-------------------------------
----------------------------
Jilid 8
"Buka ikatan
Siauw-ciok-yong!" perintah si nona.
Kim-sia-cu menjadi girang
sekali. "Biar dicam-buk, masih untung kecuali Co Toako, tak ada orang lain
yang turut menyaksikan," katanya di dalam hati. "Dia sendiri juga
mendapat bagian, rasanya dia tak akan menguarkan kejadian ini di luaran."
Harus diketahui, bahwa orang-orang sebangsa Sie-wie itu, tidak merasa terlalu
berkeberatan jika mereka di-hajar orang. Yang paling mereka takuti adalah
cerita-cerita di luaran yang bisa menurunkan ke-angkeran dan derajat mereka.
Maka itu, buru-buru Kim-sia-cu menghampiri kawannya dan membuka-kan tali yang
mengikatnya. Baru mereka mau meng-angkat kaki, tiba-tiba si nona tertawa
dingin. "Kamu mau bcrangkat?" tanyanya. "Hm! Kau kira dalam
dunia ada urusan yang bisa berjalan begitu licin?" Jantung kedua Sie-wie
itu memukul keras, mereka saling mengawasi dengan sorot mata ketakutan. Mereka
menahan les dan tidak berani berjalan terus.
"Siauw-ciok-yong, lekas
keluarkan semua alat pembakarmu!" perintah si nona. "Kim-sia-cu, kau
juga mengeluarkan semua kutu busukmu! Jika kau berani menyembunyikan, kuhajar
lagi cecongor-mu!" Sembari berkata begitu, ia mengebaskan Joan-piannya
berulang-ulang, sehingga menerbitkan se-rentetan suara nyaring di tengah udara.
Diancam begitu, mereka tak
bisa berkutik lagi. Dengan ogah-ogahan Siauw-ciok-yong mengeluar¬kan sebuah
kotak besi, dimana ia menyimpang sen-jata rahasianya, sedang Kim-sia-cu juga
merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuahtkimbung bambu yang berisi kutu-kutu
beracun. Melihat bumbung yang mengkilap itu karerw^sudah digunakan
ber-tahun-tahun, Wan Cie Ie jadi ingat isinya, yaitu kutu-kutu berbulu yang
sangat menakutkan dan beracun. Tanpa merasa, bulu romanya berdiri se¬mua.
"Bangsat!" bentak si
nona. "Kamu sudah berani membokong aku dengan senjata beracun benar-benar
nyalimu besar. Sebenar-benarnya, hari ini kau mesti mampus. Tapi, untungmu
masih bisa dikata-kan bagus, karena nonamu mempunyai kebiasaan untuk hanya
mengambil satu jiwa manusia dalam
satu hari...."
Co Beng dan Cui Pek Seng
saling mengawasi, hati mereka menjadi lega sedikit.
Sesudah berhenti sejenak, Wan
Cie Ie berkata pula: "Di antara kamu berdua, seorang mesti me-ninggalkan
dunia ini. Siapa yang mesti mati dan siapa yang boleh hidup, sukar sekali aku
memutus-kannya. Begini saja: Kamu saling menghantam de¬ngan senjata rahasiamu.
Siapa yang kena, dialah yang harus mati. Siapa yang bisa berkelit, nonamu
mengampuni jiwanya.
Peraturanku ini tak dapat diubah lagi. Tak guna kamu memohon-mohon. Satu, dua,
tiga, hayo!"
Kedua Sie-wie itu agak sangsi.
Mereka tak dapat menebak, apakah nona itu bicara sesung-guhnya atau hanya ingin
menakut-nakuti mereka. Tapi, di lain detik, mereka sama-sama mempunyai pendapat
begini: Jika dia turun tangan lebih dulu, bukankah aku yang mampus? Dua-dua
Sie-wie itu orang-orang kejam dan begitu memikir demikian, mereka segera turun
tangan. Hampir berbareng mereka mengeluarkan teriakan yang menyayatkan hati.
Leher Siauw-ciok-yong sudah digigit sia-cu, sedang dada Kim-sia-cu sudah
disambar bola api, kumis dan bajunya sudah terbakar.
Wan Cie Ie tertawa
terpingkal-pingkal. "Sudah-lah!" katanya. "Hitung-hitung seri
saja. Sekarang kamu boleh menggelinding pergi dari sini!"
Bukan main girangnya mereka.
Tanpa meng-hiraukan sia-cu yang masih menggigit dan api yang masih
berkobar-kobar, dengan serentak mereka mengeprak kuda yang lantas saja kabur
sekeras-kerasnya. Sesudah terpisah jauh dari kedua orang muda yang galak itu,
barulah mereka saling me-nolong. Untuk beberapa saat, Wan Cie Ie masih saja
tertawa geli. Mendadak ia merasakan pung-gungnya dingin sebab ditiup angin dan
baru ia ingat, bahwa bajunya pecah. Ia melirik Ouw Hui dan mendapat kenyataan,
bahwa pemuda itu tengah mengawasi dirinya sembari bersenyum. Ia jadi
ke-malu-maluan dan kedua pipinya lantas saja bersemu merah.
"Lihat apa kau?" ia
membentak.
Ouw Hui melengos. "Tak
lihat apa-apa," sahut-
nya.
"Minggir! Aku mau menukar
baju," si nona
memerintah.
"Di sini? Kau mau menukar
baju di tengah jalan?" Ouw Hui menanya sembari tertawa.
Wan Cie Ie mendongkol
tercampur geli. Karena jengah, ia jadi keterlepasan bicara. Sembari melirik Ouw
Hui dengan sorot mata uring-uringan, ia pergi ke gerombolan pohon-pohon lalu
mengenakan baju luar yang berwarna kuning. Pakaian dalamnya masih basah, tapi
ia tidak menghiraukannya. Sesudah itu, ia menggulung baju ungu itu yang sudah
terbakar dan melemparkannya ke tengah sungai.
Sambil mengawasi baju itu yang
hanyut terbawa aliran air, Ouw Hui berkata: "Nona, apakah se-karang kau
bernama Wan Hong San (si Baju Ku¬ning)?"
Cie Ie tak menjawab ia hanya
mengeluarkan suara di hidung, Ouw Hui ternyata sudah bisa me-nebak, bahwa
"Wan Cie Ie" bukan namanya yang
asli.
Mendadak si nona berteriak:
"Celaka! Aku di-gigit sia-cu!" Ia mengulurkan tangannya dan
men-cakar-cakar punggungnya.
Ouw Hui terkesiap. "Apa
benar?" tanyanya, sembari meloncat ke belakang si nona untuk mem-berikan
bantuan.
Sekali ini, Ouw Hui yang
pintar kena juga ditipu. Selagi ia loncat, yaitu sedang badannya ber¬ada di
tengah udara, sekonyong-konyong Cie Ie mendorong dengan kedua tangannya. Itulah
bo-kongan yang sungguh tidak diduga-duga. Seketika
itu juga, Ouw Hui terjungkal
dan jatuh ke dalam lumpur, di tepi sungai, tubuhnya amblas sebatas dada!
Wan Cie Ie bertepuk tangan dan
tertawa ber-gelak-gelak. "Ouw Hui kecil!" ia berteriak dari atas.
"Kau terkenal licin seperti setan, tapi sekarang, kena juga kau diakali
nonamu!"
Ouw Hui tak tahu, apa ia mesti
menangis atau tertawa. Kebaikan hatinya merupakan ketololan besar. Karena
empuknya lumpur, tak dapat ia me-ngerahkan tenaga untuk melompat ke luar,
se¬hingga jalan satu-satunya adalah berkutet naik ke atas setindak demi
setindak.
Begitu tiba di gili-gili,
sambil mementang kedua tangannya yang berlepotan lumpur, Ouw Hui me-nubruk
sembari berteriak: "Budak kecil ini mesti dihajar dengan kekerasan!"
Si nona terkejut, buru-buru ia
meloncat dan melarikan diri. Tapi di luar dugaannya, ilmu meng-entengkan badan
Ouw Hui tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya. Ia lari berputar-putar,
tapi selalu dicegat oleh pemuda itu yang mengancam akan memeluk dirinya sambil
mementang kedua tangannya. Ia juga tidak berani menyerang, karena begitu beradu
tangan, ia tentu akan kecipratan lumpur. Sesudah main petak beberapa lama, si
nona menjadi uring-uringan dan segera menghentikan tindakannya. "Kau
berani meraba aku?!" ia mem-bentak sembari memberengut.
Ouw Hui yang memang hanya
ingin menakut-nakuti, lanta saja turut menghentikan tindakannya. Sesaat itu,
hidungnya mengendus wangi-wangian yang halus dan sedap, sehingga dengan terkejut
ia
meloncat mundur beberapa
tindak.
"Nona," katanya.
"Aku sudah begitu baik hati, tapi kenapa kau berlaku seperti seekor anjing
yang menggigit Lu Tong Pin?"
Cie Ie tertawa dan menjawab
secara menyim-pang: "Eh, apakah kau mengetahui, bahwa dalam ilmu silat
Pat-sian-kiam terdapat serupa pukulan yang dinamakan Lu-tong-pin-tui-kauw (Dewa
Lu Tong Pin mendorong anjing). Jika kau tak percaya, tanyakan orang she Na
itu."
"Ah kau sungguh tak
mempunyai liangsim (pe-rasaan hati)," kata Ouw Hui. "Kau membalas
ke-baikan dengan kejahatan."
"Fui!" bentak si
nona. "Kau berani menganggap dirimu terlalu mulia, sudah melepas budi
besar kepadaku? Sekarang kutanya: Bagaimana kau bisa mengetahui, bahwa kedua
Sie-wie itu sudah mem-bokong aku?"
Mendengar pertanyaan itu, Ouw
Hui jadi gela-gapan. Memang benar, ketika kedua Sie-wie itu meletakkan bahan
api di punggung Cie Ie dan melepaskan sia-cu di cambuknya, Ouw Hui sudah
melihat dengan terang sekali. Tapi untuk meng-ganggu, ia sengaja menutup mulut.
Sesudah si nona berlalu, barulah ia membekuk kedua orang itu dan menyusul.
"Kenapa kau diam
saja?" tanya Cie Ie. "Bu-kankah benar dalam hal ini sedikit pun aku
tak menerima budimu?" Sehabis berkata begitu, ia me-ngeluarkan sapu tangan
dan menutup hidungnya. "Bau benar kau!" katanya. "Lekas mandi!
Sesudah badanmu dicuci bersih, aku akan menceritakan hal-nya Tio Sam... si
bocah Tio Poan San."
Sebenarnya ia ingin mengatakan
"Tio Samsiok", tapi karena Ouw Hui mengakui Poan San sebagai
kakaknya, sehingga dengan begitu, kedudukannya jadi lebih tinggi setingkat
daripada ia, maka ia sudah menggunakan perkataan "si bocah Tio Poan
San".
Ouw Hui menjadi girang sekali.
"Baik, baiklah," katanya dengan cepat. "Kau pergi jauh-jauh. Aku
mandi cepat sekali."
"Cepat-cepat tak hilang
baunya," kata si nona sembari nyengir.
Ouw Hui tertawa dan dengan
gerakan It-ho-ciong-thian (Burung ho menembus langit) yang sangat indah, ia
loncat menyebur ke dalam sungai.
Selagi Ouw Hui mandi, Cie Ie
memeriksa luka si putih. Obat Kim-sia-cu ternyata sangat mustajab, karena
bengkaknya sudah reda dan kuda itu sudah tidak menjerit-jerit lagi. Dengan hati
lega, ia me-mandang ke arah sungai. Ia melihat pakaian, sepatu dan kaos kaki
Ouw Hui ditumpuk di pinggir sungai, sedang pemuda itu sendiri sedang berenang
di suatu tempat yang jauhnya beberapa puluh tombak.
Mendadak, kenakalan si nona
kumat kembali. Ia membuka buntalan Ouw Hui dan mengeluarkan sepotong baju tua.
Sesudah itu, dengan berindap-indap ia menghampiri tumpukan pakaian di tepi
sungai itu dan membungkus semuanya di dalam baju tua itu. Kemudian, ia
menunggangi kuda Ouw Hui dan sembari menuntun si putih, ia menjalankan kuda itu
ke arah utara.
"Hei! Kenapa begitu
lama?" ia sengaja berte-riak. "Aku mempunyai urusan penting, tak
dapat menunggu kau lagi!" Sehabis berkata begitu, ia mengeprak
tunggangannya yang lantas saja lari keras.
Lapat-lapat di sebelah jauh,
ia dengar teriakan Ouw Hui: "Nona Wan! Nona Wan! Aku menyerah kalah!
Tinggalkan pakaianku!" Semakin lama, suara itu jadi semakin jauh, agaknya
Ouw Hui tak berani naik ke atas tanpa pakaian.
Di sepanjang jalan Wan Cie Ie
tertawa ter-pingkal-pingkal, semakin ia ingat perbuatannya, se¬makin geli
hatinya. Ia sudah menghitung, bahwa sebagai kuncu (ksatria), pemuda itu tentu
tidak berani mengejar tanpa berpakaian.
Sesudah berjalan belasan lie,
ia lalu berhenti dan mengaso di sebuah rumah penginapan kecil. "Aku mesti
mengaso, sebab menurut kata Kim-sia-cu, si putih tak boleh lari untuk sementara
waktu," katanya pada diri sendiri. Tapi, dalam hati kecilnya, ia
mengharapkan agar (dengan bermalam di rumah penginapan itu) Ouw Hui akan
menyusul dan ber-cekcok lagi dengan ia.
Malam itu lewat tanpa Ouw Hui
menampakkan mata hidungnya. Pagi-pagi sekali Wan Cie Ie sudah meninggalkan
rumah penginapan itu dan menerus-kan perjalanannya. Ia ingin sekali mengetahui,
ba-gaimana pemuda itu mendapat pakaian guna me¬nyusul ia. Mengingat begitu,
lagi-lagi ia tertawa geli. Ia jalan perlahan-lahan, setiap hari hanya delapan
puluh atau sembilan puluh lie, akan tetapi, orang yang diharap-harapkan belum
juga muncul.
Satu hari, tibalah ia di
Ya-kee-wan, sebelah utara kota Siang-tam, tak jauh dari kota Tiang-see, ibukota
propinsi Ouwlam. Selagi mencari-cari ru¬mah makan untuk menangsal perut,
mendadak ia mendengar suara ramai-ramai di pelabuhan. Ia mengawasi dan melihat
sebuah perahu besar yang sedang berlabuh di tepi sungai, sedang di kepala
perahu berdiri seorang tua yang lagi menyoja ke-pada orang-orang yang seperti
sedang mengantar-nya.
Dengan melirik, Wan Cie Ie
sudah mengetahui, bahwa sebagian besar daripada pengantar itu adalah
orang-orang Rimba Persilatan yang bertubuh kekar. Dan apa yang agak luar biasa
adalah: Di belakang orang tua itu berdiri dua Sie-wiedari kerajaan Ceng.
Jantung si nona memukul lebih
keras. "Apakah lagi-lagi aku bertemu dengan seorang Ciangbunjin yang mau
berangkat ke kota raja untuk memenuhi undangan Hok Kongcu?" tanyanya pada
diri sendiri. Memikir begitu, ia segera menahan kudanya dan mengawasi orang tua
itu secara lebih seksama. Jenggot orang tua itu sudah putih, tapi mukanya
bersinar merah dan pakaiannya indah sekali.
"Hiantee (adik) sekalian
harap pulang saja," katanya sembari menyoja. Dilihat dari
gerakan-gerakannya yang mantap, tak bisa salah lagi ia adalah seorang ahli
silat yang berkepandaian tinggi.
Orang-orang yang berada di
daratan bersorak-sorai dan berteriak: "Selamat jalan, Loosu! Kami
mendoakan supaya Loosu mengangkat naik derajat Kiu-liong-pay (partai sembilan
naga) kita di kota raja."
Orang tua itu tertawa dan
berkata: "Tak berani aku mengharapkan itu. Aku hanya mengharap, su¬paya
nama Kiu-liong-pay tidak menjadi rusak dalam tanganku." Kata-kata itu yang
diucapkannya nya-ring sekali, kedengarannya seperti kata-kata me-rendahkan
diri, tapi sebenarnya mengandung ke-sombongan.
Perkataan orang tua itu
disambut dengan me-rotoknya petasan yang dipasang di perahu dan di gili-gili.
Wan Cie Ie mengetahui, bahwa begitu lekas petasan itu terbakar habis, perahu
itu akan segera meninggalkan pelabuhan. Ia meloncat turun dari tunggangannya
dan mengambil dua butir batu. Se-kali ia mengayun kedua tangannya dan dua batu
itu menyambar rencengan petasan yang masing-masing kurang lebih dua tombak
panjangnya. Begitu ke-langgar batu, rencengan petasan itu jatuh ke sungai dan
terus padam.
Kejadian itu disambut dengan
teriakan kaget oleh semua orang. Padamnya petasan dianggap se-bagai alamat yang
sangat buruk. Sejumlah orang telah melihat, bahwa petasan itu telah ditimpuk
putus oleh seorang wanita yang mengenakan baju warna kuning. Enam tujuh orang
lantas saja meng-hampiri dan mengurung Wan Cie Ie.
"Siapa kau?!" bentak
seorang.
"Siapa suruh kau mengacau
di sini?" teriak
seorang lain.
"Eh, kau memutuskan
petasan. Apa maksud-nya?!" tanya seorang lain.
"Benar-benar kau pernah
gegares nyali macan tutul," kata orang yang satunya lagi. "Berani
betul kau main gila terhadap Ya Loosu dari Kiu-liong-
pay."
Jika Wan Cie Ie bukan seorang
gadis dan juga gadis cantik, siang-siang mereka tentu sudah me-mukul.
Ketika berhadapan dengan
jago-jago Wie-to-bun dan Pat-sian-kiam, sedikit pun si nona tidak merasa keder,
karena ia sudah mengenal baik ilmu silat kedua partai itu. Tapi Kiu-liong-pay
(Partai sembilan naga), ia belum pernah mendengarnya. Maka itu, sembari tertawa
ia berkata: "Sebenarnya aku menimpuk burung di atas air, tapi tak nyana,
sudah kesalahan tangan. Aku sungguh merasa sa¬ngat menyesal."
Orang-orang lantas saja
memberi berbagai pen-dapatnya. Ada yang kata, mustahil si nona kesalahan
tangan, sebab dua renceng petasan itu jatuh se-muanya. Ada yang menanya nama si
nona dan maksud kedatangannya di Ya-kee-wan dan ada pula yang mengumpat caci.
"Berapa sih harganya dua
renceng petasan?" kata Wan Cie Ie sembari tetawa. "Pergi beli
lagi!" Sembari berkata begitu, ia mengeluarkan sepotong emas yang beratnya
kira-kira lima tail. Harga emas itu adalah cukup untuk membeli seribu renceng
petasan.
Melihat gerak-gerik nona itu
yang sangat aneh, semua orang jadi merasa heran dan tak seorang pun yang berani
menyambuti uang emas itu.
"Bukankah tuan-tuan ini
murid-murid Kiu-liong-pay?" tanya Wan Cie Ie sembari mesem.
"Bu¬kankah Ya Loosu yang menjadi Ciangbunjin dari Kiu-liong-pay? Dan
bukankah Ya Loosu ingin pergi ke Pakkhia untuk menghadiri pertemuan para
Ciangbunjin yang dihimpunkan oleh Hok Kongcu?"
Mendengar pertanyaan itu, semua
orang lantas saja mengangguk.
Wan Cie Ie
menggeleng-gelengkan kepala dan lalu berkata dengan suara menyesal:
"Sayang sung¬guh sayang! Petasan yang sedang dibakar mendadak bungkam,
adalah serupa alamat yang sangat jelek. Paling benar Ya Loosu mengurungkan
niatnya."
"Kenapa?" tanya
seorang.
Wan Cie Ie lantas saja menarik
paras muka sungguh-sungguh. "Menurut penglihatanku, sinar muka Ya Loosu
adalah sangat guram," katanya. "Di mukanya terdapat serupa uang hitam
dan di kedua alisnya terlihat garis-garis pembunuhan. Aku berani mengatakan,
bahwa jika Ya Loosu pergi juga ke kota raja, bukan saja nama Kiu-liong-pay akan
herantakan tapi Ya Loosu sendiri bakal terancam jiwanya."
Paras muka semua orang lantas
saja jadi ber-ubah. Ada yang meludah, ada yang memaki dan ada pula yang
berunding dengan suara perlahan karena hatinya sudah digoncangkan oleh
perkataan si nona.
Wan Cie Ie berdiri dalam jarak
yang tidak jauh dari perahu besar itu dan setiap perkataannya sudah didengar
oleh Ya Loosu. Orang tua itu mengawasi si nona yang lemah lembut dan berbadan
langsing kecil, seolah-olah bukan orang yang mengenal ilmu silat. Akan tetapi,
Sesudah menyaksikan timpukan-nya yang luar biasa dan kuda putihnya yang sangat
garang, Ya Loosu mengetahui, bahwa nona itu bukan sembarang orang.
Maka itu, ia segera menyoja
seraya berkata: "Bolehkah aku mengetahui she nona yang mulia? Sudikah nona
naik ke perahu ini untuk berbicara lebih lanjut?"
"Aku she Wan,"
jawabnya. "Lebih baik Ya Loo¬su saja yang turun ke darat."
Menurut kepercayaan di
propinsi Ouwlam pada jaman itu, seseorang yang ingin berlayar dan sudah naik di
perahu, tak boleh turun ke darat lagi se-belum perahu itu berlayar. Jika
kebiasaan itu di-langgar, orang itu akan mendapat akibat yang jelek, katanya.
Dari sebab itu, mendengar perkataan si nona, kedua alis Ya Loosu lantas saja
berkerut, seperti juga ia sedang berpikir keras.
Harus diketahui, bahwa
walaupun memiliki ilmu silat yang tinggi, sehingga ia bisa menjadi Ciang-bunjin
dari suatu partai silat, orang tua itu sangat percaya segala petang-petangan
dan ketakhyulan. Tadi, jatuhnya petasan kedalam airsudah membikin hatinya jadi
sangat tidak enak. Kejadian itu disusul dengan perkataan si nona yang semakin
lama jadi semakin tak enak kedengarannya.
Sesudah menimbang-nimbang
beberapa saat, ia mengambil keputusan untuk tidak menghiraukan gadis jelita
itu. Ia berpaling kepada juragan perahu dan berkata: "Hayolah
berangkat!"
Anak buah perahu itu lantas
saja mengangkat sauh dan beberapa antaranya segera mengangkat galah untuk
menolak perahu.
"Perlahan!" seru Wan
Cie Ie. "Jika kau tak dengar nasihatku, belum seratus lie, perahu itu
pasti sudah tenggelam dan seantero isinya bakal binasa!"
Paras muka Ya Loosu lantas
saja berubah menyeramkan. "Melihat usiamu yang masih begitu muda, aku
sengaja sungkan meladeni," katanya dengan suara keras. "Jika kau
terus ngaco belo, jangan menyesal, kalau aku tak berlaku sungkan-sungkan
lagi."
Dengan sekali mengenjot badan,
si nona sudah hinggap di atas perahu. "Ya Loosu, jangan kau marah," katanya
sembari tertawa. "Aku bicara de-
ngan maksud baik sekali.
Bolehkah aku mengetahui nama Loosu yang besar, supaya aku bisa meramal-kan
untuk kebaikanmu sendiri?"
Orang tua itu mengeluarkan
suara di hidung dan membentak: "Tak usah!"
"Baiklah, kata Wan Cie
le. "Jika Loosu tak sudi memberitahukan namamu, biarlah aku meramalkan
dengan memecah she Loosu saja. Loosu she Ya. Huruf 'Ya' terdiri dari dua huruf
'Jit' (hari) dan Put-jit' (tidak hari), mempunyai arti, bahwa usia Loosu sudah
tidak panjang lagi. Dalam perjalanan ini Loosu menggunakan perahu atau dengan
per-kataan lain, menggunakan jalan air. Jika huruf 'ya' ditambah dengan huruf
'Sui' (air) dan huruf 'Co' (rumput), maka dapatlah kita huruf 'Thong'
(Pe-ngembara). Barangkali Loosu pun mengenal syair jaman dulu yang berarti
seperti berikut: Thong-cu-heng-put-kwi' (Si pengembara tak kembali lagi). Ini
berarti, bahwa dalam perjalanan ini, Loosu tak akan bisa pulang ke kampung
sendiri dan akan binasa di kampung orang."
Mendengar ramalan itu, bukan
main gusarnya Ya Loosu. Tapi, karena perkataan si nona kede-ngarannya beralasan
sekali, kegusaran itu jadi ber-campur dengan kekhawatiran. "Dusta!"
ia mem¬bentak untuk menghibur hatinya sendiri. "Namaku Kit dan 'Kit'
berarti 'selamat' atau 'beruntung'. Apa lagi yang mau dikatakan olehmu?"
"Celaka!" berseru si
nona. "Untuk orang lain, huruf 'Kit' memang baik sekali. Tapi bagi Loosu,
huruf itu justru mengandung kecelakaan. Coba Loosu pikir: Loosu she Ya dan
huruf 'Ya' berarti 'Hoan' (menukar). Apa artinya itu? Itu berarti
bahwa keselamatan ditukar
dengan kecelakaan!"
Ya Kit terkesiap dan tak
mengeluarkan sepatah kata, sedang si nona nakal menyengir dengan pera-saan
puas. Sesaat kemudian, Wan Cie le berkata pula: "Jika huruf 'Kit'
dipecah-pecah, maka da¬patlah kita tiga huruf, yaitu 'Cap It Kouw' (sebelas
mulut). Ya Loosu, ini lebih celaka lagi! Manusia biasa hanya mempunyai satu
mulut, tapi kau mem¬punyai sebelas mulut. Jadi, kau kelebihan sepuluh mulut.
Mulut apa itu? Mulut luka, mulut luka akibat bacokan golok atau pedang! Ah. Ya
Loosu! Dilihat gelagatnya, dalam perjalananmu sekali ini ke kota raja, memang
sudah nasibmu untuk mendapat se¬puluh bacokan dan seperti si pengembara dalam
syair kuno itu, jangankan badan, tulang-tulangmu juga tak akan bisa pulang ke kampung
kelahiran-mu!"
Semakin besar ketahayulan
seseorang, semakin takut dia mendengar perkataan-perkataan yang ku-rang baik.
Sesaat itu paras muka Ya Kit sudah berubah sangat menyeramkan dan sembari
melirik si nona, ia berkata dengan suara dingin: "Baiklah nona, banyak
terima kasih untuk perkataan-per-kataanmu yang sangat berharga. Tapi, bisakah
aku mengetahui siapa adanya gurumu dan siapa ayah-mu?"
"Apakah kau juga ingin
meramalkan nasibku?" tanya si nona sembari tertawa. "Sebab apa kau
ingin mengetahui asal usulku?"
Ya Loosu tertawa dingin dan
berkata pula. "Melihat usiamu yang masih begitu muda dan juga karena
mengingat, bahwa kita sama sekali belum saling mengenal, maka sudah boleh
dipastikan, ke-
datanganmu di sini adalah atas
suruhan orang lain untuk mengganggu aku. Aku si orang she Ya tidak biasa
berkelahi melawan segala bocah cilik dan juga, sebagai lelaki aku tak sudi
ber-tempur dengan perempuan. Suruhlah orang yang berada di belakangmu, datang
ke mari. Kita coba-coba melihat, siapa yang kena sepuluh bacokan dan siapa yang
tak bisa pulang ke kampung sendiri." Sehabis berkata begitu, ia menuding
Wan Cie Ie sembari berteriak: "Sia-pakah manusia di belakangmu itu?"
"Orang di
belakangku?" si nona menegas sem¬bari tertawa dan menengok ke belakang.
Begitu menengok, hatinya
terkesiap. Ternyata, orang yang berdiri di daratan dan mengenakan pakaian
petani, bukan lain daripada Ouw Hui! Tapi sungguh pandai si nona mempertahankan
diri. Tan-pa berubah parasnya, ia berkata sembari tertawa. "Orang yang di
belakangku? Aku melihat dia seperti bocah pengangon kerbau."
"Jangan berlagak
pilon!" teriak Ya Kit dengan kegusaran yang meluap-luap. "Yang
kumaksudkan adalah manusia yang berdiri di belakangmu, yang menyuruh kau datang
ke mari. Jika laki-laki, jangan main sembunyi-sembunyi, suruh dia ke luar! Ke
luar!" Menurut dugaan Ya Kit, tak bisa salah lagi, kedatangan Wan Cie Ie
adalah atas perintah salah seorang musuhnya untuk mengacau keberang-katannya ke
kota raja.
"Ya Loosu," kata
pula Wan Cie Ie dengan paras sungguh-sungguh. "Orang kata: Obat mustajab,
pa-hit rasanya, nasehat jujur, tak enak didengarnya. Nasehatku itu ke luar dari
hati yang sejujurnya dan apakah kau sudi mendengar atau tidak, terserah
kepadamu. Mengenai Kiu-liong-pay, jika kau tidak bisa pergi, aku bersedia untuk
mewakilinya."
* *
Hampir berbareng dengan
meloncatnya Wan Cie Ie ke atas perahu, Ouw Hui sudah tiba di situ.
Hari itu, ketika pakaiannya
dicuri si nona, se-dang ia sendiri mandi di sungai, tentu saja ia tak bisa
mendarat dengan begitu saja. Sesudah malam, baru ia berani naik ke daratan dan
mencuri se-perangkat pakaian dari rumah seorang petani. Apa yang paling
dipikirnya adalah kitab ilmu silat dan ilmu golok yang selalu disimpan dalam
saku baju dalamnya dan baju itu sudah dibawa lari oleh si nona. Ia menduga,
bahwa Wan Cie Ie memang ingin memiliki kitabnya itu, karena mula-mula dia
men¬curi buntalan dan kemudian mencuri pakaiannya. Memikir begitu, dengan
perasaan jengkel dan bi-ngung, ia segera mengejar secepat mungkin. Tak berapalama,
darijauh ia sudah melihat si nona yang menjalankan kudanya perlahan-lahan.
Sekarang ia menjadi sangsi. Menurut pantas, seorang pencuri tentu menyingkir
selekas dan sejauh mungkin. Ke-napa melarikan tunggangannya begitu
perlahan-lahan? Benar-benar Ouw Hui tak mengerti.
Menurut pertimbangannya, jika
menggunakan kekerasan, belum tentu ia bisa mengalahkan si nona. Maka itu, ia
lalu menguntit secara diam-diam untuk menyelidiki gerak-geriknya dan melihat,
apakah nona itu ada kawannya atau tidak. Tapi Sesudah membuntuti dua had, sama
sekali Ouw Hui tidak dapat melihat gerak-gerik luar biasa dari nona itu.
Hari itu, ketika tiba di
Ya-kee-wan, ia mendapat kenyataan, bahwa Wan Cie Ie lagi-lagi ingin me-rebut
kedudukan Ciangbunjin.
"Ah, nona itu tentu sakit
gila," pikir Ouw Hui. "Dia tentu dihinggapi penyakit gila
Ciangbunjin, atau dia mempunyai maksud lain yang lebih da-lam."
Melihat Ya Kit dan Wan Cie Ie
sudah hampir bertempur, diam-diam Ouw Hui menjadi girang. Ia mengambil putusan
menjalankan peranan si pe-nangkap ikan yang mengantongi hasil permusuhan antara
burung dan kerang. Dengan perkataan lain, ia ingin berusaha untuk mengambil
pulang kitabnya, selagi kedua orang itu bertempur. Di saat itu, jika mau,
dengan gampang ia bisa merebut kembali kuda si nona. Akan tetapi, seperti lagu
yang merdu tak akan dinyanyikan untuk kedua kalinya, begitu juga tipu yang
lihay tak akan diulangi lagi. Jika ia meng-ulangi siasat merebut kuda, ia
khawatir ditertawa-kan si nona. Maka itu dengan perlahan ia mendekati perahu,
siap sedia untuk merampas buntalan si nona yang diikatkan di punggungnya.
* *
Sementara itu, mendengar
perkataan Wan Cie Ie, paras muka Ya Kit jadi bersemu ungu, bahna gusarnya.
"Kalau begitu," katanya dengan suara gemetar, "Kalau begitu,
apakah nona mau mengata-kan, bahwa aku, Ya Kit, tak mempunyai kemam-puan dan
tak berhak lagi menjadi Ciangbunjin dari Kiu-liong-pay?"
"Bukan, bukan
begitu." jawabnya sembari nye-ngir. "Perjalanan Loosu sekali ini
adalah perjalanan yang penuh bahayanya. Urusan jiwa tak boleh di-buat
main-main. Maka itu, lebih baik Loosu me-nyerahkan kedudukan Ciangbunjin
kepadaku. Na-sehat ini ke luar dari hati yang suci dan hanyalah
untukmu...."
Baru saja ia berkata begitu,
dari dalam perahu mendadak ke luar dua orang lelaki yang masing-masing mencekal
Kiu-ciat-pian (pian, atau pecut yang mempunyai sembilan tekukan).
"Perempuan itu miring
otaknya, tak usah Suhu meladeni ia," kata lelaki yang setengah tua.
"Biar teecu (murid) saja yang melemparkan dia ke da-ratan, supaya tak
membikin kapiran saat yang baik untuk menjalankan perahu." Sembari berkata
be¬gitu, ia mengulurkan tangan kirinya untuk men-dorong pundak Wan Cie Ie.
"Payah! Ilmumu
payah!" kata si nona sambil menyentil lengan orang itu. Begitu tersentil,
lengan orang itu kesemutan dan tangannya turun pula dengan perlahan.
"Toasuko, gunakan
senjata!" teriak kawannya.
Berbareng dengan suara
kerontrangan, dua Kiu-ciat-pian yang terbuat dari baja menyambar si nona. Tapi
karena memang bukan maksud mereka
untuk mengambil jiwa orang, kedua
senjata tidak menyambar ke bagian tubuh yang berbahaya.
Melihat senjata orang, Wan Cie
Ie lantas saja menduga, bahwa nama Kiu-liong-pay sudah di-dapatkan karena
orang-orang partai itu terutama mahir dalam menggunakan Kiu-ciat-pian. Disaat
itu, kedua pian tersebut sudah hampir mengenai tubuhnya. "Bagus!"
katanya di dalam hati. "Sekarang kau bertemu dengan kakek moyangmu."
Cepat bagaikan kilat, kedua
tangannya me¬nyambar dan menangkap dua ujung pian itu yang lantas saja
dicantelkan satu pada yang lain. Dalam melakukan gerakan tangannya itu tubuh si
nona sama sekali tidak bergerak.
Kedua murid Ya Kit lantas
membetot dengan berbareng dan betotan itu justru yang diinginkan oleh Wan Cie
Ie, karena kedua Kiu-ciat-pian itu lantas saja menyantel semakin keras. Mereka
be-ngong bahna kaget, lalu membetot pula dan se-baliknya dari terlepas,
cantelan itu jadi semakin keras pula.
"Goblok! Minggir!"
bentak Ya Kit, sembari mencengkeram jubah panjangnya dan dengan sekali
menggentak, tujuh kancingnya copot semua. Ge¬rakan ini disusul dengan kibasan
tangan kirinya dan jubah panjangnya sudah terlucut dari tubuhnya. Demikianlah,
dengan pakaian ringkas, ia berdiri di depan si nona dengan penuh keangkeran.
Semua muridnya yang berdiri di gili-gili lantas saja ber-
sorak-sorai.
Wan Cie Ie
menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata: "Sebenarnya tak pantas
kalian ber-sorak-sorai. Gerakan itu dinamakan Toh-pauw-
siang-wie (Membuka jubah
menyerahkan keduduk-an). Membuka jubah memang tak apa, tapi me¬nyerahkan
kedudukan adalah suatu alamat bahwa kedudukan Ciangbunjin memang sudah
ditakdirkan harus diserahkan kepadaku."
Ya Kit terkejut, ia lantas
saja merasa, bahwa gerakannya tadi memang merupakan alamat yang kurang baik. Ia
meraba pinggangnya dan di lain saat, tangannya sudah mencekal sebuah
Kiu-ciat-pian yang mengkilap.
Cara Ya Kit mengeluarkan
senjatanya merupa¬kan suatu keheranan, yakni Kiu-ciat-pian baja itu sama sekali
tidak mengeluarkan suara. "Celaka!" si nona mengeluh. "Orang ini
tak boleh dibuat ge-gabah. Aku sendiri tak mampu menggunakan ilmu itu."
Tongkrongan Ya Kit benar-benar
menyeram-kan. Dengan badannya yang tinggi besar ia men¬cekal Kiu-ciat-piannya
yang berukuran hebat, setiap tekukannya sebesar telor itik.
Waktu itu, karena sauh sudah
diangkat, maka perahu jadi bergoyang-goyang tak hentinya. Ya Kit mengayun
senjatanya dan menyabet sauh itu yang lantas saja terpental dan nyemplung ke
dalam air, sehingga perahu itu menjadi tetap kembali. Itulah suatu pertunjukan
kekuatan yangsangat hebat. Jika tangan Ya Kit tidak mempunyai tenaga tujuh atau
delapan ratus kati, ia tentu tidak bisa berbuat be-gitu.
Wan Cie Ie terkesiap.
"Tenaga orang itu sangat besar dan ilmunya tinggi," pikirnya.
"Dia harus di-jatuhkan dengan tipu, tak bisa dilawan dengan tenaga."
Melihat badan Ya Kit yang
tinggi besar dan usianya yang agak lanjut, si nona berpendapat bah-wa meskipun
Lweekangnya tinggi, gerak-gerik orang tua itu tentunya kurang gesit. Berpikir
begitu, ia segera mendapat suatu akal yang baik.
"Ya Loosu," katanya.
"Aku adalah seorang wa-nita dan jika kita bertempur di kepala perahu, tak
perduli menang atau kalah, pertempuran ini pasti akan berakibat kurang baik
bagi perjalananmu. Maka itu, aku ingin mengusulkan supaya kita bertanding di
tempat lain."
Ya Kit menyetujui usul itu, tapi
ia juga sungkan turun ke darat.
"Ya Loosu," kata
pula si nona. "Sekarang kita berjanji dulu: Jika aku menang, bukankah kau
akan menyerahkan kedudukan Ciangbunjin dari Kiu-liong-pay kepadaku? Apakah jika
sampai kejadian begitu, murid-muridmu akan rela menerimanya?"
Ya Kit merasakan dadanya sesak
bahna gusar-nya. "Tak rela, toh mesti rela juga!" bentak orang tua
itu. "Tapi, kalau kau yang kalah?"
"Aku akan berlutut di
hadapanmu dan mc-manggil kau ayah," jawab si nona sembari me-nyengir.
"Hanya aku memohon kau suka menyayang si anak angkat." Sembari
berkata begitu, ia meraba pinggangnya dan di lain saat, tangannya sudah
men-cekal pecut.
Sambil mengenjot badan, ia
mengayun pecut-nya yang lantas saja melibat tiang layar. Dengan menarik pecut
itu, badannya membumbung ke atas dan begitu lekas lengan kirinya memeluk tiang
layar, pecutnya sudah diayun lagi dan kembali melibat bagian lebih atas dari
tiang itu. Sekali lagi ia menarik
pecutnya sembari mengempos
semangat dan de¬ngan gerakan It-ho-thiong-thian (Seekor burung ho menembus
langit), badannya melesat ke atas dan ia hinggap persis di puncak tiang! Itulah
suatu ilmu mengentengkan badan yang sudah mencapai pun¬cak kesempurnaan! Tanpa
merasa, semua penonton bersorak-sorai.
Ya Kit mengeluarkan suara di
hidung dan me-libatkan Kiu-ciat-piannya di pinggangnya. Begitu tangan kirinya
mencengkeram tiang layar, badannya naik kira-kira dua kaki. Sesudah tangan kiri
itu, ia mengulurkan tangan kanannya yang kembali men¬cengkeram tiang dan
tubuhnya naik lebih tinggi lagi. Harus diketahui, bahwa tiang itu sebesar
mangkok nasi dan tak akan dapat dicekal dengan sebelah tangan. Tapi, tenaga
jeriji Ya Kit adalah sedemikian lihaynya dan telapakan tangannya mengandung
Lweekang yang sangat dalam, sehingga, walaupun tiang tidak tercekal, bisa juga
ia berbuat begitu. Dengan cepat, tubuhnya menaik ke atas dan bagi seorang ahli,
perbuatan itu merupakan suatu per-tunjukan ilmu yang sangat dahsyat.
Dilain saat, Ya Kit sudah
berada dalam jarak kira-kira setombak dari si nona. Wan Cie Ie me-ngetahui,
bahwa jika lawannya sudah naik ke atas, ia bisa jadi berabe. Maka itu, selagi
ia masih bisa menarik keuntungan dari kedudukannya yang lebih tinggi, ia segera
mendului. "Ya Loosu!" ia mem-bentak. "Pecutku mempunyai delapan
belas tekuk-an, sembilan tekuk lebih banyak daripada pecutmu." Berbareng
dengan seruannya, ia mengayunkan sen-jatanya yang segera menyambar kepala Ya
Kit.
Ya Kit yang kedua tangannya
sedang mencengkeram tiang benar-benar berada dalam bahaya. Jika ia berkelit
badannya akan merosot ke bawah dan itu akan berarti, bahwa ia sudah kalah.
"Tak punya malu!"
teriak salah seorang murid-nya di darat.
"Tak adil!" seru
orang kedua. "Perempuan bangsat! Turun kau, jika berani!" orang
ketiga mencaci.
Sesaat itu, Ya Kit sudah
bergerak untuk mem¬bela diri. Dengan lengan kiri ia memeluk tiang dan
Kiu-ciat-pian di tangan kanannya sudah menyambar ke atas untuk memapaki pecut
si nona.
Wan Cie le mengetahui, bahwa
jika kedua senjata lemas itu sampai kebentrok dan terlibat satu dengan yang
lain, ia akan kalah tenaga dalam betot membetot. Maka itu, pada detik terakhir,
ia menge-dut senjatanya untuk menghindari bentrokan. Baru saja ia mau memecut
pula, Ya Kit sudah memutar senjatanya bagaikan titiran untuk melindungi
ke-palanya, kemudian, sambil membentak keras, ba¬dannya "terbang" ke
atas dan... ia sudah hinggap di palang tiang! Tepuk tangan dan sorak-sorai yang
gemuruh menyambut gerakan yang luar biasa in-
dahnya itu.
Dalam pada itu, sebaliknya
dari khawatir, hati Wan Cie le jadi terlebih mantap. Dari gerakan Kiu-ciat-pian
Ya Kit, ia segera mengetahui, bahwa walaupun orang tua itu mempunyai tenaga
yang sangat besar, ilmu silatnya tidak seberapa, sedikit-nya masih belum dapat
menandingi ilmu pecutnya. Maka itu, dengan perasaan tenang, sambil me-miringkan
badannya ke kiri, Wan Cie le segera menyabet ke kanan. Ya Kit yang sudah
nangkring
dengan selamat, juga lantas
mengayun senjatanya sembari mesem.
Demikianlah, kedua lawan itu
segera serang-menyerang di atas tiang yang tingginya tujuh atau delapan tombak.
Pertempuran itu, di samping mem-berikan pemandangan yang mengerikan, juga indah
luar biasa. Jumlah manusia yang berkumpul di tepi sungai semakin lama jadi
semakin banyak, sedang di atas air, jumlah perahu juga jadi bertambah.
Ya Kit mengerti, bahwa dalam
ilmu meng-entengkan badan, kepandaiannya masih belum bisa menandingi lawannya.
Tapi, untung sekali, ia se-karang sudah berada di tempat yang sentosa. Di lain
pihak, Wan Cie le yang lincah bergerak-gerak dan mundur maju tiada hentinya,
sambil menghantam pulang pergi dengan pecutnya. Dalam pertempuran itu, si nona
mempunyai dua keuntungan, pertama, ia lebih gesit dan kedua, senjatanya banyak
lebih panjang, kira-kira dua kali lebih panjang daripada Kiu-ciat-pian
lawannya. Maka itu, sedang Ya Kit hanya bisa membela diri. Wan Cie le menyerang
kalang kabutan sesuka hatinya. Sesudah bertempur tiga puluh jurus lebih, sambil
berseru keras dan nyaring, si nona mengubah cara bersilatnya. Dalam sekejap
saja, pecutnya sudah berkelebat-kelebat bagaikan ular perak yang sedang
menari-nari dan pukulan-pukulannya jadi lebih aneh lagi. Diserang secara
begitu, Ya Kit terpaksa memutarkan senjata¬nya secara lebih dahsyat untuk
melindungi seluruh tubuhnya. Harapan Ya Kit satu-satunya adalah ber-usaha untuk
melibat pecut si nona dan kemudian membetotnya untuk merubuhkan lawannya ke
ba¬wah tiang. Di lain pihak, Sesudah bertempur lama
juga, Wan Cie Ie mengetahui,
bahwa orang tua itu hanya memiliki tujuh delapan macam pukulan yang diulangi
lagi.
Dilihat sekelebatan, Wan Cie Ie
memang ber-ada di atas angin. Tapi, keadaan yang sebenarnya bukan begitu. Harus
diketahui, bahwa cara si nona berkelahi meminta banyak tenaga dan kewaspadaan
yang sepenuh-penuhnya. Begitu dia lelah, ilmu pe-cutnya akan segera menjadi
kalut dan sekali lengah, ia bisa terpeleset dan jatuh ke bawah. Sebagai seorang
tua yang berpengalaman, itulah yang di-tunggu Ya Kit. Ia mempertahankan diri
untuk me-nunggu saatnya yang baik.
Wan Cie Ie tentu saja mengerti
maksud Ya Kit. Tapi karena garis pembelaan orang tua itu luar biasa rapatnya,
ia tidak bisa berbuat banyak. Jika pertem-puran itu dilakukan di atas tanah
datar, ia bisa menggunakan macam-macam cara, misalnya meng-hantam sambil
berlompat tinggi, menyabet sembari menggulingkan badan dan sebagainya. Tapi, dengan
berada di atas tiang, tentu saja ia tak bisa berbuat
begitu.
Sesudah lewat lagi belasan
jurus, napas si nona sudah mulai tersengal-sengal dan gerak-geriknya sudah
tidak begitu gesit lagi. Berselang beberapa jurus lagi, selagi ujung pecut si
nona menyambar mukanya dengan gerakan yang tak begitu dahsyat, mendadak Ya Kit
mengulurkan tangan kirinya un¬tuk mencengkeram bola emas di ujung pecut lawan
itu. Dengan kaget, Wan Cie Ie mengedut sen-jatanya. Tapi tak dinyana, sembari
membentak ke-ras, Ya Kit sudah menyabet dengan Kiu-ciat-pian-nya. Suatu
bentrokan tak dapat dielakkan lagi dan
di lain detik, kedua senjata
lemas itu sudah saling melibat.
Dengan girang Ya Kit segera
mengerahkan tenaga dalamnya dan membetot sekuat-kuatnya. Wan Cie Ie mencelos
hatinya karena ia merasakan lengannya terbetot keras. Ia mengetahui, bahwa jika
kekerasan dilawan dengan kekerasan, ia pasti kalah.
Dalam keadaan berbahaya itu,
si nona yang galak tidak menjadi bingung. Bagaikan kilat, ia mengambil
keputusan untuk terjun ke dalam ba-haya. Ia mengempos semangatnya dan
mengebas-kan tangan kanannya yang mencekal pecut, sembari melepaskan senjata
itu. Pecut itu melesat dan ber-putar-putar bagaikan titiran melibat tiang layar
dan... ternyata lutut Ya Kit serta lengan kanannya, juga sudah dilibat
erat-erat ke tiang perahu dengan pecut Wan Cie Ie dan senjatanya sendiri!
Itulah benar-benar suatu
kejadian yang tak diduga-duga! Dalam kagetnya, buru-buru ia meng¬ulurkan tangan
kirinya untuk membuka libatan itu. Tapi Wan Cie Ie sudah menubruk! Dua jeriji
tangan kiri si nona lantas saja menyambar untuk mengorek biji mata lawannya.
Buru-buru Ya Kit melepaskan
pecut musuh yang baru saja ditangkap dengan tangan kirinya dan menyampok
serangan si nona. Tapi, tak dinyana, serangan itu hanyalah gertakan belaka.
Begitu Ya Kit menyampok, Wan Cie Ie menahan gerakan tangan kirinya dan pada
saat yang sama, tangan kanannya menotok jalan darah Yan-goat-hiat mu¬suh, di
bawah ketiak. Lengan kiri Ya Kit lantas saja menjadi kaku. Ia sekarang tidak
berdaya lagi, ka-
rena kedua lutut dan lengan
kanannya dililit cambuk
lawan.
Melihat, bagaimana si nona
sudah bisa merebut kemenangan pada saat yang sangat berbahaya, tan-pa merasa
Ouw Hui bersorak. Tapi, sedang mu-lutnya tnasih belum tertutup,
sekonyong-konyong sembilan buah Kim-chie-piauw menyambar ke atas, ke arah
pelbagai jalan darah si nona.
Bukan main kagetnya Wan Cie
Ie. Ketika itu, ia sedang berdiri di palang tiang layar, ia tak dapat meloncat
maju atau mundur, tak bisa berkelit ke kiri atau ke kanan. Pada saat terakhir,
justru se-rangan itu sudah hampir mengenai tubuhnya, ia mendoyongkan badannya
ke belakang dan sembilan piauw itu terbang lewat di atas tiang. Semua orang
yang tadi menahan napas, dengan serentak ber-sorak-sorai sembari bertepuk
tangan. Di atas tiang yang begitu tinggi, si nona memperlihatkan ke-pandaiannya
selaku akrobat. Kedua kakinya di-cantelkan pada palang pintu tiang, tubuhnya
ce-lentang membujur di tengah udara!
Tapi si pembokong sungkan
menyerah mentah-mentah. Sekali lagi, ia melepaskan tiga buah Kim-chie-piauw,
sebuah menyambar ke badan si nona, vang dua melesat ke arah palang tiang layar.
Ouw Hui mengetahui, bahwa
sekali ini, Wan Cie Ie tak akan dapat menolong diri lagi. Dengan perasaan
mendongkol terhadap si pembokong yang kejam, buru-buru ia melepaskan tiga
batang piauw. Berkat tenaga dalamnya yang sangat besar, mes kipun Ouw Hui
melepaskannya lebih belakang, tiga piauwnya bisa menyusul senjata penyerang
gelap" Itu dan di lain saat, keenam piauw itu sudah kebentrok di tengah
udara dan segera jatuh meluruk ke dalam air.
Wan Cie Ie mengerti, bahwa
barusan jiwanya tergantung pada selembar rambut. Jantungnya me-mukul keras dan
keringat dingin mengucur di dahi-nya. Baru saja ia ingin berbangkit, mendadak
Ouw Hui berteriak sembari melompat ke atas perahu. Berbareng dengan
terdengarnya bunyi "bletok, kraak", palang tiang layar yang dicantel
kaki Wan Cie Ie, telah patah dan si nona bersama-sama de¬ngan palang itu,
melayang jatuh ke atas air. Dengan kepala di bawah kaki di atas, Wan Cie Ie
me¬ngetahui, siapa yang membokong dan siapa yang sudah menolong padanya. Tapi
siapa yang sudah mematahkan tiang layar, ia tak dapat melihatnya. Tapi ia tidak
jatuh sendiri saja. Tiang layar itu juga patah dan tubuh Ya Kit turut ambruk ke
bawah.
Bagaimana bisa terjadi begitu?
Ternyata, sesudah lengan
kirinya ditotok, Ya Kit masih dapat menggunakan tangan kanannya. Dengan sekali
mengerahkan tenaga dalamnya, ia berhasil meloloskan tangan kanan itu, yang
dililit cambuk lawannya. Dengan girang, ia mengempos semangatnya dan
mengumpulkan seluruh tenaga-nya di telapak tangan kanan itu yang lalu digunakan
untuk menghantam palang tiang layar itu. Palang itu menjadi patah dan si nona
lantas saja jatuh ke bawah.
Pada saat itulah, sembari
berteriak, Ouw Hui lompat ke atas perahu. Ia mengerahkan tenaga dalamnya dan
membentur tiang layar dengan pung-gungnya. Tapi tiang yang besar itu hanya
bergoyang-goyang beberapa kali. Ouw Hui bingung. Ia me-
ngerahkan seluruh tenaganya
dan membentur pula sekuat-kuatnya. Kali ini ia berhasil, tiang itu patah.
Sembari menahan napas, semua orang meng-awasi kedua lawan itu yang tengah
melayang jatuh. Bahaya yang mengancam si nona belum habis sam-pai di situ. Ia
jatuh lebih dulu, disusul oleh tiang layar. Jika tiang itu menimpa badannya, ia
bisa binasa seketika. Buru-buru Ouw Hui mengambil tambang penarik perahu yang
terletak di kepala perahu. "Sambut!" ia berteriak sembari
melontar-kan tambang itu kepada Wan Cie Ie.
Sedang badannya melayang di
tengah udara, hati si nona bukan main bingungnya. Benar ia bisa berenang dan
tak akan mati di air, tapi ia merasa malu sekali jika mesti kecebur dan menjadi
basah kuyup. Demikianlah, ia segera menjambret tambang itu dengan girang. Ouw
Hui menggentak dan di lain saat, Wan Cie Ie sudah hinggap di atas perahu!
Hampir berbareng dengan
turunnya di atas geladak, terdengar bunyi "Jubyar" dan air sungai
muncrat ke empat penjuru. Itulah bunyi jatuhnya Ya Kit bersama-sama dengan
tiang layar. Sembari berteriak keras, murid-murid Kiu-liong-pay terjun ke air
untuk menolong guru mereka.
Di lain pihak, sembari tertawa
manis Wan Cie Ie berkata: "Ouw Toako, terima kasih banyak untuk
pertolonganmu!"
Ouw Hui juga tertawa.
"Nona," katanya. "Aku she Ouw. Huruf 'Ouw' terdiri dari tiga
huruf 'Goat, Sip dan Kouw' (bulan, sepuluh dan mulut). Bu-kankah itu berarti,
bahwa setiap bulan aku bakal dibacok sepuluh kali?"
Si nona tertawa geli, ia
sekarang mengetahui,
bahwa pembicaraannya dengan Ya
Kit sudah di-dengar pemuda itu. "Masih untung," katanya. "Da-lam
namamu terdapat huruf 'Hui' (tidak). Karena adanya huruf itu, segala bencana
akan berubah menjadi keselamatan."
"Terima kasih, terima
kasih banyak untuk kata-katamu yang berharga itu," kata Ouw Hui sembari
tertawa geli.
Pertemuan itu benar-benar
menggirangkan hati Wan Cie Ie, terlebih pula karena pemuda itu sudah menolong
jiwanya. Maka itu, untuk memperbaiki perselisihan mereka, ia segera berkata
pula: "Huruf 'Hui' dengan sendirinya berarti 'Bun-cay-hui-jian' (lemah
lembut, indah sekali). Jika huruf 'Hui' (ti¬dak) ditambah huruf 'Co' (rumput),
kita memper-oleh huruf 'Hui' (harum). Sebagaimana kau tahu, pada sebuah syair
kuno yang mempunyai bagian sebagai berikut: 'Hong-hui-hui-sie-boan-tong'
(Ke-haruman yang semerbak memenuhi seluruh ruang-an). Jika huruf 'Hui' (merah).
Kata orang: 'Ie-hui-co-cie' (bajunya merah ungu, warna ini di jaman dulu hanya
boleh dipakai pembesar negeri)."
"Aduh!" kata Ouw Hui
sembari meleletkan li-dah. "Kalau begitu, kau sekarang mengangkat aku
menjadi seorang pembesar tinggi. Hebat!"
Demikianlah kedua orang muda
itu bersenda gurau sembari tertawa-tawa, seolah-olah di situ tidak terdapat
manusia lain.
Sementara itu, dengan suara
ribut, Ya Kit sudah diangkat naik ke darat. Ia tak bisa berenang dan sudah
minum banyak sekali air. Mungkin karena gusarnya, seketika itu ia pingsan dan
mukanya pucat seperti kertas. "Ah! Jika dia mati, urusan ini bisa
menjadi besar," pikir si
nona, yang lantas saja ber-kata dengan suara perlahan: "Ouw Toako, mari
kita berangkat. Sudahlah, aku tak mau menjadi Ciang-bunjin Kiu-liong-pay."
la melompat ke darat dan mengambil pecutnya yang masih melibat tiang layar.
Murid-murid Kiu-liong-pay rata-rata sudah naik darah. Begitu si nona mendarat,
enam tujuh orang lantas menyerangnya dengan cambuk masing-masing. Dengan sekali
menyampok, Wan Cie Ie sudah berhasil menangkis semua serangan itu. Sem-bari
meloncat ke luar dari gelanggang, si nona melirik Ya Kit yang rebah tanpa
berkutik, entah mati, entah hidup.
Sementara itu, Ouw Hui sudah
melompat ke atas punggung kudanya dan dengan menuntun si putih, ia berseru:
"Sudahlah! Ciangbunjin Kiu-liong-pay adalah kedudukan sial."
"Baiklah," kata Wan
Cie Ie sembari meloncat ke punggung si putih.
Murid-murid Kiu-liong-pay
berteriak-teriak dan coba merintangi keberangkatan mereka. Sesaat itu, dua
orang yang bersenjata Kiu-ciat-pian sudah menyabet kaki si putih. Wan Cie Ie
memutarkan badan dan memapaki serangan itu dengan cam-buknya. Begitu kebentrok,
kedua pian itu sudah dilibat erat-erat oleh cambuk si nona, yang lantas saja
mengedut les dan si putih sudah segera kabur. Sesaat itu juga, kedua orang itu
jatuh terguling dan terseret-seret. Dalam kaget dan bingungnya, me¬reka tak
ingat untuk melepaskan senjata mereka yang dililit pecut Wan Cie Ie.
Sesudah kudanya lari belasan
tombak, dengan perasaan geli si nona menahan tunggangannya. Ke-
dua orang itu lantas bangun
dengan penuh luka dan pakaian robek. "Eh," kata si nona sembari
tertawa. "Apakah pianmu senjata mustika? Kenapa kau tak mau
melepaskannya?" Tanpa menunggu jawaban, ia menendang perut si putih yang
lantas saja kabur seperti terbang. Kedua murid Kiu-liong-pay itu sa-dar dan
buru-buru melepaskan senjata mereka. Sayup-sayup mereka mendengar suara
tertawanya Wan Cie Ie yang lari berendeng dengan Ouw Hui.
Murid-murid Kiu-liong-pay
hanya bisa meng-awasi kaburnya kedua musuh itu tanpa bisa berbuat suatu apa.
Mereka bisa mencaci sepuas hati, tetapi apa gunanya. Sementara itu,
perlahan-lahan Ya Kit sadar dari pingsannya. Semua muridnya lantas
me-ngerumuninya dan menanyakan keselamatannya.
Sesudah lari jauh, baru Wan
Cie Ie melem-parkan kedua Kiu-ciat-pian itu yang terbawa pe¬cutnya. Ia melirik
Ouw Hui yang mengenakan pa¬kaian petani, sehingga kelihatan tolol sekali.
Hati-nya merasa geli tercampur berterima kasih, karena tanpa pertolongan pemuda
itu, mungkin sekali ia sudah harus membuang jiwa di Ek-kee-wan.
Sesudah berjalan beberapa
jauh, Ouw Hui men-dadak menegur: "Nona, tahukah kau, berapa ba-nyak jumlah
cabang atau partai dalam Rimba Per-silatan di kolong langit?"
Tidak," jawabnya sembari
mesem. "Dan kau? Apakah kau tahu?"
Ouw Hui menggelengkan
kepalanya. "Jika aku tahu, tak perlu aku menanya kepadamu," sahutnya.
"Sekarang kau sudah merebut kedudukan Ciang¬bunjin dari Wie-to-bun,
Pat-sian-kiam dan Kiu-liong-pay. Sampai kapan kau baru puas?"
Si nona tertawa geli.
"Biarpun aku sudah me-rubuhkan Ya Kit, murid-muridnya masih belum
takluk," katanya. "Maka itu, tak dapat dikatakan, bahwa aku sudah
berhasil merebut kedudukan Ciangbunjin dari Kiu-liong-pay. Mengenai
partai-partai besar, seperti Thay-kek, Siauwlim, Butong dan beberapa partai
lain, aku tentu tak berani melanggarnya. Jika aku bisa merebut lagi Ciangbun
sepuluh partai kecil, rasanya cukuplah."
"Aduh!" kata Ouw Hui
sembari tertawa. "Ciong-ciang-bun (pemimpin besar) dari tiga belas partai!
Hebat benar kedengarannya!"
"Ouw Toako," kata
Wan Cie le. "Kau memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Kenapa kau tak
mau coba merebut beberapa kedudukan Ciangbun? Di sepanjang jalan, kita
bergilir, kau merebut yang satu, aku merampas yang lain. Setibanya di Pakkhia,
dengan keren kita sama-sama bisa menghadiri per-temuan yang diselenggarakan Hok
Kongcu, aku sebagai Ciong-ciangbun dari tiga belas partai dan kau pun sebagai
Ciong-ciangbun dari tiga belas partai lainnya. Bukankah bagus sekali?"
Ouw Hui menggeleng-gelengkan
kepalanya be¬berapa kali. "Tidak," katanya. "Aku tak mempunyai
nyali sebesar kau dan juga tidak mempunyai kepan-daian setinggi kepandaianmu.
Bisa-bisa, bukannya berhasil, sebaliknya aku didupak masuk ke dalam sungai
dengan pukulan Lu-tong-pin-tui-kauw (Lu Tong Pin mendupak anjing)."
Si nona tertawa
terpingkal-pingkal. "Ouw Toa¬ko," katanya sembari menyoja.
"Siauw-moay (adik) meminta maaf."
"Ciong-ciangbun,"
kata Ouw Hui sembari mem-
balas memberi hormat.
"Aku yang rendah tak berani menerima kehormatan itu."
Melihat sikap dan tindak
tanduk Ouw Hui yang simpatik, Wan Cie le jadi semakin senang. "Tak heran,
bahwa si bocah Tio Poan San memuji kau," katanya sembari mesem.
Ouw Hui yang memang sangat
ingin tahu ten-tang kakaknya, lantas saja menanya: "Bagaimana dengan Tio
Toako? Apa yang dikatakannya ke-padamu?"
"Jika kau bisa mengejar
aku, aku akan men-ceritakan," jawab Wan Cie le sembari menendang perut si
putih.
Ouw Hui mengerti, bahwa
sebegitu lekas si putih kabur, ia tak akan dapat menyusul lagi. Maka itu, baru
saja si putih akan mementang kaki, ia sudah mengenjot badannya, yang lantas
saja melesat dan hingga di punggung si putih, di belakang si nona. Di lain
saat, si putih sudah kabur keras, diikuti kuda Ouw Hui dari belakang.
Sembari mengaburkan kudanya,
Wan Cie le merasakan mukanya panas. Mulutnya sudah ter-buka untuk bicara, tapi
ia mengurungkan niatnya. Tiba-tiba terdengar menggelegarnya guntur dan di
kejauhan, awan hitam menutupi sebagian langit. Si nona menggentak les untuk
mempercepat lari kuda¬nya.
Tak lama kemudian awan mendung
sudah me-luas dan hampir sampai di atas mereka. Di se¬panjang jalan tidak
terdapat rumah penduduk, tapi jauh-jauh di suatu lembah, mereka melihat tembok
yang berwarna kuning. Wan Cie le mengaburkan tunggangannya secepat mungkin dan
segera men-
dapat kenyataan, bahwa tembok
itu adalah tembok kuil. Di depan kuil itu digantungkan papan dengan tulisan:
Siang Hui Sin-sie (Kuil Siang Hui). Rumah berhala itu sudah banyak rusak, sudah
diterlantar-
kan lama.
Ouw Hui melompat turun, ia
membuka pintu kuil itu dan menuntun si putih masuk ke dalam. Disaat itu, kilat
berkelebat, dibarengi dengan ge-muruh guntur yang menggelegar. Meskipun
ber-kepandaian tinggi, Wan Cie Ie terkesiap juga. Dari ruangan depan, Ouw Hui
masuk ke ruangan be-lakang, tapi ia tak menemukan seorang manusia jua. Ia
kembali ke ruangan depan seraya berkata: "Ruangan belakang lebih
bersih." Sehabis berkata begitu, ia mengambil rumput kering yang terdapat
di situ dan menyapu sebagian lantai di ruangan belakang itu.
Si nona tak mengeluarkan
sepatah kata. Tadi, mereka bersenda gurau sembari tertawa-tawa, tapi sesudah
berdua menunggang seekor kuda, Wan Cie Ie kelihatan agak kikuk dan
kemalu-maluan.
Sesudah lantai itu bersih,
mereka lalu duduk berendeng dengan mulut tertutup rapat-rapat.
Beberapa saat kemudian, secara
kebetulan me¬reka sama-sama menengok, sehingga dua pasang mata mereka jadi
kebentrok. Kedua-duanya mele-ngos dengan perasaan jengah.
"Bagaimana dengan keadaan
Tio Samko?" ter-dengar Ouw Hui memecahkan kesunyian.
"Baik!" jawabnya.
"Dia belum pernah tak baik." "Di mana ia sekarang?" tanya
Ouw Hui pula. "Aku sungguh ingin menjumpainya."
"Pergi ke Huikiang,"
kata si nona. "Jika kau tak
mati dan dia masih hidup,
pasti bisa bertemu."
Ouw Hui tertawa. "Apakah
kau datang dari Huikiang?" ia menanya lagi.
Wan Cie Ie menyengir.
"Benar," sahutnya. "Apakah romanku menunjukkan tanda-tanda
pen-duduk Huikiang?"
"Tak tahu," kata Ouw
Hui. "Aku hanya me-ngetahui, bahwa Huikiang adalah suatu daerah gu-run
pasir. Tak dinyana, di tempat yang tandus itu bisa muncul seorang gadis yang
begini cantik!"
"Fui!" bentak Wan
Cie Ie dengan wajah ke-merah-merahan.
Baru saja perkataan itu ke
luar dari mulutnya, Ouw Hui sudah merasa menyesal. Ia merasa, bahwa di suatu
tempat yang begitu sunyi, tidak pantas ia mengeluarkan kata-kata yang agak
kurang ajar. Maka itu, ia segera beralih membicarakan soal lain. "Me-ngapa
Hok Kongcu menghimpunkan para Ciang-bunjin?" tanyanya. "Bagaimana
pendapatmu?"
Mendengar pertanyaan yang
sungguh-sungguh itu tanpa mengandung nada bercanda, si nona me-lirik seraya
menyahut. "Dia sebangsa manusia mahal yang pekerjaannya sehari-hari hanya
makan tidur. Mungkin sekali ia mengumpulkan para ahli silat untuk menghibur
hatinya yang pepat, seperti orang mengadu jago atau jangkrik. Hanya, sungguh
sa-yang, bahwa banyak sekali ahli-ahli silat yang sudah kena
dipermainkannya."
Ouw Hui menepuk lututnya
sendiri keras-ke-ras. "Benar perkataanmu!" ia berteriak. "Aku
sung¬guh merasa takluk. Baru sekarang aku mengetahui, bahwa sepak terjangmu
saban-saban merebut ke-dudukan Ciangbunjin, adalah untuk mengacau mak-
sud manusia mahal itu."
Wan Cie Ie tertawa dengan
perasaan senang sekali. "Paling benar kita berdua bekerja sama un-tuk
merebut sebanyak mungkin kedudukan Ciang-bunjin," katanya. "Dengan
demikian, rencana Hok Kongcu akan menjadi kacau balau dan gagal. Se-sudah itu,
kita pergi ke Pakkhia untuk mengacau sepuas hati kita, supaya manusia itu tak
berani memandang rendah lagi ahli-ahli silat di kolong langit."
"Bagus!" seru Ouw
Hui. "Nona, kau maju di depan dan Ouw Hui, si kecil, akan memberi segala
bantuan yang dia bisa."
"Jangan begitu
sungkan," kata si nona. "Ke-pandaianmu jauh lebih tinggi daripada
aku."
Kedua orang muda itu terus bercakap-cakap
dengan gembira. Hujan sudah turun, bahkan semakin lama jadi semakin besar. Di
belakang kuil itu terdapat jurang yang bergemuruh karena turunnya air hujan.
Rumah berhala itu yang sudah lama tak pernah dibetulkan, bocor di sana sini,
sehingga kedua orang muda itu terpaksa mepet di suatu pojok.
Dengan cepat, siang sudah
berganti malam. Melihat, bahwa mereka tak mungkin meneruskan perjalanan, Ouw
Hui segera pergi ke dapur dan mengambil kayu-kayu kering yang lalu
dinyalakan-nya. "Hujan tak mau berhenti," katanya sembari tertawa.
"Apa boleh buat, kita
mesti menginap di sini."
Wajah Wan Cie Ie lantas saja
berubah merah dan di bawah sinar perapian, ia kelihatan lebih cantik lagi. Dari
Huikiang ia telah melalui per-
jalanan laksaan li dan tak
jarang mesti tidur di alam terbuka.
Akan tetapi, bermalam di rumah
berhala ber-sama seorang laki-laki, adalah suatu pengalaman yang belum pernah
dialaminya.
Ouw Hui lalu mengambil jerami
yang kebetulan terdapat di situ dan mengaturnya sebagian di atas meja sembahyang
dan sebagian pula di lantai. "Lu Tong Pin (salah satu dari delapan dewa)
tidur di atas, si anjing yang kecebur di air tidur di bawah," katanya
sembari tertawa. Sembari berkata begitu, ia merebahkan diri di atas jerami di
lantai itu, membalikkan badan menghadapi tembok dan se¬gera meramkan kedua
matanya.
Diam-diam Wan Cie Ie memuji
pemuda itu yang ternyata adalah seorang ksatria tulen. "Anjing basah
kuyup," katanya. "Sampai bertemu lagi besok pagi." Ia melompat
ke atas meja dan merebahkan diri juga.
Ouw Hui tak bisa lantas pulas,
kupingnya men-dengarkan bunyi hujan di atas genteng. Kira-kira tengah malam,
selagi ia layap-layap, di kejauhan mendadak terdengar bunyi tindakan kuda. Wan
Cie Ie lantas saja bangun berduduk dan Ouw Hui segera berkata dengan suara
perlahan: "Lu Tong Pin. Ada orang!"
Tindakan kuda itu yang
bercampur dengan bu¬nyi roda-roda kereta, semakin lama jadi semakin dekat.
"Dari lohor, hujan turun terus-menerus," pikir Ouw Hui.
"Siapakah orangnya, yang begitu kesusu?"
Beberapa saat kemudian, kuda
dan kereta itu berhenti di depan kuil. "Mereka akan masuk!" kata si
nona sembari meloncat turun untuk kemudian duduk di samping Ouw Hui.
"Brak!" pintu
terbuka. Kuda dan kereta itu agaknya dimasukkan ke ruangan depan dan di lain
saat, dua tukang kereta masuk ke ruangan dalam. "Di sini ada orang, kita
di luar saja," kata seorang antaranya setelah melihat Ouw Hui dan Cie le.
Mereka lalu ke luar lagi ke ruangan depan yang sekarang sudah menjadi ramai
sekali. Dari suara percakapan orang-orang itu, dapat ditaksir, bahwa yang
berada di ruangan depan itu tidak kurang dari dua puluh orang. Mereka membelah
kayu, menyala-kan api dan menanak nasi. Mereka berbicara dalam dialek Kwitang.
Sesudah lewat berapa lama, suara mereka mulai menjadi reda.
"Tak usah menggelar
tikar," demikian terdengar suara seseorang. "Sesudah makan, tak
perduli hujan atau tidak, kita akan meneruskan perjalanan."
Mendengar suara itu, Ouw Hui
terkejut, sedang wajah Wan Cie le, yang diterangi sinar perapian, juga agak
berubah.
"Looyacu (bapak) terlalu
berhati-hati," kata seorang lain. "Hujan-hujan begini...."
Perkataan se-lanjutnya tak dapat didengar pula, karena sang hujan tiba-tiba
menjadi sangat besar serta deras.
"Keadaan begini justru
cocok untuk menerus¬kan perjalanan," kata yang pertama. "Kita tak
boleh mengorbankan jiwa seluruh keluarga kita, karena temaha mengaso untuk
beberapa jam. Jalan ini terlalu dekat dengan jalan raya dan kita harus menjaga,
supaya kita tidak berpapasan dengan bangsat kecil itu." Suara orang
tersebut nyaring sekali, sehingga walaupun hujan turun seperti di-tuang-tuang,
perkataannya bisa terdengar nyata.
Mendengar sampai di situ, Ouw
Hui tak ber-sangsi-sangsi lagi. la girang dan berkata dalam hati-nya:
"Benar-benar dia seperti dituntun malaikat."
"Lu Tong Pin," ia
berbisik. "Di luar terdapat seorang Ciangbun. Biarlah, kali ini aku yang
me-rebutnya."
Si nona tak menyahut, ia hanya
menggerendeng. Melihat wajah Wan Cie Ie yang tidak gembira, Ouw Hui merasa agak
heran, tapi ia pun tak berkata suatu
apa.
Sesudah meringkaskan pakaian,
ia menyelipkan golok di pinggangnya dan berjalan ke luar.
Di sebelah timur, tujuh
delapan orang sedang duduk di atas lantai dan seorang antaranya bertubuh tinggi
besar. Dengan melihat bentuk tubuhnya saja, Ouw Hui sudah mengenali, bahwa ia
itu adalah Lam-pa-thian Hong Jin Eng. Sembari menyender di toya emasnya, jago
Hud-san-tin itu mendongak mengawasi langit, mungkin ia sedang memikirkan
nasibnya.
Di sebelah barat, beberapa
orang lagi menanak nasi dengan sebuah kuali besar. Ouw Hui melompat dan dengan
sekali menendang, kuali itu dibuatnya terpental jauh, nasinya tumpah berarakan.
Semua orang terkejut, terutama
Hong Jin Eng dan puteranya yang lantas saja mengenali siapa yang
datang itu.
Begitu melihat muka Hong Jin
Eng yang putih montok, di depan mata Ouw Hui segera terbayang peristiwa
mengenaskan di Pak-tee-bio itu. "Hong Loo¬ya," katanya dengan suara
gemetar karena menahan nafsu. "Di sini adalah Siang Hui-bio. Sungguh
ke-betulan, lagi-lagi kita bertemu di rumah berhala."
Sebagaimana diketahui, Sesudah
membinasa-kan Ciong A-sie serumah tangga, Hong Jin Eng segera memusnahkan harta
bendanya dan terus kabur entah ke mana. Dengan mengambil jalan kecil, siang
malam dia kabur terus-menerus. Malam itu, jika tidak turun hujan besar, dia
tentu tak akan bertemu Ouw Hui di rumah berhala tersebut.
Melihat Ouw Hui, jago
Hud-san-tin itu lantas saja putus harapan, ia merasa jiwanya akan me-layang di
dalam Siang Hui-bio ini. Tapi sebagai jago tulen, ia tetap bersikap tenang.
Perlahan-lahan ia berdiri, menggapai puteranya dan berbicara bisik-bisik.
Agaknya ia sedang meninggalkan pesan ter-akhirnya.
Ouw Hui berdiri di tengah
pintu, sembari me-lintangkan goloknya. "Hong Looya, tak perlu kau memesan
apa-apa juga," katanya sembari tertawa. "Kau sudah membasmi Ciong
A-sie sekeluarga, aku pun akan membinasakan Hong Looya sekeluarga. Hong Looya
sendiri akan mendapat giliran paling belakang, supaya tak usah memikirkan
bagaimana akhirnya anakmu sendiri."
Perkataan itu adalah bagaikan
air es yang di-siramkan ke tulang punggung Hong Jin Eng. Sedikit pun ia tak
menduga, bahwa Ouw Hui yang masih begitu muda, bisa mempunyai pikiran yang
begitu kejam. Ia mengebaskan toyanya dan membentak: "Jangan rewel! Seorang
laki-laki, berani berbuat, berani menanggung akibatnya. Jika kau mengingin-kan
jiwaku, ambillah!" Ia meloncat dan menghan-tam kepala Ouw Hui, sedang
tangan kirinya me-ngebas ke belakang, sebagai tanda supaya putera¬nya lantas
melarikan diri.
Tapi Hong It Hoa yang
mengetahui, bahwa ayahnya bukan tandingan musuh, tak berkisar setindakpun juga.
Sebaliknya dari kabur, ia meloncat maju dengan golok terhunus, sembari
berteriak: "Hayo, kepung bangsat kecil ini!"
Semua pengikut itu adalah
orang-orang keper-cayaan Hong Jin Eng dan scbagian besar mengerti ilmu silat.
Hampir berbareng dengan teriakan It Hoa, delapan sembilan orang sudah maju
meng-urung Ouw Hui.
Hong Jin Eng mengerutkan
alisnya dengan pe-rasaan mendeluh karena puteranya tak mau me-nurut
perintahnya. Jika dengan tenaga orang ba-nyak, ia ungkulan merubuhkan Ouw Hui,
ia tentu tak akan memusnahkan hartanya dan melarikan diri. Tapi, kenyataan itu
sudah tak dapat diubahnya pula.
Baginya hanya ada satu jalan,
yaitu bertempur mati-matian. Tujuan satu-satunya adalah binasa bersamasama
dengan musuhnya. Dengan adanya keputusan itu, hatinya berbalik mantap dan ia se
gera menyapu pinggang Ouw Hui dengan toyanya.
Di lain pihak, sebelum
bergebrak, tiba-tiba Ouw Hui mendapat pikiran lain. "Kedosaan manusia ini
terlalu besar," katanya di dalam hati. "Jika dengan sekali membacok
aku mengambil jiwanya, hu-kumannya terlalu enteng." Memikir begitu, ia
se-gera melemparkan goloknya ke atas dan dengan sikap memandang rendah, ia
mengulurkan tangan-nya untuk mcnangkap toya musuh. Bukan main gusarnya Hong Jin
Eng, akan tetapi, karena me¬ngetahui, bahwa musuhnya benar-benar lihay, ia
tidak berani berlaku ceroboh dan buru-buru menarik pulang senjatanya.
Sesaat itu, mendadak terdengar
suara "tak!" di wuwungan. Ternyata, suara itu diterbitkan golok Ouw
Hui, di saat menancapnya di balok wuwungan.
Pada detik itulah, sembari
tertawa nyaring, Ouw Hui menyerbu sembari menggerakkan kedua ta-ngannya
bagaikan kilat. Dalam sekejap, delapan sembilan kaki tangan Hong Jin Eng sudah
ditotok jalan darahnya dan tak dapat bergerak lagi. Dengan demikian, dalam
gelanggang itu hanya ketinggalan tiga orang, yaitu Hong Jin Eng bersama
puteranya dan Ouw Hui sendiri.
Lam-pa-thian menggertak gigi,
wajahnya pun pucat. "Hoa-jie!" ia membentak. "Kau masih belum
mau melarikan diri... Apakah benar-benar kau ingin memutuskan keturunan
keluarga Hong?" It Hoa merasa sangsi bercampur bingung, tak dapat ia
mengambil keputusan apa yang harus dilakukannya. Selagi ia bersangsi, Ouw Hui
sudah meloncat ke belakangnya. Hong Jin Eng terkesiap, sembari ber¬teriak dan
melompat, ia menghantam dengan toya¬nya. Pada detik terakhir, Ouw Hui menunduk
dan menerobos di bawah ketiak It Hoa, sambil men-dorong pundak pemuda itu. It
Hoa menjadi limbung dan badannya kejengkang, memapakai toya ayah¬nya! Sekali
lagi semangat Hong Jin Eng terbang. Masih untung, berkat latihannya selama
puluhan tahun, ia keburu juga menahan toyanya yang ham-pir-hampir saja memakan
jiwa puteranya sendiri.
Melihat muka Lam-pa-thian yang
pucat pias akibat kekagetan tadi, Ouw Hui segera mengambil keputusan untuk
mengganggu manusia kejam itu dengan siasat tersebut. Sebelum Hong It Hoa bisa
berdiri tetap, ia menyambar
lehernya dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya lalu diangkat untuk menepuk
batok kepala pemuda itu. Sesudah me-nyaksikan, bagaimana Ouw Hui menghantam
putus leher kura-kura batu di Pak-tee-bio, Hong Jin Eng mengetahui, bahwa
sekali ditepuk, puteranya tentu akan binasa. Dengan sekuat tenaganya, ia
mem-babat pinggang Ouw Hui dengan toyanya untuk memaksa pemuda itu menangkis
senjatanya dan urung mencabut jiwa puteranya.
Tapi Ouw Hui yang memang belum
mau mem-binasakan musuhnya, sengaja memperlambat gerak-an tangan kirinya. Pada
saat toya Hong Jin Eng hampir mengenai pinggangnya, secara luar biasa cepatnya,
ia menggentak leher Hong It Hoa untuk memapaki toya emas itu! Untuk ketiga
kalinya Hong Jin Eng mengeluarkan keringat dingin. Tapi kali itu pun, ia masih
keburu mengubah gerakan toyanya yang lalu disabetkan ke kaki Ouw Hui.
"Bagus!" seru Ouw Hui sambil mendorong pundak It Hoa untuk menangkis.
Demikianlah, tubuh Hong It Hoa
dijadikan semacam tameng yang dibulang-balingkan kian ke mari untuk menangkis
setiap serangan Hong Jin Eng. Jago Hud-san-tin itu merasakan dadanya se-perti
mau meledak, tapi ia tak berdaya. Akhir-akhirnya, ia jadi kewalahan. Tapi
setiap kali ia memperlambat gerakannya untuk menghentikan pertempuran, Ouw Hui
mengangkat tangan untuk menghantam bagian badan It Hoa yang berbahaya, sehingga
mau tak mau, ia terpaksa menyerang lagi untuk menolongnya, dan begitu lekas ia
menyerang, Ouw Hui mengangkat tubuh It Hoa untuk me-
nangkis.
Sesudah lewat beberapa
gebrakan lagi, tiba-tiba Hong Jin Eng meloncat mundur sambil melem-parkan
toyanya yang jatuh bergedubrakan di atas lantai dan menghancurkan beberapa
ubin. Dengan wajah pucat seperti kertas, ia berdiri bagaikan pa-tung tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
"Hong Jin Eng!"
bentak Ouw Hui. "kau sayang anak, ya? Tapi bagaimana dengan anak orang
lain?"
Tapi Hong Jin Eng pun bukan
bangsa cecurut. "Jangan rewel!" balasnya membentak. "Aku, si
orang she Hong, pernah menjagoi di Lenglam dan telah mendirikan partai
Ngo-houw-pay. Selama hi-dupku, memang aku sudah membunuh banyak se¬kali
manusia. Anakku juga pernah mengambil jiwa tiga puluh atau empat puluh orang.
Maka itu, jika hari ini kami ayah dan anak binasa dalam tanganmu, sedikit pun
kami tidak merasa menyesal. Hayo! Lekas turun tangan! Mau tunggu sampai kapan
lagi?"
"Kau saja bekerja
sendiri!" bentak Ouw Hui. "Guna apa menyusahkan tuan kecilmu?"
Hong Jin Eng tertawa
terbahak-bahak. Ia men-jumput toyanya yang lalu dikemplangkan ke ke-palanya.
Tapi, sebelum toya itu
menghancurkan batok kepalanya, sekonyong-konyong berkelebat sesosok sinar putih
dan ujung sebuah cambuk sudah melibat serta menahan toya itu. Cambuk itu adalah
cambuk Wan Cie Ie.
Si nona membetot, tapi ia tak
dapat melepaskan toya itu yang dipegang keras-keras oleh Lam-pa-thian. Dengan
meminjam tenaga betotan, di lain
saat tubuh Wan Cie le sudah
melesat ke tengah udara dan hingga di dalam gelanggang pertem-puran. Begitu
melihat si nona, Hong Jin Eng me-ngeluarkan seruan "Ah!" dan paras
mukanya ber-ubah girang. Ouw Hui menengok dan karena te-ngokan itu, ia tak
melihat perubahan paras Lam-
pa-thian.
"Ouw Toako," kata si
nona sembari tertawa. "Kita hanya merebut Ciangbun, bukan merampas jiwa
manusia."
"Nona, kau tak tahu,
bahwa manusia ini besar sekali dosanya," kata Ouw Hui dengan geregetan.
"Dia tak dapat dipersamakan dengan Ciangbunjin
lain!"
Wan Cie le
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jika Suhu mengetahui, bahwa aku merebut
Ciang¬bun, paling banyak ia tertawa," katanya. "Tapi jika aku
membunuh orang, ia akan menjadi gusar sekali."
"Manusia ini akan dibunuh
olehku," kata Ouw Hui. "Dengan nona, hal ini tak ada sangkut paut-
nya."
"Salah!" bantah Wan
Cie le. "Urusan merebut Ciangbun, asal mulanya datang dari aku. Orang ini
adalah Ciangbunjin dari Ngo-houw-pay. Maka itu, tak dapat aku mengatakan, tak
ada sangkut pautnya dengan diriku."
"Nona," kata Ouw Hui
dengan suara jengkel. "Dari Kwitang aku mengejar ia sampai di Ouwlam. Yang
dikejar olehku adalah manusia itu. Biar ba-gaimanapun juga, Ciangbun atau bukan
Ciangbun, had ini aku mesti mengambil jiwanya."
"Ouw Toako," kata
Wan Cie le. "Sekarang aku mau bicara sungguh-sungguh dan kuharap kau suka
mendengarnya." Ouw Hui
manggut-manggutkan ke¬palanya dan si nona lalu berkata lagi: "Bukankah kau
tak tahu, siapa guruku?"
"Aku tak tahu,"
jawabnya. "Dilihat dari kepan-daian nona, gurumu tentulah juga seorang
Tayhiap (pendekar) dalam dunia Kang-ouw. Biasakah aku mengetahui she dan nama
gurumu yang mulia?"
"Di belakang hari, kau
tentu akan mengetahui she dan namanya," kata pula Wan Cie le sembari
tertawa. "Sekarang aku hanya ingin memberitahu-kan kau, bahwa pada waktu
mau berangkat dari Huikiang, guruku telah berkata begini: 'Segala se-pak
terjangmu di daerah Tionggoan aku tak akan memperdulikannya. Tapi jika kau
membunuh orang, membunuh seorang saja, dengan segera aku akan mengambil
jiwamu.' Guruku adalah seorang yang bicara satu tentu satu, dua pasti dua, tak
akan ia mengubah lagi perkataannya."
"Apakah manusia yang
jahat kejam sepergi ia juga tak boleh dibinasakan?" tanya Ouw Hui dengan
suara penasran.
"Benar!" jawab si
nona, "Waktu itu, aku juga telah mengatakan begitu kepada guruku. Tapi ia
berkata begini: 'Manusia jahat memang pantas di¬bunuh. Akan tetapi, kau masih
begitu muda, ba-gaimana kau bisa membedakan siapa jahat dan siapa baik? Dalam
dunia ini, ada manusia yang tertawa haha-hihi, tapi hatinya kejam seperti
harimau, ada juga orang yang kelihatannya kejam, tapi hatinya sangat mulia.
Sekali binasa, seorang manusia tak akan bisa hidup lagi. Maka itu, sekali
kesalahan tangan, penyesalan akan dirasakan terus-menerus seumur hidup."
"Perkataanmu memang tidak
salah," kata Ouw Hui. "Tapi sebagaimana kau tahu, manusia itu sudah
mengakui, bahwa dia telah membinasakan orang yang tak dapat dihitung berapa
jumlahnya. Bahwa di Hud-san-tin dia telah membinasakan rakyat yang tak berdosa,
telah disaksikan dengan kedua mataku sendiri. Maka itu, dalam hal binatang she
Hong itu, tak bisa aku bertindak salah."
"Ya," kata Wan Cie
Ie sambil menghela napas. "Aku tak bisa berbuat lain karena adanya
perintah Suhu. Ouw Toako, biarlah, dengan memandang mukaku, kau sudi
mengampuninya."
Mendengar permohonan yang
sangat itu, hati Ouw Hui jadi tergerak juga. Akan tetapi, di lain saat, di
depan matanya kembali terbayang peman-dangan mengenaskan disaat kebinasaan
keluarga Cong A-sie dan darahnya lantas saja mendidih. "Nona Wan!" ia
berteriak. "Urusan di sini, ang-gaplah sebagai tak diketahui olehmu. Harap
kau berjalan lebih dulu dan kita akan bertemu pula di
Hengyang."
Wan Cie Ie memberengut dan
parasnya lantas berubah gusar. "Ouw Toako," katanya dengan suara
mendongkol. "Seumur hidup, belum pernah aku memohon-mohon seperti
sekarang. Tapi kau teap menolak. Dengan kau, orang ini tak mempunyai ganjalan
pribadi. Kau hanyalah memegang peranan sebagai orang luar yang turun tangan karena
me-lihat ketidak adilan. Tapi dia sendiri sudah me-musnahkan harta bendanya dan
siang malam kabur seperti dikejar setan. Dia sudah ketakutan setengah mati. Ouw
Toako! Dalam dunia ini, seseorang tidak boleh menggencet sesamanya secara
keterlaluan.
Dalam urusan apa pun juga,
kita haruslah berlaku sedikit longgar."
"Nona Wan!" seru Ouw
Hui dengan suara nya-ring. "Apapun yang bakal terjadi, aku mesti
mam-puskan manusia jahat ini. Aku akan meminta maaf kepadamu dan bersedia untuk
menerima hukuman dari gurumu." Sehabis berkata begitu, ia merangkap kedua
tangannya dan menyoja sampai mengenai lantai.
"Brt!" pecut
menyambar dan melibat golok Ouw Hui yang menancap di wuwungan. Sehabis
mem-betot, si nona melontarkan golok itu di arah Ouw Hui. "Ambillah,"
katanya. Dengan rasa kagum, Ouw Hui menyambuti senjatanya.
"Ouw Toako," kata
Wan Cie Ie. "Jika kau masih ingin membunuh mereka, rubuhkanlah aku
terlebih dulu. Sesudah aku rubuh, guruku tak akan marah kepadaku."
"Kalau begitu, kau tentu
mempunyai maksud tertentu," kata Ouw Hui dengan suara gusar. "Apa-kah
benar-benar gurumu berpendirian begitu ku-kuh?"
Si nona menghela napas dan
berkata dengan suara lemah lembut. "Ouw Toako, apakah benar-benar kau
sungkan memberi muka kepadaku?"
Disinari cahaya perapian dan
dengan kata-kata-nya yang halus merdu, Wan Cie Ie jadi kelihatan terlebih
cantik lagi. Tanpa merasa, hati Ouw Hui menjadi lumer.
Tapi kelumeran itu hanya untuk
sedetik. Ouw Hui adalah seorang yang sangat cerdas dan semakin keras permohonan
si nona, semakin besar kecuri-gaannya. Ia hampir dapat memastikan, bahwa hal
ini mesti terselip hal-hal
lain. "Ouw Hui! Ouw Hui!" katanya di dalam hati. "Jika kau kena
dibikin mabuk dengan paras cantik dan menyampingkan segala pribudi manusia yang
luhur, percuma saja kau hidup di dalam dunia. Ayahmu Ouw It To adalah seorang
gagah dalam jamannya sendiri. Ouw Hui! Apa kau tak malu menjadi putera Liaotong
Tayhiap Ouw It To?"
Memikir begitu, paras muka Ouw
Hui lantas saja berubah merah. "Kalau begitu, maaflah," kata¬nya
sembari menyerang dengan pukulan Toa-sam-pek, goloknya menyabet kepala si nona,
tangan kirinya menimpuk ulu hati Hong Jin Eng dengan sepotong perak.
Tadi, ketika Ouw Hui mengawasi
padanya de¬ngan sorot mata mencinta, Wan Cie Ie merasa girang. Tapi di luar
dugaan, secara mendadak pe-muda itu menyerang, bukan saja menyerang dirinya,
tapi juga menimpuk Hong Jin Eng dengan senjata rahasia.
Ketika diserang, Wan Cie Ie
berdiri sangat dekat dengan Ouw Hui, sehingga senjata cambuk yang lemas, sukar
digunakan untuk menangkis sam-baran golok. Hampir berbareng, si nona mendengar
kesiuran senjata rahasia berat ke arah Hong Jin Eng. Pada detik yang sangat
genting, satu ingatan berkelebat di otak si nona. "Tak mungkin dia tega
mencelakakan aku," pikirnya. Memikir begitu, tan-pa menghiraukan bacokan
golok, ia menyabet senjata rahasia dengan pecutnya. "Tak!" uang perak
Ouw Hui jatuh di atas lantai.
Serangan Ouw Hui barusan itu
adalah serangan yang sudah diperhitungkan dulu. Ia mengetahui,
bahwa ilmu silat Wan Cie Ie
tidak berada di sebelah bawahnya. Sekali bertempur, belum tentu ia akan
memperoleh kemenangan. Karena begitu, ia mem-buka serangan mendadak ke arah dua
jurusan, yaitu goloknya menggertak Wan Cie Ie, sedang tangan kirinya menimpuk
Hong Jin Eng dengan senjata rahasia. Waktu itu, dalam sakunya hanya terdapat
piauw yang terbuat dari uang tembaga. Karena piauw itu tidak bisa membinasakan
orang dengan sekali ditimpukkan, maka ia sudah menggunakan sepotong uang perak
yang beratnya lima tail untuk mengambil jiwa Lam-pa-thian.
Ia merasa, bahwa ia pasti akan
berhasil, tapi di luar perhitungan, tanpa memperdulikan kesela-matannya
sendiri. Wan Cie Ie sudah menolong manusia kejam itu.
Ouw Hui menahan goloknya
ketika mata golok itu hanya tinggal terpisah beberapa dim dari kulit kepala Wan
Cie Ie.
"Apakah kau edan?"
ia membentak.
"Karena terpaksa!"
sahutnya sembari menyabet dengan cambuknya. "Sambutlah," katanya
pula.
Ouw Hui menangkis sembari
melirik Hong Jin Eng yang akan dihajarnya begitu ada kesempatan-nya. Tapi,
dengan cambuknya Wan Cie Ie tak mem-beri napas lagi kepada lawannya. Kedua
orang muda itu adalah lawan setimpal. Dalam sekejap, mereka sudah bertarung
hebat.
Lewat beberapa jurus, pecut si
nona mendadak menyambar ke meja sembahyang dan menyabet jatuh sebatang lilin
yang sedang menyala. "Hm! Kau ingin memadamkan penerangan, supaya manusia
she Hong itu bisa melarikan diri," kata Ouw Hui di
dalam hatinya. Akan tetapi,
meskipun mengetahui maksud orang, ia tak dapat mencegahnya.
Dengan hati panas, ia segera
menyerang dengan Ouw-keh To-hoat, yaitu ilmu silat golok dari ke-luarga Ouw.
"Bagus!" seru si nona sembari meloncat mundur sesudah menangkis
serangan itu. Hampir berbareng dengan itu, pecutnya menggulung se-batang kayu
bakar yang lalu dilemparkan ke arah Ouw Hui.
Sebagaimana diketahui, sebelum
Ouw Hui ke luar, rombongan Hong Jin Eng sedang memasak nasi di sebelah barat
ruangan itu. Sesudah kuali nasi ditendang Ouw Hui, kayu bakarnya kira-kira dua
puluh batang, masih terus berkobar-kobar. Dengan cepat, Wan Cie Ie mengulangi
perbuatannya dan melontarkan potongan-potongan kayu bakar itu ke arah Ouw Hui,
yang tidak berani menangkis dengan goloknya karena khawatir lelatu api muncrat
ke muka dan pakaiannya. Jalan satu-satunya adalah melompat ke sana sini untuk
menyingkir dari sam-baran api. Di antara kegelapan, potongan-potongan kayu itu
yang melayang dengan tetap menyala-nyala, memberikan pemandangan yang sangat
indah.
Sementara itu, semua pengikuti
Hong Jin Eng, seperti murid-muridnya, tukang kereta dan bujang-bujangnya, satu
per satu sudah mengeloyor masuk ke ruangan belakang. Orang yang masih berada di
dekat gelanggang pertempuran hanyalah Hong Jin Eng dan puteranya. Selama
bertempur, karena kha¬watir kedua manusia itu melarikan diri, Ouw Hui selalu
berada di dekat pintu kuil.
Beberapa saat kemudian, semua
potongan kayu
itu sudah habis dilemparkan
dan sebagian besar sudah padam di atas lantai, sehingga ruangan itu jadi
semakin gelap.
"Ouw Toako," kata
Wan Cie Ie sembari tertawa. "Hari ini, kebetulan kita sudah menjajal
tenaga, marilah kita melihat siapa yang lebih unggul." Sem¬bari berkata
begitu, ia memecut pundak Ouw Hui dengan suatu pukulan aneh. Buru-buru pemuda
itu menyampok dengan senjatanya, tapi sabetan kedua, yang lebih aneh lagi,
sudah menyusul. Ouw Hui terkesiap dan untuk menolong diri ia terpaksa
ber-gulingan di atas lantai.
"Jangan bingung,"
kata si nona sembari nyengir. "Aku tak akan melukai kau."
Perkataan itu sudah
menyinggung rasa harga diri Ouw Hui. "Apakah kau mengira, aku akan rubuh
dalam tanganmu?" katanya di dalam hati. Dengan lantas ia merubah cara
bersilatnya dan mengeluarkan pukulan-pukulan simpanannya yang sangat dahsyat.
Sesaat itu, dalam ruangan
tersebut hanya ke-tinggalan sepotong kayu yang masih menyala-nyala.
"Ouw Toako," kata si
nona. "Ilmu memainkan cambuk ini sangat luar biasa, kau harus
berhati-hati." Sehabis berkata begitu, cambuknya menderu-deru dan benar
saja, pukulan-pukulannya dahsyat luar biasa.
"Bagus!" seru Ouw
Hui sambil menutup seluruh tubuhnya dengan sinar golok. Ia berniat mempe-lajari
dulu ilmu pecut itu dan sesudah mengerti bagian-bagiannya yang terpenting, ia
baru mau membalas menyerang.
Mendadak terdengar suara
"tok!" lelatu api muncrat dan seantero ruangan lantas saja terbenam
dalam gelap gulita.
Hujan turun semakin deras dan
bunyinya yang merotok di atas genteng bercampur dengan bunyi cambuk Wan Cie Ie.
Ouw Hui adalah seorang yang bernyali besar. Tapi bertempur di dalam kegelapan
dan dalam suasana yang begitu menyeramkan, jan-tungnya memukul keras.
Sekonyong-konyong, bagaikan
arus listrik, sua-tu ingatan masuk ke dalam otaknya. "Aha! tak bisa salah
lagi, tentulah dia adanya," katanya di dalam hati. "Di Pak-tee-bio,
ketika orang she Hong itu mau membunuh diri, seorang wanita sudah me-nolong
dengan timpukan pantek konde. Gerak-gerik wanita itu mirip benar dengan
gerak-gerik nona Wan." Memikir begitu, kecurigaannya ter-hadap si nona
jadi semakin besar. Karena sesaat perhatiannya terpecah, pecut Wan Cie Ie
seko¬nyong-konyong berhasil menggulung goloknya, yang hampir-hampir saja
terlepas dari genggaman-
nya.
Buru-buru Ouw Hui mengerahkan
tenaga da-lamnya dan membetot keras-keras. Biar bagaimana-pun juga, Wan Cie Ie
adalah seorang wanita yang dalam mengadu tenaga, masih kalah setingkat de¬ngan
Ouw Hui. Begitu dibetot, ia merasakan le-ngannya kesemutan, sehingga dengan
cepat ia me-ngedut cambuknya untuk membuka libatan pada golok Ouw Hui.
Dalam gelap gulita, mereka
bertempur dengan hanya mengandalkan ketajaman kuping. Mereka berkelit,
menangkis dan menyerang dengan men-dengarkan kesiuran-kesiuran angin dari
senjata mereka. "Celaka! Wan Cie Ie seorang saja aku belum mampu
merobohkan," pikirnya. "Apalagi jika Hong Jin Eng dan anaknya turut
turun tangan." Pada saat itu, Ouw Hui menduga, bahwa Wan Cie Ie dan Hong
Jin Eng sudah pasti berteman dan ia sekarang terjeblos ke dalam perangkap
mereka.
Sesudah lewat beberapa jurus
lagi, dengan ge-regetan Ouw Hui mengirimkan suatu bacokan yang cepat luar
biasa. Wan Cie Ie menolong diri dengan menjengkangkan tubuhnya, tapi meskipun
terlolos dari bacokan, ia merasakan hawa dingin menyambar mukanya waktu golok
itu lewat di ujung hidungnya! Si nona terkesiap, sekarang ia mengetahui, bahwa
Ouw Hui tak berlaku sungkan-sungkan lagi. "Ouw Toako!" ia berseru
sembari tertawa. "Apakah kau marah?"
Ouw Hui tak menyahut, ia
tengah memusatkan perhatiannya dan memasang kuping, untuk menjga kalau-kalau
Hong Jin Eng mencoba kabur atau melepaskan senjata rahasia.
"Ouw Toako," kata
pula si nona. "Kau tak meladeni? Aduh, sombongnya!" Berbareng dengan
perkataannya, ia menyabet kaki Ouw Hui. Sabetan itu adalah sabetan luar biasa,
tanpa suara, tanpa kesiuran angin, tahu-tahu sudah menyambar. Ka¬rena tak
keburu lagi, Ouw Hui membungkuk dan menangkis dengan goloknya. Tapi di luar
dugaan, dengan kedutan dan gentakan aneh, tahu-tahu go¬lok Ouw Hui sudah
terlepas dari tangannya.
"Celaka!" Ouw Hui
mengeluh. "Apakah aku mesti kehilangan jiwa di sini?" Dalam keadaan
ter-desak, ia merangsek dan coba mencengkeram leher Wan Cie Ie dengan pukulan
Eng-jiauw-kauw-chiu (Cengkeraman kuku garuda). Pukulan itu sudah seringkali
dilatihnya, tapi belum pernah digunakan dalam pertempuran. Di lain pihak, si
nona terkesiap ketika merasakan kesiuran hawa panas menyambar tenggorokannya.
Pada detik itu cambuknya baru saja menyabet dan tak mungkin ditrik pulang untuk
menangkis cengkeraman Ouw Hui. Maka itu, untuk menyelamatkan diri, Wan Cie le
segera menjeng-kangkan tubuhnya dan melepaskan cambuknya yang lantas saja jatuh
di atas lantai.
Sesudah berhasil dengan
pukulan pertama itu, Ouw Hui menyusulkan Cin-po-lian-hoan (Majukan kaki secara
berantai). Wan Cie le membalikkan tangannya dan menotok jalan darah Ouw Hui, di
pundak kanan. Karena gelap, jerijinya meleset dan menyasar ke otot yang keras.
"Aduh!" ia berseru, jerijinya ketekuk. Ouw Hui terkejut. Ia
mengetahui, bahwa jika tidak tertolong kegelapan, jalan darah-nya tentu sudah
kena ditotok.
Sesudah mendapat pengalaman
pahit, si nona segera mengubah cara bersilatnya. Ia tak berani bertempur
merapat lagi dan lari berputar-putar dengan menggunakan ilmu mengentengkan
badan. Dalam kegelapan, Ouw Hui pun tak mau terlalu mendesak dan hanya
menyerang dan membela diri sekedarnya sambil memasang kuping untuk menge¬tahui
tempat bersembunyinya Hong Jin Eng. Tapi, sesudah memasang kuping beberapa lama,
ia masih tak dapat mendengar suara napas Hong Jin Eng, karena kesiuran-kesiuran
angin pukulan-pukulan Wan Cie le.
Berselang beberapa saat, Ouw
Hui mendapat suatu pikiran baru. Ia segera melompat-lompat dari
timur ke barat, dari selatan
ke utara, sesuai dengan kedudukan Toa-su-siang-hong-wie (kedudukan em-pat
penjuru), sembari mengirimkan pukulan-pu-kulan dahsyat. Jika kena, setiap
pukulan itu dapat membinasakan atau sedikitnya melukai Hong Jin Eng. Andaikata
Lam-pa-thian bisa berkelit, kelitan itu sudah cukup untuk membikin Ouw Hui
menge-tahui tempat bersembunyinya.
Tapi, sungguh mengherankan
Sesudah berpu-tar-putar di seluruh ruangan, ia masih belum men-dapatkan orang
yang dicarinya. "Apakah dia sudah kabur?" ia menanya dirinya sendiri.
"Celaka benar! Dia berkawan banyak, aku sendirian saja. Jika me-reka
datang menyerbu semua, bisa-bisa aku binasa di tempat ini. Seorang gagah harus
bertindak de¬ngan melihat keadaan. Biarlah hari ini aku me-nyingkir dulu untuk
menunggu kesempatan yang lebih baik."
Memikir begitu, ia segera
mendekati pintu. Mendadak berbareng dengan kesiuran angin dah¬syat, dalam
kegelapan lapat-lapat ia melihat sesosok bayangan tinggi besar menyambar ke
arahnya. "Ba-gus!" teriak Ouw Hui dengan girang sembari me-mapaki
dengan kedua tinjunya. Pukulan itu hebat luar biasa dan sekali kena, Hong Jin
Eng pasti akan binasa.
"Duk!" tinju Ouw Hui
menghantam benda ke-ras-keras dingin yang lantas saja hancur berham-buran di
atas lantai. Ternyata, yang barusan me¬nyambar ke jurusannya, adalah patung
malaikat yang dipuja dalam kuil itu.
"Sungguh hebat pukulan
itu!" seru Wan Cie Ie sembari tertawa. Ouw Hui terkejut, suara si nona,
yang bercampur dengan
bergemerincingnya senjata, terdengar di luar pintu. Ia mengetahui, bahwa Wan
Cie Ie akan segera lari dengan membawa juga goloknya.
Di lain saat terdengar derap
kaki kuda, yang disusul dengan teriakan nona itu: "Hei, Lam-pa-thian!
Kenapa kau kabur lebih dulu. Benar-benar kau tidak memandang kawan."
Di lain saat, di antara bunyi
hujan, terdengar derap kaki kuda yang dikaburkan keras sekali.
"Sudahlah!
Sudahlah!" keluh Ouw Hui di dalam hati. Ia sudah dikalahkan, dikalahkan
secara menye-dihkan sekali. Jika mau, ia masih bisa mengejar pengikut-pengikut
Hong Jin Eng untuk melam-piaskan amarahnya. Tapi, tentu saja ia sungkan
melakukan perbuatan itu yang terlalu kejam.
Dari sakunya, ia mengeluarkan
bahan api dan menyalakan kayu bakar yang sudah padam. Sesudah mendapat
penerangan, ia memandang seluruh ruang¬an itu. Ternyata, patung Siang Hui yang
dihan-tamnya, telah menjadi hancur lebur dan beras putih serta kayu bakar juga
berhamburan di lantai.
Sang hujan masih turun terus
dengan derasnya. Dengan perasaan tak karuan, ia duduk di depan meja sembahyang
sambil mengawasi perapian.
"Tak bisa salah lagi,
nona Wan dan Hong Jin Eng mempunyai hubungan rapat," pikirnya.
"De¬ngan mempunyai senderan yang begitu kuat dan kaki tangan yang begitu
banyak, sebenarnya ia bisa melawan aku. Tapi kenapa ia memusnahkan harta
bendanya dan melarikan did? Barusan, jika mereka semua maju mengepung, aku
tentu sudah celaka. Kenapa, sebaliknya dari berbuat begitu mereka
kabur semuanya? Dilihat dari
gerak-geriknya, per-cobaan Hong Jin Eng untuk membunuh diri bukan tipu belaka.
Dengan demikian, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa bantuan nona Wan diberikan
tanpa diketahui lebih dulu oleh manusia itu."
la menghela napas
berulang-ulang karena hati-nya bimbang. Di lain saat, ia ingat, bahwa dalam
pertempuran dalam gelap gulita tadi, ia telah me-ngirim pukulan-pukulan hebat,
seolah-olah si nona adalah musuh besarnya. Mengingat begitu, pada bibirnya
tersungging senyuman kecil.
"Tapi... apakah
benar-benar tadi aku sudah me-nurunkan pukulan-pukulan yang membinasakan?"
ia menanya dirinya sendiri. Tadi, dalam sengitnya, seperti juga ia sudah menghantam
tanpa sungkan-sungkan lagi. Tapi... ia tak pernah menjatuhkan pukulan yang
benar-benar membinasakan. "Di waktu dia menubruk dan memukul dengan
tangannya, kenapa aku tak menghajarnya dengan pukulan Coan-sim-tui (Pukulan
menembus hati)?" tanyanya kepada dirinya sendiri. "Sesudah aku
membacok dengan pu¬kulan Siang-ma-to (Bacokan di atas kuda) dan dia menunduk
untuk berkelit, kenapa aku tidak me-nyusulkan pukulan Pa-ong-gie-ka (Couw Pa
Ong membuka pakaian perang)? Ah! Ouw Hui! Ouw Hui! Kau agaknya takut melukai
ia!"
Jantungnya memukul keras dan
kembali ia me-lamun. "Hm!" katanya di dalam hati. "Tadi di waktu
cambuknya menghantam pundakku, secara men-dadak ia menarik pulang senjatanya.
Apakah ia sengaja ber-buat begitu, atau, hanya karena ke-betulan? Dan... selain
itu, waktu jerijinya meno-tok...."
Ia mengingat-ingat sesuatu
pukulan si nona dan semakin diingat, hatinya jadi semakin berdebar. "Tak
salah! Tak salah lagi!" pikirnya. "Dia memang sengaja sungkan
mencelakakan aku. Apa... apa¬kah...?" Tak berani ia meneruskan pertanyaan
itu.
Mendadak, ia merasa lapar. Ia
menengok ke arah kuali yang telah ditendangnya tadi. Dalam kuali itu masih
terdapat sedikit beras putih. Ia segera berbangkit dan mengumpulkan sebagian
be¬ras yang berhamburan itu, ia mencucinya dengan air hujan dan segera
menanaknya.
Tak lama kemudian, hidungnya
mencium bau sedap dari nasi yang baru matang.
Ia menghela napas. "Jika
disaat ini, aku bisa bersantap bersama-sama dengan dia berendeng pundak...
ah!" ia melamun. Ouw Hui adalah seorang manusia yang sadar, tak
gampang-gampang ia men-jadi mabuk. Tapi paras Wan Cie le yang segar cantik,
tertawanya yang menggiurkan dan gerak-geriknya yang lincah tak dapat dihapus
dari otaknya. Seperti kehilangan ingatan, ia bengong terlongong-longong,
sehingga ia tak mendusin, bahwa nasinya sudah mulai hangus.
Pada waktu itu, di luar kuil
sekonyong-konyong terdengar tindakan kaki yang disusul dengan ter-bukanya
pintu.
"Apakah dia kembali
lagi?" pikir Ouw Hui, sembari melompat bangun.
Bukan! Yang datang bukan si
nona.
Disoroti sinar perapian, ia
melihat masuknya dua orang. Yang satu adalah seorang lelaki yang berusia
kira-kira lima puluh tahun dan berbadan kurus kering. Ouw Hui segera mengenali,
bahwa
orang itu bukan lain daripada
Lauw Ho Cin yang pernah dijumpainya di Hong-yap-chung. Yang lain adalah seorang
wanita muda yang berusia dua puluh tahun lebih. Sebelah tangan Lauw Ho Cin
didukung dengan selembar kain hijau yang diikatkan pada lehernya, sedang wanita
muda itu pun terpincang-pincang jalannya.
Sudah terang, mereka berdua
telah terluka dan pakaian mereka yang basah kuyup sudah menambah penderitaan
mereka.
Selagi Ouw Hui mau membuka
mulut untuk memanggilnya, Lauw Ho Cin sudah berbicara de¬ngan wanita itu.
"Coba periksa di belakang," kata-
nya.
"Baik," jawab si
wanita sembari mencabut golok dan berjalan ke ruangan belakang. Sesudah
ber-bangkis beberapa kali, Lauw Ho Cin duduk di atas lantai dan dilihat dari
sikapnya, ia sedang ber-waspada dan memasang kuping. Ia melirik Ouw Hui beberapa
kali, tapi ia tidak mengenalinya.
"Waktu itu aku berada di
antara orang banyak dan berpakaian sebagai seorang dusun," kata Ouw Hui di
dalam hatinya. "Tak heran, jika ia tidak mengenali aku." Ia segera
menghampiri kuali dan membuka tutupnya. Ternyata, separuh nasi itu su¬dah
menjadi hangus. Sembari bersenyum, ia meng-ambil nasi dengan tangannya dan
segera makan seperti macan kelaparan. Melihat cara makannya, Lauw Ho Cin
menarik napas lega.
Beberapa saat kemudian, si
wanita muda ke luar dari ruangan belakang dan mencekal sebatang kayu yang
menyala-nyala. "Tak ada apa-apa," katanya.
Lauw Ho Cin membuang napas,
ketegangan parasnya lantas saja mereda. Dengan menyender di
meja sembahyang, ia meramkan
kedua matanya untuk mengaso. Air yang turun dari pakaiannya membasahi lantai
dan air itu berwarna agak merah, seperti bercampur darah. Si wanita, yang
keli-hatannya lelah sekali, menyender di tubuh Lauw Ho Cin tanpa bergerak.
Dipandang dari cara-cara-nya, mereka berdua seperti suami isteri, hanya usia
mereka terpaut sangat jauh.
"Dalam Rimba Persilatan,
ilmu silat Lauw Ho Cin sudah jarang tandingannya," pikir Ouw Hui.
"Mengapa dia sudah kena dihajar sampai begitu rupa. Dari sini bisalah
dilihat, bahwa di atas langit masih ada langit dan di atas manusia masih ada manusia.
Tak dapat manusia berlaku sombong."
Tiba-tiba dari kejauhan
terdengar derap kaki kuda. Hampir berbareng dengan itu Lauw Ho Cin meloncat
bangun dan mencabut senjata dari ping-gangnya. Senjata itu adalah sebatang
tombak pen-dek yang ada rantainya.
"Tiong Peng,"
katanya kepada wanita itu. "Le-kas lari! Aku akan berdiam di sini untuk
melawan kepadanya." Sehabis berkata begitu, dari sakunya ia mengeluarkan
sebuah bungkusan yang panjang-nya kira-kira satu kaki dan memberikannya kepada
wanita tersebut. "Kirimlah ini kepadanya," ia ber-bisik.
Wanita itu, seorang she Ong
yang bernama Tiong Peng, memang benar isteri Lauw Ho Cin, isteri kedua sesudah
yang pertama meninggal dunia. Mendengar perkataan sang suami, mata Tiong Peng
menjadi merah. "Tidak," katanya sembari meng-gelengkan kepala.
"Jika mesti mati, biarlah kita mati bersama-sama."
Paras muka Lauw Ho Cin lantas
saja berubah gusar, "Laksaan li kita melawan gelombang dan berkutet terus
meskipun sudah terluka," katanya.
"Guna apa itu semua? Jika
maksud kita tidak terwujud, aku mati dengan mata melek. Pergilah! Aku akan
melawan dia di sini."
Si isteri merasa berat untuk
meninggalkannya. la menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara
terputus-putus: "Looyacu, sesudah... sesudah men-jadi suami isteri, aku
tak dapat... dapat merawat kau, sebagaimana mestinya. Dan... dan kita
harus...."
Lauw Ho Cin membanting kaki.
"Sudahlah!" ia membentak. "Jika kau bisa membereskan urusan
besar ini, jasamu lebih besar daripada rawatan apa pun juga." Ia mengebas
dengan tangan kirinya dan memerintah dengan suara bingung: "Pergi! Hayolah
pergi!"
Melihat kecintaan kedua suami
isteri itu, hati Ouw Hui tak tega. "Lauw Ho Cin adalah seorang
baik-baik," katanya di dalam hati."Siapakah yang menyeterukannya?
Sesudah bertemu denganku, tak bisa aku tidak menyampurinya."
Beberapa saat kemudian, di
luar kuil terdengar berhentinya tiga ekor kuda, dan dua berhenti di depan
pintu, sedang seekor antaranya memutar pergi ke belakang.
"Sudahlah!" kata
Lauw Ho Cin dengan suara gusar. "Di depan dan di belakang sudah dicegat
orang."
Dengan wajah bingung, Tiong
Peng mengawasi ke seluruh ruangan. Sesudah itu, ia menuntun ta¬ngan suaminya
dan naik ke atas tempat patung. Dengan sorot mata memohon, ia mengawasi Ouw Hui
dan memberi isyarat dengan gerakan tangan-nya, supaya pemuda itu tidak membuka
rahasia. Sesudah itu, bersama sang suami, ia masuk ke dalam tempat patung itu
dan menurunkan tirai suteranya yang berwarna kuning.
Beberapa saat kemudian, dua
orang masuk ke dalam. Dengan sikap acuh tak acuh, Ouw Hui terus makan nasinya.
Ketika kedua orang itu mendekati perapian, ia melirik. Dalam usianya yang masih
muda, Ouw Hui sudah pernah bertemu dengan banyak juga orang-orang Kang-ouw yang
luar biasa. tapi, macam kedua orang itu, benar-benar menge-jutkan. Dua-dua
mengenakan baju hujan dari kain minyak, muka mereka jelek luar biasa. Alis
turun, mata segi tiga, sebelah besar dan sebelah kecil, hidung besar lebar dan
mendongak ke atas meng-hiasi, atau lebih benar, memburukkan wajah me¬reka.
Mereka melirik Ouw Hui dan
lantas masuk ke ruangan dalam. Beberapa saat kemudian, mereka ke luar lagi.
Sekonyong-konyong terdengar suatu suara aneh, disusul dengan melayang turunnya
se-sosok tubuh manusia dari atas genteng. Ternyata, ketika dua kawannya menggeledah
di dalam, orang yang menjaga di belakang sudah meloncat naik ke atas genteng
untuk mengamat-amati.
"Ilmu mengentengkan badan
orang itu cukup tinggi," kata Ouw Hui di dalam hatinya. Di lain saat,
dengan sekali berkelebat, orang itu sudah masuk ke dalam ruangan depan. Roman
orang tersebut sangat mirip dengan dua yang lain, sehingga bisa diduga, bahwa
mereka bersaudara.
Begitu mereka membuka baju
hujan, sekali lagi
Ouw Hui terkejut, karena
mereka semua memakai pakaian berkabung dengan ikat kepala blacu putih.
"Toako," kata yang baru masuk. "Mereka ber-dua mendapat luka dan
juga tidak mernpunyai tunggangan. Menurut pantas, mereka tak bisa lari jauh. Di
sekitar sini tidak terdapat rumah lain. Benar-benar mengherankan. Di mana
mereka ber-sembunyi?"
"Mungkin di gua atau di
gerombolan rumput," jawab yang paling tua. "Sekarang kita jangan
takut lelah, marilah kita mencari di tempat lain. Luka mereka tidak berat, kita
harus berhati-hati."
Mendengar begitu, seorang
antara mereka lan-tas saja bertindak ke arah pintu. Tapi mendadak ia berhenti
dan menengok kepada Ouw Hui sembari berkata: "Eh, bocah! Apakah kau
melihal seorang tua dan seorang wanita muda?"
Ouw Hui yang mulutnya penuh
nasi, meng-geleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu, orang yang
dipanggil "Toako" (kakak paling tua) menyapu seluruh ruangan de¬ngan
matanya yang tajam. Melihat keadaan yang kacau balau dan patung malaikat yang
hancur ber-hamburan di lantai, ia jadi bercuriga dan segera menyelidiki lebih
teliti. Segera juga ia melihat, bahwa di atas lantai terdapat tapak-tapak kaki
yang masih basah.
Sekali melirik, Ouw Hui
mengetahui, bahwa orang itu sedang bercuriga. "Tadi ada beberapa orang
yang bertempur di sini," katanya dengan cepat. "Ada lelaki, ada
perempuan, tua dan muda. Patung Siang Hui Nio-nio telah dilemparkan sampai
hancur luluh. Sesudah itu, sebagian kabur, sebagian
mengejar dan mereka semua
menunggang kuda."
Dengan membawa beberapa potong
kayu yang menyala, yang paling muda segera menyelidiki di pekarangan kuil.
Benar saja di situ terdapat tapak-tapak kaki kuda, sehingga keterangan Ouw Hui
tidak perlu disangsikan lagi. Ia kembali ke dalam dan menanya: "Ke mana
mereka pergi?"
"Ke jurusan utara,"
jawab Ouw Hui. "Aku ber-sembunyi di kolong meja, tidak berani mengawasi
lama-lama...."
Orang itu mengangguk dan
mengeluarkan se-potong perak yang lantas dilemparkan kepada Ouw Hui. "Ini
untukmu," katanya.
"Terima kasih, terima
kasih," kata Ouw Hui dengan wajah girang dan segera memungut potong-an
perak itu. "Tiga setan ini mernpunyai ilmu silat yang cukup tinggi,"
katanya di dalam hati. "Jika mereka sampai bertempur dengan rombongan Hong
Jin Eng, puas juga hatiku."
"Loo-toa (kakak paling
tua), Loo-sam (saudara yang ketiga), mari kita berangkat!" kata seorang
antaranya. Mereka memakai lagi baju hujan mereka dan segera berjalan ke luar.
"Racun itu hebat luar
biasa," kata seorang an¬taranya. "Biar bagaimanapun juga, kita tak
bisa membiarkan ia mendahului kita...."
"Jika kita tidak keburu
mencegat, paling benar buru-buru memberi warta," kata yang lain.
"Hai!" kata pula
yang pertama. "Mana dia mau percaya perkataan kita? Selain itu...."
Perkataan selanjutnya sudah
tak bisa ditangkap lagi oleh Ouw Hui karena tenggelam dalam bunyi hujan.
Heran sekali hati Ouw Hui.
"Racun apa yang dimaksudkan?" ia menanya dirinya sendiri. "Warta
apa? Dan kepada siapa warta itu hendak disampai-kan?"
Mendadak terdengar suara
berkerotakan di tem-pat patung dan di lain saat, Lauw Ho Cin sudah turun dengan
dipapah oleh isterinya. Tempo Ouw Hui bertemu dengan orang itu di
Hong-yap-chung, di waktu ia mengadu silat dengan Wan Cie Ie, gerak-geriknya
gesit luar biasa. Tapi sekarang, ia tak mampu turun dari tempat patung itu
tanpa dibantu isterinya.
Begitu turun, Lauw Ho Cin
segera memberi hormat kepada Ouw Hui seraya berkata: "Terima kasih banyak
untuk budi Siauwko (saudara kecil) yang sudah menolong jiwaku."
Buru-buru Ouw Hui membalas
menghormat. "Sungguh galak tiga orang itu," katanya dengan sikap
ketolol-tololan. "Sekali membuka mulut, me-reka memanggil aku 'bocah'.
Mana aku kesudian bicara terus-terang?"
"Aku she Lauw,"
orang tua itu memperkenalkan diri. "Namaku Ho Cin. Inilah isteriku.
Bisakah aku mengetahui she dan nama Siauwko yang mulia?"
Ditanya begitu, Ouw Hui segera
berkata dalam hatinya: "Kau telah memberitahukan nama yang sejati, aku
juga tidak boleh berdusta. Tapi namaku tidak mirip dengan nama seorang dusun.
Biarlah aku mengubahnya sedikit." Memikir begitu, lantas saja ia menjawab:
"Aku she Ouw, namaku A-toa." Ia ingat, bahwa sebagai anak tunggal
kedua orang tuanya, dengan menggunakan nama "A-toa" (putera yang
sulung), ia tidak terlalu berdusta.
"Siauwko masih berusia
muda," kata Lauw Ho Cin pula. "Di belakang hari, kau tentu bisa
menjadi seorang hartawan...." Bicara sampai di situ, ia me-ngerutkan
alisnya dan menggigit bibir, seperti se-dang menahan sakit.
"Looyacu, kau
kenapa?" tanya isterinya dengan suara bingung.
Sang suami tidak menyahut, ia
hanya meng-geleng-gelengkan kepala dan duduk menyender di meja sembahyang
dengan napas tersengal-sengal. Si isteri lalu turut duduk di atas lantai dan
mengurut dada suaminya.
Melihat begitu, Ouw Hui merasa
kurang enak untuk berdiam di situ lama-lama, maka, sesudah mengambil sepotong
kayu yang menyala, ia lantas saja berkata: "Looyacu, aku mau tidur di
ruangan belakang." Sehabis berkata begitu, ia lantas berlalu.
Dengan mata mendelong, ia
mengawasi jerami di depan meja sembahyang. Ia ingat, bahwa tadi Wan Cie Ie
masih berbaring di atas jerami itu. Tapi sekarang, si nona sudah pergi jauh dan
apa yang ketinggalan, hanyalah kuil yang sunyi senyap dan Ouw Hui yang sebatang
kara.
Lama ia berdiri bagaikan
patung sambil me-megang kayu bakar itu yang apinya jadi semakin kecil.
Sekonyong-konyong ia ingat akan suatu urus-an penting. "Celaka!"
pikirnya. "Kitab silatku telah dibawa kabur olehnya! Sampai sekarang aku
masih bisa melayani ia. Tapi sesudah ia menghafal isi kitabku dan dapat
memahami semua kepandaianku, sekali bergebrak saja ia bisa mampuskan aku!"
Da¬lam sekejap, lamunannya yang muluk sedap ber-ubah menjadi perasaan takut.
Dengan uring-uring-
an ia melemparkan potongan
kayu itu dan mem-banting dirinya di atas jerami.
Secara kebetulan, badannya
jatuh di atas pauw-hoknya (buntalan pakaian). Dalam gelap gulita, ia merasa
buntalannya agak berubah, seperti juga le-bih besar dari tadinya. Ia
meraba-raba dan men-dapat kenyataan, bahwa isi pauw-hok itu sudah bertambah
semacam benda yang agak keras. Ia ingat, bahwa buntalan itu, tadi digunakannya
se-bagai bantal kepala. Ketika ia ke luar untuk meng-hajar Hong Jin Eng, buntalan
itu masih tetap berada di tempatnya. Tapi sekarang, pauw-hok tersebut ternyata
sudah berpindah tempat.
Ouw Hui heran bukan main.
"Isteri Lauw Ho Cin dan tiga saudara itu pernah datang di sini,"
pikirnya. "Apakah mereka yang menggerayangi bun-talanku?"
Dengan rasa penasaran ia
segera menyalakan api dan membuka buntalannya. Dan begitu melihat,
hampir-hampir ia tak percaya pada kedua matanya sendiri. Ternyata, isi buntalan
itu bertambahkan seperangkat pakaian, sepasang sepatu dan sepasang kaos kaki,
yaitu miliknya sendiri yang telah dibawa lari oleh Wan Cie Ie. Hatinya berdebar
setelah ia mendapat kenyataan, bahwa pakaian itu sudah di-cuci bersih. Ia
mengangkat pakaian itu untuk me-meriksa terlebih jauh. Dan... jantungnya
memukul keras. Di bawah pakaian itu terdapat kitab silatnya, beberapa potong
emas dan sebuah Hong-hong (bu-rung Hong) terbuat dari giok putih dan panjangnya
kira-kira tiga dim! Hong-hong itu indah luar biasa, terang sekali diukir oleh
tangan yang pandai.
Lama sekali Ouw Hui bengong dengan
mulut
ternganga. Kemudian ia
membungkus pula bun¬talannya dan menggenggam Hong-hong itu di dalam tangannya.
Ia berbaring di atas jerami itu dengan otak bekerja keras. "Jika mau
dikatakan ia berlaku manis terhadapku, kenapa ia sudah melndungi Hong Jin Eng
secara begitu mati-matian?" tanyanya ke-pada diri sendiri. "Jika
dikatakan dia menyeterukan aku, kenapa dia memulangkan pakaianku yang su¬dah
dicuci bersih, kitabku dan juga menghadiahkan Hong-hong yang begini indah
kepadaku? Kenapa? Kenapa...."
Ia gelisah dan tentu saja tak
bisa tidur pulas.
Tiba-tiba sinar berkelebat di
pintu ruangan belakang. Ouw Hui melirik dan melihat, bahwa dengan dipapah oleh
isterinya, Lauw Ho Cin sedang bertindak masuk dengan sebelah tangan mencekal
sebatang kayu menyala. "Lebih baik kita tidur di sini," katanya
sembari mendekati meja sembahyang, seperti juga ia ingin tidur di atas meja
bekas tempat tidur Wan Cie Ie.
"Eh, Looyacu," kata
Ouw Hui terburu-buru. "Kau sukar memanjat ke atas, lebih baik tidur di
bawah, di sini. Ambil saja tempatku." Berbareng dengan perkataannya, ia
memanjat ke atas meja dan segera berbaring di situ.
"Siauwko sungguh berhati
mulia," puji Lauw Ho Cin.
Berselang beberapa lama,
tiba-tiba Ouw Hui mendengar suara Lauw Ho Cin berbisik: "Tiong Peng, Siauwko
ini sungguh baik hatinya. Kita harus bisa membalas budinya."
"Benar," sahut si
isteri. "Tanpa pertolongannya, kita tentu sudah menjadi mayat."
Lauw Ho Cin menghela napas
panjang-panjang dan berkata pula: "Barusan, sungguh berbahaya. Jika tadi Ciong-sie
Sam-heng-tee (tiga saudara she Ciong) mengganggu dia, biar mesti mati, aku
tentu akan menolongnya."
"Tentu saja," kata
si isteri. "la melindungi kita secara ksatria, kita pun harus membalasnya
secara ksatria pula. Walaupun tidak mengerti ilmu silat, pribudi Siauwko ini
melebihi banyak orang gagah di dunia Kang-ouw."
"Sst! Perlahan sedikit.
Khawatir dia bangun." kata sang suami. Sehabis berkata begitu, ia
me-manggil: "Siauwko! Siauwko!"
Ouw Hui tidak menyahut, ia
pura-pura pulas.
"Ia pulas," bisik
Tiong Peng.
"Hm!" kata Lauw Ho
Cin. Beberapa saat ke-mudian ia berkata pula: "Tiong Peng, tadi di waktu
aku memerintahkan kau kabur, kenapa kau mem-bangkang?"
"Hai! Kau terluka berat,
mana aku tega," jawab-
nya.
"Kau sendiri tahu, bahwa
surat ini luar biasa pentingnya," kata sang suami. "Jika tidak
diserahkan ke dalam tangan Kim-bian-hud Biauw Tayhiap, tak tahu berapa banyak
orang gagah akan binasa...."
Ouw Hui terkesiap mendengar
kata-kata "Kim-bian-hud Biauw Tayhiap". Hampir-hampir ia me-ngeluarkan
seruan "ah". Ia mengetahui, bahwa de-ngan mendiang ayahnya, Biauw Jin
Hong mem-punyai semacam sangkutan yang luar biasa. Me-nurut kata orang-orang
Kang-ouw, ayahnya telah binasa dalam tangan Kim-bian-hud. Akan tetapi, setiap
kali ia menanya Peng Sie-siok, yaitu orang
yang sudah merawatnya sedari
bayi, paman itu selalu mengatakan, bahwa yang didengarnya itu semua tidak benar
dan, jika nanti ia (Ouw Hui) sudah besar, ia akan menceritakan hal itu
seterang-terang-nya.
Di waktu masih kecil, Ouw Hui
pernah bertemu muka dengan Biauw Jin Hong di Siang-kee-po. Apa yang diingatnya
adalah seorang yang gagah budi-man.
"Sst! Jangan
keras-keras!" bisik Tiong Peng. "Ini adalah rahasia besar."
"Benar," kata
suaminya. "Kita mengetahui, bah¬wa kita berkorban untuk kepentingan
orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Tindakan kita ada¬lah bebas dari
maksud-maksud pribadi. Maka itu, Tuhan tentu akan memberkahi kita dan kita
pasti akan berhasil."
Kata-kata itu diucapkan dengan
suara yang angker dan sungguh-sungguh, sehingga Ouw Hui merasa terharu sekali.
"Jika untuk kepentingan para orang gagah, aku pasti akan membantu Lauw Ho
Cin supaya surat itu bisa sampai di tangan Biauw Jin Hong," kata Ouw Hui
di dalam hatinya.
Sampai di situ, suami isteri
itu tidak bicara lagi. Berselang beberapa lama, dalam keadaan layap-layap,
tiba-tiba Ouw Hui mendengar derap kaki kuda yang mendatangi dari sebelah utara.
Ia terkejut dan menduga, bahwa
Ciong-sie Sam-heng-tee datang kembali. "Sekali ini Lauw Ho Cin tak akan
bisa bersembunyi," pikirnya. "Paling benar aku mencegah mereka di
tengah jalan. Andaikata aku tak bisa mengusir mereka, sedikit Lauw Ho Cin
dan isterinya masih mempunyai
kesempatan untuk melarikan diri."
Memikir begitu, perlahan-lahan
ia meloncat turun dan begitu ke luar dari pintu kuil, ia lari bagaikan terbang
untuk memapaki Ciongsie Sam-heng-tee.
Ketika itu, hujan sudah
berhenti. Lari belum berapa lama, jauh-jauh Ouw Hui sudah melihat tiga
penunggang kuda yang mendatangi dengan cepat sekali. Ia menghadang di tengah
jalan dan begitu mereka tiba, ia membentak: "Gunung ini dibuka olehku dan
pohon-pohon ditanam olehku. Siapa juga yang mau lewat, harus membayar uang
jalan!"
Orang yang berjalan paling
dulu, tertawa ter-bahak-bahak, "Aha! Dari mana bangsat kecil ini?"
katanya sembari tertawa dan mengedut les, se-hingga kudanya lantas saja
menerjang Ouw Hui.
Cepat bagaikan kilat, sambil
mengerahkan te-naga dalamnya, tangan kiri Ouw Hui menjambret les yang lalu
digentaknya. Hebat benar gentakan itu! Kuda itu terhuyung beberapa tindak dan
rubuh
di tanah.
Masih untungpenunggangnya
keburu meloncat turun dan tiba dengan selamat di atas tanah. Bukan main
kagetnya ketiga saudara itu. Yang dua lantas saja turun dari masing-masing
kudanya dan mereka bertiga segera berdiri berjajar dengan mencekal senjata aneh
bentuknya.
Fajar sudah menyingsing, tapi
awan mendung masih menutupi seluruh langit sehingga keadaan masih agak gelap.
Ouw Hui mengawasi, tapi ia masih tak tahu, senjata apa yang dicekal mereka.
"Ciong-sie Hengtee dari
Ouw-pak Utara merasa bersalah karena di waktu lewat di sini, mereka belum
mengunjungi tuan," kata seorang antaranya. "Bisakah kami mengetahui
she dan nama tuan yang mulia?"
Ketika baru bertemu, mereka
sebenarnya tak memandang sebelah mata kepada Ouw Hui yang masih begitu muda.
Akan tetapi, dorongan tadi, yang hebat bukan main, dengan serentak sudah
mengubah pandangan mereka. Maka itu, pembicara barusan, yakni Ciong Tiauw Eng,
sudah mengeluar-kan kata-kata yang sangat hormat.
Mendengar perkataan itu, Ouw
Hui yang se-lamanya berhati-hati lantas saja menjawab: "Aku she Ouw.
Bolehkah aku mendengar nama besar ketiga tuan?"
Ciong Tiauw Eng bingung
mendengar pertanya-an itu. "Nama Ciong-sie Sam-hiong (Tiga jago she Ciong)
terkenal di seluruh negara," katanya di da-lam hati. "Kenapa dia
mesti menanya lagi? Dilihat begini, pengalamannya masih cetek sekali."
Me¬mikir begitu, lantas saja ia berkata: "Aku bernama Tiauw Eng. Yang itu
adalah kakakku Tiauw Bun, yang ini adikku Tiauw Leng. Karena mempunyai urusan
penting, kami mengharap, agar Ouw Toako sudi membuka jalan. Nanti di waktu
kembali, kami tentu akan menghaturkan terima kasih kepada Ouw Toako yang sudah
membuka gunung ini." Sehabis berkata begitu, ia mengangkat kedua tangannya
dan menyoja.
Harus diketahui, bahwa Ciong-sie
Sam-heng-tee adalah orang-orang ternama dalam Rimba Per-silatan. Bahwa mereka
sudah berlaku begitu sung-kan terhadap seorang Houw-pwee (orang muda),
adalah kejadian yang luar
biasa. Perasaan segan sudah muncul karena mereka menyaksikan lihaynya Ouw Hui
di waktu ia menggentak kuda. Selain itu, terdapat kemungkinan besar, bahwa
pemuda itu datang bukan seorang did, mungkin gurunya atau kawannya yang lihay
berada di dekat tempat itu.
Ouw Hui segera membalas
penghormatan itu dan berkata: "Janganlah Loosu memakai begitu banyak
peradatan. Apakah Samwie sedang mencari suami isteri Lauw Ho Cin?"
Sesaat itu, cuaca sudah
terang. Ketiga saudara lantas saja mengenali, bahwa pemuda yang men-cegat
mereka, adalah si orang dusun yang tadi sedang makan nasi di rumah berhala.
Mereka men-dongkol bukan main, sebab sudah kena dikelabui seorang bocah.
Dilain pihak, Ouw Hui pun
sudah melihat nyata senjata-senjata ketiga saudara itu yang sangat aneh.
Senjata Ciong Tiauw Bun adalah Kok-song-pang (tangthung, tongkat yang biasa dibawa
oleh hauw-lam, anak lelaki yang orang tuanya meninggal du-nia), senjata Tiauw
Eng ialah Thie-pay (papan nama di meja abu, terbuat dari besi) yang panjangnya
kira-kira satu kaki dan yang di atasnya bertuliskan beberapa huruf, sedang yang
paling aneh adalah senjata Tiauw Leng, yaitu Ciauw-hun-hoan (ben-dera untuk
memanggil roh yang biasa ditancap di meja sembahyang). Di samping senjata
mereka yang aneh, pakaian mereka pun tidak kurang anehnya. Dengan mengenakan
pakaian berkabung, ditambah pula dengan roman mereka yang jelek luar biasa,
sebelum bertempur, musuh yang tanggung-tang-gung tentu sudah ketakutan terlebih
dulu.
Demikianlah, melihat
senjata-senjata aneh itu, Ouw Hui berwaspada dengan memusatkan seluruh
perhatiannya.
"Pernah apakah tuan
dengan Lauw Loosu?" tanya Tiauw Eng.
"Dengan Lauw Loosu, aku
tak mempunyai hu-bungan suatu apa," jawab Ouw Hui. "Dengan ia, hari
ini aku baru bertemu untuk kedua kalinya. Hanya karena Samwie sudah mendesaknya
secara keterlaluan, barulah aku memberanikan hati untuk memohonkan belas
kasihan. Kata para pujangga: Jika kita bisa memaafkan, maafkanlah, karena kita
pun sering-sering perlu mendapat maaf. Lauw Loo¬su suami isteri sudah mendapat
luka, maka itu aku minta Samwie suka berlaku sedikit murah hati."
Ciong Tiauw Bun mendengarkan
pembicaraan itu dengan tidak sabar. Ia khawatir, bahwa dengan menggunakan
kesempatan tersebut, Lauw Ho Cin akan melarikan diri. Sembari melirik
saudaranya, perlahan-lahan ia berkisar untuk menghantam Ouw Hui dari jurusan
samping.
"Ganjalan apa yang
terdapat antara Samwie dan Lauw Loosu, sama sekali aku tidak tahu," kata
Ouw Hui pula. "Aku hanya mengetahui, bahwa sekarang ini Lauw Loosu
mempunyai suatu tugas yang belum selesai. Apakah tak mungkin Samwie baru
mencari-nya, sesudah tugas itu selesai dikerjakannya?"
"Kami justru tak mau
membiarkan ia menye-lesaikan pekerjaan itu," kata Tiauw Bun dengan gusar.
"Pendek saja: Kau mau minggir atau tidak?"
Mengingat pembicaraan antara
Lauw Ho Cin dan isterinya, bahwa tugas itu adalah untuk ke-pentingan segenap
orang gagah dalam Rimba Per-
silatan dan melihat roman
Ciong-sie Sam-heng-tee yang begitu garang, lantas saja Ouw Hui mengambil
keputusan untuk merintangi mereka dengan ke-kerasan. la tertawa bergelak-gelak
dan berkata de¬ngan suara nyaring: "Kau mau aku minggir? Boleh! tapi
serahkan dulu tiga ratus tail perak!"
Bukan main gusarnya Tiauw Bun.
la menge-baskan Kok-song-pangnya dan bergerak untuk me-nerjang.
"Toako, tahan!" kata
Tiauw Eng sembari me-rogoh sakunya dan mengeluarkan empat potong perak.
"Empat potong perak ini lebih dari tiga ratus tail," katanya.
"Ambillah!"
"Jietee! Apa artinya
ini?" teriak Tiauw Bun. Ciong-sie Sam-hiong (Tiga jago she Ciong) adalah
orang-orang ternama yang disegani dalam kalangan Kang-ouw. la sungguh penasaran
melihat adiknya memperlihatkan kelemahan yang keterlauan di ha-dapan seorang
bocah. Tapi Tiauw Eng mempunyai alasan lain. Untuk mengejar Lauw Ho Cin, mereka
harus bertindak secepat mungkin. Meskipun ia ya-kin, bahwa dengan tiga melawan
satu, pihaknya akan bisa merubuhkan pemuda itu, akan tetapi, sedikit kelambatan
saja, urusan besar itu bisa men-jadi gagal. Itulah sebabnya, mengapa, walaupun
mendongkol bukan main, ia terpaksa mengalah.
Sikap Tiauw Eng benar-benar di
luar dugaan Ouw Hui. Tapi lantas saja ia menggelengkan kepala. "Terima
kasih, terima kasih!" katanya. "Menurut Ciong Loosu, berat empat
potong itu melebihi tiga ratus tail. Tapi permintaanku adalah seratus tail dari
seorang, jadi tiga ratus tail dari tiga orang. Lebih aku tak mau, kurang pun
aku tak menerima. Begini
saja: Marilah kita
bersama-sama pergi ke kota, ke toko perak, untuk menimbangnya!"
Sampai di situ, habislah
kesabaran Tiauw Eng yang terkenal sabar. Ia masukkan pula perak itu ke dalam
sakunya dan berkata: "Toako, Samtee, per-gilah kalian jalan lebih
dulu." Ia berpaling kepada Ouw Hui seraya membentak: "Hunuslah
senjata-mu!"
Ouw Hui mengetahui, bahwa ia
sedang meng-hadapi lawan berat dan hatinya mendongkol karena goloknya telah
direbut Wan Cie le. Saat itu, Tiauw Bun dan Tiauw Leng sudah bergerak untuk
kabur lewat di kedua sampingnya. Tindakan apa harus diambilnya?
Mendadak ia maju dua tindak
dan menghantam kepala kuda Tiauw Eng dengan tinjunya. Pukulan itu adalah
pukulan terhebat dari Ouw-kee Kun-hoat. Begitu kena, hewan itu bergemetar
tubuhnya dan rubuh tanpa berkutik lagi.
Ciong-sie Sam-heng-tee jadi
kesima bahna ka-getnya. Dengan menggunakan kesempatan itu, Ouw Hui membetot
tali sepasang sanggurdi kuda itu yang lantas saja menjadi putus.
"Maaf! Maaf!"
katanya. "Karena tidak mem-bawa senjata, terpaksa aku meminjam sanggurdi
ini." Berbareng dengan perkataannya, sebuah sang¬gurdi menyambar muka
Tiauw Bun, sedang yang satu lagi menghantam pundak Tiauw Leng. Dengan demikian,
mereka terpaksa meloncat mundur dan gagal menerobos.
Sebagaimana diketahui, dulu
ketiga saudara itu bersenjata Poan-koan-pit. Tapi, sedari delapan ta-hun
berselang, yaitu semenjak dirubuhkan Biauw
Jin Hong, karena malu, mereka
tidak menggunakan lagi Poan-koan-pit dan lalu melatih diri dengan
senjata-senjata baru yang aneh. Selama delapan tahun, mereka telah mendapat
kemajuan pesat dan mereka ingin sekali menjajal pula kepandaian Kim-bian-hud.
Tapi tak dinyana, sebelum bertemu de¬ngan Biauw Jin Hong, di daerah pegunungan
itu, mereka sudah dibikin malu oleh seorang bocah yang belum hilang bau
popoknya.
Serentak mereka menerjang
dengan masing-masing senjatanya yang mengeluarkan kesiuran angin menderu-deru.
Ouw Hui pun segera memutar kedua sanggurdi itu, yang digunakannya sebagai
Liu-seng-tui (bandringan) untuk melayani ketiga lawannya.
Dengan cepat, mereka sudah
bertempur kurang lebih tiga puluh jurus. Begitu bergebrak, Ciong-sie Sam-hiong
yang berpengalaman luas, coba menebak asal usul ilmu silat Ouw Hui. Melihat
sambaran sanggurdi di tangan kanan Ouw Hui, mereka segera menduga, bahwa pukulan
itu yang mirip dengan Pek-hong-koan-jit (Bianglala putih menembus ma-tahari),
adalah pukulan dari Thio-kee Tui-hoat (ilmu bandringan dari keluarga Thio) di
Ceng-ciu, pro¬pinsi Shoatang. Menurut kebiasaan Thio-kee Tui-hoat, Sesudah
Pek-hong-koan-jit, bandringan yang satunya lagi akan menyabet dari samping.
Sesaat itu, Kok-song-pang Ciong Tiauw Bun tengah me-nyontek dari bawah ke atas
dan di bagian kepala Tiauw Bun terdapat suatu lowongan. Dengan cepat Ouw Hui
mengedut tali sanggurdi yang lalu me-nyambar kepala Tiauw Bun.
Ciong-sie Sam-hiong kaget
berbareng heran.
"Silat apakah ini?
Kenapa, sebaliknya dari menyabet dari samping, dia menghantam dari atas?"
mereka menanya diri sendiri.
Melihat Tiauw Bun menangkis
dengan toyanya, Ouw Hui segera menyapu Tiauw Leng dengan sang¬gurdi yang di
tangan kanannya.
Ciong-sie Sam-heng-tee
mengangguk-angguk. Tak bisa salah lagi, itulah pukulan Yang-bie-touw-kie
(Menggerakkan alis memuntahkan hawa) dari Tie Sip Tui di Yanciu, propinsi
Siam-say. Sesudah Yang-bie-touw-kie, kedua sanggurdi itu pasti akan menghantam
dada. Memikir begitu, mereka bertiga lantas saja melintangkan senjata mereka di
depan dada, untuk menyambut kekerasan dengan keke-rasan.
Tapi, di luar semua
perhitungan, sebaliknya dari menyerang dada, Ouw Hui menyapu kaki mereka dengan
kedua senjatanya. Dengan kaget, Ciong-sie Sam-hiong melompat tinggi-tinggi.
"Eh-eh!" seru seorang antaranya. "Kenapa Hoan-thian-hok-tee
(membalikkan langit dan bumi)?"
Sembari melompat, Ciong Tiauw
Leng mena¬nya: "Eh, masih pernah apakah kau dengan Liu-seng-kan-goat Tong
Loosu dari Thaygoan-hu?"
Tong Loosu atau ahli silat she
Tong dari Thay¬goan-hu di propinsi Shoasay adalah seorang ahli dalam
menggunakan sepasang Liu-seng-tui (Liu-seng-tui berarti martil bintang sapu
atau bandring¬an). Oleh karena itu, ia mendapat julukan Liu-seng-kan-goat
(Bintang sapu mengejar bulan). Dengan Ciong-sie Sam-hiong, Tong Loosu mempunyai
hu-bungan yang sangat rapat. Pukulan Hoan-thian-hok-tee adalah salah satu
pukulan yang paling lihay
dari ahli silat tersebut dan
yang sukar ditiru oleh orang lain.
Mendengar pertanyaan itu,
sembari tertawa Ouw Hui menjawab: "Tong Loosu adalah Suteeku (adik
seperguruan)."
"Fui! Jangan ngaco
belo!" bentak Tiauw Leng dengan suara gusar.
Demikianlah, keheranan Ciong-sie
Sam-heng-tee jadi semakin besar. Sesudah berkelana di se-luruh negeri, mereka
mengenal semua ilmu Liu-seng-tui yang terdapat dalam Rimba Persilatan. Tapi
cara Ouw Hui bersilat yang aneh, sudah mem-bikin mereka bingung.
Dalam suatu pertempuran yang
sungguh-sung-guh, Ciong-sie Sam-hiong sebenarnya bisa merubuhkan Ouw Hui tanpa
menampak banyak kesukaran. Tapi, karena kebingungan mereka, di-tambah dengan
rasa jeri sebagai akibat dari pukulan terhadap tunggangan mereka, mereka jadi
gentar dan kegentaran ini sudah digunakan sebaik-baiknya oleh Ouw Hui.
Sesudah lewat puluhan jurus,
barulah ketiga saudara itu insyaf, bahwa ilmu silat bandringan Ouw Hui tidak
terlalu lihay. Hati mereka jadi lebih mantap dan mereka menyerang dengan ilmu
me¬reka yang sudah dilatih selama delapan tahun itu. Thiepay Ciong Tiauw Eng,
yang terbuat dari besi, digunakan untuk menyerang dengan tenaga
"keras". Sekarang Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa empat huruf yang
tertulis di atas pay itu adalah: "It-kian-seng-cay" (Begitu bertemu
begitu mak-mur). Bendera Ciauw-hun-hoan dari Ciong Tiauw Leng digunakan untuk
melancarkan serangan te-
naga "lembek". Ouw
Hui tak tahu, dari bahan apa bendera itu dibuat, bukan kain dan juga bukan
kulit. Setiap kali terpukul sanggurdi "kain" bendera itu dirasakan
"lembek", tapi jika bendera itu lewat di dekat badannya, Ouw Hui
merasakan kulitnya pe-das sekali. Kok-song-pang Ciong Tiauw Bun me¬nyerang
dengan tenaga yang sedang-sedang yaitu di antara tenaga "keras" dan
tenaga "lembek". Demi¬kianlah ketiga senjata itu menyerang Ouw Hui
dengan tiga macam tenaga yang bekerja sama.
Dalam sekejap, Ouw Hui sudah
keteter. Se¬sudah lewat lagi beberapa jurus, tiba-tiba ia me¬loncat ke luar
dari gelanggang seraya berseru: "Ta-han! Sebenarnya dengan tulus hati aku
ingin mem-bujuk Samwie dan sama sekali tidak punya niat bermusuh. Tanpa
senjata, aku tentu tak dapat me-lawan Samwie dan sekarang aku menyerah kalah
saja." Sembari berkata begitu, ia meloncat minggir ke tepi jalan.
Ciong-sie Sam-hiong
mengetahui, bahwa de¬ngan kata-kata itu Ouw Hui bermaksud membikin panas hati
mereka. Tapi karena adanya urusan penting dan mereka harus berangkat secepat
mung-kin, Ciong Tiauw Leng lantas saja berkata: "Baiklah. Lain kali,
dengan senjata yang biasa kau gunakan, kau boleh mencoba-coba lagi."
Berbareng dengan perkataannya, ia lantas menghampiri tunggangan-nya.
"Lain kali?" kata
Ouw Hui sembari tertawa menyindir. "Bagus! Lain kali saja. Tak dinyana,
Ciong-sie Sam-heng-tee adalah manusia-manusia yang begitu saja."
"Apa kau kata?"
bentak Cong Tiauw Bun. "Siapa menyuruh kau tidak membawa senjata?"
"Sebenarnya aku sudah
mempunyai suatu cara yang adil," kata Ouw Hui dengan tenang. "Hanya,
aku khawatir kalian tak berani."
Ciong-sie Sam-hiong tak dapat
bersabar lagi. "Hayo katakan!" mereka berseru hampir berbareng.
Sebelum Ouw Hui keburu membuka
mulut, Ciong Tiauw Eng sudah berkata pula: "Kedua sau-daraku akan melayani
kau di sini, sedang aku mau berangkat lebih dulu." Sehabis berkata begitu,
ia mengenjot badannya terus melompat.
Hampir berbareng dengan itu,
Ouw Hui yang terus berwaspada turut melompat ke atas sambil mementang kedua
tangannya untuk menghalang-halangi musuh itu kabur. Tiauw Eng yang tidak
menduga, bahwa pemuda itu bisa bergerak begitu cepat, lantas saja menghantam dengan
Thiepaynya. Tanpa berkelit, selagi badannya masih berada di tengah udara,
tangan kanan Ouw Hui menyambar pergelangan tangan musuhnya, sehingga Thiepay
itu hampir-hampir kena direbut.
Dengan terkejut, Tiauw Bun dan
Tiauw Leng menubruk dari kiri kanan, tapi pemuda itu sudah meloncat ke belakang
sembari mengeluarkan ter-tawa nyaring dan kemudian memotes sebatang ca-bang
pohon Siong yang lurus. "Jika kalian mem¬punyai nyali," ia menantang.
"Mari menjajal-jajal ilmu golokku."
Meskipun senjatanya tidak
sampai kena di¬rebut, Tiauw Eng merasakan pergelangan tangan¬nya sakit sekali,
akibat cengkeraman Ouw Hui tadi. "Pemuda ini benar-benar bukan sembarangan
orang," pikirnya. "Jika aku sendiri mengejar Lauw Ho Cin
dan membiarkan kedua saudaraku
berdiam di situ, aku benar-benar merasa khawatir. Biarlah lebih dulu kita
bertiga merubuhkan dia dan kemudian bam mengejar lagi orang she Lauw itu.M
Memikir begitu, lantas saja ia berkata: "Kami bersedia me-layani ilmu
golok tuan, hanya menyesal kami tidak membawa golok."
"Antara kita sama kita
tidak ada permusuhan atau ganjalan," kata Ouw Hui. "Bahkan kita belum
pernah saling mengenal. Maka itu, tak perlu kita bertempur mati-matian. Begini
saja: Kita berjanji, siapa yang tersentuh, dia yang kalah. Apakah Sam-wie
setuju?"
"Setuju kami
setuju," sahut Tiauw Bun.
Ouw Hui lalu memetik daun-daun
yang me-nempel pada cabang itu, sehingga yang ketinggalan hanyalah sebatang
dahan yang lurus dan bersih. "Biarlah aku menggunakan cabang Siong ini
sebagai golok," katanya. "Samwie boleh menyerang dengan berbareng.
Lebih dulu kita berjanji, bahwa setiap pukulan dari cabang ini harus dianggap
sebagai bacokan golok. Apakah aku bisa mendapat janji Ciong-sie
Sam-heng-tee?"
Mendengar kata-kata itu, darah
Ciong-sie Sam-hiong jadi semakin meluap. "Sebelum kau terlahir, nama
Ciong-sie Sam-hiong yang selalu memegang janji, sudah dikenal di seluruh
Kang-ouw," kata Tiauw Bun dengan suara keras.
"Kalau begitu,
sambutlah!" kata Ouw Hui sem-bari menebas dengan senjatanya. Dalam
sekejap, mereka sudah bertempur seru.
Ouw-kee To-hoat benar-benar
lihay. Dalam tangan Ouw Hui, cabang pohon yang kecil lurus itu
menyambar-nyambar bagaikan
kilat cepatnya, di-sertai dengan kesiuran-kesiuran angin yang dahsyat. Dalam
serangan-serangannya, senjata Ouw Hui tak pernah kebentrok dengan senjata musuh
tapi setiap pukulannya ditujukan ke bagian badan musuh yang berbahaya. Memang
benar, walaupun kena ter-pukul, pukulan itu tidak membahayakan jiwa. Akan
tetapi, karena adanya perjanjian, Ciong-sie Sam-hiong harus menjaga supaya
badan mereka tidak kena dicolek dengan cabang itu.
Tak lama kemudian, ketiga
saudara itu sudah terdesak. Dalam gusarnya, begitu melihat kesem-patan, Tiauw
Bun menyabet betis Ouw Hui dengan toyanya. Dalam pertempuran Ciong-sie
Sam-heng-tee selalu bekerja sama secara erat sekali. Begitu lekas Ouw Hui
melompat untuk berkelit dari toya musuh, Ciauw-hun-hoan, senjata Ciong Tiauw
Leng, sudah menyambar kepalanya, dan hampir berbareng, Thiepay Tiauw Eng
menghantam ping-gang kanannya. Sekali ini, sebaliknya dari berkelit atau
meloncat mundur, dengan berani Ouw Hui maju setindak dan secepat kilat ujung
cabang Siong itu menyambar pundak kiri Tiauw Bun.
Serangan itu bukan saja cepat,
tapi juga hebat luar biasa. Jika senjata Ouw Hui itu sebilah golok tajam, lengan
Tiauw Bun, sebatas pundak, tentu sudah terpisah dari tubuhnya.
Wajah Tiauw Bun lantas saja
berubah pucat bagaikan kertas. "Sudahlah! Sudahlah!" ia berseru
sambil melemparkan Kok-song-pangnya dan meloncat ke luar dari gelanggang.
Tiauw Eng dan Tiauw Leng
terkejut bukan main. Dengan serentak mereka lalu menyerang
seperti harimau edan dengan
pengharapan bisa merubuhkan lawan, supaya pertandingan itu men-jadi seri. Tapi,
baru saja belasan jurus, sebaliknya dari berhasil, mereka sendiri yang kena
dirubuhkan musuh: Tiauw Eng kena disabet lehernya, Tiauw Leng dibabat lututnya.
Muka kedua saudara itu jadi
berwarna ungu, bahna malu dan gusar. Dengan berbareng, mereka melemparkan
senjata mereka. "Uah!" Tiauw Eng memuntahkan darah hidup dari
mulutnya.
Melihat ketiga saudara itu
memegang janji, Ouw Hui jadi menghargakan mereka. Ia merasa syukur, bahwa
barusan ia tidak menurunkan tangan jahat dan ia yakin, bahwa Tiauw Eng
memuntahkan darah, bukan disebabkan luka, tapi karena kejeng-kelan yang
melampaui batas. Dengan perasaan me-nyesal, ia merangkap kedua tangannya untuk
mem-beri hormat, tapi sebelum ia keburu membuka mu-lut, Tiauw Leng sudah
mengeluarkan suara di hi-dung. "Hm!" katanya. "Tuan memiliki
ilmu silat yang sangat tinggi dan aku merasa kagum. Hanya sayang, sungguh
sayang, tuan yang masih begitu muda, tidak mengambil jalan yang lurus!"
Ouw Hui terkesiap,
"Kenapa aku tidak meng¬ambil jalan yang lurus?" tanyanya dengan
ter-cengang.
"Samtee!" kata Tiauw
Bun dengan suara gusar. "Guna apa banyak-banyak bicara dengan dia?"
Se-habis berkata begitu, ia segera membantu Tiauw Eng naik ke punggung kuda dan
mereka lalu be-rangkat tanpa menengok pula dan tanpa memungut senjata mereka
yang dilemparkan di atas tanah.
Melihat cara-cara ketiga
saudara itu, mau tak
mau, Ouw Hui merasa kagum. Ia
berdiri seperti patung sambil mengawasi tiga senjata itu dan bang-kai kuda yang
menggeletak di atas tanah. Berselang beberapa saat, baru ia kembali ke kuil itu
dengan tindakan perlahan.
Setibanya di bio itu, ia
mendapat kenyataan bahwa suami isteri Lauw Ho Cin sudah berlalu. Mengingat,
bahwa barusan ia telah melakukan pe-kerjaan mulia, hatinya merasa terhibur.
"Di mana adanya Biauw Jin
Hong?" tanyanya di dalam hati. "Orang itu bergelar Tah-pian Thian-hee
Bu-tek-chiu. Berapa tinggikah ilmu silatnya?" Mengingat, bahwa
Kim-bian-hud mempunyai sang-kut paut yang sangat rapat dengan mendiang
ayah-nya, ia ingin sekali menemui orang gagah itu. Tapi di lain pihak, ia juga
tak bisa melupakan Hong Jin Eng yang sudah bisa meloloskan diri dari ceng-keramannya.
Jika ia gagal dalam usahanya mem-balaskan sakit hati keluarga Ciong A-sie, ia
bukan laki-laki. Pada saat itu, ia sangat ragu-ragu. Apakah ia harus pergi
menemui Biauw Jin Hong atau me-ngejar Hong Jin Eng?
Sembari menimbang-nimbang, ia
berjalan kem¬bali ke tempat, di mana barusan ia bertempur de¬ngan Ciong-sie
Sam-hiong. Begitu tiba di situ, hati¬nya merasa heran oleh karena senjata
ketiga sau¬dara Ciong itu, yang tadi menggeletak di atas tanah, sekarang tak
ketahuan ke mana perginya. Yang masih terdapat di tempat itu hanyalah bangkai
kuda itu.
"Fajar baru saja
menyingsing dan belum ada manusia lain yang lewat di sini," katanya di
dalam hati. "Apakah Ciong-sie Sam-hiong kembali lagi
untuk mengambil pulang senjata
mereka?"
Ouw Hui tak gampang mau
menerima dengan begitu saja, jika menghadapi suatu teka-teki. Se-makin sulit,
ia semakin penasaran. Demikianlah ia terus menyelidiki keadaan di sekitar situ.
Berapa saat kemudian, matanya yang sangat tajam melihat sebuah tapak kaki
berlumpur di cabang pohon besar yang terpisah kurang lebih tiga puluh tombak
dari tempat pertempuran. Tapak itu terdapat di cabang yang tingginya kira-kira
tiga tombak dari muka bumi dan pasti tak akan dapat dilihat mata orang biasa.
Sesudah memeriksa secara lebih teliti, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa tapak
itu berukuran kecil dan masih agak basah, sehingga ia segera menarik
kesimpulan, bahwa yang barusan berdiri di situ adalah seorang wanita.
Jantung Ouw Hui memukul keras.
"Apakah dia?" ia menanya dirinya sendiri dan ia segera me-lompat naik
ke pohon itu. Benar saja, di cabang itu terdapat dua tapak sepatu wanita dan
beberapa cabang kecil telah terinjak patah.
"Tak mungkin, tak mungkin
nona Wan," pikir Ouw Hui. "Orang yang mempunyai ilmu meng-entengkan
badan seperti ia, tak nanti menginjak cabang-cabang kecil itu sehingga patah.
Tapi, siapa dia?" Dengan penasaran ia manjat lebih tinggi lagi dan di
sebatang cabang yang besar, ia kembali mendapatkan sepasang tapak kaki, agaknya
diting-galkan seorang laki-laki.
Sekarang ia tak sangsi lagi.
Kedua orang itu sudah pasti bukan lain daripada Lauw Ho Cin dan isterinya yang
telah bersembunyi di pohon dan menonton ia bertempur. Tapi berbareng dengan
kesimpulan itu,
pertanyaan-pertanyaan lain segera muncul dalam otak Ouw Hui. Bagaimana, mereka,
yang agaknya mendapat luka berat, bisa memanjat pohon yang tinggi itu? Dan
kenapa, sesudah Ciong-sie Sam-hiong berlalu, mereka tidak memanggilnya? Di lain
saat, ia mendapat suatu pikiran lain. "Ah! Sikap mereka tak salah,"
pikirnya. "Mereka tadinya tidak tahu, bahwa aku paham ilmu silat dan tentu
saja mereka bercuriga, di waktu mendapat kenyata¬an, bahwa aku dapat merobohkan
Ciong-sie Sam-hiong. Dalam dunia Kang-ouw memang banyak gelombang dan badai,
setiap orang harus berlaku sangat hati-hati. Dalam bercuriga, mereka tentu saja
tidak berani muncul. Di samping itu, mereka juga mempunyai suatu tugas yang
harus diselesaikan secepat mungkin." Hati Ouw Hui menjadi lega dan ia
segera meloncat turun. Ia mendapat kenyataan, bahwa tapak-tapak kaki itu menuju
ke arah timur laut dan oleh karena ingin menyelidiki lebih lanjut, ia segera
mengikutinya.
Sesudah hujan dan jalan jadi
berlumpur, Ouw Hui tidak mengalami banyak kesukaran dalam usa-hanya mengikuti
jejak dua orang itu. Sesudah me-ngejar kurang lebih satu jam, tibalah ia di
sebuah kota kecil. Sampai di situ, jejak suami isteri Lauw Ho Cin sukar
dikenali lagi, karena tersamar dengan tapak-tapak orang lain.
"Sesudah semalaman tak
makan, mereka tentu lebih dulu menangsal perut," pikir Ouw Hui. "Tapi
mungkin juga, mereka hanya membeli bakpauw dan lantas meneruskan perjalanan.
Jika demikian, tak akan gampang menyusul mereka." Memikir begitu, ia
lantas saja membeli sepotong baju hujan dan
sebuah tudung lebar yang lalu
dipakainya. Dengan penyamaran itu, ia lalu menyelidiki di rumah-rumah makan.
Sesudah memperhatikan beberapa
rumah ma¬kan, orang-orang yang dicarinya belum juga ke-lihatan
bayang-bayangnya. Kota itu adalah sebuah kota kecil dan tak lama kemudian, ia
sudah tiba di ujung pasar. Selagi mau memutarkan badan untuk kembali guna
menangsal perut, tiba-tiba kupingnya mendengar suara seorang wanita.
"Toako, tolong pinjam jarum dan benang," kata wanita itu. Hati Ouw
Hui berdebar. Suara itu adalah suara Ong Tiong Peng.
Dari bawah tudungnya yang
lebar, Ouw Hui melirik dan mendapat kenyataan, bahwa suara itu ke luar dari
rumah seorang penduduk. Ia menge-tahui, bahwa kedua suami isteri itu tidak
berani menginap di dalam hotel, khawatir diketemukan musuh-musuhnya.
"Dilihat begini," pikir Ouw Hui. "Selain Ciong-sie Sam-hiong,
mereka masih mem-punyai musuh-musuh lain. Biarlah, karena sudah terlanjur, aku
akan terus melindungi mereka sampai surat itu sudah diserahkan ke dalam tangan
Biauw Tayhiap."
Memikir begitu, Ouw Hui segera
mengambil kamar di sebuah hotel yang berdekatan, dari mana ia terus
memperhatikan rumah yang ditumpangi suami isteri Lauw Ho Cin.
Sampai magrib, Lauw Ho Cin dan
isterinya belum juga muncul. "Orang tua itu benar hati-hati," pikir
Ouw Hui. "Mereka tentu ingin berangkat di waktu malam." Benar saja,
kira-kira tengah malam barulah kedua suami isteri itu ke luar dari rumah
tersebut dan berlari-lari
dengan kecepatan luar biasa, bukan seperti orang yang sedang terluka.
"Ah! Kalau begitu mereka
berpura-pura," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Pandai sungguh mereka
bersandiwara, sehingga bukan saja Ciong-sie Sam-hiong, tapi aku pun sudah kena
dikelabui." Tanpa membuang tempo lagi, Ouw Hui segera menguntit. Dari
kejauhan, ia melihat Lauw Ho Cin mengempit sebuah bungkusan yang berbentuk agak
panjang, entah bungkusan apa.
Ilmu mengentengkan badan Ouw
Hui memang jauh lebih tinggi daripada suami isteri Lauw Ho Cin, sehingga dengan
mudah ia dapat menguntit terus tanpa diketahui mereka. Sesudah berlari-lari
ku-rang lebih lima li, mereka berhenti di depan sebuah rumah kecil yang
terpencil. Lauw Ho Cin segera memberi isyarat dan isterinya lalu menyembunyikan
diri di antara alang-alang yang tinggi. Sesudah itu ia mendekati rumah tersebut
dan berkata dengan suara nyaring: "Apakah Kim-bian-hud Biauw Tay¬hiap ada
di rumah? Seorang kawan dari tempat jauh datang berkunjung."
"Sahabat dari mana?"
terdengar pertanyaan dari dalam. "Maafkanlah aku Biauw Jin Hong tak dapat
mengenalinya." Suara itu tak keras, tapi terdengar tegas sekali.
"Aku she Ciong,"
jawab Lauw Ho Cin. "Atas perintah Kui-kian-ciu Ciong-sie Heng-tee, aku
da¬tang mengantarkan surat untuk Biauw Tayhiap."
"Masuklah!" Biauw
Jin Hong mengundang.
Dalam rumah itu lantas saja
kelihatan terang, disusul dengan dibukanya pintu. Ouw Hui yang bersembunyi di
atas sebuah pohon besar segera
melihat, bahwa seorang yang
berbadan jangkung kurus berdiri di tengah pintu, dengan tangan kanan mencekal
ciak-tay (tancapan lilin yang biasanya dibuat dari kuningan).
Mendengar perkataan Lauw Ho
Cin, Ouw Hui jadi bingung dan heran. "Kenapa dia mengatakan surat itu dari
Ciong-sie Sam-hiong, sedang Ciong-sie Sam-hiong sendiri coba merintangi
disampai-kannya surat tersebut?" ia menanya dirinya sendiri.
Sementara itu, Lauw Ho Cin
sudah merangkap kedua tangannya dan segera masuk ke dalam.
"Kenapa dua sahabat yang
lain tidak turut ma¬suk?" tanya Biauw Jin Hong.
Lauw Ho Cin tak mengerti
maksud pertanyaan itudania lantassaja memberijawabansamar-samar.
Begitu lekas kedua orang itu
masuk ke dalam, Ouw Hui segera meloncat turun dari atas pohon dan mengintip
dari jendela. Ia terkesiap mendengar pertanyaan Kim-bian-hud tentang, "dua
sahabat lain". "Ah! Biauw Tayhiap benar-benar lihay," katanya di
dalam hati. "Tindakan kakiku begitu enteng, tapi ia masih mendengar juga,
bahwa yang berkunjung berjumlah tiga orang."
"Delapan tahun berselang,
Ciong-sie Heng-tee telah menerima pelajaran dari Biauw Tayhiap dan mereka semua
merasa kagum atas kepandaian Tay¬hiap," demikian terdengar suara Lauw Ho
Cin. "Sekarang mereka sudah berlatih dengan tiga ma-cam senjata baru dan
minta aku terlebih dulu datang ke sini untuk memperlihatkan ketiga benda itu
kepada Biauw Tayhiap, supaya dalam pertempuran yang akan datang, Tayhiap tidak
mendapat kesan, bahwa mereka hendak menarik keuntungan dari
senjata mereka yang luar
biasa." Sehabis berkata begitu, ia membuka bungkusan yang dikempitnya dan
mengeluarkan tiga buah senjata Ciong-sie Sam-heng-tee.
Dapat dimengerti, jika Ouw Hui
jadi semakin heran.
Biauw Jin Hong hanya
mengeluarkan suara di hidung dan melirik ketiga senjata itu yang diletak-kan di
atas meja.
Di lain saat, Lauw Ho Cin
merogoh sakunya dan mengeluarkan sepucuk surat untuk diserahkan kepada
Kim-bian-hud dengan kedua tangan. "Biar-lah Biauw Tayhiap membaca surat
ini," katanya. "Sekarang tugasku sudah selesai dan aku minta permisi
berlalu." Ia menyoja dan lantas mengun-durkan diri.
"Perlahan sedikit,"
kata Biauw Jin Hong. "Se-sudah membaca surat ini, aku ingin memesan
be-berapa perkataan kepada saudara untuk disam-paikan kepada Ciong-sie
Sam-heng-tee." Ia yakin, bahwa surat itu adalah surat tantangan dan ia
segera merobek amplopnya.
Selagi Biauw Jin Hong membaca,
Ouw Hui memperhatikan wajahnya yang sangat angker. Ia mendapat kenyataan, bahwa
dibanding dengan de¬lapan tahun berselang ketika mereka bertemu muka di
Siang-kee-po, Kim-bian-hud kelihatan banyak lebih tua dan pada mukanya terdapat
garis-garis yang mencerminkan penderitaan selama itu. Tapi, sekonyong-konyong,
wajah yang berduka itu ber-ubah menjadi merah padam, kedua alisnya berdiri dan
dari kedua matanya ke luar sinar berkilat-kilat. Itulah keangkeran Tah-pian
Thian-hee Bu-tek-chiu
yang wajar. Ouw Hui menjadi
keder dan ia meng-angkat kaki untuk mengundurkan din.
Mendadak, dengan kedua
tangannya Biauw Jin Hong merobek surat itu. Dan berbareng dengan itu, asap yang
berwarna kuning menghembus ke atas dari robekan itu!
"Aduh!M teriak
Kim-bian-hud sembari menekap muka dengan kedua tangannya. Pada saat yang sama,
Lauw Ho Cin meloncat mundur setombak lebih.
Semua kejadian itu sudah
terjadi dalam sekejap mata. Dan dalam sekejap itu, Ouw Hui sudah me-ngerti
duduknya persoalan. "Kalau begitu, si tua bangka sengaja membubuhkan racun
pada surat itu untuk membutakan mata Biauw Tayhiap," pikirnya dengan
gusar.
"Bangsat! Jangan lari
kau!" bentak Ouw Hui sembari menubruk orang she Lauw itu. Dengan cepat
Lauw Ho Cin menghunus goloknya dan se¬gera membacok. Ouw Hui berkeiit sambil
meng-angsurkan tangannya untuk merebut senjata mu-suh. Pada saat itu, suatu
kesiuran angin yang sngat dahsyat menyambar punggungnya, sehingga mau tak mau,
Ouw Hui terpaksa memutarkan badan untuk menyambut serangan tersebut dengan
kedua tangannya.
Ia mengetahui, bahwa dalam
gusarnya, serang¬an Biauw Jin Hong tentu hebat luar biasa. Oleh karena itu,
lantas saja ia menggunakan ilmu Lian-hoan-koat dari Thay-kek-kun, yang
didapatnya dari Tio Poan San, untuk memunahkan tenaga pukulan Kim-bian-hud.
Tapi, begitu lekas kedua tangannya kebentrok dengan tenaga pukulan Biauw Jin
Hong,
matanya berkunang-kunang dan
dadanya sesak, se¬hingga ia terhuyung ke belakang beberapa tindak. Ternyata, ia
hanya dapat memunahkan sebagian dari tenaga Kim-bian-hud yang luar biasa itu.
"Biauw Tayhiap!"
berseru Ouw Hui. "Aku ingin membantu kau membekuk bangsat itu...."
Sementara itu, Lauw Ho Cin
sendiri sudah melarikan diri.
Kedua mata Biauw Jin Hong
sakit bukan main, seperti juga ditusuk-tusuk ratusan jarum. Begitu lekas
tangannya kebentrok dengan tangan Ouw Hui, ia mengetahui bahwa lawannya bukan
orang sembarangan. Sesudah kedua matanya buta, ia me-rasa pasti hari itu
jiwanya akan melayang. Dalam bingungnya dan gusarnya, ia tak dapat menangkap
perkataan Ouw Hui.
Melihat suami isteri Lauw Ho
Cin kabur ke jurusan barat, Ouw Hui segera memutarkan badan untuk mengejar.
Tapi baru saja ia melangkah, dari kejauhan tiba-tiba muncul tiga orang yang
menge-nakan pakaian berkabung dan mereka itu bukan Iain daripada Ciong-sie
Sam-heng-tee.
Melihat penderitaan
Kim-bian-hud, dalam hati Ouw Hui lantas saja timbul rasa kasihan. Ia ingin
mendekati untuk coba menolong, tapi khawatir dihantam. "Biauw
Tayhiap," katanya dengan suara nyaring. "Walaupun aku bukan
sahabatmu, tapi aku tak akan mencelakakan kau. Apakah kau percaya?"
Suara itu yang bernada memohon
dan ke luar dari hati setulusnya, segera meredakan kekalapan Biauw Tayhiap.
Meskipun kedua matanya tak dapat melihat wajah orang, hatinya yakin, bahwa
pemuda yang mengeluarkan suara begitu, bukan seorang
jahat. Kata orang: Enghiong
mengenal Enghiong. Demikian juga, suara Ouw Hui itu adalah seolah-olah kesiuran
angin sejuk pada darah Biauw Jin Hong yang sedang mendidih.
"Baiklah," katanya. Tolong cegat manusia-manusia jahat yang berada di
luar pintu." Dengan kata-kata itu, Kim-bian-hud sudah menerima Ouw Hui
sebagai sahabatnya. Di lain pihak, suara Biauw Jin Hong yang tulus jujur
diterima Ouw Hui dengan rasa hangat.
Entah bagaimana, ia merasa,
bahwa suara itu yang meresap dalam lubuk hatinya, adalah suara seorang ksatria
besar, untuk siapa ia bersedia me-ngorbankan jiwanya jika perlu. Dengan
kupingnya yang terlatih, ia mengetahui bahwa Ciong-sie Sam-hiong masih berada
dalam jarak kurang lebih dua puluh tombak dari rumah itu. Dengan cepat ia pergi
ke dapur dan kembali lagi dengan membawa se-mangkok air bersih. "Cucilah
dulu mata Cianpwee dengan air ini," katanya sembari mengangsurkan mangkok
air itu.
Biarpun matanya sakit luar
biasa, pikiran Kim-bian-hud tetap terang seperti biasa. Ia mengetahui, bahwa
dari depan dari jalan raya, mendatangi tiga orang, sedang dari belakang, empat
orang sudah melompat naik ke atas genteng. Begitu menyambut mangkok air itu, ia
melompat ke dalam kamar dan ke luar lagi dengan mendukung seorang nona cilik.
Sesudah itu, baru ia mencuci kedua matanya. Tapi, racun itu ternyata luar biasa
hebatnya, karena se-makin dicuci, rasa sakit semakin menjadi-jadi.
Dalam keadaan setengah pulas
dan setengah sadar, nona itu berkata: "Thia-thia, apakah kau mau mengajak
Lan main-main?"
"Hm! Lan-jie,"
katanya dengan suara halus. "Thia ingin mendukung kau, tidurlah dengan
te-nang."
"Apakah anjing hutan itu
benar-benar tak ma-kan si kambing putih?" tanya pula si nona.
"Tidak, tentu saja
tidak," jawab sang ayah. "Pem-buru keburu datang dan binatang itu
lantas kabur."
Si nona menghela napas, ia
bersenyum puas dan segera menyesapkan mukanya yang kecil di dada ayahnya yang
lebar. Mendengar tanya jawab antara ayah dan anak itu, Ouw Hui merasa sangat
terharu.
Sesaat itu, Ciong-sie
Sam-heng-tee sudah ber¬ada dalam jarak sepuluh tombak dari depan pintu. Hampir
berbareng dari atas genteng, dua orang melompat turun di ruangan belakang.
Dengan cepat Ouw Hui mengunci pintu depan dan mengganjalnya dengan sebuah meja
besar, supaya Ciong-sie Sam-hiong tak bisa lantas masuk, agar mereka jangan
sampai diserang dari depan dan dari belakang. Se¬sudah itu, dengan sekali
mengebas, ia memadamkan api lilin.
Melihat padamnya penerangan,
dua orang yang baru turun itu, tidak berani masuk ke dalam.
"Biarkan empat-empatnya
masuk," berbisik Biauw Jin Hong.
"Baiklah," sahut Ouw
Hui sembari menyalakan lagi lilin itu.
Sementara itu, di luar pintu
sudah terdengar seruan Ciong Tiauw Bun: "Biauw Tayhiap! Tiauw Bun, Tiauw
Eng dan Tiauw Leng dari Ouwpak utara ingin berjumpa dengan Biauw Tayhiap untuk
mem-beritahukan suatu urusan penting!" Biauw Jin Hong tak menyahut, ia
hanya menggerendeng.
Kedua musuh yang masuk dari
ruangan bela-kang, merasa girang sekali di waktu melihat Kim-bian-hud tak bisa
membuka matanya lagi. Tapi mereka itu, yang masing-masing mencekal golok dan
Sam-ciat-kun, tidak berani lantas masuk ke dalam. Orang yang memegang golok
lantas meng-gapai ke atas dan berseru: "Matanya sudah buta!"
Dua kawannya tertawa girang
dan lantas saja meloncat turun juga. Melihat gerakan mereka, Ouw Hui
mengetahui, bahwa kepandaian mereka lebih tinggi dari kedua orang yang turun
lebih dulu.
Dengan beberapa lompatan
kilat, Ouw Hui sudah berada di belakang dua orang itu. "Masuk!" ia
membentak sambil mendorong.
Mendengar kesiuran angin yang
tajam, kedua orang itu tidak berani menyambut kekerasan de¬ngan kekerasan.
Mereka meloncat minggir dan ma¬suk ke dalam kamar tetamu dengan melompat
lang-kan. Ouw Hui menarik napas dan sekali meniup, api lilin yang berada dalam
jarak beberapa tombak, lantas saja menjadi padam. Empat orang itu ter-kejut,
tapi dengan serentak mereka lalu menyerang Kim-bian-hud dengan senjata masing-masing.
"Thia, suara apa
itu?" tanya si nona cilik yang tadi mendusin karena riuhnya gemerincing
senjata. "Apakah anjing hutan itu datang lagi?"
"Bukan, bukan anjing
hutan," sahut sang ayah. "Hanya empat cecurut kecil."
Pada detik itu, sebatang Sam-ciat-kun
menyam-bar kepala Biauw Jin Hong. Dengan mendengarkan kesiuran angin,
Kim-bian-hud menangkap senjata itu, yang lalu dibetotnya. Begitu dibetot,
lengan orang itu kesemutan dan senjatanya terlepas. Tanpa
sungkan-sungkan lagi, dengan
tangannya Biauw Jin Hong menghantam pinggang orang itu, yang tantas saja rubuh
terguling dalam keadaan pingsan. Tiga kawannya, yang dua mencekal golok dan
yang satu memegang Thie-pian (pecut besi), lantas saja me-nyerang tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
“Thia,” kata si nona cilik.
"Apakah cecurut bisa menggigit?"
"Bangsa cecurut hanya
berani menggigit orang di tempat gelap," jawab sang ayah. Tapi begitu
melihat kucing, dia lantas kabur."
"Thia, suara apa
itu?" tanya pula si nona. "Apa¬kah angin besar? Thia, apakah akan
turun hujan?"
"Benar," sahut Biauw
Jin Hong. "Sebentar bakal ada geluduk."
"Luikong Posat (Malaikat
Geluduk) hanya menghantam orang jahat, bukan?" tanya lagi si gadis cilik.
Tak salah," jawabnya.
"Luikong Posat sangat mencintai anak yang baik."
Sembari bercakap-cakap dengan
puterinya, de¬ngan sebelah tangan Kim-bian-hud melayani ketiga musuhnya.
Seperti seekor kucing mempermainkan cecurut, dengan tenang ia memunahkan setiap
se-rangan dan sebegitu jauh, ia masih belum me-nurunkan tangan yang membinasakan.
Sesudah bertempur beberapa
lama, seorang antaranya yang bersenjata golok, timbul rasa takut-nya, ia segera
berteriak: "Angin keras, hayo angkat kaki!" Sehabis berteriak begitu,
ia melompat ke luar pintu.
Ouw Hui yang sedari tadi
menunggu di luar, segera menyapu dengan kakinya dan orang itu lantas saja
terjungkal di atas lantai, sedang goloknya terlempar.
"Lan-jie," kata
Kim-bian-hud dengan suara ha-lus. "Dengarlah! Ini suara geluduk."
Berbareng de¬ngan perkataannya, ia menghantam dengan tinju-nya yang tepat
mengenai musuh yang bersenjata Thie-pian. "Duk!" tubuh orang itu
terbang melewati kepala Ouw Hui dan kemudian jatuh ngusruk di ruangan belakang.
Orang yang ketiga, yang
menggunakan golok, ternyata berkepandaian lumayan. Dua kali berun-tun ia bisa
mengelit tinju Biauw Jin Hong. Sesudah mengirimkan dua pukulan itu, Biauw Jin
Hong khawatir puterinya jadi ketakutan, Biauw Jin Hong tidak menyerang lagi dan
segera duduk di atas kursi.
Sekarang orang itu mengetahui,
bahwa mes-kipun sudah buta, Biauw Jin Hong masih tetap lihay dan ia tak akan
dapat melawannya.
Ia juga tahu, bahwa orang yang
menjaga di pintu juga lawan yang berat, sehingga ia seperti juga seekor
kura-kura yang sudah masuk ke dalam kuali. Mendadak ia membacok sekuat
tenaganya dan se-lagi Biauw Jin Hong berkelit, ia melompat masuk ke dalam kamar
tidur dan menyalakan bahan api yang lantas dilemparkannya ke dalam pembaringan.
Sesudah itu, ia meloncat ke luar dari jendela, naik ke atas genteng.
Dalam sekejap api sudah
berkobar-kobar dan asapnya menggolak naik ke atas.
Sementara itu, ketiga saudara
Ciong yang ber-ada di luar pintu, sudah mengetahui, bahwa di dalam rumah sedang
berlangsung suatu pertempuran. Se¬sudah menunggu beberapa lama, Ciong Tiauw Eng
berseru: "Biauw Tayhiap! Kami bertiga sebenarnya datang untuk meminta
pengajaran lagi. Akan tetapi, kami tak nanti mengganggu di waktu kau sedang
berada dalam bahaya. Biauw Tayhiap! Legakanlah hatimu."
Baru saja Tiauw Eng berkata
begitu, asap yang mengebul sudah terlihat dari luar rumah.
"Kebakaran!" teriak
Tiauw Bun.
"Bangsat itu sungguh
jahat!" berseru Tiauw Leng. "Toako! Mari kita memadamkan api!"
Ketiga saudara itu segera
loncat ke atas genteng untuk mencari air.
Ouw Hui mengetahui, bahwa ilmu
silat Ciong-sie Sam-hiong tak dapat dibandingkan dengan ke-pandaian empat orang
yang datang duluan. Dengan kedua mata tak bisa melihat dan sebelah tangannya
mendukung anak, Biauw Jin Hong pasti akan dapat dirubuhkan. Maka itu, lantas
saja ia membentak: "Manusia tak punya malu! Jangan masuk kau!"
Sementara itu, api
berkobar-kobar semakin besar.
"Thia," kata si
nona. "Panas betul!"
Dengan cepat Kim-bian-hud
menggeser meja dan menendang pintu yang lantas saja jadi terpental. Ia
menggapai ke atas genteng seraya berkata: "Mart¬ian! Di sini saja kita
bertempur." Ia berkata begitu dengan suara perlahan karena khawatir
mengaget-kan puterinya.
Pada detik itu, tanpa merasa
Biauw Jin Hong ingat kejadian itu, delapan tahun berselang. Seperti sekarang,
dulu pun dengan badan terluka, ia harus melayani Ciong-sie Sam-hiong dalam
rumah yang sedang terbakar. Perbedaannya adalah: Pada waktu
itu, yang menemani ia bukan
seorang nona cilik, tapi seorang wanita cantik yang belakangan menjadi
isterinya. Tidak! Dia tidak menemani terus, karena pada saat yang berbahaya,
dia sudah kabur lebih dulu....
Melihat api semakin menghebat
dan menaksir, bahwa untuk akan dapat mempertahankan diri, Ouw Hui segera
mengambil putusan untuk lebih dulu coba memadamkan api. Ia berlari-lari ke
dapur dan dengan girang ia melihat, bahwa di pinggir dapur berdiri berjejer
tiga jambangan batu besar yang semuanya terisi air. Ia memeluk sebuah
an-taranya dan dengan mengerahkan Lweekangnya, dapat juga ia mengangkat
jambangan itu yang be-ratnya lebih dari enam ratus kati. Biarpun memiliki
tenaga yang sangat besar, tak urung tindakannya agak sempoyongan. Dengan
mengeluarkan sean-tero tenaganya dan menahan napas, bisa juga ia berjalan
sampai di dalam kamar tidur itu sambil memeluk jambangan yang lalu
dilemparkannya ke tengah pembaringan.
Api itu lantas saja menjadi
reda, tapi belum padam seluruhnya. Buru-buru Ouw Hui pergi lagi ke dapur dan
mengangkat pula sebuah jambangan. Tapi baru saja ia melangkah pintu kamar,
suatu kesiuran angin tajam menyambar punggungnya. Ternyata, orang yang tadi
dijatuhkannya, telah me-mungut goloknya dan membokong ia dari belakang. Ketika
itu, dengan kedua tangan memondong jam¬bangan, Ouw Hui tak dapat berkelit atau
menangkis lagi. Pada detik yang sangat berbahaya, cepat ba-gaikan kilat, kaki
Ouw Hui menendang ke belakang sembari manggut ke depan. Itulah tendangan aneh
yang pada berapa tahun
berselang pernah diguna-kan oleh Giam Kie di Siang-kee-po, sehingga se-orang
ahli silat seperti Ma Heng Kong masih tak dapat memunahkannya. Tendangan
tersebut me-ngenai kempungan orang itu yang badannya lantas saja terbang
melewati kepala Ouw Hui dan jatuh tepat di dalam jambangan! Kejadian luar biasa
itu telah terjadi oleh karena berbareng dengan ten-dangannya, Ouw Hui juga
menggaet ke depan.
Begitu lekas tubuh orang itu
tercebur, Ouw Hui mendorong dan melemparkan jambangan itu yang lantas saja
terbelah dua dan airnya memadamkan sisa api yang masih ketinggalan. Orang itu
turut jatuh mengusruk dengan luka-luka dan pakaian basah kuyup.
Sesudah berhasil memadamkan
kebakaran, Ouw Hui segera memutarkan badan untuk mem-bantu Biauw Jin Hong.
Sekonyong-konyong ia men-dengar suara bentakan-bentakan yang disusul de¬ngan
bunyi beradunya senjata. Didengar dari sua-ranya, orang yang membentak bukan
lain daripada Lauw Ho Cin. "Bangsat!" ia berteriak. "Aku sudah
kena ditipu olehmu!"
"Dengan siapa dia
bertempur?" tanya Ouw Hui dalam hatinya. "Dia adalah orang yang
berdosa paling besar dan paling baik aku lebih dulu mem-bekuk dia."
Memikir begitu, Ouw Hui segera berlari-lari ke pekarangan belakang, ke arah
suara itu. Segera juga ia melihat, bahwa dengan tangan kosong, Lauw Ho Cin
sedang bertempur dengan seorang lelaki yang bersenjata golok. Dari
gerakan-gerakannya, Ouw Hui mengenalinya sebagai pen-jahat yang tadi melepaskan
api di kamar tidur.
Ouw Hui jadi semakin heran.
Terang-terang mereka berdua berkawan, tapi kenapa sekarang mereka berbalik
bertempur hebat? Ouw Hui tak sempat memikir panjang-panjang dan sekali
me-ngenjot badan, ia menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran. Cepat bagaikan
kilat, dengan ilmu Toa-kin-na-chiu, kedua tangannya berhasil meno-tok jalan
darah di punggung kedua orang itu yang lantas saja tak dapat bergerak lagi.
Bahwa dengan sekali bergebrak sja Ouw Hui sudah berhasil, adalah karena mereka
berdua sedang memusatkan sean-tero perhatian mereka kepada pertempuran mereka
yang sedang sengitnya.
Ouw Hui berdiam sejenak dan
memasang ku-ping. Ia girang, karena di depan rumah belum terjadi pertempuran,
tapi ia teap khawatir, jika Biauw Jin Hong mendapat celaka dalam tangan
Ciong-sie Sam-hiong. Maka itu, lantas saja ia menenteng tubuh Lauw Ho Cin dan
orang itu, yang lalu di-cemplungkan ke dalam sumur yang berada di dapur. Untuk
menjaga supaya kedua tawanan itu tidak kabur, ia mengangkat jambangan ketiga
itu, yang lalu digunakan menutup mulut sumur. Sesudah itu, dengan mengambil
jalan memutar, ia berlari-lari ke pekarangan depan.
Sesaat itu, Ciong-sie
Sam-hiong, yang masing-masing menggenggam sepasang Poan-koan-pit, su¬dah
berhadapan dengan Biauw Jin Hong, tapi me¬reka belum menyerang. Ouw Hui
mendekati seraya berkata: "Biauw Tayhiap, serahkanlah puterimu
ke-padaku."
Walaupun sikapnya tenang,
Kim-bian-hud se¬dang berduka. Ia yakin, bahwa dengan mata tidak
dapat melihat, andaikata ia
berhasil memukul mun-dur Ciong-sie Sam-hiong malam itu, akhirnya ia akan binasa
juga dalam tangan musuh-musuhnya. Sebagai seorang ksatria, ia selalu memandang
ke-matian sebagai soal yang remeh. Akan tetapi, pada waktu itu, masih ada
apa-apayang diberatinya, yang membikin ia sungkan mati begitu cepat. Yang di-pikirkannya
adalah Lan-jie, puterinya yang sebiji mata.
Barusan, dengan kupingnya yang
sangat tajam, ia sudah mendengar segala sepak terjang Ouw Hui, yang sudah
berhasil memadamkan kebakaran dan berhasil pula membekuk dua orang penjahat. Ia
merasa kagum akan pribudi dan kecerdikan pemuda itu. Itulah sebabnya, mengapa
begitu mendengar permintaan Ouw Hui, ia segera menanya: "Saudara kecil,
apakah aku boleh mendengar she dan nama-mu yang mulia?"
Ouw Hui yang masih belum
mengetahui, apa¬kah benar ayahnya telah binasa dalam tangan Biauw Jin Hong,
merasa sangsi untuk memberitahukan namanya secara terus terang. Maka itu,
lantas saja ia menyahut. "Dalam perhubungan antara laki-laki dan
laki-laki, yang penting adalah pribudi. Soal nama adalah soal kecil. Manakala
Biauw Tayhiap mempercayai aku, biarpun badanku hancur lebur, aku berjanji akan
melindungi puterimu yang ter-cinta."
"Bagus!" kata Biauw
Jin Hong. "Biauw Jin Hong adalah seorang sebatang kara. Selama hidupnya,
ia hanya mempunyai dua sahabat, yang satu adalah Liaotong Tayhiap Ouw It To,
sedang yang lain adalah kau sendiri, seorang saudara kecil yang entah
siapa namanya." Sembari
berkata begitu ia menye-rahkan puteri tunggalnya kepada pemuda itu.
Bukan main girangnya Ouw Hui
setelah men¬dengar perkataan Biauw Jin Hong yang mengata-kan, bahwa ayahnya
adalah sahabat ksatria itu. Ia menyambuti si nona cilik yang berusia kira-kira
tujuh tahun dan yang sedang pulas nyenyak, dengan mulut menyunggingkan
senyuman.
Melihat Ouw Hui dan mendengar
pembicaraan-nya dengan Kim-bian-hud, Ciong-sie Sam-hiong jadi tercengang.
Di lain saat, Biauw Jin Hong
sudah merobek tangan bajunya yang lalu digunakan untuk mem-bebat kedua matanya.
"Manusia tak mengenal malu!" ia membentak. "Hayolah! Majulah
dengan berbareng! Anakku sedang pulas, kamu jangan bi-cara keras-keras."
Ciong Tiauw Bun maju setindak
dan berkata dengan suara gusar: "Biauw Tayhiap! Dulu, muridku telah binasa
dalam tanganmu dan kami bertiga telah datang untuk minta perhitungan.
Belakangan kami mengetahui, bahwa murid itu adalah manusia jahat yang serakah,
yang pantas sekali mendapat hu-kumannya. Dalam hal itu, kami sebenarnya harus
menghaturkan banyak terima kasih kepadamu yang sudah membersihkan rumah tangga
kami dari kutu busuk."
"Hm!" gerendeng
Kim-bian-hud. "Perlahan se-dikit. Kupingku tidak tuli."
Tiauw Bun jadi semakin gusar
dan lalu berkata pula: "Waktu itu, meskipun kau terluka, kami ter-nyata
masih bukan tandinganmu. Maka itu, se-karang kami datang berkunjung lagi untuk
meminta
pengajaran pula. Akan tetapi
di tengah jalan kami mengetahui, bahwa sekomplotan manusia keji se-dang
memasang jaring untuk mencelakakan kau. Bahwa kami menyusul ke mari untuk
memberitahu kau, supaya kau bisa berjaga-jaga. Sekarang, sedang kawanan manusia
jahat itu sudah kabur semuanya, terserahlah kepada kau, apa kau sudi memberi
pelajaran kepada kami? Apa perlunya kau menutup kedua matamu. Apakah kau
menganggap kami ber-tiga begitu tak punya guna, sehingga bisa dirubuh-kan
olehmu dengan mata tertutup?"
Biauw Jin Hong terkejut. Dari
kata-kata itu ternyata Ciong-sie Sam-hiong tak mempunyai sang-kut paut dengan
komplotan penjahat yang sudah membutakan kedua matanya.
"Kedua mataku buta,"
katanya dengan suara menyeramkan.
"Astaga!" teriak
mereka dengan serentak. "Ka-lau begitu, kami sudah keliru menafsirkan
sikap Biauw Tayhiap," kata Ciong Tiauw Bun. "Delapan tahun lamanya,
kami bertiga melatih diri, tapi ter¬nyata kami tak mendapat kemajuan suatu apa,
se¬hingga soal meminta pengajaran boleh tak usah disebut-sebut lagi. Apakah Biauw
Tayhiap menge-nal seorang dari partai Wie-to-bun yang bernama Lauw Ho Cin?
Diantara orang-orang yang tadi diusir, tak terdapat orang she Lauw itu. Menurut
pengetahuan kami, dalam satu-dua had ini, orang itu pasti akan berkunjung
dengan suatu maksud yang tidak baik. Maka itu, sedang kedua matamu tak begitu
sehat, jika bertemu dengan orang itu, sebaiknya Tayhiap berlaku
hati-hati."
"Ciong Toaya!"
celetuk Ouw Hui. "Apakah be-
nar-benar kau tidak mengetahui
ketika tadi Lauw Ho Cin menyebar racun?"
"Ah! Kau juga berada di
sini?" kata Tiauw Bun. "Aku ingin sekaii mendapat kepastian, di pihak
mana kau berdiri? Apakah kau kawan atau lawan? Jika kau seorang kawan, kenapa
kau berbalik mem-bantu Lauw Ho Cin, di waktu kami coba men-cegatnya?"
"Dalam hal ini, aku
sungguh merasa malu," Ouw Hui mengakui kekeliruannya. "Persoalan ini
mem¬punyai latar belakang yang sungguh membingung-kan. Baik juga, manusia itu
Lauw Ho Cin, sudah kena dibekuk olehku dan sekarang kukurung di dalam sumur.
Marilah kita memeriksa dia untuk menyelidiki persoalan ini." Sehabis
berkata begitu, ia berpaling kepada Kim-bian-hud dan menanya: "Biauw
Tayhiap, apakah Ciong-sie Sam-hiong orang baik atau orang jahat?"
Ciong Tiauw Bun tertawa dingin
dan berkata: "Kami tak pernah melakukan pekerjaan ksatria dan juga belum
pernah menolong sesama manusia. Mana bisa dihitung sebagai manusia baik?"
"Aku tahu, Ciong-sie
Sam-hiong bukan sebang-sa manusia rendah," kata Kim-bian-hud dengan suara
tetap.
Mendengar pujian itu, ketiga
saudara Ciong merasa senang sekaii. Tanpa berkata suatu apa, Tiauw Bun dan
Tiauw Leng lantas saja pergi ke belakang dan mengangkat jambangan besar yang
menutupi mulut sumur.
"Naiklah!" mereka
membentak.
Sebaliknya dari jawaban,
mereka mendengar suara ribut-ribut di dalam sumur, seperti juga dua
orang sedang berkelahi. Tiauw
Bun segera me-nurunkan timba dan berseru: "Peganglah timba ini! Aku akan
menarik kamu ke atas." Di lain saat, Tiauw Bun merasakan timba itu sudah
dipegang orang dan dengan perlahan ia mengangkat dua orang yang basah kuyup.
Begitu kakinya hinggap di
bumi, Lauw Ho Cin menghantam orang yang satu lagi itu dengan tinju-nya. Orang
itu sudah payah sekali agaknya, sudah kenyang minum air dan mendapat gebukan di
dalam sumur. Melihat pukulan Lauw Ho Cin bisa meng-ambil jiwa orang itu,
buru-buru Tiauw Bun me-nangkis. "Jangan bergerak!" bentak Tiauw Leng
sembari menekan kedua-dua punggung Lauw Ho Cin dan orang itu dengan
Poan-koan-pit. "Sekali bergerak, jiwamu melayang!"
Demikian, masing-masing
seorang kedua sau-dara Ciong itu menyeret dua tawanan itu masuk ke ruangan
dalam. Ketika itu, Ouw Hui sudah me-ngembalikan si nona cilik kepada ayahnya
dan se-batang lilin sudah dinyalakan. Oleh karena kamar puterinya sudah tak
dapat digunakan lagi, Biauw Jin Hong segera mendukung si nona ke kamarnya
sendiri. Ketika ia kembali ke ruangan depan, kedua saudara Ciong sudah masuk
dengan menyeret dua tawanan tadi.
Biauw Jin Hong menghela napas
seraya ber¬kata: "Sedari dua puluh tahun berselang aku sudah mendengar
nama Wie-to Song-ho. Dalam kalangan Kang-ouw, Ban Loosu dan Lauw Loosu
mempunyai nama yang cukup harum."
"Biauw Tayhiap,"
kata Lauw Ho Cin. "Aku sudah ditipu oleh manusia jahat dan aku sungguh-
sungguh merasa menyesal.
Apakah kedua matamu mendapat luka berat?"
Mendengar pertanyaan itu,
Ciong-sie Sam-hiong mengeluarkan seruan kaget. Sekarang baru mereka mengetahui,
bahwa rusaknya kedua mata Biauw Jin Hong baru saja terjadi.
"Apakah kau murid Tian
Kui Long?" tanya Kim-bian-hud kepada orang yang tadi bertempur dengan Lauw
Ho Cin. "Ilmu silatmu cukup tingi, sedikitnya kau sudah memahami tujuh
bagian dari seluruh silat Thian-liong-bun."
Orang itu bergemetar sekujur
badannya dan ia menekuk kedua lututnya sembari mengangguk-ang-guk. "Biauw
Tayhiap," katanya dengan suara me-mohon dikasihani. "Aku yang rendah
hanya me-nerima perintah orang. Aku mohon belas kasihan Loojinkee."
"Bangsat!" teriak
Lauw Ho Cin sambil me-nuding wajahnya. "Sungguh hebat kau menipu
aku!" Sembari berkata begitu, ia meloncat dan mengayun tangannya. Tiauw
Eng buru-buru menghadang di tengah-tengah dan berkata: "Sabar! Apa yang
se¬karang kita inginkan, adalah penjelasan tentang duduknya persoalan."
Lauw Ho Cin adalah seorang
ternama dalam Rimba Persilatan. Bahwa ia sudah kena diperdayai orang secara
mentah-mentah sehingga berakibat celakanya seorang ksatria, sudah membikin ia
me¬nyesal tiada habisnya dan bahwa sebagai seorang kenamaan, ia sudah
dicemplungkan ke dalam su¬mur, adalah kejadian yang sungguh-sungguh me-malukan.
Maka itu, matanya berkunang-kunang dan ia jatuh terduduk di sebuah kursi.
"Sudahlah! Su-
dahlah!" katanya dengan
suara sedih. "Biauw Tay-hiap! Aku tak tahu bagaimana aku harus menebus
dosa."
"Selama hidupnya, manusia
sukar terlolos dari tipu muslihat kawanan manusia keji," kata Kim-bian-hud
dengan suara tenang. "Itulah kejadian yang lumrah dalam dunia ini. Loosu
tentunya sudah ditipu olehnya, sehingga mau mengantarkan surat itu
kepadaku."
Bukan main kagumnya Ouw Hui
dan Ciong-sie Sam-hiong setelah mendengar perkataan Biauw Tayhiap yang bebas
dari rasa dendam. Harus di-ingat, bahwa pada ketika itu, kedua mata
Kim-bian-hud sudah buta sama sekali. Dalam keadaan yang sama, seorang ksatria
tanggung-tanggung pasti tak akan bisa mengeluarkan perkataan begitu.
"Aku bermula mengenal
manusia itu di Hong-yap-chung," kata Lauw Ho Cin. "Dia mengaku
ber-nama Thio Hui Hiong dan menurut katanya, oleh karena pernah menanggung budi
Ban Sutee, maka begitu mendengar berita tentang meninggalnya, buru-buru ia
datang ke Hong-yap-chung untuk me-nyatakan turut berduka cita."
"Kalau begitu Ban Ho Seng
Loosu sudah me-ninggal dunia?" tanya Kim-bian-hud.
"Benar," jawabnya.
"Belakangan karena meng-anggap dia seorang baik, aku berjalan bersama-sama
dengan dia ke daerah utara. Ketika berpa-pasan dengan Ciong-sie Sam-heng-te di
tengah ja¬lan, dia kelihatan ketakutan. Malam itu, aku tidur sekamar dengan ia.
Tengah malam, ia berlagak mengigau dan antara lain dia mengatakan, bahwa jika
surat itu tidak dapat disampaikan kepada ala-
matnya, sejumlah besar
orang-orang gagah yang budiman akan melayang jiwanya. Mendengar be¬gitu, lantas
saja aku mengambil keputusan untuk mencampuri urusan itu. Besok paginya, aku
me-nanyakan tentang igaunya. 'Lauw Loosu,' sahutnya. 'Sesudah menyaksikan
sikapmu terhadap Sie-wie kerajaan Ceng itu, aku tahu, bahwa kau adalah seorang
gagah tulen dan tak usah aku menyem-bunyikan rahasia ini.' Ia mengeluarkan
sepucuk surat dan mengatakan, bahwa surat itu harus disam¬paikan kepada Biauw
Tayhiap, supaya beliau bisa menolongnya. Jika tidak, banyak sekali orang gagah
akan menjadi korban kaki tangan kerajaan Ceng. Selanjutnya ia memberitahukan,
bahwa Ciong-sie Sam-hiong, yang mempunyai ganjalan dengan Biauw Tayhiap, tentu
akan coba merintangi disampaikan-nya surat itu. Dia mengaku tak sanggup melawan
ketiga saudara Ciong dan meminta bantuanku. Mengingat maksudnya yang mulia,
lantas saja aku menyanggupi. Di tengah jalan, aku telah bertempur dengan
Ciong-sie Sam-hiong dan kena dikalahkan. Isteriku membantu, tapi kami berdua
masih tak bisa melawan ketiga saudara itu. Maka itu, dengan men-dapat luka
enteng, kami melarikan diri dengan membawa surat itu. Secara sangat kebetulan,
di kuil Siang Hui, kami bertemu dengan saudara kecil itu. Dalam pertandingan di
Hong-yap-chung, saudara kecil itu pernah menolong aku dan sesudah menyak¬sikan
pertempuran di dalam kuil itu, aku tahu, bahwa ia mempunyai kepandaian yang
sangat tinggi. Begitulah, kami segera berpura-pura terluka berat dan
menjalankan siasat untuk memancing bantuan-nya. Benar-benar, ia kena ditipu.
Aku menipu saudara kecil itu, tanpa mengetahui, bahwa aku sendiri pun sudah
kena ditipu orang." Sehabis berkata begitu, jenggotnya bergerak-gerak,
napasnya ter-sengal-sengal dan dengan mata mendelik ia meng-awasi Thio Hui
Hiong.
Ouw Hui mendengarkan cerita
itu tanpa ber¬kata suatu apa. "Dia tak berdusta," katanya di dalam
hati. "Kalau begitu, pertempuran dengan Wan Cie Ie sudah dilihatnya."
Mengingat Wan Cie Ie, hati Ouw Hui lantas saja berdebar. Tapi, Lauw
Loosu," katanya. "Perlu apa kau mengambil senjatanya Ciong-sie
Sam-hiong?"
"Kedatangan Ciong-sie
Sam-hiong untuk mem-balas dendam, belum tentu diketahui oleh Biauw
Tayhiap," sahutnya. "Maka itu, aku merasa perlu untuk memberitahukan
kepadanya, supaya ia bisa berjaga-jaga. Bahwa aku sudah mengambil tiga sen-jata
itu dan memperlihatkannya kepada Biauw Tay¬hiap, adalah untuk mendapat
kepercayaannya. Mungkin kau juga kepingin tahu, kenapa aku sudah mengatakan,
bahwa surat itu adalah kiriman Ciong-sie Sam-hiong. Suadara kecil perkataanku
itu se-benarnya ditujukan kepada kau. Aku tahu, bahwa kau menguntit di
belakangku dan aku khawatir kau akan segera menyerang. Dengan berkata begitu,
kau tentu akan menjadi bingung dan dalam bingung-mu, kau tentu tak akan lantas
turun tangan. Aku menganggap, bahwa yang kukatakan itu tidak pen-ting. Yang penting,
adalah isi surat itu. Aku me-ngira, bahwa begitu membaca, Biauw Tayhiap tentu
akan mengerti maksud surat tersebut yang me-mohon bantuannya untuk menolong
jiwa orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Tapi... siapa...nyana...
siapa... nyana...."
Sampai di situ dadanya
menyesak, tak dapat ia bicara lagi.
"Secara kebetulan kami
bertiga sudah dapat mendengar akal busuk orang she Thio itu," kata Tiauw
Bun. "Belakangan kami mengetahui, bahwa dia kasak-kusuk dengan Lauw Loosu,
untuk men-celakakan Biauw Tayhiap. Maka itu, kami lalu ber-usaha untuk
mencegatnya, tanpa mengetahui bah¬wa urusan ini mempunyai latar belakang yang
ber-belit-belit. Biauw Tayhiap, bagaimana dengan mata-mu?"
Biauw Jin Hong tak menyahut.
Sesaat kemu-dian dengan perlahan ia menggoyangkan sebelah tangannya yang lebar
dan besar. "Sudahlah," kata¬nya. "Yang sudah tinggal sudah, tak
guna dibicara-kan lagi."
Dengan kedua matanya Ouw Hui
menyapu seluruh ruangan itu untuk mencari surat yang beracun itu. Segera juga
ia melihat, bahwa dua robekan kertas tadi, masih menggeletak di pojok ruangan.
Ia tak berani datang terlalu dekat dan hanya memandangnya dari kejauhan. Pada
dua potong kertas itu hanya terdapat tiga baris huruf, setiap hurufnya sebesar
biji engtho. Sesudah memperhatikan beberapa saat, ia mendapat ke-nyataan, bahwa
surat itu bertuliskan seperti berikut:
Saudara Jin Hong. Puterimu
cantik dan lemah lembut.
Tak cocok ia berada pada kau,
manusia goblok yang hanya mengenal ilmu silat. Maka itu, aku mengirim orang
untuk menyambutnya supaya nona itu bisa dipelihara sebagaimana mestinya olehku.
Hormatku, Tian Kui Long
Seperti diketahui,
Kim-bian-hud mencintai pu¬terinya lebih daripada jiwanya sendiri. Sesudah
membawa kabur isterinya, sekarang orang she Tian itu maui juga puterinya yang sebiji
mata. Mana mungkin, darahnya tak jadi meluap? Bisa diduga, bahwa sesudah
melakukan perbuatan berdosa, ma¬nusia itu tak enak makan dan tak enak tidur
karena khawatir pembalasan. Maka itu, ia sudah mengatur siasat itu, suatu
siasat yang sangat busuk dan kejam.
Semakin lama, Lauw Ho Cin jadi
semakin gusar dan menyesal. "Orang she Thiol" ia berteriak de-ngan
kalap. "Sesudah mendapat perintah gurumu untuk mencelakakan Biauw Tayhiap,
kenapa kau tidak mengantarkan sendiri surat itu dan sudah menyeret tanganku?"
"Aku... takut..."
jawabnya dengan suara terpu-tus-putus. "Aku... takut.... Biauw Tayhiap
dapat mengenali, bahwa aku... adalah murid Thian-liong-bun...."
"Kau takut tak keburu
lari, jika akal busukmu ketahuan, bukan?!" bentak Lauw Ho Cin.
"Bina-tang! Benar-benar binatang!" Ia berpaling kepada Biauw Jin Hong
dan berkata dengan suara gemetar: "Biauw Tayhiap, bolehkah aku memohon
kerelaan-mu? Serahkanlah binatang itu kepadaku!"
"Lauw Loosu," kata
Kim-bian-hud dengan suara tenang. "Guna apa kita meladeni kawanan manusia
rendah. Thio Hui Hiong! Di
dalam pekarangan dua kawanmu masih menggeletak dengan luka yang tidak enteng.
Pergilah! Tolonglah mereka dan pergi dari sini! Kuharap kau suka memberitahukan
Suhu (guru) dan Subomu...." Ia tak dapat meneruskan perkataannya dan
berdiri bengong dengan mata mendelong. (subo berarti isteri guru, isteri Tian
Kui Long, yaitu Lam Lan, bekas isterinya sendiri yang dibawa kabur oleh Tian
Kui Long). Beberapa saat kemudian, ia mengebaskan tangannya dan menam-bahkan: "Sudahlah!
Tak ada apa-apa lagi. Pergilah!"
Itulah suatu kejadian yang
sungguh-sungguh di luar dugaan Thio Hui Hiong. Sesudah membutakan kedua mata
Kim-bian-hud, ia menganggap, bahwa jiwanya tak akan dapat ditolong lagi.
Tapi tak dinyana-nyana, Biauw
Jin Hong sudah berlaku begitu murah hati dan tidak menghukum-nya. Bukan main
rasa terima kasihnya dan ia mang-gutkan kepalanya berulang-ulang. Dengan
berem-pat, ia menyatroni rumah Biauw Tayhiap. Begitu lekas kedua mata
Kim-bian-hud buta, mereka ber-maksud membinasakan ksatria itu dan kemudian
membawa kabur puterinya. Tapi, benar juga orang berujar: Manusia berusaha,
Allah berkuasa. Di luar semua perhitungan, muncullah Ouw Hui, sehingga tipu
busuk itu hanya berhasil sebagian. Antara tiga kawannya, seorang, yaitu yang
dilemparkan Ouw Hui dalam kamar tidur, lagi masih menggeletak dengan luka
berat.
"Hm! Biauw Jin Hong
berlagak murah hati dan pura-pura melepaskan tiga orang itu," kata Lauw Ho
Cin di dalam hatinya. "Tak tahu, penganiayaan apa yang hendak dilakukannya
terhadap diriku."
Harus diketahui, bahwa sebagai
orang yang ber-pengalaman, ia sudah sering menyaksikan cara-cara orang Kang-ouw
menghukum musuh-musuhnya itu disiksa pergi datang, sebelum dibinasakan.
Di lain saat, Thio Hui Hiong
sudah memba-ngunkan kedua suteenya dan segera berjalan ke luar dengan memapah
mereka. Tak lama kemudian, mereka sudah menghilang di tempat gelap, tapi
benar-benar mengherankan, Biauw Jin Hong tetap tidak bergerak.
"Biauw Tayhiap,"
kata Lauw Ho Cin yng sudah tak bisa bersabar lagi. "Sekarang kau sudah
boleh membekuk mereka kembali. Mereka sangat licin, aku khawatir mereka
benar-benar kabur."
"Untuk apa dibekuk
lagi?" tanya Kim-bian-hud. "Bukankah aku sudah mengampuni
mereka?" Ia berdiam sejenak. "Mereka sama sekali tidak me-ngenal aku.
Mereka hanya menjadi alat orang lain."
Rasa malu dan menyesal yang
melampaui batas, mengaduk dalam dada Lauw Ho Cin. Mendadak ia meloncat bangun.
"Biauw Tayhiap!" katanya dengan suara nyaring. "Selama hidup,
belum pernah aku melakukan perbuatan yang berdosa. Had ini, kedua mataku
benar-benar tak berbiji, tak bisa mengenali seorang ksatria yang budiman dan
penuh welas asih. Biauw Tayhiap! Karena gara-garaku, sungguh hebat
penderitaanmu."
Berbareng dengan perkataannya,
ia raemen-tang dua jeriji tangan kirinya yang lalu disodokkan kedua matanya
sendiri! Ouw Hui coba menolong, tapi ia terlambat. Ciong-sie Sam-hiong kesima
dan kemudian meloncat bangun dengan serentak.
"Lauw Lossu," kata
Biauw Tayhiap dengan sua-
ra terharu. "Kenapa kau
berbuat begitu. Sedikit pun aku tidak menyalahkan kau."
Lauw Ho Cin tertawa
terbahak-bahak dan ber¬jalan ke luar dengan tindakan lebar. Setibanya di luar
rumah, ia memotes sebatang cabang pohon yng lalu digunakan sebagai tongkat
penunjuk jalan.
Untuk beberapa lama, kelima
orang itu yang masih berada di dalam rumah Biauw Jin Hong, tak mengeluarkan
sepatah kata. Mereka geregetan ber¬bareng terharu. Geregetan mengingat akal
busuk Tian Kui Long dan terharu karena peristiwa itu berakibat hebat, yaitu
butanya dua orang ksatria yang jarang ada tandingannya.
"Saudara kecil,"
Kim-bian-hud memecahkan ke¬sunyian. "Kau sudah berjanji untuk melindungi
pu-teriku. Kuharap kau jangan melupakan janjimu itu."
"Perkataan laki-laki tak
akan ditarik kembali," sahut Ouw Hui dengan suara nyaring. "Hanya aku
menyesal dengan cara Lauw Loosu. Dengan mem-persakiti diri sendiri, liangsimnya
memang terhibur. Tapi apa gunanya?"
"Benar," kata Tiauw
Eng sambil menghela na-pas. "Tapi biar bagaimana juga, Lauw Loosu adalah
seorang laki-laki sejati."
Lama juga mereka duduk diam
tanpa menge¬luarkan sepatah kata. Akhirnya Ouw Hui yang memecahkan kesunyian
dengan berkata: "Biauw Tayhiap bagaimana dengan matamu? Coba cuci lagi
dengan air."
"Tak usah," jawab
Biauw Jin Hong. "Sakitnya luar biasa." Sehabis berkata begitu, ia
berbangkit dan berpaling kepada Ciong-sie Sam-hiong. "Aku sungguh merasa
malu, bahwa aku tak mempunyai
apa-apa untuk menyambut Samwie
yang dari tempat jauh sudah datang ke sini," katanya sembari mem-bungkuk.
"Aku ingin rebahan sebentar, harap Sam¬wie sudi memaafkan."
"Silakan," kata
Tiauw Bun. "Jangan Biauw Tay-hiap berlaku sungkan." la lalu memberi
tanda ke-pada dua saudaranya yang lantas saja berpencar dan menjaga di pintu
depan dan di pintu belakang. Tiauw Bun sudah berbuat begitu karena khawatir
kalau-kalau Tian Kui Long mengirim lagi kaki ta-ngannya untuk menyerang. Ouw
Hui sendiri lalu mengambil ciaktay dan mengikuti Biauw Jin Hong sampai di
kamarnya. Sesudah Kim-bian-hud me-rebahkan diri, Ouw Hui segera mengambil
selimut dan menyelimuti tubuh orang gagah itu. Si nona cilik sendiri sedang
pulas nyenyak, sama sekali ia tidak mengetahui, bahwa tadi, rumahnya dikacau
orang dan kedua mata ayahnya sudah menjadi buta.
"Saudara kecil,"
kata Kim-bian-hud. "Di atas penglari terdapat sebuah kotak besi. Coba
ambil!"
"Baiklah," kata Ouw
Hui sembari mengenjot badannya yag lantas saja melesat ke atas. Dengan tangan
kiri mencekal penglari, tangan kanannya meraba-raba. Benar saja, di atas balok,
ia men-dapatkan sebuah kotak besi yang lalu diambilnya.
Begitu turun, ia meletakkan
kotak itu di atas kasur, di dekat tangan Biauw Jin Hong. Sebelum Kim-bian-hud
bisa membuka mulut, sekonyong-ko-nyong terdengar tindakan orang yang
berlari-lari, disusul suara bentakan Ciong Tiauw Leng: "Bina-tang! Kau datang
lagi?" Bentakan itu disusul pula bunyi beradunya senjata.
"Tahan!" demikian
terdengar teriakan Thio Hui
Hiong. "Aku tak mempunyai
maksud jahat. Aku datang untuk berbicara sedikit dengan Biauw Tay-hiap."
"Biauw Tayhiap sudah
tidur," kata Tiauw Leng dengan perlahan. "Kalau mau bicara, besok
saja kau datang lagi."
"Tak usah," kata Hui
Hiong. "Sekarang saja aku memberitahukan kepadamu. "Aku sekarang
men-dapat kenyataan, bahwa Biauw Tayhiap adalah se-orang ksatria budiman yang
sangat mulia. Aku ber-dosa besar, tapi dengan suka rela beliau sudah mengampuni
jiwaku dari kebinasaan. Maka itu, tak bisa tidak, aku mesti membuka rahasia
ini. Racun yang digunakan untuk membutakan mata Biauw Tayhiap adalah rumput
Toan-chung-co (Rumput memutuskan usus), yang telah dicuri oleh guruku dari
tempat Tok-chiu Yo-ong (Raja obat Tangan beracun). Di sepanjang jalan, siauwjin
(aku yang rendah) memikirkan kecelakaan yang menimpa Biauw Tayhiap. Mungkin
sekali, jika ada orang yang pergi kepada Tok-chiu Yo-ong dan memohon per-tolongannya,
kedua mata Biauw Tayhiap masih bisa ditolong. Sebenarnya, siauwjin sendiri yang
harus berusaha untuk mendapatkan obat itu. Akan tetapi, siauwjin adalah seorang
yang tidak ternama, se-hingga sukar sekali bisa melakukan tugas yang se-berat
itu."