-------------------------------
----------------------------
066 Singa Gurun Bromo
SATU
Warung nasi Mbok Sinem kecil.
Tapi tamunya selalu penuh dari pagi sampai malam. Lezat makanannya terkenal
sampai ke mana-mana. Siang itu banyak orang bersantap di sana. Para pengunjung
begitu selesai makan cepa-cepat embayar dan pergi. Mereka seperti mengawatirkan
sesuatu. Tapi nyatanya mereka tidak pergi begitu saja melainkan tegak di bawah
pohon tak jauh dari warung. Orang-orang ini sengaja berdiri di sini, memandang
warung, epertinya ada sesuatu yang mereka tunggu dan hendak mereka saksikan.
“Kalau Singa Gurun Bromo
berani muncul, dia tak bakal lolos!” berkata seorang lelaki muda berbadan
langsing. Setelah menyedot rokok kawungnya dalam-dalam dia melanjutkan.
“Seharusnya dia tak perlu
datang ke Kuto Inggil ini. Ah, mengapa dia berlaku setolol itu.”
“Bagaimanapun Kuto Inggil
adalah kampung halamannya. Tempat dilahirkan. Walau ayah dan ibunya sudah tak
ada, tak ada sanak tak ada kadang, mana mungkin dia melupakan Kuto Inggil!”
menyahuti kawan lelaki muda tadi.
Orang ketiga ikut bicara.
“Enam tahun dia menghilang.
Kalau dia berani muncul pasti dia sudah membekal ilmu yang lebih tinggi. Ingat
kejadian enam tahun lalu? Waktu dia melumpuhkan para pengawal kadipaten,
memberi malu Adipati Dirgo Sampean?”
Orang pertama rangkapkan kedua
lengannya di depan dada lalu berkata.
“Singa Gurun boleh punya
segudang ilmu. Tapi kau lihat berapa orang yang ada di dalam dan di luar warung
itu. Lalu siapa-siapa saja mereka? Dulu kalau dia memang tidak bersalah
seharusnya dia tak usah melarikan diri!”
“Kita tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Belum tentu dia kabur karena bersalah. Bisa saja hanya
untuk menghidari malapetaka yang lebih besar. Kau tahu sendiri kedua orang
tuanya menjadi korban dari masalah yang tidak pernah terjelaskan itu…..”
“Yah ….. Kita lihat saja. Apa
yang bakal terjadi kelak.”
Saat itu di dalam warung nasi
Mbok Sinem yang ramai, di antara para tamu yang duduk menikmati makan siang
terdepat enam orang berpakaian petani. Yang dua bertubuh tegap kekar serta
memiliki pandangan mata liar. Mereka adalah dua orang perwira tinggi kerajaan
yang bersama perajurit manyamar sebagai petani. Di balik baju-baju gombrong
yang mereka kenakan, tersembunyi golok. Di luar warung masih ada delapan
perajurit lagi yang menyamar sebagai penduduk biasa. Lalu agak jauh dari
warung, dekat serumpun pohon bambu berdiri dua orang berusia sekitar lima puluh
tahun. Sikat mereka tenang tapi pandangan mata keduanya tajam. Mereka adalah
tokoh-tokoh silat Istana. Yang pertama dikenal degnan nama Ki Bumi Wirasulo dan
satunya Mangku Sanggreng.
Kedua tokoh silat ini muncul
di Kuto Inggil atas permintaan Adipati Dirgo Sampean setelah salah seorang dari
mata-mata yang disebar melaporkan bahwa Panji Argomanik, pemuda yang lebih
dikenal dengan julukan Singa Gurun Bromo itu akan muncul di Kuto Inggil setelah
menghilang selama enam tahun.
Saat itu udara panas sekali.
Matahari bersinar terik. Sudah sejak lama hujan tak pernah turun. Bumi Tuhan
menjadi gersang. Kalau angin bertiup debu jalanan beterbangan menyakitkan mata
dan menyesakkan jalan nafas.
“Lihat! Singa Gurun datang!”
Seorang berseru seraya menunjuk ke ujung jalan. Semua mata serta merta
memandang ke arah yang ditunjuk.
“Dia benar-benar berani mati!”
Di tikungan jalan saat itu
muncul seprang penunggang kuda coklat berpakaian dan berikat kepala putih. Debu
beterbangan di belakang kuda tunggangannya. Dalam waktu singkat dia sudah
berada di depan warung Mbok Sinem. Selesai meanmbatkan kudanya pada sebuah
tiang bambu sambil bersiul-siul dia melangkah menuju pintu warung. Masuk ke
dalam warung dilihatnya hanya ada satu bangku yang masih kosong, tepat di
tengah ruangan.
Sesaat pemuda ini tegak
mengusap-usap dagunya.
Dalam hatinya dia berkata
“Aneh satu-satunya bangku kosong berada di tengah ruangan. Sepertinya ada yang
sengaja mengatur.”
Setelah melirik ke kiri dan ke
kanan pemuda ini lalu melangkah ke arah bangku kosong. Baru saja dia duduk di
situ tiba-tiba beberapa orang di sekitar meja berdiri dan terdengar suara-suara
senjata dicabut dari sarungnya. Lalu menyusul suara bentakan-bentakan.
“Singa Gurun Bromo! Jangan kau
berani bergerak!”
“Berani melawan amblas
nyawamu!”
Pemuda yang barusan duduk di
bangku tentu saja menjadi kaget dan memandang berkeliling. Enam orang lelaki
tak dikenal mengurung dengan golok di tangan. Yang dua dengan gerakan kilat
menyergap ke arahnya. Satu menempelkan ujung golok ke perut dan satunya lagi
membelintangkan senjatanya di leher si pemuda.
Setelah sirap kagetnya, si
pemuda tampak tenang, malah meyeringai. “Sobat! Kalau kalian hendak merampokku,
kalian salah mencari mangsa. Aku hanya seorang manusia miskin! Apaku yang
hendak kalian rampok?”
Enam orang yang mengurung
tampak berubah kelam tampang mereka tanda menahan amarah. Yang menghunuskan
goloknya ke leher si pemuda tekankan senjatanya hingga kulit leher pemuda itu
teriris luka. Dia berkata dengan suara bergetar. “Kami bukan perampok. Aku dan
kawanku adalah perwira tinggi kerajaan. Empat orang ini perajurit-perajurit
kelas satu.”
“Eh, hebat! Lalu apa mau
kalian? Hendak menyembelihku?! Aku bukan singa, apalagi kambing!”
“Sebelum mampus memang tak ada
salahnya kau bergurau dulu. Nanti kalau sudah di liang kubur buronan Singa
Gurun Bromo hanya bisa bergurau dengan setansetan kuburan!”
“Eh, kau menyebut aku buronan?
Kau tadi menyebut namaku apa? Singa Gurun…..? “Panji Argomanik! Jangan kau
berpura-pura!” bentak orang yang menodong dengna ujung goloknya ke perut si
pemuda.
“Nah, nah! Sekarang kau
menyebut aku Panji Argomanik! Kalian ini anehaneh saja! Sudah pergi sana! Aku
ke sini mau mengisi perut bukan ikut-ikutan sandiwara konyolmu ini!”
“Siapa yang konyol dan siapa
yang main sandiwara!” bentak salah seorang dari perwira tinggi itu.
“Aku Kunto Areng. Perwira
Kerajaan. Mengikuti amarah aku bisa mencincangmu saat ini juga. Tapi Sri
Baginda dan Adipati ingin melihat kau mampus di tiang gantugnan!”
“Mencincangku? Memangnya aku
daging perkedel?!” semprot si pemuda lalu menyeringai lebar.
“Setan alas!” maki Kunto
Areng. Lalu dua jari tangan kirinya bergerak cepat menusuk ke arah dada si
pemuda untuk menotok. Tapi dengan cepat si pemuda itu angkat tangan kanannya.
Sekali bergerak dia berhasil menangkap lengan Kunto Areng.
“Orang gila!” desis pemuda
itu.
“Siapapun kau adanya, aku muak
melihat tampangmu! Aku bukan Panji Argomanik, juga bukan singa Gurun Bromo!
Pergi!” si pemuda tahan tangan kanan Kunto Areng yang memegang golok dengan
tangan kirinya sedang tangan kanannya dengan cepat membuat gerakan aneh.
Tahu-tahu tubuh perwira tinggi kerajaan itu terlempar ke atas. Dari mulut Kunto
Areng keluar suara jerit kesakitan. Sambungan siku dan sambungan tulang bahunya
berderak.
Melihat kejadian ini, Jalak
Toga, perwira tinggi yang satu lagi segera tusukkan goloknya ke perut si
pemuda. Namun dia kalah cepat. Si pemuda sudah dapat menerka apa yang bakal
dilakukan orang itu. karenanya sebelum tusukan datang dia sudah berkelit ke
samping. Dari samping dia hantam tengkuk Jalak Toga dengan pukulan tangan kiri.
Rupanya perwira ini juga sudha maklum datangnya serangan balasan itu. dia
membungkuk sambil membabatkan goloknya.
“Bretttt!”
Pinggang baju putih si pemuda
robek besar disamber golok Jalak Toga tapi dirinya sendiri selamat. Warung nasi
itu serta merta menjadi kacau balau. Kunto Areng yang masih dalam keadaan
kesakitan, pindahkan goloknya ke tangan kiri. Dia memberi isyarat pada empat
perajurit di dekatnya. Kini pemuda berpakaian puih itu dikeroyok habis-habisan.
Enam golok berkelebat menghantam dari berbagai penjuru.
Si pemuda yang meamang
memiliki kepandaian tinggi dan saat itu hanya mengandalkan tangan kosong
menangkis dan mengelak dengan cekatan. Satu kali dia berhasil menjotos keras
muka salah seorang Prajurit yang mengeroyok. Perajurit ini terpental dengan
muka yang bersimbah darah karena hidung dan mulutnya pecah dihantam tinju si pemuda.
Meskipun dikeroyok begitu rupa
di mana serangan golok datang silih berganti, namun si pemuda tampaknya seperti
sengaja mempermainkan para penyerangnya. Dia berkelebat kian kemari.
Kadang-kadang naik ke ujung bangku panjang dengan gerakan keras hingga ujung
bangku yang lain mencuat naik menjadi perisainya. Terkadang dia melompat ke
atas meja yang masih dipenuhi makanan. Lalu enak saja dia menendangi
makanan-makanan itu hingga mencelat melumuri pakaian atau muka para pengeroyok.
“Kawan-kawan!” Kunto Areng
berteriak marah setelah sebutir telur bercabe menghantam mata kirinya sehingga
dia jadi kalang kabut kesakitan dan keperihan.
“Aku perintahkan kalian untuk
mencincang manusia satu ini!” Lalu dia memberi isyarat pada Jalak Toga. Melihat
isyarat ini Jalak Toga segera robah permainan goloknya, mengikuti
gerakan-gerakan Kunto Areng. Memang kedua orang ini memiliki ilmu golok hebat
yang khusus dimainkan secara berpasangan. Serangan mereka datang laksana
curahan air hujan, membuat si pemudai kini tak berani lagi petantang petenteng
dan harus bertindak hati-hati kalau tak mau tubuhnya terkuntungkuntung.
Selain itu masih ada serangan
tiga perajurit lainnya yang menambah beratnya tekanan para pengeroyok. Dua
jurus berlalu cepat. Lalu dua jurus lagi. Kunto Areng dan Jala Toga mulai
saling melirik. Keduanya sama-sama heran melihat kenyataan bahwa setelah
keluarkan ilmu golok andalan dan masih dibantu oleh tiga perajurit yang
berkepandaian tidak rendah, ternyata senjata-senjata mereka masih belum dapat
menyerntuh tubuh lawan, bahkan bajunyapun tidak!
“Kunto……” berkata jalak Toga.
“Aku melihat satu keanehan! Ilmu silat yang dimainkan pemuda ini bukan ilmu
silat Singa Gurun. Jangan-jangan…….”
“Mengapa musti ragu!” balas
Kunto Areng.
“Enam tahun menghilang bukan mustahil
dia telah mendapatkan ilmu baru! Memang terus terang kita belum pernah melihat
jelas tampang pemuda ini di masa lalu! Tapi aku yakin kita tiak menghadapi
orang lain. Dia pasti Singa Gurun Bromo!”
Baru saja kedua orang itu
selesai bicara tiba-tiba pemuda yang mereka keroyok kembali melompat ke atas
meja makan panjang. Di sini dia tegak tolak pinggang sambil cengar cengir. Lalu
seperti seorang gila dia melenggak lenggok kian kemari. Sesekali tubuhnya
terhuyung seperti orang mabok hendak jatuh. Sesekali dia melompat sambil
tertawa mengekeh lalu membuat gerakan seperti hendak jatuh duduk. Dengan gemas
para pengeroyok menyerbu karena mereka menyangka tengah diejek dan melihat si
pemuda kini merupakan sasaran empuk. Tetapi para pengeroyok terutama dua perwira
tinggi itu diam-diam jadi terkejut ketika mereka dapatkan justru dengan membuat
gerakan-gerakan aneh itu si pemuda semakin sulit untuk dirobohkan.
Malah dalam satu gebrakan
hebat, kaki kiri lawan berhasil menghantam kepala seorang perajurit hingga tak
ampun lagi perajurit ini terpelanting, terkapar di atas salah satu meja, tak
berkutik lagi. Rahang kirinya remuk. Dua perajurit lainnya menjadi ciut
nyalinya masing-masing sementara dua perwira tinggi walaupun tercekat melihat
kejadian itu tetap harus terus menggempur.
“Para sahabat! Biar kami bantu
kalian meringkus tikus comberan ini!” Satu suara terdengar dari luar warung.
Sesaat kemudian dua bayangan berkelebat masuk.
Mereka ternyata adalah dua
tokoh silat istana yaitu Mangku sanggreng dan Ki Bumi Wirasulo.
DUA
Sebenarnya baik Kunto Areng
maupun Jalak Toga merasa agak malu menerima bantuan itu karena hal ini
menunjukkan ketidak mampuan mereka merobohkan atau meringkus si pemuda. Namun
dari pada urusan menjadi kapiran di mana mereka mungkin akan mendapat malu
lebih besar maka keduanya diam saja dan menerima bantuan kedua tokoh silat itu.
Agar tidak terlalu malu maka Mangku Sangreng sengaja berkata dengan suara
dikeraskan “Memang tugas kita semua untuk membekuk cacing tanah ini! Tapi aku
ingin dia dicincang di tempat ini juga!”
Ki Bumi Wirasulo menyeringai.
“Sesuai pesan, dia justu harus ditangkap hidup-hidup. Bukankah Sri Baginda dan
Adipati Dirgo Sampean ingin menyaksikan kematiannya d tiang gantungan?!”
“Perintah atasan, apalagi
perintah raja memang harus dijalankan. Aku mengikuti apa mau kalian berdua
saja!” berkata Kunto Areng.
Dengan masuknya dua orang
tokoh berkepandaian tinggi itu jalannya perkelahian kini menjadi berat sebelah.
Tapi konyolnya, pemdua yang dikeroyok tetap saja cengar cengir. Memang sampai
dua jurus di muka si pemuda masih belum tersentuh tangan atau senjata lawan.
Namun sedikit demi sedikit keadaanya semakin terjepit. Di satu sudut warung dia
harus bertahan mati-matian dengan hanya mengandalkan sebuah kursi kayu. Dalam
waktu singkat kursi kayu ini musnah berantakan dibabat golok Kunto Areng dan
Jalak Toga!
“Sialan!” maki si pemuda.
Kedua tangannya segera diangkat.
Mangku Sanggreng dan Ki Bumi
Wirasulo segera maklum kalau lawan hendak menghantam dengan pukulan tangan
kosong jarak jauh yang mengandung kesaktian dan tenaga dalam. Kedua tokoh silat
ini saling memberikan isyarat. Tangan mereka tampak bergerak ke pinggang.
Ketika diangkat ternyata mereka memegang seutas tali halus berwarna putih. Si
pemuda maklum kalau lawan hendak menjirat atau mengikatnya. Maka dia segera
lepaskan pukulan saktinya. Namun tiba-tiba ada asap kelabu mengepul menutupi
pemandangan. Di lain kejap dia merasakan ada sesuatu yang menggelung kedua
lengannya. Ketika asap kelabu sirna, si pemuda dapatkan kedua tangannya telah
terikat ketat oleh tali halus putih itu!
“Celaka!” keluh si pemuda. Dia
kerahkan tenaga untuk meloloskan atau memutuskan ikatan tali halus. Tapi
sia-sia saja. Selagi dia sibuk berusaha membebaskan diri, Mangku Sanggreng
berkelebat menotok punggungnya dari belakang. Tak ampun lagi pemuda itu menjadi
kaku tegang tak bisa berkutik ataupun bersuara!
“Gotong dia! Lemparkan ke
dalam gerobak!” perintah Mangku Sanggreng.
Empat orang perajurit segera
menggotong pemuda yang tertotok itu keluar lalu melemparkannya ke dalam sebuah
gerobak yang telah menunggu di halaman depan warung. Orang-orang kerajaan dan
dua tokoh silat Istana menyusul keluar. Sampai di luar Kunto Areng mendekati Ki
Bumi Wirasulo.
“Sesuai pesan begitu
tertangkap Singa Gurun Bromo harus segera di bawa ke Kotaraja. Tapi kalau kita
langsung berangkat ke sana, rasanya menjelang pagi baru akan sampai. Bagaimana
kalau kita mampir dulu di kadipaten. Selain melapor bukankah Adipati juga ingin
lebih dulu menghajar pemuda keparat itu?”
Ki Bumi Wirasulo tak segera
menjawab. Dia melirik pada Mangku Sanggreng seolah minta pendapat.
Mangku Sanggreng kemudian
berkata “Tangkapan besar sudah kita dapat.
Rasa tegang kini jelas seudah
berkurang. Di samping itu kita perlu sedikit istirahat. Bagaimana kalau kita
menuju ke kadipaten saja dulu. Menginap di sana lalu pagi-pagi sekali
melanjutkan perjalanan!” Habis berkata begitu mangku Sanggreng mendekatkan
mukanya ke muka Ki Bumi Wirasulo dan berbisik.
“Aku sudah beberapa bulan
tidak melihat tubuh telanjang Ni Suri Arni, perempuan penghibur di kadipaten
itu. Kau tentu akan mencari kesempatan pula menemui pacarmu si gemuk Larawati,
bagaimana……?”
Ki Bumi Wirasulo tersenyum.
Lalu dia berpaling pada dua perwira kerajaan dan berkata. “Aku setuju kita mampir
dan menginap di kadipaten. Besok pagi-pagi sekali baru kita berangkat menuju
Kotaraja.”
Tepat dengan turunnya malam
rombongan yang membawa tawanan bernama Panji Argomanik dan berjuluk Singa Gurun
Bromo itu memasuki kawasan luar Kadipaten Lumajang. Saat itu hujan yang sudah
lama tidak turun tiba-tiba saja jatuh rintik-rintik. Udara siang yang tadi
panas membakar kulit kini berubah menjadi dingin. Waktu rombongan berada di
kaki sebuah bukit kecil. Di balik bukit itulah terletak Lumajang yang menjadi
tujuan.
“Percepat jalan! Aku tak mau
basah kuyup kehujanan!” berteriak Mangku Sanggreng.
Setiap anggota rombongan
menggebrak kuda-kuda masing-masing. Sais gerobak mencambuk dua kuda penarik
gerobak agar binatang-binatang itu menghambur lebih cepat. Kunto Areng yang
berkuda di sebelah depan tiba-tiba berseru.
“Lihat! Ada nyala api di dalam
hutan sana!”
“Rombongan berhenti!” teriak
Mangku Sanggreng. Lalu mereka sama memperhatikan ke arah hutan kecil di tepi
kiri jalan.
“Aneh,” kata Ki Bumi Wirasulo.
“Ya, memang aneh!” menyahuti
Jalak Toga. “Setahuku hutan ini jarang didatangi orang. Hari gerimis pula.
Siapa yang menyalakan api itu? Kelihatannya seperti api unggun.”
“Mungkin kelompok penjahat
pimpinan Warok Keling!” ikut bicara Kunto Areng.
Saat itu tercium bau daging
panggang yang sedap dan harum sekali. Hal ini membuat setiap anggota rombongan
seolah baru menyadari bahwa perut mereka memang minta diisi.
“Hemmmmm, dugaanmu kurasa
betul, Kunto.” Kata Ki Bumi Wirasulo.
“Gembong penjahat itu justru
sedang dicari-cari. Tidak ada salahnya kita saat ini berbuat pahala untuk
kerajaan. Kalau kita berhasil meangkapnya Sri Baginda tentu sangat berbesar
hati. Bagaimana kalau kita menyelidiki?”
Mangku Sanggreng menengadahkan
kepalanya lalu menghirup udara malam yang gerimis itu dalam-dalam. “Aku setuju
kita melakukan penyelidikan. Tapi hatihati. Warok Keling memiliki kepandaian
tidak lebih rendah dari Singa Gurun Bromo!”
Sebenarnya Kunto Areng merasa
segan untuk ikut menyelidiki karena saat itu keadaan bahu dan sambungan sikunya
masih terasa sakit akibat pelintiran Singa Gurun Bromo waktu terjadi
perkelahian di warung siang tadi. Namun takut dianggap pengecut Kunto terpaksa
menyetujui maksud pawan-kawannya itu.
Dua perwira tinggi dan dua
tokoh silat Istana berunding. Kemudian mereka turun dari kuda masing-masing
mendekati nyala api dari jurusan yang berbeda. Dua orang perajurit diajak
serta, enam lainnya termasuk dua yang cidera sengaja ditinggal untuk menjaga
gerobak berisi Singa Gurun Bromo.
Semakin dekat ke nyala api di
dalam hutan, semakin santar dan harum bau daging panggang. Tak lama kemudian
enam orang itu sudah mengurung perapian.
Mereka melihat ada binatang
yang sudah dikuliti tengah dipanggang di atas nyala api.
Mungkin kelinci besar atau
anak rusa. Tapi mereka tidak menemukan satu orangpun di tempat itu. tak ada
kuda, tak ada kantong-kantong perbekalan atau tikar untuk tidur.
“Aneh, daging itu sudah hampir
hangus. Tapi tak ada siapapun di tempat ini!” kata Ki Bumi Wirasulo.
“Mungkin orang yang memanggangnya
sedang ke tempat lain…..” kata Jalak Toga.
“Tak masuk akal,” sahut Mangku
Sanggreng. “Sama sekali tidak ada tandatanda orang berkemah di tempat ini!”
“Lalu bagaimana? Kita sembunyi
menunggu sampai ada yang muncul? Kurasa sabaiknya kita tinggalkan tempat ini!”
berkata Kunto Areng yang memang ingin cepat-cepat pergi saja.
“Kita tunggu sebentar. Kalau
memang tidak ada yang muncul kita akan pergi!” jawab Mangku Sanggreng.
“Tapi daging panggang itu tak
ada salahnya kita sikat dulu untuk mengganjal perut!” lalu dia mendekati nyala
api. Dengan sepotong ranting dia mengorek daging panggang lalu menyantapnya.
Beberapa orang lainnya ikut mencicipi daging panggang itu. Hanya Kunto Areng
dan dua orang perajurit yang tidak ikut makan. Selesai menghabiskan daging
panggang orang-orang itu lalu bersembunyi di balik pohon atau semak belukar.
Waktu berjalan. Tunggu punya
tunggu tetap tak ada yang muncul. Kunto Areng berpaling pada Ki Bumi Wirasulo.
“Bagaimana?” tanyanya.
Yang ditanya berpaling pada
Mangku Sanggreng. “Ya sudah. Kita kembali saja melanjutkan perjalanan ke
Kadipaten.” Kata Mangku Sanggreng pula.
Orang-orang itu segera kembali
ke tempat mereka meninggalkan kuda dan gerobak. Begitu sampai di tempat semula
semuanya menjadi terkejut dan berseru tegang!
TIGA
Enam orang perajurit yang
mengawal gerobak kelihatan terbujur malang melintang di tanah. Dua di antaranya
tersandar ke sebatang pohon dan roda gerobak. Empat sudah tak bernyawa lagi.
Mereka sudah menjadi mayat dengan kepala hancur. Yang dua dalam keadaan
sekarat. Kuda-kuda tunggangan tak seekorpun di tempat itu,hanya dua kuda
penarik gerobak yang masih tetap di tempatnya. Memeriksa ke dalam gerobak
ternyata Singa Gurun Bromo tak ada lagi di situ!
“Kita tertipu!” teriak Jalak
Toga dengan muka berubah pucat.
Ki Bumi Wirasulo, Mangku
Sanggreng dan yang lain-lainnya ikut pucat tampang mereka. Mereka sadar bahwa
mereka telah tertipu.
“Celaka! Susah-susah kita
menangkap manusia itu, tahu-tahu kini dia lenyap begitu saja!” ujar Mangku
Sanggreng.
Ki Bumi Wirasulo walaupun
sangat terpukul dan tak mampu mengeluarkan sepotong ucapanpun tapi otaknya coba
berpikir bagaimana hal itu bisa terjadi. Singa Gurun Bromo berada dalam keadaan
tertotok. Jelas tak mungkin dia melarikan diri. Pasti ada yang menolongnya.
Lalu siapa si penolong itu? Orang yang menyalakan api dan membakar daging hanya
untuk sekedar menipu?
“Begitu mudahnya kita
tertipu….!” Kunto Areng membuka mulut. “Kalau saja kita tidak menyelidiki apa
yang ada di sini, tidak akan pemuda buronan itu bisa melarikan diri. Pasti ada
orang pandai yang telah menolongnya!”
“Jelas memang begitu. Tapi
siapa orangnya?!” tanya Mangku Sanggreng pula.
Tak ada yang bisa memberikan
jawaban.
“Gara-gara ingin tahu
beginilah jadinya!” gerutu Jalak Toga.
“Apa yang akan kita lakukan
sekarang? Meneruskan perjalanan ke Kadipaten lalu ke Kotaraja. Memberi laporan
bahwa kita kebobolan? Kita semua pasti akan didamprat habishabisan. Aku akan
kehilangan jabatan sebagai perwira. Kalian semua bakal mengalami hal yang sama!
Kalau sudah begitu…..”
“Tutup mulutmu Jalak!” bentak
Ki Bumi Wirasulo tiba-tiba. “Tak ada gunanya memaki dan menggerutu panjang
lebar. Semua salah kita…..”
“Siapa tadi yang punya usul
untuk melakukan penyelidikan?!” memotong Kunto Areng. “Dia yang bertanggung
jawab!”
Semua mata lantas ditujukan
pada Ki Bumi Wirasulo. Memang dialah tadi yang mula-mula mengajak untuk
menyelidik nyala api di dalam hutan itu. Paras tokoh silat Istana itu jadi
berubah mengelam.
“Jadi kalian menuduh aku yang
salah dan harus bertanggung jawab? Bangsat! Aku memang mengajak tapi kalian
semua ikut menyetujui! Jadi kalian juga harus ikut bertanggung jawab!”
“Sudah tak perlu kita
bertengkar di tempat ini!” Mangku Sanggreng menengahi.
“Adipati dan Sri Baginda yang
nanti akan menjatuhkan putusan. Kita harus melanjutkan perjalanan. Aku dan
Wirasulo akan mempergunakan dua ekor kuda penarik gerobak itu agar bisa
berangkat lebih dulu dan melapor dengan cepat! Kalian agaknya terpaksa harus
jalan kaki. Tapi kadipaten tak berapa jauh lagi…..”
“Kau memilih enakmu saja!”
memotong Jalak Toga.
“Kalau kami harus jalan kaki
semua harus jalan kaki!” Lalu dia cabut goloknya. Dengna senjata ini diputuskan
tali-tali pengikat dua ekor kuda ke gerobak. Lalu digebraknya binatang-binatang
itu hingga menghambur lari dalam kegelapan malam.
“Keparat kau Jalak Toga! Apa
maksudmu melakukan hal itu?!” bentak Ki Bumi Wirasulo seraya melompat ke
hadapan perwira tinggi itu. Jalak Toga sudah siap menyambuti sergapan orang
dengan hantaman tinju kanan. Tapi Kunto Areng dengan cepat menengahi.
“Kalian tolol semua! Mengapa
bertengkar dan saling gebuk? Kita berangkat sama-sama, sampai di tujuan harus
sama-sama. Ayo semua jalan kaki!” lalu dengan langkah terhuyung-huyung karena
bahu dan sikunya masih sakit Kunto Areng melangkah lebih dulu.
Ki Bumi Wirasulo dan Mangku
Sanggreng masih memandang melotot pada Jalak Toga. Terdengar Ki Bumi kemudian
berkata dengan suara ketus. “Kalian perwira-perwira kerajaan memang sejak dulu
merasa iri melihat Sri Baginda lebih memperhatikan kami tokoh-tokoh silat
Istana. Itu semua karena ketololan kalian sendiri yang mabuk pangkat…..”
Jalak Toga menyeringai.
“Setelah kejadian ini, kita akan lihat Ki Bumi. Apakah Sri Baginda akan tetap
memanjakan kalian tokoh-tokoh silat yang kerjanya lebih banyak
petatang-peteteng menghabiskan uang kerajaan dan tahunya hanya bisa main
perempuan!”
“Kurang ajar kau Jalak! Jaga
mulutmu!” teriak Mangku Sanggreng marah lalu melompat ke hadapan Jalak Toga
hendak menampar muka perwira tinggi Kerajaan itu.
Jalak Toga cepat cabut
goloknya seraya mengancam. “Teruskan gerakanmu. Kutebas putus tangan celakamu!”
Rahang Mangku Sanggreng
menggembung. Ki Bumi Wirasulo memegang bahunya. “Sudah Mangku. Sabarlah sedikit
hatimu. Masih ada waktu untuk memberi pelajaran sopan santun pada cacing tanah
ini!”
“Aku bersumpah untuk
menghajarmu agar kau bisa bicara lebih tahu peradatan!” kata Mangku Sanggreng
pula.
Jalak Toga menjawab dengan
meludah ke tanah lalu memutar tubuh dan melangkah menyusul kawannya Kunto
Areng.
“Aku ingin membunuh bangsat
itu malam ini juga!” kata Mangku Sanggreng begitu Jalak Toga berlalu.
“Sama, aku juga!” jawab Ki
Bumi Wirasulo.
“Tapi jangan sekarang. Kita
harus mencari saat yang baik……”
Apa sebenarnya yang telah
terjadi sewaktu Ki Bumi Wirasulo dan anggota rombongan lainnya memasuki hutan
untuk menyelidiki nyala api?
Hanya beberapa saat setelah
orang-orang itu melangkah pergi masuk ke dalam rimba belantara, dari balik
sebuah pohon besar di tepi jalan keluar satu bayangan putih. Sosok ini bergerak
cepat menuju gerobak di mana tergeletak pemuda yang dituduh sebagai Panji
Argomanik alias Singa Gurun Bromo. Ketika dia hendak melompat ke dalam gerobak,
dua orang perajurit pengawal sempat melihatnya dan berteriak. Bersama dua orang
kawannya perajurit ini segera melompat dengan golok di tanan. Orang yang hendak
melompati gerobak itu ternyata seorang pemuda berpakaian serba putih dengan
ikat kepala merah. Rambutnya sepanjang bahu.
“Siapa kau?!” hardik salah
seorang perajurit.
Baru saja dia membentak begitu,
kaki kanan pemuda itu tiba-tiba melesat.
“Krak!” perajurit yang barusan
membentak terpental dan roboh tanpa nyawa lagi.
Mukanya hancur dimakan
tendangan!
Tentu saja tiga kawannya
menjadi marah. Dua lainnya yang berada dalam keadaan cidera juga tidak tinggal
diam. Mereka cabut golok masing-masing dan ikut membantu kawannya mengeroyok si
pemuda. Sehabis membunuh perajurit yang pertama, pemuda tak dikenal itu
melompat ke atas kereta. Lalu dari atas kereta tendangan-tendangannya
berkelebat menebar maut. Tiga perajurit menemui kematian dilanda tendangan
kakinya yang memang luar biasa. Dua perajurit lainnya masih untung hanya cidera
muntah darah, namun agaknya nyawa mereka pun tak bakal lama. Bagian tubuh
mereka di sebelah dalam ada yang pecah.
Setelah menghajar keenam
perajurit itu, pemuda tadi berbalik ke arah Singa Gurun Bromo yang tergeletak
di lantai gerobak. Dia telah sempat menyaksikan kehebatan pemuda tak dikenal
ini menghajar enam perajurit tadi. Si rambut coklat membungkuk. Dia memeriksa
tubuh Singa Gurun Bromo dengan cepat lalu membalikkannya. Dengan ujung-ujung
jarinya dia kemudian lepaskan totokan di punggung pemuda itu.
“Terima kasih! Kau siapa?!”
tanya Singa Gurun Bromo seraya melompat.
“Nanti saja kujawab
pertanyaanmu,” jawab si pemuda. “Kita tak ada waktu banyak. Harus lekas pergi
dari sini sebelum orang-orang itu kembali!”
“Sesudah kau tolong begini aku
justru ingin mencari keparat-keparat itu. Ingin aku menggebuk mereka satu
persatu. Enak saja aku diperlakukannya seperti ini!”
Pemuda penolong tersenyum.
“Kau mau ikut aku atau tidak?”
“Tidak! Kecuali kau terangkan
siapa dirimu!”
“Baiklah. Aku Panji Argomanik
orang yang mereka juluki Singa Gurun Bromo!” kata pemuda itu pada akhirnya.
Si gondrong yang satu jadi
melengak kaget, garuk kepala dan mendamprat.
“Sialan! Gara-gara kau aku
jadi dibuat babak belur begini!”
“Aku sudah tahu apa ang
terjadi dengan dirimu sejak awal. Itu sebabnya aku menguntit perjalanan
rombongan. Aku yang membuat nyala api di dalam hutan dan memanggang seekor kelinci
besar sebagai tipuan. Begitu mereka menyelidi masuk ke dalam hutan aku segera
keluar dari persembunyian!”
“Sialan! Lalu bagaimana
orang-orang itu tidak bisa membedakan aku dengan kau?!”
“Usia kita sebaya. Potongan
tubuh agak serupa. Lagi pula orang-orang itu tidak pernah mengenal jelas
tampangku. Apalagi setelah enam tahun aku menghilang!”
“Sialan!” maki si rambut
gondrong sambil menggaruk kepalanya kembali.
“Dari tadi kau hanya memaki
saja sobat. Coba katakan dulu siapa namamu!”
“Aku Wiro Sableng!”
“Namamu boleh juga. Kuharap
kau tidak sableng beneran!” kata Panji Argomanik alias Singa Gurun Bromo yang
asli.
“Kenapa kau menolongku?” tanya
Wiro.
“Aku tidak tega. Kau hanya
korban ketololan orang-orang itu. Mereka mencari aku tapi menyangka kaulah
Singa Gurun Bromo itu. Masakan aku sampai hati membiarkan kau digantung tanpa
salah dan dosa!”
“Ah, kau orang baik. Aku ikut
denganmu!” kata Wiro “Bagus. Cepatlah. Orang-orang itu agaknya segera akan
kembali ke tempat ini!”
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk
kepalanya. Sambil menggeleng dia berkata.
“Gila! Bagaimana aku bisa
mendapat pengalaman pahit sepertii ini. Kalau tidak kau tolong pasti aku akan
jadi mayat di tiang gantungan!”
“Sudah jangan mengoceh juga.
Mari!” Singa Gurun Bromo berrkelebat turun dari atas gerobak. Murid Sinto
Gendeng bergerak mengikuti. Di satu tempat Wiro bertanya.
“Apa dosamu hingga ada Adipati
bahkan Raja ingin menggantungmu?!”
“Kita cari tempat yang baik.
Nanti kuceritakan semuanya padamu. Aku harus menemui seseorang dulu di Kuto
Inggil!”
“Orang tuamu?”
Singa Gurun Bromo menggeleng.
“Mereka sudah meninggal.”
“Hemmmm….. Kalau begitu pasti
kau menemui seorang perempuan. Kekasihmu! Betul?!”
Sambil berlari Panji Argomanik
berpaling “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Mudah saja. Jika dalam
keadaan berbahaya seorang pemuda masih memerlukan menemui orang lain, pasti
yang ditemuinya itu adalah kekasihnya!”
“Rupanya dalam soal perempuan
otakmu cerdik juga!” kata Panji Argomanik pula yang disambut gelak tawa oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Astaga! Jangan kau tertawa
keras-keras. Sekali terdengar oleh orang-orang itu bisa berbahaya…..”
“Siapa takutkkan mereka? Terus
terang aku penasaran hendak menjajal kepandaian mereka. Sialan! Mereka menipuku
dengan asap kelabu itu. Tahu-tahu kedua tanganku sudah terikat!”
“Dua orang yang muncul
kemudian itulah dua tokoh silat Istana. Ki Bumi Wirasulo dan Mangku sanggreng.
Mereka selalu berkelahi berpasangan. Mereka berasal dari satu guru. Kepandaian
mereka sebetulnya tidak seberapa tinggi. Namun mereka memiliki kecerdikan luar
biasa dan senjata-senjata aneh. Di antaranya Benang Dewa yang sempat membuatmu
tak berdaya itu!”
Diam-diam Wiro mengagumi ilmu
lari yang dimiliki Singa Gurun Bromo.
Namun jika dia mengerahkan
seluruh kepandaiannya pasti Singa Gurun Bromo itu sanggup ditinggalkannya
sampai sejauh seratus langkah di balakangnya. Tapi murid Sinto Gendeng tidak
ingin membuat pemuda itu kecewa. Lagi pula selain menyukainya, Wiro juga ingin
tahu mengapa dia sampai jadi buronan para penguasa.
Lalu karena dia yang menjadi
pimpinan dalam pelarian itu maka Wiro biarkan sahabat barunya itu berlari di
sebelah depan.
EMPAT
Dua pemuda yang baru saling
kenal itu lari ke arah Barat Kuto Inggil di mana terletak sebuah kampung kecil
bernama Telogosari.
“Hatiku tidak enak….” Kata
Panji Argomanik begitu mereka memasuki pinggiran kampung.
“Lihat ada kepulan asap di
sebelah sana…..?”
Wiro memandang ke arah yang
ditunjuk Panji dan mengangguk.
“Sepertinya barusan saja ada
kebakaran.” Kata murid Sinto Gendeng pula.
Panji Argomanik lari laksana
terbang. Wiro mengikuti dari belakang. Mereka masuk ke Telogosari lewat jalan
kecil di sebelah Selatan. Beberapa buah rumah kayu dalam keadaan gelap gulita
mereka lewati. Di ujung jalan, dekat sebuah gubuk kosong Panji hentikan
larinya. Tangannya berpegang pada tiang bambu. Mukanya yang merah karena
berlari tampak berubah pucat.
“Ya Tuhan…..” Pemuda ini
mengucap.
Murid Sinto Gendeng tak perlu
bertanya. Dia memperhatikan ke arah yang dipandang Panji. Di ujung jalan sebuah
rumah kayu baru saja musnah dimakan api.
“Rumah kekasihmu….?”
Panji tak menjawab. Dia lari
sambil berteriak. “Larasati…..!”
Panji Argomanik tegak dengan
tubuh gemetar di depan puing-puing rumah yang terbakar. Dia berteriak lagi. Tak
ada yang menjawab. Sebuah palang kayu yang dimakan api berderak patah lalu
jatuh. Panji hendak melompat ke dalam rumah yang masih dikobari api itu. Wiro
cepat memegang tangannya.
“Jangan lakukan. Semua sudah
musnah!”
“Aku kawatir Larasati ikut
terbakar…..” kata Panji dan jatuh berlutut.
Wiro memandang berkeliling.
“Aneh,” katanya dalam hati. “Rumah satu ini terbakar. Tapi penduduknya yang
diam di sekitar sini tak ada satupun yang keluar untuk memberikan pertolongan
ataupun sekedar melihat. Ini bukan kebiasaan orang kampung!” Wiro lalu katakan
rasa herannya itu pada Panji Argomanik.
“Aku yakin ini bukan kebakaran
biasa!” kata pemuda berambut coklat itu.
“Rumah ini sengaja dibakar!
Jika penduduk tak ada yang berani keluar untuk menolong, pasti ada yang mereka
takutkan!”
“Siapa menurutmu yang punya
pekerjaan biadab ini Panji?”
“Tak dapat dipastikan. Tapi
pangkal dari segala malapetaka ini hanya disebabkan oleh satu orang!”
“Siapa?”
“Adipati Lumajang. Dirgo
Sampean!”
“Kalau begitu kita bisa
menyelidik ke Kadipaten.”
Panji mengangguk.
“Aku memang sudah bersumpah
untuk mematahkan batang leher adipati keparat itu dengan tanganku sendiri. Dia
yang membuatku harus kabur dari Kuto Inggil. Juga dia penyebab kematian kedua
orang tuaku. Pasti dia juga yang menyuruh bakar rumah ini. Larasati….. Di mana
kau Larasati…..? Keparat! Jangan-jangan dia telah membakar kekasihku bersama
rumah ini!” Panji Argomanik melompat berdiri. Rahangnya menggembung.
“Aku harus memastikan dulu!”
katanya.
Lalu dia mengelilingi ruamh
yang kobaran apinya mulai mengecil. Tiba-tiba terdengar teriakan Panji
Argomanik. Wiro cepat mendatangi.
“Ada apa……?”
“Lihat di balik gedek yang
masih terbakar itu…..”
Wiro merasakan tengkuknya
merinding. Di balik dinding kajang yang hampir musnah menyembul sepasang kaki
yang belum sempat dimakan api. Di atas kaki ada sepotong hangusan kain panjang
yang menyatakan si pemilik kaki adalah seorang perempuan.
“Mereka membakar Larasati!
Mereka membunuh kekasihku!” teriak Panji Argomanik seperti gila. Dia hendak
melompat ke dalam reruntuhan rumah yang terbakar. Lagi-lagi Wiro mencegahnya
dengan memegang tangan pemdua itu erat-erat.
“Kita bisa mengambil tubuh
yang terbakar itu Panji. Tapi tidak perlu dengan menyabung nyawa melompat masuk
ke dalam api!” Wiro lalu ambil sebatang bambu yang tersandar dekat sumur. Pada
ujung bambu ini dikaitkannya seutas kawat yang dibentuk berupa lingkaran. Lalu
dengan galah berkawat itu dia coba menjirat salah satu kaki yang terjulur di
bawah dinding kajang. Bukan pekerjaan mudah, apalagi nyala api yang menyengat
panas. Dengan tubuh dan pakaian kuyup oleh keringat Wiro berhasil memasukkan
lingkaran kawat ke salah satu kaki di bawah kajang. Lalu dengan tengkuk masih
merinding, disaksikan dengan tegang oleh Panji Argomanik, murid Eyang Sinto
Gendeng ini mulai menarik kaki itu dengan hati-hati dan perlahanlahan.
Sedikit demi sedikit sosok
tubuh yang berada di bawah kajang tertarik keluar.
Mula-mula kelihatan sepasang
betis yang sudah hangus hitam. Lalu….. Wiro mengerenyit. Panji pejamkan kedua
matanya. Bagian tubuh di atas betis sampai ke pinggang bahkan sampai ke dada
hanya tinggal tulang belulang gosong yang tak dapat dikenali lagi.
“Demi Tuhan….. Teruskan Wiro.
Tarik lagi. Aku ingin memastikan. Aku ingin melihat bagian kepalanya…..” kata
Panji Argomanik dengan suara gemeteran.
Dengan hati-hati Wiro kembali
menarik galah bambu itu. Bagian dagu sosok yang terbakar mulai kelihatan. Tapi
celakanya saat itu des! Lingkaran kawat yang dipakai untuk mengait pergelangan
kaki putus tak tahan panas. Wiro terduduk. Panji Argomanik mengusap mukanya
berulang kali.
“Wiro lakukan sesuatu! Aku
harus melihat wajah orang itu!” teriak Panji seperti mau gila.
“Kalau sebagian tubuhnya sudah
gsong, apa kau masih bisa mengenali tengkorak kepalanya yang mungkin sudah jadi
debu?!”
“Tidak! Jangan ucapkan itu!
Lakukan sesuatu! Demi Tuhan lakukan sesuatu atau aku akan melompat ke dalam api
itu!” teriak panji Argomanik lagi.
Wiro berdiri. Perlahan-lahan
dijangkaunya galah bambu tadi lalu berdiri, melangkah dan mencoba mendekati
runtuhan rumah yang masih terbakar. Dengan ujung bambu dicobanya mendorong dan
membalikkan sisa-sisa dinding kajang.
Sekali, dua kali dan sampai
tiga kali tidak berhasil. Wiro maju lagi beberapa langkah.
Panasnya api bukan alang
kepalang. Wiro coba bertahan dengan segala kekuatan yang ada dia coba lagi
membalikkan dinding kajang itu. Kali ini berhasil. Dinding kajang yang terbakar
terbalik ke kiri membuat nyala api serta debu hitam menggebubu ke atas. Di
tanah, di antara puing-puing hitam reruntuhan yang terbakar tampak satu kepala
yang sudah hitam dan tak dapat dikenali lagi. Di atas kepala masih tersisa
sebagian rambut yang berwarna keputih-putihan.
“Ya Tuhan….. Ya Tuhan…..!”
Nafas Panji Argomanik memburu dan dadanya turun naik.
“Bukan dia Wiro. Bukan
Larasati. Mayat ini berambut putih….. aku yakin itu mayat Bibi kanoman yang
selama ini memelihara Larasati….”
Wiro menarik nafas lega. Kalau
itu mayat orang lain, lalu di mana kekasih sahabat barunya itu? Wiro tak berani
mengucapkan hal itu.
“Kalau penjahat yang melakukan
hal ini pasti Larasati diculik….”
“Mungkin kekasihmu tidak ada
di rumah ketika rumah ini dibakar. Berarti dia dalam keadaan selamat.”
“Tak dapat kupastikan Wiro….
Aku harus menyelidikinya. Aku harus mendatangi gedung Adipati Dirgo Sampean!
Biadab!”
Wiro memandang berkeliling.
“Aku yakin ada satu atau dua tetangga di sekitar sini yang mengetahui apa yang
telah terjadi. Aku akan gedor dan tanyai mereka!”
Pendekar 212 mendatangi sebuah
rumah terdekat lalu mengetuk pintu rumah itu dengan keras. Digedor berulang
kali tak ada yang menjawab apalagi muncul membuka pintu.
“Sialan!” Wiro memaki. Dia
tendang pintu itu sampai jebol lalu pindah ke rumah di sebelahnya. Setelah
menggedor berulang kali akhirnya terdengar langkah kaki di sebelah dalam. Lalu
muncul seorang lelaki separuh baya dengan muka pucat ketakutan.
“Kami…. Kami tidak punya
apa-apa. Kami petani miskin. Tak ada barang berharga yang bisa kuserahkan pada
kalian…..”
“Sialan! Aku bukan perampok!”
hardik Wiro seraya menjambak sarung orang itu lalu menariknya keluar. “Tapi aku
akan mematahkan batang lehermu kalau kau tidak menceritakan apa yang terjadi.
Siapa yang membakar rumah itu!”
“Saya……saya…..”
“Plak!” Wiro tampar orang itu
dengan keras hingga dia terjajar nanar. Saat itu Panji Argomanik sudah berdiri
di samping Wiro. Begitu orang bersarung melihat pemuda ini, kedua matanya
menjadi besar. Rupanya dia mengenali siapa adanya pemuda ini.
“Kau….. Panji…. Kaulah yang
mereka cari! Di desa tersiar kabar bahwa kau akan kembali ke Kuto Inggil.
Mereka menyangka kau pasti akan datang ke sini. Tapi begitu mereka tidak
menemukan kau, mereka terus membakar rumah. Membunuh Ibu Kanoman…..”
“Bagaimana dengan Larasati?!”
tanya Panji memotong.
“Mereka menculiknya. Mereka
membawa lari kekasihmu. Kami penduduk tak berani menolong. Mereka berjumlah
sekitar sepuluh orang….”
“Kau mengenali siapa
mereka….?” Tanya Wiro.
Orang yang ditanya menggeleng.
“Gerombolan rampok Warok
Keling?” tanya Panji Argomanik.
“Tidak bisa saya ketahui
Panji. Mereka menutupi wajah dengan kain….. Mereka menunggangi kuda. Mereka
melarikan diri setelah mendapatkan Larasati…..”
Panji Argomanik mendengarkan
keterangan itu dengan kedua tinju terkepal.
“Kalau…. Kalau tak ada lagi
yang hendak ditanyakan, izinkan aku masuk. Di dalam anak istriku setengah mati
ketakutan….”
Wiro menarik tangan Panji
Argomanik, mengajaknya meninggalkan tempat itu. “Kita harus mencari petunjuk
siapa orang-orang yang menculik kekasihmu, Panji.”
“Kalau mereka bertopeng siapa
yang bisa mengenali?!” ujar Panji hampir putus asa.
“Apa silang sengketamu
sebenarnya dengan kerajaan dan Adipati Lumajang?”
“Aku dituduh membunuh seorang
putera Pangeran yang tergila-gila pada Larasati dan ingin mengambilnya jadi
istri. Adipati Lumajang yang paling marah atas kejadian itu karena berlangsung
di wilayah kekuasaannya. Dia sengaja memburuku karena ingin berbuat pahala pada
Kerajaan, sekalian menjilat pada sang Pangeran dan Sri Baginda!”
“Aku ingat keterangan orang
tadi. Katanya rombongan itu datang karena menyangka kau ada di rumah kekasihmu.
Berarti mereka adalah suruhan sang Pangeran atau petugas-petugas Kerajaan.
Berarti Sri baginda sendiri atau Adipati Lumajang yang menyuruh mereka untuk
turun tangan!”
“Mungkin begitu. Tetapi
mengapa mereka harus menutupi muka dengan kain segala? Berati mereka takut
wajah masing-masing dikenal penduduk Telogosari!” menjawab Panji.
Pendekar 212 garuk-garuk
kepalanya. Matanya kemudian tertumpuk pada sebuah benda yag tergeletak di
tanah. Dia melangkah mendekati dan memungutnya lalu memperlihatkannya pada
Panji Argomanik. Benda itu ternyata adalah sebuah ladam kuda.
“Mungkin ini bisa dijadikan
bahan pengusutan…..” kata Wiro.
Panji tidak memberikan
jawaban. Pemuda ini berkata. “Aku akan menyelidik ke gedung Kadipaten lebih dulu.
Jika berangkat sekarang menjelang pagi aku bisa sampai ke sana.”
“Aku ikut bersamamu,” kata
Wiro pula.
LIMA
Karena mampu berlari cepat
menjelang dini hari Singa Gurun Bromo dan Pendekar 212 Wiro Sableng sudah
memasuki Kadipaten. Panji Argomanik langsung menuju gedung Kadipaten yang
terletak di depan sebuah alun-alun. Mereka sengaja datang dari bagian belakang
gedung agar tidak melewati lapangan terbuka di mana mereka akan mudah terlihat
oleh para pengawal.
Setelah memanjat halaman
belakang kedua pemuda ini menyelinap di balik jambangan-jambangan besar lalu
menyusup ke halaman samping yang gelap. Saat itu di dalam gedung ada cahaya
terang lampu tanda penghuninya ada yang belum tidur.
Begitu Wiro dan Panji bergerak
ke dekat jendela, di dalam gedung terdengar suara orang bercakap-cakap lalu
langkah-langkah kaki menuju ruang depan. Pintu depan terbuka. Adipati Dirgo
Sampean muncul diiringi oleh lima orang lelaki. Kelima orang ini membungkuk
hormat sebelum turun dari tangga gedung Kadipaten. Mereka berjalan menemui lima
orang lainnya yang rupanya tidak ikut masuk dan sengaja menunggu di halaman
depan. Tak lama kemudian kesepuluh orang itu tampak meninggalkan kadipaten dan
lenyap ditelah kegelapan malam.
“Hatiku berdetak,
jangan-jangan rombongan sepuluh orang itu yang membakar rumah dan menculik
Larasati….” Kata Panji Argomanik pada Wiro.
“Dugaanmu mungkin betul. Di
sebelah sana ada kandang kuda. Kita bisa mengambil dua kuda tunggangan dan
mengejar rombongan tadi….”
“Aku setuju. Kita harus
bergerak cepat!” kata Panji pula.
Baru saja kedua pendekar ini
endak meninggalkan halaman samping itu tibatiba di halaman depan terlihat enam
orang memasuki pintu gerbang kadipaten.
Seorang penjaga mendatangi.
Begitu mengenali siapa yang datang dengan cepat penjaga ini masuk ke dalam
gedung. Tak lama kemudiaan penjaga tadi muncul kembali dan mempersilahkan masuk
empat dari enam orang yang datang. Keempat orang yang masuk ini bukan lain
adalah Ki Bumi Wirasulo, Mangku Sanggreng lalu Kunto Areng dan Jalak Toga.
Melihat kemunculan orang-orang
ini yang datang tanpa kuda dan pakaian serta tubuh basah oleh keringat, lalu
muka dan rambut kusut masai Adipati Dirgo Sampean yang baru saja hendak masuk
ke dalam kamar tidurnya jadi terheran-heran.
Sesuatu pasti telah terjadi
dengan orang-orang ini pikirnya. Maka tanpa mempersilahkan keempat orang itu
duduk dia langsung saja bertanya seraya menyapu wajah keempat orang itu dengan
pandangan tajam.
“Ada apa?!”
“Waktu hendak menuju kemari,
di tengah jalan kami, kami berpapasan dengan serombongan orang. Apaah mereka
barusan datang dari sini?” yang membuka mulut adalah Ki Bumi Wirasulo.
Rahang sang Adipati tampak
menggembung. “Ki Bumi! Kau seperti orang yang tidak tahu peradatan saja! Aku
mengajukan pertanyaan. Kau bukannya menjawab malah balik bertanya. Kalian
datang kemari untuk melapor atau menanyaiku!”
“Harap maafkan saya, Adipati,”
jawab Ki Bumi Wirasulo dengan wajah merah.
“Bukan maksud kami berlaku
kurang ajar. Tapi kami melihat orang-orang itu rata-rata berwajah garang dan
kami tidak mengenali mereka. Kami kawatir……”
“Siapa adanya orang-orang itu
bukan urusan kalian. Ki Bumi, kau mewakili kawan-kawanmu. Katakan saja apa yang
telah terjadi! Aku mencium bau tak enak saat ini!” kata Adipati Dirgo Sampean
dengan suara keras.
Ki Bumi Wirasulo jadi panas
hatinya. Dia berpaling pada Mangku Sanggreng dan berkata. “Kau saja yang
menerangkan apa yang telah terjadi.”
Mangku Sanggreng batuk-batuk
dulu beberapa kali. Baru membuka mulut.
“Kami mengalami nasib apes
Adipati. Sebenarnya kami telah berhasil meringkus Singa Gurun Bromo di Kuto
Inggil. Pemuda itu kami sergap di warung nasi Mbok Sinten. Dalam perjalanan
kemari kami melihat ada nyala api yang mencurigakan dalam hutan belantara. Kami
coba menyelidik karena bukan mustahil gerombolan Warok Keling yang berkemah di
tempat itu…..” Mangku Sanggreng kemudian menuturkan apa yang terjadi
selanjutnya.
Tampang Adipati Lumajang itu
tampak kelam membesi begitu mendengar seluruh keterangan yang disampaikan
Mangku Sanggreng.
Sesaat sang Adipati tertegak
tak bergerak, hanya sepasang matanya saja yang memandang melotot dan beringas
pada keempat orang itu. Perlahan-perlahan kelihatan dia menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“C….c….c…! Bukan main!” kata
Dirgo Sampean pula.
“Dua orang tokoh silat Istana
berkepandaian tinggi. Dia orang perwira tinggi Kerajaan. Ditambah delapan orang
perajurit! Gila! Tolol dan menggelikan. Kalian sampai bisa ditipu orang seperti
itu! Aku tidak mau melaporkan kejadian ini pada Sri Baginda. Kalian harus
tanggung jawab sendiri dan berangkat sekarang juga ke Kotaraja!” Keempat orang
itu terdiam.
“Kalau begitu perintah
Adipati, kami akan mematuhinya. Tapi harap jangan bicara terlalu keras!”
berkata mangku Sanggreng.
“Apa maksudmu?!” tanya Dirgo
Sampean dengan mata kembali membeliak.
“Kami bekerja di bawah
perintah Sri Baginda. Tidak layak Adipati mengeluarkan kata-kata kasar begitu
rupa. Terhadap dua orang perwira ini silahkan saja. Menggebuk merekapun kami
tidak mau tahu karena memang bekerja untuk kerajaan dan berada di bawah
pimpinan Adipati…..!”
Adipati Dirgo Sampean
menyeringai. “Jika kalian berdua berkata begitu, silahkan angkat kaki dari
gedung ini saat ini juga!” Lalu Adipati Lumajang itu bergegas ke pintu. Pintu
depan dibukanya lebar-lebar dan dia memberi isyarat dengan goyangkan kepala
pada Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng agar segera keluar.
Sebelum keluar kedua tokoh
silat Istana itu masih sempat melihat Jalak Toga dan Kunto Areng lontarkan
seringai sinis ke arah mereka. Adipati Dirgo Sampean membantingkan pintu. Lalu
berpaling pada dua perwira tinggi yang tegak tak bergerak dengan wajah kuncup.
“Kalian berdua tidak usah
takut. Aku tidak marah pada kalian. Aku hanya melepaskan kebencianku pada dua
orang tadi.”
Mendengar ucapan Adipati itu
Kunto Areng dan Jalak Toga menjadi lega dan berdarah kembali wajah
masing-masing.
“Mereka sedikit bekerja tapi
hidup enak. Mendapat kesenangan dari Istana. Kita yang telah mengabdi pada
kerajaan sekian puluh tahun malah tidak diperhatikan. Kaum penjilat seperti
mereka sekali-sekali memang harus diberi pelajaran!”
“Ah, rupanya bukan kami saja
yang punya pendapat begitu. Syukur kalau Adipati mengetahui hal itu….” kata
Jalak Toga.
“Kalian boleh bermalam di
sini. Besok ada tugas untuk kalian!”
“Terima kasih, Adipati masih
mempercayai kami!” kata Kunto Areng seraya membungkuk.
“Kita orang-orang satu
kelompok harus saling menghormat dan bekerja sama,” kata Adipati pula sambil
menepuk bahu perwira tinggi itu.
Di halaman samping begitu
melihat Ki Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng meninggalkan halaman Kadipaten,
Pendekar 212 segera hendak bergerak.
“Itu mereka! Kurasa ini saat
yang baik untuk menjajal kembali kehebatan keduanya!”
“Baik bagimu tidak bagiku
sobat!” kata Panji seraa menarik celana sang pendekar.
“Apa yang hendak kau lakukan
bisa merusak rencanaku untuk mengusut di mana Larasati saat ini berada dan
siapa yang telah menculiknya.”
“Ingat ladam kuda yang kita
temui itu? ujar Wiro. “Tunggu saja sampai pagi. Kau hanya tinggal menunjukkan
padaku di mana orang biasa mengupah memperbaiki atau memasang ladam kudanya…..”
“Cuma ada satu di Kuto Inggil.
Bengkel kuda Karjo Lugu.” Jawab Panji.
“Bagus kalau cuma satu.
Berarti kita tidak perlu menghabiskan waktu menyelidik ke mana-mana.”
Kedua orang itu menunggu
sampai seorang pengawal yang melakukan penjagaan keliling lenyap di ujung
gedung. Lalu cepat-cepat mereka menuju halaman belakang, memanjat tembok dan
lenyap ditelan kegelapan malan dan udara dingin menjelang pagi itu.
ENAM
Di bengkel kuda milik Karjo
Lugu para pemilik kuda dapat membeli segala keperluan yang berhubungan dengan
kuda. Misalnya kain keras penutup mata kuda, tali kekang, pelana dan juga
ladam. Di samping itu Karjo Lugu juga mengerjakan perbaikan ladam atau tapal
besi, perbaikan pelana maupun injakan kaki.
Pagi itu Wiro dan Panji sampai
di sana Karjo Lugu sudah tampak sibuk di bengkelnya. Karjo Lugu seorang lelaki
berambut putih berusia hampir enam puluh tahun. Walaupun berusia lanjut tapi
otot-otot badannya masih tampak kukuh. Seperti namanya, orang ini memang
bersifat lugu dan murah senyum.
Karjo Lugu menyambut salam
yang diucapkan Panji. Namun ketika dia mengangkat kepalanya dan melihat siapa
yang datang, berubahlah paras orang tua ini.
“Pak Lugu…..”kata Panji,
begitu orang biasa memanggil Karjo Lugu.
“Kau kelihatan seperti
terkejut melihatku. Apakah wajahku sudah berubah jadi setan?!”
“Anak muda, apa kau tak tahu
dirimu dalam bahaya berani datang ke sini?”
“Rupanya kau sudah mendengar
apa yang terjadi siang kemarin di warung Mbok Sinem,” kata Panji pula dengan
tersenyum.
“Tentu saja. Berita itu
tersiar cepat. Kau dikabarkan sudah diringkus dan dibawa ke Kotaraja. Bagaimana
tahu-tahu kau bisa muncul di sini?”
“Kau tak usah merisaukan hal
itu Pak Lugu. Aku baik-baik dan sehat-sehat saja….”
“Siapa anak muda ini?” tanya
Karjo Lugu pada Panji Argomanik.
“Sahabatku,” jawab Panji.
“Panji, sebaiknya kau cepat
pergi dari sini. Kalau ada mata-mata yang melihat dan melaporkan kau muncul
serta berbincang-bincang denganku, aku bisa celaka…..”
“Ada hal penting yang hendak
kami tanyakan padamu Pak Lugu.” Kata Wiro pula.
“Eng…..” pemilik bengkel kuda
itu tampak serba salah.
“Pak Lugu,” kata Panji.
“Semasa hidupnya kau
bersahabat baik dengan ayahku. Sekarang kami butuh bantuanmu. Apa kau melupakan
begitu saja persahabatan dengan ayahku?”
“Tentu saja bukan begitu. Tapi
kau adalah orang buronan. Jika ada yang…. Sudahlah. Ikuti aku. Kita bicara di
dalam saja.” Orang tua itu menunjuk ke arah pintu.
Panji dan Wiro segea masuk ke
dalam ruangan di balik pintu itu. Karjo Lugu memandang dulu ke arah jalan, lalu
pada beberapa bangunan di sekitarnya. Bila dirasakannya aman maka orang tua ini
segera masuk ke dalam rumahnya. Sampai di dalam dia bertanya pada kedua pemuda
itu.
“Hal penting apa yang hendak
kalian tanyakan?”
Wiro yang menjawab. “Tadi
malam rumah Larasati, kekasih sahabatku ini dibakar orang. Seorang perempuan
bernama Bibi kanoman ditemui sudah jadi mayat terbakar hangus….”
“Ya Tuhan, belum kudengar
berita itu…….” seru Karjo Lugu.
“Larasati lenyap diculik
orang…..”
“Gusti Allah!” mengucap Karjo
Lugu.
Wiro meneruskan. “Kami tidak
tahu siapa manusia-manusia biadab yang melakukan perbuatan laknat itu. Namun
kami menemukan benda ini di dekat rumah yang terbakar.”
"Lugu. itu?”
Wiro keluarkan ladam kuda yang
ditemuinya dan diperlihatkannya pada Karjo “Apa hubungan ladam ini dengan hal
penting yang hendak kalian tanyakan Yang menjawab kini adalah Panji Argomanik.
“Kami yakin ladam kuda ini
adalah ladam salah seekor kuda tunggangan orang-orang yang membakar rumah dan
menculik Larasati. Malam tadi, atau pagi-pagi sebelum kami datang, apakah ada
seseorang yang datang membawa kudanya yang salah satu kakinya tidak berladam.
Lalu minta dipasangkan ladam baru…..”
Paras Karjo Lugu jadi berubah.
Wiro dan Panji maklum sudah. Keduanya menunggu.
“Pagi buta tadi….” Kata Karjo
Lugu.
“Ada orang menggedor
bengkelku. Ketika kubuka orang ini tenyata datang bersama dua orang temannya.
Tampangtampang tak dapat kukenal karena tertutup kain menyerupai topeng. Salah
seorang dari mereka minta agar aku memasangkan ladam baru pada kaki kudanya
sebelah kiri belakang. Aku bilang besok saja kalau bengkel sudah buka. Tapi
orang-orang itu mengancam akan menggorok leherku kalau aku tidak melakukannya
malam itu juga.
Masih dalam keadaan mengantuk
aku terpaksa memenuhi permintaan mereka. Orang yang punya kuda membayar cukup
tinggi. Tapi sebelum dia pergi dia berpesan……”
“Berpesan? Pesan apa?” tanya
Panji.
“Agar aku tidak mengaakan pada
siapapun kedatangan mereka ke bengkelku…..!”
“Hemmmmmm,” Wiro bergumam
sambil garuk-garuk kepala.
"Kalau begitu mereka
merasa kawatir kau mengenali salah satu dari mereka. Walau mereka menutupi
wajah masing-masing dengan kain….. Coba kau ingat-ingat Pak Lugu. Mungkin ada
benda atau tanda-tanda pada ketiga orang itu, di tubuh mereka atau pada
kuda-kuda mereka. Tanda-tanda yang bisa mmberi petunjuk siapa mereka
sebenarnya.”
Karjo Lugu mengusap dagunya
yang ditumbuhi janggut-janggut pendek berwarna putih. “Rasan-rasanya memang
ada. Waktu itu aku tidak memperhatikan. Tapi setelah kau mengatakannya aku
teringat sesuatu. Salah seorang dari ketiga yang datang itu mengenakan baju
berlengan sangat pendek. Di tangannya sebelah atas, dekat bahu ada sebuah
rajah. Rajah itu bergambar seekor kelelawar yang tengah mengembangkan
sayapnya…..”
“Itu rajah tanda komplotan
rampok Warok Keling” kata Paji hampir berteriak.
“Terima kasih Pak Lugu.
Keteranganmu sangat berharga.” Pemuda bergelar Singa Gurun Bromo itu menarik
lengan Wiro, cepat-cepat mengajaknya meninggalkan tempat itu.
“Aku tahu sarang penjahat
keparat itu. Kita menuju ke sana sekarang juga! Larasati pasti berada di tangan
mereka!”
“Mendatangi sarang penjahat
siang-siang begini apa tidak terlalu berbahaya, Panji?”
“Aku sudah siap mati untuk
menyelamatkan Larasati”! jawab Panji Argomanik alian Singa Gurun Bromo pula.
“Kalau kau takut kau boleh saja tidak ikut dan kita berpisah sampai di sini.”
Wiro menyeringai. “Aku tidak
bisa menjelaskannya. Tapi aku punya firasat ada satu rahasia di balik semua
kejadian ini. Dan aku ingin menyingkap rahasia ini!”
Hanya beberapa saat setelah
kedua pemuda itu meninggalkan bengkel Karjo Lugu, tiga orang penunggang kuda
tiba-tiba muncul. Si orang tua terkejut ketika memperhatikan. Ternyata mereka
adalah tiga orang yang tadi malam mendatangi untuk dipasangkan ladam baru.
Wajah mereka masih ditutupi secarik kain. Karjo Lugu mendadak merasa tidak
enak. Namun dengan ramah orang tua ini menegur.
“Ah, kalian rupanya. Apa lagi
yang bisa kubantu?’
Lelaki yang lengan sebelah
atasnya memiliki rajah turun dari kudanya.
“Malam tadi kami lupa membayar
harga ladam dan ongkos pemasangannya. Kebetulan kami lewat lagi di sini. Saat
ini kami hendak membayarnya.”
“Wah, kalian orang baik-baik
rupanya. Tidak dibayarpun tidak jadi apa asal kita bisa jadi langganan.” Kata
Karjo Lugu pula.
Lelaki yang lengannya dirajah
bergambar kelelawar tersenyum. Dia menggerakkan tangan kirinya ke arah pinggang
seperti layaknya orang hendak mengambil uang. Tetapi ketika tangan itu keluar
lagi dari balik pakaian, yang kelihatan bukan kantong uang tetapi sebilah pisau
berkilat yang panjang matanya hampir dua jengkal. Sebelum Karjo Lugu menyadari
apa yang akan dilakukan orang itu, tiba-tiba pisau sudah menghujam dalam ke
perutnya. Karjo Lugu menjerit tapi lehernya cepat dicekik hingga suara
teriakannya menjadi tertahan dan lenyap.
“Tua bangka keparat! Kau tidak
menepati pesanku. Kau pasti telah memberitahu sesuatu tentang kami pada kedua
orang pemuda itu. Benar?!”
“Ha….h…ha….hu!” Karjo Lugu
tidak bisa menjawab karena lehernya masih dicekik sementara perutnya yang
bersimbah darah terasa sakit bukan kepalang. Lelaki berajah itu lemparkan tubuh
Karjo Lugu ke atas meja tempat penempaan besi. Orang tua itu mengeluh tingi.
Dia berusaha manarik nafas panjang tapi nafasnya justru putus!
TUJUH
Dua pendekar nekad itu memacu
kuda masing-masing menuju ke Selatan kaki Pegunungan Maha Meru. Selewatnya
Candipuro mereka membelok memasuki sebuah dataran tinggi. Di balik pedataran
itu terbentang sebuah rimba belantara sarang segala binatang buas dan manusia
jahat. Dulunya terdapat beberapa kelompok penjahat mendekam dan bersarang di
tempat itu. namun setelah Warok Keling muncul, dia menggabungkan semua kelompok
gerombolan itu ke dalam kelompoknya. Siapa yang tidak mau tunuduk padanya
ditumpasnya sampai habis. Saat itu Warok Keling menjadi raja di raja perampok
yang memiliki anak buah hempir seratus orang.
Bersama kelompoknya dia
mendirikan sebuah kawasan perumahan di dalam hutan itu.
walaupun hutan tapi keadaannya
subur sekali. Air bersih mudah didapat. Begitu juga buah serta binatang buruan
yang bisa disantap.
Menjelang tengah hari mereka
sampai di bagian hutan yang tanahnya meninggi. Wiro dan Panji terus mendaki
menuju puncak tertinggi. Begitu sampai di puncak kelihatanlah belasan rumah
kayu yang dipagar dengan tiang-tiang terbuat dari batang-batang pohon yang
ujungnya dibabat runding. Pada jarak-jarak tertentu di atas pagar itu terdapat
sebuah pondok tempat pengawal melakukan tugasnya berjaga-jaga mengawasi daerah
sekitarnya. Begitu Wiro dan Panji muncul mendekati pagar kayu satu suitan
nyaring terdengar dari sebelah Timur kawasan. Lalu sekitar sepuluh orang muncul
di atas pagar. Mereka memegang busur dan panah yang siap dibidikkan ke arah
kedua pemuda itu.
Di sebelah belakang Wiro dan
Panji mendengar suara menggeresek. Ketika berpaling mereka melihat ada
kira-kira sepuluh orang meluncur dari atas pohon. Di cabang-cabang terendah
mereka berhenti dan dari sini mereka membidikkan pula panah atau sumpritan ke
arah Wiro dan Panji.
“Kita terkurung!” kata Wiro.
“Tenang saja. Jangan membuat
gerakan-gerakan yang mencurigakan. Anakanak panah dan sumpritan itu beracun!”
kata Panji. Lalu dia membawa kudanya mendahului Wiro menuju satu tempat terbuka
hingga semua orang di atas pagar kayu meupun di atas pohon dapat melihatnya
dengan jelas. Wiro menyusul bergerak ke samping Panji.
Panji Argomanik kemudian
mengangkat tangannya. Lalu dia berseru. “Aku Panji Argomanik dan seorang
sahabat ingin menemui pimpinan kalian!”
Dari atas rumah penjaggan terdengar
jawaban. “Dua cacing tanah seperti kalian mana cukup pantas menemui pimpinan
kami!”
“Keparat!” maki Wiro.
“Diam saja!” tukas Panji. Lalu
dia berseru lagi. “Kami memohon sekali lagi! Ada hal penting yang hendak kami
bicarakan!”
“Bicaralah dengan setan-setan
rimba belantara ini! Harap kalian berdua segera meninggalkan tempat ini atau
tubuh kalian akan kami tambus dengan panah-panah beracun!”
“Edan!” Kini Panji yang
keluarkan suara makian.
“Kalau kita tidak
diperbolehkan masuk menemui Warok Keling berarti kita terpaksa menyusup malam
hari. Atau mencegat orang itu jika dia keluar dari sarangnya. Tapi semua itu
memakan waktu. Sementara itu banyak hal bisa terjadi pada Larasati……”
“Agaknya kita tak ada pilihan
lain. Mari…..” kata Wiro.
Kedua orang itu memutar kuda
masing-masing.
Sementara itu di atas bangunan
pagar, sorang bertubuh tinggi luar biasa, berkulit sangat hitam dan mengenakan
pakaian merah gelap serta memakai semacam sorban berwarna merah di atas
kepalanya muncul di atas salah satu rumah penjagaan.
“Aku mendengar suara suitan
lalu suara orang berteriak-teriak. Apa yang terjadi?” tanya orang berkulit
hitam legam itu. Suaranya parau dan sember. Inilah manusianya yang bernama
Warok Keling, raja diraja komplotan penjahat di masa itu.
Seorang anak buahnya segera
menerangkan.
“Ada dua pemuda tak dikenal
muncul dan minta bertemu dengan Warok….”
“Ah, begitu lama aku jadi
pemimpin kalian baru sekali terjadi hal seperti ini. Dua pemuda itu rupanya
punya nyali besar. Apa mereka menyebutkan nama atau gelar?”
“Gelar tidak, tapi yang
seorang memperkenalkan diri dangan nama Panji Argomanik!”
“Panji Argomanik…..” mengulang
Warok Keling samgil mengusap dagunya yang klimis. Biasanya gembong penjahat
selalu memelihara janggut atau berewok dan kumis tebal melintang. Tapi Warok
Keling justru memelihara wajah kelimis dan wajahnya yang hitam cukup keren.
“Panji Argomanik…. Aku
rasa-rasa pernah mendengar nama itu! Coba aku mengingat-ingat dulu….. Hem…..
Jangan-jangan….. Hai, coba kau tanyakan pada orang yang bernama Argomanik itu.
apakah dia orangnya yang bergealr Singa Gurun Bromo?”
“Keduanya sudah pergi
Warok.”jawab si anak buah.
“Beri tanda pada kawan-kawanmu
di luar pagar agar menyuruh kedua orang itu kembali.”
Anggota penjahat itu keluarkan
dua kali sutian berturut-turut, lalu dua kali lagi. Di dalam rimba belantara di
luar pagar empat anak buah Warok Keling meluncur turun dari atas pohon. Mereka
melompat ke tanah lalu mencegat Wiro dan Panji sambil membidikkan panah-panah
beracun.
“Pimpinan kami meminta kalian
kembali!” kata salah seorang di antara mereka.
Wiro dan Panji saling pandang.
“Ada apa kami disuruh
kembali?!” bertanya Panji Argomanik.
“Apa kau orangnya yang bernama
Panji Argomanik, bergelar Singa Gurun Bromo?”
Panji mengangkat tangannya dan
berteriak membenarkan ucapan itu.
“Kalau begitu kau boleh masuk.
Tapi kawanmu tetap tinggal di tempat! Dia tidak cukup layak menginjakkan kaki
di tempat kami!”
“Sialan! Aku lagi yang
dihinanya!” maki Wiro.
Saat itu pintu gerbang kayu
tampak terbuka.
“Kau masuklah. Aku biar
menunggu di sini,” kata Wiro.
Panji Argomanik mengangkat
tangannya. “Aku tidak akan masuk kalau temanku ini tidak diperbolehkan ikut
serta!”
Dari atas rumah penjagaan
terdengar orang bertanya. “Siapa nama kawanmu itu. apa dia punya julukan?!”
“Namanya Wiro Sableng!”
berteriak Panji.
Sunyi sejenak. Lalu dari atas
rumah penjaggan terdengar suara orang berteriak, bertanya. “Apa orang gila itu
punya julukan?!”
Panji Argomanik berpaling pada
Wiro. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. “Tidak! Dia tidak…..”
Wiro tekap mulut Panji
Argomanik lalu dia sendiri berteriak. “Gelarku Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212!”
Kedua mata Panji Argomanik
membeliak besar. Ketika Wiro menurunkan tangannya pemuda bergelar Singa Gurun
Bromo itu berseru. “Kau…..! Jadi kau pendekar dari Gunung Gede yang terkenal
itu?!”
“Aku tidak lebih hebat dari
kau Singa Gurun Bromo!”
“Jangan merendah! Aku banyak
mendengar riwayatmu yang hebat-hebat!”
Wiro tertawa. “Orang selalu
menambah bumbu dalam setiap cerita…..” katanya.
Dari atas rumah penjagaan
tiba-tiba terdengar suaa teriakan. “Kalian berdua boleh masuk!”
Pintu gerbang terbuka. Kali
ini lebih besar. Wiro dan Panji masuk ke dalam.
Pintu menutup kembali. Begitu
masuk ke dalam dua orang bertubuh besar menghampiri mereka. Keduanya
dipersilahkan turun dari kuda masing-masing lalu binatang-binatang itu dibawa
ke satu tempat untuk ditambatkan. Kemudian seorang lelaki muncul, membawa
mereka ke sebuah rumah besar dari kayu bertingkat dua. Wiro melangkah sambil
memandang kian kemari. Dia melihat banyak anak-anak tengah bermain di halaman
luas. Juga ada orang-orang perempuan yang duduk-duduk di bawah pohon. Ada yang
tengah merenda, ada yang tengah bercakap-cakap.
Keadaan di tempat itu bukan
seperti di sarang perampok tapi tidak beda dengan kampung biasa. Wiro dan Panji
dibawa ke tingkat rumah kayu besar. Lalu diminta duduk pada dua buah kursi
kayu. Di antara dua kursi itu terdapat sebuah kursi ketiga yang lebih besar dan
lebih tinggi. Keduanya diminta menunggu. Tak lama kemudian muncullah Warok
Keling. Dia masih mengenakan sorban merahnya. Tapi dia kini telah berganti
pakaian dengan sebuah jubah terbuat dari kain sangat tebal yang beratnya hampir
lima puluh kati. Bersamanya mengikuti empat orang pengawal bertampang bengis
dan membawa golok besar-besar.
Warok Keling duduk di kursi
besar. Dia melambaikan tangan pada keempat pengawalnya. Keempat orang ini
tampak ragu untuk meninggalkna pimpinan mereka sang Warok lantas berkata.
“Kalian pergi saja. Mereka adalah teman-temanku!”
Mendengar ucapan itu keempat
pengawal tadi segera berlalu. Wiro dan Panji merasa heran karena tidak
menyangka akan mendapat sambutan begitu rupa.
“Dua sahabat muda. Kuucapkan
selamat daang di tempatku yang buruk ini. seumur hidup baru kali ini ada dua
orang tokoh silat yang punya nama besar menyambangiku di sini. Kalian ingin
kusuguhkan apa?”
“Kami orang biasa-biasa saja.
Jangan Warok keliwat memuji,” kata Panji.
“Terus terang kami memang
haus. Tapi kami tak ingin merepotkanmu.”
“Kau bagaimana?” tanya Warok
Keling pada Wiro.
“Aku memang haus sekali. Aku
tiak malu-malu minta minum apa saja. Kawanku juga…..”
Warok Keling tertawa lebar.
“Kau orang jujur. Aku suka
pada aorang yang terus terang dan polos!” Warok
Keling lalu bertepuk dua kali.
Seorang gadis berwajah cantik muncul. “Ini puteriku, Jayengsari…..” Warok
Keling memberitahu.
Dalam hatinya Wiro berkata.
“Sulit dipercaya. Manusia buruk hitam begini rupa punya puteri secantik ini dan
berkulit kuning langsat! Ibunya pasti seroang bidadari yang tertangkap
hidup-hidup dan tak dapat kembali ke dunianya!”
“Anakku. Ita kedatangan dua
orang tamu penting. Harap sediakan tuak manis dan jangan lupa talas rebus
makanan utama kita yang paling lezat!”
Jayengsaru Mengangguk. Dia
melirik ke arah Pendekar 212 sekilas lalu masuk ke dalam dengan langkah-langkah
lincah.
“Sobat-sobatku muda! Semetara
menunggu hidangan dan minuman, sekarang ceriakan apa hal penting yang hendak
kau bicarakan denganku!” kata Warok Keling.
“Kami, maksudku aku mengalami
kesulitan…..”
Warok Keling tersenyum “Aku
pernah mendengar kesulitanmu. Enam tahun kau menghilang gara-gara tuduhan
membunuh putera Pangeran Sendoyo….”
“Bagaimana kau bisa tahu
Warok?” tanya Panji heran.
“Aku dan anak buahku memang
tinggal jauh di hutan. Tapi kami punya mata dan telinga di mana-mana…. Nah,
sekarang ceritakan apa kesulitanmu yang lain!”
“Kesulitanku, selain jadi
buronan Sri Baginda dan Adipati Lumajang, saat ini aku butuh bantuanmu dan
kesediaanmu untuk mengembalikan kekasihku Larasati. Rumahnya dibakar kemarin
malam. Bibinya tewas dan Larasati diculik orang!”
“Larasati diculik orang. Lalu
mengapa kau datang kemari? Eh, tadi kudengar kau meminta aku agar bersedia
mengembalikan anak gadis itu padamu. Apa kau kira….”
“Maafkan aku Warok. Aku tidak
menuduh kau menculik Larasati. Tetapi ada orang memberi kesaksian bahwa salah
seorang penjahat yang membakar dan menculik gadis itu memiliki lengan dengan
rajah burung kelelawar!”
Warok Keling menggulung lengan
bajunya sebelah kiri sampai ke bahu. Lalu dia memperlihatkan rajah kelelawar di
bahunya itu. “Rajah seperti ini?”
“Kira-kira begitu Warok.”
“Seperti ini?” Sang Warok buka
kancing bajunya. Di dadanya kelihatan lagi sebuah rajah kelelawar yang lebih
besar. Panji mengangguk.
Paras Warok Keling berubah
semakin hitam. “Singa Gurun Bromo…..”
katanya dengan suara bergetar.
“Jika tuduhanmu itu tidak benar, tubuhmu akan kulempar ke luar pagar tanpa
kepala!” Lalu sang Warok berpaling pada Wiro. “Kau juga!” hardiknya sehingga
pendekar 212 tersentak kaget. “Siapa yang memberikan kesaksian padamu?”
“Karjo Lugu. Pemilik bengkel
kuda di Kuto Inggil.”
“Aku akan perintahkan anak
buahku untuk menyelidik. Tapi ada satu hal yang perlu kuceritakan pada kalian!”
Saat itu Jayengsari keluar membawakan minuman tak dalam tabung bambu pendek
serta rebusan talas yang diurap dengan kelapa parut.
“Aku tahu kalian pasti haus
danjuga lapar….”
Wiro ulurkan tangan hendak
mengambil tabung bambu. Tapi Warok Keling segera mengepret tangannya.
“Aku tidak akan menyuruh
kalian minum dan makan sebelum kalian mendengar dulu keteranganku.” Kata Warok
Keling dengn mata berkilat-kilat.
“Aku sudah tiga puluh tahun
lebih jadi raja diraja penjahat di kawasan Timur ini. Selama aku malang
melintang ratusan orang telah menjadi korbanku. Kurampok habishabisan dan
kubunuh jika mereka melawan. Tapi ada satu hal yang harus kalian ingat
baik-baik. Mereka yang jadi korbanku adalah orang-orang kaya yang tidak mau
memberi hartanya pada rakyat jelata. Atau pejabat-pejabat rakus yang
kekayaannya seabrek-abrek tapi tak pernah bersedekah pada orang-orang miskin.
Padahal kekayaan itu mereka dapatkan dari hasil menipu! Kaum pedagang yang
terlalu rakus mencari keuntungan juga kujadikan korban dan kuburu di manapun
mereka berada. Tapi dengar! Aku tidak pernah merampok dan membunuh rakyat
jelata! Dengar lagi baikbaik! Aku tidak pernah menculik dan melarikan anak
istri orang! Waktu datang kemari kalian lihat anak-anak dan orang-orang
perempuan. Anak-anak bermain-main. Orang-orang perempuan duduk merenda atau
melakukan pekerjaan lain sambil ngobrol sesama perempuan. Mereka adalah
perempuan-perempuan yang dikawin sah oleh anak-anak buahku. Dan anak-anak itu
bukan anak-anak haram! Ini memang perkampungan sarang perampok. Tetapi di sini
kehidupan lebih baik dari pada di luar sana! Jadi ingat! Kami bukan tukang
culik apalagi tukang perkosa orang-orang perempuan., jika anak buahku bertemu
seorang perempuan yang disukainya, dia akan mengajaknya baik-baik dan tinggal
di sini. Jika mereka menolak, mereka dilepas dengan aman. Bahkan diantar pulang
sampai ke kampung dan rumah mereka! Karena cara-cara kami itulah maka tidak ada
orang dari dunia persilatan yang memusuhi kami. Tapi mereka juga sungkan untuk
mendekati kami, tidak seperti yang saat ini kalian lakukan. Kalian orang-orang
muda sungguh bisa dibuat contoh. Lalu, pihak kerajaanpun tidak bisa berbuat
apa-apa terhadap kami. Kami memang penjahat tapi sebenarnya kami lebih cocok
dikatakan sebagai tangan jahil yang merampas sedikit harta benda yang
berlebihan untuk disalurkan pada orang-orang miskin!”
Panji terdiam mendengar
kata-kata Warok Keling itu sementara itu Wiro hanya bisa garuk-garuk kepala!
“Aku tidak bisa percaya akan
penjelasan bahwa ada anak buahku terlibat penculikan Larasati. Tetapi aku
berjanji akan menyelidik. Jika betul anak buahku dia akan kuhukum berat dan
Larasati akan kembali padamu dengan selamat! Sekarang kalian boleh meneguk
minuman dan mencicipi hidangan!”
Wiro dan Panji segera
mengulurkan tangan untuk mengambil tabung tuak masing-masing. Tapi ketika
diangkat ternyata tabung-tabung bambu itu tidak bergerak sedikitpun.
Seolah-olah melekat ke kayu meja. Semakin dikerahkan tenaga untuk mengangkatnya
semakin melekat keras kedua tabung bambu itu. Wiro dan Panji segera maklum
bahwa tuan rumah tengah menjajal kekuatan mereka. Kalau tadi mereka hanya
mengerahkan tenaga kasar atau tenaga luar maka kini diam-diam keduanya
mengerahkan tenaga dalam. Di atas kursinya Warok Keling yang tadi tampak duduk
sambil menyeringai kini kelihatan mengernyit. Keningnya dipenuhi percikan
keringat. Tubuhnya yang besar tampak bergetar.
“Hem…. Dua anak muda ini
memiliki kekuatan tenaga dalam yang bukan main-main!” kata sang Warok dalam
hati. Dia lalu kerahkan seluruh tenaga dalamnya pula.
Tuak di dalam tabung bambu itu
beriak seperti mendidih. Wiro dan Panji merasakan tangan mereka seperti
diserang hawa panas. Tapi keduanya tetap bertahan. Di samping mereka
perlahan-lahan tubuh Warok Keling tampak terangkat ke atas sampai setinggi tiga
jengkal. Wiro kedipkan matanya ke arah Panji. Kedua pemuda ini tiba-tiba secara
serentak lepaskan pegangan mereka pada tabung bambu. Dan terjadilah satu hal
yang hebat tapi lucu.
Karena tenaga dalam wang Warok
kini lepas menghantam tempat kosong maka tak ampun lagi tubuhnya yang tadi
terangkat dengan tiba-tiba dan keras luar biasa terbanting jatuh ke atas kursi
yang didudukinya.
“Brak!”
Kursi kayu yang kokoh itu
patah keempat kakinya. Tak ampun lagi tubuh tinggi besar Warok Keling jatuh ke
lantai!
Empat orang pengawal keluar
dari ruangan dalam sambil menghunus golok dan siap untuk menyerang Wiro dan
Panji. Tapi Warok Keling cepat bersiri dan tertawa mengekeh. Dia melambaikan
tangannya pada keempat pengawalnya itu.
“Pergi saja! Tak ada apa-apa
di sini. Kami hanya bersendau gurau! Ambillah aku kursi baru!”
Walau ragu-ragu keempat orang
pengawal itu segera ke dalam lalu keluar lagi membawa kursi baru. Kursi yang
patah mereka singkirkan. Warok Keling seka keringat yang membasahi mukanya.
“Kalian orang-orang muda yang
hebat. Kalau kalian mau, tadi kalian bisa mengirimku ke akhirat. Kini cukup
jlas bagiku. Kalian datang bukan mencari silang sengketa. Ayo, lekas minum
tuaknya. Cicipi talas rebus yang lezat itu!”
Wiro dan Panji segear ulurkan
tangan kembali untuk mengambil tabung berisi tuak. Setealh meneguk minuman yang
lezat sejuk itu mereka mencicipi talas rebus yang dihidangkan. Hanya sesaat
setelah sepotong besar talas amblas masuk ke dalam perut mereka, kedua pemuda
itu mendadak merasakan mulut mereka menjadi gatal.
Makin digaruk makin gatal.
“Bibirmu bengkak besar!” kata
Panji seraya menunjuk ke mlut Wiro.
“Mulutmu juga bengkak!” ujar
Wiro pula.
Kedua pemuda itu sama-sama
memegangi mulut masing-masing. Dan menggaruk tiada henti. Lalu sama memandang
pada Warok Keling dengan rasa curiga.
Sebaliknya sng Warok tertawa
gelak-gelak.
“Warok, apa yang kau perbuat
terhadap kami?!” tanya Wiro sambil mengusap lagi bibirnya yang semakin
melendung.
Gelak sang Warok semakin
keras. “Dulu, waktu aku dan anak buahku pertama kali makan talas, bibir kami
bengkak dan gatal-gatal seperti kalian. Tapi lama kelamaan kami jadi kebal
karena terbiasa! Maaf saja kalau saat ini kalian mengalami nasib sama. Itu
bukan disengaja. Ha….ha….ha! Kalian berdua jangan marah pada siapapun!”
Panji berdiri dari duduknya.
Wiro mengikuti.
“Warok, kami minta diri…..”
“Silahkan. Aku gembira
mendapat kunjungan kalian. Satu hal agar kalian ketahui. Jika suatu waktu
kalian ingin bergabung dengan kami, pintu selalu terbuka!”
Kedua pemuda itu menyeringai.
Karena mulut mereka pada bengkak, ketika menyeringai tampang-tampang mereka
menjadi lucu dan ini membuat sang Warok jadi terpingkal-pingkal!
DELAPAN
Keluar dari rimba belantara
hujan deras turun memaksa Wiro dan Panji mencari tempat untuk berlindung.
Untungnya mereka menemukan sebuah gubuk reyot tak jauh dari situ. Keduanya
segera berteduh di dalam gubuk tanpa dinding dan atapnya penuh lobang itu.
“Sobat, kurasa sekarang saat
yang baik kau menuturkan riwayatmu. Kau bilang terpaksa kabur dari Kuto Inggil
enam tahun lalu. Lalu punya silang sengketa dengan kerajaan dan Adipati
Lumajang. Apa betul kau membunuh putera Pangeran Sendoyo?”
Panji meraba rambutnya yang
coklat yang kejatuhan tirisan air hujan.
Digelengkannya kepalanya.
“Tidak, tidak betul. Ada orang yang mengatur fitnah. Menjebakku demikian rupa
hingga tuduhan jatuhan padaku. Aku akan ceritakan padamu awal malapetaka enam
tahun yang lalu itu…..”
Larasati bunga Kuto Inggil
baru berusia lima belas tahun. Kecantikannya yang memang luar biasa telah
dibawa angin keharuman sampai di Kotaraja. Seorang pangeran bernama Sendoyo
yang mendengar kecantikan Larasati itu telah sengaja menyempatkan diri untuk
datang ke Kuto Inggil. Dia menemui Bibi Kanoman untuk melamar Larasati agar
dapat dipersunting oleh puteranya yang bernama Tayu jenggolo. Bibi Kanoman yang
maklum akan kekuasaan sang Pangeran tentu saja tak berani menolak walau dia
tidak suka akan lamaran itu. dia sudah sejak lama mendengar bahwa putera
Pangeran Sendoyo itu suka berjudi, penyabung ayam, suka mengganggu anak istri
orang dan pantat botol alias suka minuman keras. Secara halus dia menyerahkan
persoalannya pada Larasati. Si gadis, yang sebenarnya telah menjalin cinta
dengan Panji Argomanik dengan tegas menolak lamaran itu.
Sang Pangeran kembali ke
Kotaraja dengan perasaan malu, tersinggung dan marah. Diam-diam dia berusaha
mencari jalan untuk mendapatkan Larasati, bagaimanapun caranya. Untuk itu dia
meminta bantuan Dirgo Sampean, adipati Lumajang yang membawahi Kuto Inggil.
Dirgo Sampean mau membantu karena dijanjikan akan diberikan satu kedudukan
tinggi di Istana kelak.
Hari itu merupakan hari pasar
di Kuto Inggil. Pasar raya yang berlangsung di alun-alun ramai dikunjungi
orang. Rumah makan dan tempat-tempat minum penuh oleh manusia. Para perjaka dan
para gadis mempergunakan hari ini sebagai kesempatan untuk bertemu dan
berhandai-handai.
Siang itu Panji memerlukan
datang ke pasar untuk mencari seorang teman karibnya. Belum sampai ke pasar di
tengah jalan dia berpapasan degnan Tayub Jenggolo diiringi oleh tiga orang
temannya. Keempat pemuda itu sedang mabuk sehabis menenggak banyak minuman di
satu rumah minum. Tapi yang terparah adalah putera Pangeran Sendoyo itu.
Begitu melihat Panji, Tayu
Jenggolo seperti kemasukan setan dan berteriak marah. Dia mencaci maki Panji
dengan kata-kata kotor. Walau telinga dan hatinya jadi panas mendengar caci
maki itu namun karena tahu Tayub Jenggolo sedang mabuk maka Panji tidak
melayani. Dia terus saja melangkah menuju ke pasar. Tapi begitu
berhadap-hadapan tiba-tiba Tayub Jenggolo mencabut sebuah pisau besar dari
pinggangnya.
Panji Argomanik terkejut
sekali ketika melihat pisau yang digenggam Tayub Jenggolo adalah pisau miliknya
yang diketahuinya telah hilang sejak tiga hari lalu.
“Aneh, bagaimana pisau itu
bisa berada di tangan putera Pangeran ini?” pikir Panji. Tapi pemuda ini tidak
bisa berrpikir lebih jauh karena saat itu Tayub sudah menyerangnya. Dengan
cepat Panji mengelak.
Tayub membalik, “Bangsat kau
Panji! Kau yan hendak merampas Larasati dari tanganku! Kau tak bakal dapat
memperistrikannya! Kau akan kawin dengan cacing-cacing tanah di liang kubur!
Kau boleh bawa gelar besarmu Singa Gurun Bromo itu ke liang kubur!”
Tayub Jenddolo kembali
menyerbu. Karena saat itu dia sedang mabuk dan Panji sendiri sudah menguasai
ilmu silat dari seorang sakti yang diam di sebuah goa di Gurun Bromo sehingga
dia mendapat julukan Singa Gurun Bromo, dengan mudah Panji menghadapi setiap
serangan lawan. Sementara itu tiga orang kawan Tayub Jenggolo yang juga dalam
keadaan mabuk berteriak-teriak ketakutan. Ketiganya lalu melarikan diri entah
kemana.
Beberapa lama kemudian,
seorang pedagang sayur yang tengah memikul dagangannya ke pasar menemukan sosok
Tayub Jenggolo tergeletak di tengah jalan dalam keadaan mandi darah. Muka dan
beberapa bagian tubuhnya penuh dengan luka-luka. Sebuah pisau besar- pisau
milik Panji Argomanik menancap di pertengahan dadanya! Panji sendiri lenyap
entah kemana!
Setelah kejadian itu
serombongan pasukan dari kadipaten mendatangi rumah kediaman Panji. Ketika
mereka tidak menemukan si pemuda di sana maka mereka menangkap ayah Panji
Argomanik. Di sebuah rumah kayu mereka menyekap orang tua itu, menyiksanya
setiap hari. Di luar disebar kabar jika Panji tidak muncul menyerahkan diri
maka ayahnya akan dijadikan tumbal di tiang gantungan.
Suatu pagi Panji Argomanik
akhirnya muncul di kadipaten untuk menyerahkan diri. Ayahnya dilepas. Tapi dua
hari kembali ke rumah, orang tua ini menghembuskan nafas karena luka-luka dan
cidera berat yang dideritanya. Kabar kematian ayahnya itu disampaikan seorang
kawan Panji di tempat dia disekap. Panji seperti hendak gila. Apalagi ketika
dia mendengar bahwa dirinya akan digantung dalam dua hari mendatang.
Kesalahannya telah terbukti pisau yang menancap di tubuh Tayub Jenggolo adalah
pisau miliknya. Lalu ada seorang pedagang di Kuto Inggil bernama Janar Gandewo
memberi kesaksian bahwa dia melihat memang Panji Argomanik yang menusukkan
pisau ke tubuh Tayub jenggolo….
Selama satu hari satu malam
Panji bersemedi meminta petunjuk pada Yang Kuasa. Suatu malam seperti mendapat
kekuatan gaib, pemuda ini menghancurkan dinding papan tebal dan kokoh ruang
tahanannya. Dia menghantam roboh dua orang pengawal di tempat itu. Lalu dengan
seekor kuda curian dia melarikan diri menuju ke Utara.
Larinya Panji Argomanik segera
dilaporkan kepada Adipati Lumajang.
Rombongan pengejar yang
terdiri dari dua puluh perajurit dipimpin langsung oleh Adipati Dirgo Sampean.
Karena mereka memiliki seorang ahli pencari jejak maka larinya Singa Gurun
Bromo segera dapat diketahui. Di pedataran pasir sebelah Utara, rombongan
pengejar berhasil mengejar pemuda itu. Di satu tempat Panji Argomanik dikurung
lalu dikeroyok. Panji mengamuk hebat untuk mempertahankan diri dan
kehormatannya. Tapi musuh terlalu banyak dan Adipati Dirgo ternyata memiliki
kepandaian tinggi pula. Meskipun berhasil merobohkan enam orang perajurit yang
mengeroyoknya namun dalam keadaan mandi darah pemuda itu akhirnya jatuh
tersungkur di tanah.
Adipati Dirgo Sampean
menyambar tombak yang tersisip di leher kudanya lalu melompat turun. Tombak itu
dihujamkannya ke arah tenggorokan Panji Argomanik yang berada dalam keadaan tak
berdaya antara sadar dan tiada.
Sesaat lagi mata tombak akan
menembus leher Panji tiba-tiba sebauh benda bulat menghantam pertengahan batang
tombak hingga senjata itu patah dua dan terlepas mental dari genggaman Adipati
Dirgo Sampean. Sang Adipati merasakan tangannya seperti disengat api. Penuh
rasa kejut dia memandang sekeliling. Hal sama juga dilakukan oleh para
perajurit yang ada di tempat itu. Mereka semua melihat ada seorang tua berjubah
putih berambut panjang putih yang melambai-lambai ditiup angin. Orang tua itu
duduk di atas punggung seekor kuda hitam. Tapi mereka hanya melihat sekejapan
saja. Karena ketika orang tua itu memukulkan kedua tangannya ke depan,
terdengar deru keras seperti munculnya topan prahara. Pasir gurun beterbangan
menutupi pemandangan Adipati Dirgo dan semua perajurit yang ada di sana
berusaha bertahan dengan susah payah agar tubuh mereka tidak roboh.
Pemandangan mereka tertutup
oleh pasir-pasir yang beterbangan.
Ketika gelombang angin mereda
dan pasir yang beterbangan luruh ke tanah kembali semua orang terkejut. Tubuh
Panji Argomanik yang tadi tergeletak di atas pasir tak ada lagi di situ.
Memandang ke arah kiri mereka dapatkan kakek penunggang kuda hitampun sudah
lenyap entah kemana!
Para perajurit yang ada di
tempat itu jadi merinding. Adipati Dirgo Sampean diam-diam ikut merasa takut.
Dia memang tidak penah mendengar adanya setan atau hantu gurun pasir. Tetapi
kalau bukan setan mana mungkin orang tua itu bisa muncul dan lenyap bersama
hilangnya tubuh Panji.
“Pasukan! Kita kembali ke
Lumajang!” seru Adipati itu pada para perajuritnya.
Ketika siuman, mula-mula Panji
merasa heran dan bertanya-tanya dimana dia berada saat itu. Secara
perlahan-lahan begitu ingatannya pulih kembali dia segera mengenali tempat itu
dan ingat kalau dulu dia pernah berada di situ selama beberapa tahun. Dengan
mengumpulkan tenaga walau sekujur tubuh dan persendiannya terasa sakit Panji
berusaha bangkit. Dia memandang berkeliling. Dia hanya sendirian dalam goa itu.
“Guru….?!” Suara Panji bergema
dan memantul pada dinding-dinding goa.
Di ruang sebelah dalam goa
batu yang terletak di gurun pasir Bromo itu terdengar suara batuk-batuk. Lalu
sesosok tubuh tua muncul.
“Kau sudah siuman Panji….?”
“Sudah guru. Saya tahu pasti.
Guru yang telah menyelamatkan saya dari orang-orang itu….. Saya berterima kasih
padamu guru.”
“Berterima kasih pada Tuhan.
Dia yang masih memanjangkan umurmu,” kata orang tua sambil memegang bahu
muridnya. Lalu dia bertanya. “Mengapa mereka mengejar dan ingin membunuhmu?”
Panji lalu menceritakan apa
yang terjadi.
Si orang tua menarik nafas
panjang. “Ada orang atau orang-orang yang sengaja menjebakmu muridku. Dan kau
belum sanggup menghadapi mereka. Jika kau berani muncul di Kuto Inggil, mereka
akan membunuhmu!”
“Saya mohon petunjukmu guru.”
Si orang tua tersenyum kecut.
“Itu sebabnya dulu kukatakan padamu, kalau berguru jangan kepalang tanggung.
Belum selesai semua kepandaia kuwariskan padamu kau sudah seperti anak kecil
minta-minta diizinkan pulang. Tenaga dalammu masih rendah. Ilmu meringankan
tubuhmu masih cetek. Kau memang telah menyandang julukan hebat. Singa Gurun
Bromo. Tapi kau hanya keberatan gelar muridku!”
“Maafkan segala tindakan saya
di masa lampau guru.” Kata Panji. “Kalau guru tidak keberatan saya ingin
menyambung pelajaran lagi di sini….”
“Pengalaman pahit itu rupanya
menjadi guru terbaik bagimu. Mungkin kau memang berjodoh untuk meneruskan
pelajaran silatmu di sini. Kau akan kugembleng selama enam tahun. Jika kau
berani minta pergi hanya ada satu syarat dariku. Aku tak akan mengajarkan
apa-apa lagi padamu. Dan aku tidak ingin melihat mukamu lagi!”
“Saya berani mematuhi semua
peraturan guru….” Jawab Panji.
“Kalau begitu kau teruskan
dulu beristirahat. Besok pagi-pagi pelajaran pertama akan dimulai.”
“Terima kasih guru,” kata
Panji Argomanik. Dipegangnya tangan orang tua itu lalu diciumnya penuh hormat
dan terima kasih.
Hujan deras telah berhenti.
Kini udara dingin luar biasa datang menyungkup.
Pendekar 212 Wiro Sabelng
rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
“Nah, itu kisahku enam tahun
lalu,” kata Panji menyudahi riwayatnya. “Kini aku muncul untuk meluruskan
segala tuduhan keji itu. Aku harus mencari tahu siapa biang racun di balik
semua kejadian ini. Aku curiga terhadap Pangeran Sendoyo.
Kematian ayahku perlu aku
balaskan. Dan yang paling penting aku harus segera menemukan Larasati kembali!”
“Kau tidak menceritakan
tentang ibumu setelah ayahmu meninggal.” Kata Wiro.
“Ah, itu satu sisi gelap lagi
dari kehidupanku yang malang. Waktu aku masih mengikuti guru, aku mendapat
kabar dari seseorang. Beliau menyusul ayah sebulan kemudian.”
Wiro terdiam sesaat. “Boleh
aku tahu siapa nama gurumu itu?”
“Dia tidak pernah memberitahu
namanya. Dia memiliki gelar sama denganku. Singa Gurun Bromo. Ketika dia
melepas aku enam tahun lalu, dia menyuruh aku memakai gelar itu.”
Sunyi sesaat di dalam gubuk
itu. “Kita harus berangkat sekarang Wiro.”
“Ya. Tapi kemana tujuan kita?”
“Aku akan mencari Janar
Gandewo pedagang keliling yang memberi kesaksian palsu itu.”
Pendekar 212 mengangguk. Kedua
pemuda itu lalu naik ke atas kuda masingmasing.
SEMBILAN
Hari hampir malam ketika
mereka emmasuki Kuto Inggil dari arah Selatan.
Setelah melewati sebuah lereng
bukit yang ditumbuhi pohon-pohon karet keduanya menemui sebuah kali kecil.
Sebelumnya kali ini merupakan parit kering akibat musim panas yang panjang.
Kini setelah hujan turun kali itu tampak berair kembali walaupun sangat dangkal
dan kotor. Panji Argomanik menunggangi kudanya di sebelah depan diikuti oleh
Pendekar 212 dari belakang. Di kejauhan kelihatan nyala sebuah lampu minyak.
“Itu rumah Janar Gandewo,”
kata Panji seraya menunjuk ke arah lampu. Lalu dia mempercepat lari kudanya. Di
satu tempat kira-kira lima puluh langkah dari rumah kecil di daerah terpencil
itu Panji turun dari kudanya. Dia memberi isyarat pada Wiro agar terus
mengikuti dengan jalan kaki. Tinggal beberapa belas langkah lagi dari rumah
yang dituju Wiro berbisik.
“Kau duluan saja Panji. Aku
mau kencing dulu….. Dari tadi aku berusaha menahan. Sekarang tak sanggup lagi!”
“Sialan! Ada-ada saja
kelakuanmu!” maki Panji jengkel sekali. Dia tidak lagi memperdulikan Wiro dan
bergerak sendirian dalam rumah kecil yang lantainya berkolong rendah.
“Ada nyala lampu berrarti ada
orangnya,” kata Panji dalam hati. Dia melangkah ke pintu depan lalu berseru.
“Janar Gandewo! Aku mencarimu! Lekas keluar!”
Tak ada jawaban dari dlam
rumah itu.
“Janar!”
“Si…..siapa di luar?!”
Tiba-tiba ada yang bertaya dari dalam rumah.
“Aku Panji Argomanik!”
“Tung…..tunggu sebentar…”
“Suaranya seperti gemetar dan
gagap. Ada sesuatu yang ditakutinya,” kata Panji dalam hati. Dia menunggu
sesaat. Tiba-tiba nyala lampu dalam rumah padam.
Panji jadi curiga dan melompat
ke balik sebatang pohon. Dia tak menunggu lama.
Pintu belakang rumah kecil
kelihatan terbuka lalu seorang lelaki bertubuh tinggi langsung melompat keluar,
dengan cepat menyelinap hendak melarikan diri. Panji segera mengejar dan
menghadang. Sekali sergap saja dia berhasil membengbeng leher pakaian orang
itu.
“Mau kabur ke mana Janar?!”
“Si….siapa bilang aku mau
kabur…..?” Janar Gandewo si pedagang keliling menjawab tapi jelas dia berdusta
dan sangat ketakutan.
Panji tarik leher pakaian
orang itu lalu membantingkannya hingga punggungnya terhempas ke dinding rumah.
Janar Gandewo merintih kesakitan.
Tulang punggungnya seperti
luluh. “Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini…..?”
“Ini belum seberapa!” kertak
Panji. “Aku tak segan-segan menghancurkan batok kepalamu!”
“A…..apa salahku?!”
“Keparat! Kau pandai
berpura-pura!” Tangna kiri Panji bergerak meninju muka Janar Gandewo hingga
bibirnya pecah dan dua giginya rontok! Janar meraung kesakitan. “Kau mau minta
mampus sekarang juga?!” bentak Panji lalu kedua tangannya dicekikkan ke leher
orang itu.
“Jang….jangan….. Jangan bunuh
aku. Apa salahku…..”
“Siapa yang menyuruhmu memberi
kesaksian palsu enam tahun lalu. Kau bersaksi melihat aku membunuh Tayub
Jenggolo putera Pangeran Sendoyo!”
“Aku…..”
“Bangsat! Jawab cepat!” Panji
angkat lagi tangan kanannya.
“Aku…. Aku terpaksa. Aku
disuruh. Kalau tidak kemaluanku akan dipotong! Aku akan dikebiri!”
“Siapa yang menyuruhmu? Siapa
yang mau mengebirimu?!” teriak Panji.
“Walang Daksi…..”
“Walang Daksi….? Dukun Iblis
di Lembah Waru?!”
Janar Gandewo mengangguk.
“Aku tidak percaya! Kau
membual! Biar kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”
“Aku tidak dusta! Aku tidak
berbohong Panji. Aku tahu Walang Daksi juga disuruh orang lain….”
“Siapa?!”
“Su…..Sur……”
Belum sempat Janar Gandewo
menyebutkan sabuah nama tiba-tiba terdengar suara berdesing. Panji berpaling.
Sebatang anak panah melesat dan menancap tepat di mata kiri Janar Gandewo.
Orang ini meraung setinggi langit. Lidahnya terjulur. Mukanya kelihatan menjadi
biru.
“Panah beracun!” desis Panji
serta merta lepaskan cekikannya. Tubuh Janar terkulai lalu roboh ke tanah tanpa
nyawa lagi!
Dalam keadaan masih terkesiap
Panji tidak menyadari bahwa saat itu sebuah anak panah lagi melesat dan kali
ini sasarannya adalah dirinya sendiri. Dia mendengar suara berdesing namun
perhatiannya masih tertuju pada kematian Janar hingga dia bertindak lengah.
Sesaat lagi anak panah itu akan menancap di punggungnya tiba-tiba sebuah benda
hitam melesat dalam kegelapan malam, memotong luncuran anak panah dan trak!
Anak panah mental patah dua. Panji melompat. Saat itulah dia baru sadar kalau
dirinya baru saja terlepas dari bahaya maut!
Sesosok tubuh melompat ke
hadapan panji. Pemuda bergelar Singa Gurun Bromo ini berkelebat dan siap untuk
menghantam. Tapi dia cepat tarik serangannya ketika dilihatnya yang datang
adalah Wiro.
“Ada untungnya aku kencing
tadi,” kata Pendekar 212.
“Kalau tidak mungkin kita
berdua sudah jadi mayat. Yang dituju si pembokong adalah kau, bukan kunyuk
jangkung itu!” Lalu Wiro membungkuk mengambil sebuah benda yakni batu hitam
sakti yang merupakan pasangan kapak Maut Naga Geni 212.
Selain memungut batu hitamnya
Wiro juga mengambil patahan anak panah yang tadi dihantamnya dengan batu hitam
itu.
“Aku mengenali mata panah ini.
Bagaimana pendapatmu, Sobat?” tanya Wiro.
Panji memperhatikan anak panah
itu. Dia juga segea mengenali “Sama dengan anak panah milik orang-orangnya
Warok Keling….” Katanya.
“Berarti bangsat itu memang terlibat
dalam urusan ini! Keparat!” dalam amarahnya Panji kemudian ingat.
“Terima kasih. Kau telah
menyelamatkan jiwaku.” Dia memandang ke arah mayat Janar Gandewo.
“Manusia sialan itu tadi
menyebutkan nama seseorang. Orang yang katanya menyuruh dia melakukan kesaksian
palsu. Sur…… entah Sur siapa. Dia juga menyebutkan nama seorang dukun di Lembah
Waru. Aku akan mencari dukun itu sekarang juga!”
“Kau dengar suara derap kaki
kuda di kejauhan itu?”
“Ya…..”
“Apa maksudmu Wiro?”
“Itu derap kaki kuda si pembokong.
Dia belum lari jauh. Kita masih punya kesempatan untuk mengejarnya! Kau harus
memilih satu di antara dua. Mengejar si pembokong atau pergi ke Lembah Waru.”
“Si pembokong itu lebih dulu!”
jawab Panji.
“Tepat!” sahut Wiro seraya
acungkan ibu jari tangan kanannya. Kedua pendekar ini segera berkelebat ke
tepat di mana mereka meninggalkan kuda sebelumnya.
Di malam yang gelap dan dingin
itu memang tidak mudah untuk mengejar seseorang yang melarikan diri dengan
menunggang kuda. Satu-satunya petunjuk ke arah mana larinya si pembokong adalah
suara derap kaki kudanya. Tapi celakanya di satu tempat suara derap kaki kuda
orang yang dikejar itu lenyap!
“Keparat!” maki Panji. “Dia
menghilang!”
Pendekar 212 tidak menjawab.
Telinganya dipasang baik-baik. “Aku mendengar suara kaki-kaki kuda di air….”
“Kau ingat kali kecil itu?!”
ujar Panji.
“Dia pasti tengah menyebrangi
kali dangkal itu! Pantas derap kaki kudanya lenyap. Ayo kita kejar!”
Kedua pendekar ini memacu kuda
masing-masing ke arah kiri. Tak lama kemudian mereka sampai di satu tempat
ketinggian. Di bawah sana keliahtan kali kecil berair dangkal. Di seberang kali
tampak seorang penunggang kuda baru saja menyeberangi kali itu.
“Itu bangsatnya!” kertak
Panji. “Aku akan memintas jalannya dari arah kiri.
Kau memotong dari arah kanan.
Dia pasti tidak bisa lolos. Apalagi di seberang sana merupakan kawasan
terbuka!”
Panji membedal kudanya. Wiro
menyentakkan tali kekang tunggangannya.
Kedua orang ini melesat dalam
kegelapan malam. Selewatnya kali dangkal mereka berpencar menggunting larinya
orang yang mereka kejar dari dua arah. Tepat di pertengahan pelataran terbuka,
Panji telah berada di depan, Wiro menjepit dari belakang.
Orang yang dikejar mengenakan
pakaian ringkas warna gelap. Kepalanya ditutupi sebuah topi berbentuk aneh dan
wajahnya tersembunyi di balik sehelai cadar.
Tahu kalau ada dua orang
mengejarnya si penunggang kuda tadi segera membelok ke kiri dan memacu kudanya
sepanjang lereng pedataran. Namun dia tidak bisa lari jauh karena dalam waktu
singkat Wiro dan Panji berhasil mengejarnya. Dari jarak sepuluh langkah di
sebelah kiri, Singa Gurun Bromo yang sudah tidak tahan lagi lepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Yang diarah adalah
pinggang orang itu.
Selarik angin keras menderu.
Membabat ke arah pinggang laksana sambaran sebilah mata pedang. Inilah pukulan
sakti yang disebut Kilat Manyapu Gurun Bromo.
Jangankan tubuh manusia,
batang pohon pun akan terbabat putus bila kena hantaman pukulan sakti ini!
Rupanya orang di atas kuda
sudah tahu kalau dirinya terancam maut. Dari balik cadarnya dia keluarkan suara
mendengus. Lalu tubuhnya tiba-tiba melesat ke atas. Serangan Singa Gurun Bromo
lewat di bawah kedua kakinya. Hebatnya, karena kedua tangannya masih memegang
tali kekang kuda, ketika melompat turun kembali dia membuat gerakan jungkir
balik, di lain kejap dia sudah duduk kembali di atas pelana kuda dan menghambur
menjauhi kedua pengejarnya.
Pendekar 212 leletkan lidah
mengagumi kehebatan orang itu. Sebaliknya Panji Argomanik walaupun terkesiap
tapi kemarahannya memuncak. Sebenarnya dia harus dapat menangkap orang ini
hidup-hidup untuk mendapatkan keterangan mengapa dia memanah mati Janar Gandewo
lalu hendak membunuh dirinya pula. Tetapi amarah lebih mempengaruhi hingga
Panji ingin membunuh orang ini saat itu juga!
Begitu serangan pertamanya
gagal Singa Gurun Bromo menggebrak kudanya dan mengejar kembali. Tapi sekali
ini gerakannya tertahan karena sambil melarikan diri orang yang dikejar
lambaikan tangan kanannya. Puluhan benda sebessar-besar pasir beterbangan di
udara mengeluarkan kilauan aneh.
“Awas pasir beracun!” teriak
Pendekar 212 yang mengenali apa adanya benda-benda yang melesat ke arah
sahabatnya itu.
Singa Gurun Bromo menggertak
marah. Tangan kanannya diangkat.
“Wusss!” Satu gelombang sinar
putih kebiruan menderu dahsyat. Pasir beracun tersapu habis. Sinar serangan
Panji Argomanik terus menerpa ke arah orang bercadar. Orang ini cepat angkat
tangan kanannya guna melepaskan pukulan tangan kosong. Dua kekuatan dahsyat
saling bentrokan di udara. Terdengar suara berdentum disusul oleh suara
ringkikan tiga ekor kuda!
Singa Gurun Bromo merasakan
sekujur tubuhnya seperti tergontai-gontai sedang kuda tunggangannya menjadi
liar dan meringkik tiada henti. Pendekar 212 yang berada tak jauh dari Panji
dan sempat tersapu angin serangan juga merasakan getaran hebat menjalari
tuuhnya. Kuda tunggangannya seperti sempoyongan dan meringkik beberapa kali.
Yang bernasib buruk adalah
orang yang dikejar tadi. Tubuhnya terhempas ke samping lalu jatuh ke tanah.
Kudanya meringkik keras dan lari meninggalkannya.
Puluhan langkah di depan sana
baru binatang ini berhenti. Melihat orang buruannya jatuh ke tanah, Singa Gurun
Bromo segea melompat turun dari atas kuda dan kirimkan tendangan ke arah dada
orang itu. Yang diserang gerakkan tangan kanannya ke pinggang.
“Wuut!”
Lalu sebilah golok menyambar
tak terduga. Ujungnya menderu di perut Singa Gurun Bromo membuat pendekar ini
terkejut dan cepat melompat. Tak urung sebagian bajunya di sebelah perut masih
kena tersambar ujung senjata lawan hingga robek.
Singa Gurun Bromo melompat
mundur sambil pegangi perutnya. Parasnya berubah mengelam tanda amarahnya sudah
mencapai di puncaknya. Di depannya orang bercadar tegak sambil putar-putar
goloknya. Dalam gelapnya malam senjata itu lenyap dari pemandangan hanya
suaranya saja yang terdengar menderu-deru.
Selangkah demi selangkah,
sambil terus memutar goloknya orang ini mendekati Singa Gurun Bromo. Tiba-tiba
dia menyergap ke depan. Goloknya berkiblat dalam satu bacokan deras. Singa
Gurun Bromo mundur satu langkah. Kedua lututnya menekuk.
Bersamaan dengan itu kedua
tangannya menyusup ke atas. Begitu dia berhasil mencekal lengan yang memegang
golok itu secepat kilat dia jatuhkan dirinya ke tanah.
Kaki kanannya menendang ke
arah perut lawan. Orang bercadar terangkat ke atas lalu tertarik keras.
Goloknya terlepas dan tubuhnya terbanting ke tanah. Dari balik cadar terdengar
suara pekikan. Suara pekik perempuan!
SEPULUH
Pendekar 212 dan Singa Gurun
Bromo tentu saja tersentak kaget begitu mendengar suara jeritan orang itu
adalah suara perempuan. Sekali lompat saja Singa Gurun Bromo sudah berdiri di
samping tubuh yang tergeletak di tanah becek. Kaki kanannya menginjak leher
lalu dia membungkuk dan membetot lepas cadar yang menutupi wajah orang itu.
“Kau!” keluar teriakan kaget
dari mulut Panji Argomanik alias Singa Gurun Bromo. Pendekar 212 sendiri
tertegun dengan mulut ternganga seperti tak percaya pada penglihatannya.
Akhirnya dia hanya bisa garuk-garuk kepala.
“Jadi kau rupanya! Bapaknya
perampok besar. Ternyata anaknya juga penjahat keji! Mengapa kau hendak
membunuhku?! Mengapa kau membunuh Janar Gandewo! Pasti bapakmu yang menyuruh!”
“Mulutmu lancang! Belum tahu
urusan sudah mendamprat! Jika kau ada persoalan denganku jangan hina orang
tuaku!” bentak perempuan yang tergeletak di tanah dan lehernya masih diinjak
oleh Singa Gurun Bromo. Dia bukan lain adalah Jayengsari, puteri Warok Keling,
raja diraja para perampok!
“Baik! Sekarang jawab dulu
pertanyaanku tadi. Kalau kau tidak menjawab kuinjak hancur batang lehermu!”
ancam Singa Gurun Bromo.
“Siapa yang hendak membunuhmu?
Siapa itu Janar Gandewo?” balik membentak Jayengsari.
Lalu dengan mata membelalang
gadis ini berkata. “Aku itdak takut mati! Kau mau bunuh aku saat ini juga
silahkan! Ayo injak leherku!”
“Akalmu selicik akal bapak
moyangmu!”
“Kurang ajar! Kalau kau punya
nyali lepaskan injakanmu. Mari kita berkelahi sampai seratus jurus! Buktikan
bahwa kau yang punya gelar Singa Gurun Bromo bukan seorang pendekar banci yang
hanya berani melawan perempuan!”
Amarah Singa Gurun Bromo jadi
mendidih lagi mendengar kata-kata Jayengsari itu. “Manusia sepertimu tidak
perlu dihormati! Matipun kau aku tak merugi! Nah, mampuslah!”
Singa Gurun Bromo injakkan kaki
kanannya kuat-kuat ke leher si gadis.
Namun sebelum hal itu terjadi,
murid Eyang Sinto Gendeng cepat mendorongnya hingga injakkannya lepas dan
tubuhnya terhuyung-huyung.
“Wiro! Kau hendak membelanya?!
Kau bersekutu dengan gadis iblis ini?!” teriak Singa Gurun Bromo marah.
“Tenang Panji, sabar dulu
sedikit,” kata Wiro. “Apa untungku membela gadis cantik ini…..!”
“Gila! Kau masih bisa menyebut
gadis yang hendak membunuh sahabatmu ini dengan kata-kata gadis cantik!”
semakin naik darah Singa Gurun Bromo mendengar pujian Wiro itu.
“Aku tidak memujinya
berlebihan sobat. Tapi memang kenyataannya dia cantikkan?” Wiro berpaling pada
si gadis sambil kedipkan matanya dia berkata.
“Jayeng, berdirilah….”
Puteri Warok Keling itu tampak
merengut walau hatinya sempat berbungabunga mendengar pujian Wiro atas
kecantikan wajahnya.
“Wiro, katakan apa maumu?!”
tanya Panji Argomanik dengan suara bergetar menahan amarah.
“Dengar Panji, aku punya
dugaan bukan dia yang membunuh janar Gandewo dan juga bukan dia yang tadi
hendak membunuhmu dengan panah beracun itu!”
“Hebat! Bagaimana kau bisa
berkata begitu sobatku?!”
“Kau lihat sendiri. Dia tidak
membawa busur ataupun kantong panah!”
“Aku sudah katakan. Gadis
seperti dia sudah terdidik untuk berbuat jahat dan mengandalkan tipu daya! Bisa
saja dia membuang busur dan kantong panahnya di tengah jalan!”
Jayengsari terdengar
mendengus. Saat itu dia sudah berdiri di hadapan Wiro dan Panji. “Aku memang
tidak membawa panah dan busur!” katanya.
“Baik! Sekarang katakan bagaimana
kau tahu-tahu muncul di tempat ini! Apa keperluanmu! Kalau kau memang tidak
berniat jahat mengapa melarikan diri ketika kami kejar dan mengapa kau
menyerang kami? Dengar, anak panah yang membunuh Janar Gandewo jelas anak panah
buatan komplotan ayahmu!”
“Soal panah memanah aku tidak
menahu. Perduli setan! Aku tak mau membicarakannya! Aku tidak tahu kalau kalian
tadi yang mengejarku! Aku menyerangmu karena menyangka kalian orang-orang
jahat!”
“Kau dengar Wiro. Seorang anak
penjahat enak saja mengatakan kita orangorang jahat!”
“Jangan tolol!” bentak
Jayengsari. “Malam begini gelap dan kalian tahu-tahu muncul di belakangku!”
“Kalau kau tidak bermaksud
culas mengapa kau menutupi wajahmu dengan cadar?!” sentak Singa Gurun Bromo.
“Hem…… Kau ingin tahu
sebabnya? Jika kau punya saudara perempuan apa kau merasa tenang mengetahui dia
berjalan seorang diri dalam pakaian dan dandanan perempuan?!”
Panji Argomanik terdiam.
“Jayeng,” Wiro menengahi.
“Coba katakan saja mengapa kau ada di sini.
Kalau memang bukan kau yang
membunuh Janar Gandewo, mungkin kau tau siapa pelakunya?”
“Aku, aku ditugaskan ayah ke
Kuto Inggil.” Jawab gadis itu. “Sebetulnya bukan ditugaskan. Tapi aku sendiri
yang minta…..”
“Apa keperluanmu ke Kuto
Inggil?” tanya Wiro pula. Kelihatannya si gadis mau dan lebih terbuka bicara
dengannya. Hal ini membuat Panji Argomanik menjadi tidak sabaran dan merasa
sangat jengkel terhadap sahabatnya itu.
“Aku sebenarnya bermaksud
menemui kalian guna menyampaikan pesan ayah.” Jawab Jayengsari.
“Jejak kalian berhasil
kuketahui dan kuikuti sampai di tempat kediaman Janar Gandewo. Aku sampai di
situ ketika seorang penunggang kuda berusaha melarikan diri. Kurasa dialah yang
membunuh pedagang keliling itu dan juga hendak membunuhmu….”
“Kau mengarang cerita!” potong
Singa Gurun Bromo.
“Kalau kau berpendapat begitu
boleh saja! Penjelasanku cukup sampai di sini. Kau pendekar gagah bergelar
hebat. Silahkan kau selesaikan sendiri urusanmu!”
Jayengsari segera membalikkan
diri. Tapi Wiro cepat menghampirinya dan memegang lengannya.
“Jangan pergi dulu. Kau jangan
marah padaku…..” kata Wiro membujuk.
“Aku tidak marah padamu. Tapi
jengkel pada manusia satu itu. Tidak tahu ditolong orang malah memaki, menuduh
dan mendamprat seenaknya!” jawab Jayengsari.
“Maafkan dia. Pikirannya
sedang kalut…..” Wiro enak saja menciumi jari-jari tangan gadis itu. Jayengsari
cepat menariknya sambil berseru. “Ihhhh!” Murid Eyang Sinto Gendeng menyengir.
Dia yakin kalau Panji tak ada di situ si gadis pasti akan senang dipegang dan dicium.
“Kau sama saja kurang ajarnya
dengan dia. Malah lebih kurang ajar!” bentak Jayengsari.
Wiro menyengir lagi. “Aku
hanya bergurau,” katanya. Lalu, “Sekarang coba kau katakan apa pesan ayahmu
itu. Pesan untuk sahabatku Panji atau untukku sendiri? Ah, kalau pesan itu
untukku aku berharap-harap ayahmu memanggilku mungkin untuk membicarakan soal
perjodohan kita!”
Jayengsari terpekik marah
sedang Panji Argomanik segera membentak.
“Wiro! Tidak pantas dalam
keadaan seperti ini kau masih bisa membanyol!”
Wiro senyum-senyum.
“Banyolanku tadi memang tidak lucu,” katanya. Dia berpaling kembali pada
Jayengsari. “Kau mau meneruskan keteranganmu tadi?”
Jayengsari tampak merengut.
Namun kemudian dia melanjutkan keterangannya. “Aku berusaha mengejar orang yang
membunuh dengan panah itu.
Tapi dia keburu melarikan
diri. Kudanya kencang sekali. Tungganganku yang sudah keletihan tidak berhasil
mengejarnya. Di seberang kali kecil dia menghilang. Justru begitu dia lenyap
kalian berdua muncul mengejarku!”
“Sayang bangsat itu lolos.
Tapi mungkin kau dapat mengenali sosok atau perawakannya meskipun gelap?” tanya
Wiro.
“Wajahnya memang tidak sempat
kulihat. Tapi potongan tubuhnya aku hampir yakin dia adalah Daruka…..”
“Siapa Daruka?” tanya Wiro.
“Salah seorang anak buah
ayahku. Dialah yang dicurigai melakukan penculikan atas diri Larasati. Tapi
nyatanya nanti ceritanya jadi lain…..”
“Hemmmm…. Kalau begini jelas
ada seseorang di belakang Daruka.” Kata Wiro.
“Menurut Janar Gandewo sebelum
mati, dia disuruh oleh Walang Daksi.
Walang Daksi disuruh oleh
Suryaning. Lalu mengapa Daruka membunuh Janar dan ingin membunuhku juga?
Berarti bukan Suryaning yang menyuruh Daruka! Tapi seorang lain. Mungkin
Pangeran Sendoyo?” Panji memandang pada Wiro.
Wiro menggeleng. “Sang
Pangeran punya kelompok sendiri. Dua tokoh silat Istana dan dua perwira
kerajaan itu. berarti ada orang lain Panji. Aku mulai mencium baunya. Nanti
saja kukatakan. Mungkin kau akan tahu dengan sendirinya. Sekarang kita harus
mencari tahu di mana Suryaning menyekap Larasati.” Wiro memandang pada puteri
Warok Keling itu. Kelihatannya si gadis masih jengkel. Maka Wiro mengalihkan
pembicaraan. “Kau masih meneruskan keteranganmu yang terputus tadi?”
“Tak lama setelah kalian pergi
ayah segera mengadakan pertemuan dengan kepala-kepala kelompok untuk
menyelidiki siapa di antara para anggota yang berada di luar perkampungan.
Kemudian segera diketahui bahwa seorang anak buah ayah sejak beberapa waktu
lalu tidak ada di kampung. Namanya Daruka. Dia berada di luar tanpa setahu ayah
ataupun pimpinan kelompok dan tanpa suatau tugas apapun. Mungkin sekali dialah
yang telah membunuh Karjo Lugu pemilik bengkel kuda di Kuto Inggil itu. Ayah
mengirim dua orang anak buahnya untuk menyelidik lebih jelas. Seorang lain
ditugaskan ayah untuk menemui kalian. Tapi aku meminta agar aku yang pergi.
Kami berhasil menemui Daruka di satu tempat. Setelah dipaksa dia mengaku memang
dia yang telah membakar dan membunuh perempuan bernama Bibi kanoman dna Karjo
Lugu. Celakanya Daruka sempat melarikan diri. Namun satu pengakuan penting
sudah diucapkannya. Yaitu bahwa bukan dia yang menculik Larasati. Gadis itu
telah diculik lebih dulu oleh seseorang…..”
“Siapa?!” tanya Panji cepat.
“Tunggu dulu!” ujar
Jayengsari. “Apa hubunganmu dengan seorang dukun perempuan bernama Walang
Daksi?”
“Eh, mengapa kau bertanya
begitu?!” balik bertanya Panji Argomanik.
“Dukun itu ditemui mati di
rumahnya. Ada yang menggantungnya!” Panji berpaling pada Wiro.
Pendekar 212 garuk-garuk
kepala. “Berarti kita tidak bisa mencari tahu siapa orang yang disebutkan Janar
Gandewo. Kita hanya tahu sepotong nama depannya. Sur….. Bisa Surga, bisa
Susur….. bisa…..”
“Sudah! Kau jangan ngacok!”
potong Panji dengan suara keras.
“Mungkin aku tahu kelengkapan
sepotong nama yang barusan kau sebut itu. tasa-rasanya orangnya sama dengan
yang tadi hendak kuberitahukan….”
“Siapa?” tanya Wiro dan Panji
hampir berbarengan.
“Suryaning…..” jawab
Jayengsari.
“Suryaning?” ujar Panji dengan
nada terkejut dan wajah berubah. “Hanya ada satu orang bernama Suryaning. Dia
adalah puteri Adipati Lumajang!”
“Justru dia yang menculik
Larasati kekasihmu!”
“Hah?! Apa katamu?! Suryaning
puteri Adipati Dirgo Sampean yang menculik Larasati?!” sepasang mata Singa
Gurun Bromo membeliak. Jayengsari mengangguk.
“Tidak masuk akal. Bagaimana
mungkin!” kata Panji masih tidak berkedip.
“Perempuan menculik perempuan!
Apa perlunya? Apa untungnya?!” ujar Wiro pula. “Kalau aku menculikmu atau kau
menculik aku, nah itu masih masuk akal…..”
“Kurang ajar! Siapa mau menculikmu!”
damprat Jayengsari denan mata melotot sedang Wiro menutup mulut menahan tawa.
Panji mendekati Wiro lalu
berbisik. “Aku punya dugaan gadis ini sengaja menipu kita. Dia punya maksud
buruk terhadap kita…… Larasati tidak punya silang sengketa dengan puteri
Adipati itu. Mengapa dia menculiknya?”
“Yang juga tidak jelas. Siapa
yang membunuh dukun perempuan bernama Walang Daksi itu.”
Panji memandang Jayengsari.
Lalu dia bertanya. “Bagaimana kau tahu kalau puteri Adipati itu yang menculik
Larasati?”
Jayengsari menyeringai. “Aku
bukan cuma tahu hal itu, aku malah juga tahu di mana kekasihmu sekarang
disekap!”
“Kalau begitu lekas kau
beritahu padaku tempatnya!”
Kembali Jayengsari
menyeringai. “Kau cari tahulah sendiri!” katanya.
Rupanya dia masih dendam atas
perlakuan Panji sebelumnya. Habis berkata begitu gadis ini segera hendak
tinggalkan tempat itu. terpaksa Wiro kembali membujuknya.
“Sobatku cantik. Jika kau mau
menolong orang jangan kepalang tanggung. Ayo kita pergi sama-sama ke tempat
Larasati disekap. Kau jalan duluan memberi petunjuk biar kubawa kudamu kemari.”
Sebelum gadis itu bisa menolak Wiro sudah lari ke tempat di mana kuda
tunggangan Jayengsari berada. Lalu membawa binatang ini pada pemiliknya dan
mengulurkan tali kekang pada si gadis. Dia memandang pada Jayengsari sambil
tersenyum. Mau tak mau hati si gadis jadi luluh dan lembut juga.
Sebenarnya dia memang tertarik
pada murid Eyang Sinto Gendeng ini sejak pertama kali melihatnya di
perkampungan. Gadis ini tundukkan kepala. Baru saat itu disadarinya kalau
seluruh pakaiannya basah dan kotor oleh tanah becek akibat jatuh tadi. Wiro
maklum apa yang dipikirkan gadis itu. Maka dia cepat berkata.
“Gadis secantikmu tentu saja
tidak pantas berpakaian kotor basah begini. Aku ada salinan di kantong perbekalan.
Kau bisa ganti pakaian saat ini juga…..”
“Tak perlu,” jawab Jayengsari
cepat. “Aku tidak percaya pada manusia macammu….”
“Eh, maksudmu apa?” tanya
Wiro.
“Waktu aku ganti pakaian kau
pasti mengintip!”
Pendekar 212 tertawa bergelak.
Panji Argomanik mau tak mau juga jadi tertawa. Jayengsari memandang pada pemuda
bergelar Singa Gurun Bromo ini lalu berkata sambil cemberut.
“Ih….. Ikut-ikutan
tertawa…..!” ucapan Jayengsari membuat gelak tawa Wiro semakin menjadi.
SEBELAS
Walaupun malam gelap namun
dari bibir lembah podnok kayu itu masih dapat terlihat cukup jelas. Jayengsari
hentikan kudanya lalu menunjuk ke arah pondok.
“Itu tempatnya.” Katanya
dengan nada dingin.
“Aku masih belum percaya kalau
tidak melihat sendiri!” berucap Singa Gurun Bromo. Lalu disentakkannya tali
kekang kuda. Dia mendahului Wiro dan Jayengsari menuruni lembah. Dalam waktu
singkat ketiga orang itu sudah berada di depan pondok kayu. Singa Gurun Bromo
di depan sekali dan lebih dulu melompat dari kudanya.
Di dalam pondok yang hanya
merupakan satu ruangan terbuka dan diterangi oleh sebuah lampu minyak berkelap
kelip karena kehabisan minyaknya, soerang gadis yang kecantikannya terbungkus
rasa takut duduk terikat di atas sebuah kursi kayu. Dia mengenakan baju dan
celana panjang warna biru muda. Kedua kaki celananya tampak penuh robek sampai
sebatas lutut. Dari robekan itu kelihatan sepasang kakinya yang penuh dengan
guratan-guratan luka. Gadis ini terduduk dengan muka pucat dan ada air mata
jatuh di atas pipinya.
Di hadapannya melangkah mundar
mandir seorang gadis lain berpakaian serba merah yang saat itu memegang seutas
cambuk. Gadis satu ini menutupi kepalanya dengan sehelai kain tipis hingga
parasnya hanya kelihatan samar-samar.
“Jadi namamu Larasati huh?!”
Mulut di bali kain tipis berucap dengan nada ketus. Tiba-tiba dia angkat
tangannya. Cambuk yang dipegangnya berkelebat.
Terdengar suara keras
menggidikkan ketika cambuk itu menghantam kedua kaki gadis yang duduk terikat
di kursi. Si gadis menjerit kesakitan. Luka baru kelihatan mengoyak kakinya.
Gadis yang melakukan cambukan
tertawa mengekeh. “Sakit? Hik….hik…hik….! Kau menjerit?! Kau menangis?! Gadis
cengeng! Sakit yang kau rasakan tidak ada artinya dibandin dengan sakit hati
yang kualami selama ini!”
“Persetan dengan sakit hatimu!
Mengapa kau menculik dan memperlakukan aku seperti ini?! Kau manusia biadab!”
teriak gadis di kursi.
“Diam!” Lalu cambuk itu
menghantam kembali. Gadis di kursi kembali menjerit. Kedua kakinya luka lagi.
Darah semakin banyak mengucur.
“Namamu Larasati! Kau bakal
benar-benar mengalami lara seumur hidup! Jangan harap kau bakal mendapatkan
pemuda itu! Jika aku tidak bisa mendapatkan Panji Argomanik, kau juga tidak
bakal bisa memiliki pemuda bergelar Singa Gurun Bromo itu!”
“Siapa kau sebenarnya? Mengapa
kau menutupi wajahmu dengan cadar?! Kau perempuan iblis….!”
Gadis yang memegang cambuk
tertawa panjang. “Aku memang manusia iblis. Bahkan biasa lebih buas dari iblis!
Sebentar lagi pekerjaanku akan selesai. Setelah wajahmu kurusak aku mau lihat apakah
kekasihmu itu masih mencintaimu! Hik…hik…hik….!”
“Manusia celaka! Apa yang
hendak kau lakukan?!”
“Sabar, jangan banyak tanya
dulu. Nanti kau akan tahu sendiri!” lalu gadis yang kepalanya ditutup kain
tipis memutar-mutar cambuknya. Dari mulutnya kemudian terdengar suara teriakan
keras. Bersamaan dengan itu cambuk di tangan kanannya menghantam ke arah wajah
gadis di atas kursi. Larasati menjerit.
Saat itu pula pintu pondok
hancur berantakan diterjang orang dari luar.
Seseorang bekelebat masuk dan
melompat ke hadapan gadis bercadar. Sekali dia mengulurkan tangan, dia berhasil
menangkap ujung cambuk yang hendak menghantam wajah Larasati!
Gadis yang memegang cambuk
tampak terkejut. Dia segera menyentakkan cambuk agar terlepas dari pegangan
Singa Gurun Bromo. Tapi pegangan sang pendekar begitu kuat hingga sekalipun dia
mengerahkan tenaga sekuatnya, cambuk itu tak bisa lepas. Sebaliknya dengan
sekuat tenaga pula Singa Gurun Bromo menarik cambuk hingga si gadis terbetot ke
depan. Agar dirinya tidak tertarik lebih jauh gadis ini mau tak mau harus
lepaskan cambuk yang dipegangnya. Lalu dia melompat ke dinding pondok, menajuhi
Singa Gurun Bromo.
“Siapa kau?!” bentak Singa
Gurun Bromo dengna mata membelalang.
“Mengapa kau menculik
Larasati?!”
Gadis bercadar tertawa tinggi.
“Kau mana mau pernah
mengenalku. Kau mana pernah mau mengingat-ingat diriku. Dia kekasihmu, ya?
Hik….hik…..hik!”
“Diam! Jawab pertanyaanku!”
hardik Singa Gurun Bromo. Dia ingat pada Larasati. Cambuk yang dipegangnya
dibantingkannya ke lantai lalu dia segera menghampiri Larasati, memeluk gadis
itu sesaat.
Selagi Panji Argomanik membuka
ikatan Larasati, kesempatan ini dipergunakan oleh gadis bercadar untuk
melarikan diri. Dia melompat ke pintu. Tapi di pintu saat itu sudah menghadang
Pendekar 212. Di belakangnya berdiri Jayengsari.
“Eh, kau mau pergi ke mana?”
tegur Wiro. Tangan kanannya diulurkan untuk menarik pinggang si gadis. Tapi
tiba-tiba gadis bercadar ini keluarkan sebilah keris dan menusukkannya ke dada
Wiro. Dari caranya menikam serta gerakan serangan yang tidak mengeluarkan angin
Wiro tahu kalau orang itu sama sekali tidak memiliki kepandaian silat, apalagi
tenaga dalam. Karenanya dengan mudah Wiro dapat meringkusnya. Gadis ini
berteriak-teriak berusaha melepaskan diri.
“Wiro, lepaskan dia!” kata
Panji Argomanik.
“Aku akan menanyainya. Jika
dia tidak mau membuka mulut akan kupatahkan batang lehernya!” Lalu pemuda itu
melangkah ke hadapan si gadis bercadar yang saat itu bersurut dan baru berhenti
begitu punggungnya tertahan dinding pondok.
“Lekas katakan siapa dirimu!
Mengapa kau menculik Larasati! Jawab! Buka cadarmu!”
Gadis bercadar hanya menjawab
dengan suara mendengus.
Panji Argomanik mulai hilang
sabarnya. Dia mengambil cambuk yang tadi dicampakkannya.
“Tadi kau hendak merusak muka
kekasihku! Sekarang biar wajahmu dulu yang akan kurusak!”
Anehnya si gadis bercadar
malah keluarkan suara tertawa nyaring dan panjang.
“Kua hendak merusak mukaku?!”
katanya menantang dan sambil maju selangkah.
“Lakukanlah!” tiba-tiba gadis
ini merenggutkan cadar yang menutupi kepalanya.
Larasati yang berada di sudut
pondok terpekik ngeri. Jayengsari keluarkan seruan tertahan. Panji Argomanik
sendiri tampak mengernyit bergidik. Sedang Wiro sipitkan kedua mata, memandang
tak berkedip dengan kuduk terasa dingin. Wajah yang tadi tersembunyi di balik
cadar itu kini tersingkap jelas mengerikan. Wajah itu bukan wajah seorang gadis
tapi merupakan wajah yang sangat seram. Hidungnya gerumpung. Mata kirinya
menyembul membeliak. Kening dan pipinya penuh guratan luka yang dalam. Bibirnya
sebelah atas robek sedang yang sebelah bawah menggelantung hampir copot!
“Mahluk bermuka setan! Siapa
kau?!” teriak Panji Argomanik sambil mundur satu langkah.
Orang itu keluarkan suara
tertawa panjang. “Tentu saja kau tidak mengenali diriku Panji. Tidak ada satu
orangpun yang mau mengenalku. Bahkan ayah dan ibukupun benci padaku! Aku adalah
Suryaning, puteri dan anak tunggal Adipati Dirgo Sampean dari Lumajang!”
Semua orang di dalam pondok
itu tersentak kaget dan sekaligus juga diselimuti rasa ngeri melihat wajah
seram yang tidak pernah mereka sangkakan sedikitpun.
“Kalian ngeri? Takut atau
jijik melihatku?!” Suryaning membuka mulut dan maju beberapa langkah hingga
kini berada di tengah-tengah ruangan. Sebaliknya Larasati dan Panji serta Wiro
dan Jayengsari justru bergeser ke sudut-sudut pondok.
Puteri Adipati iu tertawa
panjang.
“Kalian, seperti juga semua
orang tidak pernah menyangka wajah seorang puteri Adipati seperti wajahku yang
kalian lihat saat ini! Nasibku memang malang! Ketika berusia delapan tahun ayah
membawaku ke Hutan Jatiroto, ikut berburu. Ketika berkemah, ayah dan para
pengawal berlaku lengah. Tiba-tiba ada seekor harimau menyerbu kemah pada saat
aku terbaring tidur keletihan. Binatang itu memang berhasil diusir tapi dia
sempat mencakar wajahku hingga jadi rusak begini. Semua orang mengira aku kaan
mati. Bahkan ayah dan ibuku berharap aku mati saja. Ternyata aku bertahan
hidup. Tapi selama bertahun-tahun mereka menyembunyikan diriku. Mereka
mengurungku di sebuah kamar. Hanya karena kabaikan para pengawal yang merasa
iba terhadapku aku bisa menyelinap keluar pada malam hari. Setiap kesempatan
ada kupergunakan untuk mendekati rumah kediamanmu Panji. Ketika kau menjadi
buronan dan menghilang selama enam tahun, aku seperti mau mati rasanya…..”
Semua orang yang ada di tempat
itu jadi terdiam mendengar penuturan Suryaning itu.
“Dengar…..” kata Panji
Argomanik dengan suara gemetar.
“Siapapun kau adanya, mengapa
kau menculik Larasati. Mengapa kau menganiaya dan hendak merusak wajahnya?
Karena kau iri? Karena parasnya cantik dan wajahmu seburuk setan?!”
Dari mulut Suryaning keluar
suara menggembor. “Kau betul Panji! Aku memang iri! Aku cemburu! Aku ingin kau
adalah milikku sendiri! Aku tidak ingin dia merampasmu dari tanganku!”
“Apa maksudmu…..?” tanya Panji
heran.
“Aku sudah lama mencintaimu
Panji….. Tapi kau tak pernah membalasnya. Tidak secara nyata, juga tidak dalam
mimpi!”
Panji berpaling pada Larasati,
lalu menoleh pada Wiro dan Jayengsari. “Gadis ini pasti tidak waras! Bertemupun
sebelumnya aku tidak pernah…..”
“Memang Panji, kita memang
tidak pernah bertemu. Kau tak pernah melihatku. Tapi aku sering melihatmu.
Hampir setiap malam aku memimpikanmu. Tapi aku tahu diri. Keadaanku yang begini
tidak memungkinkan aku bisa memperlihatkan rupa padamu. Apalagi mendapatkan
cinta darimu! Karena itu aku bersumpah. Kalau aku tidak bisa memilikimu, tidak
seorang gadis lainpun boleh memilikimu! Tidak juga gadis itu!” Suryaning
menunjuk tepat-tepat ke arah Larasti yang membuat Larasati seperti terbang
nyawanya.
“Jadi karena itu kau
menculiknya lalu hendak merusak tubuh dan wajahnya!” kata Panji pula.
“Betul! Memang itu yang hendak
kulakukan!” jawab Suryaning.
“Tapi ketahuilah, aku bukan
hanya tak mau gadis itu jadi milikmu, tapi juga tidak ingin melihat dia jadi
istri muda ayahku!”
Terkejutlah semua orang yang
ada di situ. Semua mata ditujukan pada Larasati.
Gadis ini sesaat menutupi
wajahnya lalu terdengar suaranya di antara isakan. “Adipati Lumajang memang
pernah melamarku pada Bibi Kanoman. Waktu itu aku baru berusia empat belas
tahun. Kami menolak dengan halus. Kurasa hal itu telh berakhir sampai di situ
saja…….”
“Bagimu dan bagi bibimu
mungkin begitu. Tapi bagi ayahku tidak. Dia sudah tergila-gila padamu! Dia
sudah bertekad apapun yang terjadi, jalan apapun akan ditempuhnya untuk
mendapatkanmu. Ketika Pangeran Sendoyo setahun kemudian meminta ayahku untuk
melamarmu guna dijadikan istri puteranya yang bernama Tayub Jenggolo, ayahku
melihat ada satu kesempatan untuk memanfaatkan keadaan.
Bibimu menolak pinangan sang
Pangeran. Pngeran Sendoyo tersinggung. Ayahku memperuncing keadaan dengan
mengatakan bahwa sebenarnya pinangan itu ditolak karena Larasati sudah
mempunyai seorang kekasih bernama Panji Argomanik yang di Kuto Inggil dikenal
dengna julukan Singa Gurun Bromo. Ayah lalu membujuk Pangeran agar melenyapkan
Panji. Sekaligus dia akan mendapatkan keuntungan. Jika Panji mati, dia bisa
mengulang maksudnya untuk mengawinimu…..” Sampai di situ Suryaning menatap ke
arah Larasati. Yang ditatap hanya bisa tundukkan kepala.
“Apa yang kemudian dilakukan
Adipati dan Pangeran Sendoyo?” tanya Panji.
“Ayah mengumpan putera sang
Pangeran yaitu Tayub Jenggolo yang dalam keadaan mabuk agar memancing keributan
dengan Panji. Ayah sengaja membayar tiga orang pemuda kawan-kawan tayub
berpura-pura mabuk lalu mencegat Pnaji di satu tempat. Begitu mereka berkelahi
ketiga pemuda itu melarikan diri. Lalu sewaktu tayub tergeletak di tengah
jalan, seorang penjahat yang dibayar ayahku menusuk putera Pangeran itu sampai
mati. Mayatnya ditinggalkan di tengah jalan….”
Pelipis Panji Argomanik tampak
bergeark-gerak. Rahangnya menggembung.
“Tayub ditemukan dengan pisau
milikku menancap di tubuhnya. Kau tahu bagaimana pisau itu berada di tangan
Tayub yang kemudian dijadikan senjata pembunuhnya dan dijadikan bukti bahwa
akulah yang telah menghabisi putera Pangeran itu?!”
Suryaning berpaling pada
Panji. Sambil menundukkan kepala gadis ini berkata.
“Itu juga sebagian dari siasat
ayahku agar kau bisa ditangkap dan digantung. Pisau itu disuruhnya curi ketika
kau tidak ada di rumah!”
“Manusia keji!” rutuk Panji
sambil kepalkan tinju. “Siapa yang melakukan pencurian itu? Kau tahu juda siapa
yang sebenarnya membunuh Tayub Jenggolo?”
“Orangnya sama…..”
“Aku sudah dapat memastikan
siapa orangnya!” memotong Jayengsari. “Pasti Daruka!”
Suryaning menoleh pada puteri
Warok Kelin itu lalu menganggukkan kepalanya.
“Kau tahu siapa yang membakar
rumah dan membunuh Bibi Kanoman?” tanya Larasati.
“Daruka juga. Adipati yang
menyuruh dengan bayaran tinggi. Daruka kemudian membawa beberapa orang penjahat
dari Barat. Maksud semula adalah untuk menculikmu. Ketika Daruka dan para
penjahat itu tidak menemukan dirimu, mereka membakar ruamhmu dan membunuh Bibi
Kanoman……. Kemudian Daruka juga….”
Belum sempat Suryaning
melanjutkan ucapannya tiba-tiba di luar pondok terdengar suara orang membentak.
“Anak tak tahu diri! Apa yang
talah kau ceritakan pada manusia-manusia keparat itu!”
Paras setan Suryaning tampak
tercekat. “Ayahku…..” desisnya.
Lalu di atas atap ada nyala
terang.
“Mereka membakar pondok!”
teriak Jayengsari.
Semua orang lari berserabutan
ke arah pintu. Tapi Pendekar 212 cepat menghalangi.
“Jangan lari lewat pintu
depan! Ikuti aku!” teiak Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng
melompat ke bagian belakang pondok. Dengan pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah
dia menghantam dinding belakang pondok hingga hancur berantakan. Lewat dinding
yang porak poranda itu semua orang lalu menghambur keluar pondok. Apa yang dilakukan
Pendekar 212 Wiro Sableng memang sangat tepat. Jika seandainya mereka keluar
lewat satu-satunya pintu maka tubuh mereka akan disambut oleh panah-panah
beracun yang sudah disiapkan oleh Daruka dan delapan orang kawan-kawannya!
DUA BELAS
Kelima orang itu bersembunyi
di balik semak belukar lebat. Dalam waktu singkat sebagian dari pondok kayu
sudah musnah dimakan api. Beberapa orang penunggang kuda mengitari pondok yang
terbakar. Mereka adalah penjahat-penjahat dari Barat yang dibawa serta oleh
Daruka untuk membantunya. Saat itu mereka tidak lagi mengenakan kain penutup
muka. Daruka sendiri kelihatan di sebereang sana bersama Adipati Dirgo dan
beberapa orang anak buahnya serta sekelompok perajurit kadipaten.
Dalam gelap mereka juga
melihat dua orang di bawah sebatang pohon. Wiro segera mengenali keduanya dan
berbisik pada Panji. “Kunto Areng dan Jalak Toga ada di antaa mereka.”
Seorang anak buah Daruka
memberitahu bahwa di dalam pondok tidak kelihatan satu orangpun.
“Mereka pasti bersembunyi di
sekitar sini. Mereka tidak bisa lari. Kuda-kuda mereka sudah kita preteli…..”
Yang bicara adalah Adipati Dirgo Sampean.
“Pimpin anak buahmu melakukan
pencarian! Ingat tak ada satu orangpun yang boleh lolos. Bunuh mereka semua.
Termasuk anakku!”
“Orang tua bangsat!” terdengar
Suryaning memaki dalam gelap. Lalu dia bergerak. Wiro cepat memegang tangannya.
“Kau mau kemana?” tanya Wiro.
“Aku ingin membunuh ayahku
dengan tanganku sendiri!” jawab Suryaning.
“Betapapun kesalahan ayahmu,
dia tetap orang tuamu. Jangan jadi anak durhaka. Ayahmu serahkan pada kami….”
Suryaning jadi terdiam. Tapi
dari kedua matanya yang cacad samar-samar tampak melelehkan air mata.
Saat itu Daruka dan tiga orang
anak buahnya lewat di depan mereka, memandang kian kemari. Terangnya nyala api
yang membakar pondok kayu memaksa Wiro dan empat orang lainnya itu menajuh dan
mencari tempat terlindung yang lebih gelap.
“Itu pasti Daruka…..” desis
Singa Gurun Bromo. “Aku ingin mengorek jantungnya saat ini juga!”
“Tidak bisa! Dia bagianku! Dia
harus menerima hukuman dari ayah. Saat ini aku yang mewakili ayahku Warok
Keling!” kata Jayengsari. Kedua orang itu samasama berdiri lalu sama-sama
saling pandang. Sesaat wajah si gadis tampak merengut.
Lalu sekali tubuhnya
berkelebat dia sudah menghambur dari balik semak belukar.
Daruka terkejut ketika melihat
ada seseorang tiba-tiba berkelebat dari tempat gelap dan berusaha membetot tali
kekang kuda. Dia lebih terkejut lagi ketika mengenali bahwa orang itu ternyata
seroang gadis dan bukan lain adalah Jayengsari puteri pimpinannya.
“Kau terkejut melihatku
Daruka?!” seringai Jayengsari.
Saat itu Singa Gurun Bromo
sudah melompat pula ke depan Daruka. Melihat munculnya sang pendekar mau tak
mau Daruka jadi bergeming juga nyalinya.
Dia berteriak “Adipati! Mereka
di sini!” Lalu pada tiga orang anak buahnya dia memerintahkan “Cincang orang
berikat kepala merah ini! Aku ingin menyelesaikan urusan lebih dulu dengan
gadis ini!”
Tiga orang lelaki berbadan
tegap dengan bersenjatakan golok segear menggerakkan kuda masing-masing
menyerbu Singa Gurun Bromo. Tiga golok menderu dalam gelapnya malam.
Singa Gurun Bromo yang sudah
sampai di puncak amarahnya tidak tinggal diam. Jotosannya menghantam kepala
kuda di sebelah kanan. Binatang ini meringkik kesakitan dan melemparkan
penunggangnya hingga jatuh terbanting ketanah.
Serangan golok yang datang
dari sebelah kiri dapat dielakkannya. Begitu golok mendesing di atas kepalanya
Singa Gurun Bromo melompat ke depan. Kedua tangannya menyambar lengan anak buah
Daruka yang ketiga. Orang ini terbetot ke depan. Saat itu juga Singa Gurun
Bromo lipat tangannya hingga golok yang dipegangnya menghujam menembus perutnya
sendiri!
“Jayengsari….. Bagaimana kau
bisa berada di sini?!” tanya Daruka.
“Kau tak layak bertanya! Kau
tahu kau sudah membuat banyak kesalahan. Warok Keling menugaskanku untuk
membawa kepalamu ke hadapannya!”
“Kau anak yang baik. Tapi aku
yakin kau bisa jadi kekasih atau istri yang baik!”
“Bangsat! Apa maksud mulut
kotormu?!” hardik Jayengsari.
“Dengar gadis cantik. Aku
sudah lama diam-diam menyukaimu. Bagaimana kalau saat ini kau bergabung
bersamaku. Kalau urusan sudah selesai kau ikut aku. Kita bisa hidup sebagai
sepasang kekasih!”
Paras Jayengsari kelihatan
merah gelap. “Bagus! Kuterima usulmu! Aku bersedia bergabung! Tapi terima dulu
ini!”
Sebagai anak Warok Keling,
Jayengsari memang telah mendapat gemblengan berbagai ilmu langsung oleh ayahnya
sendiri. Dibanding dengan Daruka, kepandaiannya lebih tinggi dua tingkat.
Karenanya sewaktu gadis ini melancarkan satu jotosan keras ke pinggangnya
Daruka cepat mengelak selamatkan diri. Walaupun saat itu dia memegang sebilah
golok namun rasa sukanya terhadap Jayengsari membuat Daruka tidak tega untuk
mengirimkan bacokan. Dengan tumit kirinya dia coba menendang bahu Jayengsari.
Justru inilah kesalahan besar yang akan merenggut nyawanya.
Sambil membungkuk Jayengsari
berhasil menangkap pergelangan kaki Daruka lalu ditariknya kuat-kuat ke bawah
hingga Daruka yang bertubuh tinggi besar itu jatuh dari punggung kudanya. Belum
lagi dia sampai di tanah jotosan tangan kiri Jayengsari melabrak perutnya.
Daruka mengeluarkan suara seperti mau muntah.
Selagi dia tegak
terhuyung-huyung sambil pegangi perutnya, dari samping kiri Singa Gurun Bromo
yang baru saja menghajar tiga orang pengeroyoknya ayunkan tinju menghantam
batok kepalanya.
“Praaaak!”
Batok kepala Daruka rengkah.
Tubuhnya terhempas ke tanah, menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik
lagi.
Beberapa orang berkuda
menghambur datang ke tempat itu. di depan sekali adalah Adipati Lumajang Dirgo
Sampean. Di belakangnya enam penunggang kuda, tiga di antaranya adalah anak
buah Daruka, tiga lainnya perajurit kadipaten. Keenam orang ini merentang busur
menarik panah beracun yang ditujukan tepat-tepat pada Jayengsari dan Singa
Gurun Bromo.
“Jika kalian ingin segera
mampus silahkan bergerak. Anak-anak panah itu beracun!”
“Adipati keparat! Kau kira aku
takut mati!” teriak Singa Gurun Bromo.
Adipati Dirgo Sampean
menyeringai. Dia berpaling pada Jayengsari lalu tersenyum lebar. “Bukan main!
Puteri Warok Keling ternyata berkomplot dengan manusia buronan ini! rejekiku
besar sekali malam ini! mendapatkan buronan pembunuh putera Pangeran Sendoyo,
sekaligus mendapatkan puteri raja diraja kepala rampok!” Adipati berpaling ke
belakang. “Bunuh pemuda ini sekarang juga! Gadis ini tangkap hidup-hidup!”
Tiga orang anak buah Daruka
yang merentang busur serta merta menarik anak-anak panah lebih ke belakang dan
siap melepaskan ke arah Singa Gurun Bromo.
Pada saat itu, di tempat gelap
di mana Wiro dan Suryaning bersembunyi kelihatan sinar terang. Dua gadis itu
sama berpaling ke arah Wiro dan terheran-heran ketika melihat tangan kanan sang
pendekar berubah putih menyilaukan.
“Apa yang hendak kau
lakukan….?” Bertanya Larasati.
Sebagai jawaban Pendekar 212
Wiro Sableng hantamkan tangna kanannya ke arah tiga orang anak buah Daruka yang
siap melepaskan panah-panah beracun. Saat itu juga terdengar suara menderu
disertai berkiblatnya sinar terang menyilaukan.
Hawa panas menghampar di
tempat itu. kuda-kuda yang ada di tempat itu meringkik keras. Adipati Dirgo
Sampean berteriak keras lalu melompat turun dari aas kudanya.
Sinar panas menyilaukan tadi
lewat di atasnya. Lalu terdengar jeritan tiga orang di belakangnya. Ketiganya
mencelat ke udara sampai dua tombak. Begitu jatuh ke tanah mereka sudah tak
bernafas lagi. Mati dengan tubuh gosong!
Tiga perajurit yang juda
tengah mengancam Jayengsari dengan panah-panah beracun dan tadinya bersiap-siap
untuk meringkus gadis itu berlompatan dari kuda masing-masing begitu pukulan
Sinar Matahari menyambar di udara. Mereka bergulingan di tanah. Panah dan busur
lepas entah kemana. Ketiganya menyangka sudah selamat tapi selagi mencoba
bangkit tendangan demi tendangan menghantam kepala, dada dan perut mereka.
Ketiganya bergelimpangan malang melintang. Yang kena tendang kepalanya menemui
ajal saat itu juga. Yang kena hantaman di bagian dada muntah darah dan siap
untuk sekarat. Satunya lagi terkapar mengerang dengan perut pecah!
“Gadis Iblis! Tak dapat
menggantung ayahmu, kau juga sudah cukup pantas!”
Dua penunggang kuda muncul di
tempat itu. merka adalah Kunto Areng dan yang berteriak adalah Jalak Toga.
Keduanya bukan lain adalah perwira-perwira kerajaan kaki tangan Adipati Dirgo
Sampean. Mereka sama melompat turun dari kuda masingmasing, lalu menyerbu
Jayengsari dengna bersenjatakan golok.
“Bagus! Aku kenal siapa
kalian!” teriak Jayengsari.
“Perwira-perwira culas macam
kalian harus disingkirkan dari kerajaan!” dengan mengandalkan tangan kosong
puteri Warok Keling ini tanpa rasa jerih sama sekali menyongsong serangan kedua
lawannya yang berkepandaian tinggi itu.
Begitu jatuh di tanah dan
berdiri, Adipati Dirgo Sampean langsung disergap Singa Gurun Bromo. Keduanya
sama-sama mengandalkan tangan kosong. Berarti sama-sama mengerahkan
pukulan-pukulan sakti dan tenaga dalam. Dengan kepandaiannya yang masih rendah
enam tahun lalu Singa Gurun Bromo berhasil melarikan diri dari tempat sang
Adipati menyekapnya. Kini setelah digembleng lagi selama enam tahun, tingkat kepandaian
Singa Gurun Bromo tentu saja semakin tinggi dibandingkan dengan yang dimiliki
oleh Dirgo Sampean. Karenanya dalam waktu singkat Adipati itu segera terdesak
hebat. Beberapa pukulan Singa Gurun Bromo berhasil mendarat di tubuhnya. Satu
mampir di pinggiran matanya sebelah kiri hingga robek dan mengucurkan darah.
Dengna menggertakkan rahang
menahan sakit Adipati Dirgo Sampean kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Asap hitam aneh tiba-tiba menggebubu dari telapaknya disertai hawa busuk bukan
main.
“Awas asap beracun!” satu
teriakan perempuan keluar dari tempat gelap. Panji Argomanik cepat tutup jalan
pernafasannya. Kalau saja bukan karena teriakan tadi mungkin sang Adipati akan
meneruskan serangan asap beracunnya yang bisa mencelakakan Singa Gurun Bromo.
Namun dia terkejut sekali ketika mengenali suara yang berteriak tadi adalah
suara puterinya sendiri. Disamping terkejut dia juga jadi sangat marah. Serta
merta dia melompat ke balik semak belukar dari mana datangnya teriakan tadi.
“Hemmmm, kalian berdua lengkap
sudah berada di sini!” kata Adipati Dirgo Sampean sambil memandang melotot pada
puterinya dan Larasati.
“Bertiga dengan aku!” kata
Wiro seraya melompat bangkit dan kirimkan satu jotosan ke arah perut sang
Adipati.
Karena masih mempelototi anaknya
dan gadis yang digilainya itu ketika serangan datang Adipati Dirg seperti tak
acuh hanya menepis dengan tangan kirinya.
Tepi begitu lengan dengan
lengan beradu, menjeritlah Adipati ini. Tulang lengannya serasa patah. Selagi
dia kesakitan setengah mati seperti ini puterinya berseru “Ayah, sebaiknya kau
menyerah saja! Itu lebih baik bagimu!”
“Anak setan! Kau berkomplot
dengan keparat-keparat ini……”
Tadinya masih ada sedikit rasa
kasihan dalam diri Suryaning terhadap ayahnya. Tetapi setelah dimaki begitu
rupa gadis bermuka cacat dan seram ini jadi mendidih amarahnya.
“Kau keparat! Kau yang
berkomplot dengan para panjahat untuk mendapatkan gadis itu dan membunuh Janar
Gandewo! Membunuh Bibi Kanoman…..”
“Anak sundal! Seharusnya dulu
kubiarkan kau mati di rimba belantara itu!”
Suryaning menjawab tak kalah
sengitnya. “Kau menyesal punya anak seburukku! Aku juga menyesal punya ayah
sejahatmu!”
Adipati Dirgo tak dapat lagi
menahan amarahnya. Dia melompat ke hadapan puterinya itu sambil menghantamkan
tangan kanannya ke muka Suryaning. Namun jotosannya itu tidak sampai di sasaran
karena saat itu Pendekar 212 telah lebih dulu menggebuknya dengan pukulan
tangan kiri ke arah dadanya. Selagi Adipati ini melintir kesakitan Singa Gurun
Bromo yang tadi hampir celaka oleh semburan asap hitamnya melompat dari
samping. Dengan kedua tangannya dia hendak mematahkan leher Adipati Dirgo.
Begitu bernafsunya pendekar ini untuk dapat menghabisi musuh besarnya saat itu
juga, dia tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya. Saat itu jalak Toga
dan Kunto Areng berhasil mendesak Jayengsari ke dekat sebuah pohon besar. Tanpa
sengaja jalak Toga melihat Singa Gurun Bromo tengah berlari untuk menerkam
Adipati Dirgo Sampean tanpa memperhatikan lagi keadaan sekeliling ataupun dirinya
sendiri. Jalak toga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. golok di tangannya
dilemparkannya ke arah Singa Gurun Bromo.
“Panji awas!” terdengar suara
orang berteriak. Orangnya bukan lain adalah Suryaning puteri sang Adipati.
Kesempatan bagi Singa Gurun Bromo
untuk mengelak hampir tidak ada. Wiro sendiri terhalang oleh tubuh Adipati
Dirgo. Dalam saat yang sangat menentukan itu, tanpa pikir panjang Suryaning
melompat ke hadapan Singa Gurun Bromo, merangkul tubuh pemuda ini. Kejap itu
pula golok yang dilemparkan Jalak Toga sampai. Senjata yang seharusnya menancap
di pangkal leher Panji Argomanik itu kini menancap di punggung kiri Suryaning,
terus tembus sampai ke jantungnya! Dari mulut gadis malang ini hanya keluar
satu keluhan pendek. Nafasnya putus dalam keadaan masih memeluk pendekar yang
diam-diam sangat dicintainya itu!
Adipati Dirgo Sampean
berteriak setinggi langit. Betapapun bencinya dia pada Suryaning, namun
kematian anak darah dagingnya sendiri di depan mata begitu rupa sangat
mengguncang dirinya. Dia meraung dan memegang tubuh anaknya yang perlahan-lahan
merosot jatuh dari tubuh Panji yang dirangkulnya.
Dengan tubuh bergetar Adipati
Dirgo perlahan-lahan membaringkan jenazah anak tunggalnya itu di tanah. Sesaat
dia seperti hendak menangis. Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah satu
raungan dahsyat. Kedua matanya tampak tiba-tiba berubah merah. Dia memandang
pada Panji Argomanik.
“Bangsat!” kertaknya. Seperti
seekor harimau tubuhnya melompat ke hadapan Panji. Singa Gurun Bromo
menyongsong dengan menghantamkan kedua tangannya.
“Buk! Bukk!”
Tinju kiri kanan Singa Gurun
Bromo mendarat di dada sang Adipati. Tak ampun lagi tubuhnya terjengkang jatuh.
Dari mulutnya keluar darah segar.
Seharusnya pukulan itu bisa
membuatnya mati paling tidak pingsan. Namun dengan segala tenaga yang ada
Adipati Lumajang ini bangkit berdiri kembali dengan terhuyung-huyung.
Singa Gurun Bromo siap
menghantamkan tinjunya sekali lagi, namun saat itu tiba-tiba muncul dua orang
penuggang kuda disertai sesrombongan pasukan dari Kotaraja. Orang di sebelah
kiri berteriak keras.
“Atas nama kerajaan hentikan
perkelahian!”
Singa Gurun Bromo batalkan
serangannya. Adipati Dirgo tertegun lemas.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang
hendak melabrak Jalak Toga juga hentikan gerakannya. Hanya Kunto Areng yang
sepertinya tidak mau perduli. Saat itu perwira ini tengah mendesak Jayengsari
habis-habisan dan siap untuk mengirimkan satu bacokan maut. Dia sama sekali
tidak mau menghentikan serangannya. Sebaliknya Jayengsari hanya bisa tertegun
diam seperti tidak menyadari kalau kematian mengancam dirinya. Melihat hal ini
Wiro dengan kecepatan luar biasa angkat tubuh Jalak Toga lalu dilemparkannya ke
arah Kunto Areng, tepat pada saat Kunto Areng tengah membacokkan goloknya. Tak
ampun lagi golok yang gseharusnya bersarang di kepala Jayengsari itu kini
menghantam rusuk kiri Jalak Toga. Perwira tinggi ini menjerit setinggi langit.
Tubuhnya terhempas ke tanah. Darah memebasahi pakaiannya. Tapi nyawanya masih
tertolong karena hanya bagian luar tubuhnya saja yang terluka ditambah dua
tulang iga terbabat putus!
Kunto Areng yang seperti tak
percaya dengan apa yang terjadi untuk sesaat lamanya tertegun terkesiap.
Tubuhnya mendadak terasa lemas lalu akhirnya jatuh terduduk di tanah.
“Hentikan perkelahian!” terdengar
suara teriakan seperti tadi sekali lagi.
Semua mata dipalingkan. Dua
penunggang kuda yag barusan muncul ternyata adalah tokoh silat Istana yaitu Ki
Bumi Wirasulo dan Mangku Sanggreng. Keduanya memandang berkeliling dan
pandangan mereka terhenti ketika melihat Penekar 212.
“Mangku, kunyuk gondrong itu
ternyata ada di sini. Bagaimana pendapatmu?”
“Isi surat Sri Baginda tidak
menyebut-nyebut namanya. Lagi pula kita sudah mengetahui dia bukan Singa Gurun
Bromo yang sebenarnya,” jawab Mangku Sanggreng.
“Lekas kau bacakan saja surat
Sri Baginda.”
Ki Bumi Wirasulo lalu
merentangkan gulungan surat yang dibawanya. Dengan suara keras dia membaca.
“Atas nama kerajaan dan
keadilan Sri Baginda memerintahkan untuk menangkap Adipati Lumajang Dirgo
Sampean. Yang bersangkutan terbukti menjadi perencana keji sehingga terbuhnya
Tayub Jenggolo, putera Pangeran Sendoyo. Dua orang perwira kerajaan
masing-masing Kunto Areng dan Jalak Toga juga dinyatakan ditangkap karena
terbukti berkomplot membantu Adipati Lumajang. Kepada pemuda yang bernama Panji
Argomanik dikenal dengan gelaran Singa Gurun Bromo dinyatakan bebas dari segala
tuduhan dan kesalahan.
Tertanda Sri Baginda.
Ki Bumi Wirasulo menggulung
surat itu kembali. Jalak Toga yang ketika surat Sri Baginda dibacakan menguatkan
diri untuk dapat bangun. Tapi begitu mendengar isi surat langsung rebah kembali
dan pingsan. Adipati Dirgo Sampean tampaknya pasrah saja karena dia tidak
bergeak sedikitpun dan hanya bisa memandang kuyu pada Panji argomanik yang
berdiri di depannya.
Lain halnya dengan Kunto Aeng.
Begitu mendengar dirinya dinyatakan ditangkap tiba-tiba dia melompat bangkit
melarikan diri. Namun satu tangan tiba-tiba menahan jidatnya. Bagaimanapun dia
berusaha mengumpulkan tenaga untuk melarikan diri, jidatnya tetap saja tertahan
tangan itu.
“Bangsat keparat! Makan
pisauku!” teriak Kunto Areng marah lalu mencabut sebilah belati berkeluk dari
pinggangnya. Senjata ini ditusakkannya sekuat tenaga ke perut orang yang sejak
tadi memegang jidatnya. Namun tangan yang menahan jidatnya itu tiba-tiba
melesat ke atas lalu turun lagi mengemplang ubun-ubunnya!
Kunto Areng mengeluh
kesakitan. Kedua matanya mendelik jereng dan tubuhnya berputar-putar. Pendekar
212 yang tadi memukul kepala perwira itu pergunakan tumit kirinya untuk
mendorong pinggul Kunto Areng. Orang ini roboh ke tanah, mukanya jatuh tepat di
atas pantat salah seorang perajurit kadipaten!
Panji Argomanik masih tertegak
tak bergeak ketika Larasati berlari mendatanginya lalu memeluk tubuhnya dan
menangis tersedu-sedu.
“Hentikan tangismu Laras….
Semua sudah berakhir…..” bisik Panji.
Wiro sendiri celingak celinguk
mencari seseorang. Yang dicarinya adalah jayengsari. Puteri Warok Keling itu
tiba-tiba lenyap begitu saja.
“Kau mencari aku, Wiro?” Satu
suara menegur di belakangnya. Dia berpaling. "Astaga, ternyata gadis itu
bersembunyi di balik punggungnya!"
“Lihat mereka itu,” kata Wiro
sambil menunjuk pada Panji dan Larasati.
“Tidakkah kau ingin merangkul
aku seperti itu….?”
“Pemuda nakal bermulut usil!
Tidak. Aku tidak akan mau memelukmu!” kata Jayengsari.
Wiro tertawa lebar. “Maksudmu
tidak, artinya tidak di sini kan? Kalau di tempat lain ya mau? Begitu?”
Jeyangsari menjewer telinga
kiri Pendekar 212. Lalu telinga itu ditariknya keras-keras hingga Wiro mau tak mau
terpaksa melangkah mangikuti gerakan kaki si gadis. Sampai di tempat gelap
jayengsari lepaskan jewerannya dan tiba-tiba saja dia memeluk pemud aitu dengan
penuh nafsu sehingga murid Eyang Sinto Gendeng itu jadi kelagapan.
“Aku membawa pesan khusus dari
ayah,” bisik Jayengsari. “Beliau ingin bicara denganmu. Apa soal aku tidak
tahu. Yang jelas kita berangkat sekarang juga…..”
“Meninggalkan orang-orang itu
begitu saja?!” ujar Wiro.
“Tahanan kerajaan itu sudah
ada yang mengurus. Panji dan Larasati bisa mengurus diri mereka berdua. Mereka
pasti akan memeprhatikan jenazah Suryaning. Mengenai mayat-mayat lain yang
bergelimpangan itu peduli setan! Kau ikut aku atau harus kujewer lagi?!”
Wiro tertawa lebar.
Digelungkannya tangannya ke pinggang Jayengsari. Kedua insan itu kemudian
lenyap ditelan kegelapan dan dinginnya malam.
TAMAT