Serial Pendekar Naga Putih eps 01 : Tiga Iblis Gunung Tandur

SATU
DESA Karang Jati yang biasanya selalu ramai dengan kesibukan, kini nampak sunyi. Para pedagang telah menutup kedainya sejak siang tadi. Sementara pedagang lain yang tinggal pun, sudah berkemas pula hendak pulang. Jalan-jalan terlihat lengang dan sunyi. Kalaupun ada yang lewat, hanya satu atau dua orang saja. Itu pun terlihat tergesa-gesa, seakan-akan dibayangi hantu!

Menjelang senja, penduduk telah menutup pintu dan Jendela rapat-rapat, lalu menyuruh anak dan istrinya agar lekas-lekas masuk rumah. Padahal malam belum lagi datang! Namun Desa Karang Jati sudah seperti sebuah pekuburan, sunyi dan mencekam. Rasanya seperti desa mati!

Kesunyian yang mencekam itu tiba-tiba saja dipecahkan oleh derap serombongan kuda. Suaranya seolah-olah bergema ke seluruh penjuru desa. Penduduk yang sudah berada di dalam rumah, semakin tegang dan ketakutan. Bahkan sampai menahan napas, ketika rombongan tersebut lewat di depan rumah mereka. Seakan-akan takut suara napasnya terdengar rombongan itu.

Rombongan yang berjumlah kurang lebih dua puluh orang itu, rata-rata berwajah kasar dan bengis. Mereka dipimpin oleh tiga orang berjubah hitam, coklat, dan biru. Yang berjubah hitam bernama Lodra, dan berusia sekitar empat puluh tahun. Raut wajahnya kokoh, dengan bulu-bulu hitam menghiasi pipi dan dagunya. Matanya mencorong tajam, menandakan kalau ia mempunyai tenaga dalam cukup sempurna. Dunia persilatan menjulukinya Iblis Tangan Maut.

Yang berjubah coklat, bernama Badra. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar, dengan otot-otot yang menonjol keluar. Ia terlihat kokoh bagaikan batu karang. Sinar matanya liar, memancarkan kebengisan. Di kalangan rimba persilatan, julukannya si Iblis Cambuk Api.

Sedangkan yang berjubah biru, bernama Sudra. Wajahnya cukup bersih dan tampan. Tampak segaris luka melintang di pipi kiri, membuat wajahnya menjadi menakutkan. Tubuhnya tinggi dan agak kurus. Dia berjuluk Iblis Golok Terbang.

Dalam tujuh tahun belakangan ini, mereka telah malang-melintang dalam dunia persilatan. Sepak terjangnya kejam dan ganas, bahkan ridak segan-segan membunuh hanya karena soal sepele. Karena tempat tinggal mereka di Gunung Tandur, orang menjulukinya Tiga Iblis Gunung Tandur.

Rombongan kuda berhenti didepan sebuah rumah yang paling besar dari rumah-rumah lainnya. Seorang laki-taki berusia sekitar enam puluh tahun, tergopoh-gopoh keluar menyambut mereka. Di wajah tuanya terbayang kecemasan.

"Aaah..., Tuan-tuan, ada keperluan apakah gerangan datang ke sini? Barangkali saya dapat membantu?" Tanyanya dengan suara halus.

"Hm...." Orang yang berjubah hitam itu, bergumam kasar. "Apakah kau kepala desa ini?"

"Be... betul... saya Ki Aji Sena, dan kebetulan, mendapat kepercayaan memimpin desa ini," jawab Ki Aji Sena tersendat.

"Aku ingin bertanya sedikit, dan jangan sekali-sekali berdusta. Jika kau berdusta kami tak segan-segan untuk memusnahkan seluruh desa ini! Tahu!" Ancam orang berjubah hitam yang bemama Lodra. "Dengar baik-baik.... Tunjukkan dimana rumah orang yang bemama Paksi Buana?" Lanjut Lodra lagi.

"Paksi Buana...," ulang Ki Aji Sena, sambil berpikir keras. "Maaf, Tuan. Kami tidak mengenal nama itu," jawabnya agak takut-takut.

"Hm... sudah kuduga, kau pasti tidak akan menunjukkannya!" Geram Lodra gusar.

"Tapi... kami betul-betul tidak mengenalnya, Tuan!" Jawab Ki Aji Sena tegas. Seluruh syaraf-syaraf di tubuhnya menegang, kontan tenaga dalamnya menyebar ke sekujur tubuhnya untuk melindungi tubuhnya jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

Lodra hanya diam, tidak menjawab. la menoleh ke arah rombongan di belakangnya, lalu menganggukkan kepalanya. Tanpa menanti perintah dua kali, orang yang berkepala botak itu segera melompat turun dari kudanya. Wajahnya menyeringai buas, bagai seekor singa yang kelaparan. Dengan satu gerengan keras, orang yang berkepala botak itu segera menerjang Kepala Desa Karang Jati. Tubuhnya meluncur deras dengan cengkeraman yang berbahaya!

Namun sebelum cengkeramannya mengenai sasaran, tiba-tiba empat sosok bayangan melesat dari dalam rumah Ki Aji Sena, dan langsung melemparkan tombak ke arah orang berkepala botak. Sementara Kepala Botak yang tidak menyangka kejadian itu, merasa terkejut. Tapi sebagai seorang yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi dia tidak menjadi panik. Dengan tenang dipapaknya serangan beberapa tombak yang mengarah ke lehernya. Tubuhnya kemudian melenting ke atas mengikuti ayunan tombak tersebut, dan mendarat dengan indah. Tombak itu hanya mengenai tempat kosong.

Sosok empat tubuh yang ternyata adalah pengawal sang kepala desa itu, berdiri tegak di kiri-kanan Ki Aji Sena, yang juga sudah memegang sebatang golok panjang. Melihat keadaan itu, delapan orang dari rombongan yang dipimpin Lodra segera melompat dari kudanya, langsung menyerang para pengawal Ki Aji Sena. Serangan itu pun segera disambut dengan tidak kalah garangnya oleh pengawal Ki Aji Sena. Sedangkan Ki Aji Sena pun telah menggerakkan golok panjangnya, menerjang orang berkepala botak itu. Pertempuran seru dan sengit pun berlangsung! Mereka saling serang dengan mengerahkan seluruh kemampuannya. Masing-masing berusaha untuk menguasai lawan secepatnya. Namun sampai sejauh ini, pertempuran terlihat masih berimbang.

Ki Aji Sena bertarung bagai macan luka. Golok panjangnya berkelebatan mencari sasaran dengan suara berdesir. Namun yang dihadapinya kali ini bukanlah orang sembarangan. Orang yang berkepala botak itu, adalah seorang tokoh sesat yang berjuluk Cakar Maut. Cakar Maut berkelebatan dengan gesit di antara sinar golok. Sesekali tangannya melontarkan pukulan-pukulan yang cukup berbahaya ke tubuh Ki Aji Sena.

Sepuluh jurus berlalu cepat. Cakar Maut mulai mendesak lawannya dengan serangan-serangan yang mematikan. Sementara Ki Aji Sena kini terlihat terdesak. Gerakan golok panjangnya semakin tak terarah lagi. Pada satu kesempatan, Ki Aji Sena membabatkan golok panjangnya secara mendatar. Melihat peluang yang baik itu, Cakar Maut segera berputar ke kanan dibarengi dengan tamparan tangan kanannya ke arah pelipis lawan. Ki Aji Sena terkejut melihat kegesitan lawannya itu. Buru-buru dilegoskan kepalanya ke kanan, tetapi terlambat. Pukulan tersebut tetap menyerempet bahu kirinya.

Desss!

Tubuh orang tua itu melintir. Tangan kirinya terasa lumpuh. Ia menyeringai menahan rasa nyeri pada bahunya. Sepertinya sulit untuk digerakkan lagi.

Di arena yang lain, para pengikut si Tiga Iblis Gunung Tandur mulai menguasai keganasan pengawal Ki Aji Sena, yang dengan segala kemampuannya berusaha mematahkan serangan lawannya. Namun kepandaian lawan kelihatannya rata-rata di atas kepandaian para pengawal sang kepala desa ini. Buktinya, settap serangan mereka selalu dapat dipatahkan anak buah Tiga Iblis Gunung Tandur.

Lambat laun para pengawal itu mulai terdesak. Gerakan-gerakannya pun mulai kacau dan tak beraturan. Hingga pada suatu saat, salah seorang pengawal Ki Aji Sena terpelanting roboh. Perutnya sobek terkena hanta-man pedang lawan! Darah pun segera merembes keluar dari perut yang sobek lebar dan dalam itu. Tentu saja dengan kematian pengawal itu, keadaan semakin berbahaya! Terlebih lagi bagi keselamatan Kepala Desa Karang Jati.

Sementara pertarungan antara Ki Aji Sena melawan si Cakar Maut masih berlangsung sengit. Kali ini Ki Aji Sena betul-betul harus kerja keras! Serangannya menggebu-gebu dan susul-menyusul bagai ombak di lautan. Cakar Maut yang melihat lawannya yang sudah terluka itu ternyata masih mampu melancarkan serangan-serangan berbahaya, diam-diam memuji juga dalam hati. Memang Ki Aji Sena bukanlah tokoh kosong.

Kembali lima jurus berlalu. Tiba-riba Cakar Maut berteriak keras, seraya mulai mengeluarkan jurus andalannya, yakni 'Mencengkeram Batu Karang'. Jurus ini merupakan rangkaian kelima dari jurus 'Cakar Maut' yang sangat hebat akibat yang ditimbulkannya. Terdengar suara mendesing, ketika tangan kiri Cakar Maut menyambar leher Ki Aji Sena. Laki-laki tua itu pun tak kalah gesitnya. Segera disambut serangan itu dengan tebasan golok panjangnya.

Wusss! Singgg!

Brettt! Brettt!

"Akh...!" Ki Aji Sena meraung tinggi, ketika tubuhnya terbanting ke depan sehingga menimbulkan suara keras. Rupanya saat golok panjang Ki Aji Sena membabat tangan si Cakar Maut, tangan laki-laki botak itu berputar cepat dan langsung menjambret lengan Ki Aji Sena yang memegang golok itu. Jambretan tangan itu pun dibarengi dengan sambaran cakar kirinya yang setajam cakar elang. Tubuh orang tua malang itu kini menggeletak tak berdaya. Dari tangan kanannya yang terluka mengalir darah segar. Luka yang cukup dalam dan memanjang.

Dari dalam rumah besar milik kepala desa itu, dua sosok wanita menghambur keluar, dan langsung bersimpuh di samping tubuh sang kepala desa. Terdengar isak tangis yang menyayat hati dari mulut keduanya.

"Kakang... Kakang Sena... oooh...!" Ratap salah seorang wanita yang cukup tua, terus memanggil-manggil nama sang kepala desa di antara tangisnya. Sedangkan wanita yang seorang lagi hanya menggerung-gerung.

Beberapa saat kemudian, wanita tua itu menoleh dan menatap tajam ke arah si Cakar Maut yang masih berdiri tegak. "Manusia iblis! Jahanam kau! Kejam!" Sosok wanita tua yang ternyata istri kepala desa itu, memaki-maki Cakar Maut tak habis-habisnya. Sedangkan wanita muda yang ternyata putri kepala desa hanya mampu berdiam diri sambil terus menangis.

Sementara, pertarungan yang lain pun sudah mulai berakhir. Satu persatu pengawal Ki Aji Sena berjatuhan tewas. Darah mengalir membasahi bumi menimbulkan bau anyir yang memualkan.

Lodra melompat dari kudanya, lalu menghampiri wanita yang berumur kurang lebih limapuluh tahun itu. "Hei! Nenek peot! Lihatlah! Suamimu masih hidup. Kalau kau ingin melihatnya hidup terus, jawablah pertanyaanku!" kata Lodra dengan suara dingin. "Nah! Sekarang tunjukkanlah tempat Paksi Buana kepadaku!" lanjut Lodra.

Dengan wajah bersimbah air mata, wanita tua itu memeriksa tubuh Ki Aji Sena. Orang tua itu ternyata memang masih hidup, dan hanya pingsan. Tapi luka-luka-nya memang cukup parah. Kini dia mulai terlihat siuman. Sejenak mata Ki Aji Sena terbuka seraya memandang wajah istrinya. Bibirnya berusaha untuk tersenyum namun tidak mampu. Wajahnya nampak seperti orang menangis. Ki Aji Sena ternyata samar-samar juga mendengar pertanyaan Lodra. Dan itu membuatnya terkejut.

"Nyai! Jangan kau jawab pertanyaan iblis itu! Karena meskipun kau jawab, iblis itu tetap akan membunuh kita!" Tegas Ki Aji Sena dengan napas memburu.

Wanita tua itu pun jadi ragu untuk menjawab pertanyaan Lodra. Ditatapnya laki-laki berjubah hitam itu dengan wajah bingung.

"Ayo, Nenek tua! Jangan sampai kesabaranku habis!" Lodra semakin tak sabar.

Istri kepala desa itu masih tetap bungkam. Hal ini membuat Lodra makin memuncak kemarahannya. Dia lalu melompat menyambar tubuh Ki Aji Sena, dan diangkatnya tubuh tak berdaya itu ke atas kepala. "Jawab! Atau kubanting tubuh peot ini!"

"Jangaaan! Aku... Aku akan... Mengatakannya!" Teriak wanita tua itu ketakutan. Dengan suara yang bercampur isaknya, wanita itu akhirnya menunjukkan tempat tinggal Paksi Buana.

***

Padepokan Naga Terbang, terletak di sebelah Utara Desa Karang Jati. Pohon-pohon besar tampak berdiri kokoh di sekelilingnya. Tidak jauh dari pusat padepokan itu, terdapat sebuah anak bukit yang terdiri dari batu-batu cadas.

Malam mulai jatuh, ketika serombongan orang berkuda yang tidak lain adalah Tiga Iblis Gunung Tandur memasuki daerah itu. Mereka berhenti tepat di pintu gerbang Padepokan Naga Terbang Salah seorang dari mereka segera melompat turun dari atas kudanya. Orang itu ternyata adalah Sudra, si Iblis Golok Terbang. Setelah menoleh sejenak ke arah kakaknya, Sudra mundur beberapa langkah ke belakang. la mulai mengempos kekuatannya, sehingga tenaga dalamnya segera bergolak dan membanjir ke seluruh tubuhnya. Jarak antara Sudra dengan pintu gerbang tersebut, kurang lebih lima batang tombak. Dengan satu teriakan menggeledek, segera dilontarkan pukulan 'Membentur Seribu Gunung' yang cukup dahsyat ke arah pintu gerbang.

Wusss! Brakkk...!

Pintu yang terbuat dari kayu jati pilihan yang tebal dan kuat itu, seketika ambrol menimbulkan suara hingar-bingar. Debu dan kepingan kayu beterbangan ke segala penjuru, bagai dilemparkan tangan-tangan raksasa.

Para murid si Tiga Iblis Gunung Tandur tergetar mundur, sambil menahan gelaran dalam dada mereka akibat pengaruh pukulan itu. Mereka berdecak kagum sambil bergumam tak jelas melihat hasil yang ditimbulkannya. Setelah pintu terdobrak, Sudra kembali naik ke punggung kudanya.

Sementara itu para murid Padepokan Naga Terbang, sangat terkejut mendengar suara ledakan itu. Salah seo-rang murid segera melaporkan kejadian itu kepada guru-nya dengan wajah tegang. Sebagian murid berjaga-jaga dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

"Apa?! Bangsat! Orang gila dari mana yang berani mati itu?" Seorang murid utama yang bemama Soga, bangkit dengan wajah merah padam.

"Sabarlah, Soga.... Tenangkan hatimu. Jangan kau turuti hawa nafsumu!" Tegur sang guru dengan suara tenang.

"Oh... maaf, Guru! Tapi... rasanya mereka sudah keterlaluan sekali! Datang-datang sudah membuat kerusakan!" Soga masih mencoba mernbantah. Meskipun suaranya sudah dapat ditekan, namun masih terkandung rasa penasaran di dalamnya.

"Hm.... Mari kita lihat! Siapa sebenarnya mereka itu?" Ajak sang guru dengan suara dalam.

Soga segera berkelebat cepat, mendahului guru dan murid-murid utama lainnya. Gerakannya cepat bukan main, seolah-olah mampu menghilang saja. Soga memang murid berbakat. Hampir seluruh kepandaian gurunya telah diwarisi. Maka dapatlah dibayangkan, betapa tinggi kepandaian yang dimilikinya. Ketika ia telah sampai di halaman depan, para murid Padepokan Naga Terbang lainnya telah berdiri berjajar menghadang gerombolan pengacau tersebut.

Sementara itu, kecuali si Tiga Iblis Gunung Tandur, seluruh anggota rombongan telah berloncatan turun dari kudanya. Seorang berkepala botak yang tak lain adalah si Cakar Maut melangkahkan kakinya ke hadapan Soga.

"Hei! Mana orang yang bernama Paksi Buana?" Bentak Cakar Maut, bertanya. Nada suaranya meremehkan. "Suruh dia keluar!" Sambungnya lagi.

Merah padam seluruh wajah Soga melihat kesombongan orang itu. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang menggelegak. Gerahamnya bergemeletuk. Namun dia masih berusaha bersabar, sambil menghela napas berulang-ulang. "Ada keperluan apa kau mencari guruku?" Tanya Soga dingin, tanpa mempedulikan pertanyaan Cakar Maut.

Kini si Cakar Mautlah, yang berang. Sepertinya dia diremehkan. Pertanyaannya tak dipedulikan, tapi sebaliknya malah orang di hadapannya yang bertanya. "Bangsat! Babi buntung! Apa kau sudah bosan hidup, hah?" Dengus Cakar Maut Suaranya menggelegar kerena kemarahan yang meluap-luap.

Sebaliknya Soga tidak marah mendengar makian itu. Dia malah tersenyum tipis, melihat kegusaran lawannya. Matanya tetap tajam memancarkan ketegarannya. "Bukankah wajar kalau tuan rumah bertanya kepada tamunya?" Tata Soga dengan senyum yang makin mengembang.

"Kurang ajarrr! Mampuslah kau! Ciaaat!" Sambil berteriak mengguntur, Cakar Maut menerjang lawannya. la betul-betul sudah tidak dapat menahan amarahnya.

Melihat lawannya sudah menyerang, Soga menggeser kakinya ke belakang. Dengan tidak kalah garangnya, dibalasnya serangan itu. Maka pertempuran yang seru dan mendebarkan tidak dapat dihindari lagi. Masing-masing lawan berusaha saling menjatuhkan secepat mungkin. Namun kelihatannya pertempuran berjalan alot dan seimbang.

Sementara itu, para murid kedua belah pihak pun sudah pula ikut bertempur. Mereka saling terjang tanpa memilih lawan. Golok-golok saling berkelebatan mencari mangsa. Suara-suara senjata beradu membuat suasana semakin bertambah bising, apalagi ditambah dengan pekik dan teriakan pertempuran. Demikian pula dengan pertarungan dua murid utama dari masing-masing pihak yang tak kalah serunya.

"Berhenti!!"

Tiba-tiba terdengar satu bentakan keras disertai penge-rahan tenaga dalam. Suara itu menggema ke segala penjuru. Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan ke arena pertempuran. Belum lagi gema suara tersebut lenyap, sesosok tubuh jangkung telah berdiri tegak di tengah-tengah arena pertempuran.

Pertempuran berhenti seketika, semuanya serentak menoleh ke arah bayangan itu. Semua yang ada di situ seperti terkesiap, diam seribu bahasa. Baru setelah orang berjubah hitam yang bernama Lodra bertanya kepada orang yang berdiri di tengah-tengah arena, kebisuan itu terpecahkan. Dengan wajah seperti orang tolol mereka berpandangan satu sama lain!

"Hm.... Engkaukah yang bemama Paksi Buana?" Tanya Lodra dengan suara dingin.

"Benar! Akulah Paksi Buana!" Jawab orang itu. Suaranya tegas penuh wibawa. Memang, dialah yang bernama Paksi Buana. Walaupun usianya sudah cukup tua, namun masih jelas pancaran ketegasannya. Tubuhnya tertutup jubah putih, dengan sulaman benang emas ber-bentuk naga pada dadanya. Matanya menatap tajam ke arah Lodra Dipandanginya wajah orang itu dengan dahi berkerut. Kemudian pandangannya beralih pada Badra dan Sudra.

"Kalau aku tidak salah lihat, bukankah kalian yang berjuluk Tiga Iblis Gunung Tandur itu?" Tanya Paksi Buana memastikan.

"Bagus! Rupanya kau sudah mengenal kami." Ujar Lodra angkuh.

"Siapa yang tidak mengenal kalian? Nama dan kejahatan kalian sudah terkenal di mana-mana. Lalu, apa maksud kalian datang dengan membuat keonaran di sini?" Tanya Paksi Buana hati-hati.

"Kedatangan kami ke sini, untuk meminta tanggung jawab atas perbuatanmu pada sepuluh tahun yang lalu!"

"Hm...." Paksi Buana bergumam pelan, lalu berpikir sejenak. "Telah banyak yang kulakukan pada waktu itu. Tapi, rasanya aku tidak pernah jumpa dengan kalian?"

"Memang! Kau memang tidak pernah berurusan secara langsung dengan kami. Sebab apabila kau berurusan dengan kami, mungkin kau sekarang sudah tidak melihat matahari lagi!" Jawab Lodra pongah.

Mendengar hal itu, Soga melangkah kedepan dengan wajah terbakar. Dia sudah tidak tahan lagi melihat kesombongan orang itu. Panas hatinya mendengar ucapan Lodra. Namun langkahnya segera terhenti, ketika tangan gurunya itu menyentuh lengannya dan mengisyaratkan untuk tetap tenang. Laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun itu kembali berdiri di samping gurunya, sambil menghela napas berat.

"Lalu, apa maksud kalian?" Lanjut Paksi Buana dengan suara datar, seolah-olah tidak ingin terpengaruh oleh ejekan lawan bicaranya itu. Padahal, sesungguhnya hatinya telah terbakar. Tapi dia masih bisa menenangkan dirinya, dan bersikap wajar.

"Baiklah," ujar Lodra datar. "Dengar, baik-baik lngatkah kau akan sebuah tempat yang bernama Hutan Jatra? Dan ingatkah kau kepada orang yang bernama Cakra Ganda, yang telah kau bunuh itu?"

Paksi Buana termenung sejenak. Dia segera teringat saat-saat terakhir pengembaraannya. Waktu itu ia sudah berniat mengundurkan diri dari dunia persilatan. Suatu saat ia melewati Hutan Jatra, dan melihat sebuah pertempuran. Rupanya, pertempuran itu menarik perhatiannya. Apalagi di tempat itu terdapat sebuah kereta kuda yang mengangkut barang. Paksi Buana segera mengambil kesimpulan bahwa pasti itu adalah perampokan. Dia pun segera terjun ke arena pertarungan, dan membantu saudagar yang dirampok itu. Akhimya dia berhasil membunuh perampok itu, yang belakangan diketahui bahwa orang itu sering melakukan kejahatannya di Hutan Jatra. Namanya Cakra Ganda.

"Hm..., aku ingat sekarang! Lalu, apa hubungannya dengan kalian?" Tanya Paksi Buana.

"Dia adalah murid kami! Dan...." Belum lagi Lodra menyelesaikan ucapannya, Sudra memotong pembicaraan itu sambil melompat turun dari kudanya.

"Dan kau harus membayar hutang nyawa itu berikut bunganya! Lihat serangan!" Belum lagi hilang suara Sudra, tubuhnya sudah melesat melancarkan serangan yang ganas. Kedua tangannya berputar bergantian menimbulkan angin yang menderu-deru.

***
DUA
Paksi Buana terkejut melihat serangan yang tidak disangka-sangka itu. Untunglah pada saat yang gawat itu, sebuah bayangan melesat dari sebelah kirinya me-mapak serangan Sudra yang cepat dan ganas itu. Ternyata dia adalah Soga, si murid utama Padepokan Naga Terbang.

Plakkk!

Terdengar letupan kecil di udara, menandai pertemuan dua tenaga dalam yang tersalur melalui telapak tangan keduanya. Kedua orang itu terdorong mundur beberapa langkah, sambil memegangi tangan yang terasa nyeri. Ternyata dalam adu tenaga tadi, kekuatan keduanya berimbang.

Sudra dan Soga kembali tegak berhadapan, seolah-olah mengukur kepandaian masing-masing. Dibarengi satu teriakan dahsyat, Soga menerjang lawannya. Tangan kanannya yang terkepal, meluncur deras ke ulu hati Sudra, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah tenggorokan lawan. Kali ini Soga mengerahkan tenaga sepenuhnya, karena tidak ingin serangannya gagal.

Namun, lawan yang dihadapinya bukanlah tokoh sembarangan. Sudra adalah salah seorang gembong kaum sesat. Kepandaiannya memang tidak dapat dipandang ringan. Kedua serangan itu dengan mudah dielakkan Sudra. Dia hanya menggeser kaki kanannya dan langsung membalas serangan itu tidak kalah ganasnya. Kini keduanya saling serang dengan jurus-jurus berbahaya dan mematikan!

Sementara itu, melihat salah seorang pemimpinnya telah terlibat dalam satu pertempuran, Cakar Maut segera memberikan isyarat kepada para bawahannya. Dan mereka pun segera menerjang ke arah murid-murid Paksi Buana, yang masih menanti perintah dari gurunya itu.

Karena pertarungan tak mungkin dapat dihindari lagi, Paksi Buana pun segera menggerakkan tangannya ke depan. Tanpa menunggu dua kali, para murid Padepokan Naga Terbang segera berlari menyongsong kedatangan musuh. Kembali pertempuran terjadi. Kali ini dalam jumlah yang banyak Suara pekik dan jerit pertempuran membahana membelah angkasa, ditimpali dengan denting senjata beradu. Pedang-pedang dan golok-golok, berkelebatan mencari sasaran. Bunga-bunga api akibat senjata beradu, memercik ke mana-mana.

Sementara malam semakin larut, namun sang dewi malam enggan memancarkan keindahan sinarnya. Angin dingin pun berhembus keras, seakan-akan ingin melerai pertarungan berdarah itu. Bintang pun nampaknya ikut larut dalam kegundahan tersebut.

Badra yang melihat jalannya pertarungan, menjadi gatal tangannya. Dia segera menoleh ke arah Paksi Buana, yang juga sedang termenung menyaksikan pertempuran itu. Laki-laki berjubah coklat dan berjuluk Iblis Cambuk Api itu segera melesat ke arah Paksi Buana. Dengan sebuah teriakan yang mengguntur, segera diterjangnya Paksi Buana dengan serangan beruntun.

Tentu saja Paksi Buana tidak mungkin membiarkan tubuhnya jadi sasaran pukulan. Dengan gerakan yang sangat indah, digeser kedua kakinya guna menghindarkan serangan itu. Kini dia pun tak ingin sungkan-sungkan lagi. Dipersiapkannya jurus-jurus terampuhnya untuk menghadapi Badra. Keduanya pun kini segera terlibat dalam pertarungan sengit.

Badra adalah orang kedua dari Tiga Iblis Gunung Tandur. Namanya pun sudah terkenal dalam dunia persilatan. Maka sulit untuk mengukur tingkat kepandaiannya. Begitupun sebaliknya. Paksi Buana adalah seorang pendekar digdaya yang tidak kalah terkenalnya dibanding dengan Tiga Iblis Gunung Tandur. Malah dalam dunia persilatan, julukannya yang bernama Naga Sakti, sangatlah disegani kawan maupun lawan. Dan nama besar itu diukirnya sepuluh tahun yang lalu.

Maka dapatlah dibayangkan, betapa hebatnya pertempuran kedua tokoh itu. Keduanya sama-sama tangguh dan gesit. Dalam waktu singkat telah sepuluh jurus dilalui. Meskipun demikian, sampai sejauh ini belum dapat dipastikan, siapa yang akan memenangkan pertarungan itu.

Di arena yang lain, Soga tampak mulai terdesak. Serangan-serangan Sudra, semakin lama semakin ganas. Hingga menutup ruang gerak murid utama Padepokan Naga Terbang ini. Tidak disangkanya kalau kepandaian lawan demikian hebat. Gerakan-gerakannya penuh gerak tipu yang sangat mengejutkan. Menyadari keadaannya yang berbahaya itu, Soga segera mempersiapkan jurus andalannya. Dengan satu bentakan keras, Soga segera merubah gerakannya. Kedua telapak tangannya menegang kaku berbentuk cakar. Gerakannya cepat dan saling mendahului hingga menimbulkan angin tajam.

"He he he... Ayo! Keluarkan seluruh kepandaianmu, kunyuk! Sebelum kubeset kulit tubuhmu!" Sudra tertawa terkekeh, ketika melihat Soga telah mengeluarkan jurus andalan perguruannya. Ejekannya memang membuat panas telinga lawannya.

Dengan tidak kalah garangnya, Sudra pun segera me-mapaki serangan Soga. Tanpa ragu-ragu lagi ia mengeluarkan jurus pamungkasnya. Terdengar suara mengaung kerika Sudra mendorongkan kedua tangannya menyam-but serangan telapak tangan Soga.

Wusss!

"Akh...!" Tubuh Soga terlempar deras dibarengi terlakan kesakitan dari mulutnya. Dia terjerembab sehingga menimbulkan suara keras. Dari sela-sela bibirnya yang pucat, tampak mengalir darah segar. Namun dia berusaha untuk bangkit. Kedua tangannya mendekap dada yang terasa sesak.

Sementara lawannya juga terpental. Tubuhnya mendarat dengan Indah, setelah melakukan beberapa putaran di udara. Diam-diam, Sudra pun harus mengakui kehebatan lawannya yang lebih muda darinya itu. Biasanya jika lawan terkena jurus pamungkasnya, dapat dipastikan tidak akan berumur panjang.

"Huh! Jangan dulu mengangkat dada, iblis! Aku masih belum kalah!" Setelah berkata demikian, Soga segera mencabut pedangnya. Dibarengi dengan teriakan yang keras segera diputar pedangnya. Tubuh Soga yang terbungkus oleh sinar pedang itu, meluruk deras ke arah Sudra. Pedang yang digerakkan oleh tenaga dalam sepenuhnya itu, menimbulkan suara mendesing tajam. Bagaikan suara ribuan lebah yang sedang marah.

Menyadari dahsyatnya serangan Itu, Sudra mencabut golok terbangnya yang tersusun rapi di pinggang dan dadanya itu. Dengan kedua golok terbang itu, disambutnya serangan Soga.

Dari gulungan sinar pedang Soga, kadang-kadang mencuat ujung pedang yang bergetar menjadi delapan buah banyaknya. Itulah sebabnya, mengapa jurus ini dinamakan 'Delapan Jalan Utama'. Sementara itu kedua golok milik Sudra pun berkelebatan dan meliuk-liuk seperti terbang Mungkin itulah sebabnya, mengapa dia berjuluk Iblis Golok Terbang.


Pada pertarungan lain tampak di kedua belah pihak, korban sudah mulai berjatuhan. Darah pun mengalir membasahi bumi. Nampaknya murid-murid Padepokan Naga Terbang, mulai terdesak mundur dan mulai banyak korban. Lawan mereka ternyata rata-rata memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi. Sedangkan murid-murid Padepokan Naga Terbang masih bawahnya.

Belum lagi, sepak terjang si Cakar Maut. Laki-laki botak ini benar-benar seperti iblis yang haus darah. Setiap musuh yang berada di dekatnya, pasti tewas dengan leher hampir putus ataupun perut sobek. Telapak tangan yang membentuk cakar itu, bagaikan tangan malaikat maut.

Di tempat lain, Paksi Buana mulai merasakan tekanan-tekanan berat dari lawannya. Badra yang berjuluk Iblis Cambuk Api, mulai mendesak lawannya. Jurus 'Tangan Seribu' yang digunakannya, benar-benar membuat Paksi Buana mati langkah! Sampai pada jurus yang ketiga puluh, Paksi Buana sudah tidak dapat lagi mempertahankan posisinya lagi. Sebuah tamparan telak menghantam dadanya.

Desss!

"Huaaakkk!" Paksi Buana terhuyung sejauh dua tombak, lalu memuntahkan darah segar. Wajahnya pucat, dan baju pada bagian dadanya terlihat hancur. Sedangkan pada kulit dadanya, terdapat bekas telapak tangan yang membiru. Jelas dia telah terluka dalam. Buru-buru disalurkan hawa murni untuk menghilangkan rasa sakitnya itu.

"Ha ha ha.... Sebentar lagi Raja Maut akan segera menjemputmu! Bersiaplah!" Tawa Badra bergema memenuhi arena pertarungan tersebut.

Paksi Buana tidak menanggapi ucapan lawannya. la masih berusaha menahan rasa nyeri dalam dadanya. Dihirupnya udara banyak-banyak, lalu dihimpunnya seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Dengan teriakan mengguntur, dicabutnya sepasang pedang yang bertengger di balik punggungnya. Sepasang pedang yang telah membuat namanya terkenal dalam dunia persilatan. Paksi Buana kembali menerjang Badra, yang masih tegak dengan penuh kesombongan. Kedua batang pedangnya membabat dengan gerakan menggunting. Suaranya bergemuruh membelah udara malam yang semakin dingin.

Kembali sepuluh jurus terlewat dengan cepat. Sampai saat ini keduanya nampak masih seimbang. Paksi Buana menguras seluruh kemampuannya untuk menguasai lawannya. Pada saat yang memungkinkan, Paksi Buana membabatkan pedangnya secara mendatar dengan jurus 'Sabetan Ekor Naga'. Gerakan ini ditunjang dengan tenaga dalam yang kuat, hingga menimbulkan desingan angin yang tajam.

Namun Badra yang sudah menemukan titik kelemahan ilmu pedang lawan, hanya tertawa dingin. Dengan kecepatan bagai kilat diarahkan cambuknya ke wajah lawan. Cambuk itu menggeletar sehingga menimbulkan percikan-percikan bunga api yang mengaburkan pandangan Paksi Buana.

Badra melihat lawannya telah terpengaruh percikan-percikan api, tidak melewatkan kesempatan itu. Selagi lawannya silau, segera dilecutkan cambuknya ke arah pergelangan tangan lawannya. Dan....

"Aaakh!" Terdengar suara kesakitan dari mulut Paksi Buana. Betapa terkejutnya Paksi Buana setelah menyadari pergelangan tangan kanannya buntung. Segera dipegangi pergelangan tangan kanan itu. Darah mulai merembes di antara jari-jari tangan kiri yang memegangi tangan yang buntung itu. Dan di saat itulah Cambuk Api Badra kembali beraksi ke leher Paksi Buana. Laki-laki ketua Padepokan Naga Terbang itu tak sempat menghindar lagi.

"Aaakh...!" Paksi Buana kembali menjerit menyayat. Tubuhnya terjungkal, lalu tewas seketika dengan leher yang hampir putus.

Bersamaan dengan tewasnya Paksi Buana, Soga murid utama dari Padepokan Naga Terbang itu, mulai terdesak oleh serangan-serangan lawannya yang makin lama semakin ganas. Sampai pada suatu kesempatan Sudra melepaskan empat buah golok terbangnya. Dua dari serangan golok itu berhasil disampok oleh sabetan pedang Soga. Tapi sayang dua golok lainnya sulit untuk dihindarinya. Dan....

"Aaakh...!" Suara jeritan menyayat terdengar dari mulut Soga. Tubuhnya terjungkal ketika golok itu menancap di ulu hati dan lehernya. Soga meregang nyawa sebentar lalu diam tak bergerak lagi. Tewas!

Di tempat lain, pertarungan antara para pengikut Tiga Iblis Gunung Tandur menghadapi murid-murid Padepokan Naga Terbang pun telah mendekati penyelesaian. Dan berbareng dengan tewasnya Soga, tewas pulalah murid terakhir dari Padepokan Naga Terbang.

Dari arah Utara, tiba-tiba berlari sosok tubuh ramping ke arah pertempuran itu. Semua orang yang ada di situ, sama-sekali tak menyadarinya. Sosok tubuh yang ternyata wanita itu menghambur dan menubruk jasad Paksi Buana yang telah kaku. Dari bibirnya yang terisak, keluar gumaman lirih.

"Kakang... oh, Kakang.... Apa yang terjadi?" Desah wanita itu di antara isak tangisnya yang memilukan hati.

Sudra begitu terkejut karena ada sosok wanita sudah berada di dekatnya. Mata wanita yang indah itu menatap tajam memancarkan kemarahan ke arah Sudra. Orang termuda dari Tiga Iblis Gunung Tandur itu, tanpa sadar melangkah mundur. Hatinya tergetar juga melihat sinar mata yang mengerikan itu.

"Gila! Kepandaian wanita ini rasanya tidak berada di bawah kepandaian murid utama si Naga Sakti!" Gumam Sudra lirih.

Wanita yang ternyata bernama Rara Ampel, terus menatap tajam ke arah Sudra. Dia adalah istri Paksi Buana, yang semenjak pagi telah pergi ke Desa Lamping untuk mengobati orang yang sedang sakit keras. Desa itu terletak tidak jauh dari Desa Karang Jati.

Kepala Desa Lamping telah meminta pertolongannya, karena anaknya sakit keras. Selain pandai ilmu silat, Rara Ampel pun pandai dalam ilmu pengobatan. Jarak antara Desa Karang Jati ke Desa Lamping, memakan waktu setengah hari perjalanan. la berangkat ke desa itu bersama putranya dan orang kepercayaannya. Oleh karena itulah pada saat kejadian dia tidak ada di rumah. Rara Ampel pelahan-lahan bangkit berdiri. Bahkan kini telah mengeluarkan senjatanya berupa selendang berwarna merah.

"Mampuslah kau, iblis!" teriak Rara Ampel. Tubuhnya melesat menerjang Sudra dengan kemarahan yang meluap-luap.

Dalam dunia persilatan nama Rara Ampel bukanlah nama kosong. Dia berjuluk Dewi Selendang Merah. Tidak heran jika serangannya pun tak dapat dianggap main-main. Kini selendang merahnya mehuk-liuk bagaikan seekor ular yang menari-nari. Bahkan kadang-kadang berubah menjadi beberapa buah. Setiap ujungnya selalu mengarah ke jalan darah yang berbahaya. Dan kini satu sabetan selendangnya hampir menyentuh tubuh Sudra. Kelihatannya, laki-laki itu tak mampu berkelit. Sebelum ujung selendang merah itu menyentuh tubuh Sudra, sebuah bayangan berkelebat menyambut serangan tersebut Terdengarlah letupan-letupan yang sangat nyaring.

Plak! Plak!

"Aiiih!" Tubuh Rara Ampel terdorong, hampir jatuh. Tulang lengan kanannya terasa nyeri seperti remuk akibat tangkisan lawan yang sangat kuat.

Bayangan hitam yang ternyata adalah Lodra itu berdiri tegak di depan Rara Ampel. Jarak keduanya kurang lebih dua tombak. "He he he..., Manis! Ayo kita bermain-main sebentar, sebelum bersenang-senang!" Kata Lodra sambil tertawa yang menimbulkan gema. Seolah-olah ingir memamerkan kekuatan tenaga dalamnya. Beberaps orang yang berada di dekatnya, terjatuh sambil menekan dadanya yang terasa berguncang karena pengarur suara tawa itu.

Sementara Rara Ampel merasakan tubuhnya gemetar hebat. Cepat cepat dikerahkan tenaga dalamnya untuk menahan suara tawa itu. "Tidak kusangka! Tenaga dalam iblis ini sangat tinggi. Pantas saja Kakang Paksi Buana sampai tewas di tangan mereka!" Gumam Rara Ampel pelahan. Kecemasan mulai membayang di wajahnya yang cantik itu.

Tanpa disadari, sepasang mata Lodra secara liar melahap wajah dan tubuhnya dengan seringai buas. Kecantikan Rara Ampel telah membangkitkan nafsu yang menggelegak dalam diri Lodra.

Menyadari adanya tatapan liar itu, merah padamlah seluruh wajah Rara Ampel. Bahkan kini tubuhnya bergidik, melihat mata yang buas itu. Dia segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Rara Ampel menggerakkan selendang merahnya se-hingga seperti bergelombang bagaikan seekor naga yang bermain di angkasa. Tiap hentakan selendangnya meng-hasilkan ledakan-ledakan yang menusuk telinga.

Ctarrr! Ctarrr!

Lodra yang menghadapi serangan itu, hanya tersenyum dingin. Segera dikeluarkan ilmu andalannya yaitu jurus "Sepasang Tangan Pengacau Lautan' yang merupakan rangkaian kedua dari jurus 'Tangan Maut'. Udara dingin berhembus keras, kerika Lodra menggerakkan tangannya. Mereka yang tidak memlliki tenaga dalam yang kuat tidak akan mampu bertahan terhadap udara dingin yang terpancar dari tubuh Lodra.

Dan, tanpa diduga sama sekali, selendang Rara Ampel terpental balik terdorong hembusan angin dingin tersebut. Rara Ampel begitu terkejut. Dan belum sempat hilang rasa terkejutnya, Lodra sudah menerjang dengan totokan-totokan yang mengarah ke jalan darah di tubuh Rara Ampel. Menyadari bahaya yang mengancam dirinya, Rara Ampel menggeser tubuhnya ke kiri, sambil melepaskan tendangan lewat jurus 'Sang Dewi Menggeliat'. Tidak berhenti sampai disitu, Rara Ampel pun menyabetkan selendangnya ke pelipis lawan. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya!

Lodra yang berjuluk Iblis Tangan Maut ini memang bukan tokoh sembarangan. Serangan itu tidak membuatnya panik. Dengan satu egosan yang indah, ditekuk kaki kanannya membuat kuda-kuda yang rendah. Sementara tangan kirinya memapak tendangan itu, sedangkan tangan kanannya menepis selendang yang mengarah pelipisnya itu. Rara Ampel segera menarik kembali serangannya. Tapi, belum lagi sempat memperbaiki posisi, bayangan Lodra telah meluncur ke arahnya.

Tuk! Tuk!

Kejadian itu berlangsung hanya dalam sekejap mata. Kini tubuh Rara Ampel telah tertotok lumpuh dalam pelukan Lodra. Si Iblis Tangan Maut atau Lodra, tertawa terbahak-bahak. Dipondongnya tubuh wanita itu ke dalam Padepokan Naga Terbang. Sesekali tangannya mengelus pinggul Rara Ampel.

"Setaaan! Iblis cabul! Mau kau bawa ke mana aku? Lepaskan! Lepaskan! Bunuh saja aku, iblis!" Rara Ampel berteriak-teriak. Dia sadar sesuatu yang lebih mengerikan akan menimpa dirinya.

Sementara Lodra yang sudah berada di dalam kamar di salah satu rumah Padepokan Naga Terbang, meletakkan tubuh molek itu di atas pembaringan. Pakaian yang menutupi tubuh Rara Ampel direnggutnya secara paksa. Kini tampaklah kulit tubuhnya yang putih dan halus itu. Rara Ampel benar-benar tanpa benang sehelai pun. Lodra dengan leluasa melampiaskan nafsu iblisnya, di antara jerit tangis wanita malang itu.

Puas melepas nafsu binatangnya, Lodra melangkah keluar dengan senyum yang hampir mirip seringai serigala. Badra dan Sudra pun tak mau ketinggalan. Secara bergantian tubuh molek itu dinikmati bersama. Setelah puas mempermainkan wanita malang itu, mereka pun membunuhnya secara keji! Tubuh telanjang itu menggeletak dengan kepala pecah! Setelah menguras seluruh harta kekayaan yang ada di dalam padepokan itu, mereka lalu membakar semua bangunan yang ada.

"Periksa seluruh sudut bangunan ini! Kita harus menemukan anak Paksi Buana. Cari sampai dapat!" Perintah Lodra pada seluruh anak muridnya dengan suara garang.

Sementara di tempat yang agak jauh dan tersembunyi, dua pasang mata yang menyaksikan kejadian itu tak mampu berbuat apa-apa. Mereka tersentak kaget setelah mendengar perintah Lodra! Bergegas mereka menjauhi tempat itu, karena memang ditujukan untuk mereka.

Para murid Tiga Iblis Gunung Tandur menyebar ke seluruh wilayah luar padepokan. Tapi sudah tidak menemukan apa-apa lagi! Karena kedua orang yang dimaksudkan sudah pergi meninggalkan tempat berdarah itu.

Sementara malam kian larut. Awan hitam membawa titik-titik air, membuat cuaca malam semakin bertambah pekat. Samar-samar mulai terlihat titik-titik air yang mulai berjatuhan menyirami bumi. Seakan-akan ikut ber-duka cita atas peristiwa berdarah itu. Sedangkan di tempat lain, dua sosok tubuh tergesa-gesa berlari-lari menjauhi tempat itu. Siapakah mereka?

***
TIGA
Hari masih pagi. Di ufuk Timur mulai tampak sinar matahari yang kemerah-merahan. Alam pun mulai terjaga dari tidurnya. Burung-burung berkicau indah. Di kejauhan terlihat sebuah bayangan hitam yang melesat cepat! Bayangan Itu berlari semakin dekat, diringi kepulan debu. Rupanya bayangan itu adalah seekor kuda, yang ditung-gangi dua orang lelaki.

Lelaki yang mengendalikan kuda, berumur lima puluh tahun. Wajahnya nampak lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sepertinya banyak mengalami tekanan berat dalam hidupnya. Sedangkan orang yang memboncengnya, berusia lebih kurang delapan tahun. Meski terlihat kotor dan penuh debu, namun jelas bahwa anak ini memiliki paras yang tampan. Tarikan bibirnya yang begitu kuat, Suatu tanda bahwa anak ini mempunyai kemauan keras. Hanya saja, pada saat itu wajahnya nampak murung. Raut kesedihan tergambar di wajahnya.

Mereka terus memacu kudanya memasuki sebuah hutan yang sangat lebat. Setelah menoleh sekilas ke belakang, orang tua itu segera menggeprakkan kakinya ke perut kuda hingga binatang itu mempercepat larinya. Mereka memasuki hutan semakin ke dalam. Setelah cukup lama menerobos rimbunan dedaunan, maka tibalah mereka pada sebuah tempat yang agak lapang. Di bawah sebuah pohon besar, mereka beristirahat melepaskan lelah.

"Paman. Sudah hampir sebulan kita menghindari orang-orang jahat itu. Lalu, kemanakah tujuan kita sebenarnya, Paman?" Tiba-tiba anak itu bertanya kepada si Orang Tua.

"Entahlah, Tuan Muda. Paman sendiri tidak tahu. Tapi bagi Paman tidak menjadi masalah. Ke mana pun kita akan pergi dan di mana pun kita akan tinggal, yang penting Tuan Muda selamat!" Ujar orang tua itu dengan suara parau.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara melengking tinggi, seperti suara tangisan. Orang tua itu tersentak kaget, dan mulai meneliti keadaan di sekitarnya. Dahinya berkerut bagaikan sedang mengingat-ingat sesuatu. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, bagaikan barisan raksasa yang mengepung mereka.

Kembali lengkingan itu terdengar. Kali ini dibarengi suara rintihan yang panjang dan menyayat. Angin dingin bertiup keras menerpa tubuh mereka yang menggigil keras. Anak kecil itu semakin erat memeluk tubuh si Orang Tua. Sementara wajah si Orang Tua pelahan-lahan memucat, Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Dadanya berdebar keras, dan otot-otot tubuhnya menegang!

"Hut..., hut... tan Ran... du..., Apusss!?" Ucap orang tua itu terputus-putus. Bibirnya bergetar dan otot-otot tubuhnya semakin menegang. Tangannya yang gemetar berusaha menyentuh gagang pedang yang tergantung di pinggang kirinya.

"Tempat apakah ini, Paman? Rasanya menyeramkan sekali?" Tanya anak kecil itu. Meski wajahnya pucat, namun suaranya tenang. Memang anak itu belum tahu apa-apa.

Lain halnya dengan orang tua itu. Dia segera teringat cerita-cerita yang pernah didengar sebelumnya dari orang persilatan, maupun dari para pemburu. Hutan Randu Apus atau yang dikenal juga sebagai Hutan Iblis Menangis, adalah sebuah hutan yang dianggap keramat! Orang yang pernah datang ke hutan itu jangan harap dapat kembali pulang! Mereka lenyap tanpa bekas. Menurut orang-orang desa sekitar, mereka dimangsa oleh Iblis Menangis yang tinggal di hutan itu.

Dulu, pernah beberapa orang yang dikenal sebagai jagoan-jagoan desa sekitar, berkumpul dan memasuki hutan ini. Niat mereka adalah untuk membunuh iblis penghuni Hutan Randu Apus. Namun mereka pun lenyap bagai ditelan bumi! Itulah cerita-cerita yang pernah didengar oleh orang tua tersebut.

"Paman! Paman Wira Tama! Ada apa, Paman? Paman, kenapa?" Anak kecil itu mengguncang-guncang tubuh orang tua yang ternyata bernama Wira Tama sambil berteriak-teriak.

Wira Tama tersadar dari lamunannya. Dicobanya untuk tersenyum, namun yang tampak adalah seringai kengerian. "Ah.... Tidak ada apa-apa, Tuan Muda! Tempat ini sangat cocok untuk persembunyian. Kita akan aman di sini!" Jawab Wira Tama menghibur. "Sebaiknya, sekarang kita mencari tempat untuk nanti malam."

Anak kecil itu ternyata anak Paksi Buana. Dia berhasil diselamatkan pembantunya yang bernama Wira Tama. Sudah hampir satu bulan mereka melarikan diri karena dikejar-kejar murid-murid si Tiga Iblis Gunung Tandur. Sampai akhirnya mereka tersesat di Hutan Randu Apus.

Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Bias-bias sinarnya pun telah menerobos rimbunnya dedaunan pepohonan Hutan Randu Apus. Udara di dalam hutan pelahan-lahan mulai hangat. Sementara itu, Wira Tama dan anak Paksi Buana yang bemama Panji, mulai menerobos masuk ke dalam hutan untuk mencari tempat bermalam nanti. Tiba-tiba terdengar sebuah raungan dahsyat, yang bergema menggetarkan hutan tersebut Keduanya tersentak mundur dengan wajah pucat! Dada mereka berguncang keras. Bahkan Panji sampai jatuh terduduk, karena lututnya mendadak lemas!

"Suara apakah itu, Paman?" Tanyanya sambil berusaha untuk bangkit.

"Entahlah, Tuan Muda. Suara itu terlalu besar untuk seekor harimau!" Jawab Wira Tama, yang sudah mencabut pedangnya.

Mereka terus melangkah dengan hati berdebar-debar. Napas mereka pun memburu menahan rasa takut dan ketegangan yang amat sangat. Raungan tersebut, kembali bergema. Kali ini bahkan lebih keras, hingga mereka terdorong beberapa langkah dan jatuh berhimpitan. Tubuh keduanya gemetar hebat. Belum lagi hilang rasa terkejut, didepan mereka telah muncul seekor harimau yang sangat besar!

Paman Wira Tama dan Panji hanya mampu terpaku, dengan tubuh gemetar. Harimau Itu memang sangat besar dan kelihatannya kuat sekali. Tubuhnya satu setengah kali lebih besar daripada harimau biasa. Panjangnya hampir mencapai dua batang tombak! Binatang raja hutan itu mengaum buas, memperlihatkan taring-taring yang besar dan tajam bagai mata pisau.

Wira Tama bangkit lalu memungut pedangnya yang terlepas dari genggamannya. Dicobanya untuk menenang-kan diri. Jalan napasnya diatur pelahan-lahan. Dia kini telah siap melindungi majikan kecilnya dengan taruhan nyawa.

Sementara Panji yang belum hilang rasa terkejutnya, masih terduduk lemas. Tiba-tiba ia tersentak, setelah teringat akan nasihat yang selalu ditanamkan ayahnya. Nasihat itu berisi, apabila dihantui perasaan cemas, tegang, maupun takut, maka jalan napas harus diatur guna mengendorkan urat-urat yang tegang. Nasihat ini ditanamkan untuk membentuk jiwa pendekar dalam diri Panji.

Dan kini anak itu mencoba menerapkan nasihat ayah-nya. Pelahan-lahan mulai dirasakan kebenaran ucapan ayahnya Itu. Setelah hatinya terasa agak tenang, ia pun bangkit dan berlindung di balik sebuah pohon yang agak jauh dari harimau Itu.

Sementara harimau ganas itu kelihatan mengambil ancang-ancang, Tiba-tiba dengan dibarengi raungan yang dahsyat, harimau itu menerkam Wira Tama. Kuku-kukunya yang tajam dan kuat itu, siap menyobek tubuh mangsanya.

Namun demikian, Wira Tama bukanlah orang lemah. Meskipun hanya seorang pelayan, ia pun tidak buta akan ilmu olah kanuragan. Sebagai orang kepercayaan keluarga Paksi Buana, dia pun dibekali kepandaian yang tidak ringan. Maka ketika harimau itu menerkam ke arahnya, dia pun segera berkelit dengan jurus 'Naga Malas'. Tubuhnya menggeliat ke kiri, sehingga luput dari serangan harimau yang kelihatan lapar itu. Melihat terkamannya dapat dielakkan, si Raja Hutan tampaknya marah bukan main! Dengan meraung murka, ia kembali menerjang.

Mungkin si Raja Hutan itu menerka bahwa calon korbannya kali ini bukan orang sembarangan. Buktinya, terkamannya kali ini pun tidak kepalang tanggung. la melesat dengan kecepatan tinggi, sementara kedua cakarnya kali ini diarahkan ke kepala calon korbannya.

Menghadapi terkaman itu, Wira Tama segera melenting tinggi melewati kepala harimau. Pada saat yang tepat, pedangnya berkelebat dengan kecepatan penuh menebas leher si Raja Hutan, yang berada di bawahnya itu.

"Buk!" Terdengar suara seperti batang besi yang dibenturkan dengan kuatnya ke gumpalan karet.

Wira Tama bersalto beberapa kali di udara, untuk menjauhi sang harimau. Kakinya mendarat dengan ringan beberapa tombak di belakang tubuh harimau itu. Tangannya dirasakan nyeri sekali. Tidak disangka kalau tubuh harimau itu begitu keras! Hampir saja pedangnya terlepas dari genggaman tangannya.

"Gila! Sungguh luar biasa harimau ini! Sampai-sampai pedangku pun tak mampu melukai tubuhnya! Aneh?!" keluhnya sedikit khawatir. Kecemasan mulai terbayang di wajahnya.

Sementara harimau itu sudah menerjang kembali dengan dahsyatnya. Tubuhnya melesat bagaikan kilat disertai raungan panjang, yang bergema ke seluruh penjuru hutan. Wira Tama yang masih terpaku di tempatnya, menjadi kalang kabut. Karena tahu-tahu saja kedua cakar harimau hampir menyentuh tubuhnya. Dengan gugup, digerakkan pedangnya secara mendatar menyambut terkaman Raja Hutan itu seraya melompat ke samping kiri.

Namun terlambat, Wira Tama masih kalah cepat dengan harimau itu. Pedangnya terlempar entah ke mana, sedangkan tubuhnya melambung tinggi terkena sambaran kaki kanan binatang itu.

"Aaakh...!" Terdengar jerit kesakitan yang merobek kesunyian Hutan Randu Apus. Orang tua malang itu terbanting keras ke bumi. Dari luka yang menganga di dadanya, merigalir cairan merah yang masih segar. Belum lagi ia dapat bangkit, harimau itu telah menerkam kembali. Tanpa ada suara lagi, pelayan yang setia dari Paksi Buana itu tewas. Tubuhnya tak berbentuk lagi.

Panji yang menyaksikan kejadian itu, menjadi terguncang hatinya. Ingatannya terbayang kembali pada wajah kedua orang tuanya yang sangat menyayanginya itu, yang kini telah tiada. Tewas di tangan orang orang jahat yang menyerbu padepokan milik ayahnya. Satu persatu terbayang di benaknya, wajah-wajah orang jahat yang telah membunuh ayah dan ibunya. Tanpa terasa, mengalir dua tetes air matanya. Namun demikian cepat dihapusnya air mata itu dengan punggung tangannya. Terngiang kembali kata-kata ayahnya.

"Panji..., seorang lelaki sejati tidak akan menangis betapapun berat beban yang dideritanya. Yang pantas mengeluarkan air mata hanyalah wanita!" Itulah yang selalu dikatakan Paksi Buana kepada anaknya. Dengan menggertakkan gigi, Panji segera keluar dari tempat persembunyiannya. Tidak ada lagi rasa takut dalam dirinya. Satu satunya orang yang menjadi tempatnya berlindung, telah pula tewas diterkam harimau buas itu.

"Harimau jahat! Harimau jelek! Ayo, terkamlah aku! Lawanlah aku!" Panji yang sudah tidak mempedulikan dirinya lagi itu, terus melangkah maju mendekati bina-tang buas itu.

Si Raja Hutan yang kelihatannya sudah tidak memperhatikan Panji itu, menoleh sambil menggereng lirih. Seolah-olah memperingatkan bahwa ia tidak ingin diganggu. Namun Panji yang marahnya telah meluap terhadap harimau itu, sudah tidak mempedulikannya lagi Diambilnya beberapa buah batu sekepalan tangannya lalu dilemparkannya ke tubuh si Raja Hutan.

Merasa kesenangannya diganggu, harimau itu menggereng marah. Terdengar raungannya yang seperti akan merontokkan jantung. Tanpa sadar, Panji melangkah mundur. Wajahnya nampak pucat dan tubuhnya gemetar, karena pengaruh raungan itu. Tapi segera dikuatkan hatinya Dua buah batu yang masih digenggam, dilemparkannya ke tubuh sang harimau.

Kali ini dengan dibarengi raungannya yang dahsyat, harimau itu melompat menerkam Panji, yang berdiri me-matung dengan wajah memucat! Sementara Panji bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang akan terjadi?!

Dapat dipastikan taring harimau itu akan melumat tubuh kecil yang tanpa dosa itu. Tapi, sebelum terkaman harimau mengenai sasaran, tiba-tiba tubuh raja hutan itu terbanting ke tanah, seraya meraung keras karena merasa kesakitan. Dan kini tahu-tahu, di samping Panji telah berdiri sosok tubuh seorang kakek tua. Seluruh rambut di kepala, kumis, dan janggutnya telah memutih. Usia kakek itu kira-kira telah mencapai tujuh puluh tahun, namun potongan tubuhnya masih menampakkan kegagahan. Pakaiannya jubah putih longgar, melambai-lambai tertiup angin.


Kakek itu tersenyum lembut. Sambil tangannya yang agak keriput itu mengusap tubuh Panji yang masih gemetar. Anak kecil itu sedikit heran, karena dari telapak tangan kakek itu mengalir hawa sejuk. Pelahan-lahan tubuh Panji menjadi segar kembali dan hatinya pun menjadi tenang. Kakek itu kembali menatap ke arah si Raja Hutan yang nampak bersiap-siap hendak menyerang kembali. Disertai raungan murka, harimau itu kembali menerjang ke arah sang kakek yang menghadapinya dengan senyum lembut.

Ketika serangan harimau sudah hampir sampai kakek misterius itu menghentakkan kedua tangannya kedepan. Akibatnya sungguh menakjubkan! Tubuh si Raja Hutan itu terlempar sejauh tiga tombak lalu jatuh berdebum di tanah. Namun harimau itu tidak menjadi kapok Diulanginya serangan itu beberapa kali, namun hasilnya sama saja.

Setelah merasakan bantingan untuk yang kesekian kalinya, rupanya harimau itu menyadari bahwa manusia yang satu ini merupakan lawan yang berat baginya. Kini dia hanya berputar ke kiri dan ke kanan seolah-olah ingin mencari kelemahan lawannya. Si Kakek sendiri merasa takjub oleh kekuatan harimau itu. Padahal tadi telah dipergunakan seperempat tenaga nya. Namun harimau itu sama sekali tidak terluka.

"Sungguh luar biasa daya tahan harimau ini!" Decaknya kagum. "Rasanya tokoh persilatan pun sulit menundukkannya. Sungguh sayang sekali apabila harus dibunuh," lanjut kakek itu, seolah-olah berkata pada dirinya sendiri.

"Eyang, bagaimana kalau kita pelihara?" Usul Panji tiba-tiba.

"Tidak, Cucuku! Biarlah dia bebas dan merdeka seperti ini!" Ujar sang kakek lembut.

Baru saja kakek itu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba terdengar raungan keras kembali. Kali ini si Raja Hutan kembali menerjang sepenuh tenaganya, disertai raungan yang menggetarkan memenuhi penjuru hutan. Sementara itu, Panji sampai jatuh terduduk, karena mendadak seluruh tubuhnya terasa lumpuh. Sementara kedua tangannya mendekap dada, karena jantungnya untuk beberapa saat seolah-olah terhenti.

Kakek misterius itu, semakin kagum akan kekuatan harimau yang begitu dahsyat. Kalau saja ia tidak memiliki tenaga dalam yang tinggi, tentu sudah jatuh seperti halnya Panji. Kakek itu pun rupanya tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Maka, kali ini dikerahkan hampir separuh tenaga dalamnya. Pelahan-lahan udara di sekitar tempat itu mulai terasa hangat.

Ketika kuku-kuku harimau itu hampir mengenainya, si kakek memiringkan tubuhnya ke kanan, sambil tangan kanannya bergerak membacok. Akibatnya sungguh luar biasa! Harimau yang terhantam tangan kakek itu meraung keras. Tubuhnya meluncur deras dan menabrak sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa. Pohon itu kontan patah dengan suara berderak keras. Si Raja Hutan itu kali ini harus mengakui keunggulan orang tua ini. Tubuhnya tergeletak dengan posisi miring. Sesekali terdengar gerengannya pelahan, bagaikan sedang menahan rasa sakit yang hebat! Benar-benar luar biasa kekuatan tubuh si Raja Hutan itu! Seandainya yang menerima pukulan tadi tokoh persilatan tingkat pertengahan, bukan mustahil tubuhnya remuk terkena hantaman kakek itu.

Kakek tua itu segera menghampiri tubuh Si Raja Hutan yang belum dapat bangkit lagi. Dia kemudian berjongkok di sisi harimau itu, lalu menotok di beberapa bagian tubuh binatang buas yang hanya mampu menggereng lirih itu. Beberapa saat kemudian, harimau itu bangkit dan melarikan diri ke dalam hutan.

Setelah harimau itu tidak kelihatan lagi, kakek itu melangkah mendekati tubuh Panji, yang masih terbaring di atas rumput. Jari-jari tangannya mengurut bagian-bagian tertentu di tubuh anak tak berdosa itu. Beberapa saat kemudian, Panji sudah dapat bangkit berdiri. Dia merasa heran, ketika didapati tubuhnya terasa segar dan nyaman. Tidak ada sisa-sisa kelelahan sedikit pun.

"Nama saya Panji. Saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Eyang! Entah apa jadinya diri saya ini, tanpa pertolongan Eyang!" Ucap Panji sambil bersimpuh di hadapan orang tua sakti itu.

Si Kakek hanya tersenyum lembut, demi melihat tutur kata yang sopan dari bocah berusia delapan tahun itu. "Cucuku...," ujarnya lembut. "Sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia untuk saling tolong-menolong. Nah! Oleh karena itulah, jangan engkau merasa berhutang budi kepada Eyang, Cucuku! Lalu..., hendak ke manakah engkau sekarang, Cucuku? Dan mengapa engkau berada di hutan yang berbahaya ini?" Tanyanya heran.

"Entahlah, Eyang," jawab Panji bingung. "Saya... Saya tidak tahu."

Sehabis berkata demikian, Panji termenung Dia berusaha menahan kesedihan, karena terbayang kembali akan kejadian-kejadian yang menimpa keluarganya. Kini ia tinggal sendiri, karena orang-orang yang dikasihi semua telah tiada lagi. Oleh karena itulah kerika dltanya orang tua tersebut, la jadi bingung. Tidak tahu harus menjawab apa.

"Sudahlah, Cucuku! Jangan kau bersedih. Ceritakanlah, barangkali Eyang dapat membantu kesulitanmu?" Ujar orang tua itu iba, ketika dilihatnya Panji menunduk sedih.

Dengan suara terputus-putus, Panji lalu menceritakan segala kejadian yang menimpa keluarganya. Mulai dari saat kehancuran padepokan ayahnya oleh Tiga Iblis Gu-nung Tandur, sampai tersesat di Hutan Iblis Menangis ini.

Orang tua itu, mengangguk-anggukkan kepalanya sambil sesekali terdengar helaan napasnya yang panjang. "Hm.... Bunuh-membunuh.... Balas-membalas... Selalu terjadi dalam dunia yang semakin tua ini," kakek itu bergumam tak jelas. Seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri. "Cucuku, apakah engkau pun berniat membalas kematian ayahmu?" Tanya kakek itu ingin tahu.

Setelah berpikir beberapa saat lamanya, Panji menarik napas pelahan. "Eyang, saya tidak tahu. Tapi..., apakah Ayah dan Ibu saya akan tenang di alam baka, apabila saya sebagai anaknya tidak membalas dendam? Apakah mereka tidak akan murka, Eyang?" Jawab Panji seraya juga memberondong dengan pertanyaan.

Mendengar jawaban itu si Kakek tersenyum, sambil mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih. la tidak ingin menjawab pertanyaan Panji, karena ia tahu hati anak itu masih dikuasai kemarahan dan dendam yang membara. "Aku lihat, kau memiliki susunan tulang yang baik Darahmu pun bersih. Rasanya..., kau akan menjadi seorang pendekar yang hebat, apabila mau mempelajari ilmu olah kanuragan. Maukah kau menjadi muridku, Cucuku?" Tanya kakek itu sambil tersenyum.

Panji tidak mengerti, apa yang diucapkan orang tua sakti tersebut. Tapi ketika mendengar pertanyaan itu, ia pun langsung berlutut di hadapan kakek itu "Saya mau, Eyang..! Saya mau...," kata Panji girang sambil mengangguk-anggukkan kepala. Mulutnya tak henti-hentinya berucap, hingga napasnya memburu karena kegembiraan yang meluap-luap.

Orang tua itu mengangguk senang, sambil tangannya mengusap-usap kepala Panji yang bersujud di hadapannya itu. Setelah menguburkan jenazah Wira Tama, kakek sakti itu lalu mengajak Panji untuk pergi dari situ Sambil memondong Panji, tubuhnya berkelebatan bagaikan baya-ngan hantu yang sedang mencari mangsa. Dalam sekejap saja, kakek itu telah jauh meninggalkan tempat tersebut. Jubahnya yang lebar berkibaran, sehingga sepintas lalu tubuh kakek itu bagaikan seekor burung yang melayang-layang di udara.

Siapakah sebenarnya kakek sakti itu? Dan ke mana Panji akan dibawa pergi?

Orang tua sakti itu bernama Eyang Tirta Yasa. Empat puluh tahun yang lalu ia telah menggemparkan dunia persilatan berkat ilmunya yang sangat dahsyat, 'Telapak Tangan Petir. Itulah sebabnya, mengapa ia dijuluki si Malaikat Petir!

Banyak sudah tokoh persilatan dari kalangan sesat telah tewas di tangannya. Memang zaman itu merupakan masa yang sangat suram bagi golongan sesat. Kemunculan Eyang Tirta Yasa yang tiba-tiba bagai malaikat, menyebabkan banyak tokoh sesat berpikir dua kali untuk menghadapinya. Sepak terjangnya yang sangat menggiriskan itu memang membuat resah lawan-lawannya. Akibatnya, pada masa itu sulit untuk menemukan tindak kejahatan.

Para perampok yang biasanya tidak kenal rasa takut, terpaksa harus menyembunyikan diri. Sebab si Malaikat Petir, tidak kepalang tanggung dalam bertindak. Siapa pun yang berbuat kejahatan, maka dapat dipastikan, tidak akan dapat menikmati hangatnya sinar matahari esok pagi.

Memang pada masa itu terdapat juga beberapa tokoh sakti yang setingkat dengan si Malaikat Petir. Mereka adalah, Dewa Tanpa Bayangan. Kemudian si Raja Obat, dan beberapa nama lainnya. Mereka semua merupakan pendekar ternama dan sangat disegani kawan maupun lawan. Di samping itu dari golongan sesat pun masih banyak tokoh hitam yang berkepandalan tinggi.

Dalam waktu yang singkat, nama Malaikat Petir telah mampu menggeser tokoh-tokoh tua golongan putih yang telah puluhan tahun berkecimpung dalam dunia persilatan. Tentu saja, ada beberapa dari mereka yang ingin menjajagi sampai di mana kepandaian yang dimiliki si Malaikat Petir itu. Namun sampai sekian jauh, uji coba kepandaian antara si Malaikat Petir melawan tokoh tua, tidak sampai jatuh korban ataupun terluka parah. Juga, tidak menimbulkan rasa permusuhan di antara mereka. Sementara sebagian tokoh banyak juga yang merasa bangga, karena tugas-tugas mereka telah diambil alih oleh si Malaikat Petir. Dengan demikian mereka dapat mengasingkan diri dengan aman dan tenteram.

Setelah kurang lebih sepuluh tahun nama Malaikat Petir menggema dalam dunia persilatan, tiba-tiba saja pendekar besar itu menghilang tak tentu rimbanya. Si Malaikat Petir, lenyap bagaikan ditelan bumi! Dunia persilatan pun gempar! Para tokoh hitam bersorak dan berpesta setelah mendengar kabar itu. Sementara masyarakat kembali resah. Jelas kehidupan mereka bakal kembali terancam dirongrong gerombolan perampok.

Para sahabat si Malaikat Petir pun telah berusaha mencari kabar tentang pendekar sakti itu. Namun si Malaikat Petir benar-benar lenyap bagai ditelan bumi. Tahun-tahun selanjutnya, nama si Malaikat Petir mulai dilupakan orang. Di kedai-kedai maupun di jalan-jalan, tidak terdengar lagi nama si Malaikat Petir diperbincangkan orang. Namanya benar-benar telah tenggelam.

Tiga puluh tahun telah berlalu semenjak la lenyap bagai ditelan bumi. Dan kalangan rimba persilatan, telah menganggap si Malaikat Petir telah meninggal dunia. Namun, tiba-tiba saja pendekar sakti itu muncul ditengah rimba belantara yang sunyi dan menyeramkan. Dan sekaligus telah menyelamatkan jiwa Panji dari kematian.

Kini, bayangan tubuh orang tua sakti itu tengah ber-loncatan mendaki sebuah bukit yang permukaannya terdapat batu-batu yang bertonjolan. Meskipun demikian, tubuh orang tua sakti itu sama sekali tidak merasa terganggu. Ilmu meringankan tubuhnya memang telah mencapai taraf kesempurnaan. Tubuh orang tua itu, melayang-layang dengan gesit, bagaikan seekor burung yang tengah bermain-main di angkasa.

Sementara tubuh Panji yang berada di tangan kanannya itu, telah tertidur pulas. Rupanya Ia merasa aman dalam lindungan kakek sakti itu. Tanpa disadari keleti-han yang selama ini disembunyikannya itu terlepas sudah. Sehingga ia jatuh terlelap seketika itu juga.

***
EMPAT
Bukit Goa Harimau, adalah salah satu bukit di antara sekian banyak bukit yang terdapat di sekitar Hutan Randu Apus. Mungkin karena di atas bukit itu terdapat sebuah goa yang berbentuk kepala harimau maka dinamakan Bukit Goa Harimau.

Di atas puncak bukit ini terdapat sebuah tanah datar yang cukup luas. Di tengah-tengah tanah lapang itu berdiri sebuah pondok yang cukup besar dan kuat. Sementara di belakang pondok itu mengalir sebuah sungai jernih, yang bersumber dari sebuah air terjun tidak jauh dari pondok. Rupanya di sinilah tempat si Malaikat Petir menyembunyikan dirinya selama puluhan tahun. Suatu tempat yang sukar didatangi. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mencapai tempat itu. Bukan saja bukit itu sangat sulit untuk didaki. Ternyata di dalam Hutan Randu Apus terdapat banyak binatang buas yang sangat berbahaya.

Matahari mulai memancarkan sinarnya. Pelahan-lahan suasana yang semula redup menjadi terang. Kehangatan yang dipancarkannya mulai terasa menyengat kulit. Sementara itu di sebuah pondok di atas Puncak Bukit Goa Harimau, tampak dua sosok tubuh tengah duduk berhadapan. Mereka duduk bersila dengan keheningan yang menyelimuti sekitarnya. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.

Ternyata, dua sosok tubuh itu adalah Eyang Tirta Yasa dan Panji. Mereka memang telah menetap di tempat ini. Sebuah tempat persembunyian Eyang Tirta Yasa, sejak penyepiannya puluhan tahun yang lalu.

"Cucuku," ujar orang tua itu lembut memecah keheningan. "Mulai pagi ini, Eyang akan memberikan dasar-dasar segala ilmu silat. Oleh karena itu, Eyang berharap agar engkau tekun dan sabar dalam mempelajarinya. Karena, tanpa kesabaran dan ketekunan, sulit akan mencapai hasil yang sempurna."

"Baik, Eyang! Saya berjanji akan selalu mengikuti segala petunjuk Eyang," jawab Panji dengan kepala tunduk. Kata-katanya halus, namun di dalamnya tersembunyi sebuah tekad yang kuat.

Eyang Tirta Yasa mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil sesekali mengelus janggut putihnya itu. Ia semakin suka dan sayang kepada anak itu. Anak seperti inilah, yang dicarinya selama ini untuk diwariskan ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Anak seperti inilah yang akan mengangkat namanya pada masa-masa mendatang.

"Cucuku! Ilmu silat tidak ada bedanya dengan berdirinya sebuah gunung ataupun sebatang pohon. Semuanya harus memiliki dasar yang kokoh dan kuat. Sekarang perhatikanlah pohon besar itu! Betapapun besar dan kuatnya pohon itu, namun apabila tidak mempunyai akar yang kokoh dan kuat bukan tidak mungkin akan mudah untuk ditumbangkan angin."

Orang tua itu menarik napas sejenak, sambil menatap Panji yang masih memperhatikan pohon besar itu. Kemudian, Eyang Tirta Yasa mengajak Panji ke bibir bukit, lalu menunjuk ke sebuah bukit lain yang tidak jauh dari Bukit Goa Harimau.

"Nah! Sekarang lihatlah bukit yang berada didepan itu!" ujarnya pelan. "Coba kau terangkan, hubungan antara bukit itu dengan ilmu yang telah kau serap tadi," lanjut orang tua itu, sambil menoleh kepada Panji.

Anak itu berdiri tegak sambil memandang ke bukit yang dimaksud Eyang Tirta Yasa. Kedua alisnya bertaut, pertanda la tengah berpikir keras. "Eyang, menurut pengamatan saya yang bodoh ini, bagian bawah dari bukit itu terlihat lebih besar daripada bagian atasnya. Sedangkan ilmu olah kanuragan harus memiliki dasar yang lebih besar pula. Jadi, menurut hemat saya, pada bagian bawah itulah yang berhubungan dengan dasar ilmu silat!" Jawabnya tanpa ragu-ragu lagi.

"Bagus, Cucuku! Sudah kuduga bahwa engkau adalah anak yang cerdas!" Ujar kakek itu, dengan wajah berseri-seri. "Jadi, untuk menguasai ilmu silat kita harus mempunyai dasar yang kuat seperti pohon dan gunung tadi. Apakah engkau sudah paham, Cucuku?" Tanya orang tua itu lebih lanjut.

"Ya, Eyang! Saya paham," jawab Panji.

Panji memang seorang anak yang keras hati dan tekun dalam mempelajari segala sesuatu. Selain itu, ia pun seorang anak yang rajin dan cerdas. Maka tidaklah aneh apabila latihan-latihan dasar yang diberikan gurunya itu dapat dikuasainya dalam waktu yang singkat. Pelajaran-pelajaran dasar tersebut selalu diterapkan dalam setiap kesempatan. Dalam beberapa bulan saja, gerakan-gerakannya sudah terlihat mantap dan bertenaga. Demikian juga dengan posisi kuda-kudanya yang nampak kokoh dan indah.

***

Sang waktu terus bergulir cepat. Tanpa terasa, lima tahun sudah Panji tinggal bersama orang tua sakti di Puncak Bukit Goa Harimau. Hari belum lagi menjelang sore, ketika sesosok tubuh yang bertelanjang dada, tengah bergerak dengan lincahnya. Kadang-kadang sosok tubuh itu melenting ke udara sambil melepaskan tendangan berantai. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya! Kemudian dengan manis sekali kakinya menjejak tanah.

Tiba-tiba, Ia berteriak keras, sambil kedua kakinya membentuk kuda-kuda dengan posisi menunggang kuda. Kedua kakinya bergeser ke kiri dan ke kanan, sementara kedua telapak tangannya terkepal di kedua sisi pinggang. Dari sela-sela bibirnya terdengar desisan halus. Rupanya dia tengah berlatih dalam menghimpun tenaga dalam.

Hari sudah menjelang sore. Di ufuk Barat, sinar kemerah-merahan menyemburat merah. Suatu pertanda sang surya akan kembali ke peraduannya. Sementara sosok tubuh itu pun nampaknya sudah pula mengakhiri latihannya. Dadanya yang tidak berbaju itu, telah basah oleh peluh. Wajahnya yang tampan tampak berwarna kemerahan hingga makin meriambah ketampanannya. Sosok tubuh itu ternyata seorang anak remaja! Walau usianya sekitar tiga belas tahun, namun kepandaiannya sudah demikian hebat. Baru saja anak itu hendak melangkah meninggalkan tempat latihannya, tiba-tiba terdengar teguran dari arah belakangnya.

"Cucuku, temuilah Eyang di ruang seperti biasa, sesudah engkau membersihkan tubuhmu lebih dahulu!"

Anak yang ternyata adalah Panji itu terkejut bukan main karena kedatangan orang tua itu, sama sekali tidak diketahuinya. "Luar biasa sekali kepandaian Eyang Tirta Yasa! Sampai-sampai kedatangannya pun tidak terdengar sama sekali! Sungguh luar biasa!" Gumam Panji dalam hati.

Panji memiliki sifat serba ingin tahu. Maka, ia berniat menanyakan langsung kepada gurunya itu. Namun ketika la menoleh ternyata orang tua itu sudah tidak ada di situ lagi. Semakin terkejutlah anak itu. Dia benar-benar mengagumi kesaktian gurunya itu.

***

Malam sudah mulai turun. Kegelapan pun pelahan-lahan mulai menyelimuti bumi. Nyanyian binatang malam mulai terdengar bersahutan, seolah-olah mengucapkan selamat datang kepada sang malam. Pada saat itu Panji tengah duduk berhadapan dengan gurunya, Eyang Tirta Yasa alias si Malaikat Petir di sebuah ruangan yang cukup besar tapi hanya diterangi lampu minyak yang bergoyang-goyang tertiup angin malam.

"Cucuku," ucap Eyang Tirta Yasa, memecah keheningan malam. "Eyang rasa, sudah saatnya kau kuwarisi ilmu-ilmu kesaktian yang tinggi. Karena Eyang lihat, kau sudah cukup mampu untuk menerimanya. Namun, Eyang tidak akan menurunkan ilmu 'Telapak Tangan Petir. Ilmu yang akan Eyang turunkan nanti adalah ilmu ciptaan Eyang Selama tiga puluh tahun belakangan ini," ujarnya lembut.

"Eyang, bagi saya hal itu bukanlah persoalan. Sebab saya percaya bahwa semua yang Eyang turunkan adalah yang terbaik buat saya!" sahut Panji penuh hormat.

"Benar, Cucuku! Ilmu 'Naga Sakti', yang belakangan ini Eyang ciptakan rasanya lebih cocok untukmu!"

"Terima kasih, Eyang! Sungguh besar sekali budi Eyang kepada saya. Entah dengan cara apa, saya bisa membalasnya!" Ucap Panji dengan kepala tertunduk. Dadanya terasa sesak, karena menahan rasa haru yang dalam.

"Berjanjilah untuk berlatih sungguh-sungguh, Cucuku! Dengan begitu berarti engkau sudah membalasnya!" Jawab si Malaikat Petir bijaksana. Wajahnya kelihatan bersungguh-sungguh.

"Saya berjanji! Dan saya akan selalu mengingat segala nasihat Eyang!" jawab Panji mantap. Dari matanya ter-pancar semangat yang membaja.

Dan pada keesokan harinya, Eyang Tirta Yasa pun telah mulai menurunkan ilmu-ilmu tingkat tinggi kepada Panji. Dengan penuh kesabaran orang tua sakti itu mem-berikan petunjuk-petunjuk tentang ilmu 'Naga Sakti', yang merupakan ilmu terdahsyat yang telah diciptakan selama dalam pengasingannya. Selain ilmu itu, juga ada beberapa ilmu lainnya. Seperti ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Ilmu yang disebutkan terakhir inilah yang berguna untuk menunjang penggunaan ilmu 'Naga Sakti'.

Dengan semangat yang tinggi dan penuh kesungguhan, Panji melatih ilmu-ilmu itu tanpa mengenal lelah. Tidak peduli pagi, siang ataupun malam. Setiap kesempatan yang sedikit saja selalu dipergunakannya untuk berlatih.

***

Waktu berlalu demikian cepat. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun. Tahun ini, genap sudah tahun kelima, semenjak Eyang Tirta Yasa menurunkan ilmu-ilmu ciptaannya kepada Panji. Itu berarti usia Panji kini kira-kira delapan belas tahun.

Sementara, pagi ini, suasana di sekitar Bukit Goa Harimau yang dingin mendadak menjadi gelap. Sinar matahari terhalang oleh awan hitam. Nampaknya, tidak akan lama lagi hujan akan segera turun! Angin dingin bertiup keras. Pohon-pohon besar bergoyang-goyang dengan kuatnya, bahkan sampai menimbulkan suara berderak. Pelahan-lahan, titik air mulai nampak sering jatuh ke bumi. Sesekali terseling gelegar halilintar yang bersahut-sahutan memekakkan telinga. Hujan pun turun dengan derasnya.

Di tengah-tengah derasnya air hujan, nampak sebentuk sinar berwarna putih keperakan bergulung-gulung bagaikan seekor naga tengah bermain-main di angkasa. Gulungan sinar itu bergerak secara bergelombang turun naik dengan cepatnya, sehingga menimbulkan angin yang menderu-deru.

Sinar itu ternyata berasal dari sebilah pedang yang dikelebatkan oleh seorang pemuda remaja, yang berusia delapan belas tahun. Desiran angin pedang itu mengaung dahsyat di antara kilatan petir yang menggelegar di angkasa. Sungguh sebuah ilmu pedang sangat dahsyat!

Pemuda tampan yang rambutnya telah mencapai bahu itu, jelas adalah Panji! Gerakan-gerakan pedangnya hebat bukan main! Benar-benar mirip dengan gerakan seekor naga! Kecepatannya laksana kilat yang menyambar-nyambar di angkasa raya. Dan yang lebih hebat lagi, tak ada setetes air hujan pun yang membasahi tubuhnya!

Tidak salah lagi, ilmu pedang yang sedang dimainkan Panji adalah 'Ilmu Pedang Naga Sakti'. Sebuah ilmu pedang yang diambil dari ilmu tangan kosong 'Naga Sakti'. Dan inilah salah satu keistimewaan ilmu 'Naga Sakti' yang diwariskan si Malaikat Petir. Ilmu itu dapat dimain-kan dengan tangan kosong maupun dengan pedang!

Kini, Panji telah menutup latihan iimu silat pedangnya. Dililitkan pedangnya di pinggang. Ternyata pedang itu sangat tipis dan lemas, sehingga dapat dijadikan ikat pinggang! Sebuah pedang pusaka yang hebat. Dan jarang dimiliki oleh tokoh-tokoh dunia persilatan.

Baru saja Panji menyimpan pedangnya, ia pun segera menggeser kakinya, membentuk kuda-kuda dalam posisi menunggang kuda. Sementara kedua tangannya saling bersilang didepan dada, dengan jari-jari tangan membentuk cakar naga. Tangan kanan terjulur ke samping kiri depan, sedangkan tangan kiri terjulur ke samping kanan depan. Dengan satu teriakan nyaring, pemuda itu menggeser kaki kanannya ke samping, dibarengi dengan gerakan tubuhnya yang meliuk-liuk mirip seekor naga. Inilah awal dari jurus 'Naga Sakti'.

Disertai pengerahan ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', Panji segera memainkan ilmu 'Naga Sakti'. Perlahan namun pasti di sekujur tubuhnya diselimuti sinar putih keperakan. Dan hawa yang dingin mulai menyebar di sekitar Panji. Kemudian Panji mulai bergerak. Akibatnya, sungguh luar biasa! Setiap gerakan tangan dan kakinya menimbulkan satu gelombang tenaga yang dahsyat! Pohon-pohon di sekitarnya bergetaran kuat sehingga daun-daunnya berguguran jatuh ke bumi. Padahal pohon-pohon itu terpisah kurang lebih tiga tombak dari tubuh Panji. Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya tenaga sakti pemuda tampan yang memiliki mata tajam itu.

Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu melenting ke udara dibarengi teriakan yang mengguntur. Tubuhnya berputar beberapa kali di udara, lalu mendarat dengan manis di depan sebatang pohon yang berukuran dua pelukan orang dewasa. Jarak antara tubuh pemuda itu dengan pohon, sekitar tiga batang tombak. Dengan posisi kuda-kuda silang, tangan kanannya memukul ke depan. Sementara telapak tangan kirinya yang terbuka, berada di bawah tangan kanan. Rentetan angin tajam menderu ke arah pohon besar itu.

Wusss! Brakkk...!

Terdengar suara berderak keras ketika pohon besar itu terangkat berikut akar-akarnya dan patah menjadi tiga bagian! Bukan main hebatnya akibat yang ditimbulkan oleh pukutan itu. Panji masih berdiri termangu, kerika melihat kedahsyatan hasil pukulannya itu. Napasnya agak sedikit terengah-engah karena tenaganya dikerahkan hampir seluruhnya.

"Bagus..., bagus, Cucuku! Tenaga dalammu, sudah cukup sempurna!" Tiba-tiba saja di tempat itu telah berdiri seorang kakek tua yang tidak lain adalah Eyang Tirta Yasa. Kakek sakti itu gembira sekali karena usahanya dalam mendidik Panji selama sepuluh tahun ini tidak sia-sia.

"Oh! Eyang!" Seru Panji terkejut. "Sungguh saya tidak mendengar langkah kaki Eyang," ujarnya heran.

"Ha ha ha....Tentu saja engkau tidak mendengarnya, Cucuku! Karena Eyang sudah berada di sini semenjak engkau memainkan 'Ilmu Pedang Naga Sakti' tadi!" Jawab Eyang Tirta Yasa tenang.

"Oh...!" Panji menjadi sedikit terhibur mendengar jawaban yang diberikan oleh gurunya itu.

Sementara, hujan sudah mulai reda. Dan matahari pun mulai memancarkan sinarnya ke seluruh Puncak Bukit Goa Harimau. Kabut sudah mulai lenyap, tersaput oleh kehangatan sinar matahari. Tidak lama kemudian, Panji dan Eyang Tirta Yasa melangkah meninggalkan tem-pat itu. Mereka terus melangkah, menuju pondok yang terletak di tengah puncak Bukit Goa Harimau.

Akhir-akhir ini, Panji merasa heran melihat sikap gurunya yang tampak lain dari biasanya. Dia merasa kakek itu, seperti menyimpan sesuatu. Panji terus mengikuti langkah kaki gurunya hingga ke dalam pondok. Eyang Tirta Yasa meneruskan langkahnya ke ruang tengah, yang biasa digunakan untuk pertemuan mereka. Panji segera mengambil tempat duduk di hadapan gurunya. Setelah terdiam sejenak, Eyang Tirta Yasa mulai membuka percakapan.

"Cucuku...," suara Eyang Tirta Yasa terdengar bergetar. Seolah merasa berat dengan apa yang diutarakannya itu. "Hari ini, genap sudah sepuluh tahun kau tinggal bersama Eyang. Dan semua kepandaian Eyang telah diturunkan kepadamu, hingga tidak ada lagi yang dapat Eyang turunkan padamu! Rasanya sudah waktunya engkau turun ke dunia ramai untuk membasmi kejahatan yang akhir-akhir ini merajalela!"

"Tapi, Eyang.... Ini..., ini," Panji tak mampu meneruskan ucapannya. la terharu sekali dengan kebaikan dan kasih sayang yang dilimpahkan gurunya selama ini.

"Sudahlah, Cucuku! Esok sebelum matahari terbit, kau sudah harus berangkat!" Ujar Eyang Tirta Yasa tegas.

Panji membisu Rasanya memang berat untuk meninggalkan orang tua itu sendirian di sini. Tapi mengingat bahwa kejahatan telah merajalela, maka pemuda itu harus melaksanakan tugas yang diberlkan gurunya itu.

"Nah! Sekarang, Eyang akan bersemadi dan tidak ingin diganggu lagi!" Ujar Eyang Tirta Yasa sambil melangkah meninggalkan Panji yang duduk termangu itu.

Beberapa saat kemudian, Panji tersadar dan segera berlari. Dikejar gurunya itu, dan langsung bersimpuh di hadapan orang tua sakti itu. "Eyang...," ucapnya serak, sambil memeluk kedua kaki Eyang Tirta Yasa.

Setelah mengusap kepala Panji, Eyang Tirta Yasa bergegas meninggalkan tempat mondoknya. la tidak ingin menunjukkan kesedihannya yang malah akan memberatkan langkah muridnya nanti.

***
LIMA
"Tolooong...! Lepaskan aku, bangsat! Manusia iblis!" Teriak tiga orang wanita, di dalam sebuah hutan lebat.

Keadaan mereka sudah tidak karuan. Pakaian yang dikenakan pun sudah robek di sana-sini. Sehingga menampakkan kulit tubuh mereka yang putih dan mulus. Ketiga orang wanita itu berteriak-teriak, diselingi isak tangis yang memelas. Sementara kedua tangan mereka sibuk menutupi bagian-bagian tubuh mereka yang terbuka.

"Kasihani kami, Tuan.... Jangan sakiti kami!" Ratap salah seorang wanita dengan air mata yang mengalir membasahi pipi.

Di sekeliling ketiga orang wanita itu, nampak wajah-wajah bengis berdiri berjajar sambil menatap liar penuh nafsu! Tubuh-tubuh putih mulus itu dijilati oleh pancaran mata liar. Apalagi, keadaan ketiga orang wanita itu sudah setengah telanjang. Seringai mereka makin bertambah lebar. Sementara, dua orang lelaki kasar dan berwajah seram terus saja mempermainkan ketiga orang wanita malang itu.

Sambil tertawa terbahak-bahak mereka mengejar-ngejar tiga wanita itu. Rasanya seperti seekor kucing yang sedang mempermainkan seekor tikus sebelum disantap habis. Semakin lama keadaan wanita-wanita itu semakin tidak karuan. Setiap kali tubuh mereka tertangkap, lang-sung dilepaskan kembali, setelah pakaian mereka dirobek terlebih dahulu.

"Ha ha ha.... Ayo, Manis! Larilah! Ayo! Ha ha ha...!" Ujar salah seorang dari dua laki-laki kasar itu sambil tertawa penuh kebuasan.

Setelah dilempar kesana kemari, tubuh ketiga orang wanita itu benar-benar polos, tanpa benang sehelai pun! Maka, sibuklah ketiga wanita malang itu menutupi bagian-bagian terlarang dari tubuh mereka.

"Ha ha ha.... Lihatlah, anak-anak! Tiga ekor kelinci ini ternyata memiliki bentuk tubuh yang indah! Ha ha ha...!" Ujar seorang lagi sambil menoleh ke arah kawan-kawannya.

Orang-orang yang berdiri berjajar membentuk lingkaran itu makin memperkecil lingkarannya. Karena mereka pun ingin melihat lebih jelas lagi ketiga orang wanita yang telah benar-benar polos! Ketiga orang wanita malang itu hanya mampu berteriak-teriak sambil menangis. Mereka sudah hampir mati ketakutan. Wajah-wajah di sekitarnya menjilat tubuh mereka dengan liar. Mereka merasa ngeri, membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dua orang laki-laki kasar yang tadi mempermainkan ketiga wanita itu, melangkahkan kakinya mendekati tubuh-tubuh polos itu. Lalu dengan penuh nafsu, keduanya segera menerkam dua di antara tiga wanita itu. Kedua orang wanita itu meronta-ronta dan menjerit-jerit ketaku-tan. Namun mereka tak berdaya menghadapi kebuasan laki-laki kasar yang telah dipengaruhi hawa nafsu itu. Sementara, yang seorang lagi menggigil ketakutan dengan wajah pucat pasi.

Belum lagi kedua orang laki-laki kasar itu melaksanakan niatnya, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar memenuhi seluruh penjuru hutan! Suara tawa itu bergema bagaikan suara jin penunggu hutan, yang tidak ingin melihat tempat itu dikotori manusia-manusia biadab. Belasan orang laki-laki yang masih berjajar dalam bentuk lingkaran itu tersentak dengan wajah pucat. Tubuh mereka pun menggigil kedinginan.

Ternyata suara tawa itu diiringi dengan hembusan angin yang sangat dingin. Demikian pula halnya dengan kedua orang lelaki kasar tadi. Mereka menghentikan perbuatannya sejenak. Namun di wajah mereka, sama sekali tidak terlihat rasa takut. Bahkan sebaliknya malah marah karena merasa terganggu oleh suara tawa itu. Belum lagi mereka dapat menguasai hati yang terguncang karena kaget, suara tawa itu kembali terdengar.

"Ha ha ha.... Manusia-manusia bejat! Cepaaat tinggalkan tempat ini sebelum kemurkaanku datang! Cepaaat! Ha ha ha...!" Suara tawa itu kembali bergema di dalam rimba yang gelap ini.

Angin dingin pun berhembus semakin keras, sehingga pakaian mereka berkibar. Baru, dua laki-laki kasar itu mulai agak ciut hatinya. Dengan wajah agak pucat, kedua orang laki-laki kasar yang rupanya bertindak selaku pimpinan, melangkah maju beberapa tindak. Seolah-olah ingin mencari sumber suara tadi.

"Hei! Siapa kau?! Tunjukkan dirimu! Jangan coba-coba menakut-nakuti Sepasang Harimau Terbang! Heh!" Teriak salah seorang dari laki-laki kasar itu. Sengaja dikerahkan tenaga dalam untuk menutupi rasa gentar dalam hatinya.

"Kakang Lujita, apakah dia bukan hantu?" Bisik lelaki yang satunya lagi dengan hati-hati.

"Huh! Tidak mungkin! Dia pasti manusia biasa yang mencoba menakut-nakuti kita!" Jawab orang yang dipanggil Lujita keras. Sengaja tidak ingin ditunjukkan rasa takutnya di hadapan para pengikutnya itu. Padahal, ia sendiri pun merasa ragu akan perkataannya itu.

Setelah beberapa saat kemudian, keadaan menjadi hening sejenak. Masing-masing menunggu dengan hati berdebar-debar. Belum lagi mereka berpikir lebih jauh, kembali angin dingin bertiup keras. Seiring dengan hembusan angin dingin itu, suara tawa itu kembali berkumandang.

"Ha ha ha.... Rupanya kalian ingin membangkang, hah! Baiklah! Kalau itu yang kalian inginkan!!! Ha ha ha...!" Gertak suara berat dan serak itu.

Tiba-tiba dari sebuah pohon yang besar sesosok bayangan putih melayang turun dengan pelahan sekali! Kedua tangannya terlipat di dada. Sedangkan kedua kakinya dalam posisi bersila. Rambutnya yang putih keperakan itu berkibar tertiup angin. Sementara, seluruh wajahnya penuh dengan bulu-bulu lebat dan tak terurus! Yang membuat hati bergetar adalah, sinar putih keperakan yang menyelimuti seluruh tubuhnya! Sosok tubuh itu, benar-benar seperti iblis!

Dan yang lebih mengejutkan lagi, bayangan putih itu seperti mengambang di udara! Sungguh suatu pemandangan yang mustahil! Jarak antara sosok bayangan putih dengan pemukaan tanah, sekitar tiga tombak Sedangkan dahan yang berada di atasnya, kurang lebih dua tombak jauhnya. Dan anehnya, posisi bayangan tersebut masih dalam keadaan bersila, dengan kedua tangan terlipat di dada! Sosoknya memang laksana hantu penghuni hutan ini! Walaupun dua orang lelaki kasar yang berjuluk Sepasang Harimau Terbang itu banyak ditakuti orang, namun pemandangan yang ada didepan mereka sekarang ini benar-benar telah membuat hati mereka bergetar.

"Aaah! Set... setaaan!" teriak para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang langsung berlarian meninggalkan tempat itu, tanpa mempedulikan panggilan pemimpin mereka.

"Iblisss...! Mustahil...!" Lujita, orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang mencoba membantah penglihatan-nya. Dipejamkan kedua matanya dan dibukanya kembali. Namun, apa yang dilihatnya itu benar-benar suatu yang mustahil dapat dilakukan oleh seorang manusia! Betapapun tingginya kepandaian seseorang, sangatlah tidak mungkin bila dapat bergantung di udara sampai sedemikian lamanya!

Maka tanpa dapat dicegah lagi, Sepasang Harimau Terbang itu pun langsung melesat meninggalkan tempat itu! Demikian pula halnya dengan kegiga orang gadis itu. Mereka memandang bayangan putih tersebut dengan tubuh gemetar hebat! Seumur hidup, baru kali inilah mereka melihat apa yang disebut hantu!

Setelah Sepasang Harimau Terbang dan para pengikutnya sudah tidak terlihat lagi, bayangan putih itu melayang turun. Jarak antara dirinya dengan tiga wanita itu terpisah sekitar lima tombak. Pelahan-lahan, sinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya menipis, untuk kemudian lenyap sama sekali. Dengan langkah pelahan, bayangan putih itu menghampiri ketiga orang wanita malang yang masih belum dapat menggerakkan tubuhnya. Wajah mereka pucat. Keringat dingin mengalir membasahi tubuh mereka. Ketiga orang wanita itu benar-benar merasakan takut yang hebat!

Sementara si Bayangan Putih yang telah berjalan beberapa tindak segera menghentikan langkahnya. Dibukanya buntalan yang tergantung di bahunya. "Di dalam buntalan ini ada tiga stel pakaian yang mungkin agak kebesaran sedikit! Pakailah!" Seru bayangan putih itu, sambil melemparkan buntalan itu. Setelah itu, dibalikkan tubuhnya membelakangi ketiga orang wanita itu.

Untuk beberapa saat lamanya, ketiga wanita itu tidak dapat berkata-kata. Setelah memperhatikan orang yang berjubah putih tersebut, salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk membuka suara.

"Jadi..., Tuan bukan... hantu...?" Tanyanya takut-takut.

"Apakah wajahku demikian menakutkan?" Bayangan putih itu balik bertanya tanpa membalikkan tubuhnya.

Mendengar pertanyaan itu, ketiga orang wanita tadi menundukkan mukanya karena tersipu malu. "Aaah! Bukan begitu, Tuan! Tapi, tadi tubuh Tuan tergantung di udara. Mana mungkin seorang manusia dapat berbuat seperti itu?" Tanya yang satunya lagi. Gadis tersebut berwajah manis sekali, dengan kedua lesung pipit di pipinya. Sementara itu ketiga wanita itu telah selesai mengenakan pakaian yang diberikan bayangan putih.

"Kami sudah selesai, Tuan!" Ujar yang seorang lagi.

Sosok bayangan putih itu, segera membalikkan tubuhnya menghadap ke arah ketiga orang wanita yang kini telah berpakaian. Begitu wajah bayangan putih itu terlihat jelas, ketiga orang wanita itu tertegun bercampur heran. Ternyata bayangan putih tadi telah berganti menjadi seorang pemuda tampan dan tegap. Rambutnya yang putih keperakan, terurai sampai ke bahu. Matanya yang tajam, memancarkan ketegaran dalam menantang hidup.

"Ini..., tadi.. Tttuan... oooh...!" Seru mereka tergagap.

"Oh, maaf! Aku tadi menggunakan ini!" Jawab pemuda itu, ketika menyadari kebingungan tiga wanita itu. Segera ditunjukkannya rambut, cambang, serta jenggot yang dikenakannya tadi. Rupanya semua itu palsu belaka.

"Oh!" Seru mereka serempak. "Lalu, mengapa tubuh Tuan bisa ngambang di udara tadi..?" Lanjut yang seorang.

"Hm, dengan tali ini!" Jawab pemuda itu sambil memperlihatkan seutas tali hitam yang terbuat dari kulit binatang.

"Kami mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan Tuan! Entah apa jadinya dengan diri kami, apabila tidak ada Tuan!" Ujar wanita yang berwajah paling cantik dengan wajah bulat telur, dan berambut paling panjang sampai ke pinggang.

"Hm! Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong!" Ujar pemuda itu.

"Hm, bolehkah kami tahu nama Tuan?" Tanya yang seorang lagi. Wanita yang berambut sebahu.

"Namaku Panji," Jawab pemuda itu singkat. "Di mana-kah kalian tinggal? Mari kuantarkan pulang!"

Ketiga dara itu memandangi wajah tampan di hadapannya itu. Wajah seorang yang menjadi penolong mereka. Pemuda itu memang sopan. Jadi ketiga wanita itu tidak takut-takut lagi. Panji yang dipandangi seperti itu menjadi kikuk. Untuk menyembunyikan kegugupannya itu, ia pun melangkahkan kakinya. Ketiga orang gadis itu pun segera mengikuti langkah kaki Panji yang menuju pinggiran hutan. Mereka berjalan tanpa berkata sepatah pun.

Setelah menerobos semak dan perdu, mereka pun tiba di pinggiran hutan. Namun baru beberapa langkah keluar dari pinggiran hutan, terdengar sebuah bentakan nyaring. Tidak lama kemudian berloncatan beberapa sosok tubuh yang langsung menghadang perjalanan mereka.

"Berhenti...!"

"Ha ha ha.... Lihatlah, Adi Lukita! Bukankah firasatku benar? Kita telah dikibuli mentah-mentah oleh bocah setan ini!" Seru orang yang tidak lain adalah Lujita, sekaligus orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang. Dia rupanya masih penasaran.

"Hei, Bocah! Sungguh besar nyalimu mempermainkan Sepasang Harimau Terbang! Apakah kau sudah bosan hidup? Hah!!" Bentak Lukita dengan tidak kalah bengisnya.

Panji terkejut juga melihat kemunculan mereka yang tidak disangka-sangka itu. Sehingga untuk beberapa saat lamanya hanya terpaku di tempatnya. Sementara ketiga orang wanita itu sudah saling berangkulan dengan wajah pucat!

"Anak-anak! Serbuuu...!" Lujita berteriak garang.

Pemuda berjubah putih itu, tersentak kaget. Segera diperintahkan agar ketiga gadis itu menepi. Dengan gerakan yang indah, pemuda yang bernama Panji itu mengegoskan tubuhnya menghindari sabetan pedang yang me-ngarah ke lehernya. Tidak sampai di situ saja, ternyata senjata-senjata lainnya juga ingin merencah tubuh Panji. Namun pemuda itu dengan lincah berkelit kesana kemari menghindari serangan yang serentak itu.

Tapi sayang, yang dihadapi kali ini adalah pemuda yang menjadi murid kesayangan si Malaikat Petir. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk dapat melukainya! Serangan-serangan anak buah Sepasang Harimau Terbang yang berjumlah kurang lebih lima belas orang itu, dapat dihadapi Panji dengan mudah. Sampai sejauh ini, pemuda itu sama sekali belum balas menyerang. Dia masih saja mengelak kesana dan kemari untuk menghin-dari ancamam ujung senjata-senjata lawannya. Tentu saja hal ini membuat para pengeroyoknya menjadi semakin marah, bahkan makin memperhebat serangan-serangannya.

Melihat kelincahan pemuda berjubah putih itu, Sepasang Harimau Terbang yang berdiri di luar arena menjadi geram sekali. Dengan satu teriakan nyaring, tubuh keduanya segera melayang ke arah Panji. Pemuda itu segera memalingkan wajahnya ketika mendengar desiran angin tajam yang mengarah kepadanya. Sambil merundukkan tubuhnya, kedua tangan Panji berbalik memapak serangan yang berbahaya itu.

Plak! Plak!

Terdengar suara nyaring ketika kedua pasang lengan Sepasang Harimau Terbang bertemu telapak tangan Panji. Tubuh Lujita dan Lukita terdorong mundur sejauh lima langkah. Kedua tangan mereka terasa linu, ketika bertemu dengan telapak tangan pemuda berjubah putih itu. Padahal Panji hanya mempergunakan separuh dari tenaganya.

"Gila! Tenaga dalam pemuda ini ternyata sangat hebat!" dengus Lukita, orang termuda dari Sepasang Harimau Terbang.

"Ah! Tentu saja! Posisinya lebih menguntungkan, Adi Lukita!" Bantah Lujita gusar.

Kali ini Sepasang Harimau Terbang tidak ingin main-main lagi. Segera dikeluarkan ilmu andalan yang telah membuat nama mereka terkenal, yaitu ilmu 'Cakar Harimau'. Kedua pasang telapak tangan mereka memben-tuk cakar yang kekar dan kaku. Mereka kini mengurung tubuh Panji dengan serangan-serangan yang mematikan.

Akan tetapi yang mereka serang kali ini adalah Panji! Murid kesayangan Eyang Tirta Yasa, si Malaikat Petir yang memiliki kesaktian tidak terukur, sehingga betapa-pun Sepasang Harimau Terbang itu mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya dan menyerang pemuda berbaju putih itu kalang kabut, Panji dengan tenangnya dapat mengelakkan semua serangan mereka.

Betapa berangnya hati Sepasang Harimau Terbang itu! Sebab telah hampir dua puluh jurus mereka melancarkan serangan, tapi tak ada satu pukulan pun yang menyentuh tubuh pemuda itu. Padahal, mereka masih dibantu oleh lima belas orang pengikut mereka.

"Hm.... Rupanya kalian tidak bisa dikasih hati! Kalau kalian ingin cepat-cepat mati, baiklah!" Dengus Panji yang akhirnya mulai jengkel. Melihat sikap lawan yang terus mendesaknya tanpa mempedulikan sikapnya yang telah banyak mengalah.

"Bocah sombong! Tutup mulutmu! Ayo, kita buktikan, siapa yang lebih cepat masuk ke lubang kubur!" Bentak Lujita dengan wajah merah padam.

"Baiklah, lihat serangan!" Seru Panji.

Sehabis berkata demikian, Panji pun mengeluarkan ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Sebuah ilmu yang tidak ada keduanya di dunia persilatan. Pelahan-lahan di sekujur tubuh Panji mulai diseiimuti oleh sinar putih keperakan. Berbareng dengan itu, udara di sekitar tempat itu pun mulai terasa dingin. Semakin lama semakin dingin. Sehingga beberapa pengikut Sepasang Harimau Terbang menjadi menggigil kedinginan. Itulah salah satu keistimewaan ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dikerahkan Panji.

Diiringi dengan pekik keras mirip suara seekor naga yang sedang murka, tubuh Panji melesat. Pemuda ini mulai balas menyerang. Kali ini Panji tidak ragu-ragu lagi. Dikeluarkannya ilmu 'Naga Sakti'. Angin yang berhembus membawa hawa dingin menggigilkan menyertai setiap serangan itu. Akibatnya hebat sekali! Belum juga serangan Panji aba, satu persatu tubuh para pengikut Sepasang Harimau Terbang itu terlempar keluar arena. Tubuh mereka bergulingan di tanah sambil memeluk erat-erat tubuhnya yang menggigil. Gigi-gigi mereka bergemeletuk menahan serangan hawa dingin yang amat dahsyat!

Hanya Lukita dan Lujita yang tidak begitu terpengaruh. Sungguhpun demikian, mereka pun tidak luput dari serangan hawa dingin yang menyebar keluar dari tubuh dan setiap serangan Panji. Sepasang Harimau Terbang ini diam-diam terkejut bukan main. Sungguh tidak disangka kalau lawan yang masih muda ini mempunyai kepandaian begitu hebat!

Diam-diam Panji terkejut juga melihat akibat dari ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dikerahkannya. Untunglah tadi, ia hanya mengerahkan separuh dari tenaganya. Tidak dapat ia membayangkan kalau ia tadi mengerahkan seluruh tenaganya.

"Bocah setan! Ayo lawan aku!" Lukita berteriak-teriak memaki lawannya.

"Ha ha ha.... Jangan berteriak-teriak, harimau ompong! Bukankah kau yang memintanya?" Seru Panji sam-bil tertawa mengejek.

Dengan hati terbakar, Lujita melancarkan serangan secara beruntun. Kedua tangannya yang berbentuk cakar itu, meluncur deras ke arah pusar dan mata Panji. Sementara dari arah belakang, kedua cakar Lukita mencengkeram ke arah lambung pemuda itu. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya. Jangankan tubuh manusia, bahkan batu karang pun pasti hancur terkena cengkeraman Sepasang Harimau Terbang itu.

Pada saat kedua serangan itu hampir mencengkeram tubuhnya, Panji menggeser kaki kanannya membentuk setengah lingkaran. Kedua tangannya bergerak secara berlawanan, guna mematahkan serangan Lujita. Dengan cara demikian, ia pun juga telah berhasil menghindari serangan ke arah lambungnya yang dilancarkan Lukita. Tidak hanya sampai di situ saja! Sepasang tangan pemuda itu langsung meluncur ke arah dada dan perut Lujita!

Namun, Lujita bukanlah tokoh sembarangan. Dia adalah perampok ulung yang sudah delapan tahun malang melintang dalam dunia persilatan. Makanya, dalam keadaan yang berbahaya itu pun segera dimiringkan tubuhnya. Hasilnya, serangan Panji lewat hanya beberapa senti di depan dadanya.

Tapi orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang itu salah duga apabila sudah merasa terbebas dari serangan lawannya. Karena berbarengan dengan gerakannya itu, Panji telah melepaskan tendangan kilat ke arah pelipis Lujita! Lujita tercekat meiihat serangan yang tidak terduga itu, Dengan cepat segera dimiringkan tubuhnya ke kanan!

Desss!

Tubuh Lujita melintir bagaikan sebuah gasing ketika tendangan Panji yang berisi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' itu menghantam bahu kirinya. Untunglah Panji hanya mengerahkan sepertiga dari tenaga dalamnya itu. Kalau tidak, tentu tubuh Lujita sudah remuk dibuatnya.

Panji berniat mengirimkan kembali tendangannya. Tapi niatnya segera diurungkan karena telinganya menangkap desiran angin tajam di belakangnya. Ternyata Lukita ingin mengambil kesempatan selagi Panji mendesak Lujita dengan serangan beruntun. Serangan Lukita yang menimbulkan desir angin tajam itu, untuk beberapa saat dapat menyelamatkan jiwa saudaranya dari kematian.

Tapi, Panji yang memang sudah merasa muak dengan kelakuan mereka tidak mau tanggung-tanggung lagi Segera dibalasnya serangan Lukita dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Tentu saja Lukita menjadi kalang kabut menerima serangan balasan dari pemuda itu. Laki-laki saudara Lujita itu menghindari serangan-serangan yang dahsyat dan berbahaya.

Sementara itu, Lujita yang masih terkapar akibat tendangan Panji tadi, berusaha untuk bangkit berdiri. Dicobanya mengusir hawa dingin yang mengeram dalam tubuhnya, dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Beberapa saat kemudian, Lujita sudah mampu tegak berdiri. Di tangan kanannya tergenggam sebatang golok besar.

"Aaakh...!" Terdengar sebuah jeritan yang panjang dari tengah arena pertempuran. Rupanya, Lukita yang sudah terdesak oleh Panji itu, tak dapat mempertahankan dirinya lagi. Sebuah serangan yang dilakukan oleh pemuda itu dalam rangkaian ilmu 'Naga Sakti' itu, bersarang dengan telak dada Lukita! Tubuh Lukita terhempas bagai selembar daun kering yang tertiup angin. Dari mulutnya mengalir darah kental. Orang termuda Sepasang Harimau Terbang itu, tewas seketika dengan dada terobek lebar!

Bukan main marahnya Lujita melihat kematian adiknya itu. Maka tubuhnya pun melesat diiringi teriakan yang mengguntur. Golok besarnya berkelebat ganas. Dicecarnya Panji dengan sabetan-sabetan golok besar yang berkelebatan cepat. Suara golok mengaung dahsyat, menandakan kalau golok besar itu digerakkan oleh tenaga yang kuat.

Panji sudah tidak ingin memperpanjang waktunya. Maka, ketika Lujita membabatkan golok besarnya ke arah pinggangnya, pemuda itu menggeliat dengan kuda-kuda rendah, sambil melepaskan pukulan jarak jauh dengan jari-jari terbuka membentuk cakar naga. Serangkum angin yang amat dingin bertiup keras mengiringi pukulan itu. Inilah jurus 'Pukulan Naga Sakti’.

Desss!

Pukulan jarak jauh Panji bersarang telak di tubuh lawannya itu. Lujita menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental sejauh tujuh tombak dari tempatnya sendiri. Kontan orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang itu tewas dengan tubuh membiru! Para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang masih selamat, segera menjatuhkan diri bersimpuh hadapan Panji.

"Ampunkan kami, Tuan Pendekar! Kami... Kami berjanji... Tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi. Jangan bunuh kami, Tuan Pendekar!" Ratap mereka, sambil membentur-benturkan kepalanya ke tanah.

"Hm! Manusia-manusia macam kalian, mestinya tidak bisa diberi hati! Sekarang kalian meratap-ratap meminta ampun, tapi besok kalian akan mengulangi perbuatan jahat lagi!" Dengus Panji sengit.

Tubuh orang-orang itu menjadi gemetar. Wajah-wajah mereka pucat seperti kertas mendengar kata-kata Panji itu. "Ampun, Tuan Pendekar! Kami tobat...! Sungguh, Tuan Pendekar...! Kami berjanji...!" Ujar mereka lagi, dengan suara terputus-putus.

"Baiklah! Untuk kali ini, kuampuni! Tapi ingat! Apabila kudapati kalian berbuat jahat lagi, maka akan kubunuh! Mengerti?!" Ancam Panji.

"Kami mengerti, Tuan Pendekar! Dan kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi!" Jawab mereka sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"Nah! Sekarang minggatlah dari hadapanku!" Bentak pemuda itu.

Sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang, mereka segera berlari meninggaikan tempat itu. Panji lalu melangkah, mendekati ketiga orang wanita yang masih berangkulan. Wajah mereka nampak pucat.

"Mereka sudah pergi semua," Ujar Panji sambil tersenyum.

Ketiga orang wanita itu mencoba untuk tersenyum sambil memandang kagum kepada Panji. "Ah! Ternyata Tuan adalah seorang pendekar yang sangat sakti!" Kata gadis yang berambut sebahu.

"Benar. Sepak terjang Tuan tadi mirip seekor naga yang sedang mengamuk," sambung gadis yang berwajah bulat telur dan berambut panjang sampai ke pinggang. Gadis yang paling cantik.

"Benar, Tuan. Tepatnya seperti seekor naga putih!" Ucap yang satunya lagi.

Panji berdebar dadanya, ketika melihat sinar kemesraan dari pandangan ketiga orang wanita itu. "Ayolah kita berangkat! Hari akan gelap!" Ajak Panji, untuk menyembunyikan kegugupannya.

Mereka lalu meneruskan perjalanan menuju desa tempat tinggal ketiga orang gadis itu. Panji berjalan agak jauh di belakang mereka karena merasa kikuk melihat tatapan penuh pesona kepadanya.

Di ufuk Barat, mulai terlihat sinar kemerahan. Pertanda sang matahari sudah menyelesaikan tugasnya untuk hari ini. Sementara kegelapan pun mulai menyelimuti bumi. Sang dewi malam pun bersiap-siap memancarkan keindahan sinarnya.

***
ENAM
Alam telah diselimuti kegelapan, ketika empat sosok tubuh memasuki perbatasan Desa Tambak. Mereka terdiri dari tiga orang wanita dan seorang pemuda tampan berjubah putih. Ketiga orang wanita itu rata-rata berwajah cantik. Terlebih lagi, wanita yang berambut paling panjang. Wajahnya yang bulat telur itu, nampak sedap dipandang mata. Bibirnya yang merah dan berbentuk bagus, nampak selalu dihiasi senyum menggoda. Tubuhnya yang tinggi semampai, semakin menambah daya tariknya.

"Ehm, inikah desa tempat tinggal kalian?" Tanya si Pemuda Tampan, yang ternyata adalah Panji.

"Benar, Tuan Pendekar! Inilah desa kelahiran kami!" Jawab dua orang dari ketiga wanita itu. Sedangkan si gadis yang berwajah bulat telur, hanya menoleh sekilas disertai dengan senyumnya yang menawan.

"Ah! Janganlah memanggilku dengan sebutan seperti itu! Kalian hanya membuatku serba salah saja," ujar Panji kikuk. "Hm, bagaimana kalau kalian panggil aku Panji saja."

"Baiklah, hm... Kakang Panji," jawab keduanya menggoda.

Belum jauh mereka memasuki Desa Tambak, tampak di sebelah depan serombongan orang berkuda bergerak menuju perbatasan. Rombongan itu terdiri dari dua puluh orang laki-laki, dengan senjata di pinggang. Kelihatannya mereka bersiap-siap untuk menghadapi sebuah pertarungan. Rombongan berkuda itu, dipimpin seorang laki-laki yang berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya yang gagah dan bersih itu, ditumbuhi bulu-bulu halus di sekitar pipi dan dagunya, sehingga semakin terlihat berwibawa.

Lelaki gagah itu, diapit dua orang yang merupakan pembantu-pembantu utamanya. Yang di sebelah kanan mengenakan baju serba biru dengan ikat kepala dari kain yang sama. Dilihat dari wajahnya yang cukup tampan itu, paling tidak dia berusia sekitar tiga puluh tahun. Sinar matanya yang tajam, menandakan bahwa ia bukan orang yang lemah. Sedangkan yang di sebelah kiri, mempunyai wajah agak kasar. Sebaris kumis lebat melintang di antara hidung dan bibirnya, sehingga terlihat galak dan angker. la berusia sekitar tiga puluh lima tahun Di punggungnya tampak tergantung sebilah pedang. Sepertinya si Kumis Lebat ini tidak asing dengan ilmu olah kanuragan. Rombongan itu terus melarikan kudanya keluar perbatasan Desa Tambak. Wajah-wajah mereka terlihat tegang, sehingga tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya.

"Ayah...!" Teriak si gadis berambut panjang, yang berjalan didepan Panji.

Gadis berambut panjang itu segera berlari menyongsong rombongan berkuda. Direntangkan tangannya di tengah jalan, yang akan dilewati rombongan itu. "Ayah...!" Teriaknya lagi dengan suara yang lebih nyaring.

Lelaki gagah yang memimpin rombongan berkuda segera mengangkat sebelah tangannya ke atas. Serentak, orang-orang yang berada di belakang orang tua gagah Itu menghentikan kuda-kudanya.

"Eh! Bukankah itu Adik Kenanga?" Tanya si Kumis Lebat, dengan wajah keheranan.

"Kau... kau...," ujar orang tua itu gugup. Dikucek-kucek kedua matanya, seolah-olah tak percaya dengan yang dilihatnya. Matanya melotot bagaikan melihat hantu di siang bolong. Dengan wajah bingung, orang tua itu melorot turun dari atas punggung kudanya.

"Benar, Tuan! Dia adalah Den Ayu Kenanga...!" Tegas kedua orang wanita yang sudah pula berdiri di samping gadis yang benama Kenanga itu. Sementara Panji hanya membisu di belakangnya.

"Anakku...," ujar orang tua gagah itu bergetar. Dia segera melangkah mendekati gadis itu. Kedua tangannya dikembangkan.

"Ayah...!" Gadis yang bernama Kenanga itu segera menghambur ke dalam pelukan ayahnya. Tangisnya pun meledak, ketika tangan orang tua gagah itu memeluknya penuh kasih sayang.

"Anakku... anakku...," desah orang tua itu penuh rasa haru.

Para anggota rombongan yang menyaksikan pertemuan ayah dan anak itu menjadi terharu. Sebentar kemudian wajah mereka berubah cerah, karena berarti tidak perlu lagi bersusah-payah mencari Kenanga. Sementara, Panji memalingkan wajahnya ke tempat lain. Rasanya tak sanggup menyaksikan keharuan itu. la jadi teringat dengan kedua orang tuanya yang telah tiada. Samar-samar terbayang wajah ketiga orang pembunuh ayah ibunya. Panji cepat-cepat mengusir bayangan itu, karena suasananya jelas tidak memungkinkan. Sementara, suasana haru antara ayah dan anak itu sudah mereda, dan telah berganti dengan suasana gembira.

"Anakku, bagaimana caranya kau dapat terbebas dari tangan Sepasang Harimau Terbang yang terkenal ganas itu?" Tanya orang tua yang masih belum memperhatikan orang-orang di sekelilingnya itu.

"Oh!" Sentak gadis itu terkejut. "Aku sampai lupa! Ayah, mari kuperkenalkan dengan Kakang Panji!" Ajak Kenanga sambil menggandeng tangan ayahnya dengan wajah berseri-seri.

Kedua orang ayah beranak itu, segera melangkah mendekati Panji. Sedangkan pemuda itu hanya tersenyum sambil memberi hormat kepada orang tua yang tengah digandeng Kenanga.

"Ayah! Inilah Kakang Panji yang telah menyelamatkan kami bertiga. Entah apa yang akan terjadi terhadap kami, apabila tidak ada Kakang Panji!" Ujar gadis itu memper-kenalkan pemuda itu kepada ayahnya.

Orang tua gagah itu, memperhatikan Panji sejenak. Seraut wajah yang tampan dengan jubah putih dari kain sederhana itu masih tertunduk malu. Rasanya dia enggan untuk menyombongkan diri. "Orang muda! Aku Ki Umbaran, mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu!" Ucap orang tua itu sambil mengulurkan tangannya kepada Panji.

"Ah! Hanya kebetulan saja, Paman! Lagi pula, bukankah memang sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong!" Sambut Panji merendah.

Orang tua gagah yang ternyata bernama Ki Umbaran, menjadi kagum akan perkataan yang tulus dari Panji itu. Seorang pemuda yang berjiwa bersih dan menolong tanpa pamrih. Panji lalu diperkenalkan kepada Kenanga dan juga kedua orang wanita yang ditolongnya itu. Sebab, selama dalam perjalanan Panji sama sekali tidak pernah tahu nama mereka! Masalahnya, ketiga gadis itu pun Juga tak mau menyebutkan namanya. Mungkin malu.

"Hm.... Begini, Paman! Berhubung persoalan ini sudah selesai, maka saya mohon diri untuk meneruskan perjalanan saya," ujar Panji lagi.

"Eh, mengapa begitu, Panji? Mengapa tidak singgah dulu di rumah kami? Lagi pula, hari sudah larut malam. Bukankah tidak enak melakukan perjalanan di malam hari?" Mohon Ki Umbaran sungguh-sungguh.

"Eh..., saya..., saya masih banyak urusan yang harus diselesaikan!" Ujar Panji Heran! Mengapa aku menjadi demikian gugup? Pikir pemuda itu tak mengerti. Mungkin kegugupannya karena tatapan Kenanga yang begitu mempesona. Karena asyiknya melamun, Panji tidak mendengar ucapan Kenanga yang ditujukan kepadanya. Sehingga, gadis itu harus mengulangi lagi perkataannya sambil menyentuh lengan Panji.

"Eh! Oh..., apa...?" Ucapnya dengan wajah ketololannya.

Kenanga tersenyum geli melihat pemuda itu terkejut, dan menatapnya dengan bingung. "Kakang sih, terlalu asyik melamun! Sampai-sampai pertanyaanku tidak terdengar!" Kata gadis itu. Suaranya begitu merdu terdengar.

"Oh..., maaf! Aku tadi sedang berpikir tentang perjalananku!" Panji berbohong.

Kenanga yang tidak ingin menggoda Panji, segera mengulangi pertanyaannya. "Aku tadi bertanya, ke mana Kakang akan pergi pada malam selarut ini? Apakah tidak lebih baik Kakang menginap di desa kami? Ayah tentu akan menyediakan tempatnya! Bukankah begitu. Ayah?" Ujar Kenanga sambil menoleh kepada Ki Umbaran.

Ki Umbaran menganggukkan kepalanya, lalu melangkah mendekati Panji. Dan dipegangnya kedua pundak pendekar itu. "Benar, Panji! Menginaplah di sini untuk barang semalaman. Dan esok pagi, kau bisa melanjutkan perjalananmu dengan tubuh yang lebih segar," tegas Ki Umbaran.

"Ayolah, Kakang!" Pinta kedua orang wanita yang telah ditolongnya itu.

"Baiklah, Paman! Maaf kalau aku telah mengganggu," jawab Panji tak kuasa untuk menolak terus-menerus.


"Ah! Tidak apa-apa, Panji! Malah sebaliknya, kamilah yang telah mengganggu perjalananmu!" Jawab Ki Umbaran.

Maka, rombongan itu pun segera kembali ke desa. Sementara, seraut wajah dengan senyum sinis selalu memperhatikan Panji. Matanya memancarkan sinar kebencian. Rombongan itu kemudian berhenti didepan sebuah rumah yang cukup besar, dan berhalaman luas. Ki Umbaran berpaling menghadap ke arah rombongannya.

"Saudara-saudara sekalian! Sekarang kalian boleh pulang ke rumah masing-masing. Dan aku mengucapkan terima kasih atas bantuan saudara-saudara," ucap Ki Umbaran. Suaranya terdengar berat dan berwibawa.

Selesai Ki Umbaran berkata demikian, warga desa itu pun bergegas meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega. Tinggallah di situ, Ki Umbaran, Kenanga, Panji dan dua orang pembantu utama kepala desa itu.

"Jadi, Paman adalah kepala desa ini?" Tanya Panji pelahan.

"Begitulah yang mereka percayakan kepadaku, Panji!" Jawab Ki Umbaran merendah. "Mari, kita bicara di dalam saja."

Kelima orang itu pun segera melangkah memasuki ruangan depan rumah besar itu. Sedangkan kedua orang pembantu utama Ki Umbaran, tetap berjaga-jaga di luar gedung. Sepasang mata penuh rasa iri kembali mengikuti langkah kaki Panji.

"Silakan, Panji!" Ujar Ki Umbaran setelah mereka berada di sebuah ruangan yang cukup luas. Sepertinya, ruangan itu dikhususkan untuk pertemuan jika ada tamu agung.

"Terima kasih, Paman!"

Ki Umbaran lalu meminta agar Panji bercerita tentang kejadian di hutan itu, hingga ia dapat membebaskan Kenanga dan dua orang pembantunya. Dengan sederhana dan singkat, Panji pun segera menceritakan pengalamannya. Dia sama sekali tak menyinggung tentang kepandaian, apalagi pamrihnya.


"Eh! Jadi, Sepasang Harimau Terbang itu sudah terbunuh olehmu?" Tanya Ki Umbaran. Wajahnya memancarkan ketidakpercayaan.

"Ah, sebenarnya itu hanya karena mereka lengah saja, Paman!" Ujar Panji merendah.

"Ah! Padahal kepandaian Sepasang Harimau Terbang hebat sekali! Bagaimana caranya pemuda ini dapat membunuh mereka?" Tanya Ki Umbaran dalam hati.

Tentu saja, pertanyaan Ki Umbaran ini tidak diungkapkannya kepada Panji. Dugaannya, pemuda itu pasti tidak akan mengatakannya. Hanya saja dia menduga-duga, sampai di mana kepandaian yang dimiliki pemuda di hadapannya ini.

"Apakah kau juga telah melepaskan para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang masih hidup?" Tanya Ki Umbaran lagi. Wajahnya agak gelisah.

"Betul, Paman! Karena mereka telah berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya," jawab Panji. "Eh! Ada apakah, Paman?" Tanyanya ketika melihat wajah Ki Um-baran gelisah.

"Ah! Sungguh berbahaya sekali...!" Desah orang tua itu sambil menghela napas berat.

"Kenapa, Paman...?" Tanya Panji. Dia masih belum mengerti hal apa yang membuat Ki Umbaran resah.

Ki Umbaran terdiam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Dahinya berkerut seperti tengah membayangkan sesuatu. Dengan sebuah helaan napas berat bagai ingin melepaskan beban di dadanya, Ki Umbaran membuka suaranya. "Panji, sebenarnya Sepasang Harimau Terbang masih mempunyai seorang guru yang sangat kejam dan memiliki kepandaian yang tinggi."

"Sepasang Harimau Terbang masih mempunyai guru?" Tanya Panji heran Setelah berpikir sejenak, barulah dapat ditangkapnya arah pembicaraan Ki Umbaran itu. "Jadi, maksud Paman, orang-orang yang saya bebaskan akan mengadu kepada guru mereka?" lanjutnya.

"Bisa jadi begitu!" Jawab Ki Umbaran.

"Lalu, Guru Sepasang Harimau Terbang akan datang ke desa ini?" Tanya Panji lagi.

"Itulah yang kukhawatirkan, Panji."

"Siapa nama guru Sepasang Harimau Terbang itu, Paman?"

"Julukannya Laba-Laba Beracun. Tak seorang pun yang mengetahui nama aslinya. Kepandaiannya sangat tinggi, dan jarang ada tokoh persilatan yang dapat menandingi kesaktiannya! Dan, kalau iblis itu datang ke desa ini, sudah dapat dipastikan bahwa desa ini akan musnah!" Tegas Ki Umbaran, penuh duka.

"Ah! Sungguh berbahaya sekali!" Desah Panji. Jelas dia ikut khawatir karena secara tidak langsung dialah yang telah menjadi sebabnya. "Paman! Kalau benar iblis itu akan menyerang desa ini, biarlah saya yang akan menghadapinya!" Lanjut Panji, tanpa bermaksud ingin menonjolkan kepandaiannya sedikit pun.

"Ah! Terima kasih, Panji! Tentu saja bantuanmu sangat berarti bagi kami!" Ujar Ki Umbaran. Wajahnya kembali berseri. Meskipun belum menyaksikannya sendiri, namun ia merasa yakin bahwa kepandaian pemuda di hadapannya tentu sangat tinggi. Kalau tidak, bagaimana mungkin dapat mengalahkan Sepasang Harimau Terbang yang hebat itu? Walaupun tentu saja ia tidak yakin kalau pemuda ini akan mampu menghadapi Laba-Laba Beracun!

"Hhh! Hari sudah semakin jauh malam, Panji! Kau tentu sudah lelah, dan ingin beristirahat, bukan? Ah! Dasar aku tuan rumah tidak tahu adat! Masa tidak tahu tamu-nya sudah merasa lelah!" Kata kepada desa itu sambil tertawa.

"Ah! Tidak mengapa, Paman! Aku pun belum mengantuk!" Jawab Panji tersenyum.

"Ah, sudahlah," ucap Ki Umbaran, kemudian segera memanggil salah seorang pelayannya. Dengan segera, seorang pelayan terbungkuk-bungkuk datang menghampiri. Pelayan itu diperintahkan untuk mengantarkan Panji ke kamar yang telah dipersiapkan.

Sebentar Panji memandang Ki Umbaran lalu segera mengikuti pelayan itu. Ki Umbaran menganggukkan kepalanya yang penuh dengan bayangan kejadian yang akan menimpa desanya. Sementara, Panji sudah merebahkan tubuhnya di pembaringan. Sejenak pikirannya melayang pada kejadian sore tadi yang dialaminya. Dan sekilas muncul bayangan seraut wajah berbentuk bulat telur. Rambutnya yang panjang dan hitam. Wajah Kenanga! Cepat-cepat dihapusnya bayangan indah yang melintas di alam pikirannya itu. Sebentar kemudian, terdengar suara dengkurnya yang halus.

***

Hari masih gelap. Fajar pun belum lagi terbit. Suara jengkerik pun masih terdengar bersahut-sahutan. Namun, di pagi yang segar itu Panji telah terbangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa segar sekali. Dibukanya jendela, agar udara sejuk dapat masuk memenuhi ruangan kamarnya. Panji melangkah keluar dari kamarnya karena ingin menikmati udara di pagi yang sejuk dan menyegarkan. Pemuda itu terus melangkah pelahan sambil bibirnya tersenyum-senyum sendiri. Sesekali pemuda itu menghirup udara sebanyak-banyaknya sambil mengangkat kedua tangannya.

Tanpa disadari, Panji telah memasuki taman yang berada di belakang rumah kepala desa itu. Hatinya yang diliputi kegembiraan itu, semakin bertambah gembira ketika melihat di sekitarnya banyak bunga yang bermekaran beraneka ragam. Tiba-tiba, telinganya yang tajam menangkap suara desiran-desiran angin. Suaranya jelas berbeda, dan lebih tajam dari sekedar tiupan angin. Tidak lama kemudian, terdengar bentakan-bentakan merdu dan bertenaga, yang membuat hati Panji semakin penasaran.

"Hm.... Siapakah yang sedang berlatih silat di pagi buta begini?" Gumamnya tak jelas. Rasa ingin tahu yang menguasai perasaan membuat Panji lupa bahwa dirinya adalah seorang tamu yang tentu saja tidak boleh keluar masuk seenaknya.

Pemuda itu terus melangkah pelahan, menuju belakang taman. Gerakan-gerakan yang cukup mantap disertai bentakan-bentakan halus bersuara merdu itu, ternyata datangnya dari seorang gadis. Begitu indah sekali, bagaikan sebuah tarian saja layaknya. Kakinya yang ram-ping bergerak gesit, mengikuti gerakan tangan mungil berkulit halus. Panji menyaksikan semua itu, dengan mata tidak berkedip. Seolah-olah ia takut kalau gadis itu menghentikan gerakannya. Ia sengaja bersembunyi di balik rerimbunan tanaman bunga.

Tiba-tiba, gadis itu melompat ke belakang, lalu seorang gadis lain memberikan sebilah pedang yang besi gagang indah kepadanya. Gagang pedang itu dihiasi rangkaian bunga berwama biru, sehingga nampak semakin menarik. Apalagi yang memegang adalah seorang gadis cantik bagai bidadari, maka semakin sedap lah dipandang mata.

"Haiiit..!" Gadis itu berteriak lembut disertai ayunan pedangnya. Dan mulailah dia memainkan jurus-jurus pedang yang indah dan menawan. Suara ayunan pedangnya berdesing membelah udara pagi yang bening. Meskipun jurus-jurus ilmu pedang yang dimainkannya mempunyai banyak kelemahan di sana-sini, namun Panji harus mengakui kalau permainannya benar-benar indah dipandang mata. Panji bagaikan melihat seorang bidadari yang sedang memainkan tarian pedang.

Tidak lama kemudian, gadis jelita itu pun menyudahi permainan pedangnya. Wajahnya kemerahan, karena aliran darahnya semakin lancar. Sehingga semakin me-nambah kecantikannya. Gadis itu segera menyeka peluh di sekitar leher dan dahinya. Karena terlalu terpesonanya dengan permainan pedang gadis itu, tanpa sadar Panji keluar dari tempat persembunyiannya sambil bertepuk tangan.

"Ah, hebat sekali, Adik Kenanga! Hebat sekali!" Puji pemuda itu sambil bertepuk tangan. Senyumnya mengembang di bibir.

Si Gadis Jelita yang ternyata adalah Kenanga, menjadi terkejut sekali ketika Panji muncul. Wajah gadis itu menjadi semakin merah karena rasa jengah dan malu. "Ah! Kakang Panji! Membuat aku malu saja! Mana bisa kepandaianku yang jelek disejajarkan dengan kepandaian Kakang?" Kilah gadis itu sambil tersipu malu. "Eh! Bagaimana Kakang bisa berada di sini?" Tanya gadis itu.

Panji baru menyadari kesalahannya. Pemuda itu menjadi kikuk, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia hanya berdiri bengong. "Eh! Aku... aku... itu...!" Jawab Panji gugup. Dia jadi serba salah dan malu akibat kecerobohannya itu. Diam-diam pemuda itu mengutuk dirinya, yang telah berbuat tolol itu.

"Ah, sudahlah, Kakang! Kau tidak berbuat salah!" Kata gadis itu sambil tersenyum, yang membuat dada Panji terguncang. "Lagi pula, aku hanya terkejut karena kau sudah bangun sepagi ini," Lanjut Kenanga lagi.

Panji, yang sudah dapat menguasai perasaannya itu hanya dapat tersenyum masam. "Maafkan aku, Adik Kenanga! Sungguh tidak kusengaja untuk melangkah ke sini! Suasana pagi yang begitu segar tanpa terasa telah membawa langkahku ke taman!" ucap Panji, dengan perasaan bersalah.

"Benar, Tuan Pendekar... eh! Kakang Panji! Kami hanya terkejut!" Jawab gadis berambut sebahu, yang sudah pula datang mendekat.

Sementara itu, Kenanga mempunyai pikiran untuk menggunakan kesempatan ini. Dia sudah menyaksikan kepandaian pemuda di hadapannya itu, mengapa tidak meminta petunjuk kepadanya. "Kakang Panji! Menurutmu, bagaimanakah permainanku tadi?" Tanya Kenanga memancing

"Bagus! Dan indah sekali!" Jawab Panji, tanpa menyembunyikan kekagumannya Panji memang berkata yang sebenarnya.

"Eh! Maksudku bukan begitu, Kakang!" Bantah Kenanga, meskipun ia merasa bangga juga dipuji pemuda seperti Panji. Siapa yang akan tidak merasa bangga, apabila orang yang diimpikannya memuji-muji dirinya?

"Lalu, maksudmu?" Tanya Panji tak mengerti.

"Ah! Kakang Panji ini, mengapa harus berpura-pura?" Sergah gadis yang lainnya lagi. "Bukankah apa yang dimaksudkan Den Ayu Kenanga sudah jelas?" Sambungnya lagi.

"Eh! Aku.. Aku sungguh belum mengerti?" Jawabnya bingung. Sebab pemuda itu memang benar-benar belum mengerti maksud perkataan Kenanga.

"Hm.... Begini, Kakang!" Ujar Kenanga. "Aku... eh! Bolehkah aku meminta petunjukmu tentang ilmu olah kanuragan?" Pintanya sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

"Ah! Aku... aku tidak bisa apa-apa...," tolak Panji halus.

"Aaah! Sudah kuduga kalau Kakang akan menolaknya," jawab gadis itu. Wajahnya penuh sinar kekecewaan. Hati Kenanga menjadi kecewa ketika mendengar penolakan pemuda pujaannya itu.

"Eh... oh! Bukan... bukan begitu maksudku, Adik Kenanga! Aku... aku... aaah...!" Panji tak sanggup meneruskan kata-katanya.

"Ah! Sudahlah, Kakang! Aku memang tak patut mendapat petunjuk darimu!" Tegas Kenanga sambil membalikkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Kelihatannya dia kecewa sekali.

"Adik Kenanga! Tunggu!" kata Panji serak. Dan pemuda itu pun segera melesat mengejar Kenanga yang dirundung kekecewaan. Dengan sekali lompatan saja, tubuh Panji telah berdiri menghadang di depan Kenanga. Karena terbawa perasaan yang tak menentu, Panji mengulurkan kedua tangannya dan memegang bahu gadis itu.

Keduanya berdiri bingung. Tubuh sepasang muda-mudi itu bergetar. Aliran darah mereka seolah-olah terbalik. Begitu sadar, Panji menarik kedua tangannya dan wajahnya langsung berubah kemerahan. Demikian pula halnya dengan Kenanga. Untuk beberapa saat tadi, ia seperti terlena oleh sentuhan tangan Panji. Bidadari jelita itu pun tertunduk malu. Pipinya memerah saga.

"Eh.... Adik Kenanga, aku..., aku minta maaf! Sebenamya bukan maksudku untuk menolak, tapi aku...," Panji bagaikan kehabisan kata-kata, sehingga tidak tahu hams mengucapkan apa.

"Ah! Sudahlah, Kakang! Lupakan saja permintaanku tadi!" Jawab Kenanga bersungguh-sungguh.

"Adik Kenanga, sebenarnya aku suka sekali untuk memberikan petunjuk kepadamu. Tapi, bagaimana dengan ayahmu?"

"Aku tidak keberatan, Panji!" Jawab sebuah suara. Dan tiba-tiba saja sesosok tubuh gagah, melangkah keluar dari batik semak-semak dan langsung menghampiri mereka.

"Ayah...!" Seru gadis jelita itu sambil tersipu malu.

"Ah! Paman..!" Ujar Panji kaget.

Sosok tubuh gagah itu ternyata adalah Ki Umbaran. Dia tersenyum sambil menepuk-nepuk punggung Panji. Memang Ki Umbaran merasa maklum akan alasan pemuda itu. "Nah! Apa lagi yang kalian tunggu? Bukankah aku telah menyetujuinya?" Kata Ki Umbaran, mempertegas keragu-raguan Panji.

Selama ini, memang Ki Umbaran lah yang mendidik ilmu olah kanuragan kepada Kenanga. Sebenarnya dia ingin menitipkan anaknya kepada padepokan yang banyak terdapat di daerah Selatan. Namun, karena Kenanga anak satu-satunya, maka Ki Umbaran tidak sampai hati melepaskannya. Dan kini, ada seorang pemuda yang menurut anaknya memiliki kepandaian tinggi. Maka apa salahnya jika hanya untuk menyetujuinya. Lagi pula pemuda itu sangat sopan! Jadi, tidak perlu ada yang ditakutkannya.

Akhirnya, Panji pun setuju akan permintaan Kenanga itu. Pada pagi hari itu juga, Panji mulai memberi petunjuk tentang kelemahan ilmu olah kanuragan pada gadis itu. Sementara Ki Umbaran yang tidak ingin mengganggu ketekunan Panji, sudah meninggalkan taman itu. Kepala Desa Tambak itu, merencanakan akan membuat sebuah pesta untuk menyambut kedatangan anaknya kembali. Dan tanpa sepengetahuan Kenanga, diam-diam orang tua gagah itu segera mempersiapkan segala sesuatu yang akan diperlukan dalam pesta nanti.

***
TUJUH
Malam itu bulan bersinar terang. Bintang-bintang yang bertaburan, bagaikan pelita penghias malam. Langit yang bening saat ini membuat suasana malam itu semakin meriah. Demikian pula keadaan Desa Tambak. Obor-obor yang berjejer sepanjang jalan, membuat desa itu menjadi terang benderang. Para penduduk berduyun-duyun men-datangi balai desa, tempat diadakannya pesta atas kembalinya putri sang kepala desa dengan selamat.

Ki Umbaran sengaja mengadakan pesta di halaman balai desa, agar seluruh penduduk desanya dapat menik-mati pesta itu. Hiasan-biasan pun telah dipasang di sekitar balai desa. Panggung juga telah berdiri di tengah halaman yang luas itu. Ketika seluruh penduduk Desa Tambak telah memenuhi halaman balai desa, nampaknya pesta pun segera pula dimulai. Berbagai hiburan ditampilkan. Mulai dari tari tarian sampai sandiwara rakyat.

Tampak Ki Umbaran duduk di sebuah kursi paling depan, menghadap ke panggung. Di sebelah kirinya, duduk si Jelita Kenanga dengan anggunnya. Bibirnya yang merah merekah, tak henti-hentinya menebarkan senyuman manis. Hatinya bukan main gembiranya menyaksikan hiburan di panggung. Terlebih lagi melihat sambutan penduduk Desa Tambak yang begitu hangat atas keselamatan dan kepulangan dirinya.

Sementara di sebelah kanan Ki Umbaran, Panji pun ikut pula merasakan kegembiraan yang belum pernah ditemui sebelumnya. Pesta itu benar-benar meriah! Meskipun seluruh pertunjukan berasal dari rakyat, namun benar-benar menarik dan mempesona. Seluruh rakyat Desa Tambak kelihatannya betul-betul bahagia pada malam itu.

Tapi, rupanya tidak semua orang yang menghadiri pesta itu merasa bahagia. Seperti halnya sosok tubuh yang berdiri tidak jauh dari panggung. Orang itu tampaknya tidak peduli dengan keramaian itu. Wajahnya yang cukup tampan hanya tersenyum sinis. Tatapan matanya yang penuh rasa iri menusuk ke arah Panji tanpa berpaling sedikit pun. Sedangkan orang yang diperhatikan oleh mata semerah bara itu, tampak duduk dengan tenang tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya. Panji sama-sekali tidak merasa terganggu oleh pandangan menusuk itu.

Sementara itu di atas panggung beberapa pertunjukan sudah berakhir. Suara tepukan bergemuruh membahana bagai hendak merubuhkan panggung. Malam sudah semakin larut, kerika semua acara segera usai. Tiba-tiba sesosok bayangan hitam melayang naik ke atas panggung. Dengan dua kali bersalto di udara, didaratkan kakinya di atas panggung. Sorak-sorai menyambut kehebatan orang berbaju hitam itu.

"Saudara-saudara sekalian! Rasanya kurang lengkap apabila pesta ini tidak ditutup dengan pertunjukan ilmu olah kanuragan!" Orang berbaju hitam berhenti sejenak untuk mengetahui sambutan para penonton yang menghadiri tempat itu. Ketika mendengar teriakan-teriakan ribut yang menyatakan setuju, orang berbaju hitam itu tersenyum. Segera diangkatnya kedua tangannya ke atas, untuk mengatasi kebisingan itu. Beberapa saat kemudian, suara bising itu lenyap.

"Jagal! Apa maksudmu?!" Teriak Ki Umbaran yang sudah bangkit dari kursinya dengan kedua tangan terkepal menahan geram. Wajah kepala desa itu tampak memerah.

Orang yang dipanggil Jagal itu segera berpaling kepada kepala desanya. Tubuhnya dibungkukkan sebagai tanda hormat. "Maaf, Ki! Saya hanya ingin menambah semarak suasana pesta saja!" Sahut orang yang dipanggil Jagal, dengan suara nyaring.

Jagal adalah seorang jagoan yang cukup terkenal di Desa Tambak. Meskipun sikapnya agak sedikit urakan, namun belum pernah melakukan kesalahan besar. Paling-paling hanya minta sedikit uang jago dari para pedagang di pasar. Dan antara Jagal dengan Ki Umbaran memang ada semacam 'perang dingin'.

"Lalu, apa maumu?" Tanya sang kepala desa lagi. Sebenarnya Ki Umbaran sudah dapat menduga apa maunya laki-laki bertampang seram itu. Tapi, ia ingin memastikannya lewat jawaban dari mulut orang yang bernama Jagal itu.

"Begini, Ki! Saya mendengar di desa kita telah kedatangan seorang pendekar muda yang hebat, sehingga dapat membunuh Sepasang Harimau Terbang!' Tapi saya tidak percaya! Saya tahu pasti kehebatan ilmu kepala rampok itu. Jadi, saya ingin bukti sampai di mana kehebatan pendekar muda itu?" Jagal berkata seolah-olah ke-pada Umbaran, namun matanya tak lepas-lepas memandang Panji.

"Huh! Manusia tak tahu diri!" Bentak Kenanga yang sudah bangkit dari tempat duduknya. "Mengapa baru sekarang kau jual lagak? Dulu semasa setan-setan keparat itu masih hidup kau mirip sapi ompong!" Sambung Kenanga ketus.

Merah seluruh wajah Jagal mendengar sindiran itu, namun ia tidak bisa mengelak dari kata-kata yang tepat mengenai sasarannya itu. Untuk beberapa saat lamanya, orang sok jago yang bernama Jagal itu tidak berkutik.

"Nah! Mana lagakmu, heh!" Ejek Kenanga lagi ketika melihat Jagal seperti kehabissan kata-kata.

"Nini Kenanga! Hebat sekali ucapanmu. Aku jadi ingin tahu, apakah ilmu silatmu sehebat lidahmu?" Tanya Jagal gemetar bernada tantangan. Dia marah sekali dihinakan oleh gadis itu didepan umum.

"Hei! Apa kau pikir, aku takut?" Balas Kenanga tak kalah garangnya. Tanpa banyak bicara lagi, gadis jelita itu segera melesat ke atas panggung. Kenanga berdiri di hadapan Jagal sejauh dua tombak. Senyumnya terlihat mengejek.

"Ayo! Tunjukkan kehebatanmu, jagoan kampung!" Ejek Kenanga pedas.

Mendengar julukan itu, Jagal marah bukan main. Sementara orang-orang yang menonton tertawa geli mendengar julukan yang diberikan Kenanga. Wajah Jagal yang hitam, menjadi semakin gelap.

"HaH-hatilah, Nini! Jangan sampai mulutmu yang indah itu kusobek!" Ancam Jagal dengan suara gemetar.

"Majulah! Jangan hanya pentang bacot!"

"Bangsat! Kubunuh kau!!" Teriak Jagal. Tubuhnya segera melesat menerjang Kenanga yang masih berdiri bertolak pinggang.

Kerika kepalan Jagal hampir menyentuh tubuhnya, Kenanga segera menggeser kaki kanannya ke belakang Kemudian, tangan kirinya mengirim serangan ke dada lawan. Ini adalah salah satu ilmu yang telah disempurnakan oleh Panji. Melihat serangan balasan dari gadis itu, Jagal tidak menjadi bingung. Segera dielakkannya pukulan itu seraya membalas dengan tidak tanggung-tanggung lagi. Terjadilah pertarungan yang cukup seru dan menarik.

Jagal yang sudah marah itu, menyerang dengan pukulan-pukulan yang berbahaya. Dia seolah-olah ingin men-jatuhkan lawannya dengan sekali pukul saja. Tangannya yang kasar dan terlihat kuat itu, berkelebatan cepat. Sampai sepuluh jurus terlewat, serangan-serangan Jagal belum juga mengenai sasaran. Gerakan-gerakan Kenanga yang lincah itu, benar-benar telah membuat Jagal penasaran. Maka Jagal pun semakin memperhebat serangan-serangannya. Pada jurus ke dua belas, pukulan Jagal meluncur ke arah lambung Kenanga. Gadis jelita itu, segera memiringkan tubuhnya ke kanan dibarengi gebrakan tangan kanannya ke perut lawan.

Desss!

Tubuh Jagal terdorong mundur sejauh empat langkah. Namun, tubuh orang itu ternyata kuat sekali! Pukulan itu tidak menimbulkan luka yang berarti. Sedangkan Kenanga malah sebaliknya. Lengannya terasa nyeri dan linu, ketika membentur tubuh jagoan pasar itu. Diam-diam gadis itu sedikit ciut hatinya, melihat kekuatan lawan yang sama sekali di luar dugaannya.

Sementara itu, Jagal sudah membangun serangan kembali. Kali ini dia bersikap lebih hati-hati! Serangan-serangannya tidak seganas semula namun penuh per-hitungan. Justru serangan yang seperti Inilah yang lebih berbahaya, dan sulit dltembus pertahanannya. Sebentar saja, Kenanga sudah mulai terdesak dan hanya dapat bermain mundur. Berkali-kali serangan Jagal hampir menghantam tubuhnya. Untunglah berkat kegesitannya, ia masih dapat lolos dari pukulan-pukulan lawan. Tapi, biar bagaimanapun pertahanannya pasti bobol juga.

Ki Umbaran begitu cemas melihat putrinya hampir tidak berdaya membalas serangan Jagal. Orang tua gagah itu meremas-remas kedua tangannya dengan perasaan gelisah. Keadaan Kenanga memang benar-benar mulai gawat. Pada saat itu, dua buah pukulan Jagal meluncur ke arahnya! Kenanga berusaha sebisanya menghindari serangan itu, namun terlambat karena ketika dia berusaha mem-buang tubuhnya ke kanan, pukulan Jagal telah lebih dulu menghantam perutnya.

Plak! Desss!

Tubuh gadis jelita itu terjengkang ke belakang. Namun, sebelum tubuh Kenanga jatuh ke bawah panggung, tiba-tiba sesosok bayangan putih melayang, menyambar tubuh gadis itu. Tubuh ramping itu pun tidak sampai terbanting ke tanah yang keras.bBayangan putih yang ternyata adalah Panji, segera menurunkan tubuh Kenanga di atas lantai panggung. Pada saat yang bersamaan, Jagal sudah pula menerjang Panji. Kedua tangan Jagal meluncur cepat ke arah tengkuk dan dahi pendekar itu. Sebuah serangan yang curang dengan cara membokong.

Panji sama sekali tidak menoleh ke arah serangan Jagal. la sibuk menotok beberapa bagian tubuh Kenanga agar tidak menderita luka dalam. Ketika serangan yang berbahaya itu hampir menyentuh tubuhnya, Panji hanya mengebutkan lengan kanannya secara sembarangan untuk memapak kedua serangan Jagal. Kelihatannya perlahan saja.

Plakkk!

Akibatnya hebat sekali! Tubuh Jagal terlempar balik Tubuhnya melayang, dan terdengar suara benda berat jatuh ke bumi. Tubuh jagoan yang bernama Jagal itu jatuh ke bawah panggung dalam keadaan pingsan. Sementara dari sela-sela bibirnya, mengalir darah segar. Para penduduk desa yang melihat kejadian itu, hanya dapat berdiri bengong. Baru setelah tubuh Jagal tergeletak di tanah, mereka berlari mengerubungi tubuh jagoan kampung itu.

Sementara Ki Umbaran pun tersentak kaget. Sampai terbangkit dari kursinya. la yang sudah dapat mengukur kepandaian Panji, tidak menyangka kalau pemuda itu sedemikian hebatnya. Jagal yang mempunyai ilmu yang cukup tinggi, hanya dengan sekali kebutan tangannya sudah tergeletak pingsan!

"Luar biasa! Tak kusangka kepandaian pemuda itu demikian hebatnya! Ah! Rasa-rasanya pemuda itu pasti akan mampu menghadapi Laba-Laba Beracun, yang ganas dan memiliki kepandaian seperti iblis itu," gumam Ki Umbaran penuh harap.

Di tempat lain, sepasang mata penuh iri itu pun tidak kalah terkejutnya. Wajahnya mendadak pucat bagai tak teraliri darah. "Gila! Apakah anak muda itu mempunyai kepandaian seperti malaikat?" Desah orang itu dengan hati gelisah.

Sementara itu Kenanga si Bidadari Jelita sudah mulai sadar dari pingsannya. Gadis jelita itu mengeluh sejenak. Kemudian dikerjap-kerjapkan matanya dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya. "Oh..., Kakang Panji," ujar Kenanga ketika melihat pemuda itu duduk di dekatnya. "Apa yang terjadi, Kakang?" Tanyanya kemudian.

"Kau tadi terjatuh terkena pukulan lawanmu, lalu pingsan!" Jawab Panji sambil memandang mata yang bersinar bagai bantang kejora itu. Ah, sungguh indah sekali mata itu, bisik hatinya mengagumi indahnya mata Kenanga.

"Lalu..., ke manakah perginya manusia keparat itu?" Tanya Kenanga. Gadis itu lalu bangkit berdiri, dan mencari-cari orang yang dimaksud sambil mengedarkan pandangannya.

Kenanga lalu melangkah menghampiri kerumunan orang desa, yang berada agak jauh di depannya. Ketika ia sampai di situ, orang-orang desa segera menyingkir agar putri kepala desanya dapat melihat jelas. Kenanga menjadi terkejut sekali, ketika melihat tubuh jagoan kampung itu tergeletak pingsan. Darah masih mengalir dari sela-sela bibirnya.

"Dia kenapa, Kakang?" Tanya Kenanga kepada Panji, yang sudah berdiri di sebelahnya.

"Ah! Dia hanya terjatuh ketika aku menangkis pukulannya," jawab Panji menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.

Kenanga yang sudah tahu akan silat Panji, tidak bertanya lebih jauh. "Oh.., hanya terjatuh!" Ujarnya menggoda.

Panji hanya tersenyum mendengar sindiran Kenanga. Melihat keadaan sudah aman, Ki Umbaran segera melesat ke atas panggung.

"Saudara-saudara sekalian! Pesta sudah berakhir. Dan saya persilakan untuk kembali ke rumah masing-masing!" kata Ki Umbaran. Suaranya berat dan berwibawa.

Tidak berapa lama kemudian, orang-orang desa itu pun segera bergegas meninggalkan arena keramaian. Hanya beberapa orang saja yang masih tinggal, untuk membereskan tempat pesta itu. Baru beberapa tombak para penduduk meninggalkan halaman balai desa, tiba-tiba terdengar suara tawa yang menggelegar dan bergema di empat penjuru. Suara tawa itu demikian keras dan menyeramkan, disalurkan dengan tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Ha ha ha...!" Suara tawa itu terus berkumandang bagaikan tiada habis-habisnya. Seolah-olah bukan suara tawa manusia saja!

Para penduduk berlarian cerai-berai sambil mendekap kedua telinganya, tanpa mempedulikan arah lagi. Bahkan banyak di antara mereka yang jatuh terguling-guling menahan sakit. Sementara dari mulut dan hidung mengalir darah segar! Dalam sekejap saja, gemparlah suasana di halaman balai desa itu.

Ki Umbaran sendiri, sudah duduk bersila menghimpun hawa murninya untuk melawan pengaruh tawa yang dahsyat dan menyakitkan itu. Untuk beberapa saat lamanya ia masih dapat bertahan dari pengaruh suara tawa itu. Namun tidak lama kemudian tubuhnya mulai bergetar, karena suara tawa itu mulai mendesak hawa murninya. Tenaga dalam dari tawa itu begitu kuatnya.

Untunglah saat kejadian itu, Kenanga berada di samping Panji. Pemuda itu segera menempelkan telapak tangannya ke punggung gadis itu, sehingga Kenanga tidak lagi terpengaruh oleh suara tawa yang dahsyat itu. Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Panji. Segera ia mengerahkan tenaganya. Tidak lama kemudian, terdengar suara lengkingan halus yang kian meninggi sehingga menindih gema suara tawa yang menyakitkan itu.

Tiba-tiba, suara tawa itu pun lenyap terhimpit oleh suara lengkingan halus yang keluar dari mulut Panji. Dan untuk beberapa saat lamanya, suasana di sekitar tempat itu menjadi hening. Panji yang telah menghentikan lengkingannya, segera mengedarkan pandangannya ke atas pohon besar yang berada di sekitarnya.

"Hm.... Hanya seorang pengecut sajalah yang tidak berani menyerang secara terus terang!" Teriak Panji keras disertai pengerahan tenaga dalamnya. Belum lagi gema suara pemuda itu hilang, mendadak telinganya yang terlatih menangkap desiran angin halus yang menuju ke arahnya.

Serrr! Serrr!

Panji segera menduga, bahwa desiran angin yang halus itu berasal dari senjata-senjata rahasia. Cepat bagai kilat, pemuda itu berbalik menghadap ke arah serangan itu berasal. Dan, dugaan pemuda itu ternyata tidak meleset! Dalam keremangan sinar obor, terlihat tujuh buah sinar meluncur ke arah tujuh jalan darah kematian di tubuhnya. Kecepatannya sukar diikuti mata biasa.

Dari cara penyerang gelap itu memperdengarkan tawa maupun melepaskan senjata rahasianya, Panji sudah dapat menilai bahwa orang itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin main-main lagi. "Tenaga Sakti Gerhana Bulan” langsung dikeluarkannya. Pelahan namun pasti sekujur tubuh Panji diselimuti cahaya putih keperakan. Dan seiring dengan munculnya sinar putih keperakan itu, hawa dingin pun perlahan menyebar di sekitar Panji. Kian lama kian dingin menggigilkan!

Cepat bagai kilat, pemuda itu segera mengibaskan lengan kirinya. Maka terdengarlah suara bergemuruh yang dahsyat disertai hembusan angin dingin yang hebat mengiringi kibasan tangannya. Akibatnya, senjata-senjata rahasia itu berguguran di tengah jalan. Tidak sampai di situ saja! Panji yang sudah tidak ingin bertindak kepalang tanggung, segera mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh ketika senjata-senjata rahasia itu kembali menyerangnya.

Wusss!

Angin yang amat dingin berhembus keras memapak serbuan senjata-senjata rahasia yang mengarah ke tubuhnya. Seluruh senjata rahasia itu langsung runtuh ke tanah, disertai suara berderak keras yang ditimbulkan oleh sebuah pohon besar di sebelah kiri panggung. Pohon besar itu kontan tumbang diterjang angin pukulan dari Panji.

Berbarengan dengan tumbangnya pohon itu, sesosok bayangan hitam melayang turun dan mendarat dua tom-bak dari Panji berdiri. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh bagaikan batu karang. Wajahnya tertutup brewok yang tak terurus. Jubah hitamnya berwarna abu-abu yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman benang emas ber-bentuk seekor laba-laba.

Ki Umbaran yang sudah bangkit dari duduknya, menatap orang yang baru datang itu, dengan wajah pucat bagai mayat. Tidak disangkanya kalau iblis itu akan datang demikian cepatnya. Buru-buru ia melangkah meng-hampiri Panji yang masih berdiri mengamati manusia di hadapannya itu.

"Dia... dia... Laba-Laba Beracun! Hati-hati, Panji! Kepandaian iblis itu hebat sekali!" Bisik Ki Umbaran dengan hati gentar.

"Heh, Anak Muda! Engkaukah yang mempunyai julukan Pendekar Naga Putih?" Tanya orang berjubah abu-abu, yang berjuluk Laba-Laba Beracun itu. "Dan yang telah membunuh kedua orang muridku?" Sambungnya dengan suara dingin.

Memang, Laba-Laba Beracun telah mendapat pengaduan dari para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang dilepaskan Panji waktu itu. Mereka menceritakan dua orang pemimpinnya telah tewas di tangan seorang pendekar yang memiliki gerakan bagai seekor naga dan mengeluarkan sinar yang berwarna putih keperakan dari tubuhnya. Pendekar Naga Putih, demikian kata mereka. Oleh karena itulah, mengapa si Laba-Laba Beracun pun menyebut Panji sebagai Pendekar Naga Putih.

"Hai, orang tua! Aku tidak tahu, siapa yang kau maksud! Dan siapa pula yang telah membunuh kedua muridmu itu?" Ujar Panji balik bertanya. Memang pemuda itu tidak tahu, siapa yang memiliki julukan Pendekar Naga Putih. Diakah? Dan dia pun ingin memastikan, apakah yang dimaksud dengan kedua orang muridnya adalah Sepasang Harimau Terbang. Meskipun telah diberitahu Ki Umbaran, namun ia ingin mendengarnya langsung dari mulut orang yang bersangkutan.

"Hm.... Ternyata kau adalah seorang pengecut, Pendekar Naga Putih! Tidak mau mengakui perbuatanmu yang telah membunuh Sepasang Harimau Terbang itu! Hutang nyawa harus dibayar nyawa! Tapi kalau kau mau minta ampun padaku, dan bersujud di kakiku, mungkin aku akan memperrimbangkan, apakah aku harus mengampunimu atau tidak!" Ujar Laba-Laba Beracun dengan nada yang amat menghina.

Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan haus akan kesaktian, Laba-Laba Beracun penasaran sekali ketika mendapat laporan dari para pengikut muridnya. la yang sudah lama malang-melintang dalam dunia persilatan, tentu saja paham betul dengan ilmu-ilmu tinggi dari berbagai aliran. Tapi ketika mendapat laporan dari pengikut muridnya yang selamat, ternyata ia sama sekali tidak dapat menduga, ilmu apa yang dipergunakan oleh pemuda itu untuk membunuh muridnya. Kecuali dugaan kasar bahwa pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu menggunakan jurus naga!

Paras Panji berubah merah ketika mendengar kata-kata 'pengecut' yang dilontarkan orang itu. Ia mungkin tidak akan mempedulikan orang itu, apabila kata 'pengecut' tidak didengarnya. Memang, Panji paling pantang disebut pengecut! Amarah pemuda itu pun segera bangkit.

"Hm, orang tua! Memang benar! Akulah yang membunuh Sepasang Harimau Terbang. Aku, Pendekar Naga Putih!" Dalam kemarahannya Panji mengiyakan julukan yang baru pertama kali didengarnya.

"Huh! Tidak penting, apakah engkau berjuluk Pendekar Naga Putih, Naga Belang, Naga Buduk pun. Aku tidak peduli! Yang jelas, engkau harus membayar nyawa dua orang muridku dengan nyawamu dan nyawa seluruh penduduk Desa Tambak! Setelah itu barulah kuanggap lunas!" Tegas Laba-Laba Beracun geram.

Setelah berkata demikian, tubuh Laba-Laba Beracun segera melesat ke arah Panji disertai serangan yang dahsyat! Jari-jari tangannya yang berbentuk taring laba-Jaba itu, meluncur ke arah ubun-ubun dan ulu hati Panji. Kelebatannya menimbulkan angin yang bersiutan. Sebuah serangan yang berbahaya! Panji segera menggeser tubuhnya ke kiri, sambil menggerakkan tangannya menangkis serangan lawan. Sengaja dikerahkan sebagian dari tenaganya untuk mengukur kekuatan lawannya.

Dukkk!

Keduanya terdorong mundur. Kuda-kuda Panji tergempur, dan tubuhnya terdorong sejauh tiga langkah. Sedangkan Laba-Laba Beracun terjajar sejauh lima langkah ke belakang. Dari sini saja sudah bisa diketahui, bahwa tenaga dalam Laba-Laba Beracun masih di bawah Panji. Padahal, ia baru mengerahkan tiga perempat bagian dari tenaganya.

Bukan main terkejutnya Laba-Laba Beracun. Tangkisan pemuda itu bukan saja membuatnya terjajar, dan dadanya tergetar. Tapi juga telah membuat sekujur tubuhnya diselusupi hawa dingin yang membekukan darah! Buru-buru dikerahkan tenaganya untuk mengusir serangan hawa dingin yang menggigilkan itu. Bukan main! Baru kali inilah ditemui lawan yang berat, padahal usia lawannya masih sangat muda. Benar-benar sulit untuk dimengerti.

"Huh! Pantas saja sudah berani berlagak! Rupanya kau memiliki kepandaian yang lumayan! Sekarang cobalah kau sambut ini! Hiaaat...!" Tubuh Laba-Laba Beracun kembali melayang ke arah Panji. Kali ini serangannya terlihat lebih ganas dan cepat! Kedua tangannya menyerang berganti-ganti, dan menyambar-nyambar ganas.

Panji yang sudah menduga kalau lawannya memiliki kepandaian yang tinggi, tidak ingin tubuhnya menjadi sasaran pukulan lawan. Tubuh pemuda itu segera berkelebatan di antara sambaran tangan lawannya. Tidak sampai di situ saja! Pemuda itu pun mulai melancarkan serangan-serangan balasan yang tidak kalah ganasnya.

Keduanya segera terlibat dalam pertempuran sengit! Tubuh Laba-Laba Beracun maupun Panji sudah tidak terlihat lagi. Keduanya bergerak sangat cepat, sehingga yang terlihat hanyalah dua bayangan hitam dan putih yang saling terjang dengan hebatnya. Pertempuran kedua orang sakti itu, demikian seru dan mencekam. Ki Umbaran memperhatikan perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar. Bagaimana tidak? Sebab, nasib seluruh warga desanya berada di tangan Panji. Maka kalau pemuda itu tewas di tangan Laba-Laba Beracun, berarti kehancuran bagi Desa Tambak!

Lain yang dipikirkan Ki Umbaran, lain pula yang dipikirkan gadis jelita yang berdiri di sampingnya. Kenanga memandang ke arah pertempuran dengan hati yang tidak karuan. Apabila melihat bayangan hitam itu dapat mendesak bayangan putih, maka ia meremas-remas tangannya disertai perasaan gelisah. Dan kalau bayangan hitam terdesak, wajahnya kembali tenang. Tapi, biar bagaimanapun pertarungan itu telah membuat hatinya kacau.

Sementara pertarungan sudah memasuki jurus yang keempat puluh. Dan secara pelahan-lahan, bayangan putih sudah mulai mendesak bayangan hitam. Panji terus melancarkan serangan-serangan dahsyat dan berbahaya sehingga memaksa lawannya untuk mundur. Sedangkan Laba-Laba Beracun, mulai merasakan tekanan-tekanan berat dari lawannya. Apalagi setelah Panji mengeluarkan ilmu 'Naga Sakti'nya di jurus ke empat puluh satu. Laba-Laba Beracun segera terdesak. Ruang geraknya semakin sempit, sehingga hanya dapat bertahan tanpa mampu membalas. Rupanya kali ini ia harus melihat kenyataan pahit! Terpaksa dikuras seluruh kemam-puannya untuk menandingi seorang pemuda yang pantas jadi cucunya!

Pada jurus yang ke empat puluh dua, Panji menyerang dengan jurus 'Raja Naga Membuka Jalan'. Kedua tangannya yang membentuk cakar naga itu, meluncur deras ke arah perut dan tenggorokan Laba-Laba Beracun. Serangkum angin yang dingin berhembus keras mengiringi serangannya. Melihat serangan yang berbahaya itu, Laba-Laba Beracun berusaha menghindar. Dengan jurus 'Laba-Laba Melepas Jaring’, laki-laki tua itu berputar setengah lingkaran. Dengan posisi kuda-kuda yang rendah, dihentakkan kedua tangannya ke arah kedua tangan lawan dengan jari-jari terbuka.

Namun, rupanya serangan Panji hanyalah serangan tipuan saja! Karena, secara tiba-tiba pemuda itu menarik pulang kedua serangannya. Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja kaki kiri pemuda itu sudah meluncur ke arah sambungan lutut lawan. Bukan cuma itu saja! Sapuan kaki itu pun, langsung disusul oleh dorongan kedua tangannya. Hebat sekali serangan mendadak itu.

Desss! Bukkk!

"Aaakh...!" Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Laba-Laba Beracun melambung ke udara disertai jeritan menyayat. Kedua serangan pemuda itu telak mengenai sasarannya. Tubuh Laba-Laba Beracun terbanting ke tanah dengan keras. Sementara darah segar berhamburan dari mulutnya, disertai suara gemeletuk gigi karena hawa dingin yang hebat.

Panji segera menghampiri tubuh lawannya yang sedang sekarat itu. Sejenak Panji termenung, ketika melihat tubuh lawannya itu berkelojotan meregang nyawa. Tidak lama kemudian, tubuh Laba-Laba Beracun itu pun diam untuk selama-lamanya. Tokoh sakti yang sesat itu tewas dalam keadaan yang menyedihkan!

Ki Umbaran yang ikut menyaksikan saat-saat terakhir iblis itu, menarik napas lega. Hilang sudah rasa khawatir dalam dirinya. Dengan tewasnya Laba-Laba Beracun, berarti Desa Tambak terbebas dari kehancuran.

"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu, Panji! Kau telah membebaskan Desa Tambak dari kehancuran! Entah dengan cara bagaimana kami dapat membalasnya?" Ujar Ki Umbaran sambil menjabat erat tangan Panji.

Kemudian secara berturut-turut warga desa yang masih berada di tempat itu, ikut pula menyalami Panji. Demikian pula dengan sepasang mata yang semula memancarkan sinar iri. Sepasang mata yang berasal dari seraut wajah yang cukup tampan berusia sekitar tiga puluh tahun. la pun ikut pula menyalami pemuda yang telah menewaskan Laba-Laba Beracun itu. Sepasang mata itu telah berubah dengan tatapan penuh rasa kagum dan hormat. Telah disadari kekeliruannya.

Demikianlah, mulai malam ini nama Pendekar Naga Putih mulai dibicarakan orang di pasar-pasar dan di kedai-kedai minuman, nama Pendekar Naga Putih menjadi pokok pembicaraan yang hangat. Pelahan-lahan berita itu meluas hingga ke desa-desa sekitarnya. Setelah beberapa hari tinggal di Desa Tambak, Panji berniat untuk melanjutkan perjalanannya.

Ki Umbaran berusaha untuk menahan pemuda itu beberapa hari lagi karena sudah terlanjur menyukai pemuda sederhana itu. Terpaksa akhirnya Panji membuat janji untuk mengunjungi Desa Tambak setelah urusannya selesai. Biar bagaimanapun, perpisahan adalah sesuatu yang sangat berat. Meskipun setiap orang tidak menyukainya, namun perpisahan selalu menjadi bagian dalam kehidupan setiap manusia.

Hari masih pagi. Matahari hanya mengintip malu di ufuk Timur. Embun pun bak mutiara berceceran di dedaunan. Sementara itu, Panji tengah berjaian menuju perbatasan Desa Tambak. Ia merasa heran sekali, ketika tidak menjumpai Kenanga di antara orang yang melepasnya kepergiannya.

"Ke mana perginya bidadari jelita itu? Apakah aku mempunyai kesalahan terhadapnya? Ataukah... aaah! Sudahlah! Mengapa aku harus memikirkan yang bukan-bukan, sedangkan urusanku sendiri masih banyak!" Kata batin Panji. Dan tanpa sadar ia menepak kepalanya keras-keras.

"Huh! Manusia tak tahu malu! Apa yang kupikirkan?" Gumam pemuda itu sambil meringis menahan sakit akibat tepakannya yang terlalu keras.

Beberapa orang yang berpapasan dengannya di jalan, tersenyum-senyum melihat tingkah laku pemuda itu yang terasa aneh. Mirip orang gila. Panji jadi malu hati, ketika menyadari kesalahannya. Tapi tak urung dia pun menjadi tersenyum sendiri menyadari kelakuannya yang aneh itu. Dan ketika lihat pemuda itu tersenyum-senyum sendirian, maka makin yakinlah orang-orang itu bahwa pemuda tampan itu benar-benar tidak waras! Dan akibatnya mereka pun berjalan menjauhi Panji.

"Sialan! Mungkin aku dikira orang sinting barangkali!" Gerutu Panji sambil bergegas mempercepat langkahnya.

Belum jauh melewati perbatasan, Panji mendengar suara mencurigakan di kerimbunan semak yang terdapat di tepi jalan itu. Pemuda itu pun segera menghentikan langkahnya seraya berpaling ke arah datangnya suara yang mencurigakan itu. Alangkah terkejutnya Panji ketika melihat seraut wajah yang cantik, berdiri menatapnya dengan mata basah.

"Kenanga...?" Tegur Panji dengan suara bergetar. Bagaimana hati pemuda itu tidak terkejut? Sepanjang jalan hanya wajah dara jelita itulah yang selalu mengganggu pikirannya. Dan secara tiba-tiba saja, wajah itu sudah berdiri di hadapannya. Sungguh sulit untuk dipercaya!

"Kakang Panji...!" Kata gadis itu. Suaranya serak, seperti tercekat di tenggorokan.

Entah siapa yang lebih dahulu, yang jelas kedua orang itu telah melangkah saling mendekat dan saling berpegang tangan. Tubuh keduanya bergetar. Aliran darah mereka seperti berbalik. Untuk beberapa saat lamanya, keduanya tidak mampu untuk berkata-kata. Hanya kedua pasang mata mereka yang saling bercerita mewakili perasaan masing-masing. Panji yang lebih dahulu dapat menguasai perasaannya, segera membawa bidadari jelita itu ke sebuah tempat yang banyak terdapat batu besar, dan mengajaknya duduk di salah satu batu besar.

"Kenanga, maafkan aku! Aku tidak sempat berpamitan kepadamu, karena tidak melihatmu sejak kemarin malam. Apakah aku punya salah?" Ujar Panji ketika kedua insan itu telah duduk di bebatuan. 

"Maafkan aku, Kakang! Aku tidak ingin orang lain mengetahui, kalau aku tidak sanggup melepaskan kepergianmu, Kakang!" Ungkap Kenanga. Suaranya masih tetap merdu. Sementara, beberapa butir air telah menetes dari kedua matanya.

Panji segera mengulurkan kedua tangannya untuk menghapus air mata di pipi dara jelita itu. Untuk beberapa saat, jari-jari pemuda itu gemetar ketika menyentuh kulit yang halus bagai sutera itu. Kenanga segera menangkap tangan Panji, yang masih slbuk menghapus sisa-sisa air mata di pipinya itu, Seketika dilekatkannya lebih erat di pipinya, olah-olah tidak ingin untuk melepaskannya kembali. Sejenak kedua mata yang indah itu terpejam, sehingga nampaklah sebaris bulu mata yang lentik dan mempesona. Dada Panji berdegup keras, ketika daya tarik mata itu menguasai dirinya. Cepat-cepat ditundukkan wajahnya untuk melawan rangsangan itu.

"Kakang, begitu pentingkah kepergianmu?" Desah Kenanga lembut. Sementara kedua matanya masih juga terpejam. Seolah-olah bidadari jelita itu tengah mengigau.

"Kenanga, sebenarnya berat sekali langkahku untuk meninggalkan desa ini, tapi masih banyak urusan yang harus kuselesaikan."

"Jadi, bukan karena aku?" Potong Kenanga dengan wajah cemberut.

"Ah! Tentu saja karenamu, Kenanga! Mengapa engkau harus bertanya lagi?" Jawab Panji tersenyum menggoda.

"Lalu, urusan apakah yang demikian pentingnya itu, Kakang?" Tanya Kenanga lagi.

"Hm, Kenanga. Maukah kau disebut sebagai anak yang tidak berbakti?" Panji balik bertanya.

"Tentu saja tidak, Kakang!" Jawab gadis itu tegas. Kenanga yang tengah merasa bahagia itu, memandang wajah lelaki yang dipujanya dengan mata yang berbinar-binar.

Panji yang melihat mata gadis idamannya bersinar bagai bintang Timur itu hampir tak sanggup untuk memandangnya. "Matamu indah sekali, Kenanga," ujar Panji penuh perasaan. Sejenak pemuda itu terbawa lamunannya, baru ia tersadar, ketika Kenanga tertawa geli melihat pemuda idamannya terbengong-bengong.

"Hei! Kakang Panji. Pertanyaanku belum kau jawab, Kakang!" Seru Kenanga lagi.

"Oh! Pertanyaan yang mana?" Jawabnya bingung. Setelah terdiam beberapa saat lamanya, barulah ia dapat mengingatnya.

Panji pun lalu menceritakan tujuan perjalanannya itu. Setelah mendengar keterangan dari Panji, gadis jelita itu termenung sejenak. Wajahnya terlihat murung, karena pasti akan berpisah dalam waktu yang tidak dapat dipastikan. Matanya kosong memandang jauh ke depan. Panji menjadi iba melihat wajah jelita itu menjadi murung. Namun kepergiannya kali ini, betul-betul tidak dapat ditundanya. Wajah kedua orang tuanya selalu terbayang. Seolah-olah memintanya untuk segera membalas kematian mereka.

"Kakang, apakah setelah urusanmu selesai, kau akan segera mengunjungiku?" Tanya Kenanga tiba-tiba. Sedangkan matanya tetap memandang lurus ke depan.

"Tentu, Kenanga! Begitu urusanku selesai, maka aku akan segera mengunjungimu. Aku berjanji, Kenanga," ucap Panji bersunguh-sungguh.

"Sungguh, Kakang?" Tanya Kenanga minta kepastian sambil menoleh dengan mata bersinar.

Panji memandang wajah Kenanga seraya mengangguk dengan bibir tersenyum. Kemudian diraihnya kedua tangan gadis itu, lalu dikecupnya jemarinya penuh perasaan. "Aku berjanji, Kenanga!" Ucap Panji lembut.

"Baiklah, Kakang! Aku akan selalu menantimu!" Ujar Kenanga. Wajahnya kembali berseri.

Kedua insan itu pun bangkit dari duduknya. Sebelum berpisah, Panji mengecup lembut dahi Kenanga. Segera dilangkahkan kakinya meninggalkan Kenanga yang masih berdiri memandangnya. Setelah bayangan pemuda itu lenyap, barulah Kenanga beranjak meninggalkan tempat itu. Sementara tak terasa sang mentari semakin meninggi. Sepertinya si raja siang itu tersenyum ketika menyaksikan perpisahan sepasang kekasih yang dimabuk cinta.

***
DELAPAN
Hari masih sangat pagi, ketika serombongan orang berkuda meiintasi daerah perbukitan yang terdiri dari batu cadas. Kepulan debu membumbung tinggi diterjang derap kaki kuda yang bergemuruh. Rombongan berkuda itu kurang lebih berjumlah empat puluhan orang. Wajah mereka terlihat gagah dan tenang. Tatapannya yang tajam bagaikan mata seekor burung elang. Di bahu dan punggung mereka, tampak tersembul gagang-gagang senjata. Suatu tanda bahwa rombongan itu terdiri dari orang yang pandai ilmu olah kanuragan.

Paling-depan, terlihat dua orang yang merupakan pimpinan rombongan itu. Yang pertama, berusia sekitar limapuluh tahun lebih. Wajahnya cukup tampan, bersih, dan berwibawa. Sebaris kumis yang lebat dan berwarna agak keputihan menghias atas bibirnya. Sementara di punggungnya, nampak sepasang pedang Pada gagangnya dihiasi batu-batu merah delima, membuat pedang itu semakin indah dipandang mata.

Sedangkan orang kedua sukar ditaksir usianya, karena mengenakan sebuah topeng hitam. Di punggungnya tergantung sebuah tombak yang berujung golok besar tanpa gagang. Dia terkenal dengan julukan Pendekar Topeng Hitam. Memang, rombongan itu terdiri dari pendekar persilatan dari berbagai aliran. Mereka sengaja berkumpul untuk menggempur Tiga Iblis Gunung Tandur, karena kejahatannya yang telah melampaui batas. Ketiga Iblis Gunung Tandur itu telah membumi hanguskan beberapa padepokan terkenal yang tidak bersedia tunduk di bawah kekuasaan mereka.

Perbuatan ketiga iblis itu telah mendatangkan kemurkaan di hati para pendekar persilatan. Mereka lalu bergabung di bawah pimpinan dua orang pendekar yang berjuluk Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam. Setelah mendapatkan kata sepakat, rombongan pendekar itu pun segera bergerak menuju Gunung Tandur yang menjadi sarang ketiga manusia iblis itu.

Setelah kurang lebih setengah harian melakukan perjalanan, maka rombongan itu tiba di bawah kaki Gunung Tandur. Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka segera beristirahat sambil rnengamati keadaan di sekitar tempat itu. Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam segera berembuk untuk mengatur siasat dalam mengadakan penyerbuan. Lalu dua pendekar sakti itu, segera mengumpulkan pendekar lainnya untuk diminta pendapat.

Setelah mendapat kata sepakat, para pendekar itu pun segera dipecah menjadi tiga bagian. Rombongan pertama yang dipimpin Pendekar Pedang Langit, bergerak dari arah Timur. Rombongan kedua yang dipimpin Pendekar Topeng Hitam, bergerak dari arah Barat. Sedangkan rombongan ketiga yang dipimpin tiga pendekar lainnya, ber-gerak dari Utara.

Tidak lama kemudian, ketiga kelompok itu pun segera bergerak dari tiga jurusan. Kelompok yang dipimpin Pendekar Pedang Langit berjumlah sekitar sebelas orang. Mereka segera mendaki gunung itu. Disusul kemudian kelompok kedua dan ketiga secara berurutan.

Kini, kelompok pertama telah tiba di atas Puncak Gunung Tandur. Kesebelas orang pendekar itu bergegas menghampiri sebuah bangunan mewah yang terdapat di tengah-tengah puncak gunung. Sekejap saja mereka telah berada didepan pintu gerbang yang tebal dan kuat.

Pendekar Pedang Langit segera memerintahkan beberapa orang pendekar untuuk mendobrak pintu gerbang. Dengan menggunakan sebuah batang pohon kayu yang cukup besar, enam orang dari mereka segera mengerah-kan tenaga sekuat-kuatnya.

"Hiaaat...!"

Brakkk...!

Pintu gerbang yang terbuat dari kayu pilihan itu lang-sung pecah, menimbulkan suara hiruk-pikuk. Maka begitu pintu itu pecah, para pendekar itu serentak berlon-catan masuk sambil menghunus senjata masing-rnasing. Namun betapa herannya mereka, ketika melihat keadaan di dalamnya ternyata sunyi sekali! Akibatnya kesebelas orang pendekar itu menjadi tegang!

Para pendekar itu langsung menyebar dan mendekati bangunan mewah itu melalui semak-semak yang banyak terdapat di sekitar tempat itu. Keadaan yang mencurigakan itu, membuat para pendekar menjadi tegang. Apalagi mereka tidak mengetahui secara pasti di mana musuh berada, sebaliknya, justru keadaan merekalah yang sudah diketahui musuh!

"Ha ha ha...!" Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar dan bergema ke sekeliling mereka. Sepertinya suara itu datang dari segala penjuru. Hanya saja, tidak seorang pun yang menampakkan dirinya, sehingga membuat hati para pendekar itu bertambah tegang.

"Berkumpul semua!" Teriak Pendekar Pedang Langit Sebab kalau tidak demikian, mereka dapat terbantai satu persatu. Memang hal seperti itulah yang ingin dicegah pendekar itu.

Belum lagi suara Pendekar Pedang Langit hilang, tiba-tiba berkelebatan enam sosok tubuh yang segera mengu-rung mereka. Dan tanpa banyak bertanya lagi, keenam orang pengepung itu pun langsung menyerang hebat ke arah para pendekar itu. Namun, tokoh-tokoh rimba persilatan itu pun bukanlah tokoh kosong. Mereka pun segera menyambut lawan-lawannya lewat serangan yang tidak kalah ganasnya. Sebentar saja, kedua kelompok itu sudah terlihat dalam pertempuran yang sengit.

Melihat kesepuluh kawannya dapat menghadapi gempuran musuh-musuhnya, Pendekar Pedang Langit melesat meninggalkan arena pertempuran itu. Dia berniat mencari sasaran utama, yakni Tiga Iblis Gunung Tandur.

Sementara itu kelompok yang dipimpin Pendekar Topeng Hitam, sudah terlibat pula dalam sebuah pertaru-ngan yang tidak kalah seru. Kelompok Pendekar Topeng Hitam yang terdiri dari dua belas orang tokoh persilatan itu, bertempur melawan pihak musuh yang berjumlah delapan orang. Meskipun jumlah musuh lebih sedikit, tapi ternyata memiliki kepandaian yang hebat. Maka pertempuran pun berjalan seimbang. Pendekar Topeng Hitam segera meninggalkan kedua belas orang kawannya, untuk mencari musuh utamanya yang sama dengan Pendekar Pedang Langit.

Sedangkan kelompok yang bergerak dari Utara, sama sekali tidak menemui hambatan. Mereka yang terdiri dari dua puluh satu orang itu, terus bergerak menuju ke belakang bangunan mewah itu. Ketika kelompok itu tiba di belakang bangunan besar itu, terdengarlah suara pertempuran dari halaman samping.

Kelompok itu pun bergegas menghampiri sumber suara pertempuran itu. Dan alangkah terkejutnya hati para pendekar itu ketika melihat Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam tengah bertempur melawan seorang musuh yang menggunakan pisau terbang. Sementara dua orang berwajah bengis, hanya berdiri menonton seperti tak peduli. Tanpa diperintah lagi, kelompok pendekar itu segera menyerbu ke arah dua orang yang sedang berdiri mengamati pertandingan. Dua orang itu taklain adalah Lodra dan Badra, dua dari Tiga Iblis Gunung Tandur.

Lodra, yang merupakan orang pertama Tiga Iblis Gunung Tandur itu menyambut serangan itu Sepasang tangannya yang kokoh menyambar nyambar ganas. Kepandaian ketiga iblis itu tidaklah sama dengan waktu sepuluh tahun yang lalu. Dalam kurun waktu selama itu kepandaian mereka telah maju dengan pesat. Maka dapat dibayangkan, betapa hebatnya serangan yang dilancarkan Lodra.

Lain Lodra, lain pula dengan Badra Orang kedua yang berjuluk Iblis Cambuk Api itu, menggerakkan cambuknya yang meliuk-liuk bagaikan seekor ular. Bahkan kadang-kadang diseling ledakan yang memercikkan bunga-bunga api ke tubuh lawan. Dalam waktu singkat, para tokoh persilatan yang mengeroyok Iblis Cambuk Api itu pun menjadi kewalahan. Pertarungan yang berlangsung antara Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam melawan Iblis Golok Terbang atau Sudra, berjalan tampak seru dan seimbang. Sepasang pedang Pendekar Pedang Langit berkelebat cepat mengarah ke titik-titik kelemahan di tubuh lawan. Suara sambaran pedang yang mendesing dahsyat, menandakan betapa kuatnya tenaga yang digunakan pendekar itu.

Sedangkan Pendekar Topeng Hitam sudah pula meng-gunakan senjata andalannya yaitu sebatang tombak bergolok. Serangannya yang menimbulkan suara bergemuruh dan berdesing mengincar tubuh lawan. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya serangan kedua pendekar sakti itu. Namun yang sekarang dihadapi bukanlah tokoh sembarangan! Iblis Golok Terbang adalah orang ketiga dari Tiga Iblis Gunung Tandur Kepandaiannya tidak dapat disamakan dengan penjahat-penjahat lainnya. Benar-benar sukar dicari tandingannya!

Dan pada masa sekarang ini kepandaian Tiga Iblis Gunung Tandur berada di urutan atas di antara penjahat lainnya. Dalam menghadapi serangan kedua orang pendekar itu, Sudra menggu-nakan sepasang golok terbangnya. Tubuhnya yang tinggi kurus itu menyelinap lincah di antara sambaran senjata lawan. Bahkan kadang-kadang diselingi serangan golok terbangnya secara mendadak. Tentu saja hal ini membuat kedua orang pendekar sakti itu harus lebih hati-hati menghadapi kelicikan iblis itu.

Tanpa terasa, pertarungan sudah berlangsung empat puluh jurus. Iblis Golok Terbang semakin memperhebat serangannya. Sepasang golok terbang di tangannya, melakukan serangan gencar yang sambung-menyambung bagaikan ombak di lautan. Suaranya yang mendengung tajam itu bagaikan suara ribuan ekor lebah marah, sehingga mengganggu konsentrasi lawan.


Pendekar Pedang Langit berusaha membendung serangan Iblis Golok Terbang, dengan memutar sepasang pedangnya membentuk sebuah benteng yang kokoh. Untuk beberapa waktu lamanya, ia dapat bertahan dari gempuran-gempuran dahsyat itu. Pendekar Topeng Hitam pun melakukan hal yang serupa. Melihat serangan lawan yang seperti air bah itu, Pendekar Topeng Hitam segera memutar senjatanya di depan dada, membentuk segulung sinar hitam untuk melindungi diri. Serangan-serangan yang dilancarkan Iblis Golok Terbang memang sedikit terhambat.

Namun, Iblis Golok Terbang rupanya tidak kehilangan akal. Melihat keadaan itu, Sudra hanya tersenyum sinis. Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu di tangannya telah tergenggam empat buah golok terbangnya. Dengan sebuah teriakan mengguntur, Sudra cepat melepas golok terbangnya ke dua arah. Keempat buah golok terbang itu, membelah udara dengan kecepatan luar biasa! Betapa terkejutnya dua pendekar sakti itu mendengar desingan tajam yang menuju ke arah mereka. Cepat-cepat diperhebat pertahanan senjata mereka, dengan menge-rahkan tenaga dalam sepenuhnya.

Trang! Trang! Trang! Trang!

Terdengar suara keras benturan senjata sebanyak empat kali. Untuk sejenak, putaran senjata kedua orang pendekar itu pun terhenti. Dan kesempatan yang hanya sekejap itu rupanya telah dtperhitungkan Iblis Golok Terbang! Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh iblis itu melesat ke arah dua orang pendekar sakti itu. Sepasang kakinya melakukan tendangan kilat ke arah dada lawannya.

Desss! Desss!

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua pendekar itu terpental keras, dan jatuh sekitar tiga tombak jauhnya dari tempat semula. Keduanya terbatuk-batuk, lalu memuntahkan darah segar. Dada mereka serasa remuk dan sesak akibat tendangan yang dilakukan Iblis Golok Terbang itu. Kedua pendekar itu kini hanya terduduk lemas.

Sudra yang melihat serangannya berhasil baik, cepat mempersiapkan serangan berikut untuk menghabisi lawan-lawannya. Dengan jurus 'Membentur Seribu Gunung', tubuh Iblis Golok Terbang itu meluncur deras ke arah dua pendekar itu. Terdengar suara bergemuruh bagai angin topan yang mengiringi serangan Sudra.

Pendekar Pedang Langit maupun Pendekar Topeng Hitam, hanya dapat memejamkan matanya dengan hati pasrah. Mereka mengakui kehebatan serangan dahsyat dari lawannya itu. Kini, mereka hanya bisa pasrah menanti maut yang akan datang menjemput.

Blarrr!

"Akh...!" Tubuh Sudra terhempas bagai sehelai daun kering dan jatuh ke tanah sehingga menimbulkan suara bergedebuk. Sudra mendekap dadanya yang serasa pecah akibat benturan yang dahsyat itu. Sekujur tubuh terserang hawa dingin yang hebat.

"Huakkk...!" Segumpal darah yang agak mengental meluncur dari mulutnya. Iblis Golok Terbang menyadari kalau dirinya mengalami luka dalam yang cukup parah!

Sementara di tengah arena telah berdiri seorang pemuda berjubah putih yang membelakangi Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam. Raut wajahnya tampan dengan potongan tubuh sedang. Selapis kabut yang bersinar putih keperakan, tampak menyelimuti dirinya.

"Pendekar Naga Putih...!" Teriak Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam berbarengan. Dalam suara mereka terkandung rasa gembira yang amat sangat.

Memang, kedua pendekar itu merasa heran ketika pukulan Iblis Golok Terbang tidak kunjung datang. Saat mendengar suara benturan keras, kedua pendekar itu segera membuka matanya. Dan tampaklah tubuh Iblis Golok Terbang terpental dahsyat. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, kini telah berdiri sesosok tubuh pemuda berjubah putih yang seluruh tubuhnya diselimuti kabut yang bersinar putih keperakan.

Melihat ciri-ciri itu, kedua pendekar sakti itu segera teringat akan selentingan kabar tentang seorang pendekar yang belum lama ini telah mengguncang dunia persilatan dengan menghancurkan gerombolan perampok di bawah pimpinan Sepasang Harimau Terbang, bekaligus membunuh Sepasang Harimau Terbang. Akan tetapi yang lebih membuat nama Pendekar Naga Putih mencuat adalah setelah ia menewaskan Laba-Iaba Beracun! Guru dari Sepasang Harimau Terbang yang memiliki kepandaian yang tinggi. Dan salah satu dari ciri-ciri pendekar itu adalah selapis kabut yang bersinar putih keperakan. Makanya kedua orang pendekar itu tanpa ragu-ragu lagi menyebut julukan itu.

Pemuda yang memang adalah Panji itu, segera berbalik menghadap ke arah kedua orang pendekar yang berada di belakangnya. Setelah membungkuk memberi hormat, ia pun segera menghampiri. "Hm, kelihatannya Paman berdua mengalami luka dalam! Bolehkah saya melihatnya?" Ujar Panji setelah memperhatikan sejenak.

Setelah mendapat persetujuan, pemuda itu lalu menotok di beberapa bagian tubuh mereka secara bergantian. Beberapa saat kemudian, pemuda itu pun segera bangkit berdiri.

"Saya rasa Paman berdua harus segera memulihkan tenaga untuk mengusir sisa-sisa pengaruh dari pukulan lawan," ujar Panji lagi.

Sementara itu, ketika mendengar suara jeritan adiknya tadi, Lodra dan Badra serentak melesat meninggalkan lawan-lawannya. Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya dua iblis itu ketika mendapatkan Sudra tengah tergeletak dengan napas satu-satu. Cepat Lodra menotok di beberapa bagian tertentu di tubuh adiknya. Setelah yakin kalau keadaan adiknya sudah tidak berbahaya lagi, Iblis Tangan Maut segera berpaling ke arah Panji yang telah berdiri dan juga tengah menatapnya. Untuk beberapa saat, dua pasang mata yang sama tajamnya itu saling berpandangan dan menilai kepandaian lawan.

"Siapa kau, Anak Muda?! Apakah kau sudah bosan hidup sehingga ikut campur urusan kami, heh?!" Bentak Iblis Tangan Maut Suaranya menggelegar.

"Hm.... Aku Panji, yang ingin mencabut nyawamu!" Sahut Panji sambil tersenyum sinis mengejek. Sepasang matanya memancarkan hawa maut! Sungguh pun senyum menghias bibirnya.

"Huh! Bocah sombong! Rupanya kau memang sudah bosan hidup. Bersiaplah!" Bentak Iblis Tangan Maut gusar.


"Eiiit tunggu dulu!" Seru Panji masih dengan senyum di bibirnya.

"Hm! Ada apa? Kau takut? Kalau begitu, menyingkirlah!" Dengus Lodra kesal.

"Huh! Siapa takut kepadamu, iblis peot! Aku hanya ingin bertanya sedikit," tegas Panji.

"Huh! Apa yang ingin kau tanyakan?!" Tanya Lodra tak sabar.

"Aku hanya ingin bertanya, apakah peti mati untukmu sudah tersedia?" Ejek Panji dingin. Tentu saja ejekan itu disambut oleh tawa para tokoh persilatan yang merasa geli mendengar pertanyaan yang aneh itu.

Dapat dibayangkan, betapa murkanya Iblis Tangan Maut. Wajahnya merah menahan amarah yang meledak-ledak. Tulang-tulang lengannya bergemeletak karena dialiri kekuatan yang dahsyat. "Bocah setan, mampuslah!" Teriak Lodra dibarengi lesatan tubuhnya yang meluncur deras ke arah Panji. Tiupan angin dahsyat mendahului serangan Iblis Tangan Maut, sehingga menimbulkan suara keras bergemuruh.

Panji segera menggeser tubuhnya, untuk menghindari serangan lawan. Dengan cepat langsung dibalasnya serangan itu dengan sebuah serbuan yang tidak kalah dahsyatnya. Sebentar kemudian, keduanya segera terlibat dalam pertarungan yang sangat menegangkan. Debu dan pasir beterbangan akibat terkena pukulan-pukulan yang tidak mengenai sasaran. Batu-batu yang tersepak kaki kedua orang yang sedang mengadu nyawa itu, beterbangan ke sekeliling arena pertempuran.

Para pendekar yang menyaksikan pertarungan itu, segera berlarian ke tempat yang terlindung. Memang batu-batu kerikil yang beterbangan itu terasa menyakitkan apabila mengenai tubuh mereka. Dalam sekejap saja sekitar arena pertempuran menjadi porak-poranda bagaikan habis diobrak-abrik ribuan gajah.

Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam yang juga ikut menghindar, berdecak kagum menyaksikan kepandaian dua orang yang sedang bertempur itu. Selama hidup mereka, baru kali inilah menyaksikan sebuah pertarungan yang demikian dahsyat dan mengerikan. Di hati mereka terbesit perasaan minder melihat kepandaian dua orang sakti itu. Mereka belum apa-apa dibanding keduanya.

"Luar biasa! Hebat sekali kepandaian pemuda itu! Pantas saja kalau tokoh sesat seperti Laba-Laba Beracun, bisa sampai tewas di tangannya! Hem! Pendekar Naga Putih... Sungguh sebuah julukan yang tepat. Entah, murid siapakah anak muda itu..." gumam Pendekar Pedang Langit pelan.

"Ya! Rasanya kepandaian kita tidak ada apa-apanya, Kakang!" Jawab Pendekar Topeng Hitam sambil menghela napas berat.

Sementara, pertarungan semakin bertambah seru saja. Lodra yang menggunakan jurus 'Sepasang Tangan Pengacau Lautan', benar-benar terlihat mengerikan! Sepasang tangannya yang kokoh, menyambar-nyambar sehingga menimbulkan putaran angin dingin yang menerbangkan apa saja di dekatnya. Pohon-pohon yang terlanggar pukulan Lodra, langsung tumbang menimbulkan suara yang ribut. Memang tidak berlebihan apabila ia dijuluki Iblis Tangan Maut.

Sedangkan Panji, tidak kalah hebatnya! Dengan ilmu 'Naga Sakti’, pemuda itu bagaikan seekor naga yang sedang murka. Gerakan-gerakannya yang kokoh kuat itu, benar-benar sulit dicari kelemahannya. Tubuhnya diselimuti kabut bersinar putih keperakan sehingga pemuda itu bagaikan seekor naga putih yang sedang bermain-main di angkasa. Pantaslah kalau orang menjulukinya Pendekar Naga Putih!

Pada jurus yang keenam puluh tiga, tampak Panji mulai mendesak Lodra dengan serangan susul-menyusul. Iblis Tangan Maut benar-benar tidak diberi kesempatan sekali pun untuk membalasnya. Orang pertama dari Tiga Iblis Gunung Tandur itu mulai kelabakan menghadapi tekanan lawannya yang masih muda itu. Dapat dipastikan, tidak lama lagi iblis itu tentu akan rubuh di tangan Panji.

Namun sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba dua bayangan meluncur memasuki kancah pertempuran, dan langsung melancarkan serangan ke arah Panji. Ledakan-ledakan suara cambuk terdengar memekakkan telinga. Rupanya Iblis Cambuk Api dan Iblis Golok Terbang, yang sudah agak pulih dari lukanya ikut maju mengeroyok pemuda itu.

Pertempuran pun semakin sengit dan menegangkan. Panji yang dikeroyok Tiga Iblis Gunung Tandur, tampak mulai terdesak. Pemuda itu kini tidak lagi mampu membalas serangan tiga orang lawannya. la mulai merasakan tekanan berat dari lawan-lawannya. Memasuki jurus yang kesembilan puluh, posisi pemuda itu benar-benar dalam keadaan gawat. Cambuk api di tangan Badra meledak-ledak ke arah ubun-ubunnya. Sedangkan sepasang golok terbang di tangan Sudra, meluncur cepat bagai kilat ke arah lambung dan tenggorokannya. Sementara Lodra pun sudah pula mendorongkan telapak tangannya ke arah punggung Panji, dari bela-kang. Keadaan Panji, benar-benar bagai telur di ujung tanduk!

Para pendekar yang menyaksikan jalannya pertempuran, sama-sama menahan napas dengan wajah tegang. Sudah bisa dibayangkan kalau pemuda ini akan tewas di tangan Tiga Iblis Gunung Tandur. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya tahu-tahu di tangan Panji telah tergenggam sebatang pedang bersinar berwarna putih keperakan. Dengan gerakan yang tak tampak oleh mata biasa, Panji segera mengibaskan pedangnya membabat cambuk milik Badra dan kedua tangan Sudra yang menggenggam golok terbang. Dan dengan menekuk kedua kakinya, dilontarkan pukulan tangan kiri untuk menyambut serangan Lodra.

Crasss! Crasss!

"Aaakh...!"

Brettt..!

Blarrr...!

Tubuh Iblis Golok Terbang terhuyung-huyung sejauh dua tombak disertai jeritan panjang. Kedua tangannya putus sebatas pergelangan, dan langsung menyemburkan darah segar yang tak henti-hentinya. Sedangkan tubuh Iblis Cambuk Api terdorong sejauh sepuluh langkah. Dari sela-sela bibirnya tampak mengalir cairan merah. Sementara cambuk di tangannya terbabat putus hingga jadi dua bagian.

Tubuh Panji sendiri jatuh berguling-guling akibat ber-benturan dengan sepasang tangan Lodra yang mengan-dung tenaga dalam dahsyat itu.

"Huakkk...!" Segumpal darah segar menyembur dari mulut Panji. Sedangkan sinar putih keperakan yang selalu menyelimuti tubuhnya mendadak lenyap. Ini pertanda aliran tenaga dalamnya mengalami hambatan. Dengan sigap, Panji segera mengatur pernapasannya untuk melancarkan kembali aliran tenaga dalamnya yang terhambat.

Di lain pihak, keadaan Iblis Tangan Maut tidaklah lebih baik. Tubuhnya terlempar keras lalu terbanting ke tanah yang menimbulkan suara berdebum. Lodra mendekap dadanya yang berguncang akibat tangkisan Panji yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' itu. Tubuh Iblis Tangan Maut terbungkuk-bungkuk. Dan ketika ia terbatuk, langsung memuntahkan darah segar dari mulutnya.

Untuk beberapa saat lamanya pertempuran pun terhenti. Panji maupun Iblis Tangan Maut, sama-sama terdiam untuk memulihkan tenaga masing-masing.

"Hiaaat..!" Tiba-tiba Iblis Cambuk Api berteriak nyaring. Tubuhnya yang tinggi besar meluncur deras ke arah Panji. Dengan menggunakan sebatang golok besar, dia siap merejam tubuh pemuda itu. Suara senjatanya berdesing tajam mengarah ke leher Panji.


Panji yang sudah mulai pulih tenaganya, segera memutar kepalanya dan langsung membabatkan pedangnya ke tubuh lawan. Pertarungan pun kembali berlangsung hebat. Pedang di tangan Panji membentuk gulungan sinar putih keperakan, bagaikan seekor naga yang sedang bermain di angkasa. Dalam beberapa jurus saja, Iblis Cambuk Api mulai terdesak hebat. Dia hanya mampu bermain mundur.

Pada saat yang gawat itu, Iblis Tangan Maut juga segera melesat membantu adiknya, yang berada dalam posisi berbahaya. Iblis Tangan Maut sudah pula mencabut sepasang trisulanya, dan langsung menerjang dengan serangan-serangan yang cepat dan ganas.

Setelah Iblis Tangan Maut ikut membantunya, barulah Iblis Cambuk Api dapat menarik napas lega. Sebab serangan-serangan Panji yang ditujukan ke arahnya mulai berkurang. Panji memang harus juga membagi perhatiannya terhadap Iblis Tangan Maut. Dua puluh jurus pun terlewat sudah. Panji tampak mulai meningkatkan serangannya. Pedangnya yang bersinar putih keperakan, bergulung-gulung menekan senjata lawannya.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api mulai dapat didesak oleh pemuda itu. Darah-darah di dalam tubuh serasa membeku. Mereka bagaikan terkurung dalam sebuah lingkaran salju saja. Segera dikerahkan seluruh tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang mempengaruhi gerakan-gerakan mereka.

"Gila! Bocah ini benar-benar memiliki ilmu iblis!" Umpat Iblis Tangan Maut sambil melompat menghindari sabetan pedang lawan. Semakin lama ruang gerak kedua iblis itu semakin menyempit. Serangan-serangan yang dilancarkan Iblis Tangan Maut maupun Iblis Cambuk Api, selalu kandas bagai membentur sebuah dinding salju yang kokoh.

Para tokoh persilatan yang menyaksikan pertandingan itu dari kejauhan, tersentak kaget. Ternyata mereka pun tidak terlepas dari pengaruh hawa dingin yang memenuhi sekitar situ. Cepat-cepat tokoh-tokoh persilatan itu mengerahkan hawa murni untuk melindungi tubuh dari pengaruh hawa dingin yang luar biasa itu.

Saat itu, pertarungan sudah menginjak pada jurus yang ketiga puluh lima. Tiba-tiba kedua Iblis Gunung Tandur itu berteriak nyaring, dan langsung menerjang secara berbarengan. Senjata mereka berkelebat mengarah ke bagian-bagian yang berbahaya di tubuh Panji. Jurus 'Tangan Maut', milik Iblis Tangan Maut kini dimainkan dengan menggunakan senjata trisula. Senjata itu berkelebatan mengancam Panji sambil mengeluarkan suara berdesingan bagai suara ribuan ekor lebah yang sedang marah. Sementara Iblis Cambuk Api yang kini menggunakan golok, juga masih cukup dahsyat serangannya, sungguhpun kini tidak menggunakan senjata andalannya.

Melihat kedua serangan yang dahsyat itu, Panji segera memutar pedangnya, disertai kekuatan penuh tenaga dalamnya. Mendadak cahaya yang semula menyelimuti pedangnya, berpijar ke segala penjuru bagaikan ada pesta kembang api. Kedua manusia iblis itu, tersentak mundur. Dan untuk beberapa saat lamanya pandangan mereka terhalang oleh pancaran sinar itu. Akibatnya mereka pun sulit untuk menentukan di mana posisi lawan.

Sebelum kedua manusia iblis itu sempat berpikir banyak, Panji segera melesat menerjangnya. Karuan saja Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api tersentak kaget dan menjadi kalang kabut. Dengan secara serabutan, mereka menggerakkan senjatanya ke segala arah.

Tranggg! Tringgg!

Brettt!

"Akh...!"

"Akh...!"

Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api, berhasil menangkis beberapa serangan yang dilakukan. Namun tak luput sebuah bacokan pemuda itu dapat melukai pinggang Iblis Cambuk Api. Cairan merah pun merembes keluar, dan membasahi pakaiannya. Sedangkan Iblis Tangan Maut terhuyung-huyung sambil memegangi lengannya yang terbabat putus sebatas siku. Cepat-cepat Iblis Tangan Maut menotok di beberapa tempat untuk menghentikan darah yang terus mengalir. Wajah kedua iblis itu berubah pucat Kini mata mereka baru terbuka dan mengakui kepandaian pemuda yang menjadi lawannya ini. Bahkan kini rasa takut pun mulai menjalari perasaan mereka.

Panji kembali menerjang kedua iblis yang sudah terluka itu. Segulung sinar putih keperakan, segera mengurung kedua orang lawannya. Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api berusaha mati-matian menghindari serangan yang dilancarkan Panji. Namun ke mana saja mereka menghindar, sinar putih keperakan itu tetap mengurung mereka.

Bukan main terkejutnya hati dua manusia iblis itu. Keringat dingin mulai mengalir membasahi tubuh. Merasa tidak mungkin mendapat ampunan dari lawannya, Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api pun nekad menerjang ke arah Panji. Senjata di tangan Iblis Tangan Maut berkelebatan cepat dan sukar diikuti mata biasa. Suaranya mengaung membelah udara. Tiba-tiba senjata itu meluncur deras ke arah lambung Panji. Dan pada saat yang bersamaan, Iblis Cambuk Api pun telah pula membabatkan golok besarnya ke pinggang lawan. Melihat kedua serangan yang luar biasa itu datang, Panji segera memutar pedangnya dari luar ke dalam. Ini dilakukan untuk mematahkan serangan kedua iblis itu.

Trang! Trang!

Terdengar dua kali benturan keras di udara, yang me-nimbulkan percikan bunga api. Memang, betapa kuatnya tenaga benturan tadi. Dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh Panji melambung ke depan sambil mengayunkan pedangnya. Suara gemuruh disertai hawa dingin yang hebat, mengiringi ayunan pedangnya.

Brettt! Brettt!

"Akh...!" Terdengar suara raungan dahsyat yang mendirikan bulu roma, ketika pedang Panji membabat kedua leher manusia iblis. Tubuh Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api terjungkal ke belakang. Darah mengucur deras dari luka di leher mereka. Sebentar mereka berkelojotan, lalu tewas dengan leher hampir putus!

Melihat kedua musuhnya telah tewas, Panji menjatuhkan lututnya ke atas tanah. la merasa lelah sekali, karena telah bertarung hampir dua ratus jurus untuk menghadapi musuh-musuhnya. Tiba-tiba Panji tersentak ketika mendengar desiran angin yang bersiulan. Cepat bagai kilat ditolehkan kepalanya ke arah sumber suara itu. Panji segera memutar kepalanya ketika sebuah tendangan yang dahsyat meluncur ke arah kepalanya. Rupanya tendangan itu berasal dari Iblis Golok Terbang yang telah dibuntungi lengannya oleh pemuda itu. Dengan tendangan kilat, Iblis Golok Terbang menyerang Panji secara bertubi-tubi.

Panji segera berkelit menghindari tendangan geledek itu. Segera dicarinya kelemahan dari serangan lawannya. Hingga pada jurus yang kelima, Panji memiringkan tubuhnya sehingga tendangan dari Iblis Golok Terbang hanya lewat di sebelah kirinya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera me-lepaskan pukulan ke arah lutut Iblis Golok Terbang, kemudian dlsusul dengan sebuah tendangan yang meluncur ke dada.

Krakkk!

Desss!

"Akh...!"

Sudra meraung keras! Pukulan Panji telah mematahkan lutut kanannya. Sedangkan tendangan pemuda itu, telak sekali menghajar dadanya hingga melesak ke dalam. Setelah berkelojotan sejenak, Iblis Golok Terbang langsung tewas dengan dada hancur.

Panji berdiri limbung, karena rasa lelah yang amat sangat Satu persatu pemuda itu memandangi wajah musuh-musuhnya yang telah menjadi mayat. Tibat-tiba, dari arah Timur dan Barat tampak para pendekar berlarian mendatangi bekas arena pertempu-ran. Rupanya para pendekar sudah pula menyelesaikan pertarungan melawan anak buah Tiga Iblis Gunung Tandur. Betapa tercengangnya para pendekar yang baru datang itu, ketika melihat Tiga Iblis Gunung Tandur telah menggeletak tanpa nyawa.

Selagi para pendekar itu sibuk satu sama lainnya, Panji cepat melesat meninggalkan tempat itu. Gerakannya yang disertai ilmu meringankan tubuh, tidak diketahui para tokoh persilatan yang tengah sibuk itu. Ilmu meringankan tubuhnya, memang sudah hampir pada taraf kesempurnaan.

"Eh! Kemana perginya Pendekar Naga Putih tadi?" Tanya Pendekar Pedang Langit ketika tidak melihat Panji di tempatnya.

"Pendekar yang mana?" Tanya para tokoh persilatan tak mengerti.

"Pendekar Naga Putih," tegas Pendekar Topeng Hitam. "Dialah yang telah membunuh Tiga Iblis Gunung Tandur itu!" Sambungnya.

"Pendekar Naga Putih...!" Seru para tokoh persilatan terkejut.

"Jadi, dia juga berada di sini tadi?" Tanya yang lainnya.

"Benar! Dan kini, pendekar itu telah pergi entah ke mana!" Desah Pendekar Pedang Langit pelahan.

Sementara, matahari semakin naik tinggi. Sinar yang garang memancar ke seluruh permukaan bumi dan terasa menyengat kulit. Hembusan angin yang sepoi-sepoi, bagaikan elusan tangan bidadari yang terasa sejuk dan melenakan. Nun di bawah kaki Gunung Tandur, tampak seorang pemuda berjubah putih melangkah mengikuti ayunan kakinya, tanpa tahu arah mana yang akan dituju. Dia adalah Panji yang mendapat Julukan Pendekar Naga Putih.

SELESAI

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar