Bunga Di Batu Karang Jilid 02

Dan anak muda itu berkata terus, “Aku tidak akan marah anak manis, meskipun kau telah melanggar adat. Meskipun kau tidak berjongkok ketika aku lewat. Setiap orang yang berada di jalan yang sama yang dilalui seorang bangsawan harus berjongkok. Tetapi kau tidak. Tetapi aku tidak marah”

Arum telah benar-benar kehilangan akal. Hampir saja ia meloncat berlari di sepanjang pematang, tetapi niatnya diurungkan. Bahkan mulutnya tampak bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah katapun yang keluar

Dalam pada itu, selagi semua orang memandang Arum yang pucat, tiba-tiba anak muda bangsawan itu bersama pengiringnya terkejut ketika mereka mendengar suara di belakang mereka, “Hanya apabila seorang Raja yang lewat, maka setiap orang harus berjongkok. Tetapi tidak bagi kau. Tidak ada keharusan berjongkok bagi rakyat yang paling rendah derajadnya sekalipun”

Serentak orang-orang yang datang berkuda itu berpaling. Darah mereka tersirap ketika mereka melihat seorang anak muda yang kotor karena lumpur berdiri menjinjing sebuah cangkul. Namun dari sorot matanya, memancar wibawa yang tidak kalah tajamnya dari anak muda yang berkuda di paling depan.

Bahkan dengan suara gemetar terdengar anak muda yang bertanya kepada Arum itu berdesis, “Kangmas Juwiring”

“Ya adimas Rudira”

Sejenak kedua anak muda itu saling berpandangan. Dari sorot mata keduanya memancar pengaruh yang dalam. Namun sejenak kemudian anak muda yang bernama Rudira itu memalingkan wajahnya. Untuk melepaskan ketegangan di hatinya ia bertanya kepada seorang pengiringnya, “He, bukankah ia kangmas Juwiring”?

“Ya tuan. Ya, ia adalah Raden Juwiring”

“Kebetulan sekali kangmas” berkata Rudira, “Aku memang ingin menemui kangmas Juwiring. Sudah lama aku tidak bertemu dan aku merasa rindu karenanya. Aku hanya mendengar bahwa kangmas berada di padepokan Jati Aking. Apakah kita sudah berada dekat dengan padepokan Jati Aking?”

“Bertanyalah kepada pengikutmu. Mereka tahu dimana Jati? Aking dan dimana Jati Sari”

Rudira mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum, “Kangmas masih sekeras dahulu. Tetapi sekarang kangmas menjadi bertambah hitam. Apalagi pakaian dan tubuh kangmas kotor karena lumpur”

“Lumpur lah yang memberikan makan kepada kita. Kepadaku dan kepadamu. Kepada orang-orang kota. Dan lumpur ini pulalah yang telah menarik perhatian kumpeni itu, karena lumpur ini adalah lumpur yang sangat subur”

“O” sekali lagi Rudira mengerutkan keningnya, “benar. Tetapi tanpa menyentuh lumpur itu sendiri, aku dapat mengambil hasil dari kesuburannya, Seperti kangmas lihat, aku pun makan sehari tiga kali. Dan barangkali apa yang aku petik dari hasil lumpur yang subur itu jauh lebih banyak dari yang kangmas peroleh meskipun kangmas langsung bergulat dengan lumpur yang subur itu”

“Ya” Juwiring mengangguk, “Kau pun benar. Inilah yang aku sebut harga diri. Aku makan hasil keringatku sendiri meskipun sedikit. Tetapi kau tidak”

“Itu pun wajar sekali” sahut Rudira, “Tidak semua orang harus turun ke sawah. Tidak semua orang di dalam suatu negeri harus menjadi petani. Pasti harus ada pekerjaan lain. Pemimpin pemerintahan, prajurit, Adipati dan para Abdi Dalem. Tidak sewajarnya para bangsawan harus mencangkul sendiri” Rudira diam sejenak, lalu, “Seperti kau, kangmas. Kau tidak usah turun ke sawah. Meskipun kangmas berada di padepokan untuk mempelajari ilmu kajiwan dan kasampurnan, tetapi kangmas tidak perlu makan dari keringat sendiri. Kangmas seorang bangsawan. Kangmas dapat memerintahkan apa saja yang kangmas perlukan. Dengan mengotori diri sendiri kangmas akan merendahkan derajad kebangsawanan kangmas, dan mencemar-kan nama keluarga Ranakusuma”

“Adimas Rudira, manakah yang lebih cemar. Berdiri diatas lumpur yang kotor tetapi bersih atau berdiri diatas permadani yang bersih tetapi kotor”

Rudira mengerutkan keningnya.

“Apakah kau tidak menyadari? Apakah arti kedatangan kumpeni setiap kali ke rumah kita. Ke istana Ranakusuman? Kenapa?”

“O. Kangmas memang benar-benar harus mempelajari ilmu kasampurnan. Kangmas masih membatasi diri dalam hubungan manusia. Apa salahnya kita bersahabat dengan setiap orang di muka bumi”

“Kita memang harus bersahabat dengan manusia di seluruh sudut bumi. Tetapi tanpa mengorbankan diri sendiri. Kalau kau bersedia bersahabat dengan setiap orang di muka bumi, kenapa justru kau terlampau jauh dari manusia yang hidup di sekitarmu. Manusia yang setiap hari bergulat dengan lumpur?”

Rudira terdiam sejenak. Namun wajahnya menjadi semburat merah.

Tetapi ternyata anak muda itu pandai bersamudana. Sejenak kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Sudahlah. Kita tidak usah membicarakan masalah-masalah yang kurang sesuai bagi kita. Marilah kita berbicara tentang keadaan yang kita hadapi ini” Rudira berhenti sejenak, lalu, “Kangmas, aku sangat tertarik kepada gadis Jati Sari ini”

Tanpa disadari terasa darah Juwiring menggelepar. Tiba-tiba saja ia berpaling. Ketika terpandang wajah Buntal yang berdiri di sampingnya, Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Wajah itu pun menjadi tegang.

“Siapakah gadis ini kangmas? Kangmas yang sudah lama tinggal di Jati Sari, pasti mengenalnya. Agaknya aku pun pada suatu saat harus mempelajari ilmu kajiwan di Jati Aking seperti kangmas Juwiring”

Juwiring menarik nafas ,dalam-dalam. Katanya, “Gadis itu adalah gadis padepokan Jati Aking”

“He” Rudira terkejut.

“Ia adalah gadis padepokan kami. Ia adalah anak Kiai Danatirta”

“O” Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya, “pantas. Pantas, bahwa gadis itu gadis padepokan. Bukan gadis padesan biasa”

Tiba-tiba saja dada Buntal menjadi pepat. Ia tidak mengerti, kenapa hatinya menjadi sangat gelisah ketika ia mendengar seorang anak muda yang memuji kecantikan Arum.

“Ia adalah adikku” berkata Buntal di dalam hatinya. Tetapi ada perasaan lain dari perasaan itu. Dari perasaan seorang kakak kandung terhadap adiknya

Dalam pada itu Juwiring berkata, “Sudahlah adimas Rudira. Jangan menjadi tontonan disini. Kalau kau akan pergi berburu, pergilah. Aku melihat kau membawa busur dan anak panah. Demikian juga pengiring-pengiringmu. Di hutan perburuan itu memang banyak sekali kijang”

“O” Rudira mengangguk-angguk, “Ya. Kami memang akan berburu. Tetapi buruanku ternyata sudah ada disini”

Darah Buntal tersirap mendengar kata-kata itu. Bukan saja Buntal tetapi juga Juwiring. Apalagi ketika ia melihat Rudira tertawa sambil berpaling kepada Arum yang berdiri ketakutan.

“Kangmas” berkata Rudira, “Marilah, antarkan aku ke padepokan Jati Aking. Sudah lama aku ingin mengenal padepokan itu. Aku juga mulai memikirkan tentang masa depanku. Dan agaknya aku ingin juga belajar ilmu kajiwan dan ilmu kasampurnan. Mungkin juga ilmu-ilmu yang lain yang berhubungan dengan pemerintahan. Aku dengar Kiai Danatirta juga seorang yang mumpuni di dalam ilmu kasusastran”

Tetapi Juwiring menggelengkan kepalanya. Katanya, “Pekerjaanku belum selesai”

“O. kalau begitu biarlah gadis itu mengantarkan aku ke padepokan ayahnya”

“Kau lihat bahwa ia baru datang? Ia membawa makan dan minumanku. Setiap hari ia pergi ke sawah apabila aku ada di sawah. Jangan kau ganggu anak itu. Biarlah ia melanjutkan pekerjaannya”

Rudira memandang Juwiring dengan tatapan mata yang mulai menyala. Tiba-tiba saja ia berkata, “Kangmas Juwiring. Kau tidak berhak menghalang-halangi aku. Aku dapat berbuat sesuka hatiku. Apalagi rakyat kecil seperti Arum dan ayahnya. Sedang kau pun tidak berhak mencegah aku”

“Aku tidak menghalang-halangi. Aku hanya minta, kau jangan mengganggu kerjaku dari kerja anak itu. Kalau kau akan pergi ke padepokan Jati Aking pergilah. Setiap orang tahu dimana tempatnya. Dan kau dapat bertanya kepada mereka. Bahkan kau dapat memaksa mereka dengan gelar kebangsawananmu untuk mengantarkan kau. Tetapi tidak aku dan tidak gadis itu”

Wajah Rudira menjadi merah semerah matanya. Selangkah ia maju sambil berkata, “Kangmas jangan menghina aku di hadapan rakyat Surakarta. Aku dapat bertindak tegas. Aku adalah seorang bangsawan penuh. Ayahku seorang bangsawan dan ibuku seorang bangsawan pula. Kau? Benar kau putera ayahanda Ranakusuma, tetapi ibumu adalah seorang gadis yang lahir di antara rakyat kecil”

“Tetapi aku mempunyai harga diri. Ibuku tidak pernah mimpi untuk menjadi seorang puteri bangsawan, seperti aku juga. Apalagi bermimpi untuk menjual harga diri kepada orang asing berapapun ia akan membelinya”

“Kangmas” potong Rudira, “Jangan menghina keluarga kita sendiri. Seandainya kau terasing dari keluarga kita karena pokalmu sendiri, namun jangan menjadi pengkhianat bagi keluarga Ranakusuma”

“Bukan aku yang berkhianat. Justru aku ingin mempertahankan martabat ayahanda Ranakusuma sebagai seorang bangsawan dari Surakarta. Kalianlah yang telah berkhianat, karena kalian telah menjual nama dan keagungan kebangsawanan kepada orang asing itu”

“Cukup” bentak Rudira, “sebenarnya aku tidak ingin bertengkar. Tetapi kau telah memancing persoalan. Jangan kau kira bahwa aku tidak dapat bertindak terhadapmu, kangmas. Meskipun kau lahir dahulu, sehingga kau menjadi saudara tuaku, tetapi derajatku lebih tinggi dari derajatmu”

“Derajat tidak ditentukan oleh darah keturunan. Tetapi ditentukan oleh perbuatan. Perbuatan kita sendiri”

Mata Rudira benar-benar telah menyala. Selangkah ia maju mendekati Juwiring. Namun Juwiring sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan cangkulnya pun kemudian diletakkannya di tanah.

“Kau mulai menentang keluarga Ranakusuma” geram Rudira.

“Mudah-mudahan ada orang yang dapat menilai apa yang telah terjadi”

Rudira menggeram. Tetapi sejenak ia masih berdiri diam di tempatnya.

Dalam pada itu, orang-orang yang ada di sawah, yang bergeser mendekati kedua anak-anak muda yang bertengkar itu, menjadi berdebar-debar. Tetapi tidak ada seorang pun yang berani berbuat apapun juga. Keduanya adalah putera Pangeran Ranakusuma. Sehingga tidak ada yang berani untuk berbuat sesuatu atas keduanya.

Orang-orang yang menyaksikan itu hanya berharap, mudah-mudahan para pengiring Raden Rudira dapat mencegah peristiwa yang tidak mereka harapkan. Tetapi ternyata para pengiringnya itu pun hanya berdiri saja dengan mulut ternganga.

“Kangmas” berkata Rudira, “Cepat, mintalah maaf. Aku masih memberi kesempatan, karena kau adalah saudara tua bagiku, meskipun derajatku lebih tinggi”

“Aku tidak merasa bersalah” berkata Juwiring, “Justru aku berdiri di pihak yang benar. Buat apa aku minta maaf. Kalau kau jantan, kaulah yang minta maaf kepadaku, kepada Arum dan kepada ayahnya”

“Persetan, aku adalah seorang bangsawan. Kalau aku memang menghendaki, aku dapat mengambilnya kapan saja”

Juwiring menggelengkan kepalanya. Katanya, “Selama aku masih ada di Jati Aking tidak ada seorang pun yang dapat berbuat demikian atasnya. Apalagi kau bukan seorang Pangeran”

Darah Rudira benar-benar telah mendidih. Karena itu, ia tidak dapat menahan diri lagi.

Ternyata bahwa perasaan yang membekali hati masing-masing pada pertemuan itu telah membuat jantung mereka semakin panas. Rudira yang ingin menjauhkan Juwiring dari keluarganya, dan Juwiring yang merasa dirinya telah di fitnah.

Dengan demikian maka persoalan yang tumbuh itu hanyalah sekedar bagaikan api yang menyentuh minyak. Hati anak-anak muda yang belum terkendali itupun segera berkobar membakar segenap urat darah.

Sejenak kemudian kedua anak muda itu telah berdiri berhadapan. Keduanya adalah putera Pangeran Ranakusuma. Tetapi ternyata bahwa nama Ranakusuma tidak mampu menjadi pengikat yang baik bagi keluarganya, sehingga kebencian, iri dan dengki telah mencengkam seisi Dalem Kepangeranan

“Kau benar-benar keras kepala kangmas” geram Rudira.

“Kita sama-sama keras kepala”

“Meskipun kau saudara tua, tetapi kau tidak pantas dihormati. Apalagi derajatmu yang tidak setingkat dengan derajatku”

“Memang. Tetapi darahku masih sepanas darahmu”

“Persetan. Aku akan membuktikan bahwa aku lebih baik darimu dalam segala hal”

“Dan hatimu lebih hitam dari hatiku”

Penghinaan di hadapan banyak orang itu benar-benar tidak dapat dimaafkan lagi. Tiba-tiba saja tangan Rudira terayun ke mulut Juwiring. Demikian cepatnya dan tidak terduga-duga, sehingga Juwiring terkejut karenanya. Tetapi gerak naluriahnya telah memutar leher dan menariknya mundur, sehingga tangan itu hanya menyentuh sedikit saja di pipinya.

Beberapa orang yang menyaksikan gerakan itu berdesah tertahan. Hanya suara Arum sajalah yang terdengar melengking. Namun ia pun kemudian menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

Ternyata Juwiring tidak membiarkan dirinya diperlakukan demikian. Dengan marah pula ia mempersiapkan dirinya. Dan agaknya Rudira memang benar-benar ingin berkelahi, sehingga tiba-tiba saja ia telah menyerangnya.

Tetapi Juwiring telah siap pula. Karena itulah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang seru. Rudira yang tinggi hati itu tidak lagi berusaha mengekang dirinya Ia ingin benar-benar mengalahkan saudara seayahnya dan membuatnya jera.

Namun agaknya Juwiring tidak membiarkan Rudira berlaku sesuka hatinya. Latihan-latihan yang diperolehnya, tiba-tiba saja telah membuatnya menjadi garang. Sejenak kemudian tanpa sesadarnya, ialah yang justru menyerang adiknya itu dengan serangan-serangan beruntun, sehingga Rudira menjadi bingung karenanya.

Untuk menghindarkan dirinya, Rudira meloncat surut, tetapi Juwiring mengejarnya terus. Berkali-kali tangannya berhasil mengenai tubuh Rudira. Bahkan kemudian terdengar Rudira mengaduh ketika kaki Juwiring berhasil menghantam lambung.

Para pengiring dan pengawal Rudira yang sebenarnya ingin pergi berburu itu pun menjadi berdebar-debar. Meskipun ketika mereka berangkat, ada juga pesan Rudira, bahwa mereka akan berusaha singgah di padepokan Jati Aking untuk menemui Juwiring, namun mereka tidak menyangka, bahwa pertengkaran akan begitu cepat berkobar.

Namun pada umumnya para pengiring itu pun mengetahui, bahwa sejak lama pada keduanya telah tersimpan perasaan yang buram. Sikap bermusuhan memang sudah mereka lihat sejak keduanya masih tinggal di istana Ranakusuman, sampai pada suatu saat Juwiring disingkirkan dan dengan banyak alasan dikirim ke Jati Aking atas saran Ki Dipanala.

Bagi Dipanala, Juwiring lebih baik berada di Jati Aking daripada di tempat lain yang masih belum diketahuinya. Kalau ia jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, maka nasibnya akan menjadi semakin buruk.

Dan kini, perasaan yang agaknya telah lama tersimpan di dalam hati kedua anak muda itu telah meledak.

Karena itulah maka para pengiringnya menjadi termangu-mangu sejenak. Baru setelah Rudira mulai terdesak, beberapa orang di antara mereka sadar, bahwa mereka dapat berusaha mencegah perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit.

Namun demikian mereka masih ragu-ragu juga. Mereka mengenal Rudira baik-baik. Anak muda yang keras hati dan keras kepala itu, tidak akan mudah mendengarkan kata-kata mereka. Dan bahkan mungkin Rudira akan menjadi semakin marah. Sehingga dengan demikian, para pengawalnya itu hanya berdiri saja termangu-mangu.

Tetapi akhirnya salah seorang dari mereka tidak dapat menahan perasaannya lagi. Ia tidak sampai hati melihat kedua putera Pangeran Ranakusuma itu berkelahi. Karena itu, maka ia pun bergeser setapak maju.

Tetapi langkahnya segera terhenti ketika tangan yang kuat menggamitnya. Tangan kawannya sendiri. Seorang pengawal yang bertubuh tinggi kekar dan berkumis lebat.

“Biar saja. Juwiring memang perlu dihajar”

Kawannya yang ingin melerai perkelahian itu mengerutkan keningnya. Dan orang berkumis itu berkata seterusnya, “Kalau Raden Rudira tidak dapat menghajarnya, aku pasti akan mendapat kesempatan”

“Kenapa kita tidak mencegahnya, justru malahan akan ikut campur?”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Tuan kita adalah Raden Rudira. Bukan Juwiring yang sudah dibuang ke padesan itu”

Kawannya tidak menyahut. Ia sadar, bahwa orang berkumis itu mempunyai beberapa kelebihan dari padanya dan kawan-kawannya yang lain. Karena itu, ia pun tidak berani lagi membantah. Namun dengan demikian hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Kalau orang itu benar-benar mendapat perintah dari Rudira, maka nasib Juwiring akan menjadi kurang baik.

Dengan ragu-ragu orang-orang itu mencoba memandang wajah-wajah kawan-kawannya yang lain. Seperti orang yang baru sadar akan dirinya, ia terperanjat. Ternyata orang-orang yang ada di dalam iring-iringan untuk pergi berburu itu kebanyakan adalah orang-orang yang dikenalnya sebagai abdi yang paling setia kepada Raden Ayu Galihwarit. Satu dua di antara bahkan termasuk bukan saja abdi setia, tetapi penjilat-penjilat.

Orang-orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri sebenarnya juga seorang penjilat. Tetapi ia menyadari, bahwa yang dilakukan itu sekedar untuk mempertahankan sumber penghidupannya beserta isteri dan anaknya. Kalau ia dipecat dari Ranakusuman, maka akan sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan baru di Surakarta. Apalagi ia tidak mempunyai lagi sawah dan ladang di padesan.

Tetapi kawan-kawannya yang lain menjadi penjilat bukan saja karena penghidupannya, tetapi mereka memang ingin mendapatkan pujian, orang-orang yang tidak pernah mereka miliki sebelumnya dan uang yang lebih banyak lagi.

“Tidak banyak yang berani berbuat dan bersikap seperti Dipanala” katanya di dalam hati, “Tetapi aku yakin, sebentar lagi ia pun pasti akan tersisih dan bahkan mungkin, nasibnya lebih jelek lagi daripada itu”

Dan kini, ia menyaksikan perkelahian itu menjadi berat sebelah. Rudira ternyata benar-benar telah terdesak. Bagaimanapun juga Rudira berusaha, namun Juwiring tidak dapat dikalahkannya.

Rudira sama sekali tidak menyangka, bahwa Juwiring mampu juga berkelahi. Bahkan ternyata, Juwiring tidak dapat dikalahkannya.

Tetapi ternyata bahwa Rudira bukan seorang bangsawan yang berhati satria. Setelah ia yakin bahwa ia tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu, tiba-tiba saja ia berteriak, “Sura. Hajar orang ini. Aku tidak mau mengotori tanganku dengan menyentuh tubuhnya yang berlumpur ini”

“Juwiring berdesir mendengar nama itu. Ia tahu, bahwa Sura adalah seorang abdi Ranakusuman yang paling ditakuti oleh kawan-kawannya, tetapi juga dibenci. Ia memiliki beberapa kelebihan karena tubuhnya yang kokoh kuat, meskipun otaknya sedungu kerbau.

Sebenarnya Juwiring tidak gentar apabila ia harus berkelahi melawan Sura itu, setelah ia mempunyai dasar-dasar pengetahuan ilmu olah kanuragan. Karena ia yakin, bahwa bukan kekuatan tubuh semata-mata yang dapat diandalkan dalam perkelahian. Tetapi juga pikiran dan pengamatan yang tepat

Tetapi untuk berhadapan dengan dua orang, ia memang merasa ragu-ragu. Apakah ia akan mampu berkelahi melawan dua orang sekaligus.

Ketika orang berkumis yang ternyata bernama Sura itu beringsut maju, maka dada orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin berdebar-debar. Orang itu bertubuh tinggi, tegap dan kekar. Kumisnya menyilang di bawah hidungnya, membuat wajahnya yang kasar menjadi semakin mengerikan.

“Kemarilah” berkata Rudira masih sambil berkelahi, “Anak ini tidak seberapa Tetapi tubuhnya terlampau kotor untuk di sentuh. Karena itu, bantinglah dan benamkan sama sekali ke dalam lumpur. Biarlah ia menjadi semakin kotor, karena lumpur baginya adalah sumber penghidupannya”

Arum yang melihat kehadiran orang itu pun menjadi cemas juga. Menilik tubuhnya yang besar, maka ia pasti mempunyai kekuatan yang besar pula. Dengan demikian apakah Juwiring seorang diri mampu melawannya, apalagi apabila Rudira sendiri masih ikut serta berkelahi.

Dengan menahan nafas ia melihat Sura melangkah setapak demi setapak mendekati arena. Juwiring dan Rudira masih juga berkelahi dengan serunya. Sekali-sekali mereka berdua berpaling kearah orang berkumis yang mendekat perlahan-lahan, seperti seekor harimau yang sedang mengintai mangsanya.

Rudira perlahan-lahan berusaha menggeser perkelahian itu. Demikian Sura memasuki arena, maka ia akan dapat segera meloncat menepi.

Langkah Sura setapak demi setapak itu, terasa berdentangan di dada Arum. Wajahnya semakin lama menjadi semakin tegang. Dengan gelisah dipandanginya otot-otot yang merambat di segenap wajah kulit orang yang bernama Sura itu.

Dalam pada itu, Juwiring pun menjadi berdebar-debar. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menjatuhkan Rudira sebelum Sura memasuki arena. Tetapi ia tidak segera berhasil, justru karena ia mulai gelisah melihat bentuk tubuh raksasa itu.

Namun adalah di luar dugaannya, dan di luar dugaan semua orang yang menyaksikan perkelahian itu sambil menahan nafas. Tiba-tiba saja tanpa berkata sepatah katapun, seorang anak muda melontarkan dirinya langsung menyerang Sura dari samping. Tubuhnya yang ringan dan sikapnya yang mapan, menunjukkan bahwa ia pernah mengenal ilmu olah kanuragan.

Kaki kanannya terjulur lurus menyamping. Tubuhnya bagaikan seorang yang sedang berbaring miring. Seperti halilintar, kakinya menyambar tengkuk Sura yang sedang berjalan perlahan-lahan maju. Benar-benar serangan yang tidak disangka-sangkanya dari arah yang tidak disangka-sangka pula.

Demikian kerasnya serangan itu dan langsung mengenai tengkuk, sehingga raksasa yang bernama Sura itu sama sekali tidak sempat berbuat apapun juga. Tumit yang menghantam tengkuknya serasa membuatnya kehilangan keseimbangan. Terhuyung-huyung ia terdorong beberapa langkah ke samping. Dengan susah payah ia mencoba menahan keseimbangan tubuhnya. Tetapi, kaki yang mengenai tengkuknya itu, begitu berjejak diatas tanah, langsung melontar kembali. Kali ini dengan sebuah putaran mendatar. Tumit itu pulalah yang kemudian menghantam perutnya, sehingga tanpa ampun lagi, Sura yang bertubuh raksasa itu pun terduduk perlahan-lahan setelah berjuang dengan sekuat tenaganya untuk menjaga keseimbangannya.

Ternyata serangan yang datang masih belum tuntas. Kini sisi telapak tangan anak muda itulah yang menghantam pelipisnya sehingga wajah itu tertengadah sejenak. Disusul oleh sebuah pukulan di bawah telinga kanan.

Sura yang bertubuh raksasa itu benar-benar tidak berdaya. Serangan yang datang beruntun itu benar-benar mengejutkannya dan mengejutkan semua orang yang menyaksikannya. Tidak seorang pun yang menyangka bahwa hal itu akan terjadi, sehingga Sura sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berbuat apapun juga, karena yang terjadi itu berlangsung begitu cepatnya.

Sejenak kemudian Sura telah duduk bersimpuh. Kepalanya terkulai dengan lemahnya, sedang kedua belah tangannya memegang perutnya yang serasa berputar-putar. Matanya menjadi berkunang-kunang, sedang telinganya berdesing keras sekali, seperti seribu sendaren bersama-sama mengaum di dalam telinganya itu.

Anak muda itu agaknya masih belum puas. Tetapi ketika ia mengangkat tangannya sekali lagi terdengar suara Juwiring, “Buntal”

Anak muda itu tertegun. Ia pun kemudian berpaling sambil berkata, “Aku tidak akan dapat melawannya apabila ia sempat melakukan. Ia harus kehilangan kemampuannya itu, dan tidak berdaya untuk selanjutnya”

Juwiring berdiri termenung sejenak. Rudira pun menjadi bingung sesaat, sehingga perkelahian itu menjadi terhenti dengan sendirinya.

“Jangan Buntal” cegah Juwiring.

Buntal memandanginya dengan heran. Kenapa justru Juwiring lah yang mencegahnya. Karena itu, sejenak ia berdiri kebingungan. Sekali-sekali dipandanginya wajah Rudira, kemudian Juwiring dan bahkan beredar pada setiap wajah yang ada di sekitarnya.

Sejenak arena itu dicengkam oleh kediaman yang tegang. Semua mata kini tertuju kearah Buntal. Anak muda yang berdiri di samping seorang raksasa yang duduk bersimpuh menahan sakit di seluruh bagian tubuhnya.

Namun kediaman itu, segera dipecahkan oleh suara Rudira yang tiba-tiba menyadari keadaannya, “Hancurkan kedua anak gila ini. Tidak ada ampun lagi bagi mereka”

Juwiring terkejut mendengar perintah itu. Selama ini, selama ia berkelahi melawan Rudira, ia masih belum kehilangan pegangan. Ia masih tetap sadar, bahwa lawannya itu adalah adiknya. Tetapi agaknya Rudira benar-benar telah menjadi mata gelap. Sura bukannya orang yang dapat menahan diri dan menimbang perasaan. Kalau Sura sempat berbuat sesuatu, maka ia pasti akan menjadi marah. Ternyata Buntal mempunyai perhitungannya sendiri dan melumpuhkan raksasa itu sebelum berbuat sesuatu.

Tetapi kini Rudira telah memerintahkan orang-orangnya yang lain. Tidak kurang dari tujuh orang. Bahkan lebih.

Dalam pada itu, orang-orangnya menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi mereka tersentak ketika Rudira berteriak, “Cepat, sebelum mereka melarikan diri. Aku akan bertanggung jawab. Kalau ada orang lain yang ikut campur, mereka akan mengalami nasib serupa”

Seperti terbangun dari mimpi mereka pun kemudian bergerak hampir bersamaan. Kuda-kuda mereka, begitu saja mereka lepaskan. Empat orang dari mereka dengan tergesa-gesa mengepung kedua anak-anak muda itu, namun yang lain masih juga agak ragu-ragu.

“Siapa yang berkhianat, aku tidak tahu akibat yang akan menimpa dirinya di istana nanti”

Ancaman itu telah mendorong orang-orang yang mengiringi Rudira itu semakin maju. Apapun yang ada di dalam hati, namun mereka harus berbuat seperti yang dikehendaki oleh anak muda bangsawan itu.

Tetapi agaknya Juwiring sama sekali tidak ingin menyerah. Demikian juga Buntal yang sedikit lebih muda daripadanya. Ke duanya justru menyiapkan diri, menghadapi segala kemungkinan.

Pada saat itu, Sura mulai bergerak. Dengan segenap ketahanan yang ada padanya, ia mencoba mengatasi rasa sakit di tubuhnya. Ketika ia mendengar aba-aba Rudira, timbullah niatnya untuk ikut berkelahi dan membalas serangan-serangan yang tidak sempat dielakkannya.

“Cepat. Aku mau kalian bertindak sekarang. Sekarang!”

Ketika orang-orang yang mengepung kedua anak muda itu mulai bergerak. Sura pun berusaha untuk berdiri. Tetapi Buntal yang berdiri di sisinya sama sekali tidak memberinya kesempatan, ia sadar sepenuhnya bahwa orang yang bernama Sura itu orang yang paling berbahaya di antara para pengiring Rudira. Karena itulah, maka sebelum Sura berhasil berdiri, dengan sekuat tenaganya, tanpa peringatan apapun juga. Buntal sekali lagi menghantam tengkuk orang itu. Kali ini dengan sisi telapak tangannya.

Sura adalah seorang yang seakan-akan bertubuh liar. Tetapi ternyata pukulan Buntal itu membuatnya keriangan kekuatan. Sambil menyeringai ia menggeliat, Tetapi sekali lagi pukulan yang sama telah diulang oleh Buntal. Kali ini Sura benar-benar tidak dapat bertahan 1agi. Kepalanya segera tertunduk dan tubuhnya terkulai dengan lemahnya.

Pada saat itulah, para pengawal Rudira mulai menyerang. Ada yang menyerang dengan mantap dan sepenuh hati, tetapi ada juga yang masih ragu-ragu, sebab mereka pun tahu, bahwa Juwiring adalah putera Pangeran Ranakusuma seperti Rudira. Tetapi karena Rudira kini berkuasa di istana Ranakusuman, maka tidak seorang pun yang berani melawan kehendaknya.

Juwiring dan Buntal terpaksa berkelahi melawan mereka. Tetapi di antara mereka tidak lagi terdapat Sura yang telah hampir menjadi pingsan sambil duduk bersimpuh. Kepalanya yang terkulai mencium tanah dialasinya dengan kedua tangannya yang lemas.

Arum berdiri membeku di pinggir parit. Ia berdiri di antara dua kemungkinan yang sama-sama berat. Kalau ia sama sekali tidak berbuat apa-apa, adalah terlalu sulit bagi Juwiring dan Buntal untuk bertahan melawan tujuh orang bahkan lebih. Arum yang merasa memiliki kemampuan setingkat dengan Juwiring dan Buntal, yang hanya karena kodrat kegadisannya sajalah yang memberikan selisih sedikit dalam olah kanuragan, merasa mampu juga ikut di dalam arena perkelahian. Tetapi jika demikian, maka ia akan menjadi orang aneh di padukuhan Jati Sari. Ia akan menjadi pusat perhatian untuk waktu yang lama, yang bahkan tidak akan ada habisnya. Kawan-kawannya pasti akan bersikap lain kepadanya, bahkan mungkin gadis-gadis Jati Sari akan menjauhinya, sehingga ia akan terkurung di padepokan Jati Aking saja.

Dalam keragu-raguan itu, ia mendengar suara Juwiring lantang, “Jangan berbuat sesuatu Arum. Tinggallah disitu. Atau pergilah jauh-jauh”

Arum mengerti maksud Juwiring. Ia harus menahan hati. Ia harus tetap merupakan seorang gadis biasa di mata kawan-kawannya dan orang-orang Jati Sari. Karena itulah maka ia justru melangkah surut Namun dengan demikian ia menjadi cemas akan nasib kedua saudara seperguruannya itu.

Dalam pada itu, Juwiring dan Buntal berkelahi mati-matian untuk mempertahankan diri. Untunglah bahwa tidak semua pengawal Rudira berkelahi bersungguh-sungguh, sehingga meskipun jumlah mereka cukup banyak, namun Juwiring dan Buntal masih tetap dapat bertahan.

Tetapi agaknya Rudira melihat hal itu, sehingga karenanya ia berteriak keras-keras, “sekali lagi aku peringatkan. Siapa yang berkhianat akan mengalami nasib jelek di istana. Tidak ada orang yang dapat mencegah tindakan yang akan aku ambil atas kalian”

Dada para pengiringnya itu pun menjadi berdebaran. Mereka tidak boleh berkelahi berpura-pura. Dan mereka tidak akan dapat menyembunyikan sikapnya itu. Jika demikian, maka mereka akan dapat diusir dari pekerjaan mereka.

Karena itu, tidak ada pilihan lain daripada berkelahi benar-benar. Di dalam hati mereka berkata, “Bukan tanggung-jawabku. Aku hanya menjalankan perintah”

Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin sengit. Bagaimanapun juga Juwiring dan Buntal menjadi semakin terdesak. Badan mereka mulai merasa lelah dan sakit, karena setiap kali mereka tidak berhasil mengelakkan serangan-serangan lawan yang datang dari segala penjuru, sedang ilmu yang mereka kuasai baru sekedar ilmu dasar, dari ilmu yang sesungguhnya.

Arum menjadi bertambah gelisah. Ia tidak akan dapat minta bantuan kepada ayahnya yang bagi orang-orang Jati Sari, Kiai Danatirta dari padepokan Jati Aking, adalah seorang tua yang hanya mesu kajiwan dan kasampurnan batin. Sama sekali bukan seseorang yang mendalami ilmu kanuragan. Sehingga dengan demikian Arum menjadi semakin bingung.

Dalam pada itu, keadaan Juwiring dan Buntal menjadi semakin sulit seperti hati Arum. Mereka terdesak semakin jauh, sehingga hampir tidak dapat bertahan lagi. Bahkan sekali-sekali Buntal terdorong beberapa langkah. Hanya karena kekerasan hatinya sajalah maka ia masih tetap bertahan dan berkelahi terus, meskipun keningnya telah menjadi kebiru-biruan dan pipinya mulai membengkak.

Pada saat-saat yang berat itu, justru Sura mulai bergerak dan tertatih-tatih berdiri. Sejenak ia masih memegangi perutnya dan kemudian meraba-raba tengkuknya. Namun sejenak kemudian ia sudah berhasil berdiri tegak.

Ketika ia melihat bahwa perkelahian masih berlangsung, maka ia pun menggeram. Kini ia tidak melangkah setapak demi setapak perlahan-lahan. Tetapi dengan tergesa-gesa ia mendekati arena sambil berteriak, “Lepaskan yang kecil itu. Itu adalah bagianku. Kalian semuanya tinggal mempunyai seorang lawan. Terserah perintah dari Raden Rudira terhadap kalian atas Raden Juwiring Tetapi anak gila itu serahkan kepadaku”

Buntal menjadi berdebar-debar. Ia melihat api yang menyala di mata orang yang bernama Sura itu.

Namun seperti yang telah terjadi. Benar-benar di luar dugaan, bahwa dalam keadaannya. Buntal berhasil menyusup, sesaat perhatian lawannya tertarik oleh suara Sura. Sekali lagi ia melontarkan dirinya dan kaki terjulur lurus menghantam raksasa itu. Kali ini mengarah ke dadanya.

Namun Sura sempat melihat serangan yang dianggapnya terlampau gila itu. Tetapi ia tidak sempat mengelak. Dengan demikian maka dengan tergesa-gesa disilangkannya tangannya di depan dadanya itu untuk menangkis serangan Buntal.

Daya lontar Buntal ternyata cukup besar. Ternyata benturan itu membuat Sura terdorong surut beberapa langkah, sedang Buntal sendiri terlempar jatuh di tanah Tetapi cepat ia bangkit berdiri meskipun ia harus menyeringai karena pergelangan kakinya serasa akan patah.

Sura berhasil mempertahankan keseimbangan meskipun hampir saja ia terjatuh. Serangan itu begitu tiba-tiba. Didorong pula oleh daya lontar yang kuat, sedang tubuh Sura sendiri masih belum pulih sama sekali.

Tetapi kini Sura mengetahui, bahwa kekuatan anak itu tidak terlampau mencemaskan. Kalau ia sempat melawan, maka baginya Buntal bukanlah lawan yang harus diperhitungkan, meskipun kelincahannya mengagumkannya pula.

Kini Sura memusatkan perhatiannya kepada Buntal, sementara yang lain mulai melingkari Juwiring.

“Hancurkan mereka. Itu perintahku. Aku akan bertanggung jawab. Buatlah mereka untuk selanjutnya tidak akan dapat melawan kita lagi. Mungkin tangan mereka atau kaki merekalah yang membuat mereka terlampau sombong”

“Bagus” geram Sura, “Aku akan melakukan sebaik-baiknya. Tangan anak ini memang terlampau cekatan”

Dada Buntal benar-benar berguncang ketika ia melihat Sura mendekatinya. Tetapi ia sudah terlanjur basah. Karena itu, apapun yang akan terjadi akan dihadapinya.

Dalam pada itu, Juwiring pun menjadi berdebar-debar. Sura memang bukan lawan Buntal yang masih terlalu muda itu. Bahkan ia sendiri yang lebih tua, masih harus mempergunakan bukan saja tenaganya, tetapi terlebih-lebih adalah otaknya untuk melawan orang yang bernama Sura itu. Dan agaknya pertimbangan pikiran Buntal pun masih belum cukup dewasa menanggapi lawannya itu, sehingga apabila ia hanya sekedar mempergunakan tenaga dan dasar-dasar ilmunya, maka ia tidak akan dapat melawannya. Apalagi apabila sekali anggauta badannya teraba oleh Sura, maka tulang-tulangnya pasti akan retak karenanya.

Tetapi Juwiring tidak dapat berbuat apa-apa, karena beberapa orang telah berdiri melingkarinya. Kalau ia bergerak, maka itu akan berarti, ia harus berkelahi melawan orang-orang itu.

Sejenak Juwiring berdiri termangu-mangu. Ia melihat Buntal telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan, meskipun kemungkinan yang paling besar akan terjadi adalah kemungkinan yang kurang menyenangkan baginya.

“Jangan menyesal” geram Sura, “Kau sudah menyakiti aku. Sekarang aku akan menyakiti kau”

Buntal tidak menyahut. Tetapi ia tidak mau didahului. Menurut pertimbangannya, memang lebih baik mendahului daripada didahului.

Karena itu, maka selagi Sura melangkah mendekatinya, sekali lagi Buntal melontarkan serangan sekuat-kuat tenaganya. Untuk melawan raksasa itu, Buntal lebih percaya kepada kekuatan kakinya, meskipun ia sadar, bahwa ia menghadapi kekuatan yang lebih besar dari kekuatannya.

Juwiring mengerutkan keningnya. Buntal memang masih terlampau muda. Kalau ia mencoba melawan kekuatan dengan kekuatan, maka sebentar lagi, ia pasti akan diremukkan oleh raksasa Ranakusuman yang mengerikan itu.

Dugaan Juwiring tidak jauh meleset. Sekali lagi kaki Buntal menghantam tangan Sura. Kali ini Sura mengiringkan tubuhnya, dan membenturkan lengannya. Namun kekuatan lengannya telah mampu melemparkan Buntal dan membantingnya jatuh di tanah,
meskipun Sura sendiri juga terdorong beberapa langkah surut.

Buntal menyeringai menahan sakit di punggungnya yang membentur batu padas. Tetapi ia pun segera berusaha berdiri untuk menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi, meskipun pergelangan kakinya semakin terasa sakit.

Arum yang masih berdiri Di tempatnya menjadi semakin, bingung. Sudah tentu ia tidak akan dapat berdiam diri, apabila bahaya yang sebenarnya telah mengancam kedua saudaranya itu. Apapun yang akan dikatakan orang, dan apapun yang akan terjadi pada dirinya seterusnya ia tidak mempedulikannya lagi. Sehingga karena itu, ia pun justru melangkah mendekat, setelah ia meletakkan selendangnya.

“Tetapi aku memakai kain panjang” berkata Arum kepada diri sendiri di dalam hatinya, “sedang disini banyak orang. Kalau aku berada di halaman rumah sendiri di malam hari aku dapat menyingsingkan saja kain panjang ini. Tetapi bagaimana disini?”

Arum menjadi termangu-mangu. Tetapi ketika terpandang olehnya Buntal yang tampak terlampau kecil berdiri berhadapan dengan Sura, maka ia pun menggeretakkan giginya, “Apa peduliku dengan orang-orang itu. Aku dapat menyangkutkan kain seperti Buntal dan Juwiring”

Dalam pada itu, dada Arum berdesir ketika ia melihat Sura mulai menyerang lawannya. Sebuah pukulan yang keras mengarah ke pelipis Buntal. Tetapi Buntal cukup cekatan sehingga ia masih sempat mengelak. Bahkan kemudian dengan. lincahnya ia mencoba menyerang lambung Sura dengan kakinya.

Dengan gerak naluriah Sura mengibaskan tangannya, memukul kaki itu. Terdengar Buntal mengeluh tertahan. Terasa betisnya bagaikan dipukul dengan sepotong besi, sehingga ia terputar setengah lingkaran sebelum ia meloncat menjauhi Sura yang mengejarnya.

Juwiring sendiri masih berdiri termangu-mangu. Agaknya orang-orang yang mengurungnya pun menjadi termangu-mangu juga. Mereka masih menunggu apa yang harus mereka lakukan, sementara semua perhatian terikat oleh perkelahian antara Buntal dan Sura.

Hampir saja Arum menjerit, ketika ia melihat sekali lagi kekuatan mereka berbenturan, karena Sura tidak pernah berusaha mengelakkan serangan Buntal. Sekali lagi Buntal terlempar. Kali ini cukup keras, sehingga ia tidak dapat mempertahankan keseimbangannya lagi. Dengan derasnya ia jatuh terbanting dan berguling kokoh kuat yang seperti sepasang tiang terpancang jauh ke dalam bumi.

Ketika ia meloncat berdiri sambil menyeringai, ia sempat melihat orang itu. Seorang yang bertubuh tinggi kekar, bermata tajam dan berwajah sedalam lautan. Menilik raut mukanya yang meskipun kotor oleh debu dan keringat, orang itu bukan orang kebanyakan. Tetapi menilik pakaiannya, ia adalah seorang petani miskin yang baru berada dalam perjalanan yang jauh. Bajunya dibuka dan dililitkan di lambungnya. Kain panjangnya disingsingkannya pula, sehingga celananya yang sampai di bawah lututnya tampak kumal dan kotor sekotor wajahnya itu.

Kehadiran orang itu ternyata telah menarik perhatian. Sejenak ia berdiam diri memandang Buntal yang tertatih-tatih berdiri. Kemudian memandang orang-orang yang berada di sekitar arena perkelahian itu.

“Kenapa tuan-tuan berkelahi disini?” bertanya orang itu dengan suara yang berat.

“Siapa kau?” Rudira lah yang bertanya.

“Aku seorang petani yang berada dalam perjalanan yang jauh tuan. Dan siapakah tuan? Menilik pakaian tuan, tuan adalah seorang bangsawan”

“Ya. Aku adalah putera Pangeran Ranakusuma”

“O” petani yang bertubuh tinggi itu mengangguk dalam-dalam, “Maafkan aku tuan. Aku tidak tahu, bahwa tuan adalah seorang putera Pangeran”

“Sekarang kau sudah tahu. Minggirlah. Kami sedang menyelesaikan persoalan kami”

“Maaf tuan, apakah aku boleh bertanya?”

Rudira memandang orang itu dengan tajamnya. Tetapi jaraknya-tidak begitu dekat

“Kenapa perkelahian ini tidak dilerai? Dan agaknya anak muda yang seorang itu pun sudah terkepung pula?”

“Itu urusanku. Pergilah. Jangan mencampuri persoalan orang lain. Aku adalah putera Pangeran Ranakusuma. Aku mempunyai wewenang untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keinginanku atas orang-orang kecil yang tidak tahu adat ini”

“Jadi, tuanlah yang sedang melakukan tindakan kekerasan atas orang-orang kecil ini?”

“Ya”

“Apakah salah mereka?”

“Kau tidak mempunyai sangkut paut apapun juga dengan mereka. Pergilah, supaya kau tidak tersangkut di dalam persoalan ini” bentak Rudira.

“Aku sudah berjalan jauh tuan. Tetapi aku tidak pernah menjumpai persoalan serupa ini. Seharusnya tuan dan pengawal-pengawal tuan melindungi orang-orang kecil ini dari segala macam kesulitan”

“Diam, diam” tiba-tiba Rudira membentak, “Kau tahu akibat dari kata-katamu itu he? Bahwa kau berani membantah kata-kataku, itu adalah alasan yang baik bagiku untuk bertindak. Kau mengerti?”

“Mengerti tuan. Tetapi perjalananku yang jauh mengajar kepadaku, agar aku tidak cukup sekedar mengerti sikap orang lain, tetapi aku harus menilainya pula, apakah sikap itu benar atau tidak”

Tiba-tiba mata Rudira bagaikan menyala. Ia tidak menyangka bahwa orang yang tiba-tiba saja datang melihat perkelahian itu, bersikap sangat menyakitkan hati.

“He, apakah kau bukan kawula Surakarta?”

“Aku kawula Surakarta”

“Kenapa kau berani bersikap semacam itu kepadaku. Kepada putera Pangeran Ranakusuma”

“Aku pernah berjalan berkeliling kota Surakarta. Dan aku memang pernah mendengar siapakah Pangeran Ranakusuma itu. Kalau tuan puteranya, maka tuan pasti pernah melihat, ayahanda tuan adalah sahabat yang baik dari orang-orang yang berkulit aneh itu. Kulitnya tidak seperti kulit kita dan matanya tidak seperti mata kita. Tetapi itu bukan alasan untuk menarik batas antara kita yang berkulit kotor dan bermata gelap ini dengan mereka, tetapi tindak dan sikap merekalah yang membuat jarak antara kita dengan orang-orang asing itu. Memang tidak ada bedanya di dalam hakekat, bahwa kita adalah mahluk Tuhan seperti mereka. Tetapi juga tidak akan dibenarkan apabila yang satu mulai melakukan penghisapan kepada yang lain. Bangsa yang satu atas bangsa yang lain. Nah, tolong, sampaikan kepada ayahanda tuan, bahwa akulah yang berkata demikian”

“Siapa kau?”

“Seorang petani dari Sukawati”

“Huh” Raden Rudira menjadi semakin marah, “Apa artinya seorang petani bagi ayahanda. Pergi dari tempat ini, atau kau harus mengalami nasib seperti anak itu?”

“Anak ini adalah benih yang baik buat masa mendatang. Aku sebenarnya sudah melihat perkelahian yang terjadi disini dari kejauhan. Tetapi ketika aku melihat benih masa mendatang ini akan dipatahkan, aku merasa sayang, sehingga aku pun mendekat”

Jawaban itu bagaikan sebuah tamparan yang langsung dijawab Rudira, sehingga wajah itu pun menjadi merah padam. Dengan suara bergetar ia berkata, “Jadi, apa maksudmu he? Apa yang akan kau lakukan?”

“Aku melihat dua orang anak petani ini dapat berbuat banyak di saat-saat mendatang, Karena itu, jangan tuan mengganggunya”

“Persetan. Kau tidak dapat mencegah aku. Atau kau sendiri yang akan menjadi pengewan-ewan disini?”

“Tuan, aku sudah mendekati arena. Karena aku merasa sayang kepada dua orang anak muda yang berkelahi melawan beberapa orang inilah maka aku datang. Anak ini memang bukan lawan raksasa yang dungu itu”

“Gila” Sura hampir berteriak, “Apakah kau akan turut campur?”

“Maaf. Aku terpaksa turut campur”

“Sura” teriak Rudira yang tidak sabar lagi, “selesaikan orang itu”

“Baik tuan” jawab Sura sambil membusungkan dadanya. Lalu katanya, “Petani dari Sukawati, jangan menyesal bahwa kau hari ini telah salah langkah”

“Aku akan menerima segala nasib yang akan menimpaku hari ini” jawab petani itu.

Namun dalam pada itu Buntal tiba-tiba berkata, “Pergilah. Pergilah supaya kau tidak terlibat dalam persoalan ini”

“Aku memang melibatkan diriku, anak muda” jawab petani itu.

Tetapi petani itu tidak sempat lagi mengucapkan kata-kata yang sudah di kerongkongan, karena tiba-tiba saja Sura telah menyerangnya. Tangannya terayun dengan derasnya ke wajah petani yang kotor itu. Tangan Sura yang mempunyai kekuatan melampaui kekuatan kawan-kawannya abdi Ranakusuman.

Yang melihat ayunan tangan Sura itu menahan nafas. Demikian juga Juwiring, Buntal dan bahkan Rudira sendiri. Kalau tangan itu mengenai pelipis petani itu, maka ia pasti akan pingsan seketika.

Tetapi yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Setiap orang yang menyaksikan hanya dapat berdiri dengan mulut ternganga. Mereka hampir tidak percaya atas apa yang telah terjadi.

Dengan tenangnya, petani dari Sukawati itu menggerakkan tangannya. Tenang tetapi secepat gerak tangan Sura. Hampir tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tiba-tiba saja orang itu telah berhasil menggenggam pergelangan tangan raksasa yang marah itu. Demikian cepatnya, sehingga Sura tidak sempat menariknya. Bahkan sekejap kemudian terdengar Sura itu mengaduh pendek. Tangannya ternyata telah terpilin di punggungnya. Kemudian suatu hentakkan yang keras mendorongnya, sehingga Sura itu pun jatuh menelungkup dengan derasnya, sehingga wajahnya telah menyentuh tanah.

Tidak seorang pun yang dapat mengatakan, apa yang telah dilakukan oleh petani yang mengaku berasal dari Sukawati itu. Tetapi yang mereka lihat kemudian Sura berusaha dengan susah payah bangkit berdiri. Ketika ia meraba dahinya, terasalah sepercik darah dari kulitnya yang tersobek karena benturan sepotong batu padas.

Peristiwa yang sesaat itu, ternyata telah membuat gambaran yang jelas kepada semua orang yang menyaksikan, apa saja yang dapat dilakukan oleh petani yang sedang dalam perjalanan jauh itu. Karena itu, maka dada mereka pun menjadi berdebaran.....

Rudira yang menyaksikan hal itu pun seolah-olah telah membeku. Hampir tidak masuk akal, bahwa raksasa itu dapat dijatuhkannya dengan mudah dalam perkelahian beradu muka. Berbeda dengan serangan Buntal yang tidak terduga-duga. Tetapi kali ini justru Sura lah yang telah menyerang orang itu.

Hal itu membuat jantung Rudira menjadi susut. Tetapi darahnya yang menggelegak membuatnya berteriak, “He petani dungu. Kau sudah melawan keluarga Ranakusuma. Kau akan menyesal. Kami akan beramai-ramai mencincangmu tanpa tuntutan apapun juga”

“Silahkanlah tuan. Disini aku tidak berdiri sendiri. Setidak-tidaknya aku mempunyai dua orang kawan untuk melawan tuan bersama kawan-kawan tuan. Dan sebelumnya aku akan memperingatkan kepada tuan, bahwa tuan bersama pengiring tuan seluruhnya, tidak akan dapat melawan kami bertiga”

Rudira menggeram. Tetapi ia tidak begitu saja mempercayainya. Karena itu, ia berteriak, “Hancurkan orang itu lebih, dahulu”

Kini para pengiringnya memandang petani itu dengan penuh keragu-raguan. Tetapi apabila Raden Rudira memerintahkan, mereka pun harus melakukannya. Berkelahi dengan petani yang dengan sekilas telah menunjukkan kelebihan yang hampir tidak masuk akal.

“Cepat” teriak Rudira, “Orang itu harus kalian selesaikan dahulu, sebelum cucurut-cucurut kecil itu”

Para pengiring Rudira pun mulai bergerak, betapapun dada mereka diguncang oleh keragu-raguan. Apapun yang akan mereka alami, namun mereka tidak akan dapat menolak perintah Raden Rudira. Tetapi langkah mereka terhenti, ketika mereka melihat Juwiring dan Buntal pun mulai bergerak pula. Dengan nada yang dalam Juwiring dan Buntal pun mulai bergerak pula. Dengan nada yang dalam Juwiring berkata, “Terima kasih atas pertolonganmu, petani dari Sukawati. Dan kini sudah barang tentu bahwa aku tidak akan membiarkan orang-orang itu mengerubutmu beramai-ramai. Aku dan adikku akan turut campur dalam setiap pertengkaran dengan kau apapun alasannya. Apalagi karena kau telah menolong aku dan adikku”

“Terima kasih. Kita akan berkelahi bersama-sama melawan mereka” jawab petani dari Sukawati itu.

Ternyata hal itu telah mengguncangkan jantung Rudira. Sejenak ia memandang Juwiring, kemudian Buntal dan yang terakhir petani dari Sukawati itu.

Namun tiba-tiba saja ia menyadari keadaannya. Para pengiringnya tidak akan dapat melawan mereka bertiga. Orang yang bertubuh tinggi kekar itu memiliki kemampuan yang tidak terduga-duga. Kalau ia memaksakan perkelahian, maka ia pasti akan menderita malu jauh lebih banyak lagi. Sehingga karena itu, maka Rudira yang masih sempat menilai keadaan itu tiba-tiba saja berkata lantang, “Gila, semuanya sudah gila. Dan kita tidak akan terseret ke dalam kegilaan ini. Marilah kita tinggalkan orang-orang gila yang tidak berharga ini. Kita akan pergi berburu. Lebih baik menghunjamkan anak panah kita ke tubuh seekor kancil daripada harus dikotori dengan darah orang-orang yang tidak tahu adat ini. Tetapi ingat, bahwa keluarga Ranakusuma tidak akan tinggal diam. Kami akan mengambil tindakan yang pantas bagi kalian. Pada saatnya kami akan pergi juga ke Sukawati untuk menemukan seorang petani yang sombong macam kau”

Petani itu menengadahkan wajahnya. Jawabnya, “Aku akan menunggu tuan. Dan aku akan mengucapkan banyak terima kasih atas kunjungan tuan di Sukawati”

“Persetan. Kau akan menyesal” lalu ia berteriak kepada para pengiringnya, “tinggalkan cucurut-cucurut ini. Tangan kita jangan dikotori oleh lumpur yang melekat di tubuh mereka”

Keputusan itu terasa seperti embun yang menitik di hati para pengiringnya yang kering. Perintah itu tidak perlu diulang lagi. Ketika Rudira kemudian pergi ke kudanya dan langsung meloncat naik ke punggungnya, maka para pengiringnya pun segera berbuat serupa.

Sejenak kemudian maka kaki-kaki kuda itu berderap diatas tanah yang berbatu padas, melontarkan debu putih yang mengepul di udara. Beberapa pasang mata mengikutinya dengan debar jantung yang terasa semakin cepat.

Juwiring memandang debu yang semakin lama menjadi semakin tipis, dan yang kemudian lenyap disapu angin, seperti kuda-kuda yang berderap itu hilang di kejauhan.

Sambil menarik nafas ia berpaling kepada petani yang mengaku dari Sukawati itu. Kemudian dengan mantap ia berkata, “sekali lagi aku mengucapkan terima kasih Ki Sanak”

Petani itu menarik nafas dalam-dalam pula, seakan-akan ia ingin berebut menghirup udara dengan Juwiring. Katanya, “Kita sekedar saling tolong menolong” lalu sambil memandang kepada Buntal ia berkata, “Bukankah kau tidak apa-apa”

Buntal menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Aku tidak apa-apa”

“Syukurlah. Ternyata bahwa mereka, maksudku Putera Pangeran Ranakusuma beserta pengiringnya bukan orang-orang yang kuat lahir dan batinnya. Sebenarnya pertengkaran semacam ini tidak perlu terjadi”

Juwiring akan menyahut. Tetapi suaranya terputus ketika ia melihat seorang tua yang berlari-lari langsung mendapatkan Arum sambil berkata, “Kenapa kau Arum, kenapa?”

Arum mengerutkan keningnya. Dilihatnya ayahnya dengan nafas tersengal-sengal mendatanginya dengan wajah yang tegang.

“Aku tidak apa-apa ayah”

“Syukurlah. Sokurlah. Aku dengar Raden Rudira lewat di jalan ini dan kebetulan sekali berpapasan dengan kau”

“Ya ayah. Untunglah ada kakang Juwiring dan Buntal” Arum berhenti sejenak, dipandanginya petani dari Sukawati itu sambil berkata, “selebihnya orang itulah yang telah menolong kami”

Kiai Danatirta memandang petani dari Sukawati itu dengan seksama. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Terima kasih Ki Sanak atas semua pertolonganmu. Tetapi apakah dengan demikian kau sendiri tidak terancam oleh bencana karena tingkah laku Raden Rudira itu. Aku datang dengan tergesa-gesa ke tempat ini setelah seseorang memberitahukan kepadaku, apa yang terjadi. Aku masih melihat perkelahian yang berlangsung, dari kejauhan”

Petani itu mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Mereka tidak akan menemukan aku Kiai”

“Siapakah Ki Sanak sebenarnya?”

“Aku seorang petani dari Sukawati”

Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Ia melangkah semakin dekat dengan orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu. Tetapi sebelum ia dekat benar, petani itu berkata, “Sudahlah Kiai. Aku akan meneruskan perjalananku kembali ke Sukawati. Aku baru saja menempuh perjalanan jauh mengunjungi sanakku”

“Tunggu” cegah Kiai Danatirta, “Aku masih ingin bertanya”

Petani itu tertegun. Tetapi katanya, “Sudahlah. Tidak ada yang dapat aku terangkan lagi”

“Kenapa Ki Sanak membantu anak-anakku? Apakah Ki Sanak sudah mengenal mereka?”

“Belum Kiai. Tetapi mereka adalah harapan di masa datang. Karena itu aku merasa sayang apabila benih yang baru tumbuh itu akan dipatahkan” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Sudahlah Kiai. Aku akan pergi”

“Tunggu, tunggu” Kiai Danatirta menjadi semakin dekat. Dipandanginya wajah orang itu dengan saksama, seakan-akan ada yang dicarinya pada wajah orang itu.

Tiba-tiba saja, semua orang yang melihatnya terperanjat bukan buatan. Dengan serta-merta Kiai Danatirta berjongkok di hadapannya sambil menyembah, “Ampun Pangeran. Anak-anak itu tidak tahu, siapakah sebenarnya yang telah menolongnya”

Tetapi dengan cepatnya orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu pun menangkap lengannya dan menariknya berdiri, “Jangan berjongkok. Kalau kau mengenal aku, jangan kau beritahukan hal itu kepada siapapun”

Tetapi Juwiring dan Buntal telah melihat sikap yang aneh pada gurunya. Demikian juga agaknya Arum, sehingga hampir berbareng mereka melangkah maju dengan penuh keragu-raguan.

Kiai Danatirta tidak lagi berjongkok di hadapan petani dari Sukawati itu. Tetapi sikapnya menjadi berlainan sekali. Bahkan sambil menyembah ia berkata, “Ampun. Pangeran. Kami tidak menyangka bahwa tuan akan datang ke tempat ini”

Ternyata panggilan itu telah mengguncangkan dada anak-anak muda yang sudah semakin dekat, dan dapat menangkap kata-kata itu. Sejenak mereka berdiri tegak sambil saling berpandangan.

“Anak-anakku” berkata Kiai Danatirta, “Kemarilah. Kau pasti belum mengenalnya. Juwiring yang sudah lama tinggal di Ranakusuman pun pasti belum mengenalnya dengan baik, karena Pangeran ini jarang berada di antara kaum bangsawan. Bahkan Raden Rudira pun tidak.”

Juwiring memandang petani dari Sukawati itu dengan dada yang berdebar-debar. Baru kini ia melihat sinar yang tajam memancar dari sepasang mata orang itu. Sementara Buntal yang sudah sejak semula melihat kelainan di wajah petani itu menjadi semakin gelisah. Ia adalah orang yang pertama-tama berdiri paling dekat dengan orang itu, ketika ia terbanting jatuh dan berguling beberapa kali

Hampir saja menyentuh sepasang kakinya yang kuat. Dan sejak ia melihat wajah itu dari jarak yang sangat dekat, ia sudah melihat kelainan itu.

Arum yang seakan-akan tanpa menyadarinya bertanya perlahan-lahan, “Siapakah orang itu ayah?”

“Petani dari Sukawati” jawab orang itu.

Tetapi Kiai Danatirta berkata, “Perkenankanlah anak-anak ini mengenal siapakah tuan”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam.

“Bukankah tuan tidak berkeberatan?”

“Baiklah Kiai. Tetapi hanya anak-anakmu, meskipun aku tahu, bahwa mereka bukan anakmu sendiri”

“Terima kasih tuan” Kiai Danatirta pun kemudian berpaling kepada anak-anaknya, katanya, “Inilah yang bergelar Pangeran Mangkubumi”

“Pangeran Mangkubumi?” desis Juwiring. Hampir saja ia berlutut di hadapan orang itu, seandainya orang yang ternyata adalah Pangeran Mangkubumi itu tidak berkata, “Jangan membuat kesan yang aneh di tengah sawah ini. Aku adalah petani dari Sukawati. Lihat, masih banyak orang berada di sekitar tempat ini meskipun agak jauh. Tetapi jika mereka melihat sikap kalian, maka mereka pasti akan bertanya-tanya”

“Tetapi, tetapi…” suara Juwiring menjadi bergetar, “tuan adalah Pangeran Mangkubumi”

“Ya. Apakah salahnya kalau aku Mangkubumi” Pangeran Mangkubumi berhenti sejenak, lalu, “Kau pun pasti bukan anak Kiai Danatirta. Meskipun belum terlalu rapat, aku sudah berkenalan dengan orang yang menjadi ayahmu ini, sehingga ia berhasil mengenali aku dalam pakaianku ini. Bahkan aku sudah mengotori wajahmu dengan debu. Tetapi siapa kau sebenarnya?”

“Namanya Juwiring” Kiai Danatirta lah yang menjawab, “Ia adalah juga putera Pangeran Ranakusuma”

“O” Pangeran Mangkubumi mengangguk-anggukkan kepalanya, “jadi kau adalah putera Kangmas Ranakusuma? Jadi apamu kah yang berkuda itu?”

“Ia Putera Pangeran Ranakusuma yang muda tuan. Tetapi keduanya berlainan ibu. Raden Juwiring putera yang lahir dari seorang ibu dari rakyat jelata, atau katakanlah seorang bangsawan yang telah agak jauh dari lingkungan istana, sedang Raden Rudira, adiknya itu adalah putera yang lahir dari ibunda Raden Ayu Sontrang”

“Jadi yang berkuda itu anak Sontrang yang terkenal itu?”

“Ya tuan”

“Pantas sekali. Aku memang sudah mendengar serba sedikit apa yang terjadi di Ranakusuman. Tetapi aku tidak pernah datang berkunjung kehadapan kangmas Ranakusuma. Aku muak melihat bekas alas kaki orang asing yang tidak dilepas yang mengotori pendapa rumahnya yang pernah terasa keagungannya. Jadi anak inilah yang lahir dari seorang perempuan yang bernama Rara Putih?”

“Ya tuan”

“Dan Rudira itu anak Sontrang yang telah berhasil menyisihkan Diajeng Manik, puteri paman Reksanegara?”

“Ya tuan”

Pangeran Mangkubumi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku tahu betapa tamaknya perempuan itu. Ia mewarisi sikap ayahnya, pamanda Sindurata. Sikap yang sangat bertentangan dengan pamanda Reksanegara. Agaknya kumpeni telah ikut campur pula di dalam persoalan ini, sehingga mempercepat tersisihnya putera pamanda Reksanegara dari Ranakusuman”

Buntal mendengarkan keterangan itu dengan heran. Ternyata bagaimanapun juga ia tidak dapat mengerti, bahwa orang-orang yang masih terikat di dalam hubungan keluarga, bahkan masih terlalu dekat, dapat juga saling memfitnah, saling mendesak dan yang satu mengorbankan yang lain”

“Mereka adalah saudara sepupu” katanya di dalam hati, “bahkan Raden Rudira dan Raden Juwiring adalah saudara seayah”

Terbayang sekilas paman dan bibinya yang miskin. Mereka sama sekali tidak mempunyai kelebihan apapun juga dari pendapatan mereka sehari-hari. Bahkan untuk makan mereka pun masih belum memenuhi. Tetapi mereka mau juga memeliharanya. Mau juga memberinya tempat di antara keluarganya yang miskin itu.

“Aku tidak tahu” katanya pula di dalam hatinya, “Apakah justru orang-orang besar itulah yang kadang-kadang tidak lagi saling mengasihi di antara sesama. Mereka hidup berpegangan kepada kepentingan diri sendiri. Mereka sama sekali tidak lagi merasa terikat hubungan seorang dengan yang lain. Bahkan kalau perlu yang seorang berdiri beralaskan sesamanya tanpa menghiraukan sakit dan pedihnya”

Terkilas diangan-angan Buntal nasehat Kiai Danatirta, “Kita hidup bumi yang sama. Tuhan yang Satu walaupun Ia mempunyai sembilan puluh sembilan nama dan kita pun diciptakan dari tanah yang sama. Itulah sebabnya maka kita harus saling sayang menyayangi. Saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran”

Dalam pada itu, Buntal seakan-akan tersadar dari mimpinya ketika ia mendengar Pangeran Mangkubumi itu bertanya, “Lalu siapakah anak muda ini”

“Aku menemukannya di bulak ini tuan. Menurut pengakuannya ayahnya seorang abdi dari Katumenggungan Gagak Barong”

“O. Tumenggung itu lagi” desis Pangeran Mangkubumi, “Bagaimana ia sampai disini”

“Ia menjadi yatim piatu, sehingga ia harus pergi meninggalkan Katumenggungan itu”

“Itu lebih bagus baginya” Pangeran itu mengangguk-angguk, lalu, “gadis itu?”

“Itu adalah anakku tuan.”

“Anakmu?”

Kiai Danatirta menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi karena Arum ada di dekatnya, maka ia pun mengangguk sambil menjawab, “Ya tuan. Ia adalah anakku”

“Agaknya anakmu itulah yang telah menarik perhatian Rudira. Bukankah begitu?”

“Ya tuan”

“Lalu, Juwiring mencoba melindunginya. Apakah Juwiring ada di padepokanmu?”

“Ya tuan. Ia terusir dari istana Ranakusuman. Bahkan sebelum Raden Ayu Manik”

“Bagus. Tinggallah pada Kiai Danatirta. Aku akan sering berkunjung ke padepokan itu. Aku sering melakukan perjalanan semacam ini untuk melihat kenyataan. Bukan sekedar mendengar berita dari tembang rawat-rawat. Aku sendiri ingin melihat kebenaran. Apalagi setelah kumpeni mulai berpengaruh di Surakarta. Sebenarnya itu sangat menyakitkan hati. Tetapi tidak mudah untuk menolak pengaruh itu. Justru semakin lama agaknya malahan menjadi semakin kuat.

Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia juga menyadari kebenaran kata-kata Pangeran Mangkubumi. Kata-kata itu bukan sekedar meloncat karena dorongan perasaan yang sedang meluap. Tetapi agaknya Pangeran Mangkubumi sudah memikirkannya masak-masak.

Dalam pada itu, maka Pangeran Mangkubumi pun berkata kepada Kiai Danatirta, “Sudahlah. Aku akan meneruskan perjalanan. Aku sedang menjelajahi daerah Surakarta dari ujung Selatan”

“Apakah tuan tidak singgah barang sebentar di padepokan kami agar tuan dapat beristirahat”

“Terima kasih. Aku adalah pejalan yang tidak mengenal lelah. Aku memang membiasakan diri berjalan tanpa berhenti dari matahari terbit sampai matahari terbenam”

Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya kepada keterangan itu. Pangeran Mangkubumi memang sering berjalan dari matahari terbit sampai matahari terbenam, atau sebaliknya dari matahari terbenam sampai matahari terbit. Bahkan kadang-kadang Pangeran Mangkubumi sengaja tidak berbicara sama sekali selama perjalanannya.

Demikianlah maka petani dari Sukawati itu pun minta diri kepada Kiai Danatirta dan ketiga anak-anak angkatnya. Namun baginya, padepokan Jati Aking telah menarik perhatiannya.

Sepeninggal Pangeran Mangkubumi, Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak tahu sama sekali, bahwa orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu adalah Ramanda Pangeran Mangkubumi”

“Aneh sekali” desis Buntal, “Bukankah tidak terlalu banyak jumlah Pangeran di Surakarta?”

“Tetapi Pangeran Mangkubumi jarang sekali ada di kota. Apalagi jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah berhubungan dengan ayahanda Pangeran Ranakusuma, sehingga aku hampir tidak mengenalnya lagi. Memang sekali dua kali aku pernah melihatnya sepintas. Tetapi dengan mengotori wajahnya dan dengan pakaian yang kumal, aku tidak mengenalnya sama sekali, dan apalagi aku tidak menyangka bahwa Pangeran Mangkubumi akan menyamar diri serupa itu. Tentu adimas Rudira tidak mengenalnya pula. Untunglah, bahwa adimas Rudira segera meninggalkan tempat ini, sebelum Ramanda Mangkubumi bertindak lebih jauh.”

“Ternyata bahwa Pangeran Mangkubumi benar-benar bertindak atas suatu sikap. Bukan kebetulan saja ia berbuat sesuatu disini” berkata Kiai Danatirta.

“Aku dengar sikap Ramanda Pangeran Mangkubumi terhadap Kumpeni agak keras” berkata Juwiring.

“Ya. Itulah sebabnya Pangeran Mangkubumi tidak pernah berhubungan dengan Pangeran Ranakusuma, karena Pangeran Mangkubumi tahu, bahwa Pangeran Ranakusuma agak dekat dengan orang-orang asing itu”

Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan tatapan mata yang tajam dipandanginya petani dari Sukawati yang semakin lama menjadi semakin hilang ditelan kejauhan.

Ketika Pangeran Mangkubumi itu sudah tidak tampak lagi, Kiai Danatirta beserta anak-anaknya seolah-olah telah tersadar dari angan-angannya. Tiba-tiba saja orang tua itu berkata, “Kita masih berada di tengah-tengah bulak. Marilah, lanjutkan kerja kalian”

“O” Juwiring dan Buntal pun segera memungut alat-alat mereka sambil memandang Arum yang masih berdiri di pematang.

“Kau juga” berkata Juwiring.

Arum mengangguk. Diambilnya selendangnya, dan digendongnya pula bakul yang berisi makanan buat Juwiring dan Buntal yang kemudian kembali turun ke sawah.

“Aku akan kembali ke padepokan” berkata Kiai Danatirta, “hari ini aku tidak ikut bekerja bersama kalian. Tetapi hati-hati. Jangan kau katakan kepada siapapun, bahwa petani dari Sukawati itu adalah Pangeran Mangkubumi”

Demikianlah, ketika Juwiring dan Buntal sudah berada di sawahnya kembali, maka beberapa orang dengan ragu-ragu telah mendekatinya. Bagaimanapun juga mereka ingin juga mendengar, apakah yang sebenarnya terjadi, dan siapa sajakah yang telah terlibat di dalam persoalan itu.

“Raden” berkata seseorang, “Kami menjadi berdebar-debar menyaksikan apa yang telah terjadi. Untunglah bahwa semuanya telah selamat”

“Ya paman” sahut Juwiring, “Tidak ada apa-apa lagi”

“Tetapi siapakah anak muda yang berkuda diikuti oleh para pengiring itu? Apakah ia juga seorang Pangeran?”

“Ia putera seorang Pangeran”

“O” Orang-orang yang mendengar jawaban itu mengangguk-angguk. Itulah agaknya mengapa Raden Juwiring berani menentang kehendaknya, karena orang-orang itu pun tahu, bahwa Raden Juwiring adalah seorang bangsawan pula meskipun bukan seorang Pangeran.

“Tetapi, tetapi…” bertanya seseorang, “Apakah anak muda itu tidak akan mendendam dan di kesempatan lain berbuat sesuatu di luar dugaan?”

Juwiring menarik nafas. Jawabnya, “Memang mungkin. Tetapi apaboleh buat”

“Apakah Raden belum mengenalnya sebelum ini?” bertanya yang lain.

Juwiring menjadi termangu-mangu. Tetapi ia tidak mengatakan bahwa anak muda itulah yang bernama Raden Rudira, adiknya seayah.

“Aku sudah mengenalnya” jawab Juwiring, lalu, “Apakah kau tidak mendengar percakapan kami dan mendengar ia menyebut namanya?”

Orang-orang itu menggelengkan kepalanya. Salah seorang menjawab, “Kami tidak berani mendekat. Dan kami menjadi semakin berdebar-debar melihat seorang dari lingkungan kami ikut campur. Apakah orang itu tidak tahu, bahwa yang lagi bertengkar adalah para bangsawan”

Juwiring mengerutkan keningnya. Ketika tanpa sesadarnya ia berpaling kepada Buntal, dilihatnya anak muda itu menundukkan kepalanya.

Namun Juwiring pun kemudian menjawab, “Tidak seorang pun yang mengenal petani itu. Ia sadar, bahwa tidak mudah untuk menemukannya, sehingga karena itu ia berani menolong kami”

“Tetapi bukankah para bangsawan mempunyai banyak abdi yang dapat mencari dan menemukannya?”

“Berapapun banyaknya, tetapi pasti sangat sulit untuk mencari seorang petani di seluruh daerah Surakarta ini”

Orang yang kemudian telah berkerumun di sekitar anak-anak muda anak angkat Kiai Danatirta itu mengangguk-angguk. Alasan itu memang masuk akal. Adalah sulit sekali untuk menemukan seseorang di seluruh wilayah Surakarta yang luas ini.

“Tetapi” berkata salah seorang dari mereka, “Apakah Raden sendiri dengan demikian tidak merasa terancam?”

Juwiring menggelengkan kepalanya, “Tidak” jawabnya, “asal aku tidak memusuhi seseorang, maka aku pasti tidak akan mengalami apapun juga. Apa yang aku kerjakan adalah, membela diri dan melindungi saudaraku”

Orang itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Sekilas mereka memandang Buntal yang sudah mulai sibuk dengan cangkulnya.

Satu dua orang yang menyaksikan perkelahian itu dari kejauhan menjadi heran. Ternyata Buntal adalah seorang anak muda yang bersikap keras. Ia langsung menyerang lawannya tanpa menunggu apapun juga Raksasa itu dapat dijatuhkannya. Jika tidak ada orang lain yang harus dilayani, maka raksasa itu pasti tidak akan sempat bangun.

“Tetapi ia tidak berbuat apapun juga ketika karena salah paham anak itu dipukuli di bulak ini” berkata beberapa orang di dalam hatinya, “ternyata ia mampu berkelahi. Jika saat itu ia melawan dan apalagi mendapatkan sepucuk senjata jenis apapun, maka ia akan sangat berbahaya dan barangkali, kami akan lari tunggang langgang. Tetapi saat itu ia tidak melawan sama sekali sehingga kami dapat memukulinya sepuas-puas kami”

Tetapi orang-orang itu sama sekali tidak mengerti, bahwa Buntal menemukan kemampuannya justru sesudah ia berada di padepokan Jati Aking.

Dalam pada itu, Rudira yang marah memacu kudanya secepat-cepatnya. Di sepanjang jalan ia mengumpat tidak habis-habisnya. Bahkan kemudian ia berteriak memanggil, “Sura, Sura. Kemari”

Sura mencoba mempercepat derap kudanya, agar ia dapat menyusul Raden Rudira. Tetapi kuda Raden Rudira terlampau cepat, sehingga Sura tidak juga berhasil mendekatinya.

“Sura cepat kemari, “ Rudira berteriak, “Apakah kau sudah tuli”

“Ya, ya Raden. Aku sedang berusaha”

Jawaban itulah yang membuat Rudira sadar, bahwa derap kudanya ternyata terlampau cepat, sehingga Sura tidak segera berhasil menyusulnya. Karena itu, sambil berpaling ia memperlambat lari kudanya.

“Kau sekarang sudah gila” bentak Rudira.

Sura yang kemudian berada sedikit di belakangnya hanya menundukkan kepalanya saja.

“Kemari, cepat”

Sura tidak dapat membantah, sehingga karena itu ia berpacu di sisi Rudira yang marah.

“Kenapa kau tidak dapat berbuat apa-apa terhadap petani gila itu, he? Kenapa kau tidak dapat berbuat garang seperti biasanya?”

Sura tidak segera menjawab.

“Kenapa?” Rudira berteriak.

Sura menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia merasa tidak perlu ingkar lagi. Jawabnya kemudian, “Raden, orang itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Tangannya seperti besi, sehingga tidak akan ada kekuatan yang dapat mengimbanginya”

“O, jadi kau sekarang sudah bukan raksasa Ranakusuman lagi ya? Kau sekarang tidak ada bedanya dengan tikus-tikus piti yang berkeliaran di kandang kuda, itu? Bagaimana mungkin kau telah kehilangan kekuatan yang selama ini kau banggakan?” Raden Rudira berhenti sejenak, lalu, “mula-mula kau hampir saja dibunuh oleh anak itu. Untunglah Juwiring telah mencegahnya. Kemudian kau sama sekali tidak berdaya menghadapi petani dari Sukawati itu. Kalau saja ia mau membunuhmu, ia pasti dapat melakukannya”

Sura tidak dapat segera menjawab. Nafasnya terasa semakin cepat mengalir lewat lubang hidungnya.

“Tetapi kita tidak akan diam. Kita akan mencarinya di Sukawati. Kalau ia memberikan keterangan palsu, kita akan mencarinya di seluruh Surakarta, sampai kita dapat menemukannya dan memberinya sedikit peringatan, bahwa apa yang dilakukan itu tidak berkenan di hariku, putera Pangeran Ranakusuma. Aku dapat mengajak kawanku. Orang kulit putih itu”

Sura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja diberanikan dirinya untuk berkata, “Jangan Raden. Jangan membawa orang asing itu”

“Kenapa? Kau sama sekali sudah tidak berguna lagi bagiku”

“Tetapi orang asing itu akan berbuat terlampau kasar. Aku adalah orang yang paling kasar. Tetapi masih juga terasa sesuatu yang kurang mapan di dalam hati apabila orang asing itu memperlakukan keluarga kita dengan semena-mena”

“Apa katamu? Sejak kapan kau menjadi guruku he?” bentak Rudira hampir berteriak, “Apakah kau takut kehilangan kedudukanmu jika aku mendapat orang baru untuk memaksakan kehendakku?”

Sura menundukkan kepalanya.

“Kita akan melihat, apa yang akan kita lakukan kelak. Tetapi aku ingin menemukan orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu. Aku harus dapat membalas sakit hatiku. Ia akan mendapat hukuman yang jauh lebih berat dari kangmas Juwiring sendiri”

Sura tidak berani menyahut lagi. Ditundukkannya saja kepalanya dalam-dalam, meskipun dadanya masih tetap bergolak. Bagaimanapun juga ia lebih senang bertindak sendiri dengan kekasaran yang tidak tanggung-tanggung daripada melihat orang asing itulah yang berbuat kasar kepada orang-orang Surakarta.

Demikianlah iring-iringan itu berpacu semakin cepat. Untuk beberapa lamanya mereka tidak berbicara apapun juga. Wajah Raden Rudira tampak gelap seperti mendung yang mengambang di langit. Kegagalannya menyentuh seorang gadis manis dari padepokan Jati Aking membuat hatinya kelam. Bukan karena gadis itu sendiri, karena ia masih akan dapat mencari gadis yang lebih cantik dari Arum, tetapi justru karena Juwiring lah yang merintanginya. Apalagi tiba-tiba saja muncul seorang petani yang bodoh sekali, yang berusaha membantu Juwiring dan anak gila yang hampir saja membuat Sura pingsan.

Pikiran-pikiran itulah yang membelit perasaannya selama ia berada di punggung kudanya. Perburuan yang dilakukan kali ini benar-benar tidak menggembirakannya.

Meskipun demikian Rudira sampai juga di hutan perburuan. Setelah beristirahat sejenak, maka ia pun mulai memasuki hutan yang tidak begitu lebat, untuk mencari binatang-binatang buruan yang memang banyak berkeliaran di antara semak-semak.

Tetapi karena hatinya yang sedang pepat, maka adalah kebetulan sekali, ia tidak menemukan seekor kelinci pun. Binatang-binatang hutan itu seolah-olah telah mengetahui kehadiran beberapa orang pemburu, sehingga mereka pun bersembunyi jauh ke dalam daerah yang lebih rapat.

“Gila” Rudira mengumpat-umpat, “Kemana binatang-binatang ini bersembunyi”

Pengiringnya tidak ada yang berani menyahut. Tetapi mereka berpendapat di dalam hati, “Tentu tidak akan mendapat seekor binatang pun, jika cara berburu ini dilakukan seperti sekelompok orang-orang menebas hutan, sehingga binatang di seluruh hutan ini pasti akan berlari-larian”

Akhirnya Rudira menjadi lelah. Keringatnya membasahi seluruh pakaiannya. Namun belum seekor binatang pun yang didapatkannya.

“Kita berhenti” teriak Rudira kemudian, “nanti malam kita ulangi. Kita akan mendapatkan harimau yang paling besar di hutan ini, atau rusa jantan yang bertanduk sepanjang badan kita”

Maka perburuan itu pun dihentikannya. Mereka kemudian mencari tempat untuk beristirahat dan menunggu matahari terbenam di Barat. Memang di malam hari kadang-kadang mereka dapat mengintai harimau yang keluar dari sarangnya mencari mangsa. Dari atas pepohonan mereka dapat membidik dan melepaskan anak panah tepat mengenai pangkal kaki depannya. Biasanya harimau itu tidak akan dapat lari terlampau jauh. Dengan demikian maka beramai-ramai mereka akan dapat membunuhnya, kalau mungkin tanpa membuat luka-luka di tubuh harimau itu.

Semakin sedikit luka-luka pada kulit harimau itu, maka belulang yang didapatnya akan menjadi semakin berharga.

Namun tidak seperti biasanya Raden Rudira selalu gelisah. Ia sama sekali tidak menerima keadaan yang baru saja dialami. Petani dari Sukawati itu memang pantas untuk dihukum seberat-beratnya.

Tiba-tiba saja Rudira tidak berhasil menahan perasaannya lagi. Dengan serta-merta ia berteriak, “Kita kembali ke Ranakusuman. Kita membawa beberapa orang lagi. Kita pergi ke Sukawati. Baru setelah itu aku dapat dengan tenang berburu”

Sura menjadi termangu-mangu. Tetapi seperti kawan-kawannya yang lain ia sama sekali tidak berani mencegahnya. Karena itu, ketika Raden Rudira menyiapkan kudanya, yang lain pun berbuat serupa pula.

Ternyata mereka meninggalkan daerah perburuan itu. Kuda-kuda itu berpacu secepat-cepatnya kembali ke Surakarta melalui jalan lain. Mereka tidak mau lagi berjumpa dengan petani dari Sukawati sebelum membawa kawan lebih banyak lagi. Atau bertemu dengan Juwiring dan kawan-kawannya di tengah-tengah bulak.

Kedatangan mereka di istana Ranakusuman menjelang sore hari telah mengejutkan beberapa orang pelayan. Biasanya Rudira berada di daerah perburuan dua sampai tiga hari. Tetapi baru pagi tadi ia berangkat, kini ia telah datang kembali dengan wajah yang buram.

Setelah meloncat dari punggung kudanya, ia langsung berlari-lari masuk ke ruang belakang mencari ibunya yang sedang duduk dihadap oleh para pelayan.

“Ibu” Rudira hampir berteriak.

Raden Ayu Galihwarit terkejut. Dengan serta-merta ia berdiri menyongsong puteranya yang manja itu.

“Kau sudah kembali?”

“Ada orang-orang gila yang menghalangi perjalananku”

“Siapa? Ada juga orang yang berani berbuat demikian? Apakah karena mereka tidak tahu bahwa kau adalah putera Pangeran Ranakusuma atau mereka dengan sengaja ingin menentang ayahandamu?”

“Yang kedua. Orang itu tahu benar siapa aku”

“Benar begitu? Siapakah orang itu?”

“Kakang Juwiring”

“Juwiring. Juwiring anak dungu itu?”

“Ya bunda”

“Dimana kau bertemu dengan Juwiring?”

“Di tengah-tengah bulak, ia sekarang tidak ubahnya seperti seorang petani biasa. Bekerja di sawah penuh dengan noda-noda lumpur di pakaiannya yang kotor. Tetapi ia masih berani menghalang-halangi aku”

“Apa yang dilakukannya? Apakah ia menghentikan perjalananmu atau dengan sengaja mengganggumu tanpa sebab?”

Rudira terdiam sejenak. Diedarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya, seakan-akan ada yang sedang dicarinya.

“Dimana ayahanda?” Ia bertanya.

“Kenapa?”

“Apakah ayahanda pergi ke istana menghadap Kangjeng Susuhunan”

Ibunya menggelengkan kepalanya.

“Ayahandamu ada di rumah”

“Aku akan menghadap. Aku memerlukan beberapa orang”

“Untuk apa? Apakah kau berselisih dengan Juwiring? Jika demikian bukankah kau sudah membawa Sura dan beberapa orang lagi?”

Rudira tidak segera menyahut.

“Apakah Sura tidak dapat mematahkan lehernya, kalau anak-itu memang berani menentangmu Kau bukan anak-anak sederajatnya Derajatmu lebih tinggi, meskipun kau adalah saudara seayah”

“Ya. Aku tahu. Yang penting bagiku bukan kakang Juwiring. Tetapi seorang petani dari Sukawati”

“Seorang petani?”

“Ya. Ia lah yang membantu kakang Juwiring sehingga aku. gagal memaksakan kehendakku atasnya”

“Seorang petani kau bilang?”

“Ya ia seorang petani dari Sukawati. Ia berani melawan aku meskipun aku sudah mengatakan bahwa aku adalah putera Pangeran Ranakusuma. Ia mungkin menganggap, bahwa aku tidak akan dapat menemukannya. Tetapi aku benar-benar akan mencarinya ke Sukawati.

Raden Ayu Galihwarit yang juga disebut Raden Ayu Sontrang termenung sejenak. Tetapi kemudian katanya, “Menghadaplah. Ayahandamu ada di ruang dalam”

“Ayahanda” desis Rudira.

Pangeran Ranakusuma berpaling. Dilihatnya Rudira berdiri sambil menundukkan kepalanya.

“Apa?” pertanyaan ayahnya terlampau singkat.

“Aku memerlukan sesuatu ayahanda”

“Apa?

“Perkenankan aku membawa lima orang pengawal ayahanda selain Sura dan pengiringku sendiri” Rudira berhenti sejenak, lalu, “bahkan apabila ayahanda berkenan, aku akan mengajak kawan ayahanda”

“Kumpeni maksudmu?”

“Ya. Mereka mempunyai jenis senjata yang menakjubkan”

“Ada apa sebenarnya”

“Seorang petani telah berani menghina aku, ayahanda. Aku akan mencarinya ke rumahnya. Ia mengaku petani dari Sukawati. Selebihnya aku juga akan membuat perhitungan dengan kakang Juwiring”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Ia masih duduk di tempatnya. Tatapan matanya sudah kembali menerobos pintu-pintu yang membatasi ruangan-ruangan di dalam rumah itu langsung menikam cahaya matahari di halaman.

“Kenapa kau selalu membuat keributan Rudira” pertanyaan itu sama sekali tidak diduganya, sehingga karena itu, sejenak ia terbungkam. Bahkan dadanya menjadi berdebar-debar dan kakinya bergetar.

“Juwiring sudah jauh dari istana ini. Kau masih juga menyusulnya sekedar membuat persoalan. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki? Dan apalagi dengan seorang petani dari Sukawati. Buat apa kau minta kumpeni melibatkan diri dalam persoalan itu. Mungkin karena merasa tidak dapat menang atas petani itu atau atas Juwiring, maka kau ingin mematahkan lawanmu dengan senjata api itu. Bukankah dengan demikian kau berarti telah membunuhnya dengan meminjam tangan orang asing?”

Rudira masih berdiam diri.

“Katakan apa yang sudah terjadi”

Rudira tidak dapat ingkar. Maka diceriterakan apa yang sudah terjadi. Ketika ia tiba-tiba saja tertarik pada seorang gadis desa yang berada di tengah-tengah bulak. Ternyata gadis itu adalah anak Kiai Danatirta.

“Kau yang salah” desis Pangeran Ranakusuma, “seharusnya seorang putera Pangeran tidak berlaku demikian”

Sekali lagi Rudira terkejut. Ia banyak mendengar ceritera tentang bangsawan yang manapun yang ia sukai. Kemudian apabila perempuan itu mengandung, maka perempuan itu diberikan saja sebagai triman kepada pelayan-pelayannya atau kepada bebahu padesan. Mereka akan merasa mendapat kehormatan besar menerima triman seorang perempuan yang sudah mengandung. Karena anak yang akan lahir memiliki aliran darah seorang bangsawan.

Tetapi ayahnya berkata selanjutnya, “Juwiring adalah kakakmu. Bagaimanapun juga ia adalah anakku pula” Rudira tidak menyahut.

“Lalu bagaimana dengan petani itu”

“Ia telah membantu kakang Juwiring meskipun aku sudah mengatakan bahwa aku adalah Putera Pangeran Ranakusuma?”

Pangeran Ranakusuma tidak segera menyahut. Ia merenung sejenak, lalu, “Biarkan saja mereka. Suatu pelajaran buatmu, agar kau tidak berbuat sewenang-wenang. Sekali lagi aku beritahukan kepadamu, bahwa kaulah yang bersalah. Bukan Juwiring. Sedang petani itu adalah seorang yang ingin berdiri diatas kebenaran. Mungkin ia mengetahui, bahwa kau dan Juwiring adalah kakak beradik. Karena itu ia berani ikut campur”

Rudira menjadi semakin tunduk. Ia tidak lagi berharap bahwa ayahandanya akan membantunya menebus malu yang tercoreng di kening.

“Kangmas Ranakusuma” tiba-tiba terdengar suara melengking sehingga Pangeran Ranakusuma berpaling. Dilihatnya isterinya yang muda, Raden Ayu Sontrang berdiri di samping anaknya, “Kenapa kangmas sekarang berpendirian lain? Sebaiknya kangmas membesarkan hati Rudira, bukan sebaliknya. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mempercayainya. Bersama Rudira beberapa orang pengiring akan dapat memberikan keterangan”

“O” Pangeran Ranakusuma mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kita memang tidak perlu menghukum Juwiring. Tetapi Setidak-tidaknya Juwiring perlu mendapat peringatan agar ia tidak selalu mengganggu Rudira”

Pangeran Ranakusuma mengangguk, “Ya. ya. Ia memang perlu mendapat peringatan”

“Dan sudah barang tentu, kita tidak akan dapat tinggal diam apabila seorang petani telah berani melawan Rudira. Petani dari. Sukawati itu”

“Ya. ya. Memang petani itu adalah seorang yang deksura sekali”

“Nah, jika demikian apa yang dapat kita lakukan?”

“Jadi. apakah yang diminta oleh Rudira?”

“Lima orang pengawal dan apabila mungkin kumpeni. Bukankah begitu?”

“Kita tidak akan dapat minta kumpeni untuk kepentingan! serupa ini”

“Bukan secara resmi. Kita mempunyai banyak kawan yang pasti akan bersedia menolong kita secara pribadi”

“Aku kira itu sama sekali tidak perlu. Kalau Rudira ingin-membuat petani itu jera, apakah sekian banyak orang tidak akan mampu melakukannya? Ia akan membawa Sura dengan pengiringnya yang lain bersama lima orang pengawal. Apalagi?”

“Petani itu memiliki kemampuan yang luar biasa. Dengan sekali hentak Sura sudah menjadi lumpuh”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Apakah ada seorang petani yang dapat melawan sepuluh orang lebih sekaligus. Apalagi di antara sepuluh orang itu terdapat Sura dan lima orang pengawal”

“Apa salahnya membawa seorang kawan. Aku akan minta kepada mereka secara pribadi. Nanti malam pasti ada satu dua orang yang datang kemari”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam Ia tidak dapat membantah setiap keinginan isterinya. Isterinya itu baginya, merupakan seorang yang berhak mengambil keputusan apapun. Juga hubungan dengan orang-orang asing itu, meskipun Pangeran Ranakusuma menaruh juga sedikit kecurigaan terhadap hubungan mereka dengan Raden Ayu Sontrang.

Tetapi Pangeran Ranakusuma bagaikan orang yang kena pesona. Karena ketakutannya ditinggalkan oleh isterinya yang cantik itulah, maka seakan-akan ia harus menuruti semua permintaannya.

Meskipun demikian kali ini karena persoalannya akan menyentuh tanah Sukawati ia masih mencoba memperingatkan, “Ingatlah, kedatangan orang asing itu masih belum dapat diterima sepenuhnya oleh rakyat Surakarta. Apalagi persoalannya akan menyangkut daerah Sukawati. Kita tahu bahwa daerah Sukawati adalah daerah yang berada di bawah perlindungan adimas Pangeran Mangkubumi. Dan kita tahu, bahwa adimas Pangeran Mangkubumi bukanlah orang yang dapat diajak berbicara dengan baik mengenai orang-orang asing itu”

“Apa peduli kita dengan Pangeran Mangkubumi? Kalau Pangeran Mangkubumi berani menentang kedatangan orang-orang asing itu, berarti ia akan menentang kekuasaan Kangjeng Susuhunan. Dan itu tidak akan mungkin terjadi”

“Memang demikian. Tetapi alangkah baiknya kalau kita tidak ikut serta mempertajam pertentangan itu. Biarlah Rudira membawa pengawal berapapun yang dibutuhkan. Tetapi ingat, jangan merusakkan daerah Sukawati. Ia hanya dapat mengambil orang yang diperlukan. Bahkan orang itu sama sekali tidak berasal dari Sukawati, tetapi sengaja menyebut dirinya orang Sukawati”

“Aku sudah memperhitungkannya ayahanda. Tetapi seandainya bukan orang Sukawati, aku akan mencarinya. Aku akan menjelajahi bulak-bulak panjang, karena aku menduga ia memang seorang petualang”

“Kau akan membuang-buang waktu”

“Tentu tidak setiap hari. Kadang-kadang aku akan memerlukan melewati jalan-jalan padesan. Hatiku benar-benar telah disakiti”

Raden Ayu Sontrang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Begitulah ayahandamu Rudira. Terlalu banyak pertimbangan dan kecemasan. Sebagai seorang bangsawan sebenarnya ayahandamu pun mempunyai banyak keleluasaan. Tetapi ayahandamu selalu ragu-ragu”

Pangeran Ranakusuma tidak menyahut. Ia hanya menarik nafas saja dalam-dalam.

“Baiklah” berkata ibu Rudira, “kali ini kau tidak usah membawa kumpeni. Pergilah sendiri ke Sukawati. Meskipun Sukawati berada dalam perlindungan Pangeran Mangkubumi, tetapi kau berhak mengambil seseorang yang telah berbuat salah kepadamu. Kau dapat menemui Demang Sukawati dan membawanya serta. Ia tidak akan berani membantah perintahmu apalagi atas nama ayahandamu Pangeran Ranakusuma”

“Baik ibu. Aku akan pergi besok. Aku harus mengambil petani itu. Aku masih ingat bentuk dan ciri-cirinya. Kalau bukan aku, Sura dan para pengiring tentu masih ingat pula. Aku akan mengambilnya, dan mengadilinya di luar daerah Sukawati”

“Hati-hatilah” berkata Pangeran Ranakusuma, “Aku segan terlibat dalam suatu persoalan dengan adimas Pangeran Mangkubumi. Meskipun ia lebih muda dari aku, tetapi ia memiliki sesuatu yang tidak dapat aku sebutkan”

“Ah, kangmas selalu berkecil hati. Apakah lebihnya Pangeran Mangkubumi?”

Pangeran Ranakusuma tidak menjawab, tetapi tatapan matanya kembali menembus langsung kehalaman depan.

“Pangeran Mangkubumi tidak disukai oleh kalangan istana dan Kumpeni” berkata Raden Ayu Sontrang sambil mengangkat wajahnya, “Kalau kita bukan orang-orang yang baik hati, kita dapat mempercepat dan mematangkan persoalan, sehingga Pangeran Mangkubumi tidak mendapat tempat lagi di istana”

“Apakah keuntungan kita dengan berbuat demikian?” bertanya Pangeran Ranakusuma, “Bagaimanapun juga ia adalah saudaraku”

“Tetapi ia keras hati kalau tidak dapat disebut keras kepala. Kenapa ia menjauhi kami, yang disebutnya orang-orang yang telah berhubungan dengan orang asing?”

“Sudahlah. Itu bukan persoalan kita. Kalau pihak istana akan bertindak atasnya, biarlah mereka bertindak” Pangeran Ranakusuma menarik nafas, lalu katanya kepada puteranya, “Rudira. Batasi persoalanmu dengan petani yang kau maksud itu saja”

“Ya ayah”

“Tidak akan ada manfaatnya kau bertindak lebih jauh dari itu. Perselisihan-perselisihan yang timbul sudah cukup memusingkan kepalaku. Jangan membuat persoalan baru”

“Kangmas Pangeran lah yang sebenarnya terlalu baik hati. Tetapi di jaman ini orang yang terlampau baik, pasti justru akan terinjak. Kita harus memanfaatkan yang ada di hadapan kita. Termasuk orang asing itu”

Pangeran Ranakusuma memandang wajah isterinya yang tengadah itu sejenak. Isterinya itu memang seorang yang cantik. Pantas dengan sebutannya. Kulitnya yang halus dan wajahnya bagaikan telaga yang memantulkan cahaya matahari pagi. Tetapi Pangeran Ranakusuma pun menyadari, bahwa hubungan isterinya itu dengan kumpeni sangat mencurigakan. Namun demikian, Pangeran Ranakusuma sendiri tidak tahu, pengaruh apakah yang sudah mencengkamnya, sehingga seolah-olah isterinya itu adalah orang yang paling berkuasa di dalam rumah ini. Bahkan ia telah mengantarkan isteri pertamanya kembali kepada ayahnya, dan menyingkirkan anaknya yang tua ke padepokan Jati Aking.

Pangeran Ranakusuma berpaling ketika Rudira berkata, “Besok pagi-pagi benar aku akan berangkat ayah”

Pangeran Ranakusuma mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Tetapi jika Ramandamu Pangeran Mangkubumi ada di Sukawati, kau harus mohon ijin kepadanya”

“Ya ayahanda. Tetapi aku tidak terlalu dekat dengan Ramanda Mangkubumi. Aku jarang sekali melihat dimanapun, karena Ramanda Pangeran Mangkubumi jarang sekali berkumpul dengan para Pangeran. Ia seakan-akan seorang Pangeran yang terasing dari lingkungan keluarga besar”

“Tidak” jawab Pangeran Ranakusuma, “Adimas Pangeran Mangkubumi bukan orang terasing. Ia dekat sekali dengan para Bangsawan yang sependirian. Terutama menghadapi kedatangan orang-orang asing itu di Surakarta.

“Ah. Itu hanyalah sekedar bayangan di dalam kegelapan. Sebentar lagi ia harus menyesuaikan diri dengan keadaan” Sahut Raden Ayu Sontrang.

Pangeran Ranakusuma tidak menjawab lagi. Ia kembali duduk memandang kekejauhan.....

“Pergilah” berkata Raden Ayu Sontrang kemudian kepada puteranya, “siapkan keperluanmu itu. Tetapi hati-hati1ah. Petani itu pasti bukan petani yang tidak mengerti menanggapi keadaan yang dihadapinya”

“Baik ibu” sahut Raden Rudira sambil bergeser meninggalkan ruang itu.

Sepeninggal Raden Rudira, Raden Ayu Sontrang maju perlahan-lahan mendekati suaminya dan berdiri di belakangnya. Kemudan sambil memijit pundaknya ia berkata, “Kangmas terlampau hati-hati. Sudahlah, jangan dirisaukan lagi adimas Pangeran Mangkubumi”

Pangeran Ranakusuma tidak menyahut. Namun setiap kali, sentuhan tangan isterinya itu seolah-olah telah meluluhkan segala akalnya, sehingga apapun yang dikatakannya tidak dapat dibantahnya lagi.

Di hari berikutnya. Raden Rudira sudah siap dengan para pengiringnya. Ia benar-benar akan mencari petani yang sudah membuatnya terlampau sakit hati. Jika petani yang demikian itu tidak dihukum, maka akibatnya akan dapat membahayakan kedudukan para Bangsawan. Petani itu akan membuat orang-orang kecil yang lain berani pula melawan.

“Kalau Ramanda Pangeran Mangkubumi ada, aku akan mohon ijin. Tetapi jika tidak diijinkan, atas nama ayahanda Pangeran Ranakusuma aku akan bertindak. Ayahanda Ranakusuma adalah saudara tua Ramanda Mangkubumi, sehingga wewenangnya pasti lebih besar dari yang muda” berkata Raden Rudira di dalam hatinya. Meskipun ia tidak terlalu sering bertemu, tetapi ia pernah beberapa kali bertemu dan bahkan pernah berbicara satu kali di halaman Masjid Agung.

“Ramanda Pangeran Mangkubumi mudah dikenal” berkata Rudira di dalam hatinya pula, “wajahnya yang agung dan tatapan matanya yang tajam. Ia seorang pendiam dan penuh dengan wibawa”

Namun ternyata hatinya tiba-tiba saja berkeriput. Kalau benar Pangeran Mangkubumi ada di Sukawati, apakah ia akan berani berbuat sesuatu?.

“Tetapi Ramanda Pangeran Mangkubumi pun pasti akan membantu. Petani itu harus dihukum. Ramanda Pangeran Mangkubumi pun pasti tidak akan senang mendengar ceritera tentang seorang petani yang berani melawan seorang Bangsawan” Rudira mencoba menenteramkan hatinya sendiri.

Demikianlah, setelah semuanya siap, dan setelah minta diri kepada ayah dan ibunya, Raden Rudira pun meninggalkan rumahnya diiringi oleh beberapa orang. Agar perjalanannya tidak menimbulkan pertanyaan, maka mereka pun telah membawa pula kelengkapan berburu. Seakan-akan mereka adalah iring-iringan beberapa orang yang pergi ke hutan perburuan.

Tetapi perjalanan yang mereka tempuh kali ini adalah perjalanan yang agak jauh. Lewat tengah hari mereka baru akan sampai di tempat yang mereka tuju. Tetapi kadang-kadang mereka pasti harus berhenti dan beristirahat. Kalau bukan kuda-kuda mereka yang haus, maka mereka sendirilah yang haus di bawah terik matahari sehingga baru di sore hari mereka akan sampai ke daerah Sukawati.

“Ramanda Pangeran Mangkubumi pasti tidak ada disana. Meskipun jarang berada di lingkungan para bangsawan, tetapi Pangeran Mangkubumi pasti berada di kota. Mungkin hanya sebulan sekali atau bahkan tiga bulan sekali, ia pergi ke Sukawati yang sepi itu”

Rudira berusaha menenangkan kegelisahannya sendiri. Namun demikian kadang-kadang hatinya masih juga menjadi berdebar-debar.

Tetapi perjalanan itu sendiri adalah perjalanan yang menyenangkan. Kadang-kadang mereka masih harus menyusup di antara hutan rindang dan lewat di Padukuhan-padukuhan kecil. Para petani yang melihat iring-iringan itu menjadi ketakutan, dan mereka pun segera berjongkok di pinggir jalan, karena mereka tidak dapat segera membedakan, apakah yang lewat itu seorang bangsawan dari tingkat pertama, atau tingkat berikutnya. Namun kuda yang tegar, pakaian yang gemerlapan dan pengiring yang banyak, membuat para petani dan orang-orang kecil lainnya berdebar-debar.

Demikianlah maka perjalanan Rudira tidak menjumpai rintangan apapun di perjalanan. Sekali-sekali mereka berhenti, memberi kesempatan kepada kudanya untuk minum seteguk dan beristirahat sejenak Dalam pada itu Rudira sempat juga memandang daerah yang terbentang di hadapannya. Daerah yang hijau segar. Sawah yang luas, dibatasi oleh padukuhan dan pategalan. Sungai yang berliku liku menyusup di antara perbukitan padas yang rendah.

Tetapi semakin dekat iring-iringan itu dengan Sukawati, maka hati Rudira pun rasa-rasanya menjadi semakin gelisah. Bukan saja Rudira, tetapi para pengiringnya pun menjadi gelisah pula, meskipun di antara mereka terdapat lima orang pengawal dan beberapa orang pengiring Rudira di bawah pimpinan Sura.

“Apakah orang-orang Sukawati akan membiarkan kami mengambil salah seorang warga pedukuhan mereka?” pertanyaan itu yang selalu menyelinap di dalam hati, “Jika mereka berkeberatan, dan Raden Rudira berkeras hati, maka akibatnya akan dapat menimbulkan pertengkaran. Bahkan mungkin pertumpahan darah. Jika demikian, persoalan ini tidak akan berhenti sampai sekian. Pasti masih ada persoalan-persoalan berikutnya.

Sura menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah orang yang paling kasar di antara para pengiring Rudira. Tetapi setiap kali terbayang olehnya, orang-orang berkulit putih itu ikut campur di dalam persoalan orang-orang Surakarta, hatinya menggelonjak.

Tetapi apabila persoalan petani dari Sukawati itu akan berkepanjangan, maka mau tidak mau, Raden Rudira lewat ibunya pasti akan menyeret beberapa orang kulit pulih ikut serta di dalam persoalan ini, karena Pangeran Ranakusuma tidak akan dapat menggali kekuatan dari rakyat di Tanah Kelenggahannya.

Demikianlah maka menjelang sore hari, iring-iringan itu benar-benar telah mendekati Sukawati. Dari kejauhan mereka. sudah melihat padukuhan yang hijau subur. Beberapa padukuhan yang terpencar itu terikat di dalam satu wilayah Kademangan di bawah perlindungan Pangeran Mangkubumi, karena daerah itu merupakan Tanah Kalenggahannya.

Tanpa sesadarnya, semakin dekat dengan daerah Sukawati, Rudira berpacu semakin lambat. Bahkan akhirnya ia pun berhenti berapa ratus tonggak dari induk padukuhan di Sukawati.

“Dimanakah rumah Demang di Sukawati?” Ia bertanya.

Tidak seorang pun yang segera menjawab.

“Dimana” Raden Rudira hampir berteriak, “Sura, apakah kau sudah tuli”

“O, maksud Raden, rumah Demang Sukawati?”

“Ya, rumah Ki Demang. Apakah kau pernah melihat”

“Pernah Raden. Aku memang pernah pergi ke Sukawati. Aku pernah singgah di rumah Demang Sukawati”

“Kau sudah mengenalnya?”

“Sudah. Aku sudah mengenalnya”

“Baik. Bawa aku kepadanya. Aku akan bertanya kepadanya tentang petani gila itu” Ia harus dapat menemukannya dan membawa kepadaku”

Sura akan berbicara beberapa patah kata. Tetapi kata-katanya tersangkut di kerongkongan. sehingga karena itu, ia hanya sekedar menelan ludahnya saja”

“Marilah, tunjukkan aku rumah Ki Demang itu”

Sura mengangguk-angguk kecil. Jawabnya terbata-bata, “Baik, baik Raden”

“He, kenapa kau menggigil seperti orang kedinginan? Kau takut he?”

“Tidak. Tidak” jawab Sura.

Namun demikian Sura sendiri melihat, wajah Raden Rudira menjadi pucat.

Baik Rudira maupun Sura dan para pengiring yang lain, tidak tahu, apakah sebabnya sehingga mereka merasa cemas dan tegang. Bagi mereka, seorang rakyat kecil tidak akan banyak berarti. Apa saja yang dikehendaki atas mereka, biasanya tidak pernah urung.

Demikianlah, Raden Rudira dan pengiringnya mencoba menenteramkan hati mereka yang bergolak ketika mereka sudah berada di mulut lorong tanah Sukawati Para pengawal yang merupakan orang-orang khusus di Dalem Kapangeranan itu pun merasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya mereka tidak sekedar akan bertindak terhadap seorang petani betapapun tinggi kemampuan tempurnya.

Tidak ada seorang petani pun yang dengan tergesa-gesa berjongkok apalagi sambil menyembah. Mereka tetap pada pekerjaan mereka. Satu dua di antara mereka berpaling, namun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Sura yang ada didekatnya, “Gila” Raden Rudira menggeram. Sura yang didekatnya memang ikut merasakan suasana yang lain di padukuhan Sukawati.

“Agaknya kita terpengaruh oleh Ramanda Pangeran Mangkubumi memiliki daerah Sukawati itu” berkata Raden Rudira dengan suara menghentak, seolah-olah ingin melepaskan tekanan yang terasa memberati dadanya, “Tetapi Ramanda Pangeran Mangkubumi pasti tidak akan mencegah kita, karena kita tidak akan mengganggu Tanah Sukawati. Kita hanya akan mengambil seseorang yang telah berani menentang para bangsawan di Surakarta. Sudah tentu Ramanda Pangeran akan justru membantu menemukan orang itu apabila ia berada di Sukawati. Kalau tidak, kita akan dapat berbuat lebih leluasa”

Tidak ada seorang pun yang menyahut. Tetapi setiap orang merasa, betapa getaran suara Raden Rudira mengandung kecemasan yang sangat, seperti kecemasan yang ada di dalam hati mereka masing-masing.

“Begini besar perbawa Pangeran Mangkubumi” desis Sura di dalam hatinya, “Pangeran Ranakusuma dengan tanpa ragu-ragu telah mengembalikan puteri Pangeran Reksanegara. Pangeran yang sebenarnya pernah mempunyai pengaruh yang besar sebelum kedatangan orang asing yang semakin banyak di bumi Surakarta. Tetapi kini, kami menjadi menggigil ketakutan sebelum kami memasuki wilayah Sukawati untuk mengambil hanya seorang rakyat yang telah memberontak. Apakah sebenarnya yang membuat Pangeran Mangkubumi rasa-rasanya lebih berwibawa dari Pangeran Reksanegara dan Pangeran yang lain?”

Tetapi Sura tidak mengucapkan kegelisahan itu, betapapun hai itu benar-benar telah memberati perasaannya. Semakin dekat, semakin menekan di dalam dada.

Ketika mereka mendekati pintu gerbang padukuhan induk di Sukawati, mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka masih melihat beberapa orang petani di sawah masing-masing. Tetapi para petani itu agaknya acuh tidak acuh saja atas kedatangan mereka. Sama sekali tidak seperti para petani di sepanjang jalan yang mereka lalui. Tidak ada seorang petani pun yang dengan tergesa-gesa berjongkok, apalagi sambil menyembah. Mereka tetap pada pekerjaan mereka. Satu dua di antara mereka berpaling, namun kemudian tidak menghiraukannya lagi.

“Gila” Raden Rudira menggeram. Sura yang ada di dekatnya memang ikut merasakan suasana yang lain di padukuhan Sukawati.

“Kita langsung ke rumah Demang di Tanah Sukawati ini” geram Raden Rudira.

“Apakah Raden tidak datang ke pasanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi?” bertanya Sura dengan suara yang patah-patah.

“Tidak” Raden Rudira hampir berteriak tidak sesadarnya. Tetapi kemudian ia berkata, “Ramanda tidak ada di Sukawati. Pasti. Dan aku akan membawa Demang Sukawati menghadap ke pesanggrahan untuk memastikannya”

Sura tidak bertanya lagi. Diikutinya saja kuda Raden Rudira yang menjadi semakin lambat.

Di belakang Raden Rudira dan Sura, para pengawal pun menjadi berdebar-debar. Tugas mereka kali ini rasanya begitu berat, sehingga dada mereka menjadi tegang.

Setiap orang di dalam iring-iringan itu terkejut ketika mereka melihat, di dalam regol di mulut lorong yang memasuki Tanah Sukawati itu, beberapa orang berdiri di sebelah menyebelah jalan. Mereka berdiri saja seakan-akan tidak menghiraukan derap kuda yang sudah berada di gerbang padukuhan mereka. Dengan tangan bersilang di dada mereka memandang Raden Rudira yang berada di paling depan. Namun mereka sama sekali tidak bertanya apapun.

Raden Rudira lah yang kemudian menarik kekang kudanya, sehingga kuda Itu berhenti. Sejenak ia memandang beberapa orang yang berdiri diam seperti patung itu. Wajah-wajah mereka bagaikan wajah-wajah yang kosong tanpa perasaan apapun melihat kehadiran Raden Rudira dan pengiringnya.

Sejenak Raden Rudira menjadi bimbang, Orang-orang itu benar-benar membuatnya kebingungan. Menilik pakaian mereka, mereka adalah petani-petani. Tetapi mereka sama sekali tidak bersikap sebagai seorang petani yang melihat hadirnya seorang bangsawan di padukuhan mereka yang terletak agak jauh dari kota. Padukuhan-padukuhan yang jauh ini pada umumnya, menjadi gempar apabila seorang bangsawan memasuki wilayahnya. Bahkan ada di antara mereka yang berlari-lari bersembunyi, ada yang dengan tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di pinggir jalan. Jika bebahu padukuhan itu melihatnya, maka ia akan menyongsong sambil terbungkuk-bungkuk dan kemudian berjalan sambil berjongkok mendekatinya.

Tetapi petani-petani di Sukawati itu berdiri saja sambil menyilangkan tangannya di dada, seakan-akan mereka telah berjanji yang satu dengan yang lain untuk berbuat demikian. Sedang wajah-wajah yang beku itu sama sekali tidak membayangkan kesan apapun yang ada di dalam hati mereka.

“He, bukankah kalian orang-orang Sukawati?” Raden Rudira berteriak untuk mengatasi gejolak di dalam dadanya.

Petani yang berdiri di paling ujung berpaling memandanginya. Kemudian ia pun menjawab, “Benar Raden. Kami adalah orang-orang Sukawati”

“Kenapa kalian berkumpul disini he?”

“Kami akan pergi ke sawah. Tetapi ketika kami melihat iring-iringan kuda menuju ke padukuhan ini, kami pun menunggu sampai Raden lewat. Silahkanlah kalau Raden akan lewat. Kami akan pergi ke sawah”

“Persetan. Apakah kalian tidak tahu siapa aku?”

“Kami hanya tahu bahwa tuan adalah seorang bangsawan. Tetapi kami tidak tahu, siapakah tuan”

“Aku adalah Raden Rudira. putera Pangeran Ranakusuma”

Tanggapan dari para petani itu pun benar-benar mengejutkan. Mereka sama sekali tidak tertarik pada nama itu. Meskipun mereka mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sikap yang beku itu sama sekali tidak berubah.

“He, apakah kalian dengar, bahwa aku putera Pangeran Ranakusuma?”

“Ya, kami dengar tuan”

“Jadi, begitukah kalian bersikap terhadap seorang bangsawan?”

Para petani itu menjadi heran mendengar pertanyaan Raden Rudira. Petani yang berdiri di paling ujung itu pun bertanya, “Jadi apakah sikap kami keliru?”

“Kalian tidak sopan. Kalian berhadapan dengan putera seorang Pangeran. Siapakah yang mengajar kalian bersikap deksura itu he?”

“O, jadi kami bersikap deksura?” petani di paling ujung itu terdiam sejenak, lalu, “Tetapi maaf Raden. Kami memang diajar bersikap demikian”

“Ya, aku sudah menduga. Siapa yang mengajarmu?”

“Pangeran Mangkubumi”

“He?” mata Raden Rudira terbelalak mendengar jawaban itu. Demikian juga para pengiringnya. Namun dengan demikian dada mereka serasa telah berguncang.

Sejenak Raden Rudira termangu-mangu. Namun kemudian dengan suara yang gemetar ia bertanya, “Jadi Ramanda Pangeran Mangkubumi mengajarmu bersikap demikian?”

“Ya tuan. Kamipun sebenarnya tahu, bahwa kami harus berjongkok apabila seorang bangsawan lewat di jalan yang kebetulan kami lalui juga. Tetapi hanya bagi para Pangeran. Bukan kepada setiap bangsawan. Biasanya kami hanya mengenal seorang bangsawan pada sikap dan pakaiannya serta para pengiringnya. Dan kami semuanya menganggap mereka seorang Pangeran, sehingga kami langsung berjongkok di pinggir jalan. Tetapi bagi kami, orang-orang di daerah Sukawati mendapat kekhususan dari Pangeran Mangkubumi. Jangankah bangsawan di tingkat berikutnya, sedangkan terhadap Pangeran Mangkubumi sendiri, yang menguasai Tanah Sukawati dan seorang bangsawan tertinggi, kami tidak diharuskan berjongkok”

“O, itu salah, salah sekali. Itu akan merusak sendi-sendi tata kesopanan rakyat Surakarta”

“Kami berpegangan kepada perintah Pangeran Mangkubumi”

“Persetan. Tunjukkan kepada kami. dimana rumah Demangmu”

Sejenak para petani itu termangu-mangu. Sedang Sura yang berada di sebelah Raden Rudira berbisik. “Aku sudah tahu tempat itu Raden”

“Aku akan bertanya kepada mereka” sahut Raden Rudira.

Sura menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia memandangi para petani itu seorang demi seorang. Mereka sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, sedang tangan mereka masih tetap bersilang di dadanya.

“Coba katakan, kemana aku harus pergi?”

“Tuan sudah mengambil jalan yang benar. Tuan dapat berjalan terus lewat lorong ini. Sekali tuan berbelok ke kiri di tengah-tengah padukuhan ini, di tikungan di bawah pohon preh yang besar”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Sambil berpaling kepada Sura ia bertanya, “Benar begitu?”

Sura menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya tuan. Benar begitu”

Raden Rudira termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata kepada para pengiringnya, “Kita pergi ke rumah Demang di Sukawati”

Tanpa minta diri kepada para petani yang masih saja berdiri tegak dengan tangan bersilang itu, Raden Rudira melanjutkan perjalanannya, menyusuri jalan di tengah-tengah padukuhan, sambil memperhatikan rumah-rumah yang ada di sebelah menyebelah jalan. Meskipun letak rumah-rumah itu masih cukup jarang, tetapi terasa bahwa Tanah Sukawati akan segera menjadi ramai. Lewat diatas pagar batu di setiap halaman, Raden Rudira dan pengiringnya melihat rumah-rumah yang bersih dan teratur. Halaman yang rapi dan kebun yang penuh dengan tanaman palawija, garut dan ganyong. Beberapa batang ubi dan gadung merambat pada pohon metir, merayap sampai ke puncaknya.

Tiba-tiba saja Raden Rudira berkata, “Pangeran Mangkubumi telah merusak adat di Surakarta. Sikap itu pasti akan mempengaruhi sikap para petani kecil di sekitar Tanah Sukawati. Lambat atau cepat”

Tidak ada seorang pun yang menjawab. Sura masih saja termangu-mangu sambil menundukkan kepalanya.

Sejenak kemudian mereka pun telah sampai di tikungan. Tetapi sekali lagi dada mereka berdesir, ketika mereka melihat beberapa orang laki-laki yang sedang berdiri pula di sebelah menyebelah jalan tikungan itu. Seperti orang-orang yang berdiri di mulut lorong, maka orang -orang itu pun berdiri dengan wajah membeku sambil menyilangkan tangannya di dadanya.

Melihat sikap yang bagaikan patung-patung batu itu, terasa bulu-bulu tengkuk Raden Rudira meremang. Tetapi ia harus mengatasi goncangan perasaannya, sehingga karena itu, ia pun juga berhenti di hadapan orang-orang itu.

Sekali lagi ia bertanya dengan lantang, “He, apakah kalian diajari untuk menjadi patung? Atau memang demikianlah adat Sukawati untuk menghormat seorang bangsawan?”

Orang-orang itu memandang Raden Rudira hanya dengan sudut matanya. Kemudian orang yang paling pendek di antara mereka menjawab, “Kami diajari untuk bersikap sopan terhadap siapapun. Juga terhadap para bangsawan”

“He” jawaban itu benar-benar mengejutkannya, “Coba ulangi”

“Tuan” jawab petani yang pendek itu, “Kami diajari untuk bersikap sopan kepada siapapun. Juga kepada para bangsawan”

“Kenapa juga kepada para bangsawan? Kenapa justru tidak kepada para bangsawan baru kepada yang lain?”

Petani pendek itu mengerutkan keningnya. Tetapi wajahnya kemudian seakan-akan telah membeku kembali. Katanya, “Kami tidak melihat perbedaan itu. Tetapi kami memang mengenal tingkat tata penghormatan. Namun pada dasarnya, kami menghormati siapa saja”

“Siapa yang mengajarimu?”

“Pangeran Mangkubumi”

“Cukup, cukup” Raden Rudira berteriak. Nama itu rasa-rasanya seperti sebutan hantu yang paling menakutkan baginya. Karena itu tanpa berkata sepatah katapun lagi ia meneruskan perjalanannya menuju ke rumah Ki Demang di Tanah Sukawati.

Namun di jalan yang semakin pendek itu, Raden Rudira dan pengiringnya masih juga menjumpai satu dua orang yang berdiri acuh tidak acuh saja melihat kehadirannya. Bahkan mereka yang kebetulan berada di halaman pun hanya sekedar berpaling tanpa menghentikan kerjanya. Anak-anak yang sedang berlari-larian berhenti sejenak, lalu berlari lagi masuk ke dalam rumah masing-masing.

Perasaan Raden Rudira semakin lama menjadi semakin terguncang-guncang. Rasa-rasanya ia telah memasuki suatu daerah asing yang belum pernah dijajaginya. Bahkan rasa-rasanya seperti di daerah mimpi yang mengawang di antara bumi dan langit.

“Sura” berkata Raden Rudira kemudian, “Apakah memang begini sikap orang Sukawati? Bukankah kau pernah datang kemari dahulu?”

“Tidak tuan. Sikap orang-orang Sukawati tidak seganjil ini. Aku tidak mengerti, perubahan apa yang telah terjadi disini”

Raden Rudira menjadi semakin berdebar-debar. Setiap kali ia melihat seseorang yang berdiri tegak di pinggir jalan dengan tangan bersilang di dada, jantungnya berdetak semakin cepat, sehingga hampir saja ia tidak tahan.

“Aku ingin memukul kepalanya” geramnya.

Tetapi dengan mengerahkan keberaniannya Sura mencegahnya, katanya, “Maaf tuan. Jangan melakukan hal itu. Lebih baik kita menemukan orang yang kita cari tanpa membuat persoalan dengan orang lain”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia dapat mengerti nasehat Sura itu, sehingga ia pun tidak berbuat apapun juga. Namun dengan demikian hatinya serasa semakin lama menjadi semakin berkeriput kecil sekali.

“Raden” berkata Sura kemudian, “gerbang yang tampak itu adalah gerbang Kademangan”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Gerbang itu. termasuk sebuah pintu gerbang yang bagus bagi sebuah Kademangan. Namun dengan demikian gerbang itu pun telah membuat detak jantungnya semakin berdentangan.

Tetapi Raden Rudira tidak mau melangkah surut. Ia telah benar-benar merasa terhina karena tindakan petani yang menyebut dirinya berasal dari Sukawati itu. Karena itu maka ia harus berhasil menemukannya dan menghukumnya, sebagai seorang rakyat kecil yang berani menentang para bangsawan.

Karena itu, betapa hatinya berdebaran, Rudira tetap maju mendekati pintu gerbang itu.

Ketika kudanya sudah berada di depan pintu, dilihatnya dua orang mendatanginya. Dua orang dalam pakaian yang agak lain dari pakaian para petani.

“Itulah bebahu Kademangan Sukawati” desis Raden Rudira, “Ia harus tahu bahwa rakyatnya telah bertindak tidak sopan. Dan itu tidak dapat dibiarkannya. Tentu bukan Ramanda Pangeran Mangkubumi yang mengajarinya. Tentu orang-orang yang ingin mengeruhkan tata kehidupan Surakarta yang selama ini tenang dan tenteram”

Di depan pintu, di dalam halaman, kedua orang itu berhenti sambil menganggukkan kepala mereka. Ternyata mereka memang lebih hormat dari sikap para petani di sepanjang jalan yang mereka lalui.

Dengan sopan salah seorang dari mereka berdua bertanya, “Apakah kami dapat berbuat sesuatu untuk tuan?”

“Aku akan bertemu dengan Demang di Sukawati” sahut Raden Rudira langsung, “Apakah ia ada di rumah?”

“O” orang itu mengangguk-angguk, “ada tuan. Marilah tuan kami persilahkan masuk”

Tanpa turun dari kudanya Raden Rudira memasuki halaman Kademangan. Ternyata halaman itu adalah halaman yang luas dan bersih. Beberapa batang pohon tanjung berada di pinggir, sedang sepasang pohon sawo kecik berada tepat di depan pendapa.

“Mana Ki Demang?” bertanya Raden Rudira.

“Marilah, kami persilahkan tuan naik ke pendapa”

“Di mana Ki Demang he?”

“Nanti kami akan memanggilnya”

“Panggil ia kemari”

“Tuan, kami telah mempersilahkan tuan duduk. Kami akan segera memanggilnya” orang itu berhenti sejenak, lalu, “Silahkan tuan turun dari kuda”

“Tidak, aku akan menunggu Ki Demang disini. Aku memerlukannya. Ia harus mengantar aku ke pesanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi apabila Ramanda ada disana”

“Tuan, kami persilahkan tuan turun”

“Aku tidak mau turun. Kau tidak tahu siapa aku he? Aku adalah Putera Pangeran Ranakusuma”

“Tetapi ada semacam ketentuan, siapapun dipersilahkan turun apabila berada di kuncung pendapa ini.

“Aku seorang Putera Pangeran”

“Bahkan seorang Pangeran pun bersedia untuk turun dari kudanya apabila ia berada di bawah kuncung ini”

“Aku tidak peduli. Tetapi aku tidak mau turun. Hanya seorang Pangeran yang tidak tahu akan harga dirinya sajalah yang bersedia turun dari kudanya, meskipun di kuncung pendapa sekalipun, justru hanya pendapa seorang Demang”

“Tetapi justru kami sangat hormat kepadanya”

“Siapa?”

“Pangeran Mangkubumi”

“Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi. Apapun yang kalian bicarakan kalian menyebut Pangeran Mangkubumi” Rudira hampir berteriak.

“Kedua bebahu itu menjadi terheran-heran melihat sikap Raden Rudira. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Raden, kami tetap mempersilahkan tuan turun. Kecuali kalau tuan tidak berada di bawah kuncung pendapa, meskipun di halaman”

“Aku tidak mau. Aku adalah putera Pangeran Ranakusuma Aku bukan Pangeran Mangkubumi. Ayahanda Pangeran Ranakusuma pasti tidak akan turun pula meskipun kudanya naik ke pendapa sekalipun”

Kedua bebahu Kademangan itu saling berpandangan sejenak. Kemudian salah seorang berkata, “Jika demikian, kami tidak akan memanggil Ki Demang”

“Apa, kalian tidak akan memanggil Ki Demang?”

“Ya. Jika tuan tidak bersedia turun”

“Gila. Kau berani menentang aku he? Aku datang untuk mencari seseorang yang berani menentang seorang bangsawan. Kini kau akan menentang aku pula. Apakah kau tahu akibatnya?”

“Kami sekali-kali tidak akan menentang tuan. Tetapi kami hanya mematuhi ketentuan yang berlaku di Kademangan ini. Sebenarnyalah bahwa kami takut sekali kepada Raden, apalagi setelah kami tahu bahwa Raden adalah putera Pangeran Ranakusuma. Tetapi apaboleh buat. Ketentuan yang berlaku harus tetap berlaku”

“Tidak. Aku tidak mau. Dan kalian harus tetap memanggil Ki Demang di Sukawati. Jika kalian tidak bersedia, maka aku akan menghukum kalian”

“Raden” berkata salah seorang dari keduanya, “Tanah Sukawati mempunyai kekhususan. Yang langsung membimbing pemerintahan Kademangan Sukawati adalah Pangeran Mangkubumi sendiri, karena tanah ini adalah tanah kalenggahan”

“Aku tidak peduli. Aku yakin bahwa Ramanda Pangeran Mangkubumi akan membenarkan sikapku dan berpihak kepadaku. Panggil Demang itu, cepat”

“Sebelum tuan turun dari kuda, kami tidak akan memanggil. Kami tidak berkeberatan atas mereka yang masih tetap berada di punggung kuda di halaman, tetapi tidak di bawah kuncung pendapa”

“Persetan. Apakah aku harus mencarinya sendiri dan memaksanya menghadap aku kemari?”

“Jika tuan berkenan di hati, kami akan mempersilahkannya dengan senang hati”

“Tuan” jawab salah seorang dari mereka sambil berpaling, “kami tidak bertanggung jawab lagi apa yang dapat terjadi dengan tuan, karena tuan tidak mematuhi peraturan yang berlaku di Kademangan Sukawati”

“Kalian sudah gila. Aku adalah putera seorang Pangeran. Dengar perintahku. Seperti kau lihat, aku sudah membawa beberapa orang pengiring”

“Tuan akan berburu. Tuan membawa kelengkapan sekelompok pemburu yang akan berburu rusa di hutan rindang”

“Kami sudah melampaui beberapa daerah perburuan. Tetapi kami memang akan pergi ke Sukawati. Karena itu jangan mengganggu kami sehingga dapat menimbulkan kemarahan kami”

Hampir berbareng keduanya mengangguk dalam-dalam. Salah seorang di antaranya berkata, “Baiklah. Kami tidak akan berbuat apa-apa”

Dan tiba-tiba saja keduanya melangkah surut. Kemudian di luar kuncung, di depan tangga terakhir yang mengelilingi pendapa Kademangan keduanya berdiri sambil menyilangkan tangannya di dada. Sikap mereka pun telah berubah, mirip dengan orang-orang yang ditemuinya di sepanjang jalan.

Ternyata sikap itu telah membuat seluruh tubuh Raden Rudira meremang. Bahkan pengiringnya pun menjadi gelisah, sehingga untuk sesaat mereka bagaikan telah terpukau oleh sikap itu, sehingga mereka sama sekali tidak bergerak.

Untuk mengatasi hatinya yang kecut, maka Raden Rudira itu pun telah memaksa dirinya untuk berkata lantang, “He, apakah kalian telah menjadi patung?”

“Tuan” jawab salah seorang dari mereka sambil berpaling, “Kami tidak bertanggung jawab lagi apa yang dapat terjadi dengan tuan karena tuan tidak mematuhi peraturan yang berlaku di Kademangan Sukawati” ia berhenti sejenak, lalu, “Dan Ki Demang pun tidak akan bersedia mengantar tuan pergi ke pasanggrahan Pangeran Mangkubumi. Memang tuan dapat memaksanya dengar kekerasan. Tetapi kami kira tuan tidak akan berhasil. Bukan karena Ki Demang mempunyai sepasukan pengawal yang dapat melindunginya. Tetapi karena kekerasan hatinya, ia akan memilih akibat yang bagaimanapun beratnya dari pada ia melihat peraturan yang dibuatnya tidak ditaati”

“Gila, permainan apakah sebenarnya yang telah kalian lakukan? Apakah kalian sedang diamuk oleh suatu kepercayaan takhayul yang membuat kalian, orang-orang Sukawati menjadi seperti orang-orang gila”

“Tuan keliru” jawab salah seorang dari kedua pengawal, “sikap kami adalah sikap yang mewujudkan kediaman kami menghadapi keadaan dewasa ini, dimana kita merasa berdiri di atas bara justru di kampung halaman sendiri”

Jawaban itu benar-benar tidak diduga, sehingga Raden Rudira terdiam untuk beberapa saat. Namun wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang.

Tetapi ternyata Raden Rudira tidak mau surut. Meskipun hatinya bergejolak dahsyat sekali, namun ia mencoba mengatasinya dengan berteriak sekali lagi, “Panggil Ki Demang di Sukawati”

Betapapun ia berteriak, tetapi kedua bebahu Kademangan Sukawati itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.

Kemarahan Raden Rudira hampir tidak terkekang lagi, Namun ketika dadanya bagaikan akan meledak, Sura, pengiringnya yang selama ini paling dibanggakan itu telah meloncat turun dari kudanya. Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Raden, kami persilahkan Raden turun dari kuda. Bukan suatu sikap merendahkan diri, tetapi barangkali demikianlah yang dikehendaki oleh Ramanda Pangeran Mangkubumi”

“Persetan” Raden Rudira berteriak, “Kau juga sudah menjadi pengecut?”

“Bukan Raden. Bukan soalnya, berani menentang ketentuan itu atau tidak. Tetapi kita ingin mendapat bantuan dari Ki Demang di Sukawati. Bukankah tujuan kita untuk mendapatkan petani yang telah menghina Raden di tengah bulak itu? Karena itu, sebaiknya kita tidak membuat persoalan-persoalan baru disini”

Darah Raden Rudira bagaikan mendidih karenanya. Namun perlahan-lahan ia mulai menyadari kata-kata Sura. Kalau ia bertindak kasar, maka ia hanya akan menambah kesulitan diri sendiri tanpa mendapatkan hasil apapun dari kepergiannya ke Sukawati. Dan lebih daripada itu, sebenarnyalah di dalam sudut hatinya tersirat kecemasan yang sangat melihat sikap orang-orang Sukawati itu.

Namun sudah barang tentu Raden Rudira tidak membiarkan dirinya terlempar surut tanpa pembelaan. Dengan lantang ia berkata kepada kedua bebahu itu, “Baiklah. Aku akan turun. Bukan karena aku takut menghadapi sikap kalian yang gila itu. Tetapi aku secepatnya ingin menangkap petani yang telah berani menghinakan aku di tengah bulak”

Raden Rudira pun segera meloncat dari punggung kudanya sambil berteriak, “Aku sudah turun. Panggil Ki Demang di Sukawati”

Tetapi Raden Rudira terkejut, ketika sebelum kedua orang itu beranjak, telah terdengar suara dari balik pintu pringgitan di pendapa, “Aku sudah disini tuan”

Darah Raden Rudira tersirap. Di tengah-tengah pintu yang kemudian terbuka ia melihat seorang laki-laki yang bertubuh sedang, berkumis tipis, yang kemudian berjalan melintas pendapa mendekatinya.

“Kau disitu sejak tadi?”

“Ya. Aku sudah berada di balik pintu sejak tuan datang. Tetapi aku menunggu tuan turun dari kuda. Maaf. Itu sudah menjadi ketentuan kami. Sekali kami melanggar ketentuan itu, maka untuk selanjutnya ketentuan itu tidak akan berarti, karena pelanggaran yang serupa akan terjadi lagi. Sekali lagi dan sekali lagi, sehingga ketentuan itu tidak berarti apa-apa lagi. Baik bagi kami maupun bagi setiap orang yang datang ke padukuhan ini”

“Persetan” jawab Raden Rudira, “Aku tidak perlu sesorahmu. Aku memerlukan kau”

“O” Ki Demang yang kemudian turun dari pendapa rumahnya mengangguk hormat, “Kami akan membantu tuan. Apakah yang harus kami lakukan?”

Raden Rudira memandang Demang Sukawati itu dengan herannya. Ia tidak mengerti, apakah yang sebenarnya tersirat di dalam hatinya. Setelah ia memaksanya turun dari kudanya, maka ia pun kemudian bersikap sopan dan ramah.

Tetapi Raden Rudira tidak mempedulikannya lagi. Dengan kasar ia berkata, “Aku sedang mencari seseorang”

“O. Siapa?”

“Aku tidak tahu namanya. Ia menyebut dirinya petani dari Sukawati”

Tampak Ki Demang mengerutkan keningnya sejenak. Tetapi ia pun kemudian berusaha untuk melenyapkan kesan itu. Bahkan kemudian ia bertanya, “Kenapa Raden mencarinya? Apakah petani dari Sukawati itu telah menjual sesuatu kepada Raden dan Raden akan membayarnya sekarang, atau persoalan apapun yang pernah terjadi dengan petani itu?”

“Ia menghina aku di tengah-tengah bulak Jati Sari”

“O” Ki Demang dari Sukawati terkejut, “di Jati Sari?”

“Ya”

“Begitu jauh dari Sukawati”

“Ya. Orang itu mengaku petani dari Sukawati. Ia tentu seorang petualang. Nah, tunjukkan kepadaku, siapakah yang sering bertualang disini”

Ki Demang tidak segera menjawab. Dengan sudut matanya ia memandang kedua pembantunya yang kini berdiri termangu-mangu pula.

“He, apakah kau tidak dapat mengenal orang-orangmu?”

“Maaf tuan. Aku tidak dapat mengingat semua orang di Kademangan Sukawati. Mungkin aku mengenal mereka, tetapi tentu tidak akan dapat mengerti kebiasaan mereka sehari-hari dengan pasti”

“Tetapi bertualang bukan kebiasaan yang wajar bagi seorang petani. Karena itu, seharusnya kau dapat segera mengetahui orang yang aku maksudkan”

Tetapi Ki Demang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Maaf. Aku tidak dapat segera mengatakan, siapakah yang Raden maksud itu”

“Kalau begitu, antarkan aku menjelajahi Kademangan ini. Aku akan mencarinya sendiri”

“Tuan akan menjelajahi Kademangan Sukawati?”

“Ya”

Ki Demang menjadi termangu-mangu. Sekali lagi ia memandang kedua kawan-kawannya. Kini keduanya pun menunjukkan kegelisahannya.

“Tuan” berkata Ki Demang, “tanah Sukawati adalah tanah kalenggahan”

“Aku mengerti” Rudira memotong, “maksudmu, kau akan menyebut nama Ramanda Pangeran Mangkubumi?”

“Ya tuan”

“Antarkan aku ke pasanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi. Aku akan menghadap dan mohon ijinnya. Tentu Ramanda akan memberikan ijin itu, bahkan akan membantuku mencari orang-orang yang deksura dan berani menentang para bangsawan”

Ki Demang di Sukawati mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi Pangeran Mangkubumi tidak sedang berada di Sukawati. Apakah Raden tidak menjumpainya di istana Kapangeranan di kota?”

Sesuatu terasa bergetar di dalam dada Rudira. Seolah-olah ia terlepas dari tekanan kecemasan yang menghimpit dadanya, sehingga tanpa sesadarnya ia menarik nafas dalam-dalam.

“Jadi Ramanda Pangeran tidak ada di Sukawati?”

Ki Demang menggelengkan kepalanya, “Tidak tuan. Tidak”

Tetapi tiba-tiba saja Rudira membentak, “Bohong. Kalian pasti mencoba berbohong, karena kalian, orang-orang Sukawati adalah orang-orang yang deksura. Kalian takut juga bahwa aku akan mengatakan kepada Ramanda Pangeran Mangkubumi tentang kalian. Tentang petani-petani yang berdiri membeku di regol padukuhan dan mereka yang seperti patung mati di tikungan. He, kenapa orang-orangmu kau ajari deksura terhadap para bangsawan? Dan sekarang kau takut membawa aku menghadap Ramanda Pangeran”

Ki Demang menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Aku minta maaf tuan. Orang-orangku adalah orang-orang padesan yang jauh dari kota. Kami sama sekali tidak berniat untuk berlaku kurang baik dan apalagi tidak sopan. Tetapi kami, orang-orang padesan memang kurang mengerti tata-krama. Kadang-kadang kami kehilangan akal, apa yang harus kami lakukan untuk menunjukkan hormat kami. Demikian juga para petani di Sukawati, dan barangkali juga petani yang tuan sebut, berjumpa dengan tuan di bulak Jati Sari”

“Tidak. Ia tidak sekedar kurang tata-krama. Tetapi ia benar-menentang aku” Rudira berhenti sejenak, lalu, “antarkan aku ke pasanggrahan Ramanda Pangeran”

Ki Demang menarik nafas. Lalu, “Baiklah. Marilah Raden aku antarkan ke pesanggrahan itu. Tetapi aku sudah mengatakan bahwa Pangeran Mangkubumi tidak ada di pesanggrahan itu”

Rudira seolah-olah tidak menghiraukannya Meskipun hal itu baginya adalah suatu kebetulan. Namun di hadapan Ki Demang ia bersikap seakan-akan ia kecewa bahwa Pangeran Mangkubumi tidak ada di pasanggrahannya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, maka Raden Rudira pun segera meloncat ke punggung kudanya. Dengan tatapan mata aneh Ki Demang memandanginya. Tetapi Raden Rudira tidak menghiraukannya. Ia duduk diatas punggung kudanya, meskipun kudanya masih berada di kuncung pendapa Kademangan.

“Berjalanlah di depan” berkata Rudira kemudian, “Aku akan mengikutimu”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Kemudian ia bertanya, “Apakah kami harus berjalan kaki saja?”

“Ya. Kalian berjalan kaki saja. Kalian tidak perlu berkuda seperti kami”

“Tetapi pesanggrahan itu terletak di padukuhan lain, meskipun tidak begitu jauh. Nanti perjalanan ini akan memakan waktu apabila kami hanya sekedar berjalan kaki”

“Aku tidak peduli Adalah pantas sekali, kalau kau berjalan kaki, dan kami naik diatas punggung kuda. Dengan demikian perbedaan derajad kita akan tampak dengan jelas”

Wajah Ki Demang berkerut sejenak. Tetapi ia pun kemudian tersenyum dan berkata, “Baiklah tuan. Kami akan mengantarkan Raden ke pesanggrahan itu dengan berjalan kaki. Tetapi sudah kami katakan, bahwa perjalanan ini akan memakan waktu. Sebentar lagi malam akan segera turun. Apalagi Pangeran Mangkubumi tidak ada di pesanggrahan”

“Aku tidak peduli”

“Tetapi bagaimana kalau tuan kemalaman?”

“Aku akan bermalam di pasanggrahan?”

“Di pesanggrahan? Selagi Pangeran Mangkubumi tidak ada?”

Rudira mengerutkan keningnya. Ia berpaling kepada Sura yang masih berdiri di samping kudanya. Tetapi Sura menggeleng kecil tanpa sesadarnya.

“Sekarang, jangan banyak bicara” bentak Rudira kemudian, “berjalanlah. Kita harus segera sampai ke pesanggrahan itu”

“Baiklah tuan” jawab Ki Demang.

Dengan isyarat, maka kedua kawannya itu pun diajaknya, sehingga mereka berjalan bertiga di depan kuda Raden Rudira. Sedang Sura masih menuntun kudanya sejenak. Baru ketika mereka sudah keluar dari halaman, maka ia pun segera meloncat naik. Demikian pula para pengiring yang lain, yang telah turun pula dari kudanya.

Perlahan-lahan iring-iringan itu berjalan meninggalkan regol Kademangan. Namun betapa hati Raden Rudira dan para pengiringnya menjadi berdebar-debar. Tanpa mereka ketahui darimana datangnya, mereka melihat beberapa orang anak-anak muda yang berdiri di sebelah menyebelah jalan di luar regol dengan sikap yang mendebarkan itu. Mereka berdiri tegak sambil menyilangkan tangan di dadanya.

Sekali-sekali Raden Rudira memandang wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang seakan-akan membeku. Mereka sama sekali tidak memandang orang-orang yang lewat. Mereka seakan-akan berdiri asal saja berdiri di pinggir jalan.

Namun Ki Demang lah yang kemudian menegur salah seorang dari mereka, “Kalian sudah pulang dari sawah?”

Seorang anak muda yang tinggi kekurus-kurusan lah yang menjawab mewakili kawan-kawannya, “Sudah Ki Demang”

“Baiklah. Dan sekarang ketahuilah, yang berkuda di paling depan ini adalah Raden Rudira, putera Pangeran Ranakusuma di Surakarta”

“O” hanya itulah yang terloncat dari mulut anak muda itu.

Tidak ada bayangan kekaguman, heran atau takut sedikitpun juga. Ia masih tetap berdiri seperti sediakala dengan menyilang-kan tangannya di dadanya.

“Persetan” Rudira bergumam di dalam dadanya.

Ketika mereka sudah melampaui anak-anak muda yang berdiri di sebelah menyebelah jalan itu, Raden Rudira yang marah segera bertanya kepada Ki Demang, “Ki Demang, kenapa anak-anak mudamu tidak kau ajari sopan santun”

“Maksud Raden?” bertanya Ki Demang.

“Mereka harus tahu, bagaimana caranya menghormati seorang bangsawan. Seorang putera Pangeran”

“Apakah sikap mereka salah?”

“Tentu. Mereka sama sekali tidak sopan. Mereka harus berjongkok atau membungkukkan kepala mereka dalam-dalam”

“O” Ki Demang mengangguk-angguk, “begitukah yang benar?”

“Ya”

“Kalau begitu selama ini kami telah membuat kesalahan Kami tidak pernah berbuat begitu. Itulah agaknya tuan tidak senang terhadap rakyat kami. Tetapi sekali lagi agar tuan ketahui, rakyat kami adalah rakyat yang jauh dari kehidupan para bangsawan sehingga barangkali kami tidak mengenal keharusan yang berlaku di kota, untuk menghormat para bangsawan. Sebenarnyalah bahwa di padukuhan yang terpencil ini kami hanya mengenal seorang bangsawan, Daripadanya lah kami mengenal tata-krama. Tetapi agaknya tata-krama yang kami anggap sudah cukup baik itu masih kurang dalam pandangan tuan”

“Tentu. Dan siapakah yang telah mengajar kalian dengan cara yang salah itu?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar