Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
088 Muslihat Cinta Iblis
SATU
Di ujung malam di mana cuaca
masih gelap dan hawa dingin membungkus serta angin berhembus kencang, laut
selatan bergelombang dahsyat tidak seperti biasanya. Dalam keadaan seperti itu
sebuah perahu berpenumpang dua orang -seolah tak bisa dipercaya- meluncur pesat
membelah ombak. Bertindak sebagai juru mudi adalah seorang gadis berparas
cantik mengenakan pakaian biru tipis. Rambutnya yang panjang melambai lambai
ditiup angin. Di sebelah depan perahu tegak seorang pmuda bertubuh tinggi
kokoh. Keningnya diikat dengan sehelai kain merah. Dia mengenakan sebuah mantel
hitam. Dengan cara aneh yakni berdiri dan mempergunakan dua batang bambu
panjang besarnya tidak melebihi ibu jari orang ini mendayung perahu. Setiap
bambu-bambu itu dicucukkan ke dalam air laut, perahu melesat ke depan.
“Aku melihat satu gundukan
benda hitam di depan sebelah kiri. Mungkin itu pulau yang kita cari!” berkata
lelaki muda di depan perahu seraya arahkan matanya ang tidak berkedip jauh ke
depan.
“Bukannya mungkin, tapi itu
memang pulau tujuan kita!”, menjawab juru mudi si gadis cantik.
“Bagus! Kita sampai lebih
cepat dari dugaan!” ujar pemuda bermantel hitam. “Namun aku menangkap
isyarat-isyarat aneh!”
“Isyarat aneh apa?” tanya si
gadis
“Sebelumnya aku dan juga kau
pernah menyiasati dan menyelidik keadaan pulau itu. Setiap hal itu dilakukan
selalu ada kekuatan-kekuatan yang membuyarkan pemusatan pikiran. Sekarang
getaran-getaran itu masih terasa. Tapi halus sekali bahkan nyaris sirna…”
“Aku tidak heran,” menjawab si
gadis. “Kekuatan dan kesaktian yang kau miliki saat ini mana ada yang bisa
menandingi” Pemuda yang berdiri di depan perahu menyeringai. Cuping hidungnya
tampak mengembang oleh pujian itu. Dua bambu panjang di kiri kanan kembali
ditusukkan ke dalam air laut. Perahu kecil itu melesat pesat ke depan. Tak
selang berapa lama perahu sampai di pulau batu. Dua penumpangnya melompat ke
luar sebelum perahu sempat menyentuh dasar pulau.
“Hati-hati”, kata si pemuda.
“Di tempat seperti ini bahaya bisa muncul tak terduga. Maut bisa menyambar
sebelum kita sempat melihat!”
Sambil memegang tangan pemuda
bermantel hitam, gadis berkata. “Kalau aku sendirian di pulau ini mungkin aku
merasa khawatir. Tapi bersama pendekar yang menjadi raja diraja di dunia persilatan
siapa takut?!”
“Kau pandai memuji. Kalau
urusan di pulau ini sudah selesai aku akan membawamu bersenang-senang selama
tiga hari tiga malam. Kau suka….?”
sebagai jawaban si gadis
memeluk tubuh pemuda lalu mengecup bibirnya.
Kalau saja berada di tempat
lain mungkin pemuda itu sudah terangsang dan ikut terbuai dalam gelegak nafsu.
“Jangan gila…! si pemuda
berbisik dengan suara bergetar. “Urusan dulu baru bersenang-senang!”
“Di tempat sesunyi dan dingin
begini, apa yang perlu dikhawatirkan?”
Gadis berbaju tipis berkata
dan sepertinya tidak mau menghentikan peluk ciumnya. Dia baru terperangah
ketika si pemuda menjambak rambutnya lalu mendorong tubuhnya.
“Kekasihku kalau kau tidak mau
menuruti kemauanku, sebaiknya kau menyingkir dulu!” Atau mungkin kau lupa
pernah menyaksikan bagaimana aku menggebuk babak belur dua gadis cantik kurang
ajar tempo hari?”
Mendengar ancaman orang, gadis
cantik ini lepaskan rangkulannya. Nafasnya mengengah dan dadanya yang besar
tampak turun naik tanda dia berusaha menekan gejolak nafsu yang menguasai
dirinya. Dalam udara yang masih gelap dan angin kencang laksana bayangbayang
dua orang itu berkelebat di pulau batu. Di salah satu puncak bebukitan batu
mereka berhenti dan memandang berkeliling.
"Jangan-jangan kita
terlambat. Aku hampir yakin pulau ini kosong … !" berkata lelaki
bermantel.
"Hari masih gelap.
Penglihatan kita terbatas. Sebentar lagi pagi segera datang. Bagusnya kita
tunggu sampai hari terang, menjawab gadis berbaju biru tipis. Lalu dia mencari
tempat yang rata dan merebahkan tubuhnya. Dari caranya menggolekkan badan serta
gayanya memandang jelas dia kembali berusaha memikat si pemuda. Tapi yang
hendak dipikat tak bergerak di tempatnya malah bertanya.
"Kekasihku. apa yang
membuatmu sampai bertingkah aneh seperti ini?"
"Apa ini salahku? Ingat
berapa lama sudah kita tidak bersenang-senang? Sekarang ada kesempatan. Mengapa
tidak dipergunakan?"
Pemuda itu membungkuk.
mendekatkan kepalanya ke wajah si gadis. Mengira dirinya hendak dicium, si
gadis itu gerakkan tangan untuk merangkul. Tapi dengan cepat pemuda di atasnya
mengi baskan tangan itu seraya berkata. "Sekali lagi kau berani melakukan
sesuatu yang mengganggu urusanku, kupecahkan kepalamu. Aku tidak
main-main"
Si gadis terbelalak. Rahang si
pemuda menggembung, pelipisnya bergerak-gerak dan pandangan matanya menyengat
angker. Perlahanlahan dia bangkit dan duduk di alas batu tidak bergerak juga
tidak berani keluarkan suara.
Perlahan-lahan langit dan
ujung laut di sebelah timur kelihatan mulai terang tanda sang surya akan segera
muncul menerangi jagat. Tak lama kemudian pulau itu menjadi terang benderang.
Kemanapun mata dilayangkan hanya bebatuan merah yang tampak. Pemuda bermantel
memberi isyarat agar gadis yang duduk di alas batu segera bangkit.
“Kita salah menduga. Agaknya
bukan cuma kita berdua yang ada di pulau batu merah ini”
Gadis berbaju biru bangkit
berdiri. Dalam udara seterang itu jelas terlihat bagaimana tipisnya pakaian
yang membalut tubuhnya hingga setiap lekuk auratnya terlihat dengan jelas.
“Bagaimana kau bisa bilang
begitu? Kau melihat sesuatu?" bertanya si gadis.
Yang ditanya menggoyangkan
kepala ke arah barat. Di tepi pantai pulau batu sebelah barat tampak dua buah
perahu terapung-apung di sela-sela batu karang merah.
“Kalau begitu kita harus
bertindak cepat mencari orang itu!” kata si gadis pula. Belum selesai dia
berucap pemuda bermantel sudah berkelebat Mula mula kedua orang itu mengitari
pinggiran pulau. Mereka tidak menemukan siapa-siapa kecuali tanda-tanda di
sebelah timur bahwa sebelumnya memang ada orang di tempat itu
“Sebaiknya kita menyelidiki ke
bagian tengah pulau”, kata orang bermantel pada gadis temannya.
Si gadis mengangguk. Kedua
orang itu lalu berkelebat ke pusat pulau. apa yang mereka temukan di
pertengahan pulau itu membuat keduanya terkesiap. Di sini mereka menemukan
bagian pulau yang hancur porakporanda.
“Ada orang di bawah sana!” si
gadis menunjuk.
Lelaki bermantel mengangguk.
“Aku melihat tanda-tanda sebelumnya ada sebuah… mungkin dua buah terowongan di
bawah sana, batu-batu yang sangat atos ini… Bagaimana dan siapa yang telah
menghancurkannya? Ini bukan perbuatan alam. tapi pekerjaan tangan
manusia!" Orang ini terdiam sesaat sementara sepasang matanya lurus
memeriksa dengan tajam "Hemmm…. Ada keanehan. Tempat ini hancur
berantakan. Batubatu merah pecah dan rengkah. Tapi aku sama sekali tidak
melihat puing atau pecahan batul"
Paras si mantel hitam mendadak
berubah.
“Keparat!" keluar kutukan
dan mulutnya. “Jangan-jangan kita sudah kedahuluan…. Kau tunggu di sini. Aku
akan turun menyelidik!"
"Aku ikut!” ujar si
gadis. Lalu begitu pemuda bermantel masuk ke dalam lobang dia langsung saja
ikut terjun.
“Hemm!…. ini terowongan
pertama…" kata si pemuda begitu menjejakkan kakinya di dalam lobang dan
melihat mulut sebuah terowongan. dia masuk ke dalam terowongan sampai beberapa
belas langkah. "Agaknya terowongan ini berhubungan dengan pantai. Ada
angin bertiup ke arah sini…. Tak ada apa-apa di sini."
Kedua orang itu segera keluar
dari dalam terowongan. Di mulut terowongan mereka perhatikan terusan lobang di
sebelah bawah. Keadaan di tempat ini lebih parah dibandingkan dengan lobang
sebelah atas.
Tanya berkata apa-apa dia
melompat turun. Sesaat kemudian dia sudah menginjakkan kaki di atas lantai
lobang batu merah yang pecah dan rengkah. Tidak seperti di atas. Di sini dia
melihat ada dinding batu yang jebol dan pecahan-pecahan batu bertebaran di
mana-mana. Otaknya yang cerdik serta merta bisa menduga. Ada dua orang menjebol
tempat ini. Yang pertama menjebol tanpa menebar pecahan batu. Yang kedua daya
hantamnya mungkin lebih dahsyat tapi tidak mampu menghindarkan pecahan batu
bertebaran ke mana-mana..:"
Pemuda ini mengatakan apa yang
ada dalam benaknya pada si gadis. Lalu bertanya. "Kau bisa menduga siapa
kira-kira dua orang penjebol tempat ini?"
"Sulit menduga” Jawab si
gadis lalu menatap wajah pemuda berdagu kukuh itu. “Aku melihat parasmu
berubah. Agaknya ada sesualu yang mendadak menjadi ganjalan?"
Ini akibat penipuan yang
dilakukan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan Aku bersumpah akan menguliti
tubuh mereka lalu mencincangnya sampal lumat! Pendekar 212 Wiro Sableng belum
mati! Aku yakin salah satu dan dua penjebol tempat ini adalah dial"
"Manusia satu itu bisa
kita urus nanti. Sekarang baiknya kita menyelidik ke dalam terowongan
sana," kata si gadis pula.
Dengan hati-hati kedua orang
ini masuk ke dalam terowongan kedua. Belum jauh masuk tiba tiba pemuda
bermantel hentikan langkahnya sementara si gadis keluarkan seruan tertahan dan
tersurut sampai dua langkah. Di lantai terbujur sesosok jerangkong manusia.
"Lagi-lagi aku melihat
keanehan. Batu-batu atos di luar sana bisa hancur dan rengkah. Tapi jerangkong
lapuk ini seolah tidak tersentuh sedikit pun. Tetap utuh. Tak ada satu tulang
pun yang tanggal dari persendiannya!”
Pemuda itu membatin dan
memandang dengan mata tak berkedip Rahangnya menggembung, dagunya seolah
membatu.
"Tengkorak siapa
itu…" terdengar si gadis bertanya.
“Aku yakin itu tengkorak orang
Cina yang dikabarkan melarikan diri dari Tiongkok sekitar tujuh puluh tahun
silam. Tapi siapa pun jerangkong keparat ini adanya bagiku tidak penting! Jauh
lebih penting mencari di mana beradanya kitab itu!” Nada kesal jelas terdengar
pada suara orang bermantel hitam. Beberapa kali dia menjambak dan
menyisir-nyisir rambutnya yang hitam dan basah oleh keringat. Si gadis sendiri
saat itu pakaiannya telah basah oleh peluh hingga membungkus ketat tubuhnya
yang bagus.
“Aku akan menyelidik ke dalam
sana. Kau tunggu di sini!” Si pemuda lalu melangkah melewati jerangkong di lantai
terowongan. Tak selang berapa lama dia muncul kembali dengan paras membesi.
"Benda yang kita cari
tidak ada di sini. kita telah kedahuluan orang. Pasti manusia-manusia yang
telah menjebol tempat ini yang mendapatkannya! Keparat!”
"Belum tentu mereka …"
Lantas siapa? Setan pulau atau
jin laut?! si pemuda membentak Dibentak seperti itu gadis berpakaian tipis
geleng-gelengkan kepata "Kau telah memiliki satu kitab sakti. Itu adalah
kenyataan. Tapi tentang Kitab Dewa itu. Dari jalinan kisahnya sulit dipercaya
kalau kitab itu benar-benar ada. Jangan-jangan hanya cerita kosong yang sengala
disebar untuk mengacaukan dunia persilatan!”
Pemuda di hadapan si gadis
menyeringai lalu tertawa. Tawanya seolah dipaksakan. "Kalau begitu banyak
tokoh dan dedengkot dunia persilatan merebutkan kitab yang satu itu, kalau Ratu
Duyung dikabarkan ikut campur urusan ini dan kalau Pendekar 212 sampai
menyabung nyawa, bagiku Kitab Putih Wasiat Dewa bukan cerita kosong!" Si
pemuda memandang ke arah jerangkong di depannya.
“Keparat jahanam! Sayang kau
tidak bisa bicara! Biar kuhancurkan sekalian!"
Habis berkata begitu pemuda
ini hentamkan kaki kanannya ke arah jerangkong Karena tendangan itu bukan
tendangan bisa maka sekali tendang saja pastilah jerangkong yang sudah sangat
lapuk itu akan mental den hancur berantakan. Pada saat tendangan akan mendarat
di sosok jerangkong sekonyongkonyong di kejauhan melengking suara tiupan
seruling menusuk telinga. Bersamaan dengan itu terdengar suara dahsyst auman
harimau menggetarkan seantero tempat itu. Lalu udara di dalam terowongan yang
tadinya panas mendadak berubah menjadi sangat dingin.
DUA
GADIS berbaju biru berteriak
agar mereka segera keluar dari dalam terowongan. Tapi pemuda bermantel tidak
mengacuhkan. Tendangannya tetap diteruskan. Sejengkal lagi kaki kanannya akan
menghantam bagian kepala Jerangkong tiba-tiba entah dari mana datangnya, satu
tabir kabut putih menutupi terowongan itu. Dua orang di dalam terowongan tak
dapat melihat apa-apa lagi. Tendangan kaki kanan si pemuda melenceng ke
samping, menghantam dinding terowongan. Bagian batu yang terkena tendangan
langsung hancur berkeping-keping
"Melangkah mundur. Keluar
dari tempat ini cepat. Ada kekuatan gaib menguasai tempat ini!” teriak pemuda
bermantel. Dia sama sekali tidak merasa takut namun menghadapi musuh atau
kekuatan yang tidak terlihat mau tak mau dia merasa kawatir juga lalu melangkah
mundur sambil menarik tangan si gadis.
Di dalam lobang di luar
terowongan kedua, mereka menunggu namun kabut yang menutupi pemandangan tidak
kunjung sirna. Si pemuda meraba baju hitamnya dl bagian dada.
"Aneh…. Ketika ada
kekuatan menghalangi kenapa dia tidak membalas dengan sinar kematian…? Ah!
Sekarang semakin jelas bagiku, kesaktian yang kumiliki dari benda di balik
pakaianku ini tidak akan keluar kecuali aku mendapat serangan secara
langsung!" memikir sampai di situ semakin tidak enak hati si pemuda. Lalu
sambil memberi isyarat pada si gadis dia mendahului melesat keluar dari lobang.
Baru saja mereka menginjakkan
kaki masing-masing di luar lobang di permukaan bukit batu merah, kedua orang
ini dikejutkan oleh empat sosok tubuh yang berkelebat muncul dan langsung
mengurung mereka.
"Siapa kalian?! Jangan
berani berniat jahat kecuali ingin jadi bangkai tak berkubur di pulau batu
merah ini!" teriak si gadis yang segera melihat gelagat tidak baik.
Sebaliknya lelaki bermantel
tetap tenang saja. memandang satu persatu pada keempat orang yang ada di
sekelilingnya sambil menyeringai. Dia hanya mengenaI satu saja dari keempat
orang itu, yang agaknya sengaja memilih tempat berdiri menjauh dari tiga orang
lainnya. Orang ini bertubuh gemuk pendek, wajahnya merah seram seperti dedemit.
Pada cuping hidungnya sebelah kin melingkar anting aneh terbuat dari akar
bahar. Dia hanya mengenakan sehelai celana gombrong pulih dekil. Bagian
tubuhnya yang tidak tertutup kelihatan merah seperti udang rebus. Sekujur
tubuhnya menebar bau minuman keras. Di pinggangnya melingkar sebuah ikat
pinggang besar. Pada ikat pinggang ini bergelantungan selusin kendi terbuat dari
tanah, masing-masing penuh berisi tuak keras. Di tangan kirinya ada lagi sebuah
kendi yang setiap selang beberapa saat disorongkannya ke mulutnya lalu dengan
lahap tuak keras yang ada dalam kendi itu diteguknya.
Kalau berdiri kepalanya tak
bisa diam, bergerak kian kemari. Tubuhnya bergoyang-goyang seolah mau rubuh.
Dari mulutnya terdengar suara berkepanjangan. Entah meracau entah menyanyi.
"Sobat tua yang aku
hormati dan kupanggil dengan gelar besar lblis Pemabuk! Ada apakah! kau muncul
membawa tega gembel jelek ini?!
Mendengar pemuda bermantel
munyebut gelar si gemuk pendek bertelanjang dada yang membawa kendi-kendi tuak
terkejutlah gadis di sebelahnya Alamat urusan menjadi runyam. Kalau tidak
ditangani bisa berabe. Aku dengar Iblis Pemabuk me miliki kepandaian tinggi
luar biasa begitu si gadis membatin.
Tiga orang yang disebut
sebagai gembel jelek kelihatan menjadi merah seperti melepuh tampang
masing-masing Dari pakaian dan dekilnya tubuh mereka memang tidak salah
ketiganya disebut gembel jelek. Mereka mengenakan pakaian rombeng banyak
tambalan. Yang di sebelah kanan seorang kakek tegak memegang sepotong tongkat
butut. Di sampingnya seorang nenek berdiri sambil berkipas-kipas dengan kipas
bambu yang selalu dibawanya ke mana-mana. Di sebelah nenek ini berdiri seorang
kakek memegang satu batok kelapa yang selalu diulurkan seperti sikap seorang
minta sedekah.
Anehnya walau tadi muka mereka
menjadi merah diejek namun sesaat kemudian ketiga orang tua aneh ini dongakkan
kepala lalu sama keluarkan suara tertawa mangekeh. Begitu kekehan mereka
berhenti kakek yang memegang batok kelapa yang rupanya menjadi pimpinan diri
tiga manusia aneh itu berpaling pada pemuda bermantel lalu membentak.
“Si gendut pemabuk itu tidak
ada sangkut pautnya dengan kami bertiga Kami datang sendiri dia datang sendiri”
"Oh! Begitu?!” lelaki
bermantel kerenyitkan kening. menyeringai lalu angguk-anggukkan kepala.
“Di tempat lain si gemuk
pendek berjuluk lblis Pemabuk tertawa melengkung lalu berkata. Terima kasih.
sudah ada yang menerangkan jadi aku tak perlu memberi tahu!”
“Kalau terhadap lblis Pemabuk
pemuda bermantel bersikap dan blcara hormat rnaka tidak begitu halnya dengan
tiga tua bangka yang tegak di depannya.”
“Monyet-monyet rombeng! Kalau
kalian memang tidak datang berbarengan dengan sobatku Iblis Pemabuk dan tidak
ada sangkut pautnya dengan sobat tuaku itu, maka lekas beri tahu siapa kalian
dan apa tujuan kalian bersikap menghadang mengurung diriku dan kekasihku ini.”
“Kekasih cantik! Huah! Kapan
aku bisa punya kekasih secantik itu!" tiba-tiba lblis Pemabuk berteriak
lalu buka mulutnya lebar-lebar dan glukgluk-gluk dia tenggak tuak dalam kendi
yang dipegangnya. Eh, dia kenal aku, tapi aku tidak kenal dia…! Anak muda
bermantel! Menyebutku sobat tua adalah satu penghinaan! Sekali lagi kau berani
memanggilku begitu ambles nyawamu!”,
Lelaki bermantel cepat
menjura. "Orang gagah. harap maafkan kalau panggilan itu tidak berkenan di
hatimu!” Lalu dia berpaling pada tiga orang tua di hadapannya.
"Jika kalian bertiga
tidak mau mengatakan siapa kalian dan apa tujuan muncul di pulau ini
menyingkirlah sebelum kepala kalian aku potes satu demi satu!"
Mendengar kata-kata itu karuan
tiga orang tua itu tertawa gelak-gelak. Yang satu bolang-baling kan tongkatnya.
Si nenek terus berkipas-kipas sedang kakek satunya lagi ulur tarik tangannya
yang memegang batok berulang kali.
Pemuda bermantel habis
kesabarannya. Dia maju selangkah tapi kakek yang memegang batok cepat
menghadang sambil berkata.
"Masih muda jangan cepat
mengibas amarah! Orang pemarah bisa mati berdiri! Bukankah begitu
leman-teman?"
"Betul!" tenak si
nenek sambil berkipas. Kali ini kipasnya mengeluarkan suara menderu-deru
seperti kobaran api ditiup angin deras.
"Betul!" seru si
kakek satunya sambil goyang-goyangkon tongkatnya di udara hingga mengeluarkan
suara seperti cambuk.
“Hemmm…. Monyet-monyet tua ini
sengaja unjukkan kehebatan.
Dikiranya aku takut!"
Lalu dia berseru. "Aku memberi kesempatan sekali lagi. Jika kalian bertiga
tidak lekas merat dari hadapanku, jangan salahkan kalau kekasihku yang cantik
ini akan memberi pelajaran pada kalian!"
"Pelajaran apa?!"
tanya kakek yang memegang tongkat dengan nada dan sikap mengejek.
"Mungkin pelajaran
bagaimana caranya berciuman! Ha… ha… ha … !" menimpali kakek yang memegang
batok kelapa.
"Kalau memang itu
pelajarannya, apa aku boleh pula meminta pelajaran berciuman darimu, anak
muda?! Hik… hik … hikkk!" Si nenek tertawa cekikikan.
Batas kesabaran pemuda
bermantel habis sudah. Dia angkat tangan kanannya untuk menghantam tapi kakek
yang memegang batok kelapa cepat berseru.
"Tahan! Biar kita blcara
baik-baik dulu! Urusan baik kalau memakai cara baik hasilnya tentu baik
pula!"
“Tua bangka keparat! Kau masih
belum memberi tahu apa kau punya urusan! Kau juga tidak memberi tahu siapa
dirimu dan dua kawanmu itu adanya!"
“Wuuuut!"
Si kakek lambaikan batok
kelapanya hingga serangkum angin keras menderu namun hal ini bukan merupakan
serangan yang ditujukan pada pemuda bermantel.
“Hari sudah siang! Tak ada
gunanya blcara bertele-tele. Apa maumu akan kupenuhi. Baik! Aku segera memberi
tahu siapa aku dan dua sahabatku. Kami bertiga selalu sungkan memberi tahu
nama. Biar kuberi tahu saja julukan kami bertiga. Harap kau memasang telinga
dan mendengar baik-baik. Kami adalah Tiga Pengemis Dari Akhirat!”
Gadis berbaju biru jadi
ternganga sedang pemuda bermantel hitam walau agak bergetar tapi tetap berlaku
terang. Siapa yang tidak mengenal tiga manusia berjuluk Tiga Pengemis Dari
Akhirat ini! Sesuai dengan gelaran yang mereka sandang, ketiganya memang
merupakan pengemispengemis yang hidup dari sedekah orang lain. Namun mereka
bukan pengemis biasa. Selain memiliki kepandaian tinggi mereka terkenal ganas
dan kejam. Soal membunuh bagi mereka sama mudahnya dengan membalikkan telapak
tangan. Bahkan pernah tersiar kabar bahwa ketiganya menerobos masuk ke dalam
Keraton dan mengamuk habishabisan sebelum beberapa perwira tinggi yang dibantu
oleh tokoh-tokoh silat istana datang mengusir.
Sambil menyeringai pemuda
bermantel berkata “Aku gembira bisa bertemu muka dengan orang-orang hebat macam
kalian. Tapi ada gerangan apa Tiga Pengemis jauh-jauh datang dari Akhirat ke
pulau batu merah yang serba gersang ini “
Kakek yang memegang batok
kelapa batuk-baluk beberapa kali lalu menjawab. “Seperti tadi aku bilang. Hari
sudah siang. Urusan harus diselesaikan cepat. Tak usah bicara panjang lebar
bertele-tele. Dengar baik-baik anak muda. Aku datang ke pulau ini untuk
mendapatkan Kitab Pulih Wasiat Dewa. Kalian berdua kulihat keluar dari dalam
lobang sana. Salah satu dari kalian pasti telah mendapatkan kitab sakti itu
saat ini. Lekas serahkan padaku, lalu kalian boleh pergi dengan aman!"
Di sebelah belakang terdengar
suara gelegukan berulang kali. Iblis Pemabuk meneguk habis tuak dalam kendi
tanah. Begitu seluruh isi ambles ke dalam perut dia tidak segera membuang kendi
tanah itu melainkan seperti makan kerupuk garing kendi tanah itu dikunyahnya
sampai habis. Kalau tidak terpaku pada urusan Kitab Pulih Wasit Dewa semua
orang yang ada di situ pasti akan melengak terkesiap melihat apa yang barusan
dilakukan Iblis Pemabuk.
"Aku sudah berkata apakah
kalian berdua tuli hingga tidak segera menyerahkan benda yang aku minta?!"
Pengemis tua yang memegang batok kelapa membentak
"Pengemis tua! Kau dan
dua kawanmu jauh-jauh datang dari akhirat hanya membuat ketololan besar Kau
datang ke tempat yang salah. Bicara pada orang yang salah! Berarti kalian kalau
mati pun secara salah!"
“Apa maksudmu?!" bentak
pengemis tua yang perempuan seraya melotot dan sesaat berhenti berkipas-kipas.
Lelaki bermantel menyeringai. Dia berpaling pada gadis di sebelahnya.
“Kekasihku, perlihatkan pada
mereka kita bukan bangsa kecoak yang bisa diancam dan ditakut-takuti!"
Gadis berbaju biru tipis
tersenyum. Gigi-giginya kelihatan rata putih bercahaya. Bibirnya dikulum.
Mulutnya dibuka sedikit. Lidahnya yang basah dijulurkan ke kiri dan ke kanan
sedang sepasang matanya terpejam. Selagi Tiga Pengemis Dari Akhirat terpesona
melihat sikap yang seolah mengundang ltu tiba-tiba tubuh si gadis berkelebat lenyap.
Seruan tertahan terdengar tiga kali berturut-turut. Di lain kejap si gadis
telah kembali tegak di samping pemuda bermantel. Dia berdiri sambil memegang
batok kelapa. tongkat dan kipas bambu milik Tiga Pengemis Dari Akhirat.
Lelaki bermantel tertawa bergetak
melihat dua kakek dan satu nenek pengemis di depannya berdiri dengan muka
pucat.
"Ah… ah… ah! Kekasihmu,
memang telah memberikan pelajaran yang sangat berguna. Kuharap tidak
mengecewakan dibanding dengan pelajaran yang barusan kami berikan padanya!"
Tentu saja pemuda bermantel
dan gadis di sampingnya Jadi heran mendengar ucapan itu sementara Iblis Pemabuk
terus saja meneguk minuman keras dari dalam kendi tanah seolah tidak perduli
apa yang terjadi di depan hidungnya.
Pemuda bermantel berpaling pada
gadis di sebelahnya. Si gadis sendiri seperti bingung menunduk memperhatikan
dirinya. Astaga! Dua orang itu sama-sama terperangah. Si gadis seputih kertas
wajahnya. Saat itu ternyata pakaiannya di bagian dada tepat di arah jantung
telah berlubang Lalu pada pergelangan tangan sebelah kiri tampak guratan
panjang. Lebih dari itu pada pakaian biru di bagian bawah pusat kelihatan
robekan memanjang. Jika ketiga orang itu berniat jahat terhadapnya maka
tadi-tadi waktu dia merampas tongkat, batok kelapa dan kipas, dirinya pun
sebenarnya sudah diancam bahaya maut. Tiga Pengemis Dari Akhirat bisa menusuk
hancur jantungnya memutus urat besar di pergelangan tangannya atau menjebol isi
perutnya!
Bagaimana pun tabahnya si
gadis namun diam-diam dia jadi keluarkan keringat dingin juga. Ketika ketiga
orang tua itu mengulurkan tangan, entah sadar entah tidak si gadis menyerahkan
kembali tongkat, batok kelapa dan kipas yang tadi dirampasnya dengan kecepatan
kilat.
"Kita sudah saling
memberikan pelajaran berucap kakek yang memegang batok kelapa. "Sekarang
apakah kalian masih belum mau menyerahkan kitab yang kami minta?!"
" Kami memang masuk ke
dalam lobang batu, terus ke dalam terowongan sebelah bawah. Kami hanya
menemukan satu sosok jerangkong. Kitab yang kalian inginkan tidak kami
temui!" menjawab lelaki bermantel hitam
“Dusta!" bentak kakek
yang memegang batok
“Beraninya kau bicara bohong
setelah nyawa kekasihmu kami ampuni!” teriak pengemis neneknenek.
“Penipu busuk!” hardik kakek
yang memegang tongkat. Ketiganya serentak maju ke depan tapi pemuda bermantel
cepat menyongsong Begitu sampai di hadapan ketiga pengemis, berkepandaian
tinggi itu dia kibaskan mantel hitamnya ke belakang. Kini terlihat pakaiannya
sebelah dalam. Yakni sehelai baju dan celana hitam. Pada dada baju hitamnya
terpampang lukisan puncak gunung Merapi berwarna biru, berlatar belakang sang
surya yang memancarkan sinar merah dan kuning.
“Pangeran Matahari” seru Tiga
Pengemis Dari Akhirat dengan tenggorokan mendadak kelu dan lidah tercekat.
Tampang keriput mereka berubah pucat sedang sepasang kaki masing-masing
bersurut mundur. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa orang dengan siapa saat
itu mereka membuat urusan adalah momok nomor satu dalam rimba persilatan yaitu
pemuda berjuluk Pangeran Matahari yang dikenal sebagai pendekar ganas segala
cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik segala congkak!
Di seberang sana Iblis Pemabuk
terus saja rnenenggak minuman keras dari dalam kendi tanah walau kini beberapa
kali sepasang matanya mengerling tajam ke arah si pemuda.
“Tiga Pengemis Dari Akhirat!
Buka mata kalian baik-baik! Apa sudah tahu dengan siapa saat ini kalian tengah
berhadapan?!"
Dua kakek dan satu nenek
saling bertukar pandang. Lalu kakek yang memegang batok kelapa menjura dan
mengumbar tawa.
“Sungguh tidak disangka. Dan
kami bertiga sungguh sangat bersyukur ternyata kami berhadapan dengan tokoh
besar rimba persilatan yang kami kenal dengan gelar dahsyatnya yaitu Pangeran
Matahari! Kami gembira ternyata kami berhadapan dengan sobat satu golongan!”
“Manusia-manusia haram jadah!
Siapa bilang aku sobat kalian!"
Pangeran Matahari membentak
lalu meludah. Sikap sombong congkak dan ganasnya yang sejak tadi disembunyikan
kini keluar.
"Kami tidak menyalahkan
kalau Pangeran tidak merasa bersobat dengan kami bertiga. Itu disebabkan kita
tak pernah saling jumpa sebelumnya. Karena kita sama-sama satu golongan tentu
Pangeran tidak akan terlalu berat hati menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu
pada kami, Paling tidak meminjamkannya barang beberapa lama!"
Pangeran Matahari tertawa
gelak-gelak. Lalu dengan mata angker melotot dia berkata.
"Kalian bertiga lekas
angkat kaki dari sini. Kalau tidak aku akan mengirim kalian ke kampung halaman
kalian di Akhirat sana!"
“Pangeran, mengapa bersikap
sekasar itu dengan kawan-kawan satu golongan?!" Nenek pengemis kini angkat
bicara.
"Perempuan sundall Biar
kau kubuat mampus duluan!" bentak Pangeran Matahari. Lalu telapak tangan
kanannya didorong ke depan. Perlahan saja. Satu gelombang angin panas
mengeluarkan suara desis tajam menyambar. Nenek pengemis cepat kibaskan kipas
bambunya. Bersamaan dengan itu dia menyingkir ke samping. Dari samping
perempuan tua ini batas menggempur dengan menusukkan ujung kipasnya ke
tenggorokan Pangeran Matahari.
Pada saat itu juga Pangeran
Matahari merasakan ada hawa ganas di dadanya di mana terikat Kitab Wasiat
Iblis. DI lain kejap selarik sinar hitam disertai aliran angin dahsyat menyapu
ke arah nenek pengemis. Satu jeritan menggoncang tempat itu. Tubuh si nenek
mencelat beberapa tombak. Ketika tubuh Itu jatuh ke atas batu merah keadaannya
mengerikan untuk disaksikan Sosok tubuh si nenek kini telah berubah menjadi
tulang belulang berwarna hitam mengepulkan asap! Sementara dua kakek pengemis
menjerit keras menyaksikan kematian sobat mereka. Iblis Pemabuk masih terus
asyik dengan tuaknya. Dari mulutnya tiada henti keluar ucapan-ucapan yang tidak
jelas sedang tubuhnya terhuyung kian kemari dan sepasang kakinya
digesek-gesekkan di atas batu merah.
“Pangeran keparat! Kau telah
membunuh salah satu dari kami! Tak ada jalan lain! Serahkan nyawa anjingmu pada
kami!” teriak kakek pengemis disebelah kanan. Batok di tangannya digoyangkan.
Serangkum sinar kelabu berkiblat, menyambar ke arah Pangeran Matahari. Kakek
pengemis satunya tidak menunggu lebih lama. Tongkatnya ditusukkan ke dada sang
Pangeran tepat di arah jantung. ini merupakan dua serangan yang sebelumnya
sukar dikelit atau ditangkis lawan karena gerakan dua kakek itu besar-besar
cepat luar biasa.
Namun apa yang terjadi
kemudian sungguh luar biasa dan mengerikan. Didahului oleh suara menderu keras,
dari dada Pangeran Matahari melesat keluar dua larik sinar hitam. Dua kakek
membentak nyaring Meski mereka telah menyaksikan kematian si nenek namun mereka
tidak mau menyingkir. Malah keduanya lipat gandakan tenaga serangan. Sinar
kelabu yang keluar dari batok kelapa menggelegar Tusukan tongkat menderu siap
untuk menembus dada sampai ke jantung. Sang Pangeran berdiri tak bergeTak. Di
wajahnya menyeruak seringai mengejek. Sesaat kemudian terdengarlah jeritan dua
kakek pengemis itu. Tubuh mereka yang kurus mengapung di udara lalu jatuh
bergedebukan di atas batu merah tak jauh dari kerangka hitam si nenek Keduanya
menemui ajal dalam keadaan tidak berbeda. Berubah menjadi tulangtulang hangus
menghitam. Sesaat kesunyian yang mengandung maut menggantung di udara. Pangeran
Matahari melirik ke arah lblis Pemabuk. Manusia gemuk pendek ini tampak duduk
menjelepok di atas sebuah gundukan batu merah dan masih terus sibuk dengan
kendi tuaknya. Sang Pangeran melangkah mendekati. Tiba-tiba Iblis Pemabuk
melompat dan berteriak. Satu langkah lagi kau maju akan kubunuh! Jangan harap
aku mau membagi minuman enak ini padamu!"
Pangeran Matahari hentikan
langkahnya. Dia menunggu dan berharap agar Iblis Pemabuk menyerangnya. Ternyata
orang itu kembali sibuk dengan minumannya.
"Aku harus memancingnya
agar dia benar-benar menyerang!" kata Pangeran Matahari dalam hati. Lalu
dia berseru.
"Iblis Pemabuk, aku yakin
kau yang membawa tiga tua bangka itu kemari. Kau membuat aku tidak senang.
Hatiku tidak tenteram kalau aku tidak membunuhmu!"
"Ah … !" lblis
Pemabuk seolah terkejut mendengar ucapan lantang Pangeran Matahari Itu. Setelah
meneguk tuaknya beberapa kali sampai mukanya bertambah merah, kendi
diturunkannya lalu dia memandang pada pemuda di depannya. Sambil
geleng-gelengkan kepala dia mulai tertawa. "Anak manusia! llmumu memang
tinggi! Setan sekalipun bisa kau bunuh sampai tujuh kali! Tapi Jangan mimpl
hendak membunuhku! Aku tidak akan terpancing untuk menyerangmu! Ha… ha…
ha!"
Pangeran Matahari jadi
terkejut besar. "Apakah manusia pantat botol ini tahu rahasia kesaktian
Kitab Wasiat Iblis yang ada di balik dada pakalanku? membatin Pangeran
Matahari. Otak cerdiknya segera diputar lalu berkata. "Harap kau beri
maaf. Tadi memang aku sengaja memancing. Tapi setelah tahu kau sebenarnya tidak
berniat jahat akupun tak akan memendam maksud tidak baik terhadapmu Aku malah
berniat mengundangmu datang ke puncak Merapi untuk hadir dalam pesta
mabuk-mabukan tujuh hari tujuh malam. Kalau kau suka tujuh perempuan cantik
akan kusediakan untukmu!"
"Ah undangan bagus! Aku
suka minum sampai satu malam suntuk. Apalagi kalau sampai tujuh malam. Tapi aku
tidak doyan perempuan! Aku yakin perempuan yang kau berikan padaku adalah
bangsa pelacur yang bisa membuat aku ketularan penyakit kotor! Huh!"
"Untukmu kupilihkan para
gadis yang masih perawan."
Iblis Pemabuk terdiam dan
tampak setengah melongo. Bagaimana? Kau terima undanganku?
Yang ditanya menggeleng lalu
tertawa panjang. "Aku harus mengakui kehebatanmu Pangeran. Kalau kau bisa
memberikan tujuh perawan padaku, hitung-hitung sudah berapa puluh perawan yang
kau lalap sendiri?"
Tampang Pangeran Matahari
tampak merah mengelam. Namun dia cepat menekan amarahnya. "Kalau kau tak
suka pelacur atau perawan masih banyak perempuan lain. Sebutkan saja yang
bagaimana yang kau suka""
Iblis Pemabuk hentikan
tawanya. Dia meneguk tuak dalam kendi. Tubuhnya kembali terhuyung-huyung. Lalu
dia melangkah terseok-seok ke arah gadis baju biru. Tiga langkah di hadapan si
gadis dia berhenti. Matanya berputar-putar jelalatan memandang gadis ltu.
"Kau suka padanya? Kalau
suka kau boleh menjemputnya di gunung Merapi TapI kalau kau mau memberitahu di
mana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa kau boleh mengarnbilnya saat ini
juga!"
Si gadis berpaling marah dan
berteriak. "Jangan Kau berani memperlakukan diriku serendah itu!,
Setengah berbisik Pangeran
Matahari berkata. Kekasihku, jangan kawatir. Si gendut pemabuk ini tidak akan
mengiyakan pertanyaanku Betul…. Memang betul! Aku tidak suka padanya!"
Iblis Pemabuk berucap. "Dia memang cantik Wangi tubuhnya mampu mengalahkan
harumnya tuakku. Tapi maaf saja. Aku tidak tahu dimana beradanya kitab yang kau
tanyakan itu Lagipula aku tidak suka bersenang senang dengan perempuan
bekasmu!"
Wajah si gadis menjadi merah
seperti saga mendengar kata-kata itu Sambil tertawa panjang Iblis Pemabuk
balikkan tubuh dan melangkah pergi.
"Kau biarkan bangsat yang
menghina diriku dan ilmumu itu pergi begitu saja…?!- teriak si gadis.
Aku memang ingin membunuhnya.
Tapi sengaja., kutunda. Siapa tahu kelak dia ada gunanya bagi Si gadis merengut
dan membuang muka ke jurusan lain. Pada saat itulah pandangannya membentur
sesuatu di atas batu merah di hadapannya.
Iihat!" teriak si gadis
seraya menunjuk ke depan.
Pangeran Matahari maju
beberapa langkah dan rnemperhatikan batu merah yang barusan ditunjuk Di situ
tertera tulisan buruk tak karuan tapi masih bisa dibaca, berbunyi: Aku
mengundangmu datang ke Pangandaran hari 10 bulan 10. Kalau kau tidak berani
datang lebih baik bunuh diri dari sekarang.
Pangeran Matahari dan
kekasihnya saling pandang.
"Pasti Iblis Pemabuk yang
membuat tulisan itu. Mempergunakan kuku kakinya…" desis si gadis
"Jelas undangan ltu
ditujukan padaku. Ada apa harl sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran?" Sang
Pangeran coba berpikir
"Soal undangan gila itu
mengapa musti dipikirkan sekarang. Lagipula hari sepuluh bulan sepuluh masih
lama…" berkata si gadis.
Kau betul kekasihku Mari kita
tinggalkan pulau ini. Ada tugas yang harus benar-benar kau laksanakan kata
Pangeran Matahari pula sambil melingkar-kan tangannya di pinggul gadis cantik
itu.
TIGA
GEROBAK sapi yang sarat dengan
padi kering itu meluncur perlahan di jalan mendaki menu-ju Kotaraja. Kusir
gerobak seorang pemuda kurus sesekali melirik ke samping di mana duduk
terkantuk-kantuk seorang kakek berjubah putih. Orang ini mengenakan caping
lebar hingga sebagian wajahnya tertutup. Dia ikut menumpang dari desa Tambak
Lor di kaki sebuah bukit jauh di sebelah Selatan Kotaraja. Sepanjang perjalanan
dia tak banyak bicara. Beberapa kali kusir gerobak mencoba mengajaknya
bercakap-cakap namun jawabnya pendek-pendek saja. Agaknya dia memang tak mau
bicara atau mungkin juga keletihan.
Anak muda kusir gerobak itu
sama sekali tidak mengetahui kalau mata orang tua yang terpejam itu sebenarnya
tidak mengantuk. Sebaliknya sepasang mata itu tiada hentinya memperhatikan
keadaan tempat-tempat yang dilalui.
“Banyak perubahan kulihat. ini
saja masih Jauh dari Kotaraja. Kalau sudah masuk ke Kotaraja keadaannya tentu
lebih banyak berubah. Salahsalah aku bisa kesasar kalau berjalan sendiri. Tujuh
puluh tahun memang bukan waktu singkat. Orang-orang seusiaku di Keraton pasti
sudah banyak yang mati. aku masih bersyukur diberi umur panjang. Namun apa
gunanya hidup sampai seusia tua renta, begini kalau hanya mendekam dan menahan
beban batin.” Lakek bercaping itu bicara sendiri dalam hati lalu menarik nafas
panjang "Orang tua, kukira kau sudah tertidur pulas." pemuda kusir
kereta menegur.
Kepala yang memakai caping itu
bergerak sedikit. Dengan tangan kirinya si orang tua mengangkat bagian depan
capingnya Dia melihat sesuatu di kejauhan. Untuk pertama kalinya orang tua ini
ajukan pertanyaan. Bukankah itu pintu gerbang menuju Kotaraja?"
"Betul Kek. Bukankah ke
sana tujuanmu? Anak muda, maukah kau berbalk hati sekali lagi menolongku?"
"Menolong apa Kek? tanya
kusir gerobak
"Aku tak ingin memasuki
Kotaraja. Ambil jalan berputar, membelok ke kanan. Melewati pinggiran
timur."
"Wah, berarti kita
menyimpang jauh sekali. Aku harus buru-buru sampai di Kotaraja majikanku
pemilik padi akan marah besar kalau aku kemalaman dan terlambat sampai di
gudangnya”
“Aku mengerti … “ kata orang
tua bercaping.
Anak muda kusir gerobak Itu
merasa hiba juga rupanya Lalu dia berkata "Bagaimana kalau kau aku
turunkan di pintu gerbang lalu kau meneruskan perjalanan dengan jalan kaki atau
mencari tumpangan lain?”
“Begitupun tak tadi apa. Tapi
aku menumpang gerobak sapimu ini tidak cuma cuma.”
"Maksudmu Kek?
Dari balik jubah putihnya
orang tua itu mengeluarkan sebuah benda bulat berwarna kuning yang berkilauan
terkena sinar matahari petang Benda itu diletakkannya di atas pangkuan kusir
gerobak. Begitu melihat benda tersebut, kusir gerobak segera mengarnbilnya.
"Uang emas…" katanya
lalu berpaling pada si orang tua yang wajahnya selalu terlindung caping lebar
itu. "Tak pernah kulihat uang seperti ini sebelumnya. Agaknya ini mata
uang lama Apa betul-betul emas Kek?"
"Itu emas murni Untukmu,
kalau kau mau membawaku ke jurusan timur…."
“Kau tidak bergurau Kek?"
“Apa kau kira aku
bergurau?"
"Wah . wahl Untuk uang
emas ini aku tidak kawatir dimarahl majikanku Dipecatpun aku tidak takutl! kata
pemuda penarik gerobak. Lalu pecutnya diangkat tinggi-tinggi. Dihantamkan ke
punggung Sapi penarik gerobak. Bersamaan dengan itu dia menarik tali kekang.
Gerobak berderik keras dan membelok ke arah timur.
Si kakek kembali berdiam diri
dan duduk terkantuk-kantuk. Sementara itu sang surya perlahan-lahan merayap ke
ufuk tenggelamnya Di satu tempat si kakek angkat bagian depan caping bambunya
dan bertanya pada pemuda kusir gerobak.
“Anak muda, tembok panjang dan
tinggi di sisi jalan sebelah kiri ini tembok apakah?” si kakek ajukan
pertanyaan.
"Orang tua, kau tentunya
sudah puluhan tahun tak pernah datang ke Kotaraja, tak pernah melewati jalan
ini. Tidak heran kalau kau tidak tahu tembok apa yang ada di sisi kiri jalan.
Itu tembok pembatas kawasan makam istana…."
Mendadak saja dada kakek
bercaping itu jadi berdebar. Dia berpikir sesaat lalu bertanya lagi. "Di
mana pintu masuknya?"
Masih jauh di depan
sana…."
“Kalau begitu turunkan aku
selewatnya pintu masuk."
Kusir gerobak itu jadi heran.
Kalau kau hendak menyambangi makam seseorang mengapa tidak turun tepat di depan
pintu masuk? Yang ditanya tidak menjawab.
"Lagipula sudah petang
begini aku kawatir kau tidak akan diizinkan masuk kawasan makam. Baik oleh juru
kunci maupun para pengawal."
Orang tua itu diam saja.
Gerobak meluncur terus sampai melewati pintu masuk kawasan makam istana.
"Berhenti di sini."
kata si kakek. Lalu tanpa banyak bicara lagi dia turun dari gerobak. Sesaat dia
masih tegak di tepi jalan memperhatikan gerobak sapi berputar. Setelah gerobak
itu lenyap di kejauhan baru dia berbalik. Pandangannya segera tertuju pada sebatang
pohon besar yang tumbuh di dekat tembok sebelah sana dengan cabang-cabangnya
menjuntai masuk melewati tembok kawasan makam.
Meskipun usianya sudah sangat
lanjut ternyata orang tua itu masih cukup cekatan untuk memanjat pohon. Dalam
waktu singkat dia sudah berada di bagian dalam kawasan makam istana. Dia
bergerak cepat dari satu makam ke makam lainnya. Setiap dia berdiri di depan
sebuah makam hatinya berdebar. Dengan cepat dia memperhatikan nama ahli kubur
yang dimakamkan di situ. Saking perhatiannya tercurah pada apa yang
dilakukannya orang tua ini sampai tidak menyadari bahwa saat itu seorang
pengawal bersenjata tombak tahu-tahu muncul di depannya bersama juru kunci
makam.
“Orang tua, kau tahu berada di
mana saat ini?" juru kunci makam yang berusia enam puluh tahun Itu menegur
dengan ramah.
Sebaliknya sang pengawal
langsung saja membentak. "Buka capingmu! Aku ingin melihat tampangmul
Jangan-jangan kau seorang gembong pemberontak yang hendak merusak makam
Kerajaannya!”
“Kalian petugas-petugas yang cekatan.
Aku menurut perintah … " kata si orang tua lalu perlahan-lahan dibukanya
caping lebar di atas kepala yang sejak tadi menutupi mukanya. Begitu caping
terbuka juru kunci makam dan si pengawal tersurut sampai tiga langkah. Mereka
melihat satu wajah tua berkumis, berambut dan berjanggut putih Mulutnya
komatkamit mengunyah sirih dan tembakau. Wajah Itu wajah tua biasa saja, namun
yang membuat kedua orang itu jadi tercekat adalah begitu melihat muka si orang
tua belang sebelah. Bagian sebelah kanan berwarna biru. Saat itu petang hari
menjelang matahari hendak tenggelam. Suasana di kawasan makam yang penuh
ditumbuhi pohon-pohon besar lebih gelap dan mendatangkan suasana angker “Orang
tua. siapa kau adanya? Mengapa masuk ke dalam kawasan makam istana tanpa izin?,
Orang tua juru kunci makam bertanya. Suaranya bergetar tanda dia berusaha
menahan rasa takut.
“Saudara, kau tentu saja tidak
mengenali siapa diriku. Aku lahir empat puluh tahun lebih dulu dari kamu Harap
maafkan kalau aku masuk tanpa izin dari kalian berdua. Aku mencari makam
seseorang…"
"Orang tua kami harus
membawamu ke gardu untuk ditanyai!” pengawal bertombak membuka mulut.
Orang tua bermuka belang yang
bukan lain adalah Raja Obat Delapan Penjuru Angin alias Pangeran Soma tidak
perdulikan ucapan si prajurit. Dia terus bicara dengan sang juru kunci.
"Raja Tua, ayahanda dari
Raja yang bertahta sekarang pernah mempunyai seorang istri bernama Siti
Layangsari. Seperti Raja Tua perempuan itu juga telah meninggal dunia. Aku
melihat makam besar Raja Tua di sebelah sana. Apakah Siti Layangsari juga
dimakamkan di tempat ini?"
"Orang tua!" bentak
pengawal makam."Sungguh lancang kau berani menanyakan peri kehidupan Raja
Tua dan istrinya! Aku harus menangkapmu sekarang juga!”
"Pengawal kau rupanya tak
bisa diajak bicara secara baik-baik. Terpaksa aku membuatmu jadi patung!”,
Habis berkata begitu Raja Obat Delapan Penjuru Angin kebutkan caping bambunya
"Hekkk!"
Terdengar suara seperti
tercekik di tenggorokan pengawal makam. Saat itu juga dia tak sanggup bersuara
dan tak mampu menggerakkan tubuhnya lagi.
“Juru kunci makam, apakah kau
Ingin kujadikan patung seperti dia?”
Orang tua penjaga makam itu
tentu saja menjadi ketakutan.
“Kau kulihat ketakutan. Kalau
kau tak mau kuubah jadi patung hidup lekas beri jawaban atas pertanyaanku
tadi"
Juru kunci itu menggelengkan
kepala berulang kali "Aku sudah bekerja lebih dari tiga puluh tahun Aku
tahu betul tak ada perempuan bernama Siti Layangsari dimakamkan di tempat
ini."
Raja Obat alias Pangeran Soma
jadi terdiam mendengar keterangan orang di hadapannya. “Kau yakin sekali hal
itu?"
“Yakin sekali. Aku berani
bersumpah aku tidak berrdusta !"
"Kau juga tidak pernah
mengetahui di mana Siti Layangsari dikebumikan?"
Yang ditanya menggeleng.
“Kau juga tidak pernah mendengar
cerita satu peristiwa besar sekitar seratus tahun lalu tentang istri Raja Tua
yang dibuang karena melahirkan anak bermuka cacat?"
“Aku tidak tahu banyak tapi
aku memang pernah mendengar cerita itu dari seseorang…"
“Siapa orangnya?" tanya
Raja 0bat.
“Aku tidak ingat. Sudah lama
sekali. Mungkin sekitar tiga puluh tahun lalu cerita itu kudengar. Orang yang
menceritakan mungkin sudah meninggal….. "
"Coba kau ingat siapa
orangnya…."
Juru kunci makam lstana itu
memutar otaknya, berusaha keras mengingat. Akhirnya sambil menggeleng dia
berkata “Tak bisa kuingat…."
"Akan kusebutkan sebuah
nama. MungkIn dia orangnya. Lawunggeni?"
"Astagal Betul! Dia yang
pernah menceritakan hal itu padak!" Tapi dia telah meninggal dunia dua
puluh tahun silam. Dikebumikan di kampung halamannya." Sang juru kunci
mengangkat kepalanya dan menatap wajah orang tua di hadapannya. Ketika dia
melihat wajah yang cacat belang itu tiba-tiba saja dia ingat. "Kau …
Seruan sang juru kunci lenyap karena Raja Obat cepat menekap mulutnya.
“Jangan berteriak. Lekas
katakan dimana letak kawasan pemakaman rakyat…."
"Ada dua. Satu di
selatan. satu lagi tak jauh dar sini. Hanya terpisah oleh satu sungai
kecil….!".
"Terima kasih."
Orang tua itu menurunkan tangannya yang menutup mulut juru kunci makam"
Lalu sekali berkelebat sosoknyapun lenyap.
EMPAT
MATAHARI semakin menggelincir
jauh ke titik tenggelamnya. Raja Obat berjalan setengah berlari. Di satu tempat
dia menyelinap ke balik serumpunan semak belukar. Menunggu sambil memasang mata
dan telinga.
“Mataku mungkin sudah lamur,
apa lagi hari mulaI gelap. Tapi telingaku tak mungkin ditipu. Perasaanku tak
bisa dikelabui. Ada seseorang mengikutiku…. Tapi dia mendadak lenyap…."
Raja Obat menunggu sesaat lagi. Akhirnya dia keluar dari balik semak belukar,
sengaja mengambil jalan berputar dan kembali ke jurusan dari mana tadi dia
datang dan menyelidik. Namun tetap saja dia tidak melihat atau menemukan
siapa-siapa.
“Jangan-jangan aku sudah
pikun!" kata Raja Obat dalam hati. Dengan menenteramkan hatinya dia
melanjutkan perjalanan.
Ketika Raja Obat sampai di
daerah pemakaman di seberang kali kecil itu sang surya hampir tenggelam dan
udara bertambah gelap. Kawasan pemakaman tanpa pagar ini tidak terpelihara. Dia
segera berkeliling menyelidik, memperhatikan setiap kuburan yang ada satu
persatu. Hampir tidak ada papan nisan yang masih utuh. Agaknya sia-sia aku
menyelidik. Apa lagi sebentar malam segera datang. Mungkin sampai ajalku aku
tak akan pernah menemukan di mana kubur Ibuku…." Raja Obat tegak termenung
dekat serumpun pohon bambu. Berulang kali terdengar dia menarik nafas dalam.
Akhirnya orang tua ini memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Langkahnya
tertahan ketika sayup-sayup dia mendengar suara seperti seorang perempuan
menangis sendu terisak-isak.
"Eh, menjelang malam
seperti ini, di tengah pekuburan siapa gerangan yang menangis? Raja Obat
memandang berkeliling. "Mungkin ada jenazah yang bangkit lalu menangis?
Atau setan kuburan hendak mengganggu diriku…?" Orang tua berusia seratus
tahun lebih itu tegak terdiam. Suara isak tangis itu semakin keras. Datangnya
dari pinggiran pekuburan sebelah timur. Raja Obat berpikir sejenak lalu
akhirnya melangkah ke jurusan datangnya suara orang menangis. Tak lama
kemudian, di balik deretan tiga pohon Kemboja besar dia melihat sebuah makam
yang masih merah. Di sebelah kiri badan makam bersimpuh membelakangi sosok
seorang perempuan berambut panjang, berpakaian merah. Dua tangannya ditekapkan
ke wajahnya. Perempuan inilah yang sedang menangis.
Kubur baru masih merah. Ada
perempuan menangis menjelang malam begini. Harum tubuhnya tercium sampai ke
sini. Pasti yang dimakamkan di situ seorang sangat dicintainya. Tapi…. Apa yang
kulihat ini benar-benar seorang anak manusia? Jangan-jangan…
Raja Obat melangkah melewati
tiga pohon Kemboja besar. Lalu bergerak ke seberang kanan makam. Di sini dia
diam sesaat sambil memperhatikan orang yang menangis.
"Masih muda…. Mungkin
masih gadis…" membatin Raja Obat.
Tangis orang di samping makam
semakin keras. Bahu dan dadanya tampak berguncang-guncang. Raja Obat gelengkan
kepala. Dia jadi bingung. Dalam keadaan seperti itu apakah langsung mengusir
saja Mau menunggu sampai tangis orang mereda. Karena ditunggu perempuan itu tak
kunjung hentikan tangisnya sedang sepasang tangannya terus saja menekap
wajahnya akhirnya si orang tua mengeluarkan suara mendehem beberapa kali. Suara
tangisan serta merta berhenti. Dua tangan yang menutupi wajah diturunkan.
Raja Obat terkesiap. Orang
yang menangis itu ternyata adalah seorang dara berparas cantik sekali.
Sebaliknya si gadis tampak terkejut. Seperti ketakutan dia beringsut mundur.
Dua matanya yang bagus tapi sembab memandang besar-besar. Seumur hidupnya Raja
Obat alias Pangeran Soma belum pernah melihat gadis secantik ini. Apalagi
selama tujuh puluh tahun dia hidup menyendiri di pulau batu merah. Sekalipun
usianya sudah seratus tahun lebih namun kewajaran dirinya sebagai seorang
lelaki melihat gadis yang begitu jelita tak bisa disembunyikannya. Untuk sesaat
orang tua ini terpana. Anak gadis, kau tak usah takut. Walau tampangku seram
dan belang sebelah tapi aku bukan orang jahat. Bukan juga setan yang hendak
mengganggumu…."
“Kau… kau.. si… siapa?!"
tanya sang dara dengan suara gagap.
Bayangan ketakutan masih
melekat di wajahnya. "Mengapa malammalam begini berada di tempat
ini?!"
Aku hanya seorang tua yang
malang. Nasib diri membawaku ke tempat ini. Aku mencari makam, seseorang tapi
tidak kutemukan. "Makam siapa? Istrimu…? Anakmu atau cucu mu?"
Raja Obat tersenyum rawan.
"Aku tak pernah, punya istri. Jadi tak punya anak apalagi cucu…."
Lalu Raja Obat bertanya.
"Kau sendiri siapa?
Mengapa, malam-malam begini berada di pekuburan? Makam siapa yang kau tangisi
ini? Dan tanahnya yang masih merah serta bunga-bunga segar yang bertaburan
atasnya agaknya makam ini masih baru. Mungkin sekali jenazahnya baru dikuburkan
siang tadi …. "
"Siapa diriku kau tak
perlu tahu. Makam siapa yang aku tangisi ini kau juga tak perlu tahu. Kuharap
kau segera saja pergi dari sini. Tinggalkan aku sendirian. Biar aku menangis
sampai air mataku kering !"
"Anak gadis, mendengar
ucapanmu aku bisa me duga kau adalah seorang gadis yang tabah berhati keras.
Kedukaan dan kesedihan cepat atau lambat adalah bagian setiap manusia.
Kehilangan seorang yang kita kasihi merupakan takdir yang tak bisa dihindari.
Namun apakah kedukaan dan kesedihan itu kita inginkan membuat diri kita menjadi
sakit dan sengsara… Rumahmu tentu di sekitar sini Sebaiknya kau pulang saja.
Jika hatimu belum puas besok pagi-pagi kau bisa menyambangi lagi makam
ini…"
"Orang tua, aku tidak
perlu nasihatmu. Kalau aku sakit atau sengsara apa pedulimu?! Jangankan sakit
atau sengsara, matipun aku mau saat ini juga. Biar aku segera bisa menyusul
dirinya!"
“Hemm…. Jika begitu nada
ucapanmu mengertilah aku sekarang. Aku bisa menduga siapa yang dimakamkan di
tempat ini…."
"Jangan kau berani
berlaku lancang orang tua! "Aku tidak bermaksud lancang. Maafkan kalau kau
menduga seperti itu. Pada dasarnya nasib kita mungkin sama. Sama-sama
kehilangan orang yang kita kasihi. Namun kau masih jauh beruntung. Kau masih
memiliki makam orang yang kau kasihi. Aku tidak. Sekali lagi kunasihati.
pulanglah. Jangan sampai kesedihan yang berlarut-larut membualmu sengsara. Kau
masih muda. Masa depanmu masih panjang. Selamat tinggal anak dara … "
Raja Obat alias Pangeran Soma
memutar tubuhnya. Langkahnya tertahan ketika di belakangnya si gadis memanggil.
“Orang tua, tunggu!"
Sewaktu orang tua itu berbalik
didapatkannya si gadis telah berdiri di samping kuburan.
"Kupikir semua ucapanmu
ada benarnya. Kau adalah orang terakhir yang bersikap baik terhadapku. Kalau
aku boleh bertanya makam siapakah yang lengah kau cari di tempat ini?"
Aku mencari kubur ibuku. Tapi
seperti tadi kukatakan, aku bernasib malang. Aku tidak menemui makam beliau di
tempat ini…. Hari sudah malam, aku harus pergi…."
“Kemanakah tujuanmu dari
sini?" tanya si gadis.
“Aku sendiri tidak tahu. Aku
tak punya kadang tidak punya sanak. Mungkin aku akan mencari tum-pangan untuk
tidur malam ini. Kalau terpaksa aku bisa tidur di mana saja…. "
"Rumahku di atas bukit di
sebelah timur sana. Tak jauh dari sini. Kalau kau suka kau boleh bermalam di
tempatku. Aku tinggal sendirian…."
"Terima kasih atas
kebaikanmu. Tapi bagaimanapun juga tidak baik kita berada di satu rumah
berduaan sementara kita tidak punya hubungan keluarga…."
“Tak usah merisaukan hal itu.
Aku sudah menganggap dirimu sebagai orang tua atau kakek sendiri….”
Raja Obat terdiam sejenak.
Paras cantik di depannya tersenyum. Semerbak harum bau baju dan, tubuh sang
dara menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Ketika si gadis memegang lengannya
akhirnya Raja Obat berkata. Baiklah, aku mengucapkan, terima kasih atas budi
baikmu. Lalu dia melangkah mengikuti gadis berbaju merah itu.
Ternyata gadis cantik itu
memiliki kepandaian berlari cepat. Kalau saja lengannya tidak dicekal terus
sudah sejak tadi-tadi Raja Obat tertinggal di belakang. Seumur hidupnya batu sekali
ini Raja Obat alias Pangeran Soma berjalan seiring dengan seorang gadis cantik.
Apalagi sepanjang jalan si gadis selalu memegang lengannya erat-erat. Ditambah
wanginya bau tubuh si gadis orang tua ini merasa seribu bahagia dalam hatinya.
Sampai-sampai dalam hatI dia menyesali diri sendiri dan membatin.
“Kalau saja aku dilahirkan
tujuh puluh tahun lebih cepat dan usiaku saat ini hanya tiga puluh tahun
hemm…."
LIMA
GUA BATU kecil itu terletak di
lereng selatan Gunung Merbabu. Meskipun terlindung oleh pepohonan besar berusia
ratusan tahun serta semak belukar lebat, namun jika seseorang berdiri di sebuah
batu tinggi yang ada di depan gua maka dia dengan jelas akan dapat melihat
keindahan kawasan lereng selatan. Nun jauh di sana menjulang Gunung Merapi
dengan puncak tertutup awan kelabu.
Pendekar 212 Wiro Sableng
untuk beberapa saat lamanya masih berdiri di atas batu tinggi, memandang ke
arah Gunung Merapi. “Saat bagiku untuk menyelidik apakah dia berada di sana”
membatin murid Sinto Gendeng ini. Lalu dia kerahkan tenaga dalam, dialirkan ke
kepala. Sepasang matanya yang tidak berkedip dikedipkan dua kali. Ternyata saat
itu dia lengah mengerahkan ilmu kesaktian yang disebut "Menembus Pandang.
Mula-mula dia melihat bayangan gelap kelabu. Perlahan-lahan samar-samar muncul
warna putih. Dia sanggup menembus deretan pohon-pohon, semak belukar. bebatuan.
Lalu dia melihat sebuah telaga kecil. Pandangannya diarahkan lebih jauh.
Samar-samar tampak sebuah bangunan. Lama dia memandang dengan mata tak
berkedip. Ternyata bangunan itu kosong.
“Pangeran keparat itu tak ada
di sana…" kata Wiro dalam hati. Hatinya agak tega namun hanya sesaat. Dia
segera ingat.
Sejak dia berpisah dengan Raja
Obat Delapan Penjuru Angin tempo hari dia merasa ada seseorang mengikuti perjalanannya.
Sebelum menuju langsung ke lereng Gunung Merbabu dia sengaja mengambil jalan
berputar-putar. Namun si penguntit masih tetap saja berada di belakangnya.
Celakanya setiap dia berusaha menjebak atau memergoki, orang itu selalu lenyap
seolah ditelan bumi.
"Dia memlliki kepandaian
tinggi. Aku harus waspada." membatin Wiro.
Murid Sinto Gendeng merasa
curiga yang menguntitnya saat itu ada ah si nenek genit berjuluk Iblis Putih
Ratu Pesolek, saudara kembar Iblis Tua Ratu Pesolek yang menemui ajal dibunuh
Pangeran Matahari di bukit di luar Kartosuro. Sebelumnya si nenek telah muncul
di pulau batu merah Walau saat itu dia tidak menunjukkan niat jahat namun siapa
tahu diamdiam dia menunggu sampat Wiro berhasil mendapatkan Kitab Putih Wasiat
Dewa
Wiro sengaja tegak
berlama-lama di depan mulut goa Menunggu sampai kakinya pegal dan tak satu
makhluk pun yang muncul. Akhirnya dia balikkan diri melangkah menuju mulut gua.
Saat itulah terdengar suara “kraaaakk!"
"Seseorang menginjak
ranting kering” kata Wiro dalam hati. Serta merta Pendekar 212 siapkan pukulan
sakti Sinar Matahari seraya cepat berbalik Serta merta dia kerahkan tenaga
dalam ke tangan kanan. Dia tidak mau ambil risiko. Kitab Putih Wasiat Dewa yang
saat itu ada padanya harus dijaga balk-baik, diselamatkan sebagaimana dia
mengamankan nyawanya sendiri
"Aku yakin siapapun
adanya penguntit itu pasti mengincar kitab sakti ini. Aku harus melakukan
sesuatu. Kalau tidak diriku bisa celaka dan Kitab Putih Wasiat Dewa bisa jatuh
ke tangan orang lain yang tidak bertanggung jawab."
"Orang yang bersembunyi,
tidak perlu bertaku pengecut! Unjukkan dirimu! Aku sudah tahu kalau kau sejak
lama menguntit perjalananku” Wiro tiba-tiba keluarkan seruan lantang.
Sunyi sejenak. Hanya gema
seruannya yang bergaung di lereng gunung itu Namun sesaat kemudian terdengar
suara aneh seperti suara sapi atau binatang digorok.
“Kraaakk!”
Kembali terdengar suara
ranting kering terpijak. Di lain kejap semak belukar delapan langkah di hadapan
Wiro tersibak. Lalu muncullah satu sosok makhluk yang luar biasa mengerikan.
Sekujur tubuhnya yang hanya mengenakan sehelai cawat rombeng penuh dengan
koreng masih bernanah dan menebar bau busuk. Sebagian dari tubuh itu hangus
kemerahan laksana dipanggang Bagian perutnya robek besar, usus campur darah
membusai menjela-jela. Dua kakinya tidak beda seperti kayu hangus dan hancur di
beberapa bagian. Tubuhnya laksana disambung di bagian dada tapi tidak begitu
pas hingga keadaannya termiring-miring. Tangan kirinya buntung sebatas bahu.
Kepalanya paling mengerikan. Wajahnya tidak karuan. Hidung mulut dan pipi serta
kening hancur Dua telinga sumplung. Salah satu dari matanya melesak ke dalam
sedang satunya tagi memberojol ke luar!
Tengkuk murid Eyang Sinto
Gendeng menjadi dingin. "Mustahil siang bolong begini ada setan atau hantu
gunung muncul. Makhluk apa sesungguhnya yang ada di hadapanku ini?”
"Gila! Bukankah jahanam
ini sudah mampus? Tubuhnya cerai berai ke dalam laut kena hantaman pukulan
Sinar Matahariku tempo hari! Janganjangan arwahnya yang menjelma jadi setan dan
gentayangan hendak menuntut balas!"
Mendadak Wiro ingat bau busuk
itu. Juga bekas-bekas koreng yang sudah hangus.
"Pendekar 212, kalau
Kitab Putih Wasiat Dewa kau serahkan padaku, aku akan mengampuni selembar
nyawamu!" Suara makhluk ini sember parau. Ketika Wiro memperhatikan lagi
ternyata tenggorokannya robek besar dan hangus. Ada cairan meleleh dari luka di
leher itu.
"Makhluk Pembawa
Bala" Bukankah tempo hari kau sudah mampus dengan tubuh dan kepala
ter-kutung-kutung!
Makhluk menyeramkan yang
memang adalah Makhluk Pembawa Bala adanya menyeringai mengerikan Mulutnya yang
hancur bergoyanggoyang sedang bola matanya yang memberojol bergerak
gundal-gandil. Dia keluarkan suara tertawa menggidikkan.
"Jangan mengira dengan
kesaktianmu kau bisa membunuh siapa saja! Di luar langit masih ada langit lain!
Buktinya kau saksikan sendiri aku masih hidup, berhasil mengejarmu sampai ke
lereng Merbabu ini dan meminta kau menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu!
Ha.., ha… hak…hakkkk!" Suara tawa Makhluk Pembawa Bala tercekik. Lalu dia
ulurkan tangan kanannya yang penuh luka koreng dan luka bakar serta hangus.
“Kitab itu! Lekas serahkan!
Aku tahu kitab itu ada padamu!" Makhluk Pembawa Bala menyentak.
"Sayang kau datang
terlambat!" menjawab Wiro.
"Apa maksudmu?!"
“Setan gunung lebih dulu
merampas kitab sakti itu dan melarikannya ke langit. Kalau kau benar mempunyai
Kemampuan di atas langit masih ada langit, silahkan susul ke langit sana!"
"Jahanam! Kau berani
mempermainkan diriku! Putus nyawamu!”,
Teriak Makhluk Pembawa Bala
marah sekali. Tangan: kanannya yang hangus hancur tiba-tiba berkelebat cepat ke
arah dada Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng yang sejak tadi memang sudah
berwaspada melompat mundur tiga langkah sambil hantamkan tangan kanannya Sinar
putih panas menyilaukan berkiblat. Inilah kali kedua Pendekar 212 Wiro Sableng
lepaskan pukulan sakti “Sinar Matahari" untuk menghantam Makhluk Pembawa
Bala Kali pertama dulu waktu di pulau batu merah. Tubuh Makhluk Pembawa Bala
mencelat hancur berantakan. Wiro Masih belum bisa mengerti bagaimana makhluk
itu masih hidup dan muncul kembali walau dalam keadaan morat-marit mengerikan!
"Pukulan Sinar Matahari!
Apa hebatnya!" teriak Makhluk Pembawa Bala mengejek.
"Kurang ajar! Jangan
harap tubuhmu bisa bersambung kembali!" teriak murid Sinto Gendeng dan
lipat gandakan tenaga dalamnya. Sehingga keadaan di depan gua itu menjadi
terang benderang, panas dan menyilaukan. Beberapa pohon patah bertumbangan dan
hangus. Semak belukar dan dua gundukan batu gunung hancur lebur. Semua berubah
hitam hangus! Namun Makhluk Pembawa Bala tidak kelihatan.
"Gila! Sudah mampus atau
bagaimana dia?!" pikir Wiro sambil memandang berkeliling. Kalau mampus
mengapa tak terdengar jeritannya. Hancuran tubuhnya juga tidak kelihatan!"
Ketika Wiro memandang ke bawah
hatinya tercekat. Enam langkah di hadapannya terlihat sebuah lobang sebesar
pemelukan tangan.
"Lobang itu tadi tidak
ada!"
Wiro mendekati sambil siapkan
lagi pukulan "Sinar Matahari" di tangan kanannya.
“Mendadak dari dalam lobang
terdengar suara tawa bergetak. Lalu sekonyong-konyong muncul satu kepala!
Kepala Makhluk Pembawa Bala!
“Jahanam! Belum mampus dia
rupanya!" Secepat kilat Pendekar 212 lepaskan pukulan Sinar Matahari.
Cahaya panas terang menyilaukan kembali berkiblat di tempat itu.
Tanah terbongkar dalam
menghitam. Kepala Makhluk Pembawa Bala tidak kelihatan. Wiro melompat ke arah
lobang yang kini telah tertutup oleh timbunan hancuran tanah dan bebatuan.
Sekonyong-konyong di
belakangnya terdengar satu suara tertawa keras tapi sember. Suara tawa Makhluk
Pembawa Bala! Wiro berpaling dan jadi melengak. Dari sebuah lobang di tanah
perlahan lahan tampak muncul ke atas kepala Makhluk Pembawa Bala! Tanpa
menunggu lebih lama Wiro segera nyergap dan hantamkan satu tendangan.
“Bukkk!"
Tendangan keras murid Sinto
Gendeng tepat menghantam kepala Makhluk Pembawa Bala. Pipi sebelah kiri
rengkah. Bola matanya yang mem-rojol mencelat mental entah kemana. Namun
makhluk itu masih belum menemui ajal. Untuk beberapa saat kepala yang muncul
dari lobang di tanah bergoyang-goyang sedang dari mulutnya yang hancur
mengumbar suara tawa sember.
"Jahanam!" maki
Pendekar 212. Walau ada rasa ngeri namun amarah lebih menguasai dirinya. Sekali
himpat saja kepala Makhluk Pembawa Bala itu siap untuk dicengkeram lalu
dipuntir. Namun sesosok tubuh berkelebat mendahului. Angin yang keluar dari
tubuh orang ini membuat gerakan Wiro agak tertahan . Dalam waktu bersamaan satu
tangan putih halus dan mulus meleset menusukkan sepotong kayu panjang.
“Crasss!"
Batangan kayu itu menancap
ambles sampai setengahnya ke batok kepala Makhluk Pembawa Bala. Darah muncrat
dari hidungnya yang gerumpung, telinganya yang sumplung, sepasang matanya yang
hanya tinggat rongga dan juga dari mulutnya yang hancur serta tenggorokannya
yang robekl
Dalam keadaan tersentak kaget
Wiro cepat palingkan kepala. Saat itulah dia mendengar satu suara tertawa
merdu.
"Ah. kukira gadis yang
aku rindukan selama ini.”
“Ternyata dia!" ujar Wiro
Dengan mulut ternganga dan masih belum surut kagetnya murid Sinto Gendeng
pulang balik garuk-garuk kepala.
ENAM
DUA langkah di hadapan Wiro
berdiri berkacak pinggang seorang gadis jelita mengenakan baju panjang hitam
berbunga-bunga putih. Sikapnya genit sekali. Sebentar-sebentar pinggulnya digoyangkan
dan lidahnya yang merah dipermainkan membasahi bibirnya Wiro segera mengenali
siapa adanya gadis ini. Yakni nenek aneh berjuluk Iblis Putih Ratu Pesolek yang
tempo harl muncul di pulau batu merah Pendekar 212 keluarkan siulan. Sang dara
tersenyum lebar Sobatku cantik jelita! tegur Wiro. Kalau kemunculanmu menolong
diriku dari Makhluk Pembawa Bala itu, sungguh aku sangat berterima
kasih…."
"Hik… hik… hik!" Si
gadis yang bentuk aslinya sebenarnya adalah seorang nenek keriput berdandan
mencorong tertawa cekikikan lalu berkata “Pertolonganku belum tuntas! Nyawamu
masih terancam! Lihat ke lobang!"
Wiro cepat putar kepalanya ke
arah lobang. Saat itu dilihatnya kepala yang ditancapi batang kayu dari Makhluk
Pembawa Bala tiba-tiba melesat keluar dari lobang Didahului raungan keras
sekujur tubuhnya menyusul meleset keluar dari dalam lobang. Sesaat makhluk
mengerikan ini tegak sempoyongan Dari tenggorokannya yang robek keluar suara
menggembor berkepanjangan. Setindak demi setindak dia melangkah mendekati Pendekar
212 sambil tangan kanannya menggapai-gapai berusaha memegang dan mencabut
batang kayu yang menancap di batok kepalanya Makhluk Pembawa Bala berhasil
menyentuh batangan kayu. Namun sebelum dia sempat mencabut kayu itu dari
samping kiri gadis itu berkelebat menyambar tangan kanannya. Lalu terdengar
suara "kraakkk!"
Makhluk Pembawa Bala meraung
keras sewaktu tangan kanannya dipuntir patah lalu dibetot lepas dari persendian
bahunya. Kini makhluk ini tidak lagi memiliki tangan baik kanan maupun kiri!
"Perempuan lblis…. Hati-hati kaul Kematianmu sudah kugurat di neraka!”
"Hik… hik… hik!" Si
gadis tertawa panjang mendengar ucapan Makhluk Pembawa Bala itu. "Belum
mampus rupanya kau sudah jalan-jalan ke neraka! Lebih bagus kau cepat minggat
dari sini. Mencari pertolongan agar ada yang mau mencabut kayu yang menancap di
kepalamu itu!"
"Perempuan-jahanam!
Tunggu pembalasanku! Habis berteriak keras dan sember Makhluk Pembawa Bala
putar tubuhnya dan berkelebat lenyap.
"Sobatku cantik, aku
berterima kasih atas perlolonganmu," berkata Wiro sambil menjura. Namun
dia sengaja menjaga jarak karena belum dapat menerka apa maksud kehadiran lblis
Putih Ratu Pesolek kali ini. Si gadis dilihatnya membuka mulut hendak
mengatakan sesuatu. Pendekar 212 cepat mendahului. "Ada satu hal yang
tidak aku mengerti. Sebagai orang rimba persilatan yang jauh berpengalaman
mungkin kau bisa menerangkan…."
"Hemm…. Yang kau tanyakan
menyangkut diriku atau apa?" balik bertanya Iblis Pulih Ratu Pesolek.
"Menyangkut makhluk
jahanam tadi," sahut Wiro
“Hemmm…. Apa yang ingin kau
ketahui. Jika aku bisa menjawab lantas apa imbalan yang bisa kau penuhi!"
Mendengar ucapan orang
Pendekar 212 jadi merinding. "Gila! Kalau dia minta imbalan agar aku
melayaninya celaka diriku! Walau diluar kelihatan dia gadis cantik mulus begini
rupa tapi di dalam aku kan sudah tahu!" kata Wiro dalam hati. Mau tak mau
dia jadi urungkan niat untuk bertanya. Melihat si pemuda terdiam, gadis itu
tertawa panjang. “Baiklah, kau boleh bertanya. Aku tidak akan minta imbalan
apa-apa!"
Murid Eyang Sinto Gendeng jadi
lega. “Waktu di pulau batu merah tempo han aku telah menghajar orang itu dengan
satu pukulan sakti. Tubuhnya mencelat ke udara dalam keadaan cerai berai dan
masuk ke laut. Jelas-jelas pasti riwayatnya sudah tamat saat itu. Tapi
bagaimana tahu-tahu dia muncul iagi. Apa yang tadi itu bukan sosok lahirnya
tapi jelmaan arwahnya yang gentayangan jadi setan?!"
"Kau pernah mendengar
orang yang punya ilmu kesaktian disebut kebal tanah?" tanya Iblis Pulih
Ratu Pesolek yang menjelma sebagai seorang gadis cantik itu. Wiro gelengkan
kepala.
“Aku pernah mendengar ilmu
kebal tanah itu namun belum pernah menyaksikan sendiri. Katanya. orang yang
memiliki ilmu kebal tanah walau tubuhnya hancur berkeping-keping, kepalanya
putus, anggota badannya tanggal tapi begitu salah satu bagian tubuhnya yang
hancur jatuh dan bersentuhan dengan tanah, secara ajaib tubuhnya akan kembali
bersatu. Dia akan hidup lagi walau sambungan tubuhnya tidak karuan dan
mengerikan…."
"Jadi Makhluk Pembawa Bala
tadi memiliki ilmu kebal tanah itu?"tanya Wiro pula.
Si gadis gelengkan kepala
"Dia memiliki sejenis ilmu kesaktian lain. Disebut ilmu kebal air. Kalau
tubuhnya hancur lalu ada yang tersentuh air, tubuh ltu akan bergabung dan dia
hidup kembali. Ingat waktu kau memukulnya sampai hancur di pulau batu
merah?!"
Wiro mengangguk. “Aku mengerti
sekarang. Begitu potongan tubuhnya menyentuh air laut dia hidup kembali. Muncul
dalam keadaan lebih mengerikan! Ilmu gila! Tapi kurasa dia masih punya Ilmu
lain yang hebat. Kalau tidak bagaimana mungkin dia masih bisa hidup padahal
kepalanya sudah kau pantek dengan kayu!
"Dugaanmu tidak meleset.
Kalau tadi tangannya tidak aku betot lepas, segala ilmu kesaktian yang
dimilikinya pasti akan dipergunakannya kembali untuk menyerangmu Kecuali ada
yang menolongnya mencabut batang kayu itu dari kepalanya maka umurnya hanya
sepanjang seratus hari dari sekarang!"
"Sekali lagi aku
mengucapkan terima kasih," kata Pendekar 212 pula.
"Sekarang apakah masih
ada hal lain yang hendak kau tanyakan padaku?"
“Tidak”, jawab Wiro cepat. Dia
menjawab begitu agar si gadis lekaslekas meninggalkan tempat itu. Tapi dia
justru kecele. Si gadis rapikan sanggulnya yang bagus. "Waktu di pulau
batu merah tempo hari, kau berkata soal bercumbu-cumbuan antara kau dan aku
bisa dibicarakan nanti. Apakah yang kau maksud dengan nanti itu sudah bisa
kutagih sekarang?”
Wiro mendadak saja merasa
tengkuknya menjadi dingin. "Benar apa yang diperingatkan Raja Obat tempo
hari. Saat itu aku bicara ngaco. Kini dia bertanya menagih!”
"Heh. apa mendadak
mulutmu jadi gagu, Pendekar 212?!"
Anu . Begini…." Wiro jadi
gugup dan garuk-garuk kepala. "Terus terang aku mengagumi kecantikanmu ….
"
"Nah … nah . nah! Berarti
harapanku akan terkabul!" ujar si gadis pula Dia melangkah mendekati.
"Tunggu dulu!" ujar
Wiro cepat Maksudku bukan begitu. Aku masih banyak menghadapi urusan besar.
Semua menyangkut nyawaku dan masa depan rimba persilatan. Kalau belum apa-apa
aku melakukan sesuatu yang tidak betul aku bisa kualat. .."
"Siapa bilang! Kita
melakukannya dalam suaana suka sama suka. Betul kan?!
“Dengar sobatku cantik.."
kata Wiro yang mulai merinding. "Aku ini cuma seorang pemuda rendah. Kau
seorang tokoh dunia persilatan yang harus kuhormati. Mana mungkin aku bisa
menjadi pasanganmu Bagaimana kalau aku carikan seorang tokoh yang sama tingkat
kehebatannya dengan dirimu?"
Si gadis tertawa panjang.
“Sejak kapan kau jadi Mak Comblang tukang menjodohkan orang?!"
“Percayalah, aku punya banyak
teman dan kenalan para dedengkot dunia persilatan. Salah satu di antara mereka
pasti ada yang menyukaimu…."
"Ah, aku tidak janji
mau-mauan dengan mereka. Tapi aku ingin tahu. Coba kau sebutkan siapa saja tua
bangka yang kau maksudkan itu?"
"Ada Si Raja
Penidur…"
Si gadis tertawa cekikikan.
“Manusia sebesar gajah itu! Dalam setahun belum tentu dia satu kali melek!
Duduk saja dia sulit, bagaimana mau bersuka-suka denganku?" (Mengenai Si
Raja Penidur harap baca serial Wiro Sableng berjudul "Siluman Teluk
Gonggo")
“Jangan kawatir. Masih ada
yang lain. Pernah dengar nama Tua Gila dari Andalas?"
"Hemmm… orang gila
berjuluk Pendekar Gila Patah Hati itu? Dia memang orang hebat. Tapi apa enaknya
bercumbu dengan orang gila? Hik… hik.., hikkk." (Mengenai Tua Gila dapat
dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang").
"Bagaimana dengan tokoh
aneh berjuluk Kakek Segala Tahu?" ujar Wiro pula
"Bisa sengsara aku
berteman dengan dia. Mencarinya sesulit kutu dalam comberan!"
Kalau dengan Dewa Ketawa
bagaimana?!" Wiro mencoba lagi.
Si gadis mesem-mesem.
"yang satu ltu potongannya memang masih keren. Tapi sayang aku punya
dugaan kuat syarafnya ada yang putus. Buang hajat besar saja dia masih bisa
tertawa-tawa macam orang sinting!
(Dewa Ketawa adalah paman
sekaligus guru Bujang Gila Tapak Sakti. Harap baca serial Wiro Sableng berjudul
"Bujang Gila Tapak Sakti" ). Dia punya saudara berjuluk Dewa Sedih….
“Lebih celaka lagi! Apa
enaknya berhubungan dengan orang yang pagi sore sepasang matanya torus ngompol
alias nangis terus-terusan…."
Wiro garuk-garuk kepala
"Bagaimana kalau dengan Iblis Pemabuk?"
" Wah berat urusannya!
Dia lebih senang memegang pantat botol dari pada. . Hik… hik., hik…!" Si
gadis tertawa cekikikan sampai keluar air mata. Mau tak mau murid Sinto Gendeng
jadi ikut tertawa terpingkalpingkal.
"Sudah? Tak ada lagi
teman atau kenalanmu yang hendak kau jodohkan dengan diriku?!" Si gadis
bertanya seolah menantang.
Murid Sinto Gendeng kembali
garuk-garuk kepala. “Kau sudah bertemu dengan Raja Obat. Kau tidak suka
padanya. Hemm… siapa lagi ya?" Wiro berusaha mengingat-ingat. “Hai! Kau
pernah dengar nama bssar seorang dedengkot persilatan. berjuluk Dewa Tuak?!”
Gadis di hadapan Wiro tertegun
dan menatap lekat-lekat ke wajah sang pendekar. Wiro mellhat sesaat wajahnya
yang cantik berubah ke bentuk aslinya yakni paras seorang nenek yang tertutup
dandanan tebal medok! Hanya sesaat. Di lain kejap kembali wajah itu pada bentuk
palsunya yakni wajah gadis cantik jelita.
"Apa yang terjadi dengan
tua bangka ini? Apa yang ada dalam benaknya? Dia seperti menerawang ke masa
lalu," kata Wiro dalam hati.
"Pendekar 212…" kata
si gadis. Suaranya perlahan dan bernada rawan."Apakah dia masih
hidup…?"
"Dewa Tuak? Tentu saja
dia masih hidup. Masih bernafas. Masakan aku mau memperkenalkan dirimu dengan
orang yang sudah ada dalam kubur. Belum selang beberapa lama aku bertemu dengan
dia. Ah….Rupanya usulanku kali ini tepat kena batunya…. Berkenan di hatimu. Kau
suka padanya. Paling tidak pernah mengenalnya. Atau mungkin juga dulu pernah
bercinta…."
"Diam!” teriak si gadis
menggeledek. Mukanya tampak merah mengelam.
Wiro sampai tersurut satu
langkah dibentak seperti itu. “Harap maafkan kalau aku kesalahan bicara. Tapi
aku kenal betul orang tua satu itu. Dia sudah seperti kakekku sendiri. Aku
banyak berhutang budi bahkan berhutang nyawa padanya…."
"Aku bukan tidak suka
pada ucapanmu. Tapi…." Si gadis menarik nafas panjang.
Wiro semakin syak bahwa orang
di hadapannya itu pernah kenal dengan Dewa Tuak bahkan pernah menjalin hubungan
di masa lalu. Lalu murid Sinto Gendeng melihat sepasang mata si gadis
berkacakaca.
"Eh. dulu waktu di pulau
batu merah dia menangis. Karena saudara kembarnya dibunuh orang. Sekarang
lagi-lagi kulihat dia menangis. Apa ada lagi saudara kembarnya yang dibunuh
orang?!
Rasa hiba yang mendadak muncul
di hati Pendekar 212 membuat pemuda ini mengeluarkan sehelai selampai dan
menyerahkannya pada si gadis.
"Terima kasih … !"
kata si gadis sambil menerima sapu tangan itu lalu menyusut wajah menyeka kedua
matanya. "Puluhan tahun lalu aku menyirap kabar Dewa Tuak tewas dalam satu
bentrokan besar dengan enam tokoh silat golongan hitam. Bagaimana aku bisa
percaya ucapanmu yang mengatakan dia masih hidup…."
"Masakan aku berdusta
pada orang sebaikmu?!" kata Wiro pula. "Atau kau ingin aku
bersumpah?!"
Si gadis menatap dalam-dalam
ke mata Wiro. “Aku percaya padamu…"katanya sambil memegang Irigan Pendekar
212. "Mungkin sengaja ada yang menebar kabar palsu…."
"Kalau itu terjadi
puluhan tahun lalu, aku masih belum lahir. Memangnya antara kau…."
"Dengar Wiro, kalau kau
bertemu dengan si Suro Lesmono itu katakan padanya mulai matahari terbit hari
sepuluh bulan sepuluh aku akan menunggunya di Pangandaran …. "
“Suro Lesmono? Siapa Suro
Lesmono?" Wiro bertanya terheran- heran.
“Ah. kau tidak terlalu
mengenaI si kakek rupanya. Suro Lesmono adalah nama sebenamya Dewa Tuak"
“Ah!" Wiro keluarkan
seruan tertahan.
"Jika begitu pesanmu aku
akan berusaha mentaatinya."
“Aku berterima kasih atas
kebaikanmu." kata si gadis pula lalu sepasang matanya memandang tajam ke
arah dada Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng Jadi berdebar. Dalam hati dia
bertanya-tanya apakah gadis itu mengetahui apa yang tersembunyi di balik dada
pakaiannya?
“Pendekar 212…. Mulai hari ini
kemana kau pergi berlakulah hatihati…."
"Apa maksudmu? Wiro
pura-pura bertanya.
"Maksudku bukan cuma
nyawamu yang harus kau selamatkan, tapi belasan bahkan puluhan nyawa
orang-orang persilatan akan tergantung atas keselamatan dirimu…."
"Ah! Dia tahu! Pasti dia
sudah tahu aku telah memiliki kitab itu! kata Wiro dan dia tidak dapat
menyembunyikan perubahan wajahnya.
Selagi Pendekar 212
terperangah begitu rupa, tiba-tiba "cup!" Satu kecupan mendarat di
bibirnya "Hai!" teriak murid Sinto Gendeng seraya raba bibirnya
dengan ujung jari. “Perempuan brengsek! Lagi- lagi aku kecolongan! Gila!
Gerakannya seperti waktu di pulau batu merah dulu hampir tak terlihat. Tahu-
tahu ciumannya sudah mendarat!” Sambil menggruk kepala murid Sinto Gendeng
menarik nafas panjang berulang kali. “Masih untung dia menciumku dalam ujud
seorang gadis cantik. Kalau seperti dulu dalam ujud nenek-nenek. puah! Sial
sekali nasibku!"
Wiro memandang ke arah
lenyapnya si gadis. "Tapi satu hal aku ketahui. Dia tidak menginginkan
kitab sakti ini. Dia tidak bermaksud jahat padaku….!".
TUJUH
RUMAH kayu di puncak bukit itu
berada dalam keadaan gelap. Si gadis segera menyalakan sebuah lampu minyak
hingga bangunan yang tidak seberapa besar itu kini menjadi terang. Di situ
hanya terdapat perabotan berupa sebuah kursi kayu, tempat tidur beralaskan
jerami kering dan sebuah meja di atas mana terletak sebuah kendi berikut dua
cangkir dari tanah. Karena cuaca di bukit itu selalu diselimuti kesejukan dan
tidak berdebu maka bagian dalam bangunan kayu termasuk semua perabotan yang ada
berada dalam keadaan bersih.
Si gadis menuangkan air bening
dari kendi ke dalam dua cangkir. Dia meneguk habis air dalam cangkir pertama
lalu menyerahkan cangkir satunya pada Raja Obat seraya berkata. “Orang tua, kau
tentu sangat letih. Sebaiknya kau segera tidur saja…” Saat itu sekujur tubuh
Raja Obat alias Pangeran Soma memang tak karuan rasa saking letihnya. Namun
mengingat di situ cuma ada satu tempat tidur, walaupun dia sudah tua renta
tetap saja dia merasa bagai seorang lelaki yang harus mendahulukan pihak
perempuan. “Tubuhku memang letih, namun keletihan batinku rnelebihi
segala-galanya. Aku akan bersemedi dulu di serambi rumah. Kau saja yang
tidur…."
Si gadis tersenyum mendengar
ucapan Raja Obat. "Orang-orang tua berkata, yang muda jangan sekali-kali
berlaku tidak hormat terhadap yang lebih tua. Jadi, dengan kata lain kau lebih
pantas tidur di atas ranjang jerami itu. Aku bisa mencari tempat lain .Di kursi
pun aku bisa tidur…”
Raja Obat geleng-geleng
kepala. "Selama ini ak banyak mendengar tentang kehebatan gadis-gadis
pesilat. Tidak sangka han ini aku akan bertemu dengan salah satu di antaranya.
Anak gadis, kata aku boleh bertanya siapa namamu. Apakah kau tinggal menyendiri
di tempat ini? Lalu makam siapa yang kau tangisi malam tadi?"
“Pertanyaanmu banyak amat,
orang tua. Biarlah aku berlaku lancang sedikit dan menanyaimu lebih dulu. Kau
bilang mencari makam ibumu.
Melihat usiamu yang sudah
lanjut pasti ibumu telah berpulang belasan tahun lalu. Tidak heran kalau kau
sulit mencari makamnya di pekuburan yang tida terpelihara itu. Tapi bagaimana
kejadiannya sampai kau sendiri tidak tahu di mana pastinya letak makam
lbumu"
"Ah, pertanyaan gadis ini
tak mungkin kujawab. Atau apakah sudah saatnya aku berterus terang?” Setelah
berpikir sejenak akhimya Raja Obat berkata “Seperti aku katakan waktu di
pekuburan tadi aku hanya seorang tua malang …. "
Banyak manusia malang di atas
dunia ini. Bahkan yang jauh lebih malang dariku ataupun darimu Kau bilang tidak
punya istri. Apakah kau seorang pemuka agama atau apa. Sulit bagiku
membayangkan cara dan jalan hidupmu. Bahasamu halus tan kau keturunan ningrat
atau bangsawan. Sikapmu di perjalanan tadi menunjukkan kau pernah berada di
sekitar daerah ini tapi banyak lupanya. Mengapa kau tidak menerangkan siapa dirimu
sebenarnya orang tua?"
"Gadis ini bukan saja
bermata tajam tapi juga berotak cerdik," membatin Raja Obat.
“Apakah aku berterus terang
saja mengatakan siapa diriku. Mungkin dia bisa membantu. Tapi…. Bagaimana
mungkin. Usianya saja paling tidak seperlima usiaku. Mana dia tahu segala
kejadian puluhan tahun silam …" Orang tua itu sesaat menjadi bimbang.
Si gadis menarik nafas dalam.
Rambutnya yang bagus panjang dilepasnya ke bahu hingga wajahnya kelihatan
tambah cantik. "Kalau kau tidak mau memberi tahu siapa dirimu, aku tidak
memaksa. Biar aku menerangkan siapa adanya diriku sendiri. Aku dilahirkan
sekitar sembilan belas tahun lalu di satu desa di timur Kotagede. Ketika aku
ditahirkan kedua orang luaku sudah tiada. Menurut paman mereka menjadi korban
keganasan penyakit sampar yang berjangkit pada masa itu. Paman memeliharaku dan
memberi aku nama Andini. Aku dibesarkan tanpa saudara, tanpa teman bermain,
lanpa kasih sayang sama sekali. Sepertimu, pamanku tidak punya istri. Beliau
lebih banyak mengabdikan diri sebagai prajurit Kerajaan. Empat tahun lalu
beliau tewas ketika menumpas sekelompok pemberontak di kaki Gunung
Merapi…."
Andini hentikan penuturannya
sejenak. Kedua matanya dipejamkan. Raja Obat melihat betapa cantik jelita dan
anggunnya wajah gadis itu. Kemudian dilihatnya bahu Andini bergoyang-goyang
tanda dia berusaha menahan diri agar tidak sesenggukan.
Agaknya musibah kematian
pamannya merupakan cobaan yang paling berat baginya. Ketika kedua matanya
dibuka kelihatan mata itu berkacakaca. Lalu si gadis meneruskan. "Sewaktu
usiaku mencapai enam belas tahun aku berkenalan dengan seorang pemuda. Namanya
Handoko Dari perkenalan biasa lama-lama hubungan kami berubah menjadi jalinan
cinta. Ketika kami tidak bisa lagi dipisahkan baru aku ketahui bahwa Handoko
adalah putra seorang pejabat tinggi pembantu Sultan. Dia putra seorang
Tumenggung bernama Caroko Sindu Winoto…. “
"Kau beruntung sekali
kalau begitu…" kata Raja Obat.
Si gadis menggeleng. Air
matanya bercucuran "Jauh dari beruntung. Malah malapetaka yang datang.
Sang Tumenggung marah besar ketika mengetahui hubungan putera tunggalnya dengan
diriku yang hanya rakyat jelata dan tidak tahu asal usul, tak punya orang tua,
tak punya siapasiapa. Dia memerintahkan Handoko memutuskan hubungan. Tapi kami
telah terlanjur jauh dalam bercinta. Kekasihku nekad. Walaupun ada ancaman dia
akan diusir dan tidak diakui sebagai anak lagi dia nekad. Ayahnya berusaha
membujuk akan memintakan satu jabatan tinggi pada Sultan bagi putranya itu.
Mungkin jabatan Adipati. Asalkan Handoko memutuskan hubungan dengan diriku,
lalu segera melangsungkan perkawinan dengan seorang gadis turunan ningrat
pilihan kedua orang tuanya. Handoko menolak. Dia memilih yang terburuk. Suatu
malam sekitar satu minggu lalu dia lenyap meninggalkan gedung kediamannya.
Seorang kepercayaannya memberi
tahu bahwa dua hari di muka ini dia akan menemuiku di rumah kayu ini. tapi
kemarin pagi dia ditemukan telah jadi mayat di hutan Watuireng. Lehernya hampir
putus akibat gorokan senjata tajam. Tumenggung Sindo Winoto yang sudah tidak
mau tahu terhadap puteranya itu bahkan sampai-sampai tega tidak mau mengurus
jenazahnya. Beberapa orang kawan dan keluarga terdekatnya lalu menguburkannya
di sini. Aku dengar ibunya saat ini sedang sakit keras. Lalu ada kabar lain
mengatakan bahwa mungkin jenazah Handoko akan dipindahkan ke makam yang lebih
pantas di samping kawasan makam istana.."
"Aku sangat sedih
mendengar nasib riwayatmu. tapi kau masih muda. Masa depan masih
menunggumu…-"
“Masa depanku sudah dibawa Handoko
ke da kuburnya…" kata Andini pula dan kini gadis itu tak dapat menahan
sesenggukannya. Dia menangis sambil duduk di kursi dan membenamkan wajahnya di
balik sepasang telapak tangan.
Raja Obat melangkah
mendekatinya dan membelai rambut gadis itu.
"Aku tahu kau seorang
gadis tabah. Kau harus kuat menghadapi cobaancobaan besar itu Andini."
“Aku akan berusaha tapi
mampukah aku menghadapinya seorang diri. Aku merasa diriku seolah-olah dalam
bahaya…."
"Kau akan mampu. Pasti
mampu," kata Raja Obat pula sambil terus membelai rambut si gadis.
Perlahan-lahan Andini angkat kepalanya. Kedua tangannya digelungkannya ke
pinggang Raja Obat orang tua itu dipeluknya erat-erat.
"Jika kau tidak keberatan
aku… aku akan menganggap dirimu sebagai pengganti semua orang yang kukasihi
itu. Ayahku…. lbuku…. Paman….Handoko."
Terharu oleh cerita nasib diri
gadis cantik itu dan mulut Raja Obat lantas saja meluncur kata kata mengenai
dirinya. Seratus tahun hidup tanpa mengenai ayah maupun ibu, apalagi yang din
makan kasih sayang dari kedua orang tua. Karena tidak punya saudara, dia tidak
mengenai kasih mengasihi antara sesama saudara. Karena hidup dikucilkan dirinya
tidak mengenal kebahagiaan hidup berteman. Masa kecilnya hanya merupakan
lembaran hitam. Lalu karena hidup membujang seumur-umur dia tidak pula mengenal
kebahagiaan sebagai seorang suami. seorang ayah. Apa yang dinamakan kekasih dia
buta sama sekali. Semua itu kini bercampur aduk menjadi satu, membuat dadanya
sesak dan tenggorokannya turun naik. Perlahan-lahan sepasang matanya tampak
berkaca-kaca.
"Siapa diriku tidak banyak
kuketahui…" kata Raja Obat pada akhir penuturannya. Dia tetap merahasiakan
jati dirinya sebagai seorang pangeran. "Orang-orang memanggilku Soma. Aku
tidak ingat siapa yang memberi nama itu…."
Andini angkat kepalanya.
"Siapapun dirimu bagiku kau adalah orang gagah yang telah menempuh
kehidupan sulit dengan segala ke-tabahan. Setelah tahu namamu aku tidak akan
memanggilmu lagi dengan sebutan orang tua atau kakek. Bolehkah aku memanggilmu
Paman Soma … ?" Raja Obat tersenyum dalam kerawanan wajahnya
"Melihat kepada umur kau
pantas menjadi cucu-ku …. "
Si gadis merengut dan
menyentakkan tangan Raja Obat. “Aku tidak suka panggilan itu. Biar kau marah
aku akan memanggilmu Paman Soma. Dan aku tidak suka melihat lelaki menangis ….
" Pangeran Soma semakin lebar tawanya. Tangannya yang membelai kepala
turun memegang bahu Andini. Lalu dia berkata. "Kau anak baik….”
"Aku belum seperti yang
kau katakan itu. Malam ini aku tidak mampu menyediakan makanan apa-apa untukmu.
Kau tentu lapar…."
"Aku sudah biasa hidup dengan
perut kosong selama berharl-hari … " jawab Raja Obat.
"Nah, apa kataku Bukankah
itu menunjukkan kau seorang hebat?!"
kata si gadis pula seraya
melirik ke arah bungkusan milik Raja Obat yang terletak di ujung tempat tidur.
Dia berdiri dari kursi lalu mengambil bungkusan itu. Si orang tua
memperhatikan. Ternyata Andini hanya memindahkan bungkusan dari kaki tempat
tidur kayu ke bagian kepala.
"Paman Soma, kau pasti
letih, perlu istirahat. Nah sekarang tldurlah. Besok pagi-pagi sekali aku akan
membangunkan dirimu dan kita blcara lagi mengenai riwayat kita masing-masing.
Jika memang masih ada yang dibicarakan…."
"Bukan aku, tapi kaulah
yang harus beristirahat. Seperti tadi kataku, aku akan bersemedi di luar sana
…"
Andini tertawa. Tangannya
digelungkan ke pinggang Raja Obat lalu sekali dorong saja maka rebahlah orang
tua itu di atas ranjang beralaskan jerami kering.
“Hai. Apa yang hendak kau
lakukan?” tanya Raja Obat Sesaat si gadis masih terus tertawa. Kemudian dia
berkata "Aku yang muda harus mengalah pada kau yang lebih tua dan
kuhormati Tidur sajalah. Pejamkan matamu. Aku akan memijiti kakimu, punggung
dan kepala agar lekas pulas…."
"Tidak usah… Tidak perlu!
Jangan! Andini…."
Bagaimanapun orang tua itu
menolak namun si gadis terus saja melakukan apa yang dikatakannya. Kedua
tangannya dengan cekatan memijat kaki Raja Obat Mula-mula betis kanan, ketika
naik ke lutut orang tua ini menggeliat kegelian. Tapi tubuhnya sebelah bawah tidak
bisa digerakkan karena saat itu Andini sudah menduduki sepasang kakinya terus
memijiti punggungnya.
Seumur hidupnya orang tua itu
tidak pernah dipijiti orang. Juga tidak pernah ada tangan perempuan yang pernah
menyentuh auratnya. Kini diperlakukan seperti itu, dalam kegeliannya
bagaimanapun juga ada hawa aneh menjalari sekujur tubuh sang pangeran. Apa lagi
yang memijat tubuhnya adalah seorang gadis berwajah begitu cantik, memiliki
kulit dan potongan tubuh bagus. Sampai-sampai Raja Obat berulang kali beristigfar
menyebut nama Tuhan dalam hatinya karena tengkuknya mendadak merinding dan rasa
takut mulai menjalari dirinya.
"Andini, cukup! Aku sudah
tidak letih lagi Kau boleh pergi, aku sudah bisa tidur…" berkata Raja
Obat.
“Tenang dan diam sajalah Paman
Soma. Kalau kau mau tidur silahkan saja Tidurlah, ngorok yang keras""
jawab si gadis. Tangannya menyelinap ke balik jubah si orang tua.
Lelaki berusia seratus tahun
yang terbaring menelungkup itu laksana disengat kalajengking Darahnya mendadak
panas dan mengalir lebih cepat. Tubuhnya membara seperti dipanggang Degup
jantungnya menggelegar
“Andini… Apa yang kau lakukan
terhadapku?!" Suara Raja Obat tenggelam dalam desau nafasnya sendiri. Dia
segera membalikkan tubuh Sepasang matanya membelalak. Dia tidak tahu kapan
gadis itu menanggalkan pakaiannya. Dilihatnya saat itu tubuh Andini tidak
tertutup sehelai benang pun. Orang tua ini cepat tutupkan kedua matanya
sementara getaran aneh yang tak pernah dialaminya sebelumnya semakin
menjadi-jadi Ternyata walau matanya terpejam namun Raja Obat seolah melihat
sosok Andini lebih jelas. Tak ada jalan lain. Dia harus melepaskan diri secara
paksa. Raja Obat bergerak bangkit. Namun di sebelah atas tubuh polos si gadis
menekan dan mendorongnya. Di telinganya terdengar satu bisikan disertai
hembusan nafas harum, "Paman Soma, jangan takut. Aku tidak akan mencelakai
dirimu. Malam ini adalah malam bahagia kita berdua. Kau adalah kekasihku. Aku
adalah kekasihmu…. Tidakkah kau ingin merasakan nikmatnya bercinta?"
DELAPAN
PADA saat perhatian dan
pikiran seseorang tertuju penuh pada sesuatu, selalu ada kemungkinan dia akan
bertindak kurang waspada terhadap hal-hal lain di sekitarnya. Hal ini disadari
sekali oleh murid Sinto Gendeng. Setelah meninggalkan pulau batu merah di pantai
selatan tempo hari. baru saat itulah dia merasa tepat waktu dan aman untuk
mengeluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa, guna membaca, mendalami dan mempelajari
isinya. Sejak kitab sakti itu berada di tangannya dia merasakan satu ketenangan
dalam dirinya. Namun di balik ketenangan itu sikap waspada tak pernah
dilupakannya. Cepat atau lambat riwayat kitab itu akan diketahui orang-orang di
dalam maupun di luar rimba persilatan. Pada saat itu terjadi maka dirinya akan
menjadi orang buruan. Bahaya maut akan mengancam dari mana-mana. Karenanya
bahkan terhadap Raja Obat yang telah membantunya memberi tahu dan mendapatkan
kitab itu secara halus dia tidak memberi tahu bahwa kelak dia akan pergi ke
tempat itu. Satu tempat yang dianggapnya paling aman untuk menyelami dan mempelajari
keseluruhan isi kitab sakti tersebut. Bagaimanapun dia berhati-hati ternyata
dua orang telah muncul secara tidak diduga. Yakni nenek sakti berjuluk lblis
Putih Ratu Pesolek dan Makhluk Pembawa Bala.
“Aku harus mempelajari isi
kitab sakti ini dengan cepat. Kalau perlu besok sebeium mataharl terbit aku
harus mencari tempat lain yang lebih aman … "kata Wiro dalam hati.
Wiro duduk bersila di lantai
gua dengan punggung menghadap ke dinding sebelah dalam Di hadapannya ada sebuah
lampu minyak. Nyala api lampu minyak tak bisa diam akibat hembusan angin malam
yang datang dari mulut gua.
"Jika nyala api berhenti
bergoyang, berarti ada sesuatu yang menutupi pintu gua. Sesuatu Itu bisa saja
binatang hutan, tapi bisa juga seseorang yang muncul untuk mendapatkan kitab
sakti. Aku benar-benar harus berhati-hati…."
Saat itu murid Sinto Gendeng
masih mengenakan baju hitam pemberian Ratu Duyung dulu. Dari balik pakaian ini
dengan tangan agak bergetar dan degup jantung mengeras dia keluarkan Kitab
Putih Wasiat Dewa. Sesaat kitab itu diletakkannya di atas keningnya seraya
hatinya berucap "Tuhan, hanya dengan kehendak dan ridhoMu aku berhasil
mendapatkan kitab ini. Karenanya hanya kepadaMu aku meminta perlindungan agar
diriku selamat dari segala marabahaya selama kitab sakti ini berada di
tanganku. Semoga aku bisa berbakti pada dunia persilatan dalam menegakkan
kebenaran dan menghancurkan kejahatan …. "
Perlahan-lahan Wiro turunkan
kitab yang terbuat dari daun lontar itu lalu diletakkannya di atas pangkuannya.
Sesaat dia memperhatikan nyala api lampu minyak. Api lampu seperti tadi masih
bergoyang-goyang oleh tiupan angin.
Wiro mengusap lambat permukaan
kulit depan buka di mana tertera tulisan besar dalam aksara Jawa Kuno berbunyi
Kitab Putih Wasiat Dewa Kulit lontar dibukanya, terpampang kini di hadapannya
halaman pertama. Melihat apa yang tertulis di halaman pertama itu pikiran Wiro
melayang pada kejadian beberapa waktu lalu ketika dia secara aneh masuk ke
dalam alam gaib masa lampau. Dia seolah berada di satu masa, menjadi bagian
dari waktu lampau dan segala apa yang terjadi. Termasuk melihat Kitab Putih
Wasiat Dewa itu. Secara aneh dia memiliki kemampuan mengingat hampir setiap
baris rangkaian kalimat pada beberapa halaman kitab. Walau demikian, dengan
suara perlahan dia merasa perlu mengulang dan membaca lagi apa yang tersurat di
halaman pertama ltu."
Bilamana datang kebenaran maka
meraunglah para iblis pembawa kejahatan.
Kejahatan mungkin bisa berjaya
Tapi pada saat kebenaran dan
keadilan muncul tak ada satu kekuatan lain mampu membendungnya.
Kejahatan membakar dan merusak
laksana api.
Tetapi api itu sendiri
sebenarnya adalah kekuatan dahsyat
Yang diarahkan para Dewa untuk
membakar mereka.
Bilamana api memusnahkan
mereka maka penyesalan tiada berguna.
Wiro membalik halaman kedua.
Di sini, di dalam sebuah lingkaran putih tertera gambar kepala seekor harimau
putih -Datuk Rao Bamato Hijau.." desis Wiro. Baru saja dia menyebut nama
ltu tiba-tiba entah dari arah mana, di kejauhan menggema suara auman harimau.
Di saat yang bersamaan dari sepasang mata harimau pada gambar di halaman kedua
Kitab Putih Wasiat Dewa itu melesat keluar dua larik cahaya hijau menyilaukan
Wiro merasa kepalanya seolah tanggal dari persendian dan mencelat lepas. Dua
matanya panas dan pemandangannya menjadi gelap walau saat itu dalam keadaan
nyalang.
Celakal Apa yang terjadi
dengan diriku. Aku mendadak buta!" ujar Wiro. Sepasang matanya digosok
berulang kali. Semakin digosok semakin panas kedua matanya dan semakin
menghitam pemandangannya. " Mati aku!" keluh Pendekar 212
Tiba-tiba di kejauhan
terdengar suara alunan seruling. Lembut dan sangat menawan Selembut
terdengarnya suara itu, selembut itu pula rasa panas dan pandangan gelap yang
dialami Wiro menjadi sirap Ketika keadaannya pulih kembali dan dia dapat
melihat segala sesuatunya seperti tadi bahkan kini lebih jelas seolah di dalam
gua itu bukan cuma ada satu lampu minyak tapi belasan banyaknya!
Tuhan…. Mukjizat atau apakah
yang barusan aku alami ini!" ujar Wiro lalu diusapnya KiItab Putih Wasiat
Dewa di pangkuannya. Kembali sepasang matanya berbenturan dengan dua mata hijau
gambar harimau putih pada daun lontar halaman kedua Kitab Putih Wasiat Dewa.
Saat itulah ada suara mengiang di telinganya. Semula disangkanya suara Raja
Obat yang memang mempunyai kesaktian mengirimkan suara dari jarak jauh. Namun
setelah didengarnya baik-baik dia segera maklum suara mengiang itu adalah suara
Datuk Rao Basaluang Ameh, orang tua aneh yang muncul membentuk diri dari kabut
atau asap putIh.
"Anak manusIa bernama
Wiro Sableng. terlahir bernama Wiro Saksana, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212. Ketahuilah waktu berada di pulau batu merah dulu. kau telah menerima
ilmu kesaktian bernama Pukulan Harimau Dewa. Barusan saja kau telah mendapatkan
ilmu kedua yang terkandung di dalam Kitab Putih Wasiat Dewa bernama Sepasang
Pedang Dewa. Bilamana keselamatanmu terancam dalam menghadapi senjata lawan
yang tak dapat kau hancurkan, kau hanya tinggal menyebut nama ilmu itu maka
dari matamu akan melesat keluar dua larik sinar hijau laksana sepasang pedang
yang luar biasa tajamnya dan seperti kilat sambarannya. Namun karena ilmu
kesaktian ini sangat berbahaya maka penggunaannya sangat terbatas Dalam waktu
360 hari kau hanya boleh mengeluarkannya sebanyak dua kali. Ingat, hanya dua
kali!"
Suara yang mengiang lenyap
dari pendengar an Pendekar 212 Untuk beberapa lamanya pemuda dari Gunung Gede
ini duduk terpana dengan mulut ternganga. Lalu dia ingat, dia harus berbuat dan
melakukan sesuatu. Cepat Wiro membungkuk seraya berkata. "Datuk Rao
Basaluang Ameh aku sangat berterima kasih padamu…." Tak ada jawaban.
Perlahan-lahan Wiro luruskan
duduknya lalu mendongak ke atap gua seraya berkata. "Tuhan, sungguh maha
besar berkahMu atas diriku. Aku akan menjaga semua kepandaian yang diberikan
padaku..” api lampu minyak terus bergoyang Wiro kembali menatap halaman kedua
Kitab Putih Wasiat Dewa. Di bawah gambar harimau dan lingkaran pputi tertera
tulisan berbunyi:
Putih lambang kesucian dan
kebenaran.
Harimau lambang keberanian dan
kejantanan
Barang siapa berjodoh dengan
kitab ini
maka kemanapun dia pergi
harimau putih akan menjadi
kekuatan,
menjaga dirinya dari segala
musuh
ilmu hitam dan iblis jahat
Wiro terus membalik halaman
berikutnya. Di halaman ketiga seperti yang pernah dilihatnya dalam alam arus
waktu masa lampau di situ termuat apa yang disebut Delapan Sabda Dewa yang
secara aneh satu persatu sanggup diingatnya walau hanya dibaca seolah dalam
mimpi.
Delapan Sabda Dewa
Barang siapa berjodoh dengan
Kitab Wasiat Sakti dan mampu mempelajari yang tersurat maupun yang tersirat,
menguasai yang lahir dan yang batin maka hendaklah dia mencamkan apa-apa yang
telah disabdakan.
Delapan Sabda Dewa adalah
delapan jalur keselamatan.
Tanah…. Air…. Api…. Udara….
Bulan._ Matahari…. Kayu…. Batu.
Rangkaian tulisan Delapan
Sabda Dewa ini menghabiskan dua halaman sendiri hingga kini Wiro akan sampai ke
halaman kelima. Murid Sinto Gendeng lantas ingat. Waktu berada dalam arus waktu
masa lampau dia melihat bagaimana Kanjeng Sri Ageng Musalamat tidak mampu
menggerakkan tangan untuk membalik halaman kelima. Pada waktu itu muncul Datuk
Rao Basaluang Ameh memberi tahu bahwa dia tidak berjodoh dengan kitab sakti
itu. Karenanya dia tidak diperkenankan membuka halaman berikutnya yakni halaman
kelima.
"Bagaimana dengan
diriku.. ?" pertanyaan itu muncul di hati Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Apakah aku mampu membalikkan halaman keempat ini dan melihat ke halaman
kelima?"
Dadanya berdebar. Jari-jari
tangannya bergetar ketika digerakkan untuk membalik halaman keempat. Hampir
halaman kelima tersingkap tiba-tiba kembali terdengar suara auman harimau yang
menggetarkan gua batu di lereng Gunung Merbabu itu. Menyusul tiupan saluang.
Sesaat Wiro jadi terkesiap. Apakah ini satu pertanda bahwa diapun tidak akan
mendapat perkenan melihat halaman kelima?
Pendekar 212 menatap ke depan
dan bertanya-tanya dalam hati apakah Datuk Rao Basaluang Ameh dan harimau
putihnya akan muncul saat ini? Namun tak ada kabut atau asap putih muncul di
tempat itu. Wiro teruskan membalik halaman keempat. Halaman lima Kitab Putih
Wasiat Dewa kini terpampang di depan mata Pendekar 212 Ternyata di situ hanya
ada serangkaian kalimat berbunyi:
Musuh umat manusia hanya ada
dua. Pertama yang datang dari luar. Kedua yang datang dari dalam dirinya
sendiri. Kalau Delapan Sabda Dewa dipelajari, dimengerti dan diamalkan Niscaya
manusia akan terlindung dari segala mara bahaya. Mana ada jalan selamat kalau
bukan JalanNya Tuhan?
Wiro mengulangi membaca tiga
baris kalimat itu sampai beberapa kali. Dalam hati kembali dia melafal satu
persatu Delapan Sabda Dewa yang ada di halaman sebelumnya. Kemudian kembali dia
tundukkan kepala memperhatikan kitab yang ada di pangkuannya. Menurut apa yang
dilihatnya kitab itu hanya memiliki dua halaman yang belum dibuka "Hanya
tinggal dua halaman…"desis Wiro Apakah semua inti ilmu kesaktian terpendam
pada dua halaman terakhir kitab ini?"" Pikir murid Sinto Gendeng
selanjutnya. Tiba-tiba terdengar suara Datuk Rao Basaluang Ameh di telinganya
“Anak muda jangan ragu Kitab
yang ada padamu hanyalah alat pembimbing menuju satu kesaktian. Kesaktian itu
sendiri adalah satu kekuatan gaib yang tidak satu manusiapun sanggup
menjelaskan karena semua datang dari Yang Maha Kuasa. Antara kitab itu sebagai
benda nyala dan kesaktian sebagai yang gaib ada satu sambung rasa yang hanya
kau yang akan menguasainya karena kaulah yang berjodoh dengan kitab itu…."
Keraguan yang tadi memang
sempat menyeruak di dalam hati Pendekar 212 serta merta sirna. "Terima
kasih Datuk Rao Basaluang Ameh," kata sang pendekar lalu dengan terang
dibalikkannya halaman kelima.
Pada halaman keenam yang kini
terpampang di depan matanya Wiro melihat enam lukisan orang lengah melakukan
gerakan silat Masingmasing lukisan diberi nomor mulai dari 1 sampai 6. Bagian
halaman yang tersisa penuh dengan tulisan-tulisan kecil hingga untuk membacanya
Wiro harus mengangsurkan kitab itu lebih dekat ke lampu minyak yang ada di
hadapannya. Dia lalu mulai membaca tulisan demi tulisan:
Menyerang adalah awal kekuatan
sedang bertahan adalah akhir kekuatan Ilmu silat.
Dalam menghadapi musuh jahat,
lebih dahulu bertindak adalah tindakan sempurna dari pada bertahan menunggu
datangnya bencana Musuh pertama manusia adalah yang datang dari luar.
Bilamana mereka datang maka
mereka akan menyerang dari enam arah, yaitu: atas (1) depan (2), belakang (3),
samping kiri (4), samping kanan (5) dan dari sebelah bawah (6).
Sampai di sini Wiro
memperhatikan dengan seksama keenam lukisan dan masing-masing arah serangan
yang disebutkan Enam lukisan ini menggambarkan enam gerakan serangan menurut
enam arah yang disebut….Serangan dengan telapak tangan kanan terkembang, tidak
mengepal Tulisan selanjutnya mungkin… hem…. Mungkin ini nama-nama
jurusnya…." Wiro memperhatikan kelanjutan rangkaian tulisan yang telah
dibacanya.
Enam inti Kekuatan Dewa
1.Tangan Dewa Menghantam
Matahari
2.Tangan Dewa Menghantam Batu
Karang
3.Tangan Dewa Menghantam
Rembulan
4.Tangan Dewa Menghantam Air
Bah
5.Tangan Dewa Menghantam Api
6.Tangan Dewa Menghantam Tanah
"Hemmm…" Wiro jadi
bergumam sendiri. "Benar, ini enam jurus serangan. Namanya disesuaikan
dengan enam dari delapan unsur Sabda Dewa. Penampilan lukisan-lukisannya
sederhana sekali tapi seumur hidup baru kali ini aku melihat jurus-jurus begini
aneh. Kudakuda sepasang kaki lain dari yang lain. Juga gerakan tangan terlihat
janggal. Lalu mengapa setiap tangan kanan pada lukisan kelihatan lebih besar…?
Tidak mungkin pelukis kitab ini melakukan kesalahan. Pasti ada artinya…."
Wiro coba memecahkan arti
telapak tangan kanan yang lebih besar dari tangan kiri ttu Tapi tidak mampu
mengartikannya. Akhirnya untuk beberapa lama dia hanya duduk sambil memandangi
telapak tangan kanannya yang sebentar-sebentar dikembangkan, lalu dikepal
Dikembangkan lagi, dikepal lagi. Demikian berulang-ulang.
"Mungkin aku harus minta
petunjuk dari Datuk Rao Basaluang Ameh. Tapi bagaimana cara memanggil orang
sakti dari alam gaib itu? Lagi pula sebaiknya blar aku pecahkan sendiri. Kalau
semua minta petunjuk bisa-bisa aku dikatakan tak punya otak untuk
berpikir…."
Murid Sinto Gendeng
garuk-garuk kepala dengan tangan kiri. Matanya masih memandangi telapak tangan
kanannya yang terkembang Sekonyong-konyong dia ingat. Telapak tangan yang
terkembang itu ditiupnya satu kali. Serta merta muncullah gambar kepala harimau
putih bermata hijau inilah gambar kepala Datuk Rao Bamato Hijau, binatang sakti
peliharaan Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah dikatakan sebagai sahabat yang
akan melindungi Wiro.
"Aku mengerti
sekarang…," membatin murid Sinto Gendeng. Dia mulai dapat memecahkan teka
teki dalam lukisan. "Telapak tangan kanan yang terkembang dan lebih lebar
melambangkan pukulan yang dilancarkan tidak dengan cara mengepal tapi seolah
mendorongkan telapak tangan! Lalu sebelum telapak tangan itu dipakai untuk menyerang
tentunya sudah ditiup lebih dulu, diisi dengan kesaktian berlambang kepala
harimau putih!"
Wiro menarik nafas lega.
Agaknya kehebatan Kitab Putih Wasiat Dewa ini bersumber pada enam jurus
serangan yang disebut Enam Inti Kekuatan Dewa itu. Namun apa yang ada di dalam
kitab itu tidak akan ada artinya jika dirinya tidak lebih dulu menerima
kekuatan dari dua Datuk berupa pukulan sakti yang dapat dilancarkan tanpa
pengerahan tenaga dalam sama sekali! Berarti ada kanan antara benda mati yakni
sang kitab yang kini dimilikinya dengan dirinya sendiri selaku pemilik kitab.
Ada kaitan antara yang nyala yaitu petunjuk dalam kitab dengan yang gaib yakni
kekuatan sakti yang kini tersImpan dalam tubuhnya.
"Cerdik sekali orang yang
membuat kitab ini. Seseorang tidak akan menguasai ilmu yang ada dalam kitab
tanpa memiliki lebih dulu kesaktiannya. Kesaktian tidak ada artinya jika tidak
mengikuti setiap petunjuk di dalam kitab…"
Pada saat itu entah bagaimana
Wiro lantas ingat akan Kitab Wasiat Iblis yang kini berada di tangan Pangeran
Matahari musuh besarnya. Mau tidak mau dia jadi ingin tahu dan ingin
membuktikan mana yang paling hebat di antara dua kekuatan sakti yang mereka
miliki.
"Cepat atau lambat
saatnya akan datang. Tapi kapan…. Di mana…?" Wiro bertanya sendiri dalam
hati.
Perlahan-lahan Wiro membalik
halaman keenam hingga kini dia sampai pada halaman terakhir dari Kitab Putih
Wasiat Dewa yakni halaman ketujuh. Pada halaman ini tertera tulisan:
Musuh manusia yang kedua
adalah yang datang dari dalam, yaitu dirinya sendiri.
Musuh ini lebih ganas dan
lebih berbahaya dari musuh yang datang dari luar.
Dia bisa muncul dalam berbagai
bentuk. Namun semuanya berpangkal pada lupa diri.
Hanya manusia yang bertakwa
dan kokoh iman yang sanggup lolos dari malapetaka ini.
Renungkan Delapan Sabda Dewa.
Minta tolong dan minta ampun
hanya pada Yang Satu.
“Kitab luar biasa…" kata
Pendekar 212 sambil mengusap daun lontar halaman terakhir Kitab Putih Wasiat
Dewa berulang kali. Tiba-tiba nyala api lampu minyak di hadapannya tidak
bergoyang lagi.
"Ada yang datang. Sosok
tubuhnya menutup mulut gua, menghalangi tiupan angin!"
Pendekar 212 cepat tutup Kitab
Putih Wasiat Dewa dan masukkan ke balik baju hitamnya. Dia bangkit berdiri dan
menyelinap ke balik legukan gua di dinding kiri. Matanya membelalak sewaktu
yang dilihatnya muncul di mulut gua adalah kepulan asap putih yang serta merta
membentuk sosok Datuk Rao Basaluang Ameh dan Datuk Rao Bamato Hijau.
“Aneh, keduanya muncul tanpa
didahului auman dan tiupan seruling," kata Wiro dalam hati tapi dia
cepat-cepat keluar dari balik legukan dinding gua dan membungkuk menghormati
kedatangan kedua makhluk dari alam gaib itu.
"Datuk…."
Datuk Rao Basaluang Ameh
angkat tongkatnya memberi isyarat agar Wiro tidak meneruskan ucapannya.
"Kami datang hanya
sesaat. Lekas tinggalkan gua ini. Di satu bukit yang terletak di sebelah tImur
Kutogede ada sebuah rumah kayu. Raja Obat alias Pangeran Soma berada di situ
Dia berada dalam cengkeraman bahaya besar Kalau kau tidak lekas datang ke sana
menolongnya, aku kawatir nyawanya tidak akan terselamatkan ….”
Wiro masih terkejut mendengar
kata-kata yang diucapkan itu sementara Datuk Rao Basaluang Ameh dan Datuk Rao
Bamato Hijau sudah lenyap dari hadapannya, tanpa auman, tanpa tiupan saluang.
SEMBILAN
BERKAT ilmu "menembus
pandang" yang didapatnya dari Ratu Duyung, begitu berada di kaki bukit
sebelah timur Kutogede dia segera bisa menjajagi di mana letaknya rumah kayu
itu. Tubuhnya bergetar ketika samar-samar di dalam rumah kayu dia melihat sosok
Raja Obat tergeletak nyaris tanpa pakaian dalam keadaan sekarat. "Apa yang
terjadi dengan orang tua itu!" pikir Wiro. Laksana terbang dia lari menuju
ke atas bukit. Begitu sampai di depan rumah kayu Pendekar 212 melabrak pintu
dan melompat masuk. Sepasang kakinya laksana dipantek di lantai rumah. Dua
matanya membeliak. Raja Obat tergeletak di atas ranjang beralas jerami kering
tanpa pakaian. Jubah putih yang biasa dikenakannya berkerimuk di bagian bawah
perut. basah oleh darah. Erangan kematian keluar dari mulutnya. Dadanya turun
naik dan nafasnya hanya tinggal satu-satu.
"Raja Obatl teriak Wiro
seraya melompat mendekati ranjang. "Aku Wiro! Apa yang terjadi?!
Sepasang mata Raja Obat yang
terkatup hanya bergerak sedikit. Pendekar 212 segera tempelkan dua telapak
tangannya ke dada orang tua itu lalu alirkan tenaga dalam. "Raja Obatl
Jangan mati sebelum kau mengatakan apa yang terjadi!" kata Pendekar 212
pula seraya berlutut di samping tempat tidur dan mendekatkan mukanya ke wajah
si orang tua. Suara erangan Raja Obat terhenti sesaat. Wiro memandang pada
jubah yang menutupi bagian bawah perut orang tua itu. Diulurkannya tangannya.
Kerimukan jubah diangkat.
"Jahanam!" teriak
Pendekar 212.
Aurat Raja Obat di bagian
bawah perut hancur mengerikan Darah masih mengalir. Wiro tutup bagian itu
kembali dengan jubah berdarah. Dia memandang berkeliling. Ketika dilihatnya
sebuah bungkusan yang diketahuinya adalah milik orang tua itu segera
diambilnya. Dia tahu betul. Sewaktu meninggalkan pulau merah, Raja Obat telah membekali
dirinya dengan beberapa keping batu merah yang menurutnya jika diperlukan dapat
dipergunakan sebagai obat. Wiro ambil satu kepIng batu merah lalu meletakkannya
ke dalam tangan Raja Obat.
"Raja Obat, Pangeran
Soma…. Kau bisa mendengar suaraku? Aku Wiro…."
Sepasang mata si orang tua
bergerak kembali. Dia seperti berusaha membukanya tapi tidak mampu. "Raja
Obat…."
Wiro…." Suaranya hampir
tidak terdengar kalau Wiro tidak mendekatkan telinganya ke mulut si orang tua.
"Aku… aku telah melakukan dosa besar. Terhadap diriku… juga terhadap
dirimu…."
"Dosa besar…. Dosa besar
apa?!" tanya Wiro
"Gadis itu…. Andini! Dosa
besar… Aku tertipu. Di… dia mengajakku bercinta. Imanku runtuh…. Aku tak mampu
menolak. Ternyata dia hanya menipu. Dia hanya mencari keterangan tentang dirimu
dan Kitab Putih Wasiat Dewa…."
"Andini…? Puti
Andini…?" desis Wiro. Matanya membelalak memandangi wajah belang si orang
tua. Raja Obat…. Nyawamu harus diselamatkan dulu…. Aku meletakkan sekeping batu
merah dalam tangan kananmu. Kau merasakan…”
"Aku merasakan…. Aku tahu
maksudmu. Tak ada gunanya Wiro Nyawaku tidak mungkin ditolong.,.."
"Kau harus mencoba
hancurkan batu itu. Nanti aku akan menaburkan di lukamu…"
"Keadaanku sudah sangat
parah. Malaikat maut sudah di depan mata. Aku mohon maafmu Wiro. Di luar sadar
aku telah menceritakan pada gadis itu bahwa Kitab Putih Wasiat Dewa ada di
tanganmu. Hati-hatilah….Dia pasti akan mencari dan membunuhmu untuk mendapatkan
kitab sakti itu…."
"Tapi…." Wiro
terdiam. Ada kebimbangan dalam hatinya. "Raja Obat, kau bisa mengatakan
ciri-ciri gadis itu yang katamu bernama Andini itu?”
"Putih…. Cantik….
Berambut panjang. Mengenakan baju merah…."
"Apakah…. Apa dia
membawa…."
"Dia kekasih seorang
pemuda bernama Handoko, putera seorang Tumenggung bernama Caroko Sindu Winoto….
Tapi kurasa dia berdusta…." Dengan susah payah Raja Obat menuturkan
riwayat si gadis.
"Raja Obat, aku bersumpah
akan mencari gadis itu. Tapi saat ini kau harus kuselamatkan dulu. Remas batu
merah itu. Atau tunjukkan padaku bagaimana cara aku menolongmu … ?"
Wajah belang Raja Obat alias
Pangeran Soma tersenyum aneh. "Aku sudah terlalu lama hidup di dunia ini
Wiro. Nasibku buruk. Di saat-saat akhir menjelang kematianku justru aku telah
berbuat dosa besar. Aku pantas menerima kematian dengan cara begini…."
"Tidak!" teriak
Pendekar 212 Lalu dia tempelk kedua telapak tangannya kembali ke atas dada
orang tua. Tapi sebelum dia mengalirkan tenaga dalam untuk kali yang kedua Raja
Obat telah menghembuskan nafas terakhir.
Murid Sinto Gendeng memukul
dinding rumah sampai hancur lalu terhenyak duduk di lantai .
"Andini … Dewi Payung
Tujuh … ! Gadis itu yang memunuh Raja Obat?!" Wiro kepalkan kedua
tangannya. "Dia memang membekal tugas dari gurunya untuk mencariku dalam
menjejaki Kitab Putih Wasiat Dewa.
Aku juga tahu bahwa dia akan
membunuhku jika aku menolak menyerahkan kitab sak itu Tapi kalau dia tega
membunuh orang tua ini.. Kalau memang dia yang melakukan aku tak bak mengingat
segala hutang budi dan nyawa terhadapnya. Bagus! Bagus Andini! Kini kau memberi
alasan untuk membunuhmu!"
####
KUDA tunggangan dua prajurit
Kerajaan itu meringkik keras begitu memasuki hutan jati Seperti melihat setan
binatang-binatang itu mengangkat sepasang kaki depan masing-masing
tinggi-tinggi ke atas mencampakkan penunggang mereka hingga jatuh terbanting di
tanah lalu menghambur lari. Sambil merintih kesakitan dua prajurit itu mencoba
bangkit berdiri. Salah seorang dari mereka menyumpah.
“Binatang jahanam! Setan apa
yang merasuki mereka hingga kita dilemparkan begini rupa!"
"Jangan memaki bermulut
kotor! ini bukan tempat sembarangan Kalau mau copot lidahmu ditarik setan rimba
belantara!" teriak prajurit satunya sambil memijati pinggulnya yang memar.
"Dasar orang udik!
Percaya tahayul!" damprat temannya seraya mencoba berdiri Pada saat inilah
dia tidak sengaja memandang ke alas dan berteriak keras. "Lihat! Ada orang
tergantung kaki ke atas kepala ke bawah!
Temannya yang selang kesakitan
mendongak ke arah yang ditunjuk dan ikut-ikulan kaget. "Apa kataku! Itu
akibat mulutmu bicara kotor seenaknya! Yang tergantung di pohon itu pasti setan
jejadian!"
"Aku tidak buta! Buka
matamu lebar-lebar! Itu sosok perempuan!
Apa kau tidak bisa melihat
tubuhnya yang tersingkap telanjang karena pakaiannya jatuh terjulai ke
bawah?!"
"Terserah kau mau bilang
apa! Bagiku itu tetap setan rimba belantara yang hendak mengganggu kita!"
Habis berkata begitu prajurit satu ini dengan terpincang-pincang segera
melarikan diri. Temannya sesaat menjadi bingung. Ketika dia hendak kabur pada
satu tangan memegang bahunya hingga dia menjerit kaget setengah mati.
" Apa yang terjadi di
tempat ini?!" Ada suara orang bertanya.
Ketika dia membalikkan badan
prajurit itu melihat seorang pemuda berambut gondrong berpakaian hitam tegak di
hadapannya. "Kau…. kau bukan setan … ?!"
"Prajurit sialan! Orang
bertanya malah disangka setan! Kalau aku setan sudah dari tadi-tadi kupencet
bijimu!" bentak si pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng
adanya.
"Ka… kalau begitu !! …
lihat di atas sana…" Prajurit itu menunjuk ke atas, arah sebelah belakang
Wiro.
Pendekar 212 cepat berpaling.
Wajahnya berubah, sepasang matanya mendelik! Pada cabang sebatang pohon yang
cukup tinggi, tergantung sesosok tubuh perempuan kaki ke atas kepala ke bawah. Pakaiannya
yang berwarna biru terjulai menutupi kepalanya hingga wajahnya tidak kelihatan.
Tetapi mulai dari ujung kaki sampai ke lekukan dada tubuh yang mulus elok ltu
nyaris telanjang, hanya tertutup potongan-potongan pakaian dalam.
“Baju tipis warna biru…."
Wiro coba menghirup udara di tempat itu dalam-dalam "Dari sini aku mencium
bau tubuhnya. Jangan-jangan…."Wiro berpaling pada prajurit yang masih
ketakutan di depannya lalu berkata. "Kau tetap di sini. Aku akan naik ke
atas pohon, coba menurunkan perempuan yang tergantung ltu. Waktu aku menurunkan
bantu aku menanggapi. Pegang bahunya…."
Tanpa menunggu jawaban orang
Pendekar 212 cepat memanjat pohon besar dan naik ke bagian cabang di mana sosok
tubuh perempuan itu tergantung.
“Kraaakkk!"
Wiro hantam cabang pohon pada
bagian yang terikat tali. Cabang patah dan talinya putus. Dengan cepat Wiro
menyambar ujung tali lalu perlahan-lahan menurunkan sosok tubuh yang
tergantung.
DI sebelah bawah prajurit yang
dimintal bantuannya cepat memegang bahu perempuan yang diturunkan. Sesaat dia
menahan nafas melihat tubuh setengah telanjang ltu. Lalu perlahan-lahan tubuh
itu dibaringkannya di tanah. Dia mendongak kaget ke atas dan tidak percaya
ketika melihat pemuda yang tadi naik ke pohon kini turunnya tidak meluncur
melalui batang tapi langsung melompat, jungkir balik di udara dan tahu-tahu
sudah berdiri tegak di depannya.
Wiro cepat memeriksa perempuan
yang terbujur di tanah. Ketika pakaian biru yang menutupi kepalanya
disingkapkan dan ditutupkan ke tubuhnya, Wiro merasa seperti dihenyakkan oleh
rasa terkejut. "Ya Tuhan! Bidadari Angin Timur! Memang dia rupanya!"
Wiro tekap wajah gadis itu dengan kedua tangannya. Dadanya sesak dan dia
seperti hendak menangis. Sekian lama dia mencari dan merindukan, begitu bertemu
ternyata gadis yang diam-diam dicintainya ini telah jadi mayat. Tidak! Kau
tidak boleh mati! Tuhan, jangan cabut nyawanya … !"
SEPULUH
WAJAH itu ternyata adalah
wajah cantik seorang gadis. Rambutnya coklat pirang, panjang sebahu. Anehnya di
mulutnya ada secarik robekan kain berwarna merah. Wiro berteriak memerintah
prajurit yang tegak bengong agar segera melepaskan lkatan tali pada sepasang
kaki si gadis. Lalu dia sendiri meraba denyutan urat besar di pergetangan
tangan kiri. Merasa kurang yakin dia letakkan telinganya di atas dada Bidadari
Angin Timur.
"Masih ada suara detakan
jantung. Nadinya Juga Masih berdenyut! Dia masih hidup! Terima kasih Tuhan
!" Pendekar 212 cepat salurkan tenaga dalamnya ke tubuh gadis itu melalui
lengah dan dada. Dengan hati-hati dia menarik cabikan kain merah dari mulut si
gadis. Wiro tidak menunggu lama. Mula-mula dia melihat kaki kanan gadis itu
bergerak. Lalu dan sela bibirnya keluar suara erangan halus. Wiro usap wajah
gadis itu berulang kali, mendekatkan wajahnya seraya berbisik "Bangun….
Bangun…. Jangan buat aku jadi ketakutan kehilanganmu!"
Sepasang mata Bidadari Angin
TImur terbuka Mula-mula mata itu menatap lurus-lurus ke langit biru di atasnya.
Wiro membelai kening dan rambut pirang si gadis lalu berbisik. "Bidadari Angin
Timur…. Lihat ke sini. Tidakkah kau mengenali diriku?"
Dua bola mata yang tadi redup
itu kini kelihatan bercahaya bagus, berputar memandang ke arah wajah yang ada
di sampingnya. Sesaat mata itu menyipit sedikit lalu membuka lebar-lebar. Satu
seruan keluar dari bibirnya yang merah,
"Wiro?!"
"Ini memang aku, Bidadari
Angin Timur! Apa yang terjadi dengan dirimu!"
Si gadis tersenyum. Dua lesung
pipit muncul di pipinya. Sepasang tangannya tiba-tiba merangkul ke atas memeluk
Pendekar 212 erat-erat ke dadanya. Mereka sama-sama dapat merasakan delak
jantung masing masing Pendekar 212 merasa seribu bahagia.
,.Aku… aku tidak tahu harus
mengatakan apa. Pasti kau yang telah menolong diriku…" bisik Bidadari
Angin Timur seraya membelai rambut gondrong Pendekar 212
Wiro hendak menjawab tapi dia
mendadak ingat pada prajurit yang masih berada di tempat itu. "Kau boleh
pergi. Aku berterima kasih kau telah memberikan pertolongan…."
Si prajurit masih tertegak
bingung menyaksikan apa yang terjadi. Lalu dia angguk-angukkan kepala dan
sesaat kemudian tinggalkan tempat itu Sambil melangkah pergi sesekali dia
menoleh ke belakang Seperti menyesali diri dia mengomeli temannya yang tadi
lari duluan. Kalau kawanku itu tidak lari dan aku sempat menolong si gadis,
pasti aku yang akan dipeluk dan diciumi gadis itu! Ah, nasibku masih
jelek!"
Wiro mendukung Bidadari Angin
Timur ke bawah pohon yang rindang. Kalau kau sudah merasa tenangan, maukah kau
menceritakan apa yang terjadi?"
Sesaat wajah si gadis tampak
kemerahan. Mungkin dia sadar apa yang tadi dilakukannya. Memeluk dan menciumi
pemuda itu terdorong rasa terima kasih karena telah diselamatkan.
"Kalau kau tidak mau
menceritakan tidak jadi apa," ujar Wiro. "Tapi kalau ada orang yang
hendak membunuhmu dengan cara keji seperti tadi ini bukan urusan main-main.
Jika dia tahu kau masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan mengulangi
kembali…"
Bidadari Angin Timur terdiam.
"Apa kau punya musuh
besar? Ada yang mendendam terhadapmu? Si gadis masih diam Namun sesaat kemudian
dia berusaha mulai.
“Terus terang aku merasa
malu…. "
"Hemm… Mengingat hubungan
kita di masa lalu. apa lagi yang harus kau malukan? Ingat peristiwa di telaga
tempo hari? Aku tidak pemah bisa melupakan saat-saat penuh bahagia itu."
(Baca Episode ll "Wasiat Dewa").
Wajah Bidadari Angin Timur
bersemu merah. Wiro tertawa lebar dan berkata. "Aku tahu kau akan
menceritakannya padaku. Aku harus tahu siapa yang melakukan perbuatan kurang
ajar dan keji ini padamu!"
“Semua ini terjadi karena
salahku sendiri!”
"Salahmu sendiri?"
ulang Wiro. "Aku jadi tidak mengerti!" Lalu pemuda ini garuk-garuk
kepalanya.
"Semua terjadi karena
hasratku yang selalu ingin berada dekat denganmu…."
Murid Sinto Gendeng jadi
ternganga mendengar ucapan jujur si gadis.
"Kalau begitu apa yang
terasa di hatiku juga terasa di hatinya. Ah….Gayung bersambut kata berjawab.
Aku tidak bertepuk sebelah tangan!" Wiro pandangi wajah jelita itu
sejenak.
"Aku tidak menyangka.
Kalau begitu pemuda jelek ini rupanya yang jadi pangkal bahala!" kata Wiro
pula seraya tepuk keningnya sendiri Bidadari Angin Timur tersenyum. Sepasang
lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan menambah kecantikannya. Membuat
Pendekar 212 ingin mendekap wajah itu dalam kedua tangannya lalu menciumnya
hablshabisan.
"Aku tidak mengatakan
demikian Wiro. Maksudku… Kita sudah berhubungan sejak lama. Namun bertemu
sekali-sekali. Itupun tanpa rencana, tidak terduga. Seperti yang kau akui tadi,
sejak pertemuan kita di telaga tempo hari aku…. Aku tidak bisa melupakanmu ..
Tapi aku merasa kawatir, Karena aku tahu banyak gadis yang jauh lebih cantik
dari pada diriku menyukai dirimu." Habis berkata begitu Bidadari Angin
Timur tundukkan kepala menyembunyikan wajahnya yang kemerahan.
“Bidadari Angin Timur,
mendengar ucapanmu barusan apakah aku bisa mengatakan bahwa kau mencintai
diriku?" Murid Sinto Gendeng langsung bicara blak-blakan hingga kembali
wajah si gadis bersemu merah.
“Ada ujar-ujar mengatakan
begini," kata Bidadari Angin Timur pula.
Seorang gadis jika dia
mengatakan tidak berarti mungkin. Jika dia bilang mungkin bisa berarti ya.
Kalau dia mengatakan ya maka dia bukan seorang gadis lagi!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Sekarang aku ingin tahu. Kau ini termasuk gadis yang tidak, yang mungkin
atau si iya tadi?!"
Satu cubitan keras pada lengannya
membuat Wiro Sableng terpekik kesakitan.
"Bidadari Angin Timur
sebelum kita terus bicara soal hubungan kita dan tertawa ha-ha hi-hi di rimba
belantara ini, aku ingin kau menuturkan lebih dulu apa yang terjadi dengan
dirimu…."
"Baik, memang kupikir aku
harus memberi tahu padamu," jawab Bidadari Angin Timur pula. "Setelah
kita berpisah di telaga, aku berusaha menyirap kabar tentang dirimu Entah
mengapa aku selalu mengawatirkan keselamatanmu ini mungkin karena kau pernah
berkata bahwa ada tugas penting yang harus kau laksanakan. Dalam dunia
persilatan tersiar kabar tentang sebuah kitab sakti bernama Kitab Wasiat Iblis.
Aku menduga mungkin kau ikut-ikutan mencari kitab itu agar dapat menjadi tokoh
nomor satu dalam dunia persilatan. Aku mencarimu sampai di pantai selatan. Ada
yang melihatmu naik perahu menuju ke tengah laut. Aku semakin kawatir Pantai
selatan akhir-akhir ini tidak aman. Ada momok jahat di sana, dipanggil dengan
julukan Makhluk Pembawa Bala. Dia akan membunuh siapa saja yang lewat di kawasan
itu…."
"Aku memang telah bertemu
dengan dia. Makhluk keparat itu telah coba membunuhku beberapa kali!”
Terkejutlah Bidadari Angin Timur mendengar ucapan Wiro itu.
"Bagaimana
kejadiannya?"
"Sewaktu berada di atas
perahu, dia berusaha membunuhku secara membokong. Aku disepitkannya ke lantai
perahu yang mulai bocor. Aku tak bisa berteriak, tak bisa bergerak. Padahal
saat itu aku memang melihat kau berada di atas perahu, tak berapa jauh dari
perahuku. Sayang kau tidak melihat…."
Si gadis sampai menarik nafas
panjang saking tercekat mendengar keterangan Wiro.
"Belum lama ini dia
muncul kembali hendak membunuhku! Untung aku masih bisa selamat!"
“Kalau dia berniat membunuhmu,
pasti ada dendamnya terhadapmu Atau mungkin ada sesuatu yang diinginkannya
darimu…"
Murid Sinto Gendeng berpikir
sejenak. “Apakah akan kukatakan terus terang padanya…?”
"Eh kenapa kau
terdiam?" bertanya Bidadari Angin Timur.
“Makhluk Pembawa Bala memang
menginginkan sesuatu dariku.” kata Wiro akhirnya
“Apa? Senjata saktimu…?
Bukankah Kapak Maut Naga Geni 212 dan pasangannya batu hitam sakti milikmu
telah dicuri orang?!"
"Eh, bagaimana kau bisa
tahu hal itu?" tanya Wiro terkejut Lalu menatap tajam ke mata si gadis.
SEBELAS
BIDADARI Angin TImur memandang
ke langit. "Jika senjata hebat seperti senjata mustika milikmu lenyap
dicuri orang apa kau kira dunia persilatan tidak punya telinga menylrap dan
memperbincangkannya?!"
Wiro menarik nafas dalam.
"Ya. kapak dan batu sakti itu dicuri oleh dua manusia keparat yaitu Tiga
Bayangan Setan dan Elang Setan…."
"Manusia-manusia jahanam
itu! Aku akan membunuhnyal Mereka hampir mencelakai diriku!”
“Astaga! Aku baru ingat
kejadian di sumur tua di luar Kartosuro! Setelah dua senjataku mereka curi,
rupanya mereka juga hendak mencelakai dirimu. Apa yang terjadi? Bagaimana kau
bisa lolos dari tangan manusia-manusia jahanam itu?”
“Aku berpura-pura pingsan.
Waktu mereka lengah kuhantam keduanya lalu melarikan diri..” jawab si gadis.
"Semakin besar dendam
kesumatku pada dua manusia setan itu. Kau tahu kepada siapa senjata-senjata
saktiku mereka berikan?"
"Tak bisa kuduga…"
kata Bidadari Angin Timur pula."
“Mereka menyerahkan kapak dan
batu sakti itu pada Pangeran Matahari di puncak Gunung Merapi!"
"Astaga! Gila!" seru
Bidadari Angin Timur dengan mata terbelalak.
"Jangan-jangan mereka
adalah kaki tangan suruhan Pangeran Laknat itu!"
"Bukan hanya
jangan-jangan. Ada bukti yang engatakan mereka memang kaki tangan suruhan
Pangeran Matahari! Antara kita dan mereka sudah ada kaitan silang sengketa
dendam kesumat. Berarti kita berdua harus mencari dan membereskan mereka!”
"Aku ingin mengelupas
kulit mereka hidup–hidup!” kata Bidadari Angin Timur dengan nada geram.
"Kita akan menemukan
mereka. Pasti! Dunia ini terlalu sempit untuk bangsat durjana seperti mereka!”
Lalu Wiro bertanya. "Setelah kau tidak menemukan diriku di laut selatan,
apa yang kau lakukan? Aku terpaksa kembali ke pantai walau dengan selangit
perasaan kawatir. Selain Makhluk Pembawa Bala, pantai selatan juga berada di
bawah kekuasaan Ratu Duyung…."
"Justru orang-orang Ratu
Duyung yang menyelamatkan diriku dari tangan maut Makhluk Pembawa Bala…."
“Wajah Bidadari Angin Timur
menunjukkan keterkejutan "Kau.. orangorang Ratu Duyung menyelamatkan
dirimu?" Ketika Wiro mengangguk si gadis bertanya lagi. "Mereka
membawamu ke tempat kediaman Ratu Duyung? Kau bertemu dengan sang Ratu?"
Wiro mengangguk lagi.
"Berarti…, Apakah Ratu
Duyung memintamu melakukan sesuatu untuk memusnahkan kutukan atas dirinya dan
anak buahnya?
"Jadi kau tahu juga
cerita yang satu itu…" ujar Wiro. Dia hendak tersenyum namun urung sewaktu
dilihatnya paras gadis di sebelahnya berubah.
“Kau telah melakukan
hubungan….”
"Sampai saat ini aku
masih…."
"Sulit kupercaya. Jika
Ratu Duyung menginginkan seseorang untuk melakukan hal itu, orang itu tidak
mudah menampiknya."
"Tapi aku berhasil
menolak permintaannya ……
"Dan kau dibiarkannya
pergi hidup-hidup begitu saja?”
"Kalau aku dibunuhnya apa
kau kira aku bisa berada bersamamu saat ini?" ujar Wiro pula.
"Ah, aku tak tahu
bagaimana harus mengatakannya…."
"Jika ada hal yang tidak
kau senangi katakan saja, biar ada kejelasan.”
"Kalau kelak aku punya
suami aku ingin dia hanya milikku seorang sejak nikah sampai mati. Aku akan
memberikan sesuatu yang suci padanya dan aku harapkan dia juga masih
suci…"
Wiro terdiam mendengar
kata-kata Bidadari Angin Timur itu Si gadis memandang lekat-lekat padanya
seolah menyelidik. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala lalu tersenyum.
Sambil membelai rambut pirang si gadis dia berkata. "Kau akan mendapatkan
apa yang kau harapkan itu."
"Darimu?"
"Dariku!" jawab
Wiro. "Kau percaya?
Bidadari Angin Timur tersenyum
manis dan angkat bahunya Kalau begitu lanjutkan ceritamu yang tadi terpotong
"Lama aku menyirap kabar
mencari tahu di mana kau berada namun tak banyak yang kudapat. Hal itu membuat
aku berpikir mungkin sekali kau masih berada di kawasan laut selatan.
Kemungkinan telah dijadikan sandera oleh Ratu Duyung…."
"Orang sepertiku tidak
ada harganya dijadikan sandera. Untuk ditukar dengan apa … ?!” ujar Wiro pula
sambil terus membelai rambut si gadis.
“Akhir-akhir ini banyak
kejadian aneh dalam rimba persilatan. Beritaberita aneh juga bersimpang
siur…."
"Misalnya?” tanya
Pendekar 212 pula.
"Misalnya ya seperti
dicurinya dua senjata mustikamu itu. Lalu seorang nenek sakti yang selama ini
menghilang tahu-tahu muncul gentayangan kian kemari gara-gara saudara kembarnya
mati dibunuh orang….”
"Hemmm…. Maksudmu Iblis
Putih Ratu Pesolek?"
Jadi kau sudah tahu dan kenal
padanya?" balik bertanya Wiro Pendekar 212 gelengkan kepala berdusta
"Kau pernah cerita padaku
tentang seorang kakek sakti berjuluk Kakek Segala Tahu. Aku berusaha mencarinya
guna mendapatkan keterangan tentang di mana beradanya dirimu. Tapi mencari
orang tua itu sama saja sulitnya dengan mencarimu. Akhirnya aku tersesat
kembali ke sekitar Kotaraja. Pagi tadi waktu berada di kawasan hutan jati ini
tiba-tiba seseorang menyerangku secara pengecut. Ternyata dia seorang gadis
cantik berpakaian merah yang aku tidak pernah kenal sebelumnya. Aku coba
menanyakan mengapa tidak ada pangkal tidak ada sebab dia menyerangku. Gadis itu
tldak menjawab Sepertinya dia habis melakukan sesuatu dan kawatir ada orang
lain mengetahui, itu sebabnya dia berniat hendak membunuhku! Namun sekali ini dia
ketemu batu, Aku berhasil mendaratkan beberapa pukulan ke tubuhnya. Waktu dia
mulai terdesak, dari bungkusan yang dibawanya dia mengeluarkan sebuah benda.
Ternyata sebuah payung berwarna merah! Dengan payung di tangan dipergunakan
sebagai senjata aku dibuat tak berdaya. Serangan-serangan payungnya membuat
kepalaku pening. Akhirnya aku roboh Dalam keadaan setengah sadar gadis itu
mengikat kedua kakiku dengan seutas tali Lalu tubuhku digantungnya di cabang
pohon sana kaki ke atas kepala ke bawah Sewaktu dia melakukan perbuatan gila
itu dia tidak hentinya mengeluarkan tawa cekikikan. Mulutnya kudengar berucap.
Jangan mimpi
kau bakal mendapatkan pemuda
itu! Sampai matipun kau tak akan memilikinya! Aku telah meng-ikatnya dengan
hutang budi dan nyawa! Kau masih berusaha merampasnya dariku! Sekarang ini
hukuman bagimu! Kematian!
Apa yang terjadi selanjutnya
kau tahu sendiri. Kalau kau datang terlambat mungkin aku sudah jadi mayat dan
masih tergantung di pohon sana! Sesaat sebelum dia mengikatku, aku masih sanggup
mengumpulkan tenaga dan menggigit bahunya. Tapi luput Aku hanya sempat
menggigit robek pakaian merahnya… Itu sebabnya ketika kau menemui dan
menolongku, cabikan pakaian merahnya masih ada dalam gigitanku!”
Wiro memeluk Bidadari Angin
Timur erat-erat. Wajahnya mengarah ke depan seolah memandang sesuatu di
kejauhan.
"Kau seperti memikirkan
sesuatu kata Bidadari Angin Timur sambil memegang jari-jari tangan Wiro dan
menciumnya dengan mesra. "Tuhan Maha Besar. Masih mempertemukan kita.
Ceritamu kurasa ada sanakut pautnya dengan apa yang kualami malam tadi di bukit
sana. Seorang tua mati dibunuh secara keji di sebuah rumah kayu di bukit
itu…."Siapa?"
"Raja Obat Delapan
Penjuru Angin…."
"Astaga! Mana mungkin!
Bukankah orang itu kabarnya tinggal di satu pulau terpencil di kawasan laut
selatan?"
"Betul. Panjang ceritanya
bagaimana dia kemudian meninggalkan pulau itu. Yang jelas aku yakin pembunuh
Raja Obat adalah sama dengan gadis yang menggantungmu. Namanya Andini. Bergelar
Dewi Payung Tujuh. Seorang gadis sakti berasal dari Pulau Andalas!”
Bidadari Angin Timur lepaskan
dirinya dari pelukan Wiro. "Jadi kau kenal gadis pembunuh itu?!"
Pendekar 212 anggukkan kepala.
"Dia pernah menolongku menyelamatkan jiwaku sewaktu hampir mati akibat
keroyokan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan …. "
Si gadis seperti tersentak dan
berdiri tegak. Dua matanya memandang tajam seolah hendak menembus batok kepala
Pendekar 212. "Berarti dirimulah yang dimaksudkannya dengan
ucapan-ucapannya waktu menggantung diriku. Berarti hubungan kalian berdua sudah
sangat jauh. Dia mencintaimu, tak ingin kehilanganmu, tak ingin aku mengambil
dirimu Itu sebabnya dia hendak membunuhku secara keji…"
Wiro ikut-ikutan berdiri.
" Segala hutang budi dan nyawa Itu tidak aku pikirkan lagi saat aku mengetahui
dia telah membunuh Raja Obat Apa lagi sekarang aku ketahui bahwa dia juga
hendak membunuhmu! Dia telah menentukan kematiannya sendiri!" Wiro angkat
kedua tangannya Dengan tanganku sendiri aku akan menghabisi gadis keparat
ltu…."
Wajah Bidadari Angin Timur
tiba-tiba saja menjadi sayu redup. Setengah terpejam dia menggelengkan kepala
"Dugaanku tidak meleset. Banyak gadis cantik berkepandaian tinggi
mencintaimu dan ingin memiliki dirimu. Satu diantaranya yang bernama Andini
itu. Diriku yang malang mungkin cuma akan bermimpi seumur hidup Jangan kau
bunuh gadis itu. Dia mencintai dirimu. Aku….!” Si gadis tekap wajahnya dengan
kedua tangan, berusaha menahan tangis.
Bidadari Angin Timur. “Aku
bersumpah hanya kau satu-satunya gadis yang aku cintai.." Wiro ulurkan
tangan hendak memeluk tapi si gadis cepat bersurut mundur.
“Jangan sentuh diriku Wiro.
Aku akan pergi dan jangan coba mencari…”
Apa maksudmu?! Kau…."
Wiro terkejut mendengar kata-kata itu.
"Kalau kita memang
berjodoh, kita pasti bertemu. Tapi dengan satu syarat Wiro…."
“Apa?! Katakan!"
“Kau harus membunuh gadis
bernama Andini bergelar Dewi Payung Tujuh ltu!"
"Aku bersumpah akan
melakukannya! Tapi selama aku belum melakukan dan kau tidak memperbolehkan aku
menemuimu… Itu satu hal yang aku tidak sanggup Aku aku benar-benar
mencintaimu…."
Bidadari Angin Timur
tersenyum. “Sudah berapa kali kata-kata seperti itu kau ucapkan pada gadis lain
Pada gadis keparat itu.. Pada Ratu Duyung mungkin … ?!"
Wajah Pendekar 212 Wiro
Sableng menjadi merah.
"Jangan berkata seperti
itu Bidadari Angin Timur Aku sadar aku bukan pemuda baik-baik. Tapi menyangkut
soal yang satu itu tidak berdusta. Hanya kau yang ada dalam hatiku…."
“Baik.." kata Bidadari
Angin Timur sambil tersenyum. "Tetapi kau harus membuktikan lebih dulu.
Membunuh gadis itu!"
“Aku akan lakukan!” jawab Wiro
dengan suara keras bergetar.
"Sebelum kita berpisah
ada satu hal yang ingin aku tanyakan Dan kau harus menjawab dengan jujur!"
"Apa yang ingin kau
ketahui ?tanya Pendekar 212.
“Menurutmu Raja Obat dibunuh
di sebuah rumah di satu bukit malam tadi…”
Setelah dia dijebak melakukan
perbuatan mesum!"
"Aku tidak tanyakan hal
yang satu itu! Yang aku ingin tahu mengapa gadis itu membunuhnya?!"
"Andini memerlukan
beberapa keterangan," jawab Wiro.
"Keterangan apa?"
tanya si gadis lagi. "Mengenai Kitab Putih Wasiat Dewa…."
"Ada apa dengan kitab
itu? Si gadis mengejar terus dengan pertanyaan gencar.
"Dia ingin tahu di mana
kitab itu beradanya. Di luar sadar Raja Obat memberitahu kitab itu ada padaku….
Betul begitu?!"
Murid Sinto Gendeng gelengkan
kepala. Bidadari Angin Timur tersenyum. Kau berdusta padaku Wiro. Aku tahu
kitab itu memang ada padamu… Paras murid Sinto Gendeng jadi berobah pucat.
"Dengar Wiro. Syarat
percintaan kita sekarang bertambah satu. Pertama aku harus bunuh Andini. Kedua
kalau kau memang mencintai diriku, aku ingin kau menyerahkan Kitab Putih Wasiat
Dewa padaku…." Habis berkata begitu si gadis balikkan tubuhnya dan
berkelebat pergi.
"Bidadari Angin Timur!
Jangan pergi! Tunggu!" teriak Wiro. Sambil berusaha mengejar dia buka baju
hitamnya di balik mana dia menyimpan Kitab Putih Wasiat Dewa “Bidadari Angin
Timur! Tunggu" Demi cintaku aku akan berikan apa yang kau minta! Bidadari
Angin Timur!" Wiro keluarkan kitab sakti terbuat dari daun lontar itu dari
balik pakaiannya dan terus mengejar ke arah lenyapnya si gadis. Di cabang
sebatang pohon besar seorang tua renta berkata pada teman di sampingnya.
"Anak setan itu! Cinta membuat dia jadi buta dan mata sampai ke pantat!
Lekas kenakan penyamaranmu! Kita harus segera merampas Kitab Putih Wasiat Dewa
sebelum diserahkannya bulat-bulat pada gadis itu!"
Sang teman di sebelahnya
menyeringai dan menjawab. "Jangan keliwat keras memakil Di masa muda
kitapun mengalami hal seperti itu … !"
“Sialan! Kau juga anak setan
rupanya!"
Yang didamprat tertawa
terbatuk-batuk.
“Sudah! Jangan tertawa saja!
Lekas serahkan wewangian itu padaku! Aku kawatir dia mengenali diriku dari bau
badanku!"
"Hik… hik… hik!"
Sang teman tertawa lalu keluarkan sebuah tabung kecil terbuat dari bambu berisi
minyak wangi. Begitu menerima penutup tabung segera dibuka. Minyak wangi yang
ada di dalam tabung langsung diguyurkan ke tubuhnya!
“Ini ambil kembali
tabungmu!"
Ketika menerima tabung
bambunya kembali, yang empunya segera memeriksa. Wajahnya langsung cemberut.
Sial! Kau habiskan semua minyak wangiku!" Orang ini memaki dan
mencampakkan tabung bambu itu ke tanah.
"Ala…! Minyak wangi butut
saja sampai marah begitu! Nanti aku ganti dengan sebakul tahi kerbau! Hik… hik…
hik!"
Tabung bambu kecil yang
dilemparkan dari atas pohon ternyata bukan hanya lemparan biasa. Benda itu
melayang ke arah Pendekar 212 yang berlari mengejar Bidadari Angin Timur sambil
memanggil-manggil.
DUA BELAS
TABUNG bambu kecil bekas
tempat minyak wangi yang besarnya hanya sejari kelingking Itu melayang jatuh
mengenai pinggang sebelah belakang Pendekar 212 Saat itu juga Wiro merasa
sekujur tubuhnya sebelah bawah terutama kedua kakinya menjadi !emas. Dia tak
mampu berlari se-cepat sebelumnya Terseok-seok pemuda ini akhirnya hentikan
larinya dan tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi perutnya yang entah apa
sebabnya tiba-tiba saja menjadi mulas. Lalu "brutt… buttt… buttt!"
Angin keras berulang kali
keluar dari tubuhnya sebelah bawah.
"Setan alas" Apa
yang terjadi dengan diriku?!walau mengeluh Wiro masih bisa memaki. Dia ingat
ada sesuatu barusan jatuh mengenai pinggangnya. Mungkin benda itu penyebabnya
Wiro memperhatikan tanah sekitarnya. Matanya membentur tabung bambu kecil itu.
Ketika dia melangkah menghampiri untuk mengambil pada saat itulah dari atas
sebuah pohon besar melayang turun dua makhluk yang membuat murid Sinto Gendeng
jadi tercekat.
"Makhluk-makhluk apa ini?
Dibilang pocong bukan! Dibilang hantu mengapa berbentuk aneh begini rupa?!"
Di hadapan Wiro saat itu
berdiri dua sosok tubuh berselubung kain putih. Di sebelah bawah kain putih
menjulai tidak beda seperti jubah. Sebaliknya di bagian atas yaitu di kepala.
kain itu diikat demikian rupa seperti lkatan jenazah. Dari keseluruhan makhluk-makhluk
ini hanya sepasang mata mereka saja yang kelihatan karena ada dua lobang kecil
yang sengaja dibuat di bagian kepala.
"Kalian siapa?!"
bentak Wiro
Dua makhluk menjawab dengan
tawa cekikikan.
Sialan!" maki murid Sinto
Gendeng Cuping hidungnya kembang kempis. Dia mencium bau harum dari sosok
makhluk di sebelah kanan “Kalian bukan setan bukan pula hantu kesiangan!"
“Juga bukan dedemit
kesasar!" menyahuti makhluk di sebelah kiri. Lalu bersama temannya dia
kembali tertawa ha-ha hi-hi!”
"Kalau kalian memang
masih bisa disebut manusia tentunya punya niat jahat! Hanya orang-orang berhati
busuk yang Sengaja menutupi tubuh menyembunyikan wajah!"
"Hik… hik! Wajah kami
memang jelek Apa lagi kalau dibanding dengan si baju biru tadi! Jadi pantas
saja kalau kami menutup wajah! Bukan begitu Sobatku?!"
“Betul! Hik… hik… hik!"
Makhluk satunya menjawab sambil tertawa pula cekikikan. Lalu dia menyambung.
Bagus juga sandiwara pendek yang tadi kita lihat! Hik… hik!" Anak muda kau
ada bakal Jadi pemain ludruk! Hik…hik… hik!"
"Edan! Apa
maksudmu?!" bentak Pendekar 212
"Tadi kami melihat kau
dan gadis itu bercumbu mesra. Lalu sepertinya ada yang kurang beres. Gadismu
mengajuk akhirnya lari. Kau mengejar sambil memanggil-manggil….,”
"Iya.. mengejar setengah
menangis. Mengeluarkan benda itu dan mau diberikan gadIsnya untuk membujuk!
Hik… hik… hik!"
Paras Wiro menjadi merah
gelap. Dia ingat saat itu dia masih memegang Kitab Putih Wasiat Dewa.
Cepat-cepat kitab sakti ini dimasukkannya ke balik baju hitamnya.
Urusanku dengan gadis itu
perlu apa kalian ikut campu?!" bentak Wiro.
"Walah!" Makhluk
berselubung kain putih di sebelah kanan berucap setengah berseru. Siapa bilang
kami mau ikut campur urusan begituan!"
Kami cuma bilang tadi telah
menyaksikan satu sandiwara pendek! Tidak lebih tidak kurang! Bukan begitu
kawanku?!" Makhluk di sebelah kiri menggoyangkan kepalanya lalu mengiyakan
dan tertawa panjang.
“Hemm. . Kalian menyembunyikan
sosok tubuh dan wajah dibalik kain. Aku juga tahu kalian bicara dengan suara-suara
dipalsukan! Jangan-jangan aku mengenaI kalian!"
Dua makhluk berselubung kain
putih kembali tertawa ha-ha hi-hi membuat Pendekar 212 menjadi jengkel.
"Jangan membuat aku
kehilangan kesabaran! Aku ada urusan yang lebih penting dari pada melayani kalian
makhluk-makhluk sial kesasar!"
"Ah, kami juga tahu apa
urusan pentingmu itu. Tak lain mengejar gadis cantik tadi. Eh, apa kau memang
betulan mencintainya….? Hik-hik!"
"Jahanam!" hardik
Wiro. “Menyingkir dari hadapanku!"
"Kalau kami tidak mau
menyingkir lalu bagaimana?!" Makhluk yang sebelah kanan bertanya seperti
sengaja menantang.
"Tubuh kalian berdua akan
kubuat cerai-berai!" jawab Wiro seraya siapkan pukulan Sinar Matahari.
Salah satu dari kalian tadi melempar aku dengan potongan bambu itu! Jelas
kalian punya niat jahat!"
"Ah. orang-orang seperti
kami ini selalu ketiban tuduhan jelek. Tidak seperti gadis cantik tadi.
Menerima cinta mesra tapi pakai syarat segala! Hik… hik… hik!”
Untuk kesekian kalinya wajah
murid Sinto Gendeng menjadi merah padam. Kesabarannya hilang. Lagi pula dia
menaruh curiga besar dua makhluk yang bersembunyi di balik selubung kain putih
itu punya niat hendak merampas Kitab Putih Wasiat Dewa dari tangannya.
"Tidak perduli siapapun
mereka harus kuhabisi saat ini juga!" kata Wiro. Niatnya semula hendak
menghantam dua orang itu dengan pukulan Sinar Matahari dibatalkan. "Ini
saat terbaik aku menjajal kehebatan Pukulan Harimau Dewa. Dua musuh ada di
depan Berarti aku harus menghantam dengan jurus kedua: Tangan Dewa Menghantam
Batu Karang!"
Berpikir sampai di situ
Pendekar 212 segera dekatkan tangan kanannya ke mulut. Ketika dia siap untuk
meniup, makhluk di sebelah kanan berseru. "Tunggu!"
"Bangsat! Apa
maumu?!" bentak Wiro.
"Jika kami berdua
menyingkapkan kain putih ini dan memperlihatkan siapa kami sebenarnya, apakah
kau mau menganggap urusan yang tidak anak ini selesai sampai di sini?!"
Hemmm.." Wiro bergumam
lalu berkata dalam hati. "Kalian kira bisa menipuku? Walau aku sudah
melihat tampang kalian tetap saja aku akan menghajar kalian sampai modar!"
Lalu pada orang yang barusan bicara Wiro berkata. "Baik, silakan saja
memperlihatkan diri. Mudah-mudah tampang kalian tidak jelek-jelek amat!"
Dua orang berselubung kain
putih tertawa cekikikan. Keduanya membungkuk untuk menarik ke atas bagian
terbawah kain putih masingmasing. Begitu bagian kaki tersingkap pada saat itu
pula terdengar dua letupan halus.
"Setan alas! Kalian
mengerjai diriku!" teriak Wiro marah ketika dia melihat ada kepulan asap
kelabu mencuat keluar dari balik kain putih yang menyelubungi dua orang tak
dikenal itu. Wiro cepat melompat mundur sambil meniup tangan kanannya Tapi
perbuatannya ini membuat dia lalai untuk menutup jalan nafas. Begitu hawa aneh
yang membersit dari kepulan asap kelabu menyentuh hidungnya tak ampun lagi
murid Sinto Gendeng ini terhuyung jatuh dan terkapar di tanah!
"Tidak susah memperdayai
anak tolol ini" kata orang berselubung di sebelah kanan. Bersama temannya
dia tidak terlihat lagi karena tertutup oleh kepulan asap kelabu yang semakin
lama semakin melebar menyungkup tempat itu Tak selang berapa lama terdengar
salah satu dari mereka berkata.
"Aku mendengar ada yang
datang. Lekas kita pergi… !"
“Hemmm…. Aku sudah bisa
menduga siapa yang akan muncul di sini! Bagaimana kalau kita berikan sedikit
pelajaran padanya?!" sang teman bertanya.
“Buat apa membuang waktu
percuma. Teman-teman sudah menunggu kita. Persiapan untuk hari sepuluh bulan
sepuluh harus segera dirampungkan . . . . ”
"Baik, aku mengikut saja!
Ayo kita pergi!"
TIGA BELAS
GADIS berpakain biru tipis itu
lari terus sampai di satu tempat dia menyadari bahwa si pemuda tidak ada lagi
di belakangnya. "Janganjangan dia kesal dan tak mau mengejar aku
lagi." membatin Bidadari Angin Timur. Ah. mengapa aku tadi tega memperlakukannya
seperti itu? Padahal tadi jelas kudengar dia bersedia menyerahkan kitab yang
aku minta."
Gadis ini merenung sejenak.
"Sebaiknya aku kembali menemuinya agar urusan ini bisa selesai." Lalu
dibalikkannya tubuhnya dan kembali ke arah mana tadi dia datang. Sewaktu
Bidadari Angin Timur sampai di tempat dia meninggalkan Wiro didapatinya pemuda
itu tergeletak di tanah.
"Celaka! Apa yang
terjadi? Jangan-jangan ada orang jahat menciderainya. Aku mencium bau aneh di
tempat ini. Semacam hawa beracun yang membuat orang pingsan tak sadarkan
diri…."
Si gadis cepat membungkuk di
samping tubuh Wiro. Dia memeriksa. Tangan kanannya meraba ke dada. Saat itulah
Pendekar 212 siuman dari pingsannya. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu
bergerak duduk.
"Bidadari Angin
Timur…" desis Pendekar 212 begitu pandangannya membentur si gadis. Kau
kembali….? Tak jadi pergi meninggalkan aku?"
Si gadis tersenyum lalu
gelengkan kepala. Kedua orang ini langsung saja saling berpelukan. "Apa
yang terjadi kekasihku…?” bisik Bidadari Angin Timur. Ucapan itu terdengar
seperti bebunyian yang datang dari sorga di telinga murid Sinto Gendeng.
Sambil terus mendekap si gadis
Wiro menerangkan. "Tak lama setelah kau pergi ada dua orang melompat dan
atas pohon. Mereka sengaja meng-hadangku”
“Siapa mereka?!"
"Tidak bisa kuduga Mereka
menyelubungi sekujur badan sampai ke kepala dengan kain putih…."
"Hemmm…. jelas mereka mempunyai maksud jahat!"
"Betul! kata Wiro pula.
“Mereka pasti kabur melarikan diri ketika kau datang ke sini." Wiro
tiba-tiba ingat pada Kitab Putih Wasiat Dewa dan cepat meraba dadanya.
“Ada apa?" tanya Bidadari
Angin Timur. "Dadamu terkena pukulan?! Mari kuperiksa…!"
Wiro gelengkan kepala dan
menarik nafas lega. Ternyata kitab sakti itu masih ada di balik baju hitamnya.
Dia tanggalkan kancing pakaiannya lalu keluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa.
“Kau menginginkan kitab ini,
bukan? Ambillah."
Wiro mengangsurkan kitab sakti
itu pada si gadis. Bidadari Angin Timur tidak segera mengambilnya.
“Eh. apa yang ada dalam
pikiranmu. Bukankah sebelumnya kau inginkan kitab ini? Sebagai salah satu dari
dua syarat yang mernbuktikan bahwa aku mencintaimu?"
Si gadis tertawa lebar.
Barisan giginya kelihatan rata bagus dan bercahaya. Pendekar 212 tak dapat
menahan hatinya lagi Segera saja bibir yang merah menawan ltu dikecupnya dengan
bernafsu. Bidadari Angin Timur membalas kecupan tak kalah bergairah hingga
sepasang muda mudi ini tersendat-sendat nafas masing-masing.
"Sebenarnya tadi aku
hanya bergurau tentang kitab ini," kata Bidadari Angin Timur.
"Bergurau
bagaimana?"
"Aku tidak sungguhan
mengatakan ini sebagai syarat. Tapi untuk kematian gadis bernama Andini itu aku
tidak main-main Wiro….”
"Hemm…. Jadi kau tidak
mau menerima kitab ini?"
“Bukan begitu …”
"Dengar, aku telah
menghabiskan waktu panjang dan menyabung nyawa untuk mendapatkan kitab ini. Aku
telah membaca seluruh isinya. Jika kau memang menginginkan aku menyerahkan
dengan ikhlas..”
"Kau sungguhan?”
"Ya, sungguhan!"
"Tidak menganggap aku
macam-macam?”
"Aku mencintaimu
Jangankan kitab ini. Nyawakupun kalau kau minta aku berikan…!"
"Aku terharu mendengar
kata-katamu itu,” kata si gadis pula lalu kembali memeluk Pendekar 212
erat-erat dan menciumi wajahnya. "Aku bahagia aku tidak salah mencintai
dirimu …. "
Lalu Bidadari Angin Timur mengambil
Kitab Putih Wasiat Dewa yang diserahkan Wiro kepadanya. Kitab sakti ini
diletakkannya di pangkuannya. Jari-jari tangannya kemudian bergerak ke dada
Wiro. Si pemuda mengira gadis itu hendak mengancingkan kembali bajunya. Tapi
ternyata malah membuka kancing-kancing yang lain. Ketika baju itu hendak
ditanggalkannya Wiro memegang lengaH si gadis dan bertanya.
"Ada apa Bidadari…?
"Kau menyerahkan kitab
ini padaku padahal kitab ini tidak mudah kau dapat. Kau bahkan rela menyerahkan
nyawa jika aku minta. Wiro…. Aku merasa bukan manusia yang punya perasaan kalau
semua pengorbananmu itu tidak aku balas…"
"Maksudmu?"
"Aku akan menyerahkan
tubuh dan kehormatanku padamu. Untukmu seorang…."
Darah Pendekar 212 menjadi
panas dan sekujur tubuhnya bergetar mendengar ucapan itu. Dia ingat kejadian di
telaga dulu. Sebenarnya pada saat itupun agaknya Bidadari Angin Timur ikhlas
menyerahkan tubuhnya namun Wiro tidak sampai lupa daratan. Kini malah si gadis
mengatakan secara terbuka dan berani.
"Jangan jangan kau hendak
menguji diriku.." bisik Wiro sambil menyelipkan tangannya ke bawah rambut
di kuduk si gadis.
"Kekasihku, tidak ada uji
menguji saat ini. Aku rela menyerahkan diriku. Kalau kau tidak percaya lihat..!
"
Tangan kanan Bidadari Angin
Timur bergerak. Lalu "brett! Breettt! Dia merobek pakaiannya sendiri
hingga dadanya yang putih kencang terpentang menantang.
Murid Sinto Gendeng seperti
kesilauan melihat sepasanq payudara yang begitu bagus. Yang agaknya belum
pernah tersentuh tangan lelaki Wiro gerakkan kedua tangannya ke dada. Bidadari
Angin Timur pejamkan kedua matanya. Namun dia tidak merasakan sentuhan apalagi
remasan Dua tangan Wiro menarik dan merapatkan dada pakaiannya yang robek. Si
gadis seperti tersentak dari buka kedua matanya.Ada apa Wiro? Kau tiba-tiba
benci padaku? Mungkin menganggapku sebagai gadis murahan…?" Wiro
menggeleng.
Dengar kekasihku, tak pernah
ada tangan lelaki yang menyentuh tubuhku sebelumnya. Aku ingin hanya kau yang
melakukannya …. "
Wiro kembali menggeleng. Lalu
berkata. Saat untuk sampai ke situ akan datang juga. Yang aku inginkan saat ini
adalah kita bersama-sama mengadakan perjalanan mencari gadis bernama Andini
itu. Setelah itu kau akan kuajak ke Gunung Gede…"
"Gunung Gede? Jauh amat?
Buat apa kesana segala?" tanya Bidadari Angin Timur
Itu tempat kediaman guruku.
Aku akan memberitahu dan minta izin pada beliau sebelum kita melangsungkan
pernikahan."
"Wiro!" Bidadari
Angin Timur terpekik. “Kau tidak main-main!"
Siapa berani main-main dengan
gadis secantikmu ini?!"
Sang dara tertawa panjang.
Lalu berbisik. “Tak jauh dari sini ada satu anak sungai berair jernih. Agak ke
timur ada sebuah air terjun kecil. Tempatnya rindang dan sejuk Aku ingin mandi
di sana. Kau mau menemani?"
"Tentu saja!" jawab
Wiro lalu keduanya sama-sama bangkit berdiri.
Ternyata memang besar tak jauh
dari situ ada sebuah anak sungai. Mereka menyusuri sungai kecil ini ke arah
tImur. Sayup-sayup terdengar suara curahan air diselingi suara kicau
burung-burung.
“Luar biasa indahnya!"
kata Wiro ketika dia sampai di tebing sungai yang ketinggian dan melihat sebuan
air terjun kecil di bawah sana. Dia berpaling pada Bidadari Angin Timur yang
tegak di sampingnya Sambil memeluk pinggang gadis ini dia berkata. "Kau
tadi bilang ingin mandi. Nah pergilah mandi. Aku akan menunggu dan berjaga-jaga
di sebelah sana. Di atas batu besar itu.!"
"Kau tidak ikut
mandi?" tanya si gadis.
Maunya ya mau. Tapi aku
kawatir lupa diri dan melanggar sendiri apa yang aku katakan tadi!"
Bidadari Angin Timur
berjingkat lalu mencium leher pemuda itu. "Baiklah, aku akan turun ke air
terjun sana. Kau boleh melihat aku mandi sepuasmu dengan matamu yang nakal!
Tolong kau pegangkan pakaianku!"
Tanpa malu-malu Bidadari Angin
Timur tanggalkan baju birunya Lalu sambil tertawa panjang dia berlari menuruni
tebing sungai kecil. Sesaat kemudian dia sudah ada di bawah air mancur,
melambai-kan tangan pada Wiro.
Pendekar212 balas melambai Dia
melangkah ke batu besar pada saat Bidadari Angin Timur masuk ke bawah air
terjun dan tubuhnya yang bagus dibasahi oleh air jernih dan sejuk. Di atas batu
besar Wiro melihat pakaian biru Bidadari Angin Timur lalu duduk dan memandang
ke arah air terjun kecil. Dia tidak melihat si gadis.
"Eh, ke mana gadis
itu?" tanya Wiro dalam hati. Dia memperhatikan terus dan menunggu.
Kalaupun dia mandi di belakang air terjun pasti masih bisa terlihat. Air terjun
itu tidak seberapa besar. Dari sini saja aku bisa melihat bebatuan di sebelah
belakangnya. “Hemm… Pasti dia hendak berbuat nakal. Bersembunyi memperdayaiku
…!" Wiro tersenyum. Namun setelah agak lama menunggu dan Bidadari Angin
Timur tidak juga kelihatan Wiro segera berdiri. Dia memandang berkeliling.
Kembali arahkan matanya ke air terjun lalu berseru.
"Bidadari! Di mana kau?!”
Tak ada jawaban. Wiro berseru
lagi lebih keras. Tetap tak ada jawaban. Sosok si gadis tetap tidak kelihatan
Dengan melompat dari satu batu ke batu lain yang ada di tengah sungai kecil itu
Wiro akhirnya sampai di depan air terjun.
"Bidadari Angin
Timur…?!" Dia memanggil Ketika tidak didapat jawaban dia menyelinap ke
bawah air terjun. Di balik air terjun ternyata ada sebuah telah. Kekasihku! Kau
hendak mempermainkan aku? Awas jika kudapat akan kucium kau
habis-habisan!" seru Wiro Dia melompat memasuki celah batu.
Di balik celah yang seperti pintu
itu dia menemukan satu jurang tertutup kerimbunan tanaman liar serta bebatuan
Dalam keadaan basah kuyup dia memandang berkeliling.
“Bidadari!” Wiro berteriak
sekuat yang bisa dilakukannya. Suara teriakannya menggema di dalam jurang lalu
sirna "Apa yang terjadi? Apa sebenarnya yang lengah dilakukan gadis itu?!
Tak mungkin dia bergurau…!" Wiro pandangi pakaian biru basah milik si
gadis yang ada dalam pegangannya. Dia ingat. Waktu gadis itu melangkah pergi
menuju air terjun aku tidak melihat dia memegang kitab itu. Tentunya kitab itu
ada dalam pakaian ini! Tapi rasa-rasanya tadi aku tidak melihat dan dia tidak
menyerahkan kitab itu!"
Wiro buka lipatan pakaian biru
milik Bidadari Angin Timur. Pakaian yang basah ltu dikembang kannya. Seolah ada
yang menyambar sekujur tubuhnya ketika dia memang tidak menemukan Kitab Putih
Wasiat Dewa! Selagi dia terkesiap seperti itu tiba-tiba di kejauhan terdengar
suara tawa perempuan. Pendekar 212…. Jika kau masih mencintai diriku kau boleh
meniduri pakaianku! Hik… hik… hik! “
“Bidadari Angin Timur!"
teriak Wiro.
Suara tawa lenyap di kejauhan.
"Jahanam" hanya
makian itu yang bisa dikeluarkan oleh Pendekar 212. Tubuhnya terasa gontai. Dia
terduduk lemas di atas sebuah batu. Pakaian biru basah dibantingkannya ke tanah
Dua tangannya dikepalkan. Murid Sinto Gendeng sadar kalau orang telah mempunyai
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kitab Putih Wasiat Dewa amblas
dilarikan gadis jahanam itu! Dunia persilatan akan ditimpa malapetaka hebat!
Bagaimana aku harus mempertanggungkan hal ini pada guru dan para tokoh silat
lainnya?! Tololnya diriku! Wiro memukul keningnya sendiri berulang kali. Dia
ingat pada kemampuannya melihat jauh. Segera dia kerahkan ilmu Menembus
Pandang" Namun tak ada gunanya Orang yang hendak dijejaki sudah berada
terlalu jauh dan kawasan itu penuh dengan jurang serta tebing dan dinding batu
tebal.
SOSOK tubuh tinggi kekar yang
duduk di atas kursi dalam bayangbayang kegelapan itu memalingkan kepalanya ke
arah pintu. Cangkir tanah berisi minuman keras di tangan kanannya diangkatnya
ke bibir lalu isinya diteguk sampai habis. Mukanya yang berdagu kokoh serta
merta menjadi kemerahan. Sepasang matanya berputar liar Sesaat kemudian
telinganya mendengar suara langkah-langkah halus. Dia berpaling ke pintu dan
berkata.
"Aku sudah punya firasat
kau akan datang saat ini! Pintu tidak dikunci! Masuklah!"
Pintu besar yang terbuat dari
kayu jati itu bergeser ke samping_ Sinar terang merambas masuk ke dalam
ruangan. Dari tempatnya berdiri orang yang duduk di atas kursi melihat seorang
gadis berpakaian merah tipis tegak di ambang pintu yang terang hingga auratnya
terlihat kentara sekali seolah tidak mengenakan apa-apa. Rambutnya yang panjang
pirang melambailambai ditiup angin yang berhembus dari arah selatan puncak
Gunung Merapi.
"Pangeran! Aku berhasil
mendapatkan kitab itu!" Gadis di ambang pintu berucap
Pangeran Matahari, orang yang
duduk di atas kursi seperti hendak melonjak saking girangnya mendengar
kata-kata ltu Tapi kecongkakan yang mendarah daging di dalam dirinya hanya
membuat dia memberi tanggapan biasa-biasa saja Dengan sedikit memuji dia
berkata. Bagus! Kekasihku, kau memang hebat! Kau memang pantas menjadi Ratu
pendampingku dalam merajai dunia persilatan. Melangkahlah ke hadapanku dan
perlihatkan kitab itu…."
Si gadis melangkah ke hadapan
Pangeran Matahari. "Mana kitabnya?"
"Di balik pakaian
merahku. Silahkan Pangeran membuka dan mengambilnya sendiri," jawab si
gadis
Dua tangan Pangeran Matahari
melesat ke depan. Bukan membuka kancing pakaian dan menanggalkan ikat pinggang
yang melilit di pinggang si gadis secara wajar, tapi dua tangan itu merobek
kian kemari. Hingga dalam waktu singkat pakaian merah yang tadi melekat di
tubuh si gadis kini terkapar di lantai dalam keadaan cabik-cabik tak karuan.
Di bawah sepasang payudara
yang putih membusung di situlah terikat sebuah kitab. Kali ini Pangeran
Matahari berlaku lebih lambat Tali pengikat kitab sakti itu dibukanya dengan
hati-hati dengan tangan kanan. Tangan kirinya menyambut kitab yang kemudian
terlepas Jatuh dari tubuh si gadis.
"Kitab Putih Wasiat
Dewa!" Pangeran Matahari membaca tulisan besar dalam aksara dewa Kuna yang
terpampang di sampul kitab. –Luar biasa! Benar-benar luar biasa! Aku akan
menjadi raja di raja dunia persilatan! Kitab Wasiat Iblis ada di tangankul
Ditambah dengan Kitab Putih Wasiat Dewa! Siapa mampu menundukkan diriku! Ha…
ha… ha!"
Pangeran Matahari menyeringai
memandangi gadis yang tegak di depannya. " Kekasihku sebelum kau duduk
kepangakuanku. sebelum kau kubawa ke dalam kamar tolong kau nyalakan empat
lampu besar dalam ruangan ini!"
Gadis yang disuruh segera
menyalakan empat Lampu minyak yang ada di dalam ruangan itu hingga keadaannya
kini menjadi terang-benderang. Pangeran Matahari tidak perdulikan tubuh polos
yang bagus itu sepasang matanya memperhatikan Kitab Putih Wasiat Dewa yang ada
dalam pegangan tangannya yang gemetar. Sampul kitab dibukanya. Halaman pertama
terpentang. Kosong!
Hemmm… " Walau mereka
agak heran sang Pangeran membalik membuka halaman kedua. Kosong! Eh, bagaimana ini?!"
Pangeran Matahari memandang melotot pada gadis di depannya. Si gadis melangkah
mendekat Pangeran Matahari kembali membalik halaman berikutnya. Berikutnya dan
seterusnya! Semua halaman yang ada hanya merupakan halaman putih kosong, tidak
ada apa-apanya!
"Jahanam! Palsu! Kitab
ini palsu! Lihat! Tak ada isinya! Semua halaman kosong!"
Saking marahnya Pangeran
Matahari bantingkan kitab yang terbuat dari daun lontar itu hingga salah satu
ujungnya menancap di lantai batu!
TAMAT