Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 36

Beng Kun Cinjin tidak berani membantah perintah pamannya, maka dia segera melompat ke pinggir dengan napas lega karena sekali ini bocah iblis itu tentu akan tewas di tangan pamannya, demikian pikirnya.

Kun Hong yang mengerti bahwa tak mungkin dia minta kakek ini mundur karena kakek ini adalah paman Beng Kun Cinjin, kini menjadi marah. Tak mungkin baginya untuk mengaku begitu saja bahwa ia berurusan dengan ayahnya sendiri. Malu ia untuk mengaku sebagai anak Beng Kun Cinjin. Melihat bahwa tidak ada jalan lain baginya, diputarnya pedangnya sambil berseru,

"Orang tua usilan, kalau kau ingin bertempur denganku, majulah!" Pedangnya lalu diputar hingga menjadi segulung sinar yang menyambar-nyambar ke arah Thai It Cinjin.

"Bagus, keluarkanlah seluruh kepandaianmu, orang muda!" seru Thai It Cinjin yang cepat menyambut serangan itu dengan gembira sekali.

Segera terjadi pertandingan yang sangat hebat dan menarik sehingga membuat Beng Kun Cinjin yang memiliki kepandaian tinggi dan sering kali bertempur menghadapi orang-orang pandai itu menjadi bengong saking kagumnya. Belum pernah ia melihat pedang dimainkan sedemikian indah dan kuatnya seperti permainan Kun Hong, juga dia mengenal gerakan-gerakan yang serasi dengan ilmu silat yang dia pelajari dari ayahnya dulu. Di dalam setiap gerakan Kun Hong terselip banyak sekali variasi dan gaya yang amat berbahaya, curang, dan ganas sekali, sampai-sampai dia mengeluarkan seruan heran dan kaget.

Tentu saja Thai It Cinjin juga melihat ini dan tiba-tiba kakek ini mengebutkan ujung lengan bajunya untuk menangkis ujung pedang Kun Hong sambil berseru kaget. "Kau murid Thai Khek Sian...!"

Kun Hong tidak menjawab, hanya tertawa mengejek. "Kau boleh terka sendiri aku murid siapa, pendeknya kau tidak berhak mencampuri urusanku dengan keparat kepala gundul itu!"

Akan tetapi mendadak sikap Thai It Cinjin berubah, perubahan yang amat merugikan dan membahayakan keselamatan Kun Hong. Kakek itu tiba-tiba memandang dengan matanya yang lebar menjadi merah dan dia kelihatan marah sekali.

"Kau murid Thai Khek Sian si iblis laknat? Bagus sekali, tidak dapat membasmi gurunya, lumayan juga bisa membasmi muridnya!" Sesudah berkata demikian, kakek itu bergerak maju, bergantian ia mengulur lengan hingga panjang untuk melakukan serangan-serangan maut.

Kali ini Kun Hong menjadi sibuk juga dan harus dia akui bahwa kakek ini benar-benar luar biasa lihainya. Memang, kalau diukur dalam hal kepandaian, kakek ini masih menang satu atau dua tingkat dari Kun Hong. Bila dulu dia tidak mampu mengalahkan Wi Liong, adalah karena ia memang tidak mau mencelakakan pemuda murid Thian Te Cu. Tetapi sekarang ia tahu bahwa Kun Hong murid Thai Khek Sian maka ia menyerang untuk membunuh!

Thai lt Cinjin biar pun tak boleh dibilang seorang yang menjadi hamba kebajikan, tetapi dia selalu menjaga nama agar jangan terjerumus ke dalam jurang kejahatan. Malah dia amat membenci kejahatan, maka dia pun benci sekali kepada Thai Khek Sian. Terhadap Thian Te Cu ia hanya tidak suka saja, akan tetapi karena Thian Te Cu adalah seorang budiman yang sakti ia tidak membencinya. Sebaliknya, terhadap Thai Khek Sian ia amat benci, dan jika sekiranya kepandaiannya mengijinkan, tentu sejak dulu ia telah mencari raja penjahat itu untuk dibunuhnya!

Menyaksikan perubahan ini. Beng Kun Cinjin menjadi girang sekali. Sekarang terbukalah kesempatan untuk membunuh musuhnya ini, musuh sekaligus anak, yang mendurhaka dan hendak membunuhnya itu. pikirnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu dan membantu pamannya menyerang Kun Hong. Sekarang Thai It Cinjin tidak melarangnya karena kakek ini menganggap pemuda itu musuhnya pula!

Melawan Thai It Cinjin seorang saja sudah amat berat bagi Kun Hong karena memang ia masih kalah pandai, terlebih lagi kakek itu sekarang dibantu pula oleh Beng Kun Cinjin. Ia terdesak hebat, gulungan sinar pedangnya makin lama makin menyempit.

Kesempatan ini digunakan oleh Beng Kun Cinjin yang dengan gerakan cepat melibatkan tasbehnya pada pedang Kun Hong sehingga pemuda itu tidak dapat lagi menggerakkan senjatanya. Selagi Kun Hong berkutetan untuk melepaskan pedangnya, Thai It Cinjin telah menyerang dengan totokan bertubi-tubi ke arah jalan darahnya. Kun Hong masih berhasil mengelak dua tiga kali, akan tetapi totokan ke empat dan ke lima telah membuat ia roboh lemas tak berdaya lagi!

Beng Kun Cinjin girang sekali, tetapi ketika ia mengangkat tasbeh hendak dihantamkan ke arah kepala pemuda itu, seperti juga dulu pada waktu Kun Hong masih bayi, tiba-tiba saja tangannya menjadi lemas dan dia tidak kuasa melakukan pembunuhan terhadap anaknya sendiri ini!

Akan tetapi ia benar-benar menghendaki dibunuhnya pemuda yang akan membahayakan dirinya apa bila tidak dibunuh, maka katanya, "Bocah setan murid Thai Khek Sian ini jika sekarang tidak dibunuh maka kelak hanya akan mengacaukan dunia saja." Dia berkata demikian untuk mendesak pamannya membunuh Kun Hong.

"Ha-ha, Gan Tui, agaknya kau menuruni watak mendiang ayahmu, tidak tega membunuh seorang muda biar pun dia itu jahat. Kau lihat, biar aku yang mengirim nyawanya kembali ke asalnya dengan pedang ini!"

Disambarnya Cheng-hoa-kiam dan diangkatnya pedang itu untuk diayun memenggal leher Kun Hong. Pemuda itu hanya tersenyum, sedikit pun tidak gentar menghadapi maut yang sudah berada di depan matanya. Mata pedang Cheng-hoa-kiam berkilauan tertimpa sinar matahari, lalu menjadi sinar terang yang terayun ke arah leher Kun Hong dan...

”Suhu, tahan dulu...!" terdengar jerit melengking tinggi.

Pedang itu sudah hampir menyentuh kulit leher Kun Hong. Baiknya Thai It Cinjin memang seorang ahli pedang Bu-tong-pai yang ilmunya tinggi, maka meski pun pedang itu sudah diayunnya, serentak dia dapat menahan lantas menariknya kembali ketika dia mendengar suara yang amat dikenalnya ini. Dia menoleh dan melihat Liok Hui Sian berlari kemudian dengan berani ia merampas pedang Cheng-hoa-kiam dari tangan suhu-nya yang melongo saja. Dengan manja gadis ini berkata.

"Suhu tidak boleh membunuhnya! Gan Kun Hong ini adalah sahabat baik teecu!"

Makin terheranlah Thai It Cinjin dan dia hanya dapat menoleh kepada Hui Nio yang juga sudah datang berlari-lari.

"Benar, suhu. Dia sudah bertemu dengan teecu berdua dan sudah menjadi sahabat kami. Mengapa suhu hendak membunuhnya?" kata Hui Nio sambil memandang dengan heran.

Sementara itu Hui Sian telah membuka jalan darah Kun Hong yang tertotok oleh suhu-nya tadi, malah ia mengembalikan pedang Cheng-hoa-kiam setelah Kun Hong dapat bergerak kembali. Pemuda ini menjadi malu sekali karena kekalahannya, akan tetapi diam-diam dia berterima kasih kepada Hui Sian yang sudah menolong nyawanya.

"Ia adalah murid Thai Khek Sian, orang jahat yang harus dibunuh. Bagaimana kalian bisa menjadi sahabatnya?" tanya Tai It Cincin yang masih belum hilang herannya.

Kakek ini memang amat mencinta dua orang muridnya itu, terutama sekali Hui Sian amat disayang dan dimanjanya. Oleh karena itu maka Hui Sian tadi berani mencegah suhu-nya membunuh Kun Hong.

"Suhu, malah Kong-twako sendiri pun sudah menjadi sahabatnya. Teecu dan enci Hui Nio tadinya berebutan milik seorang penjahat, akan tetapi teecu berdua kalah olehnya, malah Kong Bu twako juga kalah. Sesudah bertempur teecu bertiga lantas menjadi sahabatnya. Masa sekarang suhu hendak membunuhnya?" kata Hui Sian cemberut sambil mengerling ke arah Kun Hong.

Mendadak Thai It Cinjin tertawa terbahak-bahak. Dengan sekilas pandang saja kakek ini sudah maklum akan isi hati muridnya. Sudah banyak sekali pemuda-pemuda yang gagah dan baik dia carikan untuk Hui Sian, akan tetapi gadis itu selalu menolaknya. Selalu Hui Sian menyatakan bahwa ia baru mau kalau dijodohkan dengan pemuda yang lebih gagah dan lebih baik dari pada Kang Bu calon kakak iparnya.

Tentu saja hal ini bukan soal mudah saja. Di dunia ini jarang ada pemuda segagah Kong Bu. Ehh, tidak tahunya sekarang ada pemuda ini dan agaknya muridnya sudah jatuh hati kepadanya.

"Ha-ha-ha, kau suka pada murid Thai Khek Sian ini? Boleh, boleh! Asalkan bocah ini suka berjanji tidak akan meniru kelakuan yang jahat dari suhu-nya. Ha-ha-ha bagus sekali!"

"Tidak boleh terjadi!" mendadak Beng Kun Cinjin berseru keras hingga membuat semua orang menjadi kaget.

"Eh, Gan Tui, apa maksudmu?" tanya Thai It Cinjin.

"Karena... karena iblis cilik ini adalah... adalah anakku sendiri, anak durhaka yang hendak membunuhku! Iblis ini tidak boleh dibiarkan hidup, dia terlampau jahat!" Sesudah berkata demikian Beng Kun Cinjin langsung menggerakkan tasbehnya menyerang Kun Hong yang masih agak lemas.

Kun Hong mengangkat pedangnya menangkis, akan tetapi karena jalan darahnya belum pulih betul, dia segera terhuyung ke belakang dan sebuah tendangan kilat dari Beng Kun Cinjin tepat mengenai pahanya sehingga membuat dia terguling. Beng Kun Cinjin berseru girang, memburu sambil mengayunkan tasbehnya.

"Traangg...!”

Pedang di tangan Hui Sian langsung mencelat pada saat dia menangkis tasbeh itu dalam usahanya menolong nyawa Kun Hong.

"Jangan bunuh dia... aahhh...jangan bunuh dia...!" Gadis itu menangis.

"Hui Sian!" gurunya membentak. "Kalau memang dia adalah anak Gan Tui, kita tak boleh campur tangan!"

Hui Sian juga maklum akan hal ini maka dia hanya bisa berlutut sambil menangis terisak-isak, dipeluk oleh enci-nya. Ada pun Beng Kun Cinjin yang merasa penasaran dan marah karena serangannya tadi ditangkis Hui Sian, kini maju lagi dan mengayun tasbehnya.

Tiba-tiba bertiup angin dingin dan di antara tiupan angin ini terdengar suara ketawa yang sangat merdu, akan tetapi membuat para pendengarnya menjadi lemas dan punggungnya dingin-dingin! Anehnya, tasbeh yang sudah diangkat oleh Beng Kun Cinjin dan digerakkan menimpa kepala Kun Hong itu seperti terkena sambaran angin kuat, membuat tasbeh itu terpental ke belakang dan tubuh Beng Kun Cinjin juga terjengkang dan hampir saja roboh kalau hwesio itu tidak cepat-cepat melompat ke samping!

Pada saat itu, entah dari mana datangnya, tahu-tahu sudah muncul seorang wanita yang telah tua akan tetapi amat cantik dan sikapnya kereng, pakaiannya gilang-gemilang penuh perhiasan emas permata serba indah. Dia berdiri dengan tegak, angkuh dan kereng tiada ubahnya seorang ratu.

Ketika wanita ini sedang berdiri seperti itu, tak jauh dari situ terdengar suara banyak orang perempuan berbisik-bisik dan berdencingnya senjata-senjata tajam. Wanita itu menoleh ke arah suara tadi dan sekejap suara itu yang tadinya berisik tetapi tak nampak orangnya seperti sekumpulan siluman, menjadi berhenti sehingga keadaan menjadi sunyi.

Dalam kesunyian ini tiba-tiba terdengar wanita itu berkata, suaranya amat halus dan kata-katanya teratur, akan tetapi entah mengapa mengandung sesuatu yang membikin serem para pendengarnya seolah-olah di dalam suara itu terkandung ancaman maut bagi setiap penentangnya,

"Kalau ada anak yang tersesat, hukumlah ayahnya! Seorang ayah tidak menyalahkan diri sendiri malah hendak membunuh anaknya. Benar-benar tidak tahu malu! Kau patut diberi hukuman!" Setelah ucapan halus ini dikeluarkan, wanita itu menggerakkan tangan kirinya ke arah Beng Kun Cinjin.

Hwesio ini merasa datangnya sambaran hawa dingin, maka dia cepat-cepat mengangkat tasbehnya. Terdengar suara keras dan tasbeh itu menjadi putus, berarakan terlepas dari untaiannya. Beng Kun Cinjin cepat-cepat menarik tangannya yang telah terluka berdarah, telapak tangannya seperti digurat pedang.

Tadi hanya terlihat segaris sinar putih keperakan menyambar dan kiranya wanita itu telah menyerangnya dengan sehelai tali kecil yang tadi melibat pinggangnya seperti tali sutera. Dengan senjata semacam ini bisa memutuskan untaian tasbeh dan melukai tangan Beng Kun Cinjin dengan sekali pukul, maka dapatlah dibayangkan betapa hebatnya kepandaian wanita ini!

Wanita tua itu lantas berpaling kepada Kun Hong yang masih bengong saking kagum dan herannya, lalu membentak, "Tidak lekas pergi dari sini, menanti apa lagi?!"

Kun Hong maklum bahwa orang telah menolongnya dan menyuruh ia pergi, maka ia lalu memungut Cheng-hoa-kiam dan pergi dari tempat itu. Sekilas pandang ia melihat Hui Sian menoleh kepadanya dan melempar pandang yang amat menusuk perasaannya.

Ia seakan-akan melihat mata Eng Lan yang memandangnya dan tahulah dia bahwa gadis ini mencintanya, mencinta dengan sepenuh hati seperti cinta kasih Eng Lan pula. Dan dia menjadi terharu sekali!

Sementara itu ia mendengar suara Thai It Cinjin, "Kami telah mendapat kehormatan besar sekali dengan kunjungan Thai-houw (permaisuri) dari Ban-mo-to, biarlah lain kali aku yang rendah mengadakan kunjungan balasan!"

"Aku tidak ada urusan dengan segala orang Bu-tong-pai!" wanita itu menjawab kemudian tubuhnya sudah melesat pergi.

Kun Hong yang memperhatikan, melihat wanita itu sudah berjalan jauh dan tiba-tiba dari kanan kiri muncul belasan orang wanita yang pakaiannya indah-indah. Tanpa bicara apa-apa para wanita ini berjalan di belakang wanita aneh itu, menuju ke pantai!

Sampai lama Kun Hong berdiri. Jadi dia itukah Kui-bo Thai-houw dari Ban-moto? Ia lantas bergidik. Tidak aneh gurunya dulu pernah memperingatkan supaya jangan sembarangan bentrok dengan Thian Te Cu dan Kui-bo Thai-houw.

Thian Te Cu sudah dia duga kehebatannya karena kakek itu masih terhitung suheng dari suhu-nya. Akan tetapi baru sekarang ia menyaksikan kehebatan Kui-bo Thai-houw. Ia pun menghela napas panjang.

Dia harus mendapatkan Im-yang-giok-cu dari wanita itu! Bagaimana mungkin. Orangnya selain sakti luar biasa, juga aneh dan agaknya angkuh bukan kepalang. Betapa pun juga, pikir Kun Hong, aku telah melihat orangnya dan ternyata aku tidak salah jalan. Aku harus pergi ke Ban-mo-to biar pun untuk perbuatan itu aku harus berkorban nyawa.

Dengan mengambil jalan ke mana wanita-wanita tadi pergi, akhirnya Kun Hong sampai di pantai laut yang rendah dan berpasir. Ketika dia tiba di pantai, dia melihat sebuah perahu besar berkepala naga baru saja berlayar pergi dan samar-samar dia melihat wanita-wanita tadi berada di perahu itu.

Kun Hong segera mencari-cari dan melihat beberapa orang nelayan membetulkan jala di tepi pantai, dia lalu menghampiri. Para nelayan itu memandang heran karena pantai di situ memang jarang sekali didatangi pelancong.

Baiknya biar pun kantong-kantong uang sudah tertinggal di tempat di mana dia bertempur melawan Im Yang Thian Cu, Kun Hong masih menyimpan banyak di saku bajunya untuk bekal dan keperluan di jalan. Setelah mengeluarkan beberapa buah uang emas, akhirnya dia dapat menyewa sebuah perahu layar yang dikemudikan oleh seorang nelayan muda.

Perahu diluncurkan ke tengah, kemudian didayung dan layar pun dipasang.

"Pemandangan di sini tidak begitu indah, akan tetapi ikannya sangat banyak!" Nelayan itu bercerita sebab mengira bahwa pemuda itu menyewa perahunya untuk berlayar menikmati pemandangan alam.

"Kau ikuti perahu besar itu!" tiba-tiba Kun Hong berkata dengan suara kereng.

Nelayan itu menjadi pucat. "Ti... tidak...! Tuan jangan main-main... mendekat pun aku tak berani... berarti mengantar nyawa!"

"Bagus, jadi kau sudah mengenal mereka pula? Siapa mereka itu dan di manakah mereka tinggal?”

Nelayan itu menjadi marah karena menyangka pemuda itu hanya orang biasa saja. "Aku tidak dapat mengantar tuan. Kita kembali saja dan ini uangmu kukembalikan!"

Kun Hong menggerakkan tangannya dan nelayan itu merintih, tubuhnya lemas dan sakit-sakit karena jalan darahnya kena ditowel pemuda itu. Kun Hong lantas memulihkan jalan darahnya dan mencabut pedangnya. "Kau takut mereka, apakah kau tidak takut padaku? Membunuhmu di sini, apa sih sukarnya? Hayo bilang terus terang, mereka itu siapa dan di mana tinggalnya?!"

"Ampunkan aku, taihiap... ampunkan aku seorang nelayan biasa yang tidak bersalah apa-apa. Mereka itu... mereka itu adalah para pengikut Thai-houw yang tinggal di Ban-mo-to. Jangankan mengikuti mereka, untuk mendekat di pulau mereka pun tak ada yang berani. Mereka itu tidak apa-apa asal tidak diganggu, akan tetapi sekali orang bersalah... mereka lebih ganas dari pada angin taufan dan gelombang membadai. Lebih baik kita pergi ke lain tempat saja...”

"Tidak, hayo antar aku ke Ban-mo-to. Kau tak perlu khawatir, semua tanggung jawab aku yang memikul."

Akhirnya nelayan itu terpaksa harus menuruti kehendak Kun Hong biar pun di sepanjang pelayaran dia menjadi pucat dan makin ketakutan setelah mereka mendekati Pulau Ban-mo-to. Dari jauh pulau ini sudah terlihat menyeramkan, tampak hijau kebiruan dan angker sekali. Kalau tadi nampak banyak perahu nelayan di dekat pulau-pulau lain. di pulau yang cukup besar itu sunyi sekali, seakan-akan ikan pun takut mendekatinya. Pada ujung pulau yang merupapakan teluk kelihatan perahu besar berkepala naga tadi.

"Daratkan aku di pulau itu kemudian kau boleh langsung pergi kalau kau takut!" kata Kun Hong dengan suara tetap, akan tetapi tidak urung hatinya berdebar bila dia teringat akan kelihaian Kui-bo Thai-houw.

Tukang perahu menjadi agak tenang karena waktu itu senja telah mendatang. Perahunya mendekati pulau dari kiri, agak jauh dari teluk itu. Setelah mepet dengan bibir pantai, Kun Hong lantas meloncat ke darat sedangkan nelayan itu cepat-cepat mendayung perahunya ke tengah lagi.

Tiba-tiba terdengar suara melengking dari daratan diikuti dua batang anak panah datang menyambar, sebatang ke arahnya dan sebatang lagi ke arah perahu. Ia cepat menyelinap ke dalam rumput-rumput tinggi, akan tetapi anak panah yang ke dua mengenai sasaran.

Tukang perahu menjerit dan tubuhnya terjungkal ke dalam laut. Perahunya yang kosong berputaran dan bergerak-gerak terbawa ombak!

Kun Hong bersembunyi di dalam rumput tinggi, tidak berani bergerak. Karena tahu bahwa penghuni pulau itu terdiri dari orang-orang pandai, dia harus berlaku sangat hati-hati dan tidak memancing pertempuran terbuka. Dia mendengar suara dua orang wanita berbisik-bisik lalu terdengar langkah mereka meninggalkan tempat itu. Lapat-lapat terdengar suara ketawa yang amat halus dan merdu.

Kun Hong menanti sampai senja terganti malam dan keadaan menjadi gelap, barulah dia keluar dari tempat persembunyiannya. Ia membersihkan pakaiannya yang kotor dan agak basah, lalu dicabutnya pedang Cheng-hoa-kiam, dipegang erat-erat, kemudian ia berjalan menuju ke tengah pulau.

Ia masih bingung bagaimana ia harus mendapatkan obat Im-yang-giok-cu dari tangan Kui-bo Thai-houw. Minta berterang? Mencuri? Terang kalau merampas takkan berhasil. Mana bisa dia menangkan wanita itu yang agaknya ditakuti oleh Thai It Cinjin? Untuk mencuri juga sukar, karena ia tidak tahu di mana adanya benda itu dan tidak tahu pula bagaimana macamnya.

Dengan memanjat sebatang pohon besar dia dapat melihat cahaya penerangan di tengah pulau yang menunjukkan bahwa di tempat itu ditinggali orang. Ia lalu berjalan dengan hati-hati. Satu jam kemudaan sampailah dia di tempat itu dan dia melihat beberapa bangunan rumah besar-besar di tengah pulau!

Ia tertegun karena melihat persamaan dengan Pulau Pek-go-to tempat tinggal Thai Khek Sian, gurunya. Thai Khek Sian juga tinggal di tengah Pulau Pek-go-to seperti ini!

Ada tujuh bangunan rumah di situ, yang enam mengitari sebuah yang besar. Mudah saja diduga bahwa bangunan di tengah yang besar itu pasti tempat tinggal Kui-bo Thai-houw. Sampai lama Kun Hong menanti dan melihat keadaan.

Di situ sunyi saja seakan-akan kelompok bangunan itu tidak ditinggali orang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tetabuhan yangkim indah sekali disusul nyanyian seorang wanita yang tidak kalah indahnya. Bangun bulu tengkuk Kun Hong.

Sungguh keadaan yang sangat ganjil. Di tempat yang begitu sunyi, begitu serem, tiba-tiba terdengar tetabuhan dan nyanyian tingkat tinggi yang indah! Betul-betul menggambarkan keganjilan Kui-bo Thai-houw sendiri, seorang wanita yang tampaknya lemah-lembut, halus tutur sapanya, akan tetapi sepak terjangnya amat menyeramkan dan mengerikan! Serem-serem indah, inilah sifat Kui-bo Thai-houw dan sekelilingnya.

"Takut basah takkan dapat memperoleh ikan!" Kun Hong berkata kepada diri sendiri untuk menghibur hatinya yang berdebar menghadapi semua bahaya yang mengancam dirinya.

Ia segera mengayun tubuh mengenjotkan kaki. Tubuhnya melayang naik ke atas genteng dengan ringan sekali. Tanpa mengeluarkan bunyi kedua kakinya berlari di atas genteng. Dia berlaku hati-hati sekali, selalu memperhatikan keempat penjuru sebelum melanjutkan langkahnya.

Baiknya malam itu keadaan gelap sekali, pikirnya. Hanya beribu bintang di angkasa yang menerangi alam, tidak kelihatan bulan yang masih bersembunyi di balik bumi. Dia sudah melalui rumah-rumah samping dan sekarang dia mulai mendekati rumah besar dari mana terdengar tetabuhan dan nyanyian.

Tiba-tiba saja, begitu mengejutkan sampai-sampai wajah Kun Hong menjadi pucat sekali, terdengar suara ketawa cekikikan dari kanan kiri dan atas genteng itu menjadi terang oleh lampu-lampu penerangan yang entah kapan tahu-tahu sudah digantung-gantungkan orang di sekeliling tempat itu. Ia telah terkurung lampu-lampu penerangan di atas genteng yang agak rata. Lantas muncullah empat orang yang membuat Kun Hong merasa punggungnya dingin dan tengkuknya tebal!

Empat orang itu tubuhnya gemuk-gemuk montok, keempatnya tertawa-tawa, sama sekali tidak merdu karena mereka terkekeh-kekeh dan cekikikan seperti empat kuntianak. Yang mengerikan, muka mereka serupa, juga pakaian mereka sama. Orang kembar empatkah gerangan?

Kulit muka mereka penuh bekas luka koreng melepuh sehingga membuat mereka tampak menggelikan namun tidak menjijikkan. Usia mereka sedikitnya ada empat puluh tahun. Hebatnya, empat orang setengah nenek ini berpakaian serba indah dan baru, pada leher mereka tergantung kalung yang indah dan mahal, dan sepatu mereka mengkilap, sepatu pria yang menunjukkan betapa besar kaki mereka! Benar-benar empat orang wanita yang kalau muncul di tengah kota tentu akan menjadi tontonan orang.

Yang membingungkan hati Kun Hong, empat orang ini benar-benar sukar dibedakan satu dari yang lain, dan hebatnya, suara ketawa mereka juga sama benar! Karena empat orang wanita buruk ini hanya terkekeh dan cekikikan genit, sama sekali tak menyerangnya mau pun bertanya, Kun Hong menjadi tidak enak kalau diam saja.

"Kalian ini siapakah?”

Memang sungguh janggal. Dia yang malam-malam datang ke rumah orang tanpa permisi, tapi sekarang malah dia yang bertanya siapa mereka! Kun Hong menjadi merah mukanya ketika mendengar suara ketawa mereka makin menjadi-jadi, sebab ia pun merasa betapa janggalnya pertanyaannya tadi.

"Hi-hi-hi, orang muda lucu... lucu sekali...," kata seorang di depannya.

"Kau yang datang malah bertanya! Apa ingin sekali berkenalan dengan kami...?" sambung yang ke dua.

"Biarlah kalau kau ingin sekali tahu, kami ini empat orang gadis...," sambung yang ke tiga.

"Aku Tung Hwa Siocia (Nona Bunga Timur)...," kata yang ke empat.

"Aku Si Hwa Siocia (Nona Bunga Barat)...,” sambung yang pertama.

"Aku Nam Hwa Siocia (Nona Bunga Selatan)...," sambung yang ke dua.

"Aku Pai Hwa Siocia (Nona Bunga Utara)...," sambung yang ke tiga.

Kun Hong menjadi geli dan juga terheran-heran. Masa orang-orang macam begituan kok namanya indah-indah sekali? Mengaku-aku masih gadis lagi! Namanya pakai nona-nona segala. Yang membingungkan, mereka berbicara sambung-menyambung secara otomatis seperti sudah diatur sebelumnya.

"Orang muda yang lucu...," kata yang ke empat.

"Kau sudah mengenal kami," yang pertama menyambar.

"Sekarang kau bilanglah siapa namamu...!" kata yang ke dua.

"Jangan bohong supaya kami tidak usah menggunakan kekerasan!" tutup yang ke tiga.

Kun Hong sudah siap siaga dengan pedangnya, lalu menjawab, suaranya dia bikin tenang dan gagah, "Aku datang untuk menemui Kui-bo Thai-houw, untuk minta..."

Tiba -tiba saja empat orang ‘nona’ itu marah sekali.

"Kurang ajar...!" memaki yang pertama.

"Berani kau memaki Thai-houw...?" kata yang ke dua.

"Kami harus seret kau ke depan Thai-houw...," kata yang ke tiga.

“Untuk menerima hukuman!" sambung yang ke empat.

Kun Hong kaget sekali. Baru dia teringat bahwa Thai It Cinjin sendiri pun tidak menyebut Kui-bo Thai-houw akan tetapi hanya Thai-houw (Permaisuri) dan menghilangkan sebutan Kui-bo (Biang Iblis)!

Sekarang tahulah dia bahwa sebutan Kui-bo adalah sebutan di luaran, di dunia kang-ouw, untuk menggambarkan betapa hebat serta ganas seperti biang iblis adanya nyonya cantik seperti permaisuri kaisar itu! Akan tetapi ucapan itu telah dikeluarkan, tidak mungkin bisa ditarik kembali. Maka dia segera memasang kuda-kuda dan siap menghadapi keroyokan empat orang perawan tua itu dengan tenang.

Kini mulailah mereka maju, yang pertama mencengkeram hendak menangkap tangannya. Sebelum gerakan serangan ini selesai sudah dilanjutkan oleh yang ke dua yang berada di sebelah kanannya, kemudian disusul pula oleh gerakan yang ke tiga dan akhirnya yang ke empat yang menyempurnakan gerakan itu.

Kun Hong terkejut bukan main. Inilah hebat, pikirnya. Empat orang wanita ini bukan saja rupa dan pakaian mau pun bicaranya yang sambung-menyambung dan kembar, bahkan ilmu silatnya pun merupakan rangkaian ilmu silat yang satu macam akan tetapi dimainkan oleh empat orang! Dengan demikian dia seakan-akan menghadapi seorang lawan dengan delapan tangan dan empat kepala!

Cepat ia mengelak, tetapi hampir saja ia terkena cengkeraman mereka. Ia maklum bahwa tidak mungkin ia mengandalkan kegesitannya untuk mengelak. Dari angin cengkeraman itu ia pun tahu bahwa mereka rata-rata memiliki tenaga lweekang yang hebat dan ia tentu akan terluka parah kalau sampai terkena serangan mereka.

Apa boleh buat, perkara sudah menjadi seperti ini, pikirnya. Diputarnya pedangnya untuk melakukan perlawanan. Ia tidak berani berlaku sungkan-sungkan lagi, setiap serangan ia tangkis dengan pedang unituk membabat tangan lawan, bahkan dia balas menyerang tak kalah hebatnya. Pemuda ini sudah menjadi nekat!

Empat orang ‘nona manis’ itu benar-benar mengerikan sekali. Di samping gerakan mereka mengandung lweekang tinggi dan amat cepat serta teratur sambung-menyambung, juga sekarang mereka mulai tertawa-tawa cekikikan lagi dan inilah yang amat membingungkan hati Kun Hong. Tetapi dia masih ragu-ragu untuk melukai mereka karena dia masih ingat bahwa kedatangannya ini adalah untuk minta obat, artinya minta pertolongan. Bagaimana dia bisa melukai anggota keluarga orang yang dimintai tolong?

"Kalian berempat janganlah terlampau mendesakku!" bentaknya sambil memutar pedang melindungi tubuhnya. "Biarkan aku menghadap Thai-houw...!"

Tiba-tiba saja empat orang itu berhenti bergerak, membuat hati Kun Hong girang sekali. Ia tersenyum ramah dan mengangguk-angguk. "Kalian memang orang-orang baik!"

Akan tetapi empat orang nona itu masih berdiri mengurung.

"Kami mau memberi laporan baik..."

"Kepada Thai-houw, asal saja...”

"Kau mau berjanji...”

"Mengawini kami berempat...!"

Demikian ucapan yang mereka keluarkan secara sambung-menyambung dan empat nona manis itu membalas senyuman Kun Hong tadi sambil mengerling-ngerling dengan lagak seperti bintang-bintang film!

Seketika itu juga senyum di bibir Kun Hong melenyap, dan bibirnya sampai pucat saking kagetnya dia mendengar ocehan mereka.

"Kau seranglah aku, kau bunuhlah aku!" bentaknya marah sekali dan kembali pedangnya diputar cepat.

Tanpa banyak cakap lagi empat orang itu segera menerjangnya sambil cekikikan. Mereka menggunakan tangan dan kaki, menerjang mencakar menendang akan tetapi yang paling berbahaya adalah tali-tali sutera yang diikat di pinggang mereka. Ikat pinggang tali sutera ini merupakan senjata yang ampuh, merupakan dua helai senjata lemas yang berbahaya karena selain dapat melukai tubuh lawan juga dapat merampas senjata!

Ternyata mereka telah memperoleh ilmu ini dari Thai-houw. Hal ini mudah diduga karena Kun Hong teringat betapa dengan tali seperti itu pula Kui-bo Thai-houw sekali serang telah mengalahkan Beng Kun Cinjin!

Tapi sekarang Kun Hong benar-benar sudah mengamuk hebat. Ia mengeluarkan seluruh kepandaian yang dia pelajari dari Thai Khek Sian dan benar saja, empat orang wanita itu tidak mampu melawannya.

Makin lama gerakan empat orang wanita itu makin kacau, napas mereka terengah-engah dan sinar pedang Cheng-hoa-kiam yang bergulung-gulung telah mengurung mereka dari kanan kiri.

“Pemuda lucu..."

"Gagah sekali..."

"Terlalu lihai...”

"Kami tidak kuat melawan..."

Mendadak empat orang wanita aneh itu mengebutkan ujung tali pinggang sutera mereka, lantas berhamburanlah empat macam warna seperti asap tipis. Kun Hong mencium bau harum yang amat aneh. Ia kaget dan maklum bahwa lawan mengeluarkan senjata rahasia berbahaya.

Tetapi tidak percuma dia pernah menjadi murid Bu-ceng Tok-ong Si Raja Racun. Ia cepat mengerahkan lweekang, menahan napas sambil menggunakan tangan kiri untuk memukul ke sekelilingnya, mendatangkan angin pukulan yang mengusir semua asap itu.

Ketika ia melihat lagi empat orang wanita itu sudah tidak ada dan sebagai gantinya di situ berdiri wanita tua yang cantik dan berpakaian mewah. Kini Kui-bo Thai-houw sendiri telah berdiri di depannya dengan sikap yang sangat agung, namun sepasang alis yang panjang kecil bekas cukuran itu dikerutkan tanda bahwa hatinya tidak senang.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar