-------------------------------
----------------------------
Bab 01
Orang selalu berlalu lalang
dari Selatan ke Utara, buku merupakan harta yang tak ternilai, jalanan
berliku-liku penuh bahaya.
Konon pada Dinasti Tay Song,
ketika Siauw Cong naik tahta, terjadi peperangan di perbatasan. Pasukan Kini
(Tatar) menyerbu ke dalam perbatasan Kerajaan Tay Song, sehingga menduduki
beberapa wilayah kerajaan Song, menimbulkan kesengsaraan para rakyat jelata.
Di daerah Selatan panorama
sangat indah. Di sana terdapat tempat pelesiran dan rumah makan mewah, maka
tidak heran daerah itu amat ramai. Di kotaraja, para pejabat dan hartawan hidup
bersenang dengan minuman keras serta makanan lezat, sedangkan di jalanan justru
terdapat begitu banyak mkyat jelata yang menderita, menahan lapar dan
kedinginan.
Konon ketika Kaisar Kauw Cong
melalui sebuah sungai di daerah selatan, pernah mencetuskan sumpah akan
menghancurkan pasukan Kim (Tatar). Maka rakyat pun bersatu hati menghancurkan
pasukan Kim yang menyerbu ke dalam perbatasan Kerajaan Tay Song.
Memang tidak begitu sulit
melaksanakan itu, sebab di dalam istana terdapat seorang menteri bernama Lie
Kang yang amat setia, sedangkan di perbatasan terdapat seorang jenderal yang
amat gagah berani bernama Gak Hui.
Kalau mereka bersungguh hati
untuk menghancurkan pasukan Kim, bukankah pasukan Kim yang menduduki beberapa
wilayah Kerajaan Tay Song dapat diusir sekaligus dihancurkannya?
Akan tetapi, di dalam istana
justru terdapat seorang menteri dorna, sehingga membuat Kerajaan Tay Song
menjadi berantakan. Sedangkan kaisar hanya tahu bersenang-senang dengan para
selir yang cantik jelita. Sudah barang tentu Kerajaan Tay Song menjadi bobrok
tidak karuan, rakyat jelata sengsara dan menderita.
Secara tidak langsung,
kotaraja telah berubah menjadi kota pelesiran. Para pejabat dan para hartawan
bersenang-senang siang malam, sebaliknya rakyat jelata hidup menderita dan
kelaparan.
Di sudut sebuah jalanan,
terdapat sebidang tanah yang amat luas dan di sana tampak beberapa buah gubuk
yang keadaannya sangat memperihatinkan.
Di depan salah satu gubuk itu,
terlihat belasan orang mengerumuni seseorang. Orang itu memakai jubah panjang
yang dibikin dari bahan kasar. Dia sedang bercerita dan bernyanyi, tangannya
menggenggam dua potong belahan bambu, sekaligus membunyikannya mengiringi suara
nyanyiannya.
Belasan orang mendengarkan
dengan mulut ternganga lebar, bahkan beberapa orang tampak terbelalak pula,
sedangkan orang itu terus bernyanyi.
Sejak dahulu para menteri
setia pasti mati penasaran, menteri dorna yang hidup senang dan mewah.
Menteri setia mati
meninggalkan nama harum, menteri dorna mati meninggalkan nama busuk.
Perang di sungai, membunuh
musuh dua ribu orang/ Tentara Kim berjumlah empat laksa, tentara Song hanya
ratusan, tapi dapat melawan pasukan Kim. Begitu mendengar nama Gak Hui, pasukan
Kim sudah gentar. Pasukan Kim mengakui akan kegagahan Jenderal Gak Hui. . .
Mendengar sampai di situ, para
pendengar langsung bertepuk tangan sambil berseru.
"Bagus! Bagus!"
Sungguh mengherankan, orang
itu dan para pendengar berani mencela kebusukan menteri dorna! Padahal ketika
itu, siapa yang berani mencela para pejabat, pasti ditangkap dan langsung
dijatuhi hukuman berat. Sementara orang yang bernyanyi itu melanjutkan.
Menteri dorna Cing Kwei
memfitnah Jenderal Gak Hui di hadapan kaisar, sehingga Gak Hui yang gagah
berani dijatuhi hukuman mati . . .
Ketika orang itu bernyanyi
sampai di situ, mendadak terdengar suara bentakan sengit.
"Orang bermarga Cing, aku
sudah buta bersahabat denganmu! Menteri dorna Cing Kwei berpihak pada musuh
demi hidup senang dan mewah! Aku tidak menyangka orang marga Cing berakhlak
seperti itu!"
Orang yang membentak sengit
itu adalah teman baik orang bermarga Cing tersebut. Orang bermarga Cing diam
saja sebab Cing Kwei memang menteri dorna, sedangkan dia bermarga Cing.
Setelah orang itu membentak,
yang lain pun menatap gusar kepada orang bermarga Cing tersebut.
"Hajar dia! Orang marga
Cing memang harus mampus!"
Terdengar suara seruan di
sana-sini. Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara tawa dingin.
Pada hal saat itu, hati semua
orang sedang panas, namun suara tawa dingin itu membuat hati semua orang
berubah dingin seketika.
Kemudian terdengar salah
seorang membentak.
"Siapa? Siapa yang
tertawa? Cepat tampil untuk bicara!"
Wajahnya berseri tapi
kelihatan angkuh sekali.
Dia memandang semua orang yang
berada di situ, kemudian berkata dengan suara lantang.
"Kelihatannya hati kalian
telah tergerak semua!"
"Siapa kau?" tanya
salah seorang dari mereka yang berkerumun.
Orang itu sama sekai tidak
memandang sebelah mata pun kepada orang yang bertanya. Dia menyahut dengan
angkuh.
"Siapa aku, tidak perlu
kau tahu!"
Orang yang bertanya diam
seketika, tapi semua orang yang berada di situ mulai memperhatikan orang yang
berbicara itu.
Orang tersebut berusia dua
puluhan. Wajahnya tampan tapi kelihatan lemah seperti seorang sastrawan.
Tangannya memegang sebuah kipas dan memakai jubah panjang warna abu-abu. Semua
orang tertegun menyaksikannya, dan dalam hati mereka memuji akan ketampanannya.
Berselang sesaat, salah
seorang memandangnya seraya bertanya.
"Setelah kau mendengar
Tay Song menghancurkan pasukan Kim, kenapa kau kelihatan acuh tak acuh?"
Orang itu tertawa, lalu
menyahut.
"Memang bagus cerita itu,
namun tidak perlu dibanggakan. Tay Song melaksanakan sesuatu, setelah Kaisar
Kauw Cong menyeberang sungai, sudah tiada yang berharga untuk diceritakan lagi.
Aku justru tidak habis berpikir, kalian semua hanya bisa menceritakan Tay Song,
bahkan pandai mengeritik pihak lain pula!"
Usai orang itu menyahut,
tampak seorang berbadan gemuk berteriak dengan gusar.
"Sungguh penasaran!
Sungguh penasaran!"
Salah seorang yang berdiri di
sisinya segera bertanya.
"Kenapa kau
penasaran?"
"Jelas Kerajaan Tay Song
punya pahlawan dan jenderal yang gagah berani, tapi orang itu malah bilang
tidak perlu dibanggakan. Bukankah itu sungguh keterlaluan?" jawab si
Gemuk.
Ketika berbicara, si Gemuk
mengangkat kedua tangannya saking nafsunya. Tampak sepasang tangannya berwana
hitam, pertanda dia ahli ilmu pukulan Hek Sah Ciang (Pukulan Pasir Hitam).
Apa yang dikatakan si Gemuk
tadi memang benar, maka semua orang langsung menatap pemuda tampan itu dengan
bengis, seakan ingin menelannya bulat-bulat
Semula orang yang bercerita
itu juga merasa gusar terhadap pemuda tampan tesebut.
Dia berharap semua orang
menghajarnya. Namun kini menyaksikan semua orang kelihatan begitu gusar, dia
khawatir akan terjadi sesuatu. Karena itu, dia segera berkata untuk menenangkan
semua orang.
"Apa yang dikatakan
pemuda ini juga ada benarnya. Tay Song kita memang sudah bobrok, tidak heran
dia mengatakan begitu."
Dia bermaksud baik, yakni
ingin menenangkan semua orang. Namun ketika dia baru mau melanjutkan ceritanya,
mendadak si Gemuk membentak gusar.
"Kau kira di bawah kaki
kaisar, sudah boleh bicara sembarangan?"
Semua orang langsung
membungkam dan berpikir, mungkin si Gemuk adalah perwira dalam istana, maka
berani membentak begitu.
Akan tetapi, pemuda tampan itu
malah tertawa dingin dan memandang si Gemuk seraya bertanya.
"Siapa kau?"
Si Gemuk memang berharap pemuda
tampan itu bertanya demikian, karena itu, dia tertawa gelak, lalu menyahut.
"Siapa aku? Aku justru
adalah pengawal dalam istana, Tiat Ciang (Pukulan Tangan Besi) Sui Peng!"
Orang tersebut tahu namanya
cukup terkenal di dalam atau di luar istana, maka dia memandang remeh terhadap
pemuda itu.
"Sebetulnya siapa
kau?" bentaknya.
Pemuda itu tertawa nyaring,
lalu menyahut.
"Aku adalah orang yang
tak terkenal. Maka kalaupun aku beritahukan, kau pasti tidak akan tahu."
Tiat Ciang Sui Peng
manggut-manggut, kemudian membusungkan dada sambil berkata besar.
"Tentunya kau bukan orang
yang terkenal, sebab aku tidak mengenalmu! Dalam istana hingga dunia
persilatan, aku banyak mengenal orang terkenal, maka bagaimana aku tidak tahu
tentang dirimu? Aku yakin kau bukan warga kotaraja! Sebetulnya kau berasal dari
mana?"
Pemuda itu tidak menjelaskan,
hanya tertawa ringan seraya berkata.
"Memang benar, aku bukan
warga kotaraja, melainkan datang dari daerah lain."
Tiat Ciang Sui Peng bergirang
dalam hati mendengar itu. Pemuda itu datang dari daerah lain, maka sudah pasti
bukan sanak famili pejabat tinggi kotaraja, karena itu, nyali orang tersebut
menjadi besar.
Dadanya terangkat sedikit,
kemudian tertawa seraya berkata.
"Baik, sebut
namamu!"
"Tidak apa-apa kuberitahukan
padamu, aku berasal dari Tho Hoa To (Pulau Bunga Persik) di Tong Hai (Laut
Timur). Mengenai namaku, kau juga ingin mengetahuinya?" sahut pemuda itu
acuh tak acuh.
Pemuda itu memberitahukan
tempat tinggalnya, membuat Tiat Ciang Sui Peng mengira dia takut kepadanya,
maka timbullah pikiran jahat, ingin menangkap pemuda itu untuk dijebloskan ke
dalam penjara, lalu menghukum mati padanya!
Setelah timbul pikiran
jahatnya, Tiat Ciang Sui Peng mendengus dingin dan membentak.
"Hei! Aku bertanya,
sebetulnya siapa namamu?"
Pemuda itu mengerutkan kening,
sama sekali tidak menyahut, hanya tertawa dingin.
Tiat Ciang Sui Peng tampak
gusar sekali, lalu membentak lagi.
"Cepat beritahukan
namamu!"
Pemuda itu tersenyum dingin,
kemudian menyahut dengan hambar.
"Namaku Oey Yok Su!"
Tiat Ciang Sui Peng tertegun
dan terheran-heran mendengar nama pemuda itu. Kemudian dengan mata agak
terbelalak dia bertanya.
"Sapa namamu? Oey Yok Su?
Kau Yok Su (Ahli Obat) apa? Kau mirip seorang sastrawan, bagaimana mungkin kau
adalah Yok Su? Apakah kau tukang obat keliling?"
Tiat Ciang Sui Peng salah
menduga. Dia tidak tahu bahwa Tho Hoa To di Tong Hai merupakan tempat yang amat
terkenal di kolong langit, dan Oey Yok Su adalah majikan pulau itu. Salah
seorang dari lima pesilat tangguh dalam dunia persilatan, ilmu silat Pulau Tho
Hoa To merupakan aliran tersendiri, sama terkenalnya dengan Ong Tiong Yang,
ketua Coan Cin Kauw dan Toan Hong Ya dari Tayli. Akan tetapi, sungguh sayang
sekali. Tiat Ciang Sui Peng merupakan pengawal rendahan dalam istana, sama
sekali tidak tahu pesilat tangguh dalam dunia persilatan. Tidak heran ketika
mendengar nama Oey Yok Su, malah mentertawakannya.
Wajah Oey Yok Su berubah tak
sedap dipandang, lalu dia tertawa dingin seraya berkata.
"Tidak salah, namaku
memang mirip tukang obat keliling. Aku adalah tukang obat, tentunya tidak
melanggar hukum yang berlaku di kotaraja. Ya, kan?"
Pada hal sesungguhnya, Oey Yok
Su sudah berkata sungkan terhadap Tiat Ciang Sui Peng, sebab di sini bukan
Pulau Tho Hoa To, melainkan adalah kotaraja.
Akan tetapi, Tiat Ciang Sui
Peng justru tidak tahu diri, bahkan juga tidak tahu bahwa Oey Yok Su sudah naik
darah, dia malah membentak.
"Hei! Kau tukang obat,
kenapa berani tertawa dingin di hadapanku?"
Kening Oey Yok Su langsung
berkerut. Seandainya dia mau menyudahi urusan itu, cukup baginya berkata
sungkan. Namun dia adalah Oey Yok Su, majikan Pulau Tho Hoa To, sudah pasti
tidak akan membiarkan Tiat Ciang Sui Peng bertingkah di hadapannya.
Oleh karena itu, Oey Yok Su
tertawa dingin lagi dan berkata.
"Aku tertawa dingin
lantaran melihat orang-orang Tay Song menganggap dirinya amat setia kepada
kerajaan! Tapi sesungguhnya cuma bersifat seperti kaum wanita, melihat tanah
Kerajaan Tay Song akan jatuh ke tangan suku Kim, namun masih dapat bersabar
seakan tiada urusan! Di sini hanya terdengar cerita akan kegagahan orang-orang
Tay Song, mengapa tidak menceritakan kebusukan menteri Cing Kwei, serta
kebobrokan Kerajaan Tay Song, juga tidak menceritakan Tay Song harus
mempersembahkan upeti-upeti kepada Bangsa Kim? Itu disebabkan apa?"
Semua orang yang mendengar
kata-kata itu, bersorak penuh kegirangan. Mereka sama sekali tidak menyangka,
bahwa pemuda yang tampak lemah itu ternyata begitu berani. Semula semua orang
amat gusar kepadanya, tapi kini justru malah menaruh hormat karena
keberaniannya itu.
Akan tetapi, orang yang di
hadapan pemuda itu adalah pengawal dalam istana, tentunya pemuda itu akan
celaka.
Namun di saat semua orang
mencemaskannya, Oey Yok Su malah tertawa dingin, sudah barang tentu membuat
Tiat Ciang Sui Peng melotot.
"Baik, kau sungguh
berani! Kalau begitu, kau harus mampus di dalam penjara!"
Usai berkata, Tiat Ciang Sui
Peng memukul meja yang berada di sisinya.
Bukan main terkejutnya semua
orang, ternyata Tiat Ciang Sui Peng berkepandaian tinggi, sebab meja yang
dipukulnya menimbulkan bekas telapak tangannya berwarna hitam, kelihatannya
seperti hangus terbakar. Apabila pukulan itu menghantam Oey Yok Su, bukankah
nyawa pemuda itu akan melayang?
Namun Oey Yok Su tidak tampak
terkejut, hanya tertegun memandang Tiat Ciang Sui Peng sambil tertawa dan
tangannya mengusap-usap meja tersebut sambil berkata.
"Tuan, mengapa harus
merusak meja ini?"
Oey Yok Su mengusap meja itu
perlahan, namun meja itu justru telah berubah rata. Melihat kejadian itu, semua
orang berseru.
"Lihat! Lihat! Lihat meja
itu!"
Ternyata Oey Yok Su
memperlihatkan kungfu tingkat tinggi. Walau tangannya mengusap begitu perlahan,
namun bekas telapak tangan Tiat Ciang
Sui Peng di meja itu telah
hilang, rata seperti semula.
Seandainya Tiat Ciang Sui Peng
berpengalaman, pasti tahu bahwa itu merupakan kungfu tingkat tinggi, maka dia
harus tahu diri dan segera mundur.
Akan tetapi, orang tersebut
justru berpengalaman cetek dan berpengetahuan dangkal, lagi pula menganggap
dirinya adalah pengawal dalam istana, sehingga selalu berlaku sok, tidak ingat
akan suatu pepatah, bahwa di luar langit masih ada langit, di atas gunung masih
terdapat gunung lain.
Ketika menyaksikan perbuatan
Oey Yok Su, dia malah tampak gusar sekali, dan membentak keras.
"Kau berani
mempermainkanku?"
Biasanya tiada seorang pun
berani bersikap demikian terhadapnya, karena itu, kegusarannya sudah tak
tertahan lagi, dan dia langsung menggerakkan sepasang tangannya untuk menyerang
Oey Yok Su.
Oey Yok Su sama sekali tidak
bergerak, juga tidak memperdulikannya, hanya berdiri diam di tempat, tapi
keningnya berkerut-kerut.
Sedangkan Tiat Ciang Sui Peng
hanya menggunakan tujuh bagian tenaganya karena tidak bermaksud membunuh Oey
Yok Su, hanya ingin menghajarnya.
Orang-orang langsung
menyingkir, karena pukulannya menimbulkan angin yang menderu-deru.
Perlu diketahui, Tiat Ciang
Sui Peng memang mahir ilmu pukulan Tiat Sah Ciang (Ilmu Pukulan Pasir Besi).
Ketika semua orang menyaksikan
pukulannya, segera bertepuk tangan memujinya, itu agar Tiat Ciang Sui Peng
merasa puas.
Ternyata benar, orang tersebut
merasa girang. Dia yakin namanya akan lebih terkenal, sebab semua orang pasti
akan menyebar luaskan tentang kejadian itu.
Lagi pula dia pun mempunyai alasan
tertentu untuk menghajar Oey Yok Su, karena Oey Yok Su berani menghina kaisar.
Berpikir sampai di situ, Tiat
Ciang Sui Peng semakin merasa puas, sehingga membuatnya ingin merobohkan Oey
Yok Su dalam sekali pukul.
Sedangkan Oey Yok Su tetap
berdiri diam di tempat, kelihatannya seperti tidak berani melawan, dan itu
sungguh mencemaskan semua orang. Sungguh sial pemuda yang berasal dari Pulau
Tho Hoa To itu, hari ini dia pasti celaka di tangan Tiat Ciang Sui Peng! Pikir
semua orang. Kalau tidak mati, dia pun pasti akan terluka parah!
Tiat Ciang Sui Peng tidak
tahu, bahwa Oey Yok Su masih berusaha mengendalikan diri. Sebaliknya dia malah
ingin memamerkan kepandaiannya, agar namanya lebih terkenal.
Oey Yok Su mundur, tapi Tiat
Ciang Sui Peng terus menyerangnya. Itu membuat Oey Yok Su terpaksa mundur dan
terus mundur, akhirnya punggungnya membentur tembok, maka dia sudah tidak bisa
mundur lagi.
Di saat itulah dia memandang
Tiat Ciang Sui Peng, lalu tertawa seraya berkata dengan lantang.
"Baiklah! Kegusaranmu
telah dilampiaskan. Dari tadi kau terus menyerangku, tapi aku sama sekali tidak
membalas! Kini sudah cukup kau menyerang, aku pun sudah harus pergi!"
Semua orang langsung
bersoraksorai. Mereka sudah melihat jelas, bahwa Oey Yok Su memiliki kungfu
tingkat tinggi. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia tidak terluka ketika terkena
pukulan Tiat Ciang Sui Peng?
Seandainya semua orang tidak
bersorak-sorai, mungkin Tiat Ciang Sui Peng akan menyudahi urusan itu. Namun
dikarenakan semua orang bersorak-sorai, kelihatannya seakan memuji Oey Yok Su,
itu membuat Tiat Ciang Sui Peng menjadi penasaran sekali. Sebab dari tadi dia
terus menyerang dan memukul, tapi Oey Yok Su tidak membalas dan tidak tampak
terluka, maka Tiat Ciang Sui Peng menganggap semua orang sedang men t er
lawakannya.
Di saat bersamaan, terdengar
seseorang berkata sambil tertawa, sehingga membuat Tiat Ciang Sui Peng
bertambah penasaran dan kegusarannya pun memuncak.
"Memukul tak kena malah
kelelahan! Ha ha ha . . .!"
Sesungguhnya saat itu, semua
orang memang ingin melihat Oey Yok Su menghajar Tiat Ciang Sui Peng, karena
para pengawal dalam istana, selalu bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat
jelata.
Sementara Tiat Ciang Sui Peng
menatap Oey Yok Su dengan mata melotot, kemudian mendadak menyerang lagi dengan
pukulan dahsyat.
Sedangkan Oey Yok Su sudah
tidak bisa mundur, maka terpaksa mengangkat sebelah tangannya untuk menangkis
pukulan Tiat Ciang Sui Peng.
Plak!
Terdengar suara benturan. Tiat
Ciang Sui Peng terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah. Sepasang matanya
yang melotot bertambah melotot, namun mulutnya menutup rapat.
Bukan main terkejutnya Tiat
Ciang Sui Peng. Dia tahu dirinya telah terluka dalam, sebab dadanya terasa
sakit sekali. Maka dia tidak berani membuka mulut, sebab apabla membuka mulut,
pasti menyemburkan darah segar. Itu membuatnya mengeluh dalam hati.
"Habislah! Tak kusangka
akan kalah di tangan pemuda berasal dari Pulau Tho Hoa To! Aku memperoleh ilmu
pukulan Tiat Sah Ciang dari partai Tiat Sah Ciang, tapi justru dilukai oleh
pemuda ini, selanjutnya bagaimana aku menaruh kakiku di kotaraja lagi?"
Sambil menahan rasa sakit di
dadanya, dia terus melotot i Oey Yok Su, namun nyalinya telah ciut.
Pemuda itu berkepandaian
begitu tinggi. Sebetulnya tempat apa Pulau Tho Hoa To itu? Kepandaiannya begitu
tinggi, dia berasal dari partai mana?
Tiat Ciang Sui Peng bertanya
dalam hati. Setelah rasa sakit di dadanya agak berkurang, barulah dia berkata
dengan lemah.
"Kepandaian Anda sungguh
tinggi, di luar dugaanku. Aku tun . . ."
Karena membuka mulut
berbicara, akhirnya Tiat Ciang Sui Peng memuntah darah segar.
Semua orang tahu, Tiat Ciang
Sui Peng sudah terluka parah. Betapa kagumnya mereka terhadap Oey Yok Su, sebab
yang menyerang adalah Tiat Ciang Sui Peng, sedangkan Oey Yok Su cuma mundur dan
akhirnya menangkis, tapi justru tangkisannya membuat Tiat Ciang Sui Peng
terluka parah. Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, siapa pun
tak akan percaya.
Tiat Ciang Sui Peng tahu
apabila saat ini tidak pergi, tentunya akan memperoleh ejekan dari semua orang.
Oleh karena itu, dia segera berjalan pergi dengan sempoyongan.
Semua orang tahu dia sudah
terluka parah, maka membiarkannya pergi tanpa mengejeknya.
Akan tetapi, ketika Tiat Ciang
Sui Peng baru berjalan beberapa langkah, mendadak terdengar suara bentakan.
"Berhenti!"
Apa boleh buat, Tiat Ciang Sui
Peng terpaksa berhenti. Ternyata yang membentak itu adalah Oey Yok Su. Karena
hawa kegusarannya belum reda, dia berkata dengan lantang.
"Sui Peng, katakanlah!
Kau orang Tay Song, namun bukankah seorang tolol?"
Tiat Ciang Sui Peng tidak
dapat menyahut, hanya melototi Oey Yok Su dengan mulut membungkam.
Semua orang saling memandang.
Sudah barang tentu suasana di tempat itu berubah menjadi hening sekali. Akan
tetapi tiba-tiba terdengar suara sahutan.
"Omitohud! Kalau Sui
Tayjin berniat bertobat Oey Siauhiap juga harus mengampuninya! Hud Couw (Sang
Buddha) pun pernah melakukan kekeliruan, apalagi orang awam?"
Semua orang tersentak, tidak
menyangka akan ada orang menyahut. Mereka segera menoleh, ternyata yang
menyahut itu adalah seorang padri muda, wajahnya agak merah dan tampan, tampak
lembut dan welas asih.
Oey Yok Su menatap padri muda
itu, dan seketika tahu bahwa dia bukan merupakan padri biasa.
"Apakah padri ingin
memberi petunjuk kepadaku?" tanyanya sambil tertawa dingin.
Saat ini, orang belum tahu
bahwa ilmu silat Pulau Tho Hoa To yang di laut Timur amat tinggi. Sudah barang
tentu kaum rimba persilatan pun tidak tahu dan tidak kenal akan Oey Yok Su,
majikan pulau tersebut, hanya tahu dalam dunia persilatan terdapat seorang tosu
muda dari Coan Cin Kauw bernama Ong Tiong Yang, berkepandaian tinggi dan amat
harum namanya.
Tosu muda Ong Tiong Yang
pernah memimpin rakyat melawan pasukan Kim, namun gagal. Maka sejak itu, Ong
Tiong Yang kembali ke Cong Lam San untuk memperdalam ajaran Coan Cin Kauw dan
tidak pernah berkecimpung dalam dunia persilatan lagi.
Masih terdapat keluarga Toan
di Kerajaan Tayli. Keluarga Toan turun temurun merupakan raja di Tayli, juga
amat terkenal dalam dunia persilatan, karena memiliki ilmu It Yang Ci (Jari
Sakti), ilmu yang amat tinggi dalam dunia persilatan.
Konon di Gunung Pek Tho San,
di daerah See
Hek (Bagian Barat Luar
Tionggoan) terdapat satu aliran yang memiliki ilmu silat tinggi. Aliran
tersebut tergolong tidak lurus dan tidak sesat. Ilmu silat yang dimiliki aliran
itu tidak berada di bawah keluarga Toan maupun Ong Tiong Yang dari Coan Cin
Kauw di Gunung Cong Lam San.
Sementara padri muda itu
tersenyum, kemudian menyahut.
"Aku tahu di Laut Tong
Hai terdapat sebuah Pulau Tho Hoa To. Aku pun tahu tidak lama lagi Pulau Tho
Hoa To akan terkenal dalam dunia persilatan, semua kaum rimba persilatan akan
mengetahuinya. Karena aku tahu di pulau itu terdapat seseorang, orang itu
adalah kau bernama Oey Yok Su."
Semua orang terheran-heran,
sebab kemunculan padri muda itu bukan untuk melawan Oey Yok Su, melainkan hanya
ingin berbicara panjang lebar saja.
Akan tetapi, wajah Oey Yok Su
justru berubah ketika mendengar apa yang dikatakan padri muda itu, perubahan
yang menaruh hormat kepada padri muda tersebut.
Oey Yok Su cepat-cepat
menjura, lalu berkata dengan sopan.
"Terimakasih atas ucapan
padri, di sini aku memberi hormat!"
Dengan sopan padri muda itu
pun cepat-cepat balas memberi hormat, kemudian tersenyum dan berkata lembut.
"Apa yang kuucapkan tadi
merupakan hal sesungguhnya, harap Tocu (Majikan Pulau) dapat mawas diri, dan
jangan berkepandangan seperti orang lain!"
Seusai padri muda itu berkata
demikian, wajah Oey Yok Su tampak berubah tak sedap dipandang.
"Taysu telah keliru. Aku
paling tidak mau mengerjakan dua pekerjaan di dunia ini, perlukah aku
memberitahukan kepada Taysu?" katanya dingin.
Padri muda itu tercengang.
Padahal tadi sikap Oey Yok Su begitu sopan, tapi kenapa mendadak sontak berubah
menjadi begitu? Apakah aku telah salah bicara? Padri muda itu bertanya dalam
hati. Kalaupun aku salah bicara, tidak seharusnya dia berubah menjadi begitu
dingin.
Padri muda itu memandang Oey
Yok Su, kemudian memberi hormat dan berkata lembut
"Harap Anda sudi
memberitahukan!"
Oey Yok Su tetap tertawa
dingin.
"Aku tinggal di Pulau Tho
Hoa To, tentunya tidak berpengetahuan luas. Namun aku paling benci dua macam
orang. Kesatu adalah sastrawan, karena orang macam itu selalu berbicara tentang
kebenaran, keadilan dan kebijaksanaan, namun begitu berhasil meraih kedudukan,
langsung pula menjadi kaki tangan pejabat tinggi, berlaku sewenang-wenang
menindas rakyat jelata. Aku paling benci orang macam itu. Kedua adalah orang
yang berpura-pura berbaik hati, pada hal sesungguhnya hanya ingin mengorbitkan
nama mereka, lalu mengeruk keuntugan yang berlimpah-limpah. Mereka adalah
penjahat yang bertopeng dermawan. Aku sungguh penasaran karena lahir terlambat,
kalau tidak, pasti sudah kubunuh mereka semua!"
Mendengar itu, padri muda
malah tertawa seraya berkata.
"Oey Tocu berkata
terbuka, tapi bukankah akan membunuh orang?"
"Orang semacam itu memang
harus dibunuh. Namun di kolong langit justru terdapat begitu banyak orang
semacam itu, maka tidak akan habis dibunuh. Karena itu, aku menjadi penasaran
sekali!" sahut Oey Yok Su.
Padri muda itu tersenyum.
"Omitohud! Bagaimana
menurut pendapat Oey Tocu tentang itu?"
"Menurutku, pengawal
dalam istana ini harus mati!" sahut Oey Yok Su.
Semua orang tertegun mendengar
itu. Semula mereka semua berharap Oey Yok Su menghajar Tiat Ciang Sui Peng,
namun kini pemuda tersebut justru ingin membunuhnya. Mereka semua masih
terdapat nurani dan rasa prikemanusiaan, maka ketika Oey Yok Su mengatakan mau
membunuh
Tiat Ciang Sui Peng, timbullah
rasa tidak senang terhadap Oey Yok Su, majikan Pulau Tho Hoa To itu.
Sedangkan padri muda itu hanya
tersenyum, memandang Oey Yok Su seraya berkata.
"Bagaimana Oey Tocu
memandang mukaku mengampuni orang itu?"
"Mudah-mudahan Taysu
dapat mencegahku!" sahut Oey Yok Su perlahan.
Itu merupakan jawaban yang
menantang, maka membuat hati semua orang berdebar-debar dan membatin.
"Padri muda, mengapa kau begitu usil mencampuri urusan itu? Tadi Oey Yok
Su hanya satu kali menangkis, membuat Tiat Ciang Sui Peng terluka parah,
bagaimana kau sanggup melawannya?"
Sementara Oey Yok Su memandang
padri muda. Dia tahu padri muda itu berkepandaian tinggi, maka tidak berani
menyerang sembarangan, melainkan perlahan-lahan menggerakkan tangannya sambil
membaca dua baris puisi.
Bayangan bunga persik rontok
pedang sakti terbang,
ombak menderu-deru
dahan pohon meluncur.
Semua orang tahu dia sedang
membaca dua baris puisi, namun tidak tahu itu adalah dua baris puisi yang
bergantung di depan rumahnya di Pulau
Tho Hoa To.
Ketika Oey Yok Su menggerakkan
tangannya, tampak membentuk tiga kuntum bunga, sungguh indah sekali!
Akan tetapi, semua orang tidak
tahu, itu adalah ilmu Koan Hoa Kin Na Ciu (Ilmu Cengkeram Bunga Jari). Ilmu itu
ciptaan keluarga Oey di Pulau Tho Hoa To, tentunya tiada seorang kaum rimba
persilatan mengenali ilmu tersebut.
Padri muda yang berdiri diam,
begitu melihat Oey Yok Su menggerakkan tangannya, langsung bergerak ringan ke
belakang beberapa langkah, dan sepasang matanya tampak terbelalak.
"Ih? Oey Tocu, bukankah
itu ilmu Hud Ci Kou Hoa (Buddha Menunjuk Bunga)?"
"Pengetahuan Taysu
sungguh dangkal, tentunya tidak tahu di Pulau Tho Hoa To terdapat semacam ilmu
Koan Hoa Kin Na Ciu (Ilmu Cengkeram Bunga Jari)!" sahut Oey Yok Su sambil
tertawa.
Usai menyahut, Oey Yok Su
mulai menyerang lagi mendesak padri muda itu, sedangkan padri muda itu terus
mundur.
Menyaksikan pertarungan itu
hati semua orang bertambah berdebar-debar. Akan tetapi, mendadak padri muda itu
mengangkat sebelah tangannya, dan tampak jari telunjuknya menyentil. Sungguh
luar biasa, sentilan itu berhasil menghalau serangan
Oey Yok Su.
"Ha ha ha!" Oey Yok
Su tertawa gelak. "Aku sudah tahu dari tadi, bahwa taysu berkepandaian
tinggi! Ternyata Anda marga Toan dari Kerajaan Tayli, aku harus memberi
hormat!"
Walau di mulut mengatakan
memberi hormat, namun di wajah Oey Yok Su tidak memperlihatkan rasa hormatnya.
Dia terus menatap padri muda
itu, kemudian berkata lagi.
"It Yang Ci (Ilmu Jari
Sakti) dari keluarga Toan di Tayli sungguh membukakan mataku!"
Padri muda tersenyum lalu
berkata.
"Aku dengar Pulau Tho Hoa
To di Laut Tong Hai memiliki ilmu silat tinggi. Sesungguhnya aku ingin ke sana,
tapi tidak mahir mengemudikan kapal. Itu amat sayang sekali, namun kini bisa
bertemu Oey Tocu di sini, merupakan suatu keberuntungan bagiku!"
Oey Yok Su hanya tertawa, sama
sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Kelihatannya Oey Tocu
bersedia menerima pendekatanku!" kata padri muda itu lagi.
"Kalau Taysu setuju, aku
pasti melayanimu!" sahut Oey Yok Su.
Semua orang semakin tertarik,
sebab yang satu tampak seperti sastrawan lemah, sedangkan yang satu lagi adalah
seorang padri, pasti akan terjadi suatu tontonan yang amat menarik.
Oey Yok Su dan padri muda
segera duduk berhadapan di meja. Sepasang tangan mereka ditaruh di atas meja
pula, sehingga kelihatan seperti dua orang sahabat yang akan bercakap-cakap.
Mendadak Oey Yok Su
menjulurkan sebelah tangannya, kemudian digerak-gerakkannya. Itu adalah ilmu
Koan Hoa Kin Na Ciu yang berjumlah tujuh puluh dua jurus. Sungguh lemas dan
indah gerakan tangannya, namun mengarah pada padri muda yang duduk di
hadapannya.
Sedangkan padri muda pun mulai
menggerakkan jari telunjuknya menunjuk ke sana ke mari dengan perlahan.
Semua orang terbelalak
menyaksikannya, sebab kedua orang itu tidak seperti sedang mengadu kepandaian,
melainkan kelihatan seakan bermain-main seperti anak kecil bermain tepuk
tangan.
Akan tetapi, makin lama
gerakan tangan mereka berdua makin cepat, membuat kabur penglihatan semua
orang. Walau cuma sebentar, namun sesungguhnya mereka berdua sudah bergebrak
beberapa jurus.
Wajah Oey Yok Su berubah
serius. Dia menatap padri muda seraya berkata dengan suara dalam.
"Sungguh hebat dan luar
biasa ilmu It Yang Ci milik keluarga Toan!"
Padri muda itu bangkit
berdiri, lalu menyahut sambil tertawa.
"Oey Tocu, kaum rimba
persilatan harus tahu, ada seorang bernama Oey Yok Su dari Pulau Tho Hoa To,
memandang kejahatan bagaikan musuh."
Oey Yok Su tertawa gelak,
begitu pula padri muda. Berselang sesaat, Oey Yok Su bertanya.
"Bolehkah aku tahu
sebutan Taysu?"
"Maaf, aku hanya
merupakan padri muda dari Tayli, lagi pula padri biasa!" sahut padri muda.
"Buddha mengurusi laksaan
masalah. Meskipun Taysu punya laksaan perubahan, tapi aku cuma punya satu kebiasaan,"
kata Oey Yok Su sambil tertawa.
Padri muda manggut-manggut,
lalu berkata sambil tersenyum.
"Tidak salah, hanya ada
satu kebiasaan! Tidak tahu mati hidup, tidak tahu kemewahan, namun tahu
kebajikan."
Mereka berdua tertawa gelak.
Sementara Tiat Ciang Sui Peng sudah tidak kelihatan batang hidungnya, dia sudah
pergi dari tadi.
Oey Yok Su dan padri muda
terus tertawa. Setelah itu, mereka berdua berjalan pergi meninggalkan tempat
itu, tak lama sudah tidak kelihatan lagi.
Orang yang bercerita tadi, juga
segera membubarkan semua orang, sehingga tempat itu menjadi sepi.
Bersambung