Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 34

Kun Hong sengaja meninggalkan kudanya kepada petani itu. Ia tidak mau memaksa kuda yang baik itu kehabisan tenaga mendaki bukit Dengan jalan kaki, menggunakan ginkang-nya dia akan dapat mencapai puncak dengan lebih cepat. Kuda itu merupakan binatang tunggangan yang amat baik, laginya ia merasa mempunyai kawan dalam perjalanan. Juga uang itu ia tinggalkan, karena untuk apa sih membekal uang mendaki puncak Wuyi-san? Paling-paling hanya akan menimbulkan kecurigaan kepada Kwee Sun Tek atau Wi Liong, terutama sekali Thian Te Cu.

Dengan ginkang-nya yang istimewa, cepat sekali Kun Hong sudah mendaki puncak Wuyi-san. Sambil berlari naik ia mengatur siasat. Saat ini tak perlu ia bersikap kasar dan tidak perlu menantang Wi Liong. Kedatangannya ini terutama sekali untuk mencari keterangan perihal Beng Kun Cinjin yang menurut keterangan ayah angkatnya pada saat kematiannya adalah ayahnya sendiri yang telah membunuh ibunya!

Dia menjadi bingung kalau memikirkan hal ini. Dia harus dapat membuka rahasia ini dan harus mengetahui lebih dulu sedalam-dalamnya sebelum dia mengambil tindakan atas diri Beng Kun Cinjin. Kalau memang betul Beng Kun Cinjin membunuh ibunya, maka dia akan mencari hwesio itu dan akan membunuhnya biar pun dia itu ayahnya sendiri, biar pun dia itu sudah mengobatinya!

Ketika dia tiba di puncak dan rumah tinggal Thian Te Cu sudah di depan mata, Kun Hong memperlambat larinya dan akhirnya dia memasuki halaman dengan amat hati-hati. Tiba-tiba dia berhenti dan memandang ke sebelah kiri bangunan batu kuno itu.

Di atas sebuah batu yang bentuknya bundar, duduk Kwee Sun Tek yang buta. Orang tua ini duduk tanpa bergerak seolah-olah dia sudah berubah menjadi patung, pada wajahnya terbayang kekesalan hati. Kerut-merut di pinggir matanya mendatangkan keharuan dalam hati Kun Hong, perasaan yang dahulu tidak pernah dialaminya.

Entah kenapa, melihat orang tua buta yang duduk seorang diri di tempat sunyi, kelihatan sangat sedih itu, menimbulkan rasa kasihan di dalam hatinya. Akan tetapi hanya sebentar saja karena pada dasarnya watak Kun Hong amat periang.

Kun Hong menghampiri orang tua itu, menjura di depannya dan berkata, "Kwee Sun Tek lo-enghiong, aku Kun Hong datang memberi hormat!"

Hanya kulit muka itu saja bergerak sedikit, tubuhnya tetap diam. Lalu terdengar Kwee Sun Tek menarik napas panjang.

"Murid Thai Khek Sian lihai, aku si buta takkan dapat melawanmu. Bocah kurang ajar, kau datang lagi apakah hendak menimbulkan keonaran lain?”

"Tidak, sekali saja sudah cukup. Aku sudah bertobat dan takkan mempermainkanmu lagi karena akibatnya cukup memusingkan aku sendiri. Kwee-lo enghiong, aku sengaja datang ini untuk minta pertolonganmu."

Kalau saja Kwee Sun Tek tidak buta, tentu ia akan membuka matanya lebar-lebar saking herannya. Pemuda murid Thai Khek Sian ini memang sangat aneh. Aneh, lihai dan jahat laksana iblis, seperti juga gurunya, Thai Khek Sian yang menjadi benggolan atau datuk kaum sesat.

"Bocah setan, kau berjanji tidak akan mempermainkan orang, akan tetapi kata-katamu ini bukankah sudah merupakan main-main? Jangan keterlaluan, pengakuanku bahwa aku tak akan menang melawanmu bukan berarti bahwa Kwee Sun Tek takut padamu!"

Kun Hong menghela napas. Sikap orang buta ini sungguh gagah, mengingatkan dia akan ayah angkatnya yang juga gagah perkasa.

"Tidak, Kwee-lo-enghiong. Sungguh mati aku tidak main-main dan aku datang betul-betul mengharapkan bantuanmu."

Suara pemuda ini terdengar bersungguh-sungguh sehingga membuat hati Kwee Sun Tek menjadi bimbang.

"Orang muda yang aneh, bantuan apa yang dapat diberikan seorang buta kepadamu?"

"Hanya sedikit keterangan tentang seorang bernama Beng Kun Cinjin..."

"Prakkk...!”

Kwee Sun Tek menghantamkan tangan kanan yang dimiringkan ke arah batu karang yang didudukinya hingga pinggir batu karang itu hancur! Orang tua buta ini tak dapat menahan kemarahannya ketika mendengar nama musuh besarnya yang amat dibencinya itu.

Kini giliran Kun Hong yang memandang penuh keheranan. Dia teringat akan pesan ayah angkatnya supaya bertanya kepada Kwee Sun Tek. Ternyata betul, tentu ada apa-apa di antara orang tua buta ini dengan Beng Kun Cinjin.

"Kwee-lo-enghiong. kenapa kau lantas menjadi marah-marah mendengar nama Beng Kun Cinjin?" tanyanya penuh ingin tahu.

"Orang muda, kau punya hubungan apa dengan Beng Kun Cinjin maka kau menanyakan dia?"

"Dia... dia itu... musuhku," jawab Kun Hong, tidak berani dia mengakui Beng Kun Cinjin sebagai ayahnya.

"Musuhmu...?" Sekali ini Kwee Sun Tek benar-benar kelihatan terkejut dan heran sekali. Memang jawaban ini sama sekali tidak pernah disangkanya.

"Dia... dia telah membunuh ayah..."

"Kam Ceng Swi dibunuhnya pula? Keparat jahanam! Orang muda, di mana kau melihat dia? Hayo katakan, di mana adanya jahanam Beng Kun Cinjin sekarang?"

Diberondong dengan pertanyaan-pertanyaan ini, Kun Hong hanya menjawab tenang, "Di Pegunungan Bayangkara, akan tetapi sekarang dia sudah melarikan diri, entah ke mana. Kwee-lo-enghiong, sebelum ayah meninggal, dia berpesan supaya aku datang kepadamu untuk bertanya tentang Beng Kun Cinjin. Ternyata kau pun agaknya sakit hati padanya."

"Sakit hati? Ah anak muda, dendamku bertumpuk-tumpuk dan aku tak mau mati sebelum melihat dia terbunuh!" Kwee Sun Tek nampak bernafsu sekali. Sesudah dapat meredakan pikirannya ia berkata lagi, "Ayahmu betul. Hanya aku yang dapat menceritakan kepadamu tentang iblis itu. Kau duduklah dan dengarkan ceritaku.”

Kun Hong mengambil tempat duduk di atas sebuah batu hitam di hadapan Kwee Sun Tek. mendengarkan dengan penuh perhatian dan dada berdebar. Dia tahu bahwa sekarang dia akan mendengar pembukaan rahasia tentang orang yang mengaku sebagai ayahnya itu, orang yang telah membunuh ibunya!

"Sebagai murid Thai Khek Sian, apakah kau tidak tahu bahwa dia itu terhitung saudara seperguruanmu sendiri karena dia adalah putera susiok-mu Gan Yan Ki?”

"Hal itu sudah pernah kudengar," Kun Hong mengaku lantas menutup mulut karena ingin mendengar kelanjutan cerita orang tua itu.

"Beng Kun Cinjin bernama Gan Tui, dahulunya seorang tokoh kang-ouw yang namanya besar dan dapat disebut seorang gagah perkasa. Akan tetapi, biar pun dia sudah menjadi hwesio, ternyata dia masih lemah menghadapi godaan wanita. Ketika pada suatu malam dia menyerbu istana Kaisar Mongol, dia terpikat oleh seorang selir kaisar bernama Kiu Hui Niang Puteri Harum dan rela menjadi anjing Kaisar Mongol karena dia diberi hadiah puteri itu! Batinnya menjadi rusak dan dia menjadi seorang hina karena pengaruh wanita rendah itu."

Kun Hong menggigit bibirnya, hatinya terasa sakit bukan main mendengar Kiu Hui Niang yang dinyatakan sebagai ibunya itu, kini dimaki-maki orang di depannya. Akan tetapi dia diam saja dan mendengarkan terus, siap untuk mendengar cerita yang sehebat-hebatnya dari mulut orang buta ini.

"Ia mempunyai tiga orang murid, Thio Houw dan isterinya, Kwee Goat, serta adik iparnya Kwee Sun Tek..."

Kun Hong menatap wajah onang buta itu dan hatinya lantas berdebar. Jadi Kwee Sun Tek ini dahulunya adalah murid Beng Kun Cinjin?

"Ketiga orang murid itu tidak rela melihat guru mereka menjadi anjing Kaisar Mongol, lalu menyerbu ke kota raja untuk memberi peringatan kepada guru mereka. Akan tetapi Beng Kun Cinjin Gan Tui yang sudah berubah menjadi anjing hina itu, tidak mau mendengarkan nasihat murid-muridnya, malah dengan keji menyuruh para pengawal mengeroyok hingga Thio Houw dan isterinya tewas di tangan para pengawal!"

"Keji benar!" Kun Hong berseru merah.

"Aku sempat melarikan diri, membawa anak enci-ku yang masih kecil dan pedang Cheng-hoa-kiam milik enci-ku pemberian guru kami. Tapi manusia iblis itu lalu mengejarku dan biar pun dia tidak membunuhku, tapi dia telah mengorek keluar kedua mataku, membikin aku buta..."

"Benar-benar keparat jahanam!" kembali Kun Hong memaki. "Kalau begitu, Thio Wi Liong keponakanmu itu... dia tentulah anak Thio Houw dan isterinya yang terbunuh oleh Beng Kun Cinjin."

"Betul begitu. Nah, itulah yang kuketahui tentang Beng Kun Cinjin..."

"Akan tetapi selanjutnya bagaimana, Kwee-lo-enghiong? Apa yang terjadi dengan Beng Kun Cinjin kemudian?"

Kwee Sun Tek menarik napas panjang. "Aku hanya mendengar kabar angin saja. Katanya dia sudah terkena bencana. Manusia jahat selalu dikutuk Thian. Aku mendengar isterinya, perempuan rendah Kiu Hui Niang itu, melahirkan seorang anak laki-laki. Akan tetapi Beng Kun Cinjin mendapatkan isterinya main gila dengan orang lain. Orang itu dibunuhnya, dan ia bersama anak isterinya lantas menghilang, tidak diketahui lagi bagaimana keadaannya dan sampai saat ini belum pernah aku berhasil mencari tempat sembunyinya."

Sekarang semua jelas bagi Kun Hong. Tak salah lagi. Tentu Beng Kun Cinjin yang marah itu telah membunuh isterinya di dalam hutan dan... dan dia ditolong oleh Kam Ceng Swi. diaku anak. Tentu jenazah ibunya ditemukan oleh Kam Ceng Swi dan gelang itu... gelang itu... tentu saja Beng Kun Cinjin mengenal gelang anaknya!

"Aku tidak tahu entah apa yang terjadi dengan isteri dan anaknya..."

"Isterinya telah dia bunuh dengan kejam di dalam sebuah hutan...!" kata Kun Hong di luar kesadarannya, suaranya keras menggigil.

"Dan anaknya...?" tanya Kwee Sun Tek.

"Anaknya...?" Kun Hong melompat dan lari pergi dari situ, turun gunung. Masih terdengar dia memekik, "Akan kubunuh dia! Kubunuh dia...!"

Kwee Sun Tek tersentak kaget dan berdiri dari batu itu.

"Kau... kau anaknya...!"

Teringat dia bahwa sepanjang pengetahuannya, Kam Ceng Swi tidak pernah punya isteri atau punya anak. Tentu Kam Ceng Swi yang menolong bocah itu lantas memeliharanya, mengakunya sebagai anak sendiri. Kemudian Kam Ceng Swi dibunuh pula oleh Beng Kun Cinjin. Dan sekarang Kun Hong, bocah itu hendak mencarinya untuk membalas dendam atas kematian ibunya, atas kematian ayah pungutnya!

Kwee Sun Tek tertawa bergelak sambil menengadah ke langit. "Ha-ha-ha, enci Goat dan cihu, kalian lihatlah. Bukankah Thian sudah menghukum manusia macam dia? Ha-ha-ha, tidak saja anak kalian yang mencari-carinya untuk membalas dendam, malah anaknya sendiri juga mencarinya untuk membunuhnya! Ha-ha-ha-ha, mendengar hal ini saja sudah terobati hatiku...!" Kwee Sun Tek tertawa-tawa, kemudian menjatuhkan diri duduk di atas batu lagi dan menjadi tenang…..

********************

Sambil berlari-lari menuruni Gunung Wuyi-san, Kun Hong berkali-kali mengeluarkan suara menyeramikan, "Akan kubunuh dia...! Akan kubunuh dia...!"

Di samping kemarahannya dan kebenciannya terhadap ayahnya sendiri, Beng Kun Cinjin Gan Tui yang telah membunuh ibunya, yang telah melakukan perbuatan terkutuk, dalam dada pemuda ini timbul pula semacam perasaan gundah dan nestapa. Ayahnya seorang yang berwatak rendah dan ibunya... ibunya sudah melakukan perbuatan serong, ibunya juga seorang wanita yang tidak tahu malu, seorang berbudi rendah.

Kenyataan-kenyataan pahit ini seperti membuka matanya untuk dihadapkan pada duri-duri tajam yang menusuk-nusuk hatinya. Dia adalah keturunan orang rendah budi, keturunan orang-orang jahat! Terbayang wajah Wi Liong, pemuda yang ternyata adalah keturunan orang-orang gagah, murid-murid yang berjiwa patriotik, yang terbunuh oleh gurunya yang sesat, terbunuh oleh... ayahnya!

Bermunculan wajah-wajah orang gagah yang selama ini memusuhinya, dan yang terakhir dan juga paling mengesankan adalah bayangan wajah... Eng Lan! Dia keturunan hina dan rendah ini, anak orang-orang jahat, mana boleh dibandingkan dengan Eng Lan, pendekar wanita yang hidup di lingkungan orang-orang gagah?

Kun Hong berlari terus ke bawah gunung, hatinya tidak karuan, wajahnya pucat. Teringat dia akan nasibnya yang buruk, teringat akan usianya yang tinggal setahun lebih atau dua tahun kurang lagi.

Dia telah menderita luka akibat pukulan Im-yang-lian-hoan dari Kun-lun-pai. Sungguh pun pengaruh beracun dari hawa Im-kang dan Thai-yang pada tubuhnya sudah disembuhkan oleh Liong Tosu dan oleh Beng Kun Cinjin, namun jantungnya sudah terluka dan ia hanya akan hidup dua tahun lagi kalau tidak mendapat obat dari Ban-mo-to.

Bagaimana kalau selama dua tahun aku tidak dapat mengejar Beng Kun Cinjin? Demikian pikir Kun Hong cemas. Lebih baik aku berobat dahulu, sesudah sehat betul baru mencari jahanam itu sampai dapat.

Sesudah mengambil keputusan ini, Kun Hong lalu menuju ke rumah petani yang dia titipi kudanya. Dia memberi banyak hadiah sehingga petani tua itu menjadi girang sekali, buru-buru mengeluarkan kuda yang selama pemuda itu pergi selalu dia rawat baik-baik dan beri makan sampai kenyang.

Kun Hong cemplak kudanya dan melarikan kudanya ke timur. Karena batinnya menderita sesudah mendengar penuturan Kwee Sun Tek tentang ayah bundanya, dia seperti orang linglung, lupa bahwa sudah hampir dua hari perutnya belum diisi dan ia sedang menderita lapar.

Kudanya yang telah beristirahat dan makan kenyang dapat lari cepat sekali. Melalui jalan yang sunyi itu pikiran Kun Hong makin melayang-layang sehingga ida tidak tahu bahwa di tempat yang sunyi itu, jauh di depan dekat gunung kecil batu karang, terdapat tiga orang yang berdiri menantikannya.

"Berhenti!"

Bentakan yang nyaring dan tiba-tiba ini menarik kembali Kun Hong dari dunia lamunannya dan barulah ia melihat bahwa ada orang-orang menghadangnya. Cepat ia menarik kendali kudanya dan berhenti di depan orang yang membentaknya tadi.

Orang itu adalah seorang pemuda yang luar biasa gagahnya, berpakaian sebagai seorang panglima perang, bentuk tubuhnya tegap, mukanya tampan dan sikapnya sangat gagah. Begitu melihatnya, timbul rasa suka di hati Kun Hong. Seorang pemuda seperti itu sudah tentu memiliki kegagahan yang mengagumkan.

Akan tetapi tidak demikian dengan pemuda gagah itu. Dia berdiri dengan kaki dipentang dan sikapnya membayangkan kemarahan. Ketika Kun Hong melirik ke belakang pemuda gagah itu, dia terkejut karena mengenal dua orang gadis manis yang pernah dia jumpai, yaitu dua orang gadis yang sudah membunuh perampok tunggal Thiat-thouw-sai Tan Kak dan merampas uang yang kemudian ia rampas kembali dan ia kalahkan. Hatinya menjadi tidak enak karena tentu dua orang gadis itu hendak membalas kekalahan mereka.

"Saudara ini siapakah dan ada keperluan apa menyuruh aku berhenti?" tanyanya dengan ramah sambil turun dari kudanya.

Menghadapi seorang dengan sikap demikian angker dan gagah seperti pemuda itu betul-betul membuat ia tidak enak kalau bicara sambil duduk di atas kuda. Dengan tenang Kun Hong menambatkan kendali kudanya pada batang pohon di pingigir jalan, kemudian dia menghadapi pemuda gagah itu dengan sikap tenang.

Pemuda gagah itu melirik ke arah kuda dan kantong kain terisi uang emas dan perak, dua kantong yang dirampas Kun Hong dari tangan kedua orang gadis itu. Kemudian pandang matanya dialihkan kepada Kun Hong, melirik ke arah pedang yang tergantung di pinggang pemuda itu.

"Aku Kong Bu. Kalau kau seorang dari jalan hitam yang biasa beroperasi di selatan, tentu kau pun tahu bahwa See-thian Hoat~ong Kong Lek In adalah ayahku." Agaknya dengan memperkenalkan namanya serta nama ayahnya ini, Kong Cu pemuda gagah itu hendak membikin keder hati penjahat di depannya.

Memang Kun Hong sudah mengenal See-thian Hoat-ong, maka dia cepat-cepat menjura dan tersenyum ramah sambil berkata,

"Ahh, kiranya kau adalah putera See-thian Hoat-ong. Pantas saja begini gagah perkasa. Sungguh menyenangkan sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan kau. Aku bernaima Kun Hong dan she-ku... she Gan!" Agak ragu-ragu dia menyebutkan she Gan ini, namun sesudah jelas asal-usulnya, tentu saja ia tidak lagi berhak memakai she Kam. Biar pun ia benci kepada ayahnya sendiri, akan tetapi kalau ayahnya she Gan, habis dia harus pakai she apa?

"Baguslah kalau kau sudah mengenal nama ayahku," kata Kong Bu menarik napas lega. "Perlu juga kiranya kau ketahui bahwa aku adalah panglima perang dari Kerajaan Sung Selatan yang bertugas menjaga keamanan di sekitar pantai timur. Gan Kun Hong, apakah kau sudah mengakui dosa-dosamu?"

Kun Hong tersenyum. Harus dia akui bahwa pemuda di depannya itu gagah sekali, akan tetapi sikapnya masih hijau, masih mentah dan kekanak-kanakan. la tahu bahwa pemuda yang menjadi panglima perang ini tentu maksudkan perbuatannya terhadap kedua orang gadis manis itu, akan tetapi dia pura-pura bodoh dan bertanya,

"Kong-ciangkun (komandan Kong), kita baru kali ini saling bertemu, bagaimana aku bisa berbuat dosa kepadamu?"

”Jangan kau berpura-pura!" Kong Bu membentak sambil meraba gagang goloknya yang besar seperti golok ayahnya. ”Kau lihat, apakah kau tidak mengenal dua orang nona ini?”

Kun Hong menoleh dan memandang kepada dua orang gadis itu sambil tersenyum. Dia lihat gadis yang muda, yang rambutnya digelung dan dibungkus sutera di kanan kiri, gadis bernama Hui Sian yang dulu ia pegang kedua lengannya, berdiri sambil bertolak pinggang. Enci-nya, Hui Nio berdiri di sebelahnya dan dua orang gadis ini memandang kepadanya dengan penasaran.

Diam-diam muka Kun Hong menjadi merah, jengah karena tentu dia disangka perampok oleh pemuda gagah itu. Akan tetapi ia tetap tersenyum dan diam-diam ia menduga-duga siapa adanya dua orang gadis lihai itu, yang mempunyai ilmu cengkeraman seperti yang pernah ia pelajari dan yang sekarang tahu-tahu sudah berkawan dengan seorang pemuda gagah putera See-thian Hoat-ong!

Mari kita berkenalan sebentar dengan ketiga orang muda itu. Pemuda itu adalah putera tunggal See-thian Hoat-ong yang bernama Kong Lek In dan bekas raja muda di Sin-kiang. Ibunya sudah meninggal dunia, tewas ketika daerah itu diserbu oleh bala tentara Mongol. Seperti ayahnya, pemuda yang bernama Kong Bu itu juga mempunyai kegagahan. Malah pemuda ini lalu menghambakan diri pada Kerajaan Sung Selatan untuk memerangi bala tentara Mongol, dan ia mendapat kepercayaan menjaga keamanan di sekitar pantai timur. Sebagai putera See-thian Hoat-ong, tentu saja Kong Bu telah mewarisi ilmu silat dan ilmu golok ayahnya.

Pada waktu dia mulai memegang jabatannya dan melakukan tugasnya di pantai timur, dia bertemu dengan dua orang gadis enci adik itu yang bernama Liok Hui Nio dan Liok Hui Sian. Ternyata bahwa dua orang gadis ini bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan murid-murid dari Thai It Cinjin, yaitu seorang tokoh besar dunia kang-ouw sebagai orang sakti Bu-tong-pai! Di samping Thai It Cinjin, masih ada lagi lm Yang Siangcu, dua orang sute-nya yang juga merupakan jago-jago Bu-tong-pai yang sakti.

Tentu saja pertemuan dengan orang-orang gagah ini menggirangkan hati Kong Bu. Thai It Cinjin juga suka sekali melihat pemuda ganteng putera See-thian Hoat-ong ini, maka dia lalu mengusulkan perjodohan antara Kong Bu dan murid perempuannya yang pertama, Liok Hui Nio. Kong Bu sendiri tertarik dan suka kepada Hui Nio yang pendiam, cantik jelita dan tinggi ilmu silatnya. Namun pertunangan itu belum diresmikan karena Kong Bu masih menanti kesempatan berjumpa dengan ayahnya untuk minta persetujuan orang tua itu.

Seperti telah dituturkan di bagian atas, secara kebetulan sekali Liok Hui Nio dan adiknya Hui Sian, ketika sedang merampas harta curian perampok tunggal Tan Kak, dua orang kakak beradik ini bertemu dengan Kun Hong lantas dikalahkan. Mereka menjadi terheran-heran akan kelihaian pemuda itu, akan tetapi juga penasaran sekali. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Kong Bu dan melaporkan tentang pengalaman mereka. Kong Bu marah sekali. Siapa orangnya yang tidak marah kalau tunangannya dikalahkan orang? Ia mencegah enci adik itu mencari guru mereka.

"Urusan dengan seorang maling cilik saja perlu apa harus mencapaikan guru kalian? Mari kita bereskan sendiri, hendak kulihat sampai di mana kekurang-ajaran maling itu!"

Bersama dua orang gadis itu ia lalu pergi hendak mencari Kun Hong, dan kebetulan sekali sebelum pergi jauh tahu-tahu Kun Hong yang dicari-cari sudah datang sendiri.

Demikianlah perkenalan singkat dengan Kong Bu beserta dua orang gadis cantik itu yang marah-marah kepada Kun Hong.

Sebetulnya kalau mau dibilang marah, yang marah dan penasaran adalah Hui Nio. Akan tetapi Hui Sian, gadis manis jenaka yang rambutnya diikat kain sutera di kanan kiri, diam-diam memandang ke arah Kun Hong dengan mata bersinar-sinar aneh. Meski tangannya bertolak pinggang dan sikapnya seperti seorang musuh, akan tetapi sinar matanya lembut menyapu wajah Kun Hong yang tampan. Diam-diam gadis remaja ini amat kagum kepada Kun Hong yang selain tampan, juga amat tinggi ilmu silatnya.

Seperti sudah dituturkan di depan, Kong Bu membentak kepada Kun Hong yang sikapnya masih tenang jenaka.

"Jangan kau berpura-pura, kau lihat, apakah kau tidak mengenal dua orang nona itu?”

Kun Hong yang sudah turun dari kudanya menjura kepada Hui Nio dan Hui Sian. Hui Nio tidak peduli, akan tetapi Hui Sian dengan muka merah balas menjura!

"Siauwte memang sudah mendapat kehormatan, berjumpa dengan ji-wi lihiap (dua nona pendekar) ini, hanya sayang sekali tidak dalam keadaan yang menyenangkan...," katanya sambil tersenyum.

"Maling kecil!" Hui Nio melangkah maju, memaki sambil menudingkan telunjuknya yang runcing itu ke arah hidung Kun Hong. ”Engkau sudah merampas barang-barang kami dan juga menghina kami. Hari ini aku tentu akan mengadu nyawa denganmu!" Setelah berkata demikian, Hui Nio mencabut pedangnya.

Dahulu ketika bertemu dengan Kun Hong, dia dan adiknya menghadapi Kun Hong dengan tangan kosong. Sekarang dia telah mencabut pedangnya karena dia memang ingin sekali menebus kekalahannya yang lalu.

Melihat cara gadis itu mencabut pedang, Kun Hong merasa kagum dan ia pun ingin sekali mencoba ilmu pedang gadis-gadis yang mempunyai ilmu cengkeraman yang hampir sama dengan ilmunya sendiri itu. Akan tetapi Kun Hong sekarang jauh sekali bedanya dengan Kun Hong dahulu.

Ketika dia masih merasa menjadi seorang dari golongan gurunya, dia tidak pedulian dan mungkin sekali timbul maksud kotor melihat dua orang enci adik yang cantik jelita serta tinggi ilmunya itu. Akan tetapi nafsu-nafsu buruk dalam dirinya sudah tersapu bersih oleh kerling mata dan senyuman Pui Eng Lan kekasih hatinya, yang membuat hatinya menjadi tawar melihat dan menghadapi wanita-wanita lain.

Dahulu dia lebih bocengli (tidak tahu aturan) dari pada bekas gurunya Bu-ceng Tok-ong dan selalu seenaknya menggunakan aturan-aturannya sendiri. Akan tetapi sejak bertemu dengan Eng Lan dan terutama sekali sesudah dia mengetahui asal-usulnya, mendengar tentang ayah bundanya yang sama sekali tidak patut dia banggakan, pemuda ini menjadi prihatin sekali.

Ia harus menebus semua kesesatan ayah bundanya, dia harus memupuk kebaikan untuk menebus dosa keluarganya! Bahkan dia merasa menyesal sekali atas segala kesesatan yang pernah dia lakukan.

"Sabar nona. Ada perkara bisa diurus dengan baik-baik. ada persoalan bisa dirundingkan dan diselesaikan tanpa mencabut pedang," katanya.

Sikapnya ketika mengucapkan kata-kata ini amat kereng dan sungguh-sungguh sehingga membuat Hui Nio ragu-ragu dan Kong Bu juga memberi isyarat kepada tunangannya agar bersabar. Kemudian Kong Bu bertanya kepada Kun Hong.

"Kalau semua tuduhan tadi betul, apa lagi yang harus dirundingkan?"

"Kong-ciangkun, memang aku pernah bertempur dengan dua orang nona ini. Akan tetapi aku sama sekali bukan bermaksud merampas atau menghina... sebetulnya aku..."

"Masih mau menyangkal lagi?" Tiba-tiba Hui Sian yang melompat maju dengan marah-marah. "Kuda siapa yang kau naiki tadi? Dua kantung itu bukankah berisi uang emas dan perak? Dan kau... kau sudah memegangi kedua tanganku... kau sudah kurang ajar dan menghinaku...!"

Kun Hong menarik napas panjang dan memang harus ia akui bahwa pada malam hari itu, ketika menghadapi Hui Sian yang cantik dan galak, ia hampir lupa kepada Eng Lan! Kini ia teringat dan merasa menyesal bukan main.

"Harap Kong-ciangkun suka mempertimbangkan. Malam hari itu aku melihat kedua orang nona ini membunuh orang dan merampas uangnya. Biar pun yang dibunuh dan dirampas itu seorang penjahat, akan tetapi hatiku tak rela melihat dua orang nona yang... can... eh, yang lihai ini menjadi perampok-perampok."

Merah wajah Kong Bu. Memang dia sudah tahu akan sepak terjang tunangannya, tetapi karena memang telah menjadi pekerjaan Thai It Cinjin semenjak dahulu, yaitu membasmi penjahat dan pembesar atau hartawan yang jahat, merampas uang mereka untuk dipakai menolong rakyat yang sengsara, maka dia pun tidak bisa apa-apa.

"Dua orang nona ini adalah murid Thai It Cinjin, sudah menjadi tugas mereka membasmi penjahat dan merampas hartanya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan pertolongan. Kau mencela orang akan tetapi kau sendiri... tahu-tahu kau malah mencuri uang itu dan kuda!"

Diam-diam Kun Hong terkejut. Pantas saja dua orang nona itu lihai sekali, tidak tahunya mereka murid Thai It Cinjin yang pernah ia temui di puncak Wuyi-san bersama dua orang lain bernama Im-yang Siang-cu yang lihai juga dan yang berhasil merampas pedangnya, Cheng-hoa-kiam!

"Ahh, ternyata ji-wi lihiap ini murid Thai It Cinjin? Kalau begitu aku sudah berlaku kurang hormat. Pernah aku bertemu dengan beliau, juga dengan dua orang tua yang disebut Im-yang Siang-cu. Tidak tahu apakah masih ada hubungan pula dengan ji-wi lihiap?"

"Im-yang Siang-cu adalah susiok (paman guru) mereka!" kata Kong Bu yang menyangka bahwa pemuda ini adalah kenalan dari dua orang tua itu. "Apakah kau kenal baik dengan mereka?"

Kun Hong tersenyum pahit. Pedangnya dirampas, bagaimana bisa disebut kenal baik? Ia menggeleng kepala lalu berkata, "Tidak, hanya pernah bertemu saja. Mengenai uang dan kuda, sebetulnya bukan kebiasaanku untuk memakai barang orang lain. Akan tetapi ketika itu pemiliknya telah tewas, dari pada kuda dan uang menggeletak di sana, maka kubawa. Tentu aku tidak keberatan untuk memberikan kepada siapa saja asal...”

"Asal bagaimana? Hayo katakan!" bentak Hui Nio

"Benda-benda ini sudah tidak ada pemiliknya lagi. Kalau sekarang hendak diperebutkan, maka mudah saja. Di antara orang gagah ada pepatah yang berbunyi bahwa kalau tidak bertempur maka tak akan saling mengenal dan dalam hal memperebutkan sesuatu siapa yang lebih kuat dialah yang berhak dan menang!"

"Kau menantang?" seru Kong Bu yang menjadi panas juga hatinya. "Hayo maju dan kau cobalah golokku!" Dengan gerakan yang kuat dan gagah pemuda ini langsung mencabut golok besarnya yang berkilauan saking tajamnya.

Kun Hong menjura dan mencabut pedangnya perlahan. "Aku mendapat kehormatan besar sekali menerima pelajaran Kong-ciangkun." Lalu ia siap-siap menghadapi pemuda ini yang kelihatan amat kuat.

"Bagus, Gan Kun Hong. Lihat golokku!" Seruan ini keras sekali dan mendadak mata Kun Hong menjadi silau melihat sinar golok yang datangnya seperti kilat menyambar.

Kun Hong terkejut dan cepat mengelak, maklum akan kekuatan dan kecepatan lawan ini. Benar saja, serangan pertama yang dapat dia elakkan itu disusul serangan ke dua ke tiga dengan sangat cepatnya sehingga Kun Hong harus mengeluarkan kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak.

Diam-diam dia kagum sekali karena ternyata olehnya bahwa kepandaian pemuda ini tidak kalah oleh See-thian Hoat-ong, ayah pemuda itu! Memang demikianlah halnya. Semenjak pertunangannya dengan Hui Nio, Kong Bu sudah mendapat banyak petunjuk dari Thai It Cinjin sehingga dia mendapatkan kemajuan pesat sekali.

Akan tetapi segera ternyata bahwa betapa pun lihainya ilmu golok yang dimainkan oleh pemuda gagah itu, Kong Bu bukanlah lawan Kun Hong yang mendapat gemblengan dari Thai Khek Sian. Bila Kun Hong menghendaki, maka sebentar saja dia sudah pasti dapat merobohkan lawannya.

Akan tetapi sungguh aneh, watak Kun Hong sudah banyak berubah. Dia tidak haus akan kemenangan. Kalau tadi dia ingin bertempur, itu hanya untuk mencoba kepandaian orang-orang yang menarik hatinya itu. Ia malah merasa suka dan sayang kepada Kong Bu maka dalam pertempuran ini pun ia banyak mengalah.

Bagi seorang ahli silat yang sudah tinggi kepandaiannya seperti Kong Bu, tentu saja tahu bahwa lawannya banyak mengalah, dan tahu pula bahwa lawannya ini benar-benar lihai luar biasa dan memiliki ilmu pedang yang aneh sekali. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau menerima begitu saja, apa lagi di depan tunangannya.

Malang baginya. Sebetulnya tingkat kepandaian tunangannya, Hui Nio atau adiknya, Hui Sian, masih lebih tinggi dari padanya, sebab itu tentu saja Hui Nio dan Hui Sian juga tahu bahwa Kong Bu bukanlah lawan Kun Hong dan bahwa pemuda aneh itu memang sengaja mengalah.

”Bu-ko, mundurlah. Biarkan kami yang mencoba ilmu pedangnya!" teriak Hui Nio sambil melompat kemudian menyerang dengan pedang ke arah tenggorokan Kun Hong, mewakili tunangannya.

Melihat ini, sebagai seorang gagah Kong Bu cepat-cepat mundur dan berkata, "Orang she Gan, kepandaianmu benar-benar hebat!"

Hui Sian tidak tinggal diam. Melihat enci-nya sudah bertarung, dia pun lantas menerjang dengan pedangnya. Pedang enci adik ini memang amat hebat, berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung bagaikan dua ekor naga yang bermain-main di antara mega.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar