-------------------------------
----------------------------
059 Peti Mati Dari Jepara
DI LAUT OMBAK BERGULUNG
DAHSYAT BERPACU MEMECAH MENUJU PANTAI. LANGIT MALAM TAMPAK HITAM DISAPUT AWAN
GELAP DAN TEBAL. ANGIN MENDERU KENCANG MENIMBULKAN SUARA ANEH MENGGIDIKKAN.Di
daratan Jepara udara malam dingin mencucuk. Kesunyian dipecah oleh suara desau
daun-daun pepohonan tertiup angin yang datang dari arah laut. Hujan
rintik-rintik mulai turun. Di kejauhan terdengar suara lolong anjing
bersahut-sahutan. Malam itu adalah malam Jum’at Keliwon!
Di antara desau angin malam
dan gemerisik suara daun-daun pepohonan yang sesekali dirobek oleh lengking
lolongan anjing, dari arah timur Jepara terdengar gemeretak suara roda-roda
kereta mengiringi derap kakikaki kuda yang menariknya.
Dalam kegelapan malam, sebuah
kereta, laksana kereta hantu meluncur keluar dari sebuah lembah yang rapat oleh
pohon-pohon besar dan semak belukar. Kereta terbuka ini bergerak perlahan
tetapi pasti. Sais yang mengendalikan dua ekor kuda penarik kereta agaknya
sengaja bergerak lambat perlahan. Orang ini mengenakan ikatan kepala tebal dari
kain putih. Baju putihnya yang tidak dikancing tersibak ditiup angin malam,
membuat dadanya tersingkap. Tiga deretan angka samar-samar tampak tertera di
dada yang penuh otot itu. 212.
Pandangan matanya jarang
berkesip. Wajahnya tampak keras menahan gejolak dendam kesumat sakit hati.
Kedua orang tuanya dulu tewas
akibat kejahatan manusia-manusia durjana. Kini manusia-manusia seperti itu pula
yang menghancurkan kehidupan keluarga pamannya. Sumiati, saudara sepupunya diculik,
diperkosa bergantian secara keji dan tidak diketahui berada di mana. Kakeknya
menemui ajal di tangan seorang pengkhianat yang bersekutu dengan tiga manusia
dajal: Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut!
Kapan kejahatan akan berakhir
di dunia ini? Apakah orang-orang dunia bersilatan seperti dia yang selalu harus
turun tangan sementara mereka yang berwenang dan berkuasa seolah-olah buta mata
dan buta hati tidak melihat dan merasakan semua apa yang menyengsarakan rakyat?
Malah secara diam-diam bersekutu dan menerima hadiah dari persekutuan jahanam
itu!
Memasuki mulut jalan yang
menuju kota, Pendekar 212 Wiro Sableng semakin memperlambat lari dua ekor kuda
penarik kereta. Malam ini dia akan mulai melakukan satu pekerjaan besar dan
berbahaya.
Di belakangnya di atas kereta
yang terbuka, mendekam angker sebuah peti mati sangat besar, berwarna hitam
pekat.
Pada kayu penutup peti mati
kelihatan deretan angka 212, ditera besar-besar dengan cat putih. Angka-angka
seperti itu juga terdapat pada tiap sisi peti mati.
Di atas peti mati hitam itu
duduk Ken Cilik. Tidak seperti biasanya, saat itu binatang ini sama sekali
tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dia duduk tak bergerak. Kedua matanya
memandang ke depan. Seolah-olah mahluk ini paham apa yang akan dilakukan
Pendekar 212 Wiro Sableng, orang yang kini dianggapnya sebagai tuannya sejak
Ranalegowo tewas dibunuh orang-orang Ganco Item.
Kereta semakin jauh masuk ke
dalam kota, Jepara diselimuti kesunyian. Kereta bergerak menuju pusat kota dan
akhirnya berhenti di pintu gerbang sebuah bangunan besar yang tidak lain adalah
gedung Kadipaten.
Saat itu Adipati Jepara sedang
bertugas di selatan. Karena itu penjagaan di gedung tidak seberapa ketat. Di
pintu gerbang sama sekali tidak ada pengawal. Satusatunya pegawai tampak tidur
mendengkur dekat kaki tangga gedung.
Pendekar 212 memasang
telinganya. Lalu memandang berkeliling. Sepi, tak ada sesuatupun yang bergerak.
Wiro tepuk pinggul dua ekor kuda penarik kereta.
Kedua binatang ini melangkah
perlahan. Kereta bergerak melewati pintu gerbang lalu berhenti di depan
tangga, tak berapa jauh dari sebuah arca.
Dari lantai kereta Wiro
mengambil sebuah potongan kayu. Benda ini dilemparkannya ke arah pengawal
bermuka bopeng yang tertidur mengorok. Potongan kayu itu tepat jatuh dan masuk
ke dalam mulut pengawal yang menganga.
Sesaat masih terdengar suara
dengkur pengawal itu, lalu diam. Menyusul suara seperti tercekik. Kemudian
tampak pengawal itu menggapai-gapai kelagapan. Sadar ada sesuatu di dalam
mulutnya, cepat-cepat dia memuntahkan. Potongan kayu melesat dari dalam
mulutnya, jatuh ke dekat kakinya. Dengan rasa tak percaya, penuh heran pengawal
ini mengambil potongan kayu itu.
"Edan!" rutuknya.
"Bagaimana kayu ini bisa ada dalam mulutku…"
Justru pada saat memaki itulah
pengawal ini baru menyadari kalau di depannya ada sebuah kereta di tarik dua
ekor kuda besar. Di atas kereta duduk tak bergerak seorang pemuda berambut
gondrong, berikat kepala kain putih. Lalu pengawal ini jadi mengkeret ketika
matanya membentur peti mati besar di atas kerta. Tak pernah dia melihat peti
mati sebesar dan seangker itu. Seekor monyet duduk di atas peti mati itu,
memandang dengan sepasang matanya yang berkilat-kilat walaupun dalam kegelapan
malam.
Si pengawal menggosok kedua
matanya beberapa kali. Dia mengira tengah bermimpi. Ketika kereta dan saisnya
tetap terpampang di depannya sadarlah pengawal ini kalau dia tidak bermimpi.
Tiba-tiba saja dia ingat bahwa malam itu adalah malam Jum’at Kliwon!
"Kereta hantu!" itu
kini yang terpikir dalam benak si pengawal. Kuduknya mendadak sontak menjadi
dingin. Segenap persendiannya jadi bergetar. Dia berusaha berdiri, tapi
pandangan mata sais kereta membuatnya laksana di pantek ketangga batu dimana
dia duduk saat itu!
Dalam keadaan seperti itu pengawal
ini coba memperhatikan kaki-kaki dua ekor kuda penarik kereta. Semua kaki-kaki
binatang itu ternyata menginjak tanah. Pertanda bahwa yang datang bukanlah
setan atau hantu. Hal ini membuat keberaniannya pulih kembali.
"Orang jelek! Kau
pengawal yang bertugas di gedung Kadipaten ini?!" Pendekar 212 Wiro
Sableng bertanya dengan suara garang.
Dipanggil dengan sebutan orang
jelek membuat pengawal itu marah.
"Orang di atas kereta!
Mulutmu kurang ajar! Apa keperluanmu datang ke gedung Kadipaten malam-malam.
Hanya setan yang masih gentayangan malam-malam begini! Kau ini manusia atau
setan?!"
"Dua-duanya!" jawab
Pendekar 212 dari atas kereta. Tangan kanannya memutar-mutar cambuk panjang
yang dipegangnya hingga mengeluarkan suara berdesing berulang-ulang.
Mendengar jawaban Wiro sesaat
pengawal itu jadi melengak. "Jangan berani main-main dengan pengawal
Kadipaten!" kertaknya. Lalu dengan marah tangannya digerakkan ke pinggang
untuk mencabut goloknya.
Cambuk di tangan Wiro melesat.
Ujung cambuk ini cepat sekali telah melibat pergelangan tangan si pengawal,
terangkat begitu rupa hingga dia tidak bisa menggerakkannya untuk menghunus
senjatanya. Pengawal ini jadi ternganga dan berubah tampangnya.
"Kalau kau cabut golokmu,
aku akan jadi setan yang akan menjirat batang lehermu!"
Wiro gerakkan tangannya. Ujung
cambuk yang melibat lengan pengawal terlepas.
Ancaman Wiro tadi membuat si
pengawal menjadi ragu. Tetapi begitu jiratan pada lengannya lepas, dia malah
membentak.
"Setan manusia! Jangan
kau berani membuat keonaran di gedung Kadipaten!"
"Siapa yang membikin
onar! Bukan kau duluan yang hendak mencabut goiok menyerangku?"
"Setan manusia! Kau
memasuki tempat ini tanpa izinku!" Wiro menyeringati.
"Setan manusia tidak
perlu minta izin pada manusia jelek sepertimu!" sahut Wiro. "Aku
datang mencari seorang Bintara bernama Anggoro! Aku tahu dia ada di dalam
gedung. Lekas panggil ke mari!"
"Bintoro Anggoro
atasanku! Keperluan apa kau mencarinya?!"
"Tak perlu banyak tanya.
Kau panggil saja Bintara itu. Cepat!"
"Bintoro Anggoro sedang
tidur."
"Kalau begitu
bangunkan!"
Pengawal bopeng itu terdengar
menggrendeng. "Kurang ajar! Kau ini serta manusia berotak miring rupanya!
Lekas minggat dari hadapanku! Atau kau akan menyesal!"
Untuk kedua kalinya pengawal
ini menggerakkan tangannya ke pinggang. Sekali ini dia sempat mencabut
senjatanya. Namun sebelum dia bergerak lebih jauh cambuk di tangan kanan
Pendekar 212 kembali berkelebat dan tahu-tahu batang lehernya sudah terjirat
kencang.
"Kau panggil Anggoro atau
kuremuk batang lehermu!" mengancam Wiro.
Lidah pengawal yang lehernya
terjirat cambuk itu mulai menjulur. Matanya mulai mendelik. Goloknya terlepas
jatuh. Tersendat-sendat terdengar suaranya.
"Ja…jangan. Aku…aku akan
panggil Bintoro Anggoro. Aduh…Lepaskan…"
Wiro lepas dan jiratan cambuk.
"Katakan pada atasanmu itu bahwa Malaikat Maut menunggunya di tempat
ini!"
"Malaikat…malaikat
Maut?"
"Ya, Malaikat Maut!"
jawab Pendekar 212. "Lekas panggil Bintara itu!" hardiknya kemudian.
Sambil pegangi lehernya yang
masih sakit akibat jeratan cambuk tadi, pengawal ini lari masuk ke dalam.
Saat itu sesosok tubuh
mendatangi dari ruang dalam, langsung memapasi. "Pengawal! Ada apa kau
bergegas memasuki gedung! Tugasmu berjaga-jaga di luar! Tadi kudengar kau
seperti bicara dengan seseorang! Ada siapa di luar sana?!"
Ucapan dan pertanyaan yang
beruntun ini membuat si pengawal jadi tergagap sesaat.
"Hai! Ada siapa di
luar?" bentak orang tadi.
"Malaikat Maut!" si
pengawal akhirnya menjawab.
Orang yang tadi bertanya
kertakan rahang. "Malammalam begini aku tidak suka ada orang bicara
main-main denganku!"
"Maafkan aku Perwira.
Tapi di luar sana memang ada seorang mengaku Malaikat Maut. Dia mencari Bintoro
Anggoro."
Orang yang dipanggil Perwira
itu menatap ke arah pintu depan yang terbuka. Lewat pintu dia melihat di luar
sana ada dua ekor kuda, sebagian ujung kereta lalu seorang pemuda duduk di atas
kereta. Dari tempatnya berdiri perwira ini tidak dapat melihat peti mati besar
di bagian belakang kereta. Namun dia sempat melihat seekor monyet duduk
menangkring di atas bahu kiri pemuda yang bertindak selaku sais kereta itu.
"Datang malam-malam
begini, membawa seekor monyet. Tamu aneh…" kata si perwira daiam hati.
Lalu dia berpaling pada pengawal tadi. "Kau teruskan memberi tahu Bintoro
Anggoro. Aku akan menemui tamu tak diundang itu."
Perwira tadi lalu cepat-cepat
menuju ke bagian depan gedung Kadipaten. Langkahnya serta merta terhenti begitu
dia melihat apa yang ada di atas kereta, di belakang pemuda yang duduk memegang
cambuk.
"Peti mati. Besar
sekali…" kata perwira ini dalam hati. Lalu dia berpaling menatap heran
pada pemuda di atas kereta. Beberapa saat kemudian dia menegur.
"Aku Ario Gelem, Perwira
Muda Kadipaten Jepara."
Wiro angguk-anggukkan kepala.
Matanya memperhatikan Ario Gelem tapi tidak berkata apa-apa.
Sikap Pendekar 212 itu membuat
sang perwira merasa tidak enak. Maka diapun melanjutkan kata-katanya.
"Saudara, kau memasuki
kawasan gedung Kadipaten malam-malam begini. Membawa seekor moyet dan sebuah
peti mati besar. Apa keperluanmu?!"
"Aku Malaikat Maut!
Datang mencari Bintoro bernama Anggoro untuk minta pertanggungan jawab!"
jawab Wiro.
Perwira muda itu terkesiap
sesaat. Dia mengusap dagunya beberapa kali. Setelah bergumam dia berkata,
"Aku tidak tahu apakah saat ini aku berhadapan dengan orang gila atau apa.
Tapi kuharap jangan berani bicara main-main. Lekas pergi dari sini!"
"Malaikat Maut tidak ada
yang gila! Ingat hal itu baikbaik Perwira!" kata Wiro pula sambil
menyeringai. "Aku datang untuk minta nyawa Bintoro Anggoro!"
Ario Gelem hendak tertawa
mendengar kata-kata itu. Namun ketika dilihatnya wajah Pendekar 212
memancarkan sikap dingin dan kedua matanya memancarkan sinar maut, bahkan
seringainya juga menebar hawa kematian, perwira ini jadi tercekat juga.
"Ada urusan spa kau
dengan bawahanku itu?" tanya Perwira Muda Ario Gelem.
"Kau akan dengar sendiri
kalau dia sudah muncul di sini!" jawab Wiro.
Dua orang melangkah keluar
dari ruangan dalam. Di sebelah belakang adalah pengawal muka bopeng tadi sedang
di depannya seorang lelaki muda yang hanya mengenakan sehelai pakaian tidur. Di
tangan kanannya dia membawa sebilah pedang.
"Anggoro, orang ini
mencarimu. Kau kenal dia?" berkata Ario Gelem.
Bintara itu memandangi wajah
Wiro sesaat lalu menggelengkan kepala.
Saat itu Ken Cilik yang ada di
bahu Pendekar 212 keluarkan suara pekikan tiada henti. Kedua matanya melotot
memandang Bintoro Anggoro. Binatang ini tiba-tiba melompat menerkam kepala
Bintara itu.
"Monyet sialani Kau minta
kugebuk!" maki Anggoro. Tinju kanannya dihantamkan ke kepala Ken Cilik.
Diatas kereta Pendekar 212
gerakkan tangan kanannya sedikit. Serangkum angin deras menerpa ke arah dada
Anggoro. Bintara ini terjajar setengah langkah. Hal ini menyebabkan jotosannya
ke arah kepala Ken Cilik tak berhasil menemui sasaran.
"Ken Cilik!
Kembali!" Wiro memanggil.
Monyet coklat itu menjerit
beberapa kali, menjatuhkan diri ke lantai lalu melompat-lompat ke atas punggung
salah seekor kuda penarik kereta. Dari sini Ken Cilik melompat kembali ke atas
bahu Wiro. Wiro usap-usap punggung binatang ini seraya berkata, "Tenang
sahabatku. Aku tahu kau sudah mengenali si pembunuh itu. Tenang…"
Ketika tadi Wiro menggerakkan
tangan melepas pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam untuk
menyelamatkan Ken Cilik dari pukulan Anggoro, Perwira Muda bernama Ario Gelem
itu sempat melihat gerakan ini. Dalam hati dia segera memaklumi kalau pemuda
gondrong di atas kereta adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Perwira
ini berpaling pada Anggoro lalu berkata.
"Dia mengaku bernama
Malalkat Maut. Punya urusan denganmu!" sambung Ario Gelem.
"Orang gila! Katakan apa
kepentinganmu membangunkanku malam-malam begini?!" membentak Anggoro.
"Sekitar sepuluh hari
lalu kau membunuh seorang tua bernama Kioro Mertan di sebuah hutan dekat Kudus.
Benar?!"
Paras Bintoro Anggoro berubah.
Sesaat dia melirik pada Perwira Muda di sampingnya lalu menghardik ke arah
Wiro.
"Pertanyaan gila apa yang
kau ajukan ini?!"
Paras Wiro tidak bergeming. "Aku
hanya ingin mendengar apa yang kukatakan tadi benar atau tidak!"
Anggoro tidak menyahut. Tangan
kanannya menggenggam pedangnya kuat-kuat.
"Memang benar!"
tiba-tiba Anggoro menjawab. "Sepuluh hari lalu aku membunuh seorang lelaki
tua bernama Kioro Mertan! Tapi dia adalah kaki tangan gerombolan Ganco
Item!"
"Bintoro Anggoro! Kau
bukan saja pandai membunuh dengan pedangmu tapi juga pandai bersilat lidah
memutar balik kenyataan!"
"Bangsat! Apa
maksudmu!"
"Orang tua korban
pembunuhan kejimu itu adalah kakekku. Dia adalah juga mertua dari Rana Legowo
pamanku yang menjadi kepala desa Jatingaleh. Gerombolan Ganco Item menyerbu
desa, membakari rumah penduduk, merampok dan membunuh. Ketika Kioro Mertan
melakukan pengejaran kau secara keji membunuhnya!"
"Aku tidak segila itu
membunuh orang! Kioro Mertan pantas mati karena dia memang kaki tangan
gerombolan Ganco Item!"
"Bukan kakekku itu yang
jadi kaki tangan gerombolan Ganco Item. Tapi kau! Kau menerima sejumlah uang
untuk persekutuan bejatmu dengan manusia-manusia durjana itu!"
"Kurang ajar! Pembohong
besar! Fitnah jahat!" teriak Bintoro Anggoro lalu menghunus pedangnya dan
langsung menyerbu Wiro yang masih duduk di atas kereta.
Wiro putar tangannya. Cambuk
panjang berkelebat di udara mengeluarkan suara keras, menghantam ke arah muka
Anggoro. Bintara ini terpaksa pergunakan pedangnya yang tadi dipakai membacok
untuk menangkis. Cambuk dan pedang saling beradu. Ujung cambuk dengan cepat
melilit badan pedang. Tapi dengan cerdik Bintara ini tarik pedangnya kuat-kuat
hingga cambuk putus menjadi beberapa potongan.
"Kau pasti kaki tangan
Ganco Item! Kau juga pantas kuhabisi saat ini!" teriak Bintoro Anggoro.
Kembali dia menyerbu Wiro yang saat itu masih tetap duduk tak bergerak di
bagian depan kereta sementara dua ekor kuda penarik kereta mulai gelisah sedang
Ken Cilik mulai memekik-mekik.
Pedang menderu. Wiro miringkan
pinggangnya yang jadi sasaran Brett! Pakaian putihnya masih sempat disambar
ujung pedang. Ketika Anggoro berusaha membuat gerakan membalik untuk membacok
kedua kalinya, Pendekar 212 mendahului dengan menghunjamkan kaki kanannya ke
dada Bintara ini.
Anggoro memekik keras.
Tubuhnya terpental empat langkah. Pedangnya lepas, mental ke udara.
Ketika jatuh kembali, Wiro
sudah ulurkan tangan dan menangkap pedang itu.
"Dengan pedang ini dulu
kau membunuh kakekku! Dengan pedang ini pula nyawamu akan kuhabisi!" kata
Wiro masih dari atas kereta. Sementara Anggoro tampak berdiri
terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dadanya yang serasa pecah. "Bintoro
Anggoro! Sebelum kau mati, jawab dulu satu pertanyaanku! Gerombolan Ganco Item
menculik anak gadis kepala desa Jatingaleh! Kau pasti tahu ke mana mereka
membawanya! Kau hanya punya waktu satu kejapan mata!"
"Tunggu!" Tiba-tiba
Perwira Muda bernama Ario Gelem berseru. Dia maju dan tegak antara kereta
dengan Anggoro, "Saudara! Apapun urusanmu dengan bawahanku! Tidak berarti
kau bisa bertindak seenaknya! Aku yakin Bintoro Anggoro punya cukup bukti-bukti
bahwa Kioro Mertan adatah kaki tangan gerombolan Ganco Item. Dia membunuh orang
tua itu dalam menjalankan tugas!"
"Tugas? Apakah kau yang
memberikannya tugas itu Perwira Muda? Kau tak perlu menyebut seribu bukti. Aku
tahu siapa kakekku! Tanyakan pada bawahanmu itu berapa uang yang didapatnya
rnenjadi kaki tangan Ganco Item! Ada perajurit-perajurit Kadipaten yang menjadi
saksi hidup! Adalah tolol kalau kau tidak mengetahui siapa sebenarnya anak
buahmu yang satu ini!"
Merah padam wajah Ario Gelem.
"Siapa dia nanti bisa
kuperiksa. Sekarang harap kau segera tinggalkan tempat ini!" kata Perwira
Muda itu pula.
Wiro menyeringai. "Aku
tidak akan meninggalkan tem-pat ini tanpa jazad kotornya!" jawab Pendekar
212. Lalu tangan kanannya menarik sebuah palang kecil di bagian kanan kereta.
Terdengar suara berkereketan. Penutup peti mati hitam secara aneh bergerak
membuka.
Tampang Bintoro Anggoro
menjadi pucat mengkerut.
Wiro melompat turun dari atas
kereta. Tapi gerakannya dihalangi oleh Ario Gelem.
"Kau membuat aku
kehabisan kesabaran Perwira Muda!" ujar Wiro.
"Tinggalkan tempat ini!
Itu perintahku!"
"Persetan dengan
perintahmu! Aku bukan bawahanmu!"
"Kalau begitu kau minta
digebuk!" mengancam Ario Gelem.
"Perwira tolol! Kau makan
dulu ini!" teriak Wiro marah. Lalu tangan kanannya menyambar ke dada Ario
Gelem. Perwira ini cepat menghindar sambil memukul lengan Pendekar 212 dari
bawah. Lalu terdengar Ario Gelem mengeluh. Perwira ini mundur sambil pegangi
lengan kanannya yang saat itu tampak bengkak kemerahan. Sambil menahan sakit,
dengan beringas Ario Gelem kerahkan tenaga dalam lalu lepaskan satu pukulan
setelah terlebih dahulu merapal satu aji kesaktian.
Biasanya dia jarang
mengeluarkan ilmunya ini tetapi setelah bentrokan tadi dan sebelumnya dia
telah pula menyaksikan bagaimana Wiro melepaskan tenaga dalam yang dapat
membuat Anggoro terjajar, maka dia lalu menghantam sambil kerahkan tenaga
dalam.
Dua kuda penarik kereta
meringkik keras. Monyet di atas bahu Wiro ikut memekik lalu melompat ke atas
penutup peti mati yang telah terbuka.
Wiro merasakan ada hawa yang
sangat dingin menghantam ke arahnya. Dia cepat menghindar sambil siapkan
tangan kiri untuk menangkis serangan lawan dengan pukulan tangan kosong pula.
Tapi begitu dia kerahkan tenaga dalam, hawa dingin yang datang menyerbu
mendadak berubah menjadi hawa sangat panas! Perubahan secara mendadak dari
dingin ke panas ini membuat Wiro merasakan sekujur tubuhnya seperti disengat.
Jika diikutinya nafsu
amarahnya saat itu ingin saja dia melepas pukulan sinar matahari. Namun karena
lebih mementingkan balas dendamnya terhadap Anggoro maka Wiro cepat keluarkan
ilmu silat Orang Gila yang dipelajarinya dari Tua Gila di Pulau Andalas.
Tubuhnya sempoyongan hebat seperti hendak roboh. Tangan kanannya yang memegang
pedang milik Anggoro di angkat ke atas. Untuk sesaat senjata itu tampak
bergoyang keras akibat terjangan angin pukulan Ario Gelem. Perwira ini sendiri
tampak terkejut ketika melihat bagaimana pedang itu secara aneh bergerak kian
kemari lalu tiba-tiba sekali menyusup di antara angin pukulannya dan menusuk ke
arah perutnya!
Sambil berseru keras Ario
Gelem terpaksa melompat mundur langsung cabut golok di pinggangnya.
Trang!
Terdengar suara berdentrangan
ketika golok di tangan Ario Gelem dan pedang di tangan Wiro saling bentrokan.
Wiro merasakan tangannya bergetar keras. Ario Gelem merasa bahwa dia memiliki
tenaga luar dan tenaga dalam yang lebih ampuh dari lawannya. Langsung saja
Perwira Muda ini hendak kirimkan satu bacokan ke bahu lawannya. Tapi alangkah
kagetnya dia ketika disadarinya dia tidak lagi dapat menggerakkan tangan
kanannya yang mengacungkan golok itu.
Apa yang terjadi atas dirinya?
Dicobanya mengangkat kaki kiri. Tak bisa. Kaki kanan. Juga tak bisa. Tangan
kiri. Sama saja. Astaga! Ternyata dia telah berada dibawah pengaruh satu
totokan yang hebat! Sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Dia tegak
seperti patung yang tengah mengacungkan senjata!
"Perwira tolol!
Seharusnya kau menghukum bawahan seperti ini! Bukan malah melindunginya!"
"Kalau kau berani
melakukan sesuatu terhadap Bintara itu, aku akan mencarimu sampai dapat dan
menghukummu!"
Wiro tertawa mendengar ucapan
Ario Gelem itu. "Hukum hanya berlaku untuk orang-orang tolol
sepertimu!" kata Pendekar 212. Lalu dia melangkah mendekati Anggoro yang
saat itu berdiri dalam keadaan ketakutan setengah mati. Ken Cilik menjerit
keras. Monyet ini tiba-tiba melompat ke arah Bintara itu, mencengkeramkan
kukukukunya di bahu lalu menghunjamkan taringnya di leher Anggoro. Bintara ini
menjerit kesakitan Darah mengucur dari luka-luka kecil di bahu dan lehernya.
"Ken Cilik! Lepaskan
orang itu! Dia harus mati dengan cara lain!" kata Wiro seraya angkat
tangan kanannya yang memegang pedang.
Ken Cilik memekik keras lalu
melompat ke atas bahu Wiro.
"Apa yang hendak kau
lakukan padaku…?!" tanya Anggoro dengan suara gemetar.
"Ke mana gerombolan Ganco
Item membawa anak gadis Ranalegowo?! Jawab!"
"Aku…aku tidak tahu. Tapi
gerombolan itu kudengar menuju ke selatan. Mereka…mereka…"
"Mereka apa?!"
bentak Wiro. Tangan kirinya menjambak rambut Anggoro.
"Mereka…mereka hendak
merampok benda-benda pusaka Keraton Demak yang disimpan di Mesjid Besar…"
Wiro lepaskan jambakannya. Dia
berpaling ke arah Ario Gelem. "Perwira, kau dengar sendiri ucapan itu
keluar dari mulutnya. Kalau bawahanmu ini bukan kaki tangan gerombolan Ganco
Item, bagaimana dia tahu apa yang akan dilakukan orang-orang itu?! Lalu apakah
dia pernah melaporkan padamu gerakan dan rencana kejahatan yang hendak
dilakukan gerombolan Ganco Item itu?!" Wiro menyeringai. "Aku tak
perlu jawabanmu Perwira. Tapi sekarang kau punya otak untuk memikirkan siapa
anak buahmu ini sebenarnya!"
Paras Ario Gelem tampak kelam
membesi.
Selagi Wiro bicara kepada
Perwira Muda itu, Anggoro berusaha mencari kesempatan untuk melarikan diri.
Tapi Wiro bukannya tidak tahu. Baru saja orang ini sempat memutar tubuhnya,
Pendekar 212 dengan cepat menusukkan pedang milik Anggoro yang ada di tangan
kanannya.
Bintara itu terdengar menjerit
keras. Ario Gelem terbeliak menyaksikan kejadian itu. Darah tampak mengucur
dari lambung yang tertembus pedang. Anggoro hanya mampu tegak sesaat Tubuhnya
kemudian rebah dekat kaki tangga. Suara jeritannya makin perlahan lalu berubah
jadi erangan. Ketika nyawanya putus, Wiro cabut pedang yang menancap di perut
orang itu. Lalu mayat Anggoro dilemparkannya ke dalam peti mati.
Wiro melompat ke atas kereta.
Ken Cilik melompat pula ke atas punggung salah seekor kuda penarik kereta.
Binatang ini memandang menyeringai ke arah Ario Gelem. Di atas kereta Wiro
mengambil sebuah kantong tebal berisi bubuk berwarna abu-abu. Bubuk ini
ditebarkannya di atas mayat Anggoro.
Itulah bubuk penangkal bau
busuk yang didapat Wiro dari Haji Tan si penjual peti mati.
"Perwira Muda…,"
kata Pendekar 212 kemudian pada Ario Gelem. "Ingat baik-baik. Jika kau
berusaha mengejarku, peti mati ini masih cukup besar untuk ketambahan
mayatmu!"
Ario Gelem tidak mengeluarkan
suara apa-apa. Hanya matanya saja yang memandang berapi-api pada Wiro, Pendekar
212 mendorong palang kayu di bagian kanan kereta. Terdengar suara berkereketan
ketika papan penutup peti mati yang bertuliskan angka 212 itu bergerak
meninggalkan halaman gedung Kadipaten.
Wiro usap kepala monyet yang
kini duduk di sebelahnya.
"Baru satu Ken Cilik.
Baru satu! Masih ada tiga mayat lagi akan mengisi peti mati itu, kecuali jika
ada yang mau ikutan! Mari, Ken Cilik. Kita akan mengambil mereka di
selatan…"
Ken Cilik menyeringai lalu
membuka mulutnya lebarlebar. "Kwik…kwik…Kwiikkkkk!" Kera ini memekik
dan melompat duduk di samping Wiro.
ANGIN BERTIUP KENCANG. HUJAN
YANG TADI HANYA TURUN RINTIK-RINTIK KINI MULAI MEMBESAR LALU MENCURAH LEBAT.
KERETA ITU MELUNCUR TERUS SEPERTI TIDAK PERDULI AKAN LEBATNYA HUJAN DAN
PEKATNYA KEGELAPAN MALAM. BENAR-BENAR SEPERTI KERETA HANTU!
***
Kapak Maut Naga Geni 2121
PENDEKAR 212 Wiro Sableng berdiri
di depan rerumpunan pohon bambu di puncak bukit.
Memandang ke depan, jauh di
bawahnya terhampar pemandangan yang sangat indah berupa suatu pedataran yang
dipenuhi petak-petak tanah persawahan.
Sebuah sungai kecil berair
bening yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi membelah pedataran
persawahan dan daerah perumahan penduduk. Sungal kecil itu selanjutnya
mengalir ke barat, melewati tambak-tambak IKan dan akhirnya bermuara di laut
biru.
Wiro memalingkan kepalanya
ketika di ujung jalan kecil di bawahnya terdengar suara hiruk pikuk. Seorang
lelaki tua dilihatnya berjalan terburrogkuk-bungkuk. Di tangan kanannya ada
sebatang kayu kecil yang selalu dikibaskibaskan. Sedang didepannya berjalan
beriringan sambil mengeluarkan suara riuh tiada henti serombongan itik yang
jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor.
Wiro segera menuruni bukit,
menghampiri orang tua pengangon itik dan melangkah di sampingnya. Sesaat orang
tua itu menoleh dan memandangi si pemuda lalu seperti tak acuh dia terus saja
berjalan.
"Bapak tua, "Wiro
menegur. "Apakah yang di bawah sana itu kampung Jatingaleh?"
Yang ditanya berpaling sambii
kerenyitkan kening dan kibas-kibaskan tongkat kayu di tangan kanannya.
"Kampung katamu? Dulu
memang hanya sebuah kampung. Tapi kini telah berubah menjadi sebuah desa besar.
Subur makmur dan tentram. Penduduknya bercocok tanam, punya tambak dan sawah
ladang. Juga banyak yang jadi nelayan."
"Ah, aku tidak keliru
datang ke tujuan," kata Wiro dalam hati dan penuh gembira. Desa
Jatingaleh. Dulu hanya merupakan sebuah kampung. Di situ menurut gurunya dia
punyai seorang paman bernarna Ranalegowo, Wiro benarbenar merasa gembira.
Sebentar lagi dia akan bertemu
adik mendiang ayahnya. Mungkin juga dengan saudara-saudara sepupunya. Dia tidak
tahu pamannya punya anak berapa. Selama ini dia merasa hidup sebatang kara,
tidak kadang tidak saudara. Namun hari ini dia akan bertemu dengan seorang
paman, lalu seorang bibi tentunya.
Wiro ingat ucapan gurunya
beberapa tahun lalu. "Menurut apa yang kuketahui…," berkata Eyang
Sinto Gendeng saat sebelum melepas muridnya itu pergi. "Di kampung
Jatingaleh dekat Jepara kau punyai seorang paman. Namanya…nggg… kalau tak salah
namanya Ranalegowo. Bila kau punyai waktu sambangi dia. Itu tandanya kita orang
Jawa yang tidak lupa dan selalu menghormat pada orang tua."
"Kau bukan orang
sini…" kata orang tua pengangon itik.
Wiro tersenyum. Saat itu dia
sampai di sebuah telaga berair dangkai. Orang tua tadi kembali
mengibas-kibaskan tongkatnya, malah kini berteriak, "Mandi, ayo mandi!
Cari cacing sekenyang kalian! Hari ini kita harus pulang lebih cepat."
Puluhan itik itu tampak
berserabutan hangar-bingar masuk ke dalam telaga. Ada yang berenang
berputar-putar sambil mengeluarkan suara memekakan telinga. Ada yang
mencelupkan kepalanya berulang kali. Tapi yang paling banyak adalah menyudu
dengan paruhnya di sepanjang tepi telaga, mencari cacing-cacing besar yang
memang banyak terdapat disitu.
Sambil duduk di sebatang
tumbangan pohon orang tua pengangon itik mulai menggulung sebatang rokok. Wiro
ikut duduk di sebelahnya.
"Saya memang bukan orang
sini," kata Wiro. "Saya ke mari untuk menyambangi seorang paman. Adik
ayah saya."
Orang tua itu menoleh
sebentar. Dia tidak berkata apaapa, seperti menunggu Wiro bercerita lebih
lanjut.
"Saya belum pernah
bertemu dengan paman saya itu. Saya tak kenal dia, dia tentu juga tidak kenal
saya."
"Kau mencari seorang
paman…," Pengangon itik nyalakan rokok yang barusan digulungnya.
"Mengapa tidak mencari orang tuamu sendiri?"
"Kedua orang tua saya
sudah sejak lama meninggal," jawab Wiro. "Mereka dimakamkan jauh di
tanah barat sana."
"Siapa paman yang kau
cari itu?"
"Namanya
Ranalegowo."
Orang tua yang hendak
menghisap rokoknya itu nampak berubah parasnya. Rokoknya tak jadi dihisapnya.
"Ranalegowo katamu, anak muda?" Wiro mengangguk.
"Dia adalah kepala desa
kami sejak lebih dua puluh tahun lalu."
"Kalau begitu saya
beruntung punya paman seorang kepala desa. Rumahnya tentu besar, kudanya
banyak, ternaknya tidak terhitung…"
Orang tua itu tertawa.
"Rumah kepala desa
Jatingaleh memang besar. Tapi dia hidup sederhana. Dia tidak memiliki sawah
atau ladang berpetak-petak. Dia tidak memelihara ternak berkandangkandang. dia
bekerja keras memang. Tapi bukan untuk menumpuk kekayaan. Melainkan untuk
memberi hidup yang berarti bagi keluarganya serta membantu penduduk membangun
desa."
Orang tua itu hisap rokoknya
dalam-dalam, lalu berdiri dan memandang lekat-lekat pada Wiro. Si pemuda jadi
ikut-ikutan berdiri.
"Siapa namamu anak?"
"Wiro, "jawab murid
Sinto Gendeng tanpa mau menambahkan Sableng karena dia kawatir orang tua ini
bisa punya pikiran macam-macam terhadapnya.
"Anak muda, tahukah kau
siapa aku…?" bertanya orang tua bungkuk itu.
"Mana saya bisa
menduga," jawab Wiro.
"Namaku Kioro Mertan. Aku
adalah ayah mertua pamanmu! Anak perempuanku kawin dengan Ranalegowo. Mereka
punya seorang anak tunggal yang kini sudah menjadi gadis jelita sebayamu.
Bernama Sumiati."
Mendengar kata-kata orang tua
itu Pendekar 212 Wiro Sableng segera membungkuk dalam-dalam.
"Gusti Allah memang Maha
Besar!" kata Kioro Mertan sambil menepuk-nepuk bahu Wiro. "Kalau
begitu kita harus pulang ke desa sekarang jugal Agar kau lekas bertemu dengan
paman dan bibimu serta cucuku Sumiati itu!"
Orang tua itu memutar tubuhnya.
Dengan muka penuh gembira sesaat dia berpaling ke arah kejauhan di mana
terlihat desa Jatingaleh dengan hamparan sawah yang padinya mulai menguning.
Mendadak air muka Kioro Mertan
berubah. "Ya Tuhan! Apa yang terjadi di desa!"
Wiro berpaling dan memandang
ke jurusan desa. Dari tempat mereka berdiri di tepi telaga itu keduanya melihat
asap hitam mengepul dari atap beberapa rumah. Penduduk tampak berlarian kian
kemari. Di beberapa jurusan desa kelihatan penunggang-penunggang kuda bergerak
dalam suasana yang onar. Sayup-sayup terdengar pekik jerit di selingi oleh
suara ringkik kuda.
"Kebakaran! Desa diamuk
api!" teriak Kioro Mertan.
Wiro menatap tajam lalu
berkata, "Kalau ada empat lima rumah yang berjauhan dimakan api dalam
waktu bersamaan, lalu penduduk tampak berlarian sambil berteriak-teriak, itu
bukan kebakaran. Rumah-rumah itu sengaja dibakar! Lihat orang-orang yang
menunggang kuda itu!"
Kioro Mertan tidak mendengar
lagi apa yang dikatakan Wiro. Dia juga melupakan itik-itiknya yang ada di
telaga. Orang tua ini dengan seluruh tenaga yang biasa dikumpulkannya lari
menuruni bukit menuju ke desa.
Ketika Wiro dan dan orang tua
itu sampai di Jatingaleh mereka hanya menemukan sisa-sisa kejahatan biadab
menghampar di antara reruntuhan rumah penduduk yang masih dikobari api. Jerit
tangis terdengar dimana-mana. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Ada yang sudah jadi
mayat. Ada yang masih meregang nyawa dengan badan penuh luka bekas bacokan atau
tusukan.
Kioro Mertan menemukan
rumahnya termasuk salah satu yang musnah dimakan api. Dia berteriak-teriak
seperti orang gila memanggil-manggil istrinya. Dekat sebuah lumbung padi yang
telah berubah menjadi puing-puing hitam tergeletak sosok tubuh seorang
perempuan tua. Ada guratan luka yang sangat dalam di pelipis dan pipi kirinya.
"Bune Wini…!" teriak
Kioro Mertan begitu melihat istrinya. Dia menghambur dan jatuhkan diri,
merangkul perempuan itu. "Apa yang terjadi bune. Katakan apa yang
terjadi…!" Dengan bajunya Kioro Mertan menyeka darah yang membasahi wajah
istrinya.
Perempuan itu mengerang
panjang tak tahan rasa sakit yang dideritanya. Kedua matanya terpejam.
"Bune…! Bune…! Kau jangan
mati bune! Kau tidak boleh mati!" teriak Kioro Mertan sesenggukan. Tubuh
istrinya diguncang-guncangnya berulang kali. Saat itu setelah memandang
berkeliling beberapa kali, Wiro ikut jongkok di samping kedua orang itu.
"Pake …syukur kau
datang…" terdengar suara sangat perlahan keluar dari mulut perempuan tua
itu. Dia bicara dengan kedua mata masih tetap memicing.
"Katakan apa yang terjadi
bune. Bicara bune! Ya Tuhan!"
"Orang-orang jahat itu
pakne. Gerombolan Ganco Item! Mereka menyerbu desa. Membakar… merampok… Lekas
ke rumah anak kita pakne … Aku kawatir..:" Ucapan perempuan tua itu hanya
sampai di situ.
Kioro Mertan meraung dan
mengguncang tubuh itu.
Wiro menyaksikan kejadian itu
dengan tangan terkepal.
"Masih saja ada
manusia-manusia jahat biadab berkeliaran menimbulkan malapetaka…" katanya
geram.
"Bapak tua…," kata
Wiro. "Mari saya bantu mendukung istrimu ke gubuk sana. Ada balai-balai di
depan gubuk. Baiknya kita baringkan dia di atas balai-balai itu."
"Aku…aku masih sanggup
mendukungnya sendiri," jawab Kioro Mertan. Dan orang tua bungkuk ini
memang ternyata mampu mendukung lalu membaringkan jenazah istrinya di alas
balai-balai.
"Bapak, tunjukkan pada
saya di arah mana rumah kepala desa menantumu itu."
Kioro Mertan menyeka kedua
matanya yang basah. Lalu dengan menggigit bibir diusapnya kening dan rambut
putih istrinya.
Orang tua ini berpaling pada
Wiro. Dengan suara bergetar dia berkata, "Ikuti aku!"
Rumah besar di tengah desa itu
tenggelam dalam korban api.
"Rana! Rawini! Sum…!
Dimana kalian?!" teriak Kioro Mertan. Tak ada sahutan. Orang tua itu
berteriak sekali lagi sementara Wiro melangkah cepat mengelilingi rumah yang sewaktu-waktu
siap ambruk itu, dari atas sebuah pohon dekat rumah besar yang terbakar
terdengar suara pekikanpekikan aneh. Wiro berpaling. Tampak seekor monyet
berbulu coklat melompat-lompat kian kemari sambil memekik tiada henti. Wiro
alihkan pandangannya ke arah rumah yang terbakar kembali. Tiba-tiba dibalik
kobaran api dia melihat ada dua sosok tubuh saling berangkulan, tersandar ke
dinding bangunan.
Wiro tidak dapat memastikan
apakah kedua orang yang saling berangkulan itu satu lelaki, satunya perempuan
masih berada datam keadaan hidup. Sulit untuk menerobos masuk ke dalam bangunan
yang tengah dilalap api itu. Namun Pendekar 212 masih dapat melihat satu celah
kemungkinan. Dia siap melompat ketika tiba-tiba dilihatnya Kioro Mertan dari
jurusan yang lain hendak melakukan hal yang sama. Namun orang tua ini tidak
menyadari kalau bagian atap dari arah mana dia hendak melompat, akan segera
roboh.
"Bapak Kioro!
Jangan!" teriak Wiro memperingatkan.
Namun orang tua itu sudah
nekad. Wiro terpaksa bergerak memutar lalu melompat. Dia masih sempat mencekal
lengan Kioro Mertan sebelum orang tua itu melompat. Begitu tangannya memegang
lengan, Wiro segera menarik kencang-kencang. Orang tua itu terseret keras.
Tubuhnya dan tubuh Wiro jatuh saling tindih di tanah. Hanya sekejap setelah
keduanya terhampar di tanah, atap bangunan yang dikobari api jatuh ke bawah.
Api dan asap hitam menggebubu ke udara. Wiro menarik tubuh Kioro Mertan
menjauhi bangunan.
Lalu ditinggalkan orang tua
itu, lari ke samping kanan bangunan dan dari sini menyusup ke dalam rumah.
Dikeliiingi oleh kobaran api,
tidak mudah bagi Wiro untuk mengangkat dua sosok tubuh itu. Doengan susah payah
sementara ujung bajunya ada yang hangus dimakan api sedang lengan kirinya
tergurat benda lancip mengucurkan darah, Wiro akhirnya berhasil juga membawa
dua sosok tubuh itu keluar dari bangunan yang terbakar. Baru saja dia
membaringkan tubuh-tubuh itu di tanah terdepgar suara menggemuruh. Seluruh
bangunan besar itu roboh. Api menderu ke atas beberapa tombak. Asap hitam
dibarengi suara letupanletupan ikut mencuat ke udara.
"Rana! Rawini
anakku!" terdengar teriakan Kioro Mertan. Orang tua ini menghambur ke
tempat itu, langsung jatuhkan diri di antara dua sosok tubuh yang barusan
dibaringkan Wiro di tanah.
Wiro sendiri saat itu tegak
tak bergerak sambil menekap luka berdarah di lengan kirinya. Kedua matanya
memperhatikan dua orang yang barusan ditolongnya. Yang perempuan pasti itu
Rawini, anak perempuan Kioro Mertan jelas tidak tertolong lagi. Perempuan
malang ini telah jadi mayat. Ada luka-luka dalam berbentuk aneh dan mengerikan
di beberapa bagian tubuhnya. Luka yang sama juga kelihatan di sekujur tubuh
suaminya yaitu Ranalegowo. Daging pada luka itu bukan saja kelihatan ditoreh,
tetapi juga seperti dikoyak dan tercongkel ke atas. Ranalegowo ternyata masih
bernafas walaupun keadaanya tak mungkin diselamatkan lagi.
Dari mulutnya terdengar suara
erangan. Menyebut nama seseorang yang tidak begitu jelas terdengarnya.
"Legowo…Legowo! Mana
Sumi…! Mana cucuku…?!" Kioro Mertan bertanya dengan suara keras. Orang tua
ini membuka bajunya dan menutupkannya ke tubuh Rawini yang penuh luka-luka
mengerikan.
"Bapak.." terdengar
Ranalegowo berucap.
"Orang-orang Ganco Item
menculik Sumiati. Mereka juga merampok uang lumbung desa! Tolong… Selamatkan.
Jangan pikirkan saya…"
"Jahanam!" kutuk
Kioro Mertan.
Wiro berlutut dekat-dekat
tubuh Ranalegowo.
"Paman…" berucap
Wiro Sableng dengan suara tersendat.
Paras Ranalegowo mengernyit.
Entah karena menahan sakit atau terkejut oleh suara Pendekar 212 tadi. Yang
jelas kedua matanya yang sejak tadi terpejam kini tampak terbuka.
Wiro melihat tak ada lagi
sinar kehidupan pada kedua bola matanya itu. Wiro memegang lengan Ranalegowo.
Ranalegowo masih bisa melihat
walaupun pemandangannya tidak jelas lagi. Samar-samar dia melihat seorang
pemuda berambut gondrong disampingnya.
"Siapa kau yang
memanggilku… pa… paman."
"Sa… Saya Wiro
Saksana." jawab Wiro menyebut nama aslinya. "Saya putera Ranawelang,
kakak paman…"
Kembali wajah Ranalegowo kelihatan
mengernyit. Dia coba berpikir tetapi dikala maut hendak datang merenggut
jiwanya itu otaknya tak lagi bekerja.
"Rana…. welang…"
desisnya.
Wiro usap-usap kepala pamannya
"Betul, saya anak Ranawelang, kakak paman yang tinggal di barat."
Semula Wiro hendak menotok bagian-bagian tertentu dari tubuh Ranalegowo.
Namun dilihatnya keadaan
pamannya itu sulit untuk ditolong.
Maka dia hanya bisa memandangi
dengan hati pedih.
Ketika hidup dia tak pernah
mengenal orang ini. Namun dari air mukanya Wiro mengetahui bahwa pamannya
pekerja keras berhati baja. Seorang yang memiliki sikap jantan dan jujur.
Bersedia melupakan kesulitan sendiri untuk menolong orang lain. "Dia
seorang paman yang baik. Sayang aku hanya bisa melihatnya sesaat saja. Apakah ayahku
juga memiliki ciri-ciri seperti paman?" bertanya Wiro dalam hati.
Di atas pohon kembali
terdengar pekik monyet coklat tadi. Kemudian terdengar suara sesunggukan Kioro
Mertan. Wiro segera tahu apa yang terjadi. Ranalegowo adik ayahnya telah
menyusul istrinya.
Dari atas pohon monyet coklat
tiba-tiba memekik keras lalu melompat ke tanah dan mengelilingi jenazah
Ranalegowo.
"Ken Cilik hentikan
jeritanmu! Aku tahu perasaanmu! Kita semua merasa sangat kehilangan…"
Terdengar Kioro Mertan berkata sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.
"Ken Cilik…" kata
Wiro dalam hati. "Pasti monyet coklat ini yang dimaksudkan si orang tua.
Mungkin binatang ini peliharaan pamanku. Binatang terkadang memiliki perasaan
lebih tajam dan lebih halus dari manusia."
Monyet itu tiba-tiba melompat
ke atas bahu kanan Kioro Mertan. Orang tua ini mengusap-usap punggungnya
beberapa kali. Wiro jadi terkejut ketika Ken Cilik tiba-tiba secara tak terduga
melompat ke atas bahu kirinya lalu menjerit keras membuat sakit telinga sang
pendekar. Wiro tak berani bergerak, kawatir monyet itu mencakar atau
menggigitnya.
"Putus telingku!"
kata Pendekar 212 dalam hati. Namun setelah menjerit lagi beberapa kali monyet
itu hanya bertengger diam di pundak Wiro, malah menyurukkan kepalanya ke balik
rambut gondrong sang pendekar sambil mengeluskan suara seperti merintih. Walau
dia jadi merinding kegelian tapi Wiro kini bisa menarik nafas lega.
Dicobanya mengusap kuduk dan
punggung Ken Cilik.
Monyet ini semakin menempelkan
tubuhnya ke bahu wiro. Binatang itu tampak jinak namun tetap saja Wiro merasa
agak merinding.
Wiro dan Kioro Mertan melihat
kini banyak orang berkerumun berkeliling di tempat itu. Mereka adalah
penduduk desa yang baru saja mengalami malapetaka hebat itu. Wajah mereka
masih pucat membayangkan ketakutan. Anak-anak menangis dalam dukungan ibu
mereka. Semua menatap pedih pada Kioro Mertan dan sosok jenazah kepala desa
mereka beserta istrinya yang ikut jadi korban.
"Orang-orang jahat itu
sudah pergi. Untuk sementara tak ada yang perlu ditakutkan," Wiro coba
menenteramkan.
"Bantu aku mengurus
jenazah warga desa yang menjadi korban," berkata Kioro Mertan dengan hati
pedih. Lalu dia ingat sesuatu. Orang tua ini memandang berkeliling.
"Gerombolan rampok Ganco Item telah menculik Sumiati cucuku. Ada yang tahu
ke arah mana para penjahat melarikannya?"
Dua orang menunjuk ke jurusan
tenggara.
Kioro Mertan mengangguk.
"Memang ada kabar-kabar bahwa mereka bermarkas di tenggara. Di sekitar
hutan belantara dekat Kudus. Aku akan mengejar mereka ke sana. Bahkan sampai ke
perut bumi sekalipun!"
Penduduk desa yang tewas
akibat keganasan gerombolan rampok Ganco Item berjumlah enam belas orang.
Sembilan letaki, lima perempuan dan dua orang anak-anak. Di luar desa
Jatingaleh di mana terletak daerah pekuburan kini kelihatan empat belas kubur
baru. Dua anak yang jadi korban dikubur satu dengan ibu masing-masing.
Suasana hening mencekam. Di
langit sang surya bersinar terik menyengat kulit. Tapi agaknya tak seorangpun
mau beranjak sampal akhirnya Kioro Mertan, orang paling tua yang ada di tempat
itu berkata.
"Kalian semua kembali ke
desa. Lakukan apa saja untuk memperbaiki keadaan…"
Satu demi satu orang desa
beranjak dari tempatnya.
Namun ada enam orang pemuda
dan tiga orang lelaki baya tetap berada di pekuburan itu. Salah seorang dari
mereka berkata.
"Bapak Kioro. Kami tadi
mendengar maksudmu hendak mengejar para penjahat. Kami semua disini slap ikut
bersamamu melakukan pengejaran."
"Kalian semua orang-orang
jantan yang gagah perkasa;" kata Kioro Mertan dengan hati terharu.
"Tapi kalian lebih diperlukan di desa untuk membantu membangun rumahrumah
yang musnah. Biar aku sendiri yang mencari manusia-manusia puntung neraka
itu!"
Sembilan lelaki itu nampak
kecewa mendengar ucapan Kioro Mertan. Sementara itu Wiro sendiri dalam hati
bertanya-tanya. "Orang tua bungkuk ini, dia siapakah dan bisa mengandalkan
apakah hingga berkata ingin mengejar sendiri para penjahat yang telah menculik
cucunya itu?"
Satu demi satu ke sembilan
orang itu meninggalkan pekuburan. Ketika mereka hanya tinggal berdua, Kioro
Mertan berpaling pada Wiro lalu berkata.
"Pertemuan kita hanya
sampai disini. Aku harus pergi mencari manusia-manusia jahat itu. Aku akan
kembali ke desa untuk mengambil kuda."
Lalu tanpa menunggu jawaban Wiro
orang tua itu melangkah ke jurusan dua buah kuburan baru yaitu kuburan anaknya
dan menantunya. Wiro mengikuti dari belakang.
***
Kapak Maut Naga Geni 2122
DI hadapan kedua kuburan itu
Kioro Mertan merenung beberapa lamanya. Wiro mengikuti dari belakang.
Di hadapan kedua kuburan itu
Kioro Mertan merenung beberapa lamanya. Kemudian terdengar suara orang tua ini
berkata.
"Nasibmu tidak beruntung,
Wiro. Kau tak sempat menemui paman dan bibimu."
"Mungkin memang begitu
takdir saya. Takdir kita semua."
Kioro Mertan tersenyum pedih.
"Ini cobaan berat buatku. Terkadang kita manusia bisa salah berpikir dan
menjadi sesat dalam penderitaan. Mengapa Tuhan mengambil begitu cepat
orang-orang baik seperti menantuku dan anakku, penduduk desa yang tidak berdosa.
Sementara manusia-manusia jahat dibiarkan gentayangan melakukan kekejaman tiada
taranya…"
"Jangan berpikir seperti
itu bapak. Salah-salah kita bisa jadi kehilangan iman terhadap Gusti
Allah," kata Wiro.
Kioro Mertan menarik nafas
dalam.
"Selamat tinggal anak
muda. Aku harus pergi."
"Bapak, tunggu dulu. Saya
ingin mengatakan sesuatu," kata Wiro pula.
"Apa yang hendak kau
katakan, Wiro?"
"Ranalegowo adalah
pamanku. Istrinya adalah bibiku dan Sumiati putri mereka adalah saudara
sepupuku. Saya merasa punya kewajiban untuk menuntut balas. Mohon dimaafkan.
Mengingat usiamu yang sudah lanjut, maukah kau mewakilkan kepada saya untuk
melakukan pengejaran?"
Orang tua itu menatap Wiro
lama sekali. Lalu dia berkata, "Kepolosan hati dan keberanianmu sama
dengan menantuku. Pasti ayahmu memiliki sifat jantan seperti itu juga. Tetapi
tidak anak muda. Urusan balas dendam ini adalah urusanku. Usiaku memang tua
tapi untuk menuntut balas soal umur tidak meniadi masalah.
"Saya mengerti bapak tua.
Namun yang kau hadapi adalah segerombolan manusia-manusia jahat. Yang tidak
segan-segan membunuh orang sekalipun perempuan atau anak-anak."
"Kau betul. Siapa yang
tidak kenal dengan gerombolan Ganco Item. Kejahatan dan kekejaman mereka iebih
ganas dari iblis…"
"Siapa sebenarnya
penjahat-penjahat itu, pak tua?" tanya Wiro.
"Mereka terdiri dari tiga
orang yang memegang pucuk pimpinan. Dua di antaranya bersaudara yaitu Ganco
Langit sang kakak, lalu adiknya Ganco Bumi. Yang ketiga dikenal dengan nama
Ganco Laut. Ketiganya berkulit hitam legam. Itu sebabnya mereka menyebut diri
Ganco Item. Mereka tidak punya tempat tetap. Tapi ada kabar bahwa mereka suka
bermarkas di sebuah hutan di timur Kudus. Mereka bisa keluar masuk kota-kota di
pesisir utara ini tanpa ada yang berani menganggu…"
"Termasuk pasukan atau
perajurit Kadipaten?" tanya Wiro.
"Jangankan pasukan
Kadipaten. Balatentara dari Kota rajapun tidak berani turun tangan…"
"Pasti ada
apa-apanya."
"Itu bukan rahasia lagi.
Ada kabar yang kusirap bahwa sebagian dari hasil kejahatan mereka dikirimkan
sebagai upeti kepada beberapa orang Adipati di pesisir utara ini, juga dikirim
pada pejabat-pejabat tertentu di Kotaraja! Lain dari itu kabarnya mereka juga
bekerjasama dengan komplotan lanun Tengkorak Darah yang sering malang melintang
di Laut Jawa."
"Bekerjasama bagaimana
maksudmu, pak tua?"
"Bajak laut Tengkorak
Darah menjual sebagian hasil bajakan mereka dengan harga murah pada komplotan
Ganco Item. Ganco Item tidak membayar dengan uang, tapi menyerahkan segala
kebutuhan makanan atau minuman bagi para bajak. Termasuk
perempuan-perempuan!"
Sampai di situ Kioro Mertan
terdiam. Dia ingat pada cucunya yang diculik.
"Sumiati…" desisnya.
"Aku harus melakukan pengejaran sekarang juga!"
Lalu tanpa berkata apa-apa
lagi pada Wiro orang tua ini lari ke arah desa. Sesaat Wiro perhatikan cara
lari Kioro Mertan. Ada rasa heran, dalam diri Pendekar 212 kini. Orang tua
bungkuk itu bukan lari seperti orang biasa. Sebentar saja dia sudah lenyap di
tikungan jalan di ujung pekuburan.
"Ah, orang tua itu pasti
punya ilmu kepandaian. Larinya saja sebat sekali. Aku telah menduga salah
padanya. Untung dia tidak tersinggung. Namun tak bisa kupercayai dia bakal
mampu menghadapi komplotan Ganco Item seorang diri. Aku harus menyertainya.
Bukankah dia bisa kuanggap sebagai kakek sendiri?" Serta merta Wiro
tinggalkan pula pekuburan itu.
Tapi baru bergerak dua langkah
tiba-tiba terdengar suara pekik-pekik keras. Sebuah benda melayang ke arah
Wiro. Mengira ada yang hendak membokongnya Pendekar 212 segera hendak
mengantam. Tapi hup!
Benda yang melayang itu hingga
di bahu kirinya. Wiro berpaling. Dia melihat satu kepala kecil, sepasang mata
coklat yang bersinar-sinar lalu sebuah mulut yang menyeringai memperlihatkan
barisan gigi-gigi kecil putih dan runcing.
"Ken Cilik…! Kau
mengejutkanku saja!" kata Wiro.
Monyet di atas bahu kiri Wiro
menyeringai lalu memekik beberapa kali.
"Anak nakal! Apa kau mau
ikut kemana aku hendak mencari manusia-manusia jahat itu?!"
Monyet coklat itu memekik tiga
kali.
"Bagus, kau mengerti apa
yang aku bilang. Kau bisa membantuku. Paling tidak mengenali tiga orang gembong
Ganco Item itu."
"Kuik… kuik… kuik…"
Ken Cilik kembali memekik.
***
Kapak Maut Naga Geni 2123
DI DALAM hutan belantara di
sebelah timur Kudus Ganco Langit menyambut kedatangan adiknya dan Ganco Laut
yang baru saja kembali dari penjarahan di Jatingaleh.
Begitu Ganco Bumi melompat
turun dari kudanya, Ganco Langit memeluk adiknya ini dan menepuk-nepuk bahunya.
"Bagus! Kau ternyata
mampu bergerak sendiri! Satu pertanda bahwa kita semakin kuat!" kata Ganco
Langit.
Ganco Bumi tertawa sambil
mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut kasar.
Ganco Langit melangkah
mendekati Ganco Laut. Dia juga menepuk bahu kawannya ini seraya bertanya,
"Kalian tidak menemui kesulitan?"
"Sama sekali tidak.
Pasukan Kerajaan tidak kelihatan mata hidungnya. Apalagi pasukan
Kadipaten." jawab Ganco Laut.
Ganco Langit tertawa
gelak-gelak. "Mana mereka berani terhadap kita. Baru melihatmu saja mereka
sudah terkencing-kencing ketakutan. Kalaupun mereka tahu kita hendak menuju
satu sasaran, mereka sengaja menghindar ke jurusan lain, pura-pura tidak
tahu!" Ganco Langit tertawa lagi.
"Eh… banyakkah hasil kita
kali ini?" Dia memandang berkeliling.
"Rejeki kita besar sekali
hari ini Langit," menjawab Ganco Bumi si adik. "Apa yang kita sangka
tidak meleset.
Jatingaleh memang desa kaya.
Lihat ini!"
Ganco Bumi melangkah ke kuda
tunggangannya ke dekat kaki kanannya. Terdengar suara gemerincing sewaktu
kantong itu jatuh di tanah.
Ganco Langit membungkuk,
membetot lepas ikatan kantong kain lalu memasukkan tangannya ke dalam kantong.
Ketika tangannya itu diangkat kelihatan dia menggenggam uang perak dan beberapa
potong perhiasan dari emas!
Kedua mata Ganco Langit tampak
berkilat-kilat.
"Kita akan rayakan
peristiwa besar ini nanti malam!" kata Ganco Langit.
"Cocok!" teriak
Ganco Bumi. "Tapi kau belum melihat. Ada lagi barang antik yang kudapat di
Jatingaleh!" kata Ganco Bumi. Dia mengangkat tangannya, memberi tanda pada
Ganco Laut.
Orang ketiga dari komplotan
Ganco Item ini bertepuk dua kali, seorang anggota komplotan muncul menarik
seekor kuda. Di punggung binatang ini membelintang sesosok tubuh yang
ditutupi dengan sehelai selimut besar.
Anggota komplotan itu membawa
kuda yang ditariknya ke hadapan Ganco Langit. Ganco Bumi kemudian mendekat dan
menarik selimut yang menutupi. Begitu selimut tersingkap kelihatanlah sesosok
tubuh seorang gadis, tergeletak menelungkup di atas punggung kuda.
"Walah! Bokongnya besar
amat!" kata Ganco Langit. Kedua matanya berkilat-kilat.
Ganco Laut dan Ganco Bumi
sampai tertawa bergelak.
"Kau baru melihat
bokongnya. Belum menyaksikan wajahnya!" kata Ganco Bumi. Lalu di baliknya
tubuh yang menelungkup dan masih dalam keadaan pingsan itu. Kini kelihatan
Wajah gadis yang pingsan itu. Pakaiannya di sebelah dada terbuka membuat
payudaranya tersibak menggelembung padat. Rambutnya yang panjang hitam tergerai
hampir menyetuh tanah.
"Wah! Betul-betul
cantik!" kata Ganco Langit. "Belum pernah aku melihat perawan
secantik ini! Eh, dia masih perawan?" tanya Ganco Langit seraya berpaling
pada adiknya.
"Aku jamin Langit,"
jawab Ganco Bumi.
"Perawan tulen!"
kata Ganco Laut pula.
"Anak siapa dia?"
"Ranalegowo."
"Hemmm, tidak sangka
kepala desa itu menyimpan barang antik begini rupa. Berkali-kali kite meminta
uang perlindungan padanya. Selalu ditolak. Kini malah dia bukan saja memberikan
uang dan perhiasan, tetapi juga anak gadisnya!" Tiga pimpinan gerombolan
Ganco Item tertawa mengekeh. "Jadi kita pesta malam ini?"
"Pesta semalam
suntuk!" jawab Ganco Bumi. Anggota komplotan yang ada di sekitar situ dan
mendengar hal itu serta merta bertempik sorak gembira.
"Karena kalian yang
berbuat jasa, kuserahkan gadis ini pada kalian berdua. Kalian boleh
menggarapnya bergantian sepuas hati. Sekali ini aku tak apa mendapat sisa.
Setelah kita puas, aku akan menyerahkannya pada sese-orang. Aku ada rencana
bagus!"
Ganco Bumi dan Ganco Laut
sesaat saling pandang. Tidak menyangka pimpinan mereka mau mengalah seperti
itu. Saking gembiranya Ganco Bumi dan Ganco Laut saling berpelukan lalu tertawa
gelak-gelak.
Ganco Langit menyelinap masuk
ke sebuah tenda. Di sini berbaring seorang perempuan muda berbadan gemuk tapi
berdaging padat. Tubuhnya harus ditutup dengan sehelai kain, itupun hanya
sebatas pusat hingga payudaranya yang besar kelihatan putih menantang.
"Saya tadi
mengintai," kata perempuan itu seraya bangkit dan duduk. Payudaranya yang
besar kelihatan memberat ke bawah.
"Mengintai? Lalu ape yang
kau lihat?" tanya Ganco Langit.
"Kawan-kawan Ganco Langit
datang membawa seorang gadis berambut panjang. Pasti malam ini Ganco Langit
akan melupakan saya dan berpuas-puas dengan gadis baru itu."
"Dia memang cantik. Tapi
aku lebih suka menggeluti tubuhnya Jaminten. Gadis itu biar menjadi bagian
Ganco Bumi dan Ganco Laut."
"Betul itu?" tanya
perempuan itu.
"Rebahkan tubuhmu di
sampingku. Akan kubuktikan bahwa aku lebih menyukai dirimu:’
Perempuan gemuk bernama
Jaminten tampak tersenyum lalu merebah dirinya di atas tikar. Kedua tangannya
diangkat dan dijadikan bantal pengganjal kepala. Kedua ketiaknya yang putih
tampak penuh ditumbuhi bulubulu hitam lebat.
Ganco Langit suka sekali pada
bulu-bulu itu. Hidungnya diselusupkan ke ketiak kiri Jaminten. Perempuan itu
terpekik kecil. Kain yang menutupi auratnya sebelah bawah ditendangnya. Kini
dia menelentang terdengar memburu.
Ganco Langit membalik.
Nafasnya terdengar memburu.
Orang-orang Ganco Item
mempunyai kebiasaan tertentu setiap habis melakukan perampokan Mereka melarikan
diri ke tempat persembunyian dengan meninggalkan paling tidak tiga orang
anggota di satu tempat. Ketiga anggota komplotan penjahat itu ditugaskan untuk
memantau apakah ada yang melakukan pengejaran. Jika ada dan jumlah mereka
tidak terlalu banyak maka mereka diharuskan untuk menyerang para pengejar itu.
Sebaliknya jika kekuatan pihak
pengejar jauh lebih besar maka mereka akan membuat gerakan-gerakan tipuan
sehingga para pengejar memburu ke arah yang salah.
Hari itu, setelah menyerbu dan
menjarah desa Jatingaleh Ganco Bumi menempatkan tiga orang anak buahnya di
sebuah tikungan jalan jauh dari sungai kecil yang membelah desa. Menurut
perhitungan Ganco Bumi di Jatingaleh yang merupakan desa petani dan peternak
tidak ada orangorang yang perlu ditakuti. Kepala desa yang membekal ilmu silat
sudah terbunuh. Karenanya tiga orang saja sudah dirasakan cukup untuk melakukan
penghadangan. Ketiga anggota gerombolan ini menunggangi kuda.
Sampai matahari tinggi, tiga
orang penjahat itu tidak melihat adanya tanda-tanda bakal ada yang akan
melakukan pengejaran.
"Bagaimana kalau kita
segera menuju ke Kudus saja?"
Salah seorang anggota
komplotan berkata.
"Pimpinan memerintahkan
kita tetap berada di sekitar tempat ini sampai menjelang sore. Jika kau mau
melanggar perintah dan ingin mendapatkan hajaran dari Ganco Bumi, kau boleh
saja pergi ke mana kau suka."
"Tentu saja aku tak
berani melanggar perintah. Cuma aku selalu sial. Mengapa aku yang selalu
ditugaskan melakukan penghadangan setiap kita selesai merampok. Sementara yang
lain-lain bersenang-senang menikmati hasil jarahan."
Dua kawanannya tidak
menyahuti.
Tiba-tiba terdengar derap kaki
kuda.
"Ada orang datang.
Tampaknya cuma sendirian. Kalian bersiaplah!" kata anggota komplotan
Ganco Item yang bertindak sebagai
atasan dari kedua anggota lainnya itu. Mereka masuk lebih dalam ke balik
tikungan jalan. Masing-masing memegang hulu senjata mereka yang berbentuk aneh
yakni sebatang besi yang ujungnya melengkung seperti arit tetapi runcing dan
agak pipih. Senjata ini mereka sebut Ganco. Senjata dengan bentuk yang aneh itu
mempunyai kemampuan luar biasa. Selain dapat digunakan untuk membacok atau
menusuk, Ganco Besi itu bisa pula mencungkil tubuh lawan hingga hatinya
terbetol keluar. Dapat dibayangkan jika senjata berujung runcing berkelik itu
menancap di leher atau menembus perut lawan. Isinya pasti terbongkarl Selain
itu Ganco tersebut bisa diberi bertali atau rantai kecil sehingga dapat dipakai
untuk menyerang lawan yang berada dalam jarak jauh.
Derap kaki kuda terdengar
semakin keras. Tak lama kemudian muncul seorang penunggang kuda yang memacu
tunggangannya dengan kencang.
"Cuma seorang tua renta
berambut putih!" memberi tahu salah seorang komplotan.
"Bagaimana, akan kita
kerjakan?"
Yang bertindak sebagal pimpinan
di tempat itu tidak menjawab. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Ganco besi
dipinggangnya dicabut. Ternyata ganco ini telah dihubungkan dengan seutas
rantai kecil sepanjang hampir dua tombak.
Ketika kuda bersama
penunggangnya melewati tikungan, ganco besi itu diputar kencang-kencang lalu
di lemparkan ke depan. Besi berkait ini melesat ke arah kaki kuda yang berlari
cepat.
Lalu terjadilah hal yang
hebat. Ujung berkeluk ganco besi mengait kaki kanan depan kuda tunggangan orang
tua berambut putih. Binatang ini meringkik keras. Bagian tajam besi menancap
tepat di atas sambungan lututnya. Lalu ketika ganco itu ditotok keras, binatang
yang berlari ken-, cang ini jadi hilang keseimbangannya. Kuda itu masih sempat
meringkik sekali lagi sebelum jatuh tersungkur dan melemparkan penunggangnyal.
Tiga orang anggota komplotan
Ganco Item sama memastikan bahwa orang tua berambut putih itu akan cidera
berat akibat terpelanting jatuh dari kuda yang tengah berlari kencang.Tapi
mereka kecele.
Si orang tua yang bukan lain
adalah Kioro Mertan membuat gerakan jungkir balik, menyentuh tanah dengan kedua
telapak tangannya lalu mengikuti arah mentalnya dia bergulingan di tanah. Di
lain saat dia sudah melompat tegak dan sebilah parang tergenggam di tangannya.
Kedua matanya tampak berkilat-kilat.
"Hemmm… Tua bangka ini
boleh juga!" berkata orang yang bertindak selaku pimpinan. "Lekas
kalian bereskan dia agar kita bisa bergabung dengan teman-teman!"
Dua anggota Ganco Item majukan
kuda masing-masing ke arah Kioro Mertan. Yang satu mendatangi dari kanan,
kawannya dari sebelah kirf. Ganco besi ditangan keduanya tampak berputarputar
hingga mengeluarkan suara menderu. Di dahului satu bentakan, dua ganco itu
berkelebat deras. Yang di sebelah kanan menderu ke arah leher sedang yang dari
kiri menyambar ke pelipis.
***
Kapak Maut Naga Geni 2124
KIORO Mertan sabatkan
parangnya ke atas untuk menangkis serangan ke arah leher. Sambil tundukkan
kepala dia berusaha mengelakkan serangan ganco menderu ke kepalanya.
Trang!
Di atas kuda, anggota
komplotan yang bentrokan senjata dengan Kioro Mertan jadi terkejut ketika
merasakan tangannya bergetar keras. Dia cepat mundur sambil menggenggam
ganconya yang hampir terlepas. Tapi Kioro Mertan memang sudah mengincar lawan
yang satu ini, begitu ganco yang menyambar kepala lewat di atasnya, orang tua
ini memburu ke depan.
Parangnya berkelebat.
Orang di atas kuda berteriak
keras ketika parang Kioro Mertan bersarang dalam di paha kanannya. Darah
mengucur deras. Sakit dan bingung orang yang cidera berat ini sentakkan kudanya
menjauh tapi binatang yang sudah terlanjur ketakutan ini meringkik keras dan
berputar ke kiri hingga penunggangnya terhuyung lalu jatuh bergedebuk ke
tanah. Sebelum dia sempat bangun tendangan kaki kiri Kioro Mertan mendarat di
kepalanya. Tak ampun lagi orang ini kembali roboh. Kali ini pingsan tak
berkutik.
"Tua bangka
jahanam!" membentak anggota Ganco Item yang bertindak sebagai pimpinan.
Kalau tadi dia hanya memerintah maka kini dia sendiri turun tangan. Kudanya
melompat ke depan. Ganco di tangan kanannya menyambar ke dada Kioro Mertan. Si
orang tua cepat sorongkan parangnya menangkis. Tapi dari belakang satu
tendangan menghantam
punggungnya.
Kioro Mertan terbanting ke
depan.
Trang!
Orang tua ini masih sempat
menangkis ganco yang menyambar ke dadanya. Selagi lawan di atas kuda terhuyung
dan kaget dapatkan tangannya terasa pedas orang tua itu cepat balikkan diri
tepat pada saat lawan yang tadi menendangnya dari belakang hendak mengait
lehernya dengan ujung besi berkeluk!
Kioro Mertan tusukkan
parangnya ke perut lawan. Orang di atas kuda menjerit keras, ganconya lepas.
Kedua tangannya dipakai menekap perut yang ditembus senjata Kioro Mertan. Dia
menjerit sekali lagi lalu roboh dan tergelimpang di tanah. Sesaat orang ini
tampak megap-megap dan melejang-lejangkan kedua kakinya sebelum nyawanya putus.
Satu-satunya anggota komplotan
yang masih berada di atas punggung kudanya mau tak mau menjadi terkesiap
melihat kejadian itu. "Orang tua ini tidak bisa dibuat main," katanya
dalam hati.
Meski rasa was-was kini
menyelinapi dirinya namun kematian kawannya tadi membuat darahnya mendidih.
"Orang tua! Kalau aku
tidak salah menerka, bukankah kau ayah mertua Ranalegowo?"
Kioro Mertan menyeringai.
"Bagus! Sebelum mampus kau sudah tahu siapa diriku! Kau dan komplotan
membunuh menantu dan anak perempuanku! Kalian juga menculik Sumiati cucuku!
Susul kawanmu!"
Orang tua itu gerakkan tangan
kanannya. Parang menderu ke arah pinggang anggota komplotan. Karena merasa
tidak leluasa menghadapi lawan dari atas kuda maka anggota komplotan Ganco Item
segera melompat ke tanah. Kioro Mertan tak mau memberi kesempatan. Begitu lawan
menjejak tanah parangnya segera berkelebat. Serangan-serangan orang tua ini
benar-benar ganas. Dalam waktu dua jurus saja lawannya segera terdesak dan anak
buah Ganco Langit ini berseru tegang ketika senjata terpukul lepas. Sambil
mundur dia keluarkan sebuah belati. Kalau dengan ganco yang lebih besar dan
panjang dia tidak sanggup menghadapi Kioro Mertan, apalagi harya dengan
mengandalkan pisau seperti itu. Beberapa kali saja menerima serangan akhirnya
dia mati langkah. Dia hanya bisa keluarkan seruan pendek dan terbelalak ketika
parang di tangan kanan orang tua bungkuk itu menembus perlengahan dadanya!
Anggota komplotan yang pertama
kali menerima hajaran Kioro Mertan dan masih tergelimpang di tanah, sebenarnya
telah siuman dari pingsannya. Luka di pahanya sakit bukan kepalang. Darah masih
mengucur. Kepalanya yang tadi kena di tendang mendenyut tiada henti, membuat
pemandangannya berkunang. Meskipun samar-samar ternyata dia sempat menyaksikan
kematian kedua kawannya tadi. Hal ini membuat dia ingin segera lari selamatkan
diri. Namun jika dia kalah cepat pasti dirinya akan jadi korban yang ke tiga.
Dengan cerdik akhirnya dia memutuskan berpura-pura pingsan terus.
Syukur-syukur kalau orang tua itu menyangkanya sudah mati.
Kioro Mertan memandang
berkeliling. Seperti yang diharapkan anggota komplotan Ganco Item yang masih
hidup, dia ternyata memang menyangka orang itu sudah mati. Sambil menyarungkan
parangnya, orang tua ini mendekati salah seekor dari tiga kuda anggota
penjahat lalu melompat ke atas punggung binatang ini dan tinggal-kan tempat
itu.
Setelah merasa aman, penjahat
yang luka pahanya berusaha berdiri. Dia harus segera menuju keperkemahan untuk
melaporkan apa yang terjadi. Tapi orang ini serta merta jatuhkan dirinya ke
tanah kembali ketika tiba-tiba dia mendengar ada suara derap kaki kuda
mendatangi. Lewat matanya yang dibukanya sedikit dia melihat seorang pemuda
berpakaian dan berikat kepala putih muncul di tempat itu menunggang kuda
coklat. Di atas bahu kirinya, dengan satu tangan bergelantungan ke leher pemuda
itu, ada seekor monyet yang tiada hentinya mengeluarkan suara berisik
memekakkan telinga.
"Tenang Ken Cilik. Jangan
ribut. Kita pasti menemukan kakekmu itu…" kata pemuda di atas kuda lalu
mengelus monyet di bahunya beberapa kali. Monyet ini berhenti berteriak, hanya
kepalanya saja yang berputar-putar kian kemari tak bisa diam.
"Hemmm… Siapa yang punya
pekerjaan ini?" terdengar pemuda itu kembali berkata sambil menggaruk
rambutnya yang gondrong. Sesaat dia memandang berkeliling. Memperhatikan sosok
tubuh yang bergeletakan di tanah satu persatu. Penjahat yang masih hidup merasa
nafasnya seolah-olah sudah mau putus. Kedua matanya dipejamkan. Dia tak berani
bergerak bahkan untuk beberapa saat dia menahan nafas sedapat-dapatnya.
Ketika didengarnya suara
kaki-kaki kuda dipacu menjauh tanda pemuda tadi sudah meninggalkan tempat itu
baru anggota komplotan Ganco item yang masih hidup ini berani membuka mata dan
perlahan-lahan mencoba bangkit. Dia menggigit bibir melihat luka besar di paha
kanannya. Dirobeknya bajunya lalu dengan robekan baju itu dibalutnya luka yang
menganga dan masih berdarah itu. Dengan terbungkuk-bungkuk dan
terpincang-pincang menahan sakit dia melangkah lalu naik ke atas kudanya.
Jauh di sebelah depan Pendekar
212 Wiro Sableng memacu kuda coklat yang ditungganginya. Tujuannya adalah Kudus
di mana didengarnya gerombolan Ganco Item berada. Dia tidak berhasil menemui
Kioro Mertan, tapi dia yakin orang tua yang juga merupakan kakeknya itu telah
lebih dulu menuju ke sana. Wiro tidak mengetahui apa yang diandalkannya orang
tua lanjut usia dan bungkuk itu hingga nekad mengejar para penjahat. Apapun
kehebatan yang dimilikinya mendatangi markas gerombolan sama saja dengan
mendatangi sarang macan. Orang tua itu harus ditolong. Ini dirasakan sebagai
satu kewajiban besar bagi Pendekar 212. Apalagi cucunya yang masih ada hubungan
darah sangat erat dengan Wiro telah pula diculik oleh orang-orang jahat itu.
Wiro menggebrak kuda coklatnya
agar lari lebih kencang. Namun dia tidak menyadari bahwa arah yang ditempuhnya
menyimpang cukup jauh dari tujuannya hingga ketika akhirnya dia sampai di
markas komplotan Ganca Item malapetaka besar telah menimpa Kioro Mertan dan
Sumiati.
***
Rombongan pasukan Kadipaten
Jepara itu terdiri dari lima orang. Empat orang prajurit dan seorang bintara
bernama Anggoro yang bertindak selaku pimpinan. Dari cara mereka memacu kuda
demikian cepat agaknya pasukan ini mempunyai satu urusan penting. Saat itu
mereka tengah bergerak menuju ke timur sementara sinar matahari yang
menggelincir ke ufuk tenggelamnya mulai terasa meredup.
Di sebuah kali kecil rombongan
berhenti untuk memberi minuman dan mengistirahatkan kuda sebentar. Ketika
hendak melanjutkan perjalanan bintara yang bertindak sebagai pimpinan
mengangkat tangan memberi tanda.
"Ada orang datang!"
katanya.
Empat perajurit segera
letakkan tangan di hulu senjata masing-masing. Di seberang kali, dari arah mana
tadi mereka datang kelihatan seorang penunggang kuda berambut putih.
Penunggang kuda ini rupanya juga sudah melihat rombongan pasukan Kadipaten itu
karena dia sengaja mengarahkan kudanya ke tempat rombongan berada di tepi
kali. Sebelum orang berambut putih datang dekat, baik bintara maupun empat
perajurit itu segera mengenali siapa adanya orang yang datang itu.
"Bintoro Anggoro!"
tiba-tiba orang berambut putih itu berseru. "Aku gembira bisa bertemu
denganmu di tempat ini. Sebelumnya aku tidak sempat melapor ke Kadipaten. Tapi
aku yakin saat ini sudah dilakukan pengusutan."
Anggoro memandang pada keempat
bawahannya sesaat lalu berpaling pada penunggang kuda yang kini sudah sampai
dan berhenti di depannya. ;
"Pak tua Kioro Mertan,
aku tidak menyangka akan bertemu kau di tempat sejauh ini! Sedang menuju ke
manakah pak tua gerangan?"
"Jadi betul dugaanku kau
dan rombongan tidak tahu apa yang telah terjadi di Jatingaleh!?"
Bintoro Anggoro menggeiengkan
kepala. "Lekas katakan apa yang terjadi. Eh, kulihat ada bercak-bercak
darah di pakaianmu!"
"Gerombolan Ganco Item
menyerbu desa menjelang siang tadi. manusia-manusia biadab itu merampok dan
membunuh. Kepala Desa dan istrinya tewas. Cucuku Sumiati diculik. Saat ini aku
tengah melakukan pengejaran. Para penjahat itu membuat markas sementara di luar
Kudus. Aku bersyukur menemui kalian di sini. Aku perlu bantuan kalian!"
kata orang tua berambut putih yang ternyata adaiah Kioro Mertan.
"Kurang ajar! Jadi
gerombolan Ganco Item sudah mengganas pula. Bahkan berani menyerbu
Jatingaleh!" Bintara Anggoro kepalkan tinjunya. Wajahnya menunjukkan
kemarahan.
"Kita tidak punya waktu
lama. Ikut aku ke Kudus. Aku perlu bantuan kaliani!" kata Kioro Mertan
yang ingin segera melanjutkan pengejaran.
"Kami akan
membantu!" jawab Anggoro. "Tapi kekuatan gerombolan itu cukup besar.
Selain tiga pimpinan mereka yang berkepandaian sangat tinggi, gerombolan itu
memiliki lebin dari dua lusin anggota."
"Kita bisa menyusun
rencana seperti ini," sahut Kioro Mertan pula. "Kau dan tiga orangmu
bersamaku langsung menuju tempat persembunyian para penjahat. Anak buahmu yang
keempat kau perintahkan ke Kadipaten Kudus untuk meminta bantuan. Begitu
bantuan datang kita terus menyerbu."
Sesaat Anggoro tidak berkata
apa-apa.
Kioro Mertan jadi jengkel dan
berkata.
"Bintoro, urusan ini
adalah tanggung jawabmu. Tapi jika kau merasa ragu-ragu aku tidak takut
melakukan penyerbuan seorang diri. Demi darah dan nyawa anak cucuku!"
"Jangan salah menduga pak
tua," kata Anggoro pula. "Aku setuju pendapatmu. Mari kita berangkat
sekarang juga."
Lalu Bintara ini berkata pada
salah seorang anak buahnya. "Kau langsung menuju Kudus. Laporkan apa yang
terjadi di Jatingaleh dan katakan apa rencana kita."
Prajurit itu mengangguk sambil
menunjukkan sikap siap. Dia juga melihat bagaimana Bintara Anggoro atasannya
itu mengedipkan mata kirinya ketika memberikan perintah.
***
Kapak Maut Naga Geni 2125
Hutan belantara itu terang
benderang oleh cahaya obor. Makanan dan minuman berlimpah ruah. Setiap anggota
gerombolan Ganco Item bisa makan dan minum sepuasnya serta bersenang-senang
dengan perempuan-perempuan yang ada di situ. Kebanyakan perempuan-perempuan ini
adalah perempuan-perempuan penghibur yang datang dari pantai utara. Namun ada
pula diantara mereka yang diculik dan dilarikan dari desa atau kampung yang
pernah diserbu oleh gerombolan Ganco Item.
Ganco Langit tegak di depan
tenda sambil mengenakan baju hitamnya. Dia mengusap keringat yang membasahi
dadanya lalu memandang ke jurusan di mana Ganco Bumi dan Ganco Laut duduk
memperhatikannya sambil menyeringai.
Kepala gerombolan penjahat itu
balas menyeringai. Ketika Ganco Bumi dan Ganco Laut mendatangi, Ganco Langit
berkata setengah berbisik.
"Tidak mengecewakan.
Tubuh bagus, semua serba keras. Betul-betul tidak mengecewakan walau aku cuma
dapat bekas kalian! Ha…. ha… ha… ha …!"
"Seperti rencana,
menjelang pagi kita segera akan meninggalkan hutan ini menuju ke selatan.
Bagaimana dengan gadis itu. Kau ingin kita membawanya serta?" bertanya
Ganco Laut.
"Aku sudah cukup puas
menikmati tubuhnya tadi. Lagi pula aku masih punya Jaminten yang hebat itu.
Terserah kalian. Jika kalian masih senang, kalian bisa membawanya. Saat ini
kurasa dia masih setengah pingsan."
Ganco Laut yang masih dikuasai
nafsu, apalagi barusan habis meneguk banyak minuman keras menyibakkan kain
penutup tenda. Di dalam sana dilihatnya Sumiati tergeletak tak bergerak tanpa
selembar benangpun menutupi tubuhnya. Dari mulut gadis malang anak kepala desa
Jatingaleh itu terdengar suara erangan. Manusia beradab akan luluh hati dan
perasaannya melihat keadaan dan mendengar erangan yang memilukan itu. Tetapi
manusia durjana seperti Ganco Laut justru merasa terbakar nafsunya.
"Puaskan dirimu Ganco
Laut. Kita masih punya banyak waktu. Tapi ingat, besok kita ada pekerjaan besar
di Selatan!" berkata Ganco Langit yang sudah bisa menduga apa yang akan
dilakukan sobatnya itu.
Ganco Laut menyeringai. Dia
memegang bahu Ganco Langit lalu melangkah masuk dalam tenda.
Namun langkahnya terhenti
ketika tiba-tiba ada seorang anggota komplotan muncul dan berkata.
"Ganco Langit, anggota
pengintai melihat ada serombongan orang berkuda bergerak ke jurusan
sini!"
"Sudah diketahui atau
sudah diselidiki siapa mereka?" tanya Ganco Langit.
"Mereka berjumlah lima
orang. Yang satu adalah Kioro Mertan, ayah kepala Desa Jatingaleh. lalu seorang
bintara dari Kadipaten Jepara dan tiga orang prajurit anak buahnya."
"Hemmm… " Ganco
Langit menatap Ganco Bumi dari Ganco Lout sesaat lalu berkata, "Kioro
Mertan pasti hendak membuat keonaran di sini untuk menyelamatkan cucunya. Orang
tua itu ternyata punya nyali. Biarkan mereka datang ke mari! Rapatkan penjagaan
di titik-titik rawan. Siapa tahu ada lagi orang-orang tak diundang berani
muncul di sini!"
Dari bagian hutan yang gelap
lima penunggang kuda muncul. Kioro Mertan di depan sekali. Meski sadar keadaan
dirinya berada di bawah ancaman besar namun dengan berani orang tua bungkuk ini
melompat dari kudanya dan melangkah cepat ke arah tenda. Sebilah parang
tergenggam di tangan kanannya. Bintoro Anggoro memberi isyarat, mengikuti
langkah Kioro dengan cepat. Dia juga telah menghunus senjatanya yakni sebatang
pedang yang ujungnya berkeluk.
Diam-diam Ganco Langit dan dua
pimpinan gerombolan Ganco Item lainnya jadi bertanya-tanya ketika melihat
parang bernoda darah kering yang dipegang oleh Kioro Mertan.
"Apa yang telah dilakukan
orang tua in!?" tanya Ganco Bumi dalam hati.
Kioro Mertan dan Bintoro
Anggoro sampai di depan tenda. Sepasang mata orang tua itu berapi-api. Dia tahu
tiga orang yang tegak di depannya itu pastilah para pemimpin gerombolan biadap
Ganco Item tapi tidak tahu yang mana Ganco Langit. Maka dia pun membentak.
"Mana di antara kalian
yang bernama Ganco Langit?!"
"Tua bangka buruk! Kau
berani mati bicara keras dan menjual lagak di hadapan kami?!" hardik Ganco
Laut lalu tangannya bergerak hendak menjambak rambut putih orang tua itu.
Ganco Langit menghalangi dan
berkata, "Aku Ganco Langit! Kau punya nyali besar berani datang ke mari
Bukankah kau orang tua yang bernama Kioro Mertan, ayah mantu kepala desa
Jatingaleh? Apa perlumu menyasarkan diri datang kemari?!"
"Aku tidak datang
menyasarkan diri. Aku sengaja mencarimu! Kau manusia iblis masih bisa bertanya
apa keperluanku kemari! Bangsat! Kau membunuh anak menantuku! Kau juga membunuh
lebih dari selusin penduduk Jatilengah. Perempuan dan anak-anak! Merampok!
Menculik cucuku Sumiati!"
"Penjelasanmu cukup
lengkap. Sekarang katakan saja apa maumu Kioro Mertan?!"
"Bebaskan cucuku! Jika
sesuatu terjadi atas dirinya akan kugorok batang lehermu! Lihat! Darah di
parang ini masih kelihatan jelas! Ini adalah darah tiga anak buahmu yang sudah
kuhabisi!"
Tampang tiga pimpinan Ganco
Item tampak berubah sesaat. Tanda tanya parang berdarah itu telah terjawab.
"Kalau kau datang untuk
meminta cucumu, itu soal kecil. Kau bisa mendapatkannya kembali!"
"Ganco Langit…. "
Ucapan Ganco Laut tertahan.
Ganco Langit memberi tanda agar dia diam lalu berpaling pada Kioro Mertan.
"Kau akan mendapatkan
cucumu kembali, bapak tua."
"Mendapatkannya kembali
dalam keadaan selamat. Tak kurang suatu apapuni Jika…"
"Kau akan mendapatkannya
seperti kataku tadi. Hanya saja rnungkin ada yang kurang sedikit. Mungkin dia
kukembalikan dalam keadaan tidak berpakaian lagi…" Ganco Langit lalu
tertawa gelak-gelak. Ganco Bumi ikut tertawa sedang Ganco Laut hanya bisa
menyeringai. Jika Ganco Langit benar-benar hendak mengembalikan gadis itu
berarti dia tidak punyai kesempatan untuk mengulangi maksud bejatnya. Ganco
Laut tak dapat menerka apa sebenarnya yang ada di benak kepalanya itu.
Ganco Langit menjetikkan
jari-jari tangannya dan anggukkan kepala pada Ganco Bumi. Melihat isyarat ini
Ganco Bumi segera masuk ke dalam tenda. Ketika keluar kelihatan dia memapah
sesosok tubuh tanpa pakaian,
Kioro Mertan seperti disambar
petir melihat pemandangan yang menusuk mata itu.
"Sumi!" teriak orang
tua ini.
"Ka… kakek…" suara
Sumiati sehalus bisikan. Gadis malang telah dirusak kehormatannya ini secara
keji bergantian tegak terhuyung-huyung.
"Kau mau cucumu,
ambillah. Lalu lekas pergi dari sini!" kata Ganco Bumi. Tubuh Sumiati
didorongnya keras-keras.
Kioro Mertan cepat memeluk
tubuh cucunya sebelum jatuh ke tanah. Dia menyambar kain tirai penutup pintu
tenda lalu menutupi kain itu ke tubuh Sumiati yang saat itu terguling tak
berdaya di tanah. Kedua matanya terbuka lebar, tapi dia seperti tidak melihat
apapun kecuali bayangan-bayangan menyeramkan yang gentayangan di depannya.
Dari tenggorokan Kioro Mertan
terdengar suara menggembor. Dari keadaan Sumiati saat itu dia sudah tahu
malapetaka apa yang telah menimpa cucunya itu.
"Iblis durjana!"
teriak Kioro Mertan. Dia melompat ke hadapan Ganco Langit. Parang di tangannya
membabat ke arah leher kepala gerombolan itu.
Trang!
Sebilah senjata disorongan
dari samping menangkis bacokan parang si orang tua.
Kioro Mertan tersentak kaget.
Di mundur satu langkah dan berpaling lalu membentak keras.
"Bintoto Anggoro! Apa-apan
kau ini!" Kedua mata Kioro Mertan seperti hendak melompat dari sarangnya
saking marah dan kaget tak percaya. "Mengapa kau menangkis seranganku!
Menolong durjana keparat ini?!"
Bintoro Anggoro menyeringai.
Ganco Langit mendehem beberapa kali sementara Ganco Bumi dan Ganco Laut mulai
keluarkan suara tertawa mengekeh.
Kioro Mertan memandang
berkeliling. Apa yang tidak dimengertinya dia mendapatkan jawaban sesaat
kemudian ketika dia mendengar ucapan Bintaro Anggoro yang membuatnya laksana
dipanggang api amarah.
"Orang tua pikun! Kau
terlalu tolol untuk mengetahui bahwa kita sebenarnya bukan di pihak sama!"
"Bangsat! Jadi
maksudmu…."
"Maksudku ini!"
jawab Bintoro Anggoro. Lalu tanpa terduga sama sekali bintara Kadipaten Jepara
ini tusukkan pedangnya ke perut Kioro Mertan. .
Dalam keterkejutannya orang
tua itu jadi berlaku lengah. Dia baru sadar ketika ujung pedang Anggoro masuk
ke dalam perutnya sedalam sepertiga jengkal!
"Pengkhianat
keparat!" teriak Kioro Mertan sementara darah mulai mengucur dari perutnya.
Anggoro terpaksa menarik
tangan tak berani meneruskan tusukannya karena dengan ganas, setelah keluarkan
suara menggembor Kioro Mertan menghantam dengan parangnya.
Dengan perut terluka dan darah
mengucur orang tua ini terus menerjang kalap. Parangnya menderu mengurung
bintara Kadipaten Jepara itu. Dia tidak menyesalkan kematian dirinya asalkan
dia dapat membunuh orang itu.
Dalam waktu singkat bintara
itu terdesak hebat. Anggoro bertahan mati-matian. Selama ini dia sama sekali
tidak mengetahui kalau Kioro Mertan yang dikenalnya sebagai petani dan
peternak biasa ternyata memiliki kepandaian tidak sembarangan. Dia bertahan
mati-matian dan keluarkan jurus-jurus tipuan mematikan. Namun ternyata
kepandaian Kioro Mertan hampir dua tingkat di atasnya. Ketika dia berhasil
mengelakkan satu bacokan, dari kiri tendangan kaki orang tua bungkuk itu tak
dapat dieiakkannya. Tubuhnya melintir terhuyung dan dikejapan itu pula parang
lawan membabat ke lehernya!
"Tua bungkuk ini boleh
juga!" kata Ganco Langit. Seperti Bintoro Anggoro dan juga dua pimpinan
komplotan Ganco Item lainnya, diapun tidak menyangka kalau Kioro Mertan bukan
saja punya nyali, tapi memang juga punya kepandaian. Melihat bintara itu
terancam keselamatannya, dia memberi tanda pada Ganco Laut.
Orang ketiga dalam jajaran
geromboian Ganco Item ini berkelebat ke depan. Dia masuk ke kalangan
perkelahian hanya dengan mengandalkan tangan kosong. Di antara ketiga pimpinan
komplotan Ganco Item, Ganco Laut memang menguasai ilmu silat tangan kosong paling
tinggi. Walaupun dia memiliki senjata sebuah ganco besi yang besar dan berat
namun dia lebih senang membunuh lawan-lawannya dengan tangan telanjang.
Kedua tangan Ganco laut
berkelebatan mengeluarkan deru angin yang keras dan dingin. Hal ini sudah cukup
membuat Kioro Mertan bertaku hati-hati. Tangan kosong Ganco Lout bisa lebih
berbahaya dari senjata di tangan Bintoro Anggoro.
Nasib Kioro Mertan ditentukan
oleh jotosan ganco Laut pertama yang bersarang tepat diperutnya yang luka.
Darah muncrat dan sempat membasahi pakaian hitam Ganco Laut. Selagi orang tua
itu terhuyung-huyung kaki kanan Ganco Laut melesat ke udara, mendarat dengan
tepat di rahang Kioro Mertan. Tubuh bungkuk itu terpelanting. Bersamaan dengan
itu pedang Bintoro Anggoro menetak di punggungnya. Kioro Mertan terpekik.
Tubuhnya terbanting menelungkup di tanah. Ganco Langit siap untuk menginjak
kepala orang tua Itu sedang Bontoro Anggoro sudah mengangkat tangan untuk
meletakkan pedangnya ke batang leher lawan yang sudah tidak berdaya.
"Cukup!" tiba-tiba
terdengar Ganco Langit berseru. "Tidak kalian hajarpun umurnya tak bakal
lama. Seret tubuhnya dari depan tenda!"
Dua orang anggota komplotan
segera menggotong tubuh Kioro Mertan yang berada dalam keadaan sekarat itu ke
tepi perkemahan. Ganco Langit tengah memandangi tubuh Sumiati yang terbujur di
tanah bertutupkan kain ketika Bintoro Anggoro mendatanginya.
Ganco Langit tertawa lebar dan
tepuk-tepuk bahu Bintara itu.
"Aku memang sudah lama
ingin bertemu denganmu sobatku. Kau datang membawa kabar apa?"
"Aku dan anak-anak memang
tengah dalam perjalanan ke mari ketika di jalan bertemu dengan Kioro Mertan.
Sebenarnya aku bisa membokongnya dalam perjalanan. Tapi aku Ingin kau sendiri
menyaksikan bahwa kita selama ini selalu punya kerjasama yang baik."
Ganco Langit tertawa
gelak-gelak mendengar kata-kata Bintara Kadipaten Jepara itu.
"Sejak dulu-dulu aku
memang selalu percaya padamu, Bintoro Anggoro. Nah, ada kabar apa saja yang
bisa kau berikan?" tanya Ganco Langit. "Atau kau ingin kita bicara di
dalam tenda sana?’
"Di sini saja tidak jadi
apa. Aku tak akan lama Ganco Langit. Apa yang terjadi di Jatingaleh sudah
sampal di Kadipaten Jepara. Kau tak usah kawatir terhadap Adipati Moro Gantolo.
Dia sedang berada di selatan seat ini. Tapi kita harus berjaga-jaga terhadap
Perwira Muda yang menjadi tangan kanannya."
"Maksudmu Ario
Gelem?"
"Betul," jawab
Anggoro.
"Perwira keparat itu!
Kenapa kita tidak pernah bisa menariknya agar bergabung?" Ganco Langit
mengkepalkepal tinju kanannya lalu memukulkannya berulang kali ke telapak
tangan kirinya.
"Kita sudah mencoba
membujuknya secara halus berulang kali. Tapi hasilnya nihil. Kurasa sudah
saatnya kita menyingkirkannya sebelum dia macam-macam dan bikin susah
kita!" kata Ganco Bumi pula.
"Mungkin kau benar Bumi.
Sudah saatnya kita menyingkirkan kutu busuk itu. Malam ini akan kita bicarakan
cara yang baik untuk melakukan hal yang itu." Lalu Ganco Bumi berpaling
pada Anggoro dan bertanya kalau ada hal lain yang hendak dikatakannya.
"Aku menyarankan agar
saat ini juga meninggalkan tempat ini. Ario Gelem bisa melakukan hal-hal yang
tidak terduga. Meskipun kekuatan yang bisa dihimpunnya tidak seberapa namun
masalahnya bisa merambat. Sekali tersiar di Kotaraja kita semua bisa
celaka…"
Ganco Langit tersenyum. Dalam
hati dia berkata, "Kau yang bakal celaka Bintoro Anggoro! Bukan aku! Tapi
nasihatnya memang perlu diperhatikan."
"Hanya itu saja yang kau
katakan Bintoro?"
"Saat ini hanya itu saja
Ganco Langit. Aku harus kembali ke Jepara sebelum matahari terbit.
"Baiklah," kata
Ganco Langit. Dia masuk ke dalam tenda. Ketika keluar di tangannya ada sebuah
kantong kecil. Kantong ini disusupkannya ke pinggang Anggoro. Bintara itu
mengucapkan terima kasih berulang kali lalu kembali ke tempat dia meninggalkan
kudanya. Bersama tiga orang anak buahnya dia segera berlalu dari hutan itu.
Ganco Langit berpaling pada
Ganco Bumi dan Ganco Laut. "Pesta kita hentikan sampai di sini. Beri tahu
anakanak bahwa kita berangkat ke selatan sekarang juga. Tanganku sudah gatal
untuk memegang barang-barang antik yang terbuat dari tempat itu!"
"Ganco Langit,"
Ganco Bumi berkata, "Jika kita bergerak ke selatan lebih dahulu, apakah
kita masih punya waktu untuk bertemu dengan sobat kita si Tengkorak Darah di
Rembang?"
"Tak usah kawatir, aku
sudah mengirimkan utusan memberi tahu Tengkorak Darah. Jika satu hari setelah
mendarat di pantai Rembang kita tidak muncul, pertemuan berikutnya adalah di
pantai Demak. Soal makanan dari perempuan yang perlu dikirimkan padanya sudah
diatur oleh orang di Tanjung Bugel."
"Kalau begitu tak ada
yang dikawatirkan. Kita bisa berangkat saat ini juga," kata Ganco Langit,
"Aku akan perintahkan semua anak buah agar bersiap-siap."
"Sebentar!" menyela
Ganco Laut yang sejak tadi hanya berdiam diri, "Aku masih ingin
mempertanyakan si cantik itu. Apakah aku bisa membawanya serta dalam rombongan
kita?"
Ganco Langit tertawa lebar.
"Rupanya kau masih belum melupakan kekerasan tubuh anak gadis Ranalegowo
itu.
Kau bisa membawanya ke mana
kau suka. Mungkin sewaktu-waktu akupun membutuhkannya. Hidup ini harus dibumbui
dengan selingan. Bukankah begitu? Ha… ha… ha…"
Suara tawa Ganco Langit
terhenti ketika ada satu tangan memegang dan meremas bahunya. Lalu ada suara
perempuan terdengar ketus.
"Saya tidak mau lihat
gadis itu berada dalam rombongan kita!"
Ganco laut gelengkan kepala.
Mukanya tampak cemberut.
Ganco langit membalik dan
berhadapan dengan Jaminten, perempuan gemuk yang selama ini membuatnya
tergila-gila dan kadang-kadang jadi tak berkutik.
Saat itu Jaminten hanya
mengenakan sehelai baju panjang yang tipis. Cahaya api obor yang menembus
pakaian tipis itu membuat sekujur auratnya nyaris terlihat jelas.
Nafsu Ganco Langit jadi
terbakar.
"Kau tak usah kawatir dia
akan menyaingimu Jaminten," kata Ganco Langit membujuk sambil membelai
pipi Jaminten.
"Gadis itu perlu dibawa
bukan untuk diriku dan temanteman, tapi ada satu rencana yang harus
dijalankan."
"Siapa percaya pada
dirimu. Siang tadi Ganco mengatakan lebih suka menggeluti tubuh saya. Tapi
ternyata malam ini Ganco langit menidurinya. Jangan kira saya tidak tahu!"
Jaminten lalu pasang wajah cemberut.
Ganco Langit tersenyum lalu
menciumi wajah Jaminten. "Seribu gadis boleh hadir, tapi kau tetap
pasangan yang tak bakal kulepaskan! Mereka tidak memiliki apa yang kau miliki!
Mereka dingin seperti barang pisang! Tak ada yang pandai menggigit dan
menggerung sepertimu!"
Jaminten melepaskan dirinya
dari pelukan Ganco langit lalu berkata. "Sebelum pergi aku ingin pergi ke
kali lebih dulu."
"Ya, sebaiknya kau
membersihkan diri baik-baik. Dalam perjalanan ke selatan mungkin kau tak punya
kesempatan melakukan hal itu."
Jaminten melangkah pergi.
Ketika lewat di depan Ganco Laut dia kedipkan matanya. Ganco Laut kemudian
terdengar berkata pada Ganco Langit. "Aku akan beritahu anak buah agar
segera bersiap-siap."
"Lakukan dengan cepat
Laut. Bumi, siapkan seekor kuda untuk membawa gadis itu."
Tak berapa jauh dari tempat
gerombolan itu berkemah terdapat sebuah kali kecil berair jernih. Jaminten
melangkah cepat-cepat menuju kali ini. Di satu tempat yang kelindungan dia
berhenti tapi tidak segera masuk ke dalam air untuk mandi atau membersihkan
dirinya. Dia berdiri dalam gelap seperti menunggu seseorang. Tak lama kemudian
dia mendengar suara orang mendatangi.
"Kenapa lama betul! Aku
sudah tidak sabaran!" kata Jaminten.
"Sstt, jangan
keras-keras. Nanti terdengar orang," menjawab lelaki yang barusan datang.
"Lekas tanggalkan
pakaianmu. Kita turun ke air." Jaminten melepas baju tipisnya.
"Tidak di tebing
saja?"
"Aku ingin di dalam air.
Sudah lama kubayangkan. Sekalian aku bisa membersihkan diri," bisik
perempuan bertubuh gemuk tapi padat itu.
"Terserah, aku hanya
mengikuti apa maumu."
Tanpa pakaian kedua orang yang
berlainan jenis itu turun ke dalam kali. Air kali terasa sejuk sekali. Jaminten
memagut leher lelaki itu lalu menempelkan tubuhnya rapat-rapat. Mulutnya
bertanya, "Kau ingin kuremas sampai pingsan?"
"Eh, apa maksudmu?"
"Kenapa kau tadi kudengar
Ingin membawa gadis itu dalam rombongan?"
"Aku hanya pura-pura,
agar Ganco Langit tidak curiga."
Jaminten tertawa kecil.
"Kau memang cerdik."
"Pujian itu tidak cukup.
Benarkah aku lebih hebat dari Ganco Langit seperti katamu tempo hari?"
"Yang satu itu memang
tidak tertandingi oleh Ganco langit. Nafsunya besar tapi kekuatannya seperti
lilin yang meleleh terbakar apinya sendiri." Jaminten lalu turunkan
tangan-tangannya kirinya ke bawah. Tangan itu lenyap di dalam air.
Di balik serumpun semak
belukar di tepi kali, pada bagian yang sangat gelap sepasang mata menyaksikan
kedua orang yang bergulung-gulung dalam air itu dengan penuh geram.
"Keparat! Aku memang
sudah lama mencium perbuatan mereka ini! Kalian berdua akan mati secara
tersiksa. Tapi tidak cepat-cepat. Aku masih membutuhkan lelaki itu sampai
urusan di selatan selesai."
Ketika orang ini hendak
beranjak dari balik semak belukar tempat dia mengintai didengarnya suara
Jaminten menggerung dari arah kali.
"Bangsat! Perempuan
bangsat!" kutuk serapah meledak keluar dari mulut orang itu.
***
Dinginnya udara malam
menambahkan siksaan bagi Kioro Mertan yang berada dalam keadaan mati dan hidup,
tergeletak di antara semak belukar, dibungkus kegelapan. Di antara suara
erangannya terdengar dia berulang kali memanggil nama Tuhan.
"Tuhan… kenapa tidak Kau
cabut nyawaku saat ini juga!
Aku rela mati! Tapi Tuhan, aku
mohon selamatkan cucuku Sumiati. Apapun nasib buruk yang telah menimpa dirinya
selamatkan dia…" kata-kata itu diucapkan Kioro Mertan berulang kali dalam
hatinya.
Ketika tubuhnya terasa sangat
lemah dan nafasnya mulai megap-megap mendadak telinganya sayup-sayup mendengar
langkah kaki kuda di kejauhan. Dengan pemandangan yang samar-samar dicobanya
menembus kegelapan. Hutan belantara itu sunyi senyap sejak gerombolan Ganco
Item meninggalkan tempat itu beberapa waktu lalu. Masih ada dua buah obor yang
menyala, mungkin terlupa dipadamkan.
Kioro Mertan sadar tidak ada
harapan baginya untuk hidup. Darahnya terlalu banyak mengucur. Namun rasa ingin
tahu siapa penunggang kuda yang datang itu membuat orang tua ini berusaha
keras membuka kedua matanya. Dalam kegelapan kemudian dilihatnya kuda bersama
penunggangnya, makin dekat, makin dekat. kedua matanya masih bisa mengenali
orang itu. Dia membuka mulut hendak berseru memanggil, tetapi yang keluar hanya
suara erangan.
Mulutnya bergerak.
"Wiro…! Aku di sini! Wiro…! Aku di sini!" namun ucapan itu hanya
menggema dalam hatinya. Tapi orang tua ini tidak putus asa. Dengan sisa
tenaganya dia berusaha menggerakkan kaki, menggoyang semak belukar dia berusaha
menggerakkan kaki, menggoyang semak belukar di hadapannya. Dia berhasil! Suara
gemerisik semak belukar yang tergeser kakinya menarik perhatian Pendekar 212.
Semula Wiro merasa kecewa karena dia hanya mendapat sisa-sisa bekas perkemahan.
Gerombolan Ganco Item pasti telah meninggalkan tempat itu selagi dia bersesat
menempun jalan.
Ken Cilik, monyet coklat yang
bergelantungan di lehernya keluarkan suara memekik tiada henti. Wiro berpaling
ke arah semak belukar dalam kegelapan.
"Siapa di situ?!"
Wiro membentak dan memandang tajam ke arah semak belukar yang bergoyang-goyang
itu. Pukulan tangan kosong disiapkannya untuk menjaga segala kemungkinan.
***
Kapak Maut Naga Geni 2126
SEMAK belukar itu tampak
bergoyang lagi. Lalu Wiro
mendengar suara erangan. Murid
Sinto Gendeng dari
Gunung Gede ini segera
melompat dari atas kuda, melangkah mendekati rumpunan semak belukar. Ketika
matanya berhasil menembus kegelapan malam terkejutlah pemuda ini begitu melihat
siapa yang tergeletak di balik semak belukar itu.
"Pak tua Kioro
Mertan!" Wiro menyebut nama orang tua itu lalu melompat dan jatuhkan diri
merangkul tubuh Kioro Merton. "Pak tua, katakan apa yang terjadi!"
Dari mulut orang tua itu hanya
terdengar suara mengerang. Wiro melihat luka besar di perut Kioro Merton.
Tengkuknya bergidik. Luka itu parah sekali. Orang tua ini tak akan bertahan
lama. Wiro segera mendukung Kioro Merton ke arah salah satu obor yang masih
menyala. Di tanah yang agak datar dibaringkannya orang tua yang tengah sekarat
ini. Lalu dia menotok tubuh Kioro Mertan di dua tempat. Orang tua in merasakan
sakit pada luka di perutnya berkurang sedikit. Dfa merasa ada hawa sejuk
mengalir ke keningnya ketika Wiro menekankan telapak tangannya di kepala.
Perlahan-lahan orang tua ini bisa membuka kedua matanya kembaii. Dia merasa ada
sedikit kekuatan yang membuatnya sanggup mengeluarkan katakata walaupun
terputus-putus.
"Wiro… tolong… Selamatkan
Sumiati. Dia… dilarikan orang-orang Ganco Item…"
"Kakek tahu kemana mereka
membawa cucumu itu?"
tanya Wiro.
"Aku tidak tahu… Aku
mendengar mereka me… menuju ke sela… tan. Kau… harus membalaskan sakit hati
ini, Wiro…"
"Saya bersumpah, demi
kakek, paman serta bibi! Demi semua penduduk Jatingaleh yang jadi korban
keganasan Ganco Item…"
"Kau harus hati-hati
Wiro. Ternyata gerombolan itu ti… tidak bergerak sendirian…"
Wiro diam, menunggu ucapan
orang tua itu lebih lanjut. Tapi Kioro Mertan juga diam.
"Kakek apa maksudmu
mereka tidak sendirian?’
Wiro cepat ajukan pertanyaan
ketika dilihatnya kedua mata Kioro Mertan hendak terpejam kembali.
"Ger…. gerombolan itu
dibantu oleh orangorang Kadipaten Jepara. Seorang Bintara bernama Anggoro
secara khianat menusukkan pedangnya ke perutku…"
"Keparat itu tak akan
kulepaskan. Begitu juga tiga pimpinan Ganco item!"
"Yang penting selamatkan
Sumiati. Dari Anggoro kau bisa mengorek keterangan kemana cucuku dibawa.
Hatihati Wiro, kurasa bukan cuma orang-orang Kadipaten Jepara saja yang
terlibat. Mungkin juga orang-orang besar di kotaraja. Gerombolan itu punya
banyak kaki tangan. Aku…"
Terdengar suara seperti
tercekik. Lalu tak terdengar lagi suara ucapan Kioro Mertan. Pendekar 212 Wiro
Sableng merasakan tubuhnya bergelatar. Pertama paman dan bibinya. Kini orang
tua yang dianggapnya sebagai kakek sendiri itu menemui kematian di depan matanya.
***
Sebuah papan besar tergantung
di depan bangunan beratap seng yang pintu-pintunya masih tertutup. Di atas
papan Itu tertera tulisan dari cat hitam berbunyi Haji Yan. Penjual Peti Mati
kayu Jati Asli.
Ketika jalan mulai ramai oleh
orang yang lalu lalang, tampak papan-papan depan bangunan terbuka satu persatu.
Seorang lelaki berkopiah putih, berjanggut dan berkumis jarang, berkulit kuning
dan bermata sangat sipit sibuk menyusun papan-papan yang dibukanya satu persatu
dan menyandarkannya di sebelah luar bangunan. Kini kelihatan ruangan dalam yang
penuh dengan tumpukan petipeti mati. Semuanya terbuat dari kayu jati.
Orang berkopiah putih ini
adalah Tan Siu Kong, pemilik tempat penjualan peti mati itu. Kakek moyangnya
sudah tinggal turun temurun di Jepara. Semua turunan mencari hidup dengan
menjual peti-peti mati. Tan Siu Kong merupakan turunan yang keempat. Meskipun
lahir dan dibesarkan di situ namun kalau bicara dialek tanah leluhurnya tak
pernah berubah.
Yan Siu Kong kawin dengan
seorang perempuan Jepara asli dan memeluk agama Islam. Beberapa tahun lalu dia
naik haji ke Mekkah. Sejak itu pedagangan peti mati ini lebih dikenal dengan
panggilan Haji Tan.
Baru saja Haji Tan selesai
membuka seluruh papan di bagian depan bangunan, seorang pemuda berambut
gondrong dengan seekor monyet bertengger di bahunya turun dari kuda, langsung
menemui Haji Tan. Binatang di bahunya memekik tiada henti lalu melompat ke atas
sebuah peti, pindah ke peti lain, begitu berulang kali.
"Hayyya…" kata Haji
Tan dalam hati. "Pagi-pagi pula ada tamu aneh. Mau bikin susah atawa mau
kasih untung!"
Meski hatinya agak was-was
melihat potongan tamu yang datang membawa monyet ini namun sebagai pedagang
yang baik haji Tan membungkuk sambil memberi salam.
"Saya mau pesan peti
mati," berkata pesan tamu yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng.
"Pesan…? Buat apa pesan?
Yang sudah jadi ada banyak. Situ silakan pilih…" Haji Tan menunjuk pada
susunan peti-peti mati yang di ruangan itu, yang berjumlah tidak kurang dari
dua puluh buah.
Wiro perhatikan peti-peti itu
sebentar lalu gelengkan kepala. "Peti-peti itu terlalu kecil. Aku ingin
yang tiga kali lebih besar."
Tentu saja Haji Tan
terheran-heran mendengar ucapan tamunya itu. "Hayya… Peti mati begitu
besal buat isi apa? Manusia mati atawa kalebo?"
"Haji Tan, kau tak usaha
banyak tanya. Siapkan sebuah peti mati tiga kali ukuran biasa. Aku juga
membutuhkan sebuah kereka terbuka untuk mengangkut peti mati besar itu. Lengkap
dengan dua ekor kuda yang kuat. Lalu bubuk penangkal bau busuk mayat. Ini
bayarannya!"
Dari balik pakaiannya Wiro
keluarkan sebuah kantong kain. Kantong ini dilemparkannya ke arah Haji Tan.
Pedagang peti mati ini cepat menyambutnya. Terdengar suara berdering. Haji Tan
cepat membuka tali kain pengikat kanton. Tanpa menghitung, dengan hanya melihat
sekilas saja pedagang ini sudah maklum berapa jumlah uang perak yang ada dalam
kantong itu. Banyak sekali. Lebih dari cukup untuk bisa menyediakan semua yang
diminta tamunya itu.
Setelah berdecak beberapa kali
Haji Tan berkata. "Anak muda, soal semua yang situ pesan situ tidak usah
kawatil. Owe cuma ada alasan helan. Peti mati sebegitu besal…"
Wiro cepat memotong.
"Haji Tan, kau siapkan saja apa yang aku pesan. Aku datang lagi tiga hari
di muka untuk mengambilnya!"
"Hayya! Apa…?! Tiga
Hali?! Mana wole hah? Paling tidak owe pelu sepuluh hali…"
"Lima hali. Jangan belani
tawal-tawal. Atawa owe kasi batal itu pesanan!" kata Wiro dengan menirukan
dialek Cinanya Tan Siu Kong, lalu dia ulurkan tangan pura-pura hendak meminta
kantong uang yang dipegang pedagang peti mati itu.
"Oooo jangan kasi watal.
Hayyaa… Lima hali. Owe telima!" Lalu Haji Tan cepat-cepat masukkan kantong
uang ke dalam saku baju putihnya.
"Ken Cilik!" Wiro
memanggil monyet yang masih enakenak duduk di salah satu peti mati. binatang
ini menyeringai. Ketika Wiro melangkah ke luar Ken Cilik cepat melompat ke bahu
sang pendekar baru saja Wiro berlaku, Haji Tan berteriak memanggil istinya.
"Tumini! Tumini!"
Sang istri yang sedang
menyiangi sayur lobak di dapur keluar tergopoh-gopoh. Tan Siu Kong acungkan dan
goyang-goyangkan kantong uang itu di depan wajah istrinya. Sang istri ikut
goyang-goyangkan kepala menuruti ayunan kantong uang.
"Saya lagi banyak kerjaan
di dapur. Pagi-pagi sudah bercanda. Apa-apaan ini?"
"Eeee, ini bukan becanda
Tumini," kata Haji Tan pula. "Ada olang gila datang! Pesan peti mati,
satu buah gelobak, dua ekol kuda tamba bumbu mayat! Kasih uang begini banyak!
Untung besal Tumini. Kita untung wesal. Ini ambil. Simpan baik-baik!" Haji
Tan serahkan kantong uang pada istrinya. Setelah memberikan beberapa pesan
pedagang peti mati ini tinggalkan rumahnya. Dia berjalan sambil senyum-senyum
karena memperoleh untung yang tidak terduga. Tetapi dia juga tidak habis pikir.
Pemuda gondrong yang tidak dikenalnya itu, muncul menunggang kuda, membawa
seekor monyet dan memesan peti mati sebesar itu.
Untuk apa? Sampai saat itu dia
sama sekali tidak mendengar kabar ada keluarga di Jepara yang kematian sanak
keluarganya memerlukan peti mati.
***
Kapak Maut Naga Geni 2127
GUBUK itu terletak di kaki
bukit tak berapa jauh dari Undaan yaitu antara Kudus dan Demak. Ganco Langit
duduk bersila di hadapan Ganco Bumi dan Ganco Laut. Di salah satu sudut gubuk
tergolek sosok tubuh Jaminten. Perempuan ini berbaring seenaknya sehingga
sebagian auratnya sebatas pangkal paha ke bawah tersingkap. Saat itu walau
kedua matanya terpejam tapi Jaminten tidak tidur. Diam-diam dia mendengarkan
pembicaraan tiga pucuk pimpinan gerombolan Ganco Item itu.
Perjalanan jauh sepanjang
siang tadi membuat sekujur badannya terasa letih. Namun dia tak bisa
memincingkan mata. Apalagi tadi Ganco Langit sudah berbisik padanya bahwa malam
ini, sebelum mereka melakukan pekerjaan besar besok siang, dia ingin Jaminten
melayaninya.
"Ganco Bumi, apa kau
sudah siap berangkat malam ini?" terdengar suara Ganco Langit bertanya
pada adiknya.
Ganco Bumi mendehem beberapa
kali lalu menjawab.
"Sudah. Aku membawa serta
lima orang anak buah. Sebetulnya aku lebih suka jika tugas ini dilakukan oleh
Ganco Laut."
Ganco Laut yang duduk di
sebelah Ganco Bumi diam saja. Hanya kedua matanya saja yang melirik ke arah
Ganco Langit.
"Ganco Laut bakal dapat
tugas lain.." kata Ganco Langit. "Lakukan tugasmu dengan baik. Ingat,
kita bergabung di lembah sebelah timur Kuto Ulir pada tengah hari besok."
Ganco Bumi mengangguk perlahan
lalu berdiri dan tinggalkan gubuk itu. Setelah mereka tinggal berdua Ganco Laut
bertanya. "Kau bilang bakal ada tugas lain untukku. Tugas apa Ganco
Langit?"
"Itu masih kupikirkan.
Aku ingin istirahat dulu…" Jawaban Ganco Langit itu cukup membuat maklum
apa yang akan dilakukan oleh Ganco Langit. Ganco Laut berdiri. Dia melirik
sesaat pada tubuh Jaminten yang terbaring mengangkang kemudian keluar dari
gubuk.
Ganco Langit menutup pintu gubuk
lalu merebahkan diri di samping Jaminten. Perempuan itu membalik. Nafas mereka
saling hembus. Lalu tangan Ganco Langit mulai bergerak. Jaminten menggeliat
kegelian. Geliatan ini menambah rangsangan Ganco Langit. Dipeluknya tubuh
gemuk itu seperti hendak melumat. Jaminten membalas seperti penuh bernafsu.
Tapi dalam hatinya perempuan ini berkata, "Puaskan hatimu! Kalau
barang-barang pusaka itu sudah didapat, berarti ajalmu sudah dekat Ganco
Langit!"
***
Pagi-pagi sekali ketika hari
masih gelap gerobak tertutup itu sudah masuk ke dalam halaman sebuah rumah di
luar timur Demak. Rumah ini meskipun kecil tapi sangat bagus bangunannya,
memiliki halaman besar dan selusin orang lelaki rata-rata bertubuh kekar tampak
melakukan pengawalan.
Lima orang anggota gerombolan
yang bertindak menjadi pengawal dengan tubuh letih melompat dari atas kuda
masing-masing. Ganco Bumi yang duduk di depan gerobak meneguk tuak dari dalam
sebuah bumbung bambu lalu melompat turun.
Dua orang berbadan kekar yang
agaknya telah mengenal Ganco Bumi segera datang menyongsong.
Keduanya memberi hormat Ganco
Bumi lalu salah seorang memberi tahu bahwa Adipati Demak, Bando Wiseso sudah
siap menunggu kedatangannya di dalam rumah. Ganco Bumi memberi isyarat pada
anak buahnya. Dua orang menyingkapkan kain penutup bagian belakang gerobak.
Sesaat kemudian tampak kedua orang itu menggotong sebuah usungan kayu di atas
mana terbaring sesosok tubuh yang diselimutl sampal sebatas leher.
Wajah yang tersembul dari
balik selimut itu adalah wajah seorang gadis. Walaupun parasnya tampak pucat
dan dia seperti dalam keadaan tidur namun jelas kelihatan paras itu cantik
sekali. Dia bukan lain adalah Sumiati, cucu Kioro Mertan, puteri tunggal kepala
desa Jatingaleh yang telah diculik dan dirusak kehormatannya secara keji oleh
Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut. Ada apakah kini gadis itu dibawa ke
tempat tersebut? Dimana telah menunggu seorang pejabat tinggi Kerajaan yaitu
Adipati Bandoro Wiseso?
***
Kapak Maut Naga Geni 2128
KEDUA lelaki berbadan kekar melangkah
mendahuiui memasuki rumah, diikuti oleh due anggota gerombolan yang mengusung
Sumiati lalu Ganco Bumi di sebelah belakang. Gadis malang itu diusung memasuki
sebuah kamar. Disitu telah menunggu Adipati Bandoro yang hanya mengenakan
pakaian tidur, bertubuh kerempeng tapi jangkung dan memelihara kumis tebal
melintang yang tidak sesuai dengan tampangnya yang kecil panjang dan cekung
pada kedua pipinya. Giginya yang tonggos menambah keburukan tampangnya. Dia
menyeringai ketika melihat paras gadis di atas usungan lalu berpaling pada
Ganco Laut. Tubuh Sumiati diletakkan di atas pembaringan. Setelah due pengusung
keluar, lelaki tinggi kurus ini melangkah mendekai Ganco Bumi dan menepuk-nepuk
bahu pimpinan gerombolan itu.
"Cantik sekali. Tapi
kenapa wajahnya agak pucat?"
Ganco Bumi tersenyum mendengar
kata-kata orang di depannya itu. "Perjalanan jauh membuat tubuhnya sangat
letih. Sebelumnya dia galak sekali, beberapa kali berusaha melarikan diri, Kami
terpaksa menotoknya."
"Ah…." Bandoro
Wiseso mengangguk. "Aku mengucapkan terima kasih. Kalian selalu
memberikan yang terbaik untukku. Kakakmu Ganco Langit tidak datang?"
Ganco Bumi menggeieng.
"Dia menitip pesan padamu Adipati. Dia berharap Adipati bisa
bersenang-senang sepanjang pagi sampal malam nanti. Lalu dia juga meminta agar
tidak adas pengawal atau perajurit atau orang-orang Kadipaten bertugas di
sekitar tenggara kita siang ini."
"Hemm… apakah yang hendak
kalian lakukan?" tanya Adipati Demak pula.
Ganco Bumi tidak menjawab.
Wajahnya menunjukkan rasa tidak senang dengan pertanyaan tadi. Adipati Bandoro
Wiseso batuk-batuk beberapa kali.
"Ah, maafkan aku. Sesuai
perjanjian diantara kita aku tak boleh terlalu banyak tanya dan ingin tahu.
Namun sepanjang kalian tidak keterlaluan, aku tak akan pernah keberatan.
Daerah tenggara memang kediaman orang-orang bangsawan dan orang-orang kaya.
Itukah sasaran kalian kali ini?"
Ganco Bumi menjawab sambil
tersenyum. "Dugaanmu tepat Adipati. Demak sudah dipenuhi oleh
bangsawanbangsawan kaya raya. Sementara rakyat miskin semakin banyak akibat
tanahnya dirampas secara halus. Sudah saatnya kekayaan mereka itu kita ambil
dan dibagi kembali kepada rakyat. Bukan begitu Adipati?"
"Betul! Betul sekali
Ganco Bumi!" jawab Adipati Bandoro Wiseso. "Aku setuju agar sebagian
harta kekayaan orang-orang kaya itu dibagikan pada rakyat jelata. Tapi kuharap
jangan melupakan perjanjian kita, Jika kalian berbuat sesuatu di luar Demak
tapi masih dalam kawasan kekuasaanku, bagianku adalah seperlima. Kalau kalian
menjarah dalam kota Demak, maka bagianku adalah empat perlima. Katakan itu pada
Ganco Langit!"
Ganco Bumi mengangguk.
"Tak usah kawatir. Kami orang-orang Ganco Item selalu menepati perjanjian
asalkan ada bantuan timbal balik."
Dari dalam saku baju hitamnya
Ganco Hitam keluarkan sebuah kantong berisi uang lalu dimasukkannya ke dalam
genggaman Adipati Bandoro Wiseso.
"Itu pembagian sisa
terdahulu. Sekarang saya minta diri." kata Ganco Bumi. Lalu dia menoleh ke
arah sosok Sumiati di atas tempat tidur. Sebenarnya Ganco Bumi masih ingin
melampiaskan nafsu bejatnya terhadap gadis itu. Tadi dia hendak melakukannya di
tengah jalan. Namun rencana besar yang akan dilakukannya bersama kakaknya lebih
penting. Ganco Bumi memandang pada Bandoro Wiseso kembali dan berkata. "Dia
masih sangat hijau Adipati. Jangan terlalu galak. Beberapa saat lagi totokan di
tubuhnya akan terlepas. Setelah itu kau bisa berbuat apa saja terhadapnya. Dua
hari di muka orang-orangku akan menjemputnya."
"Dua hari katamu Ganco
Bumi? Dua hari? Ah! Untuk gadis secantik ini paling tidak lima hari!" kata
Bandoro Wiseso dan tenggorokannya tampak turun naik. Matanya memandang
berkilat-kilat ke arah tempat tidur.
"Jika begitu maumu, kau
boleh memilikinya selama satu minggu!"
"Kau benar-benar kawan
yang hebat!" kata Bandoro Wiseso dengan tawa lebar. Seperti tadi kembali
dia menepuk-nepuk bahu Ganco Bumi.
"Siapa nama gadis itu
Ganco?"
"Sumiati."
"Sumiati… Sumiati,"
kata Bandoro Wiseso mengulang beberapa kali. Dia mengantarkan pimpinan
gerombolan itu sampai ke pintu depan. Belum lagi Ganco Bumi dan orangorangnya
keluar dari halaman rumah, Adipati Demak ini sudah menutup pintu dan setengah
berlari dia masuk kembali ke dalam kamar. Selimut yang menutupi tubuh Surniati
disingkapkannya. Sepasang mata lelaki berusia enam puluh tahun ini seperti
silau ketika melihat bahwa di balik selimut itu tak ada apapun yang menutupi
tubuh bagus si gadis.
Meski sudah diberi tahu bahwa
totokan di tubuh Sumiati akan terlempas dengan sendirinya dalam waktu tak
berapa lama lagi, namun saat itu Bandoro Wiseso mana bisa sabar. Ditelitinya
sekujur tubuh gadis itu. Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi Adipati
ini akhirnya berhasil mengetahui di bagian mana Sumiati ditotok. Dengan
mengerahkan tenaga dalam dia mengurut urat besar dekat ketiak kiri si gadis.
Sesaat kemudian tubuh Sumiati tampak bergerak. Kedua matanya perlahanlahan
membuka.
Melihat tampang Adipati itu
Sumiati seperti melihat setan. Mendengar suara bisikannya Sumiati seolah
mendengar suara hantu. Maka gadis ini pun menjerit keras!
***
Kapak Maut Naga Geni 2129
ADIPATI Bandoro Wiseso cepat
menutup mulut Sumiati. gadis ini berusaha melompat tetapi sekujur tubuhnya
lemah lunglai tak bertenaga. Dia hanya bisa menggulingkan diri ke samping kiri
tempat tidur. Sementara itu Bandoro Wiseso dengan cepat menanggalkan pakaian
tidurnya. Lalu sekali lompat saja diterkamnya tubuh gadis itu.
Namun seperti mendengar suara
petir begitu kagetnya sang Adipati ketika pintu kamar tiba-tiba hancur
berantakan di hantam orang dari kuar. Dan terkejut seperti melihat hantu dia
membeliak sambil melangkah mundur. Di hadapannya bergerak mendekat seorang
pemuda berambut gondrong yang tidak dikenalnya. Rahang pemuda ini mengembung.
Gerahamnya terdengar bergemeletakan. Kedua tangannya terpentang seolah slap
hendak mencekiknya.
Dua belas pengawal yang
bertebaran di sekitar rumah terheran-heran ketika melihat sebuah kereta yang
ditarik oleh dua ekor kuda memasuki halaman. Tidak kusir atau sais ada di atas
kereta itu. Yang kelihatan hanya seekor monyet coklat, duduk di bagian depan
kereta. Lalu ini yang membuat semua orang di situ dari heran menjadi terkejut.
Selagi perhatian semua
pengawal itu tertuju pada kereta tersebut, tanpa mereka ketahui sesosok bayang
putih berkelebat masuk ke dalam rumah!
Di atas kereta ada sebuah peti
mati kayu jati berwarna hitam, berukuran besar luar biasa. Pada dinding-dinding
peti mati itu terdapat angka 212 yang tidak mereka mengerti apa artinya.
Kayu di sebelah atas atau
penutup peti mati tampak terbuka. Ketika kereta itu akhirnya berhenti di tengah
halaman, kedua belas pengawal sesaat melangkah mengelilingi kereta itu.
Kemudian seperti diberi isyarat mereka sama berserabutan untuk melihat dari
dekat apa isi peti mati itu. Begitu mereka mengulurkan kepala, serentak kepala
masing-masing seperti disentak setan. Paras mereka menjadi berubah. Ada yang
merasa jijik, tetapi lebih banyak yang merasa mengkirik!
"Ada mayat dalam peti
itu…" desis salah seorang dari mereka.
"Mayat siapa…?" yang
lain bertanya dengan suara agak gemetar.
Ada seorang diantara mereka
yang berani dan coba melorigok kedalam peti mati kembali. Lalu kepalanya
cepat-cepat dipalingkan. "Aku rasa-rasa pernah melihat mayat ini…"
katanya seraya berpikir keras. Lalu dia ingat. "Astagal ini mayat Anggoro!
Bintara di Kadipaten Jepara!"
"Berarti peti mati ini
datang dari Jepara!"’ kata yang lain.
"Siapa yang
mengirimkannya…? Tidak mungkin kereta ini bisa menempuh jarak sejauh itu tanpa
ada kusirnya! Keanehan apa yang kita saksikan hari ini!" kata yang lain.
Baru saja dia berkata begitu
tiba-tiba ada suara menjawab dari arah rumah. "Peti mati itu memang
datang dari Jepara! Aku yang membawanya kemari! Kalian tidak melihat keanehan
hari ini! Yang kalian saksikan adalah siapa berbuat kejahatan dan kebejatan
akan menerima pembalasan setimpal!"
Serempak kedua belas orang
pengawal palingkan kepala. Apa yang mereka saksikan kemudian membuat semuanya
jadi melotot.
Seorang pemuda berpakaian
serba putih dan berambut gondrong tegak di depan rumah sambil mendukung dua
sosok tubuh. Yang pertama adalah tubuh gadis yang pagi tadi dibawa oleh Ganco
Bumi dan orang-orangnya. Tubuh gadis itu berada dalam keadaan tidak bergerak di
bahu kiri si pemuda, mungkin pingsan dalam keadaan tertotok. Dia mengenakan
pakaian milik Adipati Bandoro Wiseso.
Sosok tubuh kedua, dan ini
yang membuat dua belas pengawal itu terkejut dan terbelalak, ialah sosok tubuh
Adipati mereka sendiri. Sang Adipati hanya mengenakan celana tidur. Kepalanya
terkulai ke bawah. Leher itu patah! Dan dari mulut Bandoro Wiseso jelas
kelihatan mengucur darah!
"Pemuda itu membunuh
Adipati Bandoro!" seorang pengawal berteriak. Semuanya menjadi gempar.
Lalu sadar apa yang harus mereka lakukan, kedua belasnya serentak menyerbu!
Kita kembali ke kamar di dalam
rumah untuk mengetahui apa yang terjadi sebelum Pendekar 212 keluar dengan
mendukung tubuh Sumiati dan Bandoro Wiseso.
"Manusia keparat!"
teriak Wiro begitu dia menerobos masuk ke dalam kamar dan mendapatkan Adipati
tinggi kurus berkumis melintang dan tonggos itu berada dalam keadaan siap
hendak berbuat keji terhadap Sumiati. Dia merasa bersyukur telah mengambil
keputusan yang tepat. Sebelumnya dia sempat ragu untuk memilih apakah akan
mencegat Ganco Bumi dan orang-orangnya yang barusan dari Demak atau langsung
menuju Demak guna menyelamatkan saudara sepupunya itu. Wiro memilih untuk
melakukan yang kedua. Ternyata dia datang pada saat yang tepat.
"Kurang ajar! Siapa
kau?!" balas membentak Adipati Bandoro Wiseso.
"Tua bangka bejat!"
kembali Wiro mendamprat. "Tubuh sudah bau tanah masih saja berbuat
keji!"
"Bangsat! Jawab
pertanyaanku! Kau siapa yang berani masuk membobol pintu?!" bentak Bandoro
Wiseso.
Si gondrong menyeringai.
"Namaku Wiro Sableng! Tapi aku datang sebagai Malaikat Maut! Perbuatan
kejimu selama ini menentukan bahwa sudah saatnya kau menerima hukuman. Hari
ini adalah hari kematianmu."
"Malaikat Maut?!"
belalak Bandoro Wiseso. Dia hendak tertawa bergelak namun saat itu dia baru
sadar kalau dirinya sama sekali tidak mengenakan apa-apa.
Dia cepat menyambar celana
tidurnya. Wiro biarkan orang itu mengenakan celananya. Selesai mengenakan
celana dengan tampak beringas dia melangkah ke hadapan Wiro. Sementara itu
Sumiati berusaha menutupi tubuhnya dengan kain alas tempat tidur.
"Orang gila! Kau tahu
tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!"
"Lebih dari tahu!"
jawab Wiro sambil sunggingkan senyum mengejek. "Aku berhadapan dengan
seorang Adipati yang seharusnya menjadi abdi rakyat. Tapi malah bersekutu
dengan gerombolan penjahat untuk mencelakai rakyat! Kau makan uang sogokan!
Malah sampai hati hendak merusak kehormatan gadis tidak berdaya yang diberikan
oleh komplotan Ganco item!"
"Bangsat! Berani kau
memfitnah diriku!"
"Manusia jahanam! Bukti
di depan mata masih bisa kau bilang fitnah! Manusia bejat sepertimu pantas
segera disingkirkan!" kertak Wiro.
"Pengawal!" teriak
Adipati Bandoro Wiseso. Namun teriakannya hanya keluar sepotong karena saat itu
Pendekar 212 sudah meiompatinya dan menghantamkan satu jotosan ke muka Adipati
Demak ini.
Bandoro Wiseso berkelit ke
samping. Tangan kananya susupkan satu jotosan ke perut Wiro. Bersamaan dengan
itu kaki kanannya ikut menendang. Ternyata Adipati Demak ini menguasai ilmu
silat yang tidak bisa dibuat main. Begitu Wiro mengelak dia kembali memburu dengan
serangan bertubi-tubi. Dua jotosannya sempat melabrak perut dan dada murid
Eyang Sinto Gendeng ini.
Wiro merasakan perutnya
seperti pecah dan dadanya seolah melesak. Dia tidak punya banyak waktu untuk
melayani manusia satu ini karena harus segera mengejar Ganco Bumi sebelum orang
itu sempat bergabung kedua kambratnya.
Ketika Bandoro Wisese kembali
menggempurnya dengan serangan berantai Pendekar 212 langsung menyongsong
dengan jurus "Di balik gunung memukul halilintar!" tangan kirinya
diangkat untuk menangkis. Bersamaan dengan itu tangan kanan yang sudah dialiri
kekuatan tenaga dalam tinggi lepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat.
Inilah jurus silat yang diwarisinya dari Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede.
Ketika ada angin yang
mendahului pukulan tangan kanan lawan, Bandoro Wiseso maklum kalau Wiro hendak
menghantamnya dengan pukulan maut. Maka Adipati Demak yang cukup punya
pengalaman ini cepa-cepat melompat ke samping kiri. Lima jari tangannya
membuat gerakan merenggut ke arah tenggorokan Wiro.
Serangan balasan sang Adipati
ternyata mampu mencapai sasaran lebih dulu dari hantaman tangan kanan yang
hendak dilepaskan Wiro. Hal ini membuat Wiro mau tak mau harus menarik
serangannya seraya membuat gerakan menjatuhkan lehernya dari serangan ganas
lawan. Begitu dia bisa menyelamatkan leher Wiro melompat ke atas tempat tidur.
Dari sini dia molompat ke arah lawan sambil mengeluarkan jurus silat yang
didapatnya dari Tua Gila di Pulau Andalas yaitu "Kilat menyambar puncak
Gunung." Yang diincarnya adalah batok kepala Adipati itu.
Bandoro Wiseso tidak mengira
serangan kedua ini datang begitu cepatnya. Tak ada kesempatan untuk menangkis,
lelaki ini jatuhkan dirinya. Begitu punggungnya menyentuh lantai maka dia akan
hantamkan kaki kanannya ke perut lawan. Tapi ternyata Pendekar 212 mengikuti
arah jatuhnya ke samping kiri. Dari arah ini tebasan tangannya masih terus
menderu dengan deras. Batok kepala Bandoro Wiseso memang luput dari serangannya
tapi kini gantinya justru adalah batang leher Adipati itu!
Kraak!
Tulang leher Bandoro Wiseso
berdetak patah!
Tubuhnya langsung terhuyung
roboh. Nyawanya sebenarnya sudah putus saat Itu juga. Namun saking geramnya,
sebelum tubuh itu jatuh ke lantai, murid Eyang Sinto Gendeng ini hantamkan
tumitnya ke dada Bandoro Wiseso.
Tak ampun lagi tubuh yang
sudah jadi mayat itu mencelat menghantam dinding. Dari mulutnya yang terbuka
kelihatan darah memuncrat!
Jika dituruti nafsu amarahnya
saat itu mau rasanya Wiro menghancurluluhkan kepala dan sekujur tubuh serta semua
anggota badan Adipati itu. Namun dia merasa tak ada gunanya. Mayat utuh sang
Adipati lebih baik dipakai sebagai penambah isi peti matinya!
Wiro tersadar oleh suatu
erangan dari arah tempat tidur. Dia berpaling. Gadis itu setengah terduduk.
Wajahnya pucat. Gadis itu berusaha menutupkan kain alas tempat tidur ke
tubuhnya. Wiro mendekat.
"Sumiati… Jangan takut.
Aku datang menolongmu…"
"Kau…Kau siapa?"
Suara gadis itu antara terdengar dan tiada. Dia berusaha beringsut menjauhkan
diri. Bencana yang dialaminya membuat dia tidak bisa percaya dengan siapa lagi
di dunia ini, apalagi yang namanya laki-laki.
"Aku Wiro. Aku saudara
sepupumu," jawab Pendekar
212. "Sau… saudara
sepupu…? Seumur hidup aku tidak pernah punya saudara sepupu. Kau pasti salah
satu dari
manusia-manusia terkutuk
itu!"
Wiro mendekat sambil
garuk-garuk kepala.
"Jangan sentuh tubuhku!
Bunuh! Lebih baik kau bunuh diriku! Aku ingin mati! Aku ingin mati!"
teriak Sumiati.
Sesaat Pendekar 212 jadi
terkesiap tak tahu apa yang harus dilakukan. Namun kemudian disadarinya bahwa
dia harus bertindak cepat.
"Aku tak punya waktu
banyak. Nanti saja aku terangkan." Habis berkata begitu Wiro segera
menotok tubuh Sumiati. Dari dalam sebuah lemari di kamar itu dia hanya
menemukan pakaian-pakaian lelaki yaitu milik Bandoro Wiseso. Bagaimanapun
pakaian itu lebih baik dipakaikan ke tubuh saudara sepupunya dari pada hanya
dibungkus dengan selimut atau kain alas tempat tidur.
***
Kapak Maut Naga Geni 21210
MENGHADAPI dua belas
pengeroyok dengan memikul dua sosok t.ubuh bukan peke,jaan mudah bagi Pendekar
212 Wiro Sabieng meskipun tidak terlihat satupun dari mereka memegang senjata.
Selagi orang-orang itu menebar
dan bergerak mendekatinya Wiro gerakkan bahu kanannya dengan keras. Mayat
Bandoro Wiseso yang ada di bahu kanan itu tersentak keras dan melayang di
udara. Tentu saja hal ini membuat kedua belas pengawal tadi sama keluarkan
seruan tertahan saking terkejutnya. Ada yang berusaha untuk menangkap tubuh
Adipati mereka itu. Namun tubuh itu melayang di atas kepala mereka ke arah
kereta lalu dengan suara bergedebuk keras menggidikkan jatuh masuk ke dalam
peti mati yang terbuka! Ken Cilik yang ada di atas kereta memekik beberapa kali
sedang dua kuda penarik kereta meringkik panjang. ,
"Kawan-kawan!" salah
seorang pengawal berteriak. "Mari kita bunuh pemuda ini!"
Maka dua belas orang yang tadi
terhenti gerakan mereka sesaat kini kembali menyerbu. Beberapa orang di
antaranya kelihatan mencabut senjata. Mereka tampaknya tidak ragu-ragu
sekaiipun serangan mereka mungkin akan mencelakai gadis yang ada di bahu kiri
Wiro.
Dalam keadaan seperti ini
menyerang lebih dahulu adalah lebih baik dari pada menunggu.
Pendekar 212 melompat ke kiri.
Tangan kirinya memegang pinggang Sumiati. Tangan kanan lepaskan satu jotosan.
Sasarannya adalah pengawal berhidung besar di ujung kiri. Namun dari samping
kawan si pengawal ini datang membabatkan goloknya. Wiro terpaksa membuat
gerakan berputar. Kaki kanannya berkelebat.
Bukk!
Pengawal yang tadi hendak
membacoknya terpental sambil keluarkan suara mengeluh tinggi. Rahangnya
rengkah.
Tubuhnya terhempas ke tanah.
Sebelas kawannya berteriak marah dan menyerang laksana air bah. Wiro
menggeser kedudukannya memunggungi kereta. Dengan demikian dia berusaha
menghindari serangan dari belakang. Begitu mencapal kereta Wiro lepaskan
pukulan "benteng topan melanda samudera". Walau pukulan ini
dilepaskan dengan mengerahkan hanya sepertiga tenaga dalamnya tapi sudah cukup
untuk membuat para penyerang berteriak kaget. Tiga di antara mereka terpental
dan terguling-guling di tanah sementara debu dan pasir bertebaran disapu angin
pukulan.
Seorang pengeroyok menyelinap
ke samping kereta lalu melompat ke atas kendaraan ini. Dengan golok di tangan
dia bermaksud menyerang Wiro dari belakang. Tapi begitu dia naik di atas
kereta, Ken Cilik melompat ke atas bahunya, menggigit telinga kirinya
kuat-kuat. Orang ini menjerit keras. Golok terlepas dari tangannya. Dia
melompat ke tanah dengan darah bercucuran dari telinganya. Ketika telinga itu
dirabanya ternyata daun telinganya robek besar bahkan hampir putus!
Selagi para pengeroyok
tertegun melihat apa yang terjadi, Wiro cepat melompat ke atas kereta. Tubuh
Sumiati dibaringkannya di lantai di sebelah belakang tempat duduk.
Sambil tegak bertolak pinggang
di atas kereta dia berkata, "Jika ada yang masih punya nyali silahkan
mencoba!"
Lalu sekali lagi dia lepaskan
pukulan sakti tadi. Kali ini dengan mengerahkan hampir setengah tenaga
dalamnya. Karena tidak berniat untuk membunuh semua pengawal yang ada disitu
maka Wiro sengaja mengarahkan pukulannya ke tanah. Para pengawal merasa
seolah-olah tempat itu dilanda angin puting beliung. Tubuh mereka bergetar
keras sedang kaki masing-masing terasa goyah. Beberapa orang tampak jatuh
terbanting. Debu pasir beterbangan menutupi pemandangan.
Terdengar suara cambuk
dipecutkan. Lalu gemertak roda-roda kereta. Ketika debu dan pasir surut ke
tanah, kereta yang ditarik dua ekor kuda itu bersama penumpangnya sudah tak
ada lagi di tempat itu. Tak ada satupun dari para pengawal itu berani bergerak
untuk mengikuti apa lagi coba mengejar.
***
Meskipun rombongan Ganco Bumi
meninggalkan Demak lebih dahulu, namun dengan memacu dua ekor kuda penarik
kereta sekencang-kencangnya dan menempuh jalan memotong menyeberangi sebuah
kali dangkal, di sebuah jalan tanah yang kiri kanannya sarat dengan pepohonan
jati, Pendekar 212 berhasil memapaki perjalanan Ganco Bumi dan lima anak
buahnya.
Ganco Bumi yang tengah memacu
kudanya dengan kencang mengangkat tangan memberi tanda. Namun gerak-gerik
keenam binatang ini jelas menunjukkan keresahan. Kuda-kuda itu kelihatan
menggerak-gerakkan ekor mereka tiada henti. Kaki masing-masing tak bisa diam.
Di antaranya ada yang meringkik seolah ketakutan.
Sesaat keenam orang itu hanya
memandangi kereta yang melintang di tengah jatan itu. Orang yang menjadi kusir
kereta seenaknya memandang ke arah hutan jati di depannya sambil mengusap-usap
monyet yang duduk di sampingnya. Dia seolah-olah tidak melihat atau mendengar
kemunculan Ganco Gumi dan anak buahnya. Padahal jelasjelas dia memelintangkan
kereta untuk mencegat rombongan itu.
Setelah mengalihkan
pandangannya pada peti mati besar di atas kereta, Ganco Bumi yang tidak dapat
lagi menahan kemarahannya karena perjalanannya sengaja diganggu pemuda tak
dikenal itu menghardik dengan keras.
"Orang gila dari mana
mencari mati berani menghadang perjalananku!"
Pendekar 212 terus mengusap
kuduk Ken Cilik. Tanpa berpaling ke arah rombongan Ganco Bumi dia bertanya pada
monyet di sampingnya.
"Ken Cilik, apakah ini
salah seorang dari calon isi peti mati kita?!"
Ken Cilik putar kepalanya.
Kedua matanya memandang besar-besar ke arah Ganco Bumi. Lalu binatang ini mulai
berteriak-teriak sambil melompat-lompat.
Pendekar 212 manggut-manggut.
"Bagus! Jadi kau sudah
mengenali salah satu dari manusia-manusia durjana itu!" ujar Wiro. Tangan
kanannya diturunkan menarik sebuah palang kayu. Tangan kiri menjangkau cambuk
kereta.
Terdengar suara berkereketan.
Ganco Bumi yang kembali hendak
membentak jadi terkancing mulutnya. Dia mengernyit sementara lima anak buahnya
terperangah ketika menyaksikan bagaimana kayu penutup peti mati terbuka
perlahan-lahan dengan mengeluarkan suara menggidikkan.
Ketika penutup peti mati
terpentang lebar dan Ganco Bumi serta lima anak buahnya melihat dua sosok tubuh
yang tergelimpang di dalamnya, karuan saja keenam orang ini keluarkan seruan
tertahan. Mereka menyaksikan dua sosok mayat di dalam peti mati itu. Mayat di
samping kanan adalah mayat Adipati Demak Bandoro Wiseso.
"Demi setan! Apa yang
terjadi dengan Adipati ini!" kata Ganco Bumi dengan mata mendelik. Pagi
tadi dia masih menemui Adipati itu dalam keadaan hidup dan tertawa gembira
karena diberi hadiah seorang gadis cantik. Kini tahu-tahu sudah jadi mayat!
Mayat kedua yang tampak mulai
membusuk masih bisa dikenali oleh Ganco Bumi yaitu tidak lain dari pada mayat
Bintara Anggoro, salah seorang dari sekian banyak sekutusekutu komplotannya.
"Ini benar-benar
gila!" Ganco Bumi memaki dalam hati. "Aneh, mayat Bintara itu jelas
mulai membusuk, tapi mengapa tidak menebar bau?!"
Saat itu balk Ganco Bumi
maupun para anak buahnya tidak dapat melihat sosok tubuh Sumiati yang
dibaringkan Wiro di sisi kereta sebelah kiri, terhalang oleh peti mati.
"Manusia berkulit hitam!
Berpakaian serba hitam! Aku tahu kau adalah salah satu dari tiga anjing Ganco
Item! Katakan kau ini Ganco yang mana?! Ganco Langit, Bumi atau Laut?!"
Wiro bicara dengan tetap tidak bergerak di atas tempat duduk kereta dan menatap
ke arah hutan jati.
Ditanya seperti itu tentu saja
Ganco Bumi menjadi meradang berang.
"Bangsat kurang
ajar!" teriaknya memaki. "Aku Ganco Bumi bisa saja membungkam mulutmu
dan menjebloskanmu ke dalam peti mati itu semudah membalikkan telapak tangan!
Tapi buat apa harus mengotori tangan melayani cecunguk macammu?!"
Makiannya ini dijawab oleh Ken
Cilik dengan jeritanjeritan keras.
"Anak-anak! Lekas kalian
bikin lumat pemuda gila itu!" teriak Ganco Bumi.
Lima anak buah gerombolan
Ganco Item turun dari kuda masing-masing, lalu sambil menghunus senjata mereka
yaitu ganco besi yang ujungnya runcing mengerikan, kelimanya melompat ke atas
kereta. Lima ganco maut berkelebat di udara!
Pendekar 212 keluarkan suara
mendengus.
"Ganco Bumi! Aku telah
bersumpah untuk membunuhmu! Peti mati itu kusediakan untuk dirimu serta dua
saudaramu!"
Ganco Bumi tertawa bergelak.
"Sudah macam orang gila, bicarapun seperti mimpi!"
Wiro balas tertawaan orang
dengan cibiran.
"Nyawamu tak bakal lolos
dariku Ganco Bumi! Tapi jika kau memang mngumpan anak buahmu untuk menyembunyikan
kepengecutanmu, lihat saja apa yang akan terjadi!"
Tubuh Wiro tampak berdiri tapi
kedua kakinya tidak bergeser sedikitpun. Tangan kirinya yang memegang cambuk
bergerak. Terdengar suara cambuk itu berkelebat di udara laksana gelegar petir.
Bersamaan dengan itu Wiro hantamkan tangan kanannya. Lalu kaki kirinya membuat
gerakan menendang.
***
Kapak Maut Naga Geni 21211
TIGA jeritan menggema sampai
ke dalam hutan jati. Tiga penyerang jatuh terkapar di tanah. Satu pegangi
mukanya yang mengucurkan darah. Muka itu robek akibat hantaman cambuk. Yang
lain merintih di tanah sambil pegangi dada yang dilabrak jotosan. Dari mulutnya
membusa ludah bercampur darah. Orang yang ketiga tergeletak di tanah sarnbil
rnelejang-lejangkan kaki lalu tidak bergeming lagi.
Mati dengan kemaluan pecah
disambar tendangan Pendekar 212!
Belum habis rasa terkejut
Ganco Bumi melihat apa yang terjadi, di atas kereta Wiro kembali gerakan tangan
kirinya sambil membungkuk untuk menghindari ganco besi yang menyambar ke arah
lehernya.
Cambuk kereta itu meletup
keras. Menyusul jeritan korban yang ke empat. Seperti kawannya tadi, penyerang
yang ke empat jatuh bergulingan di tanah sambil pegangi mukanya yang berlumuran
darah. Hantaman cambuk membuat luka membelintang dalam di mukanya, mulai dari
pinggiran mata kiri sampai ke dagu kanan!
Penyerang ke lima yang datang
dari belakang agaknya akan berhesil manancapkan ganco besinya ke punggung Wiro.
Ganco Sumi menyeringai.
"Kini baru tahu rasa
pemuda gila itu." katanya dalam hati. Tapi seringai Ganco Bumi menjadi
lenyap ketika tibatiba di atas kereta Pendekar 212 balikkan tubuhnya. Tangan
kanannya dengan cepat menjambak rambut penyerangnya lalu dihempaskan ke
samping. Ganco yang tadi ditikamkan lewat hanya seujung kuku di depan dada Wiro
namun sempat merobek pakaian sang pendekar.
Wiro tarik kepala orang yang
dijambaknya ke depan. Begitu kepala itu tertarik Wiro hantamkan keningnya ke
kening lawan. Orang itu menjerit setinggi langit. Pemandangannya gelap.
Keningnya mengucurkan darah. Senjatanya lepas dari tangan. Dengan satu
sentakan saja Wiro membanting tubuh orang itu ke bawah kereta!
"Keparat! Ganco Bumi akan
melomat tubuhmu!" teriak Ganco Bumi seraya menggebrak kudanya mendekati
kereta. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebuah ganco besi yang memancarkan
warna hitam tanda senjata itu bukan senjata sembarangan.
"Manusia durjana bernama
Ganco Bumi!" teriak Wiro. "Untuk ke neraka kau tidak memerlukan
kuda!" bentak Wiro. Cambuk di tangan kirinya berkelebat. Mengira dirinya yang
hendak jadi sasaran, Ganco Bumi cepat miringkan tubuh ke kiri. Tapi cambuk itu
ternyata menyambar ke arah kepala kuda.
Craass!
Mata kanan kuda itu pecah.
Binatang tunggangan Ganco Bumi
ini meringkik keras sambil angkat ke dua kaki depannya tinggi-tinggi,
melemparkan Ganco Bumi dari punggungnya!
"Bangsat! Makan
ini!" teriak Ganco Bumi. Sambil jungkir balik di udara tangan kirinya
dihantamkan ke arah Wiro. Lima buah senjata rahasia terbuat dari besi hitam
berbentuk bintang bersudut tiga melesat ke arah Pendekar
212.
Melihat datangnya serangan
ganas ini Wiro segera melompat dari atas kereta. Tapi begitu kedua kakinya
menginjak tanah dari samping Ganco Bumi sudah menerkam dengan ganco besinya.
Wuuut!
Ujung tajam senjata di tangan
Ganco Bumi menderu menyambar ke arah tenggorokan Wiro. Serangan ini sama sekali
tidak terduga dan sangat cepat.
Pendekar 212 berseru tegang.
Dia melompat sambil miringkan kepala untuk selamatkan leher. Dia berhasil. Tapi
lagi-lagi tidak terduga ganco besi itu menukik ke bawah, menyapu ke arah bawah
perutnya!
Untuk kedua kalinya Wiro
berkelit dengan melompat ke belakang. Meskipun dia sempat menyelamatkan anggota
rahasianya yang hendak direnggut senjata lawan, namun Wiro tidak mampu
menyelamatkan paha kanannya. Ujung tajam ganco besi merobek dan menembus paha
celana Pendekar 212 lalu melukai daging pahanya.
Wiro mengerenyit. Torehan luka
itu terasa seperti api membara. Murid Eyang Sinto Gendeng ini sadar kalau
senjata lawan memiliki racun sangat jahat!
Di depannya Ganco Bumi tertawa
bergelak.
"Pemuda gila! Ternyata
hanya sebegitu saja kehebatanmu! Kau tunggulah beberapa kejapan mata! Racun
ganco besiku akan menghancurkan jantungmu! Tapi sebelum mampus harap kau
beritahu mengapa kau menghadang perjalananku!"
"Manusia iblis! Jangan
terlalu cepat gembira!" jawab Wiro. Meskipun Eyang Sinto Gendeng
menyatakan dirinya kebal terhadap segala macam racun namun Wiro tak mau
bertindak gegabah. Dia cepat menotok pahanya yang terluka guna mencegah
menjalarnya racun ke dalam aliran darahnya.
"Aku bukan cuma
menghadang jalanmu tetapi menghadang nyawa busukmu!"
"Setan alas! Kau masih
belum menjawab pertanyaanku! Apa kau tidak tahu kalau sebentar lagi nyawamu
bakalan putus?!"
Wiro sunggingkan seringai
mengejek.
"Beberapa waktu lalu kau
dan dua saudaramu menyerbu desa Jatingaleh. Kalian bukan saja merampok harta
benda penduduk, tapi juga membunuh dan menculiki Kepala desa dan istrinya ikut
jadi korban. Anak gadis mereka kalian culik dan kalian rusak kehormatannya!
Kakek gadis itu dibunuh secara keji oleh Bintoro Anggoro. Anak gadis kepala
desa Jatingaleh kemudian kau berikan pada Adipati Demak sebagai hadiah dan
umpan keji! Sekarang kau lihat sendiri pembalasan bagi manusiamanusia terkutuk
itu! Anggoro dan Bandoro Wiseso ada dalam peti mati. Peti itu masih cukup besar
untuk menyumpalkan mayatmu dan mayat dua pimpinan Ganco Item lainnya!"
Sesaat Ganco Bumi jadi
terkesiap mendengar ucapan Wiro. Namun di lain kejap manusia bermuka hitam ini
membentak garang.
"Bangsat! Rupanya kau bangsa
manusia yang ingin jadi pahlawan! Lalu apa urusanmu sebenarnya melakukan semua
ini?!"
"Ranalegowo, kepala desa
Jatingaleh adalah pamanku. Istrinya adalah bibiku! Kioro Mertan adatah kakekku
dan gadis yang kau culik itu adalah sepupuku! Apa perlu penjelasan lagi manusia
muka pantat kuali?!"
"Hemm…. Jadi kau rupanya
muncul untuk menuntut balas!" Ganco Bumi kembali tertawa gelak-gelak.
"Kau tak punya waktu! Nyawamu keburu putus sebelum kau sempat menghitung
sampai sepuluh!"
Ganco Bumi menunggu beberapa
saat. Pada perkiraan hitungan yang kesepuluh hatinya mulai risau dan
tampangnya berubah. Pemuda di hadapannya itu masih tegak berdiri. Sama sekali
tidak menemui kematian akibat racun ganas ganco besinya!
Tak ada jalan. Dia harus
benar-benar melumat tubuh pemuda itu. Maka didahulul satu bentakan keras Ganco
Bumi menyerbu dengan senjata beracunnya. Serangannya sungguh luar biasa. Ganco
besi di tangannya lenyap, berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang sabung
menyabung mengurung Pendekar 212 dari segala penjuru.
Sebagai orang kedua dalam
komplotan Ganco Item memang Ganco Bumi memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Antara dia dengan kakaknya hanya terpaut satu tingkat saja. Tetapi Ganco Langit
memiliki satu kehebatan yang tidak dimiliki oleh Ganco Bumi yakni semacam ilmu
kebal yang membuatnya tidak mempan pukulan maupun senjata. Tubuhnya bisa dibuat
babak belur tetapi tidak mungkin untuk membunuhnya selama tidak diketahul
kelemahannya. Ganco Bumi telah berulang kali meminta pada kakaknya itu agar
dia diberi petunjuk bagaimana cara mendapatkan ilmu kebal tersebut. Namun Ganco
Langit tak pernah mengabulkan permintaan adiknya itu.
Untuk beberapa lamanya Wiro
merasakan dirinya tertekan dan seolah-olah tak bisa keluar dari buntalan
serangan lawan. Hanya kecepatan geraknya saja yang mampu mengimbangi serangan
Ganco Bumi. Setelah didesak terus selama empat jurus Pendekar 212 mulai
berusaha mengirimkan serangan-serangan balasan. Dia mainkan jurus-jurus silat
Gila Tua yang terkenal ampuh dalam bertahan. Secara bersamaan dia keluarkan
jurusjurus silat Eyang Sinto Gendeng. Tenaga dalam dialirkan pada kedua
telapak tangannya.
Ternyata Ganco Bumi mengetahui
apa yang dilakukan lawannya. Karenanya, sebelum Wiro mulai melancarkan serangan
yang mengandung tenaga dalam, Ganco Bumi melipatgandakan kecepatan serangannya.
Kini bukan saja senjatanya yang lenyap, tubuhnyapun berubah menjadi
bayang-bayang.
Wiro menghantam sebat beberapa
kali, tapi hanya mendapatkan pukulan-pukulannya menghantam tempat kosong. Tak
ada jalan lain. Dia harus menjaga jarak terhadap lawan. Dengan kata lain dia
harus menjauhkan diri hingga punya kesempatan untuk melancarkan serangan.
Wiro keluarkan suitan nyaring.
Tubuhnya berkelebat ke arah kerapatan pohon-pohon jati. Ganco Bumi mengejar.
Wiro melompat kebalik pepohonan yang lain. Begitu dilakukannya berulang kali.
"Pengecut!" teriak
Ganco Bumi. Ganco di tangan kanannya menderu kian kemari. Batang-batang pohon
berlubang-lubang dan terbongkar berantakan. Dapat dibayangkan kalau senjata
Itu sempat mengoyak tubuh Wiro.
Ketika Ganco Bumi mengejar
terus dan jarak mereka terpisah tiga pohon, Wiro pergunakan kesempatan untuk
melepaskan pukulan "segulung ombak menerpa karang".
Ganco Bumi terkesiap ketika
mendengar ada deru angin laksana gemuruh badai menghantam ke arahnya.
Cepat-cepat dia melompat ke balik pohon jati besar. Dua pohon jati di depannya
tampak bergetar hebat, hampir tercabut dari akarnya.
"Keparat! Yang kuhadapi
bukan manusia! Bagaimana dia bisa memiliki kekuatan sehebat itu!" berucap Ganco
Bumi dalam hati. Dia segera mengeruk saku pakaiannya mengambil senjata rahasia
besi bintang tiga. Selagi dia mengintai mencari kesempatan untuk melepaskan
senjata rahasia itu, dari seberang sana Wiro kembali menghantam dengan pukulan
sakti tadi.
Ganco Bumi memaki
habis-habisan. Dia selamatkan diri dengan membuat lompatan berputar hingga
akhirnya dia berada tepat di belakang Wiro.
"Sekarang tamat
riwayatmu!" kertak Ganco Bumi. Didahului dengan melemparkan lima senjata
rahasia berupa besi berbentuk bintang tiga itu,
Ganco Bumi kemudian menyerbu
dengan ganco beracun.
Saat dia melompat itulah,
sebuah bends tiba-tiba melayang dari atas pohon di sampingnya. Lalu terdengar
suara pekik melengking keras. Ternyata Ken Cilik telah meninggalkan kereta dan
naluri binatang ini menginginkan dirinya untuk ikut membantu Wiro membunuh
orang yang telah membunuh tuannya.
Ken Cilik berhasil bergayut di
punggung Ganco Bumi. Kuku-kukunya mencengkeram dan taring-taringnya
dihunjamkan ke daging Ganco Bumi. Orang ini menjerit kesakitan.
"Binatang keparat!"
Ganco Bumi pergunakan tangan kirinya menangkap tubuh Ken Cilik. Dia berhasil
mencengkeram kuduk monyet ini lalu membantingkannya ke tanah. Ken Cilik
memekik keras dan berguling-guling di tanah.
Pendekar 212 Wiro Sambleng
pukulkan tangan kanannya. Dua senjata rahasia lawan mencelat mental. Yang tiga
lainnya dihindarkan dengan menjatuhkan diri ke tanah. Selagi Wiro bergulingan
Ganco Bumi cepat mendatangani sambil ayunkan ganconya ke perut Wiro.
Kaki kanan Pendekar 212
melesat ke atas lebih cepat.
Kraakkk!
Tulang sambungan siku tangan
kanan Ganco Bumi hancur. Ganco yang digenggamnya terlepas mental jeritan orang
ini seperti merobek langit. Dengan kalap tangan kirinya mengeruk saku
pakaiannya untuk mengambil senjata rahasianya. Namun kembali kaki kanan Wiro
bergerak. Kali ini menyapu kedua pergelangan kakinya. Tak ampun lag! Ganco Bumi
terbanting terbanting tertelentang di tanah. Sewaktu dia mencoba bangun lutut
kiri Wiro sudah menekan perutnya. Lalu terjadilah pembalasan dendam itu.
Tinju Wiro kiri kanan menderu
bertubi-tubi menghantam dada dan muka Ganco Bumi. Tulang-tulang iganya
berpatahan. Tulang dada melesak remuk. Mukanya babak belur. Darah mengucur
dari mulut, hidung dan kedua matanya!
Wiro tidak tahu berapa lama
dia menghujani Ganco Bumi dengan hantaman-hantaman keras itu. Dia baru
berhenti ketika kedua tangannya terasa sakit. Tapi begitu mendengar suara
erangan tanda orang itu masih belum mati, Wiro jambak rambut Ganco Bumi lalu
menghantamkannya ke batang pohon jati. Terdengar suara menggidikkan ketika
batok kepala Ganco Bumi beradu dengan pohon jati dan rengkah!
Ken cilik memekik panjang.
Wiro angkat tubuh Ganco Bumi
yang sudah jadi mayat itu lalu melemparkannya ke dalam peti mati. Tiga mayat
kihi memenuhi peti mati hitam besar itul Sesaat Pendekar 212 memandang
berkeliling sambil menggaruk kepala. Pandangannya membentur salah seorang anak
buah Ganco Bumi yang tadi dihantamnya dengan cambuk dan saat itu masih terkapar
di tanah dengan luka panjang di wajahnya dan masih mengucurkan darah.
Wiro dekati anggota komplotan
penjahat ini, cekal kerah bajunya kuat-kuat sementara tangan kanannya diangkat
tinggi-tinggi siap untuk menghantam muka yang cidera berat itu.
"Jangan! Ampuni selembar
nyawaku!" ratap orang itu yang sebelumnya telah menyaksikan secara
menggidikkan bagaimana Wiro membunuh pimpinannya dengan tangan kosong.
Wiro menyiringai.
"Kalau kau masih ingin
hidup, turut apa yang aku perintahkan!" katanya. Lalu anak buah komplotan
penjahat itu dilemparkannya ke bagian depan kereta.
***
Kapak Maut Naga Geni 21212
GANCO LANGIT melangkah
mundar-mandir. Sebentarsebentar tangan kanannya dipukulkan ke batangbatang
pohon yang ada di dekatnya hingga kulit pohon itu melesat atau pecah
terkelupas. Dia sedang kesa! dan marah.
"Keparat Ganco Bumi itu!
Sudah siang begini masih belum kelihatan pangkal hidungnya!"
Jaminten yang tegak di
sebelahnya berkata, "Janganjangan adikmu itu tidak membawa gadis itu
langsung ke tujuan, tapi mampir dulu di satu tempat melampiaskan
nafsunya!"
Tampang hitam Ganco Langit
kelihatan membesi. "Kalau itu dilakukannya aku akan menghajarnya sampai
dia tahu rasa!" Lalu pimpinan gerombolan Ganco Item ini mendongak ke atas.
Sang surya tampak mulai condong ke barat. Sasuai perjanjian Ganco Bumi harus
sudah berada di lembah itu paling lambat tengah hari.
"Ganco Langit,"
Ganco Laut buka suara. "Dari pada menunggu menghabiskan waktu, bagaimana
kalau kita bergerak saja ke Demak sekarang juga. Seorang anak buah kita
tinggalkan di sini. Kalau Ganco Bumi datang dia bisa memberi tahu agar menyusul
kita."
Ganco Langit bimbang sesaat.
Namun akhirnya dia menyetujui pendapat Ganco Laut itu. Seorang anggota
gerombolan ditinggalkan di lembah guna menunggu Ganco Bumi. Tak ada seorangpun
di antara mereka yang bakal menduga kalau kelak Ganco Bumi akan muncul hanya
tinggal tubuh kasarnya saja dalam keadaan memar hancur.
Rombongan berkuda itu bergerak
cepat menuju Demak. Di depan sekali Ganco Langit dan Ganco Laut. Disebelah
belakang mengikuti sepuluh orang anak buah mereka. Lalu sebuah gerobak ditarik
dua ekor kuda. Jaminten berada di atas gerobak ini, duduk di samping kusir.
Setelah gerobak menyusul sepuluh orang lagi anggota gerombolan.
Tepat pada saat matahari
tenggelam, setelah menempuh perjalanan begitu jauh rombongan akhirnya sampai
di pinggir timur Demak. Dari sini mereka sengaja mengambil jalan mengitari
pinggiran kota untuk sampai di sebuah tanah datar dimana terdapat sebuah Masjid
Besar.
Masjid ini, memiliki halaman
luas. Bangunannya pun luas sekali. Di salah satu bagian mesjid terdapat sebuah
ruangan dimana secara rahasia dan hanya beberapa orang saja yang tahu, disimpan
beberapa barang pusaka Kerajaan. Barang-barang Itu antara lain adalah sebuah
tameng emas yang bagian tengahnya dihias dengan sebuah batu merah delima
sebesar telur burung. Pada pinggirannya ditaburi dengan berbagai batu permata
mutu manikam serta mutiara. Laiu ada sebuah gong yang juga terbuat dari emas,
sebuah rompi emas berhiaskan berlian. Sebelah keris bernama Kiyai Plered yang
juga terbuat dari emas. Kemudian ada pula seperangkat alat-alat minum dari emas
yang konon kabarnya merupakan hadiah dari seorang kaisar di Tiongkok yang
memerintah sekitar seratus tahun silam.
Entah bagaimana komplotan
Ganco Item berhasil mengetahul tentang barang-barang pusaka berharga itu.
Mereka melakukan penyelidikan. Ternyata Mesjid Besar itu hanya dijaga oleh
tujuh orang perajurit yang sehari-hari selalu berpakaian santri dan seorang tua
yang dipanggil dengan nama Syekh Martani. Di mata Ganco langit dan
kawan-kawannya pengawalan seperti itu sama sekali tak ada artinya.
Dalam Mesjid Besar Syekh
Martani tengah menjadi Imam pemimpin solat Magrib. Hanya ada dua perigawal
berjaga-jaga dekat ruangan penyimpanan benda-benda pusaka. Kesempatan ini
dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Ganco Langit dan kawan-kawannya.
Mereka memasuki pintu halaman Mesjid Besar hampir tanpa suara. Di bawah
pimpinan Ganco Langit dan Ganco Laut lima belas orang anggota gerombolan
bergerak menuju ruangan tempat penyimpanan barang-barang bdrharga itu. Lima
anggota lainnya dan juga Jaminten tetap berada di halaman belakang mesjid.
Dua penjaga yang ada di tempat
itu disergap lalu dihabisi nyawa mereka tanpa banyak susah. Ganco Langit lalu
berusaha mencari kunci pintu ruang penyimpanan barang pusaka. Beberapa orang
menggeledah mayat dua penjaga. Tapi mereka tak berhasil menemukan anak kunci.
Dengan tidak sabaran Ganco Langit mendobrak pintu ruangan hingga jebol. Begitu
pintu terpentang Ganco Langit memberi isyarat pada tiga orang anak buahnya lalu
masuk ke dalam setelah menyuruh Ganco Laut tetap di luar untuk berjaga-jaga.
Ganco bumi sengaja berbuat begitu karena ada rasa kawatir kalau-kalau Ganco
Laut akan berbuat curang, mencuri dan menyelinapkan barang-barang berharga yang
ada di situ.
Ruangan yang dimasuki itu
berada dalam keadaan gelap. Satu-satunya cahaya yang masuk adalah berkas cahaya
dari ruangan sembahyang. Tapi mata manusiamanusia penjahat seperti Ganco
Langit yang sudah terbiasa dengan kegelapan, tidak menemui kesulitan. Dia dan
anak buahnya segera dapat melihat barang-barang berharga itu tersusun rapi di
atas sebuah rak panjang.
"Cepat ambil! Masukkan ke
dalam kereta!" kata Ganco Langit lalu menyambar perisai emas dan gong
emas. Tiga anak buahnya cepat-cepat membenahi semua barang
barang pusaka di atas rak.
"Cepat!" kata Ganco
Langit lalu mendahului keluar.
Ketika Ganco Langit mendobrak
pintu ruangan penyimpanan barang, suara jebolnya pintu terdengar sampai di
ruangan sembahyang yang luas. Mau tak mau Syekh Martani dan para jamaah lainnya
menjadi terganggu kekhusukan sembahyang mereka. Lima orang pengawal yang tengah
solat Magrib saat itu menjadi curiga dan mereka tidak bisa menguasai diri lagi.
Kelimanya lari berserabutan ke bagian belakang mesjid. Mereka terkejut sewaktu
mendapatkan dua teman mereka terkapar di depan ruangan penyimpanan barang dalam
keadaan berlurnuran darah dan tak bernyawa lagi. Kelimanya masih sempat melihat
punggung beberapa orang yang melarikan diri ke halaman belakang mesjid sambil
memboyong barang-barang berharga. Langsung saja para pengawal ini berteriak
lalu mengejar. Namun saat itu mereks tidak membawa senjata. Enam orang anggota
gerombolan yang bersenjatakan ganco besi segera menghadang dan menyerang. Hanya
beberapa gebrakan saja para pengawal itu jatuh bersungkuran dengan luka-luka
mengerikan di kepala, leher atau badan mereka! Mesjid Besar menjadi geger!
Syekh Martani menyelesaikan
solatnya dalam keadaan sangat tidak khusuk. Begitu memberi salam orang tua ini
cepat menyambar sebuah tongkat yang ujungnya ditancapi besi lancip. Sekali
berkelebat dia sudah berada dihalaman belakang Mesjid Besar.
"Pencuri-pencuri
terkutuk!" teriak Syekh Martani. Dia mengira yang memboyong barang-barang
pusaka itu adalah pencuri-pencuri biasa.
"Ganco Laut! Bereskan
orang tua itu!" berteria Ganco Langit.
Ganco Laut bukannya langsung
melakukan apa yang dikatakan Ganco Langit, tapi malah menyuruh tiga orang anak
buahnya untuk mencegat Syekh Martani. Dia sendiri kemudian ikut lari menuju
kereta.
Ketika ada tiga orang
menghadangnya lalu menyerang dengan senjata berupa ganco-ganco besi barulah
Syekh Martani menyadari bahwa yang dikejarnya bukan pencuripencuri biasa.
Orang tua ini begitu melihat senjata yang tergenggam di tangan tiga
penghadangnya serta merta merasakan darahnya berdesir.
"Gerombolan Ganco
Item!" katanya dengan hati tergetar. Sebagai penjaga keselamatan
barangbarang pusaka itu tak ada jalan lain. Dia harus mengorbankan jiwa raganya
untuk mendapatkannya kembali!
Syekh Martani putar tongkatnya
begitu tiga lawan menyerbu.
Tiga anak buah gerombolan
Ganco Item sama terkejut ketika senjata masing-masing bentrokan dengan tongkat
di tangan si orang tua. Tangan mereka tergetar hebat. Dengan kertakan rahang
ketiganya kembali menyerang.
***
Kapak Maut Naga Geni 21213
HAMPIR bersamaan dengan saat
Syekh Martani dihadang oleh tiga orang anak buah Ganco Langit, di bawah udara
yang mulai berangsur gelap, sebuah kereta ditarik dua ekor kuda memasuki pintu
pagar Mesjid Besar. Kendaraan ini berhenti di pintu pagar seperti sengaja
hendak menutupi jalan.
Di atas kereta, duduk sebagai
kusir seorang lelaki yang ada luka melintang di Mukanya. Noda darah yang telah
mengering pada muka itu membuat tampangnya menjadi seram.
Di atas kereta itu terlihat sebuah
peti mati hitam dan besar. Papannya sebelah atas nampak tertutup. Di samping
kanan peti mati duduk seorang gadis berwajah pucat. Rambutnya riap-riapan.
Kedua matanya memandang lurus-lurus ke depan. Tubuhnya tidak bergerak
sedikitpun. Dia duduk di lantal kereta seperti patung peri yang angker. Seekor
monyet coklat duduk di pangkuannya.
Seperti gadis itu, binatang
inipun memandang luruslurus ke depan. Dari mulutnya keluar suara mengerang
halus.
Ketika dia melihat sosok Ganco
Langit dan Ganco Bumi binatang ini langsung meiornpat dan berteriak-teriak.
Semua barang rampokan sudah
dimaSukkan ke dalam kereta. Ganco Langit memberi tanda tinggalkan tempat itu.
Namun dari terheran-heran kemudian menjadi marah ketika melihat ada sebuah
kereta berhenti di pintu pagar menghalangi jalan keluar.
"Kurang ajar! Singkirkan
kereta sialan itu!" teriak Ganco Langit.
Pada saat itu pula di bagian
belakang Masjid Besar terdengar suara pekikan-pekikan. Ketika Ganco Langit,
Ganco Bumi dan anggota-anggota Ganco Item lainnya berpaling, mereka bagaimana
tiga orang kawan mereka satu demi satu tersungkur di tanah sambil pegangi perut
dan dada yang ditembus tongkat Syekh Martani!
"Haram jadah!" maki
Ganco Langit. Dia berpaling pada Ganco Laut. "Tadi aku perintahkan kau
membereskan orang tua itu!" teriak Ganco Langit beringas.
"Ternyata Syekh Martani
bukan orang tua sembarangan Ganco Langit," menjawab Ganco Laut.
"Perduli setan siapa dia
kusuruh untuk menghabisinya saat ini juga!" bentak Ganco Langit. Dia
berpaling ke arah kereta yang menutupi pintu.
Tiba-tiba gerobak yang dimuati
barang-barang rampokan bergerak kencang ke arah kiri, melabrak pagar bambu dan
terus menghambur dalam ke gelapan malam. Jaminten yang bertindak sebagai kusir
gerobak itu mencambuki dua kuda penarik sekuat-kuatnya hingga kedua binatang
itu lari seperti kesetanan.
"Hail Jaminten!"
teriak Ganco Langit. Belum sempat terpikir oleh benaknya apa yang tengah
berlangsung, mengapa Jaminten melarikan gerobak yang sarat dengan barang-barang
berharga itu. Baru saja dia hendak berlari ke kudanya untuk mengejar tiba-tiba
orang yang duduk di atas kereta melompat turun dan berteriak-teriak memanggil
namanya.
"Ganco Langit!
Ganco…!" Orang itu lari ke arah Ganco Langit pada saat Ganco Langit baru
saja naik ke punggung kudanya. Dalam keadaan seperti itu Ganco Langit langsung
saja tendang orang yang mendatangi sambil memanggilnya itu. Tendangan itu agak
meleset hingga meskipun jatuh yang ditendang masih sempat bangun dan kembali
berteriak.
"Ganco Langit… Ganco Bumi
mati dibunuh …!"
"Hah! Apa katamu?!"
Ganco Langit tahan tali kekang kudanya dan menoleh. Baru saat Itu dia mengenali
wajah yang luka mengerikan itu.
"Astaga! Bukankah kau
salah seorang yang ikut bersama Ganco Bumi ke tempat kediaman Adipati Demak?!
Mana adikku?!"
"D…dia…" Orang itu
menunjuk ke arah kereta di pintu pagar.
"Ganco Bumi mati…mati
dibunuh…"
"Bangsat! Jangan kau
berani bergurau!"
"Saya tidak bergurau
Ganco…lihat sendiri! Mayat Ganco Bumi ada di atas kereta itu…!"
Ganco Langit sentakan tali di
ujung sana. Begitu sampai di dekat kereta, terkejutlah Ganco Langit. Perempuan
yang duduk tak bergerak di atas kereta itu ternyata adalah Sumiati, anak gadis
Ranalegowol Bukankah dia seharusnya berada di tempat kediaman Adipati Demak
saat itu?
Monyet di atas kereta
tiba-tiba menjerit-jerit dan melompat-lompat kembali. Ganco Langit merutuk.
Matanya mencari-cari tapi dia tidak menemukan adiknya di situ. Dia memandang
lekat-lekat pada peti mati hitam.
Tiba-tiba terdengar suara
berkeretakan. Penutup peti mati perlahan-lahan terbuka. Ganco Langit mencium
bau tidak enak. Bau amisnya darah! Matanya membeliak memperhatikan penutup peti
mati yang terus membuka hingga
akhirnya terpentang lebar. Kedua mata Ganco Langit kini bukan cuma membeliak,
tapi seperti hendak terbongkar dari rongganya!
Di dalam peti mati itu! Qia
melihat sosok tubuh yang hancur memar tapi masih bisa dikenalinya. Itu adalah
sosok tubuh adiknya yang sudah jadi mayat! Di sebelah mayat adiknya masih ada
mayat lain, juga di sebelah bawah. Tapi dia tidak perduli pada mayat-mayat lain
itu. Dia hanya perduli pada mayat adiknya.
"Ganco Bumi!" teriak
Ganco Langit menggeledek. "Siapa yang membunuhmu!" Dia hendak
melompat dari punggung kudanya ke atas kereta. Tapi tiba-tiba dilihatnya sosok
mayat adiknya bergerak kaku ke atas! Bulu kuduk Ganco Langit merinding. Adiknya
jadi mayat hidup!
***
Kapak Maut Naga Geni 21214
MENDADAK mayat Ganco Bumi
disangka bergerak hidup itu jatuh terhempas ke dalam peti kembali! Bersamaan
dengan itu sesosok tubuh lain menyeruak muncul dari dalam peti di iringi suara
tawa bergerak!
Ganco Langit mundurkan kudanya
ketika menyasikan bagaimana sesosok tubuh pemuda berpakaian putih kumal dan
penuh dengan noda-noda darah bergerak tegak lalu berdiri di atas peti mati.
Saat itulah Ganco Langit sempat melihat mayat Bintara Anggoro dan mayat Adipati
Demak Bandoro Wiseso. Seganas-ganasnya manusia seperti Ganco Langit, mau tak
mau dia jadi tercekat.
"Siapa kau?!" dia
menghardik pada pemuda yang masih berdiri di dalam peti mati.
Pendekar 212 Wiro Sableng
menyeringai.
"Aku Malaikat Maut yang
telah mengambil nyawa busuk adikmu serta dua sekutumu! Sekarang giliranmu untuk
kujemput!" Dosa kalian sedalam lautan setinggi langit!"
"Orang gila
keparat!" maki Ganco Langit. Dia berpaling pada Ganco Laut. "Kau
bereskan orang sinting ini! Aku akan mengejar perempuan gemuk yang kabur
membawa barang-barang pusaka itu!"
"Kau saja yang
membereskannya. Biar aku yang mengejar Jaminten!" menjawab Ganco Laut.
"Turut perintahku! Jangan
berani membantah!"
"Sekali ini aku terpaksa
membangkang Ganco Langit! Aku sudah memutuskan untuk tidak bergabung lagf dalam
komplotan Ganco Item!"
"Keparat kau Ganco
Laut!" teriak Ganco Langit. "Aku tahu apa yang.ada di benakmu!"
Ganco Langit ingat pada kejadian beberapa waktu lalu. Malam-malam ketika Ganco
Laut dan Jaminten diintainya mandi-mandi dan bersenangsenang di kali kecil.
Ganco Laut tak mau berdebat
panjang dengan Ganco Langit. Dia menggerakkan kudanya.
"Mau kemana kau Ganco
Laut? Jangan kira aku tidak tahu persekongkolan kalian! Kau dan Jaminten
sama-sama pengkhianat! Jangan kau berani meninggalkan tempat ini!"
"Aku pergi!" kata
Ganco Laut. Dengan cepat Ganco Laut menangkap tangan itu. Untuk sesaat keduanya
saling mencengkeram dan saling melotot satu sama lain.
"Mengingat hubungan kita
dimasa lalu, aku tak suka kita saling melakukan kekerasan, Ganco Langit. Itu
bukan berarti aku takut padamu. Aku tahu kau manusia kebal macam senjata dan
pukulan. Tapi aku juga tahu di mana rahasia kelemahanmu! Jadi jangan coba-coba
mencegah!"
"Anjing kurap! Lebih
cepat kau mampus lebih baik!" teriak Ganco Langit. Lalu dia hunus
ganconya. Sinar putih berkelebat dalam gelapnya malam. Ganco di tangan pimpinan
penjahat itu terbust dari besi putih.
"Apa maumu akan kulayani
Ganco Langit!" tukas Ganco Laut. Lalu diapun mencabut ganconya yang
terbuat dari besi hitam seperti yang dimiliki Ganco Langit. Masih di atas kuda
kedua pimpinan gerombolan ini mulai saling baku hantam. Sementara anak buah
mereka meyaksikan dengan terheran-heran spa yang terjadi. Kebencian satu sama
lain serta keserakahan telah membuat Ganco Langit dan Ganco Laut melupakan
bahwa seharusnya mereka bergabung untuk menghadapi Wiro yang telah membunuh
Ganco Bumi!
Di atas kereta Pendekar 212
Wiro Sableng menggerendeng. Dia tak Ingin kedua orang itu saling berbunuhan.
Kalau mereka harus mati maka dialah yang akan membunuhnya. Demi untuk
membalaskan sakit hati dendam kesumat kematian kakeknya, paman, bibi serta
sejuta penderitaan yang kini dirasakan Sumiati saudara sepupunya.
Wiro memegang bahu Sumiati
yang sebelumnya memang sengaja didudukkan Wiro setelah ditotok lebih dahulu.
Dia ingin Sumiati menyaksikan pembalasan yang akan dilakukannya terhadap dua
dari tiga manusia yang telah membunuh kedua orang tuanya dan kakeknya serta
merusak kehormatan gadis itu secara keji!
Ken Cilik memekik keras.
Tubuh Pendekar 212 melesat
dari atas kereta.
Sesaat kemudian terdengar
suara dua kuda meringkik kesakitan. Binatang-binatang ini menyentakan kaki-kaki
depannya tinggi-tinggi sehingga Ganco Langit dan Ganco Laut yang menunggunya
tercampak ke tanah walaupun mereka bisa jatuh dengan dengan kedua kaki dahulu.
Saat itu keduanya baru sadar bahwa yang harus mereka lakukan ialah menghadapi
Pendekar 212.
"Ganco Laut! Untuk sementara
lupakan dulu pertikaian kita! Bantu aku menghabisi bangsat yang telah membunuh
adikku ini!"
Sesaat Ganco Laut tampak agak
ragu. Namun kemudian tanpa berkata apa-apa dia malah mendahului melompat
menyerang Wiro.
"Tahan!" mendadak
terdengar suara seruan.
Syekh Martani muncul di tempat
itu. Dia memandang ke arah Ganco Langit dan Ganco Laut dengan mata berapiapi.
"Kalian merampok harta
pusaka Kerajaan! Lekas kembalikan atau kalian akan kutebas seperti tiga anak
buah kalian!"
"Tua bangka tak berguna!’
Kau mampuslah duluan!’ bentak Ganco Laut. Senjatanya yaitu sebuah ganco besi
hitam berkelebat.
Syekh Martani tusukkan tongkat
kayu yang berujung besi lancip. Tapi mendadak dia merasakan leher pakaiannya
ditarik orang ke belakang hingga baik tusukan tongkatnya maupun hantaman ganco
Ganco Laut yang hanya mengenai udara kosong.
Berpaling ke belakang Syekh
Martani dapatkan bahwa pemuda berambut gondrong itulah yang barusan
menariknya.
"Lepaskan peganganmu!
Apa-apaan ini?!" teriak orang tua itu.
"Jika kau ingin dapatkan
barang-barang itu kembali, cepat menuju ke timur. Kejar sebuah gerobak yang
dikendarai oleh seorang perempuan gemuk! Barang-barang itu ada dalam
gerobak!" Wiro tarik lagi leher pakaian orang tua itu hingga Syekh Martani
kembali terjajar ke dekat pintu pagar. Merasa apa yang dikatakan si pemuda
memang betul maka orang tua ini cepat melompat ke atas punggung seekor kuda.
Tapi enam orang anak buah Ganco Langit sudah mengurungnya.
"Apa kau sudah siap untuk
mati, pemuda gila?" Ganco Langit bertanya dengan nada mengejek pada
Pendekar
212. Dia tidak lagi
memperdulikan Syekh Martani karena anak buahnya sudah mengurung orang tua itu.
Wiro tertawa kecil.
"Terbalik!" katanya. "Justru akulah yang telah menyediakan peti
mati bagi kalian berdua. Bersama tiga orang yang sudah ada di dalam sana kalian
bisa berangkat ke neraka!"
Murid Eyang Sinto Gendeng ini
lalu cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Ganco Langit dan
Ganco Laut tak mau menunggu lebih lama. Ganco Langit bergerak lebih dahulu,
disusul oleh Ganco Laut. Kedua orang ini baru sadar bahwa senjata di tangan
lawannya bukanlah senjata sembarangan ketika Wiro mulai alirkan tenaga dalamnya
ke tangan kanan. Kapak itu tampak mengeluarkan cahaya lebih terang dalam
gelapnya malam.
Ganco Langit dan Ganco Laut
keluarkan seruan tertahan ketika sinar menyilaukan membabat di udara disertai
menghamparnya hawa panas menyengat ditambah menderunya suara aneh seperti ada
ribuan tawon menyerbu.
Ganco Laut cepat tarik
tangannya guna menghindari bentrokan senjata. Dia maklum bukan saja senjata
berbentuk kapak bermata dua di tangan pemuda gondrong itu adalah sebuah senjata
muslika tetapi lawan juga jelas memiliki tingkat tenaga dalam yang tinggi.
Lain halnya dengan Ganco
Langit. Merasa memiliki ilmu kebal yang tidak bisa ditandingi apa Jan siapapun
dia coba menggaet senjata lawan dengan ganco besi putihnya. Wiro lipat gandakan
tenaga dalamnya. Cahaya yang memancar dari Kapak Naga Geni 212 semakin
menyilaukan. Dia terus membabat. Dan trang!
Ganco Laut berseru kaget
sambil melompat mundur. Ganco besi putihnya kini hanya tinggal gagangnya saja
yang ads dalam genggamannya. Bagian yang lain telah amblas putus di hantam
senjata lawan.
Selagi Ganco Langit terkesima
oleh kejadian yang tidak pernah disangkanya itu, Kapak Naga Geni 212 berbalik
lalu menghantam ke arah dadanya. Ganco Langit terlambat untuk mengelak.
Bukkk!
Mata Kapak Maut naga Geni 212
melabrak dadanya dengan telak. Kepala gerombolan Ini mengeluh. Tubuhnya
terjengkang di tanah. Dada baju hitamnya tampak robek dan hangus! Tapi hebatnya
Ganco Langit tampak berdiri kembali meskipun agak terhuyung-huyung.
Sesaat Pendekar 212 jadi
bingung menyaksikan bagaimana senjata mustikanya tidak mempan terhadap Ganco
Langit.
"Durjana ini rupanya
memiliki ilmu kebal luar biasa!" membatin Wiro. "Adiknya tidak
memiliki ilmu kebal. Bagaimana dengan Ganco yang satu?"
Saat itulah tiba-tiba Ganco
Langit menerjang dan hantamkan tinjunya kiri-kanan bertubi-tubi. Wiro terjajar
beberapa langkah akibat tinju Ganco Langit yang berhasil mendera dada dan pipi
kirinya!
Dengan darah mendidih Wiro
bacokkan senjatanya. Hebatnya sambil tertawa-tawa Ganco Langit seperti sengaja
memasang diri. Kapak Naga Geni 212 bergedebukan di tubuhnya. Tubuh Ganco
Langit memang terpental atau terbanting berkali-kali. Tapi jangankan luka,
tergores sajapun tidak. Hanya pakaian hitam yang dikenakannya saja yang penuh
robek serta hangus disanasini.
"Puaskan hatimu sebelum
kepaiamu kupuntir sebentar lagi!" kata Ganco Langit masih terus mengumbar
suara tawa.
"Bangsat ini benar-benar
hebat. Kalau kapakku saja sudah tidak tembus naga-naganya aku bisa
celaka!" pikir Wiro. "Aku harus cari akal. Putar siasat!"
Wiro melirik ke arah Ganco
Laut. "Kuharap saja bangsat satu ini tidak memiliki ilmu kebal yang
sama!"
Memikir begitu Wiro iancarkan
serangan ke arah Ganco Laut. Serangannya seperti orang kalap, ganas luar biasa.
Ganco Laut dibuat berjingkrak-jingkrak untuk dapat mengelakkan senjata lawan.
Ganco Langit mendatangi dari
samping. Wiro maklum dia harus segera membereskan Ganco Laut lebih dahulu. Apa
dia bisa menghadapiGanco Langit sesudah itu adalah urusan nanti.
Ganco Laut bukanlah seorang
penjahat sembarangan. Dia memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan tenaga
dalam yang ampuh. Namun diserang secara bertubi-tubi seperti itu lama-lama
membuat dia kelabakan juga. Pada jurus ke sembilan, Kapak Maut Naga Geni 212
memapas bahu kirinya. Ganco Laut terpekik. Tubuhnya terasa panas dan darah
mulal mengucur! Selagi dia terhuyung-huyung senjata mustika di tangan Wiro itu
kembali membabat.
Untuk kedua kalinya Ganco Laut
terpekik. Kali ini dadanya yang amblas dilanda kapak. Tubuhnya terhuyung, kaku
dia rubuh ke tanah, tersandar ke roda kereta.
Untuk dapat mendaratkan
kapaknya ke dada Ganco Laut tadi Wiro harus membayar mahal. Tubuhnya yang tidak
terlindung berhasil dijotos Ganco Langit di bagian perut. Tubuh Pendekar 212
terlipat ke depan. Ganco Langit hendak merampas Kapak Naga Deni 212 dari tangan
Wiro, tapi pemuda ini dengan cepat sodokkan gagang senjatanya ke ulu hati Ganco
Langit. Orang ini hanya mengeluh pendek. Setelah itu dia kembali menyerbu Wiro.
Berapa kali jotosannya mampir di tubuh murid Eyang Sinto Gendeng, itu. Satu
kali tendangan pada pinggangnya membuat Wiro terjajar dan jatuh. Selagi dia
mencoba bangun satu tendangan lagi menghantam punggungnya.
Pendekar 212 semburkan darah
segar dari mulutnya. Pemandangannya gelap beberapa saat. Ketika penglihatannya
pulih kembali teryata dia terduduk di tanah dekat sosok Ganco Laut.
Ganco Laut sendiri saat itu
sudah menyadari bahwa dia tak bakal hidup lama. Maksudnya untuk merampas
Jaminten tak akan kesampaian. Rencananya dengan perempuan itu melarikan
barang-barang rampokan memang berhasil. Tapi dia tak akan pernah merasakan
hasil rampokan itu. Jaminten sendiri entah di mana sekarang. Sakit hatinya
terhadap Ganco Langit yang pasti akan hidup senang bersama Jaminten apakah
dapat dibalaskan?
Dia menoleh, sesaat
memperhatikan Wiro yang terduduk di sebelahnya dalam keadaan babak belur.
Tiba-tiba Ganco Laut ingat. Ada satu cara untuk dapat membalaskan sakit hatinya
terhadap Ganco Laut. Kalau memang dia akan segera menemui ajal dia merasa tidak
takut untuk mati. Tapi Ganco Langit juga harus ikut mati bersamanya.
"Anak muda,"
bisiknya pada Wiro. "Apapun yang kau lakukan, kau tak bakal dapat membunuh
lawanmu itu. Dia memiliki ilmu kebal. Kecuali jika kau bisa menusuk atau
menghancurkan mata kirinya dengan telak. Di situ letak kelemahannya!"
"Terima kasih…"
sahut Wiro. "Tapi kau tetap menjadi penghuni peti matiku!" Siku
kanannya dihantamkam ke dada kiri Ganco Laut, tepat di arah jantungnya. Tak
ampun lagi orang ini langsung meregang nyawal
Ketika Wiro mencoba berdiri.
Saat itu dilihatnya Ganco Langit mendatangi dengan cepat. Wiro tekan mata
kepala naga Kapak Naga Geni 212. Dua lusin jarum halus berwarna putih melesat
dari mulut kepala naga pada ujung gagang kapak. Meskipun Ganco Langit kebal
terhadap segala macam senjata namun terperangah juga melihat datangnya serangan
itu. Lalu menyeruak senyum sinis di wajahnya. Dia membiarkan saja jarum-jarum
putih itu menghantam tubuhnya. Tak satupun yang bisa menancap. Semuanya
kemudian luruh ke tanah.
Meskipun jarumnya tidak
berhasii mencelakai lawan tapi tujuan utama Wiro adalah menipu perhatian lawan.
Selagi jarum-jarum putih berluruhan dan selagi Ganco Langit tertawa mengejek
Wiro lemparkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah kepala orang itu.
Pemimpin gerombolan Ganco Item
ini meraung dahsyat lalu jatuh dan berguling-guling di tanah. Kapak Naga Geni
212 masih menancap di mata kirinya. Wiro bangkit berdiri. Dia melangkah
mendekati Ganco Langit. Begitu sampai di hadapannya Wiro hantamkan kaki
kanannya ke selangkangan orang lain ini. Untuk kedua lalinya Ganco Langit
meraung. Tubuhnya kelojotan beberapa kali lalu diam tak bergerak lagi.
Di atas kereta air mata tampak
mengucur dari kedua mata Sumiati. Ken Cilik merundukan kepala seolah dapat
merasakan penderitaan gadis mat!.
Satu demi satu mayat Ganco
Laut dan Ganco Bumi dilemparkan Wiro ke dalam peti mati.
Di halaman kiri Mesjid Besar
Syekh Martani mempertahankan diri mati-matian dari keroyokan anak buah
gerombolan. Tubuhnya luka-luka di beberapa bagian. Sebelum Wiro sempat membantu
orang tua ini, tiba-tiba sebuah gerobak diiringi oleh hampir tiga puluh
perajurit Kerajaan memasuki halaman melalui pagar yang telah roboh diterjang
gerobak yang dilarikan Jaminten. Kini gerobak itu pulalah yang kembali.
Ario Gelem, Perwira Muda dari
Kadipaten Jepara dialah yang menjadi sais gerobak. Di sampingnya Jaminten duduk
tersandar dalam keadaan terikat ke tiang gerobak. Mukanya yang gemuk tampak
sembab tanda habis menangis.
"Hentikan
perkelahlan!" teriak Arlo Gelem. Anak buahnya segera mengurung para
penjahat yang tengah mengeroyok Syekh Martani. Melihat siapa yang datang
membawa pasukan begitu banyak, para penjahat seperti merasa putus asa. Apalagi
tak seorang pimpinan merekapun yang masih hidup. Dengan demikian selamatlah
nyawa Syekh Martani.
Bagaimana Jaminten bisa
digiring kembali ke Mesjid Besar bersama gerobak yang memuat seluruh
barangbarang rampokan itu?
Sejak siang harl itu, Perwira
Muda Arlo Gelem bersama serombongan pasukan yang didatangkan dari Kotaraja
telah melakukan pengawasan di beberapa tempat. Mereka kemudian mendapat kabar
tentang adanya rencana perampokan harta benda Kerajaan yang disimpan dalam
Mesjid Besar. Karena itulah Aria Gelem kemudian memimpin pasukan tersebut
menuju Demak. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan Jaminten yang memacu
sendiri gerobak yang dilarikannya. Karena curiga Ario Gelem memerintahkan
Jaminten menghentikan gerobak untuk diperiksa. Mula-mula perempuan gemuk itu
menolak bahkan melawan untuk diperiksa. Namun setelah bendabenda pusaka
Kerajaan ditemui dalam gerobak itu, maka diapun ditangkap dan dibawa kembali ke
Demak.
Pendekar 212 Wiro Sableng
mengusap kepala Ken Cilik Sumiati kemudian dibaringkannya kembali di atas
lantai kereta.
"Saatnya kita
meninggalkan tempat ini, Ken Cilik. Peti kita sudah penuh. Manusia-manusia
jahat yang kita cari sudah lengkap masuk di dalamnya."
Ken Cilik menggembor halus
lalu memekik tiga kali.
Ketika kereta itu mulai
bergerak untuk meninggalkan halaman Mesjid Besar tiba-tiba Perwira Muda bernama
Ario Gelem mengangkat tangannya memberi tanda agar berhenti.
Wiro tahan tali kekang dua
kuda penarik kereta.
"Saudara, kau terpaksa
kami tangkap!" kata Ario Gelem.
Wiro menatap wajah Perwira
Muda Itu sesaat lalu bertanya, "Katakan apa kesalahanku!"
"Kau melakukan pembunuhan
atas diri lima orang yang kini berada dalam peti mati itu!" jawab Ario
Gelem.
"Perwira Muda," kata
Wiro pula. "Coba terangkan padaku siapa-siaps saja adanya ke lima orang
yang ada di dalam peti mati itu."
"Aku merasa tidak wajib
menjawah-pertanyaanmu."
Siapapun adanya mereka bukan
dalih bagiku untuk membatalkan penangkapan!"
"Perwira, kalau kau dapat
mengembalikan kedua orang tua gadis malang sepupuku ini, kalau kau bisa
mengembalikan Kioro Mertan kakek kami, kalau kau bisa mengembalikan penduduk
Jatingaleh yang dibunuh oleh gerombolan Ganco item, saat ini juga aku bersedia
ditangkap!"
"Kau bicara ngaco! Mana
mungkin aku bisa menghidupkan orang yang sudah mati?!" ujar Ario Gelem
pula.
Pendekar 212 tertawa lebar.
"Kalau begitu menurutmu, kuharap kau tidak menjadikan hal itu sebagal
persoalan lagi! Kau seorang Perwira yang baik. Untuk itu aku akan berikan satu
hadiah besar padamu!"
Habis berkata begitu Wiro
bergerak, ke belakang kereta. Dengan sekuat tenaga didorongnya peti mati berisi
lima mayat itu hingga akhirnya jatuh ke tanah.
"Itu hadiah yang
kukatakan tadi." ujar Wiro lalu tertawa gelak-gelak. Ario Gelem hanya bisa
berdiri seperti patung ketika Wiro membawa kereta meninggalkan halaman Mesjid
Besar. Dia tetap tak bergerak sampai gerobak dan penumpangnya itu lenyap
dikejauhan dalam kegelapan malam.
TAMAT