Legenda Pulau Kelelawar Bab 02: Rumah Sauna

Bab 02: Rumah Sauna
"Sebab waktu itu dia telanjang bulat mirip anak bayi yang baru dilahirkan," tukas Oh Thi-hoa. Tentunya kawanmu itu bukan perempuan, darimana dia mengetahui bentuk si kutu busuk tua ini waktu bugil."

"Tapi begitu melihat tindak-tanduk Coh-hiangswe, segera dapat kuduga," kata Kau Cu-tiang dengan tertawa. "Hanya saja sampai sekarang aku tetap tidak habis mengerti cara bagaimana mutiara itu bisa lari ke dalam sabuk orang itu."

"Itu cuma permainan sulap saja, sedikit pun tidak perlu diherankan," ujar Oh Thi-hoa. "Kepandaiannya main sulap pasti dipelajari dari tukang obat di kaki lima, makanya dia juga mendapat nama julukan 'si tangan tiga', apakah kau tidak tahu?"

"O, ini... ini tidak pernah kudengar dari kawanku," jawab Kau Cu-tiang.

Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Mulut orang ini selamanya tidak pernah tumbuh gading, maka jangan kau percaya pada ocehannya."

"Mulutmu sendiri apakah pernah tumbuh gading?" jawab Oh Thi-hoa. "Akhir-akhir ini gading memang sangat berharga, pantas ada sementara nona jelita suka menganggap kau sebagai mestika pujaannya."

Coh Liu-hiang tidak menggubrisnya lagi, tapi lantas bertanya pada Kau Cu-tiang, "Entah siapa kawan Kau-heng itu, darimana dia kenal diriku?"

"Kawanku bernama Ong Ji-ngay." jawab Kau Cu-tiang. "Ong Ji-ngay?" Coh Liu-hiang mengulang nama itu sambil mengerutkan kening.

"Aku pun tahu nama yang digunakan kawanku itu pasti nama palsu." tutur Kau Cu-tiang dengan tertawa. "Tapi sebagai kawan. yang penting adalah ketulusan hati. Bila dia bersahabat denganku dengan setulus hati, untuk apa mesti kupersoalkan namanya tulen atau palsu?"

Coh Liu-hiang mengangguk dan tidak bertanya lebih jauh. Kalau orang lain tidak mau menjelaskan lebih banyak, biasanya ia pun enggan untuk bertanya lagi.

Begitulah sambil bicara sambil berjalan, kini mereka sudah dekat dengan tepi sungai, sayup-nyup sudah tercium bau ikan panggang yang terbawa angin.

"Haha. jelek-jelek Thio Sam memang sahabat sejati, dia sudah memanggang ikan lebih dahulu dan menantikan kedatangan kita untuk makan enak," ucap Oh Thi-hoa dengan tertawa.

Si jaring kilat Thio Sam memang sedang memanggang ikan di atas kapalnya. Kapalnya tidak besar, malah boleh dikata sudah bobrok, sudah rongsok.

Namun Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa sama tahu bahwa kapal ini hasil jerih payah Thio Sam sendiri, setiap potong papannya, setiap pakunya, semuanya adalah Barang pilihan setelah mengalami penelitian yang cermat. Maka kapal ini meski kelihatan sudah tua dan bobrok tapi sebenarnya sangat kukuh, asalkan berada di kapal ini, gelembung badai betapa besarnya juga takkan membuat Coh Liu-hiang khawatir. Ia percaya penuh pada kepandaian membuat kapal Thio Sam, sebab kapal milik Coh Liu-hiang sendiri juga buatan Thio Sam.

Di haluan kapal Thio Sam tampak ada sebuah anglo, di samping anglo terdapat belasan kaleng besar dan kecil, kaleng-kaleng itu berisi macam-macam rempah dan bumbu masak. Api anglo tidak berkobar, hanya merah menganga saja dan Thio Sam sedang memegang sebuah garpu dengan seekor ikan sembari memanggang ikan terkadang ia gunakan pula sebuah sikat kecil untuk mengusapkan bumbu di atas ikan.

Seluruh perhatian Thio Sam seakan-akan dicurahkan pada ikan panggangnya, sama sekali ia tak pedulikan datangnya Liu-hiang bertiga.

Di waktu memanggang ikan, biarpun langit ambruk juga tak dipedulikan olehnya, urusan apapun yang terjadi baru akan dibicarakannya setelah selesai memanggang ikan.

Sering dikatakannya, "Setiap orang dapat memanggang ikan, tapi panggang ikanku jauh lebih Iezat daripada orang lain, sebabnya cara kupanggang ikan lebih tekun daripada orang lain. Ketekunan, inilah kunci utama caraku memanggang ikan."

Coh Liu-hiang mengakui kebenaran resep Thio Sam itu. ia anggap orang lain harus belajar meniru ketekunan Thio Sam ini dalam pekerjaan apapun juga.

Bau sedap semakin menusuk hidung. Oh Thi-hoa tidak tahan lagi, ia berkata. "Kukira ikan yang kau panggang ini sudah cukup masak."

Tapi Thio Sam tidak menggubrisnya.

"Apakah takkan hangus kalau dipanggang lebih lama lagi?" kata Oh Thi-hoa pula.

Thio Sam menghela napas, ucapnva. 'Karena gangguanmu ini, perhatianku jadi terpencar, rasa ikan ini pasti kurang sedap, biar kuberikan padamu saja." Berbareng ia terus menyodorkan ikan panggang itu pada Oh Thi-hoa sambil bergumam, "Orang yang kurang sabar mana bisa mendapatkan makanan enak."

Oh Thi-hoa tertawa, katanya, "Tapi orang tidak sabar sedikitnya masih bisa makan daripada cuma berdiri mengiler."

Dia benar-benar tidak sungkan, segera ia duduk bersila dan menggerogoti ikan panggang itu.

Baru sekarang Thio Sam berbangkit menyapa tetamunya.

Katanya dengan tertawa. "Sahabat ini hampir kuseruduk jatuh ketika mandi tadi seharusnya ikan panggangku kusuguhkan dia lebih dahulu... Eh, mengapa tidak diperkenalkan diriku."

"Namaku Kau Cu-tiang, aku tidak makan ikan, bila melihat ikan, perutku lantas kenyang," kata si jangkung.

Thio Sam melengak, serunya dengan tertawa, "Bagus, bagus. cara bicara sahabat ini sungguh menyenangkan. Tapi orang yang tidak makan ikan, kan juga tidak perlu dihukum berdiri... Hayolah, silakan duduk! Kapalku ini meski sudah bobrok, tapi tercuci bersih. pasti tidak berbau amisnya ikan."

Dia memang tidak menyediakan kursi atau bangku, siapa pun bila berkunjung ke kapalnya terpaksa duduk di geladak.

Lebih dulu Kau Cu-tiang menaruh kopernya. lalu ia duduk di atas kopernya.

Thio Sam melototi kopernya itu. Waktu kopernya ditaruh, seluruh kapal layar ini terasa bergoyang, suatu tanda bobot koper itu tidak kepalang tanggung.

"Bukannya takut kotor, soalnya kakiku terlalu panjang, tidak leluasa untuk duduk bersila di lantai," kata Kau Cu-tiang dengan tertawa.

Thio Sam seperti tidak tahu apa yang dikatakan tamunya ini.

Dengan tertawa Kau Cu-tiang lantas berkata pula, "Tentu kau sedang menerka apa isi koperku ini, tapi selamanya kau tak bisa menebaknya."

Tampaknya Thio Sam menjadi rikuh, dengan tertawa ia berkata, "Kutahu isi kopermu pasti bukan ikan."

Gemerdep sinar mata Kau Cu-tiang, katanya pula, "Jika kau suka, akan kuberi kesempatan menebak tiga kali, bila berhasil kau tebak, koper ini akan kuberikan kepadamu."

"Aku bukan malaikat dewata, mana bisa menebaknya dengan jitu?" ujar THio Sam. Walau pun demikian ucapannya, tidak urung ia menebak juga, katanya, "Benda yang mempunyai bobot paling berat kan emas?"

"Bukan," jawab Kau Cu-tiang menggeleng. Ia tertawa, lalu menyambung pula, "Sekalipun emas yang ada du dunia ini disodorkan ke depanku juga takkan kutukarkan koper ini padanya."

Terbeliak mata Thio Sam. Masa begini tinggi nilai kopermu ini?" tanyanya.

Dalam pandangan orang lain mungkin koperku ini tidak berharga satu peser pun, tapi bagiku lebih berharga daripada jiwaku sendiri."

"Wah, jika begitu aku harus mengaku tak dapat menebaknya," kata Thio Sam dengan menyesal. Ia pandang lekat-lekat kenalan baru ini, lalu menyambung pula, "Benda berharga begini, tentunya tak sembarangan kau perlihatkan pada orang lain."

"Tapi lambat atau cepat pasti akan kau lihat kelak, jangan terburu-buru," ujar Kau Cu-tiang dengan tertawa. "Orang yang tidak sabar tentu tak bisa melihat barang baik."

***

Meski lambat proses memanggang ikan itu, tapi ikan masih terus dipanggang tanpa berhenti. Sementara itu tiga ekor ikan panggang sudah pindah ke perut Oh Thi-hoa. tapi dia masih belum puas, dengan mata melotot dia masih terus mengincar ikan panggang yang masih berada di atas anglo.

"Oh-heng." kata Kau Cu-tiang tiba-tiba, "Kan malam nanti masih ada perjamuan di Sam-ho-lau. apakah perut Oh-heng tidak perlu diberi sedikit tempat luang untuk persediaan nanti?"

"Dalam Hal makan enak agaknya kau belum tergolong ahli," ujar Oh Thi-hoa dengan tertawa, "Kau tahu, di dunia ini tiada santapan lain yang lebih lezat daripada ikan panggang buatan Thio sam. Apalagi perjamuan nanti juga belum pasti memuaskan seleraku. Bisa jadi dalam santapan nanti malam akan ditaruh racun, kan bisa konyol?"

Pada saat itulah mendadak Coh Liu-hiang berkata, "He, mengapa di dalam kaleng cuka ini ada kelabangnya, apakah kau pun ingin meracuni aku?"

Padahal mana ada kelabang di dalam kaleng?

Segera Oh Thi-hoa hendak menyanggahnya. tapi Coh Liu-hiang telah memberi tanda agar dia tutup mulut. lalu ia ambil kaleng cuka dan dibawa ke tepi kapal.

Tiada yang tahu apa yang dilakukan Coh Liu-hiang, tapi segera terlihat kaleng cuka itu dituangnya ke dalam sungai.

"Apakah sinting orang ini?" Belum lagi omelan Oh Thi-hoa ini tercetus dari mulutnya sekonyong-konyong air sungai yang semula tenang-tenang itu bergolak, seperti halnya ada seekor ikan besar sedang meronta di dalam air.

Menyusul tertampak sepotong pipa sebesar ibu jari mengambang ke permukaan air. Pipa ini terbuat dari logam campuran perak, sangat tipis, maka bisa terapung.

Baru sekarang Oh Thi-hoa paham duduk perkaranya, ucapnya dengan tertawa, "Ada orang mendengarkan di dalam air dengan menggunakan pipa ini."

Coh Liu-hiang mengangguk, ucapnya tertawa, "Untuk selanjutnya mungkin dia tak dapat mendengar apa-apa lagi."

Orang yang menyelam di bawah air memang tidak dapat mendengar sesuatu suara di atas hanya dengan memasang pipa buatan khusus pada telinganya dan dijulurkan ke permukaan air, maka suara di atas akan dapat ditangkapnya. Tapi orang itu sama sekali tidak menduga akan dituangi cuka dari atas. "Telinga dituangi cuka, rasanya tentu enak." ujar Oh Thi-hoa dengan tertawa. "Masih untung juga baginya, jika aku, yang kutuang pasti bubuk merica."

Kau Cu-tiang ikut berkata. "Kalau Hiangswe mengetahui ada orang mengintai di dalam sungai mengapa tidak kau bekuk saja untuk ditanyai siapa yang mengirimnya ke sini?"

"Kukira tiada gunanya menanyai dia," ujar Coh Liu-hiang.

"Biarpun tak tanya juga kutahu siapa yang mengirimnya ke mari."

"O, siapa?" tanya Kau Cu-tiang.

Belum lagi Coh Liu-hiang menjawab, tiba-tiba tertampak dua ekor kuda membedal cepat menyusur ke tepi sungai menuju ke sini. Kedua penunggangnya tampak sangat cekatan, kudanya juga pilihan. cuma mulut kuda kini sudah berbusa, jelas telah berlari cepat cukup lama dan jauh.

Waktu berlalu di samping kapal, kedua penunggang kuda itu seperti bicara apa-apa. Tapi Lantaran lari kuda terlalu cepat, sekejap saja sudah lewat belasan tombak jauhnya, maka, tak terdengar apa yang mereka bicarakan. Maklum, siapa pun tidak memiliki telinga setajam itu, kecuali satu orang.

Dengan sendirinya Oh Thi-hoa tahu siapa orang itu. Segera ia bertanya, "Kutu busuk tua, apa yang mereka katakan?"

"Yang berjenggot itu bilang, 'Apakah betul Pangcu berada di kapal itu?'. Lain kawannya menjawab, 'Ya, cepat sedikit pasti dapat menyusulnya'. Si jenggot berkata pula, "Diharap....." "Diharap apa?" tanya Oh Thi-hoa. "Sayang. lanjutannya tak terdengar jelas olehku," jawab Coh Liu-hiang.

Oh Thi-hoa menggeleng kepala, katanya, "Ah, rupanya telingamu juga tidak terlalu tajam."

Namun begitu uraian Coh Liu-hiang itu sudah cukup membuat Kau Cu-tiang tercengang. Sungguh sukar dibayangkan cara bagaimana Coh Liu-hiang mampu mendengar percakapan kedua orang itu, bukan saja dapat mendengar percakapan mereka, bahkan dapat mengetahui yang mana berjenggot dan mana yang tidak, malah dapat membedakan siapa di antaranya yang berbicara. Sungguh hal ini membuat Kau Cu-tiang kagum dan takluk. Mendadak Coh Liu-hiang berkata pula, "Apakah kau tahu berasal darimanakah kedua orang itu?"

"Dengan sendirinya dari 'Cap-ji-lian-goan-oh',"kata Oh Thi-hoa dan Thio Sam berbareng tanpa berjanji. Kedua orang lantas saling pandang dengan tertawa. Lalu Oh Thi-hoa menyambung pula, "Yang aneh ialah Bu-lotoa mengapa juga datang ke sungai sini."

"Cap-ji-lian-goan-oh itu tempat macam apa?" tanya Kau Cu tiang.

"Cap-ji-lian-goan-oh (kode dua belas) adalah markas pusat Hong-bwe-pang," jawab Oh Thi-hoa.

"Hong-bwe-pang?" tanya Kau Cu-tiang pula,

"Ya." jawab Oh Thi-hoa. "Hong-bwe-pang (Klik ekor Hong) adalah gerombolan paling besar di wilayah Kangsoh dan Ciatkang. bersejarah lama, pengaruhnya hampir memadai Kay-pang, tindak-tanduknya juga serupa Kay-pang, tergolong baik."

"Dan siapa pula Bu-lotoa?" tanya Kau Cu-tiang.

"Bu-lotoa adalah Bu Wi-yang pentolan utama Hong-bwe-pang," jawab Oh Thi-hoa.

"Bukan saja ilmu silatnya sangat tinggi, jiwa orang she Bu ini pun tergolong baik. boleh dikata seorang lelaki sejati," demikian sambung Thio Sam. "Bila bertemu dengannya, tentu akan kujamu dia makan ikan panggang."

"Kau harus tahu, tidaklah mudah orang ingin makan ikan panggang buatan Thio Sam," kata Oh Thi-hoa pula dengan tertawa, "Misalnya In Ciong-liong dan Sam-liong-pang. sudah sekian tahun dia kepingin makan ikan panggang, malahan sudah pesan pada Thio Sam. berapapun harganya. tapi sebegitu jauh, tetap tak dapat mencicipinya."

"Sebenarnya In Ciong-liong juga bukan orang busuk," tutur Thio Sam. "Cuma saja dia mengira orang yang berkecimpung di Tiangkang seperti diriku ini juga harus tunduk pada perintahnya. Maka aku pun tidak mau menurut kehendaknya, biar dia hanya bisa memandang dan tak dapat memegang."

"Apakah Tiangkang sini wilayah operasi Sin-liong-pang?" tanya Kau Cu-tiang.

"Betul," sambung Thio Sam. "Sudah cukup lama Sin-Liong-pang bercokol di sepanjang Tiangkang. Siapa pun tidak berani berebut pangkalan dengan mereka. Justru lantaran dahulu Bu Wi-yang pernah mengadakan perjanjian dengan Sin-liong-pang, maka dia bersumpah takkan datang ke Tiangkang sini."

"Tapi sekarang dia sudah datang kemari, makanya kita merasa heran," ujar Oh Thi-hoa.

"Tapi... tapi darimana pula kalian mengetahui kedua penunggang kuda tadi datang dari Cap-ji-lian-goan-oh?" tanya Kau Cu-tiang pula.

"Masa kau tidak melihat baju yang mereka pakai?" tanya Oh Thi-hoa.

"Ya, seperti berwarna hijau tua." jawab Kau Cu-tiang.

"Tapi orang berbaju hijau tua kan banyak juga."

"Ikat pinggang mereka berupa pintalan tujuh warna benang yang berbeda, tanda pengenal Hong-bwe-pang yang khas," tutur Oh Thi-hoa.

Kau Cu-tiang melenggong sejenak, setelah menghela napas gegetun barulah berkata lagi sambil menyengir. "Ehm. lihai juga pandangan kalian... "

"Berkecimpung di dunia Kangouw, bukan cuma mata saja harus cepat, telinga juga harus panjang," ujar Thio Sam dengan tak acuh. "Kalau cuma mengandalkan tingginya ilmu silat kukira tidak cukup....."

Pada saat inilah tiba-tiba terdengar pula suara derapan kuda, due ekor kuda berlari kembali menyusur tepi sangai yang dilaluinya tadi, tapi sekarang tanpa penunggang.

Kedua ekor kuda ini yang seekor kuda putih dan yang lain kuda belang. sampai Kau Cu-tiang juga ingat kedua ekor kuda inilah yang lewat tadi. Kini kudanya berlari kembali dari sana. tapi penunggangnya sudah lenyap?

Sekonyong-konyong Kau Cu-tiang meloncat tinggi ke atas dari haluan kapal sekali melayang, dengan enteng dia hinggap di atas pelana kuda putih. Tangannya masih juga menjinjing koper kulitnya yang berwarna hitam itu.

Berbareng terdengar pula suara orang memuji, "Ginkang yang hebat!"

Waktu ia berpaling, dilihatnya Oh Thi-hoa juga sudah berada di atas kuda belang dan sedang memandangnya dengan tertawa. Lalu kedua orang berbareng menarik tali kendali menghentikan kedua ekor kuda yang sedang berlari itu.

Baru sekarang Coh Liu-hiang mendekati mereka dengan pelan, katanya tertawa. "Ginkang kalian berdua sama-sama tinggi, cuma Ginkang Kau-heng memang lebih tinggi setingkat."

"Betul," ujar Oh Thi-hoa dengan tertawa. "Dia menjinjing Sebuah koper yang berat. terang dia lebih hebat...."

Tapi sedikit pun Kau Cu-tiang tidak memperlihatkan sikap pongah cepat ia melompat turun dan berkata, "Kepandaian Hiangswe yang terpendam tentu juga sukar diukur. Suatu ketika hendaklah Sudi memperlihatkan sejurus dua untuk menambah pengalamanku."

"Hm, kau kira kepandaiannya sangat tinggi dan sengaja disimpan? ucap Oh Thi-hoa dengan tertawa. "Supaya kau tahu. dasarnya dia memang pemalas. Kalau boleh berbaring, dia pasti tidak duduk. Kalau boleh berjalan. dia pasti tidak mau lari."

"Kalau boleh tutup mulut, pasti aku pun tidak mau bicara," sambung Coh Liu-hiang dengan tertawa.

Kau Cu-tiang berkedip-kedip, tiba-tiba ia bertanya, "Apakah Hiangswe tahu mengapa kedua ekor kuda ini lari kembali lagi ke sini dan ke mana perginya kedua penunggang tadi?"

"Kukira Kau-heng sudah bisa menduganya. mereka mungkin sudah terbunuh," jawab Coh Liu-hiang.

"Apa yang kalian lihat? Darimana mengetahui mereka sudah terbunuh?" tanya Oh Thi-hoa.

Kau Cu-tiang menunjuk pelana kuda putih. katanya, "Coba lihat, noda darah di sini belum lagi kering, jelas penunggangnya telah mengalami kemalangan."

Memang benar, pelana kuda itu berlepotan darah yang masih basah.

Oh Thi-hoa menghela napas gegetun, katanya, "Ai, cepat juga caramu belajar, hakikatnya kau seperti pengelana ulung."

"Aku dapat melihat noda darah ini karena kebetulan berdiri di sebelah sini, tapi hanya sekejap saja sambil bicara Hiangswe juga sudah mengetahuinya," ujar Cu-tiang.

Coh Liu-hiang termenung sejenak, lalu katanya, "Anak buah Bu Wi-yang tiada yang lemah. Kalau kepandaian menunggang kuda kedua orang ini sangat hebat, tentu ilmu silat mereka juga tidak lemah. Tapi mereka baru saja lewat sini, hanya sekejap saja mereka sudah terbunuh...."

"Akan kuperiksa apakah jenazah mereka masih dapat ditemukan atau tidak...." sambil berseru Oh Thi-hoa terus melarikan kuda belang ke depan.

"Umpama mayat mereka dapat ditemukan, lalu mau apa?" ujar Kau Cu-tiang.

"Kalau mayat mereka dapat ditemukan, tentu kita dapat menyelidiki apa yang menyebabkan kematian mereka? Terluka oleh senjata apa? Mungkin dapat pula diduga siapa yang membunuh mereka," kata Coh Liu-hiang.

Kau Cu-tiang termenung sejenak, lalu katanya, "Agaknya terlalu banyak yang masih harus kupelajari..."

Angin meniup kencang di lembah sungai, cuaca sudah mulai remang-remang.

Oh Thi-hoa membedal kudanya menyusuri tepi sungai, tapi tiada mayat yang dilihatnya, bahkan orang hidup juga tiada tampak seorang pun.

Perahu yang berlayar di sungai juga sangat sedikit.

"Belum ada setanakan nasi kedua ekor kuda ini lari kembali dari jurusan semula, jelas belum seberapa jauh yang ditempuhnya, jika penunggangnya diserang orang di tengah jalan, tak mungkin mayat mereka terbuang sejauh ini." Setelah ingat hal ini, segera Oh Thi-hoa memutar kudanya kembali ke arah tadi.

Tidak lama kemudian dilihatnya Coh Liu-hiang bertiga sedang berkerumun di tepi sungai sana, mayat kedua penunggang kuda itu jelas menggeletak di situ.

Oh Thi-hoa menjadi heran, sebelum melompat turun dari kudanya ia lantas berserru. "Busyet, kiranya kalian dapat menemukannya, kenapa aku tidak diberitahu hingga sia-sia kularikan kuda belang ini sekian jauhnya."

Coh Liu-hiang tertawa. katanya. "Sudah lama kau tidak menunggang kuda, kukira kauingin pelesir mumpung ada kesempatan, maka tak berani kuganggu kesenanganmu."

Terpaksa Oh Thi-hoa pura-pura tidak mendengar. segera bertanya pula. "Dimanakah kalian menemukan mayat mereka?" "Di sini," jawab Thio Sam. "Di sini? Mengapa aku tidak melihatnya?" "Kau sendiri bila habis membunuh orang, apakah mayatnya akan kau tinggalkan di tepi jalan dan dipertontonkan kepada orang?" tanya Thio Sam dengan tertawa. Ia menggeleng-geleng, lalu bergumam. "Sungguh tak tersangka. orang yang sudah hidup lebih 30 tahun masih juga ceroboh... "

Seketika Oh Thi-hoa berteriak. "Sialan. kau ini kutu busuk macam apa, kaupun berani menyentil diriku? Lain kali bila kau curi mutiara lagi, mustahil aku sudi menutupi perbuatanmu!"

Dia baru diolok-dak Coh Liu-hiang dan lagi mendongkol, kebetulan Thio Sam dapat dijadikan pelampiasan.

Kau Cu-tiang tidak tahu hubungan karib mereka, ia pun tidak kenal sifat mereka yang suka ribut mulut itu tidak lebih hanya sekedar megendurkan urat syaraf yang tegang saja, maka cepat ia berusaha melerai. "Sudahlah. biar kujelaskan. Mayat kedua orang itu ditemukan di dalam air."

"Oo?" Oh-Thi-hoa bersuara singkat. Padahal ia pun sudah tahu kedua sosok mayat itu masih basah kuyup, jelas mayat itu tadi dilempar pembunuhnya ke dalam sungai.

Kau Cu-tiang lantas menyambung pula, "Pembunuhnya telah mengisi baju mereka dengan batu dan pasir sehingga sekali tenggelam mayat-mayat ini tak dapat mengapung lagi. Syukur Hiangswe dapat melihat noda darah di sini, kalau tidak, tentu tak dapat menemukannya."

"Jika demikian, jadi kepandaian si kutu busuk tua ini sangat hebat, begitu bukan?" ucap Oh Thi-hoa dengan tawar.

"Kecermatan Hiangswe memang sukar ditandingi siapa pun juga," ujar Kau Cu-tiang.

"Dan kau pasti sangat kagum padanya, bukan?" tanya Oh Thi-hoa pula.

"Ya, kagum luar biasa, kagum lahir batin," jawab Kau Cu-tiang.

"Kau ingin belajar padanya?" tanva Oh Thi-hoa. "Semoga demikian hendaknya," jawab Kau Cu-tiang.

"Aneh. belajar pada orang lain kan masih banyak, mengapa mesti belajar padanya?" ucap Oh Thi-hoa dengan gegetun.

Maka tertawalah Kau Cu-tiang dan tidak bicara lagi.

Mendadak tertampak sejalur api warna hijau menjulang tinggi di angkasa, lalu lenyap ditelan keremangan senja.

Waktu itu hari belum lagi gelap seluruhnya sehingga bunga api itu tidak terlalu jelas terlihat, namun air muka Kan Cu-tiang lantas berubah, mendadak ia memberi hormat dan berkata, "Aku masih ada urusan lain dan harus pergi dulu. Hiangswe, Oh-heng, sampai bertemu di Sam-ho-lau nanti."

Belum habis ucapannya, ia melangkah pergi. Tampak kakinya yang panjang cuma melangkah beberapa kali, tahu-tahu sudah belasan tombak jauhnya, sekejap saja lenyap di kejauhan.

Selang sejenak Thio Sam menghela napas panjang dan berkata, "Bicara sejujurnya, Ginkang orang ini memang hebat."

"Memang betul." kata Coh Liu-hiang.

"Dan gaya Ginkangnya itu. berbeda dengan Ginkang berbagai aliran di dataran tengah kita ini," kata Thio Sam pula.

"Ya, memang rada berbeda," kata Coh Liu-hiang.

"Sebelum ini apakah pernah kau lihat gaya Ginkang ini?" tanya Thio Sam.

"Tidak," jawab Coh Liu-hiang sambil menggeleng dengan tersenyum. "Kungfu yang masih belum kulihat masih banyak...." Mendadak Oh Thi-hoa menyela, "Kulihat bukan saja Ginkangnya yang hebat, Kungfunya menjilat pantat juga lihai."

"Oo?" Coh Liu-hiang bersuara bingung.

"Memangnya kau kira dia benar-benar kagum padamu?" tanya Oh Thi-hoa lalu ia mendengus dan menyambung pula. "Hm, dia sengaja berlagak tidak paham apa-apa, sengaja menjilat dan mengumpak dirimu, kuyakin dia pasti punya maksud tujuan tertentu, untuk ini kukira kau harus hati-hati sedikit."

Coh Liu-hiang tertawa, katanya. "Bisa jadi dia memang benar-benar kagum padaku, kenapa kau jadi cemburu?"

"Hm," jengek Oh Thi-hoa. "Manusia memang suka diumpak, bila tidak mau mendengar nasihatku, kelak kau bisa terperangkap. Nah, baru tahu rasa dan jangan menyalahkan diriku."

"Kalau menyalahkan dirimu alasannya juga cuma dia tidak mau menjilatmu makanya setiap tindak-tanduknya tidak cocok bagi pandanganmu."

Thio Sam juga tertawa, tapi lantas berkata dengan mengerut kening, "Tapi menurut pandanganku, tingkah laku orang ini memang juga rada mencurigakan. Entah apa isi kopernya yang aneh itu, paling sedikit mestinya kau tanya asal-usulnya."

"Untuk ini kukira kita tak perlu repot, tentu ada orang lain yang akan menanyai dia," ujar Coh Liu-hiang dengan tak acuh.

"Siapa?" tanya Thio Sam.

"Ting Hong," jawab Coh Liu-hiang.

"Tapi kalau malam nanti dia tidak ikut hadir di Sam-ho-lau. lalu bagaimana?" tanya Oh Thi-hoa.

"Perutnya kan belum ditangsal sepotong Ikan panggang, masa kesempatan enak akan disia-siakan?" ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.

Oh Thi-hoa memandang mayat yang menggeletak itu. tanyanya kemudian, "Apa kau temukan luka yang menyebabkan kematian mereka?"

"Ya, luka di rusuk kiri," tutur Coh Liu-hiang.

Waktu Oh Thi-hoa mengangkat mayat itu, benar juga didapati luka di bagian rusuk kiri masing-masing sebesar mata uang, darah sudah berhenti, luka itu berwarna pucat karena terendam oleh air sungai. Tampaknya sangat dalam lukanya.

"Ini luka panah," kata Oh Thi-hoa.

"Ehhmm " Coh Liu-hiang.

"Aneh," kata Oh Thi-hoa. "Mereka datang dari arah barat ke timur dan berjalan menyusur pantai, tapi lukanya bisa terletak di rusuk kiri, jangan-jangan panah ini dilepaskan dari kapal yang berada di sungai?"

"Ehm," kembali Coh Liu-hiang mengangguk.

"Perairan tepi sungai ini sangat cetek, sedikitnya belasan tombak dari tepian, baru kapal dapat berlayar," kata Oh Thi-hoa.

"Ya, sedikitnya harus 20 tombak lebih," tukas Thio Sam.

"Orang itu dapat membidikkan anak panah dan jarak 20 tombak dan sekaligus menembus rusuk dan merenggut nyawa mereka, tenaga penyerang ini jarang terlihat," ujar Oh Thi-hoa.

"Ya, memang jarang," kata Coh Liu-hiang.

"Dari luka mereka ini, jelas anak panah yang digunakannya adalah ukuran besar, bobotnya juga berat, maka busur yang digunakan pasti juga busur yang kuat."

"Ya, padahal jarang ada orang yang mempunyai tenaga mementang busur ukuran besar begitu." kata Coh Liu-hiang.

"Seumpama ada. tentu juga tidak dapat membidik dengan jitu, dapat merenggut nyawa orang dalam jarak 20 tombak bagaikan sasarannya tidak mampu mengelak."

"Betul." kata Coh Liu-hiang.

Oh Thi-hoa menghela napas lega. katanya. "Jika demikian, kan urusannya menjadi sangat gamblang?"

"Gamblang?" Coh Liu-hiang menegas. "Tidak kurasakan malah....."

"Masa tak dapat kau terka siapa orang itu?"

"Tidak," jawab Coh Liu-hiang.

Wajah Oh Thi-hoa menampilkan rasa senang karena ada kalanya Coh Liu-hiang juga tidak tahu sesuatu.

Segera ia berkata pula, "Siapa lagi kalau bukan Bu Wi-yang?"

"Maksudmu Bu-lotoa, Bu Wi-yang yang membunuh mereka?" tanya Coh Liu-hiang sambil mengerut kening.

"Betul." kata Oh Thi-hoa sambil mengelus hidung. "Betapa kuat tenaga Bu Wi-yang. cukup diketahui setiap orang persilatan. Busur yang dia gunakan juga ukuran besar, anak panahnya juga bernama Hong-bwe-ci (panah ekor Hong) hampir tidak pernah meleset. Dahulu waktu pertarungan dengan Sin-liong-pang. meski kalah lima babak, tapi ke-13 anak panah Bu Wi-yang dengan tepat telah merontokkan panji komando yang terpancang di tiang Layar kapal Sin-liong-pang sehingga membuat orang Sin-liong-pang merasa jeri. Kalau tidak. setelah mendapatkan kemenangan mana In Ciong-liong mau mengadakan perjanjian tidak saling menyerang lagi dengannya?"

Ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula dengan tertawa, "Peristiwa ini adalah kebanggaan Bu Wi-yang dan berita besar yang menggemparkan Kangouw waktu itu. masa kau lupa?" "Lupa sih tidak," jawab Coh Liu-hiang.

"Kalau tidak lupa, mengapa tak terpikir olehmu bahwa kejadian ini adalah perbuatan Bu Wi-yang? Haha, tampaknya otakmu akhir-akhir ini bertambah tumpul."

Thio Sam melongo, tanpa terasa ia memuji. "Wah, selama dua tahun ini, tampaknya Siau Oh banyak bertambah pintar."

Tentu saja Oh Thi-hoa makin gembira, katanva pula. "Selain itu, Thio Sam tentu juga tahu Hong-bwe-ci vang digunakannya tak terlalu menyolok. maka setelah membunuh kedua orang ini, dia lantas mencabut anak panahnya serta menenggelamkan mayat korban, tujuannya supaya orang tidak menyangka pembunuhnya ialah dia."

"Ehm, benar juga," kata Thio Sam.

"Dalam kasus ini, hanya ada satu hal yang tak kupahami," ujar Oh Thi-hoa.

"O, hal apa?" tanya Thio Sam. "Jika kedua orang ini anak buahnya, mengapa dia memunuh mereka?" kata Oh Thi-hoa.

Thio Sam terdiam sejenak. ia melirik Coh Liu-hiang lalu berkata, "Apakah kau tahu apa sebabnya?"

"Aku tidak tahu apa-apa, yang kutahu cuma pembunuhnya pasti bukan Bu Wi-yang," kata Coh Liu-hiang.

"Habis siapa kalau bukan Bu Wi-yang?" teriak Oh Thi-hoa.

"Ai, mengapa otakmu sekarang lebih kaku dari sepotong kayu?"

"Tadi kedua orang ini membedal kudanya ke sana, tujuannya kan hendak menyusul Bu Wi-yang, betul tidak?" tanya Coh Liu-hiang.

"Betul," jawab Oh Thi-hoa. "Cuma sayang, mereka benar-benar dapat menyusulnya, kalau tidak mereka tentu takkan terbunuh oleh Bu Wi-yang."

"Jika benar mereka hendak menyusul Bu Wi-yang. setelah tersusul dan melihat Bu Wi-yang, tentunya mereka akan melompat turun untuk memberi hormat, betul tidak?"

"Betul," jawab Oh Thi-hoa.

"Bila mereka berdiri berhadapan cara bagaimana anak panah yang dilepaskan Bu Wi-yang bisa mengenai rusuk kiri mereka dari samping?" tanya Coh Liu-hiang.

Seketika Oh Thi-hoa melenggong dan tak bisa menjawab. rasa senangnya tadi segera lenyap tak berbekas.

"Bisa jadi anak panah yang dilepaskan Bu Wi-yang itu bisa membelok di tengah jalan," seru Thio Sam dengan tertawa.

Oh Thi-hoa melototinya dengan gegetun.

"Pula sudah 20 tahun lebih Bu Wi-yang malang melintang di dunia persilatan. Dia tergolong orang Kangouw kawakan. Jika dia hendak melenyapkan mayat untuk menghilangkan bukti kenapa mayatnya dapat kita temukan?" tanya Coh Liu-hiang pula.

"Hahaha, mungkin dia sedang mabuk," ujar Thio Sam dengan tertawa.

"Lalu apa lagi?" tanya Oh Thi-hoa dengan mendongkol.

"Masih ada," kata Coh Liu-hiang. "Kedua ekor kuda ini tadi kan berlari kencang ke sana, bilamana kedua penunggangnya terluka dan terguling, seharusnya kedua ekor kuda itu tetap membedal ke depan, mengapa bisa memutar balik ke sini?"

"Bisa jadi kuda-kuda ini tidak makan rumput, tapi kepingin makan ikan panggangku." kata Thio Sam dengan tertawa.

Seketika Oh Thi-hoa berjingkrak sambil meraung, "Baik. kalian semua lebih pintar daripada aku. Nah, silakan kalian menjelaskan bagaimana perkara yang sebenarnya?"

"Orang yang membidikkan panah pasti bersembunyi di tepi sungai." tutur Coh Liu-hiang- "Karena kedua orang ini membedal kuda dengan kencang tanpa menghiraukan apapun, maka secara mendadak mereka kena terpanah di rusuk kirinya." "Hmk," jengek Oh Thi-hoa.

"Meski panah yang digunakan penyerang itu ukuran besar, tapi belum tentu memakai busur besar. Sebab jarak di antara mereka hakikatnya tiada 20 tombak sebagaimana kita sangka tadi."

"Bukan saja tidak ada 20 tombak, bisa jadi 2 tombak saja tidak ada," sela Thio Sam. "Dalam jarak cuma dua tombak, panah yang kubidikkan pasti akan kena sasarannya dengan jitu."

"Dia berbuat begini, tujuannya supaya kita mengira Bu Wi-yang yang melakukan pembunuhan, maka dia sengaja meninggalkan noda darah di tepi sungai agar dengan mudah dapat kita temukan mayat kedua orang ini," tutur Coh Liu-hiang pula.

"Malahan dia khawatir kita takkan mencari ke sini, maka sengaja melepaskan kedua ekor kuda ini ke arah semula, malah sengaja pula meningga'kan darah di atas pelana, betul tidak?" tanya Thio Sam.

"Betul. padahal rusuk kiri orang itu terkena panah. mengapa darah bisa tercecer ke atas pelana?" ujar Coh Liu-hiang. Maka Oh Thi-hoa tidak dapat bersuara lagi.

"Tapi dalam hal ini masih ada sesuatu yang tak daPat kumengerti," kata Thio Sam.

"Hal mana?" tanya Coh Liu-hiang. "Dengan membunuh kedua orang ini, sebenarnya setan pun tidak tahu, apalagi manusia. Tapi apa sebabnya dia sengaja membikin kita mengetahui kejadian ini?"

Sedapatnya Oh Thi-hoa tutup mulut, tapi akhirnya tetap tidak tahan, timbrungnya mendadak, "Sebab, dia tahu kita telah

melihat lewatnya kedua orang ini dan khawatir kita mengusut."

"Boleh juga gagasanmu ini," ujar Thio Sam.

"Tapi seumpama benar mereka dibunuh oleh Bu Wi-yang. kejadian ini kan juga urusan Hong-bwe-pang sendiri, orang luar tidak berhak ikut campur, mengapa dia mesti memfitnah Bu Wi-yang?"

Kembali Oh Thi-hoa tidak sanggup bersuara lagi.

Dengan pelan Coh Liu-hiang bersuara. "Tindakan mereka ini sama sekali bukan khawatir akan pengusutan kita, juga bukan memfitnah Bu Wi-yang!"

"Habis. apa maksud tujuan mereka?" tanya Thio Sam. "Tujuannya agar kita mengira Bu Wi-yang masih hidup," kata Coh Liu-hiang.

Oh Thi-hoa saling pandang sekejap dengan Thio Sam, nyata mereka bingung apa maksud ucapan Coh Liu-hiang itu.

Maka Coh Liu-hiang menyambung. "Jika tidak keliru tebakanku, Bu Wi-yang sudah mati."

"Maksudmu Bu-lotoa telah dibunuh?" tanya Thio Sam.

"Betul," kata Coh Liu-hiang, "Cuma mereka belum ingin hal ini diketahui orang, bisa jadi masih ada muslihat lain. makanya mereka bertindak begini. Dan bila kita percaya kedua orang itu dibunuh oleh Bu Wi-yang, ini berarti Bu Wi-yang sendiri masih segar bugar. Bila kelak ada orang menanyakan Bu Wi-yang. tentu kita dapat menjadi saksi bahwa Bu Wi-yang pada saat kejadian ini masih hidup."

Dia menghela napas gegetun. lalu menyambung pula. "Betapa licik dan licin perencanaan orang-orang ini sungguh menakutkan, tapi yang lebih menakutkan ialah sampai saat ini belum lagi diketahui apa sebetulnya maksud mereka."

Thio Sam melelet lidah, katanya dengan tertawa, "Untung malam ini aku tidak ikut diundang......"

***

Perlahan perahu layar itu mulai tenggelam. Dengan bertopang dagu, Thio Sam berjongkok di tepi sungai dan menyaksikan tamatnya perahu itu dengan sedih, hampir ia menangis.

Meski di dalam hati Oh Thi-hoa sangat berterima kasih, tapi di mulut sengaja dia mengoceh, "Kalau yang lama tidak dibuang, yang baru takkan datang. Perahu bobrok ini akhirnya tamat riwayatnya. tambah cepat kan tambah baik, kenapa kau sedih?"

Seketika Thio Sam berjingkrak gusar. teriaknya. "Bobrok katamu? Kau bilang kapalku itu bobrok? Memangnva kau mempunyai berapa biji kapal bobrok seperti ini?"

"Satu pun tidak punya," jawab Oh Thi-hoa dengan tertawa. "Seumpama punya tentu juga sudah kutenggelamkan sejak dulu- dulu agar tidak dongkol bila melihatnya."

"Hahaha, bagus, bagus," Thio Sam menengadah dan bergelak tertawa. "Jika demikian. kapal yang tidak bobrok milik tuan Oh kita sedikitnya ada sepuluh atau delapan buah, nah, silakan tuan Oh memberi ganti rugi sebuah padaku."

"Kapal memang seharusnya diganti, orang yang harus ganti rugi padamu tadi juga berada di sini, cuma sayang...." Ia melirik Coh Liu-hiang sekejap, Lalu menyambung pula. Cuma sayang, orang itu sudah dilepas oleh Hoa-hoa-kongcu (playboy) kita yang pengasih ini."

Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kulepas dia, kau sangat mendongkol, begitu bukan? Dan kalau tidak kulepas dia. lalu bagaimana? Apakah kau akan menggigitnya?"

"Betul juga," timbrung Thio Sam. "Kukira memang lebih baik melepaskan dia, kalau ditahan di sini, bukan mustahil hati tuan Oh kita akan tergoda lagi. Dan bila hati tuan Oh sudah lunak, bisa jadi beliau akan meraba kaki si nona, lain kalau lehernya diancam pedang, wah...." Ia menghela napas gegetun sambil menggeleng.

"Seumpama aku ingin menolong tuan Oh, tentu tiada perahu bobrok lagi yang dapat kutenggelamkan."

"Hahahaha...." Oh Thi-hoa bergelak tertawa. "Bagus, bagus, kalian berdua sengaja main pingpong, supaya aku menjadi gusar bukan? Hm. aku justru tidak marah sedikit pun. Sekali aku ditipu orang. tidak nanti aku tertipu untuk kedua kalinya."

"O. apakah tuan Oh kita baru sekali ini tertipu oleh perempuan?" kata Thio Sam.

Seketika Oh Thi-hoa tidak dapat omong lagi. Hidungnya terasa rada gatal, segera ia hendak meraba hidung lagi. Rupanya penyakit meraba hidung ala Coh Liu-hiang itu telah ditirunya dengan lebih bergaya daripada Coh Liu-hiang.

"Setahuku," demikian Thio Sam berucap pula. "Tuan Oh kita ditipu perempuan. andaikan tidak ada tiga ratus kali, paling sedikit juga ada seratus lima puluh kali. Setiap kali habis tertipu, beliau selalu bersumpah lain kali pasti takkan tertipu lagi. Tapi lain kali kalau melihat perempuan cantik toh tetap tertipu lagi. Coba. aneh tidak?"

"Kukira mungkin leluhurnya banyak hutang pada kaum wanita, maka keturunannya yang harus bayar utang," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa, "Cuma saja bicara sejujurnya. tertipunya sekali ini memang tak dapat menyalahkan dia."

"Oo," Thio Sam merasa bingung.

"Kau tahu apapun dapat dilakukan nona Kim," tutur Coh Liu-hiang. "Jika dia menerobos ke tempat mandi kaum lelaki. bahkan berjalan di depan umum dengan telanjang bulat. semua itu takkan kuherankan. Tapi, kalau bilang dia dapat menipu orang dengan akal licik, inilah yang sama sekali tak pernah kuduga."

Oh Thi-hoa menghela napas, gumamnya, "Meski si kutu busuk ini tak pernah bermulut bersih, tapi terkadang ia pu suka bicara jujur. Justru lantaran aku tidak pernah menyangka nona pemberang itu bisa menggunakan akal untuk menipu orang, makanya aku dapat terjebak."

"Beralasan juga," kata Thio Sam. "Tapi caranya menipu tadi apakah timbul dari pikiran nona itu sendiri?"

"Betul, kukira tindakannya tadi pasti bukan timbul dari pikirannya sendiri," kata Coh Liu-hiang.

"Ya, pasti dia didalangi orang lain," Oh Thi-hoa menambahkan. Bisa jadi dia juga diancam orang, kalau tidak...."

"Kalau tidak, pasti dia tak sampai hati menipu tuan Oh kita yang tersayang ini. begitu bukan?" tukas Thio Sam. Tanpa menunggu jawaban orang. segera ia menyambung lagi, "Tapi orang yang begitu pemberang seperti nona itu. masakah rela didalangi orang? Apalagi orang mengancamnya ?"

"Bukan mustahil ada sesuatu kelemahannya tergenggam di tangan orang." ujar Coh Liu-hiang setelah berpikir.

"Betul, orang yang mengancam pasti Ting Hong," kata Oh Thi-hoa.

"Tidakkah kau lihat bagaimana sikapnya ketika berhadapan dengan Ting Hong?"

"Juga belum tentu begitu," kata Thio Sam. "Bahwa dia mengalah terhadap Ting Hong, bisa jadi lantaran dia jatuh cinta padanya. Terhadap kekasih sendiri. biasanya perempuan memang suka mengalah, Kau tahu sendiri. Ting-kongcu itu kan gagah dan cakap, tutur katanya juga sopan, pintar ilmu silat maupun sastra. Jika aku jadi perempuan pasti juga akan jatuh hati padanya."

Oh Thi-hoa memandangi Thio Sam dengan terbelalak. mendadak ia berdiri dan menjura padanya. katanya. "Bolehkah kumohon sesuatu padamu?"

Thio Sam jadi melengak. jawabnya. "Apa yang kau inginkan? Minta diberi ikan panggang lagi?"

Oh Thi-hoa menghela napas, katanya. "Kumohon dengan sangat jangan lagi kau bikin marah aku, aku tak tahan lagi. Nanti kalau aku sudah kaya, pasti akan kuganti sebuah kapal baru padamu, kujamin pasti sama bobroknya dengan kapalmu itu."

Thio Sam jadi tertawa geli. gumamnya, "Semula ucapan ucapan orang ini masih wajar, tapi kemudian ucapannya menjadi melantur pula...."

Sejenak kemudian ia menyambung pula, "Tapi kalau kalian menganggap dia mendapatkan ancaman dari Ting Hong, hal ini juga masuk akal. cuma saja, yang dikehendaki Ting Hong adalah jiwa Coh Liu-hiang, mengapa si nona disuruh memaksa Coh Liu-hiang mencuri Giok-hoan-tho?"

"Masa kau tidak paham?" tanya Oh Thi-hoa. "Ini namanya akal pinjam golok untuk membunuh orang."

"Pinjam golok untuk membunuh orang?" ulang Thio Sam.

"Betul," kata Oh Thi-hoa. "Sebab Ting Hong tahu. kutu busuk tua ini bukan lawan empuk. maka menyuruhnya mencuri Giok-hoan-tho. Kau tahu Kek-lok-kiong bukanlah tempat yang boleh dijelajahi orang sesuka hati. Jika kutu busuk ini pergi ke sana. bisakah dia pulang ke sini?"

"Aha. betul tak tersangka mendadak kau berubah menjadi pintar!" seru Thio Sam.

"Dan apalagi?" tanya Coh Liu-hiang.

***

"Apalagi bagaimana?" Oh Thi-hoa menjadi bingung.

"Yang digunakan Ting Hong adalah akal berganda, di antara satu akal masih disambung akal yang lain, masa orang pintar semacam kau tak dapat melihatnya?" kata Coh Liu-hiang. "Masih ada akal lagi? Akal apa?" tanya Oh Thi-hoa. "Yaitu akal kedelapan belas di antara ketiga puluh enam akal. namanya Tiau-hou-li-san (memancing harimau meninggalkan sarang)," tutur Coh Liu-hiang.

"Tiau-hou-li-san?" tukas Oh Thi-hoa sambil mengernyitkan kening.

"Betul," kata Coh Liu-hiang, "Kuyakin pasti ada sesuatu urusan yang akan dikerjakannya di sini. lantaran khawatir kita merintangi urusannya, maka hendak disingkirkan jauh ke Kek-lok-kiong di barat sana, seumpama kepergianku ini bisa kembali. paling sedikit juga memerlukan waktu setengah bulan lebih."

Oh Thi-hoa terdiam sejenak, katanya sambil menggeleng, "Tampaknya hanya orang seperti kau ini baru dapat mengetahui tipu muslihat Ting Hong, aku memang selisih jauh soal urusan licik dan licin begini, bukan saja tak dapat kulakukan, bahkan memikirkannya saja tak dapat."

"Tapi kepandaianmu memaki orang lumayan juga, memaki orang sama sekali tak kau gunakan satu kata kotor pun," ujar Coh Liu-hiang.

"Ini kan kupelajari darimu, masa lupa?" jawab Oh Thi-hoa

"Wah, bicara kian kemari, tampaknya Ting Hong memang tokoh yang hebat," kata Thio Sam.

"Hebat apanya?" jengek Oh Thi-hoa.

"Coba pikir dia dapat memperhitungkan kalian pasti tidak menaruh prasangka apa-apa terhadap Kim Leng-ci, maka nona itu disuruhnya melakukan kejadian tadi, melulu hal ini saja sudah luar biasa."

"Namun betapapun jitu perhitungannya, toh tetap kebocoran sesuatu," kata Coh Liu-hiang.

"Dalam hal apa?" tanya Thio Sam.

"Dia lupa bahwa Kim Leng-ci bukan nona yang dapat bertindak demikian, dalam keadaan bagaimana pun, tentu akan timbul sifat garangnya sebagai puteri pujaan, kalau tidak. masakah dia dapat memaksa kau terjun mandi di sungai?"

00ooo00

Malam sudah tiba. Sudah tiba pula waktunya perjamuan di Sam-ho-lau.

Sam-ho-lau sesuai namanya. dengan sendirinya terdapat 'Lau' atau 'Lauteng' (loteng).

Di atas loteng restoran itu, ada sebuah ruangan mewah. ruangan VIP, begitulah menurut istilah sekarang. walaupun tidak terlalu luas ruangan ini, tapi terdapat sebuah meja besar. Dan di sinilah perjamuan Hay Khoa-thian diadakan.

Waktu Oh Thi-hoa masuk ke ruangan VIP. orang pertama yang dilihatnya ialah Kim Leng-ci. Nona ini ternyata hadir juga.

Waktu bertemu di Siau-yau-ti. yaitu di tempat mandi uap, si nona kelihatan seperti perempuan bawel dan judas, bahkan rada latah. Waktu bertemu lagi di kapal Thio Sam, si nona berubah memelas, seperti anak domba yang harus dikasihani, tapi sekejap berubah menjadi seperti seekor serigala atau harimau.

Dan sekarang, kembali si nona telah berubah. Kini dia mengenakan baju yang berkualitas tinggi, warnanya tidak terlalu mencolok. kepala memakai hiasan mutiara dan batu permata, walaupun tidak banyak. tapi juga tidak sedikit.

Dengan sopan dan tenang, Kim Leng-ci duduk di situ, tidak menyolok. tapi juga tidak kurang menariknya. Memang seharusnya beginilah bentuk seorang puteri keluarga terhormat.

Diam-diam Oh Thi-hoa menghela napas gegetun. pikirnya, "Perempuan seperti hawa di musim rendeng, orang yang mengemukakan pendapat ini benar-benar jenius. pemikir ulung."

Yang mengagumkan adalah ketika melihat Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang, sama sekali Kim Leng-ci tidak memperlihatkan sesuatu tanda apapun, seolah tak pernah terjadi apa-apa, seakan-akan orang yang tadi sembunyi di kapal Thio Sam itu bukan dia.

Kembali Oh Thi-hoa menghela napas gegetun. pikirnya. "Jika aku menjadi dia dan dia menjadi aku. bila aku lihatnya, tentu mukaku sudah merah dan sembunyi ke kolong meja. Ditinjau dan hal ini, tampaknya kulit muka perempuan jauh lebih tebal daripada lelaki."

Dia tidak tahu, apabila kulit muka perempuan dikatakan lebih tebal daripada kulit muka lelaki, soalnya lantaran muka perempuan dibubuhi satu lapis pupur, sekalipun mukanya merah juga sukar dilihat.

Orang pun suka bilang, semakin lanjut usia seorang perempuan, semakin tebal pula kulit mukanya (artinya semakin tak tahu malu). Padahal yang benar adalah karena usia perempuan semakin banyak, bedak yang dipakainya juga semakin tebal.

00ooo00

Tempat duduk di sisi kiri Kim Leng-ci masih kosong, jelas khusus disediakan untuk Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa. Di meja perjamuan, kedua tempat ini adalah tempat tuama bagi tamu yang paling terhormat.

Tapi Oh Thi-hoa lebih suka duduk di lantai daripada di tempat yang disediakan itu. Maklum, ia belum lupa kejadian tadi. kalau leher diancam ujung pedang. betapa pun hal ini bukan kejadian yang menyenangkan. Apalagi bagian lehernya sampai sekarang masih terasa sakit.

Di sisi kanan Kim Leng-ci berduduk seorang tua berjubah sulam, wajahnya tampak keren. rambutbya beruban, tapi sorot matanya tajam dan berwibawa.

Setiap orang dapat menduga asal-usul orang tua ini pasti tidak sembarangan, yang menggembirakan ialah sikapnya tidak angkuh. demi melihat kedatangan Oh thi-hoa berdua. dia berdiri menyambut dengan mengulum senyum.

Cepat Oh Thi-hoa balas menghormat dengan tersenyum.

Ini namanya belajar busuk mudah, belajar baik sukar," ujar Thio Sam tertawa. "Apalagi kepandaiannya suka memikat perempuan memang tidak ingin kupelajari, aku cuma ingin belajar bagaimana cara membikin dongkol kau, bila dapat membuatmu kheki setengah mati, maka puaslah rasa hatiku."

Tiba-tiba Coh Liu-hiang berkata, "Jika ada orang di sebelah juga mencuri dengar pembicaraan kita, inilah baru menarik. Dia pasti mengira aku mengurung dua ekor anjing gila di dalam kamar dan sekarang sedang terjadi anjing menggigit anjing."

"Jika aku ini anjing gila, lalu kau sendiri apa? Srigala?" jawab Oh Thi-hoa.

"Kukira srigala juga lebih baik daripada anjing gila, srigala paling-paling juga cuma menggigit perempuan, kalau anjing gila menggigit setiap orang, baik perempuan maupun lelaki tanpa pandang bulu," kata Thio Sam.

Selagi Oh Thi-hoa mendelik dan hendak mendamprat, sekonyong-konyong ada orang bersuara di luar pintu,"He, apakah di dalam kamar kalian ada srigala dan juga anjing? Ai, kan aneh, padahal sebelumnya kamar sudah kusuruh bersihkan."
Jelas itu suara Hay Koa-thian.

Coh Liu-hiang memberi isyarat kepada Oh Thi-hoa dan Thio Sam, habis itu barulah dia membuka pintu dengan tertawa, "Eh, kiranya Hay-pangcu belum tidur?"

Hay Koa-thian tidak menjawab, tapi lantas ia melongok ke dalam kamar, lalu bergumam, "Mana srigalanya? Dan mana anjingnya? Mengapa tidak kelihatan?"

Coh Liu-hiang tak tahu apakah orang memang bodoh atau pura-pura bodoh, dengan tertawa ia menjawab, "Kalau Hay-pangcu sudah datang, biarpun gerombolan srigala juga akan lari terbirit-birit."

Hay Koa-thian tertawa, cuma sekarang tampaknya dia sedang menanggung pikiran, air mukanya juga kurang cerah, walaupun tertawa, tapi tertawanya sangat dipaksakan, pula sinar matanya tampak gemerdap dan berulang-ulang celingikan kian kemari, tiba-tiba ia merapatkan pintu kamar dengan sikap gugup.

Sudah tentu Coh Liu-hiang menjadi rada bingung, ia tidak tahu orang hendak main gila apa, terpaksa ia mengikuti setiap gerak-gerik orang.
Setelah memasang palang pintu, barulah Hay Koa-thian menghela napas lega, desisnya kemudian, "Apakah ada sesuatu gerakan di kamar sebelah?"

"Tidak ada," jawab Oh Thi-hoa. "Sehabis makan minum kenyang, tentunya sudah tidur."

Hay Koa-thian tampak berpikir sejenak, lalu berkata pula dengan mengernyitkan dahi, "Coh-hiangswe sudah menjelajah setiap pelosok dunia, pergaulan juga sangat luas, entah sebelum ini apakah pernah melihat mereka?"

"Belum pernah," jawab Coh Liu-hiang.

"Coba silakan Hiangswe mengingatnya lagi...."

"Siapa pun juga, asalkan pernah kulihat satu kali, rasanya pasti takkan kulupakan," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.

Hay Koa-thian manggut-manggut, katanya dengan menyesal, "Soalnya bukan Cayhe suka curiga, tapi lantaran gerak-gerik kedua orang ini terlalu aneh, lebih-lebih si murid, tampaknya seperti tidak waras, tapi ilmu silatnya justru begitu tinggi, sebaliknya sang guru malahan kelihatan sangat lemah. Semula kukira mereka sengaja menyimpan kepandaian, tapi setelah kuteliti lagi, tampaknya juga tidak begitu."

"Betul, seumpama mereka pandai berpura-pura, masa bisa mengelabui mata orang banyak?" tukas Oh Thi-hoa.

"Ya, makanya menurut pendapatku, mereka pasti bukan guru dan murid." Kata Hay Koa-thian.

Habis apa hubungannya kalau bukan antar guru dan murid?" tanya Oh Thi-hoa.

"Kukira Pek-lak-cek pasti tokoh Bu-lim yang diundang Kongsun Jiat-ih untuk mengawalnya, demi mengelabui mata setiap orang, dia berlagak bodoh dan pura-pura jadi muridnya."

Coh Liu-hiang meraba hidung, katanya, "Maksu Hay-pangcu.... nama Pek-lak-cek itu juga nama palsu, begitu?"

"Nama Kongsun Jiat-ih pasti juga palsu," ucap Hay Koa-thian. "Orang ini pasti mempunyai kedudukan tinggi serta orang berada, kalau tidak mana mungkin dapat mengundang tokoh besar seperti Pek-lak-cek untuk melindunginya, pula.... mukanya pasti juga tidak aneh begitu, dia sengaja menyamar dengan wajah buruk, tujuannya agar orang lain merasa mual dan tidak memandangnya, dengan demikian kelemahan penyamarannya juga takkan ketahuan."

"Pandangan Hay-pangcu sungguh tajam, caramu menganalisa sangat jelas, sungguh mengagumkan," puji Coh Liu-hiang.

Pandangan Hay Koa-thian ternyata tidak banyak berbeda daripada pendapatnya, apa yang dikatakannya itu bukan umpakan belaka.

"Lalu apa maksud tujuan mereka datang kemari dengan susah payah begitu?" tanya Oh Thi-hoa.

"Ini memang sangat mencurigakan," kata Hay Koa-thian dengan tersenyum, tiba-tiba ia menahan suaranya dan menyambung pula dengan lirih, "Cayhe akan memperlihatkan sesuatu kepada kalian bertiga untuk bantu memecahkan persoalan ini."

"Barang apa? Tampaknya rahasia?" kata Oh Thi-hoa.

Belum lagi Hay Koa-thian menjawab, mendadak terdengar pintu diketuk orang. Air mukanya berubah seketika, cepat ia pasang kuping di daun pintu dan mendengarkan dengan cermat sampai lama sekali, barulah membuka pintu dengan pelan, lalu ia melongok keluar, kemudian desisnya, "Mari ikut aku, segera kalian akan jelas bila sudah melihatnya."

Di luar kamar kabin itu ada sebuah jalan lorong yang sempit, pada ujung lorong sana ada sebuah tangga kecil yang menembus ke dek bawah. Hay Koa-thian mendahului turun ke sana, jalannya sangat enteng dan sangat hati-hati seolah khawatir didengar orang.
Di bagian bawah adalah dek yang sepanjang tahun tak tertembus sinar matahar, gelap dan lembab, begitu menuruni tangga, sayup-sayup terdengar suara ngorok para kelasi yang sedang tidur nyenyak.

Ketujuh belas kelasi bergiliran bekerja tanpa membedakan siang dan malam, saking kecapaian, dengan sendirinya tidur mereka sangat lelap. Pada umumnya orang yang bekerja berat, bilamana sudah tertidur akan akan sukar untuk dibangunkan.
Gudang perbekalan terletak di kaki tangga, pintu gudang tergembok rapat, dua orang berjaga di situ dengan muka pucat dan siap memegang golok yang tergantung di pinggang, sorot mata mereka menampilkan rasa cemas dan khawatir.

Hay Koa-thian mendahului mendekati mereka dan menegur, "Sesudah kupergi, apakah ada orang lain datang ke mari?"

Kedua orang itu memberi hormat dan menjawab bersama, "Tidak ada."

"Baiklah, buka pintu!" kata Hay Koa-thian pula. "Tidak peduli siapa pun yang datang lagi, jangan diperbolehkan masuk kemari."

Setelah pintu terbuka, segera Hay Koa-thian mengendus semacam bau yang aneh, bau amis dan busuk, seperti bau ikan asin yang bacin, juga mirip bau sayur yang mulai layu, pula seperti bau mayat yang mulai membusuk.
Thio Sam mengerut kening, diliriknya kaki Oh Thi-hoa yang telanjang itu, dilihatnya pula sikap Hay Koa-thian yang misterius itu, dia juga lupa mengenakan sepatu waktu keluar.

"Apa yang kau lirik?" semprot Oh Thi-hoa dengan melotot. "Betapapun, kakiku tidak berbau sebusuk ini."

"Ini adalah bau khas yang cuma ada di gudang kapal," kata Hay Koa-thian dengan menyengir. "Tapi bahan makanan dan air minum tersimpan di gudang kecil di samping dapur sana."

Oh Thi-hoa menghela napas lega, katanya, "O syukurlah, kalau tidak, selanjutnya bisa jadi aku tidak berani makan nasi."

"Tapi arak kan tersimpan di sini, apakah selanjutnya kau pun tidak berani minum arak lagi?" tanya Thio Sam.

Di gudang memang bertumpuk macam-macam barang, diantaranya memang betul ada beberapa ratus guci arak. Di tengah gudang mestinya ada tempat luang, tetapi sekarang juga tertimbun sederet barang yang tertutup kain minyak.

Belum lagi Oh Thi-hoa menanggapi olok-olok Thio Sam tadi, mendadak Hay Koa-thian menyingkap kain minyak penutup itu dan berseru, "Coba kalian lihat, barang apakah ini?"
Ternyata yang ditutup itu adalah enam peti mati.

Oh Thi-hoa tertawa, katanya, "Sudah banyak peti mati yang kulihat, tapi Hay-pangcu sengaja mengundang kami ke sini, apakah juga cuma untuk melihat peti mati belaka?"

Dengan air muka prihatin Hay Koa-thian berkata, "Di kapal yang biasa berlayar, sebenarnya tidak nanti ada peti mati."

"Oo? Kenapa? Memangnya kapal berlayar tidak pernah mengubur kematian orang?" tanya Oh Thi-hoa.

"Orang yang hidup di lautan, umpama mati juga akan dikubur di dalam laut, hakikatnya tidak perlu pakai peti mati segala." kata Hay Koa-thian.

"Jika begitu, darimana datangnya beberapa peti mati ini?" tanya Oh Thi-hoa.

"Pertanyaan yang menarik, sebab memang tiada yang tahu darimana datangnya peti mati ini!" kata Hay Koa-thian.

"Masa tiada seorang pun yang melihat waktu keenam peti mati ini dimuat ke atas kapal?" tanya Oh Thi-hoa pula dengan melenggong.

"Ya, tidak ada, " jawab Hay Koa-thian dengan prihatin lalu ia menyambung pula, "Setiap kali sebelum berlayar, seperti biasa aku pasti mengadakan pemeriksaan segala apa yang perlu, sebab itulah ketika kalian masuk kamar, segera kudatang ke sini "

"Pada waktu itulah baru kau temukan keenam peti mati ini?" tanya Oh Thi-hoa.

"Ya, maka aku lantas menegur petugas gudang, tapi tiada yang tahu siapa pengirimnya, dan kapan peti mati ini diantar kesini. Dua orang pengurus gudang sudah cukup lama bekerja padaku, selama ini bekerja dengan jujur, tidak pernah berdusta."

"Jika bukan orang yang dapat dipercaya, tentu Pangcu takkan menyuruh mereka menjaga gudang," kata Coh Liu-hiang setelah berpikir sejenak.

"Memang betul," kata Hay Koa-thian.

"Seumpama betul peti mati ini dimuat ke kapal tanpa permisi, kukira juga tidak menjadi soal, melihat bahan kayu peti mati yang baik ini, sedikitnya dapat ditukarkan beberapa arak yang enak," ujar Oh Thi-hoa

"Dasar pemabuk asal buka mulut pasti tidak lupa menyebut arak, "omel Thio Sam. "Kenapa tidak kau pikirkan kapal penumpang Hay-pangcu ini apakah boleh didatangi orang sesuka hati, apalagi membawa enam peti mati di luar tahu siapa pun. Dan untuk apa dengan susah payah keenam peti mati ini diantar ke sini jika tiada tujuan tertentu."

"Coba katakan, apa tujuan mereka?" tanya Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang tampak sedang meraba hidung, mendadak bertanya, "Tahukah kau yang menumpang kapal ini bersama kita seluruhnya ada berapa orang?"

Sejak Oh Thi-hoa meniru caranya meraba hidung, sudah jarang Coh Liu-hiang meraba hidung lagi, tapi sekarang penyakit lama itu kambuh lagi, jelas dia sedang menghadapi sesuatu persoalan yang sangat sulit dipecahkan.

Setelah berpikir sejenak, Oh Thi-hoa menjawab, "Kau, aku, Thio Sam, Kim Leng-ci, Kau Cu-tiang, Ting Hong, Kongsun Jiat-ih, Pek-lak-cek, ditambah lagi Hay-pangcu dan Hiang Thian-hui, seluruhnya tepat sepuluh bulat."
Mendadak ia seperti ingat apa-apa, air mukanya rada berubah dan bergumam pula. "Sepuluh penumpang, tapi di sini hanya ada enam peti mati, apakah ini enam di antara kesepuluh orang akan matii di sini?"

"Tampaknya pengantar peti mati inipun berhati baik," kata Thio Sam. "Dia tahu kita dibesarkan di daratan, mati juga mesti ditanam dalam tanah, maka sengaja mengirimkan enam peti mati."
Ia melirik Hay Koa-thian sekejap, lalu menyambung, "Hay-pangcu dan Hiang Thian-hui adalah yang hidup di lautan, dengan sendirinya tidak perlu pakai peti mati."

"O, jadi maksudnya, di antara kita sepuluh orang, sedikit nya harus mati delapan orang, aku dan Hiang Thian-hui jelas pasti akan mati?" tukas Hay Koa-thian dengan rada cemas.

"Jika begitu, di antara kita bersepuluh, sedikitnya ada dua orang yang akan hidup, lalu siapa mereka?" tanya Oh Thi-hoa.

"Yang hidup, dengan sendirinya ialah pembunuh kedelapan orang yang lain," ucap Hay Koa-thian sekata demi sekata.

Thio Sam memandangi keenam peti mati itu dan bergumam, "Aku seperti melihat enam orang berbaring dalam peti."

"Enam orang siapa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Seorang ialah Coh Liu-hiang, yang kedua ialah Oh Thi-hoa, seorang lagi seperti perempuan...." Thio Sam bicara dengan lambat dan perlahan, sinar matanya menatap peti mati dengan lekat sehingga menimbulkan suasana seram.

Meski tahu orang hanya mengacau saja, tidak urung Oh Thi-hoa merinding juga, segera ia menambahkan, "Dan seorang lagi ialah kau sendiri, bukan?"

Thio Sam menghela napas panjang, katanya, "Betul, memang tidak salah, aku sendiri pun seperti rebah dalam peti mati, yang ini!"
Dia menuding ke depan, seketika jantung semua orang ikut berdetak keras, tanpa terasa Thio Sam ikut mengkirik.

Wajah Hay Koa-thian menjadi pucat, ucapnya dengan parau, "Siapa lagi yang dua orang? Dapatkah kau mengenalnya?"

"Wah, samar-samar, sukar dikenali," kata Thio Sam menyengir sambil mengusap keringat.

"'Apakah Hay-pangcu ada curiga Kongsun Jiat-ih dan Pek-Lak-cek adalah pembunuhnya?" tanya Coh Liu-hiang.

Hay Koa-thian diam saja tanpa menjawab. Gemerdap sinar mata Coh Liu-hiang, katanya, "Hubungan Ting-kongcu cukup erat dengan Hay-pangcu, kenapa Hay-pangcu tidak merundingkan hal ini dengannya?"

Hay Koa-thian termangu-mangu sejenak, akhirnya menghela napas panjang dan berkata, "Yang dilihat Thio-heng ini memang tidak salah, Cayhe juga merasa kalian bertiga dan nona Kim pasti bukan orang yang bermaksud jahat, makanya kudatang berunding dengan kalian."

"Masa Hay-pangcu juga menaruh curiga terhadap Ting-kongcu?" tanya Coh Liu-hiang.

Kembali Hay Koa-thian diam saja, butiran keringat dingin tampak menghiasi jidatnya.

Segera Coh Liu-hiang mendesak pula, "Tampaknya Hay-pangcu sudah cukup lama berhubungan dengan Ting-kongcu."

Hay Koa-thian tampak ragu-ragu untuk menjawab akhirnya ia mengangguk.

Terbeliak mata Coh Liu-hiang, segera ia mendesak lagi, "Jika demikian, seharusnya Hay-pangcu kenal baik asal-usul dan seluk-beluk Ting-kongcu?"
Kulit daging ujung mata Hay Koa-thian tampak kedutan, katanya, "Aku tidak mencurigai dia, cuma.... cuma ...." Kulit daging mulutnya juga mengejang hingga tak sanggup bicara lagi.

Oh Thi-hoa menjadi tak tahan, tanyanya, "Cuma apa?"

Hay Koa-thian seperti tidak mendengar apa yang dikatakan Oh Thi-hoa, ia memandang kesima ke depan, agak lama barulah ia berkata perlahan, "Entah mengapa, sejak In Ciong-liong, In-pangcu meninggal, sering aku merasa berdebar dan kedutan, inilah alamat tidak enak, seakan-akan ajalku sudah dekat."

Mata Coh Liu-hiang mencorong terang, tanyanya, "Kematian In-pangcu ada sangkut-paut apa dengan Hay-pang-cu?"

"Aku.... aku cuma merasa matinya rada-rada aneh," kata Hay Koa-thian.

"Aneh?" tukas Oh Thi-hoa dengan mengernyitkan dahi. "Apanya yang aneh?"

"Kita tahu Bu Wi-yang. Bu-pangcu berjuluk panah sakti, kemahirannya memanah boleh dikata tiada bandingan, tapi kalau bicara tentang ilmu silat sejati, rasanya tak seberapa lebih tinggi dari In-pangcu."

"Betul," sela Thio Sam. "Setahuku, ilmu silat mereka setingkat, hanya dalam hal main
panah Bu-pangcu memang lebih tinggi, sebaliknya In-pangcu lebih unggul di dalam air."

"Waktu di Sam-ho-lau semalam, ketika Bu-pangcu bertanding dengan In-pangcu, kalian berdua kan juga hadir di sana," tutur Hay Koa-thian pula dengan suara tertahan. "Pertarungan mereka hanya berlangsung sebentar saja, rasanya tidak lebih dari sepuluh gebrakan, lalu In-pangcu tewas di bawah pukulan Bu-pangcu.... Bukankah kematiannya itu sangat aneh dan juga terlalu cepat?"

Oh Thi-hoa termenung sambil melirik Coh Liu-hiang sekejap, lalu katanya. "Jangan-jangan Bu-pangcu juga serupa Kim Leng-ci, telah berhasil meyakinkan semacam ilmu silat yang sangat lihai?"

"Ya, memang bisa jadi demikian," jawab Coh Liu-hiang. "Namun Bu-pangcu sudah lanjut usia, sekalipun masih gagah dan kuat, jelas otot tulangnya tidak setangkas orang muda, daya ingatan juga sudah berkurang, kalau belajar ilmu juga tidak secepat orang muda, sebab itulah belajar ilmu apapun harus dimulai selagi muda." Dia menghela napas, lalu menyambung, "Dan inilah susahnya orang tua, siapa pun tak kuasa."

"Hal ini pun sudah pernah kupikirkan," kata Hay Koa-thian. "Aku pun anggap tidak mungkin mendadak Bu-pangcu berhasil meyakinkan semacam Kungfu maha lihai yang dapat membinasakan In-pangcu hanya dalam sepuluh jurus."

"Jika begitu, bagaimana duduk perkaranya menurut pendapatmu?" tanya Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang saling pandang sekejap dengan Hay Koa-thian, sinar mata kedua orang ini sama-sama menampilkan perasaan aneh, seakan kedua orang inimempunyai pikiran yang mengerikan, cuma tak berani diutarakan. Habis saling pandang, kedua orang pun bungkam.

Oh Thi-hoa berpikir sejenak, katanya, "In Ciong-liong dan Bu Wi-yang sudah sering saling labrak dan tidak cuma satu kali saja, dengan sendirinya tinggi rendah, dengan sendirinya tinggi rendah ilmu silat masing-masing cukup jelas bagi pihak lain.”

"Betul, mungkin tiada orang ketiga yang lebih jelas daripada mereka sendiri," tukas Thio Sam.

"Tapi malam kemarin waktu di Sam-ho-lau, sebelum mereka bergebrak, sikap dan gerak-gerik In Ciong-liong kelihatan sangat aneh," ujar Oh Thi-hoa.

"Aneh bagaimana?" tanya Thio Sam

"Sebelumnya dia seperti sudah tahu bilamana dia keluar pintu bersama Bu Wi-yang, maka untuk seterusnya takkan melangkah pulang lagi," tutur Oh Thi-hoa. "Apakah mungkin disebabkan dia tahu Kungfu Bu Wi-yang sekarang sudah lain daripada biasanya?"

"Kendatipun Bu Wi-yang sudah berhasil meyakinkan semacam Kungfu khas dan siap melayani In Ciong-liong, selayaknya ini kan dirahasiakan, lalu darimana In Ciong-liong bisa mengetahuinya?" tanya Thio Sam.

"Betul, mengapa pula In Ciong-liong merasa dirinya pasti akan mati? Jangan-jangan mendadak dia menemukan sesuatu rahasia?" ujar Oh Thi-hoa dengan mengerut kening. "Lalu rahasia apa yang ditemukannya itu?"
Mendadak ia ingat sesuatu, cepat ia berpaling dan tanya Coh Liu-hiang, "Waktu dia akan keluar bersama Bu Wi-yang, bukankah In Ciong-liong minta kau mewakilkannya minum satu cawan arak, ingat tidak?"

"Ehmm," Coh Liu-hiang mengangguk.

"Kukira kalau cuma satu cawan arak saja dia masih sanggup menghabiskan, tapi dia sengaja minta kau minum baginya, tindakan itu pasti punya tujuan tertentu." kata Oh Thi-hoa.

"Tujuan apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Cawan arak yang dia serahkan padamu seperti ada sesuatu benda, masa tidak kau perhatikan?"

"Begitu dia menyerahkan cawan arak itu, segera kutenggak habis, aku tidak melihat sesuatu benda apapun," jawab Coh Liu-hiang. Dia tertawa, lalu menyambung, "Selamanya aku minum arak dengan mulut dan bukan dengan mata."

"Akhir-akhir ini matamu semakin lamur tampaknya," kata Oh Thi-hoa menyesal. "Selanjutnya lebih baik kau menjauhi perempuan, kalau tidak, dua tiga tahun lagi mungkin kau akan berubah menjadi kakek tuli dan buta."

"Kukira itu tidak menjadi soal," ujar Thio Sam dengan tertawa. "Ada sementara orang perempuan justru menyukai kakek, sebab kakek-kakek pada umumnya jauh lebih tahu cara bagaimana harus sayang pada istri muda, bahkan orang tua juga lebih banyak uang daripada orang muda."

"Perempuan yang suka pada orang tua juga serupa kau, berjiwa budak," jengek Oh Thi-hoa.

Sejak tadi Hay Koa-thian hanya termangu-mangu saja, entah apa yang sedang dipikirkannya. Tapi dari air mukanya yang menampilkan rasa susah itu, jelas yang dipikir sesuatu persoalan yang sangat sulit diselesaikan.
Sampai sekarang barulah ia menghela napas panjang, lalu berkata dengan tertawa, "Sungguh beruntung bagiku dapat berkenalan dengan anda bertiga, Cayhe hanya ingin.... ingin mohon sesuatu kepada kalian."

Meski dia menyebut "kalian" dan "anda bertiga", tapi yang dipandang hanya Coh Liu-hiang seorang saja.

"Asalkan dapat dilaksanakan oleh tenagaku, pasti takkan kutolak,” jawab Coh Liu-hiang.
Jika ucapan ini keluar dari mulut orang lain, paling-paling hanya dapat dianggap sebagai basa-basi antar kawan saja. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut Coh Liu-hiang jelas berbeda dan cukup berbobot. Setiap orang Kangouw tahu, setipa kata Coh Liu-hiang sama dengan emas.

Hay Koa-thian menghela napas lega, air mukanya tampak jauh lebih cerah, katanya, "Apabila Cayhe mengalami sesuatu yang tak terduga, kumohon Coh-hiangswe suka...." Sembari bicara ia mengeluarkan sebuah kotak kecil.

Tapi baru bicara sampai di sini, mendadak terdengar suara “klotak", seperti ada orang mengetuk pintu dengan keras.
Air muka Hay Koa-thian berubah pucat, cepat ia simpan kembali kotak kecil tadi, sekali lompat ia mendekati pintu sambil membentak tertahan, "Siapa itu?"

Pintu dipalang dari dalam, dari luar ternyata sunyi senyap. Dengan suara bengis Hay Koa-thian membentak, "Ong Tek-ci, Li Tek-piau, siapa itu yang di luar?"
Ong Tek-ci dan Li Tek-piau adalah kedua penjaga tadi, tapi entah mengapa, juga tiada suara jawaban kedua orang ini.
Air muka Hay Koa-thian berubah hebat, cepat ia menarik palang pintu, segera ia menerobos keluar.

Waktu Coh Liu-hiang ikut keluar, dilihatnya wajah Hay Koa-thian pucat pasi seperti mayat dan berdiri mematung di sana dengan keringat dingin memenuhi dahinya.
Kedua penjaga menggeletak, sudah menjadi mayat.
Tiada kelihatan noda darah pada kedua mayat itu. Air mukanya juga kelihatan biasa saja, agaknya waktu mati tetap dalam keadaan tenang, tidak mengalami sesuatu penderitaan.
Cepat Hay Koa-thian membuka baju mereka dan diperiksa, ditemukan ada bekas telapak tangan merah tepat di punggung kedua korban. Jelas sekali hantam urat nadi jantung kedua orang itu lantas tergetar putus dan binasa seketika.

"Lihai amat tenaga pukulannya," seru Oh Thi-hoa sambil menjulurkan lidah.

Bekas telapak tangan pada punggung kedua korban itu terdiri dari tangan kanan dan kiri, jelas penyerangnya satu orang dan dilakukan sekaligus.

"Tampaknya pukulan ini Kungfu sejenis Cu-seh-ciang (ilmu pukulan pasir merah)," kata Coh Liu-hiang.

"Betul, pukulan Cu-seh-ciang memang meninggalkan bekas merah begini," kata Oh Thi-hoa.

"Nama Cu-seh-ciang dikenal setiap orang, padahal cara berlatihnya sudah lama lenyap," ujar Coh Liu-hiang. "Selama dua tiga puluh tahun terakhir ini, hampir tidak pernah lagi terdengar ada tokoh ahli Cu-seh-ciang yang menonjol di dunia Kangouw."

"Pernah kudengar ada seorang 'Tan-ciang-tui-hun' (pukulan pemburu nyawa) Lim Bun, yang dilatihnya adalah Cu-seh-ciang," tutur Oh Thi-hoa. "Tapi itu pun sudah lama berselang, kini Lim Bun sudah mati dan tak diketahui apakah dia mempunyai keturunan atau tidak?"

"Betul Tan-ciang-tui-hun Lim Bun terkenal sebagai ahli Cu-seh-ciang," kata Coh Liu-hiang. "Tapi yang dilatihnya juga cuma satu tangan saja. Sedangkan orang ini dapat menggunakan kedua tangan sekaligus, bahkan sudah terlatih sehebat ini, sungguh jarang ada."

"Konon orang yang berlatih Cu-seh-ciang akan dapat diketahui dari tangannya," tiba-tiba Hay Koa-thian berkata.

"Waktu mula-mula berlatih memang telapak tangan akan bersemu merah," kata Coh Liu-hiang. "Tapi bila sudah sempurna, warna merah itu akan lenyap, hanya waktu melancarkan pukulan akan kelihatan telapak tangannya bersemu merah, dalam keadaan biasa takkan kelihatan sesuatu ciri apa-apa."

"Jika demikian, kecuali kita berempat yang berada di sini, orang selebihnya ada kemungkinan pembunuh mereka ini," kata Hay Koa-thian dengan menghela napas.

"Kecuali seorang saja yang tak mungkin," ujar Thio Sam.

"Oo?? Siapa?" tanya Hay Koa-thian.

"Kim Leng-ci," jawab Thio Sam.

"Apa dasarnya?" tanya Hay Koa-thian pula.

"Coba kau lihat, bekas telapak tangan ini sangat besar, tidak mungkin tangan perempuan," kata Thio Sam.

"Hm, dasar budak tetap budak," jengek Oh Thi-hoa mendadak. "Tampaknya Kim Leng-ci tidak sia-sia membuang uang membeli seorang budak seperti kau ini."

"Tapi tangan orang perempuan kan juga ada yang besar," ujar Hay Koa-thian. "Menurut ilmu nujum, perempuan yang bertangan besar pasti kaya dan jaya, bukankah nona Kim juga dari keluarga kaya dan jaya?"

"Hah, rupanya Hay-pangcu juga mahir menujum?" jengek Thio Sam. "Konon air muka pembunuh juga ada tanda-tanda pembunuh, ini pun menurut ilmu nujum, entah Hay-pangcu dapat melihatnya atau tidak?"

Belum lag, Hay Koa-thian menanggapi, tiba-tiba terdengar jeritan ngeri. Suara ini seperti datang dari geladak di atas sana, meski kedengaran sangat jauh, tapi suaranya tajam menyeramkan dan terdengar jelas.
Air muka Hay Koa-thian berubah pula, ia membalik tubuh terus menerobos ke atas.

Oh Thi-hoa menghela napas, katanya, "Ai, tampaknya kapal ini tidak membawa kemujuran, banyak halangan dan rintangan, jika ingin meninggalkan kapal dengan hidup rasanya tidaklah mudah!"

Mendadak Coh Liu-hiang mengeluarkan sesuatu dari balik baju Ong Tek-ci, katanya tertahan, "He, lihat, apa ini?"

Yang dipegang adalah satu biji mutiara sebesar gundu.

Air muka Thio Sam berubah seketika, serunya. "He, inilah mutiara yang pernah kucuri dari nona Kim itu."

"Kau tidak keliru?" tanya Coh Liu-hiang.

"Tidak, pasti tidak, aku kan ahli mutiara," jawab Thio Sam tegas. Dia mengusap keringat dahinya, lalu berkata pula, "Mengapa mutiara nona Kim bisa ada di tubuh orang mati ini?"

"Mungkin dia kurang hati-hati dan terjatuh di sini," kata Coh Liu-hiang.

"Jika demikian, apakah Kim Leng-ci adalah pembunuhnya?" tanya Thio Sam dengan terkesima.

Coh Liu-hiang tak menjawab, dia sedang berpikir, dengan hati-hati ia menyimpan mutiara itu lalu melangkah ke geladak.

Oh Thi-hoa menepuk pundak Thio Sam, katanya, "Kalau sang majikan adalah pembunuh, budaknya juga dapat dituduh sebagai pembantu pembunuh, kau harus hati-hati."

Waktu Oh Thi-hoa dan Thio Sam naik ke geladak, di buritan tampak berkerumun orang banyak, Kim Leng-ci, Ting Hong, Kau Cu-tiang, Kongsun Jiat-ih dan Pek-lak-cek, semua berada di situ.
Hiang Thian-hui yang tadi pegang kemudi di situ, sekarang sudah lenyap, hanya di geladak kapal bertambah secomot darah yang masih segar.

"Darah Hiang Thian-hui!" seru Oh Thi-hoa. "Apakah dia terbunuh? Dimana mayatnya?"

Mata Hay-Koa-thian tampak merah, mendadak ia berteriak bengis, "Ci Hong, Loh Kiat, apakah hari ini kalian yang dinas pegang kemudi?" Di tengah kerumunan tampil dua orang dan memberi hormat, mereka mengiakan bersama.

"Kemana kalian tadi?" tanya Hay Koa-thian dengan gusar.

"Hiang-jiya yang menyuruh menyingkir, kami tidak mau pergi, Hiang-jiya lantas mendelik dan mau memukul, terpaksa kami pergi," tutur orang yang bernama Ci Hong dengan gemetar.

Segera yang bernama Loh Kiat menambahkan, "Kami pun tidak berani pergi jauh tapi membantu Sim-losam menggulung tambang di sebelah sana."

"Tadi apakah kalian mendengar sesuatu suara?" tanya Hay Koa-thian.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar