Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 23

"Tak perlu aku bicara panjang lebar dan berputar-putar, nona. Sungguh pun baru satu kali aku bertemu denganmu, bahkan namamu pun aku belum tahu, akan tetapi ada sesuatu di dalam dadaku yang membuat aku amat suka padamu, membuat aku ingin selalu berada di sampingmu, membuat aku ingin menjadi pelindungmu selama hidup. Memang ada pula perasaan yang menginginkan supaya engkau pun suka kepadaku, akan tetapi melihat kau selamat dan bebas dari pada bahaya dan kedukaan saja rasanya aku sudah puas!"

Siok Lan adalah seorang gadis yang cerdik bukan main. Sejak pemuda itu menolongnya untuk pertama kali, bahkan semenjak pemuda itu memandang kepadanya di Kelenteng Siauw-lim-si, dia dapat menduga bahwa pemuda ini jatuh cinta kepadanya. Pemuda ini, tunangannya, calon suaminya yang sah, jatuh cinta kepadanya tetapi pada saat itu juga, di hadapan orang lain menyangkal atau menolak ikatan pertunangannya dengan dia pula. Alangkah lucu dan anehnya!

Dapat dibayangkan betapa hatinya menjadi bahagia, kecewa, marah dan banyak macam lagi teraduk menjadi satu. Dia merasa bahagia oleh karena melihat bahwa tunangannya ternyata seorang pemuda yang menarik hatinya. Tak dapat disangkal pula bahwa dia pun suka dan bangga mempunyai tunangan seperti Thio Wi Liong ini. Akan tetapi dia marah dan kecewa karena pemuda ini tidak setia terhadap ikatan jodoh yang sudah dilakukan oleh paman pemuda itu dan ayahnya, sehingga di luaran berani menyatakan tidak cocok dengan pertunangan itu. Malah dia marah sekali karena di hadapannya pemuda ini berani mencela ayah bundanya!

Melihat pemuda itu berdiri sambil memegang dayung tersenyum ganteng sekali padanya, hati Siok Lan makin berdebar. Kemudian dia membuang muka dan memandang ke darat.

"Kurasa..."

"Ya...?" Wi Liong mendesak melihat gadis itu ragu-ragu.

"Kau ini... seorang pemuda yang terlalu baik hati akan tetapi..."

"Akan tetapi apa...? Teruskan..."

"Akan tetapi... bodoh, sombong dan tidak setia!"

Wi Liong melengak, kemudian mukanya menjadi merah sekali. Ia mendongkol juga. Ingin ia memaksa gadis itu menengok memandangnya, akan tetapi gadis itu tetap menghadapi daratan dan sedikit pun tidak mengerling kepadanya.

"Hemm, begitukah…? Maksudmu aku tidak setia terhadap pertunanganku dengan gadis bernama Kwa Siok Lan yang selama hidupku belum pernah kulihat itu? Bu Beng Siocia (Nona Tiada Nama), kau tidak adil! Andai kata kau yang menjadi nona yang ditunangkan dengan seorang pemuda yang selama hidupmu belum pernah kau lihat, apakah kau juga akan suka hati? Aku tidak melanggar kesetiaan, karena di dalam hati aku merasa belum ada ikatan sesuatu dengan gadis yang dipaksa menjadi tunanganku itu. Tetapi terhadap kau... aku..."

"Ssttt… diam! Kulihat susiok di sana!" kata gadis itu sambil melambai ke darat. Wi Liong menengok dan betul saja, ia melihat kakek muka merah itu sudah berada di darat seorang diri.

"Kita berpisah di sini...," bisik Siok Lan.

"Akan tetapi... ke mana aku harus mencarimu kelak...?"

"Kau masih terikat pertunangan, untuk apa mencariku? Kalau kau sanggup memutuskan tali perjodohanmu dengan gadis she Kwa itu, kelak pasti kita saling bertemu..." Ia berbisik lalu disambungnya keras-keras, "Hayo dayung ke pinggir!”

Berseri wajah Wi Liong. "Betulkah?" bisiknya. "Baik, aku akan memutuskan pertunangan itu, kemudian akan kucari kau!" Ia lalu mendayung perahunya ke pinggir. Sebelum perahu menempel daratan, Siok Lan berbisik pula.

"Aku mendarat dari sini dan kau jangan ke pinggir, tak usah kau menemui susiok!" Dalam kata-kata ini terkandung permintaan yang amat sangat sehingga Wi Liong hanya berdiri mematung, tidak mendayung perahunya lagi. Ada pun Siok Lan dengan gerakan lincah ringan, melompat seperti seekor burung melayang ke darat di mana susiok-nya, See-thian Hoat-ong. kakek gagah perkasa yang berpakaian baju perang itu, sudah menanti dengan muka girang.

"Syukur kau telah dapat terlepas dari cengkeraman musuh!" kata kakek itu menyambut kedatangan Siok Lan. "Kenapa dia tidak ikut kesini? Apakah dia yang telah menolongmu? Pemuda itu sungguh lihai!"

Karena gadis itu tadi meminta dengan suara mengandung penuh permohonan, Wi Liong merasa tidak enak untuk menolak, maka dia pun cepat-cepat mendayung perahunya ke tengah lagi dan sebentar saja perahunya sudah menghilang di sebuah tikungan.

Gadis aneh, benar-benar aneh sekali, akan tetapi menarik! Anehnya itukah yang menjadi daya paling menarik? Kemudian dia teringat kepada gadis yang seorang lagi, yang agak hitam manis, gadis yang oleh gurunya, Pak-thian Koai-jin, hendak dijodohkan dengan dia! Gadis itu kini tertawan musuh, juga wanita gagah Tung-hai Sian-li.

Mereka ini, dua orang wanita dan tiga orang kakek aneh, seperti juga gadis langsing yang aneh itu, adalah orang-orang kang-ouw yang sangat mengagumkan. Orang-orang gagah yang tak mau diam membiarkan para penghianat bangsa menggunakan kedudukan untuk memeras rakyat. Mereka ini memang pantas disebut pendekar-pendekar perkasa, karena bukankah gurunya juga memberi petunjuk bahwa kalau dia hendak memilih jalan benar, maka dia harus bersatu dan membela rakyat jelata?

"Aku harus menolong mereka," pikirnya. "Dia bersama susiok-nya si muka merah itu tentu kembali ke kota raja juga. Di sana berbahaya, ada Kun Hong yang lihai sekali. Aku harus membantunya menolong kawan-kawannya yang tertawan."

Dengan pikiran ini Wi Liong lalu mendayung perahunya cepat-cepat ke depan, kemudian dia pun mendarat dan menuju ke kota raja yang temboknya sudah kelihatan dari tempat itu…..

********************

Ada pun Siok Lan begitu bertemu dengan See-thian Hoat-ong, segera bertanya apa yang telah terjadi semenjak mereka berpisah.

"Berbahaya sekali..." kata See-thian Hoat-ong sambil menggeleng kepalanya. Kemudian ia menceritakan pengalamannya.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, See-thian Hoat-ong, Pak-thian Koai-jin, Lam-san Sian-ong, Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan terpaksa harus melarikan diri karena pasukan Mongol menyerang mereka dengan hujan anak panah. Mereka berlari turun gunung dan terus menuju arah selatan, bermaksud memasuki kota raja melalui sungai dan mencoba menyelamatkan Siok Lan yang tertawan.

Tukang perahu yang ternyata mata-mata Mongol itu lalu menyeberangkan mereka, akan tetapi setelah tiba di tengah sungai, tukang perahu itu lantas melompat ke dalam air dan menyelam. Rupa-rupanya memang telah diatur lebih dahulu karena begitu tukang perahu melompat ke air, dari kedua seberang sungai datang banyak perahu yang ditumpangi oleh pasukan Mongol.

Belasan orang serdadu Mongol ahli renang segera melompat ke dalam air, menyelam dan menyerang perahu itu dari bawah. Perahu itu mereka balikkan dan lima orang gagah itu tidak berdaya sama sekali. Mau melompat, melompat ke mana? Daratan masih terlampau jauh. Terpaksa mereka melompat ke air dan segera dikeroyok oleh banyak orang serdadu yang pandai bermain di air.

Celakalah Pui Eng Lan dan Tung-hai Sian-li. Mereka lihai sekali kalau di darat, akan tetapi mereka tak berdaya di air dan sebentar saja mereka telah dapat ditawan dalam keadaan setengah pingsan. Sungguh menyedihkan. Apa lagi bagi Tung-hai Sian-li seorang tokoh besar di dunia kang-ouw begitu mudah tertawan oleh serdadu-serdadu Mongol yang kalau di darat, biar ada lima puluh orang sekali pun tak mungkin akan dapat menawannya!

Biar pun tak boleh dibilang ahli namun tiga orang kakek itu masih dapat berenang, maka serdadu-serdadu itu mana sanggup menangkap mereka? Beberapa orang serdadu yang berani mendekat, tewas oleh pukulan-pukulan mereka dan sambil mengikuti arus air, tiga orang kakek ini akhirnya berhasil mendarat. Akan tetapi mereka tak berdaya sama sekali untuk menolong Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan yang telah dibelenggu dan dibawa pergi dengan perahu oleh para serdadu.

Demikianlah pengalaman yang dituturkan oleh See-thian Hoat-ong. "Pak-thian Koai-jin tak sabar lagi, dia langsung mengejar ke kota raja untuk menolong muridnya," berkata kakek muka merah itu. "Lam-san Sian-ong mengawaninya, sedangkan aku menanti di sini kalau-kalau Tung-hai Sian-li atau nona Pui itu muncul, karena ketika kami bertiga mati-matian berusaha mendarat, mereka yang tertawan sudah tidak ada lagi. Aku sudah mencari-cari di sekitar sini. khawatir kalau-kalau kawan-kawan yang tertawan tidak dibawa ke kota raja. Akan tetapi menurut beberapa orang nelayan yang melihatnya, memang Tung-hai Sian-li dan nona Pui dibawa ke kota raja."

"Susiok kita harus menolong dia...," kata Siok Lan.

"Ibumu...?”

Siok Lan mengangguk, lalu berkata pasti, "Kita harus menolong dia dan membawanya ke Poan-kun!"

See-thian Hoat-ong memandang tajam, kemudian menghela napas panjang dan berkata. "Betapa baiknya kalau usahamu berhasil, akan tetapi aku amat menyangsikannya. Ibumu itu terkenal berwatak keras seperti baja, kemauannya tak dapat dirobah lagi..."

Mereka lalu melakukan perjalanan cepat, kembali ke kota raja untuk berusaha menolong Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan yang tertawan…..

********************

Sejak dunia berkembang, cinta memang merupakan sesuatu yang sangat berpengaruh. Cinta memegang peran yang penting sekali dalam kehidupan manusia, menguasai hati manusia sepenuhnya, baik ia seorang bodoh atau pintar, jahat atau baik. Demikian besar pengaruh cinta kasih terhadap manusia sehingga kadang kala dia bahkan mengalahkan watak. Orang bodoh sewaktu-waktu bisa menjadi cerdik, orang pintar bisa menjadi tolol, orang jahat bisa berbuat kebaikan, sebaliknya orang baik bisa melakukan perbuatan jahat. Ini semua gara-gara cinta!

Kam Kun Hong adalah seorang pemuda yang biasanya memandang rendah kaum wanita. Melihat wanita baginya sama dengan melihat boneka-boneka cantik yang adanya hanya untuk ditimang-timang kemudian dibuang setelah bosan. Atau seperti kembang-kembang segar yang adanya hanya untuk dipetik kemudian dibuang setelah layu.

Wataknya yang tidak baik ini terutama sekali adalah karena pengaruh dari watak kedua orang gurunya yang mendidiknya sejak ia kecil, yaitu Tok-sim Sian-li wanita cabul itu dan Bu-ceng Tok-ong tokoh aneh yang terkenal paling bocengli (tidak tahu aturan)! Kemudian gurunya yang terakhir, Thai Khek Sian yang juga seorang manusia iblis berwatak rendah dan cabul. Semuanya ini masih ditambah lagi oleh lingkungan atau hubungannya dengan orang-orang yang memang tidak bersih pikirannya.

Sudah cukup banyak wanita yang dikenal Kun Hong, yang dipermainkannya seperti orang mempermainkan boneka atau kembang. Dia adalah pemuda pembosan, akan tetapi aneh bin ajaib, begitu bertemu dengan Pui Eng Lan, tak sedetik pun dia dapat melupakan wajah yang manis itu, tak dapat ia mengusir bayangan senyum gadis itu, kerlingnya yang tajam, lesung pipit di ujung bibirnya.

"Aku harus mendapatkan dia!" Berkali-kali pemuda ini mengambil keputusan. "Aku bisa mati karena rindu kalau tidak bisa mendapatkan dia!"

Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa gembira hatinya ketika dia mendengar bahwa gadis pujaan hatinya itu sudah tertawan bersama Tung-hai Sian-li! Cepat dia mendatangi tempat tahanan mereka dan melarang semua orang mengganggu dua orang tawanan itu, terutama sekali si gadis.

Biar pun baru sebentar di kota raja, namun Kam Kun Hong sudah mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar sekali. Ini bukan hanya karena dia datang sebagai wakil Thai Khek Sian, akan tetapi terutama sekali karena semua orang sudah menyaksikan sendiri betapa lihatnya pemuda ini. Apa lagi melihat betapa Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong, tokoh-tokoh yang amat terkenal di antara pasukan-pasukan penjaga Mongol, bersikap demikian takut-takut terhadap Kun Hong.

Kekuasaan pemuda ini menguntungkan Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan. Oleh larangan Kun Hong ini, tak ada seorang pun berani mengganggu mereka, bahkan Bu-ceng Tok-ong sendiri pun tidak berani!

Pada hari ke dua, pada saat Pui Eng Lan merenung menantikan nasibnya di dalam kamar tahanan, pintu kamar itu terbuka dari luar. Nona ini mendapat perlakuan baik. Walau pun kaki tangannya masih diborgol, tapi dia berada di dalam sebuah kamar yang bersih, duduk di atas kursi dan di atas meja tersedia makanan dan minuman. Borgol kaki dan tangannya berantai panjang, tidak menghalangi apa bila dia hendak makan atau minum.

Akan tetapi mana bisa gadis ini mengisi perutnya? Ia hanya menunggu datangnya musuh yang hendak membunuhnya sambil mengharapkan munculnya suhu dan kawan-kawannya untuk menolong dia dari kamar tahanan ini. Dia sungguh menyesal karena dipisahkan dari Tung-hai Sian-li yang tiada hentinya memaki-maki sambil menantang orang-orang Mongol agar mengadakan pertandingan secara jujur.

Eng Lan kaget sekali ketika mendengar pintu tahanannya terbuka dari luar. Tak salah lagi, pasti musuh yang datang. Kalau suhu-nya atau kawan-kawannya yang hendak menolong, tentu datang pada malam hari tidak pada pagi hari seperti itu. Akan tetapi ia tidak takut.

Memang Pui Eng Lan tidak kenal takut. Rasa takut akan bahaya sudah habis dideritanya ketika dulu dia masih berusia enam tahun, yaitu ketika bala tentara Mongol menyerbu ke Tiongkok. Desanya dihancurkan, orang tuanya binasa di dalam rumahnya yang dibakar.

Dia lari, lari terus menjauhkan diri dari segala kengerian itu hingga akhirnya dipungut oleh Pak-thian Koai-jin dan menjadi muridnya. Kalau pada waktu masih kecil telah mengalami kengerian seperti itu, apa lagi yang dapat mendatangkan rasa takut dalam hatinya? Tidak, Pui Eng Lan tak mengenal takut lagi, terutama sekali tidak takut akan bahaya yang dapat membawa maut.

Mukanya yang agak pucat secara tiba-tiba menjadi merah dan matanya yang indah jeli mendadak berapi-api, bibirnya yang manis bentuknya itu merengut.

"Kau?! Mau apa kau datang ke sini? Penghianat, pengecut! Tidak perlu membuka mulut, kalau mau bunuh hayo lekas bunuh, aku Pui Eng Lan tidak takut!" katanya menyambut masuknya pemuda tampan itu dengan makian pedas.

Kun Hong tersenyum, senyum mengejek yang telah menjadi kebiasaannya dan sepasang matanya berseri-seri, penuh godaan dan penuh kegembiraan.

"Kalah madu olehmu...," katanya dan pandangannya penuh gairah.

"Kalah apa? Madu bagaimana? Tidak usah ngaco-belo!” Eng Lan memang tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh pemuda ini.

"Kalah manis!"

"Setan jahanam, siapa sudi mendengar pujianmu? Jangan coba bermain gila di sini!"

"Main gila apa? Memang aku sudah tergila-gila kepadamu. Nona Pui Eng Lan, tahukah kau bahwa selama hidupku baru kali ini aku bertemu dengan seorang gadis yang gagah perkasa, cantik jelita, manis denok, tiada cacad seujung rambut pun! Adikku yang baik, kali ini aku tidak main-main, aku betul-betul cinta kepadamu. Katakan saja kau suka, aku akan meminangmu untuk menjadi isteriku!"

"Keparat busuk, siapa sudi mendengarkan omonganmu? Kau penghianat dan pengecut, kau menyuruh anjing-anjing Mongol itu menawan aku dan Tung-hai Sian-li secara curang, dan sekarang kau masih ada muka untuk pura-pura bersikap manis? Hemm. Kau kira aku orang macam apa mudah kau tipu dan bujuk?”

"Kau galak sekali, tetapi memang aku lebih suka gadis bersemangat. Kau menuduh orang sembarangan saja. Yang menawanmu memang pasukan kerajaan, tapi apakah kau tidak ingat akan perbuatanmu yang amat ceroboh sehingga menggegerkan kota raja? Kau telah membunuh seorang hartawan she Liu yang mempunyai pengaruh besar. Masih herankah kau kalau kau ditawan? Memang mudah menyalahkan orang, alangkah sukarnya meneliti kesalahan diri sendiri." Sambil berkata demikian Kun Hong menggerakkan dua tangannya. Terdengar suara pletak-pletok dan belenggu yang mengikat kaki tangan gadis itu lantas putus semua!

Bukan main kagumnya hati Eng Lan. Sejak malam tadi dia sudah mengerahkan seluruh lweekang-nya untuk mencoba mematahkan belenggu, akan tetapi tambang itu terbuat dari pada kulit binatang yang amat kuat, ulet dan mulur. Sekarang dengan gerakan demikian ringan dan cepat, pemuda ini sudah berhasil memutuskan semua ikatannya. Benar-benar hebat pemuda ini.

Eng Lan mengangkat dadanya. "Memang aku yang membunuh hartawan okpa (jahat) itu. Kau hanya menegur karena aku membunuh, tidak bertanya mengapa aku membunuhnya. Bandot tua she Liu itu karena ingin memaksa enci-ku menjadi selirnya, telah membunuh enci-ku dan suaminya berikut seorang anaknya setelah enci-ku menolak. Coba kau pikir, apa bandot macam itu tidak patut dibunuh?”

"Sudah sepatutnya! Dia patut dibunuh hingga seribu kali!" Kun Hong mengangguk-angguk dengan muka sungguh-sungguh. "Tetapi dengarlah. Aku dan pasukan itu adalah petugas-petugas, penjaga keamanan kota Peking dan sekitarnya. Kau bersama kawan-kawanmu telah datang dan melakukan pembunuhan atas diri seorang bangsawan kaya, sudah tentu kami harus menangkapmu."

Eng Lan mengedikkan kepalanya. "Aku yang membunuh anjing tua itu! Kau boleh tangkap aku, boleh bunuh aku, akan tetapi jangan mengganggu yang lainnya. Tung-hai Sian-li tak berdosa, mengapa dia juga ikut ditangkap? Akulah pembunuhnya dan aku siap menerima hukumannya, jangan bawa-bawa orang lain. Lepaskan dia!”

Kun Hong mengangguk-angguk. "Kau betul juga. Biar sekarang juga aku menyuruh orang agar membebaskan Tung-hai Sian-li. Dan kau juga! Akan tetapi berjanjilah bahwa kau tak akan menikah dengan orang lain tetapi akan menanti pinanganku!"

Eng Lan kurang memperhatikan kalimat terakhir ini. Dia terlampau heran mendengar kata-kata pemuda ini yang hendak membebaskannya, juga Tung-hai Sian-li.

"Membebaskan... aku...?" tanyanya, matanya terbelalak lebar memandang pemuda itu, tidak percaya.

Kun Hong mengangguk sambil tersenyum. "Eng Lan, aku cinta padamu. Lebih baik aku menggantung leherku sendiri dari pada melihat dan membiarkan kau dihukum gantung! Aku cinta padamu, masih herankah kau?" Sambil berkata demikian, dengan mata bersinar dan bibir tersenyum pemuda ini melangkah maju.

Eng Lan melangkah mundur, takut dan ngeri dengan apa yang diperbuat oleh pemuda ini kepadanya, Tiba-tiba, setelah melihat bahwa dia tidak akan dapat melarikan diri lagi, nona ini menjadi nekat. Sambil berseru keras dia menerjang maju, memukul dada pemuda itu sekuatnya. Eng Lan adalah murid terkasih dari Pak-thian Koai-jin, walau pun dia seorang ahli ilmu pedang, namun pukulan tangannya juga lihai dan berbahaya.

Kun Hong mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, kemudian sekali ia menggerakkan tangan, ia telah berhasil menangkap pergelangan tangan gadis itu yang lalu dipeluknya. Eng Lan mencoba untuk meronta, namun tak berdaya lagi. Dalam pegangan Kun Hong ia sama sekali tidak kuasa memberontak. Ia menjadi gelisah dan... menangis!

Aneh sekali. Kun Hong yang biasanya berhati keras dan tidak mengenal kasihan, begitu mendengar tangis Eng Lan tiba-tiba seperti lemas seluruh tubuhnya. Cekalannya segera mengendur, hatinya penuh rasa kasihan. Tidak tega ia menggoda gadis yang dicintanya ini, tidak ingin ia menyusahkan hati Eng Lan. Ia melepaskan pelukannya dan... berlutut!

"Eng Lan, maafkan aku... jangan khawatir, aku tak akan mengganggumu... maafkan aku, aku cinta padamu..."

Eng Lan menjatuhkan diri di atas kursi, menangis tersedu-sedu sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.

"Pergi kau! Pergilah...! Pergiiiii…!"

Kun Hong berdiri, memandang beberapa lama, menghela napas panjang, lantas berkata, "Malam ini aku akan membebaskan kau dan Tung-hai Sian-li. Tidak mungkin aku dapat menyusahkan hatimu, Eng Lan. Sementara menunggu datangnya malam, kau makan dan minumlah, jangan sampai terkena angin lalu jatuh sakit."

Makin keraslah tangis Eng Lan mendengar ucapan yang halus dan penuh perhatian ini. Ia menangis sampai lama sesudah pintu kamar itu ditutup dan dikunci lagi dari luar. Hatinya tidak karuan rasanya. Ia kagum kepada Kun Hong, pemuda yang amat lihai ilmu silatnya, yang amat pemberani itu. Ia kagum, ia benci setengah mati, akan tetapi ia juga kasihan kepadanya! Pemuda lihai, kurang ajar. jahat, namun... Eng Lan mulai makan hidangan di depannya!

Malamnya, menjelang tengah malam, pintu kamar tahanannya terbuka dari luar kemudian masuklah... Tung-hai Sian-li. Pendekar wanita ini menaruh jari telunjuknya di bibir sambil berjalan menghampiri lalu berbisik, "Kita pergi dari sini..."

Eng Lan makin terharu, maklum bahwa pemuda yang jahat itu ternyata memegang janji. Tung-hai Sian-li lalu mendahuluinya, keluar dari pintu. Tidak kelihatan ada penjaga di luar pintu. Eng Lan mengikutinya. Kemudian, setelah melihat suasana sunyi senyap, Tung-hai Sian-li dan Eng Lan cepat melompat ke atas genteng rumah gedung yang menjadi tempat tahanan itu, lalu mulai melompat-lompat pergi dari situ.

"Kuntianak dari timur, jangan lari!" Mendadak terdengar bentakan nyaring lalu muncullah Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong di hadapan Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan. Tentu saja dua orang wanita ini terkejut sekali, maklum bahwa mereka sudah dihadang oleh dua orang musuh yang amat tangguh.

"Siluman beracun, kalau tidak kau tentu akulah yang menggeletak tak bernyawa!" bentak Tung-hai Sian-li dengan kemarahan meluap-luap melihat musuh besarnya kembali sudah mencoba menghalangi larinya. Cepat ia mencabut pedang dan menyerang. Tok-sim Sian-li yang memang lebih lihai, tertawa mengejek sambil melompat ke samping.

Akan tetapi tiba-tiba Tok-sim Sian-li terhuyung mundur dan Bu-ceng Tok-ong yang hendak maju juga tersentak kaget dan melompat ke belakang.

"Jangan halangi mereka, biarkan mereka pergi!" kata Kun Hong yang muncul secara tiba-tiba dan tadi mendorong Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong.

"Kun Hong! Kau hendak membiarkan mereka lolos?" terdengar Tok-sim Sian-li berseru kaget sekali, juga terheran-heran. Bu-ceng Tok-ong juga heran dan mengomel.

Sementara itu, melihat munculnya pemuda yang menolong mereka, Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan tidak membuang waktu lagi, terus melompat pergi dan berlari-lari menghilang di dalam gelap malam. Mereka menggunakan kesempatan ini untuk lari saja oleh karena maklum bahwa kalau terjadi pertempuran, tanpa dibantu kawan-kawan lain, mereka pasti akan kalah.

Biar pun merasa penasaran, Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong tidak berani mengejar.

"Kun Hong, melepaskan mereka berarti melanggar tugas kita yang sudah berjanji hendak membantu pemerintah menghalau para perusuh. Bagaimana kita harus mempertanggung-jawabkan terhadap Hek-mo Sai-ong yang tentu akan melaporkan hal ini ke kota raja!” kata pula Tok-sim Sian-li penuh penyesalan.

"Kita bungkam mulut Hek-mo Sai-ong untuk selamanya kalau dia berani melapor," kata Kun Hong tidak pedulian.

"Biar pun Hek-mo Sai-ong bisa dibungkam, semua pasukan akan tahu belaka bahwa kau sengaja melepaskan tawanan. Apa kau kira mereka demikian bodoh?” Tok-sim mendesak lagi.

"Hayaaa… mengapa ribut-ribut? Kita tinggal pergi, habis perkara," kata Bu-ceng Tok-ong sambil tersenyum masam.

"Tok-ong, kita sudah menerima banyak hadiah dan kesenangan dari orang-orang Mongol, masa belum memperlihatkan jasa lalu ditinggal pergi?" tegur Tok-sim.

"Peduli apa? Mereka boleh mampus!" jawab Bu-ceng Tok-ong.

Tahu akan watak Bu-ceng Tok-ong yang memang paling bocengli (tidak tahu aturan) dan susah diajak urusan. Tok-sim Sian-li yang hendak mengingatkan Kun Hong berkata lagi kepada pemuda itu.

"Kun Hong, anak baik. Boleh jadi kita tak usah terlampau pusingkan pemerintah Mongol, akan tetapi kita harus ingat akan perintah Thai Khek Sian-su. Thai Khek Sian-su bilang, selama murid keturunan Thian Te Cu dan Gan Yan Ki memusuhi orang-orang Mongol, kita harus membantu orang-orang Mongol dan menghadapi anak murid dua orang musuh lama itu."

"Siapa melanggar perintah suhu? Tung-hai Sian-li dan nona Pui Eng Lan bukan murid dua orang itu," bantah Kun Hong.

“Tetapi mereka bersekongkol dengan murid Thian Te Cu. Memang sekarang keturunan Gan Yan Ki menyembunyikan diri dan tidak membantu siapa-siapa, kita boleh tidak usah memusingkan dia, akan tetapi harus diingat bahwa murid Thian Te Cu, pemuda she Thio itu sudah membantu rombongan yang mengacau di sini, membantu pembunuh-pembunuh kakek Liu. Tadi pembunuhnya sudah tertawan, akan tetapi kau membebaskannya..."

"Cukup! Aku sengaja membebaskannya, siapa melarang?" Kun Hong membentak marah dan bekas guru-gurunya tidak ada yang berani berkelisik. "Aku... aku cinta kepada gadis itu. Aku akan mencari ayah untuk... untuk mengatur perjodohanku dengan dia..."

Merah muka Tok-sim Sian-li, dan terdengar Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha! Cinta dapat membikin dunia jungkir-balik! Aku mencinta Tok-sim, Tok-sim mencinta Kun Hong, Kun Hong mencinta nona Pui dan nona Pui mencinta siapa?”


"Dia tentu mencintaiku!" potong Kun Hong, matanya bersinar, siap untuk marah kalau ada yang berani menyangkal.

"Tidak bagus kalau begitu. Urusan akan berhenti di sini saja, maka tidak ramai lagi, tidak menggembirakan. Selama ada keruwetan dan keributan barulah ada kegembiraan. Kalau Kun Hong sudah jatuh cinta dan terbalas, untuk apa aku lebih lama lagi di sini bengong menonton orang berasyik mesra? Aku mau pergi saja!" Setelah berkata demikian, kakek yang wataknya aneh ini lalu melompat pergi, didiamkan saja oleh dua orang kawannya.

"Malam ini juga aku pun hendak mencari ayahku di Kun-lun-san," kata Kun Hong sambil berkelebat pergi pula.

Tok-sim Sian-li berdiri bengong. Tak terasa lagi dua butir air mata mengalir turun di atas pipinya. Hatinya perih, penuh sesal, penuh iri, penuh cemburu. Kebenciannya terhadap Tung-hai Sian-li meluap-luap.

"Siluman betina dari timur!" bisiknya sambil menggigit gigi saking gemas dan sakit hati. "Dulu kau datang merampas Kwa Cun Ek dari tanganku, merobek luka hatiku. Sekarang sekali lagi kau datang bersama Pui Eng Lan yang mencuri hati Kun Hong kekasihku. Kau menghancur-leburkan hatiku! Apa bila aku tidak dapat membelek dadamu dan mencabut jantungmu, sampai mati pun aku akan menjadi setan penasaran!" Sesudah menyumpah-nyumpah dan memaki-maki, Tok-sim Sian-li juga pergi dari situ.

Untuk apa lebih lama berada di kota raja membantu Kaisar Mongol kalau di situ tidak ada Kun Hong di sampingnya? Ia hendak kembali ke Pulau Pek-go-to, hendak minta keadilan kepada Thai Khek Sian, hendak membujuk Thai Khek Sian mempergunakan pengaruhnya yang masih kuat atas diri pentolan Mokauw itu, agar Thai Khek Sian melarang Kun Hong berjodoh dengan Pui Eng Lan…..!

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar