Bunga Di Batu Karang Jilid 05

Mandra berpaling. Ketika ia melihat Raden Rudira. maka ia pun segera berkata, “Tuan. Cucunguk itu datang kemari”

“Siapa?”

“Sura dan Dipanala”

“Sura dan Dipanala?” Raden Rudira terkejut.

“Itulah mereka”

Raden Rudira memandang ke dalam keremangan cahaya lampu yang sayup-sayup saja sampai. Tetapi ia pun segera mengenal mereka berdua. Mereka benar-benar Sura dan Dipanala.

Terdengar Raden Rudira menggeretakkan giginya. Lalu tiba-tiba keluar perintahnya sebelum ia sempat berpikir, “Kepung mereka. Jangan sampai keduanya dapat lari dari halaman ini. Ikat mereka pada pohon sawo di halaman depan. Kita akan menunjukkan kepada semua abdi dan pengawal, bahwa yang terjadi adalah akibat dari pengkhianatan mereka”

Sejenak para pengawal menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika Mandra mendahului melangkah mendekati Sura. maka yang lain pun segera mengikutinya.

“Jangan melawan Sura” bisik Dipanala.

“Apakah aku akan membiarkan diriku mati dengan sia-sia”

“Apakah kau masih percaya kepadaku?”

Sura merenung sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil berdesis, “Ya. Aku masih percaya kepada Ki Dipanala”

“Jika kau masih percaya kepadaku, jangan melawan. Aku masih mengharap bahwa kita tidak akan mati sambil terikat”

“Aku tidak mau mati dengan tangan terikat. Aku ingin mati dengan pedang di tangan”

“Percayalah kepadaku”

Sura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu orang-orang yang mengepungnya menjadi semakin rapat. Namun Sura tidak berbuat apa-apa seperti juga Dipanala.

“Tangkap mereka. Jika mereka melawan, patahkan tangannya” teriak Raden Rudira.

Ki Dipanala memandanginya sejenak, lalu jawabnya, “Kami tidak akan melawan”

“Bagus. Jika demikian ikat tangan mereka pada pohon sawo di halaman depan”

Terdengar gigi Sura yang gemeretak. Tetapi ia tidak melawan seperti yang dinasehatkan Ki Dipanala, meskipun sebenarnya hatinya tidak mau menerima perlakuan itu.

Dengan kasarnya Mandra mendorongnya dan kemudian beberapa orang mengikat tangannya dan menyeretnya ke sebatang pohon sawo di halaman depan.

“Tutup pintu regol. Jangan seorang pun yang diperbolehkan masuk” berkata Raden Rudira dengan lantang.

Para penjaga di regol halaman, segera menutup pintu yang sudah tertutup itu menjadi semakin rapat dan memalangnya kuat-kuat.

“Aku curiga, bahwa sebenarnya Sura tidak datang hanya berdua saja. Awasi semua sudut”

Mandra mengerutkan keningnya, lalu berkata kepada kawan-kawannya, “Benar juga. Mungkin mereka tidak hanya berdua saja. Awasi semua sudut”

Beberapa orang pun segera memencar. Di dalam keremangan mereka mengawasi dinding-dinding halaman Dalem Ranakusuman. Mereka memperhatikan setiap desir dan setiap gerak. Tetapi tidak ada seorang pun yang mereka jumpai. Meskipun demikian mereka tetap Di tempatnya masing-masing.

“Kau akan tetap terikat sampai besok Ki Dipanala” berkata Rudira, “dan kau Sura, barangkali nasibmu akan lebih jelek lagi”

Sura memandang Ki Dipanala sejenak, namun tampaknya wajah orang itu masih tetap tenang-tenang saja.

Tetapi ketenangan Dipanala agaknya membuat hati Rudira semakin panas, sehingga ia pun kemudian berteriak, “Nasibmu pun tidak perlu kau sesali. Besok, jika matahari naik sampai ke ujung pepohonan, semua abdi dari istana ini akan berkumpul di halaman dan menyaksikan bagaimana aku memukul kalian dengan rotan sampai tubuh kalian tidak berbentuk. Setelah itu aku akan melemparkan kalian keluar regol halaman rumah ini untuk selamanya”

Dipanala tidak menyahut sama sekali. Tetapi wajahnya masih tetap tenang dan seakan-akan yakin, bahwa tidak akan pernah terjadi sesuatu atas dirinya.

Ternyata keributan dan teriakan-teriakan Raden Rudira telah membangunkan seisi istana itu. Bahkan Pangeran Ranakusuma yang telah nyenyak pun terbangun pula.

Sambil bangkit dari pembaringannya ia berdesah, “Apalagi yang dilakukan anak itu”

Dengan wajah yang kusut Pangeran Ranakusuma keluar dari biliknya dan memukul sebuah bende kecil di sisi pintu biliknya.

Seorang pelayan dalam berlari-lari kecil mendekatinya. Beberapa langkah di hadapan Pangeran Ranakusuma pelayan itu pun segera berjongkok sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Ada apa di luar?” Pangeran Ranakusuma bertanya.

“Raden Rudira sedang marah tuan”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ia berpaling ketika didengarnya suara isterinya, Raden Ayu Galihwarit, “Siapakah yang kali ini dimarahinya?”

“Menurut pendengaran hamba, agaknya Raden Rudira marah-marah kepada Sura dan Ki Dipanala”

“He?” Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Tetapi yang bertanya lebih dahulu adalah Raden Ayu Sontrang, “Maksudmu Ki Dipanala abdi Ranakusuman ini?”

“Hamba dengar demikian”

Sejenak Raden Ayu Galihwarit menjadi tegang. Tetapi ia pun berusaha untuk menghilangkan kesan itu dari wajahnya.

“Dimanakah mereka sekarang?”

“Di halaman depan tuan”

Pangeran Ranakusuma termenung sejenak. Lalu ia bertanya kepada isterinya, “Apakah ia mengatakan sesuatu tentang kedua orang itu?”

“Ya kangmas. Ia merasa dikhianati oleh keduanya. Ia tidak berhasil mengambil gadis Jati Aking itu”

“Gadis Jati Aking? Siapa?”

“Anak Danatirta”

“He” Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya, “Jadi Rudira ingin mengambil anak gadis Danatirta?”

“Ya kangmas. Aku memang memerlukan seorang pelayan untuk menjediakan kinangan dan botekan, khusus buatku”

“Tetapi kenapa anak Danatirta? Aku sudah menitipkan Juwiring di padepokan itu, dan sekarang Rudira ingin mengambil anaknya”

“Apakah salahnya?”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Tidak. Aku tidak boleh membiarkannya. Keluarga kita tidak boleh menyakiti hatinya. Aku yakin, bahwa Danatirta tentu keberatan memberikan anaknya itu, dan Rudira tidak boleh memaksanya”

“Tetapi itu dapat berarti menurunkan martabat kita kangmas”

“Kenapa?”

“Akan menjadi kebiasaan seorang rakyat kecil menolak perintah seorang bangsawan, apalagi seorang Pangeran seperti kangmas Ranakusuma”

“Tetapi perintah itu sama sekali tidak wajar”

“Kenapa tidak? Bukankah sudah menjadi kebiasaan seorang bangsawan untuk mengambil seorang perempuan yang disukainya?”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat membantah karena ia pernah melakukannya, dan isterinya itu pun mengetahuinya pula. Namun demikian, ia masih berkata, “Tetapi Danatirta adalah seorang yang mengasuh anakku pula”

“Ah, kangmas masih selalu memikirkannya. Kangmas masih selalu memperhitungkan anak itu, sedangkan yang sekarang menghadapi persoalan adalah Rudira, Putera kangmas pula”

Pangeran Ranakusuma menjadi termangu-mangu. Setiap kali ia dihadapkan pada persoalan yang rumit. Dan kali ini, ia berdiri di simpang jalan yang sangat membingungkan.

Selagi ia termangu-mangu, maka Raden Rudira pun berjalan bergegas masuk ke ruang tengah dan langsung ke pintu bilik ayahandanya yang terbuka, sedang ayah dan ibunya masih berdiri di muka pintu dihadap seorang pelayan.

“Ayahanda masih belum tidur?”

“Aku terkejut mendengar kau berteriak-teriak di halaman, aku baru bertanya apa yang sudah terjadi”

“Aku telah menangkap Sura dan Ki Dipanala, keduanya aku ikat pada pohon sawo kecik di halaman untuk menjadi pengewan-ewan”

“Rudira” hampir berbareng ayah dan ibunya memotong. Namun hanya ayahnyalah yang melanjutkannya, “Kau akan menghukum mereka?”

“Ya ayahanda. Aku akan menghukum keduanya”

Wajah Ranakusuma menjadi tegang sejenak. Tanpa disadarinya ia berpaling memandang wajah Raden Ayu Galihwarit. Ternyata wajah itu pun menegang pula.

“Rudira” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian, “Sura dan Dipanala adalah abdi-abdi Ranakusuman yang telah bertahun. Karena itu, setiap hukuman bagi mereka harus dipertimbangkan sebaik-baiknya”

“Aku sudah mempertimbangkan ayahanda. Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat yang harus dihukum. Mereka telah menghina aku sebagai seorang putera Pangeran. Keduanya telah mencegah keinginanku mengambil seorang gadis dari padepokan Jati Aking. Mereka sama sekali tidak berhak berbuat demikian ayah”

Pangeran Ranakusuma merenung sejenak. Dan sebelum ia menyahut. Raden Ayu Sontrang sudah mendahuluinya, “Jangan berbuat sewenang-wenang terhadap keduanya Rudira. Terutama Ki Dipanala”

“Kenapa dengan Ki Dipanala?” bertanya Rudira, “Ia tidak ada bedanya dengan abdi yang lain, sehingga karena itu, maka ia pun wajib mendapat perlakuan yang sama seperti Sura”

Sejenak ayah dan ibu Rudira itu termenung. Namun kegelisahan yang sangat telah membayang di wajah mereka. Karena itu, tiba-tiba saja Pangeran Ranakusuma berkata, “Aku ingin melihat mereka”

“Tidak usah sekarang ayahanda. Biarlah mereka merasakan betapa dinginnya sisa malam ini”

“Mereka tidak akan kedinginan karena hatinya yang panas”

“Jika demikian, biarlah mereka merasakan panasnya sengatan rotan di punggung mereka besok siang”

“Jangan kehilangan keseimbangan Rudira. Aku memerlukan Dipanala”

“Ya” sambung Raden Ayu Galihwarit, “Setidak-tidaknya Dipanala harus mendapat pertimbangan lebih banyak”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Timbullah pertanyaan di dalam hatinya, apakah Raden Ayu Sontrang juga mempunyai kepentingan dengan Dipanala seperti dirinya?

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak bertanya kepada isterinya. Kepada pelayan dalam ia berkata, “Antarkan aku ke halaman depan”

“Ayahanda” Raden Rudira berusaha mencegah, “biarkan mereka terikat sampai besok menjelang tengah hari. Biarlah mereka sekarang kedinginan, dan besok kepanasan”

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak menjawab. Ia melangkah diikuti oleh Raden Ayu Galihwarit dan Raden Rudira. Di belakang mereka adalah pelayan dalam yang mendapat perintah untuk mengikutinya pula.

“Aku masih memerlukan Dipanala”

“Ya” sahut Raden Ayu Sontrang, “Kau harus melepaskan Dipanala, Rudira”

“Apakah yang lain pada Dipanala? Kenapa ayahanda agak terikat kepadanya?”

Ayahnya tidak menyahut. Tetapi jantung Raden Ayu Galihwarit pun menjadi berdebar-debar. Jika Rudira bertanya demikian kepadanya maka ia akan mengalami kesulitan untuk mencari jawabnya. Untunglah bahwa Rudira tidak bertanya kepadanya.

Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak menjawab pertanyaan Raden Rudira. Pelayan dalam itu bergegas membuka pintu samping ketika Pangeran Ranakusuma berkenan melalui pintu yang sudah ditutup rapat itu.

Seusap angin malam yang berhembus dari Selatan telah membuat Pangeran Ranakusuma berdesis. Tetapi ketegangan di dalam hatinya membuatnya seolah-olah sama sekali tidak kedinginan. Bahkan beberapa titik keringat telah mengembun di dahinya.

Kedatangan Pangeran Ranakusuma, Raden Ayu Galihwarit dan Raden Rudira membuat Sura menjadi berdebar-debar. Namun ia tidak mengerti, kenapa justru Ki Dipanala tersenyum karenanya. Senyum yang sama sekali tidak dapat dibaca maknanya.

Beberapa orang prajurit yang ada di halaman itu pun segera berjongkok. Berbagai pertanyaan telah timbul di dalam hati mereka. Apakah Pangeran Ranakusuma tidak sabar menunggu sampai besok?.

Sejenak kemudian Pangeran Ranakusuma sudah berdiri di hadapan Ki Dipanala. Dengan tajamnya ia memandang orang yang terikat itu. Namun sejenak kemudian, ia berpaling kepada Sura.

Dan pertanyaan yang pertama-tama diberikan adalah justru kepada Sura, “Sura, apakah benar kau sudah berkhianat?”

“Bukan maksud hamba berkhianat Pangeran” jawab Sura terbata-bata.

“Jadi apakah maksudmu?”

“Hamba sekedar mulai berpikir dan menilai perbuatan-perbuatan hamba sendiri”

“Apakah selama ini kau tidak pernah memikirkan perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakanmu?”

Sura menggelengkan kepalanya, “Tidak tuan. Selama ini hamba tidak memikirkan perbuatan hamba”

“Untuk apa sebenarnya kau mengabdikan dirimu, sehingga kau kehilangan kepribadianmu?”

Sura menundukkan kepalanya. Pertanyaan itu telah membelit hatinya kuat-kuat.

“Ya. untuk apa?” Ia bertanya kepada diri sendiri.

Dan tiba-tiba saja ia menemukan jawab, “Hamba ingin membuat keluarga, anak dan isteri hamba hidup agak baik tuan. Hamba telah menjual kepribadian hamba untuk itu”

“Bukankah keputusan yang kau ambil itu juga hasil pemikiran? Apakah dengan demikian, bukan sebaliknya yang terjadi, bahwa justru sekaranglah kau telah kehilangan kesempatan untuk berpikir? Untuk memikirkan keluargamu? Apakah dengan demikian, justru baru sekarang kau telah kehilangan arti dari dirimu sendiri? Kau memiliki kemampuan yang disertakan alam sejak kelahiranmu, dan kau dapat mempergunakannya sebaik-baiknya atas pertimbangan nalar untuk kesejahteraan keluargamu”

Sura menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Ampun tuan. Jika hamba memandang dari segi itu, agaknya memang demikian. Hamba sudah kehilangan arti dari kemampuan yang hamba miliki bagi keluarga hamba. Tetapi pengenalan arti yang hamba maksudkan adalah pengenalan atas baik dan buruk, atas kebenaran yang kesesatan”

“O” Pangeran Ranakusuma mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kau mulai berguru olah kajiwan. Apakah kau ikut serta dengan Juwiring belajar pada Kiai Danatirta? Atau tiba-tiba saja kau mendapat ilham yang mengajarmu tentang baik dan buruk dan tentang kebenaran dan kesesatan?”

“Ampun Pangeran. Hamba tidak mempelajarinya dari Kiai Danatirta. Tetapi hamba mempelajari dari jalan hidup hamba sendiri. Meskipun pengenalan atas baik dan buruk itu ada sejak aku sadar akan diriku di masa kanak-kanak, tetapi pengakuan dan penghayatan nya itulah yang seakan-akan telah membuat aku manusia yang lahir kembali sekarang ini”

“He, darimana kau belajar menyusun pembelaan ini? Kau memang mengagumkan Sura. Aku kira kau tidak pernah belajar apapun juga, dan tidak mempelajari ilmu kajiwan dan pandangan hidup. Tetapi kau dapat menyebut kalimat-kalimat yang bernafas kajiwan. Bahkan aku telah mengagumi kata-katamu”

Sura menunduk dalam-dalam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Menurut pengertiannya, tiba-tiba saja ia menyadarinya. Dan ia tidak dapat menyebutkan sumber yang manakah yang telah mengaliri hatinya, sehingga ia mampu mengucapkan kata-kata itu.

“Sura” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian, “Sayang, bahwa justru pengalamanmu atas dirimu sendiri itulah yang membuatmu telah berkhianat. Berkhianat kepada bendara dan berkhianat kepada kesadaranmu berkeluarga. Jika kau dihukum karenanya, maka keluargamu pasti akan terlantar”

Dada Sura menjadi berdebar-debar. Sekilas ia memandang wajah Ki Dipanala yang masih terikat. Tetapi wajah itu masih tetap tenang dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa atasnya.

“Apakah justru Ki Dipanala ini sekedar berpura-pura untuk menjebakku. Kemudian ia akan terlepas dari semua tanggung jawab yang mereka tuduhkan pengkhianatan ini?”

“Sura” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian, “Kau adalah abdi yang sudah lama. Lama sekali. Tetapi sekarang kau dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa kau terpaksa mendapat hukuman. Sudah barang tentu bahwa itu adalah sekedar akibat dari kekeliruanmu”

Sura sama sekali tidak menjawab.

“Tetapi kau memang seorang laki-laki. Kau menghadapi semuanya dengan sikapmu yang jantan. Itulah yang masih ada padamu satu-satunya. Kejantanan”

Sura masih tetap berdiam diri. Ia mengangkat wajahnya sebentar ketika Pangeran Ranakusuma kemudian berpaling kepada Ki Dipanala, “Dipanala. Persoalanmu agak berbeda dengan Sura. Jika kau bersedia minta maaf kepadaku dan kepada Rudira. kau akan dibebaskan dari segala tuntutan”

Pertanyaan itu telah mendebarkan dada Sura. Jika Dipanala sekedar minta maaf, dan kemudian dilepaskan tanpa menghiraukan dirinya, maka sadarlah ia bahwa sebenarnya Dipanala telah menjebaknya sehingga ia tidak melawan sama sekali ketika kedua tangannya diikat.

Tetapi jawaban Dipanala benar-benar mengejutkannya, “Tuan. Hamba tidak bersalah. Karena itu hamba tidak akan mohon maaf kepada siapapun juga”

“Dipanala” tiba-tiba saja wajah Ranakusuma menjadi tegang.

“Hamba hanya sekedar mencoba meluruskan jalan yang dilalui oleh Raden Rudira terhadap Arum, anak gadis Kiai Danatirta. Apakah hal itu sudah cukup kuat dipergunakan sebagai alasan untuk menyebut pengkhianat dan mengikat hamba di sini?”

“Kenapa kau ikut mencampuri persoalan ini?”

“Barangkali hamba memang suka mencampuri persoalan orang lain. Bukan baru kali ini hamba mencampuri persoalan penghuni Dalem Ranakusuman ini”

“Cukup” tiba-tiba Raden Ayu Galihwarit berteriak memotong. Semua orang berpaling kepadanya. Bahkan Pangeran Rana-kusuma memandangnya dengan heran. Apalagi Raden Rudira.

Namun Raden Ayu Galihwarit segera menyadari keadaannya sehingga ia berkata seterusnya, “Kau tidak usah mengigau. Seandainya kau memang pernah mencampuri urusan orang lain pula, aku tidak peduli. Tetapi aku minta kau jangan mencampuri persoalan anakku”

Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang peristiwa-peristiwa yang suram yang terjadi di dalam halaman istana Ranakusuman ini. Namun kemudian ia berkata, “Terserahlah kepada penilaian tuan. Tetapi hamba dan kawan hamba ini tidak bersalah. Jika hamba akan dihukum, maka sudah tentu hamba tidak akan mau mengalami derita seorang diri atau hanya berdua dengan kawan hamba ini”

Raden Ayu Galihwarit menggigit bibirnya. Namun wajah Pangeran Ranakusuma pun menjadi tegang.

“Jangan hiraukan orang itu ayahanda” berkata Raden Rudira kemudian, “Aku akan memanggil para pengiring besok setelah matahari terbit. Aku dapat menghukum keduanya dengan cara yang paling menarik, selain hukum picis”

“Apa yang dapat kau lakukan Rudira?”

“Macam-macam sekali ayah. Aku dapat membakar dua potong besi sehingga membara. Jika ujung-ujung besi itu tersentuh mata keduanya, maka akibatnya akan dapat dibayangkan”

Terasa bulu-bulu tengkuk Raden Ayu Galihwarit meremang. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Pangeran Ranakusuma telah mendahului, “Rudira. Kita hidup pada jaman peradaban. Kita bukan lagi orang-orang liar yang dapat dengan sekehendak hati kita memperlakukan sesama manusia”

Rudira menjadi heran mendengar kata-kata ayahnya. Ayahnya tentu tahu, bahwa ia tidak akan memperlakukan kedua orang itu seperti yang dikatakan. Tetapi ia benar-benar akan mendera keduanya dengan cambuk atau rotan.

Belum lagi keragu-raguan itu mereda, tiba-tiba saja Pangeran Ranakusuma berkata, “Lepaskan Dipanala”

Kata-kata itu benar-benar telah mendebarkan jantung Raden Rudira. Namun selain Rudira, Sura pun menjadi berdebar-debar pula. Perintah Pangeran Ranakusuma hanya berlaku bagi Dipanala. Tetapi tidak berlaku baginya.

Namun ternyata Dipanala bertanya, “Apakah aku akan dilepaskan sendiri?”

“Ya, kau akan dilepaskan atas perintahku. Kau sudah lama sekali tinggal di rumah ini. Karena itu, aku masih juga mempunyai perasaan iba”

“Tuan” berkata Dipanala, “Masa pengabdianku dan Sura tidak terpaut banyak. Karena itu, hamba mohon agar Sura juga mendapatkan kesempatan seperti hamba”

“Gila” bentak Pangeran Ranakusuma, “Aku hanya memaafkan engkau. Itu tergantung atas kehendakku”

“Jika tuan tidak berbuat adil, maka biarlah hamba pun mengalami perlakuan seperti yang akan dialami Sura. Hamba pun tidak berkeberatan mengalami dera dengan cambuk atau rotan seratus kali pada badan hamba”

“Dipanala. kau jangan berbuat bodoh dan gila. Aku tidak mau berbuat lain kecuali mengampuni kau meskipun Rudira tidak setuju. Sedang Sura, bagiku bukan seseorang yang aku perlukan lagi”

“Tuan, soalnya bukan diperlukan atau tidak diperlukan. Soalnya aku dan Sura dapat dianggap berbuat kesalahan yang sama”

“Tidak. Jauh berbeda” sahut Raden Rudira, “meskipun aku ingin menghukum kalian berdua, namun sebenarnya kesalahan Sura jauh lebih besar dari kesalahanmu. Sura dengan tegas menentang kehendakku. Ia berani melawan Mandra yang bertindak atas namaku”

Dipanala mengerutkan keningnya. Namun katanya, “Tergantung kepada Pangeran. Tetapi hamba mohon Sura juga dilepaskan”

“Tidak. Jika ayahanda ingin memaafkan kau Ki Dipanala, aku masih dapat mengerti, karena selama ini kau nampaknya mempunyai pengaruh atas ayahanda. Tetapi tidak dengan Sura. Ia benar-benar sudah berkhianat. Bukan saja dengan angan-angan. tetapi sudah dilakukan dengan perbuatan”

“Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma, “Kau hanya mempunyai dua pilihan. Menjalani hukuman bersama Sura, atau kau mohon maaf dan aku lepaskan”

“Hamba memang mempunyai dua pilihan. Dilepaskan bersama-sama atau harus menjalani hukuman bersamanya. Perbedaan hukuman dan pengampunan sama sekali tidak adil. Dan hamba pun sama sekali tidak berbuat kesalahan menurut hemat hamba”

Raden Rudira menggeretakkan giginya. Katanya, “Aku akan menghukum kedua-duanya, “

Sejenak Pangeran Ranakusuma termenung. Ketika ia berpaling memandang isterinya, tampaklah betapa ketegangan yang memuncak membayang di wajahnya.

“Apakah pertimbanganmu?” tiba-tiba Pangeran Ranakusuma bertanya.

Raden Ayu Galihwarit mendapatkan kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu, sehingga karena itu Pangeran Ranakusuma mendesaknya, “Apa yang baik kita lakukan sekarang?”

Tubuh ibunda Raden Rudira itu menjadi gemetar. Disela-sela deru nafasnya ia berkata, “Yang manapun yang baik menurut kakanda”

Dipanala menjadi berdebar-debar juga. Memang ia mempunyai keuntungan dengan sikapnya. Tetapi kemungkinan yang lain justru pahit sekali. Baik Pangeran Ranakusuma, maupun Raden Ayu Galihwarit dapat memerintahkan untuk segera membunuhnya, agar mulutnya tidak lagi dapat mengucapkan kata-kata.

“Jika demikian yang terjadi, apaboleh buat. Tetapi aku pasti masih mempunyai kesempatan untuk berteriak meskipun hanya beberapa kata. Dan yang beberapa kata itu akan membawa Pangeran Ranakusuma suami isteri untuk bersama-sama mengalami kenyerian yang tiada taranya meskipun berbeda bentuknya.

Namun Pangeran Ranakusuma tidak segera berbuat sesuatu, ia masih berdiri saja mematung memandang Dipanala yang terikat itu. Sekali-sekali dipandanginya pula wajah Sura yang tegang.

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Keduanya adalah abdi yang termasuk paling lama bekerja di Ranakusuman. Tetapi Sura bagi Pangeran Ranakusuma tidak lebih dari benda-benda mati. Jika ia tidak terpakai lagi, maka apa salahnya jika ia dibuang.

Tetapi agaknya tidak demikian dengan Dipanala. Namun karena itu, Dipanala menjadi lebih tidak disukai lagi. Bahkan memang terlintas di angan-angan Pangeran Ranakusuma, “Kenapa orang ini tidak segera mati saja?”

Selagi Pangeran Ranakusuma termangu-mangu, maka Raden Rudira berkata, “Serahkan kepadaku ayahanda. Mungkin ayahanda tidak akan sampai hati karena orang-orang ini sudah terlalu lama berada dan mengabdikan diri kepada ayahanda. Tetapi penghinaan yang diberikan kepadaku sepantasnya untuk diperhitungkan sebaik-baiknya. Dan aku tidak berkeberatan sama sekali untuk melakukannya.

Wajah Pangeran Ranakusuma menjadi semakin tegang. Keringat dingin mulai mengalir di punggung dan tengkuknya.

Raden Rudira menjadi heran melihat sikap ayahandanya. Bahkan sikap ibundanya Galihwarit. Seakan-akan ada sesuatu yang menghantui mereka berdua, sehingga mereka berdua tidak segera berani mengambil suatu sikap terhadap Dipanala.

Setelah mengalami perjuangan yang berat di dalam jantungnya, tiba-tiba dengan suara gemetar Pangeran Ranakusuma berkata kepada anaknya, “Lepaskan mereka”

“Ayahanda” Raden Rudira hampir berteriak, “Mereka telah menghina aku. Sura terlebih-lebih lagi. Ia menghina aku di Sukawati dan kemudian di padepokan Jati Aking. Apakah ia harus dilepaskan?”

Terasa tubuh Pangeran itu menjadi semakin gemetar. Dipandanginya wajah Dipanala yang tenang. Lalu ia pun menggeram, “Kau memang licik seperti setan, Dipanala. Tetapi jangan kau berharap bahwa lain kali kau dapat mempergunakan akal licikmu ini”

“Tuan” berkata Dipanala, “hamba sama sekali tidak ingin berbuat licik. Hamba hanya memohon agar tuan sudi mempertimbangkan untuk melepaskan kami, karena kami tidak bersalah. Sehingga karena itu maka kami berkeberatan untuk memohon maaf kepada Raden Rudira”

“Diam, diam kau” teriak Pangeran Ranakusuma yang menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja tangannya telah menampar mulut Dipanala, sehingga wajah Dipanala terdorong dan membentur batang sawo. Namun kemudian dengan suara yang bergetar Pangeran Ranakusuma berkata, “Lepaskan mereka. Lepaskan setan-setan licik ini”

“Ayahanda”

“Lepaskan, lepaskan. Apakah kalian mendengar?”

Raden Rudira menjadi tegang. Apalagi ketika ia melihat beberapa orang berdiri termangu-mangu di kejauhan. Di antara mereka adalah Mandra.

Karena Rudira masih termangu-mangu, maka ayahandanya Pangeran Ranakusuma berteriak sekali lagi, “Lepaskan. Lepaskan, apakah kalian tuli he?”

Selagi Raden Rudira berdiri termangu-mangu, maka ibunya, Raden, Ayu Galihwarit mendekatinya sambil berbisik, “Jangan membantah perintah ayahanda, Rudira. Lepaskan. Kau tidak memerlukan keduanya”

Terasa kerongkongan Raden Rudira seperti tersumbat. Bahkan matanya terasa menjadi panas.

“Tetapi, tetapi...“ ia masih akan berkata lebih banyak lagi. Namun dengan jari-jarinya ibunya menyentuh bibir puteranya sambil berkata pula, “Rudira, bukankah kau satu-satunya Putera ayahanda yang paling patuh? Nah, lepaskan mereka seperti yang diperintahkan oleh ayahanda”

Betapa kecewa menghentak-hentak dada Raden Rudira. Hampir saja ia berteriak dan menangis terlolong-lolong. Kekecewaan yang datang beruntun membuat hatinya serasa pecah. Dan kali ini ayahandanya dan ibundanya sendirilah yang membuatnya kecewa. Kecewa sekali, seperti saat ia gagal mengambil Arum.

“Ibu membiarkan aku pergi ke Jati Aking” suara Rudira terputus-putus, “Tetapi ibu membiarkan pula aku terhina”

“Bukan maksudku Rudira. tetapi sebaiknya kau melakukan perintah ayahanda”

Raden Rudira tidak dapat membantah lagi. Dengan mata yang menjadi merah, ia berteriak kepada pelayan dalam yang berdiri mematung, “Lepaskan, lepaskan”

Pelayan dalam itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia maju beberapa langkah dan melepaskan tali pengikat kedua orang itu pada batang-batang sawo di halaman itu.

Ketika tali-tali itu terlepas, maka Dipanala dan Sura hampir berbareng menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang dalam Dipanala berkata, “Tuan, hamba mengucapkan beribu terima kasih”

“Diam, diam” Pangeran Ranakusuma berteriak. Dipandangi-nya Dipanala dan Sura sejenak. Namun ia pun kemudian segera melangkah meninggalkan halaman depan itu kembali memasuki ruangan dalam istananya diikuti oleh isterinya.

Raden Rudira masih berdiri sejenak di halaman. Sorot matanya yang membara itu bagaikan menyala. Dengan suara gemetar ia berkata, “Dipanala, apakah kau dapat menyihir dan memaksa ayahanda mengambil keputusan itu lewat tatapan matamu?”

“Tidak tuan. Aku sama sekali tidak mengenal ilmu itu”

“Tetapi kau sanggup memaksa ayah melepaskan kau berdua. Tetapi jangan tertawa atas kemenanganmu kali ini. Kau tahu siapa Raden Rudira. Pada suatu saat, aku akan menebus semua kegagalanku sekaligus. Petani Sukawati, Arum dan kau berdua”

Dipanala tidak menyahut. Bahkan ditundukkannya wajahnya.

Dan Rudira masih berkata, “Dengan kemenanganmu sekarang ini ternyata telah mendekatkan kau ke jalan kematianmu. Kau harus tahu, bahwa aku sama sekali tidak dapat menerima keadaan serupa ini”

Dipanala masih tetap berdiam diri. iapun mengerti, betapa kecewa hati anak muda itu. Karena itu, ia tidak ingin membakarnya sehingga dapat menghanguskannya sama sekali.

Dalam pada itu di dalam istana, Pangeran Ranakusuma duduk dengan wajah yang suram. Isterinya, Raden Ayu Galihwarit berdiri bersandar bibir pintu biliknya.

“Kenapa kau kali ini bersikap lain?” bertanya Pangeran Ranakusuma.

“Maksud Pangeran?”

“Kau biasanya terlalu memanjakan anakmu. Tetapi kenapa kali ini kau membenarkan sikapku?”

“Pertanyaan Pangeran sangat aneh” sahut isterinya, “bukankah aku berusaha untuk ikut memberikan bimbingan kepada Rudira, dan mendidiknya untuk mematuhi perintah ayahandanya”

Pangeran Ranakusuma tidak bertanya lagi. Terasa sesuatu yang lain pada sikap isterinya saat itu. Kenapa ia tidak justru memaksanya untuk menyerahkan Dipanala dan Sura kepada Rudira?

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak bertanya lagi. Apalagi ketika anak gadisnya terbangun pula dan datang mendekati ibunya, “Apa yang terjadi ibunda?”

“Tidak apa-apa sayang. Tidurlah”

“Saat apakah sekarang ini? Apakah masih belum pagi?”

“Belum. Hari masih malam”

“Tetapi kenapa ayahanda dan ibunda tidak tidur pula?”

“Kami terbangun karena keributan di halaman. Kakandamu Rudira sedang sibuk dengan hamba-hamba istana yang licik dan berkhianat”

“O, apakah kangmas Rudira sedang menghukum mereka”

“Ya”

“Aku akan melihatnya”

“Jangan, jangan” tiba-tiba Raden Ayu Galihwarit menangkap lengan anaknya. Kemudian dibimbingnya anak itu masuk ke dalam biliknya sambil berkata kepada Pangeran Ranakusuma, “Perkenankan aku menidurkan anak ini kangmas”

Pangeran Ranakusuma menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab sepatah kalapun.

Sepeninggal Raden Ayu Galihwarit, Pangeran Ranakusuma masih saja duduk di tempatnya. Terbayang sekilas beberapa peristiwa yang tidak akan dapat dilupakan. Dan peristiwa itulah yang memaksanya untuk tidak dapat membiarkan Dipanala menerima hukumannya, apabila ia tidak ingin terseret ke dalam kesulitan.

“Setan itu sebaliknya lekas mati. Aku akan segera berusaha memeras aku, tetapi pada suatu saat ia dapat berbahaya bagiku”

Tetapi melenyapkan Dipanala bukan suatu pekerjaan yang mudah. Pangeran Ranakusuma tahu benar, bahwa Dipanala adalah seorang bekas prajurit yang mumpuni. Tetapi kini ia hampir tidak pernah bersikap dengan berlandaskan kepada kemampuannya dalam olah kanuragan. Namun demikian, di dalam keadaan yang memaksa, maka Dipanala adalah seekor harimau yang garang.

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Harimau itu kini tampaknya menjadi jinak. Bahkan ia sama sekali tidak berbuat apa-apa ketika Rudira dan pengiringnya mengikatnya pada pohon sawo. Apabila Dipanala dan Sura itu melakukan perlawanan, maka akibatnya seisi istana Kapangeranan ini akan terlibat. Untuk berhasil menundukkan kedua orang yang bekerja bersama itu, diperlukan waktu dan tenaga.

Dalam kebingungan itu Pangeran Ranakusuma melihat Raden Rudira memasuki biliknya tanpa berkata sepatah katapun. Dibantingnya tubuhnya di pembaringannya dengan kesalnya.

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak menghiraukannya. Ia masih tetap duduk sambil merenung.

Di bilik yang lain. Raden Ayu Galihwarit berbaring di sisi anak gadisnya. Sekali-sekali puterinya itu bertanya, namun. Raden Ayu Galihwarit selalu menghindar dan menjawab, “Tidurlah. Tidurlah”

“Sebentar lagi hari akan menjadi terang. Aku tidak dapat Tidur lagi ibu”

“Kalau begitu, ibulah yang akan tidur. Ibu terlalu lelah”

Puterinya tidak menyahut. Dibiarkannya Ibundanya berbaring diam disisinya. Tetapi ketika ia memandang wajah ibundanya dengan sudut matanya, ternyata mata Raden Ayu Galihwarit itu tidak terpejam.

Dalam pada itu. Raden Ayu Galihwarit yang memandangi atap biliknya itu benar-benar sedang digelisahkan oleh peristiwa-peristiwa yang beruntun terjadi. Namun yang paling menggelisahkannya adalah karena Dipanala sudah tersangkut pula di dalamnya.

“Setan itu memang licik” Ia berkata di dalam hatinya, “kenapa ia tidak mati saja”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam, sehingga desah nafasnya telah membuat puterinya berpaling. Tetapi gadis itu sama sekali tidak bertanya.

Persoalan yang diketahuinya itu agaknya telah dipergunakan-nya sebagai alat untuk menyelamatkan diri. Bahkan mungkin di saat-saat mendatang ia berbuat lebih berani lagi” Raden Ayu Ranakusuma itu meneruskan di dalam hati, “meskipun sampai saat ini ia belum pernah melakukan pemerasan, tetapi apakah hal itu pada suatu saat tidak terjadi?”

Raden Ayu Galihwarit itu pun menjadi heran, bahwa sikap Pangeran Ranakusuma tiba-tiba saja menjadi begitu lunak terhadapnya. Bahkan Pangeran Ranakusuma terpaksa menuruti permintaan Dipanala untuk melepaskan Sura pula.

“Pengaruh apa pula yang ada pada Dipanala terhadap kangmas Ranakusuma?”

Pertanyaan itu ternyata telah sangat mengganggunya. Jika tidak ada sesuatu yang menyebabkannya. Pangeran Ranakusuma tentu tidak akan berbuat sedemikian lunaknya terhadap Dipanala dan kepada Sura. Meskipun kadang-kadang Pangeran Rana-kusuma tidak sependapat dengan tingkah laku anak laki-lakinya. Tetapi ia jarang sekali mengurungkan keputusan yang sudah diambil oleh anak itu.

Namun kali ini. Pangeran Ranakusuma telah menggagalkan niat Raden Rudira untuk menghukum kedua orang itu. Mutlak.

Ketika Raden Ayu Galihwarit berpaling, dilihatnya puterinya telah tertidur nyenyak di sampingnya. Karena itu, maka perlahan-lahan ia bangkit dan meninggalkan pembaringan itu.

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam ketika dari celah-celah pintu ia masih melihat Pangeran Ranakusuma duduk termenung. Tetapi ia sama sekali tidak menyapanya, bahkan Raden Ayu Galihwarit itu pun langsung pergi ke pembaringannya sendiri.

Dalam pada itu, di halaman Sura masih berdiri termangu-mangu. Seperti bermimpi ia melihat orang-orang yang sudah siap untuk menghukumnya itu berlalu.

Sejenak kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Dipanala sejenak. Namun akhirnya ia tidak dapat menahan keinginannya untuk mengetahui, apakah sebabnya semuanya itu sudah terjadi.

“Apakah seperti kata Raden Rudira, kau sudah menyihirnya Ki Dipanala?” bertanya Sura.

Ki Dipanala memandang Sura sejenak. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil menyahut, “Aku tidak mengenal ilmu itu”

Tetapi kenapa Pangeran Ranakusuma memenuhi permintaan-mu, bahkan melepaskan aku sekaligus”

Ki Dipanala mengangkat bahunya. Namun ia tidak menjawab.

“Dan yang lebih mengherankan lagi, karena Raden Ayu Sontrang itu kali ini tidak memaksakan kehendak anak laki-lakinya yang manja itu? Jika Raden Ayu Galihwarit itu mencoba menekan Pangeran Ranakusuma, jangankan aku dan kau, sedangkan isterinya yang lain telah disingkirkannya, dan bahan puteranya Raden Juwiring”

Dipanala tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.

“Apakah sebabnya?” Sura mendesak.

Tiba-tiba saja Dipanala menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak begitu mengerti Sura. Tetapi aku masih mempunyai keyakinan bahwa kata-kataku masih juga didengar, justru oleh yang tua-tua. Tidak oleh Raden Rudira sendiri, karena ia belum mengenal aku sejauh-jauhnya”

“Tidak banyak yang mengenal kau ki Dipanala. Meskipun kita bersama-sama berada di rumah ini bertahun-tahun, tetapi aku masih juga tidak mengerti, apa yang sebenarnya telah kau lakukan terhadap isi istana ini, sehingga seakan-akan kata-katamu merupakan keputusan bagi mereka”

Sekali lagi Ki Dipanala menggeleng. Katanya, “Entahlah. Mungkin karena aku mereka anggap sebagai orang tua di sini. Atau barangkali karena aku sudah terlalu lama tinggal di rumah ini”

Sura memandang Dipanala dengan tatapan mata yang aneh. Namun seolah-olah Ki Dipanala itu diliputi oleh suatu rahasia yang tidak dapat diduganya.

Tetapi Sura tidak bertanya lagi. Ia mengerti, bahwa Ki Dipanala tidak akan mengata-kannya meskipun ia berulang kali mendesaknya.

“Yang harus kau ketahui Sura” berkata Ki Dipanala kemudian, “bahwa karena kata-kataku seakan-akan harus mereka dengar itulah, maka sebenarnya aku berada di ujung bahaya”

Sura menjadi semakin tidak mengerti. Karena itu ia berkata, “Kau bagiku seperti bayangan di kegelapan. Aku tidak dapat melihat garis-garis bentukmu Ki Dipanala”

“Mereka lebih senang melihat aku mati daripada aku masih harus berbicara, karena kata-kataku ternyata masih harus mereka dengarkan”

“Aku menjadi semakin tidak mengerti. Tetapi Ki Dipanala tidak akan menjelaskannya kepadaku”

“Ya. Karena persoalannya memang tidak dapat dijelaskan”

Sura menarik nafas dalam-dalam.

“Sudahlah” berkata Ki Dipanala, “Marilah kita kembalikan kuda-kuda itu ke kandangnya”

Sura tidak menjawab. Diikutinya saja Ki Dipanala yang mengambil kudanya dan menuntunnya.

“Kita akan lewat regol depan”

Sura mengangguk. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah aku masih akan dapat masuk lagi?”

“Kau akan memasuki halaman ini bersamaku”

Sura mengangguk-anggukkan kepalanya.

Keduanya pun kemudian menuntun kuda-kuda mereka keluar halaman. Setelah mengitari dinding samping maka mereka pun memasukkan kuda itu di kandangnya, di halaman belakang rumah Ki Dipanala.

“Aku tidak mengerti Ki Dipanala, apakah sebaiknya aku tetap berada di Dalem Ranakusuman”

“Kau belum diusir. Tetapi jika kau ingin pergi, sebaiknya kau siapkan tempat baru itu, supaya keluargamu tidak terlantar”

“Tetapi jika terjadi sesuatu dengan aku di Dalem Rana-kusuman, apakah isteri dan anak-anakku harus menyaksikan-nya?”

Ki Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya, ia dapat mengerti keberatan itu, sehingga katanya, “Memang, sebaiknya kau bawa keluargamu pergi. Tetapi kau harus minta diri kepada Pangeran Ranakusuma, selagi aku masih dapat berbuat sesuatu untuk keselamatanmu dan keluargamu. Jika sampai saatnya aku sendiri akan dipancung, maka semuanya sudah akan lewat. Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi”

Sura mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia bergumam, “Apakah aku dapat menghadap Pangeran Rana-kusuma untuk minta diri?”

“Aku akan mengusahakan. Dan itu harus terjadi segera, sebelum keadaan berubah. Mungkin aku sudah tidak diperlukan lagi atau mungkin aku sudah terbunuh”

“Lalu bagaimana dengan Ki Dipanala sendiri? Apakah Ki Dipanala tidak akan meninggalkan Dalem Ranakusuman?”

Ki Dipanala tidak segera menjawab. Sorot matanya memancarkan keragu-raguan. Namun kemudian ia menggeleng, “Sementara ini belum. Aku masih didengar oleh Pangeran Ranakusuma. Senang atau tidak senang”

“Tetapi apakah Ki Dipanala dapat mengetahui, sampai kapan Ki Dipanala akan mendapatkan kepercayaan itu, maksudku, bahwa kata-kata Ki Dipanala masih didengar oleh Pangeran Ranakusuma?”

Ki Dipanala menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu”

Keduanya pun kemudian saling berdiam diri sejenak. Namun Ki Dipanala kemudian berkata Sura, kita masih mempunyai kesempatan sedikit untuk beristirahat. Meskipun langit sudah menjadi merah, namun kita masih sempat tidur meskipun hanya sekejap dan kita akan bangun kesiangan”

“Apakah kita tidak kembali ke Ranakusuman?”

“Besok saja kita kembali ke Ranakusuman. Para penjaga regol itu akan menjadi jengkel, jika setiap kali kita minta mereka membuka pintu untuk kita”

Sura tidak menyahut. Diikutinya saja Ki Dipanala pergi ke serambi depan rumahnya yang tidak begitu besar.

“Kau dapat berbaring di amben ini. Aku tidak dapat mempersilahkan kau tidur di dalam, karena tidak ada lagi tempat”

“Dan kau?”

“Aku akan tidur di ketepe itu”

“Apakah anyaman belarak itu masih ada?”

“Untuk apa?”

“Aku juga lebih suka tidur di lantai, diatas ketepe belarak seperti kau”

Ki Dipanala termenung sejenak Namun kemudian ia pun mengetuk pintu rumahnya untuk mengambil tikar.

“He, apakah kita benar-benar tidak akan tidur di dalam?” bertanya Ki Dipanala kemudian, “meskipun hanya di lantai?”

“Aku akan tidur di luar saja”

Namun Ki. Dipanala pun kemudian berbaring juga diatas tikar pandan di samping Sura.

Ternyata Sura masih juga sempat tidur mendekur. Meskipun agak gelisah, tetapi ia masih sempat melepaskan ketegangan di dalam hatinya. Tidur adalah suatu pelepasan yang baik bagi orang-orang yang mengalami himpitan perasaan seperti Sura.

Tetapi Ki Dipanala sendiri sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Ia ternyata lebih gelisah dari Sura. Yang terbayang di dalam angan-angan Ki Dipanala justru karena ia masih juga mempunyai pengaruh yang mantap terhadap Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit.

“Tetapi pada suatu saat, mereka akan melenyapkan pengaruh ini, karena pengaruh itu terjadi bukan karena persoalan yang wajar. Bukan karena aku orang tua, bukan karena aku sudah terlalu lama berada di Dalem Ranakusuman, dan bukan karena nasehat-nasehatku mempunyai pengaruh yang sangat baik, atau bukan karena aku seorang yang pandai dan mumpuni” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya.

Sambil berbaring terbayang kembali peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Peristiwa yang hanya karena kebetulan saja ia berkesempatan untuk mengambil keuntungan daripadanya.

Dipanala menarik nafas dalam-dalam Namun ia tidak mencoba untuk membayangkan kembali apa yang sudah terjadi dengan Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit.

Namun, betapa Ki Dipanala dicengkam oleh kegelisahan, tetapi oleh lelah dan udara yang dingin segar, maka Ki Dipanala itu pun terlena meskipun hanya sebentar.

Dan ternyata bahwa Ki Dipanala pun telah terbangun lebih dahulu. Dibiarkannya saja Sura masih terbaring diatas tikar sambil memejamkan matanya. Agaknya ia dapat juga tidur nyenyak dalam keadaan yang bagaimanapun juga.

Namun tidak lama kemudian, Sura pun sudah terbangun pula. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pakiwan untuk membersihkan dirinya dan membenahi pakaiannya.

“Kita pergi ke Dalem Ranakusuman Ki Dipanala” bertanya Sura.

“Sepagi ini?”

“Tidak ada pagi tidak ada sore bagiku sekarang”

Ki Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya. Kegelisahan yang sangat telah merayapi dada Sura begitu ia terbangun dari tidurnya. Ia justru ingin segera masuk ke halaman istana Ranakusuman. Ia ingin segera mengerti, akibat atau hukuman apa lagi yang akan diterimanya. Dan apakah masih ada kesempatan baginya untuk meninggalkan halaman itu tanpa meninggalkan kepalanya. Karena agaknya Raden Rudira benar-benar menganggapnya sebagai seorang pengkhianat.

“Baiklah Sura” berkata Ki Dipanala, “Memang tidak ada batasan waktu bagimu sekarang. Marilah, aku antarkan kau masuk ke halaman itu”

“Jika aku masih mendapat kesempatan” berkata Sura, “Aku akan segera meninggalkan Ranakusuman bersama seluruh keluargaku”

“Kau belum mempersiapkan tempat untuk keluargamu Sura?”

“Aku mempunyai sekedar warisan meskipun hanya sejengkal. Dan aku sudah memperluasnya sedikit dengan uang yang aku terima selama aku menjilat di Ranakusuman”

“Apakah rumah warisan itu sudah siap kau pergunakan?”

“Siap atau tidak siap. Soalnya, semakin lama aku tinggal di Ranakusuman, maka kemungkinan-kemungkinan yang buruk akan selalu dapat terjadi. Kadang-kadang aku pun kehilangan pengendalian diri apabila aku melihat tampang Mandra”

Ki Dipanala mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Sura, bagaimana ia merasa dirinya didesak oleh Mandra dan tersingkir karenanya. Ketika mula-mula Raden Rudira menjumpai Arum di bulak Jati Sari, sebelum mereka selalu dihantui oleh wajah Petani dari Sukawati, maka Sura masih menjadi orang pertama di antara para pengiring dan pengawal di Ranakusuman. Namun kini Sura hampir sudah tidak berarti lagi, bahkan hampir saja ia mengalami hukuman cambuk yang sangat pedih.

Demikianlah keduanya pun segera kembali masuk ke halaman Ranakusuman lewat regol depan. Para penjaga yang melihat kedatangan mereka hanya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata keduanya adalah orang-orang aneh di dalam pandangan mereka. Bahkan seakan-akan keduanya dengan sengaja hilir mudik memamerkan diri.

Namun ketika salah seorang abdi berdesis di samping Sura yang kebetulan lewat, “Kau datang kembali Sura?” Maka Sura menjawab tanpa berhenti, “Untuk yang terakhir kalinya”

“Mudah-mudahan kau dapat keluar lagi dari halaman ini” sahut abdi itu. Tetapi Sura sudah semakin jauh sehingga ia sama sekali tidak mendengarnya.

Dalam pada itu, Ki Dipanala lah yang berusaha untuk dapat menghadap Pangeran Ranakusuma. Lewat seorang Pelayan Dalam, Ki Dipanala menyampaikan permohonan untuk mendapat waktu beberapa saat saja.

“Ampun tuan” berkata Pelayan Dalam itu sambil berjongkok dan menyembah.

“Persetan dengan Dipanala. Katakan kepadanya, aku tidak mempunyai waktu. Suruh ia pergi sampai saatnya aku memanggilnya”

Pelayan Dalam itu membungkukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia pergi Raden Ayu Galihwarit berkata, “Berilah orang itu waktu barang sekejap kangmas. Aku ingin mendengar, apa yang akan dikatakannya”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah isterinya sejenak, namun ketika Galihwarit tersenyum, Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku hanya mempunyai waktu sedikit”

Pelayan Dalam itu membungkuk sekali lagi sambil menyembah, kemudian bergeser surut sambil berjongkok. Baru ketika ia sudah menuruni tangga, ia pun berdiri terbungkuk-bungkuk.

Ki Dipanala dan Sura pun kemudian dibawanya menghadap. Namun ketika Pangeran Ranakusuma yang duduk di serambi belakang melihat kehadiran dua orang itu ia mengerutkan keningnya. Kemudian tampak semburat merah terlintas di wajahnya sambil menggeram di dalam hati, “Apakah Dipanala itu sekarang mulai memeras? Aku kira ia tidak akan berbuat sejahat itu waktu itu. Kalau saja aku tahu, aku pasti sudah membunuhnya, “

Pangeran Ranakusuma masih belum beranjak ketika kedua orang itu kemudian seolah-olah merangkak dan duduk di hadapannya,

Sejenak kedua orang itu duduk sambil menundukkan kepalanya. Sebelum Pangeran Ranakusuma bertanya sesuatu, mereka berdua sama sekali tidak berani berkata apapun juga.

Baru kemudian Pangeran Ranakusuma bertanya, “Apakah maksudmu memohon waktu untuk menghadap?”

Ki Dipanala mengangkat wajahnya. Namun sebelum ia berkata sesuatu, dilihatnya Raden Ayu Galihwarit sudah berdiri di belakang Pangeran Ranakusuma. Perempuan bangsawan itu memandanginya sejenak dengan sorot mata yang penuh kecurigaan.

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Dan terdengar Pangeran Ranakusuma membentaknya, “Cepat, katakan. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayanimu”

“Maaf tuan” berkata Ki Dipanala, “hamba berdua memberanikan diri untuk memohon waktu sekedar. Sebenarnya bukanlah hamba yang mempunyai kepentingan, tetapi Sura. Sura lah yang ingin menyampaikan suatu permohonan kepada tuan”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Sura yang masih tetap menunduk itu sejenak. Lalu tiba-tiba ia membentak, “Cepat, cepat katakan”

“Ampun Pangeran” Sura terkejut sehingga ia tergeser sejengkal surut. Hamba ingin mengajukan permohonan kehadapan tuan”

“Katakan, katakan”

“Ya tuan” suara Sura bergetar juga betapapun ia berusaha untuk berbuat setenang-tenangnya, “hamba sudah cukup lama bekerja dan mengabdi di hadapan Pangeran. Namun agaknya akhir-akhir ini hamba tidak lagi mampu mengikuti perkembang-an yang terjadi di Dalem Kapangeranan ini, khususnya Raden Rudira, sehingga seakan-akan hamba tidak lagi diperlukan di sini, bahkan menurut istilah yang dipergunakan oleh Raden Rudira, hamba telah berkhianat. Maka dengan tidak mengurangi perasaan terima kasih bahwa selama ini hamba seakan-akan telah mendapatkan tempat berteduh di Dalem Ranakusuman ini, maka perkenankanlah kini hamba mohon diri. Semisal hamba ini selembar daun, maka agaknya daun itu sudah menguning dan sampai saatnya lepas dari tangkainya”

Terasa sesuatu berdesir di hati Pangeran Ranakusuma. Bagaimanapun juga, Sura adalah orangnya yang sudah lama sekali bekerja padanya dan kemudian mendapat kepercayaan mengasuh dan melindungi anak laki-lakinya. Namun sampai pada suatu saat, orang itu telah dianggap berkhianat oleh anak laki-lakinya itu.

Meskipun demikian Pangeran Ranakusuma telah berusaha menyembunyikan perasaannya itu. Bahkan dengan kasar ia membentak, “Jika kau merasa telah berada di rumah ini untuk waktu yang lama kenapa kau berkhianat?”

“Pangeran, benar-benar tidak terlintas di hati hamba, bahwa hamba akan berkhianat. Hamba yang sudah merasa mapan menjadi abdi di Dalem Kapangeranan ini, kenapa hamba harus berkhianat? Namun barangkali bahwa hamba telah mencoba memberikan pendapat hamba itulah, maka terutama Raden Rudira menganggap hamba tidak lagi tunduk kepada perintahnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa hamba ingin Raden Rudira tidak mendapatkan kesulitan di hari mendatang, terlebih-lebih lagi sehubungan dengan Petani dari Sukawati yang menurut pendapat hamba adalah tidak lain adalah dari Pangeran Mangkubumi itu sendiri”

“Bohong, bohong” tiba-tiba saja terdengar suara Rudira dari dalam biliknya. Tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di ruangan itu, ia langsung melangkah kehadapan Sura dengan wajah yang merah padam. Bahkan dengan serta merta ia mengayunkan kakinya menghantam pundak Sura.

Sura terdorong surut. Meskipun ia mampu bertahan apabila ia mau, tetapi ia terjatuh berguling. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia bangkit dan duduk kembali sambil menundukkan kepalanya.

Agaknya Raden Rudira masih belum puas. Ia telah dikecewakan oleh ayahnya, karena ia tidak boleh memukul kedua orang itu dengan rotan selagi mereka terikat di pohon sawo. Namun sebelum ia berbuat lebih jauh Ki Dipanala berkata, “Ampun tuan. Hamba mengharap bahwa tuan mencegah tindakan puteranda lebih jauh lagi”

Terasa sesuatu bergetar di hati Pangeran Ranakusuma. Ada sesuatu yang seakan-akan menekan hatinya sehingga terasa nafasnya menjadi sesak.

“Persetan” Raden Rudira menggeram. Namun Pangeran Ranakusuma kemudian mencegahnya, “Rudira. Cobalah berbuat dengan nalar. Kau sudah menjadi semakin dewasa. Unsur dari perbuatanmu sebaiknya bukan saja penimbangan perasaan, tetapi juga nalar. Jika kau tidak mampu mendapatkan keseimbangan nalar dan perasanmu, maka semisal timbangan, kau akan menjadi berat sebelah, sehingga tindakan-tindakan yang lahir darimu, bukannya tindakan-tindakan yang terpuji”

Wajah Raden Rudira yang merah menjadi semakin merah. Ditatapnya wajah ibunya yang penuh dengan kebimbangan, la mengharap bahwa kali ini ibunya dapat membantunya. Tetapi ia menjadi sangat kecewa ketika ibunya berkata, “Bersabarlah Rudira. Seperti kata ayahandamu, kau sudah menjadi semakin dewasa”

Kata-kata ibunya itu membuat dada Raden Rudira menjadi semakin pepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan ketika sekilas ia memandang wajah ibunya, wajah itu bukan saja dibayangi oleh kebimbangan, tetapi rasa-rasanya Raden Ayu Sontrang bagaikan berdiri di depan sarang hantu. Ketakutan.

Raden Rudira benar-benar tidak dapat mengerti, apakah sebabnya bahwa ayah dan ibunya sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan Dipanala. Namun Raden Rudira tidak ingin bertanya di hadapan kedua orang itu. Karena itu, maka sambil menghentakkan kakinya, ia pun segera pergi meninggalkan mereka yang masih terpancang di tempat masing-masing.

“Sura” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian setelah Rudira pergi, “ada bermacam-macam tanggapan terhadapmu sekarang. Tetapi baiklah, aku mengambil kesimpulan, bahwa sebenarnya kau memang sudah tidak diperlukan lagi di rumah ini. Karena itu, jika memang kau kehendaki, aku tidak berkeberatan kau pergi meninggalkan tempat pengabdianmu yang sudah kau lakukan bertahun-tahun, karena tiba-tiba saja kau telah dicengkam oleh mimpi yang kau anggap dapat memberi kepuasan batiniah itu”

Sura tidak menyahut. Rasa-rasanya memang terlampau berat untuk meninggalkan pengabdian yang sudah lama dilakukan dengan penuh kesetiaan bahkan seakan-akan tanpa sempat memikirkan benar dan salah.

“Nah, jika kau memang akan pergi, pergilah. Tetapi ingat Sura. Kau pernah menjadi abdi yang setia di rumah ini. Aku pun merasa seakan-akan kau telah termasuk di dalam lingkup keluarga. Tetapi kau ternyata tidak menyesuaikan dirimu lagi. Itu tidak apa. Tetapi kau jangan sebenarnya berkhianat. Pengkhianatan adalah bentuk yang paling jahat dari hubungan antar manusia. Apakah kau mengerti?”

“Ya Pangeran. Hamba mengerti”

“Dan kau Dipanala? Apakah kau juga akan berkhianat?”

Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak tuan. Memang tidak terlintas di hati hamba untuk berkhianat. Dan Sura pun tidak. Karena hamba sadar, pengkhianatan yang sebenarnya adalah perbuatan bukan saja yang paling jahat dari hubungan antar manusia, tetapi juga yang paling licik, pengecut, dan segala macam istilah yang paling buruk. Namun sayang sekali, bahwa setiap orang mempunyai penilaian yang berbeda-beda tentang arti dari pengkhianatan itu. Bahkan sebagian orang melihat pernyataan kebenaran justru sebagai suatu pengkhianatan”

“Diam, diam” Pangeran Ranakusuma membentak keras sekali sehingga Dipanala terkejut karenanya. Namun ia masih tetap dapat menguasai perasaannya. Bahkan ia masih sempat memandang wajah Raden Ayu Galihwarit yang menjadi pucat karenanya.

Namun Dipanala itu kemudian berkata, “Ampun tuan. Hamba akan berusaha mengartikan pengkhianatan itu sebagaimana yang tuan kehendaki”

Hampir saja Pangeran Ranakusuma kehilangan kesabarannya. Untunglah bahwa ia masih menyadari keadaannya, sehingga ia masih tetap berhasil menguasai dirinya. Bahkan tiba-tiba saja terasa tangan isterinya. Raden Ayu Galihwarit meraba pundaknya sambil berkata, “Sudahlah kangmas. Biarkan mereka pergi. Mereka tidak lagi kita perlukan”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang akan pergi hanyalah Sura saja. Biarlah Dipanala tetap berada di rumah ini. Aku masih mengharap bahwa ia menemukan dirinya kembali sebagai seorang pemomong yang sudah puluhan tahun berada di sini. Dengan umurnya yang semakin tua, ia seharusnya menjadi semakin mendekatkan dirinya pada ketenangan. Bukan justru sebaliknya”

Ki Dipanala mengangguk-angguk. Katanya, “Hamba tuan. Memang hamba tidak berniat untuk meninggalkan istana ini. Hamba akan mencoba menyesuaikan diri hamba yang menjadi semakin tua ini”

“Baiklah, suruh Sura pergi jika itu yang dikehendaki. Aku mengijinkan ia membawa semua miliknya yang ada di pondoknya di halaman Kapangeranan ini” Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak, lalu katanya kepada Sura, “mudah-mudahan kau menemukan hari-hari tuamu tanpa keprihatinan yang semakin mencengkam karena pokalmu sendiri”

“Ya tuan. Hamba akan mencoba hidup sebagai seorang petani di padukuhan hamba dengan secuwil sawah dan pategalan”

“Tetapi kau dapat menjadi orang yang berbahaya bagi padukuhanmu, justru karena kau merasa memiliki kelebihan dari orang lain. Selama ini kau hidup dengan bekal kemampuanmu berkelahi. Kebiasaan itu tidak akan dapat lenyap sehari dua hari. Dan malanglah nasib tetangga-tetanggamu itu”

Sura menarik nafas dalam-dalam. Tetapi peringatan itu justru menjadi cambuk baginya, bahwa ia adalah manusia biasa yang harus dapat hidup sebagai manusia biasa yang lain. Kelebihan itu adalah suatu kebetulan saja. Tetapi dengan kelebihan itu ia tidak akan dapat hidup terpisah dari manusia yang lain.

Demikianlah, maka pada hari itu, Sura benar-benar meninggalkan halaman Ranakusuman. Dengan sebuah pedati ia membawa barang-barangnya yang tidak begitu berarti. Namun ketika pedati itu meninggalkan regol Ranakusuman, terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya. Seakan-akan ia kini merasa menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang mengerti hubungannya antara dia dengan Tuhan Yang Menciptakannya, dan antara dia dengan sesama manusia dan lingkungannya.

Sura sendiri, tidak tahu, darimanakah ia menemukan kesadaran itu justru setelah ia mengalami benturan yang dahsyat ketika, ia sama sekali tidak berdaya melawan petani dari Sukawati itu.

Namun hatinya masih bergejolak ketika ia melihat Mandra yang berdiri di sebelah regol sambil bertolak pinggang memandanginya. Suara tertawanya yang semakin lama menjadi semakin keras terasa menggelitik hati. Tetapi ketika ia melihat Ki Dipanala berdiri dengan tenangnya justru di sebelah Mandra itu terasa hatinya bagaikan disentuh oleh titik air yang sejuk dingin.

Namun demikian di sepanjang jalan. Sura tidak habis berpikir, apakah sebabnya Dipanala mempunyai pengaruh yang begitu besar, meskipun jelas, bahwa ia bukan orang yang disenangi oleh Pangeran Ranakusuma, apalagi oleh Raden Rudira.

“Apakah benar-benar ia mempunyai ilmu semacam ilmu sihir yang mampu mempengaruhi perasaan orang lain dengan tatapan mata nya?” pertanyaan itu masih saja selalu terngiang di hatinya.

Namun Sura pun kemudian tidak mempedulikannya lagi. Kini ia sudah tidak mempunyai hubungan apapun juga dengan istana Ranakusuman. Dengan Raden Rudira dan dengan Mandra.

Tetapi tiba-tiba terlintas di kepalanya bayangan seorang dari keluarga Ranakusuman yang justru tidak tinggal di istana itu. Seorang anak muda yang meskipun agak mirip dengan Raden Rudira pada bentuk lahiriahnya, namun mempunyai sikap dan pandangan hidup yang berbeda. Jauh berbeda.

Tiba-tiba saja timbul keinginan Sura untuk menemui Raden Juwiring. bahkan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk lebih dekat lagi dengan putera Pangeran Ranakusuma yang pernah disingkirkannya itu.

“Aneh, kenapa saat itu Ki Dipanala justru membawanya pergi? Padahal ia mempunyai pengaruh yang kuat terhadap Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit. Jika ia menghendaki maka ia pasti akan dapat mencegahnya, sehingga Raden Juwiring masih akan tetap berada di istana. Demikian juga dengan orang-orang lain yang telah tersingkir”

Namun Sura tidak kunjung menemukan jawabnya, sehingga ia sampai ke padukuhannya dan memulai suatu kehidupan baru sebagai seorang petani.

Mula-mula memang agak canggung hidup di dalam dunia yang baru baginya. Seperti kata Pangeran Ranakusuma, memang ada tersembul nafsu untuk menguasai orang-orang di sekitarnya justru karena ia merasa memiliki kelebihan.

Tetapi untunglah, bahwa ia menyadarinya sehingga ia selalu berhasil menahan diri dan mencoba hidup seperti orang kebanyakan. Meskipun kadang-kadang sebagai orang baru ia mendapat berbagai macam kesulitan karena ada juga orang erang yang keras kepala dan menganggap Sura sebagai seorang yang tidak pantas berada di antara mereka. Namun Sura telah berhasil melampaui masa itu. Bahkan ia lelah berhasil luluh di dalam kehidupan para petani tanpa memperlihatkan kekerasan dan kemampuannya.

Meskipun demikian ia masih belum berhasil melupakan keinginannya untuk menemui Raden Juwiring di padepokan Jati Aking.

“Pada suatu saat aku akan pergi ke padepokan itu” berkata Sura di dalam hatinya, “mudah-mudahan kehadiranku di padepokan itu tidak menimbulkan persoalan bagi Raden Juwiring. Sebab kebencian Raden Rudira terhadap kakaknya itu pun melonjak setinggi langit, sehingga dapat saja ia menuduh kakaknya telah berhubungan dengan aku, seorang pengkhianat”

Dan keragu-raguan semacam itulah yang selalu menunda-nunda kepergian Sura ke padepokan Jati Aking di Jati Sari.

Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang berada di Jati Aking ternyata mempergunakan waktunya sebaik-baiknya. Mereka dengan tekun melatih diri, seakan-akan ada firasat yang membisikkan ke telinga mereka, bahwa sesuatu akan terjadi.

Bahkan kadang-kadang Kiai Danatirta menjadi heran, kesungguhan yang luar biasa, bahkan agak berlebih-lebihan telah mendorong Buntal berlatih tanpa mengenal waktu. Bukan saja di saat-saat seharusnya ia berlatih di malam hari, atau di saat-saat lain yang ditentukan oleh gurunya. Tetapi juga di saat-saat ia seharusnya beristirahat setelah ia bekerja keras di sawah, kadang-kadang dipergunakannya juga untuk mematangkan ilmu yang dikuasainya.

Namun di dalam tangkapan gurunya, Buntal anak muda yang sedang tumbuh itu, memang sedang dibakar oleh gairah yang menyala-nyala di dalam dadanya. Sekali-sekali Kiai Danatirta terpaksa memperingatkan, agar kemauan yang begitu keras itu tidak justru mengganggu kesehatannya.

“Kau harus menjaga keseimbangan hasrat dan batas kemampuan wadagmu Buntal” berkata gurunya, “Aku senang sekali melihat perkembangan yang pesat padamu dan pada Juwiring, tetapi aku tidak dapat membiarkan kau tenggelam dalam latihan yang berlebih-lebihan. Dengan demikian, jika terjadi sesuatu dengan kesehatanmu, akulah yang harus mempertanggung jawabkannya”

Setiap kali Buntal hanya menganggukkan kepalanya saja. Kemudian menunduk dalam-dalam.

“Kau mengerti?”

Sekali lagi Buntal mengangguk sambil berdesis lambat sekali, “Ya guru. Aku mengerti”

Tetapi setiap kali, tanpa disadarinya, terasa sesuatu yang memacunya untuk berlatih lebih banyak. Dan hampir di luar sadarnya, kadang-kadang terbersit perasaan, “Aku tidak boleh kalah dari Raden Juwiring. Raden Juwiring adalah seorang bangsawan, sedang aku adalah seorang pidak-pedarakan yang di ketemukan di pinggir jalan. Jika aku tidak dapat mengimbangi ilmunya, maka aku adalah seorang anak muda yang tidak akan berarti apa-apa dipadepokan ini”

Namun setiap kali Buntal menjadi malu sendiri. Apalagi apabila terpandang olehnya tatapan mata Arum yang lunak sejuk seperti tatapan mata ayahnya, Kiai Danatirta.

Meskipun Buntal mempergunakan waktu yang lebih banyak dari Raden Juwiring untuk berlatih, namun hampir tidak dapat dimengerti oleh Buntal sendiri, bahwa setiap kali mereka berlatih bersama, ilmunya ternyata tidak lebih matang dari ilmu Raden Juwiring. Ia hanya mempunyai kelebihan tenaga sedikit saja dari putera Pangeran itu, namun justru kemampuan menguasai tata gerak dan kecepatan, Raden Juwiring masih melampauinya.

Dan itulah kelebihan Raden Juwiring dari Buntal. Raden Juwiring seakan-akan tidak menghiraukan sama sekali, jika Buntal mempergunakan hampir setiap waktu untuk menempa diri. Raden Juwiring kadang-kadang pergi saja berjalan-jalan di kebun belakang dan duduk di bawah batang-batang kayu yang rindang, atau tinggal di dalam biliknya, berbaring sambil memandangi atap biliknya.

Tetapi Buntal tidak tahu, bahwa Raden Juwiring pun mempergunakan waktu-waktu senggangnya untuk mematangkan ilmunya. Tetapi ia mempunyai cara yang lain dari cara yang dipakai oleh Buntal.

Raden Juwiring ternyata tidak mempercayakan diri pada tenaga wadagnya semata-mata. Tetapi ia mempergunakan otaknya pula. Sambil duduk di bawah pohon yang rindang di sore hari di kebun belakang, atau jauh malam hari, bahkan menjelang dini hari di dalam biliknya, Raden Juwiring bermain-main dengan rontal dan kertas-kertas yang berwarna kekuning-kuningan. Dibuatnya beberapa buah gambar yang meskipun kurang baik namun dapat menyatakan gejolak di dalam batinnya mengenai tata gerak ilmunya. Raden Juwiring ternyata tidak hanya berlatih dengan badannya, tetapi ia mampu membuat rencana tata gerak yang bermanfaat bagi ilmunya. Kadang-kadang dipadukannya beberapa macam unsur gerak yang ada dan yang pernah dipelajarinya.

Bahkan dengan unsur-unsur gerak alam dan binatang. Dan itulah sebabnya Raden Juwiring sering duduk termenung merenungi burung-burung yang berterbangan. Burung-burung kecil yang lincah cekatan menyambar bilalang. Tetapi juga burung elang yang dengan garangnya menyambar anak ayam. Bahkan juga bagaimana seekor domba membenturkan kepalanya pada lawannya jika terpaksa mereka berlaga. Ayam jantan, dan kadang-kadang dilihatnya kerbau jantan yang sedang-marah.

Bukan saja binatang yang ada di sekitarnya. Tetapi terbayang juga, bagaimana seekor harimau menerkam mangsanya dan bagaimana seekor kelinci menghindarkan diri justru menyusup di bawah kaki binatang-binatang yang menerkamnya. Betapa lucunya gerak seekor kera namun betapa gesitnya ia memanjat, menangkap sesuatu dan berloncatan.

Itulah yang selalu dipikirkan oleh Raden Juwiring. Dan hal itu sama sekali tidak terlintas di kepala Buntal. Dan perbedaan perhatian itulah yang merupakan perbedaan kepribadian mereka. Buntal lebih senang langsung memantapkan tata gerak dan kekuatan jasmaniahnya, namun Raden Juwiring memperkaya tata gerak dari paduan gerak yang beraneka macam dan kegunaannya yang berlain-lainan.

Namun mereka berdua berkembang dengan pesatnya menurut jalur yang digariskan oleh gurunya, Kiai Danatirta.

Sebagai seorang yang berpengalaman, maka Kiai Danatirta melihat perbedaan di dalam diri kedua muridnya itu. Namun Kiai Danatirta tidak melihat keberatannya sama sekali atas perkembangan kepribadian masing-masing. Bahkan di dalam latihan-latihan bersama Kiai Danatirta dapat memanfaatkan kemajuan kedua muridnya itu dan meramunya dalam satu ciri-ciri ilmu yang tidak terpisah. Hanya karena perbedaan kepribadian itu sajalah, tampak perbedaan pula dalam ungkapan inti ilmu perguruan Jati Aking, namun pada dasarnya keduanya sama.

Berbeda dari keduanya adalah Arum. Ia langsung mendapat tuntunan dari ayahnya menurut petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehatnya. Arum lebih mementingkan pada kecepatan bergerak dan kemampuannya menguasai arah gerak. Kadang-kadang ia justru dapat mengambil keuntungan dari serangan lawannya karena dorongan gerak serangan itu sendiri. Dalam keadaan yang khusus Arum mendapat latihan untuk mempergunakan tenaga dorong lawannya. Bahkan Arum mampu mempergunakan tenaga lawannya untuk melemparkan dirinya sendiri apabila diperlukan, dan dalam kesempatan tertentu Arum dapat merobohkan lawannya karena ayunan tenaga lawan itu sendiri.

Bagaimanapun juga, maka Kiai Danatirta tidak mau meninggalkan keturunannya sendiri di dalam olah kanuragan. Sejalan dengan kemajuan yang dicapai oleh Juwiring dalam keragaman unsur geraknya beserta kegunaannya, dan sejalan dengan kemajuan kekuatan tenaga Buntal, maka Arum adalah seorang gadis yang lincah cekatan, seperti seekor kijang di padang rumput yang hijau segar.

Dalam ujudnya masing-masing, ketiga murid Kiai Danatirta itu berkembang dengan pesatnya, justru oleh dorongan di dalam diri murid-murid itu sendiri. Memang kadang-kadang ada juga kecemasan di hati orang tua itu, bahwa murid-muridnya sudah terjerumus ke dalam suatu pacuan yang berbahaya. Namun atas kebijaksanaannya, Kiai Danatirta mampu mengarahkannya sesuai dengan ajaran-ajaran keagamaan dari padepokan Jati Aking. Murid-muridnya bukan saja mendapat tempaan kanuragan, tetapi mereka mendapat pengarahan yang mantap di bidang rohamiah. Mereka langsung diperkenalkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka ditunjukkan, bahwa pertanggungan jawab tertinggi dari perbuatan manusia adalah pertanggungan jawab terhadap Tuhannya. Dan manusia tidak akan dapat mempergunakan cara yang bagaimanapun juga untuk ingkar dari pertanggungan jawab yang sebenarnya, karena Tuhan mengetahui dengan pasti apa yang sudah berlaku pada setiap orang di muka bumi.

Meskipun demikian, Buntal adalah seorang anak muda yang lengkap. Yang utuh. Jasmaniah dan rohaniah. Itulah sebabnya maka Buntal pun mengenal apa yang dikenal oleh orang lain.

Di waktu matahari terbit, Buntal kadang-kadang berdiri di ujung halaman sambil memandang cahaya yang kemerah-merahan di langit. Ujung pegunungan nampak seperti seonggok batu akik yang berukir dalam berbagai warna antara hijau dan merah.

Juga di malam hari Buntal kadang-kadang merenungi kilauan bintang yang berhamburan di langit. Dikala bulan terang, anak muda itu mampu juga menangkap sesuatu yang menyentuh perasaannya.

Ternyata bahwa Buntal, seorang anak muda yang ditemukan di pinggir jalan itu, mempunyai selera rohaniah yang lengkap.

Dan karena itulah ia mengenal bentuk-bentuk keindahan.

Bukan saja bentuk-bentuk keindahan yang tersebar di sekitarnya, namun ada sesuatu yang indah yang setiap hari direnunginya. Semakin lama justru menjadi semakin memikat.

Yang lebih indah dari yang paling indah dari alam di sekitarnya itu adalah Arum yang mekar seperti mekarnya bunga menur yang berwarna putih. Betapapun juga ia mencoba mengelak, namun ia selalu dibayangi oleh kenyataan itu.

Berterima kasihlah Buntal, bahwa Tuhan telah rezeki berbentuk mata yang dapat melihat, melihat keindahan dari alam di sekitarnya. Namun keindahan yang satu ini ternyata telah membuatnya selalu berdebar-debar. Selalu cemas dan kadang-kadang menjadi bingung. Sebenarnya ia pun mengucapkan terima kasih bahwa setiap hari ia dapat menikmati keindahan itu. Tetapi tanpa disadarinya, ia dirayapi oleh suatu keinginan, bukan saja menikmatinya sebagai suatu bentuk keindahan, namun lebih daripada itu.

“O, aku menjadi semakin gila” keluh Buntal. Sudah beberapa lama ia bertahan dan bahkan mencoba mengusir perasaan itu. Namun yang terlontar dari dirinya adalah kemauan yang semakin keras untuk melatih diri. Seolah-olah ia sedang berpacu untuk mencapai garis batas terlebih dahulu dengan taruhan yang tiada taranya.

“Tidak. Arum bukan barang taruhan. Ia dapat menentukan sikapnya sendiri. Dan tidak seorang pun dapat merubah keputusan yang akan diambilnya”

Demikianlah ketenangan padepokan itu rasa-rasanya mulai terganggu. Terasa dadanya bergetar jika ia melihat Arum sedang bergurau dengan Juwiring.

“Sejak aku pertama kali menginjakkan kakiku di padepokan ini, keduanya telah sering bergurau” Buntal ingin mencoba mempergunakan nalarnya. Namun setiap kali ia tenggelam dalam arus perasaannya.

Tetapi Buntal selalu menekan perasaan itu dalam-dalam di dasar hatinya. Endapan yang semakin lama menjadi semakin tebal itu tidak luput dari tatapan mata hati Kiai Danatirta. Gurunya itu melihat, bahwa Buntal semakin lama menjadi semakin dalam terendam oleh kediaman yang murung.

Justru karena itulah, maka Buntal pun kadang-kadang tampak menyendiri duduk sambil merenungi bintik-bintik di kejauhan. Namun sejenak kemudian ia pun segera berlari ke bangsal tempat berlatih. Dicurahkannya segenap kemurungannya pada gerak-gerak jasmaniahnya. Seolah-olah anak muda itu tidak mengenal lelah sama sekali.

Di saat-saat yang demikian itu, kedua saudara seperguruannya kadang-kadang memperhatikannya juga. Bahkan di dalam hati mereka pun tumbuh berbagai macam pertanyaan, apakah sebenarnya yang telah bergolak di hati anak muda itu.

Buntal terkejut ketika pada suatu ketika ia sedang melarikan diri di dalam bangsal latihan itu. seseorang telah menyapanya, “Buntal”

Buntal mulai menahan tenaganya, sehingga akhirnya ia berhenti. Ketika ia berpaling dilihatnya Arum berdiri di sudut bilik itu.

Buntal menarik nafas. Tetapi nafas itu setiap kali seakan-akan saling memburu.

“Apakah kau tidak lelah?”

Buntal memandang Arum sejenak. Dan Arum yang kini bukan lagi Arum yang manja yang berlari-larian di pematang sambil menyingsingkan kain panjangnya. Meskipun setiap kali Arum masih juga pergi ke sawah mengantarkan makanan, tetapi sikapnya sudah lain dari Arum yang terkejut melihat kehadirannya diatas gardu sawahnya.

“Kau berlatih terlampau banyak Buntal”

Buntal menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Tidak Arum. Aku belum lelah”

“Kau memiliki tenaga dan ketahanan nafas yang luar biasa. Tetapi kau harus beristirahat. Setiap kali kau mempunyai waktu tertuang, kau selalu berada di dalam bangsal ini”

Buntal tidak menyahut.

“Beristirahatlah”

Buntal masih tetap diam.

“Marilah. Kita pergi ke dapur. Makan sudah tersedia”

Buntal memandang Arum dengan tajamnya, dan di luar sadarnya ia bertanya, “Dimana Raden Juwiring”

Arum mengerutkan keningnya. Sebelum ia menjawab, dengan tergesa-gesa Buntal menyambung, “Maksudku, apakah ia akan makan bersama kita?”

“Ya. Kakang Juwiring sudah ada di dapur”

Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya, “baiklah. Aku akan membersihkan diri dahulu”

Arum menganggukkan kepalanya. Dipandanginya langkah Buntal yang lesu dengan kepala tunduk. Sama sekali tidak segairah ketika ia berlatih seperti yang baru saja dilakukannya di bangsal ini.

“Apakah ada sesuatu yang mengganggu perasaannya?” Arum bertanya kepada diri sendiri. Tetapi sudah barang tentu bahwa ia tidak akan dapat menemukan jawabnya.

Dengan langkah yang berat Buntal pergi ke pakiwan. Ia berdiri saja sejenak di bawah sejuknya dedaunan sebelum ia membersih-kan dirinya. Dibiarkannya keringatnya susut. Dan barulah kemudian ia mencuci muka, kaki dan tangannya.

Ketika kemudian ia memasuki pintu dapur, hatinya tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Dilihat Arum dan Juwiring duduk di amben yang panjang. Agaknya keduanya sedang asyik berbincang.

Pembicaraan keduanya berhenti ketika mereka melihat Buntal masuk. Sambil tersenyum Juwiring berkata, “Marilah. Aku menunggumu. Bukankah kita akan makan bersama-sama seperti biasanya?”

Buntal menganggukkan kepalanya. Dicobanya pula untuk tersenyum sambil menjawab, “Aku agak lupa waktu karena aku berada di bangsal latihan”

“Arum menyusulmu?”

“Ya” jawab Buntal pendek.

Keduanya pun kemudian makan bersama, dan seperti biasanya Arum melayani kedua saudara seperguruannya dan yang telah dijadikannya saudara angkatnya itu.

Demikianlah, dari hari ke hari, kediaman Buntal menjadi semakin menarik perhatian. Juwiring yang masih juga selalu bersama-sama pergi ke sawah menjadi heran. Meskipun setiap kali Buntal masih berusaha menunjukkan senyum dan tawanya, tetapi rasa-rasanya senyum dan tertawa itu hambar.

Ternyata bahwa yang paling besar menaruh perhatian atas keadaan Buntal adalah justru gurunya. Karena itu, tanpa disangka-sangka oleh Buntal, gurunya telah memanggilnya bersama dengan kedua saudara angkatnya.

Dan tanpa diduganya pula, maka Kiai Danatirta telah langsung bertanya kepadanya, “Buntal. Jangan kau merasa tersinggung jika aku memerlukan bertanya kepadamu. Kau adalah tidak ubahnya dengan anakku sendiri. Karena itu pengamatanku atasmu tidak ada bedanya dengan pengamatanku atas Arum dan Juwiring”

Kiai Danatirta terdiam sesaat, lalu, “Akhir-akhir ini Buntal, aku melihat sesuatu yang lain padamu. Sesuatu yang perlahan-lahan tumbuh pada sikap dan kebiasaanmu. Mungkin kau sendiri tidak menyadari. Tetapi bagaimanapun juga, pasti ada sebab yang membuat kau menjadi demikian. Mungkin sebab itu seharusnya dapat diabaikan. Namun mungkin pula, bahwa aku, guru dan sekaligus orang tuamu, saudara-saudaramu. dapat membantumu menemukan jalan yang baik, yang dapat membawamu keluar dari suasana yang sekarang. Suasana yang tampaknya tidak begitu cerah seperti di hari-hari yang lewat”

Terasa dada Buntal menjadi berdeburan. Seakan-akan isi dadanya telah bergolak dengan dahsyatnya.

Dan dalam pada itu Kiai Danatirta meneruskan, “Jangan kau simpan persoalan itu di dalam hatimu Buntal. Jika demikian kau akan menjadi tertekan sendiri, sedang saudara-saudaramu dan aku tidak dapat ikut memecahkannya. Karena itu, katakanlah. Kami bukan orang lain lagi bagimu”

Kepala Buntal tertunduk dalam-dalam. Bagaimana mungkin ia akan dapat mengatakan persoalannya itu. Persoalan yang bagi dirinya sendiri masih dianggapnya sebagai suatu persoalan yang gila. Dan nalarnya pun menganggapnya bahwa perasaan yang tumbuh di dalam dirinya itu adalah perasaan yang tidak waras.

“Kau tidak usah merasa segan terhadap kami Buntal” berkata Juwiring kemudian, “anggaplah aku sebagai saudara tuamu dan Arum sebagai adikmu. Kami sudah meningkat dewasa, dan karena itu, kami sudah mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang barangkali dapat membantumu”

Jika sekiranya Buntal masih kanak-kanak, ingin rasanya ia menjerit dan menangis sekeras-kerasnya untuk melepaskan himpitan di dalam hati.

Tetapi dalam keadaannya kini, ia tidak akan dapat melakukannya. Ia adalah seorang laki-laki dewasa yang sudah ditempa di padepokan Jati Aking. Karena itu, ia bukan lagi seorang anak yang cengeng yang menangis meronta-ronta jika hatinya tersentuh sedikit saja.

Namun Buntal menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berdiam diri. Ia harus menjawab pertanyaan gurunya dan saudara-saudara angkatnya. Karena itu, Buntal terpaksa berbohong, “Ayah” suaranya bergetar di bibirnya, “sebenarnya apa yang tersangkut di dalam hati ini tidak pantas aku katakan”

“Tetapi juga tidak sebaiknya kau simpan di dalam hati sedang wajahmu hampir setiap saat tampak muram. Dalam perkembang-an berikutnya, hatimu akan terpengaruh dan kau dapat terperosok ke dalam suatu keadaan yang tidak menguntungkan bagimu sendiri”

Buntal mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ayah, tiba-tiba saja sebuah kenangan tentang keluargaku lelah membayangi aku untuk beberapa hari terakhir. Ada semacam kerinduan yang tidak dapat aku singkirkan, meskipun aku tahu. bahwa aku tidak akan pernah dapat menjumpai mereka lagi.

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Itulah agaknya yang merisaukan hatimu”

Buntal tidak menyahut. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk. Tiba-tiba saja ia merasa suatu beban baru telah tersangkut di hatinya. Ia sudah berbohong. Dan kebohongan itu harus dipertahankan. Bahkan untuk menyembunyikan suatu kebohongan ia kadang-kadang harus mengatakan kebohongan- kebohongan yang lain.

Buntal tiba-tiba merasa denyut jantungnya menjadi semakin cepat. Namun ia tidak akan berani mengatakan perasaannya yang sebenarnya.

“Buntal” berkata gurunya, “Aku dapat mengerti. Memang sebuah kenangan kadang-kadang tiba-tiba saja mempengaruhi perasaan kita. Namun kau harus mampu membuat pertimbangan-pertimbangan dengan nalar, agar hidupmu tidak disaput oleh kenangan dan bayangan-bayangan yang terpisah dari kehidupanmu yang sebenarnya”

Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita sudah lama berkumpul di padepokan ini. Dan kita harus melihat kenyataan ini. Orang tuamu sekarang adalah aku, dan saudara-saudaramu adalah Juwiring dan Arum. Memang kita tidak dapat membendung hadirnya sebuah kenangan pada diri kita, seperti kita membendung air di parit-parit. Namun kita harus mampu menguasai perasaan kita dan membuat pertimbangan-pertimbangan dengan nalar” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Memang ada semacam kerinduan apabila kenangan itu hinggap pada diri kita. Kerinduan pada masa lampau. Tetapi kita harus sadar, bahwa kita tidak akan dapat kembali kepada masa lampau itu”

Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ditatapnya wajah Kiai Danatirta yang bersungguh-sungguh. Dan Buntal pun merasa bersalah pula, bahwa ia telah memaksa orang tua itu menasehatinya sedang persoalan yang sebenarnya adalah persoalan yang lain.

“Nah, cobalah” berkata Kiai Danatirta mudah-mudahan kau berhasil. Mudah-mudahan kau dapat menjadikan masa lampaumu sebagai kenangan yang dapat mendorongmu menjelang masa depan yang cerah”

“Ya ayah” jawab Buntal dengan suara gemetar.

“Pandanglah saudara-saudaramu. Juwiring juga mempunyai kenangan yang dapat membuatnya rindu pada masa lampaunya di istana Ranakusuman. Arum juga mempunyai masa lampaunya sendiri dalam pelukan kasih sayang ibunya. Dan kau pun mempunyai kerinduan pada masa lampau itu. Tetapi masa lampau itu jangan merusak masa kini dan apalagi menyuramkan masa-masa datangmu”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk mengambil arti dari nasehat gurunya, meskipun persoalan yang sebenarnya, berbeda dengan yang sedang dialaminya.

“Nah, kita akan semakin banyak mengisi waktu kita dengan latihan-latihan kanuragan” berkata Kiai Danatirta kemudian, “dengan demikian kalian telah membangun hari depan kalian, di samping ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Kalian tidak boleh melupakan membaca kitab suci yang berisi nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk tentang hidup dan jawaban dari persoalan-persoalan kita”

Ketiga anak-anak muda itu pun mengangguk-angguk. Di padepokan itu mereka memang mendapat ilmu yang hampir menyeluruh. Agama, pengetahuan dan Kanuragan.

“Nah” berkata Ki Danatirta kemudian, “Kalian boleh mendengar serba sedikit, apa yang terjadi di Surakarta. Keadaan agaknya menjadi semakin panas. Orang asing itu menjadi semakin deksura. Kekuasaan Surakarta menjadi semakin terbatas. Dan itulah yang menyebabkan beberapa orang Pangeran tidak mau menerima keadaan ini. Bagaikan api semakin lama menjadi semakin membara, sehingga pada suatu saat, kemungkinan yang paling dekat adalah meledaknya api itu dan membakar seluruh Surakarta. Karena itu, kalian harus mempersiapkan diri. Siapa tahu, bahwa tenaga kalian yang lemah itu diperlukan bersama dengan anak-anak muda yang lain”

Buntal mengangkat wajahnya sejenak, lalu kepala itu tertunduk lagi. Ada semacam perasaan malu yang menyelinap di sudut hati. Selagi orang-orang di Surakarta mempersoalkan negara dan bangsanya, ia dicengkam oleh kegilaannya sendiri.

Demikianlah, maka ketiga anak-anak muda itu di hari-hari berikutnya berlatih semakin mantap. Dengan susah payah Buntal berusaha untuk menghilangkan kesan kemurungan dari wajahnya. Meskipun demikian, di luar sadarnya. kadang-kadang ia memandang Arum dari kejauhan. Baik selagi ia berlatih dalam olah kanuragan, maupun apabila gadis itu mengambil air untuk mencuci mangkuk di dapur.

Buntal menarik nafas dalam-dalam. la tidak dapat menentang gerak alamiah bagi seorang laki-laki. Yang dapat dilakukannya adalah sekedar membatasi diri dengan nalar seperti yang dikatakan oleh gurunya, meskipun dalam persoalan yang berbeda.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa suasana menjadi semakin buruk. Udara Surakarta seakan-akan menjadi semakin panas. Beberapa orang Pangeran tidak dapat menerima keadaan yang sedang dihadapinya, namun beberapa orang yang lain justru memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya bagi keuntungan diri sendiri.

Demikianlah yang terjadi di istana Ranakusuman. Istana itu nampaknya semakin lama menjadi semakin cerah. Barang-barang pecah belah yang selamanya belum pernah dimiliki oleh Pangeran yang manapun juga, telah terdapat di Ranakusuman. Hadiah yang mengalir seperti mengalirnya Kali Bengawan yang diterima oleh Raden Ayu Galihwarit, membuat istana Rana-kusuman menjadi semakin cemerlang.

Namun dalam pada itu, Raden Rudira pun menjadi semakin manja. Kekayaan yang ada pada keluarganya membuatnya menjadi semakin sombong dan bahkan ia merasa menjadi seorang putera Pangeran yang paling kaya di seluruh Surakarta, tanpa mengerti dari mana kekayaan itu didapatnya.

Ia hanya pernah mendengar ibunya berkata kepada ayahandanya, “Sikap kakanda yang bersahabat terhadap orang asing itu ternyata menguntungkan sekali. Aku sering menerima hadiah yang tidak aku mengerti darimana dan dari siapa, meskipun aku tahu, pasti dari salah seorang sahabat kakanda itu”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam, ia memang telah terjerumus ke dalam sikap yang menguntungkan orang-orang asing itu. Bukan saja karena Pangeran Ranakusuma tidak mempunyai keyakinan yang teguh atas kemampuan Surakarta untuk tegak sebagai suatu negara yang berkuasa, namun rumahnya seakan-akan sudah menjadi ajang pertemuan bagi orang-orang asing itu. Isterinya yang ramah dan mempunyai kelincahan bergaul membual istana Ranakusuman menjadi sering dikunjungi oleh orang-orang asing.

Karena itu. Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak mengerti kenapa isterinya kadang-kadang mengingkarinya. Isterinya mengatakan kepadanya, bahwa kadang-kadang ia tidak mengerti dari siapa hadiah-hadiah itu datang, meskipun isterinyalah yang lebih banyak berhubungan dengan orang-orang asing itu.

Dan bagi Raden Ayu Galihwarit, hubungannya dengan orang-orang asing itu banyak memberikan pengalaman baru. Pengalaman rohaniah dan jasmaniah, sehingga ia mengenal adat dari orang-orang asing itu di dalam tata pergaulannya serba sedikit. Hubungan tata pergaulan yang belum pernah dialami sebelumnya.

Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak menghiraukan, apabila di dalam pertemuan-pertemuan resmi para Pangeran, beberapa orang isteri Pangeran duduk mempercakapkannya. Sambil berbisik-bisik mereka memandanginya dengan sudut mata.

“Mereka adalah orang-orang yang dengki dan iri hati” berkata Raden Ayu Galihwarit di dalam hatinya.

Namun di saat-saat terakhir. Raden Ayu Galihwarit merasa terganggu oleh sikap Dipanala. Sepeninggal Sura, rasa-rasanya Dipanala justru dengan sengaja berbuat banyak hal yang membuatnya berdebat. Setiap kali ia menjadi curiga apabila Dipanala menghadap Pangeran Ranakusuma untuk kepentingan apapun, sehingga setiap kali ia selalu berusaha mengetahui atau mendengar percakapan mereka.

Tetapi demikian juga agaknya Pangeran Ranakusuma. Ia tidak pernah membiarkan Dipanala menghadap isterinya untuk kepentingan apapun, sehingga setiap abdi terdekatnya dan pelayan dalam, dipesannya agar mendengar apa saja yang dikatakan oleh Dipanala kepada siapapun juga.

Ternyata betapa kebencian memuncak di hati Pangeran Ranakusuma serta Raden Ayu Galihwarit, namun mereka tidak dapat berbuat banyak atas orang itu. Mereka tidak dapat mengusir dan apalagi menghukumnya.

Hal itu sama sekali tidak dapat dimengerti oleh Raden Rudira. Baginya Dipanala bagaikan duri di dalam daging. Setiap kali orang itu menghalang-halangi niatnya, ayahanda dan ibundanya tidak dapat mencegahnya. Jika dahulu sebelum Sura meninggal-kan istana, Dipanala jarang atau hampir tidak pernah mencampuri persoalan ayahanda dan ibunda, namun kini, Dipanala justru menjadi lebih sering menghadap.

“Aku harus mengetahui, kenapa setan itu tidak disingkirkan atau dibunuh saja oleh ayahanda Ranakusuma. Kenapa ia masih-bebas berkeliaran dan bahkan kadang-kadang dipanggil menghadap oleh ayahanda dan ibunda?” bertanya Raden Rudira di dalam hatinya.

Sebenarnyalah bahwa Dipanala memang sering dipanggil baik oleh Pangeran Ranakusuma, maupun oleh Raden Ayu Galihwarit. Namun sebenarnya Dipanala sama sekali tidak sedang diajak berunding. Bahkan Pangeran Ranakusuma selalu mengancamnya dan menakut-nakutinya.

Ki Dipanala sendiri memang tidak pernah berniat jahat. Ia menyadari keadaannya dan sama sekali tidak timbul niatnya untuk mencelakakan orang lain. Tetapi kadang-kadang ia berani juga mencegah niat yang bertentangan dengan nuraninya.

“Kau terlalu banyak mencampuri persoalanku Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma kepada Ki Dipanala pada suatu saat.

“Apa yang sudah hamba lakukan Pangeran? Hamba tidak pernah berbuat apa-apa”

“Kau sudah membuat anakku membencimu. Dan kadang-kadang kau berani berterus terang memperingatkan tingkah lakuku di hadapan anak itu. Kau tidak usah mengurusi hubunganku dengan asing, atau hubungan Rudira dengan Juwiring dan petani dari Sukawati itu. Kau harus merasa berterima kasih bahwa kau dapat hidup layak di belakang istana ini. Aku masih tetap memberikan penghasilanmu, meskipun kau sama sekali tidak bermanfaat bagiku”

“Justru karena hamba masih selalu menerima pemberian tuanku itulah, hamba kadang-kadang ingin juga memberikan sedikit bahan pertimbangan. Juga atas hubungan tuan dengan orang asing itu dan niat Raden Rudira yang tidak ada bedanya untuk mencelakakan kakandanya. Hamba tahu, bahwa Raden Rudira menaruh perasaan cemburu, karena di padepokan itu ada seorang gadis cantik yang bernama Arum. Tetapi sebenarnyalah bahwa tidak ada hubungan apapun antara Raden Juwiring dengan Arum”

Kedua orang yang sedang berbicara itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara Raden Ayu Galihwarit, “Dipanala. Aku akan memberimu tambahan penghasilan jika kau berjanji tidak akan mengganggu gugat masalah-masalah kami. Masalah kakanda Pangeran dalam hubungannya dengan orang asing itu, dan masalah anakku. Bahkan sebaiknya kau membujuk Kiai Danatirta, agar ia mau menyerahkan anaknya kemari. Aku memang memerlukannya. Sedang hubungan kakanda Pangeran dengan orang asing itu mendatangkan banyak keuntungan bagi kami, bagi rumah tangga kami. Istana kami adalah istana yang paling cerah dari semua istana Kapangeranan di Surakarta. Sahabat-sahabat kakanda Pangeran telah mengirimkan hadiah yang tidak ternilai dan yang sebelumnya belum pernah kita lihat dan apalagi kita miliki”

Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Raden Ayu Galihwarit sejenak. Sekilas Dipanala melihat kecantikan yang memancar di wajah itu. Meskipun Raden Ayu Galihwarit sudah memiliki dua orang anak yang menjelang dewasa, namun ia sendiri masih tampak segar dan cantik.

Tetapi kecantikan lahiriah itu sama sekali tidak bersumber pada kecantikan rohaniah.

Kulitnya yang kuning bersih tidak mencerminkan hatinya yang sebenarnya buram, yang dikuasai oleh nafsu ketamakan yang tiada taranya. Ketamakan akan harta dan kekayaan, sehingga apapun yang ada padanya telah dikorbankannya untuk mendapatkan kekayaan dan harta benda yang diinginkan.

“Pangeran” berkata Ki Dipanala kemudian, “hamba senang sekali apabila hamba mendapatkan tambahan penghasilan yang dapat memperbaiki kehidupan hamba sekeluarga. Tetapi hamba pun cemas melihat mendung yang mengambang diatas Surakarta sekarang ini. Orang asing itu tidak disukai oleh beberapa orang Pangeran”

“Bodoh sekali. Itu adalah suatu kebodohan” Raden Ayu Galihwarit lah yang menjawab, “Apakah keberatan mereka atas kehadiran orang-orang asing itu? Hanya karena mereka tidak berhasil bersahabat dengan mereka dan tidak pernah mendapatkan pemberian apapun juga, mereka menganggap bahwa orang-orang asing itu tidak disenangi di Surakarta”

Ki Dipanala tidak segera menjawab. Sudut pandangan Raden Ayu Galihwarit berbeda dari sudut pandangan dan sikap pemerintahan di Surakarta. Namun agaknya Raden Ayu Galihwarit itu sama sekali tidak mau tahu, apakah sebenarnya yang telah terjadi di Surakarta ini.

“Sudahlah Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian, “Seperti yang aku katakan, kau jangan terlampau banyak mencampuri persoalan kami. Aku tidak senang. Kau mengerti?”

“Hamba Pangeran. Hamba tidak akan banyak mencampuri persoalan yang ada di istana ini. Namun perkenankanlah hamba memperingatkan, bahwa sikap Pangeran Mangkubumi terhadap orang-orang asing itu menjadi semakin tegas”

“Aku sudah mengerti…!!!” Pangeran Ranakusuma membentak. Namun suaranya kemudian menurun, “Tetapi ia tidak akan berbuat apa-apa”

“Mudah-mudahan” sahut Dipanala.

“Seandainya ia akan berbuat sesuatu, apakah yang dapat dilakukan? Meskipun ia seorang Pangeran yang pilih tanding, tetapi ia akan berdiri seorang diri. Dan ia tidak akan berani menentang kekuasaan Susuhunan Paku Buwana, sehingga apabila Susuhunan Paku Buwana sudah menentukan, maka semua Pangeran akan tunduk?”

“Tetapi bagaimana dengan beberapa orang Pangeran yang telah meninggalkan kota dan melakukan perlawanan?”

“O, apakah yang dapat mereka lakukan? Mereka hanya berlari-lari dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, dan sama sekali jauh dari kota Surakarta. Sebentar lagi mereka akan digiring dan dipaksa untuk menyerah”

“Tetapi jika kemudian di antara mereka terdapat Pangeran Mangkubumi?”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab Raden Ayu Galihwarit telah menyahut, “Apa bedanya Pangeran Mangkubumi dengan yang lain-lain itu?”

Ki Dipanala memandang Raden Ayu Galihwarit sejenak, lalu berpindah kepada Pangeran Ranakusuma, “Apakah benar Pangeran dan Raden Ayu tidak tahu kelebihan Pangeran Mangkubumi”

“Cukup, cukup” bentak Pangeran Ranakusuma, “kenapa kau mengajukan pertanyaan yang gila itu?”

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Baginya hal itu merupakan pengakuan, betapa Pangeran Ranakusuma segan kepada saudara mudanya itu. Namun ternyata bahwa Raden Ayu Galihwarit lah yang menjawab, “Aku tahu, kelebihan Pangeran Mangkubumi adalah pada ilmu kanuragan. Meskipun ia kebal atas segala macam senjata tajam, namun ia tidak akan dapat melawan senjata orang kulit putih itu. Sebutir peluru akan menembus jantungnya, dan ia akan mati seperti kebanyakan orang mati. Dan ia tidak akan dapat hidup kembali”

Tiba-tiba saja kepala Pangeran Ranakusuma tertunduk dalam-dalam. Ada sesuatu yang bergolak di dadanya. Bagaimanapun juga, ia tidak dapat ingkar bahwa kulitnya tidak seputih kulit orang asing itu. Meskipun seandainya ia tidak memperhitungkan warna kulit, namun ia tahu benar niat kedatangan orang-orang asing itu di Surakarta. Seperti Pangeran Mangkubumi maka ia pun merasa cemas melihat perkembangan Surakarta. Tetapi kadang-kadang semuanya itu lenyap jika ia melihat kepada dirinya sendiri. Apakah arti pengabdiannya kepada Surakarta, jika kedatangan orang asing itu menguntungkan dirinya. Pribadinya.

“Apakah yang dapat aku petik dari kekuasaan Surakarta ini sekarang secara langsung?” pertanyaan itu kadang-kadang melonjak di hatinya, “sedangkan orang-orang asing ini banyak memberikan sesuatu yang memang aku perlukan, dan yang diperlukan oleh isteriku”

Tetapi jika kemudian terbayang pergaulan yang terlalu rapat antara orang-orang asing itu dengan isterinya. maka hatinya menjadi berdebar-debar pula.

Namun untuk mengusir perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya, tiba-tiba Pangeran Ranakusuma berteriak, “Pergi, pergi kau Dipanala. Awas jika kau masih mengganggu kami. Aku dapat berbuat baik, tetapi aku juga dapat berbuat kasar”

“Ampun tuan” berkata Ki Dipanala kemudian. Tetapi ia masih juga berkata, “Sebelum hamba mohon diri, hamba mohon agar tuanku bertanya kepada puteranda Raden Rudira. apakah yang diketahuinya tentang Sukawati”

“Diam, diam” Pangeran Ranakusuma berteriak, “Aku tidak mau mendengar lagi tentang adinda Pangeran Mangkubumi”

“Tidak Pangeran, bukan tentang Pangeran Mangkubumi itu sendiri, tetapi tentang orang-orang di daerah Sukawati dan sekitarnya. Daerah kalenggahan Pangeran Mangkubumi”

“Aku tidak mau mendengar. Pergi”

Ki Dipanala pun mengangguk dalam-dalam. Kemudian ia berdesis, “Ampun tuan. Sekarang perkenankanlah hamba mengundurkan diri”

Pangeran Ranakusuma tidak menjawab, sedang Raden Ayu Galihwarit berdiri dengan gelisah. Orang itu memang berbahaya baginya. Dan tiba-tiba saja ia mengumpat di dalam hati, “Kenapa orang itu tidak disambar petir saja kepalanya?”

Dari lubang pintu yang terbuka Raden Ayu Galihwarit melihat Ki Dipanala keluar dari serambi belakang. Langkahnya lurus menuju ke pintu butulan di dinding belakang. Orang itu sama sekali tidak berpaling.

Namun terasa sesuatu berdesir di hati Raden Ayu Galihwarit ketika ia melihat seorang raksasa berdiri bertolak pinggang memandangi langkah Ki Dipanala. Tetapi raksasa itu sama sekali tidak berbuat apa-apa.

“Mandra” desis Raden Ayu Galihwarit di dalam hatinya, “sepeninggal Sura, orang itulah yang dipercaya oleh Rudira”

Sejenak Raden Ayu Galihwarit berdiri membeku. Terbersit di dalam hatinya, “Jika Dipanala tidak juga disambar petir, kenapa tidak ada orang yang membinasakannya saja? Dengan demikian semua persoalan yang diketahuinya tentang diriku akan ikut terkubur bersamanya”

Raden Ayu Galihwarit itu menggigit bibirnya. Namun pikiran itu tiba-tiba saja melekat di hatinya. Dan ia mempunyai kekuatan untuk melakukannya. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang gagah dan berani bersama beberapa orang pengiringnya.

Namun untuk beberapa lamanya, ia masih harus menyimpan pikiran itu sebaik-baiknya sebelum dipertimbangkannya masak-masak.

Tetapi dari hari ke hari Dipanala benar-benar merupakan duri di pusat jantungnya. Setiap detak dan setiap tarikan nafas terasa jantungnya menjadi pedih. Kenangan mengenai peristiwa itu benar-benar telah menghantuinya.

“Jika Dipanala menjadi gila, maka aku pun akan dibuatnya gila pula. Lenyaplah semua rencana dan harapan yang telah tersusun ini” namun kemudian, “Tetapi jika ia ingin mencelaka-kan aku, kenapa tidak sekarang, atau saat aku mengusir Juwiring atau karena perbuatan-perbuatanku yang lain?”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Memang terasa olehnya bahwa sampai saat ini Ki Dipanala tidak berniat berbuat jahat kepadanya. Namun dalam keadaan yang terpaksa maka orang itu dapat menjadi orang yang paling berbahaya baginya.

“Rudira akan dapat menyelesaikannya” berkata Raden Ayu Galihwarit di dalam hati, “bersama Mandra, Dipanala bukan lawan yang berat baginya meskipun Ki Dipanala pernah menjadi seorang prajurit. Tetapi akan lebih baik apabila Mandra dan Rudira sendiri tidak ikut menangani, agar tidak menambah beban lagi bagiku jika usaha ini gagal. Mereka dapat mencari seseorang yang dapat dipercaya. Atau katakanlah sekelompok kecil orang-orang yang diperhitungkan dapat melakukan tugas itu”

Demikianlah ternyata bahwa di dalam tubuh Raden Ayu Galihwarit yang cantik itu tersimpan hati yang keras dan hitam. Dan agaknya, pikiran itu tetap dipertimbangkannya. Semakin hari justru terasa semakin mendesak. Apalagi setiap kali ia masih melihat Ki Dipanala berada di halaman istana Ranakusuman seolah-olah tidak terjadi sesuatu apapun atasnya.

“Orang itu memang berhati batu” berkata Raden Ayu Galihwarit di dalam hatinya” Ia sama sekali tidak merasa bahwa ia tidak diperlukan lagi di sini. Agaknya Sura yang kasar itu masih juga memiliki perasaan, sehingga karena itu ia minta diri untuk meninggalkan istana ini. Tetapi Ki Dipanala tidak. Ia masih tetap saja berkeliaran setiap hari”

Namun hal itu agaknya telah mematangkan rencananya untuk melenyapkan saja Ki Dipanala itu.

Untuk melakukan hal itu Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak berbicara lebih dahulu dengan suaminya. Ia tidak ingin Pangeran Ranakusuma bertanya kepadanya, dan mendesaknya, kenapa hal itu dilakukannya. Karena itu, maka satu-satunya orang yang dibawanya berbicara adalah anak laki-lakinya, Raden Rudira.

Tetapi ternyata bahwa Raden Rudira pun bertanya kepada ibunya, “Kenapa orang itu harus dilenyapkan ibu?”

“Ia sangat berbahaya bagi kita Rudira”

“Ya, tetapi kenapa? Aku sudah lama merasakan bisa ludahnya. Seakan-akan ayahan-da tidak dapat ingkar akan kata-katanya”

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku tidak tahu Rudira. Mungkin ada rahasia yang tersimpan antara ayahandamu dan Ki Dipanala. Tetapi yang pasti, kehadirannya sangat merugikan aku dan terutama kau. Jika orang itu dilenyapkan, maka banyak hal yang dapat kau kerjakan tanpa gangguan. Sebab sebenarnyalah jika ayahanda berkeberatan tentang apa pun juga, asalnya dari mulut Dipanala itu pula”

Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Aku dapat membunuhnya bersama Mandra”

Raden Ayu Galihwarit memandanginya sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Mungkin kau dan Mandra dapat melaku-kannya Rudira. Tetapi sebaiknya bukan kau tangani sendiri. Semula aku juga ragu-ragu. Apakah kau sendiri bersama Mandra atau orang lain. Tetapi jika gagal karena sesuatu sebab, maka kau tidak akan dapat ingkar lagi bahwa kau sudah berusaha membunuhnya”

“Tetapi jika orang lain ibunda” jawab Rudira, “persoalannya hampir sama saja. Jika ia tertangkap, maka ia akan berceritera tentang kita, bahwa kitalah yang telah menyuruhnya membunuh Ki Dipanala”

“Amat-amati dari kejauhan. Jika ia gagal, kau dapat menyelesaikannya. Bukankah kau pandai berburu”

“Maksud ibu, aku harus membunuh Dipanala dengan panah?”

“Jika mungkin. Jika tidak, maka orang-orang yang harus membunuh Dipanala itulah yang harus kau bunuh?”

Raden Rudira mengangguk-angguk. la sadar, bahwa dengan demikian mereka akan menghilangkan jejak. Karena itu, sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku mengerti ibu, tetapi apakah ayahanda sudah mengetahui rencana ini?”

“Aku tidak usah mohon kepada ayahandamu. Sebenarnya ayahandamu juga berniat demikian. Tetapi karena ada semacam hubungan yang sudah terlampau lama terjalin, maka ayahanda-mu tidak akan sampai hati melakukannya. Namun jika Dipanala itu masih saja berada di istana ini, ia akan menjadi iblis yang paling jahat”

Raden Rudira masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jadi, aku harus mencari orang yang mampu melakukannya dan dapat dipercaya”

“Ya”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia berkata, “Aku akan berbicara dengan Mandra. Mungkin ia dapat menemukan orangnya. Tentu tidak hanya seorang Ki Dipanala adalah bekas seorang prajurit. Tentu ia memiliki kemampuan untuk berkelahi. Mungkin Mandra harus menyiapkan tiga atau empat orang yang yakin akan dapat membunuh Dipanala itu”

Raden Ayu Galihwarit mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita sudah mulai. Kita tidak boleh berhenti sampai di tengah. Jika Dipanala sudah tersingkir, akan datang giliran Juwiring sehingga ia tidak akan dapat lagi menuntut hak atas warisan ayahandamu. Tetapi selama Dipanala masih ada, semuanya itu pasti akan dihalanginya”

Rudira mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah ibu, serahkan semuanya kepadaku. Aku dan Mandra akan menyelesaikan sebaik-baiknya, meskipun barangkali aku memerlukan uang yang cukup untuk mengupah orang-orang yang akan melakukan pembunuhan itu”

“Jangan cemas” sahut ibunya, “Aku akan menyediakan uang berapa saja yang kau perlukan”

Rudira termenung sejenak. Kemudian ia pun minta diri kepada ibunya untuk menemui Mandra.

“Kau harus secepatnya mengatakan kepadaku jika kau sudah mendapatkan orang itu” pesan ibunya.

“Baik ibu. Aku akan segera memberitahukan”

Demikianlah Rudira pergi menemui Mandra tanpa orang lain yang mendengar percakapan mereka. Meskipun sebenarnya bagi Rudira, Mandra yang sekarang ini masih belum sebaik Sura sebelum ia berkhianat, namun agaknya orang ini pun cukup memadai juga.

“Kenapa bukan aku sendiri?” bertanya Mandra.

“Kau sudah cukup dikenal, bahwa kau adalah pengiringku. Aku juga sudah minta kepada ibunda, karena bukan aku dan kau. Tetapi ibunda ragu-ragu. Dan ibunda memutuskan untuk mengambil orang lain, tetapi di bawah pengawasan kita” lalu diceriterakannya apa yang harus dilakukan seandainya usaha itu mengalami kegagalan.

“Tidak mungkin gagal” berkata Mandra, “meskipun Dipanala seorang bekas prajurit tetapi ia menjadi semakin tua. Kemampuannya tidak lagi berkembang, justru menurun karena ia tidak berusaha mematangkan pelepasan tenaga cadangan”

“Tetapi bagaimanapun juga ia cukup berbahaya”

“Baiklah. Aku akan mencari tiga atau empat orang yang sama sekali belum dikenal”

“Ya. Kita akan mengatur segala sesuatunya. Ayahanda atau ibunda akan menyuruh Ki Dipanala pergi ke Jati Aking untuk menyampaikan sesuatu kepada kangmas Juwiring. Pada saat itulah, Ki Dipanala harus dibinasakan”

Mandra mengangguk-angguk.

“Kau harus menyiapkan orang itu di bulak Jati Sari. Lebih baik jika kau beri pakaian kepada mereka seperti petani dari Sukawati itu. Jika mungkin seseorang melihat meskipun dari kejauhan, maka ia akan dapat mengatakannya”

“Lebih baik kita lakukan di malam hari”

“Tentu, Tetapi ada kalanya di malam hari orang pergi ke sawah melihat air”

Mandra mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baik, baik. Aku akan melakukan dengan cermat. Tetapi tentu dengan kerja sama yang baik dengan ibunda Raden Rudira supaya waktu yang ditentukan itu tidak meleset”

“Tentu. Pada saatnya kita akan menyusun rencana sebaik-baiknya”

Dengan demikian, maka diluar pengetahuan Pangeran Ranakusuma, Raden Ayu Galihwarit dan anak laki-lakinya sedang menyusun rencana untuk membunuh Dipanala, orang yang dianggap paling berbahaya baginya.

Akhirnya Mandra dan Rudira menemukan juga orang yang dapat dipercayanya untuk melakukan tugas itu. Mereka adalah kawan-kawan Mandra yang hidup dalam dunia yang gelap, sebagai orang yang mendapatkan nafkahnya dengan cara yang dikutuk oleh sesama.

“Tetapi kau harus berhasil” berkata Mandra kepada mereka.

Salah seorang dari mereka tertawa. Katanya, “Pekerjaan itu sama sekali bukan pekerjaan yang sulit bagi kami. Membunuh Dipanala apakah sukarnya?”

“Jangan berkata begitu” sahut Mandra, “kadang-kadang ada masalah lain yang berada di luar perhitungan”

“Jangan cemas. Pokoknya kami akan membunuhnya, dan kami harus mendapat upah seperti yang kami minta”

“Aku sudah menyanggupi. Tetapi jika gagal, kalian harus melarikan diri. Jangan sampai ada di antara kalian yang tertangkap hidup dan mengatakan, bahwa akulah yang menyuruh kalian melakukan pembunuhan itu”

“Kami bukan anak-anak lagi. Kenapa kalian harus mengatakan pesan itu?”

“Jangan sombong. Kelemahanmu justru karena kau terlampau sombong. Aku tahu, bahwa kau memiliki kemampuan. Tetapi yang kau hadapi jangan kau anggap ringan, agar kau tidak terjerumus dalam kegagalan”

“Kau terlalu banyak bicara. Nah, beritahukan waktunya, kapan kami harus mencegatnya di bulak Jati Sari”

“Kami akan mengatur sebaik-baiknya”

Demikianlah, maka semuanya segera diatur serapi-rapinya. Raden Ayu Galihwarit berusaha untuk mengetahui dengan pasti, kapan Ki Dipanala akan pergi ke Jati Aking.

“Sudah lama kita tidak mengirimkan perbekalan bagi Juwiring” berkata Raden Ayu Galihwarit.

Pangeran Ranakusuma menjadi heran. Biasanya Galihwarit tidak pernah mempersoalkan perbekalan bagi Juwiring yang tinggal di Jati Aking. Tetapi tiba-tiba kali ini ia mempersoalkannya.

“Siapakah yang akan pergi mengirimkan perbekalan?” bertanya Pangeran Ranakusuma yang mulai curiga, bahwa kesempatan ini akan dipergunakan oleh Raden Rudira, karena menurut keterangan yang didengarnya Rudira telah tertarik pada gadis padepokan Jati Aking yang bernama Arum, yang membuat Rudira dan Juwiring, dua orang saudara seayah, menjadi semakin renggang.

Tetapi jawaban Raden Ayu Galihwarit ternyata tidak diduganya sama sekali, “Bukankah biasanya Ki Dipanala juga yang membawanya ke Jati Aking?”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia terlampau berprasangka terhadap isteri dan anaknya. Isteri yang justru paling berpengaruh atasnya.

“Baiklah” berkata Pangeran Ranakusuma, “biarlah dipersiapkan perbekalan bagi Juwiring. Biarlah Ki Dipanala membawanya ke Jati Aking”

“Semuanya sudah siap. Tentu kita tidak usah mengirimkan beras, karena Jati Sari adalah lumbung beras yang subur”

“Apakah aku pernah mengirimkan beras ke Jati Aking?” bertanya Pangeran Ranakusuma.

“Tidak. Memang tidak. Maksudku, biarlah Ki Dipanala membawa beberapa lembar kain dan uang. Ki Danatirta tentu memerlukan uang untuk membeayai padepokannya. Mungkin beberapa lembar juga untuk gadis itu”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya isterinya menyebut gadis itu juga. Namun dengan demikian Raden Ayu Galihwarit telah menghilangkan kecurigaan Pangeran Ranakusuma, tentang hal yang lain-lain. Menurut dugaannya, Raden Ayu Galihwarit sedang mengambil hati gadis itu. yang dengan perlahan-lahan akan dipancing ke rumah ini. Tentu saja bagi Raden Rudira.

Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak berkeberatan dengan cara itu. Asal Rudira tidak melakukan kekerasan dan merampas gadis itu dari padepokan Kiai Danatirta. Jika dengan cara itu, Arum berhasil diambil masuk ke istana Ranakusuman dan tidak menumbuhkan persoalan apapun dengan Kiai Danatirta, maka Pangeran Ranakusuma tidak akan mencegahnya.

“Mungkin Danatirta memang perlu disumbat mulutnya dengan uang atau Barang-barang lainnya, sehingga ia tidak berkeberatan melepaskan anaknya. Sedang gadis itu sendiri tidak akan banyak menimbulkan persoalan apabila ayahnya sudah menyerahkannya” berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hatinya. Karena bagi beberapa orang bangsawan hal serupa itu bukannya hal yang baru pertama kali akan terjadi. “Bahkan kadang-kadang jika seorang gadis sudah mengandung, maka diserahkannya gadis itu kepada abdinya sebagai triman untuk mendapat pengesahan perkawinan.

Ternyata Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak menduga, bahwa saat yang ditentukan untuk mengutus Ki Dipanala ke Jati Aking itu menjadi perhatian Raden Rudira dan Mandra. Merekapun segera menyiapkan segala sesuatunya. Orang-orang yang ditugaskannya untuk membunuh Dipanala itu pun sudah diberitahukannya.

“Jika kalian berempat gagal, maka hancurlah semua rencana. Kalian pun akan digantung karena kalian berusaha membunuh seseorang jika kalian tertangkap”

Salah seorang dari orang-orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau memang banyak bicara Mandra”

“Kaulah yang terlampau sombong” jawab Mandra, “Kau tahu bahwa aku dapat membunuh orang seperti kau dengan mudah. Tetapi aku tidak menganggap pekerjaan ini terlampau ringan”

Orang itu masih tertawa. Namun katanya, “Baiklah. Aku akan bertindak hati-hati sekali”

“Jangan lupa, pakai pakaian seperti yang aku katakan”

“Agar ujud kami tidak seperti perampok. Tetapi seperti petani biasa, begitu maksudmu?”

“Sebagian begitu”

“Tetapi bagimu sebenarnya lebih aman jika kami berpakaian seperti yang kami pakai. Justru kami akan mempertegas bentuk kami sebagai perampok. Orang-orang akan mengatakan, jika ada. yang melihat, bahwa Ki Dipanala telah dirampok orang. Dan habis perkara”

Mandra mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ada niat lain pada Raden Rudira. Ia ingin memberikan kesan, bahwa petani perantau yang mengaku dari Sukawati itu dan kawan-kawannya ternyata telah merampok Dipanala pula di bulak Jati Sari.

Demikianlah semuanya sudah ditentukan. Tetapi ternyata sangat sulitlah bagi Raden Ayu Galihwarit untuk memaksakan keinginannya agar Ki Dipanala dapat pergi ke Jati Aking di malam hari. Yang dapat diusahakan hanyalah memperlambat persiapan agar Dipanala berangkat di sore hari.

“Tunggulah sebentar” berkata Raden Ayu Galihwarit ketika Dipanala mohon diri kepada Pangeran Ranakusuma untuk berangkat ke Jati Aking, “Aku masih mempunyai selembar kain lurik yang halus untuk anak Danatirta itu”

“Pemberian Pangeran Ranakusuma sudah terlampau banyak kali ini Raden Ayu” berkata Ki Dipanala.

“Aku sudah menyediakannya, dan aku ingin memberikan kepadanya”

Ki Dipanala tidak dapat menolak lagi. Ia pun terpaksa menunggu beberapa saat ketika Raden Ayu Galihwarit masih berpura-pura mencarinya.

“Aku sudah menyediakannya. Aku simpan kain itu baik-baik. Tetapi karena itu aku justru lupa, dimana aku menyimpannya”

Ki Dipanala hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sedang Pangeran Ranakusuma pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu, bahwa isterinya akan menjadi sangat kecewa jika kain yang sudah lama disediakan itu tidak dapat dibawa serta.

Meskipun demikian ketika Raden Ayu Galihwarit terlalu lama belum juga dapat menemukannya, Pangeran Ranakusuma berkata, “Biarlah lain kali Dipanala membawanya. Ia masih akan pergi lagi ke Jati Aking”

“Tidak. Tidak untuk lain kali. Tetapi aku ingin kain itu segera sampai ke tangan gadis itu”

Ketika kain yang dicari itu ketemu, maka matahari sudah mulai condong ke Barat. Sejenak Raden Ayu Galihwarit memberikan beberapa pesan agar disampaikan kepada Kiai Danatirta.

“Katakan kepadanya” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Aku sama sekali tidak mempunyai maksud apa-apa. Persoalannya lepas sama sekali dengan persoalan yang pernah timbul karena tingkah Rudira. Aku benar-benar ingin memberikan sesuatu tanpa pamrih apapun juga”

“Baik Raden Ayu. Biarlah hamba sampaikan kepada Kiai Danatirta dan kepada anak gadis itu sendiri”

“Dan pesanku kepada Juwiring” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Ia berada di padepokan Jati Aking untuk mempelajari ilmu kajiwan dan kesusasteraan. Jangan terlampau banyak membuang waktunya untuk belajar bertani. Itu tidak penting baginya kelak. Jika ternyata kita melihat hasil yang baik, maka pada saatnya Juwiring kembali ke istana ini, Rudira lah yang akan mempelajari ilmu yang serupa”

Ki Dipanala dan Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Sejenak mereka saling berpandangan, seakan-akan mereka mendapat kesan yang sama, bahwa sebenarnya Raden Ayu Galihwarit memang ingin memisahkan Juwiring dari Arum dan memberikan kesempatan kepada Raden Rudira, meskipun cara yang dipakainya adalah cara yang tampaknya wajar sekali, bahkan terlalu baik terhadap anak tirinya.

Demikianlah mereka berbicara beberapa saat lamanya. Kemudian Ki Dipanala pun minta diri kepada kedua suami isteri itu.

“Hamba akan sampai di Jati Aking senja hari Pangeran” berkata Dipanala.

“Kau akan bermalam?”

“Ya. Hamba memang sering bermalam di padepokan itu”
“Baiklah”

“Tetapi, masih ada satu yang terlupa” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Aku masih mempunyai sesuatu buat anak-anakmu”

“O, terima kasih. Hamba akan langsung berangkat ke Jati Aking. Besok jika hamba kembali, hamba akan menghadap lagi”

“Ah, kau. Jangan terlalu malas. Bukankah kau dapat melintas halaman belakang dan lewat pintu butulan sejenak menyerahkannya kepada anak-anakmu”

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun mengangguk sambil menjawab, “Hamba mengucapkan beribu terima kasih”

Maka dengan demikian sebelum berangkat Ki Dipanala masih harus pulang sejenak, untuk menyerahkan sebuah bungkusan kecil kepada anak-anaknya.

“O, jadi ayah belum berangkat?” bertanya anaknya yang kebetulan ada di halaman.

“Segera akan berangkat. Simpanlah”

“Apakah ini ayah?”

“Nanti kau akan tahu. Ayah akan segera berangkat”

“Apakah aku boleh membukanya”

“Bukalah di dalam rumah. Ayah tergesa-gesa sekali”

“Dimanakah ayah membeli ini?”

“Bukan ayah yang membeli. Tetapi itu adalah hadiah dari Raden Ayu Galihwarit”

“O, hadiah dari Raden Ayu Galihwarit” anaknya pun kemudian berlari menghambur masuk ke dalam rumah untuk segera mengetahui isi bingkisan kecil itu.

Ki Dipanala pun kemudian dengan tergesa-gesa kembali ke istana Ranakusuman untuk sekali lagi mohon diri dan memberitahukan bahwa hadiah itu sudah diserahkannya kepada anak-anaknya.

Ketika kudanya mulai berlari di luar regol istana Ranakusuman Ki Dipanala menengadahkan wajahnya ke langit. Matahari sudah semakin condong. Karena itu maka katanya di dalam hati, “Aku akan sampai ke Jati Aking sesudah padepokan itu menjadi gelap. Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengejutkan kakang Danatirta”

Sekali Ki Dipanala berpaling. Diamatinya sebungkus kain di bagian belakang kudanya. Kemudian dirabanya sebuah kampil kulit yang diikatkan di lambung kuda itu pula. Di dalam kampil itu disimpannya uang yang harus diserahkannya kepada Kiai Danatirta.

“Banyak sekali yang harus aku bawa kali ini” berkata Ki Dipanala di dalam hati. Sebenarnya ia merasa heran, kenapa tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit menjadi begitu baik terhadapnya. Masih terasa tali-tali yang mengikatnya pada sebatang pohon sawo ketika Raden Rudira menjadi sangat marah kepadanya. Hampir saja ia menjadi pengewan-ewan. Dan sekarang, tiba-tiba anak-anaknya pun telah menerima hadiah dari Raden Ayu yang garang itu.

Tetapi Ki Dipanala sama sekali tidak mengerti bahwa jumlah Barang-barang dan uang yang dibawanya adalah jumlah yang dijanjikan oleh Raden Rudira kepada keempat kawan-kawan Mandra. Jika mereka dapat membunuh Dipanala maka apa yang dibawanya dapat diambilnya. Uang dan barang-barang yang sebelumnya sudah disetujui jumlahnya.

Bagi Ki Dipanala, Raden Ayu Sontrang itu sedang berusaha untuk membujuk secara halus, agar Arum akhirnya dapat juga diambil ke istana bagi Raden Rudira. Tidak lebih dari dugaan itu. Meskipun dugaan itu sudah cukup membuatnya berkeluh kesah.

“Apakah yang dapat aku katakan kepada kakang Danatirta jika ia pun menaruh curiga pula?” Ki Dipanala bertanya kepada diri sendiri.

Tetapi Ki Dipanala pun kemudian menggelengkan kepalanya. Dipacunya kudanya semakin cepat. Seleret teringat pula olehnya bulak Jati Sari yang panjang itu.

“Jika ada seseorang yang mengetahui aku membawa barang-barang dan uang, ada juga bahayanya bulak panjang di Jati Sari itu” katanya di dalam hati. Tetapi bagi Ki Dipanala, hal itu tidak begitu dihiraukannya meskipun sekali-sekali ia menyentuh hulu keris yang diselipkan di lambungnya.

Demikianlah kuda itu berpacu semakin lama seakan-akan menjadi semakin cepat. Apalagi ketika Ki Dipanala sudah meninggalkan pintu gerbang kota. Kudanya berlari seperti anak panah yang lepas dari busurnya.

Di perjalanan Ki Dipanala seakan-akan tidak berhenti sama sekali untuk beristirahat. Hanya jika kudanya terasa terlalu lelah berlari, maka dikuranginya kecepatannya sedikit, dan sekali diberinya kesempatan kudanya minum beberapa teguk air jernih dari parit di pinggir jalan yang dilaluinya.

Meskipun demikian, maka seperti yang sudah diperhitungkan bahwa ketika ia mulai memasuki daerah Jati Sari, maka gelap malam pun mulai turun perlahan-lahan.

Tetapi jaraknya sudah tidak terlampau jauh lagi. Ki Dipanala pun mulai merasa tenteram, bahwa ia akan dapat menyampaikan Barang-barang itu kepada yang berhak.

Dalam keremangan malam yang semakin temaram Ki Dipanala memandang bulak Jati Sari yang panjang. Di ujung bulak itu terletak salah satu desa kecil dari kelompok pedukuhan Jati Sari. Dan di seberang bulak sempit berikutnya terletak padepokan kecil Jati Aking.

Sementara itu, di sebuah batu ditanggul parit yang membujur di sepanjang bulak itu duduk seseorang yang berpakaian seperti pakaian seorang petani. Tetapi dengan kain yang membelit lambung dan sebuah tutup kepala bambu yang lebar, agaknya petani itu baru saja menempuh sebuah perjalanan yang jauh.

Ia telah duduk diatas batu itu sejak senja mulai turun. Sekali-sekali ia mengedarkan pandangan matanya ke daerah di sekitarnya. Sawah yang terbentang luas. Batang-batang padi yang hijau segar. Satu dua masih dilihatnya beberapa orang berjalan pulang ke desanya masing-masing yang terpencar di sekitar bulak yang luas itu.

“Tentu ada di antara mereka yang sudah melihat aku duduk disini” berkata petani itu di dalam hatinya. Dan ia pun tetap duduk saja Di tempatnya ketika seorang petani Jati Sari lewat di jalan di hadapannya”

Petani Jati Sari itu pun tidak berhenti dan tidak menyapanya. Ia belum mengenal orang itu. Ia hanya dapat menduga bahwa orang itu adalah seseorang yang sedang beristirahat setelah lelah berjalan.

Dan karena petani yang sedang beristirahat itu tidak mengatakan apa-apa, maka menurut pendapatnya, ia memang tidak memerlukan bantuan apapun juga.

Namun ketika senja menjadi gelap, ternyata bahwa petani itu tidak hanya seorang diri. Ternyata dua orang lainnya telah menyusulnya dan kemudian duduk di pematang, terlindung oleh batang-batang padi, dan seorang lagi duduk di seberang jalan, sehingga jumlah mereka semuanya adalah empat orang.

“Apakah orang itu justru sudah lewat?” bertanya salah seorang dari antara mereka kepada kawannya.

Petani yang bertudung lebar dan duduk diatas batu itulah yang menyahut, “Aku berada di sini sejak senja. Ia belum lewat”

Kawannya menarik nafas. Katanya, “Jika kita terlambat, kita harus menempuh jalan lain”

“Apa?” bertanya kawannya.

“Mendatangi padepokan itu”

“Gila. Kau sangka di padepokan itu tidak ada orang lain?”

“Cantrik-cantrik maksudmu? Yang biasanya hanya menyabit rumput? Mereka sama sekali tidak berarti”

“Raden Juwiring?”

“Ah, kita buat ia pingsan dengan sebuah pukulan di tengkuk. Kemudian kita bunuh Dipanala. Kita rampas kembali semua Barang-barang dan uang yang sudah diserahkan kepada Danatirta. Dan jika ada, justru kekayaan padepokan itu dapat kita bawa sama sekali”

“Kau memang gila”

Percakapan itu tiba-tiba terhenti ketika mereka mendengar derap kaki kuda di kejauhan. Sejenak mereka mengangkat kepala untuk mendengarnya. Ketika mereka sudah pasti, maka orang yang berpakaian petani itu berkata, “Bersembunyilah. Aku akan menghentikannya”

Yang lain pun segera bersembunyi rapat-rapat. Mereka berjongkok di dalam lumpur berlindung batang-batang padi. Gelap malam yang semakin buram telah menyembunyikan orang-orang itu semakin rapat.

Sejenak kemudian derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Meskipun sudah menjadi pekerjaan dan kebiasaan mereka merampok dan menyamun, namun kali ini keempat orang itu masih juga berdebar-debar, karena yang bakal mereka hadapi adalah Ki Dipanala.

“Ia sudah semakin tua” desis salah seorang dari mereka tanpa disadari.

“Kenapa?” bertanya kawannya.

“Ia tidak akan dapat apa-apa untuk membela dirinya”

“Kau takut?”

“Tidak. Sebaliknya. Kenapa kita harus menyembunyikan diri dan menyergap dengan tiba-tiba”

Kawannya memandanginya sejenak. Namun tiba-tiba kawannya itu tersenyum sambil berbisik, “Kau berdebar-debar. Jangan ingkar. Aku juga”

“Ah” Tetapi ia tidak menyahut. Derap kuda itu terdengar semakin keras seperti detak jantungnya yang menjadi semakin berdentangan di dalam dadanya.

Memang terasa aneh sekali, bahwa kedatangan orang setua Dipanala masih juga mendebarkan jantung. Apalagi mereka berempat, yang selama ini telah menyimpan banyak sekali pengalaman bagaimana mereka harus melayani orang-orang yang akan disamunnya.

Dalam keremangan malam yang menjadi semakin gelap, orang yang duduk diatas batu itu masih juga melihat seekor kuda yang tegar berlari. Semakin lama semakin dekat.

Dan tiba-tiba saja ia berdiri. Dilepaskan tudungnya yang lebar serta dilambaikannya sebagai suatu isyarat.

Bukan saja kuda yang berlari itulah yang agak terkejut karenanya, tetapi Dipanala juga terkejut karena tiba-tiba saja orang yang semula duduk diam itu meloncat ke tengah-tengah jalan yang dilaluinya.

Dengan serta-merta Ki Dipanala menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu berdiri tegak sambil meringkik. Tetapi sesaat kemudian kuda itu sudah dapat dikuasainya dan menjadi tenang kembali.

“Ki Sanak” berkata orang yang berpakaian petani dengan tudung yang besar itu, “Apakah Ki Sanak akan pergi ke Jati Aking?”

Ki Dipanala menjadi ragu-ragu sejenak. Lalu ia pun bertanya, “Siapakah kau?”

“Aku petani dari Sukawati.

“He?” Ki Dipanala menjadi ragu-ragu. Dicobanya mengamati wajah orang itu. Ia belum pernah mengenal orang yang berdiri di tengah jalan itu. Meskipun wajahnya yang samar di bawah bayangan kegelapan, namun Ki Dipanala pasti, bahwa ia belum pernah melihat orang itu.

Namun nama petani dari Sukawati seperti yang pernah didengarnya membuat hatinya menjadi berdebar-debar. Nama itu menurut pendengarannya mempunyai arti yang tersendiri.

Sebagai bekas seorang prajurit Ki Dipanala mempunyai naluri yang tajam dalam menghadapi persoalan-persoalan yang meragukannya. Karena itu, sebelum ia berbuat sesuatu, maka ia pun memandang ke sekitarnya tanpa disengajanya.

“He, kenapa kau tidak turun dari kuda?”. berkata orang yang berdiri di tengah-tengah jalan itu.

“Apakah maksudmu menghentikan aku?” bertanya Ki Dipanala.

“Turunlah. Kita akan berbicara. Aku mempunyai beberapa pesan yang harus kau sampaikan kepada Juwiring”

Ki Dipanala menjadi semakin ragu-ragu. Sejenak ia seakan-akan membeku diatas punggung kudanya.

“Turunlah, “

Hampir saja Ki Dipanala meloncat turun, jika tangannya tidak menyentuh kampil uang yang diikat di lambung kuda itu, serta beberapa macam barang yang harus diberikannya kepada Juwiring, Kiai Danatirta dan Arum.

“Turunlah, “

“Katakanlah pesan itu” berkata Ki Dipanala kemudian, “Aku akan segera melanjutkan perjalanan”

“Turunlah. Kau harus berbuat sopan terhadapku”

“Siapa kau sebenarnya?”

“Petani dari Sukawati”

Sekali lagi jantung Ki Dipanala dijamah oleh kebimbangan yang sangat. Tetapi ia masih tetap bertahan duduk diatas kudanya sambil menjawab, “Kenapa aku harus turun dari kuda jika aku berhadapan dengan seorang petani meskipun dari Sukawati?”

“Kau belum pernah mendengar siapakah petani dari Sukawati itu?”

Ki Dipanala menggeleng, “Aku belum pernah mendengar”

“Aku adalah Pangeran Mangkubumi”

“Bohong” tiba-tiba Ki Dipanala berteriak. Kini ia yakin bahwa ia berhadapan dengan bahaya. Katanya, “Pangeran Mangkubumi yang berpakaian petani tidak akan berkata bahwa inilah Pangeran Mangkubumi. Apakah arti pakaian petani baginya jika ia masih menyebut dirinya Pangeran Mangkubumi”

Namun ternyata penyamun itu masih dapat menjawab dengan tenang, “Kepada orang lain aku tidak memperkenalkan diriku yang sebenarnya. Tetapi karena aku mempunyai kepentingan dengan, kau dan Juwiring, maka aku mengatakan siapakah aku. Bukankah Juwiring sudah mengetahui bahwa petani di Sukawati itu sebenarnya adalah Pangeran Mangkubumi?”

Tetapi Ki Dipanala masih juga menjawab dengan keyakinan, “Jika benar kau Pangeran Mangkubumi, kau tidak akan menunggu aku lewat, karena kau tidak tahu bahwa aku lewat”

“Kau lupa bahwa aku mempunyai aji Sapta Pameling dan Sapta Pangrungu, Sapta Pangganda dan Sapta Pangrasa. Aku tahu bahwa kau akan lewat dan karena itu aku menunggumu di sini”

“Sekali lagi kau berbuat kesalahan. Jika kau mempunyai aji Sapta Pameling, maka kau tidak memerlukan aku untuk menyampaikan pesanmu kepada Raden Juwiring. Kau dapat duduk di sini dan memanggil Raden Juwiring menghadap dengan aji Sapta Pamelingmu”

Orang yang mengaku petani dari Sukawati itu diam sejenak. Namun kemudian sambil menggeretakkan giginya ia berkata, “Turun dari kudamu. Aku tidak peduli apakah kau percaya tentang aku atau tidak”

“Katakan, apa maksudmu” jawab Ki Dipanala tegas.

“Turun dahulu, sebelum aku menyeretmu”

“Aku tidak akan turun”

Orang itu menggeram. Selangkah ia maju, namun Ki Dipanala pun segera mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Kini ia benar-benar harus berbuat sesuatu untuk mempertahankan tugasnya, dan sudah barang tentu mempertahankan hidupnya.

Sejenak kemudian, petani itu berdiri tegak. Tetapi ia tidak mau kehilangan korbannya. Jika kuda itu meloncat dan berlari, maka akan lepaslah ia dari tangannya. Karena itu selagi hal itu belum terjadi maka ia pun segera memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.

Dada Ki Dipanala menjadi berdebar-debar. Ia benar-benar berhadapan dengan empat orang penyamun. Namun demikian timbul juga pertanyaan di dalam hati, “Darimana orang ini mengetahui beberapa masalah mengenai Petani dari Sukawati, Raden Juwiring dan bahwa aku akan lewat membawa Barang-barang dan uang bagi padepokan Jati Aking.

Sekilas memang terlintas di dalam benaknya, bahwa di istana Ranakusuman banyak terdapat orang yang tidak menyukainya. Orang-orang yang menjilat dan bahkan Pangeran Ranakusuma berdua. Apalagi Raden Rudira dan orang-orang yang berdiri di belakangnya. Salah seorang dari mereka dapat saja berhubungan dengan para penyamun dan memberitahukan bahwa ia membawa Barang-barang berharga ke Jati Aking.

Tetapi di saat yang gawat itu ia tidak dapat sekedar mencari-cari, siapakah yang telah berbuat jahat dan berkhianat atasnya itu. Yang harus dilakukannya adalah mempertahankan barang-barang yang menjadi tanggung jawabnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar