-------------------------------
----------------------------
Bab 4: Kunjungan Khusus
Wajah Si Toan-cong tampak
lebih putih daripada isterinya, dengan tergagap ia menjawab sambil meringis
kesakitan, "Baik, baik, biar kuhajar mampus dia, untuk membalaskan
dendammu!" Meski mulutnya berucap, namun kedua kaki ternyata tidak
bergeser sedikitpun.
Si-siaunaynay memukuli dada
suami sialan itu sambil berteriak, "Hayo maju, hajar dia! Masa kau tidak
berani?"
SI Toan-cong sampai menyengir
dan meringis karena dipukuli sang isteri, berulang-ulang dia pun berseru,
"Baik, baik, akan kuhajar dia!" Habis itu ia terus berlari. Tapi
bukannya melabrak musuh, sebaliknya kabur melalui pintu belakang.
Si-siaunaynay jadi gregetan,
ia menangis tergerung-gerung dan berteriak, "O......aalah, suamiku tak
becus begini, bagainana aku bisa hidup....." Dia terus menjatuhkan diri ke
pangkuan Hoa Kim-kiong dan menjerit pula. "Sungguh sialan aku menjadi
menantu keluarga Si kalian, kalau tidak, memangnya siapa yang berani kurang
ajar kepedaku? Biarlah, aku pun tak ingin hidup lagi, boleh saja kalian bunuh
saja diriku."
Geli dan dongkol Coh
liu-hiang, tak terduga olehnya bahwa putri Sih Ih-jin, si jago pedang nomor
satu di dunia ini bisa mempunyai seorang anak perempuan kolokan begini.
Dilihatnya Hoa Kim-kiong
mendelik melulu, agaknya iapun mati kutu menghadapi kelakuan menantu
perempuannya itu.
Dengan tenang Coh Liu-hiang
berkata, "Cara Siaunaynay kita bergaya aleman ini apakah juga warisan
keluarga?"
"Jangan kau sembarangan
kentut!" damprat Si-siaunaynay sambil melonjak bangun. "Selain
menghina perempuan, memangnya kau punya kepintaran apalagi?"
"Tadinya kuanggap kau
benar-benar seorang perempuan, tapi sekarang aku jadi rada sangsi," ucap
Coh Liu-hiang.
"Hm, memangnya kau
sendiri terhitung lelaki sejati?" jengek Si-siaunaynay dengan geregetan.
"Jika kau berani ikuti menemui ayahku, nah, baru kupercaya kau seorang
lelaki. Kalau tidak berani, hm, anggaplah kau ini manusia setengah-setengah,
bukan laki-laki dan bukan perempuan."
"Hm, kalau aku tidak
berani bertemu dengan ayahmu, tentu malam ini aku takkan kemari lagi,"
jengek Coh Liu-hiang. Tapi sementara ini paling baik kau tutup mulut jika kau
tak ingin kusumbat mulutmu dengan gombal."
Karena tantang menantang
itulah, akhimya Coh Liu-hiang berangkat ke Sih-keh-ceng dengan diantar oleh Hoa
Kim-kiong dan Si-siaunaynay.
*****************
Perkampungan kediaman Sih
Ih-jin tidak seluas dan semegah Ceng-pwe-san-ceng, tapi gayanya lebih artistik,
lebih antik. Meski pajangan di ruangan tamu tidak terlalu mewah, namun sangat
resik dan teratur rapi, hampir tiada kelihatan berdebu, malahan di halaman juga
tersapu bersih, tiada daun secuil pun. Meski waktu itu fajar menyingsing, namun
sudah ada kaum hamba yang sedang membersihkan halaman.
Sepanjang jalan Si-siaunaynay
ternyata sangat prihatin, tidak berani rewel. Diam-diam Coh Liu-hiang merasa
geli, baru sekarang ia percaya pameo yang bilang 'setan pun takut pada orang
jahat' memang tidak salah.
Akan tetapi begitu sampai di
Sih-keh-ceng, seketika sang nyonya muda mulai mengunjuk sikapnya yang garang,
sambil berjingkrak-jingkrak ia tuding hidung Coh Liu-hiang dan berteriak,
"Awas, jika kau memang berani, jangan kau lari, akan ku panggil
ayahku."
Dengan acuh tak acuh Coh
Liu-hiang menjawab, "Kalau aku bakal lari, untuk apa aku ke sini?"
Hoa Kim-kiong meliriknya,
jengeknya, "Hm, jangan sok, terlalu berani bisa jadi mengakibatkan cekak
umur. "
Tak lama setelah Si-siaunaynay
masuk ke belakang menemui ayahnya, segera terdengar suara seorang berseru
dengan ketus, ''Kau tidak meladeni kedua mertua di rumah, untuk apa kau pulang
ke sini?"
Dari suaranya yang keras
berwibawa ini, segera dapat diduga orang ini pasti sudah biasa memerintah dan
disegani.
Terdengar Si-siaunaynay
berkata sambil menangis, "Anak telah dihina orang, ayah tidak tanya sama
sekali, sebaliknya malah..."
Mendadak suara orang tadi
memotong, "Asalkan kau hidup prihatin, siapa berani menghina kau tanpa
sebab? Tentu kau sendiri yang sok berlagak........Ai, Cinkehnio (besan
perempuan), seharusnya engkau mengawasi lebih keras tak boleh sungkan."
Cepat Hoa Kim-kiong berdiri
menyambut keluarnya tuan rumah, jawabnya dengan mengiring tawa, "Ai.....
urusan ini sungguhnya memang tidak dapat menyalahkan Si-siaunaynay, tapi semua
gara-gara bocah ini...."
Apa yang menerocos keluar lagi
dari mulut Hoa Kim-kiong sudah malas diikuti lagi oleh Coh Liu-hiang, sebab dia
memperhatikan munculnya tuan rumah, si pendekar pedang nomor satu di dunia, Sih
Ih-jin.
Dilihatnya wajah orang tua itu
jernih bersih bersepatu kain dengan kaus kaki putih, berbaju panjang warna
biru, gerak-geriknya tiada sesuatu yang istimewa, hanya matanya saja yang
mencorong tajam, sehingga membuat orang tidak berani lama lama memandangnya.
Dengan suara keras
Si-siaunaynay sedang berkata, "Orang ini bernama Yap Seng-lan, adik In
mati karena dia, sekarang dia malah berani mentang-rnentang dan meremehkan,
ayah."
"Kabarnya orang ini biasa
luntang-lantung di kotaraja, tiada mempunyai kepandaian apa-apa, pekerjaannya
hanya menggoda perempuan, entah sudah berapa banyak orang yang telah dibikin
susah olehnya," demikian Hoa Kim-kiong menambahkan.
"Ya, makanya diharap ayah
suka turun tangan memberi hajaran setimpal padanya," cepat Si-siaunaynay
mengimbuhi bumbu pula.
Namun apa yang diuraikan
mereka, seolah-olah sama sekali tak diperharikan oleh Sih Ih-jin, sejenak tadi
ia memandang Coh Liu-hiang tanpa berkedip. Kini mendadak ia memberi soja
(hormat dengan kedua tangan merangkap di depan dada) dan berkata, "Maaf,
jika anak perempuanku ini sekiranya menyinggung perasaanmu, mohon saudara sudi
memberi maaf"
"Ah, terlalu berat ucapan
Sih-tayhiap," cepat Coh Liu-hiang menjawab.
"Silakan duduk dan minum
teh dulu, sebentar akan kusiapkan arak sekedar tanda selamat datang bagi
saudara," kata Sih Ih-jin pula.
"Terima kasih,"
jawab Coh Liu-hiang.
Terkesima juga Si-siaunaynay
mengikuti basa-basi sang ayah menghadapi tamu yang tak disukai ini, segera ia
menimbrung, "Ayah, mengapa kau sungkan terhadap orang begini, dia..."
"Dia kenapa?" tukas
Sih Ih-jin dengan menarik muka "Bilamana orang tidak mengingat usiamu yang
masih muda dan kehijauanmu, hm, masakah kau dapat pulang pula menemui aku
dengan hidup?"
Si-siaunaynay yang nama
kecilnya Sih Hong-hong itu jadi melengak. Ia bingung darimana sang ayah dapat
tahu dirinya telah dikalahkan orang?
Dengan mengiring tawa, Hoa Kim-kiong
berkata. "Namun orang ini....."......
"Cinkehnio," potong
Sih Ih-jin dengan kurang senang. "Apabila mataku ini belum lamur, dapat
kupastikan bahwa sahabat ini pasti bukan kaum luntang-lantung dari kotaraja
segala, dia juga bukan Yap Seng-lan. Sebab kalau dia orang seperti sangkaanmu,
tentu dia takkan datang kemari." Lalu dia berpaling ke arah Coh Liu-hiang,
dengan tersenyum ia menyambung pula, "Melihat cahaya muka saudara yang
cemerlang denga semangat yang penuh, nyata angkatan muda dunia Kangouw memang
selalu melampaui angkatan tua. Sepanjang tahuku, ksatria muda seperti saudara
ini, di seluruh dunia ini paling-paling juga cuma ada dua-tiga orang
saja."
"Ah, Cianpwe terlalu
memuji," ujar Coh Liu-hiang. "Konon Pian-hok Kongcu dari
Jian-liu-ceng sudah menjagoi dunia persilatan zaman ini, baik ilmu silatnya,
maupun dalam hal nama baiknya, akan tetapi saudara jelas bukanlah Pian-hok
Kongcu," kata Sih Ih-jin dengan sorot mata berkilat.
"Ah, mana Cayhe dapat
dibandingkan dengan Pian-hok Kongcu," jawab Coh Liu-hiang dengan rendah
hati dan tertawa.
Sih Ih-jin juga tertawa,
katanya pula, "Tapi baik ilmu silat maupun nama, mungkin sekali malah
berada di atas Pian hok Kongcu, apabila dugaanku tak keliru, mungkin saudara
ini...." Dia merandek sejenak sambil menatap lekat-lekat, lalu menyambung
sekata demi sekata.".....ialah Coh Liu-hiang?"
Bahwa orang tua ini sekali
pandang saja lantas dapat mengetahui asal-usulnya, hal ini membuat Coh
Liiu-hiang terkejut juga, cepat ia menjawab, "Pandangan Locianpwe sungguh
setajam kilat, wanpwe merasa sangat kagum."
"Haha, jika demikian
mataku yang sudah tua ini memang belum lamur dan masih dapat mengenali seorang
ksatria," ucap Sih-Ih-jin dengan tertawa puas sambil mengelus jenggotnya,
keruan air muka Hoa-Kim-kiong dan Si-siaunaynay alias Sih Hong-hong berubah
pucat, lalu merah kemalu-maluan, seru mereka, "He, jadi kau ini
benar-benar Coh Liu-hiang?!"
Coh liu-hiang tersenyum dan
mengangguk.
"Ken......kenapa tidak
kau katakan sejak semula?" gerutu Hoa Kim-kiong dengan mata melotot.
"Semalam juga sudah Cayhe
katakan, apa mau dikatakan lagi jika Hujin tidak percaya," ujar Coh
Liu-hiang.
Setelah melenggong sejenak,
Hoa Kim-kiong menghela napas panjang, lalu berkata pula, "Jika kau bukan
Yap Seng-lan, untuk apa pula kau datang ke tempat kami?"
"Ah, lantaran sudah lama
mendengar nama kebesaran Hujin, maka sengaja berkunjung untuk belajar
kenal." jawab Coh Liu-hiang.
Hoa Kim-kiong tertawa puas,
katanya, "Baik, baik betapa pun kau masih menghargaiku, rasanya aku
menjadi tidak enak. Baiklah begini saja, besok malam akan kujamu kau makan
Loh-hi-kwe, aku akan turun ke dapur sendiri, nanti boleh kau nilai apakah
masakanku kalah atau menang jika dibandingkan masakan si tua she Cu?. Engkau
mesti datang lho."
"Tentu, tentu datang, undangan
Hujin mana boleh ditolak," jawab Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Mendadak Sih Hong-hong berlari
ke dalam sambil berseru dengan tertawa, "Aku pun bisa mengolah Loh-hi,
sekarang juga aku turun ke dapur memasak sendiri,"
Hoa Kim-kiong tertawa, katanya,
"Coh Hiang-swe, sungguh besar rezeki mulutmu, sudah sekian tahun anak Cong
menjadi suaminya, tapi tak pernah dia turun ke dapur memasak sendiri."
Tapi Sih-Ihjin hanya pura-pura
tidak tahu, sebab ia cukup memahami masakan anak perempuannya itu, mendingan
kalau tidak bikin tumpah tetamu yang makan masakannya.
Maka setelah berdehem beberapa
kali, lalu ia berkata, "Konon sudah lama Coh Hiang-swe tidak menggunakan
pedang, tapi pedang ternama di dunia ini asalkan sudah dilihat olehmu, maka
nilainya seketika melonjak beratus kali. Kebetulan aku pun punya simpanan
beberapa pedang tua dan ingin mohon penilaian Coh Hiang-swe."
"Wah, sungguh suatu
kesempatan bagus yang sukar kuharapkan," ujar Coh Liu-hiang dengan girang.
"Wah. tampaknya hari ini
bukan cuma rezeki mulut Coh Hiang-swe saja yang lagi baik, bahkan rezeki
matanya juga sama mujumya," sela Hoa Kim-kiong dengan tertawa.
"Beberapa pedang simpanan Cinkehong (besan laki) kita ini biasanya tidak
pernah diperlihatkan kepada siapa pun juga, bahkan aku sendiri pun tak pernah
melihatnya."
"Pedang adalah alat
pembunuh, maka sekarang Cinkehnio juga jangan melihatnya," ucap Sih Ih-jin
dengan hambar.
***********************
Sih-keh-ceng atau perkampungan
keluarga Sih itu dibangun dengan membelakangi bukit. Lereng bukit yang
kehijau-hijauan membujur panjang jauh ke sana, kabut di taman yang luas ini
seakan-akan lengket dengan kabut yang mengambang di lereng bukit.
Melalui jalan berbatu kecil
mereka menyusuri kamar belakang, di dalam taman tiada pepohonan dan bunga yang
semarak dan menyolok, semuanya teratur sederhana dan indah bergaya antik.
Coh Liu-hiang berjalan
berendeng dengan Sih-Ih-jin, tapi kedua orang itu diam tanpa bicara. Seseorang
kalau sudah mencapai sesuatu tingkatan kedudukan tertentu, biasanya akan berubah
menjadi tidak banyak omong.
Angin di pagi hari musim
rontok tidak terlalu dingin, mereka telah memasuki sebuah hutan bambu, air
embun menggelintir diatas daun bambu yang hijau segar mirip mutiara yang
terbingkai di tengah jamrud.
Di ujung hutan bambu sana
rapat bergandengan dengan kaki gunung, dinding tebing penuh lumut, di situ ada
sebuah pintu tua dari besi, tampaknya sangal berat tapi kukuh.
Sih Ih-jin mcmbuka pintu besi
itu dan menyilakan Coh Liu-hiang masuk. Di balik pintu adalah sebuah jalan batu
yang panjang lagi gelap, hawa dingin menyeramkan.
Sesudah Coh Liu-hiang masuk,
segcra Sih Ih-jin menutup kembali pintu itu, seketika cahaya terang dan
kehangatan sinar matahari pagi terpotong di luar, suasana berubah menjadi
sunyi, setitik suara saja tak terdengar.
Untuk membunuh orang, di
sinilah memang tempat pilihan yang sukar dicari. Namun Coh Liu-hiang
tenang-tenang saja tanpa sesuatu tanda kuatir, tampaknya ia percaya penuh pada
Sih Ih-jin, baru pertama kali kenal Sih Ih-jin lantas membawanya ke tempat yang
begini penting dan penuh rahasia, untuk ini ia pun tidak merasa heran.
Setelah berbelok beberapa kali
di lorong geIap ini, sampailah mereka di suatu gua yang tak kelihatan ujungnya.
Di bawah sinar lampu perunggu yang terletak di lekukan dinding, kelihatan
sekeliling gua itu penuh dengan meja batu, di setiap meja batu terdapat sebuah
kotak besi hitam.
Peti besi yang tertaruh pada
meja batu yang melintang di depan sana berbentuk pmjang sempit, di dalam peti
tentu tersimpan pedang pusaka kebanggaan Sih Ih-jin, lalu benda apa pula yang
tersimpan di peti-peti yang lain?
Sih Ih-jin mendekati peti
panjang sempit itu dan memegangnva dengan hati hati, seakan-akan sudah lupa di
samping masih ada Coh-Liu-hiang, ia benar-benar mencurahkan sepenuh perhatiannya
terhadap pedangnya, hingga melupakan segalanya
Mendadak Coh Liu-hiang merasa
orang tua ini telah berubah sama sekali.
Waktu pertama kali melihatnya
tadi, Coh Liu-hiang merasa Sih-Ih-jin ini seorang cendekiawan yang punya ciri
khas, gaya seorang pertapa y«ng bosan pada kehidupan ramai, karena itu sikapnya
menjadi rada hambar, tapi sama sekali tiada tanda-tanda membuat orang merasa
tidak aman.
Waktu berjalan berendeng tadi.
Coh Liu-hiang juga merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan, sama saja seperti
berjalan bersama seorang tua biasa.
Akan tetapi sekarang, belum
lagi pedang terlolos dari sarungnya, lapat-lapat Coh Liu-hiang sudah merasakan
hawa pedang yang dingin dan mengerikan. Jelas hawa pedaog ini bukan timbul dari
pedangnya. Hawa pedang ini justru timbul dari tubuh Sih-Ih-jin sendiri.
Kin, Sih Ih-jin bukan lagi
orang tua yang lagi ngomong iseng bersama petera-puteri dan besannya, begini
masuk ke gua ini mendadak dia berubah kembali sebagai pendekar pedang nomor
wahid yang pernah merajai dunia Kangouw dulu.
Di tempat ini tidak cuma
tersimpan pedangnya, tapi juga menyimpan kenangan-kenangannya di masa lampau,
sebab itu lah dia tidak pernah mengizinkan siapa pun masuk ke gua ini.
Tapi sebab apa pula dia justru
membawa Coh Liu-hiang kesini?
*************
Pelahan-lahan Sih Ih-jin
membuka peti hitam yang panjang dan sempit itu dan mengeluarkan sebilah pedang.
Bentuk pedang ini sangat antik
dan sederhana, batang pedang yang kehitam-hitaman itu bersemu hijau, tiada
cahaya kemilau, namun Coh Liu-hiang yang berdiri sekian jauhnya dapat merasakan
hawa dingin yang menusuk kulit.
"Cring", Sih Ih-jin
menyelentik pedangnya sehingga menimbulkan suara mendenging nyaring
"Pedang bagus," seru
Coh Liu-hiang.
Berkilat sorot mata Sih
Ih-jin, katanya kemidian, "Apakah Coh-Hiang-swe kenal pedang?"
"Konon di zaman kerajaan
Ciu, ada ayah beranak bernama Siau Khong dan Thay Khong, telah mengundang semua
pandai besi di seluruh kolong langit ini dan mengumpulkan besi dari segenap
penjuru, selama sepuluh tahun, hasilnya adalah sebilah pedang, yaitu pedang
yang disebut Pat-hong-tang-kiam (pedang segenap penjuru)."
"Ya, benar pandangan yang
tepat dan bagus!" puji Sih Ih-jin.
Meski di mulut ia memuji,
namun air mukanya tidak memperlihatkan sesuatu tanda perasaan apapun. Lalu ia
mengeluarkan sebilah pedang pula.
Pedang ini memakai sarung
kulit yang sangat indah. gagang pedang berbingkai batu permata dan diikat
dengan benang emas, batang pedang seperti buatan emas, tapi berwama kuning ke
merah-merahan.
"Bagaimana dengan pedang
ini?" tanya Sih Ih-jin.
Coh Liu-hiang memandangnya
sejenak, katanya kemudian, "Hampir setiap penguasa di zaman dahulu pasti
memiliki pedang ternama seperti halnya Siau Khong dan Thay Khong tadi, pedang
ini adalah hasil gemblengan Bu Ting, namanya Ciau-tan (pemberani) hanya sarung
pedangnya telah banyak diberi hiasan oleh pemegangnya di kemudian hari.''
"Bagus, memang pandangan
yang tajam," puji Sih Ih-jin.
Meski tetap tenang-tenang
saja, tapi sorot matanya sudah menampilkan perasaan kagum dan memuji. Selang
sejenak, pelahan-lahan ia mengeluarkan pula sebilah pedang. Pedang ini memakai
sarung kulit ikan hiu yang kasap, baru saja pedang terlolos sebagian, sudah
nampak sinarnya yang hijau kelabu.
Sambil memegang pedang ini,
sorot mata Sih Ih-jin tampak bertambah mencorong, Setelah menatap mata pedang
yang tajam itu dan berdiam sekian lama, kemudian dia berucap sekata demi
sekata, "Silakan Coh Hiang-swe menilai pula , pedang apakah ini?"
Coh Liu-hiang memandangi
pedang itu hingga cukup lama, habis itu baru menjawab pelahan. "Ini pedang
tanpa nama."
"Pedang tanpa nama?"
alis Sih Ih-jin tampak menjengkit.
"Betul, pedang tanpa
nama," kata Coh Liu-hiang, "Tapi, meski pedang tiada punya nama,
namun orangnya jelas benama”.
"Apa artinya ucapanmu ini?"
tanya Sih Ih-jin. "Tentu Locianpwe tahu ahli-ahli pembuat pedang pusaka
zaman dahulu, antara lain seperti Kan Ciang dan Bok Sia.....?”
"Ya, Kan Ciang dan Bok
Sia adalah ahli pedang di zaman dahulu, ceritanya pernah kubaca," kata Sih
Ih-jin.
"Padahal Kan Ciang dan
Bok Sia adalah nama sepasang suami istri," kata Coh Liu-hiang dengan
tertawa. "Tapi beberapa ratus tahun kemudian, bilamana nama mereka
disebut, yang dimaksud adalah pedang gemblengan mereka dan bukan lagi
orangnya."
"Betul, memang begitulah kebiasaan
orang Bulim," ujar Sih Ih-jin.
"Nah, meski pedang yang
dipegang Cianpwe ini tidak bernama, namun yang dapat menggunakan pedang ini
pasti orang yang lain dari pada yang lain."
" O? Darimana bisa
diketahui hal ini?"
"Pedang ini bersinar gemerlapan,
hawa membunuhnya mencorong terang, jika bukan tokoh kelas wahid, bila tidak
memiliki kepandaian luar biasa, jelas tidak mampu menggunakan pedang ini, kalau
tidak, mungkin sebaliknya akan terluka sendiri oleh pedang ini," setelah
tertawa, lalu Coh Liu-hiang melanjutkan, "Bila mataku belum lagi lamur
kuyakin pasti senjata pribadi Locianpwe waktu masih malang melintang di Kangouw
dahulu."
Ucapan inipun tiada ubahnya
seperti pujian kepada Sih-Ih-jin, maka keduanya saling pandang dengan tertawa ,
dalam hati masing-masing timbul rasa suka dan saling menghormat.
"Pandangan Coh Hiang-swe
benar-benar setajam kilat, sunguh sangat mengagumkan," kata Sih-Ih-jin
kemudian, "Sekarang, tahukah Coh Hiang-swe apa isi kotak-kotak di
sekeliling ini?"
"Yang biasa tersimpan
bersama pedang ternama, juga pasti benda yang luar biasa," ujar Coh
Liu-hiang.
Lalu Sih Ih-jin membuka sebuah
kotak besi, di dalam kotak hanya terdapat sehelai baju panjang.
Baju warna putih mulus itu
sudah kekuning-kuningan, suatu tanda sudah lama sekali tersimpan.
Waktu Sih Ih-jin mengebaskan
baju itu hingga terbentang, baru Coh Liu-hiang melihat di bagian dada baju ada
tapak bekas darah, bekas darah itu memanjang seperti lingkaran ular, di bawah
cahaya lampu yang remang-remang tampak bekas darah itu menghitam.
"Tahukah Hiang-swe darah
siapakah yang mengotori baju ini?" tanya Sih Ih-jin. Meski dia menatap
bekas darah di atas ba ju, tapi juga seperti memandang jauh ke sana. Sedang
agak lama barulah ia menyambung pula dengan tersenyum hambar "Itu kejadian
yang sudah lama, mungkin Hiang-swe belum pernah mendengar nama orang ini, tapi
pada tiga puluh tahun lalu, nama 'Sat-jiu-bu-siang' (si setan pembunuh) Hui
Goan bukanlah tokoh sembarangan”.
"Meski usia Wanpwe masih
muda dan berpengetahuan cetek, tapi tahu juga Sat-jiu-bu-siang yang pernah
menjagoi tujuh propinsi utara, sepasang gaetannya konon tiada tandingannya, tak
tahunya kalau orang ini pun mati di tangan Locianpwe."
“Ya, peristiwa itu terjadi di
Kau-lan-san......" tutur Sih Ih-jin, ia lantas terkenang kepada kejadian
di masa lalu dan bercerita dengan pelahan.
Di depan mata Coh-Liu-hiang
seakan terbayang lukisan pemandangan pegunungan dalam suasana tegang, dimana
dua jagoan pedang berhadapan, Sih-Ih-jin yang berbaju putih mulus laksana salju
itu berdiri memandangi Sat-jiu-bu-siang yang sedang mendekati, mendadak sinar
pedang berkelebat, darah lantas berhamburan menciprat di bajunya....
“Kini tiga puluh tahun sudah
berlalu, tapi darah mereka takkan lenyap untuk selamanya," demikian ucap
Sih Ih-jin pula.
"Darah mereka?" Coh
Liu-hiang menegas, " Masa di dalam kotak-kotak besi ini
semuanya......"
"Apakah Coh Hiang-swe
tidak tahu darimana timbulnya sebutan Hiat Ih-jin?" tanya Sih Ih-jin.
Coh Liu-hiang memandang
kotak-kotak besi yang tertaruh di meja di sekeliling gua itu, terpikir olehnya
pada setiap kotak itu tersimpan sepotong baju putih berlepotan darah manusia,
setiap titik darah itu pasti mengandung cerita yang menggetarkan sukma, setiap
cerita pasti mengalami suatu pertarungan sengit dan banjir darah......
Terpikir semua ini, tanpa
terasa timbul semacam rasa seram dalam hati Coh Liu-hiang.
Sorot mata Sih Ih-jin setajam
sembilu, dengan sekata demi sekaia ia bicara pula, '"Orang tidak melanggar
diriku, aku pun tidak melanggar orang lain. Jika orang menggangguku, pedang
tidak kenal ampun lagi. Ya, pedang inilah, entah berapa banyak pedang ini telah
minum darah manusia."
Sekonyong-konyong sinar pedang
berkelebat, langsung ia tusuk Coh Liu-hiang.
Sudah banyak pengalaman Coh
Liu-hiang Dahulu waktu bertemu dengan 'It-tiam-ang' (setitik merah), Coh
Liu-hiang merasa kecepatan pedangnya tiada bandingannya di dunia ini. Kemudian
dia pernah bertemu dengan tokoh bernama Swe It-hoan. Lalu, waktu bertemu dengan
si sinting Sih Po-po, kembali Coh Liu-hiang merasa kecepatan Swe lt-hoan tiada
artinya lagi.
Baru sekarang akhirnya Coh
Liu-hiang tahu 'pedang kilat' yang sebenarnya. (Baca seri ke-1, 2 dan 3 oleh
Gan KH)
Tusukan Sih Ih-jin itu sama
sekali tidak terasa olehnya, seolah-olah umpama bayangan, tanpa wujud, siapa
pun tidak tahu cara bagaimana Sih Ih-jin melancarkan serangannya, dan Coh
Liu-hiang sendiri tidak dapat mengelak sama sekali. Cuma, serangan kilat itu
setiba di depan tengorokan, kira-kira cuma satu centi saja jaraknya, lalu
berhenti. Cara berhentinya juga sama cepatnya seperti waktu menyerang,
sama-sama terjadi dengan mendadak dan sukar dibayangkan. Sungguh, cara berhenti
menyerang mendadak ini jauh mengejutkan Coh Liu-biang daripada kecepatan
menyerangnya tadi.
Jelas waktu menyerangnya tadi
Sih Ih-jin tidak menggunakan seluruh tenaganya, kalau tidak tentu serangannya
tak bisa berhenti mendadak. Dan kalau serangannya yang tidak menggunakan
sepenuh tenaga itu sudah sedemikian lihainya, lalu betapa hebat pula bilamana
ia menyerang dengan sepenuh tenaga?.
Sih Ih-jin memandang Coh
Liu-hiang lekat-lekat, agaknya ia pun terkesiap heran, jelas ujung pedangnya
sudah berada di depan tenggorokannya, tetapi Coh Liu-hiang tetap tenang-tenang
saja, bahkan mengedipkan mata saja tidak. Ketenangan orang muda ini sudah
mencapai tingkatan yang sukar dibayangkan pula, melulu daya ketenangan ini saja
sudah cukup memadai seorang maha guru persilatan manapun juga.
Meski ujung pedang tidak
sampai menyentuh kulit leher Coh Liu-hiang, tapi hawa pedang yang dingin sudah
terasa menyayat kulit namun Coh Liu-hiang tetap diam saja.
Bagi Coh Liu-hiang, kejadian
ujung pedang mengancam di tenggorokan bukan cuma sekali saja. Meski ia pun
tahu, sekali ini jauh lebih cepat daripada pedang manapun juga dan tidak
mungkin dapat dihindari.
Sil Ih-jin memandangnya dengan
dingin, selang sejenak baru berkata pula, "Apakah kedatanganmu mi karena
mengincar pedangku ini?"
Coh Liu-hiang tertawa,
jawabnya, "Kaukira kedatanganku ini hendak mencuri pedangmu?"
"Nama harum Coh-Hiang-swe
telah lama kukagumi " ujar Sih Ih-jin.
"Jika begitu seharusnya
kau tahu selamanya dia tidak pernah mengincar sesuatu barang sahabatnya. "
"Segala apa tentu juga
ada kecualinya, bisa jadi sekali ini pun terkecuali dari kebiasaanmu itu."
"Mengapa sekali ini harus
kukecualikan?"
"Bukankah kau sangat
tertarik dalam hal pedang, dan kau pun mempunyai pengetahuan yang sangat luas
dalam bidang ini."
"Betul, urusan pedang
memang sangat menarik bagiku, sama halnya aku tertarik untuk makan Ang-sio-bak,
akan tetapi untuk itu aku kan tidak perlu mencuri seekor babi ke rumah dan
diam-diam menyembelihnya?"
"Habis, untuk tujuan apa
kedatanganmu ini?" Sih Ih-jin bertanya dengan suara bengis.
"Bilamana tenggorokanku
terancam oleh ujung pedang orang, biasanya aku tak suka berbicara
dengannya," jawab Coh Liu-hiang dengan tak acuh.
"Kau lebih suka
kutusukkan pedangku ini?"
"Kalau Sih Ih-jin adalah
manusia yang suka menyerang orang secara mendadak tanpa diketahui lawannya
lebih dahulu, maka pasti akulah yang salah menilai dirimu. Dan kalau aku salah
menilai dirimu, sekalipun aku mati di tanganmu juga tidak perlu penasaran,
anggap saja mataku sendiri yang lamur?"
Sih Ih-jin menatapnya sekian
lama pula, katanya kemudian dengan pelahan, "Memangnya kau belum pernah
salah menilai orang selama ini?"
"Apabila dapat kubiarkan
seseorang berdiri di sampingku dengan pedang terhunus, maka aku pasti takkan
salah menilainya," ujar Coh Liu-hiang dengan tersenyum.
"Bagus, bagus!" Sih
Ih-jin bergelak "Nyata Coh-Liu-hiang memang seorang pemberani, sungguh
hebat dan tidak bernama kosong."
"Creng", segera Sih
Ih-jin sarungkan pedangnya Lalu dengan tersenyum ia berkata pula, "Tetap
bila kedatangan Coh Hiang-swe ini melulu karena urusan Hoa Kim-kiong, betapapun
aku juga tidak percaya."
"Ya, aku sendiri pun tak
percaya,” tukas Coh Liu-hiang.
Senyum di wajah Sih lh-jin
pelahan-lahan lenyap, katanya, "Kunjungan Coh Hiang-swe ke Sih-keh-ceng
jangan-jangan maksud tujuannya agar Hoa Kim-kiong membawamu menemui aku?"
Dengan tertawa Coh Liu-hiang menjawab,
"Sih-tayhiap sudah lama mengasingkan diri, kalau Cayhe ingin menemui orang
yang luar biasa, terpaksa harus menggunakan cara yang luar biasa pula."
"Mengapa kau terburu-buru
ingin menemui aku." tanya Sih Ih-jin dengan sorot mata gemerlap.
Coh Liu-hiang berpikir
sejenak, jawabnya kemudian. "Dua tahun terakhir ini, di dunia Kangouw
tiba-tiba muncul suatu komplotan pembunuh bayaran."
"Apa? Pembunuh
bayaran?" Sih Ih-jin menegas dengan melengak.
"Ya, orang-orang ini
tidak membedakan salah dan benar, tidak peduli baik atau jahat, pekerjaan
mereka hanya membunuh orang, siapa yang berani membayar dan mereka pun akan
membunuh."
Setelah menghela napas
gegetun, Coh Liu-hiang menyambung pula, "Mereka membunuh tanpa peduli
siapa yang menjadi sasaran, orang dari kalangan mana pun dapat mereka bunuh,
sekalipun orang yang tiada sangkut paut dengan dunia persilatan juga dapat
mereka bunuh. Sebab itulah aku menganggap mereka jauh lebih busuk dan lebih
menakutkan daripada kawanan bandit, sebab kawanan bandit sedikitnya masih
memilih sasaran dan tak mungkin turun tangan kepada sembarang orang."
Tampak tertarik juga Sih
Ih-jin, katanya, "Di dunia Kang ouw timbul orang macam begini, mengapa
kabar mereka sedikitpun tidak pernah kudengar?"
"Komplotan ini sangat
misterius dalam setiap gerakan, jika mereka tidak menyatroni diriku, sama
sekali aku tidak tahu."
"Tetapi kalau mereka
berani mengincar Hiang-swe, mungkin mereka pun sudah dekat dari tamat,"
ujar Sih Ih-jin dengan tertawa.
"Komplotan itu sekarang
memang telah banyak yang mati dan terluka, jelas mereka tidak bisa banyak
beraksi lagi, cuma pemimpin mereka sampai saat ini masih bebas dari
pencarianku."
"Siapakah pemimpin
mereka?" tanya Sih Ih-jin.
"Sampai saat inipun aku
tidak tahu siapa dia, hanya kutahu orang ini cerdik luar biasa, ilmu pedangnya
juga maha tinggi," tutur Coh Liu-hiang.
"Wah, maka Hiang-swe
lantas mencurigai orang ini ialah diriku?" kata Sih Ih-jin dengan
tersenyum.
Coh Liu-hiang juga tersenyum,
jawabnya, "Jika tidak, tentu aku juga tidak akan datang kemari."
"Dan sekarang apakah
Hiang-swe sudah mendapatkan tanda-tanda yang meyakinkan?" tanya Sih Ih-jin
dengan sorot mata tajam.
"Seranganmu tadi memang
ada tujuh bagian mirip dengan cara mereka," jawab Coh Liu-hiang dengan
tenang.
"Jika demikian, jadi kau
anggap aku inilah pemimpin pembunuh bayaran itu?" tanya Sih Ih-jin dengan
suara berat.
Coh Liu-hiang tersenyum,
jawabnya, "Jika kau pemimpin komplotan pembunuh itu, tentu seranganmu tadi
takkan kau tarik kembali"
Sih lh-jin tidak bicara lagi,
pelahan ia membalik tubuh dan menyimpan kembali pedangnya ke peti panjang tadi,
terlihat pundaknya bergerak naik turun, agaknya perasaannya sangat terguncang.
Selang agak lama barulah ia berkata dengan pelahan, "Apakah kau tahu sebab
apa hingga sekarang Cu Kin-hou belum kubunuh?"
Pertanyaan tiba-tiba dan tak
terduga ini membuat Coh Liu-hiang melengak seketika..
Syukurlah tanpa menunggu
jawaban, segera Sih lh-jin berkata pula, "Sebabnya selama hidupku ini,
tidak saja sangat sedikit sahabatku, bahkan musuh juga tak banyak, lebih-lebih
musuh serupa Cu-Kin-hou itu, bilamana kubunuh dia tentu hidupku akan lebih
kesepian lagi."
Meski Coh Liu-hiang tidak
dapat melihat air mukanya, karena Sih lh-jin bicara menghadap ke sana, namun
timbul juga rasa haru dan pedih melihat bayangan punggung orang yang agak kurus
dengan rambut yang sudah ubanan itu, ucapnya dengan menghela napas, "Sejak
zaman dahulu, ksatria sejati memang banyak yang hidup kesepian. Seorang kalau
masih berada di bawah selalu ingin menanjak ke atas, makin menanjak makin
tinggi. Tapi kalau sudah terlalu tinggi, orang yang ikut naik ke atas semakin
berkurang pula. Apabila diketahuinya di tempat ketinggian itu kini tinggal dia
sendiri, maka sukarlah baginya untuk balik lagi ke bawah."
Tubuh Sih lh-jin yang jangkung
itu tiba-tiba seperti rada-rada bungkuk, setelah termenung lama pula kemudian
dia menghela napas panjang dan berkata pula, "Namun lambat laun aku sudah
tua, seorang kalau sudah mendekati ajalnya tentu ingin segera membereskan utang
piutang semasa hidupnya, supaya tidak ikut masuk ke dalam liang kubur."
Coh Liu-hiang terdiam, sebab
ia tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Maka Sih lh-jin menyambung
pula, "Sebab itulah aku sudah berjanji dengan Cu Kin-hou untuk duel pada
malam penghabisan sebelum ganti tahun ini, bukan duel pribadi antara kami
berdua saja, tapi duel bagi kedua keluarga Sih dan Cu. Sebab kedua keluarga
kami telah bermusuhan selama beratus tahun, begitu lama sejarah permusuhan ini,
hingga hampir membuat orang yang bersangkutan lupa mengenai sebab musabab
permusuhan itu."
Coh Liu-hiang sangat tertarik,
katanya, "Mengapa Cu Kin-hou tidak memberitahukan padaku mengenai janji
duel kalian ini?"
Sekarang ia pun paham sebabnya
Cu Kin-hou buru-buru ingin menikahkan putrinya, sebab kalau anak perempuannya
sudah menikah, itu bukan lagi anggota keluarga Cu dan tidak perlu ikut dalam
pertarungan maut ini, nyata betapa cinta kasih seorang ayah terhadap puterinya
terbukti dari timbang rasa Cu Kin-hou ini.
Mendadak Sih lh-jin membalik
tubuh dan menatap tajam Coh Liu-hiang, lalu berkata, "Tadinya kusangka kau
telah diberi tahu urusan ini, maka kukira kedatanganmu ini adalah untuk
membantu dia, untuk itu kau sengaja hendak menyelidiki keadaanku bagi Cu
Kin-hou."
"Ya, menurut dugaanmu
tentu kau mengira aku akan mencuri pedangmu," ucap Coh Liu-hiang dengan
tertawa. "Memang, bilamana seorang hendak berduel dengan seekor harimau,
paling efektif jika sebelumnya berusaha mencabut gigi sang raja hutan
itu."
Dia merandek dan tertawa, lalu
menyambung pula, "Tapi seumpama Coh Liu-hiang adalah manusia rendah
begini, jelas Cu Kin-hou tidak mungkin bertindak demikian, kalau tidak, tentu
dia tidak ada harganya untuk menjadi musuh Sih lh-jin, Sih-tayhiap."
"Dan kalau Coh liu-hiang
adalah manusia demikian, seumpama aku salah lihat akan dirimu, maka itupun
salahku sendiri, mataku yang lamur, mana boleh menyalahkan orang lain, betul
tidak?".
Ucapannya ini tepat sama
seperti apa yang dikatakan Coh Liu-hiang kepadanya tadi.
Memandangi wajah orang yang
dingin itu lapat-lapat dalam hati Coh Liu-hiang timbul rasa hangat, sebab
sekarang ia tahu bahwa orang tua itu sesungguhnya tidak sedingin sebagai mana
terlihat dari wajahnya. Katanya kemudian, "Jadi duel kalian di malam tahun
baru sudah tidak dapat dihindarkan lagi?"
Sih Ih-jin terdiam sejenak,
mendadak ia tertawa dan berkata, "Ikan yang dimasak Hong-hong tentu sudah
siap, marilah kita minum barang secawan dahulu."
Sesungguhnya Coh Liu-hiang
bukan setan arak sebagaimana kawan karibnya, Oh Thi-hoa. Biasanya ia jarang minum
arak di siang hari, hanya pada waktu hatinya sedang sangat senang atau sangat
berduka saja memang harus dikecualikan.
Dan sekarang juga suatu
kekecualian bagi Coh Liu-hiang, tapi ia sendiri tidak tahu apakah sekarang ini
dia teramat gembira atau sebenarnya bersedih. Sesungguhnya banyak persoalan
yang merundung pikirannya, bahkan persoalan yang rumit, ia ingin mencari waktu
yang baik untuk merenungkannya. Sebelum persoalan-persoalan itu terpikir jelas,
urusan apapun takkan di lakukannya.
Rasa Loh-hi yang disajikannya
sebenarnya memang cukup lezat, cuma Coh Liu-hiang menyangsikan masakan ini
pasti bukan olahan Si-siaunaynay sendiri, sebab pada tangannya tidak nampak
sedikitpun lepotan minyak.
Sudah banyak Coh Liu-hiang
kenal perempuan yang tidak becus masak, tapi perempuan begitu justru sok pamer,
pura-pura sembunyi di dapur, lalu mengeluarkan masakan yang sudah siap kepada
tamunya serta berkata, "Maaf, masakan tidak enak". Dengan demikian
dia ingin memberi kesan kepada tamunya bahwa dia sendiri yang mengolah masakan
itu.
Maklum, perempuan yang sok
begini, juga tahu bahwa mahir memasak bukan hanya kebanggaan seorang isteri,
tapi juga kebanggaan sang suami.
Benar seperti sudah diduga Coh
Liu-hiang, dengan tertawa genit Si-siaunaynay lantas berkata, "Mungkin
kurang lezat masakan ikan ini, harap Hiang-swe jangan menertawakan
diriku."
Sungguh sial bagi
Si-siaunaynay alias Sih Hong-hong, belum lagi Coh Liu-hiang menjawab, sang ayah
sudah menyela dengan hambar, "Hakikatnya goreng telur saja kau tidak becus,
masa kau mengaku masak ikan segala......"
Keruan Si-siaunaynay menjadi
tersipu-sipu, belum habis ucapan Sih Ih-jin, terus saja ia mengeluyur masuk ke
dalam.
Hoa Kim-kiong lantas
menanggapi dengan tertawa, "Ah, tak kusangka Cinkehong juga suka berseloroh,
mungkin hatimu menjadi senang setelah bertemu dengan Coh Hiang-swe, untuk ini
engkau mesti berterima kasih kepadaku."
"Betul, apabila
Si-cinkehong hadir, tentu akan kuhormati dia satu cawan," kata Sih lh-jin.
Melengak juga Hoa Kim-kiong,
katanya kemudian sambil menyengir, "Silakan Hiang-swe omong-omong dulu,
biarlah ku cari Cinkehnio di belakang."
Setelah Hoa Kim-kiong pergi,
Sih lh-jin menghela napas lega, katanya, "Akhirnya dia dapat memahami arti
ucapanku dan tahu kemana dia harus pergi. Sungguh tidak mudah untuk membikin
mengerti orang perempuan."
"Ya, tidak mudah,"
tukas Coh Liu-hiang dengan tertawa, "Jika perempuan tidak dienyahkan, mana
orang lelaki dapat minum arak dengan tenang. Marilah kita habiskan
secawan!"
Coh Liu-hiang mengiringi ajakan
tuan rumah, sekali tenggak mereka menghabiskan isi cawan masing-masing,
tiba-tiba ia menghela napas dan berkata dengan menyesal, "Apabila antara
keluarga Sih dan Cu tidak saling bermusuhan, tentu kau dan Cu Kin-hou dapat
menjadi sahabat yang baik."
Air muka Sih lh-jin tampak
berubah, katanya. "Kau memang kawan baik Cu Kin-hou, sekarang juga
kawanku, cuma kuharap kau mesti paham satu hal, yakni permusuhan antara ke
luarga Sih dan Cu tak mungkin didamaikan oleh siapa pun juga."
"Sebab apa?" tanya
Coh Liu-hiang.
"Tahukah kau, selama
seratus tahun ini betapa banyak korban dari keluarga Sih yang terbunuh oleh
orang she Cu?"
"Kukira kematian di pihak
keluarga Cu juga sama banyaknya," ujar Coh Liu-hiang.
"Memang," kata Sih
Ih-jin. "Justru lantaran inilah, maka permusuhan kedua keluarga juga
bertambah mendalam, kecuali salah satu keluarga sudah hancur dan mati
seluruhnya, kalau tidak, siapapun jangan berharap akan dapat mendamaikan
permusuhan ini."
Ngeri juga Coh Liu-hiang,
seketika ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya lagi.
Pada saat itulah mendadak
seorang berteriak, "Bagus, kalian makan enak di sini tanpa
mengundangku."
Seseorang lantas menerobos
masuk, siapa lagi dia kalau bukan si sinting Sih Po-po. Baju yang dipakainya
sekarang ber warna merah dengan sulaman seekor kura-kura di depan dada nya.
Tampaknya Sih Po-po sudah
tidak kenal Coh Liu-hiang lagi, tanpa permisi segala, segera ia ikut duduk di
meja perjamuan itu, satu porsi ikan terus dipindahkan ke depan sendiri, tanpa
cuci tangan, terus saja ia comot sepotong ikan dan dilalap begitu saja.
Sih Ih-jin berkerut kening,
sambil menyengir ia perkenalkan Sih Po-po kepada Coh Liu-hiang, "Inilah
saudaraku Siau-jin, dia........."
Belum lanjut ucapannya. Sih
Po-po yang mulutnya penuh ikan itu sembari menumpahkan duri ikan, ia pun
menyela dengan tertawa, "Sih Ih-jin adalah jago pedang nomor satu, Sih
Siau-jin adalah jago gegares nomor satu. Sejak kecil Sih Siau-jin selalu kalah
bila berkelahi dengan Sih Ih-jin, tapi kalau bertanding makan, betapapun Sih
Ih-jin pasti angkat tangan dan menyerah."
"Siapa yang suruh kau
datang kemari?" tanya Sih Ih-jin dengan gusar.
"Ini kan juga rumahku,
mengapa aku tidak boleh kemari" jawab Sih Po-po dengan tertawa. "Kau
boleh memaki aku goblok, boleh memaki aku tidak becus, tapi kau kan tidak dapat
bilang aku bukan anaknya ayah"
Sih Ih-jin menggeleng sambil
menghela napas, katanya, "Harap Hiang-swe jangan menertawakan, tadinya dia
tidak begini, baru tujuh-delapan tahun yang lalu, entah mengapa mendadak
dia...........dia berubah."
Diam-diam Coh Liu-hiang merasa
gegetun. Memang, setiap rumah tangga tentu mempunyai kesukaran sendiri-sendiri,
setiap rumah tentu ada hal-hal yang tak diketahui orang luar. Meski pendekar
pedang nomor satu seperti Sih Ih-jin juga tiada ubahnya seperti orang biasa, ia
pun mempunyai kemalangan dan kekesalan rumah tangga, hanya saja hal-hal
demikian tertutup oleh namanya yang gemilang, orang luar cukup tahu nama Sih
Ih-jin yang cemerlang, tapi lupa bahwa di bawah cahaya yang cemerlang itupun
ada bayangan yang gelap.