Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
097 Liang Lahat Gajahmungkur
SATU
Nenek angker yang kepalanya
ditancapi lima tusuk konde perak itu lari laksana angin. Sebentar saja dia
sudah jauh meninggalkan gugusan bukit karang di Teluk Parangtritis. Memasuki
sebuah lembah dia memperlambat larinya. Di satu tempat yang sunyi dan teduh si
nenek berhenti. Sosok anak kecil berpakaian serba hitam yang sejak tadi
dipanggulnya diletakkan di atas satu tonjolan tanah keras rata. Dia pandangi
tubuh pingsan tak bergerak itu sambil menarik nafas berulang kali. Dalam
hatinya sebenarnya nenek ini merasa sangat khawatir namun air mukanya yang
angker sebaliknya malah menyorotkan hawa kemarahan.
“Anak setan! Tubuhmu panas
seperti dipanggang! Tangan kananmu patah! Untung kau tidak mampus dihantam
pukulan sakti nenek bermuka putih itu! Kepandaian cuma sejengkal
berani-beraninya kamu mempermainkan orang!”
Anak yang tergeletak di tanah
dalam keadaan pingsan itu adalah Naga Kuning alias Naga Cilik.
Seperti dituturkan dalam
Episode sebelumnya (Utusan Dari Akhirat) anak itu berani melawan Sabai Nan
Rancak malah mempermalukan nenek sakti itu dengan menarik tanggal jubah
hitamnya di sebelah bawah. Akibatnya Sabai Nan Rancak menjadi kalap. Setelah
berhasil mematahkan tangan kanannya Sabai Nan Rancak menghantamnya dengan pukulan
Kipas Neraka. Walau tidak terkena telak namun pukulan Kipas Neraka membuat si
anak hangus sebagian pakaiannya. Wajahnya tampak sangat merah tetapi anehnya
bibirnya berwarna kebiruan.
“Mukamu merah seperti udang
direbus. Bibirmu sebiru jelaga. Ada hawa jahat mendekam dalam tubuhmu.
Jantungmu pasti megap-megap…. Anak setan! Kalau tidak kasihan padamu seharusnya
kubiarkan saja kau mampus! Mengapa aku mau-maunya menolongmu mencari urusan!
Huh!”
Nenek itu menghela nafas
panjang lalu kembali mengoceh.
“Aku harus memeriksa tubuhmu.
Kalau tanda merah dan biru juga ada di dadamu jangan harap aku bisa selamatkan
jiwamu!”
Si nenek membungkuk. Lalu
jari-jari tangannya yang kurus berkuku panjang dan hitam bergerak ke dada si
anak.
“Breett!”
Baju hitam yang dikenakan
bocah pingsan itu robek besar di bagian dada. Begitu dada si anak tersingkap,
kagetlah si nenek. Dia tersentak bangkit lalu tersurut sampai dua langkah.
Sepasang matanya mendelik memancarkan sinar aneh, menatap lekat ke arah dada si
anak. Di situ, di dada itu ada gambar seekor naga besar berwarna kuning?
“Naga Kuning…” desis si nenek
dengan suara bergetar.
Untuk beberapa lamanya nenek
itu tegak tak bergerak, memandang melotot tak berkesip.
“Kalau anak ini memang benar….
Ah! Bagaimana aku bisa mempercayai! Satu-satunya yang tahu asal usul anak ini
adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas. Tapi orang sakti itu kuketahui sudah lama
berpulang…. Kalaupun masih hidup di mana aku harus mencari!” Si nenek menarik
nafas dalam berulang kali. Dia sadar kalau saat itu sekujur tubuhnya terasa
bergetar. Setelah terdiam beberapa lama akhirnya dia berkata.
“Apapun yang terjadi, aku
berkewajiban menolong anak ini! Kalau dia sampai tewas di tanganku, aku bakal
celaka seumur-umur! Masih untung tak ada warna merah dan biru di bagian
dadanya. Berarti aku bakalan bisa menolong walau sulit setengah mati!
Mudah-mudahan Gusti Allah mau menurunkan kuasa, kekuatan dan kasihNya
menyelamatkan anak ini!”
Si nenek lalu cabut tiga tusuk
konde yang menancap di kepalanya. Tusuk konde pertama ditusukkannya ke
ubun-ubun si anak. Tusuk konde ke dua ditusukkan ke telapak kaki kanan lalu
yang terakhir ditancapkan ke telapak kaki kiri. Saat itu juga tubuh Naga Kuning
berguncang keras. Si nenek cepat tempelkan tangannya kiri dan kanan di kening
si bocah. Lalu mulai mengerahkan tenaga dalamnya. Tubuh si anak yang tadi
berguncang kini mengendur dan guncangan perlahan-lahan lenyap. Si nenek alirkan
hawa sakti sejuk lewat tangan kanan sedang hawa sakti hangat melalui tangan
kiri. Dari wajah si anak yang berwarna merah keluar asap tipis. Si nenek merasa
agak lega. Dia lipat gandakan aliran hawa sakti. Namun jadi terperangah ketika
merasakan ada kekuatan aneh menolak keluar dari kening si anak, membuat dua
tangannya bergetar. Selagi si nenek terkesiap tiba-tiba di belakangnya
terdengar suara berisik sekali. Liang telinganya seperti ditusuk. Itulah suara
kaleng yang dikerontangkan tiada hentinya.
“Setan alas! Tua bangka
sialan! Beraninya kau mengacaukan pekerjaanku!” Si nenek menyumpah.
Suara kerontangan kaleng
sirna. Kini terdengar suara tawa mengekeh.
“Sinto Gendeng! Walau sudah
bau tanah sifatmu masih tidak berubah! Memaki mengutuk serapah tak pernah
berhenti! Sejak lama aku mencarimu! Apa kau tahu rimba persilatan tanah Jawa
dan Andalas tengah dilanda malapetaka besar?!”
“Kalau tidak tahu masakan aku
mau mencapaikan diri meninggalkan puncak Gunung Gede?! Bukankah kau dan aku
barusan mengalami sendiri di Teluk Parangtritis?!” jawab si nenek seraya
berpaling. Dia ternyata adalah Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Guru
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
“Kau betul. Sebelumnya kita
sama-sama berada di Teluk Parangtritis. Kini sama-sama tersesat di tempat ini….
Eh, aku merasa ada sosok lain yang bernafas tersendat-sendat di dekatmu. Apa yang
kau lakukan di sini Sinto?”
“Aku tengah berusaha menolong
menyelamatkan seorang bocah yang siap meregang nyawa. Mendekatlah kemari agar
kau tahu siapa adanya anak ini!”
Orang yang diajak bicara
melangkah mendekati si nenek. Begitu berada di dekatnya Sinto Gendeng pegang
lengan kanan orang itu lalu usapkan telapak tangannya ke atas dada anak yang
pingsan. Orang ini ternyata adalah seorang kakek bermata putih alias buta melek
dan bukan lain adalah manusia sakti salah seorang tokoh aneh dunia persilatan
yang dikenal dengan julukan Kakek Segala Tahu.
“Astaga!” berucap si kakek
setengah berseru. Walau matanya buta tapi dia memiliki beberapa kehebatan.
Diantaranya mengetahui sesuatu dengan jalan meraba.
“Ada gambar ular besar di
dadanya. Bukankah anak ini si Naga kuning alias Naga Cilik, penjaga kawasan
telaga besar Gajahmungkur?!”
“Kau memang hebat. Meski jelek
dan buta tapi punya kesaktian melihat secara aneh…!”Kakek Segala Tahu tertawa
mengekeh dan goyangkan tangannya yang memegang kaleng rombeng.
“Apa yang terjadi dengan anak
ini Sinto? Aku merasakan ada hawa aneh dan panas ketika meraba dadanya. Aliran
darahnya tidak beres. Nafasnya sudah sampai ke leher!”
“Anak ini menderita cidera
berat. Tangan kanannya patah. Tapi yang gawat luka dalam yang dideritanya.”
“Aku tahu. Anak ini terlibat
dalam bentrokan hebat di Parangtritis….”
“Dia dihajar Sabai Nan Rancak
dengan pukulan Kipas Neraka!” kata Sinto Gendeng pula.
“Kalau bukan Naga Kuning,
pasti anak ini sudah menemui ajal tadi-tadi.”
Kakek Segala Tahu mendongak ke
langit. Tangan kanannya yang memegang tongkat diayun-ayunkan kian kemari.
Sesaat terdengar dia bergumam. Lalu didengarnya Sinto Gendeng berucap.
“Sabai Nan Rancak. Jauh-jauh
datang dari Andalas pasti punya maksud tertentu. Aku sejak lama menyirap kabar
nenek satu itu sepertinya punya satu urusan besar di tanah Jawa ini. Agaknya
telah terjadi sesuatu di luar pengetahuan kita. Aku lihat nenek muka putih itu
muncul mengenakan Mantel Hitam sakti milik Datuk Tinggi Raja Di Langit. Aku
yakin dia juga telah menguasai Mutiara Setan sang Datuk. Belakangan ini dia
muncul di beberapa tempat di tanah Jawa. Tindak tanduknya aneh. Setiap dia
muncul pasti terjadi sesuatu! Kau tahu atau kenal dengan nenek keparat itu?”
Kakek Segala Tahu goyangkan
kaleng rombengnya dua kali.
“Apa yang aku ketahui rasanya
tidak sebanyak yang kau ketahui Sinto….”
“Maksudmu?”
“Seperti kau di masa muda dulu
nenek itu pernah bercinta dengan Sukat Tandika alias Tua Gila….”
“Bukan cuma bercinta. Tapi
bunting dan punya anak!” ujar Sinto Gendeng.
“Ha… ha… ha…!” Kakek Segala
Tahu tertawa.
“Suaramu ketus. Pertanda masih
ada rasa sakit hati di dalam dirimu….”
“Aku tidak ingin membicarakan
masa lalu sialan itu. Apa yang sebenarnya tengah terjadi di rimba persilatan
tanah Jawa ini? Harap kau Suka menerangkan. Jangan menyembunyikan sesuatu walau
barang sepotong pun!”
“Pertama kali aku bertemu
dengan Sabai Nan Rancak adalah di Bukit Tegalrejo. Waktu itu dia tengah
menunggu kedatangan sobatnya bernama Datuk Angek Garang. Seperti yang aku
katakan padanya, sang Datuk tidak akan datang hidup-hidup.
Ternyata benar. Datuk Angek
Garang muncul naik gerobak. Tapi sudah jadi mayat. Pasti Tua Gila yang
membunuhnya. Karena Malin Sati, murid tunggal kakek sedeng itu mati di tangan
Datuk Angek Garang. Celakanya belakangan aku mendengar kabar bahwa Sabai Nan
Rancak menuduh aku yang telah membunuh Datuk Angek Garang…!” Kakek Segala Tahu
kerontangkan kalengnya lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia hentikan
tawanya, menatap ke arah Sinto Gendeng dan berkata.
“Sinto, kalau aku terus
bercerita, kapan kau akan menolong Naga Kuning?”
“Astaga!” Sinto Gendeng
tersentak kaget.
“Aku sampai terlupa!”
“Aku ikut membantu!” kata si
kakek pula.
“Kau tahu siapa aku! Tak perlu
dibantu!” ujar Sinto Gendeng pula.
“Jangan takabur Sinto! Pukulan
Kipas Neraka bukan pukulan sembarangan. Cidera yang dialami Naga Kuning parah
sekali….” Si nenek mencibir.
“Dari dulu kau selalu
meremehkan diriku.”
Kakek di belakang Sinto
Gendeng tertawa mengekeh lalu kerontangkan kaleng rombengnya.
“Kakek Setan! Kau mau membuat
aku jadi budek! Hentikan perbuatanmu atau Liang Lahat kuhancurkan kaleng
jahanam itu!”
Rupanya kerontangan kaleng
yang memang disertai tenaga dalam itu telah membuat sakit kedua liang telinga
Sinto Gendeng maka kembali dia menyumpah dan mengancam.
“Sinto, aku Kakek Segala Tahu
yang sudah jadi sahabatmu sampai karatan begini merasa wajib membantu! Terserah
kau suka atau tidak! Ayo kau teruskan pekerjaanmu tadi! Obati luka dalamnya
lebih dulu. Lengannya yang patah biar nanti aku yang mengurus!”
Si nenek pelototkan mata dan
hendak memaki kembali. Tapi akhirnya cuma diam. Tadi sewaktu mengalirkan tenaga
dalam ke tubuh si anak dia merasakan seolah ada satu kekuatan yang menolak.
Sinto Gendeng berpaling pada bocah yang tergeletak di hadapannya.
Seperti tadi perlahan-lahan
dia duduk berjongkok lalu mulai mengalirkan hawa sakti lewat kedua tangannya
yang ditempelkan di kening Naga Kuning. Tiba-tiba si nenek merasa terganggu.
Ada sebuah benda ditusukkan di pantatnya sebelah kanan.
“Jahanam! Apa yang kau
lakukan?!” teriak Sinto Gendeng marah.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
DUA
Kakek Segala Tahu tertawa
mengekeh.
“Aku menempelkan ujung tongkat
bututku di bokongmu,” katanya.
“Tenaga dalammu bagaimana pun
hebatnya tidak cukup untuk menolong anak itu. Lewat tongkat ini aku akan
mengalirkan tenaga dalamku ke dalam tubuhmu. Lalu kau tolong meneruskan ke
tubuh anak itu! Gampang saja bukan?!”
“Gampang ndasmu!” maki Sinto
Gendeng.
“Kalau mau menolong kenapa pakai
menusuk pantatku segala?! Apa tidak ada cara lain yang tidak kurang ajar
seperti ini?!”
“Soalnya hanya bokongmu itu
satu-satunya yang masih ada daging tebalnya! Bagian lain tubuhmu hanya tinggal
tulang keropos!” Habis berkata begitu Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. Si
nenek memaki panjang pendek.
“Kalau kau tak suka aku pakai
tongkat mungkin kau lebih suka aku mempergunakan tongkatku yang lain? Tapi
tongkat satu ini lebih pendek dibanding yang kini aku pegang! Ha… ha… ha!”
“Setan tua! Jangan kau berani
bicara kurang ajar!” hardik Sinto Gendeng.
“Sudah jangan marah! Tongkat
kayu tidak suka. Tongkat yang barusan kutawarkan kau juga tidak mau. Malah
tambah sewot. Baiknya aku pergunakan saja tangan. Kutempelkan di pantatmu!
Begitu?!”
“Kakek kurang asem! Sudah!
Tutup mulutmu!”
Kakek Segala Tahu tertawa
mengekeh lalu tangan kirinya kembali menggoyangkan kaleng rombeng berisi
batu-batu kerikil itu. Sinto Gendeng walau masih jengkel tapi terpaksa diam
saja. Dia salurkan tenaga dalamnya ke dalam tubuh Naga kuning melalui ke dua
tangannya. Sementara di belakangnya si kakek yang menusukkan tongkat bututnya
ke tubuh bawah si nenek mulai pula mengalirkan hawa saktinya lewat tongkat.
Jika ada orang lain menyaksikan kejadian itu pastilah tak bisa menahan tawa
karena lucu melihat keadaan kedua orang itu. Tiba-tiba pinggul dan pantat Sinto
Gendeng tampak bergoyang-goyang.
“Hai! Jangan bergerak!
Salah-salah tenaga dalamku bisa masuk ke tempat lain!” Kakek Segala Tahu
berseru.
“Kakek setan! Tusukan tongkatmu
membuat bokongku gatal dan geli!” jawab Sinto Gendeng.
Kakek Segala Tahu tertawa
cekikikan.
“Tahan saja! Pekerjaan ini
tidak lama! Sebentar lagi juga selesai!” berkata si kakek.
“Jangan terlalu keras menekan
bokongku!” kata Sinto Gendeng yang dijawab oleh Kakek Segala Tahu dengan tawa
bergelak. Lalu ke dua orang tua itu sama-sama berdiam diri. Sama-sama
mengerahkan tenaga dalam untuk menolong Naga Kuning yang terluka parah di
sebelah dalam akibat hantaman pukulan sakti Kipas Neraka yang dilancarkan Sabai
Nan Rancak. Dari tiga bagian tubuh di mana tiga tusuk konde ditancapkan
tiba-tiba keluar cairan berwarna biru.
“Racun pukulan membuat darah
anak ini berwarna biru…” kata Sinto Gendeng dalam hati sementara di belakangnya
Kakek Segala Tahu yang bermata putih tampak tenang-tenang saja walau sekujur
tubuhnya telah basah oleh keringat. Darah bercampur racun mengalir terus.
Bersamaan dengan itu warna biru di mulut Naga Kuning perlahan-lahan berkurang.
Wajahnya yang tadi merah berangsur-angsur berubah putih. Hawa panas yang
menjalari tubuhnya juga mulai berkurang. Begitu warna biru di sekitar bibirnya
lenyap, darah yang keluar dari tiga tempat tusukan konde berubah pula menjadi
merah.
Sinto Gendeng tarik nafas
lega. Kakek Segala Tahu kerenyitkan kening. Walau tidak melihat tapi kakek
sakti ini bisa menduga apa yang terjadi. Maka dia segera kerontangkan kaleng
rombengnya keras-keras. Membuat Sinto Gendeng tergagau kaget dan tak dapat
mengunci mulut menahan makian. Sambil memaki panjang pendek Sinto Gendeng cabut
tusuk konde di kepala dan dua kaki Naga Kuning. Benda ini kemudian
ditancapkannya kembali ke kulit kepalanya.
Di tanah, Naga Kuning yang
tadi pingsan gerakkan kaki kanannya lalu dari tenggorokannya terdengar suara
menggeru. Perlahan-lahan anak ini buka kedua matanya yang sejak tadi terpejam.
Begitu dia melihat wajah tua angker si nenek dan si kakek yang saat itu masih
saja menusukkan tongkatnya ke pantat Sinto Gendeng, si anak usap-usap matanya
sesaat lalu bertanya.
“Kalian berdua sedang
melakukan apa? Satu menungging satu menusuk dari belakang! Hik… hik…!”
“Bocah keparat!” Sinto Gendeng
mendamprat.
“Jangan kau berpikiran kotor!
Kau kira kami ini sedang melakukan apa?!" Si nenek lalu berpaling pada
Kakek Segala Tahu dan dengan tangan kirinya dia kibaskan tongkat yang masih
ditusukkan ke pantatnya itu.Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh.
“Bocah ajaib! Syukur kau masih
bisa bicara tanda kau masih hidup!”
“Bocah geblek! Begitu siuman
kau bicara ngacok! Apa kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa saat
ini?!”
“Maafkan saya Nek. Tentu saja
saya tahu siapa kau adanya. Bukankah kau nenek sakti dari Gunung Gede bernama
Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng?”
“Hemmm! Bagus kau masih
mengenali diriku. Aku dan kakek ini barusan telah menolongmu dari kematian
akibat pukulan Kipas Neraka Sabai Nan Rancak yang berani kau permainkan!”
”Ah!” Naga Kuning berseru
tertahan.
“Saya anak yang tidak tahu
diri. Melupakan pertolongan orang. Nek, saya mengucapkan terima kasih. Juga
padamu Kek….”
Kakek Segala Tahu tertawa
gelak-gelak. ketika dilihatnya Naga Kuning hendak bangkit duduk, si kakek
tekankan ujung tongkatnya ke dada si anak hingga Naga Kuning kembali terbaring
ke tanah.
“Pertolongan kami belum
rampung! Tangan kananmu patah. Tiduran saja! Aku akan mengobati. Awas kalau kau
berani berteriak kesakitan!”
Naga Kuning baru sadar kalau
tangan kanannya patah. Dia pergunakan tangan kiri hendak menyentuh tangan kanan
yang patah. Kakek Segala Tahu pukul tangan kiri bocah itu dengan ujung
tongkatnya hingga Naga Kuning meringis kesakitan.
Dari dalam buntalan butut yang
sejak tadi dipanggulnya Kakek Segala Tahu keluarkan sebatang rotan sepanjang
dua jengkal. Secara aneh rotan ini dibelahnya dengan tongkatnya. Dua belahan
rotan ditempelkannya di lengan yang patah. Satu di sebelah kiri satu di sebelah
kanan. Si kakek kemudian keluarkan segulung sobekan kain dan diserahkannya pada
Sinto Gendeng seraya berkata.
“Tolong kau ikat kain ini di
lengannya. Tepat di sekitar dua belahan rotan!”
Dengan merengut Sinto Gendeng
lakukan apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu. Selesai tangannya diikat Naga
Kuning bertanya.
“Apa saya boleh bangun
sekarang Kek?”
Kakek Segala Tahu tidak
menjawab. Melainkan tiba-tiba ayunkan tongkatnya menggebuki lengan kanan anak
itu pada bagian yang dibalut kain. Kalau tidak ingat ucapan si kakek pasti saat
itu Naga Kuning sudah menjerit kesakitan digebuki begitu rupa. Dia hanya bisa
berdiam diri pejamkan mata sambil menggigit bibir menahan sakit. Cukup lama
baru Kakek Segala Tahu menghentikan gebukannya.
“Bocah, jangan kau berani
melepaskan ikatan dan dua belahan tongkat sebelum lewat dua hari…” berkata
Kakek Segala Tahu.
“Ucapanmu saya ingat baik-baik
Kek. Aku berterima kasih kau menolongku walau barusan rasanya sama saja seperti
kau mencincangi sekujur lengan ini!” Habis berkata begitu Naga Kuning mencoba
bangkit berdiri. Namun tubuhnya terhuyung dan hampir terjerembab jatuh.
“Anak tolol! Walau kau selamat
dari cidera berat, aliran darah dalam tubuhmu masih belum lancar!” kata Sinto
Gendeng.
“Lekas lakukan sesuatu untuk
mengatur jalan darah dan pernafasanmu!”
Mendengar ucapan itu Naga
Kuning lalu cepat-cepat duduk bersila di tanah. Tangan kanan diletakkan di atas
paha, tangan kiri dimelintangkan di atas dada. Sepasang mata dipejamkan. Dia
atur jalan nafasnya demikian rupa sehingga aliran darahnya yang kacau
perlahan-lahan teratur kembali. Begitu dirasakan keadaannya lebih baik, anak
ini baru berani berdiri. Walau masih menghuyung Naga Kuning membungkuk
dalam-dalam di hadapan Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu.
Kakek Segala Tahu tertawa
panjang.
“Sinto Gendeng, kalau anak itu
adalah orang yang kuduga, sebetulnya kau yang harus memberi penghormatan
padanya. Bukankah begitu?”
Tampang nenek sakti dari
Gunung Gede itu menjadi merah gelap. Melihat si nenek salah tingkah Naga Kuning
segera berkata sambil goyang-goyangkan tangan kirinya.
“Melihat keadaan lahir saya
ini pantas menjadi cicitmu. Jadi siapa pun diriku, mengapa kita harus memakai
segala peradatan yang aneh-aneh!”
Mendengar kata-kata Naga
Kuning itu Sinto Gendeng tampak menjadi lega. Sikapnya kini menjadi lunak dan
nada ucapannya tidak kasar lagi.
“Naga Kuning, aku butuh
beberapa keterangan darimu….”
“Anak kecil sepertiku
keterangan apa yang bisa kau dapat, Nek? Bukankah lebih baik bertanya pada
Kakek Segala Tahu yang ada di sampingmu?” jawab Naga Kuning lalu dia
memperhatikan dada pakaiannya. Seolah baru sadar kalau baju hitamnya robek
besar dan dadanya tersingkap. Cepat-cepat anak ini rapikan pakaiannya
sebisanya.
“Aku sangat perlu menemui Kiai
Gede Tapa Pamungkas. Apakah kau tahu di mana dia berada…?”
“Makhluk setengah manusia
setengah roh itu siapa yang tahu di mana dia berada. Lebih baik kau menanyakan
seratus hal yang susah, masih mungkin saya bisa menjawab,” jawab Naga Kuning.
Sinto Gendeng menggerendeng
dalam hati.
“Menurut riwayat, kau adalah
satu-satunya orang yang selalu dekat dengan Kiai itu….”
“Kau mendengar riwayat yang
keliru, Nek….”
Sinto Gendeng berpaling pada
Kakek Segala Tahu di sebelahnya. Walau tidak melihat tapi kakek sakti ini tahu
kalau dirinya diperhatikan. Maka dia pun berkata setengah berbisik.
“Aku bisa tahu seribu satu
hal. Tapi tentang di mana beradanya orang sakti merupakan satu dari beberapa
hal yang tidak bisa kutembus dengan kesaktianku. Aku yakin anak itu tahu di
mana beradanya sang Kiai. Mungkin dia sudah diperintahkan untuk tidak memberi
keterangan apa-apa. Kau harus memutar otakmu Sinto….”
Sinto Gendeng kembali
berpaling pada Naga Kuning.
“Kapan terakhir sekali kau
berada di Telaga Gajahmungkur?”
“Saya tidak ingat Nek. Tempat
itu bukan satu tempat yang indah lagi sekarang sejak orang yang menamakan
dirinya Datuk Lembah Akhirat bermarkas tak jauh dari telaga itu.”
“Hemm…. Aku sudah mendengar
banyak cerita tentang orang-orang Lembah Akhirat. Katakan apa saja yang kau
ketahui Naga Kuning….”
“Tak ada cerita yang lebih
baik daripada datang sendiri menyelidik ke sana Nek….”
Mendengar ucapan anak kecil
itu tadinya Sinto Gendeng hendak meradang marah. Namun dengan suara perlahan
dia berkata.
“Aku memang akan ke sana. Tapi
banyak urusan yang harus kuselesaikan. Barusan saja waktu di Parangtritis aku
sempat melihat muridku Wiro Sableng. Tapi dia lenyap begitu saja…. Aku harus
mencari anak setan itu lebih dulu! Dia berada dalam bahaya besar….”
“Bahaya besar katamu Nek?
Justru yang saya tahu muridmu itu banyak pacarnya di mana-mana. Semua
cantik-cantik. Berarti hidupnya senang, bukan dalam bahaya! Hik… hik… hik!”
“Naga Kuning, kau memancing
kemarahanku! Jika kau tidak punya keterangan berharga yang bisa kau berikan
lebih baik kau pergi saja!”
“Nenek Sinto, jangan kau
marah. Aku memang mau pergi. Agar kau bisa berdua-dua dengan kakek buta itu….”
“Anak setan!” Sinto Gendeng
tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
“Kau kira kami berdua punya
hubungan apa yang tidak senonoh?!” si nenek maju mendekati Naga Kuning. Ulurkan
tangan hendak menjambak rambutnya yang jabrik.
Si bocah tertawa keras lalu
berkelit. Sambil berlari tinggalkan tempat itu dia berteriak.
“Kakek Segala Tahu, jangan mau
sama nenek itu! Dia bau pesing! Ha… ha… ha!”
Sinto Gendeng memaki panjang
pendek sampai mulutnya yang peot termonyong-monyong. Hendak mengejar namun Naga
Kuning sudah kabur. Kini kemarahannya ditumpahkan pada Kakek Segala Tahu.
“Anak setan itu berani
mengurang ajari kita! Kau diam saja seperti tuli! Manusia macam apa kau!”
Kakek Segala Tahu goyangkan
tangannya yang memegang kaleng rombeng. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Sinto
Gendeng sendiri banting-banting kaki saking kesalnya.
“Sinto, ayo kita tinggalkan
tempat ini. Sambil berjalan aku akan menuturkan apa saja yang aku ketahui
terjadi di rimba persilatan. Hanya ada satu hal penting yang perlu buru-buru
aku beritahukan. Pada bulan purnama yang akan datang aku mendapat firasat ada
satu peristiwa besar akan terjadi di Telaga Gajahmungkur….”
“Hemmm….” Sinto Gendeng
bergumam.
“Kalau cuma itu tanpa memakai
firasat pun aku sudah tahu. Itu sebabnya aku saat ini akan menuju ke sana….”
“Lalu apa kau sudah mendengar
riwayat seorang Datuk yang menguasai sebuah lembah bernama Lembah Akhirat.
Letaknya tak jauh dari Gajahmungkur….”
“Itu termasuk hal yang akan
kuselidiki…. Bocah nakal tadi memang benar. Aku harus datang sendiri menyelidik
ke sana!”
“Kita harus berhati-hati
Sinto. Banyak tokoh silat terkemuka datang ke tempat itu.
Mereka tak pernah keluar lagi.
Tidak diketahui masih hidup atau sudah menemui ajal. Mayatnya pun tak pernah
ditemukan. Mereka lenyap laksana ditelan bumi…. Terakhir yang kuketahui pergi
ke sana adalah tokoh berjuluk Dewa Sedih. Lalu menyusul Dewa Ketawa tidak
diketahui pula di mana beradanya. Paling belakangan Sika Sure Jelantik
dikabarkan telah bergabung dengan orang-orang Lembah Akhirat…. Banyak urusan
yang tidak karuan. Semua kabarnya berpangkal pada sebuah kitab sakti bernama
Kitab Wasiat Malaikat….”
“Kitab geblek! Itu hanya
cerita isapan jempol saja!” tukas Sinto Gendeng.
“Aku justru berpendapat lain.
Kitab itu kemungkinan besar memang ada. Hanya saja perlu diselidiki apakah
Datuk Lembah Akhirat benar-benar memilikinya. Atau kitab itu ada pada orang lain
dan sang Datuk cuma mengarang cerita untuk mengeruk keuntungan tertentu. Guna
menarik para tokoh untuk bergabung dengannya.”
“Kalau Dewa Sedih dan
saudaranya si Dewa Ketawa benar-benar bergabung dengan Datuk Lembah Akhirat,
aku akan menghajar dua tua bangka tidak tahu diuntung itu! Mengenai Sika Sure
Jelantik, sejak muda aku kenal dia sebagai perempuan culas!”
“Hemmm…..Kuharap ucapanmu itu
tidak karena Sika Sure Jelantik adalah juga salah satu sainganmu di masa muda
dalam merebut Tua Gila….”
Paras Sinto Gendeng tampak
merah mendengar ucapan Kakek Segala Tahu itu. Mulutnya termonyong-monyong.
Mukanya yang keriputan kemudian kelihatan asam. Dalam hati dia memaki
habis-habisan.
“Sinto, aku tahu saat ini
pasti tampangmu merengut cemberut. Tapi kuharap kau mau mendengar kata-kataku.
Mungkin Naga Kuning tidak mengetahui di mana beradanya Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Tapi aku yakin anak itu tahu beberapa hai penting dalam rimba
persilatan. Jadi aku usul agar kita segera mengikuti ke mana larinya….”
“Bocah itu menjengkelkanku. Ke
mana dia mau pergi aku tidak perduli. Aku merasa lebih penting mencari muridku
si sableng itu lebih dulu. Kau tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Keadaannya
dalam bahaya besar….”
“Kalau begitu, hemmm…. Kita
terpaksa meneruskan perjalanan berlainan arah. Namun ada satu hal sangat
penting. Pada saat bulan purnama empat belas hari di muka, aku harap kau berada
di Telaga Gajahmungkur….”
Sinto Gendeng perhatikan wajah
kakek buta itu. Mendadak saja hatinya berdebar.
“Ini kali ke dua dia mengatakan
hal itu. Jangan-jangan ada orang yang sudah tahu mengenai pedang itu…” katanya
dalam hati. Lalu dia bertanya dengan nada tak acuh agar orang tidak curiga.
“Memangnya ada apa di sana?”
“Aku punya firasat akan
terjadi satu hal besar di sana.” Lalu orang tua ini mendongak ke langit. Kaleng
rombengnya digoyang beberapa kali.
“Aku melihat bulan purnama
Sinto. Tapi diselimuti kegelapan….”
“Kau ngacok saja! Bulan
purnama mana ada yang gelap!” potong Sinto Gendeng.
“Yang kulihat bukan kegelapan
biasa Sinto. Bulan itu terselubung darah menghitam!”
Sinto Gendeng hendak
mengatakan sesuatu. Tapi si kakek lebih dulu menggoyang kalengnya tiga kali
berturut-turut. Membuat si nenek palingkan kepala ke jurusan lain sambil
menekap telinganya. Ketika dia membalik kembali si kakek tak ada lagi di tempat
itu.
Di kejauhan tampak orang tua
itu sudah berada delapan tombak di depan sana. Melangkah tersaruk-saruk dengan
pertolongan tongkatnya. Di lain kejap tokoh sakti yang pandai meramal dan mampu
melihat banyak hal secara gaib itu lenyap dari pemandangan.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
TIGA
Ratu Duyung tak mampu berlari
kencang karena dia harus mengimbangi Pendekar 212 yang lari tertatih-tatih di
belakangnya. Di satu tikungan jalan Wiro hentikan larinya. Dengan suara
tersendat karena nafas sesak dia berkata.
“Aku tak sanggup lari lebih
jauh. Mau copot jantungku rasanya. Kita ini mau ke mana?”
Ratu Duyung yang saat itu
mengenakan pakaian serba hitam memandang berkeliling.
“Kita sudah cukup jauh
meninggalkan teluk. Kuharap di sini cukup aman. Ikuti aku berlindung di balik
semak belukar sana.”
Sang Ratu lalu melangkah ke
balik rimbunan semak belukar. Wiro mengikuti. Saat itu Wiro ingat sesuatu. Dia
meraba seputar pinggangnya.
“Astaga! Senjataku!” katanya
dengan wajah berubah.
Seperti dituturkan dalam
Episode sebelumnya (Utusan Dari Akhirat) sewaktu terjadi pertempuran di Teluk
Parangtritis, Naga Kuning telah pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro
untuk menghadapi Sabai Nan Rancak. Namun si nenek sakti berhasil mematahkan
tangan anak itu hingga Kapak Naga Geni 212 terlepas mental. Untungnya sebelum
senjata mustika itu diambil oleh Sabai Nan Rancak, orang aneh berpakaian dan
bercadar kuning mendahului mengambilnya.
“Aku harus kembali ke teluk!
Kalau sampai senjata itu jatuh ke tangan orang lain, aku bisa celaka
seumur-umur!”
“Wiro, tunggu!” kata Ratu
Duyung seraya cepat memegang tangan sang pendekar, mencegahnya meninggalkan
tempat itu.
“Ratu, antara kita memang ada
satu hal besar yang perlu dijernihkan. Namun saat ini aku lebih penting
mendapatkan Kapak Naga Geni 212 kembali. Harap kau suka melepaskan
peganganmu….” Waktu bicara Wiro memandang ke jurusan lain seolah sengaja tidak
mau menatap wajah cantik yang dihias sepasang mata berwarna biru indah itu.
“Wiro, dengar! Dalam keadaanmu
seperti ini terlalu berbahaya untuk kembali ke teluk. Aku yakin Sabai Nan
Rancak masih berada di sana. Lalu bagaimana kalau pemuda bernama Utusan Dari
Akhirat itu mengetahui bahwa kau adalah orang yang selama ini dicarinya?”
“Jadi kau sudah tahu kalau dia
juga bermaksud membunuhku?”
“Memang aku tidak dapat
memastikan. Tapi jika dia memiliki pukulan sakti Gerhana Matahari pasti dia
punya sangkut paut dengan Pangeran Matahari atau Si Muka Bangkai….”
“Bagaimana kau bisa tahu dia
memiliki pukulan Gerhana Matahari?” tanya Wiro.
“Sudahlah, hal itu tidak perlu
kita perdebatkan…”
“Yang aku heran, bukankah
Pangeran Matahari dan gurunya Si Muka Bangkai itu sudah tewas di Pangandaran?”
“Mereka boleh mati tapi apakah
keanehan dalam rimba persilatan ini akan terhenti hanya pada kematian mereka
berdua?”
“Kau benar.,.” kata Wiro
perlahan.
“Apa yang harus aku lakukan
sekarang?”
“Kita perlu bicara Wiro.
Seperti kau katakan tadi antara kita ada satu masalah besar yang perlu
dijernihkan.”
“Hemmm….” Wiro bergumam sambil
garuk-garuk kepala.
“Aku tak tahu apa yang terjadi
dengan diriku. Aku merasa seolah aku ini bukan diriku lagi….”
“Aku mengerti. Semua
berpangkal pada diriku. Gurumu menuduh aku mencelakai dirimu. Aku tidak
menyalahkan gurumu. Tidak bisa menyalahkan siapa pun. Aku hanya mementingkan
diri sendiri. Gara-gara keinginanku lepas dari kutukan itu. Tapi sebaliknya kau
yang jadi celaka. Wiro, jika saja aku tahu hal itu akan terjadi dengan dirimu,
aku tidak akan mau melakukannya….”
Wiro terdiam. Dalam hati dia
berkata.
“Aneh, dulu sebelum bertemu
aku begitu marah padanya. Sekarang setelah berhadap-hadapan mengapa rasa marah
itu menjadi lenyap. Seolah aku sudah memaafkannya sebelum dia meminta….”
“Menurut perhitunganku, hanya
tinggal sekitar sepuluh hari sebelum kau kembali memiliki kesaktian dan tenaga
dalam seperti dulu. Karena itu selama sisa waktu itu izinkan aku selalu
mendampingimu. Kalau bahaya mengancam aku rela mengadu jiwa untuk
keselamatanmu….”
Wiro menghela nafas panjang.
“Aku tidak tahu harus berkata
apa. Dulu begitu sadar aku kehilangan segala-galanya sehabis kita berada di
Puri itu, aku benar-benar naik pitam. Aku ingin mencarimu, ingin menghajarmu.
Tapi sekarang….”
“Jika itu kehendakmu, aku siap
menerima hukuman. Dulu, aku begitu ingin bebas dari kutukan jahat itu. Setelah
terlepas dari kutukan aku jadi takut sendiri untuk hidup di dunia seperti
duniamu. Karenanya aku sudah mengambil tekad jika semua urusan selesai aku akan
kembali berkumpul bersama anak buahku dalam alam serba gaib itu….”
“Kalau begitu pengorbananmu
sia-sia belaka….”
“Bukan pengorbananku Wiro.
Tapi pengorbananmu. Ketahuilah tak ada pengorban-an yang sia-sia. Setiap
kejadian ada hikmahnya sendiri-sendiri walau mungkin baru di kemudian hari kita
rasakan. Aku minta maaf atas semua apa yang terjadi. Jika kau ingin
menghukumku, aku sudah siap. Lakukanlah saat ini juga….”
Wiro garuk-garuk kepala.
Wajahnya diangkat sedikit untuk melirik wajah sang Ratu. Saat itulah Wiro
melihat bagaimana Ratu Duyung tegak dengan kepala tertunduk. Butiran-butiran
air mata menetes jatuh membasahi kedua pipinya yang halus. Murid Sinto Gendeng
jadi salah tingkah. Dia paling tidak bisa melihat orang menangis. Apalagi gadis
secantik sang Ratu.
“Ratu, kurasa waktu di Puri dulu
kau dan aku belum sempat melakukan apa-apa. Tapi mengapa….”
“Itu semua terjadi atas
kuasaNya Yang Maha Kuasa. Aku meminta dengan hati bersih padaNya. Kau menolong
dengan segala ketulusan. Sehingga sebelum itu terjadi aku telah terlepas dari
kutukan. Hanya saja kau yang menanggung akibatnya….”
Wiro terdiam. Bukan saja
karena mendengar ucapan Ratu Duyung tapi juga karena dia kembali ingat pada
Kapak Naga Geni 212 miliknya.
“Kita sudah bicara. Segala
sesuatunya serba jelas kini….”
“Jelas sudah, tapi apakah kau
bisa mengerti dan mau memaafkan diriku?” tanya Ratu Duyung.
“Aku sudah memaafkan Sebelum
kau meminta,” jawab murid Sinto Gendeng pula.
“Antara kita tidak ada lagi
kesalahpahaman. Sekarang izinkan aku kembali ke teluk untuk mencari senjata
mustikaku…”
“Jangan pergi. Baiknya aku
melihat ke dalam cermin lebih dulu,” kata Ratu Duyung. Lalu dia segera
keluarkan cermin bulat dari balik baju hitamnya. Ketika dia memandang ke dalam
cermin sakti terkejutlah gadis cantik bermata biru itu.
“Ada apa Ratu?” tanya Wiro
ketika melihat perubahan wajah sang Ratu.
“Aku melihat dua orang pemuda
menuju ke tempat ini. Yang pertama pemuda bernama Utusan Dari Akhirat itu. Di
belakangnya seorang pemuda berpakaian hijau. Aku rasa-rasa pernah melihatnya
sebelumnya tapi lupa di mana…. Wiro, mereka segera sampai di sini. Lekas
berlindung di balik pohon besar sana.”
Dada Pendekar 212 berdebar
juga mendengar apa yang dikatakan Ratu Duyung itu. Tapi dia tetap tidak
bergerak dari tempatnya.
“Apa pun yang terjadi kita
hadapi semua urusan bersama-sama….”
Ucapan Wiro menyentuh lubuk
hati sang Ratu hingga gadis ini meremas jari-jari tangan Wiro penuh perasaan
haru. Niatnya untuk bersedia mati demi menyelamatkan Wiro jadi bertambah besar.
Ratu Duyung simpan kacanya di balik pakaian lalu mendahului keluar dari
rumpunan semak belukar. Wiro mengikuti. Belum lama mereka keluar dari balik
semak-semak, seperti yang dilihat Ratu Duyung dalam cermin saktinya, dua pemuda
tampak berlari cepat dari kejauhan. Wiro segera mengenali. Di sebelah depan
adalah Utusan Dari Akhirat. Di belakangnya menyusui pemuda sahabatnya bernama
Panji.
“Heran, bagaimana Panji bisa
muncul bersama pemuda ini. Bukankah sebelumnya dia bersama Anggini dan Iblis
Pemalu?” Baru saja Wiro berkata dalam hati, Utusan Dari Akhirat dan Panji telah
sampai di hadapannya.
“Kau!” kata Utusan Dari
Akhirat sambil menunjuk tepat-tepat ke arah Wiro yang berdiri tiga langkah di
hadapannya.
“Tidak dinyana tidak diduga!
Pemuda yang tadinya kuanggap bersahabat ternyata adalah orang yang harus
kubunuh! Wiro Sableng, sungguh mengenaskan kau harus mati di tanganku!”
Panji yang berdiri di samping
Utusan Dari Akhirat maju selangkah dan berkata.
“Saudara, aku tidak ingin kau
salah menurunkan tangan. Aku memang tidak tahu nama pemuda ini. Dia kukenal
dengan julukan Pendekar 212. Kalau kau mencari Wiro Sableng, orangnya adalah
seorang tua renta. Bukan dia!”
Utusan Dari Akhirat tertawa
lebar.
“Pendekar 212 dan Wiro Sableng
adalah orang yang sama! Kita barusan saja bertemu di tengah jalan. Aku
menganggapmu sebagai seorang sahabat. Pemuda beranting emas, jangan kau berani
menipuku!”
“Aku bersumpah tidak
menipumu!” kata Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo.
“Aku pernah bertemu sendiri
dengan Wiro Sableng. Orangnya tua. Berambut dan berjanggut putih….”
Seperti diceritakan dalam
Episode pertama (Tua Gila Dari Andalas) ketika berada di Kerajaan Pulau
Sipatoka, Tua Gila secara main-main dan seenaknya telah memberitahu pada Raja
Tua Datuk Paduko Intan dan Datuk Pangeran Rajo Mudo bahwa namanya adalah Wiro
Sableng. Tentu saja dia tidak pernah menduga kalau ucapannya itu di kemudian
hari akan menimbulkan masalah seperti yang kini terjadi.
Sementara Utusan Dari Akhirat
dan Panji bertengkar maka Wiro sendiri dan juga Ratu Duyung merasa heran
mengapa Panji mengatakan bahwa dia bukan Wiro Sableng dan Wiro Sableng adalah
seorang tua renta.
“Ada yang tidak beres…” bisik
Wiro pada Ratu Duyung.
“Kukira begitu. Tapi aku sudah
bisa menduga jalan ceritanya. Tua Gila pernah menuturkan padaku bahwa satu
ketika dia tersesat ke sebuah pulau. Mungkin sekali saat itu….”
“Kalian berdua berbisik-bisik
apa?!” Utusan Dari Akhirat membentak.
“Sahabat! Pemuda ini adalah
temanku! Dan dia bukan Wiro Sableng!” Lagi-lagi Panji berusaha meyakinkan.
Rahang Utusan Dari Akhirat
menggembung.
“Jika kau memang sahabatnya
aku persilahkan bergabung dengannya. Aku tidak segan-segan membunuh kalian
berdua.”
Dalam bingungnya Panji kembali
hendak berkata. Namun saat itu Wiro mengangkat tangannya. Padahal sebenarnya
Ratu Duyung hendak bicara untuk membuat Utusan Dari Akhirat menjadi tambah
bingung agar Wiro bisa diselamatkan.
“Utusan Dari Akhirat,” kata
Pendekar 212.
“Walau cuma sebentar tapi
sebelumnya kita pernah bersahabat. Namun apa artinya persahabatan itu jika kau
memang mempunyai maksud membunuh seorang bernama Wiro Sableng, berjuluk
Pendekar 212. Karena akulah orang yang kau cari! Aku Wiro Sableng. Aku Pendekar
212!”
“Berani mati orang ini!” keluh
Ratu Duyung dalam hati. Dia cepat melangkah maju dan tegak membelakangi Wiro.
Sambil bertolak pinggang dia berkata pada Utusan Dari Akhirat.
“Saudara, jika hatimu meragu
jangan sekali-kali menurunkan tangan jahat apalagi membunuh. Harap kau suka
meninggalkan tempat ini dan jangan mengganggu sahabatku!”
Utusan Dari Akhirat tersenyum.
“Sia-sia saja kalau kau
bermaksud melindunginya. Orang yang punya diri telah memberitahu siapa dirinya!
Jika kau punya maksud menantang diriku, aku tidak keberatan menjadikan dirimu
sebagai korban berikutnya. Berarti hari ini aku harus mencabut tiga nyawa
sekaligus!”
Habis berkata begitu Utusan
Dari Akhirat melompat mundur dua langkah. Sepasang lututnya ditekuk. Tubuhnya
membungkuk. Tangan kanannya diangkat ke atas. Udara mendadak menjadi redup.
“Ratu Duyung! Lekas
menyingkir! Dia hendak lepaskan pukulan Gerhana Matahari!” seru Wiro
memperingatkan.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
EMPAT
Meski sudah diperingatkan dan
juga mengetahui kedahsyatan pukulan Gerhana Matahari namun Ratu Duyung sedikit
pun tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Malah dengan sikap tenang dia
letakkan tangan kirinya di pinggang. Bersamaan dengan itu sepasang matanya yang
bagus tampak menyorotkan sinar aneh. Sikap sang Ratu pertanda bahwa dia
bersedia menghadapi tantangan atau serangan pemuda berpakaian hitam berambut
gondrong di hadapannya.
“Ratu, aku melihat saputan
tanda hitam di sekitar bibirmu. Pertanda sebelumnya kau pernah terluka di
dalam. Jadi jangan nekad….” Wiro berbisik.
Sang Ratu tersenyum kecil.
Tanpa berpaling dia menjawab.
“Ternyata kau masih bermata
tajam walau dalam keadaan sakit. Tak usah khawatir. Aku sudah sembuh. Gurumu
Eyang Sinto Gendeng yang mengobati!”
“Apa…?” kejut Wiro.
“Kapan kau bertemu dia? Di
mana?!”
“Nanti saja aku ceritakan.
Biar aku hadapi pemuda kesasar ini dulu….”
Karena merasa khawatir Pendekar
212 maju selangkah mendekati Utusan Dari Akhirat yang saat itu tegak semakin
membungkuk dan tangan kanan diangkat ke atas. Sementara udara bertambah redup.
“Tahan!” tiba-tiba murid Sinto
Gendeng berseru.
“Utusan Dari Akhirat! Mengapa
kau punya niat jahat hendak membunuhku! Apa hubunganmu dengan Pangeran
Matahari?!”
Sesaat Utusan Dari Akhirat
terdiam. Namun kemudian pemuda ini menyeringai lalu tertawa bergelak.
“Pertanyaan orang yang hendak
mampus memang harus dijawab agar di akhirat rohnya tidak jadi setan penasaran!”
“Jawab saja pertanyaanku!
Jangan bicara tidak karuan! Kau sendiri sudah jadi setan ngacok sebelum
mampus!” tukas murid Sinto Gendeng saking marahnya.
Rahang Utusan Dari Akhirat
menggembung. Alisnya mencuat ke atas. Walau tampangnya tidak sama dengan
Pendekar Matahari tapi Wiro melihat seolah-olah pemuda di hadapannya itu telah
berubah menjadi sosok sang Pangeran. Hal ini membuat Wiro jadi bergidik karena
menyadari bahwa dia tidak mampu berbuat sesuatu kecuali mengandalkan jubah sakti
Kencono Geni yang melekat di tubuhnya serta ilmu silat orang tidur yang
diberikan si Raja Penidur.
“Pendekar 212 Wiro Sableng!”
Utusan Dari Akhirat membuka mulut.
“Agar kau puas ketahuilah
bahwa aku adalah adik satu guru Pangeran Matahari, murid kakek sakti Si Muka
Bangkai alias Si Muka Mayat, kau menanggung dosa dan tanggung jawab atas
kematian kedua orang itu! Apa kau sekarang sudah puas dan siap menerima
kematian?!”
Sulit bagi murid Sinto Gendeng
mempercayai ucapan Utusan Dari Akhirat
“Dia memang memiliki pukulan
sakti Gerhana Matahari yang hanya dimiliki si Muka Bangkai dan Pangeran
Matahari. Tapi kedua orang Itu sudah tewas di Pangandaran. Dari mana bangsat
ini mendapatkan ilmu kesakitan itu Sulit kuduga. Selain itu tak pernah aku
mendengar Pangeran Matahari punya seorang adik seperguruan….” Wiro membatin.
“Kau belum memberitahu mengapa
kau ingin membunuhku! Juga dua orang lainnya yaitu sahabatku Bujang Gila Tapak
Sakti serta Kakek Tua Gila!”
Kembali Utusan Dari Akhirat
sunggingkan seringai.
“Waktu di pantai bukankah aku
sudah mengatakan padamu? Membunuhmu dan dua orang itu adalah perjanjian keramat
yang menjadi tugasku! Kematian kalian adalah takdir dari Yang Diatas!”
“Jahanam!” maki murid Sinto
Gendeng dalam hati.
“Katakan siapa yang menugaskanmu!”
“Roh gaib guruku Si Muka
Bangkai!” jawab Utusan Dari Akhirat. Ketika dilihatnya Wiro tercengang melongo
mendengar ucapannya itu pemuda ini berkata.
“Ada lagi yang ingin kau
katakan atau tanyakan sebelum mampus?!”
“Ya ada! Kau tolol dan gila!
Punya guru dan kakak seperguruan yang sudah jadi hantu!” jawab Wiro.
Tampang Utusan Dari Akhirat
kelam membesi. Dari hidungnya keluar suara mendengus. Bersamaan dengan itu dia
menghantam ke depan. Di saat yang sama Panji alias Datuk Pangeran Rajo Mudo
yang tetap yakin bahwa manusia bernama Wiro Sableng adalah orang tua yang
pernah datang ke pulaunya tempo hari, berteriak seraya mendorong Utusan Dari
Akhirat ke samping.
“Saudara! Pemuda itu bukan
Wiro Sableng!”
Tiga larik sinar kuning, merah
dan hitam berkiblat. Namun karena tubuhnya terdorong keras ke samping, serangan
Gerhana Matahari yang dilepaskan Utusan Dari Akhirat meleset setengah tombak
dari sasaran yang dituju yakni Sosok Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika melihat orang
melancarkan serangan Ratu Duyung cepat mendorong tubuh Wiro ke samping hingga
Serangan lawan semakin meleset jauh. Bersamaan dengan itu dari sepasang mata
Ratu Duyung melesat dua sinar biru, menderu ke arah Utusan Dari Akhirat. Sang
Ratu sengaja tidak menghantam langsung pemuda di hadapannya tapi hanya
mengarahkan serangan setengah tombak di depan kaki lawan,
“Byurrr! Byuuuur!”
Tanah di depan Utusan Dari
Akhirat muncrat ke atas. Pemuda itu berseru kaget dan melompat dua tombak ke
atas seraya melotot menyaksikan bagaimana di bawah sana kini kelihatan dua
lobang besar mengepulkan asap biru.
“Itu sekedar peringatan
dariku! Harap kau lekas angkat kaki dari tempat ini!”
Utusan Dari Akhirat memandang
dengan mata berkilat-kilat. Tampaknya dia tidak perduli dengan ucapan Ratu
Duyung. Dia sama sekali tidak beranjak dari tempat itu. Malah kini dia angkat
ke dua tangannya ke atas dengan telapak terkembang.
“Jahanam! Bangsat ini hendak
lepaskan pukulan Telapak Matahari!” kata Wiro dengan suara bergetar dan sempat
terdengar oleh Ratu Duyung yang ada di sebelahnya.
“Aku memberi peringatan! Kau
tetap berkeras kepala! Kau memilih kematian di usia muda!” kata Ratu Duyung.
Lalu tangan kirinya menyelinap ke balik baju hitam. Sesaat kemudian sang Ratu
telah memegang cermin sakti. Cahaya menyilaukan yang keluar dari cermin dan
melintas di wajah Utusan Dari Akhirat membuat pemuda ini tercekat. Dia cepat
lindungi matanya dengan tangan kiri. Percaya bahwa dia memiliki kesaktian yang
mampu menghadapi gadis cantik di depannya itu, si pemuda tetap tak bergeming
dari tempatnya.
Dari belakang Panji yang tadi
gagal mencegah serangan, untuk ke dua kalinya berusaha menarik dan mendorong
tubuh Utusan Dari Akhirat. Kali ini Utusan Dari Akhirat tak tinggal diam.
Begitu pinggangnya dicekal, sikutnya bergerak, menghantam ke belakang.
“Bukkk!”
Panji terpental dua tombak dan
jatuh duduk di tanah. Tulang dadanya serasa melesak kena hantaman sikut Utusan
Dari Akhirat. Menahan sakit dan juga terbakar oleh hawa amarah Panji bangkit
berdiri. Tangan kanannya bergerak mencabut pedang lalu terdengar suara
berdesing. Utusan Dari Akhirat merasa ada hawa dingin menyambar ke arah dua
tangannya yang diangkat ke atas. Tanpa berpaling pemuda ini condongkan tubuh ke
depan. Kaki kirinya menekan ke tanah. Bersamaan dengan itu tubuhnya diputar ke
belakang dan kaki kanannya melesat.
Panji terkesiap kaget ketika
melihat kaki kanan Utusan Dari Akhirat tahu-tahu melesat ke arah kepalanya. Dia
cepat membungkuk sambil tusukkan pedang ke selangkangan lawan yang terbuka.
Namun kaki kanan Utusan Dari Akhirat menghantam lebih dulu.
“Bukkk!”
“Breett!”
Panji mengeluh tinggi. Bahu
kirinya serasa remuk. Tubuhnya terlempar dan terbanting di tanah. Dia berusaha
bangkit tapi roboh kembali megap-megap. Utusan Dari Akhirat tekap paha kiri
celananya yang robek besar tersambar ujung pedang lawan. Seperti diketahui
walau dia memiliki pukulan sakti yang dipelajarinya dari kitab
“Matahari, Sumber Segala
Kesaktian”, namun pada dasarnya pemuda yang dulu bernama Layang Kemitir ini
belum memiliki dasar ilmu silat yang luar biasa. Itu sebabnya walau Panji
sendiri tidak memiliki ilmu silat tingkat tinggi namun pemuda dari Pulau
Kerajaan Sipatoka ini masih sempat menusukkan pedangnya merobek paha kiri
celana hitam lawan.
Utusan Dari Akhirat dalam
keadaan marah besar melompat ke hadapan Panji. Kaki kanannya diayunkan untuk
menendang kepala orang. Baik Wiro maupun Ratu Duyung sama mengetahui kalau
tendangan itu bukan sembarang tendangan. Sekali kena dihantam maka kepala
pemuda berkulit sawo matang dan beranting emas itu akan hancur. Nyawanya tidak
tertolong lagi. Seolah lupa akan keadaan dirinya Wiro melompat ke muka untuk
berikan pertolongan. Ratu Duyung berteriak memberi ingat tapi terlambat.
Pendekar 212 hantamkan tangan kanannya ke pelipis kiri Utusan Dari Akhirat. Yang
diserang tidak perdulikan serangan Hu dia tetap teruskan tendangannya ke kepala
Panji.
“Bukkkk!”
Jotosan Wiro mendarat di
pelipis Utusan Dari Akhirat. Kepalanya hanya tersentak sedikit dan kelihatan
kemerahan. Sebaliknya Wiro mengeluh kesakitan dan pegangi tangannya. Jotosan
yang dilancarkan dengan seluruh kekuatan tenaga luar itu membuat dia kesakitan
sendiri. Sementara usahanya untuk menolong Panji tidak berhasil. Karena
tendangan kaki kanan Utusan Dari Akhirat terus menderu ke kepala Panji. Sesaat
lagi kepala Panji akan dibikin pecah oleh tendangan Utusan Dari Akhirat,
mendadak di udara terdengar suara orang meraung disusul dengan suara tangis
yang membuat semua orang tersirap. Lalu ada sesuatu menahan kaki kanan Utusan
Dari Akhirat yang membuat tendangannya bukan saja tertahan tapi tubuhnya
terhuyung keras ke belakang lalu jatuh terduduk di tanah.
“Aku melihat langit! Aku
melihat bumi! Aku melihat anak-anak manusia di tempat ini berlaku salah kaprah!
Bukankah nyawa mereka berada di tanganku…? Hik… hik… hik!” Suara tangis aneh
memenuhi tempat itu.
Semua orang tersentak kaget.
Lebih-lebih Utusan Dari Akhirat yang kini terhantar di tanah. Semua kepala
dipalingkan ke kiri di mana saat itu tampak tegak seorang kakek berwajah
murung. Berkulit sangat hitam, mengenakan pakaian berupa selempang kain putih.
Rambutnya digulung dan diikat di atas kepala. Alisnya panjang menjulai ke
bawah. Tangan kirinya tiada henti mengusap sepasang matanya. Kakek ini
keluarkan suara tangis berkepanjangan.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
LIMA
Sepasang mata Ratu Duyung tak
berkesip memandangi sosok kakek yang tegak menangis itu. Demikian pula dengan
Wiro Sableng.
“Dewa Sedih. Tokoh aneh
berkepandaian tinggi. Terakhir sekali aku melihatnya di Pangandaran. Manusia
satu ini memang aneh. Tapi kali ini aku merasakan ada satu keanehan lain dalam
dirinya….” Membatin Ratu Duyung.
Wiro sendiri yang semula
gembira melihat kemunculan orang tua ini namun menindih perasaannya ketika
pandangannya membentur tangan kanan Dewa Sedih.
“Aneh…” desis Wiro dalam hati.
“Tangan kanan Dewa Sedih
berwarna hitam. Padahal dulu-dulu tidak. Lalu apa maksud ucapannya tadi. Nyawa
siapa yang dimaksudkannya berada di tangannya?”
“Kakek, kau telah menolongku.
Aku mengucapkan terima kasih….” Kesunyian di tempat itu dipecahkan oleh suara
Panji. Pemuda ini membuat gerakan menjura dalam keadaan berlutut lalu bangkit
berdiri. Dewa Sedih menggerung keras.
“Ucapan terima kasih adalah
pengantar perkabungan. Hik… hik… hik! Aku melihat langit. Aku melihat bumi. Aku
melihat nyawa beterbangan dari bumi ke langit. Dari tempat ini ke atas sana….”
Wiro garuk kepala melihat tindak tanduk Dewa Sedih yang tidak seperti biasanya
ini. Maka dia pun memancing.
“Dewa Sedih, aku senang
berjumpa lagi denganmu. Apa kau ada baik-baik saja? Apa kau tahu di mana adikmu
Si Dewa Ketawa sekarang berada?” Dewa Sedih mendongak ke langit. Sepasang
matanya dipejamkan. Tangisnya seolah ditahan hingga dia terseguk-seguk. Lalu
perlahan-lahan dia turunkan kepalanya dan berpaling ke arah .Pendekar 212 Wiro
Sableng. Begitu pandangannya membentur tampang murid Sinto Gendeng itu maka
meraunglah si kakek. Tangan kirinya menunjuk-nunjuk ke arah Wiro.
“Anak manusia! Aku sedih.
Tangis di mataku. Ratap di hatiku! Kau adalah orang yang aku cari selama ini!
Kau adalah orang pertama yang nyawanya harus kupindah dari tubuh kasar ke alam
barzah. Dari bumi ke langit! Hik… hik… hik…. Anak muda aku terpaksa membunuhmu
saat ini juga. Betapa menyedihkan…. Hik… hik… hik! Kau mati lebih dulu. Yang
lain-lain bisa menyusul kemudian!”.
Berubahlah paras Pendekar 212
mendengar ucapan Dewa Sedih. Ratu Duyung terkesiap. Tenaga dalam segera
dikerahkan ke tangan kanan. Sepasang matanya memancarkan kilat. Tangan kiri
menggenggam gagang cermin bulat erat-erat.
“Kalau kakek sinting ini
berani melepaskan tangan jahat terhadap Wiro, aku tidak akan menyesal
membunuhnya saat ini juga!” kata sang Ratu dalam hati.
“Dewa Sedih! Apa yang terjadi
denganmu. Sejak lama kau menjadi sahabatku dan sahabat orang-orang rimba
persilatan golongan putih. Mengapa saat ini kau muncul hendak membunuhku?
Jangan-jangan ada yang telah mempengaruhimu?!” Wiro bertanya dan langsung
menyatakan kecurigaannya.
Dewa Sedih menangis keras.
Lalu berucap.
“Persahabatan hanya sekental
embun pagi. Maksud hendak membunuh sekeras butiran logam. Siapa yang kuat itu
yang menang. Mana mungkin embun lebih kuat dari logam! Anak manusia aku
mengemban tugas untuk membunuhmu! Kalau aku gagal, aku akan celaka seumur-umur!
Barangku tak akan kembali ke tempat asalnya. Lebih baik aku mati daripada tak
punya barang! Apa gunanya hidup! Hik… hik… hik!” Habis berkata begitu Dewa
Sedih lalu menangis kembali.
“Ah, dugaanku tidak meleset.
Ada sesuatu yang telah mempengaruhi kakek ini!” ujar Wiro dalam hati.
“Siapa yang memberi tugas padamu?!”
Tiba-tiba Ratu Duyung membuka suara. Tanpa berpaling pada sang Ratu, Dewa Sedih
terus saja menangis. Begitu suara tangisnya reda dia berkata.
“Anak gadis, mungkin kau
satu-satunya yang bisa kuampuni nyawanya. Tapi dengan syarat harus ikut bersamaku
setelah yang lain-lain kukirim ke langit. Hik… hik…. Betapa untungnya dirimu.
Betapa malangnya nasib tiga kurcaci muda yang ada di tempat ini!”
“Dewa Sedih, ada sesuatu yang
tidak beres dengan dirimu! Harap kau mengingat-ingat. Kuasai hati, kuasai jalan
pikiran! Jangan sampai salah menurunkan tangan!” kata Wiro.
Tangis Dewa Sedih tertahan.
Suara segukan keluar dari tenggorokannya berulang kali.
“Aku tahu hatiku! Aku tahu
pikiranku! Aku melihat langit! Aku melihat gantungan tempat nyawamu sebentar lagi
bercokol! Jangan membuat hatiku tambah sedih anak muda!”
Dewa Sedih putar tubuhnya ke
arah Wiro. Selangkah demi selangkah dia maju mendekati murid Sinto Gendeng
sambil tangan kanannya yang berwarna hitam diangkat setinggi dada. Tiba-tiba
Utusan Dari Akhirat melompat dan tegak menghadang langkah Dewa Sedih.
“Orang tua aneh! Aku tidak
tahu siapa kau adanya! Aku tidak akan perduli siapa adanya dirimu! Ketahuilah
nyawa pemuda bernama Wiro Sableng itu sudah ditakdirkan menjadi milikku!
Tugasmu tidak sepenting tugasku!”
“Hik… hik…! Apakah satu nyawa
bisa dibagi dua? Bagaimana cara membaginya?! Daripada membagi dua bukankah
lebih baik ditambah satu nyawa lagi? Jadi ada dua nyawa yang harus kucabut
secara berbarengan! Sungguh sedih….. Sungguh sedih! Hik… hik… hik!”
Tangan kanan Dewa Sedih
bergerak ke arah Wiro.
“Tunggu!” Ratu Duyung berseru
seraya letakkan cermin bulat di depan dada.
Dewa Sedih usap matanya yang
basah.
“Apa maumu anak gadis? Ingin
minta mati duluan?!”
“Kau tadi bilang membunuh
Pendekar 212 karena mengemban tugas. Katakan siapa yang memberi tugas padamu!”
Dewa Sedih mendongak ke atas lalu meraung keras.
“Aku melihat langit. Aku
mendengar anak manusia bertanya tentang kematian. Biarlah malaikat maut saja
yang nanti akan menjawab!”
“Tua bangka pengecut! Kau cuma
bisa mewek menangis seperti bayi! Tapi takut memberitahu siapa tuan majikanmu!
Dengar baik-baik, kau tidak akan bisa kembali menghadap dan berlutut di hadapan
majikanmu! Kau akan menemui ajal lebih dulu di tempat ini!” Lalu Ratu Duyung
berpaling pada Utusan Dari Akhirat.
“Kau hendak membunuh Wiro? Kau
tentu tidak mau keduluan oleh kakek gila ini! Bagaimana kalau kita bersama-sama
menunjukkan jalan ke neraka padanya. Aku mau tahu apa dia masih bisa menangis
di akhirat!”
Utusan Dari Akhirat sesaat
terkesiap mendengar ucapan Ratu Duyung itu. Tapi dalam hati dia mengakui ucapan
si gadis bermata biru ada benarnya juga. Ratu Duyung berpaling ke arah Panji.
“Ambil pedangmu! Kau juga
harus ikut membantu!”
Walau cidera tapi Panji jadi terbakar
semangatnya. Dengan cepat dia mengambil pedang yang tergeletak di tanah. Pemuda
ini menyadari bahwa saat itu dia berada di tengah orang-orang berkepandaian
tinggi. Dibanding dengan dirinya maka dia bukan apa-apa. Namun rasa setia kawan
yang ada dalam dirinya terhadap Wiro membuat dia tidak merasa gentar* Hanya
saja sampai saat itu dia merasa bingung. Apa betul pemuda berambut gondrong
berpakaian hitam itu adalah benar-benar Wiro Sableng?
“Wiro,” bisik sang Ratu
kemudian pada murid Sinto Gendeng.
“Jika terjadi bentrokan
pukulan sakti, harap kau lekas mencari tempat berlindung. Aku menduga keras
kakek ini telah jadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat….”
“Bagaimana kau tahu?” tanya
Wiro.
“Lihat tangan kanannya.
Berwarna hitam. Dia telah memiliki ilmu pukulan maut yang disebut Mencabut Jiwa
Memusnah Raga. ilmu ini hanya dimiliki Datuk Lembah Akhirat dan kaki tangannya.
Siapa yang kena hantamannya, tubuhnya akan jadi bubuk berwarna hitam!”
“Gila! Berbahaya sekali kalau
begitu!” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Apa jubah sakti yang kupakai
tidak sanggup menahan kehebatan ilmu setan itu?”
“Aku tidak berani
menduga-duga. Sebaiknya lekas cari selamat. Cari perlindungan….”
Wiro tak segera beranjak. Yang
terpikir olehnya saat itu adalah bagaimana akibatnya kalau Dewa Sedih menemui
ajal di tangan orang-orang itu. Adiknya si Dewa Ketawa pasti akan marah besar.
Orang-orang golongan putih akan ikut campur. Urusan besar bakal menghadang.
Ternyata Ratu Duyung bisa membaca jalan pikiran murid Sinto Gendeng. Maka cepat
dia berkata dengan suara lantang agar Dewa Sedih ikut mendengar.
“Wiro! Buang kebimbangan dalam
hatimu! Kakek di hadapan kita bukan manusia baik-baik yang bisa dipercaya
sebagai sahabat. Walau dia bukan dari golongan hitam tapi dia juga bukan tokoh
golongan putih. Seringkali dia tidak punya pendirian. Kalaupun punya maka dia
berada di pihak yang sesat. Ingat peristiwa di Pengandaran tempo hari?
Kakek berhati bengkok ini
sudah saatnya disingkirkan. Kalau tidak dunia persilatan akan dibikin kisruh
oleh ulahnya!”
Dewa Sedih tersurat dua
langkah. Matanya mendelik memandang pada Ratu Duyung. Lalu terdengar ratapnya.
“Aku dibilang bukan manusia
baik-baik. Hik… hik! Aku dikatakan tidak punya pendirian! Aku dibilang berhati
bengkok dan harus disingkirkan! Hik… hik… hik! Malangnya nasibku! Anak gadis
bermata biru, mulutmu lancang. Hatimu pasti tidak sebagus wajahmu! Lihat ke
langit! Lihat bumi! Antara keduanya itulah jalanmu ke neraka!”
Dewa Sedih keluarkan satu
gerungan keras. Tangan kanannya dihantamkan ke arah Ratu Duyung. Selarik Sinar
hitam menggidikkan melesat. Inilah pukulan ganas mengandung tenaga dalam tinggi
bernama Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Siapa yang terkena maka tubuhnya akan
dikobari api berwarna kehitaman. Lalu tubuh itu akan musnah berubah menjadi
bubuk mengerikan! Dewa Sedih mendapatkan ilmu kesaktian ini langsung dari Datuk
Lembah Akhirat karena tugas yang diberikan kepadanya sangat berat yakni
membunuh beberapa tokoh silat tingkat tinggi. Satu diantaranya adalah Wiro
Sableng!
Di samping itu sang Datuk
merasa cukup dapat mempercayai Dewa Sedih karena sebelumnya kakek ini telah
berhasil membunuh beberapa tokoh silat golongan putih. Antara lain si Janggut
Biru Berhati Emas dari kawasan timur.
Ketika Dewa Sedih menggerakkan
tangannya, sebelum sinar hitam berkiblat Ratu Duyung tidak tinggal diam. Gadis
cantik dari alam aneh ini hentakkan kaki kanannya ke tanah. Tempat itu bergetar
hebat laksana diredam gempa. Lalu tangan kirinya yang memegang cermin sakti
dibabatkan ke depan. Bersamaan dengan itu dari sepasang matanya memancar dua
larik sinar biru angker.
Di sebelah belakang Panji yang
memegang pedang, begitu melihat tubuh Dewa Sedih bergerak dan tangannya
menghantam ke depan segera melompat sambil babatkan pedang. Pendekar 212 Wiro
Sableng yang tidak memiliki kemampuan untuk menyerang terpaksa melompat mencari
perlindungan.
Layang Kemitir alias Utusan
Dari Akhirat sesaat merasa bingung siapa yang bakal diserangnya. Dia ingin
membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dengan tangannya sendiri. Jika Wiro sampai
menemui ajal di tangan si kakek berarti dia tidak akan dapat melaksanakan tugas
dari roh gaib Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai. Dalam keadaan seperti itu
akhirnya dia membuat keputusan bahwa dia harus ikut menghantam Dewa Sedih. Maka
dari samping dia lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Sinar kuning, hitam dan
merah menggemuruh ke arah si kakek.
Dewa Sedih menggerung keras.
Dia tidak menyangka akan mendapat serbuan begitu hebat. Walau dia yakin pukulan
maut yang dilepaskannya akan sanggup membunuh Ratu Duyung tapi di saat
bersamaan dia terpaksa harus menyingkir selamatkan diri dari serangan pedang
dari hantaman pukulan sakti Utusan Dari Akhirat.
“Bummm!”
“Bummm!”
“Bummm!”
Tiga letusan dahsyat
menggoncang tempat Itu. Sinar hitam, merah, kuning dan biru laksana pijar
letusan gunung berapi menggelegar di udara. Wiro terbanting ke tanah, terguling
sejauh dua tombak lalu mengeluh keras ketika keningnya sebelah kanan menumbuk
akar pohon besar yang menonjol ke tanah. Ratu Duyung terpental sampai empat
tombak. Dia gulingkan diri di tanah lalu sambil berseru keras gadis ini
melompat bangkit. Tubuhnya tergontai-gontai beberapa saat. Wajahnya yang cantik
pucat seperti tidak berdarah. Di dadanya ada denyutan keras yang menyesakkan.
Tangan kirinya yang memegang cermin bulat terasa kaku. Di bagian lain Panji
terkapar tak bergerak di tanah. Dari telinga dan hidungnya mengucur darah. Dari
mulutnya keluar suara erang berkepanjangan. Utusan Dari Akhirat tampak
tersandar di bawah pohon tak jauh dari tempat Wiro tergeletak dengan kening
benjut dan berdarah. Tangan kanannya berdenyut kesemutan. Tak bisa digerakkan
seolah lumpuh. Bentrokan pukulan-pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi
tadi telah membuat semua orang yang ada di tempat itu mengalami cidera.
Termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng walaupun dia tidak terlibat langsung.
Dalam keadaan masing-masing
menderita cidera, semua orang masih sempat menyadari kalau Dewa Sedih tidak ada
lagi di tempat itu. Ke mana lenyapnya kakek yang jadi pangkal bahala itu?!
Tiba-tiba terdengar suara
tangis meraung. Semua kepala sama diangkat. Semua mata memandang ke atas. Di
atas pohon besar di bawah mana Utusan Dari Akhirat dan Wiro berada kelihatan
sosok Dewa Sedih tegak terbungkuk-bungkuk di atas sebuah cabang. Pakaian
putihnya robek dan hangus di beberapa bagian. Dia menangis dengan darah
mengucur keluar dari mulutnya.
“Aku melihat langit! Aku
melihat bumi! Tapi aku tidak melihat jalan kematian! Datuk Lembah Akhirat mana
kedahsyatan pukulan sakti yang kau berikan padaku?!”
Sambil menangis Dewa Sedih
angkat tangan kanannya. Sampai sebatas pergelangan tangannya masih tetap
berwarna hitam. Namun di atas pergelangan tangan kakek ini tampak merah
membengkak.
“Datuk Lembah Akhirat aku
memilih mati daripada malu besar. Kepala ke bawah kaki ke atas! Kaki menjunjung
langit, kepala mencium bumi! Hik… hik… hik!”
Di luar dugaan semua orang
tiba-tiba Dewa Sedih jatuhkan diri dari cabang pohon. Seperti ratapannya tadi
kakinya ke atas dan kepalanya ke bawah. Kakek ini benar-benar melakukan bunuh
diri. Sesaat lagi kepalanya akan hancur membentur tanah tiba-tiba ada suara
“tar… tar… tar!” Menyusul
suara orang tertawa membahana. Tak lama kemudian satu sosok tubuh melayang
sebat lalu membuat gerakan seolah terjun ke dalam air. Dua tangan melesat ke
depan dengan telapak terbuka, menahan kepala Dewa Sedih hingga tidak menghantam
tanah!
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
ENAM
Pemuda berkumis tipis dan
berkulit halus itu duduk di atas tumbangan batang kayu, menatap ke Seantero telaga
luas berair tenang membiru. Sejak tadi dia berada di tempat itu dan tampaknya
seperti kebingungan.
“Kalau tidak melihat sendiri
tidak pernah kuduga telaga ini begitu luas. Kedalamannya tentu sukar dijajagi.
Dari sebelah mana aku harus terjun lalu menyelam…? Kalau saja tidak diperintah
kakek itu dan mengingat senjata sakti itu katanya mampu mengobati Pendekar 212,
tidak nanti aku mau datang jauh-jauh datang ke sini….”
Kembali si gadis yang bukan
lain adalah Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh yang sengaja menyamar berdandan
seperti seorang pemuda merenung menatapi Telaga Gajahmungkur.
Tiba-tiba dari sebelah barat
dia melihat seorang anak kecil berpakaian hitam berlari cepat ke arahnya. Dalam
waktu singkat si anak sudah berada dekat sekali. Puti Andini segera berlindung
di balik serumpunan semak belukar. Ternyata si anak adalah Naga Kuning yang
sebelumnya telah ditolong dan diselamatkan oleh Sinto Gendeng dan Kakek Segala
Tahu. Puti Andini perhatikan Naga Kuning yang saat itu tegak di tepi telaga, tepat
di samping pohon kelapa yang hanya tinggal batang karena bagian atasnya pupus
rata dihantam petir.
“Rambutnya jabrik lucu.
Keningnya benjut. Tangan kanannya dibalut. Kalau bukan murid seorang pandai
tidak nanti dia mampu lari secepat yang kulihat. Hemm…. Siapa adanya anak ini.
Mengapa dia berada di sini. Dia seperti memperhatikan sesuatu di tengah telaga.
Kalau dia mengetahui seluk beluk telaga ini rasanya ada baiknya aku bertanya
padanya….”
Puti Andini hendak beranjak
keluar dari balik semak belukar. Namun niatnya serta merta dibatalkan ketika
melihat apa yang dilakukan Naga Kuning. Anak ini memasukkan dua jari tangan
kirinya ke dalam mulut. Saat itu juga dari mulutnya keluar suara suitan keras
dan panjang, tiga kali berturut-turut.
“Dia mengeluarkan suara
suitan. Memberi tanda atau memanggil seseorang…?”
Belum selesai bertanya-tanya
dalam hati tiba-tiba Puti Andini melihat sebuah benda aneh berwarna kuning
muncul di permukaan air telaga. Si gadis tak dapat mengenali benda apa adanya.
Karena selain jauh d; tengah, benda itu muncul hanya sekejap lalu lenyap. Di
saat bersamaan anak kecil berpakaian hitam yang tangan kanannya dibalut
dilihatnya lari ke arah telaga.
“Ah….” Puti Andini keluarkan
seruan tertahan sewaktu melihat bagaimana laksana melayang anak itu melesat di
udara. Membuat gerakan berjungkir balik dua kali. Lalu dalam, keadaan tegak
lurus, tangan ke bawah kaki ke atas anak itu terjun ke dalam Telaga
Gajahmungkur.
Puti Andini melompat keluar
dari balik semak-semak, berlari ke tepi telaga. Untuk beberapa lamanya dia
menunggu sambil memandang tak berkesip ke arah air telaga yang beriak tempat
Naga Kuning tadi menceburkan diri. Ditunggu sekian lama si anak tidak
muncul-muncul.
“Aneh…” pikir cucu Sabai Nan
Rancak ini.
“Mengapa anak itu tak muncul
lagi? Tak mungkin tenggelam. Kalau dia tidak bisa berenang tidak mungkin dia
menceburkan diri. Tapi dia bukan cuma sekedar pandai berenang. Dia mampu
menyelam lama di dalam air….”
Puti Andini ingat pada Pedang
Naga Suci 212 yang harus dicarinya di dasar telaga.
“Jangan-jangan anak itu murid
seorang pandai yang mengetahui tentang adanya senjata sakti di dasar telaga.
Kalau aku tidak melakukan sesuatu jangan-jangan bisa kedahuluan dan pedang
sakti itu jatuh ke tangan orang lain. Tapi kalau aku ikut menyelam, apa benar
aku mampu berada lama di dalam air?”
Seperti diceritakan dalam
Episode ke 3 (Lembah Akhirat) Puti Andini bertemu dengan Sika Sure Jelantik.
Tertipu oleh cerita yang dikarang si gadis, Sika Sure Jelantik merasa kasihan
dan akhirnya suka terhadap gadis itu. Lebih dari itu si nenek lalu memberikan
satu ilmu yang membuat Puti Andini mampu menyelam dan berada di dalam air dalam
waktu lama. Namun sewaktu dia hendak menerjunkan diri ke dalam telaga yang luas
itu si gadis tertahan sesaat. Dia merasa bimbang apakah dia benar-benar mampu
bertahan di dalam air?
“Aku belum pernah mencoba
sebelumnya. Kalau nenek itu menipuku seperti aku menipunya, bakalan celaka
diriku. Tapi kalau tidak terjun membuktikan sendiri bagaimana mungkin aku tahu.
Lagi pula tak ada jalan lain. Untuk mendapatkan pedang sakti yang dikatakan Tua
Gila aku memang harus masuk ke dalam telaga, menyelam sampai ke dasarnya….”
Setelah menetapkan hati
akhirnya cucu Sabai Nan Rancak itu terjun ke dalam telaga. Sesaat kemudian dia
telah berada di bawah permukaan air. Selain merasakan kesejukan air telaga
gadis ini juga merasakan beberapa keanehan. Di dalam air yang redup temaram itu
ternyata dia mampu melihat cukup jelas sampai beberapa tombak di sekitarnya.
Kemudian dia mampu bernafas melalui hidung tanpa air ikut tersedot. Pasti
inilah kehebatan ilmu, yang diberikan nenek bernama Sika Sure Jelantik itu,
pikir Puti Andini. Karena penglihatannya cukup terang Puti Andini masih sempat
melihat bayangan anak kecil berpakaian hitam tadi berenang menukik menuju dasar
telaga yang sangat dalam. Tanpa menunggu lebih lama Puti Andini segera berenang
mengikuti.
“Aku pasti akan menemui
kesulitan mencari Pedang Naga Suci 212 itu. Lebih baik aku mengikuti anak itu
lebih dulu. Siapa tahu dia memberi petunjuk yang tidak terduga…. Aku yakin anak
itu bukan manusia sembarangan. Kalau tidak mana mungkin dia mampu berenang dan
menyelam sampai sedalam ini! Orang biasa akan pecah gendang-gendang telinganya,
akan kacau aliran darahnya dan bisa terhenti denyutan jantungnya!”
Naga Kuning menyelam menuju
dasar telaga di sebelah timur. Tempat ini dipenuhi tetumbuhan air serta
batu-batu tinggi berbentuk aneh. Ikan-ikan berbagai warna dan bentuk
berkeliaran di sela-sela batu dan tetumbuhan. Air telaga terasa lebih dingin dan
keadaan semakin redup. Naga Kuning melesat di antara celah dua dinding batu
berwarna kehijauan tertutup lumut tebal. Dia sampai ke bagian dasar telaga yang
cekung sedalam satu depa, membentuk lingkaran seperti sebuah piring besar. Di
pertengahan lingkaran ada sebuah batu hitam menyerupai kursi kecil. Dudukan
kursi batu ini berbentuk miring hingga siapa saja yang duduk di atasnya akan
mendongak ke arah sebuah goa batu berwarna putih. Ini adalah satu pemandangan
luar biasa yang sulit dipercaya.
Di kedalaman hampir dua ratus
tombak dari permukaan air, di dasar telaga itu berdiri sebuah goa besar putih
berkilauan. Bagian tengah goa yang merupakan jalan masuk tertutup oleh satu
dinding batu memancarkan hawa sangat dingin menggidikkan serta sinar merah. Pada
pertengahan dinding ada tulisan besar hitam berbunyi
“Liang Akhirat”. Keanehan yang
tidak dapat dipecahkan oleh otak manusia ialah adanya dua buah tiang batu
setinggi bahu manusia di kiri kanan goa. Di atas masing-masing tiang terdapat
sebuah pendupaan dipenuhi bara api yang menyala serta menghamparkan asap putih
dan menebar harumnya bau kemenyan!
Dari balik dinding batu ini
terdengar suara detakan-detakan aneh seolah detak jantung makhluk raksasa yang
sukar dibayangkan apa ada dan bentuknya. Demikian hebatnya suara detakan itu
hingga dasar telaga dan batu berbentuk kursi terasa bergetar terus-terusan.
Selain itu pada saat-saat tertentu terdengar suara desisan keras dari balik
dinding batu penutup mulut goa.
Semua keanehan di dasar telaga
itu seolah biasa-biasa saja bagi Naga Kuning. Ini satu pertanda bahwa anak ini
sudah sering dan terbiasa berada di tempat itu. Namun satu hal wajahnya tampak
diselimuti kecemasan. Naga Kuning berenang cepat ke arah batu berbentuk kursi
lalu duduk di atasnya. Dia menatap ke arah dinding merah di mulut goa. Air
mukanya membayangkan rasa khawatir. Dalam keadaan seperti itu si anak
perlahan-lahan pejamkan kedua matanya lalu rangkapkan dua tangan di depan dada.
Sikapnya seperti orang bersamadi. Tapi yang sebenarnya tengah dilakukannya saat
itu adalah mencoba mengadakan kontak atau sambung rasa dengan seseorang di mana
antara mereka berdua Saling terpisah di dua alam yang berbeda. Beberapa saat
berlalu. Tiba-tiba tampak tubuh Naga Kuning bergetar keras. Getaran ini bukan
akibat getaran dasar telaga atau kursi batu yang didudukinya. Tapi satu getaran
aneh yang datang dari alam gaib dan menembus masuk ke dalam tubuhnya. Naga
Kuning buka ke dua matanya. Sepasang tangannya masih, diletakkan di atas dada.
Dia menatap tak berkesip ke arah goa putih. Lalu tampak mulutnya terbuka
menyusul terdengar suaranya berucap.
“Kiai…. Saya Naga Kuning
datang menghadapmu….”
Ini satu lagi keanehan yang
tak masuk akal. Seorang anak manusia bisa bicara di dalam air dan suaranya
keras bergema seolah dia berada di dalam satu jurang di daratan terbuka!.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
TUJUH
Pada saat gema ucapan Naga
Kuning sirna, dari balik dinding batu merah penutup mulut goa terdengar dua
desisan panjang disertai bunyi detakan keras seolah dasar telaga itu dihantam
palu godam raksasa. Di antara suara-suara mengerikan itu tiba-tiba terdengar
suara lain.
“Anak manusia yang terlahir
bernama Gunung, menjalani hidup sebagai Pangeran terbuang, yang oleh sementara
orang disebut sebagai Kiai Paus Samudera Biru, yang oleh diriku sehari-hari
dikenal dengan nama Naga Kuning alias Naga Cilik alias Naga Kecil. Ternyata kau
masih punya keberanian datang menghadap. Tapi ingin aku tanyakan. Apakah kau
masih punya malu untuk datang ke tempat ini?”
Getaran di tubuh Naga Kuning
semakin keras hingga kepalanya bergoncang-goncang. Tangan kanannya yang patah
sakit bukan main namun dia menguatkan diri untuk tidak merasakannya. Paras anak
berambut lurus kaku ini tampak berubah pucat mendengar ucapan orang yang tidak
kelihatan itu. Untuk beberapa lamanya dia tak kuasa membuka mulut memberikan
jawaban.
“Naga Kuning! Mulutmu
terkancing! Hatimu terpaku! Apa kau sudah menyadari kesalahanmu?!”
“Saya menyadari Kiai. Saya
mohon maafmu dan minta ampun,” jawab Naga Kuning.
“Itu salah satu sifat buruk
manusia beradab. Membuat kesalahan dengan sengaja. Lalu meminta maaf dan ampun!
Coba kau katakan apa kesalahan yang telah kau perbuat!”
Tenggorokan Naga Kuning
bergerak-gerak. Anak ini menelan ludahnya beberapa kali baru menjawab.
“Kesalahan saya adalah
meninggalkan Telaga Gajahmungkur tanpa izin Kiai. Meninggalkan Liang Lahat
ketika diperintahkan untuk berjaga-jaga.”
“Bagus! Kau tahu apa
kesalahanmu! Sosokmu memang sosok anak kecil. Tapi apa kau ingat berapa usiamu
sebenarnya sampai hari ini?!” Naga Kuning tercekat. Keningnya berkerut.
Wajahnya yang bocah berubah jadi tua karena berusaha keras mengingat-ingat.
“Kau tidak ingat lagi ketuaan
dirimu Naga Kuning?”
“Saya ingat Kiai. Usia saya
saat ini tidak kurang dari seratus dua puluh tahun….”
Dari balik dinding batu merah
penutup goa terdengar suara orang tertawa.
“Orang seusiamu sepantasnya
berlaku bijaksana bertindak arif. Apa yang kau dapat dari ketidakpatuhanmu itu
Naga Kuning?”
“Saya… saya tidak mendapatkan
apa-apa Kiai.”
Kembali dari balik dinding
menggema suara tawa.
“Yang kau dapat adalah kau
kehilangan seruling saktimu. Yang kau dapat adalah patah tangan kananmu! Bukan
begitu Naga Kuning?”
“Ya, memang begitu Kiai….”
“Dan satu lagi. Kau telah
membawa seseorang muncul di tempat ini sebelum waktunya…!” Naga Kuning
memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. Dibalik ketidak
mengertiannya anak ini menjawab.
“Saya datang ke sini seorang
diri Kiai. Saya tidak membawa siapa-siapa.”
“Kau tidak percaya pada
ucapanku. Nanti akan kau lihat sendiri…. Sekarang terangkan apa saja yang kau
lakukan di dunia luar sana. Siapa saja yang kau temui….”
“Saya bertemu dengan beberapa
tokoh rimba persilatan ternama Kiai. Seorang pemuda mengaku bernama Utusan Dari
Akhirat. Lalu Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang berada dalam musibah
besar. Kehilangan ilmu silat dan kesaktiannya karena dikabarkan berzinah dengan
Ratu Duyung. Saya juga sempat melihat Ratu itu. Lalu ada seorang sakti yang
wajahnya selalu ditutupi cadar kuning. Saya juga bertemu dan bentrokan dengan
nenek sakti dari Pulau Andalas bernama Sabai Nan Rancak. Dialah yang menciderai
saya hingga patah tangan dan hampir menemui ajal kalau tidak ditolong oleh
Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu. Di satu tempat saya berada bersama Dewa
Tuak dap Iblis Putih Ratu Pesolek. Hanya sayang saya tidak melihat keduanya
secara langsung….”
“Hemmm…. Cukup banyak para
tokoh yang kau temui. Tapi kau belum mengatakan anak gadis yang kau temui di
atas kapal itu…. Padahal bukankah itu pangkal sebab segala ketololanmu?!” Paras
Naga Kuning berubah merah.
“Saya memang bertemu dengan
cucu Sri Baginda itu. Namanya Juminten….” Orang di balik dinding batu tertawa
bergelak.
“Cucu Sri Baginda itu kabarnya
lucu dan cantik. Dia juga menyukai dirimu. Jangan kau berbuat macam-macam Naga
Kuning. Usia anak itu belum sepuluh tahun. Kau walau kelihatan masih bocah
sebayanya tapi usiamu sudah seratus dua puluh tahun!”
“Saya paham Kiai. Tak mungkin
saya berbuat yang bukan-bukan….” Orang yang dipanggil Kiai menghela nafas
panjang.
“Naga Kuning, perbuatanmu
menyalahi pesan dan perintah hampir membuat aku kebobolan. Apa kau mengenali
dua mayat ini?”
Terdengar suara berdesir. Dari
balik goa putih muncul sosok seekor ikan besar yang memiliki dua buah tanduk di
bagian kepalanya. Di antara dua tanduk itu terbujur bertindihan dua tubuh
manusia. Satu berpakaian hitam, satunya mengenakan pakaian merah. Kedua orang
ini berusia lanjut dan berada dalam keadaan kaku karena telah menjadi mayat.
Ikan besar yang membawa dua mayat di atas kepalanya berputar-putar di depan
Naga Kuning. Anak ini memperhatikan. Dengan cepat dia segera mengenali siapa
adanya ke dua orang itu.
“Saya mengenali siapa mereka
Kiai. Yang baju hitam adalah Datuk Bonar. Dikenal dengan julukan Iblis Penghujat
Jiwa Dari Utara. Dia adalah salah seorang kaki tangan Sutan Alam Rajo Di Bumi
dari puncak Singgalang. Konon Sutan itu dicurigai sebagai orang di belakang
layar penyebab pembunuhan-pembunuhan atas diri para tokoh silat belakangan ini.
Kemudian mayat berbaju merah itu. Bukankah dia Nyi Ulan Si Singa Betina
Pedataran Bromo?”
“Betul…. Tapi apa kau tahu
siapa dia adanya?” bertanya suara di balik batu merah penutup mulut goa.
“Setahu saya dia adalah
seorang nenek aneh yang selalu berpakaian seperti lelaki. Berhati culas. Karena
itu dia juga dijuluki Singa Betina Muka Seribu.”
“Hanya itu yang kau ketahui…?”
“Hanya itu saja Kiai,” jawab
Naga Kuning.
“Akan kukatakan padamu apa
yang aku ketahui. Nyi Ulan sesungguhnya adalah kaki tangan Datuk Lembah
Akhirat. Dia punya silang sengketa besar dengan Sutan Alam Rajo Di Langit. Tapi
karena maksud tertentu dia bersekongkol dengan Datuk Bonar dan datang ke tempat
ini. Ini satu pertanda bahwa agaknya antara orang di puncak Singgalang dan
penguasa Lembah Akhirat ada satu jalinan hubungan rahasia yang pada saatnya
karena pengaruh kepentingan bisa berubah menjadi bentrokan besar. Beberapa hari
lalu Datuk Bonar dan Nyi Ulan muncul di sini. Mencoba masuk ke dalam Liang
Lahat dengan cara membobol jalan rahasia. Mereka sempat masuk dan mencapai
Tangga Akhirat. Untung Naga Kembar mengetahui, menghalangi dan mengusir mereka.
Keduanya berusaha membunuh Naga Kembar. Tapi mereka dibunuh lebih dulu!”
Naga Kuning terdiam mendengar
keterangan itu. Dia tahu bagaimana besar kesalahan yang telah dibuatnya. Maka
dia segera berucap.
“Saya sangat menyesal Kiai.
Semua Itu terjadi karena perbuatan saya meninggalkan tempat ini. Karena itu
sekali lagi saya minta maaf dan mohon ampun.” Sambil berkata Naga Kuning
memperhatikan ikan besar menyelinap pergi membawa dua mayat di atas kepalanya.
“Seingatku seumur hidupmu baru
sekali ini kau berlaku tolol dan membuat kesalahan. Jadi pada tempatnya kalau
aku masih mau memberi maaf dan ampun padamu. Di luar sana tentu dingin sekali.
Apa kau ingin cepat masuk ke dalam Liang Lahat?”
“Kalau Kiai berkenan saya akan
sangat berterima kasih. Saat ini saya merasa seolah dipendam dalam lobang es
saking dinginnya.” Saat itu juga terdengar suara berdesing. Kursi batu yang
diduduki Naga Kuning berputar laksana gasing. Lalu seperti dilontarkan, tubuh
Naga Kuning melesat ke atas ke arah goa batu putih. Bersamaan dengan itu
dinding batu merah yang mengeluarkan hawa aneh terbuka sedikit. Tubuh Naga
Kuning melesat melewati celah sempit. Sesaat kemudian dinding batu itu menutup
kembali. Naga Kuning lenyap tak kelihatan lagi.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
DELAPAN
Puti Andini yang berusaha
mengejar Naga Kuning membuat gerakan mengapung di dalam air. Dia memandang
berkeliling. DI kiri kanan dan sebelah belakang tidak tampak apa-apa kecuali
ikan-ikan kecil berenang kian kemari. Lalu di sebelah depan, menghalangi
pengejarannya menjulang dinding batu serta tumbuhan air.
“Kemana lenyapnya anak itu?”
pikir Puti Andini. Dia sengaja menunggu sambil mengawasi keadaan sekitarnya.
Namun si anak tidak kunjung muncul.
“Aku sudah sampai di dasar
telaga. Daripada mencari anak itu lebih baik mulai menyelidik dimana beradanya
Pedang Naga Suci 212. Sampai saat ini aku tidak merasa apa-apa. Tapi bukan
mustahil terjadi sesuatu yang membuat diriku tidak bisa bertahan lebih lama di
dasar telaga ini….” Memikir sampai di situ maka Puti Andini segera mulai
memeriksa dasar telaga di sekitarnya. Mencari sebuah benda yang belum pernah
dilihatnya sebelumnya di dasar telaga yang begitu luas, dingin redup bukan satu
pekerjaan mudah.
“Jangan-jangan aku harus
menjelajahi dasar telaga ini sampai puluhan hari. Apa aku sanggup bertahan
sekian lamanya?” pikir si gadis dengan perasaan bercampur bimbang. Walau Sika
Sure Jelantik sebelumnya memberi tahu bahwa dengan ilmu yang diberikannya gadis
itu sanggup berada di dalam air untuk jangka waktu 100 hari namun Puti Andini
tetap saja merasa was-was. Di atas telaga sang surya mulai redup menuju ufuk
tenggelamnya. Di dalam Telaga Gajahmungkur, apalagi jauh di dasarnya keadaan
menjadi lebih redup. Kemana-mana memandang Puti Andini hanya melihat kegelapan.
“Pasti saat ini matahari telah
tenggelam. Tak mungkin meneruskan mencari senjata sakti itu. Aku harus naik ke
daratan….” Ketika dia muncul di permukaan telaga hari memang telah gelap karena
sang surya telah tenggelam. Malam telah turun. Dalam keadaan pakaian basah
kuyup serta tubuh terasa dingin Puti Andini duduk di tepi telaga. Tanpa
diketahuinya ada dua pasang mata mengintipnya. Sepasang di sebelah timur,
sepasang lagi di sebelah barat
“Pedang Naga Suci 212…” desis
si gadis.
“Sebilah pedang mustika sakti
walaupun berada dalam sarungnya biasanya akan memancarkan cahayanya. Kalau
senjata itu benar berada di dasar telaga, dalam gelap cahayanya akan jelas terlihat.
Besok akan kuteruskan lagi menyelam. Tapi sebaiknya aku membatasi diri sampai
dua atau tiga hari saja. Kalau tidak bertemu juga perlu apa menghabiskan waktu?
Atau sebaiknya aku menunggu saat perjanjian dengan Tua Gila?” Seperti
diceritakan dalam Episode ke 3 (Lembah Akhirat) Puti Andini dan Tua Gila
membuat perjanjian bahwa mereka akan bertemu di pinggiran timur Jelaga
Gajahmungkur pada bulan purnama 14 hari yang akan datang.
“Hari empat belas bulan
purnama hanya tinggal delapan hari dimuka. Aku bisa menunggu. Tapi aku khawatir
dalam waktu itu sesuatu bisa saja terjadi. Mungkin Wiro akan menemui celaka.
Mungkin juga Tua Gila marah besar padaku karena aku menantinya dan tidak
berusaha mencari sendiri senjata sakti itu….”
Berbagai pikiran membuncah
kepala Puti Andini. Dari telaga bertiup angin keras.
“Ah, dingin sekali udara di
sini. Sebaiknya aku bersalin pakaian dulu….”
Puti Andini melangkah ke
tempat di mana dia sebelumnya meninggalkan bungkusan perbekalannya. Dalam gelap
dia membuka kain penutup kepalanya. Tak lupa dia menanggalkan kumis palsunya.
Lalu karena menganggap tempat itu sepi tak ada orang lainnya apa lagi keadaan
gelap maka enak saja gadis ini menanggalkan pakaiannya. Sewaktu dia baru saja
mengenakan celana panjang ringkas warna merah sementara tubuhnya di bagian atas
tidak tertutup apa-apa tiba-tiba satu tangan memegang bahunya. Puti Andini
terkejut setengah mati. Lupa akan keadaannya gadis ini hendak memaki marah,
membalikkan tubuh untuk menghantam orang yang berada di belakangnya. Namun satu
tangan yang kokoh lebih dulu menekap mulutnya. Lalu ada satu suara berbisik.
“Jangan mengeluarkan suara.
Lekas kenakan bajumu. Ada orang mengintipmu di sebelah timur sana.”
Puti Andini membuka matanya
besar-besar di dalam gelap. Tadinya dia hendak menggigit tangan yang menekap
mulutnya. Namun dia rasa-rasa mengenali suara orang itu. Ketika dia lebih
memperhatikan baru dia mengenali siapa adanya orang yang merangkulnya saat itu.
“Panji…” bisik Puti Andini.
Tiba-tiba si gadis ingat akan
keadaan tubuhnya yang polos di sebelah atas. Secepat kilat dia melompat ke
balik semak belukar sambil menutupi dadanya yang putih dan kencang, wajahnya
merah karena malu. Orang yang muncul di tempat itu adalah Panji alias Datuk
Pangeran Rajo Mudo. Pemuda ini membungkuk mengambil baju merah milik Puti
Andini yang tergeletak di dalam bungkusan lalu dilemparkannya pada si gadis
seraya membuat tanda dengan gerakan tangan agar si gadis jangan mengeluarkan
suara dan cepat mengenakan baju itu. Sesaat setelah Puti Andini selesai
mengenakan baju merahnya Panji segera menyelinap ke balik semak belukar.
“Kau telah berlaku kurang
ajari Kau berani mengintipku!” Dampratan menyambut Panji begitu dia berada di
hadapan Puti Andini.
“Jangan salah menduga,” bisik
si pemuda.
“Aku tidak bermaksud kurang
ajar. Aku terpaksa melakukah hal itu karena di sebelah sana ada seseorang
mengintip dan mengawasi gerak gerikmu.”
“Aku tidak percaya! Kau
mengarang cerita!”
“Sssttt…. Jangan bicara
keras-keras. Kalau kau tidak percaya mari kita sama-sama menyelidik ke sekitar
semak belukar di sebelah sana…” kata Panji pula. Lalu pemuda ini hunus
pedangnya seraya memberi isyarat pada Puti Andini untuk mengikutinya. Keduanya
berjalan beriringan ke arah timur tepian Telaga Gajahmungkur. Mereka melewati beberapa
pohon besar lalu sampai ke balik serumpunan semak belukar di dekat sederetan
pohon bambu hijau.
“Orang yang mengintai itu tadi
kulihat berada di sini. Tapi sekarang tak ada lagi. Mungkin dia telah melarikan
diri atau masih mendekam di sekitar sini….” Panji berkata sambil memandang
berkeliling.
“Aku tidak percaya padamu! Kau
lagi-lagi mengarang cerita! Kau tadi sengaja mengintipku lalu mengelak diri
dengan pura-pura mengatakan ada orang lain mengintipku! Sungguh keji
perbuatanmu!”
“Puti, aku bersumpah tidak
berbuat keji padamu. Aku tadi benar-benar melihat ada seseorang mengendap-endap
memperhatikanmu di tempat ini….”
“Dusta busuk!” maki Puti
Andini seraya membalikkan tubuh.
“Tunggu.,.!” seru Panji.
“Aku mencium bau sesuatu….”
Pemuda ini menghirup udara dalam-dalam. Si gadis kembali hendak mendamprat.
Namun saat itu hidungnya memang membaui sesuatu. Bau wangi semerbak.
“Kau lihat…” bisik Panji.
“Di tempat ini tak ada bunga
tumbuh, tak ada pohon harum. Bau harum yang kita cium adalah bau wewangian.
Berarti yang barusan berada di tempat ini dan mengintipmu adalah seorang
perempuan!”
“Mana ada perempuan mengintip
perempuan! Kau hanya hendak membela diri saja!”
“Bisa saja. Kalau dia punya
maksud sesuatu terhadapmu,” tangkis Panji.
Dalam gelap Puti Andini jadi
terdiam. Sepasang matanya masih memandang besar dan galak pada pemuda di
hadapannya itu. Tiba-tiba dia melihat noda darah di pakaian hijau dan pipi
pemuda ini. Bagaimanapun marahnya cucu Sabai Nan Rancak ini pada si pemuda
namun dia menyadari bahwa pemuda ini pernah menyelamatkan jiwanya (baca Lembah
Akhirat) Lain dari itu sejak pertemuan mereka pertama kali, apapun beban
pikiran dan beban hati yang dirasakannya Puti Andini selalu terkenang pada
pemuda ini. Sebaliknya walau ada rasa suka dalam diri Panji terhadap Puti
Andini tapi sesungguhnya hati pemuda ini sudah tertawan pada Anggini, murid
Dewa Tuak.
“Aku melihat noda darah di
wajah dan pakaianmu. Aku juga memperhatikan setiap kau menarik nafas kau
seperti menahan sakit….”
“Ada satu peristiwa besar…”
jawab Panji. Lalu diceritakannya bentrokan hebat yang terjadi antara Ratu
Dayung, Utusan Dari Akhirat, Pendekar 212 Wiro Sableng serta Dewa Sedih.
“Saat itu aku berada di sana.
Ikut kebagian rejeki dihantam hawa ganas letusan pukulan-pukulan sakti yang
saling berbenturan satu sama lain.”
“Celaka dunia persilatan kalau
Dewa Sedih telah jadi kaki tangan Datuk Lembah Akhirat,” kata Puti Andini pula.
Lalu dia bertanya.
“Kau tahu dimana beradanya
Pendekar 212 Wiro Sableng sekarang?”
“Tak dapat kupastikan. Aku
meninggalkannya ketika tempat itu masih dilanda pertempuran dan muncul seorang
kakek gendut yang suara ketawanya seolah mau meruntuhkan langit. Entah mengapa
saat itu aku teringat padamu. Lalu aku pergi begitu saja. Mungkin tidak sepantasnya
aku berbuat begitu namun aku lebih mementingkan niat menolongmu mencari batu
mustika yang menurutmu ada di dasar telaga ini dan sangat penting bagimu.”
Hampir tertawa si gadis
mendengar ucapan Panji itu. Dia ingat dulu waktu bertemu pertama kali dengan
Panji dia menceritakan bahwa dia bermaksud pergi ke Telaga Gajahmungkur untuk
mencari sebuah batu mustika. Panji ingin sekali menolong karena dia mempunyai
kepandaian berenang dan menyelam. Namun saat itu Puti Andini menolak untuk
pergi bersama-sama. Ternyata sekarang dia bertemu lagi dengan pemuda ini.
“Apa kau telah menemukan batu
yang kau cari itu?” tanya Panji.
Puti Andini menggeleng.
“Aku akan menolongmu. Besok
pagi-pagi begitu matahari terbit aku akan menyelam ke dasar telaga mencari batu
itu….”
“Terima kasih. Aku tidak mau
merepotkanmu. Aku bisa mencarinya sendiri,” kata Puti Andini pula.
“Agaknya ada sesuatu yang
membuatmu keberatan menerima pertolonganku?” tanya Panji dengan nada agak
kecewa.
“Hemm…. Kalau kau memaksa
baiklah. Kita tunggu saja sampai pagi….”
“Ada satu hal yang ingin aku
tanyakan padamu Puti. Mengenai diri orang bernama Wiro Sableng. Apakah dia
seorang pemuda sepertiku atau seorang kakek-kakek. Lalu apakah Wiro Sableng itu
orangnya sama dengan Pendekar 212?”
“Pertanyaanmu aneh. Wiro
Sableng seorang pemuda sebayamu. Pendekar 212 adalah julukannya dalam rimba
persilatan. Memangnya ada apa?”
“Aneh…” ujar Panji.
“Kalau begitu siapa sebenarnya
kakek yang datang ke pulau tempo hari…?”
“Kakek yang mana maksudmu?”
tanya si gadis. Panji lalu menerangkan tentang ciri-ciri orang tua itu. Tak
lupa dia menerangkan tentang jenazah anak kecil yang dimakamkan di pulau yaitu
Malin Sati murid tunggal Tua Gila yang mati dibunuh Datuk Angek Garang.
“Kalau orang tua itu yang kau
maksudkan, aku hampir pasti dia adalah Tua Gila. Kakekku sendiri!”
“Kakek bagaimana maksudmu?”
“Aku adalah cucu Tua Gila!”
Terkejutlah si pemuda mendengar kata-kata Puti Andini.
“Kalau dia memang kakekmu dan
kau adalah cucunya, terima hormatku untukmu…” kata Panji seraya membungkuk yang
membuat Puti Andini tertawa.
“Kau tahu dimana aku bisa
menemui kakekmu itu?” tanya Panji.
“Dia sulit dicari. Tapi jika
kau mau bersabar menunggu sampai beberapa hari dimuka, sesuai janjinya denganku
dia akan muncul di tempat ini.”
“Kalau begitu sampai kapan pun
aku akan menunggu di tempat ini,” kata Panji pula. Baru saja Panji berkata
begitu tiba-tiba berkelebat satu bayangan disertai menghamburnya bau wangi
sekali. Panji yang hendak duduk di tepi telaga cepat bangkit berdiri seraya
mencabut pedang sedang Puti Andini siapkan pukulan jarak jauh mengandung tenaga
dalam tinggi.
“Tahan! Aku datang sebagai
sahabat!” Orang yang tegak di seberang sana berseru. Ternyata suaranya
menandakan dia adalah seorang perempuan.
Puti Andini yang rasa-rasa
pernah mengenali orang itu bergerak maju.
“Bukankah kau gadis yang
disebut dengan julukan Bidadari Angin Timur? Ingat, kita pernah bertemu di
Pengandaran?”
Gadis di hadapan Puti Andini
mengangguk. Gadis ini mengenakan pakaian hijau tipis, berparas cantik sekali.
Tubuh dan pakaiannya menebar bau harum semerbak. Dia ternyata memang adalah
Bidadari Angin Timur.
“Aku gembira kau mengenaliku.
Bukankah kau gadis dari seberang bernama Puti Andini yang dijuluki Dewi Payung
Tujuh yang hebat itu?”
“Ah….” Puti Andini salah
tingkah karena tidak begitu senang dipuji begitu rupa.
“Tunggu!” tiba-tiba Panji maju
dua langkah ke hadapan Bidadari Angin Timur.
“Aku mengenali harum
wewangianmu. Bukankah kau tadi orang yang mengintip di balik semak-semak
sebelah sana?” Bidadari Angin Timur tertawa. Dua lesung pipit muncul di pipinya
kiri kanan.
“Aku mengintip bukan apa-apa.
Aku harus berhati-hati sebelum tahu apakah kalian ini kawan atau lawan. Rimba
persilatan kini dilanda berbagai keanehan yang mendatangkan maut; Orang-orang
Lembah Akhirat bertebaran di mana-mana. Apalagi tempat ini tidak jauh dari
markas mereka. Aku ingin menanyakan seseorang pada kalian. Tadi aku sudah
mendengar sesuatu dari pemuda ini. Tapi kurang jelas….”
“Hemm, siapa yang ingin kau
tanyakan?”
“Pemuda bernama Wiro Sableng.
Menurutmu terjadi bentrokan besar di satu tempat. Di mana kejadiannya
berlangsung?”
“Di utara Teluk Parangtritis.
Di satu kelokan jalan kira-kira sepenanakan nasi jauhnya dari sini…” jawab
Panji mengira-ngira.
“Apa yang terjadi di sana?”
“Tiga orang berkepandaian
tinggi terlibat dalam satu pertempuran. Mereka adalah Dewa Sedih, Utusan Dari
Akhirat serta Ratu Dayung. Wiro sendiri tidak ikut bertempur. Tapi seperti
diriku, dia juga mengalami cidera sewaktu tiga pukulan sakti beradu di udara
lalu bertabur menghantam sekelilingnya….”
“Kau tidak tahu pasti apa yang
terjadi dengan pemuda itu?” tanya Bidadari Angin Timur. Sejak tadi wajahnya
tampak berubah pucat.
“Tidak dapat kupastikan. Aku
buru-buru pergi. Aku tak bisa berbuat apa-apa menghadapi orang-orang
berkepandaian tinggi itu. Aku terpaksa menyelamatkan diri dan menghindarkan
keterlibatan lebih jauh. Selain itu aku harus mencari gadis sahabatku ini.”
“Hemmm….” Bidadari Angin Timur
melirik ke arah Puti Andini.
“Terima kasih atas
keteranganmu. Aku harus segera pergi….” Gadis cantik itu lalu berkelebat lenyap
dalam kegelapan.
“Agaknya ada satu hubungan
akrab antara gadis tadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng…” kata Panji.
“Dia tampak sangat mencemaskan
pemuda itu.”
“Dugaanmu bisa jadi betul.
Tapi mungkin saja dia sengaja mencuri dengar percakapan kita tadi….”
“Untuk apa?” tanya Panji.
Puti Andini tak segera
menjawab. Diam-diam dia merasa khawatir kalau Bidadari Angin Timur yang
berkepandaian tinggi itu telah mengetahui adanya senjata sakti Pedang Naga Suci
di tempat itu lalu berusaha menyirap kabar mencari keterangan lebih jelas.
“Aku justru melihat sesuatu
yang lain.” jawab Panji.
“Gadis itu sepertinya punya
satu ganjalan yang merisaukan hatinya….”
“Ah, kau bisa-bisanya
ngomong!” tukas Puti Andini.
“Kalau aku melihat dan menduga
gadis tadi diam-diam mencintai Pendekar 212…. Bagaimana dengan kau. Apakah kau
pernah mencintai seorang gadis?” Panji terkesiap mendengar pertanyaan yang
tidak terduga ini.
“Kau sendiri bagaimana?”
Akhirnya Panji balik bertanya.
“Apa kau pernah jatuh cinta
atau sudah pernah bercinta?” Kini Puti Andini yang menjadi bungkam dengan muka
merah.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
SEMBILAN
Sang Surya belum lama terbit.
Di dalam telaga Gajahmungkur dua orang tampak berenang menuju dasar telaga.
Keduanya adalah Puti Andini dan Panji. Si pemuda merasa kagum dan
terheran-heran ketika melihat bagaimana gadis yang menyamar sebagai pemuda
berkumis kecil itu memiliki kemampuan berenang dan menyelam luar biasa. Seperti
diketahui selama hidup di Pulau Sipatoka berenang dan menyelam jauh ke dalam
laut adalah pekerjaan yang sering dilakukannya. Sehingga dia memiliki kemampuan
menyelam selain dalam juga sanggup bertahan lama. Namun sekali ini dia merasa
heran ketika baru menyelam pada kedalaman lima puluh tombak ke dua telinganya
mengiang sakit. Hidungnya menjadi pedas, matanya perih dan dadanya terasa
mendenyut sakit. Di bawah sana Puti Andini dilihatnya menukik terus menuju
dasar telaga yang masih seratus lima puluh tombak jauhnya!
“Ada yang tidak beres di
telaga ini. Masakan baru menyelam sejauh ini aku merasa letih dan sekujur
tubuhku mendenyut sakit…” pikir Panji. Pemuda ini menjadi malu sendiri.
Sebelumnya berulang kali dia mengatakan akan menolong Puti Andini mencari batu
di dasar telaga. Tapi ternyata baru menyelam seperempat bagian saja dari
kedalaman telaga dia mulai megap-megap.
Panji mencoba bertahan dan
berusaha mengejar Puti Andini. Dia memaksakan terus menyelam menuju dasar
telaga. Tapi sia-sia belaka. Bukan saja dia tidak mampu mengejar gadis itu
malah denyutan di dada dan kepalanya semakin keras. Degup jantungnya seolah mau
pecah. Darah mengucur dari hidung dan pinggiran matanya. Panji menyerah. Pada
kedalaman tujuh puluh tombak dia berjungkir balik dalam air laju berenang naik
ke atas kembali. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan tulang-tulangnya seolah
bertanggalan. Panji berenang menuju tepian telaga. Hanya sesaat lagi dia akan
sampai di daratan tiba-tiba ada sebuah benda menyusup di balik punggung
pakaiannya. Lalu tubuhnya terasa disentakkan. Di lain kejap pemuda ini dapatkan
dirinya terlontar ke udara setinggi empat tombak lalu jatuh bergedebukan di
pinggir telaga.
Untuk beberapa lamanya pemuda
itu terkapar tertelungkup di tanah. Darah makin banyak mengucur dari hidungnya.
“Apa yang terjadi dengan
diriku…?” Panji masih bisa berpikir lalu palingkan kepalanya ke kanan ketika
didengarnya ada suara orang melangkah mendekatinya. Kalau saja saat itu malam
hari niscaya Panji mengira bahwa yang mendatanginya adalah setan pelayangan
atau hantu rimba belantara. Seorang nenek berjubah hitam melangkah
terbungkuk-bungkuk ke arahnya. Mukanya yang keriputan kotor bukan saja
berselimut debu tapi juga ada noda-noda darah yang telah mengering. Rambutnya
putih panjang riap-riapan menutupi sebagian wajahnya yang bulat. Sepuluh
jarinya yang tersembul dari balik lengan jubah tampak berkuku panjang dan
hitam. Namun tangan kanannya berwarna merah pekat Sampai sebatas pergelangan.
Tepat di samping Panji nenek ini
hentikan langkahnya. Kaki kirinya diletakkan di atas kepala Panji lalu ditekan
hingga pemuda ini mengerang kesakitan.
“Pemuda banci beranting emas,
apakah kita pernah bertemu…. Apakah kau kenal siapa diriku?” Kembali si nenek
tekankan kakinya ke kepala si pemuda hingga erangan Panji semakin keras.
“A… aku tidak kenal siapa
dirimu Nek. Rasa-rasanya…. Aduh! Aku mohon kau turunkan kakimu dari kepalaku….”
“Kalau bicara jangan diputus!
Ayo katakan rasa-rasanya apa?!” Bentak si nenek. Kakinya tetap saja menekan
kepala orang.
“Aku tidak kenal dirimu.
Rasa-rasanya aku juga tidak pernah bertemu dirimu Nek. Aku mohon…”
“Hemmm…. Benar begitu?”
“Benar Nek,” jawab Panji
menahan sakit. Tangan ..kanannya bergerak ke pinggang. Maksudnya hendak
menjangkau pedangnya. Tapi gerakannya terlihat oleh si nenek.
“Teruskan gerakanmu mengambil
pedang. Kakiku sudah siap menghancurkan batok kepalamu!” Mau tak mau Panji
terpaksa batalkan niatnya.
“Jangan kau berani macam-macam
anak muda! Siapa kau punya nama dan mengapa berada di tempat ini. Aku tahu kau
barusan keluar dari dalam telaga! Apa yang kau kerjakan dalam telaga itu nah?!”
Panji berlaku cerdik. Sejak pertama kali melihat dia sudah mengira nenek satu
ini bukan manusia berhati baik, Maka dia tidak mau menceritakan apa yang
sebenarnya dilakukan.
“Aku hanya mandi-mandi Nek.
Menyegarkan diri sambil menyelam beberapa kali….”
“Jangan dusta! Aku tahu kau
mencari sesuatu di dasar telaga!” bentak si nenek.
“Tidak, aku tidak mencari
apa-apa. Telaga ini dalam luar biasa. Mana mungkin aku sanggup menyelam sampai
ke dasar.”
“Hemm….” Si nenek memandang
berkeliling.
“Kau sendirian di tempat ini?”
“Benar Nek, aku cuma
sendirian….” Untung saja buntalan milik Puti Andini terletak di balik semak
belukar sehingga si nenek tidak melihat.
“Kau orang aneh. Mengenakan
anting tapi cuma satu. Kau ini banci atau setengah gila….”
“Anggap saja begitu. Terserah
apa maumu Nek. Tapi tolong turunkan kakimu…. Kepalaku rasanya mau pecah!” Si
nenek tertawa mengekeh.
“Dengar, namaku Sika Sure
Jelantik. Aku datang dari Lembah Akhirat!’ Kau dengar? Lembah Akhirat!”
“Aku dengar Nek…” jawab Panji.
“Bagus! Jadi jangan berani
macam-macam. Sekarang jawab pertanyaanku! Sudah berapa lama kau berada di
telaga ini?!”
“Ba… baru pagi ini Nek. Aku
dalam perjalanan menuju Gunung Lawu. Kemalaman di jalan lalu pagi ini mandi di
telaga. Aku….”
“Jangan nyerocos terus!”
bentak Sika Sure Jelantik yang kini ternyata telah menjadi kaki tangan Datuk
Lembah Akhirat.
“Selama berada di tempat ini
apa kau pernah melihat seorang gadis berpakaian merah, berkulit putih dan
berparas cantik?”
“Siapa nama gadis Itu Nek?”
tanya Panji.
“Ah itulah sialannya! Aku
tidak tahu nama anak itu!”
“Dia menanyakan Puti Andini,”
kata Panji dalam hati.
“Tidak Nek, Aku tidak melihat
siapapun di tempat ini. Apa hubunganmu dengan gadis itu Nek?”
“Apa perdulimu? Dia bukan
anakku, bukan cucuku. Tak ada sangkut darah. Tapi aku suka padanya!”
“Jangan-jangan kau punya cucu
seorang pemuda yang ingin kau jodohkan dengan gadis cantik itu? Betul Nek?”
Mula-mula Sika Sure Jelantik hendak mendamprat marah mendengar kata-kata Panji
itu. Tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
“Bagaimana aku bisa punya
cucu. Punya laki saja tidak pernah! Hik… hik… hik!”
“Ah melihat raut wajahmu, aku
yakin di masa muda kau adalah seorang gadis cantik. Aku tidak percaya kalau
tidak ada laki-laki yang jatuh hati padamu,” kata Panji pula.
Tampang si nenek bersemu
merah. Entah jengah entah senang dipuji. Lalu terdengar tawanya cekikikan.
“Anak muda, aku yang sudah tua
saja berani kau rayu dengan pujian. Apalagi terhadap gadis. Lagak dan sikapmu
tentu sejuta puji sejuta rayuan! Dasar laki-laki! Apa kau kira aku akan
melepaskan injakanku di kepalamu!” Si nenek lantas keraskan injakan kaki di
muka Panji hingga kembali pemuda ini mengerang kesakitan. Sepasang mata Sika
Sure Jelantik menatap ke arah pertengahan telaga seolah hendak menembus sampai
di bawah permukaan air.
“Sayang aku ada tugas dan
kepentingan lain. Kalau tidak rasanya aku perlu menyelidik sampai ke dasar
telaga ini. Gadis yang kutemui tempo hari itu apakah dia telah mendapatkan batu
hitam untuk mengobati ibunya? Jika bertemu akan kuajak dia menjadi anggota
Lembah Akhirat.” Si nenek termenung sesaat. Dia memandang pada pemuda yang
mukanya masih diinjaknya lalu bertanya.
“Anak mudai Kau belum memberi
tahu namamu!”
“Namaku Panji Nek….”
“Panji. Panji apa? Panji
Semirang, Panji Kemong atau Panji Banci…!” Si nenek cekikikan. Tanpa menunggu
jawaban Panji dia lalu tinggalkan tempat itu.
Kita tinggalkan dulu Panji
yang mencoba bangkit dan duduk menjelepok di tanah sambil pegang! mukanya yang
sakit bekas diinjak. Mari kita ikuti Puti Andini yang menyelam ke dasar telaga
Gajahmungkur. Dia meluncur ke bawah tepat di tempat kemarin dia kehilangan
jejak Naga Kuning. Rencananya semula hendak menyelidik bagian dasar telaga yang
lain dibatalkan karena lenyapnya si bocah menjadi satu tanda tanya besar
baginya.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
SEPULUH
Untuk beberapa lamanya Puti
Andini berenang mondar-mandir di sepanjang dinding batu berlumut di dasar
Telaga Gajahmungkur.
“Anak itu lenyap ‘di sini.
Hanya ada dua kemungkinan. Dia dilahap ikan atau binatang buas. Atau.
menyelinap masuk ke satu tempat. Berarti ada lobang atau jalan rahasia di
sekitar sini….” Kembali Puti Andini memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Serombongan ikan sebesar telapak tangan berenang di sekitar dinding batu. Lalu
menyelinap di balik tumbuhan air. Ditunggu-tunggu binatang Ini tidak kunjung
.muncul. Puti Andini berenang mendekati tumbuhan lebat itu. Air telaga di
tempat itu dingin luar biasa. Dengan tangan gemetar Puti Andini menyibakkan
tanaman tersebut. Dia berdebar ketika melihat di balik tanaman yang tersibak
ada sebuah celah sepemasukan tubuh manusia.
“Mungkin anak itu lolos lewat
celah batu ini,” pikir Puti Andini.
“Aneh, bagaimana pun tingginya
dinding batu ini mengapa aku tidak melihat ujungnya di sebelah atas?”’ Cucu Tua
Gila ini berenang mendekati celah lalu mengintai lewat celah itu ke bagian
dinding di sebelah belakang. Matanya terpentang lebar ketika melihat ada cahaya
putih di kejauhan.
“Aneh, cahaya apa itu?” Si
gadis bertanya-tanya dalam hati. Dia mengintai sekali lagi lewat celah lalu
berenang lebih ke atas. Kepalanya disorongkan. Maksudnya hendak lolos lewat
celah itu tapi terhalang pada bagian bahu. Puti Andini membalikkan dan memutar
tubuhnya berulang kali hingga akhirnya bahunya bisa lolos. Namun untuk kedua
kalinya tubuhnya tertahan pada bagian pinggulnya yang besar. Ketika dipaksakan,
pinggul celananya robek sampai ke paha. Dalam keadaan seperti itu Si gadis
tidak lagi memperhatikan keadaan pakaiannya. Begitu lolos lewat celah Puti
Andini tidak segera berenang menuju arah cahaya putih. Baginya sesuatu keanehan
di dalam air bisa saja mengandung bahaya yang dapat mencelakakan. Gadis ini terlebih
dulu memandang berkeliling. Hanya beberapa tombak di bawahnya dia melihat dasar
telaga berbentuk aneh. Dasar telaga mencekung sedalam satu depa, membentuk
lingkaran seperti piring besar. Di pertengahan cekungan ada sebuah kursi
terbuat dari batu.
“Ada kursi, berarti ada yang
pernah duduk di situ. Siapa…?” membatin Puti Andini. Diperhatikannya lagi kursi
itu tanpa berani mendekati. Baru kemudian disadarinya bahwa kursi batu itu
berukuran kecil. Orang dewasa bertubuh besar tak mungkin muat duduk di situ.
“Mungkin itu kursi anak yang
tadi aku lihat di tepi telaga?” pikir si gadis. Kini dia memandang ke depan ke
arah cahaya putih. Perlahan-lahan Puti Andini berenang mendekati cahaya itu.
Setelah berenang sejauh lima
belas tombak gadis ini tercengang heran ketika melihat cahaya putih itu
ternyata adalah sebuah goa batu besar yang memancarkan warna putih menyilaukan.
Bagian yang seharusnya merupakan pintu atau mulut goa tertutup oleh dinding
batu berwarna merah. Di sini ada sebaris tulisan. Dari arah dinding ini
memancar hawa aneh disertai pantulan cahaya merah yang sangat dingin seolah
menggiris tulang. Puti Andini menggigil menahan dingin. Lalu ada gelombang
angin menerpa ke arahnya. Membuat Puti Andini terjungkir balik di dalam air dan
kain pengikat kepalanya tanggal hingga rambutnya terlepas riap-riapan.
Puti Andini berusaha
menabahkan diri walau sekujur tubuhnya saat itu terasa dingin dan bergetar.
Tiba-tiba hidungnya mencium bau kemenyan santar sekali. Tengkuk si gadis jadi
merinding. Dengan menguatkan hati dan beranikan diri dia berenang mendekati goa
batu putih agar bisa membaca apa yang tertera di dinding batu tersebut.
“Liang Akhirat.” Mulut Puti
Andini bergetar ketika membaca tulisan yang tertera di dinding merah. Lalu
sepasang matanya membentur pandangan aneh lainnya. -Yakni dua buah tiang yang
terletak di kiri kanan goa putih. Di atas kedua tiang itu ada dua buah
pendupaan berisi bara menyala yang mengepulkan asap putih menebar bau kemenyan.
“Aneh, benar-benar aneh.
Bagaimana di dalam air ada dua pendupaan dengan bara menyala. Lalu ada kepulan
asap dan menebar bau kemenyan. Sampai matipun aku tak bisa percaya kalau tidak
melihat sendiri. Tempat apa ini? Liang Akhirat? Ada akhirat di dasar telaga?
Apa ada sangkut pautnya dengan Lembah Akhirat? Jangan-jangan aku telah kesasar
ke Lembah Akhirat!”
Puti Andini memandang
berkeliling. Dia kembali bertanya-tanya.
“Dimana tersembunyinya Pedang
Naga Suci 212? Dimana beradanya anak berpakaian hitam kemarin?”
Tiba-tiba Puti Andini
mendengar suara berdesis disertai detakan-detakan keras yang menggetarkan dasar
telaga serta membuat air di sekelilingnya bergelombang. Dia tidak dapat
memastikan suara apa adanya namun diketahui suara-suara itu datang dari dalam
goa putih, dari balik pintu atau dinding batu merah yang menjadi penutup goa.
“Satu-satunya jawaban
pertanyaan yang ada dalam diriku terdapat di balik batu merah itu. Bagaimana
aku bisa menerobos masuk ke dalam goa?” Sambil berpikir Puti Andini berenang
mendekati goa putih. Sesekali dia berpaling ke belakang, memandang ke arah
kursi batu di legukan dasar telaga berbentuk lingkaran. Sementara itu di dalam
goa sesaat setelah Puti Andini menerobos lewat celah batu terjadi percakapan
antara Naga Kuning dengan suara tanpa sosok.
“Naga Kuning, sebentar lagi
dari tempat ini kau akan melihat kemunculan orang yang kukatakan kemarin. Buka
matamu lebar-lebar….”
Dari tempatnya duduk bersila
Naga Kuning memandang tak berkesip ke arah pintu goa yang terbuat dari dinding
batu berwarna merah. Secara aneh, dari tempat ini si bocah sanggup melihat ke
dalam telaga menembus dinding goa batu. Kepalanya bergerak sedikit ketika apa
yang dikatakan orang tadi menjadi kenyataan.
“Apa yang kau lihat Naga
Kuning?”
“Ada seorang berpakaian merah
menerobos masuk melewati celah di dinding batu,” jawab Naga Kuning.
“Lelaki atau perempuan….”
“Perempuan Kiai. Tapi….”
“Matamu sudah lamur hingga
tidak bisa membedakan lelaki dengan perempuan?!” Suara tanpa rupa menegur.
“Melihat kepada rambut dan
potongan tubuhnya orang itu jelas perempuan. Tapi mengapa dia berkumis…?”
“Lagi-lagi kau berlaku tolol
Naga Kuning. Apa kau lupa pada ujar-ujar yang mengatakan: Orang cerdik tidak
akan tertipu oleh pandangan matanya. Karena sesungguhnya kenyataan ada dibalik
semua keanehan.”
Naga Kuning terdiam mendengar
kata-kata itu. Matanya kembali memandang tak berkesip ke depan.
“Maafkan saya yang kurang
teliti Kiai. Orang yang datang itu ternyata adalah seorang gadis yang menyamar
Sebagai seorang pemuda.”
“Apa kau mengenal atau pernah
melihatnya sebelumnya?”
“Saya kira tidak Kiai. Menurut
penglihatan Kiai apakah dia orang yang kita tunggu?”
“Dia memang orang yang kita
tunggu walau datangnya lebih cepat dari dugaan semula. Ini tak lain gara-gara
kelakuanmu meninggalkan tempat pengawasan di Liang Lahat ini dan pergi
keluyuran ke dunia luar sana….”
“Maafkan atas semua tindakan
saya itu Kiai,” kata Naga Kuning pula.
“Kalau dia memang yang kita
tunggu apakah dia juga berjodoh dengan senjata sakti mandraguna itu?”
“Berjodoh atau tidak
adakalanya bukanlah satu takdir yang datang dari atas. Terkadang manusia
membuat-buat menjadi begitu. Padahal Yang Kuasa tidak bisa ditipu. Apa yang
dicari gadis itu tidak akan pernah didapatkannya kalau usahanya tidak mampu
membuka kunci Liang Akhirat dan masuk ke Liang Lahat ini.”
“Hati kecil saya ingin
menolongnya Kiai. Tapi terserah Kiai….” Terdengar suara tawa membahana orang
yang dipanggilkan Kiai itu.
“Aku menduga jalan pikiranmu
telah dirasuk oleh apa yang kau lihat. Kau tertarik pada gadis cantik itu lalu
berniat ingin menolongnya. Bukan begitu Naga Kuning?”
“Kecantikan adalah bunga hidup
ciptaan Gusti Allah, Kiai. Tinggal terserah kita anak manusia bagaimana melihat
dan menilainya. Saya tahu siapa diri saya. Sama sekali tidak terkandung niat
menolong karena tergoda pandangan alias nafsu. Saya hanya mengkhawatirkan
malapetaka besar akan tambah memporak-porandakan dunia persilatan. Rasanya
sudah cukup jumlah para tokoh golongan putih menemui ajal karena sandiwara
busuk yang dimainkan oleh manusia-manusia keji dan kaki tangannya….”
“Lalu apa yang hendak kau
lakukan Naga Kuning? Hendak memberi tahu kunci rahasia jalan masuk ke tempat
ini?”
“Tanpa izin Kiai saya tidak
berani melakukan hal itu Kiai.”
“Aku tidak akan memberimu
izin. Biarkan gadis itu mencari jalan sendiri. Aku tahu seseorang telah
menolongnya hingga dia mampu bertahan lama di dalam air. Itu sudah menjadi
rezeki besar baginya. Tetapi jika hidup seseorang selalu berdasarkan
pertolongan serta budi baik orang lain, apa jadinya dunia persilatan? Kuharap kau
bisa memahami Naga Kuning.”
“Saya mengerti dan memahami
Kiai…” jawab Naga Kuning.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
SEBELAS
Puti Andini berlaku cerdik.
Dia berenang mendekati pintu goa putih dari arah samping. Dengan demikian dia
terhindar dari hawa aneh yang memancarkan sinar merah serta gelombang angin
yang datang menyambar dari pintu batu. Semakin dekat ke pintu goa semakin keras
terasa suara detakan-detakan dari balik pintu batu. Sesekali terdengar pula
suara mendesis menggidikkan. Sekali melihat saja gadis ini bisa menduga bahwa
batu merah yang menutupi mulut goa beratnya ratusan bahkan mungkin ribuan kati.
Bagaimana pun hebatnya kekuatan dan kesaktian seseorang tidak mungkin akan
mampu mendorong pintu batu itu.
“Pasti ada peralatan rahasia
untuk membuka pintu goa ini,” pikir Puti Andini. Dia memandang berkeliling,
memperhatikan dengan teliti. Mulai dari dasar telaga di depan pintu, dua buah
tiang putih, dinding sekitar mulut goa, pintu batu itu sendiri bahkan sampai ke
bara menyala di dua pendupaan yang mengepulkan asap berbau kemenyan. Gadis ini
tidak menemukan apa-apa.
“Aneh,” katanya dalam hati.
Dia mendekati tiang putih terdekat.
“Ada bara menyala, ada asap
mengepul. Tapi apakah bara menyala ini api benaran….”
Puti Andini ulurkan tangannya
dekat-dekat di atas bara menyala dalam pendupaan. Dia terpekik. Waktu mulutnya
terbuka air telaga langsung masuk membuat hidungnya terasa pedas dan
tenggorokannya panas. Dia segera menekap mulutnya dengan tangan kiri dan
pandangi jari-jari tangannya yang kelihatan memerah. Ternyata bara menyala
dalam pendupaan itu api benaran dan panasnya bukan main.
“Bagaimana mungkin bara bisa
menyalakan api di dalam air.” Membatin sang dara.
Setelah memeriksa berulang
kali dan tetap saja dia tidak menemukan sesuatu petunjuk jalan masuk ke dalam
goa, cucu Sabai Nan Rancak ini memutuskan untuk menghantam pintu batu dengan
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam. Maka dia berenang menjauhi pintu
dan tetap menghindar dari jalur hawa serta gelombang aneh. Dari jarak tiga
tombak, setelah mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan Puti Andini
menghantam. Air telaga bersibak membentuk jalur seperti terowongan begitu
pukulan yang dilepaskan Puti Andini melesat ke depan. Pada saat pukulan sakti
itu mendarat di permukaan dinding batu merah yang bertuliskan Liang Akhirat,
air laut bergulung dahsyat, muncrat laksana pijaran bunga api raksasa. Dinding
batu jangankan hancur, bergeming sedikit pun tidak! Dari balik dinding itu
terdengar dua desisan panjang disusul suara detak-detak yang menyentak sampai
ke dasar telaga.
“Wussss!”
Pukulan yang dilepaskan Puti
Andini membalik dalam bentuk satu gelombang besar, membuntal bergulung. Menyapu
ke arah si gadis. Di luar sadar Puti Andini membuka mulut berteriak keras. Tapi
tidak ada suara yang keluar. Malah air telaga menggemuruh masuk ke dalam
mulutnya! Selagi dia megap-megap gelombang besar tadi melanda tubuhnya. Puti
Andini terlempar sampai dua belas tombak. Tubuhnya laksana hancur.
Tulang-tulangnya seolah tanggal. Dalam keadaan seperti lumpuh sesaat tubuhnya
terapung dalam air. Lalu perlahan-lahan melayang turun ke dasar laut. Jatuhnya
di dalam lingkaran cekung berbentuk piring, sekitar dua langkah dari kursi
kecil yang terbuat dari batu.
“Apa yang terjadi dengan
diriku…? Sudah mati atau setengah mati…?” Puti Andini berusaha bangkit.
Tubuhnya seolah tidak mempunyai bobot dan terapung tak menentu. Sementara itu
di sekitarnya air telaga tampak membentuk gelombang riak besar berlapis-lapis.
“Jangan-jangan Tua Gila
menipuku. Dia hanya menceritakan bahwa ada pedang sakti terpendam di dasar
telaga ini. Tapi dia sama sekali tidak mengatakan Segala bahaya yang ada di
tempat ini.”
Puti Andini memandang ke arah
kursi kecil terbuat dari batu dua langkah di sampingnya. Gelombang air membuat
tubuhnya ikut bergerak tak menentu. Agar dirinya tidak terseret kian kemari
Puti Andini ulurkan tangan berpegangan pada salah satu kaki kursi batu. Gadis
ini tersentak kaget ketika merasakan kursi batu itu ternyata mengeluarkan hawa
hangat. Hawa aneh ini menjalar di sekujur tangannya lalu masuk ke dalam
tubuhnya. Sesaat kemudian rasa sakit di seluruh badannya serta merta lenyap.
“Kursi ajaib…” kata Puti
Andini dalam hati. Kini dia pergunakan dua tangan sekaligus memegangi kursi
batu itu. Semakin keras dia memegang semakin banyak hawa aneh masuk dan
bertambah kuat terasa tubuhnya. Di balik dinding batu penutup goa Naga Kecil
menatap ke luar goa tanpa berkesip, membuka mulut.
“Kiai, agaknya kita akan
segera kebobolan. Kalau gadis itu sampai….” Orang yang diajak bicara memotong
ucapan si anak.
“Kau tak perlu meneruskan
ucapanmu Naga Kuning. Lihat! Gadis itu telah duduk di atas kursi batu. Walau
hanya sebagian tubuhnya duduk di atas kursi kecil itu, tapi dia telah menemukan
kunci rahasia untuk masuk ke sini!”
“Yang saya heran Kiai,” kata
Naga Kuning pula.
“Kesaktian apa yang dimiliki
gadis itu hingga dia mampu berada dalam air begitu lama….”
“Kita akan segera mengetahui.
Kita harus dapat membongkar rahasia siapa dirinya dan siapa yang berada di
belakangnya. Bukan mustahil dia disuruh dan diberi petunjuk oleh muridku si
Sinto Weni alias Sinto Gendeng itu….” Di dasar telaga tiba-tiba Puti Andini
merasakan kursi batu yang didudukinya bergetar keras. Dia cepat pegangi lengan
kursi agar tidak terpelanting. Lalu ada suara berdesing yang hebat sekali. Di
lain saat kursi batu itu berputar kencang. Di atasnya si gadis ikut berputar
laksana gasing. Lalu ada satu tekanan keras menghantam tubuh Puti Andini yang
membuat gadis ini melesat ke atas laksana dilontarkan oleh satu kekuatan
dahsyat. Cucu Sabai Nan Rancak itu seolah kaku tegang tak bisa berbuat suatu
apa. Hendak menjerit pun tidak bisa. Tubuhnya melesat kepala lebih dulu ke arah
dinding batu merah yang menutupi mulut goa putih. Matanya membeliak. Sebentar
lagi kepalanya pasti akan hancur luluh bertabrakan dengan dinding batu itu!
Namun sesaat lagi kepala Puti
Andini akan menghantam dinding batu bertuliskan Liang Akhirat itu tiba-tiba
dinding itu bergerak ke samping. Satu celah sempit terbuka. Justru lewat celah
inilah kepala dan sosok tubuh Puti Andini melesat lewat dan di lain saat
“Blukkk!”
Puti Andini jatuh tertelentang
di atas lantai keras yang terbuat dari batu pualam berwarna kelabu. Keadaan di
sekitarnya begitu redup. Nyaris gelap hingga dia tidak bisa melihat dengan
jelas. Hidungnya mencium bau harum yang aneh.
Si gadis kedap-kedipkan
sepasang matanya beberapa kali. Lalu memandang berkeliling. Begitu
penglihatannya mulai jelas dan dia dapat melihat keadaan di sekitarnya,
pucatlah paras gadis ini dilanda kengerian. Ternyata saat itu dia tertelentang
hanya tiga langkah di hadapan sebuah kuburan besar terbuat dari batu putih
berkilat. Ada satu batu nisan besar di kepala makam. Namun nisan ini polos tak
ada tulisan apa-apa!
“Di mana aku berada. Tak ada
air di sini. Makam siapa ini…?” tanya Puti Andini dalam hati dengan dada
berdebar. Perlahan-perlahan dan juga dengan sikap hati-hati gadis ini mencoba
bangkit. Baru saja dia mampu duduk, kembali Puti Andini tersentak kaget.
Ternyata hanya dua langkah di samping kirinya terdapat sebuah lobang besar. Di
salah satu sisi lobang menjulang sebuah dinding batu hitam berbentuk setengah
Ijngkaran. Pada dinding ini ada tulisan besar berbunyi
“Liang Lahat”. Lalu di bawah
tulisan Liang Lahat ini ada serangkaian tulisan. Belum sempat Puti Andini
membaca apa yang tertulis di situ, di atas sana, pada puncak dinding batu hitam
dia melihat anak kecil berpakaian hitam duduk di atas sebuah kursi kecil dari
batu yang sama bentuknya dengan kursi di cegukan dasar telaga. Anak ini memandang
ke arahnya. Mulutnya ditekuk seolah mengejek.
“Aku mencarinya, ternyata anak
itu ada di tempat ini…. Apa dia tinggal di sini? Siapa sebenarnya anak itu?
Untuk beberapa lamanya Puti
Andini pandangi anak di puncak batu. Karena si anak tidak bergerak atau
melakukan sesuatu maka Puti Andini kembali arahkan pandangannya ke dinding batu
berbentuk setengah lingkaran. Dia membaca tulisan yang ada di dinding batu itu
yang ternyata berupa ujar-ujar.
LIANG LAHAT
Sesungguhnya insan hidup
terbuat dari tanah
Hidupnya terbatas dari tanah
ke tanah
Namun mengapa manusia menjadi
lupa
Bersikap sombong membusung
dada
Bersikap angkuh besar kepala
Insan hidup tak ada arti di
hadapan Sang Penguasa
Tapi mengapa insan berani
menantang Sang Pencipta
Berani tapi putih, lembut tapi
jantan, perkasa tapi jujur
Bukankah itu lebih baik
daripada berani tapi hitam, lembut tapi culas, perkasa tapi serakah
Liang Lahat!
Di sini tersimpan saksi bisu
dari keserakahan, saksi buta dari keculasan, saksi tuli dari ketidakjujuran
Bisakah kekuatan insan memecah
kebisuan, menyalangkan kebutaan hati, mendengar desah ketidakadilan
Bisakah tongkat si buta
mengetuk membuka pintu kebenaran
Yang Kuasa dan Sang Pencipta
adalah tempat bertanya, tempat meminta
Adakah manusia bertanya dengan
segala kebersihan hati?
Adakah ihsan meminta dengan
kejujuran jiwa?
Liang Lahat, di sini kau
berada.
Di sini pula mulai dan
berakhirnya satu rahasia.
Puti Andini merasa sesak
membaca ujar-ujar yang begitu panjang. Dia melirik ke atas. Anak kecil berpakaian
hitam berambut lurus tegak itu masih duduk di atas batu. Tak bergerak tak
melakukan apa-apa. Kecuali terus memandang ke arahnya tanpa berkesip.
“Aku harus melakukan sesuatu.
Aku harus bertanya pada anak itu…” kata Puti Andini. Lalu dia bergerak hendak
bangkit berdiri. Namun mendadak ada suara bergaung. Mula-mula perlahan, makin
lama makin besar. Lantai batu pualam di mana dia berada bergetar keras.
Memandang ke depan terbelalaklah Puti Andini.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
DUA BELAS
Bagian atas kuburan besar yang
terbuat dari batu putih bergeser ke samping kanan. Sebuah lobang berukuran
lebar lima kaki dan panjang dua belas kaki menganga di hadapan Puti Andini. Si
gadis tidak dapat melihat apa ada mayat atau benda lain di dalam lobang karena pemandangannya
tertutup oleh semacam kabut tipis berwarna putih yang menebar hawa sejuk
sekali. Semua keanehan ini semakin membuat merinding tengkuk Puti Andini.
Wajahnya yang cantik memucat sedang jantungnya berdetak keras.
“Jangan-jangan liang lahat ini
disediakan untuk diriku!” pikir Puti Andini.
“Aku harus mencari jalan
keluar jika bahaya maut benar-benar mengancamku!” Si gadis memandang
berkeliling. Pintu batu merah dari mana tadi dia melesat masuk berada dalam
keadaan tertutup rapat. Dinding hitam menjulang seolah tak ada batas
mengelilingi tempat itu. Sementara itu suara mendesis dan detakan-detakan aneh
semakin keras, menggetarkan lantai batu pualam di mana dia terduduk. Cucu Sabai
Nan Rancak ini mendongak ke atas dinding batu setengah lingkaran.
“Anak kecil berkening benjut
berbaju hitam itu! Dia satu-satunya tempat aku bertanya.” Berpikir begitu si
gadis segera berteriak memanggil.
“Hai…!”
Namun baru saja seruan itu
keluar dari mulutnya tiba-tiba dari dalam lobang besar di samping kirinya
terdengar suara mendesis sangat keras disusul oleh suara menggemuruh. Tempat
itu laksana diguncang gempa. Puti Andini terbanting kian kemari. Ketika
goncangan lenyap dari dalam lobang batu memancar dua larik sinar kuning. Sesaat
kemudian melesat keluar dua makhluk panjang yang membuat Puti Andini tersurut
menjauhkan diri dari lobang, mata membelalak, mulut terbuka lebar tapi tak
kuasa untuk keluarkan jeritan.
Dua makhluk itu adalah dua
ular luar biasa besar dan panjangnya. Berwarna kuning emas, memiliki sepasang
mata merah menyorot. Binatang yang satu jantan satu betina ini memiliki lidah
panjang terbelah yang selalu terjulur dan bergerak-gerak kian kemari. Gigi dan
taring-taring mencuat di mulutnya yang terbuka membuat dua binatang ini tambah
mengerikan. Pada bagian belakang kepalanya ada sebuah tanduk berwarna hijau.
Lalu di bagian depan kepala ada mahkota putih bertaburan batu-batu permata
memancarkan cahaya berkilauan. Dada dua binatang ini tampak bergerak-gerak.
Setiap gerakan disertai suara detakan keras yang menggetarkan lantai. Suara
detakan ini ternyata adalah suara denyutan keras luar biasa jantung dua ekor
ular besar itu!
“Ular sungguhan atau binatang
jejadian…” pikir Puti Andini dalam takut yang luar biasa.
“Apa ini yang disebut orang
naga…?”
Dua ular naga yang keluar dari
Liang Lahat mendesis keras. Puti Andini kerenyitkan kening dan usap wajahnya
yang ketampiasan cairan yang keluar dari mulut sepasang Naga Kuning. Di atasnya
kedua binatang itu menggeliat-geliat beberapa kati lalu tiba-tiba menukikkan
kepala seolah hendak menerkam dan menelan bulat-bulat gadis itu. Kali ini Puti
Andini tak dapat lagi menahan jeritnya. Tapi sesaat kemudian dua ekor naga
menarik tubuh masing-masing, naik ke atas, menggeliat lagi beberapa kali lalu
membelitkan tubuh di sepanjang dinding berbentuk lingkaran di atas mana bocah
berpakaian hitam duduk tak bergerak, tenang-tenang saja. Puti Andini merasakan
nyawanya seolah melayang terbang. Wajahnya sepucat kain kafan dan dadanya
menggemuruh turun naik.
“Kakek Tua Gila…. Kalau begini
jadinya menyesal aku menuruti perintahmu!” kata Puti Andini dalam hati
menyesali kebodohan sendiri dan mengumpati kakeknya si Tua Gila. Belum reda
rasa takutnya tiba-tiba Puti Andini dikejutkan lagi oleh getaran-getaran keras
yang kembali melanda tempat itu. Tidak itu saja. Dari dalam lobang makam
melesat keluar kilatan-kilatan panjang disertai suara menggelegar dahsyat.
“Petir…. Bagaimana mungkin ada
petir menyambar keluar dari makam itu!” kejut Puti Andini seraya menutup ke dua
telinganya. Dia beringsut makin jauh takut terkena sambaran petir. Dia tak bisa
bergerak lebih jauh ketika punggungnya tertahan oleh dinding hitam di
belakangnya. Sekali lagi tempat itu bergoncang keras. Sekali lagi kilat
menyambar dari dalam makam batu. Lalu satu sosok manusia perlahan-lahan
tersembul dari dalam lobang yang dipenuhi kabut putih.
“Ya Tuhan, makhluk apa lagi
ini. Hantu atau manusia…?” ujar Puti Andini. Sekujur tubuhnya bergetar.
Saat Itu dari dalam lobang
makam batu muncul sosok seorang tua mengenakan selempang kain putih. Kabut
putih membuat wajahnya agak tersamar. Selain itu rambutnya yang putih panjang,
alis, kumis serta janggut putih yang menjulai panjang ikut menyembunyikan
mukanya. Orang tua ini tegak berdiri di atas lobang makam seolah-olah melayang di
awan. Sepasang matanya memandang dingin dan tajam ke arah Puti Andini. Membuat
gadis ini merasa seperti ditembus oleh dua sinar gaib.
“Anak manusia, kau datang ke
Liang Lahat melalui Liang Akhirat tanpa seperijinan kami. Ada beberapa
pertanyaan yang harus kau jawab. Tidak boleh ada kedustaan di tempat ini. Jika
jawabanmu tidak masuk akal dan tidak bisa aku terima maka bagimu hanya ada satu
keputusan. Keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. Keputusan yang disebut
hanya dengan satu kata. Mati!” Walau orang tua aneh itu memiliki suara halus
lembut namun apa yang diucapkannya membuat Puti Andini semakin kecut dan tambah
pucat wajahnya.
“Or… orang tua…. Ka… kakek….”
Puti Andini bingung sendiri, harus memanggil apa terhadap orang tua aneh itu.
“Sebelum saya memberitahu
siapa diri saya, bolehkah saya mengetahui lebih dulu siapa kau ini adanya dan
di mana sebenarnya saat ini saya berada?” Untuk pertama kalinya Andini
keluarkan suara. Dia seperti asing mendengar suaranya sendiri.
“Berjalan punya tujuan. Tujuan
punya maksud. Kau pandai membaca. Kau melihat semua dengan nyata. Apa kau masih
hendak bertanya? Banyak orang hiba pada manusia bodoh. Tapi sangat menyedihkan
jika melihat seseorang sengaja memperbodoh dirinya sendiri. Adakah layak tuan
rumah memperkenalkan diri pada seorang tamu? Bukankah tamu yang seharusnya
mengucapkan salam dan memberi tahu siapa dirinya pada tuan rumah. Mengatakan
apa maksud tujuannya. Hidup di dunia ada jalur aturannya. Jangan diputar balik
karena semua itu bisa membawa manusia ke dalam jalan yang menyesatkan.”
Merahlah paras Puti Andini mendengar kata-kata orang tua itu. Dia merasa
seperti ditampar kiri kanan. Untuk beberapa lamanya gadis ini hanya bisa
terduduk diam.
“Maafkan saya orang tua…” kata
Puti Andini akhirnya dengan suara agak tersendat.
“Nama saya Puti Andini.
Kedatangan saya ke tempat ini adalah sesuai dengan petunjuk dan perintah kakek
saya….”
“Apakah kakekmu itu punya asal
usul, punya nama dan punya gelar?” tanya orang tua di atas makam.
“Dia berasal dari Pulau Andalas.
Namanya Sukat Tandika. Gelarnya Tua Gila. Mungkin dia punya gelar-gelar lain
yang saya tidak ingat….”
Paras orang tua berselempang
kain putih itu sekilas tampak berubah. Mulutnya berkomat-kamit. Setelah terdiam
beberapa lamanya baru dia berkata.
“Orang yang kau sebut sebagai
kakek itu apakah dia kakek yang ada pertalian darah denganmu atau hanya kakek
sebagai panggilan?”
“Dia kakek kandung saya, saya
cucu kandungnya…” jawab Puti Andini. Si orang tua menunjuk ke atas dinding
berbentuk setengah lingkaran.
“Kau kenal dengan anak yang
duduk di atas sana?” Puti Andini segera saja menggeleng.
“Naga Kuning, apa kau mengenal
gadis ini?” Bocah di atas kursi batu di puncak dinding tinggi tak segera
menjawab baik dengan isyarat maupun ucapan. Sepasang matanya memandang tak
berkesip ke arah Puti Andini yang terduduk di lantai, mengarah ke pinggul dan
pangkal paha si gadis yang tersingkap putih karena pakaiannya di bagian itu
robek besar akibat tersangkut sewaktu memaksa meloloskan diri lewat celah batu.
Sepasang mata si orang tua memancarkan sinar aneh. Lalu suaranya berubah keras
ketika dia mengetahui apa yang tengah diperhatikan anak itu.
“Naga Kuningi Mata adalah
pangkal segala kebaikan dan kejahatan! Apa yang tengah kau perhatikan?! Kau
tidak menjawab pertanyaanku!”
Di lantai batu pualam Puti
Andini seolah baru sadar akan keadaan dirinya. Cepat-cepat dia merapikan
pakaiannya yang robek agar auratnya tertutup. Bocah di atas dinding batu
tersentak kaget dan senyum-senyum malu.
“Naga Kuning! Jangan bertingkah
tidak karuan! Siapa yang menyuruhmu tertawa!”
“Maafkan saya Kiai. Saya tidak
kenal dengan gadis itu,” jawab Naga Kuning lalu mengusap wajahnya beberapa
kali. Si orang tua memandang ke arah Puti Andini kembali lalu berkata.
“Pakaianmu walaupun basah
menyatakan kau adalah seorang perempuan. Rambutmu yang panjang ikut
membuktikan, tetapi mengapa kau mengenakan kumis palsu? Kedustaan apa yang ada
di balik penyamaranmu itu?”
“Saya…. Tidak ada kedustaan
apa-apa. Saya menyamar hanya untuk menghindarkan bahaya yang tidak diinginkan.
Dunia persilatan akhir-akhir ini dilanda kemelut. Pembunuhan dan kematian
muncul secara aneh, cepat tidak terduga semudah orang membalikkan tangan….”
“Apakah kau banyak musuh?”
“Tidak dan saya tidak pernah
ingin punya musuh. Tapi tidak semua orang berpikiran seperti saya…” jawab Puti
Andini pula. Habis berkata begitu Puti Andini tanggalkan kumis palsu yang
melekat di atas bibirnya. Begitu kumis palsu tanggal maka semakin jelas
kecantikan aslinya sebagai seorang gadis. Di atas dinding setengah lingkaran
Naga Kuning kembali terpesona. Ini jelas terlihat pada pandangan matanya. Tapi
ketika dilihatnya orang tua yang dipanggilnya dengan sebutan Kiai memutar
kepala dan memandang melotot ke arahnya anak ini cepat-cepat tundukkan kepala,
usap wajahnya beberapa kali.
“Puti Andini, tidak semua
orang sanggup berenang dan menyelam lama di dalam air. Apalagi di telaga yang
sangat dalam seperti Telaga Gajahmungkur. Tekanan air, hawa dasar telaga tanpa
udara bisa memecahkan jantung. Tapi kau memiliki kemampuan untuk bertahan.
Bahkan akhirnya masuk ke tempat ini. Apakah kakekmu yang bernama Tua Gila itu
yang mengajarkan semacam ilmu padamu hingga kau bisa berenang dan menyelam
sehebat yang telah kau lakukan?”
Puti Andini tak segera menjawab.
Orang tua di atas makam
besarkan matanya. Dua ekor naga yang melilit di dinding batu menggeliat dan
keluarkan suara mendesis.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
TIGA BELAS
Mengapa kau tidak menjawab?!
tanya orang tua itu.
“Bukan kakek saya yang memberikan
ilmu itu,” jawab Puti Andini.
“Lalu siapa?”
“Seorang nenek sakti….”
“Apa dia tidak punya nama?”
“Dia pasti punya nama. Tapi
saya tidak sempat menanyakan…” jawab Puti Andini.
“Aneh kedengarannya. Seolah
tidak berbudi. Orang memberimu ilmu kepandaian. Menanyakan namanya pun kau
tidak….”
Puti Andini tidak menjawab.
Seperti diketahui ilmu kepandaian yang memungkinkan gadis itu sanggup berenang
dan menyelam lama di dalam air diberikan oleh Sika Sure Jelantik. Sesaat
setelah ilmu itu masuk ke dalam tubuhnya Puti Andini jatuh pingsan sehingga dia
tidak sempat lagi bertanya siapa adanya nenek itu. Yang diketahuinya adalah
bahwa si nenek tengah mencari Tua Gila dan bermaksud hendak membunuh kakeknya
itu. (Baca Episode “Lembah Akhirat”)
“Anak manusia,” orang tua yang
tegak melayang di atas makam kembali membuka mulut.
“Katamu tadi kedatanganmu ke
sini adalah dengan petunjuk dan perintah kakekmu yang bergelar tua Gila.
Petunjuk apa? Perintah apa?”
“Saya… saya tidak bisa
menceritakannya….”
“Hemm…. Kenapa?!”
“Tidak kenapa-napa. Hanya
tidak bisa saja…” jawab Puti Andini.
Dua ekor naga besar mendesis
keras dan membuka mulut lebar-lebar. Lidah bercabang menjulur ke bawah.
Tiba-tiba binatang-binatang ini meluncurkan kepalanya ke bawah, ke arah Puti
Andini. walau tak sampai menyentuh dirinya namun Puti Andini laksana copot
jantungnya karena takut dan terkejut.
“Anak manusia. Aku sudah
berkata tadi. Di tempat ini tidak boleh ada kedustaan atau hal yang
ditutup-tutupi. Kematian sangat dekat dengan dirimu. Seperti dekatnya kedua
matamu satu sama lain….” Dua ekor naga keluarkan suara mendesis. Membuat Puti
Andini menjadi kecut.
“Saya kemari mencari
sesuatu….” Akhirnya si gadis berkata.
“Sesuatu! Sesuatu apa? Bicara
yang jelas!”
“Atas suruhan Tua Gila saya kemari
mencari sebilah pedang sakti bernama Pedang Naga Suci 212.” Menerangkan Puti
Andini.
Berubahlah paras si orang tua
mendengar keterangan Puti Andini itu. Di atas dinding berbentuk setengah
lingkaran. Naga Kuning usap wajahnya berulang kali. Di bawahnya dua ekor naga
yang melilit di dinding batu keluarkan suara aneh seperti suara lolongan anjing
di malam buta. Di saat bersamaan, di atas makam di sekitar tegaknya si orang
tua berkiblat petir dua kali berturut-turut. Suara menggemuruh keluar dari dalam
lobang bernama Liang Lahat. Beberapa saat kemudian setelah suasana reda, orang
tua berselempang kain putih bertanya.
“Mengapa Tua Gila menyuruhmu
mencari Pedang Naga Suci 212 itu? Apakah itu miliknya sehingga dia enak saja
menyuruhmu begitu rupa?”
“Menurut penuturan kakek,
senjata mustika sakti itu Sebenarnya memang bukan menjadi bagiannya. Tapi
seseorang telah menukarnya dengan satu senjata lain. Bahkan kemudian juga
mengambil pedang lalu menyembunyikannya di dasar Telaga Gajahmungkur….”
“Hemmm.,.. Kalau Tua Gila
merasa Pedang Naga Suci 212 adalah miliknya mengapa tidak dia sendiri yang
datang mencarinya ke mari?”
“Saya tidak tahu alasannya.
Setahu saya dia tengah menghadapi urusan besar dalam rimba persilatan. Saya
sendiri sebenarnya merasa tidak pantas mendapatkan senjata itu. Namun kakek
memaksa karena dia dan saya masih ada pertalian darah. Disamping itu kalau
senjata tersebut memang saya dapatkan akan saya pergunakan untuk menolong
seseorang. Karena kabarnya Pedang Naga Suci 212 memiliki keampuhan daya
pengobatan luar biasa….”
Orang tua di atas lobang makam
untuk beberapa lamanya saling berpandangan dengan anak yang duduk di kursi batu
di atas dinding tinggi setengah lingkaran. Lalu dia berpaling menatap Puti
Andini dan bertanya.
“Bagaimana aku bisa
mempercayai keteranganmu bahwa Tua Gila yang menyuruhmu datang ke tempat ini?”
Lama Puti Andini terdiam sebelum memberikan jawaban.
“Saya memang tidak bisa
membuktikan. Saya juga tidak bisa berkata lain. Saya hanya mengikuti ucapanmu
tadi. Bahwa tidak boleh ada kedustaan di tempat ini….”
Paras si orang tua tampak kaku
membesi mendengar ucapan Puti Andini itu.
“Kau mengatakan bahwa jika kau
mendapatkan Pedang Naga Suci 212 maka senjata sakti itu akan kau .pergunakan
untuk mengobati seseorang. Mengobati siapa?”
“Seorang pemuda bernama Wiro
Sableng. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Setahu saya dia pernah
dianggap murid oleh Tua Gila.”
“Semakin aneh jalan ceritamu.
Penyakit apa yang menimpa orang itu hingga seolah hanya Pedang Naga Suci 212 yang
sanggup mengobatinya?”
“Pendekar itu kehilangan ilmu
kesaktian dan tenaga dalamnya karena melakukan sesuatu yang terlarang….”
“Kalau memang begitu ceritanya
bukankah pantas dia menerima musibah itu? Seorang pendekar begitu mudah
melanggar pantangan!”
“Saya tidak tahu apa yang
terjadi sebenarnya dengan dirinya. Namun sebagai seorang yang pernah
mengenalnya saya sudah menganggapnya sebagai sahabat. Itu sebabnya saya mau
menolong….”
“Apa benar hanya karena
perasaan bersahabat saja kau ingin menolong Pendekar 212? Bukan karena dorongan
perasaan lain? Rasa sayang, cinta atau suka padanya?”
Paras Puti Andini menjadi
merah mendengar ucapan si orang tua. Di atas kursi batu Naga Kuning tampak
tersenyum-senyum. Si orang tua sendiri tetap dingin wajah dan sorotan sepasang
matanya. Tiba-tiba dia menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya dua kali
berturut-turut.
Dua ekor naga yang bergelung
di dinding tinggi menggeliat dan keluarkan suara mendesis keras. Lalu keduanya
meluncur turun sepanjang dinding batu tinggi masuk ke dalam Liang Lahat hingga
akhirnya lenyap dari pemandangan. Sesaat setelah lenyapnya dua binatang aneh
mengerikan ini di dasar lobang terdengar suara menggemuruh. Begitu suara
gemuruh lenyap keadaan di tempat itu menjadi tenang kembali. Puti Andini
menarik nafas lega. Paling tidak dua makhluk yang menyeramkan yang membuatnya
kecut setengah mati tak ada lagi di hadapannya. Namun kejutnya bukan alang
kepalang ketika mendadak didengarnya orang tua di atas makam berseru.
“Naga Kuning! Aku merasa anak manusia
satu ini tidak pantas berada di tempat ini. Semua ceritanya bohong dusta
belaka! Apa dia mengira bisa menipu diriku?! Lemparkan dia ke dalam Liang
Lahat!”
“Orang tua!” seru Puti Andini
tercekat.
“Kiai!” Naga Kuning keluarkan
seruan tertahan. Tubuhnya sampai tertegak di atas kursi yang didudukinya. Dia
menatap melotot pada orang tua „di bawah sana yang balik memandang padanya
dengan mata mendelik dan wajah sedingin salju!
“Naga Kuning! Kau tidak tuli!
Kau mendengar apa perintahku! Lemparkan anak manusia itu ke dalam Liang Lahat!”
Waktu bicara paras si orang tua tampak bertambah garang.
“Kiai Gede Tapa Pamungkas…”
ujar Naga kuning seolah ingin memastikan bahwa si orang tua tidak salah
mengucap berikan perintah. Namun ucapannya segera dipotong.
“Jika kau tidak mau
melemparkannya ke dalam Liang Lahat maka aku akan menyuruhnya melemparkan kau
ke dalam lobang itu!” Berubahlah paras Naga Kuning.
“Orang tua itu tidak
main-main…. Apa boleh buat. Gadis cantik, masih putih bersih begini rupa harus
menerima kematian secara mengenaskan. Ah, betapa malangnya…. Tuhan, jika Kau
mendengar permintaanku tolong gadis itu!”
“Naga Kuning!” suara si orang
tua menggelegar.
Anak kecil di atas dinding
batu sana tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia melompat dari kursi. Melayang
turun ke arah Puti Andini yang saat itu masih tergeletak duduk di lantai batu
pualam. Dinding batu setengah lingkaran itu terpisah belasan tombak dengan
lantai batu pualam. Namun Naga Kecil menjejakkan kedua kakinya di lantai tanpa
suara dan tanpa kaki bergoyang sedikit pun. Si anak memandang sedih pada gadis
di hadapannya.
“Puti Andini, maafkan diriku.
Aku harus melemparkan dirimu ke dalam Liang Lahat itu…” kata Naga Kuning
dengari suara serak bergetar.
“Kau menurut perintahi Aku
layak mempertahankan diri!” jawab Puti Andini. Dalam keadaan seperti itu hasrat
untuk mempertahankan diri menimbulkan keberanian dalam diri si gadis. Dia
salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Di hadapannya Naga Kuning masih diam
sejenak. Tiba-tiba cepat sekali anak itu melesat ke hadapan Puti Andini.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
EMPAT BELAS
Kita tinggalkan dulu Puti
Andini yang tengah menghadapi malapetaka besar, hendak dilemparkan ke dalam
Liang Lahat oleh Naga kuning atas perintah orang tua bernama Kiai Gede Tapa
Pamungkas. Kita kembali dulu ke tempat terjadi bentrokan besar antara Ratu
Duyung, Dewa Sedih dan Utusan Dari Akhirat. Seperti dituturkan sebelumnya
karena tidak mampu membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng dan tidak sanggup
menghadapi lawan-lawannya, ditambah dengan rasa takut terhadap hukuman yang
akan dijatuhkan Datuk Lembah Akhirat, maka kakek aneh si Dewa Sedih ambil
putusan gila yaitu bunuh diri. Dia menerjunkan diri dari atas pohon tinggi,
kepala ke bawah kaki ke atas. Sesaat lagi kepalanya akan remuk menghantam tanah
tiba-tiba terdengar suara pecut menderu di udara.
“Tar… tar… tar!” Lalu menyusul
suara orang tertawa membahana. Di lain kejap satu tubuh gemuk melesat. Dua
tangan diulurkan. Dua telapak tangan dikembangkan di atas tanah. Tepat di bagian
mana kepala Dewa Sedih akan jatuhi
“Blukkk!”
Batok kepala Dewa Sedih
mendarat di atas dua telapak tangan itu. Lalu dua tangan bergerak ke samping
untuk meredam daya berat tubuh Dewa Sedih. Sesaat kemudian tampak tubuh si
kakek dilemparkan ke udara setinggi empat tombak. Begitu turun dua tangan
kembali menyambut. Kali ini memegang bahu Dewa Sedih lalu membantingkan orang
tua ini ke tanah. Sesaat Dewa Sedih terkapar nanar. Telinganya menangkap suara
orang tertawa keras sekali. Tampang Dewa Sedih langsung murung berat. Lalu
terdengar suara ratapannya.
“Aku mendengar suara orang
tertawa. Aku melihat langit. Aku melihat tanah. Mengapa aku tidak mati? Mengapa
kepalaku tidak pecah? Hik… hik… hik!” Suara tawa membahana mendadak lenyap.
“Tua bangka gila! Hentikan
tangismu! Manusia tidak tahu diri! Orang mati saja mau hidup kalau bisa! Kau
yang masih bernafas ingin mampus! Apa pasal apa lantaran? Apa sudah bosan
hidup? Ha… ha… ha?!
Yang tegak di tempat itu
adalah seorang kakek gemuk luar biasa. Dia mengenakan celana hitam gombrong,
baju putih kesempitan. Karena tidak dikancingkan maka perut dan dadanya yang
gembrot berlemak kelihatan membusai bergoyang-goyang. Rambutnya yang sudah
putih disanggul di atas kepala. Matanya sipit. Di sampingnya tegak seekor keledai
kecil kurus. Lalu di sebelah belakang tegak seorang lelaki berpakaian serba
hijau. Baik muka maupun rambutnya yang seperti sarang tawon juga berwarna
hijau. Di bibirnya sebelah bawah menancap sepotong tulang. Mukanya penuh dengan
benjolan-benjolan menjijikkan. Tangan kanannya tergontai-gontai. Ternyata
tangan itu hancur remuk mulai sebatas pergelangan sampai ke ujung-ujung jari.
Selain itu orang ini tampaknya berada dalam keadaan kaku tertotok karena dia
sama sekali tidak bisa bergerak maupun bersuara. Orang ini bukan lain adalah
salah seorang pembantu utama Datuk Lembah Akhirat yang dikenal dengan nama
Pengiring Mayat Muka Hijau.
Sebelumnya telah diceritakan
dalam Episode “Pedang Naga Suci 212” Dewa Ketawa tengah mengadakan perjalanan
untuk mencari kakaknya si Dewa Sedih yang dikabarkan telah terjerat dalam
perangkap Datuk Lembah Akhirat hingga masuk menjadi anggota orang-orang jahat
lembah Akhirat. Di tengah jalan Dewa Ketawa bertemu dengan Pengiring Mayat Muka
Hijau. Antara kedua orang ini terjadi perkelahian hebat. Pengiring Mayat Muka
Hijau diketahui berkepandaian sangat tinggi dan memiliki pukulan sakti sangat
berbahaya bernama Pukulan Penghancur Mayat yang juga dikenal dengan pukulan
Mencabut Jiwa Memusnah Raga. Namun demikian Dewa ketawa adalah tokoh dunia
persilatan yang dikenal sebagai dedengkot berperangai serba aneh, tak kalah
aneh dengan kakaknya yaitu si Dewa Sedih walau dalam banyak hal sifat baik Dewa
Ketawa lebih menonjol daripada sang kakak. Tak sampai berkelahi lima jurus Dewa
Ketawa berhasil mencengkeram hancur tangan kanan Pengiring Mayat Muka Hijau
yang sangat berbahaya itu. Bahkan kemudian Pengiring Mayat Muka Hijau ditotok
hingga dia tidak berdaya lagi. Dalam keadaan seperti itu Dewa Ketawa menjambak
rambut Pengiring Mayat Muka Hijau lalu menyeret orang itu dan melanjutkan
perjalanan. Kini dengan petunjuk Pengiring Mayat Muka Hijau akan lebih mudah
baginya mencari markas Datuk Lembah Akhirat. Dalam perjalanan menuju Lembah
Akhirat inilah, ketika berada di sekitar Telaga Gajahmungkur Dewa Ketawa sampai
di tempat kejadian di mana terjadi pertempuran hebat antara Ratu Duyung, Utusan
Dari Akhirat dan kakaknya si Dewa Sedih. Sang adik datang tepat pada saat yang
sangat genting ketika Dewa Sedih hendak bunuh diri dengan cara melompat terjun
dari atas pohon besar. Untung si gendut ini masih sempat melakukan sesuatu
menolong kakaknya. Melihat siapa yang datang Wiro Sableng menjadi lega. Dia
segera keluar dari balik tempatnya berlindung. Ratu Duyung juga gembira karena
sebelumnya sudah mengena! kakek gendut ini. Hanya Utusan Dari Akhirat yang
tampak agak bingung karena tidak tahu siapa adanya Dewa Ketawa dan apa
hubungannya dengan kakek bernama Dewa Sedih itu. Panji yang berada di tempat
itu sambil usap-usap mukanya yang kotor oleh debu dan darah segera bangkit
berdiri. Dewa Ketawa memandangi kakaknya sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
“Tua bangka sinting! Orang
hendak membunuh aku kau masih bisa tertawa!” bentak Dewa Sedih. Lalu kakek ini
menggerung keras. Tapi diam-diam dia gerakkan kedua tangannya ke dada. Ketika
dua tangan itu dipukulkan ke depan terdengar suara berdentum dua kali
berturut-turut. Lalu dari pinggiran ke dua tangannya meletup dua bola api yang
menggelinding bergulung-gulung menyambar ke arah Ratu Duyung dan Utusan Dari
Akhirat. Pukulan sakti yang mampu mengeluarkan bola-bola api itu adalah
kesaktian sangat langka dan hanya dimiliki oleh Dewa Sedih.
Melihat dua bola api menerjang
dahsyat ke arah mereka Ratu. Duyung segera kiblatkan cermin saktinya. Utusan
Dari Akhirat langsung lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Untuk kesekian kalinya
tempat itu dilanda dentuman-dentuman keras disertai goncangan dahsyat. Dua bola
api menjulang ke udara menutupi pemandangan.
“Ha… ha… hal Dewa Sedih! Kau
masih saja senang bermain-main dengan bola-bola sialan ini!” Dewa Ketawa
tertawa bergelak. Lalu kakek Ini kerahkan tenaga dalamnya ke mulut dan meniup
keras-keras. Dalam rimba persilatan Dewa Ketawa dikenal memiliki ilmu aneh
yaitu ilmu meniup. Dengan ilmunya itu dia sanggup menotok musuh, membuat lawan
terpental dan cidera berat. Saat itu sampai empat kali dia meniup hingga mulut
dan tenggorokannya terasa pedas. Ketika dua bola api lenyap Dewa Ketawa, Utusan
Dari Akhirat dan Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkesiap kaget. Ternyata Dewa
Sedih tak ada lagi di tempat itu. Dan bukan dia saja! Pengiring Mayat Muka
Hijau juga tak ada lagi di situ. Lalu Panji ikut lenyap entah ke mana. Dewa
Ketawa memandang berkeliling. Lalu tertawa gelak-gelak.
“Di mana kakek sialan itu
sembunyikan diri hah?! Eh, gembel muka hijau itu lari ke mana? Astaga.
Keledaiku juga ikut lenyap! Siapa yang berani mencuri! Sialan betul! Ha… ha…
ha! Apa-apaan ini! Ha… ha… ha…!”
Ketika pandangannya membentur
Pendekar 212 Dewa Ketawa hentikan tawanya. Dia menunjuk-nunjuk dengan mulut
termonyong-monyong.
“Sobatku muda!” Begitu Dewa
Ketawa biasa memanggil Wiro.
“Ternyata kau berada di sini!
Ha… ha… ha! Kudengar kabar kau sudah kawin dengan Ratu Duyung. Kawin benaran
atau kawin-kawinan! Ha… ha… ha!”
“Sobatku gendut! Senang
bertemu lagi dengan kau! Tapi jangan mulutmu nyablak asal bicara!” jawab
Pendekar 212 Wiro Sableng sambil tangan kirinya memberi tanda bahwa Ratu Duyung
yang barusan disebutnya itu berada di samping kirinya, tegak tak bergerak
dengan wajah memerah. Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak.
“Kau tak menjawab. Berarti kau
tidak kawin benaran! Ha… ha… ha! Tapi hidup di dunia ini memang lebih sedap
kalau cuma kawin-kawinan! Contoh saja diriku. Sudah tua bangka begini tak
pernah kawin! Ha… ha… ha!” Perut dan dada Dewa Ketawa yang gembrot berguncang-guncang
waktu tertawa. Lalu dia kembali menyerocos.
“Aku pernah melihat Ratu
Duyung. Wajahnya cantik selangit. Bola matanya biru. Tubuhnya wangi! Kalau saja
aku masih muda. Hemmm…. Ha… ha… ha!”
“Kerbau Bunting! Jaga
mulutmu!” teriak Wiro sambil banting kaki dan garuk-garuk kepala.
“Ha… ha! Jangan pura-pura
malu! Atau kau pura-pura alim sekarang! Hai, aku mau tanya. Ha… ha… ha! Waktu
kau kawin-kawinan dengan Ratu Duyung apakah kekasihmu yang lain tidak cemburu
dan marah padamu? Ha… ha… ha! Aku tahu semua nama mereka. Anggini…. Lalu gadis
dari alam gaib bernama Suci itu. Kemudian si rambut pirang Bidadari Angin
Timur. Rasanya masih ada beberapa lagi. Ya… ya… aku ingat. Si Pandansuri. Lalu
yang terakhir namanya kalau aku tidak salah Puti Andini. Gadis seberang yang
punya kepandaian memainkan tujuh payung. Mungkin ada lagi yang lain? Ha… ha…
ha!”
“Gendut sialan! Mulutmu sudah
keterlaluan!” bentak Wiro.
“Apa kau tidak melihat Ratu
Duyung ada di sebelahmu?!” Dewa Ketawa terkejut. Dia usap mulutnya dengan
belakang telapak tangan. Matanya sesaat membesar. Lalu dia kembali tertawa
gelak-gelak.
“Sobatku muda, jangan kau
membohongi diriku. Aku….” Seseorang berkelebat dan tegak di hadapan Dewa
Ketawa.
“Aku Ratu Duyung memang ada di
sini!” Melihat siapa yang berdiri di depannya kagetlah Dewa Ketawa. Si gemuk
ini tersurut dua langkah. Matanya membelalak. Hidungnya bergerak-gerak dan
mulutnya komat-kamit.
“Kau…. Betul kau Ratu Duyung?
Pakaianmu pakaian hitam biasa. Mana mahkotamu…. Jangan-jangan bukan. Kau bukan
Ratu Duyung. Tapi eh… wajahmu yang cantik memang aku kenali. Lalu sepasang
matamu yang biru. Astaga! Kau betulan Ratu Duyung! Ha… ha… ha…! Aku gembira
bertemu dengan kekasih sahabatku Pendekar 212!” Dewa Ketawa tertawa mengekeh.
“Orang tua, aku mendengar kau
memang berwatak aneh. Tapi kalau bicara seperti tadi aku tidak bisa terima…”
kata Ratu Duyung pula dengan suara keras pertanda marah.
“Gadis cantik! Kalau kau tak
suka menerima jangan diterima. Ha… ha… ha! Salah bicara sudah biasa! Aku tidak
akan minta maaf padamu! Aku akan tertawa saja sampai puas. Ha… ha… ha…!” Ratu
Duyung berpaling pada Wiro. Dia memberi isyarat seraya berkata.
“Aku akan meninggalkan tempat
ini. Kalau kau ingin menemani tua bangka gendut gila ini silahkan saja!” Murid
Sinto Gendeng jadi garuk-garuk kepala. Hendak pergi sebenarnya dia ingin bicara
banyak dengan Dewa Ketawa. Kalau tetap di situ dia merasa tidak enak terhadap
Ratu Duyung. Akhirnya Wiro berkata.
“Sobatku Gendut aku terpaksa
pergi. Temui aku dua hari lagi di tempat ini!”
“Siapa sudi berjanji dengan
kau! Lagi pula aku ingin menyelidik. Mengapa kalian hendak membunuh kakakku si
Dewa Sedih….”
“Siapa yang membunuhnya! Tua
bangka tolol itu mau bunuh diri sendiri!” Yang menjawab Ratu Duyung dengan
suara sengit karena masih sangat marah terhadap Dewa Ketawa.
“Kakakku memang brengsek. Tapi
dia tidak pernah dusta. Tadi dia mengatakan kalian hendak membunuhnya! Jadi aku
harus percaya dan harus tahu apa sebabnya. Kalian orang-orang golongan putih.
Mengapa berserikat hendak membunuh sesama golongan?” Bicara sampai di situ Dewa
Ketawa berpaling pada Utusan Dari Akhirat.
“Kecuali pemuda ini. Aku tidak
tahu siapa kau adanya. Sesama teman golongan putih?”
“Perduli dengan segala macam
golongan! Kau mau menyelidik itu urusanmu! Saat ini yang ingin aku lakukan
adalah membunuh pemuda gondrong bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 ini!”
“Oo…oo!” Dewa Ketawa
pencongkan mulut lalu tertawa gelak-gelak.
“Jika dia berniat jahat
terhadap saudaraku, berarti aku yang akan menghajarnya! Jangan sekali-kali kau
berani memotong!”
Utusan Dari Akhirat mana
perdulikan ucapan kakek gendut itu. Dia berputar ke arah Wiro lalu langsung
menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari. Dewa Ketawa tidak tinggal diam.
Didahului dengan suara tawa mengekeh si gendut ini berkelebat memintas serangan
Utusan Dari Akhirat. Cemeti keledai di tangan kanannya dihantamkan ke udara.
“Tar… tar… tar!”
Tiga larik sinar maut yang
keluar dari tangan kanan Utusan Dari Akhirat berdentum dan bertabur di udara
begitu cemeti berkiblat. Baik Dewa Ketawa maupun Utusan Dari Akhirat sama-sama
berseru kaget dan tersurut ke belakang. Dewa Ketawa lemparkan cemeti keledai
yang terbakar hangus dan mengepulkan asap. Dia mendelik memperhatikan tangan
kanannya yang tampak merah dan bergetar. Di seberang sana Utusan Dari Akhirat
terbungkuk-bungkuk menahan sakit. Mukanya pucat pasi. Lengan pakaiannya tampak
hangus terkena hawa panas pukulan sakti yang dilepaskannya dan berbalik
menyerang dirinya sendiri.
“Gendut jahanam! Kau berani
menghalangiku!” bentak Utusan Dari Akhirat.
“Pemuda sompret! Berani kau
memakiku!” balas berteriak Dewa Ketawa;
“Aku akan mengiringi
kematianmu dengan tertawa!” Habis berkata begitu Dewa Ketawa tertawa
gelak-gelak. Lalu dia meniup ke depan. Utusan Dari Akhirat merasakan ada satu
gelombang angin dahsyat menghantam ke arahnya.
“Tunggu!” pemuda itu
berteriak.
“Pemuda yang hendak kita bunuh
tak ada lagi di sini! Jika kita meneruskan perkelahian ini pasti dia lari jauh
dan sulit dikejar!”
Dewa Ketawa memandang
berkeliling. Saat itu baik Wiro maupun Ratu Duyung memang tak ada lagi di
tempat itu.
“Anak gila! Berani dia
melarikan diri!” Memaki Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak.
Melihat si gendut tidak
meneruskan serangannya, Utusan Dari Akhirat segera berkelebat tinggalkan tempat
itu. Dewa Ketawa hentikan gelaknya. Dia kembali memandang berkeliling.
“Heh…. Pemuda sialan satu lagi
itu juga lenyap. Aku tinggal sendiri! Ha… ha… ha…!” Sesaat Dewa Ketawa masih
saja terus tertawa sambi! manggut-manggut Tiba-tiba suara tawanya lenyap. Dia
ingat sesuatu.
“Pemuda yang aku tidak kenal
tadi. Dia melepaskan pukulan Gerhana Matahari. Aku tahu betul! Aha…. Apa
hubungannya dengan Pangeran Matahari yang sudah kojor itu? Adik seperguruan….
Ha… ha… ha…. Ini hal lucu yang perlu aku selidiki!”
Dewa Ketawa masukkan dua jari
tangan kirinya ke dalam mulut lalu keluarkan suara bersuit dua kali. Sesaat
kemudian dari balik sebatang pohon besar melangkah keluar tunggangan
kesayangannya yaitu si keledai pendek kurus. Begitu binatang ini sampai di
depannya Dewa Ketawa langsung naik ke atas punggungnya. Biasanya dia pergunakan
cemeti untuk membedal binatang itu. Tapi karena cemetinya tadi terbakar hangus
terpaksa dia pergunakan tangan untuk menepuk pinggul tunggangannya. Keledai
kurus itu melenguh kesakitan lalu lari meninggalkan tempat itu. Sebentar saja
keledai dan penunggangnya yang gemuk telah lenyap.
Sebenarnya Dewa Ketawa tidak
betul-betul menunggangi keledai kurus kecil itu. Walau pantatnya kelihatan
seperti duduk di atas punggung keledai tapi ke dua kakinya yang gemuk besar
menyentuh tanah dan berlari kencang mengikuti larinya keledai. Sepasang kaki
Dewa Ketawa beratnya puluhan kati. Namun demikian sama sekali tidak terdengar
gedebuk suara kakinya waktu berlari.
*
* *
Kapak Maut Naga Geni 212
LIMA BELAS
Burung-burung merpati yang
ratusan banyaknya berkeliaran jinak di lembah sunyi berhawa sejuk itu. Sebagian
dari burung-burung itu beterbangan berputar-putar di udara. Sebagian lagi
bermalas-malasan bertengger di cabang atau ranting pepohonan. Tapi yang paling
banyak adalah yang bergerombol berkeliaran di tanah sambil mencari apa saja
yang bisa dipatuk dan dimakan. Inilah lembah yang dikenal dengan nama Lembah
Merpati. Terletak di balik bukit kecil di utara Telaga Gajahmungkur. Saat itu
menjelang tengah hari. Walau sang surya bersinar terik namun keadaan di Lembah
Merpati tetap sejuk. Di satu tonjolan tanah yang ditumbuhi rumput subur sesosok
tubuh berpakaian sedia kuning duduk sambil mempermainkan setangkai rumput.
Wajahnya tak bisa dikenali karena kepala sampai ke rambut tertutup dengan
sehelai cadar kain kuning. Burung-burung merpati berkeliaran di sekelilingnya.
Yang jinak-jinak bertengger di bahu dan di atas kepalanya. Ada beberapa ekor
duduk seperti mengeram di atas pangkuannya. Waktu berjalan seolah merayap. Di
langit sang surya telah melewati titik tertingginya. Orang bercadar mulai
gelisah. Dia memandang berkeliling. Sunyi, tak ada gerakan. Sesekali kesenyapan
dipecahkan oleh gelepar sayap burung-burung merpati atau suara merpati jantan
menggeru-geru mendekati merpati betina. Orang bercadar kuning membelai kuduk
seekor merpati yang duduk di pangkuannya. Perlahan-lahan antara terdengar dan
tiada dari mulutnya terdengar suara nyanyian.
Berbiduk ke hulu
Bersampan ke muara
Dua yang ditunggu
Seorang pun tidak menunjukkan muka
Terang di hulu
Mendung di muara
Kalau tak datang yang ditunggu
Rahasia akan terpendam seumur dunia
Panas di hulu Hujan di muara
Rahasia sengsara penuh duka sembilu Akankah
terkuak menjadi bahagia
Berbiduk ke hulu Bersampan ke….
Suara nyanyian terputus. Orang
yang menyanyi dongakkan kepala lalu memasang telinga sambil memandang ke arah
timur.
“Ada yang datang….” Sinar
kegembiraan menyeruak di wajahnya yang terlindung cadar kuning. Dia tidak
menunggu lama. Di balik rumpunan semak belukar dan pepohonan besar dia melihat
seorang berlari cepat. Burung-burung merpati yang ada di sekitar situ terkejut
beterbangan. Sesaat kemudian orang ini telah berada di sebelah sana. Dia
seperti tidak mau memperlihatkan diri di tempat terbuka. Sengaja berlindung di
balik batang pohon besar. Kedua tangannya ditutupkan ke wajahnya.
Dia mengenakan baju hitam
tanpa lengan dan bercelana panjang hitam. Orang ini bukan lain adalah tokoh
baru dalam dunia persilatan yang muncul dan memperkenalkan diri dengan nama
Iblis Pemalu. Termasuk sebagai salah satu tokoh aneh karena di mana pun dia
berada dan apa pun yang dilakukannya paling tidak salah satu tangannya selalu
menutup wajahnya.
Iblis Pemalu mendehem beberapa
kali..
Lalu dari balik pohon
terdengar suaranya.
“Aku malu untuk bertanya. Tapi
lebih malu lagi jika tidak bertanya: Apakah kau sudah lama sampai di Lembah
Merpati ini?’!
Pertanyaan itu dijawab oleh si
cadar kuning dengan ucapan berpantun.
“Begitu sang surya menerangi
bumi. Tubuh letih ini telah berada di sini. Letih menunggu tidak seberapa.
Dibanding dengan rasa cemas membara.”
“Malu aku kalau salah menduga.
Tapi apakah maksud ucapanmu tadi berarti orang yang kau tunggu belum datang?”
Iblis Pemalu kembali bertanya dari balik pohon.
“Layangkan mata seputar
lembah. Tukikkan pandang ke atas tanah. Meneliti ke balik semak. Mengintip ke
balik pohon. Adakah sosok yang terlihat? Padahal hati ini sudah gelisah
memohon….”
Iblis Pemalu keluarkan desah
panjang.
“Sungguh memalukan. Kurasa aku
sudah datang sangat terlambat. Nyatanya yang ditunggu-tunggu tak kunjung
datang. Aku hanya akan berada di tempat ini sampai matahari terbenam. Kalau
sampai saat itu orang yang kita tunggu tidak juga muncul, aku tidak akan
malu-malu untuk angkat kaki dari tempat ini!”
“Malumu malumu sendiri.
Gelisahku gelisahku sendiri. Tapi ada keterkaitan di antara kita. Mengapa pergi
sebelum jelas duduk cerita?”
Iblis Pemalu terdiam. Tangan
kirinya menggaruk-garuk kepala. Perlahan-lahan rasa galau juga muncul di lubuk
hatinya. Baru saat itu dirasakan keletihan tubuhnya. Dia datang dari tempat
jauh. Membutuhkah sehari suntuk untuk sampai ke lembah itu. Iblis Pemalu
menghela nafas panjang. Lalu duduk menjelepok di atas tanah di bawah pohon
besar itu. Berdiam diri berlama-lama membuat Iblis Pemalu menjadi tidak enak.
Dia lantas berseru bertanya.
“Apa yang kita lakukan kalau
dia benar-benar tidak datang?”
“Hari masih panjang. Dia belum
tentu tidak datang. Kepastian memang belum menjadi kenyataan. Hanya kesabaran
jadi batu ujian,” menjawab orang bercadar kuning. Setiap katanya selalu seperti
orang berpantun.
“Kalau dia tidak datang!” kata
Iblis Pemalu berkata dari baiik pohon.
“Aku tidak akan malu-malu
mengangkat sumpah! Aku tidak akan sudi membantu lagi. Biar semua rahasia ini
terpendam di perut bumi! Kalau perlu aku lanjutkan sampai di perut neraka. Aku
tidak malu! Aku….”
“Ssttt…!” Tiba-tiba orang
bercadar memberi tanda.
“Berhenti berbicara. Telingaku
mendengar suara. Ada orang mendatangi. Melangkah secepat angin. Berlari secepat
topan….”
Baru saja si cadar kuning ini
berkata demikian tiba-tiba di Lembah Merpati muncul seorang nenek bertopi
berbentuk tanduk kerbau. Di bawah topi rambutnya yang putih melambai-lambai
ditiup angin lembah. Dia mengenakan sehelai mantel hitam. Di bahunya bertengger
seekor burung Merpati. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada orang
bercadar kuning yang duduk di atas rumput. Dia tidak memandang berkeliling.
Tetapi dia tahu kalau di balik sebatang pohon besar di belakangnya duduk
mendekam sesosok tubuh.
“Sesuai perjanjian sesuai
pintamu. Aku datang memenuhi undangan!” kata nenek bermantel hitam yang bukan
lain adalah Sabai Nan Rancak si nenek sakti dari puncak Gunung Singgalang.
Perlahan-lahan kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
Orang berpakaian dan bercadar
kuning bangkit berdiri. Merpati yang bertengger di bahu dan kepalanya terbang
ke udara. Yang tadi duduk di pangkuannya menggelepar ke atas lalu hinggap di
bahu kirinya. Di balik pohon perlahan-lahan Iblis Pemalu berdiri pula. Dari
sela-sela jarinya dia mengintip. Namun dia hanya bisa melihat punggung Sabai
nan Rancak.
TAMAT