar tugas yang pendek dan hampir tidak memerlukan kemampuan apapun juga, karena mereka hanya sekedar pergi untuk menemui seseorang seperti jika mereka di hari-hari yang senggang mengunjungi kakek dan nenek di padukuhan lain.

Selagi mereka berdua berada di bilik mereka, maka kedua anak-anak itu pun mulai berbincang. Meskipun Kiai Danatirta tidak menyebutkan dengan jelas, tetapi mereka sudah dapat menangkap maksud-gurunya menyuruh mereka berdua menghadap Pangeran Mangkubumi atau orang yang dianggapnya berwenang.

“Apa yang akan kita katakan?” bertanya Buntal.

“Kita akan berterus terang. Kita akan menyerahkan semuanya kepada Pangeran Mangkubumi. Maksudku, kita menyediakan diri untuk melakukan segala perintahnya. Bukankah menurut tangkapanmu juga demikian yang dimaksud oleh ayah?”

“Ya. Tetapi yang siap untuk melakukan segalanya barulah kita di padepokan ini, sedangkan rakyat Jati Sari masih memerlukan banyak persoalan”

“Jika Pangeran Mangkubumi menerima penyerahan kita, maka kita akan segera mulai. Tentu rakyat Jati Sari tidak akan dapat menyamai rakyat Sukawati. Tetapi persiapan yang sedikit itu tentu akan banyak membantu menghadapi arus kekuasaan asing di bumi Surakarta. Setidak-tidaknya kita dapat memberikan gambaran siapakah yang akan kita lawan, dan kemampuan yang ada pada mereka.

Senjata mereka yang ganas itu dan cara mereka menyerang lawan-lawannya”

“Aku kira Pangeran Mangkubumi tidak akan menolak meskipun tentu ada juga kecurigaannya terhadap kita dan padepokan Jati Aking”

Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Ya, karena di Jati Aking ada aku. Dan aku adalah Putera Pangeran Rana-kusuma. Setiap orang di Surakarta mengetahui, bagaimanakah sikap ayahanda terhadap orang asing itu”

Buntal tidak menyahut lagi. Ia tidak ingin mengorek luka itu lebih dalam lagi. Bagaimanapun juga ia dapat merasakan betapa berat persoalan yang dihadapi oleh Raden Juwiring. Di satu pihak, ia merasa ikut bertanggung jawab meskipun hanya seperti setitik air, bahwa Surakarta harus dipertahankan. Bukan hanya sekedar bentuk lahiriahnya saja, tetapi juga kekuasaan dan hakekat dari kekuasaan itu. Tetapi di pihak yang lain, ia merasa wajib juga berbakti kepada ayahandanya dan menurut perintahnya. Jika ayahandanya memerlukan untuk ikut berjalan diatas jalan yang dibuatnya, maka Raden Juwiring akan berdiri di simpang jalan. Jalan yang ditunjukkan oleh ayahnya dan jalan yang telah diyakininya.

Keduanya pun kemudian berdiam diri untuk sejenak. Dan yang mula-mula berkata adalah Juwiring, “Sebaliknya kita berkemas. Mungkin kita akan bermalam beberapa malam di Sukawati. Mungkin kita harus menunggu Pangeran Mangkubumi sehari dua hari”

Buntal menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baiklah. Apakah kita akan membawa pakaian beberapa potong?”

“Ya. Sepotong baju, sepotong celana dan sehelai kain panjang. Itu saja”

Buntal mengangguk-angguk. Tetapi seperti kata gurunya, ia harus menyiapkan bukan saja pakaian, tetapi juga senjata.

Karena itu, maka Buntal pun kemudian mempersiapkan pisau-pisaunya. Ia masih mempunyai kesempatan untuk mencobanya sekali lagi. Di dalam ruang latihannya Buntal mulai berlatih. Selain untuk membiasakan jari-jari tangannya, ia merasa perlu mengisi waktunya yang seakan-akan berjalan terlampau lambat. Hampir ia tidak sabar menunggu malam menjelang pagi.

Demikianlah maka akhirnya waktu yang ditunggunya itu datang juga. Malam itu Buntal hanya tertidur beberapa saat saja. Menjelang fajar ia sudah terbangun dan kemudian berwudhuk sebelum melakukan kewajibannya sebagai seseorang hamba yang mengakui adanya Tuhan. Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ternyata Juwiring pun telah melakukannya pula dalam waktu yang hampir bersamaan, sehingga sejenak kemudian mereka pun segera bersiap untuk melakukan perjalanan yang tidak diketahui apakah yang akan terjadi di sepanjang jalan karena keadaan yang tidak menentu. Mungkin mereka tidak akan menjumpai apapun di perjalanan bahkan mungkin seseorang yang baik hati akan memberinya beberapa butir buah kelapa muda. Tetapi mungkin juga mereka akan bertemu dengan segerombolan perampok yang memanfaatkan setiap keadaan untuk kepentingan mereka sendiri, atau mereka akan berpapasan dengan sekelompok peronda yang di antaranya terdapat beberapa orang Kumpeni.

Tetapi betapa terkejut kedua anak-anak muda itu ketika tiba-tiba saja pintu bilik mereka itu terbuka. Ketika mereka serentak berpaling dilihatnya seseorang berdiri di muka pintu.

“Aku sudah siap. Bukankah kita akan berangkat pagi ini?”

“Arum” desis Juwiring dan Buntal hampir berbareng.

“Bukankah kita akan pergi ke Sukawati?” bertanya Arum.

“Kamilah yang akan pergi. Tetapi kau tidak”

“Aku juga. Ayah menyuruh kita bertiga pergi di pagi ini”

Juwiring dan Buntal saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Juwiring berkata, “Tidak Arum. Tentu ayahmu tidak akan membiarkan kau pergi”

“Ayah menyuruh aku pergi bersama kalian ke Sukawati meng-hadap Pangeran Mangkubumi. Aku tahu benar. Bukankah kita harus lebih dahulu menemui Kiai Sarpasrana dan mengatakan maksud kedatangan kita?”

Sekali lagi kedua anak muda itu saling berpandangan. Arum mengerti perincian tugas mereka, sehingga dengan demikian mereka menjadi ragu-ragu. Apakah benar Kiai Danatirta telah memerintahkan Arum untuk pergi bersama mereka.

“Kenapa kalian menjadi bingung. Ayah tidak membedakan aku dengan kalian. Meskipun aku seorang gadis, tetapi aku juga mendapat tuntunan dari ayah dalam olah kanuragan. Aku juga diajarinya melontarkan pisau-pisau kecil jika aku bertemu dengan Kumpeni yang mempunyai senjata yang dapat meledak dan melontarkan sebutir peluru api. Tetapi jika aku mendapat kesempatan, maka pisauku pun mampu membunuh mereka sebelum mereka berhasil meledakkan senjata mereka itu”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Dalam keragu-raguan ia pun berkata, “Baiklah Arum. Aku akan menemui Kiai Danatirta sejenak.

“Buat apa kau menemuinya? Aku sudah minta diri atas nama kalian”

“Ah, kau aneh” sahut Buntal, “Tentu kita harus mohon diri dan barangkali masih ada pesan-pesannya terakhir sebelum kita berangkat”

“Ah, kalian seperti seorang gadis yang mau ngunggah-unggahi. Akulah seorang gadis. Tetapi aku tidak cengeng seperti kalian”

“Kau memang aneh Arum. Minta diri dan mohon restu bukan suatu sikap yang cengeng” sahut Juwiring, “adalah wajar sekali jika kita menghadap ayah dan minta diri serta mohon restu agar perjalanan kita selamat. Juga barangkali pesan-pesan terakhir-nya, apakah yang sebaiknya kita lakukan dan kita sampaikan kepada Pangeran Mangkubumi agar Pangeran itu yakin bahwa niat kita adalah baik bagi Pangeran Mangkubumi dan bagi bumi Surakarta ini”

Arum tidak menyahut. Tetapi ia berdiri saja di muka pintu.

“Marilah Arum. Jika memang Kiai Danatirta menyuruh kita bertiga pergi, marilah kita bersama-sama mohon restunya”

Arum mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata sambil bersungut-sungut, “Pergilah menghadap. Aku sudah minta diri. Kalian agaknya tidak percaya kepadaku”

“Sama sekali bukan tidak percaya” berkata Buntal, “Tetapi selain restu, itu adalah kewajiban kami sesuai dengan tata kesopanan kita”

“Pergilah, pergilah” Tetapi Arum masih berdiri di muka pintu. Bahkan kemudian ia berpegangan tiang-tiang pintu sambil berkata lebih lanjut, “Agaknya kau ingin mendapat bekal uang dari ayah”

“Kami tidak memerlukan uang”

“Jika demikian buat apa kalian menghadap?”

“Sudah aku katakan, itu adalah kuwajiban dan tata kesopanan”

Arum menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tanpa berkata sesuatu ia pun pergi meninggalkan kedua saudara angkatnya.

“Apakah ia benar-benar sudah mendapat ijin dari ayah?” bertanya Buntal.

“Itulah yang kita sangsikan”

“Tetapi kenapa ia tahu betul tugas yang harus kita lakukan?”

“Mungkin ia kemarin mengintip di balik dinding dan mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Kiai Danatirta”

Keduanya termenung sejenak. Namun kemudian keduanya pun tersenyum.

“Memang, boleh jadi. Dan itulah kemungkinan yang terbesar”

Demikianlah maka kedua anak-anak muda itu pun pergi menghadap Kiai Danatirta untuk minta diri karena langit sudah menjadi semakin terang. Sebentar lagi matahari akan merayap naik ke atas bukit. Dan hari pun akan menjadi semakin siang karenanya.

Setelah mereka mohon diri, maka Juwiring pun kemudian bertanya, “Apakah ayah memerintahkan Arum untuk pergi bersama dengan kami?”

“Arum” kening Kiai Danatirta menjadi berkerut-merut.

“Ya ayah”

“Tidak. Aku tidak menyuruhnya pergi. Tentu tidak. Ia seorang gadis meskipun ia mampu menjaga dirinya. Apalagi dalam keadaan yang gawat dan panas ini”

Kedua anak muda itu saling berpandangan. Sebelum salah seorang dari mereka menjawab, Kiai Danatirta sudah bertanya, “Apakah Arum mengatakan demikian?”

“Ya ayah. Bahkan Arum sudah siap dengan pakaian yang sering dipergunakan untuk berlatih”

Kiai Danatirta merenung sejenak, lalu, “Dimana anak itu sekarang?”

“Ia masih ada di dalam” jawab Juwiring. “Panggillah ia kemari”

Juwiring pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Sejenak kemudian ia telah kembali bersama Arum.

“Duduklah Arum” berkata Kiai Danatirta kemudian dengan nada yang datar.

Arum pun kemudian duduk sambil menundukkan kepalanya. Tetapi sekilas tampak bahwa wajahnya menjadi buram.

“Arum” berkata ayahnya kemudian, “Apakah kau akan mengikuti kedua kakakmu pergi ke Sukawati?”

Arum mengangkat wajahnya sejenak. Tetapi wajah itu kemudian tertunduk lagi.

“Kedua kakakmu mengatakan bahwa kau justru sudah siap untuk berangkat dan apakah aku telah menyuruhmu?”

Wajah Arum menjadi semakin muram. Sambil bersungut-sungut ia berkata, “Ayah tidak adil. Kenapa hanya anak laki-laki saja yang boleh pergi ke Sukawati? Ayah tidak memanggil aku dan menyuruh aku pergi bersama dengan kakang Juwiring dan Buntal”

“Untunglah bahwa kakakmu datang memberitahukan kepada-ku bahwa kau akan ikut serta, bahkan katamu, akulah yang menyuruhnya” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Arum. Jika ayah tidak menyuruhmu, tentu ayah mempunyai alasan. Bukan ayah membedakan murid-muridnya di dalam olah kanuragan, tetapi menurut kodratmu kau adalah seorang gadis. Adalah tidak pantas jika kau ikut menempuh perjalanan ini. Selain jalan yang akan dilalui oleh kedua kakakmu itu masih merupakan sebuah daerah yang gelap karena kita tidak tahu apa yang akan mereka jumpai, adalah juga tidak pantas jika kau pergi bersama mereka. Setiap orang di padepokan dan padukuhan ini mengetahui, bahwa kedua anak muda itu sebenarnya bukan saudaramu yang sesungguhnya”

“Ah apakah salahnya aku berjalan bersama kedua saudara angkatku? Aku menganggap mereka seperti saudaraku sendiri. Benar-benar seperti saudara kandung” Arum memandang ayahnya sejenak, namun kemudian kepalanya tertunduk lagi. Namun ia masih berkata, “Dan seandainya jalan yang akan dilalui itu gawat, apakah jalan itu dapat membedakan antara seorang laki-laki dan perempuan? Jika jalan itu gawat bagiku, maka jalan itu gawat juga bagi kedua kakakku. Atau barangkali ayah menganggap bahwa kemampuanku lebih rendah dari kemampuan kedua kakakku? Jika demikian, ayah pun tidak adil pula”

“Ah, pikiranmu selalu bergeser jauh dari persoalan yang sebenarnya sedang kita bicarakan. Bagaimanapun juga bahaya bagi seorang gadis menurut kodratnya adalah lebih besar bagi seorang laki-laki. Jika seorang laki-laki batas bencana bagi dirinya adalah mati, maka bagi seorang gadis masih ada lagi bencana yang lebih jahat dari itu, bencana yang akan menyiksa sepanjang umurnya”

“Aku mengerti ayah, tetapi aku tidak akan menyerahkan diriku untuk mengalaminya, karena aku akan memilih mati”

“Kadang-kadang yang terjadi bukan yang kita pilih Arum”

“Apakah aku harus menyerah sebelum berbuat sesuatu?”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Anaknya memang keras hati. Jika ia sudah mempunyai niat yang mantap, maka sulitlah untuk menahannya. Jika karena terpaksa Arum dapat dicegah, namun ia akan mencari arah pelarian dari kekecewa-annya. Kadang-kadang dengan tingkah laku yang berbahaya.

“Jadi, bagaimanakah sebenarnya niatmu Arum?” bertanya Kiai Danatirta kemudian.

“Sudah jelas ayah. Aku akan ikut pergi ke Sukawati”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hatimu terlalu keras Arum. Sekeras batu karang”

“Aku hidup disela-sela batu karang yang keras ayah. Karena itulah jiwaku terbentuk sesuai dengan lingkunganku”

“He, siapakah yang mengatakan kepadamu?”

Arum tidak menjawab. Tetapi tampak di wajahnya, bahwa ia sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya.

“Arum” berkata ayahnya kemudian, “Apaboleh buat, jika kau memang berkeras untuk pergi. Tetapi aku mempunyai beberapa syarat”

“Apakah syarat itu ayah?”

“Kau tidak boleh mengganggu tugas kakak-kakakmu”

“Apakah aku sering mengganggu mereka?”

“Aku belum selesai Arum, Maksudku, karena kau seorang gadis yang hampir tidak pernah melihat daerah yang agak jauh, kau jangan memburu kesenanganmu sendiri. Kau jangan membiarkan kedua kakakmu mengikuti keinginanmu untuk melihat-melihat daerah yang baru bagimu. Mungkin tanah pegunungan yang hijau, sungai yang bening dan hutan-hutan perburuan dengan binatang-binatangnya yang liar tetapi memikat”

Arum menganggukkan kepalanya.

“Dan masih ada syarat lagi, “

Arum mengangkat wajahnya yang menjadi tegang.

“Sebaiknya kau memakai pakaian seorang laki-laki sepenuhnya. Itu lebih baik bagimu dan bagi perjalananmu. Hindarilah sejauh mungkin orang-orang padukuhan ini meskipun kita mengharap, agar mereka tidak mengenalmu dalam pakaian yang tidak pernah kau pergunakan keluar rumah itu”

Arum menarik nafas dalam-dalam.

“Masih ada lagi. Sebaiknya kau tidak berbicara di antara orang banyak, agar mereka tidak segera mengenalmu sebagai seorang gadis”

Arum menjadi bersungut-sungut. Katanya seperti kepada diri sendiri, “Ternyata bahwa laki-laki mempunyai kesempatan lebih banyak dari seorang perempuan”

“Tidak Arum. Bukan itu maksudku”

“Ternyata aku harus menjadi seorang laki-laki. Kenapa aku tidak boleh bersikap dalam keadaanku yang sebenarnya?”

“Jangan sekarang. Mungkin dalam keadaan yang lain”

Arum masih saja bersungut-sungut. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Jika demikian kehendak ayah, apaboleh buat. Tetapi aku akan ikut serta”

“Bagus” gumam Kiai Danatirta, namun kemudian, “Tetapi ambillah jalan yang lain dari jalan yang biasa kalian lalui. Kalian dapat mengambil jalan belakang padepokan ini dan menyusur jalan sempit itu sehingga kalian akan turun ke bulak panjang. Mudah-mudahan tidak banyak orang yang berada di sawah di musim begini”

Demikianlah maka Arum pun segera berkemas dan berpakaian sepenuhnya seperti seorang laki-laki. Dengan ikat kepalanya menutup rambutnya yang panjang, yang dilipatnya di bawah ikat kepalanya itu.

Juwiring dan Buntal tersenyum-senyum melihat Arum dalam pakaian laki-laki itu. Namun mereka terpaksa menyembunyikan senyumnya ketika Arum bergeremang, “Aku tidak mau. Jika kakang berdua mentertawakan aku, aku tidak jadi”

“Itu lebih baik” sahut Juwiring.

“Maksudku, aku tidak jadi memakai pakaian ini. Aku akan memakai pakaianku yang paling baik, yang aku terima dari Surakarta. Biar saja ayah marah. Aku tidak peduli”

“Ah, jangan merajuk. Cepatlah. Hari sudah semakin siang. Kita akan kepanasan di perjalanan”

“Aku tidak takut kepanasan. Nah, ini suatu bukti bahwa tidak selalu seorang perempuan lebih lemah dari laki-laki”

Juwiring dan Buntal menahan senyum di bibir mereka. Namun Juwiring lah yang kemudian berkata, “Sudahlah Arum. Marilah. Aku tidak mentertawakan kau lagi”

Ketiganya pun kemudian sekali lagi minta diri. Kiai Danatirta hanya dapat mengusap dadanya melihat anak perempuannya itu berjalan di antara kedua saudara angkatnya. Sikap Arum memang lebih mirip seorang anak laki-laki dalam pakaiannya itu, sehingga tentu banyak orang yang tidak dapat mengenalnya lagi. Bahkan mungkin gadis-gadis kawannya bermain pun tidak akan dapat segera mengenalnya.

Ketika matahari hinggap di punggung perbukitan, ketiga anak-anak muda itu keluar dari regol butulan padepokannya diantar oleh Kiai Danatirta sampai ke jalan sempit di sebelah luar dinding halaman, sambil memberikan pesan-pesannya.

Dengan langkah yang tetap ketiganya pun kemudian berjalan semakin lama semakin jauh, menyusup di bawah bayangan dedaunan yang tumbuh di sebelah menyebelah jalan.

Ketika ketiga anak-anak muda itu telah hilang di balik kelokan jalan, maka Kiai Danatirta pun menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia bergumam, “Anak yang keras hati, sekeras hati ibunya. Mudah-mudahan ia tidak memilih jalan yang sesat seperti jalan yang dilalui ibunya itu, sehingga yang terjadi adalah sebuah malapetaka”

Namun seperti yang pernah terjadi, dada Kiai Danatirta menjadi berdebar-debar jika ia mengenangkan dua orang anak muda yang tinggal bersama di padepokannya. Dua anak muda yang memiliki sifat yang berbeda justru karena atas tempat mereka berpijak pun berbeda pula. Tetapi kedua-duanya memiliki kelebihan mereka masing-masing di samping kelemahan yang wajar terdapat pada setiap orang.

“Mudah-mudahan tidak akan pernah timbul persoalan di antara mereka bertiga justru karena salah seorang dari mereka adalah seorang gadis” gumam Kiai Danatirta di dalam hatinya.

Dengan kepala tunduk orang tua itu pun masuk kembali ke halaman samping padepokannya dan berjalan melintasi sebuah petamanan yang sempit. Akhirnya segalanya harus dipasrahkan kepada Tuhan Yang Suci.

“Kemanakah mereka pergi Kiai?” bertanya seorang cantrik.

Kiai Danatirta berpaling. Dilihatnya cantriknya yang setia berdiri di belakangnya. Seorang yang telah mendekati usia setengah abad.

“O” sahut Kiai Danatirta, “Mereka pergi melihat-lihat daerah di luar padepokan ini. Mereka harus mempunyai gambaran tentang kehidupan di alam yang luas. Bukan selalu hidup dan melihat kehidupan yang sempit di padepokan ini saja”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Memang pengalaman itu sangat perlu. Tetapi kenapa justru saat ini?”

“Kenapa dengan saat ini?” bertanya Kiai Danatirta.

“Kiai” jawab Cantrik itu, “hampir setiap orang mempersoalkan keadaan yang berkembang masa kini. Rasa-rasanya kota Surakarta telah dipanggang diatas bara yang semakin lama menjadi semakin panas”

“Tetapi mereka tidak akan pergi ke kota cantrik. Mereka akan menyelusuri desa yang satu ke desa yang lain. Aku sudah menunjukkan kepada siapa mereka harus datang dan apakah yang harus dikatakannya”

Cantrik itu mengangguk-angguk pula. Namun ia masih menjawab, “Tetapi udara yang panas itu telah memanasi padesan dan padukuhan di daerah ini, Kiai, jalan yang semula aman dan tenteram, semakin lama menjadi semakin gelisah karena hal-hal yang tidak jelas”

Kiai Danatirta tersenyum, katanya, “Itulah yang sedang dilihat oleh anak-anak itu cantrik?”

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya hal itu terlampau berbahaya bagi mereka Kiai. Mereka masih terlampau muda dan belum berpengalaman”

Sambil menepuk bahu cantrik itu Kiai Danatirta berkata, “Terima kasih cantrik. Kau sangat memperhatikan mereka. Mudah-mudahan mereka selamat. Tetapi sekali-sekali mereka memang harus berlatih menjelajahi daerah ini. Mengenal lingkungan di sekitarnya dan menghayati perjalanan yang kadang-kadang sulit”

Cantrik itu masih mengangguk-angguk.

“Nah, kembalilah kepada pekerjaanmu. Aku pun akan pergi ke sawah. Karena kedua anak-anakku itu tidak ada di rumah, akulah yang harus membuka pematang untuk mendapatkan air”

“Bukankah aku dapat juga pergi Kiai?”

“Kau mempunyai tugasmu sendiri”

Cantrik itu pun kemudian pergi ke belakang. Digapainya kapaknya dan ia pun melanjutkan kerjanya, membelah kayu bakar.

Dalam pada itu, ketiga anak muda dari padepokan Jati Aking itu pun telah melintasi parit dan turun ke jalan yang lebih besar. Untunglah tidak banyak orang yang mereka jumpai, sehingga mereka tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, karena semua orang di Jati Sari dan sekitarnya sudah mengenal mereka sebagai anak-anak angkat Kiai Danatirta. Apalagi mereka pun mengetahui, bahwa Raden Juwiring adalah putera seorang Pangeran. Seorang yang masih harus diagungkan dan dihormati meskipun Juwiring sendiri sama sekali tidak menghendakinya. Ternyata pula bahwa Arum tidak menarik perhatian mereka justru karena mereka tidak menyangka sama sekali.

Perjalanan itu pun kemudian menjadi semakin laju ketika mereka keluar dari daerah yang telah mengenal mereka. Daerah yang telah mengenal mereka. Daerah yang masih agak asing bagi Arum, meskipun kadang-kadang ia ikut ayahnya pergi ke kenalan-kenalannya di padesan di sekitar Kademangan Jati Sari.

Orang-orang yang berpapasan dengan ketiga anak-anak muda itu sama sekali tidak mengira, bahwa seorang dari mereka adalah seorang gadis. Dalam pakaian laki-laki Arum memang benar-benar seperti seorang laki-laki. Langkahnya yang tegap dan tandang geraknya yang cekatan. Hanya apabila ia berbicara, maka suaranya lah yang terutama memperkenalkannya bahwa ia adalah seorang gadis. Kadang-kadang juga kemanjaannya dan wajahnya yang berubah-ubah. Kadang-kadang ia tersenyum, bahkan tertawa. Tetapi hampir tanpa sebab ia memberengut dan bersungut-sungut.

Tetapi Juwiring dan Buntal yang sudah bergaul lama dengan Arum, sudah mengenalnya dengan baik. Karena itu, mereka hampir tidak terpengaruh karenanya. Dibiarkannya Arum bersungut-sungut ketika ia melintasi parit yang kotor dan melemparkan bau yang tidak sedap di hidungnya. Tetapi ia tertawa karena ia melihat seorang anak kecil yang duduk diatas punggung kerbau yang digembalakannya.

Ketika mereka kemudian melintasi jalan sempit di sebelah sebuah hutan perburuan yang tidak begitu lebat, maka Arum pun bertanya, “Apakah kita tidak dapat menyusup lewat hutan ini?”

“Mungkin kita akan dapat sampai pula. Tetapi aku masih menyangsikannya” sahut Juwiring.

“Marilah kita coba. Kita masuk ke dalam hutan ini. Jika kita mengetahui arahnya, kita akan dapat menyelusur sampai ke tepi di sebelah lain”

“Ah” Buntal lah yang kemudian menjawab, “Bukankah ayah sudah berpesan, jangan menuruti kesenangan sendiri”

“Tetapi aku tidak berbelok dari tugas yang aku bawa. Aku tetap pergi ke Sukawati. Aku hanya ingin berjalan di dalam hutan perburuan yang belum pernah aku lihat”

“Binatang buruan adalah binatang yang memikat” sela Juwiring.

“Tergantung kepada kita. Jika kita tidak terpikat, kita tidak akan terganggu karenanya”

“Lebih baik ia berjalan di luar hutan” berkata Buntal kemudian.

“Apakah kalian takut bertemu dengan seekor harimau?”

Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu ia pun kemudian bertanya, “Apakah kau pernah melihat seekor harimau, Arum?”

“Tentu sudah” jawab Arum dengan serta-merta, “di padang perdu, di sebelah padepokan kita, masih berkeliaran beberapa ekor harimau. Di pegunungan yang membujur ke Barat itu pun terdapat beberapa ekor yang sering mengganggu padukuhan di sekitarnya karena harimau-harimau itu sering mencuri kambing”

“Harimau tutul. Harimau yang agak kecil dibanding dengan harimau gembong yang berkulit loreng”

“Kau takut?”

“Bukan takut. Tetapi perjalanan kita dapat terganggu. Kita harus memanjat dan menunggu sampai harimau itu pergi”

“Ah, kita akan membunuhnya. Kita bunuh harimau itu dengan pisau-pisau kita. Kita melemparkan bersama-sama tiga buah pisau. Sebuah di pangkal pahanya yang depan, sebuah dikeningnya dan yang lain di arah jantung”

Juwiring dan Buntal mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya Juwiring bertanya, “Kenapa di pangkal pahanya yang depan?”

“Kau bertanya, atau sekedar ingin tahu apakah aku mengerti kata-kata yang aku ucapkan”

“Ah” Juwiring tersenyum, “kedua-duanya”

Arum memandangnya dengan tajam, lalu, “Baiklah. Menurut ayah ketika ia menangkap seekor harimau yang berwarna kehitam-hitaman, pangkal paha depan dapat melumpuhkannya. Harimau itu tidak akan dapat lari kencang lagi”

“Apakah Kiai Danatirta pernah membunuh seekor harimau?”

“Dahulu ketika aku masih kecil. Kalian belum ada di padepokan”

Juwiring dan Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Jadi bagaimana dengan kita?” tiba-tiba saja Arum bertanya sambil berhenti.

“Kenapa kau berhenti?” bertanya Buntal.

“Aku akan menyusup hutan rindang ini”

“Ah”

“Jika kalian tidak mau, aku akan menembus hutan ini sendiri”

“Kau sudah mulai rewel Arum” desis Juwiring.

“Terserahlah kepada kalian”

Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka sadar, bahwa Arum memang keras kepala. Jika tidak, ia tentu tidak akan ikut serta bersama mereka.

“Jangankan kami” berkata kedua anak muda itu di dalam hatinya, “sedang Kiai Danatirta pun tidak dapat mencegahnya”

“Apakah kalian akan ikut?” tiba-tiba saja Arum bertanya sambil melangkah mendekati hutan perburuan itu.

Juwiring dan Buntal berpandangan sejenak. Keduanya pun kemudian mengangkat bahunya.

“Apaboleh buat” desis Juwiring.

Dengan demikian maka keduanya pun segera melangkah mengikutinya. Bagaimanapun juga hati mereka bergeremang, namun mereka tidak akan dapat mencegah gadis itu lagi. Apalagi sebenarnya keduanya pun mempunyai keinginan betapapun kecilnya, untuk sekali-sekali melihat-melihat daerah perburuan. Kadang-kadang beberapa orang bangsawan memasuki hutan itu dan berburu kijang atau rusa. Meskipun demikian kadang-kadang mereka bertemu juga dengan seekor harimau yang besar.

Adalah di luar pengetahuan ketiganya bahwa hutan perburuan itu merupakan hutan yang tertutup. Karena binatang buruan menjadi semakin berkurang, maka hanya para bangsawan sajalah yang kemudian diperkenankan berburu di hutan itu. Dan Juwiring yang pernah juga berburu, tidak mengetahui bahwa di saat terakhir telah dibuat peraturan serupa itu.

Dengan berlari-lari kecil Arum memasuki hutan yang tidak begitu lebat itu. Hutan yang baginya merupakan tempat bermain yang menyenangkan sekali.

Juwiring dan Buntal hanya mengikutinya saja. Jika kemudian Arum hilang dari pandangan mata mereka, mereka pun sekedar berteriak memanggil.

“Aku di sini” jawab Arum dari kejauhan.

“Jangan terlalu jauh. Kau dapat tersesat. Atau jika kita semuanya tersesat, kita tidak akan pernah bertemu lagi. Tetapi jika kita bersama-sama, tersesat atau tidak, kita tetap bersama-sama”

Arum pun agaknya dapat mengerti juga. Karena itu, ia pun tidak lagi berlari-lari terlalu jauh.

“Begitukah caramu berburu Arum” bertanya Juwiring, “Jika demikian maka binatang-binatang buruan akan berlari-larian menjauh sebelum kau sempat melihatnya”

“Ah, jangan memperbodoh aku” sahut Arum, “Bukankah kita tidak sedang berburu. Jika kita sedang berburu, kita harus mengetahui arah angin. Kita harus duduk di dahan beberapa lama, dan jika kita harus menyelusuri jejak binatang, kita pun harus berjalan sangat berhati-hati atau menunggunya didekat sumber air di tengah hari, menunggu saat binatang buruan menjadi haus dan minum di sumber itu”

Juwiring dan Buntal mengerutkan keningnya. Tetapi Juwiring segera menyahut, “Tentu Kiai Danatirta yang memberi tahukan kepadamu”

“Tentu. Jika bukan ayah, siapa lagi?” Kedua anak-anak muda itu tersenyum.

Namun dalam pada itu, ternyata suara mereka yang keras dan bergema di dalam hutan itu jika mereka saling memanggil, telah didengar oleh beberapa orang prajurit yang mendapat tugas merondai hutan itu. Prajurit-prajurit itu harus mencegah jika ada pemburu liar yang mereka sebut mencuri binatang di hutan itu.

Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian terdengar derap beberapa ekor kuda yang berlari-lari di hutan yang rindang itu.

Juwiring, Buntal dan Arum pun kemudian terkejut mendengar derap kaki kuda itu. Mereka menyangka bahwa ada seorang bangsawan yang sedang berburu. Karena itu, maka Juwiring pun berkata, “Marilah kita menghindarinya. Aku tidak mau menemui siapapun. Mungkin pemburu itu adalah adimas Rudira, mungkin adimas atau kangmas sepupuku atau barangkali pamanda Pangeran siapapun juga”

“Kenapa kita harus menghindar?” bertanya Arum, “Aku ingin melihat cara mereka berburu”

“Arum, kali ini aku minta dengan sangat. Cobalah mengerti perasaanku. Kau tidak boleh ingkar, bahwa kau mengetahui tentang diriku, bahwa aku adalah putera seorang Pangeran”

Arum mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun menjawab, “Apa salahnya jika kau putera seorang Pangeran. Justru mereka akan mengenalmu dan bahkan mungkin mengajak kita untuk ikut berburu”

“Ah, kau aneh Arum. Aku adalah seorang putera Pangeran yang seakan-akan telah tersisih. Maka lebih baik bagiku apabila aku tidak berhubungan lagi dengan para bangsawan. Setidak-tidaknya untuk sementara, karena aku merasa diriku telah terpisah dari mereka”

Bagaimanapun juga keras hati gadis itu, tetapi ia melihat kesungguhan membayang di wajah Juwiring. Karena itu maka ia pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Terserahlah kepadamu. Kau adalah saudara yang tertua di antara kami bertiga. Kaulah yang akan menentukannya”

“Baiklah” jawab Juwiring, “Terima kasih” Ia berhenti sejenak untuk mendengar langkah kaki-kaki kuda yang menjadi semakin dekat.

“Kita berhenti saja di sini” berkata Juwiring kemudian.

Ketiganya pun kemudian duduk di bawah sebatang kayu yang besar. Mereka seakan-akan tidak menghiraukan langkah kaki-kaki kuda itu. Biar saja orang-orang berkuda itu lewat. Mereka tidak akan mengganggu. Tidak akan menyapa dan sama sekali tidak akan memperhatikannya. Bahkan Juwiring mengharap agar orang-orang berkuda itu tidak melihatnya, agar mereka bertiga tidak usah menghormati mereka dengan tata cara yang tidak disukainya. Apalagi mereka bertiga memakai pakaian petani yang sederhana.

Tetapi ternyata derap kaki-kaki kuda itu menjadi kian dekat. Kadang-kadang berhenti dan kemudian terdengar lagi.

Dalam pada itu, orang-orang berkuda yang sedang mencari anak-anak muda itu berusaha untuk mengikuti jejak yang telah mereka ketemukan. Bekas-bekas kaki ketiga anak-anak muda itu tampak pada ranting-ranting perdu yang patah dan rerumputan yang roboh.

“Mereka masih berada Di tempat ini” berkata salah seorang dari mereka, “Suara mereka terdengar dari arah ini”

“Ya”

Suara itu bergema. Sangat sulit untuk menemukan arahnya”

“Tetapi kita menemukan jejak kaki yang baru di daerah ini. Kita dapat mengikuti jejak ini dan kemudian menemukan mereka. Ternyata menilik jejaknya, mereka tidak hanya seorang diri.

“Ya. Tentu, bukan hanya seorang, karena mereka saling memanggil”

Demikianlah mereka maju perlahan-lahan. Selangkah demi selangkah, sehingga para prajurit itu pun telah berloncatan dari punggung kuda mereka, agar mereka dapat mengikuti jejak itu dengan saksama.

“Kita berpencar” berkata pemimpin sekelompok prajurit yang sedang menyusuri jejak itu. Jika salah seorang dari kita menemukannya, kita akan memberikan tanda-tanda. Di sini jejak itu berpisah. Dan kita pun berpisah”

Maka sekelompok prajurit itu pun kemudian berpencar. Karena jejak yang mereka ikuti pun berpencar.

Jejak yang memisahkan diri itu adalah jejak Arum. Namun jejak itu tidak berpisah terlampau lama. Akhirnya jejak itu pun bergabung kembali sehingga para prajurit itu pun berkata di antara mereka, “Jejak ini menyatu lagi”

Pemimpin prajurit peronda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya mencoba memecahkan teka-teki itu Agaknya ia kehilangan binatang buruannya”

“Atau karena kawannya memanggilnya. Bukankah lamat-lamat kita mendengar suara mereka memanggil” sahut salah seorang prajurit.

Pemimpin kelompok peronda itu mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, “Baiklah, kita maju terus. Tetapi sebaiknya kita agak menebar”

Sambil menuntun kuda masing-masing maka beberapa orang prajurit itu pun maju terus. Semakin lama mereka memang menjadi semakin cepat dengan tempat Juwiring dan adik-adik angkatnya duduk di bawah sebatang pohon yang besar.

Seorang prajurit yang berada di paling depan akhirnya melihat ketiga anak-anak muda itu, sehingga karena itu, maka ia pun berhenti dan memberitahukannya kepada pemimpinnya.

Pemimpinnya pun kemudian maju di samping orang itu. Dan dilihatnya tiga orang duduk di bawah sebatang pohon sambil menundukkan kepala mereka.

“Hem, itulah mereka” gumam pemimpin kelompok itu.

“Ya. Tetapi mereka tidak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Mereka tidak membawa senjata untuk berburu” sahut seorang prajurit.

“Bagaimanapun juga mereka sudah melanggar peraturan. Marilah kita dekati dan kita bertanya kepada mereka, apakah yang mereka cari disini”

Maka beberapa orang prajurit itu pun kemudian mendekati mereka yang sedang duduk sambil menunduk itu.

Juwiring, Buntal dan Arum menyadari, bahwa beberapa orang sambil menuntun kuda mereka, telah berjalan mendekat. Menilik pakaian mereka, maka orang-orang itu adalah prajurit-prajurit Surakarta, sehingga karena itu, maka hati Juwiring pun menjadi semakin berdebar-debar.

Beberapa langkah dari tempat ketiga anak-anak muda itu duduk, para prajurit itu berhenti. Sementara itu Juwiring berbisik kepada Buntal, “jawablah pertanyaan mereka”

Buntal mengerutkan keningnya. Namun ia mengerti bahwa Juwiring benar-benar ingin menyembunyikan dirinya, agar ia tidak dikenal oleh para prajurit itu sebagai seorang bangsawan.

Karena itu, ketika orang-orang itu mendekatinya, maka Buntal lah yang kemudian mengangkat wajahnya.

“He, siapakah kalian?” bertanya pemimpin prajurit itu.

“Kami adalah anak-anak padepokan Jati Aking di Jati Sari tuan”

“Kenapa kalian ada di tengah-tengah hutan perburuan ini?”

“Tidak apa-apa tuan. Kami hanya sekedar lewat. Kami akan melintasi hutan ini dari sebelah sisi sampai ke sisi yang lain. Sebenarnyalah bahwa kami sedang mencari jalan yang memintas”

Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Kemudian maka ia pun bertanya, “Kemana kalian akan pergi?”

Buntal menjadi termangu-mangu sejenak. Sedang Juwiring pun menjadi berdebar-debar. Mereka sama sekali belum mengetahui sikap para prajurit itu. Apakah mereka termasuk orang yang berpihak kepada orang-orang asing itu dan membenci Pangeran Mangkubumi atau sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang bersikap memusuhi kumpeni dan sependapat dengan. Pangeran Mangkubumi

Karena itu Buntal tidak segera menjawab. Dipandanginya Juwiring sejenak, tetapi Juwiring masih menundukkan kepalanya.

“Kemana kalian akan pergi he?”

Buntal harus segera menjawab. Karena ia tidak mempunyai jawaban lain, maka ia pun akhirnya menyahut, “Kami akan pergi ke Sukawati tuan”

“Sukawati? Kenapa kau pergi ke Sukawati he?”

Dada Buntal menjadi kian berdebar-debar. Namun ia menyahut juga, “Kami akan menengok kakek kami yang tinggal di daerah Sukawati. Sudah lama kami tidak menengoknya dan kakek kami yang sering datang ke Jati Aking sudah lama pula tidak datang”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Meskipun ia sudah lama berada dan menjadi prajurit Surakarta, tetapi ia tidak mengetahui siapakah yang disebut penghuni-penghuni Jati Aking di Jati Sari, karena tugasnya yang berpindah-pindah. Karena itu nama-nama tempat itu sama sekali tidak menarik perhatiannya.

“He, kenapa kalian lewat hutan tertutup ini?” bertanya prajurit itu lebih lanjut.

Buntal terkejut mendengar pertanyaan itu, apalagi Juwiring. Namun Juwiring masih saja menundukkan kepalanya meskipun ia ingin bertanya beberapa hal kepada prajurit itu. Untunglah bahwa Buntal pun bertanya pula kepada prajurit itu, “Tetapi bukankah hutan ini hutan perburuan? Menurut pendengaranku hutan ini terbuka bagi siapapun juga yang ingin berburu binatang”

“Sekarang tidak lagi. Hutan ini hanya diperuntukkan bagi para bangsawan”

“O, kami tidak mengerti tuan. Kami mohon maaf. Kami akan segera keluar dari hutan ini. Kami berani memasuki hutan ini karena kami mengira bahwa hutan ini masih bukan hutan tertutup”

“Apa, begitu saja minta maaf dan akan pergi meninggalkan hutan ini?” bertanya prajurit itu.

Buntal mengerutkan keningnya.

“Kau sudah berbuat kesalahan. Di dalam keadaan yang panas ini, kami tidak dapat berbuat terlalu baik terhadap siapapun. Dan aku tidak yakin jika kalian adalah anak-anak muda yang sekedar tidak mengetahui bahwa hutan ini adalah hutan tertutup”

“Tuan” berkata Buntal, “Kami adalah anak-anak padepokan. Kami sama sekali tidak mengetahui perkembangan keadaan. Kami tidak tahu apakah yang sedang terjadi saat ini dan kami pun tidak tahu bahwa hutan ini adalah hutan larangan. Sehari-hari kami bergulat saja dengan padepokan kami. Sawah dan ladang dan sedikit olah kajiwan”

“Aku tidak peduli. Kalian telah melanggar peraturan. Karena itu kalian harus ditangkap”

Dada Buntal menjadi semakin berdebar-debar. Demikian juga agaknya Juwiring dan Arum. Arum merasa bahwa ialah yang telah menjerumuskan mereka bertiga dalam persoalan yang tidak mereka sangka-sangka. Tetapi seperti pesan yang diterimanya, bahwa sebaiknya ia tidak berbicara kepada orang lain sehingga tidak segera menimbulkan kecurigaan. Setidak-tidaknya mereka pasti akan bertanya, kenapa berpakaian seperti seorang laki-laki.

“Tuan” berkata Buntal kemudian, “Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya tuan. Kami benar-benar tidak mengerti, bahwa hutan ini sekarang menjadi hutan tertutup. Menurut pengetahuan kami, hutan ini adalah hutan yang terbuka karena kami pernah juga melihat orang-orang berburu di hutan ini beberapa saat lampau tanpa kami sengaja, ketika kami dalam perjalanan seperti sekarang ini”

“Omong kosong” bentak prajurit itu, “ikut kami”

Buntal menjadi bingung. Karena itu, maka digamitnya Juwiring yang masih menunduk memeluk lututnya.

“Jangan membantah perintah kami. Jika di dalam pemeriksaan selanjutnya kalian tidak bersalah, kalian akan kami lepaskan”

“Apakah kami akan dibawa ke Surakarta?” bertanya Buntal.

“Tidak. Kalian akan kami bawa ke induk penjagaan hutan ini. Mereka, pemimpin kami yang lebih tinggi, akan menentukan apakah kalian boleh pergi atau tidak”

Buntal menjadi termangu sejenak. Jika mereka dibawa pergi ke induk penjagaan hutan ini, dan para prajurit menemukan senjata di dalam tubuh mereka, maka hal itu pasti akan menjadi persoalan yang berkepanjangan. Apalagi di saat-saat seperti sekarang, saat Surakarta dipanggang diatas bara api ketidak pastian. Setiap orang tidak mengerti dengan pasti apa yang sebaiknya dilakukan selain mereka yang sudah bersikap.

Karena itu, untuk menemui pemimpin prajurit yang bertugas di hutan perburuan itu pun Buntal menjadi ragu-ragu. Jika para prajurit menjadi curiga dengan senjata-senjata mereka, dengan pisau-pisau yang terselip pada ikat pinggang di bawah baju mereka, maka akan dapat timbul salah paham dengan para prajurit itu.

“Cepat” prajurit itu membentaknya, “berdiri dan berjalan ke induk penjagaan itu. Jika kalian memang merasa tidak bersalah, maka kalian tentu tidak akan berkeberatan. Tetapi jika kalian menolak, kami akan memaksa dengan kekerasan karena itu berarti bahwa kalian memang bersalah”

Debar di dada Buntal menjadi semakin keras, Sekali-sekali dipandanginya prajurit-prajurit yang berdiri di sekitarnya dengan sudut matanya, seakan-akan Buntal ingin menjajagi kemampuan para prajurit itu. Namun demikian ia masih sempat juga berpikir, bahwa akibatnya jika ia menolak akan berkepanjangan juga, karena ia sudah terlanjur berterus terang bahwa ia adalah penghuni padepokan Jati Aking di Jati Sari.

Selagi Buntal kebingungan, maka sambil menundukkan kepalanya Juwiring berkata, “Kita pergi bersama mereka”

Buntal termangu-mangu sejenak. Arum yang sudah mengangkat wajahnya, tidak jadi mengucapkan sepatah katapun, karena tiba-tiba-tiba saja ia teringat kepada pesan agar ia tidak berbicara.

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Juwiring pun kemudian berdiri meskipun kepalanya masih tetap tunduk. Ditariknya lengan Arum sambil berkata, “Marilah”

Arum dan Buntal masih tampak ragu-ragu. Tetapi mereka pun kemudian mengangguk pula.

“Marilah” berkata Buntal kepada prajurit itu.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat membuat kalian menyesal” perintah pemimpin prajurit itu.

Ketiga anak-anak muda itu tidak menjawab.

“Ikutlah aku” perintah prajurit itu kemudian baik ke atas punggung kuda masing-masing.

Buntal, Juwiring dan Arum pun kemudian berjalan di belakangnya. Tetapi agaknya prajurit itu tidak mau melelahkan kakinya untuk berjalan. Ketika ketiga anak-anak muda itu sudah mengikutinya, maka ia pun kemudian meloncat ke atas punggung kudanya.

Para prajurit yang lain mengikuti di belakang ketiga anak muda dari Jati Aking itu. Tetapi mereka pun segera berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing.

Buntal memandang para prajurit itu dengan hati yang bergejolak. Namun ketika ia sadar, bahwa ia bersama kedua saudara angkatnya itu berpakaian seperti seorang petani yang sederhana, maka ia pun mencoba untuk menenangkan perasaannya.

“Betapa rendahnya martabat seorang petani, tetapi sikap itu adalah sikap yang deksura” berkata Buntal di dalam hatinya.

Namun ia masih juga berjalan terus bersama kedua saudara angkatnya mengikuti prajurit yang berkuda di hadapan mereka. Kadang-kadang mereka harus berlari-lari kecil dan bahkan berloncatan jika mereka sampai di bawah sebatang pohon tua dengan dahan-dahannya yang berpatahan.

Dalam pada itu selama mereka berjalan, Buntal sempat bertanya kepada Juwiring, “Bagaimanakah jika mereka menemukan senjata-senjata kita?”

“Biarlah kita mengatakannya, bahwa senjata-senjata itu sekedar untuk menjaga diri”

“Tetapi senjata-senjata kami bukannya senjata yang biasa dipergunakan oleh orang kebanyakan. Mereka tentu akan bertanya terus-menerus tentang senjata-senjata kita yang pasti mereka anggap aneh”

Juwiring mengerutkan keningnya. Ketika sekilas ia berpaling maka diketahuinya bahwa prajurit-prajurit yang membawanya itu belum mengenalnya atau jika ada yang pernah melihatnya, mereka tidak dapat mengenalinya karena pakaian yang dipakainya adalah pakaian seorang petani yang sederhana.

“Aku harap mereka percaya” berkata Juwiring kemudian, “Jika tidak, kita akan mencari jalan lain”

“Melarikan diri? Aku sudah terlanjur mengatakan, bahwa kita adalah anak-anak Jati Aking. Mereka pasti akan mencari kita dan jika mereka tidak menemukan kita, maka Kiai Danatirta lah yang harus bertanggung jawab. Aku yakin bahwa Kiai Danatirta tidak akan berbohong”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Memang agak sulit untuk memecahkan persoalan yang tiba-tiba saja harus mereka hadapi. Tetapi Juwiring dan Buntal tidak mau melemparkan kesalahan kepada Arum. Bagaimanapun juga mereka harus mempertanggung jawabkan bersama-sama. Hanya Arum sendirilah yang merasa di dalam hatinya, bahwa ia adalah sumber dari kesulitan ini.

Bahkan tiba-tiba saja ia berbisik perlahan sekali agar suaranya yang bernada tinggi itu tidak didengar oleh para prajurit, “Bagaimanakah jika kita nanti dibawa ke Surakarta?”

Juwiring memandanginya sejenak, namun ia pun kemudian tersenyum, “Tidak apa-apa. Bukankah sekali-sekali kau ingin juga bertamasya ke Surakarta”

“Ah kau” Arum bersungut-sungut. Namun sebelum ia meneruskan kata-katanya, Juwiring menyahut, “Bukan maksudku. Tetapi jika kita terpaksa dibawa ke Surakarta, maka aku mengharap bahwa ada satu dua orang perwira atasan yang mengenal aku, bahwa aku adalah putera ayahanda Ranakusuma. Dengan demikian, maka kita akan dapat bebas dari segala tuduhan, meskipun perjalanan kita terhambat”

“Tetapi dengan senjata-senjata kita yang aneh ini?”

“Kita memang ingin berburu” jawab Juwiring, “dan aku harap, mereka tidak akan memperpanjang persoalan lagi”

Arum mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Juwiring sendiri tidak yakin akan kata-katanya. Meskipun ia putera Pangeran Ranakusuma, maka kumpeni dan para bangsawan yang berpihak kepadanya akan dapat mencurigainya, karena ternyata banyak pula para bangsawan yang menentang mereka.

Dalam pada itu mereka pun menjadi semakin dekat dengan induk penjagaan hutan itu. Dari kejauhan telah tampak sebuah gardu yang agak besar. Beberapa ekor kuda masih tertambat di pepohonan. Dua tiga orang prajurit duduk di serambi gardu itu sambil berbicara dengan asyiknya.

Ketika mereka melihat prajurit berkuda yang di paling depan, maka mereka pun segera berdiri. Seorang yang sudah setengah umur memandang prajurit itu dengan sorot mata yang tajam.

“Kami membawa mereka” berkata prajurit itu sambil meloncat dari kudanya.

“Siapa?” bertanya prajurit yang sudah agak lanjut usia

“Anak muda yang sering mencuri binatang buruan”

“Kami tidak pernah mencuri“ Buntal menyahut.

“Diam” bentak prajurit itu.

“Dimana kau temukan anak-anak itu?” bertanya prajurit yang sudah ubanan.

“Di tengah-tengah hutan ini ketika aku meronda. Mereka mencoba mencuri binatang buruan”

“Tidak” sekali lagi Buntal menyahut. Namun Juwiring yang selalu menundukkan kepalanya itu pun menggamitnya.

Prajurit-prajurit yang lain pun telah berdiri di belakang ketiga anak-anak muda itu. Tetapi mereka masih belum berbuat apa-apa.

“Dimana Ki Lurah” bertanya pemimpin peronda itu kepada prajurit yang sudah setengah umur itu.

“Di dalam”

“Mari ikut aku” bentak pemimpin peronda itu kepada Buntal.

“Kemana?” beritanya Buntal.

“Ikutlah” desis Juwiring.

Buntal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Juwiring berbisik, “Katakan bahwa kita memang ingin berburu”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar