-------------------------------
----------------------------
Bab 8: Biarawati Gila
Tiba-tiba terbuka lebar kedua
biji mata Thian-hong-cap-si-long, katanya bengis: “Kalian pasti hendak jalan
lewat sini? Apakah hendak menemui Chiu Ling-siok?”
Melonjak jantung Coh
Liu-hiang, orang asing ini kiranya pun tahu akan nama Chiu Ling-siok.
Dilihatnya Lamkiong Ling mengerutkan alis, katanya: “Chiu Ling-siok..? Apakah
maksud Cianpwee adalah Jin-hujin?”
“Hm!” Thian-hong-cap-si-long
menjawab dengan geraman.
“Cianpwee kenal sama dia?”
tanya Lamkiong Ling pula.
Tiba-tiba Thian-hong-cap-si-long
menengadah sambil terbahak-bahak keras, tawa yang mengiriskan bergema dan
menggetarkan bumi, sampai daun-daun pohon sama rontok berjatuhan.
Coh Liu-hiang dan Lamkiong
Ling saling berpandangan, mereka tidak tahu apa yang menjadi buah tertawaan
orang.
Terdengar
Thian-hong-cap-si-long berkata sambil tetap tertawa: “Kau tanya aku kenal tidak
padanya? Karena dia, aku terima dihina dan dipermainkan oleh Jin Jip. Dengan
dendam dan penuh penyesalan aku kembali ke Tang-ni. Aku bersumpah, satu hari
Jin Jip masih hidup, aku takkan menginjakkan kakiku di Tionggoan...........
Demi kebahagiannya, aku terima sekali pukulan Jin Jip, tanpa membalasnya!
Karena dia, sampai sekarang aku masih membujang! Dan sekarang, kau malah tanya
aku apakah mengenalnya!”
Coh Liu-hiang melongo, sungguh
tak pernah terpikir olehnya, pendekar dari Ih-ho di Tang-ni (Jepang) ini
ternyata ada sangkut pautnya dengan permainan asmara antara Jin Jip suami
istri, lebih tak terkira pula bahwa laki-laki aneh yang berdarah dingin ini kiranya
juga mengenal asmara! Betapa mendalamnya rasa cintanya terhadap Chiu Ling-siok,
agaknya tidak kalah tebalnya dari Ca Bok-hap dan lain-lainnya.
Kecuali Ca Bok-hap, Sebun
Jian, Cou Yu-cin dan Ling Ciu-cu, orang ini adalah yang kelima. Kelima orang
ini sama-sama tergila-gila terhadap satu perempuan, rela hidup menderita
selamanya dengan membujang. Cuma kalau Ca Bok-hap berempat sudah menemui
ajalnya semua, tinggal orang ini saja yang masih hidup.
Akhirnya gelak tawanya yang
menggila berhenti, kata Thian-hong-cap-si-long bengis: “Kini Jin Jip sudah
mampus, maka Chiu Ling-siok akhirnya akan menjadi milikku. Kecuali aku, jangan
harap siapa pun dalam dunia ini bisa berhadapan dengan dia!”
“Tapi Jin-hujin.........”
“Dia tidak sudi menemui orang
lain lagi, pergilah kalian!”
“Cayhe sebagai murid Kaypang
sudah sepantasnya menghargai pendapat Jin-hujin, cuma saudara Coh ini,........”
sampai di sini ia berhenti serta berpaling kepada Coh Liu-hiang.
“Apa benar dia tidak sudi
menemui orang luar, aku perlu dengarkan kata-kata dari mulutnya baru mau
percaya!” kata Coh Liu-hiang tegas.
Lamkiong Ling berbisik: “Kalau
dia tetap berjaga di balok batu ini, cara bagaimana kita bisa menyebrang ke
sana?”
Balok batu ini melintang di
permukaan jurang yang puluhan tombak lebarnya, di bawah ada aliran deras lagi,
siapa pun sukar terbang menyeberang ke sana. Jikalau hendak melesat lewat di
atas kepala Thian-hong-cap-si-long, hasilnya adalah seperseribu.
Berjelalatan biji mata Coh
Liu-hiang, katanya kemudian sambil tersenyum: “Bagaimana pun juga, aku harus
mencobanya!”
Belum habis kata-katanya,
“Sreng!”, tiba-tiba selarik sinar kemilau melesat keluar dari lengan baju
Thian-hong-cap-si-long yang lebar dan menyangkut di atas sebatang pohon sebesar
lengan di seberang sana. Belum lagi Coh Liu-hiang sempat melihat barang apa
yang melesat terbang itu, “Pletak!”, terlempar pula dahan pohon itu yang sudah
kutung dan terjatuh ke dalam jurang, gelang perak berkilauan itu tahu-tahu
sudah meluncur balik pula menghilang ke dalam lengan bajunya pula.
Memang ada ratusan macam
senjata rahasia yang dipakai oleh tokoh-tokoh Bulim di Tionggoan ini, di antara
mereka tak terhitung banyaknya merupakan tokoh-tokoh yang termasuk ahli dalam
permainan senjata rahasia tunggal sendiri, namun gerak-gerik
Thian-hong-cap-si-long ini jauh berlainan dengan kepandaian orang lain, gelang
terbang yang kemilau perak itu kelihatannya jauh lebih hebat, aneh dan luar
biasa, kelihatannya seperti hidup dan terkendali di waktu terbang berputar.
“Kepandaian dari Ih-ho memang
jauh berlainan dari yang lain!” seru Coh Liu-hiang.
Thian-hong-cap-si-long
menyeringai dingin, katanya bangga: “Inilah Si Kian Sut, salah satu rahasia
dari kepandaian sembilan Jin-sut. Kalau aku tidak kenal belas kasihan,
bagaimana kalau batang pohon itu adalah lehermu? Tidak lekas kau enyah dari
sini?”
“Si Kian Sut? Menakutkan benar
namanya, cuma pohon itu barang mati, manusia tetap hidup, memangnya aku terima
mengulurkan leher untuk kau jerat sampai mati?”
“Kau ingin mencoba?” damprat
Thian-hong-cap-si-long. Di tengah bentakkannya, selarik sinar kemilau tahu-tahu
sudah melesat ke arah Coh Liu-hiang.
Terasa sinar kemilau ini
menyilaukan mata, sebuah sinar membundar seperti paruh elang laksana kilat
menerjang tiba, daya luncurannya jauh lebih cepat dari apa yang dia bayangkan
semula. Tapi sebat sekali ia menggeser kedudukan tujuh kaki ke samping, tak
nyana sinar perak itu ternyata seperti hidup, seperti bayangan mengikuti
wujudnya, tahu-tahu mengejar tiba pula. Beruntun Coh Liu-hiang bergerak bagai
kilat tujuh kali berkelit, namun pandangannya serasa ditutupi bayangan perak
yang berkelebat rapat dan kencang, sehingga ia kehabisan akal entah cara
bagaimana untuk menyelamatkan diri.
Sekonyong-konyong tiga bintik
sinar hitam melesat terbang dari tapak tangan Coh Liu-hiang, dua bintik sinar
bintang yang kehitam-hitaman terbang datar ke samping, namun setitik di
antaranya telak sekali membentur sinar perak itu hingga mengeluarkan suara
nyaring, disusul suara “Creng!” yang lebih keras, cahaya perak yang memenuhi
angkasa seketika sirna, paruh elang mematuk itu menjadi sebuah bundaran gelang
dan jatuh ke tanah, tapi mendadak mencelat naik dan terbang kembali.
Berubah gusar air muka
Thian-hong-cap-si-long, bentaknya: “Bagero, berani kau pecahkan Si Kian Sut ku.......
Baik, coba kau lihat pula Tam Sim Sut Ki!” Sekoyong-konyong sebuah tabir kabut
tebal warna abu-abu laksana gelombang pasang menerpa datang, di tengah kabut
tebal ini lapat-lapat seperti diselingi selarik sinar bintang yang gemerlapan.
Lekas Coh Liu-hiang melompat mundur lalu menjejak tanah melambung tinggi ke
tengah udara.
“Blum!”, terdengar ledakan
dahsyat, bagai pasir menyambar, kabut tebal itu seketika pecah berkembang ke
empat penjuru, sebuah pohon besar yang semula berada di belakang Coh Liu-hiang
ternyata sudah keterjang hancur dan terbelah di tengah-tengahnya, kedua sisinya
lantas tumbang ke kanan kiri, poros pohon ternyata sudah hangus seperti
disambar geledek, kebetulan hembusan angin berlalu, daun-daun pohon sama rontok
menguning. Sepucuk pohon yang semula tumbuh subur menghijau, dalam sekejap saja
sudah kuyu menguning dan layu hangus.
Mau tak mau tersirap darah Coh
Liu-hiang melihat kehebatan kepandaian orang, batinnya : “Jin-sut yang dia
latih kiranya amat sesat dan ganas sekali.”
Sementara dengan ringan
badannya meluncur turun tiga tombak jauhnya di atas jembatan batu,
Thian-hong-cap-si-long yang sudah diliputi hawa membunuh dengan mata membara
hanya beberapa kaki di hadapannya.
Lamkiong Ling berseru kaget
dan kuatir: “Pendekar Ih-ho hebat dan lihay. Coh-heng, kau harus hati-hati!”
“Jin-sut aku sudah
menjajalnya,” sahut Coh Liu-hiang tertawa, “Biar sekarang aku jajal pedang
peranti pembunuhmu ini!”
Sepatah demi sepatah berkata
Thian-hong-cap-si-long: “Kau ingin mencoba Ni Hun It To Jan?”
“Sekarang umpama kau beri aku
kesempatan ke seberang sana, aku pun tidak sudi lagi, sekarang kau jauh lebih
menarik dari pada Jin-hujin. Setelah aku menjajal Ni Hun It To Jan-mu, masih
ingin aku sedikit mengobrol denganmu.”
Thian-hong-cap-si-long
menyeringai dingin, katanya: “Ni Hun It To Jan merupakan intisari dari segala
ilmu pedang, setiap kali pedang dilolos harus menghirup darah dan menebus
nyawa, tiada seorang pun yang kuasa melawannya, setelah kau mencobanya, maka
jangan harap kau masih bisa bicara dengan orang lain.” Tanpa berkedip ia tatap
Coh Liu-hiang, sorot matanya memancarkan cahaya aneh yang menyesatkan, demikian
pula setiap nada suaranya seolah olah mengandung daya sedot yang bisa
menyesatkan pikiran orang.
Roman muka Coh Liu-hiang tetap
mengulum senyum manis, sekujur badannya dari kepala sampai kaki sudah diliputi
kewaspadaan dan kesiapan, matanya justru menatap ke batang pedang atau golok
itu.
Panjang golok ini kira-kira
lima kaki, sempit panjang seperti pedang. Golok panjang yang aneh, tentu
dimainkan pula dengan jurus dan tipu-tipu yang aneh pula. Sekonyong-konyong
Thian-hong-cap-si-long meraih goloknya seraya mencelat dan terloloslah
goloknya! Sinar goloknya laksana kemilau permukaan air yang ditimpa cahaya
rembulan, putih menghijau berhawa dingin, menusuk daging menyusup tulang.
Dengan tangan kiri memegang
terbalik sarang golok, tangan kanan mengacungkan golok panjang ke depan
setinggi alis, tajam golok mengarah keluar, sembarang waktu goloknya itu bisa
bergerak menyapu dan membabat dengan dahsyat. Bagai patung batu, badannya
berdiri tegak sekokoh gunung, sorot matanya yang aneh menatap ke muka Coh
Liu-hiang. Sinar golok dan sinar matanya seolah-olah sudah membungkus dan
mengurung sekujur badan Coh Liu-hiang.
Walau golok lawan belum
bergerak, tapi Coh Liu-hiang sudah merasakan hawa membunuh yang merembes keluar
dari ujung golok tajam ini, semakin lama semakin tebal. Berdiri ditempatnya,
ternyata sedikit pun ia tidak berani terlena dan sembarang bergerak! Ia tahu,
sedikit bergerak meski hanya ujung jarinya saja, maka besar kemungkinan titik
kelemahannya akan merupakan sasaran empuk bagi lawannya, maka golok musuh yang
hebat itu mungkin laksana kilat akan bergerak mengarah ke tempat itu.
Teori ketenangan mengatasi
gerakan merupakan intisari yang terutama dari ilmu pedang aliran Tang-ni.
“Musuh tidak bergerak aku tak bergeming, musuh bergerak aku bertindak lebih
dahulu, tidak bergerak tidak mengapa, sekali serang harus kena sasaran.”
Bahwasanya pertempuran tokoh silat kelas tinggi, memang cukup sejurus saja
sudah bisa menentukan menang dan kalah.
Coh Liu-hiang merasa butiran
keringat sudah mulai merembes membasahi ujung hidungnya, namun seraut muka
Thian-hong-cap-si-long yang kuning seperti malam itu seolah-olah seperti mayat
hidup yang kaku, tidak menunjukkan suatu perubahan.
Mendadak kedua bakiak kayu itu
mencelat jatuh ke dalam jurang, lama dan lama sekali baru terdengar suaranya
yang membalik dari kedua bakiak yang kecemplung ke air. Bakiak itu mencelat
jatuh ke air karena tertendang oleh kaki Thian-hong-cap-si-long yang menggeser
maju sebelah kakinya. Selangkah demi selangkah, Thian-hong-cap-si-long mendesak
maju.
Mau tidak mau Coh Liu-hiang
harus ikut bergerak, namun ia tidak tahu cara bagaimana dirinya harus bergerak.
Telapak kaki Thian-hong-cap-si-long yang telanjang menggesek balok batu yang
kasar, selangkah demi selangkah menggeser maju, kulit tapak kakinya sampai
tergesek pecah, di permukaan balok batu tertinggal noda darah yang merembes
keluar. Tapi sedikit pun ia tidak merasakan sakit. Seluruh pikiran, semangat
dan perhatiannya, ia tumplekkan di atas batang goloknya, sedikit pun ia tidak
perduli atau tidak merasakan adanya sesuatu yang bergerak di kehidupan mayapada
ini. Kalau kakinya menggeser dan badannya bergerak maju, namun batang goloknya
tetap teracung ke depan tanpa bergeming sedikit pun.
Pada saat itulah segulung
angin kencang tiba-tiba menerjang ke pinggang Coh Liu-hiang. Seluruh perhatian
Coh Liu-hiang tertuju pada batang golok lawan, mimpi pun ia tidak menduga orang
akan menyerang lebih dulu menggunakan sarung pedangnya. Saking terkejutnya, mau
tidak mau secara reflek sebat sekali ia berkelit mundur. Tapi bertepatan dengan
itu pula, Thian-hong-cap-si-long melolong keras dan lantang, golok di tangannya
melebihi kilat cepatnya, tahu-tahu sudah membabat dan membacok.
Agaknya dia sudah
memperhitungkan jalan mundur Coh Liu-hiang, sudah memperhitungkan bahwa Coh
Liu-hiang terang takkan bisa mundur lagi, memang serasi benar sambaran
senjatanya ini kalau dinamakan pedang peranti pembunuh. Babatan goloknya
kelihatan seperti gerakan biasa dan sepele saja, tapi inti sari ilmu pedang,
kecerdikan otak di saat menghadapi musuh tangguh, batas tertinggi dari manusia
akan ilmu silat yang dipelajarinya, boleh dikata sudah termasuk dan terkandung
di dalam sejurus babatan golok panjang ini.
Sorot mata
Thian-hong-cap-si-long membara merah. Pakaian yang dikenakan pun tiba-tiba
melembung dan melambai-lambai dipenuhi tenaga murni yang merembes keluar dari
seluruh pori-pori kulit badannya. Babatan golok ini harus membunuh, betapa pun
ia tidak bisa memberikan kelonggaran. Apa benar Ni Hun It To Jan tiada
tandingannya di seluruh kolong langit? Di mana sinar golok menyambar, badan Coh
Liu-hiang pun terjungkal roboh.... Untuk mundur tidak mungkin, berkelit pun tak
bisa, terpaksa ia terjunkan diri ke dalam jurang dari atas balok batu itu.
Jiwanya memang tidak mampus oleh babatan golok, namun apakah dia masih bisa
bertahan hidup terjatuh ke dalam jurang yang dalam serta aliran air yang demikian
derasnya?
Lamkiong Ling terbelalak dan
berseru kaget. Siapa sangka, belum lagi suaranya hilang dan mulut sempat
terkatup, bayangan Coh Liu-hiang tiba-tiba sudah melesat mumbul ke atas pula.
Kiranya, meski badannya
terjungkal ke bawah, namun ujung kakinya masih menyangkut di bibir batu. Begitu
sambaran golok lewat, ia lekas kerahkan tenaga pada ujung kakinya dan dengan
seenteng burung camar badannya mencelat naik empat tombak, kini badannya
menukik menubruk langsung kepada Thian-hong-cap-si-long. Kalau dia sengaja
berdiri di atas balok batu, kelihatannya seperti sengaja menempuh bahaya,
padahal siang-siang dia sudah memperhitungkan jalan mundurnya. Jauh sebelum
bergebrak, dia sudah memperhitungkan setiap macam kemungkinan yang bakal
terjadi, maka begitu badannya terjungkal balik, ia serta merta mencelat naik ke
atas, bukan saja sudah mengerahkan segala tenaga, kecerdikan dan kehebatan
gingkangnya, termasuk pula kepintaran dan pengalaman luasnya dalam menghadapi
bahaya dan musuh-musuh tangguh. Meski hanya satu jurus mereka bergebrak, namun
pertandingan ini sudah merupakan pertandingan ilmu silat dan kecerdikan otak
yang tiada taranya.
Begitu golok membabat
Thian-hong-cap-si-long sudah tiada sisa tenaga lagi, pula betapa cepat reaksi
Coh Liu-hiang menghadapi serangannya serta tinggi ginkangnya, sungguh jauh
berada di luar dugaannya. Di atas balok batu itu memang teramat bahaya, semula
Thian-hong-cap-si-long hendak menggunakan keuntungan berbahaya ini, siapa tahu
ada untung pasti ada ruginya juga, kini situasi berubah seratus delapan puluh
derajat, mau untung malah dia sendiri yang buntung sekarang.
Dengan menukik dari atas ke
bawah, serangan Coh Liu-hiang yang hebat ini, terang dia takkan mampu berkelit
atau mundur lagi. Maka terdengar “Creng!”, goloknya membacok di atas balok
batu, kembang api muncrat, namun Coh Liu-hiang sudah berhasil meraih rambut
kepalanya, serunya sambil tertawa panjang: “Tuan masih ingin ke mana....” belum
habis kata-katanya, seketika sirap pula gelak tawanya.
Ternyata rambut yang berada di
tangannya hanyalah rambut palsu dan pada ujungnya kelihatan pula mengelupas
selembar kedok muka yang terbuat dari lilin. Dilihatnya badan
Thian-hong-cap-si-long jumpalitan jungkir balik ke bawah jurang dan mendadak
“Cring!”, seutas rantai lembut melesat keluar dari lengan bajunya memaku
kedinding jurang. Badannya lantas bergelantungan pulang pergi beberapa kali
mengikuti daya berat badannya lalu dengan enteng meluncur hinggap di atas
tanah, sedikit pun tidak terluka apa-apa, malah kelihatan di antara riak
gelombang air sungai yang mengalir deras itu bayangannya berlari bagaikan
terbang.
Serunya: “Coh Liu-hiang, sudah
kau saksikan Khong Siam Sut dari Ih-ho, bukankah amat hebat dan tiada
bandingannya di seluruh jagat?” Belum hilang gema suaranya, bayangannya sudah
pergi jauh dan menghilang.
Terpaksa Coh Liu-hiang hanya
mengawasi bayangan Thian-hong-cap-si-long pergi dengan pandangan melongo,
dikejar pun tak akan tersusul, dirintangi pun tak bisa, lama juga dia mengawasi
rambut dan kedok palsu di tangannya. Dilihatnya butiran air setetes demi
setetes mengalir jatuh dari balik kedok palsu itu.
Mendadak Coh Liu-hiang tertawa
lebar: “Apa pun yang terjadi, aku sudah bikin keringatnya
bercucuran................kukira raut mukanya sudah kaku, sampai pun tak bisa
mengeluarkan keringat, ternyata kedok ini yang buat gara-gara.”
Baru sekarang Lamkiong Ling
memburu datang, katanya tertawa: “Kepandaian silat dari Ih-ho-kok benar-benar
ganas dan berbahaya, luar biasa pula, kalau bukan ginkang Coh heng yang tiada
bandingannya di seluruh jagat ini, hari ini kukira siapa pun takkan bisa lolos
dari babatan golok selihai itu.”
Coh Liu-hiang menatapnya
bulat-bulat, tiba-tiba ia tertawa pula: “Kepandaian silatnya memang ajaran dari
Ih-ho, tapi dia orang Tionggoan, bukan dari Ih-ho.”
Lamkiong Ling melengak,
tanyanya: “Dari mana Coh-heng bisa tahu?”
“Kalau dia betul-betul seorang
asing dari Ih-ho, lalu dari mana dia bisa tahu kalau aku bernama Coh
Liu-hiang?”
Lamkiong Ling berpikir
sejenak, serunya: “Benar, Siaute kan tadi tidak pernah menyinggung nama
Coh-heng.”
“Apalagi kalau dia benar-benar
datang dari Ih-ho, kita berdua takkan kenal padanya, lalu buat apa dia harus
mengenakan kedok muka memalsukan diri?”
“Kalau dia bukan pendekar dari
Ih-ho, memangnya siapa dia?”
“Sampai detik ini aku belum
bisa meraba siapa dia, tapi aku berani pastikan bahwa dia cukup kenal siapa
diriku, demikian pula aku pasti kenal baik dirinya........” Sorot matanya
tiba-tiba bercahaya, sambungnya dengan tertawa: “Lingkup persoalan ini tidak
begitu luas lagi, karena tokoh-tokoh silat seluruh jagat ini yang betul-betul
kenal akan muka asli diriku tidak banyak, apalagi yang mempunyai kepandaian
silat setinggi itu, dapatlah dihitung dengan jari.”
“Tapi menurut apa yang Siaute
ketahui, tokoh-tokoh silat dari Tionggoan yang pandai menggunakan ilmu Jin-sut
dari negeri seberang boleh dikata tiada seorang pun.”
“Jin-sut jelas bukan
kepandaian perguruannya. Di saat-saat yang begitu berbahaya, toh dia tidak mau
menggunakan ajaran silat perguruannya yang asli, sudah tentu karena dia tahu,
sekali dia memperlihatkan kepandaian asli perguruannya, maka pasti dapat
kuketahui siapa dia adanya.”
Bersinar pula biji mata
Lamkiong Ling, katanya: “Kalau begitu, siapa orang ini, bukankah sudah berada
dalam terkaanmu?”
“Rahasia alam tidak boleh
bocor, hal ini biar kutunda sementara untuk menyelidikinya lebih lanjut.”
“E, eh, agaknya Coh-heng
pandai jual mahal juga kepadaku, ya!” kelakar Lamkiong Ling.
Coh Liu-hiang menggeliatkan
badannya, ujarnya: “Bagaimana pun, hari ini akhirnya aku bisa bertemu dengan
Jin-hujin, bukan?”
“Kalau Coh-heng tidak bisa
menemuinya, mungkin Siaute pun bisa mati saking gugupnya.”
Keduanya tertawa besar sambil
berpandangan, lekas mereka menyeberang melalui balok batu dan terus memanjat ke
atas, sampai di sini mereka tak perlu memanjat ke atas lagi, terlihat di
pinggir sebidang hutan kecil berdiri tegak tiga gubuk bambu berderet. Lamkiong
Ling berjalan di depan dan langsung menghampiri sebuah gubuk paling kiri serta
berseru lantang: “Teecu Lamkiong Ling sengaja ke mari menyampaikan sembah
hormat kepada Hujin.”
Sesaat kemudian terdengar
sahutan seseorang dengan pelan-pelan: “Kalau toh kau sudah datang, doronglah
pintu itu dan masuklah sendiri.”
Suara ini begitu halus, lembut
dan merdu. Mendengar lagu suara yang demikian, dapatlah dibayangkan orang macam
apa pula yang bicara.
Tak terasa bergetar perasaan
Coh Liu-hiang, terbangkit semangatnya, katanya sambil berbisik: “Hanya
mendengar suaranya tanpa melihat orangnya, aku sudah merasa sekujur badan segar
dan bergairah.”
Lamkiong Ling tidak hiraukan
kata-katanya. Pelan-pelan ia dorong pintu, lalu melangkah masuk dengan tindakan
berhati-hati. Berada di tempat ini, Kaypang Pangcu yang berkuasa ini ternyata
bertindak begini hati-hati seperti anak sekolah yang terlambat masuk kelas,
takut konangan oleh gurunya dan dihukum, bernapas keras-keras pun tak berani.
Pintu gubuk yang terbuat dari
anyaman daun nyiur ini semula memang setengah terbuka, dari sela-sela pintu
yang terbuka ini mengepul keluar asap dupa, di atas pohon beringin yang besar
itu bertengger seekor burung yang tak ketahuan namanya, agaknya sedang
tertidur.
Setiba di tempat rindang di
bawah lindungan pohon besar itu, agaknya Coh Liu-hiang takut membuat gaduh
ketenangan yang lelap ini, maka langkah kakinya dia atur dan berderap dengan
enteng seperti kucing.
Maka terdengar pula suara
merdu nyaring itu berkata: “Pintu kan sudah terbuka, kenapa kau tidak langsung
masuk?”
Burung itu terkejut, bangun
dan mengeluarkan suara aneh, maka terpentang lebar daun pintu di depan gubuk
paling kiri.
Pandangan pertama yang
terlihat oleh Coh Liu-hiang adalah perempuan berambut panjang yang terurai di
atas pundaknya, berpakaian serba hitam berlutut kaku di depan sebuah meja
pemujaan, begitu tenang dan tak bergerak sedikit pun, seakan-akan sejak dulu
kala dia memang sudah berlutut di tempat itu.
Kebetulan dia membelakangi
pintu, maka tidak terlihat raut mukanya. Namun demikian hanya mendengar suara
merdu dan bening itu tanpa disadari Coh Liu-hiang sudah berdiri terlongong di
tempatnya. Belum pernah terpikir olehnya seorang perempuan yang berlutut
membelakangi dirinya mempunyai daya tarik yang sedemikian besarnya. Tanpa
berpaling, Jin-hujin berkata pelan-pelan: “Lamkiong Ling, siapa yang kau bawa
ke mari?”
Cepat-cepat Coh Liu-hiang
menjura dan berkata: “Cayhe Coh Liu-hiang, sengaja ke mari mohon bertemu dengan
Hujin!”
“Coh Liu-hiang.........” suara
Jin-hujin kedengaran datar, sedikit pun tidak merasa heran, kagum atau
tertarik. Baru pertama kali ini nama Coh Liu-hiang, ketiga huruf ini, dipandang
sedemikian tawar dan sepele, apalagi oleh seorang perempuan, mungkin selama
malang melintang dengan ketenarannya yang romantis, baru pertama kali ini
mengalami sambutan yang dingin.
Lekas Lamkiong Ling menjura pula,
katanya: “Sebetulnya Teecu tidak berani membawa orang luar mengganggu
ketenangan Hujin, soalnya Coh-kongcu ini mempunyai sangkut-paut yang mendalam
dengan Pang kita, apalagi kedatangannya kali ini menyangkut pula urusan Pang
kita.........”
“Persoalan dalam Pang kita
tiada sangkut pautnya dengan aku, kenapa harus mencari diriku?”
“Tapi urusan ini justru amat
erat hubungannya dengan Hujin.” tukas Coh Liu-hiang tandas.
“Mengenai persoalan apa sih?”
Sekilas Coh Liu-hiang melirik
kepada Lamkiong Ling, katanya dengan prihatin: “Sebun Jian, Cou Yu-cin, Ling
Ciu-cu dan Ca Bok-hap empat Cianpwee, tentunya Hujin kenal baik dengan mereka,
kedatanganku ini kebetulan ada hubungan pula dengan mereka berempat.”
Sambil berbicara, dengan
seksama ia awasi reaksi Jin-hujin. Meski tak melihat raut mukanya, namun dapat
dilihatnya kedua pundaknya yang datar dan tenang itu seakan-akan mendadak
bergerak. Akhirnya pelan-pelan ia bangkit berdiri dan berpaling.
Memang Coh Liu-hiang sedang
menunggu orang memutar badan, ingin dia melihat raut wajah orang yang membuat
banyak laki-laki tergila-gila padanya. Maka di saat kepala orang bergerak,
jantungnya berdetak tambah cepat. Tapi setelah orang berhadapan muka dengan
dirinya, seketika Coh Liu-hiang amat kecewa dibuatnya.
Karena muka orang mengenakan
cadar yang terbuat dari kain sutera hitam, sampai pun sepasang matanya pun
tertutup, agaknya orang sedemikian kikir dan hati-hati memperlihatkan raut
wajahnya, supaya orang tidak melihatnya.
Serasa kerlingan tajam mata
orang menembus kain sutera hitam itu sedang menatap pada dirinya, menembus raga
dan melihat hatinya. Tapi ia tidak tertunduk kerenanya, memang tiada seorang
pun di kolong langit ini yang mampu membikin dirinya tertunduk.
Lama dan lama sekali baru
Jin-hujin buka suara pula, katanya pelan-pelan dengan tenang: " Benar,
memang aku kenal keempat orang itu, tapi hal ini terjadi dua puluh tahun yang
lalu, kenapa kau datang ke mari mengganggu aku membawa urusan yang sudah lama
kulupakan ini!”
“Tapi belakangan ini Hujin ada
pernah menulis surat kepada mereka, bukan?” tanya Coh Liu-hiang.
“Menulis surat?” Jin-hujin
menegas dengan hambar.
Dengan nanar, Coh Liu-hiang
menatapnya, katanya: “Benar, surat! Dalam surat itu berkata Hujin menghadapi
kesulitan, minta mereka lekas datang membantu, kedatangan Cayhe ini justru
mohon keterangan, kesulitan apa yang sedang melibatkan Jin-hujin?”
Sesaat Jin-hujin terdiam,
katanya tawar: “Aku tidak ingat kapan aku pernah menulis surat semacam itu,
mungkin kau salah lihat?”
Seolah-olah mulut Coh
Liu-hiang disumbat oleh sesuatu yang pahit getir, sungguh ia tak habis pikir,
kenapa Jin-hujin tak mau membeberkan rahasia surat-surat itu. Tapi dia belum
putus asa, katanya pula lebih keras: " Jelas sekali Hujin pernah menulis
surat itu, hal ini Cayhe takkan salah lihat.”
“Dari mana kau tahu tak salah
lihat?” jengek Jin-hujin dingin. “Memangnya kau kenal gaya tulisanku?”
Kembali Coh Liu-hiang melongo
dan terkunci mulutnya, sesaat ia terlongong dan tak bersuara pula.
Pelan-pelan Jin-hujin putar
badan berlutut pula, katanya: “Lamkiong Ling, waktu keluar tutup sendiri
pintunya, maaf aku tidak mengantarkan kalian!”
Pelan-pelan Lamkiong Ling
menarik Coh Liu-hiang yang masih menjublek di tempatnya. Katanya: “Kalau Hujin
tidak menulis surat itu, tentulah itu tulisan orang lain yang memalsu namanya,
marilah kembali!”
“Nama palsu........tidak
salah!” gumam Coh Liu-hiang. Tiba-tiba sorot matanya tertuju ke atas meja
pemujaan, tanyanya: “Apakah jenazah Jin-lopangcu diperabukan?”
Belum Jin-hujin menjawab,
Lamkiong Ling sudah mendahului: “Semua murid Kaypang setelah meninggal harus
diperabukan, itulah aturan turun-temurun sejak dahulu.”
Ternyata Jin-hujin mendadak
nimbrung: “Kau pun tak perlu menyesal, suamiku almarhum sekian tahun disiksa
penyakitnya, rebah di atas ranjang, mendadak meninggal, tidak banyak orang yang
bisa berjumpa dengan beliau. Lekaslah kau pergi saja!”
Mendadak bersinar biji mata
Coh Liu-hiang, sahutnya: “Terima kasih, Hujin.”
“Tiada sesuatu bantuan yang
kuberikan kepadamu, tak perlu kau berterima kasih kepadaku.”
Coh Liu-hiang mengiakan sambil
mengundurkan diri, sementara dalam hatinya ia sedang menerawang dua patah
kata-kata Jin-hujin yang terakhir. Kedengarannya kata-kata itu biasa dan umum,
bahwasannya mengandung arti yang mendalam sekali.
Tanpa banyak bicara mereka
kembali melalui jalan semula. Agaknya Lamkiong Ling tahu perasaan Coh
Liu-hiang, maka ia tidak mengganggunya, ia iringi orang berjalan pulang. Setiba
di Kilam, sudah tengah malam hari ketiga.
Baru sekarang Lamkiong Ling
berkata sambil menghela napas: “Pulang pergi sejauh ini tentu bikin Coh-heng
letih, Siaute pun amat kecewa sekali!”
“Memang aku sendiri yang suka
urusan, malah kau ikut menemani aku pulang pergi, sepantasnya aku traktir kau
minum dua tiga cawan arak.”
“Sekali menemani Coh heng
minum arak, paling tidak harus mabuk sampai tiga hari, lebih baik Coh-heng
ampuni aku kali ini saja.”
Memang Coh Liu-hiang mengharap
orang lekas pergi saja, katanya tertawa besar: “Baik, kali ini kuampuni kau.
Lekaslah kau pergi, kalau tidak kuseret kau pergi minum arak lho.” Belum habis
ia bicara, Lamkiong Ling sudah bersoja dan tinggal pergi sambil tertawa
tergelak-gelak.
Begitu Lamkiong Ling
menyingkir, lekas Coh Liu-hiang menyusul ke Tay-bing-ouw. Kali ini, tanpa
banyak mengeluarkan tenaga, ia berhasil menemukan Mutiara Hitam. Begitu dirinya
muncul, biji mata Mutiara Hitam seketika berkilauan, bergegas ia melompat
bangun di atas sampannya, tanyanya: “Kau sudah bertemu dengan Chiu Ling-siok?”
“Walau ada orang yang berusaha
merintangi perjalananku, akhirnya aku berhasil menemuinya juga.”
“Apa benar dia sedemikian
cantiknya?”
“Kenapa kau bersikap seperti
perempuan, tidak tanya apa yang telah kubicarakan dengan dia, malah tanya
kecantikannya lebih dulu? Sayang dia mengenakan cadar, aku sendiri pun tak
melihat raut mukanya.”
Agaknya Mutiara Hitam jauh
lebih kecewa dari Coh Liu-hiang, katanya menghela napas: “Apa saja yang ia
katakan?”
“Katanya dia tidak ingat kapan
dia pernah menulis surat itu.”
“Apakah bukan dia yang menulis
surat itu?”
“Kalau dia yang menulis surat
itu, pasti dia sudah tahu kalau Sebun jian dan yang lainnya sudah ajal lantaran
dia, masakah dia menipuku? Memangnya dia tidak suka bila aku membantu dia
membongkar rahasia ini?”
Mutiara Hitam terlongong
sekian lamanya, gumamnya: “Tidak salah, memang tiada alasan dia membohongi kau,
tapi.........” mendadak ia pegang tangan Coh Liu-hiang, teriaknya: “Katamu dia
menggunakan cadar hitam, bukan?”
Coh Liu-hiang mengiakan dengan
mengut-manggut.
“Bukan mustahil yang kau temui
bukan Chiu Ling-siok? Tapi samaran orang lain?”
“Tidak mungkin orang lain
menyamar sebagai dirinya!”
“Kau sendiri tidak melihat
raut mukanya, dari mana kau bisa tahu kalau dia bukan tiruan?”
“Mukanya memang tidak kulihat,
namun lagu suaranya, gerak-geriknya serta tutur katanya, dalam dunia ini siapa
yang mampu meniru dia? Apalagi, bila dia tiruan, tentulah takkan ada orang yang
berusaha merintangi aku, supaya aku gagal menemuinya.”
“Kalau demikian, bukankah
rahasia ini takkan bisa dibongkar oleh siapa pun?”
“Dalam pandangan Coh
Liu-hiang, selamanya tidak pernah ada pengertian ‘takkan bisa’ segala.”
“Dalam matamu ada nama apa?
Mungkin hanya ada suka ‘mengagulkan diri’ belaka,” jengek Mutiara Hitam.
Tanpa hiraukan kata-kata dan
sikap orang, Coh Liu-hiang celingukan kian ke mari, tanyanya: “Orang yang
kupesan kepadamu untuk memperhatikan kedatangannya itu, masakah belum tiba?”
“Sudah pernah datang!”
“Kau sudah melihatnya, di mana
dia?”
“Sudah mati!” jawabnya dengan
ringan, namun bagi pendengaran Coh Liu-hiang laksana halilintar menyambar
kepalanya. Kontan ia berjingkrak sambil mencengkeram pundak Mutiara Hitam,
teriaknya: “Apa katamu?”
“Kataku dia sudah terbunuh
oleh orang.”
“Kau.........kau melihatnya
sendiri? Kau diam saja melihat dia dibunuh orang? Kau.... memangnya kau tidak
punya perasaan?” teriak Coh Liu-hiang dengan suara serak.
Pundak Mutiara Hitam hampir
saja teremas hancur, namun ia kertakkan gigi menahan sakit, bergeming atau
mengeluh pun tidak, sinar matanya berkaca-kaca seperti berlinang air mata,
sebaliknya mulutnya masih berkata dengan dingin: “Kalau tidak kulihat,
memangnya kenapa? Kau..... kau tidak minta aku melindunginya, apalagi
hakekatnya aku tidak kenal dia, mati atau hidupnya apa sangkut pautnya
denganku?”
Coh Liu-hiang melotot sekian
lamanya, jari-jarinya akhirnya mengendor, badannya bergoyang gontai dan
akhirnya mendeprok duduk di tanah. Soh Yong-yong ternyata sudah ajal. Anak
perempuan yang begitu pintar, cerdik, lembut dan halus ternyata sudah
meninggal. Sungguh dia tak mau percaya, tidak mau percaya bahwa di dunia ini
ada orang yang tega membunuh dirinya.
Mata Mutiara Hitam yang bundar
besar itu sedang menatap Coh Liu-hiang, katanya sambil menggigit bibir: “Apakah
benar perempuan itu begitu penting bagi dirimu?”
Serak suara Coh Liu-hiang:
“Selamanya kau tidak akan mengerti betapa penting artinya dia bagiku. Aku rela
diriku yang dibacok hancur oleh musuh, sekali-kali tidak akan kuizinkan orang
bermain gila terhadap jiwanya.”
Mutiara Hitam tertunduk sekian
lamanya, mendadak ia angkat kepala dengan hati bergejolak haru, katanya
membanting kaki: “Boleh kau bersedih akan kematiannya, tapi aku takkan ikut
pilu karenanya. Kau tiada hak membuatku ikut bersedih terhadap kematian seorang
perempuan yang tidak kukenal, benar tidak?”
Coh Liu-hiang melompat bangun,
kembali ia meremas pundak orang, serunya: “Benar, tak perlu bersedih karena
kematiannya, tapi kau harus jelaskan padaku siapakah yang membunuhnya?”
Naik turun dada Mutiara Hitam,
tak lama kemudian baru ia bersuara dengan nada berat: “Kemarin menjelang petang
dia sudah tiba, dia berada di atas kapal sana itu, celingak-celinguk, sekali
lihat lantas kau tahu dia orang yang kau tunggu, baru saja aku ingin
menghampiri...............”
“Tapi kau tidak mendekatinya,
benar tidak? Kalau tidak, dia takkan mati!” damprat Coh Liu-hiang bengis.
“Belum lagi aku melangkah ke
sana, tahu-tahu datang empat orang menuju kapal itu, keempat orang itu seperti
sudah kenal baik dengan dia, mereka menyapa lebih dulu dan berbicara beberapa patah,
kelihatannya dia pun melayaninya dengan tersenyum.”
“Bagaimana bentuk atau raut
muka keempat orang itu?” segera Coh Liu-hiang mendesak.
“Jarakku dengan mereka cukup
jauh, tidak kulihat jelas raut muka mereka, yang terang mereka mengenakan jubah
panjang warna hijau mulus, dari kejauhan warnanya itu amat menyolok pandangan.”
“Di kala hendak mencelakai
jiwa orang, masih mereka mengenakan pakaian yang menyolok, dalam hal ini pasti
ada latar belakangnya yang susah dimengerti.” Jengek Coh Liu-hiang dingin.
“Memang mereka sengaja supaya
orang lain hanya memperhatikan pakaian mereka, dengan sendirinya tidak
perhatikan raut muka mereka. Sebaliknya pakaian boleh sembarang waktu
ditanggalkan dan ganti yang lain.”
”Kalau toh kau tahu akan hal
ini, kenapa tidak sengaja kau perhatikan?”
“Belakangan baru kuingat hal
ini, toh waktu itu aku bukan dewa, mana tahu kalau mereka hendak membunuh
orang? Apalagi kulihat perempuan itu agaknya kenal dengan mereka, sudah tentu
aku tidak terlalu ambil perhatian.”
“Cara bagaimana mereka turun
tangan?”
“Kelihatannya mereka amat asyk
dalam percakapan, maka tidak enak aku mengganggu mereka. Kulihat keempat
laki-laki itu agaknya hendak mengajaknya pergi, namun dia geleng kepala
menolak, keempat laki-laki itu menggerakkan kaki tangan, bicara setengah
harian, dia masih tetap geleng kepala sambil tersenyum, keempat orang itu
menjadi kewalahan dan serempak bersoja, agaknya hendak mengundurkan diri.”
“Bagaimana kelanjutannya?”
desak Coh Liu-hiang tidak sabar.
“Tidak ada selanjutnya... di
saat mereka bersoja itulah, dari lengan baju keempat orang itu berbareng
melesat keluar senjata rahasia, begitu banyak senjata rahasia itu, cepat lagi
arahnya begitu dekat. Walau perempuan itu meloncat, namun sudah terlambat,
terdengar pekik jeritannya, tahu-tahu badannya menerjang beberapa langkah dan
tercebur ke dalam air.”
Gemetar suara Coh Liu-hiang:
“Senjata rahasia itu.... apa benar mengenai dirinya?”
“Tidak mengenai dia, memangnya
mengenai diriku?”
“Kau saksikan dia dibokong
orang, masakah.... masakah....”
“Kau sangka aku ini apa?
Memangnya aku ini patung kayu? Melihat dia terbokong, sudah tentu aku amat
terkejut. Tapi waktu aku memburu datang, keempat laki-laki jubah hijau itu
sudah menghilang entah ke mana, air darah masih bergolak dalam danau, namun
jenazahnya tidak kelihatan mengambang naik.”
Tak menunggu orang bicara
habis, Coh Liu-hiang sudah berkelebat terbang ke atas.
Mengawasi gerak-gerik badannya
yang seenteng burung walet, mendadak Mutiara Hitam berkata menghela napas: “Tak
nyana orang yang biasanya teguh, gagah dan tenang, adakalanya dia merasa pilu
dan haru. Orang yang dapat membuatnya sedih dan gugup, walau dia mati,
terhitung punya rejeki dan berbahagialah di alam baka!”
Pagar kayu di pinggir kapal
yang patah sudah diperbarui dengan yang baru, air danau di bawahnya teramat
tenang, hembusan angin malam membawa bau harum, sinar bintang kelap-kelip
seperti kerlingan sang jelita, segala sesuatu tiada sedikit pun tanda-tanda
kekerasan dan pembunuhan di sini.
Hampir Coh Liu-hiang tidak
bisa membayangkan, di tempat seindah ini ada orang tega membunuh seorang gadis
jelita yang begitu rupawan. Ingin dia mencari bekas-bekas senjata rahasia yang
menancap di pagar pagar kayu, karena dari senjata rahasia yang mereka gunakan
ini kemungkinan dia bisa mencari tahu asal-usul pembunuh itu.
Tapi segala sesuatu yang cacat
di sini sudah diperbarui semua dengan sedemikian telitinya. Menghadapi
musuh-musuh seperti ini bukan saja perlu bekal kecerdikan, harus pula punya
keberanian, namun harus punya nasib yang baik pula. Dengan menggelendot di atas
pagar, Coh Liu-hiang mengamati sinar bintang di keremangan angkasa yang
berkabut.
Mendadak sebuah sampan
terkayuh mendatangi dari tengah danau sana, di atas sampan duduk seorang kakek
tua berbaju kasar dengan caping bambu yang rendah. Dia sedang duduk mengisi
cangkir minum arak. Waktu tiba di pinggir Hong-ih-tin, beberapa kali ia melirik
mengawasi Coh Liu-hiang, mendadak ia tertawa, serunya: “Anak muda, kalau ingin
minum arak melampiaskan kepedihan hati, marilah silahkan naik ke sampanku ini
menemani Lo-siu minum beberapa cangkir!”
Nelayan tua ini ternyata
begitu supel dan senang bergaul. Coh Liu-hiang mengelus hidung. Sekali lompat
ia hinggap di atas sampan, selamanya tidak tahu sungkan atau pura-pura,
diraihnya cangkir dan poci, sekali tenggak ia habiskan secangkir arak. Katanya
sambil mengangsurkan poci arak ke depan si nelayan tua: “Apa lotiang punya
simpanan arak yang cukup banyak untuk membakar kepedihan dalam relung hatiku?”
Agaknya nelayan tua sudah
biasa menghadapi para remaja yang banyak tingkah, ia angkat sebuah guci di
sampingnya, sambil tersenyum sahutnya: “Hawa sejuk, pemandangan seindah ini,
kenapa saudara kecil berlinang air mata?”
Coh Liu-hiang terloroh-loroh
sambil menengadah, serunya: “Berlinang air mata? Selama hidup orang she Coh
tidak tahu bagaimana rasa air mata itu?” Suara tawanya semakin lemah dan
akhirnya berhenti. “Tak!”, dengan keras ia turunkan cangkir arak, tak jadi
diminumnya.
Dengan mendelong nelayan tua
itu mengawasinya sekian lama, mendadak ia menarik napas panjang dan berkata
rawan: “Ada yang begitu sedih bagi diriku, seumpama aku betul-betul mati, apa
pula halangannya?”
Coh Liu-hiang berjingkrak
bangun seraya menarik pundak si nelayan tua, teriaknya: “Yong-yong kau....
benarkah kau?” Tak perduli sampan itu bakal terbalik, sekali jinjing ia peluk
orang sekencangnya, serunya bergelak tawa: “Memang aku tahu kau takkan bisa
mati, aku tahu takkan ada orang tega membunuhmu.”
So Yong-yong memeluk lehernya,
katanya pelan sambil berbisik di pinggir kupingnya: “Turunkan aku, kau tidak
malu dilihat orang?”
“Aku kan hanya memeluk kakek
tua kerempeng. Meski dilihat orang, apa pula halangannya?” Dengan sebelah
tangannya ia pegang hidungnya, serta katanya: “Ada seorang Song Thiam-ji,
seorang Li Ang-siu, aku sudah cukup dibuat pusing kepala, tak kira kau malah
jauh lebih nakal dari mereka, sengaja kau bikin aku sedemikian gugup dan
sedih.”
“Bukan aku hendak membuatmu
gelisah, maksudku supaya orang-orang itu betul anggap diriku sudah mampus, maka
mereka takkan berjaga-jaga lagi. Coba kau pikir, masakah aku tega membuatmu
begitu gugup dan gelisah?”
Pelan-pelan Coh Liu-hiang
menurunkannya, tanyanya dengan menatap mukanya: “Adakah mereka melukaimu?”
“Cara kerja keempat orang itu
sungguh kejam dan telengas. Untung sebelumnya aku sudah melihat gejala-gejala
yang tidak benar, kalau tidak...... kalau tidak mungkin aku tak bisa bertemu
denganmu lagi.”
“Terhadap orang sepertimu
mereka bisa menurunkan tangan jahat, pantas kalau mereka kupenggal kepalanya,
lekas kau beritahu siapa mereka?”
“Mana aku kenal mereka?”
“Tapi kau ada bicara dengan
mereka, bukan?”
“Kemarin aku sedang menunggumu
di kapal itu, mendadak datang empat orang, salah satunya tanya apakah aku nona
So, katanya mereka adalah murid-murid Cu-soa-bun, dikatakan pula bahwa kau yang
suruh mereka menjemputku.”
Dia tertawa manis, lalu
melanjutkan: “Tapi aku tahu, kau tahu bahwa aku menunggu di sini, sekali-kali
tidak mungkin suruh orang lain, kau tahu aku paling benci berhadapan dengan
laki-laki asing yang tak kukenal, oleh karena itu timbul rasa curigaku, sudah
tentu kutolak permintaan mereka, kulihat pula mereka saling melirik memberi
tanda, maka siang-siang aku sudah siap dan waspada.”
“Untunglah kau tahu akan
diriku, laki-laki yang tidak akan membuatmu muak dan benci.... tapi kenapa
tidak kau bongkar saja kedok mereka waktu itu? Desak mereka untuk menjelaskan!”
“Sepak terjang orang-orang itu
sedemikian kejam, rencananya sempurna dan teliti, di belakang mereka pasti ada
orang lain, aku sendiri tidak tahu apa aku kuasa menghadapi mereka, maka.....”
“Maka kau pura-pura terkena
serangan senjata rahasia mereka, supaya urusan tidak berbuntut panjang.”
“Kau tahu aku paling tidak
suka berkelahi dengan orang.”
“Tapi warna darah di dalam
air, apa pula yang telah terjadi?”
So Yong-yong cekikikan,
ujarnya: “Kebetulan waktu aku lewat di Kilam, kubeli satu kotak yancu untuk
Thiam-ji.”
Coh Liu-hiang tertawa besar
sambil tepuk tangan, tiba-tiba ia hentikan tawanya serta berkata dengan nada
berat: “Tapi tiada orang yang tahu bila kau sedang menungguku di sini,
memangnya siapa orang-orang ini? Dari mana tahu kau menungguku di sini? Apakah
Hek-tin-cu? Dia pasti bukan orang demikian.”
“Persoalan ini boleh kelak kau
pikir lebih lanjut.” ujar So Yong-yong lembut.
“Benar! Sekarang tiba saat nya
kutanya hasil dari tugas perjalananmu bagaimana? Sudahkah kau ketahui, biasanya
laki-laki siapa saja yang keluar masuk Sin-cui-kiong?”
“Waktu hal ini kutanyakan
kepada bibiku, coba kau terka bagaimana jawabannya?”
“Apa yang dia katakan?”
“Katanya: Jangan kata
laki-laki, sampai pun ayam jago jangan harap bisa mondar-mandir keluar masuk
Sin-cui-kiong.”
Tak tahan Coh Liu-hiang
menahan tawanya, katanya mengerut kening: “Jikalau tiada laki-laki keluar masuk
Sin-cui-kiong, bagaimana pula si gadis cilik itu bisa hamil? Biasanya bagaimana
keadaan hidupnya? Adakah sesuatu barang peninggalannya?”
“Gadis itu bernama Sutouw
King, gadis pendiam yang sehari-hari hidup dalam ketenangan, jarang bicara,
kecuali biasa iseng memetik harpa, tiada sesuatu hobinya pula, siapa pun takkan
percaya dan membayangkan bisa terjadi peristiwa itu.”
“Gadis pendiam yang tak suka
bicara, perasaannya biasanya paling subur. Jika sampai dia jatuh cinta terhadap
seseorang, sampai mati pun cintanya itu takkan goyah dan luntur, oleh karena
itu dia rela dirinya menjadi korban, betapa pun tak mau membocorkan rahasia
lelaki itu.”
“Terhadap berbagai tipe
wanita, apakah kau tahu sedemikian jelasnya?”
Coh-Liu-hiang mengelus
hidungnya, lekas ia menukas: “Apa benar dia tidak meninggalkan sesuatu?”
“Tidak! Boleh dikata
perjalananku sia-sia, apa pun tiada yang berhasil kutanyakan.”
“Tapi orang-orang itu kuatir
bila kau mendapatkan sesuatu rahasia, maka kau harus dibunuh untuk menutup
mulut. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa orang-orang itu punya sesuatu ciri
yang merupakan sumber penyelidikan kita di dalam Sin-ciu-kiong, cuma sampai
detik ini belum ada orang yang memperhatikan..... tapi kenapa sumber-sumber ini
tidak sampai menjadi perhatian orang banyak?”
“Dan kau? Beberapa hari
ini..... apa pula hasilmu?” balas tanya So Yong-yong.
Coh Liu-hiang menceritakan
dengan jelas sampai sedetil-detilnya, apa yang dia alami selama beberapa hari
ini.
Mendengar betapa kejam dan
ganasnya serta watak yang menyendiri dari Tionggoan It-tiam-ang, So Yong-yong
menggeleng-gelengkan kepala. Mendengar tentang gambar lukisan dan tulisan surat
itu, matanya terbelalak. Mendengar bahwa Chiu Ling-siok ternyata adalah istri
eks pangcu Kaypang yang terdahulu, dan Coh Liu-hiang sendiri pun pernah
menemuinya, tak tahan So Yong-yong pun berteriak tertahan.
Supaya So Yong-yong tidak
kuatir dan terlalu tegang, sengaja Coh Liu-hiang hanya ceritakan sepintas saja
tentang pertempurannya di batu jembatan di atas jurang yang dalam itu. Tapi So
Yong-yong pun sudah terlalu tegang sampai mengepal kencang jari-jarinya.
Katanya gemetar: “Bukan saja
ilmu silat orang itu tinggi, malah keji dan telengas pula, banyak akal
muslihatnya, kau menghadapi musuh macam itu betul-betul harus waspada dan lebih
hati-hati.”
Satu persatu Coh Liu-hiang
membuka jari-jarinya yang terkepal itu, katanya lembut dengan tersenyum:
“Tahukah kau orang lain sering berkata Coh Liu-hiang adalah manusia yang paling
ditakuti di seluruh jagat ini? Seumpama orang itu amat menakutkan, masakah dia
bisa menandingi Coh Liu-hiang?”
“Coh Liu-hiang memang teramat
tangguh, sayang sanubarinya terlalu bajik dan lemah. Orang lain tega
membunuhnya, sebaliknya dia tidak tega melukai orang, coba katakan cara
bagaimana aku takkan kuatir?”
Coh Liu-hiang menepuk-nepuk
tangnnya, katanya tertawa: “Jangan kuatir untuk membunuh Coh Liu-hiang, bukan
soal gampang.”
So Yong-yong unjuk tawa manis,
namun alis berkerut pula, katanya: “Coba kau pikir, mungkin tidak orang yang
menyamar jadi Thian-hong-cap-si-long adalah orang misterius yang membunuh
Thian-jiang-sing Song Kang dan orang yang terjun ke danau itu?”
“Memang dia. Jika terkaanku
tidak salah, yang membunuh Ca Bok-hap, Cou Yu-cin, Ling Ciu-cu dan Sebun Jian
pun dia, orang yang mencuri Thian-it-sin-cui dari Sin-cui-kiong tentulah dia
pula!”
“Begitu besar hasratnya hendak
membunuhmu, berusaha pula merintangimu menemui Jin-hujin Chiu Ling siok,
sungguh tak nyana Chiu-Ling siok tidak mau bicara apa-apa, bukankah segala
usahamu itu sia-sia belaka?”
Mendadak Coh Liu-hiang unjuk
senyum lebar, katanya: “Chiu Ling-siok masih mengucapkan beberapa patah kata
yang amat penting artinya.”
“Apa katanya?”
“Dengarlah dengan seksama, dia
berkata: ‘Kau pun tak perlu menyesal, suamiku almarhum sudah rebah
berpenyakitan selama beberapa tahun, lalu mendadak meninggal, orang-orang yang
dapat menemui beliau tidak banyak jumlahnya...."
So Yong-yong berpikir sejenak,
katanya: “Aku tak bisa meraba beberapa patah kata itu mengandung arti yang amat
penting apa?”
“Coba kau pikirkan secara
seksama, pasti kau dapat simpulkan.”
Kembali So Yong-yong ulangi
beberapa patah kata-kata itu. akhirnya sorot matanya bersinar, katanya: “Aku
tahu sekarang, kalau Jin-lopangcu itu sudah lama berpenyakitan di atas ranjang,
mana mungkin bisa mati secara mendadak. Murid-murid Kaypang mereka, kalau toh
tahu bahwa Pangcu mereka sakit menjelang ajal, sudah sepantasnya selalu
menjaganya dan merawatnya, kenapa yang bisa bertemu dengan beliau hanya
terbatas beberapa orang saja?”
“Begitulah!” seru Coh
Liu-hiang tepuk tangan. “Kedengarannya beberapa patah kata itu biasa saja,
namun satu sama lain saling bertentangan. Jin-hujin itu memang berotak cerdik.
Coba kau pikir, kenapa dia mengeluarkan kata-kata yang saling bertentangan
ini?”
“Apa bukan sedang memberi
kisikan kepadamu?”
“Memang begitulah!”
“Tapi ada persoalan apa yang
tidak langsung dia utarakan kepadamu? Memangnya persoalan itu dia rahasiakan
terhadap Lamkiong Ling? Masakah Lamkiong Ling pun...”
“Meskipun rumit seluk-beluk dan
banyak lubang kelemahan serta hubungan satu sama lainnya, tapi sekali-kali kita
jangan secepat itu menarik kesimpulan, karena persoalan ini amat penting dan
besar artinya, tidaklah sederhana seperti rabaan kita semula!”
“Kalau begitu, jadi kau harus
pergi menemui Jin-hujin itu pula?”
“Ya, harus menemui sekali
lagi!”
So Yong-yong menggenggam
tangannya, katanya lembut: “Tapi kau harus ingat, bahaya untuk kedua kalinya
ini tentu lebih besar. Kalau toh mereka tahu kunci rahasia dari semua persoalan
ini berada di tangan Jin-hujin, mana mungkin mereka mau memberi kesempatan
kepadamu untuk berhadapan sendiri dengan Jin-hujin?”
“Kukira, sementara mereka
takkan mengira bahwa aku pergi menemui Jin-hujin lagi, maka perjalananku kali
ini lebih cepat lebih baik. Kalau terlambat, bahayanya tentu semakin besar.”
“Sekarang mereka paling baru
membokong dan menyergapmu, tapi bila kau sudah hampir membongkar kedok rahasia
mereka, pasti mereka bakal menggunakan segala cara untuk menghadapimu.”
“Kalau hendak memancing ikan
besar, sudah tentu harus berani memberi umpan yang besar pula.”
“Masa kau.... kau sendiri
hendak menjadi umpan itu untuk memancingnya keluar?”
Terasa oleh Coh Liu-hiang
jari-jari tangan So Yong-yong yang menggenggam tangannya itu gemetar, maka tangannya
yang hangat dan kokoh itu balas menggenggam, katanya tertawa: “Umpan ini memang
terlalu besar, betapa pun besar ikan itu takkan bisa menelannva bulat-bulat.
Kau tidak usah kuatir, dengarkan saja kataku, lekas kau pulang, kemudian
lemparlah botol-botol arakku ke dalam laut biar dingin, suruh pula Thiam-ji
menyediakan beberapa ekor ayam, dalam lima hari mendatang pasti aku sudah
pulang dan menggasak habis semuanya!”
So Yong-yong menatapnya dengan
mata berkaca-kaca, namun biji matanya memancarkan sinar terang dan lembut
hangat laksana bintang kejora. Akhirnya ia tertawa lebar dan katanya: “Sudah
tentu kau bisa pulang, dalam dunia ini siapa yang mampu merintangimu?”
Di atas dunia ini, tiada
sesuatu yang lebih menggairahkan dari pada raut muka seorang jelita dan
keyakinannya. Waktu Coh Liu-hiang tiba di atas daratan, terasa tenaganya segar
semangat bergairah.
So Yong-yong memang seorang
gadis penurut. Gadis jelita yang pintar, ternyata masih dengar kata-katanya,
itulah kebahagiaan yang terbesar bagi seorang laki-iaki.
Dengan puas dan senang hati
Coh Liu-hiang menggumam seorang diri: “Dunia ini sungguh tiada sesuatu yang
menyulitkan diriku....”
Terdengar seseorang menanggapi
sambil tertawa: “Tapi apakah kau tidak menyulitkan dunia kehidupan ini?”
Belum hilang suaranya, Bu Hoa
tahu-tahu melayang turun. Sikapnya yang agung suci, senyumannya yang welas asih
di bawah penerangan sinar bintang, kelihatan demikian memukau seperti dewata
dari langit.
Coh Liu-hiang tertawa lebar,
serunya: “Kukira hanya aku sendiri si kucing malam ini, tak nyana masih ada
orang lain lagi.”
“Masih ada dua.” kata Bu Hoa.
Wuktu Coh Liu-hiang berpaling,
dilihatnva seseorang berdiri mematung di dalam Hong-ih-ting sana, pakaian
hitamnya kelihatan mengkilat ditimpa sinar bintang, siapa lagi kalau bukan
Hek-tin-cu. Entah lantaran apa pemuda yang aneh dan luar biasa itu tetap
berdiri di sana, menjublek seperti orarg linglung.
“Malam pertama di
Tay-bing-ouw, menyendiri di Hong-ih-ting, Pinceng kira itulah Coh-heng. Waktu
aku hendak ke sana, tak kira Coh-heng sudah muncul di sini.”
“Malam sudah selarut ini, tak
kira kau masih ada selera pesiar ke tempat ini?”
“Janji main catur dan minum
arak tempo hari, setiap waktu tak pernah terlupakan oleh Pinceng, memang
sengaja aku ke mari mencari Coh-heng untuk menepati janji.”
Mana ada selera Coh Liu-hiang
main catur minum arak segala. Tapi biji matanya berputar, tiba tiba ia mendapat
akal, katanya tertawa: “Untuk main catur kita berdua sudah cukup, hendak minum
arak perlu ditambah Lamkiong Ling lagi baru menarik.”
“Kalau demikian, tiada
halangannya kita gedor rumahnya menjadi tamu tak diundang!”
“Baiklah, kau tunggu di sini
sebentar, biar kugugah dulu sahabat yang sudah tertidur di sana itu, sebentar
kuiringi kau ke sana!”
Tanpa menunggu jawaban Bu Hoa,
badannva sudah berkelebat ke arah Hong-ih-ting, dilihatnya Hek-tin-cu menjublek
seperti patung tanpa bergeming, alisnya berkerut dalam seolah-olah ada sesuatu
persoalan pelik yang merundung hatinya.
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya; “Hanya kuda yang tidur sambil berdiri, Hek-heng kenapa meniru kuda?”
Hek-tin-Cu tersentak sadar dan
berpaling, sekilas itu terkandung banyak perubahan dari kerlingan matanya,
namun suaranya tetap dingin: “Kalau tuan ingin bercanda, lebih baik pergilah
kau mencari nelayan tua itu.”
“Tidak jelek pandangan
matamu.” puji Coh Liu-hiang.
Hek-tin-cu menengadahkan
kepala tanpa hiraukan orang.
Coh Liu-hiang tertawa besar,
ujarnya: “Malam ini aku sudah ada janji tak bisa temani kau minum arak, biar
dua tiga hari lagi kita berbincang lebih lanjut.”
Mendadak orang mengeluarkan
kata-kata yang tiada juntrungannya ini, keruan Hek-tin-cu terheran heran. Baru
saja ia hendak umbar adatnya, tiba-tiba Coh Liu-hiang menekan suara dan
berbisik dengan cepat: “Bawa kudamu dan tunggu aku di luar pintu selatan. Soal
ini menyangkut urusan penting, bisa tidak membongkar rahasia keseluruhannya,
tergantung dari kerja sama kita ini.”
Di saat Hek-tin-cu masih
terlongong, Coh Liu-hiang sudah putar badan sambil bergelak tawa tinggal pergi.
Ada sementara orang, tanpa
tidur tiga hari tiga malam pun tidak apa-apa, tentunya Coh Liu-hiang termasuk
di antara orang-orang itu, demikian pula Bu-Hoa dan Lamkiong Ling.
Bahwasanya Bu Hoa tidak perlu
mengetuk pintu, hakekatnya Lamkiong Lingpun tidak tidur, kini dia sedang
menghadapi araknya minum seorang diri seolah-olah memang sedang menunggu
kedatangan mereka. Papan catur dengan biji-bijinya sudah tersedia di atas meja,
demikian pula arak dan hidangan gegaresnya sudah siap di atas meja.
Lamkiong Ling tertawa,
ujarnya: “Akhirnya, kali ini kita bertiga harus benar-benar menentukan menang
kalah. Sebelum rebah tak berkutik, siapa pun dilarang berlalu, entah bagaimana
maksud Coh-heng?”
“Kau kan tahu aku ini
pemabukan yang takkan pergi sebelum tenggelam dalam air kata-kata, kenapa tidak
kau tanya Bu Hoa, malah tanya aku?”
Sembari main catur, dia
tenggak araknya dengan lahap, sedemikian asyiknya seumpama dilecut dan dihajar
pun dia takkan mau pergi.
“Lamkiong-heng toh tidak tahu
betapa asyiknya orang main catur, sungguh suatu hal yang harus disesalkan.”
Lamkiong Ling tersenyum,
ujarnya: “Pemain catur harus peras otak, main secara serabutan akan kalah, mana
bisa dibanding kenikmatan seorang penonton yang bebas merdeka?”
Sebelum Bu Hoa bicara pula,
tiba-tiba dilihatnya Coh Liu-hiang meletakkan sebiji caturnya di garis pinggir
paling sudut.
Berkerut alis Bu Hoa, katanya:
“Teori catur sejak dulu kala sampai sekarang, Pinceng pernah membacanya semua,
belum pernah kulihat cara permainan seperti ini. Daerah bawah yang amat penting
ini, apakah Coh-heng tidak perlu menjaganya?”
“Permainan caturku ini teramat
menakjubkan. Silahkan kau peras otak memecahkannya, aku berkesempatan untuk
menunaikan hajat, di mana tempat hajat yang terdekat, terpaksa Lamkiong-heng
harus tolong menunjukkan tempatnya.”
Dengan tersenyum Lamkiong Ling
bawa dia ke belakang. Coh Liu-hiang sudah kebelet dan di ujung tanduk,
terburu-buru ia berlari masuk, namun lewat lobang angin di sebelah belakang
sana ia meluncur keluar. Lobang angin ini kira-kira satu kaki lebarnya, bocah
ingusan pun sukar lewat lobang sekecil ini, siapa tahu tulang belulang dan
badan Coh Liu-hiang sudah dilatihnya sedemikian rupa sehingga bisa
dipasang-surutkan menjadi kecil dan lemas, cara yang ditempuh benar-benar jalan
yang tak mungkin dibayangkan orang lain.
Setelah melayang jauh puluhan
tombak, barulah Coh Liu-hiang tersenyum geli, batinnya : “Bu Hoa, Bu Hoa,
permainan caturku tadi memang busuk dan tak bisa dicium, karena kau harus
memecahkan letak kehebatan dari cara permainanku itu, boleh dikata laksana
mencari tulang dalam telur.... tapi permainan caturku memang lain dari yang
lain. Di saat kalian sangka aku terjeblos ke dalam kakus, mungkin aku sudah
tiba di gunung Hi-san.”
Pepohonan rimbun melambai
bergoyang menyambut datangnya musim semi. Di luar pintu selatan, memang
pemandangan alam di Kilam menyerupai Kanglam, terutama pada malam bulan purnama
seperti ini, lebih jelas kentara akan persamaan ini.
Di bawah bayangan dedaunan
pohon yang menjuntai turun, tak kelihatan bayangan orang, yang ada hanyalah
sepasang biji mata yang bersinar terang kemilau. Bagai asap melayang, Coh
Liu-hiang meluncur ke sana dan berbisik: “Mana kudanya?”
“Kau masih sembunyi-sembunyi,
sebetulnya hendak ke mana?” tanya Mutiara Hitam.
“Kalau bukan rahasia, masakah
aku bisa bertindak sembunyi-sembunyi? Jikalau rahasia, mana boleh kuberitahu
kepadamu.”
“Kalau tidak percaya kepadaku,
kenapa aku harus percaya kepadamu? Kalau aku tidak percaya kepadamu, buat apa
kupinjamkan kuda kepadamu?”
“Hanya perempuan yang suka
mencari tahu rahasia orang lain, cuma perempuan biasa menggunakan caranya ini
untuk memeras orang. Kenapa kau jadi meniru watak seorang perempuan?”
Mutiara Hitam tercengang.
Walau tidak kelihatan perubahan air mukanya di malam nan gelap ini, namun dari
sorot matanya yang dingin itu kelihatan terjadi perubahan yang rumit atas
pikirannya.
Akhirnya dia bersuit perlahan,
derap kuda lantas terdengar lari mendatangi, langkah kakinya sedemikian enteng
laksana dahan pohon liu yang tergontai terhembus angin, hampir tak kedengaran
tapak kakinya berdentam di atas tanah.
“Aku tahu, sekali-sekali kau
tidak akan sudi dianggap sebagai kaum perempuan,” ujar Coh Liu-hiang.
Mutiara Hitam melengos,
tiba-tiba ia berpaling pula, tanyanya: “Kapan kau kembalikan kudaku? Di mana
aku harus menunggu?”
Coh Liu-hiang mencemplak naik
ke atas kuda, sahutnya: “Sekarang kau sudah tidak menghadapi bahaya, pergilah
ke kota dan main sesuka hatimu, ingin ke mana pun tak usah kuatir diganggu
murid-murid Kaypang. Dalam dua hari ini kudamu kukembalikan, bila aku belum
mati lho.” Belum habis kata-katanya, Coh Liu-hiang sudah keprak kudanya
membedal ke depan sambil tertawa panjang.
Kuda itu memang sakti dan
hebat luar biasa. Coh Liu-hiang mengeluarkan kemahirannya naik kuda,
sekencang-kencangnya ia larikan kuda ini, terasa angin menderu di pinggir
kupingnya, pepohonan di kedua samping jalan berkelebat mundur ke belakang cepat
sekali. Memang kecepatan laksana kilat inilah yang paling disenangi oleh Coh
Liu-hiang, bukan lantaran tiada sebab maka Coh Liu-hiang ingin pinjam kuda ini,
yaitu karena dia tidak ingin menguras tenaga hanya untuk menempuh perjalanan
jauh ini. Tenaga perlu dia pertahankan untuk melakukan sesuatu yang teramat
penting artinya.
Waktu kuda Jian-li-kik membawanya
tiba di Ni-san, sementara tengah malam sudah berselang, di bawah gunung Coh
Liu-hiang mencari rumah pemburu dan titipkan kudanya di sana. Dengan
menyongsong terbitnya matahari, langsung ia mendaki ke atas gunung.
Cahaya matahari membuat balok
batu yang melintang itu kelihatan sangat mengkilat, tapi kali ini tiada orang
yang merintangi jalan Coh Liu-hiang. Kicauan burung nan merdu seolah-olah
menyambut kedatangannya, segalanya serba tenang dan tentram. Gubuk-gubuk yang
kokoh berderet di sana masih tetap di bawah tingkah sinar matahari, pintu masih
setengah terbuka. Melongok ke dalam lewat jendela yang terbuka, keadaan
sunyi-senyap tiada sesuatu gerakan.
Segala ketenangan ini tak
kelihatan adanya tanda-tanda sesuatu kekerasan terjadi, tetapi terlalu tenang
dan sunyi, sehingga hati Cob Liu-hiang merasakan firasat jelek. Tanpa mengetuk
pintu, langsung ia menerjang masuk ke dalam.
Ternyata Chiu Ling-siok sudah
tidak di tempatnya lagi. Di atas kasur bundar tempat duduknya hanya ketinggalan
sebuah tusuk konde hitam terbuat dari gading, bebauan harum masih terendus
cukup keras.
Tersirap darah Coh Liu-hiang,
serunya: “Jin-hujin.... Jin-hujin.... di mana kau?”
Sudah tentu ia tahu seruannya
itu takkan mendapat jawaban. Sembari berteriak-teriak, lekas sekali ia sudah
menggeledah ketiga gubuk berderet itu dengan seksama, namun bayangan nyamuk pun
tidak ditemukan. Selagi perabot dan benda di dalam gubuk masih tetap pada
tempatnya seperti tidak pernah disentuh tangan, tidak terlihat pula adanya
tanda-tanda perkelahian di sana.
Tapi Jin-hujin Chiu Ling-siok
ke mana perginya? Seperti anjing pelacak yang mengejar buruannya, sekali lagi
Coh Liu-hiang mulai mencarinya dengan lebih teliti, dia mengharap Jin-hujin ada
meninggalkan sesuatu apa-apa meskipun itu hanya sebuah tanda rahasia, tapi
tentulah amat besar artinya.
Tapi setiap sudut setiap
tempat tertentu sudah dia periksa dengan teliti, tiada sesuatu tanda-tanda atau
tulisan yang memberikan keterangan. Bantal guling tertata rajin di atas
ranjang, pakaian pun tertumpuk rapi di dalam lemari, di atas toilet menggeletak
tiga batang sisir yang dijajar dan bersih, perabot-perabot rumah tangga berada
di tempat masing masing. Semuanya serba beraturan tidak ada satu kesalahan.
Kalau tempat ini mau dikatakan
ada sesuatu yang ganjil, yaitu bahwa semua serba rapi, rajin dan beraturan pula
seperti hendak sengaja ditata dan diatur sedemikian rupa untuk dipamerkan pada
orang.
Dengan kepala terasa berat,
Coh Liu-Hiang melangkah keluar, sorot matanya tiba-tiba tertumbuk pada tusuk
konde hitam yang menggeletak di atas kasur bundar itu. Kasur ini adalah kasur
yg sering dipakai oleh Jin-hujin, di atas kasur ada menggeletak tusuk kondenya,
sebetulnya tidak perlu dibuat heran, maka pada waktu datangnya tadi Coh
Liu-Hiang sedikit pun tidak menaruh perhatian.
Tapi sekarang setelah ia
melihat keadaan rumah yang serba aneh dan ganjil ini, maka sebatang tusuk konde
pun terasa terlalu menyolok pemandangan, karena tusuk konde ini melulu tidak
diletakkan pada tempat yang sebenarnya, mana bisa berada di kasur bundar ini
kalau tidak ada sesuatu maksud tertentu?
Dengan kedua jarinya, pelan
pelan Coh Liu-Hiang menjepit tusuk konde ini, tiba-tiba didapatinya ujung tusuk
konde ini menunjuk pintu kecil yg menembus ke belakang. Sampai detik ini pintu
itu masih tertutup rapat. Tergopoh-gopoh Coh Liu-Hiang melompat ke arah pintu
kecil tersebut, terasa daun pintu terkunci atau terpalang dari sebelah luar
sana. Sorot matanya seketika memancarkan cahaya terang yang amat menggembirakan
hati, tanpa ayal ia mengayunkan kaki menendang jebol dan melompat keluar.
Belakang gunung jauh lebih
belukar dan jarang diinjak kaki manusia.
Seperti seekor kucing yang
hendak mengincar mangsanya di rumpun semak belukar, tiba-tiba dilihatnya di
atas dahan pohon berduri sebelah kiri melambai secuil kain sobekan warna hitam.
Kain itu jelas sobekan baju yg dipakai oleh Jin-hujin. Lekas Coh Liu-hiang
membelok ke kiri lalu berjalan cepat-cepat dengan hati-hati, sekoyong-koyong
didengarnya seringai tawa seram.
Seseorang berkata sambil
terloroh-loroh kesenangan: “Kalau kau tidak sudi aku menyentuh seujung jarimu,
aku pun tidak mau memaksa, sampai sekarang kenapa tidak kau lekas lompat saja?”
Seringai tawa dan kata-kata ini ternyata dikeluarkan oleh pengemis galak dari
Bulim, Pek-giok-mo adanya.
Disusul terdengar suara
Jin-hujin berkata: “Aku toh bakal mampus, kenapa kau masih begitu
tergesa-gesa?”
Pelan-pelan dan hati-hati Coh
Liu-hiang menggeremel maju, perawakan tubuh Jin-hujin yang ramping semampai
sedang berdiri di ambang jurang, hembusan angin gunung melambaikan pakaiannya,
seolah-olah sembarang waktu dia bisa terhembus jatuh ke bawah.
Cadar hitam masih menutupi
mukanya, kedua tangannya memeluk sebuah gentong kecil berisi abu Jin-lopangcu,
sementara sambil menyeringai sadis Pek-giok-mo menghadang di depannya kira-kira
empat kaki jauhnya, gaman yang dia pakai sekarang ganti sebatang Long-gee-pang
yang berat dan ganas itu.
Hanya Pek-giok-mo seorang,
diam-diam Coh Liu-hiang bersyukur dan lega hati.
Terdengar Pek-giok-mo membentak
keras: “Cepat mati lekas menitis pula, kalau kau tahu bakal mati, kenapa
ulur-ulur waktu?”
“Nyawa amat berharga, bisa
hidup sekejap lagi pun jauh lebih baik.”
Gigi Pek-giok-mo gemeretak,
desisnya: “Untuk menuntut balas kepada Jin-lothau, aku sudah menunggu dua puluh
tahun! Meski aku tidak bisa membunuhnya dengan tanganku sendiri, melihat abu
jeneazahnya tersebar beterbangan dan sekarang dapat memaksamu putus jiwa lagi,
terhitung terlampiaslah dendam hatiku selama ini.”
“Aku tahu kau mencariku untuk
menuntut balas, tapi cara bagaimana kau bisa menemukan tempat ini?” tanya Chiu
Ling-siok.
Pek-giok-mo menyeringai sinis,
ujarnya: “Kau kira tempatmu ini amat rahasia?”
“Memang tempat ini amat
tersembunyi dan rahasia.”
“Tempat yang begini
tersembunyi, siapakah orang yang membawamu ke mari? Bukan mustahil kalau dia
tahu bila kau berada di tempat ini?”
Sesaat lamanya Chiu Ling siok
berdiam diri, katanya sambil menghela napas panjang:”Ya, sejak lama seharusnya
sudah kupikirkan hal ini, cepat atau lambat dia pasti takkan membiarkan aku
hidup!”
“Kalau pertanyaanmu sudah
habis, apa lagi yang kau tunggu?” bentak Pek-giok-mo.
“Kalau toh kau sudah menunggu
dua puluh tahun, kenapa harus ribut dan tak sabar menunggu lagi beberapa
kejap?”
Jelalatan mata Pek-giok-mo,
katanya menyeringai: “Apakah kau sedang menunggu orang untuk menolongmu?
Bukankah kau sedang bermimpi?”
Chiu Ling-siok mendongak,
agaknya sedang melihat cuaca, katanya memilukan: “Sampai detik ini memang tiada
orang yang akan bisa menolongku .... mati, bagaimana rasa sebenarnya?” Dengan
memeluk gentong berisi abu jenazah itu, dia sudah siap menerjunkan diri ke
dalam jurang.
Mendadak Coh Liu-hiang keluar
seraya membentak: “Pek-giok-mo, walau selamanya aku belum pernah membunuh
orang, tapi asal tanganmu bergerak, biar kubunuh kau lebih dulu.”
Long-gee-pang di tangan
Pek-giok-mo sudah terangkat, namun seketika itu ia berdiri menjublek dengan
mata terbelalak.
Cepat sekali Coh Liu-hiang
bertindak tanpa memberi kesempatan orang memutar otak. Di tengah suara
bentakannya, bayangan badannya seperti elang menyambar mangsanya, ia jinjing
badan Chiu Ling-siok dari pinggir jurang.
Baru sekarang Pek-giok-mo
sadar dan gusar, bentaknya: “Orang she Coh! Kenapa kau selalu turut campur
urusan orang lain?”
Long-gee-pang yang panjang dan
berat itu tahu-tahu sudah melanda datang menyapu ke arah Coh Liu-hiang dah Chiu
Ling-siok.
Long-gee- pang adalah gaman
panglima perang yang biasa digunakan dalam medan laga. Betapa berat, kuat dan
hebat macam senjata ini, jarang terlihat dipakai oleh tokoh-tokoh persilatan
pada umumnya. Pek-giok-mo memang dibekali tenaga raksasa pembawaan sejak
dilahirkan, senjata yang begitu berat dapat dia mainkan dengan lincah, enteng
dan serasi sekali.
Siapa nyana, tidak berkelit
atau menyingkir, Coh Liu-hiang justru memapak maju. Waktu menarik dan
menjinjing badan orang tadi, Coh Liu-hiang sudah menginsafi bahwa Chiu
Ling-siok sudah kehilangan kepandaian silatnya, maka sekali-sekali ia takkan
membiarkan orang cidera sedikit pun. Oleh karena itulah maka ia bertindak
cepat, tegas dan menempuh bahaya.
Tampak bayangan badannya
menekuk dan menggeliat, tahu-tahu badannya sudah menyusup dan menerjang ke
dalam sambaran Long-gee-pang yang bergigi-gigi tajam, runcing dan kemilau itu.
Secara mendadak ia turun tangan menarik dan menyodok ke sikut Pek-giok-mo.
Maka lengan Pek-giok-mo yang
bergerak mengikuti ayunan Long-gee-pang itu serta merta tersentak naik dan tak
kuasa mengendalikan diri pula! Tahu-tahu tapak tangan Coh Liu-hiang sudah
menepuk ke bawah ketiaknya. Seketika Pek-giok-mo merasakan setengah badannya
kesemutan dan kemeng, Long-gee-pang tak kuasa dipegang lagi dan terpental
terbang ke tengah udara menembus mega, jatuh ke dalam jurang.
Gerakan menyanggah, menyodok
dan menepuk dari Coh Liu-hiang, kalau dikatakan amat biasa dan tiada sesesuatu
keistimewaannya, tapi betapa besar bahaya cara serangannya itu serta keanehan
gerak tipunya, siapa pun takkan mampu melakukan atau menirunya.
Sungguh mimpi pun Pek-giok-mo
tidak pernah berpikir, dalam satu gebrak saja gamannya secara aneh kena
dilucuti oleh lawan. Selama puluhan tahun ia malang melintang di Kangouw, belum
pernah ia mengalami peristiwa yang memalukan seperti ini, tanpa sadar ia
melongo di tempatnya.
Dilihatnya Coh Liu-hiang
berdiri di hadapannya dengan adem ayem seperti tidak pernah terjadi apa-apa,
katanya tersenyum lucu: “Tidak kau lekas pergi?”
Ternyata ia tidak menyerang
lebih jauh, malah memberi kesempatan Pek-giok-mo pergi demikian saja. Lebih tak
terpikir oleh Pek-giok-mo, hari ini ia mengalami kejadian yang lebih ganjil
ini. Dirinya kejam dan telengas bertangan gapah, sudah tentu takkan pernah
terpikir olehnya jiwanya bakal diampuni sedemikian saja. Sesaat lamanya ia
kemekmek dan tak tahu entah kaget, girang atau heran. Katanya tersendat:
“Kau.... masakah kau.....”
Berkata Coh Liu-hiang tawar:
“Asal setiap saat kau berpikir 'kenapa aku belum mampus?', maka selanjutnya kau
akan tahu diri cara bagaimana bersikap terhadap sesama manusia!”
Tanpa bicara lagi Pek-giok-mo
segera putar tubuh dan lari sipat kuping.
“Klontang!” baru sekarang
terdengar gema suara keras dari bawah jurang sana, kiranya baru sekarang
Long-gee-pang jatuh menyentuh dasar jurang. Coh Liu-hiang pelan-pelan putar
badan menghadapi Chiu Ling-siok dengan tersenyum lebar: “Agaknya cayhe datang
terlambat!”
“Betapapun, akhirnya kau
datang juga,” ujar Chiu Ling-siok bersyukur menghela napas, lalu sambungnya:
“Sekilas pandang aku lantas tahu kau seorang pandai, pasti bisa menangkap arti
kata-kataku, maka kau pasti akan memburu datang pula. Maka waktu Pek-giok-mo
mencariku, aku berusaha menyembunyikan diri dan perlahan lahan lari ke tempat
ini. Mendengar aku ke mari hendak terjun ke bawah jurang, maka ia menunda-nunda
turun tangan.”
Coh Liu-hiang tertawa,
ujarnya: “Kalau bukan karena keagungan Hujin, mana bisa membuat Pek-giok-mo
yang buas bertangan gapah itu jeri menyentuh badan Hujin? Jikalau bukan
mendapat petunjuk tusuk konde hujin, mana cayhe bisa memburu ke sini pula?”
Kedua orang lain jenis yang
sama pintar dan cerdiknya itu ternyata bertemu di tempat ini secara kebetulan.
Berkata Chu Ling-siok sambil tertawa-tawa: “Ketahuilah bahwa apa yang kulakukan
ini bukan demi mempertahankan jiwaku sendiri. Tapi jika tidak kubeberkan
rahasia yang kupendam dalam relung hatiku, bukankah kematianku terlalu
disayangkan?”
“Apakah boleh sekarang Hujin
tuturkan rahasia hatimu itu?”
“Kalau sekarang tidak
kubeberkan, maka mungkin selamanya tidak akan ada kesempatan lagi, tapi hal ini
sangat rumit dan menyangkut persoalan besar yang amat penting artinya, cara
bagaimana aku harus memulai ceritaku?”
Tanpa berpikir Coh Liu-Hiang
berkata tegas:”Surat! Tentunya dari keempat pucuk surat yang Hujin kirim itu,
surat-surat yang diterima oleh Ca Bok-hap, Sebun Jian, Ling Ciu-cu dan Cou
Yu-cin bukan tulisan dan kiriman Hujin?”
“Ya ….. Akulah yang membuat
celaka jiwa mereka.”
“Kenapa Hujin menulis
surat-surat itu, kesulitan apa yang Hujin hadapi?”
“Pernahkah kau dengar cerita
Han Sian Te pada jaman kuno dulu. Sebagai raja dia seperti boneka atau golekan
yang dikekang dan dipermainkan oleh para mentrinya, bukan saja tidak punya hak
kekuasaan dan tak bebas bertindak, malah jiwa sendiri pun tak mampu
dipertahankan.”
Tersirap darah Coh Liu-hiang:
“Masakah Jin-lopangcu pun.......”
“Keadaan Jin Jip selama tiga
tahun belakangan ini, persis benar dengan raja yang harus dikasihani itu.
Namanya saja dia sebagai Kaypang Pangcu, apa pun yang harus dia lakukan harus
tunduk dan patuh oleh petunjuk seseorang.”
Tak tahan bertanya Coh
Liu-hiang: “Terkekang oleh siapa dia?”
“Lamkiong Ling!” sahut Chiu
Ling-siok sepatah demi sepatah dengan tandas.
Coh Liu-hiang membanting kaki:
“Kiranya memang benar dia, memang dia!”
“Asal mulanya dia seorang anak
yatim piatu, sejak kecil dia diasuh dan dirawat serta dididik oleh Jin Jip,
diberi pelajaran ilmu silat lagi. Memang bocah itu berotak encer, pintar
sekali, apa pun yang diajarkan Jin Jip pasti dapat dia pelajari dengan baik dan
sempurna, malah lambat laun jauh mengungguli gurunya.”
“Tapi mengandalkan kepandaian
silat tinggi Jin-lopangcu........”
“Meski usianya lanjut,
kepandaian Jin Jip tidak mundur, badan pun kekar dan sehat. Tapi tiga tahun
belakangan ini, entah mengapa mendadak dia dihinggapi semacam penyakit aneh,
bukan saja badan dan kesehatannya semakin lemah dan buruk, malah kaki tangan
pun menjadi lumpuh, boleh dikata sudah menyerupai seorang cacat.”
“Orang gagah paling takut
menghadapi penyakit, sejak dulu kala memang demikianlah kejadiannya!” ujar Coh
Liu-hiang.
“Tapi penyakit ini datang
tidak wajar, dan di luar batas nalar.”
“Maksud Hujin, apakah ada
orang yang sengaja meracuninya?”
“Ya, begitulah!”
Walau Coh Liu-hiang sudah
tahu, namun tak tahan ia bertanya pula: “Siapa?”
“Hanya ada seseorang yang
mempunyai kesempatan menaruh racun, yaitu Lamkiong Ling. Sebelum kedok aslinya
terbongkar, siapa pun akan beranggapan bahwa dia anak yang paling berbakti
terhadap orang tua, bukan saja segala tugas urusan penting dan sulit dalam Pang
dia sendiri yang menyelesaikan, sampai pun tempat tinggal, makan tidur Jin Jip
pun dia sendiri pula yang meladeninya. Memang demikian telaten dia meladeni
segala keperluan Jin Jip, aku malah menganggur. Semula aku amat terharu melihat
kebaktiannya, siapa tahu apa yang dia lakukan itu tak lain hanya untuk mencari
kesempatan untuk menurunkan tangan kejinya.”
“Tapi lantaran khawatir
menimbulkan kecurigaan orang lain, maka dia tidak berani meracuni Jin-lopangcu
mati seketika. Betapa telengas dan kejam hatinya, begitu teliti dan cermat cara
kerjanya, sampai aku pun kena dikelabui.”
“Yang kena dia kelabui akan
kekejamannya memang bukan kau seorang saja. Setelah Jin Jip sadar akan kekejian
orang, namun sudah terlambat. Jin Jip sudah tidak mampu berbuat apa-apa atas
dirinya, segala apa pun dia harus tunduk akan perintahnya. Bukan saja dia tidak
berani membongkar tipu muslihat kejahatannya, malah dia harus pandang muka
orang dan mesti menjilat dan mengagulkannya.”
Sampai di sini, kata-kata yang
semula tenang datar berubah menjadi gemetar dan tersendat dalam tenggorokan,
maka dapatlah dibayangkan kehidupan tertindas dan terkekang serta terhina itu,
pastilah diliputi rasa haru dan derita lahir batin yang kelewat batas.
Mendidih darah Coh Liu-hiang
mendengar ceritanya ini, katanya marah-marah: “Masakah tiada orang tahu atau
perduli akan segala perbuatannya itu?”
“Di hadapan orang lain
sikapnya sangat hormat dan patuh terhadap Jin Jip dan aku, siapa yang bisa
menembus kedok aslinya yang kejam dan telengas itu?”
“Jin-lopangcu sudah kehilangan
tenaga, sudah tentu tidak leluasa membongkar perbuatan jahatnya secara
berhadapan. Tapi di saat dia tiada di tempat, kenapa tidak dibongkar saja tipu
muslihatnya yang keji itu!”
“Hari-hari belakangan, aku dan
Jin Jip boleh dikata sudah dia kurung secara halus, tanpa ijinnya siapa pun
dilarang menemui kami. Terhadap orang luar dia katakan Jin Jip sedang sakit
keras, tidak boleh diganggu, memangnya siapa yang tak percaya kata-katanya?
Semua murid-murid Kaypang sama mengharapkan penyakit Jin Jip lekas sembuh,
siapa yang berani datang mengganggunya?”
“Kalau demikian, cara
bagaimana Hujin mengirimkan keempat pucuk surat itu?”
“Kuminta Lamkiong Ling
mengirimkannya.”
“Lamkiong Ling?” teriak Coh
Liu-hiang melengak.
“Untuk mengirim surat kepada
Sebun Jian dan Cou Yu-cin tidak sulit, tapi Ling Ciu-cu dan Ca Bok-hap, satu di
laut selatan dan yang lain di gurun pasir nan jauh di barat laut sana, kecuali
Lamkiong Ling yang bisa memimpin para pengemis di seluruh jagat ini yang bisa
mengirim ke sana, siapa pula yang mampu mengirim surat itu tiba pada alamatnya dengan
selamat?”
“Benarlah kalau begitu,” seru
Coh Liu-hiang bertepuk tangan. “Semula aku heran. Ca Bok-hap, Ling Ciu-cu,
Sebun Jian dan Cou Yu-cin bertempat tinggal jauh dekat tidak menentu. Jikalau
keempat pucuk suratmu kau kirim bersamaan, Sebun Jian dan Cou Yu-cin seharusnya
sudah tiba, sebaliknya Ca Bok-hap dan Ling Ciu-cu mungkin belum menerima
suratnya, tapi mereka berempat justru tiba pada saat dan waktu yang bersamaan,
bukankah hal ini aneh?”
Coh Liu-hiang menelan ludah,
lalu menyambung: “Baru sekarang aku tahu, ternyata Lamkiong Ling sudah
memperhitungkan waktunya. Ia sudah memperhitungkan, setelah Ca Bok-hap dan Ling
Ciu-cu menerima surat dan berangkat dalam perjalanan, baru dia kirim surat
untuk Sebun Jian dan Cou Yu-cin. Persis dan tepat benar perhitungannya akan
kedatangan mereka berempat pada waktu yang sama, namun dia bikin mereka mati
pada saat yang sama pula.”
Setelah memahami semua
seluk-beluk persoalan ini, semakin terasa olehnya betapa teliti dan cermatnya
cara kerja Lamkiong Ling sungguh menakutkan.
Chiu Ling-siok menarik napas
panjang, katanya pelan-pelan: “Sejak Jin Jip jatuh sakit, laksaan murid kaypang
yang tersebar di seluruh pelosok dunia sama menganggap dan memandang Lamkiong
Ling sebagai calon tunggal pewarisnya. Cukup sepatah kata Lamkiong Ling, jangan
kata hanya untuk mengirim surat, seumpama suruh mereka menempuh gunung berapi
dan terjun ke air mendidih pun banyak orang yang berlompatan mendahului terima
tugas ini. Betapa besar kekuatan dan kekuasaannya , masakah boleh dibuat
permainan?”
“Tapi cara bagaimana dia mau
mewakili Hujin mengirimkan surat itu?”
“Akhir-akhir ini, untuk
membeli hati orang, pengeluaran teramat besar, tapi untuk mengangkat nama dan
mendirikan wibawa di dalam dunia persilatan, masakah dia merasa pelit dan kikir
untuk mengeluarkan segala harta benda meski dengan cara gelap?”
“Mungkinkah memang ada
tujuannya yang lain?”
“Setelah aku menikah dengan
Jin Jip, meski merubah she ganti nama, tapi dia cukup jelas mengenai
seluk-belukku, sudah tentu hal ini lantaran Jin Jip yang terlalu percaya
kepadanya. Hari ke hari, biaya yang dia keluarkan relatif amat besar jumlahnya,
semua tabungan milik Kaypang selama puluhan tahun sudah dikurasnya sampai
habis. Suatu hari dia paksa aku untuk mencarikan jalan keluarnya, oleh karena
itu terpaksa kutulis keempat pucuk surat itu.”
“Tidak salah, dalam surat
Hujin itu tidak dijelaskan kesulitan apa sebenarnya yang Hujin hadapi.
Sebaliknya Cou Yu-cin dan Sebun Jian amat gampang mengeruk uang sebanyak
mungkin, harta milik pihak Hay-lam-pay pun tidak kecil jumlahnya, apalagi raja
gurun pasir, tak perlu dikatakan lagi. Apakah Lamkiong Ling menyangka surat
Hujin itu bertujuan untuk pinjam uang pada mereka?”
“Karena dia hendak memperalat
aku, maka kesempatan ini pun kugunakan untuk ganti memperalat dia buat
mengirimkan suratku itu. Asal dapat bertemu dengan mereka berempat, segala
urusan gampang diselesaikan.”
“Tapi kenapa pula Lamkiong
Ling mengubah maksudnya semula? Tidak memeras uang mereka, sebaliknya malah
mencabut jiwa mereka?”
“Itulah karena seseorang!
Sehari setelah surat-surat itu dikirimkan, malamnya datanglah orang itu. Mereka
bicara dalam kamar tertutup semalam suntuk, maka urusan lantas berubah seratus
delapan puluh derajat!”
Bersinar mata Coh Liu-hiang,
tanyanya segera: “Siapa orang itu?”
“Aku sendiri tidak
melihatnya.”
Dengan kecewa Coh Liu-hiang
menghela napas, katanya: “Kau hanya tahu akan kedatangannya?”
“Demi mengawasi tindak tanduk
kami, Lamkiong Ling menetap di gubuk sebelah. Kalau toh kami sudah menjadi ikan
dalam jaringnya, maka dia tidak begitu hati-hati terhadap kami, maka segala
keadaan dalam gubuknya itu kebanyakan dapat kudengarkan. Meski lwekangku sudah
punah, untung kepandaian kupingku masih dapat kupertahankan.”
“Kau dengar apa saja yang mereka
bicarakan?”
“Pembicaraan mereka amat
lirih, berat dan prihatin. Aku tahu persoalan yang mereka rundingkan pasti
sesuatu rahasia yang teramat penting, kadang kala agaknya ada sedikit
perdebatan yang cukup sengit, namun tak bisa kudengar persoalan apa yang mereka
bicarakan.”
“Sayang kau tidak bisa
mendengarkan percakapan mereka, tokoh yang misterius ini bukan mustahil adalah
orang di belakang layar yang pegang peranan akan semua peristiwa misterius
ini.”
“Tokoh misterius ini, hari
kedua pagi-pagi benar lantas pergi. Tak lama kemudian Lamkiong Ling masuk
membawa semangkok kuah kolesom, katanya untuk Jin Jip supaya tambah tenaga.”
Berkilat sorot mata Coh
Liu-hiang: “Kuah kolesom ini pastilah membawa sesuatu akibat yang fatal?”
“Sudah lama dia tidak berbuat
sebaik ini. Aku tahu di balik perbuatannya ini pasti tersembunyi suatu
muslihat, tapi aku sudah gunakan tiga macam cara, namun tidak berhasil
ketemukan adanya ramuan sesuatu jenis racun dalam kuah itu!”
Chiu Ling-siok menghela napas,
lalu meneruskan: “Tentunya kau pun tahu, dulu aku termasuk seorang tokoh yang
cukup lihay, termasuk tingkatan kelas satu di Bulim dalam permainan racun.
Kalau dalam kuah itu ada dicampur sedikit racun apa pun, perduli dengan cara
dari aliran atau golongan mana saja, pastilah dapat kucoba dengan baik. Maka
aku berpendapat bahwa kuah kolesom ini tentulah tidak ada apa-apanya yang perlu
dikuatirkan.”
“Oleh karena itu, dengan lega
hati kau berikan kuah itu untuk diminum Jin-lopangcu?”
“Kalau toh kuah itu benar
tiada racun, kenapa aku harus mengabaikan kebaikan Lamkiong Ling? Apalagi saban
hari Jin Jip hanya bisa makan bubur, memang dia memerlukan bahan obat-obatan
untuk menambah kesehatan dan semangatnya.”
Tiba-tiba tergerak hati Coh
Liu-hiang, tanyanya keras: “Setelah minum kuah kolesom itu, apakah seluruh
badan Jin-lopangcu menjadi melepuh besar?”
Chiu Ling-siok kaget dan
terkesima dibuatnya, tanyanya: “Dari mana kau bisa tahu?”
“Thian-it-sin-cui! Kau tidak
berhasil mencoba kadar racun di dalam kuah itu, karena itulah Thian-it-sin-cui.”
Baru sekarang dia lebih yakin
dan berkesimpulan lebih jelas bahwa biang keladi dari semua peristiwa
pembunuhan ini ternyata adalah orang yang mencuri Thian-it-sin-cui dari
Sin-cui-kiong itu. Sudah tentu dia pula yang membunuh Thian-jiang-sin Song Kang
dan orang yang menyamar jadi Thian-hong-cap-si-long itu. Meski Lamkiong Ling
seorang musuh yang cukup menakutkan, namun kelicinan dan kekejaman orang itu
jauh melebihi Lamkiong Ling yang hanya diperalat saja.
Walau sekarang Coh Liu-hiang
sudah tahu rahasia Lamkiong Ling, tapi jikalau dia tak berhasil menyelidiki
siapa orang itu, maka segala jerih payahnya selama ini berarti sia-sia belaka.
Semakin hebat badan Chiu
Ling-siok gemetar, katanya: “Sejak mula aku tidak percaya Lamkiong Ling tega membunuh
Jin Jip dengan tangannya sendiri, aku tidak percaya bahwa kuah itu beracun,
tapi sekarang..... sekarang......”
Mendadak ia menubruk ke depan
Coh Liu-hiang dan berseru dengan suara serak: “Segala persoalan sudah
kututurkan kepadamu, dapatkah kau membalaskan dendamku?”
Coh-Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: “Setelah segala rahasia ini terbongkar, tanpa aku turun tangan,
Lamkiong Ling sendiri takkan bisa hidup lebih lama lagi. Tidak heran, tak
segan-segan dia gunakan segala cara dan menghabiskan seluruh harta benda,
tujuannya hendak merintangi aku menemuimu.”
“Tapi kenapa dia sudi
membawamu ke mari?”