Si Racun Dari Barat (See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan) Bab 28

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Bab 28

Siangkoan Wie kelihatan tidak mau menyaksikan bekas telapak tangan di hiolou besar itu. Dia memejamkan matanya seraya berkata kepada Ciu Cian Jen.

"Kau juga harus melakukannya!"

Ciu Cian Jen segera memberi hormat.

"Suhu, kepandaian teecu masih rendah, lebih baik teecu tidak melakukannya."

Siangkoan Wie tersenyum.

"Ciu Cian Jen, tadi kau tidak memapahku, sebaliknya membiarkan Nona Bokyong Cen memapahku duduk. Aku tahu kau ingin menjadi ketua. Siapa tidak paham tentang itu? Aku menghendaki Tiat Ciang Pang berkembang pesat di dunia persilatan dengan dirimu yang penuh akal. Namun kalau kau tidak bersedia menjadi ketua, aku pasti akan membiarkan (hai susiok dan susiokmu mem-bunuhmu! Karena kau tidak mau mengembangkan Tiat Ciang Pang, maka harus dilenyapkan!"

Ketika mendengar apa yang dikatakan Siangkoan Wie, hati Ouw Yang Hong gembira sekali. Sebab semua orang bilang Ouw Yang Hong merupakan si Racun Tua yang tak berperasaan dan amat sadis. Namun semua orang di kolong langit justru bersifat demikian. Seperti halnya dengan Siangkoan Wie, berpura-pura baik terhadap siapa pun, tapi ketika menghadapi urusan besar, malah ingin melenyapkan muridnya sendiri. Hati semua orang di kolong langit memang serupa. Kata Ouw Yang Hong dalam hati.

Sedangkan Ciu Cian Jen terkejut bukan main, sehingga berdiri tertegun di tempat.
'Cian Jen, urusan hari ini kalau kau tidak mau jadi ketua, maka harus mati!"

Ciu Cian Jen kelihatan serba salah. Dia memandang thai susiok dan para susioknya, lalu memandang gurunya yang telah kehilangan kekuasaannya itu sampai lama sekali.
"Baik! Karena itu perintah guru, maka teecu akan melaksanakannya," katanya kemudian.

Semua orang tidak memandang Ciu Cian Jen dalam mata, sebab semua telapak tangan yang berbekas di hiolou besar itu, rata-rata memiliki Iwee kang yang amat tinggi, sedangkan Ciu Cian Jen cuma merupakan seorang pemuda, bagaimana mungkin memiliki Iwee kang seperti mereka?

Sementara Ciu Cian Jen sudah mendekati hiolou besar itu. Mendadak dia membentak keras sambil mendorongkan sepasang tangannya pada hiolou besar tersebut. Menyaksikan itu, semua orang tertawa dalam hati.

Setelah telapak tangan Ciu Cian Jen menempel pada hiolou besar itu, berselang sesaat, barulah ditarik kembali sambil melangkah mundur dengan wajah murung.

Semua orang tertawa dingin, begitu pula orang tua itu.

"Siangkoan Wie, lihatlah baik-baik! Telapak tangan yang berbekas paling jelas dan dalam adalah telapak tanganku."

Orang tua itu mendekati hiolou besar dengan dada terangkat. Semua orang yang berada di situ, tak seorang pun berada di dalam matanya. Ketika dia memandang hiolou besar itu, mendadak air mukanya berubah hebat sepertinya melihat hantu di tengah malam, dan mulutnya bergumam. "Ini ... ini . . ."

Semua orang tidak tahu apa sebabnya air muka orang tua itu berubah. Oleh karena tu, mereka pun maju mendekati hiolou besar itu. Setelah memperhatikan hiolou besar itu, mulut mereka pun ternganga lebar. Ternyata pada bagian atas hiolou besar itu terdapat bekas sepasang telapak tangan yang amat jelas dan dalam, kelihatannya seperti dicetak ke dalam. Itu adalah bekas sepasang telapak tangan Ciu Cian Jen.

Setelah menyaksikan bekas telapak tangan itu, semua orang membungkam. Mereka tidak menyangka bahwa Ciu Cian Jen yang masih semuda itu telah memiliki Iwee kang yang amat tinggi. Kalau mereka tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, tentu tidak akan percaya bahwa itu adalah bekas sepasang telapak tangan Ciu Cian Jen.

Siangkoan Wie tidak berbicara dan sepasang matanya tetap terpejam. Sedangkan yang lain berdiri diam di tempat.

Berselang beberapa saat, barulah orang tua itu berkata.

"Ciu Cian Jen, aku sungguh kagum akan Iwee kangmu yang begitu tinggi! Tapi tidak cukup hanya berdasarkan Iwee kang, harus disertai pula dengan ilmu ginkang yang tinggi, itu merupakan ilmu an-dalan Tiat Ciang Pang."

Tanpa sepatah kata pun Cu Cian Jen berjalan ke hadapan semua orang dengan wajah tidak memperlihatkan ekspresi apa pun. Dia mengeluarkan belasan uang tembaga, kemudian dilemparkannya ke atas.

Semua orang tidak tahu apa yang sedang di-lakukannya, hanya ikut memandang ke atas. Belasan uang tembaga itu jatuh dan menancap separuh di lantai.

Ciu Cian Jen mengambil benang yang amat halus, lalu diikatkannya pada lubang salah satu uang tembaga itu, dan kemudian disambungkan pada uang tembaga yang lain.

Semua orang terbelalak, karena tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Ciu Cian Jen memberi hormat kepada gurunya, lalu mendadak mencelat ke atas benang itu, dan berkelebat ke sana ke mari di atas benang tersebut. Berselang sesaat, barulah dia berhenti di hadapan semua orang.

Semua orang memandang uang tembaga yang menancap di lantai, juga memperhatikan benang yang terikat pada uang tembaga itu. Mata mereka terbelalak dan mulut ternganga lebar. Ternyata uang tembaga yang menancap di lantai itu sama sekali tidak berubah dan benang itu pun tidak putus, bahkan di lantai tidak berbekas jejak kaki.

Bukan main! Siapa pun tidak menyangka bahwa Ciu Cian Jen yang masih muda itu memiliki ginkang yang begitu tinggi.

Semua orang memandang Ciu Cian Jen dengan kagum. Walau masih muda tapi kepandaiannya sudah hampir menyamai kepandaian Siangkoan Wie.

Ouw Yang Hong juga terkejut menyaksikannya, sebab Ciu Cian Jen baru berusia belasan tahun, namun sudah memiliki kepandaian yang begitu tinggi. Kelak dia pasti akan menjadi orang aneh dalam rimba persilatan.

Ouw Yang Hong juga berpikir, apabila bertanding dengan Ciu Cian Jen, dalam sepuluh jurus belum tentu dapat mengalahkannya.

Sementara Siangkoan Wie berbicara dengan Bokyong Cen. Wajah wanita itu tampak berseri. Akan tetapi, orang lain tidak dapat mendengar pembicaraan mereka sebab Siangkoan Wie menggunakan ilmu penyampai suara. Hanya tampak bibirnya bergerak-gerak, sedangkan Bokyong Cen manggut-manggut.
Setelah itu, barulah Siangkoan Wie berkata.

"Siapa yang tidak setuju jabatan ketua kuserahkan kepada Ciu Cian Jen?"

Semua orang diam, hanya orang tua itu yang berkata.

"Kau ingin menyerahkan jabatan ketua kepadanya, kami pun tidak akan bilang apa-apa lagi. Kau adalah ketua, urusan besar dalam partai memang ada di tanganmu!"

Para anggota Tiat Ciang Pang amat menghormati orang tua itu. Kini dia berkata begitu, secara tidak langsung telah mengakui Ciu Cian Jen sebagai ketua baru Tiat Ciang Pang.

Siangkoan Wie berkata dengan suara parau.

"Aku Siangkoan Wie ketua Tiat Ciang Pang generasi kedua puluh, dengan rela menyerahkan jabatan ketua kepada murid pewaris bernama Ciu Cian Jen. Julukannya adalah Tiat Ciang Sui Sang Phiau (Telapak Besi Mengambang Di Permukaan Air). Kuserahkan benda kepercayaan partai kepada Ciu Cian Jen, harap ketua dapat mengembangkan Tiat Ciang Pang hingga sejajar dengan Kay Pang dan Siau Lim Si!"
Ciu Cian Jen segera maju untuk menerima Telapak Besi benda kepercayaan Tiat Ciang Pang. Setelah menerima Telapak Besi itu, dia bersumpah.

"Aku Ciu Cian Jen menerima jabatan ketua. Mulai hari ini aku pasti berjuang demi mengangkat nama Tiat Ciang Pang, agar tidak tersisih oleh partai lain!"

Setelah Ciu Cian Jen mengangkat sumpah, nafas Siangkoan Wie bertambah lemah, namun wajahnya tampak berseri-seri.

"Suruhlah mereka pergi! Aku tidak ingin melihat mereka lagi," perintahnya kepada Ciu Cian Jen dengan suara rendah. Tapi kini dia adalah ketua Tiat Ciang Pang, maka melakukan sesuatu harus tegas, sesuai dengan kewibawaan seorang ketua. Dia mengangkat sebelah tangannya, kemudian berkata.

"Kalian semua mundur!"

Semua orang memberi hormat, lalu mengundurkan diri dari tempat itu. Kini kuil tua itu hanya tinggal Siangkoan Wie, Bokyong Cen dan Ciu Cian Jen. Siangkoan Wie menyuruh Ciu Cian Jen memapahnya ke dalam, lalu mereka bertiga duduk di ruang dalam kuil tua.

Siangkoan Wie memandang Bokyong Cen, ke-lihatannya seperti ingin berbicara. Menyaksikan gerak-gerik Siangkoan Wie itu, Ciu Cian Jen segera berkata.

"Suhu mau bicara apa, silakan!"

Bibir Siangkoan Wie bergerak, berkata dengan lemah dan perlahan sekali.

"Lilin . . . lilin . . ."

Bokyong Cen tertegun mendengar ucapan itu. Mungkin ajalnya hampir tiba, maka Siangkoan Wie berubah menjadi pikun. Di ruang dalam itu cukup terang karena tersorot sinar rembulan, maka tidak perlu lilin. Tapi kenapa Siangkoan Wie mengatakan lilin?

Ciu Cian Jen memandang Bokyong Cen.

"Nona Bokyong, suhuku ingin menyalakan delapan puluh satu batang lilin. Kalau Nona tahu bagaimana cara menyalakan lilin-lilin itu, harap Nona sudi mengajariku!"

Sementara Ouw Yang Hong masih bersembunyi di tempat gelap. Ketika melihat semua orang berjalan ke luar, dia cepat-cepat melesat ke ruang dalam kuil tua itu, lalu bersembunyi di belakang sebuah patung. Dia mengintip ke arah mereka bertiga, karena ingin tahu apa yang akan dilakukan Siangkoan Wie dan Ciu Cian Jen terhadap Bokyong Cen. Kalau mereka berdua berani berlaku kurang hormat pada Bokyong Cen, maka Ouw Yang Hong akan membunuh mereka.

Tampak Ciu Cian Jen mengeluarkan delapan puluh satu batang lilin, yang terdiri dari lilin besar, kecil, panjang dan pendek.

"Nona Bokyong, bagaimana cara memasang lilin ini? Tolong beritahu, sebab aku ingin memasang lilin-lilin ini, agar hati suhuku bisa tenang!"

Bokyong Cen mengangguk. "Baik!"

Bokyong Cen memberitahu bagaimana cara malam itu Siangkoan Wie menancapkan lilin-lilin di dalam kamarnya.

Ciu Cian Jen manggut-manggut, lalu segera menancapkan lilin-lilin itu. Setelah semuanya tertancap barulah dinyatakannya. Setelah itu dia mendekati Siangkoan Wie sambil memanggil.

"Suhu! Suhu! Bangunlah!"

Perlahan-lahan Siangkoan Wie membuka matanya, lalu memandang lilin-lilin itu dengan wajah berseri-seri.

"Nona Bokyong, semua lilin itu telah nyala. Perlukah aku beritahukan padamu betapa indahnya lilin-lilin itu?" katanya.

Bokyong Cen menundukkan kepala.

"Aku tahu . . . indah sekali lilin-lilin itu."

Siangkoan Wie tersenyum, lalu berkata per-lahan-lahan.
"Aku yakin kau akan punya anak. Pernah terpikirkan juga olehku bahwa kelak anakmu harus ikut aku belajar ilmu silat. Aku pun tahu bahwa guru Ouw Yang Hong adalah si Racun Tua yang bermukim di daerah Utara. Walau ilmu silatnya amat tinggi, namun si Racun Tua itu amat jahat dan kejam. Kalau anakmu ikut Ouw Yang Hong, tentu akan berubah jahat dan kejam pula. Akan tetapi, aku sudah tidak dapat bertahan lagi, tidak bisa mengurusi masalah ini ..."

Air mata Bokyong Cen langsung meleleh. Sejak dia kabur dari Vihara Cin Am, belum ada seseorang yang memperhatikannya bagaikan seorang ayah. Kini Siangkoan Wie amat memperhatikannya, bahkan juga memperhatikan anak di dalam kandungannya, itu membuat hatinya amat terharu sekali.

"Terimakasih atas perhatian Siangkoan Pang-cu!" ucapnya terisak-isak.

Betapa panasnya hati Ouw Yang Hong, sebab Bokyong Cen bersikap acuh tak acuh terhadapnya, namun sebaliknya malah- begitu ramah dan lembut terhadap Siangkoan Wie, bahkan amat sabar pula. Sudah barang tentu sikap Bokyong Cen itu membuat hati Ouw Yang Hong menjadi panas sekali, rasanya ingin menerjang ke dalam membunuh Siangkoan Wie.

Terdengar Siangkoan Wie berkata pada Bokyong Cen.

"Nona Bokyong, muridku ini meskipun masih muda, tapi amat cerdik dan kepandaiannya cukup lumayan. Bagaimana kalau kau ikut dia ke Gunung Ngo Ci Hong untuk menenangkan hati di sana?"

Bokyong Cen berpikir sejenak.

"Lebih baik Siangkoan Pangcu mengurusi diri sendiri, tidak usah mengurusi diriku," sahutnya kemudian.

Siangkoan Wie menghela nafas panjang.

"Nona Bokyong, kau . . . kau harus baik-baik membawa diri!" katanya perlahan-lahan.

Bokyong Cen mengangguk dengan air mata bercucuran.

"Kakak Bokyong, suhu telah memberi pesan, bahwa aku harus membawamu meninggalkan Perkampungan Pek Tho San Cung," kata Ciu Cian Jen mendadak.

"Aku masih ada sedikit urusan pribadi. Setelah menyelesaikan urusan pribadiku itu, barulah aku ikut kau pergi," sahut Bokyong Cen.

Sementara nafas Siangkoan Wie semakin lemah. Dia terbatuk-batuk beberapa kali, kemudian menyemburkan darah.

"Baik . . . baik . . .!" katanya dengan lemah lalu terbatuk lagi. "Nona Bokyong, walau aku mati, tapi hatiku sudah lega sebab sudah menyelesaikan dua masalah . . ." lanjutnya.

Bukan main ibanya hati Bokyong Cen menyaksikan keadaan Siangkoan Wie. Dia segera memegang tangannya erat-erat.

Hati Ouw Yang Hong semakin panas menyaksikannya. Bokyong Cen tinggal di Perkampungan Pek Tho San Cung. Ada urusan apa dengan Siangkoan Wie dan Ciu Cian Jen? Mengapa Siangkoan Wie membujuk Bokyong Cen meninggalkan per-kampungan itu?

Ouw Yang Hong sudah tidak dapat bersabar iagi. Dia langsung meloncat ke luar dari tempat persembunyiannya di belakang patung, lalu berdiri di hadapan Bokyong Cen.
Ketika melihat kemunculan Ouw Yang Hong, Ciu Cian Jen dan Siangkoan Wie langsung diam. Walau Ciu Cian Jen masih muda, tapi memiliki ketenangan yang luar biasa. Dia menatap Ouw Yang Hong tanpa ada rasa takut sedikit pun.

Siangkoan Wie menatap Ouw Yang Hong dengan mata terbelalak lebar. Dia tampak cemas, karena apabila Ouw Yang Hong turun tangan, beberapa jago tangguh Tiat Ciang Pang jangan harap bisa hidup. Sedangkan susiok dan para saudara seperguruannya telah pergi. Kini yang dapat diandalkan hanya Ciu Cian Jen, namun juga bukan tandingan Ouw Yang Hong.

Karena tiada suara sedikit pun Bokyong Cen menjadi tercengang.
"Siangkoan Pangcu, ada urusan apa?" tanyanya segera.
Siangkoan Wie ingin menyahut, namun tak mampu mengeluarkan suara. Maka, Bokyong Cen segera bertanya kepada Ciu Cian Jen.

"Ciu Pangcu! Apakah dia?"

"Kakak Bokyong, Ouw Yang Hong sudah datang. Dia berdiri di sisimu," sahut Ciu Cian Jen.

Bokyong Cen tertegun. Ternyata ketika Ouw

Yang Hong meloncat turun, sama sekali tidak menimbulkan suara, maka Bokyong Cen tidak tahu akan kemunculannya.

Ouw Yang Hong tidak berkata sepatah pun. Dia menatap Siangkoan Wie dengan bengis. Kalau bukan karena orang itu sudah sekarat, Ouw Yang Hong pasti sudah turun tangan membunuhnya.

Sementara Ciu Cian Jen tak bergeming dari tempatnya. Meskipun tahu dirinya bukan tandingan Ouw Yang Hong, tapi dia tidak merasa takut, hanya wajahnya tampak hambar.

Bokyong Cen tahu bahwa kemarahan Ouw Yang Hong sudah memuncak, maka Siangkoan Wie dan Ciu Cian Jen tidak bersuara sama sekali.

Mereka berempat membungkam sampai lama sekali baru kemudian Ouw Yang Hong berkata dengan sengit.

"Siangkoan Wie! Kau sudah hampir mati, namun masih memperlihatkan sikap rasa berat meninggalkan wanita orang, itu sungguh menggelikan!"
Siangkoan Wie menatapnya, namun tak mampu bersuara, kemudian perlahan-lahan menundukkan kepala.

"Ouw Yang Hong, suhuku bilang kau amat jahat. Tapi juga patut dikasihani. Ya, kan?" kata Ciu Cian Jen.
Ouw Yang Hong menatap Ciu Cian Jen dengan tajam.

"Oh, ya? Apakah suhumu bilang begitu padamu?" sahutnya dengan dingin. Ciu Cian Jen mengangguk. "Tidak salah."

"Suhumu sudah hampir mati, namun masih menyuruhmu menyalakan delapan puluh satu batang lilin dan minta ditemani oleh wanita orang! Itu sungguh menggelikan!" kata Ouw Yang Hong dengan sinis.

Siangkoan Wie memejamkan matanya.

"Ciu Cian Jen, kau merasa kungfumu sudah tinggi. Tapi dalam mataku tak berarti sama sekali," kata Ouw Yang Hong lagi kepada Ciu Cian Jen.

Usai berkata, Ouw Yang Hong mendorongkan sepasang tangannya ke depan. Seketika terdengar suara hiruk-pikuk. Ternyata tembok yang ada di hadapannya telah hancur, bahkan tampak ber-bekas sepasang telapak tangan yang amat dalam.

"Telapak tanganmu berbekas di hiolou besar itu. Seandainya aku yang memukulnya, niscaya hiolou besar itu pasti berlubang! Kau percaya apa tidak?"
Ciu Cian Jen tertawa.

"Aku percaya," sahutnya.

Ketika melihat Ciu Cian Jen begitu tenang, hati Ouw Yang Hong penasaran sekali. Mendadak badannya bergerak laksana kilat, tahu-tahu semua

Ulin yang ada di ruangan itu telah padam, bahkan semuanya sudah ada di tangannya.
Ouw Yang Hong melemparkan semua lilin itu ke lantai. Ciu Cian Jen sama sekali tidak memandangnya. Dia berjongkok memungut tiga batang lilin, lalu ditancapkannya di lantai dekat Siangkoan Wie, sekaligus dinyalakannya.

Betapa gusarnya Ouw Yang Hong menyaksikan itu. Dia langsung mendorongkan sepasang tangannya ke arah Ciu Cian Jen.

Buuuk!

Badan Ciu Cian Jen terpental membentur tembok. Pakaiannya sobek dan kelihatan terluka ringan.

"Ciu Cian Jen! Kalau kau masih berani memungut lilin-lilin itu, nyawamu pasti melayang!" kata Ouw Yang Hong dengan dingin.

Ciu Cian Jen tidak menyahut. Mulutnya tampak berdarah dan dia tetap memungut lilin-lilin yang berserakan di lantai.

"Kalau nyawamu kuhabisi sekarang, kau pasti tidak bisa jadi ketua Tiat Ciang Pang! Kepandaian-mu sudah lumayan, tergolong kelas satu di rimba persilatan. Apabila kau mati sekarang, apakah kau tidak akan merasa menyesal?"

Ciu Cian Jen tidak menggubrisnya. Apa yang diucapkan Ouw Yang Hong dianggapnya sebagai anyn lalu.

Sikap Ciu Cian Jen itu membuat Ouw Yang Hong gusar. Dia tertawa gelak dan kemudian membungkukkan badannya, mengarah pada Ciu Cian Jen dan lilin-lilin itu sambil mengerahkan lwee kang Ha Mo Kang, sepasang tangannya didorongkan ke depan perlahan-lahan.

Di saat bersamaan, mendadak Bokyong Cen maju ke hadapan Ciu Cian Jen, sekaligus menggenggam lengannya.

"Amat banyak lilin ini, bagaimana kalau aku membantumu memungutnya?" katanya.
Suara Bokyong Cen lembut dan tenang, seakan sedang berunding dengan orang, lalu menjongkok-kan badannya membantu Ciu Cian Jen memunguti lilin-lilin yang berserakan di lantai itu. Mereka berdua sama sekali tidak menghiraukan Ouw Yang Hong.

Sementara lwee kang Ha Mo Kang yang telah dikerahkan Ouw Yang Hong, sudah tidak bisa ditarik kembali. Kalau lwee kang itu tidak didorong ke luar, niscaya akan melukai dirinya sendiri.

Karena Bokyong Cen maju mendadak ke hadapan Ciu Cian Jen, Ouw Yang Hong terpaksa cepat-cepat memiringkan sepasang tangannya ke arah tembok, yang ada di samping mereka.

Terdengar suara gemuruh. Ternyata tembok itu telah roboh dan hancur berantakan. Hancuran tembok itu menimpa badan Ciu Cian Jen dan Bokyong Cen, namun mereka berdua masih kelihatan tenang, seakan tidak terjadi suatu apa pun.

Dapat dibayangkan, betapa gusarnya Ouw Yang Hong, sebab Ciu Cian Jen dan Bokyong Cen terus memunguti lilin-lilin itu, sekaligus menghitungnya sampai berjumlah delapan puluh satu batang.
Mendadak Ouw Yang Hong mendorongkan sepasang tangannya ke arah meja sembahyang yang ada di dekat Siangkoan Wie. Terdengar suara hiruk-pikuk, ternyata meja sembahyang itu hancur berantakan, bahkan patung yang ada di dalamnya pun ikut terpental.

Ciu Cian Jen berteriak keras seketika.

"Suhu! Suhu . . .!"

Dia langsung melesat ke arah Siangkoan Wie. Ternyata orang tua itu telah tertimbun reruntuhan tembok dan meja sembahyang itu.

Ci Cian Jen segera membongkar reruntuhan tembok itu mengeluarkan Siangkoan Wie. Orang tua itu berhasil dikeluarkannya, tetapi sudah tak bernyawa. Kepala dan badannya berlumuran darah.

Ciu Cian Jen menjerit-jerit dengan air mata bercucuran.

"Suhu! Suhu . . .!"

Ouw Yang Hong tidak tahu harus berbuat apa Seandainya tidak mati tertimbun reruntuhan itu, berselang beberapa saat, orang tua itu pun pasti mati. Namun takdir menghendakinya mati lebih awal tertimbun reruntuhan itu. Apakah Ouw Yang Hong berdosa atas kejadian tersebut?

Akan tetapi, Bokyong Cen dan Ciu Cian Jen justru tidak berpikir demikian. Wanita yang sedang mengandung itu berkata dalam hati. Ouw Yang Hong terlampau kejam. Di saat gusar pasti membunuh orang. Ketika dia membunuh para suheng-nya, masih dapat dimaklumi. Sedangkan Siangkoan Wie tidak bermusuhan dengannya, namun Ouw Yang Hong justru membunuhnya.

Bokyong Cen tahu jelas, bahwa kini kepandaian OUAV Yang Hong amat tinggi sekali. Apabila Ciu Cian Jen melawannya, berarti mencari mati.
Tapi Ciu Cian Jen tetap Ciu Cian Jen. Dia bukan orang yang takut mati. Oleh karena itulah Siangkoan Wie memilihnya sebagai murid pewaris, sekaligus menyerahkan jabatan ketua kepadanya.

Dia menatap Ouw Yang Hong dengan tajam, kemudian berkata sepatah demi sepatah.

"Ouw Yang Hong, aku ingin mencoba kepan-daianmu! Apakah kau mampu membunuhku!"

Mendadak Ouw Yang Hong tertawa gelak. Nada tawanya amat angkuh. Kemudian dia berpikir. Kalau Ong Tiong Yang, Oey Yok Su, Toan Hong Ya atau Ang Cit Kong ada di sini, Ouw Yang Hong pasti bergebrak dengan mereka, apalagi Ciu Cian
Jen?

Dalam hatinya juga timbul niat jahat untuk menghabisi nyawa Ciu Cian Jen, sebab kini Ciu Cian Jen masih begitu muda, namun sudah memiliki kungfu yang cukup mengejutkan. Kalau sekarang tidak dibunuh, kelak dia pasti memiliki kungfu yang tak dapat dibayangkan.

"Ciu Cian Jen, kau pasti mati! Silakan menyerang duluan!"

"Semula aku mengira suhu salah menilaimu, ternyata kau memang begitu rendah! Ouw Yang Hong, kau adalah penjahat besar, maka harus mati!" sahut Ciu Cian Jen.
Ouw Yang Hong menatapnya dengan dingin.

"Oh, ya? Aku yang harus mati atau kau yang akan mati?"

"Kau harus mati!" sahut Ciu Cian Jen sengit.

Dia langsung melancarkan sebuah pukulan ke arah Ouw Yang Hong dengan sekuat tenaga. Ouw Yang Hong tidak membiarkan badannya terpukul, sebab apabila terpukul pasti akan terluka parah. Oleh karena itu, segera mengerahkan ginkang Hong Hoang Lak untuk mencelat ke atas.

Bukan main terkejutnya Ciu Cian Jen. Dia tahu ginkangnya masih berada di bawah Ouw Yang Hong, begitu pula lwee kangnya. Dia menjadi putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa.

Sedangkan Ouw Yang Hong sudah meluncur ke bawah, sekaligus menotok jalan darah Ciu Cian Jen, sehingga membuatnya tidak bisa bergerak.

Pemuda itu tidak tampak takut. Sepasang matanya terus menatap Ouw Yang Hong dengan tajam.

Bokyong Cen yang diam dari tadi, mendadak membuka mulut.

"Ouw Yang Hong! Kalau kau membunuhnya, aku pasti bunuh diri di hadapanmu!"
Ouw Yang Hong langsung diam di tempat. Dia tahu apa yang diucapkan Bokyong Cen, pasti dilaksanakannya.

"Kakak Bokyong, cepatlah kau pergi! Aku tidak bisa memperdulikanmu lagi, sebab aku akan bertarung mati-matian dengan Ouw Yang Hong," kata Ciu Cian Jen.

Ouw Yang Hong tertawa dingin. Ciu Cian Jen akan bertarung dengannya, sudah pasti pemuda itu akan celaka. Ketika Bokyong Cen dan Ciu Cian Jen memunguti lilin-lilin itu, boleh dikatakan sama sekali tidak memandang sebelah mata padanya, sehingga menimbulkan kemarahan besar dalam hatinya.

Perlu diketahui, Ouw Yang Hong adalah murid pewaris si Racun Tua! Siapa berani meremehkannya? Seandainya Bokyong Cen memandang rendah dirinya, tidak jadi masalah. Namun kalau Ciu Cian Jen berani memandang h padanya, Ouw Yang Hong tentu amat penasaran.

Ouw Yang Hong memandang Bokyong Cen. Tampak wanita itu mendongakkan kepala, tangannya menggenggam sebilah pedang pendek. Begitu melihat pedang pendek itu, Ouw Yang Hong ter-ingat akan kejadian di gurun pasir bersama Bokyong Cen, dan itu mengurangi niat jahatnya. Baik! Aku akan melepaskan Ciu Cian Jen, membiarkannya pergi, tidak akan membunuhnya agar hati Bokyong Cen tidak merasa kesal. Dia akan melahirkan anakku, bagaimana aku tidak gembira? Begitu kata dalam hatinya.

Setelah berkata dalam hatinya, Ouw Yang Hong berkata kepada Ciu Cian Jen perlahan-lahan.

"Baiklah! Aku memandang muka kakak iparku, maka nyawamu kuampuni!"

Ciu Cian Jen diam. Dia tahu dirinya bukan lawan Ouw Yang Hong.

Di saat bersamaan, mendadak Bokyong Cen terkulai, kemudian berteriak-teriak dengan suara gemetar.

"Ouw Yang Hong! Ouw Yang Hong! Kau .. ."

Ouw Yang Hong tidak tahu apa yang terjadi. Dia segera mendekatinya. Tampak wajah Bokyong Cen pucat pias dan terdengar ucapannya terputus-putus.

"Ouw Yang Hong, anakmu . . . anakmu sudah mau lahir . . ."

Tiba-tiba wajah Bokyong Cen berubah lembut. Dia hampir mau jadi seorang ibu, maka rasa kesal dalam hatinya sirna entah ke mana. Yang dipikirkannya hanya bagaimana cara melahirkan anaknya.

Ciu Cian Jen yang masih muda itu, tidak tahu apa yang terjadi. Dia langsung mendekati Ouw Yang Hong seraya bertanya.

"Ouw Yang Hong! Kakak Bokyong kenapa? Dia kenapa? Apakah tadi kau melukainya?"

"Omong kosong! Siapa yang melukainya? Dia akan melahirkan anakku! Kau tahu tidak?"

Ciu Cian Jen memandang Ouw Yang Hong. Dalam mata penjahat itu justru menyorot sinar yang amat lembut.

"Cepatlah kau pergi sebelum pikiranku berubah! Cepatlah pergi! Kalau tidak, aku pasti akan membunuhmu!" kata Ouw Yang Hong.

"Aku tidak akan pergi. Aku telah menerima perintah dari suhu untuk menjaganya, lebih baik kau yang pergi!" sahut Ciu Cian Jen.

Ouw Yang Hong gusar bukan main, karena Ciu Cian Jen berkeras tidak mau pergi.

"Dia mau melahirkan, mau apa kau di sini?" bentaknya keras.

"Kau memanggilnya kakak ipar. Dia mau melahirkan anak tentunya anak itu bukan anakmu! Kau adalah penjahat besar berhati kejam, siapa tahu kau akan mencelakai Nona Bokyong!" kata Ciu Cian Jen.

"Bagaimana mungkin aku akan mencelakainya, dia adalah familiku . . ." kata Ouw Yang Hong dingin.

"Kau punya nama baik apa, bisa membuatku mempercayaimu? Orang-orang yang kau bunuh itu, apakah bukan familimu? Kau membantai habis para penghuni perkampungan Liu Yun Cun! Nah, bukankah kau adalah orang yang paling jahat di perkampungan itu?" sahut Ciu Cian Jen.
Ouw Yang Hong menatapnya tajam.

"Kau tidak takut mati?"

"Kau sudah keliru. Orang Tiat Ciang Pang semuanya tidak takut mati!" sahut Ciu Cian Jen.

"Baik! Baik! Kau cukup gagah, aku tidak akan membunuhmu, juga tidak membiarkanmu pergi!" kata Ouw Yang Hong.

Ouw Yang Hong langsung mendorong Ciu Cian Jen. Tenaga dorongannya amat kuat, sehingga membuat Ciu Cian Jen terpental dan merasa pusing sekali. Dia roboh telentang, tapi segera bangkit berdiri lalu menerjang ke arah Ouw Yang Hong.
Ouw Yang Hong mengerutkan kening sambil berpikir. Kakak ipar hampir melahirkan anak, namun pemuda ini masih begitu gegabah, tentunya akan mengganggu. Kalau aku tidak membunuhnya, bagaimana mungkin aku bisa merawat Bokyong Cen?

Berpikir sampai di situ, Ouw Yang Hong cepat-cepat menjulurkan tangannya mencengkeram bahu Ciu Cian Jen, maksudnya ingin mengerahkan lwee kang untuk menghancurkan jantung pemuda itu.

Terdengar suara 'Krek! Krek! Krek!' Bersamaan itu, Ciu Cian Jen juga merasa ada semacam hawa menerjang ke arah jantungnya.

Ciu Cian Jen tidak kuat menahan hawa itu. Dia berkata dalam hati. Kelihatannya kali ini nyawaku pasti melayang. Aku memang tidak mampu melawannya. Kalau aku mati di sini, thai susiok dan para susiok pasti girang sekali, sebab mereka tidak setuju jabatan ketua diserahkan padaku. Tapi aku tidak mau mati, tidak mau mati dengan cara demikian!

Ouw Yang Hong kelihatan seperti tahu akan apa yang dipikirkan Ciu Cian Jen. Dia tersenyum dingin seraya berkata.

"Aku tidak percaya di dunia ini ada orang yang hanya memikirkan orang lain, sama sekali tidak memperdulikan diri sendiri. Menurutku hanya terdapat dua macam orang. Begitu melihat sudah tahu dia seorang penjahat, yang semacam lagi, justru tidak dapat melihat dan memastikan bahwa dia seorang penjahat. Namun dia malah penjahat, hanya saja orang lain tidak bisa melihat wajah aslinya. Kau adalah ketua baru Tiat Ciang Pang, sebentar lagi kau akan mati. Kau bersusah payah memperoleh jabatan ketua, tapi tidak lama lagi jabatan tersebut akan berpindah pada orang lain. Apakah kau rela?"

Bagaimana mungkin Ciu Cian Jen menyahut? Saat ini dia sedang berusaha melawan terjangan hawa itu ke jantungnya. Kalau dia bersuara, pasti akan membuatnya muntah darah dan nyawanya pun sulit diselamatkan.

Ciu Cian Jen berkeluh dalam hati. Nyawanya akan melayang sehingga menyebabkannya merasa agak menyesal. Dia memandang Bokyong Cen. Tampak wanita itu amat menderita sekali. Keringat terus mengucur di keningnya, bahkan dia juga merintih.

Sementara Ouw Yang Hong terus menatap Ciu Cian Jen. Apabila dia menambah sedikit tenaga, Ciu Cian Jen pasti mati.

Di saat bersamaan, mendadak Ciu Cian Jen berkata.

"Ouw Yang Hong! Ouw Yang Hong! Cepat lepaskan tanganmu, aku ingin bicara!"

Ouw Yang Hong tertawa dingin, sama sekali tidak mau melepaskan tangannya. Bahkan dia ingin menambah tenaganya untuk menghancurkan jantung Ciu Cian Jen. Kelihatannya tidak lama lagi pemuda tersebut akan mati.

Di saat bersamaan, mendadak Bokyong Cen berseru-seru lemah memanggil Ouw Yang Hong meminta bantuan. Akan tetapi, Ouw Yang Hong tidak menggubrisnya, sebab tidak tahu Bokyong Cen bersungut-sungut atau hanya ingin mencegahnya membunuh Ciu Cian Jen.

Ketika melihat Ouw Yang Hong tidak menggubrisnya, Bokyong Cen berseru-seru lagi dengan suara gemetar.

"Ouw Yang Hong! Ouw Yang Hong . . . cepat kemari! Pegang tanganku, cepatlah kau kemari!"

Walau Bokyong Cen berseru dengan suara gemetar, namun Ouw Yang Hong tetap tidak melepaskan tangannya yang mencengkeram bahu Ciu Cian Jen. Karena di saat ini sudah sulit baginya untuk melepaskan tangannya, lantaran Ciu Cian Jen juga mengerahkan lwee kangnya untuk melawan. Apabila Ouw Yang Hong menarik kembali lwee kang yang telah dikerahkan, tentu lwee kang Ciu Cian Jen akan menerjangnya.

Justru di saat bersamaan terdengar suara yang amat nyaring menggetarkan kalbu. Ouw Yang Hong dan Ciu Cian Jen tertegun. Ternyata suara tangisan bayi. Bayi dari mana?

Karena mereka berdua tertegun, sehingga masing-masing tidak mengerahkan lwee kang, berhenti serentak lalu mendengarkan suara tangisan bayi tersebut.

Mendadak Ouw Yang Hong tersentak sadar lalu berseru-seru dengan wajah berseri penuh kegembiraan.

"Bokyong Cen yang melahirkan! Bokyong Cen yang melahirkan ..."

Ouw Yang Hong segera melepaskan Ciu Cian Jen dan berlari mendekati Bokyong Cen. Pakaian wanita itu telah berlumuran darah. Dalam pelukannya tampak seorang bayi sedang menangis nyaring.

Wajah dan sekujur badan Bokyong Cen penuh keringat, lemah, lesu dan tampak amat lelah sekali. Namun dia masih berusaha membelai-belai bayi itu dengan tangannya.
Iba juga hati Ouw Yang Hong menyaksikannya.

"Kakak ipar! Kakak ipar! Biar aku yang menggendong bayi itu, aku akan melihat keadaanmu!" katanya dengan suara ringan.

Dia juga berkata dalam hati. Anak sudah dilahirkan, tapi aku belum tahu lelaki atau perempuan. Alangkah baiknya apabila lelaki. Kalaupun perempuan, juga tidak apa-apa. Sebab dia tetap darah dagingku, keluarga Ouw Yang.

Semula Bokyong Cen masih merasa ragu menyerahkan bayi itu kepada Ouw Yang Hong, namun kemudian diserahkannya juga.

"Gendonglah baik-baik! Lihat dia ..." katanya perlahan-lahan.

Hati Ouw Yang Hong berdebar-debar. Dengan hati-hati sekali dia menggendong bayi itu. Dalam hatinya amat berterimakasih kepada Bokyong Cen.

"Ya! Ya! Aku pasti baik-baik menggendongnya. Kau beristirahatlah!" kata Ouw Yang Hong perlahan-lahan sambil manggut-manggut.

Digendongnya bayi itu kemudian dirabanya alat kelaminnya. Begitu meraba alat kelamin bayi itu dia tampak gembira sekali.

"Bagus! Bagus! Keluarga Ouw Yang punya turunan, keluarga Ouw Yang punya turunan!" serunya.

Ouw Yang Hong menggendong bayi itu sambil berjingkrak-jingkrak dan tertawa gelak seperti orang gila saking girangnya.

Bokyong Cen juga kelihatan gembira.

"Dia adalah Ouw Yang Kek?" tanyanya.

Ouw Yang Hong segera mengangkat bayi itu tinggi-tinggi, lalu menyahut sekeras-kerasnya.

"Betul! Dia lelaki, dia Ouw Yang Kek! Ha ha ha! Aku sudah punya anak, dia Ouw Yang Kek!"

Bokyong Cen amat bergirang dalam hati.

"Ouw Yang Kek, dia bernama Ouw Yang Kek . . ." gumamnya perlahan-lahan dengan suara ringan.

Setelah melahirkah, Bokyong Cen kelihatan lembut sekali. Mereka bertiga terus memandang bayi yang baru lahir itu, sehingga suasana yang tegang mencekam tadi sirna dengan sendirinya.

Ouw Yang Hong menggendong bayi itu sambil berjalan mondar-mandir.

"Kau pergi saja, jangan berada di sini. Aku ingin baik-baik menggendong anakku. Tahukah kau, aku Ouw Yang Hong sudah punya anak?"

Ciu Cian Jen melihat Ouw Yang Hong begitu gembira dan bersedia melepaskannya, hatinya menjadi terhibur.

"Ouw Yang Hong, kini kau melepaskan diriku tapi kelak aku tetap akan mencarimu membuat perhitungan!" katanya.

Ouw Yang Hong menatapnya, lalu tertawa gelak. Kini dia tidak tampak seperti orang jahat, melainkan kelihatan penuh kehapak-bapakan yang diliputi kasih sayang.

"Ciu Cian Jen, kalau kelak kau ingin mencariku, itu terserah kau saja. sekarang kau boleh pergi," sahutnya dengan gembira.

Ciu Cian Jen menjura kepada Bokyong Cen.

"Kakak Bokyong, aku mohon diri!" katanya.

Bokyong Cen tidak menahannya, juga tidak menyinggung soal rencana mereka pergi ke markas Tiat Ciang Pang.

"Ciu Pangcu, kau mau pergi?" sahutnya dengan ringan dan hambar:

Hati Ciu Cian jen amat kecewa. Kemudian dia berkata dalam hati. Kelihatan guru telah salah menilai wanita ini. Kini dia dan Ouw Yang Hong sudah punya anak dan mereka berdua pun tampak akur kembali. Mereka berdua adalah pasangan suami istri, maka sia-sia guru mengkhawatirkan wanita itu.

Berselang sesaat, dia berkata kepada Bokyong Cen.

"Kakak Bokyong, aku mau pergi, tidak akan mengganggumu lagi. Tapi aku harus membakar jasad guruku dulu, lalu abunya akan kubawa ke markas Tiat Ciang Pang."
Ketika berkata, Ciu Cian Jen juga bersikap hambar, seakan tidak begitu kenal pada Bokyong Cen.

Bokyong Cen amat cerdas. Dia sudah tahu apa yang dipikirkan Ciu Cian Jen, namun tidak mau mengungkapnya, melainkan hanya tertawa dingin.

"Ciu Pangcu, aku dengar kau sudah mengabulkan permintaan almarhum ketua lama, bahwa kau akan menjaga diriku."

"Kakak Bokyong, kelihatannya kau sudah tidak perlu kujaga lagi. Kini ada Ouw Yang Hong yang menjaga dan mengurusimu, tentunya kau akan merasa puas sekali," sahut Ciu Cian Jen.

Bokyong Cen tertawa dingin lagi lalu berkata.

"Di dunia ini ada berapa kaum lelaki yang seperti almarhum Siangkoan Pangcu, begitu baik terhadap wanita, tapi justru malah jadi seorang bodoh. Aku lihat masa depan Ciu Cian Jen cukup cemerlang, mengapa tidak segera pergi? Kalau kau tetap berada di sini, mungkin nyawamu akan terancam."

Ucapan Bokyong Cen sungguh membuat Ciu Cian Jen jadi serba salah. Pergi salah, tidak pergi pun salah.

Mendadak di luar terdengar suara derap kaki kuda, yang disusul oleh suara siulan, sehingga kuda-kuda itu pun ikut meringkik-ringkik, tak lama kemudian berhenti di depan kuil tua itu.

Saat itu Ouw Yang Hong sedang tenggelam dalam kegembiraan. Dia terus menggendong bayi itu. Di dunia ini memang harus ada yang hidup dan mati, satu pergi satu muncul. Kalaupun aku Ouw Yang Hong harus mati, tidak apa-apa. Sebab keluarga Ouw Yang sudah punya keturunan. Aku dan kakak merupakan kaum rimba persilatan. Kini kakak dan gurunya entah pergi ke mana. Aku sudah punya anak. Apabila kakak tahu, pasti girang sekali. Begitu kata dalam hatinya.
Di saat Ouw Yang Hong sedang berkata dalam hati, muncullah orang-orang itu memasuki kuil tua, lalu berdiri di hadapan mereka bertiga. Mereka adalah orang-orang Tiat Ciang Pang. Mereka semua pergi tapi kembali lagi.
Ketika melihat thai susiok dan para susiok itu,
Ciu Cian Jen segera berkata perlahan-lahan.

"Bagus sekali Susiok dan Sucou kembali lagi!"

Orang tua yang dipanggil sucou menatap Ciu Cian Jen dengan tajam, lalu menyahut dengan dingin.

"Ketika kami pergi, terus memikirkan pangcu yang seorang diri di sini. Kami tidak bisa tenang, maka segera kembali untuk menengok pangcu."

Ciu Cian Jen tidak bodoh. Dia tahu mereka kurang menyetujuinya diangkat menjadi ketua, tidak mungkin menaruh perhatian padanya. Mereka kembali, sudah pasti punya suatu rencana. Namun Ciu Cian Jen tidak mengungkapnya, hanya tertawa dingin.

Sementara Ouw Yang Hong terus menggendong bayi itu. Melihat bayi tersebut tidak memakai baju, hanya dibungkus dengan mantel Bokyong Cen, Ouw Yang Hong segera membuka baju luarnya, digunakan untuk membungkus bayi itu. Ternyata Ouw Yang Hong khawatir bayi itu akan kedinginan.

Dia mendekati Bokyong Cen, kemudian berlutut di hadapannya seraya berkata dengan lembut.

"Kakak ipar, keadaanmu sudah membaik? Keluarga Ouw Yang sudah punya turunan. Dia adalah Ouw Yang Kek, lihatlah! Dia mirip kau dan mirip aku . . ."

Usai berkata demikian, Ouw Yang Hong tertawa gelak. Suara tawanya penun mengandung kegembiraan.

Wajah Bokyong Cen juga berseri-seri penuh diliputi kelembutan.

"Ouw Yang Kek! Ouw Yang Kek! Ternyata dia Ouw Yang Kek . .." katanya dengan suara rendah.

Ternyata Ouw Yang Hong pernah bilang padanya, kalau melahirkan anak lelaki, akan dinamai Ouw Yang Kek, dan apabila anak perempuan, akan dinamai Ouw Yang Giok.

Ouw Yang Hong terus memandang bayi itu. Ouw Yang Kek, Ouw Yang Kek! Kau adalah turunan keluarga Ouw Yang. Begitu lahir kau sudah merupakan tuan muda Perkampungan Pek Tho San Cung. Kau akan hidup senang, mewah dan disanjung semua orang.

Sementara Ciu Cian Jen memberi hormat kepada orang tua itu, lalu berkata dengan sungguh-sungguh.

"Hwa sucou, mari kita pergi!"

Orang tua itu tertawa, lalu menyahut dengan suara parau.

"Kau memang harus pergi, namun kau tidak bisa pergi lho!"

Ciu Cian Jen tercengang ketika mendengar ucapan orang tua itu.

"Apa maksud ucapan sucou?" tanyanya.

Orang tua itu benama Hwa Sen Tit. Dia amat angkuh dalam partai Tiat Ciang Pang. Mengandal pada kedudukannya sebagai tingkatan tua, maka dia tidak memandang sebelah mata pun pada Siangkoan Wie. Kini Ciu Cian Jen menggantikan ke-dudukan Siangkoan Wie sebagai pangcu, lagi pula usianya masih begitu muda, bagaimana mungkin Ciu Cian Jen berada dalam matanya?

"Ciu Cian Jen, setiap generasi yang diangkat sebagai ketua, rata-rata sudah terkenal dan amat gagah. Tapi sampai di tangan Siangkoan Wie, Tiat Ciang Pang justru mengalami kemerosotan, dan bahkan memilihmu menggantikan kedudukannya. Bukankah akan menjadi bahan tertawaan kaum rimba persilatan? Hari ini, aku dan para susiokmu berada di sini, menghendakimu mengembalikan Telapak Besi itu, lalu kau membunuh diri dan mulai sekarang Tiat Ciang Pang tiada hubungan lagi denganmu."

Ciu Cian Jen tidak tampak gugup dan panik. Dia menengok kesana kemari, melihat para susiok itu terus menatapnya dengan bengis. Ciu Cian Jen sudah tahu bahwa mereka semua bersekongkol untuk membunuhnya.
Kemudian dia memandang salah seorang susioknya, yang kebetulan sedang melirik ke arahnya dengan kepala tertunduk.

"Liau susiok, aku pikir kau pun setuju apabila aku meletakkan jabatan ketua. Ya, kau?"

Yang dipanggil Liau susiok itu i ernama Liau Jauw Sing. Dia amat akrab dengan almarhum Siangkoan Wie. Saat ini dia bersama susiok dan para sutenya kemari untuk membunuh Ciu Cian Jen, itu membuatnya merasa tidak enak dalam hati. Maka, dari tadi dia diam saja, sama sekali tidak herani mengeluarkan suara. Kini ditanya langsung oleh Ciu Cian Jen, dia pun menyahut.

"Ciu Cian Jen, lebih baik kau meletakkan jabatan ketua saja! Biar Hwa susiok yang menggantikanmu!"

Ciu Cian Jen mendongakkan kepala seraya tertawa gelak. Namun kemudian suara tawanya berubah sedih. Setelah itu dia menuding semua orang seraya berkata.

"Kalian semua adalah tingkatan tua, tentunya aku tidak bisa bicara apa-apa pada kalian! Namun mengenai jabatan ketua, adalah guru yang mengangkatku! Kalau kalian tidak setuju, mengapa tidak menentangnya ketika guru masih hidup? Kini guru sudah meninggal, barulah kalian kemari mendesakku! Apakah orang-orang Tiat Ciang Pang yang gagah berani, sudah menjadi begini?"

Hwa Sen Tit segera menyahut dengan dingin. "Gurumu bisa diangkat menjadi ketua, karena aku mengalah padanya! Kalau tidak, bagaimana mungkin dia bisa menjadi ketua Tiat Ciang Pang? Tapi setelah dia menjadi ketua, Tiat Ciang Pang malah mengalami kemerosotan. Kini kau sebagai penggantinya, tentunya Tiat Ciang Pang tidak punya muka berdiri di dunia persilatan. Ini merupakan urusan besar, mana boleh dibuat main-main?"

"Kalau begitu, mengapa kau mengatakan setuju di hadapan guruku?" kata Ciu Cian Jen.
Hwa Sen Tit tertawa.

"Siangkoan Wie menjadi ketua Tiat Ciang Pang, boleh dikatakan sudah sembilan belas tahun! Aku lihat dia hampir mati, bagaimana mungkin aku menentang keputusannya itu?" sahutnya.

"Maksud Sucou aku harus meletakkan jabatan ketua, lalu meninggalkan Tiat Ciang Pang, selanjutnya tidak boleh memperlihatkan muka di dunia persilatan? Begitu maksud Sucou kan?" kata Ciu Cian Jen sambil menatap Hwa Sen Tit.

Orang tua itu tertawa lalu menolehkan kepalanya memandang belasan orang yang berdiri di belakangnya. Setelah itu, dia berkata lagi pada Ciu Cian Jen. "Kau masih ingin pergi hari ini?"

Ciu Cian Jen tidak merasa takut.

"Kalian semua mau apa?" tanyanya dengan lantang.

Hwa Sen Tit tertawa dingin, lalu berkata dengan tegas dan sepatah demi sepatah.

"Ciu Cian Jen, hanya ada dua jalan bagimu! Kesatu adalah kau harus memutuskan urat nadimu sendiri, agar cacat seumur hidup! Kedua kau harus dibunuh orang, mati di dalam kuil tua ini! Kami akan membawa mayatmu, dimakamkan di Gunung Ngo Ci Hong markas Tiat Ciang Pang!"

Ciu Cian Jen tertawa gelak, lalu dia mengeluarkan benda kepercayaan Tiat Ciang Pang, yaitu sebuah Telapak Besi.

"Hwa Sucou menghendaki aku menyerahkan jabatan ketua padamu, bukan?" tanyanya dengan suara dalam.

"Tidak salah! Siangkoan Wie memilihmu sebagai ketua, itu merupakan kebaikannya! Kau menyerahkan jabatan ketua padaku, itu adalah atas kemauan para anggota Tiat Ciang Pang! Kau juga sudah menjadi ketua, namun itu pun sudah berlalu, maka kini kau harus mengundurkan diri!"

Hati Ciu Cian Jen amat berduka. Dia tahu bahwa kedatangan mereka untuk mencabut nyawanya. Kalau dia menyerahkan jabatan ketua, seluruh urat nadinya pun akan diputuskan, dan akan menjadi orang cacat selamanya, bahkan kemungkinan besar nyawa juga akan melayang.

Mendadak Ciu Cian Jen menjatuhkan diri di hadapan mayat gurunya. Sesaat kemudian dia mendongakkan kepalanya sambil tertawa panjang. Wajahnya kelihatan sedih dan gusar, kemudian me-ngucurkan air mata.

"Suhu! Suhu! Kau menyerahkan jabatan ketua padaku, justru thai susiok dan para susiok ingin membunuhku. Suhu, katakanlah aku harus bagai-mana?" katanya.

Setelah berkata dia lalu memandang semua orang.

"Sucou dan susiok, ijinkanlah aku membakar jasad suhu dulu, setelah itu harulah kita bertarung! Tentunya tidak akan terlambat bukan?" katanya perlahan-lahan.

Orang tua itu kelihatan kurang setuju, namun Liau Jauw Sing segera maju lalu memberi hormat pada Hwa Sen Tit seraya berkata.

"Susiok, menurutku lebih baik membakar jasad Siangkoan Pangcu dulu!"
Hwa Sen Tit mengerutkan kening sambil berpikir. Beberapa saat kemudian barulah orang tua itu manggut-manggut.

"Baiklah!"

Ciu Cian Jen bangkit berdiri. Namun ketika dia ingin berjalan pergi, mendadak beberapa paman gurunya mengurungnya. Ciu Cian Jen tidak berkata apa pun, hanya menatapnya mereka dengan dingin.

"Mau apa pangcu pergi?" tanya Hwa Sen Tit.

"Mau mencari kayu untuk membakar jasad suhu," sahut Ciu Cian Jen.
Hwa Sen Tit tertawa dingin.

"Itu urusan kecil, tidak perlu Pangcu turun tangan sendiri!" Kemudian dia berseru;. "Kalian kemari!"

Tampak beberapa orang berpakaian hitam langsung mendekatinya, sekaligus memberi hormat.

Hwa Sen Tit membalas hormat lalu memberi perintah.

"Cepat cari kayu!"

Mereka mengangguk lalu cepat-cepat mencari kayu di sekitar kuil tua itu. Hasilnya mereka kumpulkan dekat tembok yang telah runtuh terhantam pukulan Ouw Yang Hong tadi. Setelah itu, mereka menggotong jasad Siangkoan Wie ke atas tumpukan kayu itu.

Ketika mereka baru mau menyalakan api, mendadak terdengar suara bentakan yang mengguntur. "Tunggu!"

Ternyata yang membentak itu adalah Liau Jauw Sing. Wajah orang itu tampak kelam.
"Ciu Cian Jen, siapa yang membuat jasad su-heng menjadi begini?" tanyanya.
Pertanyaan orang itu menimbulkan suatu ide dalam hati Ciu Cian Jen. Dia segera menundukkan kepala dengan air mata bercucuran, lalu menyahut perlahan.

"Susiok, tadi suhu belum mati, hanya karena terjadi percekcokan dengan Ouw Yang Hong. Ouw Yang Hong menggunakan Ha Mo Kang merubuhkan tembok, dan reruntuhan tembok itu menimpa suhu hingga mati."

Betapa gusarnya Liau Jauw Sing mendengar itu.

"Ouw Yang Hong! Apa hebatnya Ouw Yang Hong hingga berani menghina orang Tiat Ciang Pang?"

Para susiok dan thai susiok itu memang merasa malu punya rencana untuk membunuh Ciu Cian Jen yang masih muda. Namun mereka tetap mendongkol karena Ciu Cian Jen terpilih menjadi ke-tua. Saat ini ada urusan lain, maka masing-masing ingin melampiaskan rasa mendongkolnya. Namun sasaran mereka justru dialihkan pada Ouw Yang Hong. Itulah ide dalam hati Ciu Cian Jen.

Salah seorang thai susiok tertawa dingin, kemudian berkata dengan sinis kepada Ouw Yang Hong.

"Ouw Yang Hong? Apakah dia memilih kepandaian hebat hingga berani menghina ketua Tiat Ciang Pang? Berarti dia menghina kita semua! Maka dendam ini harus dibalas!"

Saat itu hati Ouw Yang Hong sedang gembira. Dia tetap berlutut di hadapan Bokyong Cen sambil memandang bayi yang baru lahir itu, sama sekali tidak memperdulikan orang-orang Tiat Ciang Pang.

Mendadak Ouw Yang Hong tersentak. Ternyata di hadapannya telah berdiri belasan orang berpakaian hitam. Mereka tak bersuara.
Kebetulan hati Ouw Yang Hong sedang gembira, maka ketika berbicara juga ramah sambil tertawa-tawa.

"Hei! Hei! Tolong kalian agak menjauh sedikit, jangan menghalangiku yang sedang memandang anak!"

Mereka tidak menggubris, tetap mengepung Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen. Akan tetapi, Ouw Yang Hong kelihatan amat sabar, tidak mem-perdulikan sikap mereka.

Hwa Sen Tit gusar sekali dalam hati, namun dia sudah tahu tentang diri Ouw Yang Hong dan sepak terjangnya. Oleh karena itu dia tidak berani bertindak sembarangan.
Akan tetapi, Liau Jauw Sing justru tidak dapat mengendalikan diri. Dia memandang Ouw Yang Hong seraya membentak.

"Ouw Yang Hong, kau telah mencelakai suhengku, maka kau harus mengganti nyawanya!"

Sementara Ouw Yang Hong terus memandang bayi itu. Hatinya pun berubah lembut sekali. Aku bersama wanita-wanita cantik itu, memang merasa gembira, tapi tidak sedemikian girang. Ternyata orang kalau sudah punya anak, pasti sedemikian girang. Kini aku sudah punya anak, selanjutnya tidak usah menyibukkan diri lagi di dunia persilatan, lebih baik diam di rumah mendidik anak.

Bahkan juga hidup bahagia bersama Bokyong Cen, setiap hari bersenda gurau. Bukankah itu amat menggembirakan? Katanya dalam hati.

Wajahnya tidak tampak dingin dan bengis lagi.

"Kalian jangan menggangguku! Selesaikan saja urusan kalian itu! Tadi secara tidak langsung aku membunuh Siangkoan Wie. Aku merasa amat menyesal, namun dia memang sudah sekarat. Kalaupun aku tidak membunuhnya, dia akan mati juga."

Apa yang dikatakan Ouw Yang Hong, sudah pasti tidak dapat diterima oleh para anggota Tiat Ciang Pang. Sebab Siangkoan Wie akan mati cepat atau lambat, itu urusan Tiat Ciang Pang, tiada sangkut pautnya dengan Ouw Yang Hong. Yang jelas Siangkoan Wie mati di tangan Ouw Yang Hong. Apabila tentang kematian itu tersiar di dunia persilatan, di mana Tiat Ciang Pang menaruh muka? Oleh karena itu pihak partai tersebut bertekad membunuh Ouw Yang Hong.

Mendadak terdengar suara aba-aba, dan seketika belasan orang Tiat Ciang Pang langsung berjalan mengitari Ouw Yang Hong, kecuali Ciu Cian Jen. Mereka menatap Ouw Yang Hong dengan tajam, siap melancarkan serangan.

Menyaksikan gerak-gerik mereka itu, Ouw Yang Hong tertawa dingin dalam hati. Namun dia justru malah membelai-belai wajah bayi itu.

Bersambung

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar