Bara Di Atas Singgasana Jilid 24

“Anusapati,” kata ibunya kemudian dengan suara serak, “jangan bertanya begitu. Aku tak dapat memberikan penjelasan yang bisa kau terima dengan akal. Tetapi sebenarnyalah bahwa kadang-kadang kau sudah dipengaruhi oleh angan-anganmu sendiri, sehingga yang terjadi itu seakan-akan menjadi kian tajam di dalam angan-anganmu. Mungkin memang ada perbuatan yang dapat melukai hatimu. Tetapi kau sendiri mengorek luka itu sehingga menjadi semakin parah.”

“Ibunda,” kata Anusapati kemudian, “hamba adalah orang yang sudah harus mengekang perasaan sejak hamba menyadari keadaan hamba. Hamba telah biasa dengan bentakan-bentakan dan sindirian-sindirian tajam dari Ayahanda Sri Rajasa dan dari Adinda Tohjaya, bahkan dari ibunda Ken Umang. Tetapi hamba tidak pernah memperdalam luka di hati. Hamba selalu berusaha melupakannya, dan kadang-kadang hamba berhasil apabila hamba bermain-main bersama paman Mahisa Agni. Dan bahkan permainan itu berkembang menjadi permainan yang bermanfaat bagi diri hamba, sampai hamba menjadi dewasa. Dengan demikian ibunda, hamba menganggap bahwa diri hamba tidak berkhayal lagi, atau sengaja mengorek luka dihati. Hamba sudah cukup mengalami tekanan lahir dan batin tanpa menambah dan memperdalamnya.”

“Anusapati,” suara Ken Dedes menjadi sangat dalam.

“Ibunda,” berkata Anusapati, “bukan maksud hamba melukai hati ibunda. Tetapi hamba sekarang sudah dewasa. Barangkali ada hal-hal yang tidak boleh didengar oleh anak-anak tentang diri hamba. Tetapi sekarang, barangkali hamba sudah bukan kanak-anak lagi, sehingga hamba pasti akan boleh mendengarnya.”

“Tidak ada apa-apa Anusapati. Tidak ada apa-apa. Kau adalah seperti kau yang kau mengerti dan kau hayati sekarang. Tidak ada sesuatu yang tersembunyi dan tidak ada sesuatu yang rahasia.”

“Ibunda,” berkata Anusapati, “jika demikian, kenapa sikap ayahanda jauh berbeda dari sikap ayahanda terhadap adik-adik hamba. Mungkin ada juga kelebihan pada Tohjaya dari adik-adik hamba yang lain, tetapi sikap Ayahanda Sri Rajasa adalah sangat berbeda atas diri hamba dari adik-adik hamba yang lain, baik yang lahir dari ibunda Permaisuri, apalagi dari ibunda Ken Umang, sehingga kadang-kadang timbul pertanyaan di hati hamba, apakah bedanya hamba ini dengan adik-adik hamba yang lain?”

Ken Dedes menjadi semakin pucat. Pertanyaan-pertanyaan itu bagaikan bayangan yang sangat menakutkan, siap untuk menerkamnya.

Sejak Anusapati masih kanak-anak, Ken Dedes sudah mencemaskan pertanyaan serupa itu. Bahkan ia pernah mendengarnya selagi Anusapati masih terlalu muda. Namun pada saat itu ia masih berhasil membujuknya dan mencoba menenangkan hatinya. Namun kini Anusapati yang sudah dewasa itu pasti mempunyai tanggapan yang lain dari tanggapannya di masa ia masih terlalu muda.

Karena itu Ken Dedes terdiam sejenak. Dipandanginya saja wajah anaknya yang semakin lama menjadi semakin tunduk.

“Ibu,” suara Anusapati menjadi bergetar, “kenapa ibunda tidak mau memberi jawaban atas pertanyaan hamba?”

“Aku tidak mengerti, bagaimana aku harus menjawab Anusapati,” berkata ibunya kemudian, “aku sudah mencoba memberikan penjelasan kepadamu. Tetapi kau merasa bahwa ada sesuatu yang aku sembunyikan. Namun aku sendiri tidak mengerti, apa yang kau anggap aku sembunyikan itu.”

“Ibunda,” desis Anusapati kemudian, “apakah yang dapat hamba katakan tentang diri hamba sendiri. Tetapi hamba tidak dapat menyembunyikan kenyataan yang berlaku atas diri hamba. Mungkin hamba tidak lagi dapat membedakan, manakah yang sebenarnya terjadi, dan manakah yang sebenarnya sekedar khayalan hamba sendiri.”

“Anusapati,” suara Ken Dedes menjadi parau. Terasa kerongkongannya menjadi terlampau kering.

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerutkan keningnya ketika ia sadar, bahwa ibunya mulai menangis.

“Maafkan ibunda,” berkata Anusapati kemudian, “bukan maksud hamba menyakiti hati ibunda. Hamba merasa bahwa setiap kali hamba mohon penjelasan atas diri hamba, ibunda selalu menitikkan air mata, sehingga bahkan pertanyaan dihati hamba itu rasa-rasanya menjadi semakin lama semakin dalam. Tetapi jika ibunda tidak berkenan, maka biarlah hamba tidak bertanya lagi untuk sementara, selagi hamba masih dapat bertahan.”

“Anusapati,” suara Ken Dedes hampir hilang ditelan oleh sedu sedannya.

Anusapati tidak menjawab.

Sejenak keduanya saling berdiam diri. Yang terdengar hanyalah sedu sedan Permaisuri dari Maharaja yang Agung di Singasari, karena pertanyaan puteranya tentang dirinya sendiri.

Tetapi Anusapati tidak mendesaknya lagi. Ia sadar, bahwa hati ibunya menjadi pedih karenanya. Dan ia tidak sampai hati untuk semakin menyakiti hati yang memang sedang luka itu.

Karena itu untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Anusapati duduk dengan kepala tunduk, sedang ibunya sibuk mengusap air matanya. Ia sadar, bahwa baru saja ia menegur anaknya yang menangis, tetapi ia sendiri kini tidak dapat lagi mempertahankan air matanya.

“Ibu,” berkata Anusapati sejenak kemudian, “hamba ingin mohon diri. Hamba minta maaf bahwa hamba telah mengganggu ketenangan ibunda. Mungkin hamba memang terlalu banyak berkhayal, sehingga hamba seakan-akan hidup dalam dua dunia yang bercampur baur.”

Ken Dedes tidak menyahut. Bahkan diraihnya lengan anaknya dan ditariknya mendekat. Seperti Anusapati masih kanak-anak dipeluknya kepala anak itu di dadanya. Setitik-titik air matanya menetes membasahi rambut anak muda itu.

Baru sejenak kemudian Permaisuri itu melepaskannya dan berkata, “Hati-hatilah Anusapati. Mungkin kau benar-benar berada dalam kesulitan lahir dan batin. Tetapi sampai saat ini aku tidak dapat menolongmu, karena aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepadamu dan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.”

“Sudahlah ibu. Hamba akan menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu kembali. Hamba akan mencoba mencari, apakah hamba memang seorang pemimpi yang murung.”

Demikianlah Anusapati-pun kemudian meninggalkan ibunya. Langkah serasa ringan dan bahkan seakan-akan tidak berjejak di atas tanah, sehingga tubuhnya menjadi goyah.

Dalam keadaan yang demikian, terasa hatinya yang pahit menjadi semakin pahit. Karena itu maka ia tidak langsung kembali ke bangsalnya. Ia tidak mau memberikan kesan yang suram kepada isterinya, yang masih saja merasa orang asing di istana Singasari.

Hampir tidak disadarinya, maka Anusapati-pun menjumpai Sumekar yang duduk di regol taman seorang diri. Tanpa menarik perhatian orang lain, maka keduanya-pun berbicara tentang luka yang rasa-rasanya semakin parah didalam dada Anusapati.

“Tuanku,” berkata Sumekar, “apakah yang dapat hamba lakukan saat ini? Apakah hamba harus pergi ke Kediri dan mengatakannya kepada kakang Mahisa Agni.”

“Apakah kau sudah dapat menemui paman Witantra atau paman Kuda Sempana?”

“Hamba sudah berpesan,” sahut Sumekar, “tetapi jika perlu, untuk meyakinkan diri, hamba bersedia pergi ke Kediri.”

Tetapi Anusapati menggelengkan kepalanya. Katanya, “Jika paman Witantra, Kuda Sempana atau Mahendra sudah mendengar, maka paman Mahisa Agni tentu akan memikirkan. Mungkin ia baru sibuk sehingga paman Mahisa Agni belum dapat datang ke Singasari.”

“Tetapi persoalan tuanku tidak boleh tertunda-tunda lagi. Pamanda tuanku harus segera mengetahui dengan pasti. Agaknya Ayahanda Sri Rajasa telah terpengaruh untuk melakukan tindakan yang segera pula terhadap tuanku. Hamba tentu tidak tahu, tindakan apakah yang akan dilakukannya. Mudah-mudahan tidak akan melepaskan tuanku dari kedudukan tuanku yang sekarang hanya karena tuanku Sri Rajasa ingin menyerahkannya kepada tuanku Tohjaya.”

“Jadi apakah yang sebaiknya aku lakukan paman? Menemui Pamanda Mahisa Agni?”

“Secepatnya. Tetapi dalam keadaan seperti ini, kedatangan Pamanda Mahisa Agni dapat menimbulkan tafsiran yang berbahaya.”

“Jadi bagaimana menurut paman?”

“Pertemuan itu dapat diatur. Tidak perlu di istana ini, agar Sri Rajasa tidak mengambil langkah-langkah untuk mengatasi rencana yang tentu disangkanya tuanku susun bersama pamanda tuanku itu.”

“Baiklah paman, aku serahkan paman Sumekar untuk mengaturnya. Mungkin paman dapat menjumpai salah seorang kawan-kawan paman Mahisa Agni itu.”

Demikian Sumekar berusaha untuk menghubungi Mahisa Agni lewat kawan-kawan Mahisa Agni, sehingga akhirnya, mereka-pun telah menentukan hari-hari yang dapat mempertemukan Mahisa Agni dan Anusapati di luar istana, agar tidak menimbulkan kecurigaan Sri Rajasa.

Seperti Ken Dedes, Mahisa Agni-pun menjadi bingung. Tetapi sudah tentu ia tidak berani mendahului ibu Anusapati itu sendiri sebelum ia mendapat ijinnya. Bahkan, yang sebaik-baiknya hal itu diucapkan oleh Ken Dedes sendiri, dengan permintaan, agar Anusapati dapat mengekang dirinya.

Tetapi keadaan itu agaknya sudah menjadi terlalu parah. Jika Anusapati mengetahui, bahwa Sri Rajasa itu bukan ayahnya sendiri, maka sikapnya-pun pasti akan segera berbeda dan bahkan mungkin akan dapat menimbulkan tindakan-akan yang lebih langsung.

Sekilas Mahisa Agni terkenang akan trisulanya yang telah diberikannya kepada Anusapati. Jika perlu trisula itu akan dapat dipergunakannya.

“Jika perlu,” desis Mahisa Agni didalam hatinya, namun sebenarnyalah ia tidak ingin suatu tindakan kekerasan dilakukan. Kecuali untuk mempertahankan diri, Mahisa Agni tidak sependapat bahwa trisula itu dipergunakan. Tetapi mempertahankan diri bagi Anusapati adalah suatu tindakan yang memang mungkin sekali harus dilakukan.

“Jadi apakah yang dapat aku lakukan paman?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku ingin mendapat kesempatan berjumpa dengan ibundamu.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Pamanda memang sebaiknya bertemu dengan ibunda. Jika aku menghadap ibunda, maka ibunda selalu menangis dan akhirnya aku tidak pernah mendapat keterangan apa-pun tentang diriku, karena aku tidak akan dapat memaksanya untuk berbicara. Aku tidak sampai hati melihat ibunda bersedih, meskipun aku sendiri selalu bersedih.”

“Baiklah Anusapati. Aku akan segera mencari kesempatan. Sebaiknya ibundamu lah yang memanggil aku, karena sesuatu alasan. Jika badannya kurang enak, maka ia dapat mengatakan kepada Sri Rajasa, bahwa ia sedang sakit. Tetapi jika ibundamu berkeberatan, maka biarlah ia memakai alasan yang lain.”

“Aku akan menyampaikannya kepada ibunda.” jawab Anusapati, “tetapi dalam keadaan serupa saat ini, kehadiran Pamanda Mahisa Agni tentu akan menimbulkan kecurigaan pada Ayahanda Sri Rajasa.”

“Karena itu, sebaiknya ada alasan yang kuat dari ibundamu untuk memanggil aku.”

“Baiklah paman. Hamba akan berusaha.”

“Nah, kembalilah segera ke istana. Jika usaha membakar getah itu gagal, mungkin ada usaha yang lain. Karena itu, kau harus sering tinggal di dalam bangsal untuk menenteramkan hati isterimu.”

“Baiklah paman. Aku menunggu pembicaraan paman dengan ibunda. Mudah-mudahan ada sesuatu yang dapat paman katakan kepadaku, atau dari ibunda sendiri. Aku seakan-akan melihat sesuatu yang tersembunyi di dalam hati pamanda dan ibunda, yang sampai saat ini masih belum dapat aku dengar. Aku tahu, tentu suatu rahasia yang besar. Tetapi adalah suatu sifat manusiawi, bahwa semakin disembunyikan, maka semakin besar dorongan untuk mengetahuinya.”

Mahisa Agni menepuk pundak Anusapati. Sesuatu terasa bergejolak di dalam hati. Tetapi ia tidak dapat mengatakan sesuatu sebelum ia bertemu dengan Ken Dedes sendiri.

Demikianlah, maka sekali lagi Anusapati menghadap ibunda yang dengan termangu-mangu menerimanya.

“Ampun ibunda. Kali ini hamba tidak akan membuat ibu berduka. Hamba hanya sekedar ingin menyampaikan sebuah pesan dari paman Mahisa Agni.”

“Pesan dari pamanmu?”

“Hamba ibunda.”

“Apa katanya?”

Anusapati menjadi ragu-ragu. Sejenak ditebarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Di kejauhan dilihatnya seorang emban duduk tepekur.

“Apakah pesan itu bersifat rahasia?” bisik Ken Dedes.

“Hamba ibu. Pesan itu memang bersifat rahasia.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipanggilnya emban itu mendekat, lalu disuruhnya membersihkan bilik pembaringan Permaisuri.

“Ada sesuatu yang terjatuh di lantai,” berkata Permaisuri, “aku mendengar suaranya, tetapi ketika aku mencarinya, aku tidak dapat menemukan. Cobalah lihat, barangkali sesuatu yang kecil telah terjatuh.”

“Hamba tuanku,” sembah emban itu, yang kemudian bergeser surut.

“Katakan,” desis Ken Dedes.

“Ampun ibunda. Pamanda Mahisa Agni berpesan, bahwa pamanda ingin bertemu dengan ibunda barang sejenak.”

“Kenapa ia tidak datang saja kemari?”

“Paman menjadi ragu-ragu. Jika ia datang tanpa alasan, maka Ayahanda Sri Rajasa akan menjadi curiga.”

“Kenapa curiga?”

“Ayahanda Sri Rajasa baru marah kepada hamba. Selalu. Hampir setiap perjumpaan.” jawab Anusapati, “jika dalam keadaan demikian pamanda tiba-tiba saja datang, maka ayahanda akan menganggap bahwa kedatangan pamanda itu karena hamba.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.

“Jadi apakah ia akan datang secara rahasia?”

“Tentu tidak mungkin ibunda. Setiap orang sudah mengenal Pamanda Mahisa Agni. Memang mungkin Pamanda Mahisa Agni meloncat dinding tanpa diketahui oleh para prajurit. Tetapi jika ia masuk ke bangsal ini dan berbicara dengan ibunda, maka suaranya mungkin sekali akan didengar orang. Atau mungkin satu dua orang emban akan melihatnya.”

“Jadi bagaimana?”

“Ibundalah harus memanggilnya.”

“Apakah alasanku memanggil kakang Mahisa Agni?”

“Memang sulit. Tetapi jika ibunda memang kurang enak badan.”

“Maksudmu, katakanlah aku sedang sakit dan aku memanggil kakang Mahisa Agni?”

“Jika ibunda tidak berkeberatan.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia memang memerlukan seseorang untuk dibawanya berbincang. Selama ini semua beban seakan-akan telah dipikulnya sendiri. Keragu-raguan, kebingungan dan kadang ketakutan dan kecemasan harus dirasakannya sendiri.

“Ada baiknya pula pamanmu datang kemari,” tiba-tiba ia berdesis.

“Ibunda dapat mempergunakan alasan apa-pun yang baik menurut ibunda.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah anaknya yang muram. Tampak pada sorot matanya, bahwa ia sedang menahan gejolak yang dahsyat di dadanya.

“Kasihan anak ini,” berkata Ken Dedes di dalam hatinya. Ia harus segera menemukan jalan untuk menyelamatkan anaknya. Bukan saja dari kedudukannya, tetapi lebih daripada itu, tekanan jiwa yang semakin hari menjadi kian menghimpit hati itu, akan dapat membuatnya kehilangan keseimbangan. Anusapati dapat menjadi liar dan tidak terkendali. Namun ia akan dapat juga menjadi patah dan kehilangan segenap gairah hidupnya.

Karena itu, maka kedatangan Mahisa Agni memang sangat penting baginya. Ia adalah satu-satunya orang yang masih dapat dipercaya sepenuhnya.

“Anusapati,” berkata Ken Dedes kemudian, “baiklah. Aku akan berusaha. Mungkin aku harus berpura-pura atau berbohong. Aku tidak pernah dengan sengaja melakukan hal semacam itu. Tetapi kali ini aku menganggap perlu. Bukan saja karena kau menghendaki demikian, tetapi akulah yang ingin berbuat.”

“Baiklah ibunda,” sahut Anusapati, “aku harus segera menemukan jalan untuk melepaskan diri dari keadaan ini. Mungkin ayahanda sengaja membuat aku kehilangan pegangan dan menjadi gila. Gila adalah alasan yang paling baik untuk menyingkirkan aku dari kedudukanku. Tetapi gila adalah suatu keadaan yang paling tidak menyenangkan dalam kemungkinan apa-pun juga.”

Terasa sesuatu tergores dihati Ken Dedes. Luka dihati Anusapati memang sudah menjadi semakin parah.

Sepeninggal Anusapati, maka Ken Dedes-pun duduk termenung. Berbagai persoalan lewat dihatinya. Namun akhirnya ia berdesah, “Aku terpaksa melakukannya.”

Maka Ken Dedes-pun memutuskan untuk memohon kepada Sri Rajasa agar Mahisa Agni diperkenankan menengoknya, karena ia sedang sakit. Pura-pura sakit.

“Apa katamu?” bertanya Sri Rajasa kepada seorang emban yang menghadap atas perintah Permaisuri.

“Ampun tuanku,” jawab emban itu, “hamba mendapat perintah dari tuanku Permaisuri untuk menyampaikan pesan Tuan Puteri, bahwa Tuan Puteri sekarang sedang sakit.”

“Sakit?” bertanya Sri Rajasa dengan heran.

“Hamba tuanku. Sudah dua hari Tuan Puteri tidak bangkit dari pembaringan.”

Sri Rajasa termenung sejenak. Sudah beberapa hari ia tidak datang ke bangsal Permaisuri. Memang itu adalah kekhilafannya. Ternyata sudah dua hari Ken Dedes menderita sakit.

“Biarlah ia mati,” terdengar suara dihatinya yang paling dalam. Tanpa disadarinya maka bagi Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu, Ken Dedes memang sudah tidak ada lagi. Jika masih juga ia kadang-kadang datang ke bangsal Permaisuri itu, maka bagi Sri Rajasa, hal itu merupakan kuwajiban yang paling menjemukan.

Namun tiba-tiba saja terbayang kembali saat-saat ia melihat Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu di taman yang sedang dibuatnya di padang Karautan. Dengan indera halusnya, ia melihat cahaya pada tubuh Permaisuri itu.

“Ia akan melahirkan raja-raja besar di tanah ini,” terngiang suara seorang brahmana.

Seakan-akan terbayang dengan jelas penglihatannya pada waktu itu. Seorang perempuan yang cantik tiada taranya dan cahaya memancar dari tubuhnya.

Perempuan itu telah membuat gila pada waktu itu, sehingga ia telah membunuh Empu Gandring dan Akuwu Tunggul Ametung. Mengumpankan Kebo Ijo dan bahkan karena perbuatannya pula, maka Mahisa Agni telah naik ke arena melawan Panglima Pasukan Pengawal pada waktu itu, Witantra.

“Banyak peristiwa telah terjadi,” berkala Ken Arok didalam hatinya, “apakah sekarang aku tidak menghiraukannya lagi karena sudah ada Ken Umang yang seolah-olah masih tetap muda?”

Tetapi tiba-tiba Ken Arok menggeram didalam dirinya, “Bukan. Bukan Ken Dedes yang akan melahirkan raja-raja besar di tanah ini. Akulah yang berhak menentukan, siapakah yang akan mewarisi tahta Singasari kelak.”

Sesaat Ken Arok masih digulat oleh pergolakan di dalam dirinya, sehingga emban yang menghadapnya sama sekali tidak berani berbuat apa-pun juga, selain duduk tepekur sehingga kepalanya menjadi pening karenanya.

Namun akhirnya ia berkata kepada emban itu, “Kembalilah. Aku akan datang menengoknya nanti.”

“Hamba tuanku. Hamba akan menyampaikannya kepada tuanku Permaisuri.”

Sepeninggal emban itu, Ken Arok masih saja merenung. Kadang-kadang timbullah niatnya untuk mengusahakan penyembuhan bagi Permaisuri jika sakitnya memang agak berat. Tetapi kadang-kadang ia justru melihat bahwa hal ini akan semakin menekan perasaan Anusapati dan membuatnya semakin bingung.

“Anusapati benar-benar sudah tidak aku perlukan.” desis Sri Rajasa, “sebenarnya aku masih mengharapkan agar Ken Dedes tetap baik. Hidupnya yang prihatin selama ini membuat dirinya menjadi lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. Tetapi aku sama sekali tidak senang kepada anak Tunggul Ametung itu.” tiba-tiba Sri Rajasa menggeram, “kenapa aku tidak berterus terang kepada rakyat Singasari sejak semula, meskipun aku yakin, sebagian dari mereka sudah mengetahuinya.”

Tetapi Sri Rajasa tidak dapat mengulangi apa yang sudah lalu. Yang sekarang ada, adalah Anusapati, putera Tunggul Ametung yang lahir dari permaisurinya, sebagai seorang Putera Mahkota yang telah diangkatnya sendiri, dan diakui oleh rakyat Singasari, bahkan bukan saja sebagai Putera Mahkota tetapi juga sebagai pelindung dalam pakaian Kesatria Putih.

Sejenak Sri Rajasa masih merenung. Namun kemudian ia-pun segera berdiri dan berkata kepada diri sendiri, “Aku akan menengoknya. Jika keadaannya memungkinkan, aku justru akan mendapat kesempatan untuk menyampaikan niatku. Dalam keadaan sakit ia akan dapat menahan gelora hati Anusapati, karena agaknya Anusapati sangat mengasihi ibunya. Aku akan minta Ken Dedes lah yang menyatakan keadaan anaknya itu yang sebenarnya. Dengan demikian, maka akan ada suatu kemungkinan, bahwa Anusapati yang merasa dirinya tidak berhak atas tahta itu mengundurkan dirinya atas permintaan sendiri. Sesudah itu, untuk melenyapkan pengaruhnya, maka jalan yang mana-pun akan lebih mudah ditempuh, karena apabila ia bukan lagi seorang Putera Mahkota, maka hidupnya tidak akan lagi menjadi pusat perhatian rakyat Singasari. Meskipun tidak dengan serta-merta, dan dalam waktu yang pendek, namun akhirnya Anusapati pasti akan tersingkir dari hati rakyat Singasari, dan bahkan tersingkir untuk selama-lamanya.”

Sri Rajasa kemudian mengangguk-anggukkan kepalanva. Rencananya ini dapat dijadikannya salah satu jalan dari jalan yang lain yang masih direncanakannya.

“Baru sesudah Anusapati menyadari dirinya, aku akan berusaha menyembuhkan Ken Dedes,” berkata Sn Rajasa di dalam hatinya.

Demikianlah maka Sri Rajasa-pun menyampaikan maksudnya itu kepada penasehatnya untuk mendapat penimbangan. Ternyata bahwa hal itu benar-benar telah menarik perhatiannya dan dengan serta-merta ia berkata, “Bagus sekali tuanku. Hamba kira kali ini tuanku akan berhasil. Selagi tuanku Permaisuri sakit, tuanku Anusapati tentu tidak akan berbuat apa-pun juga. Ia akan menekan perasaannya dan bahkan akan melihat kedalam dirinya sendiri, bahwa sebenarnyalah ia tidak berhak atas kedudukannya.”

“Tetapi apakah menurut pertimbanganmu Ken Dedes akan bersedia mengatakannya?”

“Hamba berharap bahwa tuanku dapat membujuknya selagi ia sakit.”

“Tetapi apakah ia tidak akan sampai kepada rahasia yang paling dalam pernah terjadi di Singasari?”

“Rahasia yang mana tuanku? Maksud tuanku bukankah tuanku Permaisuri harus mengatakan rahasia itu kepada puteranya itu? Bahwa tuanku Anusapati memang bukan putera tuanku Sri Rajasa?”

Sri Raiasa menarik nafas dalam-dalam. Selain rahasia itu masih ada rahasia lain yang tidak kalah besarnya. Meskipun tidak pasti, tetapi Permaisurinya tentu pernah menangkap suatu siratan kata-katanya, bahwa ia telah menyingkirkan Akuwu Tunggul Ametung dengan sengaja.

“Perempuan itu kadang-kadang masih memuji suaminya yang telah mati itu,” berkata Ken Arok di dalam hatinya, sehingga karena itu, kadang-kadang ia terdorong untuk mengatakan sesuatu yang dapat memberikan kesan tentang pembunuhan yang pernah dilakukan.

“Tetapi ia tidak akan mengatakannya,” berkata Sri Rajasa didalam hatinya pula, “ia akan kehilangan aku, dan ia akan kehilangan pegangan hidupnya. Jika Anusapati tahu bahwa aku yang telah membunuh ayahnya, maka hal ini akan menghadapkan Ken Dedes pada persoalan yang paling sulit didalam hidupnya, ia harus memilih, anaknya atau suaminya. Dan Ken Dedes tentu tidak akan berani kehilangan suaminya yang kini berkuasa di Singasari.”

Demikianlah maka akhirnya Sri Rajasa mengambil keputusan, bahwa ia benar-benar akan minta kepada Ken Dedes yang sedang dalam keadaan sakit itu untuk mengatakan saja kepada anak laki-lakinya, bahwa sebenarnya ia memang bukan putera Sri Rajasa. Sri Rajasa-pun yakin pula, bahwa Ken Dedes tidak akan berani membuka rahasia yang lebih besar lagi, karena ia justru tidak mau kehilangan salah seorang dari dua orang laki-laki yang sama-sama penting baginya. Suaminya dan anaknya. Jika ia diam dalam hubungan dengan terbunuhnya Tunggal Ametung, maka ia tidak akan melihat alasan apa-pun yang dapat membahayakan jiwa anaknya selain kehilangan gelarnya sebagai Putera Mahkota.

“Persoalan selanjutnya akan menjadi lebih mudah,” berkata Ken Arok kepada diri sendiri.

Maka ketika ia benar-benar pergi kebangsal Permaisurinya, ia sudah menyiapkan kalimat-kalimat yang paling baik dikatakan untuk mendesak agar Ken Dedes yang dianggapnya sakit itu tidak berkeberatan untuk mengatakannya.

Ketika ia memasuki bilik Permaisuri, dilihatnya Permaisuri yang pucat berbaring di pembaringannya berselimut kain panjang berwarna kelam. Dengan demikian seakan-akan Permaisuri itu benar-benar dalam keadaan sakit yang agak berat.

“Ampun tuanku, hamba tidak dapat menyambut kedatangan tuanku sebagaimana seharusnya.”

“Berbaringlah,” berkata Sri Rajasa, “jika kau masih merasa sakit, kau dapat mengesampingkan tata cara yang seharusnya berlaku.”

“Terima kasih tuanku,” jawab Ken Dedes.

Ken Aroklah yang kemudian berdiri di sisi pembaringan Permaisurinya. Dengan dada yang berdebar-debar dipandanginya wajah yang suram dan pucat itu.

Bagaimana-pun juga, ketika ia sudah berdiri di samping Ken Dedes yang terbaring itu, terasa sesuatu telah menyentuh hatinya. Sekilas terbayang kembali bagaimana ia menjadi tergila-gila di saat-saat ia melihatnya untuk pertama kali. Kecantikan perempuan padepokan Panawijen itu benar-benar telah mencengkamnya, sehingga ia telah berbuat gila karenanya. Namun kegilaannya saat itu telah mendorongnya sehingga ia kini berada di atas tahta Singasari.

Ken Arok itu-pun menarik nafas dalam-dalam. Kecantikan Ken Dedes masih tampak pada wajahnya yang berkerut-merut. Bahkan semakin tajam Sri Rajasa memandanginya, tampaklah olehnya bahwa perempuan ini lebih cantik dari Ken Umang. Namun Ken Umang adalah perempuan yang segar dan kadang-kadang tubuhnya panas membara, sehingga Sri Rajasa telah dicengkamnya lahir dan batinnya.

Tetapi dihadapan Ken Dedes yang sedang sakit, hati Sri Rajasa seakan-akan menjadi luluh. Ia tidak dapat melupakan apa yang pernah terjadi di saat-saat mereka masih cukup muda untuk memadu hati. Tetapi kini anak-anak mereka seorang demi seorang telah lahir dan menjadi dewasa. Bahkan cucu-cucunya-pun telah lahir pula, sehingga masa-masa yang indah itu hanyalah tinggal merupakan suatu kenangan. Namun kenangan masa lampau itu kadang-kadang memang menumbuhkan kerinduan.

“Apakah yang kau rasakan?” Sri Rajasa-pun kemudian bertanya dengan suara yang dalam.

“Ampun tuanku, hamba tidak tahu apakah sebenarnya sakit hamba. Tetapi rasa-rasanya badan hamba menjadi terlalu lemah dan kepala hamba menjadi pening.”

Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “biarlah aku mengundang dukun yang paling pandai di negeri ini. Kau akan segera disembuhkan.”

“Tidak perlu tuanku. Biarlah hamba minum obat yang setiap hari disediakan oleh seorang emban. Hamba merasa, bahwa keadaan hamba menjadi bertambah baik.”

Sri Rajasa terdiam sejenak. Ada semacam benturan perasaan di dalam dirinya. Kadang-kadang ia masih juga teringat, rencana yang sudah dipikirannya masak-masak. Namun jika ditatapnya wajah Ken Dedes yang membayangkan masa-masa mudanya, ia menjadi ragu-ragu.

Namun sejenak kemudian ia berkata, “Apakah kau yakin bahwa kau akan sembuh karena obat itu?”

“Ya tuanku.”

“Obat apakah itu?”

“Pipisan tela grandel selengkapnya. Akar, kulit, pelepah, daun dan buahnya yang masih sangat muda, serta beberapa lembar bunga dan daunnya.”

“Hanya itu?”

“Hamba tuanku.”

Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia-pun kemudian berjalan mondar mandir di dalam bilik itu. Sejenak ia berdiri di muka geledeg kayu berukir melihat-lihat beberapa buah benda yang terletak di dalamnya.

Dalam pada itu, dari beberapa benda itu Sri Rajasa melihat bayangan masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Di antara beberapa macam benda-benda itu adalah peninggalan Akuwu Tumapel yang sudah terbunuh. Diantaranya adalah sebuah gading gajah yang panjang berukir dibungai dengan ukiran emas pada pangkal dan ujungnya. Sebuah tempurung tempat minum berukir emas pula dan sebuah selongsong tombak disamping beberapa macam benda-benda yang lain.

Ada sesuatu yang aneh melonjak didalam hatinya. Tiba-tiba saja kebenciannya pada masa lampau itu tumbuh dengan serta merta, merenggut kerinduannya yang mulai kabur. Ia sama sekali tidak lagi melihat masa lampau yang indah selagi ia masih muda.

Perlahan-lahan Sri Rajasa berpaling. Dilihatnya wajah Ken Dedes yang sudah mulai berkerut dilukisi garis-garis umur.

“Ia memang cantik. Tetapi aku tidak mengambilnya selagi ia masih gadis. Aku mengambilnya setelah ia mengandung. Akuwu Tunggal Ametung lah yang memiliki kagadisannya. Bukan aku. Dan sekarang dari padanya lahir seorang anak laki-laki yang selalu menimbulkan persoalan bagiku.”

Tiba-tiba saja Sri Rajasa mengatupkan giginya. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Ken Dedes yang masih berbaring diam. Kini ia mendapat dorongan untuk mengatakan niatnya, agar Ken Dedes mengatakan saja kepada anaknya, siapakah ia sebenarnya, agar Anusapati tidak merasa dirinya terlampau besar dan menganggap bahwa ia menduduki jabatannya dengan sah.

Sejenak Sri Rajasa termangu-mangu ditepi pembaringan. Namun hatinya telah pasti bahwa ia harus mengatakannya.

“Tetapi aku tidak boleh hanyut oleh arus perasaanku,” katanya di dalam hati.

Karena itulah, maka wajahnya-pun menjadi cerah kembali. Bahkan perlahan-lahan ia duduk di pembaringan itu sambil meraba dahi Permaisurinya.

“Kau panas sekali,” berkata Sri Rajasa.

Ken Dedes mengerutkan keningnya. Tetapi ia menyahut, “Ya tuanku. Hamba memang merasa panas sekali.”

Sri Rajasa menarik nafat dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kau harus beristirahat sebaik-baiknya. Jangan kau hiraukan lagi apa-pun yang terjadi. Kau harus pula mengosongkan rahasia yang ada didalam dirimu, agar kau tidak selalu dikejar-kejarnya siang dan malam.”

Dada Ken Dedes menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu maksud Ken Arok. Justru ketika ia tampaknya dalam keadaan sakit Sri Rajasa minta ia mengosongkan dirinya.

“Apakah itu berarti bahwa Sri Rajasa menganggap bahwa aku sudah akan mati, atau justru Sri Rajasa mengharap aku mati?” bertanya Ken Dedes kepada diri sendiri, “seseorang yang akan mati memang sebaiknya mengosongkan dirinya sendiri dari segala rahasia dan endapan perasaan, agar terbukalah jalan yang licin dihadapannya apabila ia memang sudah iklas.”

Dalam pada itu sebelum Ken Dedes bertanya, Ken Arok sudah mendahuluinya, “Maksudku, kau tidak lagi dibebani oleh berbagai macam perasaan yang dapat mempengaruhi dirimu, mempengaruhi kesehatanmu. Tampaknya kau memang sudah mulai dijamah oleh berbagai macam penyakit. Karena itu, supaya kau tidak terlalu dibebani oleh berbagai macam persoalan, maka kau dapat mengurangi tekanan-tekanan yang menghimpit jantung. Dengan demikian hatimu menjadi agak terbuka, dan badanmu akan menjadi sedikit terlepas dari tekanan itu. Mudahnan kau berangsur-angsur menjadi baik.”

Permaisuri itu menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia salah sangka. Ternyata bahwa Sri Rajasa tidak mengharap ia segera mati, meskipun ia tidak tahu pasti apa yang terpikir didalam hatinya.

“Tuanku,” berkata Ken Dedes dengan suara gemetar, “apakah yang dapat hamba lakukan untuk mengurangi beban perasaan hamba?”

“Ken Dedes,” berkata Sri Rajasa, “aku tahu, bahwa hampir sepanjang hidupmu sebagai permaisuri di Singasari, kau terpaksa menyimpan suatu rahasia untuk melindungi namaku. Aku sangat berterima kasih. Jika rahasia itu adalah rahasia kecil yang harus kau sembunyikan dari tangkapan rakyat Singasari, mungkin kau tidak akan menjadi begitu perasa dan bahkan menjadi sakit-sakitan. Tetapi aku tahu, bahwa rahasia ini adalah rahasia anak laki-lakimu. Dan aku tahu, bahwa pada suatu saat ia pasti akan bertanya tentang dirinya. Ada lebih dari separuh penghuni istana, terutama yang tua-tua yang sebenarnya mengetahui siapakah Anusapati itu. Aku menjadi kasihan kepadanya, bahwa pada suatu ketika ia mendengarnya justru dari orang lain, sehingga mudah sekali akan timbul salah paham. Dan aku juga kasihan kepadamu, bahwa kau harus menahan hatimu untuk tetap menyimpan rahasia itu.” Sri Rajasa berhenti berhenti sejenak. Lalu, “Sekarang Anusapati sudah dewasa. Ia sudah dapat menimbang baik dan buruk. Ia sudah dapat mengetahui mana yang boleh dan yang tidak boleh dikerjakan.”

Kini dada Ken Dedes yang mulai tenang itu menjadi berdebar-debar kembali. Sejenak ditatapnya wajah Sri Rajasa, namun ia tidak mengucapkan kata-kata.

Sri Rajasa yang kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir diruangan itu berkata, “Apakah kau mengerti maksudku Ken Dedes?”

Dada Ken Dedes menjadi semakin berdebaran. Namun ia mengangguk kecil sambil menjawab, “Hamba mengerti tuanku.”

“Kau jangan salah paham. Aku tidak akan berbuat sesuatu atas dasar pengakuanmu terhadap anakmu. Ia akan tetap aku anggap sebagai anakku sendiri.”

Dada Ken Dedes terasa menjadi semakin sesak. Dan tiba-tiba ia merasa bahwa tubuhnya benar-benar menjadi panas.

“Ken Dedes,” berkata Sri Rajasa, “sudah lama kau menjaga namaku baik-baik. Sudah cukup lama, selagi Anusapati masih belum cukup masak untuk mengetahui dirinya sendiri, sehingga dicemaskan ia akan berbuat sesuatu. Tetapi sekarang aku kira ia akan dapat melihat bahwa yang terjadi itu sudah terjadi. Dan aku berharap bahwa hal itu tidak akan membuatnya berkecil hati, asal kau dapat memberinya hati dan mengatakan bahwa Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang yang besar pada masanya ia masih berkuasa.”

Dada Ken Dedes bagaikan tidak lagi dapat memuat gejolak perasaannya yang melonjak-lonjak. Namun ia masih tetap bertahan dan mencoba untuk tidak menangis karena kata-kata Sri Rajasa itu.

Ternyata bahwa Ken Dedes, bukannya seorang perempuan yang bernalar tumpul, ia adalah seorang yang cukup cerdas karena ayahnya-pun adalah seorang yang memiliki kelebihan dari sesamanya. Karena itu, meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia dapat meraba, apakah sebabnya maka Sri Rajasa menganjurkannya untuk membuka rahasia itu.

Karena itu, karena luapan perasaan, tiba-tiba hampir diluar sadarnya Ken Dedes bertanya, “Sampai dimanakah hamba dapat mengatakan rahasia tentang diri anakku itu tuanku? Apakah pengetahuanku tentang rahasia itu harus aku katakan tanpa batas?”

Pertanyaan itu tiba-tiba telah mengguncang hati Sri Rajasa. Ia sadar, bahwa Ken Dedes pasti sudah mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Mungkin dengan tidak langsung lidahnya sendiri pernah mengatakan, bahwa ia telah berbuat sesuatu untuk mencapai kedudukannya sekarang. Mungkin karena ia menganggap bahwa Ken Dedes sepenuhnya telah menggantungkan dirinya, hidup dan matinya, kepadanya, maka ia dapat berbuat dan berkata apa saja tanpa mencemaskan bahwa Ken Dedes akan berbuat sesuatu.

Namun kini ternyata Ken Dedes bertanya kepadanya apakah rahasia itu seluruhnya dapat dikatakan kepada anaknya.

Sri Rajasa yang kemudian berdiri tegak dengan tatapan mata yang tegang itu mencoba menahan gejolak hatinya yang meronta-ronta.

Sri Rajasa tidak menyangka, bahwa pada suatu saat ia dihadapan pada pertanyaan serupa itu, yang tumbuh karena kehendaknya sendiri agar Ken Dedes tidak lagi menyimpan rahasia tentang anaknya.

“Tetapi sampai dimana batas dari rahasia yang dapat dikatakan kepada Anusapati itu? “ pertanyaan itu justru kini melengking-lengking dihatinya.

Ketika tampak wajah Ken Dedes yang pucat dan berkerut merut itu, tiba-tiba saja segala macam perasaan dan tanggung jawabnya sebagai seorang suami seolah-olah telah lenyap. Ken Dedes kini sudah bukan Ken Dedes yang muda dan cantik itu lagi. Ken Dedes janda Tunggul Ametung itu adalah seorang perempuan yang menjadi semakin tua.

“Apalagi gunanya aku menyelamatkan orang ini,” berkata Sri Rajasa di dalam hatinya.

Dengan demikian maka segala hasrat yang mulai merayapi hatinya untuk mengusahakan penyembuhan bagi Ken Dedes itu seakan-akan telah lenyap sama sekali.

Namun demikian Ken Arok sadar, bahwa ia harus menjawab pertanyaan Ken Dedes itu. Karena itu, maka terdengar suaranya yang dalam tertahan-tahan, “Kau sudah cukup tua Ken Dedes. Seharusnya kau tidak bertanya kepadaku. Terserahlah kepadamu apa yang kau anggap baik kau katakan kepada anakmu itu. Kalau kau ingin mengajarinya menjadi manusia yang baik, kau tahu, batas-batas yang sebaiknya kau katakan. Tetapi jika kau ingin melihat anakmu menjadi seorang yang dapat dianggap oleh rakyat Singasari sebagai seorang yang biadab, kau dapat mengatakan apa saja yang kau ketahui tentang anak itu, tentang Tunggul Ametung yang sudah mati itu dan tentang aku sendiri.”

“Tuanku.”

“Ya, itulah jawabanku. Ingat, bahwa setiap usaha untuk mengacaukan Singasari dapat berakibat kematian. Meskipun ia putera Mahkota sekalipun.”

“Tuanku, apakah maksud tuanku hendak mengancam agar aku mengatakan kepada Anusapati bahwa ia bukan putera Tuanku dan agar aku membuatnya hatinya susut sekecil butiran pasir yang paling lembut? Kemudian dengan demikian kita semuanya berharap agar ia merasa terlampau besar untuk menjadi seorang Putera Mahkota sehingga Anusapati kemudian lari dari kedudukannya atas kehendak sendiri? Dengan demikian maka terbukalah kesempatan bagi tuan untuk menunjuk seorang penggantinya.”

“Cukup, cukup,” Sri Rajasa hampir berteriak.

Namun Ken Dedes sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan tiba-tiba ia bangkit dari pembaringannya dan berkata lantang, “Tuanku, aku tidak rela jika kedudukan ini jatuh ketangan orang lain yang bukan keturunan Ken Dedes. Jika tuan tidak senang kepada Anusapati, karena Anusapati bukan putera tuanku, aku akan mengatakannya kepadanya. Tetapi tahta Singasari tidak boleh lepas dari keturunan Ken Dedes. Apalagi hamba juga mempunyai anak laki-laki yang lahir dari tuanku.”

Tubuh Sri Rajasa tiba-tiba menjadi gemetar. Ia belum pernah melihat Ken Dedes berani menentang kehendaknya. Apalagi membantah kehendaknya. Namun tiba-tiba ia melihat wajah Ken Dedes yang pucat itu menjadi merah padam.....

Tetapi Sri Rajasa tidak mau surut selangkah. Ia-pun kemudian berkata, “Apa hakmu mengatur tahta Singasari? Kau sangka warisan yang kau dapat dari Tunggul Ametung itu cukup berharga dibandingkan dengan kebesaran Singasari sekarang? Aku tahu, bahwa Tunggul Ametung pernah menyerahkan semua haknya kepadamu. Tetapi Tunggul Ametung adalah Akuwu dari Tumapel yang kecil. Sedang kini aku adalah Maharaja dari Singasari yang besar dan perkasa. Tidak seorang-pun yang dapat memerintah aku. Tidak seorang-pun yang dapat menahan kehendakku.”

Ternyata kata-kata itu telah memanaskan hati Ken Dedes. Ken Dedes yang pendiam dan penurut itu tiba-tiba saja telak menunjukkan sikap yang sama sekali berbeda. Tiba-tiba saja ia berdiri dan berkata, “Tuanku. Jika tuanku memang berkuasa dan tidak seorang-pun dapat menahan kehendak dan keinginan tuanku, kenapa tuanku tidak bertindak sendiri. Kenapa tuanku harus mempergunakan jalan yang panjang untuk mengusir Anusapati? Sebaiknya tuanku bertindak tegas terhadap anak itu. Tuanku tidak usah memakai cara seperti yang tuanku tempuh untuk merebut kedudukan Tunggul Ametung dan mengawini jandanya. Aku tidak menyesal karena waktu itu, aku yang merasa hidupku kering, menemukan cinta pada tatapan mata tuan. Aku-pun tidak menyesal ketika aku mengetahui cara yang tuan tempuh. Tetapi sekarang tuanku tidak usah memakai cara yang berselubung dan mengorbankan orang lain untuk kepentingan tuan. Tuan dapat menentukan keinginan tuan karena tuan adalah seorang Maharaja. Tuan-pun tidak pernah menggunakan cara yang terselubung untuk menghancurkan Kediri dan tuanku berhasil.”

“Cukup, cukup.”

“Belum, tuanku. Hamba masih ingin mengatakan bahwa sebaiknya tuanku bertindak sendiri. Apakah tuanku ingin anak itu pergi dari Singasari atau tuanku ingin membunuhnya sama sekali.”

“Kau sudah gila. Kau sudah gila.” Sri Rajasa menggeram. Wajahnya menjadi merah padam karena kemarahan yang meluap-luap. Hampir saja ia kehilangan pengamatan diri dan bertindak kasar terhadap Permaisurinya yang dianggapnya sedang sakit itu. Tetapi niatnya segera luluh ketika tiba-tiba saja ia melihat sesuatu yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Ketika Ken Dedes menggeretakkan giginya karena marah, tiba-tiba Ken Arok melihat cahaya yang dahulu pernah dilihatnya. Cahaya yang menyilaukan memancar dari tubuh perempuan yang lemah itu.

Dengan dada yang berdebar-debar Ken Arok mengusap matanya. Semula ia tidak begitu yakin akan penglihatannya. Namun semakin lama cahaya itu seakan-akan menjadi semakin terang.

Sejenak Ken Arok terpaku diam. Tetapi cahaya yang menyilaukan itu seakan-akan berkata kepadanya, “Akulah yang berhak menurunkan raja di atas tanah ini. Bukan orang lain.”

Tiba-tiba Ken Ariok menutup kedua belah matanya dengan tangannya. Tetapi cahaya yang silau itu tidak dapat dihindarinya. Meskipun matanya terpejam dan kedua belah telapak tangannya menutup matanya, tetapi rasa-rasanya ia masih tetap tersilau oleh cahaya yang pernah dikenalnya. Cahaya yang telah membuatnya semakin gila di saat mudanya.

Ken Dedes yang sedang marah itu sempat juga menyaksikan apa yang dilakukan oleh Ken Arok. Dengan terheran-heran ia melihat sikap yang tidak dimengertinya itu. Kenapa tiba-saja Ken Arok seakan-akan menjadi silau memandangnya. Sedang Ken Dedes sendiri sama sekali tidak menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi atasnya. Ken Dedes tidak menyadari bahwa dari dirinya telah memancar cahaya yang menyilaukan kedua mata Sri Rajasa itu.

Apalagi ketika kemudian Ken Arok itu berkata dengan suara yang terputus-putus sambil memalingkan kepalanya, “Baiklah Ken Dedes. Aku akan memperhatikan pendapatmu. Aku akan mempertimbangkannya.”

Ken Dedes yang menjadi semakin heran itu-pun kemudian menjadi cair. Kemarahannya perlahan-lahan menjadi pudar. Terkenang olehnya apa yang perah terjadi atas Akuwu Tunggul Ametung. Di dalam suatu keadaan yang serupa, selagi Akuwu Tunggul Ametung marah kepadanya, tiba-tiba saja Akuwu yang berkuasa pada waktu itu-pun menjadi seakan-akan silau memandangnya.

“Aku tidak mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi atasku di dalam keadaan ini,” berkata Ken Dedes di dalam hatinya.

Dalam pada itu Sri Rajasa-pun berkata pula, “Sudahlah Ken Dedes. Aku tidak akan mempersoalkannya lagi. Semua yang kau katakan akan aku pertimbangkan.”

“Hamba tidak mengerti tuanku,” berkata Ken Dedes kemudian. Suaranya sudah jauh berbeda dengan nada suaranya ketika ia menjadi sangat marah.

Perlahan-lahan Ken Arok-pun berpaling pula. Ketika ia memandang Permaisuri itu, sinar yang silau itu sudah tidak dilihatnya lagi.

Sejenak kemudian sadarlah Ken Arok, bahwa cahaya itu adalah cahaya yang tidak kasat mata wadagnya. Tetapi sinar itu langsung menembus dinding hatinya dan menyilaukan mata batinnya. Karena itu, maka ia-pun harus mengakui, bahwa yang dihadapinya kini adalah masih Ken Dedes yang dahulu, Ken Dedes yang pernah disebut oleh seorang Brahmana, bahwa ia akan melahirkan raja-raja yang akan berkuasa diatas tanah ini.

Sejenak kemudian, Ken Arok yang bergerlar Sri Rajasa itu-pun telah berhasil menguasai dirinya kembali. Karena itu maka ia-pun segera melangkah maju dan berkata, “Ken Dedes jangan kau biarkan hatimu terbakar. Aku minta maaf, barangkali kata-kataku terdorong oleh gejolak perasaan yang tidak terkendali.”

“Ampun tuanku. Hamba tidak menganggap demikian, Hamba-pun mohon maaf, bahwa hamba sudah bertindak diluar keharusan hamba sebagai seorang isteri dan seorang Permaisuri.”

“Berbaringlah. Bukankah kau sedang sakit?”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia duduk kembali dipembaringannya. Katanya, “Ya tuanku. Hamba memang sedang sakit. Dan itulah sebabnya kadang-kadang hamba kehilangan pengamatan diri karena badan hamba terlampau panas.”

“Berbaringlah.”

“Hamba tuanku.”

“Berbaringlah. Kau perlu beristirahat.”

Ken Dedes termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun membaringkan dirinya di atas pembaringannya. Kemudian ditariknya selimutnya yang berwarna kelam. Dan sesaat kemudian. Ken Dedes telah kembali kedalam keadaannya, seakan-akan seseorang yang benar-benar sakit.

“Ken Dedes,” berkata Sri Rajasa kemudian, “kau jangan gelisah. Dan berbuatlah apa yang akan kau lakukan.”

“Terima kasih tuanku. Dalam keadaan hamba ini, perkenankanlah hamba memohon kepada tuanku.”

Sri Rajasa menjadi berdebar-debar. Sejenak ia termangu-mangu. Jika permohonan itu langsung menyangkut kedudukan Anusapati, maka itu akan sangat membingungkannya. Meskipun ia sadar bahwa Ken Dedes adalah seseorang yang memang ditakdirkan untuk melahirkan keturunan raja-raja, tetapi kenapa harus Anusapati, Putera Akuwu Tunggul Ametung? Bukan keturunan Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi?

Dalam keragu-raguan itu, terdengar Ken Dedes berkata, “Ampun tuanku. Hamba tidak akan memohon sesuatu di luar kemauan tuanku. Hamba hanya memohon agar kakak hamba, Mahisa Agni diperkenankan menengok hamba di dalam keadaan ini.”

“O,” Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah. Baiklah, jika itu yang kau kehendaki. Aku akan memerintahkan seorang utusan pergi ke Kediri untuk memanggil Mahisa Agni dan mengatakan kepadanya bahwa kau sedang sakit dan menunggu kedatangannya, agar ia benar-benar segera datang kemari.”

Ken Dedes masih juga terheran-heran melihat sikap Sri Rajasa. Tetapi kemudian ia mencoba untuk menyingkirkan teka-teki itu. Karena itu maka ia-pun menyahut, “Terima kasih tuanku. Hamba mengharap sekali kedatangan kakang Mahisa Agni.”

“Baik, baik. Aku akan memerintahkannya sekarang juga.”

Sebelum Ken Dedes menjawab, maka Sri Rajasa itu-pun dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik itu, sehingga Ken Dedes menjadi semakin heran karenanya. Apakah yang sudah terjadi atas Sri Rajasa itu, dan apakah hal itu menguntungkannya atau justru sebaliknya.

“Sri Rajasa seakan-akan dalam ketidak sadaran,” berkata Ken Dedes di dalam hatinya, “jika ia kemudian menyadari apakah yang dilakukannya, apakah ia akan kembali menjadi marah dan bertindak kasar terhadap Anusapati?”

Tetapi Ken Dedes mencoba untuk tidak mencemaskan anaknya. Ia tahu bahwa anaknya mempunyai kemampuan membela dirinya. Di dalam keadaan yang terpaksa ia tentu tidak akan menyerahkan nyawanya begitu saja.

“Mudah-mudahan ia dapat menjaga dirinya sendiri sampai kakang Mahisa Agni datang,” desis Permaisuri itu.

Dalam pada itu, ketika Ken Arok sampai di luar pintu bangsal permaisuri dan disambut oleh pengawalnya, seakan-akan ia merasa terlempar dari sebuah mimpi yang dahsyat. Sejenak ia berdiri termangu-mangu, dan bahkan sekali-sekali berpaling. Dilihatnya pintu bangsal itu masih tetap seperti semula. Namun agaknya di dalam bangsal itu terdapat sesuatu yang sudah tidak dikenalnya. namun tiba-tiba saja hadir disaat-saat yang menentukan.

“Apakah yang mempengaruhi keadaan ini, dan apakah Ken Dedes menyadari keadaan dirinya?” bertanya Sri Rajasa kepada diri sendiri.

Namun Sri Rajasa tidak menemukan jawabnya. Sekali-sekali timbullah niatnya untuk meyakinkan sekali lagi, apakah dalam keadaan marah cahaya itu menampakkan dirinya atau dalam keadaan yang gawat bagi Ken Dedes atau dalam keadaan yang mana yang dapat mempengaruhi sehingga cahaya itu timbul?

Tetapi niat itu diurungkannya. Dengan tergesa-gesa Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu-pun kemudian meninggalkan tangga bangsal Permaisuri itu.

Beberapa orang emban yang melihatnya menjadi terheran-heran. Mereka tidak mengerti sikap Sri Rajasa yang aneh. mereka mendengar suara Sri Rajasa yang agak keras di dalam bilik Permaisuri, bahkan kemudian suara Permaisuri keras pula sehingga mereka menjadi gemetar dan ketakutan. Jika Sri Rajasa marah dan Permaisuri marah pula, mereka tentu akan bertengkar. Hal yang hampir tidak pernah terjadi, karena Permaisuri tidak pernah membantah atau mengelakkan kata-kata Sri Rajasa.

Namun tidak seorang-pun yang berani mempercakapkan hal itu. Mereka hanya menyimpannya di dalam hati masing-masing.

Dalam pada itu, Sri Rajasa-pun langsung memanggil beberapa orang perwira. Diperintahkannya untuk mengutus seorang gandek pergi ke Kediri untuk memanggil Mahisa Agni atas namanya.

“Beritahukan bahwa adiknya Ken Dedes sedang sakit dan mengharap kedatangannya segera.”

“Hamba tuanku. Hamba akan memerintahkan seseorang untuk berangkat hari ini.”

Demikianlah, perwira itu-pun segera pergi menemui seorang utusan yang diperintahkannya saat itu juga berangkat untuk menyampaikan perintah Sri Rajasa, memanggil Mahisa Agni.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni sudah menunggu, kapan Sri Rajasa memanggilnya. Bahkan hampir tidak bersabar ia menanti hari-hari berikutnya.

Demikianlah ketika utusan Sri Rajasa menghadapnya, Mahasa Agni-pun menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah tuan Puteri sedang sakit panas atau pening atau sakit apa?”

“Hamba tidak mengetahuinya.”

“Baiklah. Aku akan segera pergi ke Singasari. Sampaikan kepada Sri Rajasa, bahwa setelah aku mempersiapkan diri dan meninggalkan pesan-pesan di Kediri, aku akan segera pergi ke Singasari.”

Sepeninggal utusan itu, maka Mahisa Agni-pun segera mempersiapkan diri. Setelah berpesan kepada para pemimpin Kediri dan juru tamannya, maka ia-pun segera mempersiapkan kudanya.

“Apakah kau akan pergi sendiri?” bertanya Kuda Sempana yang menjadi juru taman pula di istana Kediri.

“Ya. Aku akan pergi sendiri. Tetapi aku berharap dapat menemui kakang Witantra atau Mahendra. Jika aku tidak bertemu dengan keduanya, sampaikan kepada mereka, bahwa aku pergi ke Singasari. Agaknya aku harus mengambil sikap yang pasti menghadapi Sri Rajasa dan Tohjaya. Aku tidak mengerti, apa yang sekarang telah mereka rencanakan.”

“Baiklah. Mudah-mudahan kau berhasil. Jika keturunan Panawijen berhasil mempertahankan gelarnya, aku akan berbangga.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sesuatu telah terbersit dihatinya. Seperti dirinya sendiri, Kuda Sempana-pun pernah tergila-gila kepada Ken Dedes. Namun ia tidak berhasil mendapatkannya karena Akuwu Tunggul Ametung. Namun kini ia tidak dapat mendendam anak Akuwu itu. Bahkan sebaliknya. Ia merasa wajib melindunginya, karena ia adalah anak Ken Dedes.

Demikianlah di hari berikutnya Mahisa Agni bersiap untuk pergi ke Singasari. Ternyata ia masih sempat bertemu dengan Witantra karena setiap kali baik Witantra maupun Mahendra selalu datang menghubunginya. Kadang mereka datang bersama-sama, kadang-kadang mereka datang berganti-gantian.

“Agaknya kita akan sampai pada batas terakhir dari ceritera yang sangat menarik ini. Perang yang diam-diam terjadi diantara para penjabat tinggi di Singasari. Antara putera Sri Rajasa dan antara Sri Rajasa dengan Permaisuri. Kekalutan ini memang harus segera diakhiri. Tetapi kita harus menemukan akhir yang paling baik.”

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berdesis, “Yang paling baik itu-pun masih mempunyai beberapa kemungkinan. Paling baik bagi Sri Rajasa akan berbeda, dengan yang paing baik bagi Anusapati.”

“Ya,” Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, “itulah kelemahan kita sebagai manusia. Kita masih didasari penilaian dari sudut pandangan dan kepentingan diri sendiri. Didalam keadaan yang gawat, kadang-kadang kita hanya mengenal suara hati sendiri.”

“Baiklah Agni. Pergilah. Kehadiranmu akan sangat bermanfaat bagi Anusapati yang memerlukan pertimbangan. Sudah tentu bahwa Sumekar tidak akan dapat memberikan pertimbangan sebanyak yang dapat kau berikan.”

“Terima kasih. Mungkin di dalam suatu saat yang berbahaya, aku memerlukan kau, Mahendra dan Kuda Sempana. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tetapi gambaran yang sekarang terbayang adalah kekerasan. Namun sampai di mana batasnya itulah yang tidak aku ketahui.”

Demikianlah maka Mahisa Agni-pun segera pergi ke Singasari. Seperti biasanya, ia hampir tidak pernah membawa seorang pengawalpun. Namun kali ini Witantra merasa curiga. Jika utusan itu sekedar memancing perjalanan Mahisa Agni dan mencegatnya di perjalanan seperti yang pernah dilakukan di dalam istananya di Kediri, maka kekalutan-pun pasti akan bertambah. Karena itu, maka ia-pun mengikutinya dari kejauhan bersama Kuda Sempana, meskipun mereka berangkat tidak dalam waktu yang bersamaan. Namun mereka-pun bertemu pada suatu sidatan jalan memintas dan langsung mengikuti dan mengawasi perjalanan Mahisa Agni dari kejauhan. Mahisa Agni-pun menyadari bahwa Witantra dan Kuda Sempana sedang membayanginya. Sekali-sekali ia berpaling, namun ia tidak memberikan isyarat apa-pun kepada kedua orang itu.

Di sepanjang perjalanan Mahisa Agni tidak menjumpai kesulitan apa-pun juga. Ternyata tidak ada seorang-pun yang menunggunya dikelokan-kelokan jalan. Juga ketika hari menjadi malam. Meskipun demikian Mahisa Agni tetap berhati-hati agar tidak seorang-pun yang dapat menyergapnya dengan tiba-tiba.

Ketika Mahisa Agni mulai memasuki kota Singasari, maka barulah Witantra dan Kuda Sempana melepaskan pengawasannya dan mereka-pun segera kembali ke Kediri meskipun mereka harus berhenti dan beristirahat di tengah-tengah padang rumput karena kudanya yang payah. Diberinya kudanya kesempatan minum air dari belik di pinggir sungai dan makan rerumputan yang hijau sementara keduanya duduk bersandar batu yang besar. Ternyata keduanya-pun sempat terkantuk-kantuk, dan bahkan kadang-kadang terlena sejenak.

Ketika kuda-kuda mereka sudah beristirahat, maka mereka-pun segera kembali ke Kediri, meskipun mereka tidak lagi berpacu cepat-cepat.

Ketika mereka sampai ke Kediri, maka Kuda Sempana-pun harus membuat ceritera kepada kawan-kawannya, kemana selama ini ia pergi, karena ketika ia berangkat, ia hanya minta ijin sejenak. Tetapi ternyata ia pergi selama dua hari.

“Jika hal ini didengar oleh tuan Mahisa Agni, maka kau akan dimarahinya,” berkata pemimpin juru taman, “bahkan mungkin kau akan dipecat.”

“Aku minta maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Adalah suatu halangan yang tidak dapat aku atasi, bahwa aku kali ini tidak menepati janjiku untuk kembali di siang hari.”

“Kau dapat mengarang seribu alasan. Tetapi yang penting kau tidak akan mengulangi kesalahan ini.”

“Ya, ya. Aku tidak akan mengulanginya.” Namun demikian Kuda Sempana mengumpat di dalam hatinya karena pemimpin juru taman itu memarahinya.

Dalam pada itu, Mahisa Agni-pun telah berada di dalam lingkungan istana Singasari. Tetapi ia tidak langsung menemui Ken Dedes. Lebih dahulu, ia harus menghadap Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi untuk melaporkan kehadirannya.

“Adikmu itu sedang sakit,” berkata Sri Rajasa kepada Mahisa Agni. “ia mohon kepadaku, agar kau menemuinya.”

“Apakah sakit tuan Puteri cukup parah tuanku?”

“Aku tidak tahu. Tetapi ia sudah mencoba mengobati dirinya sendiri dengan dedaunan yang dibuat oleh emban. Ia masih belum bersedia untai berobat pada seorang tabib yang paling pandai. Mudah-mudahan ia segera sembuh.”

“Hamba tuanku, jika berkenan di hati tuanku, hamba akan pergi menemui tuan Puteri itu tuanku.”

“Pergilah. Tetapi jagalah agar ia tidak mengigau dan berbicara tentang sesuatu yang tidak disadarinya sendiri.”

“Hamba tuanku. Hamba akan berusaha menyaring pembicaraannya.”

“Baiklah. Panas tubuhnya telah membuatnya kadang-kadang tidak sadar atas apa yang dikatakannya sendiri.”

Mahisa Agni-pun kemudian mohon diri untuk pergi ke bangsal Permaisuri yang dikatakan oleh Sri Rajasa sedang sakit itu.

Permohonan Mahisa Agni untuk menghadap, segera diberitahukan oleh seorang emban kepada Permaisuri. Karena Permaisuri ternyata tidak berkeberatan meskipun sedang sakit, maka Mahisa Agni-pun segera menghadap pula.

“Duduklah,” berkata Ken Dedes kepada Mahisa Agni.

“Terima kasih tuan Puteri,” sahut Mahisa Agni yang kemudian duduk di atas sebuah dingklik kayu di sebelah pembaringan Ken Dedes.

Tetapi Ken Dedes-pun lalu bangkit. Bahkan ia-pun berdiri dan menutup pintu biliknya.

“Kadang-kadang satu dua orang emban lewat di luar,” berkata Ken Dedes.

Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.

“Sudah lama aku ingin bertemu dengan kakang Mahisa Agni,” berkata Ken Dedes, “sehingga akhirnya Anusapati-pun menganjurkannya.”

“Ya tuan Puteri.”

“Hatiku sudah menjadi semakin terpecah belah mendengar keluhan-keluhan Anusapati di saat-saat terakhir. Agaknya anak itu hampir tidak tahan lagi mengalami tekanan jiwa yang semakin parah.”

“Hamba tuan Puteri.”

“Karena itu kakang, aku ingin mendengar pendapatmu. Apakah yang sebaiknya aku lakukan dan apakah yang sebaiknya dilakukan oleh Anusapati.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

“Keluhan apakah yang terakhir dikatakan oleh Putera Mahkota itu?” bertanya Mahisa Agni.

“Sri Rajasa kini selalu marah kepadanya justru di muka banyak orang, di muka para pemimpin tertinggi Singasari dan para Panglima. Bahkan pernah Sri Rajasa mengancam untuk menyingkirkan Putera Mahkota dan sebagaimana dikatakan, Sri Rajasa berhak untuk menentukan sikap atas hal itu.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sri Rajasa dengan sengaja menyakiti hati Anusapati.”

“Ya kakang. Dan yang terakhir ketika Sri Rajasa datang menengok aku karena aku mengatakan bahwa aku memang sakit, menasehatkan agar aku tidak dibebani oleh rahasia yang mungkin dapat memperberat sakitku.”

“Maksudnya?”

“Sri Rajasa menasehatkan agar aku mengatakan saja kepada Anusapati, bahwa sebenarnya ia bukan putera Sri Rajsa.”

“He,” Mahisa Agni terkejut, “kenapa begitu? Dan mengatakan bahwa Sri Rajasa pulalah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung?”

Ken Dedeslah yang kemudian terkejut mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Dengan wajah yang tegang ia bertanya, “Kau mengetahuinya?”

Mahisa Agni memandang wajah Ken Dedes yang suram betapa-pun tegangnya. Tetapi ia menjadi ragu-ragu dan bahkan menyesal bahwa tiba-tiba saja ia mengatakan hal itu diluar sadarnya.

“Kakang Mahisa Agni, kau mengetahui bahwa yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung itu adalah Sri Rajasa sendiri?”

Mahisa Agni akhirnya menganggukkan kepalanya. Katanya, “Kita sudah sama-sama tahu. Langsung tidak langsung kita pernah memperkatakan hal itu.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.

“Jika demikian, apakah maksud Sri Rajasa sebenarnya? Apakah Sri Rajasa ingin mempercepat penyelesaian?”

“Tidak kakang. Menurut tangkapanku. Sri Rajasa tidak menghendaki aku mengatakan hal itu. Bahkan Sri Rajasa mengatakan kemungkinan yang paling buruk jika Anusapati mengetahui hal itu, karena pada dasarnya ada semacam perasaan benci yang disembunyikan didalam hati Anusapati.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Semakin dalam.

“Tuan Puteri,” berkata Mahisa Agni kemudian, “jika demikian kita dapat menduga maksudnya. Anusapati pasti akan merasa tidak berhak atas tahta Singasari dan dengan sendirinya mengundurkan diri.”

“Tetapi kakang Mahisa Agni, jika aku mengatakan hal itu kepada Anusapati, maka aku-pun akan mengatakan, bahwa sebenarnya akulah yang berhak atas tahta, meskipun semula adalah tahta Tumapel. Sri Rajasa dapat mencapai puncak kekuasaannya sekarang karena beralaskan kekuatan Tumapel. Tanpa Tumapel yang kecil itu, Singasari tidak akan berdiri. Bukankah istana ini juga istana Tumapel meskipun diperluas dan diperbaiki?”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Tetapi aku kira lebih baik tidak tuan Puteri. Jangan dikatakan lebih dahulu kepada Putera Mahkota sebelum Putera Mahkota mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan.”

“Maksud kakang?”

“Jangan berbuat tanggung-tanggung tuan Puteri. Anusapati-pun jangan menyeberang sampai di tengah. Jika ia benar-benar ingin menyeberang, ia harus sampai ketepi. Jika tidak, jangan menyentuh air sama sekali.”

Ken Dedes memandang Mahisa Agni dengan sorot mata yang aneh. Namun ia masih tetap berdiam diri. Meskipun demikian, di dalam dadanya sedang mengamuk badai yang maha-dahsyat, yang mengguncang-guncang perasaannya.

Untuk sejenak Mahisa Agni-pun hanya berdiam diri sambil merenung. Memang jalan yang terbentang di hadapan Putera Mahkota adalah jalan yang terjal dan berbatu padas. Tetapi sebaiknya Anusapati tidak berhenti di tengah-engah.

Namun tiba-tiba Ken Dedes bertanya, “Kakang Mahisa Agni, apakah menurut pendapatmu sekarang Anusapati masih belum siap menghadapi kemungkinan yang paling sulit bagi dirinya?”

Pertanyaan itu telah mendebarkan dada Mahisa Agni. Dan tiba-tiba saja pertanyaan itu telah bergejolak semakin dahsyat di dalam dadanya. Terbayang olehnya sebuah trisula kecil yang pernah diberikannya kepada Anusapati sebagai alat untuk mempertahankan dirinya dalam keadaan yang paling sulit. Dan trisula itu sama sekali tidak dipersiapkannya untuk melawan siapapun, selain untuk melawan manusia yag memiliki kemampuan yang ajaib sejak ia berkeliaran di padang Karautan. Tanpa guru dan tanpa mempelajari dengan cara yang teratur serta susunan yang mapan hantu padang Karautan itu memiliki kemampuan jasmaniah dan daya tempur yang luar biasa. Tetapi dihadapan trisula kecil itu, hantu Karautan sama sekali tidak berdaya. Trisula itu telah menyilaukannya sehingga tidak mungkin baginya untuk melawan.

Mahisa Agni menarik nafas ketika sekali lagi Ken Dedes bertanya, “Apakah Anusapati sekarang masih belum siap?”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hamba masih harus menemuinya dan mengetahui tentang dirinya sepenuhnya. Tetapi jika hal ini benar-benar telah dimulai, maka tuanku akan dapat membayangkan akhir dari kelanjutan yang akan terjadi. Adalah sulit sekali untuk menekan gejolak perasaan seorang anak muda seumur Anusapati. Tentu juga sulit sekali menahan gejolak perasaan Tohjaya dan bahkan menilik tabiatnya, Sri Rajasa-pun tidak akan mampu berbuat lain dari pada berpihak kepada Tohjaya.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Terngiang kata-kata Ken Arok bahwa jika ia mengatakan semua rahasia yang diketahuinya kepada Anusapati, maka mungkin sekali terjadi bahwa Anusapati akan berbuat sesuatu yang dapat dianggap biadab oleh rakyat Singasari, dan Sri Rajasa-pun berkata bahwa siapa saja yang berani mengacaukan Singasari akan berakibat kematian, meskipun Putera Mahkota.

Sebenarnya semua itu sudah jelas baginya. Dan ia kini harus memilih. Apakah ia akan menyerahkan Anusapati sebagai korban ketamakan Ken Umang yang telah berhasil memperalat Sri Rajasa, atau ia harus mempertahankan martabatnya sebagai seorang Permaisuri dan sebagai seseorang yang merasa berhak atas tahta Singasari.

Tetapi pilihan yang pahit itu jelasnya akan menempatkan dua orang yang sama-sama penting baginya untuk dikorbankan salah seorang daripada mereka itu dari hatinya. Ia harus rela apabila salah seorang dari keduanya itu akan hilang dalam arti yang sangat luas.

Dan pilihan yang demikian adalah pilihan yang paling pedih menyayat hatinya.

Tiba-tiba saja Ken Dedes tidak dapat menahan gejolak perasaannya, sehingga tanpa disadarinya dari kedua matanya yang suram menitik air matanya yang bening.

“Kakang Mahisa Agi,” berkata Permaisuri, “aku dihadapkan pada keadaan yang hampir tidak tertanggungkan. Kau tahu apa yang akan terjadi atasku. Aku harus membenturkan dua pihak yang sama-sama aku cintai. Adalah menyedihkan sekali bahwa hal ini harus terjadi. Seandainya Sri Rajasa tidak jatuh di bawah pengaruh perempuan itu, maka semuanya pasti akan sampai pada akhir yang berbeda. Tetapi kita tidak dapat membebankan kesalahan itu seluruhnya kepada Ken Umang. Ia berhak berusaha untuk mencapai titik kepuasan yang setinggi-tingginya. Namun sayang, bahwa ia tidak memilih alas. Ia tidak segan-segan mengorbankan orang lain untuk memenuhi keinginannya yang melambung setinggi bintang di langit.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tuan Puteri benar menurut pikiran hamba. Perempuan itu memang perempuan yang memiliki nafsu ketamakan yang berlebih-lebihan. Ia sudah mengajar anaknya untuk mengikuti jejaknya. Dan Sri Rajasa-pun sudah terbenam di dalam arus ketamakannya itu, sehingga ia sama sekali tidak segan-segan untuk mengambil langkah yang sesat menurut penilaianku.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi kita-pun dapat mengerti kakang, tentu Sri Rajasa lebih mantap jika puteranya sendirilah yang akan menduduki tahta yang selama ini telah dibinanya.”

“Tetapi ia-pun harus mengenal kebijaksanaan. Ia harus merasa bahwa dirinya adalah pengemban kekuasaan Tumapel waktu itu. Jika ia kemudian dapat mengembangkan kekuasaan Tumapel menjadi kerajaan Singasari yang sekarang, itu bukan berarti ia berhak dan karena kekuasaannya dapat menyerahkan tahta kepada siapa-pun yang dikehendaki. Apalagi, jika ia memang ingin menyerahkan tahta kepada keturunannya semata-mata. kenapa ia tidak membicarakan anak-anaknya yang lahir justru dari Permaisurinya?”

“Itulah yang aku prihatinkan kakang.”

“Tuan Puteri,” berkata Mahisa Agni kemudian, “memang mungkin harus jatuh korban. Tetapi semakin kecil korban yang jatuh pasti akan lebih baik. Aku memang dapat mengambil jalan lain, karena aku merasa mampu untuk mengguncang kerajaan ini dari luar dinding istana. Aku mempunyai kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Sri Rajasa dengan kekerasan.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Mahisa Agni. sehingga dengan serta-merta Mahisa Agni meneruskannya, “Tetapi aku tidak akan melakukannya.”

Ken Dedes tidak segera menyahut, sedang Mahisa Agni menjadi termangu-mangu. Bagaimana-pun juga Sri Rajasa adalah suami Ken Dedes. Mereka telah mendapatkan beberapa orang anak laki-laki dan perempuan. Mereka-pun tentu tidak akan dapat melupakan masa-masa mereka memasuki hari-perkawinan yang dimulai dengan saat-saat yang berbahagia. Tetapi kehadiran Ken Umang ternyata semakin lama semakin menjauhkan Sri Rajasa dari Ken Dedes.

Sebenarnyalah bahwa dada Permaisuri itu memang sedang bergejolak. Air matanya-pun menjadi semakin deras mengalir dari pelupuknya.

“Kenapa aku harus mengalami hal serupa ini di hari-hari tuaku,” keluh Ken Dedes, “agaknya aku banyak berbuat dosa di masa mudaku.”

“Tidak tuan Puteri,” berkata Mahisa Agni, “belum tentu hal ini terjadi karena kesalahan tuan Puteri.”

“Jadi siapakah yang bersalah.”

“Mungkin tidak ada yang bersalah.”

“Tetapi kenapa aku harus mengalami hukuman ini.”

“Juga belum tentu bahwa yang sedang tuanku alami ini suatu hukuman dari Yang Maha Agung. Justru karena Yang Maha Agung mengagumi ketabahan hati tuan Puteri, maka tuan Puteri telah mendapatkan kehormatan untuk mengalami pendadaran yang hebat. Jadi yang terjadi bukannya hukuman atau siksa, tetapi justru kesempatan untuk membuktikan bahwa tuan Puteri benar-benar seorang yang mampu dan kuat memegang tahta Singasari turun temurun.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.

Mahisa Agni-pun terdiam pula sejenak. Ia mencoba untuk mendalami perasaan Permaisuri itu sepenuhnya dan mencari celah-celah yang dapat ditempuhnya untuk menyelesaikan persoalan Putera Mahkota. Tetapi agaknya semua jalan sudah tertutup. Yang ada tinggallah dua pilihan. Putera Mahkota atau Sri Rajasa.

Dalam kediamannya Mahisa Agni kadang-kadang berangan-angan tentang kemudian yang lain sama sekali. Apakah ia harus mempergunakan kekuatan di luar istana Singasari? Jika demikian apakah ada kemungkinan lain bahwa tidak seorang-pun dari keduanya harus dikorbankan.

“Tidak mungkin,” berkata Mahisa Agni didalam hati, “jika aku memberontak terhadap Sri Rajasa, maka aku atau Sri Rajasa harus mati. Jika akulah yang mati, maka pemberontakan yang makan banyak korban itu tidak akan berarti apa-apa bagi Singasari, karena jalan akan terbuka bagi Sri Rajasa untuk memusnahkan semua orang yang tidak disukainya termasuk Putera Mahkota. Ia dapat membuat seribu alasan yang tampaknya memang masuk akal.”

“Tetapi seandainya jalan ini dapat ditempuh, aku yakin bahwa aku dan Putera Mahkota akan mempunyai harapan yang besar untuk merebut Singasari,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya pula. Ia masih percaya akan kemampuan yang ada pada dirinya serta kemungkinan yang dapat terjadi dengan trisula kecil pemberian gurunya yang kini ada pada Anusapati. Tetapi dengan demikian maka ratusan dan bahkan ribuan orang akan menjadi korban.”

“Memang lebih baik hanya seorang korban. Sri Rajasa atau Anusapati,” Mahisa Agni akhirnya mengambil keputusan di dalam hatinya. Namun ia tidak segera dapat mengatakannya kepada Ken Dedes.

Ken Dedes masih mengusap matanya yang basah. Namun ia-pun kemudian berkata dengan hati yang pedih, “Tetapi kakang Mahisa Agni. Aku tidak dapat hidup berpijak pada dua buah alas yang sama goyah. Bahkan berpijak pada dua buah perahu yang berjalan berbeda arah. Aku harus memilih meskipun yang satu adalah alas kaki kiriku dan yang lain adalah alas kaki kananku.” suara Ken Dedes terputus oleh tangisnya. Lalu, “aku mencintai Anusapati tetapi aku juga mencintai Sri Rajasa. Dan inilah agaknya dosa itu kakang Mahisa Agni, jangan menghibur hatiku dengan sikap yang pura-pura itu. Jangan mencoba melepaskan aku dari perasaan ini. Aku telah tidak setia kepada Akuwu Tunggul Ametung meskipun di dalam hati. Jika aku tidak tertarik kepada seorang hamba yang bernama Ken Arok, maka semuanya ini tidak akan pernah terjadi. Dan aku-pun tentu tidak akan mengalami keadaan ini. Hukuman yang maha berat.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudahlah tuan Puteri. Jika tuan Puteri melarang hamba mencoba memberikan ketenangan di hati tuan Puteri, hamba-pun tidak akan menolak pengakuan tuan Puteri. Tetapi bahwa tuan Puteri harus memilih itulah yang harus dilakukan. Dan pilihan tuan Puteri tidak boleh salah. Itulah persoalan yang maha sulit untuk dipecahkan.”

Ken Dedes menganggukan kepalanya.

“Tetapi sebaiknya hamba memberikan sedikit pertanyaan kepada tuan Puteri. Bukan maksud mempersulit perasaan tuan Puteri, tetapi jika mungkin hamba akan mencoba memberikan arah berpikir bagi tuan Puteri.” Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “tuan Puteri memang harus memilih. Katakanlah bahwa yang seorang adalah lambang kebahagiaan masa silam tuanku, sedang yang seorang adalah harapan di masa datang. Yang manakah yang lebih penting bagi tuanku. Masa silam yang tinggal kenangan atau masa depan yang sangat panjang.”

Pertanyaan itu telah mengguncangkan hati Ken Dedes yang memang sedang goyah. Tiba-tiba ia tidak dapat menahan isaknya yang meledak. Sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya Ken Dedes mencoba menahan tangisnya. Tetapi ia tidak berhasil.

Mahisa Agni-pun tidak segera berkata apa-pun lagi. Ia-pun duduk termenung dengan kepala tunduk. Ia sadar, persoalan itu adalah persoalan yang sangat sulit dipecahkan oleh seorang ibu yang juga seorang isteri, yang menghadapi jalan simpang yang terbentang dihadapannya. Apakah ia akan mengikuti jalan anak laki-lakinya, atau jalan suaminya yang berbeda. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, yang satu mengarah ke dunia kenangan yang indah dan cemerlang, sedang yang lain adalah jalan yang menuju ke dunia mendatang yang penuh dengan harapan. Baik bagi keturunannya, maupun bagi Singasari, Namun tiba-saja Ken Dedes seakan-akan menggeretakkan giginya. Ia sadar, bahwa ia harus bertelekan kepada suatu tumpuan yang kuat. Ia tidak boleh terkatung-katung lebih lama lagi.

Dalam pada itu, selagi Ken Dedes memusatkan segegap hati dan nalarnya, maka terasa sesuatu telah bergetar di dalam dadanya. Seakan-akan ia mendengar suara jauh dari dasar hati, “Ken Dedes, tinggalkanlah dunia mimpi indahmu. Berilah harapan bagi masa datang.”

Ken Dedes menggeretakkan giginya. Ia telah menemukan sesuatu di dalam dirinya.

Namun dalam pada itu, permaisuri itu terperanjat ketika ia melihat Mahisa Agni tiba-tiba menutup kedua matanya dengan tangannya. Sambil berpaling Mahisa Agni berkata, “Aku melihat, aku melihat kebenaran itu.”

“Kakang,” Ken Dedes berdesis, “apa yang telah kau lihat?”

Mahisa Agni tidak menyahut. Untuk beberapa lamanya Ia masih memalingkan wajahnya. Namun kemudian perlahan-lahan ia memutar kepalanya dan memandang Ken Dedes dalam bentuknya yang wajar.

“Kakang, apakah yang kau lihat?”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Ternyata mata hatinya telah menyaksikan kebenaran yang baginya meyakinkan bahwa Ken Dedes lah yang harus menurunkan raja Singasari.

“Kakang,” desak Ken Dedes yang justru menjadi terheran-heran, “apakah yang kau lihat?”

“Sebuah isyarat tuan Puteri.”

“Apakah isyarat itu?”

“Bahwa tuan Puteri telah memilih.”

“Darimana kakang tahu bahwa aku telah memilih?”

Mahisa Agni tidak segera menjawab. Kini ia mengerti bahwa apa yang dilihatnya oleh mata hatinya itu justru tidak disadari oleh Ken Dedes sendiri, sehingga ia-pun kemudian berkata, “Aku melihat pada cahaya wajah tuan Puteri.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali ia melihat keanehan yang serupa. Tunggul Ametung, Ken Arok kemudian Mahisa Agni. Mereka seakan-akan menjadi silau melihat sesuatu pada dirinya.

Tetapi Ken Dedes-pun kemudian tidak peduli. Ia merasa bahwa ia telah berhasil mematahkan palang yang merentang dihadapannya, dan melemparkan beban yang sangat berat di punggungnya.

“Kakang telah melihat isyarat itu,” berkata Ken Dedes, “dan kakang benar. Aku sudah memilih.”

“Apakah pilihan tuan Puteri?”

Ken Dedes masih ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia-pun berkata, “Kakang, aku telah menentukan pilihan itu. Kakanglah yang memberikan jalan bagiku. Aku memilih harapan dihari depan bagi keturunanku dan bagi Singasari. Jelasnya, Singasari harus berada di tangan Anusapati. Mudah-mudahan ia dapat memelihara kerajaan yang sedang berkembang ini. Tetapi aku yakin bahwa ia akan lebih baik dari Tohjaya yang tamak itu.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa hatinya tiba-tiba menjadi lapang. Jika Ken Dedes sudah menentukan sikap, maka jalan selanjutnya sudah terbuka baginya.

“Tetapi kakang,” bertanya Ken Dedes kemudian, “jika demikian, apakah yang harus aku kerjakan selanjutnya?”

“Jika demikian tuan Puteri, tuan Puteri dapat memenuhi permintaan Sri Rajasa.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya, “Permintaan yang mana?”

“Bahwa tuanku harus mengatakan kepadanya, bahwa ia bukan putera Sri Rajasa. Tetapi ia adalah putera Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel, yang mati terbunuh oleh tangan Sri Rajasa sendiri.”

“O,” suara Ken Dedes terputus.

“Bukankah tuan Puteri sudah memutuskan. Hamba berharap bahwa dengan demikian Sri Rajasa akan mengambil sikap yang lebih keras, dan hamba berharap bahwa Putera Mahkota harus mempertahankan dirinya.”

Wajah Ken Dedes yang mantap itu tiba-tiba telah terguncang lagi.

“Apakah tuan Puteri masih ragu-ragu.”

“Tidak kakang. Aku sudah memutuskan. Tetapi apa yang akan dikatakan oleh Anusapati, bahwa ibunya telah kawin dengan pembunuh ayahnya?”

Pertanyaan Ken Dedes itu telah menyentuh perasaan Mahisa Agni. Jika Anusapati benar-benar bertanya serupa itu, tentu Ken Dedes akan mendapat kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu.

Karena itu, maka Mahisa Agni-pun tidak segera dapat menjawab. Sejenak ia mencoba berpikir, untuk mencari kemungkinan bagaimana menanggapi pertanyaan itu.....

Tetapi tidak ada jawaban yang dapat diketemukan, sehingga akhirnya Mahisa Agni berkata, “Memang sulit tuan Puteri. Karena itu, sebaiknya tuan Puteri melemparkan hal ini kepada hamba saja. Tuan Puteri dapat mengatakan kepada Anusapati, bahwa tuan Puteri baru saja mengetahui bahwa Akuwu Tunggul Ametung terbunuh oleh Sri Rajasa baru saja. Tuan Puteri dapat mengatakan bahwa hambalah yang telah memberi tahukan hal itu, sehingga akhirnya tuan Puteri mengambil keputusan untuk berterus terang kepada Putera Mahkota. Baik tentang orang yang menurunkannya, maupun tentang pembunuhan yang pernah terjadi itu.”

Ken Dedes mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah kakang. Aku akan melemparkan persoalan ini kepada kakang Mahisa Agni. Tetapi tentu Anusapati akan datang kepada kakang Mahisa Agni dan bertanya, kenapa kakang baru sekarang memberi tahukan hal ini kepadaku.”

“Biarlah hamba menjawabnya tuan Puteri. Mudah-mudahan jawaban hamba dapat memberinya kepuasan.”

Ken Dedes mengangguk-angguk meskipun masih terbayang berbagai perasaan membayang di wajahnya. Kecemasan, keragu-raguan dan kadang-kadang takut yang amat sangat. Namun Mahisa Agni menanggap bahwa keputusan itu jangan sampai terlepas lagi. Ken Dedes jangan sampai mencabut kembali niatnya yang sudah bulat itu. Karena itu, maka Mahisa Agni-pun berkata, “Sudahlah tuan Puteri. Hamba mohon diri. Mungkin dalam waktu yang singkat Putera Mahkota akan menghadap tuan Puteri. Hamba mengharap bahwa perasaan Putera Mahkota tidak melonjak dan tidak kehilangan pengamatan diri.”

“Aku akan berusaha kakang. Tetapi aku kira, dari bangsal ini ia akan mencari kakang Mahisa Agni, karena aku tahu, bahwa kakang telah mengasuhnya dan membuatnya menjadi Anusapati yang sekarang. Bukan Anusapati yang ingin diciptakan oleh Sri Rajasa.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Lalu, “Apakah maksud tuan Puteri?”

“Keputusanku ini juga didorong oleh kenyataan bahwa Sri Rajasa dengan sengaja ingin membuat Anusapati kehilangan pribadinya, sehingga ia akan menjadi seorang anak muda yang sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Singasari.”

“Dari siapa tuan Puteri mengetahuinya?” bertanya Mahisa Agni meskipun ia sudah mengetahuinya dari cara pendidikan yang sangat timbang bagi Anusapati dan bagi Tohjaya.

“Dari emban Anusapati yang sampai sekarang masih menungguinya dan yang sebagian waktunya dipergunakannya untuk berada di sini. Emban itu-pun berada di dalam kecemasan setiap saat, karena Sri Rajasa dan Ken Umang dapat mengambil tindakan atasnya.”

“Kenapa?”

“Karena ia tidak berhasil membentuk Anusapati yang cengeng, yang pengecut, penakut dan segala macam sifat yang jelek.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sepantasnya ia mengucapkan terima kasih kepada emban itu. Katanya, “Emban itu pantas mendapat perlindungan tuan Puteri.”

“Karena itulah aku tidak pernah berkeberatan ia berada di sini.”

“Baiklah tuan Puteri, perkenankanlah hamba mohon diri. Hamba akan menunggu Putera Mahkota yang pasti akan mencari hamba. Dan hamba akan mencoba memberikan jawaban yang dapat diterimanya, kenapa hamba baru sekarang memberitahukan kematian Akuwu Tunggul Ametung kepada tuan Puteri.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu jawabnya dengan suara yang berat, “terima kasih kakang. Tetapi sudah terasa dihatiku bahwa akan ada badai yang bertiup di Singasari.”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya tuan Puteri. Mudah-mudahan hanya batang-batang yang rapuh sajalah yang akan patah, sedang tunas-tunas yang masih muda akan berkembang semakin subur.”

Demikianlah maka Mahisa Agni-pun segera meninggalkan bangsal Ken Dedes. Dengan kepala tunduk ia berjalan menyusur petamanan. Ketika terlihat olehnya Sumekar, maka ia-pun segera berhenti dan mendekatinya.

Sumekar yang sedang berjongkok tidak segera berdiri. Bahkan seolah-olah ia menundukkan kepalanya dalam-dalam menghormati kedatangan wakil Mahkota di Kediri itu.

“Kediri memerlukan petamanan yang beraneka seperti di Singasari,” katanya lantang. Beberapa juru taman-pun mendekat sambil berkata, “Tuan. apakah di Kediri tidak ada petamanan seperti disini?”

“Ada tetapi tidak selengkap Singasari. Aku akan memilih beberapa batang, dan aku akan membawanya jika aku kembali ke Kediri.”

“O. tentu tidak. Biarlah seorang hamba membawa untuk tuan.”

Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Bekerjalah. Aku tidak ingin mengganggu kalian.”

Para juru taman itu-pun segera kembali kepekerjaan masing-masing. Hanya Sumekar sajalah yang tinggal, karena ia sedang menyiangi sebatang pohon bunga.

Sejenak keduanya tidak mengatakan sesuatu. Mahisa Agni berdiri saja memperhatikan Sumekar yang sedang sibuk dengan kerjanya. Jika satu dua orang juru taman yang lain berpaling kepadanya, maka mereka sama sekali tidak bercuriga, bahwa kedua orang itu kemudian telah memperbincangkan masalah yang sangat penting bagi Singasari.

“Jadi tuan Puteri sudah sampai pada batas kesabarannya?” bertanya Sumekar.

“Ya. Sebagian adalah karena desakan Sri Rajasa sendiri, ia ingin memaksa Anusapati untuk lari atas kemauan sendiri dari jabatannya. Namun akhirnya Ken Dedes harus memilih. Ia sadar, bahwa salah seorang dari keduanya harus menyingkir. Dan ternyata Ken Dedes memilih yang benar menurut penilaianku. Sri Rajasa sudah cukup berjasa bagi Singasari. Berbekal Tumapel yang kecil ia sudah berhasil menyatukan seluruh daerah Singasari yang sekarang. Karena itu, ia tidak boleh berbuat kesalahan dengan menyerahkan kerajaan yang dengan susah payah disusun ini kepada orang yang samasekali tidak akan mampu mempertahankan kehadirannya. Jika Singasari ini benar-benar jatuh ketangan Tohjaya, maka sia-sialah seluruh perjuangan Sri Rajasa. Aku sudah ikut serta menyabung nyawa mempersatukan Kediri yang goyah itu ke dalam lingkungan Singasari. Karena itu, aku adalah orang yang paling berkeberatan jika kemudian Tohjaya akan menduduki tahta, bukan karena Sri Rajasa yakin bahwa ia akan dapat memimpin pemerintahan. Tetapi semata-mata karena Ken Umang berpendapat demikian.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah menyangka bahwa pada suatu saat akan tiba waktunya hal itu terjadi.

“Karena itu Sumekar,” berkata Mahisa Agni, “hati-hatilah. Kau harus mengamat-amati Putera Mahkota. Jika sampai saatnya, maka kau harus bertindak tepat. Jika salah satu dari keduanya tersingkir, sudah tentu bahwa yang sudah hampir terbenamlah yang harus segera terbenam. Bukan karena kita tidak tahu menghargai jasa-jasanya, tetapi justru karena kita tidak mau kehilangan hasil kerjanya yang besar. Aku kira tidak akan ada orang lain yang dapat berbuat seperti Sri Rajasa pada waktu itu. Tetapi aku kira juga tidak ada seorang Maharaja lain yang akan melakukan kesalahan seperti yang sedang dilakukannya.”

“Baiklah,” jawab Sumekar, “aku akan mencoba.”

“Selama ini, aku akan minta bantuan Witantra dan Mahendra, agar ia berada tidak jauh dari istana. Setiap saat kau akan dapat menghubunginya dengan bermacam cara. Mungkin kau dapat membuat panah sendaren atau semacam apa-pun yang dapat kau kirimkan sebagai isyarat apabila kau menghadapi keadaan yang memaksa dan tiba-tiba.”

“Baiklah. Tetapi aku harap mereka memberitahukan, di mana mereka berada.”

“Aku akan berusaha bertemu dengan mereka. Pada saat aku kembali ke Kediri, mereka akan sudah berada ditempat yang akan diberitahukan kepadamu.”

Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai orang yang setiap saat menunggui Putera Mahkota, sebenarnya Sumekar sudah tidak telaten lagi. Bahkan ia ingin mendorong agar Putera Mahkota segera berbuat sesuatu.

“Putera Mahkota kurang cepat bertindak,” katanya, “meskipun ia memiliki kemampuan yang cukup, namun hatinya yang selalu ragu-ragu dan bimbang telah menahan semua tindakannya.”

“Tetapi jika ia tersudut, maka ia-pun akan mengambil sikap,” berkata Mahisa Agni sambil melangkah hilir mudik. Sejenak kemudian, “Sudahlah Sumekar. Sampai nanti. Aku masih akan tinggal untuk beberapa hari disini.”

Sepeninggal Mahisa Agni, Sumekar-pun merenung di luar sadarnya. Ia sudah mulai membayangkan peristiwa yang penting itu akan terjadi. Namun jika Putera Mahkota mampu melakukan dengan baik, maka tidak akan ada persoalan yang dapat mengguncang Singasari. Bahkan ia berkata di dalam hati, “Seperti pada saat Sri Rajasa membunuh Tunggul Ametung menurut ceritera mereka yang menyaksikan. Tidak ada keributan yang timbul kecuali kematian Kebo Ijo.”

Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia tersentak seakan-akan menyadari sesuatu, “Kebo Ijo telah menjadi korban. Tetapi korbannya itu tidak sia-sia bagi Tumapel yang menjadi besar, meskipun bukan semata-mata hal itulah yang dipertautkan. Kebo Ijo sama sekali tidak menyadari bahwa kematiannya itu telah memberi kesempatan Sri Rajasa bertahta dan kemudian membuat Tumapel menjadi Singasari yang besar sekarang ini.”

Sumekar termenung sejenak. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir oleh deru yang berkecamuk di dalam dadanya. Seperti sebuah mimpi ia membayangkan, bahwa jika ada orang yang bersedia berkorban untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi Singasari, alangkah baiknya. Jika ada orang yang berhasil menyingkirkan Sri Rajasa sekarang ini, selagi Putera Mahkota masih seorang yang bernama Anusapati, maka tidak akan ada pilihan lain, bahwa Anusapati lah yang berhak menggantikan kedudukan Sri Rajasa. Sedang apabila usaha itu gagal, maka sama sekali nama Anusapati tidak akan tersangkut didalamnya. Tetapi jika usaha itu berhasil, maka keributan, yang lebih besar akan dapat dihindarkan.

Ternyata bahwa pikiran itu telah membuat Sumekar menjadi gemetar. Keringatnya mengalir di seluruh tubuhnya. Apalagi ketika ia bertanya kepada diri sendiri, “Siapakah yang dapat membunuh Sri Rajasa?”

Sejenak Sumekar membeku di tempatnya. Namun kemudian keringat dinginnya mengalir di seluruh tubuhnya. Pergolakan di dalam hatinya membuatnya bagaikan dibakar di atas bara.

Tiba-tiba terasa kepala Sumekar menjadi pening, dan pepohonan di sekitarnya bagaikan berputar-putar. Dalam amukan gejolak perasaan itu seakan-akan ia mendengar suara, “Kenapa bukan kau Sumekar, kenapa bukan kau? Kau sudah berguru bertahun-tahun pada seorang Empu yang mumpuni, bahkan kau sudah berhasil mengembangkan ilmumu dengan caramu.”

“O,” terdengar Sumekar berdesah. Tubuhnya serasa menjadi terlalu berat dibebani oleh deru perasaannya.

Dalam keadaannya, Sumekar tidak lagi dapat berjongkok. Karena itu, maka ia-pun segera terduduk dengan lemahnya bertelekan kedua tangannya.

Seorang juru taman yang melihatnya menjadi heran. Baru saja ia melihat Sumekar berbicara dengan Mahisa Agni dalam keadaan sehat. Tetapi tiba-tiba kini ia seakan-akan menjadi kehilangan kekuatannya sama sekali.

“He, kau lihat orang itu?” desis kawannya.

Beberapa orang-pun kemudian mendekatinya. Mereka terkejut melihat Sumekar pucat dan berkeringat di seluruh tubuhnya.

“Kenapa kau he?” bertanya salah seorang dari mereka sambil mengguncang-guncang tubuhnya.

“Kenapa he,” sambung yang lain.

Sumekar mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Dengan sepenuh kekuatan ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dicobanya untuk menghayati keadaannya dengan sepenuh kesadaran.

Perlahan-lahan ia berhasil menguasai gejolak di dalam dadanya dan karena itu, maka perlahan-lahan semuanya menjadi terang. Dirinya sendiri dan keadaan di sekelilingnya.

“Kenapa kau?”

Sumekar membuka matanya. Ia sudah berhasil menghentikan putaran yang melingkari dirinya. Karena itu, maka ia-pun dapat menjawab, “Aku tiba-tiba saja menjadi pening.”

“Ha, semalam kau pasti tidak tidur lagi. Kau terlalu sering tidak tidur menurut penghuni di sebelahmu.”

“Aku tidur sejak sore.”

“Jika demikian kau terlalu banyak tidur,” sahut yang lain.

“Mungkin,” berkata Sumekar sambil memijit-mijit kepalanya.

“Kembalilah kebilikmu. Berhentilah bekerja supaya kau tidak terlanjur pingsan.”

Sumekar mengangguk.

“Marilah, aku antar kau.”

Demikianlah maka Sumekar-pun dipapah oleh dua orang kawannya kembali ke rumah, sedang beberapa orang abdi yang lain memandangnya dari kejauhan. Seorang pekatik mendekatinya sambil bertanya, “Kenapa?”

“Tiba-tiba saja ia menjadi pening.”

“O.”

Beberapa emban, juru pengangsu saling berbisik, “Orang itu orang aneh. Ia hampir tidak pernah tidur.”

Demikianlah Sumekar-pun kemudian dibaringkannya didalam biliknya.

“Tidurlah. Jangan kau pikirkan pekerjaanmu.” Sumekar mengangguk.

Sejenak kemudian maka kawannya itu-pun meninggalkannya. Tetapi demikian pintu ditutup, Sumekar-pun bangkit dan duduk dibibir pembaringannya. Dipandanginya pintu gubugnya yang tertutup itu. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam.

Seakan-akan suara yang didengarnya itu masih saja bergulung-gulung di dalam hatinya. Tetapi kini ia dapat menanggapinya dengan sadar dan tenang, sehingga ia tidak lagi dijerat oleh perasan pening dan bingung.

“Aku akan memikirkannya masak-masak,” berkata Sumekar, “apa salahnya jika aku mencoba. Mungkin aku menjadi seorang pembunuh, tetapi aku mempunyai suatu tujuan yang baik. Baik bagi Singasari yang dibina oleh Sri Rajasa, dan baik bagi Putera Mahkota. Jika seandainya di dalam matinya Sri Rajasa melihat hasil yang aku peroleh dari perbuatanku, maka ia tidak akan mengutukku.”

Namun yang menjadi persoalan kemudian adalah Anusapati. Apakah Anusapati sependapat dengan rencananya.

“Apakah aku harus mengatakan kepadanya tentang rencana ini?”

Sumekar menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya kepada diri sendiri, “Aku menjadi bingung.”

Namun Sumekar masih mempunyai waktu untuk mengendapkan perasaannya. Mahisa Agni masih ada di Singasari untuk beberapa lamanya. Bahkan mungkin ia akan dapat minta pertimbangannya.

Sekali lagi Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Ia-pun kemudian kembali membaringkan dirinya. Meskipun ia tidak dapat tertidur, namun ia sempat beristirahat badani. Namun perasaan dan nalarnya masih juga selalu berbenturan tiada hentinya.

Dalam pada itu, Mahisa Agni yang berada di bangsal yang khusus disediakan untuknya, berjalan hilir mudik di dalam biliknya. Puncak pergolakan yang selama ini membakar Singasari akan segera terjadi. Dan Mahisa Agni masih belum dapat memastikan, yang manakah yang akan berhasil keluar dari lingkaran api ini.

Dipuncak pimpinan Singasari kini benar-benar berhadapan dua pihak. Tohjaya dan Anusapati.

Sekilas terbayang wajah kedua anak muda itu. Keduanya memang memiliki kelebihannya masing-masing. Tetapi bahwa Tohjaya dipengaruhi oleh sifat-sifat tamak dan angkuh adalah karena tetesan sifat ibunya.

“Seandainya Ken Arok tidak berhasil dijebak oleh perempuan itu,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Terbayang sejenak, bagaimana Ken Umang berusaha untuk menyeretnya ke dalam pengaruhnya. Tetapi untunglah bahwa ia masih cukup sadar untuk mempertahankan dirinya. Bahkan setelah Ken Umang itu berada di istana, ia masih saja berusaha menjebaknya.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Yang terjadi atas dirinya ternyata telah menjauhkannya dari setiap perempuan. Ken Dedes yang kemudian dengan Tunggul Ametung dan kemudian Ken Umang yang memuakkan itu, membuatnya seakan-akan tidak lagi dapat disentuh oleh perasaan yang wajar bagi seorang laki-laki. Pernah ia tergerak melihat seorang perempuan Kediri yang dijumpainya ketika ia sedang dikejar-kejar oleh pemburu-pemburu manusia yang tidak mengenal perikemanusiaan. Tetapi ketika beberapa lamanya ia tidak melihat, maka ia sama sekali tidak lagi dapat membayangkan wajah itu, yang seakan-akan menjadi beku sebeku hatinya.

Dan kini ternyata bahwa laki-laki yang berhasil ditundukkan oleh Ken Umang itu telah kehilangan pegangan hidupnya, meskipun ia seorang Maharaja yang telah berhasil menyatukan seluruh daerah Singasari yang luas ini.

“Sebenarnya Sri Rajasa adalah orang yang paling berjasa mempersatukan Singasari. Tetapi agaknya ia hampir terjerumus untuk menghancurkannya sendiri. Jika ia berhasil mengangkat Tohjaya sebagai penggantinya, maka Singasari yang dengan susah payah diikatnya menjadi satu ini, pasti akan pecah berserakkan,” berkata Mahisa Agni didalam hati.

Namun ia masih belum berhasil menguasai kegelisahan dihatinya. Karena itu, maka ia-pun kemudian melangkah keluar dan berdiri di muka pintu bangsalnya memandang ke kejauhan. Desir angin yang lembut mengusap keningnya dan membuat tubuhnya menjadi agak segar.

Ketika terpandang olehnya daun-daun kuning yang berguguran di tanah maka ia-pun bergumam di dalam hati, “Memang yang sudah tidak berguna lagi harus diruntuhkan seperti daun-daun yang kuning itu.”

Sekilas Mahisa Agni melihat dua orang prajurit dari pasukan pengawal lewat di depan bangsalnya. Keduanya menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sadar, bahwa sebagai wakil Mahkota di Kediri, maka ia-pun mendapat pengawalan yang cukup selama ia berada di Singasari.

Dalam pada itu, Ken Dedes yang masih berbaring dipembaringannya menjadi berdebar-debar. Anusapati pasti akan segera datang kepadanya setelah ia mengetahui bahwa Mahisa Agni telah datang kepadanya.

Tetapi ternyata bahwa Anusapati telah datang lebih dahulu kepada Mahisa Agni. Tanpa ragu-ragu ia langsung datang ke bangsal pamannya itu.

“Kau datang kemari?” bertanya Mahisa Agni.

“Aku tidak peduli lagi paman,” berkata Anusapati, “apa-pun tanggapan orang terhadapku. Dan aku harap paman-pun bersikap demikian sekarang ini. Agaknya semuanya menjadi semakin buruk.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Masuklah.”

Keduanya-pun kemudian duduk diruang dalam. Dengan wajah yang tegang Anusapati berkata, “Apakah paman sudah bertemu dengan ibunda?”

“Aku sudah menengok tuan Puteri.”

“Apakah yang paman katakan dengan ibunda.”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Ibundamu mengatakan bahwa sekarang cucunya sudah besar. Sudah mulai berlatih naik kuda dan berkelahi. Bukankah puteramu dengan putera Mahisa Wonga Teleng tidak terpaut banyak sehingga keduanya dapat bermain bersama-sama. Dan yang terpenting berlatih bersama jika keduanya mulai tertarik?”

Anusapati-pun menarik nafas panjang pula. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Ya paman. Anak itu nakal sekali. Keduanya sudah mulai berlatih naik kuda. Aku tidak tahu, kenapa hal itulah yang pertama-tama mereka minta sejak mereka menjadi semakin besar.”

“Asal keduanya mendapat pelatih yang baik dan dapat dipercaya, karena keduanya masih terlampau muda. Bahkan mereka masih kanak-kanak untuk menanggapi keadaan yang kini sedang berkecamuk di istana ini.”

Anusapati menganggukkan kepalanya. Katanya, “Kadang-kadang aku sendirilah yang mengajari mereka. Tetapi kini rasa-rasanya aku tidak sempat melakukan meskipun aku tidak berbuat apa-apa. Pekatikku yang baiklah yang kini aku serahi mengawasi keduanya. Dan adalah kebetulan sekali, aku mendapatkan dua ekor kuda yang tidak terlampau besar.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Anusapati sudah mendahuluinya, “Apakah paman sudah bertemu dengan ibunda dan mempersoalkan keadaanku sekarang?”

“Aku sudah bertemu dengan ibumu. Tetapi baru sejenak.”

“Apakah yang paman katakan kepada ibunda tentang aku?”

“Anusapati,” berkata Mahisa Agni, “sebaiknya ibumulah yang mengatakan kepadamu. Tetapi jangan membuatnya gelisah dan cemas. Berbuatlah seperti biasa. Seakan-akan tidak terjadi sesuatu, agar hati ibumu menjadi tenang.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang demikian parah, bagaimana mungkin ia dapat berbuat seolah-olah tidak terjadi sesuatu.

Karena itu sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Paman, aku sudah mengutarakan semua isi hatiku kepada ibunda. Bahkan aku telah kehilangan pribadiku sebagai seorang laki-laki dan apalagi sebagai seorang Putera Mahkota, ketika aku tiba-tiba saja menjadi cengeng dan menangis di hadapan ibunda Permaisuri. Apakah jika aku sekarang menghadap aku dapat menghapuskan semua kesan yang pernah terlahir dari sikapku sebelumnya?”

Mahisa Agni meangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menjawab, “Tentu Anusapati. Kau tidak dapat berbuat lain dari pada mengulangi keluhanmu. Tetapi jika kemudian ibundamu mengatakan sesuatu kepadamu, menasihatimu atau memberikan petunjuk-petunjuk kepadamu, janganlah kau tanggapi semata-mata dengan perasaanmu. Kau harus bersikap sebagai seorang laki-laki. Kau harus mencoba mencapai keseimbangan antara perasaan dan nalar sehingga kau tidak terjerumus kedalam sikap yang tergesa-gesa dan apalagi menyusahkan ibundamu.”

Anusapati yang menundukkan kepalanya menangkap sesuatu yang tersirat didalam kata-kata Mahisa Agni. Seakan-akan sudah terngiang ditelinganya sesuatu yang sangat penting dan menentukan. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, “Baiklah paman, aku akan pergi menghadap ibunda.”

“Nah, bukankah kau sudah mulai dirayapi oleh perasaanmu tanpa menghiraukan nalar. Seharusnya kau mendengarkan aku sampai selesai.”

“Apakah paman belum selesai?”

“Aku belum mengatakan selesai.”

“Duduklah dengan tenang. Aku ingin melanjutkan keteranganku,” Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “ibundamu sudah menjadi semakin tua. Kau harus mengingat akan hal itu, sehingga setiap tindakanmu pasti akan kau pertimbangkan baik-baik dengan keadaan ibumu. Selain dari itu, anakmu menjadi semakin meningkat umurnya. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang anak remaja yang gagah dan nakal. Ia memerlukan tuntunan dan perlindunganmu.”

Terasa detak jantung Anusapati menjadi semakin keras. Ia sadar, bahwa jika ia salah langkah, maka akibatnya akan sangat pahit baginya dan bagi keluarganya.

Karena itu maka katanya kemudian, “Baiklah paman. Aku akan mencoba mengendalikan diriku. Aku akan mencoba bersikap sebaik-baiknya agar aku tidak tenggelam dalam arus perasaanku semata-mata.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Anusapati sejenak. Lalu, “Jika demikian, maka bersiaplah. Pergilah menghadap ibundamu dengan hati yang tenang dan penuh pengertian. Ibundamu bukan tempat untuk menumpahkan segala kesalahan. Mungkin kata-kataku agak aneh bagimu. Dan mungkin membuat kau semakin berdebar-debar. Tetapi ingatlah. Kau harus berusaha membuat ibundamu berbahagia dihari tuanya.”

Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Aku mengerti paman. Sebenarnyalah bahwa aku menjadi berdebar-debar. Aku merasa seakan-akan aku akan dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak pernah aku duga-duga sebelumnya. Tetapi aku berjanji, aku berjanji bahwa aku akan bersikap baik dan menjaga perasaan ibunda agar ibunda tidak menjadi gelisah dan bingung.” Namun didalam hati Anusapati berkata terus, “Biar aku sajalah yang menjadi bingung sepanjang umurku.”

Demikianlah Anusapati-pun kemudian meninggalkan bangsal tempat tinggal Mahisa Agni jika ia berada di Singasari. Dengan kepala tunduk Anusapati berjalan perlahan-lahan. Ia tidak melihat ketika dua orang prajurit yang berpapasan dengannya menganggukkan kepalanya dalam-dalam.

“Tampaknya Putera Mahkota selalu bersedih akhir-akhir ini.” gumam salah seorang dari kedua prajurit itu.

“Ya. Tampaknya memang ada sesuatu yang mengganggu perasaannya,” jawab yang lain.

“Adiknya itu selalu mengadu kepada Sri Rajasa. Dan Sri Rajasa semakin nampak berpihak kepadanya. Bahkan pernah Sri Rajasa marah kepada Putera Mahkota di dalam sidang para pemimpin Singasari dan yang tidak dapat dimengerti, Sri Rajasa telah mengancam Putera Mahkota, bahwa kedudukannya bukan kedudukan mati.”

“Aku juga mendengar,” sahut yang lain, “dan kami yang tua-tua ini tentu tahu apakah sebabnya, setidak-tidaknya pernah mendengar desas-desus tentang Putera Mahkota.”

“Tentang apa?”

“Siapakah Putera Mahkota yang sebenarnya.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Tetapi hal itu seharusnya sudah dilupakan. Apalagi Sri Rajasa sudah mengangkatnya menjadi Putera Mahkota.”

“Seharusnya. Tetapi kadang-kadang orang berbuat diluar keharusan, atau karena kekuasaan maka tidak ada keharusan yang dapat mengikatnya. Kekuasaannya itulah suatu bentuk keharusan yang dikehendakinya sendiri dan bahkan dapat dipaksakannya kepada orang lain.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Katanya, “Jika kau yang berkuasa, maka kau dapat berbuat apa saja yang kau kehendaki. Dan orang lain harus tunduk kepada kemauanmu. Begitu?”

Yang lain memandanginya sejenak. Namun kemudian ia bersungut-sungut, “Jika aku berkuasa, aku gantung kau diregol depan dengan kakimu diatas. Setiap orang harus memukul perutmu seperti memukul kentongan.”

Kawannya berbicara tertawa. Lalu, “Belum lagi berkuasa kau sudah menjadi seorang pemarah.”

Keduanya-pun kemudian terdiam. Ketika mereka berhenti sejenak di sudut bangsal, mereka masih melihat Anusapati berdiri termangu-mangu. Namun Putera Mahkota yang tidak pernah merasa perlu membawa seorang pengawal-pun itu melangkah lagi menuju ke bangsal Permaisuri.

Ketika Anusapati sampai di halaman bangsal itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Serasa ia akan memasuki rumah seorang Panglima perang yang akan memberikan perintah kepadanya untuk maju ke medan perang.

Karena itu, maka sekilas teringat anak laki-laki yang menjadi semakin besar. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang remaja yang tampan.

“Kalau terjadi sesuatu, taruhanku adalah seluruh keluarga,” berkata Anusapati didalam hatinya. “Aku, isteriku dan anakku pasti akan menjadi korban. Mungkin menjadi pangewan-ewan di alun-alun. Mungkin dihukum picis di simpang empat atau digantung berjajar di depan regol istana. Bahkan mungkin ibunda Permaisuri akan diikut sertakan dalam kesalahan ini.”

Namun sekilas terbayang wajah Mahisa Agni yang perkasa. Dan timbullah pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah paman Mahisa Agni akan tetap berdiam diri. Bukankah di istana ini ada juga paman Sumekar? Jika terjadi sesuatu, paman Mahisa Agni tentu akan melibatkan paman Witantra, paman Mahendra dan paman Kuda Sempana. Tentu tidak hanya empat orang itu, tetapi pasti ada pengikut-pengikut yang dapat bergerak sekedar mengguncang kekuasaan Sri Rajasa. Apalagi paman Mahisa Agni pernah menjadi panglima pasukan yang terdiri dari orang-orang Kediri itu sendiri ketika ia memecah Kediri waktu itu. Dalam keadaan yang tersudut, ia pasti masih mampu menggerakkan orang-orang itu dan bekas-bekas prajurit Kediri yang menyimpan dendam meskipun umur mereka menjadi semakin tua seperti paman Mahisa Agni. Bahkan para bangsawan di Kediri yang sampai sekarang masih diberi wewenang memerintah dibawah pengawasan paman Mahisa Agni pasti merasa lebih dekat dengan paman Mahisa Agni daripada kepada Ayahanda Sri Rajasa, dan apalagi Adinda Tohjaya.”

Memang sering terpercik didalam hati Anusapati suatu angan-angan, apakah kira-kira yang dapat terjadi jika ia minta kepada pamannya Mahisa Agni untuk merubah kekuasaan yang ada di Singasari dengan kekerasan. Tetapi ia tidak pernah dapat mengatakannya meskipun ia yakin bahwa Mahisa Agni mempunyai cukup kekuatan untuk itu. Namun sebagai seorang yang mencintai kesatuan Singasari yang sudah bulat itu, Anusapati tidak dapat berbuat demikian. Jika ia memaksa pamannya untuk melawan Sri Rajasa, berarti di Singasari akan pecah perang besar yang akan memecah belah kesatuan yang dengan susah payah sudah dihim-pun oleh Sri Rajasa.

“Aku harus membedakan antara ayahanda yang sekarang terlampau memanjakan Tohjaya dengan hasil kerja yang besar dari ayahanda itu,” berkata Anusapati didalam hatinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menyadari bahwa pengertian itu diperolehnya dari tuntunan pamannya Mahisa Agni.

Anusapati menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melangkah kepintu bangsal ibunda yang terbuka. Sekali ia berpaling kearah prajurit yang bertugas mengawal bangsal itu. Tampaknya prajurit itu tidak begitu menghiraukannya. Setelah membungkukkan kepalanya, maka prajurit itu-pun kemudian memandang lagi kejauhan dengan tatapan mata yang kosong.

Sejenak kemudian maka Anusapati-pun melangkah kembali masuk ke dalam bilik ibunya. Ternyata ibunya berbaring seorang diri. Adik-adiknya tidak berada di dalam bilik itu.

“O, kau Anusapati,” sapa Ken Dedes yang kemudian segera bangkit dari pembaringannya. “Duduklah.”

Anusapati-pun kemudian duduk diatas sebuah dingklik kayu yang rendah di samping pembaringan ibunya itu.

“Baru saja Mahisa Wonga Teleng meninggalkan bangsal ini,” berkata Ken Dedes kemudian, “adik-adikmu yang lain ikut bersamanya.”

“O,” Anusapati mengangguk.

“Aku sudah menyangka bahwa kau akan kemari.”

Anusapati mengerutkan keningnya. Dan ibundanya berkata pula, “Apakah kau sudah menemui pamanmu?”

Anusapati mengangguk, “Ya ibunda, hamba baru saja menghadap Pamanda Mahisa Agni.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Semuanya memang harus berakhir. Dan kedatangan Anusapati kini adalah permulaan dari akhir yang bagaimana-pun bentuk ujudnya.

Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya, “Apakah pamanmu mengatakan sesuatu kepadamu?”

Anusapati menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak ibu. Pamanda Mahisa Agni tidak mengatakan apa-apa kepada hamba, selain beberapa macam nasehat.”

“O,” Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Dan Pamanda Mahisa Agni mengharap hamba untuk dengan tenang menghadapi segala macam masalah. Hamba tidak boleh kehilangan akal dan bertindak tergesa-gesa.”

Ken Dedes mengangguk-angguk pula. Katanya, “Memang semuanya harus segera menjadi jelas. Ibulah yang berkewajiban untuk mengatakan kepadamu.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia berdiri di hadapan sebuah ruang yang gelap pekat. Seseorang siap untuk menyalakan obor di dalamnya. Dan ia akan melihat isi dari ruang yang akan segera menjadi terang. Mungkin di dalam ruang itu ada seekor harimau yang siap menerkamnya, atau seekor ular raksasa, atau seekor banteng dengan tanduknya yang runcing. Ia sama sekali tidak dapat membayangkan bahwa di dalam ruang yang gelap itu terdapat seekor burung merak yang indah atau seekor kijang yang jinak.

Karena itulah maka Anusapati menjadi berdebar-debar. Jantungnya semakin lama semakin keras berdetak dan rasa-rasanya darahnya menjadi semakin cepat mengalir.

Tetapi justru karena itu ia ingin segera melihat, rahasia apakah yang sebenarnya tersimpan di rongga dada ibundanya.

“Mungkin perasaan ibunda akan menjadi ringan setelah ibunda melepaskan rahasia yang agaknya sudah lama tersimpan itu,” berkata Anusapati di dalam hatinya, “apa-pun akibatnya buat aku dan adik-adikku.”

Sejenak kemudian Anusapati mengangkat wajahnya ketika ibunya berkata, “Kemarilah Anusapati, mendekatlah.”

Anusapati memandang ibunya sejenak. Nafasnya terasa semakin berdesakan di lubang hidungnya.

“Sudah sepantasnya kau mendengar,” berkata ibunya, “kau sudah cukup dewasa sekarang. Bukan saja dewasa, tetapi kau sudah mempunyai seorang anak yang menjadi semakin besar pula. Dan sebaliknya, jika kalian masih akan berkembang terus, maka ibumu akan menjadi semakin layu. Seperti matahari, ibumu sudah akan tenggelam diujung Barat.”

Anusapati menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Ibunya yang kemudian berdiri dan berjalan hilir mudik itu-pun kemudian melanjutkannya, “Anusapati. Kau dapat melemparkan kesalahan kepadaku, kepada ibumu, bahwa semuanya telah terjadi dan membuat kau sangat berprihatin.”

Anusapati sama sekali tidak menjawab.

“Setiap kali kau datang kepadaku, setiap kali hatiku menangis lebih parah dari titik air mataku yang kau lihat mengalir dari pelupukku, karena aku tahu jauh lebih banyak dari apa yang aku katakan.”

Anusapati menggigit bibirnya. Ia memang sudah merasa jahwa ibunya tentu menyembunyikan sesuatu.

“Dan sekarang rahasia ini tidak dapat aku simpan lebih lama lagi justru mengingat kedudukanmu yang semakin goyah. Jika hal ini aku lakukan, sama sekali bukan karena aku inginkan untuk tetap berada pada kedudukanku yang sekarang, tetapi adalah karena suatu perbandingan, apakah yang sebaiknya terjadi di Singasari.”

Anusapati yang untuk beberapa saat hanya berdiam diri itu-pun kemudian menjawab, “Ya ibunda.”

Namun demikian, hatinya seakan-akan tidak lagi dapat malahan kesabaran untuk segera mengetahui apakah yang akan likatakan oleh ibunya itu. Tetapi ia tidak dapat menanyakannya dan memaksa ibunya untuk segera mengatakannya.

“Anusapati,” berkata ibunya, “setiap kali kau selalu bertanya, kenapa sikap Ayahanda Sri Rajasa kepadamu dan kepada adik-adikmu, terutama Tohjaya terasa tidak adil.”

Anusapati menganggukkan kepalanya.

“Anakku. Yang sudah kau lihat, kau adalah anakku, sedang Tohjaya adalah anak Ken Umang. Aku adalah seorang perempuan yang lain dari Ken Umang. Aku tidak dapat membuat Sri Rajasa mengasihi anak-anakku seperti Sri Rajasa mengasihi anak-anak Ken Umang. Dan ini adalah kesalahanku.”

Anusapati menundukkan kepalanya. Jika ibunya bersikap demikian, dan mencari kesalahan pada diri sendiri, maka persoalannya tidak akan dapat diselesaikan. Dan agaknya ia sama sekali tidak menjumpai harimau, atau seekor ular raksasa, atau seekor banteng liar bertanduk runcing di dalam ruang yang gelap itu. Tetapi ia akan melihat ibunya sedang mencekik dirinya sendiri. Dan itu tidak boleh terjadi.

“Karena itu Anusapati,” ibunya melanjutkan.

“Aku tidak ingin mendengar ibu mengutuk diri sendiri. Jika memang hal itu yang akan ibu katakan, maka agaknya lebih baik hamba tidak mendengarnya, karena hal itu justru akan menambah hati hamba menjadi semakin parah. Lebih baik ibu marah kepada hamba, atau ibu memberikan perintah untuk suatu tugas yang berat dalam usaha membebaskan diri dari ikatan yang selama ini membelenggu hati.”

Ken Dedes memandang anak laki-lakinya itu dengan hati yang pedih.

“Aku akan mengatakannya Anusapati,” berkata Ken Dedes dengan suara parau.

Anusapati mengangkat wajahnya sejenak, namun wajah itu-pun segera tertunduk kembali.

Sejenak Anusapati menunggu, tetapi ia tidak mendengar kata-kata ibunya. Bahkan ia-pun terperanjat ketika ia merasa ibunya memeluknya dari belakang dan membelai kepalanya seperti ia membelai anaknya yang masih terlalu muda. “Anusapati,” berkata ibunya, “dengarlah. Adalah wajar jika Sri Rajasa tidak mengasihmu seperti adik-adikmu, terutama Tohjaya. Bukan saja karena aku tidak dapat melayani Sri Rajasa seperti Ken Umang, tetapi ada sebab lain yang jauh lebih dalam dari perbedaan ibu itu.”

Dada Anusapati terasa berdesir mendengar kata-kata ibunya itu. Dengan penuh minat ia menatap wajah ibunya yang melanjutkan kata-katanya, “Anusapati, apakah kau sudah siap mendengar penjelasanku lebih lanjut?”

Anusapati mengangguk. Dengan suara yang dalam ia menjawab, “Hamba sudah terbiasa mendengar persoalan-persoalan yang pahit bagiku ibu. Apa-pun yang akan hamba dengar, tidak akan menggetarkan dadaku lagi.”

Tetapi ibunya menggeleng. Jawabnya, “Kau justru pernah menitikkan air mata Anusapati.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut.

“Dengarlah,” berkata ibunya sambil membelai rambut naknya, “mungkin kata-kataku akan terdengar aneh ditelingamu dan akan membuat hatimu sakit. Tetapi kau harus mengetahuinya.” suara abunya menjadi sendat. Tetapi diteruskannya, “Sebenarnyalah bahwa kau bukan putera Sri Rajasa.”

“Ibu,” Anusapati hampir terpekik. Tetapi ibunya memeluknya erat-erat.

“Ya Anusapati. Kau lahir bukan karena tetesan darah Ken Arok yang sekarang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.”

Kata-kata ibunya itu cukup jelas terdengar ditelinga Anusapati. Betapa-pun ia menjaga keseimbangan perasaannya, namun tiba-tiba saja ia terlonjak berdiri sambil mengibaskan pelukan ibunya. Dengan sorot mata yang seakan-akan menyala ia memandang Permaisuri dengan tajamnya.

“Jadi, jadi,” suara Anusapati tergagap.

Namun dalam pada itu, setelah melepaskan kata-kata yang selama ini membebani perasaannya, justru Ken Dedes menjadi tenang. Didekatinya anaknya sambil berkata, “Anusapati. Itulah kenyataanmu anakku.”

“Jadi-jadi, jadi, siapakah hamba sebenarnya? Apakah hamba juga bukan putera ibunda Permaisuri?”

“Kau anakku Anusapati. Aku adalah ibumu. Ibu kandungmu.”

“Tetapi kenapa aku bukan putera Sri Rajasa? Apakah, apakah pernah terjadi sesuatu …. “ Anusapati tidak dapat meneruskan kata-katanya.

Namun agaknya ibunya mengerti apa yang tersirat dihati anaknya sehingga ia menyahut, “Tidak Anusapati. Tidak ada pelanggaran pagar ayu dan tidak ada perbuatan terkutuk di masa kegadisanku. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku kawin dengan Sri Rajasa setelah aku menjadi janda.”

“Ibu,” mata Anusapati terbelalak karenanya.

“Kau adalah Putera Akuwu Tunggul Ametung yang dahulu berkuasa di Tumapel. Sri Rajasa yang kemudian menggantikan kedudukannya, berhasil mempersatukan Tumapel dan Kediri serta daerah-daerah lainnya sehingga disebutnya kemudian Singasari. Sebagian dari perjuangan Sri Rajasa mempersatukan Singasari pasti masih ada yang kau ingatnya.”

Anusapati berdiri tegak seperti patung. Meskipun benar seperti apa yang dikatakannya, bahwa ia sudah terbiasa mendengar kata-kata keras, kasar dan sindiran-sindiran tajam yang menyakiti hatinya, namun pengakuan ibunya itu benar-benar telah membuatnya bagaikan kehilangan perasaan. Bahkan bagaikan kehilangan dirinya sendiri.

“Anusapati,” berkata ibunya kemudian, “cobalah kau menanggapi hal ini dengan sikap dewasa. Bukankah kau sudah siap mendengar keteranganku yang bagaimana-pun pahitnya bagimu.”

Anusapati masih belum menjawab. Namun tiba-tiba saja tangannya menjadi gemetar. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia menggeram, “Ibu, jika demikian, maka Tohjaya sama sekali tidak ada hubungan darah dengan hamba.”

Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun ia-pun kemudian mengangguk.

“Jika demikian apa gunanya hamba selama ini merendahkan diri dan membiarkan diriku dihinakannya.” tiba-tiba wajah Anusapati menjadi tegang, “Hamba tidak peduli lagi akan anak itu. Hamba harus membuat perhitungan.”

“Anusapati.”

Anusapati tidak menghiraukannya. Wajahnya sudah menjadi semerah nyala di matanya. Namun sesaat sebelum ia meloncat, ibunya sudah berlari memeluknya. Dengan nada yang dalam ibunya berkata, “Anusapati. Kau sudah berjanji untuk mendengar keteranganku dengan hati yang tenang. Jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu.”

“Lepaskan hamba ibu. Lepaskan. Buat apa hamba membiarkan diriku terhina jika aku sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-pun dengan Tohjaya? Hanya karena hamba hormat kepada Sri Rajasa yang hamba anggap ayah kandung, itulah hamba tidak berbuat apa-apa atasnya. Tetapi ternyata bahwa hamba bukan anak Sri Rajasa.”

“Tenanglah Anusapati. Semua tindakan yang tergesa-gesa tidak akan menguntungkan. Tentu Sri Rajasa tidak akan membiarkan anaknya mengalami bencana.”

“Biarlah hamba dibunuhnya. Tetapi hamba mendendamnya.”

“Jangan memanjakan dendam di dalam hati. Tenanglah.”

Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Pelukan ibunya terasa semakin erat di tubuhnya. Bahkan kemudian setitik air yang hangat meleleh ditangannya.

“Anusapati, aku adalah ibumu. Apakah kau masih mau mendengarkan kata-kataku.”

Anusapati tidak menjawab. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.

“Anusapati, apakah kau masih mau mendengar keteranganku?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar