Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
092 Asmara Darah Tua Gila
SATU
Angin barat bertiup kencang.
Perahu layar itu meluncur laju di permukaan laut. Di atas perahu Tua Gila duduk
termangu di haluan. Di kepalanya bertengger sebuah caping lebar terbuat dari
bambu yang melindunginya dari terik matahari. Orang tua ini senyum-senyum
sendiri bila dia ingat pengalamannya di pulau kediaman Rajo Tuo Datuk Paduko
intan.
“Dunia memang penuh keanehan.
Mana aku pernah menyangka bakalan bertemu dengan menantuku sendiri. Hik… hik…
hik! Untung dia tidak tahu aku si tua bangka buruk ini mertuanya. Ha… ha… ha!”
Kekeh Tua Gila mendadak
terhenti ketika tiba-tiba dirasakannya perahu layar itu bergerak di bagian
depan. Gerakan itu demikian perlahannya hingga jika bukan orang berkepandaian
tinggi seperti Tua Gila tidak akan merasa atau mengetahui. Tua Gila memandang
berkeliling. “Tak ada ombak besar tak ada tiupan angin kencang. Mengapa barusan
ada gerakan aneh di buritan depan perahu?”
Tiba-tiba telinga si kakek
yang tajam mendengar riak air laut di arah depan. Ketika dia memandang ke arah
buritan Tua Gila kaget setengah mati. Dia melihat dua tangan berkuku panjang
berwarna hitam muncul memegang pinggiran perahu. Lalu, “Wuuttt!” Dari dalam air
laut melesat ke atas sesosok tubuh berjubah hitam berambut riap-riapan. Air
mengucur dari pakaian, tubuh dan rambutnya yang basah kuyup.
“Setan laut berani muncul
siang hari bolong begini! Benar-benar gila!” kata Tua Gila dan cepat berdiri
dari duduknya.
“Hik… hik! Orang yang mau
mampus matanya memang suka lamur!” Orang basah kuyup di depan perahu itu
tertawa lalu bicara dengan mata besar melotot.
“Hebat! Setan laut bisa
bicara!” kata Tua Gila lalu tertawa mengekeh.
“Hik… hik! Kau rupanya tidak
mengenali siapa diriku! Lupa?! Hik… hik!”
Orang di depan Tua Gila
tiba-tiba gerakkan bahu dan goyangkan kepalanya.
“Wuuutt!”
Rambut putih yang basah kuyup
itu melesat ke depan dan, “Breeet!” Layar perahu robek besar terkena sambaran
ujung rambut.
Berubahlah paras Tua Gila.
“Makhluk jahanam! Kalau kau
mau menumpang perahuku mengapa merusak?!” Bentak Tua Gila.
Orang di hadapan Tua Gila
tertawa gelak-gelak. Lalu sambil dongakkan kepala dia berkata. “Siapa bilang
aku mau menumpang perahumu! Apa kau belum sadar kalau perahu ini akan meluncur
menuju neraka?! Hik… hik… hik!”
“Bedebah setan alas! Kau
sengaja datang mencari mati!”
“Aku tanya sekali lagi, apa
kau benar-benar tidak mengenaliku? Padahal belum lama kita saling bertemu!”
Orang berjubah hitam itu letakkan kedua tangan di pinggang.
“Eh….” Kening Tua Gila
berkerut. Dia buka caping bambunya agar bisa melihat lebih jelas. “Astaga!
Bukankah kau Dukun Sakti Langit Takambang, wakil Rajo Tuo Datuk Paduko Intan di
Kerajaan pulau Sipatoka?!”
“Bagus! Berarti matamu hanya
sedikit lamur, belum buta beneran! Hik… Hik!”
“Manusia satu ini tadi kulihat
keluar dari dalam laut. Berarti sebelumnya dia telah mendekam di bawah perahu!
Ilmu pernafasannya di dalam air patut aku kagumi! Tapi dari caranya muncul
agaknya dia sengaja mengikutiku dengan maksud tidak baik!” Habis membatin
begitu Tua Gila lalu membentak. “Dukun geblek! Kalau kau mau menumpang mengapa
pakai bersembunyi segala! Kau pasti melarikan diri setelah ketahuan kau yang
punya pekerjaan meracuni Rajo Tuo Datuk Paduko intan dan permaisurinya!”
“Rajo Tuo dan permaisuri serta
semua orang di pulau itu biar kita lupakan saja! Bertahun-tahun aku mendekam di
pulau itu menunggumu. Sekarang saatnya kita membicarakan urusan kita!”
“Eh, aku merasa tidak punya
urusan dengan dukun laknat sepertimu! Kalau kuseret kau kembali ke pulau itu
pasti kau akan digantung kaki ke atas kepala ke bawah!”
Orang di hadapan Tua Gila
kembali mendongak dan tertawa panjang. “Kau melihat aku sebagai dukun, mengenal
aku sebagai dukun. Apa kau juga masih mengenali wajah asliku ini Sukat
Tandika?!”
Tua Gila terkejut. “Bagaimana
dukun keparat ini tahu namaku?!” pikir Tua Gila.
Tiba-tiba Dukun Sakti Lang it
Takambang menggerakkan tangan kanannya ke wajahnya.
“Breeettt! Sreettt!” Selapis
topeng tipis yang membungkus wajah orang itu langsung tanggal.
Sepasang mata Tua Gila yang
lebar jadi mendelik bertambah besar. “Aku tidak percaya…!” kata Tua Gila dengan
suara bergetar. Kalau saja dia tidak berada di ujung haluan perahu niscaya
kakinya sudah melangkah surut. “Apakah betul kau yang berdiri di hadapanku ini
Sika Sure Jelantik?!”
“Hik… Hik! Ternyata kau masih
mengenali diriku! Lebih dari itu kau juga masih ingat nama lengkapku! Hik… hik…
hik!”
Tua Gila ternganga sesaat.
Tekanan batin yang hebat membuat dia merasa seolah dihimpit gunung. Untuk
beberapa lamanya dia hanya tegak tak bergerak dan memandang tak berkesip pada
orang yang berdiri di depannya. Orang ini ternyata adalah seorang nenek
berwajah bulat, memiliki tahi lalat kecil di atas dagu kirinya. Namun sesaat
kemudian pe-nyakit lamanya muncul. Dia mulai tertawa. Mula-mula perlahan lalu
semakin keras hingga perahu kayu itu bergetar keras. Air laut di sekitar perahu
tampak bergelombang. –
“Tertawa sepuasmu Tua Gila!
Kalau nasibmu baik mungkin nanti kau masih bisa tertawa di akhirat!”
Mendengar ucapan orang, Tua
Gila hentikan tawanya. Lalu seolah menyesali diri sendiri dia mengeluh dalam
hati. “Sekian puluh tahun tidak pernah bertemu, tahu-tahu muncul. Tak dapat
tidak dia datang membawa dendam lama! Celaka! Luka-luka bekas gebukan musuh di
tubuh dan kepalaku masih belum sembuh! Sekarang datang lagi penyakit baru!”
Tua Gila usap wajahnya
beberapa kali lalu berkata. “Sika, aku maklum perbuatanku di masa silam telah
membuatmu sengsara….”
Belum habis ucapan Tua Gila si
nenek bermuka bulat memotong dengan suara keras. “Bagus! Kau bisa mengatakan
begitu! Sayang saat ini sudah terlambat kau berbual-bual di hadapanku! Aku
mencium amisnya bau darahmu Sukat Tandika!”
“Setelah puluhan tahun berlalu
apakah kau tidak bisa melupakan hal itu? Sekarang kita sudah jadi kakek nenek.
Masih perlukan darah ditumpahkan?”
Nenek-berjubah hitam di atas
perahu di hadapan Tua Gila tertawa panjang. “Puluhan tahun boleh saja berlalu!
Tapi sengsara dan luka hati ini tak mungkin dilupakan! Dendam kesumatku sudah
karatan Sukat Tandika! Kau merampas kehormatanku, mempermainkan diriku!
Memberiku malu sepanjang hidupku!”
“Sika, apapun yang terjadi di
masa lalu semua kita lakukan atas dasar suka sama suka. Kita sama-sama
merasakan hangatnya cinta! Harap kau ingat itu!”
Sika Sure jelantik sudah meludah
ke lantai perahu. “Suka sama suka karena kau berjanji akan menikahiku! Ternyata
kau menipu! Setelah puas dengan diriku kau kabur melarikan diri! Bermain gila
dengan gadis lain! Cinta hangatmu adalah api yang membakar dan tak bisa dipupus
kecuali dengan darahmu sendiri! Jangan kau kira aku tidak tahu siapa saja yang
sudah kau cabuli lalu kau tinggal! Jangan kau kira aku tidak tahu siapa saja
yang menginginkan kematianmu! Aku beruntung bahwa aku punya kesempatan membunuh
lebih dulu dari yang lain!”
Sukat Tandika yang berjuluk
Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati alias Pendekar Gila Pencabut Jiwa
menarik nafas dalam. Dalam hati dia membatin. “Aku sengaja mencari selamat dari
Sabai Nan Rancak dan musuh-musuhku yang lain. Belum lagi menjejakkan kaki di
tanah Jawa, di tengah laut sudah ada orang lain menginginkan nyawaku!”
Tua Gila menghela nafas
berulang kali. Sambil menatap wajah si nenek dia berkata.
“Sika, apakah kau bisa menunda
urusan ini sampai aku menyelesaikan urusanku di tanah Jawa?”
Sika Sure Jelantik menyeringai
buruk. “Apa kau kira aku tidak tahu apa urusanmu di Jawa? Apa kau kira aku
tidak tahu kau saat ini tengah melarikan diri dari kejaran Sabai Nan Rancak
serta orang-orang lain yang menginginkan kematianmu? Belasan tahun aku malang melintang
mencarimu. Setelah kutemukan jangan harap kau bisa lolos dari tanganku Sukat!
Soal tunda menunda urusan harap kau bicarakan saja dengan malaikat maut!”
Tua Gila terdiam. Lalu
sesungging senyum muncul di wajahnya yang cekung seperti tengkorak. Kegilaannya
kembali muncul. Perlahan-lahan terdengar suara tawanya mengekeh. Makin lama
makin keras hingga membuat Sika Sure Jelantik marah dan membentak.
“Jahanam gila! Sudan mau
mampus masih saja memperlihatkan kesintingan!”
“Sika, jika kematianku memang
tidak dapat ditunda, beri aku kesempatan untuk menyanyi….”
Si nenek kerenyitkan kening
hingga wajahnya diselimuti kerut-kerut buruk. Dia segera hendak menghardik
namun Tua Gila sudah membuka mulut melantunkan nyanyian.
Menanam ulah di masa muda
Memetik dendam di usia tua
Menanam angin di masa jaya
Menuai badai di usia tak
berdaya
“Tua bangka gila! Hentikan
nyanyianmu atau…!” Sika Sure jelantik membentak sambil tangan kanannya
diangkat. Lima kuku jarinya yang panjang hitam memancarkan sinar redup angker.
Tapi si kakek tidak perduli.
Tanpa acuhkan ancaman orang dia teruskan nyanyiannya.
Bercinta di usia muda
Seharusnya bahagia di usia tua
Bermain asmara di masa remaja
Seharusnya menjalin suka di
usia tua
Cinta khianat Asmara laknat
Darah mencuat Nyawa pun
minggat
Kepada siapa mau minta tolong
Kekasih sendiri ingin
menggolong
Kepada siapa hendak bertobat
Yang Kuasa sudah melaknat
Dendam cinta di utara
Dendam asmara di selatan
Membersit darah di barat
Meregang nyawa di timur
“Cukup! Nyanyianmu hanya
mempercepat kematianmu!” teriak Sika Sure Jelantik. Lalu nenek ini
menghantamkan tangan kanannya ke arah Tua Gila yang hanya terpisah tiga tombak
di haluan perahu!
*
* *
212
DUA
Lima larik sinar hitam mencuat
dari lima kuku tangan Sika Sure Jelantik. Inilah ilmu kesaktian yang disebut
Jalur Hitam Bam. Dendam. Sejak tiga puluh tahun yang lalu si nenek telah
menguasai ilmu kesaktian itu. Pada waktu itu dia mewarisinya dari seorang sakti
di Gunung Siguntang. Mulanya ilmu kesaktian itu dinamakan Kilat Kuku Akhirat
dan kehebatannya telah menggoncang ujung selatan daratan Andalas serta ujung
barat tanah Jawa. Selama tiga puluh tahun berikutnya Sika Sure jelantik
memperdalam kesaktiannya, ilmu Kilat Kuku Akhirat dibuatnya demikian rupa hingga
jauh lebih hebat dari aslinya yang kemudian diberinya nama Jalur Hitam Bara
Dendam. Selama sekian puluh tahun Jalur Hitam Bara Dendam tidak pernah
dikeluarkannya. Disimpan karena hanya akan diperuntukkan pada seseorang yaitu
kekasih dimasa muda yang kini menjadi musuh besarnya. Orang itu tidak lain
adalah Sukat Tandika alias Tua Gila alias Pendekar Gila Patah Hati yang juga
dikenal dengan julukan iblis Gila Pencabut Jiwa.
Tua Gila keluarkan seruan
tertahan. Dia memang pernah mendengar kalau si nenek memiliki ilmu kesaktian
yang disebut Kilat Kuku Akhirat. Namun tidak diduganya bahwa ilmu tersebut
demikian hebatnya. Orang tua ini segera sambar caping bam-bunya lalu
dilemparkan ke depan. Dia tahu caping bambu itu tidak akan dapat menahan
serangan ganas si nenek walau dialiri dengan tenaga dalamnya yang sangat
tinggi. Namun paling tidak benda itu untuk sesaat akan dapat menahan laju
cahaya hitam yang menyambar laksana kilat!
“Wussss!”
Caping bambu berlubang di lima
tempat lalu hancur berkeping-keping dan bertaburan di udara sebelum jatuh ke
laut.
“jahanam! Ke mana dia?! Hancur
mampus tenggelam ke dalam laut?!” ujar Sika Sure jelantik ketika melihat sosok
Tua Gila tidak ada lagi di haluan perahu.
Sekonyong-konyong di
belakangnya si nenek mendengar suara orang melantunkan nyanyian. Dia cepat
balikkan tubuh.
Kalau dendam membakar hati
Kalau dendam membakar pikiran
Kasih indah dimasa muda seolah
api
Membakar asmara menjadi ajang
kematian.
Kalau hati berselimut dendam
Kalau darah dibakar amarah
Lautan cinta menjadi padang
maut
Padang asmara menjadi neraka
kematian
Tidakkah ada lagi kasih sayang
di hati manusia
Tidakkah ada lagi seberkas
kenangan indahnya
Asmara di hati insan
Apakah hidup kini hanya,
dibatasi garis bara api
Yang benar dan yang salah
Yang sengsara dan yang sesat
Kalau kematian memang sudah di
depan mata
Kalau malaikat maut memang
sudah unjukkan diri
Lalu manusia bertindak sebagai
wakil pencabut nyawa
Alangkah sedihnya nasib dunia
Alangkah sengsaranya nasib
umat
Tangis dan air mata bukan lagi
penyejuk hati
Ratap minta pengampunan bukan
lagi pelebur amarah
Datanglah maut Datanglah
kematian
Dekap tubuh tua penuh dosa ini
erat-erat dalam pelukanmu yang paling ganas
Kematian datangnya hanya
sekejap Sengsara tetap berbekas sampai kiamat
Sika Sure jelantik tercekat
mendengar nyanyian itu. Tangan kanannya yang sudah diangkat tinggi-tinggi siap
melancarkan pukulan maut Jalur Hitam Bara Dendam bergetar keras. Hatinya
berdegup kencang. Tenggorokannya turun naik menahan gelora di dada. Betapapun
buasnya perempuan tua ini namun dia terkesiap juga melihat ada butiran-butiran
air mata menggelinding di pipi Tua Gila yang kini tegak tak bergerak di buritan
perahu, hanya terpisah kurang dari dua tombak. Namun kesiap yang menyelimuti si
nenek hanya seketika.
“Air mata buaya! Bangsat
penipu!” hati si nenek berteriak. Begitu amarah dan dendam kesumat kembali
membakar dirinya maka didahului oleh bentakan garang Sika Sure Jelantik
hantamkan tangan kanannya. Lima larik sinar hitam angker menderu laksana kilat.
Si nenek berseru kaget dan
tegang sendiri ketika di depan sana dilihatnya Tua Gila sama sekali tidak
bergerak coba menangkis atau selamatkan diri dari pukulan mautnya. Kakek itu
tegak laksana patung. Hanya wajahnya yang cekung tampak tersenyum. Mungkin
senyum bahagia siap menyambut datangnya maut. Mungkin juga senyum penuh
kesedihan derita hidup dan penyesalan.
“Sukat!” Entah sadar entah
tidak pada saat di-sadarinya bahwa orang di hadapannya itu tak akan luput dari,
kematian Sika Sure Jelantik berteriak memberi ingat. Tapi terlambat.
“Wussss!!”
Lima sinar hitam menderu
menggidikkan. Dua larik menyambar ke muka Tua Gila, dua membeset ke arah
dadanya dan satu lagi melesat mencari sasaran di perut si kakek!
Sesaat lagi tubuh Tua Gila
akan hancur berkeping-keping tiba-tiba dari dalam laut membersit satu sinar
biru. Demikian menyilaukannya sinar aneh itu hingga si nenek terpaksa
pergunakan tangan kiri untuk melindungi kedua matanya. Dia sama sekali tak
sempat melihat bagaimana satu tangan laksana kilat menyambar kaki kanan Tua
Gila. Lalu dilain kejap tubuh si kakek tertarik amblas ke dalam laut. Lima
larik pukulan sakti Jalur Hitam Bara Dendam melesat menyambar. Empat menghantam
udara kosong. Yang kelima sempat menyambar pinggang Tua Gila.
Ketika Sika Sure Jelantik
turunkan tangannya, baru dia melihat apa yang terjadi. Dia berteriak keras.
Walau terlambat dia masih berusaha melompat. Tangan kirinya menyambar ke dada
Tua Gila sebelum tubuh kakek ini lenyap masuk ke dalam laut.
“Breettt!”
Pakaian Tua Gila robek besar
di bagian dada. Sika Sure Jelantik merasakan sesuatu dalam genggaman tangannya.
Di saat yang sama dia juga melihat sebuah benda terlempar ke udara lalu jatuh
ke dalam laut.
“Apa yang terjadi? Apa dia
menemui ajal oleh pukulan saktiku? Mati dan tenggelam masuk ke dalam laut?!”
Sika Sure Jelantik bertanya-tanya sambil memandang berkeliling. “Kalau dia
mati, tubuhnya pasti hancur lebur. Taps tidak semua bagian tubuhnya akan amblas
ke dalam laut. Pasti ada yang mengapung. Aku tidak melihat potongan-potongan
tubuhnya. Aku tidak melihat darah…. Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?! Sukat!
Sukat Tandika!”
Suara teriakan si nenek lenyap
ditelan luasnya laut dan tiupan angin di udara kosong. Tenggorokan perempuan
tua ini nampak turun naik. Mungkinkah penyesalan mendadak muncul di dalam hati
perempuan tua yang pernah menjalin asmara dengan Tua Gila ini?
Sekonyong-konyong Sika Sure Jelantik menghambur masuk ke dalam laut. Sebagai
seorang tokoh silat nenek ini memiliki satu kepandaian yang tidak dimiliki
tokoh lain. Dia mampu berada di dalam air untuk waktu lama. Namun sampai
akhirnya dadanya menjadi sesak, setelah sekian lama berada di bawah permukaan
laut untuk menyelidik apa yang terjadi dengan Tua Gila dia tidak menemukan
sosok si kakek, juga tidak potongan tubuhnya kalau memang sudah cerai berai
tadi dihantam pukulan saktinya. Hanya di salah satu tempat dia sempat melihat
alur panjang berwarna merah. Darah!
Dengan penuh rasa putus asa
dan tanda tanya besar dalam hatinya Sika Sure Jelantik naik ke permukaan laut,
berenang menuju perahu layar yang terapung-apung tanpa penumpang.
Di atas perahu lama sekali, si
nenek duduk termenung dengan rambut pakaian dan tubuh basah kuyup.
“Aneh, tubuhnya lenyap begitu
saja. Tapi ada segelintir darah. Mungkinkah dia ditelan ikan besar yang
tiba-tiba muncul?” Sika Sure Jelantik memandang! laut di sekitarnya seolah
berusaha melihat menembus sampai ke dasarnya. Berulangkali perempuan tua ini
menarik nafas panjang. Dia lalu ingat pada benda yang masih tergenggam di tangan
kiri-nya. Ketika diperiksanya kagetlah perempuan tua ini. Dia pernah melihat
benda itu sebelumnya jadi sudah mengenali apa adanya.
“Kotak perak penyimpan Kalung
Permata Kejora! Permata handal penghancur segala kekuatan putih dan hitam!”
Dengan tangan gemetar si nenek
segera membuka kotak perak itu. Matanya mendelik ketika melihat kotak itu tidak
berisi apa-apa.
“Kosong!” ujar si nenek. Dia
berpikir keras. “Mungkin belum terlambat!” katanya dalam hati. Lalu untuk kedua
kalinya dia terjun ke dalam laut. Kali ini lama sekali dari pertama tadi.
Karena sambil berusaha mencari kalung mustika itu dia juga mencoba menjajagi
kalau-kalau bisa menemukan sosok tubuh Tua Gila. Setelah nafasnya terasa sesak
dan dia tidak berhasil menemukan apa-apa si nenek akhirnya kembali berenang ke
permukaan laut dan naik ke atas perahu.
“Apapun keanehan yang terjadi,
aku yakin ada sesuatu yang telah mengambil tubuh Sukat. Mungkin benar ikan
besar, mungkin juga makhluk yang tak dapat kubayangkan apa adanya! Tapi kalung
itu? Aku tak mungkin menyelam sampai ke dasar laut. Tekanan air bisa memecahkan
kepalaku! Apa yang harus kulakukan sekarang? Kembali ke Gunung Siguntang atau
menyeberang ke tanah Jawa…? Kalau dia tidak mati mungkin sekali kakek jahanam
itu akan muncul di sana. Bukankah di sana banyak bekas gendaknya tempat dia
bisa minta tolong?”
Sika Sure Jelantik tegak di
atas perahu, memandang berkeliling. Di sebelah depan yang tampak hanya lautan
membentang luas. Di sebelah belakang samar-samar tampak pulau di mana sebelumnya
dia menetap menyamar menjadi Dukun Sakti Lang it Takambang. Tujuannya sesuai
firasatnya yang tajam bukan lain adalah untuk menunggu kemunculan Tua Gila.
Ternyata firasatnya yang disembunyikannya selama bertahun-tahun itu tidak
meleset. Sukat Tandika alias Tua Gila muncul di pulau! Namun setelah saling
berhadapan dia gagal melakukan balas dendam. Si nenek kepalkan tangan kanannya.
“Bangsat tua itu lenyap secara
aneh. Tak dapat kupastikan apa masih hidup atau sudah mati. Lalu bagaimana pula
aku harus mencari Pangeran Mata-hari yang telah membunuh adikku Ramada Suro
Jelantik? Aku menyirap kabar Pangeran itu sudah amblas tamat riwayatnya di
tangan murid Tua Gila si orang Jawa bernama Wiro Sableng. Apa benar…? Kalau
murid tua bangka itu sanggup membunuh Pangeran Matahari berarti dia memiliki
kepandaian tidak dibawah si Tua Gila. Kalau dia ikut campur membela gurunya
hemmm…. Urusan bisa jadi kapiran!” (Mengenai Ramada Suro Jelantik harap baca
serial Wiro Sableng berjudul Guci Setan)
*
* *
212
TIGA
Kita kembali dulu ke tempat
kediaman Ratu Duyung pada saat Pendekar 212 Wiro Sableng berada di sana.
Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya (Tua Gila Dari Andalas) dengan
maksud menolong Ratu Duyung lepas dari kutukan yang telah menyengsarakan diri
dan anak buahnya selama bertahun- tahun maka dari Pangandaran Pendekar 212 Wiro
Sableng ikut bersama Ratu bermata biru itu ke tempat kediamannya di kawasan
laut selatan.
Di sebuah tempat yang disebut
Puri Pelebur Kutuk ketika Wiro dan Ratu Duyung saling berpelukan mendadak
menyeruak bau kembang kenanga yang amat santar. Bersamaan dengan itu Ratu
Duyung yang memandang ke arah pintu melihat kemunculan seorang perempuan muda
cantik berwajah pucat mengenakan kebaya panjang dan kain berwarna putih. Wiro
sendiri sama sekali tidak melihat dan tidak mengetahui siapa adanya orang itu.
Jelas yang datang ini adalah satu makhluk dari alam gaib yang memperlihatkan
diri sebagai seorang gadis cantik yang sama sekali tidak dikenal oleh Ratu
Duyung sebaliknya tidak terlihat oleh mata Pendekar 212.
Selagi Ratu Duyung memberitahu
apa yang dilihatnya lalu berteriak memperingatkan Wiro karena gadis bermuka
pucat itu mendekatinya, dalam kamar berkiblat sinar biru pukulan yang
dilepaskan Ratu Duyung ke arah pintu di mana sosok gadis aneh itu berada.
Sebaliknya dari arah pintu Wiro sempat melihat melesatnya sebuah benda kuning
kehijauan. Lalu. satu letusan dahsyat memporak-porandakan ruangan.
Di atas tempat tidur Ratu
Duyung tersandar ke dinding. Mukanya sepucat kain kafan dan dari sela bibirnya
ada darah kental mengucur pertanda telah terjadi satu bentrokan tenaga dalam
sangat hebat. Seperti diketahui Ratu Duyung memiliki kesaktian tinggi. Jika
dirinya menderita luka dalam begitu parah berarti lawannya memiliki tingkat
kesaktian yang sulit dijajagi.
Dalam gelegar dahsyat yang
memporak-porandakan Puri Pelebur Kutuk Pendekar 212 sendiri terpental lalu
terbanting ke lantai dan jatuh pingsan ketika hancuran benda kuning kehijauan
merambas masuk ke jalan pernafasannya.
Ratu Duyung berusaha menyelamatkan
Wiro yang hendak dilarikan oleh makhluk aneh berwujud gadis cantik bermuka
pucat itu. Namun dia tidak berdaya dan hanya bisa berteriak-teriak. Enam orang
anak buahnya menghambur masuk ke dalam ruangan dan terpekik melihat keadaan
pimpinan mereka.
“Kejar!” teriak Ratu Duyung,
Maksudnya agar anak buahnya mengejar gadis berkebaya panjang putih yang telah
melarikan Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun tiga orang anak buah sang Ratu yang
kemudian melakukan pengejaran salah menduga. Mereka mengira Pendekar 212-lah
yang telah mencelakai pimpinan mereka.
“Sebelumnya aku melihat dua
pengawal mengantarkan pemuda itu ke Puri Pelebur Kutuk! Dia lenyap! Berarti dia
yang telah mencelakai Ratu!” kata salah seorang anak buah Ratu Duyung yang
melakukan pengejaran.
“Kurasa lebih jahat dari itu!
Dia bermaksud keji! Hendak membunuh pimpinan kita!” kata gadis kedua. “Tapi ke
mana lenyapnya pemuda keji itu?!”
Gadis ketiga berucap.
“Pergunakan ilmu menyirap detak jantung. Dia pasti belum jauh. Kita musti dapat
mengejarnya!”
“Aku ingin sekali membunuhnya
dan membantingkan mayatnya di depan Ratu!”
Gadis pertama berpikiran lebih
panjang. “Ratu tidak sempat memberi petunjuk. Apa kita harus membunuh pemuda
itu atau bagaimana. Menurutku kita menangkapnya dulu hidup-hidup lalu
membawanya ke hadapan Ratu. Biar Ratu yang memutuskan mau diapakan pemuda
keparat itu. Heran, dasar manusia! Setahuku dia telah banyak menerima kebajikan
dari pimpinan kita? Mengapa dia tega-teganya berlaku jahat dan keji terhadap
Ratu?!”
“Kalau sudah tahu pemuda itu
licik mengapa kita harus membiarkan dan membawanya hidup-hidup ke hadapan Ratu?
Di tengah jalan dia bisa memuslihati kita atau merayu kita dengan
ketampanannya. Kita bisa celaka semua!”
“Sudahlah, mengapa kita
menghabiskan waktu dengan berdebat. Lekas kerahkan aji Kesaktian Menyirap Detak
jantung.”
Tiga gadis anak buah Ratu
Duyung tegak tak bergerak lalu dongakkan kepala. Yang pertama mendongak ke arah
timur, yang kedua ke arah utara dan satunya lagi ke jurusan barat.
Setelah beberapa jurus berlalu
gadis yang mendongak ke arah utara dan timur hentikan perbuatannya memusatkan
pikiran. Kepalanya yang mendongak diturunkan. Keduanya saling pandang sesaat.
“Aku tidak merasakan getaran
apa-apa…” kata yang satu.
Kawannya menyahuti. “Aku juga….”
Lalu mereka berpaling pada
kawan yang menghadap ke barat. Saat itu gadis ketiga anak buah Ratu Duyung ini
tampak tegak dengan mata terpejam sedang sekujur tubuh bergetar. Perlahan-lahan
dia turunkan kepalanya lalu membuka mata dan menatap tajam tak berkesip jauh ke
arah barat. Dengan dua jari tangan kanannya dia menekan pergelangan tangan kiri
tepat pada dua urat besar. Dua jari tangan tampak tersentak-sentak.
“Aku berhasil menyirap detak
jantung Pendekar 212. Dia berada di jurusan barat. Kita mengejar ke sana…!”
kata si gadis. Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba tubuhnya jatuh
terjengkang. Mukanya pucat seolah kehilangan darah.
“Nandiri!” dua teman terpekik
menyebut namanya. Lalu mereka cepat menolong kawan yang roboh itu. Salah
seorang ajukan pertanyaan. “Apa yang terjadi Nandiri? Apa yang kau rasakan?!”
“Detak jantung dan darah dalam
nadiku keras sekali. Jelas pemuda itu berada di arah barat. Aku dapat menyirap
detak jantung orang itu. Ada sesuatu yang aneh. Dia mampu berada jauh dari
tempat ini. Jarak kita dan dia terpisah hampir tiga hari perjalanan. Padahal
pada waktu kita menerobos masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk dia belum lama
berlalu. Selagi aku menyirap tiba-tiba ada satu kekuatan dahsyat tak kelihatan
menghantam diriku….” Nandiri terdiam sebentar. Dia merasakan mulutnya hangat
dan asin. Ketika dia meludah ke tanah yang diludahkannya ternyata darah.
“Kau terluka di dalam
Nandiri!”
Si gadis mengangguk
membenarkan.
“Kalau begitu biar aku dan
Manumi yang melakukan pengejaran. Kau lekas kembali dan minta obat pada Ratu….”
“Sebetulnya aku tetap ingin
melakukan pengejaran…” kata Nandiri.
“Jangan bodoh! Kau terluka di
dalam. Kita tak tahu apa obatnya. Lekas kembali ke Ratu!”
Dengan rasa terpaksa gadis
bernama Nandiri itu akhirnya mengikuti nasihat teman-temannya. Setelah tinggal
berdua Manumi berkata pada kawannya. “Kiani, kita harus bertindak cepat. Biar
aku menjajagi arah tepat di mana pemuda itu berada.”
“Sesuai keterangan Nandiri
kita sudah tahu ke arah mana larinya pemuda jahat itu. Kita langsung saja
menuju ke sana. Aku khawatir kau akan mengalami nasib sama seperti Nandiri. Ada
kekuatan tak terlihat menghantam dirinya….”
Mendengar itu Manumi anggukkan
kepala. Dua gadis cantik anak buah Ratu Duyung segera berkelebat ke arah barat.
Kembali ke tempat kediaman Satu Duyung.
Empat orang gadis cantik,
membawa Ratu Duyung keluar dari Puri Pelebur Kutuk yang telah porak poranda
itu. Tubuh Ratu Duyung ditutup dengan kain beludru alas tempat tidur. Lalu sang
Ratu diamankan ke sebuah bangunan dimana terletak satu ruang ketiduran yang
bagus. Dengan cepat beberapa gadis yang memiliki kepandaian pengobatan
melakukan pemeriksaan.
“Aneh, tak pernah aku melihat
luka dalam seperti ini!” kata salah seorang gadis memeriksa. Teman-temannya
membenarkan. “Jelas Ratu terkena satu pukulan jahat. Tapi di bagian mana?”
“Agaknya kita terpaksa harus
menanggalkan kain penutup aurat Ratu dan memeriksa setiap sudut tubuhnya.”
“Itu menyalahi adat, aturan
dan pantangan. Kau tahu apa hukumannya jika kelak Ratu mengetahui kita telah
memeriksa tubuhnya dalam keadaan tanpa pakaian….”
Sesaat semua anak buah Ratu
Duyung yang ada di tempat itu jadi terdiam. Namun salah seorang dari mereka
kemudian berkata. “Yang kita lakukan adalah menyelamatkan nyawa Ratu. Kalaupun
kelak Ratu mengetahui kurasa dia bisa memaklumi….”
Setelah terjadi perundingan
singkat akhirnya para gadis membuka gulungan kain beludru yang menutupi tubuh
pimpinan mereka. Sosok yang bagus mulus dan berada dalam keadaan tanpa pakaian
itu mereka periksa dengan teliti.
“Aneh, kita sama sekali tidak
melihat bekas pukulan sedikit pun. Tak ada cidera di bagian luar tubuh Ratu…”
kata gadis yang tegak di kepala tempat tidur. Semua anak buah Ratu Duyung yang
ada di situ terdiam saling pandang.
“Ratu terkena pukulan sakti
yang menembus jaringan tubuh tanpa merusak bagian luar. Kita tidak dapat
menduga apa yang terjadi di sebelah dalam. Bahkan kita tidak tahu bagian mana
yang terluka,” menyahuti gadis lainnya.
“Kalau begitu kita harus
mengusahakan agar Ratu siuman dulu. Lalu menanyakan bagian mana yang
dirasakannya sakit. Setelah itu baru kita melanjutkan dengan pengobatan.”
Enam orang gadis yang berada
di sekitar tempat tidur lalu acungkan jari telunjuk masing-masing. Satu jari
ditekankan ke atas kening Ratu Duyung. Jari kedua ditusukkan di permukaan
leher. Dua jari ditekankan ke bagian dada, satu lagi tepat di atas pusar dan
yang terakhir pada telapak kaki kiri. Salah seorang dari enam gadis memberi
tanda. Lalu tampak jari-jari tangan mereka bergetar halus. Bersamaan dengan itu
satu cahaya biru terang menyilaukan keluar dari enam jari telunjuk, masuk ke
dalam tubuh Ratu Duyung hingga tubuh yang telanjang itu kini tampak terbungkus
oleh sinar terang benderang berwarna biru.
Enam gadis perlihatkan
perubahan pada wajah masing-masing ketika mereka merasa ada satu kekuatan aneh
keluar dari tubuh Ratu Duyung. Dan itu bukan kekuatan atau hawa sakti yang
dimiliki sang Ratu! Mereka coba bertahan. Tiba-tiba tubuh mereka terpental.
Masing-masing keluarkan seruan kaget dan kesakitan. Dengan muka pucat dan mata
mendelik mereka menyaksikan luka aneh pada ujung jari. Dari luka itu mengucur
darah segar.
“Cepat totok urat besar di
lekuk siku!” salah seorang gadis berteriak memberi ingat. Lalu menotok urat
besar di pertengahan lengannya. Lima kawannya segera melakukan hal yang sama.
Kucuran darah segera terhenti. Dari warna darah yang keluar mereka maklum kalau
tidak ada racun masuk ke dalam tubuh mereka. Ini membuat keenam gadis tersebut
merasa agak lega.
Sementara itu di atas tempat tidur
sekujur tubuh Ratu Duyung masih tampak diselimuti sinar biru. Perlahan-lahan
sinar terang itu meredup dan akhirnya sirna sama sekali. Bersamaan dengan
lenyapnya sinar biru sepasang mata Ratu Duyung yang terpejam tampak
bergerak-gerak. Lalu perlahan-lahan mata itu mulai membuka. Sesaat sang Ratu
menatap ke langit-langit ruangan. Otaknya segera bekerja dan menyadari bahwa
dirinya tidak lagi berada di Puri Pelebur Kutuk tetapi di ruang ketidurannya
sendiri. Lalu dia teringat pada pemuda itu.
“Wiro…” katanya menyebut nama
setengah berbisik. “Apakah kau ada di sini…?”
Pandangan mata sang Ratu
mendadak membentur sosok tubuhnya sendiri yang terbaring tanpa mengenakan
apa-apa. Sang Ratu keluarkan seruan tertahan melihat keadaan dirinya. Serta
merta dia menyambar kain beludru dan menutupi tubuhnya. Lalu dengan cepat dia
bergerak duduk.
Melihat hal ini enam orang
anak buahnya segera jatuhkan diri. Masing-masing dilanda rasa takut karena
telah melanggar pantangan besar yaitu melihat tubuh Ratu dalam keadaan tidak
tertutup selembar benang pun. Ratu Duyung menatap paras anak buahnya satu
persatu dengan sepasang matanya yang biru. Ketika- dia hendak membuka mulut
menegur tiba-tiba di kejauhan terdengar suara belasan orang berlarian sambil
berseru tiada hentinya.
“Ratu… Ratu… Ratu…!”
*
* *
212
EMPAT
Di dalam goa yang terletak di
bukit Jatianom di tenggara Gunung Merapi Pendekar 212 Wire Sableng duduk
bersila dengan mata terpejam. Sejak beberapa hari ini dia berusaha
mengheningkan cipta, mengatur jalan nafas serta peredaran darah. Walau dia
mampu melakukan hal itu namun tenaga dalam yang diharapkannya bisa muncul
kembali tidak kunjung menjadi kenyataan.
“Agaknya kutukan seratus hari
kehilangan kesaktian itu bukan main-main,” membatin Wiro. Pikirannya yang tadi
bening kini kembali dihantui oleh berbagai pertanyaan.
Pertama sekali dia teringat
pada Ratu Duyung, orang yang kini sangat dibencinya. “Kalau bukan karena dia,
aku tidak akan kehilangan tenaga dalam dan kesaktian. Walau cuma seratus hari
tapi dalam waktu sekian lama sesuatu bisa terjadi mencelakai diriku. Atau
mungkin memang sudah ditakdirkan aku punya jalan nasib seperti ini…?”
Lalu Wiro ingat pula pada
gurunya sendiri yakni Sinto Gendeng serta orang tua sakti berjuluk Kakek Segala
Tahu. “Mereka mendorongku untuk melakukan hal itu. Tidur dengan Ratu Duyung!
Padahal celaka yang aku hadang!” Wiro mengumpat panjang pendek dalam hati.
Tadinya ada terpikir di hati Pendekar 212 untuk pergi ke Gunung Gede menemui
gurunya sesuai dengan anjuran Bunga. Namun setelah dipertimbangkannya lebih
jauh dia memilih untuk tetap mendekam saja di goa di bukit Jatianom itu.
Wiro memandang ke dinding goa
sebelah kiri. Di situ dia membuat guratan-guratan pendek untuk menghitung hari.
Ada tujuh guratan berarti sudah tujuh hari dia berada di tempat itu sejak Bunga
meninggalkannya.
“Bunga…” desis Wiro. “Kau
mencemburui Ratu Duyung. Satu bukti kau mencintai diriku. Aku berdusta kalau
kukatakan aku tidak mencintaimu. Namun selain kita berada dalam dua dunia yang
berbeda, dasar cinta dalam diriku agaknya tidak memungkinkan kita untuk
bersatu. Aku… ah!” Wiro menghela nafas berulangkali. Ingatannya melayang pada
Bidadari Angin Timur. “Aku begitu mencintai-nya sepenuh hati. Aku tidak
dapat-menerka bagaimana hatinya sendiri terhadapku. Terakhir sekali waktu
berpisah di Pangandaran dia memakai dalih mengurus jenazah saudara kembarnya
untuk menghindar bersamaku. Padahal dulu aku sudah membawa dan mempertemukannya
dengan Eyang Sinto Gendeng. Tega sekali dirinya. Namanya pun tak mau diberi tahu
padaku. Kalau aku hanya bertepuk sebelah tangan apakah aku harus meneruskan
cinta gila ini? Aku bisa mampus sendiri!” Wiro lalu garuk-garuk kepala
berulangkali.
Dari balik baju putih
pemberian Bunga, Pendekar 212 keluarkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Walau dia
telah berulangkali membaca isi kitab itu dan boleh dibilang hafal setiap
kalimat di dalamnya namun saat itu Pendekar 212 kembali menekuni apa yang
tersurat dan tersirat. di dalamnya.
Bilamana datang kebenaran
maka meraunglah para iblis
pembawa kejahatan
Kejahatan mungkin bisa berjaya
Tapi pada saat kebenaran dan
keadilan muncul
tak ada satu kekuatan lain
mampu membendungnya
Wiro berhenti membaca. Dia
merenung. “Apakah saat ini ada kebenaran dan keadilan untuk diriku…?” Lalu baru
meneruskan membaca.
Kejahatan membakar dan merusak
laksana api
Tetapi api itu sendiri
sebenarnya
adalah kekuatan dahsyat
Yang diarahkan para Dewa untuk
membakar mereka
Bilamana api memusnahkan
mereka maka penyesalan tiada berguna
“Gila! Ini cocok dengan
keadaan diriku! Api telah memusnahkan diriku. Penyesalan tiada berguna! Aku
harus merasa sengsara selama sembilan puluh tiga hari lagi!”
Wiro sampai ke halaman ketiga.
Dia membaca dengan tekun. Walau kadang-kadang dia tampak cengar-cengir, merutuk
dan mengomel namun membaca Kitab Putih Wasiat Dewa itu dapat menentramkan
hatinya.
Delapan Sabda Dewa adalah
delapan jalur keselamatan.
Tanah Sabda Dewa Pertama.
Manusia berasal dan dijadikan
dari tanah
Kepada tanahlah manusia akan
kembali
Karenanya manusia tidak boleh
congkak dan takabur
dan harus ingat bahwa dirinya
berasal dari gumpalan debu yang hina
Yang kuasa kemudian memberikan
kehormatan,
menjadikannya makhluk pilihan
karena memiliki pikiran
yang membedakannya dengan
binatang
Tanah bagian dari bumi ciptaan
Yang Kuasa
diberikan kepada manusia untuk
tempatnya berlindung diri, berkaum-kaum dan mencari rezeki
Karenanya tidaklah layak kalau
manusia me-rusak tanah dan bumi untuk maksud-maksud keji serta berbuat
kejahatan di atasnya
Tanah dan bumi diberikan Yang
Kuasa untuk kebahagiaan ummat manusia.
Karenanya manusia wajib
berterima kasih dengan jalan memeliharanya.
Tanah tempat kaki berpijak. Di
mana bumi dipijak di situ langit dijunjung
Ketika tanah dijadikan ajang
pertumpahan para Dewa pun gelisah dalam duka dan kecewa
Mengapa manusia tidak berpikir
dan berterima kasih?
Lama Wiro termenung. Kalimat
terakhir yang barusan dibacanya berkesan mendalam di lubuk hatinya. “Mengapa
manusia tidak berpikir dan berterima kasih…?” Wiro garuk-garuk kepala. Dia
menatap jauh ke luar goa. Ke arah tetumbuhan menghijau serta sungai kecil yang
mengalir di bawah sana. “Mungkinkah aku yang tidak berpikir dan tidak berterima
kasih dalam hidup ini? Hingga mengalami celaka seperti sekarang ini?! Di dalam
kitab ini tertulis para Dewa pun gelisah dalam duka dan kecewa. Hemmm…. Dewa
saja bisa gelisah, duka dan kecewa. Apalagi aku si sableng ini! Hik… hik… hik!”
Wiro tertawa sendiri dan kembali garuk-garuk kepala.
Kemudian Wiro meneruskan
membaca Sabda Dewa Kedua, terus Sabda Dewa Ketiga.
Api Sabda Dewa ketiga
Ketika kecil menjadi kawan
Sewaktu besar menjadi lawan
Mengapa manusia tidak mau
berpikir dalam mencari manfaat dari pada kualat?
Api membakar seganas iblis
Di dalam tubuh manusia ada api
yang mampu merubah manusia menjadi iblis
Barang siapa tidak mampu
melawan api, bumi dan tanah akan meratap, air akan menangis, manusia akan
menjadi api untung neraka
Para Dewa terhempas dalam
perkabungan
Wiro meneruskan bacaannya.
Bulan Sabda Dewa Kelima
Sumber kesejukan dunia ini
muncul di kala malam
Tiada keindahan melebihi malam
dengan rembulan penuh memancarkan cahayanya yang lembut
Mengapa manusia tidak bisa
selembut sinar rembulan?
Padahal manusia memiliki
pikiran, bulan tidak
Padahal manusia memiliki hati,
rembulan tidak
Bukankah kelembutan sinar
rembulan mencerminkan perasaan kasih?
Kasih dari orang tua terhadap
anaknya
Kasih seorang pemuda pada
gadis curahan hatinya
Kasih sesama insan
Bahkan binatang pun mempunyai
rasa kasih
Lalu mengapa manusia terkadang
melupakan-nya?
Mengapa kasih dapat berubah
menjadi kebencian yang mendatangkan azab dan sengsara?
Dari siapa para Dewa akan
mendapatkan jawaban?
Sampai di situ kembali Wiro
merenung. Terbayang lagi di pelupuk matanya wajah Ratu Duyung, Bunga, Bidadari
Angin Timur lalu muncul paras jelita Puti Andini alias Dewi Payung Tujuh.
“Ada rembulan di hatiku, ada
rembulan di hati mereka. Tapi rembulanku dan rembulan mereka tidak sama. Apa
yang aku dambakan tak pernah terkabul.” Lalu kembali kekonyolan muncul dalam
dirinya. Sambil menggaruk kepala dia berkata. “Kalau Dewa tak kunjung
mendapatkan jawaban, bagaimana aku si sontoloyo ini! Ha… ha… ha!”
Tersentuh oleh kalimat-kalimat
dalam Sabda Dewa Ke-lima itu Pendekar 212 lalu ambil Kapak Naga Geni 212.
Beberapa lamanya dipandanginya senjata mustika sakti yang kini tidak mempunyai
kekuatan dan kemampuan apa-apa lagi bagi dirinya. Senjata warisan Eyang Sinto
Gendeng ini lalu diusap-usapnya di bagian mata dan gagangnya yang terbuat dari
gading putih. Matanya memperhatikan enam buah lobang di gagang kapak serta
ujung gagang yang berbentuk kepala naga. Selama ini jarang sekali dia
memperhatikan senjata itu dengan seksama karena selalu disimpan dan
disembunyikan di balik pakaian. Baru di-keluarkan kalau menghadapi bahaya. Kini
memandangi senjata itu seolah baru menyadari, Wiro ingat bahwa gagang Kapak
Naga Geni 212 bisa berubah menjadi sebuah seruling yang jika ditiup dengan
mempergunakan tenaga dalam dapat merusak telinga dan mengacaukan jalan darah
musuh!
Perlahan-lahan Wiro angkat
senjata itu yang kini terasa begitu berat. Mulut kepala naga didekatkannya ke
bibirnya. Dia mulai meniup. Walau tidak lagi memiliki tenaga dalam namun tiupan
yang dilakukan Wiro cukup menggetarkan, penuh gelora perasaan. Nyanyian yang
mencuat dari seruling gagang kapak sakti itu melantun lembut berhiba-hiba. Wiro
tidak tahu entah berapa lama dia meniup. Lebih dari itu juga tidak mengetahui
kalau tak jauh dari goa seorang gadis berpakaian biru yang duduk , di atas
sebuah batu, mendekam bersembunyi di balik serumpun semak belukar termenung
sendu mendengar suara tiupan serulingnya. Sepasang matanya yang bagus tampak
berkaca-kaca. Beberapa kali hatinya berontak mendorong agar segera keluar dari
persembunyiannya dan menemui Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun setiap dirinya
terbujuk seolah ada kekuatan yang melarangnya untuk tidak melakukan hal itu.
Seolah ada bisikan di
telinganya. “Menemui pemuda itu akan mendatangkan seribu kebahagiaan dalam
dirimu. Namun dibalik kebahagiaan itu mungkin akan muncul berbagai malapetaka
yang akan menimbulkan duka derita bagi masa depanmu….”
Bisikan tadi membuat gadis
berbaju biru itu tidak beranjak dari batu yang didudukinya. Namun mendadak
terdengar suara bisikan lain.
“Jangan mendustai diri
sendiri. Kau sadar se-penuh hati bahwa kau mencintai pemuda itu. Selama ini kau
berlari dalam lingkaran menipu diri sendiri. . Apakah tujuan dan akhir
perjalanan hidup seorang gadis kalau bukan dicintai dan mencintai? Kau tahu dia
mencintaimu. Kau mencintai dirinya. Apalagi yang kau tunggu? Apa kau baru akan
menyatakan cintamu setelah kau menjadi seorang nenek atau setelah terlambat
karena orang yang kau cintai itu jatuh ke tangan gadis lain? Jangan bersikap
buta. Bukan hanya kau seorang yang mencintainya. Kau tahu bahkan kenal sederetan
gadis-gadis cantik yang mencintainya setulus hati….”
Bisikan terakhir ini sangat
mempengaruhi gadis berbaju biru yang bukan lain adalah Bidadari Angin Timur.
Sejak berpisah di Pangandaran dulu perasaan cinta kasihnya terhadap Pendekar
212 sulit ditekan dan disembunyikannya. itulah sebabnya setelah mengurus
jenazah saudara kembarnya yang menemui ajal di tangan Pangeran Matahari,
Bidadari k Angin Timur berusaha mencari pemuda itu, Kini setelah melalui
perjalanan panjang akhirnya dia berhasil mengetahui kalau Pendekar 212 Wiro
Sableng berada di sebuah goa di bukit Jatianom. Walau ada perasaan heran
mengapa sampai Wiro tersesat ke bukit itu dan apa yang tengah dilakukannya
namun perasaan ingin bertemu membuat Bidadari Angin Timur melupakan
segala-galanya. Kini setelah dia berada begitu dekat dengan pemuda tersebut
kembali kebimbangan melanda dirinya.
Dengan ujung pakaian birunya
Bidadari Angin Timur mengusut pinggiran matanya yang basah. Ditebarkannya
hatinya lalu bangkit berdiri. Namun gerakannya hendak meneruskan langkah
tertahan ketika ada dua bayangan berkelebat. Dua gadis cantik mengenakan
pakaian ketat dengan belahan dada sangat lebar muncul tak jauh dari tempatnya
berada.
Dalam kejutnya Bidadari Angin
Timur segera mengenali siapa adanya dua gadis itu. “Anak-anak buah Ratu Duyung.
Ada apa mereka datang ke sini? Jangan-jangan untuk menjemput Wiro. Ah….” Dada
Bidadari Angin Timur berdebar keras. Mukanya menjadi merah oleh rasa cemburu
yang amat sangat. “Mungkin hubungan Wiro dengan Ratu Duyung sudah sangat jauh
daripada yang aku bayangkan. Belum lama berselang kuketahui dia berada di
tempat kediaman gadis bermata biru itu. Mungkin dia telah menjadi milik sang
Ratu. Mungkin aku sudah terlambat seperti yang dikatakan suara bisikan tadi….”
Tak mampu berpikir lebih jauh
akhirnya Bidadari Angin Timur menuruni bukit ke arah selatan, matanya basah
berurai tangis.
*
* *
212
LIMA
Belum hilang kejut Ratu Duyung
dan para gadis yang ada dalam ruangan ketiduran itu belasan anak buah Ratu
Duyung telah menghambur masuk ke tempat itu. “Kalian berani masuk ke tempat ini
tanpa izinku?!” bentak Ratu Duyung.
“Ratu! Kami…”
“Diam!” hardik sang Ratu
dengan mata membeliak. Kemudian dia melihat ada kelainan pada pakaian dan
keadaan diri semua anak buahnya yang barusan masuk ke tempat itu. Dia melihat
gadis-gadis ini mengenakan pakaian dalam keadaan setengah basah. Rambut mereka
juga kuyup dan air dari tubuh mereka jatuh menetes membasahi lantai. Namun di
balik semua itu sang Ratu melihat satu keanehan yang selama ini mustahil
terjadi. Mendadak jantungnya berdebar keras dan tengkuknya terasa dingin.
“Ratu dalam keadaan tidak
sehat! Kalian semua harap segera meninggalkan ruangan ini!” Salah seorang dari
enam gadis yang ada di sisi tempat tidur membentak.
Ratu Duyung angkat tangan
kanannya. Dengan suara bergetar dia berkata. “Salah seorang dari kalian yang
baru masuk lekas menerangkan apa yang terjadi!”
Seorang gadis yang rambutnya
basah riap-riapan di depan dada maju dua langkah dan menjura. Sebelum sempat
bicara dia sudah sesenggukan duluan. Teman-temannya yang lain juga tampak
berusaha menahan isak. Enam gadis di samping tempat tidur menjadi heran. Ratu
Duyung sendiri seperti tidak dapat menahan gemuruh di dadanya.
“Lekas jelaskan! Jangan
pikiranmu mempengaruhi hatimu!” ujar Ratu Duyung dengan suara masih keras
padahal dia sendiri saat itu sebenarnya sudah tidak dapat menahan hati.
“Ratu, kami mengalami kejadian
aneh. Seperti biasa pagi ini kami semua pergi ke telaga untuk mandi dan
mencuci. Begitu kami menyentuh air sepasang kaki kami tidak berubah menjadi
ekor ikan. Kami…” Ucapan si gadis tersendat. Ada air mata meluncur di kedua
pipinya.
“Teruskan keteranganmu!”
bentak Ratu Duyung,
“Kami… kami tidak percaya
melihat hal itu. Ramai-ramai kami lalu masuk ke dalam telaga. Terus kebagian
yang paling dalam. Sampai tubuh kami tenggelam sebatas leher, sosok kaki kami
tetap tidak berubah menjadi ekor ikan….” Sampai di situ si gadis tak dapat lagi
menahan tangisnya. Kawan-kawannya yang lain juga mulai tersedu sedan.
“Ratu…. Apakah kami telah
bebas dari kutukan selama bertahun-tahun itu?” Salah seorang dari para gadis
yang berpakaian basah bertanya.
Ratu Duyung tidak bisa segera
menjawab. Pikirannya melayang pada saat-saat ketika dia berada berdua-duaan
dengan Wiro Sableng di atas tempat tidur di Puri Pelebur Kutuk. Saat itu walau
mereka berdua tidak lagi mengenakan pakaian dan tak ada selembar benang pun
yang membatasi tubuh mereka, namun Wiro sama sekali belum melakukan apa-apa.
Pemuda itu belum sampai pada keadaan untuk membuatnya lepas bebas dari kutukan.
Namun saat ini mengapa belasan anak buahnya muncul memberitahu bahwa tubuh
mereka sama sekali tidak mengalami perubahan kendati tersentuh air? Apakah
mereka telah bebas dari kutukan termasuk dirinya dan enam gadis yang sebelumnya
ada bersamanya?
Untuk beberapa lamanya keadaan
dalam ruangan besar itu menjadi sunyi. Hanya sedu-sedan tertahan yang terdengar
di sana sini. Enam gadis di dekat Ratu Duyung memandang pada pimpinan mereka
seolah hendak bertanya apa yang akan dilakukan.
Ratu Duyung tutupkan kain
beludru biru di tubuhnya lalu dia turun dari atas tempat tidur.
“Ratu, harap jangan turun
dulu. Kau masih dalam keadaan terluka…” seorang gadis mengingatkan.
“Aku sudah sembuh. Bukankah
kalian telah menolongku mengusir kekuatan aneh yang coba .mendekam dalam
diriku? Kalian berhasil walau terpaksa harus mengalami luka di jari
masing-masing…. Anak-anak, aku dan enam temanmu belum membuktikan sendiri.
Namun aku percaya. Kebesaran pertolongan Tuhan telah datang menolong kita. Aku
yakin saat ini kini semua telah bebas dari kutukan yang selama ini jatuh atas
diri kita….”
Ruangan itu jadi ramai oleh
berbagai suara. Ada gadis yang bersorak gembira, ada yang mengangkat-angkat
tangan tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Ada juga yang kembali
sesenggukan.
“Anak-anak saat ini kita
pantas bersyukur. Kalian semua ikut aku menghadap ke timur. Kita sama-sama
bersujud menyatakan syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa!”
Lalu Ratu Duyung memutar tubuh
menghadap ke timur dan bersujud. Apa yang dilakukannya diikuti oleh semua anak
buahnya. Sambil bersujud banyak di antara mereka yang tak dapat lagi menahan
tangis.
Ratu Duyung berdiri. Dia
memandang pada enam gadis di hadapannya. “Aku tahu, seperti aku kalian tentu
sudah tidak sabar untuk membuktikan apakah kita benar-benar telah bebas.
Ambilkan pakaian pesalin untukku. Lalu kita semua menuju telaga….”
Semua gadis yang ada di situ
serta merta memberi jalan pada sang Ratu dan enam temannya. Mereka
beramai-ramai menuju ke telaga yang terletak di satu jalan menurun menuju
pedataran rendah berbentuk lembah kecil dikelilingi bebatuan.
Ratu Duyung sesaat tegak di
pinggiran telaga. Enam anak buahnya berjajar di belakangnya. Seperti tidak
sabaran sang Ratu kemudian melompat menerjunkan diri ke dalam telaga, langsung
menyelam di bagian paling dalam. Enam anak buahnya mengikuti. Tak lama kemudian
kepala Ratu Duyung muncul di permukaan air. Senyum suka cita kelihatan di
wajahnya yang jelita. Sepasang matanya bersinar indah. Dia mengangkat kedua
kakinya ke permukaan air. Ternyata sepasang kakinya yang bagus tidak berubah
menjadi ekor ikan. Para gadis di sekelilingnya bersorak sorai. Ratu Duyung
angkat tangan kanannya lalu berteriak keras.
“Terima kasih Tuhan! Kau telah
menolong kami! Saat ini kami semua bebas dari kutukan. Terima kasih… terima
kasih Tuhan!”
Ucapan sang Ratu serta merta
diikuti oleh belasan anak buahnya. Suara para gadis itu menggemuruh di seantero
telaga. Di tepian telaga Ratu Duyung kemudian mengumpulkan anak buahnya.
“Kita telah berterima kasih
pada Tuhan, namun kita juga harus berterima kasih pada seseorang. Tuhan menjadi
Yang Maha Besar dan Ma ha Kuasa menolong kita. Tapi orang itu adalah seolah
kunci wasiat yang diberikan Tuhan untuk membuka pintu menolong kita keluar dari
kutukan….”
Walau banyak yang sudah dapat
menduga namun salah seorang dari anak buah Ratu Duyung ajukan pertanyaan.
“Kalau kami boleh tahu Ratu,
siapakah adanya orang itu?”
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng. Pemuda gondrong yang tempo hari pernah kita jatuhi hukuman
bersama si Dewa Ketawa. Yang hari ini kembali berkunjung ke sini dan ikut
bersamaku masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk.”
“Kalau memang dia orangnya
kita pantas mencarinya untuk mengucapkan terima kasih. Dimanakah dia sekarang
Ratu…?”
“Dia tidak ada di sini lagi.
Justru hal inilah yang membuatku gelisah. Ketika kami berdua berada di Purl
Pelebur Kutuk tiba-tiba ada makhluk berwujud perempuan mengenakan pakaian serba
putih, cantik tapi bermuka pucat muncul dan melarikan pemuda tuan penolong kita
itu….”
“Jika ada orang berniat jahat
padanya, karena dia memiliki ilmu silat tinggi dan kesaktian pasti dia mampu
menghajar prang itu!” kata salah seorang gadis dalam ruangan.
Ratu Duyung terdiam. Di
wajahnya jelas tampak bayangan rasa gelisah.
“Ratu, apakah kau menghadapi
kesulitan? Katakan pada kami agar kami bisa membantu memecahkan masalahnya,”
ujar gadis yang tegak tepat di samping kanan Ratu Duyung.
Sang Ratu menggigit-gigit
bibirnya. “Sebenarnya hal ini tidak perlu aku beritahukan pada kalian. Namun
pengorbannya begitu besar. Aku tak ingin menutupi kebesaran jiwa dan hatinya.
Biarlah aku berterus terang,…” Setelah memandang berkeliling maka berkatalah
sang Ratu bermata biru itu. “Seolah sudah ditakdirkan, kutukan yang menimpa diri
kita selama bertahun-tahun hanya mampu dimusnahkan jika ada seorang pemuda yang
aku cintai dan juga mengasihi diriku, melakukan hubungan badan denganku bukan
berdasarkan nafsu. Pemuda itu ternyata adalah seorang Pendekar 212 Wiro
Sableng. Bukan saja karena dia seorang tampan atau sakti, tetapi karena dia
seorang bujangan. Maksudku masih perjaka….” Paras sang ratu sesaat tampak
merah. Lalu dia melanjutkan. “Kali pertama dia datang ke sini aku tak berhasil
meyakinkan dirinya untuk menolong diriku dan diri kalian. Kemudian entah apa
yang merubah hatinya, pada pertemuan di Pangandaran di mana Pang era n Matahari
berhasil dibunuhnya dia bersedia ikut ke sini. Kami masuk ke dalam Puri Pelebur
Dosa. Pada saat dia melakukan pertolongan tiba-tiba ada makhluk berwujud
perempuan muda cantik tapi berwajah pucat, berpakaian kebaya panjang dan kain
putih masuk ke dalam Puri. Anehnya Pendekar 212 tidak dapat melihatnya sedang
aku bisa melihat jelas. Aku maklum kalau orang ini bukan manusia sembarangan,
sebangsa makhluk halus yang bisa memperlihatkan diri dalam wujudnya yang asli.
Ketika aku sadar dia hendak melarikan Pendekar ,212 aku segera menyerangnya
dengan pukulan sakti. Perempuan berkebaya putih balas menyerang dengan sebuah
benda berwarna kuning kehijauan dan menebar bau bunga kenanga. Aku berhasil
menghantam hancur senjatanya yang ternyata sekuntum kembang kenanga itu. Namun
ternyata dia memiliki kepandaian dan kesaktian jauh melebihi diriku. Kembang
kenanga hancur, aku sendiri terbanting ke atas tempat tidur. Menderita luka
dalam yang cukup parah. Sebaliknya Pendekar 212 Wire- Sableng kulihat roboh
pingsan. Dalam keadaan tak berdaya aku hanya bisa berteriak sewaktu perempuan
itu melarikan Wiro. Aku sendiri kemudian tak sadarkan diri. Baru siuman setelah
kalian menolongku. Aku berterima kasih pada kalian…. Dan aku begitu bahagia
serta bersyukur pada Tuna n bahwa ternyata kita semua kini telah terbebas dari
kutukan yang selama ini membuat kita hidup setengah manusia setengah ikan.
Namun kebebasan itu dibayar mahal oleh Pendekar 212. Selama seratus hari dia
akan kehilangan semua ilmu kepandaian yang dimilikinya. Termasuk ilmu silat,
kesaktian dan tenaga dalam, itulah yang aku gelisahkan… Aku tidak dapat
memastikan apakah perempuan muda yang menculik Pendekar 212 bermaksud jahat
atau baik.”
Untuk beberapa lamanya ruangan
itu menjadi sunyi. Lalu terdengar suara beberapa orang berbisik-bisik. Ratu
Duyung memandang berkeliling. Sesaat kemudian dia berkata. “Ada di antara
kalian yang ingin mengatakan sesuatu? Jangan kasak kusuk berbisik-bisik. Aku
tidak melihat Manumi dan Kiani. Di mana mereka?”
Beberapa orang gadis memandang
pada Nandiri. Anak buah Ratu Duyung yang satu ini melangkah ke hadapan sang
Ratu lalu menjura. “Ratu, pasti kau tidak berkenan dengan keterangan ini. Manumi
dan Kiani tengah melakukan pengejaran terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Melakukan pengejaran?” ujar
Ratu Duyung dengan sepasang mata biru membesar. Dadanya berdebar. Dia yakin
telah terjadi satu kekeliruan. “Mengejar dengan maksud apa?!”
“Ratu, setelah mendengar
keterangan Ratu tadi jelas di antara kami termasuk saya telah melakukan
kesalahan. Waktu saya dan lima teman mendengar jeritan Ratu menyusul runtuhnya
sebagian bangunan Puri Pelebur Kutuk, kami langsung menerobos masuk. Kami temui
Ratu dalam keadaan luka parah, setengah pingsan dan berteriak kejar! Sebelumnya
kami mengetahui bahwa Ratu masuk ke dalam Puri bersama pemuda itu. Kami dan
kawan-kawan mengira tidak dapat tidak pemuda itulah yang telah berlaku jahat
mencelakai Ratu….”
“Ya Tuhan!” Ratu Duyung tutup
wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Teruskan keteranganmu Nandiri!”
“Kami segera membagi tugas.
Beberapa orang tetap tinggal untuk menolong Ratu. Kami mengejar dengan
mengandalkan ilmu menyirap detak jantung. Saya berhasil mengetahui kalau pemuda
itu lari ke jurusan barat. Namun karena mengalami luka dalam akibat hantaman
balik hawa aneh, saya terpaksa kembali. Manumi dan Kiani melanjutkan
pengejaran…. Saya benar-benar khawatir Ratu. Karena mengira pemuda itu telah
berbuat jahat, jangan-jangan mereka berniat membunuhnya!”
Ruangan itu sunyi senyap
seperti di pekuburan.
Ratu Duyung tegak tak
bergerak. Kedua matanya dipejamkan. Hatinya dilanda kecemasan luar biasa.
“Wiro… pemuda itu kini tidak memiliki secuil ilmu pun! Manumi dan Kiani dengan
mudah bisa membunuhnya! Ya Tuhan! Aku harus bertindak cepat!”
Dari bawah bantal Ratu Duyung
mengeluarkan cermin sakti berbentuk bulat. Dia menatap tak berkesip ke dalam
cermin itu sambil membayangkan paras Pendekar 212 Wiro Sableng. Mula-mula dia
melihat laut biru. Lalu deretan pulau-pulau. Ada sinar terang di sebelah kanan
cermin kemudian gelap dan perlahan-lahan muncul satu daratan. Lalu samar-samar
tampak puncak sebuah gunung. Menyusul bayangan seperti sungai lalu muncul
kilatan-kilatan aneh. Bersamaan dengan itu satu hawa dingin me-rambas masuk ke
dalam tubuh sang Ratu lewat jari-jari tangannya yang memegang cermin.
Pada puncak rasa dingin yang
membuat dia tidak tahan Ratu Duyung terpekik. Cermin bulat dilemparkannya ke
atas tempat tidur. Dia cepat kerahkan tenaga dalam, mengatur jalan nafas dan
peredaran darahnya.
Sebenarnya Ratu Duyung
memiliki kesaktian yang disebut “Menembus Pandang”. Seperti telah dituturkan
dalam serial Wiro Sableng berjudul “Wasiat Sang Ratu” ilmu kepandaian itu telah
diberikannya kepada Pendekar 212 Wiro Sableng dengan akibat dia sendiri
kehilangan kemampuan untuk mempergunakan ilmu itu selama 777 hari. Karenanya
dia terpaksa memakai cermin bulat sakti untuk menjajagi di mana kira-kira
beradanya Pendekar 212. Ternyata ada satu kekuatan aneh yang tidak sanggup
ditembus Ratu Duyung yang melindungi diri Pendekar 212.
“Ratu! Kau tak apa-apa?!” seru
Nandiri sementara semua anak buah Ratu Duyung juga tampak dicekam rasa
khawatir.
“Ada hawa aneh…” kata Ratu
Duyung perlahan. “Ada satu kekuatan yang melindungi Pendekar 212, membuat
cermin sakti ini tidak mampu mengadakan sambung rasa dengan pemuda itu. Aku
yakin perempuan bermuka pucat itu yang jadi penangkalnya…. Namun ilmu aneh
seperti itu hanya bertahan beberapa hari. Setelah itu tak ada satu kekuatan pun
yang akan melindungi Pangeran 212! Aku harus pergi sekarang juga!”
Nandiri maju selangkah.
“Ratu, kalau kau mau memberi
izin, biarkan saya dan beberapa teman mengejar Kiani dan Manumi serta mencari
Pendekar 212. Saya sudah tahu kira-kira di arah mana pemuda itu berada. Dengan
melakukan hal ini saya berharap bisa menebus kesalahan.”
Ratu Duyung menggeleng.
“Kalian tetap di sini sampai
aku kembali. Se-belum pergi ada satu keputusan besar yang harus aku beritahukan
pada kalian semua. Sekembalinya dari perjalanan aku akan tetap tinggal di
tempat ini. Kalian boleh memilih, ingin tetap tinggal di sini bersamaku atau
dengan segala kebebasan yang ada kembali ke dunia darimana dulu kita semua
berasal. Urusan dengan sesepuh kita yang telah menjatuhi hukuman kutukan biar
aku sendiri yang menyelesaikan….”
Semua yang ada di tempat itu
berdiam diri. Tak ada yang berani memberikan jawaban. Anak buah Ratu Duyung
tundukkan kepala dengan wajah sedih.
“Ratu,” kata Nandiri lagi-lagi
mewakili teman-temannya. “Kami mohon petunjuk. Apa yang akan kami lakukan
terhadap orang tua yang saat ini berada di Ruang Penyembuhan?”
“Jaga dia baik-baik. Jangan
berbuat sesuatu apa sampai dia siuman sendiri. Dia boleh menetap di sini sampai
kesembuhannya. Jika dia minta pergi antarkan dia sampai ke Pintu Gerbang
Perbatasan.”
“Perintah Ratu akan kami
laksanakan. Sementara Ratu pergi, kami akan menunggu di sini. Ke-putusan apapun
yang akan diambil oleh kami nanti saja kita bicarakan. Kami berdoa untuk keselamatan
Ratu.:..”
Ratu Duyung memegang bahu anak
buahnya itu. Lalu diambilnya cermin bulat dari atas tempat tidur. Dia memberi
isyarat pada beberapa orang gadis. Lalu mereka melangkah menuju ke sebuah
ruangan di mana Ratu Duyung berganti pakaian.
*
* *
212
ENAM
Sosok tua basah kuyup itu
tergantung kaki ke atas kepala ke bawah. Tali penggantungnya berbentuk aneh.
Bukan merupakan tali biasa tetapi menyerupai selarik sinar berwarna biru. Air
menetes dari sekujur tubuh, pakaian dan rambut orang tua itu. Juga tampak air
keluar dari lobang telinga, hidung dan yang paling banyak dari mulutnya.
Ketika dia siuman dan dapatkan
dirinya dalam keadaan seperti itu – si orang tua terheran-heran namun juga
memaki sambil matanya memandang jelalatan berkeliling.
“Setan alas! Siapa yang
menggantung aku begini rupa…?!”
Suara makiannya terhenti dan
lidahnya seperti mau ditelannya sendiri ketika dia melihat apa yang ada di
sekitarnya.
Si kakek pejamkan matanya.
“Aku harus mengingat.,.. Apa
yang telah terjadi dengan diriku sebelumnya. Apa saat ini aku sudah mati dan
berada di neraka atau di sorga? Hik… hik! Otak tumpul tua bangka ini tak mau
segera diajak bekerja!”
Si prang tua gerakkan tangan
kanannya yang terkulai ke bawah. Dengan tangannya ini dipukul-pukulnya batok
kepalanya.
“Duk… duk… duk!”
Air mengucur makin banyak dari
telinga, hidung dan mulutnya. “Otak tua! Ayo lekas mengingat! Apa yang terjadi
sebelumnya? Hemmmm…. Bagus! Oia mulai bekerja…. Aku mulai bisa mengingat. Aku
meninggalkan pulau itu. Naik perahu. Di tengah laut tahu-tahu muncul dukun
keparat itu. Ah… ternyata dia adalah Sika Sure jelantik! Membawa dendam asmara
berdarah, ingin membunuhku dengan ilmu kilat kuku akhirat! Ilmu kesaktian tua
bangka itu ternyata memang hebat. Aku tak mampu menghadapi pukulan saktinya.
Aku terlempar dari atas perahu layar. Mungkin… mungkin aku merasakan ada
sesuatu menarik kakiku. Lalu air laut menyerbu semua lobang di tubuhku. Lobang
telinga, mata, hidung, mulut… lobang dubur. Ah yang satu ini tidak! Lalu aku
tak ingat apa-apa lagi. Sekarang begitu sadar berada di mana aku ini? Kalau di
neraka mengapa aku melihat begini banyak gadis berwajah cantik seolah bidadari
mengelilingiku! Kalau aku di sorga mengapa orang menggantungku kaki ke atas
kepala ke bawah? Aku harus meloloskan diri!”
Si orang tua perhatikan tali
yang mengikat kedua pergelangan kakinya. “Tali aneh…” desisnya. “Tak lebih dari
pada sebentuk sinar berwarna biru. Aku mau lihat sampai di mana kehebatannya!”
Segera orang tua ini kerahkan tenaga dalamnya. Tangannya kiri kanan diputar
demikian rupa hingga tubuhnya melayang naik ke atas dan, “Wuuttt!”
“Gila!” seru orang tua itu.
“Jelas tanganku tadi memapas tali itu. Tapi seperti aku menggebuk udara
kosong!” Sepasang mata si orang tua yang lebar jadi bertambah besar. Kembali
dia melayangkan tubuhnya ke atas dan memukul dengan pinggiran telapak tangan.
Sampai berulangkali dilakukannya tetap saja dia seolah memukul udara kosong.
Tali bersinar biru itu tak dapat ditebas putus.
“Hemmmm… ada orang jahil
hendak bercanda denganku. Dikiranya aku tolol! Tali tak bisa kuputus tapi
langit-langit ruangan ini masakan tak mampu kujebol! Sekali kuhantam runtuh,
tubuhku pasti terjatuh lepas!” Orang tua ini tertawa mengekeh. Kembali dia
salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan, Sesaat lagi dia hendak menghantam ke
atas tiba-tiba terdengar suara suitan keras. Disusul oleh suara angin mendesir.
Secara aneh tali yang mengikat
pergelangan kaki si orang tua bergerak melenting. “Sret… sret… sret!” ikatan
tali biru lepas. Lalu lenyap dari pandangan. Bersamaan dengan itu tubuh si
orang tua jatuh deras ke bawah. Orang lain yang tidak mempunyai kepandaian
pasti akan langsung amblas ke lantai ruangan. Tapi orang tua ini dengan cekatan
membuat gerakan aneh dan tahu-tahu dia sudah berdiri di atas sepasang kakinya,
memandang jelalatan pada belasan gadis cantik berpakaian ketat, terbelah tinggi
dari kaki sampai ke pinggang dan terbuka lebar di bagian dada.
“Ha… ha… ha! Kini kaki ke
bawah kepala ke atas aku lebih jelas bisa melihat kalian! Tidak seperti tadi
kaki ke atas kepala ke bawah! Ha… ha… hai. Gadis-gadis cantik siapakah kalian?
Apa aku tua bangka buruk ini telah berada di sorga? Hemmm….” Si orang tua
dongakkan kepalanya dan menghirup dalam-dalam. “Udara di sini harum semerbak.
Kalau bukan sorga akhirat pasti aku berada di sorga dunia! Ha… ha… ha!”
“Orang tua! Jangan tertawa
saja! Lihat keadaan pakaianmu! Celanamu merosot hampir lepas ke bawah. Tanaman
rumputmu yang gersang hampir berserabutan….” Ada gadis cantik usil di deretan
belakang berkata dengan suara keras.
“Husss!” seorang gadis cepat
membentak memotong ucapan temannya itu.
Ruangan itu riuh oleh hiruk
pikuk suara tertawa para gadis. Si orang tua bermuka teramat cekung nyaris
menyerupai tengkorak delikkan matanya dan memandang ke bawah. Mula-mula
dilihatnya baju putihnya yang robek besar di bagian dada dan pinggang. Lalu
tampang buruk orang tua ini berubah merah padam ketika dilihatnya keadaan
celananya yang memang telah merosot sampai ke bawah pinggul. Cepat-cepat dia
menarik celana putihnya yang basah itu tinggi-tinggi dan mengikatnya kuat-kuat!
Setelah usap wajahnya beberapa
kali orang tua ini kembali memandang ke arah gadis-gadis cantik di depannya.
Lalu dipukulnya keningnya sendiri dan berkata. “Tololnya tua bangka ini! Aku ingat
siapa kalian adanya. Dua orang di antara kalian pernah muncul di Teluk
Penanjung Pangandaran. Kalian yang cantik-cantik ini pasti anak buah Ratu
Duyung!”
“Orang tua! Tidak salah
dugaanmu. Kami memang anak buah Ratu Duyung. Wakil penguasa laut selatan.”
Salah seorang gadis yaitu Nandiri menjawab.
“Antara aku dan Ratumu tidak
ada silang sengketa, bahkan belum lama berselang kami bertemu di Pangandaran,
sempat berbincang-bincang sebelum dan sesudah tewasnya Pangeran Matahari.
Kenapa tadi aku digantung kaki
ke atas kepala ke bawah? Pasti dia yang memberi perintah!”
“Orang tua, harap kau jangan
salah sangka. Ratu kami sama sekali tidak berniat jahat terhadapmu. Ma lah dia
melakukan hal paling tepat untuk menolongmu! Dengan cara menggantung kaki ke
atas kepala ke bawah, air laut yang telah membusuk dan masuk ke dalam perut,
telinga dan hidungmu dapat dikeluarkan….”
“Hemmm, begitu…?” Si orang tua
remas-remas rambut putihnya yang basah sehingga air yang masih menempel
mengucur jatuh ke lantai. “Hebat juga cara Ratumu menolong. Aku pantas
berterima kasih padanya. Juga pada kalian.”
Si orang tua yang masih dalam
keadaan basah kuyup itu berpaling pada Nandiri lalu tertawa mengekeh. “Kalian
mengenakan baju bagus-bagus, tubuh menebar bau harum. Aku basah kuyup kedinginan
dan bau air laut! Ha… ha… ha! Ayo lekas ceritakan bagaimana aku bisa sampai di
tempat ini?”
“Ratu kami yang menolongmu
orang tua. Dia menemukanmu di tengah laut pada saat terlempar dari atas
perahu.”
“Di mana Ratu kalian sekarang?
Aku ingin bertemu dan mengucapkan terima kasih.”
“Ratu tidak ada di sini. Dia
punya satu urusan penting. Dia pergi tanpa memberitahukan siapa namamu atau
siapa kau adanya. Dia berpesan agar kami melayanimu dan mengizinkan kau berada
di sini sampai sembuh.” Berkata Nandiri.
“Eh, memangnya aku sakit apa?”
tanya si orang tua sambil memandang berkeliling.
“Ratu kami menemukanmu hampir
mati dihantam orang di tengah laut. Kau tak dapat melihat luka dan benjut di
mukamu tapi kau bisa menyaksikan luka di dada dan pinggangmu. Dari hidung,
mulut dan telingamu mengucur air laut campur darah. Kau terluka di dalam Kek!”
Orang tua berpakaian putih
kuyup itu raba dadanya lalu menyeringai. “Kau mungkin benar. Tapi rasanya
sakitku tidak parah benar. Aku berterima kasih kalian turut menolong. Tapi aku
tak bisa tinggal lama-lama di sini….”
“Kami hanya mengikuti perintah
Ratu….”
“Bisa berbahaya!”
“Bahaya? Maksudmu Kek?”
“Kalian semua cantik-cantik.
Mataku belum lamur. Walau sudah tua bangka begini menyaksikan kalian lama-lama
aku jadi salah tingkah. Kalau aku jatuh cinta pada salah satu dari kalian
bagaimana? Kalau cintaku diterima? Kalau tidak? Ha… ha… ha…!”
Ruangan itu menjadi riuh oleh
gelak tawa anak buah Ratu Duyung. Nandiri beranikan diri berkata. “Kek, dalam
keadaan seperti ini kau masih bisa bersenda gurau. Ini kuanggap aneh….”
“Aku memang orang aneh!”
“Sebenarnya kau ini siapa Kek?
Mengapa sampai hampir menemui ajal diserang orang di tengah lautan?”
“Panggil saja aku Tua Gila.
Soal mengapa aku diserang orang di tengah laut aku juga tidak mengerti. Jadi
tak bisa aku ceritakan padamu. Biar nanti kalau aku bertemu dengan si pembunuh
itu akan aku tanyakan padanya! Dan kalau panjang umur jawabannya akan aku
sampaikan pada kalian! Ha… ha… ha!”
Nandiri geleng-gelengkan
kepala. Teman-temannya senyum-senyum.
“Kalian tahu ke mana perginya
Ratu kalian? tadi ada yang mengatakan Ratu punya urusan penting. Sebenarnya
kurasa mungkin dia tidak suka melihat aku si tua buruk ini! Hik… hik! Apakah
aku bisa mendapat jawaban?”
Nandiri membuka mulut.
“Melihat sikap Ratu, nyata dia sangat menghormatimu. Soal kemana dia pergi dan
apa urusannya kami tidak dapat memberi tahu…”
Tua Gila terdiam. “Kalau
begitu aku terpaksa minta diri sekarang. Aku punya urusan penting. Mencari dan
menemui seorang pemuda bernama Wiro Sableng.”
“Pendekar 212?” ujar Nandiri.
“Itu gelarnya!”
Nandiri memandang pada
teman-temannya lalu bertanya pada Tua Gila. “Kek, apa hubunganmu dengan pemuda
itu?”
“Eh, di antara kalian rupanya
ada yang naksir. Kalian mau meminta aku menjadi utusan untuk saling
menjodohkan? Aku tidak keberatan!”
Kembali tempat itu riuh oleh
suara belasan anak buah Ratu Duyung.
“Kek, kau belum menjawab
pertanyaan kami,” ujar Nandiri pula.
“Hemmm…. Pemuda itu adalah
muridku!” jawab Tua Gila.
“Kalau begitu….”
“Kalau begitu apa?”
“Ratu kami justru pergi
mencarinya. Muridmu itu berada dalam bahaya besar….”
Sepasang mata Tua Gila
membeliak besar.
Nandiri lalu menceritakan apa
yang diketahuinya. Mendengar keterangan gadis itu wajah cekung Tua Gila jadi
berubah.
“Aku harus pergi sekarang
juga! Ratumu. mengatakan di mana dia akan mencari Pendekar 212?”
Nandiri dan kawan-kawannya
gelengkan kepala.
Tua Gila putar tubuhnya,
memandang berkeliling. Dia jadi bingung sendiri. Ruangan itu tak ada pintunya.
Tertutup oleh tirai-tirai biru.
“Tunjukkan aku jalan ke luar!”
katanya. Lalu menyeruak di antara gadis-gadis cantik itu.
“Tua Gila kami akan antarkan
kau ke Pintu Gerbang Perbatasan. Tapi sebaiknya kau berganti pakaian dulu,”
kata Nandiri.
“Aku harus bertindak cepat.
Serahkan saja pakaiannya. Biar aku pakai di tengah jalan!” jawab Tua Gila. Lalu
enak saja dia mulai membuka baju putihnya yang basah dan penuh robek. Sebelum
orang tua ini berlaku lebih gila para gadis segera lari berhamburan. Seseorang kemudian
melemparkan seperangkat baju dan celana hitam ke arah orang tua itu.
“Hik… hik…!” Tua Gila tertawa.
“Apa kalian mengira aku ini benar-benar gila lalu mau-mauan membuka celana?!
Dulu dimasa mudaku mungkin aku bisa berbuat gila seperti itu. Tapi sekarang
sudah peot begini rupa, kambing pun tak suka melihatku! Ha… ha… ha!”
Tua Gila menyambut pakaian
yang dilemparkan kepadanya. Sambil melangkah dia cepat mengenakan baju hitam.
Lalu tanpa membuka celana putihnya yang basah kuyup dia langsung saja memakai
celana hitam. Pada saat berpakaian itulah dia ingat sesuatu. Dia meraba-raba
kian ke mari. “Astaga!”
“Ada apa orang tua?” tanya
salah seorang gadis pengawal.
Kawannya menimpali. “Ada
barangmu yang hilang? Tadi kulihat semuanya menempel lengkap di tubuhmu!”
Nandiri dan yang lain-lainnya
tak dapat menahan tawa mendengar ucapan gadis pengawal itu.
“Anak-anak keparat! Jangan
bergurau! Ini bukan urusan main-main! Benda itu hilang!”
“Benda apa, Kek?” bertanya
Nandiri.
“Sebuah kotak terbuat dari
perak, dibungkus kantong kain! Siapa yang berani mencuri?!” Tua Gila memandang
pada keenam gadis itu dengan sorot melotot hingga mereka menjadi kecut.
“Kami tidak pernah melihat
benda itu. Kalaupun ada kami tidak akan mencurinya. Mungkin jatuh di tempat
lain….”
“Atau mungkin Ratu kalian yang
telah mengambilnya!” bentak Tua Gila marah. Yang dicarinya adalah kotak perak
berisi Kalung Permata Kejora titipan Rajo Tuo penguasa Kerajaan pulau Sipatoka.
“Ratu kami tidak akan sekeji
itu! jangankan cuma sebuah kotak perak. Kotak emas pun tidak akan diambilnya!”
Tua Gila komat kamit. Dari
mulutnya terdengar suara menggerendeng.
“Sudahlah! Lekas antarkan aku
ke Pintu Gerbang Perbatasan!” kata orang tua itu kemudian.
Enam orang gadis dibawah
pimpinan Nandiri lalu membawa Tua Gila melewati beberapa lorong bangunan hingga
akhirnya mereka sampai di sebuah bukit. Di bawah bukit terbentang sebuah
pedataran dan di ujung sana tampak sebuah bangunan aneh berbentuk gapura
terbuat dari tumpukan batu-batu hitam.
*
* *
212
TUJUH
Makin dekat ke Pintu Gerbang
Perbatasan makin terasa mencekam bagi enam orang anak buah Ratu Duyung. Mereka
tahu, di seberang pintu gerbang itu terdapat dunia di mana mereka dulu pernah
tinggal. Betapapun senangnya hidup di alam yang sekarang namun tetap saja
mereka merindukan dunia mereka yang lama.
Tua Gila melangkah cepat
meninggalkan keenam orang pengiringnya. Di satu tempat dia hentikan langkah.
Sambil memandang ke depan dia berkata:
“Jadi ini yang disebut Pintu
Gerbang Perbatasan?” Tua Gila perhatikan tumpukan batu-batu hitam yang disusun
secara aneh membentuk satu bangunan gapura yang tampak angker. Angin bertiup
kencang. Setiap mengikis permukaan gapura batu terdengar suara berdesir aneh
hampir menyerupai tiupan seruling.
Enam gadis mengangguk mengiyakan
pertanyaan Tua Gila tadi.
“Di belakang gapura aku
melihat tempat kosong diselimuti awan putih bertebaran rendah. Apa yang ada di
seberang sana?” tanya si kakek kembali.
“Kami tidak tahu apa yang ada
di seberang sana Kek,” jawab Nandiri. “Kami tidak pernah melihat, apa lagi
berada di belakang gapura. Tapi kami yakin itu adalah dunia luar. Duniamu….”
“Kalian manusia-manusia aneh.
Cantik-cantik tapi memilih tinggal di alam seperti ini…”
“Kalau Tuhan menghendaki dan
Ratu memberi izin, tak lama lagi kami akan berada di alam sana Kek. Di duniamu
walau mungkin tetap agak berbeda….”
Tua Gila menarik napas dalam
lalu tertawa mengekeh.
“Aku berterima kasih pada
kalian. Kalian gadis-gadis baik semua. Tapi terus terang aku masih penasaran
mengenai kotak perak itu!”
Lalu sambil meneruskan tawanya
Tua Gila melangkah ke arah tangga batu di bawah Pintu Gerbang Perbatasan.
“Selamat jalan Kek!”
Tua Gila masih sempat
mendengar enam gadis mengucapkan selamat jalan padanya. Sepasang kakinya
melangkah menaiki undak-undak batu pintu gerbang. Sesaat kemudian dia telah
berada di belakang pintu batu itu dan kini mulai melangkah menuruni anak
tangga. Satu… dua… tiga…. Pada langkah ketiga Tua Gila keluarkan seruan
tertahan. Memandang ke bawah dia dapatkan dirinya tidak melangkah di atas batu
tapi seolah melayang di antara tebaran awan putih. Perlahan-lahan awan putih
bersibak menjauh. Tua Gila sekali lagi memandang ke bawah.
“Astaga!” Si kakek terkejut
begitu melihat kini dia melangkah di atas pasir basah. Ketika dia memandang ke
depan dia lebih terkejut. Di depannya terbentang laut luas. Pulau-pulau
bertebaran di mana-mana. Ombak berdebur dan memecah di atas pasir.
“Aneh, bagaimana tahu-tahu aku
berada di tepi pantai seperti ini? Apa aku masih di daratan Andalas atau sudah
di tanah Jawa? Setahuku tempat kediaman Ratu Duyung adalah di pantai selatan
tanah Jawa. Bagaimana mungkin aku yang tadinya berada di daratan Andalas kini
bisa berada sejauh itu? Tapi Ratu Duyung memang punya kekuasaan dan kesaktian
yang tak bisa dijajagi. Aku harus mencari tahu berada di mana saat ini?” Tua
Gila memandang berkeliling. Laut lepas membiru. Tak kelihatan apa-apa selain
pulau-pulau di kejauhan. Dia berpaling ke belakang. Astaga! Pintu Gerbang
Perbatasan tak ada lagi di tempatnya. Enam gadis anak buah Ratu Duyung pun
lenyap dari pemandangan. Perlahan-lahan Tua Gila memandang ke arah laut
kembali. Saat itulah di kejauhan dilihatnya sebuah perahu layar meluncur di
permukaan laut.
Tua Gila angkat tangannya
tinggi-tinggi lalu dilambai-lambaikan berulangkali. Dia tertawa mengekeh ketika
dilihatnya perahu itu membelok lalu meluncur ke arah pantai di mana dia berada.
Orang di atas perahu ternyata
adalah seorang nelayan tua bercaping, mengenakan pakaian lusuh penuh tambalan.
Di lantai perahu bergeletakan ikan-ikan besar segar. Sebagian masih hidup
menggelepar-gelepar. Sebuah jala terhampar di haluan.
“Orang tua berpakaian hitam,
kau melambaikan tangan memanggilku. Agaknya kau tersesat. Pulau ini jarang di
datangi orang. Kami para nelayan tak pernah singgah di sini. Adalah aneh kalau
saat ini aku melihat kau berada di sini. Apa yang kau kerjakan di pulau ini?”
Mendengar logat bicara dan
nada suara orang di dalam perahu Tua Gila segera maklum bahwa dia berada di
salah satu pantai pulau Jawa.
“Nelayan tua, pertanyaanmu
banyak amat! Aku mau menumpang ke satu tempat Tapi lebih dulu aku ingin tahu
aku berada di mana saat ini?!”
“Betul-betul aneh! Kau berada
di situ dan kau tidak tahu berada di mana!”
Tua Gila tertawa mengekeh.
“Maklum saja. Orang tua seperti kita sudah pada pikun. Jadi kau juga tidak tahu
kita berada di mana saat ini?”
“Pulau ini tidak bernama!
Terletak di pantai selatan pulau Jawa….”
“Ah….” Tua Gila menarik napas
lega.
“Kau sendiri perlu apa
sebenarnya?!” Nelayan tua di atas perahu bertanya.
“Aku ingin menumpang ke
daratan sana. Aku dalam perjalanan menuju Gunung Gede….”
“Gunung Gede jauh di sebelah
barat! Paling tidak kau membutuhkan waktu belasan hari untuk sampai ke sana….”
“Boleh aku menumpang?”
“Naiklah. Aku akan membawamu
ke daratan. Tapi tidak ke Gunung Gede!”
Tua Gila tertawa bergelak lalu
melompat naik ke atas perahu. “Hemmmm Rejekimu cukup besar hari ini. Banyak
ikan hasil tangkapanmu kulihat dalam perahu.”
“Lumayan….”
“Seusia tua begini kau masih
melaut. Mengapa tidak menyuruh anakmu saja?”
“Aku tidak punya anak…. Tidak
punya istri! Aku hidup sendiri selama dunia terkembang.” Kata si nelayan pula.
“Hemmm…. Mengapa kau memilih
hidup bujangan terus?”
“Perempuan hanya akan
menimbulkan derita sengsara bagi laki-laki!”
“Ah, kau tentu punya riwayat
hidup yang hebat dimasa mudamu,” kata Tua Gila.
“Betul, tapi aku tidak akan
menceritakannya padamu.”
Tua Gila tertawa lebar, ingat
dirinya sendiri dia lalu berkata. “Aku juga punya sejuta pengalaman bagus
dimasa muda dengan perempuan-perempuan cantik. Tapi semua kini tinggal
kenangan. Ma lah menimbulkan bencana di hari tua….”
“Bencana bagaimana?” tanya
nelayan tua pula. Sepertimu aku pun kini hidup sendirian.”
“Jadi kau tak pernah kawin?”
“Pernah dan sempat punya anak.
Namun kini ibu anakku mencari diriku….”
“ingin agar kau rujuk kembali
atau bagaimana?” tanya si nelayan.
“ingin membunuhku!” jawab Tua
Gila dengan muka masam.
“Nan, apa kataku! Perempuan
hanya menimbulkan bencana bagi kaum laki-laki. Untung aku tidak kawin!”
Setelah diam sesaat nelayan
itu bertanya. “Ada keperluan apa kau ke Gunung Gede?”
“Menyambangi seorang
sahabat.,,.”
“Lelaki atau perempuan? Ah,
aku kira aku tak perlu bertanya. Pasti yang akan kau temui itu seorang
perempuan….”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
tanya Tua Gila.
“Aku cuma menduga. Tapi
dugaanku tidak meleset bukan?”
Tua Gila tertawa lebar. Lalu
dengan polos dia bercerita. “Yang akan kukunjungi itu memang perempuan. Salah
seorang kekasihku dimasa muda….”
“Ah, kau pasti hendak bersenang-senang
dengan dirinya? Tap] menurutku mengapa kau tidak mencari yang lebih muda untuk
bersuka-suka?”
“Nelayan tua gila!” maki Tua
Gila. “Aku ke sana untuk urusan penting. Perempuan tua itu punya seorang murid
yang berada dalam keadaan bahaya besar. Lumpuh segala kesaktian yang
dimilikinya….”
“Ah, kasihan sekali murid
sahabatmu itu. Apakah kau tidak tahu di mana dia berada dan berusaha
menolongnya?”
“inilah sulitnya. Aku hanya
mendapat keterangan bahwa pemuda itu berada di satu tempat di barat. Tapi dunia
seluas ini bagaimana mungkin mencarinya. Itu sebabnya aku merasa lebih baik
menemui gurunya dulu sambil menyirap kabar mengenai pemuda muridnya itu….”
“Nah, apa kataku. Kalau kau
tidak pernah kenal dengan perempuan tua itu. Kalau kau tidak pernah jadi
kekasihnya, jelas saat ini kau tidak usah susah-susah melakukan perjalanan jauh
menemuinya. Jadi benar kataku! Perempuan hanya mendatangkan bencana pada
laki-laki. Ha… ha… ha!”
Tua Gila ikut tertawa
mengekeh. Tapi kemudian berucap. “Tidak semua perempuan menimbulkan bencana.
Terkadang tergantung pada kita orang laki-laki. Kalau mereka merasa dikecewakan
atau direndahkan, mereka bisa berubah jadi seekor harimau ganas!”
“Sobatku tua, agaknya kau
tengah mengalami masalah besar. Gara-gara ulahmu di usia muda. Untung aku tidak
kawin. Amit-amit…!”
“Nasib manusia ada guratannya
masing-masing,” kata Tua Gila pula.
“Aku tidak percaya hal itu.
Manusia bukan diatur oleh nasib. Kelakuan manusialah yang menentukan nasibnya!”
jawab si nelayan tua.
Tua Gila menjadi kesal karena
tersinggung mendengar ucapan itu. Kalau saja dia tidak menumpang di perahu
orang, nelayan tua itu sudah dihajarnya. Saking kesalnya dia berkata. “Perutku
lapar! Aku minta ikanmu!” Lalu diambilnya seekor ikan dan dilahapnya
mentah-mentah!
Menjelang petang perahu
memasuki sebuah teluk sempit. Begitu sampai di pantai Tua Gila mengucapkan
terima kasih dan melompat ke daratan.
“Sobatku tua, apakah kita bisa
bertemu lagi?” tanya si nelayan.
“Aku tidak tahu. Kalaupun bisa
aku akan menghindari pertemuan denganmu!”
“Eh, memangnya kenapa?”
“Aku tidak suka dengan cara
bicaramu. Kau seperti seorang juru dakwah saja! Membenci perempuan padahal kau
keluar dari perut perempuan!” Habis berkata begitu Tua Gila lantas berkelebat
pergi.
Nelayan tua di atas perahu
tertawa panjang. Dalam hati dia berkata. Tua Gila, kalau saja Kalung Permata
Kejora itu ada d: tanganmu sudah sejak di tengah laut kuhabisi nyawamu! Aku
masih bisa bersabar. Aku sudah tahu ke mana kau pergi! Hemmm… mungkin aku akan
membunuh bekas kekasihmu yang di Gunung Gede itu. Hik… hik! Sinto Gendeng kau
ikut mengerecoki hidup masa mudaku! Tidak salah kalau kalian kubunuh berdua
sekaligus!.” Perlahan-lahan nelayan itu buka caping lebar-nya. Lalu dia menarik
sehelai topeng tipis yang menutupi wajah dan rambutnya. Sesaat kemudian
kelihatanlah wajahnya yang asli. Ternyata dia bukan lain adalah si nenek
bernama Sika Sure Jelantik! Dengan cepat perempuan tua ini melompat turun dari
atas perahu lalu berkelebat ke arah perginya Tua Gila.
*
* *
212
DELAPAN
Dari balik dedaunan keladi
hutan yang lebar, sepasang mata memperhatikan gadis berpakaian biru yang duduk
termenung, bersandar ke batang pohon di belakangnya. Walaupun saat itu udara
mending dan keadaan sekitar tempat itu agak gelap namun orang yang
memperhatikan dapat melihat butiran-butiran air mata jatuh menetes membasahi
pipi si gadis yang halus.
“Gadis aneh berwajah cantik,”
kata orang yang mengintai dalam hati. “Melihat kepada wajah serta kulitnya yang
putih mulus sulit diduga apakah dia seorang dari dunia persilatan. Tapi kalau
bukan orang persilatan mengapa berada, di tempat sunyi begini. Jangan-jangan
dibalik kecantikan wajah dan kebagusan tubuh itu tersembunyi sesuatu yang
hebat. Hemmm…. Dia menangis. Pertanda ada satu tekanan batin tengah melanda
dirinya. Diusia se-muda dia aku berani bertaruh yang jadi bahan pikirannya saat
ini pastilah sesuatu menyangkut cinta! Laki-laki! Lagi-lagi laki-laki yang
menjadi biang malapetaka! Aku tertarik ingin mengetahui nasib apa tengah
dihadapinya. Hanya sayang aku ada urusan lain yang lebih penting…”
Orang di balik pohon keladi
hutan hendak bergerak pergi namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba gadis di
bawah pohon, tanpa mengalihkan pandangannya terdengar berucap.
“Orang yang mengintai mengapa
tidak datang saja menemuiku? Mungkin kita bisa bertukar pikiran berbagi
pengalaman.”
“Hemmm…. Kalau dia bukan
seorang gadis memiliki kepandaian tinggi, mustahil bisa mengetahui aku di sini.
Agaknya sudah sejak tadi dia tahu. Mungkin ada baiknya aku membuang waktu
barang sebentar berbincang-bincang dengan dirinya.” Orang itu segera keluar
dari balik pohon keladi besar, melangkah ke hadapan gadis berpakaian biru.
Gadis di bawah pohon menatap
orang berjubah hitam berambut putih digulung di atas kepala yang tegak di
depannya beberapa lama tanpa berkata apa-apa.
“Anak gadis berwajah cantik,
siapakah namamu?” Si jubah hitam mendahului bertanya.
“Logat bicaranya menandakan
dia orang seberang,” kata gadis baju biru dalam hati yang bukan lain adalah
Bidadari Angin Timur.
“Nenek berwajah bulat, di
waktu muda tentu kau seorang dara cantik jelita….”
Nenek berjubah hitam mau tak
mau jadi melengak mendengar ucapan si gadis. Sambil mengusap-usap pipinya yang
keriput dia berkata. “Kecantikan itu hanya tinggal kenangan yang memilukan.
Lagi pula dibanding dengan raut wajahmu, kecantikanku dimasa muda tidak ada
arti apa-apa….”
Bidadari Angin Timur
tersenyum. “Gerangan apa yang membawamu jauh-jauh dari seberang datang ke
sini?”
Kembali si nenek terkesiap
mendengar ucapan orang. “Gadis ini jelas seorang berotak cerdas, cerdik dan
memiliki kepandaian tinggi!” katanya dalam hati. “Anakku, bagaimana kau tahu
bahwa aku datang dari seberang?”
“Logat bicaramu, Nek,” jawab
Bidadari Angin Timur.
“Ah….” si nenek menarik nafas
dalam. “Dugaanmu tidak meleset. Aku memang datang dari pulau Andalas….”
“Jauh berjalan pasti ada
urusan besar!”
Perempuan tua itu tertawa
lebar. “Kau pandai menduga. Tapi biarlah dugaanmu itu tinggal dugaan. Aku tidak
akan menceritakan apa-apa padamu….”
“Kalau begitu aku pun tidak
akan menceritakan apa-apa padamu!” sahut Bidadari Angin Timur pula.
Si nenek menatap sejurus lalu
tertawa mengekeh.
“Seumur hidup baru kali ini
aku bertemu dengan gadis cantik yang enak diajak bicara. Aku suka padamu! Kau
bukan saja cantik tapi juga cerdik. Kecerdikan menyelamatkan seseorang dari
banyak hal. Namun sayang sekali, saat ini aku tidak melihat kau berlaku cerdik.
Karena seorang cerdik tidak akan mengeluarkan air mata. Seorang cerdik tidak
akan berada di tempat terpencil begini, jauh di kaki gunung…”
“Kau pandai memuji. Aku
berterima kasih. Tapi kau juga pandai menjatuhkan. Aku juga berterima kasih.
Soal aku menangis itu adalah urusanku sendiri. Air mata adalah senjata
perempuan paling akhir…”
Si nenek tertawa panjang.
“Dulu aku juga pernah punya pikiran sepertimu. Ternyata itu salah! Air mata
justru adalah awal kelemahan kaum kita. Yang dapat dan sering disalahgunakan
oleh lawan jenis kita!
Jawablah terus terang.
Bukankah masalah cinta yang membuatmu barusan berurai air mata?”
Paras Bidadari Angin Timur
berubah merah.
Si nenek tersenyum. “Rona
wajahmu berubah. Berarti apa yang aku katakan betul!” Setelah tertawa panjang
si nenek lalu berkata. “Namaku Sika Sure -jelantik. Selama hidup aku telah banyak
makan asam garam, madu dan racun dunia. Yang paling dahsyat adalah racun cinta.
Bisa membutakan mata menulikan telinga dan membuat beku pikiran, merubah hati
seolah menjadi batu! Pada puncaknya, cinta itu bisa berubah menjadi dendam
kesumat kebencian yang hanya bisa terobat oleh kematian….”
Bidadari Angin Timur pandang
wajah tua bulat itu beberapa lamanya sambil hatinya berkata. “Jangan-jangan
perempuan tua ini tengah menuturkan riwayat sedih dirinya sendiri. Lebih baik
coba kupancing.”
“Nenek Sika, aku masih hijau.
Sebaliknya kau sudah memiliki segudang pengalaman hidup. Dugaanmu betul. Aku
memang ada ganjalan cinta dengan seseorang. Maukah kau menceritakan sedikit
saja dari riwayat c in tamu agar bisa kujadikan pegangan di hari kemudian?”
Sika Sure Jelantik terdiam
sesaat. Akhirnya dia berkata. “Jauh-jauh aku datang dari pulau Andalas adalah
untuk mengejar seorang tua renta yang ingin kubunuh dengan kedua tanganku
sendiri!” Lalu si nenek tuturkan secara singkat riwayat percintaannya.
“Kisahmu sungguh menyedihkan,
Nek. Dalam penuturanmu kau sama sekali tidak menyebutkan siapa pemuda yang
pernah jadi kekasihmu lalu meninggalkan dirimu begitu saja.”
“Soal namanya tidak akan
kuberitahu padamu,” jawab Sika Sure Jelantik. “Sekarang apakah kau mau menuturkan
riwayatmu sendiri?”
Bidadari Angin Timur merenung
beberapa lamanya.
“Jika kau tak mau memberitahu
tak jadi apa,” ujar si nenek. “Tapi ingat ucapanmu pertama kali menegurku? Kau
ingin bertukar pikiran berbagi pengalaman.”
Si gadis tersenyum. Sepasang
lesung pipit muncul indah mempesona di pipinya kiri kanan. “Sulit bagiku dari
mana memulai. Sejak pertama aku bertemu dengan dia, tidak ada perasaan apa-apa.
Ma lah aku marah besar karena dia telah melakukan seseorang secara
sewenang-wenang. Namun lambat laun setelah beberapa kali bertemu hatiku terasa
begitu sejuk jika berada di dekatnya. Aku pernah ikut bersamanya menemui
gurunya. Saat itu walau dia tidak mengatakan apa-apa namun aku maklum bahwa dia
memperkenalkan diriku pada gurunya untuk satu maksud tertentu. Dia pernah
mengatakan cintanya padaku. Sebaliknya aku tidak pernah menyampaikan isi
hatiku. Baik secara terus terang maupun secara tersirat. Mungkin itu yang
membuatnya bingung kalau tidak dapat dikatakan kecewa. Kadang-kadang aku merasa
aneh terhadap diriku sendiri. Aku mencintainya namun me-ngapa terlalu pongah
untuk berterus terang mengatakannya….”
Sika Sure Jelantik yang sejak
tadi tegak berdiri kini duduk di bawah pohon berdampingan dengan Bidadari Angin
Timur. “Apakah ada saru ganjalan yang membuatmu tidak mau berterus terang
menyampaikan cinta kasihmu padanya?”
Perlahan-lahan si gadis
mengangguk.
“Apa?” tanya si nenek pula.
“Aku mengetahui…. Ada banyak
gadis mencintainya….”
Mendengar ucapan Bidadari
Angin Timur, si nenek palingkan kepalanya, menatap si gadis beberapa lamanya.
Lalu dia menarik nafas panjang dan berkata. “Itu yang terjadi dengan diriku
dimasa muda. Kekasihku berlaku gila. Dia melayani semua gadis-gadis yang
menyukainya. Menidurinya bahkan lebih gila dari itu dia sempat punya anak!
Bagaimana dengan pemuda yang kau cintai itu? Apa dia juga seperti itu?!”
“Mungkin…. Aku tidak tahu
pasti. Tapi ada satu kejadian yang membuat hatiku perih. Dia kuketahui pernah
pergi ke tempat salah seorang gadis yang mencintainya. Tinggal di sana…. Aku
seperti mau gila membayangkan kemungkinan apa saja yang bisa mereka lakukan
berdua-dua….”
“Apa gadis itu mencintainya?”
“Aku yakin gadis itu
mencintainya. Kasarnya dia yang mengejar pemuda itu!”
“Lalu apakah si pemuda sendiri
mencintai gadis itu?”
Bidadari Angin Timur tak
menyahut.
“Hemmm…. Kau tak bisa segera
menjawab. Berarti kau tidak pasti pemuda yang kau kasihi itu menyukai si gadis.
Kalau dia mau berdua-duaan berarti dia hanya mengumbar nafsu. Sifatnya sama
dengan kekasihku dimasa muda. Manusia seperti itu sangat berbahaya anakku. Dia
bisa menjadi racun selama kau hidup di dunia….”
“Aku tidak tahu Nek….” kata
Bidadari Angin Timur perlahan.
“Hidup tanpa kepastian sama
dengan kau mulai menanam pohon racun dalam tubuhmu. Selagi pohon itu tumbuh
dari luar datang siraman racun lain yang menyuburkannya. Aku menaruh firasat
kau akan mengalami nasib malang jika kau meneruskan hubunganmu dengan dia.”
Seperti terhadap anak atau cucunya sendiri Sika Sure Jelantik lalu membelai
kepala Bidadari Angin Timur. “Sekarang katakan padaku mengapa kau sampai
tersesat ke sini? Apakah sang kekasih jalang itu berada di sekitar sini?”
Bidadari Angin Timur tak
menjawab. Namun si nenek sudah maklum kalau kehadiran Bidadari Angin Timur
pasti ada sangkut pautnya dengan pemuda yang diam-diam dicintainya.
“Anakku…. Bolehkah aku memberi
satu nasihat padamu?” ^
Bidadari Angin Timur menatap
wajah si nenek lalu mengangguk.
“Jika kau benar-benar
mencintainya kau harus menemuinya dan mengatakan terus terang. Jika kau yakin
dia pun mencintaimu, kuasai dirinya sebelum dia dikuasai orang lain. Bagi
seorang perempuan lebih baik kawin dengan lelaki yang mencintainya daripada
lelaki yang dicintainya. Jika ada keraguan dalam hatimu tinggalkan dirinya
selama-lamanya….”
“Nek, aku yakin dia mencintai
diriku. Walau dia belum tahu aku mencintainya namun ada satu kejadian yang
menimbulkan keraguan di hatiku….”
“Hemmm…. Rupanya ada hal yang
belum kau ceritakan padaku!” kata si nenek. “Aku ingin mendengarkannya.” Sika
Sure jelantik rangkapkan sepasang tangan di depan dada.
“Beberapa saat yang lalu aku
melihat ada dua orang utusan sang kekasih datang menjemput pemuda itu. Apa lagi
kalau bukan diminta datang ke tempat kediamannya…?”
“Ah! Pemuda itu mungkin benar
berhati culas. Tapi kau perlu menyelidik….”
“Aku…. Kalau ku selidiki
rasanya aku seperti mau membunuh diri sendiri….”
“itulah cinta anakku! Cinta
laksana pisau teramat tajam menyayat ke leher. Perih tetapi nikmat. Hik… hik…
hik….”
Bidadari Angin Timur
pergunakan ujung baju birunya untuk mengusap matanya yang basah.
“Sebenarnya aku ingin bicara
lebih banyak dan mengenalmu lebih lama. Namun ada urusan penting yang tidak
bisa aku tunda. Siapa tahu kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan. Sebelum
pergi apakah kau bisa menjawab dua pertanyaanku? Pertama di mana arah menuju
Kutogede?”
Bidadari Angin Timur menunjuk
ke arah tenggara lalu bertanya. “Kalau kau memang hendak menuju ke sana, kita
bisa sama-sama. Aku pun ingin pergi ke Kutogede.”
“Hemmm…. Itu satu usul yang
baik. Tapi kali ini aku tengah menghadapi satu urusan besar. Aku lebih suka
pergi sendirian..-..”
“Aku sudah menganggapmu
sebagai ibu atau nenek sendiri. Tapi kau menyembunyikan sesuatu padaku….”
Sika Sure Jelantik tertawa
lebar. “Satu pertanyaan anakku. Aku menyirap kabar bahwa Pangeran Matahari
tewas belum lama berselang. Apakah hal itu benar? Jika benar siapa gerangan
yang telah membunuhnya?”
Hampir terlepas dari mulut
Bidadari Angin Timur kalau dia ikut menyaksikan sendiri kematian Pangeran
Matahari di Pangandaran dulu.
“Pangeran durjana itu memang
benar telah menemui ajal, Nek. Dunia persilatan boleh dikatakan kini bebas dari
malapetaka besar yang hendak ditimbulkannya. Mengenai pembunuhnya, sesuai yang
aku dengar adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng….” Habis
berucap begitu dalam hatinya si gadis berkata. “Nek, kau tidak tahu pemuda
inilah yang aku cintai dan tadi aku ceritakan padamu….”
“Kalau begitu benar apa yang
aku dengar. Pendekar 212 Wiro Sableng…. Hemmmm…. Dia memutus hubungan dendamku
dengan Pangeran Matahari….”
“Nek, apa maksudmu dengan
ucapan itu? Kau punya silang sengketa dengan Pendekar 212?” tanya Bidadari
Angin Timur agak cemas.
Si nenek menatap lurus.
Diam-diam dia merasakan nada pertanyaan yang mengandung rasa cemas. Sika Sure
Jelantik gelengkan kepala. “Aku pernah mendengar nama besarnya namun tak pernah
bertemu dengan orangnya. Aku punya dendam kesumat besar dengan Pangeran
Matahari. Tapi sebelum dendam terbalas aku sudah keduluan oleh Pendekar 212.”
“Bukankah itu lebih baik
bagimu hingga kau tidak perlu susah payah turun tangan sendiri?” ujar Bidadari
Angin Timur pula.
Si nenek tertawa kecut. “Aku
sudah bersumpah ingin mematahkan batang leher Pangeran Matahari dengan tanganku
sendiri. Dia telah membunuh kakakku Ramada Suro Jelantik. Tapi takdir
menentukan lain….”
“Apakah kau menaruh rasa sakit
hati terhadap Pendekar 212?” tanya Bidadari Angin Timur.
“Untuk urusan balas dendam itu
aku hanya merasa kecewa setinggi langit sedalam lautan. Namun ada satu urusan
lain yang mungkin…. Ah sudahlah! Aku harus cepat-cepat pergi! Kuharap kita bisa
bertemu lagi. Jaga dirimu baik-baik!”
Terima kasih, Nek. Aku doakan
segala urusanmu bisa kau hadapi dan selesaikan dengan baik.”
Sika Sure Jelantik membelai
kepala Bidadari Angin Timur. Meskipun ada sentuhan rasa kasih sayang namun si
gadis merasa merinding juga mengingat jari-jari tangan si nenek yang berkuku
panjang dan hitam angker. Sekali berkelebat Sika Sure Jelantik pun lenyap dari
samping si gadis. Berada sendirian Bidadari Angin Timur mengingat-ingat kembali
semua pembicaraannya dengan si nenek tadi. “Aneh, mengapa hatiku mendadak
merasa tidak enak? Urusan apa sebenarnya yang tengah dihadapi oleh nenek dari
tanah seberang tadi?”
*
* *
212
SEMBILAN
Dua gadis cantik anak buah
Ratu Duyung hentikan lari masing-masing. Mereka sama memandang ke langit.
“Mendung…” kata gadis di
sebelah kanan yaitu Kiani. “Sebentar lagi agaknya akan turun hujan. Orang yang
kita cari masih belum bertemu. Bagaimana kalau kita pergunakan lagi ilmu
menyirap detak jantung?”
“Jangan cari celaka Kiani! Kau
saksikan sendiri apa yang terjadi dengan Nandiri. Sebelum hujan turun lebih
baik kita mencari tempat berlindung. Kalau sampai tubuh kita tersiram air hujan
kau tahu sendiri apa yang bakal terjadi!”
Karena meninggalkan tempat
kediaman mereka di pantai selatan sebelum Ratu Duyung siuman, dua gadis ini
tidak mengetahui apa yang terjadi. Yaitu sebenarnya mereka telah terbebas dari
kutukan yang menyebabkan setengah tubuh mereka sebelah bawah berubah menjadi
ekor ikan kalau tersentuh air. Selagi keduanya mencari-cari tempat yang baik
untuk berteduh mendadak mereka mendengar suara sesuatu di kejauhan.
“Kau mendengar suara itu
Kiani?”
Kiani mengangguk, “tak dapat
kupastikan suara apa. Terlalu jauh di sebelah sana. Mungkin suara seruling….”
Manumi memandang ke arah
kejauhan. “Suara seruling itu datangnya dari bukit di sebelah sana. Bagaimana
kalau kita pergi ke sana. Mencari tahu siapa yang meniupnya. Lagu yang
dilantunkannya tidak pernah kudengar sebelumnya. Tapi begitu menyayat hati.
Berhiba-hiba. Agaknya perasaan si peniup ikut larut dalam tiupan serulingnya.”
Mula-mula Kiani hendak menolak
ajakan temannya itu. Namun memandang ke arah bukit tiba-tiba saja dia ingat
sesuatu. “Manumi, bukankah bukit itu terletak di arah barat?”
Manumi memandang ke arah
bukit. “Kau benar. Aku tahu apa maksudmu! Ayo lekas kita naik ke sana dan
menyelidik!”
Dua gadis cantik itu serta
merta berlari kencang menuju bukit dari arah mana terdengar suara tiupan
seruling. Di satu lereng mereka berhenti. Kiani menunjuk ke arah lamping bukit
yang terjal di atas mana terlihat mulut sebuah goa.
“Suara seruling itu datang
dari arah sana. Yang meniup, pasti ada dalam goa!” bisik Kiani.
“Aku akan naik ke atas. Di
sebelah sana sepertinya ada jalan setapak. Kau tunggu di sini…” kata Manumi.
“Tidak, aku ikut bersamamu!”
sahut Kiani lalu segera menempel di belakang si teman. Dua gadis ini dengan
hati-hati tetapi cepat sekali bergerak mengikuti jalan kecil mendaki menuju
goa. Pada saat inilah datang Bidadari Angin Timur yang sejak lama bersembunyi
di satu tempat dan tengah berada dalam kebimbangan apakah akan menemui Wiro
atau tidak. Dia begitu terkejut ketika melihat dua gadis cantik tiba-tiba
muncul dan melangkah cepat menuju goa. Dari pakaian yang mereka kenakan
Bidadari Angin Timur segera mengenali dua gadis itu adalah anak-anak buah Ratu
Duyung.
“Sebelumnya aku ketahui
Pendekar 212 mengunjungi Ratu Duyung di tempat kediamannya. Kini dua anak buah
Ratu Duyung muncul. Tak dapat tidak pasti untuk menjemput Wiro. Ah…!” Memikir
sampai di situ merahlah paras Bidadari Angin Timur. Pemandangannya seolah kelam
dan pikirannya jadi kacau balau. Dia langsung menjatuhkan anggapan salah.
“Hatiku tak bisa menerima seorang kekasih berperilaku seculas itu. Mengatakan
cinta padaku. Tapi bermain cinta dengan gadis lain. Jangan-jangan dua gadis
yang barusan datang ini adalah juga kekasih-kekasih gelapnya! Daripada tersiksa
mata, telinga dan perasaan lebih baik aku pergi saja dari sini! Wiro lupakan
cintamu padaku!” Habis membatin seperti itu Bidadari Angin Timur lalu putar
tubuh dan berkelebat pergi. Matanya berkaca-kaca. Butiran-butiran air mata
jatuh ke pipinya.
Kiani dan Manumi sampai di
tepi kiri mulut goa.
“Orang itu tidak menghentikan
tiupannya, berarti dia belum tahu kedatangan kita…” kata Kiani. “Aku akan
melompat masuk ke dalam goa. Kau berjaga-jaga di luar sini!”
Sebelum temannya sempat
membantah Kiani segera melompat masuk ke dalam goa. Sesaat kemudian terdengar
teriakan gadis itu. “Manumi lekas masuk! Kita telah menemukan pembunuh Ratu!”
Mendengar teriakan temannya
itu Manumi segera menghambur masuk ke dalam goa sambil tangannya diangkat ke
atas dan ujung jari diluruskan. Dari jari gadis ini mencuat sinar biru yang
merupakan satu ilmu kesaktian hebat dan rata-rata dimiliki oleh semua anak buah
Ratu Duyung. Kiani yang masuk duluan juga telah menyiapkan ilmu kesaktian itu
malah sekaligus di telunjuk tangan kanan dan kiri!
Di dalam goa di hadapan kedua
gadis itu duduk bersila Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua tangan memegang Kapak
Maut Naga Geni 212. Enam jari tangannya berg era k-g era k di permukaan
lubang-lubang di gagang kapak yang terbuat dari gading putih kekuningan.
Bibirnya menempel ke ujung gagang senjata yang berbentuk kepala ular naga itu.
-Sepasang matanya terpejam dan rambutnya yang gondrong melambai-lambai oleh
tiupan angin ken-cang yang datang dari mulut goa.
Meskipun tadi teriakan Kiani
keras sekali namun seolah tidak mendengar dan tidak terusik murid Eyang Sinto
Gendeng itu terus saja meniup seruling mustikanya. Malah dari pinggiran matanya
tampak ada kucuran air mata.
“Bangsat cengeng! Jangan
berpura tidak tahu kedatangan kami!” bentak Kiani.
“Manumi! Kita bunuh manusia
jahat tak berbudi ini sekarang juga! Kau rampas dulu senjatanya!”
Mendengar ucapan temannya itu
Manumi segera betot Kapak Maut Naga Geni 212 dari tangan Wiro. Sekali membetot
senjata mustika itu lepas dari pegangan si pemuda. Suara merdu tiupan seruling
serta merta lenyap. Sepasang mata Pendekar 212 bergerak membuka. Tadi
sebenarnya dia telah tahu kalau ada orang yang masuk ke dalam goa. Namun saat
itu dia lebih suka tenggelam dalam sejuta rasa dukanya. Hingga kalaupun ada
seekor ular besar menelan kepala dan tubuhnya bulat-bulat dia akan diam seribu
bahasa, akan terus meniup serulingnya, tidak perduli! Tetapi ketika senjata
warisan Eyang Sinto Gendeng itu tertarik lepas dari tangannya dan dia tidak
mampu mempertahankan maka dia segera membuka kedua matanya.
“Kalian berdua bukankah anak
buah Ratu Duyung? Mengapa masuk sambil berteriak-teriak? Mengapa merampas
senjataku? Mengapa hendak membunuhku?”
Dua gadis keluarkan suara
mendengus.
“Kau, telah membunuh Ratu
kami!” teriak Kiani.
“Aku? Aku membunuh Ratu
kalian? Kenapa?”
“Kurang ajar! Jangan
berpura-pura! Kami melihat kau masuk ke dalam Puri Pelebur Kutuk! Kau kemudian
keluar dari puri sementara Ratu Duyung kami dapatkan berada dalam keadaan luka
parah! Mungkin sekarang telah menemui ajal! Puri runtuh. Kau melenyapkan diri!
Kabur!”
Pendekar 212 Wiro Sableng
garuk kepalanya dan memandang berganti-ganti pada dua gadis cantik di
hadapannya.
“Aku tidak mengerti!” kata
Wiro pula.
“Biar kau mengerti biar
kepalamu belah saat ini juga dengan senjatamu sendiri!” hardik Kiani sambil
angkat Kapak Maut Naga Geni 212 tinggi-tinggi, siap untuk dibacokkan ke kepala
Wiro. Sementara itu Manumi juga angkat tangan kanannya ke atas. Sinar biru
ujung jari telunjuk Manumi mencuat terang menyilaukan dan menggidikkan.
“Tunggu! Kalau kalian mau
membunuhku aku tidak perduli!” teriak Wiro. “Aku memang sudah sejak lama ingin
mati! Tapi jelaskan dulu apa yang terjadi!
Aku tidak mencelakai apalagi
membunuh Ratu kalian. Kami sama-sama datang dari Pangandaran karena Ratu dan
aku punya satu urusan.”
“Kami tahu semua kehadiranmu
bersama Ratu yang kedua kali. Yang kami tidak tahu mengapa kau berbudi jahat
dan membunuh Ratu kami!”
“Dengar, aku tidak membunuh
Ratu kalian. Aku malah berniat baik untuk menolongnya….”
“Lalu kalau kau merasa tidak
bersalah, mengapa melarikan diri sampai ke sini?!” bentak Kiani.
“Aku tidak melarikan diri! Ada
seseorang yang membawaku ke sini….”
Kiani dan Manumi kembali
mendengus. Manumi memberi isyarat pada kawannya. Melihat isyarat ini Kiani
segera bersiap untuk membacokkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke batok kepala Wiro.
“Tunggu! Aku bersumpah tidak
mencelakai Ratu kalian! Aku….”
“Jangan dengarkan dia Kiani.
Hantam kepalanya dengan kapak itu! Aku akan menusuk jantungnya biar ambrol!”
“Kalau kalian sampai
membunuhku, Ratu kalian dan juga kalian sendiri tidak akan terbebas dari
kutukan! Silahkan bunuh aku! Ayo cepat!” Wiro sama sekali tidak mengetahui
bahwa kehadirannya di Puri Pelebur Kutuk telah menyelamatkan dan membebaskan
Ratu Duyung serta seluruh anak buahnya dari kutukan. Hal ini juga belum
diketahui oleh Kiani dan Manumi.
Kiani sesaat jadi bimbang
mendengar kata-kata Wiro tadi. Tapi Manumi cepat mendamprat.
“Kiani! Jangan dengarkan
ucapan pemuda keji ini! Lekas kau belah kepalanya dengan kapak! Aku akan
menghancurkan jantungnya!”
“Kalau kalian memang hendak membunuhku,
aku pasrah!” kata Pendekar 212 yang memang sudah putus asa sejak dia mengetahui
telah kehilangan segala kesaktian dan ilmu yang dimilikinya.
Tangan kanan Kiani bergerak.
Kapak Naga Gent 212 menderu. Karena Kiani memiliki tenaga dalam walaupun tidak
tinggi, begitu senjata mustika itu dibacokkannya maka sinar putih menyilaukan
dan panas berkiblat. Suara menderu laksana ratusan tawon mengamuk membuncah goa
batu itu. Mata kapak mustika siap membelah batok kepala murid Sinto Gendeng. Di
saat yang sama Manumi tusukkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah dada
Pendekar 212. Selarik sinar biru menggidikkan melesat siap menjebol dada dan
jantung Wiro!
Di saat Wiro tidak berdaya,
bahkan beringsut pun tidak mampu dan benar-benar siap menerima kematian tiba-tiba
satu bentakan nyaring menggelegar di dalam goa disertai menyambarnya satu sinar
hitam menggidikkan. Bersamaan dengan itu seantero goa batu dilanda busuknya bau
mayat.
“Nyawa pemuda itu tidak akan
kubagi sekalipun dengan malaikat maut!”
Kiani dan Manumi terpekik.
Secepat kilat keduanya jatuhkan diri ke lantai goa. Terbanting tumpang tindih
dengan sosok Pendekar 212. Tiga orang yang bergelimpangan di lantai goa itu
merasakan nafas mereka mendadak menjadi sesak. Leher laksana dicekik oleh
tangan besar kokoh yang tak terlihat.
“Kalian bilang hendak
membunuhku! Mengapa sekarang sengaja tempelkan tubuh menindihku!” terdengar
teriakan Pendekar 212. Mukanya tertindih oleh bagian bawah tubuh Kiani sedang
sosok Manumi membelintang tepat di atas badannya sebelah bawah!
“Pemuda edan! Dalam keadaan
begini masih coba bergurau!” damprat Kiani. Lalu. “Bukk!” Lutut kanannya
dihunjamkan ke perut Wiro. Namun dia terbatuk-batuk dan tersandar ke dinding
goa. Hawa aneh busuk yang memenuhi tempat itu membuat nafasnya seolah putus.
Megap-megap dia cepat menarik tangan Manumi lalu beringsut menuju mulut goa
sambil menarik tubuh kawannya.
*
* *
212
SEPULUH
Sementara tiga orang itu
berkaparan di lantai, di depan mulut goa tegak seorang lelaki tua bertubuh
tinggi besar berkulit hitam laksana jelaga. Di kepalanya melilit sebuah destar
tinggi warna merah. Orang ini memiliki janggut dan kumis lebat meranggas,
mengenakan pakaian hitam serba gombrong.
Gerakan Kiani dan Manumi yang
merangkak di lantai terhenti di mulut goa, terhalang oleh si tinggi besar.
“Orang hutan! Siapa kau?!
Mengapa menyerang kami?!” hardik Manumi sambil berusaha berdiri. Di sebelahnya
Kiani juga telah berdiri duluan walau terhuyung-huyung. Tangan kanannya masih
memegang Kapak Maut Naga Geni 212.
Si tinggi besar tertawa
bergelak. Gigi-giginya kelihatan besar dan ada beberapa yang tampak berkilat
karena dilapisi perak.
“Kalau orang lain yang memaki
sudah kubunuh saat ini juga! Untung kalian gadis muda berwajah cantik! Tuan
besarmu ini masih mau memberi sedikit pengampunan! Pergi sana! Tunggu aku di
luar!”
Kaki si tinggi besar bergerak
dua kali.
“Bukkk!”
“Bukkk!”
Tubuh Kiani dan Manumi
mencelat keluar goa. Terbanting di tanah.
Hampir pingsan menahan sakit
dua gadis anak buah Ratu Duyung bangkit berdiri. Kiani menyerbu dengan kapak di
tangan. Manumi tetap di tempatnya berdiri tapi dari tangan kanannya menyambar
sinar biru ke arah orang tua tinggi besar di depan goa.
Semula orang yang diserang
menganggap remeh serbuan dua gadis cantik itu. Tapi ketika melihat cahaya putih
serta deru angin dahsyat yang keluar dari kapak dia cepat melompat ke samping
goa. Manumi gerakkan jari telunjuknya. Sinar biru bergeser ke samping mengikuti
gerakan orang tua berkulit hitam. Orang ini berseru kaget. Dia kembali membuat
lompatan ke samping. Kali ini disertai tangannya memukul ke depan. Cahaya hitam
bertabur. Bau busuk menghampar. Dinding luar goa di belakang si tinggi besar
hancur berantakan dihantam sinar biru yang keluar dari jari Manumi. Membuat
tergetar tetapi juga beringas orang tua berkumis dan bercambang bawuk lebat
itu. Sambil keluarkan suara menggertak dia hantamkan tangan kanannya ke arah
Manumi. Cahaya hitam busuk untuk kesekian kalinya menggebu. Kali ini Manumi
tidak mampu menyingkir. Gadis ini menjerit sambil pegangi lehernya yang laksana
dicekik oleh tangan yang tidak kelihatan. Tubuhnya roboh ke tanah, menggeliat
beberapa kali lalu tak berkutik lagi. Dari sela bibirnya kelihatan darah
mengucur berwarna merah pekat.
“Tua bangka jahanam! Kau bunuh
kawanku! Sekarang mampuslah!” Terdengar teriakan Kiani lalu gadis ini melompat
sambil menghantamkan Kapak Naga Geni 212 yang tergenggam di tangan kanan. Dari
ujung jari tangan kirinya sinar biru melesat ke arah kiri hingga lawan yang
diserang tak mungkin bergerak ke kiri atau pun ke kanan. Untuk menghindar
dengan melompat ke belakang juga tidak bisa karena terhalang oleh dinding batu
sekitar mulut goal!
“Gadis iblis! Aku mengadu
nyawa denganmu!” teriak orang tua tinggi besar berdestar merah. Kedua tangannya
diangkat ke atas. Mulutnya mengeluarkan teriakan. “Pukulan Hawa Neraka!”
Dua buntal asap hitam melesat
dari telapak tangannya kiri kanan. Bukit itu laksana tenggelam dalam bau busuk
luar biasa. Dua langkah di hadapan si tinggi besar Kiani rasakan tubuhnya
laksana kaku. Kapak Naga Geni 212 terlepas jatuh dari genggamannya. Tangan
kirinya terkulai ke samping. Lehernya laksana dijirat. Dadanya sesak. Nafasnya
sengal. Dari hidung dan mulutnya keluar darah kehitaman. Sesaat kemudian
setelah terhuyung beberapa kali gadis ini jatuh terkapar di tanah.
Orang tua tinggi besar tampak
komat kamit beberapa kali. Sepasang matanya yang semula membeliak kini mengecil
kembali. Tapi kembali mendelik ketika dia dapatkan baju gombrong nya di bagian
bahu kiri hangus. Ketika dirabanya baju itu langsung gugur menjadi debu.
“Senjata dahsyat…” kata orang
tua ini sambil memandang ke arah Kapak Maut Naga Geni 212 yang tergeletak di
tanah. “Mungkin dengan senjata ini dulu adik-adikku menemui ajal. Sekarang akan
kubalaskan kematian mereka!” Dengan cepat orang ini mengambil Kapak Maut Naga
Geni 212. Di dalam goa terdengar suara orang batuk berulangkali. Sesaat
kemudian, di antara kepulan asap hitam busuk yang mulai menipis dari dalam goa
tampak merangkak keluar sesosok tubuh berpakaian putih.
Orang ini bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Satu telapak kaki ditekankan
ke kening Wiro membuat murid Sinto Gendeng ini tak mampu bergerak lebih jauh.
“Jahanam kurang ajar! Turunkan
kakimu!” teriak Wiro. Dia angkat tangan kanannya memukul tulang kering orang.
Yang dipukul tertawa bergelak lalu dorongkan kaki kanannya membuat Wiro
tergelepak jatuh. “Setan alas! Siapa kau?!”
“Buka matamu lebar-lebar!
Lihat siapa yang berdiri di hadapanmu anak muda!”
Dengan susah payah dan sambil
batuk-batuk Wiro bangkit berdiri dan bersandar ke dinding goa.
“Aku tidak kenal padamu!
Mengapa bermaksud jahat padaku! Mengapa kau membunuh dua gadis itu? Kembalikan
kapak padaku!”
“Bicaramu terlalu banyak
Pendekar 212. Coba kau ingat baik-baik! Beberapa tahun lalu kau dan gurumu si
Tua Gila pernah membunuh Datuk Sipatoka di Tambun tulang. Kalian juga punya
peranan dalam lenyapnya adikku Datuk Raja Di Langit! Hari ini aku Datuk Angek
Garang datang menuntut balas Tapi sebelum kau kubunuh mari kita bicara
sedikit!”
Orang tua tinggi besar yang
mengaku Datuk Angek Garang selipkan Kapak Maut Naga Geni 212 di pinggang
pakaian hitamnya yang gombrong.
“Aku ingin kau memberi
keterangan apa yang terjadi dengan adikku Datuk Raja Di Langit. Dia lenyap di
pulau kediaman Tua Gila! Jika kau mau memberi keterangan, kematianmu akan
kupercepat hingga kau tidak perlu tersiksa menderita….”
Wiro menyeringai. Dia meludah
ke tanah. Ludahnya tampak bercampur darah tanda dia telah mengalami luka dalam
akibat asap busuk pukulan Hawa Neraka yang dilepaskan Datuk Angek Garang di
dalam goa. Darah bercampur ludah itu kelihatan merah segar yang berarti
walaupun terluka di dalam namun belum ada racun yang sempat mendekam merusak
tubuhnya.
“Soal Datuk Raja Di Langit
kejadiannya sudah lama. Aku tidak ingat lagi! Nanti bisa saja kau tanyakan pada
setan pulau atau jin laut! Huk… huk… huk!” Wiro terbatuk-batuk lalu meludah
berulangkali.
Datuk Angek Garang
menyeringai. “Kau tidak mau memberi tahu tak jadi apa. Akibatnya akan kau
rasakan sebentar lagi! Sekarang satu lagi pertanyaanku. Jika kau mau menjawab
kuhapus semua dosamu dan kau akan kubebaskan!”
Wiro tertawa. “Seumur hidup
tak ada manusia yang percaya pada segala manusia setan sepertimu! Kau ingin
membunuhku aku tak takut! Kalau aku mati, di akhirat aku akan menemui dua
adikmu itu. Akan kusampaikan pesan bahwa tak lama lagi kau akan bergabung
dengan mereka! Ha… ha… ha…! Huk… huk… huk!”
Tangan kanan Datuk Angek
Garang bergerak ke atas. Pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung
pertanda amarahnya sudah sampai di puncak teratas.
Pendekar 212 seperti tak
perduli, seolah tidak acuh akan maut yang merenggut nyawanya saat itu juga.
Sambil menyeringai dia teruskan ucapannya. .
“Jangan harap aku akan
menyampaikan pesan untuk bidadari di sorga! Tampangmu jelek! Badanmu bau!
jangankan bidadari, kambing pun jijik padamu! Ha… ha… ha! Huk… huk… huk!”
Tangan kanan Datuk Angek
Garang bergetar tanda dia tengah mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya. Ketika tangan kanannya dipukulkan ke arah Wiro, cahaya hitam
seolah keluar dari seluruh tubuhnya. Laksana kilat menyambar ke arah murid
Sinto Gendeng. Gilanya menghadapi pukulan maut itu Wiro sama sekali tidak
berusaha selamatkan diri! Bahkan kedua matanya tidak berkesip barang sedikit
pun! Dia benar-benar siap menerima kematian!.
Diantara bau busuk pukulan
sakti yang dilepaskan Datuk Angek Garang tiba-tiba menyeruak bau wangi aneh
kembang kenanga. Lalu, “Bumm!”
Satu ledakan dahsyat
menggelegar di lereng bukit Jatianom itu ketika sebuah sinar kuning laksana
petir menyambar turun dari langit menghantam cahaya hitam pukulan Hawa Neraka
yang dilepaskan Datuk Angek Garang untuk membunuh Wiro.
Tubuh Pendekar 212 tampak
mencelat sampai dua tombak lalu jatuh menyangsrang di antara semak belukar.
Datuk Angek Garang sendiri tegak tergontai-gontai. Matanya mendelik dan dari
mulutnya mengucur darah membasahi janggutnya yang lebat meranggas.
“jahanam dari mana yang berani
menghalangi urusanku!” kertak Datuk Angek Garang sambil meringis pegangi
dadanya menahan sakit. Dia memandang berkeliling. Hatinya kecut ketika melihat
ke belakang sebagian lereng seperti dilanda longsor.
Mulut goa tak tampak lagi,
tertimbun runtuhan tanah.
Pandangan orang tua bertubuh
tinggi besar ini membentur sosok tubuh Wiro Sableng yang terkapar menyangsrang
dalam keadaan tak sadarkan diri di antara semak-semak.
“Kalau tidak kuhabisi
sekarang, di kemudian hari bisa menimbulkan bencana!” Datuk Angek Garang lalu
cabut Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro yang diselipkannya di pinggang. Sekali
lompat saja dia sampai di hadapan semak belukar itu. Dua mata kapak berpijar
menyilaukan begitu sang Datuk kerahkan tenaga dalam.
“Wuuttt!”
Senjata mustika itu menderu
dengan segala kedahsyatannya. Datuk Angek Garang sengaja mengarahkan mata kapak
ke batang leher Wiro. Dapat dibayangkan apa yang bakal terjadi. Leher itu akan
tertebas putus. Kepala Pendekar 212 akan menggelinding jatuh ke dalam lembah di
bawah sana!
Namun lagi-lagi terjadi hal
aneh yang membuat Datuk Angek Garang menjadi kecut setengah mati. Selagi
tangannya mengayun kapak tiba-tiba senjata itu terlepas dari genggamannya
seolah ada satu kekuatan menariknya dengan keras. Bersamaan dengan itu tubuh
orang tua ini terlempar akibat satu tendangan yang tak kelihatan yang mendarat
telak di dadanya. Datuk Angek Garang berteriak keras lalu muntahkan darah.
Tubuhnya terjengkang di tanah. Meski hantaman yang melanda dadanya begitu
dahsyat namun dia masih sanggup bertahan untuk tjdak pingsan. Beberapa lama dia
terjengkang di tanah dengan mata mendelik dan sepasang kaki melejang-lejang.
Mukanya yang hitam tampak kaku tak berdarah.
“Makhluk jahanam! Setan atau
manusia! Mengapa tidak berani unjukkan diri! Menyerang secara pengecut!” teriak
Datuk Angek Garang. Lalu dia bergerak bangun, memandang berkeliling,
mencari-cari. Dia sama sekali tidak melihat siapapun. Tiba-tiba orang ini
melangkah tersurut. Kapak Maut Naga Geni 212 dilihatnya melayang di udara.
Cahaya terang panas dan menyilaukan membersit dari senjata itu. Seolah dipegang
oleh seseorang yang tidak terlihat oleh mata, senjata mustika itu bergerak ke
arah sang Datuk. Bersamaan dengan itu bau wangi aneh kembang kenanga tercium
semakin santar! Kali ini putuslah nyali Datuk Angek Garang. Tanpa menunggu
lebih lama dia segera memutar tubuh pontang panting melarikan diri menuruni
lereng bukit.
Begitu Datuk Angek Garang
lenyap di kejauhan, samar-samar di bawah pohon besar menyeruak satu bayangan
yang makin lama makin nyata dan menjelma menjadi sosok seorang gadis berpakaian
kebaya panjang serta kain putih. Rambutnya yang panjang hitam digerai ke arah
sosok Wiro yang berada diatas semak belukar dalam keadaan pingsan. Sambil
memegang Kapak Naga Geni 212 di tangan kanannya, gadis melangkah mendekati
Wiro. Dua kali dia mengusap wajah pemuda itu maka perlahan-lahan Wiro sadar
dari pingsannya.
“Bunga…” desis Pendekar 212
begitu matanya terbuka dan yang dilihatnya pertama kali adalah Bunga alias Suci
alias Dewi Bunga Mayat tegak di hadapannya. Wiro hendak bergerak tapi tubuhnya
anjlok ke bawah dan dia jadi terkejut ketika menyadari dirinya tersangkut di
semak belukar.
“Apa yang terjadi?” ujar Wiro
begitu Bunga mengeluarkan dirinya dari dalam semak belukar.
“Nanti saja kita bicara. Aku
punya firasat tidak baik. Aku akan membawamu dari tempat ini. Rasanya di sini
tidak aman lagi bagimu…,”
Wiro tegak terhuyung-huyung.
Dia memandang berkeliling. “Orang tinggi besar berbaju gombrong itu…” ujar
Wiro.
“Dia melarikan diri,” jawab
Bunga, gadis dari alam gaib itu. Lalu diserahkannya Kapak Naga Geni 212. Wiro
menerima senjata mustika itu dan memegangnya keberatan akibat tidak lagi
memiliki kesaktian dan tenaga dalam. Dengan cepat kapak disimpannya di balik
pakaian.
“Wiro kita harus pergi dari
sini. Aku akan memanggulmu agar kita bisa bergerak lebih cepat. Aku mencium
bahaya mengelilingimu. Ini adalah kali terakhir aku bisa muncul dan menolongmu.
Setelah ini aku membutuhkan waktu seratus tujuh puluh hari untuk dapat lagi
keluar dari alamku….”
“Bunga, aku tidak tahu harus
bagaimana mengucapkan terima kasih. Aku yakin pasti kau baru saja menyelamatkan
nyawaku. Aku akan mengikuti ke mana saja kau bawa. Tapi tak perlu digendong
seperti anak kecil. Aku bisa berjalan sendiri.”
“Begitu?” ujar Bunga. “Coba
kau melangkah ke arah pohon besar sana:…”
“Kau kira aku anak kecil yang
baru pandai berjalan? Lihat!” Wiro lalu melangkah besar-besar ke arah pohon
yang berjarak sekitar sembilan langkah dari tempatnya berdiri.
Satu langkah, dua langkah.
Pada langkah ketiga dia mulai terhuyung. Memasuki langkah keempat dia batuk dan
keluarkan darah dari mulut. Setelah itu dia jatuh terduduk. Parasnya pucat.
“Walau tidak berbahaya tapi
ada racun yang masuk ke dalam tubuhmu. Orang yang kabur itu telah menghantammu
dengan ilmu pukulan mengandung hawa busuk. Sebaiknya kau telan ini agar peredaran
darahmu lancar dan bersih….”
Dari balik pakaian putihnya
Bunga keluarkan sehelai daun lalu menyerahkannya pada Wiro. “Ini daun pohon
kenanga. Kunyah dan telan. Mudah-mudahan kau tertolong. Lekas kau kunyah sampai
lumat….”
Wiro memegang daun yang
diserahkan Bunga itu sesaat. Bibirnya digigit-gigit. Akhirnya daun itu
dimasukkannya juga ke dalam mulutnya. Selagi dia mengunyah daun Bunga berkata.
“Agar peredaran darahmu bisa
bekerja dengan baik dan kau tidak banyak cincong di jalan aku terpaksa menotok
dirimu!”
“Eh Bunga,… Jangan!” seru
Wiro. Tapi si gadis bergerak lebih cepat. “Hekkk!”
Satu totokan yang
disarangkannya di pangkal leher Wiro membuat murid Sinto Gendeng itu tak bisa
bergerak tak bisa bersuara. Kedua matanya ikut tertutup,
Tanpa menunggu lebih lama
Bunga langsung saja memanggul Wiro di bahu kirinya lalu berkelebat ke arah
lembah. Namun baru saja bergerak, bau sangat harum tiba-tiba tercium di tempat
itu. Langkah Bunga tertahan. Kedua kakinya laksana dipantek ke tanah.
“Kau…!” desis Bunga dengan
sekujur tubuh bergetar. Wajahnya yang pucat serta merta menjadi merah. Sepasang
matanya memandang tak berkesip ke depan, ke arah seseorang yang dari caranya
tegak di jalan jelas sengaja menghadang.
*
* *
212
SEBELAS
Orang yang tegak di jalan seta
pa k empat langkah di hadapan Bunga yang sedang memanggul sosok Wiro adalah
seorang gadis luar biasa cantiknya. Dia mengenakan pakaian ringkas baju biru
muda di sebelah atas dan celana biru kehitaman di sebelah bawah. Rambutnya yang
hitam disanggul di atas kepala dan di sebelah depan kepalanya terdapat sebuah
mahkota kecil terbuat dari kerang berwarna biru. Dari tubuh dan pakaiannya
menebar bau harum semerbak. Untuk beberapa lamanya Bunga menatap tak berkesip
ke dalam sepasang mata berwarna biru gadis di hadapannya itu. Sebagai seorang
yang berasal dari alam gaib di mana segala kekuatan aneh berada, pandangan
Bunga menusuk ke dalam mata orang di hadapannya. Namun dia sendiri merasa
getaran-getaran aneh pertanda yang dipandang juga memiliki satu kekuatan luar
biasa, yang tidak dimiliki oleh orang biasa.
“Ratu Duyung…” desis Bunga
dengan suara dan air muka dingin.
“Syukur kau telah mengenali
hingga aku tak perlu menerangkan siapa diriku….” Orang di depan Bunga menyahuti
tak kalah dinginnya bahkan ketus. Orang ini memang adalah Ratu Duyung.
“Ada keperluan apa kau tegak
menghadang jalanku? Kalau maksud jahat katakan jahat! Kalau maksud baik katakan
baik!”
Ratu Duyung tersenyum. “Alamku
dan alammu banyak persamaannya. Namun dalam alamku kami tidak mengenal segala
sesuatu yang berbentuk jahat!”
“Beg itu?” ujar Bunga lalu
dongakkan kepala dan keluarkan suara tertawa perlahan. “Kalau bukan karena
perbuatan jahat, pemuda yang berada di atas panggulanku ini tidak akan
mengalami nasib seperti ini! Kesengsaraan yang dialaminya lebih pahit dan lebih
mengerikan dari kematian!”
“Gadis alam hitam, jangan kau
berani bermulut lancang menuduhku. Kejahatan apa yang telah aku lakukan
terhadapnya?!”
“Dari pertanyaanmu yang penuh
kepura-puraan itu, aku kini mengerti bahwa alam kita memang benar punya
perbedaan. Di alammu mencelakai orang bukan satu kejahatan!” Bunga tertawa
panjang. Tiba-tiba seperti direnggut setan tawanya lenyap dan air mukanya
segarang harimau lapar. “Kau telah memperdayai Pendekar 212 semata-mata untuk
membebaskan dirimu dan anak buahmu dari kutukan! Apakah itu bukan perbuatan
jahat? Kau rampas kehormatannya yang mengakibatkan kini dirinya seolah-olah
mati dalam hidup!”
Paras Ratu Duyung tampak merah
seperti terpanggang sinar matahari. “Karena hidupmu di alam aneh, kau tidak
tahu apa artinya meminta tolong, apa artinya berbagi rasa dalam penderitaan,
apa artinya menghormati sesama manusia nyata, bukan manusia gaib sepertimu!”
“Sungguh hebat ucapanmu!
Pertolongan apa yang kau maksudkan Ratu Duyung? Memeras kehormatannya dan
menjadikannya budak nafsumu lalu menjadikannya budak kebodohan? Perasaan apa
yang begitu kau muliakan hingga kau tega mencelakainya? Kehormatan apa yang kau
berikan padanya hingga dia menjadi sengsara seperti sekarang ini?”
“Aku memang melakukan satu
kealpaan. Tidak mengatakan apa akibat dari pertolongan yang diberikannya. Tapi
lain daripada itu tidak ada pikiran apalagi perbuatan jahat. Dia menolongku
penuh kesadaran. Atas sepengetahuan beberapa orang tokoh termasuk gurunya sendiri.
Apakah kau lebih berkuasa dari para tokoh dan gurunya? Bukankah segala tuduhan
dan ucapan lantangmu hanya dipengaruhi oleh rasa cemburu terhadapku? Aku
mendapatkan perhatian lebih dari dia sebaliknya kau tidak! Seharusnya kau tahu
diri. Paling tidak sedikit menyadari. Mania mungkin manusia alam nyata bisa
membagi kasih dengan manusia alam gaib sepertimu?!”
Paras pucat Bunga alias Suci
tampak menjadi merah mendengar ucapan Ratu Duyung. Dengan cepat gadis ini
menyahuti kata-kata sang Ratu itu.
“Dalam alamku yang kau anggap
rendah pertolongan adalah pertolongan. Tidak ada embel-embel lain atau akibat
yang bisa mencelakai orang!”
“Siapa yang mencelakai
dirinya? Justru aku datang mencarinya untuk memberikan keterangan dan meminta
maaf….”
“Pendekar 212 tidak memerlukan
dirimu, tidak memerlukan keteranganmu, juga tidak memerlukan maafmu!”
“Yang kudengar adalah
ucapanmu, bukan ucapan Pendekar 212!” tukas Ratu Duyung.
Untuk beberapa lamanya kedua
orang gadis jelita itu saling berperang pandang. Lalu Ratu Duyung membuka
pembicaraan lagi.
“Aku melihat dua orang anak
buahku menemui ajal di lereng bukit di atas sana…. Apakah kau yang telah
membunuh mereka?!”
“Tuduhan keji! Bukankah kau
orang sakti yang bisa menembus dunia hitam dan melihat ke dalam kejauhan?!
Jangan kau sekali lagi berani lancang menuduh yang bukan-bukan! Lekas
menyingkir berikan jalan!”
“Aku perlu bicara dengan
Pendekar 212. Biar ada kejelasan dan menghindarkan salah sangka di antara kami.
Harap kau lepaskan totokannya, turunkan dia dari panggulanmu!”
“Permintaanmu tidak bisa
kupenuhi!” jawab Bungs tandas.
“Kalau begitu kuanggap kau
sengaja hendak menimbulkan jurang perpecahan antara aku dengan Pendekar 212.
Itu memang ciri-ciri khas manusia alam gaib dan hitam sepertimu!”
“Terserah kau mau berkata dan
menuduh apa! Yang jelas kau tak bakal mendapatkan pemuda ini. Baik tubuh maupun
hatinya!”
Ratu Duyung tertawa panjang.
“Jelas kecemburuan menguasai dirimu! Kau lupa bahwa pemuda itu telah merelakan
tubuhnya untukku? Pendekar 212 telah berbagi kasih dengan aku?!”
“Lekas menyingkir atau kau
akan menyesal seumur hidupmu! Kau pernah menderita dalam alam kutukan! Jangan
sampai aku membuat kau menderita dalam bentuk lain!”
“Serahkan Pendekar 212
padaku!” hardik Ratu Duyung. Sepasang matanya yang biru mengeluarkan kilatan
aneh.
“Sekali aku bilang tidak,
sampai kiamat pun tidak!”
“Kau mencari kiamat sendiri!”
Ratu Duyung tegak renggangkan kaki. Tangan kirinya diletakkan di atas dada.
Tangan kanan perlahan-lahan diangkat ke atas.
Bunga tak tinggal diam.
Pandangan matanya menyorot garang.
“Kau masih keras kepala? Atau
kau mencari penyesalan karena aku akan segera menjatuhkan tangan keras
terhadapmu!”
Ratu Duyung mengancam.
“Silahkan coba! Aku ingin tahu
sampai di mana kehebatan manusia yang pernah dimakan kutukan!” sahut Bunga
menerima tantangan dan ancaman orang.
Baru saja Bunga berucap begitu
dari ujung jari telunjuk tangan kanan Ratu Duyung melesat serangkum sinar biru.
Sinar ini melesat demikian cepatnya hingga sebelum bisa mengelak sekujur tubuh
Bunga termasuk Wiro yang ada dalam panggulannya telah terikat kuat. Makin lama
ikatan itu terasa semakin mengencang.
Ratu Duyung dongakkan kepala
lalu tertawa panjang.
Bunga menyeringai. Kepalanya
digoyangkan. Rambutnya yang hitam panjang melesat ke udara membuat gerakan
berbentuk lingkaran.
“Wuuttt!”
Angin keras laksana puting
beliung keluar dari putaran rambut membuat pakaian Ratu Duyung berkibar-kibar.
Rambutnya yang tergulung di atas kepala terlepas dan tergerai riap-riapan.
Mahkota biru yang ada di kepalanya terpental ke atas namun secara aneh
perlahan-lahan turun kembali dan menempel di tempat semula. Sepasang kaki Ratu
Du-yung bergetar keras. Ada satu kekuatan laksana topan mencoba membongkar
kuda-kuda sepasang kakinya yang seolah pohon besar ditancapkan ke tanah.
Sepasang mata Ratu Duyung memancarkan kilatan aneh. .
Dari mulut Bunga keluar pekik
keras menusuk menyakitkan telinga dan menggetarkan dada Ratu Duyung. Lalu
terdengar suara “Dess… dess!” Be-berapa kali berturut-turut, ikatan tali biru
aneh yang melibat sekujur tubuh Bunga dan Wiro putus be-rantakan.
Ratu Duyung terkesiap tak
percaya melihat apa yang terjadi. Di depannya Bunga tertawa panjang lalu
berseru.
“Ratu Duyung! Terima hadiah
kecil dariku sekedar untuk kenang-kenangan!”
Baru saja ucapan gadis alam
gaib itu berakhir satu sinar kuning menderu ke arah Ratu Duyung disertai
menghamparnya bau santar kembang kenanga. Di udara tampak berkelebat sebuah
benda kuning menyerupai bintang.
Ratu Duyung ingat betul
pukulan inilah yang dulu menghantamnya sewaktu berada di Puri Pelebur Kutuk
bersama Pendekar 212. Didahului teriakan keras sang Ratu melesat dua tombak ke
atas dan sambil melayang di udara dia dorongkan dua tangannya ke arah Bunga.
Dua gelombang cahaya biru sebesar batangan bambu menderu menyapu ke arah Bunga.
Gadis dari alam gaib itu ganda tertawa. Tiba-tiba dia turunkan sosok Pendekar
212 dari bahunya. Tubuh murid Sinto Gendeng ini kemudian digendongnya di depan
tubuhnya.
“Kau hendak membunuh kami
berdua, silahkan!” seru Bunga seraya angsurkan tubuh Wiro ke depan, membuat
Ratu buyung terkesiap dan terpaksa batalkan serangan ganasnya.
“Pengecut!” maki Ratu Duyung.
“Turunkan pemuda itu! Hadapi diriku secara langsung!” Sambil berteriak Ratu
Duyung cepat melompat ke samping menghindarkan serangan cahaya dan benda kuning
yang menghantam ke arahnya.
Bunga tertawa panjang.
“Sekarang terbukti bahwa
manusia alam gaib sepertimu memang berhati culas dan jahat! Buktinya kau tega
mempergunakan orang sebagai tameng. Jika kau menyukai dirinya mengapa
mempergunakan dia sebagai tameng?! Pengecut keji!”
Mendengar caci maki Ratu
Duyung, Bunga menjadi marah. Tangan kirinya digerakkan ke samping. Secara aneh
tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng terangkat dan melayang ke kiri lalu tegak
tersandar ke sebatang pohon. Masih dalam keadaan tertotok, tak bisa bicara tak
bisa bergerak. Bahkan sepasang matanya pun masih tampak tertutup hingga Wiro
sama sekali tidak mengetahui apa yang tengah terjadi!
“Kita saling berhadapan
sekarang! Apa maumu akan kulayani!” kata Bunga.
“Bagus! Aku akan membuatmu
mati sampai sepuluh kali!” ujar Ratu Duyung. Untuk kedua kalinya sang Ratu
lepaskan dua pukulan sinar sakti berwarna biru.
“Wusss! Wusss!”
Bunga angkat tangan kirinya.
Dari tangan ini keluar sinar kuning berputar laksana tameng memagari dirinya.
Bersamaan dengan itu Bunga gerakkan tangan kanan ke pinggang mengeluarkan
sekuntum kembang kenanga. Kembang ini lalu dilemparkannya ke arah lawan.
Begitu dua jalur sinar biru
pukulan sakti yang dilepaskan Ratu Duyung hanya tinggal beberapa jengkal lagi
dari sasarannya tiba-tiba putaran sinar kuning yang keluar dari tangan kiri
Bunga berubah membesar dan membentuk kerucut. Dua sinar biru pukulan sakti yang
dilepaskan Ratu Duyung amblas tersedot ke dalam putaran sinar kuning laksana
benda tersedot putaran air yang ganas. Dua dentuman menggelegar di tempat itu.
Ratu Duyung terjajar lima
langkah ke belakang. Mukanya yang cantik tampak memucat. Untuk sesaat tubuhnya
bergetar tak karuan. Peredaran darahnya kacau. Tenaga dalamnya
menyentak-nyentak. Mulutnya terasa asin tanda ada darah akibat luka dalam.
Dilain pihak Bunga tegak
terhuyung-huyung. Wajahnya yang pucat semakin putih. Kebaya putihnya robek
hangus di bagian dada dan pinggang hingga auratnya tersingkap lebar. Ketika dia
meneliti, gadis aiam ini jadi melengak. Tiga kuntum kembang kenanga yang
tersimpan di pinggang pakaiannya telah berubah menjadi hitam hangus!
“Gadis iblis! Kalau tidak
kubunuh dirimu belum puas hatiku!” teriak Bunga dengan sepasang mata
bernyala-nyala. Lalu kaki kanannya dihentakkan ke tanah. Dari tanah mencuat
cahaya merah yang menjalar memasuki tubuhnya terus ke kepala lalu melesat
keluar dari kedua matanya!
ilmu iblis apa yang dimiliki
gadis alam gaib ini!” pikir Ratu Duyung. “Aku terluka dalam. Tak mungkin
mengerahkan tenaga dalam secara penuh! Aku tak bisa balas menghantam dengan
kilatan cahaya biru-ku! Benar-benar berbahaya!”
Secepat kilat Ratu Duyung
mengambil cermin bulat sakti dari balik pakaian birunya. Begitu benda ini
digoyangkannya maka berkiblatlah kilauan cahaya putih disertai suara laksana
dentuman, petir menggelegar berulang kali.
Bukit Jatianom seperti diamuk
gempa. Tanah bergetar dan longsor besar terjadi di beberapa tempat. Pohon-pohon
bertumbangan. Semak belukar rambas dan bertaburan di udara. Batu dan pasir
menggebubu menutupi pemandangan membuat udara yang memang sudah gelap karena
mendung tebal menjadi tambah kelam.
Ratu Duyung terkapar di tanah.
Sekujur tubuhnya tertutup oleh tanah. Dengan cepat dia melompat tegak walau tubuhnya
terasa limbung.
Bunga masih tampak berdiri
tapi keadaannya tak karuan rupa. Rambut acak-acakan. Pakaian dan celana
putihnya hangus. Kapak Naga Geni 212 tergeletak di tanah tak jauh dari
tempatnya berdiri. “Seumur hidup belum pernah aku mengalami yang seperti ini,”
membathin gadis dari alam gaib ini. Entah hidup di alam mana yang
dimaksudkannya dalam ucapan batinnya tadi.
Bagaimana dengan Pendekar 212
sendiri?
Ketika segala kedahsyatan itu
melanda bukit Jatianom tubuh murid Sinto Gendeng laksana dilemparkan ke udara.
Selagi tubuh itu melayang jatuh tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat
laksana hantu gentayangan.
Baik Ratu Duyung maupun Bunga
sama-sama berteriak ketika melihat bagaimana bayangan hitam itu melesat ke
udara menyambar tubuh Pendekar 212 lalu berkelebat lenyap. Ratu Duyung dan
Bunga cepat bertindak hendak mengejar. Tapi bayangan hitam telah lenyap.
“Wiro!” teriak Ratu Duyung
memanggil.
“Celaka!” keluh Bunga.
“Gadis iblis! Kalau bukan
karenamu hal ini tidak akan terjadi!” Ratu Duyung memaki.
“Ratu jahanam! Jangan kau
membalikkan tuduhan! Kau yang jadi biang racun gara-gara semua ini!” bentak
Bunga.
Selagi kedua gadis cantik
perang mulut saling memaki tiba-tiba dari jurusan lain muncul satu bayangan
biru. Sebelum Ratu Duyung dan Bunga sempat melihat jelas siapa adanya bayangan
itu, sesosok tersebut telah lenyap dan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro yang
tadi tergeletak di tanah kini lenyap tak tampak lagi!
Bunga hantamkan tangan
kanannya. Ratu Duyung kiblatkan cermin saktinya. Tapi bayangan biru itu luar
biasa sekali cepat gerakannya. Sebelum dua serangan ganas sempat menyentuhnya,
sosoknya telah lenyap dalam kegelapan.
Ratu Duyung tertegun. Dalam
hati dia berkata. “Hanya ada satu orang yang memiliki kecepatan seperti kilat
begitu. Kalau memang dia…. Ah, bagaimana jadinya urusan ini? Persoalanku dengan
Pendekar 212 belum dapat dijernihkan. Sekarang muncul lagi gadis itu. Nasib
diriku semakin tidak karuan….”
Ratu Duyung berpaling ke arah
di mana sebelumnya Bunga tegak berdiri. Namun saat itu didapatinya gadis dari
alam gaib itu tak ada lagi di tempat itu. Ratu Duyung semakin bingung. Dia
memandang berkeliling.
“Wiro…?! Wiro…?!” panggilnya
dengan suara bergetar. “Kemana aku harus mencari? Siapa yang telah menculik
dirinya? Oh Tuhan apakah belum berakhir derita sengsara ini” Tak terasa
sepasang matanya yang biru tampak berkaca-kaca. Udara tambah gelap. Di langit
tampak kilat menyambar beberapa kali. Lalu bertiup angin kencang. Bersamaan
dengan itu hujan mulai turun rintik-rintik Ratu Duyung menarik nafas dalam
berulang kali. Akhirnya dengan berbagai perasaan kacau balau dia tinggalkan
lereng bukit Jatianom yang porak poranda itu.
*
* *
212
DUA BELAS
Setelah memastikan pemuda itu
berada dalam keadaan tertotok bukannya pingsan apa lagi mati, Sika Sure
Jelantik segera memeriksa. Samar-samar dia melihat ada tanda kemerahan di urat
besar pangkal leher Wiro. Dengan segera dia lipat jari telunjuknya lalu ujung
lipatan jari ditekankannya ke bagian leher pemuda itu.
Sejurus tubuh Wiro masih belum
bergerak. Matanya juga masih tertutup. Lalu terdengar dia batuk-batuk beberapa
kali. Ketika akhirnya matanya dibuka murid Sinto Gendeng melengak laju bersurut
mundur. Matanya membesar menatap wajah perempuan tua di hadapannya. Terus ke
sepuluh jari-jari tangan yang berwarna hitam dan panjang-panjang.
“Nek, siapa kau? Apa yang
terjadi dengan diriku? Berada di mana aku saat ini?” Wiro langsung ajukan
rentetan pertanyaan. Terhuyung-huyung dia coba bangkit dan duduk. Memandang
berkeliling dia dapatkan dirinya berada dalam sebuah dangau di tengah pesawahan
kering.
Si nenek menatap sesaat pada
pemuda di hadapannya itu lalu berpaling memandang ke arah kejauhan. Dalam hati
si nenek berkata. “Gila! Sikap dan cara bicara anak ini hampir sama dengan jahanam
itu di masa muda!”
“Nek….”
“Nek, Nek… Nek! Kau mengapa
cerewet amat! Apa yang hendak kau katakan?!”
“Tadi aku sudah bertanya. Tapi
kau tak menjawab. Malah marah…. Sebelumnya aku berada di satu bukit bernama
Jatianom. Mengapa tahu-tahu berada di sini?!”
“Memang aku yang menculikmu
dan membawamu ke tempat ini!”
“Kau…. Kau menculikku?
Mengapa? Apa kesalahanku, apa untungnya menculik orang jelek dan sengsara
seperti aku?!”
“Jelek atau sengsara bukan
urusanku! Kalau kau memang sudah dilahirkan jelek dan nasibmu sengsara itu
namanya takdir! Aku tidak perduli dan tidak mau tahu!”
“Lalu apa alasanmu menculik
diriku? Jangan-jangan kau bangsanya nenek genit yang masih doyan daun muda….”
“Plaaaakk!”
Satu tamparan mendarat di pipi
kiri Pendekar 212. Membuat pemuda ini menjadi pening dan kesakitan.
Wiro angkat tangan kanannya
dan balas menampar.
“Plaaakkk!”
Si nenek melengak kaget
setengah mati. Rasa terkejutnya lebih hebat dari pada rasa sakit.
“Anak muda kurang ajar! Kau
ingin mati cepat rupanya!” si nenek mengancam dengan mata melotot.
“Uh… huk… huk… huk!” Wiro
batuk-batuk. “Sejak beberapa hari lalu sudah beberapa orang inginkan
kematianku. Hari ini tambah lagi satu orang! Tapi Nek, aku tidak bodoh! Kau
pasti punya alasan tertentu menculik dan membawa aku ke tempat sepi ini.
Sebelum kau mendapatkan apa yang kau mau kau tak bakal membunuhku! Uh… huk…
huk… huk! Umurku rupanya masih bisa diperpanjang. Padahal aku sudah ingin
buru-buru mati!”
“Kematian akan segera menjadi
bagianmu anak gila. Kau ternyata cerdik seperti bangsat tua yang satu itu!”
“Eh, bangsat tua yang mana
maksudmu Nek?”
“Dengar!” si nenek jambak
rambut Wiro. Lalu dia berkata. “Aku tahu kau adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Murid Sinto Gendeng dan juga murid seorang kakek dajal bergelar Tua Gila!”
“Wan ilmu pengetahuanmu luas
juga rupanya Nek. Kau tahu banyak tentang diriku. Apa kau tahu berapa
pusar-pusar rambut di kepalaku? Juga tahu berapa aku punya pusar di perut! Lalu
berapa aku punya pusar di bawah perut? Ha… ha… ha…! Huk… huk… huk!”
Si nenek berjubah hitam
keluarkan suara menggembor saking marahnya. Tangannya diangkat kembali hendak
menampar tapi kemudian perlahan-lahan diturunkan.
“Kenapa tak jadi menampar?”
tanya Wiro sambil mencibir.
“Anak jahanam! Guru dan murid
sama saja!” Si nenek bantingkan kepala Wiro ke samping. Lalu dengan kakinya
ditendangnya perut pemuda itu hingga Wiro menjerit kesakitan. Tubuhnya
terpental dua tombak. Perutnya serasa pecah, pemandangannya berkunang-kunang.
Untuk beberapa lama dia hanya bisa mengerang menahan sakit. Dalam pada itu si
nenek sudah melompat ke hadapannya dan kembali menjambak rambutnya.
“Aku ingin tahu di mana gurumu
berjuluk Tua Gila itu berada?!” Sambil bertanya si nenek sentakkan jambakannya.
Walau sakit tapi murid Sinto
Gendeng malah senyum-senyum. Membuat si nenek jengkel setengah mati.
“Ada hubungan apa kau dengan
Tua Gila? Kau pasti bukan orang sini! Mengadakan perjalanan jauh. Sampai-sampai
menculik diriku! Hanya untuk tahu di mana beradanya Tua Gila! Hik… hik! Aku
punya firasat di masa muda kau dengan dia….”
“Plaaakkk!”
Tak dapat menahan hatinya lagi
si nenek lantas saja tampar Wiro untuk kedua kalinya! Kali ini demikian
kerasnya sampai mulut Wiro pecah dan mengucurkan darah.
“Aduh sakitnya….” ujar Wiro.
Dia sampai keluar air mata.
“Kalau kau masih berani
mempermainkan jangan kira aku tidak tega mengorek kau punya mata!” kata si
nenek dengan rahang menggembung. “Lekas katakan di mana Tua Gila berada!”
“Aku… aku tidak tahu Nek.
Terakhir sekali aku bertemu dengan dia di Pangandaran. Aku pergi ke selatan dia
pergi ke utara….”
“Jangan dusta! Masakan di mana
guru sendiri berada kau tidak tahu!”
“Memangnya aku murid apa yang
mengikuti guru kemana-mana dan harus tahu di mana dia berada!”
“Aku tidak percaya padamu! Kau
sama gila dan kurang ajarnya dengan si Tua Gila itu!”
“Hemmm…. Kalau kau memaksa
baiklah. Aku akan katakan di mana guruku itu berada. Tak jauh dari sini!”
Se pa sang mata si nenek
membuka lebar. Dia menyeringai. “Katakan di mana…!”
“Tak jauh dari sini. Di sebelah
tenggara ada sebuah kali kecil. Guruku si Tua Gila itu ada di sana. Lagi berak!
Ha… ha… ha…!”
“Jahanam setan alas!” Kini
bukan tamparan lagi yang diterima Pendekar 212 melainkan satu jotosan menghajar
pipinya, membuat pemuda tak berdaya ini jatuh terguling di tanah dengan pipi
memar! Belum puas si nenek lalu melompat dan injakkan kaki kanannya ke leher
Wiro. “Aku Sika Sure Jelantik tidak punya ganjalan apa-apa membunuhmu! Tidak
dapat gurunya, muridnya lebih dulu tak jadi apa!”
Si nenek yang ternyata adalah
Sika Sure Jelantik kekasih Tua Gila di masa muda lalu perkeras injakannya
hingga mulut Pendekar 212 terbuka dan lidahnya tampak terjulur. Tiba-tiba nenek
berteriak keras. “Jahanam kurang ajar!”
Apa yang terjadi?
Ketika lehernya dipijak
semakin keras, Wiro susupkan tangannya ke dalam jubah hitam si nenek lalu
dengan cepat menggelitik bagian bawah perut Sika Sure Jelantik. Tentu saja
perempuan tua ini menggelinjang kaget dan geli.
“Kupecahkan kepalamu!”
teriaknya lalu berkelebat dan hantamkan tangan kanannya ke batok kepala
Pendekar 212. Seperti yang sudah-sudah murid Sinto Gendeng ini hanya berdiam
diri saja seolah pasrah menerima kematian.
Sesaat lagi pukulan Sika Sure
Jelantik benar-benar akan memecahkan batok kepala murid Eyang Sinto Gendeng itu
tiba-tiba terdengar satu seruan. Bersamaan dengan itu bau sangat wangi
menyeruak di tempat itu.
“Nenek Sika! Jangan kau bunuh!
Dia pemuda yang aku ceritakan padamu! Aku mohon pengampunan baginya!”
Sika Sure Jelantik terkejut.
Satu bayangan biru berkelebat dan tegak di hadapannya. Di tangan kanannya orang
yang barusan muncul itu memegang Kapak Maut Naga Geni 212.
“Anakku, kau rupanya!” ujar
Sika Sure Jelantik sambil menatap tajam pada orang yang berdiri di depannya
lalu berpaling pada Wiro. Si nenek tarik nafas dalam lalu perlahan-lahan tarik
kaki kanannya yang menginjak leher Wiro. Pendekar 212 cepat bangkit berdiri dan
batuk-batuk berulang kali. Dia memandang ke depan dan lambaikan tangannya.
“Bidadari Angin Timur….” seru
Wiro. “Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawa manusia buruk ini dari nenek
yang kesasar tak tahu juntrungan ingin membunuhku!”
Si nenek kembali meledak
marahnya. Tapi gadis berpakaian biru yang memang Bidadari Angin Timur adanya
cepat menghalangi dan berdiri di hadapan si nenek.
“Aku mohon Nek….” kata
Bidadari Angin Timur setengah memelas, membuat gelegak marah si nenek menjadi
kendur.
“Jadi ini dia pemuda yang
menurutmu mencintaimu setengah mati?!”
Bidadari Angin timur tidak
menyahut. Dia hanya tundukkan kepala menyembunyikan wajahnya yang kemerahan.
Sika Sure Jelantik tertawa
mengekeh lalu geleng-gelengkan kepala. “Tidak kusangka kalau murid musuh
besarku ini adalah pemuda yang menjadi kekasihmu! Anakku, kita sudah bicara
panjang lebar. Aku sudah memberi nasihat banyak padamu. Kalau begini potongan
orangnya a la mat kau bakalan susah! Aku kenal gurunya! Menipuku di masa muda.
Murid tentu tak bakal jauh dari sang guru! Terserah padamu! Kalau aku jadi
gadis secantikmu pemuda jelek dan bau ini tidak akan laku! Hik… hik… hik!”
Wiro ikut-ikutan ketawa.
“Anak jahanam! Kenapa kau
ketawa?!” sentak Sika Sure Jelantik penuh gusar.
“Guruku si Tua Gila jauh lebih
buruk dan lebih bau dariku. Tapi mengapa kau dulu bisa naksir padanya?! Hik…
hik… hik!”
“Wiro, harap kau bicara lebih
sopan pada nenek Sika!” kata Bidadari Angin Timur.
“Baiklah, memandang dirimu aku
akan bicara bersopan-sopan padanya. Tapi aku melihat keanehan. Kau memanggilnya
nenek, tapi dia memanggilmu anak. Sebenarnya orang ini nenekmu atau ibumu?!”
“Wiro jangan bergurau
terus-terusan!” bentak Bidadari Angin Timur.
Pendekar 212 angkat bahu lalu
garuk-garuk kepala. “Aku memang kurang ajar. Mungkin sudah dari sananya!” kata
Wiro seperti menyesali diri. Dia berpaling pada si nenek dan tersenyum.
“Masih bisa tersenyum! Huh!
Aku muak melihat senyummu!” damprat Sika Sure Jelantik.
“Aku mohon maafmu Nek. Aku
tidak maksud bersikap kurang ajar padamu. Jika kau sahabat gadis ini berarti
sahabatku juga!”
“Sialan! Siapa sudi jadi
sahabatmu!” tukas Sika Sure Jelantik. Lalu dia berpaling pada si gadis. “Jadi
namamu Bidadari Angin Timur. Nama bagus. Kau dengar baik-baik anakku. Kalau aku
tidak suka padamu, sudah kubuat buyar otak monyet gondrong ini! Tapi memberi
ampun muridnya bukan berarti memberi ampun gurunya! Tua Gila akan terus kucari
sampai dapat! Sebelum dia mati di tanganku tak akan tenteram hidupku dan
matiku! Dan kau! Jika kau berani membantu gurumu aku tak akan memberi ampunan
lagi padamu!” Sika Sure Jelantik pelototkan matanya pada Wiro. Lalu berpaling
pada Bidadari Angin Timur. “Aku pergi sekarang!”
“Baik Nek. Aku harap dapat
bertemu lagi denganmu. Terima kasih atas kebaikanmu!” kata Bidadari Angin Timur
pula.
Wiro Sableng melangkah ke
hadapan si nenek lalu menjura dalam-dalam seraya berkata “Nek, aku monyet
gondrong jelek ini juga mengucapkan terima kasih seri pertama atas
pengampunanmu dan kebaikanmu!”
“Eh, apa maksudmu terima kasih
seri pertama…?!” sentak si nenek.
“Maksudku…. Kalau… siapa tahu
kemudian hari aku bersikap alpa dan membuat kesalahan lagi padamu, jauh-jauh
aku minta dimaafkan dan sekalian menyampaikan terima kasih seri kedua!”
“Pemuda geblek!” teriak Sika
Sure Jelantik lalu tinggalkan tempat itu. Sesaat kemudian di kejauhan terdengar
suara tawanya gelak-gelak.
Wiro berpaling pada Bidadari
Angin Timur. Sesaat pandangan mata mereka saling beradu. Tanpa ucapan sepatah
katapun pandangan mata itu telah merupakan seribu kata yang tak tercetuskan.
“Aku menemukan senjata mustika
ini di bukit Jatianom. Bagaimana senjata begini berharga dan tak ada tandingan
di dunia persilatan kau terlantarkan begitu saja?” Si gadis menyerahkan Kapak
Maut Naga Geni 212 pada Wiro.
“Panjang ceritanya. Aku
bersyukur kau menemukan kapak ini. Aku sangat berterima kasih….” Wiro ulurkan
tangannya menerima kapak. Namun dia bukan hanya memegang gagang senjata itu.
Jari-jari tangannya ikut menyentuh jari-jari tangan Bidadari Angin Timur.
Matanya memandang berbinar-binar ke dalam mata si gadis. Tidak tahan dipandangi
seperti itu Bidadari Angin Timur tundukkan kepalanya.
“Sejak perpisahan di
Pangandaran dulu, aku begitu merindukanmu. Aku….”
Wiro tak dapat meneruskan
kata-katanya. Kapak Naga Geni 212 disisipkan ke pinggangnya. Dia memandang ke
arah kejauhan. Mulutnya terkancing ketika dia menyadari bahwa selama ini sebenarnya
dia hanya bertepuk sebelah tangan.
“Bidadari, maafkan kalau
ucapanku barusan tidak pada tempatnya. Aku kurang sehat. Aku harus pergi dan
memencilkan diri untuk beristirahat. Sekali lagi aku berterima kasih kau telah
menolongku. Banyak budi yang telah kau tanam padaku. Rasanya belum satupun yang
bisa aku balas.”
“Wiro aku tahu kau dalam
keadaan sakit. Lahir dan batin. Kalau kau suka aku bersedia….”
“Wiro!” Tiba-tiba ada
seseorang berseru menyebut nama Pendekar 212. Di lain kejap seorang gadis
cantik berpakaian biru bermata biru muncul di tempat itu.
“Ratu Duyung!” balas berseru
Wiro ketika melihat siapa yang datang. “Kebetulan kau datang! Ada urusan kusut
yang ingin aku selesaikan denganmu!”
Ratu Duyung hendak melangkah
mendekati si pemuda namun langkahnya tertahan ketika disadarinya tak jauh dari
situ tegak seorang gadis cantik berambut pirang. Pandangan dua gadis ini saling
beradu. Ratu Duyung ingat akan pertemuannya dengan Bunga yang berakhir dengan
keonaran besar. “Jangan-jangan gadis cantik yang satu ini….”
Memikir seperti itu Ratu
Duyung cepat berkata.
“Ah, harap maafkan. Aku sampai
tidak melihat kalau ada orang lain bersamamu! Aku tidak ingin mengganggu. Lain
kali aku menemuimu lagi….”
“Ratu, tunggu!” panggil Wiro
seraya melangkah hendak mengejar. Namun Ratu Duyung sudah berkelebat pergi.
Perlahan-lahan Wiro putar kepalanya dan tersenyum pada Bidadari Angin Timur.
“Orang datang menjemputmu,
mengapa tak kau cegah kepergiannya? Mengapa tidak kau kejar dirinya?”
. Wiro hanya bisa berdiam diri
beberapa lamanya. Dia memandang ke jurusan lain seolah tak sanggup lagi menatap
paras cantik di depannya itu. “Aku memang ada hal penting yang perlu
dijernihkan dengan Ratu Duyung. Tapi betapapun pentingnya bagiku kau jauh lebih
penting….”
Tak ada suara jawaban. Tak ada
gerakan. Wiro berpaling. Astaga! Dia jadi tersentak. Bidadari Angin Timur tak
ada lagi di tempatnya tadi berdiri!
*
* *
212
TIGA BELAS
Hari tujuh bulan ke tujuh.
Waktu itu hampir menjelang tengah malam. Lang it di atas candi Mendut tampak
bersih ditebari bintang gumintang. Bulan sabit ikut menghias angkasa dan
bersinar dengan lembut.
Sesosok tubuh tampak duduk
setengah mendekam dekat sebatang pohon di bukit Tegalrejo, terletak tak jauh
dari bangunan candi.
“Jahanam Datuk Angek Garang!
Ini adalah hari ke delapan dia terlambat muncul! Apa yang terjadi dengan
dirinya?!. Orang di dekat pohon terdengar keluarkan suara makian. Dari suaranya
ternyata dia “adalah seorang perempuan tua, berwajah putih. Mengenakan jubah
hitam dan memiliki rambut putih dilepas sepunggung.
Selagi mengomel-ngomel
sendirian seperti itu tiba-tiba dia disentakkan oleh suara benda berkerontang.
Makin lama suara kerontangan itu terdengar semakin keras tanda tambah dekat.
“Orang gila darimana
malam-malam buta begini membuat suara berisik?!” maki perempuan tua berwajah
putih yang bukan lain adalah Sabai Nan Rancak dari Gunung Singgalang pulau
Andalas. Sesuai perjanjian dengan Datuk Angek Garang, mereka bersepakat untuk
bertemu di bukit Tegalrejo itu pada hari tujuh bulan ke tujuh. Namun setelah
delapan hari berlalu dari saat yang ditentukan, sang Datuk belum juga muncul.
Kini selagi dia menunggu dengan hati kesal, muncul hal yang membuatnya tambah
jengkel. Suara berisik tadi!
Tak selang berapa lama dari
arah selatan kelihatan satu sosok tubuh melangkah terbungkuk-bungkuk. Orang ini
mengenakan caping lebar. Pakaian penuh tambalan. Di tangan kanannya dia
memegang sebuah kaleng rombeng yang tak henti-hentinya digoyang-goyang hingga
mengeluarkan suara keras berisik. Di tangan kirinya orang ini memegang sebuah
tongkat kayu butut. Benda ini dipergunakannya untuk menuntun jalannya di malam
buta itu.
“Pengemis sialan! Malam-malam
buta membuat berisik saja! Ah…. Setan betul! Dia menuju ke arahku ini!” Me maki
Sabai Nan Rancak. Baru saja suara makiannya sirap tahu-tahu orang yang
dianggapnya pengemis itu telah berada beberapa langkah di lereng bukit di
bawahnya.
“Aneh…” ujar si nenek dalam
hati. “Barusan saja aku bicara memakinya bagaimana tahu-tahu dia sudah berada
di bawah sana dan duduk se-enaknya?!”
Pengemis yang duduk terpisah
sekitar enam langkah di bawah si nenek kerontangkan lagi kaleng rombeng nya
hingga telinga Sabai Nan Rancak hampir budek kepengangan.
”Gembel sinting! Hentikan
pekerjaanmu menggoyang-goyang kaleng jahanam itu! Atau kurampas dan
kuhancurkan?!” teriak Sabai Nan Rancak.
“Astaga…! Ada seorang sahabat
rupanya di tempat sesunyi ini. Eh, kira-kira di mana aku berada saat ini ya?!”
Pengemis di bawah sana keluarkan ucapan.
“Sialan! Aku bukan sahabatmu!
Aku setan yang akan mencekikmu jika kau tidak berhenti mengguncang kaleng
rombeng itu!”
“Walah! Aku pernah dengar
setan yang pandai mencekik. Tapi baru sekali ini aku menemui setan pandai
bicara! Sayang mataku buta! Kalau tidak ingin sekali aku melihat wajahnya!
Apalagi setan perempuan sepertimu!” Habis berkata begitu orang bercaping
tertawa gelak-gelak.
Sabai Nan Rancak hilang
kesabarannya. Dia melompat ke lereng bukit di bawahnya dan mengetuk caping di
kepala orang dua kali.
“Pengemis sinting, kalau kuberi
kau sesuatu apakah kau mau pergi dari sini dan tidak mengganggu
ketentramanku?!”
“Ah, untuk ucapanmu itu aku
jadi ingin mengatakan beberapa hal….”
“Kau boleh bicara! Setelah itu
lekas pergi dari sini! Jangan membuatku benar-benar marah!”
Orang yang duduk menjelepok di
tanah itu membuka capingnya dan meletakkan benda itu di pangkuan. Si nenek
memperhatikan. Ternyata orang yang dianggap sebagai pengemis ini adalah seorang
kakek berambut putih, memiliki sepasang mata putih alias buta.
“Pertama, dari logat bicaramu
jelas kau bukan orang sini. Kalau orang dari seberang mengadakan perjalanan
jauh pasti ada urusan besar yang tengah dihadang….”
“Hemmm…. Apa yang kau katakan
memang betul. Tapi jangan berani bertanya apa urusanku!”
“Aku bukan kakek usil yang
ingin tahu urusan orang. Justru orang banyak yang mencari tahu 122 urusan orang
lain dan menanyakannya padaku. Aku sampai pada hal kedua. Aku bukan pengemis,
bukan gembel juga bukan tukang minta-minta!”
“Bagus, jadi aku tak perlu
memberimu sedekah apa-apa!” kata Sabai Nan Rancak.
“Aku memang tidak meminta,”
sahut si kakek lalu tertawa mengekeh dan kembali goyangkan kaleng nya
keras-keras hingga si nenek memaki panjang pendek. “Hal ketiga aku menduga.
Biasanya dugaanku tidak meleset. Jika kau berada sendirian di tempat ini jelas
kau tengah menunggu seseorang. Karena kau di sini bukan untuk bertapa atau
bersepi-sepi tanpa maksud tertentu….”
“Dugaanmu kali ini juga
betul!” kata Sabai Nan Rancak. “Aku memang tengah menunggu seseorang. Karena
itulah sekarang juga aku harap kau segera angkat kaki dari sini!”
“Jangan khawatir, aku tidak
akan lama berada di sini. Namun aku merasa kasihan terhadap dirimu!”
“Kasihan? Memangnya aku minta
dikasihani apa?!”
“Oo… tidak. Tentu tidak. Aku
tidak mengatakan kau minta dikasihani. Hik… hik… hik! Tapi jika aku memandang
ke langit, aku melihat bintang-bintang bertaburan dan ada bulan sabit di
sebelah sana. Semua itu memberi petunjuk bahwa orang yang kau tunggu tidak akan
pernah datang!”
Sabai Nan Rancak mencibir.
“Matamu saja buta! Bagaimana bisa melihat bintang dan bulan sabit di langit?
Huh!”
Si kakek tertawa perlahan lalu
menjawab. “Orang melek memang melihat dengan mata. Orang buta melihat dengan
hati! Apa yang aku katakan akan menjadi kenyataan. Kalaupun teman yang kau
tunggu itu muncul juga maka dia datang tanpa nafas lagi di tubuhnya!”
Sabai Nan Rancak terdiam
mendengar ucapan si kakek. “Pembual besar, siapa kau sebenarnya? Orang dari
dunia persilatan? Punya nama dan bergelar apa?!”
“Seumur-umur aku hanya seorang
anak manusia biasa yang hidup malang melintang di kolong langit sampai jadi tua
bangka begini rupa. Sana bat ku hanya caping bambu ini, buntalan butut, tongkat
kayu butut dan kaleng rombeng ini?!”
“Lalu apa saja yang kau
kerjakan seumur-umur? Mengemis tidak, hanya membual dan hilir mudik ke
mana-mana tanpa tujuan?”
“Justru itulah nikmatnya
hidup. Nikmatnya hidup para pejabat di Kerajaan termasuk Sri Baginda sendiri
lain dengan nikmatnya hidup yang dirasakan rakyat jelata, tua renta dan buta
sepertiku. Nikmatnya hidup orang kaya lain dengan nikmatnya hidup tua bangka
gelandangan sepertiku ini. Aku memang tidak punya pekerjaan apa-apa kecuali
meramal!”
“Hemm, jadi kau ini juru ramai
rupanya. Atau tukang tenung?” ujar Sabai Nan Rancak.
“Berbuat tenung adalah
pekerjaan orang sesat. Meramal adalah perbuatan orang setengah sesat tapi kerap
kali dipercaya! Ha… ha… ha…! Apa dirimu mau kuramal?!”
Sabai Nan Rancak terdiam.
Entah mengapa hatinya jadi kecut dan gelisah. Maka dia berkata. Tidak, tidak
usah. Bagaimana kalau aku mengajukan beberapa pertanyaan saja….”
“Silahkan. Aku yang dipanggil
orang dengan sebutan Kakek Segala Tahu akan menjawab pertanyaanmu sebisa
mungkin!” Si kakek lalu tertawa terkekeh-kekeh.
“Ketika aku pertama kali
menginjakkan kaki di tanah Jawa ini aku menyirap kabar tentang sebuah Kitab
Malaikat yang kabarnya merupakan satu kitab maha sakti. Mampu mengalahkan
segala macam kitab yang pernah ada di dunia. Misalnya Kitab Wasiat iblis, Kitab
Putih Wasiat Dewa, Kitab Seribu Pengobatan dan sebagainya. Apa kau pernah
men-dengar riwayat Kitab Malaikat. itu yang kabarnya dimiliki oleh seorang
tokoh silat yang berdiam di satu tempat disebut Lembah Akhirat!”
Kakek Segala Tahu kerontangkan
kaleng rombengnya dua kali. Dia mendongak ke langit. Sesaat kemudian baru dia
membuka mulut memberikan jawaban.
“Kitab Wasiat iblis aku tahu
memang ada. Begitu juga Kitab Putih Wasiat Dewa dan Kitab Seribu Pengobatan.
Namun walau sudah tersiar kabar tentang adanya Kitab Malaikat yang dianggap
raja diraja segala kitab sakti, terus terang aku menganggap berita itu isapan
jempol belaka!”
“Lalu apakah tempat yang
disebut Lembah Akhirat itu juga tidak ada?”
“Lembah Akhirat ada tapi
kitabnya belum tentu ada!” jawab Kakek Segala Tahu. “Tapi aku tahu kehadiranmu
di tanah Jawa ini bukan karena urusan kitab tersebut. Benar?”
“Aku tak mau menjawab!”
Si kakek tertawa. “Kalau
seorang perempuan ditanya tak mau menjawab, biasanya apa yang di-tanyakan itu
jawabnya benar! Hik… hik… hik!”
“Kakek Sega la Tahu, aku
merasa senang bertemu denganmu. Tapi cukup sampai di sini. Harap kau suka
meninggalkan tempat ini. Aku tak ingin kau masih berada di sini jika orang yang
aku tunggu muncul.”
“Ah… ah… ah! Orang tidak
menginginkan aku di tempat ini walau ini bukan rumah bukan tanah ladangnya.
Tapi apa susah nya melangkah pergi?! Ha… ha… ha!” Kakek Segala Tahu bangkit
dari duduknya. Ditepuk-tepuknya pantat celananya yang penuh tambalan lalu
dikenakannya caping lebarnya. Dia memandang ke langit. Kaleng rombengnya
di-goyang keras-keras lalu sambil melangkah dia berkata.
“Bulan sabit tertutup awan
hitam. Orang yang kau tunggu sebentar lagi akan datang. Tapi seperti ramalanku
tadi dia datang tidak membawa nafas lagi di tubuhnya!”
Kakek Segala Tahu kembali
kerontangkan kalengnya. Ketika Sabai Nan Rancak memandang ke depan dilihatnya
prang tua itu sudah berada jauh di kaki bukit, melangkah ke arah bangunan candi
Mendut.
“Jangan-jangan orang tua itu
salah seorang tokoh persilatan di tanah Jawa ini,” katanya dalam hati, Lalu
telinganya menangkap suara bergemeratakan. Ketika dia memandang ke kaki bukit
di sebelah timur tampak sebuah gerobak ditarik seekor kuda tanpa kusir bergerak
menuju kaki bukit. Di salah satu sisi depan gerobak ada sebuah obor yang apinya
bergoyang-goyang ditiup angin. Mendadak saja ada rasa tidak enak di hati sabai
nan rancak.
Cepat-cepat nenek berwajah
putih ini menuruni bukit, berlari menghampiri gerobak. Tangannya diangkat
memegang leher kuda penarik gerobak. Binatang ini hentikan jalannya. Ketika si
nenek memandang ke dalam gerobak yang diterangi obor, berubahlah parasnya.
“Datuk Angek Garang…” desis si nenek dengan tenggorokan tercekik dan mata
mendelik.
TAMAT