Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 59

Wi Liong dan Kun Hong termangu-mangu bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Namun yang lebih bingung lagi adalah Wi Liong. Dia tidak diberi kesempatan oleh Tung-hai Sian-li, tidak sempat menolak ikatan jodoh yang diucapkan oleh Tung-hai Sian-li dalam pesan terakhirnya.

Bukan karena dia tidak suka dijodohkan dengan Lan Lan, gadis yang dia temui di restoran di An king itu. Bukan! Amboi, mana bisa ia tidak suka? Lan Lan terlampau serupa dengan Siok Lan sehingga dia takkan dapat mengampunkan diri sendiri kalau dia tidak suka, akan tetapi... belum lama ini dia bertemu dengan pamannya, Kwee Sun Tek, dan beginilah kata pamannya,

"Wi Liong, jangan sampai terulang lagi keributan dalam perjodohanmu. Ketahuilah bahwa aku sudah bertemu dengan Kwa Cun Ek dan anak gadisnya, dan kami telah memperbarui ikatan jodoh antara kau dan anaknya! Awas, jangan sampai ribut-ribut dan geger lagi, Wi Liong. Sepatumu ketika kau masih kecil telah kuberikan sebagai tanda pengikat."

"Lho, bagaimana ini, paman? Siok Lan, anak gadis Kwa Cun Ek lo-enghiong itu, ia telah... telah mati...!" jawabnya kaget, bingung dan heran.

Kwee Sun Tek mengerutkan alis. ”Apa kau gila? Ataukah aku yang gila? Aku mendengar sendiri suara anak gadisnya. Tak mungkin. Jangan kau main-main sehingga terulang lagi kehebohan yang akan merusak nama baik kita berdua. Hati-hati kau, kalau sekali lagi kau memutuskan tali perjodohan itu, aku tidak akan bisa mati meram. Baik dia Siok Lan atau siapa saja, gadis yang menyimpan sepatu kecilmu adalah calon isterimu. Mengerti?" Dan dengan marah pamannya meninggalkannya.

Demikianlah, sekarang Tung-hai Sian-li mengikat dia dengan perjodohan lain, dengan Lan Lan dan terhadap usul ini serta merta dia cocok sekali. Semenjak kehilangan Siok Lan, di dalam hatinya memang Wi Liong bersumpah tak akan mencari jodoh lain. Akan tetapi Lan Lan... sama saja dengan mendapatkan Siok Lan kembali.

Wajahnya yang cantik manis, bentuk tubuhnya, kerling matanya, senyumnya, pendeknya sampai suaranya tidak ada bedanya antara Siok Lan dengan Lan Lan, atau juga dengan Lin Lin! Bagaimana dia tidak akan girang dengan usul perjodohan ini? Dan bagaimana dia kini tidak menjadi puyeng kalau mengingat pesan pamannya yang sama sekali tidak boleh dilanggarnya? Wi Liong bingung sekali.

Ketika mendengar dari Wi Liong bahwa belum lama ini Eng Lan berada di Anking, segera Kun Hong meninggalkan tempat itu untuk menyusul dan mencari kekasihnya yang marah itu. Wi Liong sendiri membantu dua orang gadis kembar mengurus penguburan jenazah Tung-hai Sian-li. Pemuda ini selalu menghindarkan pertemuan pandang dengan dua orang gadis itu, apa lagi dengan Lan Lan yang oleh Tung-hai Sian-li dijodohkan kepadanya.

Setelah penguburan jenazah itu beres, barulah dua orang gadis itu sempat bicara dengan Wi Liong dan sempat pula bertanya nama! Tentu saja Lan Lan merasa amat malu untuk bertanya, maka Lin Lin yang mengajukan pertanyaan itu.

"Saudara sudah melepas banyak budi terhadap ibu kami. Maaf bahwa karena tidak ada kesempatan sampai kini kami tidak dapat memperkenalkan diri. Meski pun nama asli kami adalah Kiok Cu dan Kiok Hwa, akan tetapi oleh karena semenjak kecil enci-ku ini disebut Lan Lan dan aku sendiri Lin Lin, maka sekarang pun kami tetap menggunakan nama lama dengan she Pek. Enci-ku menjadi Pek Lan Lan dan aku sendiri Pek Lin Lin. Tidak tahu siapakah sebetulnya nama besar saudara dan sudah lamakah kenal dengan ibu kami?"

Selama Lin Lin mengajukan pertanyaan ini, Lan Lan hanya menunduk saja, tidak berani memaudang wajah ‘tunangannya’" itu, sambil ujung sepatunya menggurat-gurat tanah tak menentu.

Ada pun Wi Liong yang menerima tatapan pandang mata Lin Lin. beberapa kali menelan ludah karena dia benar-benar menjadi bingung. Entah Lan Lan ataukah Lin Lin yang lebih mirip Siok Lan. Kalau Lin Lin memandang kepadanya seperti ini, benar-benar mata Siok Lanlah itu!

"Aku she Thio bernama Wi Liong dari Wuyi-san dan sudah lama juga aku kenal dengan..." Tetapi Wi Liong tidak melanjutkan kata-katanya karena serentak dua orang gadis kembar itu melompat ke belakang lantas memandang kepadanya dengan mata terbelalak seperti orang melihat iblis di tengah hari.

"Kau... kau... Thio Wi Liong... keponakan Kwee Sun Tek...?" tanya Lin Lin gagap, ada pun Lan Lan memandang pucat.

"Betul, nona. Kenapakah...?”

"Aduh, celaka...!" seruan ini hampir berbareng keluar dari bibir dua orang gadis kembar itu dan keduanya meramkan mata, tubuh mereka seperti lemas.

Wi Liong khawatir mereka roboh pingsan, lalu lompat mendekat

"Jangan dekat-dekat kami!" bentak Lan Lan dan Lin Lin lalu menyeret tangan enci-nya.

"Enci Lan, mari kita pergi saja," Keduanya lalu melarikan diri cepat-cepat meninggalkan Wi Liong.

Wi Liong menjadi bengong saking herannya. Tanpa sadar ia meraba-raba mukanya sendiri untuk melihat apakah mukanya masih seperti biasa ataukah tiba-tiba saja sudah menjadi bopeng karena penyakit menular. Akan tetapi jari-jari tangannya meraba kulit muka yang masih halus tidak apa-apa.

Kenapa dua orang gadis itu lari ketakutan seperti orang takut akan penyakit menular? Dia menggaruk-garuk kepalanya, kemudian berlutut menghadap makam Tung-hai Sian-li dan berkata,

"Dua orang puterimu itu sangat aneh, Sian-li. Akan tetapi agaknya lebih baik begitu. Aku cinta kepada mereka seperti aku mencinta anakmu Siok Lan. Bukan karena aku mata keranjang, habis salah siapa. Mengapa keduanya begitu serupa dengan Siok Lan? Aku anggap mereka itu keduanya penjelmaan Siok Lan! Akan tetapi lebih baik mereka pergi dariku karena paman dengan aneh sudah menjodohkan aku dengan anaknya Kwa Cun Ek lo-enghiong, katanya Siok Lan gadis itu, padahal Siok Lan telah mati. Entahlah, siapa dia jodohku terserah. Aku tak ingin mengulang peristiwa pahit yang dulu lagi. Selamat tinggal, Sian-li."

Dengan langkah gontai ia pun lalu pergi meninggalkan tempat itu. Waktu itu musim chun sudah dekat. Maka ia hendak menuju ke Pulau Pek-go-to, tempat tinggal Thai Khek Sian. Karena dia sudah mendapat perintah pamannya supaya mewakili gurunya ke sana untuk menghadiri pesta ulang tahun Thai Khek Sian.

Juga dia dapat menduga bahwa dua orang gadis kembar itu pun tentu akan pergi ke sana pula. Mudah diduga bahwa mereka itu menaruh dendam terhadap Kui-bo Thai-houw yang menculik mereka dari tangan ibu mereka dan untuk mencari Kui-bo Thai-houw pada saat itu, paling baik pergi ke Pek-go-to di mana semua tokoh akan berkumpul dan di mana dua orang gadis itu dapat membuka rahasia keburukan hati Kui-bo Thai-houw.

Dugaan Wi Liong memang tepat sekali. Tadinya, setelah lari meninggalkan Wi Liong dan tiba di sebuah rimba, dua orang gadis kembar itu saling pandang lalu tanpa mengucapkan kata-kata karena sudah sama maklum, mereka berpelukan dan menangis.

"Ah, adikku yang manis, kau ampunkanlah enci-mu ini. Siapa kira bahwa tanpa disengaja ibu sudah menjodohkan aku dengan... tunanganmu sendiri!" kata Lan Lan sambil terisak sedih.


Lin Lin tak dapat menjawab, hanya menangis di atas dada enci-nya. Kemudian tiba-tiba ia tersenyum dan menghapus air matanya. "Ahh, enci yang baik, mengapa kita menangis seperti anak kecil? Urusan ini mudah saja. Kau yang lebih tua, maka sudah sepatutnya kalau kau menikah lebih dulu. Sepatu kecil ini kuberikan kepadamu, maka dengan begitu pertunanganmu dengan dia sudah menjadi sah. Baik ayah Kwa Cun Ek mau pun ibu telah menjodohkan kau dengan dia, apa lagi susahnya?"

Lan Lan mengerutkan keningnya kemudian menggelengkan kepala. "Tidak boleh, Lin-moi. Pesan orang yang sudah meninggal tak boleh diingkari begitu saja. Itu akan menjadi dosa besar. Kau yang lebih dulu bertunangan, kau yang berhak menikah dengan dia. Dia orang baik dan tepat menjadi suamimu, adikku. Aku ikut bahagia."

"Habis, kau sendiri bagaimana? Kalau aku kawin kau pun harus menikah," kata adiknya.

Lan Lan menggelengkan kepala. "Mana bisa aku menikah dengan orang lain? Ibu sudah menjodohkan..." dia teringat lalu cepat berkata, "Aku tidak akan kawin, aku cukup senang melihat kau bahagia."

"Mana bisa, enci Lan? Aku baru senang kalau kau pun bahagia. Kita tidak boleh berpisah lagi sampai tua. Susahmu adalah susahku pula, dan kebahagiaanku juga harus menjadi kebahagiaanmu. Aku baru mau menjadi isterinya kalau kau pun menjadi isterinya."

"Eh, ehh, kalau begitu...?" Lan Lan merenung.

"Kalau begitu...?" adiknya mengulang dengan muka kemerahan.

Keduanya diam, tanpa satu patah kata pun sudah bisa saling mengetahui isi hati masing-masing, kemudian mereka saling rangkul pula, akan tetapi kali ini tidak menangis malah tertawa geli!

Tepat seperti yang diduga oleh Wi Liong, keduanya kemudian bersepakat akan pergi ke Pek-go-to untuk mencari Kui-bo Thai-houw. Bukan saja mereka hendak membalas sakit hati atas perbuatan Kui-bo Thai-houw yang menculik mereka, juga hendak membalaskan sakit hati atas perbuatannya terhadap Phang Ek Kok. Akan dibeber rahasia-rahasia busuk dan perbuatan-perbuatan jahat Kui-bo Thai-houw di tempat pertemuan itu.

Dua orang gadis kembar itu segera melakukan perjalanan cepat menuju ke pantai untuk menyeberang ke Pek-go to, pulau yang terletak di antara Kepulauan Cou-san-to. Mereka berdua sama sekali tidak tahu bahwa selama ini secara sembunyi mereka selalu dikawal oleh seorang pemuda yang berjaga di waktu mereka tidur nyenyak, yang memperhatikan setiap perjalanan mereka dengan waspada, yang sering termenung dan menarik napas panjang kalau melihat dua orang gadis yang segala gerak-geriknya seperti Siok Lan itu.

Ketika mereka sampai di pantai, dua orang gadis kembar ini menjadi bingung karena tidak ada sebuah pun perahu yang nampak. Bagaimana mereka bisa menyeberang ke Pek-go-to? Selagi mereka berdiri kebingungan, memandang ke sana ke mari untuk melihat kalau-kalau ada perahu nelayan, tiba-tiba meluncurlah sebuah perahu kecil. Perahu ini meluncur dari pantai sebelah selatan.

“Heeii... tukang perahu, ke sinilah!" teriak Lin Lin dengan nyaring.

Perahu meluncur dekat dan anehnya, tidak kelihatan nelayannya. Akan tetapi dari dalam bilik perahu kecil itu terdengar suara menjawab.

"Nona berdua apakah membutuhkan perahu?"

"Ya, kami hendak menyewa perahumu. Harap antarkan kami menyeberang ke pulau-pulau di sana itu," kata Lan Lan.

"Berapa biayanya? Katakan saja, kami akan membayar penuh," sambung Lin Lin.

"Mengantar sih mudah, aku selalu siap sedia. Mengenai biayanya, aku tidak mau dibayar dengan uang, emas atau pun perak," terdengar lagi suara di dalam bilik perahu.

Lini Lin merasa dongkol. "Habis, kau mau minta apa? Hei tukang perahu aneh dan manja, keluarlah kau, jangan bikin marah kami!"

"Biayanya tidak mahal, juga tidak murah.”

Lan Lan menduga jelek. Pipinya merah padam saking marahnya. "Tukang perahu, jangan main-main, lekas katakan apa kehendakmu!" katanya sambil meraba gagang pedangnya. Tekadnya kalau tukang perahu itu mengeluarkan kata-kata kotor, tentu akan dibunuhnya.

Suara itu tertawa "Harap jangan marah, karena itulah biaya yang saya minta."

"Apa...?!" tanya Lan Lan dan Lin Lin berbareng.

"Biayanya hanyalah, ji-wi siocia jangan marah-marah lagi padaku." Kemudian muncullah tubuh Wi Liong dari dalam bilik perahu. Pemuda ini memegang dayung lantas duduk pada kepala perahu sambil tersenyum. "Silakan ji-wi naik dan maafkan aku tadi bermain-main."

Lan Lan dan Lin Lin saling pandang. Pipi mereka menjadi merah jambu dan bibir mereka tersenyum. Lin Lin menjadi malu sekali, akan tetapi Lan Lan cepat merangkul pundaknya dan berkata, "Adik Lin, setelah ada tukang perahu baik hati yang mau menyeberangkan, mengapa malu-malu? Mari kita naik perahu!"

Dengan senyum dikulum dan kerling mata malu-malu, kedua orang gadis itu melompat ke dalam perahu dan duduk di dalam bilik perahu itu. Wi Liong merasa seperti kejatuhan dua bintang, begitu gembira hatinya. Segera kedua lengannya bergerak mendayung sehingga perahu itu meluncur tenang ke tengah.

"Ji-wi tentu akan mengunjungi Pek-go-to, bukan?" tanya Wi Liong, sikapnya menghormat akan tetapi jelas tampak wajahnya berseri-seri saking gembira hatinya dapat duduk dalam satu perahu dan bercakap cakap dengan dua orang gadis kembar itu. Sekaligus ada dua orang Siok Lan di depannya. Bagaimana hatinya tidak akan menjadi girang?

"Bagaimana kau bisa tahu?" Lin Lin balas menanya, sikapnya masih agak dingin.

Wi Liong tersenyum dan senyuman ini membuat jantung kedua nona kembar itu seketika berdenyut lebih cepat dari biasanya.

"Semua orang gagah berdatangan ke Pulau Pek-go-to untuk memberi selamat atas ulang tahun kokoh besar Thai Khek Sian. Sayangnya ji-wi datang terlampau pagi sehingga ji-wi harus menanti di Pek-go-to sedikitnya setengah bulan."

"Betulkah?" tanya Lan Lan khawatir.

"Waktu yang dijanjikan atau yang dimaksud oleh Thai Khek Sian di dalam undangannya masih setengah bulan lagi." kata Wi Liong. "Dan aku yang sudah pernah datang ke Pek-go-to harus mengaku bahwa amat tidak menyenangkan berada di pulau itu bersama Thai Khek Sian dan kaki tangannya sampai demikian lamanya."

Dua orang gadis itu juga pernah mendengar nama buruk Thai Khek Sian dan diam-diam mereka bergidik ngeri. "Habis, bagaimana baiknya?" tanya Lin Lin, kini tidak begitu dingin lagi karena keramahan yang wajar dari Wi Liong.

"Aku rasa hanya ada dua jalan. Pertama, menunda penyeberangan ini sampai setengah bulan, atau... kalau ji-wi tidak menaruh curiga kepadaku, jalan ke dua adalah menunggu di Kepulauan Sorga selama setengah bulan. Ji-wi pasti akan senang sekali di sana."

"Kepulaun Sorga?" tanya Lin Lin tak percaya.

"Hanya nama. Sebenarnya merupakan tiga pulau kecil berjajar yang sangat indah, pulau kosong yang subur," jawab Wi Liong.

Kembali dua orang gadis kembar itu saling pandang. Diam-diam mereka menjadi geli dan bersinarlah cahaya yang nakal dalam mata mereka. Lalu keduanya mengangguk seperti bersepakat. "Baiklah, ke Pulau Sorga," kata mereka berbareng.

Dengan hati amat gembira karena dua orang gadis kembar itu baginya menjadi pengganti Siok Lan, Wi Liong lalu mendayung perahunya ke tengah lautan, menuju ke sekelompok pulau di depan. Di antara sekumpulan kepulauan ini memang banyak terdapat pulau-pulau kecil kosong yang tidak ditinggali orang.

Pernah Wi Liong menjelajah tempat ini dan mendapatkan tiga buah pulau kosong berjajar setengah mengelilingi Pek-go-to yang jauh di depan. Karena pulau ini kosong dan indah sekali, ia lalu menyebutnya Pulau Sorga. Sekarang ia hendak mengajak dua orang gadis kembar itu ke sana untuk menunggu datangnya hari yang besar itu, di mana orang-orang kang-ouw tingkat tinggi hendak mengadakan pertemuan di Pek-go-to atas undangan Thai Khek Sian.

Di bawah terik panas matahari Wi Liong mendayung perahunya, matanya bersinar-sinar wajahnya berseri gembira. Suasana sunyi, hanya bunyi air berkecipak mendampar tubuh perahu dan air di depan terbelah kepala perahu menyibak ke kanan kiri seperti agar-agar warna biru terbelah pisau tajam.

Kesunyian yang kosong itu tidak menyedapkan hati Lan Lan dan Lin Lin. Terutama sekali Lin Lin yang berwatak lincah jenaka. Dianggapnya Wi Liong terlampau pendiam. Katanya dengan senyum mengejek kepada Lan Lan,

"Enci Lan, rasanya seperti kita berlayar bersama sebuah patung!"

Lan Lan kaget akan tetapi terpaksa tersenyum juga, lalu mencegah adiknya, "Hush... Lin-moi..."

Muka Wi Liong menjadi merah, akan tetapi pemuda ini mendayung terus, sekarang malah mengerahkan tenaga sehingga perahu meluncur makin laju.

Melihat wajah yang tampan itu kemerahan, Lin Lin makin senang menggodanya, "Lan-cici, jangan-jangan tunanganmu menjadi gagu..."

"Hushh, Lin-moi!, jangan nakal...!" Lan Lan menegur gugup tetapi muka gadis ini menjadi merah juga.

Mendengar disinggung-singgungnya urusan pertunangan ini, Wi Liong semakin kaget dan bingung. Pemuda ini memang tertarik sekali kepada sepasang gadis kembar yang segala-galanya seperti Siok Lan ini, akan tetapi biar pun tidak ada kebahagiaan lebih besar dari pada berdekatan dengan mereka, namun tentang perjodohan yang dipesankan oleh Tung-hai Sian-li sungguh tidak dapat atau lebih tepat tidak berani dia menerimanya.

Ia mengangkat muka dan berhenti mendayung, lalu pandang matanya menatap dua orang gadis itu ganti-berganti, bingung karena sungguh pun warna pakaian dua orang gadis itu berbeda, tetapi dia sudah lupa lagi mana Lan Lan dan mana Lin Lin!

Melihat Wi Liong bengong terlongong memandang mereka berganti-ganti, dua orang gadis itu dapat menduga bahwa tentu pemuda ini lagi-lagi bingung dalam membedakan mereka. Keduanya menjadi geli hati dan tertawa.

Lan Lan tertawa dengan tangan kanan menutup mulut sambil tangan kirinya memegangi ujung rambutnya yang panjang tergantung ke depan dada kiri. Sedangkan Lini Lin tertawa kecil memperlihatkan deretan gigi yang putih berkilau di antara sepasang bibir kecil yang merah, manis sekali.

Melihat dua orang gadis itu tertawa, makin bingunglah Wi Liong. Kenapa di dunia ada hal yang begini aneh? Bahkan kalau tertawa, biar pun sikapnya berbeda-beda, toh mereka itu keduanya sama betul dengan Siok Lan! Pernah Wi Liong melihat Siok Lan tertawa sambil menutupi mulut memegang rambut seperti gadis pertama dan pernah pula ia melihat Siok Lan tertawa dengan bibir dan gigi persis gadis ke dua!

Karena tidak tahu yang mana Lan Lan dan yang mana Lin Lin, dengan gagap Wi Liong berkata, "Nona nona... yang manakah nona Lan Lan...?”

"Kau terka sendiri!" kata Lin Lin menggoda.

Wi Liong semakin bingung. Setelah menarik napas panjang kemudian ia berkata, "Karena aku tidak tahu yang manakah Pek Lan Lan siocia, biarlah aku sekaligus bicara kepada ji-wi siocia (nona berdua)."

"Tidak kepada Bu-beng Siocia?" melihat kegembiraan adiknya maka timbullah watak Lan Lan yang periang dan dia pun ikut menggoda.

"Tidak... aku... harap maafkan kebodohanku. Ji-wi-siocia, aku ada sedikit omongan yang amat penting."

"Tuan Thio Wi Liong yang terhormat, perintah apakah gerangan yang hendak tuan berikan kepada hamba berdua?" kembali Lin Lin mengejek.

"Nona jangan begitu, aku hanya... hanya..."

"Tuan Thio Wi Liong yang gagah perkasa dan sopan santun..." sambung Lan Lan.

Gadis-gadis ini memang merasa dongkol melihat sikap yang demikian dingin dan pendiam dari pemuda ini, pemuda yang menjadi tunangan resmi keduanya!

"Aku hanya tukang perahu yang menyeberangkan kalian," akhirnya Wi Liong terseret juga oleh kejenakaan mereka dan mulai lenyaplah kerutan pada keningnya yang menandakan bahwa tadi ia berpikir keras, pikiran yang tidak menyedapkan hati dan menimbulkan kerut pada muka.

"Tukang perahu apa? Kau sengaja mengikuti kami,” kata Lin Lin

Wi Liong terkejut, lantas memuji. "Entah pandang matamu yang sangat awas atau hanya dugaanmu yang kebetulan saja. Akan tetapi terus terang kukatakan memang aku sengaja mengikuti kalian." Wi Liong mengangguk-angguk. "Aku bisa menduga bahwa kalian tentu akan mencari Kui-bo Thai-houw untuk membuat perhitungan, maka kutaksir kalian tentu akan mendatangi Pek-go-to pula. Karena akan ada pertemuan puncak dan keadaan di sini amat berbahaya, maka aku sengaja mengikuti kalian."

"Untuk melindungi kami?" Lan Lan bertanya penuh gairah.

"Hemm... bukan begitu, atau... ya, kalau perlu..."

"Ah, tentu karena kau hendak melindungi tunanganmu, bukan?" Lin Lin menggoda dengan sikapnya yang jenaka.

Muka Wi Liong berubah, kerut di keningnya timbul lagi. Ia menarik napas panjang. "Itulah yang hendak kukatakan tadi. Yang mana nona Pek Lan Lan?"

"Yang mana juga sama saja. Kau boleh bicara," kata Lan Lan dengan dada berdebar.

"Aku mau bicara tentang pesan terakhir dari Tung-hai Sian-li itu. tentang... tentang ikatan jodoh..."

"Kenapa?" desak Lin Lin penuh gairah.

Sukar Wi Liong membuka mulutnya. Keadaannya sekarang benar-benar sebaliknya dari pada dahulu ketika dia dijodohkan dengan Siok Lan. Dulu dengan penuh gairah ia hendak memutuskan perjodohannya dengan Siok Lan karena dia cinta pada Bu-beng Siocia. Tapi sekarang dia harus memutuskan tali perjodohannya dengan Lan Lan karena dirinya sudah ditunangkan oleh pamannya. Dan dia harus memutuskannya dengan hati luka dan penuh penyesalan karena harus dia akui bahwa di dalam hatinya hidup lagi cinta kasih terhadap Siok Lan dahulu, kini berpindah kepada gadis kembar ini yang baginya seolah-olah Siok Lan sendiri menjelma kembali menjadi dua.

"Aku... aku terpaksa tidak dapat menerimanya..." dia berkata dengan kepala tunduk agar tidak tampak sinar matanya yang suram dan bibirnya yang gemetar. Karena ia menunduk ini ia tidak melihat betapa wajah Lan Lan menjadi pucat seketika.

"Sombong sekali, jadi kau merasa dirimu terlalu tinggi untuk menjadi jodoh enci Lan Lan, tuan Thio Wi Liong?!" Lin Lin membentak marah.

Wi Liong mengangkat mukanya dan muka yang tampan itu menjadi pucat sekali sampai dua orang gadis itu kaget. Wi Liong tadi tidak memperhatikan siapa di antara dua orang gadis itu yang bicara sehingga sampai saat itu dia belum dapat tahu yang mana Lan Lan dan yang mana Lin Lin

"Bukan demikian! Aku bersumpah, demi Thian dan demi kehormatanku! Sama sekali aku tidak beranggapan begitu. Bahkan aku... aku akan merasa menjadi sebahagia-bahagianya orang di dunia ini apa bila aku bisa memenuhi pesan keramat Tung-hai Sian-li. Aku... aku akan berbahagia sekali..." Kembali dia menunduk penuh penyesalan.

Lan Lan dan Lin Lin bertukar pandang. Lin Lin yang cerdik cepat memegang tangan enci-nya, karena dia mendapat pikiran yang membuatnya berdebar. "Apa sebabnya? Katakan, apa sebabnya kau tidak bisa memenuhi pesan itu?" desaknya.

Tanpa mengangkat mukanya Wi Liong menjawab lirih. ”Maaf, karena... karena aku sudah bertunangan dengan gadis lain..."

Dia tidak tahu betapa Lan Lan hampir berteriak kesakitan karena tangannya diremas oleh adiknya.

"Tuan Thio Wi Liong bertunangan dengan gadis manakah.?" tanya Lan Lan.

"Jangan-jangan ini hanya untuk alasan penolakan belaka," sambung Lin Lin.

Kembali Wi Liong mengangkat mukanya. Dia kelihatan lega karena tidak ada tanda-tanda marah pada wajah dua orang gadis kembar itu malah kini dua pasang mata itu menatap tajam kepadanya penuh selidik.

"Ini bukan alasan kosong. Aku benar-benar sudah ditunangkan oleh pamanku, ji-wi siocia. Karena itu, bagaimana aku bisa menerima ikatan jodoh lain?"

"Hemmm, kami dapat mengerti alasanmu, tuan Thio. Tentu gadis tunanganmu itu cantik jelita seperti bidadari dan tentu jauh lebih pandai dari pada kami anak-anak bodoh," kata Lan Lan

"Tentu kau amat mencintanya, tuan Thio," sambung Lin Lin.

Diam-diam Wi Liong makin menyesal. Ada sifat-sifat dua orang gadis ini yang malah lebih baik dari pada watak Siok Lan. Siok Lan orangnya pendiam dan amat keras hati, mudah marah. Dua orang gadis ini walau pun ada tanda tanda keras hati sepenti Siok Lan, akan tetapi jujur sekali dan peramah pula, juga lebih panjang pikiran buktinya pengakuannya ini tidak membikin mereka marah.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar