Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 52

“Suheng. kau benar-benar gembul sekali. Sering kali aku heran, siapa yang akan menang kalau bertanding minum arak dan makan mi, kau atau ayah," terdengar gadis itu berkata sambil tersenyum geli melihat lelaki berusia tiga puluhan itu sudah menghabiskan belasan cawan arak dan dua kati mi goreng.

Laki-laki yang ternyata adalah suheng-nya (kakak seperguruan) itu hanya tertawa sambil matanya menatap wajah sumoi (adik seperguruan) itu dengan lucu. Bagi orang yang telah berpengalaman, melihat sinar mata lelaki itu ketika menatap wajah adik seperguruannya, mudah dilihat bahwa laki-laki ini menaruh hati kasih sayang yang besar kepada gadis itu.

"Lan-moi (adik Lan), entah kenapa bila hari hujan perutku ini rasanya tak pernah mengenal kenyang. Lapar terus!" Dia tertawa terbahak-bahak sambil menepuk nepuk perutnya yang gendut membusung seperti perut wanita mengandung lima bulan.

Gadis itu tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Walau pun dari suara ketawanya yang lembut nyaring ini dia termasuk gadis kang-ouw yang tidak malu-malu seperti gadis pingitan, namun caranya menutupi mulut ketika ketawa menunjukkan bahwa dia bukanlah gadis liar dan kasar yang tidak mengenal kesopanan seorang wanita.

”Sumoi, sebaliknya mengapa makanmu sedikit amat? Aku khawatir makin lama kau akan menjadi semakin kurus kalau kau tidak mau menambah makanmu."

Anehnya, kalau dari setiap gerak-geriknya si gendut ini jelas seorang badut yang senang melawak, tetapi ucapannya kali ini diucapkan penuh kesungguhan dan di dalam suaranya terkandung perhatian dan kasih sayang.

"Gadis mana yang kepingin gendut seperti kau?" Gadis itu tersenyum. "Aku mana suka memiliki potongan badan seperti bibi-bibi di Ban-mo-to? Lebih baik aku makan setengah kenyang saja dari pada tubuhku menjadi gendut-gendut seperti tubuh mereka berempat!"

"Hush, sumoi, kau benar-benar keterlaluan. Masa bibi sendiri kau cela? Meski pun seperti itu, kepandaian mereka itu lihai sekali. Kalau tidak, masa mereka dapat menjadi pelayan-pelayan kesayangan Thai-houw?"

Gadis itu nampak tak senang ketika membicarakan urusan yang menyangkut Ban-mo-to. "Sudahlah, aku suka mengkirik (meremang bulu tengkuk) kalau bicara tentang Ban-mo-to. Menyeramkan! Eh, suheng, kenapa ayah belum juga muncul?" Gadis ilu melangak-longok ke jalan raya, melihat-lihat.

"Ha-ha, seperti belum kenal saja watak suhu. Tadi begitu hujan turun, suhu berlari keluar untuk hujan-hujanan (bermain di bawah hujan). Katanya sudah setengah tahun dia tidak bertemu hujan, sekarang hendak bermain sepuasnya. Memang suhu lucu sekali. Ha-hak!"

Gadis itu ikut tertawa geli. Dua orang ini bercakap-cakap sambil bersenda-gurau. Memang hubungan kedua orang ini akrab sekali. Hal ini tidak mengherankan kalau diketahui bahwa mereka adalah kakak beradik seperguruan sejak gadis itu masih kecil, semenjak gadis itu masih kanak kanak dan baru bisa berjalan.

Ketika gadis itu masih kanak-kanak. lelaki itu sudah seorang pemuda tanggung dan sering kali sumoi-nya itu digendong dan diasuhnya. Dengan demikian hubungan keduanya sudah seperti kakak dan adik sekandung, setidaknya begitulah perasaan hati gadis itu.

Namun lain lagi bagi pemuda itu, karena diam-diam di dalam hatinya tumbuh cinta kasih yang besar, cinta kasih seorang laki-laki terhadap seorang wanita! Cuma saja hal ini tidak diketahui dan tidak terasa oleh gadis remaja yang masih hijau ini.

Siapakah mereka ini? Gadis yang dipanggil Lan-moi (adik Lan) itu bernama Lan Lan. Dia adalah puteri Phang Ek Kok, orang aneh lucu gemuk pendek dan berkepala plontos yang menjadi kakak nenek kembar empat pelayan Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to.

Ada pun pemuda yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih itu bernama Sek she nya Kui. Kui Sek ini sebelum menjadi murid Phang Ek Kok belasan tahun yang lalu, telah ditinggal mati ayah bundanya.

Ayahnya seorang guru silat, terutama ilmu pedang, maka selain menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari gurunya, Phang Ek Kok, terlebih dahulu Kui Sek juga sudah mewarisi ilmu pedang ayahnya. Wataknya jujur, kasar dan lucu, namun sayang agak menyombongkan kepandaiannya sendiri. Dia malah memakai julukan Sin-hui-kiam (Pedang Terbang Sakti) dan julukan ini saja sudah membayangkan kesombongannya!

Mereka sedang melakukan perjalanan bersama guru mereka, Phang Ek Kok yang begitu kegirangan ketika tadi melihat hujan turun sehingga seperti anak kecil saja, orang aneh itu meninggalkan orang-orang muda itu di restoran untuk bermain-main di bawah siraman air hujan!

Sesudah meninggalkan Kim-Ie-san di mana tadinya dia ditugaskan menjaga oleh Kui-bo Thai-houw, Ek Kok lalu mengajak puterinya Lan Lan pergi ke Propinsi An hui di mana dia hendak mencoba mencari puterinya ke dua yang lenyap ketika masih kecil.

Sebetulnya Lan Lan adalah anak kembar dan adiknya bernama Lin Lin. Lin Lin inilah yang lenyap dan sedang dicari-cari oleh Ek Kok, yang tidak pernah melenyapkan harapan biar pun sudah mencari sampai sepuluh tahun lebih tanpa hasil.

Baik Lan Lan sendiri mau pun Kui Sek muridnya, tidak tahu akan rahasia Ek Kok dengan Lan Lan. Sebetulnya Lan Lan ini bukanlah anak Ek Kok. Bagaimana Ek Kok bisa memiliki anak kalau selama hidupnya dia tidak pernah mempunyai isteri? Akan tetapi kepada Lan Lan dan orang-orang lain dia selalu menceritakan bahwa Lan Lan dan Lin Lin adalah anak kembarnya dan bahwa isterinya, yaitu ibu anak kembar itu, sudah meninggal dunia ketika melahirkan anak kembarnya.

Phang Ek Kok sendiri pun tidak tahu anak siapakah Lan Lan dan Lin Lin. Kira-kira enam belas tahun yang lalu, dia dan adik kembarnya yang empat orang, dikalahkan oleh Kui-bo Thai-houw dan selanjutnya adik kembarnya yang empat orang itu dijadikan pelayan oleh Kui-bo Thai-houw dan dibawa ke Ban-mo-to.

Dia lantas hidup seorang diri dan pada suatu hari, beberapa bulan kemudian, tiba-tiba saja muncul Kui-bo Thai-houw menemuinya. Wanita sakti dari Ban-moto ini datang membawa dua orang anak perempuan kembar yang baru berusia dua tahun.

"Ambil dua bocah ini sebagai puteri-puterimu dan didik baik-baik. Awas, jangan bocorkan rahasia. Sampai mampus pun kau tidak boleh menyatakan bahwa mereka bukanlah anak-anakmu. Mengerti?!"

Kaget bukan main hati Phang Ek Kok. Bagaimana pula dia bisa membangkang? Dia telah dikalahkan Kui-bo Thai-houw dan dia tahu persis akan kekejaman wanita itu. Membantah berarti menyerahkan nyawa ke dalam tangan iblis wanita itu. Lagi pula timbul rasa sayang ketika melihat dua bocah yang mungil-mungil itu, dua orang anak perempuan yang serupa benar.

Terpaksa dia menerima juga dan semenjak saat itu, Phang Ek Kok yang selama hidupnya belum pernah menikah, tahu tahu telah menjadi ‘bapak’ dari dua orang anak perempuan. Baiknya selama ini Ek Kok hidup merantau, tidak pernah tinggal lama di tempat tertentu, maka mudah saja dia membohongi orang-orang bahwa anak-anak itu memang anaknya dan isterinya mati ketika melahirkan.

Akan tetapi satu tahun kemudian, ketika dua orang anak itu sudah mulai dapat bicara dan sedang lucu-lucunya, pada suatu malam tiba-tiba saja Ek Kok kehilangan Lin Lin! Anak itu lenyap begitu saja tanpa meninggalkan bekas, seperti diculik setan.

Bukan main marahnya Ek Kok. Sebagai seorang kang-ouw yang ulung tahulah dia bahwa Lin Lin diculik orang yang berkepandaian tinggi. Semenjak saat itu dia mengajak Lan Lan merantau dan di mana-mana dia mencari jejak Lin Lin, namun tanpa hasil.

Kui-bo Thai-houw juga marah sekali mendengar ini. Akan tetapi wanita itu hanya menekan kepada Ek Kok agar terus mencari Lin Lin sampai dapat ditemukan kembali. Malah akhir-akhir ini Kui-bo Thai-houw menyatakan bahwa Ek Kok tidak boleh muncul lagi di Ban-mo-to sebelum menemukan kembali Lin Lin.

Demikianlah riwayat singkat keadaan Ek Kok dan ‘puterinya’, Lan Lan yang kini duduk di restoran bersama suheng-nya, Kui Sek. Dalam perjalanan di An-hui, Ek Kok dan Lan Lan bertemu dengan Kui Sek yang sekarang sudah tamat belajar dan hidup menyendiri di An king. Pemuda ini gembira sekali berjumpa dengan suhu dan sumoi-nya. Dipilihnya kamar terbagus dalam hotel terbaik di kota itu. malah dia lalu ‘mentraktir’ suhu dan sumoi-nya di restoran Hok-lo itu.

Ketika Kui Sek dan Lan Lan menanti datangnya Phang Ek Kok di restoran Hok-lo sambil memandang keluar, tiba-tiba dari luar masuk seorang gadis cantik yang sikapnya sangat gagah. Seperti juga Lan Lan, gadis ini pun menggantungkan pedang di pinggang kirinya. Langkahnya tegap dan gesit, rambutnya agak basah oleh hujan rintik-rintik tadi. Sayang sekali wajah yang jelita dan manis itu nampak muram dan sinar matanya sayu.

Sesudah memasuki restoran dengan tergesa-gesa karena kehujanan, gadis ini mengebut-ngebutkan pakaiannya yang agak basah, lalu mengusap rambut kepalanya. Pada saat itu seorang pelayan menyambutnya, akan tetapi gadis ini berdiri kaku dengan tangan di atas kepala. Pada saat ia mengusap rambutnya tadi, pandang matanya bertemu dengan wajah Lan Lan yang memandang kepadanya sambil tersenyum.

Gadis itu nampak terkejut sekali, kaget dan heran sampai dia berdiri tegak dengan tangan masih di atas kepalanya dan tidak melihat ada seorang pelayan menyambutnya dengan manis budi dan ramah. Sampai lama dua orang gadis itu saling berpandangan.

"Luar biasa... kalau tidak jauh lebih muda, gadis itu mirip benar enci Siok Lan! Bagaimana di dunia ada dua orang yang begitu sama wajahnya?" gadis yang baru masuk ini berkata di dalam hatinya dan memaksa diri untuk mengalihkan pandang lalu mengikuti pelayan itu yang mengajaknya menghampiri sebuah meja.

Kebetulan sekali pelayan itu membawanya ke sebuah meja yang berdekatan dengan meja Lan Lan, malah duduknya pun menghadap ke dalam sehingga dari tempat duduknya dia dapat melihat Lan Lan dan suheng-nya dengan jelas.

Begitu melihat, hati Lan Lan langsung merasa tertarik dan suka kepada gadis gagah yang baru masuk itu. Melihat gadis itu membawa pedang dan sikapnya gagah, dalam hati Lan Lan timbul keinginan untuk berkenalan dan terutama sekali, ingin dia mencoba ilmu silat terutama ilmu pedang nona itu memenuhi dorongan darah mudanya. Dia pun memandang dengan sepasang matanya yang bening ke arah gadis itu dan tersenyum-senyum untuk memancing-mancing perkenalan.

Tetapi gadis yang berwajah muram ini tidak melayaninya. Memang sebentar-sebentar dia melirik ke arah Lan Lan dan setiap kali memandang wajah Lan Lan dia kelihatan terheran, namun senyum Lan Lan tidak dibalasnya dan tidak dilayaninya. Dengan suara perlahan dia memesan makanan dan minuman kepada pelayan, kemudian duduk diam merenung sendirian sambil menanti datangnya masakan yang dipesannya.

Dasar memang harus terjadi keributan! Di depan suheng-nya Lan Lan memuji-muji gadis itu dengan suara perlahan, namun selalu dibantah oleh Kui Sek yang ingin menunjukkan kepada sumoi-nya itu bahwa dia tidak tertarik oleh wanita lain yang bagaimana pun juga!

"Enci itu cantik dan bukan main manisnya!" demikian Lan Lan mulai.

"Ahh, biar pun cantik akan tetapi mukanya muram menakutkan orang. Tidak seperti kau yang selalu tersenyum dan bermuka terang. Aku paling tidak suka melihat gadis bermuka masam," jawab Kui Sek perlahan sekali selengah berbisik dan suaranya ini memang tidak akan dapat terdengar oleh orang yang duduknya sejauh gadis tadi duduk.

"Suheng, mana kau tahu orang cantik? Enci itu manis sekali! Dan melihat gerak-geriknya. aku berani bertaruh bahwa dia tentu memiliki ilmu silat dan ilmu pedang yang tinggi," kata pula Lan Lan sambil memandang ke arah gadis itu yang sedang menerima hidangan yang dipesannya.

"Ahhh, tidak mungkin! Gadis-gadis semacam dia itu sekarang banyaknya seperti jamur di musim hujan, berkeliaran di sana sini. Semua itu hanya untuk menakut-nakuti orang saja supaya tidak berani mengganggunya, atau kebanyakan malah digunakan sebagai modal berlagak. Membawa-bawa pedang, berpakaian ringkas seperti pendekar pedang, berjalan ditegak-tegakkan. Ah, sumoi pada waktu ini mana ada gadis segagah engkau! Sulit dicari keduanya. Jangan kau memuji-muji gadis kota seperti dia itu."

Kata-kata ini malah diucapkan lebih perlahan lagi karena si gendut ini hanya bicara untuk menyindirkan kepada sumoi-nya bahwa dalam pandangannya, di dunia ini tidak ada gadis yang lebih cantik atau lebih pandai dari pada Lan Lan! Maka dia setengah berbisik karena sebenarnya ia tidak menghendaki kalau ucapan-ucapan ini terdengar oleh gadis yang baru mau makan mi-nya itu.

Dasar celaka! Gadis yang semenjak tadi diam saja dan sekarang telah mulai mengangkat sumpitnya, mendadak berhenti dan tidak jadi makan, meletakkan sumpitnya di atas meja. Muka yang muram itu menjadi semakin keruh dan sinar matanya berkilat-kilat ke arah Kui Sek! Dia lompat mendekat dan tangan kanannya meraba-raba gagang pedang,

"Babi gemuk, mulutmu kotor dan lancang sekali! Bukan urusanku kau keedanan terhadap gadis cilik ini, akan tetapi kenapa kau membawa-bawa aku? Apa kau sudah bosan hidup? Hayo lekas berlutut minta ampun, jika tidak benar-benar aku akan membikin kau menjadi babi gemuk tanpa kepala!" Gadis itu ternyata galak sekali dan setelah bicara amat lancar dan lincah, tanda bahwa sebelum dia diliputi awan kedukaan yang membuat dia pendiam dan muram, dahulunya dia adalah seorang gadis yang lincah dan pandai bicara.

Kui Sek kaget setengah mati. Tak disangka-sangkanya bahwa gadis itu dapat mendengar omongannya. Ataukah hanya ngawur saja? Lebih baik ia pura-pura bodoh untuk menutupi malunya.

"Eh, ehh, kau ini perempuan galak dari mana? Mengapa tiada hujan tiada angin ngamuk ngamuk dan memaki-maki orang?" katanya dengan muka bodoh.

"Babi keparat! Masih hendak berpura-pura lagi? Kau ini laki-laki pengecut, percuma saja membawa-bawa pedang! Bisa kau bilang orang membawa pedang untuk berlagak, tidak tahunya kau sendiri yang membawa pedang hanya untuk menjual aksi yang tidak laku!"

Kui Sek boleh jadi dogol dan sombong, akan tetapi ia pun mempunyai sifat baiknya, yaitu selain jujur juga bisa melihat kesalahan sendiri. Sekarang karena dia merasa salah maka menghadapi gadis yang sedang marah-marah itu dia hanya tertawa ha-hah-he-heh sambil menundukkan mukanya yang menjadi merah.

Semenjak kecil Lan Lan suka sekali kepada Kui Sek dan menganggap suheng ini sebagai kakaknya sendiri. Ia tidak sesabar Kui Sek, maka melihat suheng-nya dimaki-maki orang, melihat suheng-nya dihina begitu rupa, gadis muda ini menjadi naik darah. Dia melompat bangun dan menghadapi gadis yang marah-marah itu.

"Enci, sabar dulu. Mengapa kau marah marah dan memaki-maki orang di tempat umum? Ini bukan sikap seorang gagah. Kau bersikap seakan-akan hanya kau sendiri yang punya kepandaian. Ketahuilah, suheng-ku diam saja bukan sekali-kali karena takut padamu, tapi karena ia merasa telah salah omong, salah kira karena kau tadi disangkanya gadis biasa. Jika dia tidak merasa sudah bersalah, apa kami mau kau hina begini macam? Sudahlah, suheng-ku sudah salah, kau sudah memaki, jangan kau lanjutkan. Sayang seorang gadis cantik dan gagah seperti kau ini memaki-maki di tempat umum. Memalukan."

Ucapan Lan Lan ini biar pun mengakui kesalahan fihak suheng-nya, namun mengandung teguran pedas sekali bagi gadis itu yang agaknya pikirannya memang sedang risau dan karenanya tidak bisa menahan sabar. Ia memandang kepada Lan Lan dan berkata ketus,

"Kau ini bocah cilik tidak tahu dijuali omongan manis membujuk merayu dari babi gemuk itu. Hati-hati, kalau kau tidak bisa menjaga diri kau akan terjatuh ke dalam perangkapnya! Minggir, aku tidak berurusan dengan kau bocah cilik!"

Naik darah Lan Lan. Dia memang berwatak keras hati, sungguh pun watak keras hati ini jarang muncul karena tertutup oleh sifatnya yang periang dan lincah. Sekarang dia marah benar. Seperti juga gadis itu, tangan kanannya telah meraba gagang pedang dan dia pun menantang.

"Habis kau mau apa? Kau punya pedang, aku pun punya, enci yang manis!"

"Bagus, bocah genit, keluarkan pedangmu. Setelah membikin kapok kau. baru nanti babi gemuk ini kuhajar!" bentak gadis itu.

Keduanya sudah siap dan telah menggerakkan tangan hendak menghunus pedang ketika pada saat itu pula dari luar restoran terdengar seruan kaget, "Bu beng Siocia (Nona Tak Bernama)...!"

Baru saja suara ini terdengar, orangnya sudah tiba di ruangan restoran itu dan berkelebat menengahi antara Lan Lan dan gadis tadi. Baru sekarang pemuda yang baru datang ini melihat wajah gadis itu dan berserulah dia heran dan kaget.

"Nona Pui Eng Lan...!"

Gadis yang marah-marah tadi memang Eng Lan adanya. Eng Lan memandang pemuda itu, menjadi kaget juga karena pemuda itu bukan lain adalah Wi Liong! Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya Wi Liong tadi ketika lewat di depan restoran itu, ia melihat dua orang gadis tengah bersitegang hendak bertanding, dan melihat Lan Lan, ia menjadi pucat karena gadis ini memang tidak ada bedanya dengan Kwa Siok Lan yang dikabarkan telah tewas!

Tanpa dapat dicegah lagi dia tadi berseru "Bubeng Siocia" karena teringat akan Siok Lan ketika pada pertama kali ia jumpa, dan cepat ia melompat untuk mencegah pertempuran itu. Makin besar keheranannya ketika melihat bahwa gadis yang seorang lagi adalah Eng Lan!

Lan Lan memandang kepada Wi Liong dengan dua mata terbelalak dan mulut tersenyum geli. Siapakah pemuda ini dan kenapa tadi menyebut Bu-beng Siocia? Tentu dialah yang disebutnya itu, karena di situ hanya ada dua orang siocia (nona) dan nona yang menjadi lawannya itu sudah disebut namanya, yaitu Pui Eng Lan.

"Nona Pui, kenapa kau di sini? Mana... mana Kun Hong...?" tanya Wi Liong. Melihat Eng Lan menjadi pucat mendengar disebutnya nama Kun Hong, Wi Liong segera berkata lagi, "Kau duduklah dulu, harap jangan dilanjutkan pertempuran ini. Ada urusan apakah Nona Pui, kau duduklah di sana, nanti aku akan banyak bicara denganmu."

Karena Eng Lan terguncang sekali hatinya melihat munculnya Wi Liong yang menyebut-nyebut nama Kun Hong, ia mengangguk dan kembali ke tempat duduknya. Sementara itu, Wi Liong menghadapi Lan Lan yang masih tersenyum mengejek.

Untuk kedua kalinya, jantung Wi Liong berdenyut keras melihat wajah yang begitu cantik jelifa seperti wajah Siok Lan. Bahkan senyum mengejek pada bibir merah itu pun senyum Siok Lan! Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya untuk memandang lebih nyata karena khawatir kalau matanya yang menipunya.

Sudah terlampau sering dia membayangkan wajah Siok Lan sehingga kerap kali ia seperti melihat Siok Lan dan mendengar suaranya. Akan tetapi betapa pun ia mengejapkan mata, gadis di hadapannya itu tetap saja seperti Siok Lan, baik wajahnya yang jelita mau pun bentuk tubuhnya yang ramping.

"Kau... kau siapakah...?" tanyanya gagap dan matanya memandang membelalak.

Lan Lan menggerak-gerakkan alisnya menahan geli hatinya, tapi tetap saja ia tidak tahan dan tertawa sambil menutupi mulutnya yang kecil lalu berkejap-kejap meniru perbuatan Wi Liong tadi dengan lucunya. Kemudian barulah ia menjawab sambil tersenyum, "Kau sudah mengenalku, masih berpura-pura tak kenal lagi?"

Meremang bulu tengkuk Wi Liong. Apakah yang di depannya ini roh Siok Lan yang ingin mengganggunya? Mukanya sebentar merah sebentar pucat, dan suaranya gemetar ketika dia bertanya, "Kau... kau siapakah? Siapa namamu? Apa… apa benar kita pernah saling berkenalan?"


Lan Lan memandang heran. Apakah pemuda ini telah miring otaknya? Sayang jika miring otaknya, pemuda begini tampan dan suaranya sangat sedap didengar. Kalau tidak miring otaknya, mengapa begini aneh? Dan suling itu... orang lain membawa pedang kenapa dia membawa suling?

"Tadi datang-datang kau menyebut namaku, masa lupa lagi!" Lan Lan mempermainkan.

"Benarkah? Aku lupa lagi. Siapa namamu?" tanya Wi Liong, hatinya agak tenang karena sikap lincah dan kenes dari gadis itu membuat ia berbeda dengan Siok Lan yang pendiam dan sungguh-sungguh. Juga sekarang barulah terlihat jelas olehnya bahwa gadis ini jauh lebih muda dari Siok Lan, pantas menjadi adiknya.

"Namaku Bu-beng Siocia!" Lan Lan berkaca sambil tersenyum geli.

Wi Liong tertawa, tertawa gembira. Semenjak ia kehilangan Siok Lan, baru kali ini ia bisa tertawa segembira itu. Wajahnya menjadi semakin tampan dan menarik, kelihatan muda sekali ketika tertawa ini sehingga hati Lan Lan menjadi tertarik sekali.

"Dan kau siapa? Kenapa datang-datang mencegah orang hendak mengadu pedang? Enci itu galak sekali. Kalau kau kenal dengannya tolong beri-tahu agar lain kali jangan galak-galak seperti ayam bertelur. Ehh, kau siapakah? Kau membawa suling, tentu kau tukang tiup suling yang pandai ya?"

Aneh sekali. Wi Liong biasanya bersikap pendiam dan serius, akan tetapi kali ini dia mau melayani gadis remaja yang mempermainkannya. Dengan gembira dia mengangguk.

"Memang aku tukang suling."

"Twako yang baik, kalau begitu coba kau meniup sebuah lagu untukku. Mau?"

Aneh benar. Seperti lupa diri, lupa bahwa dia sedang berada di dalam restoran dan bahwa kini para tamu serta para pelayan menonton pertunjukan itu, lupa bahwa dia diperlakukan seperti seorang pemuda berotak miring, Wi Liong mengangguk menyanggupi permintaan Lan Lan, membawa suling pada bibirnya dan tak lama kemudian ia pun menyuling sebuah lagu!

Suara suling melengking, mengalun, menyelinap di antara suara rintik hujan, dan segera menimbulkan suasana yang amat ganjil. Semua orang bengong karena pemuda ini benar-benar pandai menyuling.

Lan Lan berdiri dengan sepasang mata bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri, akan tetapi lambat-laun pandang matanya menjadi sayu. Suara suling itu mulai berubah, dari garang menjadi lembut, makin lama semakin menyedihkan hati.

"Jangan begitu sedih..." tanpa terasa lagi Lan Lan melangkah maju setindak dan berbisik sambil memandang Wi Liong dengan kasihan sekali.

Kui Sek yang melihat ini semua, timbul kemarahannya karena cemburu. Dia melompat ke depan Wi Liong dan membentak, ”Berhenti!"

Akan tetapi Wi Liong seperti tidak mendengarnya dan menyuling terus.

Kui Sek menjadi makin marah. “Tadi aku mengalah terhadap seorang nona. Akan tetapi, kau pemuda gila ini jangan main-main di depanku, berhenti dengan suling gila itu!"

Wi Liong hanya melirik sedikit, keningnya berkerut tanda dia tak senang diganggu, namun dia menyuling terus.

"Kau berani berlagak di depan Sin-hui kiam Kui Sek? Apakah kau ingin digampar?! Untuk ketiga kalinya, berhenti! Jika tidak terpaksa kugampar dan jangan bilang aku keterlaluan!" Berkata demikian ia pun mengangkat tangan mengancam sambil melirik ke arah Eng Lan seperti menyatakan bahwa sebagai orang gagah dia tidak sudi datang-datang menampar orang, akan tetapi lebih dulu mengancam sampai tiga kali.

Akan tetapi Eng Lan hanya diam saja dan dalam hatinya memandang semua itu sebagai lelucon. Tentu saja sedikit pun dia tidak mengkhawatirkan Wi Liong. Dia tidak begitu gila untuk mengkhawatirkan keselamatan pemuda sakti ini.

"Benar-benar kau mencari celaka!" bentak Kui Sek dan tangannya sudah bergerak untuk menampar.

"Suheng, jangan...!" Lan Lan mencegah. Akan tetapi terlambat!

Tangan dengan telapaknya yang amat lebar dan kuat itu telah melayang dan... terhenti di tengah udara. Aneh sekali kalau dibicarakan. Tahu-tahu tubuh tinggi besar itu berdiri diam tidak bergerak dengan tangan kanan masih diangkat di atas kepala Wi Liong namun tidak jadi diturunkan dan tidak bergerak. Seluruh tubuh Kui Sek seperti beku dan kaku, hanya dua matanya yang sipit itu saja berputaran kaget dan bingung. Wi Liong masih menyuling terus!

Lan Lan kaget sekali melihat keadaan Kui Sek yang demikian itu. Ia cepat mengguncang-guncang tubuh Kui Sek sambil memanggil. "Suheng...! Suheng...!"

Setelah memegang pundak suheng-nya, baru ia tahu bahwa jalan darah suheng-nya telah ditotok secara ajaib sekali!

Sementara itu Wi Liong telah menyelesaikan permainan sulingnya. Melihat Lan Lan masih mengguncang-guncang tubuh Kui Sek, dia lantas menggerakkan sulingnya ke arah rusuk pemuda dogol itu yang seketika itu pula terbuka kembali jalan darahnya, mengeluh dan memandang kepada Wi Liong dengan mata melotot.

"Bagaimana pendapatmu mengenai permainan sulingku, Bu-beng Siocia?" tanya Wi Liong yang tidak peduli ada orang yang melotot padanya dan mengajukan pertanyaan itu sambil memandang Lan Lan.

Gadis ini masih belum hilang kagetnya. Sesudah Wi Liong tadi menotok iga suheng-nya, barulah dia mengerti bahwa suheng-nya tertotok oleh pemuda peniup suling ini, maka bisa dibayangkan betapa heran dan kagetnya, juga disertai rasa kagum.

"Bagus, hanya sedih sekali. Tadi kau apakan suheng-ku?" tanya Lan Lan, lagaknya mirip dengan anak kecil.

Wi Liong semakin terharu melihat wajah dan gerak bibir serta suara yang membuat dia merasa berhadapan dengan Siok Lan. Dia tidak dapat menjawab pertanyaan tadi, hanya memandang kepada Kui Sek dengan senyum.

Kui Sek marah bukan kepalang. Dicabutnya pedang dari punggungnya dan sambil berseru keras dia menerjang Wi Liong.

Para tamu dan pelayan restoran itu menjadi bingung dan ketakutan. Mereka lari serabutan melalui pintu samping dan pintu belakang, melarikan diri karena takut kalau-kalau terseret dalam perkelahian.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar