Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 45

Bagaimana Beng Kun Cinjin tahu-tahu dapat bersekutu dengan Thai Khek Sian, pentolan golongan Mokauw itu? Meski pun Kong Bu sudah menceritakannya dengan singkat, akan tetapi hal ini perlu dijelaskan lagi.

Beng Kun Cinjin yang melarikan diri karena takut akan pembalasan anaknya sendiri, pada mulanya bersembunyi di tempat Thai It Cinjin yang merupakan pamannya. Tetapi setelah dia gagal membunuh Kun Hong yang malah dibela oleh dua orang Liok bersaudara yang menjadi murid Thai It Cinjin, ia merasa tidak aman di tempat itu. Maka pergilah ia ke Pek-go-to dan menyerahkan diri kepada Thai Khek Sian serta mohon perlindungan.

Tentu saja Thai Khek Sian senang sekali mendapat kaki tangan baru yang cukup tangguh seperti Beng Kun Cinjin, terlebih lagi mengingat bahwa orang ini adalah putera Gan Yan Ki yang terhitung masih saudara seperguruan sendiri. Dengan menyerahnya Beng Kun Cinjin Gan Tui kepadanya, berarti bahwa permusuhan turun temurun di antara tiga orang kakek sakti Wuyi-san, yang seorang sudah dia menangkan. Dengan Beng Kun Cinjin kiranya dia akan dapat menang menghadapi Thian Te Cu kelak.

Thai Khek Sian malah menurunkan pelajaran ilmu silat kepada Beng Kun Cinjin sesudah dia mendengar obrolan Beng Kun Cinjin bahwa murid tokoh itu, Kun Hong, sekarang telah menyeleweng dan malah mendekati musuh-musuh Mokauw, dan bahwa Kun Hong adalah puteranya sendiri yang hendak membunuhnya. Dalam diri Beng Kun Cinjin yang pandai mengumpak dan menjilat, Thai Khek Sian mendapatkan seorang murid yang betul-betul cocok sekali.

Beng Kun Cinjin pernah menjadi pembantu Raja Mongol. maka sekarang dia membisikkan siasat kepada Thai Khek Sian supaya mengadakan undangan kepada para tokoh besar di dunia kang-ouw, untuk menentukan siapa di antara para tokoh yang paling jago, sekalian merayakan ulang tahun ke delapan puluh dari Thai Khek Sian.

"Sebelumnya kita melakukan persiapan, memberi-tahu Kaisar Mongol supaya menyergap mereka. Dengan demikian sekali tepuk kita mendapatkan dua lalat. Pertama, membasmi golongan-golongan berbahaya yang memusuhi kita, kedua, Kaisar Mongol akan berterima kasih sekali kepada kita," kata Beng Kun Cinjin menutup siasatnya.

Thai Khek Sian menjadi girang sekali. Semakin jahat rencana orang, semakin kagumlah dia, karena di dalam benak orang ini tidak ada istilah jahat, yang ada hanyalah pintar atau bodoh, menang atau kalah. Demi kemenangan dia akan menempuh setiap cara, betapa pun kejinya, betapa pun jahat dan curangnya.

Selain menyebar undangan untuk menghadiri pesta ulang tahun ke delapan puluh di Pek-go-to, juga Beng Kun Cinjin menyatakan bahwa Thai It Cinjin yang menjadi pamannya, kakak ipar dari Gan Yan Ki, selalu mengagulkan kepandaian.

"Dia perlu diundang," kata Beng Kun Cinjin, “dan dia mempunyai dua orang murid yang cantik-cantik. Sayang kalau dua orang gadis itu berada di sana, karena sebenarnya lebih patut berada di Pek-go-to menjadi murid Sian-su."

Dengan mudah saja gosokan-gosokan ini termakan oleh Thai Khek Sian. Maka bersama Beng Kun Cinjin dia lalu mendatangi Thai It Cinjin di Kim-le-san, untuk memberi undangan sekalian ‘minta’ dua orang murid itu, Hui Nio dan Hui Sian, agar menjadi muridnya!

Thai It Cinjin tidak berani apa-apa, akan tetapi Kong Bu yang melihat kekasihnya hendak dibawa lantas menyerang, akibatnya dia sendiri yang dua kali kena dipukul oleh Thai Khek Sian hingga terluka.

Hui Nio dan Hui Sian sedih dan gelisah bukan main ketika mereka dibawa dengan paksa oleh manusia iblis Thai Khiek Sian ke Pulau Pek-go-to.

"Heh-heh-heh. kalian akan hidup senang di pulauku, dan kalian baru mengenal ilmu silat tinggi kalau sudah menjadi muridku," kata kakek mengerikan itu kepada mereka.

Baiknya Thai Khek Sian sudah terlampau tua untuk memperlihatkan sikap kurang ajar dan tidak mengganggu mereka. Memang kakek ini wataknya luar biasa sekali. Sejak ia masih muda sekali pun, biar ia amat jahat, keji dan tidak ada kekejaman yang tak dilakukannya, namun ia tidak sudi menguasai wanita dengan kekerasan.

Wanita harus tunduk padanya, malah sebagian besar memperebutkan kasih sayangnya! Memang aneh, akan tetapi kakek sakti ini mempunyai kesaktian yang dapat menarik hati wanita. Hebatnya, biar pun di pulaunya banyak terdapat wanita-wanita muda yang cantik, yang menjadi selir dan juga muridnya, akan tetapi ia tidak peduli apakah mereka itu setia kepadanya atau tidak.

Malah sudah beberapa tahun ini, mungkin berhubung dengan usianya yang sudah hampir delapan puluh, dia tidak begitu mempedulikan mereka lagi dan sudah merasa ‘ayem’ bila melihat selir-selirnya itu berada di sekelilingnya, berpakaian rapi, tersenyum-senyum dan menggembirakan hatinya dengan kemudaan mereka, dengan kegembiraan mereka serta semangat mereka belajar ilmu silat.

Thai Khek Sian menculik Hui Nio dan Hui Sian sama sekali bukan karena ia kegilaan dua orang gadis ini. Di pulaunya terdapat banyak wanita muda yang jauh lebih cantik dari pada mereka enci adik ini. Ia menculiknya hanya untuk memperlihatkan kepada murid barunya, Beng Kun Cinjin. akan kekuasaan dan kepandaiannya, bahwa dia berani menculik murid Thai It Cinjin. Terutama sekali untuk menghina Thai It Cinjin yang sikapnya sombong itu.

Maka, biar pun sedih dan gelisah, Hui Nio dan Hui Sian merasa lega juga ketika di Pulau Pek-go-to mereka berdua dilepas begitu saja di pulau itu. Bahkan pedang mereka tidak dirampas dan mereka boleh berbuat sesuka hati mereka. Makanan berikut pakaian sudah tersedia cukup, dan Thai Khek Sian tidak pernah mengganggu mereka karena kakek ini merasa yakin bahwa akhirnya dua orang gadis ini pun, seperti yang lain-lain. dengan suka rela akan tunduk kepadanya.

Dua orang enci adik itu merasa bingung, Biar pun mereka dibiarkan bebas di pulau yang sangat indah itu, akan tetapi apakah enaknya orang ditawan? Mereka sama sekali tidak berdaya.

Tidak ada perahu yang tidak terjaga kuat yang dapat mereka curi. Untuk pergi dari pulau itu menyeberang ke daratan adalah hal tidak mungkin. Memberontak? Juga percuma saja. Jangan kata sampai Thai Khek Sian atau Beng Kun Cinjin turun tangan, baru murid-murid Thai Khek Sian, wanita-wanita cantik yang berada di sana dan hidup seperti puteri-puteri kahyangan itu saja sudah merupakan lawan tangguh sekali.

Pernah mereka didatangi dua orang gadis yang amat cantik di antara banyak sekali gadis muda cantik-cantik itu. Pakaian mereka indah dan ketat, yang seorang berpakaian merah dan yang kedua berpakaian hijau. Harus diakui oleh enci adik ini bahwa dua orang wanita muda ini benar-benar cantik dan gagah, membuat mereka terheran-heran bagaimana dua orang wanita seperti ini bisa menjadi selir Thai Khek Sian. Si baju hijau berkata tersenyum manis,

"Kedua adik, bukankah kalian ini Liok Hui Nio dan Liok Hui Sian murid Thai It Cinjin yang berkenan dibawa ke sini oleh Sian-su? Ahh, kalian beruntung sekali kalau terpilih menjadi murid Sian-su. Hendaknya kalian baik-baik menjaga diri dan kalau kalian bisa mengambil hatinya menerima warisan ilmu, benar-benar kalian akan menjadi dua orang wanita yang perkasa..."

"Tutup mulut!" Hui Sian membentak marah. "Siapa sudi menjadi muridnya? Kami diculik dan dipaksa ke sini. Kalau tidak, apa kau sangka kami sudi menginjakkan kaki ke pulau kotor ini?"

"Aduh galaknya! Enci, buat apa kita bicara dengan dua serigala ini? Mari kita pergi saja," kata yang berbaju merah.

Namun yang berbaju hijau menggelengkan kepala sehingga anting-antingnya yang terbuat dari batu kemala indah itu bergoyang-goyang lucu sekali.

"Sudah jamak yang baru datang bersikap begini. Kelak juga akan berubah apa bila sudah bosan bersikap marah-marah. Dua adik Liok, ketahuilah, aku Cheng In dan ini adikku Ang Hwa. Kalau kalian perlu akan sesuatu, boleh cari kami dan kami akan senang sekali jika dapat menolong kalian."

Tiba-tiba Hui Nio memberi isyarat kepada adiknya, lalu keduanya mencabut pedang dan melompat ke dekat Cheng In dan Ang Hwa sambil menodongkan pedang masing-masing.

"Kalian mau tolong? Baik, hayo lekas antar kami ke tempat perahu agar kami dapat lolos dari tempat ini. Kalau kalian membantah, pedang ini akan menembus dada kalian!" kata Hui Nio perlahan. Ia melihat kesempatan baik sekali. Agaknya Cheng In dan Ang Hwa ini merupakan orang-orang penting pula di situ, maka siapa tahu mereka ini dapat menolong di bawah ancaman pedang.

Tetapi Cheng In dan Ang Hwa tiba-tiba tertawa cekikikan sambil menutupi mulut masing-masing.

"Kenapa tertawa?" Hui Nio membentak gemas.

"Kalian ini lucu, lucu sekali!" Cheng In berkata lalu tertawa lagi dengan adiknya, Ang Hwa.

"Apanya yang lucu? Apakah ujung pedang ini nampak lucu?" Hui Sian membentak sambil menodongkan ujung pedangnya ke arah leher Ang Hwa.

"Apakah kalian hendak memamerkan sedikit permainan pedang? Baiklah, mari kita main-main sebentar," kata Ang Hwa.

Dengan gerakan bagaikan kilat cepatnya dia dan Cheng In sudah melompat ke belakang. Gerakan ini demikian gesitnya, sama sekali berlawanan dengan gerak-gerik mereka yang lemah lembut tadi, kemudian di lain saat mereka telah memegang sebatang pedang yang berkilauan tajamnya.

"Mau main-main dengan pedang? Boleh, majulah!" kata Cheng In, senyumnya manis tapi mengejek.

Hui Nio dan Hui Sian sudah kepalang untuk mundur, mereka lalu maju menerjang dengan pedang mereka. Cheng In dan Ang Hwa menangkis, dan dua pasang enci adik ini segera bertempur seru.

Akan tetapi ternyata bahwa tingkat dua orang murid dan kekasih Thai Khek Sian itu masih jauh lebih unggul. Sebentar saja gulungan sinar pedang mereka sudah mengurung rapat dan membuat murid-murid Thai It Cinjin kewalahan, terdesak mundur akan tetapi tak ada jalan untuk keluar dari kurungan sinar pedang lawan. Beberapa jurus kemudian terdengar suara nyaring, tahu-tahu pedang di tangan Cheng In dan Ang Hwa telah berhasil membuat pedang lawan terpental dan menancap di atas tanah.

Hui Nio dan Hui Sian berdiri pucat. Akan tetapi Cheng In dan Ang Hwa tidak menyerang lagi, malah menyimpan pedang masing-masing lantas sambil tertawa-tawa meninggalkan enci adik itu yang menjadi malu sekali. Hui Sian segera menjatuhkan diri menangis di atas rumput. Hui Nio menghampiri adiknya dan menghibur.

"Mereka terlampau kuat, kita tidak bisa keluar dari pulau ini dengan jalan kekerasan. Kita harus bersabar sambil menunggu kesempatan dan mencari akal," kata Hui Nio menghibur adiknya.

Dua orang gadis ini tidak tahu bahwa pada saat itu tampak seorang pemuda menghampiri mereka dari balik batu gunung-gunungan. Mereka baru kaget ketika pemuda itu menyapa, "Apakah ji-wi (kalian) ini ji-wi Liok-siocia dari Kim-le-san?"

Hui Nio dan adiknya menengok, dan mereka melihat seorang pemuda berpakaian seperti orang kota atau golongan terpelajar, sikapnya lemah lembut dan wajahnya tampan sekali. Mereka tidak mengenalnya dan mengira bahwa orang ini tentu anggota penghuni pulau ini atau kaki tangan Thai Khek Sian.

"Betul," jawab Hui Nio ketus, "apakah kau ini begundalnya Thai Khek Sian dan mau apa dekat-dekat di sini? Pergilah!"

Pemuda itu tersenyum kemudian mengangkat tangan menjura. "Ji-wi siocia jangan salah sangka. Aku datang atas suruhan Kong Bu ciangkun untuk menolongmu."

Hui Nio sudah kelihatan girang sekali, akan tetapi Hui Sian membentak. "Bohong! Siapa percaya obrolanmu? Apa kau bisa terbang ke pulau ini?"

"Aku tidak bisa terbang," kata pemuda itu yang bukan lain Wi Liong adanya, "akan tetapi dengan bantuan perahu kecil aku bisa menyeberang ke sini kemudian memasuki pulau ini tanpa ketahuan. Nona Liok, ada hal penting yang ingin kutanyakan kepada kalian. Apakah Beng Kun Cinjin berada di pulau ini?" Wi Liong mengajukan pertanyaan ini dengan sangat bernafsu hingga suaranya terdengar agak menggigil. Hal ini disalah-artikan oleh Hui Sian yang berkata ketus,

"Kalau terhadap Beng Kun Cinjin saja kau ketakutan setengah mati, bagaimana kau akan mampu menolong kami?"

"Hui Sian, jangan sembarangan bicara," Hui Nio menegur adiknya yang kewat (genit) itu, kemudian dia menghadapi Wi Liong. "Siapakah saudara dan untuk apa menanyakan Beng Kun Cinjin?”

Wi Liong menarik napas panjang. Dia mendongkol tidak dipercaya penuh oleh dua orang gadis ini. "Namaku Thio Wi Liong. Aku mendapat tugas untuk menolong kalian berdua, akan tetapi sebelum aku lakukan hal itu, lebih dulu aku hendak mencari dan membunuh Beng Kun Cinjin."

Mendengar ini, dua orang enci adik itu melongo. Alangkah mudahnya pemuda ini bicara. Tidak saja Beng Kun Cinjin sendiri merupakan seorang jago tua yang berilmu tinggi, juga di situ banyak orang pandai seperti Cheng In dan Ang Hwa tadi, belum lagi bicara tentang Thai Khek Sian. Kalau saja tidak ingat bahwa pemuda ini hendak menolong mereka, mau rasanya mereka mentertawakan dia, seperti tadi Cheng In dan Ang Hwa mentertawakan mereka.

"Tentu saja Beng Kun Cinjin berada di rumah besar sana bersama Thai Khek Sian," kata Hui Sian sambil menudingkan telunjuknya yang kecil ke arah timur, yaitu tepat di tengah-tengah pulau itu di mana terdapat perumahan Thai Khek Sian dan murid-murid atau selir-selirnya.

Dengan menyebut nama Thai Khek Sian, gadis ini hendak membikin kaget Wi Liong agar jangan demikian besar omongannya. Akan tetapi siapa sangka, pemuda itu dengan mata bersinar-sinar girang mendengar Beng Kun Cinjin benar-benar berada di situ, cepat-cepat berkelebat pergi sambil berkata,

"Kalau begitu aku akan mencarinya lebih dulu!"

Sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari pandang mata dua orang gadis itu, membuat Hui Nio dan Hui Sian melongo terheran-heran dan kagum. Timbul harapan dalam hati mereka melihat kelihaian pemuda itu, maka cepat mereka memungut pedang masing-masing dan berlari mengejar, dengan tujuan ingin membantu pemuda yang hendak menolong mereka dan membunuh Beng Kun Cinjin itu.

Dua orang gadis ini memang orang-orang berjiwa gagah dan sangat tabah. Mereka tidak merasa gentar meski pun maklum akan menghadapi orang-orang sakti…..

********************

Dengan gerakan cepat sekali Wi Liong berlari menuju bangunan rumah-rumah di tengah pulau yang indah itu. Beberapa orang wanita muda cantik jelita yang duduk dalam taman bunga kaget melihat ia berlari-lari dan para wanita itu lalu membicarakan pemuda tampan yang lewat itu dengan penuh gairah.

Semenjak Kun Hong pergi meninggalkan pulau ini, mereka amat kesunyian dan sekarang begitu melihat Wi Liong, tentu saja mereka menjadi gembira. Serentak mereka berdiri dan dengan gerakan ringan mereka mengejar, menyangka bahwa pemuda itu adalah tamu dari Sian-su.

Wi Liong sama sekali tidak mempedulikan para wanita yang pakaiannya indah-indah dan orangnya muda-muda dan cantik-cantik itu. Dia terus berlari maju penuh nafsu, dan tidak lama kemudian dia tiba di dalam sebuah taman penuh batu-batu besar berbentuk gunung-gunungan yang membuat tempat itu kelihatan indah sekali.

Tempat ini letaknya tak jauh dari perumahan yang tembok-temboknya telah kelihatan dari situ dan tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki tinggi besar berkepala gundul di atas sebuah batu, duduk bersila sambil minum arak dari guci, kelihatan senang puas sambil menikmati pemandangan yang memang indah, bunga-bunga dan gadis-gadis cantik bermain-main di antara bunga yang bertebaran di seluruh pulau itu!

Wi Liong pernah melihat Thai Khek Sian maka dia tahu bahwa kakek ini bukan Thai Khek Sian. Biar pun dia belum pernah bertemu dengan Beng Kun Cinjin, namun melihat bentuk tubuh yang kekar dengan kulit kehitaman, kepala gundul serta tasbeh panjang tergantung pada leher hwesio itu, hatinya berdebar. Dia sudah mendengar dari pamannya bagaimana macamnya musuh besar itu.

"Apakah kau yang bernama Beng Kun Cinjin?" tanyanya singkat, sementara tangannya yang memegang suling terasa gemetar saking tegangnya perasaannya.

Beng Kun Cinjin yang baru merasa aman setelah berada di Pek-go-to dekat dengan Thai Khek Sian, ketika itu sedang duduk melamun penuh kesenangan. Ia sudah tidak suka lagi mendekati gadis-gadis itu, akan tetapi melihat mereka bermain di dalam taman sungguh merupakan pemandangan yang menyedapkan hati dan pikiran. Di tempat ini dia merasa aman betul, maka dia kembali pada kebiasaan lama ketika masih berada di istana kaisar, yaitu minum arak wangi sepuasnya! Siapa yang dia takuti di tempat Thai Khek Sian? Kun Hong boleh datang, dia tidak takut!

Maka dia pun terkejut mendengar suara orang menyebut namanya. Ketika dia menengok ogah-ogahan sambil menenggak arak, hampir saja dia lepaskan gucinya karena mengira pemuda itu adalah Kun Hong.

Memang Wi Liong sebaya dengan Kun Hong, dan keduanya memang orang-orang muda yang tampan sekali. Akan tetapi dia segera melihat bahwa pemuda ini bukan Kun Hong, maka dia memandang rendah lalu balas bertanya.

"Orang muda, kau siapa dan bagaimana bisa mengenal nama pinceng?"

"Beng Kun Cinjin, kalau begitu kau bersiaplah untuk mampus di tanganku!" Wi Liong maju selangkah, suling di tangannya tergetar.

Beng Kun Cinjin menunda minumnya, matanya memandang terbelalak kepada pemuda tampan itu, terheran-heran. "Ehh. ehh, orang muda apakah kau sudah gila? Ataukah kau kemasukan roh dari malaikat pencabut nyawa? Siapakah kau yang tiada hujan tiada angin hendak membunuhku?" Dia masih tidak mempedulikan pemuda ini, memandang rendah dan sekali lagi menenggak arak dari guci itu.

"Mau tahu siapa aku? Baiklah supaya kau jangan mampus penasaran. Bukalah telingamu baik-baik, jahanam keparat. Masih ingatkah kau kepada Thio Houw dan Kwee Goat?"

Beng Kun Cinjin terkejut dan cepat menurunkan guci arak dari mulutnya.

"Dia... mereka... itu murid-muridku. Kau siapakah?"

"Thio Houw adalah ayahku dan Kwee Goat ibuku. Namaku Thio Wi Liong. Nah, Beng Kun Cinjin, tentu kau tahu mengapa anak dari orang-orang yang kau bunuh sekarang datang hendak menuntut balas. Bersiaplah!"

Pucat wajah Beng Kun Cinjin mendengar ini, bukan pucat karena takut melihat pemuda ini, melainkan karena kaget diingatkan akan perbuatannya dahulu yang benar-benar amat ia sesalkan itu. Apa lagi sekarang ketika ia memandang penuh perhatian, pada wajah Wi Liong terbayang wajah Kwee Goat, murid perempuan yang dulu amat ia sayang sebagai puteri sendiri. Biar pun ia kaget sekali, namun ia masih memandang rendah dan tidak mau kalah gertak.

"Ahh, jadi kau anak dua orang muridku yang durhaka itu? Wi Liong, kau masih muda dan melihat wajahmu yang amat mirip wajah ibumu, baik kuampunkan kekurang-ajaranmu ini. Pergilah saja dan ketahuilah bahwa orang tuamu mati karena kesalahan mereka sendiri, karena kedurhakaan mereka terhadap guru."

"Bangsat gundul keparat! Selain membunuh ayah bundaku, kau secara keji membutakan mata paman Kwee Sun Tek. Sesudah melakukan kekejian-kekejian itu, apakah sekarang masih berani menyangkal? Rasakanlah pembalasanku!"

Cepat Wi Liong menerjang maju, akan tetapi sambil menggereng marah Beng Kun Cinjin menubruk dari atas dan memukul kepala Wi Liong dengan guci araknya. Wi Liong cepat menangkis dengan sulingnya.

"Prakkk...!"

Guci arak itu pecah berkeping-keping dan isinya menyiram muka Beng Kun Cinjin hingga membuat dia gelagapan. Baiknya dia cepat menggulingkan diri ke belakang dengan amat cepat, kalau tidak tentu kepalanya yang gundul itu berkenalan dengan suling di tangan Wi Liong.

"Hebat...!" Beberapa suara halus mengeluarkan suara pujian. Itulah suara Cheng In, Ang Hwa, dan perempuan-perempuan lain yang tertarik dan sudah berada di situ.

Mereka hanya berdiri menonton karena Beng Kun Cinjin adalah murid baru yang selalu menyendiri, sedangkan pemuda itu tidak seorang pun kenal. Akan tetapi para murid Thai Khek Sian yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, melihat segebrakan saja sudah kagum karena mereka sudah tahu akan kelihaian Beng Kun Cinjin dan kini. sekali tangkis dengan suling saja Beng Kun Cinjin menjadi sibuk. Ini saja sudah cukup membuktikan kehebatan pemuda itu maka mereka pada mengeluarkan suara pujian.

Sementara itu Beng Kun Cinjin yang tadinya kaget setengah mati kini menjadi marah dan penasaran. Dia sudah mengambil tasbeh dari lehernya dan dengan suara laksana seekor harimau mengamuk, dia pun menerjang maju menyerang pemuda yang hanya bersenjata sebatang suling itu.

"Cici Cheng In. benar dia itu... benar orang she Thio itu...!" tiba-tiba Ang Hwa berkata.

Memang dulu pernah Cheng In dan Ang Hwa bertempur melawan Wi Liong ketika mereka berdua menjadi utusan Thai Khek Sian mengadakan pertemuan dengan ketua-ketua Hai-liong-pang dan mereka telah dikalahkan oleh pemuda tampan itu.

Ada pun Wi Liong yang mengelak dari serangan tasbeh. mendengar suara ini serasa dia kenal. Ketika dia melirik, dia melihat Cheng In dan Ang Hwa. Tahulah dia bahwa dia telah terkepung oleh murid-murid Thai Khek Sian yang lihai. Akan tetapi dia tidak takut dan kini mencurahkan perhatiannya untuk melayani Beng Kun Cinjin.

Melihat hebatnya gerakan tasbeh lawan, ia cepat memutar sulingnya dan dalam beberapa gebrakan saja ia sudah mendesak hebat dan membuat Beng Kun Cinjin mandi keringat!

"Adik Ang Hwa, orang she Thio ini benar-benar mengagumkan sekali. Kini kepandaiannya sudah semakin lihai saja...!" terdengar Cheng In memuji.

"Hwesio itu mana bisa menang!" kata Ang Hwa.

Memang Beng Kun Cinjin telah terdesak hebat sekali oleh suling di tangan Wi Liong yang mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk membunuh musuh besarnya ini. Akan tetapi Beng Kun Cinjin bukannya lawan sembarangan. Ilmu silatnya tinggi dan tenaganya besar, baik tenaga lweekang terlebih lagi tenaga gwakang-nya. Dia adalah seorang ahli gwakang yang sudah dapat menguasai lweekang tinggi, dan senjatanya yang berupa tasbeh itu pun merupakan senjata yang amat ampuh dan sukar dilawan. Jika saja bukan Wi Liong murid terkasih Thian Te Cu yang menghadapinya, sukarlah memenangkan hwesio yang banyak pengalamannya ini.

Yang bingung dan cemas adalah Beng Kun Cinjin sendiri. Sungguh di luar sangkaannya sama sekali bahwa di samping Kun Hong yang ditakuti kini muncul pula seorang pemuda lain yang menjadi musuh besarnya, putera dari Thio Houw dan Kwee Goat, pemuda yang kepandaiannya malah tidak kalah oleh Kun Hong.

Boleh jadi Beng Kun Cinjin gagah perkasa dan sakti, akan tetapi dalam satu hal dia amat lemah, yaitu dia takut mati. Ngeri dia menghadapi kematian, maka dia selalu ketakutan terhadap Kun Hong, dan sekarang dia makin takut lagi dengan munculnya Wi Liong.

Ia masih mencoba untuk mengerahkan tenaga dan balas menyerang dengan tasbehnya. Kalau perlu dia hendak mengadu nyawa, pikirnya nekat karena suling pemuda itu seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh batang dan mengurungnya dari semua jurusan. Dia yang tadinya hanya mampu menangkis saja, sekarang tidak mempedulikan suling lawan dan membarengi dengan hantaman tasbeh ke arah kepala pemuda itu. Serangan yang nekat sekali!

Mana Wi Liong sudi mati bersama musuh besarnya? Ia menarik sulingnya dan menangkis hantaman itu. Hebatnya, begitu tasbeh tertangkis, senjata aneh ini segera melibat suling dengan kuatnya, tidak dapat terlepas lagi!

Beng Kun Cinjin merasa diri cerdik, dengan girang dia membetot untuk merampas suling. Kepandaiannya ‘melibat dan merampas’ ini dahulu selalu menjadi modalnya dalam setiap pertempuran menghadapi lawan berat dan jarang sekali gagal. Dengan modal gerakan ini dia selalu dapat merampas senjata lawan dan mencapai kemenangan.

Akan tetapi kali ini ia tidak mampu merampas suling yang ringan itu! Malah-malah ketika ia hendak menarik kembali tasbehnya dan melepaskan libatan, ia tidak sanggup, seakan-akan suling itu telah berakar dan menjadi satu dengan tasbeh. Sekarang ia tidak tahu lagi apakah tasbehnya yang melibat ataukah suling lawan yang menahan!

Beng Kun Cinjin menggunakan tangan kanan untuk memukul ke depan sambil melangkah maju. Angin menyambar dahsyat karena inilah pukulan Pat-in-ciang (Pukulan Mendorong Awan) yang lihainya bukan kepalang dan dahulu telah merobohkan entah berapa banyak lawan. Tetapi sekali ini ia sedang menghadapi Wi Liong. Dengan tenang pemuda itu juga menggerakkan tangan kirinya dan dengan telapak tangan dibuka ia menerima pukulan itu.

"Plakk...!"

Beng Kun Cinjin mengeluh dan mencelat ke belakang, untaian tasbehnya putus sehingga berjatuhan di atas tanah, menggelinding ke sana ke mari. Hwesio itu sendiri setelah dapat menguasai keseimbangan badan dan tidak terhuyung lagi, berdiri dengan muka pucat. Ia sudah mendapat luka di dalam dada karena pukulannya sendiri membalik ketika bertemu dengan tangan Wi Liong.

"Bagus sekali...!" terdengar Cheng In memuji.

"Pemuda hebat...!" Ang Hwa juga memuji dengan muka merah dan mata bersinar-sinar.

Wi Liong tidak mempedulikan semua itu. Ia melangkah maju perlahan untuk menghampiri musuh besarnya dan melanjutkan pertempuran. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencela,

"Biar tampan dan lihai, musuh tetap saja musuh, tidak boleh dipuji. Hayo kalian pergi!"

Para wanita muda itu tak ada yang berani membantah, cepat mereka pergi berlari-lari dari tempat situ.

Wi Liong menengok dan kagetlah dia melihat Thai Khek Sian muncul dengan tiba-tiba. Ia kaget karena melihat kakek ini sekarang lebih mengerikan lagi dari pada dahulu ketika dia bertemu untuk pertama kalinya.

Kakek ini masih tetap berkulit hitam, bertelanjang dada hanya mengenakan celana hitam panjang, kepalanya gundul, kuku jari-jari tangannya panjang-panjang seperti cakar setan. Yang lebih mengerikan lagi, kini kakek ini memakai sebuah kalung yang mengikat sebuah tengkorak manusia. Tengkorak itu bergerak-gerak tergantung di depan dadanya, sungguh mengerikan sekali. Wi Liong tidak tahu bahwa inilah ‘pakaian’ Thai Khek Sian pada waktu dia sedang bersemedhi atau melatih ilmunya.

Tadi Thai Khek Sian sedang bersemedhi maka dia ‘berpakaian’ seperti ini, dan dia keluar karena terganggu oleh suara-suara itu, terutama sekali karena pendengarannya yang luar biasa itu sudah dapat menangkap angin-angin pukulan dua orang yang sedang bertempur di taman.

"Gan Tui, kau mundurlah!"

Tentu saja Beng Kun Cinjin menjadi girang sekali dan dia pun cepat pergi dari situ untuk mengobati luka di dalam dadanya.

"Bocah kurang ajar, siapa kau? Betapa beraninya kau memasuki pulauku dan membuat kacau di sini!" Thai Khek Sian menegur.

Wi Liong berlaku waspada dan bersikap tenang. "Aku bernama Thio Wi Liong. Aku bukan pengacau, hanya hendak membunuh Beng Kun Cinjin untuk membalaskan sakit hati ayah bundaku. Thai Khek Sian-su, harap kau cepat minggir dan jangan mencampuri urusanku dengan..."

Mendadak Thai Khek Sian menubruk maju dan menyerang dengan kuku-kuku jari tangan kirinya, mencengkeram ke arah leher Wi Liong sambil tertawa-tawa.

"Kau curang!" Wi Liong berseru marah sambil menangkis dengan sulingnya.

Pada waktu suling itu bertemu dengan kuku-kuku meruncing itu, terdengar suara nyaring seperti senjata-senjata tajam bertemu dan Wi Liong merasa telapak tangannya tergetar. Ia maklum akan kelihaian lawan, maka ia berlaku hati-hati sekali. Tadi pun kalau ia tidak hati-hati, ia sudah kena dibokong dengan serangan tiba-tiba selagi ia bicara. Selain lihai, juga Thai Khek Sian sangat curang, licin, penuh tipu muslihat, pendeknya segala macam kejahatan dan kecurangan memenuhi kepala yang gundul plontos itu.

Thai Khek Sian penasaran bukan main. Sebagai seorang tokoh besar, seorang pentolan Mokauw nomor wahid, masa dia tidak dapat merobohkan seorang pemuda dengan sekali serang? Benar-benar memalukan, pikirnya. Baiknya selir-selirnya sudah pada pergi dari situ, kalau tidak dia dapat kehilangan muka karena serangannya tadi gagal.

Dengan kemarahan meluap-luap ia menyerang lagi. Wi Liong menangkis dan di lain detik terjadilah serang-menyerang yang hebatnya bukan main.

Wi Long memusatkan segenap perhatian, tenaga, serta kepandaiannya ke dalam semua gerakannya. Selama hidupnya baru kali ini ia menghadapi lawan setangguh ini dan setiap gerakan harus diperhitungkan benar-benar. Dia cukup maklum bahwa sekali saja meleset dan terkena pukulan kakek ini berarti maut baginya.

Thai Khek Sian semakin penasaran. Ternyata bocah ini dapat melayaninya dengan baik! Setiap serangan darinya selalu dapat dielakkan atau ditangkis, malah dia bisa membalas dengan penyerangan kilat. Suling itu hebat sekali. Ia memperhatikan gerak tipu-gerak tipu pemuda itu dan tiba-tiba ia berteriak,

"Kau murid Thian Te Cu...!" Sambil berteriak begini ia melompat mundur.

Wi Liong menyilangkan suling di depan dadanya, sikapnya tetap amat tenang dan kereng. "Benar, dan aku musuh besar Beng Kun Cinjin. Dia pembunuh ayah bundaku. Harap kau orang tua jangan mencampuri urusanku."

Thai Khek Sian tertawa bergelak. Tengkorak yang ada di depan dadanya bergerak-gerak seolah mengangguk-angguk.

"Bocah kurang ajar, kau sedang berhadapan dengan susiok-mu (paman gurumu) sendiri, berani kau bersikap begini tak tahu adat?"

Wi Liong tersenyum sindir. "Kau tidak pernah mengakui suhu-ku sebagai suheng (kakak seperguruan), bagaimana aku bisa mengakui kau sebagai susiok?"

"Bocah sombong, kau perlu dihajar!"

Dengan gemas sekali Thai Khek Sian menerjang maju dengan sepuluh jarinya. Kukunya panjang-panjang dan setiap jari seolah merupakan semacam pisau berbisa yang sungguh menakutkan. Bukan hanya berbisa, bahkan mengandung kekuatan tak kalah oleh pedang sehingga setiap kali bertemu dengan suling Wi Liong, terdengar suara nyaring seperti baja bertemu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar