-------------------------------
----------------------------
Bab 5: Si Gundul & Si Burik
Maksud kedatangan Coh
Liu-hiang sebenarnya ingin menyelidiki rahasia pemimpin komplotan pembunuh
bayaran yang penuh misteri itu, tapi sekarang tujuannya telah berubah.
Cu Kin-hou adalah sahabat
baiknya, dia harus bantu menyelesaikan soal pelik ini. Apalagi peristiwa 'mayat
kesurupan roh' ini sesungguhnya sukar untuk dibayangkan, ia sendiri pun ingin
membikin terang kejadian ini, maka sebelum tiba di Sih keh-ceng, sebenarnya
sudah disiapkan macam-macam pertanya an yang akan diajukan kepada Sih Ih-jin,
tapi sekarang mendadak ia merasa di balik persoalan ini masih banyak hal-hal
lain yang perlu diselidiki dan dipelajari, maka ia ambil keputusan untuk
sementara ini takkan banyak bicara.
Sih Ih-jin juga tidak
menahannya, dia cuma menentukan pertemuan berikutnya dengan Coh liu-hiang, lalu
mengantar tamunya keluar dan menyaksikan keberangkatannya hingga menghilang di
kejauhan.
Sih Po-po menyaksikan
kepergian Coh Liu-hiang juga, cuma dia tidak mengantar, melainkan sembunyi di
belakang pintu sambil tertawa nyekikik.
Coh Liu-hiang tidak menumpang
kereta, juga tidak naik kuda, baginya berjalan kaki terkadang otaknya bisa
bekerja lebih jernih. Sebab berjalan dapat membuat aliran darah bertambah
lancar, aliran darah ke bawah bisa turun lebih cepat dan otakpun bisa lebih
dingin dan tenang. Maklum, pada saat ini dia sangat memerlukan otak yang
tenang.
Sesungguhnya apa yang telah
ditemukan olehnya? Apa pula yang dipikirnya?
Setelah serangan pertama
berhasil, segera si baju hitam bermaksud menusuk pula untuk kedua kalinya, tapi
pada saat itu mendadak tertampak kabut putih bersemu merah berhamburan dari
tangan Coh Liu-hiang, hidung pun mengendus bau harum semerbak.
Keruan ia terkejut, cepat ia
menahan napas dan memejamkan mata, untuk menjaga segala kemungkinan dia putar
pedangnya seperti kincir, berbareng itu ia pun menyurut mundur ke ambang pintu.
Waktu dia membuka mata dan
dapat melihat jelas, tertampak Coh Liu-hiang masih berdiri tegak di tempatnya
dan sedang memandangnya dengan tenang, malah mengulum senyum pula. Namun jelas
juga ujung pedangnya ada tetesan darah segar. Jadi Coh Liu-hiang pasti juga
sudah terluka.
Si baju hitam tertawa
terkekeh-kekeh, katanya, "Kecepatan reaksi Coh Hiang-swe sungguh tiada
bandingnya di dunia ini, cuma sayang tetap tak mampu menghindarkan tusukanku
tadi."
Coh liu-hiang tersenyum tak
acuh, jawabnya, 'Sebenarnya aku sangat heran, siapakah gerangan yang dapat
menyerang secepat ini, tak tersangka kiranya engkau adanya."
"Bukankah engkau sedang
mencari jejakku?" tanya si baju hitam dengan tertawa.
"Memang betul, sudah
sekian lama kucari kau, tak terduga kau benar-benar berada di sini."
"Jika kau berada di sini,
dengan sendirinya aku pun berada di sini."
"O, jadi kau selalu
menguntit aku?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ya," jawab si baju
hitam.
Nyata dia inilah orang yang
sedang diselidiki Coh Liu hiang, yaitu pemimpin komplotan pembunuh bayaran yang
lihai itu (hal ikhwal tentang komplotan pembunuh bayaran ini dikisahkan pada
seri Maling Romantis sebelumnya........oleh Gan K.L).
Dengan sorot mata tajam
seperti mata elang, si baju hitam menatap Coh-Liu-hiang, dengusnya, "Telah
sekian lama kau mencari diriku, sekian lama pula kucari dirimu. Kau inginkan
jiwaku, aku menghendaki jiwamu, di antara kita berdua memang cuma seorang saja
yang berhak hidup terus."
Coh Liu-hiang tersenyum,
jawabnya, "Menurut pendapatmu, siapa yang berhak hidup terus?"
Sorot si baju hitam jatuh pula
pada tetesan darah di ujung pedangnya, katanya dengan tenang, "Sampai
kini, masa kau masih ingin hidup lagi?"
Coh Liu-hiang tertawa jawabnya
tak acuh, "Kecepatan pedangmu memang luar biasa, cuma sayang......."
Mendadak si baju hitam
menyela, "Jika seranganku pertama tak dapat kau hindari, seranganku yang
kedua pasti akan merenggut nyawaku."
"Betul, setelah terluka,
dengan sendirinya aku tidak mampu mengelakkan lagi kecepatan pedangmu, "
kata Coh Liu-hiang dengan tersenyum. "Akan tetapi seranganmu yang kedua
apakah kiranya dapat kau lontarkan lagi?"
"Hm, untuk membunuh orang
selamanya aku tidak kenal kasihan," jengek si baju hitam.
"Ada pameo yang tersiar
luas di dunia Kangouw, masa kau tidak pernah mendengarnya?"
"Pameo apa," tanya
si baju hitam.
Coh Liu-hiang lantas tarik
suara seperti orang bersenandung, "Dupa perenggut nyawa si maling cakap,
diam-diam akan merantas usus orang......"
Sekonyong-konyong terbelalak
mata si baju hitam, serunya, "Apa katamu? Dupa perenggut nyawa?"
"Betul, baru saja kau
telah terkena Siau-hun-hiang (dupa perenggut nyawa) yang kutaburkan, tanpa pertolonganku,
dalam waktu satu jam, racun akan bekerja dan tak tertolong lagi."
Untuk sejenak si baju hitam
melototi Coh Liu-hiang, mendadak ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak pula.
katanya, "Hahahaha! Coh Liu-hiang, jangan kau harap akan dapat menipuku.
Yang kau taburkan tadi tidak lebih hanya satu kotak pupur wangi yang biasa
digunakan kaum wanita."
Coh Liu-hiang menghela napas
menyesal, gumamnya, "Pupur wangi kaum wanita? Di sini memangnya ada pupur
wangi kaum wanita segala? Memangnya siang malam dan kemana pun pergi,
senantiasa aku membawa pupur......?" Makin bicara makin menjadi geli dan
akhirnya ia pun bergelak tertawa
Mendadak si baju hitam
membentak dengan bengis. "Pokoknya, selama kau masih hidup di dunia ini,
maka selama itu pula aku akan tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur,
betapapun kau harus kubunuh dulu."
"O, boleh silakan."
jawab Coh Liu-hiang.
"Seumpama Siau hun-hiang
yang kau katakan itu benar, maka padamu tentu juga ada obat penawarnya, setelah
kucabut jiwamu, tentu pula obat penawarnya akan dapat kutemukan."
"Hahaha, pikiran yang
bagus," seru CohLiu-hiang sambil tersenyum.
Si baju hitam menggenggam
pedangnya erat-erat, gigi gemerutuk saking menggeregetnya, meski ucapannya
tegas dan garang, tapi hati menjadi ragu dan tangan terasa rada lemas, serangan
kedua ternyata tidak dapat dilontarkan lagi.
"Kenapa engkau tidak
lekas menyerang? Jika lebih cepat membunuhku, kan obat penawarnya juga lebih
cepat kau dapatkan?" kata Coh Liu-hiang dengan tersenyum tenang.
"Ap....... apakah obat
penawarnya tidak berada padamu?" tanya si baju hitam dengan sangsi. .
"Apa yang kukatakan toh
takkan kau percaya, lalu untuk apa kau tanya padaku?"
Dengan gregetan si baju hitam
berkata pula, "Seumpama kulepaskan kau, tapi cara bagaimana kuyakin kau
akan memberi obat penawarnya?"
"Ya memang tiada
pegangan," kata Coh Liu-hiang.
Mendadak sorot mata si baju
hitam berubah tenang, ia menatap lekat-lekat wajah Coh Liu-hiang, sejenak
kemudian barulah berkata pula "Jika aku tidak membunuhmu, apakah kau akan
memberi obat penawarnya?"
"Kukira tukar menukar ini
takkan merugikan siapa-siapa," ujar Coh Liu-hiang.
"Kemudian?" tanya si
baju hitam.
"Kemudian kau akan tahu
apa yang harus kau lakukan lagi," jawab Coh Liu-hiang. "Akan kutulis
cara menawarkan racun itu pada pohon pertama yang mudah kau lihat di luar sana,
tapi hendaklah ingat betul-betul, kau harus menghitung sampai seribu bulat baru
boleh keluar. Kalau tidak, maka gugurlah perjanjian ini."
Si baju hitam berpikir
sejenak, katanya kemudian "Coh Liu-hiang selamanya tidak pernah ingkar
janji, entah kabar ini benar apa tidak?"
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Benar atau tidak, dalam waktu singkat kau akan buktikan
sendiri." Segera ia melangkah lewat di samping si baju hitam, padahal
cukup dengan sekali bergerak, pedang si baju hitam dapat menembus lehernya,
namun Coh Liu-hiang tidak gentar sedikit pun, bahkan memandang sekejap saja
tidak kepada si baju hitam.
Pertaruhan kini sudah jadi,
Coh Liu-hiang tahu, mau tak mau lawan pasti bertaruh dan menunggu sampai
terbuka hasil pertaruhan ini.
Dengan melotot si baju hitam
menyaksikan kepergian Coh Liu-hiang, otot dagingnya serasa menegang. Dilihatnya
Coh Liu-hiang telah keluar dan merapatkan pintu.
Maka dengan mengepal kencang
menahan perasaannya, ia mulai menghitung. "Satu, dua, tiga,
empat................."
Bukan soal sulit untuk
menghitung satu sampai seribu, jika hitungnya cepat, hanya sekejap saja akan
selesai. Akan tetapi bagi si baju hitam, sekarang bilangan seribu itu
seolah-olah tidak habis-habisnya terhitung.
Sesungguhnya dia memang
seorang petualang, seorang petaruh. Cuma sekali ini taruhannya memang kelewat
besar dan juga terlalu berbahaya, apabila ada sedikit pilihan baginya, tidak
mungkin dia mau bertaruh secara demikian.
Karena itu ia mempercepat
hitungannya, "Sembilan ratus sembilan puluh empat.................
sembilan ratus sembilan puluh delapan........"
Begitu hitungan seribu sudah
lengkap, serentak si baju hitam membuka pintu dan melompat keluar. Hanya
beberapa kali lompatan saja, ia menuju ke pohon pertama yang dilihatnya. Benar
juga, di bawah pohon terdapat beberapa huruf yang dicoret dengan ranting kayu.
'Kau tidak keracunan!'
demikian bunyi tulisan itu. Tulisan yang lebih tepat dikatakan corat-coret itu
seakan-akan sedang mengejek padanya.
Keruan si baju hitam melengak,
setelah tertegun sejenak, akhirnya ia meludahi corat-coret itu disertai injakan
dan menyapu dengan kakinya.
"Maknya dirodok, pukima,
diamput........" demikianlah saking gregetan ia memaki habis-habisan,
hampir segala kata makian dari daerah dihamburkan seluruhnya ke alamat Coh
Liu-hiang.
Nyata ia telah kena dikibuli
oleh orang she Coh itu. Padahal tadi cukup hanya sekali lagi ayun pedang dan
Coh Liu-hiang dapat dibinasakannya.
Sungguh tak habis terpikir
olehnya mengapa tadi sedikit pun Coh Liu-hiang tidak memperlihatkan rasa gentar
dan tegang. Padahal kalau waktu itu tertampak setetes keringat saja di dahi Coh
Liu-hiang, mungkin saat itu juga pedangnya sudah bekerja.
"Bagus kau, Coh
Liu-hiang." demikian si baju hitam bergumam sendiri dengan gemas,
"Tapi kau pun jangan keburu senang dulu, meski sekarang kau dapat lolos
dari tanganku, akhirnya kau akan menjadi setan di bawah pedangku."
Tiba-tiba teringat olehnya Coh
Liu-hiang sudah terluka parah, andaikan kabur pasti juga belum jauh, jika
dikejar mungkin masih dapat menyusulnya.
Ia lihat diatas tanah memang
ada beberapa titik darah yang sudah mengering, segera ia berjongkok dan mulai
meneliti, seperti anjing pelacak saja, akhirnya ia dapat menemukan sederetan bekas
kaki. Lalu ia mengejar ke sana.
Jika ditimbang menurut luka
Coh Liu-hiang yang cukup parah itu, sesungguhnya dia memang tidak mungkin dapat
lari jauh dan dengan cepat pasti akan dapat disusul oleh si baju hitam.
Cuma sayang, si baju hitam
telah salah sangka, kembali dia kena diingusi pula. Sebab pada hakikatnya Coh
Liu-hiang tidaklah lari pergi, dia justru sembunyi di atas pohon itu. Maka dia
dapat mendengar jelas semua kata makian si baju hitam tadi.
Mau tak mau ia hanya menyengir
saja. Selama hidupnya mungkin tidak pernah dimaki orang sedemikian rupa komplet
seperti sekarang.
Dilihatnya si baju hitam sudah
pergi jauh dan akhirnya lenyap dari pandangan, mata Coh Liu-hiang sendiri pun
mulai terasa berkunang-kunang, tubuh terasa lemas, akhirnya ia jatuh terbanting
ke bawah pohon.
Jika sekarang si baju hitam
memutar balik, jelas Coh Liu-hiang tidak mampu melawan sama sekali. Apapun juga
dia manusia, manusia yang terdiri dari darah dan daging, kalau punggungnya
tertusuk pedang seberat itu, tentu lukanya tidak boleh dibuat main-main.
Coh Liu-hiang sendiri tidak
dapat melihat luka di bagian punggung, tapi ia tahu lukanya sangat dalam,
rasanya tertusuk hingga tulang punggung, darah yang mengalir dengan sendirinya
juga tidak sedikit.
Dalam keadaan seperti
sekarang, jelas dia tidak sanggup pulang ke Ceng-pwe-san-ccng.
Dengan napas terengah-engah
dia bersandar pada batang pohon. Selagi bermaksud mencari tempat sembunyi
darurat mendadak didengarnya suara kresak-kresek orang datang menyusur hutan
sana.
Napas Coh Liu-hiang serasa
terhenti saking cemasnya. Ia pikir kalau si baju hitam yang kembali, maka
jiwanya pasti akan melayang.
Didengarnya suara orang sedang
berkata, "Di tempat begini mana ada cukong murah hati, tampaknya aku
tertipu lagi olehmu."
"Untuk apa kutipu
kau?" terdengar seorang lagi berkata. "Yang jelas setiap kali
kudatang, sekali mereka memberi, sedikitnya lima uang."
"Lima uang untuk
pengemis, apakah orang itu sudah gila?" kata orang pertama tadi
"Kau tidak tahu, pada
umumnya lelaki sok pamer di depan orang perempuan, berlagak murah hati dan
royal," kata orang pertama dengan tertawa. “Sudah tentu yang kumaksudkan
bukanlah suami istri, tetapi kekasih, lelaki takkan royal di depan isterinya.”
"Memangnya berada dimana
kedua lelaki perempuan yang murah hati itu?" kata orang pertama dengan
tertawa.
"Itu, di rumah kecil sana
itu," jawab orang kedua. "Tampaknya mereka sedang mengadakan
pertemuan gelap di sana." Dari suaranya, jelas.kedua orang ini masih
anak-anak.
Diam-diam Coh Liu-hiang merasa
lega. Waktu ia berpaling ke sana, dilihatnya dua pengemis berusia belasan tahun
sedang mendatangi dengan tertawa-tawa. Meski pakaian mereka compang-camping,
tapi nampak riang gembira, yang di sebelah kiri bermuka burik, matanya besar,
tampaknya sangat bengal dan suka mengacau.
Yang sebelah kanan berkepala
gundul, tampaknya jauh lebih dugal lagi daripada si burik. Gerak gerik kedua
bocah ini kelihatan gesit, agaknya dasar ilmu silat mereka tidak lemah.
Selama hidup Coh Liu-hiang,
hampir tidak pernah segembira sekarang demi melihat pengemis cilik ini. Belum
pernah terbayang olehnya bahwa dua pengemis cilik ini ternyata sedemikian
menariknya.
Sementara si burik dan si
gundul juga sudah melihat Coh Liu-hiang, serentak mereka berhenti melangkah,
dengan terbelalak mereka memandang Coh Liu-hiang yang berlepotan darah itu.
Coh Liu-hiang tertawa pada
mereka dan menyapa, "Kungfu bagian kaki kedua saudara cilik tampaknya
tidak lemah, apakah kalian anak murid Kay-pang?"
Si gundul mengerling,
jawabnya, "Untuk apa aku harus menjawab?"
"Apakah kalian dapat
membawaku menemui Liongthau-toako (saudara pimpinan) kalian?" tanya Coh
Liu-hiang.
Si burik mengerling dan
menjawab, "Untuk apa harus kubawa kau ke sana?"
Coh Liu-hiang berkata pula,
"Namaku Coh L.u-hiang, kupikir Liongthau-toako kalian pasti suka menemui
aku."
"Apa itu Coh
Liu-hiang......"
Belum lanjut ucapan si burik,
mendadak mukanya dipersen sekali gamparan oleh si gundul.
Keruan si burik berjingkat
kaget, segera ia pun berteriak gusar, "Kenapa kau memukul aku?"
Sambil mencibir si gundul
menjawab, "Jika Coh Hiang-swe saja kau tidak tahu, biarpun ditempeleng
sepuluh kali juga belum cukup banyak."
Sambil meraba mukanya yang
sakit, mendadak mata si buruk terbeliak, serunya, "He, Coh Hiang-swe
katamu? Apakah maksudmu Coh Hiang-swe yang terkenal sebagai Pendekar Harum
itu?"
"Selain Coh Hiang-swe
ini, darimana ada Coh Hiang-swe yang lain," ujar si gundul.
"Plok", kembali muka
si burik dipersen lagi satu kali gamparan, tapi bukan ditampar si gundul,
melainkan ditampar oleh si burik itu sendiri.
"Wah, tolol benar aku
ini......" demikian si burik menggerutu.
*******
Di suatu kelenteng bobrok,
tampak berkumpul belasan orang pengemis, semuanya berbaju compang-camping, tapi
semangat mereka tidak seorang pun yang lesu, sekali pandang saja, orang akan
tahu mereka pasti anak murid Kay-pang.
Di tengah ruangan kelenteng
itu ada api unggun dengan sebuah kuali besar, terendus bau sedap daging rebus,
tapi daging itu tidak sembarang daging melainkan daging anjing.
Andaikan di dunia ini ada
anjing yang tidak menggigit pengemis, tapi jarang ada pengemis yang tidak makan
daging anjing.
Ini sama halnya kalau waktu
minum arak boleh tanpa makan daging anjing, tapi bila makan daging anjing,
justru tidak boleh kekurangan arak Jadi pengemis, daging anjing dan arak,
ketiganya seperti tidak pernah terpisahkan
Pengemis-pengemis yang hadir
dalam 'perjamuan' ini kebanyakan memanggul dua tiga buah kantong atau karung
goni. Satu di antaranya bermuka hitam manis dan berperawakan kecil, tapi karung
goni yang dipanggulnya ada enam buah, pada pinggangnya tampak terselip sebuah
bumbung besi, entah apa gunanya.
Setelah diperkenalkan, baru
kemudian Coh Liu- hiang tahu si pendek kecil ini berjuluk 'Siau-hwe-sin' atau
malaikat api kecil, dia inilah Liongthau-toako, pimpinan Kay-pang ranting
setempat.
Waktu itu belasan pasang mata
sedang memandangi Coh Liu-hiang dengan penuh rasa hormat dan kagum serta penuh
persahabatan, sebab setiap anggota Kay-pang (organisasi persatuan kaum
pengemis) sama tahu Coh Liu-hiang adalah sahabat Kay-pang. Inipun selalu
ditonjolkan setiap anggota Kay-pang sebagai suatu kebanggaan.
Saat itu Siau-hwe-sin sedang
mendampingi Coh Liu-hiang, dengan tertawa ia berkata, "Sudah lama Tecu
mengagumi nama kebesaran Coh Hiang-swe, sungguh mimpi pun Tecu tidak menyangka
akan dapat berjumpa dengan Coh Hiang-swe sekarang, ini benar-benar suatu
kehormatan besar bagiku dan juga kebanggaan bagi para saudara Kay-pang
kami."
Sementara itu luka Coh
Liu-hiang sudah terbalut dengan rapi, sekarang dia ikut duduk di lantai dan
sedang menikmati tim daging anjing yang lezat dan bergizi itu.
"Sekarang kalian bangga
dan suka padaku, jangan-jangan selanjutnya akan menjadi bosan dan jemu
pula" demikian Coh Liu-hiang berseloroh.
Setelah menghirup kuah sop
daging anjing lalu ia menyambung pula dengan tertawa, "Kalian telah
menjamu aku makan daging, tetapi kedatanganku justru akan membikin repot
kalian."
Siau-hwe-sin tampak melengak,
tanyanya dengan ragu-ragu, "Apakah......apakah di antara saudara Kay-pang
kami ada yang bersalah kepada Hiang-swe?"
"Mana bersalah
padaku?" jawab Coh Liu-hiang tertawa "Malahan ada beberapa urusan
ingin kuminta bantuan kalian."
Baru sekarang Siau-hwc-sin
tahu duduknya perkara, ia menghela napas lega dan bertanya pula, "Budi
kebaikan Coh Hiang-swe kepada Kay-pang sukar diukur, jangankan Cuma suruh kami
bekerja sesuatu, sekalipun kami disuruh terjun ke laut juga kami lakukan tanpa
pikir."
Kebanyakan anggota Kay-pang
adalah lelaki yang gilang-gemilang, Coh Liu-hiang tahu bila bicara
sungkan-sungkan dengan mereka malah akan kelihatan kemunafikan sendiri. Maka
dengan serius ia lantas berkata, "Ada beberapa urusan perlu kuminta
bantuan kalian. Pertama, tolong selidikilah satu orang, orang ini aslinya
bernama Yap Seng-lan, konon suka luntang-lantung di kotaraja dan cukup terkenal
di sana. Tapi menurut perkiraanku, sejak beberapa hari ini dia pasti berada di
sini. Kuharap kalian dapat mencari tahu dimana dia tinggal dan apa yang
diperbuatnya, apakah ada orang lain pula yang tinggal bersama dia."
Mendengar urusannya cuma
disuruh menyelidiki gerak-gerik seorang bernama Yap Seng-lan, Siau-hwe-sin jadi
geli, ucapnya, "Jangan kuatir Hiang-swe, mencari berita sesuatu adalah
pekerjaan kami yang paling dapat diandalkan. Asalkan di dunia ini memang ada
orang yang bernama Yap Seng-lan, maka berani kujamin pasti akan dapat
diselidiki dengan jelas."
"Dan urusan kedua,
kuharap kau menugaskan beberapa saudara antuk mengawasi gerak-gerik
Sih-jikongcu. Sih Bun dari Sih-keh-ceng, juga seorang mak inang keluarga Si
yang bernama Liang-ma, awasilah mereka, kemana pun mereka pergi harus dikuntit
dan dicatat apa yang mereka lakukan."
"Inipun pekerjaan
mudah," kata Siau-hwe-sin.
“Urusan ketiga, kuharap kau
mencari suatu akal untuk memancing Ting-lojj dari Ting-si-sianghiap (dua
pendekar she Ting) yang waktu ini berada di Ceng-pwe-san-ceng supaya cepat
pulang."
"Setelah berpikir
sejenak, Siau-hwe-sin berkata, "Urusan ini tanggung beres, pasti akan kami
kerjakan dengan baik."
Coh Liu-hiang menghela napas
lega, katanya kemudian, "Dan urusan keempat terasa rada sulit."
"Asalkan pekerjaan yang
Coh Hiang-swe serahkan pada kami, betapapun sulitnya juga pasti akan kami
selesaikan," ujar Siau-hwe-sin dengan terrtawa.
"Baiklah jika
begitu," kata Coh Liu-hiang, "Harap kalian bersiap-siap malam nanti
ikut aku pergi menggali kuburan."
Keterangan ini membuat
Siau-hwe-sin melenggong benar-benar. Ia heran mengapa Coh Liu-hiang yang
dikagumi ini menjatuhkan incarannya pada orang mati dan bukan pada perempuan
cantik? Karena itu, untuk sejenak ia terkesima dan serba susah.
Mendadak si gundul berseru,
"Jika Toako tak berani pergi, biar aku saja yang ikut pergi."
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Kau benar-benar berani?"
"Jika orang lain yang
menyuruhku menggali kuburan, mustahil kalau tidak kuajak perang tanding,"
kata si gundul. "Tapi sekarang Hiang-swe yang menyuruhku, maka aku pun
menurut saja."
"Sebab apa?" tanya
Coh Liu-hiang.
Si gundul berkedip-kedip,
katanya, "Sebab kuyakin Hiang-swe tidak mungkin menyuruh kami berbuat
kejahatan."
"Betul, aku pun
ikut," tukas si burik.
Siau-hwe-sin menghela napas,
katanya sambil tersenyum, "Tampaknya kedua setan cilik ini jauh lebih tahu
urusan dari padaku, juga lebih tahu tentang baik dan busuknya. Bilakah
Hiang-swe menghendaki kami bekerja. Pada waktunya kami pasti siap sedia.”
"Tengah malam
nanti," kata Coh Liu-hiang, lalu ia pegang tangan kedua pengemis cilik
itu, katanya tertawa," Kalian adalah sahabat sejatiku, namun terkadang aku
dapat membawa kalian melakukan hal-hal yang jahat. Dua tahun lagi, apabila
kalian sudah lebih dewasa, akan kuajak kalian minum dua tiga cawan dan akan
kucarikan duan nona cantik untuk melayani kalian."
Setelah terbahak-bahak, lalu
Coh Liu-hiang menyambung pula, "Semua itupun bukan perbuatan baik, tetapi
jelas lebih menarik daripada menggali kuburan "
Bahwa Coh Hiang-swe telah
memandang mereka sebagai sahabat dan berjanji akan menjamu minum arak bagi
mereka, keruan si gundul dan si burik kegirangan setengah mati.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang
berkata pula, "Eh, tadi kalian mestinya hendak pergi ke rumah kecil itu
bukan?"
"Ya, menurut si gundul,
katanya di sana ada dua orang yang royal" tutur si burik. "Ketika
pertama kali si gundul ketemu mereka, sekaligus mereka telah memberinya satu
tahil perak, waktu ketemu lagi kedua kalinya mereka memberi persen pula satu
tahil."
"Tapi kepergianku ke sana
bukan untuk memeras," sambung si gundul. "Waktu pertama kalinya,
maksudku hanya ingin menangkap kupu-kupu dan kebetulan memergoki mereka keluar
dari rumah kecil itu. Mereka sendiri berkeras memberikan uang padaku, kalau ada
rezeki, masa kutolak?"
"Dan kedua kalinya?
Apakah juga kebetulan saja?" tanya si burik.
Si gundul melototi sekejap,
lalu menjawab dengan tertawa, "Selanjutnya aku pun cuma malas saja ke
sana, tidak pernah ku ketuk pintu dan minta sedekah pada mereka, pula tidak
setiap kali bertemu dengan mereka."
Si burik menjadi dongkol,
jengeknya, "Hm, katanya ada rezeki sama dirasakan, ada kesulitan sama
dihadapi. Padahal sudah belasan kali kau ke sana, tapi tidak pernah mengajak
diriku."
"Soalnya mukamu terlalu
buruk, kukuatir mereka akan ketakutan," Ujar si gundul dengan tertawa.
Keruan si burik berjingkrak
gusar, "Mukaku buruk, memangnya kau cakap?" Hm gundul-gundul
pacul......"
Coh Liu-hiang tertawa geli
melihat perang mulut kedua bocah itu, tapi sorot matanya tampak mencorong, ia
bertanya pula, "Kedua orang itu terdiri dari lelaki dan perempuan
bukan?"
"Ya, betul." tutur
si gundul. "Keduanya masih muda belia, pakaian mereka pun mentereng,
sekali pandang saja dapat diketahui mereka adalah putera puteri keluarga
hartawan, namun sikap mereka sangat ramah-tamah."
"Bagaimana bentuk
mereka?" tanya Coh Liu-hiang.
“Keduanya biasa saja, tiada
sesuatu yang istimewa, tapi juga tidak jelek, terutama nona itu, bila terawa
lantas kelihatan lesung pipinya yang menarik"
"Bila bertemu lagi lain
kali, apakah kau masih kenal mereka?" tanya Coh Liu-hiang.
"Tentu saja kenal,"
jawab si gundul. "Aku si gundul ini bukanlah manusia yang suka melupakan
budi orang, siapa yang pernah berbuat baik kepadaku, selama hidupka takkan
terlupakan."
Coh Liu-hiang menepuk pundak
si gundul sambil memuji, "Bagus, bagus sekali."