Kisah Si Rase Terbang (Hoei Ho Gwa Toan) Jilid 8

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Jilid 8

"Buka ikatan Siauw-ciok-yong!" perintah si nona.

Kim-sia-cu menjadi girang sekali. "Biar dicam-buk, masih untung kecuali Co Toako, tak ada orang lain yang turut menyaksikan," katanya di dalam hati. "Dia sendiri juga mendapat bagian, rasanya dia tak akan menguarkan kejadian ini di luaran." Harus diketahui, bahwa orang-orang sebangsa Sie-wie itu, tidak merasa terlalu berkeberatan jika mereka di-hajar orang. Yang paling mereka takuti adalah cerita-cerita di luaran yang bisa menurunkan ke-angkeran dan derajat mereka. Maka itu, buru-buru Kim-sia-cu menghampiri kawannya dan membuka-kan tali yang mengikatnya. Baru mereka mau meng-angkat kaki, tiba-tiba si nona tertawa dingin. "Kamu mau bcrangkat?" tanyanya. "Hm! Kau kira dalam dunia ada urusan yang bisa berjalan begitu licin?" Jantung kedua Sie-wie itu memukul keras, mereka saling mengawasi dengan sorot mata ketakutan. Mereka menahan les dan tidak berani berjalan terus.

"Siauw-ciok-yong, lekas keluarkan semua alat pembakarmu!" perintah si nona. "Kim-sia-cu, kau juga mengeluarkan semua kutu busukmu! Jika kau berani menyembunyikan, kuhajar lagi cecongor-mu!" Sembari berkata begitu, ia mengebaskan Joan-piannya berulang-ulang, sehingga menerbitkan se-rentetan suara nyaring di tengah udara.

Diancam begitu, mereka tak bisa berkutik lagi. Dengan ogah-ogahan Siauw-ciok-yong mengeluar¬kan sebuah kotak besi, dimana ia menyimpang sen-jata rahasianya, sedang Kim-sia-cu juga merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuahtkimbung bambu yang berisi kutu-kutu beracun. Melihat bumbung yang mengkilap itu karerw^sudah digunakan ber-tahun-tahun, Wan Cie Ie jadi ingat isinya, yaitu kutu-kutu berbulu yang sangat menakutkan dan beracun. Tanpa merasa, bulu romanya berdiri se¬mua.

"Bangsat!" bentak si nona. "Kamu sudah berani membokong aku dengan senjata beracun benar-benar nyalimu besar. Sebenar-benarnya, hari ini kau mesti mampus. Tapi, untungmu masih bisa dikata-kan bagus, karena nonamu mempunyai kebiasaan untuk hanya mengambil satu jiwa manusia dalam

satu hari...."

Co Beng dan Cui Pek Seng saling mengawasi, hati mereka menjadi lega sedikit.

Sesudah berhenti sejenak, Wan Cie Ie berkata pula: "Di antara kamu berdua, seorang mesti me-ninggalkan dunia ini. Siapa yang mesti mati dan siapa yang boleh hidup, sukar sekali aku memutus-kannya. Begini saja: Kamu saling menghantam de¬ngan senjata rahasiamu. Siapa yang kena, dialah yang harus mati. Siapa yang bisa berkelit, nonamu

mengampuni jiwanya. Peraturanku ini tak dapat diubah lagi. Tak guna kamu memohon-mohon. Satu, dua, tiga, hayo!"

Kedua Sie-wie itu agak sangsi. Mereka tak dapat menebak, apakah nona itu bicara sesung-guhnya atau hanya ingin menakut-nakuti mereka. Tapi, di lain detik, mereka sama-sama mempunyai pendapat begini: Jika dia turun tangan lebih dulu, bukankah aku yang mampus? Dua-dua Sie-wie itu orang-orang kejam dan begitu memikir demikian, mereka segera turun tangan. Hampir berbareng mereka mengeluarkan teriakan yang menyayatkan hati. Leher Siauw-ciok-yong sudah digigit sia-cu, sedang dada Kim-sia-cu sudah disambar bola api, kumis dan bajunya sudah terbakar.

Wan Cie Ie tertawa terpingkal-pingkal. "Sudah-lah!" katanya. "Hitung-hitung seri saja. Sekarang kamu boleh menggelinding pergi dari sini!"

Bukan main girangnya mereka. Tanpa meng-hiraukan sia-cu yang masih menggigit dan api yang masih berkobar-kobar, dengan serentak mereka mengeprak kuda yang lantas saja kabur sekeras-kerasnya. Sesudah terpisah jauh dari kedua orang muda yang galak itu, barulah mereka saling me-nolong. Untuk beberapa saat, Wan Cie Ie masih saja tertawa geli. Mendadak ia merasakan pung-gungnya dingin sebab ditiup angin dan baru ia ingat, bahwa bajunya pecah. Ia melirik Ouw Hui dan mendapat kenyataan, bahwa pemuda itu tengah mengawasi dirinya sembari bersenyum. Ia jadi ke-malu-maluan dan kedua pipinya lantas saja bersemu merah.

"Lihat apa kau?" ia membentak.

Ouw Hui melengos. "Tak lihat apa-apa," sahut-

nya.

"Minggir! Aku mau menukar baju," si nona

memerintah.

"Di sini? Kau mau menukar baju di tengah jalan?" Ouw Hui menanya sembari tertawa.

Wan Cie Ie mendongkol tercampur geli. Karena jengah, ia jadi keterlepasan bicara. Sembari melirik Ouw Hui dengan sorot mata uring-uringan, ia pergi ke gerombolan pohon-pohon lalu mengenakan baju luar yang berwarna kuning. Pakaian dalamnya masih basah, tapi ia tidak menghiraukannya. Sesudah itu, ia menggulung baju ungu itu yang sudah terbakar dan melemparkannya ke tengah sungai.

Sambil mengawasi baju itu yang hanyut terbawa aliran air, Ouw Hui berkata: "Nona, apakah se-karang kau bernama Wan Hong San (si Baju Ku¬ning)?"

Cie Ie tak menjawab ia hanya mengeluarkan suara di hidung, Ouw Hui ternyata sudah bisa me-nebak, bahwa "Wan Cie Ie" bukan namanya yang

asli.

Mendadak si nona berteriak: "Celaka! Aku di-gigit sia-cu!" Ia mengulurkan tangannya dan men-cakar-cakar punggungnya.

Ouw Hui terkesiap. "Apa benar?" tanyanya, sembari meloncat ke belakang si nona untuk mem-berikan bantuan.

Sekali ini, Ouw Hui yang pintar kena juga ditipu. Selagi ia loncat, yaitu sedang badannya ber¬ada di tengah udara, sekonyong-konyong Cie Ie mendorong dengan kedua tangannya. Itulah bo-kongan yang sungguh tidak diduga-duga. Seketika

itu juga, Ouw Hui terjungkal dan jatuh ke dalam lumpur, di tepi sungai, tubuhnya amblas sebatas dada!

Wan Cie Ie bertepuk tangan dan tertawa ber-gelak-gelak. "Ouw Hui kecil!" ia berteriak dari atas. "Kau terkenal licin seperti setan, tapi sekarang, kena juga kau diakali nonamu!"

Ouw Hui tak tahu, apa ia mesti menangis atau tertawa. Kebaikan hatinya merupakan ketololan besar. Karena empuknya lumpur, tak dapat ia me-ngerahkan tenaga untuk melompat ke luar, se¬hingga jalan satu-satunya adalah berkutet naik ke atas setindak demi setindak.

Begitu tiba di gili-gili, sambil mementang kedua tangannya yang berlepotan lumpur, Ouw Hui me-nubruk sembari berteriak: "Budak kecil ini mesti dihajar dengan kekerasan!"

Si nona terkejut, buru-buru ia meloncat dan melarikan diri. Tapi di luar dugaannya, ilmu meng-entengkan badan Ouw Hui tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya. Ia lari berputar-putar, tapi selalu dicegat oleh pemuda itu yang mengancam akan memeluk dirinya sambil mementang kedua tangannya. Ia juga tidak berani menyerang, karena begitu beradu tangan, ia tentu akan kecipratan lumpur. Sesudah main petak beberapa lama, si nona menjadi uring-uringan dan segera menghentikan tindakannya. "Kau berani meraba aku?!" ia mem-bentak sembari memberengut.

Ouw Hui yang memang hanya ingin menakut-nakuti, lanta saja turut menghentikan tindakannya. Sesaat itu, hidungnya mengendus wangi-wangian yang halus dan sedap, sehingga dengan terkejut ia

meloncat mundur beberapa tindak.

"Nona," katanya. "Aku sudah begitu baik hati, tapi kenapa kau berlaku seperti seekor anjing yang menggigit Lu Tong Pin?"

Cie Ie tertawa dan menjawab secara menyim-pang: "Eh, apakah kau mengetahui, bahwa dalam ilmu silat Pat-sian-kiam terdapat serupa pukulan yang dinamakan Lu-tong-pin-tui-kauw (Dewa Lu Tong Pin mendorong anjing). Jika kau tak percaya, tanyakan orang she Na itu."

"Ah kau sungguh tak mempunyai liangsim (pe-rasaan hati)," kata Ouw Hui. "Kau membalas ke-baikan dengan kejahatan."

"Fui!" bentak si nona. "Kau berani menganggap dirimu terlalu mulia, sudah melepas budi besar kepadaku? Sekarang kutanya: Bagaimana kau bisa mengetahui, bahwa kedua Sie-wie itu sudah mem-bokong aku?"

Mendengar pertanyaan itu, Ouw Hui jadi gela-gapan. Memang benar, ketika kedua Sie-wie itu meletakkan bahan api di punggung Cie Ie dan melepaskan sia-cu di cambuknya, Ouw Hui sudah melihat dengan terang sekali. Tapi untuk meng-ganggu, ia sengaja menutup mulut. Sesudah si nona berlalu, barulah ia membekuk kedua orang itu dan menyusul.

"Kenapa kau diam saja?" tanya Cie Ie. "Bu-kankah benar dalam hal ini sedikit pun aku tak menerima budimu?" Sehabis berkata begitu, ia me-ngeluarkan sapu tangan dan menutup hidungnya. "Bau benar kau!" katanya. "Lekas mandi! Sesudah badanmu dicuci bersih, aku akan menceritakan hal-nya Tio Sam... si bocah Tio Poan San."

Sebenarnya ia ingin mengatakan "Tio Samsiok", tapi karena Ouw Hui mengakui Poan San sebagai kakaknya, sehingga dengan begitu, kedudukannya jadi lebih tinggi setingkat daripada ia, maka ia sudah menggunakan perkataan "si bocah Tio Poan San".

Ouw Hui menjadi girang sekali. "Baik, baiklah," katanya dengan cepat. "Kau pergi jauh-jauh. Aku mandi cepat sekali."

"Cepat-cepat tak hilang baunya," kata si nona sembari nyengir.

Ouw Hui tertawa dan dengan gerakan It-ho-ciong-thian (Burung ho menembus langit) yang sangat indah, ia loncat menyebur ke dalam sungai.

Selagi Ouw Hui mandi, Cie Ie memeriksa luka si putih. Obat Kim-sia-cu ternyata sangat mustajab, karena bengkaknya sudah reda dan kuda itu sudah tidak menjerit-jerit lagi. Dengan hati lega, ia me-mandang ke arah sungai. Ia melihat pakaian, sepatu dan kaos kaki Ouw Hui ditumpuk di pinggir sungai, sedang pemuda itu sendiri sedang berenang di suatu tempat yang jauhnya beberapa puluh tombak.

Mendadak, kenakalan si nona kumat kembali. Ia membuka buntalan Ouw Hui dan mengeluarkan sepotong baju tua. Sesudah itu, dengan berindap-indap ia menghampiri tumpukan pakaian di tepi sungai itu dan membungkus semuanya di dalam baju tua itu. Kemudian, ia menunggangi kuda Ouw Hui dan sembari menuntun si putih, ia menjalankan kuda itu ke arah utara.

"Hei! Kenapa begitu lama?" ia sengaja berte-riak. "Aku mempunyai urusan penting, tak dapat menunggu kau lagi!" Sehabis berkata begitu, ia mengeprak tunggangannya yang lantas saja lari keras.

Lapat-lapat di sebelah jauh, ia dengar teriakan Ouw Hui: "Nona Wan! Nona Wan! Aku menyerah kalah! Tinggalkan pakaianku!" Semakin lama, suara itu jadi semakin jauh, agaknya Ouw Hui tak berani naik ke atas tanpa pakaian.

Di sepanjang jalan Wan Cie Ie tertawa ter-pingkal-pingkal, semakin ia ingat perbuatannya, se¬makin geli hatinya. Ia sudah menghitung, bahwa sebagai kuncu (ksatria), pemuda itu tentu tidak berani mengejar tanpa berpakaian.

Sesudah berjalan belasan lie, ia lalu berhenti dan mengaso di sebuah rumah penginapan kecil. "Aku mesti mengaso, sebab menurut kata Kim-sia-cu, si putih tak boleh lari untuk sementara waktu," katanya pada diri sendiri. Tapi, dalam hati kecilnya, ia mengharapkan agar (dengan bermalam di rumah penginapan itu) Ouw Hui akan menyusul dan ber-cekcok lagi dengan ia.

Malam itu lewat tanpa Ouw Hui menampakkan mata hidungnya. Pagi-pagi sekali Wan Cie Ie sudah meninggalkan rumah penginapan itu dan menerus-kan perjalanannya. Ia ingin sekali mengetahui, ba-gaimana pemuda itu mendapat pakaian guna me¬nyusul ia. Mengingat begitu, lagi-lagi ia tertawa geli. Ia jalan perlahan-lahan, setiap hari hanya delapan puluh atau sembilan puluh lie, akan tetapi, orang yang diharap-harapkan belum juga muncul.

Satu hari, tibalah ia di Ya-kee-wan, sebelah utara kota Siang-tam, tak jauh dari kota Tiang-see, ibukota propinsi Ouwlam. Selagi mencari-cari ru¬mah makan untuk menangsal perut, mendadak ia mendengar suara ramai-ramai di pelabuhan. Ia mengawasi dan melihat sebuah perahu besar yang sedang berlabuh di tepi sungai, sedang di kepala perahu berdiri seorang tua yang lagi menyoja ke-pada orang-orang yang seperti sedang mengantar-nya.

Dengan melirik, Wan Cie Ie sudah mengetahui, bahwa sebagian besar daripada pengantar itu adalah orang-orang Rimba Persilatan yang bertubuh kekar. Dan apa yang agak luar biasa adalah: Di belakang orang tua itu berdiri dua Sie-wiedari kerajaan Ceng.

Jantung si nona memukul lebih keras. "Apakah lagi-lagi aku bertemu dengan seorang Ciangbunjin yang mau berangkat ke kota raja untuk memenuhi undangan Hok Kongcu?" tanyanya pada diri sendiri. Memikir begitu, ia segera menahan kudanya dan mengawasi orang tua itu secara lebih seksama. Jenggot orang tua itu sudah putih, tapi mukanya bersinar merah dan pakaiannya indah sekali.

"Hiantee (adik) sekalian harap pulang saja," katanya sembari menyoja. Dilihat dari gerakan-gerakannya yang mantap, tak bisa salah lagi ia adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi.

Orang-orang yang berada di daratan bersorak-sorai dan berteriak: "Selamat jalan, Loosu! Kami mendoakan supaya Loosu mengangkat naik derajat Kiu-liong-pay (partai sembilan naga) kita di kota raja."

Orang tua itu tertawa dan berkata: "Tak berani aku mengharapkan itu. Aku hanya mengharap, su¬paya nama Kiu-liong-pay tidak menjadi rusak dalam tanganku." Kata-kata itu yang diucapkannya nya-ring sekali, kedengarannya seperti kata-kata me-rendahkan diri, tapi sebenarnya mengandung ke-sombongan.

Perkataan orang tua itu disambut dengan me-rotoknya petasan yang dipasang di perahu dan di gili-gili. Wan Cie Ie mengetahui, bahwa begitu lekas petasan itu terbakar habis, perahu itu akan segera meninggalkan pelabuhan. Ia meloncat turun dari tunggangannya dan mengambil dua butir batu. Se-kali ia mengayun kedua tangannya dan dua batu itu menyambar rencengan petasan yang masing-masing kurang lebih dua tombak panjangnya. Begitu ke-langgar batu, rencengan petasan itu jatuh ke sungai dan terus padam.

Kejadian itu disambut dengan teriakan kaget oleh semua orang. Padamnya petasan dianggap se-bagai alamat yang sangat buruk. Sejumlah orang telah melihat, bahwa petasan itu telah ditimpuk putus oleh seorang wanita yang mengenakan baju warna kuning. Enam tujuh orang lantas saja meng-hampiri dan mengurung Wan Cie Ie.

"Siapa kau?!" bentak seorang.

"Siapa suruh kau mengacau di sini?" teriak

seorang lain.

"Eh, kau memutuskan petasan. Apa maksud-nya?!" tanya seorang lain.

"Benar-benar kau pernah gegares nyali macan tutul," kata orang yang satunya lagi. "Berani betul kau main gila terhadap Ya Loosu dari Kiu-liong-

pay."

Jika Wan Cie Ie bukan seorang gadis dan juga gadis cantik, siang-siang mereka tentu sudah me-mukul.

Ketika berhadapan dengan jago-jago Wie-to-bun dan Pat-sian-kiam, sedikit pun si nona tidak merasa keder, karena ia sudah mengenal baik ilmu silat kedua partai itu. Tapi Kiu-liong-pay (Partai sembilan naga), ia belum pernah mendengarnya. Maka itu, sembari tertawa ia berkata: "Sebenarnya aku menimpuk burung di atas air, tapi tak nyana, sudah kesalahan tangan. Aku sungguh merasa sa¬ngat menyesal."

Orang-orang lantas saja memberi berbagai pen-dapatnya. Ada yang kata, mustahil si nona kesalahan tangan, sebab dua renceng petasan itu jatuh se-muanya. Ada yang menanya nama si nona dan maksud kedatangannya di Ya-kee-wan dan ada pula yang mengumpat caci.

"Berapa sih harganya dua renceng petasan?" kata Wan Cie Ie sembari tetawa. "Pergi beli lagi!" Sembari berkata begitu, ia mengeluarkan sepotong emas yang beratnya kira-kira lima tail. Harga emas itu adalah cukup untuk membeli seribu renceng petasan.

Melihat gerak-gerik nona itu yang sangat aneh, semua orang jadi merasa heran dan tak seorang pun yang berani menyambuti uang emas itu.

"Bukankah tuan-tuan ini murid-murid Kiu-liong-pay?" tanya Wan Cie Ie sembari mesem. "Bu¬kankah Ya Loosu yang menjadi Ciangbunjin dari Kiu-liong-pay? Dan bukankah Ya Loosu ingin pergi ke Pakkhia untuk menghadiri pertemuan para Ciangbunjin yang dihimpunkan oleh Hok Kongcu?"

Mendengar pertanyaan itu, semua orang lantas saja mengangguk.

Wan Cie Ie menggeleng-gelengkan kepala dan lalu berkata dengan suara menyesal: "Sayang sung¬guh sayang! Petasan yang sedang dibakar mendadak bungkam, adalah serupa alamat yang sangat jelek. Paling benar Ya Loosu mengurungkan niatnya."

"Kenapa?" tanya seorang.

Wan Cie Ie lantas saja menarik paras muka sungguh-sungguh. "Menurut penglihatanku, sinar muka Ya Loosu adalah sangat guram," katanya. "Di mukanya terdapat serupa uang hitam dan di kedua alisnya terlihat garis-garis pembunuhan. Aku berani mengatakan, bahwa jika Ya Loosu pergi juga ke kota raja, bukan saja nama Kiu-liong-pay akan herantakan tapi Ya Loosu sendiri bakal terancam jiwanya."

Paras muka semua orang lantas saja jadi ber-ubah. Ada yang meludah, ada yang memaki dan ada pula yang berunding dengan suara perlahan karena hatinya sudah digoncangkan oleh perkataan si nona.

Wan Cie Ie berdiri dalam jarak yang tidak jauh dari perahu besar itu dan setiap perkataannya sudah didengar oleh Ya Loosu. Orang tua itu mengawasi si nona yang lemah lembut dan berbadan langsing kecil, seolah-olah bukan orang yang mengenal ilmu silat. Akan tetapi, Sesudah menyaksikan timpukan-nya yang luar biasa dan kuda putihnya yang sangat garang, Ya Loosu mengetahui, bahwa nona itu bukan sembarang orang.

Maka itu, ia segera menyoja seraya berkata: "Bolehkah aku mengetahui she nona yang mulia? Sudikah nona naik ke perahu ini untuk berbicara lebih lanjut?"

"Aku she Wan," jawabnya. "Lebih baik Ya Loo¬su saja yang turun ke darat."

Menurut kepercayaan di propinsi Ouwlam pada jaman itu, seseorang yang ingin berlayar dan sudah naik di perahu, tak boleh turun ke darat lagi se-belum perahu itu berlayar. Jika kebiasaan itu di-langgar, orang itu akan mendapat akibat yang jelek, katanya. Dari sebab itu, mendengar perkataan si nona, kedua alis Ya Loosu lantas saja berkerut, seperti juga ia sedang berpikir keras.

Harus diketahui, bahwa walaupun memiliki ilmu silat yang tinggi, sehingga ia bisa menjadi Ciang-bunjin dari suatu partai silat, orang tua itu sangat percaya segala petang-petangan dan ketakhyulan. Tadi, jatuhnya petasan kedalam airsudah membikin hatinya jadi sangat tidak enak. Kejadian itu disusul dengan perkataan si nona yang semakin lama jadi semakin tak enak kedengarannya.

Sesudah menimbang-nimbang beberapa saat, ia mengambil keputusan untuk tidak menghiraukan gadis jelita itu. Ia berpaling kepada juragan perahu dan berkata: "Hayolah berangkat!"

Anak buah perahu itu lantas saja mengangkat sauh dan beberapa antaranya segera mengangkat galah untuk menolak perahu.

"Perlahan!" seru Wan Cie Ie. "Jika kau tak dengar nasihatku, belum seratus lie, perahu itu pasti sudah tenggelam dan seantero isinya bakal binasa!"

Paras muka Ya Loosu lantas saja berubah menyeramkan. "Melihat usiamu yang masih begitu muda, aku sengaja sungkan meladeni," katanya dengan suara keras. "Jika kau terus ngaco belo, jangan menyesal, kalau aku tak berlaku sungkan-sungkan lagi."

Dengan sekali mengenjot badan, si nona sudah hinggap di atas perahu. "Ya Loosu, jangan kau marah," katanya sembari tertawa. "Aku bicara de-

ngan maksud baik sekali. Bolehkah aku mengetahui nama Loosu yang besar, supaya aku bisa meramal-kan untuk kebaikanmu sendiri?"

Orang tua itu mengeluarkan suara di hidung dan membentak: "Tak usah!"

"Baiklah, kata Wan Cie le. "Jika Loosu tak sudi memberitahukan namamu, biarlah aku meramalkan dengan memecah she Loosu saja. Loosu she Ya. Huruf 'Ya' terdiri dari dua huruf 'Jit' (hari) dan Put-jit' (tidak hari), mempunyai arti, bahwa usia Loosu sudah tidak panjang lagi. Dalam perjalanan ini Loosu menggunakan perahu atau dengan per-kataan lain, menggunakan jalan air. Jika huruf 'ya' ditambah dengan huruf 'Sui' (air) dan huruf 'Co' (rumput), maka dapatlah kita huruf 'Thong' (Pe-ngembara). Barangkali Loosu pun mengenal syair jaman dulu yang berarti seperti berikut: Thong-cu-heng-put-kwi' (Si pengembara tak kembali lagi). Ini berarti, bahwa dalam perjalanan ini, Loosu tak akan bisa pulang ke kampung sendiri dan akan binasa di kampung orang."

Mendengar ramalan itu, bukan main gusarnya Ya Loosu. Tapi, karena perkataan si nona kede-ngarannya beralasan sekali, kegusaran itu jadi ber-campur dengan kekhawatiran. "Dusta!" ia mem¬bentak untuk menghibur hatinya sendiri. "Namaku Kit dan 'Kit' berarti 'selamat' atau 'beruntung'. Apa lagi yang mau dikatakan olehmu?"

"Celaka!" berseru si nona. "Untuk orang lain, huruf 'Kit' memang baik sekali. Tapi bagi Loosu, huruf itu justru mengandung kecelakaan. Coba Loosu pikir: Loosu she Ya dan huruf 'Ya' berarti 'Hoan' (menukar). Apa artinya itu? Itu berarti

bahwa keselamatan ditukar dengan kecelakaan!"

Ya Kit terkesiap dan tak mengeluarkan sepatah kata, sedang si nona nakal menyengir dengan pera-saan puas. Sesaat kemudian, Wan Cie le berkata pula: "Jika huruf 'Kit' dipecah-pecah, maka da¬patlah kita tiga huruf, yaitu 'Cap It Kouw' (sebelas mulut). Ya Loosu, ini lebih celaka lagi! Manusia biasa hanya mempunyai satu mulut, tapi kau mem¬punyai sebelas mulut. Jadi, kau kelebihan sepuluh mulut. Mulut apa itu? Mulut luka, mulut luka akibat bacokan golok atau pedang! Ah. Ya Loosu! Dilihat gelagatnya, dalam perjalananmu sekali ini ke kota raja, memang sudah nasibmu untuk mendapat se¬puluh bacokan dan seperti si pengembara dalam syair kuno itu, jangankan badan, tulang-tulangmu juga tak akan bisa pulang ke kampung kelahiran-mu!"

Semakin besar ketahayulan seseorang, semakin takut dia mendengar perkataan-perkataan yang ku-rang baik. Sesaat itu paras muka Ya Kit sudah berubah sangat menyeramkan dan sembari melirik si nona, ia berkata dengan suara dingin: "Baiklah nona, banyak terima kasih untuk perkataan-per-kataanmu yang sangat berharga. Tapi, bisakah aku mengetahui siapa adanya gurumu dan siapa ayah-mu?"

"Apakah kau juga ingin meramalkan nasibku?" tanya si nona sembari tertawa. "Sebab apa kau ingin mengetahui asal usulku?"

Ya Loosu tertawa dingin dan berkata pula. "Melihat usiamu yang masih begitu muda dan juga karena mengingat, bahwa kita sama sekali belum saling mengenal, maka sudah boleh dipastikan, ke-

datanganmu di sini adalah atas suruhan orang lain untuk mengganggu aku. Aku si orang she Ya tidak biasa berkelahi melawan segala bocah cilik dan juga, sebagai lelaki aku tak sudi ber-tempur dengan perempuan. Suruhlah orang yang berada di belakangmu, datang ke mari. Kita coba-coba melihat, siapa yang kena sepuluh bacokan dan siapa yang tak bisa pulang ke kampung sendiri." Sehabis berkata begitu, ia menuding Wan Cie Ie sembari berteriak: "Sia-pakah manusia di belakangmu itu?"

"Orang di belakangku?" si nona menegas sem¬bari tertawa dan menengok ke belakang.

Begitu menengok, hatinya terkesiap. Ternyata, orang yang berdiri di daratan dan mengenakan pakaian petani, bukan lain daripada Ouw Hui! Tapi sungguh pandai si nona mempertahankan diri. Tan-pa berubah parasnya, ia berkata sembari tertawa. "Orang yang di belakangku? Aku melihat dia seperti bocah pengangon kerbau."

"Jangan berlagak pilon!" teriak Ya Kit dengan kegusaran yang meluap-luap. "Yang kumaksudkan adalah manusia yang berdiri di belakangmu, yang menyuruh kau datang ke mari. Jika laki-laki, jangan main sembunyi-sembunyi, suruh dia ke luar! Ke luar!" Menurut dugaan Ya Kit, tak bisa salah lagi, kedatangan Wan Cie Ie adalah atas perintah salah seorang musuhnya untuk mengacau keberang-katannya ke kota raja.

"Ya Loosu," kata pula Wan Cie Ie dengan paras sungguh-sungguh. "Orang kata: Obat mustajab, pa-hit rasanya, nasehat jujur, tak enak didengarnya. Nasehatku itu ke luar dari hati yang sejujurnya dan apakah kau sudi mendengar atau tidak, terserah kepadamu. Mengenai Kiu-liong-pay, jika kau tidak bisa pergi, aku bersedia untuk mewakilinya."



* *



Hampir berbareng dengan meloncatnya Wan Cie Ie ke atas perahu, Ouw Hui sudah tiba di situ.

Hari itu, ketika pakaiannya dicuri si nona, se-dang ia sendiri mandi di sungai, tentu saja ia tak bisa mendarat dengan begitu saja. Sesudah malam, baru ia berani naik ke daratan dan mencuri se-perangkat pakaian dari rumah seorang petani. Apa yang paling dipikirnya adalah kitab ilmu silat dan ilmu golok yang selalu disimpan dalam saku baju dalamnya dan baju itu sudah dibawa lari oleh si nona. Ia menduga, bahwa Wan Cie Ie memang ingin memiliki kitabnya itu, karena mula-mula dia men¬curi buntalan dan kemudian mencuri pakaiannya. Memikir begitu, dengan perasaan jengkel dan bi-ngung, ia segera mengejar secepat mungkin. Tak berapalama, darijauh ia sudah melihat si nona yang menjalankan kudanya perlahan-lahan. Sekarang ia menjadi sangsi. Menurut pantas, seorang pencuri tentu menyingkir selekas dan sejauh mungkin. Ke-napa melarikan tunggangannya begitu perlahan-lahan? Benar-benar Ouw Hui tak mengerti.

Menurut pertimbangannya, jika menggunakan kekerasan, belum tentu ia bisa mengalahkan si nona. Maka itu, ia lalu menguntit secara diam-diam untuk menyelidiki gerak-geriknya dan melihat, apakah nona itu ada kawannya atau tidak. Tapi Sesudah membuntuti dua had, sama sekali Ouw Hui tidak dapat melihat gerak-gerik luar biasa dari nona itu.

Hari itu, ketika tiba di Ya-kee-wan, ia mendapat kenyataan, bahwa Wan Cie Ie lagi-lagi ingin me-rebut kedudukan Ciangbunjin.

"Ah, nona itu tentu sakit gila," pikir Ouw Hui. "Dia tentu dihinggapi penyakit gila Ciangbunjin, atau dia mempunyai maksud lain yang lebih da-lam."

Melihat Ya Kit dan Wan Cie Ie sudah hampir bertempur, diam-diam Ouw Hui menjadi girang. Ia mengambil putusan menjalankan peranan si pe-nangkap ikan yang mengantongi hasil permusuhan antara burung dan kerang. Dengan perkataan lain, ia ingin berusaha untuk mengambil pulang kitabnya, selagi kedua orang itu bertempur. Di saat itu, jika mau, dengan gampang ia bisa merebut kembali kuda si nona. Akan tetapi, seperti lagu yang merdu tak akan dinyanyikan untuk kedua kalinya, begitu juga tipu yang lihay tak akan diulangi lagi. Jika ia meng-ulangi siasat merebut kuda, ia khawatir ditertawa-kan si nona. Maka itu dengan perlahan ia mendekati perahu, siap sedia untuk merampas buntalan si nona yang diikatkan di punggungnya.



* *

Sementara itu, mendengar perkataan Wan Cie Ie, paras muka Ya Kit jadi bersemu ungu, bahna gusarnya. "Kalau begitu," katanya dengan suara gemetar, "Kalau begitu, apakah nona mau mengata-kan, bahwa aku, Ya Kit, tak mempunyai kemam-puan dan tak berhak lagi menjadi Ciangbunjin dari Kiu-liong-pay?"

"Bukan, bukan begitu." jawabnya sembari nye-ngir. "Perjalanan Loosu sekali ini adalah perjalanan yang penuh bahayanya. Urusan jiwa tak boleh di-buat main-main. Maka itu, lebih baik Loosu me-nyerahkan kedudukan Ciangbunjin kepadaku. Na-sehat ini ke luar dari hati yang suci dan hanyalah untukmu...."

Baru saja ia berkata begitu, dari dalam perahu mendadak ke luar dua orang lelaki yang masing-masing mencekal Kiu-ciat-pian (pian, atau pecut yang mempunyai sembilan tekukan).

"Perempuan itu miring otaknya, tak usah Suhu meladeni ia," kata lelaki yang setengah tua. "Biar teecu (murid) saja yang melemparkan dia ke da-ratan, supaya tak membikin kapiran saat yang baik untuk menjalankan perahu." Sembari berkata be¬gitu, ia mengulurkan tangan kirinya untuk men-dorong pundak Wan Cie Ie.

"Payah! Ilmumu payah!" kata si nona sambil menyentil lengan orang itu. Begitu tersentil, lengan orang itu kesemutan dan tangannya turun pula dengan perlahan.

"Toasuko, gunakan senjata!" teriak kawannya.

Berbareng dengan suara kerontrangan, dua Kiu-ciat-pian yang terbuat dari baja menyambar si nona. Tapi karena memang bukan maksud mereka

untuk mengambil jiwa orang, kedua senjata tidak menyambar ke bagian tubuh yang berbahaya.

Melihat senjata orang, Wan Cie Ie lantas saja menduga, bahwa nama Kiu-liong-pay sudah di-dapatkan karena orang-orang partai itu terutama mahir dalam menggunakan Kiu-ciat-pian. Disaat itu, kedua pian tersebut sudah hampir mengenai tubuhnya. "Bagus!" katanya di dalam hati. "Sekarang kau bertemu dengan kakek moyangmu."

Cepat bagaikan kilat, kedua tangannya me¬nyambar dan menangkap dua ujung pian itu yang lantas saja dicantelkan satu pada yang lain. Dalam melakukan gerakan tangannya itu tubuh si nona sama sekali tidak bergerak.

Kedua murid Ya Kit lantas membetot dengan berbareng dan betotan itu justru yang diinginkan oleh Wan Cie Ie, karena kedua Kiu-ciat-pian itu lantas saja menyantel semakin keras. Mereka be-ngong bahna kaget, lalu membetot pula dan se-baliknya dari terlepas, cantelan itu jadi semakin keras pula.

"Goblok! Minggir!" bentak Ya Kit, sembari mencengkeram jubah panjangnya dan dengan sekali menggentak, tujuh kancingnya copot semua. Ge¬rakan ini disusul dengan kibasan tangan kirinya dan jubah panjangnya sudah terlucut dari tubuhnya. Demikianlah, dengan pakaian ringkas, ia berdiri di depan si nona dengan penuh keangkeran. Semua muridnya yang berdiri di gili-gili lantas saja ber-

sorak-sorai.

Wan Cie Ie menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata: "Sebenarnya tak pantas kalian ber-sorak-sorai. Gerakan itu dinamakan Toh-pauw-

siang-wie (Membuka jubah menyerahkan keduduk-an). Membuka jubah memang tak apa, tapi me¬nyerahkan kedudukan adalah suatu alamat bahwa kedudukan Ciangbunjin memang sudah ditakdirkan harus diserahkan kepadaku."

Ya Kit terkejut, ia lantas saja merasa, bahwa gerakannya tadi memang merupakan alamat yang kurang baik. Ia meraba pinggangnya dan di lain saat, tangannya sudah mencekal sebuah Kiu-ciat-pian yang mengkilap.

Cara Ya Kit mengeluarkan senjatanya merupa¬kan suatu keheranan, yakni Kiu-ciat-pian baja itu sama sekali tidak mengeluarkan suara. "Celaka!" si nona mengeluh. "Orang ini tak boleh dibuat ge-gabah. Aku sendiri tak mampu menggunakan ilmu itu."

Tongkrongan Ya Kit benar-benar menyeram-kan. Dengan badannya yang tinggi besar ia men¬cekal Kiu-ciat-piannya yang berukuran hebat, setiap tekukannya sebesar telor itik.

Waktu itu, karena sauh sudah diangkat, maka perahu jadi bergoyang-goyang tak hentinya. Ya Kit mengayun senjatanya dan menyabet sauh itu yang lantas saja terpental dan nyemplung ke dalam air, sehingga perahu itu menjadi tetap kembali. Itulah suatu pertunjukan kekuatan yangsangat hebat. Jika tangan Ya Kit tidak mempunyai tenaga tujuh atau delapan ratus kati, ia tentu tidak bisa berbuat be-gitu.

Wan Cie Ie terkesiap. "Tenaga orang itu sangat besar dan ilmunya tinggi," pikirnya. "Dia harus di-jatuhkan dengan tipu, tak bisa dilawan dengan tenaga."

Melihat badan Ya Kit yang tinggi besar dan usianya yang agak lanjut, si nona berpendapat bah-wa meskipun Lweekangnya tinggi, gerak-gerik orang tua itu tentunya kurang gesit. Berpikir begitu, ia segera mendapat suatu akal yang baik.

"Ya Loosu," katanya. "Aku adalah seorang wa-nita dan jika kita bertempur di kepala perahu, tak perduli menang atau kalah, pertempuran ini pasti akan berakibat kurang baik bagi perjalananmu. Maka itu, aku ingin mengusulkan supaya kita bertanding di tempat lain."

Ya Kit menyetujui usul itu, tapi ia juga sungkan turun ke darat.

"Ya Loosu," kata pula si nona. "Sekarang kita berjanji dulu: Jika aku menang, bukankah kau akan menyerahkan kedudukan Ciangbunjin dari Kiu-liong-pay kepadaku? Apakah jika sampai kejadian begitu, murid-muridmu akan rela menerimanya?"

Ya Kit merasakan dadanya sesak bahna gusar-nya. "Tak rela, toh mesti rela juga!" bentak orang tua itu. "Tapi, kalau kau yang kalah?"

"Aku akan berlutut di hadapanmu dan mc-manggil kau ayah," jawab si nona sembari me-nyengir. "Hanya aku memohon kau suka menyayang si anak angkat." Sembari berkata begitu, ia meraba pinggangnya dan di lain saat, tangannya sudah men-cekal pecut.

Sambil mengenjot badan, ia mengayun pecut-nya yang lantas saja melibat tiang layar. Dengan menarik pecut itu, badannya membumbung ke atas dan begitu lekas lengan kirinya memeluk tiang layar, pecutnya sudah diayun lagi dan kembali melibat bagian lebih atas dari tiang itu. Sekali lagi ia menarik

pecutnya sembari mengempos semangat dan de¬ngan gerakan It-ho-thiong-thian (Seekor burung ho menembus langit), badannya melesat ke atas dan ia hinggap persis di puncak tiang! Itulah suatu ilmu mengentengkan badan yang sudah mencapai pun¬cak kesempurnaan! Tanpa merasa, semua penonton bersorak-sorai.

Ya Kit mengeluarkan suara di hidung dan me-libatkan Kiu-ciat-piannya di pinggangnya. Begitu tangan kirinya mencengkeram tiang layar, badannya naik kira-kira dua kaki. Sesudah tangan kiri itu, ia mengulurkan tangan kanannya yang kembali men¬cengkeram tiang dan tubuhnya naik lebih tinggi lagi. Harus diketahui, bahwa tiang itu sebesar mangkok nasi dan tak akan dapat dicekal dengan sebelah tangan. Tapi, tenaga jeriji Ya Kit adalah sedemikian lihaynya dan telapakan tangannya mengandung Lweekang yang sangat dalam, sehingga, walaupun tiang tidak tercekal, bisa juga ia berbuat begitu. Dengan cepat, tubuhnya menaik ke atas dan bagi seorang ahli, perbuatan itu merupakan suatu per-tunjukan ilmu yang sangat dahsyat.

Dilain saat, Ya Kit sudah berada dalam jarak kira-kira setombak dari si nona. Wan Cie Ie me-ngetahui, bahwa jika lawannya sudah naik ke atas, ia bisa jadi berabe. Maka itu, selagi ia masih bisa menarik keuntungan dari kedudukannya yang lebih tinggi, ia segera mendului. "Ya Loosu!" ia mem-bentak. "Pecutku mempunyai delapan belas tekuk-an, sembilan tekuk lebih banyak daripada pecutmu." Berbareng dengan seruannya, ia mengayunkan sen-jatanya yang segera menyambar kepala Ya Kit.

Ya Kit yang kedua tangannya sedang mencengkeram tiang benar-benar berada dalam bahaya. Jika ia berkelit badannya akan merosot ke bawah dan itu akan berarti, bahwa ia sudah kalah.

"Tak punya malu!" teriak salah seorang murid-nya di darat.

"Tak adil!" seru orang kedua. "Perempuan bangsat! Turun kau, jika berani!" orang ketiga mencaci.

Sesaat itu, Ya Kit sudah bergerak untuk mem¬bela diri. Dengan lengan kiri ia memeluk tiang dan Kiu-ciat-pian di tangan kanannya sudah menyambar ke atas untuk memapaki pecut si nona.

Wan Cie le mengetahui, bahwa jika kedua senjata lemas itu sampai kebentrok dan terlibat satu dengan yang lain, ia akan kalah tenaga dalam betot membetot. Maka itu, pada detik terakhir, ia menge-dut senjatanya untuk menghindari bentrokan. Baru saja ia mau memecut pula, Ya Kit sudah memutar senjatanya bagaikan titiran untuk melindungi ke-palanya, kemudian, sambil membentak keras, ba¬dannya "terbang" ke atas dan... ia sudah hinggap di palang tiang! Tepuk tangan dan sorak-sorai yang gemuruh menyambut gerakan yang luar biasa in-

dahnya itu.

Dalam pada itu, sebaliknya dari khawatir, hati Wan Cie le jadi terlebih mantap. Dari gerakan Kiu-ciat-pian Ya Kit, ia segera mengetahui, bahwa walaupun orang tua itu mempunyai tenaga yang sangat besar, ilmu silatnya tidak seberapa, sedikit-nya masih belum dapat menandingi ilmu pecutnya. Maka itu, dengan perasaan tenang, sambil me-miringkan badannya ke kiri, Wan Cie le segera menyabet ke kanan. Ya Kit yang sudah nangkring

dengan selamat, juga lantas mengayun senjatanya sembari mesem.

Demikianlah, kedua lawan itu segera serang-menyerang di atas tiang yang tingginya tujuh atau delapan tombak. Pertempuran itu, di samping mem-berikan pemandangan yang mengerikan, juga indah luar biasa. Jumlah manusia yang berkumpul di tepi sungai semakin lama jadi semakin banyak, sedang di atas air, jumlah perahu juga jadi bertambah.

Ya Kit mengerti, bahwa dalam ilmu meng-entengkan badan, kepandaiannya masih belum bisa menandingi lawannya. Tapi, untung sekali, ia se-karang sudah berada di tempat yang sentosa. Di lain pihak, Wan Cie le yang lincah bergerak-gerak dan mundur maju tiada hentinya, sambil menghantam pulang pergi dengan pecutnya. Dalam pertempuran itu, si nona mempunyai dua keuntungan, pertama, ia lebih gesit dan kedua, senjatanya banyak lebih panjang, kira-kira dua kali lebih panjang daripada Kiu-ciat-pian lawannya. Maka itu, sedang Ya Kit hanya bisa membela diri. Wan Cie le menyerang kalang kabutan sesuka hatinya. Sesudah bertempur tiga puluh jurus lebih, sambil berseru keras dan nyaring, si nona mengubah cara bersilatnya. Dalam sekejap saja, pecutnya sudah berkelebat-kelebat bagaikan ular perak yang sedang menari-nari dan pukulan-pukulannya jadi lebih aneh lagi. Diserang secara begitu, Ya Kit terpaksa memutarkan senjata¬nya secara lebih dahsyat untuk melindungi seluruh tubuhnya. Harapan Ya Kit satu-satunya adalah ber-usaha untuk melibat pecut si nona dan kemudian membetotnya untuk merubuhkan lawannya ke ba¬wah tiang. Di lain pihak, Sesudah bertempur lama

juga, Wan Cie Ie mengetahui, bahwa orang tua itu hanya memiliki tujuh delapan macam pukulan yang diulangi lagi.

Dilihat sekelebatan, Wan Cie Ie memang ber-ada di atas angin. Tapi, keadaan yang sebenarnya bukan begitu. Harus diketahui, bahwa cara si nona berkelahi meminta banyak tenaga dan kewaspadaan yang sepenuh-penuhnya. Begitu dia lelah, ilmu pe-cutnya akan segera menjadi kalut dan sekali lengah, ia bisa terpeleset dan jatuh ke bawah. Sebagai seorang tua yang berpengalaman, itulah yang di-tunggu Ya Kit. Ia mempertahankan diri untuk me-nunggu saatnya yang baik.

Wan Cie Ie tentu saja mengerti maksud Ya Kit. Tapi karena garis pembelaan orang tua itu luar biasa rapatnya, ia tidak bisa berbuat banyak. Jika pertem-puran itu dilakukan di atas tanah datar, ia bisa menggunakan macam-macam cara, misalnya meng-hantam sambil berlompat tinggi, menyabet sembari menggulingkan badan dan sebagainya. Tapi, dengan berada di atas tiang, tentu saja ia tak bisa berbuat

begitu.

Sesudah lewat lagi belasan jurus, napas si nona sudah mulai tersengal-sengal dan gerak-geriknya sudah tidak begitu gesit lagi. Berselang beberapa jurus lagi, selagi ujung pecut si nona menyambar mukanya dengan gerakan yang tak begitu dahsyat, mendadak Ya Kit mengulurkan tangan kirinya un¬tuk mencengkeram bola emas di ujung pecut lawan itu. Dengan kaget, Wan Cie Ie mengedut sen-jatanya. Tapi tak dinyana, sembari membentak ke-ras, Ya Kit sudah menyabet dengan Kiu-ciat-pian-nya. Suatu bentrokan tak dapat dielakkan lagi dan

di lain detik, kedua senjata lemas itu sudah saling melibat.

Dengan girang Ya Kit segera mengerahkan tenaga dalamnya dan membetot sekuat-kuatnya. Wan Cie Ie mencelos hatinya karena ia merasakan lengannya terbetot keras. Ia mengetahui, bahwa jika kekerasan dilawan dengan kekerasan, ia pasti kalah.

Dalam keadaan berbahaya itu, si nona yang galak tidak menjadi bingung. Bagaikan kilat, ia mengambil keputusan untuk terjun ke dalam ba-haya. Ia mengempos semangatnya dan mengebas-kan tangan kanannya yang mencekal pecut, sembari melepaskan senjata itu. Pecut itu melesat dan ber-putar-putar bagaikan titiran melibat tiang layar dan... ternyata lutut Ya Kit serta lengan kanannya, juga sudah dilibat erat-erat ke tiang perahu dengan pecut Wan Cie Ie dan senjatanya sendiri!

Itulah benar-benar suatu kejadian yang tak diduga-duga! Dalam kagetnya, buru-buru ia meng¬ulurkan tangan kirinya untuk membuka libatan itu. Tapi Wan Cie Ie sudah menubruk! Dua jeriji tangan kiri si nona lantas saja menyambar untuk mengorek biji mata lawannya.

Buru-buru Ya Kit melepaskan pecut musuh yang baru saja ditangkap dengan tangan kirinya dan menyampok serangan si nona. Tapi, tak dinyana, serangan itu hanyalah gertakan belaka. Begitu Ya Kit menyampok, Wan Cie Ie menahan gerakan tangan kirinya dan pada saat yang sama, tangan kanannya menotok jalan darah Yan-goat-hiat mu¬suh, di bawah ketiak. Lengan kiri Ya Kit lantas saja menjadi kaku. Ia sekarang tidak berdaya lagi, ka-

rena kedua lutut dan lengan kanannya dililit cambuk

lawan.

Melihat, bagaimana si nona sudah bisa merebut kemenangan pada saat yang sangat berbahaya, tan-pa merasa Ouw Hui bersorak. Tapi, sedang mu-lutnya tnasih belum tertutup, sekonyong-konyong sembilan buah Kim-chie-piauw menyambar ke atas, ke arah pelbagai jalan darah si nona.

Bukan main kagetnya Wan Cie Ie. Ketika itu, ia sedang berdiri di palang tiang layar, ia tak dapat meloncat maju atau mundur, tak bisa berkelit ke kiri atau ke kanan. Pada saat terakhir, justru se-rangan itu sudah hampir mengenai tubuhnya, ia mendoyongkan badannya ke belakang dan sembilan piauw itu terbang lewat di atas tiang. Semua orang yang tadi menahan napas, dengan serentak ber-sorak-sorai sembari bertepuk tangan. Di atas tiang yang begitu tinggi, si nona memperlihatkan ke-pandaiannya selaku akrobat. Kedua kakinya di-cantelkan pada palang pintu tiang, tubuhnya ce-lentang membujur di tengah udara!

Tapi si pembokong sungkan menyerah mentah-mentah. Sekali lagi, ia melepaskan tiga buah Kim-chie-piauw, sebuah menyambar ke badan si nona, vang dua melesat ke arah palang tiang layar.

Ouw Hui mengetahui, bahwa sekali ini, Wan Cie Ie tak akan dapat menolong diri lagi. Dengan perasaan mendongkol terhadap si pembokong yang kejam, buru-buru ia melepaskan tiga batang piauw. Berkat tenaga dalamnya yang sangat besar, mes kipun Ouw Hui melepaskannya lebih belakang, tiga piauwnya bisa menyusul senjata penyerang gelap" Itu dan di lain saat, keenam piauw itu sudah kebentrok di tengah udara dan segera jatuh meluruk ke dalam air.

Wan Cie Ie mengerti, bahwa barusan jiwanya tergantung pada selembar rambut. Jantungnya me-mukul keras dan keringat dingin mengucur di dahi-nya. Baru saja ia ingin berbangkit, mendadak Ouw Hui berteriak sembari melompat ke atas perahu. Berbareng dengan terdengarnya bunyi "bletok, kraak", palang tiang layar yang dicantel kaki Wan Cie Ie, telah patah dan si nona bersama-sama de¬ngan palang itu, melayang jatuh ke atas air. Dengan kepala di bawah kaki di atas, Wan Cie Ie me¬ngetahui, siapa yang membokong dan siapa yang sudah menolong padanya. Tapi siapa yang sudah mematahkan tiang layar, ia tak dapat melihatnya. Tapi ia tidak jatuh sendiri saja. Tiang layar itu juga patah dan tubuh Ya Kit turut ambruk ke bawah.

Bagaimana bisa terjadi begitu?

Ternyata, sesudah lengan kirinya ditotok, Ya Kit masih dapat menggunakan tangan kanannya. Dengan sekali mengerahkan tenaga dalamnya, ia berhasil meloloskan tangan kanan itu, yang dililit cambuk lawannya. Dengan girang, ia mengempos semangatnya dan mengumpulkan seluruh tenaga-nya di telapak tangan kanan itu yang lalu digunakan untuk menghantam palang tiang layar itu. Palang itu menjadi patah dan si nona lantas saja jatuh ke bawah.

Pada saat itulah, sembari berteriak, Ouw Hui lompat ke atas perahu. Ia mengerahkan tenaga dalamnya dan membentur tiang layar dengan pung-gungnya. Tapi tiang yang besar itu hanya bergoyang-goyang beberapa kali. Ouw Hui bingung. Ia me-

ngerahkan seluruh tenaganya dan membentur pula sekuat-kuatnya. Kali ini ia berhasil, tiang itu patah. Sembari menahan napas, semua orang meng-awasi kedua lawan itu yang tengah melayang jatuh. Bahaya yang mengancam si nona belum habis sam-pai di situ. Ia jatuh lebih dulu, disusul oleh tiang layar. Jika tiang itu menimpa badannya, ia bisa binasa seketika. Buru-buru Ouw Hui mengambil tambang penarik perahu yang terletak di kepala perahu. "Sambut!" ia berteriak sembari melontar-kan tambang itu kepada Wan Cie Ie.

Sedang badannya melayang di tengah udara, hati si nona bukan main bingungnya. Benar ia bisa berenang dan tak akan mati di air, tapi ia merasa malu sekali jika mesti kecebur dan menjadi basah kuyup. Demikianlah, ia segera menjambret tambang itu dengan girang. Ouw Hui menggentak dan di lain saat, Wan Cie Ie sudah hinggap di atas perahu!

Hampir berbareng dengan turunnya di atas geladak, terdengar bunyi "Jubyar" dan air sungai muncrat ke empat penjuru. Itulah bunyi jatuhnya Ya Kit bersama-sama dengan tiang layar. Sembari berteriak keras, murid-murid Kiu-liong-pay terjun ke air untuk menolong guru mereka.

Di lain pihak, sembari tertawa manis Wan Cie Ie berkata: "Ouw Toako, terima kasih banyak untuk

pertolonganmu!"

Ouw Hui juga tertawa. "Nona," katanya. "Aku she Ouw. Huruf 'Ouw' terdiri dari tiga huruf 'Goat, Sip dan Kouw' (bulan, sepuluh dan mulut). Bu-kankah itu berarti, bahwa setiap bulan aku bakal dibacok sepuluh kali?"

Si nona tertawa geli, ia sekarang mengetahui,

bahwa pembicaraannya dengan Ya Kit sudah di-dengar pemuda itu. "Masih untung," katanya. "Da-lam namamu terdapat huruf 'Hui' (tidak). Karena adanya huruf itu, segala bencana akan berubah menjadi keselamatan."

"Terima kasih, terima kasih banyak untuk kata-katamu yang berharga itu," kata Ouw Hui sembari tertawa geli.

Pertemuan itu benar-benar menggirangkan hati Wan Cie Ie, terlebih pula karena pemuda itu sudah menolong jiwanya. Maka itu, untuk memperbaiki perselisihan mereka, ia segera berkata pula: "Huruf 'Hui' dengan sendirinya berarti 'Bun-cay-hui-jian' (lemah lembut, indah sekali). Jika huruf 'Hui' (ti¬dak) ditambah huruf 'Co' (rumput), kita memper-oleh huruf 'Hui' (harum). Sebagaimana kau tahu, pada sebuah syair kuno yang mempunyai bagian sebagai berikut: 'Hong-hui-hui-sie-boan-tong' (Ke-haruman yang semerbak memenuhi seluruh ruang-an). Jika huruf 'Hui' (merah). Kata orang: 'Ie-hui-co-cie' (bajunya merah ungu, warna ini di jaman dulu hanya boleh dipakai pembesar negeri)."

"Aduh!" kata Ouw Hui sembari meleletkan li-dah. "Kalau begitu, kau sekarang mengangkat aku menjadi seorang pembesar tinggi. Hebat!"

Demikianlah kedua orang muda itu bersenda gurau sembari tertawa-tawa, seolah-olah di situ tidak terdapat manusia lain.

Sementara itu, dengan suara ribut, Ya Kit sudah diangkat naik ke darat. Ia tak bisa berenang dan sudah minum banyak sekali air. Mungkin karena gusarnya, seketika itu ia pingsan dan mukanya pucat seperti kertas. "Ah! Jika dia mati, urusan ini bisa

menjadi besar," pikir si nona, yang lantas saja ber-kata dengan suara perlahan: "Ouw Toako, mari kita berangkat. Sudahlah, aku tak mau menjadi Ciang-bunjin Kiu-liong-pay." la melompat ke darat dan mengambil pecutnya yang masih melibat tiang layar. Murid-murid Kiu-liong-pay rata-rata sudah naik darah. Begitu si nona mendarat, enam tujuh orang lantas menyerangnya dengan cambuk masing-masing. Dengan sekali menyampok, Wan Cie Ie sudah berhasil menangkis semua serangan itu. Sem-bari meloncat ke luar dari gelanggang, si nona melirik Ya Kit yang rebah tanpa berkutik, entah mati, entah hidup.

Sementara itu, Ouw Hui sudah melompat ke atas punggung kudanya dan dengan menuntun si putih, ia berseru: "Sudahlah! Ciangbunjin Kiu-liong-pay adalah kedudukan sial."

"Baiklah," kata Wan Cie Ie sembari meloncat ke punggung si putih.

Murid-murid Kiu-liong-pay berteriak-teriak dan coba merintangi keberangkatan mereka. Sesaat itu, dua orang yang bersenjata Kiu-ciat-pian sudah menyabet kaki si putih. Wan Cie Ie memutarkan badan dan memapaki serangan itu dengan cam-buknya. Begitu kebentrok, kedua pian itu sudah dilibat erat-erat oleh cambuk si nona, yang lantas saja mengedut les dan si putih sudah segera kabur. Sesaat itu juga, kedua orang itu jatuh terguling dan terseret-seret. Dalam kaget dan bingungnya, me¬reka tak ingat untuk melepaskan senjata mereka yang dililit pecut Wan Cie Ie.

Sesudah kudanya lari belasan tombak, dengan perasaan geli si nona menahan tunggangannya. Ke-

dua orang itu lantas bangun dengan penuh luka dan pakaian robek. "Eh," kata si nona sembari tertawa. "Apakah pianmu senjata mustika? Kenapa kau tak mau melepaskannya?" Tanpa menunggu jawaban, ia menendang perut si putih yang lantas saja kabur seperti terbang. Kedua murid Kiu-liong-pay itu sa-dar dan buru-buru melepaskan senjata mereka. Sayup-sayup mereka mendengar suara tertawanya Wan Cie Ie yang lari berendeng dengan Ouw Hui.

Murid-murid Kiu-liong-pay hanya bisa meng-awasi kaburnya kedua musuh itu tanpa bisa berbuat suatu apa. Mereka bisa mencaci sepuas hati, tetapi apa gunanya. Sementara itu, perlahan-lahan Ya Kit sadar dari pingsannya. Semua muridnya lantas me-ngerumuninya dan menanyakan keselamatannya.

Sesudah lari jauh, baru Wan Cie Ie melem-parkan kedua Kiu-ciat-pian itu yang terbawa pe¬cutnya. Ia melirik Ouw Hui yang mengenakan pa¬kaian petani, sehingga kelihatan tolol sekali. Hati-nya merasa geli tercampur berterima kasih, karena tanpa pertolongan pemuda itu, mungkin sekali ia sudah harus membuang jiwa di Ek-kee-wan.

Sesudah berjalan beberapa jauh, Ouw Hui men-dadak menegur: "Nona, tahukah kau, berapa ba-nyak jumlah cabang atau partai dalam Rimba Per-silatan di kolong langit?"

Tidak," jawabnya sembari mesem. "Dan kau? Apakah kau tahu?"

Ouw Hui menggelengkan kepalanya. "Jika aku tahu, tak perlu aku menanya kepadamu," sahutnya. "Sekarang kau sudah merebut kedudukan Ciang¬bunjin dari Wie-to-bun, Pat-sian-kiam dan Kiu-liong-pay. Sampai kapan kau baru puas?"

Si nona tertawa geli. "Biarpun aku sudah me-rubuhkan Ya Kit, murid-muridnya masih belum takluk," katanya. "Maka itu, tak dapat dikatakan, bahwa aku sudah berhasil merebut kedudukan Ciangbunjin dari Kiu-liong-pay. Mengenai partai-partai besar, seperti Thay-kek, Siauwlim, Butong dan beberapa partai lain, aku tentu tak berani melanggarnya. Jika aku bisa merebut lagi Ciangbun sepuluh partai kecil, rasanya cukuplah."

"Aduh!" kata Ouw Hui sembari tertawa. "Ciong-ciang-bun (pemimpin besar) dari tiga belas partai! Hebat benar kedengarannya!"

"Ouw Toako," kata Wan Cie le. "Kau memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Kenapa kau tak mau coba merebut beberapa kedudukan Ciangbun? Di sepanjang jalan, kita bergilir, kau merebut yang satu, aku merampas yang lain. Setibanya di Pakkhia, dengan keren kita sama-sama bisa menghadiri per-temuan yang diselenggarakan Hok Kongcu, aku sebagai Ciong-ciangbun dari tiga belas partai dan kau pun sebagai Ciong-ciangbun dari tiga belas partai lainnya. Bukankah bagus sekali?"

Ouw Hui menggeleng-gelengkan kepalanya be¬berapa kali. "Tidak," katanya. "Aku tak mempunyai nyali sebesar kau dan juga tidak mempunyai kepan-daian setinggi kepandaianmu. Bisa-bisa, bukannya berhasil, sebaliknya aku didupak masuk ke dalam sungai dengan pukulan Lu-tong-pin-tui-kauw (Lu Tong Pin mendupak anjing)."

Si nona tertawa terpingkal-pingkal. "Ouw Toa¬ko," katanya sembari menyoja. "Siauw-moay (adik) meminta maaf."

"Ciong-ciangbun," kata Ouw Hui sembari mem-

balas memberi hormat. "Aku yang rendah tak berani menerima kehormatan itu."

Melihat sikap dan tindak tanduk Ouw Hui yang simpatik, Wan Cie le jadi semakin senang. "Tak heran, bahwa si bocah Tio Poan San memuji kau," katanya sembari mesem.

Ouw Hui yang memang sangat ingin tahu ten-tang kakaknya, lantas saja menanya: "Bagaimana dengan Tio Toako? Apa yang dikatakannya ke-padamu?"

"Jika kau bisa mengejar aku, aku akan men-ceritakan," jawab Wan Cie le sembari menendang perut si putih.

Ouw Hui mengerti, bahwa sebegitu lekas si putih kabur, ia tak akan dapat menyusul lagi. Maka itu, baru saja si putih akan mementang kaki, ia sudah mengenjot badannya, yang lantas saja melesat dan hingga di punggung si putih, di belakang si nona. Di lain saat, si putih sudah kabur keras, diikuti kuda Ouw Hui dari belakang.

Sembari mengaburkan kudanya, Wan Cie le merasakan mukanya panas. Mulutnya sudah ter-buka untuk bicara, tapi ia mengurungkan niatnya. Tiba-tiba terdengar menggelegarnya guntur dan di kejauhan, awan hitam menutupi sebagian langit. Si nona menggentak les untuk mempercepat lari kuda¬nya.

Tak lama kemudian awan mendung sudah me-luas dan hampir sampai di atas mereka. Di se¬panjang jalan tidak terdapat rumah penduduk, tapi jauh-jauh di suatu lembah, mereka melihat tembok yang berwarna kuning. Wan Cie le mengaburkan tunggangannya secepat mungkin dan segera men-

dapat kenyataan, bahwa tembok itu adalah tembok kuil. Di depan kuil itu digantungkan papan dengan tulisan: Siang Hui Sin-sie (Kuil Siang Hui). Rumah berhala itu sudah banyak rusak, sudah diterlantar-

kan lama.

Ouw Hui melompat turun, ia membuka pintu kuil itu dan menuntun si putih masuk ke dalam. Disaat itu, kilat berkelebat, dibarengi dengan ge-muruh guntur yang menggelegar. Meskipun ber-kepandaian tinggi, Wan Cie Ie terkesiap juga. Dari ruangan depan, Ouw Hui masuk ke ruangan be-lakang, tapi ia tak menemukan seorang manusia jua. Ia kembali ke ruangan depan seraya berkata: "Ruangan belakang lebih bersih." Sehabis berkata begitu, ia mengambil rumput kering yang terdapat di situ dan menyapu sebagian lantai di ruangan belakang itu.

Si nona tak mengeluarkan sepatah kata. Tadi, mereka bersenda gurau sembari tertawa-tawa, tapi sesudah berdua menunggang seekor kuda, Wan Cie Ie kelihatan agak kikuk dan kemalu-maluan.

Sesudah lantai itu bersih, mereka lalu duduk berendeng dengan mulut tertutup rapat-rapat.

Beberapa saat kemudian, secara kebetulan me¬reka sama-sama menengok, sehingga dua pasang mata mereka jadi kebentrok. Kedua-duanya mele-ngos dengan perasaan jengah.

"Bagaimana dengan keadaan Tio Samko?" ter-dengar Ouw Hui memecahkan kesunyian.

"Baik!" jawabnya. "Dia belum pernah tak baik." "Di mana ia sekarang?" tanya Ouw Hui pula. "Aku sungguh ingin menjumpainya."

"Pergi ke Huikiang," kata si nona. "Jika kau tak

mati dan dia masih hidup, pasti bisa bertemu."

Ouw Hui tertawa. "Apakah kau datang dari Huikiang?" ia menanya lagi.

Wan Cie Ie menyengir. "Benar," sahutnya. "Apakah romanku menunjukkan tanda-tanda pen-duduk Huikiang?"

"Tak tahu," kata Ouw Hui. "Aku hanya me-ngetahui, bahwa Huikiang adalah suatu daerah gu-run pasir. Tak dinyana, di tempat yang tandus itu bisa muncul seorang gadis yang begini cantik!"

"Fui!" bentak Wan Cie Ie dengan wajah ke-merah-merahan.

Baru saja perkataan itu ke luar dari mulutnya, Ouw Hui sudah merasa menyesal. Ia merasa, bahwa di suatu tempat yang begitu sunyi, tidak pantas ia mengeluarkan kata-kata yang agak kurang ajar. Maka itu, ia segera beralih membicarakan soal lain. "Me-ngapa Hok Kongcu menghimpunkan para Ciang-bunjin?" tanyanya. "Bagaimana pendapatmu?"

Mendengar pertanyaan yang sungguh-sungguh itu tanpa mengandung nada bercanda, si nona me-lirik seraya menyahut. "Dia sebangsa manusia mahal yang pekerjaannya sehari-hari hanya makan tidur. Mungkin sekali ia mengumpulkan para ahli silat untuk menghibur hatinya yang pepat, seperti orang mengadu jago atau jangkrik. Hanya, sungguh sa-yang, bahwa banyak sekali ahli-ahli silat yang sudah kena dipermainkannya."

Ouw Hui menepuk lututnya sendiri keras-ke-ras. "Benar perkataanmu!" ia berteriak. "Aku sung¬guh merasa takluk. Baru sekarang aku mengetahui, bahwa sepak terjangmu saban-saban merebut ke-dudukan Ciangbunjin, adalah untuk mengacau mak-

sud manusia mahal itu."

Wan Cie Ie tertawa dengan perasaan senang sekali. "Paling benar kita berdua bekerja sama un-tuk merebut sebanyak mungkin kedudukan Ciang-bunjin," katanya. "Dengan demikian, rencana Hok Kongcu akan menjadi kacau balau dan gagal. Se-sudah itu, kita pergi ke Pakkhia untuk mengacau sepuas hati kita, supaya manusia itu tak berani memandang rendah lagi ahli-ahli silat di kolong langit."

"Bagus!" seru Ouw Hui. "Nona, kau maju di depan dan Ouw Hui, si kecil, akan memberi segala bantuan yang dia bisa."

"Jangan begitu sungkan," kata si nona. "Ke-pandaianmu jauh lebih tinggi daripada aku."

Kedua orang muda itu terus bercakap-cakap dengan gembira. Hujan sudah turun, bahkan semakin lama jadi semakin besar. Di belakang kuil itu terdapat jurang yang bergemuruh karena turunnya air hujan. Rumah berhala itu yang sudah lama tak pernah dibetulkan, bocor di sana sini, sehingga kedua orang muda itu terpaksa mepet di suatu pojok.

Dengan cepat, siang sudah berganti malam. Melihat, bahwa mereka tak mungkin meneruskan perjalanan, Ouw Hui segera pergi ke dapur dan mengambil kayu-kayu kering yang lalu dinyalakan-nya. "Hujan tak mau berhenti," katanya sembari tertawa.

"Apa boleh buat, kita mesti menginap di sini."

Wajah Wan Cie Ie lantas saja berubah merah dan di bawah sinar perapian, ia kelihatan lebih cantik lagi. Dari Huikiang ia telah melalui per-

jalanan laksaan li dan tak jarang mesti tidur di alam terbuka.

Akan tetapi, bermalam di rumah berhala ber-sama seorang laki-laki, adalah suatu pengalaman yang belum pernah dialaminya.

Ouw Hui lalu mengambil jerami yang kebetulan terdapat di situ dan mengaturnya sebagian di atas meja sembahyang dan sebagian pula di lantai. "Lu Tong Pin (salah satu dari delapan dewa) tidur di atas, si anjing yang kecebur di air tidur di bawah," katanya sembari tertawa. Sembari berkata begitu, ia merebahkan diri di atas jerami di lantai itu, membalikkan badan menghadapi tembok dan se¬gera meramkan kedua matanya.

Diam-diam Wan Cie Ie memuji pemuda itu yang ternyata adalah seorang ksatria tulen. "Anjing basah kuyup," katanya. "Sampai bertemu lagi besok pagi." Ia melompat ke atas meja dan merebahkan diri juga.

Ouw Hui tak bisa lantas pulas, kupingnya men-dengarkan bunyi hujan di atas genteng. Kira-kira tengah malam, selagi ia layap-layap, di kejauhan mendadak terdengar bunyi tindakan kuda. Wan Cie Ie lantas saja bangun berduduk dan Ouw Hui segera berkata dengan suara perlahan: "Lu Tong Pin. Ada orang!"

Tindakan kuda itu yang bercampur dengan bu¬nyi roda-roda kereta, semakin lama jadi semakin dekat. "Dari lohor, hujan turun terus-menerus," pikir Ouw Hui. "Siapakah orangnya, yang begitu kesusu?"

Beberapa saat kemudian, kuda dan kereta itu berhenti di depan kuil. "Mereka akan masuk!" kata si nona sembari meloncat turun untuk kemudian duduk di samping Ouw Hui.

"Brak!" pintu terbuka. Kuda dan kereta itu agaknya dimasukkan ke ruangan depan dan di lain saat, dua tukang kereta masuk ke ruangan dalam. "Di sini ada orang, kita di luar saja," kata seorang antaranya setelah melihat Ouw Hui dan Cie le. Mereka lalu ke luar lagi ke ruangan depan yang sekarang sudah menjadi ramai sekali. Dari suara percakapan orang-orang itu, dapat ditaksir, bahwa yang berada di ruangan depan itu tidak kurang dari dua puluh orang. Mereka membelah kayu, menyala-kan api dan menanak nasi. Mereka berbicara dalam dialek Kwitang. Sesudah lewat berapa lama, suara mereka mulai menjadi reda.

"Tak usah menggelar tikar," demikian terdengar suara seseorang. "Sesudah makan, tak perduli hujan atau tidak, kita akan meneruskan perjalanan."

Mendengar suara itu, Ouw Hui terkejut, sedang wajah Wan Cie le, yang diterangi sinar perapian, juga agak berubah.

"Looyacu (bapak) terlalu berhati-hati," kata seorang lain. "Hujan-hujan begini...." Perkataan se-lanjutnya tak dapat didengar pula, karena sang hujan tiba-tiba menjadi sangat besar serta deras.

"Keadaan begini justru cocok untuk menerus¬kan perjalanan," kata yang pertama. "Kita tak boleh mengorbankan jiwa seluruh keluarga kita, karena temaha mengaso untuk beberapa jam. Jalan ini terlalu dekat dengan jalan raya dan kita harus menjaga, supaya kita tidak berpapasan dengan bangsat kecil itu." Suara orang tersebut nyaring sekali, sehingga walaupun hujan turun seperti di-tuang-tuang, perkataannya bisa terdengar nyata.

Mendengar sampai di situ, Ouw Hui tak ber-sangsi-sangsi lagi. la girang dan berkata dalam hati-nya: "Benar-benar dia seperti dituntun malaikat."

"Lu Tong Pin," ia berbisik. "Di luar terdapat seorang Ciangbun. Biarlah, kali ini aku yang me-rebutnya."

Si nona tak menyahut, ia hanya menggerendeng. Melihat wajah Wan Cie Ie yang tidak gembira, Ouw Hui merasa agak heran, tapi ia pun tak berkata suatu

apa.

Sesudah meringkaskan pakaian, ia menyelipkan golok di pinggangnya dan berjalan ke luar.

Di sebelah timur, tujuh delapan orang sedang duduk di atas lantai dan seorang antaranya bertubuh tinggi besar. Dengan melihat bentuk tubuhnya saja, Ouw Hui sudah mengenali, bahwa ia itu adalah Lam-pa-thian Hong Jin Eng. Sembari menyender di toya emasnya, jago Hud-san-tin itu mendongak mengawasi langit, mungkin ia sedang memikirkan nasibnya.

Di sebelah barat, beberapa orang lagi menanak nasi dengan sebuah kuali besar. Ouw Hui melompat dan dengan sekali menendang, kuali itu dibuatnya terpental jauh, nasinya tumpah berarakan.

Semua orang terkejut, terutama Hong Jin Eng dan puteranya yang lantas saja mengenali siapa yang

datang itu.

Begitu melihat muka Hong Jin Eng yang putih montok, di depan mata Ouw Hui segera terbayang peristiwa mengenaskan di Pak-tee-bio itu. "Hong Loo¬ya," katanya dengan suara gemetar karena menahan nafsu. "Di sini adalah Siang Hui-bio. Sungguh ke-betulan, lagi-lagi kita bertemu di rumah berhala."

Sebagaimana diketahui, Sesudah membinasa-kan Ciong A-sie serumah tangga, Hong Jin Eng segera memusnahkan harta bendanya dan terus kabur entah ke mana. Dengan mengambil jalan kecil, siang malam dia kabur terus-menerus. Malam itu, jika tidak turun hujan besar, dia tentu tak akan bertemu Ouw Hui di rumah berhala tersebut.

Melihat Ouw Hui, jago Hud-san-tin itu lantas saja putus harapan, ia merasa jiwanya akan me-layang di dalam Siang Hui-bio ini. Tapi sebagai jago tulen, ia tetap bersikap tenang. Perlahan-lahan ia berdiri, menggapai puteranya dan berbicara bisik-bisik. Agaknya ia sedang meninggalkan pesan ter-akhirnya.

Ouw Hui berdiri di tengah pintu, sembari me-lintangkan goloknya. "Hong Looya, tak perlu kau memesan apa-apa juga," katanya sembari tertawa. "Kau sudah membasmi Ciong A-sie sekeluarga, aku pun akan membinasakan Hong Looya sekeluarga. Hong Looya sendiri akan mendapat giliran paling belakang, supaya tak usah memikirkan bagaimana akhirnya anakmu sendiri."

Perkataan itu adalah bagaikan air es yang di-siramkan ke tulang punggung Hong Jin Eng. Sedikit pun ia tak menduga, bahwa Ouw Hui yang masih begitu muda, bisa mempunyai pikiran yang begitu kejam. Ia mengebaskan toyanya dan membentak: "Jangan rewel! Seorang laki-laki, berani berbuat, berani menanggung akibatnya. Jika kau mengingin-kan jiwaku, ambillah!" Ia meloncat dan menghan-tam kepala Ouw Hui, sedang tangan kirinya me-ngebas ke belakang, sebagai tanda supaya putera¬nya lantas melarikan diri.

Tapi Hong It Hoa yang mengetahui, bahwa ayahnya bukan tandingan musuh, tak berkisar setindakpun juga. Sebaliknya dari kabur, ia meloncat maju dengan golok terhunus, sembari berteriak: "Hayo, kepung bangsat kecil ini!"

Semua pengikut itu adalah orang-orang keper-cayaan Hong Jin Eng dan scbagian besar mengerti ilmu silat. Hampir berbareng dengan teriakan It Hoa, delapan sembilan orang sudah maju meng-urung Ouw Hui.

Hong Jin Eng mengerutkan alisnya dengan pe-rasaan mendeluh karena puteranya tak mau me-nurut perintahnya. Jika dengan tenaga orang ba-nyak, ia ungkulan merubuhkan Ouw Hui, ia tentu tak akan memusnahkan hartanya dan melarikan diri. Tapi, kenyataan itu sudah tak dapat diubahnya pula.

Baginya hanya ada satu jalan, yaitu bertempur mati-matian. Tujuan satu-satunya adalah binasa bersamasama dengan musuhnya. Dengan adanya keputusan itu, hatinya berbalik mantap dan ia se gera menyapu pinggang Ouw Hui dengan toyanya.

Di lain pihak, sebelum bergebrak, tiba-tiba Ouw Hui mendapat pikiran lain. "Kedosaan manusia ini terlalu besar," katanya di dalam hati. "Jika dengan sekali membacok aku mengambil jiwanya, hu-kumannya terlalu enteng." Memikir begitu, ia se-gera melemparkan goloknya ke atas dan dengan sikap memandang rendah, ia mengulurkan tangan-nya untuk mcnangkap toya musuh. Bukan main gusarnya Hong Jin Eng, akan tetapi, karena me¬ngetahui, bahwa musuhnya benar-benar lihay, ia tidak berani berlaku ceroboh dan buru-buru menarik pulang senjatanya.

Sesaat itu, mendadak terdengar suara "tak!" di wuwungan. Ternyata, suara itu diterbitkan golok Ouw Hui, di saat menancapnya di balok wuwungan.

Pada detik itulah, sembari tertawa nyaring, Ouw Hui menyerbu sembari menggerakkan kedua ta-ngannya bagaikan kilat. Dalam sekejap, delapan sembilan kaki tangan Hong Jin Eng sudah ditotok jalan darahnya dan tak dapat bergerak lagi. Dengan demikian, dalam gelanggang itu hanya ketinggalan tiga orang, yaitu Hong Jin Eng bersama puteranya dan Ouw Hui sendiri.

Lam-pa-thian menggertak gigi, wajahnya pun pucat. "Hoa-jie!" ia membentak. "Kau masih belum mau melarikan diri... Apakah benar-benar kau ingin memutuskan keturunan keluarga Hong?" It Hoa merasa sangsi bercampur bingung, tak dapat ia mengambil keputusan apa yang harus dilakukannya. Selagi ia bersangsi, Ouw Hui sudah meloncat ke belakangnya. Hong Jin Eng terkesiap, sembari ber¬teriak dan melompat, ia menghantam dengan toya¬nya. Pada detik terakhir, Ouw Hui menunduk dan menerobos di bawah ketiak It Hoa, sambil men-dorong pundak pemuda itu. It Hoa menjadi limbung dan badannya kejengkang, memapakai toya ayah¬nya! Sekali lagi semangat Hong Jin Eng terbang. Masih untung, berkat latihannya selama puluhan tahun, ia keburu juga menahan toyanya yang ham-pir-hampir saja memakan jiwa puteranya sendiri.

Melihat muka Lam-pa-thian yang pucat pias akibat kekagetan tadi, Ouw Hui segera mengambil keputusan untuk mengganggu manusia kejam itu dengan siasat tersebut. Sebelum Hong It Hoa bisa

berdiri tetap, ia menyambar lehernya dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya lalu diangkat untuk menepuk batok kepala pemuda itu. Sesudah me-nyaksikan, bagaimana Ouw Hui menghantam putus leher kura-kura batu di Pak-tee-bio, Hong Jin Eng mengetahui, bahwa sekali ditepuk, puteranya tentu akan binasa. Dengan sekuat tenaganya, ia mem-babat pinggang Ouw Hui dengan toyanya untuk memaksa pemuda itu menangkis senjatanya dan urung mencabut jiwa puteranya.

Tapi Ouw Hui yang memang belum mau mem-binasakan musuhnya, sengaja memperlambat gerak-an tangan kirinya. Pada saat toya Hong Jin Eng hampir mengenai pinggangnya, secara luar biasa cepatnya, ia menggentak leher Hong It Hoa untuk memapaki toya emas itu! Untuk ketiga kalinya Hong Jin Eng mengeluarkan keringat dingin. Tapi kali itu pun, ia masih keburu mengubah gerakan toyanya yang lalu disabetkan ke kaki Ouw Hui. "Bagus!" seru Ouw Hui sambil mendorong pundak It Hoa untuk menangkis.

Demikianlah, tubuh Hong It Hoa dijadikan semacam tameng yang dibulang-balingkan kian ke mari untuk menangkis setiap serangan Hong Jin Eng. Jago Hud-san-tin itu merasakan dadanya se-perti mau meledak, tapi ia tak berdaya. Akhir-akhirnya, ia jadi kewalahan. Tapi setiap kali ia memperlambat gerakannya untuk menghentikan pertempuran, Ouw Hui mengangkat tangan untuk menghantam bagian badan It Hoa yang berbahaya, sehingga mau tak mau, ia terpaksa menyerang lagi untuk menolongnya, dan begitu lekas ia menyerang, Ouw Hui mengangkat tubuh It Hoa untuk me-

nangkis.

Sesudah lewat beberapa gebrakan lagi, tiba-tiba Hong Jin Eng meloncat mundur sambil melem-parkan toyanya yang jatuh bergedubrakan di atas lantai dan menghancurkan beberapa ubin. Dengan wajah pucat seperti kertas, ia berdiri bagaikan pa-tung tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Hong Jin Eng!" bentak Ouw Hui. "kau sayang anak, ya? Tapi bagaimana dengan anak orang lain?"

Tapi Hong Jin Eng pun bukan bangsa cecurut. "Jangan rewel!" balasnya membentak. "Aku, si orang she Hong, pernah menjagoi di Lenglam dan telah mendirikan partai Ngo-houw-pay. Selama hi-dupku, memang aku sudah membunuh banyak se¬kali manusia. Anakku juga pernah mengambil jiwa tiga puluh atau empat puluh orang. Maka itu, jika hari ini kami ayah dan anak binasa dalam tanganmu, sedikit pun kami tidak merasa menyesal. Hayo! Lekas turun tangan! Mau tunggu sampai kapan lagi?"

"Kau saja bekerja sendiri!" bentak Ouw Hui. "Guna apa menyusahkan tuan kecilmu?"

Hong Jin Eng tertawa terbahak-bahak. Ia men-jumput toyanya yang lalu dikemplangkan ke ke-palanya.

Tapi, sebelum toya itu menghancurkan batok kepalanya, sekonyong-konyong berkelebat sesosok sinar putih dan ujung sebuah cambuk sudah melibat serta menahan toya itu. Cambuk itu adalah cambuk Wan Cie Ie.

Si nona membetot, tapi ia tak dapat melepaskan toya itu yang dipegang keras-keras oleh Lam-pa-thian. Dengan meminjam tenaga betotan, di lain

saat tubuh Wan Cie le sudah melesat ke tengah udara dan hingga di dalam gelanggang pertem-puran. Begitu melihat si nona, Hong Jin Eng me-ngeluarkan seruan "Ah!" dan paras mukanya ber-ubah girang. Ouw Hui menengok dan karena te-ngokan itu, ia tak melihat perubahan paras Lam-

pa-thian.

"Ouw Toako," kata si nona sembari tertawa. "Kita hanya merebut Ciangbun, bukan merampas jiwa manusia."

"Nona, kau tak tahu, bahwa manusia ini besar sekali dosanya," kata Ouw Hui dengan geregetan. "Dia tak dapat dipersamakan dengan Ciangbunjin

lain!"

Wan Cie le menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jika Suhu mengetahui, bahwa aku merebut Ciang¬bun, paling banyak ia tertawa," katanya. "Tapi jika aku membunuh orang, ia akan menjadi gusar sekali."

"Manusia ini akan dibunuh olehku," kata Ouw Hui. "Dengan nona, hal ini tak ada sangkut paut-

nya."

"Salah!" bantah Wan Cie le. "Urusan merebut Ciangbun, asal mulanya datang dari aku. Orang ini adalah Ciangbunjin dari Ngo-houw-pay. Maka itu, tak dapat aku mengatakan, tak ada sangkut pautnya dengan diriku."

"Nona," kata Ouw Hui dengan suara jengkel. "Dari Kwitang aku mengejar ia sampai di Ouwlam. Yang dikejar olehku adalah manusia itu. Biar ba-gaimanapun juga, Ciangbun atau bukan Ciangbun, had ini aku mesti mengambil jiwanya."

"Ouw Toako," kata Wan Cie le. "Sekarang aku mau bicara sungguh-sungguh dan kuharap kau suka

mendengarnya." Ouw Hui manggut-manggutkan ke¬palanya dan si nona lalu berkata lagi: "Bukankah kau tak tahu, siapa guruku?"

"Aku tak tahu," jawabnya. "Dilihat dari kepan-daian nona, gurumu tentulah juga seorang Tayhiap (pendekar) dalam dunia Kang-ouw. Biasakah aku mengetahui she dan nama gurumu yang mulia?"

"Di belakang hari, kau tentu akan mengetahui she dan namanya," kata pula Wan Cie le sembari tertawa. "Sekarang aku hanya ingin memberitahu-kan kau, bahwa pada waktu mau berangkat dari Huikiang, guruku telah berkata begini: 'Segala se-pak terjangmu di daerah Tionggoan aku tak akan memperdulikannya. Tapi jika kau membunuh orang, membunuh seorang saja, dengan segera aku akan mengambil jiwamu.' Guruku adalah seorang yang bicara satu tentu satu, dua pasti dua, tak akan ia mengubah lagi perkataannya."

"Apakah manusia yang jahat kejam sepergi ia juga tak boleh dibinasakan?" tanya Ouw Hui dengan suara penasran.

"Benar!" jawab si nona, "Waktu itu, aku juga telah mengatakan begitu kepada guruku. Tapi ia berkata begini: 'Manusia jahat memang pantas di¬bunuh. Akan tetapi, kau masih begitu muda, ba-gaimana kau bisa membedakan siapa jahat dan siapa baik? Dalam dunia ini, ada manusia yang tertawa haha-hihi, tapi hatinya kejam seperti harimau, ada juga orang yang kelihatannya kejam, tapi hatinya sangat mulia. Sekali binasa, seorang manusia tak akan bisa hidup lagi. Maka itu, sekali kesalahan tangan, penyesalan akan dirasakan terus-menerus seumur hidup."

"Perkataanmu memang tidak salah," kata Ouw Hui. "Tapi sebagaimana kau tahu, manusia itu sudah mengakui, bahwa dia telah membinasakan orang yang tak dapat dihitung berapa jumlahnya. Bahwa di Hud-san-tin dia telah membinasakan rakyat yang tak berdosa, telah disaksikan dengan kedua mataku sendiri. Maka itu, dalam hal binatang she Hong itu, tak bisa aku bertindak salah."

"Ya," kata Wan Cie Ie sambil menghela napas. "Aku tak bisa berbuat lain karena adanya perintah Suhu. Ouw Toako, biarlah, dengan memandang mukaku, kau sudi mengampuninya."

Mendengar permohonan yang sangat itu, hati Ouw Hui jadi tergerak juga. Akan tetapi, di lain saat, di depan matanya kembali terbayang peman-dangan mengenaskan disaat kebinasaan keluarga Cong A-sie dan darahnya lantas saja mendidih. "Nona Wan!" ia berteriak. "Urusan di sini, ang-gaplah sebagai tak diketahui olehmu. Harap kau berjalan lebih dulu dan kita akan bertemu pula di

Hengyang."

Wan Cie Ie memberengut dan parasnya lantas berubah gusar. "Ouw Toako," katanya dengan suara mendongkol. "Seumur hidup, belum pernah aku memohon-mohon seperti sekarang. Tapi kau teap menolak. Dengan kau, orang ini tak mempunyai ganjalan pribadi. Kau hanyalah memegang peranan sebagai orang luar yang turun tangan karena me-lihat ketidak adilan. Tapi dia sendiri sudah me-musnahkan harta bendanya dan siang malam kabur seperti dikejar setan. Dia sudah ketakutan setengah mati. Ouw Toako! Dalam dunia ini, seseorang tidak boleh menggencet sesamanya secara keterlaluan.

Dalam urusan apa pun juga, kita haruslah berlaku sedikit longgar."

"Nona Wan!" seru Ouw Hui dengan suara nya-ring. "Apapun yang bakal terjadi, aku mesti mam-puskan manusia jahat ini. Aku akan meminta maaf kepadamu dan bersedia untuk menerima hukuman dari gurumu." Sehabis berkata begitu, ia merangkap kedua tangannya dan menyoja sampai mengenai lantai.

"Brt!" pecut menyambar dan melibat golok Ouw Hui yang menancap di wuwungan. Sehabis mem-betot, si nona melontarkan golok itu di arah Ouw Hui. "Ambillah," katanya. Dengan rasa kagum, Ouw Hui menyambuti senjatanya.

"Ouw Toako," kata Wan Cie Ie. "Jika kau masih ingin membunuh mereka, rubuhkanlah aku terlebih dulu. Sesudah aku rubuh, guruku tak akan marah kepadaku."

"Kalau begitu, kau tentu mempunyai maksud tertentu," kata Ouw Hui dengan suara gusar. "Apa-kah benar-benar gurumu berpendirian begitu ku-kuh?"

Si nona menghela napas dan berkata dengan suara lemah lembut. "Ouw Toako, apakah benar-benar kau sungkan memberi muka kepadaku?"

Disinari cahaya perapian dan dengan kata-kata-nya yang halus merdu, Wan Cie Ie jadi kelihatan terlebih cantik lagi. Tanpa merasa, hati Ouw Hui menjadi lumer.

Tapi kelumeran itu hanya untuk sedetik. Ouw Hui adalah seorang yang sangat cerdas dan semakin keras permohonan si nona, semakin besar kecuri-gaannya. Ia hampir dapat memastikan, bahwa hal

ini mesti terselip hal-hal lain. "Ouw Hui! Ouw Hui!" katanya di dalam hati. "Jika kau kena dibikin mabuk dengan paras cantik dan menyampingkan segala pribudi manusia yang luhur, percuma saja kau hidup di dalam dunia. Ayahmu Ouw It To adalah seorang gagah dalam jamannya sendiri. Ouw Hui! Apa kau tak malu menjadi putera Liaotong Tayhiap Ouw It To?"

Memikir begitu, paras muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. "Kalau begitu, maaflah," kata¬nya sembari menyerang dengan pukulan Toa-sam-pek, goloknya menyabet kepala si nona, tangan kirinya menimpuk ulu hati Hong Jin Eng dengan sepotong perak.

Tadi, ketika Ouw Hui mengawasi padanya de¬ngan sorot mata mencinta, Wan Cie Ie merasa girang. Tapi di luar dugaan, secara mendadak pe-muda itu menyerang, bukan saja menyerang dirinya, tapi juga menimpuk Hong Jin Eng dengan senjata rahasia.

Ketika diserang, Wan Cie Ie berdiri sangat dekat dengan Ouw Hui, sehingga senjata cambuk yang lemas, sukar digunakan untuk menangkis sam-baran golok. Hampir berbareng, si nona mendengar kesiuran senjata rahasia berat ke arah Hong Jin Eng. Pada detik yang sangat genting, satu ingatan berkelebat di otak si nona. "Tak mungkin dia tega mencelakakan aku," pikirnya. Memikir begitu, tan-pa menghiraukan bacokan golok, ia menyabet senjata rahasia dengan pecutnya. "Tak!" uang perak Ouw Hui jatuh di atas lantai.

Serangan Ouw Hui barusan itu adalah serangan yang sudah diperhitungkan dulu. Ia mengetahui,

bahwa ilmu silat Wan Cie Ie tidak berada di sebelah bawahnya. Sekali bertempur, belum tentu ia akan memperoleh kemenangan. Karena begitu, ia mem-buka serangan mendadak ke arah dua jurusan, yaitu goloknya menggertak Wan Cie Ie, sedang tangan kirinya menimpuk Hong Jin Eng dengan senjata rahasia. Waktu itu, dalam sakunya hanya terdapat piauw yang terbuat dari uang tembaga. Karena piauw itu tidak bisa membinasakan orang dengan sekali ditimpukkan, maka ia sudah menggunakan sepotong uang perak yang beratnya lima tail untuk mengambil jiwa Lam-pa-thian.

Ia merasa, bahwa ia pasti akan berhasil, tapi di luar perhitungan, tanpa memperdulikan kesela-matannya sendiri. Wan Cie Ie sudah menolong manusia kejam itu.

Ouw Hui menahan goloknya ketika mata golok itu hanya tinggal terpisah beberapa dim dari kulit kepala Wan Cie Ie.

"Apakah kau edan?" ia membentak.

"Karena terpaksa!" sahutnya sembari menyabet dengan cambuknya. "Sambutlah," katanya pula.

Ouw Hui menangkis sembari melirik Hong Jin Eng yang akan dihajarnya begitu ada kesempatan-nya. Tapi, dengan cambuknya Wan Cie Ie tak mem-beri napas lagi kepada lawannya. Kedua orang muda itu adalah lawan setimpal. Dalam sekejap, mereka sudah bertarung hebat.

Lewat beberapa jurus, pecut si nona mendadak menyambar ke meja sembahyang dan menyabet jatuh sebatang lilin yang sedang menyala. "Hm! Kau ingin memadamkan penerangan, supaya manusia she Hong itu bisa melarikan diri," kata Ouw Hui di

dalam hatinya. Akan tetapi, meskipun mengetahui maksud orang, ia tak dapat mencegahnya.

Dengan hati panas, ia segera menyerang dengan Ouw-keh To-hoat, yaitu ilmu silat golok dari ke-luarga Ouw. "Bagus!" seru si nona sembari meloncat mundur sesudah menangkis serangan itu. Hampir berbareng dengan itu, pecutnya menggulung se-batang kayu bakar yang lalu dilemparkan ke arah Ouw Hui.

Sebagaimana diketahui, sebelum Ouw Hui ke luar, rombongan Hong Jin Eng sedang memasak nasi di sebelah barat ruangan itu. Sesudah kuali nasi ditendang Ouw Hui, kayu bakarnya kira-kira dua puluh batang, masih terus berkobar-kobar. Dengan cepat, Wan Cie Ie mengulangi perbuatannya dan melontarkan potongan-potongan kayu bakar itu ke arah Ouw Hui, yang tidak berani menangkis dengan goloknya karena khawatir lelatu api muncrat ke muka dan pakaiannya. Jalan satu-satunya adalah melompat ke sana sini untuk menyingkir dari sam-baran api. Di antara kegelapan, potongan-potongan kayu itu yang melayang dengan tetap menyala-nyala, memberikan pemandangan yang sangat indah.

Sementara itu, semua pengikuti Hong Jin Eng, seperti murid-muridnya, tukang kereta dan bujang-bujangnya, satu per satu sudah mengeloyor masuk ke ruangan belakang. Orang yang masih berada di dekat gelanggang pertempuran hanyalah Hong Jin Eng dan puteranya. Selama bertempur, karena kha¬watir kedua manusia itu melarikan diri, Ouw Hui selalu berada di dekat pintu kuil.

Beberapa saat kemudian, semua potongan kayu

itu sudah habis dilemparkan dan sebagian besar sudah padam di atas lantai, sehingga ruangan itu jadi semakin gelap.

"Ouw Toako," kata Wan Cie Ie sembari tertawa. "Hari ini, kebetulan kita sudah menjajal tenaga, marilah kita melihat siapa yang lebih unggul." Sem¬bari berkata begitu, ia memecut pundak Ouw Hui dengan suatu pukulan aneh. Buru-buru pemuda itu menyampok dengan senjatanya, tapi sabetan kedua, yang lebih aneh lagi, sudah menyusul. Ouw Hui terkesiap dan untuk menolong diri ia terpaksa ber-gulingan di atas lantai.

"Jangan bingung," kata si nona sembari nyengir. "Aku tak akan melukai kau."

Perkataan itu sudah menyinggung rasa harga diri Ouw Hui. "Apakah kau mengira, aku akan rubuh dalam tanganmu?" katanya di dalam hati. Dengan lantas ia merubah cara bersilatnya dan mengeluarkan pukulan-pukulan simpanannya yang sangat dahsyat.

Sesaat itu, dalam ruangan tersebut hanya ke-tinggalan sepotong kayu yang masih menyala-nyala.

"Ouw Toako," kata si nona. "Ilmu memainkan cambuk ini sangat luar biasa, kau harus berhati-hati." Sehabis berkata begitu, cambuknya menderu-deru dan benar saja, pukulan-pukulannya dahsyat luar biasa.

"Bagus!" seru Ouw Hui sambil menutup seluruh tubuhnya dengan sinar golok. Ia berniat mempe-lajari dulu ilmu pecut itu dan sesudah mengerti bagian-bagiannya yang terpenting, ia baru mau membalas menyerang.

Mendadak terdengar suara "tok!" lelatu api muncrat dan seantero ruangan lantas saja terbenam dalam gelap gulita.

Hujan turun semakin deras dan bunyinya yang merotok di atas genteng bercampur dengan bunyi cambuk Wan Cie Ie. Ouw Hui adalah seorang yang bernyali besar. Tapi bertempur di dalam kegelapan dan dalam suasana yang begitu menyeramkan, jan-tungnya memukul keras.

Sekonyong-konyong, bagaikan arus listrik, sua-tu ingatan masuk ke dalam otaknya. "Aha! tak bisa salah lagi, tentulah dia adanya," katanya di dalam hati. "Di Pak-tee-bio, ketika orang she Hong itu mau membunuh diri, seorang wanita sudah me-nolong dengan timpukan pantek konde. Gerak-gerik wanita itu mirip benar dengan gerak-gerik nona Wan." Memikir begitu, kecurigaannya ter-hadap si nona jadi semakin besar. Karena sesaat perhatiannya terpecah, pecut Wan Cie Ie seko¬nyong-konyong berhasil menggulung goloknya, yang hampir-hampir saja terlepas dari genggaman-

nya.

Buru-buru Ouw Hui mengerahkan tenaga da-lamnya dan membetot keras-keras. Biar bagaimana-pun juga, Wan Cie Ie adalah seorang wanita yang dalam mengadu tenaga, masih kalah setingkat de¬ngan Ouw Hui. Begitu dibetot, ia merasakan le-ngannya kesemutan, sehingga dengan cepat ia me-ngedut cambuknya untuk membuka libatan pada golok Ouw Hui.

Dalam gelap gulita, mereka bertempur dengan hanya mengandalkan ketajaman kuping. Mereka berkelit, menangkis dan menyerang dengan men-dengarkan kesiuran-kesiuran angin dari senjata mereka. "Celaka! Wan Cie Ie seorang saja aku belum mampu merobohkan," pikirnya. "Apalagi jika Hong Jin Eng dan anaknya turut turun tangan." Pada saat itu, Ouw Hui menduga, bahwa Wan Cie Ie dan Hong Jin Eng sudah pasti berteman dan ia sekarang terjeblos ke dalam perangkap mereka.

Sesudah lewat beberapa jurus lagi, dengan ge-regetan Ouw Hui mengirimkan suatu bacokan yang cepat luar biasa. Wan Cie Ie menolong diri dengan menjengkangkan tubuhnya, tapi meskipun terlolos dari bacokan, ia merasakan hawa dingin menyambar mukanya waktu golok itu lewat di ujung hidungnya! Si nona terkesiap, sekarang ia mengetahui, bahwa Ouw Hui tak berlaku sungkan-sungkan lagi. "Ouw Toako!" ia berseru sembari tertawa. "Apakah kau marah?"

Ouw Hui tak menyahut, ia tengah memusatkan perhatiannya dan memasang kuping, untuk menjga kalau-kalau Hong Jin Eng mencoba kabur atau melepaskan senjata rahasia.

"Ouw Toako," kata pula si nona. "Kau tak meladeni? Aduh, sombongnya!" Berbareng dengan perkataannya, ia menyabet kaki Ouw Hui. Sabetan itu adalah sabetan luar biasa, tanpa suara, tanpa kesiuran angin, tahu-tahu sudah menyambar. Ka¬rena tak keburu lagi, Ouw Hui membungkuk dan menangkis dengan goloknya. Tapi di luar dugaan, dengan kedutan dan gentakan aneh, tahu-tahu go¬lok Ouw Hui sudah terlepas dari tangannya.

"Celaka!" Ouw Hui mengeluh. "Apakah aku mesti kehilangan jiwa di sini?" Dalam keadaan ter-desak, ia merangsek dan coba mencengkeram leher Wan Cie Ie dengan pukulan Eng-jiauw-kauw-chiu (Cengkeraman kuku garuda). Pukulan itu sudah seringkali dilatihnya, tapi belum pernah digunakan dalam pertempuran. Di lain pihak, si nona terkesiap ketika merasakan kesiuran hawa panas menyambar tenggorokannya. Pada detik itu cambuknya baru saja menyabet dan tak mungkin ditrik pulang untuk menangkis cengkeraman Ouw Hui. Maka itu, untuk menyelamatkan diri, Wan Cie le segera menjeng-kangkan tubuhnya dan melepaskan cambuknya yang lantas saja jatuh di atas lantai.

Sesudah berhasil dengan pukulan pertama itu, Ouw Hui menyusulkan Cin-po-lian-hoan (Majukan kaki secara berantai). Wan Cie le membalikkan tangannya dan menotok jalan darah Ouw Hui, di pundak kanan. Karena gelap, jerijinya meleset dan menyasar ke otot yang keras. "Aduh!" ia berseru, jerijinya ketekuk. Ouw Hui terkejut. Ia mengetahui, bahwa jika tidak tertolong kegelapan, jalan darah-nya tentu sudah kena ditotok.

Sesudah mendapat pengalaman pahit, si nona segera mengubah cara bersilatnya. Ia tak berani bertempur merapat lagi dan lari berputar-putar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Dalam kegelapan, Ouw Hui pun tak mau terlalu mendesak dan hanya menyerang dan membela diri sekedarnya sambil memasang kuping untuk menge¬tahui tempat bersembunyinya Hong Jin Eng. Tapi, sesudah memasang kuping beberapa lama, ia masih tak dapat mendengar suara napas Hong Jin Eng, karena kesiuran-kesiuran angin pukulan-pukulan Wan Cie le.

Berselang beberapa saat, Ouw Hui mendapat suatu pikiran baru. Ia segera melompat-lompat dari

timur ke barat, dari selatan ke utara, sesuai dengan kedudukan Toa-su-siang-hong-wie (kedudukan em-pat penjuru), sembari mengirimkan pukulan-pu-kulan dahsyat. Jika kena, setiap pukulan itu dapat membinasakan atau sedikitnya melukai Hong Jin Eng. Andaikata Lam-pa-thian bisa berkelit, kelitan itu sudah cukup untuk membikin Ouw Hui menge-tahui tempat bersembunyinya.

Tapi, sungguh mengherankan Sesudah berpu-tar-putar di seluruh ruangan, ia masih belum men-dapatkan orang yang dicarinya. "Apakah dia sudah kabur?" ia menanya dirinya sendiri. "Celaka benar! Dia berkawan banyak, aku sendirian saja. Jika me-reka datang menyerbu semua, bisa-bisa aku binasa di tempat ini. Seorang gagah harus bertindak de¬ngan melihat keadaan. Biarlah hari ini aku me-nyingkir dulu untuk menunggu kesempatan yang lebih baik."

Memikir begitu, ia segera mendekati pintu. Mendadak berbareng dengan kesiuran angin dah¬syat, dalam kegelapan lapat-lapat ia melihat sesosok bayangan tinggi besar menyambar ke arahnya. "Ba-gus!" teriak Ouw Hui dengan girang sembari me-mapaki dengan kedua tinjunya. Pukulan itu hebat luar biasa dan sekali kena, Hong Jin Eng pasti akan binasa.

"Duk!" tinju Ouw Hui menghantam benda ke-ras-keras dingin yang lantas saja hancur berham-buran di atas lantai. Ternyata, yang barusan me¬nyambar ke jurusannya, adalah patung malaikat yang dipuja dalam kuil itu.

"Sungguh hebat pukulan itu!" seru Wan Cie Ie sembari tertawa. Ouw Hui terkejut, suara si nona,

yang bercampur dengan bergemerincingnya senjata, terdengar di luar pintu. Ia mengetahui, bahwa Wan Cie Ie akan segera lari dengan membawa juga goloknya.

Di lain saat terdengar derap kaki kuda, yang disusul dengan teriakan nona itu: "Hei, Lam-pa-thian! Kenapa kau kabur lebih dulu. Benar-benar kau tidak memandang kawan."

Di lain saat, di antara bunyi hujan, terdengar derap kaki kuda yang dikaburkan keras sekali.

"Sudahlah! Sudahlah!" keluh Ouw Hui di dalam hati. Ia sudah dikalahkan, dikalahkan secara menye-dihkan sekali. Jika mau, ia masih bisa mengejar pengikut-pengikut Hong Jin Eng untuk melam-piaskan amarahnya. Tapi, tentu saja ia sungkan melakukan perbuatan itu yang terlalu kejam.

Dari sakunya, ia mengeluarkan bahan api dan menyalakan kayu bakar yang sudah padam. Sesudah mendapat penerangan, ia memandang seluruh ruang¬an itu. Ternyata, patung Siang Hui yang dihan-tamnya, telah menjadi hancur lebur dan beras putih serta kayu bakar juga berhamburan di lantai.

Sang hujan masih turun terus dengan derasnya. Dengan perasaan tak karuan, ia duduk di depan meja sembahyang sambil mengawasi perapian.

"Tak bisa salah lagi, nona Wan dan Hong Jin Eng mempunyai hubungan rapat," pikirnya. "De¬ngan mempunyai senderan yang begitu kuat dan kaki tangan yang begitu banyak, sebenarnya ia bisa melawan aku. Tapi kenapa ia memusnahkan harta bendanya dan melarikan did? Barusan, jika mereka semua maju mengepung, aku tentu sudah celaka. Kenapa, sebaliknya dari berbuat begitu mereka

kabur semuanya? Dilihat dari gerak-geriknya, per-cobaan Hong Jin Eng untuk membunuh diri bukan tipu belaka. Dengan demikian, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa bantuan nona Wan diberikan tanpa diketahui lebih dulu oleh manusia itu."

la menghela napas berulang-ulang karena hati-nya bimbang. Di lain saat, ia ingat, bahwa dalam pertempuran dalam gelap gulita tadi, ia telah me-ngirim pukulan-pukulan hebat, seolah-olah si nona adalah musuh besarnya. Mengingat begitu, pada bibirnya tersungging senyuman kecil.

"Tapi... apakah benar-benar tadi aku sudah me-nurunkan pukulan-pukulan yang membinasakan?" ia menanya dirinya sendiri. Tadi, dalam sengitnya, seperti juga ia sudah menghantam tanpa sungkan-sungkan lagi. Tapi... ia tak pernah menjatuhkan pukulan yang benar-benar membinasakan. "Di waktu dia menubruk dan memukul dengan tangannya, kenapa aku tak menghajarnya dengan pukulan Coan-sim-tui (Pukulan menembus hati)?" tanyanya kepada dirinya sendiri. "Sesudah aku membacok dengan pu¬kulan Siang-ma-to (Bacokan di atas kuda) dan dia menunduk untuk berkelit, kenapa aku tidak me-nyusulkan pukulan Pa-ong-gie-ka (Couw Pa Ong membuka pakaian perang)? Ah! Ouw Hui! Ouw Hui! Kau agaknya takut melukai ia!"

Jantungnya memukul keras dan kembali ia me-lamun. "Hm!" katanya di dalam hati. "Tadi di waktu cambuknya menghantam pundakku, secara men-dadak ia menarik pulang senjatanya. Apakah ia sengaja ber-buat begitu, atau, hanya karena ke-betulan? Dan... selain itu, waktu jerijinya meno-tok...."

Ia mengingat-ingat sesuatu pukulan si nona dan semakin diingat, hatinya jadi semakin berdebar. "Tak salah! Tak salah lagi!" pikirnya. "Dia memang sengaja sungkan mencelakakan aku. Apa... apa¬kah...?" Tak berani ia meneruskan pertanyaan itu.

Mendadak, ia merasa lapar. Ia menengok ke arah kuali yang telah ditendangnya tadi. Dalam kuali itu masih terdapat sedikit beras putih. Ia segera berbangkit dan mengumpulkan sebagian be¬ras yang berhamburan itu, ia mencucinya dengan air hujan dan segera menanaknya.

Tak lama kemudian, hidungnya mencium bau sedap dari nasi yang baru matang.

Ia menghela napas. "Jika disaat ini, aku bisa bersantap bersama-sama dengan dia berendeng pundak... ah!" ia melamun. Ouw Hui adalah seorang manusia yang sadar, tak gampang-gampang ia men-jadi mabuk. Tapi paras Wan Cie le yang segar cantik, tertawanya yang menggiurkan dan gerak-geriknya yang lincah tak dapat dihapus dari otaknya. Seperti kehilangan ingatan, ia bengong terlongong-longong, sehingga ia tak mendusin, bahwa nasinya sudah mulai hangus.

Pada waktu itu, di luar kuil sekonyong-konyong terdengar tindakan kaki yang disusul dengan ter-bukanya pintu.

"Apakah dia kembali lagi?" pikir Ouw Hui, sembari melompat bangun.

Bukan! Yang datang bukan si nona.

Disoroti sinar perapian, ia melihat masuknya dua orang. Yang satu adalah seorang lelaki yang berusia kira-kira lima puluh tahun dan berbadan kurus kering. Ouw Hui segera mengenali, bahwa

orang itu bukan lain daripada Lauw Ho Cin yang pernah dijumpainya di Hong-yap-chung. Yang lain adalah seorang wanita muda yang berusia dua puluh tahun lebih. Sebelah tangan Lauw Ho Cin didukung dengan selembar kain hijau yang diikatkan pada lehernya, sedang wanita muda itu pun terpincang-pincang jalannya.

Sudah terang, mereka berdua telah terluka dan pakaian mereka yang basah kuyup sudah menambah penderitaan mereka.

Selagi Ouw Hui mau membuka mulut untuk memanggilnya, Lauw Ho Cin sudah berbicara de¬ngan wanita itu. "Coba periksa di belakang," kata-

nya.

"Baik," jawab si wanita sembari mencabut golok dan berjalan ke ruangan belakang. Sesudah ber-bangkis beberapa kali, Lauw Ho Cin duduk di atas lantai dan dilihat dari sikapnya, ia sedang ber-waspada dan memasang kuping. Ia melirik Ouw Hui beberapa kali, tapi ia tidak mengenalinya.

"Waktu itu aku berada di antara orang banyak dan berpakaian sebagai seorang dusun," kata Ouw Hui di dalam hatinya. "Tak heran, jika ia tidak mengenali aku." Ia segera menghampiri kuali dan membuka tutupnya. Ternyata, separuh nasi itu su¬dah menjadi hangus. Sembari bersenyum, ia meng-ambil nasi dengan tangannya dan segera makan seperti macan kelaparan. Melihat cara makannya, Lauw Ho Cin menarik napas lega.

Beberapa saat kemudian, si wanita muda ke luar dari ruangan belakang dan mencekal sebatang kayu yang menyala-nyala. "Tak ada apa-apa," katanya.

Lauw Ho Cin membuang napas, ketegangan parasnya lantas saja mereda. Dengan menyender di

meja sembahyang, ia meramkan kedua matanya untuk mengaso. Air yang turun dari pakaiannya membasahi lantai dan air itu berwarna agak merah, seperti bercampur darah. Si wanita, yang keli-hatannya lelah sekali, menyender di tubuh Lauw Ho Cin tanpa bergerak. Dipandang dari cara-cara-nya, mereka berdua seperti suami isteri, hanya usia mereka terpaut sangat jauh.

"Dalam Rimba Persilatan, ilmu silat Lauw Ho Cin sudah jarang tandingannya," pikir Ouw Hui. "Mengapa dia sudah kena dihajar sampai begitu rupa. Dari sini bisalah dilihat, bahwa di atas langit masih ada langit dan di atas manusia masih ada manusia. Tak dapat manusia berlaku sombong."

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap kaki kuda. Hampir berbareng dengan itu Lauw Ho Cin meloncat bangun dan mencabut senjata dari ping-gangnya. Senjata itu adalah sebatang tombak pen-dek yang ada rantainya.

"Tiong Peng," katanya kepada wanita itu. "Le-kas lari! Aku akan berdiam di sini untuk melawan kepadanya." Sehabis berkata begitu, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah bungkusan yang panjang-nya kira-kira satu kaki dan memberikannya kepada wanita tersebut. "Kirimlah ini kepadanya," ia ber-bisik.

Wanita itu, seorang she Ong yang bernama Tiong Peng, memang benar isteri Lauw Ho Cin, isteri kedua sesudah yang pertama meninggal dunia. Mendengar perkataan sang suami, mata Tiong Peng menjadi merah. "Tidak," katanya sembari meng-gelengkan kepala. "Jika mesti mati, biarlah kita mati bersama-sama."

Paras muka Lauw Ho Cin lantas saja berubah gusar, "Laksaan li kita melawan gelombang dan berkutet terus meskipun sudah terluka," katanya.

"Guna apa itu semua? Jika maksud kita tidak terwujud, aku mati dengan mata melek. Pergilah! Aku akan melawan dia di sini."

Si isteri merasa berat untuk meninggalkannya. la menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara terputus-putus: "Looyacu, sesudah... sesudah men-jadi suami isteri, aku tak dapat... dapat merawat kau, sebagaimana mestinya. Dan... dan kita harus...."

Lauw Ho Cin membanting kaki. "Sudahlah!" ia membentak. "Jika kau bisa membereskan urusan besar ini, jasamu lebih besar daripada rawatan apa pun juga." Ia mengebas dengan tangan kirinya dan memerintah dengan suara bingung: "Pergi! Hayolah

pergi!"

Melihat kecintaan kedua suami isteri itu, hati Ouw Hui tak tega. "Lauw Ho Cin adalah seorang baik-baik," katanya di dalam hati."Siapakah yang menyeterukannya? Sesudah bertemu denganku, tak bisa aku tidak menyampurinya."

Beberapa saat kemudian, di luar kuil terdengar berhentinya tiga ekor kuda, dan dua berhenti di depan pintu, sedang seekor antaranya memutar pergi ke belakang.

"Sudahlah!" kata Lauw Ho Cin dengan suara gusar. "Di depan dan di belakang sudah dicegat orang."

Dengan wajah bingung, Tiong Peng mengawasi ke seluruh ruangan. Sesudah itu, ia menuntun ta¬ngan suaminya dan naik ke atas tempat patung. Dengan sorot mata memohon, ia mengawasi Ouw Hui dan memberi isyarat dengan gerakan tangan-nya, supaya pemuda itu tidak membuka rahasia. Sesudah itu, bersama sang suami, ia masuk ke dalam tempat patung itu dan menurunkan tirai suteranya yang berwarna kuning.

Beberapa saat kemudian, dua orang masuk ke dalam. Dengan sikap acuh tak acuh, Ouw Hui terus makan nasinya. Ketika kedua orang itu mendekati perapian, ia melirik. Dalam usianya yang masih muda, Ouw Hui sudah pernah bertemu dengan banyak juga orang-orang Kang-ouw yang luar biasa. tapi, macam kedua orang itu, benar-benar menge-jutkan. Dua-dua mengenakan baju hujan dari kain minyak, muka mereka jelek luar biasa. Alis turun, mata segi tiga, sebelah besar dan sebelah kecil, hidung besar lebar dan mendongak ke atas meng-hiasi, atau lebih benar, memburukkan wajah me¬reka.

Mereka melirik Ouw Hui dan lantas masuk ke ruangan dalam. Beberapa saat kemudian, mereka ke luar lagi. Sekonyong-konyong terdengar suatu suara aneh, disusul dengan melayang turunnya se-sosok tubuh manusia dari atas genteng. Ternyata, ketika dua kawannya menggeledah di dalam, orang yang menjaga di belakang sudah meloncat naik ke atas genteng untuk mengamat-amati.

"Ilmu mengentengkan badan orang itu cukup tinggi," kata Ouw Hui di dalam hatinya. Di lain saat, dengan sekali berkelebat, orang itu sudah masuk ke dalam ruangan depan. Roman orang tersebut sangat mirip dengan dua yang lain, sehingga bisa diduga, bahwa mereka bersaudara.

Begitu mereka membuka baju hujan, sekali lagi

Ouw Hui terkejut, karena mereka semua memakai pakaian berkabung dengan ikat kepala blacu putih. "Toako," kata yang baru masuk. "Mereka ber-dua mendapat luka dan juga tidak mernpunyai tunggangan. Menurut pantas, mereka tak bisa lari jauh. Di sekitar sini tidak terdapat rumah lain. Benar-benar mengherankan. Di mana mereka ber-sembunyi?"

"Mungkin di gua atau di gerombolan rumput," jawab yang paling tua. "Sekarang kita jangan takut lelah, marilah kita mencari di tempat lain. Luka mereka tidak berat, kita harus berhati-hati."

Mendengar begitu, seorang antara mereka lan-tas saja bertindak ke arah pintu. Tapi mendadak ia berhenti dan menengok kepada Ouw Hui sembari berkata: "Eh, bocah! Apakah kau melihal seorang tua dan seorang wanita muda?"

Ouw Hui yang mulutnya penuh nasi, meng-geleng-gelengkan kepalanya.

Sementara itu, orang yang dipanggil "Toako" (kakak paling tua) menyapu seluruh ruangan de¬ngan matanya yang tajam. Melihat keadaan yang kacau balau dan patung malaikat yang hancur ber-hamburan di lantai, ia jadi bercuriga dan segera menyelidiki lebih teliti. Segera juga ia melihat, bahwa di atas lantai terdapat tapak-tapak kaki yang masih basah.

Sekali melirik, Ouw Hui mengetahui, bahwa orang itu sedang bercuriga. "Tadi ada beberapa orang yang bertempur di sini," katanya dengan cepat. "Ada lelaki, ada perempuan, tua dan muda. Patung Siang Hui Nio-nio telah dilemparkan sampai hancur luluh. Sesudah itu, sebagian kabur, sebagian

mengejar dan mereka semua menunggang kuda."

Dengan membawa beberapa potong kayu yang menyala, yang paling muda segera menyelidiki di pekarangan kuil. Benar saja di situ terdapat tapak-tapak kaki kuda, sehingga keterangan Ouw Hui tidak perlu disangsikan lagi. Ia kembali ke dalam dan menanya: "Ke mana mereka pergi?"

"Ke jurusan utara," jawab Ouw Hui. "Aku ber-sembunyi di kolong meja, tidak berani mengawasi lama-lama...."

Orang itu mengangguk dan mengeluarkan se-potong perak yang lantas dilemparkan kepada Ouw Hui. "Ini untukmu," katanya.

"Terima kasih, terima kasih," kata Ouw Hui dengan wajah girang dan segera memungut potong-an perak itu. "Tiga setan ini mernpunyai ilmu silat yang cukup tinggi," katanya di dalam hati. "Jika mereka sampai bertempur dengan rombongan Hong Jin Eng, puas juga hatiku."

"Loo-toa (kakak paling tua), Loo-sam (saudara yang ketiga), mari kita berangkat!" kata seorang antaranya. Mereka memakai lagi baju hujan mereka dan segera berjalan ke luar.

"Racun itu hebat luar biasa," kata seorang an¬taranya. "Biar bagaimanapun juga, kita tak bisa membiarkan ia mendahului kita...."

"Jika kita tidak keburu mencegat, paling benar buru-buru memberi warta," kata yang lain.

"Hai!" kata pula yang pertama. "Mana dia mau percaya perkataan kita? Selain itu...."

Perkataan selanjutnya sudah tak bisa ditangkap lagi oleh Ouw Hui karena tenggelam dalam bunyi hujan.

Heran sekali hati Ouw Hui. "Racun apa yang dimaksudkan?" ia menanya dirinya sendiri. "Warta apa? Dan kepada siapa warta itu hendak disampai-kan?"

Mendadak terdengar suara berkerotakan di tem-pat patung dan di lain saat, Lauw Ho Cin sudah turun dengan dipapah oleh isterinya. Tempo Ouw Hui bertemu dengan orang itu di Hong-yap-chung, di waktu ia mengadu silat dengan Wan Cie Ie, gerak-geriknya gesit luar biasa. Tapi sekarang, ia tak mampu turun dari tempat patung itu tanpa dibantu isterinya.

Begitu turun, Lauw Ho Cin segera memberi hormat kepada Ouw Hui seraya berkata: "Terima kasih banyak untuk budi Siauwko (saudara kecil) yang sudah menolong jiwaku."

Buru-buru Ouw Hui membalas menghormat. "Sungguh galak tiga orang itu," katanya dengan sikap ketolol-tololan. "Sekali membuka mulut, me-reka memanggil aku 'bocah'. Mana aku kesudian bicara terus-terang?"

"Aku she Lauw," orang tua itu memperkenalkan diri. "Namaku Ho Cin. Inilah isteriku. Bisakah aku mengetahui she dan nama Siauwko yang mulia?"

Ditanya begitu, Ouw Hui segera berkata dalam hatinya: "Kau telah memberitahukan nama yang sejati, aku juga tidak boleh berdusta. Tapi namaku tidak mirip dengan nama seorang dusun. Biarlah aku mengubahnya sedikit." Memikir begitu, lantas saja ia menjawab: "Aku she Ouw, namaku A-toa." Ia ingat, bahwa sebagai anak tunggal kedua orang tuanya, dengan menggunakan nama "A-toa" (putera yang sulung), ia tidak terlalu berdusta.

"Siauwko masih berusia muda," kata Lauw Ho Cin pula. "Di belakang hari, kau tentu bisa menjadi seorang hartawan...." Bicara sampai di situ, ia me-ngerutkan alisnya dan menggigit bibir, seperti se-dang menahan sakit.

"Looyacu, kau kenapa?" tanya isterinya dengan suara bingung.

Sang suami tidak menyahut, ia hanya meng-geleng-gelengkan kepala dan duduk menyender di meja sembahyang dengan napas tersengal-sengal. Si isteri lalu turut duduk di atas lantai dan mengurut dada suaminya.

Melihat begitu, Ouw Hui merasa kurang enak untuk berdiam di situ lama-lama, maka, sesudah mengambil sepotong kayu yang menyala, ia lantas saja berkata: "Looyacu, aku mau tidur di ruangan belakang." Sehabis berkata begitu, ia lantas berlalu.

Dengan mata mendelong, ia mengawasi jerami di depan meja sembahyang. Ia ingat, bahwa tadi Wan Cie Ie masih berbaring di atas jerami itu. Tapi sekarang, si nona sudah pergi jauh dan apa yang ketinggalan, hanyalah kuil yang sunyi senyap dan Ouw Hui yang sebatang kara.

Lama ia berdiri bagaikan patung sambil me-megang kayu bakar itu yang apinya jadi semakin kecil. Sekonyong-konyong ia ingat akan suatu urus-an penting. "Celaka!" pikirnya. "Kitab silatku telah dibawa kabur olehnya! Sampai sekarang aku masih bisa melayani ia. Tapi sesudah ia menghafal isi kitabku dan dapat memahami semua kepandaianku, sekali bergebrak saja ia bisa mampuskan aku!" Da¬lam sekejap, lamunannya yang muluk sedap ber-ubah menjadi perasaan takut. Dengan uring-uring-

an ia melemparkan potongan kayu itu dan mem-banting dirinya di atas jerami.

Secara kebetulan, badannya jatuh di atas pauw-hoknya (buntalan pakaian). Dalam gelap gulita, ia merasa buntalannya agak berubah, seperti juga le-bih besar dari tadinya. Ia meraba-raba dan men-dapat kenyataan, bahwa isi pauw-hok itu sudah bertambah semacam benda yang agak keras. Ia ingat, bahwa buntalan itu, tadi digunakannya se-bagai bantal kepala. Ketika ia ke luar untuk meng-hajar Hong Jin Eng, buntalan itu masih tetap berada di tempatnya. Tapi sekarang, pauw-hok tersebut ternyata sudah berpindah tempat.

Ouw Hui heran bukan main. "Isteri Lauw Ho Cin dan tiga saudara itu pernah datang di sini," pikirnya. "Apakah mereka yang menggerayangi bun-talanku?"

Dengan rasa penasaran ia segera menyalakan api dan membuka buntalannya. Dan begitu melihat, hampir-hampir ia tak percaya pada kedua matanya sendiri. Ternyata, isi buntalan itu bertambahkan seperangkat pakaian, sepasang sepatu dan sepasang kaos kaki, yaitu miliknya sendiri yang telah dibawa lari oleh Wan Cie Ie. Hatinya berdebar setelah ia mendapat kenyataan, bahwa pakaian itu sudah di-cuci bersih. Ia mengangkat pakaian itu untuk me-meriksa terlebih jauh. Dan... jantungnya memukul keras. Di bawah pakaian itu terdapat kitab silatnya, beberapa potong emas dan sebuah Hong-hong (bu-rung Hong) terbuat dari giok putih dan panjangnya kira-kira tiga dim! Hong-hong itu indah luar biasa, terang sekali diukir oleh tangan yang pandai.

Lama sekali Ouw Hui bengong dengan mulut

ternganga. Kemudian ia membungkus pula bun¬talannya dan menggenggam Hong-hong itu di dalam tangannya. Ia berbaring di atas jerami itu dengan otak bekerja keras. "Jika mau dikatakan ia berlaku manis terhadapku, kenapa ia sudah melndungi Hong Jin Eng secara begitu mati-matian?" tanyanya ke-pada diri sendiri. "Jika dikatakan dia menyeterukan aku, kenapa dia memulangkan pakaianku yang su¬dah dicuci bersih, kitabku dan juga menghadiahkan Hong-hong yang begini indah kepadaku? Kenapa? Kenapa...."

Ia gelisah dan tentu saja tak bisa tidur pulas.

Tiba-tiba sinar berkelebat di pintu ruangan belakang. Ouw Hui melirik dan melihat, bahwa dengan dipapah oleh isterinya, Lauw Ho Cin sedang bertindak masuk dengan sebelah tangan mencekal sebatang kayu menyala. "Lebih baik kita tidur di sini," katanya sembari mendekati meja sembahyang, seperti juga ia ingin tidur di atas meja bekas tempat tidur Wan Cie Ie.

"Eh, Looyacu," kata Ouw Hui terburu-buru. "Kau sukar memanjat ke atas, lebih baik tidur di bawah, di sini. Ambil saja tempatku." Berbareng dengan perkataannya, ia memanjat ke atas meja dan segera berbaring di situ.

"Siauwko sungguh berhati mulia," puji Lauw Ho Cin.

Berselang beberapa lama, tiba-tiba Ouw Hui mendengar suara Lauw Ho Cin berbisik: "Tiong Peng, Siauwko ini sungguh baik hatinya. Kita harus bisa membalas budinya."

"Benar," sahut si isteri. "Tanpa pertolongannya, kita tentu sudah menjadi mayat."

Lauw Ho Cin menghela napas panjang-panjang dan berkata pula: "Barusan, sungguh berbahaya. Jika tadi Ciong-sie Sam-heng-tee (tiga saudara she Ciong) mengganggu dia, biar mesti mati, aku tentu akan menolongnya."

"Tentu saja," kata si isteri. "la melindungi kita secara ksatria, kita pun harus membalasnya secara ksatria pula. Walaupun tidak mengerti ilmu silat, pribudi Siauwko ini melebihi banyak orang gagah di dunia Kang-ouw."

"Sst! Perlahan sedikit. Khawatir dia bangun." kata sang suami. Sehabis berkata begitu, ia me-manggil: "Siauwko! Siauwko!"

Ouw Hui tidak menyahut, ia pura-pura pulas.

"Ia pulas," bisik Tiong Peng.

"Hm!" kata Lauw Ho Cin. Beberapa saat ke-mudian ia berkata pula: "Tiong Peng, tadi di waktu aku memerintahkan kau kabur, kenapa kau mem-bangkang?"

"Hai! Kau terluka berat, mana aku tega," jawab-

nya.

"Kau sendiri tahu, bahwa surat ini luar biasa pentingnya," kata sang suami. "Jika tidak diserahkan ke dalam tangan Kim-bian-hud Biauw Tayhiap, tak tahu berapa banyak orang gagah akan binasa...."

Ouw Hui terkesiap mendengar kata-kata "Kim-bian-hud Biauw Tayhiap". Hampir-hampir ia me-ngeluarkan seruan "ah". Ia mengetahui, bahwa de-ngan mendiang ayahnya, Biauw Jin Hong mem-punyai semacam sangkutan yang luar biasa. Me-nurut kata orang-orang Kang-ouw, ayahnya telah binasa dalam tangan Kim-bian-hud. Akan tetapi, setiap kali ia menanya Peng Sie-siok, yaitu orang

yang sudah merawatnya sedari bayi, paman itu selalu mengatakan, bahwa yang didengarnya itu semua tidak benar dan, jika nanti ia (Ouw Hui) sudah besar, ia akan menceritakan hal itu seterang-terang-nya.

Di waktu masih kecil, Ouw Hui pernah bertemu muka dengan Biauw Jin Hong di Siang-kee-po. Apa yang diingatnya adalah seorang yang gagah budi-man.

"Sst! Jangan keras-keras!" bisik Tiong Peng. "Ini adalah rahasia besar."

"Benar," kata suaminya. "Kita mengetahui, bah¬wa kita berkorban untuk kepentingan orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Tindakan kita ada¬lah bebas dari maksud-maksud pribadi. Maka itu, Tuhan tentu akan memberkahi kita dan kita pasti akan berhasil."

Kata-kata itu diucapkan dengan suara yang angker dan sungguh-sungguh, sehingga Ouw Hui merasa terharu sekali. "Jika untuk kepentingan para orang gagah, aku pasti akan membantu Lauw Ho Cin supaya surat itu bisa sampai di tangan Biauw Jin Hong," kata Ouw Hui di dalam hatinya.

Sampai di situ, suami isteri itu tidak bicara lagi. Berselang beberapa lama, dalam keadaan layap-layap, tiba-tiba Ouw Hui mendengar derap kaki kuda yang mendatangi dari sebelah utara.

Ia terkejut dan menduga, bahwa Ciong-sie Sam-heng-tee datang kembali. "Sekali ini Lauw Ho Cin tak akan bisa bersembunyi," pikirnya. "Paling benar aku mencegah mereka di tengah jalan. Andaikata aku tak bisa mengusir mereka, sedikit Lauw Ho Cin

dan isterinya masih mempunyai kesempatan untuk melarikan diri."

Memikir begitu, perlahan-lahan ia meloncat turun dan begitu ke luar dari pintu kuil, ia lari bagaikan terbang untuk memapaki Ciongsie Sam-heng-tee.

Ketika itu, hujan sudah berhenti. Lari belum berapa lama, jauh-jauh Ouw Hui sudah melihat tiga penunggang kuda yang mendatangi dengan cepat sekali. Ia menghadang di tengah jalan dan begitu mereka tiba, ia membentak: "Gunung ini dibuka olehku dan pohon-pohon ditanam olehku. Siapa juga yang mau lewat, harus membayar uang jalan!"

Orang yang berjalan paling dulu, tertawa ter-bahak-bahak, "Aha! Dari mana bangsat kecil ini?" katanya sembari tertawa dan mengedut les, se-hingga kudanya lantas saja menerjang Ouw Hui.

Cepat bagaikan kilat, sambil mengerahkan te-naga dalamnya, tangan kiri Ouw Hui menjambret les yang lalu digentaknya. Hebat benar gentakan itu! Kuda itu terhuyung beberapa tindak dan rubuh

di tanah.

Masih untungpenunggangnya keburu meloncat turun dan tiba dengan selamat di atas tanah. Bukan main kagetnya ketiga saudara itu. Yang dua lantas saja turun dari masing-masing kudanya dan mereka bertiga segera berdiri berjajar dengan mencekal senjata aneh bentuknya.

Fajar sudah menyingsing, tapi awan mendung masih menutupi seluruh langit sehingga keadaan masih agak gelap. Ouw Hui mengawasi, tapi ia masih tak tahu, senjata apa yang dicekal mereka.

"Ciong-sie Hengtee dari Ouw-pak Utara merasa bersalah karena di waktu lewat di sini, mereka belum mengunjungi tuan," kata seorang antaranya. "Bisakah kami mengetahui she dan nama tuan yang mulia?"

Ketika baru bertemu, mereka sebenarnya tak memandang sebelah mata kepada Ouw Hui yang masih begitu muda. Akan tetapi, dorongan tadi, yang hebat bukan main, dengan serentak sudah mengubah pandangan mereka. Maka itu, pembicara barusan, yakni Ciong Tiauw Eng, sudah mengeluar-kan kata-kata yang sangat hormat.

Mendengar perkataan itu, Ouw Hui yang se-lamanya berhati-hati lantas saja menjawab: "Aku she Ouw. Bolehkah aku mendengar nama besar ketiga tuan?"

Ciong Tiauw Eng bingung mendengar pertanya-an itu. "Nama Ciong-sie Sam-hiong (Tiga jago she Ciong) terkenal di seluruh negara," katanya di da-lam hati. "Kenapa dia mesti menanya lagi? Dilihat begini, pengalamannya masih cetek sekali." Me¬mikir begitu, lantas saja ia berkata: "Aku bernama Tiauw Eng. Yang itu adalah kakakku Tiauw Bun, yang ini adikku Tiauw Leng. Karena mempunyai urusan penting, kami mengharap, agar Ouw Toako sudi membuka jalan. Nanti di waktu kembali, kami tentu akan menghaturkan terima kasih kepada Ouw Toako yang sudah membuka gunung ini." Sehabis berkata begitu, ia mengangkat kedua tangannya dan menyoja.

Harus diketahui, bahwa Ciong-sie Sam-heng-tee adalah orang-orang ternama dalam Rimba Per-silatan. Bahwa mereka sudah berlaku begitu sung-kan terhadap seorang Houw-pwee (orang muda),

adalah kejadian yang luar biasa. Perasaan segan sudah muncul karena mereka menyaksikan lihaynya Ouw Hui di waktu ia menggentak kuda. Selain itu, terdapat kemungkinan besar, bahwa pemuda itu datang bukan seorang did, mungkin gurunya atau kawannya yang lihay berada di dekat tempat itu.

Ouw Hui segera membalas penghormatan itu dan berkata: "Janganlah Loosu memakai begitu banyak peradatan. Apakah Samwie sedang mencari suami isteri Lauw Ho Cin?"

Sesaat itu, cuaca sudah terang. Ketiga saudara lantas saja mengenali, bahwa pemuda yang men-cegat mereka, adalah si orang dusun yang tadi sedang makan nasi di rumah berhala. Mereka men-dongkol bukan main, sebab sudah kena dikelabui seorang bocah.

Dilain pihak, Ouw Hui pun sudah melihat nyata senjata-senjata ketiga saudara itu yang sangat aneh. Senjata Ciong Tiauw Bun adalah Kok-song-pang (tangthung, tongkat yang biasa dibawa oleh hauw-lam, anak lelaki yang orang tuanya meninggal du-nia), senjata Tiauw Eng ialah Thie-pay (papan nama di meja abu, terbuat dari besi) yang panjangnya kira-kira satu kaki dan yang di atasnya bertuliskan beberapa huruf, sedang yang paling aneh adalah senjata Tiauw Leng, yaitu Ciauw-hun-hoan (ben-dera untuk memanggil roh yang biasa ditancap di meja sembahyang). Di samping senjata mereka yang aneh, pakaian mereka pun tidak kurang anehnya. Dengan mengenakan pakaian berkabung, ditambah pula dengan roman mereka yang jelek luar biasa, sebelum bertempur, musuh yang tanggung-tang-gung tentu sudah ketakutan terlebih dulu.

Demikianlah, melihat senjata-senjata aneh itu, Ouw Hui berwaspada dengan memusatkan seluruh perhatiannya.

"Pernah apakah tuan dengan Lauw Loosu?" tanya Tiauw Eng.

"Dengan Lauw Loosu, aku tak mempunyai hu-bungan suatu apa," jawab Ouw Hui. "Dengan ia, hari ini aku baru bertemu untuk kedua kalinya. Hanya karena Samwie sudah mendesaknya secara keterlaluan, barulah aku memberanikan hati untuk memohonkan belas kasihan. Kata para pujangga: Jika kita bisa memaafkan, maafkanlah, karena kita pun sering-sering perlu mendapat maaf. Lauw Loo¬su suami isteri sudah mendapat luka, maka itu aku minta Samwie suka berlaku sedikit murah hati."

Ciong Tiauw Bun mendengarkan pembicaraan itu dengan tidak sabar. Ia khawatir, bahwa dengan menggunakan kesempatan tersebut, Lauw Ho Cin akan melarikan diri. Sembari melirik saudaranya, perlahan-lahan ia berkisar untuk menghantam Ouw Hui dari jurusan samping.

"Ganjalan apa yang terdapat antara Samwie dan Lauw Loosu, sama sekali aku tidak tahu," kata Ouw Hui pula. "Aku hanya mengetahui, bahwa sekarang ini Lauw Loosu mempunyai suatu tugas yang belum selesai. Apakah tak mungkin Samwie baru mencari-nya, sesudah tugas itu selesai dikerjakannya?"

"Kami justru tak mau membiarkan ia menye-lesaikan pekerjaan itu," kata Tiauw Bun dengan gusar. "Pendek saja: Kau mau minggir atau tidak?"

Mengingat pembicaraan antara Lauw Ho Cin dan isterinya, bahwa tugas itu adalah untuk ke-pentingan segenap orang gagah dalam Rimba Per-

silatan dan melihat roman Ciong-sie Sam-heng-tee yang begitu garang, lantas saja Ouw Hui mengambil keputusan untuk merintangi mereka dengan ke-kerasan. la tertawa bergelak-gelak dan berkata de¬ngan suara nyaring: "Kau mau aku minggir? Boleh! tapi serahkan dulu tiga ratus tail perak!"

Bukan main gusarnya Tiauw Bun. la menge-baskan Kok-song-pangnya dan bergerak untuk me-nerjang.

"Toako, tahan!" kata Tiauw Eng sembari me-rogoh sakunya dan mengeluarkan empat potong perak. "Empat potong perak ini lebih dari tiga ratus tail," katanya. "Ambillah!"

"Jietee! Apa artinya ini?" teriak Tiauw Bun. Ciong-sie Sam-hiong (Tiga jago she Ciong) adalah orang-orang ternama yang disegani dalam kalangan Kang-ouw. la sungguh penasaran melihat adiknya memperlihatkan kelemahan yang keterlauan di ha-dapan seorang bocah. Tapi Tiauw Eng mempunyai alasan lain. Untuk mengejar Lauw Ho Cin, mereka harus bertindak secepat mungkin. Meskipun ia ya-kin, bahwa dengan tiga melawan satu, pihaknya akan bisa merubuhkan pemuda itu, akan tetapi, sedikit kelambatan saja, urusan besar itu bisa men-jadi gagal. Itulah sebabnya, mengapa, walaupun mendongkol bukan main, ia terpaksa mengalah.

Sikap Tiauw Eng benar-benar di luar dugaan Ouw Hui. Tapi lantas saja ia menggelengkan kepala. "Terima kasih, terima kasih!" katanya. "Menurut Ciong Loosu, berat empat potong itu melebihi tiga ratus tail. Tapi permintaanku adalah seratus tail dari seorang, jadi tiga ratus tail dari tiga orang. Lebih aku tak mau, kurang pun aku tak menerima. Begini

saja: Marilah kita bersama-sama pergi ke kota, ke toko perak, untuk menimbangnya!"

Sampai di situ, habislah kesabaran Tiauw Eng yang terkenal sabar. Ia masukkan pula perak itu ke dalam sakunya dan berkata: "Toako, Samtee, per-gilah kalian jalan lebih dulu." Ia berpaling kepada Ouw Hui seraya membentak: "Hunuslah senjata-mu!"

Ouw Hui mengetahui, bahwa ia sedang meng-hadapi lawan berat dan hatinya mendongkol karena goloknya telah direbut Wan Cie le. Saat itu, Tiauw Bun dan Tiauw Leng sudah bergerak untuk kabur lewat di kedua sampingnya. Tindakan apa harus diambilnya?

Mendadak ia maju dua tindak dan menghantam kepala kuda Tiauw Eng dengan tinjunya. Pukulan itu adalah pukulan terhebat dari Ouw-kee Kun-hoat. Begitu kena, hewan itu bergemetar tubuhnya dan rubuh tanpa berkutik lagi.

Ciong-sie Sam-heng-tee jadi kesima bahna ka-getnya. Dengan menggunakan kesempatan itu, Ouw Hui membetot tali sepasang sanggurdi kuda itu yang lantas saja menjadi putus.

"Maaf! Maaf!" katanya. "Karena tidak mem-bawa senjata, terpaksa aku meminjam sanggurdi ini." Berbareng dengan perkataannya, sebuah sang¬gurdi menyambar muka Tiauw Bun, sedang yang satu lagi menghantam pundak Tiauw Leng. Dengan demikian, mereka terpaksa meloncat mundur dan gagal menerobos.

Sebagaimana diketahui, dulu ketiga saudara itu bersenjata Poan-koan-pit. Tapi, sedari delapan ta-hun berselang, yaitu semenjak dirubuhkan Biauw

Jin Hong, karena malu, mereka tidak menggunakan lagi Poan-koan-pit dan lalu melatih diri dengan senjata-senjata baru yang aneh. Selama delapan tahun, mereka telah mendapat kemajuan pesat dan mereka ingin sekali menjajal pula kepandaian Kim-bian-hud. Tapi tak dinyana, sebelum bertemu de¬ngan Biauw Jin Hong, di daerah pegunungan itu, mereka sudah dibikin malu oleh seorang bocah yang belum hilang bau popoknya.

Serentak mereka menerjang dengan masing-masing senjatanya yang mengeluarkan kesiuran angin menderu-deru. Ouw Hui pun segera memutar kedua sanggurdi itu, yang digunakannya sebagai Liu-seng-tui (bandringan) untuk melayani ketiga lawannya.

Dengan cepat, mereka sudah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus. Begitu bergebrak, Ciong-sie Sam-hiong yang berpengalaman luas, coba menebak asal usul ilmu silat Ouw Hui. Melihat sambaran sanggurdi di tangan kanan Ouw Hui, mereka segera menduga, bahwa pukulan itu yang mirip dengan Pek-hong-koan-jit (Bianglala putih menembus ma-tahari), adalah pukulan dari Thio-kee Tui-hoat (ilmu bandringan dari keluarga Thio) di Ceng-ciu, pro¬pinsi Shoatang. Menurut kebiasaan Thio-kee Tui-hoat, Sesudah Pek-hong-koan-jit, bandringan yang satunya lagi akan menyabet dari samping. Sesaat itu, Kok-song-pang Ciong Tiauw Bun tengah me-nyontek dari bawah ke atas dan di bagian kepala Tiauw Bun terdapat suatu lowongan. Dengan cepat Ouw Hui mengedut tali sanggurdi yang lalu me-nyambar kepala Tiauw Bun.

Ciong-sie Sam-hiong kaget berbareng heran.

"Silat apakah ini? Kenapa, sebaliknya dari menyabet dari samping, dia menghantam dari atas?" mereka menanya diri sendiri.

Melihat Tiauw Bun menangkis dengan toyanya, Ouw Hui segera menyapu Tiauw Leng dengan sang¬gurdi yang di tangan kanannya.

Ciong-sie Sam-heng-tee mengangguk-angguk. Tak bisa salah lagi, itulah pukulan Yang-bie-touw-kie (Menggerakkan alis memuntahkan hawa) dari Tie Sip Tui di Yanciu, propinsi Siam-say. Sesudah Yang-bie-touw-kie, kedua sanggurdi itu pasti akan menghantam dada. Memikir begitu, mereka bertiga lantas saja melintangkan senjata mereka di depan dada, untuk menyambut kekerasan dengan keke-rasan.

Tapi, di luar semua perhitungan, sebaliknya dari menyerang dada, Ouw Hui menyapu kaki mereka dengan kedua senjatanya. Dengan kaget, Ciong-sie Sam-hiong melompat tinggi-tinggi. "Eh-eh!" seru seorang antaranya. "Kenapa Hoan-thian-hok-tee (membalikkan langit dan bumi)?"

Sembari melompat, Ciong Tiauw Leng mena¬nya: "Eh, masih pernah apakah kau dengan Liu-seng-kan-goat Tong Loosu dari Thaygoan-hu?"

Tong Loosu atau ahli silat she Tong dari Thay¬goan-hu di propinsi Shoasay adalah seorang ahli dalam menggunakan sepasang Liu-seng-tui (Liu-seng-tui berarti martil bintang sapu atau bandring¬an). Oleh karena itu, ia mendapat julukan Liu-seng-kan-goat (Bintang sapu mengejar bulan). Dengan Ciong-sie Sam-hiong, Tong Loosu mempunyai hu-bungan yang sangat rapat. Pukulan Hoan-thian-hok-tee adalah salah satu pukulan yang paling lihay

dari ahli silat tersebut dan yang sukar ditiru oleh orang lain.

Mendengar pertanyaan itu, sembari tertawa Ouw Hui menjawab: "Tong Loosu adalah Suteeku (adik seperguruan)."

"Fui! Jangan ngaco belo!" bentak Tiauw Leng dengan suara gusar.

Demikianlah, keheranan Ciong-sie Sam-heng-tee jadi semakin besar. Sesudah berkelana di se-luruh negeri, mereka mengenal semua ilmu Liu-seng-tui yang terdapat dalam Rimba Persilatan. Tapi cara Ouw Hui bersilat yang aneh, sudah mem-bikin mereka bingung.

Dalam suatu pertempuran yang sungguh-sung-guh, Ciong-sie Sam-hiong sebenarnya bisa merubuhkan Ouw Hui tanpa menampak banyak kesukaran. Tapi, karena kebingungan mereka, di-tambah dengan rasa jeri sebagai akibat dari pukulan terhadap tunggangan mereka, mereka jadi gentar dan kegentaran ini sudah digunakan sebaik-baiknya oleh Ouw Hui.

Sesudah lewat puluhan jurus, barulah ketiga saudara itu insyaf, bahwa ilmu silat bandringan Ouw Hui tidak terlalu lihay. Hati mereka jadi lebih mantap dan mereka menyerang dengan ilmu me¬reka yang sudah dilatih selama delapan tahun itu. Thiepay Ciong Tiauw Eng, yang terbuat dari besi, digunakan untuk menyerang dengan tenaga "keras". Sekarang Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa empat huruf yang tertulis di atas pay itu adalah: "It-kian-seng-cay" (Begitu bertemu begitu mak-mur). Bendera Ciauw-hun-hoan dari Ciong Tiauw Leng digunakan untuk melancarkan serangan te-

naga "lembek". Ouw Hui tak tahu, dari bahan apa bendera itu dibuat, bukan kain dan juga bukan kulit. Setiap kali terpukul sanggurdi "kain" bendera itu dirasakan "lembek", tapi jika bendera itu lewat di dekat badannya, Ouw Hui merasakan kulitnya pe-das sekali. Kok-song-pang Ciong Tiauw Bun me¬nyerang dengan tenaga yang sedang-sedang yaitu di antara tenaga "keras" dan tenaga "lembek". Demi¬kianlah ketiga senjata itu menyerang Ouw Hui dengan tiga macam tenaga yang bekerja sama.

Dalam sekejap, Ouw Hui sudah keteter. Se¬sudah lewat lagi beberapa jurus, tiba-tiba ia me¬loncat ke luar dari gelanggang seraya berseru: "Ta-han! Sebenarnya dengan tulus hati aku ingin mem-bujuk Samwie dan sama sekali tidak punya niat bermusuh. Tanpa senjata, aku tentu tak dapat me-lawan Samwie dan sekarang aku menyerah kalah saja." Sembari berkata begitu, ia meloncat minggir ke tepi jalan.

Ciong-sie Sam-hiong mengetahui, bahwa de¬ngan kata-kata itu Ouw Hui bermaksud membikin panas hati mereka. Tapi karena adanya urusan penting dan mereka harus berangkat secepat mung-kin, Ciong Tiauw Leng lantas saja berkata: "Baiklah. Lain kali, dengan senjata yang biasa kau gunakan, kau boleh mencoba-coba lagi." Berbareng dengan perkataannya, ia lantas menghampiri tunggangan-nya.

"Lain kali?" kata Ouw Hui sembari tertawa menyindir. "Bagus! Lain kali saja. Tak dinyana, Ciong-sie Sam-heng-tee adalah manusia-manusia yang begitu saja."

"Apa kau kata?" bentak Cong Tiauw Bun. "Siapa menyuruh kau tidak membawa senjata?"

"Sebenarnya aku sudah mempunyai suatu cara yang adil," kata Ouw Hui dengan tenang. "Hanya, aku khawatir kalian tak berani."

Ciong-sie Sam-hiong tak dapat bersabar lagi. "Hayo katakan!" mereka berseru hampir berbareng.

Sebelum Ouw Hui keburu membuka mulut, Ciong Tiauw Eng sudah berkata pula: "Kedua sau-daraku akan melayani kau di sini, sedang aku mau berangkat lebih dulu." Sehabis berkata begitu, ia mengenjot badannya terus melompat.

Hampir berbareng dengan itu, Ouw Hui yang terus berwaspada turut melompat ke atas sambil mementang kedua tangannya untuk menghalang-halangi musuh itu kabur. Tiauw Eng yang tidak menduga, bahwa pemuda itu bisa bergerak begitu cepat, lantas saja menghantam dengan Thiepaynya. Tanpa berkelit, selagi badannya masih berada di tengah udara, tangan kanan Ouw Hui menyambar pergelangan tangan musuhnya, sehingga Thiepay itu hampir-hampir kena direbut.

Dengan terkejut, Tiauw Bun dan Tiauw Leng menubruk dari kiri kanan, tapi pemuda itu sudah meloncat ke belakang sembari mengeluarkan ter-tawa nyaring dan kemudian memotes sebatang ca-bang pohon Siong yang lurus. "Jika kalian mem¬punyai nyali," ia menantang. "Mari menjajal-jajal ilmu golokku."

Meskipun senjatanya tidak sampai kena di¬rebut, Tiauw Eng merasakan pergelangan tangan¬nya sakit sekali, akibat cengkeraman Ouw Hui tadi. "Pemuda ini benar-benar bukan sembarangan orang," pikirnya. "Jika aku sendiri mengejar Lauw Ho Cin

dan membiarkan kedua saudaraku berdiam di situ, aku benar-benar merasa khawatir. Biarlah lebih dulu kita bertiga merubuhkan dia dan kemudian bam mengejar lagi orang she Lauw itu.M Memikir begitu, lantas saja ia berkata: "Kami bersedia me-layani ilmu golok tuan, hanya menyesal kami tidak membawa golok."

"Antara kita sama kita tidak ada permusuhan atau ganjalan," kata Ouw Hui. "Bahkan kita belum pernah saling mengenal. Maka itu, tak perlu kita bertempur mati-matian. Begini saja: Kita berjanji, siapa yang tersentuh, dia yang kalah. Apakah Sam-wie setuju?"

"Setuju kami setuju," sahut Tiauw Bun.

Ouw Hui lalu memetik daun-daun yang me-nempel pada cabang itu, sehingga yang ketinggalan hanyalah sebatang dahan yang lurus dan bersih. "Biarlah aku menggunakan cabang Siong ini sebagai golok," katanya. "Samwie boleh menyerang dengan berbareng. Lebih dulu kita berjanji, bahwa setiap pukulan dari cabang ini harus dianggap sebagai bacokan golok. Apakah aku bisa mendapat janji Ciong-sie Sam-heng-tee?"

Mendengar kata-kata itu, darah Ciong-sie Sam-hiong jadi semakin meluap. "Sebelum kau terlahir, nama Ciong-sie Sam-hiong yang selalu memegang janji, sudah dikenal di seluruh Kang-ouw," kata Tiauw Bun dengan suara keras.

"Kalau begitu, sambutlah!" kata Ouw Hui sem-bari menebas dengan senjatanya. Dalam sekejap, mereka sudah bertempur seru.

Ouw-kee To-hoat benar-benar lihay. Dalam tangan Ouw Hui, cabang pohon yang kecil lurus itu

menyambar-nyambar bagaikan kilat cepatnya, di-sertai dengan kesiuran-kesiuran angin yang dahsyat. Dalam serangan-serangannya, senjata Ouw Hui tak pernah kebentrok dengan senjata musuh tapi setiap pukulannya ditujukan ke bagian badan musuh yang berbahaya. Memang benar, walaupun kena ter-pukul, pukulan itu tidak membahayakan jiwa. Akan tetapi, karena adanya perjanjian, Ciong-sie Sam-hiong harus menjaga supaya badan mereka tidak kena dicolek dengan cabang itu.

Tak lama kemudian, ketiga saudara itu sudah terdesak. Dalam gusarnya, begitu melihat kesem-patan, Tiauw Bun menyabet betis Ouw Hui dengan toyanya. Dalam pertempuran Ciong-sie Sam-heng-tee selalu bekerja sama secara erat sekali. Begitu lekas Ouw Hui melompat untuk berkelit dari toya musuh, Ciauw-hun-hoan, senjata Ciong Tiauw Leng, sudah menyambar kepalanya, dan hampir berbareng, Thiepay Tiauw Eng menghantam ping-gang kanannya. Sekali ini, sebaliknya dari berkelit atau meloncat mundur, dengan berani Ouw Hui maju setindak dan secepat kilat ujung cabang Siong itu menyambar pundak kiri Tiauw Bun.

Serangan itu bukan saja cepat, tapi juga hebat luar biasa. Jika senjata Ouw Hui itu sebilah golok tajam, lengan Tiauw Bun, sebatas pundak, tentu sudah terpisah dari tubuhnya.

Wajah Tiauw Bun lantas saja berubah pucat bagaikan kertas. "Sudahlah! Sudahlah!" ia berseru sambil melemparkan Kok-song-pangnya dan meloncat ke luar dari gelanggang.

Tiauw Eng dan Tiauw Leng terkejut bukan main. Dengan serentak mereka lalu menyerang

seperti harimau edan dengan pengharapan bisa merubuhkan lawan, supaya pertandingan itu men-jadi seri. Tapi, baru saja belasan jurus, sebaliknya dari berhasil, mereka sendiri yang kena dirubuhkan musuh: Tiauw Eng kena disabet lehernya, Tiauw Leng dibabat lututnya.

Muka kedua saudara itu jadi berwarna ungu, bahna malu dan gusar. Dengan berbareng, mereka melemparkan senjata mereka. "Uah!" Tiauw Eng memuntahkan darah hidup dari mulutnya.

Melihat ketiga saudara itu memegang janji, Ouw Hui jadi menghargakan mereka. Ia merasa syukur, bahwa barusan ia tidak menurunkan tangan jahat dan ia yakin, bahwa Tiauw Eng memuntahkan darah, bukan disebabkan luka, tapi karena kejeng-kelan yang melampaui batas. Dengan perasaan me-nyesal, ia merangkap kedua tangannya untuk mem-beri hormat, tapi sebelum ia keburu membuka mu-lut, Tiauw Leng sudah mengeluarkan suara di hi-dung. "Hm!" katanya. "Tuan memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan aku merasa kagum. Hanya sayang, sungguh sayang, tuan yang masih begitu muda, tidak mengambil jalan yang lurus!"

Ouw Hui terkesiap, "Kenapa aku tidak meng¬ambil jalan yang lurus?" tanyanya dengan ter-cengang.

"Samtee!" kata Tiauw Bun dengan suara gusar. "Guna apa banyak-banyak bicara dengan dia?" Se-habis berkata begitu, ia segera membantu Tiauw Eng naik ke punggung kuda dan mereka lalu be-rangkat tanpa menengok pula dan tanpa memungut senjata mereka yang dilemparkan di atas tanah.

Melihat cara-cara ketiga saudara itu, mau tak

mau, Ouw Hui merasa kagum. Ia berdiri seperti patung sambil mengawasi tiga senjata itu dan bang-kai kuda yang menggeletak di atas tanah. Berselang beberapa saat, baru ia kembali ke kuil itu dengan tindakan perlahan.

Setibanya di bio itu, ia mendapat kenyataan bahwa suami isteri Lauw Ho Cin sudah berlalu. Mengingat, bahwa barusan ia telah melakukan pe-kerjaan mulia, hatinya merasa terhibur.

"Di mana adanya Biauw Jin Hong?" tanyanya di dalam hati. "Orang itu bergelar Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu. Berapa tinggikah ilmu silatnya?" Mengingat, bahwa Kim-bian-hud mempunyai sang-kut paut yang sangat rapat dengan mendiang ayah-nya, ia ingin sekali menemui orang gagah itu. Tapi di lain pihak, ia juga tak bisa melupakan Hong Jin Eng yang sudah bisa meloloskan diri dari ceng-keramannya. Jika ia gagal dalam usahanya mem-balaskan sakit hati keluarga Ciong A-sie, ia bukan laki-laki. Pada saat itu, ia sangat ragu-ragu. Apakah ia harus pergi menemui Biauw Jin Hong atau me-ngejar Hong Jin Eng?

Sembari menimbang-nimbang, ia berjalan kem¬bali ke tempat, di mana barusan ia bertempur de¬ngan Ciong-sie Sam-hiong. Begitu tiba di situ, hati¬nya merasa heran oleh karena senjata ketiga sau¬dara Ciong itu, yang tadi menggeletak di atas tanah, sekarang tak ketahuan ke mana perginya. Yang masih terdapat di tempat itu hanyalah bangkai kuda itu.

"Fajar baru saja menyingsing dan belum ada manusia lain yang lewat di sini," katanya di dalam hati. "Apakah Ciong-sie Sam-hiong kembali lagi

untuk mengambil pulang senjata mereka?"

Ouw Hui tak gampang mau menerima dengan begitu saja, jika menghadapi suatu teka-teki. Se-makin sulit, ia semakin penasaran. Demikianlah ia terus menyelidiki keadaan di sekitar situ. Berapa saat kemudian, matanya yang sangat tajam melihat sebuah tapak kaki berlumpur di cabang pohon besar yang terpisah kurang lebih tiga puluh tombak dari tempat pertempuran. Tapak itu terdapat di cabang yang tingginya kira-kira tiga tombak dari muka bumi dan pasti tak akan dapat dilihat mata orang biasa. Sesudah memeriksa secara lebih teliti, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa tapak itu berukuran kecil dan masih agak basah, sehingga ia segera menarik kesimpulan, bahwa yang barusan berdiri di situ adalah seorang wanita.

Jantung Ouw Hui memukul keras. "Apakah dia?" ia menanya dirinya sendiri dan ia segera me-lompat naik ke pohon itu. Benar saja, di cabang itu terdapat dua tapak sepatu wanita dan beberapa cabang kecil telah terinjak patah.

"Tak mungkin, tak mungkin nona Wan," pikir Ouw Hui. "Orang yang mempunyai ilmu meng-entengkan badan seperti ia, tak nanti menginjak cabang-cabang kecil itu sehingga patah. Tapi, siapa dia?" Dengan penasaran ia manjat lebih tinggi lagi dan di sebatang cabang yang besar, ia kembali mendapatkan sepasang tapak kaki, agaknya diting-galkan seorang laki-laki.

Sekarang ia tak sangsi lagi. Kedua orang itu sudah pasti bukan lain daripada Lauw Ho Cin dan isterinya yang telah bersembunyi di pohon dan menonton ia bertempur. Tapi berbareng dengan

kesimpulan itu, pertanyaan-pertanyaan lain segera muncul dalam otak Ouw Hui. Bagaimana, mereka, yang agaknya mendapat luka berat, bisa memanjat pohon yang tinggi itu? Dan kenapa, sesudah Ciong-sie Sam-hiong berlalu, mereka tidak memanggilnya? Di lain saat, ia mendapat suatu pikiran lain. "Ah! Sikap mereka tak salah," pikirnya. "Mereka tadinya tidak tahu, bahwa aku paham ilmu silat dan tentu saja mereka bercuriga, di waktu mendapat kenyata¬an, bahwa aku dapat merobohkan Ciong-sie Sam-hiong. Dalam dunia Kang-ouw memang banyak gelombang dan badai, setiap orang harus berlaku sangat hati-hati. Dalam bercuriga, mereka tentu saja tidak berani muncul. Di samping itu, mereka juga mempunyai suatu tugas yang harus diselesaikan secepat mungkin." Hati Ouw Hui menjadi lega dan ia segera meloncat turun. Ia mendapat kenyataan, bahwa tapak-tapak kaki itu menuju ke arah timur laut dan oleh karena ingin menyelidiki lebih lanjut, ia segera mengikutinya.

Sesudah hujan dan jalan jadi berlumpur, Ouw Hui tidak mengalami banyak kesukaran dalam usa-hanya mengikuti jejak dua orang itu. Sesudah me-ngejar kurang lebih satu jam, tibalah ia di sebuah kota kecil. Sampai di situ, jejak suami isteri Lauw Ho Cin sukar dikenali lagi, karena tersamar dengan tapak-tapak orang lain.

"Sesudah semalaman tak makan, mereka tentu lebih dulu menangsal perut," pikir Ouw Hui. "Tapi mungkin juga, mereka hanya membeli bakpauw dan lantas meneruskan perjalanan. Jika demikian, tak akan gampang menyusul mereka." Memikir begitu, ia lantas saja membeli sepotong baju hujan dan

sebuah tudung lebar yang lalu dipakainya. Dengan penyamaran itu, ia lalu menyelidiki di rumah-rumah makan.

Sesudah memperhatikan beberapa rumah ma¬kan, orang-orang yang dicarinya belum juga ke-lihatan bayang-bayangnya. Kota itu adalah sebuah kota kecil dan tak lama kemudian, ia sudah tiba di ujung pasar. Selagi mau memutarkan badan untuk kembali guna menangsal perut, tiba-tiba kupingnya mendengar suara seorang wanita. "Toako, tolong pinjam jarum dan benang," kata wanita itu. Hati Ouw Hui berdebar. Suara itu adalah suara Ong Tiong Peng.

Dari bawah tudungnya yang lebar, Ouw Hui melirik dan mendapat kenyataan, bahwa suara itu ke luar dari rumah seorang penduduk. Ia menge-tahui, bahwa kedua suami isteri itu tidak berani menginap di dalam hotel, khawatir diketemukan musuh-musuhnya. "Dilihat begini," pikir Ouw Hui. "Selain Ciong-sie Sam-hiong, mereka masih mem-punyai musuh-musuh lain. Biarlah, karena sudah terlanjur, aku akan terus melindungi mereka sampai surat itu sudah diserahkan ke dalam tangan Biauw Tayhiap."

Memikir begitu, Ouw Hui segera mengambil kamar di sebuah hotel yang berdekatan, dari mana ia terus memperhatikan rumah yang ditumpangi suami isteri Lauw Ho Cin.

Sampai magrib, Lauw Ho Cin dan isterinya belum juga muncul. "Orang tua itu benar hati-hati," pikir Ouw Hui. "Mereka tentu ingin berangkat di waktu malam." Benar saja, kira-kira tengah malam barulah kedua suami isteri itu ke luar dari rumah

tersebut dan berlari-lari dengan kecepatan luar biasa, bukan seperti orang yang sedang terluka.

"Ah! Kalau begitu mereka berpura-pura," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Pandai sungguh mereka bersandiwara, sehingga bukan saja Ciong-sie Sam-hiong, tapi aku pun sudah kena dikelabui." Tanpa membuang tempo lagi, Ouw Hui segera menguntit. Dari kejauhan, ia melihat Lauw Ho Cin mengempit sebuah bungkusan yang berbentuk agak panjang, entah bungkusan apa.

Ilmu mengentengkan badan Ouw Hui memang jauh lebih tinggi daripada suami isteri Lauw Ho Cin, sehingga dengan mudah ia dapat menguntit terus tanpa diketahui mereka. Sesudah berlari-lari ku-rang lebih lima li, mereka berhenti di depan sebuah rumah kecil yang terpencil. Lauw Ho Cin segera memberi isyarat dan isterinya lalu menyembunyikan diri di antara alang-alang yang tinggi. Sesudah itu ia mendekati rumah tersebut dan berkata dengan suara nyaring: "Apakah Kim-bian-hud Biauw Tay¬hiap ada di rumah? Seorang kawan dari tempat jauh datang berkunjung."

"Sahabat dari mana?" terdengar pertanyaan dari dalam. "Maafkanlah aku Biauw Jin Hong tak dapat mengenalinya." Suara itu tak keras, tapi terdengar tegas sekali.

"Aku she Ciong," jawab Lauw Ho Cin. "Atas perintah Kui-kian-ciu Ciong-sie Heng-tee, aku da¬tang mengantarkan surat untuk Biauw Tayhiap."

"Masuklah!" Biauw Jin Hong mengundang.

Dalam rumah itu lantas saja kelihatan terang, disusul dengan dibukanya pintu. Ouw Hui yang bersembunyi di atas sebuah pohon besar segera

melihat, bahwa seorang yang berbadan jangkung kurus berdiri di tengah pintu, dengan tangan kanan mencekal ciak-tay (tancapan lilin yang biasanya dibuat dari kuningan).

Mendengar perkataan Lauw Ho Cin, Ouw Hui jadi bingung dan heran. "Kenapa dia mengatakan surat itu dari Ciong-sie Sam-hiong, sedang Ciong-sie Sam-hiong sendiri coba merintangi disampai-kannya surat tersebut?" ia menanya dirinya sendiri.

Sementara itu, Lauw Ho Cin sudah merangkap kedua tangannya dan segera masuk ke dalam.

"Kenapa dua sahabat yang lain tidak turut ma¬suk?" tanya Biauw Jin Hong.

Lauw Ho Cin tak mengerti maksud pertanyaan itudania lantassaja memberijawabansamar-samar.

Begitu lekas kedua orang itu masuk ke dalam, Ouw Hui segera meloncat turun dari atas pohon dan mengintip dari jendela. Ia terkesiap mendengar pertanyaan Kim-bian-hud tentang, "dua sahabat lain". "Ah! Biauw Tayhiap benar-benar lihay," katanya di dalam hati. "Tindakan kakiku begitu enteng, tapi ia masih mendengar juga, bahwa yang berkunjung berjumlah tiga orang."

"Delapan tahun berselang, Ciong-sie Heng-tee telah menerima pelajaran dari Biauw Tayhiap dan mereka semua merasa kagum atas kepandaian Tay¬hiap," demikian terdengar suara Lauw Ho Cin. "Sekarang mereka sudah berlatih dengan tiga ma-cam senjata baru dan minta aku terlebih dulu datang ke sini untuk memperlihatkan ketiga benda itu kepada Biauw Tayhiap, supaya dalam pertempuran yang akan datang, Tayhiap tidak mendapat kesan, bahwa mereka hendak menarik keuntungan dari

senjata mereka yang luar biasa." Sehabis berkata begitu, ia membuka bungkusan yang dikempitnya dan mengeluarkan tiga buah senjata Ciong-sie Sam-heng-tee.

Dapat dimengerti, jika Ouw Hui jadi semakin heran.

Biauw Jin Hong hanya mengeluarkan suara di hidung dan melirik ketiga senjata itu yang diletak-kan di atas meja.

Di lain saat, Lauw Ho Cin merogoh sakunya dan mengeluarkan sepucuk surat untuk diserahkan kepada Kim-bian-hud dengan kedua tangan. "Biar-lah Biauw Tayhiap membaca surat ini," katanya. "Sekarang tugasku sudah selesai dan aku minta permisi berlalu." Ia menyoja dan lantas mengun-durkan diri.

"Perlahan sedikit," kata Biauw Jin Hong. "Se-sudah membaca surat ini, aku ingin memesan be-berapa perkataan kepada saudara untuk disam-paikan kepada Ciong-sie Sam-heng-tee." Ia yakin, bahwa surat itu adalah surat tantangan dan ia segera merobek amplopnya.

Selagi Biauw Jin Hong membaca, Ouw Hui memperhatikan wajahnya yang sangat angker. Ia mendapat kenyataan, bahwa dibanding dengan de¬lapan tahun berselang ketika mereka bertemu muka di Siang-kee-po, Kim-bian-hud kelihatan banyak lebih tua dan pada mukanya terdapat garis-garis yang mencerminkan penderitaan selama itu. Tapi, sekonyong-konyong, wajah yang berduka itu ber-ubah menjadi merah padam, kedua alisnya berdiri dan dari kedua matanya ke luar sinar berkilat-kilat. Itulah keangkeran Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu

yang wajar. Ouw Hui menjadi keder dan ia meng-angkat kaki untuk mengundurkan din.

Mendadak, dengan kedua tangannya Biauw Jin Hong merobek surat itu. Dan berbareng dengan itu, asap yang berwarna kuning menghembus ke atas dari robekan itu!

"Aduh!M teriak Kim-bian-hud sembari menekap muka dengan kedua tangannya. Pada saat yang sama, Lauw Ho Cin meloncat mundur setombak lebih.

Semua kejadian itu sudah terjadi dalam sekejap mata. Dan dalam sekejap itu, Ouw Hui sudah me-ngerti duduknya persoalan. "Kalau begitu, si tua bangka sengaja membubuhkan racun pada surat itu untuk membutakan mata Biauw Tayhiap," pikirnya dengan gusar.

"Bangsat! Jangan lari kau!" bentak Ouw Hui sembari menubruk orang she Lauw itu. Dengan cepat Lauw Ho Cin menghunus goloknya dan se¬gera membacok. Ouw Hui berkeiit sambil meng-angsurkan tangannya untuk merebut senjata mu-suh. Pada saat itu, suatu kesiuran angin yang sngat dahsyat menyambar punggungnya, sehingga mau tak mau, Ouw Hui terpaksa memutarkan badan untuk menyambut serangan tersebut dengan kedua tangannya.

Ia mengetahui, bahwa dalam gusarnya, serang¬an Biauw Jin Hong tentu hebat luar biasa. Oleh karena itu, lantas saja ia menggunakan ilmu Lian-hoan-koat dari Thay-kek-kun, yang didapatnya dari Tio Poan San, untuk memunahkan tenaga pukulan Kim-bian-hud. Tapi, begitu lekas kedua tangannya kebentrok dengan tenaga pukulan Biauw Jin Hong,

matanya berkunang-kunang dan dadanya sesak, se¬hingga ia terhuyung ke belakang beberapa tindak. Ternyata, ia hanya dapat memunahkan sebagian dari tenaga Kim-bian-hud yang luar biasa itu.

"Biauw Tayhiap!" berseru Ouw Hui. "Aku ingin membantu kau membekuk bangsat itu...."

Sementara itu, Lauw Ho Cin sendiri sudah melarikan diri.

Kedua mata Biauw Jin Hong sakit bukan main, seperti juga ditusuk-tusuk ratusan jarum. Begitu lekas tangannya kebentrok dengan tangan Ouw Hui, ia mengetahui bahwa lawannya bukan orang sembarangan. Sesudah kedua matanya buta, ia me-rasa pasti hari itu jiwanya akan melayang. Dalam bingungnya dan gusarnya, ia tak dapat menangkap perkataan Ouw Hui.

Melihat suami isteri Lauw Ho Cin kabur ke jurusan barat, Ouw Hui segera memutarkan badan untuk mengejar. Tapi baru saja ia melangkah, dari kejauhan tiba-tiba muncul tiga orang yang menge-nakan pakaian berkabung dan mereka itu bukan Iain daripada Ciong-sie Sam-heng-tee.

Melihat penderitaan Kim-bian-hud, dalam hati Ouw Hui lantas saja timbul rasa kasihan. Ia ingin mendekati untuk coba menolong, tapi khawatir dihantam. "Biauw Tayhiap," katanya dengan suara nyaring. "Walaupun aku bukan sahabatmu, tapi aku tak akan mencelakakan kau. Apakah kau percaya?"

Suara itu yang bernada memohon dan ke luar dari hati setulusnya, segera meredakan kekalapan Biauw Tayhiap. Meskipun kedua matanya tak dapat melihat wajah orang, hatinya yakin, bahwa pemuda yang mengeluarkan suara begitu, bukan seorang

jahat. Kata orang: Enghiong mengenal Enghiong. Demikian juga, suara Ouw Hui itu adalah seolah-olah kesiuran angin sejuk pada darah Biauw Jin Hong yang sedang mendidih. "Baiklah," katanya. Tolong cegat manusia-manusia jahat yang berada di luar pintu." Dengan kata-kata itu, Kim-bian-hud sudah menerima Ouw Hui sebagai sahabatnya. Di lain pihak, suara Biauw Jin Hong yang tulus jujur diterima Ouw Hui dengan rasa hangat.

Entah bagaimana, ia merasa, bahwa suara itu yang meresap dalam lubuk hatinya, adalah suara seorang ksatria besar, untuk siapa ia bersedia me-ngorbankan jiwanya jika perlu. Dengan kupingnya yang terlatih, ia mengetahui bahwa Ciong-sie Sam-hiong masih berada dalam jarak kurang lebih dua puluh tombak dari rumah itu. Dengan cepat ia pergi ke dapur dan kembali lagi dengan membawa se-mangkok air bersih. "Cucilah dulu mata Cianpwee dengan air ini," katanya sembari mengangsurkan mangkok air itu.

Biarpun matanya sakit luar biasa, pikiran Kim-bian-hud tetap terang seperti biasa. Ia mengetahui, bahwa dari depan dari jalan raya, mendatangi tiga orang, sedang dari belakang, empat orang sudah melompat naik ke atas genteng. Begitu menyambut mangkok air itu, ia melompat ke dalam kamar dan ke luar lagi dengan mendukung seorang nona cilik. Sesudah itu, baru ia mencuci kedua matanya. Tapi, racun itu ternyata luar biasa hebatnya, karena se-makin dicuci, rasa sakit semakin menjadi-jadi.

Dalam keadaan setengah pulas dan setengah sadar, nona itu berkata: "Thia-thia, apakah kau mau mengajak Lan main-main?"

"Hm! Lan-jie," katanya dengan suara halus. "Thia ingin mendukung kau, tidurlah dengan te-nang."

"Apakah anjing hutan itu benar-benar tak ma-kan si kambing putih?" tanya pula si nona.

"Tidak, tentu saja tidak," jawab sang ayah. "Pem-buru keburu datang dan binatang itu lantas kabur."

Si nona menghela napas, ia bersenyum puas dan segera menyesapkan mukanya yang kecil di dada ayahnya yang lebar. Mendengar tanya jawab antara ayah dan anak itu, Ouw Hui merasa sangat terharu.

Sesaat itu, Ciong-sie Sam-heng-tee sudah ber¬ada dalam jarak sepuluh tombak dari depan pintu. Hampir berbareng dari atas genteng, dua orang melompat turun di ruangan belakang. Dengan cepat Ouw Hui mengunci pintu depan dan mengganjalnya dengan sebuah meja besar, supaya Ciong-sie Sam-hiong tak bisa lantas masuk, agar mereka jangan sampai diserang dari depan dan dari belakang. Se¬sudah itu, dengan sekali mengebas, ia memadamkan api lilin.

Melihat padamnya penerangan, dua orang yang baru turun itu, tidak berani masuk ke dalam.

"Biarkan empat-empatnya masuk," berbisik Biauw Jin Hong.

"Baiklah," sahut Ouw Hui sembari menyalakan lagi lilin itu.

Sementara itu, di luar pintu sudah terdengar seruan Ciong Tiauw Bun: "Biauw Tayhiap! Tiauw Bun, Tiauw Eng dan Tiauw Leng dari Ouwpak utara ingin berjumpa dengan Biauw Tayhiap untuk mem-beritahukan suatu urusan penting!" Biauw Jin Hong tak menyahut, ia hanya menggerendeng.

Kedua musuh yang masuk dari ruangan bela-kang, merasa girang sekali di waktu melihat Kim-bian-hud tak bisa membuka matanya lagi. Tapi mereka itu, yang masing-masing mencekal golok dan Sam-ciat-kun, tidak berani lantas masuk ke dalam. Orang yang memegang golok lantas meng-gapai ke atas dan berseru: "Matanya sudah buta!"

Dua kawannya tertawa girang dan lantas saja meloncat turun juga. Melihat gerakan mereka, Ouw Hui mengetahui, bahwa kepandaian mereka lebih tinggi dari kedua orang yang turun lebih dulu.

Dengan beberapa lompatan kilat, Ouw Hui sudah berada di belakang dua orang itu. "Masuk!" ia membentak sambil mendorong.

Mendengar kesiuran angin yang tajam, kedua orang itu tidak berani menyambut kekerasan de¬ngan kekerasan. Mereka meloncat minggir dan ma¬suk ke dalam kamar tetamu dengan melompat lang-kan. Ouw Hui menarik napas dan sekali meniup, api lilin yang berada dalam jarak beberapa tombak, lantas saja menjadi padam. Empat orang itu ter-kejut, tapi dengan serentak mereka lalu menyerang Kim-bian-hud dengan senjata masing-masing.

"Thia, suara apa itu?" tanya si nona cilik yang tadi mendusin karena riuhnya gemerincing senjata. "Apakah anjing hutan itu datang lagi?"

"Bukan, bukan anjing hutan," sahut sang ayah. "Hanya empat cecurut kecil."

Pada detik itu, sebatang Sam-ciat-kun menyam-bar kepala Biauw Jin Hong. Dengan mendengarkan kesiuran angin, Kim-bian-hud menangkap senjata itu, yang lalu dibetotnya. Begitu dibetot, lengan orang itu kesemutan dan senjatanya terlepas. Tanpa

sungkan-sungkan lagi, dengan tangannya Biauw Jin Hong menghantam pinggang orang itu, yang tantas saja rubuh terguling dalam keadaan pingsan. Tiga kawannya, yang dua mencekal golok dan yang satu memegang Thie-pian (pecut besi), lantas saja me-nyerang tanpa mengeluarkan sepatah kata.

“Thia,” kata si nona cilik. "Apakah cecurut bisa menggigit?"

"Bangsa cecurut hanya berani menggigit orang di tempat gelap," jawab sang ayah. Tapi begitu melihat kucing, dia lantas kabur."

"Thia, suara apa itu?" tanya pula si nona. "Apa¬kah angin besar? Thia, apakah akan turun hujan?"

"Benar," sahut Biauw Jin Hong. "Sebentar bakal ada geluduk."

"Luikong Posat (Malaikat Geluduk) hanya menghantam orang jahat, bukan?" tanya lagi si gadis cilik.

Tak salah," jawabnya. "Luikong Posat sangat mencintai anak yang baik."

Sembari bercakap-cakap dengan puterinya, de¬ngan sebelah tangan Kim-bian-hud melayani ketiga musuhnya. Seperti seekor kucing mempermainkan cecurut, dengan tenang ia memunahkan setiap se-rangan dan sebegitu jauh, ia masih belum me-nurunkan tangan yang membinasakan.

Sesudah bertempur beberapa lama, seorang antaranya yang bersenjata golok, timbul rasa takut-nya, ia segera berteriak: "Angin keras, hayo angkat kaki!" Sehabis berteriak begitu, ia melompat ke luar pintu.

Ouw Hui yang sedari tadi menunggu di luar, segera menyapu dengan kakinya dan orang itu lantas saja terjungkal di atas lantai, sedang goloknya terlempar.

"Lan-jie," kata Kim-bian-hud dengan suara ha-lus. "Dengarlah! Ini suara geluduk." Berbareng de¬ngan perkataannya, ia menghantam dengan tinju-nya yang tepat mengenai musuh yang bersenjata Thie-pian. "Duk!" tubuh orang itu terbang melewati kepala Ouw Hui dan kemudian jatuh ngusruk di ruangan belakang.

Orang yang ketiga, yang menggunakan golok, ternyata berkepandaian lumayan. Dua kali berun-tun ia bisa mengelit tinju Biauw Jin Hong. Sesudah mengirimkan dua pukulan itu, Biauw Jin Hong khawatir puterinya jadi ketakutan, Biauw Jin Hong tidak menyerang lagi dan segera duduk di atas kursi.

Sekarang orang itu mengetahui, bahwa mes-kipun sudah buta, Biauw Jin Hong masih tetap lihay dan ia tak akan dapat melawannya.

Ia juga tahu, bahwa orang yang menjaga di pintu juga lawan yang berat, sehingga ia seperti juga seekor kura-kura yang sudah masuk ke dalam kuali. Mendadak ia membacok sekuat tenaganya dan se-lagi Biauw Jin Hong berkelit, ia melompat masuk ke dalam kamar tidur dan menyalakan bahan api yang lantas dilemparkannya ke dalam pembaringan. Sesudah itu, ia meloncat ke luar dari jendela, naik ke atas genteng.

Dalam sekejap api sudah berkobar-kobar dan asapnya menggolak naik ke atas.

Sementara itu, ketiga saudara Ciong yang ber-ada di luar pintu, sudah mengetahui, bahwa di dalam rumah sedang berlangsung suatu pertempuran. Se¬sudah menunggu beberapa lama, Ciong Tiauw Eng berseru: "Biauw Tayhiap! Kami bertiga sebenarnya datang untuk meminta pengajaran lagi. Akan tetapi, kami tak nanti mengganggu di waktu kau sedang berada dalam bahaya. Biauw Tayhiap! Legakanlah hatimu."

Baru saja Tiauw Eng berkata begitu, asap yang mengebul sudah terlihat dari luar rumah.

"Kebakaran!" teriak Tiauw Bun.

"Bangsat itu sungguh jahat!" berseru Tiauw Leng. "Toako! Mari kita memadamkan api!"

Ketiga saudara itu segera loncat ke atas genteng untuk mencari air.

Ouw Hui mengetahui, bahwa ilmu silat Ciong-sie Sam-hiong tak dapat dibandingkan dengan ke-pandaian empat orang yang datang duluan. Dengan kedua mata tak bisa melihat dan sebelah tangannya mendukung anak, Biauw Jin Hong pasti akan dapat dirubuhkan. Maka itu, lantas saja ia membentak: "Manusia tak punya malu! Jangan masuk kau!"

Sementara itu, api berkobar-kobar semakin besar.

"Thia," kata si nona. "Panas betul!"

Dengan cepat Kim-bian-hud menggeser meja dan menendang pintu yang lantas saja jadi terpental. Ia menggapai ke atas genteng seraya berkata: "Mart¬ian! Di sini saja kita bertempur." Ia berkata begitu dengan suara perlahan karena khawatir mengaget-kan puterinya.

Pada detik itu, tanpa merasa Biauw Jin Hong ingat kejadian itu, delapan tahun berselang. Seperti sekarang, dulu pun dengan badan terluka, ia harus melayani Ciong-sie Sam-hiong dalam rumah yang sedang terbakar. Perbedaannya adalah: Pada waktu

itu, yang menemani ia bukan seorang nona cilik, tapi seorang wanita cantik yang belakangan menjadi isterinya. Tidak! Dia tidak menemani terus, karena pada saat yang berbahaya, dia sudah kabur lebih dulu....

Melihat api semakin menghebat dan menaksir, bahwa untuk akan dapat mempertahankan diri, Ouw Hui segera mengambil putusan untuk lebih dulu coba memadamkan api. Ia berlari-lari ke dapur dan dengan girang ia melihat, bahwa di pinggir dapur berdiri berjejer tiga jambangan batu besar yang semuanya terisi air. Ia memeluk sebuah an-taranya dan dengan mengerahkan Lweekangnya, dapat juga ia mengangkat jambangan itu yang be-ratnya lebih dari enam ratus kati. Biarpun memiliki tenaga yang sangat besar, tak urung tindakannya agak sempoyongan. Dengan mengeluarkan sean-tero tenaganya dan menahan napas, bisa juga ia berjalan sampai di dalam kamar tidur itu sambil memeluk jambangan yang lalu dilemparkannya ke tengah pembaringan.

Api itu lantas saja menjadi reda, tapi belum padam seluruhnya. Buru-buru Ouw Hui pergi lagi ke dapur dan mengangkat pula sebuah jambangan. Tapi baru saja ia melangkah pintu kamar, suatu kesiuran angin tajam menyambar punggungnya. Ternyata, orang yang tadi dijatuhkannya, telah me-mungut goloknya dan membokong ia dari belakang. Ketika itu, dengan kedua tangan memondong jam¬bangan, Ouw Hui tak dapat berkelit atau menangkis lagi. Pada detik yang sangat berbahaya, cepat ba-gaikan kilat, kaki Ouw Hui menendang ke belakang sembari manggut ke depan. Itulah tendangan aneh

yang pada berapa tahun berselang pernah diguna-kan oleh Giam Kie di Siang-kee-po, sehingga se-orang ahli silat seperti Ma Heng Kong masih tak dapat memunahkannya. Tendangan tersebut me-ngenai kempungan orang itu yang badannya lantas saja terbang melewati kepala Ouw Hui dan jatuh tepat di dalam jambangan! Kejadian luar biasa itu telah terjadi oleh karena berbareng dengan ten-dangannya, Ouw Hui juga menggaet ke depan.

Begitu lekas tubuh orang itu tercebur, Ouw Hui mendorong dan melemparkan jambangan itu yang lantas saja terbelah dua dan airnya memadamkan sisa api yang masih ketinggalan. Orang itu turut jatuh mengusruk dengan luka-luka dan pakaian basah kuyup.

Sesudah berhasil memadamkan kebakaran, Ouw Hui segera memutarkan badan untuk mem-bantu Biauw Jin Hong. Sekonyong-konyong ia men-dengar suara bentakan-bentakan yang disusul de¬ngan bunyi beradunya senjata. Didengar dari sua-ranya, orang yang membentak bukan lain daripada Lauw Ho Cin. "Bangsat!" ia berteriak. "Aku sudah kena ditipu olehmu!"

"Dengan siapa dia bertempur?" tanya Ouw Hui dalam hatinya. "Dia adalah orang yang berdosa paling besar dan paling baik aku lebih dulu mem-bekuk dia." Memikir begitu, Ouw Hui segera berlari-lari ke pekarangan belakang, ke arah suara itu. Segera juga ia melihat, bahwa dengan tangan kosong, Lauw Ho Cin sedang bertempur dengan seorang lelaki yang bersenjata golok. Dari gerakan-gerakannya, Ouw Hui mengenalinya sebagai pen-jahat yang tadi melepaskan api di kamar tidur.



Ouw Hui jadi semakin heran. Terang-terang mereka berdua berkawan, tapi kenapa sekarang mereka berbalik bertempur hebat? Ouw Hui tak sempat memikir panjang-panjang dan sekali me-ngenjot badan, ia menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran. Cepat bagaikan kilat, dengan ilmu Toa-kin-na-chiu, kedua tangannya berhasil meno-tok jalan darah di punggung kedua orang itu yang lantas saja tak dapat bergerak lagi. Bahwa dengan sekali bergebrak sja Ouw Hui sudah berhasil, adalah karena mereka berdua sedang memusatkan sean-tero perhatian mereka kepada pertempuran mereka yang sedang sengitnya.

Ouw Hui berdiam sejenak dan memasang ku-ping. Ia girang, karena di depan rumah belum terjadi pertempuran, tapi ia teap khawatir, jika Biauw Jin Hong mendapat celaka dalam tangan Ciong-sie Sam-hiong. Maka itu, lantas saja ia menenteng tubuh Lauw Ho Cin dan orang itu, yang lalu di-cemplungkan ke dalam sumur yang berada di dapur. Untuk menjaga supaya kedua tawanan itu tidak kabur, ia mengangkat jambangan ketiga itu, yang lalu digunakan menutup mulut sumur. Sesudah itu, dengan mengambil jalan memutar, ia berlari-lari ke pekarangan depan.

Sesaat itu, Ciong-sie Sam-hiong, yang masing-masing menggenggam sepasang Poan-koan-pit, su¬dah berhadapan dengan Biauw Jin Hong, tapi me¬reka belum menyerang. Ouw Hui mendekati seraya berkata: "Biauw Tayhiap, serahkanlah puterimu ke-padaku."

Walaupun sikapnya tenang, Kim-bian-hud se¬dang berduka. Ia yakin, bahwa dengan mata tidak

dapat melihat, andaikata ia berhasil memukul mun-dur Ciong-sie Sam-hiong malam itu, akhirnya ia akan binasa juga dalam tangan musuh-musuhnya. Sebagai seorang ksatria, ia selalu memandang ke-matian sebagai soal yang remeh. Akan tetapi, pada waktu itu, masih ada apa-apayang diberatinya, yang membikin ia sungkan mati begitu cepat. Yang di-pikirkannya adalah Lan-jie, puterinya yang sebiji mata.

Barusan, dengan kupingnya yang sangat tajam, ia sudah mendengar segala sepak terjang Ouw Hui, yang sudah berhasil memadamkan kebakaran dan berhasil pula membekuk dua orang penjahat. Ia merasa kagum akan pribudi dan kecerdikan pemuda itu. Itulah sebabnya, mengapa begitu mendengar permintaan Ouw Hui, ia segera menanya: "Saudara kecil, apakah aku boleh mendengar she dan nama-mu yang mulia?"

Ouw Hui yang masih belum mengetahui, apa¬kah benar ayahnya telah binasa dalam tangan Biauw Jin Hong, merasa sangsi untuk memberitahukan namanya secara terus terang. Maka itu, lantas saja ia menyahut. "Dalam perhubungan antara laki-laki dan laki-laki, yang penting adalah pribudi. Soal nama adalah soal kecil. Manakala Biauw Tayhiap mempercayai aku, biarpun badanku hancur lebur, aku berjanji akan melindungi puterimu yang ter-cinta."

"Bagus!" kata Biauw Jin Hong. "Biauw Jin Hong adalah seorang sebatang kara. Selama hidupnya, ia hanya mempunyai dua sahabat, yang satu adalah Liaotong Tayhiap Ouw It To, sedang yang lain adalah kau sendiri, seorang saudara kecil yang entah

siapa namanya." Sembari berkata begitu ia menye-rahkan puteri tunggalnya kepada pemuda itu.

Bukan main girangnya Ouw Hui setelah men¬dengar perkataan Biauw Jin Hong yang mengata-kan, bahwa ayahnya adalah sahabat ksatria itu. Ia menyambuti si nona cilik yang berusia kira-kira tujuh tahun dan yang sedang pulas nyenyak, dengan mulut menyunggingkan senyuman.

Melihat Ouw Hui dan mendengar pembicaraan-nya dengan Kim-bian-hud, Ciong-sie Sam-hiong jadi tercengang.

Di lain saat, Biauw Jin Hong sudah merobek tangan bajunya yang lalu digunakan untuk mem-bebat kedua matanya. "Manusia tak mengenal malu!" ia membentak. "Hayolah! Majulah dengan berbareng! Anakku sedang pulas, kamu jangan bi-cara keras-keras."

Ciong Tiauw Bun maju setindak dan berkata dengan suara gusar: "Biauw Tayhiap! Dulu, muridku telah binasa dalam tanganmu dan kami bertiga telah datang untuk minta perhitungan. Belakangan kami mengetahui, bahwa murid itu adalah manusia jahat yang serakah, yang pantas sekali mendapat hu-kumannya. Dalam hal itu, kami sebenarnya harus menghaturkan banyak terima kasih kepadamu yang sudah membersihkan rumah tangga kami dari kutu busuk."

"Hm!" gerendeng Kim-bian-hud. "Perlahan se-dikit. Kupingku tidak tuli."

Tiauw Bun jadi semakin gusar dan lalu berkata pula: "Waktu itu, meskipun kau terluka, kami ter-nyata masih bukan tandinganmu. Maka itu, se-karang kami datang berkunjung lagi untuk meminta

pengajaran pula. Akan tetapi di tengah jalan kami mengetahui, bahwa sekomplotan manusia keji se-dang memasang jaring untuk mencelakakan kau. Bahwa kami menyusul ke mari untuk memberitahu kau, supaya kau bisa berjaga-jaga. Sekarang, sedang kawanan manusia jahat itu sudah kabur semuanya, terserahlah kepada kau, apa kau sudi memberi pelajaran kepada kami? Apa perlunya kau menutup kedua matamu. Apakah kau menganggap kami ber-tiga begitu tak punya guna, sehingga bisa dirubuh-kan olehmu dengan mata tertutup?"

Biauw Jin Hong terkejut. Dari kata-kata itu ternyata Ciong-sie Sam-hiong tak mempunyai sang-kut paut dengan komplotan penjahat yang sudah membutakan kedua matanya.

"Kedua mataku buta," katanya dengan suara menyeramkan.

"Astaga!" teriak mereka dengan serentak. "Ka-lau begitu, kami sudah keliru menafsirkan sikap Biauw Tayhiap," kata Ciong Tiauw Bun. "Delapan tahun lamanya, kami bertiga melatih diri, tapi ter¬nyata kami tak mendapat kemajuan suatu apa, se¬hingga soal meminta pengajaran boleh tak usah disebut-sebut lagi. Apakah Biauw Tayhiap menge-nal seorang dari partai Wie-to-bun yang bernama Lauw Ho Cin? Diantara orang-orang yang tadi diusir, tak terdapat orang she Lauw itu. Menurut pengetahuan kami, dalam satu-dua had ini, orang itu pasti akan berkunjung dengan suatu maksud yang tidak baik. Maka itu, sedang kedua matamu tak begitu sehat, jika bertemu dengan orang itu, sebaiknya Tayhiap berlaku hati-hati."

"Ciong Toaya!" celetuk Ouw Hui. "Apakah be-

nar-benar kau tidak mengetahui ketika tadi Lauw Ho Cin menyebar racun?"

"Ah! Kau juga berada di sini?" kata Tiauw Bun. "Aku ingin sekaii mendapat kepastian, di pihak mana kau berdiri? Apakah kau kawan atau lawan? Jika kau seorang kawan, kenapa kau berbalik mem-bantu Lauw Ho Cin, di waktu kami coba men-cegatnya?"

"Dalam hal ini, aku sungguh merasa malu," Ouw Hui mengakui kekeliruannya. "Persoalan ini mem¬punyai latar belakang yang sungguh membingung-kan. Baik juga, manusia itu Lauw Ho Cin, sudah kena dibekuk olehku dan sekarang kukurung di dalam sumur. Marilah kita memeriksa dia untuk menyelidiki persoalan ini." Sehabis berkata begitu, ia berpaling kepada Kim-bian-hud dan menanya: "Biauw Tayhiap, apakah Ciong-sie Sam-hiong orang baik atau orang jahat?"

Ciong Tiauw Bun tertawa dingin dan berkata: "Kami tak pernah melakukan pekerjaan ksatria dan juga belum pernah menolong sesama manusia. Mana bisa dihitung sebagai manusia baik?"

"Aku tahu, Ciong-sie Sam-hiong bukan sebang-sa manusia rendah," kata Kim-bian-hud dengan suara tetap.

Mendengar pujian itu, ketiga saudara Ciong merasa senang sekaii. Tanpa berkata suatu apa, Tiauw Bun dan Tiauw Leng lantas saja pergi ke belakang dan mengangkat jambangan besar yang menutupi mulut sumur.

"Naiklah!" mereka membentak.

Sebaliknya dari jawaban, mereka mendengar suara ribut-ribut di dalam sumur, seperti juga dua

orang sedang berkelahi. Tiauw Bun segera me-nurunkan timba dan berseru: "Peganglah timba ini! Aku akan menarik kamu ke atas." Di lain saat, Tiauw Bun merasakan timba itu sudah dipegang orang dan dengan perlahan ia mengangkat dua orang yang basah kuyup.

Begitu kakinya hinggap di bumi, Lauw Ho Cin menghantam orang yang satu lagi itu dengan tinju-nya. Orang itu sudah payah sekali agaknya, sudah kenyang minum air dan mendapat gebukan di dalam sumur. Melihat pukulan Lauw Ho Cin bisa meng-ambil jiwa orang itu, buru-buru Tiauw Bun me-nangkis. "Jangan bergerak!" bentak Tiauw Leng sembari menekan kedua-dua punggung Lauw Ho Cin dan orang itu dengan Poan-koan-pit. "Sekali bergerak, jiwamu melayang!"

Demikian, masing-masing seorang kedua sau-dara Ciong itu menyeret dua tawanan itu masuk ke ruangan dalam. Ketika itu, Ouw Hui sudah me-ngembalikan si nona cilik kepada ayahnya dan se-batang lilin sudah dinyalakan. Oleh karena kamar puterinya sudah tak dapat digunakan lagi, Biauw Jin Hong segera mendukung si nona ke kamarnya sendiri. Ketika ia kembali ke ruangan depan, kedua saudara Ciong sudah masuk dengan menyeret dua tawanan tadi.

Biauw Jin Hong menghela napas seraya ber¬kata: "Sedari dua puluh tahun berselang aku sudah mendengar nama Wie-to Song-ho. Dalam kalangan Kang-ouw, Ban Loosu dan Lauw Loosu mempunyai nama yang cukup harum."

"Biauw Tayhiap," kata Lauw Ho Cin. "Aku sudah ditipu oleh manusia jahat dan aku sungguh-

sungguh merasa menyesal. Apakah kedua matamu mendapat luka berat?"

Mendengar pertanyaan itu, Ciong-sie Sam-hiong mengeluarkan seruan kaget. Sekarang baru mereka mengetahui, bahwa rusaknya kedua mata Biauw Jin Hong baru saja terjadi.

"Apakah kau murid Tian Kui Long?" tanya Kim-bian-hud kepada orang yang tadi bertempur dengan Lauw Ho Cin. "Ilmu silatmu cukup tingi, sedikitnya kau sudah memahami tujuh bagian dari seluruh silat Thian-liong-bun."

Orang itu bergemetar sekujur badannya dan ia menekuk kedua lututnya sembari mengangguk-ang-guk. "Biauw Tayhiap," katanya dengan suara me-mohon dikasihani. "Aku yang rendah hanya me-nerima perintah orang. Aku mohon belas kasihan Loojinkee."

"Bangsat!" teriak Lauw Ho Cin sambil me-nuding wajahnya. "Sungguh hebat kau menipu aku!" Sembari berkata begitu, ia meloncat dan mengayun tangannya. Tiauw Eng buru-buru menghadang di tengah-tengah dan berkata: "Sabar! Apa yang se¬karang kita inginkan, adalah penjelasan tentang duduknya persoalan."

Lauw Ho Cin adalah seorang ternama dalam Rimba Persilatan. Bahwa ia sudah kena diperdayai orang secara mentah-mentah sehingga berakibat celakanya seorang ksatria, sudah membikin ia me¬nyesal tiada habisnya dan bahwa sebagai seorang kenamaan, ia sudah dicemplungkan ke dalam su¬mur, adalah kejadian yang sungguh-sungguh me-malukan. Maka itu, matanya berkunang-kunang dan ia jatuh terduduk di sebuah kursi. "Sudahlah! Su-

dahlah!" katanya dengan suara sedih. "Biauw Tay-hiap! Aku tak tahu bagaimana aku harus menebus dosa."

"Selama hidupnya, manusia sukar terlolos dari tipu muslihat kawanan manusia keji," kata Kim-bian-hud dengan suara tenang. "Itulah kejadian yang lumrah dalam dunia ini. Loosu tentunya sudah ditipu olehnya, sehingga mau mengantarkan surat itu kepadaku."

Bukan main kagumnya Ouw Hui dan Ciong-sie Sam-hiong setelah mendengar perkataan Biauw Tayhiap yang bebas dari rasa dendam. Harus di-ingat, bahwa pada ketika itu, kedua mata Kim-bian-hud sudah buta sama sekali. Dalam keadaan yang sama, seorang ksatria tanggung-tanggung pasti tak akan bisa mengeluarkan perkataan begitu.

"Aku bermula mengenal manusia itu di Hong-yap-chung," kata Lauw Ho Cin. "Dia mengaku ber-nama Thio Hui Hiong dan menurut katanya, oleh karena pernah menanggung budi Ban Sutee, maka begitu mendengar berita tentang meninggalnya, buru-buru ia datang ke Hong-yap-chung untuk me-nyatakan turut berduka cita."

"Kalau begitu Ban Ho Seng Loosu sudah me-ninggal dunia?" tanya Kim-bian-hud.

"Benar," jawabnya. "Belakangan karena meng-anggap dia seorang baik, aku berjalan bersama-sama dengan dia ke daerah utara. Ketika berpa-pasan dengan Ciong-sie Sam-heng-te di tengah ja¬lan, dia kelihatan ketakutan. Malam itu, aku tidur sekamar dengan ia. Tengah malam, ia berlagak mengigau dan antara lain dia mengatakan, bahwa jika surat itu tidak dapat disampaikan kepada ala-

matnya, sejumlah besar orang-orang gagah yang budiman akan melayang jiwanya. Mendengar be¬gitu, lantas saja aku mengambil keputusan untuk mencampuri urusan itu. Besok paginya, aku me-nanyakan tentang igaunya. 'Lauw Loosu,' sahutnya. 'Sesudah menyaksikan sikapmu terhadap Sie-wie kerajaan Ceng itu, aku tahu, bahwa kau adalah seorang gagah tulen dan tak usah aku menyem-bunyikan rahasia ini.' Ia mengeluarkan sepucuk surat dan mengatakan, bahwa surat itu harus disam¬paikan kepada Biauw Tayhiap, supaya beliau bisa menolongnya. Jika tidak, banyak sekali orang gagah akan menjadi korban kaki tangan kerajaan Ceng. Selanjutnya ia memberitahukan, bahwa Ciong-sie Sam-hiong, yang mempunyai ganjalan dengan Biauw Tayhiap, tentu akan coba merintangi disampaikan-nya surat itu. Dia mengaku tak sanggup melawan ketiga saudara Ciong dan meminta bantuanku. Mengingat maksudnya yang mulia, lantas saja aku menyanggupi. Di tengah jalan, aku telah bertempur dengan Ciong-sie Sam-hiong dan kena dikalahkan. Isteriku membantu, tapi kami berdua masih tak bisa melawan ketiga saudara itu. Maka itu, dengan men-dapat luka enteng, kami melarikan diri dengan membawa surat itu. Secara sangat kebetulan, di kuil Siang Hui, kami bertemu dengan saudara kecil itu. Dalam pertandingan di Hong-yap-chung, saudara kecil itu pernah menolong aku dan sesudah menyak¬sikan pertempuran di dalam kuil itu, aku tahu, bahwa ia mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Begitulah, kami segera berpura-pura terluka berat dan menjalankan siasat untuk memancing bantuan-nya. Benar-benar, ia kena ditipu. Aku menipu saudara kecil itu, tanpa mengetahui, bahwa aku sendiri pun sudah kena ditipu orang." Sehabis berkata begitu, jenggotnya bergerak-gerak, napasnya ter-sengal-sengal dan dengan mata mendelik ia meng-awasi Thio Hui Hiong.

Ouw Hui mendengarkan cerita itu tanpa ber¬kata suatu apa. "Dia tak berdusta," katanya di dalam hati. "Kalau begitu, pertempuran dengan Wan Cie Ie sudah dilihatnya." Mengingat Wan Cie Ie, hati Ouw Hui lantas saja berdebar. Tapi, Lauw Loosu," katanya. "Perlu apa kau mengambil senjatanya Ciong-sie Sam-hiong?"

"Kedatangan Ciong-sie Sam-hiong untuk mem-balas dendam, belum tentu diketahui oleh Biauw Tayhiap," sahutnya. "Maka itu, aku merasa perlu untuk memberitahukan kepadanya, supaya ia bisa berjaga-jaga. Bahwa aku sudah mengambil tiga sen-jata itu dan memperlihatkannya kepada Biauw Tay¬hiap, adalah untuk mendapat kepercayaannya. Mungkin kau juga kepingin tahu, kenapa aku sudah mengatakan, bahwa surat itu adalah kiriman Ciong-sie Sam-hiong. Suadara kecil perkataanku itu se-benarnya ditujukan kepada kau. Aku tahu, bahwa kau menguntit di belakangku dan aku khawatir kau akan segera menyerang. Dengan berkata begitu, kau tentu akan menjadi bingung dan dalam bingung-mu, kau tentu tak akan lantas turun tangan. Aku menganggap, bahwa yang kukatakan itu tidak pen-ting. Yang penting, adalah isi surat itu. Aku me-ngira, bahwa begitu membaca, Biauw Tayhiap tentu akan mengerti maksud surat tersebut yang me-mohon bantuannya untuk menolong jiwa orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Tapi... siapa...nyana... siapa... nyana...."

Sampai di situ dadanya menyesak, tak dapat ia bicara lagi.

"Secara kebetulan kami bertiga sudah dapat mendengar akal busuk orang she Thio itu," kata Tiauw Bun. "Belakangan kami mengetahui, bahwa dia kasak-kusuk dengan Lauw Loosu, untuk men-celakakan Biauw Tayhiap. Maka itu, kami lalu ber-usaha untuk mencegatnya, tanpa mengetahui bah¬wa urusan ini mempunyai latar belakang yang ber-belit-belit. Biauw Tayhiap, bagaimana dengan mata-mu?"

Biauw Jin Hong tak menyahut. Sesaat kemu-dian dengan perlahan ia menggoyangkan sebelah tangannya yang lebar dan besar. "Sudahlah," kata¬nya. "Yang sudah tinggal sudah, tak guna dibicara-kan lagi."

Dengan kedua matanya Ouw Hui menyapu seluruh ruangan itu untuk mencari surat yang beracun itu. Segera juga ia melihat, bahwa dua robekan kertas tadi, masih menggeletak di pojok ruangan. Ia tak berani datang terlalu dekat dan hanya memandangnya dari kejauhan. Pada dua potong kertas itu hanya terdapat tiga baris huruf, setiap hurufnya sebesar biji engtho. Sesudah memperhatikan beberapa saat, ia mendapat ke-nyataan, bahwa surat itu bertuliskan seperti berikut:

Saudara Jin Hong. Puterimu cantik dan lemah lembut.

Tak cocok ia berada pada kau, manusia goblok yang hanya mengenal ilmu silat. Maka itu, aku mengirim orang untuk menyambutnya supaya nona itu bisa dipelihara sebagaimana mestinya olehku.

Hormatku, Tian Kui Long

Seperti diketahui, Kim-bian-hud mencintai pu¬terinya lebih daripada jiwanya sendiri. Sesudah membawa kabur isterinya, sekarang orang she Tian itu maui juga puterinya yang sebiji mata. Mana mungkin, darahnya tak jadi meluap? Bisa diduga, bahwa sesudah melakukan perbuatan berdosa, ma¬nusia itu tak enak makan dan tak enak tidur karena khawatir pembalasan. Maka itu, ia sudah mengatur siasat itu, suatu siasat yang sangat busuk dan kejam.

Semakin lama, Lauw Ho Cin jadi semakin gusar dan menyesal. "Orang she Thiol" ia berteriak de-ngan kalap. "Sesudah mendapat perintah gurumu untuk mencelakakan Biauw Tayhiap, kenapa kau tidak mengantarkan sendiri surat itu dan sudah menyeret tanganku?"

"Aku... takut..." jawabnya dengan suara terpu-tus-putus. "Aku... takut.... Biauw Tayhiap dapat mengenali, bahwa aku... adalah murid Thian-liong-bun...."

"Kau takut tak keburu lari, jika akal busukmu ketahuan, bukan?!" bentak Lauw Ho Cin. "Bina-tang! Benar-benar binatang!" Ia berpaling kepada Biauw Jin Hong dan berkata dengan suara gemetar: "Biauw Tayhiap, bolehkah aku memohon kerelaan-mu? Serahkanlah binatang itu kepadaku!"

"Lauw Loosu," kata Kim-bian-hud dengan suara tenang. "Guna apa kita meladeni kawanan manusia

rendah. Thio Hui Hiong! Di dalam pekarangan dua kawanmu masih menggeletak dengan luka yang tidak enteng. Pergilah! Tolonglah mereka dan pergi dari sini! Kuharap kau suka memberitahukan Suhu (guru) dan Subomu...." Ia tak dapat meneruskan perkataannya dan berdiri bengong dengan mata mendelong. (subo berarti isteri guru, isteri Tian Kui Long, yaitu Lam Lan, bekas isterinya sendiri yang dibawa kabur oleh Tian Kui Long). Beberapa saat kemudian, ia mengebaskan tangannya dan menam-bahkan: "Sudahlah! Tak ada apa-apa lagi. Pergilah!"

Itulah suatu kejadian yang sungguh-sungguh di luar dugaan Thio Hui Hiong. Sesudah membutakan kedua mata Kim-bian-hud, ia menganggap, bahwa jiwanya tak akan dapat ditolong lagi.

Tapi tak dinyana-nyana, Biauw Jin Hong sudah berlaku begitu murah hati dan tidak menghukum-nya. Bukan main rasa terima kasihnya dan ia mang-gutkan kepalanya berulang-ulang. Dengan berem-pat, ia menyatroni rumah Biauw Tayhiap. Begitu lekas kedua mata Kim-bian-hud buta, mereka ber-maksud membinasakan ksatria itu dan kemudian membawa kabur puterinya. Tapi, benar juga orang berujar: Manusia berusaha, Allah berkuasa. Di luar semua perhitungan, muncullah Ouw Hui, sehingga tipu busuk itu hanya berhasil sebagian. Antara tiga kawannya, seorang, yaitu yang dilemparkan Ouw Hui dalam kamar tidur, lagi masih menggeletak dengan luka berat.

"Hm! Biauw Jin Hong berlagak murah hati dan pura-pura melepaskan tiga orang itu," kata Lauw Ho Cin di dalam hatinya. "Tak tahu, penganiayaan apa yang hendak dilakukannya terhadap diriku."

Harus diketahui, bahwa sebagai orang yang ber-pengalaman, ia sudah sering menyaksikan cara-cara orang Kang-ouw menghukum musuh-musuhnya itu disiksa pergi datang, sebelum dibinasakan.

Di lain saat, Thio Hui Hiong sudah memba-ngunkan kedua suteenya dan segera berjalan ke luar dengan memapah mereka. Tak lama kemudian, mereka sudah menghilang di tempat gelap, tapi benar-benar mengherankan, Biauw Jin Hong tetap tidak bergerak.

"Biauw Tayhiap," kata Lauw Ho Cin yng sudah tak bisa bersabar lagi. "Sekarang kau sudah boleh membekuk mereka kembali. Mereka sangat licin, aku khawatir mereka benar-benar kabur."

"Untuk apa dibekuk lagi?" tanya Kim-bian-hud. "Bukankah aku sudah mengampuni mereka?" Ia berdiam sejenak. "Mereka sama sekali tidak me-ngenal aku. Mereka hanya menjadi alat orang lain."

Rasa malu dan menyesal yang melampaui batas, mengaduk dalam dada Lauw Ho Cin. Mendadak ia meloncat bangun. "Biauw Tayhiap!" katanya dengan suara nyaring. "Selama hidup, belum pernah aku melakukan perbuatan yang berdosa. Had ini, kedua mataku benar-benar tak berbiji, tak bisa mengenali seorang ksatria yang budiman dan penuh welas asih. Biauw Tayhiap! Karena gara-garaku, sungguh hebat penderitaanmu."

Berbareng dengan perkataannya, ia raemen-tang dua jeriji tangan kirinya yang lalu disodokkan kedua matanya sendiri! Ouw Hui coba menolong, tapi ia terlambat. Ciong-sie Sam-hiong kesima dan kemudian meloncat bangun dengan serentak.

"Lauw Lossu," kata Biauw Tayhiap dengan sua-

ra terharu. "Kenapa kau berbuat begitu. Sedikit pun aku tidak menyalahkan kau."

Lauw Ho Cin tertawa terbahak-bahak dan ber¬jalan ke luar dengan tindakan lebar. Setibanya di luar rumah, ia memotes sebatang cabang pohon yng lalu digunakan sebagai tongkat penunjuk jalan.

Untuk beberapa lama, kelima orang itu yang masih berada di dalam rumah Biauw Jin Hong, tak mengeluarkan sepatah kata. Mereka geregetan ber¬bareng terharu. Geregetan mengingat akal busuk Tian Kui Long dan terharu karena peristiwa itu berakibat hebat, yaitu butanya dua orang ksatria yang jarang ada tandingannya.

"Saudara kecil," Kim-bian-hud memecahkan ke¬sunyian. "Kau sudah berjanji untuk melindungi pu-teriku. Kuharap kau jangan melupakan janjimu itu."

"Perkataan laki-laki tak akan ditarik kembali," sahut Ouw Hui dengan suara nyaring. "Hanya aku menyesal dengan cara Lauw Loosu. Dengan mem-persakiti diri sendiri, liangsimnya memang terhibur. Tapi apa gunanya?"

"Benar," kata Tiauw Eng sambil menghela na-pas. "Tapi biar bagaimana juga, Lauw Loosu adalah seorang laki-laki sejati."

Lama juga mereka duduk diam tanpa menge¬luarkan sepatah kata. Akhirnya Ouw Hui yang memecahkan kesunyian dengan berkata: "Biauw Tayhiap bagaimana dengan matamu? Coba cuci lagi dengan air."

"Tak usah," jawab Biauw Jin Hong. "Sakitnya luar biasa." Sehabis berkata begitu, ia berbangkit dan berpaling kepada Ciong-sie Sam-hiong. "Aku sungguh merasa malu, bahwa aku tak mempunyai

apa-apa untuk menyambut Samwie yang dari tempat jauh sudah datang ke sini," katanya sembari mem-bungkuk. "Aku ingin rebahan sebentar, harap Sam¬wie sudi memaafkan."

"Silakan," kata Tiauw Bun. "Jangan Biauw Tay-hiap berlaku sungkan." la lalu memberi tanda ke-pada dua saudaranya yang lantas saja berpencar dan menjaga di pintu depan dan di pintu belakang. Tiauw Bun sudah berbuat begitu karena khawatir kalau-kalau Tian Kui Long mengirim lagi kaki ta-ngannya untuk menyerang. Ouw Hui sendiri lalu mengambil ciaktay dan mengikuti Biauw Jin Hong sampai di kamarnya. Sesudah Kim-bian-hud me-rebahkan diri, Ouw Hui segera mengambil selimut dan menyelimuti tubuh orang gagah itu. Si nona cilik sendiri sedang pulas nyenyak, sama sekali ia tidak mengetahui, bahwa tadi, rumahnya dikacau orang dan kedua mata ayahnya sudah menjadi buta.

"Saudara kecil," kata Kim-bian-hud. "Di atas penglari terdapat sebuah kotak besi. Coba ambil!"

"Baiklah," kata Ouw Hui sembari mengenjot badannya yag lantas saja melesat ke atas. Dengan tangan kiri mencekal penglari, tangan kanannya meraba-raba. Benar saja, di atas balok, ia men-dapatkan sebuah kotak besi yang lalu diambilnya.

Begitu turun, ia meletakkan kotak itu di atas kasur, di dekat tangan Biauw Jin Hong. Sebelum Kim-bian-hud bisa membuka mulut, sekonyong-ko-nyong terdengar tindakan orang yang berlari-lari, disusul suara bentakan Ciong Tiauw Leng: "Bina-tang! Kau datang lagi?" Bentakan itu disusul pula bunyi beradunya senjata.

"Tahan!" demikian terdengar teriakan Thio Hui

Hiong. "Aku tak mempunyai maksud jahat. Aku datang untuk berbicara sedikit dengan Biauw Tay-hiap."

"Biauw Tayhiap sudah tidur," kata Tiauw Leng dengan perlahan. "Kalau mau bicara, besok saja kau datang lagi."

"Tak usah," kata Hui Hiong. "Sekarang saja aku memberitahukan kepadamu. "Aku sekarang men-dapat kenyataan, bahwa Biauw Tayhiap adalah se-orang ksatria budiman yang sangat mulia. Aku ber-dosa besar, tapi dengan suka rela beliau sudah mengampuni jiwaku dari kebinasaan. Maka itu, tak bisa tidak, aku mesti membuka rahasia ini. Racun yang digunakan untuk membutakan mata Biauw Tayhiap adalah rumput Toan-chung-co (Rumput memutuskan usus), yang telah dicuri oleh guruku dari tempat Tok-chiu Yo-ong (Raja obat Tangan beracun). Di sepanjang jalan, siauwjin (aku yang rendah) memikirkan kecelakaan yang menimpa Biauw Tayhiap. Mungkin sekali, jika ada orang yang pergi kepada Tok-chiu Yo-ong dan memohon per-tolongannya, kedua mata Biauw Tayhiap masih bisa ditolong. Sebenarnya, siauwjin sendiri yang harus berusaha untuk mendapatkan obat itu. Akan tetapi, siauwjin adalah seorang yang tidak ternama, se-hingga sukar sekali bisa melakukan tugas yang se-berat itu."

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar