Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
082 Dewi Ular
Bagian 1
PEREMPUAN berambut merah
acak-acakan bertubuh gemuk yang duduk terkantuk-kantuk di depan goa batu
perlahan-lahan buka kedua matanya.
Bagaimanapun dia membesarkan,
tetap saja kedua mata itu sipit hampir merupakan dua garis melintang di
wajahnya yang gembrot. Pakaian yang melekat di tubuhnya jelas aneh karena
terbuat dari susunan daun lontar berbentuk jubah. Dia sibakkan rambut yang
menutupi telinga kirinya.
Ternyata telinga ini diganduli
sebuah anting besar. Sesaat tampak daun telinga itu bergerak-gerak dan anting
yang mencantel di situ ikut bergoyang-goyang.
Kalau tadi si gemuk ini hanya
duduk menjelepok di dekat pintu goa, kini dia bangkit mencangkung. Tangan kiri
dimelintangkan di atas kening. Sepasang matanya yang sipit memandang tajam ke
depan. “Ujudnya belum kelihatan tapi suaranya sudah masuk ke telingaku. Untung
aku belum tuli. Hik…hik…hik! Suara apa itu?!” perempuan gemuk itu menduga-duga.
Dia menghirup udara di jurang
dalam-dalam. “Hemmm…. bau itu…! Aku kenal betul bau itu! Rupanya si keparat itu
sudah berhasil! Dia hendak menggasakku dengan binatang-binatang peliharaannya
itu!
Dikiranya aku tidak siap!
Percuma selama tiga bulan ini aku memata-matainya. Sipatoka! Kau boleh
menyerangku.
Kau boleh mengeluarkan semua
kepandaianmu. Aku akan menyambut dengan segala senang hati! Hik … hik… hik…!”
Dari balik jubah daunnya
perempuan ini keluarkan satu benda berwarna coklat gelap kemerahan.
Ternyata buah manggis hutan.
Sekali remas saja manggis itu hancur. Isinya yang putih langsung digeragot.
Kulit buah manggis yang sudah lumat itu kemudian digosokkannya ke muka hingga
wajahnya jadi berselemotan merah coklat tak karuan.
“Sipatoka! Sebentar lagi kau
akan tahu siapa diriku! Ini kali kesembilan kau menyerangku! Sebelumnya kau
empat kali kalah empat kali menang. Tapi sekali ini kau boleh menggigit jari
karena aku yang bakal keluar sebagai pemenang! Hik… hik…! Aku sudah tahu dengan
apa kau hendak menyerang! Aku sudah siap dengan senjata penangkal! Hik… hik…
hik…!”
Sementara itu dari arah barat
jurang semakin jelas terdengar suara aneh tadi. Suara ini seperti suara sayap
yang mengepak disertai suara menggembor terus menerus. Perempuan gemuk masih
memandang tajam ke depan. Pada saat itulah tiba-tiba ada suara menggema dari sebelah
barat.
“Kunti Rao! Apakah kau sudah
siap menerima seranganku?!”
Perempuan di depan goa yang
terletak di dinding jurang sebelah timur mendengus lalu menjawab dengan
berteriak. “Aku sudah siap sejak tiga bulan lalu datuk celaka!”
“Ha … ha… ha…! Kalau begitu
saat-saat kematianmu sudah di depan mata! Daging tubuhmu sebentar lagi akan
dicongkel hingga hanya tinggal tulang belulang alias tengkorak hidup!”
Perempuan gemuk di depan
jurang batu sebelah timur kembali mendengus. Di sebelah barat dia mulai bisa
melihat sosok-sosok hitam melesat di udara, bergerak ke arah dinding jurang di
mana dia berada.
Jumlahnya banyak sekali, tak
kurang dari seratus ekor.
“Datuk keparat! Kau akan lihat
bagaimana aku mengerjai binatang peliharaanmu itu!” perempuan gemuk yang
dipanggil dengan nama Kunti Rao itu memutar tubuhnya. Walau berbobot hampir 150
kati, tapi gerakannya kelihatan cepat dan tak bersuara. Sosoknya lenyap dalam
goa. Sesaat kemudian kelihatan dia keluar membawa dua buah kayu besar. Puluhan,
mungkin ratusan ekor lebah coklat berkepala hitam mengerumun bergelantung di
dua kayu besar itu. Setiap lebah mengeluarkan suara menggeru.
Bayangkan kalau ratusan ekor
mengeluarkan suara itu secara berbarengan. Bisingnya seperti mau merobek
gendanggendang telinga!
Di depan mulut goa si gemuk
Kunti Rao angkat dua kayu besar tinggi-tinggi lalu berteriak. “Datuk Sipatoka!
Aku sudah siap! Mana
kecoak-kecoak peliharaanmu itu!”
Dari arah barat terdengar
suara tawa bergelak. “Mereka sudah di depan hidungmu Kunti Rao! Apa matamu
buta?”
Baru saja gema suara lelaki
itu menghilang, di jurusan barat sosok-sosok hitam yang melesat di udara
semakin dekat dan jelas wujudnya. Ternyata benda-benda ini adalah kelelawar
berbentuk aneh. Bagian tubuhnya berwarna hitam legam, namun kepalanya berwarna
putih. Sepasang mata berwarna merah.
Binatang ini memiliki
kuku-kuku panjang sangat runcing. Ujung sayapnya pipih tajam tak ubah seperti
mata pisau, sementara moncongnya lancip seperti ujung tombak.
“Kau sudah melihat Kunti? Atau
matamu yang sipit itu memang sudah buta?!” orang lelaki di dinding jurang
sebelah barat berteriak.
“Aku sudah melihat! Tadinya
kukira kecoak busuk! Tak tahunya hanya kutu-kutu busuk yang kau kirimkan
padaku!” jawab Kunti Rao.
“Bagus kau sudah melihat!
Sebentar lagi kau rasakan bagaimana kutu-kutu busuk itu akan menggerogoti
dagingmu yang empuk!”
Dari arah barat ada satu
gelombang angin menderu. Tiupan angin ini membuat kelelawar-kelelawar hitam
berkepala putih seperti didorong keras hingga dalam waktu sesaat saja binatang
itu sudah mencapai dinding sebelah timur jurang, langsung menyerang Kunti Rao.
Perempuan gemuk berambut merah acak-acakan ini keluarkan jeritan keras lalu
meniup kuat-kuat pada dua batang kayu yang dipegangnya.
“Piup…! Piup…!”
“Werrrr! Werrrr!”
Ratusan lebah yang mendekap
pada dua batang kayu menghambur terbang terus menyerbu ke arah puluhan
kelelawar yang datang menyerang dengan mengeluarkan suara menggidikkan serta
menebar bau busuk, menyesakkan jalan pernafasan!
Sesaat kemudian berlangsunglah
satu hal hebat yang tidak pernah kejadian sebelumnya. Puluhan kelelawar kepala
putih berkelahi melawan ratusan lebah berkepala hitam! Jurang batu menjadi
bising oleh suara kepak sayap dua jenis binatang itu. Ditambah pula dengan
suara cicit menggidikkan yang keluar dari mulut puluhan kelelawar serta suara
menggeru tak berkeputusan yang dibuat oleh ratusan lebah membuat suasana di
jurang batu benar-benar mengerikan.
Meskipun kelelawar-kelelawar
itu memiliki tubuh lebih besar, hantaman sayap yang deras dan berbahaya, serta
kuku-kuku runcing ditambah moncong yang bisa membuat gerakan mamtuk cepat
sekali, namun menghadapi ratusan lebah milik Kunti Rao boleh dikatakan mereka
tidak berdaya. Bukan saja jumlah lebah lebih banyak, tapi binatang bertubuh
kecil ini mampu bergerak lebih gesit hingga sanggup mengelak serangan lawan
sekaligus balas menyerang dengan ganas.
Suara cicit kelelawar
terdengar riuh. Satu demi satu binatang-binatang itu menggelepar lalu melayang
jatuh ke dasar jurang. Perempuan gemuk bernama Kunti Rao tertawa panjang.
Seperti anak kecil dia berjingkrakjingkrak sambil bertepuk-tepuk tangan!
“Datuk celaka! Sekarang baru
tahu rasa! Kau tentunya tidak tuli mendengar binatang-binatang yang kau
andalkan menjerit meregang nyawa. Kau tentunya juga tidak buta menyaksikan
bagaimana mereka jatuh mampus ke dasar jurang! Hik … hik… hik…!”
“Perempuan gendut sialan!
Jangan cepat-cepat bersuka hati! Lihat ke udara!” terdengar teriakan jawaban
dari arah barat. Lalu di udara muncul dua kelelawar besar, satu jantan satu
betina. Kunti Rao sebentar terkesiap. “Ini pasti dua biangnya. Lebih besar
lebih seram! Tapi siapa takut!”
Dua kelelawar menukik
menyerang. Satu dari kiri yang lainnya dari kanan. Kunti Rao tamengi diri
dengan dua batang kayu besar. patukan kelelawar jantan menancap di bantang kayu
di tangan kiri Kunti Rao, sedang sambaran kepak kelelawar satunya yang tak
ubahnya seperti sambaran pisau tajam lewat di atas kepala perempuan gemuk itu,
tapi masih sempat memapas sedikit rambut perahnya. Si gemuk ini sempat terpekik
kecil.
Disebelah barat terdengar
suara tawa orang bernama Sipatoka.”Sekarang rasakan olehmu!”
“Kelelawar jahanam! Sebentar
lagi kupecahkan kepalamu!” teriak Kunti Rao marah.
Saat itu kelelawar jantan
kembali datang menyerbu. Kunti Rao merunduk. Tangan kirinya bergerak. Kayu
besar dilemparkan. “Praakkk!” Kayu menghantam telak kepala kelelawar jantan
itu. Cicitan binatang ini terputus. Tubuhnya melayang jatuh ke bawah jurang
dengan kepala hancur.
Di udara, kelelawar betina
melengking keras. Rupanya marah sekali melihat kematian jantannya. Dia tadi
yang berhasil memapas rambut Kunti Rao. Binatang ini berputar tiga kali di
udara lalu menukik.
Kelihatannya dii seperti
hendak menyerang dengan mematuk ke atas batok kepala musuh. Tapi sewaktu Kunti
Rao mengelak sambil hantamkan kayu di tangan kanannya, kelelawar ini membuat
gerakan membalik. Di lain kejab tubuhnya berputar seperti baling-baling, dua
sayapnya laksana golok pendek membabat ke arah leher Kunti Rao.
Kunti Rao keluarkan suara
garang. Dia membuat gerakan jatuhkan diri. Dalam keadaan setengah berlutut dia
pergunakan kayu besar di tangan kanan untuk menangkis lindungi diri. “Blaakkk!
Craasss!” Kayu besar di tangan perempuan gemuk itu terbabat putus!
“Binatang sialan!” maki Kunti
Rao. Sisa potongan kayu dilemparkannya ke arah kelelawar betina.
Binatang ini melayang turun.
Bukan saja dia berhasil mengelakkan hantaman kayu, tapi secepat kilat dia
kembali menyambar ke arah Kunti Rao.
“Binatang celaka! Kau membuat
aku kehabisan sabar!” kertak Kunti Rao. Dua tangannya bergerak mencabut dua
buah daun yang merupakan pakaiannya. Kelelawar betina datang. Dua lembar daun
melesat ke udara.
“Craasss! Craasss!”
Daun pertama menancap di dada
kelelawar betina. Daun kedua memapas lehernya. Darah menyembur.
Binatang ini keluarkan jeritan
aneh yang keras. Hebatnya, dalam keadaan sekarat dia masih berusaha mengejar ke
arah Kunti Rao. Namun sekali menghantamkan tangan kirinya, kelelawar betina itu
terlempar jauh ke arah dinding barat jurang dan jatuh di depan kaki seorang
kakek yang saat itu tengah melangkah mondar-mandir di depan sebuah goa.
“Jahanam! Kelelawarku mati
semua!” orang ini kepalkan kedua tangannya dan hentakkan kaki kanan hingga
bebatuan di jurang itu bergetar.
“Datuk Sipatoka! Apa sekarang
kau malu mengakui kekalahan?!”
“Perempuan keparat!” maki sang
datuk begitu didengarnya suara Kunti Rao dari arah timur. “Jangan buruburu
merasa menang dajal gendut!”
“Hik…hik…! Kenyataannya memang
begitu Datuk! Kau menang empat kali, aku lima kali dengan ini Apa otakmu sudah
tumpul hingga tidak bisa berhitung lagi?! Hik… hik… hik…!”
“Kau akan terima pembalasan
dariku Kunti Rao! Sekalipun sampai seratus tahun aku akan mendekam di sini
sampai akhirnya kau mampus di tanganku!”
“Huh takaburnya!” ejek perempuan
gemuk. Dia mendongak ke atas memandang ke arah puluhan lebah yang masih terbang
berputar-putar di dalam jurang, lalu bertepuk beberapa kali. “Lebah-lebahku!
Kalian menjalankan tugas dengan baik! Aku berterima kasih! Tugas sudah selesai.
Mulai saat ini kalian bukan peliharaanku lagi! Sekarang kalian bebas mau pergi
ke mana saja! Tapi ingat, setiap aku memerlukan kalian, jangan terlambat
datang!” habis berkata begitu si gemuk bertepuk terus menerus.
“Werrr… werrr…. werrr….!”
ratusan lebah berputar-putar di atas kepala si gemuk lalu melesat ke atas
jurang.
Kunti Rao baru berhenti
bertepuk begitu semua lebah lenyap dari pandangannya.
Kunti Rao menyeringai. Dia
memandang ke arah barat. Di kejauhan, samar-samar di balik kabut yang kini
mulai mengambang di jurang dilihatnya sosok Datuk Sipatoka melangkah
mondar-mandir di depan mulut goa. Kunti Rao tertawa. Mulutnya berucap. “Rasakan
olehmu! Sekarang baru tahu rasa! Dikiranya bakalan bisa menguasai jurang batu
pualam ini! Huh! Tua bangka tak tahu diuntung! Selama aku masih bercokol di
sini jangan harap jurang ini akan jadi wilayah kekuasaanmu! Apalagi mau
menguasai dunia persilatan!
Hik… hik… hik…!”
Sementara itu di lereng jurang
sebelah barat, seorang kakek melangkah mondar-mandir sabil tiada hentinya
memukuli sendiri kepalanya yang botak dan berwarna biru. “Lima bulan aku
menyusun rencana!
Mengajar binatang-binatang
itu! Ternyata semua mati percuma! Apalagi yang bisa kulakukan agar bisa
menyingkirkan perempuan itu dari jurang sebelah timur! Bukan! Bukan cuma
menyingkirkan! Tapi membunuhnya! Kalau dia masih hidup berarti bahaya besar
bagiku!”
“Datuk Sipatoka!” tiba-tiba
menggema seruan Kunti Rao dari arah barat.
“Kuda nil rambut merah! Apa
lagi maumu?!” maki Datuk Sipatoka menyebut Kunti Rao yang memang gemuk dan
berambut merah.
“Sesudah kalah, apa kau masih
terlalu kikir dan sombong untuk berbagi rezeki denganku?!”
“Sampai matipun aku tidak mau
berbagai rezeki dengan kau!”
“Aha! Bintang Kalimukus akan
muncul tak lama lagi! Petunjuk di mana letak sepasang senjata pusaka itu akan
segera muncul! Jika kau tak mau membagi rezeki, berarti dua senjata akan jadi
milikku sendiri!”
“Kau tak akan mampu memiliki
semua! Kau tahu itu!”
“Siapa bilang tidak mampu!
Yang jelas kau pasti akan menyesal! Hik … hik… hik…!”
“Manusia sialan! Pergilah ke
neraka!” teriak Datuk Sipatoka marah.
“Kalau aku ke neraka, pasti
aku tidak lupa membawamu datuk! Dan kau akan jalan duluan di depanku!
Hik … hik… hik…!” ejek Kunti
Rao.
“Perempuan setan! Makan
tanganku ini!” teriak Datuk Sipatoka, lalu tangan kanannya menyembul di balik
lengan jubah kuning.
“Wuttt!” serangkum angin
menderu. Di sebelah timur, Kunti Rao melihat ada kilatan cahaya kuning
menyambar dan datang ke arahnya cepat sekali. “Wow! Ilmu yang sudah tidak laku
masih diperlihatkan!”
ejek perempuan itu. Lalu dia
angkat tangan kanannya ke atas. Telapak diputarsentakkan.
“Bettt! Bettt!” dua larik
pukulan sakti tanpa warna menggemuruh, menyambut sambaran sinar kuning dari
kiri kanan.
“Bessss! Dessss!”
Sinar kuning mental dan buyar
hanya satu tombak di depan Kunti Rao. Perempuan gemuk ini merasakan tubuhnya
bergetar keras lalu tersandar ke dinding batu. Sesaat wajahnya yang celemongan
dengan kulit manggis tampak berubah.
Di dinding jurang sebelah
barat Datuk Sipatoka kelihatan tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dada.
Dia jatuh berlutut dan cepat
kerahkan tenaga dalamnya guna mengatur jalan darah. Dari kepalanya yang botak
biru mengepul asap tipis.
“Setan perempuan benar-benar
tinggi kepandaiannya!” diam-dia si kakek harus mengakui walaupun dengan memaki.
“Tapi bagaimanapun dia tak bisa mengalahkanku bulat-bulat! Sepasang senjata
sakti di dasar jurang tak bakal jadi miliknya! Untuk sementara biar kulupakan
dirinya. Lebih baik aku meneruskan pekerjaan membuat tali itu. Kalau sudah tiba
saatnya, aku bisa dengan mudah dan cepat turun ke dasar jurang!”
Kunti Rao perlahan-lahan
luruskan badannya yang gemuk. Dia rapikan susunan daun-daun yang jadi
pakaiannya karena dua lembar daun tadi terpaksa dicabutnya untuk menghadapi
sepasang kelelawar besar.
“Tua bangka satu itu memang
tidak boleh dikasih hati. Lihat saja! Akan aku berikan satu pelajaran telak dan
mematikan padanya!”
Si gemuk memutar tubuhnya
hendak masuk ke dalam jurang. Tiba-tiba dia mendengar ada suara berdesir di
atasnya. “Hah! Apa jahanam itu sudah menyerangku lagi?! Ilmu apa pula yang
dikeluarkannya!” ujar Kunti Rao seraya hentikan langkah dan mendongak ke atas.
Lalu keluarkan satu seruan keras dari mulut si gendut ini ketika melihat benda
apa yang melayang jatuh dari atas jurang tepat ke arahnya disertai satu jeritan
perempuan!
Dalam keadaan tercekat Kunti
Rao masih sempat berteriak. “Oladalah! Tubuh perempuan bersimbah darah!
Jatuh dari atas jurang!
Bagaimana ini? Akan kutangkap atau kubiarkan saja amblas ke dasar jurang batu?”
Perempuan gemuk itu hanya
bimbang sesat. Di lain kejab dia melompat ke kiri mencari kedudukan yang tepat
untuk menyambut tubuh perempuan berpakaian tipis hijau penuh noda darah mulai
dari rambut hingga kaki.
“Hup!” Kunti Rao berhasil
menangkap sosok tubuh yang jatuh. “Gila! Darahya berbau anyir busuk!” berucap
Kunti Rao. Tubuh yang berhasil ditangkapnya itu dibaringkan di atas batu. Dia
memperhatikan dengan mengeryitkan dahi penuh ngeri.
“Perempuan malang. Aku yakin
kau masih muda dan berwajah cantik! Tapi mengapa ada yang tega mencelakaimu
seperti ini? Di dada dan bahumu ada luka yang begitu besar mengepulkan asap.
Lalu heh .. benda apa itu? Paku?” Kunti Rao jongkok di samping tubuhnya.
Mukanya yang gembrot celemongan kulit manggis didekatkan ke bagian perut dan
memperhatikan tanpa berkesip. “Paku! Benar paku,” desis Kunti Rao.
“Paku aneh. Terbuat dari emas.
Menancap tepat di pusarnya. Eh, rasa-rasanya aku pernah mendengar tentang paku
emas ini. Kabarnya berasal dari daratan Tiongkok. Memiliki kekuatan maha sakti.
Mulai dari kekuatan mengobati hingga membunuh!”
Kunti Rao sibakkan rambut
panjangnya yang menutupi sebagian wajahnya. “Hemm… Benar nyatanya.
Dia memang memiliki wajah
cantik. Meski berlumuran darah seperti ini. Aku tak kenal padanya. Siapa
gerangan dirinya? Mengapa bisa jatuh ke dalam jurang seperti ini. Lalu
luka-luka mengerikan di tubuhya?” Kunti Rao berpikir sejenak.
Setelah meraba urat besar di
leher dan merasakan masih ada hembusan nafas dari lubang hidungnya, Kunti Rao
mendukung perempuan itu dan membawanya masuk ke dalam goa. “Orang biasa pasti
sudah meregang nyawa akibat luka begini hebat. Di antara bau amis dan busuk
darah di tubuhnya aku mencium sekilas bau harum. Perempuan muda ini agaknya
bukan perempuan sembarangan.”
Sampai di dalam goa Kunti Rao
meletakkan perempuan itu di atas sebuah pembaringan terbuat dari batu.
Lalu sibuk meramu beberapa
jenis obat. Sebelum itu dia terlebih dahulu menotok tubuh di beberapa tempat.
Sejenis bubuk hitam ditaburkannya
ke atas luka pada bahu dan dada. Dia mengalihkan pandangan pada paku yang
menancap di pusar. Sesaat Kunti Rao merasa bimbang. Agaknya dia tak punya
pilihan lain.
“Rupanya kelemahan perempuan
ini ada pada pusarnya. Aku harus mencabut paku di pusarnya itu!”
Kunti Rao ulurkan tangan
kanan. Ibu jari dan telunjuk bergerak cepat mencabut paku yang menancap di
pusar. Pada saat paku tercabut, dari pusar yang berlobang itu mengucur darah
hitam sangat busuk disertai asap. Perlahan-lahan kepulan asap hilang. Tapi
begitu lenyap tiba-tiba sebuah benda melesat ke luar dari perut lewat pusar
yang bolong itu.
Bagian 2
Kunti Rao terpekik keras dan
berubah parasnya saking kagetnya. Dari pusar yang berlobang di perut perempuan
muda tidak dikenal itu melesat keluar seekor ular hitam berkepala putih. Semula
dia menyangka dirinya akan diserang. Cepat Kunti Rao angkat tangan untuk
menghantam. Tapi ditariknya tangan ketika melihat ular itu melesat ke atas.
Laksana terbang ular itu ke udara lalu lenyap menjadi asap.
“Ular jejadian..!” desis Kunti
Rao. “Siapa manusia ini sebenarnya?!” tanyanya dalam hati penuh rasa ingin
tahu, lalu cepat-cepat bubuk hitam ditaburkan dalam lobang pusar. Sedikit demi
sedikit darah busuk berhenti mengucur dan lobang bertaut kembali. Kepulan asap
serta merta lenyap.
“Lobang di pusar itu tidak
akan menimbulkan cacat. Tapi luka dada dan bahu walau bisa kusembuhkan rasanya
akan meninggalkan bekas sangat buruk. Kasihan perempuan muda cantik ini..
tubuhnya akan cacat seumur hidup. Tak bakal ada lelaki mau dengannya…”
Kunti Rao duduk di samping
pembaringan batu. “Eh, apa urusanku memikirkan perempuan ini? Anak bukan,
saudara bukan, teman juga bukan? Mati sekalipun apa peduliku? Tapi mungkin dia
bisa kumanfaatkan?
Hemm… baiknya kutunggu sampai
dia siuman. Harus kuketahui siapa dia adanya. Mungkin, ah! Siapa tahu dia bisa
kumanfaatkan untuk menghadapi kakek keparat itu!”
Setelah menunggu sehari
semalam, pada pagi kedua selagi Kunti Rao berada di luar goa dia mendengar
suara orang batuk-batuk. “Perempuan itu..!” kata Kunti Rao seraya memutar
tubuhnya masuk ke dalam goa.
Sesampainya di dalam,
dilihatnya perempuan itu sudah duduk di pembaringan batu, bersandar ke dinding
dan batuk beberapa kali. Ketika melihat kemunculan Kunti Rao dia cepat-cepat
beringsut. Wajahnya memancarkan sikap terkejut, takut dan mengancam.
“Kau sudah siuman rupanya.
Syukurlah!” kata Kunti Rao. Perempuan di atas batu pandangi rambut Kunti Rao
yang merah acak-acakan itu, mukanya celemongan oleh kulit manggis, tubuhnya
yang gemuk gembrot dan tentunya pada keanehan jubahnya yang terbuat dari
susunan daun-daun.
“Perempuan gemuk, siapa kau?
Apakah kau orang yang menolongku? Berada di mana saat ini aku?!”
“Wah, pertanyaanmu belum-belum
sudah banyak betul!” sahut Kunti Rao. “Bagaimana kalau aku yang ganti bertanya.
Siapa dirimu? Mengapa ada dua luka besar di tubuhmu. Lalu mengapa ada paku emas
di pusarmu? Apa kau jatuh sendiri ke dalam jurang ini, apa ada yang
mencelakaimu? Mengapa bisa ada ular hitam kepala putih keluar dari dalam
perutmu lewat pusar yang kemudian lenyap menjadi asap! Apa kau manusia atau
makhluk jadian?”
Perempuan berpakaian hijau
tipis yang duduk di pembaringan batu mula-mula hendak menyemprot marah.
Namun kesadaran masuk dalam
benaknya. Agak samar dan masih sulit dia mengingat. Dipandanginya tubuhnya. Di
dada dan bahu ada luka mengering tertutup bubuk hitam. Lalu disingkapkannya
bagian perut pakaiannya. Di situ juga ada taburan bubuk hitam yang sudah
mengering, tepat di bagian pusar.
Tangannya bergerak ke kepala
meraba bagian atas kening. Dia ingat biasanya di situ ada mahkota kecil.
“Paku emas…?” desisnya.
“Ya, paku emas!” kata Kunti
Rao sambil memperlihatkan sebuah benda tepat di depan wajah perempuan itu.
“Katamu paku emas. Aku melihat
benda itu paku biasa. Terbuat dari besi buruk dan hitam!”
“Heh, kau betul! Tadinya paku
ini terbut dari emas. Sewaktu masih menancap di pusarmu paku ini masih berwarna
kuning emas asli. Tapi begitu kecabut bentuknya berubah menjadi hitam. Pertanda
paku ini penuh dengan kekuatan hitam yang tersedot dari dalam tubuhmu!”
Lama perempuan di atas
pembaringan itu terpana mendengar keterangan Kunti Rao. “Kau telah menolongku,
aku musti berterima kasih kepadamu,” dia cepat membungkuk tapi Kunti Rao
mencegah.
“Saudari aku…”
Kunti Rao tertawa
tergelak-gelak hingga sekujur tubuhnya yang gemuk tergoncang-goncang.
”Ada apa? kenapa kau tertawa?
Apakah ada sesuatu yang lucu dari diriku?”
“Perempuan muda kau dengar
baik-baik. Kau tak pantas memanggilku dengan sebutan saudari. Karena kau pantas
jadi cucuku. Panggil aku nenek!”
“Aku pantas jadi cucumu dan
aku harus memanggil nenek?”
“Betul karena usiaku sudah
lebih dari enam puluh tahun!”
Tentu saja perempuan di atas
batu terkejut mendengar kata-kata itu. “Walau tubuhmu luar biasa gemuk dan
berpakaian aneh seperti itu, tapi menurutku kau berusia dua puluh tahunan…”
Kunti Rao tertawa “Yang kuasa
memberiku awet muda dan ganjarannya aku punya bobot seperti kerbau seperti ini.
Kalau aku boleh memilih, biar wajahku jelek keriput tapi tubuhku langsing!
Hik.. hik… hik…!”
Kunti Rao tertawa panjang.
Lalu berkata, “Perempuan muda aku ingin tahu siapa dirimu. Apa yang telah
terjadi… ingat! Aku tidak orang berdusta padaku!”
“Aku bernama Kunti Arimbi,”
kata perempuan di atas pembaringan batu.
“Eh, nama depannya kenapa sama
denganku?” ujar Kunti Rao dalam hati.
“Aku dikenal dengan julukan
Dewi Ular.”
Kunti Rao sempat tersurut satu
langkah mendengar julukan yang disebutkan. Walau dia sudah lama mendekam di goa
batu pualam itu namun dia pernah mendengar nama angker Dewi Ular. Maka dia pun
berkata. “Tidak sangka Dewi Ular ternyata masih muda tapi memiliki kesaktian
tinggi yang menggegerkan…”
“Semua kehebatan itu sudah
berlalu,” kata Kunti Arimbi alias Dewi Ular. Dia memandang sayu pada paku hitam
di tangan Kunti Rao. “Benda itu yang menyebabkannya. Seseorang mengkhianati dan
menipuku.
Dia merayuku dan merangsangku.
Memperlihatkan kejantanannya. Ketika kami berdua di suatu tempat dan dia
seperti hendak meniduriku tiba-tiba dia mengeluarkan paku emas itu dan
menusukkannya ke pusarku…”
“Siapa orangnya?” tanya Kunti
Rao.
“Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede..”
“Astaga! Pendekar besar itu…!”
seru Kunti Rao.
“Aku bersumpah untuk membalas
dendam. Apalagi kusadari diriku saat ini selamat dari kematian. Hanya saja
tubuhku agaknya akan cacat seumur hidup. Jangankan laki-laki, binatang pun akan
jijik melihatku!”
Diam sesaat. “Eh nek, betul
aku harus memanggilmu nenek?” Kunti Arimbi meragu.
“Tentu saja, memang seharusnya
begitu!”
“Aku berterima kasih kepadamu.
Kau telah menyelamatkan diriku. Saat ini tidak mungkin aku membalas segala
utang piutang ini! Tapi percayalah walau dulu aku pernah jadi manusia jahat,
mengingat budi orang aku masih mampu. Nek, aku harus pergi dari tempat ini.
Mohon tunjukkan jalan keluar…”
Perempuan gemuk yang mengaku
sudah nenek itu menghela nafas panjang. “Jangan terkejut Kunti Arimbi.
Di sini sama sekali tidak ada
jalan keluar. Sekali berada di sini akan mendekam seumur hidup, kecuali…”
“Kecuali apa nek?” Tanya Kunti
yang kini walau masih memiliki ilmu silat dan menguasai tenaga dalam tingkat
tinggi namun banyak kesaktian luar biasa yang sudah lenyap.
“Kecuali kita bisa mendapatkan
sepasang senjata mustika yang terpendam di dasar jurang batu pualam ini!”
“Senjata mustika apa itu?”
tanya Kunti Arimbi.
“Sepasang keris sakti. Katanya
datang dari kahyangan. Satu keris laki-laki, satu keris perempuan. Jika sudah
bisa menguasai kedua keris itu, dunia persilatan sudah di tangan. Dan cacat di
tubuhmu bisa hilang dengan menggosokan keris yang perempuan ke bekas luka,”
ujar Kunti Rao.
Perlahan-lahan Kunti Arimbi
turun dari pembaringan batu. “Kau harus mendapatkan itu Nek! Aku akan
membantumu!”
“Tidak mudah mendapatkannya
Kunti Arimbi. Pertama kita harus mendapat tanda dari langit di mana keris itu
terpendam. Di jurang ini ada musuh tangguh yang juga menginginkan keris itu!”
“Siapa?” tanya Kunti Arimbi.
“Namanya Datuk Sipatoka. Dia
mendekam di dinding sebelah barat…”
“Kita harus mengalahkannya
Nek!” bisiknya. “Kalau saja aku memiliki kesaktian seperti masih jadi Dewi Ular
dulu…”
“Nasib peruntungan di tangan
Tuhan. Kita manusia mana ada yang tahu. Bukan mustahil suatu ketika kau bisa
menyandang gelar Dewi Ular kembali. Bahkan mungkin lebih hebat!”
Kunti Arimbi tersenyum.
Sepasang matanya yang dahulu hijau kini kecoklatan menerawang ke depan.
“Sepasang keris sakti itu.
Jika aku bisa menguasainya bukan mustahil ucapan nenek gendut ini akan menjadi
kenyataan…”
Ketika perempuan muda ini memandang
ke seputar ruangan dia melihat sebuah benda berbentuk kerucut dan ada gagangnya
tertegak di sudut ruangan batu. “Benda apa itu Nek?”
“Payung raksasa,” jawab Kunti
Rao. “Dengan payung itu kelak aku akan turun ke dasar jurang…”
“Sebegitu sulitnyakah mencapai
dasar jurang?”
“Jurang batu pualam seputar
dindingnya berbentuk tegak lurus dan licin. Di sebelah bawah, kabarnya ada
kawah mendidih. Tempat berpijak hanya gugusan batu-batu runcing….”
Kunti Arimbi kembali hanya
menerawang. Apa yang ada dalam benaknya sulit diduga. “Kalau nasibku harus
mendekam di sini, aku rela hidup dan mati bersamamu Nek…”
“Kau perempuan baik. Aku ada
rencana bagus untukmu. Kita berdua bisa menghadapi Datuk Sipatoka…”
“Aku rela mati untuk
menolongmu. Tapi rasanya ilmu kesaktianku sudah tidak sehebat dulu lagi…”
“Jangan bersedih aku akan
menggemblengmu menguasai beberapa ilmu kesaktian. Mungkin tidak sehebat
kesaktianmu saat jadi Dewi Ular dulu. Tapi yakinlah tidak akan mengecewakan.
Dengar perempuan muda, mulai saat ini aku akan memanggilmu Dewi Ular saja.
Perkenalkan namaku Kunti Rao. Digelari orang Iblis Daun Setan…”
Mendengar nama dan julukan itu
Kunti Arimbi segera jatuhkan diri.
“Eh, ada apa ini?” kata Kunti
Rao.
“Nek, aku mendengar dari
guruku bahwa kau adalah saudara sepupunya. Aku menghaturkan perhormatan…”
Kunti Rao tertawa panjang.
“Gurumu si Hantu Tangan Geledek itu memang tidak bisa memegang rahasia.
Sayang dia mati muda. Apakah
kau sudah mewarisi ilmu tangan geledek darinya?”
Dewi Ular menarik nafas
panjang. Lalu menggelangkan kepala. “Rencananya mengajarkan ilmu itu memang
sudah ada. Tapi dia keburu meninggal dan aku jatuh ke tangan jahat ratu ular…”
“Kabarnya dia menyimpan kitab
pelajaran lengkap pukulan tangan geledek…”
“Aku pernah mencari tapi tidak
ketemu. Aku curiga jangan-jangan kitab itu ada pada Ratu Ular. Ratu Ular
sendiri tidak diketahui keberadaannya. Entah sudah mati pula….”
“Semua apa yang tidak
diketahui kini menjadi jelas kalau kelak aku mendapatkan sepasang keris sakti
di dasar jurang itu… Aku senang jika kau mau membantu.”
“Aku akan membantumu Nek. Tak
usah kau ragukan….” kata Dewi Ular pula. Lalu wajah Sandaka muncul di pelupuk
matanya. “Kau juga akan kucari Sandaka. Nyawamu sama tidak bergunanya dengan
pendekar 212…!”
“Eh, kau seperti bicara
sendirian. Siapa orang bernama Sandaka itu…?” tanya Kunti Rao.
“Sandaka… dia orang kedua yang
akan kubunuh setelah Pendekar 212 Wiro Sableng!” jawab Kunti Arimbi.
Di dinding di jurang sebelah
barat kakek berkepala botak warna biru mengenakan jubah kuning, yang dikenal
dengan nama Datuk Sipatoka, rangkapkan dua tangan didepan dada. Muka dan
pandangan matanya diarahkan ke dinding sebelah timur. Dadanya terasa panas
akibat pengaruh hawa marah dan penasaran.
“Perempuan setan! Kalau kau
merasa sudah menang, nanti lihat saja! Akan kubuat kau minta-minta ampun sampai
terkencing-kencing!” dia memandang tak berkesip ke arah kejauhan. Namun
pandangannya tertutup oleh kabut yang semakin menebal di seantero jurang.
“Kabut sialan! Aku tak dapat melihat apa yang dilakukan perempuan sialan itu!”
maki si kakek.
Selagi dia memaki-maki seperti
itu tiba-tiba di arah timur di dengarnya ada suara jeritan keras dan panjang.
“Eh, siapa yang menjerit itu!
Suaranya suara perempuan!” Datuk Sipatoka miringkan kepalanya sedang kedua
matanya coba menembus kabut yang menghalangi, tapi sia-sia. “Rasa-rasanya
seperti ada sesuatu melayang jatuh. Apa mungkin perempuan itu tiba-tiba menjadi
gila dan jatuhkan diri ke dasar jurang?!” sang datuk berpikir keras.
Lalu dia menjawab sendiri
pertanyaannya dalam hati. “Tidak mungkin, bukan dia. Suara jeritan tadi datang
dari atas jurang. Berarti yang jatuh berasal dari atas sana. Si kuda nil merah
itu bertapa di duapertiga jurang… atau mungkin dia tengah membuat tipuan
untukku?! Nah… nah… suara jeritan lenyap…” Datuk Sipatoka arahkan pandangannya
ke dasar jurang. “Tak ada benda jatuh di bawah sana. Tapi mana mungkin
menyangsang di dinding batu…!” Sesaat sang datuk terdiam merenung. Akhirnya dia
kembali memaki sendirian. “Persetan siapa yang menjerit tadi. Peduli apa aku
kalau ada sesuatu yang jatuh dari atas jurang!”
Setelah menunggu sesaat,
akhirnya Datuk Sipatoka memutar tubuh melangkah ke mulut goa tempat
kediamannya. Di dekat pintu tergantung segulung tali. Belum lagi kakek ini
mencapai pintu goa tiba-tiba sudut matanya menangkap sesuatu melayang jatuh
dari bagian atas jurang sebelah timur. Dia cepat putar kembali badannya. Belum
sempat dia mendongak, benda yang jatuh kelihatan jungkir balik di udara lalu
lenyap sesaat di ketebalan kabut. Ketika benda itu kelihatan lagi, tiba-tiba
sudah ada di dinding jurang sebelah barat di mana dia berada, melayang jatuh
dengan deras! “Benda aneh, sosoknya seperti manusia tapi hanya mengenakan
cawat. Dan, heh, apa yang menempal di kepala, muka dan sekujur tubuhnya?!”
Benda yang jatuh melayang satu
tombak di depan Datuk Sipatoka. Mengira sosok itu adalah sesuatu yang dikirim
Kunti Rao untuk mencelakainya, Datuk Sipatoka angkat tangan kirinya siap
menghantam dengan satu pukulan sakti. Tapi entah mengapa dia batalkan
maksudnya. Dengan cepat dia menyambar gulungan tali dekat pintu goa. Sesosok
tubuh yang jatuh lewat didepannya. Datuk Sipatoka putar gulungan tali yang
dipegangnya. Tali ini berputar deras lalu melesat menyusul ke arah jatuhnya
makhluk tadi.
Datuk Sipatoka sentakkan
tangannya dua kali berturut-turut. “Bettt! Bettt!” Ujung tali melibat bagian
pinggang orang yang jatuh pada ketinggian hanya duapuluh kaki dari dasar jurang
di mana menunggu batu-batu runcing. Dua tangan Datuk Sipatoka yang memegang
tali tersentak ke depan. Tubuhnya terbungkuk.
“Gila! Manusia atau kerbau
yang aku jerat ini! Berat amat!” kata sang datuk. Lalu dia cepat kerahkan
tenaga dalam pada kedua kakinya. Dua kaki di balik jubah kuning itu laksana
dipantek ke batu yang dipijaknya.
Tubuhnya yang bungkuk
perlahan-lahan melurus kembali. Lalu dia mulai menarik sosok tubuh yang dijerat
seperti orang menimba. Setiap dia menarik, dari mulutnya keluar ucapan “Hup…
hup… hup…!”
Sosok yang dilibat tali dan
ditarik Datuk Sipatoka akhirnya sampai ke sisi dinding jurang di mana dia
berada, terus digeletakkan di atas batu di depan goa. Begitu melihat bentuk dan
sosok tubuh itu sang datuk kaget bukan main. “Makhluk apa ini!? Manusia atau
hantu yang menampakkan diri sebagai manusia?
Tubuhnya bergelimang darah
kering, penuh paku! Masih hidup atau sudah jadi bangkai?!”
Tidak heran kalau Datuk
Sipatoka begitu terkejut. Orang yang tergeletak di depannya adalah seorang
pemuda hanya mengenakan cawat. Tubuhnya yang kokoh dan nyaris telanjang itu
penuh ditancapi paku.
Bukan saja di bagian badan,
tapi juga di bagian kepala dan mukanya.“Setan sekalipun tidak ada yang seperti
ini!” membatin Datuk Sipatoka.
Dia membungkuk agar bisa
memperhatikan lebih jelas. “Masih hidup…” katanya perlahan. Lalu dengan kaki
kanan disentuhnya pinggul pemuda itu seraya berseru. “Makhluk aneh! Kalau kau
memang manusia, jadilah manusia! Kalau kau pingsan, lekas siuman! Kalau kau
pura-pura tidur, ketahuilah aku tak suka orang yang pandai menipu!”
Datuk Sipatoka pergunakan kakinya
bukan hanya sekedar menyentuh untuk membangunkan orang tetapi sekaligus
menggunakan tenaga dalamnya hingga tersalur ke dalam tubuh pemuda yang
ditancapi paku itu.
Saat itulah pandangan si kakek
membentur bagian depan cawat yang agak kedodoran. “Gila!” serunya.
“Sampai-sampai di kepala
anggota rahasianya juga ada paku yang menancap! Tapi paku yang satu ini bentuk
dan warnanya agak aneh…”
Sewaktu sang datuk hendak
menyingkapkan cawat itu agar dia bisa melihat lebih jelas, tiba-tiba sosok
tubuh si pemuda bergerak. Kedua kakinya naik ke atas. Bersamaan dengan itu
tangannya sebelah kanan ikut bergerak dan sepasang matanya membuka. Ketika
matanya membentur wajah Datuk Sipatoka pemuda ini berusaha bangkit dengan
cepat.
“Kau siuman! Bagus! Pertama
sekali yang aku ingin tahu lekas kau terangkan apakah kau ini manusia sungguhan
atau makhluk jejadian sebangsa setan dedemit atau hantu jurang!”
Karena baru saja sadar, pemuda
yang ditanya tak bisa segera menjawab. Malah terheran-heran mendapatkan dirinya
berada di lereng jurang itu berhadap-hadapan dengan seorang kakek berkepala
botak biru yang tidak dikenalnya. Ketika dia memandang ke bawah, dilihatnya ada
tali aneh menjerat pinggangnya.
Otaknya berpikir, coba
mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya. Dari mulutnya meluncur perlahan
ucapan yang bisa didengar Datuk Sipatoka.
“Aku jatuh dari atas jurang
sana… Seharusnya aku sudah mati. Ada seseorang menyelamatkanku.
Menjerat pinggangku dengan
tali dan membawaku ke sini…”
Si pemuda menatap wajah tua di
depannya. “Orang tua, pasti kau orang yang telah menolongku…” Datuk Sipatoka
tidak mengangguk juga tidak menjawab. Pemuda itu lepaskan tali yang menggelung
pinggangnya
lalu bangkit dan duduk
bersandar di dinding jurang. “Aku menyesal kau menolongku,” katanya.
Bagian 3
Datuk Sipatoka melengak.
Kening mengernyit dan mata memandang tak berkesip pada manusia paku di
depannya. Jelas kakek ini berusaha menekan amarah mendengar kata-kata pemuda
itu.
“Seharusnya aku sudah bebas di
alam kematian. Karenanya aku tidak perlu mengucapkan terima kasih padamu. Aku
benci karena kau telah menyelamatkanku!”
Datuk Sipatoka keluarkan suara
menggereng di tenggorokannya. Semula dia hendak membentak marah.
Bagaimana ada manusia begini
aneh?! Tidak tahu diri telah ditolong diselamatkan dari kematian malah
membencinya dan tak mau berterima kasih! Tidak jadi marah, Datuk Sipatoka malah
tertawa gelak-gelak sampai suara tawanya terdengar sampai ke sisi jurang
sebelah timur dan membuat Kunti Rao yang ada di dalam goa dongakkan kepala
seraya bertanya-tanya. “Ada apa di sebelah sana sampai si tua bangka sialan itu
tertawa begitu rupa?! Jangan-jangan dia sudah gila!”
Datuk Sipatoka delikkan mata
lalu berkata. “Tidak ada yang minta kau harus berterima kasih. Kalau kau merasa
menyesal masih hidup, silakan kau lihat ke bawah. Jurang masih dalam. Kawah
mendidih dan batubatu runcing siap menunggu. Kalau kau memang mau mampus,
jatuhkan saja dirimu kembali!”
Kini si pemuda yang jadi
terkesiap. Datuk Sipatoka angkat kakinya ke arah tubuh si pemuda dan membuat
gerakan siap untuk mendorong. “Kalau kau sekarang jadi takut bunuh diri biar
aku bantu mendorong tubuhmu agar jatuh ke dasar jurang!” kaki kanan sang datuk
bergerak.
“Tunggu!” si pemuda cepat
berseru. Tangan kanannya diangkat. Datuk Sipatoka terkejut. Tangan yang menahan
telapak kakinya itu laksana batu karang kokoh yang tidak bisa digoyangkan.
“Hemmm…., manusia aneh ini
agaknya bukan orang sembarangan. Dia memiliki tenaga dalam tingkat tinggi.
Buktinya, sanggup menahan
tekanan kakiku!”
Datuk sipatoka batuk-batuk
beberapa kali lalu turunkan kakinya. “Anak muda aneh. Coba terangkan siapa
dirimu. Mengapa memilih mati daripada hidup. Lalu aku juga kepingin tahu
mengapa keadaanmu seperti ini.
Kurasa setan di neraka pun
tidak seseram dan seburuk dirimu ini!”
Orang yang ditanya memandang
ke dasar jurang lalu pandangannya ditujukan pada dirinya sendiri.
Setelah itu diangkatnya
kepalanya berpaling pada Datuk Sipatoka. “Namaku Sandaka. Aku manusia sesat
yang jatuh ke tangan Dewi Ular. Menjadi budak nafsu dan budak kekuasaannya. Dia
ingin menguasai dunia persilatan dengan memperalat diriku…”
Datuk Sipatoka manggut-manggut
beberapa kali. Lalu dia tertawa. “Kalau kau dijadikan budak nafsu itu pasti
enak ya?! Ha… ha… ha…!”
Meski diejek, Sandaka diam
saja.
“Kalau kau diperalat untuk
mendapatkan kekuasaan tertinggi di rimba persialatan berarti kau memiliki
kepandaian luar biasa. Aku memang pernah mendengar nama Dewi Ular. Jadi kau
orangnya yang diperalat untuk membunuh beberapa tokoh persilatan…”
“Lebih jahat dan keji dari
itu. Dia juga menyuruhku membunuh kekasih, calon istriku. Dia juga yang
memerintahkan aku membunuh guruku Eyang Gusti Kelud Agung…”
“Astaga! Kau rupanya tak
kepalang sesat! Tapi mengapa semua itu mau saja kau lakukan?!” tanya Datuk
Sipatoka.
“Aku terjebak! Masuk dalam
perangkapnya setelah darahku tercemar oleh racun jahat yang ada dalam cairan
tubuhnya…”
“Gila! Baru sekali ini
kudengar yang seperti ini!” seru Datuk Sipatoka. “Mengapa kau jatuhkan diri ke
dalam jurang? Mengapa sengaja mencari mati? Siapa yang memantek tubuhmu dengan
paku seperti ini? Lalu kulihat ada paku aneh berwarna kuning pada kepala
kemaluanmu!”
“Panjang ceritanya… Biar
kujelaskan singkat-singkat saja,” jawab Sandaka. “Aku memilih mati karena
merasa tak ada guna lagi hidup. Dosaku sedalam lautan setinggi puncak Merapi.
Aku menganggap kalaupun aku mati, aku bisa mati dengan puas. Karena sebelumnya
aku berhasil membunuh Dewi Ular dan menendangnya masuk ke dalam jurang…”
“Ah! Tadi aku mendengar
jeritan perempuan. Aku juga melihat ada sosok tubuh jatuh. Jadi Dewi Ular sudah
tamat riwayatnya…” Sandaka mengangguk.
“Kau belum menceritakan
mengapa kepala, muka dan sekujur tubuhmu sampai ke kaki dipantek dengan paku
seperti ini…”
“Seorang sakti bernama Datuk
Bululawang yang melakukannya. Paku-paku ini bukan paku sembarangan.
Berjumlah tigapuluh dan
terbuat dari baja putih murni! Datuk Bululawang melakukannya karena dengan
paku-paku ini dia sanggup melumpuhkan sekaligus menguasai diriku! Maksudnya
sama kejinya dengan tujuan Dewi Ular. Ingin memperalat diriku untuk menguasai
dunia persilatan. Tapi tidak kesampaian.
Beberapa tokoh silat
menghajarnya sampai babak belur. Keadaannya entah mati entah masih hidup.
Kusumpahi agar dia memang
sudah jadi bangkai saat ini!”
Datuk Sipatoka geleng-geleng
kepala. “Makin tua umur dunia ini makin macam-macam keanehan terjadi!”
Dia memandang ke bawah perut
Sandaka. “Paku berwarna kuning itu…” katanya seraya menunjuk pada bagian tubuh
Sandaka sebelah bawah yang tersingkap. “Kelihatannya buka paku biasa… Sinarnya
sinar logam murni…”
“Ini paku emas. Paku yang
membuat diriku bersih dari racun jahat cairan Dewi Ular. Sekaligus membuat
musnahnya ilmu kesaktian yang kudapat darinya…”
“Apakah Datuk Bululawang juga
yang menancapkan paku emas itu di alatmu?”
Sandaka menggeleng. “Seorang
pemuda sakti bergelar Pendekar 212 yang melakukan…”
“Dia bukan pemuda
sembarangan…”
Sandaka mengangguk. “Dia
memiliki senjata mustika berupa kapak bermata dua. Dengan senjata itu aku
mencabik-cabik tubuh Dewi Ular. Aku merasa seperti berhutang budi padanya…
Hanya sayang aku tidak memiliki ilmu kesaktian lagi.”
“Kau masih mempunyai dasar
tenaga dalam yang hebat Sandaka. Aku… Hemmm…” Datuk Sipatoka usapusap kepala
botaknya yang berwarna biru.
Sebelumnya, Sandaka memiliki
kemampuan untuk mengetahui apa yang ada di benak seseorang.
Namun setelah tubuhnya
ditancapi paku emas, kemampuan itu ikut lenyap bersama musnahnya kesaktian yang
didapatnya dari Dewi Ular.
“Kau masih muda. Memiliki
dasar ilmu silat yang jarang dimiliki orang lain. Dengar Sandaka, aku akan
menggemblengmu di tempat ini. Kelak kau akan jadi pendekar hebat kembali, walau
tidak sehebat ketika kau berada di bawah pengaruh Dewi Ular. Kalau itu
kejadian. aku butuh bantuanmu untuk menghadapai seseorang…”
“Kau punya musuh besar
rupanya. Siapa dirimu kalau aku boleh tahu? Siapa pula yang jadi musuhmu?”
tanya Sandaka.
“Aku dipanggil orang dengan
sebutan Datuk Sipatoka. Nama yang hampir tidak dikenal dalam dunia persilatan.
Tapi ketahuilah. Sebagian rimba persilatan saat ini sudah ada dalam tanganku…
Aku hanya menunggu waktu dan menyingkirkan seorang nenek gendut sialan yang
mendekam di sisi jurang sebelah barat. Namanya Kunti Rao, bergelar Iblis Daun
Setan. Nah sekarang apakah kau masih ingin bunuh diri?”
“Kau telah tolong
menyelamatkan diriku dari kematian. Walau aku masih merasa tidak ada gunanya
hidup, namun mengingat budi baikmu aku bersedia membantumu menghadapi Iblis
Daun Setan. Tapi… apa aku bisa menjadi pendekar hebat seperti yang kau bilang?”
“Jangan khawatir Sandaka. Aku
akan buktikan dan nanti kau akan lihat sendiri hasilnya!” jawab Datuk Siptoka
seraya tepuk-tepuk bahu pemuda itu. Sambil menepuk dia kerahkan tenaga
dalamnya. Tubuh Sandaka seperti diguncang tapi tetap duduk tersandar. Orang
lain mungkin sudah terjerembab roboh.
Datuk Sipatoka menyeringai.
Diam-diam dia merasa gembira mendapatkan pemuda ini. “Satu hal yang harus
segera kau lakukan Sandaka, cepat cabut paku emas yang menancap di kemaluanmu
itu!”
Sandaka ulurkan tangan
kanannya. Jari-jarinya mencengekeram kepala paku emas. Terasa sangat panas.
Pemuda ini kerahkan tenaga.
Sekali tarik saja paku emas itu tercabut dari tempatnya menancap.
Bersamaan dengan itu secara
aneh paku yang tadinya berwarna kuning berubah menjadi hitam.
“Racun jahat benar-benar telah
terkuras habis dari tubuhmu. Buktinya paku emas telah berubah hitam.
Tidak beda seperti paku besi
biasa…” kata Datuk Sipatoka pula. Sandaka tarik nafas panjang lalu berkata,
“Satu paku berhasil dicabut. Tigapuluh lagi masih menancap di kepala, muka dan
tubuhku. Apakah bisa kusingkirkan dengan jalan mencabutnya datuk?”
“Jangan terlalu berani
bertindak anak muda. Paku-paku itu bukan benda sembarangan. Lagipula kulihat
menancap sampai jauh di dalam tubuhmu. Ada saatnya benda-benda itu bisa kita
singkirkan. Kelak kalau sepasang keris sakti di dasar jurang itu sudah
kumiliki, mencabut paku-paku celaka itu hanya satu urusan gampang seperti
membalik telapak tangan…”
“Sepasang keris sakti di dalam
jurang? Datuk, apa maksudmu?”
“Pertanyaanmu tidak akan
kujawab sekarang. Harap kau bersabar sampai aku merasa tiba saatnya untuk
menerangkan padamu…” jawab Datuk Sipatoka.
Bagaimana kisah Dewi Ular dan
Sandaka jatuh lalu masuk jurang batu pualam, kita kembali dulu pada apa yang
terjadi beberapa waktu sebelumnya. Seperti dituturkan dalam episode I (Dendam
Manusia Paku)
Dewi Ular mengajak Pendekar
212 Wiro Sableng ke tempat kediamannya, yakni sebuah bangunan terbuat dari batu
pualam terletak di lereng bebukitan batu. Tepat di depan bangunan terhampar
sebuah jurang yang menurut pandangan mata dalamnya sekitar enampuluh kaki.
Tetapi sebenarnya jurang ini memiliki kedalamannya lebih dari seratus duapuluh
kaki.
Di bangunan batu pualam, Dewi
Ular sengaja memancing murid Eyang Sinto Gendeng untuk membuktikan
kejantanannya. Sebaliknya, kesempatan ini digunakan oleh Wiro untuk menancapkan
paku emas ke pusar perempuan itu. Begitu paku menghujam dalam ke pusar Dewi
Ular, serta merta ilmu kesaktian perempuan yang dianggap setengah manusia
setengah iblis ini menjadi punah.
Walaupun demikian ketika Wiro
bertindak lengah Dewi Ular berhasil menendang perut sang pendekar.
Selagi dia terkapar, Dewi Ular
berusaha mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro yang terjatuh di lantai bangunan.
Saat itulah Sandaka si manusia paku tiba-tiba muncul di tempat itu. Dia
berhasil menguasai senjata mustika. Dengan kapak sakti ini dia kemudian
membabat tubuh Dewi Ular dua kali berturut-turut hingga luka besar mengerikan
terkuak di bahu kiri dan dada perempuan itu.
Dalam keadaan luka parah
bersimbah darah, di tepi jurang Dewi Ular berusaha minta pertolongan Wiro.
Namun Sandaka bertindak lebih
cepat. Sekali tendang saja tubuh perempuan itu terpental dan jatuh ke dalam
jurang. Setelah jeritan Dewi Ular lenyap di dalam jurang, kesunyian mengerikan
menggantung di tempat itu. Sandaka mengembalikan kapak sakti ke Wiro, lalu
memutar tubuh melangkah ke tepi jurang.
Wiro cepat menangkap apa yang
ada di kepala pemuda itu. Dia mengejar tapi terlambat. Sandaka lebih dulu
menjatuhkan dirinya ke dalam jurang batu pualam.
Selagi Wiro tegak
termangu-mangu di tepi jurang, tiba-tiba muncullah seorang penunggang kuda yang
berpakaian serba ungu yang ternyata adalah Anggini, murid Dewa Tuak. Setelah
tahu apa yang terjadi, Anggini yang merasa keadaannya seolah-olah
terkatung-katung karena baik Wiro maupun Eyang Sinto Gendeng sebegitu jauh
tidak memberikan tanda-tanda kepastian mengenai perjodohan mereka memandang ke
langit. Udara kelihatan mendung berat.
“Satu malapetaka besar telah
lewat…” berucap Anggini. Dia masih memandang ke langit di atasnya.
“Sebentar lagi agaknya akan
turun hujan lebat. Kita harus segera meninggalkan tempat ini Wiro…”
“Kau pergilah duluan. Di kaki
bukit batu tak jauh dari ujung jalan ada sebuah dangau. Tunggu aku di sana …”
“Kuda ini cukup kuat untuk
kita tunggangi berdua…” ujar sang dara pula.
Wiro tersenyum. “Agaknya rasa
jengkelnya terhadapku sudah lenyap. Hemmm… kalau begini tanpa disadarinya dia
menunjukkan sikap baik dan mesra…” membatin murid Sinto Gendeng. Lalu pada
Anggini dia berkata. “Kau lihat sendiri, badan dan pakaianku kotor. Kau
berangkat saja duluan, nanti aku menyusul…”
Anggini mengangguk. “Kulihat
badan dan pakaianmu memang kotor. Dari mana kau dapat pakaian aneh itu?
Mau-mauan memakai pakaian perempuan…”
“Hanya pakaian ini yang
kutemui ketika berhasil keluar dari sarang Dewi Ular, setelah guruku Eyang
Sinto Gendeng menghancurkan tempat itu…”
“Pakaianmu boleh aneh dan
kotor. Namun satu hal aku tahu… hatimu bersih…”
Wiro tertawa lebar. “Untuk
pujian itu aku akan pergi bersamamu sampai di mana pun juga!” lalu Pendekar 212
Wiro Sableng melompat ke atas kuda, duduk di belakang Anggini.
Hanya beberapa saat saja
setelah sepasang muda-mudi itu meninggalkan tepi jurang dan mulai menuruni
lereng bukit, dari balik sebuah batu besar seorang lelaki separuh baya,
berpakaian ringkas warna hijau dengan sebilah pedang pendek tersisip di
pinggangnya cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Agaknya ia tidak sempat
melihat kejadian jatuhnya Dewi Ular dan Sandaka ke dalam jurang. Bilamana dia
mampu menyelinap di balik batu besar tanpa Pendekar 212 Wiro Sableng maupun
Anggini mengetahui, jelas lelaki berpakaian hijau ini memiliki kepandaian
tinggi.
Orang ini menyelinap di antara
batu-batu besar di bebukitan hingga akhirnya sampai di satu tempat yang agak
rata. Di tempat ini kelihatan sembilan orang tegak mengelilingi sebuah tandu.
Delapan di antaranya mengenakan pakaian prajurit kerajaan. Mereka bertugas
sebagai pengusung tandu secara bergantaian.
Orang kesembilan adalah
seorang tua berjanggut dan berambut kelabu. Tidak seperti yang lainnya, orang
tua ini kelihatan asyik membaca sebuah kitab bertuliskan huruf-huruf kuno.
Melihat bentuk dan warna kitab tersebut agaknya berusia puluhan tahun.
Di atas tandu beratap ijuk,
duduk seorang lelaki bermuka pucat mengenakan jubah mewah berwarna merah pekat.
Pada dada kirinya tersemat sebentuk hiasan emas berupa lambang agung keraton.
Delapan orang prajurit dan dan orang yang duduk di atas tandu segera berpaling
begitu lelaki berpedang muncul.
Sebaliknya, orang tua berambut
kelabu terus saja membaca kitab sambil berdiri seolah tidak memperdulikan
keadaan dan orang-orang sekitarnya.
Lelaki berpedang dan
berpakaian ringkas hijau menjura di hadapan orang yang duduk di atas tandu.
“Pangeran Ipong Nalakudra,
saya datang memberi laporan.”
Ternyata lelaki bermuka pucat
berpakaian merah pekat itu adalah seorang pangeran. Dia anggukkan kepala lalu
berkata. “Beritahu hasil pengintaianmu…”
Lodaya Surakali, lelaki
separuh baya segera menjawab. “Murid nenek sakti Sinto Gendeng dan murid kakek
berjuluk Dewa Tuak itu memang benar saya lihat berada di dekat jurang batu
pualam. Tak lama saya sampai di sana mereka segera berlalu. Saya menaruh syak
wasangka penuh keduanya memang mengetahui kalau sepasang keris Nagasona
terpendam di dasar jurang. Mereka pergi begitu saja pertanda belum saatnya
mereka turun ke dalam jurang guna mengambil kedua keris sakti tersebut…”
“Atau mungkin mereka pergi
karena diam-diam sudah mengetahui kahadiranmu di tempat itu. Mereka pergi hanya
sekadar berpura-pura…” kata Pangeran Ipong Nalakudra.
Lelaki berpedang gelengkan
kepala. “Saya dengar mereka bicara hendak pergi ke satu tempat.”
“Jadi kau tahu ke mana mereka
pergi?” tanya sang pengeran.
“Mereka pergi ke sebuah dangau
di kaki bukit. Saya yakin keduanya hendak bermesraan di tempat itu…”
Pangeran Ipong Nalakudra
tersenyum. Sesaat mukanya yang pucat tampak kemerahan. “Bagaimana kau bisa
yakin mereka hendak bermesraan?”
“Saya tahu, antara keduanya
terjalin hubungan khusus sejak lama. Dangau di kaki bukit satu tempat sepi.
Perlu apa sepasang muda-mudi
pergi ke sana kalau bukan hendak bercumbu?”
“Lalu apa yang hendak kau
lakukan kini Lodaya? Kita sudah melakukan perjalanan hampir lima hari.
Tubuhku sangat letih. Kurasa
semua orang yang ada di sini juga sudah kecapaian!”
“Saya mengerti pangeran. Kalau
pangeran suka, harap kembali saja ke kotaraja. Saya akan melanjutkan
pengintaian seorang diri sampai akhirnya mengetahui kapan mereka akan turun ke
jurang batu pualam mengambil dua keris sakti itu.”
“Ingat Lodaya, mereka tidak
boleh lepas. Tidak boleh lolos! Kalau mereka berhasil mendapatkan sepasang
senjata mustika itu dan kau tidak berhasil merampasnya, berarti aku akan cacat
seumur hidup! Dan kegagalanmu itu harus kau bayar mahal Lodaya!”
“Saya tahu betul Pangeran
Ipong,” jawab Lodaya Surakali. “Percayalah, mereka tak akan lolos dari tangan
saya…”
Orang tua berjanggut dan
berambut kelabu di samping tandu yang masih asyik membaca kitab tua batukbatuk
beberapa kali. Pangeran muka
pucat berpaling pada si orang tua. Begitu juga yang lainnya, termasuk Lodaya.
“Ki Sepuh Dulantara,” menegur
Pangeran Ipong. “Dari tadi kau berdiam diri saja. Apa sekarang ada yang hendak
kau katakan?”
Orang tua itu membungkukkan
badannya sedikit pada Pangeran Ipong Nalakudra. “Pangeran, saya mana berani
bicara kalau tidak diminta. Saat ini saya hanya akan membaca apa yang tertulis
dalam Kitab Seribu Petunjuk Kuna ini.” si orang tua arahkan pandangannya pada kitab
yang dipegangnya. Lalu dia mulai membaca.
“Bilamana Bintang Kelimukus
muncul di langit malam, itulah satu pertanda terbukanya satu rahasia besar
mengenai sepasang keris sakti berusia lebih dari dua abad terpendam di dasar
jurang batu pualam, di satu tempat di mana tidak sembarang orang bisa
mengetahui. Air mendidih di dasar jurang akan surut dan kering secara ajaib. Di
antara dua celah batu runcing akan kelihatan dua sinar mencuat ke atas menembus
tanah dan bebatuan. Sinar merah kehitaman berasal dari keris jantan. Sinar
kuning kehitaman itulah dari keris betina. Barang siapa menguasai kedua keris
itu, maka dia akan menjadi raja diraja ilmu pengobatan, akan menjadi raja
diraja dunia persilatan. Pertanyaan kini kapan dan siapa yang tahu saat
munculnya Bintang Kelimukus yang konon hanya memperlihatkan diri di langit
sebelah tenggara sekali dalam tujuhpuluh tahun.
Petunjuk dalam buku ini tidak
akan ada artinya kalau manusia tidak mempergunakan akal. Karena itu…”
Bagian 4
Bacaan Ki Sepuh Dulantara
belum selesai, tiba-tiba di langit yang saat itu gelap oleh awan mendung
berkiblat cahaya kilat, disusul menggelegarnya guntur. Bukit batu itu bergetar
keras. Selagi semua orang yang ada di situ terbalut oleh kejut dan rasa ngeri,
tiba-tiba di saat yang bersamaan berkelebat satu bayangan disertai suara
mendesis keras. Selarik asap kuning menyambar kearah orang tua berambut dan
berjanggut kelabu itu.
Sebagai orang berkepandaian
tinggi dan memiliki segudang pengalaman, Ki Sepuh Dulantara maklum kalau asap
kuning yang menyambar ke arahnya mengandung racun jahat. Cepat orang tua ini
menyingkir ke kiri.
Tangan kanannya menghantam ke
depan. Selarik angin dahsyat menderu. Asap kuning langsung buyar berantakan.
Namun saat itu pula terdengar seruan Ki Sepuh Dulantara. Kitab Seribu Petunjuk
Kuna terlepas dari tangannya. Salah satu halamannya robek. Seseorang telah
merampas kitab yang sangat berharga itu!
Dalam kejut yang amat sangat
Ki Sepuh Dulantara, Lodaya Surakali dan Pangeran Ipong Nalakudra serta semua
yang ada di situ melihat seorang perempuan tegak di tempat agak ketinggian.
Dialah yang telah merampas kitab berharga itu karena kini kitab itu tampak
berada dalam kepitan tangan kirinya.
Perempuan ini tidak bisa
disebut muda lagi. Namun walau masih berusia agak lanjut, wajahnya menyatakan
bahwa di masa muda, paling tidak sampai beberapa tahun sebelumnya, dia memiliki
paras yang sangat cantik. Dia tegak dengan menyeringai. Barisan giginya tampak
rata dan bercahaya. Dia mengenakan pakaian berbentuk kemben terbuat dari kain
halus. Dadanya yang besar menggembung, seharusnya tampak putih menggairahkan.
Tetapi tidak bagi semua mata laki-laki yang ada di tempat itu.
Penyebabnya karena di lehernya
yang jenjang bergelung seekor ular berwarna hitam belang kuning. Di kepalanya dia
mengenakan sebentuk mahkota terbuat dari sosok ular hijau yang telah
dikeringkan.
“Ratu Ular!” seru Ki Sepuh
Dulantara dengan suara bergetar begitu mengenali siapa adanya perempuan di
hadapannya. Mendengar nama yang disebutkan itu, yang lain-lain jadi tercekat.
Lodaya Surakali melirik pada Pangeran Ipong lalu memberi tanda bahwa kemunculan
Ratu Ular di tempat itu membawa satu bahaya besar. Yang jelas, dia sudah
merampas Kitab Seribu Petunjuk Kuna.
Perempaun di hadapan Ki Sepuh
Dulantara tersenyum. “Bertemu cuma satu kali, itu pun sepuluh tahun silam.
Ternyata kau masih mengenali diriku!”
“Orang hebat berkepandaian
tinggi, menggetarkan tujuh penjuru angin, siapa yang tak kenal padamu Ratu
Ular?” sahut Ki Sepuh Dulantara.
Ratu Ular tertawa tinggi. Dia melirik
pada Lodaya Surakali dan Pangeran Ipong Nalakudra lalu berkata.
“Seorang pangeran sampai
jauh-jauh berada di tempat ini, tentu ada sesuatu yang luar biasa dan sangat
penting. Ki Sepuh Dulantara, bisakah kau menerangkan mengapa kalian berada di
sini?”
“Ah, Ratu Ular bicara jumawa.
Sebagai orang berkepandaian tinggi, tentu kau sudah menyerap kabar dan tahu apa
sebab kami berada di sini. Nyatanya kau sendiri berada di sini…”
“Orang tua, aku suka sikap
bicaramu. Tapi aku tidak suka menyembunyikan sesuatu. Aku kemari untuk mencari
jejak muridku Dewi Ular. Dia tidak kutemukan. Tapi aku merasa bersyukur karena
sekali pun tidak bertemu muridku namun bisa mendapatkan kitab hebat ini…” sahut
Ratu Ular pula.
Pangeran Ipong melihat gelagat
yang kurang baik ini cepat memasuki pembicaraan. “Kami di sini dalam rangka
mencari sejenis obat yang kabarnya mampu menyembuhkan kedua kakiku yang
lumpuh…”
“Oh, begitu…?” Ratu Ular
memperhatikan sepasang kaki Pangeran Ipong yang tertutup jubah merah.
“Sayang sekali aku tak bisa
membantu menemukan obat itu. Sayang juga aku tidak punya banyak waktu.
Aku harus pergi sekarang.
Terima kasih untuk buku yang kau berikan ini!”
“Ratu Ular, tunggu!” berseru
Ki Sepuh Dulantara.
Perempuan berkemben kain halus
itu berpaling. “Orang tua, ada sesuatu yang hendak kau sampaikan?”
“Kitab itu, aku tidak merasa
pernah memberikannya padamu!”
“Ah, begitu? Mungkin kau
lupa?”
“Ki Sepuh Dulantara benar!”
berkata Pangeran Ipong dari atas tandu. “Kami semua di sini tahu dan melihat.
Dia tidak pernah memberikan
kitab itu padamu. Kau merampasnya!”
“Oh, begitu?! Aku
merampasnya?!” ujar Ratu Ular, lalu tertawa panjang. “Bukan main! Kalau begitu
betapa jahatnya diriku! Padahal aku sebenarnya sudah sangat berbaik hati pada
tua bangka buruk rambut kelabu ini!”
Paras Ki Sepuh Dulantara
tampak berubah. Kalau orang lain bicara begitu padanya pasti sudah dilabraknya.
Tapi maklum kalau dia
berhadapan dengan orang berkepandaian sangat tinggi dan terkenal ganas, maka
dia berusaha bersikap sabar. “Berbaik hati bagaimana maksudmu Ratu Ular?”
“Berbaik hati karena aku hanya
merampas kitabmu, tidak ikut merampas nyawamu!”
Ki Sepuh Dulantara sampai
tersurut satu langkah mendengar ucapan Ratu Ular. Di atas tandu, PAngeran Ipong
memberi tanda pada Lodaya Surakali. Lelaki separuh baya berpedang pendek ini
segera maju ke hadapan Ratu Ular. “Ratu Ular, Pangeran meminta padamu agar
segera mengembalikan kitab itu…”
“Hemmm… siapa kau?” tanya Ratu
ULar dengan sikap memandang rendah walau hatinya tertarik juga melihat kegagahan
wajah lelaki ini.
“Aku Lodaya Surakali. Biasa
dipanggil dengan gelar Pendekar Pedang Pendek. Aku bekerja untuk Pangeran
Ipong.”
“Jadi kau orang keraton.
Bagus, katakan pada pengeranmu mengapa dia tidak bisa bicara sendiri padaku
meminta kitab ini?”
“Sudahlah, mengapa hal itu
menjadi urusan. Aku mohon kitab itu diserahkan padaku. Itu merupakan salah satu
benda pusaka keraton.”
“Kalau ini merupakan benda
pusaka keraton, mengapa bisa berkeliaran di luar. Jangan-jangan pangeranmu
telah mencurinya untuk kepentingan sendiri!”
“Ratu Ular!” teriak Pangeran
Ipong dari atas tandu. “Kau tak layak tahu tentang segala hal menyangkut kitab
itu. Yang penting lekas serahkan pada orangku lalu angkat kaki dari sini…”
“Pangeran lumpuh! Kalau aku
tidak mengembalikan kitab ini kau mau berbuat apa?!” tanya Ratu Ular dengan
wajah mengejek.
“Jangan terlalu sombong Ratu
Ular. Aku bisa memerintahkan penangkapan atas dirimu. Jangan sampai kau
menyesal seumur-umur!” jawab Pangeran Ipong sementara Ki Sepuh Dulantara yang telah
banyak siapa adanya Ratu Ular tampak berdiri gelisah.
Ratu Ular tertawa panjang
mendengar kata-kata sang pangeran. Pangeran Ipong jadi habis kesabarannya.
“Lodaya! Ambil kitab itu,
kalau dia melawan, bunuh!”
Dalam hati Ki Sepuh Dulantara
mengeluh cemas. “Pangeran belum tahu tingginya tingkat kepandaian perempuan
itu. Juga belum tahu keganasannya. Aku harus cepat mencegah sambil mengatur
siasat…”
Orang tua berambut kelabu
cepat bergerak mendekati LOdaya Surakali. Tapi orang yang berjuluk Pendekar Pedang
Pendek sudah keburu berkelebat. Tubuhnya berubah menjadi bayangan hijau warna
pakaiannya.
Tangan kirinya mendorong ke
arah bahu Ratu Ular sedang tangan kanan menyambar ke arah kitab dalam kepitan
tangan kiri.
Ratu Ular keluarkan tawa
melengking. Dia hanya tegak bertolak pinggang. Sedikit pun tidak bergerak.
Yang membuat gerakan justru
ular besar belang hitam kuning yang bergelung di lehernya. Binatang ini
mendesis keras lalu gelungannya terlepas dan tubuhnya menyambar ke arah Lodaya
Surakali. Kepalanya mematuk cepat ke arah muka lelaki berjuluk Pendekar Pedang
Pendek ini.
Semua orang yang menyaksikan
melengak tegang. Mereka melihat bagaimana patukan ular datang lebih cepat dari
gerakan dua tangan Lodaya Surakali yang berusaha memukul bahu lawan dan
merampas kitab.
“Binatang jahanam!” maki
Lodaya. Dia terpaksa mencari selamat. Sambil merunduk, tangan kanannya bergerak
cepat mencabut pedang pendek di pinggang. Lalu “Wuuuuttt!” sinar putih pedang
yang terbuat dari besi bercampur perak murni menyambar disertai deru angker.
Sekejap lagi putuslah leher ular hitam belang kuning itu.
Tapi apa lacur. Yang terjadi
malah kebalikannya. Bukan ular itu yang celaka, namun Lodaya Surakali yang
terdengar menjerit keras. Pedang perak terlepas dari genggamannya. Kedua
tangannya kini dipergunakan untuk menekap mata kiri yang kini telah jebol
mengucurkan darah akibat patukan ular besar. Sekali lagi orang ini menjerit
lalu lututnya menekuk. Sesaat kemudian tubuhnya roboh tergelimpang. Kulit di
sekujur tubuhnya, mulai dari muka hingga ke ujung kaki kelihatan menghitam
akibat racun ular!
Ratu Ular menyeringai,
memandang pada Pengeran Ipong lalu pada Ki Sepuh Dulantara. Kitab masih berada
dalam kepitan tangan kiri, sedang tangan kanan dipergunakan untuk mengusap-usap
kepala ular besar yang saat itu kembali bergelung di lehernya. “Ada lagi yang
kepingin cepat-cepat menghadap Raja Akhirat?!” tanyanya. Tak ada yang berani
menjawab. Juga tak ada yang berani bergerak.
Hujan turun rintik-rintik tak
lama setelah Wiro Sableng dan Anggini tiba di dangau di kaki bukit batu.
“Kurasa ada keanehan ketika
Dewi Ular jatuh ke dalam jurang batu…” Wiro membuka pembicaraan sambil
memperhatikan pakaian yang dikenakannya, yaitu pakaian perempuan yang
didapatnya sewaktu menyelamatkan diri dari tempat kediaman Dewi Ular.
“Keanehan apa maksudmu?” tanya
Anggini.
“Jurang batu itu dari atas
kelihatannya cuma sedalam enampuluh kaki. Tapi pandangan mata bisa salah karena
sebenarnya dasar jurang lebih seratus kaki…”
“Itu keanehan yang kau
maksudkan?”
Wiro menggeleng. “Waktu
perempuan itu jatuh dia menjerit keras. Namun suara jeritannya mendadak lenyap
pada kedalaman yang aku yakin belum mencapai dasar jurang. Sesuatu terjadi
dengan dirinya…”
“Bisa saja dia jatuh pingsan
selagi melayang jatuh. Atau kepalanya membentur batu jurang…” kata murid Dewa
Tuak pula.
“Dugaanmu yang pertama mungkin
saja. Dugaan kedua kurasa tidak, karena dinding jurang lurus sampai ke dasar.
Aku khawatir kalau sesuatu terjadi dengan dirinya…”
“Hemmm, kau mengkhawatirkan
dirinya. Justru itu yang aneh!”
Pendekar 212 garuk-garuk
kepala. “Bukan khawatir apa. Yang aku khawatir kalau-kalau dia tidak mati.
Ada yang menolong…”
“Hantu atau setan jurang?”
Wiro tak bisa menjawab. Dalam
hati dia tetap saja merasakan ada sesuatu.
“Daripada membicarakan
perempuan itu, lebih bagus kau menceritakan padaku bagaimana kau bisa
mengenakan pakaian perempuan seperti ini?”
“Ah! Ini…” Wiro tertawa lebar
dan kembali garuk-garuk kepala. Dia merasa tidak ada perlunya menyembunyikan
apa yang terjadi antara dia dan Dewi Ular di bangunan batu pualam. Anggini
mendengarkan dengan wajah
bersemu merah.
“Gila! Itu pekerjaan yang
paling berat dalam hidupku! Kalau aku tidak dibebani tugas mahabesar, mungkin
bukan paku emas itu yang aku tancapkan pada tubuhnya!”
Anggini memalingkan wajahnya
mendengar kata-kata Pendekar 212. Dalam hati dia berkata. “Tabiatnya masih
tidak berubah sejak dulu. Bicara seenaknya…”
“Eh, mengapa kau memalingkan
muka dan tiba-tiba jadi diam saja?” tanya Wiro sambil mengulum senyum.
“Kau masih untung…” sahut
Anggini.
“Untung bagaimana?”
“Waktu gurumu meledakkan
sarang Dewi Ular, kau masih bisa menemukan pakaian walau pakaian perempuan.
Kalau di sana tak ada pakaian kau bisa memperkirakan bagaimana keadaanmu saat
ini…”
Wiro terdiam lalu tertawa
tergelak. “Kau betul! Aku masih untung walau jadi seperti banci begini! Tapi
sudahlah, mengapa kita harus membicarakan perempuan ular itu. Kukira ada
baiknya kita membicarakan hubungan kita…”
Anggini menatap paras si
pemuda dengan hati bergetar.
“Selama ini kau mendesakku
agar kita membicarakan soal perjodohan itu. Aku berpikir-pikir sebaiknya kita
mempertemukan saja guru-guru kita, biar mereka bicara langsung…”
“Mempertemukan mereka bukan
soal gampang. Kalaupun bisa dipertemukan, dua kakek nenek itu bisa saja
melantur bicara yang lain-lain…”
“Mereka semakin tua, tentu ada
perubahan dalam hati dan jalan pikiran. Kurasa ada baiknya kau pergi menemui
Dewa Tuak, aku menemui Eyang Sinto Gendeng lalu kita atur waktu dan tempat
pertemuan bagi mereka. Kita ikut hadir di sana…”
“Aku menurut saja,” jawab
Anggini.
Wiro tatap paras gadis itu
lekat-lekat. Seolah baru menyadari betapa paras Anggini begitu cantik. dihias
sepasang mata yang bagus dan bening. Perlahan-lahan tangan kanannya diulurkan
untuk membelai rambut si gadis. “Mungkin selama ini aku begitu saja
melupakannya. Menyia-nyiakannya… Mungkin sudah saatnya aku harus lebih dekat
dengannya. Aku tahu betul dia sangat mencintaiku dan gurunya Dewa Tuak
menginginkan diriku jadi suaminya…”
“Apa yang kau pikirkan…?”
bisik Anggini bertanya sambil pegang dan mengusap lengan pemuda itu.
“Ada serombongan orang yang
mendatangi…”
“Hah! Apa?!” kejut Anggini
karena lain yang ditanya lain yang dijawab. Dia mengikuti pandangan pemuda itu
lalu berpaling ke jurusan yang dilihat Wiro.
Dari arah kaki bukit batu
pualam sebelah timur, di bawah hujan rintik-rintik Anggini melihat empat orang
prajurit berlari menggotong sebuah tandu. Di atas tandu duduk seorang lelaki
berjubah merah. Empat prajurit lagi berlari di samping tandu. Lalu di sebelah
belakang mengikuti seorang tua berambut dan berjanggut serba kelabu.
Dalam waktu singkat rombongan
itu sampai di depan dangau. Empat prajurit turunkan tandu lalu bersama empat
kawannya yang lain mereka segera mengurung dangau sementara orang tua rambut
kelabu tegak rangkapkan tangan di depan dada sambil menatap tajam pada Anggini
dan Wiro. Sepasang muda-mudi di atas dangau lepaskan rangkulan masing-masing.
“Siapa mereka?” tanya Anggini.
“Belum bisa kuduga. Kau tetap
di sini.” Lalu Wiro melompat turun dari atas dangau.
“Rombongan dari mana datang ke
sini? Apa hendak berbagi tempat berteduh? Silakan naik ke atas dangau.
Tapi karena dangau kecil,
tidak semua kalian bisa naik…” Wiro menegur sambil matanya ditujukan pada orang
bermuka pucat berjubah merah di atas tandu. Dia telah melihat perhiasan emas
yang tersemat di dada kiri orang ini yang menandakan bahwa dirinya seorang
pejabat tinggi atau penguasa kerajaan.
Orang tua berambut kelabu
angkat tangan kanannya. “Kami rombongan Pangeran Ipong Nalakudra dari
Kotaraja,” katanya. “Kami datang untuk mendapatkan keterangan kapan Bintang
Kelimukus muncul!”
“Eh?! Apa-apaan ini?!” ujar
Wiro heran lalu berpaling pada Anggini. “Sejak kapan aku jadi ahli
perbintangan?!”
“Pendekar 212 Wiro Sableng dan
kau juga murid Dewa Tuak Anggini, jangan coba menyembunyikan apa yang kau
ketahui!” kata orang tua berambut kelabu yang bukan lain adalah Ki Sepuh
Dulantara.
“Astaga Anggini! Mereka tahu
siapa kita!” ujar Wiro lagi-lagi sambil berpaling pada Anggini dan kini malah
sambil garuk-garuk kepala.
“Pendekar 212…” Pangeran Ipong
yang duduk di atas tandu ikut bicara. “Karena menguntit kalian, kami telah
kehilangan seorang anggota! Mati dibunuh Ratu Ular! Jadi kuharap kau segera
saja memberi keterangan! Aku memerlukan penjelasan mengenai Bintang Kelimukus
itu!”
“Siapa suruh kalian menguntit
kami?! Kalau ada anggota kalian yang menemui ajal, itu tanggung jawab kalian
sendiri!” Dari atas dangau Anggini mendamprat.
“Murid Dewa Tuak!” membentak
Ki Sepuh Dulantara. “Jaga mulutmu! Kau bicara dengan Pangeran Ipong Nalakudra
dari keraton!”
Anggini jadi sewot. Dia hendak
mendamprat kembali tapi Wiro memberi isyarat. Dia berpaling pada orang yang
duduk di atas tandu. “Harap maafkan sahabatku itu. Kalian muncul secara
tiba-tiba, mengatakan telah menguntit kami! Bicara tentang anggota yang mati di
tangan Ratu Ular. Lalu menanyakan Bintang kelimukus. Terus terang saja, bisa
dikatakan kalian muncul tidak tahu juntrungannya. Tentu saja kami jadi heran.
Coba bicara baik-baik biar tidak terjadi salah paham…”
Melihat Wiro bicara lunak,
kejengkelan Pangeran Ipong dan Ki Sepuh Dulantara jadi mengendur. Orang tua ini
lantas berikan keterangan. “Kami mendapat petunjuk dan berhasil menyerap kabar
bahwa di dasar jurang batu pualam tersembunyi sepasang keris sakti bernama
Nagasona. Satu betina satunya jantan. Menurut catatan kuna dan silsilah yang
ada di keraton, sepasang senjata itu berasal dari tua-tua kerajaan beberapa
puluh tahun lalu yakni dari Kerajaan Singosari.. Selain kedua keris itu adalah
milik sah kerajaan, juga mempunyai daya pengobatan luar biasa. Pangeran Ipong
Nalakudra menderita lumpuh sejak usia limabelas tahun. Hanya sepasang keris itu
yang bisa mengobati kelumpuhannya…”
“Lalu apa hubungan sepasang
keris Nagasoma dengan kami?” tanya Wiro.
“Kami yakin kalian mengetahui
kapan munculnya Bintang Kelimukus. Karena pada saat bintang itu muncul di
langit, pada saat itu pula ada petunjuk di mana letak tepatnya dua bilah keris
mustika itu…”
“Walah!” Wiro berusaha menahan
tawa dan garuk-garuk kepala, sementara Anggini sambil senyumsenyum
geleng-gelengkan kepala.
Bagian 5
“Pangeran Ipong, keyakinan
kalian tidak berdasar. Kami berdua tidak tahu menahu soal keris Nagasona itu.
Kami…”
“Tapi!” memotong Pangeran Ipong
dengan cepat. “Kalian berdua kami ketahui berada di tepi jurang batu pualam.
Kalau tidak ada sangkut pautnya dengan senjata-senjata sakti itu, apa perlunya
kalian jauh-jauh tersesat ke sana…?!”
“Pangeran, apakah kau pernah
mendengar nama Dewi Ular?” bertanya Wiro.
“Apa sangkut paut perempuan
jahat itu dengan urusan ini?!” bentak Ki Sepuh Dulantara.
“Justru Ratu Ular, guru Dewi
Ular yang telah membunuh salah satu anggota kami!” tukas Pangeran Ipong pula.
“Sudahlah, sekalipun kita
bertengkar sampai pagi dan pagi lagi tak ada gunanya. Dengan jujur aku katakan
aku tidak tahu menahu tentang sepasang keris Nagasona. Juga tidak tahu kapan
munculnya Bintang Kelimukus!”
“Dia berdusta Pangeran!” kata
Ki Sepuh Dulantara.
Pangeran Ipong mengangguk.
“Siapa percaya pada pemuda sableng yang mengenakan pakaian perempuan ini! Paksa
dia bicara! Kalau tidak mau memberi keterangan, hajar! Kalau perlu sampai
mampus!”
Mendengar ucapan Pangeran
Ipong, Anggini langsung melompat dari atas dangau. Ki Sepuh Dulantara maju
selangkah lalu berkata. “Kalian membangkang terhadap permintaan pangeran!
Berarti kalian membangkang terhadap kerajaan! Dengar dua anak muda. Aku akan
menangkap kalian secara baikbaik.
Tapi jika tidak mungkin,
jangan menyesal kalau kami menjatuhkan tangan kasar!”
Orang tua ini lantas berikan
isyarat pada delapan orang prajurit. Serta merta mereka yang sejak tadi memang
telah mengurung maju mendekat lalu menyergap.
“Kasihan! Kalian hanya jadi
korban perintah pangeran tolol!” teriak Anggini. Murid Dewa Tuak berkelebat.
Tangan dan kakinya bergerak.
Pendekar 212 tidak ketinggalan. Dia tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Tapi dua tangannya lepaskan
dua pukulan kosong.
Enam jeritan mengumandang.
Enam orang prajurit berpelantingan dan bergelimpangan di tanah. Tiga kelihatan
pegangi perut, dua menutupi mata yang bengkak sedang satunya lagi
melompat-lompat kesakitan sambil pegangi tulang keringnya yang kena tendang
Anggini dan serasa mau patah!
Dua prajurit yang tidak sempat
kena hantaman serta merta mencabut pedang masing-masing. Yang diserang cepat
merunduk lalu menyusup di bawah sambaran pedang sambil menghantam. Kembali
terdengar jeritan keras. Dua prajurit mencelat mental. Yang satu muntah darah,
satunya lagi menjerit berguling-guling karena sambungan siku tangan kanannya
hancur dikepruk Wiro Sableng.
Di atas tandu Pangeran Ipong
kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak ke samping. Ternyata di atas bangku
tandu ada sebuah busur kecil serta selusin anak panah. Dengan gerakan cepat
Pangeran Ipong mengambil busur itu dan merentang dua anak panah sekaligus!
Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu dua anak panah melesat di udara. Hebatnya
walau lepas dari satu busur yang sama namun dua anak panah itu mampu melesat
pada dua sasaran yakni Wiro dan Anggini!
“Anggini awas panah!” teriak
Wiro memberitahu. Murid Dewa Tuak tanggalkan selendang sutera ungu yang melilit
di lehernya. Sekali selendang ini dikebutkan, kekuatannya berubah seperti
sepotong besi.
“Traakk!”
Anak panah yang menyerang
Anggini hancur berkeping-keping. Anak panah kedua yang melesat ke arah Pendekar
212 tiba-tiba berbalik dan menghantam ke arah Pangeran Ipong begitu murid Eyang
Sinto Gendeng lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Pangeran ini terkejut bukan main. Dengan cepat dia gerakkan tangan kanannya
yang masih memegang busur.
“Traakk! Traakk!”
Busur dan anak panah sama-sama
patah tapi sang pangeran sendiri selamat dari senjata makan tuan!
“Pendekar 212 bukan nama
kosong!” ujar Pangeran Ipong. “Aku mau lihat apa kau juga mampu menerima
serangan ini!” lalu dari atas bangku tandu diambilnya sekaligus delapan buah
anak panah. Dengan gerakan luar biasa cepat ke delapan anak panah itu
dilemparkannya ke arah Wiro. Delapan anak panah menyerang di delapan bagian
tubuh Pendekar 212. Dua di antaranya di bagian kepala dan satu mengarah leher.
“Ganas sekali!” kertak Wiro.
Dia melompat ke samping kiri seraya menghantamkan dua tangan sekaligus.
Meski enam anak panah sanggup
dibuat mental namun anak panah ke tujuh menyusup di bahu kiri pakaiannya.
Terasa perih tanda ujung panah sempat mengiris daging bahunya. Anak panah ke
delapan yang mengarah pinggang tak sempat dielakkan sang pendekar. Sebelum
senjata itu menancap telak di tubuhnya dari samping Anggini kebutkan selendang
ungunya. Ujung selendang menghantam panah hingga patah bermentalan.
Pangeran Ipong berteriak
marah. Dua anak panah yang masih ada di bangku segera dilemparkan ke arah
Anggini. Si gadis tak kalah marahnya Dia keluarkan jurus “selendang dewa
memagut naga menghancurkan matahari.”
Selendang ungu di tangan
Anggini memukul lurus ke depan. Bukan saja senjata andalannya ini mampu membuat
mental dan hancur dua buah anak panah yang datang menyerang namun di lain kejap
hampir tidak terlihat oleh Pangeran Ipong tahu-tahu selendang ungu itu telah
menggelung lehernya!
“Kau boleh membuat gerakkan
konyol apa saja Pangeran! sekali aku menyentakkan tangan tulang lehermu akan
remuk!”
Murid Dewa Tuak memang tidak
punya maksud membunuh pangeran berkaku lumpuh itu. Maklum kalau si gadis tidak
akan mencelakainya maka Pangeran Ipong berteriak pada Ki Sepuh Dulantara. “Kau
tunggu apa lagi?! Kau harus dapatkan keterangan dari meeka Bagaimana caranya
terserah!”
Ki Sepuh Dulantara memandang
tak berkesip pada Anggini, melirik ke arah Wiro. Dia sudah lama mendengar
kehebatan pemuda ini dan juga tindakan-tindakannya yang menjurus pada
kekurangajaran.
Walau dia menganggap tingkat
kepandaian Wiro masih di bawah Ratu Ular namun untuk mencari perkara dengan
pemuda ini dia harus pikir dua kali. Apalagi disaksikannya sendiri bagaimana
tadi Wiro dan Anggini menghajar delapan prajurit hingga babak belur. Namun
sebagai orang yang tunduk pada perintah Pangeran Ipong kalau dia tidak berbuat
apa-apa pasti sang pangeran akan marah besar terhadapnya.
“Pendekar 212, kami telah
meminta secara baik-baik padamu agar memberi tahu apa yang kau ketahui tentang
kemunculan bintang Kalimukus….”
“Meminta baik-baik dengan
menyuruh delapan prajurit itu menyerang kami?!” tukas Wiro.
Anggini menimpali. “Pangeranmu
malah menyerang kami dengan selusin panah!”
“Kami masih mau menyelesaikan
urusan ini secara kekeluargaan. Jika kau membuat jasa pada Pangeran Ipong
masakan kerajaan tidak akan mengingat dan membalas kebajikanmu itu…” ujar Ki
sepuh Dulantara pula.
“Kalian telah menjatuhkan
tangan jahat! Mana kami mau percaya! Jika mau menganggap urusan selesai
sebaiknya kau gotong pangeramu itu cepat-cepat meninggalkan tempat ini!”
“Ki Sepuh! Lekas kau beri
pelajaran pada pemuda kurang ajar itu!” teriak Pangeran Ipong. Tak perduli
walaupun lehernya masih dijerat selendang dia gerakkan tangan kanannya ke balik
jubah merah. Begitu tangan keluar Anggini melihat sang pangeran menggenggam
beberapa buah benda berbentuk bintang kepala enam, terbuat dari besi tipis
hitam. Senjata rahasia! Dari warnanya yang hitam jelas bintang besi itu
mengandung racun.
“Pangeran apa yang hendak kau
lakukan….?” tanya Anggini
“Kau bertanya! Kau boleh
mendapatnya lebih dulu!” jawab Pangeran Ipong. Lalu tangan kanannya bergerak ke
arah kepala Anggini. Maksudnya tentu saja hendak melemparkan senjata rahasianya
itu pada si gadis.
Tapi Anggini yang dari tadi
sudah bersikap waspada, apalagi selendangnya masih melilit di leher sang
pangeran tentu saja mampu bergerak lebih cepat. Begitu ujung dua jari tangan
kirinya menusuk punggung lelaki lumpuh itu, tubuh Pangeran Ipong serta merta
kaku. Dia seolah berubah jadi patung dengan tampang mengerenyit sedang tangan
kanan terangkat ke atas.
“Anak gadis! Kau melakukan
kesalahan besar!” teriak Ki Sepuh Dulantara. Orang tua ini melompat ke arah
Anggini. Selagi tubuhnya melayang di udara tangan kanannya sudah bergerak
mengirimkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Yang diserang tak tinggal
diam. Apa yang dilakukan murud Dewa Tuak membuat Ki Sepuh Dulantara berteriak
kaget. Dia cepat tarik serangannya tapi terlambat.
Pukulan tangan kosong yang
dilepaskan orang tua berambut kelabu itu menghantam dada Pangeran Ipong yang
tubuh kakunya diangkat oleh Anggini dan dijadikan tameng untuk melindungi
dirinya!
Meski dalam keadaan kaku
akibat totokan Anggini namun begitu hebatnya hantaman pukulan yang dilepaskan
Ki Sepuh Dulantara tubuh Pangeran Ipong tampak menggeliat. Mulutnya menganga
mengeluarkan darah!
“Jahanam! Kau membunuh
pangeran kami!” teriak Ki Sepuh Dulantara marah sekali. Padahal sang pangeran
hanya pingsan. Tidak tunggu lebih lama dia segera menyerbu Anggini. Murid Dewa
Tuak siap menyambut serangan si orang tua namun dari samping saat itu tiba-tiba
saja Pendekar 212 memotong gerakannya. Melihat ada yang berusaha menghalangi
serangannya Ki Sepuh Dulantara berbalik dan memukul.
Wiro angkat tangan dan
menangkis.
“Bukkk!”
Dua lengan saling beradu.
Orang tua rambut kelabu mengeluh tinggi dan terbungkuk-bungkuk sambil pegangi
tangannya yang sakit laksana dihantam pentungan besi. Sebaliknya Wiro sendiri
terjajar dua langkah. Ketika diperiksa ternyata lengan kanannya tampak bengkak
membiru. Sambil mengurut-urut lengannya yang bengkak Wiro perhatikan Ki Sepuh
Dulantara yang masih terbungkuk-bungkuk kesakitan.
Pada saat itulah selintas
pikiran muncul dibenakknya. Meskipun sudah lanjut usia namun orang tua ini
masih memiliki tubuh kokoh dengan perawakan sama besar seperti Wiro.
“Tinggi sama. Besar dadanya
juga sama denganku. Pasti ukuran pakaiannya … Hemmm…Mengapa tidak kulakukan?”
Memikir sampai di situ murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu segera dekati
Ki Sepuh Dulantara sambil tersenyum-senyum.
“Orang tua, apakah kau akan
meneruskan perkelahian?!” Wiro bertanya.
Merasa diejek dengan
pertanyaan itu, apalagi Wiro bicara sambil mengulum senyum Ki sepuh Dulantara
jadi marah sekali. Anggini sendiri terheran-heran melihat sikap pemuda itu.
“Apa yang ada dibenak si konyol itu,” pikirnya.
“Jahanam! Makan tanganku!”
teriak si orang tua lalu hantamkan satu jotosan ke kepala Wiro.
Yang diserang cepat
menghindar. Begitu tangan si orang tua lewat didepannya Wiro segera susupkan
satu totokan ke ketiak lawan. Tapi Ki Sepuh ternyata cukup gesit. Begitu
berhasil menghindari totokan yang bisa melumpuhkan sekujur tubuhnya itu, si
orang tua lancarkan serangan kilat berupa pukulan tangan kiri kanan.
Demikian cepatnya serangan ini
hingga yang terdengar hanya suara bak-buk-bak-buk. Tubuh pendekar 212
terguncang keras beberapa kali lalu terpelanting dan jatuh duduk di tanah.
Dadanya mendenyut sakit.
Selagi dia mencoba bangkit
kaki kanan Ki Sepuh Dulantara datang menyambar.
“Orang tua, sekarang
giliranku!” teriak Wiro. Dengan salah satu kaki dia menghantam tulang kering
kaki kiri Ki Sepuh Dulantara yang berpijak di tanah.
“Patah!” teriak murid Sinto
Gendeng.
“Bukkk!”
Tendangan Wiro mendarat tepat
di tulang kering kaki Ki Sepuh Dulantara. Tapi kaki itu tidak patah. Dia hanya
terhuyung-huyung sedikit. Malah yang membuat Wiro jadi geram ialah sewaktu dilihatnya
Ki Sepuh Dulantara memandang padanya dengan seringai penuh ejek.
“Gila! Ilmu apa yang dimiliki
tua bangka ini?” ujar Wiro dalam hati. “Tadi waktu bentrokkan lengan jelas dia
kesakitan. Rupanya kini dia mengeluarkan ilmu kebal aneh!” Selagi lawan masih
terhuyung-huyung dia cepat menyergap dan hantamkan empat jotosan di dada orang.
Lagi-lagi Wiro jadi terperangah ketika dia merasa bagaimana empat kali dia
menjotos dada empat kali dia seperti menghantam tumpukan kapas empuk! Penasaran
Wiro lancarkan lagi pukulan keras berulang kali. Kini yang dihantamnya adalah
perut orang tua itu. Lama-lama tangannya seperti kesemutan. Dengan muka
keringatan dan nafas mengengah Wiro hentikan serangannya,menatap si orang tua
dengan pandangan heran.
“Nama besar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 ternyata hanya nama kosong belaka! Aku mau lihat sampai
dimana kekuatan tulang belulangmu!” Ki Sepuh Dulantara tutup ucapannya dengan
satu gerakan kilat. Tangan kiri mencekal tengkuk sang pendekar sedang tangan
kanan mencengkeram pinggang pakaiannya. Tubuh Wiro diangkatnya ke atas
diputarnya beberapa kali lalu dilemparkannya ke arah danau.
“Brakkk!”
Dua buah tiang dangau yang
terbuat dari bambu patah karena hantaman tubuh Wiro hingga bangunan yang memang
sudah agak lapuk itu roboh berantakan.
Wiro tentu saja menderita
kesakitan sekujur badannya terutama pada pinggang. Namun yang berteriak justru
orang tua berambut kelabu itu. Apa yang terjadi? Ketika tubuhnya diangkat ke
atas dan diputarputar beberapa kali, sebelum dilemparkan ke danau Wiro susupkan
dua tangannya mencengkeram bahu baju yang dikenakan Ki Sepuh Dulantara. Begitu
tubuhnya dilempar dia cepat merenggut. Akibatnya baju tak berkancing yang
melekat ditubuh orang tua terlepas tanggal! Kini Ki Sepuh Dulantara tegak dalam
keadaan setengah telanjang dan memaki panjang pendek.
Tenang saja malah sambil
senyum-senyum Wiro bangkit berdiri lalu cepat kenakan baju yang berhasil
dirampasnya itu.
“Bangsat kau benar-benar
mencari mati berani menghinaku! Lekas kembalikan bajuku!” teriak Ki Sepuh
Dulantara marah.
“Kalau kau punya kemampuan
silahkan ambil sendiri!” sahut Wiro. Lalu dia melompat dan lancarkan tendangan
ke arah kaki lawan. Dalam marahnya Ki Sepuh Dulantara bukannya menghindar tapi
malah angkat kaki kanannya menyongsong tendangan dengan tendangan!
“Pasti dia akan mengandalkan
ilmu empuk-empuk itu!” pikir Wiro. “Silahkan saja! Kali ini dia akan kutipu!”
Begitu kaki kanan Ki Sepuh
Dulantara melesat ke atas Wiro berkelebat ke samping. Dari samping dia gunakan
tangan kanan untuk mengangkat tumit lawan tinggi-tinggi sambil tangan kirinya
mendorong ke arah yang berlawanan.
Akibatnya tak ampun lagi Ki
Sepuh Dulantara jatuh tertelentang di tanah. Selagi orang tua itu terhenyak
nanar, Wiro pergunakan kesempatan untuk mencengkeram kaki celana panjang yang
dikenakan orang tua ini lalu membetotnya dengan sekuat tenaga.
“Kurang ajar! Hai!”
Apa yang terjadi dapat
dibayangkan. Kalau tadi Ki Sepuh Dulantara hanya setengah telanjang kini orang
tua itu benar-benar bugil karena ternyata dibawah celananya itu dia sama sekali
tidak mengenakan apa-apa.
Wiro lambaikan celana milik Ki
Sepuh Dulantara pada Anggini yang masih tegak dekat tandu lalu berkelebat ke
balik runtuhan dangau. Anggini yang mengerti isyarat Wiro segera pula
berkelebat mengikuti.
“Bangsat, jahanam!” teriak Ki
Sepuh Dukantara. “Kembalikan pakaianku! Hei! Kembalikan pakaianku!”
“Aku akan perintahkan pasukan
mencari kalian! sekali tertangkap kalian akan tahu rasa” berteriak Pangeran
Ipong.
Wiro tidak perdulikan teriakan
kedua orang itu. Sambil memegang lengan Anggini dia terus berlari.
“Lumayan dapat pakaian.
Sekarang aku tidak seperti banci lagi. Mengenakan pakaian perempuan…”
“Bagusnya pakaian itu kau cuci
dulu. Siapa tahu dia mengidap penyakit kulit. Kau bisa budukan!” kata Anggini
pula lalu tertawa cekikikan.
Seratus lima puluh hari
setelah jatuhnya Dewi Ular dan manusia paku Sandaka ke dalam jurang batu
pualam….
Saat itu menjelang sang surya
akan tenggelam ke ufuk barat. Di dinding timur jurang yang mulai redup temaram
kelihatan satu cahaya kuning bergerak sebat kian kemari seolah seekor
kunang-kunang yang terbang melayang. Namun sesekali cahaya itu tampak melesat
panjang disertai suara bersiur dan membersitnya hawa dingin.
“Bagus sekali! Hebat! Dasar
tenaga dalammu jauh lebih kuat dari pertama kali dulu kau menginjakkan kaki di
tempat ini! Tidak percuma aku menggemblengmu. Walau kurang dari setengah tahun
tapi aku sudah bisa yakin kau bakal dapat menggusur kakek keparat di jurang
barat sana! sekarang aku perlu menjajalmu untuk terakhir kali! Kau sudah siap
Dewi Ular?!” Yang bicara adalah si nenek gendut Kunti Rao berjuluk Iblis Daun
Setan.
“Nenek guru, tentu saja saya
sudah siap! Siapa nyangka berkat ketekunanmu paku emas yang tadinya sudah butut
menghitam kau asah ujungnya hingga kembali ke bentuknya yang asli. Kuning emas
berkilat!”
Terdengar suara menjawab. Ini
adalah suara kunti Ambiri alias Dewi Ular. Saat itu kedua perempuan tersebut
berada di depan goa batu, di lereng barat jurang batu pualam. Demikian
terjalnya dinding jurang jangankan bergerak dan membuat gerakan-gerakan silat,
berdiri saja sangat berbahaya. Sekali seseorang tergelincir pasti akan disambut
maut di dasar jurang yang ada kawah mendidih serta puluhan batu-batu lancip.
Tapi luar biasanya Dewi Ular justru bergerak kian kemari, memainkan jurus-jurus
ilmu silat yang dipelajarinya sejak seratus lima puluh hari lalu dari Kunti
Rao. Gerak dan jurus-jurus yang dimainkan Dewi Ular memang merupakan ilmu silat
langka. Namun yang lebih luar biasa adalah paku hitam yang berada dalam
genggaman tangan kanannya.
Paku hitam itu dulu adalah
paku emas yang ditancapkan Pendekar 212 Wiro Sableng ke pusar Dewi Ular hingga
perempuan setengah manusia setengah iblis ini musnah ilmu kesaktiannya yang
ganas. Selama puluhan hari Kunti Rao mengasah paku itu ke dinding batu di
sekitarnya, berusaha mengembalikan ke bentuk asalnya kuning emas. Namun dia
hanya mampu mengikis lapisan hitam pada ujung runcing paku.
Itupun hanya setengah panjang
kuku jari kelingking. Tetapi kesaktian yang keluar dari ujung yang secuil itu
sungguh luar biasa!
Dewi ular memegang paku pada
bagian kepalanya. Seutas tali diikatkan pada bagian bawah kepala paku.
Selanjutnya ujung lain
diikatkan ke lengan perempuan itu hingga dalam keadaan bagaimanapun paku itu
sulit terlepas dari tangannya.
Bagian 6
“Dewi Ular! harap kau simpan
dulu paku hitam berujung emas itu. Aku akan menjajal tenaga luarmu, gabung
dengan tenaga dalam. Keluarkan ilmu baru yang kuajarkan.”
“Saya siap guru!” kata Dewi Ular.
Dia cepat menyimpan paku hitamnya lalu tegak memasang kuda-kuda.
“Lihat serangan!” teriak Kunti
Rao. Tubuhnya yang gemuk menyergap ke depan. Rambutnya yang acakacakan
berakibat sebat. Dua tangannya menghantam berbarengan.
Dewi Ular geser sedikit ke dua
kakinya ke samping. Lalu dengan gerakan tak kalah cepat dia songsong serangan
dua tinju si nenek dengan balas menyerang, mempergunakan ke dua tinjunya pula.
Terjadilah hal yang hebat. Empat jotosan saling berada menimbulkan suara keras.
Bukan cuma satu kali. Tapi berulang kali dan dalam gerakan sangat cepat. Dalam
waktu singkat saja terjadi saling adu jotos sebanyak seratus kali!
“Bagus!” seru Kunti Rao seraya
mundur. Dia perhatikan jari-jari tangannya yang kelihatan merah. Hal yang sama
juga terjadi dengan jari-jari Dewi Ular. Meskipun merah namun sama sekali tidak
cedera. Lecet sajapun tidak.
“Kau boleh ikatkan paku hitam
itu kembali ke pergelangan tanganmu,” kata Kunti Rao. “Dan siap dengan ujian
berikutnya!”
Dewi Ular keluarkan paku hitam
dari balik pakaiannya lalu mengikatkan tali paku ke pergelangan tangannya
sebelah kanan.
“Lihat serangan!” Kunti Rao
kembali berteriak keras.
Tangan kanannya dipukulkan ke
arah dada Dewi Ular. Serangan yang dilancarkan perempuan gemuk berambut merah
acak-acakan dan mengaku berusia lebih enam puluh tahun itu bukan serangan
mainmain.
Jangankan tubuh manusia,
dinding batu sekalipun sanggup dihantamnya sampai hancur.
Dewi Ular selaku orang yang
diserang bukan tidak tahu kalau bahaya maut mengancam jiwanya. Tapi penuh
percaya diri dia bersikap diam. Dia sengaja menunggu. Begitu jotosan Kunti Rao
hanya tinggal satu jengkal dari dadanya baru dia gerakkan tangan kanan yang
memegang paku hitam yang ujung lancipnya berwarna kuning keemasan.
Satu sinar kuning menyilaukan
menyambar disertai deru dan menghamparkan hawa dingin menggidikkan.
Kunti Rao merasa tangan
kanannya mulai dari bahu sampai ke ujung-ujung jari laksana kesemutan.
Tangannya tak bisa maju lagi.
Berarti serangannya tak mampu mencapai sasaran yaitu dada Dewi Ular.
Kunti Rao coba memaksa.
Sekujur tubuhnya bergetar. Mukanya yang gembrot basah oleh keringat dan
kelihatan sangat merah. Rasa kesemutan lenyap tapi bagaimanapun ia mengerahkan
tenaga luar dalam tetap saja dia tidak mampu menghantam Dewi Ular.
Di hadapannya Dewi Ular
walaupun di luar tampak tenang namun sebelah dalam tubuhnya terasa seperti
diremas-remas. Rahangnya dikatupkan kencang-kencang menahan rasa sakit aneh
yang seperti hendak meluluhlantakkan sekujur auratnya. Keringat membasahi
badannya.
“Luar biasa! Aku tak sanggup
bertahan!” keluh Dewi Ular dalam hati. Dia segera pegang kepala paku hitam.
Ujungnya ia arahkan pada Kunti
Rao. Ketika tenaga dalamnya disalurkan ke paku hitam itu, ujungnya yang
berwarna kuning emas mengeluarkan sinar terang menyilaukan. Bersamaan dengan
itu terdengar suara seperti angin menderu dibarengi menebarnya hawa dingin
menggidikkan.
Kunti Rao menjerit keras
ketika sinar kuning yang keluar dari ujung lancip paku menyambar tangannya yang
masih terpentang dalam sikap memukul. Hawa dingin menyerang sekujur badannya.
Bersamaan dengan itu tubuh gemuk berbobot puluhan kati itu terpental,
terbanting keras ke dinding goa batu. Kunti Rao mengeryit menahan sakit.
Dadanya yang besar berguncang turun naik. Dia cepat duduk bersila di lantai
batu, atur jalan nafas dan peredaran darah. Sepasang matanya yang sipit
terpejam.
“Kau berhasil menguasai ilmu
itu Dewi Ular! Kau hebat! Aku puas…. Tapi jangan lengah! lihat serangan!”
Tiba-tiba si gendut berteriak.
Tubuhnya yang tadi duduk seperti membal ke atas. Bersamaan dengan itu tangannya
bergerak mencabut empat helai daun besar yang menutupi auratnya.
“Wuttt! Wuuuttt! Wuttt!
Wutttt!”
Empat lembar daun lontar
mengarah ke arah Dewi Ular. Suaranya laksana elang menyambar. “Bettt! Bettt!
Betttt! Bettt!” Dewi Ular acungkan tangan kanannya yang memegang paku. Paku
hitam itu kemudian digoyangkan dalam gerakan berputar. Empat lembar daun lontar
yang menyerang tampak ikut berputar di udara lalu berpelanting ke empat penjuru.
“Clep! Clep! Clep! Clep!”
Empat lembar daun itu menancap
sampai setengahnya pada dinding batu goa!
Dewi Ular rasakan tengkuknya
menjadi dingin. “Dia tidak main-main mengujiku! Terlambat aku menangkis pasti
saat itu aku sudah menjadi mayat!”
“Bagus! Aku senang! tidak
sia-sia aku menggemblengmu. Walau dalam waktu singkat tapi kau dapat menguasai
semua ilmu! Dengan kepandaian itu kau bisa membantuku menamatkan riwayat Datuk
Sipatoka.
Dia akan tahu rasa nanti!”
Dewi Ular ikut duduk dihadapan
si gemuk Kunti Rao.
“Guru saya sangat
berterimakasih padamu. Bukan saja karena kau telah mengajarkan ilmu kepandaian
yang hebat.Tapi lebih dari itu kau telah mengembalikan hasrat untuk hidup dalam
diriku….”
Kunti Rao tertawa lebar. “Kau
harus hidup, kau harus percaya diri. Bukan saja karena aku perlu bantuanmu tapi
bukankah kau juga ingin membalaskan dendam kesumatmu pada dua orang pemuda
itu…?”
Dewi Ular mengangguk. “Saya
tidak akan lupakan dua manusia jahanam itu. Sandaka…. Pendekar 212.
Tunggu pembalasanku. Kalian
akan kubikin lumat! Kalian akan mati hancur, luluh dan tanpa kubur!”
“Satu hal lagi jangan
dilupakan. Justru ini yang paling penting! Kita harus mendapatkan sepasang
keris sakti Nagasona itu! Itu lambang kekuasaan dunia yang tidak ada duanya!”
Dewi Ular mengangguk. “Jangan
khawatir guru. Bila tiba saat datangnya petunjuk itu, saya rela mengorbankan
nyawa turun ke dasar jurang. Menyelam ke dalam kawah mendidih….”
Kunti Rao tertawa panjang. Dia
pegang bahu Dewi Ular dan menepuknya beberapa kali. “Kau murid baik!
Baik dan hebat!”
Dewi Ular menggeser duduknya
lebih dekat kehadapan sang guru. Kepalanya ditundukkan seolah-olah hendak
memberikan penghormatan sebagai ucapan terima kasih. Tetapi tiba-tiba sekali
tangan kanannya bergerak ke atas. Perutnya mengempis. Nafasnya sesaat ditahan.
Inilah satu pertanda bahwa dia tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Ujung paku yang berada dalam
pegangan Dewi Ular memancarkan sinar kuning terang menyilaukan.
Kunti Rao tidak tahu apa yang
hendak dilakukan muridnya itu. Mendadak sontak paku hitam telah menancap
ditenggorokannya!
“Dew…. Dewi Ular… Apa yang kau
lakukan ini?! Perempuan Jahanam! Dasar manusia berhati ular…!”
tampak meringis ganas.
Tangannya yang memegang paku ditekannya hingga paku itu menancap semakin dalam
ke batang leher Kunti Rao. Darah mengucur membasahi leher dan tubuh sebelah
atas si nenek gendut itu, juga membasahi tangan Dewi Ular sampai ke siku.
“Jahanam penghianat!” teriak
Kunti Rao. Tangan kanannya diangkat tapi dia tak mampu melakukan pukulan.
Sepasang matanya yang sipit kelihatan membesar sedikit dan berwarna kemerahan.
Mulutnya dibuka. Lidahnya terjulur. Nafasnya mulai sesak.
Dewi Ular terus mengumbar
tawa. “Kunti Rao…” katanya langsung menyebut nama orang yang biasanya dipanggilnya
dengan sebutan nenek atau guru itu. “Kau manusia sakti paling bodoh di dunia.
Setelah tahu apa yang terpendam di dasar jurang ini, apa kau kira cuma kau
seorang yang ingin memilikinya? Apa cuma kau seorang yang ingin jadi raja di
raja dunia persilatan? Semua orang menginginkan kedudukan itu.
Termasuk aku! Hik…hik…hik!”
“Jahanam! Perempuan jahanam!”
maki Kunti Rao. Tapi suaranya mendadak jadi perlahan bahkan menghilang. Matanya
yang sipit semakin merah, bergerak liar. Lidahnya ikut bergerak. Lalu semuanya
itu berhenti bergerak. Dadanya yang tadi turun naik kini diam. Sesaat kemudian
kepalanya terkulai ke kiri.
Dewi Ular tersenyum.
Perlahan-lahan paku hitam dicabutnya dari tenggorokan perempuan gemuk itu.
Asap biru keluar mengepul dari
luka bekas tusukan. Dewi Ular mengumbar tawa lalu bangkit berdiri, keluar dari
dalam goa.
Di depan goa Dewi Ular
menghirup udara segar dalam-dalam. Saat itu senja telah memasuki malam.
Udara di dalam jurang batu
terasa sangat sejuk. Dewi Ular timang-timang paku yang tergantung di
pergelangan tangan kanannya. Dalam hati dia berkata. “Aku hanya tinggal
menunggu munculnya bintang Kalimukus itu.
Kunti Rao bicara banyak
tentang bintang dan sepasang keris di dasar jurang. Aku pasti mampu mendapatkan
dua senjata mustika itu. Hemm… begitu aku mendapatkannya pertama sekali akan
kucari dua manusia terkutuk itu. Pendekar 212 Wiro Sableng, Sandaka… kalian tak
bakal bisa lolos dari tanganku!”
Dewi Ular goyangkan paku hitam
di tangan kanannya. Selarik sinar kuning melesat menyilaukan lalu lenyap dalam
kegelapan malam.
Lalu dia ingat pada mayat
Kunti Rao yang ada dalam goa. “Mayat itu harus disingkirkan dulu sebelum
busuk!” Dewi Ular cepat masuk ke dalam goa. Dia membungkuk untuk mencekal kaki
perempuan gemuk itu lalu menyeretnya ke luar goa. Tapi baru saja ia memegang
kaki sebelah kiri tiba-tiba kaki kanan Kunti Rao melesat.
“Bukkk!”
Dewi Ular terpekik tubuhnya
terpelanting ke pintu goa. “Keparat! Belum mati dia rupanya!”
Sambil menahan sakit di dada
kirinya yang kena tendangan, Dewi Ular masuk kembali ke dalam goa.
Saat itu dilihatnya Kunti Rao
berusaha bangkit berdiri.
“Kau boleh punya tujuh nyawa!
Tapi ini akan menamatkan riwayatmu!” Dewi Ular putar paku hitam di tangannya.
Ujungnya yang lancip ditusukkan ke kening Kunti Rao. Perempuan gemuk ini
menjerit keras.
Darah mengucur deras membasahi
mukanya yang gembrot hingga wajahnya menyeramkan seperti muka setan. Sebelum
tubuhnya jatuh terkapar tangan kanannya masih bisa bergerak mencabut dua lembar
daun lontar. Lalu “bet…bet!” Dua lembar daun itu laksana lempengan besi
menyambar ke perut dan kaki Dewi Ular.
“Benar-benar jahanam!” maki
Dewi Ular. Paku hitam ditusukkan ke depan. Satu larik cahaya kuning terang
menyambar. Dua daun lontar yang menyerang ke arahnya mental dan hancur
berantakan. Hancuran daun itu laksana kepingan besi menancap di dinding goa.
Sosok Kunti Rao kembali
kelihatan berusaha bangkit. Kali ini Dewi Ular tak mau memberi kesempatan.
Sambil melompat dia kembali
hujamkan paku hitam di tangannya. Sinar kuning kembali berkiblat. Paku hitam
kembali menancap di dada kiri Kunti Rao, tepat di detak jantungnya! Kali ini
bagaimanapun sakit dan kuatnya perempuan bergelar Iblis Daun Setan itu, ketika
jantungnya pecah tak ampun lagi nyawanya lepas meninggalkan tubuh!
Di dinding barat jurang batu
pualam Datuk Sipatoka sedang berada di depan goa ketika tiba-tiba di arah timur
dia melihat ada cahaya kuning menyambar ke sebelah atas jurang lalu lenyap
dalam kegelapan.
Orang tua berkepala botak biru
ini berpaling ke samping.
“Sandaka kau lihat sinar
kuning tadi?!”
Di sebelah si kakek tegak
seorang pemuda berpakaian kotor. Pakaian ini pemberian Datuk Sipatoka hingga
dia kini tidak lagi mengenakan cawat. Tubuhnya yang penuh tancapan paku kini
tertutup namun kepala dan mukanya tidak bisa disembunyikan dari paku-paku yang
dipantekkan Datuk Bululawang beberapa waktu lalu. Pemuda ini adalah Sandaka
yang sejak seratus lima puluh hari lalu berada bersama si kakek di tempat itu.
“Aku melihat. Sinarnya terang
sekali lalu lenyap,” jawab Sandaka.
“Aneh selama puluhan hari
jurang sebelah timur itu sunyi senyap. Tak terdengar suara apapun. Lalu malam
ini tiba-tiba ada sambaran sinar kuning. Aku yakin sinar itu muncul dari arah
depan goa kediaman si kuda nil Kunti Rao. Jangan-jangan dia telah menemukan
satu ilmu baru.”
“Kalau memang begitu berarti
kesempatan bagiku untuk menjajal ilmu kesaktian yang telah kau ajarkan selama
ini,” ujar Sandaka pula.
Datuk Sipatoka terdiam.
Beberapa lama dia melangkah mondar-mandir di dalam goa.
”Datuk, lupakan apa yang kita
lihat tadi. Bukankah kau sudah berjanji malam ini kita akan mengadakan latihan
sampai pagi?”
“Mungkin tak jadi. Hatiku
tiba-tiba saja kacau balau…. Hai! Kau dengan suara sesuatu Sandaka?” tanya
Datuk Sipatoka seraya memandang ke arah timur jurang.
“Seperti suara jeritan…”
Datuk Sipatoka mengangguk.
“Jeritan perempuan. Malam celaka! Aku tak bisa melihat apa yang terjadi di
sana!”
“Kalaupun siang sama saja.
Sejak beberapa minggu ini jurang tertutup kabut tebal. Kita tidak bisa melihat
apa-apa,” kata Sandaka.
Selagi dua orang itu terdiam
dan kesunyian mencekam mendadak lapat-lapat di kejauhan terdengar suara
sesuatu.
“Sandaka! Dengar! Ada sesuatu
yang jatuh ke dasar jurang!”
“Tubuh manusia! Aku yakin
tubuh manusia!” kata Sandaka seraya mementang mata berusaha menembus kegelapan
malam.
Sesaat kemudian jauh di bawah
sana, dalam kegelapan terdengar suara sebuah benda mencebur ke dalam air jurang
yang mendidih laksana air kawah gunung berapi.
“Bagaimana kau bisa yakin itu
tubuh manusia…?” Datuk Sipatoka ajukan pertanyaan.
“Kalau batu pasti akan
menimbulkan suara berdentang dan gaung keras serta panjang di dasar jurang.
Jadi tak bisa tidak yang
barusan jatuh itu adalah tubuh manusia….”
“Otakmu cerdas! Aku sependapat
denganmu. Tapi…” Datuk Sipatoka usap-usap kepala botaknya.
“Menurutmu siapa yang jatuh ke
dasar jurang itu? Si kuda nil Kunti Rao?”
“Di jurang sebelah timur sana
cuma ada satu manusia. Kunti Rao. Lantas apa mungkin ada orang lain?”
Datuk Sipatoka lama termenung.
Akhirnya dia berkata. “Sebentar lagi kita akan tahu siapa yang barusan kecebur
ke dasar jurang!”
Lalu kakek botak ini melangkah
ke dekat tubir jurang. Memandang tepat-tepat ke arah dinding jurang sebelah
timur dan berteriak sambil kerahkan tenaga dalamnya.
“Kunti Rao! Puluhan hari kau
mendekam membisu! Apa kau masih hidup?!” Teriakan Datuk Sipatoka bergaung
melantun beberapa kali di dinding jurang. Lalu sunyi.
“Tak ada jawaban…” katanya
perlahan pada Sandaka. “Jangan-jangan perempuan itu memang sudah jadi bangkai
di dasar jurang!”
“Biar aku yang memanggil”
berucap Sandaka. Pemuda ini segera kerahkan tenaga dalam dan berteriak.
Suara teriakannya menggelegar
dalam kegelapan malam di jurang angker itu, membuat Datuk Sipatoka sendiri
terkesima kagum.
“Kunti Rao! Orang memanggil
mengapa tidak menjawab? Apa tiba-tiba kau menjadi tuli atau bisu? Atau rohmu
sudah gentayangan saat ini di alam akhirat?! Atau kau ikut menghadapi kenyataan
bahwa Datuk Sipatoka musuh bebuyutanmu masih ada di tempat ini?!”
“Bagus teriakanmu pasti akan
membuatnya marah. Kalau manusia bertubuh kuda nil itu masih hidup pasti dia
akan menjawab garang!” kata Datuk Sipatoka sambil senyum-senyum.
Di dinding jurang batu pualam
sebelah timur Dewi Ular yang baru saja melemparkan mayat Kunti Rao ke dalam
jurang pasang telinga, kerenyitkan kening.
“Menurut Kunti Rao di sebelah
barat sana memang ada seorang kakek musuh bebuyutannya bernama Datuk Sipatoka.
Tapi barusan aku jelas mendengar teriakan dari dua suara yang berbeda. Berarti
ada dua orang di tempat itu.”
Di dinding barat Datuk
Sipatoka memandang pada Sandaka. “Tak ada jawaban…” katanya. “Berarti memang
perempuan itu sudah menemui ajal! Mati di dasar jurang…”
“Perlu kita uji dulu Datuk…”
jawab Sandaka. Lalu pemuda itu melangkah lebih dekat ke pinggir jurang.
Kedua kakinya dikembangkan.
Aneh, sesaat kemudian bagian perutnya seperti ada cahaya.
“Goa di dinding timur itu
terlalu jauh Sandaka. Bagaimanapun hebatnya kesaktian paku dan tingginya tenaga
dalammu, kau tak bakal mampu….”
“Kita coba dulu Datuk. Paling
tidak untuk membuat perempuan itu kaget!” sahut Sandaka pula. Habis berkata
begitu dia hentakkan kaki kanannya. Batu di sepanjang pinggiran sungai bergetar
keras.
Bersamaan dengan itu dari
selangkangan Sandaka melesat sinar kuning menyilaukan, berkelebat ke arah
jurang sebelah timur di mana Dewi Ular berada. Perempuan ini terkejut sewaktu
belum lama dia melihat sinar di kejauhan tiba-tiba sinar itu sudah menyambar di
samping kiri goa, membuatnya cepat menyingkir ke kiri.
Dinding batu yang barusan kena
sambaran cahaya kuning kelihatan biasa-biasa saja. Tidak berubah warna ataupun
bentuknya. Tapi ketika dia mengulurkan tangan meraba bagian yang terkena
sambaran cahaya tadi, Dewi Ular jadi berdebar. Lapisan luar dinding batu itu
ternyata telah gugus, hancur menjadi pasir.
“Kunti Rao! Sayang kau sudah
mampus rupanya!”
Dewi Ular melengak ketika
kembali dari arah dinding jurang sebelah barat terdengar suara teriakan.
Perempuan ini tak bisa lagi
menahan hatinya. Maka diapun kerahkan tenaga dalam dan berteriak.
“Datuk keparat! Jadi kau masih
hidup! Kukira sudah dimakan cacing batu! Hik… hik… hik….!”
“Ada suara teriakan!” ujar
Sandaka.
“Betul! Tapi itu bukan suara
Kunti Rao!” kata Datuk Sipatoka terheran-heran.
“Berarti disana juga ada dua
orang…” kata Sandaka.
“Kau bukan Kunti Rao! Mana
perempuan itu! Aku hanya mau bicara dengannya!” teriak Datuk Sipatoka.
“Manusia sepertimu tidak layak
bicara dengan dia! Segala urusanmu cukup sampaikan padaku!”
Bagian 7
“Sialan!” maki Datuk Sipatoka
sambil memandang pada Sandaka. Lalu dia berteriak. “Aku tidak kenal perempuan
kecoak macammu! Memangnya kau siapa?!”
“Aku Dewi Ular bekas murid
Kunti Rao alias Iblis Daun Setan!”
Datuk Sipatoka dan Sandaka
langsung melengak kaget. Keduanya sampai tersurut satu langkah dan saling
pandang dengan mata melotot.
“Dewi Ular…” desis Sandaka.
“Dewi Ular…” ujar Datuk
Sipatoka.
“Tidak mungkin! Mustahil!
Benar-benar tidak masuk akal!” kata Sandaka sambil kepalanya dipalingkan ke
arah dinding timur jurang batu pualam. “Aku membacok tubuhnya dua kali dengan
Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro Sableng. Aku juga yang menendangnya masuk
ke dalam jurang! Aneh kalau sekarang dia masih hidup dan ada di dinding jurang
di sebelah sana!”
“Jangan-jangan ini tipu daya
Kunti Rao! Mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular. Sengaja hendak menyiasati kita…”
Kata Datuk Sipatoka pula.
Sandaka menggeleng. “Aku kenal
benar suara tadi. Itu memang suara Kunti Arimbi alias Dewi Ular….
Manusia jahanam itu kalau
memang dia masih hidup aku bersumpah akan membunuhnya untuk yang kedua kali!”
Datuk Sipatoka usap-usap
kepala botaknya yang berwarna biru. Tampaknya dia tengah berpikir keras.
“Kita harus mampu menyingkap
keanehan ini. Apa yang terjadi dengan Kunti Rao? Bagaimana Dewi Ular tahutahu
ada di sana….”
“Memang sulit dipercaya.
Jangan-jangan waktu dia kutendang jatuh ke dalam jurang ada yang menolongnya….”
“Kunti Rao…?” Datuk Sipatoka
kembali usap-usap kepala botaknya.
“Biar aku bicara padanya! Biar
dia tahu kalau aku musuh besarnya berada di tempat ini!” kata Sandaka.
“Jangan! Kurasa ada baiknya
kau merahasiakan keberadaanmu di tempat ini,” kata Datuk Sipatoka cepat.
“Biar aku saja yang bicara!”
Lalu Datuk Sipatoka berteriak. Teriakannya diarahkan ke dinding jurang sebelah
timur. “Kunti Rao jangan kau mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular! Apa kau kira aku
takut padamu? Atau kau sengaja menyiasatiku karena sadar tak bakal lolos dari
tangaku?!”
Di dinding timur jurang batu
pualam terdengar suara tertawa melengking.
“Dewi Ular tidak pernah
memalsu diri! Kalau kau punya kemampuan silahkan datang ke sini!”
“Sialan!” maki Datuk Sipatoka
. Tentu saja dia tidak mungkin datang ke tempat Dewi Ular berada.
Di samping Sandaka berkata.
“Tadi dia menyebut dirinya sebagai bekas murid Kunti Rao. Tanyakan apa
maksudnya…”
Datuk Sipatoka lantas
berteriak menanyakan. “Aku Datuk Sipatoka tidak percaya kalau kau adalah Dewi
Ular! Goa di dinding timur itu hanya dihuni oleh Kunti Rao! Lagi pula apa
maksudmu menyebut diri sebagai bekas murid Kunti Rao?!”
“Itu bagus! Orang tolol
semacammu musti banyak bertanya agar tidak buta keadaan!” sahut Dewi Ular yang
membuat Datuk Sipatoka jadi bergerak-gerak pelipisnya dan menggembung rahangnya
saking marah.
“Kunti Rao sudah tidak ada
lagi di dunia ini! Tubuh kasarnya mendekam di dasar jurang! Kalau kau untung
rohnya mungkin akan menemuimu! Hik…hik…hik…!”
“Apa yang terjadi dengan
perempuan itu?!” Tanya Datuk Sipatoka berteriak.
“Aku telah membunuhnya!” jawab
Dewi Ular yang membuat sangat terkejut sang Datuk dan Sandaka.
“Ilmumu memang tinggi. Tapi
untuk mampu membunuh Kunti Rao aku tidak percaya!” teriak Datuk Sipatoka.
Bagaimanapun juga kalau Kunti
Rao sampai mati maka dia ingin musuh bebuyutannya itu mati di tangannya.
Di jurang sebelah timur
kembali terdengar tawa panjang Dewi Ular. “Tidak percaya itu urusanmu sendiri!
Aku tahu banyak tentang
permusuhanmu dengan Kunti Rao. Aku juga tahu banyak tentang sepasang keris
sakti Nagasona yang terpendam di dasar jurang ini! Selama aku masih hidup
jangan harap kau dapat bakal menguasai dua senjata bertuah itu!”
“Kau boleh mimpi Dewi Ular!
Kalau tiba saatnya kau akan berhadapan denganku! Bersiap-siaplah untuk mencari
nyawa cadangan!”
“Tua bangka takabur! Kau
menyusul akan kupendam di dasar jurang agar rohmu bias menyusul roh Kunti Rao!
Hik…hik…hik…!”
Awal bulan ke tujuh menjelang
perayaan besar Sekaten, di kawasan bebukitan batu pualam terlihat
kesibukan-kesibukan tidak seperti biasanya. Hari pertama satu rombongan besar
berkuda dari Kotaraja kelihatan bergerak ke arah selatan dimana terletak jurang
batu pualam. Rombongan ini terdiri dari duapuluh prajurit, dua orang perwira
muda, seorang perwira tinggi yang mengawal sebuah kereta di dalam mana
kelihatan duduk Pangeran Ipong Nalakudra. Lalu disitu jua ada seorang tua
berambut dan berjanggut kelabu yang bukan lain adalah Ki Sepuh Dulantara. Di
sebelah orang tua ini menunggang kuda seorang nenek berpipi dan bermata sangat
cekung. Dia mengenakan jubah hitam yang permukaannya berbulu kasar.
Jubah ini berbentuk aneh karena
pada bagian ketiak bergelembung. Pada dua ujung lengan mengembang dan pada
bagian bawah mekar. Di bagian punggung jubah hitam berbulu ini kelihatan
lembaran kain tebal juga berwarna hitam dan berbulu, tidak beda seperti sehelai
mantel.
Sepanjang perjalanan dia tidak
pernah bicara. Kedua matanya seolah nyalang terus jarang kelihatan berkedip.
Perempuan tua ini adalah sahabat dekat Ki Sepuh Dulantara, dikenal dengan
julukan Kelelawar Berjubah Hitam. Pangeran Ipong sebenarnya tidak suka dengan
nenek satu ini. Namun karena dia memiliki kepandaian khusus maka mau tak mau
sang pangeran harus menerima kehadiran si nenek untuk membantu.
Rombongan besar dari Kotaraja
ini berhenti lalu membuat kemah tak berapa jauh dari tepi selatan jurang batu
pualam.
Hanya beberapa saat saja
setelah Pangeran Ipong sampai di tempat itu, dibagian lain dari jurang,
terhalang oleh batu-batu besar berkelebat cepat satu bayangan hijau. Demikian
cepatnya dia berkelebat, bukan saja tidak mengeluarkan suara tapi kedua kakinya
pun seolah tidak menjejak bebatuan di bukit-bukit yang mengelilingi jurang batu
pualam itu. Di satu tempat dia berhenti dan memandang berkeliling. Karena
tempat ini agak ketinggian maka dia mampu melihat keadaan sekitarnya dengan
jelas, termasuk pinggiran jurang batu pualam yang hanya tinggal belasan tombak
saja di bawahnya.
“Tempat ini cukup baik untuk
mengawasi keadaan…” kata orang itu dalam hati. Ternyata dia adalah si Ratu Ular
yang kini mengenakan sehelai jubah hijau berkilat diatas pakaiannya berbentuk
kemben. Sesaat dia memandang ke langit pagi yang cerah. “Bintang Kalimukus…”
desisnya. “Aku ingin melihatmu lebih dulu dari yang lain-lainnya. Hmmmm… baru
rombongan pangeran lumpuh itu yang terlihat di sekitar sini.
Pangeran kurasa nasibmu
bakalan jelek. Kau akan lumpuh seumur-umur. Jangan mengharap sepasang keris
mustika itu akan kau dapatkan!” Ratu Ular memandang ke arah selatan dimana
Pangeran Ipong dan rombongannya berkemah. “Apa benar banyak yang sudah tahu
kalau bintang Kalimukus akan muncul pada malam Sekaten? Aneh, sampai saat ini
aku masih belum menemui jejak Dewi Ular. Dimana anak itu sekarang…?”
Hari ke tiga awal bulan ke
tujuh.
Pagi terasa sejuk dan cerah.
Di atas sebatang pohon berdaun lebat, tak berapa jauh dari mulut jurang sebelah
tenggara, dua orang kelihatan duduk di atas cabang pohon sambil bercakap-cakap
dengan suara rendah.
“Mungkin kita terlalu cepat
datang ke tempat ini Wiro,” dara berpakaian serba ungu berkata. Dia bukan lain
adalah Anggini, murid Dewa Tuak.
Pemuda yang duduk di sebelahnya
yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng menjawab. “Mungkin benar, mungkin tidak….”
“Maksudmu?”
“Hari Sekaten hanya tinggal
satu hari dari sekarang. Kita melihat bagaimana rombongan Pangeran Ipong sudah
lebih dulu datang. Lalu tadi kau bilang seperti melihat ada bayangan hijau
berkelebat di sebelah sana.
Aku yakin itu sosok Ratu Ular.
Setelah merampas Kitab Seribu Petunjuk Kuna rupanya pengetahuannya tentang
sepasang keris pusaka itu jadi bertambah. Kalau tidak ingin menguasainya apa
juntrungannya dia muncul di sini…?”
“Kau sendiri mengapa begitu
yakin kalau bintang Kalimukus yang jadi petunjuk itu akan muncul pada malam
Sekaten?” tanya Anggini.
“Seorang abdi dalem di Keraton
yang pernah kuselamatkan jiwanya memberitahu. Katanya satu malam dia mendengar
pembicaraan Pangeran Ipong dan Ki Sepuh Dulantara. Mereka yang lebih dulu tahu
petunjuk itu dari seorang pertapa di lereng Merapi. Tapi setelah memberi tahu
si pertapa itu juga mengatakan bahwa dia akan turun dari pertapaan untuk
mengadu nasib mendapatkan sepasang keris jantan betina Nagasona.
Pangeran Ipong yang khawatir
keduluan lalu memerintahkan Ki Sepuh Dulantara untuk membuat si pertapa tidak
berdaya…”
“Pangeran itu menyuruh bunuh
si pertapa?” tanya Anggini.
“Membunuh secara pelan-pelan…”
jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Membunuh pelan-pelan
bagaimana?” Anggini tidak mengerti.
“Pertapa malang itu dirantai
tangan dan kakinya lalu besi diikatkan pada sebatang pohon besar. Sepuluh
duapuluh hari dia bisa bertahan. Tapi kalau sampai berbulan-bulan apa dia tidak
akan mati kelaparan…?”
Sepuluh tombak dari pinggiran
jurang batu pualam dua ekor kuda hentikan lari mereka lalu meringkik keras.
Orang gemuk yang tidur
mengorok di atas susunan batang-batang pinang menggeliat. Kepalanya diangkat
sedikit. Memandang ke kiri dan ke kanan. Lalu setelah menatap ke langit dia
bangkit dan duduk.
“Ah, sudah sampai kita
rupanya…” kata si gendut ini yang bukan lain adalah Si Raja Penidur, dedengkot
dunia persilatan yang telah berusia lebih dari seratus delapan puluh tahun. Dia
cabut pipanya dengan tangan kiri sementara tangan kanan mengucak-ucak sepasang
matanya. “Sialan! Kenapa cepat-cepat sampai! Padahal aku masih ingin tidur!
Mimpi-mimpi bagusku tadi jadi terputus! Huahhhhh!” Si gemuk menguak lebar-lebar
lalu hisap pipanya dalam-dalam. “Dua ekor kuda. Kalian tentu keletihan. Kalian
boleh pergi kemana saja. Tapi ingat pada saat aku mau pulang kalian harus ada
di sini!” Si Raja Penidur melompat turun dari atas susunan batang pinang.
Tali-tali yang mengikatkan batang-batang pinang ke punggung dua ekor kuda
dibukanya. Lalu susunan batang pinang itu diturunkan, diletakan di kaki sebuah
batu besar.
Sekali lagi si gendut ini
hisap pipanya dalam-dalam lalu rebahkan tubuh di atas batang-batang pinang.
Sesaat ketika dia hendak mengorok tiba-tiba terdengar suara orang menegur.
“Kek! Tidak sangka akan
bertemu dirimu di tempat ini!”
Si Raja penidur menguap dulu
baru buka sepasang matanya. Belum melihat siapa orang yang bicara dia sudah
memaki.
“Mengganggu orang yang sedang tidur
bagiku sama dengan memutus daun telingaku! Siapa kadalnya yang berani mencari
mati? Sialan! Siapa memanggilku kakek? Aku merasa tidak pernah jadi kakek di
dunia ini!”
Si raja Penidur bantingkan
kaki kanannya ke batu.
“Braaaaakkk.”
Batu yang terkena bantingan
kaki remuk amblas. Kawasan bukit batu sesaat terasa bergetar.
“Kek, maafkan kalau aku
mengganggu tidurmu! Aku Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung
Gede….”
Si Raja Penidur menggeliat,
menguap lebar-lebar lalu cantelkan pipa panjangnya di sela bibir. Setelah itu
perlahan-lahan dia bangkit dan duduk diatas susunan batang pinang. Dua matanya
yang kuyu dan selalu tampak mengantuk itu menatap ke depan.
“Ah! Kau rupanya! Pantas!
Memang hanya orang sableng yang berani menggangguku! Murid sableng, gurunya
gendeng! Cocok! Sudah pergi sana! Aku mau tidur lagi! Sebentar malam ada
pekerjaan dan urusan besar di tempat ini! Aku tak mau diganggu…!” Raja Penidur
rebahkan kembali tubuhnya yang gemuk luar biasa.
“Harap maafkan Kek. Aku senang
melihat kau berada di sini. Kalau aku bisa membantu apa saja aku akan
melakukan. Apakah kedatanganmu kemari ada sangkut pautnya dengan sepasang keris
sakti yang terpendam di dasar jurang…?”
Raja penidur menguap lebar.
“Itu urusan gila! Aku memang datang kemari untuk melihat orang-orang gila
berebutan keris jantan betina itu! Aku tidak mau ikut campur. Hanya ingin
menonton….”
“Jauh-jauh kau kemari hanya
untuk menonton?! Aku tidak percaya Kek! Pasti ada penyebab lain… Kalau saja kau
mau menceritakannya padaku…?”
“Dasar sableng! Kau keliwat
mendesak. Baik! Aku bilang padamu. Aku kemari karena mencium Dewi Ular ada di
sekitar tempat ini. Di atas sini dia tidak kelihatan, baunya tidak tercium. Aku
punya dugaan keras dia ada di dalam jurang! Beberapa waktu lalu dia membunuh
teman-temanku. Kabarnya dia juga mencariku untuk menamatkan riwayatku.
Kutunggu-tunggu tak pernah muncul. Aku jadi gatal kaki. Lebih baik aku saja
yang keluar sarang mencarinya. Perempuan iblis itu perlu diberi pelajaran apa
artinya nyawa bagi seseorang. Aku juga mau memperlihatkan bagaimana cara mati
yang layak baginya!”
“Hemm… Kalau dia yang berkata
begitu itu agaknya memang Dewi Ular berada di sekitar sini.
Janganjangan masih hidup di
dalam jurang sana…” Wiro hendak menceritakan kejadian jatuhnya Dewi Ular ke
dalam jurang. “Kek….”
“Sudahlah! Dari tadi kau ribut
saja. Kak kek kak kek! Aku bosan mendengar suaramu. Lagipula aku sangat
ngantuk. Kau boleh pergi. Aku mau tidur dulu….”
“Sebentar Kek. Aku…”
Tapi Si Raja Tidur telah
picingkan dua matanya. Sesaat kemudian terdengar suara dengkurnya panjang
pendek tidak berkeputusan. Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa garuk-garuk
kepala. Akhirnya dia tinggalkan tempat itu. Kembali menemui Anggini di cabang
pohon.
Langit di sebelah barat tampak
kemerahan oleh cahaya sang surya yang perlahan-lahan menggelincir ke ufuk
tenggelamnya. Suasana di dalam jurang sunyi senyap. Begitu juga di luar jurang
seolah-olah tak ada tanda-tanda kehidupan di tempat itu. Padahal di beberapa
penjuru ada beberapa orang sama menunggu datangnya malam dengan rasa tegang.
Ketika cahaya kuning merah
sang surya perlahan-lahan lenyap, orang-orang yang ada di tempat itu merasa
datangnya malam seperti merayap. Ketegangan jadi berlipat ganda.
Bola penerang jagad itu
akhirnya lenyap di sebelah barat. Bersamaan dengan itu suasana berubah mulai
menjadi gelap.
Di sebelah selatan mulut
jurang semua anggota rombongan Pangeran Ipong tampak sejak tadi sudah dongakkan
kepala memandang ke langit sebelah tenggara.
“Pangeran! Lihat!” tiba-tiba
Ki Sepuh Dulantara berteriak membuat semua orang kaget dan berpaling padanya.
Orang tua rambut kelabu ini menunjuk lurus-lurus ke langit. “Bintang yang kita
tunggu-tunggu sudah muncul! Itu! Lihat!”
Semua mata kemudian diarahkan
pada jurusan yang ditunjuk si orang tua. Mula-mula mereka belum bisa melihat
apa-apa. Namun setelah memperhatikan dengan pandangan tak berkesiap satu
persatu semuanya melihat kemunculan sebuah bintang di langit sebelah tenggara.
Bintang ini saat demi saat tampak semakin terang. Kilauannya lain dari yang
lain yaitu merah di sebelah tengah dan biru pada kelilingnya.
“Kelelawar Berjubah Hitam …”
Pangeran Ipong berkata pada nenek yang mengenakan jubah hitam berbulu di
sampingnya. “Bintang Kalimukus sudah muncul. Apakah kau sudah siap…?”
Nenek bermuka dan bermata
sangat cekung itu mengangguk. “Saat yang kita tunggu akhirnya datang juga.
Pangeran akan mendapatkan apa
yang pangeran inginkan. Kelak jika pangeran sembuh dari kelumpuhan dan
dinobatkan menjadi Raja pengganti Sultan yang saat ini sudah uzur, harap jangan
lupakan diriku…”
Pangeran Ipong mengangguk.
“Janji sudah kita buat! Aku Pangeran Ipong Nalakudra tidak akan mengingkari
janji. Satu jabatan tinggi akan menjadi hakmu ditambah satu rumah kediaman
bagus…”
“Bagaimana dengan
pemuda-pemuda gagah kesukaanku?” Tanya si nenek yang rupanya masih doyan
daun-daun muda.
“Tak usah khawatir. Kau bakal
mendapatkannya!” Jawab Pangeran Ipong Nalakudra dengan menekan rasa jengkelnya.
Sebenarnya dia tidak suka pada nenek satu ini. Kalau tidak terpaksa dan butuh
bantuannya dia tak akan pernah mau berhubungan dengan orang ini.
Ki Sepuh Dulantara sendiri
yang adalah kenalan dekat si nenek kini diam-diam jadi merasa iri. Dia telah
mengabdi belasan tahun pada Pangeran Ipong, apa yang didapatnya biasa-biasa
saja. Tapi si nenek bergelar kelelawar berjubah hitam itu belum apa-apa sudah
dijanjikan jabatan tinggi, rumah serta pemudapemuda gagah.
“Tua bangka cabul!” rutuk Ki
Sepuh Dulantara dalam hati.
Nenek muka cekung periksa
jubahnya dengan teliti. Mantel hitam di belakang punggungnya dikembangkan
beberapa kali hingga mengeluarkan suara menderu keras. Lalu dengan langkah
tetap dia berjalan menuju jurang batu pualam. Saat itu keadaan belum gelap
betul. Matanya yang cekung masih sanggup melihat dasar jurang. Pada bagian
kawah yang ada air mendidihnya terlihat gejolak aneh. Air di dekat jurang itu
bercipratan ke atas sampai setinggi tiga tombak. Lalu berhenti dan
perlahan-lahan tampak air kawah menyurut seolah ada yang menyedot. Batu-batu runcing
bermunculan dimana-mana.
“Keadaan seperti yang
diterangkan dalam kitab itu…” kata nenek kelelawar berjubah hitam. “Tapi
petunjuk akhir belum muncul. Aku harus menunggu… Harus menunggu….”
Tiba-tiba mata si nenek
kelihatan berkilauan. Di dasar jurang kelihatan dua larik sinar aneh. Mula-mula
sinarsinar ini redup saja. Namun perlahan-lahan tambah terang. Sinar di sebelah
kiri berwarna merah kehitaman.
Di sebelahnya ada sinar kuning
kehitaman.
Nenek Kelelawar Berjubah Hitam
menyeringai. Dia kembangkan kedua tangannya. Jubah yang melekat di tubuhnya
menggembung lebar. Pada samping kiri dan kanan hingga dia seolah-olah memiliki
dua sayap sangat lebar. Jubah ikut mekar, begitu juga ujung jubah di bagian
kakinya. Di saat bersamaan mantel di punggungnya ikut menggembung ke atas
seolah-olah ada rongga di sebelah dalamnya berisi angin.
Di atas pohon di dalam gelap
Pendekar 212 Wiro Sableng tampak gelisah.
Bagian 8
“Kau memikirkan sesuatu?”
Tanya Anggini.
“Aku harus mengambil
keputusan,” jawab murid Sinto Gendeng itu.
“Keputusan apa?” Tanya Anggini
heran.
Wiro tak menjawab melainkan
tiba-tiba saja dia melompat turun dari cabang pohon “Hai! Kau mau kemana?!”
teriak Anggini bertanya.
“Cari tumpangan turun ke dasar
jurang!” sahut Wiro. Lalu dia lari secepatnya menuju tepi jurang dimana nenek
berjuluk Kelelawar Berjubah Hitam siap untuk melompat turun.
Saat itu si nenek telah
menghambur ke dalam jurang. Jubah dan mantel yang dikenakannya membuat tubuhnya
laksana seekor burung besar melayang turun menuju dasar jurang. Di saat ini
pulalah Wiro sampai di tepi jurang. Tanpa tunggu lebih lama tanpa ragu-ragu dia
segera melompat.
“Ada orang lari ke arah
jurang!” Pangeran Ipong berteriak. “Apa yang hendak dilakukannya! Lekas cegah!”
Lima orang prajurit dan
seorang perwira muda segera menghambur. Tak ketinggalan Ki Sepuh Dulantara.
Tapi terlambat saat itu Wiro
sudah terjun. Tubuhnya tampak melayang sebelum akhirnya jatuh tepat dipunggung
nenek kelelawar Berjubah Hitam Dua orang prajurit di tepi jurang angkat tangan mereka
yang memegang tombak. Tapi si perwira muda cepat mencegah. Dia khawatir
serangan tombak akan mencelakai si nenek. Ki Sepuh Dulantara sendiri dengan
alasan yang sama tidak bisa berbuat apa-apa pula.
“Pemuda kurang ajar itu! Dia!
Jahanam betul!” si kakek hanya bisa memaki.
“Ki Sepuh! Apa yang terjadi?!”
berteriak Pangeran Ipong.
“Celaka Pangeran! Pemuda
bergelar pendekar 212 itu! Dia melompati tubuh si nenek, merangkulnya dan ikut
terjun ke bawah jurang….”
“Lekas kau berteriak pada
perempuan tua itu agar segera membunuhnya!”
“Saya rasa memang itu yang
akan dilakukan Kelelawar Berjubah Hitam. Jurang gelap gulita. Saya hanya
melihat sebentar sebelum mereka lenyap ke bawah…”
“Kalau sepasang keris Nagasona
itu sampai jatuh ke tangan Pendekar 212, aku bersumpah untuk membawanya ke
tiang gantungan dengan tuduhan perampok besar!” Habis berkata begitu sang
pangeran seperti terhenyak di atas bangku kereta yang didudukinya.
Nenek Kelelawar Berjubah Hitam
tentu saja kaget bukan kepalang ketika tahu-tahu ada dua tangan merangkul
dadanya yang peot datar.
“Kurang ajar! Siapa kau?!”
teriaknya marah.
“Aku tidak bermaksud jahat!
Aku hanya ingin menumpang terjun sampai ke dasar jurang!” jawab Pendekar 212
Wiro Sableng.
“Keparat kurang ajar!” Si
nenek menendang. Tendangannya hanya mengenai tempat kosong. Kini dia pergunakan
tangan kanan untuk hantam kepala orang. Tapi ketika Wiro menangkis dan dua
lengan saling beradu si nenek meringis kesakitan.
“Nek, kalau kita terus
berkelahi kita bisa celaka sendiri!” teriak Wiro.
“Kau yang celaka! Bukan aku!”
teriak si nenek. “Sekarang mampuslah!” Nenek Kelelawar kerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Untuk kedua kalinya dia menghantam kepala Wiro.
“Rupanya kau tak bisa diajak
bersahabat!” kata Wiro pula. Lalu jari-jari tangannya dipergunakan untuk
menggelitik dada dan tulang rusuk si nenek. Karuan saja perempuan tua yang
tubuhnya tidak berdaging lagi itu jadi kegelian setengah mati. Dia
berteriak-teriak panjang pendek.
“Jahanam! Hentikan
perbuatanmu!” teriak si nenek.
Wiro tidak perduli. Dia terus
menggelitik. Kemudian dirasakannya ada cairan panas mengucur membasahi kakinya.
“Gila! Nek, kau kencing ya?!”
teriak Wiro.
“Jahanam! Tutup mulutmu!”
balas si nenek sambil tubuhnya bergoyang-goyang menahan geli. Kitikan Wiro
rupanya membuat si nenek sampai hilang daya tahan dan tak sanggup menahan
kencing.
Sementara itu di goa pada
dinding jurang sebelah timur Dewi Ular yang berjaga-jaga sejak sore hari telah
pula melihat munculnya bintang Kalimukus di langit sebelah tenggara lebih dulu
dari si nenek Kelelawar.
Waktu dia memperhatikan ke
arah dasar jurang yang mulai gelap jelas kelihatan dua larik sinar kuning dan
merah kehitaman mencuat ke atas.
“Sepasang keris sakti! Di sana
rupanya letaknya!” Kata Dewi Ular. Segera dia mengambil payung raksasa yang
dibuat Kunti Rao. Di luar goa payung serta merta dikembangkan lebar-lebar.
Sesaat dia memandang ke bawah lalu tanpa tunggu lebih lama perempuan ini
jatuhkan diri ke dalam jurang. Payung besar yang mengembang kukuh membuat
tubuhnya melayang turun dengan mantap. Sambil melayang dia berpaling ke arah
dinding jurang sebelah barat. Melihat kalau-kalau Datuk Sipatoka sudah muncul
dan melakukan sesuatu untuk terjun ke dasar jurang. Namun saat itu keadaan
sudah tambah gelap. Dewi Ular tak bisa melihat dengan jelas.
Selagi dia melayang turun
dengan perasaan lega karena merasa yakin dia bakal dapatkan sepasang keris
mustika itu tiba-tiba di sebelah atasnya dia mendengar suara orang marah dan
memaki panjang pendek.
Lalu dalam gelap di sampingnya
terlihat satu benda melayang jatuh cepat sekali. Ketika benda itu lewat di
sebelahnya dia cepat memperhatikan.
“Ada dua orang terjun ke
bawah! Yang satu bergelantungan kepada yang lain…” Dewi Ular jadi tak senang
hati. Kalau orang lain mampu terjun lebih cepat berarti dia bisa keduluan dalam
mendapatkan dua senjata sakti itu. Perempuan ini jentikkan tangan kanannya dua
kali berturut-tirut ke atas.
“Breett! Breettt!”
Payung yang terbuat dari
kertas tebal itu robek dan berlubang besar di dua bagian. Robekan ini membuat
daya tahannya terhadap angin berkurang. Akibatnya daya luncur payung yang
digelantungi Dewi Ular itu menjadi lebih cepat. Dia berhasil menyusul jatuhnya
dua orang tadi. Begitu saling bersisian Dewi Ular hantamkan tangan kanannya.
Lancarkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
“Nek! Jangan memaki saja! Kita
diserang orang!” teriak Wiro.
Suara makian berhenti.
Dua orang yang jatuh deras
sadar kalau diri mereka diserang. Yang sebelah depan yaitu si Nenek Kelelawar
kebutkan lengan jubah kirinya yang lebar laksana sayap burung raksasa. Satu
gelombang angin menderu ke arah Dewi Ular. Orang yang bergelantungan di sebelah
belakang yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng tak tinggal diam.
Tangan kirinya memukul lepaskan pukulan “segulung ombak menerpa karang.”
Terdengar suara bergemuruh ketika selarik angin laksana topan menghantam ke
arah Dewi Ular.
Diserang dua pukulan dahsyat
sepeti itu tubuh Dewi Ular bergoncang. Dia membuat gerakan jungkir balik dan
putar payung besarnya demikian rupa hingga dirinya terlindung dari dua serangan
lawan.
“Breettt! Breettt!”
Payung kertas robek besar.
Kayu-kayu penahan kertas patah berantakan. Dewi Ular berteriak. Entah kesakitan
entah marah. Yang jelas dia cepat pegang paku hitam yang terikat di lengan
tangannya. Begitu tenaga dalamnya disalurkan dia segera gerakkan paku hitam
itu. Ujung lancip paku yang kini berwarna kuning emas itu kiblatkan sinar
kuning angker.
“Wussss!”
Pendekar 212 Wiro Sableng
tercekat melihat cahaya aneh menyambar ke arahnya. Secepat kilat dia memutar
badan seraya menarik tubuh si nenek Kelelawar. Sadar apa yang hendak diperbuat
orang terhadap dirinya si nenek membentak marah. Sikut kanannya dihantamkan ke
kepala Wiro sedang tangan kirinya lepaskan tangkisan berupa satu pukulan
mengandung tenaga dalam penuh!
Pendekar 212 merasa kepalanya
seperti meledak pecah. Siku kanan si nenek mendarat tepat di pelipis kirinya
yang langsung menggembung bengkak. Pinggiran matanya robek. Darah serta merta
mengucur.
Si nenek Kelelawar Berjubah
Hitam menerima nasib lebih jelek. Tangkisannya tak sanggup menahan sambaran
sinar dingin kuning yang keluar dari ujung lancip paku hitam di tangan Dewi
Ular.
Perempuan tua itu memekik
panjang. Sinar kuning paku sakti membelah tubuhnya mulai dari kening sampai ke
dada. Sayatan luka mengerikan itu mula-mula kelihatan putih. Lalu
perlahan-lahan berubah merah ketika darah membersit dan mengucur keluar. Tubuh
si nenek tak ampun melayang jatuh ke bawah tanpa daya penahan lagi. Pendekar
212 ikut amblas. Untungnya saat itu dasar jurang hanya tinggal dua tombak.
Sebelum tubuh si nenek
terhempas dan menancap disebuah lancipan batu murid Sinto Gendeng cepat
melompat. Ketika dia berhasil menjejakkan tanah di dasar jurang yang tanahnya
berpasir, orang berpayung hancur yang barusan membunuh nenek Kelelawar sampai
pula di dasar jurang. Dua orang ini saling berhadap-hadapan dalam jarak hanya
terpisah lima langkah. Dua lari cahaya yang mencuat dari dalam tanah jurang
membuat tempat itu cukup terang hingga satu sama lain saling melihat dan
mengenali “Dewi Ular! Kau…!” seru Pendekar 212 kaget. “Jadi kau belum mati
rupanya!”
Dalam keadaan seperti itu Dewi
Ular masih bisa keluarkan suara tawa melngking. “Kalau kau anggap aku sudah
mati, maka yang berdiri di hadapanmu saat ini adalah setan Dewi Ular! Mengapa
kau terjun ke jurang ini?!”
“Kau sendiri ada urusan apa
berpayung-payung turun ke sini?” balik bertanya Wiro.
“Bicara denganmu memang
menjengkelkan. Aku sudah bersumpah untuk membunuhmu! Tidak sangka saatnya ternyata
datang begini cepat!”
Dewi Ular putar paku hitam
yang terikat di pergelangan tangannya. “Pendekar 212!” katanya sambil acungkan
paku yang ujungnya kuning. “Dulu dengan paku ini kau celakai diriku! Kini paku
ini pula yang akan merenggut nyawamu! Kau sudah saksikan kematian tua bangka
itu! Nasibmu tak bakal beda!”
“Tunggu dulu!” teriak Wiro
seraya cepat siapkan pukulan sinar matahari di tangan kanan.
“Orang gagah tapi culas!
Sayang sekali maut datangnya tak bisa ditunda!” Dewi Ular tertawa panjang.
Tangan kanannya yang memegang
paku bergerak. Larikan sinar kuning berkiblat. Wiro angkat tangannya.
Namun gerakannya tertahan
ketika tiba-tiba dia merasa seperti ada yang mendorong dirinya ke samping lalu
satu sinar yang juga berwarna kuning menyambar ke arah sinar paku yang tengah
menyerangnya.
Satu letusan dahsyat
menggelegar di dasar jurang. Air dan pasir bermuncratan. Tanah dan batu-batu di
jurang bergetar keras. Pendekar 212 Wiro Sableng dan Dewi Ular jatuh terbanting
ke tanah jurang. Di samping mereka kemudian bergedebukan dua sosok tubuh. Yang
satu seorang kakek berkepala botak biru.
Satunya lagi seorang pemuda
berpakaian hitam yang kepala dan mukanya ditancapi paku. Wiro segera kenali
pemuda ini dan tahu betul si pemudalah yang barusan menolongnya. Si kakek dan
pemuda rupanya meluncur turun dari atas jurang dengan mempergunakan tali aneh
yang panjang dan kuat.
“Sandaka!” seru Wiro.
Pemuda itu tidak menjawab.
Sandaka melompat kehadapan Dewi Ular. Kakek kepala botak yang tentunya adalah
Datuk Sipatoka memperhatikan Dewi Ular sebentar lalu balikkan badan, melompat
ke dasar jurang di mana terlihat mencuat cahaya kuning dan merah kehitaman.
Secepat kilat orang tua ini pergunakan kedua tangannya untuk menggali tanah
jurang yang gembur itu. Baru setengah jengkal menggali dua larik cahaya
terlihat semakin terang. Sang Datuk menggali terus. Pada kedalaman satu jengkal
tangannya kiri kanan menyentuh sesuatu. Dadanya berdebar keras. Dia pegang
erat-erat dua benda itu lalu menariknya ke atas.
Mata si kakek menjadi silau
ketika dua benda yang dikeluarkannya dari dalam tanah jurang itu ternyata
adalah sepasang keris tanpa sarung terbuat dari emas. Satu memancarkan warna
merah kehitaman.
Satunya lagi berwarna kuning
kehitaman. Itulah sepasang keris mustika sakti Nagasona, satu jantan satu
betina!
“Keris Nagasona…! Aku berhasil
mendapatkannya!” teriak Datuk Sipatoka. “Sandaka! Lihat!”
Sandaka tidak perhatikan
teriakan kakek botak itu. Sepasang matanya tidak berkedip memandang pada Dewi
Ular yang saat itu mencoba bangkit sambil pegangi dadanya yang berdenyut sakit.
Sandaka sendiri merasakan aliran darah dan pernafasannya seperti tidak keruan
akibat bentrokkan dua kekuatan sakti yang keluar dari paku.
“Kunti Arimbi…” kata Sandaka
menyebut nama asli Dewi Ular. “Jadi kau belum mati!”
“Kau sendiri juga belum
mampus!” sahut Dewi Ular sambil menyeringai. Hasratnya untuk membunuh Sandaka
tidak bisa ditahan. Tapi saat itu perhatiannya terbagi pada Datuk Sipatoka yang
telah berhasil mendapatkan sepasang keris Nagasona. Akalnya bekerja. Di
bibirnya yang merah merekah senyum.
Lalu terdengar suaranya
lembut.
“Sandaka, dalam keadaan
seperti ini apa ada perlunya kita melampiaskan dendam masa lampau? Kau dan aku,
masih terbuka jalan bagi kita untuk menguasai dunia persilatan. Jangan
khawatirkan keadaanmu.
Dua keris ini sanggup
memulihkan tubuhmu semula. Jadi saat ini yang harus kau lakukan ialah mengambil
sepasang senjata itu dari tangan kakek botak itu! Lekas lakukan Sandaka! Ambil
dua bilah keris itu…!”
Sandaka Arto Gampito
menyeringai. “Masamu menguasai dan memerintah diriku sudah lama berlalu Dewi
Ular. Perlakuanmu terhadapku selama ini sangat keji! Kau membuat aku buta
hingga menumpuk dosa yang tak sanggup aku pikul! Jalan terbaik untukmu adalah
menebus semua itu dengan nyawamu!”
Sandaka rentangkan kedua
kakinya. Bagian bawah perutnya kelihatan seperti menyala oleh satu cahaya
berwarna kuning. Dewi Ular terkejut. Dia cepat pegang paku hitam yang terikat
di pergelangan tangan kanannya. Sambil memegang paku dia melangkah mundur.
Tiba-tiba perempuan ini membentak keras.
Tubuhnya melesat ke samping.
“Datuk awas!” teriak Sandaka.
Tapi terlambat. Serangan Dewi
Ular datang sangat cepat. Satu tendangan menghantam punggung orang tua
berkepala botak itu demikian dahsyatnya hingga tulang punggungnya remuk.
Tubuhnya mencelat.
Keris Nagasona di tangan
kanannya yakni yang jantan terlepas mental. Dengan cepat Dewi Ular berusaha
menyambarnya. Tapi dari samping Pendekar 212 bertindak lebih cepat. Didahului
dengan menghentakkan pukulan “sinar matahari” ke arah Dewi Ular dia melompat
menyambar keris Nagasona jantan.
Melihat cahaya putih panas
menyambar ke arahnya dengan suara menggemuruh dahsyat Dewi Ular terpaksa tarik
tangannya yang hendak mengambil keris Nagasona jantan. Penuh marah dia membuat
gerakan menusuk dengan paku hitamnya.
Sinar maut berwarna kuning
menyambar ke arah Pendekar 212 pada saat belum lagi murid Sinto Gendeng ini
sempat memegang keris Nagasona jantan yang masih melayang di udara.
Pada saat itulah tiba-tiba menggelegar
suara perempuan dari bagian atas jurang.
“Manusia-manusia tolol! Apa
yang kalian buat di tempat ini?!” Suara keras dari atas itu sangat berpengaruh.
Membuat semua orang mendongak
dan sama-sama terkesiap. Dalam gelapnya malam, hanya diterangi oleh cahaya
keris Nagasona jantan yang masih melayang di udara dan keris Nagasona betina
yang masih ada di tangan kiri Datuk Sipatoka kelihatan satu sosok tubuh
perempuan mengenakan kemben dilapisi jubah hijau berkilat turun ke bawah. Yang
membuat semua orang hampir tak bisa percaya ialah perempuan ini melayang turun
dengan berpijak pada tubuh bergelung seekor ular besar warna hitam kuning.
Binatang ini keluarkan suara berdesis tiada henti. Begitu sampai di tanah
jurang tiba-tiba dia membuka gelungnya.
Kepalanya melesat dua kali.
Semua orang keluarkan seruan tertahan. Sesaat kemudian keris Nagasona jantan
yang tadi melayang di udara dan keris Nagasona betina yang sebelumnya masih
berada dalam genggaman tangan kiri Datuk sipatoka kini tahu-tahu telah berada dalam
gigitan ular besar itu!
Ular besar naikkan kepalanya
ke atas. Perempuan berpakaian hijau berkilat cepat ambil sepasang keris
Nagasona, membuat semua orang yang ada di situ jadi melongo sekaligus geram.
Hanya Dewi Ular yang tampak tenang sekali bahkan ada senyum tersembul dari
bibirnya. Sementara itu ular hitam kuning menjalar di atas tubuh perempuan itu.
“Ratu…” panggil Dewi Ular.
Perempuan berbaju hijau yang
di kepalanya ada mahkota yang terbuat dari ular yang telah dikeringkan menyapu
wajah semua orang yang ada di jurang itu dengan pandangan mata dingin. Lalu
tanpa menoleh pada Dewi Ular dia berkata. “Dewi Ular, lekas melangkah ke
sampingku!”
Dewi Ular cepat melakukan apa
yang dikatakan orang. Begitu berada di sampingnya dia berkata. “Terima kasih
Ratu Ular, kau bersedia datang untuk menolongku…”
“Aku datang bukan untuk
menolongmu! Selama ini kau banyak berbuat lalai. Kalau bukan karena perbuatanmu
aku tidak bakal kesasar ke tempat ini!”
“Maafkan saya Ratu Ular. Saya
mohon ampunmu!”
Dari balik jubahnya Ratu Ular
keluarkan sebuah benda berwarna kuning yang ternyata adalah sebuah mahkota
kecil dan berbentuk kepala ular. Dewi Ular terkejut melihat benda itu.
“Ini milikmu…?” tanya Ratu
Ular.
“Betul Ratu. Mahkota itu jatuh
waktu saya…”
“Sudah! Tutup mulutmu! Aku
sudah tahu semua yang terjadi. Mendekat padaku!” perintah Ratu Ular.
“Ratu kau hendak
menghukumku…?” tanya Dewi Ular ketakutan. Tapi dia bergerak juga mendekati sang
ratu.
Begitu Dewi Ular berada di
sampingnya, Ratu Ular usapkan sepasang keris Nagasona ke bahu dan dada
perempuan itu.
“Wusss!”
“Wusss!”
Dua kali asap dingin kelabu
mengepul dari tubuh Dewi Ular. Ketika asap lenyap Dewi Ular terpekik.
Bukan pekik sakit atau
ketakutan. Tapi pekik gembira. Sapuan sepasang senjata sakti itu telah
menyembuhkan cacat luka hantaman Kapak Maut Naga Geni 212 di bahu dan dadanya.
Tubuhnya kembali utuh dan mulus seperti semula. Bahkan wajahnya tampak segar
berdarah kembali dan tambah cantik.
“Terima kasih Ratu… Terima
kasih…” kata Dewi Ular manggut-manggut lalu jatuhkan diri di hadapan Ratu Ular.
“Lekas berdiri! Saatnya kita
tinggalkan tempat ini!” kata Ratu Ular pula.
Bagian 9
Dewi Ular bangkit berdiri. Dia
memandang pada Datuk Sipatoka, Pendekar 212 Wiro Sableng dan Sandaka.
“Bagaimana dengan orang-orang
ini?” tanyanya pada sang ratu.
Ratu Ular berpikir sejenak
lalu berkata. “Jika dia mau menjadi hamba sahaya kita, dua pemuda itu boleh kau
ajak serta. Yang berkepala botak biru itu hanya merusak pemandangan saja! Aku
jijik melihat tua bangka ini.
Harap kau lekas membunuhnya!”
“Perintah akan saya lakukan
Ratu,” kata Dewi Ular. Dia angkat tangan kanannya yang memegang paku hitam.
Paku lalu ditusukkan pada Datuk Sipatoka. Selarik sinar dingin kuning
menyambar. Mendapat serangan maut ini sang datuk tentu saja tidak berlaku ayal.
Sambil melompat ke samping dia dorongkan kedua tangannya. Dua larik cahaya yang
juga berwarna kuning menggemuruh menangkis serangan selarik sinar kuning yang
keluar dari paku.
“Bummm!”
Tubuh Datuk Sipatoka
bergoncang keras. Dari mulutnya keluar darah segar. Dewi Ular belum puas dia
cepat melompat sambil tusukkan paku hitam berujung kuning ke kening orang tua
itu. Kini sang datuk tidak bisa lagi selamat dari kematian!
Pada saat itu dari samping
terdengar bentakkan Sandaka. Tubuhnya melesat dan dari selangkangannya di mana
tertancap paku hitam yang bagian kepalanya sudah diasah itu menyambar larikan
sinar kuning yang lebih besar dari yang sanggup dikeluarkan oleh paku milik
Dewi Ular. Karena tidak menyangka akan mendapat serangan Dewi Ular hanya sempat
berkelit sedikit. Larikan sinar kuning memapas bagian belakang kepalanya.
Dari tempatnya berdiri Ratu
Ular yang melihat kejadian itu segera angkat dua keris Nagasona ke atas.
Dia kerahkan tenaga dalam lalu
lepaskan pukulan jarak jauh melewati dua senjata sakti ini. Apa yang terjadi
sungguh luar biasa. Dari tubuh sepasang keris tanpa sarung itu melesat keluar
cahaya kuning sangat terang. Dua cahaya ini langsung menghantam musnah larikan
sinar kuning yang keluar dari bawah perut Sandaka.
Si pemuda merasakan tubuhnya
tergontai-gontai. Kalau tak lekas di tolong tubuhnya akan segera digulung
serangan lawan!
“Ratu Ular! Aku ingin menjajal
kehebatan sepasang keris itu!” Satu suara menggeledek disusul dengan
berkoblatnya sinar putih menyilaukan serta menghamparnya hawa panas lalu
menggemuruhnya suara aneh laksana seribu tawon mengamuk! Itulah sambaran Kapak
Maut Naga Geni 212 yang dihantamkan Wiro ke arah Ratu Ular.
Kalau semua orang merunduk
kaget melihat serangan kapak itu Ratu Ular tetap tegak bahkan ganda tertawa.
Dia angkat tangan kanannya yang memegang dua bilah keris sakti. Kembali dua
larik sinar kuning menggebu.
Pendekar 212 Wiro Sableng
menjerit keras. Kapak Naga Geni 212 mencelat mental dari pegangannya.
Dia sendiri kalau tidak lekas
jatuhkan diri berlindung di balik satu batu besar yang runcing niscaya akan
celaka berat! Batu tempatnya berlindung hancur berantakkan tapi Wiro selamat
dari serangan maut walau sekujur tubuhnya kotor oleh hancuran batu dan tanah
becek di dasar jurang.
“Dewi Ular kau lihat sendiri!
Aku sudah memberi kesempatan pada dua pemuda itu untuk ikut kita! Tapi mereka
adalah manusia-manusia culas yang tidak bisa dipercaya! Biar keduanya meregang
nyawa di tanganku!”
Habis berkata begitu Ratu Ular
angkat tangan kanannya kembali. Justru pada saat itu ada sesiur angin menyambar
dari atas. Bersamaan dengan itu ada suara sesuatu meluncur di tali yang masih
tergantung di dinding jurang. Lalu “buk!” Satu sosok tubuh luar biasa besarnya
jatuh berdebam di atas tanah jurang.
Kaki ke atas kepala ke bawah
sedang pinggangnya melintang di atas sebuah batu jurang. Luar biasanya walau
orang ini jatuh kepala duluan tapi lehernya tidak patah dan kepalanya tidak
remuk. Begitu juga punggungnya yang menghantam batu runcing sama sekali tidak
cedera. Malah terdengar suaranya seperti menguap.
Lalu ada asap berbau tembakau
memenuhi jurang itu. Tak lama kemudian terdengar suara orang mengorok keras!
“Raja Penidur!” seru Wiro
ketika dia mengenali siapa yang tergelimpang kaki ke atas kepala ke bawah itu.
“Celaka! Jangan-jangan
kepalanya sudah pecah!” Wiro melompat dan cepat memeriksa. “Gila!
Bagaimana dia masih bisa tidur
dalam keadaan seperti ini! Hai! Kek! Bangun!” Wiro guncang tubuh itu. Tapi
tubuh gemuk ratusan kati itu tidak bergerak sedikitpun. Tidak kehilangan akal
Wiro cabut pipa dari mulut Raja Penidur. Ujung pipa ditusukkannya ke salah satu
lobang hidung si gendut ini lalu dikocok-kocok hingga akhirnya Raja Penidur
terbangun sambil berbangkis. Wiro cepat selipkan kembali pipa panjang itu ke
mulut si Raja Penidur.
“Aku enak-enak tidur mengapa
dibangunkan? Sialan betul! Siapa kalian ini orang-orang jelek semua!
Hah?!”
Raja Penidur menggeliat. Lalu
dengan gerakkan malas-malasan dia berdiri sambil bersandar ke sebuah batu
lancip berbentuk tiang.
Pada saat si Raja Penidur
menggeliat tadi, Ratu Ular yang tampak ada perubahan besar pada raut wajahnya
memberi isyarat pada Dewi Ular seraya berbisik. “Lekas ikuti aku!”
Dewi Ular hendak bertanya tapi
memutuskan untuk diam dan mengikuti saja apa perintah sang ratu.
Namun baru saja keduanya
bergerak tiba-tiba sekali sosok si Raja Penidur sudah berada di depan mereka.
“Untari… Kau masih saja
berkelakuan macam-macam. Apa kekecewaan masa muda masih menghantui dirimu.”
Semua orang yang ada di tempat
itu terheran-heran mendengar kata-kata si gemuk. Siapa yang bernama Untari itu?
Lalu mereka melihat bagaimana berubahnya wajah Ratu Ular. Sikapnya menunjukkan
rasa gelisah kalau tidak mau dikatakan takut. Takut pada siapa?
“Raja Penidur, urusan masa
lalu tak perlu diungkit-ungkit…” terdengar Ratu Ular bersuara. Jadi dialah yang
bernama Untari.
“Kalau begitu baiklah. Kau
boleh pergi. Tapi ada dua hal harus kau tinggalkan…”kata Si Raja Penidur pula.
“Hemmm…Apakah itu?” tanya Ratu
Ular.
Si Raja Penidur menyedot
pipanya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke udara hingga tempat itu
disamaki oleh tembakau. Setelah menguap dan mengucak kedua matanya baru dia
menjawab.
“Pertama, serahkan padaku
sepasang keris Nagasona itu. Dua senjata mustika itu bukan milikmu.”
“Lalu apakah keduanya
milikmu?” tukas Ratu Ular.
“Jelas bukan milikmu. Aku
hanya menjadi perantara untuk mengembalikannya pada pemiliknya. Sebentar lagi
utusan si pemilik akan datang untuk mengambil…”
Ratu Ular tertawa panjang.
“Ceritamu enak sekali didengarnya…”
“Aku tidak bicara dusta. Tidak
pernah…”
“Kecuali terhadapku…?”
“Ah, kau sendiri tadi
mengatakan urusan masa lalu tak perlu diungkit-ungkit!”
Si Raja Penidur berubah
parasnya. Tapi hanya sebentar. “Menurutku ini adalah penyelesaian yang paling
baik…”
“Kau belum mengatakan hal
kedua…” Ratu Ular alihkan pembicaraan.
“Hal kedua yang harus kau
tinggalkan di sini adalah perempuan muda berjuluk Dewi Ular itu…” jawab Si Raja
Penidur.
“Apa keperluanmu dengan dirinya?!”
bentak Ratu Ular. “Apa kau hendak memperlakukannya seperti yang kau perbuat
padaku puluhan tahun silam?!”
“Eh, bagaimana ini…” pikir
Pendekar 212 Wiro Sableng sambil garuk-garuk kepala. “Perempuan itu
menyebut-nyebut masa puluhan tahun lalu. Memangnya usianya berapa?”
Si Raja Penidur batuk-batuk
beberapa kali. Setelah menguap lebar-lebar diapun berkata. “Itu dua
permintaanku. Terserah padamu mau memenuhinya atau tidak…”
“Aku ingin tahu apa yang
hendak kau lakukan terhadap muridku Dewi Ular? Jawab dulu itu!”
“Kau tahu apa yang sudah
diperbuatnya? Dosanya membunuhi tokoh-tokoh silat tidak bersalah sedalam lautan
setinggi langit! Kau kira dia bisa lolos begitu saja dari hukuman? Mengingat
hubunganmu denganku aku bersedia melindunginya dari balas dendam yang
mengerikan. Biar aku yang mengatur hukuman terbaik bagi dirinya….”
“Hemmm begitu? Hukuman terbaik
baginya adalah ikut bersamaku. Saat ini kemana aku pergi dia harus ikut!” kata
Ratu Ular pula.
“Terserah padamu. Aku sudah
menawarkan yang terbaik! Mataku sudah mengantuk. Aku ingin menyelesaikan urusan
ini sebelum aku tidur lagi….”
“Aku tidak akan memenuhi
apa-apa Raja Penidur. Seperti kau tidak memenuhi apa-apa terhadap diriku!”
“Sayang sekali kalau begitu…”
kata Raja Penidur seperti tak acuh. Dia kembali menguap lebar-lebar.
Ratu Ular memberi isyarat pada
Dewi Ular. Kedua orang itu cepat melangkah pergi. Namun baru berjalan dua
tindak tiba-tiba dari atas ada satu sinar terang melayang turun. Ketika sinar
itu mencapai pertengahan jurang semua orang yang ada di tempat itu terkesiap.
Yang melayang turun adalah seorang gadis sangat cantik. Sosok tubuhnya menebar
bau harum kembang melati. Dan tubuh ini hanya terbalut segulung kain putih yang
sangat halus tembus pandang.
Tenggorokan Pendekar 212 Wiro
Sableng tampak turun naik. Matanya memandang tak berkedip. Hal yang sama
terjadi juga dengan Sandaka sementara Datuk Sipatoka yang berada dalam keadaan
luka jadi lupa diri dan ikut-ikutan menyaksikan pemandangan indah itu tanpa
berkesip.
Si Raja Penidur menguap dan
tarik pipa dari sela bibirnya. “Utusan yang ditunggu sudah datang. Aku tidak
bisa membantumu lagi Untari…”
Untari alias Ratu Ular dan
sang murid Dewi Ular sama-sama terkesiap. Gadis cantik jelita yang melayang
turun tegak di hadapan Ratu Ular. Wiro melihat jelas kalau dua kakinya yang
bagus dan putih mulus sama sekali tidak menginjak dasar jurang. Kalau tadi dia
begitu terpesona melihat kecantikan dan sosok tubuh si jelita yang hampir polos
itu maka kini tengkuknya terasa dingin. Gadis berbalut kain putih halus itu
memberi isyarat pada Ratu Ular lalu mengulurkan tangannya meminta agar sepasang
keris Nagasona diserahkan padanya.
Ratu Ular melangkah mundur.
Tangan kirinya mengusap kepala ular besar yang bergelung di lehernya.
Dia melirik pada murid di
sebelahnya lalu memberi isyarat. Dewi Ular yang tahu isyarat itu segera siapkan
paku hitamnya. Lalu berlangsunglah tiga serangan yang mematikan.
Serangan pertama, ular besar
di leher Ratu Ular mematuk ke arah muka gadis jelita. Serangan kedua sambaran
sinar kuning yang keluar dari ujung lancip paku yang dilancarkan Dewi Ular.
Serangan ketiga ini yang terhebat adalah cahaya kuning besar yang menghampar
keluar dari sepasang keris sakti. Manusia biasa, betapapun tinggi ilmunya
diserang begitu rupa pasti tak bisa loloskan diri dari kematian. Namun gadis
jelita yang tidak berpijak ke bumi itu tenang saja. Gerakannya lemah gemulai
seperti penari ketika tangan kanannya diangkat dengan telapak terkembang. Tiga
serangan yang datang ke arahnya laksana tersedot masuk ke dalam telapak tangan
itu. Binatang itu menggeliat-geliat sesaat lalu jatuh terkapar di tanah jurang
dengan kepala hancur.
Ketika tangan kiri gadis
jelita itu ikut bergerak, tahu-tahu sepasang keris sakti Nagasona telah
berpindah dari tangan Ratu Ular ke dalam genggamannya!
Seperti orang gila Ratu Ular
berteriak keras. Kedua tangannya dipukulkan ke arah lawan yang hanya berjarak
dua langkah dari hadapannya. Dari dua tangan itu secara tidak terduga melesat
dua senjata berbentuk tombak dengan kepala tombak menyerupai kepala ular
sendok. Yang diserang kembali angkat tangan kirinya. Kali ini gerakannya cepat
sekali. Lalu, “Trak… trak… trak…!”
Bukan cuma dua tombak kepala
ular itu saja yang hancur berpatahan, tapi dua tangan Ratu Ular ikut hancur
mulai dari ujung jari sampai ke pergelangan tangan. Ratu Ular meraung keras.
Dewi Ular, meski bergidik melihat apa yang terjadi mendadak menjadi nekat dan
kembali pergunakan dua paku saktinya untuk menyerang. Sebelum larikan dua sinar
kuning keluar dari paku itu, si jelita berbalut kain putih ulurkan tangannya.
“Kraaakkk!”
Paku hitam dan tangan kiri
Dewi Ular hancur luluh. Seperti sang ratu, dari mulut Dewi Ular terdengar pula
raungan menggidikkan. Murid dan guru terhuyung-huyung nanar menahan sakit.
Begitu keduanya saling
berbenturan, Ratu Ular berkata, “Dewi, aku rasa tidak ada gunanya lagi hidup
dengan derita cacat seperti ini. Ikuti apa yang aku lakukan…”
“Saya mengerti Ratu, Saya
siap…” sahut Dewi Ular.
Tidak terduga dan tidak bisa
dicegah, Ratu Ular dan Dewi Ular didahului teriakan keras sama-sama berlari
lalu hujamkan kepala masing-masing ke dinding batu jurang. Suara kepala mereka
yang pecah remuk terdengar mengerikan!
Si Raja Penidur geleng-geleng
kepala. Matanya semakin kuyu dan dia menguap berulang kali. Di sebelah sana,
gadis jelita berbalut kain putih tembus pandang palingkan tubuhnya ke arah Si
Raja Penidur.
“Terima kasih kau sudah datang
menjemput sendiri dua senjata sakti. Kau boleh pergi dan membawanya kepada
pemiliknya di Pantai Selatan. Hanya saja kalau aku boleh meminta, saat ini ada
dua orang yang menderita sakit di jurang ini. Lalu ada satu lagi di atas jurang
sana. Aku mohon kau mau pergunakan sepasang senjata sakti itu untuk mengobati
mereka…”
Si cantik yang diajak bicara
hanya mengangguk-anggukkan kepala. Lalu melangkah seperti melayang.
Pertama sekali dia mendekati
Datuk Sipatoka yang menderita luka parah di sebelah dalam akibat bentrokan
pukulan sakti dengan Dewi Ular tadi. Sekali saja sepasang keris Nagasona
diusapkan ke wajah dan dadanya, maka asap kelabu dingin mengepul. Begitu asap
lenyap, kelihatan sang datuk tersenyum. Luka dalam yang dideritanya serta merta
sembuh. Dia sanggup berdiri dan cepat menjura pada si jelita sebagai ucapan
terima kasih.
Selesai menyembuhkan Datuk Sipatoka,
gadis berbalut kain putih mendekati Sandaka. Kembali dia pergunakan sepasang
keris Nagasona untuk mengusap kepala, muka dan tubuh pemuda yang penuh
ditancapi paku itu.
“Wusss… wusss… wusss!”
Asap kelabu mengepul
berbuntal-buntal. Terdengar suara benda-benda keras bermentalan, lalu jatuh ke
dasar jurang. Ketika asap kelabu lenyap, kelihatan kepala, muka dan tubuh
Sandaka mulus. Puluhan paku yang menancap di kepala, muka dan tubuhnya lenyap
dan kini kelihatan bergeletakan di tanah jurang.
Semua orang yang menyaksikan
kejadian ini leletkan lidah saking kagumnya.
Sandaka berbungkuk hampir
bersujud untuk menyampaikan rasa terima kasihnya. “Terima kasih kau telah
mengobati dua orang itu,” Si Raja Penidur berucap. “Seperti permintaanku tadi,
di atas sana ada seorang pangeran menderita lumpuh selama belasan tahun. Mohon
kau mau mengobatinya…”
Gadis yang diajak bicara
anggukkan kepala. Dia memandang berkeliling seolah minta diri. Sebelum tubuhnya
melayang ke atas, Pendekar 212 Wiro Sableng berseru. “Tunggu, aku juga sakit,
tolong sembuhkan!”
Si Raja Penidur cabut pipanya
dari sela bibir lalu membentak. “Anak sableng! Jangan kau berani macammacam!”
Wiro jadi tersurut garuk-garuk
kepala. Si gadis di sebelah sana tersenyum lalu kedipkan matanya pada sang
pendekar. Sesaat setelah gadis itu melayang ke atas dan cahaya benderangnya
lenyap dalam kegelapan malam, Wiro membungkuk mengambil Kapak Maut Naga Geni
212 yang tadi tercampak di tanah.
Lalu dia berpaling pada Si
Raja Penidur.
“Kek, kenapa dia tak boleh
menolongku? Bentrokan dalam perkelahian tadi menyebabkan sakit di sekujur
badanku!”
Si Raja Penidur tertawa
mengekeh. “Aku sudah tua. Usiaku lebih dari seratus delapan puluh tahun.
Masakan bocah sepertimu bisa
membohongiku. Kau pura-pura minta diobati padahal sebenarnya hanya ingin diusap
jari-jari bagus gadis itu! Ayo! Jangan kau berani berkilah!”
Wiro tertawa lebar dan kembali
garuk-garuk kepala.
Datuk Sipatoka melangkah ke
hadapan Si Raja Penidur. “Sahabat, kalau tidak ada kau kami semua di sini tentu
sudah menjadi mayat. Aku mewakili mereka mengucapkan terima kasih.”
Si Raja Penidur hanya
mengangguk perlahan lalu menguap.
“Ada satu hal yang ingin aku
tanyakan. Menyangkut Ratu Ular. Berapa usia perempuan itu sebenarnya?” tanya
Datuk Sipatoka pula.
Si Raja Penidur
geleng-gelengkan kepala. “Aku sudah seratus delapan puluh tahun lebih Perempuan
itu hanya terpaut duapuluh tahun di bawahku…”
“Astaga!” ujar Wiro. “Kalau
usianya memang seratus enampuluh tahun, mengapa kelihatan dia masih begitu
muda? Seperti hanya berumur empat puluhan…?”
Si Raja Penidur tertawa
bergelak. “Perempuan itu punya kepandaian untuk mengubah wajah dan keadaan
tubuhnya. Masih untung dia jadi perempuan empat puluh tahunan. Kalau dua
puluhan kau pasti sudah naksir! Ha… ha… ha…!”
“Kek, bagaimana kita keluar
dari dasar jurang ini?” tanya Wiro.
“Nah, nah! Kau mulai cemas
ingin buru-buru keluar dari sini. Tak usah khawatir. Aku tahu ada lorong
rahasia yang membawa kita ke bebukitan di atas sana. Rupanya kau barusan ingat
pada gadis berbaju ungu yang menunggumu di atas sana ya?”
Wiro tertawa lebar. “Kau
rupanya sudah tahu segalanya Kek!”
Empat orang itu berjalan
beriringan. Si Raja Penidur di sebelah depan, Menyusul Datuk Sipatoka, lalu
Sandaka danh di belakang sekali Pendekar 212 Wiro Sableng. Sambil berjalan, di
suatu tempat murid Sinto Gendeng yang suka usil ini ingat sesuatu.
“Sandaka,” bisiknya memanggil.
“Semua paku-paku baja murni yang sebelumnya menancap di kepala dan tubuhmu
tercabut mental secara aneh berkat sepasang keris Nagasona itu.”
“Ya, aku sangat berterima
kasih pada gadis ajaib itu. Mungkinkah dia seorang bidadari…?”
“Anggap saja begitu. Tapi ada
hal lain yang ingin aku tanyakan padamu…”
“Apa?”
“Setahuku ada sebuah paku lagi
yang menancap di anu-mu! Ingat apa yang aku lakukan padamu dulu?”
“Lalu…?” tanya Sandaka masih
tidak mengerti.
“Apakah tadi paku yang satu
itu juga sanggup dicabut mental oleh sepasang keris sakti itu?”
Sandaka terdiam. Sesaat
kemudian dia menjawab. “Tentu saja, kurasa begitu…”
“Kau rasa katamu. Agaknya kau
sendiri merasa ragu.”
“Tidak, aku tidak ragu. Aku
merasa pasti!”
“Kau bicara begitu tapi nada
suaramu terdengar ada kebimbangan… Coba kau periksa. Pegang anu-mu itu untuk
membuktikan bahwa paku itu benar-benar tidak menancap lagi di ‘burung’-mu.”
“Sialan kau!” mengomel
Sandaka. “Perlu apa aku memegangnya segala?!”
“Tidak apa-apa, hanya sekadar
untuk meyakinkan…”
Diam-diam Sandaka menjadi
bimbang juga. Dia memandang ke belakang ke arah Wiro. Murid Sinto Gendeng
dilihatnya menyeringai. Akhirnya Sandaka susupkan tangan kirinya ke balik
celana panjangnya.
Dia meraba ke bawah perut,
lalu terdengar dia menarik nafas lega.
“Bagaimana?” tanya Wiro.
“Tidak ada! Paku satu itu tak
ada lagi di anu-ku!” jawab Sandaka.
“Syukurlah. Kau sekarang
benar-benar telah jadi manusia sempurna kembali. Kalau paku itu masih menancap
di sana, apa kau pernah membayangkan gadis mana yang mau kawin denganmu…”
“Sialan! Jalan pikiranmu kotor
amat!” ujar Sandaka.
Dalam gelapnya lorong yang
mereka lalui Pendekar 212 tak dapat lagi menahan tawanya. “Anak sableng!”
Si Raja Penidur terdengar
mengomel di sebelah depan. “Kalau kau tak bisa diam, aku lebih baik tidur saja
di lorong ini. Kalian boleh menunggu aku bangun sampai berbulan-bulan…”
“Kek, maafkan diriku…” ujar
Wiro.
“Apa yang lucu hingga kau
tertawa begitu rupa?!” tanya Si Raja Penidur pula.
“Anu Kek… Maksudku si Anu
anu-nya sudah tidak ada anunya lagi. Jadi benar-benar sudah anu…” jawab Wiro.
“Dasar anak gila!” maki Si
Raja Penidur.
Di sebelah belakang, Wiro dan
juga Sandaka setengah mati menahan tawa.
TAMAT