-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 28 Penunggang Kuda Iblis
1
Udara siang itu cukup panas.
Angin bertiup sangat kencang, karena wilayah Kadipaten Krasaan, terletak di
daerah Pesisir Pantai Laut Selatan. Akhir-akhir ini penduduk kadipaten itu
tengah dilanda keresahan oleh munculnya orang aneh berpakaian gembel dan memakai
caping lebar serta menunggang kuda hitam.
Kedatangan seorang gembel berkuda
hitam itu menjadi buah bibir para tokoh persilatan, baik dari aliran putih
maupun hitam. Orang aneh itu membunuh siapa saja tokoh persilatan yang
menantang Pendekar Gila dan Mei Lie.
Di mana-mana orang semua
membicarakan sepak terjang orang berpakaian gembel itu.
"Aku heran kenapa
pembunuhan menggiriskan itu terjadi di mana-mana. Orang-orang yang dibunuh, kebanyakan
para tokoh silat tersohor dan ditakuti.
Dan anehnya mereka yang
menantang Pendekar Gila dan gadis Cina itu," ujar seorang lelaki bertubuh
kurus yang tengah menikmati santapan di sebuah kedai.
Orang itu duduk sambil
mengangkat kaki kanan ke kursi tempat duduknya.
"Biar saja. Kita tak
perlu ikut campur. Lagi pula mereka yang dibunuh itu tokoh aliran hitam yang
suka memeras orang..." sahut lelaki berumur sekitar tiga puluh lima tahun,
bernama Jaroto. Wajahnya menoleh pada lelaki bermuka lonjong tadi yang
sebenarnya bernama Ki Sarpan.
"Aneh Siapa orang yang
membunuh tokoh-tokoh itu...? Apa betul, pembunuh itu suruhan Pendekar
Gi-la?" tambah Baseta, lelaki muda yang duduk satu me-ja, dengan Ki Sarpan
dan Jaroto. Tampak mulutnya sibuk mengunyah makanan.
"Mungkin juga.... Ah,
sudah jangan pikirkan orang lain Makanlah yang kenyang. Kita harus berangkat ke
laut...," sahut Ki Sarpan sambil mengelap tangannya dengan kain serbet Ki
Sarpan dan Jaroto merupakan nelayannelayan yang cukup dikenal. Setiap kali akan
turun ke laut atau sehabis menangkap ikan. Ki Sarpan dan Jaroto seperti
kawan-kawan lain, selalu mampir ke kedai itu. Mereka beristirahat sambil
mengisi perut.
"Pagi tadi aku
benar-benar sial. Ikan sepertinya tak ada yang mau mendekati jalaku. Aneh
Mudah-mudahan nanti akan lebih baik....'" ujar Jaroto.
Di dalam kedai suasana, nampak
cukup ramai.
Hampir semua meja yang ada di
ruangan kedai penuh.
Di salah satu sudut agak
tersembunyi duduk seorang berpakaian gembel, memakai caping lebar, menghadapi
makanannya. Orang-orang tak banyak yang menghiraukan orang berpakaian gembel
dan bercaping lebar itu. Bahkan ada yang mencibirkan bibir sambil menutup
hidung, menghinanya. Namun, orang berpakaian compang-camping seperti gembel itu
tak menghiraukan. Dirinya tetap duduk tenang dan menundukkan kepala. Wajahnya
tertutup oleh capingnya. Sehingga tak dapat terlihat dengan jelas, seorang
lelaki atau wanita.
"Hei... Kapan si gembel
itu masuk? Tahu-tahu sudah ada di sana...," seru seorang lelaki bermuka
persegi, berhidung besar, dan kumis tebal. Tubuhnya yang tegap terbalut pakaian
rompi hitam. Kepalanya terikat kain warna hitam. Sebilah golok besar terselip
di pinggangnya.
"Aaah... Jangan usil pada
orang lain Teruskan makanmu Paling-paling orang gembel yang baru dapat rejeki...,"
sahut temannya sambil menggigit ikan panggang. "Ha ha ha..." Keduanya
tertawa-tawa sambil memandangi orang yang berpakaian compang-camping dan bertudung
caping lebar itu.
Suara tawa dan riuhnya di
dalam kedai, tiba-tiba berhenti, ketika mereka melihat tiga sosok lelaki
bertubuh tegap dan berwajah garang memasuki pintu kedai. Tak satu pun di antara
para pengunjung kedai membuka mulut Tampaknya mereka semua tahu siapa yang
datang. Ya, ketiga sosok berwajah garang itu tak lain Tiga Setan Laut Kidul.
Orang-orang yang tadi tertawa
dan mondarmandir seenaknya, kini nampak diam bagai patung.
Hanya dada mereka yang
terlihat naik turun tak teratur, menandakan kecemasan dan ketegangan yang tengah
melanda hati masing-masing.
Mereka sudah mengenal siapa
Tiga Setan Laut Kidul. Ketiga lelaki berwajah bengis itu merupakan tokoh aliran
hitam yang dikenal sangat kejam dan biadab. Mereka tak segan-segan membunuh
atau menyiksa siapa pun yang berani menentangnya.
"He he he..., silakan
Tuan... silakan… He he he...," sambut Ki Galingga dengan membungkukbungkuk
memberi hormat, serta menyilakan tamunya.
"Hm..." desis orang
yang berdiri paling depan.
Dirinya dikenal dengan nama
Jurig Sepuh. Tubuhnya tinggi dengan dada berbulu, tak tertutup pakaian. Matanya
besar tampak bengis, apalagi ditambah dengan kumis tebal melintang menghias
bibirnya. Pandangannya mengelilingi ruangan kedai ini.
Jurig Sepuh segera duduk.
Kedua saudaranya, Jurig Penengah dan Jurig Kaletik pun turut duduk di sampingnya.
Ketiganya sama-sama berambut panjang melewati bahu, terikat kain merah di
kepala masingmasing. Sedangkan di pergelangan tangan kanan mereka tampak
melingkar gelang bahar hitam kecoklatan.
"Pesan apa, Tuan..?"
tanya Ki Galingga dengan sopan sambil membungkuk.
"Apa saja yang ada, bawa
kemari" jawab Jurig Sepuh tanpa menoleh sedikit pun pada Ki Kalingga.
"Hei, tunggu Apa kau
lihat pemuda gila berpakaian rompi kulit ular datang kemari?" tambah Jurig
Sepuh sambil menahan Ki Galingga yang hendak melangkah pergi. "Dari pagi
tak ada lelaki atau pemuda yang seperti Tuan maksudkan. Si... siapa dia,
Tuan?" jawab Ki Kalingga. Lelaki berusia lima puluh tahunan dan
ber-jenggot putih itu membungkuk-bungkuk. Tergambar jelas rasa cemas di
wajahnya yang sudah agak keriput.
"Yang kami maksud si
Pendekar Gila yang kondang itu" jawab Jurig Penengah dengan kasar. Matanya
melotot. Kemudian menoleh pandangannya menyapu ke seluruh ruangan kedai ini.
Para pengunjung kedai tak satu
pun yang berani menanggapi ucapan orang kedua dari Tiga Setan Laut Kidul itu.
Semua terdiam dengan hati menahan rasa takut. Hanya sosok berpakaian gembel
yang duduk di sudut ruangan kedai itu tampak mengangkat kepala.
Dari balik caping orang itu
seakan memandang ke arah Tiga Setan Laut Kidul.
Ki Kalingga tersentak
mendengar nama Pendekar Gila yang dicari Tiga Setan Laut Kidul itu. Dadanya
seketika naik turun dengan cepat, karena tegang dan takut "Hei Sudah,
cepat sana bawakan makanan untuk kami" bentak Jurig Kelerik.
"Ya, ya, Tuan...." Ki
Galingga segera berlalu dengan perasaan tegang. Tubuhnya tampak
membungkuk-bungkuk.
"Hei..., kalian semua
Siapa yang melihat atau bertemu dengan Pendekar Gila dan gadis Cina itu, beri
tahu mereka Bahwa Tiga Setan Laut Kidul akan membunuhnya... Mengerti" seru
Jurig Penengah dengan sombong sambil menggebrak meja. Matanya yang tajam dan
bengis menyapu ke sekeliling ruang kedai.
Namun, para pengunjung kedai
itu tak ada yang menjawab. Hal itu jelas membuat Jurig Penengah marah.
"Hm... Hei Kalian semua tuli...? Jawab, apa ka-taku tadi Kalau tidak, akan
kuhajar kalian sampai mampus" seru Jurig Penengah sambil menendang salah
satu meja. Meja di tempat Ki Sarpan dan kedua temannya duduk. Tentu saja Ki
Sarpan yang punya harga diri, merasa tersinggung oleh perbuatan lelaki bengis
itu.
"Kisanak... Jangan kau
anggap kami diam karena takut pada kalian Sopan sedikit" ujar Ki Sarpan
dengan nada marah. Dirinya telah berdiri menghadap Jurig Penengah.
"Ha ha ha... Orang ini
sudah bosan hidup rupanya, Kakang Ha ha ha..." Jurig Penengah tertawa
terbahak-bahak, dengan sikap pongah. Lelaki bengis itu mendekati Ki Sarpan dan
kedua temannya, "Hei Kalian boleh mengadu ilmu denganku, kalau memang sudah
tak mempan dibacok" Selesai berkata begitu, Jurig Penengah lalu mendorong
keras tubuh Ki Sarpan dengan tangan kirinya.
Dengan cepat Ki Sarpan
mencabut goloknya, lalu dibabatkan ke dada Jurig Penengah.
Hanya dengan menundukkan
kepala Jurig Penengah mengelakkan tebasan golok lawan. Kemudian menyerang balik
dengan pukulan tangan kanannya ke dada lawan. Ki Sarpan tampak mati langkah tak
mampu bergerak untuk menghindar. Hal itu karena serangan balik Jurig Penengah
datang begitu cepat Degkh "Aaakh..." Ki Sarpan memekik keras, ketika
pukulan Jurig Penengah mendarat di dadanya. Tubuhnya terhuyung ke belakang
empat tombak lalu menabrak meja dan kursi lain.
Brakkk Para pengunjung kedai
berlarian ketakutan. Jaroto dan Baseta yang melihat temannya terluka segera
menyerang bersamaan ke tubuh Jurig Penengah yang tertawa-tawa mengejek.
Tampaknya Ki Sarpan bukan tandingan bagi Jurig Penengah yang berilmu tinggi.
"Heaaa..." "Yeaaat.."
Plak Plak "Aaakh..." Jaroto dan Baseta memekik, ketika wajah mereka kena
tamparan tangan kanan lawan. Jurig Penengah yang melihat lawan masih menahan
sakit, tak memberi ampun lagi. Tubuhnya melompat kembali menghajar Jaroto dan
Baseta.
"Heaaa..." Degkh
Degkh "Aaakh..." Jurig Penengah melancarkan tendangan sambil melompat
dan berputar. Kaki kanannya beruntun mendarat di dada Jaroto dan Baseta. Tubuh
kedua lawan tampak bergelimpangan di antara meja dan kursi kedai. Keduanya
langsung tak berkutik lagi.
"Bangsat.." seru Ki
Sarpan yang sudah kembali pulih dari sakitnya.
Orang-orang di kedai semakin
ketakutan, mereka berlarian keluar dari kedai, ketika melihat Jaroto dan Baseta
pingsan. Hanya tinggal orang berpakaian gembel yang tenang masih duduk di kursi
tempat duduknya, di sudut ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik caping.
Sikapnya seakan tak menghiraukan keadaan di kedai ini.
"Heaaa..." Ki Sarpan
menyerang Jurig Penengah dengan sabetan goloknya ke kepala. Namun dengan mudah
Jurig Penengah mengelak dari serangan Ki Sarpan yang masih dua tingkat di bawah
Jurig Penengah.
Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik
yang duduk dengan mengangkat sebelah kaki di kursi, hanya tersenyum-senyum
memperhatikan saudaranya menghajar lawan-lawannya.
"Mampus kau,
Kunyuk....'" dengus Jurig Penengah. Jari tangan kirinya mencengkeram
tangan kanan Ki Sarpan yang memegang golok. Sedang tangan kanannya cepat
menghantam dada Ki Sarpan keras.
Degkh Degkh "Aaakh..."
Ki Sarpan memekik panjang. Seketika dari mulutnya keluar darah segar. Sedangkan
tangan kanannya yang dicengkeram Jurig Penengah patah.
Jurig Penengah masih
tertawa-tawa kesenangan melihat lawannya kesakitan. Sementara Ki Sarpan masih
mengerang-erang kesakitan. Tubuhnya terjatuh di lantai, kemudian tak mampu
bergerak lagi. Rupanya pukulan lawan yang mendarat di dada menimbulkan luka
dalam yang hebat "Ha ha ha... Siapa lagi yang mau melawanku...? Kau?"
seal Jurig Penengah sambil menunjuk orang yang duduk di sudut Orang berpakaian
compang-camping mirip gembel itu tak memberi tanggapan sama sekali. Bahkan, tak
bergerak sedikit pun dari tempat tidurnya. Kepalanya masih tetap menunduk,
hingga wajahnya sukar sekali dilihat Jurig Penengah yang merasa disepelekan,
naik pitam. Ditendangnya meja dan kursi yang ada di hadapannya. Dengan langkah
tegap kakinya melangkah mendekati orang berpakaian compang-camping itu.
"Hei Monyet.. Kau tuli
atau bisu? Bangun..." bentak Jurig Penengah marah.
Wajah Ki Galingga, pemilik
kedai itu berubah pucat, ketakutan. Dengan tubuh gemetaran lelaki berwajah
keriput itu bersembunyi di balik meja.
Jurig Penengah semakin marah,
ketika orang berpakaian compang-camping dan bercaping lebar itu tetap tak
menghiraukannya. Bahkan gembel itu ngeloyor pergi, tanpa menoleh sedikit pun
pada Jurig Penengah.
"Hei, Tuli Rasakan
ini..." seru Jurig Penengah, lalu menyerang orang berpakaian compang-camping
dengan pukulan jarak jauh. "Heaaa..." Wuttt Brakkk Seketika angin
keras menderu keluar dari telapak tangan Jurig Penengah. Beberapa meja dan
kursi terpental terhantam pukulan yang dilancarkan orang kedua dari Tiga Setan
Laut Kidul itu.
Namun rupanya orang berpakaian
compangcamping itu memiliki ilmu yang cukup tinggi pula. Dalam kedudukan
membelakangi Jurig Penengah dengan gerakan cepat sekali gembel itu melakukan
serangan.
Hal itu dilakukan sebelum
serangan Jurig Penengah mencapai sasaran.
Werrr Caping lebar yang
terbuat dari bambu kuning itu, menyambar telak di leher Jurig Penengah.
Jreb "Aaa..." Jurig
Penengah memekik panjang, dengan mata melotot. Lalu tubuhnya roboh. Dan caping
dari bambu kuning itu terbang kembali ke pemiliknya, setelah memakan korban.
Jurig Penengah pun mati dengan mengerikan. Lehernya hampir putus.
"Hah..." Jurig Sepuh
dan Jurig Kaletik terbelalak matanya, melihat saudaranya dengan mudah ambruk di
tangan orang berpakaian compang-camping itu.
"Bangsat.. Kau berani
membunuh saudaraku...
Heaaa..." Jurig Sepuh dan
Jurig Kaletik melesat cepat, menyerang orang berpakaian compang-camping. Keduanya
langsung mengerahkan pukulan ‘Api Neraka’.
Srats Srats Dari kedua telapak
tangan Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik, keluar semburan api melesat ke tubuh
lawan.
Namun orang berpakaian
compang-camping itu dengan tenang melenting ke atas, mengelakkan serangan.
Api itu terus melesat hingga
menabrak dinding kedai yang terbuat dari bambu. Kebakaran pun tak dapat dielakkan.
Jeritan dan pekikan ketakutan
terdengar dari orang-orang yang belum sempat keluar dari kedai. Ki Galingga si
pemilik kedai, pun segera lari keluar sambil teriak minta tolong. Namun tak
seorang pun mau menolong, karena semua ketakutan melihat kejadian itu.
Orang berpakaian
compang-camping yang masih di udara, bersalto sambil melemparkan capingnya ke arah
Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik.
Werrr Caping lebar dari bambu
kuning itu pun meluncur cepat memburu kepala Jurig Sepuh dan Jurig Kaletik.
"Hah" Jurig Sepuh membelalakkan mata melihat caping ajaib itu
melayang ke kepalanya. Lelaki gagah berambut panjang itu dengan cepat meliukkan
tubuh, lalu berguling di lantai kedai yang sempit itu. Demikian pu-la Jurig
Kaletik berusaha bersalto ke belakang. Namun gerakannya terlambat hingga caping
besar itu berhasil menyambar lehernya.
Jreb "Aaakh..." Jurig
Kaletik mengerang kesakitan sambil memegangi lehernya yang hampir putus.
Matanya melotot.
Lalu ambruk, mati Caping itu
pun kembali ke pemiliknya, setelah memakan korban.
Jurig Sepuh melihat saudaranya
yang paling kecil mati dengan cara sama dengan Jurig Penengah, langsung merasa
ciut nyalinya. Wajahnya pucat pasi.
Keringat dingin mulai
membasahi keningnya.
"Edan..." gumam
Jurig Sepuh pelan, lalu melompat kabur, keluar dari kedai itu.
Orang yang berpakaian
compang-camping itu pun tak membiarkan Jurig Sepuh begitu saja. Tubuhnya
melesat bagai terbang melewati kepala Jurig Sepuh yang berlari ketakutan.
Tubuh orang berpakaian
compang-camping itu mendarat dengan ringan di depan Jurig Sepuh.
"Hah...?" Jurig
Sepuh tak menduga orang berpakaian compang-camping itu dapat mengejarnya.
Matanya terbelalak terkejut, ketika melihat orang itu sudah berdiri di
hadapannya.
"Ooo... Baiklah aku
menyerah, kalah. Ampuni aku Biarkan aku pergi... Aku, tak bermaksud bertarung
atau menentangmu, Kisanak. Aku hanya menantang Pendekar Gila," ujar Jurig
Sepuh yang bermuka garang itu dengan suara menggeragap karena ketakutan.
"Hm... Hi hi hi... Siapa yang akan menentang Pendekar Gila, harus
berhadapan denganku dulu.
Langkahi dulu mayatku, sebelum
berhadapan dengan Pendekar Gila...," sahut orang berpakaian
compang-camping itu dengan suara mantap. Wajahnya masih tersembunyi di balik
capingnya yang lebar. Sehingga belum jelas lelaki atau wanita. Namun dilihat
dari tubuh dan suaranya, jelas dia seorang wanita. "Mungkin dia seorang
wanita?" tanya Jurig Sepuh dalam hati.
"Tidak..., tidak. Aku
menyerah..., ampuni aku, Nisanak" pinta Jurig Sepuh sambil menjura.
Orang berpakaian
compang-camping yang berdiri di hadapannya, tak menjawab. Sejenak menghela napas
panjang, lalu berbalik melangkah pergi.
Baru dua tombak orang itu
melangkah, tiba-tiba Jurig Sepuh yang menyangka bahwa lawan lengah, melesat
melakukan serangan dengan mengayunkan golok. "Heaaa..." Wuttt Golok
itu belum sampai ke tubuh lawan, tiba-tiba orang berpakaian compang-camping
berbalik, tahutahu tubuh Jurig Sepuh terpental sejauh lima tombak ke belakang.
"Aaa..." Rupanya
tanpa sepengetahuan Jurig Sepuh, wanita berpakaian gembel itu telah mendahului.
Tubuhnya dengan cepat dimiringkan ke kiri. Kemudian sambil membalik, dengan
cepat pula sosok berpakaian gembel itu melancarkan sebuah pukulan ke tubuh lawan
dengan jurus 'Tamparan Tangan Iblis'.
Jurig Sepuh tak bergerak lagi,
tewas dengan mata melotot. Dadanya hangus bagai terbakar dan berbekas telapak
tangan. Rupanya sosok berpakaian compang-camping itu mengerahkan jurus
'Tamparan Tangan Iblis'.
Semua orang di tempat itu
terkejut, bercampur kagum dengan kehebatan ilmu yang dimiliki orang berpakaian
compang-camping itu.
Selesai membunuh Jurig Sepuh,
sosok berpakaian compang-camping itu menepukkan telapak tangannya tiga kali.
Tak lama kemudian muncullah kuda hitam jantan bertubuh kekar, menghampirinya.
Orang berpakaian
compang-camping itu segera melompat ke atas kuda. Lalu tanpa berkata apa-apa, manusia
aneh itu menggebah kudanya, melesat meninggalkan Desa Parangan dan orang-orang
di kedai yang masih keheranan dan kagum.
***
Setelah orang aneh berpakaian compang-camping itu
pergi, para penduduk desa berhamburan mengerumuni mayat Jurig Sepuh dan kedua
temannya.
Kemunculan orang berpakaian
compangcamping, yang menunggang kuda hitam, seketika menjadi bahan pembicaraan
setiap orang di Desa Parangan. Mereka pada umumnya bertanya-tanya siapa sebenarnya
tokoh aneh itu. Lawan atau kawan Pendekar Gila? "Aneh Sungguh aneh orang
penunggang kuda itu. Ada hubungannya apa dia dengan Pendekar Gi-la...?"
tanya lelaki yang bernama Ki Lamting, sambil menggeleng kepala.
"Tadi aku mendengar,
bahwa siapa saja yang menantang Pendekar Gila, harus berhadapan dulu dengannya.
Apa maksudnya?" tambah pemuda bernama Warsita, berdiri di sebelah Ki
Lamting.
Sementara itu Ki Galingga
tampak sedih dan menyesal. Kedainya sebagian terbakar terhantam Jurig Penengah
yang mengerahkan pukulan ‘Api Neraka’.
Tak lama kemudian kerumunan
orang-orang itu bergerak, memberi jalan pada Ki Lurah Patiasa, yang datang
bersama dua pengawalnya.
"Siapa yang mengenal
pembunuh ketiga orang ini?" tanya Ki Lurah Patiasa, seraya memandangi
orang-orang yang berkumpul di depan kedai.
"Kami tak jelas, Ki
Lurah. Orang berkuda hitam itu seperti iblis. Datang dan pergi begitu
saja," jawab Ki Lamting menjelaskan.
"Benar, Ki Lurah. Orang
berkuda hitam itu sangat aneh dan sangat tinggi ilmunya...," tambah
Warsita. "Bagaimana awalnya bisa sampai terjadi pertarungan itu?"
tanya Ki Lurah Patiasa lagi.
Sejenak mereka diam. Mata
mereka saling memandang seperti ragu untuk menjelaskan kepada kepala desa itu.
"Hm..., begini. Ki
Lurah...." Ki Galingga, pemilik kedai menjelaskan dari awal sampai akhir
pada Ki Lurah Patiasa. Semua terdiam mendengar penuturan Ki Galingga.
"Memang aneh. Akhir-akhir
ini sering terjadi pembunuhan. Mayat para tokoh bergelimpangan di mana-mana.
Ini pertanda malapetaka di dunia persilatan. Siapa sebenarnya orang berkuda
hitam itu? Kawan atau lawan Pendekar Gila...?" gumam Ki Lurah Patiasa
sambil memegangi keningnya.
"Kalau menurut saya, tak
mungkin Pendekar Gila memerintah seseorang dengan kejam membantai siapa saja
yang menantangnya. Pasti ada sesuatu di balik peristiwa ini," tukas
Santika, pengawal Ki Lurah Patiasa yang berdiri di sebelah kanan kepala desa
itu.
"Benar, Ki Lurah. Saya
sependapat dengan Kakang Santika," tambah Lohdaya.
"Hm...," gumam Ki
Lurah Patiasa, sambil mengangguk-anggukkan kepala. Seakan hatinya membenarkan
ucapan kedua pengawalnya. "Sekarang kalian kuburkan mayat-mayat itu. Ayo
laksanakan" perintah Ki Lurah Patiasa pada warga penduduk desa yang masih
di depan kedai Ki Galingga.
Para penduduk desa bergegas
bersama-sama menguburkan mayat-mayat itu.
"Aku merasa menyesal,
meninggalkan desa ini tadi pagi. Seharusnya kutunda kepergianku...," keluh
Ki Lurah Patiasa, sambil memandangi para warganya yang sibuk membereskan
mayat-mayat itu dari kedai Ki Galingga.
"Tapi kepergian kita kan
bukan untuk senangsenang, Ki Lurah Patiasa. Tugas melapor ke Kadipaten Krasaan
tak dapat ditunda," ujar Santika ingin mengurangi rasa sesal kepala
desanya.
"Ya. Kau benar. Kita
harus melaporkan keadaan Desa Parangan. Ah, rupanya kita harus lebih waspada,"
kata Ki Lurah Patiasa kemudian. Matanya memandang jauh ke depan.
***
2
Sore telah datang, mentari
tergelincir di ufuk barat. Sebentar lagi raja siang akan tenggelam, kemudian
hadir kegelapan yang membawa suasana mencekam.
Tampak para nelayan sedang
berangkat ke laut dengan jala terpanggul di pundak.
Sekawanan burung beterbangan
pulang ke sarang masing-masing dengan suara yang bersahutsahutan. Cahaya merah
tembaga membias di kaki langit sebelah barat, menandakan mentari telah masuk ke
peraduannya. Dan angin darat cukup kencang tertiup ke laut, yang menghempaskan
perahu para nelayan yang sedang berlayar ke tengah.
Dua sosok manusia tampak
melangkah dalam keremangan senja. Kedua muda-mudi itu bersenda gurau dengan
riang, menikmati suasana senja yang indah. "Desa apa ini, Kang?"
tanya gadis cantik berpakaian putih dengan rambut digelung di atas. Kulitnya
kuning langsat. Hidungnya tak terlalu mancung. Sedang mata yang sipit tampak
indah bila mengerling.
"Ah ah ah.... Kalau aku
tak salah ini Desa Parangan," jawab pemuda tampan berpakaian rompi kulit
ular. Rambutnya yang gondrong, terikat pula oleh kulit ular. Serasi sekali
kedua anak muda itu. Yang lelaki tampan dan gagah, sedangkan yang wanita cantik
dan
anggun. Di pundak gadis cantik berpakaian
silat Cina itu tersandang sebatang pedang. Sedangkan di pinggang pemuda tampan
itu terselip sebuah suling berkepala naga Kedua sejoli itu tak lain Sena
Manggala atau Pendekar Gila dengan kekasihnya Mei Lie, si Bidadari Pencabut
Nyawa.
Sena nampak cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu sekeliling yang nampak sepi "Nampaknya
ada sesuatu yang baru terjadi di desa ini, Kang...," kata Mei Lie, lirih.
Matanya yang bening juga memandangi sekelilingnya.
"Hm," gumam Sena
sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Mei Lie menghela napas
panjang, matanya masih tetap mengamati sekeliling tempat itu.
"Aha, ayolah kita cepat
pergi Sebentar lagi malam. Kita harus segera mencari tempat untuk menginap,"
ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie.
Namun, gadis Cina itu menolak,
dengan memegang lengan Pendekar Gila.
"Ssst.. Tunggu, Kakang
Firasatku mengatakan, telah terjadi sesuatu di desa ini." Pendekar Gila
menggaruk-garuk kepala sambil tertawa cekikikan mendengar ucapan kekasihnya.
Hal itu membuat Mei Lie cemberut. Kesal. Karena Sena seakan tak mempercayai
firasatnya.
Pendekar Gila langsung mengubah
tingkahnya yang persis orang gila itu, setelah melihat wajah Mei Lie
memberengut. Namun sebentar kemudian tangannya telah kembali menggaruk-garuk
kepala sambil cengengesan.
"Hi hi hi... Kau kalau
cemberut begitu tambah jelek. Eee..., maksudku, tambah cantik," ujar Sena
ber-seloroh sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Mei Lie tersenyum
manis, mendengar pujian Pendekar Gila.
Kemudian Sena kembali mengajak
Mei Lie segera meninggalkan tempat itu. Mei Lie pun menurut. Keduanya melangkah
meninggalkan Desa Parangan. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba mereka
dikejutkan bentakan seseorang.
"Hei... Berhenti" Pendekar
Gila dan Mei Lie berhenti. Keduanya membalikkan tubuh melihat siapa yang telah
menyuruh mereka berhenti. Tampak lelaki berbadan sedang berumur sekitar empat
puluh lima tahun, dengan kumis tipis menghiasi di atas bibirnya. Matanya memandang
penuh rasa curiga pada kedua muda-mudi itu. Di belakang lelaki yang tak lain Ki
Lurah Patiasa, berdiri beberapa orang warga, termasuk Santika dan Lohdaya.
Pendekar Gila tertawa-tawa,
tingkah lakunya yang aneh kembali muncul. Kemudian tangannya menepuk-nepuk
pantat Menyaksikan tingkah aneh dan konyol pemuda berpakaian rompi kulit ular
di hadapannya, Ki Lurah Patiasa seketika mengerutkan kening, sambil memegangi
dagunya.
"Rasanya aku pernah
mengenal tingkah laku pemuda ini. Ah, benarkah dia Pendekar Gila yang dikagumi
itu?" tanya Ki Lurah Patiasa dalam hati. Alisnya bertaut saat memandang
penuh selidik pada Pendekar Gila dan Mei Lie. "Dan kalau tak salah, gadis
Cina ini yang bergelar Bidadari Pencabut Nyawa. Benarkah mereka?" "Hi
hi hi... Kalian ini aneh. Mengapa bengong? Hi hi hi..." Sena tetap
bertingkah seperti orang gila, menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Sedangkan Mei Lie tampak bersiap-siap, waspada kalau para penghadangnya hendak
bermaksud jahat.
"Siapa kalian sebenarnya,
Kisanak?" tanya Ki Lurah Patiasa kepada Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Aku...? Hi
hi hi... Lucu sekali kau, Kisanak" Sena semakin cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. "Aha, kalian ingin tahu siapa kami? Baiklah, kami
hanyalah orang kecil yang sedang berpetualang mengikuti kehendak hati. Nah,
cukup jelas bukan?" Ki Lurah Patiasa dan orang-orangnya saling pandang.
Lalu menghela napas. Ki Lurah Patiasa mencoba bersikap ramah.
"Hm… maaf Apa benar
kalian Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa?" tanya Ki Lurah Patiasa
berusaha memastikan dugaannya.
Sena tak langsung menjawab.
Mulutnya cengengesan dan menepuk-nepuk pantat, lalu menggaruk-garuk kepala.
Namun Mei Lie yang merasa tak sabar, langsung menjawab dengan nada ketus.
"Ya Mengapa kalian
menghadang kami?" Ki Lurah Patiasa, kembali saling pandang dengan orang-orangnya.
Wajahnya kini nampak agak lega.
Tersungging senyum kegembiraan
di bibirnya.
Begitu juga dengan Santika dan
Lohdaya, yang berdiri di sebelah kiri dan kanan Ki Lurah Patiasa. Keduanya
nampak tersenyum saling berbisik.
Mei Lie yang cepat marah
tampak kesal dan curiga terhadap mereka.
"Hei Kalian mau menentang
kami...? Ada apa sebenarnya dengan kalian" sungut Mei Lie sambil melangkah
setindak ke depan. Tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedangnya.
"O, maafkan tindakan kami
yang lancang Kami tak bermaksud jahat. Malah, kalau benar kalian Pendekar Gila
dan Bidadari Pencabut Nyawa, kami sangat lega dan gembira sekali. Kami
mengharap kalian sudi singgah ke rumah kami," ujar Ki Lurah Patiasa, dengan
sopan.
Mei Lie mengerutkan kening,
menyelidik. Lalu menoleh ke Sena yang tampak cengengesan. Kemudian kembali
memandang Ki Lurah Patiasa dan orangorangnya.
"Untuk apa?" tanya
Mei Lie tegas.
"Aha, sabar Mei Lie
Rupanya mereka memang tak bermaksud jahat. Tenanglah" ujar Sena mencoba
menenangkan kekasihnya. Tangannya memegang bahu Mei lie. "Bagaimana kalau
kita terima undangan mereka? Bukankah kita perlu tempat menginap?" tanya
Pendekar Gila kemudian pada Mei Lie. Tampaknya Mei Lie masih merasa curiga pada
Ki Lurah Patiasa dan orang-orangnya.
Mei Lie mengerutkan kening,
sepertinya berpikir dan menimbang ajakan Pendekar Gila.
"Baiklah Tapi jangan
sekali-kali bermaksud jahat Aku tak akan segan-segan membunuh kalian" ancam
Mei Lie.
'Terima kasih, Tuan Pendekar.
Kami merasa senang sekali," sahut Ki Lurah Patiasa penuh hormat "Aha,
Mei lie, ayolah" ajak Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Kemudian mengedipkan sebelah matanya kepada Mei Lie. Gadis cantik berparas Cina
itu mencibir, matanya melotot Mereka pun kemudian melangkah mengikuti Ki Lurah
Patiasa dan warganya. Sementara kegelapan mulai menyelimuti desa itu. Kesunyian
mulai merambat di Desa Parangan yang baru dilanda kejadian mengerikan di siang
hari tadi.
***
Lampu di rumah Ki Lurah Patiasa yang biasanya dipadamkan
di malam hari, saat itu nampak masih terang benderang. Suasana dalam rumah
tampak terang benderang. Terutama di beranda depan.
Tiga orang terlihat tengah duduk
di kursi kayu, sementara yang lainnya bersila di bawah. Tampaknya mereka tengah
berkumpul, sehubungan dengan kematian beberapa warga Desa Parangan. Mereka pun membicarakan
munculnya orang berpakaian compangcamping, menunggang kuda hitam, yang mereka
sebut dengan Penunggang Kuda Iblis. Karena kuda yang ditunggangi hitam pekat,
dengan mata menyala merah, seperti bara api.
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Ki
Lurah Patiasa duduk di kursi. Ketiganya tengah membicarakan kejadian yang
melanda Desa Parangan.
"Siang tadi desa ini
didatangi Tiga Setan Laut Kidul. Mereka, membunuh warga kami. Namun, kejadian semakin
kacau, setelah orang berpakaian compangcamping dan memakai caping lebar
membunuh Tiga Setan Laut Kidul," tutur Ki Lurah Patiasa, lalu menarik
napas sejenak. "Menurut warga desa ini, orang aneh berpakaian
compang-camping itu juga menyebut nama Tuan Pendekar Gila dan Mei Lie...,"
lanjut Ki Lurah Patiasa kemudian.
Mei Lie tersentak kaget, wajahnya
menoleh kepada Pendekar Gila. Namun Sena malah menggarukgaruk kepala dan
cengengesan. Seakan tak peduli. Tidak ada rasa kaget sedikit pun. Hal itu
membuat Mei Lie kesal dan mencubit lengan Sena.
"Aha, ada apa rupanya
orang berpakaian compang-camping, menyebut namaku dan Mei Lie, Ki Lurah...?"
tanya Sena ingin tahu juga.
"Ya. Ada urusan apa
dengan kami. Rasanya-kami berdua tak pernah punya teman seperti itu,"
tambah Mei Lie dengan nada ketus, sebelum Ki Lurah Patiasa menjawab.
"Begini...," menurut
penduduk di desa ini, mulanya Tiga Setan Laut Kidul bermaksud mencari Tuan Pendekar
Gila. Dengan maksud menantang Tuan. Namun orang berpakaian compang-camping itu
membunuhnya. Dan berkata, kalau mau menantang Pendekar Gila, harus
mengalahkannya lebih dulu," tutur Ki Lurah Patiasa menjelaskan.
Mei Lie makin terkejut.
Matanya terpicing dan keningnya berkerut Kemudian mendengus.
"Siapa kira-kira orang
itu, Kakang Sena...?" tanya Mei Lie dengan ketus. Wajahnya kelihatan geram
mendengar tutur kata Ki Lurah Patiasa. "Kurasa ada orang ketiga yang
mendalanginya." "Saya kurang tahu. Tapi tindakannya harus segera
dicegah. Kalau tidak, akan lebih banyak korban.
Dan semula kami mengira orang
berpakaian compangcamping itu teman Tuan Pendekar. Aneh Lantas untuk apa dia
lakukan semua itu? Dan untuk apa mencari Tuan Pendekar...?" ujar Ki Lurah
Patiasa dengan mengerutkan kening.
"Hm," Pendekar Gila
bergumam tak jelas. Mulutnya nyengir dan tangannya menggaruk-garuk kepala.
Diliriknya wajah Mei Lie yang
tampak memerah.
"Orang itu laki-laki atau
wanita, Ki Lurah...?" tanya Mei Lie tiba-tiba.
"Wah, semua orang tak
jelas melihatnya. Karena hampir seluruh wajahnya tertutup oleh caping lebar.
Benar begitu,
Lamting...?" tanya Ki Lurah Patiasa sambil menoleh ke arah Ki Lamting yang
duduk di bawah sebelah kanan.
"Benar. Capingnya lebar.
Tapi rambutnya panjang melewati bahu," jawab Ki Lamting menjelaskan.
Mei Lie mengangguk-anggukkan
kepala, sambil menggigit bibirnya sendiri. Sedangkan Sena masih dengan
tingkahnya, menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Semua orang yang hadir
tersenyum-senyum.
"Jadi apa pendapat, Tuan
Pendekar? Kami sangat membutuhkan pertolongan. Kami tak ingin orang itu datang
ke desa ini lagi, dan membunuh warga Desa Parangan...," kata Ki Lurah
Patiasa.
"Aha, kukira dia tak akan
kembali kemari lagi, Ki Lurah. Orang itu hanya mencari aku dan Mei Lie. Tapi
aku pun tak tahu, apa urusannya denganku. Tenanglah Desa ini tak akan
dijamahnya lagi," kata Sena mencoba menenangkan Ki Lurah Patiasa dan warganya.
Ki Lurah Patiasa
mengangguk-anggukkan kepala sambil memegangi dagunya. Namun, keningnya tampak
berkerut.
"Apa yang dikatakan Tuan
Pendekar, mungkin benar, Ki Lurah. Sebab orang berpakaian compangcamping itu
juga bertanya pada Ki Galingga, di mana Pendekar Gila berada...," sela Ki
Lamting, yang saat kejadian berada di kedai Ki Galingga.
"Benar, Ki
Galingga...?.'" tanya Ki Lurah Patiasa.
"Benar, Ki Lurah,"
jawab Ki Galingga sambil menjura. Untuk beberapa saat mereka diam. Di luar malam
semakin larut. Angin malam berhembus memasuki ruangan itu.
Ki Lurah Patiasa menghela
napas sejenak, kemudian memandang wajah Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Kami semua sangat
berterima kasih pada Tuan Pendekar berdua. Untuk itu, jika Tuan Pendekar bersedia,
kami berharap agar bermalam di rumah kami.
Apalagi hari sudah larut
malam, Tuan Pendekar dan Nini perlu istirahat..." "Terima kasih, Ki
Lurah," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kalian sebaiknya
berjaga-jaga...," kata Ki Lurah Patiasa pada beberapa orang warga.
"Dan kau Santika bersama Lohdaya, pimpin mereka agar menjalankan ronda"
"Baik, Ki Lurah...," jawab Santika sambil mengangguk, lalu pergi.
***
Suasana di Desa Parangan malam ini tampak sepi.
Angin yang berhembus membawa hawa dingin. Padahal biasanya malam-malam seperti
ini masih ada beberapa orang hilir mudik di desa yang menjadi persinggahan para
pedagang dan nelayan dari desa lain.
Begitu pula kedai milik Ki
Galingga yang terletak di ujung desa, dekat pantai. Tampaknya semua penduduk
telah terlelap dalam tidur. Atau mungkin karena tak berani keluar malam.
Semenjak kehadiran orang
berpakaian compangcamping mirip gembel, Desa Parangan dan sekitarnya benar-benar
dicekam rasa khawatir. Para penduduk tak berani keluar malam.
Sementara itu ada pula
pihak-pihak lain yang turut memanfaatkan keadaan itu. Seperti yang dilakukan
Gerombolan Gagak Merah. Mereka melakukan perampokan, pencurian, bahkan menculik
dan memperkosa wanita desa.
Geger tentang pembunuh gelap
berpakaian gembel itu bahkan telah menyebar ke luar wilayah Kadipaten Krasaan.
Para tokoh persilatan baik dari golongan hitam maupun putih.
Ketika kesunyian malam tengah
mencekam warga Desa Parangan, di salah sebuah rumah penduduk tengah didatangi
gerombolan perampok. Anehnya, para petugas ronda tak satu pun yang mengetahui.
Para peronda, termasuk Santika dan Lohdaya pengawal Ki Lurah Patiasa, terlelap
dalam tidur. Rupanya mereka telah terkena ilmu 'Sirep' yang digunakan oleh para
perampok.
Rumah yang tengah disatroni
perampok itu ternyata milik tuan tanah dan seorang saudagar ikan bernama
Bakarekso. Rupanya Bakarekso pun terkena ilmu ‘Sirep’.
"Ssst Habisi semua barang
yang ada di rumah ini Aku akan masuk kamar sebelah ujung sana," kata
Dongkala sambil menunjuk kamar yang letaknya dekat dapur.
Dongkala segera melangkah maju
mendekati pintu kamar itu. Rupanya pintu kamar tak terkunci. Dibukanya pelahan
lalu Dongkala masuk. Ternyata di dalam kamar itu ada seorang gadis cantik anak
tuan tanah Bakarekso, gadis itu tertidur pulas, dengan sebelah kakinya ditekuk,
memeluk guling. Hingga pahanya yang putih mulus terkuak.
Melihat keadaan yang
menggiurkan, Dongkala menelan air liur. Segera kakinya melangkah mendekati
ranjang. Menyaksikan tubuh sintal putri Tuan Bakarekso itu, Dongkala bagaikan
tak mampu menahan gejolak nafsu kejantanannya.
Perlahan-lahan Dongkala
membalikkan tubuh Jumirah putri Tuan Bakarekso. Setelah itu diangkatnya kaki
kanan gadis itu. Sementara dirinya sudah tak sabar ingin segera merasakan
keperawanan putri tuan tanah itu. Namun ketika lelaki bertubuh besar itu mulai
menindihnya, putri Tuan Bakarekso itu berteriak kaget. Menyadari keadaan yang
tak menguntungkan.
Dongkala langsung menotok
tubuh Jumirah. Kemudian dengan penuh nafsu dinikmatinya tubuh molek putri Tuan
Bukarekso yang telah dalam keadaan tertotok itu.
Sementara itu di kamar lain,
Tuan Bakarekso terbangun. Dirinya bermaksud keluar, karena melihat pintu
kamarnya sedikit terbuka. Selain itu hatinya curiga mendengar rintihan di kamar
sebelah. Namun ketika Tuan Bakarekso sampai di ambang pintu tiba-tiba muncul
lelaki berbadan besar dengan dada berbulu.
Kumisnya tebal melintang
menambah kebengisan wajahnya. Tanpa banyak bicara lelaki berbadan besar yang
bernama Pandesa, langsung mengayunkan goloknya.
Crasss "Aaakh..." Seketika
Tuan Bakarekso tewas dengan kepala hampir putus. Jeritan itu membangunkan istri
tuan tanah. Wanita itu tersentak, ketika melihat ke arah pintu. Matanya semakin
terbelalak lebar melihat lelaki bertubuh besar masih memegang golok berlumuran darah.
"Aaakh..." Istri
tuan tanah Bakarekso menjerit. Pandesa segera melompat lalu menampar perempuan
itu.
Plak Plak "Ukh..." Pandesa
menatap nanar, ketika perempuan itu telentang di ranjang dengan kedua kakinya
mengangkang. Sebagian kainnya terangkat ke atas. Hingga pahanya terkuak di
depan mata Pandesa.
"Hi hi hi.. Sudah lama
aku tidak menikmati kehangatan tubuh wanita, he he he..." Pandesa langsung
menindih tubuh istri tuan tanah, dan merobek baju serta kainnya. Wanita itu meronta-ronta
sambil mencakar muka Pandesa. Namun lelaki bertubuh besar itu tak peduli.
Bahkan dengan gemas ia menciumi leher, dan dada perempuan yang masih montok itu.
"Lepaskan..., oh....
Jangan... ukh" Terjadilah pergumulan yang penuh nafsu. Pandesa yang sudah
berada di atas tubuh perempuan itu terus melakukan tekanan-tekanan yang buas.
Sementara di luar, sesosok
bayangan berkelebat, di antara rumah penduduk. Lalu melompat ke atap sebuah
rumah.
"Hah...? Aneh, ke mana
para petugas ronda...? Pasti ada yang tak beres," gumam sosok bayangan
yang belum jelas, karena malam begitu gelap. Kemudian sosok bayangan itu
melompat-lompat bagai tupai di atas atap rumah penduduk. Sampai akhirnya berhenti
di sebuah rumah besar, yang tak lain rumah tuan tanah Bakarekso. Lampu rumah
itu sebagian masih menyala. Namun tiba-tiba lampu salah satu ruangan padam.
Bersamaan dengan matinya lampu, terdengar jeritan suara perempuan. Sosok
bayangan nampak tersentak dan segera melesat, melompat turun. Tubuhnya melesat
menuju rumah Bakarekso.
Tiba-tiba, dari pintu keluar
dua orang bertelanjang dada, yang tak lain Gerombolan Gagak Merah.
Kedua lelaki bertampang bengis
itu tengah menggotong barang-barang hasil rampokannya.
Sosok bayangan segera bersembunyi
di balik pilar rumah. Sementara itu suara jeritan terhenti, hanya terdengar
samar-samar tangis dan rintihan dari seorang wanita.
"Perampokan,
perkosaan...?" gumam sosok bayangan itu lirih.
Ketika dua orang yang
menggotong barang rampokan itu melewati pagar rumah, tiba-tiba terdengar suara
pekikan keras dari mulut keduanya. Kedua tubuh bertelanjang dada itu roboh
dengan mulut memuntahkan darah segar. Ternyata sosok bayangan itu dengan begitu
cepat melancarkan tendangan dan pukulan ke dada mereka berdua.
Sosok bayangan itu kemudian
melesat ke rumah dan menyelinap masuk.
Brak "Hah...?"
Pandesa kaget. la segera melompat dalam keadaan bugil, hendak menggapai celana
dan goloknya. Namun sosok bayangan yang tak lain adalah Mei Lie. Melesat cepat
sambil mengangkat Pedang Bidadari-nya.
"Heaaat.." Pandesa
tak sempat mengelak, karena pikiran dan keseimbangan belum pulih. Maka tak
pelak lagi, Pedang Bidadari membabat tubuh Pandesa.
Cras Cras "Aaa..." Tubuh
Pandesa seketika roboh. Sesaat kemudian terpotong dua. Membiru, lalu hancur
jadi debu.
Perempuan yang masih terkulai
telanjang di ranjang segera ditutupinya dengan kain. Sementara di kamar
belakang, Dongkala yang tertidur lemas, habis melahap keperawanan Jumirah,
tiba-tiba terbangun.
Dilihatnya di ambang pintu
berdiri Mei Lie dengan memegang pedang di tangannya. Dongkala membelalakkan
matanya, lalu melompat turun.
"Siapa kau...?"
tegur Dongkala dengan mata membelalak. Tangannya mencoba menggapai golok yang
ditaruh di atas meja kecil bersama ikat pinggangnya. Namun Mei Lie yang sudah
tak bisa menahan amarahnya langsung melompat. Dan....
"Heaaat.." Cras Cras
"Aaa..." Dongkala menjerit. Suaranya melengking panjang. Seketika
tubuhnya terbelah dua, lalu roboh. Sesaat kemudian membiru. Jumirah, tersadar
setelah Mei Lie membebaskan totokan tubuhnya.
"Ohhh...," Jumirah
mengeluh, lalu menangis sambil menutupi tubuhnya yang polos. Mei Lie memandangi
dengan sedih dan iba.
"Kau kini sudah aman,
Dik. Namun maafkan, aku terlambat datang. Hingga orang-orang biadab itu...,"
Mei Lie tak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba dari luar berdatangan Ki
Lurah Patiasa, Santika, Lohdaya, dan Pendekar Gila yang tampak cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Sambil mendekati Mei Lie pemuda berpakaian rompi dari
kulit ular itu mencabut bulu burung dari ikat pinggang lalu mengilik-ngilik
kupingnya.
"Kenapa bisa
terjadi...?." gumam Ki Lurah Patiasa sambil menggelengkan kepala. Wajahnya
nampak murung.
"Mereka memakai ilmu
'Sirep' yang ampuh, Ki Lurah. Tapi aku masih beruntung bisa melawan ilmu itu,"
kata Mei Lie, lalu melirik Sena yang cengar-cengir sambil mengilik-ngilik
telinganya dengan bulu burung.
"Ki Lurah mengenal para
perampok ini...?" tanyanya kemudian.
"Ya. Mereka adalah
Gerombolan Gagak Merah.
Kalau tak salah ini Dongkala,
pimpinannya...," jawab Ki Lurah Patiasa sambil menunjuk mayat Dongkala yang
seluruh tubuhnya telah membiru, lalu perlahanlahan mulai hancur menjadi debu.
Ki Lurah Patiasa tersentak kaget. Begitu pula para pengikutnya semua membelalakkan
mata keheranan. Mereka ngeri bercampur bingung.
"Hm.... Ilmu apa yang
digunakan gadis Cina itu...?" tanya Ki Lurah dalam hati. Tak satu pun yang
membuka mulut "Ah ah ah... Rupanya sepak terjang si Penunggang Kuda Iblis,
dimanfaatkan oleh orang-orang kerdil ini. Hi hi hi..., lucu" celetuk Sena
sambil terus mengilik-ngilik telinganya dengan bulu burung, lalu
menggaruk-garuk kepala.
Melihat Pendekar Gila yang
hanya cengengesan, seperti tak menghiraukan, Mei Lie tampak cemberut.
Lalu kakinya melangkah
mendekatinya.
"Kenapa Kakang diam
saja...?" tanya Mei Lie dengan wajah cemberut Pendekar Gila yang mengerti
maksud kekasihnya, yang terkadang suka manja. Langsung mengacungkan jempol
seraya berkata.
"Hi hi hi..., aku kagum
padamu, Mei. Kau telah bertindak cepat. Belum sempat aku bertindak, kau sudah
lebih dulu. Aku senang." Mendapat pujian dari Pendekar Gila, bibir Mei Lie
tampak tersenyum-senyum bangga.
"Kami juga sangat kagum
atas kesigapan Nini Mei Lie. Kami merasa malu...," tambah Ki Lurah Patiasa
dengan senyum tersungging di bibirnya.
"Ini sudah kewajiban Ki
Lurah. Hm, sebaiknya ki-ta amankan kedua wanita itu" ujar Mei Lie kemudian
seraya menghampiri Jumirah. Gadis itu masih menangis tersedu-sedu memikirkan
nasibnya dan sang Ibu yang telah menjadi korban kebiadaban Dongkala dan kawan-kawannya.
Ki Lurah Patiasa segera
memerintahkan pada Santika dan Lohdaya untuk mengurus Jumirah dan ibunya.
Setelah ikut mengurus mayat saudagar Bakarekso kepala desa itu memperingatkan
para warga agar meningkatkan kewaspadaan dan turut menjaga kea-manan desa.
Malam semakin larut dan
mencekam. Desa Parangan loan sunyi dan sepi. Kejadian di rumah Tuan Bakarekso
membuat para penduduk cemas dan ketakutan. Apalagi yang mempunyai anak gadis.
Namun Pendekar Gila dan Mei
Lie yang masih berada di desa itu, agak membuat warga Desa Parangan sedikit
lega. Di antara para penduduk telah banyak mendengar nama pendekar muda itu
jauh sebelum melihat orangnya. Nama Pendekar Gila bukan nama asing lagi di
dunia persilatan. Sepak terjangnya dalam menumpas kedurjanaan dan menegakkan
keadilan telah membuat nama Pendekar Gila tersohor. Tidak hanya di kalangan
dunia persilatan, nama pendekar muda yang bertingkah laku seperti orang gila
itu telah mengagumkan banyak orang.
***
3
Matahari mulai condong ke
barat. Seekor kuda hitam berlari kencang memasuki hutan di kaki Bukit Palasari.
Kuda bertubuh besar dan kekar itu membawa seorang yang berpakaian
compang-camping mirip gembel yang tak lain Lara Kanti. Ternyata wanita inilah
yang akhir-akhir ini tengah ramai dibicarakan para tokoh di Kadipaten Krasaan.
Lara Kanti terus menggebah
kudanya agar berlari lebih kencang, Derap kaki kuda hitam itu seakan hendak
memecah keheningan senja di perbukitan itu. Mata kuda itu tampak merah membara,
seperti mata iblis, memancar tajam dan menggiriskan. Demikian juga mata gadis
berjuluk si Penunggang Kuda Iblis itu tampak jelalatan, mengawasi di sekitar
tempat yang dilaluinya. Hal itu karena tiba-tiba telinganya yang tajam
menangkap adanya suara derap kaki kuda.
"Hm..., ada yang
mengikutiku?" gumamnya seraya memperlambat lari kuda.
Suara kaki kuda semakin jelas
terdengar. Lara Kanti semakin memperlambat lari kudanya sambil mengerutkan
kening. Telinganya hanya mendengar satu ekor kuda.
Tiba-tiba ditariknya tali
kekang kuda, lalu seketika tubuhnya melompat tinggi. Kakinya dengan sigap hinggap
pada sebatang cabang pohon yang tinggi. Matanya dengan liar mengawasi sekeliling
tempat di bawah sana. Tiba-tiba pandangannya melihat seorang penunggang kuda
berwarna coklat. Dari pakaian dan pedang yang bertengger jelas orang itu
berasal dari kalangan rimba persilatan.
"Hm... Siapa monyet itu?
Mau mencari perkara…" gumam Lara Kanti, setelah meyakinkan penglihatannya.
Lara Kanti memperhatikan
gerak-gerik penunggang kuda di bawah sana. Ketika kuda itu sampai di bawahnya,
dengan cepat tubuhnya melompat turun dengan bersalto, lalu mengirimkan sebuah
pukulan yang mengarah ke kepala penunggang kuda itu. Namun rupanya si
penunggang kuda telah merasakan adanya serangan gelap. Dengan cepat pula
tubuhnya melompat dari punggung kuda.
"Yeaaa..." "Heit..
Heaaa..." Lara Kanti mencoba menyambar kepala lawan dengan tangan kiri dan
kanan, ketika tubuhnya masih melayang di udara. Namun lelaki penunggang kuda
itu dengan cepat bergerak meliuk seraya melancarkan sebuah serangan balik.
"Heaaa..." Plak Namun
tangan kanan Lara Kanti terjulur cepat memapaki serangan balasan itu.
"Hm..." gumam lelaki
penunggang kuda itu seraya manggut-manggut.
Lara Kanti tak menduga kalau
orang itu memiliki ilmu yang cukup handal. Begitu kakinya mendarat di tanah,
dengan sigap Lara Kanti mengatur kedudukannya. Matanya yang tajam mengawasi
penuh selidik lelaki muda berkumis tipis itu. Rambutnya yang panjang sebahu
diikat kain merah tua, sama dengan warna pakaiannya. Di pinggangnya melilit
sabuk dari kulit berwarna hitam, menambah angker penampilannya.
"Ha ha ha... Ini rupanya
orang yang dijuluki Penunggang Kuda Iblis itu Ternyata hanya gembel kotor dan
kudisan. He he he..." ejek pemuda itu sambil mengelus-elus cambangnya yang
hitam dan lebat.
Pemuda berambut gondrong itu
segera mencabut pedang dari warangkanya.
Srats "Ada urusan apa kau
mengikutiku...?" tanya Lara Kanti ketus.
"Ha ha ha... Kau mau
tahu, Gembel? Ketahuilah Aku Sasaka Purwa ingin mencari Pendekar Gila, untuk
membunuhnya. Aku ingin jadi orang terkenal dan disegani. Tapi ketika aku
mendengar nama Penunggang Kuda Iblis yang ramai dibicarakan orangorang
persilatan, niatku berubah. Aku rasa lebih baik membunuhmu lebih dulu, sebelum
menghabisi Pendekar Gila... Ha ha ha..." tutur pemuda bernama Sasaka Purwa
dengan sombong sambil mempermainkan pedang diputar-putar di atas kepala. Seolah
dirinya yakin benar akan mampu mengalahkan, bahkan membunuh Lara Kanti.
Mendengar ucapan Sasaka Purwa,
Lara Kanti hanya diam. Sepertinya tak terlalu menggubrisnya.
Wanita muda berpakaian gembel
itu bahkan membalikkan tubuh hendak pergi. Hal itu tentu saja membuat Sasaka
Purwa jengkel dan marah, karena merasa diremehkan.
"Hei Pengecut
Heaaat.." Sasaka Purwa tiba-tiba menyerang Lara Kanti.
Namun wanita bercaping lebar
sudah menduganya.
Sehingga dengan cepat tubuhnya
melenting ke udara untuk menghindar, sambil mengibaskan tangan kanan.
"Hih..." "Heh?" Swing Swing...
Mata Sasaka Purwa terbelalak,
karena bersamaan dengan gerakan perempuan gembel itu meluncur belasan senjata
rahasia menyerupai paku. Tentu saja hal itu membuat pemuda itu terkejut, sebab
tak menduga sama sekali lawan akan melakukannya. Maka dengan cepat tubuhnya
bergerak untuk mengelak setelah terlebih dahulu menarik pulang serangannya. Tubuhnya
kini berguling cepat di tanah berbatu-batu.
"Heit Heaaa..." Tubuh
Sasaka Purwa melenting ke udara dan bersalto. Namun Lara Kanti tak memberi
kesempatan pada lawan untuk berbalik menyerangnya. Pukulan dan tendangannya
terus mencecar tubuh pemuda berambut gondrong itu. Menyadari tak mampu memberi serangan
balasan, Sasaka Purwa langsung melompat ke atas sebuah pohon. Kemudian dengan
menggunakan ilmu 'Tupai Melompat' tubuhnya melompat ke sana kemari, berpindah
dari satu cabang ke cabang lainnya menghindari serangan lawan.
Melihat lawannya berada jauh
di atas pohon, Lara Kanti tidak mau kalah. Tubuhnya segera melompat memburu
Sasaka Purwa, dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna. Bagaikan
melayang Lara Kanti mengejar Sasaka Purwa yang melompat-lompat bagai tupai,
dari pohon satu ke pohon lainnya. Terkadang pemuda itu merayap bagai cecak di
batang dan cabang pohon.
Sementara Lara Kanti yang
telah memindahkan tudung capingnya ke punggung terus melesat. Tubuhnya tampak
melayang ke sana kemari, mencoba mengejar lawannya. Sebentar kemudian kakinya
hinggap pada sebatang cabang pohon.
Kini keduanya berdiri di
cabang pohon besar, siap melancarkan serangan. Mereka nampak membuka jurus
andalan masing-masing Lara Kanti mengerahkan jurus ‘Pedang Malaikat Maut’ Sasaka
Purwa mempermainkan pedangnya di atas kepala dan ke samping. Sedangkan Lara
Kanti lebih tenang. Hanya dua tiga kali mempermainkan pedang mautnya.
Kemudian....
"Heaaa..." "Heaaat..."
Sasaka Purwa melompat ke depan lebih dulu.
Sambil melenting lalu bersalto
perempuan berpakaian gembel itu pun menyusul serangan lawan. Tangannya dengan
cepat menebaskan pedang. Begitu pula yang dilakukan Sasaka Purwa. Hingga....
Srak Trang Trang "Hah..."
Percikan api akibat beradunya kedua pedang pusaka itu tampak dari sela-sela
rimbun dedaunan. Lalu keduanya sama-sama terpental ke belakang, dan kembali
hinggap pada cabang pohon. Sesaat kemudian keduanya kembali membuka jurus dan
kuda-kuda.
Rupanya Sasaka Purwa bukan
lawan sembarangan, sehingga Lara Kanti nampak lebih hati-hati dalam melancarkan
serangan.
Teriakan nyaring kembali
terdengar memecah keheningan senja di perbukitan itu. Keduanya kini tampak
sama-sama mengerahkan jurus-jurus andalan.
Dari sela-sela rimbun dedaunan
dan batang pohon tampak saling berkelebatan cahaya pedang mereka.
Suara dentangan nyaring,
disusul teriakan keras, lalu ditingkahi pula gemeresak dedaunan dan
batang-batang kayu patah terus terdengar.
Masing-masing ingin segera
menjatuhkan. Namun kini sudah lima belas jurus belum menampakkan pihak yang
bakat kalah. Memasuki jurus selanjutnya masih sama-sama bertahan. Beberapa kali
ujung pedang mereka hampir menemui sasaran. Namun dengan gerak cepat disertai
tingkat kewaspadaan tinggi keduanya mampu menghindarinya. "Heaaa..." Pekikan
keras mengiringi lesatan tubuh Lara Kanti melancarkan serangan dahsyat Srak
Trang "Hah...?" Sebuah gerakan menebas yang cepat dan begitu kuat
dilakukan Lara Kanti. Tebasan yang dikerahkan dengan tenaga dalam itu membentur
pedang lawan.
Seketika Sasaka Purwa
merasakan ada hawa panas menjalar ke tangannya, hingga pedangnya terlepas dan
jatuh. Sasaka Purwa tersentak kaget, matanya membelalak. Segera dia melompat
turun bermaksud mengambil pedangnya. Namun Lara Kanti mengerti. Segera dimasukkan
pedang ke dalam sarungnya. Lalu memburu Sasaka Purwa, turun.
Kini keduanya sama-sama
bertangan kosong. Sasaka Purwa membuka jurus ‘Telapak Sakti’ Dari kibasan kedua
tangannya mendatangkan angin.
Wuttt Wuttt Melihat lawannya
mengerahkan ilmu andalan, Lara Kanti hanya tersenyum sinis. Namun hatinya tetap
tak mau kalah. Dengan gerakan yang indah, Lara Kanti mengeluarkan jurus
‘Tamparan Tangan Iblis’ Dari telapak tangan Lara Kanti tiba-tiba keluar asap
merah. Kini keduanya siap menyerang dengan kesaktian masing-masing.
"Heaaa..." Wut Wut "Yeaaa..."
Keduanya melompat bersamaan. Di udara telapak tangan mereka yang telah dialiri
kekuatan tenaga dalam tinggi saling beradu.
Glarrr...
Ledakan keras terdengar,
disusul dengan terpentalnya kedua tubuh. Sasaka Purwa jatuh bergulingan di
tanah berumput, beberapa tombak dari tempat tubuh Lara Kanti yang jatuh
terduduk.
"Ukh..." Sasaka
Purwa memuntahkan darah merah kehitaman. Lalu mulutnya mengerang menahan sakit
di dadanya. Perlahan-lahan tubuhnya bangkit hendak berdiri.
"Hm... Kau harus mati,
Monyet Busuk.... Tak akan kubiarkan kau membunuh Pendekar Gila, sebelum
melangkahi mayatku" gumam Lara Kanti sambil tersenyum sinis. Matanya yang
tajam menatap wajah Sasaka Purwa.
Sasaka Purwa tak menghiraukan
ucapan Lara Kanti. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, ia melompat menyerang
perempuan berpakaian compangcamping yang telah berdiri tegak tiga tombak di depannya.
Namun dengan sigap Lara Kanti telah mempersiapkan diri untuk menangkisnya.
"Hiaaa..." Wret
Prats "Aaa..." lengkingan keras terdengar dari mulut Sasaka Purwa.
Pukulan jurus 'Tamparan Tangan Iblis' yang dilancarkan Lara Kanti mendarat
telak di dadanya. Tak ampun lagi, tubuh lelaki muda berpakaian merah itu
melintir, sempoyongan dengan dada hangus bagai terbakar dan membekas telapak
tangan Lara Kanti. Sesaat kemudian Sasaka Purwa ambruk, tewas.
Kedua matanya melotot
Sementara dari mulutnya masih keluar darah segar Lara Kanti menghela napas
lega. "Rupanya banyak tokoh persilatan yang menginginkan Pendekar Gila
mati Hm... Cepat atau lambat, aku harus menemukan pendekar itu." Selesai
berkata begitu, Lara Kanti mendekati mayat Sasaka Purwa. Dibalikkan mayat itu
dengan kaki kanannya dan dilangkahinya. Lalu segera meninggalkan tempat
pertarungan itu.
Sesampai di tempat yang lebih
luas, Lara Kanti menepukkan telapak tangannya. Tak lama kemudian kuda hitam
yang matanya bersinar kemerahan bagai mata iblis, meringkik mendekati perempuan
bercaping lebar itu. Kuda itu mengangkat kedua kaki depannya sambil
meringkik-ringkik. Setelah mengusap-usap kepala kuda itu, Lara Kanti segera
melompat dan menggebahnya.
Kuda hitam itu pun langsung
berlari kencang menuju ke timur. Sementara itu mentari semakin condong ke
barat. Sinarnya tampak kemerah-merahan.
Lara Kanti terus memacu
kudanya makin jauh, dan hilang di balik pepohonan hutan di sebelah timur Bukit
Palasari.
***
Ketika terik matahari siang menyengat persada bumi
ini, seekor kuda hitam pekat berlari kencang me-nerobos debu berterbangan di
Lembah Cadas Pangeran. Di punggung kuda itu, tampak seorang perempuan bercaping
lebar, dengan pakaian compangcamping. Wajah gadis itu cukup ayu, tapi pandangan
matanya galak dan tajam, tersembunyi di balik caping lebar. Rambutnya dibiarkan
tergerai ditiup angin kencang. "Heah..." Derap kaki kuda melaju,
bagai tak menghiraukan terik matahari yang tak bersahabat Namun mendadak si
Penunggang Kuda Iblis itu menghentikan lari kudanya.
"Ck ck ck... Tenang,
tenang Ireng" Lara Kanti menenangkan kudanya yang bernama Ireng. Kuda itu seakan
merasa ada sesuatu yang mencurigakan, dan akan membahayakan juragannya.
Sehingga terdengar suara ringkikannya.
"Hm..." Lara Kanti
menggumam tak jelas. Matanya masih menyapu ke sekeliling lembah, seakan
memahami arti ringkikan kuda kesayangannya.
"Kau memang sahabatku
yang baik, Ireng...," ujar Lara Kanti sambil menepuk-nepuk dan mengusap lembut
leher kuda itu.
Kuda mengangguk-angguk, seakan
merasa senang. Dan kembali meringkik. Lara Kanti tersenyumsenyum. Namun matanya
tetap menyapu ke sekeliling tempat itu.
Kresek Lara Kanti menoleh ke
arah suara dari semaksemak. Kemudian tubuhnya melompat dari punggung kuda. Baru
saja perempuan itu mendaratkan kaki di tanah, dari balik semak bermunculan
sepuluh sosok tubuh berpakaian serba hijau. Sebagian muka mereka tertutup kain
yang berwarna sama, hijau. Hanya mata mereka yang terlihat. Kesepuluh sosok itu
menggenggam sebilah golok tajam. Tampaknya mereka para penyamun yang membegal
setiap orang yang melintasi tempat itu.
"Hm....'" gumam Lara
Kanti perlahan. "Rupanya ada tikus-tikus can santapan..." "Kurang
ajar Berani mengejek kami. Siapa kau?.'" bentak orang yang berdiri paling
depan sambil menudingkan goloknya. Dan suaranya jelas orang itu lelaki.
"Siapa pun aku, kalian tak perlu tahu Yang pasti, aku tak suka ada orang
menghalangi perjalananku," jawab Lara Kanti sambil menggeser tudung
capingnya.
Seakan-akan ingin memperjelas
pandangannya.
"Ha ha ha... Omonganmu
seperti orang yang tak mempan dibacok golok pusakaku ini," ujar lelaki
yang paling depan. Dengan angkuh ditudingkan lagi goloknya ke arah Lara Kanti.
Lelaki inilah tampaknya pemimpin Laskar Hijau itu. Brajakala, begitu
panggilannya. Seorang tokoh dari aliran hitam yang selalu melakukan perampokan,
menculik gadis-gadis desa dijadikan gundik, serta menjadi pembunuh bayaran yang
disegani.
Lara Kanti mengangkat pelahan
kepalanya, yang tadi sedikit menunduk, lalu menatap tajam wajah lela-ki di
depannya. Brajakala yang memiliki mata jalang seketika tahu, kalau di balik
caping lebar itu tersembunyi seraut wajah cantik seorang wanita. Segera saja
kakinya melangkah mendekati Lara Kanti. Lalu berhenti dua tombak di hadapan
Lara Kanti.
"He he he... Kawan-kawan,
rupanya hari ini aku mendapatkan daging yang benar-benar kenyal dan
se-dap..." seru Brajakala pada teman-temannya, sambil menoleh ke kin dan
kanannya.
"Hei siapa pun namamu dan
dari mana asalmu, aku tak peduli..., asal kau mau ikut aku... he he he...
Aku tahu kau wanita yang masih
muda dan ayu. He he he... Kemarilah, Cah Ayuuu... He he he...." Lara Kanti
hanya menghela napas dalam-dalam.
Sementara itu Brajakala
semakin mendekatinya. Tangannya tiba-tiba mencoba mau membuka caping Lara Kanti.
Lara Kanti tak mengelak sedikit pun.
Namun, baru saja Brajakala
melihat sekilas wajah wanita itu. Tiba-tiba mulutnya memekik dengan tubuh terhuyung
dua tombak ke belakang. Entah kapan Lara Kanti melakukan serangan itu, sukar
ditangkap pandangan mata biasa. Rupanya Lara Kanti telah melancarkan pukulan
'Tanpa Wujud', dengan tenaga dalamnya.
"Adauuu..." Para
anak buah Brajakala tersentak kaget, karena mereka tak menduga. Sebelumnya
mulut mereka cengar-cengir menyaksikan ulah pimpinannya. Seketika kesembilan
lelaki berpakaian serba hijau itu mengangkat golok hendak menyerang Lara Kanti.
Rupanya, Lara Kanti tadi
dengan cepat menggunakan ilmu 'Pukulan Tanpa Wujud'. Kini wanita muda yang
dijuluki Penunggang Kuda Iblis itu telah menggenggam Pedang Maut-nya. Ditaruh
di depan dada, siap menanti serangan lawan-lawannya.
Sementara itu Brajakala yang
dibuat malu di depan anak buahnya tampak marah sekali.
"Serang...
Tangkap..." seru Brajakala pada anak buahnya. Maka segera sembilan anak
buahnya langsung merangsek dan mengepung Lara Kanti.
"Heaaa..." Wut Wut Golok
kesembilan lelaki berpakaian serba hijau mendesing dan menderu membabat ke
tubuh si Penunggang Kuda Iblis. Namun wanita gembel tapi cukup cantik itu
dengan tenang mengelak dari semua serangan yang dilancarkan kesembilan Laskar
Hijau.
Dengan cepat direbahkan
tubuhnya ke belakang, ke samping atau terkadang melenting ke atas sambil bersalto,
melewati para pengeroyok, lalu dengan ringan mendarat di luar kepungan mereka.
Brajakala yang mengamatinya merasa sedikit kecut. Sembilan anak buahnya, yang
memiliki ilmu 'golok' yang cukup handal, tak satu pun berhasil mendaratkan
serangan mereka ke tubuh wanita bercaping itu.
Lara Kanti yang sudah tak mau
lama-lama berurusan dengan sembilan anak buah Brajakala, segera melancarkan
serangan balik. Dengan cepat dan tak terduga, caping dari bambu kuning yang
menutupi kepalanya dilemparkan untuk menerjang lawan yang tampak kian beringas.
Srat Werrr Jrab Crak "Aaa..."
"Waduuuh..." Pekikan beruntun terdengar melengking panjang, ketika
caping Lara Kanti menyambar kepala, leher, dan dada Laskar Hijau. Suara erangan
dan rintihan kesakitan terdengar dari mulut mereka. Yang tertutup kain hijau.
Tubuh kesembilan anak buah Brajakala tampak saling berkelojotan di tanah.
Pakaian hijau mereka telah berubah merah, basah berlumuran darah. Dan tak lama
kemudian mereka tewas.
Brajakala yang melihat
kejadian itu, semakin ketakutan. Matanya terbelalak seperti tak percaya melihat
sembilan anak buahnya tewas dalam keadaan mengerikan. Caping lebar itu membuat
leher empat orang anak buahnya hampir putus. Sedang yang lain, wajah, dan
dadanya hancur berantakan. Namun, bukan Pemimpin Laskar Hijau yang terkenal
bengis dan buas itu, kalau harus bertekuk lutut hanya dengan seorang perempuan
gembel.
"Heaaa..." Brajakala
melompat sambil menghunuskan Golok Setan-nya. Suara tebasan dan babatan golok
itu menderu keras.
Wut Wut "Heaaa... Mampus
kau" dengus, Brajakala geram. Namun, Lara Kanti cepat mengelak dengan menggeser
kaki kanan ke samping sambil merebahkan tubuhnya, sedangkan tangannya
menangkis, lalu melancarkan serangan balasan.
Brajakala yang melihat tubuh
Lara Kanti masih miring ke samping, cepat merubah bacokan. Lelaki berpakaian
hijau itu membabatkan goloknya dari atas ke bawah.
"Heaaat.. Mampus kau,
Gembel" seru Brajakala merasa yakin.
Lara Kanti sudah mengetahui
gerakan cepat itu.
Sehingga sebelum golok di
tangan Brajakala menyentuh tubuhnya, Lara Kanti dapat berguling ke samping.
Lalu dengan gerakan secepat
kilat, dia berdiri dan membabatkan pedangnya ke lengan kiri Pemimpin Laskar
Hijau itu.
"Hih..." Cras "Aaakh..."
Lengan Brajakala putus. Darah bercucuran. Tubuhnya melintir sambil
menjerit-jerit kesakitan. Wajahnya yang garang tertutupi kain hijau nampak
bergetar. Sementara Lara Kanti cepat melompat dan langsung membuka tutup muka
lawannya.
Bret "Hah...? Ampuuun..."
ratap Brajakala gemetaran sambil menjura perempuan gembel bercaping lebar di hadapannya.
Lara Kanti melempar capingnya.
Kini wajahnya yang ayu itu nampak lebih jelas. Namun Brajakala tak berani
mengangkat muka.
"Hei, Tikus Kau tadi
ingin menikmati tubuhku.
Ayo, sekarang lakukan
keinginamu Ayo..." ujar Lara Kanti dengan suara dibuat manja. Sambil
tangan kirinya mengangkat celana panjangnya sampai pangkal paha. Kemudian
mendekatkan ke muka Brajakala.
Brajakala masih tertunduk
gemetaran. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Seperti mandi.
"Ayo... Pedang pahaku
Atau kau lebih suka dengan ini....'" kata Lara Kanti sambil membuka bagian
atas pakaiannya. Hingga dua gunung yang masih padat dan mulus tersembul keluar.
Brajakala, memberanikan diri
untuk mengangkat wajah. Dan setelah melihat kedua buah dada Lara Kanti yang
memang masih montok itu tiba-tiba....
Jreb "Aaakh..." Lara,
Kanti dengan cepat menusukkan pedangnya ke jantung Brajakala. Seketika lelaki
berpakaian serba hijau itu tewas, menyusul kesembilan anak buahnya.
"Kau telah puas, dapat
melihat milikku, bukan? Nah kini selamat sampai di neraka, Tikus Busuk..."
kata Lara Kanti dengan geram.
Setelah itu Lara Kanti segera
meninggalkan kesepuluh mayat Laskar Hijau. Digebahnya si Ireng yang bermata
merah menyala seperti mata iblis itu. Kuda hitam itu pun langsung melesat
meninggalkan Lembah Cadas Pangeran.
***
4
Pendekar Gila dan Mei Lie yang
berada di Desa Parangan tengah bingung karena terus mendengar sepak terjang
perempuan gembel Penunggang Kuda Iblis itu. Bersama Ki Lurah Patiasa dan
orang-orangnya, Pendekar Gila mengatur siasat, agar dapat berhadapan dengan
pembunuh bengis itu.
Di ruang tengah rumah Kepala
Desa Parangan malam itu tampak berkumpul Pendekar Gila, Mei Lie, Ki Lurah
Patiasa, Santika, dan Lohdaya. Sedangkan beberapa orang warga berjaga-jaga di
sekitar rumah Ki Lurah Patiasa. Kegiatan ronda malam pun tetap dilaksanakan di
beberapa tempat di Desa Parangan.
Malam sunyi dan mencekam.
Angin bertiup kencang menghembuskan hawa dingin menusuk tulang sumsum. Suara
binatang terdengar bersahutan di kejauhan.
"Bagaimana rencana Tuan
Pendekar?" tanya Ki Lurah Patiasa memulai percakapan.
"Ah ah ah... Janganlah
kau panggil aku dengan sebutan itu, Ki Lurah. Panggil saja namaku: Hi hi hi...
Aku lebih senang dipanggil
Sena" sahut Pendekar Gila dengan mulut cengengesan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala seperti merasa gatal. "Aha... Aku memang sudah
punya rencana, tapi terus terang aku tidak membeberkan kepada kalian. Maaf, Ki
Lurah, juga Kisanak sekalian Hi hi hi..." Santika dan Lohdaya mengerutkan
kening, tidak hanya karena heran melihat sikap konyol Pendekar Gila, melainkan
juga tersinggung. Namun Pendekar Gila tampaknya memahami tanggapan kedua orang
andalan Ki Lurah Patiasa.
"Sekali lagi maaf Aku
mohon pengertian Kisanak.
Sebab, kalau saya sampaikan,
rencana ini bisa saja gagal. Dan terus terang, bukan saya tak mempercayai orang-orang
di desa ini, tapi semata-mata demi kelan-caran semuanya. Agar kita dapat
menangkap orang yang kita cari...," tutur Sena dengan tegas, walaupun
sesekali masih menggaruk-garuk kepala.
Ki Lurah Patiasa
manggut-manggut, tampaknya memahami maksud rencana Pendekar Gila.
"Jangan mempunyai
prasangka buruk terhadap kami, Kisanak..." tambah Mei Lie, menoleh kepada
Santika dan Lohdaya. "Percayalah Ini semua kami lakukan demi kita
semua...." Ki Lurah Patiasa kemudian mencoba memberikan pengertian pada
Santika dan Lohdaya.
"Kami percaya pada Sena
dan Mei Lie. Lalu apa yang harus kami lakukan?" tanya Ki Lurah Patiasa
kemudian, dengan mengangguk-anggukkan kepala.
Pendekar Gila menggaruk-garuk
kepala dan cengengesan. Sedangkan Mei Lie tersenyum membalas anggukan kepala Ki
Lurah Patiasa.
"Tapi untuk malam ini
saya berharap, kita tetap berjaga. Siapa tahu orang yang kita cari saat ini
mampir di Desa Parangan ini...," pinta Sena seenaknya sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Baik...," jawab Ki
Lurah Patiasa. "Santika, Lohdaya Apakah semua warga sudah kau beri
tahu...?" "Sudah Ki Lurah. Ki Lamting yang saya perintahkan untuk
memimpin ronda malam ini," jawab Santika sambil memberi hormat.
"Hm...," gumam Ki
Lurah Patiasa sambil mengangguk.
Sementara di luar udara
semakin dingin. Para warga Desa Parangan tampak berjaga-jaga di semua sudut
desa. Tentu saja mereka membawa senjata.
"Mudah-mudahan malam ini
tak terjadi apa-apa di desa kita ini," kata seorang peronda bernama Karto.
"Tapi kenapa malam ini
sangat dingin hawanya.
Hih..." sahut Samsu
sambil mendekap dada dengan kedua tangannya.
"Kamu saja yang
bengek," tukas Jamin, "Orang hawanya panas begini, kok" "Sudah,
jangan ribut soal dingin, panas Kita harus waspada. Nanti, tahu-tahu ada orang
tak diundang masuk desa kita, mati kuwe..." tukas Gondo berusaha
mengingatkan teman-temannya agar tak mengurangi kewaspadaan.
Kebisuan kemudian menyelimuti
para peronda yang sedang berkumpul di gardu sebelah utara. Terlebih malam itu
angin berhembus membawa hawa dingin, membuat suasana di sekitar tempat itu
semakin mencekam.
Krak Tiba-tiba terdengar suara
seperti ranting kayu yang patah, dari arah semak-semak belukar. Hal itu tentu
saja mengejutkan para peronda yang hanya berjarak sekitar sepuluh tombak dari
semak-semak itu.
"Hah...? Ada tamu tak
diundang..." kata Jamin pada teman-temannya.
"Ssst..." Gondo
memberi isyarat pada temannya agar tidak ribut.
Seketika mereka memasang mata
tajam mengawasi sekeliling tempat itu. Rasa tegang dan takut mulai menyelimuti
para peronda.
Belum juga rasa tegang dan
takut itu hilang, tiba-tiba berlompatan lima sosok tubuh berpakaian serba
hitam, dengan memakai kedok. Rambut kelima tamu tak diundang itu dibiarkan
terurai, panjang melewati bahu. Mata golok mereka bergerigi tajam mirip gergaji
berukuran panjang.
Kedok yang dipakai lima sosok
itu menyeramkan.
Bagi orang yang takut mungkin
akan mengira kelima sosok berpakaian hitam itu sebagai hantu.
"Hantu...?" gumam
Karto. Matanya membelalak dengan bibir gemetaran.
"Tolong...
Tolooong..." jerit Gondo yang berbadan kurus sambil berlari ketakutan,
melemparkan goloknya. Hal itu membuat para peronda yang lainnya tampak panik.
Pada saat itu lima sosok berkedok seram itu langsung melancarkan serangan.
"Heaaa..." Cras Cras
"Aaa..." "Aaakh..." Lima orang berkedok setan itu seakan
tak memiliki rasa iba sedikit pun. Ki Lamting pun yang menjadi pemimpin para
peronda turut turun tangan. Pertarungan para peronda yang dipimpin Ki Lamting
dan lima orang berkedok itu tak dapat dihindarkan.
Trang Trang "Heaaa..."
Seketika suara benturan senjata terdengar, seakan-akan hendak memecah suasana
malam. Pekikan dan jerit kesakitan pun mulai terdengar.
Wut "Ukh..." "Aaa..."
Para peronda tampaknya bukan tandingan kelima sosok berkedok itu. Hanya dalam
beberapa gebrakan saja para peronda bergelimpangan tewas berlumuran darah.
Kenyataan itu membuat Ki Lamting marah.
Tanpa pikir panjang lagi,
karena telah terpancing perasaan marah, lelaki setengah baya itu langsung membuka
jurus andalannya dengan senjata golok.
"Heaaa..." Ki
Lamting melompat dan menyerang salah satu dari lima sosok berkedok. Namun
dengan mudah serangan itu dielakkan. Hanya dengan menggeser ke samping,
serangan itu lolos. Bahkan sosok berpakaian hitam itu langsung balas menyerang.
"Heaaa..." Dugkh "Aaakh..."
Serangan dari sosok berkedok seram itu mendarat telak di dada Ki Lamting.
Seketika tubuh pemimpin ronda itu terjungkal di tanah. Dari mulutnya mengalir
darah segar. Tampaknya pukulan lawan membuat luka dalam di dadanya.
Keributan itu sempat
menimbulkan kepanikan para peronda lain. Bahkan akhirnya terdengar pula oleh
Pendekar Gila, Mei Lie, Ki Lurah Patiasa, serta Santika dan Lohdaya.
"Tolooong... Ada setan...
Hantuuu..." Orang-orang berlarian ke arah rumah kepala desa sambil
berteriak gaduh. Sementara itu di ujung sebelah barat Desa Parangan, terlihat
sebuah rumah terbakar.
Santika dan Lohdaya segera
berlari menuju tempat pertarungan. Sementara Sena tampak masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. Namun kemudian segera keluar dan melesat diikuti
Mei Lie dan Ki Lurah Patiasa.
Pertarungan semakin seru,
ketika Santika dan Lohdaya turun tangan untuk meringkus kelima sosok berpakaian
serba hitam itu.
"Hei Tunggu... Mengapa
kalian mengacau dan membunuh warga desa ini...? Siapa kalian sebenarnya"
bentak Santika marah sambil menuding ke arah dua orang berkedok seram yang
berdiri dua tombak di depannya. Yang satu tampaknya pemimpin kelima lelaki
berkedok itu. Hal itu dapat dilihat dari bentuk dan penampilannya yang berbeda.
Pakaiannya yang longgar panjang terhias sabuk ikat pinggang warna kuning.
"Untuk apa kau tahu
diriku? Hhh..., tapi baiklah agar tidak penasaran. Aku Rasaka. Aku ingin meringkus
Pendekar Gila yang kalian sembunyikan itu... Sebaiknya minggir, kalau sayang
dengan nyawamu..." sahut lelaki berambut panjang dan berkedok seram yang
mengaku bernama Rasaka.
"Sombong Heaaa..." Santika
langsung melompat menyerang Rasaka.
Namun dengan cepat lelaki
berkedok itu melompat sambil menangkis serangan lawan.
"Heaaa... Mampus
kau..." seru Santika.
Santika rupanya lupa kalau
yang dihadapi dua orang. Salah seorang teman Rasaka yang sedan tadi hanya
melihat dan menunggu kesempatan baik untuk menyerang, tiba-tiba dari belakang
menyerang Santika yang sedang bertarung dengan Rasaka. Namun belum sempat golok
bergerigi milik orang berkedok menyentuh tubuh Santika, tiba-tiba sebuah
tendangan keras mendarat telak di tengkuk orang berkedok itu.
"Aaa..." Teman
Rasaka terjungkal jatuh ke tanah dan bergulingan. Santika merasa kaget dan
ketika wajahnya menoleh sekilas, ternyata Pendekar Gila telah berdiri di
sampingnya. Santika semakin semangat. Kembali ia merangsek lawan dengan
serangan cepat Namun Rasaka yang memiliki ilmu cukup tinggi, dengan mudah
mematahkan serangan lawan. Bahkan terbalik, Santika terdesak dan cukup gawat.
Melihat itu Pendekar Gila,
segera mengambil alih pertarungan.
"Heaaa..." Pendekar
Gila melompat sambil bersalto, dan mendarat di antara Rasaka dan Santika.
"Hah?" Rasaka
menatap tajam wajah Pendekar Gila yang sudah berdiri di hadapannya. "Ha ha
ha...
Kau rupanya Pendekar Gila.
Kebetulan sekali. Malam ini dunia persilatan akan mendengar, bahwa kau mati di
tanganku....'" ucap Rasaka dengan sombong. Lalu mundur tiga tombak dari
hadapan Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Santika,
sebaiknya kau bantu yang lain. Biar monyet ini aku yang hadapi" ujar
Pendekar Gila sambil cekikikan dan menggaruk-garuk kepala.
"Rupanya ada monyet
malam-malam datang mencari makanan. Hi hi hi... Lucu sekali Hai, Monyet... Ayo,
hadapi aku..." "Kurang ajar Kau boleh mengenalku Pendekar Gila,"
dengus Rasaka, lalu membuka kedok setannya.
Kini terlihat wajah aslinya,
yang garang dan berhidung besar. Mata sebelah kirinya rusak, seperti bekas kena
senjata. Bibirnya lebar, dengan kumis melintang tebal.
"Aku si Mata Iblis dari
Sungai Darah, malam ini akan menantangmu Ayo... Heaaa..." Rasaka melesat
dan langsung melancarkan serangan. Pendekar Gila yang sudah siap dengan segala kemungkinan,
mengelak dengan hanya memiringkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan. Lalu
melenting ke atas sambil bersalto. Nampak ringan sekali gerakan Pendekar Gila.
Begitu pula saat mendaratkan kaki di tanah. Bahkan pemuda berompi kulit ular
itu sambil cengengesan dan garuk-garuk kepala seperti mengejek lawannya.
Rasaka yang menghadapi
serangannya begitu mudah dapat dielakkan tampak marah. Apalagi ketika Pendekar
Gila mengejek seperti meremehkan.
"Heaaa... Hiaaa..." Si
Mata Iblis dari Sungai Darah kembali menyerang dengan garang. Tubuhnya
melenting sambil berputaran dan memburu Pendekar Gila dengan golok bergeriginya.
"Jurus apa nih? Hi hi hi,
lucu..." gumam Sena sambil melenting ke udara sambil bersalto, melewati lawannya.
Kedua tangannya menjulur berusaha menyambar tangan Rasaka. Pertarungan di udara
tak terelakkan. Dari kejauhan, mata bisa pasti tidak mampu menangkap gerakan
mereka. Apalagi suasana malam itu gelap gulita. Padahal kedua tokoh itu dengan
dahsyat saling melancarkan serangan untuk menjatuhkan lawan. Pendekar Gila yang
telah memiliki segudang pengalaman bertarung dalam petualangan di rimba persilatan
tampaknya mampu mengimbangi kemampuan lawan. Ketika keduanya sama-sama mendarat
Pendekar Gila tampak hanya cengengesan.
Sementara itu si Mata Iblis
dari Sungai Darah yang telah terkuras tenaganya dalam pertarungan cepat di
udara, segera memasang kuda-kuda. Dirinya bermaksud mengerahkan salah satu
jurus yang bernama jurus 'Golok Setan Darah'.
Pendekar Gila justru
tertawa-tawa. Tingkah lakunya persis orang gila. Tangan kanannya mencabut bulu
burung yang disimpan di ikat pinggang. Dan dengan seenaknya mengorek telinga
dengan bulu burung itu. Melihat kekonyolan tingkah laku Pendekar Gila, Rasaka
merasa diremehkan, kemarahannya kian me-muncak.
"Kurang ajar Bersiaplah
untuk mampus Heaaa..." Dengan jurus 'Golok Setan Darah', Rasaka menggebrak
dengan serangan semakin dahsyat. Goloknya yang mengeluarkan racun ganas
bergerak membabat dan menusuk bagian tubuh Pendekar Gila.
"Eit Hi hi hi..." Sena
segera meliukkan tubuhnya dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat'. Lalu dengan cepat menepuk kepala lawan yang agak merunduk ketika
menusukkan goloknya.
"Ini bagianmu, Kunyuk...
Hih..." "Ukh..." Si Mata Iblis dari Sungai Darah memekik kesakitan,
ketika telapak tangan Pendekar Gila mendarat di kepalanya. Tubuh lelaki
berambut gondrong itu melompat ke belakang sambil memegangi kepalanya yang dirasakan
pening seperti mau pecah. Hatinya merasa heran dan hampir tak percaya. Gerakan
lawan yang dilihatnya tanpa tenaga dan tampak sangat lamban, ternyata
mengandung kekuatan dahsyat Rasaka tampak mulai mengatur keseimbangan tubuh dan
kembali menghimpun tenaga dalam. Kini si Mata Iblis dari Sungai Darah itu
membuka jurus dengan gerakan yang sangat cepat dan keras. Seiring dengan
putaran senjata dalam jurus 'Golok Setan Beracun', mulut Rasaka terdengar
mengeluarkan dengusan-dengusan aneh.
Melihat lawan mulai mengerahkan
jurus dahsyat andalannya, Pendekar Gila bukan merasa takut. Mulutnya tampak
cengengesan sambil tangannya menepuk-nepuk pantat. Namun tiba-tiba saja
tubuhnya berputar cepat ke arah kiri.
Wusss "Hah?" Si Mata
Iblis dari Sungai Darah tersentak kaget melihat tubuh lawan mampu berputar
cepat seperti gasing. Sejenak dirinya kebingungan untuk melancarkan serangan.
Namun ketika sekejap saja Pendekar Gila berhenti, tiba-tiba....
"Yiaaa..." Wut Wut "It..,
he he he.... Hebat juga kunyuk ini..." Pendekar Gila cepat mencabut Suling
Naga Saktinya, diputarnya dan digerakkan lurus ke atas.
Didahului pekikan menggelegar,
keduanya kembali melakukan serangan. Golok beracun di tangan Rasaka bergerak cepat,
menusuk ke depan dan membabat ke samping. Diteruskan dengan tebasan dari atas
ke bawah, kemudian disambung babatan dari kiri dan kanan. Saking cepatnya
gerakan golok itu, golok bergigi dan beracun itu seperti menghilang. Yang
tampak hanya bayangan putih mengkilat, yang berkelebatkelebat melindungi tubuh
Rasaka.
Wut Wut Melihat jurus lawan
yang cepat dan sangat sulit ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera mengerahkan
jurus, ‘Si Gila Menembus Badai’ "Heaaa..." Tangan Pendekar Gila yang
memegang Suling Naga Sakti menjulur lurus ke depan. Sedangkan tangan kirinya
memukul, dengan kedudukan tubuh agak merunduk. Kaki kirinya diangkat ke atas
sedang kaki kanannya setengah ditekuk. Dengan cepat disodokkan Suling Naga
Sakti-nya ke arah gulungan cahaya pedang yang berputar di sekitar tubuh lawan.
"Heaaa..." Wut Wut Trang
Dua senjata beradu. Pijaran api keluar dari benturan itu. Asap putih bercampur
ungu yang beracun tiba-tiba bergulung-gulung menyerang Pendekar Gila.
Kalau saja pendekar muda itu
tak pernah meminum darah ular putih, mungkin Pendekar Gila akan tewas.
Namun kini tubuhnya kebal dari
segala macam racun (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam
episode "Titisan Dewi Kuan Im").
Si Mata Iblis dari Sungai
Darah terkejut bukan main mengetahui lawan ternyata tak mempan racun yang
keluar dari Golok Setan-nya yang bergerigi. Gerakan goloknya semakin
dipercepat, berusaha menghancurkan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
Wut Wut..
Trang Trang Benturan-benturan
keras semakin tak terelakkan. Masing-masing berusaha mengalahkan. Jurus demi
jurus telah dikerahkan. Namun keduanya tampak masih memperlihatkan ketangguhan
masingmasing.
Si Mata Iblis dari Sungai
Darah rupanya bukan tokoh sembarangan. Tokoh kaum hitam yang memiliki ilmu
hitam cukup tinggi ini telah malang-melintang di dunia persilatan. Banyak tokoh
persilatan yang telah ditaklukkan.
Pendekar Gila pun tampaknya
tak ingin menganggap remeh kemampuan lawan. Dengan gerak cepat Suling Naga
Sakti-nya terus dibabatkan dan ditusukkan dengan jurus 'Si Gila Menembus Badai'.
Wuttt Wuttt "Heaaa..."
Rasaka cepat-cepat membuang tubuhnya ke samping. Lalu dengan cepat membabatkan
goloknya memapak Suling Naga Sakti dengan jurus 'Tebasan Golok Setan Darah'.
Melihat golok lawan menderu ke
arahnya, dengan cepat Pendekar Gila menarik serangan. Lalu diputar sulingnya
guna memapaki tebasan golok.
Trang "Hah..." Keduanya
melompat ke belakang. Lalu berdiri saling berhadapan. Kemudian kembali
sama-sama menyerang dengan didahului pekikan menggelegar.
Keduanya melenting di udara.
"Heaaa..." "Yeaaa..."
Tubuh keduanya melesat cepat dengan senjata di tangan. Dalam suasana
remang-remang di udara mereka saling melancarkan serangan. Suling Naga Sakti menyodok
ke wajah Rasaka. Sedangkan golok bergerigi menebas kepala Pendekar Gila.
"Hup" Wut Pendekar Gila
bersalto menghindari tebasan Golok Setan. Kemudian dengan cepat, disodokkan sulingnya
ke wajah lawan.
"Heaaa..." Rasaka
tersentak kaget mendapatkan serangan cepat itu. Dirinya berusaha menangkis
dengan mengebutkan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya membabatkan golok
ke tubuh lawan.
"Hop Yeaaa..." Melihat
babatan golok Rasaka, Pendekar Gila meliukkan tubuh lalu bergerak ke samping.
Setelah golok itu lewat, kakinya menendang dengan jurus ‘Si Gila Menyapu Bumi’.
Plakkk "Heaaa..." Tubuh
si Mata Iblis dari Sungai Darah terlontar terhantam tendangan Pendekar Gila
yang dikerahkan dengan tenaga dalam. Sementara Pendekar Gila yang menyaksikan
Rasaka masih terhuyung, segera memburu sambil memukulkan sulingnya ke dada
lawan yang tak mampu mengelak lagi.
Dugkh "Hukh..." Tubuh
Rasaka terdorong ke belakang, lalu jatuh ke tanah. Namun dengan cepat lelaki
berpakaian serba hitam itu bangkit berdiri.
"Kurang ajar
Kupertaruhkan nyawaku, Pendekar Gila" dengus Rasaka.
"Hi hi hi... Hai, monyet
apa maumu, silakan" sahut Sena seraya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Kali ini kau mampus,
Pendekar Gila... 'Mata Iblis Pencabut Nyawa', hiaaa..." Rasaka melesat
cepat sambil mengayunkan goloknya memburu tubuh Pendekar Gila. Bersamaan itu dari
mata Rasaka keluar sinar merah, melesat memburu lawan. Melihat serangan
berbahaya itu, dengan cepat Pendekar Gila melenting ke udara sambil bersalto.
Sinar merah itu berhasil
dielakkan.
Slats Glarrr...
Brakkk Sebuah pohon besar
terhantam sinar 'Mata Iblis Pencabut Nyawa'. Ledakan keras menggelegar terdengar
disusul tumbangnya pohon itu.
"Hi hi hi... Hebat juga,
Monyet Ah ah ah... Apimu membakar pohon" seru Pendekar Gila setelah mendarat
di atap sebuah rumah penduduk sambil cengengesan tangannya menggaruk-garuk
kepala. Dirinya terus berusaha memancing kemarahan lawan.
Melihat lawannya terus
mengejek dan tertawatawa, si Mata Iblis dari Sungai Darah geram dan murka.
Dengan penuh amarah tubuhnya melesat, memburu Pendekar Gila. Sambil melayang di
udara goloknya terus diputar-putar cepat Pendekar Gila mengelak dengan
melenting ke atas, melewati kepala Rasaka sambil melakukan serangan balik yang
cepat.
"Hiaaa..." "Aits
Heaaa" Rasaka merundukkan kepala sambil menangkis pukulan lawan. Namun
Pendekar Gila dengan cepat membuat gerakan memutar tubuh dengan cepat sambil
melompat Rasaka yang tak menduga, kecepatan tanggapan pemuda bertingkah laku
gila itu tersentak.
Tubuhnya meluncur dengan cepat
menghindari serangan aneh Pendekar Gila.
"Hih" Kaki si Mata
Iblis dari Sungai Darah mendarat ringan di tanah. Namun tampak napasnya agak
tersengal-sengal dengan dada turun naik Matanya menatap nanar pada Pendekar
Gila yang telah mendarat pula lima tombak di depannya.
"Hhh..." Rasaka
mendengus, lalu dengan gerakan cepat kembali melancarkan serangan. Pendekar
Gila tak berdiam diri, tubuhnya melesat ke depan memapaki serangan lawan.
"Heaaa..." "Yeaaa..."
Trang Trang...
Pekikan keras memekakkan
telinga dan dentangan senjata semakin kerap terdengar. Baik si Mata Iblis dari
Sungai Darah maupun Pendekar Gila tampaknya tak ingin menganggap enteng
kekuatan lawan. Keduanya kini sama-sama mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi
yang mempertunjukkan gerakan cepat.
Sehingga tubuh keduanya
bagaikan menghilang.
"Hi hi hi... Hei, Mata
Monyet, apa sebenarnya yang kau inginkan...?" tanya Pendekar Gila sambil
cekikikan. Tubuhnya terus melayang menghindari serangan Golok Setan yang
mengandung racun ganas itu.
"Heaaa..." Wut "Aits..."
Trang Tanpa menghiraukan pertanyaan Pendekar Gila, Rasaka berteriak keras
sambil mengayunkan goloknya.
Tentu saja hal itu membuat
Pendekar Gila agak terkejut. Namun dengan cepat pula menebaskan sulingnya memapak
golok lawan.
Entah sudah berapa jurus yang
mereka keluarkan, tapi keduanya masing memperlihatkan ketangguhan
masing-masing. Meskipun semula tampak kalau Rasaka agak tersengal-sengal,
ternyata kini memperlihatkan kemampuan yang tak boleh dianggap remeh.
"Heaaa..." Golok bergerigi di tangan Rasaka bergerak cepat ke perut
lawan. Melihat serangan cepat dan keras itu, Pendekar Gila segera mengegos ke
samping. Kemudian menghantamkan kepala Suling Naga Sakti-nya.
"Heaaa..." Dugkh "Hukh..."
Rasaka terpekik ketika kepala Suling Naga Sakti itu seperti mematuk, menghantam
bagian kepalanya.
Seketika tubuhnya terpelanting
dan terhuyung-huyung di tanah. Darah mengucur membasahi pakaian dan wajahnya.
Melihat hal itu Pendekar Gila
tak sampai hati untuk menghabisi lawannya. Walaupun tahu, manusia seperti si
Mata Iblis dari Sungai Darah ini harus dile-nyapkan dari bumi. Perbuatannya
yang sudah sering membunuh, memperkosa, merampok, dan membinasakan tokoh-tokoh
persilatan aliran putih, harus sege-ra dihentikan.
"Aku tak mungkin membunuh
orang yang sudah terluka. Tapi, kuminta kau memerintahkan anak buah-mu yang
sedang bertarung di sana, agar menyerah. Dan cepat pergi dari sini..."
perintah Sena sambil menunjuk ke tempat Mei Lie sedang bertarung dengan seorang
anak buah Rasaka, dan Santika yang juga menghadapi orang berkedok setan yang
lain. Sementara itu kobaran api yang membakar rumah pun masih menyala-nyala.
Rasaka tak menjawab. Matanya
yang bagai iblis tiba-tiba menyala bagai api membara. Sekejap kemudian,
sebentuk sinar melesat dan memburu Pendekar Gila, berasal dari mata si Mata
Iblis dari Sungai Darah.
Karena tak menduga lawan akan
mengeluarkan serangan itu, Pendekar Gila sempat tersentak. Namun dengan secepat
kilat melenting ke atas....
Slats...
"Aits... Kurang ajar juga
monyet ini," gumam Pendekar Gila sambil bersalto di udara.
Glarrr...
Brak Sinar merah dari mata si
Mata Iblis dari Sungai Darah menerjang rumah penduduk, hingga menimbulkan
ledakan keras. Rumah itu seketika terbakar.
"Aaakh..." "Tolong...
Kebakaran, kebakaran Tolooong..," Seketika jeritan-jeritan penduduk
bertambah ramai. Anak-anak dan para wanita panik, berlarian kian kemari.
Sementara itu pertarungan antara Mei lie, Lohdaya, dan Santika menghadapi anak
buah si Mata Iblis dari Sungai Darah tetap berlangsung.
"Hua ha ha... Tak mudah
menghabisi nyawaku, Anak Muda" teriak Rasaka dengan suara terbahak-bahak.
Lelaki berambut panjang dan berpakaian serba hitam ini tampaknya tak
menghiraukan sama sekali keadaan wajahnya yang telah berlumuran darah. Bahkan
matanya tampak kian beringas dan menggiriskan.
"Ah ah ah... Monyet
jelek, rupanya kau tak bisa dikasih hati. Hai, Mata Borok Kalau kau tak menurut
saranku, rasakan ini Hiaaa..." Pendekar Gila yang sudah kehabisan
kesabaran dengan cepat menghantamkan pukulan sakti 'Inti Brahma'. Dari telapak
tangannya melesat larikan api menyala-nyala memburu tubuh Rasaka. Tanpa ampun lagi
api pun menerjang tubuh lelaki berkedok seram itu. Srat Prat "Wuakh..."
Rasaka menjerit-jerit kesakitan. Tubuhnya yang terbungkus pakaian hitam itu
berguling-gulingan, berusaha memadamkan api yang melahapnya. Namun api itu
sulit dipadamkan. Rasaka yang mulanya merasa yakin dapat mengalahkan Pendekar
Gila dengan melakukan pembunuhan dan kekacauan di Desa Parangan, untuk
memancing pemuda gila itu, ternyata nasib buruk justru menimpa dirinya sendiri.
Bukannya Pendekar Gila yang mati, melainkan Rasaka sendiri yang menemui
ajalnya, dengan sangat mengerikan.
Tubuhnya hangus bagai arang Sena
atau Pendekar Gila menghela napas dalamdalam, lalu menyelipkan kembali Suling
Naga Saktinya di pinggang.
"Ah ah ah... Sayang, kau
lebih menginginkan mati daripada bertobat..," gumam Sena perlahan, seakan
bicara pada dirinya sendiri. Matanya menatap terus mayat Rasaka yang berada
lima tombak di hadapannya. Mulutnya cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
***
Sementara itu Mei Lie dan Santika masih menghadapi
anak buah Rasaka. Begitu pula Lohdaya. Mereka bertarung habis-habisan. Tangan
kiri Lohdaya tampak sudah terluka. Melihat itu Ki Lurah Patiasa yang sejak tadi
memimpin para penduduk memadamkan api cepat bertindak membantu Lohdaya, yang
ilmunya memang tak seberapa.
Sedangkan Mei Lie nampak lebih
santai menghadapi lawannya. Tak banyak kerepotan. Tubuhnya nampak ringan sekali
meliuk dan melenting ke atas, sambil melancarkan serangan balik.
"Hiaaa..." Plak Plak
Bugkh "Aaakh..." Lawan Mei Lie memekik, lalu tubuhnya terhuyung-huyung
ke belakang, sambil memegangi dadanya. Tendangan kaki kanan Mei Lie sebelum
mendarat ke tanah sempat bersarang di dadanya.
"Kau juga ingin mampus
seperti pimpinanmu itu?" ujar Mei Lie dengan kalem. Matanya menatap tajam
ke wajah lawannya sambil menunjuk mayat Rasaka yang terkapar hangus, sekitar
sepuluh tombak di sebelah kirinya.
Lelaki berambut panjang dan
berkedok menyeramkan itu tersentak kaget. Matanya terbelalak melihat sang
Pemimpin telah tewas dengan keadaan tubuh sangat mengerikan. Serta merta anak
buah Rasaka itu menjura sambil menyembah.
"Ampunilah aku... Biarkah
aku hidup..." "Enak saja kau Minta ampun? Kenapa kalian menyerang
desa ini, merampok, serta menculik gadisgadis desa...?" tanya Mei Lie
dengan ketus.
"Aku hanya mengikuti
perintah Rasaka.... Ampuni aku... Biarlah aku pergi..." pinta orang yang
mu-kanya masih tertutup kedok itu. Mei Lie segera membuka kedok orang itu
dengan ujung pedangnya. Dan kini terlihat wajah orang itu. Ternyata berparas lumayan,
tak ada gambaran kebengisan di wajah pemuda itu. Mei Lie merasa heran ketika
melihat wajah yang seperti tak berdosa itu.
"Hei.. Menyerahlah kalian
Pimpinan kalian telah mati.." seru Pendekar Gila tiba-tiba. Orang-orang
yang bertarung menoleh ke arah Pendekar Gila dan menghentikan pertarungan.
Tiga orang berkedok yang
sedang bertarung melawan Santika, Lohdaya, dan Ki Lurah Patiasa, segera
menghentikan serangannya. Dan ketika melihat mayat Rasaka, ketiganya berlarian
meninggalkan Desa Parangan dengan ketakutan.
Sedangkan seorang yang minta
ampun pada Mei Lie, menyusul kemudian. Setelah berterima kasih pada Mei Lie.
Ki Lurah Patiasa dan anak
buahnya merasa kagum dengan tindakan Sena dan Mei Lie, yang tak mau membunuh
lawan, dalam keadaan menyerah dan mengaku kalah. Itulah sifat seorang pendekar
yang budiman. Penuh cinta kasih sesamanya, walaupun itu lawan.
Ki Lurah Patiasa segera
mendekati kedua pendekar muda itu, diikuti Santika dan Lohdaya.
"Kami kagum dengan
tindakan kalian berdua.
Suatu tindakan yang jarang
dimiliki pendekar mana pun. Kami ucapkan terima kasih pada kalian berdua,"
kata Ki Lurah Patiasa setelah sampai di dekat Sena dan Mei Lie.
"Aha, itu sudah biasa
kami lakukan. Dan sudah tugas kami untuk menolong yang lemah dan melenyapkan
yang jahat. Tapi aku merasa ikut sedih dengan terbakarnya beberapa rumah
penduduk. Kurasa, hal ini karena orang-orang itu tahu, kalau aku ada di sini.
Maafkan aku..." kata Sena dengan menggaruk-garuk kepala. Wajahnya
terpancar kesedihan ketika memandangi rumah-rumah penduduk yang terbakar.
Kemudian sambil menghela napas
dalam-dalam wajahnya menoleh Ki Lurah Patiasa.
"Kalian tidak bersalah.
Kejadian ini membuat kami harus lebih waspada dan melatih diri untuk memperdalam
ilmu silat. Kalau kalian berdua tak keberatan, sudilah kiranya menjadi guru
kami...?" kata Ki Lurah Patiasa kemudian.
"Ya, Tuan
Pendekar...," tambah Santika dan Lohdaya seraya menganggukkan kepala.
Pendekar Gila menoleh kepada Mei Lie yang berdiri di sisi kirinya.
Keduanya saling pandang.
Kemudian Sena tersenyumsenyum dan menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi... lucu, lucu
sekali Kami tak keberatan, tapi tugas kami belum selesai. Masih banyak yang harus
kami selesaikan. Maka dengan berat hati, saat ini kami belum bisa mengabulkan
permintaan Ki Lurah dan kalian semua. Maaf, sekali lagi maaf Mungkin lain
waktu, kami bisa," ucap Sena dengan kalem sambil menggaruk-garuk kepala
dan cekikikan.
Melihat sikap Sena yang mirip
orang gila, orangorang yang ada di tempat itu tampak keheranan. Namun bagi
mereka yang telah tahu ciri khas pendekar muda itu segera maklum. Mereka hanya
tersenyumsenyum.
"Ya, apa kata Kang Sena
benar. Mungkin lain waktu, kami akan luangkan waktu untuk lebih lama tinggal di
Desa Parangan ini," tambah Mei Lie dengan senyum manis.
Ki Lurah Patiasa dan kedua
pengawalnya manggut-manggut, mereka bisa memaklumi. Karena mereka tahu, bahwa
Pendekar Gila dan Mei Lie yang dijuluki ‘Bidadari Pencabut Nyawa’, masih harus
menumpas Penunggang Kuda Iblis. Yang telah menggemparkan dan membuat kekacauan
rimba persilatan.
***
5
Di halaman sebuah pondok yang
terletak di sebuah bukit, tampak sesosok tubuh tengah memperagakan ilmu pedang.
Karena pondok yang terbuat dari kayu-kayu dan beratap dedaunan itu dikelilingi
pepohonan besar, gerakan-gerakan cepat yang dilakukan sosok itu tampak
berkelebatan di sela-sela pepohonan.
Meski begitu, dilihat dari
bentuk-bentuk gerakan serta suara teriakan dari mulutnya, jelas kalau sosok itu
seorang wanita. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai sampai di pinggang.
Gaun longgar serta putih membalut tubuhnya yang kuning langsat Gerakan-gerakan
jurusnya cepat membuat pakaian dan rambutnya nampak diterbangkan angin pagi
itu. Matahari di sebelah timur yang menimpa dedaunan bagaikan memberi semangat
dan kehangatan wanita cantik jelita yang ternyata Lara Kanti, atau lebih dikenal
dengan julukan si Penunggang Kuda Iblis.
Di depan Lara Kanti tampak,
seorang kakek tua renta duduk bersila di atas sebuah baru. Mata tuanya yang
cekung memandang lurus ke tubuh Lara Kanti yang tengah berlatih itu. Kakek
berusia sekitar delapan puluh tahun itu bernama Ki Rawantula. Alisnya yang tebal
dan berwarna putih, serta guratan-guratan pada kulit wajah menggambarkan
pengalaman kehidupan-nya. Ki Rawantula juga merupakan kakak kandung Tempurung
Sakti.
Lara Kanti ternyata anak dari
Tempurung Sakti, yang berarti merupakan kemenakan Ki Rawantula.
(Untuk lebih jelasnya mengenai
Tempurung Sakti, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode: "Titisan
Dewi Kuan Im").
Saat itu Lara Kanti sedang
berlatih jurus pamungkas 'Penyempurna Raga dan Jiwa' dari sepuluh jurus 'Pedang
Mata Iblis'.
Larakanti tampak terdiam
beberapa saat dengan mata terpejam. Mata pedang ditempelkan pada keningnya.
Setelah cukup lama dirinya mengheningkan cipta, dibarengi pekikan nyaring,
digerakkan pedangnya dengan pengerahan kekuatan tenaga dalam. Seketika pedang
itu pun memancarkan sinar merah.
"Yeaaat.." Wut Wut Pedang
diarahkan pada sebuah batu besar di sampingnya dengan gerakan menusuk.
"Hih..." Crak Suara
keras terdengar memekakkan telinga. Pedang itu mampu menusuk batu besar hingga
tembus.
Dapat kita bayangkan,
bagaimana kalau pedang itu digunakan untuk menusuk tubuh manusia.
Plok Plok Plok Terdengar
tepukan tiga kali dari Ki Rawantula yang masih bersila di atas sebuah batu
besar di halaman pondok itu.
"Hebat.." seru kakek
yang bertelanjang dada itu seraya mengancungkan kedua ibu jarinya.
"Terima kasih Terima
kasih, Paman" sahut Lara Kanti seraya menjura hormat kepada Ki Rawantula.
Kemudian dimasukkan pedangnya
ke dalam warangka yang tersandang di punggungnya.
Ki Rawantula tersenyum bangga
seraya mengangguk-anggukkan kepala. Tangan kirinya mengeluselus jenggotnya yang
telah memutih. Kemudian kakinya membuka lipatan dari duduk bersilanya, lalu melangkah
mendekati Lara Kanti, murid tunggalnya itu. "Kini ilmumu telah mencapai
tingkat hampir sempurna, Anakku. Kurasa sulit bagimu menemukan lawan tanding
bagi ilmumu yang saat sekarang ini. Ya, kecuali dua orang itu, Kanti...,"
ujar Ki Rawantula dengan tatapan tajam pada wajah Lara Kanti yang hanya duduk
diam, menundukkan kepala. "Namun, Paman yakin, kau akan dapat
mengatasinya," lanjutnya dengan suara lirih.
Kakek tua itu masih nampak
segar, berdirinya pun masih tegap, wajahnya terus tersenyum bangga.
Memandangi Lara Kanti.
"Paman bangga sekali
denganmu, Kanti. Ayo bangun, ikut aku" ajak Ki Rawantula.
Keduanya segera melesat
meninggalkan pondok itu. Tak lama kemudian, mereka sudah berada dekat air
terjun. Lara Kanti dan Ki Rawantula duduk di atas batu besar saling berhadapan,
hanya sekitar tiga tombak dari tempat jatuhnya air terjun. Sehingga tubuh keduanya
tampak mulai basah kuyup.
Ki Rawantula, tampak
memejamkan mata. Kedua tangannya bersidekap di dada, dengan kepala menengadah
ke langit. Seakan-akan ingin membuang suara deras air terjun itu dari
telinganya.
Sementara itu Lara Kanti yang
duduk bersila pun tertunduk. Kedua
tangannya ditumpangkan di
kedua lutut. Rawantula kemudian membuka matanya perlahan. Ditatapnya wajah
jelita gadis di depannya dengan mata sayu. Lalu tersenyum.
"Kini, tiba saatnya, kau
harus menemukan Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa. Bunuhlah keduanya
Kau harus membalas dendam atas kematian ayahmu, yang juga adik kandung yang
kusayangi, Si Tempurung Sakti. Mengerti...?" Lara Kanti mengangguk.
"Aku akan mencari Pendekar Gila, di mana pun dia berada. Hhh..., tapi
kena-pa sampai saat ini aku belum juga menemukannya, Paman...?" gumam Lara
Kanti dengan wajah murung.
"Hm.... Bersabarlah Kali
ini kau pasti bertemu dengannya. Hanya Paman mengkhawatirkan mu, jika berhadapan
dengan Bidadari Pencabut Nyawa itu...," ujar Rawantula dengan mengerutkan
kening. Sekilas di wajahnya terlihat cemas dan kebimbangan.
"Kenapa, Paman? Apa ilmu
pedang yang kau ajarkan padaku tak mampu mengalahkan mereka...?" tanya
Lara Kanti dengan gusar. "Aku akan membunuh Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa itu.
Hhh..., setelah itu, aku akan
jadi jago dan pendekar yang disegani. Sekaligus membalas dendam atas kematian
ayahku," lanjutnya penuh kesombongan.
Mendengar ucapan Lara Kanti,
sebenarnya Rawantula kurang suka. Namun karena dirinya takut kalau Lara Kanti
akan patah semangat jika ditegur, maka kakek tua berambut putih itu hanya bisa
menyimpan kekurangsenangan itu di dalam hatinya.
"Kau harus memiliki
keyakinan. Jangan ceroboh jika menghadapi Pendekar Gila. Ia memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Namun Paman percaya kau akan bisa mengalahkannya,
Kanti...," kata Rawantula memberikan semangat pada Lara Kanti.
Lara Kanti menjura seraya
berkata. "Terima kasih, Paman. Pesan Paman akan kuingat" "Tapi...,"
Rawantula tak meneruskan ucapannya.
Hal itu membuat Lara Kanti
mengerutkan kening. Matanya memandang wajah sang Paman. "Paman...?" "Oh...
he he he.... Tidak apa-apa, Kanti." "Paman meragukan kemampuanku
untuk menghadapi Pendekar Gila yang telah membunuh ayah...?" tanya Lara
Kanti dengan mengerutkan kening. Nampak ada kekesalan di hatinya.
Rawantula tak menjawab. Lelaki
tua itu sesaat terdiam. Di helanya napas dalam-dalam. Matanya menatap wajah
Lara Kanti yang nampak kecewa dan kesal. Gadis cantik berpakaian putih itu
tampak telah benar-benar yakin, sehingga merasa kecewa, jika ada il-mu pedang
yang lebih tinggi dari yang telah dipelajarinya. Selama lebih dari dua belas
purnama dirinya memperdalam ilmu pedang di bawah gemblengan sang Paman.
"Maafkan, Paman, Kanti
Tadi Paman hanya teringat akan ayahmu. Karena dia adik kandungku satusatunya...,"
kata Ki Rawantula mencoba mengalihkan perhatian Lara Kanti. Sebenarnya Ki
Rawantula memang sedikit meragukan ilmu pedang yang diberikan pada Lara Kanti
akan bisa mengatasi ilmu pedang yang dimiliki Mei Lie, atau Suling Naga Sakti
milik Pendekar Gila. Namun lelaki tua itu tak ingin menyampaikan rasa
kekhawatirannya pada sang Murid.
Hal itu bisa membuat Lara
Kanti marah.
Mendengar penjelasan Ki
Rawantula, Lara Kanti bisa menerima. Namun wanita muda itu nampaknya tetap
belum puas dengan penjelasan sang Paman yang juga gurunya itu.
Sesaat keduanya diam. Lara
Kanti menundukkan kepala memandangi batu yang didudukinya. Angin yang berhembus
kencang, membuat percikan air terjun semakin mengenai wajah dan seluruh tubuh
mereka. Namun keduanya tak menghiraukan. Tetap duduk dengan tenang. Rawantula
nampak baru saja memejamkan mata. Tak lama kemudian membuka kembali matanya
dengan perlahan, lalu menghela napas panjang.
"Besok pagi-pagi, kau
boleh pergi mencari pembunuh ayahmu itu. Doa Paman menyertaimu, Kanti....
Sekarang beristirahatlah Si
Ireng kudamu itu beri makan secukupnya. Agar perjalananmu nanti lancar," ujar
Ki Rawantula menyarankan dengan suara mantap penuh wibawa.
"Baik, Paman. Akan aku
laksanakan perintah Paman," jawab Lara Kanti sambil menjura.
"Hm...," gumam
Rawantula pendek.
***
Ketika matahari pagi baru saja beranjak dari ufuk
timur, tampak seekor kuda hitam berlari kencang melintasi jalan terjal agak
berbatu-batu di sekitar Bukit Palasari. Di punggung kuda itu nampak seorang bercaping
lebar, dengan pakaian compang-camping.
Sedang di punggungnya
tersandang sebilah pedang.
Penunggang kuda itu tak lain
Lara Kanti. Kuda hitam itu terus dipacunya dengan kencang. Derap kaki kuda
terus melaju, bagai tak menghiraukan jalan naik turun yang hams dilaluinya.
Bukit dan lembah terus ditelusurinya dalam kecepatan tinggi. Seakan-akan
dirinya harus segera mencapai suatu tempat tujuan. Matahari pun sudah agak
meninggi menghantarkan hawa panas di tubuh.
"Herrr... Hop..." Kuda
hitam itu berhenti. Lara Kanti menyapu keadaan sekeliling tempatnya. Sepi,
tiada tanda-tanda seorang manusia yang tinggal di tempat gersang itu.
Perlahan kudanya kembali
dijalankan. Mata dan telinga wanita bercaping lebar itu terus dipasang dengan kewaspadaan.
Wajahnya menoleh ke sana kemari mencoba mengawasi sekitar tempat itu.
"Hm...." Lara Kanti menggumam tak jelas. Lalu tersenyum sinis.
Seolah-olah hatinya tahu kalau ada suara tak jauh dari tempatnya.
Namun Lara Kanti seakan tak
menghiraukan.
Bahkan tiba-tiba tangannya
menghentakkan tali kendali, hingga melesatlah kuda hitam dan besar itu meninggalkan
tempat gersang. Namun ketika sampai di dataran luas dan berbatu-batu, tiba-tiba
bermunculan sepuluh sosok lelaki berpakaian rompi hitam dan ber-senjatakan
golok di tangan. Kesepuluh lelaki yang mengenakan ikat kepala dan celana juga
berwarna hitam itu langsung bergerak mengepung Lara Kanti. Kuda yang
ditunggangi seperti terkejut, dan meringkik seraya mengangkat kedua kaki
depannya. Kesepuluh lelaki gagah berpakaian rompi itu berlompatan mundur sambil
mengibas-ngibaskan golok mereka, untuk menghindari terjangan kaki kuda. Lalu
kembali mengepung Lara Kanti yang masih duduk di punggung kudanya.
Namun tiba-tiba melesat
sesosok bayangan dari atas sebuah pohon besar tak jauh dari tempat Lara Kanti
dan kesepuluh lelaki yang menghadangnya. Sosok bayangan itu mendarat lima
tombak dari tempat Lara Kanti masih memegangi tali kendali kudanya.
Ternyata sesosok lelaki
bertubuh tinggi dan besar. Dadanya yang tanpa tertutup pakaian memperlihatkan bulu-bulu
tebal. Tangan kanannya berkacak pinggang, sedangkan tangan kiri memilin-milin
kumisnya yang tebal melintang.
"Ha ha ha... Rupanya ada
yang mau mengantar nyawa di siang hari bolong ini. Hei, siapa kau berani
memasuki daerahku...?" bentak orang yang dikenal dengan nama Gaek Weling,
sesuai dengan ikat kepalanya dari kulit ular weling atau ular belang. Wajahnya
nampak memerah seperti tengah mabuk oleh arak.
Matanya yang bengis terhias
alis tebal hampir menyatu. Serta rambutnya yang dibiarkan tergerai, menambah
seram penampilan lelaki berusia empat puluh tahunan itu.
Melihat dan mendengar suara
lelaki yang ada di hadapannya, Lara Kanti hanya tersenyum sinis. Tubuhnya
melompat dari punggung kudanya, lalu melangkah dua tindak berhadapan dengan
Gaek Weling.
"Siapa diriku adanya, kau
tak perlu tahu. Dan apa urusanmu melarang orang yang memasuki daerah ini...?"
Suara Lara Kanti terdengar ketus. Matanya menatap tajam pada Gaek Weling.
"Weleh, weleh... Edan
perempuan ini berani menatapku demikian. Ha ha ha... Rupanya kau ingin mencari
mampus" kata Gaek Weling sambil menuding wajah Lara Kanti. "Kau belum
kenal dengan Gerombolan Serigala Merah Tangkap dia..." seru Gaek Weling
kemudian.
"Habisi perempuan
itu..." "Heaaa..." Segera sepuluh anak buah Gaek Weling melesat dengan
teriakan nyaring, menyerang Lara Kanti atau si Penunggang Kuda Iblis.
Namun Lara Kanti nampak begitu
tenang. Hanya matanya yang tajam terus mengawasi para penyerangnya. Dan ketika
lima orang yang berada di depan sudah berada pada jangkauan pedangnya, Lara
Kanti tiba-tiba mencabut pedangnya. Dengan sekali gebrakan, babatan dalam jurus
'Pedang Mata Iblis'nya telah membuat kelima anak buah Gaek Weling bergelimpangan.
Perut mereka terbabat hingga terburai ususnya.
Namun tak hanya sampai di
situ. Wanita berpakaian compang-camping mirip gembel itu terus memutar dan menebaskan
pedangnya. Hingga sesaat kemudian lima orang lainnya telah menyusul dengan
tubuh berlumuran darah dari perut dan dada karena tersambar pedang. Gaek Weling
tersentak dan membelalakkan mata.
Lelaki yang tadinya merasa di
atas angin, seketika wajahnya yang seram dengan kumis melintang tebal, berubah
tegang dan pucat.
"Hah...?" gumamnya
tak jelas, "Aku pernah dengar dan lihat jurus pedang itu..." Gaek
Weling seperti bicara pada diri sendiri. Pikirannya yang diliputi rasa takut
berusaha mengingat-ingat jurus yang baru saja dikeluarkan Lara Kanti.
"Ayo, cepat maju Kukirim
kau ke neraka Kenapa kau diam? Bukankah tadi akan mengirimku ke neraka...?"
ejek Lara Kanti, lalu melangkah mendekati Gaek Weling yang masih terkesima
dengan jurus Lara Kanti yang pernah ia kenal.
"Hm,.., tunggu Sebelum
kita bertarung, jelaskan dari mana asalmu dan bagaimana kau bisa mempela-jari
jurus 'Pedang Mata Iblis' itu?" tanya Gaek Weling dengan suara agak
gemetaran.
Lara Kanti mengerutkan kening
dengan pertanyaan yang diajukan oleh Gaek Weling. Orang yang tadinya bernafsu
menantang dan ingin membunuhnya.
"Untuk apa kau tanyakan
hal itu? Hm..., tapi bagaimana kau tahu jurus 'Pedang Mata Iblis' yang kumiliki...?"
Lara Kanti balik bertanya pada Gaek Weling.
"Itulah sebabnya. Kukira
kita satu guru dan memiliki satu niat yang sama...," kata Gaek Weling
kemudian. "Satu guru...? Apa maksudmu, Kisanak?" tanya Lara Kanti
masih belum mengerti. Keningnya tampak berkerut sedangkan matanya menatap tajam
Gaek Weling, sepertinya ingin menyelidik dan menimbang ucapan lelaki bertubuh
besar itu.
"Jurus 'Pedang Mata
Iblis', hanya dimiliki Ki Guru Rawantula, kakak dari Tempurung Sakti...,"
kata Gaek Weling mencoba memberi keterangan pada Lara Kanti. Mendengar nama
paman dan ayahnya disebut Lara Kanti, kembali mengerutkan kening dan bertanya lagi.
"Sebenarnya siapa dan apa maksudmu tadi ingin membunuh? Lalu di mana
Kisanak mengenal Paman Guru serta Tempurung Sakti..?" Gaek Weling tak
langsung menjawab. Dihelanya napas dalam-dalam, baru kemudian kembali berkata.
"Panjang ceritanya. Dan
yang paling penting, ketika kudengar saudara seperguruanku, Tempurung Sakti mati
di tangan Pendekar Gila. Saat itu aku merasa sangat terpukul hingga ingin
menuntut balas...." Lara Kanti kini semakin mengerutkan kening sambil
terus menatapi wajah Gaek Weling, seakan menyelidik akan kebenaran ucapan Gaek
Weling.
"Kenapa ketika Tempurung
Sakti terbunuh, Kisanak tidak segera datang menurut balas...?" tanya La-ra
Kanti.
"Itulah yang kusesalkan.
Saat itu sifat buruk masih kuat menguasai diriku. Aku merampok dan membunuh,
serta menodai gadis-gadis desa. Aku tertangkap prajurit Kadipaten Palasari, dan
dimasukkan ke penjara bawah tanah selama lima tahun Aku tak dapat berbuat
apa-apa," tutur Gaek Weling menjelaskan.
"Aku hanya menyimpan
surat dari Tempurung Sakti yang dititipkan seseorang anak buahnya. Dalam
su-ratnya, aku diminta menemukan anak gadis satusatunya yang bernama...." Belum
sempat Gaek Weling meneruskan ucapannya, Lara Kanti dengan cepat mengambil
surat yang berada di tangan Gaek Weling, dengan ujung pedangnya. Lalu segera
mengamati dan membacanya.
Seketika wajah Lara Kanti yang
ada di balik caping lebar itu nampak berubah sedih. Perlahan gadis itu membuka
caping. Sementara itu, Gaek Weling masih merasa heran dan bingung. Keningnya
berkerut mengamati Lara Kanti, ketika melihat bahwa yang ada di hadapannya
ternyata seorang wanita muda yang cukup cantik. Matanya yang tajam dan bening
menyiratkan kekerasan jiwanya. Meskipun pakaian yang dikenakan compang-camping
dan kumal, mampu mengingatkan Gaek Weling pada Tempurung Sakti, sahabatnya.
"Kau...?" Gaek
Weling tersentak kaget "Akulah Suriah... Tapi kini paman guru memberiku
nama Lara Kanti," ujar gadis cantik itu dengan suara mantap, namun agak
lemah. Wajahnya yang sedih sudah mulai hilang. Tatapan matanya tetap tertuju pada
Gaek Weling, yang ternyata sahabat ayahnya.
"Oh.... Jagad Dewa
Batara... Kau telah mempertemukan aku dengan orang yang kucari He he he....
Jadi kau putri sahabatku
itu?" tanya Gaek Weling dengan wajah gembira. Seakan-akan tak
mempermasalahkan kematian kesepuluh anak buahnya.
Gaek Weling lalu mengulurkan
tangan dan Lara Kanti menjabatnya.
"Maafkan, aku telah
membunuh anak buahmu..." ujar Lara Kanti bernada sesal.
"Tak apalah. Sebaiknya
kita segera pergi dari tempat terkutuk ini. Mari, sama-sama mencari Pendekar
Gila..." ajak Gaek Weling.
"Kalau begitu, marilah
sama-sama naik kudaku, biar lebih cepat...," kata Lara Kanti sambil menuju
kudanya.
"Tak usah, aku juga
membawa kuda...," jawab Gaek Weling. Lalu menepukkan telapak tangannya
tiga kali, maka seekor kuda berwarna coklat dan belang putih di kepalanya
muncul mendekati Gaek Weling Lara Kanti yang melihat itu tersenyum, lalu segera
menghentakkan tali kekang kudanya. Gaek Weling pun melakukan hal yang sama.
Kedua kuda itu berjalan berdampingan menuju ke timur.
"Lara..., sebaiknya kita
berpisah, agar sepak ter-jangku bisa leluasa. Jika terus bersamamu, orang akan
tahu bahwa aku ada di pihakmu. Tapi aku tak akan jauh darimu. Berpura-puralah
seakan kita tak saling mengenal Aku akan mengikutimu dari jarak tertentu.
Bagaimana, setuju...?" usul Gaek Weling tiba-tiba. Lara Kanti melirik
wajah Gaek Weling. Lalu kembali memandang ke depan.
"Usul yang bagus..,"
jawab Lara Kanti singkat.
Kemudian segera menggebah
kudanya lebih kencang.
Kini kuda Gaek Weling berada
belasan tombak di belakang Lara Kanti.
6
Kabar tentang si Penunggang
Kuda Iblis semakin tersebar di seluruh pelosok Kadipaten Krasaan. Kemunculannya
membuat para tokoh persilatan semakin cemas. Karena ingin menentang dan
membunuh Pendekar Gila.
Sementara itu, Pendekar Gila
dan Mei Lie yang telah tanggap, juga sudah mengatur sebuah rencana guna
memancing si Penunggang Kuda Iblis itu.
Angin pagi bertiup semilir,
bersama sinar mentari yang bergerak lamban di kaki langit sebelah timur. De-sau
angin lembut, senandung burung dan kokok ayam jantan, menyatu dalam satu irama
tertentu.
Di kejauhan nampak seorang
pemuda tampan berpakaian rompi dari kulit ular tengah duduk bertengger di sebuah
cabang pohon besar Pemuda berambut gondrong yang tak lain Sena tampak tengah menyenandungkan
sebuah nyanyian dengan tiupan Suling Naga Sakti-nya. Namun tiba-tiba suara
merdu suling itu terhenti.
"Ah ah ah... Kenapa
tiba-tiba aku mengkhawatirkan keadaan Mei Lie? Semoga tugas yang dilakukan berjalan
lancar..." gumam Sena lirih, seperti bicara pada diri sendiri. Mulutnya
tampak cengengesan, sambil menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila terus menggaruk-garuk
kepala sambil cengengesan. Tubuhnya sudah melompat dari atas pohon. Kini tampak
tengah melompat-lompat dari batu satu ke batu lainnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti.
Matanya beredar ke sekeliling tempat yang ditumbuhi pepohonan hijau menggapai
cakrawala. "Hi hi hi..." Sena tiba-tiba tertawa, sambil terus
menggaruk-garuk kepala, ketika telinganya menangkap suara kaki menginjak daun
kering. Dengan acuh sambil terus cengengesan, pemuda tampan bertingkah laku
seperti orang gila itu justru duduk bersila di atas tanah berumput. Tangannya
menggaruk-garuk ketiaknya, seperti monyet. Lalu diam seperti merenung.
Matanya memandangi kejauhan
dengan mulut masih terus cengengesan.
"Aha Rupanya ada yang
tidak senang aku beristirahat di alam yang bebas ini.... Lucu, hi hi
hi,.." ucap Sena sambil terus menggaruk-garuk kepala.
Swing Swing Tiba-tiba belasan
senjata rahasia melesat memburu Pendekar Gila yang masih duduk bersila itu.
"Aha, benar juga dugaanku
Ada orang yang ingin mengajak bermain-main denganku," seru Sena sambil
melenting dan berjumpalitan di udara. Bersamaan dengan itu, segera dihantamkan
pukulan ‘Inti Bayu’ ke arah belasan benda yang meluncur ke tubuhnya.
"Hi hi hi... Ini mainan
kalian kukembalikan Heaaa..." Wusss Srats Seketika serangkum angin menderu
kencang, menghantam senjata rahasia itu.
Swing Swing...
Crab Crab...
"Aaakh..." Dari
balik semak-semak yang jaraknya sekitar lima belas tombak, terdengar jeritan
kematian. Kemudian tampak empat orang dengan wajah ditutupi kain ungu
mengerang. Leher mereka tertancap senjata rahasia yang tentunya milik mereka
sendiri. Kemudian tubuh mereka ambruk dan mati.
"Hi hi hi... Orang-orang
ini lucu sekali. Hi hi hi.." kata Sena sambil cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala.
"Tangkap dia..." Dari
balik semak-semak belukar, terdengar teriakan seseorang memerintah pada anak
buahnya. Sekejap kemudian telah bermunculan lima belas orang berpakaian ungu
dengan wajah tertutup kain ungu pula.
Mereka langsung mengurung
Pendekar Gila yang masih tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi Ha ha ha...
Dari mana kunyuk-kunyuk ini..." seru Sena kemudian.
"Kurang ajar Cepat
tangkap dan bunuh dia..." seru pemimpin orang-orang berpakaian serba ungu.
"Hiaaa..." "Heaaa..."
"Haits... He he he..." sentak Sena sambil memegangi kepalanya.
Tubuhnya bergerak meliuk-liuk, mengelakkan serangan lawan.
"Mampus kau, Pemuda
Edan..." teriak pemimpin para penyerang sambil menebaskan goloknya ke
kepala Sena. "Hancur kepalamu, Gila..." Dengan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat' Sena menghindari setiap serangan yang datang. Tubuhnya
meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali tangannya bergerak seperti menepuk
ke dada lawan.
"Heaaa..." "Eits
Hih..." Degkh "Aaa..." Orang yang terkena tepukan Pendekar Gila.
seketika memekik. Tubuhnya terlontar ke belakang, melayang laksana terbang.
Tubuh orang itu baru berhenti, ketika menabrak sebatang pohon besar.
Srak "Aaakh..." Bluk
Kontan saja orang itu menjerit-jerit. Tubuhnya mengejang. Kain penutup wajahnya
bersimbah darah segar, karena kepala orang itu pecah akibat benturan keras
dengan batang pohon besar tadi.
Hutan yang semula sunyi dan
sepi, seketika terpecah oleh suara pekikan dan jerit kematian. Banyak pohon
yang tumbang terhantam pukulan mereka.
Rumput-rumput yang mulanya
segar menghijau, berserakan terinjak-injak. Binatang-binatang penghuni hutan
itu pun seketika berlarian ketakutan.
Pendekar Gila cengengesan
sambil menggarukgaruk kepala. Lalu tertawa-tawa.
"Hi hi hi... Aha Siapa
yang ingin hadiah dari-ku...?" tanya Sena sambil cengengesan dan
bertingkah seperti orang gila.
Pemimpin orang-orang bertutup
muka itu berteriak keras memerintahkan anak buahnya agar menyerang Pendekar
Gila.
"Ayo kurung... Bunuh...
pemuda gila itu Cincang dia..." Pendekar Gila masih cengengesan dari
menggaruk-garuk kepala, ketika melihat belasan lawan menyerang dengan
membabatkan golok masing-masing.
Namun, dengan cepat Sena
kembali bergerak mengelak. Kedua kakinya digeser dengan cepat. Tubuhnya dibungkukkan
ke bawah. Tetap dengan mulut cengengesan.
"Eits He he he...,"
Pendekar Gila tertawa terke-keh-kekeh sambil menggaruk-garuk kepala. Pantatnya sengaja
ditunggingkan ke arah orang-orang itu, membuat mereka geram dan marah.
"Kurang ajar..." Dua
orang membabatkan goloknya ke pantat Pendekar Gila.
Wut Wut "Heaaa..." "Eee...,
jangan main pantat Jorok... Hi hi hi..." ejek Sena sambil mengelak
mengegos ke kiri dan kanan. Lalu melenting ke atas, dan kembali mendarat di
belakang belasan orang yang menyerangnya.
"Hei, aku di sini
Kemari.." teriak Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Orang-orang yang mengeroyok
cepat berbalik dan serentak memburu Pendekar Gila.
Kali ini Pendekar Gila
tampaknya tak ingin lamalama menghadapi orang-orang itu. Maka tanpa membuang-buang
waktu dihentakkan kedua tangannya.
Seketika segulungan angin
kencang melesat bagi topan. Wusss...
Bruk "Wua" "Aaa..."
Kesepuluh lelaki berpakaian ungu yang tengah memburu Pendekar Gila kontan
berpentalan terhantam angin pukulan ‘Inti Bayu’. Mereka berteriak-teriak
kesakitan, karena tempat jatuh mereka terdiri dari tanah berbatu-batu. Tanpa
ampun lagi, kesepuluh lelaki bergolok itu tak mampu bangun lagi "Hi hi
hi... Rasakan kalian, Kunyuk" Pendekar Gila cengengesan sambil garuk-garuk
kepala. Lalu menjulurkan lidahnya mengejek lelaki bertelanjang dada pemimpin
kesepuluh penjahat itu.
"Kurang ajar... Minggir
Biar kuhadapi orang gila ini" seru Somakarta kalap, merasa lawannya
terlalu berbahaya bagi para anak buahnya. Apalagi dilihat kesepuluh anak
buahnya sudah tak bisa bangun lagi, karena menderita luka dalam akibat pukulan
jarak jauh yang dilancarkan Pendekar Gila.
Dengan cepat Somakarta
melabrak maju. Matanya yang nampak dari lubang di kain penutup wajah, melotot
garang menatap Pendekar Gila yang masih cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Sudah kuduga sejak tadi,
bahwa kaulah Pendekar Gila" kata Somakarta sambil mencabut golok dari
sarungnya. Lalu sambil menuding Sena dengan goloknya Somakarta berkata lagi,
"Aku sengaja mencarimu dan ingin menantangmu, Pendekar Kondang..." "Hi
hi hi..., lucu sekali Mengapa kau menantangku, Kisanak? Rasanya aku tak pernah
berbuat salah padamu," sahut Sena sambil terus menggarukgaruk kepala dan
cengengesan.
"He he he..., tentu saja
untuk mengalahkanmu, Anak Gila. Aku ingin namaku kesohor Sehingga tak ada lagi
orang yang berani menghalangi maksudku..
Aku akan berkuasa, serta bebas
berbuat apa saja...
Ha ha ha.... Heaaat..." Selesai
berkata begitu, Somakarta melesat menyerang Pendekar Gila. Dengan jurus
'Serigala Menerkam Mangsa', tangannya bergerak cepat, membabat dan menusukkan
goloknya ke tubuh lawan.
Pendekar Gila segera
merundukkan tubuh, kemudian melompat mundur mengelakkan tusukan golok Somakarta.
Wut Wut "Eit... Hi hi
hi... Heaaa..." Tiba-tiba secepat kilat Pendekar Gila balik menyerang
dengan sebuah tendangan kaki kirinya. Seketika Somakarta tersentak kaget,
karena tidak menduga sama sekali serangan balik Sena yang begitu cepat.
Bergegas, serangan berikutnya
segera ditarik. Namun tubuhnya yang sudah melayang ke depan sangat sulit untuk
dibalikkan ke belakang. Sehingga....
Degkh "Uaaakh..." Tubuh
Somakarta terlontar ke depart, lalu tersuruk dan mencium tanah.
Sena tertawa terbahak-bahak
sambil berjingkrak melihat lelaki berpakaian ungu itu meringis kesakitan.
Setelah itu tangan kanannya
menepuk-nepuk pantat dengan mulut cengengesan. Ketika melihat Somakarta tampak
begitu marah dan geram. Pendekar Gila justru bertepuk tangan sambil terus
tertawa-tawa.
"Bedebah Kurang
ajar..." dengus Somakarta bertambah murka, menyaksikan tingkah Pendekar
Gila yang kian menjengkelkan itu.
"Kau memang tak bisa
dikasih hati, Bocah Gila Heaaa..." "Hi hi hi.. Heaaa..." Anak
buah Somakarta yang masih tersisa lima orang, langsung ikut menyerbu dengan
babatan dan tusukan golok ke tubuh Pendekar Gila. Mereka nampaknya bernafsu
sekali untuk segera menghabisi pendekar yang bertingkah laku konyol itu.
Melihat lawan kembali
mengeroyok, Pendekar Gila bukan merasa takut. Bahkan tingkahnya semakin aneh
dan konyol. Mulutnya cengengesan sambil menepuk-nepuk pantat dan
menggaruk-garuk kepala, kaki melompat-lompat persis kera. Namun kemudian tubuhnya
segera meliuk-liuk ke sana kemari, mengelakkan setiap serangan lawan. Itulah
jurus ‘Si Gila Menari Menepuk Lalat’ Tangannya dengan gerakan pelan dan lemah
gemulai menepuk dan menangkis serangan lawan. "Heaaa..." Plak "Aaauw..."
Suara pekikan panjang terdengar dari salah seorang pengeroyok, ketika pukulan
telapak tangan Pendekar Gila mendarat di dadanya. Tubuh lelaki berpakaian serba
ungu itu terlontar ke belakang hingga menerjang sebatang pohon besar. Kepala
pecah, menyemburkan darah segar dari mulutnya.
Pendekar Gila kini bergerak
cepat meliuk dan menepuk. Tidak hanya jurus 'Si Gila Menarik Menepuk Lalat',
bahkan dipadu pula dengan jurus yang semakin membuat lawan kalang kabut. Jurus
'Si Gila Menyapu Kabut'.
Wusss...
Dari kedua telapak tangan
Pendekar Gila keluar angin deras menghantam ke arah lawan. Para pengeroyok
seketika terdorong keras ke belakang. Bahkan pakaian Somakarta terlepas. Karuan
saja hal itu membuat dirinya kelabakan dan segera menutupi kemaluannya dengan
kedua tangan. Wajahnya merah karena malu. Dirinya kini tak dapat berbuat
apa-apa. Sementara anak buahnya yang tinggal dua orang ikut terbengong dan
tersenyum-senyum.
Sementara itu Pendekar Gila
pun tertawa terbahak-bahak merasa geli. Tubuhnya terguncang-guncang dengan
sesekali menepuk-nepuk kepalanya dengan tangan kanan.
"Pergiii..." seru
Somakarta memerintahkan kedua anak buahnya yang masih hidup. "Pendekar
Gila, kali ini aku kalah. Tapi lain waktu akan kubuat kau ma-lu..."
sebelum lari lelaki setengah baya itu masih sempat memungut pakaiannya untuk
menutupi tubuhnya.
Sena tertawa-tawa melihat
Somakarta dan dua orang anak buahnya lari tunggang langgang. Dan lagi pula
sebenarnya Somakarta pun telah mengalami luka dalam, ketika pukulan Pendekar
Gila sempat mendarat telak di dadanya. Karena itulah Somakarta memilih la-ri,
setelah dibuat malu dengan telanjang.
***
Pesisir Pantai Pasir Putih nampak damai dan asri,
dengan barisan pohon kelapa yang tumbuh subur di sekitarnya. Burung-burung laut
berterbangan ke sana kemari, berkicau dengan riang. Angin laut bertiup kencang
bersama suara alunan ombaknya, membuat mata mengantuk.
Namun suasana sejuk siang ini
tidak seperti biasanya. Di antara pepohonan kelapa tampak dua sosok tubuh
saling berhadapan. Yang satu seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan
bertelanjang dada. Tampak bulu tebal di dadanya yang bidang. Matanya yang tajam
menatap nanar pada sesosok wanita berpakaian compang-camping. Tampaknya mereka
baru saja melakukan pertarungan. Hal itu dapat dilihat dari pepohonan kecil
yang berserakan seperti bekas terinjakinjak atau terkena terjangan pukulan
keduanya.
"Hei Tunggu... Kenapa kau
menyerangku...?" tanya lelaki berkumis melintang itu yang ternyata Gaek
Weling. Matanya terbelalak menyiratkan perasaan heran, mengapa wanita bercaping
lebar itu menyerangnya.
"Kau pasti Pendekar Gila,
atau paling tidak kawannya Maka itu aku harus membunuhmu..." ujar wanita
yang berpakaian gembel itu.
Gaek Weling belum juga dapat
menduga siapa sebenarnya wanita berpakaian kumal dengan celana warna hitam itu.
Dirinya masih diam tak segera menjawab pertanyaan wanita itu.
Namun tiba-tiba hatinya merasa
yakin kalau wanita itu bukan Lara Kanti, murid Ki Warantala. Karena wanita
bercaping lebar dari daun pandan itu tiba-tiba kembali melakukan serangan, Gaek
Weling melompat menghindar. Yang lebih membuatnya heran, ketika mendengar
pertanyaan wanita itu, bahwa dirinya dikira teman Pendekar Gila.
"Tunggu... Kita bisa
berbicara sebentar..." ujar Gaek Weling sambil berusaha menghindari
serangan lawan, dengan melompat hingga beberapa langkah.
Rupanya wanita muda yang berpakaian
gembel itu bisa mengerti, dihentikan serangannya. Lalu menatap tajam, dari
balik capingnya, "Apa maumu...?" tanya wanita gembel bersenjata
pedang itu.
"Begini, kalau memang kau
juga bermaksud menantang dan membunuh Pendekar Gila, kita bisa bekerja sama
melawannya. Kita bersatu untuk melawannya. Bagaimana...?" usul Gaek Weling
membujuk orang yang mirip dengan Lara Kanti.
"Hm... Enak saja kau Aku
ingin membunuh Pendekar Gila seorang diri, karena dendamku atas kematian
saudara dan orangtua ku," sahut wanita berpakaian gembel itu ketus.
"Bagaimana mungkin kau
bisa melawan Pendekar Gila seorang diri. Kau akan sia-sia saja. Percayalah...,
kalau kau dan aku bersatu, Pendekar Gila tak akan mampu menghadapi kita. Walaupun
aku belum tahu betul kemampuanmu. Tapi melihat permainan pedangmu yang lincah
dan mantap, aku yakin kau bukan orang sembarangan...," kata Gaek Weling
sedikit memuji wanita yang berdiri di hadapannya.
"Heh.. hi hi hi... Kau
rupanya pintar mengambil hati orang. Baiklah, tapi aku ingin tahu. Kau sendiri
untuk apa mau menantang dan membunuh Pendekar Gila?" tanya wanita
berpakaian gembel itu.
"Ha ha ha, kau rupanya
masih tak mengerti. Sama seperti yang kau alami. Balas dendam Namun bukan sanak
saudaraku yang dibunuh oleh Pendekar Gila, melainkan kawanku. Dan kini saatnya
aku harus menurut balas..." jawab Gaek Weling dengan suara parau.
Wanita berpakaian gembel dan
bercaping lebar itu menghela napas dalam-dalam.
"Hhh... Siapa kawanmu
itu...?" tanya wanita bercaping lebar itu.
"Kurasa kau tak perlu
tahu. Sudahlah sebaiknya kau terima tawaranku. Kita akan dikenal dan disegani,
bahkan bakal jadi penguasa rimba persilatan. Ha ha ha..." kata Gaek Weling
merasa yakin kalau orang yang diajak bersatu itu akan menerima tawarannya.
"Ha ha ha..." wanita
itu tertawa, namun terasa hambar. Lalu dengan pedangnya ia menuding Gaek Weling
yang masih tertawa terbahak-bahak "Hai...
Kau Tawaranmu memang masuk
akal. Tapi aku tak mau ada jago lain di sisiku. Jadi, maksudmu itu tak bisa
kuterima, Kisanak Hhh... kini aku ingin menantang, sekaligus membunuhmu, agar
dapat membunuh Pendekar Gila seorang diri." "Heh?" Gaek Weling
tersentak kaget mendengar jawaban wanita gembel itu. Dugaannya meleset.
Sebenarnya Gaek Weling mempunyai maksud jahat, akan memperalat wanita itu
sebagai umpan. Namun dirinya tak ta-hu siapa sebenarnya wanita berpakaian
gembel seperti Lara Kanti itu.
"Baiklah. Aku siap
menghadapimu. Tapi sebelumnya lebih baik kau pikir dulu. Apakah kau tak menyayangi
dirimu, kalau nanti aku sampai membunuhmu? Lebih baik kita bersatu. Aku akan
memberikan kenikmatan batin padamu..." "Mulutmu kotor, perlu
dibersihkan..." selesai berbicara begitu, wanita itu melesat menyerang
Gaek Weling.
"Yeaaat.." "Heaaa..."
Melihat lawan juga melesat memapakinya, wanita itu segera mengubah serangannya.
Tubuhnya melenting ke atas, dengan tangan membabatkan pedang ke tubuh lawan.
Namun Gaek Weling cepat mengelak dengan merunduk dan bergulingan di tanah.
Dengan berdiri tegap sambil
menatap lawannya, wanita bercaping lebar daun pandan itu memainmainkan pedang,
gerakannya cepat. Sementara itu Gaek Weling masih diliputi rasa terkejut Dengan
kening berkerut ditatapnya wajah wanita itu.
Gaek Weling kemudian
menggerakkan kedua tangannya, membuat jurus ‘Pukulan Pelebur Sukma’.
Gerakan kedua tangannya begitu
cepat. Sementara kedua kakinya pun tak tinggal diam, terus bergerak dengan
kuda-kuda yang mantap.
"Heaaa..." Melihat
lawan telah melesat menyerang, wanita itu segera menggeser kaki kanan agak
membuka. Ditekuknya kaki kiri membentuk siku. Tangan kiri digerakkan ke atas,
lalu ditarik ke bawah dan dilecutkan di depan dada. Sedangkan pedang di
tangannya dis-abetkan miring ke samping, lalu ditarik lurus di depan dada.
Kemudian, dilanjutkan dengan gerakan memutar di depan tubuh. Disambung lagi
dengan gerakan bersamaan antara pukulan tangan kiri dan tebasan pedang.
"Heaaa..." Wut Wut.
"Hah...?" Gaek
Weling tersentak kaget dengan matanya terbelalak lebar. Kemudian bergumam,
"Jurus Pedang...?.'" Belum habis Gaek Weling mengingat jurus pedang
yang dilancarkan lawannya. Tiba-tiba....
"Yeaaa..." Wut Plak "Ukh"
Gaek Weling mengeluh. Cepat-cepat tubuhnya dilontarkan ke belakang, menghindari
dari tusukan pedang lawan yang cepat dan ganas. Merasa jurus ‘Serigala Melebur
Sukma' tak mampu menandingi ilmu pedang lawan, Gaek Weling cepat mencabut
goloknya yang berukuran panjang seperti pedang. Dengan gerakan cepat lelaki
bertubuh besar itu menyerang sambil melompat, dibarengi dengan babatan golok
dan tusukan ke tubuh lawan. Namun wanita yang belum diketahui siapa sebenarnya
itu, tak tinggal diam. Dengan cepat memapaki serangan Gaek Weling.
"Heaaa..." "Yeaaa....'"
Keduanya sama-sama melesat untuk melakukan serangan dengan senjata
masing-masing.
Trang Trang Degkh Wret "Ukh..."
Gaek Weling terhuyung dan rambutnya sempat terbabat pedang lawan, hingga
rontok. Sedangkan goloknya telah patah menjadi dua bagian, setelah saling
berbenturan dengan senjata lawan.
Tiba-tiba Gaek Weling ingat
akan pedang di tangan lawannya. Tubuhnya segera mundur tiga tombak ke belakang,
sambil membuka jurus baru.
"Hanya Bidadari Pencabut
Nyawa pemilik pedang pusaka yang dapat mematahkan golok pusakaku.
Apakah wanita ini Bidadari
Pencabut Nyawa? Atau saudara seperguruannya? Tak mungkin Hanya ada satu
Bidadari Pencabut Nyawa..." gumam Gaek Weling dalam hati, bertanya-tanya
pada diri sendiri. Wajahnya mulai tegang.
Dan ternyata benar. Lawan yang
sedang dihadapi Gaek Weling tak lain Mei Lie, kekasih Sena atau Pendekar Gila.
Gadis itu menyamar menjadi gembel, bermaksud untuk menyelidiki sepak terjang si
Penunggang Kuda Iblis.
"Ha ha ha.... Kini
giliran nyawamu, Iblis....'" dengus wanita yang ternyata Mei Lie.
Digerakkan Pedang Bidadari-nya yang mampu mengeluarkan sinar kuning kemerahan-merahan.
Membuat keadaan di sekitar itu menjadi bertambah terang.
"Benar juga dugaanku, dia
ternyata Si Bidadari Pencabut Nyawa..." gumam Gaek Weling. Matanya
membelalak lebar memandangi pedang di tangan kanan Mei Lie. "Kepalang
basah... Heaaa..." Gaek Weling nekat, dia kembali menyerang. Pukulan sakti
yang dimilikinya dikerahkan habishabisan. Tangannya kini berubah jadi ungu
kehitaman. Kuku-kukunya berubah panjang dan runcing, serta mengandung racun.
Menyaksikan Gaek Weling
melakukan serangan, secepat kilat Mei Lie memapakinya dengan jurus 'Pukulan
Bidadari Menjebol Benteng'.
"Hiaaat.." Wret Wret
Tangan Gaek Weling yang berkuku tajam bergerak cepat menyambar-nyambar wajah
dan bagian tubuh yang mematikan.
"Heaaa..." Tubuh Mei
Lie melayang dengan tangan kiri terkepal memukul lurus ke kepala Gaek Weling.
Sedangkan pedang di tangan kanannya membabat ke tangan lawan. Matanya terpejam
dan gerakan pedangnya nampak aneh. Terlihat pelan dan lambat, namun sesungguhnya
gerakan itu mengandung kekuatan yang luar biasa. Itulah jurus 'Pedang Tebasan
Batin', jurus pamungkas yang sangat ampuh dan mematikan.
Gaek Weling yang sudah mata
gelap, tak menghiraukan apa yang akan terjadi. Dirinya yakin kalau pukulan
saktinya akan mampu meremukkan tubuh Mei Lie. Tubuhnya masih melesat cepat,
dengan tangan bergerak bergantian.
"Heaaa..." "Hiaaa.."
Keduanya kembali sama-sama berteriak kuat, melancarkan serangan.
Wut Srat "Aaakh..." Dari
mulut Gaek Weling terdengar jeritan panjang, ketika pedang lawan membabat
tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri Mei Lie yang berisi 'Pukulan Bidadari
Menjebol Benteng' menghantam telak dadanya.
Dugkh "Uaaakh..." Gaek
Weling terjengkang ke belakang. Tubuhnya perlahan bangkit dengan sempoyongan.
Namun tibatiba lelaki bertubuh besar dan bertelanjang dada itu tampak terkejut,
ketika mengetahui tangan kanannya yang tersambar pedang tetap utuh, tanpa
luka....
Mei Lie terdiam sesaat,
mengatur pernapasan setelah mengerahkan tenaga dalam. Matanya memperhatikan
lawan yang kelihatan pucat, dengan kening berkerut Gaek Weling tak mengerti
mengapa tangannya masih utuh. Padahal tadi dilihatnya terbabat pedang wanita
gembel itu.
Meskipun dari sela-sela
bibirnya mengalir darah, karena luka dalam akibat pukulan lawan, Gaek Weling tampaknya
tak peduli. Merasa tangannya yang terbabat tak mengalami cidera, lelaki
bertubuh besar itu langsung melancarkan serangan. Namun baru dua tindak
bergerak, mendadak tangan kanannya retakretak, lalu berhamburan menjadi debu.
"Hah...? Aaa.... Akh,
tidaaak..." pekik Gaek Weling ketakutan. Matanya membesar nyaris keluar,
tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Mei Lie hanya tersenyum sinis
menyaksikan ketakutan Gaek Weling.
"Kini aku akan mencabut
nyawamu, Orang Bodoh Bersiaplah" ancam Mei Lie. Lalu dengan cepat,
pedangnya digerakkan kembali.
Gaek Weling yang masih tak
percaya, antara sadar dan tidak melihat tangan kanannya jadi debu. Wajahnya
semakin pucat dan ketakutan. Dia telah merasakan kehebatan ilmu pedang
lawannya. Gaek Weling bermaksud untuk kabur, tapi dengan cepat Mei Lie telah
menghadangnya.
"Kau tak akan bisa lepas
begitu saja, Manusia Busuk" "Hah...? Ampun..., ampuni aku Jangan
bunuh aku Aku akan menurut semua perintahmu.... Tapi siapa kau
sebenarnya...?" Gaek Weling meratap sambil gemetaran dan meringis menahan
perih dan sakit.
Mei Lie tak menjawab. Matanya
masih menatap tajam wajah Gaek Weling yang meratap, minta ampun padanya.
"Hm.... Kali ini
kuampuni. Tapi jangan sekali-kali berbicara besar, dan ingin memperdaya Dewi
Bayangan Kabut Sekarang cepat pergi..." bentak Mei Lie.
Gaek Weling
mengangguk-anggukkan kepala sambil menggumam lirih.
"Dewi Bayangan Kabut..?
Baru kali ini aku dengar nama itu. Tapi jurus pedang yang dia miliki seperti si
Bidadari Pencabut Nyawa. Hhh.... Siapa pun dia aku tak peduli..." Gaek
Weling bangkit berdiri. Namun ketika Mei Lie lengah, dengan sisa-sisa
tenaganya, lelaki berambut panjang itu melepaskan pukulan ke tubuh Mei Lie yang
membelakanginya.
"Hiaaa..." Mei Lie
bukan orang sembarangan. Dirinya sudah menduga tindakan yang akan dilakukan
Gaek Weling. Maka dengan cepat dibuang tubuhnya ke samping dan bersalto
beberapa kali, sambil membabatkan pedangnya ke tubuh lawan.
"Rupanya kau lebih suka
mampus, Manusia Licik Heaaa..." Wut Sret "Aaauw..." Gaek Weling
kembali memekik, ketika pedang Mei lie menebas tangan kirinya. Dan seperti
kejadian sebelumnya, tangan kirinya sedikit pun tak mengalami luka. Namun
ketika angin bertiup, tangan yang telah berubah menjadi debu itu berhamburan.
Belum habis kengerian Gaek
Weling, Mei Lie yang sudah tak bisa menahan amarah, langsung menyabetkan
pedangnya secara menyilang, dan menebas tubuh Gaek Weling.
Cras Cras "Aaakh..."
Terdengar jeritan Gaek Weling dalam satu lengkingan panjang. Matanya membeliak.
Sesaat tubuhnya mematung di tempat itu, namun kemudian lebur jadi debu Mei Lie
menghela napas panjang seraya tersenyum.
"Rupanya yang
menginginkan kematian Kakang Sena cukup banyak. Aku harus segera mencari si Penunggang
Kuda Iblis itu, sebelum bentrok dengan Kakang Sena..." gumam Mei Lie
kemudian. Lalu tubuhnya melesat pergi dari tempat itu.
Dari gerakannya yang begitu
cepat, jelas kalau gadis Cina itu, kekasih Pendekar Gila yang menggunakan ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi. Sehingga dalam waktu yang singkat saja,
tubuhnya yang terbungkus pakaian kumal telah melesat puluhan tombak menuju arah
barat.
***
7
Matahari yang telah condong ke
barat masih menyirami bumi. Sinarnya sudah tak terlalu panas karena sebagian
tertutup awan hitam. Udara terasa sejuk, apalagi angin yang berhembus kencang
menerpa dedaunan.
Pendekar Gila melangkah
menelusuri jalanan di tengah Bukit Parangkan. Tiba-tiba telinganya mendengar
suara pertarungan di kejauhan. Didengar dari suaranya, jelas ada beberapa orang
yang terlibat pertarungan di balik bukit di sebelah timur itu.
"Heaaa..." "Hait..
Heaaa" Trang "Aha, ada orang bertarung rupanya," gumam Se-na
sambil memasang pendengarannya lebih tajam, agar suara pertarungan itu lebih
jelas. "Ah benar. Aku harus melihatnya, siapa yang bertarung itu?" Dengan
menggunakan ilmu 'Sapta Bayu' Pendekar Gila melesat menuju asal suara itu. Tak
lama kemudian pemuda berompi kulit ular itu telah melintasi jalan terjal
berbatu, sampai di balik bukit sebelah timur. Tiba-tiba matanya terbelalak,
seperti terkejut "Aha... Seorang wanita...?" gumamnya sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. "Hi hi hi....
Lucu... Diakah yang disebut si
Penunggang Kuda Iblis...? Yang ingin menantangku?" Dari jarak cukup jauh
Pendekar Gila terus mengamati jalannya pertarungan itu. Keningnya tampak berkerut,
seolah-olah ada yang tengah dipikirkannya.
Meskipun mulutnya tetap
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Mata Sena semakin membelalak
lebar, ketika melihat seekor kuda hitam pekat, dengan mata bagai api.
Menerjang dan mendepak
orang-orang yang mengeroyok wanita yang tak lain Lara Kanti. Kuda itu meringkik
dan mendengus... Berusaha membela tuannya. Kuda hitam yang oleh Lara Kanti
dipanggil si Ireng, tapi dikenal dengan julukan Kuda Iblis itu terus mengamuk
tak terkendali. Hingga beberapa orang di antara pengeroyok yang berjumlah
puluhan itu mati tersepak bahkan digigit kuda itu.
Sementara itu, Lara Kanti
masih terus menghadapi lawan-lawannya yang ternyata murid-murid dari Perguruan
Merak Suci. Mereka dipimpin gurunya, Ki Kantawijaya, seorang lelaki berusia
sekitar enam puluh tahun.
Pendekar Gila masih
memperhatikan dari kejauhan. Mulutnya tampak cengar-cengir sendirian.
"Sebaiknya aku membantu
lelaki tua itu. Tapi...?" gumam Sena lirih.
Swing Swing...
Baru saja Sena selesai
bergumam, tiba-tiba mendesing puluhan senjata rahasia ke tubuhnya.
"Aha, eit.. Kenapa mainan
ini nyasar ke arahku...?" gumam Sena sambil melenting, mengelakkan
serangan puluhan senjata rahasia. Tubuhnya bersalto di udara beberapa kali,
kemudian dengan cepat menepis beberapa senjata rahasia itu.
"Heaaa..." Trak Swing
Swing..." Senjata-senjata rahasia itu berbalik ke asalnya.
Jleb Jleb "Aaa....'"
Terdengar suara jerit kematian dari kejauhan.
Rupanya senjata itu menghujam
pemiliknya.
Sena tersenyum puas, lalu
menggaruk-garuk kepala. Namun baru saja memalingkan kembali matanya ke tempat
pertarungan Ki Kantawijaya dengan Lara Kanti, tiba-tiba hatinya terkejut.
Telinganya mendengar suara perintah seseorang dari balik bukit yang berada di
belakangnya. Pendekar Gila segera berbalik dan melompat dari tempat itu.
Swing Swing...
"Serbuuu... Bunuh" Puluhan
anak panah dan tombak berukuran kecil berdesing memburu Sena. Hal itu
membuatnya segera merundukkan tubuh, lalu dengan cepat berguling ke bawah. Hal
itu sengaja dilakukan dengan maksud agar orang-orang yang bersembunyi di balik
bukit akan keluar. Satu anak panah ditangkapnya, lalu diselipkan di ketiak.
Sehingga seakan-akan terhujam sebatang anak panah tadi.
"Aaauw..." Sena
menjerit, seakan merasa kesakitan. Benar dugaan Pendekar Gila, seketika
berlompatan sosok-sosok tubuh dengan wajah tertutup kedok kulit macan tutul
Mereka semua bertelanjang dada.
Namun bagian bawah dibelit
pula dengan kulit macan tutul. Mata mereka menatap tajam tubuh Pendekar Gila
yang pura-pura mati.
Ketika itu pula Pendekar Gila
segera melontarkan pukulan ‘Inti Bayu’ "Heaaa..." Wusss Angin kencang
menderu keras bagai topan, memburu sosok-sosok berkedok kulit macan tutul, yang
berdiri di atas bukit "Awaaas..." seru pimpinan gerombolan berkedok
macan tutul itu.
Prats...
"Aaa..." Namun
terlambat Angin kencang laksana topan telah mengancam mereka. Seketika
orang-orang berkedok macan tutul itu berpentalan dari atas bukit "Ah ah
ah..., aneh Siapa mereka sebenarnya? Apakah teman wanita yang sedang bertarung
dengan lelaki tua itu..?" gumam Sena bertanya dalam hati.
Mulut Pendekar Gila
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian berseru, "Hei turunlah
kalian Tangkap aku..." tantang Sena yang sudah kesal. Orang-orang berkedok
kulit macan tutul itu, tak lain Gerombolan Macan Tutul dari Lembah Neraka.
Pekerjaan mereka hanya
membunuh dan memakan daging manusia. Mereka tak tahu siapa sebenarnya Sena atau
Pendekar Gila.
"Grrr..." pemimpin
manusia aneh itu mengerang keras penuh amarah. Lalu tubuhnya melakukan lompatan
macan, memburu Sena yang berada di bawah.
Melihat lawan menyerang,
Pendekar Gila tak tanggung-tanggung menghadapinya. Dengan jurus 'Si Gila
Melebur Gunung Karang' dipapakinya serangan lawan.
Tangan dan kaki Pendekar Gila
bergerak cepat.
Kedua tangannya menghantam ke
sana kemari. Pukulannya disertai angin topan, membuat beberapa lawan terpelanting.
"Heaaa..." Pendekar
Gila tak mau berhenti sampai di situ.
Dia terus bergerak menyerang
dengan garang. Tingkah lakunya yang seperti orang gila itu, dipadu dengan
pukulan-pukulan maut yang dahsyat Wusss Glarrr "Aaauw..." Lima orang
seketika menjadi korban. Tubuh mereka berpentalan jauh dan hancur
berkeping-keping terhantam pukulan ‘Si Gila Melebur Gunung Karang’.
Pendekar Gila tak memberi
kesempatan pada lawan-lawannya. Tubuhnya mencelat ke atas kemudian menukik sambil
melepaskan pukulan. Kedua kakinya pun tak tinggal diam, menjejak dan menendang
ke kepala lawan.
Melihat tubuh lawan berputaran
dan menyerang dari udara, Pimpinan Gerombolan Macan Tutul dari Lembah Neraka
dan beberapa orangnya, mengarahkan golok mereka ke atas. Hal itu membuat
Pendekar Gila mendapat keuntungan. Dengan begitu, serangannya kini terpusat ke
satu titik.
"Pukulan ‘Inti Brahma’
Heaaa..." Wusss...
Api keluar dari tangan
Pendekar Gila melesat ke tubuh lawan-lawannya di bawah. Tentu saja gerombolan
itu terkejut, lalu berusaha mengelakkan serangan dahsyat berbentuk api itu.
Namun api yang bergulung-gulung itu lebih cepat menerjang tubuh mereka. Hingga...
Prats...
"Aaauw..." "Aaakh..."
Pekikan keras seketika terdengar bersahutan ketika beberapa anak buah
Gerombolan Macan Tutul dari Lembah Neraka itu terhantam api. Tubuh-tubuh berpakaian
kulit macan itu bergulingan. Api dari ajian ‘Inti Brahma’ itu tak dapat
dipadamkan, hingga tubuh mereka hangus terbakar. Sang Pemimpin gerombolan pun
tak luput dari amukan api yang ganas itu. Tubuhnya hangus lalu tewas.
Pendekar Gila menggaruk-garuk
kepala sambil cengengesan. "Hi hi hi... Itu imbalan bagi orang licik...
Maafkan aku" gumam Sena
bicara pada diri sendiri, lalu tertawa-tawa cekikikan. Namun tawanya segera dihentikan,
manakala teringat akan pertarungan lelaki tua berpakaian putih melawan wanita
bercaping bambu kuning itu.
Pendekar Gila segera melesat
menuju tempat dirinya tadi mengawasi pertarungan itu., Namun kini matanya hanya
melihat lelaki tua itu tergeletak sekarat. Sedangkan wanita bercaping lebar
atau si Penunggang Kuda Iblis telah menghilang.
Pendekar Gila segera melompat
turun, menghampiri lelaki tua yang tak lain Ki Kantawijaya.
Nampak dada Ki Kantawijaya
luka lebar berlumuran darah kena sayatan pedang si Penunggang Kuda Iblis.
"Akh Ukh..." Ki
Kantawijaya merintih menahan sakit di dadanya. "Oh..., kau? Kau...,
siapa.... Anak Muda..." "Aku Sena, Ki...," jawab Sena.
"Kau..., apakah kau yang
bernama Pendekar Gila itu...?" tanya Ki Kantawijaya tiba-tiba. Seakan tahu
siapa pemuda yang ada di dekatnya.
"Benar, Ki.... Kau
siapa?" tanya Sena.
"Aku..., aku
Kantawijaya.... Jaga dirimu. Wanita itu ingin menantang dan membunuhmu...,
akh..." Selesai berkata begitu, Ki Kantawijaya menghembuskan napas
terakhir. Sena menghela napas panjang.
Menatap sedih Ki Kantawijaya
yang sudah tiada. "Semoga Hyang Widhi menerima arwahmu, Ki..." Pendekar
Gila kemudian menengadah. Setelah itu diangkatnya tubuh lelaki tua berpakaian
putih itu untuk dikuburkan. Sementara itu angin kencang bertiup menyapu bumi.
Sena melangkah sambil memondong mayat Ki Kantawijaya.
***
Sore itu hujan mengguyur Desa Waringin. Desa tempat
Padepokan Kates Sewu berada tampak sunyi dan sepi. Tak seorang pun keluyuran di
luar rumahnya. Para penduduk seperti terbuai suara rintik hujan dan dinginnya
hawa yang berhembus dari daerah perbukitan yang mengitari desa itu.
Dari arah timur tampak sesosok
kuda hitam, baru saja keluar dari Hutan Jatirata. Kuda tinggi dan besar itu
melesat memasuki tapal batas Desa Waringin.
Derap kaki, kuda tak terlalu
keras. Langkahnya bagaikan tak menginjak bumi. Di atas punggung kuda duduk
dengan tegap wanita bercaping lebar dan berpakaian compang-camping. Dari balik
caping lebar, terlihat matanya menyapu sekeliling tempat itu. Sementara hujan
rintik-rintik masih turun. Wanita yang tak lain dari Lara Kanti seakan tak
mempedulikan air hujan yang terus membasahi tubuhnya. Dari mata kuda hitam
pekat itu memancarkan sinar merah membara.
Pantas kuda itu dijuluki
sebagai Kuda Iblis.
"Hieeeh...
Hieeehhh..." Kuda itu tiba-tiba meringkik keras. Suaranya yang melengking
keras bergema sampai di kejauhan, hingga mengejutkan murid-murid Padepokan
Kates Sewu. Mereka tengah beristirahat, ketika tiba-tiba terdengar suara
ringkikan kuda yang begitu keras. Begitu pula Ki Palguna Wijaya, guru yang
memimpin padepokan itu. Lelaki setengah baya dengan wajah menggambarkan
ketenangan itu pun tampak mengernyitkan kening, terkejut.
"Kurang ajar Siapa yang
telah lancang membuat keonaran" gumam Ki Palguna Wijaya marah. Matanya
menyapu ke sekelilingnya.
Tiba-tiba muncul seekor kuda
hitam pekat dari balik tembok padepokan. Langkah kaki kuda itu tak terdengar.
Mata Ki Palguna Wijaya tak berkedip, terus mengawasi si penunggang kuda itu.
"Hm...," gumam Ki
Palguna tak jelas.
"Kau mencariku...?" Terdengar
tanya si penunggang kuda, dengan suara lantang. Tubuhnya yang terbalut pakaian
compang-camping basah kuyup oleh air hujan. Dengan ringan tubuhnya melompat dan
mendarat di tanah basah. Gerakannya yang begitu cepat menandakan kalau ilmu
yang dimiliki cukup tinggi. Wajahnya yang terhalang caping lebar terbuat dari
kulit bambu kuning, membuat Ki Palguna Wijaya tak dapat mengenalinya.
Namun lelaki tua itu pasti
telah mendengar sepak terjang si Penunggang Kuda Iblis yang berpakaian compang-camping.
Tokoh wanita yang menantang Pendekar Gila, juga orang-orang yang mengenal dan
dekat dengan pendekar muda itu. Termasuk Ki Palguna Wijaya sendiri "Kau
rupanya yang disebut Penunggang Kuda Iblis... Mau apa kau datang
kemari...?" tegur Ki Palguna Wijaya dengan suara parau. Matanya yang tajam
tapi lembut menatap dengan nanar wajah Lara Kanti yang berada di balik caping
lebar.
"Aku datang hanya ingin
kau mau memberitahukan, di mana Pendekar Gila berada. Aku yakin kau tahu itu.
Karena kau salah seorang yang akan dikunjunginya...," ujar si Penunggang
Kuda Iblis.
"Ha ha ha... Bicaramu
seperti orang paling jago saja. Kalau aku tak mau, kau mau apa...?" sergah
Ki Palguna sambil tertawa-tawa.
"Terserah kau saja. Yang
pasti aku akan mencabut nyawamu, jika kau tak menghiraukan permintaanku...
Bersiaplah Yeaaa..." Melihat tamunya menyerang, Ki Palguna Wijaya tak mau
tinggal diam. Tubuhnya segera melompat untuk menghadapi serangan Lara Kanti.
Kedua kakinya digenjotkan, sedangkan tangannya bergerak membentuk sebuah
kuda-kuda dengan membentuk cakar.
Sementara itu kuda hitam yang
matanya memancarkan sinar kemerahan, melompat dan menerjang murid-murid
Padepokan Kates Sewu. Suara ringkikan yang keras menambah keadaan semakin kacau.
Namun Ki Palguna Wijaya tak
merasa terganggu.
Dirinya terus merangsek
menyerang Lara Kanti.
"Heaaa..." Tangan Ki
Palguna Wijaya bergerak mencekeram ke tubuh lawan. Namun dengan cepat Lara
Kanti mengelakkannya. Kakinya digeser ke samping, lalu dengan cepat balas
menyerang dengan tendangan.
"Heaaa..." Ki
Palguna Wijaya menarik cengkeramannya.
Kemudian dengan berputar dia
membalas serangan lawan. Kakinya bergerak menendang, disusul dengan pukulan tangan
kanan ke dada lawan.
"Heaaa..." Wret Wret
Suasana Padepokan Kates Sewu semakin riuh dan pertarungan semakin sengit.
Apalagi kuda hitam milik Lara Kanti yang bernama Ireng, mengamuk, memporak-porandakan
padepokan. Murid-murid Padepokan Kates Sewu kalang kabut Mereka berusaha menangkap
kuda yang dijuluki Kuda Iblis itu. Namun tampaknya binatang itu terlalu liar
dan ganas.
Sementara pertarungan Ki
Palguna Wijaya dan Lara Kanti terus berlangsung. Lelaki tua berjubah kuning
kemerahan itu melancarkan pukulan-pukulan keras yang merupakan serangan
andalan. Jurus-jurus tingkat tinggi 'Sapuan Badai' dan 'Cakaran Elang Sakti' dikeluarkan
dengan cepat dan beruntun.
Melihat serangan lawan telah
menggunakan jurus-jurus andalan Lara Kanti tak mau kalah. Segera dicabutnya
pedang yang tersampir di punggungnya.
Sret "Heaaa..." Wut
Wut Dengan pedang terhunus Lara Kanti balas menyerang. Pedangnya digerakkan
membabat dan menusuk ke tubuh lawan dengan ganas, diikuti pukulan dan
tendangannya yang sangat berbahaya.
"Hiaaa..." Ki
Palguna Wijaya terkesiap. Matanya membelalak menyaksikan serangan lawan yang
sangat cepat.
Sepertinya Lara Kanti tak
ingin memberi kesempatan sedikit pun, bahkan sekadar untuk menarik napas.
Pedang di tangan tidak ubahnya
Malaikat Maut yang siap mencabut nyawa.
"Edan Bisa modar
aku" gumam Ki Palguna Wijaya dengan mata semakin terbelalak tegang. Dirasakan
serangan lawan begitu cepat dan sangat berbahaya. Ki Palguna Wijaya berusaha
mengelakkan serangan lawan yang gencar. Namun pedang di tangan Lara Kanti bagai
memiliki mata.
Wut Wut..
Pedang Lara Kanti terus
mencecar tubuh lawan dengan tebasan-tebasan yang membahayakan. Hal itu membuat
Ki Palguna Wijaya semakin terdesak. Hingga.... "Hih" Cras "Aaakh..."
Ki Palguna memekik keras, ketika dadanya tersayat pedang Lara Kanti. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang dengan mata membelalak.
"Hiaaat.." Lara
Kanti yang sudah kalap tak puas sampai di situ, meski lawan sudah dalam keadaan
sekarat. Pedang di tangannya memburu tubuh Ki Palguna Wijaya yang tengah
terhuyung-huyung kesakitan. Namun pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok
bayangan hitam berkelebat cepat. Dan....
"Heaaa..." Trang "Ikh"
Lara Kanti tersentak kaget. Tubuhnya terhuyunghuyung ke belakang dengan mata
membelalak, memandang sosok wanita berpakaian gembel, compangcamping seperti
dirinya. Pedang di tangan wanita yang berdiri tegap di hadapan Lara Kanti itu
bersinar kuning kemerah-merahan.
"Hah?" Lara Kanti
terbelalak. Kemudian segera memulihkan kembali tenaga dalamnya dengan cepat "Kau
mengapa ikut campur? Siapa kau...?" bentak La-ra Kanti geram.
"Rupanya kau yang
dijuluki Penunggang Kuda Iblis" dengus wanita di hadapan Lara Kanti, yang
tak lain Mei Lie.
"Ya Kenapa kau
menghalangi niatku Atau kau ingin melawanku?" jawab Lara Kanti tak kalah
ketus-nya. "Ha ha ha... Akulah Dewi Bayangan Kabut Dan kalau tak salah,
kau ingin menantang Pendekar Gila, bukan...?" ujar Mei Lie dengan suara
lantang, matanya terpicing menatap sinis Lara Kanti.
"Benar Apakah kau tahu di
mana Pendekar Gila berada...? Cepat beri tahuku, sebelum kesabaranku
hilang" Lara Kanti menatap si Dewi Bayangan Kabut "Ha ha ha...
Rupanya kau termasuk orang yang tak memiliki kesabaran. Kalau boleh tahu, siapa
namamu sebenarnya?" "Aku Lara Kanti... Puas? Sekarang katakan di mana
Pendekar Gila. Lalu untuk apa kau datang ke desa ini?" "Sama dengan
yang kau inginkan. Puas...?" jawab Mei lie memancing Lara Kanti.
"Jadi, kau juga ingin
menantang Pendekar Gila...?" tanya Lara Kanti dengan menyipitkan matanya,
menyelidik.
"Tepat Biarlah akan
kukatakan di mana Pendekar Gila. Tapi aku ingin tahu, apa masalahnya sampai kau
ingin menantang dan membunuh Pendekar Gila...?" tanya Mei Lie sedikit
mendesak.
"Hhh..., untuk balas
dendam atas kematian ayahku... Sudah, jangan banyak tanya Cepat katakan, di
mana Pendekar Gila berada? Atau, kucabut nyawamu…" kata Lara Kanti sudah
tak sabar sambil menghunuskan pedangnya.
"Sabar Sekali lagi siapa
ayahmu itu...?" tanya Mei Lie ingin tahu jelas.
"Kau memang banyak mulut
Aku akan katakan, tapi kini yang terakhir pertanyaanmu kujawab. Ayahku dikenal
dengan nama Tempurung Sakti," jawab Lara Kanti. Menjadikan Mei Lie kaget
Pengemis Tempurung Sakti, bukan Pendekar Gila yang membunuh, melainkan dia
sendiri. Sesaat Mei Lie berpikir, lalu menghela napas dalam-dalam. Ditatapnya
Lara Kanti tajam.
"Ayahmu bukan mati di
tangan Pendekar Gila Ketahuilah, Tempurung Sakti mati di tangan Bidadari Pencabut
Nyawa" tegas Mei Lie. "Mengapa kau hendak membunuh Pendekar Gila,
yang tak bersalah...?" "Aku tahu, kalau Bidadari Pencabut Nyawa-lah pembunuh
ayahku. Dan kau tahu pula, tentunya Pendekar Gila tak akan tinggal diam jika
kekasihnya kubunuh. Maka itu aku ingin sekaligus menghadapi keduanya... Aku
harus membuat perhitungan terhadap mereka," jawab Lara Kanti dengan penuh
geram.
Mei Lie tersenyum sinis.
"Akulah Bidadari Pencabut
Nyawa. Hadapilah aku" tantang Mei Lie sambil membuka capingnya.
"Hah...?" Lara Kanti
kaget bukan main. Matanya membelalak lebar. "Bangsat.. Jadi kau yang
bernama Bidadari Pencabut Nyawa...? Keparat Kini kukirim nyawamu ke neraka
Heaaa..." Lara Kanti melesat melakukan serangan. Mei Lie pun tak tinggal
diam. Kini dua wanita muda jago pedang itu saling berhadapan. Satu memegang
pedang bersinar kuning kemerah-merahan. Yang lain memegang pedang bersinar
merah api. Mata mereka yang indah, saling menatap tajam.
Dua ilmu pedang sakti akan
saling bertarung untuk menentukan siapa di antara mereka yang paling hebat.
Satu Pedang Bidadari, sedangkan yang satunya Pedang Mata iblis.
"Heaaa..." "Yeaaat.."
Mei Lie membuka jurus pertama dengan jurus ‘Tarian Bidadari Membelah Langit’.
Pedang di tangannya bergerak cepat, dari bawah ke atas, seakan berusaha
membelah langit Wut Wut Sementara itu, Lara Kanti tak mau kalah. Dengan penuh
amarah, segera dikerahkan jurus pembuka yang tak kalah hebatnya. Dengan
‘Tusukan Malaikat Maut’ pedangnya bergerak cepat, hinggap membentuk gulungan
yang mengeluarkan sinar merah laksana mata iblis memancar ganas.
"Hiaaa..." "Yeaaat..."
Wut Wut Trang Trang Denting dua pedang beradu terdengar nyaring.
Tubuh keduanya melompat ke
belakang kemudian dengan sigap kembali melakukan serangan. Pedang di tangan
mereka bagai memiliki mata, bergerak cepat ke sana kemari, memburu tubuh lawan.
Pertarungan seru dua wanita
muda yang memiliki ilmu pedang tingkat tinggi itu terus berlangsung.
Hal itu membuat semua murid
Padepokan Kates Sewu terkagum-kagum menyaksikannya. Begitu pula Ki Palguna
Wijaya yang telah mengalami luka tampak terkesima menyaksikan ilmu pedang kedua
wanita muda itu. Sementara itu kuda Lara Kanti mulai dapat diamankan oleh
murid-murid Padepokan Kates Sewu, dengan menjerat leher dan kaki binatang itu.
Mei Lie tampak mulai membuka
jurus andalannya. Dalam jurus 'Tebasan Pedang Bidadari Membelah Gunung',
pedangnya bergerak mendatar, kemudian diangkat tinggi-tinggi, lalu diteruskan
dengan sabetan ke tubuh lawan.
Cahaya kuning kemerah-merahan
berpendarpendar seiring dengan kelebatan Pedang Bidadari Mei Lie. Wut Wut "Yeaaa"
"Hiaaat.." Keduanya kembali berkelebat, saling menyerang dengan
babatan dan tusukan pedang. Gerakan mereka sangat cepat, sehingga sulit untuk
diikuti mata.
Kini yang tampak hanya sinar
kuning kemerahmerahan berbaur dengan sinar merah api membara.
Trang Trang...
Wut Wut "Hiaaa..." Beberapa
kali pedang mereka saling beradu. Tubuh keduanya sesaat melompat ke belakang.
Mata keduanya saling tatap dengan tajam. Kemudian didahului pekikan
menggelegar, keduanya kembali melesat dengan sabetan pedang yang cepat "Yeaaat…"
Wut Wut Trang...
Mei Lie mulai mengeluarkan
jurus pamungkas 'Pedang Tebasan Batin'. Sebuah jurus sakti yang sangat dahsyat.
Orang yang terkena babatan pedangnya akan mengalami keanehan. Tubuhnya tak
menampakkan luka. Namun ketika tertiup angin, tubuhnya akan lebur menjadi debu
dan berterbangan.
Lara Kanti tersentak
menyaksikan jurus yang sudah sangat kesohor itu. Hatinya tegang menyaksikan
jurus yang tengah diperagakan lawan. Nyalinya seketika menciut, jika ingat
korban jurus yang tengah diperagakan si Bidadari Pencabut Nyawa.
Karena terdorong dendam
kesumat, si Penunggang Kuda Iblis tak mau mundur, Lara Kanti merangsek maju.
Keduanya kini kembali bertarung. Babatan pedang Mei Lie sempat merobek pakaian
Lara Kanti.
Lara Kanti tersentak kaget,
lalu melenting ke atas untuk mengelakkan serangan lawan yang terus memburunya.
Beberapa kali tubuhnya terpaksa berjumpalitan. Namun sempat pula mengeluarkan
jurus ‘Pedang Mata Iblis’, untuk menangkis serangan Mei Lie.
***
8
Sementara itu Ki Palguna
Wijaya sedang diobati oleh murid-muridnya di dekat pintu gerbang padepokan.
Tiba-tiba muncul sesosok bayangan putih berkelebat, dan langsung ingin
menyerang Ki Palguna Wijaya. Namun belum sempat sosok itu melakukan serangan,
tiba-tiba muncul pula sesosok bayangan lain.
Plakkk "Ukh..." "Hi
hi hi... Lucu, Tua Bangka ingin main curang.
Licik..." terdengar suara
tawa cekikikan mengejek lelaki tua berpakaian putih yang kesakitan sambil memegangi
tangannya. Suara tawa itu ternyata milik Sena atau Pendekar Gila, yang entah
dari mana tiba-tiba telah berada di tempat itu.
"Kau rupanya, Pemuda
Gila... Kebetulan, aku sedang mencarimu. Ayo.., lawan aku Hutang nyawa harus
dibayar dengan nyawa..." seru lelaki tua berambut putih yang ternyata Ki
Rawantula, guru Lara Kanti.
"Hutang nyawa...? Hi hi
hi. Lucu sekali... Tua bangka menagih hutang. Ah ah ah... Kau mengada-ada saja,
Ki" ujar Sena sambil tertawa-tawa ngakak.
Pada saat itu Ki Rawantula
berkelebat melakukan serangan. Namun dengan cepat Pendekar Gila berguling ke
samping, lalu segera dicabutnya Suling Naga Sakti dan dibabatkan.
"Heaaa... Hih" Wut Trak
"Ukh..." Ki Rawantula memekik tertahan. Langkah terseok-seok karena
kakinya terkena sabetan Suling Naga Sakti.
Pendekar Gila menatap sambil
menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan cengengesan, dirinya membuka jurus 'Si
Gila Melebur Gunung Karang'. Namun Ki Rawantula tampaknya melihat gerakan lawan.
Meskipun kakinya telah
terluka, dengan cepat melakukan lompatan mengelak dari serangan Pendekar Gila.
"Heaaa..." Wusss...
Glarrr...
Pukulan Pendekar Gila
menghantam sebatang pohon besar di luar padepokan ini.
Ki Rawantula segera
menggerakkan kedua tangannya dengan cepat, melakukan serangan balasan, setelah
terhindar dari bahaya maut itu. Pendekar Gila yang telah berdiri tegap dalam
kedudukan yang mantap langsung bergerak. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana kemari
dalam jurus 'Si Gila Menepuk Lalat'. Sementara itu tangannya segera mengibaskan
Suling Naga Sakti ke tubuh Ki Rawantula Wut "Hait.. Heaaa..." Ki
Rawantula tersentak. Dirasakan ada hawa panas menjalar di tubuhnya bersamaan
dengan serangan Pendekar Gila. Dengan cepat lelaki berpakaian jubah putih itu
membuang tubuh ke belakang. Lalu segera melepas pukulan dengan jurus 'Tamparan
Sukma'.
Wut Plak "Eits" Pendekar
Gila kaget, ketika tangan Ki Rawantula menepis pundaknya. Seketika, pundaknya
terasa panas. Hal itu membuatnya bertambah marah.
Werrr...
Sambil meliuk Pendekar Gila
menghantamkan sulingnya ke tubuh Ki Rawantula. Disusul seranganserangan gencar
dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'.
Gabungan serangan yang begitu
cepat dan aneh itu cukup menyentakkan lawan. Ki Rawantula berusaha mengelakkan
serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun nampaknya pemuda
berpakaian rompi kulit ular itu tak mau memberi kesempatan bagi lawan untuk
menyerang. Pendekar Gila terus memburu lelaki tua itu hingga tak mampu
melancarkan serangan balasan.
"Heaaa..." Dengan
nekat Ki Rawantula merangsek, berusaha menjatuhkan Pendekar Gila. Namun karena
diliputi hawa marah dan nafsu, serangannya lolos. Hanya dengan memiringkan
tubuh, meliuk ke kanan dan kiri Pendekar Gila mampu mematahkan serangan lawan.
Kemudian dengan cepat, Suling
Naga Sakti dihantamkan ke kepala Ki Rawantula.
Wut Prak "Aaakh..." Ki
Rawantula menjerit keras, kepalanya hancur terhantam Suling Naga Sakti.
Tubuhnya terdorong ke belakang dalam keadaan mengerikan, lalu ambruk dan tewas.
Melihat lawannya mati,
Pendekar Gila menghela napas panjang. Lalu segera dipalingkan wajahnya ke tempat
pertarungan Mei Lie dengan Lara Kanti.
***
"Heaaa..." Wut Cras "Aaakh..."
Lara Kanti memekik keras. Lengan kirinya tersambar ujung pedang Mei Lie. Untung
saja si Bidadari Pencabut Nyawa itu telah mengubah jurusnya dengan jurus
ringan. Sehingga tebasan itu hanya mengakibatkan luka yang tak terlalu
berbahaya, bahkan tak mematikan.
Kejadian itu memang tampak
aneh, karena semula Mei Lie telah siap
mengerahkan jurus pamungkasnya,
'Pedang Tebasan Batin' yang sangat berbahaya itu. Namun hatinya tiba-tiba
merasa iba, tak tega melihat gadis cantik lawannya harus tewas dengan Pedang
Bidadari. Hal itu karena Mei Lie sendiri menyaksikan perubahan nyali lawannya.
Lara Kanti tampak pucat. Serangannya pun terus mengendor. Bahkan seakan-akan
pasrah selama pertarungan dalam jurusjurus terakhir itu.
Sikap Mei Lie tentu saja
membuat Lara Kanti keheranan. Dirinya menyadari kalau Mei Lie belum mau membunuhnya.
Padahal dia tadi sempat lengah. Lara Kanti bertanya dalam hati "Kenapa dia
tak mau membunuhku... ?" Mei Lie tersenyum sinis, lalu menggerakkan Pedang
Bidadari-nya, perlahan di depan dadanya, sedang tangan kirinya diluruskan ke
depan membuat gerakan silat yang indah. Matanya tajam menatap ke arah Lara
Kanti. Lara Kanti menatap tajam wajah Mei Lie. Pedang di tangannya kini diputar
di atas kepala, kemudian dihentakkan ke depan diiringi teriakan nyaring.
"Heaaa..." Wirt Wut Sementara
itu Pendekar Gila, hanya menyaksikan dari jauh sambil menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan murid-murid Padepokan Kates Sewu masih tegang menyaksikan pertarungan
kedua wanita muda yang cantik-cantik itu.
Ki Palguna Wijaya yang sudah
mulai terbebas dari rasa sakit, melangkah mendekati Pendekar Gila diikuti
beberapa muridnya.
"Selamat datang,
Sena...," tegur Ki Palguna Wijaya setelah sampai di sisi Pendekar Gila.
Pendekar muda itu menoleh, lalu mengangguk.
"Maafkan, aku terlambat
datang, Ki..." "Tak apa. Untung Mei Lie segera muncul, kalau tidak
mungkin aku sudah mati...," ujar Ki Palguna Wijaya lemah.
Pendekar Gila hanya tersenyum
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, sengaja aku tak mau
ikut campur, Ki. Walaupun aku tahu wanita yang sedang bertarung dengan Mei Lie
itu yang ingin menantangku. Biarlah Mei Lie yang mengatasinya...," tutur
Sena kemudian.
"Ya. Aku mengerti,
Sena.... Semoga Mei Lie berhasil menaklukkan si Penunggang Kuda Iblis itu"
kata Ki Palguna Wijaya seraya menepuk pundak Pendekar Gila.
"Heaaa..." "Heaaa..." Kini nampak kedua wanita muda itu
saling serang dan tangkis di udara. Mei Lie berhasil menyarangkan pukulan
tangan kirinya ke dada lawan. Tubuh Lara Kanti jatuh. Mei Lie segera meluncur
turun. Dan siap untuk menusukkan pedangnya ke tubuh Lara Kanti. Namun Lara
Kanti cepat melompat ke depan sambil menendang.
"Hukh" Mei Lie
memekik lirih, kena tendangan kaki kanan Lara Kanti yang tidak diduganya sama
sekali. Hal itu tentu saja membuat Mei Lie marah. Kemudian segera menyerang
dengan mengerahkan jurus ‘Pedang Tebasan Batin’.
Lara Kanti kembali
membelalakkan mata menyaksikan jurus 'Pedang Tebasan Batin' muncul lagi.
Gadis itu kemudian mengambil
keputusan untuk lari.
Maka tubuhnya melesat cepat
dan menghilang.
Mei Lie kaget lalu
mengejarnya. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, tubuhnya melesat begitu
cepat
***
Sementara itu si Ireng yang tadi terjerat,
entah kekuatan apa yang ada dalam kuda itu, tiba-tiba terlepas. Lalu mengamuk
menerjang semua orang yang ada di depannya, sambil meringkik-ringkik keras...,
Pendekar Gila yang melihat segera melompat dan mengejar dengan ilmu lari 'Sapta
Bayu'nya.
Kuda hitam yang dijuluki Kuda
Iblis itu terus berlari kencang. Di belakangnya nampak Sena mengejarnya. Tubuh
Pendekar Gila bagai terbang. Namun kuda itu seakan tahu ada yang mengejarnya.
Mendadak kuda yang berkulit hitam pekat itu berbalik arah.
Membuat Sena kaget "Edan
Kuda edan..." gerutu Sena kesal.
Kuda itu meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya. Lalu menyepak menyerang Pendekar Gila.
Mata kuda yang memancarkan sinar merah itu nampak menyeramkan dan ganas.
Sena melompat dan
berjumpalitan untuk mengelak dari tendangan kaki kuda itu.
"Husss Husss... Tenang,
Manis Tenang....
Husss..." Sena berusaha
menjinakkan kuda yang seperti kemasukan setan itu.
Namun tetap saja, kuda milik
Lara Kanti itu terus mengejar dan mendepak tubuh Sena. Tiba-tiba pantat Sena
tersepak keras.
Dugkh "Waduuuh..."
Sena memekik keras, sambil memegangi pantatnya.
Setelah itu Pendekar Gila
menggerakkan kedua tangannya membuka jurus 'Inti Bayu'. Dan menderulah angin
kencang memburu Kuda Iblis itu. Karena tak mengetahui bahaya tengah mengancam,
kuda hitam itu terus meringkik-ringkik dan berlari memburu Pendekar Gila. Namun
tiba-tiba kuda hitam bertubuh besar dan kekar itu terpental ke belakang, bagai
terdorong suatu kekuatan dahsyat Murid-murid Padepokan Kates Sewu langsung bersorak-sorai
sambil berlari menghampiri kuda yang masih terguling-guling itu.
***
Mel Lie yang mengejar Lara Kanti tak menyadari
kalau telah sampai di Pesisir Pantai Karang Bolong.
Mei Lie menyapukan mata ke
sekeliling tempat itu. Angin laut yang kencang bercampur dengan debur ombak.
Hanya itu yang dapat didengar telinganya.
Sementara itu Lara Kanti
tampak sempat menunggu untuk menyerang, jika Mei Lie muncul ke karang itu.
Benar juga, ketika Mei Lie baru saja mendekati karang, tiba-tiba....
"Hiaaa..." teriakan
nyaring terdengar, disertai deru pedang meluncur ke kepala Mei Lie.
Mei Lie dengan cepat merunduk
lalu melompat, mengelakkan serangan lawan sambil mencabut pedangnya. Lara Kanti
terus memburu, dengan tusukan dan sabetan pedangnya.
Trang Trang Trang "Heaaa..."
"Yeaaa..." Degkh Degkh "Ukh..." Lara Kanti memekik keras,
dadanya terhantam pukulan 'Bidadari Membelah Dada'.
Tubuhnya terhuyung ke belakang
dan dari mulutnya keluar darah segar. Matanya dirasakan berkunang-kunang.
Melihat hal itu, Mei Lie
segera maju sambil mengangkat Pedang Bidadari-nya di atas kepala.
"Tunggu..." seru
Lara Kanti sambil memegangi dadanya.
Mei Lie segera mengurungkan
niat, untuk membabatkan Pedang Bidadari-nya.
"Hm... Ada apa? Apa
kau...?" Mei Lie tak meneruskan kata-katanya karena merasa iba melihat keadaan
Lara Kanti.
"Aku menyerah kalah....
Ohhh.... Ukh" wajah La-ra Kanti semakin pucat. Dari mulutnya kembali
keluar darah segar.
Melihat itu. Mei Lie semakin
tak tega. Didekatinya Lara Kanti, sambil tetap waspada, takut kalaukalau
lawannya hanya berpura-pura. Dengan gerakan cepat Mei Lie menotok jalan darah
Lara Kanti. Wanita muda sebaya Mei Lie itu seketika terkulai lemas tanpa daya.
Mei Lie segera mengangkat tubuh si Penunggang Kuda Iblis itu. Lalu melesat
meninggalkan tempat itu.
***
Sementara itu Pendekar Gila dan Ki Pagulna Wijaya
masih menyaksikan kuda Lara Kanti yang sedang dikerumuni murid-murid Padepokan
Kates Sewu. Mereka mengikat kaki kuda yang sudah mulai jinak itu.
"Ki, aku harus mencari
Mei Lie. Aku khawatir kalau...," ucapan Sena terhenti, ketika mendengar
suara Mei lie.
"Kakang Sena..." Sena
menoleh ke belakang.
"Mei Lie...?" Pendekar
Gila menghambur mendekati kekasihnya. Orang-orang yang ada di situ menoleh ke
arah Mei Lie yang memondong tubuh Lara Kanti.
"Kau memang tak ada belas
kasihan. Kenapa kau bunuh dia, Mei...?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk
kepala "Oh, kau rupanya menaruh hati padanya. Aku tak membunuhnya. Hanya
kutotok jalan darahnya.
Agar aku aman..." jawab
Mei Lie seraya menurunkan tubuh Lara Kanti perlahan ke tanah.
Ki Palguna Wijaya dan
murid-muridnya pun mendekat Sena masih cengengesan dan menggarukgaruk kepala,
memandangi wajah Lara Kanti yang pucat. Di mulut gadis itu tampak ada darah
yang mulai mengering.
Mei Lie segera membuka
totokannya.
Lara Kanti perlahan
menggeliat. Hatinya kaget melihat lelaki muda berpakaian rompi kulit ular,
tersenyum padanya. Lalu Lara Kanti berpaling melihat Mei Lie yang tersenyum
pula.
Pandangannya pun kemudian
beralih ke wajah Ki Palguna Wijaya. Kemudian kepalanya menunduk perlahan, lemas.
"Nisanak, kalau kau
hendak membunuh Pendekar Gila, sekarang kau dapat melakukan itu. Dia ada di
hadapanmu saat ini...," ujar Mei Lie perlahan.
Lara Kanti mengangkat wajahnya
kembali, dan menatap Sena yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Untuk apa? Kau bilang
bukan Pendekar Gila yang membunuh ayahku..., tapi kau...," jawab Lara
Kanti dengan suara serak.
Mendengar itu Sena mengerutkan
kening, memandang wajah Mei Lie.
"Ketahuilah, Nisanak
Ayahmu Tempurung Sakti sebenarnya tak akan terbunuh, kalau saja dia tidak bertindak
durjana. Tempurung Sakti hanya mengikuti nafsu belaka. Ingin menjadi jago Dia
telah membunuh kakak seperguruanku, Nyi Bangil. Itulah sebabnya aku terpaksa
membunuh ayahmu. Maafkan aku Lara..." kata Mei Lie menjelaskan pada Lara
Kanti.
Rupanya Lara Kanti dapat
memaklumi. Dengan sedih dan linangan air mata, gadis itu menunduk lesu.
Sementara Pendekar Gila
menghela napas panjang, memandangi Lara Kanti.
Semua yang berada di situ
merasa terharu. Begitu pula Ki Palguna Wijaya.
"Di mana kudaku...? Aku
sangat menyayanginya.
Dialah teman hidupku selama
ini. Jangan bunuh dia" ujar Lara Kanti kemudian sambil terisak. Hatinya mulai
menyesali semua sepak terjangnya selama ini.
"Kudamu tak mati. Ki
Palguna Wijaya dan muridmuridnya akan merawatnya. Percayalah..." sahut
Sena mencoba menenangkan hati gadis cantik berpakaian compang-camping itu.
Lara Kanti menatap wajah Sena,
tak berkedip dalam linangan air mata.
"Maafkan aku, Pendekar
Gila Sebenarnya aku pun sangat mengagumi kesaktian dan kepiawaianmu.
Aku telah mendengar semua
tentang dirimu. Tapi tak mengenal wajahmu. Kini rasanya aku lega dapat bertemu
denganmu...," kata Lara Kanti dengan suara ber-getar. Mei Lie yang
mendengar itu, mengerutkan kening. Ada sedikit rasa cemburu. Namun perasaan itu
segera dibuang jauh-jauh. Lalu segera dirangkulnya Lara Kanti.
"Untuk sementara,
tinggallah kau di Padepokan Kates Sewu Ki Palguna Wijaya akan
merawatmu...," saran Mei Lie penuh persahabatan.
"Ya. Kita semua telah
memafkanmu. Mulai hari ini, kau harus mengubah sikap dan tindak tandukmu... Aku
menerimamu dengan senang hati...," sahut Ki Palguna Wijaya seraya
tersenyum.
Lara Kanti semakin terharu.
Wajahnya mulai nampak ceria, merasa masih ada orang yang mau menerimanya. Mau
memberikan tempat berteduh, bagi dirinya yang kini yatim piatu.
Lara Kanti memeluk Mei Lie
erat-erat, penuh kasih. Begitu pula Mei Lie, air mata pun menetes di pi-pinya
yang halus. Karena mengetahui nasib Lara Kanti yang tak berbeda dengannya,
yatim piatu.
Namun perasaan gembira nampak
dari wajah mereka. Demikian juga Pendekar Gila yang tersenyumsenyum sambil
menggaruk-garuk kepala.
SELESAI