Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 40

Wi Liong sedang menumpahkan seluruh perhatiannya kepada Siok Lan, maka ketika dia merasa ada sambaran pedang, dengan jengkel karena terganggu, sulingnya ditangkiskan sambil mengerahkan tenaga, sedangkan dada yang menghadapi angin pukulan Toat-sim-ciang itu dia biarkan saja, hanya mengerahkan sinkang untuk menolaknya.

Akibatnya amat hebat. Tidak saja pedang di tangan Tok-sim Sian-li terpental, juga wanita itu terjengkang karena hawa pukulannya sendiri yang membalik, membuat dia hampir saja roboh kalau tidak cepat-cepat berjungkir balik sampai tiga kali!

Para tamu menjadi makin kagum akan kehebatan pemuda itu, sedangkan Chi-loya yang juga terpengaruh sekali oleh pertemuan aneh mengharukan itu, mencela keras,

"Tok-sim Sian-li, mengapa kau berlaku begitu curang? Kalau mau berkelahi kau tunggulah sampai mereka habis bicara!"

Tok-sim Sian-li mendongkol, malu dan marah bukan kepalang. "Heh-heh-heh, orang she Chi kambing bandot tolol! Isterimu dipermainkan orang, kau dihina habis-habisan dan aku membantumu membunuh dia, dan kau malah menghalangiku? Benar-benar tolol!"

Muka Chi-loya sebentar pucat sebentar merah. Malunya bukan kepalang melihat isterinya dipeluk-peluk dan saling berpegangan tangan, bercakap-cakap dengan pemuda itu penuh kemesraan. Memang itu merupakan penghinaan yang luar biasa.

Rantai baja di tangannya bergetar, siap hendak dipukulkan ke arah kepala Wi Liong. Akan tetapi Chi-loya adalah seorang yang mengutamakan kegagahan, dia tidak sudi menyerang orang yang tidak bersiaga.

"Aku tidak butuh bantuanmu. Ini urusanku sendiri, kau boleh pergi!"

"Manusia tak kenal budi, kalau begitu lebih baik kau mampus dari pada hidup terhina oleh isteri sendiri di hadapan umum!" Sambil berkata demikian, kini pedang di tangan Tok-sim Sian-li menyerang hebat kepada Chi-loya!

Begitu melihat suaminya diserang orang, Siok Lan yang sedang bercakap-cakap dengan Wi Liong cepat melompat dan menangkis pedang Tok-sim Sian-li lalu balas menyerang. Wi Liong juga berdiri.

"Siok Lan, apakah dia mengganggumu?”

"Usir dia, membikin ribut saja mengganggu percakapan kita,” jawab Siok Lan.

Wi Liong segera menggerakkan sulingnya dan sekaligus senjata istimewa ini melakukan tiga macam serangan yang sangat sulit. Tok-sim Sian-li sibuk mengelak dan menangkis, akan tetapi tanpa dapat dicegah lagi serangan ketiga mengenai pundaknya, perlahan saja akan tetapi cukup membuat lengan kanannya lumpuh dan dia tidak dapat menggerakkan pedangnya lagi. Ia memang jeri terhadap Wi Liong, sekarang dia tahu bahwa melanjutkan pertempuran takkan mencuci mukanya. Dia melompat pergi sambil berseru,

"Bocah setan, akan datang saatnya aku membalas semua ini!"

Akan tetapi Wi Liong sudah menarik tangan Siok Lan dan diajak duduk lagi.

"Siok Lan, apakah kau mencinta suamimu, Chi-loya itu?" tanya Wi Liong, teringat betapa tadi Siok Lan membantu Chi-loya ketika diserang oleh Tok-sim Sian-Ii.

Siok Lan tidak menjawab, juga tidak memandang ke arah suaminya, tapi ia mengangguk.

"Jadi kau tidak cinta padaku?" pertanyaan ini terdengar menyedihkan.

"Kau tahu aku cinta padamu, dahulu, sekarang, kelak... selama-lamanya...”

"Kalau begitu hayo kita pergi dari sini berdua... selamanya..."

Siok Lan menggeleng kepala. "Namamu akan rusak karenanya..."

"Peduli apa? Orang-orang ini..." ia mengembangkan kedua lengannya ke sekeliling, "atau orang-orang sedunia boleh mencelaku, boleh merusak namaku asalkan kau selalu berada di sampingku."

"Tidak bisa, Liong-ko, tidak mungkin. Aku sudah menjadi isteri orang dan aku mencinta suamiku. Kau pergilah dari sini dan lupakan aku." Setelah berkata demikian, kembali Siok Lan menangis terisak-isak.

"Siok Lan, kau kejam... setidaknya ceritakanlah bagaimana kau bisa menjadi isteri orang lain... betapa kejam kau, betapa mudah melupakan aku dan mencari pengganti..."

"Jangan kau menyangka begitu, Liong-ko. jangan. Sungguh mati, tadinya kuanggap kau telah meninggal ketika terjerumus ke dalam jurang. Aku seperti gila, hidup kosong bagiku. Aku pergi tanpa tujuan sampai berbulan-bulan dan akhirnya aku tiba di daerah ini dalam keadaan jasmani lemah dan sakit-sakit, sedangkan ingatanku juga bingung tidak karuan, lebih gila dari pada waras, lebih mati dari pada hidup karena aku lupa makan lupa tidur..."

"Kasihan kau..."

"Tentu aku akan menjadi korban orang-orang jahat atau binatang-binatang buas di dalam hutan sepanjang sungai di sebelah timur, kalau saja tidak muncul dia itu...”

"Chi-loya...?”

Siok Lan mengangguk. "Dia menolongku, merawatku penuh kesabaran, penuh kasih dan cinta. Dia sopan, hormat, mencinta dan aku merasa seperti hidup kembali dari kematian. Aku merasa berhutang budi kepadanya. Kuanggap hidupku sudah tamat semenjak kau... kukira mati, dan ada orang yang menghidupkan aku, menanam budi, sekarang aku hanya ingin membalas budinya selagi masih hidup... Liong-ko kau harus mengerti keadaanku..." Siok Lan nampak sedih sekali.

Akan tetapi Wi Liong bangkit berdiri dengan marah. Dia menoleh ke arah Chi loya lantas membentak keras,

"Bandot tua, kau benar-benar tak punya malu! Kau pura-pura menolongnya, berlaku baik padanya hanya untuk membujuknya menjadi isterimu. Jadi kau menolong untuk menanam budi agar dia terpaksa mau menjadi isterimu? Keparat...!"

"Wi Liong, jangan kau berkata begitu! Dia benar-benar orang baik, tidak seperti yang kau-sangka!" Siok Lan menjerit.

Akan tetapi Wi Liong sudah tidak pedulikan dia. Saking sedih dan kecewanya, pemuda ini menjadi mata gelap dan dia lalu menyerang maju hendak memukul Chi-loya.

Chi-loya sendiri hatinya sudah panas karena dibakar oleh Tok-sim Sian-li tadi. Kalau saja tadi dia tidak mendengar percakapan dua orang muda itu dan tahu bahwa di sini terdapat kesalah-fahaman, tentu dia sudah menyerang Wi Liong. Dia tahu bahwa nasib buruk telah memisahkan dua orang muda yang saling mencinta itu dan hatinya tergerak.

Ia hendak membiarkan Siok Lan mengambil keputusan dalam persoalan itu. Biarlah gadis itu memilih jalannya sendiri. Andai kata Siok Lan memilih Wi Liong dan meninggalkannya, dia pun takkan menghalanginya. Akan tetapi ternyata Siok Lan memilih dia dan sekarang pemuda itu marah-marah hendak menyerangnya. Tentu saja dia pun cepat menggerakkan rantai bajanya menyambut serangan ini.

Pada saat itu pula belasan orang-orang gagah yang menjadi tamu Chi-loya serentak maju mengeroyok Wi Liong. Dalam pandangan mereka Wi Liong terlampau kurang ajar. Selain menodai kehormatan keluarga Chi dengan sikap kurang ajar terhadap pengantin wanita, sekarang malah hendak membunuh Chi-loya.

"Pemuda jahat, jangan kurang ajar kau!" teriak mereka dan sebentar saja Wi Liong yang hendak menyerang Chi-loya sudah dikepung. Pertempuran hebat terjadi di ruangan itu.

Wi Liong mengamuk. Sebentar saja empat orang sudah roboh terkena totokan sulingnya. Dua orang lagi roboh terkena tendangan kakinya. Sungguh hebat sepak terjang pemuda ini. Meski pun dia sudah mata gelap karena marah, kecewa dan duka, namun watak dan sifatnya yang baik dan penuh welas asih itu masih menahannya, melarangnya membunuh orang secara sembarangan saja. Oleh karena itu, mereka yang dia robohkan tidak sampai tewas. Dengan muka merah Wi Liong mendesak maju terus dengan maksud merobohkan Chi-loya yang mungkin akan dia tewaskan karena hatinya penuh cemburu dan marah.

Para tamu maklum akan maksud pemuda itu membunuh Chi-loya. Serentak mereka maju membantu tuan rumah sehingga tak mudah bagi Wi Liong untuk mendekati Chi-loya yang telah siap berdiri tegak dengan rantai baja di tangannya. Dengan gemas Wi Liong kembali bergerak cepat sekali dan belasan orang roboh malang-melintang. Dengan lompatan jauh akhirnya dia berhadapan dengan Chi-loya!

"Bandot tua, kau hendak lari ke mana?!" bentaknya.

"Siapa hendak lari? Pemuda hijau, hamba nafsu!" Chi-loya balas memaki dengan senyum sindir sambil memutar rantai untuk menjaga diri.

Wi Liong menggerakkan sulingnya dan menyerang maju. Dua orang tamu bertubuh kurus kering menyerangnya dari kanan kiri, akan tetapi segebrakan saja dua orang itu terpental ke kanan kiri. Mereka bangun dengan mulut melongo saking herannya.

Mereka adalah sepasang saudara yang berjuluk Hong-pek (Malaikat Angin) dan Lui-kong (Malaikat Guntur), dan nama mereka sudah amat terkenal di daerah selatan. Akan tetapi begitu keserempet hawa pukulan pemuda ini, mereka terjengkang! Siapa orangnya tidak menjadi terheran-heran?

Chi-loya bukannya orang lemah. Rantai bajanya merupakan senjata berat yang amat kuat dan sukar dilawan. Maklum bahwa pemuda ini memiliki kesaktian tinggi, dia lalu memutar rantainya sambil mengerahkan segenap tenaga lweekang-nya. Begitu melihat suling kecil meluncur maju, ia menyabet dengan rantainya dengan gerakan sedemikian rupa sehingga ujung rantai dapat membelit senjata lawan.

Tapi di luar dugaannya, pemuda itu membiarkan saja ujung sulingnya terbelit rantai lawan. Chi-loya sudah menjadi girang sekali. Inilah sebuah di antara keistimewaannya, membelit senjata lawan dengan rantai kemudian mengerahkan tenaga sekuatnya untuk membetot dan merampas senjata lawan. Demikianlah, sambil memasang kuda kuda-kuat sekali dia berseru sambil menarik rantainya dengan gerakan mendadak.

Namun Wi Liong bukanlah orang yang senjatanya dapat dirampas dengan mudah begitu saja. Ilmu silatnya sudah terlampau tinggi kalau dibandingkan dengan Chi-loya, beberapa tingkat lebih tinggi. Maka dapatlah dibayangkan betapa kagetnya hati Chi-loya ketika tiba-tiba ada tenaga dahsyat sekali membuat ia melepaskan gagang rantainya!

Benar-benar sukar dimengerti dan aneh kalau dibicarakan. Chi-loya yang menggunakan rantainya membelit suling dan dia yang mengerahkan tenaga membetot, tetapi tahu-tahu malah rantainya sendiri yang terlepas dan terampas lawan! Sebelum dia dapat mengelak, kakinya sudah diserampang oleh kaki Wi Liong sehingga tubuhnya terlempar lantas roboh telentang.

"Bandot tua, bersiaplah kau untuk menghadap Giam-lo-ong (Raja Akhirat)!" kata Wi Liong dan dia pun melangkah maju.

Tiba-tiba terdengar jerit mengerikan dan Wi Liong menahan langkah kakinya malah ia lalu mundur ketika melihat Siok Lan yang menangis tersedu-sedu itu telah menubruk Chi-loya dan kini gadis itu menghadapinya dengan pedang di tangan dan air mata di pipi.

"Mau bunuh dia...? Mau bunuh suamiku...? Bunuhlah aku lebih dulu!"

Muka Wi Liong seketika menjadi pucat. Pukulan ini hebat sekali baginya. Siok Lan telah dihadapkan dengan dua pilihan dan ternyata gadis itu memilih suaminya yang tua, malah sekarang hendak melawannya!

"Siok Lan... kau... kau lebih cinta padanya...?"

"Tentu! Bagaimana seorang isteri tidak mencinta suaminya? Thio Wi Liong, jangan harap kau akan dapat menjamah tubuh suamiku sebelum melalui mayatku!”

Kedua kaki Wi Liong menggigil. Tadi dia masih ragu-ragu, masih mengira bahwa gadis itu mencintanya dan hanya karena kesusilaan belaka maka terpaksa tidak mau mengikutinya meninggalkan Chi-loya. Sekarang terbukalah matanya, jelas baginya bahwa cinta gadis ini kepadanya hanya di bibir saja dan sekarang ternyata bahwa gadis itu lebih mencinta Chi-loya, malah bersedia mengorbankan nyawa untuk suaminya, rela menghadapinya sebagai lawan!

Ini terlampau hebat baginya dan tiba-tiba Wi Liong melihat keadaan sekelilingnya menjadi gelap menghitam, bumi yang diinjaknya serasa terputar-putar dan pada lain saat dia telah roboh pingsan!

Dengan tangan kanan memegang pedang terhunus dan air mata bercucuran pada kedua pipinya, Siok Lan menyuruh suaminya dengan suara lirih,

"Ikat kaki tangannya dan bubarkan para tamu!"

Melihat keadaan sudah begitu. Chi-loya tidak punya lain jalan kecuali menuruti kehendak isterinya. Dia memohon maaf kepada semua tamu dan minta agar mereka meninggalkan rumahnya, kemudian dengan ragu-ragu akan tetapi tidak berani membantah dia mengikat kaki tangan Wi Liong kemudian menyuruh pelayan-pelayannya supaya mengangkat tubuh pemuda itu ke dalam rumah. Sesudah itu dia bersama isterinya memasuki rumah dengan hati tidak karuan.

Semua pelayan hanya dapat saling pandang dengan bengong, lalu mengangkat pundak. Baiknya mayat kawanan kaki tangan pemerintah Mongol tadi sudah dibawa pergi kawan-kawannya sendiri dan yang terluka juga sudah dibawa pulang oleh kawan-kawan mereka, maka para pelayan kini hanya tinggal membersihkan ruangan itu dan mencuci lantai yang terkena darah.

Wi Liong masih pingsan dan ia dibaringkan di atas dipan di ruangan tengah. Siok Lan dan Chi-loya duduk di atas kursi dekat dipan itu. Sejak tadi keduanya tidak bicara dan Chi-loya memandang kepada isterinya dengan hati bingung.

Dia maklum bahwa isterinya sangat mencinta pemuda sakti ini dan agaknya dia akan rela bila mana isterinya mau pergi bersama Wi Liong. Akan tetapi hatinya tidak mengijinkan. Ia sendiri sangat mencinta isterimya dan terbayanglah semua pengalamannya semenjak dia belum berjumpa dengan Siok Lan sampai saat pernikahannya yang menjadi geger tidak karuan itu.

Chi loya yang sebetulnya bernama Chi Kian ini, dahulu pernah mempunyai seorang isteri akan tetapi isterinya meninggal dunia tanpa meninggalkan seorang pun keturunan. Sudah banyak wanita yang dilihatnya, banyak pula yang mengharapkan menjadi isteri hartawan yang terkenal dermawan dan gagah perkasa ini sehingga dijuluki orang Wu-kiang Siauw-ong. Akan tetapi belum pernah dia menemui seorang wanita yang cukup berharga untuk dijadikan pengganti isterinya yang telah meninggal dunia.

Pada suatu hari, satu bulan lebih yang lalu, dia menerima laporan dari penduduk sebelah timur sungai bahwa di dalam sebuah hutan yang lebat muncul rombongan perampok yang suka mengganggu penduduk. Mendengar laporan ini, Chi-loya yang berjiwa gagah cepat membawa rantai bajanya menyeberangi sungai menuju tempat itu. Dia memasuki hutan seorang diri saja karena tidak mau membahayakan keselamatan pembantu-pembantunya yang tidak memiliki ilmu silat tinggi.

Dan apa yang dia dapatkan di dalam hutan liar yang masih termasuk dalam wilayahnya ini? Seorang gadis cantik jelita yang gagah perkasa, yang dengan sebilah pedang sudah menewaskan tiga ekor harimau yang agaknya mengganggunya di tengah perjalanan, dan ketika dia tiba di situ sedang dikeroyok oleh belasan orang perampok!

Dia kagum bukan main menyaksikan ilmu pedang gadis itu, dan sekali pandang saja dia maklum bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang tinggi, yang tidak kalah olehnya sendiri. Namun wajah gadis itu tampak pucat sekali dan gerak-geriknya lemah seperti orang sakit sehingga biar pun dia berhasil merobohkan beberapa orang perampok, dia sendiri sudah amat lemah dan hampir roboh.

Chi-loya lantas turun tangan membantu dan mengusir para perampok pada saat gadis itu roboh pingsan saking lelah dan lemahnya. Kemudian setelah melihat gadis itu betul-betul menderita sakit deman hebat, tanpa ragu-ragu lagi dia memondong tubuh gadis itu dibawa pulang dan dirawat.

Gadis itu bukan lain adalah Siok Lan. Sampai hampir satu bulan Siok Lan menderita sakit hebat, terserang demam panas yang hampir saja membawa pergi nyawanya bila saja Chi-loya tidak berusaha sekuat tenaga untuk menolongnya.

Siang malam Chi-loya melayani dan merawat sendiri gadis yang seketika telah merampas hatinya itu. Dia memasak sendiri obat-obat untuk Siok Lan setelah mendatangkan sinshe (tukang obat) terpandai dari kota terdekat, menjaga dan merawat dengan dua tangannya sendiri dengan penuh perhatian dan penuh kesabaran.

Siok Lan amat terharu menerima budi kebaikan yang luar biasa ini. Ia menganggap dirinya telah mati, setidaknya semangatnya untuk hidup sudah terbawa pergi oleh Wi Liong yang terjerumus di dalam jurang ketika menyelamatkan dirinya. Baginya tidak ada yang lebih dinantikan selain kematian, kematian yang memungkinkan ia menyusul Wi Liong pemuda yang dikasihinya itu.

Akan tetapi sekarang dia terikat lagi oleh dunia, terikat dengan budi yang amat besar yang dilimpahkan oleh Chi-loya kepadanya. Cinta kasih yang sangat besar, yang suci dan tidak terdorong nafsu semata dari hartawan itu amat mengharukan hatinya, membuat dia tidak tega untuk menolak ketika Chi-loya menyatakan perasaannya, meminangnya. Maka untuk sekedar membalas budi, dia menerima pinangan Chi-loya!

Semuanya ini terbayang di depan mata Chi-loya, juga terbayang di dalam benak Siok Lan ketika keduanya menjaga Wi Liong yang masih pingsan di atas dipan.

Sesudah malam datang dan keadaan menjadi sunyi, Siok Lan berkata kepada suaminya, "Bawa dia ke sungai dan bunuh saja di sana, hanyutkan tubuhnya di sungai yang deras."

Chi-loya terkejut sekali mendengar ini, wajahnya sampai menjadi pucat.

"Siok Lan, apa artinya ucapanmu ini?"

"Artinya, aku baru bisa menjadi isterimu kalau dia sudah tidak ada lagi di dunia ini seperti yang tadinya kukira," jawab Siok Lan tenang.

"Siok Lan, kau tahu bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Akan tetapi biar tidak ada apa pun di dunia ini yang ingin kumiliki seperti dirimu, aku lebih suka melihat kau bahagia biar pun harus kubeli dengan nyawaku. Kalau kau mencinta pemuda ini, kau boleh tinggalkan aku dan ikutlah dengan dia kalau memang itu yang kau kehendaki, kalau memang itu yang akan membikin kau bahagia. Aku rela..."

"Tidak!" kata Siok Lan terharu. "Dengan berbuat begitu aku akan merusak kehidupan dua orang, dia yang namanya akan tercemar dan kau yang akan menjadi berduka. Sudahlah, kau bawa dia dan bunuh dia, barulah keadaanku biasa kembali seperti kemarin sebelum dia muncul! Jika kau tidak mau melakukan ini maka aku sendiri yang akan membunuhnya kemudian aku akan meninggalkan kau!"

Mendengar suara isterinya yang mengandung ketidak-sabaran dan kejengkelan, Chi-loya tahu bahwa tidak ada pilihan lain baginya. Ia sudah cukup mengenal watak Siok Lan yang amat keras.

"Baiklah kalau memang demikian kehendakmu," katanya setelah menarik napas panjang. lalu mengenakan jubah panjang dan mengikatkan rantai baja di pinggangnya.

Siok Lan menghampiri tubuh Wi Liong yang masih telentang dengan wajah pucat di atas dipan, lalu membungkuk dan memberi ciuman tanpa malu-malu lagi penuh keharuan pada kening pemuda itu.

"Bawalah, bunuhlah..." katanya perlahan dan air matanya segera bercucuran turun ketika dia memandang suaminya yang tinggi besar itu mulai melangkah keluar dengan cepatnya sambil memondong tubuh Wi Liong.

Siok Lan berdiri terus di ambang pintu, pucat seperti mayat, tak bergerak seperti patung. Hanya air matanya yang bergerak, seperti batu-batu giok berjatuhan di atas pipinya tanpa dirasa dan diusapnya. Semangatnya seolah-olah terbang mengikuti tubuh Wi Liong yang dipondong pergi oleh suaminya. Ia betul-betul yakin bahwa Chi-loya pasti akan memenuhi permintaannya, pasti akan membunuh Wi Liong sebagaimana yang dipintanya. Dia tahu betapa besar cinta kasih orang tua itu kepadanya.

Sesudah semalaman gadis itu berdiri di pintu, menjelang pagi tampak sesosok bayangan berkelebat dan masuklah Chi-loya berkerudung baju panjangnya karena pagi itu memang dingin sekali. Wajahnya nampak gembira akan tetapi menjadi terkejut dan cemas melihat isterlnya berdiri di ambang pintu.

Dipeluknya Siok Lan. dirangkul dan ditanya penuh kasih sayang, "Mengapa kau masih di sini dan belum tidur?"

Siok Lan menatap wajahnya, mencari-cari dengan pandang mata untuk menjenguk isi hati suaminya, lalu berkata lirih, "Sudah...?”

Chi-loya hanya mengangguk, menarik lengan gadis itu memasuki rumah, menutup pintu. "Seharusnya kau sudah tidur, kalau berdiri di luar bisa masuk angin," kata Chi-loya sambil merangkulnya.

Siok Lan diam saja, malah merebahkan kepalanya pada dada suaminya sambil menangis terisak-isak. Chi-loya menggeleng-gelengkan kepala, menghela napas dan mengelus-elus rambut yang halus hitam itu untuk menghibur hati isteri yang amat dicinta itu…..

********************

Siok Lan dapat tidur sejenak. Akan tetapi begitu cahaya matahari pagi memasuki kamar melalui kaca-kaca jendela, mendadak dia melompat bangun lalu cepat mencuci muka dan membereskan rambutnya.

"Hayo antar aku, lekas..." katanya kepada Chi-loya yang juga ikut bangun dengan terkejut dan memandang heran.

"Antar ke mana?”

"Ke mana lagi? Ke Sungai Wu-kiang, bodoh!" Siok. Lan menghardik.

Berdiri bulu tengkuk Chi-loya mendengar isterinya berkata kasar itu. Sambil mengerutkan kening dia pun turun dan memegang lengan isterinya.

"Mau apa pagi-pagi ke sungai?" tanyanya hati-hati.

"Hendak melihat apakah dia benar-benar sudah mati. Hayolah!" Sambil berkata demikian Siok Lan menangkap pergelangan tangan suaminya, menyambar pedang yang tergantung di dinding lalu menarik suaminya keluar gedung.

Setibanya di luar, para pelayan memandang heran melihat tuan dan nyonya itu pagi-pagi pergi secara tergesa-gesa, bahkan Chi-loya masih kusut pakaiannya, belum juga mencuci muka!

Chi-loya menurut saja dan pada lain saat keduanya sudah tampak berlari cepat menuju ke sungai.

"Percuma kita ke sana, tentu jenazahnya sudah hanyut...,” kata Chi-loya perlahan.

Akan tetapi Siok Lan tidak menjawab, malah mendengar ini dia lalu berlari semakin cepat. Terpaksa suaminya mengikuti dari belakang dengan muka berubah amat khawatir.

"Di mana... di mana kau bunuh dan buang dia...?" tanya Siok Lan sesudah mereka tiba di tepi Sungai Wu-kiang yang airnya mengalir tenang dan penuh.

Chi-loya nampak gugup dan tanpa berkata-kata dia membawa Siok Lan ke sebuah tebing tinggi di pinggir sungai. Dari tebing itu ke permukaan air ada seratus meter lebih dan dari tempat itu air kelihatan kehijauan, tenang sekali seperti tidak bergerak, seperti sutera hijau dibentangkan panjang. Dengan telunjuknya Chi-loya menunjuk ke arah air.

"Di sana...?" Suara Siok Lan menggigil dan matanya memandang ke bawah, mencari-cari kalau-kalau ia menemukan mayat Wi Liong. Akan tetapi yang mengambang di permukaan air hanyalah benda-benda kecil keputihan, yaitu busa-busa air serta kotoran-kotoran sisa yang termakan ikan. "Mana... mana dia? Mana jenazahnya...?"

Wajah Chi-loya menjadi pucat dan dia pun menghela napas panjang, sedih sekali melihat isterinya bersikap seperti itu.

"Sudah kukatakan tadi, tentu jenazahnya sudah hanyut dan tenggelam. Siok Lan isteriku, kenapa kau bersikap begini? Kau menghendaki dia mati; dan dia sudah mati. Marilah kita pulang...”

Siok Lan memandang ke permukaan sungai dan seakan-akan bayangan Wi Liong tampak di situ. Mendengar kata-kata suaminya, cepat dia menoleh, mukanya pucat dan matanya tertutup air mata.

"Pulang...? Kau bilang pulang, Wi Liong...? Ya, kau tunggu aku, mari kita pulang...!" Dan secepat kilat, tanpa diduga-duga oleh Chi-loya, tiba-tiba saja Siok Lan sudah melompat ke depan sambil mencabut pedang. Sebelum tubuhnya sempat menyentuh air, pedangnya sudah ditusukkan sendiri ke dadanya dan...

"Byuuurrr...!"

Chi Loya memekik nyaring, tubuh Siok Lan tenggelam dan permukaan air menjadi sedikit merah.

"Siok Laaan...!" Chi-loya memekik ngeri, untuk sesaat hanya berdiri pucat seperti patung, kemudian dia pun melompat ke bawah!

"Byuuurrr…!"

Untuk kedua kalinya air memercik tinggi, permukaan air yang tadinya tenang kini menjadi bergelombang. Makin lama gelombang makin kecil dan warna merah makin pudar. Tidak lama kemudian permukaan air di sungai itu sudah tenang kembali dan tidak ada sedikit pun bekas peristiwa ngeri tadi di situ. Yang ada hanyalah mayat dua orang yang timbul di permukaan air jauh di hilir dan tidak lama kemudian lenyap pula dari permukaan air, entah apa yang terjadi di dalam, tidak kelihatan.....

********************

Wi Liong berjalan seorang diri, langkahnya ringan, bibirnya tersenyum-senyum, tapi kalau orang memandang lebih teliti, di antara sepasang alisnya kini timbul gurat-gurat membujur yang membuat wajahnya nampak beberapa tahun lebih tua dari pada usianya. Sepasang kakinya seperti bermata, berjalan menyusup-nyusup dan melangkahi rintangan di depan, akan tetapi sebenarnya kedua kaki ini maju tanpa tujuan tertentu.

Ia berjalan asal melangkah saja, tak peduli sampai di mana. Pikirannya melayang-layang, teringat akan segala peristiwa yang dialaminya baru-baru ini, peristiwa yang benar-benar aneh, menyedihkan, mengharukan, memberi tekanan berat pada batinnya tetapi akhirnya mendatangkan kebahagiaan juga!

Belum lama tadi, tahu-tahu ia siuman di atas sebuah perahu kecil yang bergoyang-goyang di tepi sungai. Ketika dia membuka matanya, dia melihat Chi-loya sedang duduk di kepala perahu, tangannya yang besar kuat memegang rantai baja dan matanya memandang jauh melalui permukaan air, mata memandang jauh tapi seperti tidak melihat apa-apa.

Wi Liong bergerak bangun dan terheran-heran. Melihat dia bangun, Chi-loya menoleh lalu menghadapinya dan tersenyum ramah.

"Kau sudah siuman? Bagus, tidak usah terlalu lama menanti," katanya.

Pada waktu itu fajar sudah hampir menyingsing, keadaan masih remang-remang hanya diterangi oleh bulan sepotong yang sudah hampir tenggelam dan sudah pudar sinarnya.

"Kita berada di mana? Mengapa di dalam perahu?" tanya Wi Liong yang masih bingung dan heran, kemudian dia melihat sulingnya di dalam perahu, lalu diambilnya.

Chi-loya mendiamkannya saja mengambil senjatanya itu, lalu dia berkata tenang, "Seperti yang kau lihat, kau berada di dalam perahu, baru saja siuman dari pingsan, sedangkan aku... aku tadinya bertugas mengetuk kepalamu sampai pecah lalu melempar mayatmu di sungai ini..." Orang tua tinggi besar itu menghela napas panjang, lalu meludah ke dalam air tanda hati merasa sebal.

"Jika begitu... kenapa aku masih hidup dan kau masih duduk diam saja memegang rantai baja yang masih bersih?" tanya Wi Liong, bukan bermaksud untuk berkelakar karena dia memang betul-betul heran

"Kau kira aku orang macam apa, membunuh orang yang tidak berdaya, dalam keadaan pingsan? Kalau saja aku bisa menangkan kau, memang aku ingin sekali menghancurkan kepalamu, kau orang yang hendak merusak kebahagiaan hidupku!" Chi-loya memukulkan rantainya pada pinggiran perahu sampai somplak dan hancuran kayu beterbangan.

Kagum hati Wi Liong. Orang ini baik sekali, gagah dan jujur, juga berhati jantan. Sayang dia salah mengambil Siok Lan... ehh, di mana Siok Lan...?

"Mengapa tadi kau membawaku ke sini?" tiba-tiba ia bertanya ketika ia teringat akan Siok Lan.

"Sudah kukatakan tadi, aku harus membawamu ke sini untuk dibunuh dan dibuang. Akan tetapi sayang sekali... aku tidak tega membunuh orang pingsan, aku memang bodoh dan lemah!"

Tiba-tiba Wi Liong menjadi pucat dan memegang lengan orang itu erat-erat.

"Chi-loya, kau seorang gagah yang karena kegagahanmu ini saja sudah patut kuhormati. Katakanlah sejujurnya, apa artinya semua ini?”

Chi-loya memang seorang gagah yang berwatak mulia. Ia memandang Wi Liong dan kini kemarahan lenyap dari mukanya dan terganti perasaan kasihan. Melihat muka pemuda itu pucat dan menatapnya penuh permohonan, dia membuang muka lalu terdengar suaranya yang jelas dan nyaring, "Kau pingsan, kemudian dia menyuruh aku membawamu ke sini, membunuhmu dan melempar mayatmu ke sungai."

"Ia... ia menyuruhmu membunuhku? Siok Lan yang menyuruh kau membunuhku?” Suara pemuda itu membayangkan hati yang perih dan luka, berdarah

Chi-loya menjadi makin kasihan. "Dia sudah menjadi isteriku, dan dia menyatakan bahwa hanya kalau kau sudah mati seperti yang tadinya dia kira, maka barulah dia bisa menjadi isteriku. Dia yang menyuruhku... dan sayangnya aku seorang lemah...”

Tiba-tiba Wi Liong tertawa bergelak-gelak sambil berdiri di atas perahu dan mendongak ke udara. Tertawa terbahak-bahak keras sekali.

Chi-loya menangkap lengannya dengan bulu tengkuk meremang.

"Diam! Diam kau! Kau seperti mayat tertawa...! Apa sih yang kau tertawakan?”

Tetapi Wi Liong tertawa terus, kemudian berhenti dan ternyata air matanya bercucuran di kedua pipinya dan wajahnya pucat sekali.

"Kau tidak bodoh dan tidak lemah, Chi-loya. Akulah segoblok-gobloknya manusia, setolol-tololnya orang. Aku merindu gila seorang diri, padahal dia tidak cinta kepadaku. Ahh, Siok Lan, Bu Beng Siocia, semua itu khayalku semata, angan-angan kosong belaka. Dia tidak cinta padaku, hanya kasihan... dan dia sudah menjadi isterimu yang tercinta. Syukurlah... syukurlah, semoga kau dan dia hidup bahagia. Chi-loya. Kau seorang gagah, kau orang baik, sedangkan aku... aku si pandir, si pemabok angan-angan, si tukang menerawang... ha-ha-ha... kembaililah kepada isterimu. Chi-loya. Selamat tinggal!"

Lalu melompatlah dia dari perahu itu ke darat, dengan gerakan yang ringan sekali. Entah mengapa, tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya sangat ringan dan dadanya serasa kosong melompong.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar