Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 19

Malam hari itu kota raja ke dua nampak indah di bawah sinar bulan yang sore-sore sudah muncul di langit biru. Suasana remang-remang romantis menimbulkan kegembiraan dalam hati. Sayang sekali hawa amat dinginnya, orang-orang tidak ada yang berani keluar kalau tidak mempunyai keperluan penting. Lebin enak berdiam di rumah menghadapi hangatnya api di perapian. Terlebih lagi menjelang tengah malam setelah bulan jauh terbang ke arah barat, dinginnya bukan kepalang.

Akan tetapi bagi Wi Liong yang sudah memiliki kepandaian tinggi, dengan hawa sinkang-nya dia dapat mempertahankan kedinginan itu. Malah dia melompat ke sana ke mari dari genteng rumah ini ke genteng rumah itu laksana seekor burung beterbangan. Gerakannya gesit bukan main dan bagi mata biasa sukarlah mengikuti gerakan-gerakan Wi Liong.

Sebentar saja dia sudah sampai di atas genteng rumah makan yang pagi hari tadi menjadi tempat keributan. Wi Liong mengintai dari atas genteng. Di bawah gelap saja, tanda para penghuninya sudah tidur. Ia melompat turun dan sekali raba terbukalah jendela rumah itu.

Wi Liong terheran karena mendapat kenyataan bahwa jendela itu memang tidak terkunci dari dalam. Bagaikan seekor kucing dia melompat masuk tanpa menerbitkan suara sedikit pun dan pada lain saat dia hampir mengeluarkan seruan kaget ketika di bawah sinar bulan yang menerobos masuk dia melihat tubuh A Sam terbujur kaku dan tak bernyawa di atas bangku panjang!

Ia cepat melompat lagi dan kini dia menuju ke rumah gedung di depan warung itu. A Sam sudah tidak bisa dimintai keterangan lagi, maka orang satu-satunya yang dapat memberi keterangan kiranya hanya orang she Liu yang oleh A Sam disebut bandot tua.

Dari jauh dia telah melihat pertempuran hebat terjadi di atas genteng tebal rumah gedung keluarga Liu. Dia mengenal kakek aneh bermuka merah yang pagi tadi makan di warung. Dengan bantuan seorang gadis muda tampak kakek itu tengah mengeroyok Bu-ceng Tok-ong yang lihai, menggunakan golok besarnya, sedangkan gadis muda itu mempergunakan sebatang pedang, ilmu silatnya cepat dan cukup lihai.

Tetapi dengan amat baik Bu-ceng Tok-ong yang bertangan kosong itu dapat melayani dua orang lawannya yang bersenjata, malah dengan pukulan-pukulan yang mengandung hawa beracun dia dapat mendesak dua orang lawannya yang bersikap amat hati-hati dan main mundur untuk menghindari hawa beracun!

Wi Liong tahu akan kejahatan Bu-ceng Tok-ong dan ia memang tidak suka dengan tokoh Mokauw yang sudah pernah menculiknya dari puncak Kun-lun-san itu. Akan tetapi ia tidak mengenal kakek bermuka merah serta gadis berpedang itu, maka dia merasa tidak pada tempatnya kalau ia membantu mereka tanpa mengetahui sebab-sebab pertempuran.

Tanpa diketahui oleh mereka yang sedang bertempur seru, Wi Liong lalu menyelinap dan terus melompat ke bagian lain dari rumah gedung keluarga Liu. Ia hendak menyelidiki dan mencari musuh besarnya, tak perlu melibatkan diri dengan urusan orang lain, pikirnya.

Akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak genteng di bagian belakang, tiba-tiba dia berjongkok sambil bersembunyi di balik wuwungan ketika dari bawah melayang naik dua bayangan orang, juga seorang gadis dan seorang kakek pengemis.

Wi Liong belum pernah mengenal gadis manis itu, namun melihat kakek pengemis yang tangan kiri memegang tongkat bambu dan tangan kanan memegang mangkok, pengemis bertubuh kecil pendek dan bermata besar ini, ia lantas teringat akan penuturan pamannya bahwa di dunia kang-ouw terdapat seorang tokoh besar yang bernama Pak-thian Koai-jin. Inikah orangnya?

"Suhu, puaslah hati teecu (aku) dapat membasmi seorang okpa (hartawan jahat) seperti bandot tua she Liu itu!" terdengar gadis manis itu berkata, suaranya nyaring dan sangat bersemangat.

"Hemm, kalian orang-orang muda memang berdarah panas. Lihat See-thian Hoat-ong dan keponakannya yang jelita itu, agaknya tak akan kuat menghadapi Bu-ceng Tok-ong. Mari kita bantu!" kata kakek tadi yang sebetulnya memang Pak-thian Koai-jin adanya.

Kedua pendatang baru ini cepat menyerbu dan betapa pun lihai kepandaian Bu-ceng Tok-ong, menghadapi empat orang lawan yang berilmu tinggi, apa lagi dua orang kakek itu, ia segera terdesak dan menjadi kerepotan.

"Ramai-ramai mengeroyok seorang lawan! Benar-benar curang sekali...!" ia memaki-maki sambil melompat ke sana-sini, mengibaskan tangan baju dan mengirim pukulan-pukulan dahsyat.


Melihat sekarang Bu-ceng Tok-ong telah terdesak mundur, Pak-thian Koai-jin lalu berkata kepada kawan-kawannya, "Beri ampun dia kali ini!" Ini adalah tanda ajakan bagi kawan-kawannya untuk melarikan diri.

Pandangan mata Pak-thian Koai-jin memang tajam sekali. Ia sudah melihat berkelebatnya bayangan dua orang yang gerakannya cepat sekali, maka, maklum bahwa Bu-ceng Tok-ong akan mendapat bantuan kuat, dia mengajak kawan-kawannya pergi lebih dulu.

Benar saja! Baru empat orang itu melompat jauh dan melarikan diri, terdengar bentakan nyaring suara seorang wanita, "Tok-ong kejar mereka, kami bantu!"

Bu-ceng Tok-ong girang bukan kepalang melihat munculnya Tok-sim Sian-Ii dan seorang pemuda ganteng yang bukan lain adalah Kam Kun Hong bekas muridnya sendiri! Namun tiba-tiba dua buah benda kecil hitam melayang dan menyamhar ke arah Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li dengan kecepatan luar biasa.

Dua orang Mokauw itu mengeluarkan seruan marah sambil mengibaskan tangan mereka. Dua potong genteng itu hancur berantakan, akan tetapi dua orang itu pun merasa telapak tangan yang dipakai menghantam tadi panas dan agak sakit. Kagetlah mereka. Lweekang mereka sudah mencapai tingkat tinggi, masa menghadapi sambitan genteng saja terasa sakit? Terang bahwa penyambitnya seorang berilmu. Mereka jadi ragu-ragu.

Tiba-tiba dari dalam gedung itu terdengar hiruk-pikuk dan tangis riuh rendah. Bu-ceng Tok-ong menarik napas panjang. "Sayang kau datang terlambat, kalau tadi kau di sini mereka takkan berhasil memasuki gedung. Mari kita lihat apa yang terjadi di bawah."

"Mana Kun Hong?” tanya Tok-sim Sian-li, memandang ke kanan kiri dan merasa khawatir karena tidak melihat Kun Hong.

"Celaka, tentu dia mengejar mereka. Mereka itu adalah orang-orang kuat, mana bisa Kun Hong melawan mereka seorang diri saja?"

Tok-sim Sian-li mengeluarkan suara mengejek. "Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong itu orang-orang macam apa sih? Biar ditambah sepuluh lagi mereka itu masih bukan apa-apa bagi Kun Hong. Jangan kira Kun Hong sekarang sama dengan dulu. Hemm…!"

Bu-ceng Tok-ong tahu bahwa pemuda bekas muridnya itu tentu telah menerima warisan ilmu dari Thai Khek Sian, maka dia tidak membantah lagi dan segera mengajak wanita itu turun untuk melihat apa yang telah terjadi di bawah…..

********************

Ke manakah perginya Kun Hong? Tadi pemuda ini sempat melihat dua orang gadis cantik manis mengeroyok Bu-ceng Tok-ong dan sekaligus hatinya tertarik dan tergila-gila. Ketika melihat mereka lari pergi, Kun Hong lalu mengikuti mereka secara diam-diam, tidak mau menyerang hanya membayangi mereka untuk mengetahui ke mana mereka pergi.

Ia mengandalkan ilmu ginkang-nya yang luar biasa dan dengan mudah ia mengikuti empat orang itu tanpa diketahui oleh mereka yang dia bayangi. Sebaliknya, seujung rambut pun pemuda ini tidak pernah menyangka bahwa ada bayangan lain yang mengikutinya dengan gerakan yang tidak kalah gesit dan ringannya!

Benar-benar hal yang amat ajaib bila dibicarakan. Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong adalah dua orang tokoh kang-ouw yang telah memasuki tingkat tokoh-tokoh tertinggi, namun mereka berdua, juga dua orang gadis cantik yang kepandaiannya sudah tinggi pula itu sama sekali tidak tahu bahwa mereka diikuti oleh dua orang pemuda!

Kun Hong terus mengikuti empat orang itu yang menggunakan ilmu lari cepat keluar dari kota menuju ke barat. Ia merasa gembira sekali melihat bahwa dua orang gadis itu betul-betul cantik menarik kalau sewaktu-waktu ia dapat melihat wajah mereka tertimpa cahaya bulan.

Yang pertama adalali seorang gadis bertubuh langsing agak tinggi dengan kepala digelung ke atas lalu dibungkus sapu tangan sutera. Gadis ke dua manis sekali, agak pendek kalau dibandingkan dengan yang pertama, rambutnya dikepang dua dengan ujungnya dibiarkan terurai di atas punggung. Gadis pertama tampak cantik jelita, kereng dan gagah, ada pun yang ke dua tampak manis sekali dan lincah.

"Aduh, keduanya sama hebatnya. Yang satu jelita yang satu manis, sulit dikatakan mana yang lebih menarik hati," pikir Kun Hong. "Kalau aku disuruh memilih, tentu aku akan pilih keduanya!"

Baru siang tadi dia memasuki kota bersama Tok-sim Sian-li, setelah mendapat perkenan dari Thai Khek Sian. Selama satu tahun lebih dia menerima gemblengan dari gurunya itu, mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi sehingga dalam waktu sependek itu kepandaiannya telah meningkat secara luar biasa sekali. Juga dia dipercaya penuh oleh Thai Khek Sian, dan kedatangannya di Peking juga membawa tugas sebagai wakil gurunya.

Akan tetapi seperti kebiasaan orang-orang golongannya, dia dan Tok-sim Sian-li tidak mau muncul sebelum malam tiba dan segera setelah tengah malam tiba, mereka pergi mencari Bu-ceng Tok-ong yang mereka dengar berada di gedung keluarga hartawan Liu. Namun begitu melihat dua orang gadis jelita itu, Kun Hong sekaligus lupa akan tugasnya dan kini dia mengikuti mereka secara diam-diam sampai jauh di luar kota.

Sambil berlari dia berpikir. Ia menerima tugas untuk mewakili gurunya, yaitu mengadakan hubungan dengan orang-orang segolongan yang sudah berada di Peking dan di kota raja, membantu pergerakan Bangsa Mongol. Ia diberi hak untuk bertindak atas nama Thai Khek Sian dan mewakili gurunya itu membantu pemerintah baru.

Begitu tiba di sana dia sudah mendapat kenyataan bahwa kawan-kawan segolongannya ternyata dimusuhi oleh orang-orang kang-ouw semacam Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong. Kelak tentu akan sibuk dan banyak pekerjaan, pikirnya.

Kebetulan sekali sekarang aku mengikuti mereka sehingga aku bisa mengetahui di mana sarang musuh, pikir Kun Hong yang menjadi semakin gembira oleh karena selain dapat mengenal dua orang nona itu, juga dia dapat menyelidiki sarang musuh!

Setelah berlari-larian cepat setengah malam lamanya, di waktu fajar menyingsing ternyata empat orang itu tiba di sebuah bukit yang berbatu-batu. Di atas puncak bukit itu terdapat sebuah kelenteng tua. Dari jauh sudah dapat diketahui bahwa itu adalah kelenteng Siauw-lim-si yang bangunannya sudah tua dan kuno akan tetapi masih kokoh.

Anehnya, tidak ada jalan masuk ke kelenteng itu. Sekelilingnya adalah jurang-jurang lebar belaka dan kelenteng itu jadinya berdiri di atas batu besar terpisah dari tanah datar yang lain. Melihat potongan batu itu, dapat diduga bahwa dahulu batu itu menjadi satu dengan tanah di sebelah kiri, akan tetapi mungkin karena gempa bumi menjadi pecah dan makin lama retaknya makin melebar hingga menjadi jurang yang amat lebar dan dalam.

Kun Hong yang bersembunyi di balik pohon dapat melihat dari jauh betapa empat orang itu menyelinap ke dalam semak-semak lalu menghilang! Ia menjadi bingung dan mencari-cari. Ke manakah perginya mereka? Setelah sampai di sini, sudah tentu mereka pergi ke kelenteng itu. Itulah sarang mereka, tidak salah lagi. pikirnya. Kalau aku kembali ke kota, membawa kawan-kawan untuk menyerbu ke sini, sekaligus mereka akan dapat kutawan!

Tetapi Kun Hong belum merasa puas kalau belum melihat sebelah dalam, apa lagi kalau belum melihat dua orang nona manis tadi! la mulai mencari-cari jalan masuk dan baru ia mendapat kenyataan bahwa memang tidak ada jalan masuk ke kelenteng itu. Lalu empat orang tadi mengambil jalan manakah…..?

********************

Sekarang kita menengok ke dalam kelenteng yang agaknya tersembunyi di atas bukit itu. Memang kelenteng ini bekas Kelenteng Siauw-lim-si yang sudah amat tua. Bangunannya kuno dan kokoh sekali.

Kelenteng ini masih ditempati oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-si, merupakan cabang dari partai Siauw-lim yang sangat terkenal. Ada dua puluh orang lebih hwesio yang tinggal di situ, rata-rata lulusan tingkat pertengahan, jadi rata-rata mempunyai kepandaian silat yang lumayan.

Yang mengepalai mereka adalah Souw Lo Hosiang, murid pertengahan dari Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai. Memang semenjak terjadinya pertentangan antara pembela-pembela penjajah Mongol dengan orang-orang kang-ouw yang memusuhi para penghianat bangsa, kelenteng ini menjadi sarang atau tempat persembunyian orang-orang gagah.

Tadi Pak-thian Koai-jin bersama ketiga orang kawannya memasuki kelenteng melalui jalan tambang yang sengaja dipasang dari seberang jurang dan disembunyikan dalam semak-semak. Tambang ini cukup besar dan kuat, dipasang dari akar pohon di semak-semak itu sampai ke sebuah jendela bulan di samping kelenteng.

Dengan ilmu meringankan tubuh, empat orang itu meniti melalui jalan tambang yang amat berbahaya dan mengerikan bagi mereka yang tidak berkepandaian, lalu mereka melompat ke dalam jendela bulan, yaitu jendela yang bentuknya bundar.

Wi Liong yang mengikuti mereka segera dapat menemukan jalan ini, lalu mempergunakan kesempatan selagi empat orang itu melompat ke dalam jendela, secepat burung terbang pemuda ini lari melalui jalan aneh itu. Tanpa ragu-ragu karena tidak bermaksud buruk, dia pun melompat ke dalam jendela dan... tubuhnya terus ‘nyeplos’ ke bawah karena di balik jendela itu ternyata tidak ada lantainya!

Sebetulnya tadinya memang ada lantainya, hanya saja sekarang lantai itu digeser dengan alat yang sudah disiapkan sehingga menjadi lubang jebakan yang sangat lihai. Memang Siauw-lim-pai terkenal dalam hal memasang jebakan-jebakan rahasia.

Kalau Wi Liong tidak memiliki kepandaian tinggi, tentu dia akan jatuh tunggang-langgang dan mungkin kepalanya akan pecah menimpa lantai batu di bawah, di dalam ‘sumur’ yang dalamnya tidak kurang dari lima tombak itu! Dia cepat mengatur keseimbangan tubuhnya dan dapat meluncur ke bawah dengan kaki lebih dahulu lalu tiba di dasar sumur itu tanpa menderita luka. Ketika ia melihat ke depan, ternyata ia berada dalam sebuah kerangkeng besi dan di luar kerangkeng itu ia melihat empat orang yang tadi ia ikuti.

Pertama-tama pandang mata Wi Liong bertumbuk dengan sinar mata yang sangat tajam, sinar sepasang mata yang membuat jantung di dalam dadanya tidak karuan lagi kerjanya, gedebak-gedebuk tak menentu. Itulah sepasang mata nona yang bertubuh tinggi langsing, yang rambutnya diikat ke atas. Nona yang matanya tajam, hidungnya mancung, bibirnya kecil!

Cepat-cepat Wi Liong mengalihkan pandang matanya. Ia merasa jengah, merasa pipinya menjadi panas-panas. Tentu saja ia tidak tahu bahwa sepasang pipinya memang berubah merah sekali seperti orang kalau merasa malu.

Kakek muka merah yang kemarin pernah bertemu dengan dia di warung, yang melempar senyum kepadanya, segera melangkah maju sambil tertawa. "Sudah kuduga kemarin kau memang bersikap mencurigakan, terlampau halus! Orang muda, melihat muka dan sinar matamu kau bukan dari golongan sana. Mengapa kau mengikuti kami dan kau siapakah?"

Wi Liong memang merasa malu. Tidak hanya malu yang tak diketahui sebabnya kalau dia memandang atau lebih tepat bertemu pandang dengan nona tinggi langsing itu, tetapi juga malu karena ia sampai terjebak, dan malu pula karena keadaannya memang benar-benar mencurigakan sekali, memasuki tempat orang tanpa minta ijin!

"Aku... aku hanya hendak memberi-tahu bahwa ada orang-orang dari gedung keluarga Liu yang mengejar kalian." katanya sederhana.

"Ha-ha-ha, jangan coba-coba menimpakan dosa ke pundak orang lain, orang muda," kata Pak-thian Koai-jin. "Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li tidak mengejar kami dan andai kata mengejar, tentu tidak bisa sampai di sini. Hayo kau mengaku, kau ini siapa dan apa maksudmu masuk ke sini? Jangan banyak bicara bohong." Meski pun dia berlagak galak, namun orang seperti Pak-thian Koai-jin mana bisa galak? Mukanya saja sudah amat lucu dengan matanya yang lebar dan bersinar lembut, meski ada cahaya kenakalan terpancar dari manik matanya.

"Mana berani aku yang bodoh berbohong di depan locianpwe seperti Pak-thian Koai-jin?" kata Wi Liong.

"Lho...?! Kau kok sudah mengenalku? Di mana kita pernah bertemu?”

"Andai pun tidak mengenal muka lccianpwe yang mulia, sedikitnya aku mengenal tongkat dan mangkok itu, sepasang senjata locianpwe sudah terlalu banyak dikenal orang hingga pamanku Kwee Sun Tek sendiri juga mengenalnya. Pamanku itu yang memperkenalkan keadaan dan gambaran tentang locianpwe kepadaku."

Nama Kwee Sun Tek mana dikenal oleh orang-orang seperti Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong? Akan tetapi nona cantik bertubuh langsing itu mendadak melangkah maju lalu menodongkan pedangnya di depan ulu hati Wi Liong.

"Jangan banyak mengobrol bohong! Lekas kau jawab pertanyaan susiok See-thian Hoat-ong tadi, siapa namamu dan apa maksudmu datang ke sini?" bentaknya sambil matanya memandang tajam.

Wi Liong mengangkat muka dan kembali kedua pipinya panas ketika ia bertemu pandang dengan gadis itu. Dalam marahnya gadis itu kelihatan makin cantik menarik, pikirnya, dan ia sama sekali tidak gentar melihat ujung pedang menerobos masuk melalui jeruji besi dan menyentuh baju di dadanya. Malah Wi Liong tersenyum dan saking terpesona oleh wajah jelita itu, sukar baginya menjawab.

"Hayo jawab! Apakah kau gagu?" gadis itu membentak lagi.

"Nona, selama hidup aku tidak pernah dan tidak akan berbohong. Namaku Thio Wi Liong dan aku datang untuk memberi-tahu bahwa di luar ada musuh. Malah sekarang agaknya sudah mau memasuki kelenteng ini."

Pedang itu ditarik mundur dan nona itu nampak terkejut, sungguh pun mukanya berobah merah sekali, entah marah entah mengapa.

"Susiok, jangan-jangan benar ada musuh yang datang!" katanya sambil menoleh kepada See-thian Hoat-ong. Jawabannya langsung datang dengan munculnya dua orang hwesio bertubuh tegap dari pintu.

"Cuwi-enghiong, di luar ada seorang muda mencurigakan menyelidiki tempat ini!” Seorang di antara mereka melapor. "Gerakannya gesit luar biasa dan agaknya dia berilmu tinggi."

"Kalau begitu kau tidak berbohong," kata Pak-thian Koai-jin sambil membuka kaitan yang menutup pintu kerangkeng.

Melalui sebuah anak tangga kecil, beramai-ramai mereka lalu naik ke kamar atas di mana ada jendela bulan tadi. Thio Wi Liong ikut berlari-lari dan begitu sampai di kamar yang kini lantainya sudah pulih kembali, dia segera mendekati jendela dan menuding keluar.

"Lihat, dia itulah yang tadi mengikuti kalian sampai seberang sana!" katanya dan otomatis tangan kirinya mencabut suling di pinggangnya.

Semua orang memandang. Betul saja, seorang pemuda tampan sedang berjalan di atas jembatan tambang dengan enaknya seperti orang sedang bermain-main. Mulut pemuda itu tersenyum manis dan matanya berseri-seri ketika dia memandang ke arah jendela dan melihat dua orang nona manis itu berada di belakang jendela. Inilah Kam Kun Hong, murid Thai Khek Sian yang lihai dan berani.

"Kalau dia musuh biar kuputuskan tambang ini!" kata gadis manis murid Pak-thian Koai-jin gemas, pedangnya sudah digerakkan ke depan untuk memotong jembatan tambang.

"Eng Lan, jangan! Biarkan dia masuk, aku ingin tahu apa kehendaknya!" kata Pak-thian Koai-jin mencegah niat muridnya.

Kakek tokoh kang-ouw ini tak mau membiarkan muridnya melakukan penyerangan curang terhadap musuh, apa lagi kalau dipikir bahwa musuh itu hanya seorang pemuda remaja. Belum dapat dipastikan lagi apakah yang datang ini musuh, seperti halnya Thio Wi Liong yang ternyata juga bukan seoramg musuh.

Sementara itu, Kun Hong yang melihat perbuatan gadis manis itu lantas tersenyum lebar dari atas tambang.

"Aduhai nasib...! Tega benar orang hendak membuat aku terjerumus ke dalam jurang yang begini dalamnya. Bagaimana kelak orang dapat menyembahyangi bongpai-ku (pusaraku)!" Dengan sengaja dia membikin berat tubuhnya kemudian berjalan di atas tambang dengan tubuh goyang-goyang tidak tegak.

Melihat sikap jenaka pemuda yang baru datang ini, timbul kegembiraan Pak-thian Koai-jin. "Ha-ha-ha orang muda, awas jangan sampai kau jatuh. Di sini tidak ada cadangan nyawa untukmu!"

Kun Hong tertawa. Sementara itu ia sudah sampai di pinggir jendela bulan, lalu melompat masuk, sengaja membuat gerakannya kaku dan berat.

Gadis manis murid Pak-thian Koai-jin yang bernama Pui Eng Lan, yang tadinya hendak memutuskan tambang, sekarang pipinya menjadi merah ketika melihat betapa sepasang mata pemuda yang baru datang itu menatapnya penuh arti. Sesudah dekat baru ternyata betapa gantengnya pemuda yang baru datang ini, ganteng dan aneh sekali, hampir sama dengan pemuda Thio Wi Liong yang datang lebih dahulu.

Sementara itu Wi Liong sudah mengundurkan diri di sudut dan diam-diam memperhatikan keadaan sambil kadang-kadang melirik ke arah dara langsing yang amat menarik hatinya.

Begitu memasuki ruangan itu, Kun Hong segera menatap wajah dua orang gadis itu ganti-berganti dengan sinar mata berseri gembira. Memang hebat dua orang gadis itu, cantik jelita dan kecantikan yang asli, jauh lebih menarik dari pada Cheng ln dan Ang Hwa atau selir-selir lain dari Thai Khek Sian gurunya yang memiliki kecantikan sudah agak meluntur atau dibantu dengan alat-alat kecantikan. Akan tetapi dua orang gadis ini memang cantik manis bawaan lahir.

Yang seorang tinggi langsing berkulit kuning langsat dengan sikap gagah dan yang ke dua agak pendek berkulit sedikit gelap, manis sekali. Kecantikan yang berbeda sifatnya, tapi masing-masing memiliki daya tarik yang sama besarnya seperti orang melihat kembang teratai dan kembang seruni, amat berbeda bentuk dan warnanya, akan tetapi sama cantik menariknya sehingga sukar untuk menentukan mana yang lebih menarik tergantung dari selera yang melihat!

Akan tetapi sifat lincah jenaka yang memancar keluar dari mata Pui Eng Lan lebih cocok dengan wataknya. Dara manis lincah galak yang berkepandaian tinggi, inilah idam-idaman hatinya.

"Hemm, inilah calon kawan hidupku...” diam-diam Kun Hong mengambil keputusan dalam hatinya.

Akan tetapi ia tak diberi kesempatan untuk lebih lama memandangi gadis-gadis itu karena Pak-thian Koai-jin telah menyambutnya dengan pertanyaan. "Orang muda, engkau seperti anak lembu berjantung harimau. Berani betul kau mengikuti kami dan datang ke sini. Kau mau apa?”

Kun Hong tersenyum, sama sekali tidak kelihatan takut. "Orang tua, kau keliru, aku bukan seperti anak lembu berjantung harimau sebaliknya anak harimau berjantung lembu. Lebih baik di luar kelihatan gagah walau pun jantungnya lemah dari pada jantungnya kuat tetapi kelihatan seperti anak lembu!"

Tentu saja ucapan ini terdengar bocengli (tanpa aturan) karena sebagian orang tentu lebih senang disebut berjantung harimau dari pada berjantung lembu. Tetapi Kun Hong pernah menjadi murid Bu-ceng Tok-ong Si Raja Racun Tanpa Aturan, tentu saja ia lain dari pada orang lain.

"Ha-ha-ha, orang muda gemblung (idiot), mengapa kau bilang begitu? Apa sebabnya kau bilang lebih baik luarnya kelihatan gagah dari pada dalamnya yang gagah?”

"Karena yang berada di luar itu yang kelihatan, orangj tua. Tentu aku lebih suka kelihatan seperti anak harimau, gagah dan ganteng dari pada menjadi anak lembu. Sebaliknya soal jantung, siapa sih yang dapat mengetahui bagaimana isi perut orang?” Kun Hong tertawa-tawa dan Pak-thian Koai-jin yang terkenal sebagai seorang kakek nakal dan jenaka, juga ikut tertawa terbahak-bahak.

Akan tetapi See-thian Hoat-ong menjadi hilang kesabarannya. Berbeda dengan Pak-thian Koai-jin, jago tua dari barat ini dahulunya adalah seorang raja muda di Sin-kiang. seorang bangsawan dan ahli perang yang jujur dan tidak suka akan segala perkataan yang plintat-plintut. Melihat sikap Kun Hong yang dianggap sebagai mata-mata musuh itu begitu riang dan seperti orang main-main, dia segera membentak sambil mengancam dengan kepalan tangannya yang besar dan kuat.

"Jangan kurang ajar, hayo mengaku siapa kau dan mau apa berkeliaran sampai ke sini!”

Kun Hong masih bersikap tenang, dia memandang rendah kepada kakek itu, memandang rendah kepada semua orang yang berada di situ karena yakin akan kelihaian sendiri.

"Aku bernama Kam Kun Hong, datang ke sini karena ingin berkenalan dengan dua orang nona ini dan ingin jalan-jalan..."

Kata-katanya ini membikin marah semua orang, kecuali gadis langsing dan Wi Liong yang menjadi terkejut sekali.

"Kun Hong... aku telah bertemu dengan ayahmu...!” kata Wi Liong.

Untuk sedetik Kun Hong melempar pandang kepadanya, merasa kaget. Akan tetapi gadis tinggi langsing itu sudah menerjang maju dengan pedangnya sambil membentak.

"Jadi kau ini jahanam muda yang membuntungi kedua kaki Ciok Kim Li!”

Serangan pedang itu hebat sekali dan hanya kelihatan sinarnya menyambar ke dada Kun Hong. Akan tetapi dengan gerakan enak saja Kun Hong miringkan tubuh dan... di lain saat dua jari tangannya telah berhasil menjepit punggung pedang itu!

"Aku adalah sahabat baik Ciok Kim Li. kenapa kau marah-marah?" tanya Kun Hong tanpa melepaskan pedang yang dijepitnya dengan jari tangan.

"Susiok, dia adalah kawan Tok-sim Sian-li," kata gadis itu yang menjadi penasaran karena tak mampu mencabut kembali pedangnya, juga ia amat terkejut karena tidak menyangka bahwa pemuda itu demikian lihainya.

Siapakah gadis ini? Ia bukan orang sembarangan karena ia adalah Kwa Siok Lan, puteri tunggal dari Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek. Dia inilah tunangan dari Thio Wi Liong yang sekarang berada di situ tanpa mengetahui bahwa dia berhadapan dengan calon isterinya yang belum pernah dijumpainya itu. Juga ia mana bisa menyangka bahwa hatinya tergila-gila kepada gadis yang sesungguhnya tunangannya sendiri?

Di bagian depan sudah diceritakan tentang pertemuan antara Kun Hong dengan Kwa Cun Ek pada saat Kwa Cun Ek menolong Kim Li dari tangan Tok-sim Sian-li. Itulah sebabnya mengapa Siok Lan kaget mendengar nama Kam Kun Hong yang selalu disebut-sebut oleh Kim Li setelah tadi ia juga terkejut sekali mendengar nama Thio Wi Liong, tunangannya!

Sungguh ia tak pernah menyangka sama sekali bahwa di Kelenteng Siauw-lim itu, ia akan berjumpa dengan dua pemuda yang selama ini hanya didengar namanya saja dan begitu bertemu dia menjadi tertegun juga girang. Ternyata tunangannya adalah seorang pemuda yang tampan sekali dan bukti bahwa pemuda itu bisa memasuki kelenteng menandakan bahwa dia memiliki kepandaian yang tidak mengecewakan!

Dan sekarang ia berhadapan dengan Kam Kun Hong, pemuda yang sudah membuat Kim Li tergila-gila, yang selalu dipuji-puji oleh gadis buntung itu. Ternyata pemuda ini memiliki kepandaian yang luar biasa sekali.

Sekali lagi Siok Lan mengerahkan tenaga membetot pedangnya, namun kali ini Kun Hong sengaja melepas dengan tiba-tiba sehingga Siok Lan terhuyung ke belakang. Akan tetapi tiba-tiba gadis ini telah berdiri tegak kembali dan merasa ada tenaga aneh yang menahan punggungnya, menjaganya dari jatuh terjengkang. Tanpa terasa dia menoleh, akan tetapi tak ada siapa-siapa di belakangnya, yang ada hanya Wi Liong yang berdiri di sudut, agak jauh.

Sementara itu, ketika See-thian Hoat-ong melihat murid keponakannya dipermainkan dan mendengar bahwa pemuda itu adalah kawan Tok-sim Sian-li, dia segera mencabut golok besarnya dan menerjang sambil membentak keras.

"Mata-mata anjing Mongol. kau datang mengantarkan nyawa!"

Melihat datangnya golok besar demikian cepat dan kuat. merupakan bahaya maut yang mengerikan dan mengancam lehernya, Kun Hong lantas berseru, "Ayaaa...! Galak amat!' Dia mengerti akan kelihaian lawan ini, maka cepat-cepat dia mengelak sambil melompat ke kanan.

"Jangan memamerkan kepandaianmu di sini!" terdengar bentakan dan sebuah mangkok retak menyambar hendak menelangkup kepala Kun Hong.

Gerakan ini mendatangkan angin keras dan kembali Kun Hong kaget bukan main. Tidak disangkanya bila dua orang kakek itu demikian lihainya. Ia pikir tidak enak kalau melayani mereka ini di sarang lawan. Biar pun dia tidak takut meghadapi mereka, akan tetapi kalau dia mengalami keroyokan di tempat musuh, benar-benar merupakan bahaya besar.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar