Legenda Pulau Kelelawar Bab 11: Kejanggalan

 
Bab 11: Kejanggalan
Keterangan ini membuat orang-orang itu tidak dapat bicara lagi. Air muka setiap orang menampilkan perasaan gusar dan gemas karena merasa tertipu.

Selang agak lama barulah si lelaki muka ungu berkata dengan gemas. "Cuma sayang, kita sama sekali tidak tahu siapakah dia sebenarnya, kalau tidak, apapun juga pasti akan kuberi hajaran setimpal padanya."

"Bila kutemukan dia. entah para hadirin suka menyanggupi sesuatu padaku?" tanya Coh Liu-hiang.

Serentak semua orang berseru, "Apapun urusannya, silakan Hiangswe omong saja."

"Jika kutemukan dia. tentu tak terhindar dari pertarungan sengit, tatkala mana aku cuma berharap kalian suka menyaksikan saja agar aku dapat bertempur dengan dia secara tenang."

"Jangan kuatir." seru para tokoh itu. "Kami pasti akan menjaga di samping. siapa pun yang berani ikut campur atau bermaksud membantunya, segera kami akan bereskan orang itu."

Keadaan sekarang telah berubah, sekarang Coh Liu-hiang yang menguasai situasinya. dari tamu telah berubah manjadi tuan rumah.

Tapi sesungguhnya siapakah Pian-hok Kongcu itu? Dimanakah dia?

Tampaknya rahasia ini akan segera terbongkar. hati semua orang menjadi tambah tegang. Hanya seorang saja yang masih tetap tenang. sikapnya masih tetap adem ayem.

Dengan sendirinya orang ini ialah Goan- Sui-hun.

Mendadak sorot mata Coh Liu-hiang hinggap lekat-lekat pada wajah pemuda tuna netra itu, katanya, "Apa Goan-kongcu ingin kusebutkan nama Pian-hok Kongcu sekarang juga?"

Goan Sui-hun tetap tersenyum, jawabnya, "Silakan Coh-hiangswe, Cayhe siap mendengarkan."

Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Jika demikian, terpaksa Cayhe menuruti kehendak orang banyak."

Oh Thi-hoa tidak sabar lagi, serunya, "Hayolah lekas katakan. untuk apa ditunda-tunda lagi?"

"Kita sudah tahu, di sini sepanjang tahun tidak terlihat cahaya, senantiasa berada dalam kegelapan." tutur Coh Liu-hiang. "Sebab Pian-hok Kongcu hakikatnya tidak memerlukan cahaya terang."

Lalu sekata demi sekata ia menyambung, "Yaitu, karena dia memang soorang buta yang tidak tahu cahaya terang!"

Karena ucapan ini, pandangan semua orang serentak tertuju ke muka Goan Sui-hun.

Tapi pemuda tuna netra itu tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan tak acuh, "Dan Cayhe justru seorang buta."

"Betul, dan anda juga Pian-hok Kongcu adanya!" sambung Coh Liu-hiang.

Goan Sui-hun tetap tenang, air mukanya tidak berubah sedikit pun. ucapnya, "Oo? Betulkah diriku?!"

"Meski anda telah menggetar pecah anak telinga Eng-losiansing, tapi tetap terlambat sedetik. sebab pada saat terakhir dia masih sempat mengucapkan satu kata," tutur Coh Liu-hiang. "Terkadang satu kata saja cukup untuk membongkar banyak rahasia yang terkandung di dalamnya."

Sebagaimana diketahui. terakhir Eng Ban-li meneriakkan satu kata saja, yaitu, "Goan....." lalu suaranya terputus, sebab saat itu dia tak dapat mendengar lagi suaranya sendiri. Baginya kejadian itu hakikatnya lebih menyiksa daripada membunuhnya.

Cuma pada saat anak telinganya belurn pecah, sebelum tuli, dia dapat mendengar suara yang teruar dari corong pipa itu ialah suara Goan Sui-hun.

Coh Liu-hiang sendiri memang sejak mula sudah mencurigai pemuda tuna netra itu.

Setelah terdiam agak lama, akhirnya Goan Sui-hun menghela napas panjang. katanya, "Tampaknya aku telah menilai rendah dirimu."

oooo000oooo

Bahwa Pian-hok Kongcu adalah Goan Sui-hun, hal ini sungguh sukiar dipercaya oleh Oh Thi-hoa, siapa pun juga tidak percaya.

Bahwa putera keluarga persilatan ternama, keluarga kaya raya, dihormati dan disegani, sopan santun, halus budi, tapi ternyata dapat melakukan hal-hal yang kejam dan menakutkan begini, sungguh sukar dipercaya.

Coh Liu-hiang memandangi Goan Sui-hun lekat-lekat, katanya kemudian. "Aku belum membuktikan secara nyata bahwa engkau ialah Pian-hok Kongcu, sebenarnva kau dapat membantah dan menyangkal."

"Tidak perlu bagiku," ujar Goan Sui-hun dengan senyum tak acuh. Meski senyuman tak acuh tapi membawa gaya angkuh yang membuat orang segan.

Tiba-tiba Coh Liu-hiang juga menghela napas panjang. katanya, "Betapapun aku toh tidak menilai rendah dirimu."

"Aku salah. tapi kau pun salah," ujar Goan Sui-hun.

"Aku salah?" Coh Liu-hiang menegas.

"Ya, sebenarnya cuma kukehendaki biji matamu. tapi sekarang mau tak mau harus kucabut nyawamu," kata Goan Sui-hun.

Coh Liu-hiang termenung sejenak, jawabnya kemudian, "Kau mempunyai kesempatan untuk itu. tapi kesempatan itu tidak terlalu besar."

"Sedikitnya lebih besar daripada kesempatanmu, begitu bukan?"

"Ya." jawab Coh Liu-hiang.

Setiap orang dapat mengucapkan "ya", tapi untuk mengucapkannya sekarang diperlukan kecerdasan yang luar biasa dan juga keberanian yang melebihi orang lain.

Goan Sui-hun juga termenung agak lama, tiba-tiba ia berkata, "Ada sementara orang yang dapat memahami pnbadi orang lain, tapi sedikitpun tidak dapat memahami dirinya sendiri."

"Memahami orang lain memang jauh lebih mudah daripada memahami dirinya sendiri." kata Coh Liu-hiang.

'Hanya kau. bukan saja kau sangat mahir memahami orang lain, kau pun sangat memahami diri sendiri," ujar Goan Sui-hun. "Melulu ini saja sudah tiada bandingannya. Sebabnya aku memusuhi kau sebenarnya cuma terpaksa saja."

"Juga sudah sejak mula kukatakan, musuh yang paling menakutkan di dunia ini ialah dirimu," jawab Coh Liu-hiang dengan menyesal.

"Kau menyadari tidak dapat mengalahkan aku?"

Coh Liu-hiang mengiakan.

"Jika begitu. mengapa kau ingin bergebrak denganku?" tanya Goan Sui-hun pula.

"Keadaan sudah kepepet. tiada pilihan lain."

"Baik!" seru Goan Sui-hun mendadak ia berbangkit, katanya pula dengan tersenyum. "Sudah lama kudengar nasibmu selalu mujur, sering mengalahkan musuh yang lebih banyak, lemah menangkan yang kuat. Aku jadi ingin tahu cara apa yang kau gunakan."

"Mana ada cara lain. hanya 'keyakinan' saja," jawab Coh Liu-hiang dengan hati-hati.

"Keyakinan?" tanya Goan Sui-hun.

"Ya, keyakinan, percaya pada diri sendiri," kata Coh Liu-hiang. "Aku yakin Sia (kejahatan) pasti tak dapat mengalahkan Cing (kebaikan), kesewenangan pasti tak dapat mengalahkan keadilan, kegelapan pasti tidak panjang, di dunia ini harus ada cahaya terang yang abadi."

Akhirnya air muka Goan Sui-hun berubah juga, jengeknya, "Apakah keyakinan dapat dimakan sebagai nasi?"

"Tidak dapat,"jawab Coh Liu-hiang. "Tapi manusia kalau tidak punya keyakinan, lalu apa bedanya dengan mayat hidup?"

"Baik," kembali Goan Sui-hun tertawa. "Semoga keyakinanmu dapat merobohkan aku."

Mendadak lengan jubahnya membentang. orangnya terus mengapung ke atas, mirip seekor kelelawar yang sedang melayang tanpa suara, gayanya sangat indah.

Gerakan melayangnya ini tidak terlalu cepat, tapi tahu-tahu sudah hinggap di depan Coh Liu-hiang.

Belum pernah ada orang menyaksikan Kungfu Goan Sui-hun, malahan ada yang tidak tahu kalau dia juga mahir ilmu silat. Baru sekarang semua orang terkesiap setelah menyaksikan Ginkangnya yang hebat ini.

Lengan jubah Goan Sui-hun telah melambai lagi ke tanah, lalu katanya dengan tersenyum, "Baiklah, silakan mulai!"

Dengan tersenyum Coh Liu-hiang menjawab. "Silakan!"

Kedua orang sama-sama tersenyum dan menyurut mundur beberapa langkah. Sejauh ini kedua orang belum pemah saling mengucapkan kata ketus dan kasar.

Menghadapi pertarungan maut begini, jika orang lain, andaikan tidak tegang hingga gemetar, sedikitnya air muka akan berubah pucat atau merah. Tapi sikap mereka berdua masih tetap ramah dan sopan santun.

Syaraf mereka benar-benar seperti baja, menghadapi persoalan apa pun tidak pernah tegang.

Akan tetapi apa yang tersembunyi di balik senyuman keramahtamahan ini?

Setiap orang sama memandangi tangan mereka. Sebab siapa pun dapat membayangkan apabila mereka mulai turun tangan, maka pasti akan terlontar jurus serangan yang maha lihai Setiap orang sama menantikan mereka saling gebrak.

Tapi pada saat itu mendadak seseorang membentak. "Nanti dulu, pertempuran ini adalah bagianku."

Bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Oh Thi-hoa telah mengadang di depan Coh Liu-hiang.

Coh Liu-hiang berkerut kening. katanya. "Sudah kukatakan...."

"Aku tidak peduli kau berkata apa, pokoknya pertandingan harus kau berikan kepadaku," sela Oh Thi-hoa.

"Sebab apa?" tanya Coh Liu-hiang.

"Begitu kubertemu dengan orang ini pertama kali. Lantas kuanggap dia sebagai kawan," kata Oh Thi-hoa sambil melototi Goan Sui-hun. "Waktu kalian mencurigai dia. aku malah membelanya dengan macam-macam alasan, akan tetapi.... akan tetapi dia telah mengkhianati diriku."

Goan Sui-hun menghela napas. katanya, "Hati orang Kangouw memang kebanyakan licik dan sukar dipercaya, mestinya kau jangan sembarangan berkawan dengan mereka."

Oh Thi-hoa menggreget. katanya. "Meski aku salah menilai dirimu, tapi orang yang mengkhianati diriku akan menyesal juga."

"Yang akan menyesal mungkin kau sendiri," kata Goan Sui-hun. "Maka, mumpung saat ini belum lagi kau menyesal. lekas kau mundur saja, aku tidak ingin bergebrak denganmu."

"Sebab apa?" tanya Oh Thi-hoa gusar.

"Sebab kau pasti bukan tandinganku," jawab Goan Sui-hun tak acuh.

"Coh Liu-hiang mungkin masih ada tiga bagian. sedang kau satu bagjan harapan untuk menang saja tidak ada."

"Kentut......." bentak Oh Thi-hoa gusar, kepalannya menjotos hampir sama pada waktu bentakannya. Angin pukulan menderu sehingga suara bentakannya hampir tidak terdengar.

Setiap orang kenal watak Oh Thi-hoa adalah berangasan, pemberang, biarpun cuma urusan kecil saja terkadang dia bisa berjingkrak murka. Namun dalam keadaan tertentu dia malah bisa jauh lebih bersabar daripada roang lain. Yaitu pada waktu berkelahi.

Selama hidupnya, entah sudah berapa kali dia berkelahi. Terkadang berduel denga tokoh Bu-lim, tapi sering juga dia membuka baju dan tanpa menggunakan ilmu silat bergelut dengan kaum pencoleng atau gelandangan di tepi jalan.

Setelah ratusan kali berkelahi, barulah ia menemukan suatu filsafat berkelahi. Yaitu tenang!

Agar bisa menang berkelahi diperlukan tenang.

Siapa pun kalau berkelahi tentu tidak mengharapkan kalah, dengan sendirinya Oh Thi-hoa juga tidak terkecuali.

Makanya sekalipun dia berjingkrak murka, tapi bila benar-benar mulai berkelahi. segera dia akan berubah menjads tenang.

Pelajaran yang diperoleh dari pengalaman memang tidak mudah terlupakan.

Anehnya sekali ini dia seolah-olah sudah melupakan pelajaran itu. hakikatnya dia tidak tenang. Hantamannya tadi memang sangat keras, sangat dahsyat, tapi setiap orang persilatan dapat menilai pukulannya ini hanya mujarab digunakan menghadapi kaum gelandangan di tepi jalan, jika digunakan menghadapi Goan Sui-hun, jelas terlalu bodoh caranya ini.

Sungguh aneh. Oh Thi-hoa yang sudah berpengalaman bisa melakukan serangan sebodoh itu.

Benarlah. dengan mudah sekali Goan Sui-hun dapat menghindarkan pukulan itu. Tapi Oh Thi-hoa lantas mendesak maju, kembali dua pukulan keras dilancarkan. Bahkan jauh lebih kuat daripada tadi, deru angin bertambah keras. Namun ujung baju Goan Sui-hun saja tetap tak dapat disentuhnya.

Entah sudah berapa ratus kali Thio Sam memaki "tolol" kepada Oh Thi-hoa, sekarang ia pun tidak tahan dan memaki pula, "Goblok, benar-benar gobloknya maha goblok."

Mendadak Goan Sui-hun tertawa dan berkata, "Jika ada orang menganggap dia goblok, orang itu sendirilah yang goblok."

Gerak tubuh Goan Sui-hun masih terus melayang kian kemari di sekitar tubuh Oh Thi-hoa, sebegitu jauh dia belum lagi membalas serangan Oh Thi-hoa.

"Dengan sendirinya kau takkan bilang dia goblok, sebab semakin goblok dia, semakin baik bagimu," ujar Thio Sam.

"Apa maksudmu agar dia menghadapi aku dengan serangan yang tak menimbulkan suara?" tanya Goan Sui-hun hambar

Belum lagi Thio Sam menjawab. dengan gusar Oh Thi-hoa lantas berteriak, "Meski kau bukan barang baik, tapi orang she Oh tidak nanti menggunakan cara licik begitu untuk melayani seorang buta, untuk ini tidak perlu kau kuatirkan."

Goan Sui-hun bicara dengan tenang-tenang saja, siapa pun tidak dapat membedakan waktu bicara itu dia juga sedang bertarung mati-matian dengan orang lain.

"Aku memang tidak pernah kuatir," demikian Goan Sui-hun menanggapi ucapan Oh Thi-hoa itu. "Kutahu, serangan tanpa suara dapat digunakan siapa pun juga, tapi kalau cara begitu dapat merobohkan aku, mana bisa kuhidup sampai saat ini?"

Dan sampai sekarang dia tetap tidak menyerang. Sementara itu pukulan ketujuh belas Oh Thi-hoa telah dilontarkan. tapi cepat dia tarik kembali mentah-mentah.

Segera gerak tubuh Goan Sui-hun juga lantas berhenti. Dengan suara keras Oh Thi-hoa berteriak, "Saat ini adalah saatnya berkelahi dan bukan waktunya mengadu mulut. kau tahu tidak?"

"Ya, kutahu." jawab Goan Sui-hun.

"Kalau tahu, mengapa kau belum lagi turun tangan?"

"Mungkin disebabkan aku terlalu tahu, makanya aku belum mau turun tangan."

"Kau tahu apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Tahu maksud tujuanmu, yaitu ingin memancing aku balas menyerang dengan demikian Coh Liu-hiang akan dapat menyelami gaya seranganku, supaya dia mendapat akal untuk menyelami ilmu silatku, begitu bukan?"

Oh Thi-hoa hanya mendengus.

Goan Sui-hun menghela napas, "Kau memang tidak malu sebagai sahabat karibnya cuma sayang usahamu ini jelas akan sia-sia belaka."

"Oo? Apa betul?" ucap Oh Thi-hoa.

"Sebab Kungfu kemahiranku seluruhnya ada tigapuluh tiga macam, dan cukup satu macam saja di antaranya sudah dapat kurobohkan kau."

"Kutahu Kungfumu yang paling lihai di antara ketiga puluh tiga macam itu adalah 'membual'," jengek Oh Thi-hoa.

Namun Goan Sui-hun tidak menjadj marah sebaliknya ia malah tertawa, katanya, "Jika ditambah dengan membual, maka Kungfu kemahiranku akan menjadi tiga puluh empat macam."

"Dan ke tiga puluh tiga macam lainnya, boleh coba jelaskan," kata Oh Thi-hoa.

"Tay-pek-jiu (karate) dari kepulauan Okinawa, Ginkang si manusia bayangan darah, Jing-hong-cap-sah-sik Hoa-san-pay. Tay-jiu-in agama Lama sekte Kuning. Cu-she-ciang yang sudah lama lenyap dari dunia persilatan. Berbagai macam senjata rahasia berbisa keluarga Tong di Sujwan, beberapa jurus Kungfu ini tentunya sudah kalian kenal!"

"Lalu apalagi?" tanya Oh Thi-hoa pula.

"Ada pula Hwe-hong-bu-liu-kiam, ilmu pedang kebanggaan Peng- ho Tojin dari Pah-san. Lo-han-kun Siau-lim-Si, Liu-in-hui-siu tenaga dalam kebasan lengan jubah Bu-tong-pay yang terkenal. Kiang-si-kun. pukulan mayat hidup keluarga Gian di Sunciu, Toan-bun-to. ilmu golok keluarga Pang di Soasay, Wan-yang-tui. ilmu tendangan berantai dari utara."

"Dan?" kata Oh Thi-hoa.

"Dengan belasan macam Kungfu ini saja masih tidak cukup?" jawab Goan Sui-hun dengan tertawa.

"Jika kau sendiri merasa cukup, kenapa kau tidak berani turun tangan?" jengek Oh Thi-hoa.

"Sebab kau pernah menganggap diriku sebagai kawan baikmu. sedikitnya harus kuberi kesempatan hidup lebih lama bagimu." ujar Goan Sui-hun.

"O, berapa lama lagi kauberi hidup padaku?" tanya Oh Thi-hoa.

"Paling tidak harus menunggu setelah mereka mati seluruhnya." ujar pemuda tuna netra itu.

"Mereka?" Oh Thi-hoa menegas.

"Yang kumaksudkan mereka ialah semua orang yang berada di sini."

"Semua orang yang berada di sini akan kau bunuh habis seluruhnya?"

Goan Sui-hun tertawa, jawabnya, "Setelah mereka mengetahui rahasiaku. apakah kau kira akan kubiarkan mereka pergi begitu saja?"

Sejenak Oh Thi-hoa melototi pemuda itu, mendadak ia menengadah dan terbahak-bahak. serunya, "Nah, para hadirin sudah dengar sendiri? Orang ini bukan saja pintar membual, bahkan juga sedang bermimpi."

"Bagi kalian, apa yang terjadi ini memang impian buruk," kata Goan Sui-hun dengan tenang. "Cuma sayang, kalian akan terus bermimpi dan takkan mendusin untuk selamanya."

Tiba-tiba Thio Sam juga bergelak tertawa, katanya, "Haha, sungguh sayang kau tidak dapat melihat apapunt jika tidak, tentu kau takkan bicara demikian."

oooo000oooo

Apa yang dikatakan Thio Sam itu memang beralasan, sebab pada saat itu juga, entah mulai kapan, di tingkal kedua api telah berkobar.

Cukup tinggi lidah api yang berkobar itu hingga mirip sebuah dinding mengurung seluruh anak buah Pian-hok Kongcu yang berseragam hitam.

Orang-orang itu menjadi mirip binatang buas saja, semuanya ketakutan dan menyurut mundur ke tengah dengan berjubal-jubal saling berdesakan.

Sekonyong-konyong beberapa puluh orang itu sama roboh satu persatu tanpa mengeluarkan suara, dan begitu roboh tak bangun lagi.

Siapa pun tidak tahu apa yang terjadi, siapa pun tak dapat memberi penjelasan.

Mungkin hanya ada satu penjelasan Yakni ilmu gaib.

Orang-orang itu seperti terpengaruh oleh ilmu gaib yang misterius dan menakutkan. Sukma seakan-akan meninggalkan raganya, beberapa puluh orang itu roboh seluruhnya, tiada seorang pun yang terkecuali.

Segera Thio San berucap. "Ting Hong, matamu kan tidak buta seperti Cukongmu, kenapa tidak kau ceritakan kepadanya apa yang kau lihat?"

Wajah Ting Hong tampak pucat-lesi seperti mayat, bibirnya tampak gemetar, mana sanggup bicara lagi?

Thio Sam menghela napas gegetun, katanya. "Mata tidak melihat, hati tidak susah. Terkadang orang buta memang lebih tenteram daripada orang melek."

"Sebab itulah di dunia ini ada sementara orang yang suka menjadi orang melek buta daripada melihat terlalu banyak." tukas Oh Thi-hoa.

"Tidak dapat melihat tidak berarti tidak tahu," kata Goan Sui-hun tiba-tiba.

"Apa artinya ucapanmu ini?" tanya Thio Sam.

"Paling tidak apa yang kutahu pasti lebih banyak daripada kalian."

"Ooo, apa betul?" ujar Thio sam.

Segera Oh Thi-hoa menyela. "Tapi aakah kau tahu kemana perginya beberapa puluh anak buahmu itu?"

"Mereka tidak pergi ke mana-mana," jawab Goan Sui-hun.

"Jika demikian, mengapa sekarang suara mereka sama sekali tidak terdengar?" tanya Oh Thi-hoa.

"Sebab Hiat-to mereka tertutuk dan roboh semuanya."

Oh Thi-hoa jadi melenggong sendiri. la melototi pula pemuda itu, sungguh ia ingin periksa mata orang untuk membuktikan sebenamya pemuda itu buta atau tidak.

Sudah tentu Goan Sui-hun adalah orang buta, hal ini tidak perlu disangsikan lagi. "

Segera terdengar ia berkata pula, "Dan kalian mengaku dapat melihat, tapi kalian ternyata tidak tahu siapa yang menutuk Hiat-to mereka?"

Kembali Oh Thi-hoa melenggong. sebab ia memang benar-benar tidak tahu.

Di tengah lingkaran api yang berkobar itu, beberapa puluh orang itu sama tergeletak seperti terkena ilmu sihir saja. mendadak semuanya seperti orang gila dan saling menutuk, makanya semuanya roboh terkapar tanpa kecuali.

Tapi mana bisa terjadi peristiwa aneh begini?

Sekian lama Oh Thi-hoa melenggong. akhirnya ia bertanya. "Kau tahu siapa yang menutuk mereka?"

Goan Sui-hun tertawa, jawabnya. "Sudah tentu kutahu. orang yang menutuk Hiat-to mereka itu ialah orang yang menyalakan apinya."

ooooo000oooooo

Memangnya siapa pula yang menyalakan api?

Padahal waktu api menyala. semua orang dapat melihat dengan jelas.

Ketika orang-orang berseragam hitam itu roboh satu persatu semua orang juga menyaksikan dengan jelas. Sudah tentu api tak dapat menyala sendiri tanpa sebab.

Dengan sendirinya pula orang-orang itu takkan roboh begitu saja tanpa sebab.

Setiap orang tahu pasti ada seorang yang menyalakan api. lalu merobohkan orang-orang berseragam hitam itu. Akan tetapi siapa pun tidak melihat orangnya.

Apakah mungkin orang itu bisa menghilang dan tidak kelihatan??!!

Tanpa sadar Oh Thi-hoa meraba hidung. ia merasa hidungnya rada basah, entah ingus atau keringat pada tangannya. "Terkadang ada hal-hal yang tak dapat dilihat roang melek, apa yang terjadi ini adalah satu di antaranya," dengan hambar Goan Sui-hun berucap pula.

"Memangnya masih,... masih ada hal-hal lagi?" tanya Oh Thi-hoa.

"Saat ini aku masih ada di sini, masih menunggu di sini," kata Goan Sui-hun. "Apakah kalian tahu apa yang kutunggu?"

"Sialan, setan yang tahu apa yang kau tunggu?" gerutu Oh Thi-hoa.

"Apakah kau tahu sebab apa api bisa berkobar dengan hebatnya?" tanya Goan Sui-hun pula.

Oh Thi-hoa diam saja, ia tidak sanggup menjawabnya. Api memang menyala dalam waktu sekejap, benar-benar seperti kejadian ajaib.

Setelah tercengang sejenak. akhirnya Oh Thi-hoa bertanya pula, "Kau sendiri tahu?"

Dengan tenang Goan Sui-hun menjawab, "Kan sudah kukatakan tadi. tak dapat melihat tak berarti tidak tahu segalanya, cuma saja...." Tiba-tiba ia tertawa, lalu melanjutkan, "Cuma kalau kukatakan barang apa yang membikin api berkobar sehebat itu, bisa jadi kau akan merasa sayang."

"Merasa sayang?" tukas Oh Thi-hoa. mendadak ia menjadi paham dan berseru.

"He. maksudmu arak? Arak yang keras?"

"Betul, memang arak. bahkan arak simpanan lama, arak kualitas tinggi." ujar Goan Sui-hun dengan tertawa.

"Wah. kedengarannya memang harus disayangkan," kata Oh Thi-hoa dengan gegetun.

"Kau tahu, selamanya tidak pernah kusuguh tetamuku dengan arak murahan," tutur Goan Sui-hun. "Tapi arak bagus yang tulen biasanya sukar dibeli. Apalagi, secepat-cepatnya arak diminum juga takkan lebih cepat kalau arak dibakar."

"O, jadi maksudmu sedang menunggu arak terbakar habis?" tanya Oh Thi-hoa dengan rada cemas.

"Kembali kau menebak dengan jitu," jawab Goan Sui-hun dengan tertawa. "Di sini kecuali arak. jelas tiada benda lain yang dapat terbakar. Dan mulai sekarang aku takkan membawa lagi arak yang dapat terbakar."

Sekonyong-konyong Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Mungkin tidak seharusnya aku mendengar ucapanmu."

"Tadi aku pun tidak seharusnya mendengarkan perkataanmu, kalau tidak. masakah orang sempat menyalakan api di depanku?" setelah tertawa. Goan Sui-hun menyambung pula, "Dan kalau aku sudah tertipu sekali olehmu, apa alangannya kalau kau pun tertipu satu kali olehku?"

Benar juga, nyala api sudah mulai mereda.

Mendadak Oh Thi-hoa membentak. "Apapun juga, jelas kau takkan mampu lolos lagi.. Hayo kepung dia beramai!"

Di tengah suara bentakannya itu. serentak beberapa orang lantas menubruk maju.

Tapi pada saat itu juga lengan jubah Goan Sui-hun yang komprang lantas mengebas sehingga menimbulkan angin puyuh, berbareng Goan Sui-hun sendiri seakan terbang tergulung angin puyuh itu.

Seketika pemuda itu berubah seperti seekor kelelawar raksasa dan melayang lewat di atas api. lalu api yang berkobar di tingkat kedua itu lantas padam seketika. Namun tubuh Goan Sui-hun masih tetap terbang berputar. kedua lengan jubahnya mirip duka sayap. Angin yang dijangkitkan kedua sayap itu telah memadamkan api.

Begitulah keadaan menjadi gelap gulita kembali, kegelapan yang membuat orang cemas dan putus asa.

Suara angin yang menderu-deru, masih terus berputar, kini sudah berada di tingkat paling bawah.

Oh Thi-hoa juga sudah menyusul sampai di tingkat bawah sejak tadi ia terus mengikuti suara angin itu, sebab kemana suara angin itu tiba, ia yakin ke situ pula goan Sui-hun berada.

Di belakangnya terdengar juga suara berkibarnya kain baju. jelas beberapa orang juga mengikut di belakangnya. Maklum, orang yang mendapat kehormatan diundang ke Pian-hok-to tentu saja tokoh pilihan dan memiliki Ginkang yang tidak lemah.

Terdengar suara "tring" sekali. habis itu suara deru angin berhenti mendadak. Serentak semua orang menubruk ke sana.

Tapi mendadak terdengar pula suara jerit kaget beberapa orang. Apakali mereka diserang dan dirobohkan oleh Goan Sui-hun?

Biarpun Goan Sui-hun memiliki Kungfu maha tinggi, rasanya tidak mungkin sekaligus dapat melawan jago-jago silat sebanyak itu, apalagi merobohkannya.

"Hendak lari kemana kau?" terdengar Oh Thi-hoa membentak dengan bengis.

Dalam kegelapan lantas terdengar orang berteriak. "Ini dia....sudah kutangkap dia.... sudah kutangkap.,.."

Suara jeritan, bentakan dan teriakan girang itu hampir bergema serentak pada saat yang sama. Siapa pun tidak tahu sesungguhnya apa yang terjadi. Tidak tahu siapa yang dirobohkan dan entah siapa pula berhasil menangkap Goan Sui-hun.

Pada saat itulah terlihat pula setitik cahaya api.

Meski cuma setitik cahaya. berkelip-kelip seperti bintang tapi berada di tengah kegelapan yang membuat orang putus asa, titik cahaya ini tiada ubahnya seperti pelita mercusuar di tengah samudera raya.

Samar-samar kelihatan likuran orang berjubel di pojokan situ, ada yang sedang meraba kepala, ada yang lagi memijat bahu sendiri, agaknya banyak yang kepalanya benjut dan bahu sakit lantaran menubruk dinding dalam kegelapan.

Rupanya orang-orang inilah yang menjerit kaget tadi.

Selain itu ada lagi beberapa orang yang sedang saling betot mencengkeram, memiting dengan rasa girang, tapi begitu setitik cahaya api menyala rasa gembira mereka menjadi buyar, semuanya menyengir serba kikuk.

Kiranya mereka sama mengira dirinya sudah berhasil membekuk Goan Sui-hun, tak tahunya yang terpegang olehnya justru teman sendiri.

Hakikatnya Goan Sui-hun tidak berada di situ, bahkan bayangannya tidak kelihatan. Hanya di dinding batu kelihatan menancap seekor kelelawar, bukan kelelawar hidup. melainkan kelelawar besi.

Yang mereka uber tadi ternyata seekor kelelawar besi. Rupanya angin yang ditimbulkan sambaran kelelawar besi itu telah memancing semua orang ke situ. Lalu kemana perginya Goan Sui-hun?

Seketika semua orang melenggong. Setelah terkesima sejenak barulah mereka berpaling untuk memandang titik sinar tadi.

Sinar api itu berada di tangan Coh Liu-hiang. Tangannya yang lain mencengkeram pergelangan tangan Ting Hong, dia masih berdiri tenang di situ, tanpa bergerak sama sekali.

Oh Thi-hoa terus memburu ke sana sambil berteriak, "Di mana Goan Sui-hun? Kenapa tidak kau kejar dia?" Coh Lju-hiang menghela napas, katanya, "Jika kalian tetap tinggal di sini, mungkin aku akan dapat mengejarnya, akan tetapi......."

Meski dia tidak menghabiskan ucapannya. namun ucapannya sudah cukup dipahami orang.

Dalam kegelapan tadi, dimana-mana hanya suara angin belaka, angin yang dijangkitkan berkibarnya kain baju orang yang berlari, dan suara angin demikian hampir sama. Jadi dalam kegelapan, setiap orang ada kemungkinan ialah Goan Sui-hun. Coh Liu-hiang harus mengejar yang mana jika dalam kegelapan seperti ada berpuluh Goan Sui-hun yang sedang berlari? Makin melengaklah Oh Thi-hoa, tanyanya kemudian, "Mengapa........ mengapa tadi tidak kau nyalakan geretan api ini?"

Rupanya geretan api ini adalah milik Kau Cu-ti.ang. Kau Cu-tiang memberikannya kepada Oh Thi-hoa dan dari Oh Thi-hoa diberikan kepada Coh Liu-hiang.

Tapi Coh Liu-hiang lantas menjawab, "Geretan ini tadi tidak berada padaku."

"Kan jelas-jelas kuberikan padamu. mana bisa tidak berada padamu?" ujar Oh Thi-hoa.

"Benda satu-satunya yang dapat menyalakan api adalah geretan ini, tapi orang yang menyalakan api bukanlah diriku," kata Coh Liu-hiang.

Kembali Oh Thi-hoa melenggong. ucapnya, "Masa..... masa geretan tadi berada di tangan orang yang menyalakan api itu?" "Ya, memang begitulah," jawab Coh Liu-hiang.

Keruan Oh Thi-hoa tambah heran. katanya, "Aneh, lalu cara bagaimana geretan ini bisa kembali padamu? Dimana orang yang menyalakan api tadi? Jangan-jangan kau tahu siapa dia?"

Sekaligus dia mengajukan beberapa pertanyaan. Belum lagi Coh Liu-hiang menjawab, sekonyong-konyong terdengar pula suara perlahan seseorang. Cepat Oh Thi-hoa menoleh, dilihatnya salah seorang berseragam hitam yang roboh tadi kini sedang merangkak bangun perlahan, lalu berjalan ke arah sini dengan langkah enteng dan lambat.

Meski baju yang dipakainya juga seragam hitam, mukanya memakai kain hitam, bahkan matanya juga tertutup. Akan tetapi setiap orang dapat melihat orang ini adalah seorang perempuan.

Betapapun garis tubuh seorang perempuan memang berbeda dengan tubuh seorang lelaki . Garis tubuhnya yang langsing dengan dada yang montok tidak mungkin ditutupi dengan kain apa pun. "He, kiranya kau?" seru Oh Thi-hoa.

Baru sekarang ia menyadari duduk perkaranya. Kiranya orang yang menyalakan api ialah Kim Leng-ci. Dan dengan sendirinya yang menutuk Hiat-to orang berseragam hitam pasti juga nona Kim ini.

Tapi mengapa Kim Leng-ci bisa mendadak muncul di sini?

Sebelum ini dia bersembunyi dimana? Mengapa Coh Liu-hiang bisa menemukan dia?

ooooo000ooooo

Perlahan-lahan Kim Leng-ci melangkah maju dan naik ke panggung tingkat ketiga, sebegitu jauh kain kerudung mukanya belum lagi dibuka.

Gaya berjalannya sangat aneh, seolah badan halus yang hanya dapat berjalan di tengah kegelapan.

Perlahan-lahan ia mendekati Coh Liu-hiang. lalu ia bicara bisik-bisik beberapa kalimat di tepi telinganya.

"Ya, kupaham," terdengar Coh Liu-hiang berkata dengan lembut.

Meski kedua orang itu tidak memperlihatkan sesuatu gerakan. tapi jelas mereka sangat akrab dan mesra. Sungguh aneh, mengapa Kim Leng-ci bisa akrab dan mesra dengan Coh Liu-hiang?

Terbelalak lebar mata Oh Thi-hoa, ia pandang kedua orang itu, entah heran, marah atau cemburu. Tapi orang lainpun tiada yang bicara. Padahal tokoh-tokoh persilatan ini biasa memerintah dan menjadi kepala. Tapi sekarang mereka seakan-akan tidak berdaya, yang mereka turut adalah Coh Liu-hiang belaka. Hakikatnya mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.
Maka Coh Liu-hiang lantas berkata, "Tempat ini sangat berbahaya, kita tidak boleh tinggal lama-lama di sini. hayo kita mundur dulu."

"Bagaimana dengan Goan Sui-hu? Apnkah kita tinggalkan begitu saja?" tanya Thio Sam.

"Tempat ini adalah temput buntu, tempat mati, ia pun serupa kita, tiada jalan keluar lain," kata Coh Liu-hiang. Thio Sam menghela napas, ucapnya, "Semoga kita masih dapat menemukan dia."

"Siau Oh, hendaklah kau cari bantan dua orang teman dan menggotong keluar Eng-losiansing dan Kau Cu-tiang," kata Coh Liu-hiang kepada Oh Thi-hoa.

Tapi Oh Thi-hoa hanya mendengus saja sambil menatap si 'dia'.

Coh Liu-hiang mengusap perlahan Koh-cing-hiat di pundak Ting Hong lalu katanya. "Dan ada lagi Ting-kongcu ini."

Kembali Oh Thi-hoa hanya mendengus saja.

"Dan kau pun ikut keluar saja bersama mereka." ujar Coh Liu-hiang sambil mengusap rambut si 'dia' dengan mesra.

Si 'dia' tampak ragu-ragu, katanya kemudian dengan perlahan, "Dan engkau sendiri?"

"Untuk sementara kita belum dapat meninggalkan pulau ini. aku masih harus mencari makanan dan air minum," jawab Coh Liu-hiang.

Sudah tentu ia pun masih harus mencari Goan Sui-hun. Sebab tempat dimana ada makanan dan air minum, pasti di situ pula Goan Sui-hun berada.

Kembali si 'dia' ragu-ragu sejenak, akhirnya ia mengangguk dan berkata dengan lembut, "Baiklah, kau harus hati-hati ."

"Ya, aku bisa menjaga diri sendiri," jawab Coh Liu-hiang.

Meski percakapan mereka tidak banyak tapi setiap kata penuh rasa kasih sayang.

Muka Oh Thi-hoa menjadi merah. bukan merah jengah, tapi merah karena dongkol.

"Thio Sam," kata Coh Liu-hiang pula, "Kuserahkan dia kepadamu, kau harus menjaganya dengan baik."

"Tentu." jawab Thio Sam.

Mendadak Oh Thi-hoa menjengek. "Mengapa tidak kau serahkan dia kepadaku? Apakah aku tidak dapat menjaga dia dengan baik?

Belum lagi coh Liu-hiang menjawab, cepat Thio Sam menanggapi dengan tertawa, "Kau menjaga diri sendiri saja repot, masa masih dapat menjaga orang lain?"

Oh Thi-hoa melotot sekejap, mendadak ia melengos dan melangkah ke bawah sana....

oooo000oooo

Sang surya sudah condong ke barat. Namun cahayanya masih cerlang-cemerlang.

Ombak mendampar gemuruh pada baltu karang yang berlumut dan menimbulkan gelembung putih memenuhi celah-celah karang.

Beberapa ekor burung terlihat beterbangan. bermain ombak di bawah angkasa nan biru.

Orang yang baru keluar dari kegelapan dan mendadak melihat sinar matahari yang terang, tentu saja merasa silau dan terpaksa memejamkan mata, setelah kelopak mata terusap sinar sang surya yang hangat, lambat-laun baru terasa biasa dan dapat menikmati pula cahaya terang.

Tanpa terasa semua orang menarik napas panjang Hawa udara terasa segar, terasa manis. Perasaan setiap orang terasa lapang, terasa cerah.

Meski sekarang mereka berada di tempat buntu, di suatu pulau karang. tapi asalkan ada cahaya pasti ada juga harapan.

Wajah setiap orang tampak bersemangat. kecuali seorang saja yaitu si 'dia'.

Dia bersembunyi di balik batu karang yang teduh. berjongkok di situ, kain kerudung hitamnya tetap belum mau dibuka.

Dia seakan-akan takut pada sinar matahari. apakah dia sudah tak dapat menerima cahaya terang lagi?

Sambil menatapnyn. tiba-tiba Oh Thi-hoa mendengus. "Seorang kalau tidak berbuat sesuatu kesalahan, mengapa mesti bersembuhyi dan tidak berani bertemu dengan orang?"

"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Thio Sam.

"Siapa yang kumaksudkan tentu kau tahu sendiri," dengus Oh Thi-hoa.

Thio Sam tertawa. katanya, "Ah, rupanya kau lagi cemburu, cuma cemburumu itu ngawur, cemburu kabur."

"Huh, dan kau lagi kentut, kentut yang ngawur, kentut kabur," jawab Oh Thi-hoa.

"Haha, kiranya kentut juga bisa kabur? Cobalah kau beri contoh dengan kentutmu!"

"Kentutku tak dapat kau lihat, dia sudah berada di mulutmu," kata Oh Thi-hoa pula.

Semua orang merasa geli mendengar perang mulut kedua orang itu. semuanya ingin tertawa, hanya si 'dia' saja. dia sedang menangis terguguk.

Mendadak Oh Thi-hoa menjengek, "Kalau mau menangis. boleh menangis yang keras, mau tertawa juga tertawalah yang keras. hidup cara demikian barulah ada artinya."

"Kalau bicara hendaklah sopan sedikit," kata Thio Sam.

"Kubicara sendiri. peduli apa denganmu?" jawab Oh Thi-hoa.

"Ai, rupanya kau pun seekor kelelawar yang buta." ujar Thio Sam sambil menghela napas gegetun.

"Kau bilang apa?" damprat Oh Thi-hoa dengan gusar.

"Kubilang seharusnya sejak tadi kau tahu, tanpa nona ini seumpama tidak dapat membedakan harus juga dapat memperkirakannya," setelah menghela napas. lalu Thio Sam menyambung pula. "Baru sekarang kutahu, yang paling menakutkan di dunia ini bukanlah cinta melainkan benci. Lantaran ada cinta maka timbul cemburu. Cemburu tidak saja dapat membuat orang jadi tolol, menjadi gila. bahkan dapat membuat orang menjadi buta."

ooooo0000oooooo

Oh Thi-hoa melenggong sambil menatap si 'dia'.

"Tang-sam-nio?"

Muka Oh Thi-hoa menjadi merah seperti kepiting rebus, dengan kikuk ia berkata dengan tergagap, "Kembali aku salah terka,... aku.... aku memang brengsek!" Oh Thi-hoa memang sering berbuat kekeliruan, tapi setiap kali ia berani mengaku salah. Dan inilah segi kebaikannya. maka ada sementara orang merasa dia sangat menyenangkan.

Dengan tertawa Thio Sam berkata pula, "Setiap orang yang berbuat salah tentu akan mendapat makian, anehnya, hanya kau keparat ini saja yang lain daripada yang lain, hendak memaki kau saja orang merasa tidak sampai hati."

Hakikatnya Oh Thi-hoa tidak memusingkan apa yang diucapkan Thio Sam, ia sedang bergumam, "Jika bukan dia yang menyalakan api, lalu siapa?"

"Ya, aku pun bingung.... jangan-jangan Hoa Cin-cin?" kata Thio Sam.

Sejak tadi Ko A-lam hanya diam saja, ia cuma melirik Oh Thi-hoa dengan mendongkol, sebab Oh Thi-hoa seolah sudah melupakannya.

Dalam waktu sesingkat ini memang terlalu banyak yang terjadi sehingga siapa pun tidak memperhatikan orang lain, Apalagi 'cemburu' memang dapat membuat orang menjadi buta dan pusing kepala.

Mendadak Ko A-lam membuka suara, "Pasti bukan perbuatan Hoa Cin-cin."

"Akan tetapi..."

Belum lanjut ucapan Thio Samt segera Ko A-lam menyambung. "Dia pembunuhnya, mana bisa berbalik membantu kita?"

"Akan tetapi dimanakah Hoa Cin-cin?" baru sekarang Thio Sam mendapat kesempatan menyambung ucapannya tadi.

"Dia pasti bersembunyi di suatu tempat dan sedang menanti kesempatan untuk membikin celaka orang lagi," kata Ko A-lam dengan geram.

Thio Sam termenung sejenak. lalu berucap pula, "Habis siapa? Jangun-jangan noba Kim?"

"Juga bukan, dia tidak memiliki Kungfu setinggi ini," ujar Oh Thi-hoa.

"Tapi nona Kim juga menghilang," kata Thio Sam pula.

Mendadak Oh Thi-hoa melonjak bangun dan berseru, "Biar kumasuk ke sana untuk melihatnya." "Akan kau cari dia?" tanya Thio Sam.

"Kau kira aku cuma memikirkan perempuan melulu?" teriak Oh Thi-hoa dengan mendongkol. "Kan si kutu busuk berada di. dalam sendirian, dia harus menghadapi Goan Sui-hun dan juga melayani Hoa Cin-cin, mana boleh kutinggal diam di sini?"

Habis berkata, Oh Thi-hoa lantas menerjang masuk lari ke 'dunia yang gelap' sana.

Sekalipun dia tahu di sana adalah neraka, dia tetap akan menerjang ke sana.

Ko A-lam menghela napas, ucapnya dengan rawan, "Terhadap orang lain mungkin dia boleh tak acuh, tapi terhadap Coh Liu-hiang, dia memang lain daripada yang lain."

"Ya. sebab kalau Oh Thi-hoa yang tertinggal di dalam,tentu Coh Liu-hiang juga akan menerjang ke sana tanpa menghiraukan bahaya-apa yang akan dihadapinya," ujar Thio Sam.

Setelah menghela napas, lalu ia menyambung pula, "Mereka berdua benar-benar sahabat karib. selamanya belum pernah kulihat persahabatan seperti mereka."

"Terkadang aku pun tidak paham." kata Ko A-lam. "Perangai mereka jelas tidak sama, mengapa mereka dapat menjadi sahabat sebaik ini? Malahan kutahu mereka sering bertengkar."

Thio Sam tertawa. katanya, "Biasanya mereka memang suka bertengkar dan saling busuk membusuki, saling olok berolok tapi bilamana terjadi sesuatu perkara, maka akan tertampaklah persahabatan mereka yang sejati."

"Kulihat kau pun bersahabat baik dengan mereka," ujar Ko A-lam dengan tersenyum.

Thio Sam mendadak berubah menjadi menyengir, katanya, "Tapi sekarang aku kan lagi duduk berjemur matahari di sini?"

"Hal ini lantaran Coh Liu-hiang telah banyak memberi tugas padamu di sini, mendapat tugas harus bekerja dengan setia, inilah persahabatan yang sejati," kata Ko A-lam.

Thio Sam memandangnya lekat-lekat, ucapnya kemudian, "Kulihat kau pun tidak malu disebut sahabat baik mereka."

Sorot mata Ko A-lam tampak sayu. ucapnya dengan hampa, "Bukan saja sahabat baik, bahkan juga sahabat lama."

oooo000oooo

Ko A-lam memang betul terhitung sahabat lama Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang.

Meski kekasih lebih baik yang baru, tapi sahabat selalu lebih baik yang lama.

Sampai sekian lama Thio Sam termenung, kemudian ia berkata pula. "Kalau yang menyalakan api bukan Hoa Cin-cin dan juga bukan Kim Leng-ci. lalu siapa?"

"Aku pun tidak tahu," jawab Ko A-lam. Dahi Thio Sam tampak berkeringat, katanya, "Sejak mula hingga akhir. hakikatnya tidak pernah kulihat ada seorang yang demikian lihainya. tapi kenyataan memang terdapat seorang demikian," dia mengusap keringatnya. lalu bergumam, "Apakah mungkin orang itu tak dapat dilihat oleh siapa saja?"

Padahal manusia itu terdiri dari darah, daging dan tulang, asalkan manusia, orang lain pasti dapat melihatnya.

Di dunia ini tidak mungkin ada orang yang dapat menghilang. Yang tak dapat terlihat hanya arwah. sukma, badan halus.

Ko A-lam termangu-mangu memandangi lautan yang lepas bebas sana, ucapnya perlahan. "Jika benar ada roh yang kelihatan di sana, bisa jadi mereka...... mereka....... " Dia tidak menyelesaikan ucapannya. sebab tidak berani mengutarakan perasaan ini.

Para tokoh persilatan itu semula berdiri jauh di sana, kini mendadak ada beberapa orang mendekat kemari. Seorang di antaranya berkata. "Kami pun akan masuk ke sana."

"Coh-hiangswe telah banyak berbuat bagi kami, tidak boleh kita tinggal diam di sini menyaksikan beliau berjuang mati-matian," kata pula seorang lain.

Tapi Ko A-lam lantas menggeleng, ucapnya, "Kukira..... lebih baik kalian tetap tinggal saja di sini."

"Sebab apa?" tanya seorang.

Ko A-lam berpikir sejenak, tiba-tiba ia bertanya. "Apa di antara kalian ada yang membawa sesuatu benda yang mudah terbakar?"

"Tidak ada." jawab orang itu. "Sesuatu benda yang mudah menyalakan api. pada waktu kami mendarat di sini, sudah lantas dirampas."

Seorang tua kurus kering menyambung dengan gegetun, "Sampai kertas penyulut api tembakau juga dirampas, apalagi benda lain."

Orang tua ini sedemikian kurus sehingga kedua tangannya kelihatan tinggal kulit membalut tulang. mirip kayu kering. giginya kelihatan coklat, jelas karena nyandu mengisap tembakau. Mungkin sudah dua hari dia tidak udut, maka demi menyebut tembakau ia menjadi ketagihan, biji lehernya lantas naik turun sedangkan mulut terasa kering dan pahit, rasanya tidak udut lebih susah daripada tidak makan nasi.

Ko A-lam juga menghela napas, katanya, "Ong-loyacu sudah berumur dan terhormat, mengapa tidak tinggal di rumah dan hidup senang tapi justru ikut datang tersiksa ke tempat begini, memangnya apa tujuanmu?"

Air muka si kakek berubah pucat, ia berdehem lalu menjawab. "Darimana.... darimana nona dapat mengenali diriku?"

"Nama Eng-jiau-bun (perguruan cakar elang) sudah terkenal berpuluh tahun yang lalu, setiap orang Kangouw biarpun tak kenal Ong-loyacu. asalkan melihat Kedua tanganmu, pasti dapat menerkanya."

Kakek kurus kering ini memang betul tokoh utama Eng-jiau-bun di Soasay, Kiu-hian-in-liong Ong Thian-siu, sudah dua puluh tahun yang lalu ia pensiun, kedudukan ketua Eng-jiau-bun diserahkan kepada keponakannya yang bernama Ong Wi-kiat.

Sudah lama dia hidup tenteram di rumah dan jarang bergerak di dunia Kangouw, orang yang pernah melihat wajah aslinya juga tidak banyak, siapa tahu dia bisa muncul di Pulau Kalong ini. Karena itu, demi mendengar kakek kurus kering ini adalah tokoh 'cakar elang sejati' Ong Thian-siu, serentak semua orang sama memandangnya.

Lama juga Ong Thian-siu tercengang, akhirnya ia berdehem pula dan berkata. 'Hehe, usia nona masih muda belia, tapi ternyata berpandangan tajamr sungguh hebat."

Melihat itu barulah Thio Sam percaya orang ini memang tokoh-tokoh persilatan, tapi di antara mereka sendiri tidak saling mengenal. Maklum, biasanya mereka menjagoi daerah masing-masing, dengan sendirinya jarang keluar sehingga kesempatan untuk bertemu juga tidak banyak.

Hal inipun memperlihatkan cara Goan Sui-hun mengundang tetamunya memang terencana rapi, tetamu yang diundangnya terdiri dari tokoh-tokoh berbagai daerah yang satu sama lain tidak saling kenal, sebab kalau tetamu yang saling kenal, biarpun tidak dapat melihat dalam kegelapan, suaranya tentu juga dapat dikenali.

Agaknya Ong Thian-siu tak menyangka asal-usulnya akan dibongkar oleh seorang nona yang muda belia, diam-diam ia menyesali dirinya yang usil, kalau dirinya tidak ikut-ikutan bicara tentu takkan dikenali.

Selagi ia hendak mencari kesempatan menyingkir, tiba-tiba seorang lelaki kekar bergodek tampil dari kerumunan orang banyak. dengan sorot mata tajam ia tatap si kakek dan berkata, "Kiranya 'Cu siansing' itu adalah Ong Thin-siu, Ong loyacu. pantas Pian hok Kongcu bersikap sungkan pada 'Cu-siansing."

Ong Thian-siu berkerut kening, katanya, "Siapa anda? Rasanya kita belum pernah kenal."

Lelaki godek tak menjawab. katanya pula, "Ong-loyacu tidak hidup senang di rumah, tapi jauh-jauh datang ke sini, apa tujuanmu adalah untuk mendapatkan beberapa botol racun keluarga Tong dari Sujwan itu?"

Kembali air muka si kakek Ong berubah, jawabnya dengan bengis. "Sesungguhnya siapa anda?"

"Hm, Ong-loyacu kan tidak perlu tanya siapa diriku?" jengek lelaki itu. "Cayhe hanya ingin mohon penjelasan....."

Mendadak Ko A-lam bergelak tertawa dan berkata, "Haha, agaknya Ong-loyacu sudah lama tidak berkecimpung di dunia Kangouw. maka tidak kenal lagi pada orang gagah utara daerah Kwantang, masa wajah khas Ci-bin-sat-bin (malaikat maut muka ungu) Gui-samya juga tidak kenal lagi?!"

"Aha, kiranya Gui Heng-liong. Gui-samya adanya," Ong Thian-siu menengadah dan tertawa. "Benar-benar mengagumkan, sungguh sudah lama kukagumi namamu......."

Mendadak suara tawanya berhenti, kedua matanya yang semula tampak buram seketika memancarkan sinar tajam, ia melototi Gui Heng-liong dan menjengek, "Sudah lama kudengar Gui-samya banyak mendapat rejeki, sekarang telah menjadi Cukong dan dua buah peternakan kuda besar. isteri cantik dan selir tak terhitung banyaknya, setiap orang Kangouw merasa iri kepada keberuntunganmu. Sekarang mengapa juga susah payah datang ke sini?"

Air muka Gui Heng-liong kelihatan berubah juga, katanya, "Ini kan urusan pribadiku dan tidak ada sangkut........"

"Urusan pribadi katamu?" sela Ong Thian-siu. "Kukira kedatangan Gui-samya adalah ingin mendapatkan rahasia Hwe-hong-liu-bu-kiam-hoat kebanggaan Koh-tojin, betul tidak?"

Ucapan ini rupanya menarik perhatian orang banyak, serentak pandangan mereka beralih ke muka Gui Heng-liong, memandang bekas luka di bawah ujung mata kirinya.

Bekas luka itu menggaris dari ujung mata kiri melintang ke pipi sebelah kanan. Cuma wajah Gui Heng-liong memang hitam keungu-unguan sehingga bekas luka itu hampir tidak kelihatan, kalau tidak diamat-amati dengan cermat.

Bekas luka itu memang mempunyai kisah tersendiri bagi Gui Heng-liong.

Belasan tahun yang lalu, di dunia Kangouw terkenal seorang Peng-ho Tojin yang aslinya she Koh dari Pah-san, betapa tinggi ibadat Tojin ini dalam agama kuranglah jelas, yang pastj ilmu pedang Hwe-hong-liu-bu-kiam-hoat belum pernah ketemu tandingan yang berarti.

Selama hidup Koh-tojin hanya menerima seorang murid dari keluarga swasta, she Liu bernama Gim-siong. Meski ilmu pedang si murid belum mewarisi seluruh kemahiran sang guru, tapi kebesaran pribadinya cukup terkenal dan terpuji di dunia Kangouw. Selama hidup Liu Gim-siong juga tidak pernah bermusuhan dengan orang. Cuma satu kali, ketika dia mencari bahan obat-obatan di luar perbatasan (sebelah utara tembok besar biasanya dianggap luar perbatasan negara pada zaman itu). kebetulan ia memergoki seorang begal yang sedang melakukan kejahatannya, begal itu tidak cuma merampas harta benda saja, bahkan hendak merampas kehormatan sang gadis.

Begal itu ialah Gui Heng-liong ini. Bekas luka di mukanya adalah tinggalan pedang Liu Gim-siong.

Konon Gui Heng-liong telah bersumpah di depan Liu Gim-Siong bahwa selanjutnya dia pasti akan cuci tangan dan tak berani lagi berbuat jahat. Karena itulah Liu Gim-siong mau mengampuni jiwanya.

Kemudian begal besar itu telah berubah menjadi pemilik dua perusahaan peternakan kuda besar. Tampaknyu dia benar-benar telah memperbaharui hidupnya ke jalan yang baik.

Akan tetapi, jika dia benar-benar telah menjadi orang baik, menjadi pengusaha yang terhormat, untuk apa pula dia datang ke Pulau Kalong ini?

Maka begitu ucapan Ong Thian-siu tadi dikemukakan, seketika semua orang pun mafhum akan maksudnya. Kiranya pembaharuan hidup Gui Heng-liong seperti janjinya kepada Liu Gim-siong itu cuma pura-pura belaka. Tampaknya

dia telah menjadi pengusaha peternakan besar, tapi selama ini belum pernah melupakan sakit hatinya, senantiasa ia mencari akal untuk menuntut balas. Tapi ia pun jeri terhadap ilmu pedang Liu Gim-siong yang lihai. Maka kedatangannya ke Pulau Kalong adalah ingin membeli rahasia Hwe-hong-liu-bu-kiam-hoat.

Soal balas membalas di dunia Kangouw sebenarnya perkara biasa. tapi manusia munafik yang tak menepati sumpah yang pernah diucapkannya pasti akan dipandang hina oleh siapa pun.

Karena itulah semua orang sama melototi Gui Heng-liong dengan sorot mata menghina.

Wajah Gui Heng-liong yang memang keungu-unguan itu bertambah kelam. dengan gemas ia menjawab, "Ya, sekalipun kedatanganku ini adalah untuk mendapatkan rahasia Pah-san-kiam-hoat, lalu kau mau apa? Sebaliknya bagaimana pula denganmu?"

"Aku kenapa?" jengek Ong Thian-siu, mukanya tampak makin pucat.

"Hm, mencuri belajar Kungfu orang lain untuk kemudian digunakan menuntut balas kepada orang itu memang tergolong rendah," tutur Gui Hong-liong, "Tapi sedikitnya perbuatan begitu tidak lebih kotor daripada mencelakai orang dengan racun, bahkan mengalihkan perbuatan sendiri untuk memfitnah keluar Tong."

Ong Thian-siu menjadi gusar, teriaknya, "Siapa yang kau maksud?"

Gui Heng-liong tidak menggubris, sebaliknya ia menyapu pandang sekejap kepada orang banyak, lalu berkata, "Apakah para hadirin tahu, siapakah tokoh utama, ksatria besar, jago nomor satu di dunia ini?"

'Bun (sastra, sipil) tidak ada yang nomor satu, Bu (silat, militer) tidak ada yang nomor dua'. demikian pameo yang terkenal di khalayak ramai. 'Jago nomor satu' siapa pun juga ingin mendapatkan predikat ini. Tapi kalau sebutan itu benar-benar sudah diperolehnya maka celakalah dia, takkan pernah habis halangan yang harus dihadapinya.

Maklumlah, barang siapa mendapat predikat tersebut, pasti ada orang lain yang tidak terima dan akan berusaha dengan segala daya upaya untuk merebut gelar itu.

Selama beratus-ratus tahun ini, di dunia Kangouw sudah banyak melahirkan tokoh ternama dan jago terkenal, entah sudah berapa banyak ksatria atau pahlawan yang telah melakukan hal-hal yang menggemparkan dan menjadi bahan cerita orang.

Tapi Orang yang benar-benar cocok untuk mendapat predikat 'jago nomor satu' dan membuat orang takluk lahir batin, sebegitu jauh ternyata tiada terdapat seorang pun.

Dengan sendirinya pernyataan Gui Heng-liong tadi membuat semua orang saling pandang dengan bingung, tiada seorang pun yang dapat menjawab dan tiada yang tahu siapa yang dimaksud.

Ada seorang di antaranya berkata sambil melirik Thio Sam sekejap. "Apakah Coh-hiangswe yang kau maksudkan?"

"Coh-hiangswe suka menolong orang. merampas yang kaya membantu yang miskin, orang yang pernah menerima pertolongannya sukar dihitung jumlahnya. Betapa tinggi ilmu silatnya dan betapa cerdik tindak tanduknya. bahkan sukar diukur. Sudah tentu beliau adalah seorang ksatria, seorang pahlawan sejati. cuma..........."

Dia menarik napas panjang, lalu menyambung pula, "Predikat jago nomor satu di dunia mungkin Coh-hiangswe sendiri pun tidak berani menerimanya."

Segera beberapa orang berseru, "Jika Coh-hiangswe saja tidak cocok mendapat predikat itu, habis siapa yang sesuai?"

Lalu ada lagi yang berseru. "Coh-hiangswe pernah menyapu bersih perusuh-perusuh di padang pasir, pernah mengalahkan Ciok-koan-im, pernah menundukkan Cui-bo Nionio, dan masih banyak lagi prestasinya, betapa gagah dan luhur beliau kecuali Coh Hiangswe, siapa pula yang sanggup melakukan hal begitu?"

"Betul," tukas lagi yang lain. "Tidak usah soal lain, melulu kejadian di Pian-hok-to sekarang ini, siapa yang tidak kagum terhadap apa yang telah diperbuat Coh-hiangswe? Siapa di dunia ini yang dapat dibandingkan dia?"

Gui Heng-liong menghela napas. katanya, "Sudah tentu Cayhe juga sangat kagum terhadap Coh-hiangswe, cuma yang kumaksudkan........"

Mendadak Ong Thian-siu menyela, "Apa yang dikatakan manusia rendah semacam dia ini. kalian anggap sebagai kentut saja, untuk apa menggubrisnya." Sambil membentak ia mendekati Gui Heng-liong, urat hijau menonjol pada kedua tangannya yang kurus kering itu, jarinya juga mencengkeram seperti cakar elang.

Perawakan Ong Thian-siu sebenarnya kecil. tapi sekarang mendadak seperti mulur lebih panjang, ruas tulang seluruh tubuhnya berkeriutan seperti bunyi kacang digoreng,

Meski para jago yang hadir sudah lama mendengar Kungfu Kiu-hian-in-liong Ong Thian-siu sangat tinggi. tapi sebenarnya sampai dimana kemahirannya, tiada seorang pun yang tahu. Kini melihat betapa hebat serangannya itu barulah semua orang merasa terkejut. mereka menduga bilamana serangan sudah dilancarkan, maka untuk selamanya Gui Heng-liong tak ada kesempatan lagi untuk bicara.

Lantas siapakah 'jago nomor satu di dunia' yang dimaksud Gui Heng-liong itu? Mengapa Ong Thian-siu tidak memberi kesempatan padanya untuk omong?

Meski semua orang merasa ada sesuatu yang tidak beres di balik persoalan ini, tapi siapa pun tidak ingin mencari gara-gara dan ikut campur. apalagi mereka pun tiada yang yakin dapat mengalahkan Eng-jiau-kang Ong Thian-siu yang lihai itu.

Tiba-tiba muncul dua orang, satu kanan dan satu kiri, seperti tidak sengaja mereka menghadang di depan Ong Thian-siu.

"Ya, anggaplah dia sedang kentut, tapi apa jeleknya jika kita mendengarkan apa yang akan dikentutkannya?" kata orang yang di sebelah kiri.

Orang yang di sebelah kanan lantas menukas, "Betul, kentut yang berbunyi kan tidak berbau, kentut yang berbau justru yang tidak berbunyi. Maka kukira kentut yang dapat kita dengar nanti rasanya takkan terlalu bau,"

Perawakan dan muka kedua orang ini ternyata serupa seperti pinang dibelah dua, mungkin mereka adalah saudara kembar. Muka sama-sama bulat, badan buntak. kalau bicara juga cengar-cengir. Malahan kalau tertawa keduanya sama-sama mempunyai dekik pada pipi masing-masing. Yang satu dekik di pipi kiri dan yang lain dekik di pipi kanan.

Dilihat dari potongan mereka, bilamana tangan mereka memegang suipoa, maka mereka pasti akan disangka sebagai juru buku pada rumah makan atau juru taksir pada rumah gadai.

Potongan orang-orang ini baik dipandang dari kanan ke kiri maupun dilihat dan atas ke bawah, mustahil kalau ada orang dapat menemukan sesuatu tanda bahwa mereka memiliki Kungfu yang hebat.

Akan tetapi anehnya, setelah Ong Thian-siu melihat kedua orang ini, kedua tangannya yang sebenarnya sudah siap menyerang. perlahan-lahan dijulurkan lagi ke bawah, lalu ia berdehem dan berkata. 'Baiklah. jika kalian bersaudara ingin mendengar kentut bolehlah dia suruh coba-coba perdengarkan kentutnya."

Kedua orang itu terbahak berbareng dan berkata. "Betul, nah. kalau mau kentut hayolah lekas kentut!"

Dengan gusar Gui Heng-liong melotot kepada mereka. tapi cuma melotot sekejap saja, rasa gusarnya segera pula lenyap, cepat ia berpaling lagi ke arah lain, seakan-akan kuatir bilamana memandang lebih lama lagi mungkin matanya akan buta.

Semua orang merasa heran mengapa Ong Thian-siu dan Gui Heng-liong begitu jeri terhadap kedua orang bersaudara ini. masakah badan mereka yang buntak itu mampu melawan Eng-jiau-kang yang lihai?

Tapi lantas Ko A-lam berkata dengan tertawa, "Kalian bersaudara memang benar-benar barang tulen, harga pas. tua muda tidak ditipu, sungguh hebat, sungguh kagum."

Istilah 'barang tulen harga pas dan tua muda tidak ditipu' adalah istilah yang bisa digunakan oleh toko besar dan warung kecil, yaitu hanya istilah perdagangan untuk menarik pembeli.

Soal betul apa tidak kata-kata propaganda yang ditonjolkan itu sudah tentu sukar untuk bisa dipercaya. Akan tetapi setelah semua orang mendengar kedua kalimat tadi, mereka terperanjat.

Kedua kalimat tadi justru nama julukan kedua orang bersaudara tadi, yang sebelah kiri, adalah kakak. she Ci (duit) bernama Put-coan (tidak untung) dan berjuluk Hwe-cin-keh-sit (barang tulen harga pas). Dan yang sebelah kanan adalah adiknya, bernama Ci Put-yau (duit tidak mau) dan berjuluk Tong-soh-bu-gi (tua muda tidak ditipu).

Orang Kangouw bilamana mendengar nama kedua bersaudara ini. andaikan tidak ketakutan setengah mati. tentu juga akan pegang kepalanya sendiri dengan erat karena kuatir kepalanya akan lenyap.

Maklum, meski kedua orang ini memang tengkulak. tapi yang dijual belikan bukan sembarang dagangan, yang dijual belikan justru adalah kepala manusia. Kepala manusia jahat.

Maka dengan was-was Gui Heng-liong berkata, "Ksatria utama dan jago nomor satu yang kumaksudkan ini, kukira kalian bersaudara pasti sudah tahu."

Meski Gui Heng-liong sedang bicara dengan kedua orang itu. tapi yang dipandang adalah tangan sendiri. suatu tanda betapa jerinya kepada mereka.

Ci-lotoa yang tidak mau untung itu. lantas berkata dengan tertawa, "Tapi, orang yang kami kenal belum pasti seluruhnya ksatria sejati, apalagi jago nomor satu segala."

"Betul, yang kami kenal mungkin ksatria gadungan lebih banyak daripada jago tulen," tukas Ci-loji yang tidak mau duit.

Gui Heng-liong pura-pura tidak paham sindiran itu, ia berkata pula, "Pada dua puluh tahun yang lalu, sebabnya Ong Thian-siu mau menyerahkan kedudukan ketua kepada keponakannya justru lantaran ksatria besar itu telah menemukan sesuatu perbuatan busuknya. maka terpaksa dia bertindak begitu dan mengundurkan diri."

"Wah, ceritamu terasa rada menarik juga." ujar Ci-lotoa. "Rasanya tidak banyak orang yang dapat memaksa Ong-loyacu mundur dari kedudukannya.,,

"Sebenarnya ksatria besar itupun sudah lama tidak muncul di Kangouw, cuma akhir-akhir ini Cayhe mendengar kabar bahwa beliau merasa terlalu iseng dan ada maksud muncul kembali di dunia ramai," tutur Gui Heng-liong pula.

"O, jangan-jangan Ong-loyacu juga bermaksud menuntut balas padanya?" kata Ci-loji.

"Kalau bicara tentang ilmu silat, sebenarnya sepuluh orang Ong Thian-siu juga tak dapat dibandingkan dengan satu jari ksatria besar itu," kata Gui Heng-liong, "Tapi dia justru mengetahui bahwa ksatria besar ini pada permulaan tahun depan pasti akan berkunjung dan mencarinya. Maka lebih dulu Ong-loyacu lantas mengundang Tong-taysiansing dari Sujwan serta beberapa tokoh terkemuka lain agar menghadiri perjamuan tahun baru di kediamannya."

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula dengan gemas, "Di sinilah dia ingin membeli racun keluarga Tong. tujuannya hendak menaruh racun di dalam arak untuk membunuh ksatria besar tadi, habis itu yang akan difitnah sebagai peracunnya ialah Tong-taysiansing."

Mendadak Ong Thian-sui menengadah dan bergelak tertawa, keras serunya, "Hahaha, kentut bocah ini bukan saja nyaring bunyinya, bahkan baunya tidak kepalang. Apakah para hadirin masih berminat mendengarnya lagi? Apakah para hadirin tidak merasa ocehannya itu cuma karangan belaka? Coba pikir. seumpama benar orang she Ong itu bernilai begitu, lalu darimana keparat she Gui ini mendapat tahu?"

"Soalnya aku sudah bertemu dengan ksatria besar itu, sudah kuketahui beliau akan pergi mencarimu, kutahu pula kau telah mengundang Tong-taysiansing sebagai tamu pendamping, lalu kutahu pula kau telah membeli racun keluarga Tong di sini," Gui Heng-liong terkekeh-kekeh, lalu menyambung pula, "Berdasarkan serangkaian perbuatanmu ini, bilamana tak dapat kuterka maksud jahatmu, kan percuma selama berpuluh tahun aku berkesimpung di dunia Kangouw."

Dengan tertawa Ci-lotoa menukas, "Cuma sayang, kau bicara bertele-tele seperti nenek bawel. Sampai saat ini nama ksatria itu belum lagi kau sebut."

"Ksatria besar yang kumaksudkan itu ialah ketna Tay-ki-bun (perguruan panji besar). pendekar besar yang tiada bandingannya, jago nomor satu di dunia, Thi-tayhiap, Thi Tiong-tong." demikian sekata demi sekata Gui Heng-liong menjelaskan.

Thi Tiong-tong!

Demi mendengar nama ini. mendadak suasana menjadio sunyi senyap. semua orang sama menahan napas. Kisah Pendekar Besar Thi Tiong-tong pada seri ke-6 akan terbit).

"Selama ratusan tahun ini. kalau ada seorang tokoh persilatan yang benar-benar dihormati dan dikagumi serta pantas mendapat predikat 'nomor saru di dunia', maka orang itu adalah Thi Tiong-tong!"

Lalu terdengarlah orang banyak menghela napas panjang. Sampai agak lama barulah Ci-lotoa mengembuskan napasnya, lalu bertanya pula, "Anda kenal Thi-tayhiap?"

Lantaran nama "Thi Tiong-tong, panggilannya kepada Gui Heng-liong seketika berubah menjadi sungkan pula.

"Ken.... kenal sudah tentu kenal....." Dia mengulangi beberapa kali kata-kata 'kenal' itu, lalu air mata pun bercucuran.

Seorang lelaki perkasa seperti dia juga menangis seperti anak kecil, meski tampaknya menggelikan, tapi dalam hati, para hadirin samar-samar dapat menerka, pasti antara orang she Gui ini dengan Thi-tayhiap ada hubungan yang luar biasa.

Selang agak lama, tiba-tiba Gui Heng-liong berseru, "Aku Gui Heng-liong ini orang macam apa, masa berharga untuk berkenalan dengan Thi-tayhiap? Akan tetapi.... akan tetapi, kalau tiada Thi-tayhiap. apakah sekarang terdapat orang she Gui seperti diriku ini? Jiwaku justru diselamatkan oleh Thi-tayhiap sendiri......"

Dia mengertak gigi dan menyambung pula, "Tentunya para hadirin mengira Liu Gim-siong yang sengaja mengampuni jiwaku hingga orang she Gui dapat hidup sampai sekarang. Padahal kalau tidak ada Thi-tayhiap, mana... mana mau orang she Liu itu memberi......." Sampai di sini suaranya menjadi serak dan napas terengah-engah, mendadak ia menerjang maju terus menjotos muka Ong Thian-siu.

Kedua Ci bersaudara saling mengedip mata, berbareng mereka lantas menyurut mundur. Dengan tertawa Ci Pui-coan berkata, "Baru sekarang kutahu duduk perkaranya. Rupanya Liu Gim-siong mau mengampuni jiwamu adalah karena permintaan Thi-tayhiap dan sama sekali bukan keputusan Liu Gim-siong sendiri."

"Makanya orang she Gui selama ini tetap dendam kepada Liu Gim-siong dan tetap bermaksud menuntut balas padanya." tukas Ci Pat-yau.

"Thi-tayhiap memang terkenal dingin di luar, panas di dalam. Terhadap orang paling jahat sekalipun dia tetap memberi kesempatan kepadanya untuk memperbaiki diri, dalam hal ini dia memang sama dengan Coh-hiangswe," ujar Ci Put-coan.

"Ya, jika bukan welas asih Thi-tayhiap, mana bisa Ong-loyacu dan Gui-samya hidup sampai sekarang?" sambung Ci Put-yau.

"Cuma sayang, ada sementara orang memang tidak pernah melupakan budi pertolongan orang dan senantiasa mencari jalan untuk membalas kebaikannya. tapi ada setengah orang lain yang tidak tahu budi kebaikan dan lebih rendah daripada hewan," kata Ci Put-coan pula.

"Semula Kukira yang lebih rendah daripada hewan ialah Gui-samya, siapa tahu dugaanku ternyata keliru, orang yang lebih rendah daripada hewan justru ialah Ong Thian-siu," sambung Ci Put-yau.

"Nah, Gui-losam," kata Ci Put-coan, "Silakan kau turun tangan, bilamana cakarnya berani menyentuh seujung rambutmu, biar kami ganti rugi padamu dengan kepala kami."

Dalam pada itu Ong Thian-siu dan Gui Heng-liong sudah saling gebrak belasan jurus. Eng-jiau-kang yang diperlihatkan

Ong Thian-siu memang sangat lihai, Gui Heng-liong tampak terdesak hingga sama sekali tak mampu balas menyerang.

Tapi demi mendengar ucapan Ci Put-coan itu, seketika terbangkit semangatnya, "wut-wut," serentak ia menghantam dua kali, yang digunakan adalah jurus serangan mati-matian tanpa memikirkan keselamatan sendiri.

Memang, kalau Ci-lotoa sudah memberi dukungan, apalagi yang perlu ditakuti?

Dan Ong Thian-siu seketika terdesak mundur karena pukulan Gui Heng-liong itu. Malahan orang she Gui itu terus mendesak maju, kembali ia menjotos dua kali, jotosan yang keras, sebaliknya pertahanan sendiri jadi terbuka.

Peluang itu tidak disia-siakan oleh Ong Thian-siu, tangan kirinya menangkis jotosan lawan. tangan kanan lantas mencengkeram hulu hati Gui Heng-liong. inilah jurus maut cakar elang sakti yang ditakuti orang.

Karena sudah mendapat jaminan dari Ci-lotoa, maka Gui Heng-liong hanya menyerang tanpa bertahan, dia sendiri menjotos, untuk menarik kembali pukulannya sudah tidak keburu lagi, tampaknya jiwanya pasti akan melayang.

Untunglah pada saat itu mendadak Ci Put-coan berseru dengan tertawa, "Eh, apakah Ong-loyacu benar-benar menghendaki kami mengganti rugi Gui-samya dengan kepala kami?"

Belum habis ucapannya, tahu-tahu dada Ong Thian-siu dengan telak kena ditonjok oleh Gui Heng-liong sehingga terhuyung-huyung ke belakang, darah segar tersembur dari mulutnya.

Padahal jelas kelihatan Gui Heng-liong yang akan celaka siapa tahu Ong Thian-siu yang kena tonjok malah.

Sebagian orang merasa bingung dan tidak tahu mengapa bisa terjadi begitu, tapt orang-orang yang berdiri di depan dapat melihat jelas. ketika Ci-lotoa bicara tadi, jari Ci-loji mendadak menjentik ke depan. "Crit". terdengar bunyi mendesing perlahan dan mendadak Ong Thian-siu menarik tangannya. Kesempatan itu digunakan Gui Heng-liong untuk menyarangkan hantamannya di dada Lawan.

Mata Gui Heng-liong sudah merah, sambil berteriak kalap ia menubruk maju pula.

Tak tersangka, tiba-tiba Ong Thian-siu melejit ke atas dan melayang lewat di atas kepala Gui Heng-liong sambil membentak. "Ci-lotoa, lekas kau suruh dia berhenti! Memangnya kau kira aku tidak tahu apa maksud tujuan kedatanganmu?" Sambil bicara tampak darah segar masih mengucur dari mulutnya.

Dengan tertawa Ci-lotoa menjawab, "Aku memang orang dagang. kedatanganku ke sini dengan sendirinya adalah untuk jual beli. Cuma sayang. tadi aku belum berhasil membeli apa-apa. terpaksa sekarang kubeli saja kepalamu."

Sambil bicara dan tertawa, kakinya melangkah maju, mendadak menyerang tiga jurus. Hanya tiga jurus saja, seketika Ong Thian-sui terdesak dan tidak sanggup balas menyerang.

Orang yang kelihatan ramah, 'pedagang' yang baik budi ini, jurus serangannya ternyata sangat cepat dan ganas, bahkan jauh lebih keji daripada Ci-bin-sat-sin Gui Heng-liong yang biasa membegal dan membunuh itu.

Ong Tnian-siu memang sudah terluka karena tonjokan Gui Heng-liong tadi. tentu saja sekarang tambah payah. mendadak ia berteriak dengan suara parau, "Naga angkat kepala............." Baru sempat berucap kata-kata ini, tahu-tahu ujung jari Ci Put-coan sudah sampai di depan dadanya, apabila sampai Hiat-to tertutuk, jangan harap dia akan bisa buka mulut lagi, bahkan jiwa pun mungkin akan melayang.

Akan tetapi cukup dua-tiga kata tadi sudah membuat air muka empat orang berubah hebat. Serentak empat orang itu bergerak, dua orang menubruk Ci Put-yau, dua orang lagi menerjang Ci Put-coan. Keempat orang ini mestinya tidak saling kenal, tapi sekarang mendadak turun tangan serentak.

Ketika Ci Put-coan merasa angin pukulan menyambar dari belakang. ilmu silat penyerang ini tidak lemah, terpaksa ia harus menjaga diri dan membatalkan serangannya kepada Ong Thian-siu. Terlihat tubuhnya yang gemuk buntak itu terus mendak ke bawah dan menggelinding ke samping seperti bola.

"Siapa kalian? Berani kalian membantu lawan Thi-tayhiap?" bentak Ci Put-coan dengan bengis.

Bentuk kedua orang yang mengerubuti Ci Put-coan itu agak luar biasa. Yang satu bermuka lonjong seperti muka kuda, tubuhnya tinggi kurus. Sedang seorang lagi berkaki panjang. Tenaga pukulan si muka kuda sangat hebat sebaliknya gerak-gerik si pincang terlebih lincah dan gesit.

Baru Ci Put-coan berucap tadi, si pincang sudah memberondong dia dengan tiga pukulan dahsyat.

"Locu bernama Nyo Piau. nah. kau paham? teriak si muka kuda. Rupanya dia orang Sujwan, maka setiap bicara suka menggunakan istilah 'Locu' (bapakmu) dan "Anak kura kura' segala.

"Hahaha, kiranya kau!" seru Ci Put-coan terbahak-bahak. Berbareng sebelah tangannya menebas ke perut si Pincang.

Cepat si pincang menyurut mundur sambil berseru kepada si muka kuda. "Nyo-toako. kau serang bagian atasnya."

"Baik dan kau serang bawah ..." belum habis ucapan si muka kuda yang mengaku bernama Nyo Piau itu. sekonyong-konyong sikut si pincang kena menyodok bagian perutnya.

Tentu saja Nyo Piau tidak menyangka si pincang berbalik akan menyerangnya malah. keruan ia tersikut dengan telak. ia terhuyung-huyung, saking sakitnya, ia menungging sambil memegang perutnya, keringat dingin pun merembes ke luar. "Kau...... kau anak kura-kura..... apakah kau sudah gila?" teriaknya dengan parau.

Setelah berhasil menyikut perut Nyo Piau. segera si pincang menubruk Ci Put-coan lagi sambil menjengek. "Dan Cayhe bernama Tan Gok."

"Hah. bagus. kiranya kau!" teriak Nyo Piau. Sambil meraung murka segera ia hendak menerjang orang. Tapi baru dua-tiga langkah ia lantas jatuh terguling. rupanya perutnya masih kesakitan hingga tidak sanggup berdiri lagi.

"Nah, Ci-lotoa. sekarang tentunya kau paham bukan?" kata Tan Gok.

"Jika aku paham. apakah kau bermaksud kabur lagi?" jawab Ci Put-coan dengan tertawa.

"Lambat atau cepat kita toh harus bikin penyelesaian, daripada berlarut-larut kenapa tidak sekarang saja dibereskan?" ujar Tan Gok.

"Betul, lebih baik dibereskan sekarang saja! Nah, serahkan saja jiwamu'!" demikian mendadak seorang membentak terus menerjang maju, sekaligus ia hantam beberapa kali ke punggung Tan Gok.

Karena muka belakang menghadapi musuh, seketika Tan Gok menjadi kelabakan. tampaknya cukup dua tiga kali gebrak lagi dia pasti akan roboh.

Untung pada saat itu juga tiba-tiba seorang berteriak, "Tan-lotoa, orang she Ci ini serahkan saja kepadaku...."

oooo000ooooo

Rada janggal juga, orang-orang ini mestinya tidak saling kenal, tapi entah mengapa mendadak saling labrak. Bahkan serangan yang dilontarkan adalah serangan mematikan dan tanpa kenal ataupun seolah-olah ada dendam kesumat antara mereka.

Thio Sam sampai kesima menyaksikan perubahan yang tak terduga ini.

Ko A-lam juga termangu-mangu sambil menggigit bibir, katanya kemudian dengan menyesal, "Semuanya gara-garaku, jika tidak kubongkar asal-usul Ong-loyacu, tentu takkan terjadi hal demikian."

Thio Sam heran juga. tanyanya, "Sebenarnya apa yang terjadi? Mereka kan tidak saling kenal. mengapa bis saling gempur dan saling labrak dengan mati-matian begini?"

"Kukira di antara orang-orang ini pasti ada persoalan yang rumit, meski masing-masing tidak saling kenal. tapi begitu mengetahui asal-usul lawan. maka dilabraknya mati-matian tanpa kenal ampun ..."

Setelah berpikir sejenak lalu Ko A-lam menyambung pula dengan menyesal, "Bisa jadi semua ini memang sengaja diatur oleh Gui Heng-liong. dia sengaja mempertentangkan mereka agar dia sendiri dapat menguasai mereka."

"Tapi ada hubungan apa antara mereka?" tanya Thio Sam.

"Siapa tahu?" jawab Ko A-lam.

"Tadi Ong Thian-siu mengucapkan sesuatu, kau bisa mendengar tidak?" tanya Thio Sam pula.

"Ya, dia seperti berseru "naga angkat kepala" begitu" jawab Ko A-lam.

"Betul. aku pun mendengar dengan jelas, cuma tak dapat menerka apa arti ucapannya itu?"

Ko A-lam berpikir sejenak. katanya kemudian, "Menurut perhitungan tanggal. Katanya Ji-gwe Je-ji tanggal dua bulan bulan dua) naga angkat kepala. mungkinkah yang dimaksud adalah suatu waktu dan hari tertentu?"

"Hari tertentu?....... Umpama hari tertentu, yang dimaksud tentu juga masih ada arti lainnya."

"Betul, kalau tidak, mana bisa terjadi pertarungan sengit dan saling labrak setelah mendengar kata-kata Ong Thian-siu?"

"Kau kira apa..... apa arti kata-kata Ong Thian-siu itu?" tanya Thio Sam.

"Bisa jadi ada orang telah menentukan akan berbuat sesuatu yang sangat dirahasiakan pada hari yang disebut, dan antara mereka sedikit banyak ada hubungannya dengtan persoalan itu."

Mungkinkah juga mereka sudah berjanji pada hari yang ditentukan itu akan diperebutkan sesuatu barang, kalau sekarang bisa saling bertemu di sini, lebih baik saling labrak saja daripada menunggu lebih lama."

"Betul. apa yang diucapkan Tan Gok tadi jelas mengandung maksud begitu."

Thio Sam menghela napas panjang. ucapnya, "Dalam keadaan sekarang, kita seharusnya bersatu padu dan bantu membantu untuk menghadapi musuh yang sama, tapi mereka malah saling labrak sendiri. Bilamana diketahui Goan Sui-hun, dia pasti akan sangat senang."

Ko A-lam juga menghela napas panjang, gumamnya, "Bukan mustahil dia sudah mengetahuinya."

Thio Sam melirik pertarungan tanpa teratur antara orang-orang itu katanya pula. "Ya. bisa jadi semua ini memang sudah diatur oleh Goan Sui-hun......"

oooo0000ooooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar