-------------------------------
----------------------------
Bab 12
Ouw Yang Hong dan Bokyong Cen
tidak kuat berdiri lama di tempat itu, karena hawanya sangat dingin. Keduanya
menengok ke sana ke mari, ingin mencari suatu tempat yang tidak terlalu dingin.
Namun goa itu seluruhnya terdiri dari batu es.
Kini mereka semakin merasa
kedinginan. Selain itu mereka mulai lapar. Akhirnya terpaksa mendekati Pek Bin
Lo Sat.
"Lo Cianpwee, apakah di
sini tiada tempat yang hangat?" tanya Ouw Yang Hong.
Pek Bin Lo Sat diam saja.
Bokyong Cen pun ikut berkata.
"Cianpwee berkepandaian
tinggi, tentunya dapat melawan hawa dingin di dalam goa ini. Tapi aku dan
saudara Ouw Yang tidak dapat bertahan, mohon Lo Cianpwee memberi
petunjuk!"
Pek Bin Lo Sat menatap mereka
seraya menyahut.
"Tempat ini memang
dingin, hati pun jadi beku. Kalau bukan suatu hal, bagaimana dingin dan panas
jadi satu?"
Tertegun Ouw Yang Hong
mendengar itu, lalu berpikir. Kelihatannya guru kakakku memberitahukan, bahwa
dia pun terpaksa tinggal di dalam goa es ini, maka harus bertahan hidup dalam
kedinginan.
Di saat Ouw Yang Hong sedang
berpikir, Bokyong Cen berteriak-teriak.
"Aku akan mati
kedinginan! Aku akan mati kedinginan!"
Pek Bin Lo Sat tidak
memperdulikan gadis itu, dia meloncat turun lalu menyambar Ouw Yang Hong, dan
langsung dibawanya ke atas batu es itu. Begitu berdiri di atas batu es itu, Ouw
Yang Hong langsung menggigil.
"Cianpwee, batu es ini
amat dingin ..." ujarnya dengan suara gemetaran.
Pek Bin Lo Sat tertawa.
"Ini adalah batu es
ribuan tahun, tentunya amat dingin sekali!"
Ouw Yang Hong terbelalak. Dia
merasa tak memiliki lwee kang yang tinggi, bagaimana mungkin dapat melawan hawa
dingin itu.
Menyaksikan Ouw Yang Hong
menggigil kedinginan, Bokyong Cen jadi tercengang seraya berpikir. Aku dan dia
sama-sama berada di dalam goa es ini, tapi mengapa dia tidak dapat bertahan,
bahkan menggigil kedinginan? Apakah batu es yang diduduki Pek Bin Lo Sat itu
jauh lebih dingin? Bokyong Cen menjulurkan tangannya meraba batu es itu. Rasa
dingin langsung menyerang telapak tangannya, itu membuatnya terkejut bukan
main!
Sedangkan Ouw Yang Hong sudah
tidak tahan, dia ingin meloncat turun dari batu es itu, tapi mendadak Pek Bin
Lo Sat berkata.
"Aku dengar dari anak
Coan, bahwa kau tidak mau belajar ilmu sastra lagi, melainkan ingin
berkecimpung dalam rimba persilatan jadi seorang pendekar. Namun kau harus
tahu, tidak gampang belajar ilmu silat, sebab harus tahan derita. Misalnya batu
es ribuan tahun ini, dinginnya sampai menusuk ke dalam tulang sumsum, tapi
tahukah kau? Batu es ini justru merupakan suatu benda mustika bagi orang yang
belajar ilmu silat! Apabila kau dapat bertahan beberapa waktu, berarti kau
dapat menahan derita dan akan berhasil menguasai ilmu silat tingkat
tinggi!"
Mendengar itu, Ouw Yang Hong
jadi tertarik dan berusaha menahan rasa dinginnya. Dia duduk di hadapan Pek Bin
Lo Sat. Dirasakan badannya semakin menggigil. Rasa dingin itu pun merasuk ke
dalam aliran darahnya, membuatnya jadi seperti manusia es.
Dia tahu lwee kangnya masih
dangkal, kalau tak untung dia akan mati kedinginan. Tapi dia tetap berkeras
hati. Meski akan mati kedinginan, dia tetap harus duduk di atas es itu. Hatinya
sudah bulat bertekad.
Sementara Bokyong Cen terjadi
beringsut mundur dari batu es itu. Ia tahu betapa dinginnya. Ketika melihat Ouw
Yang Hong berkeras hati duduk di atas es itu, dia kelihatan gelisah sekali.
"Bodoh sekali kau! Batu
ini amat dingin, sedangkan kau berkepandaian rendah, jangankan berlama-lama,
sesaat saja kau pasti mati beku!" teriak gadis itu.
Walau Bokyong Cen berseru
dengan suara keras, Ouw Yang Hong malah memejamkan matanya, tidak memperdulikan
seruan gadis itu.
Beberapa saat telah berlalu,
wajah Ouw Yang Hong tampak berubah putih kehijau-hijauan. Bibirnya pun sudah
kebiru-biruan. Hawa dingin telah menjalar ke seluruh tubuhnya, sedangkan dia telah
kehilangan kesadaran.
Ketika dia kembali tersadar,
tampak goa itu telah diterangi nyala obor-obor. Tampak pula Ouw Yang Coan dan
Bokyong Cen menatapnya dengan penuh perhatian.
Ouw Yang Hong tercengang,
karena dadanya terasa hangat dan sekujur badan pun terasa nyaman sekali.
"Adik, guruku telah
menyelamatkanmu!" Berkata tiba-tiba Ouw Yang Coan.
Ouw Yang Hong terbelalak
mendengar itu. Dia menoleh ke arah Pek Bin Lo Sat dengan tidak mengerti.
Pek Bin Lo Sat menoleh ke arah
Ouw Yang Coan.
"Anak Coan, aku lihat dia
cukup gagah dan bertulang bagus. Kalau dia belajar ilmu silat, keherhasilannya
kelak pasti tidak berada di bawahmu!"
Dengan penuh gembira Ouw Yang
Hong langsung bersujud di hadapan Pek Bin Lo Sat.
"Ouw Yang Hong memang
ingin belajar ilmu silat, harap guru menyempurnakan diriku!" ujarnya penuh
harap.
Ouw Yang Hong yang tidak
begitu tahu peraturan rimba persilatan mengira guru kakaknya adalah juga
gurunya, maka memanggil Pek Bin Lo Sat sebagai guru pula.
Pek Bin Lo Sat tertawa.
"Anak Coan, perlukah aku
menerima adikmu sebagai murid?"
Ouw Yang Hong memandang Ouw
Yang Coan dengan wajah berseri-seri. Pek Bin Lo Sat bertanya demikian pada
kakaknya, tentu orang ini bersedia menerimanya sebagai murid, tentu kakaknya
pasti setuju.
Akan tetapi, mendadak Ouw Yang
Coan menjatuhkan diri berlutut di hadapan Pek Bin Lo Sat.
"Guru, keluarga Ouw Yang
hanya mengandalkan pada adikku, dia harus punya keturunan. Biar teecu saja yang
ikut guru pergi menuntut balas, jangan menerimanya! Harap guru mengabulkan permohonan
teecu!"
Apa yang dikatakan Ouw Yang
Coan membuat Ouw Yang Hong terheran-heran, sama sekali tidak mengerti. Kalaupun
Pek Bin Lo Sat punya musuh besar, cari saja musuh besar itu dan membunuhnya,
bukankah urusan jadi beres? Mengapa kakaknya harus mengungkit tentang itu? Aku
ingin berguru pada Pek Bin Lo Sat, lalu apa hubungannya dengan keturunan
keluarga Ouw Yang? Apa-kah setelah aku berguru pada Pek Bin Lo Sat, seumur
hidup tidak boleh kawin dan punya anak? Ouw Yang Hong betul-betul merasa tak habis
pikir.
Mendengar percakapan mereka,
Bokyong Cen sama sekali tidak turut campur. Gadis itu cuma diam saja.
Sementara Ouw Yang Coan terus
memandang Pek Bin Lo Sat. Kelihatannya dia sedang menunggu jawaban gurunya itu.
Oleh karena itu, Ouw Yang Hong
berpikir lagi, Kakak berkepandaian amat tinggi, merupakan jago nomor satu di
daerah See Hek, sedangkan diriku tak berguna sama sekali, selalu dihina dan
dipermainkan orang. Kalau guru kakakku tidak mau mengajarku ilmu silat, aku
harus cari siapa untuk belajar ilmu silat?
Setelah berpikir begitu, Ouw
Yang Hong pun bangkit berdiri dan mendekati Bokyong Cen. Apabila Pek Bin Lo Sat
tidak mau mengajarnya ilmu silat, lalu untuk apa berada di dalam goa es itu?
Ouw Yang Hong memandang Bokyong Cen. Ternyata dia teringat akan seruan gadis
itu yang penuh perhatian ketika dirinya duduk di atas batu es. Namun dia tidak
mengucapkan apa pun.
Pek Bin Lo Sat tetap duduk
diam di atas batu es. Berselang sesaat, dia berkata dengan suara rendah.
"Anak Coan, kemarilah
kau!"
Ouw Yang Coan segera mendekati
Pek Bin Lo Sat yang memandangnya.
"Anak Coan, kau pernah
mengatakan bahwa di Tionggoan telah muncul sebuah kitab Kiu Im Cin Keng.
Setelah kupikir-pikir, harus memperoleh kitab tersebut. Kepandaian musuhku itu
amat tinggi sekali. Walaupun kita bergabung, mungkin masih bukan lawannya.
Lagipula dia sudah belasan tahun tidak memunculkan diri dalam rimba persilatan,
tentu kepandaiannya bertambah tinggi. Karena itu, kau boleh ke Tionggoan
mencari kitab pusaka tersebut. Siapa tahu kau akan memperolehnya, sehingga
kelak kita dapat menuntut balas dendam itu!"
Ouw Yang Coan manggut-manggut.
Sementara Pek Bin Lo Sat memandang Bokyong Cen seraya tersenyum.
"Nona, kau dari keluarga
di Kang Lam. Panorama di Kang Lam amat indah, tidak seperti di daerah See Hek.
Oleh karena itu, kau ikut anak Coan ke daerah selatan, dia bisa menjagamu dalam
perjalanan!"
Betapa girangnya Bokyong Cen,
yang tak menduga Pek Bin Lo Sat akan mengatur demikian.
Gadis itu buru-buru maju, lalu
memberi hormat pada Pek Bin Lo Sat.
"Terimakasih,
Cianpwee!"
Pek Bin Lo Sat tesenyum sambil
manggut-manggut, sedangkan Ouw Yang Hong amat kesal dalam hati. Kakakku pergi
ke Kang Lam ditemani nona Bokyong Cen, dalam perjalanan mereka berdua pasti
bersenda gurau sambil menikmati keindahan alam. Sebaliknya aku harus tetap
berada di dalam goa es ini menemani guru kakak. Berpikir begitu, dia pun
berseru sekeras-kerasnya.
"Kakak, kau kurang tahu
jalan menuju ke Tionggoan, biar aku yang menemanimu ke sana!"
Ouw yang Coan menyahut,
"Adik, lebih baik kau menungguku di sini, aku pergi paling lama satu
tahun, mungkin setengah tahun aku sudah pulang!"
Ouw Yang Hong mengerutkan
kening. Berada di dalam goa es ini setengah hari rasanya seperti sudah setengah
tahun. Bagaimana kalau harus menetap selama setengah tahun atau setahun? Dia
berkata dengan kening berkerut-kerut.
"Kakak ke Tionggoan,
harus kenal beberapa orang di sana! Kalau tidak, begitu kakak muncul, pasti
akan dianggap sebagai musuh, itu amat merepotkan!"
Pek Bin Lo Sat terus mendengar
percakapan itu. Dia tahu kalau Ouw Yang Hong lehih cerdik dari Ouw Yang Coan.
Apahila mereka bergahung, kemungkinan besar akan berhasil memperoleh kitab Kiu
Im Cin Keng tersebut.
"Ouw Yang Hong, kau kenal
kaum rimba persilatan Tionggoan?" tanya Pek Bin Lo Sat kemudian.
Ouw Yang Hong menyahut dengan
jujur, "Aku pernah ke Tionggoan sampai di kotaraja, berkenalan dengan Oey
Yok Su majikan Pulau Tho Hoa To, kepandaiannya amat tinggi. Aku juga melihat
seorang padri muda bergelar It Sok Taysu. Dia mengadu kepandaian dengan Oey Yok
Su. Kepandaiannya juga amat tinggi, seimbang dengan Oey
Yok Su, dia berasal dari
keluarga Tayli Yun Lam ti
Mendengar nama It Sok Taysu,
mendadak sekujur badan Pek Bin Lo Sat tampak tergetar.
"Kau bilang It Sok Taysu
berasal dari keluarga Tayli Yun Lam?"
Ouw Yang Hong mengangguk.
"Tidak salah!"
"Dia mahir ilmu
telunjuk?" lanjut Pek Bin Lo Sat.
Ouw Yang Hong mengangguk lagi.
"It Sok Taysu memang
mahir ilmu telunjuk. Ketika mengadu kepandaian dengan Oey Yok Su, aku melihat
jari telunjuknya bergerak ke sana ke mari!" paparnya menjelaskan.
"Berapa usianya dan
bagaimana rupanya?"
Ouw Yang Hong tercengang,
sebab Pek Bin Lo Sat terus bertanya tentang padri tersebut.
"Usianya sekitar lima
puluhan, berwajah ramah, dan suaranya pun amat lembut. Siapa yang melihatnya,
pasti menaruh hormat padanya!"
Mendadak Pek Bin Lo Sat
tertawa terkekeh-kekeh, kemudian menyingkap rambutnya yang amat panjang itu.
"Kau lihat aku, kira-kira
berapa usiaku?" tanyanya dengan nada sedih.
Ouw Yang Hong terheran-heran,
tidak mengerti mengapa Pek Bin Lo Sat bertanya begitu. Kelihatannya Pek Bin Lo
Sat kenal haik dengan It Sok Taysu. Tapi mereka terpisah, yang satu di Yun Lam,
yang satu lagi berada di See Hek, bagaimana saling mengenal? Melihat Pek Bin Lo
Sat begitu emosi, Ouw Yang Hong tahu pasti ada sebab-musababnya.
"Apakah jari telunjuknya
bergerak demikian?"
Pek Bin Lo Sat memperagakan
gerakan itu, Ouw Yang Hong melihat dengan penuh perhatian.
Seusai memperagakan gerakan
itu, Pek Bin Lo Sat bertanya, "Apakah hweeshio itu bergerak demikian jari
telunjuknya?"
Ouw Yang Hong mengangguk.
"Ya!"
Pek Bin Lo Sat menundukkan
kepala agak lama. Kemudian dia membuka mulut dengan suara dalam.
"Ternyata dia sudah jadi
hweeshio . . ."
Ouw Yang Coan yang sejak tadi
diam, kini mengerti, ternyata musuh perguruannya adalah It Sok Taysu, berasal
dari keluarga Toan di Tayli.
Pek Bin Lo Sat mendongakkan
kepala, dan berseru sekeras-kerasnya, "Toan kongcu (Tuan Muda Toan)! Toan
kongcu! Mengapa kau jadi hweeshio? Mengapa?"
Bersamaan itu, melelehlah air
mata Pek Bin Lo Sat. Sedangkan Ouw Yang Hong cuma terbengang-bengong tidak
mengerti sama sekali.
"Anak Coan, ada baiknya
kau ajak adikmu ke Tionggoan!"
Ouw Yang Coan mengangguk.
"Ya, Guru!"
Wajah Ouw Yang Hong
berseri-seri karena begitu gembiranya, sebab akan meninggalkan goa es yang amat
dingin itu.
Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong,
dan Bokyong Cen meninggalkan goa es. Dan setelah melewati Mok Pak, akhirnya
mereka bertiga sudah tiba di Ciau Liang.
Ciau Liang merupakan kota besar
di wilayah utara, yang terbilang ramai. Ouw Yang Hong yang rupanya banyak
mengetahui kota ini banyak memberi penjelasan kepada kakaknya dan Bokyong Cen
diam saja.
Kemudian mereka bertiga
memasuki rumah makan. Rumah makan Ting Ih Lou yang amat terkenal di kota Ciau
Liang. Suasananya tampak tidak begitu ramai sebab bukan waktunya makan. Di
lantai atas rumah makan itu terdapat dua puluh meja. Selain mereka bertiga,
tampak ada delapan orang, mereka duduk dekat jendela, menghadapi cawan arak
dengan kepala tertunduk.
Ouw Yang Coan memperhatikan
kedelapan orang itu. Dia tahu kalau mereka memiliki kepandaian. Salah satu dari
mereka adalah wanita.
Empat orang yang duduk di sisi
kanan meja, semuanya berpakaian compang-camping. Di tubuh mereka tergantung
sembilan buah kantong kecil, delapan buah kantong kecil, dan enam buah kantong
kecil. Pakaian mereka yang compang-camping itu menyiarkan bau busuk. Sedangkan
tiga lelaki dan seorang wanita yang duduk di sisi kiri meja, semuanya
berpakaian amat indah.
Di atas meja terdapat tiga
buah guci arak. Ouw Yang Coan tahu mereka sedang menunggu orang.
Ouw Yang Hong tidak begitu
memperhatikan mereka, terus hercakap-cakap dengan Bokyong Cen. Gadis itu pun
melayaninya dengan penuh semangat.
Tak lama kemudian terdengar
suara langkah.
Tampak dua orang berjalan
menuju lantai atas. Ouw Yang Hong mendongakkan kepala memandang. Seketika
hatinya bergirang karena ternyata dia kenal kedua orang yang baru muncul itu,
yang tak lain adalah Su Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong yang pernah membawanya ke
istana mencuri makanan.
Ouw Yang Hong ingin pergi
menyapa mereka, namun dicegah oleh Ouw Yang Coan, bahkan juga diberi isyarat
agar dia tidak bersuara.
Sementara Su Ciau Hwa Cu dan
Ang Cit Kong sama sekali tidak memandang ke arah meja Ouw Yang Hong, langsung
menuju ke meja yang dekat jendela.
Ouw Yang Hong memperhatikan Su
Ciau Hwa Cu dan Ang Cit Kong. Yang membuatnya heran melihat Su Ciau Hwa Cu
kelihatan tak bersemangat. Dia mengenakan pakaian yang amat aneh,
berlubang-lubang tapi amat bersih. Dia dan Ang Cit Kong menuju ke meja itu
dengan wajah muram. Duduk di salah sebuah kursi yang kosong, ke-mudian
manggut-manggut pada kedelapan orang itu.
Ouw Yang Coan terus
memperhatikan mereka, sementara Su Ciau Hwa Cu sudah duduk, namun tiada seorang
pun bersuara. Berselang sesaat, barulah Su Ciau Hwa Cu membuka mulut.
"Arak wangi! Arak wangi!
Ini adalah arak wangi berusia lima puluh tahun, aku harus minum secawan!"
Su Ciau Hwa Cu mulai meneguk
arak wangi itu. Sekejap saja sudah menghabiskan sembilan cawan.
Delapan orang yang duduk di
sisi kiri kanan meja sama sekali tidak bersuara. Mereka memandangi Su Ciau Hwa
Cu yang meneguk arak wangi.
Tiba-tiba salah seorang yang
berpakaian mentereng berkata.
"Pengcu (Ketua), lihat .
. ."
Belum juga orang itu usai
berkata, Su Ciau Hwa Cu sudah membentak keras.
"Jangan panggil aku
pangcu, kalian jangan panggil aku pangcu! Apa gunanya aku jadi pangcu kalian?
Setiap hari kalian cuma berkelahi, sebentar disebut partai Baju Mentereng,
kemudian jadi partai Baju Kembang, membuat kepalaku sakit sekali. Sekarang aku
punya usul, lagipula kalian pun sudah melihat pakaianku ini. Separuh adalah
pakaian mentereng, separuhnya lagi merupakan pakaian kembang, pertanda adalah
partai Baju Mentereng dan partai Baju Kembang! Ya kan?" Su Ciau Hwa Cu
memandang mereka sambil melanjutkan. "Tapi tidak baik aku berpakaian
demikian, karena semua orang akan menganggap diriku sebagai makluk aneh! Tidak
baik, ini sungguh tidak baik."
Orang berpakaian mentereng
berkata.
"Pangcu berpakaian begini,
memang kurang pantas . . ."
Su Ciau Hwa Cu langsung
membentak gusar.
"Kau hilang apa? Ini
tidak pantas, itu tidak pantas! Lalu aku harus berpakaian apa?"
Orang berpakaian mentereng
amat gugup ketika melihat Su Ciau Hwa Cu marah. Lalu dengan gugup dia menyahut,
"Maksudku pakaian Pangcu tidak sesuai dengan peraturan. Pangcu . . ."
Mendengar orang berpakaian
mentereng mengatakan begitu, kegusaran Su Ciau Hwa Cu memuncak, membentak
dengan suara mengguntur.
"Bagaimana pakaianku
tidak sesuai dengan peraturan kalian? Coh Lo Toa, katakanlah! Separuh pakaianku
bukankah merupakan baju mentereng? Tahukah kau, aku telah mengeluarkan hampir
lima puluh tael perak untuk membeli bahannya."
Coh Lo Toa terkejut mendapat
bentakan.
"Pakaian Pangcu memang
mentereng, persis seperti baju partai kami! Tapi . . ."
Su Ciau Hwa Cu menyelak dengan
suara lantang, "Persis ya sudah! Ayo, mari kita minum! Sungguh bagus
apabila partai Baju Mentereng kalian sudah tiada urusan lain, begitu pula
partai Baju Kembang!"
Salah seorang lelaki langsung
bangkit berdiri, memberi hormat seraya berkata, "Pangcu, apa yang
dikatakan saudara Coh memang benar. Pakaian Pangcu tidak mirip baju mentereng
juga tidak mirip baju kembang. Kami murid Kay Pang tidak mengerti sama sekali,
harap Pangcu memikirkan suatu cara yang terbaik!"
Su Ciau Hwa Cu menyahut dengan
wajah lesu.
"Sudahlah! Harus
memikirkan cara apa lagi? Kalian menyuruhku berpakaian compang-camping, yang
lain menyuruhku berpakaian mentereng. Sungguh membuatku pusing tujuh keliling,
lebih baik aku berpakaian begini saja!"
Semua orang diam. Sementara
Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong, dan Bokyong Cen sudah paham. Ternyata orang-orang
itu sedang mempermasalahkan pakaian, yang amat merepotkan ketua Kay Pang.
Ternyata pada masa itu
terdapat partai yang amat besar, yaitu Kay Pang (Partai Pengemis). Partai ini
terbagi jadi dua aliran. Aliran Baju Mentereng dan aliran Baju Kembang yang
penuh tambalan. Prinsip aliran Baju Kembang harus mengenakan pakaian yang penuh
tambalan, sedangkan aliran Baju Mentereng harus berpakaian indah. Oleh karena
itu, kedua aliran tersebut sering terjadi keributan, bahkan ketuanya
terbawa-bawa karena harus berpakaian mentereng dan berpakaian kembang. Karena
itu, ketua terpaksa membuat pakaian aneh tersebut.
Beberapa saat kemudian, Su
Ciau Hwa Cu sudah tampak tidak saharan, dia berkata pada delapan orang itu.
"Aku tidak sudi jadi
ketua kalian, aku mau pergi! Kalian mau melakukan apa, lakukan saja!" Su
Ciau Hwa Cu bangkit perlahan-lahan, setelah itu berkata lagi, "Menurutku,
kalian harus memilih seorang ketua lain. Aku sudah pusing dengan masalah
pakaian, aku tidak tahu harus berpakaian apa!"
Dengan gugup delapan orang itu
segera bangkit berdiri dan cepat-cepat menghadang kepergiannya.
"Hei! Apakah kalian
menghendaki nyawaku?" bentak Su Ciau Hwa Cu.
Su Ciau Hwa Cu ingin kabur,
tapi delapan orang itu bergerak cepat menghadangnya. Hal itu membuat Su Ciau
Hwa Cu mencak-mencak.
"Mengapa kalian
menghadangku? Lebih baik kalian duduk minum arak wangi saja!"
Delapan orang itu tetap
berdiri di hadapan Su Ciau Hwa Cu tanpa bergerak. Su Ciau Hwa Cu menatap Ang
Cit Kong.
"Kau kenapa tenang-tenang
saja? Kalau kau sudah jadi pangcu, barulah akan pusing!"
Sementara Ouw Yang Coan terus
memperhatikan Su Ciau Hwa Cu. Dia tahu kepandaian pengemis tua itu masih di
atas kepandaian gurunya. Sesunggguhnya, pengemis tua itu dapat kabur sesukanya,
tapi rupanya dia tidak mau menyinggung perasaan delapan orang itu, maka duduk
kembali.
Di saat bersamaan, mendadak
terdengar suara seman di lantai bawah.
"Siangkoan Pangcu dari
Tiat Ciang Pang (Partai Telapak Besi) datang!"
Menyusul terdengar suara
langkah menaiki tangga, tampak sembilan orang berjalan ke lantai atas. Mereka
bercakap-cakap dengan gembira. Sampai di lantai atas dan ketika melihat Su Ciau
Hwa Cu serta yang lain, mereka langsung diam.
Tampak salah seorang berbisik
perlahan.
"Pangcu, perlukah kita
pindah ke tempat lain?"
Seorang yang berdiri di
tengah-tengah mereka menyahut.
"Tidak perlu pindah, kita
duduk di sini saja!"
Orang yang berbisik itu
mengangguk, lalu mempersilakan Siangkoan Pangcu duduk. Setelah itu dia
memanggil pelayan, memesan beberapa macam hidangan dan arak wangi.
Sementara si pelayan pergi,
sembilan orang itu duduk diam menunggu hidangan disiapkan.
Dari tadi Ouw Yang Coan sudah
memperhatikan mereka. Dalam hati dia tahu, di antara sembilan orang itu
terdapat tujuh orang berkepandaian tinggi, terutama orang yang dipanggil
Siangkoan Pangcu itu. Dia berusia empat puluh lebih, sepasang tangannya
berwarna hitam sekali.
Tak seberapa lama kemudian,
pelayan mulai menyajikan semua hidangan tersebut.
Siangkoan Pangcu segera
berkata singkat.
"Cepat makan dan cepat
melanjutkan perjalanan!"
Mereka mulai bersantap
secepatnya bagaikan macan kelaparan. Namun tampak Siangkoan Pangcu itu sama
sekali tidak bersantap, hanya duduk tertegun sambil melihat semua orang yang
bersantap. Orang-orang itu tidak memperdulikannya, terus bersantap dengan
cepat.
Sebentar kemudian, seorang
pelayan membawakan seguci arak ke hadapannya. Siangkoan Pangcu itu membuka
tutup guci, lalu mencium arak di dalamnya. Ketika dia mau menuang arak ke dalam
cawannya, mendadak seorang anak kecil berpakaian compang-camping masuk dan
menuju ke hadapannya. Maksudnya ingin menuju meja orang Kay Pang, namun saking
cepatnya berlari, sehingga menyenggol lengan Siangkoan Pangcu, membuat guci
arak yang di tangan Siangkoan Pangcu terjatuh.
Anak kecil itu berseru kaget,
tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan guci arak itu terus meluncur ke bawah,
kelihatannya sulit ditangkap lagi.
Di saat bersamaan, terdengar
suara tawa Siangkoan Pangcu. Dia mengayunkan kakinya menendang guci arak itu ke
atas, lalu menjulurkan tangan menyambarnya dengan cepat.
Seorang lelaki yang berada di
situ membentak gusar, langsung mencengkeram tangan anak kecil itu.
"Kenapa kau berlari
begitu cepat seperti dikejar setan? Apakah ayah bundamu mati mendadak?"
Si anak kecil tak dapat
bersuara, dia menahan rasa sakit di tangannya karena dicengkeram oleh orang
itu.
Salah seorang lelaki lagi
ketika melihat anak kecil itu diam, langsung bangkit berdiri seraya membentak.
"Kalau aku tidak
membunuhmu, kau pasti akan berkeliaran di sini!"
Lelaki itu mengayunkan
tangannya memukul anak kecil, tapi mendadak Siangkoan Pangcu menjulurkan
tangannya menarik baju anak kecil itu.
Serrrt!
Baju anak kecil tersobek,
sehingga membuatnya menangis seketika dan berteriak-teriak.
"Kau harus ganti
pakaianku! Kau harus ganti pakaianku!"
"Kau telah menjatuhkan
guci arak pangcu kami, sudah bagus kau tidak dihukum! Apakah kau mau dipukul?"
bentak orang yang hendak memukulnya.
Ketika lelaki itu hendak
memukul anak kecil, Siangkoan Pangcu segera mencegahnya.
"Siapa namamu?"
tanyanya.
"Aku bernama Ciu Cian
Jen!" sahut si anak kecil dengan lantang.
"Nama yang bagus, Cian
Jen! Cian Jen, apakah tinggi sekali?"
Anak kecil itu menyahut.
"Aku tidak tinggi sekali.
Kakakku bernama Ciu Cian Cang, dia lebih tinggi dariku. Adik perempuanku
bernama Ciu Cian Ciok, dia lebih pendek dariku."
Sementara Ouw Yang Coan yang
memperhatikan kejadian itu, sudah siap menolong si anak kecil, apabila lelaki
itu memukulnya. Begitu pula Su Ciau Hwa Cu, tangannya memegang sebatang sumpit,
siap menyambit lelaki tersebut. Untung Siangkoan Pangcu mencegah lelaki itu
bertindak. Hal itu membuat Ouw Yang Coan dan Su Ciau Hwa Cu menarik nafas lega.
"Namaku Siangkoan Wei,
namaku tidak sebagus namamu." Siangkoan Wei berpaling pada temannya.
"Saudara Mai, kau ke toko pakaian yang di depan, belilah pakaian yang
bagus!"
Mai San tampak tak mengerti.
"Pangcu, siapa yang akan
ganti pakaian baru? Apakah Pangcu ingin ganti pakaian baru?"
"Buat apa aku ganti
pakaian haru?" sahut Siangkoan. "Kau lihat anak kecil ini! Pakaiannya
sudah compang-camping tidak karuan, kau pergi beli pakaian untuknya, dia harus
ganti pakaian baru!"
Mai San masih tidak begitu
mengerti. Tapi karena itu perintah sang Pangcu, maka dia tidak berani
membangkang, segera berlari ke toko yang di seberang.
"Di mana kakak dan adik
perempuanmu?" tanya Siangkoan Wei pada si anak kecil.
Anak kecil itu menyahut dengan
wajah muram, kemudian air matanya meleleh membasahi pipinya.
"Mereka . . . mereka
kerja di rumah orang."
Siangkoan Wei bertanya dengan
lembut, "Mereka bekerja di rumah siapa?"
Ciu Cian Jen memberitahukan.
"Mereka bekerja di rumah
dermawan Tio, kakakku bekerja sebagai budak, adik perempuanku bekerja sebagai
pelayan."
"Orang itu disebut
dermawan Tio, dia pasti baik sekali terhadap kalian kau?" ujar Siangkoan
Wei.
Mendengar itu, Ciu Cian Jen
malah menangis sedih memilukan hati.
"Akan kusuruh orang pergi
membawa kakak dan adik perempuanmu ke mari. Bagaimana?" bujuk Siangkoan
Wei lembut.
Anak kecil itu tampak
tersentak. Cepat-cepat dia menolak.
"Tidak bisa! Tidak bisa!
Kalau mereka kemari, orang-orang dermawan Tio pasti akan memukul mereka!"
Siangkoan Wei tersenyum.
"Kakakmu bekerja di sana,
dermawan Tio memberikannya berapa tael perak?"
Ciu Cian Jen menyahut.
"Tidak diberi uang tapi
hanya diberi makan saja!"
Siangkoan Wei manggut-manggut.
"Aku akan bawa kakak dan
adikmu kemari, biar mereka bekerja padaku. Setiap bulan akan kuberikan mereka
tiga puluh tael perak. Bagaimana?"
Tertegun Ciu Cian Jen
mendengar itu, sehingga mulutnya jadi ternganga lebar, kemudian memandang
Siangkoan Wei.
"Kau membohongiku? Kau
pasti membohongiku!"
Siangkoan Wei tersenyum
lembut.
"Mengapa aku harus
membohongimu?" Pangcu itu berpaling, lalu menjulurkan tangannya ke arah
seorang lelaki yang berdiri di sini. Lelaki itu segera mengeluarkan uang perak.
Siangkoan Wei mengambil uang
perak itu, kemudian ditaruhnya ke tangan Ciu Cian Jen seraya berkata.
"Ini lima puluh tael
perak, perlihatkan pada kakak dan adikmu, apakah mereka berdua mau ikut kau
kemari?"
Ciu Cian Jen masih kecil. Dia
tentu tidak pernah melihat uang perak sebanyak itu. Maka tampak
terbengong-bengong melihat uang itu.
"Aku akan beritahukan
mereka, mereka pasti mau kemari!"
Siangkoan Wei berkata pada
lelaki yang di sisinya.
"Kau pergi ke sana,
katakan pada dermawan Tio bahwa kau akan membawa kakak dan adik anak kecil ini
ke dalam Pang kita!"
Lelaki itu mengangguk dan
segera berangkat.
Ouw Yang Coan, Ouw Yang Hong,
dan Bok-yong Cen semakin tidak mengerti, mengapa Siangkoan pangcu itu berbuat
demikian. Apakah betul dia berhat-hati?
Su Ciau Hwa Cu yang
menyaksikan itu juga tidak mengerti.
***
Bersambung