-------------------------------
----------------------------
Bab 6. Barisan pedang yang sangat hebat
Beberapa orang ini sama
mengenakan pakaian serba hitam legam, jubah panjang sutra yang halus dan paling
mahal. Jubah sutra hitam yang kemilau sedemikian lemas melambai laksana air
beriak, tapi dikala mereka bergerak, riak gelombang seperti gerakan air itu
sedikitpun tidak kelihatan, seolah-olah setiap langkah kaki mereka meluncur di
permukaan salju yang licin, seenteng kecapung, selicin belut.
Muka mereka bercadar secarik
kain hitam pula, sampaipun biji mata merekapun tertutup rapat, tiada seorangpun
yang bisa mengenal siapa-siapa saja beberapa orang ini. Setiap gerak-gerik
mereka secara reflek menimbulkan wibawa yang tak terasakan, meskipun tiada
orang yang tahu asal usul dan siapa sebenarnya orang-orang ini, namun tiada
seorangpun yang berani memandang enteng mereka.
Orang pertama berbadan kurus
tinggi, berdiri tegak laksana tombak, tangannya menenteng sebilah pedang kuno
yang bentuknya aneh kemilau terbuat dari tembaga.
Orang kedua pendek dan kurus,
orang ketiga berperawakan tinggi kekar dan berdada lebar berpundak tinggi,
kedua orang ini berjalan beriring, kelihatannya amat menyolok bedanya. Pedang
ditangan kedua orang ini sama-sama memancarkan cahaya terang, jelas bukan
senjata sembarangan, tapi bentuk pedangnya tidak luar biasa, siapapun yang
melihatnya pasti dapat menerka bahwa kedua pedang ini pasti punya asal usul
yang luar biasa.
Perawakan orang ke empat biasa
saja, senjata yang dibawapun Ceng-kong-kiam biasa umpama dia menenteng pedang
ke jalan raya, orang lain takkan melirik dua kali kepadanya.
Orang kelima pendek dan
tambun, perutnya gendut seperti keong, pedang di tangannya seperti besi bukan
emas, setelah ditegasi ternyata hanya sebatang kayu yang dipapas dalam bentuk
seperti pedang.
Kelima orang ini beriring
masuk tanpa bersuara, tiada menunjukkan gerakan apa-apa. Tapi kehadiran mereka
seketika membuat hawa dalam kamar ini bergolak, seolah-olah diliputi hawa
membunuh yang tebal mencekam perasaan setiap orang, sehingga bulu kuduk
merinding.
Oh Thi-hoa mengkirik seram dan
berkuatir bagi keselamatan Coh Liu-hiang, karena sekilas pandang dia sudah
tahu, kedudukan tingkat dan kepandaian silat kelima orang ini, pasti takkan ada
seorangpun yang lebih rendah dari Swe It-hang.
Tapi Coh Liu-hiang tetap tersenyum
simpul katanya sambil menjura kepada kelima orang itu: “Cayhe ada dengar
Yong-cui-san-cheng katanya kedatangan beberapa tokoh kosen, aku sudah mendapat
firasat hari ini pasti aku akan dapat berkenalan dengan kegagahan para Cianpwe,
sungguh harus dibuat girang, siapa tahu para Cianpwe ternyata tidak sudi
memperlihatkan muka asli, masing-masing sungguh harus disesalkan sekali.”
Kelima orang serba hitam itu
tetap berdiri tidak bergerak tiada yang buka suara.
Kata Coh Liu-hiang pula:
“Umpama para Cianpwe segan memperlihatkan muka aslinya, kenapa pula biji
matapun harus diselubungi?”
Laki-laki bertubuh tinggi
kekar itu tiba-tiba buka suara: “Kaum kita sudah menjiwai ilmu pedang, buat apa
harus menggunakan mata?” walau hanya mengucapkan beberapa patah kata saja,
namun seluruh bangunan gedung terasa oleng oleh getaran suara yang bergema
keras memekak telinga, cangkir dan poci di atas mejapun bergemeretak.
“Cayhe tahu, bagi setiap ahli
setiap kali turun tangan tentu mempunyai perhitungan yang matang hakekatnya
tidak perlu menggunakan mata, tapi masakah para Cianpwe tidak ingin mengetahui
siapakah sebenarnya dan bagaimana tampang musuh yang harus kalian hadapi
bersama?”
Kali ini tiada orang yang
menjawab. Kelima orang tetap diam tidak memberikan reaksi.
Sesaat kemudian malah Li Giok
ham yang bersuara dengan tertawa: “Kelima Cianpwe ini selama hidupnya belum
pernah bertanding melawan orang secara gabungan setelah hari ini, merekapun
takkan mungkin bergabung melawan musuh, oleh karena itu bukan saja beliau-beliau
ini tidak mau memperlihatkan asal usul dirinya kepada kau merekapun tidak perlu
tahu siapa dan macam apa tampangmu, kelima Cianpwe ini tidak sedih hanya ingin
membuktikan dan melaksanakan keinginan ayah saja.”
“Benar” ujar Liu-hiang
sinis,:” akupun tahu kedatangan kelima Cianpwe hari ini, lantaran mereka hutang
budi terhadap ayahmu, tapi peristiwa hari ini sebetulnya memang keinginan
ayahmu ataukah melulu keinginanmu sendiri?”
Berubah air mata Li Giok-ham,
sahutnya: “Sudah tentu atas keinginan ayah.”
Mata Coh Liu-hiang melotot
mengawasinya, katanya: “Lalu keinginan ayahmu hanya ingin membuktikan kehebatan
ciptaan barisan pedangnya? Atau ingin membunuh aku?”
Pucat muka Li Giok-ham, sesaat
lamanya dia mati kutu dan tak mampu menjawab.
Liu Bu-bi tertawa riang
selanya: “Apapun yang bakal terjadi, kukira kedua persoalanmu ini tidak bedanya
lagi.”
“O? Kenapa tak berbeda?”
Kerlingan mata Liu Bu-bi yang
genit mendadak berubah begitu kejam, katanya sepatah demi sepatah sambil
melotot: “Karena jikalau barisan pedang ini tak punya kelemahan, maka tuan
pasti akan menjadi tumbal dari terciptanya barisan pedang sakti ini.”
“Memangnya bagaimana kalau
barisan pedang ini benar-benar ada kelemahannya?”
“Umpama benar barisan pedang
ini ada kelemahannya, tapi di bawah permainan kelima Cianpwe ini, kukira tuan
takkan mampu menerjang keluar dari barisan.”
Coh Liu-hiang tertawa besar
sambil menengadah katanya: “Betul, sekali umpama lobang kelemahan barisan ini
seratus banyaknya atau tidak merupakan barisan pedang yang sesungguhnya, dengan
gabungan tempur kelima Cianpwe yang kosen ini, mungkin tiada seorangpun di
kolong langit ini yang mampu menandinginya.”
“Ya. benar, syukur kalau kau
mengerti.” Ujar Liu Bu-bi.
“Kalau begitu kenapa pula
kalian harus pakai embel-embel dengan barisan pedang segala, perduli bagaimana
keadaannya, kenapa tak dikatakan terus terang saja bahwa jiwaku diinginkan
terkubur di sini, bukankah lebih praktis dan gampang.”
“Dalam hal ini jelas harus
dibedakan dan memang berbeda.” kata Liu-Bu-bi.
“O, apa bedanya?”
“Kalau kelima Cianpwe ini
bergabung menempurmu, meski kau tidak kuat melawan, tapi kau masih mampu
melarikan diri, Ginkang tuan tiada bandingan di seluruh dunia, hal ini cukup
diketahui orang banyak.”
“Pujian melulu?”
“Tapi begitu barisan pedang
ini bergerak, umpama tuan tumbuh sayappun jangan harap bisa meloloskan diri
sebelum jiwanya ajal!”
Lama Coh Liu-hiang menepekur,
katanya kemudian pelan-pelan: “Sebetulnya ada permusuhan apakah aku dengan
kalian suami istri, begitu besar tekad kalian hendak menamatkan jiwaku?”
Berputar biji mata Liu
Bu-bi,katanya dingin: “Tadi sudah kami jelaskan, ini bukan keinginan kamu,
adalah keinginan ayah mertua.”
Tampak orang tua atau Li
Koan-hu itu masih duduk terlongo hampa di tempatnya tanpa bergerak, matanya
redup dan menatap pedang dihadapannya dengan tatapan kosong.
Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya: “Perduli apa benar adalah keinginan beliau? Yang terang toh tiada
seorangpun diantara kalian yang bisa mendapatkan penjelasannya.”
Mendadak Oh Thi-hoa menjerit:
“Apakah barisan ini harus dibentuk terdiri enam orang? Tapi kenapa yang hadir
hanyalima orang?” Liu Bu-bi mengiakan.
Diam diam bersorak hati Oh
Thi-hoa, katanya tertawa: “Tentunya kalian tidak pernah membayangkan bila Swe
lo-hiang akan tinggal pergi begitu saja tanpa kembali lagi.”
“Swe locianpwe datang atau
tidak, tidak menjadi soal.”
“Tidak menjadi soal?” seru Oh
Thi-hoa tertegun. “Kenapa tidak menjadi soal? Kalau kurang satu orang barisan…
” Liu Bu-bi menukas kata katanya: “Masakah kau belum pernah dengar, orang
luarpun boleh saja menggenapi keadaan?” tanpa menghiraukan Oh Thi-hoa lagi,
segera dia membalik menghadapi kelima Cianpwe serta menjura hormat, katanya:
“Wanpwe pernah ikut latihan barisan ini, sampai sekarang masih segar dalam
ingatanku. Swe locianpwe tidak hadir, terpaksa biar Wanpwe menduduki posisinya,
semoga para Cianpwe suka memberi bantuan dan melindungi, tak terhingga rasa
terima kasih Wanpwe.”
Laki laki kurus tinggi yang
terdepan itu mendadak bersuara: “Kenapa tidak kau suruh suamimu turun tangan?”
Liu Bu-bi melengak, sahutnya
tersekat: “Itu…”
Laki laki bertubuh pendek itu
menimbrung dengan suara bengis: “Memangnya kau kira bahwa ilmu pedangmu lebih
tinggi dari ahli waris keluarga Li?” ditengah sentakannya, pedang di tangannya
tahu-tahu berubah menjadi caplok bintik-bintik yang tersebar seperti bintang
perak berkembang bertaburan.
Dengan mendelong Liu Bu-bi
pandang titik-titik perak itu, badannya sedikitpun tak bergerak bukan saja tak
berkelit diapun tak melawan, seolah-olah di sudah tahu bahwa gerakan pedang ini
hanya gertakan belaka.
Memang bintik-bintik perak
yang bertaburan itu setiba di depan mukanya, secara ajaib tahu-tahu lenyap tak
keruan paran.
“Bagaimana?” tanya laki-laki
kurus tinggi itu. “Lumayan” sahut laki-laki kurus kecil. “Terima kasih Cianpwe”
seru Liu Bu-bi tertawa senang. Tiba-tiba dia berputar menghampiri ke depan Li
Koan-hu, katanya menjura dalam: “Mohon ayah mertua suka meminjamkan pedang ini
kepada putrimu.”
Dengan tatapan kosong orang
tua itu melirik kepadanya, lalu tertunduk pula tak memberikan reaksi apa-apa.
Liu Bu-bi langsung meraih
pedang itu, lalu menjura pula katanya: “Terima kasih akan kemurahan kau orang
tua.” bicara sendiri dijawab sendiri dengan begitu saja dia terus ambil pedang
pusaka di hadapan orang itu.
Kulit daging dimuka orang tua
kelihatan berkerut-kerut gemetar, sorot matanya tiba-tiba memancarkan sinar
terang laksana bintang menyala namun sepatah katapun tak mampu bersuara.
Oh Thi-hoa mendadak memburu
maju berdiri jajar disamping Coh Liu-hiang “Apa keinginanmu?” tanya Coh
Liu-hiang.
“Kalau mereka ada enam orang,
kenapa kita tidak boleh dua orang?”
“Kenapa harus dua orang?”
“Dua orang tentunya lebih baik
daripada seorang diri.”
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: “Kalau dua orang mati bersama, tentunya lebih baik kalau mati seorang
saja.”
Oh Thi-hoa mengepal kencang
jari-jarinya, belum dia buka mulut Liu Bu-bi sudah mendahului: “Lebih baik kau
dengar nasehatnya! Bila dia seorang diri kemungkinan mempunyai sedikit kesempatan
untuk melarikan diri, kalau bersama kau, jangan kata ada harapan, yang terang
kalian pasti akan ajal bersama.”
Merah padam muka Oh Thi-hoa,
katanya melotot kepada Coh Liu-hiang: “Kau… kau tidak mau bergebrak
berdampingan sama aku?”
Coh Liu-hiang genggam
tangannya katanya pelan-pelan: “Coba kau pikir lagi lebih seksama, sebentar kau
akan paham akan maksudku, mulainya bicara, jari-jarinya bergerak menulis huruf
“lari” ditelapak tangan Oh Thi-hoa. Maksudnya adalah menganjurkan Oh Thi-ho
mengundurkan diri berusaha menolong Soh Yong-yong dan lainnya.
Karena Li Giok-ham suami istri
terang akan tumplek seluruh perhatiannya di dalam kamar ini, yang pasti kedua
orang ini tak akan meninggalkan tempat ini sebelum urusan disini selesai, maka
tempat-tempat lain dari Yong cui san ceng pasti kosong melompong. Inilah
kesempatan paling baik untuk menolong orang.
Akhirnya Oh Thi-hoa menarik
napas panjang katanya: “Ya, aku mengerti.”
“Baik sekali, aku tahu
selamanya kau tak akan membuat aku kecewa.” sembari bicara kembali jari-jarinya
menulis “pergi” di telapak tangan Oh Thi-hoa. Maksudnya ialah setelah Oh
Thi-hoa menolong Soh Yong-yong berempat harus meninggalkan tempat ini.
Kembali berubah air muka Oh
Thi-hoa katanya: “Tapi kau…”
Lekas Coh Liu-hiang meremas
jarinya, katanya dengan tertawa: “Jikalau kau adalah sahabat baikku, maka kau
harus beri kesempatan paling baik supaya aku tekun dan bergebrak sepenuh hati,
toh kau juga sudah tahu niatku, jikalau ada persoalan lain memberatkan
perhatianku, maka kesempatan untuk sedikit menangpun tiada lagi dalam benakku.”
Sebentar Oh Thi-hoa berpikir,
akhirnya dia manggut-manggut dengan rasa berat, terasa jari-jari Coh Liu-hiang
masih sedemikian tenang dan hangat, begitu teguh dan besar tekadnya sebaiknya
tangan sendiri berkeringat dingin.
Tak tahan dia balas
menggenggam tangan Coh Liu-hiang kencang, keduanya berhadapan saling pandang
sekian lamanya. Akhirnya Coh Liu-hiang membalik badan, katanya kalem: “Cayhe
sudah siap, silahkan para Cianpwe mulai!”
Oh Thi-hoa bukan seorang
pesimis yang gampang putus asa, dan lagi selamanya dia amat yakin dan menaruh
kepercayaan besar terhadap kebolehan ilmu silat Coh Liu-hiang tapi sekarang,
entah kenapa tanpa dia sadari biji matanya berkaca-kaca dan berwarna merah.
Kata Liu Bu-bi mengawasi Coh
Liu-hiang: “Masakah sampai detik ini kau masih tidak mau menggunakan senjata?”
“Dalam keadaan seperti ini,
pakai senjata atau tidakkan sama saja.”
Laki-laki kate gemuk itu
mendadak terloroh-loroh, katanya: “Nyali orang ini ternyata tidak kecil.”
“Cianpwe terlalu memuji,
sebenarnya nyali Cayhe biasanya amat kecil, setiap kali sebelum bertempur
dengan orang, hatiku pasti amat ketakutan, tapi setelah gebrak dimulai, rasa
takut seketika sudah terlupakan sama sekali” tapi dengan habis kata-katanya, mendadak
laksana kilat ia turun tangan lebih dulu, jarinya terlekuk laksana cakar garuda
menyergap dengan jurus Sian-hong-jiang-cu “sepasang naga berebut mutiara”, yang
dituju adalah sepasang mata Liu Bu-bi.
Karena tidak menduga duga dan
tidak siaga, saking kejutnya Liu Bu-bi menarik diri mundur beberapa langkah.
Tak nyana serangan Coh
Liu-hiang ini hanya gertak sambel saja, secepat kilat tangan kirinya ikut
bergerak, sementara jari telunjuk dan jari tengah tangan kananya, tahu-tahu
sudah menjepit ujung pedang ditangan Liu Bu-bi. Seketika Liu Bu-bi rasakan
segulung tenaga dahsyat menerjang datang menggetar seluruh batang pedangnya
dengan keras, saking besar tenaga getaran lawan, jari dan lengannya terasa linu
kemeng, pedang panjang tak kuasa dicekal lagi, terlepas dan terampas.
Belum lagi dia berdiri tegak
didengarnya Coh Liu-hiang berseru lantang: “Terimakasih akan pinjaman pedang
ini. Banyak terima kasih, terima kasih.” ditengah gelak tawanya pedang
bercahaya kemilau laksana reflek sinar matahari di permukaan air itu tahu-tahu
sudah berada di tangannya namun ia tetap memegang ujung pedang itu dengan
ketiga jari-jarinya lalu gagang pedang tahu-tahu ia menjojoh kepada laki-laki
tinggi yang berdiri di ujung kiri.
Laki-laki kurus tinggi baju
hitam itu berseru memuji: “Gerakan tangan yang cepat sekali.” berapa patah
katanya saja, bukan saja ia sudah berkelit dari serangan Coh Liu-hiang, malah
cahaya pedang di tangannya berkelebat tahu-tahu ia sudah balas menyerang dua
jurus.
Saking kaget tadi serasa arwah
Liu Bu-bi terbang ke awang-awang, belum lagi rasa kejutnya hilang dan hati
belum tenang, berdiri melongo di tempatnya, tahu-tahu barisan pedang di
depannya sudah mulai bergerak, Li Giok-ham membanting kaki, segera dia lolos
pedang menerjang maju menambal lowongan yang masih kosong.
Maka cahaya pedang mendadak
bertaburan saling membelit seperti gugusan gunung terselubung bianglala, angin
dingin menyambar tajam berseliweran.
Pedang-pedang itu sudah
berubah merupakan tabir cahaya yang menggulung lenyap seluruh bayangan Coh
Liu-hiang. Begitu keras sambaran angin yang mendampar keluar dari arena
pertempuran sampai Liu Bu-bi terdesak mundur sempoyongan ke pojok dinding,
roman mukanya pucat pias tak berdarah, sesaat lamanya, tetes demi tetes air
mata meleleh membasahi pipinya.
Coh Liu-hiang menyergap,
merebut pedang, melancarkan serangan, Liu Bu-bi terdesak sempoyongan, Li
Giok-ham segera merangsek maju maka barisan pedang segera bergerak, semua ini
terjadi hampir dalam waktu yang sama.
Jantung Oh Thi-hoa sampai berdetak
keras seperti hendak mencotot keluar dari rongga dadanya, melihat pertempuran
hebat ini, saking kejut dan girangnya, hampir tak tertahan dia hendak bersorak
dan tepuk tangan, tindakan yang dilakukan Coh Liu-hiang ini memang patut diberi
pujian dan disoraki.
Menang kalah dari hasil
pertempuran dahsyat ini meski belum bisa diketahui, tapi sedikitnya Coh
Liu-hiang sudah berhasil merebut inisiatif penyerangan lebih dulu, sehingga
didalam waktu dekat barisan ini sukar menunjukkan perbawaannya yang hebat.
Dan lagi pengetahuan dan
latihan Li Giok-ham akan barisan pedang ini terang tak sepaham atau lebih
mendalam dari Liu Bu-bi, kini dengan dia yang mengganti kedudukan Liu Bu-bi,
sedikit banyak barisan ini akan kehilangan sedikit keampuhannya.
Menghadapi suatu pertempuran
besar yang begini dahsyat, sungguh Oh Thi-hoa amat berat untuk tinggal pergi,
ia tak tega meninggalkan Coh Liu-hiang adu jiwa seorang diri disini. Tapi
bagaimana juga dia harus menyingkir karena dia insyaf bila dirinya tidak
berlalu pasti Coh Liu-hiang akan terpecah perhatiannya, sudah tentu dia cukup
tahu didalam pertempuran sengit yang hebat ini, siapapun bila konsentrasinya
terpecah, kemungkinan dia bakal menggunakan tipu dan jurus permainan yang
keliru dan sedikit kekeliruan ini cukup menamatkan riwayatnya.
Bagi pertempuran tokoh-tokoh
kosen, tinggi rendah dan kuat lemah dari ilmu silat seseorang sudah tentu
memegang peranan penting tapi dalam melancarkan serangan dan gerak geriknya
kalau tidak diperhitungkan dengan seksama dan tepat unsur ini lebih besar
akibatnya untuk menamatkan jiwa sendiri.
Di pojokan kamarsana sebuah
jendela yang terpentang lebar-lebar, Oh Thi-hoa kertak gigi, tiba-tiba dia
menerjang keluar darisana .
Pepohonan di taman kembang ini
amat subur dan lebat, sekelilingnya sunyi sepi tidak kelihatan bayangan
seorangpun. yang terdengar hanya desiran angin kencang dari samberan pedang
didalam kamar. begitu cepat dan ramai suara terdengar adanya suara benturan
keras. Dari sini dapatlah dibayangkan betapa hebat, rapat dan lincah kombinasi
permainan ke enam orang, kiranya memang sudah mencapai puncaknya.
Tak tertahan Oh Thi-hoa
berpaling ke dalam lewat jendela, tampak samberan sinar pedang yang menjadi
tabir kemilau itu semakin lama semakin rapat dan ketat, tak tampak sedikitpun
lubang kelemahannya. Sungguh dia tidak habis mengerti, bagaimana Coh Liu-hiang
bisa membobol kepungan tabir cahaya kemilau ini, lolos dari kepungan barisan
pedang, kakinya jadi sulit bergerak melihat keadaan kawannya yang terkepung
begitu mengenaskan. Dalam hati dia berusaha memberi penjelasan kepada diri
sendiri: “Perkampungan ini begini luas, untuk menemukan tiga orang, sungguh
umpama mencari jarum di lautan, yang terang aku tak mungkin bisa menemukan
mereka, lebih baik aku tetap tinggal di sini menemani dia, jikalau memang dia
tak kuat melawan, mungkin aku bisa memberi bantuanku.”
Angin pagi menghembus
sepoi-sepoi membawa harum kembang, dedaunan pohon bergoyang gontai melambai
lambai. Tata tertib dalam perkampungan besar milik keluarga besar persilatan
ini agaknya amat keras, di sini terjadi peristiwa besar seperti ini, pasti
takkan ada seorangpun yang berani datang melihat keramaian.
Dikejauhansana tampak asap
mengepul melalui celah-celah daun pohon, lapat-lapat terendus oleh Oh Thi-hoa
bau masakan bubur yang sedap untuk makan pagi, terang di sebelahsana adalah
dapur yang sedang menyiapkan hidangan pagi dan kebetulan sudah beres.
Perduli terjadi peristiwa
besar apapun, orang-orang penghuni Yong-cui-san-cheng, tiada yang berani
merubah tata-tertib yang sudah merupakan kerja mereka sehari-hari. tiada
seorangpun yang berani meninggalkan tugas yang harus dia kerjakan.
Oh Thi-hoa geleng-geleng
kepala sambil menghirup napas panjang, terasa bau masakan bubur semakin sedap
dan merangsang seleranya, baru sekarang ia menyadari bahwa perutnya sudah
kelaparan. Kebetulan dalam hatinya timbul suatu pikiran: “Peduli dalam keadaan
yang bagaimanapun seseorang harus tangsel perut.” bukan saja orang-orang
penghuni Yong-cui-san-ceng harus makan, maka Soh Yong-yong dan lain-lain pun
harus makan pula.
Li Giok-ham suami istri
menawan mereka sebagai sandera untuk menekan dan mengancam Coh Liu-hiang, pasti
mereka tidak akan dibiarkan kelaparan, paling tidak setiap pagi pasti diberi
makan.
Asap dapur itu membumbung
tinggi di sebelah belakang paya-paya kembang seruni di sebelah timursana . Oh
Thi hoa segera kembangkan Ginkangnya melesat ke arahsana .
Di belakang paya-paya kembang
ternyata adalah pagar tembok yang mengelilingi taman bunga ini, dibalik dinding
sanapun terdapat beberapa petak pekarangan, di sana banyak dijemur pakaian yang
baru saja dicuci, disamping kanan kiri terdapat dua baris bangunan petak-petak
rumah, terang disanalah tempat tinggal para kaum hamba dari Yong-cui-san-ceng,
tatkala itu kebetulan ada beberapa orang sedang duduk di bawah emperan rumah,
mengasah golok menggosok tombak dan membersihkan alat senjata lainnya.
Beberapa laki-laki yang
bertelanjang dada sedang bergaya latihan kunthau ditengah pekarangan, mulut
mereka sama mengomel, dikatakan pakaian yang terjemur disini terlalu banyak
sehingga mengganggu gerak latihan mereka.
Maju lebih jauh, kembali
adalah sederetan rumah-rumah atapnya meruncing tinggi, di pucuk dipasangi
selubung asap yang tinggi, tiga diantaranya sedang mengeluarkan asap tebal, terang
disinilah letak dapur dari keluarga Li yang besar berayatnya ini.
Semula Oh Thi-hoa masih rada
tegang, tapi akhirnya dia mengetahui meski banyak orang yang berada dibilangan
belakang ini, namun sikap dan tindak tanduk mereka kelihatan malas-malasan dan
terlalu iseng.
Maklumlah karena tempat ini
adalah dunia mereka, mereka tidak perlu kuatir orang-orang atas datang kemari
mengadakan inspeksi, merekapun tidak usah kuatir adanya rampok atau pencuri.
Rampok-rampok yang paling goblok di dunia ini, juga tidak bakal mengincar harta
milik orang-orang ini, umpama kata benar ada orang yang berani meluruk ke
Yong-cui-san-cheng mencari gara-gara, bukan orang-orang kalangan rendah ini
yang dijadikan sasaran, oleh karena itu setiap mereka dapat melegakan hati, maka
Oh Thi-hoa sendiri berlega hati.
Sebentar dia berhenti dan biji
matanya berputar, mendadak diapun tanggalkan pakaiannya, dengan bertelanjang
dada diapun menerobos keluar dari gerombolan kembang, terus mencari tempat yang
tidak tersorot cahaya matahari dan duduk disana, menggeliat pinggang
mengencangkan kaki tangan, dengan napas yang tersengal-sengal, seolah-olah dia
amat keletihan sehabis latihan kunthau, luar dalam dan orang-orang disekitarnya
ternyata tiada seorangpun yang memperdulikan dirinya.
Tampak dibawah pohon rindang
didepan rumah dapur sana, juga duduk berkelompok beberapa orang, malah ada
laki-laki ada perempuan, yang laki-laki sedang berusaha menggoda yang perempuan
dan diajak bicara, sebaliknya orang-orang perempuan itu anggap sepi dan tidak
rewes ocehan mereka.
Burung gagak di seluruh dunia
sama-sama hitam, demikian pula kaum hamba di seluruh dunia ini sama pula, meski
tata-tertib Yong-cui-san-cheng cukup keras, tapi asal mereka jauh dari
pandangan sang majikan, nyali mereka akan menjadi besar, jikalau harus menjaga
supaya para budak ini mencari iseng dengan para genduk-genduk itu, tentunya
jauh lebih sulit daripada melarang anjing makan tulang.
Diam-diam Oh Thi-hoa tertawa
geli, tampak meski paras genduk-genduk itu memang tidak begitu ayu, namun
perawakan mereka sih cukup menggiurkan, dua diantaranya malah lebih menonjol,
badannya segar montok dan semampai.
Apalagi setelah cahaya
matahari meningkah badan mereka, pakaian sutera ketat yang membungkus badan
mereka yang berisi itu kelihatannya seperti tembus cahaya dan nampak jelas
lekak-lekuk potongan badan mereka. sampai kulit perutnya yang halus merah itu
pun seperti kelihatan, keruan para kacung yang biasanya bekerja terlalu berat
itu kini sama melotot tak berkedip seperti serigala kelaparan menghadapi
mangsanya, air liur berulang kali ditelannya sampai tenggorokannya turun naik.
Tak lama kemudian, mendadak
terdengar suara kerontangan bunyi wajan yang dipukul bertalu-talu seperti
lazimnya penjual martabak memukul wajan menjajakan dagangannya dari dalam
dapur.
Semua laki-laki yang duduk
dibawah pohon serempak berdiri, seorang anak muda berseri tawa dan berkata:
“Kenapa nasi yang mereka masak semakin lama semakin cepat matang, obrolanku
belum lagi selesai.”
Seorang genduk genit segera menimbrung
dengan tertawa: “Kalau nasi hari ini sudah kau gares habis, memangnya besok kau
tidak kebagian lagi?”
Bersinar biji mata anak muda
itu, katanya berbisik: “Besok kau mau tidak…”
Tatkala itu orang lain
berbondong-bondong menuju ke pintu dapur, derap langkah mereka yang ramai
menelan suara bisik-bisik percakapan mereka. Tampak seorang laki kekar
membusungkan dada dengan perut buntak berdiri diambang pintu, kalau badannya
tidak berlepotan minyak dan mukanya kotor oleh asap dan hangus lagaknya mirip
benar dengan buaya darat, dengan bertolak pinggang, matanya melotot dan
menggembor: “Setiap orang ada bagiannya, rebutan apa? Satu-satu berbaris.”
Seorang laki-laki bermuka
panjang seperti kepala kuda berseru lancang: “Kami orang orang dari kandang
kuda setiap hari belum terang tanah sudah harus bangun merawat binatang, setiap
hari bangun paling pagi, maka perut kamipun lapar paling dahulu, Tio-lo toa,
sukalah kau memberi bantuan kepada kami dulu.”
Melirikpun tidak kepadanya,
seperti anggap tak mendengar Tio-lotoa membalik badan dan keluar pula menenteng
tenong tiga susun, katanya: “Nona-nona dari bagian atas sudah datang belum?”
Saking dongkol laki muka kuda
itu merah padam mukanya, serunya: “Jelas kau sudah tahu bila Siao cheng cu
sudah pulang, nona-nona dari bagian atas ikut makan dari dapur kecil disana,
kenapa harus menyiapkan jatah mereka disini?”
Tio lotoa tetap tidak
perdulikan dia, malah berkata kepada genduk denok itu: “Nona-nona bagian atas
tidak datang, nah menjadi bagian mu malah.”
Dengan langkah gemulai genduk
ini menghampiri, dia singkap tutup tenong dan melongok isinya, lalu melorok
kepada Tio lotoa, katanya: “Sayurnya rada mending, tapi hanya ada pangsit
beberapa butir saja, delapan orang mana bisa cukup?”
“Kalian genduk-genduk ini
memang seharian sibuk lagi makan melulu.” comel Tio lotoa tertawa, “memangnya
tidak takut perutmu gendut terlalu banyak makan? Nanti tak laku kawin lho!”
Genduk centil itu membanting
kaki, katanya: “Bagus ya! Kau berani olok-olok aku, biar nanti ku adukan kepada
Cui-hong cici, supaya malam nanti dia menghukum kau menyunggi poci semalam
suntuk.”
Lekas Tio lotoa menyingkir,
bujukannya: “Sudah, sudah! Nenek moyang kecil, terhitung aku takut kepadamu,
biar kutambah satu susun bagaimana?”
Baru genduk centil itu tertawa
pula katanya: “Satu susun bolehlah!” lalu dengan menjinjing tenong berisi
makanan itu dia tinggal pergi dengan lenggang kangkung, sebelum pergi dia
melerok genit sekali kepada Tio lotoa, sudah tentu anak muda itupun tak
ketinggalan diberi pelerokan genit.
Beberapa gadis lainnya beramai
ramai maju membawa tenong masing-masing dan berlalu, ada yang pantatnya yang
berlepotan minyak itu. Kembali laki muka kuda memprotes: “Apa belum tiba
giliran kami?”
Hakikatnya Tio lotoa anggap
tidak dengar, dengan malas-malas dia menjinjing keluar sesusun tenong pula,
seorang perempuan tua yang bermuka burikan segera tampil kemuka, katanya
tertawa nyengir: “Bagian nona-nona sudah selesai, aku memang tahu bila giliran
kami.” diapun singkap tutup tenong melongok isinya, katanya tertawa:
“Orang-orang dibilik kami mengerjakan kerjaan yang kasar, masakah boleh
dibanding nona-nona yang halusan itu, lauk-pauk dan nasi sekian ini masakah
cukup dimakan? Mohon tambahan nasinya saja.”
Kontan Tio lotoa menarik muka,
katanya: “Hanya sekian saja jatah nasi kalian, mau tak mau terserah, kalau
seluruh penghuni kampung ini makan menurut takaranmu, bukankah keluarga Li
bakal bangkrut?”
Perempuan tua tidak marah,
katanya pula unjuk tawa dibuat-buat: “Ya, ya, ya, memang kita makan terlalu
banyak, tapi kami ini bukan orang tak punya pikiran, kami berani sudah
menyiapkan beberapa banyak kain, untuk membuat jaket bagi para toako dari
dapur.”
Tio lotoa mendengus hidung,
air mukanya kelihatan rada sabar, cukup mengulapkan tangan dua mangkok besar
berisi nasi penuh terus dijejalkan kepelukan perempuan tua itu.
Dari kejauhan Oh Thi-hoa
menonton semua kejadian ini, hatinya geli dan dongkol pula, pikirnya: “Seorang
koki disinipun begini pongah dan sewenang wenang, jikalau dia menjabat pangkat,
rakyat jelata pasti ditindasnya setengah mati.”
Cepat sekali pembagian
jatah-jatah makanan itu sudah selesai, paling akhir baru tiba giliran bagian
orang-orang kandang kuda, laki-laki muka kuda itu menahan sabar, setelah
menerima bagiannya diapun singkap dan memeriksa isi tenongnya. “Bagian istal
kuda adalima orang dewasa empat anak kecil, memangnya hanya diberi sepanci
bubur cewer dan beberapa keping bakpau saja?”
“Benar, hanya sekian saja
bagian kalian!” sahut Tio lotoa.
Saking marah laki-laki muka kuda
itu sampai hijau kulit mukanya, dampratnya: “Orang she Tio, kau… terlalu
menghina orang!”
“Apa yang kau inginkan?” ejek
orang she Tio. “Tidak ingin menerima jatah ini?”
Keruan laki-laki muka kuda
mencak-mencak semakin murka, dampratnya: “Lebih baik tuan bersama tidak makan
hidanganmu, biar hari ini aku adu jiwa sama kau.” tenong makanan itu segera dia
ayun terus dibanting ke arah kepala Tio lotoa.
Tak kira Tio lotoa agaknya
pernah latihan silat, sedikit membalik badan berbareng sebelah tangannya menggenjot,
disusul sebelah kakinya menendang, bentaknya bengis: “Berani kau membuat
gara-gara kepada pihak dapur kami, memangnya kau sudah bosan hidup?”
Digenjot mukanya dan ditendang
terjungkal lekas laki-laki muka kuda merangkak maju menerjang maju pula dengan
kalap, tapi dari dalam dapur serempak memburu keluar tujuh delapan laki-laki
berseragam koki semua, terang sebentar laki-laki muka kuda ini bakal dihajar
habis-habisan.
Setelah menunggu sekian
lamanya, Oh Thi-hoa belum melihat ada orang yang datang atau mengantar jatah
bagi makanan Soh Yong-yong berempat, hatinya sedang gundah, pikirnya: “Apakah
mereka tak terkurung didalam perkampungan ini?” Sia-sia saja dia menunggu
sekian lamanya, maka timbul niatnya hendak mencari ke lain tempat, namun
melihat laki-laki muka kuda itu dianiaya sedemikian rupa, sungguh dongkol dan
gemes pula hatinya terhadap para koki yang sewenang-wenang itu.
Dia tahu sekarang bukan
saatnya dia mencampuri urusan orang lain, dasar berangasan dia tak tahan juga
menerjang maju. Tio lotoa sedang acungkan kepalannya sebesar mangkok itu
menghujani tubuh si muka kuda, tiba-tiba dilihatnya seseorang menerjang maju,
sekali tampar seorang koki pembantunya dibikin jungkir balik tak bisa bangun.
Pembantunya yang lain segera merubung maju mengeroyok, malah ada diantaranya
mengacungkan pisau, sudah tentu Oh Thi-hoa tidak pandang mereka sebelah mata.
Tanpa mengeluarkan kepandaian sejatinya, namun begitu dia gerak kaki tangannya,
empat diantara tujuh koki yang hendak mengeroyok dirinya dia pukul roboh dan
ditendang terjungkal.
Keruan pucat muka Tio lotoa,
serunya: “Kau… kau bocah ini juga dari bagian istal?”
“Benar” jengek Oh Thi-hoa.
“Kau kira orang-orang dari istal boleh dihina?”
Dengan murka Tio lotoa segera
merebut pisau terus membacok kepadanya, tak nyana sekali depak Oh Thi-hoa bikin
pisaunya mencelat terbang, sekali tendang lagi dia bikin Tio lotoa terpental
jauh dan menumpuk teman-temannya.
Lekas laki-laki muka kuda
memburu maju terus duduk di atas punggungnya, sekaligus ia tampar dan genjot
puluhan kali, Tio lotoa yang tadi sewenang-wenang dan gagah-gagahan kini
kaok-kaok minta tolong.
Baru saja Oh Thi-hoa menggasak
sisa koko yang lain, sekonyong-konyong didengarnya seseorang menghardik
nyaring: “Kalian berani berontak? Harap berhenti!”
Banyak orang yang menghentikan
pekerjaan mereka sama menonton di pinggiran, begitu mendengar suara ini, segera
beramai-ramai mengeluyur pergi, laki-laki muka kudapun agaknya amat ketakutan,
kepalannya yang teracung tinggi berhenti ditengah udara.
Sebetulnya suara hardikan ini
amat merdu halus dan tak menakutkan, kedengarannya malah menyegarkan semangat,
bukan saja suaranya merdu, orangnyapun cantik.
Tampak gadis remaja ini
beralis lentik bermata seperti burung hong, raut mukanya mungil seperti kuaci,
meski mukanya bersungut marah, tapi kelihatannya begitu menggiurkan. Dandanan
dan pakaiannya tiada bedanya dengan budak-budak perempuan lainnya, paling
paling dia lebih cantik dan mungkin budak yang biasa melayani majikan di sini.
Sungguh Oh Thi-hoa tak
mengerti, kenapa orang-orang di sini semua begini takut kepadanya. Tak tahan
dia melirik dua kali mengamat-amati gadis ini, nona inipun sedang melotot
mengawasi dirinya, katanya bengis: “Apa yang terjadi, kenapa kalian berkelahi
di sini?”
Oh Thi-hoa melakukan
kebiasaannya mengelus hidung dengan tertawa sahutnya: “Kami sih tidak ingin
berkelahi, soalnya Tio lotoa terlalu menghina orang istal kami, tak memberi
sogokan padanya, dia sengaja mempersulit jatah kami, tak memberi nasi.”
“Nona Ping,” sela Tio lotoa
tersipu-sipu. “Sekali-kali jangan kau percaya obrolan dia!”
Nona Ping menarik muka,
ejeknya dingin: “Mau dengar tidak pengaduannya adalah urusanku, tidak perlu kau
cerewet, memangnya aku sudah tahu kalian, koki-koki masak belakangan terlalu
bertingkah dan sewenang-wenang.”
Tio lotoa merengut kecut
seketika dia mengkeret mundur tanpa berani banyak cincong lagi.
Dari atas ke bawah dengan
cermat nonaPing mengamati Oh Thi-hoa, katanya tawar: “Kepandaianmu boleh juga,
kenapa selamanya aku belum pernah melihat kau?”
“Setiap hari aku yang kecil
selalu sibuk didalam istal sudah tentu nona takkan pernah melihat aku.”
“
Tak nyana pengawal dari istal
ada juga jagoan yang gagah dan pandai kunthau seperti kau, agaknya kedudukanmu
terlalu rendah tak sesuai kecakapanmu.” mendadak dia berpaling melotot kepada
laki-laki muka kuda, bentaknya bengis: “Apa benar dia orang dari istal kalian?”
Tertunduk dalam kepala
laki-laki muka kuda, diam-diam dia mencuri lirik kepada Oh Thi-hoa. Walau roman
muka Oh Thi-hoa masih unjuk senyum lebar, namun diam-diam dia sudah siaga untuk
bergebrak dengan sengit. Soalnya dia sudah tahu meski nonaPing ini kelihatannya
lemah lembut, namun sorot matanya tajam bercahaya terang seorang tokoh silat
luar dalam yang cukup lihai tingkat kepandaiannya, sukar dilayani.
Tak nyana laki-laki muka kuda
ternyata manggut-manggut sahutnya sambil unjuk tawa dibuat-buat: “Benar, dia
adalah adik misan Siaujin, beberapa hari yang lalu baru datang dari desa
membantu pekerjaanku.”
Sorot mata nonaPing kembali
tertuju ke muka Oh Thi-hoa, sikapnya mulai sabar dan hilang rasa marahnya,
katanya: “Kau boleh kemari membantu kerja, tapi ku larang berkelahi di sini,
tahu tidak?”
Oh Thi-hoa lega hati,
sahutnya: “Baik, pesan nona tentu kupatuhi.”
Seperti tertawa tidak tertawa
nonaPing mengawasi dirinya, katanya kagum: “Melihat gerak gerikmu tadi, kau
bekerja di istal memang harus dibuat sayang, dua hari lagi datanglah menemui
aku, akan ku usahakan laju pekerjaan yang sesuai dengan dirimu.”
Laki-laki muka kuda segera
mendorong Oh Thi-hoa katanya: “Nona Ping bisa bicara langsung kepada Siau-cheng
cu dan Hujin, kelak bila nonaPing sudi membimbing kau, terhitung kau mendapat
rejeki nomplok.”
“Terima kasih nonaPing ,”
segera Oh Thi-hoa unjuk rasa kegirangan. “Dua hari lagi aku pasti menghadap
nona Ping.” melihat pinggangnya nonaPing yang ramping dan meliuk seperti gitar
serta kakinya yang tinggi semampai, serta kedua jari-jari tangannya yang halus
dan runcing-runcing itu, dalam hari memang dia sudah ingin berhadapan dengan
nona cilik ini.
Baru sekarang Tio lotoa
berkesempatan unjuk muka berseri katanya: “Jarang sekali nonaPing sudi datang
kemari, entah ada petunjuk apa?”
Seketika nonaPing menarik muka
pula, katanya: “Pekerjaan di istal memang kasar, tapi asal dia termasuk
lingkungan dalam perkampungan ini, ransum yang harus kau jatahkan harus sama
dan rata, selanjutnya bila kau berani korupsi, awas mangkok nasimu sendiri.”
“Siau… Siaujin tidak berani.”
Tio lotoa tersipu.
“Baik, kemarin ada kusuruh kau
membuat beberapa nyamikan, sudah kau siapkan belum?” tanya nonaPing lebih
lanjut.
Tio lotoa terbelalak kaget,
keringat dingin seketika membasahi jidatnya.
Nona Ping mendelik, katanya
dingin: “Apa yang terjadi, memangnya jatah kami beberapa saudarapun kau lalap
sekalian?”
Kecut muka Tio lotoa katanya
meringis: “Siaujin punya nyali sebesar gunungpun takkan berani, bubur lidah
ayam udang goreng, pangsit bakar dan lain-lain sesuai pesan nona sebetulnya
sudah kubuat, cuma… cuma…”
“Cuma apa?” desak nonaPing .
Tergerak hati Oh Thi-hoa,
mendadak dia tertawa dan menimbrung: “Hal ini tak bisa salahkan dia, dia kira
kalau toh Siau-cheng-cu sudah pulang, nona pasti akan makan dari rangsum dapur
kecil didalam, makan nyamikan yang sudah dia siapkan dia berikan kepada orang
lain.”
Seperti menahan geli nona Ping
mengawasi Oh Thi-hoa pula, katanya: “Tak kira kau orang ini ternyata berhati
mulia, kau bicara membela dia malah.”
Mendadak Oh Thi-hoa menyadari
bahwa tampangnya tentu tidak amat jelek, dan lagi punya daya tarik yang luar
biasa, kalau tidak nona Ping ini sekali-kali tidak akan mengawasinya dengan
sorot mata begini. Karena menurut perasaannya dipandang oleh seorang nona
jelita dengan sorot mata begituan, sungguh merupakan suatu hal yang harus
dibuat girang, tanpa sadar Oh Thi-hoa merasa dirinya terbang ke awang-awang.
Untunglah dia bukan laki-laki
desa yang baru saja keluar kandang, dia masih belum lupa akan tugasnya kemari,
biji matanya berputar, kembali dia berkata tertawa: “Apakah koki yang membuat
nyamikan, dari dapur kecil didalamsana , tidak lebih pintar dan enak dari koki
dari dapur besar ini?”
Kata nona Ping: “Kepandaian
masak koki dapur kecil di sana tentu lebih baik dari dapur besar di sini, tapi
kokinya adalah orang setempat, masakan yang bisa dibuatnya hanyalah masakan
setempat pula, mana dia bisa bikin bubur lidah ayam dan lain-lain masakan dari
Kwitang yang luar biasa itu?”
“O, masakan-masakan setempat
tidak lebih enak daripada bubur ayam lidah dan udang goreng lain-lain itu?”
tanya Oh Thi-hoa pula.
Laki-laki muka kuda jadi tak
sabaran melihat petingkah Oh Thi-hoa, dia duga nona Ping pasti takkan sabar dan
marah, tak nyana nona Ping sedikitpun tidak bosan tetap sabar, sahutnya tertawa
lirih: “Menurut selera kami sudah tentu masakan daerah sini lebih enak tapi ada
beberapa tamu undangan majikan justru senang masakan Kwitang, terutama setiap
pagi hari hidangan yang kami suguhkan tidak boleh sembarangan, khabarnya
orang-orang Kwitang memang demikian, nasi boleh tidak uruskan, namun nyamikan
pagi dan malam sekali-kali tidak boleh sembarangan."
Oh Thi-hoa menghela napas,
katanya: “Ya, orang yang usianya sudah lanjut, memang sulit dilayani.”
“Kau kira mereka kakek-kakek
tua?”
Jantung Oh Thi-hoa sudah mulai
berdebar, tapi dia masih bersikap tenang, katanya: “Bukan kakek tua, memangnya
nona-nona besar?”
Nona Ping tertawa, sahutnya:
“Benar, beberapa nona itu, memang lebih sulit dilayani dari kakek-kakek tua.”
Bagaimana juga Oh Thi-hoa
bukan seorang yang bisa menahan perasaan hatinya, meski dia ingin berpura-pura
seperti tidak terjadi apa-apa, tapi tak urung alisnya tegak, dan mata bersinar,
mulut menyungging senyuman lagi, hatinya melonjak kegirangan.
Untung nona Ping sudah
berpaling, matanya melotot kepada Tio lota, katanya: “Oleh karena itu bila hari
ini kau tidak keluarkan nyamikan sesuai apa yang kupesan, berarti kau mencari
gara-gara kepadaku, aku sendiri malu untuk mempertanggung-jawabkan kepada
majikanku.”
Keringat gemerobyos di kepala
Tio lotoa, sahutnya meringis ketakutan, sambil banting kaki: “Ini…”
Mendadak Oh Thi-hoa tertawa
pula, selanya: “Sebetulnya kau tidak perlu gugup, jikalau kau masuk dapur dan
mau cari, aku berani tanggung masih ada sisa nyamikan yang kau simpan.”
“O?” Tio lotoa bersuara kaget
dan heran.
“Seorang koki besar kalau
membuat beberapa nyamikan yang mencocoki selera mulutnya, bila dia tidak
mencuri sedikit untuk dinikmati sendiri, maka hidangan buatannya itu tentu
tidak enak.”
“Kenapa?” tanya nonaPing .
“Karena orang yang suka makan,
baru pandai masak hidangan yang enak-enak.”
Memang dalam dapur masih ada
beberapa macam nyamikan yang disembunyikan.
Nona Ping segera melirik
kepada Oh Thi-hoa, katanya: “Tak nyana kau memang cerdik dan pintar.”
“Siaujin sedikitpun tidak
pintar.” sahut Oh Thi-hoa. “Bukan saja aku sendiri suka makan, malah akupun
pernah jadi tukang masak, kalau tukang masak tidak main korupsi akan
masakannya, boleh dikata sesukar anjing dilarang makan tulang.” sembari bicara
dia maju menjinjing tenong itu, lalu menambahkan: “Bobot tenong ini tidak
ringan, biar Siaujin saja yang membawakan.”
Bersinar biji mata nona Ping ,
katanya tertawa: “Kalau kau selalu begini sregep, kelak tentu kau mendapat
banyak manfaat.”
Setelah orang beranjak,
sekilas Oh Thi-hoa memandang kepada laki-laki muka kuda itu dengan sorot mata
terima kasih, laki-laki muka kuda itu manggut-manggut, katanya berbisik: “Harus
hati-hati, disana kau tidak boleh petingkah lagi, jikalau disana kau perbuat
kesalahan, akupun bisa ikut memperoleh getahnya, tahu tidak?”
Setelah keluar dari
perkampungan belakang mereka menyusuri jalan liku-liku yang diapit tanaman
kembang warna-warni, tak lama kemudian mereka sudah akan tiba di bilangan dalam
kembali mereka menyusuri serambi panjang, jendela disini semuanya terukir indah
dan mengkilap, suasana sunyi senyap, udara pagi dipenuhi bau kembang yang
harum, sinar matahari menyinari kertas jendela yang putih, lantai di sepanjang
serambi ini begitu kemilau lebih bersinar dari permukaan kaca.
Mata Oh Thi-hoa melulu
mengawasi nonaPing yang jalan di depannya, dalam pandangannya gerak-gerik
pinggang yang ramping dan pinggul yang menonjol padat itu jauh lebih menarik
daripada pemandangan alam di sekitarnya. Apalagi hembusan angin lalu membawa
harum kembang, nonaPing sering berpaling ke belakang unjuk senyuman mekar pula
kepadanya, keruan hati Oh Thi-hoa senang bukan main.
Orang-orang yang dicari
ubek-ubekan oleh Coh Liu-hiang selama beberapa bulan tak berhasil ditemukan,
tak nyana hari ini tanpa banyak mengeluarkan tenaga dirinya bakal menemukan
mereka, selanjutnya, dengan membawa Soh Yong-yong, Li Ang-siu, Song Thiam-ji
dan Mutiara hitam, berlima bisa cepat memberi bantuan kepada Coh Liu-hiang,
dengan kekuatan mereka berenam, masakah tidak mampu bikin Yong-cui-san-ceng ini
langit ambruk dan bumi terbalik. “Tatkala itu, masakah ulat busuk tidak akan
kagum dan memuji aku?” demikian batin Oh Thi-hoa serasa jantungnya seperti
ingin terbang ke awang-awang saking kesenangan.
Kini sorot matanya beralih
kepada pinggul nona Ping yang bulat berisi dan ketat terbungkus oleh celananya
itu, tidak urung diam-diam dia tertawa geli dan melelet lidah, Pikirnya:
“Tatkala itu aku pasti akan mencubit pelan di atas pinggulnya yang bulat ini,
gadis romantis ini masakah takkan menubruk ke dalam pelukanku?” bukankah
hatinya seperti dikilik-kilik, tangannyapun menjadi gatal, sampai dimana mereka
berada dan melewati mana saja, bahwasanya tak pernah dia perhatikan.
Mendadak noaPing berhenti dan
berkata: “Sudah sampai, buat apa kau masih jalan kedepan?”
Baru sekarang Oh Thi-hoa
tersentak sadar dari lamunannya yang muluk muluk, sahutnya unjuk tawa berseri:
“Apakah di sini saja?”
“Em! Tuh didalam rumah.” kata
nonaPing .
Tampak kerai bambu
bergelantung ke bawah rumah inipun sunyi sepi, dari dalam terendus bau wangi
yang menyegarkan badan, entah bau kembang, bau dupa atau bau manusia?
Nona Ping tertawa cekikikan,
katanya: “Apa sih yang kau lamunkan, serahkan tenong itu kepadaku!”
Sebelah tangannya menerima
tenong dari tangan Oh Thi-hoa seraya mendekatkan mulut berbisik di pinggir
kupingnya: “Malam nanti datanglah cari aku, tahu tidak?”
Meski hati Oh Thi-hoa bersorak
girang, namun tak urung diapun merasa sayang, karena terpaksa dia harus
menyia-nyiakan kebaikan dan tawaran si nona centil ini. Sebetulnya dia hendak
main basa basi dulu baru akan turun tangan, siapa tahu…
Siapa tahu nonaPing yang genit
ini tahu-tahu turun tangan lebih dulu. Tangan kirinya tiba-tiba melorot turun
dari pundak Oh Thi-hoa beruntung dengan gerakan yang cekatan dan mahir sekali
menutuk empat Hiat-to dibagian tangan dan ketiak kiri Oh Thi-hoa, sementara
tangan kanannya masih memegangi tenong itu tanpa bergerak sedikitpun. Dikala Oh
Thi-hoa lepaskan tenong di tangannya tahu-tahu pergelangan tangannyapun
terpegang kencang oleh jari-jari runcing halus itu.
Terdengar nona Ping berkata
halus merayu: “Pemuda yang romantis meski kau cukup baik dan simpatik
terhadapku, terpaksa aku harus mengecewakan harapanmu.” lalu sekali tampar dia
bikin Oh Thi-hoa terjungkal roboh tengkurap, lalu duduk di atas pantat Oh
Thi-hoa, keruan merasa meledak perut Oh Thi-hoa saking gusar. Sekarang bukan
saja dia tidak akan bisa tertawa, malah ingin menangispun air mata tak bisa
diperasnya keluar.
Nona Ping lantas menepuk
tangan dan berseru lantang: “Anak-anak hayo kemari!”
Dari dalam rumah segera
berlari keluar beberapa anak laki-laki.
Berkata nonaPing : “Gotong
bajingan ini ke dalam, ikat dengan urat kerbau, salah satu segera pergi memberi
laporan kepada Siau-hujin, katakan orang yang suruh aku perhatikan sekarang
sudah ketemu dan teringkus.
Kacung kecil berbaju hijau itu
mengiakan dan segera berlalu.
Lalu nona Ping berkata kepada
kacung cilik yang satunya lagi: “Beritahu kepada Thian-koan-keh, suruh dia
pergi ke istal di belakang, hajar Ong sam si muka kuda lima puluh rangketan,
lalu gusur pula ke empat Ui-koankeh untuk dihukum dengan tuduhan sekongkol
dengan musuh.”
Terasa getir mulut Oh Thi-hoa,
serunya: “Kau… memangnya kau sudah tahu siapa aku sebenarnya?”
Nona Ping tersenyum manis,
ujarnya: “Masakah Oh Thi-hoa Oh Tayhiap yang kenamaan tidak kenal?”
“Tapi kau…”
“Siau-hujin sudah
memperhitungkan kau pasti akan meluruk ke belakang mencari ke empat nona-nona
itu, maka dia suruh aku meronda dan memperhatikan orang seperti kau, kupikir
saat ini tiba waktunya makan pagi, kemungkinan kau akan mencari sumber penyelidikan
dari “makan pagi” ini, karena kecuali ini, hakekatnya kau tak punya kesempatan
untuk mendapatkan cerita mengenai teman-temanmu itu.” tertawa cekikikan lalu
dia menyambung: “Kalau tidak demikian, masakah aku mau begitu saja lantas
percaya kepadamu? Kemungkinan memang semua laki-laki dalam dunia ini mempunyai
penyakit dan cacat yang sama, selalu mereka mengira dengan beberapa patah bujuk
rayu, gadis yang masih hijau dengan mudah bisa dipeletnya. Di luar tahunya
justru perempuan jika mau menipu laki-laki, jauh lebih gampang dari laki-laki
menipu perempuan.”
Oh Thi-hoa menghirup napas
panjang, mulutnya menggumam: “Seharusnya aku sudah tahu akan pengertian ini
sejak tadi, memangnya kenapa aku begitu saja mau percaya akan obrolanmu?”
xxx
Jari-jari Coh Liu-hiang tetap
memegangi ujung pedang, sementara gagang pedang dibuat menyerang musuh. Umumnya
ujung pedang yang runcing dan tajam sukar dibuat pegangan, bukan saja sukar
digenggam kencang, tenagapun sukar dikerahkan, apalagi menyerang dengan gagang
pedang sudah tentu jauh tak begitu ganas dan membawa efek yang fatal bagi
musuhnya daripada menyerang dengan ujung pedang yang tajam. Dalam kolong langit
ini belum pernah ada tokoh pedang yang memutar balik cara pegangannya untuk
melawan musuh, kecuali dia sengaja memandang rendah musuhnya, hakikatnya dia
tidak pandang sebelah mata musuhnya.
Akan tetapi musuh-musuh yang
dihadapi Coh Liu-hiang adalah tokoh-tokoh ahli pedang yang membekal kepandaian
tiada taranya, musuh-musuh yang amat menakutkan, dan lagi belum sampai
seperminuman teh, barisan ini digerakkan, berulang kali Coh Liu-hiang sudah
menghadapi mara bahaya, pernah dua kali pedang-pedang musuh sudah menyerempet
lewat di tenggorokannya dan di sisi tulang dadanya, namun dia tetap bersikap
tenang serta menggunakan pedang dengan gaya yang sama sejak mula.
Apakah tujuannya? Siapapun
tiada yang tahu, kenapa dia gunakan gagang pedang buat menyerang musuh. Memang
orang lain tahu bahwa Coh Liu-hiang tidak akan pernah melakukan perbuatan yang
tak berarti, tapi tiada seorangpun yang pernah mau memikirkan kemana juntrungan
tujuannya, merekapun tiada yang mau bertanya.
Maklumlah dalam keadaan dan
saat-saat yang gawat ini, tiada yang mau menggunakan otak untuk memecahkan
teka-teki ini, maka merekapun tiada yang sempat bertanya. Yang jelas sekarang
adalah saatnya menggunakan pedang.
Gerakan cahaya pedang laksana
bianglala seperti kilat menyambar, perubahangaya permainan pedangpun beraneka
warnanya, berubah-ubah tak putus-putus sambung menyambung, begitu cepat
sehingga tak memberi kesempatan kepada musuh untuk memeras otak mencari akal
untuk mengatasi. Maka gerakan perlawanan mau tidak mau harus dilakukan secara
reflek dan otomatis.
Mereka kerahkan tenaga, himpun
semangat dan pusatkan pikiran dan perhatian semua terpusatkan pada gerakan
pedang di tangannya, hati dan permainan pedang mereka sudah senyawa dalam
batang pedang yang bentuknya berlainan itu, kini sudah berubah menjadi tunggal,
semangat napas, jiwa dan tenaga ke enam orang seolah-olah sudah dilebur menjadi
satu. Sehingga gerakan jala cahaya pedang semakin rapat, semakin ketat, lambat
laun menyempit dan mengecil. Coh Liu-hiang umpama ikan yang sudah terjaring
didalam jala kembali di sini dia terjaring ke dalam lingkaran cahaya pedang.
Lain dengan kejadian-kejadian
yang terdahulu hari ini terang ia takkan bisa lolos dan tiada jalan untuk dia
keluar.
Dari kejauhan gerakan sinar
pedang dengan landasan hawa pedangnya bergulung gulung meninggi turun naik
seperti gugusan sebuah bukit yang berubah laksana pandangan khayal didalam
mimpi, deru hawa pedang yang keras itu membuat udara seolah-olah bergolak seperti
hujan badai sedang menerpa datang. Lama kelamaan udara pagi nan cerah ini
menjadi dingin dan dingin seperti es.
Selama mengikuti pertempuran
dahsyat ini rona muka Liu Bu-bi berubah beberapa kali, baru sekarang mukanya
menampilkan senyuman mekar senang, karena sekarang dia sudah yakin bahwa Coh
Liu-hiang sudah takkan mungkin bisa lolos lagi dari barisan pedang yang
mandraguna ini. Memang perbawa barisan pedang ini laksana benteng baja yang
takkan gugur dan jebol diterjang gugur gunung.
Begitu dahsyat dan hebat benar
barisan pedang ini, sampai si orang tua linglung yang tinggal menunggu ajal
itupun menunjukkan rasa haru dan bergolak perasaannya, hawa pedang yang
menyesakkan napas, agaknya malah membangkitkan gairah jiwa hidupnya yang sedang
sekarat. Jari-jari tangannya yang biasanya gemetar dan kurus kering itu, tak
henti-hentinya bergerak, terbuka tergenggam lagi begitulah berulang kali,
saking terbakar seolah-olah ingin dia melompat bangun dan menggenggam gagang
pedangnya, menerjunkan diri didalam adu kekuatan nan sengit ini. Agaknya dia
sudah tak tahan lagi duduk menonton tak bergerak.
Takkala itu gulungan sinar
pedang sudah semakin sempit, pakaian bagian atas Coh Liu-hiang sudah hancur
tersambar tebasan deru angin pedang yang tajam, boleh dikata dia sudah mati
kutu dan tak kuat mengerahkan tenaga melawan.
Pada saat itulah, kacung cilik
berbaju hijau tiba-tiba menyelinap masuk dari luar menyusuri pinggir tembok,
munduk munduk ke dalam mendekati ke belakang Liu Bu-bi, lalu berbisik-bisik
entah apa yang dia laporkan kepada nyonya muda ini.
Sekarang Liu Bu-bi tahu, bahwa
Oh Thi-hoa di belakang sanapun sudah teringkus. Maka seri tawanya semakin
mekar, didalam arus hawa pedang laksana pelangi meluncur tidak putus-putus itu,
senyum tawanya kelihatannya begitu sadis dan culas, namun selintas pandang
mukanya begitu molek dan agung.
Sekonyong-konyong hawa pedang
yang seliweran saling gubat itu mendadak bersatu-padu, tabir cahaya pedang yang
memenuhi udara itu kini mendadak berubah menjadi enam utas pelangi yang menyala,
bersilang dari kiri kanan atas bawah serempak mengunci ke tengah pada badan Coh
Liu-hiang. Perbawa gabungan hawa pedang semula mendesak Coh Liu-hiang sehingga
dirinya dipojokan ke suatu yang mematikan. Maka tusukan pedang kembali
dilontarkan, sekarang Coh Liu-hiang sudah benar-benar kehabisan tenaga dan
putus asa, entah dengan cara apa dan bagaimanapun dia berkelit, dadanya takkan
luput dari tembusan ujung pedang.
Memangnya dikolong langit ini
sudah pasti takkan ada orang yang mampu meluputkan diri dari tusukan enam ujung
pedang sekaligus dari enam penjuru.
Sekonyong-konyong “kelontang”
bunyi sesuatu benda keras yang terjatuh ke lantai.
Disusul hawa pedang dan
samberan pelangi kemilau itu secara ajaib mendadak sirna tak berbekas. Li
Giok-ham dan kelima orang seragam hitam itu seolah-olah membeku kaku ditengah
arus dingin yang mengembang keempat penjuru. Demikian juga senyuman manis yang
menghias muka Liu Bu-bi secara mendadak ikut membeku kaku.
Tiba-tiba dilihatnya bayangan
Coh Liu-hiang berkelebat miring, tahu-tahu pedangnya menyusup di bawah ketiak
Li Giok-ham, telapak tangan kiri menekan dada Li Giok-ham, sementara jari-jari
tangan kanannya meremas pergelangan tangannya. Pedang Coh Liu-hiang sendiri
entah hilang kemana, sebaliknya dengan pedang ditangan Li Giok-ham, dia menekan
dan menahan pedang panjang ditangan laki-laki kurus tinggi berbaju hitam itu.
Lebih enak lagi ternyata
laki-laki kurus kate yang seragam hitam itu kini kedua tangannya sudah mencekal
masing-masing sebatang pedang, entah apa yang terjadi, pedang yang dicekal
ujung runcingnya oleh Coh Liu-hiang tadi, kini berada ditangan kiri laki-laki
kurus kate ini.
Setiap gerak permainan
perubahan barisan pedang ini sudah diperhitungkan begitu seksama, setiap jurus
serangannya sudah direncanakan sesuai dengan ajarannya yang merupakan tumpuan
otak seorang jenius dalam bidang ini, kerja-sama enam batang pedang seumpama
ditembus air hujanpun tidak bisa, demikian rapatnya setitik lobangpun tiada!
Maka pedang kurang sebatang pun tak boleh, karena barisan pedang seketika akan
menunjukkan lobang, atau mungkin tak bisa digerakkan lagi, tapi jikalau
kebanyakan sebatang pedang, barisan inipun tak mungkin bergerak, seperti orang
mengumbar ular dibubuhi kaki naga, sia-sia dan tak sesuai dengan kebutuhan.
Kini barisan ini ketambahan
sebatang pedang, sudah tentu gerakan tiga batang pedang yang lain menjadi
terhalang dan macet karena kehadiran pedang yang satu ini. Kalau toh permainan
pedang mereka sudah terbendung maka jurus-jurus selanjutnya sudah tentu tak
bisa diteruskan, karena dalam waktu sesingkat itu, tahu-tahu jari-jari tangan
Coh Liu-hiang sudah mengancam Hiat-to mematikan didada Li Giok-ham. Demi
keselamatan jiwa Li Giok-ham pula terpaksa mereka harus menghentikan permainan.
Tanpa disadari telapak tangan
Liu Bu-bi sudah berkeringat dingin. Entah berapa lama kemudian, mendadak Coh
Liu-hiang unjuk tawa kepada laki-laki kurus kate baju hitam itu, katanya: “Dua
puluh tahun yang lalu Cayhe sudah lama kagum dan mendengar betapa hebat
kepandaian Jut-jiu-siang-hoat Yam yan-sin-kiam Ling-locianpwe yang tiada
taranya di seluruh dunia. Sungguh tak nyana hari ini aku bisa kumpul bersama di
sini dengan Ling-locianpwe malah bertanding pedang lagi, sungguh menggembirakan
dan merupakan rejeki besar selama hidupku.”
Laki-laki kate kurus baju
hitam mendengus hidung, ujarnya: “Apakah sejak tadi kau memang sudah mengetahui
akan diriku?”
Coh Liu-hiang tertawa katanya:
“Tadi waktu Cayhe melihat kedatangan Cianpwe berlima hanya mengenal satu orang
saja, tapi terang bukan Ling-locianpwe.”
“Siapa yang sudah kau kenali
lebih dulu?” tanya laki-laki kurus baju hitam.
Sorot mata Coh Liu-hiang
beralih kepada laki-laki baju hitam yang menenteng pedang kayu itu katanya:
“Tadi Cayhe hanya mengenal Cianpwe ini pasti Giok-kiam Sim Ciok Siau locianpwe.
Keluarga Sian dengan Giok kiamnya, merupakan pedang tunggal yang tiada keduanya
di Bulim. Siau Tayhiappun sebagai ahli pedang yang kenamaan di Kangouw, jikalau
Tayhiap tidak suka muka aslinya dikenal orang, tentulah kuatir orang dapat melihat
asal-usul dirinya, pula dari senjata pedangnya yang khas, oleh karena itu
terpaksa harus membikin pedang dari kayu sebagai ganti senjatanya untuk
mengelabui pandangan orang lain.
Giok-kiam Siau Ciok termenung
sesaat lamanya, akhirnya dia menyingkap kerudung mukanya, katanya: “Benar, aku
memang Siau Ciok, kalau kau sudah tahu asal-usulku, tentu kau sudah tahu
bagaimana hubunganku dengan Li Koan-hu, soal lain aku tidak perbanyak bicara
lagi.” tampak orang ini bermuka persegi dengan dagu lebar berkulit putih
bersih, matanya berkilat seperti bintang, walau rambut dan jenggotnya sudah
ubanan, ujung mata dan dahinya sudah dihiasi kerut-kerut kemerut, namun
lapat-lapat masih menggambarkan kegagahan dan kecakapannya dimasa dulu, cuma
setelah menanjak pertengahan umur, kini dia sudah menjadi kaya dan hidup
tentram.
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya: “Oleh karena Cayhe memang sudah tahu betapa intim hubungan para
Cianpwe dengan Li-lochengcu, maka Cayhepun sudah menduga, satu diantara kalian
berlima tentu adalah Siang-kiam bu-tik-tin koan-tang Ling Hwi-kek
Ling-locianpwe yang punya hubungan dekat sebagai adik ipar Li-locianpwe, cuma
dalam waktu dekat belum bisa bedakan siapakah sebenarnya diantara kalian.
Ling Hwi-kek bertanya: “Sejak
kapan kau dapat mengenali Lohu?”
“Beberapa jurus setelah
Cianpwe melancarkan serangan, Cayhe lantas mengetahui yang mana Cianpwe
adanya.” sahut Coh Liu-hiang.
“Ilmu pedang yang kugunakan
bukan ajaran dari perguruanku sendiri, darimana kau bisa tahu akan diriku?”
tanya Ling Hwi-kek pula.
“Memang ilmu pedang yang
Cianpwe gunakan bukan ajaran perguruan sendiri, namun tetap masih dimengerti,
soalnya selama bertahun-tahun Cianpwe sudah biasa menggunakan Siang kiam
“sepasang pedang” hari ini, dipaksa oleh keadaan untuk main dengan pedang
tunggal, sedikit banyak gerak-geriknya tentu kurang leluasa.”
Sampai di sini dia berhenti
sebentar dengan tertawa lalu meneruskan: “Perduli siapapun, kebiasaan yang
sudah berakar dan mendarah daging kepada seseorang selama puluhan tahun,
didalam waktu singkat tak mungkin bisa menghapus atau memperbaiki kebiasaan ini
demikian pula tangan kiri Cianpwe meski tergenggam kencang dan ikut bergerak
mengikuti ajaran pedang tunggal, namun bila menghadapi saat gawat dan tegang,
maka jari-jari tangan itu akan mengepal kencang seolah-olah sedang menggenggam
sebatang pedang yang tidak kelihatan wujudnya.
Ling Hwi-kek mendengarkan
dengan tekun sesaat kemudian dia bertanya: “Sejak permulaan kau sengaja
mencekal pedang di ujungnya apakah kau memang sudah siap hendak mengangsurkan
gagang pedangmu ini ke dalam tanganku?”
Coh Liu-hiang tersenyum,
ujarnya: “Benar, Cayhe tahu kalau gagang pedang ini diangsurkan ke tangan Ling
Cianpwe, maka tanpa sadar Cianpwe pasti akan menerimanya. Soalnya seluruh
perhatian Cianpwe sudah ditumplek pada gerakan pedang tunggal ditangan kiri,
maka terhadap kejadian lain, tentu kurang menaruh perhatian atau boleh
dikatakan sedikit lena. Oleh karena itu didalam keadaan itu mau tak mau Cianpwe
sudah terkendali diri oleh kebiasaan itu sendiri.”
Hal ini gampang dimengerti,
umpamanya seseorang yang sudah biasa isap rokok jikalau dia sudah bertekad dan
berjanji untuk tidak isap rokok lagi namun bila dia kebentur saat-saat yang
tegang urat syarafnya, jikalau segala daya pikirannya dia tumplek pada satu persoalan,
kebetulan dihadapannya tersedia rokok maka tanpa dia sadari tangannya akan
gatal dan mengambil rokok itu, itulah karena dia sudah dihayati oleh gerakan
reflek di luar kesadarannya.
Pada saat itu sudah tentu Coh
Liu-hiang sendiri belum tahu akan gerakan reflek diluar kesadaran itu, namun
dia cukup tahu bahwa kebiasaan menjadi wajar dan akalnya memang benar dan
berhasil dengan baik sekali.
Ling Hwi-kek menarik napas
panjang, ujarnya: “Bicara terus terang setelah aku menyambuti pedang ini, aku
sendiri masih bingung dan tidak tahu cara bagaimana pedang tahu-tahu sudah
tercekal di tanganku.”
“Tapi tentunya Cianpwe cukup
tahu, bahwa barisan pedang ini tidak boleh kurang satu pedang, namun juga tidak
boleh ketambahan sebatang pedang, kalau tidak gerakan barisan pedang ini bakal
kacau dan terhalang serta mati kutu.”
Agaknya hati Ling Hwi-kek amat
mendelu dan masgul, diam-diam saja tak bersuara.
Berkata Coh Liu-hiang lebih
lanjut: “Kalau gerakan keseluruhan dari barisan pedang ini terhalang, dengan
sendirinyagaya dan bendungan barisan pedang ini berubah posisinya. tapi
mengandal Lwekang dan kepandaian para Cianpwe sekalian, sudah tentu dengan
cepat kesalahan dan kekurangan ini sudah bisa diatasi.”
Laki-laki tua bertubuh tinggi
kekar itu menimbrung: “Oleh karena itu kau lantas bertindak menggunakan
kesempatan yang amat baik dan singkat ini, kau menyergap dan mengancam
Li-siheng, supaya senjata kami tak berani bekerja lebih lanjut untuk menyerang
kau.”
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: “Tindakan Cayhe memang amat terpaksa, bahwasanya sedikitpun Cayhe
tiada hasrat hendak mencelakai Li heng.”
Liu Bu-bi menerjang,
teriaknya: “Kalau begitu kenapa tidak segera kau lepaskan dia?”
“Kalau Cayhe lepaskan dia,
apakah kalian juga mau membebaskan diriku?”
Liu Bu-bi kertak gigi,
serunya: “Asal kau tidak melukai dia, aku boleh berjanji kepada mu…”
Sejak tadi Li Giok-ham tunduk
lemas dan sayu, sekarang tiba-tiba dia membentak bengis: “Sekali-kali kau tidak
boleh berjanji apapun kepadanya, mengapa kau lupa?”
Liu Bu-bi membanting kaki,
serunya: “Sedikitpun aku tidak lupa, tapi kau…” masakah aku harus berpeluk
tangan membiarkan orang menyakiti kau?”
“Aku mati tidak menjadi soal,
meski dia benar menggorok leherku, kaupun jangan melepaskan dia pergi.”
Ternyata air mata Liu Bu-bi
bercucuran, katanya dengan pilu: “Aku tahu demi aku, kau tidak segan-segan…”
belum habis kata-katanya mendadak Li Giok-ham menggerung kalap seperti benteng
ketaton, dengan kepalanya dia menubruk dada Coh Liu-hiang sementara kakinya
melayang menendang kemaluannya.
Perubahan yang tak pernah
terduga bukan saja Ling Hwe-kek kaget dan berubah mukanya, karena semua hadirin
maklum asal tenaga dalam Coh Liu-hiang dikerahkan, maka urat besar yang
menembus ke jantung Li Giok-ham bakal tergeser pecah dan hancur, jiwanya pun
binasa.
Maka terdengarlah “Blang” Li
Giok-ham terhuyung mundur ke belakang, pedang di tangannya mencelat terbang,
namun badannya tidak sampai tersungkur jatuh. Malah Coh Liu-hiang tertendang
terguling-guling. Kiranya disaat yang amat gawat itu Coh Liu-hiang tidak
kerahkan tenaga dalamnya, disaat-saat jiwa sendiri hampir saja terenggut
elmaut, ternyata dia masih tidak tega melukai atau menamatkan jiwa orang lain.
Li Giok-ham gentayangan
mundur, Coh Liu-hiang roboh terguling, selarik sinar pedang melesat terbang…
pada saat itu pula mendadak bayangan Liu Bu-bi melesat maju. Badannya meluncur
laksana bintang mengejar rembulan, sigap sekali ditengah udara dia menyambut
pedang Li Giok-ham yang mencelat terbang itu, lalu dari atas menukik turun
bersama pedang itu terus menusuk ke arah Coh Liu-hiang yang masih terguling di
lantai.
Coh Liu-hiang tidak tega
melukai orang, celaka adalah dia sendiri terlentang luka tidak ringan, mukanya
sudah pucat pias, namun keringat sebesar kacang berketes-ketes membasahi
seluruh kepalanya. Dengan mendelong dia awasi tusukan pedang Liu Bu-bi yang
bakal memantek badannya di atas lantai dengan dada tembus sampai ke punggung.
“Trang” sekonyong-konyong
terdengar benturan keras sehingga keluar api muncrat menyilaukan mata, begitu
kerasnya suara benturan senjata keras ini seperti pekikan naga sehingga kuping
terasa pekak.
Ternyatalima batang pedang
ditangan Li Hwi-kek dan lain-lain serempak terayun ke depan memetakan jaringan
sinar mengkilap yang ketat, tahu-tahu tusukan pedang Liu Bu-bi tertahan dan
tersanggah ditengah udara. Begitu keras benturan ini sampai badan Liu Bu-bi
tertolak mumbul ke tengah udara dan bersalto ke belakang meloncat dengan enteng
tancap kaki tak bersuara, tangan yang memegang pedang sudah linu kemeng tak
bisa bergerak, namun pedang masih digenggamnya dengan kencang, suaranya gemetar
dan ngeri: “Cianpwe… Cianpwe, kenapa kalian menolongnya?”
Suara Siau Ciok bengis dan
kereng: “Dia tidak tega melukai jiwa suamimu, sehingga terima tertendang roboh,
mana boleh dalam keadaan seperti itu kau hendak membunuh dia, anak didik
keluarga Li di Mao kau mana boleh melaksanakan perbuatan serendah dan tak tahu
budi seperti ini?”
Liu Bu-bi tertunduk lemas,
agaknya diapun terbungkam tak bisa berdebat lagi.
Li Giok-ham mendadak berlutut,
ratapnya: “Dia menaruh belas kasihan kepadaku, sudah tentu Wanpwe cukup tahu
budi luhurnya ini Wanpwe tidak akan berani melupakannya apapun caranya Wanpwe
pasti akan membalas budi kebaikan ini tanpa pamrih.”
“Seenak udelmu kau bicara, kau
kira sebagai orang persilatan harus mengutamakan budi pekerti, tegas dalam budi
kebaikan dan dendam kesumat.”
“Budi luhurnya terhadap Wanpwe
terang akan kubalas ganda, tapi hari ini apapun yang terjadi sekali-kali Wanpwe
tak akan membiarkan dia lolos dari sini.”
“Apa-apaan ucapanmu ini?”
bentak Siau Ciok mendelik.
Semakin dalam kepala Li
Giok-ham tertunduk sahutnya: “Karena betapapun tebal dan mendalam budi luhurnya
terhadap Wanpwe, takkan setebal dan sedalam budi luhur orang tua yang mendidik
dan membesarkan diriku, jikalau hari ini Wanpwe membiarkan ia pergi karena dia
menanam budi terhadap diriku, mungkin ayah bakal menyesal seumur hidup, bukan
mustahil aku bakal dikutuknya. Bakti terhadap orang tua memang sukar dilakukan
dan memerlukan pengorbanan, namun betapapun Wanpwe harus mengutamakan bakti
lebih dulu tentunya para Cianpwe tidak akan membuat Wanpwe tidak berbakti
terhadap orang tua bukan?”
Lama Siau Ciok termenung,
pelan-pelan sorot matanya tertuju pada Li Koan-hu.
Tampak rona muka si orang tua
yang sudah loyo ini, dari pucat pasi kini berobah merah padam, daging di ujung
bibirnya tampak gemetar keras, sepasang mata yang sudah hampa mendelong itu,
kini menyorotkan kegusaran yang tak terlampias, seolah-olah mirip sepasang obor
yang sakti, membakar dan menghidupkan kembali jiwa lapuknya yang tinggal
menunggu ajal itu.
Siau Ciok akhirnya menarik
napas, katanya sambil menarik sorot matanya: “Bagaimana menurut pendapat
kalian?”
Ling Hwi-kek berempat
kelihatannya serba susah, tiada satupun yang segera menjawab pertanyaan ini,
dengan melirik satu persatu Li Giok-ham pandang mereka, katanya pula: “Wanpwe
cukup tahu, dengan gengsi kedudukan dan ketenaran para Cianpwe, sekali-kali
tidak akan turun tangan disaat lawan sudah terkalahkan, apalagi membunuhnya.
Tapi mengingat hubungan intim para Cianpwe dimasa lalu dengan ayah, tentunya
takkan berpeluk tangan dan tega membiarkan beliau memeras diri dalam keadaan
yang tersiksa itu.” Kini kepalanya terangkat, katanya lebih lanjut: “Sejak tujuh
tahun yang lalu waktu beliau meyakinkan hawa pedang, tak beruntung
Cay-hwe-ji-po, selama tujuh tahun ini keadaan lebih sengsara dan tersiksa
daripada orang mati, memangnya para Ciapwe begitu tega…”
“Jangan kau banyak cerewet
lagi!” sentak Siau Ciok bengis: “Aku hanya ingin tanya kepadamu, umpama kata
sekarang kita membunuh Coh Liu-hiang, memangnya manfaat apa yang diperoleh
ayahmu?”
“Wanpwe sendiri tidak tahu
kenapa ayah begitu getol ingin membunuh jiwa orang ini, aku hanya tahu bahwa
perintah dan kehendak orang tua tak boleh dibangkang, jikalau para Cianpwe
belum lupa akan…”
“Tidak perlu kau peringatkan
aku.” tukas Siau Ciok keras. “Memangnya dulu Li Koan-hu teramat baik
terhadapku, umpama aku bisa melakukan perbuatan terkutuk kepada manusia siapa
saja dikolong langit ini sekali-kali aku takkan berani berbuat salah
terhadapnya!” mulut bicara pelan-pelan dia menarik pedangnya, katanya:
“Putusanku sudah tegas, entah bagaimana pendapat kalian?”
Laki-laki bertubuh tinggi
kekar menghela napas sahutnya: “Kalau Siao-lo berpendapat demikian, Losiu
takkan banyak bicara lagi!”
Ling Hwi-kek berkata: “Dengan
Hoan-hu-heng bukan saja kenalan baik, malah masih terhitung famili dekat, maka
kedudukan dan keadaanku sendiri sebetulnya jauh lebih menyulitkan daripada kalian,
maka… maka… mendadak dia membalikkan badan katanya: “Hari ini perduli kalian
mau bunuh Coh Liu-hiang atau membebaskannya pergi, terpaksa aku anggap tidak
melihat tak mendengar, lebih baik kalian boleh anggap aku tak hadir di sini.”
Kini empat pedang sudah
ditarik mundur. Laki-laki baju hitam yang bertubuh biasa itu agaknya lama
sekali peras otaknya, baru sekarang dia bersuara dengan nada berat:
“Pendirianku sama dengan Ling-heng.” agaknya orang ini tidak suka bicara cukup
beberapa patah katanya saja, dia lantas putar badan menyingkir ke pinggir.
Maka sekarang yang ketinggalan
hanyalah laki-laki tinggi besar yang kekar itu, pedangnya masih teracung lurus
ke depan, meski pedang tergenggam erat, namun ujung pedangnya kelihatan
bergoyang-goyang dan gemetar.
Berkata Siau Ciok mengerut
alis: “Aku tahu hubunganmu dengan Li Koan-hu paling mendalam, kenapa kau tidak
buka suara?”
Laki-laki tinggi besar serba
hitam ini menghela napas, katanya: “Bukan saja hubungan Koan-hu-heng dengan aku
amat mendalam malah dia pernah menolong jiwaku, jikalau lantaran diriku
sendiri, aku disuruh membunuh Coh Liu-hiang dengan pedangku ini tak menjadi
soal, namun sayang…”
“Apa yang kau sayangkan?”
tanya Siau Ciok tidak sabar.
“Tentunya Ciok-lo sudah tahu
setiap patah dan tindak tandukku, bakal mempengaruhi ribuan anak murid Bu
tong-pay kami, mana bisa, mana aku bisa…” suaranya gemetar terang bahwa hatinya
amat mendelu dan perasaan hati sedang berada dalam tekanan keadaan.
Namun Siau Ciok segera
membentak dengan bengis: “O, jadi kau sedang merisaukan kedudukan Toa-hu-hoatmu
di Butong-san, tapi jikalau Li Koan-hu tidak menolong jiwamu, apa kau masih
bisa hidup sampai sekarang?”
“Kenapa tidak kau copot saja
kedudukan Toa-hu-hoatmu itu demi membalas kebaikannya?”
Ternyata laki-laki tinggi
besar dan kekar ini adalah Thi-san Totiang, pelindung pertama dari Bu-tong-san
yang sekarang. Diam-diam mencelos hati Coh Liu-hiang, terdengar Siau Ciok
sedang berkata pula: “Biar kuberitahu kepadamu, setelah hari ini aku membalas
budi kebaikan Li Koan-hu selanjutnya akupun malu untuk mengurus dan mengasuh
serta memimpin murid didik dari perguruan Giok-kiam kami, selanjutnya aku akan
mengundurkan diri mengasingkan diri di atas gunung, jikalau kau suka menjadi
temanku, dengan senang hati aku sambut uluran tanganmu.”
Dada Thi-san Totiang turun
naik napasnya memburu keras, keringat bertetesan membasahi bahunya.
Mendadak Coh Liu-hiang
menimbrung dengan tertawa: “Kukira Totiang tidak perlu sangsi dan serba salah,
lebih baik kau tiru tekad para Tayhiap ini, gunakan diriku sebagai pembalasan
kebaikan orang! Apa yang dinamakan “kesetiaan dan keadilan Kang-ouw” sebetulnya
banyak ragam artinya, hari ini kau membunuh aku, bukan saja orang lain tidak
akan menistamu sebagai seorang yang tak punya rasa cinta kasih dan tidak setia,
malah orang akan mengatakan kau tegas memberikan budi kebaikan dan dendam sakit
hati, bagi seorang laki-laki sejati yang membalas budi kebaikan orang lain.
Sebaliknya jikalau hari ini kau bebaskan aku, kelak kau akan malu jadi manusia.”
Thi-san Totiang membanting
kaki, mendadak dia angkat telapak tangan kirinya, terus diayun balik menebas ke
pundak kirinya sendiri. “Krak” terdengar tulang patah dan remuk oleh pukulan
tangannya sendiri.
Siau Ciok berteriak kaget,
serunya: “Kenapa kau berbuat demikian?”
Thi-san Totiang terhuyung
mundur, katanya serak dengan tertawa getir: “Kalian sudah melihat, Coh
Liu-hiang, kaupun melihat bukan aku tidak sudi merintangi mereka membunuh
orang, kenyataan sekarang aku sudah tak mampu menghalangi mereka lagi.”
Bukan saja mula Liu Bu-bi
sudah pucat pias tak berdarah, agaknya diapun terkesima saking kaget dan takut.
Kata Thi-san Totiang dengan
serak: “Kenapa tidak segera kau bunuh dia? Apa pula yang kau tunggu?”
Tersipu-sipu Liu Bu-bi
berlutut di lantai bersama Li Giok-ham keduanya menyembah tiga kali, serunya:
“Terima kasih Cianpwe, budi luhur para Cianpwe selama hidup Tecu takkan
melupakan.”
Coh Liu-hiang menghela napas
pelan-pelan katanya dengan tertawa getir. “Ada orang seperti Thi-san Totiang
yang begitu simpatik terhadapku maka terbukti sudah bahwa “jalan kebenaran dan
keadilan Kangouw” hakekatnya bukan omong kosong belaka, terhitung kematianku
tidak sia-sia, aku mati tidak penasaran, cuma sampai sekarang aku tetap tak
mengerti, kenapa kalian ingin benar membunuhku, akupun tahu sekarang kalian
terang takkan mau memberi tahu kepadaku, agaknya matipun aku akan jadi setan
gentayangan.”
Maka ujung pedang Liu Bu-bi
akhirnya terhujam kedada Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang secara langsung
merasakan ujung pedang Liu Bu-bi yang dingin itu sudah menembus ke dalam kulit
dagingnya, anehnya dalam keadaan seperti itu, Coh Liu-hiang ternyata malah
terlalu terang, sedikitpun tidak merasa takut, sampai sakitpun sudah tak
terasakan lagi olehnya, yang terasa hanyalah ujung pedang yang tajam mengkilat
itu sedingin es.
Entah mengapa pada detik-detik
sebelum ajalnya ini, pikirannya mendadak melayang ke tempat nan jauh disana ,
di suatu tempat di pucuk utara yang bertanah salju. Terbayang olehnya diwaktu
dirinya masih kecil, waktu dia bersuka ria bergulingan dengan Oh Thi-hoa
dibukit salju, secara diam-diam Oh Thi-hoa menyusupkan segenggam salju yang
dingin itu ke dalam lobang baju di lehernya. Gumpalan salju itu terus melorot
turun sampai di dadanya, perasaan diwaktu kecil dulu itu mirip benar dengan
keadaan sekarang.
Bila orang mengacungkan
gumpalan salju hendak menyusupkan kedalam bajunya, kau akan merasa takut, namun
setelah salju yang dingin itu menyentuh dan mengalir di kulit badanmu, kau
malah akan merasa suatu siksaan yang menyenangkan, seolah-olah pula kau
merasakan terbebaskan dari segala belenggu dan kesulitan, karena sesuatu yang
membuatmu merasa takut sudah berlalu.
Lantaran yang betul-betul
ditakuti oleh orang, bukan benda itu sendiri, tapi hanyalah bayangan khayalnya
saja terhadap kejadian itu, umumnya manusia takut menghadapi kematian, lantaran
tiada manusia yang benar-benar memahami arti dari kematian itu, maka timbul
berbagai bayangan atau khayal yang menakutkan terhadap kematian sendiri.
Dan kematian itu kini sudah
berada di hadapan Coh Liu-hiang. Didalam masa hidupnya yang beraneka ragam,
penuh humor dan serba romantis itu, dia sendiri tidak tahu berapa kali dirinya
pernah menghadapi detik-detik tegang yang bakal merenggut jiwanya, tapi selama
itu dia tak pernah kehilangan keyakinan dan kepercayaan terhadap dirinya
sendiri.
Hanya kali ini saja, dia
benar-benar sudah tak berdaya sama sekali, ia insyaf dalam keadaan seperti ini
ditempat ini pula, sekali-kali takkan terjadi sesuatu keajaiban, pasti takkan
ada orang yang bakal menolong dirinya lagi.
Secara langsung terasa
olehnya, belum pernah dirinya begitu dekat dengan ajal, begitu dekat
seolah-olah dia sudah dapat merasakan serta melihat keganjilan dari bayangan
kematian itu, sehingga terasa pula olehnya bahwa “MATI” ternyata juga hanya
begini saja, tiada sesuatu yang perlu dibuat takut, maka timbul ingatannya,
bahwa bukan saja orang-orang yang takut mati amat kasihan, sesungguhnya amat
menggelikan.
Maka setitik harapannya pada
saat itu, hanyalah, semoga Oh Thi-hoa sudah membawa Soh Yong-yong dan lain-lain
melarikan diri, jikalau sekarang dia tahu bahwa Oh Thi-hoa kenyataannyapun
sudah teringkus dan tergenggam jiwanya ditangan mereka, maka perasaan hatinya
sebelum ajal ini takkan begitu tenang dan tentram.
Sekilas ini, banyak sekali
persoalan yang terbayang dalam benaknya, dia sendiri tidak tahu cara bagaimana
didalam waktu yang singkat ini dia bisa teringat banyak persoalan itu. Dia
merasa ujung pedang yang dingin itu masih berhenti di dadanya. Agaknya ujung
pedang sedang berhenti mogok. Tak tertahan segera dia angkat kepala memandang
ke arah Liu Bu-bi. Dilihatnya mata Liu Bu-bipun sedang menatap dirinya, roman
mukanya yang cantik pucat itu seakan-akan menampilkan rasa pilu dan sedih,
sayang dan kasihan.
Terdengar Li Giok-ham
batuk-batuk kecil, katanya: “Coh-heng, terus terang kami merasa amat bersalah
terhadap kau, semoga kau suka memaafkan tindakan ini.”
Hampir saja Coh Liu-hiang tak
tahan hendak tertawa, masakah seorang pembunuh mohon ampun dan minta maaf
kepada korbannya, terasa oleh Coh Liu-hiang ucapannya ini teramat lucu dan
ganjil kedengarannya.
Liu Bu-bi segera menambahkan
dengan suara rawan: “Kami sendiri tiada niat membunuh kau, sungguh merupakan
tindakan terpaksa.” setelah menghela napas, dia pejamkan matanya.
Coh Liu-hiang tahu begitu
matanya terpejam, maka ujung pedang segera akan menusuk ulu hatinya dan
tamatlah jiwanya.
Tak tahunya pada saat itu pula
tiba-tiba terdengar suara gaduh, seperti meja dan cangkir poci dan lain-lain di
atas sama jatuh pecah berantakan, selanjutnya didengarnya pula seseorang
membentak dengan suara yang dipaksakan: “Ta…. tahan!”
Dalam detik-detik yang
menentukan jiwanya ini, sungguh mimpipun Coh Liu-hiang tidak akan pernah
membayangkan ada orang bakal menolong jiwanya. Memang mimpipun tak pernah
terpikir olehnya, siapakah sebenarnya yang menolong dirinya.