Pendekar Bodoh Jilid 06-10
Pada saat itu, seorang di
antara delapan orang yang juga telah mengelilingi Ang I Niocu, yaitu yang masih
muda, berkata pula sambil memandang wajah dara itu dengan kagum.
“Nona, kau harus menari untuk
kami. Biarlah, berapa saja upahnya akan kami bayar!”
Dengan tenang dan gerakan
perlahan, Ang I Niocu memandang dan menatapi wajah seorang demi seorang.
Agaknya gadis ini hendak melihat apakah barang kali di antara mereka itu ada
yang pernah dilihat dan dikenalnya. Tetapi ternyata mereka ini adalah
wajah-wajah baru yang belum pernah dijumpainya, maka ia lalu tersenyum.
Kesembilan orang itu, termasuk
seorang di antaranya yang sudah kakek-kakek tertawa gembira melihat senyum yang
sangat manis dan menggiurkan hati ini. Alangkah jelitanya dan manisnya, pikir
mereka.
“Cuwi sekalian ingin melihat
aku menari?” mendadak terdengar suara Ang I Niocu, suara yang sangat merdu
bagaikan berlagu.
Namun bagi pendengaran Cin Hai
suara itu mengandung sindiran yang dingin. Baginya, suara gadis itu biasanya
hangat dan menyedapkan telinga, tetapi kali ini, biar pun masih tetap halus dan
merdu, terdengar sangat dingin menyeramkan. Ia dapat menduga bahwa sebentar
lagi pasti terjadi hal-hal hebat.
“Ya, ya, kami ingin sekali
menikmati tarianmu!” sembilan orang itu berkata dengan suara riuh.
“Boleh, tapi kalian harus
menurut syarat-syaratku.”
“Apa syaratnya?”
“Buatlah lingkungan yang cukup
luas dan kalian duduklah di atas tanah sambil berlutut untuk menghormati kami
berdua, baru aku mau menari.”
Tentu saja kesembilan pengawal
raja ini merasa heran dan marah. Terang sekali bahwa gadis ini hendak
mempermainkan mereka dan bahkan telah berani menghina mereka.
“Eh penari rendah! Jangan kau
kurang ajar! Tak tahukah bahwa kau sedang berhadapan dengan pahlawan-pahlawan
istana? Hayo lekas berlutut minta ampun dan segera menari untuk kami!” bentak
laki-laki tinggi kurus tadi.
“Dan kau lekas berlutut,
anjing kecil!” bentak pengawal muda kepada Cin Hai.
“Anjing besar, kau harus
berlutut lebih dulu!” Cin Hai balas memaki.
Bukan main hebatnya akibat
dari makian ini. Kesembilan orang itu memandang kepada Cin Hai dengan alis
berdiri. Mereka ini lebih banyak merasa tercengang dari pada marah, karena mana
mungkin ada seorang pemuda tanggung berani memaki seorang anggota Sayap Garuda?
Mereka menganggap bahwa anak ini tentu berotak miring.
Akan tetapi pengawal muda itu
tidak dapat menahan marahnya lagi. Meski gila mau pun waras, pemuda kecil ini
terlalu menghinanya dan harus dipukul mampus. Maka ia segera melangkah maju
kemudian mengayunkan tangan kanan memukul kepala Cin Hai sambil membentak,
“Bangsat kecil, mampuslah
kau!”
Pukulan ini adalah gerakan
Siok-lui Kik-ting atau Petir Menyambar Kepala dan dilakukan dengan tenaga
mengeluarkan angin. Hebatnya tidak terkira, dan kepala seekor kerbau mungkin
akan terpukul pecah oleh pukulan ini, apa lagi hanya kepala seorang pemuda yang
masih anak-anak! Pengawal muda itu bermaksud untuk menghancurkan kepala Cin Hai
dengan sekali pukul!
Tetapi dengan gerakan indah
dan lucu bagaikan seorang sedang menari, Cin Hai melejit ke samping sambil
tertawa mengejek dan berkata, “Hei, bangsat besar, percuma saja kau hidup
karena hidungmu terlalu besar!”
Melihat betapa pukulannya yang
dahsyat itu dapat dikelit semudah itu oleh Cin Hai dan mendengar sindiran anak
itu, pengawal muda itu marah sekali dan tanpa terasa pula ia mempergunakan
tangan kiri untuk memegang hidungnya! Hidungnya memang besar dan mancung dan
selalu menjadi kebanggaannya, tidak tahunya sekarang digunakan sebagai bahan menyindir
oleh anak ini.
“Anjing kecil, kalau hari ini
aku tidak bisa menghancurkan kepalamu yang besar, jangan panggil aku Harimau
Kepala Besi lagi!”
Dan Tiat-thou-houw atau
Harimau Kepala Besi itu segera maju menyerang lagi dengan gerak tipu
To-cu-kim-ciang atau Robohkan Lonceng Emas. Serangan ini lebih hebat lagi
karena kedua tangannya bergerak menyerang ke arah dada dan kepala Cin Hai.
“Anjing besar! Aku tak akan
menyebut kau Harimau Kepala Besi melainkan Anjing Hidung Panjang!” Cin Hai
mengejek lagi.
Anak ini kemudian mengeluarkan
kepandaiannya Ngo-lian-hwa Kun-hoat yang baru saja dipelajari beberapa bulan
dari Ang I Niocu! Dengan mudah ia dapat berkelit dari serangan lawannya karena
tubuhnya sudah mempunyai kelemasan dan kelincahan yang luar biasa berkat
latihan-latihan Tarian Bidadari.
Kemudian dia balas menyerang,
namun karena Ilmu Silat Lima Kembang Teratai belum lama dipelajarinya, maka ia
tidak dapat mempergunakannya untuk menyerang, dan untuk melakukan serangan
balasan ini ia terpaksa mengeluarkan Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang dia
pelajari dari catatannya pada waktu masih mempelajari ilmu silat dari Kanglam
Sam-lojin!
Biar pun Cin Hai belum
mempunyai pengalaman dalam pertempuran, tapi karena selama ini ia telah
mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dari orang-orang yang tergolong
tokoh persilatan kelas berat, maka gerakannya juga istimewa dan tidak
terduga-duga. Sebab itu Tiat-thou-houw menjadi terkejut sekali melihat
perubahan ini,
Tadi pada waktu mengelit
serangan-serangannya, Cin Hai bergerak lemah lembut seperti sedang menari. Kini
dalam melakukan serangan, anak muda itu bergerak cepat dan kuat! Karena
tercengang, serangan Cin Hai dalam jurus pertama itu berhasil baik dan kepalan
tangannya menumbuk dada lawan!
Tiat-thou-houw mengeluh dan
tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia tadinya tidak menduga bahwa anak muda yang
masih kecil itu akan berbahaya pukulannya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Cin
Hai telah dilatih lweekang yang cukup lumayan oleh Ang I Niocu, karena itu
ketika kepalan tangannya mengenai sasaran, maka berat pukulannya tidak kurang
dari seratus kati!
Melihat betapa dengan mudah
saja Cin Hai bisa menggulingkan lawannya, delapan orang pengawal lainnya
menjadi marah sekali. Terlihat cahaya berkeredepan pada saat mereka mencabut
senjata masing-masing dari sarungnya!
“Bangsat kecil, memang kau
sudah bosan hidup!” pimpinan rombongan itu membentak marah.
“Hai-ji, kau minggirlah.
Biarlah aku layani kaleng-kaleng kosong ini!” tiba-tiba Ang I Niocu loncat
menghadang di depan Cin Hai, rnenanti datangnya delapan orang anggota Sayap
Garuda yang maju mengancam.
Cin Hai segera meloncat ke
pinggir dan berdiri sambil menyiapkan sulingnya, lalu berkata keras kepada para
pengawal itu,
“He, bangsat-bangsat besar.
Kalian tadi hendak melihat tarian indah? Nah, sekarang kau lihatlah!” Ia lalu
meniup sulingnya dengan perlahan-lahan, maka bergeraklah Ang I Niocu menarikan
Tari Bidadari dengan pedangnya!
Untuk sejenak delapan orang
pengawal istana itu memandang tercengang kepada gadis itu dengan kagum, karena
tarian Dara Baju Merah itu benar-benar indah. Tetapi mereka lalu teringat akan
kawan yang telah dirobohkan, maka Pimpinan yang tinggi kurus lantas berseru,
“Serbuuu…!”
Dan menyeranglah delapan orang
itu bagaikan air pasang, menyerbu Ang I Niocu yang tengah menari. Cin Hai lalu
mempercepat tiupannya dan sebentar saja kalang kabutlah delapan orang anggota
Sayap Garuda itu. Mereka sudah kehilangan lawan karena tubuh Ang I Niocu tidak
tampak lagi, tertutup oleh sinar pedangnya, hanya bajunya saja yang merupakan
cahaya merah berkelebat ke sana kemari!
Delapan orang itu bukanlah
orang lemah, dan mereka rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kini
mereka maklum bahwa yang mereka hadapi adalah seorang pendekar pedang yang sama
sekali tak bisa dipandang ringan. Maka lenyaplah nafsu mereka untuk
mempermainkan gadis jelita ini, dan mereka lalu mengerahkan tenaga serta
kepandaian dalam perlawanan sungguh-sungguh dan mati-matian!
Sambil meniup sulingnya, Cin
Hai kagum sekali melihat sepak terjang Ang I Niocu. Kini benar-benar ia dapat
menikmati dan mengagumi kehebatan Sian-li Kiam-hoat yang benar jarang terlihat
dan tak mungkin dicari keduanya!
Dahulu ketika menghadapi
Kanglam Sam-lojin, Ang I Niocu tidak memperlihatkan seluruh kepandaiannya.
Namun kini, menghadapi delapan orang jagoan istana, anggota-anggota Sayap
Garuda yang terkenal berkepandaian tinggi, Nona Baju Merah itu mengeluarkan dan
memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar luar biasa!
Tidak hanya Cin Hai yang
merasa kagum, bahkan kedelapan anggota Sayap Garuda itu sendiri terkejut dan
terheran karena selamanya mereka belum pernah menghadapi lawan yang sehebat
serta selihai ini! Mereka merasa menyesal mengapa tadi telah berlaku jail dan
sembrono hingga kini terpaksa harus menelan pel pahit! Akan tetapi, tidak ada
jalan mundur lagi bagi mereka selain mengerahkan tenaga dan mengepung makin
rapat.
Sesudah pertempuran
berlangsung lima puluh jurus lebih, Ang I Niocu baru menurunkan tangan besi dan
sinar pedangnya berubah ganas. Sebentar kemudian terdengar teriakan-teriakan
mengaduh yang diikuti dengan pedang-pedang beterbangan karena terlepas dari
pegangan tangan!
Dalam beberapa jurus saja Ang
I Niocu berhasil merobohkan delapan orang lawannya, masing-masing mendapat
hadiah guratan pedang di lengan tangan, pundak, muka dan paha, hingga biar pun
mereka mandi darah dan roboh di tanah, tak seorang pun di antara mereka yang
menderita luka berat sehingga membahayakan keselamatan jiwa mereka!
“Puaskah kalian melihat
tarianku?” Ang I Niocu berkata sambil memasukkan pedang ke sarungnya dan
tersenyum manis.
Pemimpin rombongan Sayap
Garuda itu dengan muka merah dan mata terbelalak lantas bertanya dengan suara
parau, “Lihiap ini siapakah...?”
Tetapi Ang I Niocu tidak
menjawab, hanya tersenyum dan berpaling memandang Cin Hai yang menyimpan
sulingnya,
“Kalian belum tahu siapakah
pendekar wanita yang gagah perkasa ini? Ahhh…, sungguh percuma hidup di dunia
mempunyai mata seakan-akan buta!” Dengan senyum sindir Cin Hai lalu menyanyikan
syair Ang I Niocu.
Berkawan sebatang pedang dan
suling,
Menjelajah ribuan li tanah dan
air,
Tanpa maksud tiada tujuan,
Hanya mengandalkan kaki dan
hati!
Memang Cin Hai sudah menggubah
sebuah lagu yang bernada gagah untuk syair ini dan menambahkan kata ‘suling’ di
belakang ‘pedang’. Sehabis menyanyikan syair itu, Cin Hai memandang wajah
mereka. Tetapi ternyata bahwa para anggota Sayap Garuda itu masih saja belum
mengerti siapa adanya nona gagah perkasa yang demikian lihai ilmu silatnya itu.
Karena mendongkol melihat
kebodohan mereka, Cin Hai lalu membentak, “Orang-orang macam kalian ini mana
pantas mengenal dia?!”
Sementara itu, Ang I Niocu
bertaka, “Hai-ji mari kita pergi”
Keduanya lalu meninggalkan
tempat itu dengan tenang seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu. Kawanan
Sayap Garuda itu merangkak-rangkak bangun sambil menyumpah-nyumpah dan saling
tolong. Untung bagi mereka bahwa kekalahan hebat ini tidak terlihat oleh orang
lain. Sungguh peristiwa yang memalukan sekali dan andai kata kelihatan oleh
orang lain, nama mereka akan jatuh rendah sekali!
Tiba-tiba pemimpin mereka
berseru sambil menepuk-nepuk jidatnya, “Ah, siapa lagi kalau bukan dia!”
Kawan-kawannya memandang heran
dan dia lalu melanjutkan kata-katanya. “Tentu nona tadi Ang I Niocu!
Kepandaiannya hebat, pakaiannya merah, siapa lagi kalau bukan Ang I Niocu?”
“Akan tetapi ia masih begitu
muda dan cantik, paling banyak berusia delapan belas tahun. Sedangkan Ang I
Niocu telah membuat nama besar empat lima tahun yang lalu!”
Kawan-kawannya menganggap ucapan
ini ada betulnya juga, maka mereka hanya saling pandang dengan heran dan
menduga-duga sambil menggunakan robekan baju atau ikat kepala untuk membalut
luka masing-masing.
Sementara itu, Ang I Niocu
segera mengajak Cin Hai menggunakan Hui-heng-sut (Ilmu Berlari Cepat) untuk
menuju ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih). Ketika Cin Hai menanyakan
maksud tujuannya pergi ke gunung itu, Ang I Niocu lalu menjawab sambil
tersenyum,
“Di puncak Pek-tiauw-san itu
terdapat sarang burung rajawali. Burung itu hanya bertelur sekali dalam
setahun. Sekarang kebetulan musim burung itu bertelur dan aku perlu sekali
mendapatkan satu atau dua butir telur rajawali putih.”
“Mencari telur mengapa begitu
jauh, Niocu? Untuk apakah?”
Ang I Niocu tertawa kecil.
“Kau benar-benar masih tolol. Tidak tahu khasiat telur rajawali putih?”
Benar-benar Cin Hai tidak
mengerti dan memandangnya dengan mata bodoh sehingga sekali lagi Ang I Niocu
tertawa. “Di antara segala macam akar terdapat akar jin-som yang mengandung
obat mujizat, dan di antara segala macam telur terdapat telur rajawali putih
yang khasiatnya tidak kalah dari jin-som!”
Cin Hai pernah melihat dan
tahu akan khasiat jin-som, akar yang berbentuk anak orok itu, maka ia heran
mendengar bahwa khasiat telur rajawali itu lebih manjur dari pada jin-som.
“Benarkah itu, Niocu? Apakah
telur itu dapat menguatkan tubuh seperti jin-som?”
“Tidak hanya menguatkan tubuh,
tetapi juga memperpanjang umur dan mencegah orang menjadi tua. Makan sebutir
saja kau akan menjadi lebih muda dua tahun!”
“Begitukah? Hebat sekali.
Sebutir telur kecil bisa memudakan orang sampai dua tahun!”
Ang I Niocu tertawa merdu.
“Kecil katamu? Anak tolol, telur burung itu besarnya melebihi kepalamu!”
Cin Hai melebarkan matanya dan
wajahnya tampak bertambah bodoh hingga Ang I Niocu makin geli melihatnya.
Demikianlah, sambil berlari
cepat mereka bercakap-cakap dengan gembira hingga waktu lewat tak terasa oleh
mereka berdua…..
********************
Gunung Pek-tiauw-san menjulang
tinggi menembus awan. Pada kaki dan lereng gunung penuh dengan rimba raya yang
kaya akan pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun umurnya. Pohon-pohon itu
ada yang demikian besar ukurannya hingga untuk mengelilingi sebatang saja,
orang harus berjalan sedikitnya empat puluh langkah!
Pohon sebesar ini mungkin
umurnya sudah ada seribu tahun. Tinggi besar, kokoh kuat, seakan-akan raksasa
berdiri sambil bertolak pinggang memandangi segala yang berada di bawahnya!
Berbeda dengan keadaan kaki
dan lereng gunung yang dipenuhi tetumbuhan, di puncak tidak ditumbuhi pohon,
sebaliknya kaya akan batu-batu karang yang tinggi dan meruncing ke atas. Bahkan
ada batu karang yang tingginya sampai puluhan kaki seakan-akan ingin menyaingi
pohon-pohon raksasa yang tumbuh di sebelah bawah.
Tempat inilah yang dipilih
oleh burung rajawali untuk bertelur. Pada puncak batu karang yang tinggi,
burung raksasa itu membuat sarang dan bertelur serta memelihara anaknya. Di
seluruh daratan Tiongkok, hanya pada puncak Pek-tiauw-san ini saja terdapat
burung-burung rajawali yang berbulu putih dan indah. Karena jumlah burung itu
hanya beberapa puluh ekor saja, maka jarang orang dapat melihatnya, apa lagi
tempat di mana mereka bersarang adalah puncak gunung yang tinggi dan sangat
sukar sekali didaki orang.
Jangankan orang biasa yang
tidak memiliki kepandaian, sedangkan Cin Hai yang sudah memiliki kepandaian
yang lumayan juga, masih menderita kesukaran ketika Ang I Niocu membawanya naik
ke atas. Pendakian Gunung Pek-tiauw-san ini benar merupakan ujian baginya,
bahkan merupakan latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang baik sekali.
Seandainya ia diharuskan
mendaki sendiri, belum tentu ia dapat mencapai puncak, sebab setelah melewati
rimba terakhir, jalan menjadi demikian sulit, penuh dengan jurang-jurang yang
curam, melalui batu-batu karang yang tinggi dengan permukaan tajam hingga dapat
menembus sepatu!
Akan tetapi Ang I Niocu nampak
tenang dan enak saja. Gerakannya tetap sangat gesit dan ringan sehingga sekali
lagi Cin Hai mendapat bukti akan kelihaian Dara Baju Merah ini. Pada saat
melalui tempat-tempat yang berbahaya dan sukar Cin Hai tidak ragu-ragu lagi
untuk memegang tangan Ang I Niocu, bahkan di waktu harus meloncati jurang yang
curam dan lebar, gadis itu tidak sungkan-sungkan untuk memondong dan membawanya
melompat ke seberang jurang!
Betapa pun juga, setelah
setengah hari melakukan perjalanan yang sukar baru mereka sampai di puncak,
memandang batu-batu karang yang menjulang tinggi menembus awan yang merupakan
gumpalan-gumpalan halimun tipis.
“Aku tidak melihat ada sarang
burung di puncak batu karang itu!” Cin Hai berkata sambil terengah-engah
kelelahan dan duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.
“Apa kau kira mudah saja
mendapatkan sarangnya? Di antara seluruh batu-batu karang yang ratusan
banyaknya ini, paling untung kita dapat menemukan empat atau lima buah sarang
saja!”
Cin Hai menghela napas.
Seluruh tubuhnya telah payah dan penat-penat, dan agaknya ia tak akan kuat
harus berjalan lagi mengelilingi batu-batu karang itu untuk mencapai sarang
rajawali. Melihat keadaan Cin Hai, Ang I Niocu juga ikut duduk mengaso.
“Biarlah kita beristirahat
lebih dulu melepaskan penat,” katanya sambil menghibur Cin Hai dengan senyumnya
yang membesarkan hati. Pada saat itu terdengar suara yang keras dan dahsyat
menggetarkan anak telinga!
”Seekor Pek-tiauw (Rajawali
Putih)!” Ang I Niocu berkata perlahan seolah-olah menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh Cin Hai dengan pandangan matanya. “Dia sedang marah, entah
mengapa?”
Gadis itu dengan hati-hati
lalu bangkit berdiri dan perlahan-lahan maju ke arah suara tadi. Cin Hai
terpaksa mengikutinya dari belakang, biar pun sebenarnya ia merasa takut. Baru
suaranya saja sudah sehebat itu, apa lagi burungnya. Tentu besar dan liar!
Makin dekat, makin keras pula
pekik burung raksasa itu dan terdengar gerakan sayapnya mengebut-ngebut membuat
batu-batu karang yang kecil menggelinding pergi serta angin bertiup dari arah
itu! Dengan gerakan hati-hati sekali Ang I Niocu terus maju, kemudian mengintai
dari balik batu karang. Cin Hai juga ikut mengintai dan terkejutlah dia melihat
betapa seekor burung yang luar biasa besarnya menyambar-nyambar serta menerjang
seorang kakek di depannya!
Cin Hai memandang dengan
melongo, mata terbelalak dan mulut ternganga, oleh karena kejadian yang
dilihatnya ini memang luar biasa sekali! Kakek tua itu berjenggot panjang
berwarna putih, juga rambutnya yang digelung ke atas telah putih semua.
Pakaiannya sederhana sekali, lebih pantas disebut kain yang dililitkan pada
tubuhnya dan terbuat dari kain kasar berwarna putih yang biasa dipakai oleh
petani-petani miskin atau orang-orang jembel. Akan tetapi kakek itu mengenakan
sebuah rompi yang terbuat dari bulu merak yang masih baru!
Pada waktu itu, burung
rajawali putih yang tampak marah sekali itu sedang menyerang dengan kedua
cakarnya yang berkuku tajam bagaikan kaitan-kaitan baja serta paruhnya yang
besar melengkung bagaikan sebuah catut besar. Serangan ini dibantu pula oleh
dua sayapnya yang berkembang dan siap menyambar dengan tenaga sedikitnya seribu
kati!
Akan tetapi kakek itu tidak
jeri, bahkan terdengar dia tertawa terkekeh-kekeh, lalu dia pun mengembangkan
kedua lengan tangannya yang dibentang ke kanan kiri dengan jari-jari terbuka
merupakan cakar hingga seakan-akan ia telah siap untuk bermain cakar-cakaran dengan
burung itu. Tubuhnya merendah dengan kaki kiri diulur ke depan, seakan-akan ia
hendak memperlihatkan kepada burung itu bahwa kakinya tak lebih buruk dari pada
kaki burung rajawali putih!
“Ha-ha-ha, majulah, tolol,
majulah!” kakek itu mengejek burung itu.
Tiba-tiba teringatlah Cin Hai
bahwa kakek itu bukan lain adalah Bu Pun Su, kakek jembel yang telah dia angkat
sebagai guru ketika mereka berjumpa di atas Kelenteng Ban Hok Tong pada
beberapa tahun yang lalu!
Pada saat itu burung rajawali
itu menerkam dan memukul dengan sayap kanannya. Akan tetapi dengan ringan
sekali kakek itu meloncat menghindari kebutan sayap hingga sayap burung yang
besar itu menghantam batu karang di belakang Bu Pun Su! Terdengar suara keras
dan batu karang itu terpukul hancur sehingga batu-batu kecil terbang
berhamburan! Demikian hebat pukulan itu, maka dapat dibayangkan betapa kepala
orang akan hancur lebur terkena pukulan sayap satu kali saja.
Namun Bu Pun Su benar-benar
luar biasa lihainya. Dia menghadapi burung raksasa itu dengan tenang, bahkan
mempermainkannya. Padahal pada saat itu dia berdiri di tempat yang sempit
sekali.
Di depan kakinya terbuka
jurang yang amat curam, sedangkan di belakangnya menjulang tinggi batu karang
besar. Kalau ia sampai terdorong oleh serangan burung rajawali, maka nasibnya
hanya dua macam, kalau tidak terpukul hancur terbentur pada batu karang yang
keras, tentu terguling ke dalam jurang dan menemui maut di dasar jurang yang
ratusan kaki dalamnya!
Pada saat Cin Hai sedang
berdiri kagum dan heran, tiba-tiba saja Ang I Niocu memegang lengannya dan
menariknya cepat-cepat pergi dari tempat itu.
“Lekas kita turun gunung dan
lari dari Susiok-couw!” Ang I Niocu berkata dengan wajah pucat!
“Ehh, Niocu, kau mengapa?
Kenapa begitu takut melihat dia?”
“Anak tolol! Bukankah dia
adalah Bu Pun Su, Gurumu? Kalau melihatmu, tentu kau akan dibawanya dan
berpisah dariku, lupakah kau?”
Terkejutlah Cin Hai teringat
akan hal ini. Ia segera ikut berlari turun dari puncak itu, ada pun hatinya
makin suka kepada Ang I Niocu, karena ternyata bahwa Gadis Baju Merah ini pun
takut kalau-kalau harus berpisah darinya!
Sambil bergandeng tangan
mereka berdua berlari-lari dengan cepat seperti dikejar setan. Akan tetapi
karena Cin Hai sudah lemah sekali serta sepatunya sudah banyak berlubang
sehingga telapak kakinya terasa sakit tertusuk batu-batu tajam, perjalanan
mereka tidak secepat yang mereka inginkan.
Ketika mereka telah lari jauh
dan keduanya sudah menarik napas lega karena menduga bahwa Bu Pun Su tentu
takkan dapat bertemu dengan mereka karena tadi pun orang tua itu sedang sibuk
menghadapi pek-tiauw yang berbahaya, mendadak mereka mendengar pukulan sayap
burung di atas. Pada waktu mereka memandang ke atas, tiba-tiba wajah mereka
menjadi pucat sekali. Terutama Ang I Niocu, wajah gadis yang biasanya agak
kemerah-merahan itu kini menjadi pucat ketakutan!
Seekor Pek-tiauw terbang di
atas mereka, yakni burung rajawali yang tadi bertempur melawan Bu Pun Su. Dan
di atas punggung burung itu tampak Bu Pun Su sendiri duduk sambil menggunakan
tangan kanan memegang leher burung dan tangan kiri memegang ekor dan leher,
kakek itu berhasil memaksa burung rajawali putih untuk terbang menurut arah
yang ditunjuknya. Kalau ia memutar leher ke kiri, terpaksa burung itu terbang
ke kiri, dan demikian sebaliknya. Sekarang Bu Pun Su membetot-betot ekornya dan
membekuk lehernya ke arah bawah sehingga burung rajawali putih yang besar itu
dapat menangkap maksudnya bahwa ia harus turun!
Setelah meloncat dari punggung
burung dengan ringan sekali, Bu Pun Su membentak burung itu yang segera terbang
pergi sambil mengeluarkan suara keluhan panjang tanda takluk terhadap kakek
yang lihai itu!
Ang I Niocu segera menjatuhkan
diri dan berlutut di depan Bu Pun Su sambil menyebut, “Susiok-couw!”
Juga Cin Hai tidak dapat
berbuat lain kecuali ikut berlutut di belakang Ang I Niocu tanpa berani
mengangkat mukanya!
“Hm, hemm! Kau mencari telur
Pek-tiauw?” tanyanya kepada Ang I Niocu.
“Benar, Susiok-couw, harap
maafkan kalau teecu mengganggu Susiok-couw!” kata Ang I Niocu dengan hormat.
“Siapa yang mengganggu? Kau
atau aku?” kata Kakek itu sambil melirik ke arah Cin Hai. Kemudian ia bertanya
lagi, “Kau bawa-bawa anak ini untuk apa? Apa ia muridmu?”
Ang I Niocu tidak berani
membohong terhadap kakek gurunya, maka dia menggelengkan kepala menyangkal.
Tetapi Bu Pun Su agaknya tidak
percaya. “Kalau bukan murid mengapa dibawa-bawa? Hai, anak muda, apakah Ang I
Niocu mengajar silat kepadamu?”
Terpaksa Cin Hai mengangguk
karena dia memang tidak bisa membohong.
“Kiang Im Giok! Kau berani
berbohong terhadap Susiok-couw-mu?” Bu Pun Su menegur tetapi tidak marah karena
mulutnya tersenyum.
“Teecu mana berani membohong
Susiok-couw? Anak ini memang bukan muridku,” jawab Ang I Niocu.
“Tetapi kau mengajarkan ilmu
silat cabang kita! Ah, apakah kebisaanmu maka kau berani mengajar silat kepada
orang lain? Kau lancang sekali. Ketahuilah bahwa murid-muridlah yang biasanya
merusak nama baik cabang persilatan! Apakah kau tahu benar bahwa orang yang kau
beri pelajaran silat itu orang baik-baik? Bagaimana kalau kelak dia akan
mengotori dan mencemarkan nama baik kita?”
“Maafkan teecu, Susiok-couw,”
kata Ang I Niocu sambil menundukkan kepala.
“Sudahlah, yang sudah lewat
sudah saja. Kau masih anak-anak berani menerima murid, sedangkan aku tua bangka
yang hampir mati ini pun belum pernah mempunyai murid. Pernah aku menerima
seorang murid tolol, tetapi Si Gundul tolol itu sudah pergi minggat entah ke
mana?”
Tadinya Cin Hai hendak mengaku
bahwa anak gundul tolol itu adalah dia sendiri. Tetapi melihat betapa kakek itu
memarahi Ang I Niocu, dia menjadi tidak senang dan diam saja sambil menundukkan
kepalanya yang kini sudah tidak gundul lagi. Ternyata kakek tua itu sudah lupa
dan pangling.
“Sekarang kau pergilah, Im
Giok, dan kau wakili aku pergi ke Kun-lun-pai. Di sana sedang timbul pertikaian
hebat antara para pemimpin Kun-lun-pai dengan Go-bi-pai karena salah paham yang
ditimbulkan oleh anak murid mereka, kau pergilah ke sana dan atas namaku kau
coba damaikan mereka itu demi persatuan para hohan yang kelak akan diperlukan
tenaganya oleh bangsa!”
Ang I Niocu memberi hormat dan
berjanji mentaati perintah Susiok-couw-nya itu. Tetapi dengan bingung ia
melirik ke arah Cin Hai. Bu Pun Su yang bermata tajam dapat melihat lirikan
ini, maka ia lalu membentak,
“Pergilah dan jangan pedulikan
anak ini. Dia sudah belajar kepandaian, biarlah kini dia menggunakan
kepandaiannya itu untuk turun gunung seorang diri!”
Terpaksa Ang I Niocu bangkit
berdiri dan sambil memandang kepada Cin Hai dengan wajah pucat dia hanya
berkata, “Sampai bertemu kembali!”
Lalu gadis itu melompat jauh
sehingga sebentar saja dia hanya merupakan setitik warna merah yang kemudian
menghilang. Bu Pun Su tertawa bergelak-gelak dan ketika Cin Hai mengangkat muka
memandang dengan marah, kakek itu telah lenyap dari situ!
Cin Hai berdiri dan
membanting-banting kaki dengan gemas serta sedih. Hatinya terasa hancur dan
pikirannya bingung. Ang I Niocu telah meninggalkannya. Satu-satunya orang yang
dikasihinya di dunia ini telah pergi dan meninggalkan ia hidup seorang diri,
sebatang kara di atas gunung ini, tanpa tujuan, tanpa mengetahui apa yang harus
ia perbuat!
Cin Hai tak dapat menahan
sedihnya lagi dan dia menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis
tersedu-sedu! Dia menangis bukan karena takut menghadapi nasibnya, tetapi
karena merasa sedih ditinggalkan oleh Ang I Niocu, kawan dan guru yang
dianggapnya sebagai orang yang paling baik di atas dunia ini!
Setelah menangis beberapa lama
sampai air matanya kering dan habis, akhirnya ia dapat menetapkan hatinya dan
dengan tubuh limbung dan lesu ia pun menuruni bukit itu. Senja telah datang
ketika ia tiba di kaki bukit dan perutnya terasa lapar sekali.
Biasanya, saat dia masih
merantau bersama-sama dengan Ang I Niocu, yang memikirkan kebutuhan makan
mereka berdua ialah gadis itu. Pandai sekali gadis itu mencari makan untuk
mereka berdua, baik dengan jalan membeli, mencari buah-buahan, berburu, mau pun
kadang-kadang memasak sendiri!
Kini perutnya terasa lapar,
uang ia tidak punya dan ia berada di tengah belukar. Apa daya? Kembali air
matanya turun membasahi kedua pipinya.
Tiba-tiba ia teringat akan
nyanyian dalam sebuah kitab kuno, yaitu kata-kata Ci Kui yang menasihati
puteranya ketika sedang bersedih.
‘Air mata adalah mahal dan tak
layak keluar dari mata seorang jantan, simpan air matamu dan gantilah dengan
cucuran peluhmu! Demikianlah sifat jantan (Pahlawan) sejati!’
Teringat akan nyanyian ini,
Cin Hai merasa jengah dan malu terhadap dirinya sendiri. Ia lalu menggunakan
lengan bajunya menghapus kering segala sisa air mata di pipinya, lalu ia mulai
mencari buah-buahan di dalam hutan itu.
Akhirnya dapat juga dia
menemukan buah-buahan yang telah masak dan lezat. Dia lalu makan buah itu dan
beristirahat di atas dahan pohon yang besar. Karena sudah biasa, maka dia
berani tidur di atas cabang tanpa kuatir jatuh selagi tidur.
Hawa malam di hutan itu dingin
sekali sehingga Cin Hai harus mengerahkan hawa dalam tubuhnya yang dialirkan
cepat untuk menahan dingin. Baiknya dia sudah sering berlatih khikang sehingga
dia tidak sangat menderita kedinginan.
Yang sangat dia derita adalah
kenangan akan Ang I Niocu. Biasanya kalau tidur berdua di atas pohon, gadis itu
tentu mengajak ia bercakap-cakap atau mempelajari tiupan suling hingga ia tak
pernah merasa sunyi.
Bahkan dulu ketika khikang-nya
belum begitu maju dan ia sangat menderita kedinginan, Ang I Niocu menanggalkan
mantelnya lalu diselimutkan kepadanya, dan ketika mantel itu masih belum mampu
mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulang, Dara Baju Merah itu lantas
memegang tangannya dan menyalurkan hawa hangat yang luar biasa melalui telapak
tangan hingga hawa hangat itu menjalar ke dalam tubuhnya dan mengusir hawa
dingin.
Ahh, alangkah baik dan mulia
hati gadis itu. Dalam diri Ang I Niocu, Cin Hai seakan-akan menemukan seorang
kawan dan guru, bahkan juga seorang ibu dan ayah yang sangat mengasihinya! Kini
gadis itu pergi meninggalkan dia dan tidak tahu sampai kapan dapat bersua
kembali!
Semalam penuh Cin Hai tak
dapat memejamkan matanya dan pikirannya penuh dengan Ang I Niocu. Berkali-kali
terdengar helaan napasnya dan bisikannya, “Niocu... Niocu...,” ia
menyebut-nyebut nama gadis itu dengan perasaan rindu yang menekan dadanya.
Pada keesokan harinya, dia
mulai merantau seorang diri dengan hati tertekan dan pikiran bingung. Karena
tak tahu bagaimana harus mendapatkan makan untuk mengisi perutnya sehari-hari
terpaksa ia minta makanan dari orang kampung yang dilewatinya dan menjadi
seorang pengemis! Ia terpaksa menjadi seorang pengemis karena ia ingat akan
ujar-ujar yang menyatakan bahwa seribu kali lebih baik menjadi seorang pengemis
dari pada jadi seorang pencuri, tidak ada lain jalan lagi.
Beberapa bulan telah berlalu
dan keadaan Cin Hai semakin buruk. Pakaiannya kotor dan compang-camping. Dahulu
ketika ia merantau dengan Ang I Niocu, paling lama tiga hari sekali dia tentu
disuruh mencuci pakaiannya, bahkan setiap kali bertemu dengan anak sungai, dia
diharuskan mandi dan membersihkan tubuhnya oleh Ang I Niocu. Akan tetapi
sekarang, dia menjadi sangat malas untuk mencuci pakaian atau mandi sehingga
selain pakaiannya kotor, tubuhnya juga kotor penuh debu!
Bahkan kudis yang gatal di
kepalanya mulai timbul lagi sehingga ia lalu mencari pinjaman pisau dan
mencukur rambutnya yang tadinya hitam, tebal dan bagus itu! Sungguh amat
mengherankan betapa dalam beberapa bulan saja, keadaan Cin Hai yang tadinya
hidup penuh kegembiraan dan kebahagiaan, sekarang berubah menjadi penuh
penderitaan dan kesengsaraan. Ini semua karena Ang I Niocu, Dara Baju Merah yang
cantik dan memiliki kepandaian tinggi itu!
Kurang lebih setahun kemudian
Cin Hai tiba di kota Kibun. DIa sudah berubah menjadi seorang pengemis muda.
Tubuhnya begitu kurus hingga tulang-tulangnya tampak di balik kulitnya yang
kotor. Rambutnya yang tumbuh kembali tidak teratur dan awut-awutan tidak
karuan. Kakinya telanjang tidak bersepatu dan wajahnya yang kurus tampak muram,
tapi sepasang matanya bersinar lebih tajam dari pada dulu.
Pengalaman-pengalaman hidup
yang pahit membuat dia masak dan terbukalah kini mata hatinya akan kesengsaraan
hidup miskin. Karena hidup menderita, maka kini dia dapat merasakan pula
penderitaan rakyat miskin di sekelilingnya, dan timbul rasa iba di dalam
hatinya yang tadinya hanya mengenal kegembiraan belaka.
Biar pun menjadi pengemis,
tetapi Cin Hai hanya mengemis makanan apa bila perutnya sudah lapar benar dan
tubuhnya sudah menjadi lemas karenanya. Oleh karena ini, maka belum tentu
sekali sehari dia makan. Kadang-kadang sampai dua hari dia tidak mengisi perut
dengan makanan dan hanya minum air untuk menahan lapar.
Juga ia tidak sembarangan
mengemis asal minta-minta saja. Hatinya tidak merasa sedap kalau untuk
semangkuk yang diberikan orang kepadanya tidak dia tukar dengan bantuan
tenaganya kepada pemberinya itu. Terlebih dahulu dia akan melakukan suatu
pekerjaan untuk pemberinya, misalnya memikul air, menyapu lantai, membelah kayu
dan lain-lain pekerjaan kasar lagi. Memang Cin Hai seorang pengemis muda yang
istimewa.
Kota Ki-bun menarik hatinya
dan menimbulkan rasa senang dan betah padanya. Kota ini cukup ramai dan hawanya
yang nyaman membuat kota itu nampak bersih. Penduduknya peramah dan perdagangan
di sana kelihatan ramai dan hidup karena tanah di sekeliling daerah itu memang
cukup subur. Rupanya anak sungai yang mengalir di tengah-tengah kota
mendatangkan keadaan makmur ini, karena selain air sungai dapat menyuburkan
tanah dan sawah, juga sungai itu ternyata mengandung banyak ikan.
Pada saat ia berjalan-jalan
seenaknya mengelilingi kota dan melihat-lihat, Cin Hai tertarik dengan sebuah
bangunan yang dikelilingi tembok tebal. Di depan pintu gedung kuno itu terdapat
tulisan yang menyatakan bahwa bangunan itu adalah sebuah bukoan (tempat belajar
silat) dari seorang guru silat she Louw.
Papan nama itu terbuat dari
pada sepotong papan. Tulisannya bergaya kuat dan indah. Sayang sekali papan
nama itu agaknya tidak terawat sehingga tampak kotor dan bahkan memasangnya
juga miring.
Cin Hai memang suka akan
keindahan. Ia kagum sekali melihat corak tulisan pada papan nama itu dan
menyayangkan kenapa tulisan seindah itu dituliskan pada papan yang kotor dan
dipasangnya miring pula.
Tanpa dapat menahan perasaan
hatinya, dia kemudian mengambil sebuah bangku yang terdapat di luar pintu dan
sambil berdiri di atas bangku itu ia menurunkan papan nama itu dari
gantungannya. Lalu ia membersihkan dan menggosok-gosok papan itu dengan ujung
lengan bajunya yang sudah kotor. Dia menggosok-gosok sambil memandangi tulisan
itu dengan hati senang sekali.
Tiba-tiba saja timbul sebuah
pikiran dalam kepalanya. Inilah yang dia cari-cari selama ini! Pekerjaan! Ia
telah terlampau lama menganggur. Tiada suatu yang dapat dikerjakan, dan karena
tak mempunyai kewajiban apa pun yang harus dikerjakan, maka ia menjadi malas
dan menderita. Dalam menggosok-gosok papan ini dia merasakan kesenangan. Ahh,
dia harus bekerja!
Setelah papan itu bersih
hingga tulisannya tampak nyata dan makin indah dipandang, dia lalu
menggantungkan papan itu baik-baik, tidak miring seperti tadi. Segera dia turun
dari bangkunya dan sambil berdiri menjauhi, ia memandang papan nama itu dengan
gembira. Ia melihat hasil dari pada pekerjaannya tadi dan tampak jelas hasil
itu. Ia membayangkan betapa papan itu sebelum digosoknya tadi tampak buruk dan
kotor, sekarang bersih dan seakan-akan benda itu kini berseri-seri gembira,
tidak seperti tadi yang kotor dan muram!
Cin Hai lalu mendorong
perlahan dan ternyata daun pintu tidak terkunci dan mudah saja terbuka. Dia
masuk ke dalam. Ternyata bukoan itu terdiri dari dua buah rumah kecil dan
sebuah lagi rumah besar agak di belakang. Di depannya terdapat pelataran yang
luas tak ditumbuhi rumput. Pada sudut kiri tampak sebuah rak tempat menyimpan
senjata dan di sudut kanan tampak batu-batu dan besi-besi yang biasa digunakan
orang untuk belajar olah raga dan berlatih kekuatan.
Cin Hai senang sekali melihat
semua ini. Ia melihat betapa tempat yang menyenangkan hatinya itu kotor sekali,
maka ia memandang ke sana-sini, mencari-cari. Tiba-tiba saja dia melihat benda
yang dicari-cari itu bersandar ke dinding. Cepat diambilnya sapu itu dan ia
mulai menyapu pelataran tempat berlatih silat.
Karena asyiknya menyapu, Cin
Hai tidak melihat kedatangan seorang lelaki setengah tua yang masuk dari luar.
Orang itu bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang kauwsu (guru
silat). Memang dia adalah Louw Sun Bi guru silat yang mengajar di bukoan itu.
Guru silat ini baru pulang
dari bepergian dan ia heran melihat seorang pemuda tanggung yang berpakaian
compang-camping tengah menyapu pelataran bukoan-nya dengan asyik sekali. Tadi
pun ia telah merasa heran melihat papan nama yang tergantung di atas pintu
demikian bersih seakan-akan baru saja ada yang membersihkannya. Kini ia pun
mengerti bahwa yang membersihkan papan nama tentu anak itu juga.
“He, anak muda! Siapa yang
menyuruhmu membersihkan tempat ini?” tegurnya.
“Tidak… tidak ada yang
menyuruh. Aku melihat tempat ini begitu kotor dan… dan sudah sepatutnya
dibersihkan.”
Louw Sun Bi adalah guru silat
yang berwatak jujur dan baik. Mendengar jawaban Cin Hai, dia dapat menduga
bahwa anak muda itu tentu bukan seorang pengemis sembarangan, maka ia lalu
bertanya, “He, anak muda. Apakah kau mau bekerja di sini?”
Wajah Cin Hai yang tadinya
muram berubah dan berseri. “Suka sekali, suka sekali!”
Memang tadi ia telah sadar
bahwa kebutuhan yang dirindukan olehnya ialah pekerjaan, maka sekarang begitu
ada orang menawarkan pekerjaan, tentu saja ia merasa senang.
“Kau tak berumah dan sebatang
kara?” kembali guru silat itu bertanya.
Dugaannya yang tepat ini
bukanlah karena ia orang waspada, tetapi karena pada masa itu memang banyak
sekali terdapat orang-orang berkeliaran seperti Cin Hai, orang-orang yang
hidupnya merantau dan mengemis tanpa mempunyai tempat tinggal yang tetap dan
kebanyakan adalah orang-orang yang telah yatim piatu dan hidup sebatang kara.
Cin Hai mengangguk-angguk
membenarkan kata-kata kauwsu itu.
“Kalau begitu, mulai sekarang
kau bekerja saja di sini, juga melayani segala keperluan murid-murid bukoan.”
“Baik, baik Loya,” jawab Cin
Hai dengan gembira sekali.
Pada saat itu dari luar
terdengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa dan tidak lama kemudian
dari pintu gerbang itu masuklah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga
puluh tahun yang berbadan pendek gemuk tetapi gerakannya gesit, diikuti oleh
belasan anak-anak berusia rata-rata lima belas atau empat belas tahun.
Mereka yang baru datang ini
semua memberi hormat kepada Louw Sun Bi. Anak-anak muda itu menyebut ‘suhu’ dan
Si Gemuk Pendek menyebut Louw-twako.
Louw-kauwsu segera
memperkenalkan orang-orang itu kepada Cin Hai. Ternyata bahwa orang yang gemuk
pendek itu adalah wakil kauwsu yang pekerjaannya adalah mewakili Louw-kauwsu
mengajar sekalian murid-murid itu, sedangkan anak-anak muda itu adalah para
murid bukoan, putera-putera penduduk kota itu yang belajar silat. Sambil
tersenyum Louw-kauwsu menuturkan kepada mereka betapa Cin Hai telah
membersihkan pelataran itu dan betapa ia telah menerima Cin Hai menjadi bujang
di situ.
Terhadap seorang pengemis muda
seperti Cin Hai, tentu saja tidak ada di antara mereka yang menaruh perhatian
dan anak-anak murid itu segera memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat
besi atau batu untuk melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu
berdemonstrasi, seakan-akan sengaja ingin memamerkan tenaga mereka kepada
bujang kecil itu!
Terhadap seorang pengemis muda
seperti Cin Hai, tentu saja mereka tidak menaruh perhatian dan anak-anak murid
itu memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat besi, atau batu untuk
melatih otot-otot lengan. Mereka yang terkuat lalu berdemonstrasi, seakan-akan
sengaja hendak memamerkan tenaga mereka kepada bujang kecil itu!
Wakil kauwsu itu adalah
seorang yang biar pun bertubuh gemuk pendek, tetapi berwajah tampan juga.
Namanya Ting Sun dan ia adalah anak murid dari Bu-tong-pai, satu cabang dengan
Louw Sun Bi, hanya lebih rendah tingkatnya. Watak Ting Sun takabur sekali dan
ia sombong akan kepandaian silatnya. Karena Cin Hai diterima oleh Lauw Sun Bi,
maka tidak berani berkata apa-apa, hanya bertanya,
“Ehh, siapa namamu?”
“Nama saya Cin Hai,” jawab Cin
Hai.
“Ini adalah Ji-kauwsu (Guru
Silat Ke Dua) kau boleh menyebutnya Ji-suhu,” kata Louw Sun Bi tertawa.
Kemudian guru silat itu meninggalkan mereka pergi ke dalam.
“Ehh, jembel! Aku tidak
mempunyai murid seperti macammu, jangan sebut aku Suhu!”
“Harus menyebut bagaimana?”
tanya Cin Hai, terkejut melihat perubahan sikap orang.
“Harus sebut aku Siauwya (Tuan
Muda), mengerti?!”
Dalam hatinya Cin Hai tertawa
geli melihat kecongkakan akan guru silat gemuk pendek itu, tetapi mulutnya
menjawab, “Baik, Siauwya.”
Kemudian Cin Hai melanjutkan
pekerjaannya menyapu lantai sampai bersih. Sementara itu, Ting Sun melatih
murid-muridnya.
Ketika Cin Hai membersihkan
pekarangan di dekat gedung belakang, tiba-tiba Louw Sun Bi keluar dan
memanggilnya. Cin Hai cepat-cepat menghadap. Guru silat itu diiringi oleh
seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun.
Gadis itu bertubuh tinggi
besar seperti ayahnya, karena dia adalah Louw Bin Nio, anak tunggal Louw Sun
Bi. Wajah Bin Nio tidak cantik, tetapi cukup manis dan sikapnya gagah, hingga
dapat diduga bahwa gadis ini pun pandai ilmu silat seperti ayahnya.
“Kau tentu belum makan,” kata
guru silat itu dengan suara ramah, “kau makanlah dahulu dan gantilah pakaianmu
itu, setelah kau bersihkan tubuhmu.”
Cin Hai merasa berterima kasih
sekali dan ia memberi hormat sambil berlutut. Ia merasa terharu karena baru
sekarang ada orang yang mau memperhatikan keadaan dirinya. Bin Nio lalu
mengantarnya ke ruang belakang dan memerintahkan pelayan-pelayan lain untuk
memberi makan kepada Cin Hai, sedangkan seorang pelayan lain mengambil satu
stel pakaian tua dari Louw-kauwsu.
Semenjak hari itu, berubah
pulalah keadaan hidup Cin Hai. Ia tidak usah menderita lapar dan dingin lagi,
dan setiap hari ia bekerja dengan gembira dan bersemangat. Akan tetapi, di
samping pekerjaan yang memuaskan hatinya dan sikap Louw Sun Bi yang sangat baik
terhadapnya, ia mengalami penderitaan lain yang timbul dari sikap Ting Sun dan
sikap Louw Bin Nio kepadanya.
Entah kenapa, Ting Sun Si Guru
Silat gemuk pendek itu tidak suka kepadanya dan sering kali menghinanya. Pernah
pada suatu senja dia berdiri melihat latihan silat, tiba-tiba Ting Sun
memanggilnya.
“Kalian lihatlah baik-baik.
Untuk menjalankan tiamhoat (ilmu menotok jalan darah), kedua jari telunjuk dan
tengah harus diluruskan seperti ini.” Ia memberi contoh dengan dua jari tangan.
“Dan biarlah Si Jembel ini kita totok, kalian lihat bagian leher ini!”
Dia lalu meraba-raba leher Cin
Hai yang tidak berani membantah dan diam saja berdiri bagaikan patung.
“Nah, untuk menotok jalan
darah harus tepat di bagian ini!” Sambil berkata demikian, jari tangannya
benar-benar menotok leher Cin Hai.
Anak itu terkejut sekali dan
hendak mengerahkan lweekang-nya untuk melawan totokan, tetapi cepat berpikir
bahwa kalau dia melakukan hal ini tentu akan terbukalah rahasianya. Maka dia
segera mengendorkan semua uratnya dan tidak melawan. Ketika totokan tiba di
lehernya, dia merasa leher itu sakit dan tubuhnya menjadi lemas hingga dia roboh
tanpa daya!
“Lihat, beginilah lihainya
totokan Bu-tong-pai!” guru silat itu tertawa puas dan bangga.
Sedangkan belasan anak murid
itu lalu memeriksa tubuh Cin Hai yang sudah lemas. Dia dapat melihat dan
mendengar, tetapi tak mampu menggerakkan tubuh karena segala urat di tubuhnya
seakan-akan berhenti bekerja! Juga lehernya terasa sakit sekali hingga dia
tidak berani menggerakkan leher itu.....
Sementara itu, tanpa pedulikan
Cin Hai, Ting Sun lalu memberi petunjuk-petunjuk terlebih jauh kepada murid-muridnya.
Dalam keadaan menyedihkan itu Cin Hai harus menderita sampai dua jam lebih,
barulah pelan-pelan jalan darahnya terbuka dan darahnya kembali mengalir hingga
ia dapat cepat-cepat menggunakan tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatannya.
Akan tetapi, dia pura-pura masih lemah dan sakit sehingga berdiri sambil
terhuyung-huyung.
“Nah, nah, kalian lihat.
Sesudah beberapa lama, totokan di leher itu buyar sendiri dan dia dapat
bergerak kembali. Yang tadi itu adalah pelajaran pertama. Masih banyak lagi jalan
darah yang dapat ditotok, di antaranya tai-hwi-hiat yang letaknya di punggung.
Kalau aku totok tai-hwi-hiat jembel ini, maka dia akan roboh dengan lemas dan
selamanya tak akan dapat berdiri kembali, kecuali kalau totokan itu telah
dibebaskan dengan tepukan-tepukan tertentu. Tapi hal ini akan kalian pelajari
kelak bila mana sudah sempurna gerakan tangan kalian.”
Semua murid memandang kagum,
sementara dengan langkah terhuyung-huyung Cin Hai meninggalkan tempat itu,
sambil di dalam hatinya dia mengutuk guru silat itu. Kalau saja Louw-loya tidak
demikian baik hati padaku, hmm... akan kuhajar kau! Demikian ia berpikir dengan
hati mendongkol sekali.
Selain gangguan-gangguan dari
Ting Sun yang sangat menghinanya, Cin Hai juga harus menderita penghinaan dari Louw
Bin Nio. Gadis ini ternyata centil dan genit dan dalam hal menyombongkan
kepandaian silatnya, dia tak kalah dari Ting Sun. Alangkah jauhnya beda
perangai gadis ini dengan ayahnya.
Pernah pada suatu malam terang
bulan Cin Hai duduk di bawah pohon di dekat tembok itu sambil melamun. Ia
teringat akan Ang I Niocu dan ia merasa rindu sekali kepada Dara Baju Merah
itu. Di manakah gerangan nona itu pada saat ini? Cin Hai termenung sambil
memandang bulan yang agaknya sedang berjalan-jalan di angkasa mencari-cari
sesuatu yang telah pergi meninggalkannya!
Tiba-tiba ia mendengar suara
Bin Nio memanggilnya, dan ia cepat menghampiri gadis itu yang telah berdiri di
tengah tempat berlatih silat.
“Cin Hai, kau pergi ke dalam
ambilkan pedangku!” Gadis itu memerintah.
Cin Hai cepat lari ke belakang
dan kepada pelayan gadis itu ia menyampaikan pesan Bin Nio. Setelah menerima
pedang dari Cin Hai, gadis itu lalu main silat dengan pedangnya.
Cin Hai berdiri di tepi sambil
menonton gadis itu bersilat pedang. Alangkah jauh bedanya dengan permainan
pedang Ang I Niocu! Ia tak menganggap permainan Bin Nio ini bagus, tetapi tentu
saja ia tidak berani menyatakan itu, bahkan setelah gadis itu selesai bermain
pedang, ia memuji dengan suara kagum.
Bin Nio duduk di atas sebuah
bangku.
“Ahh, kau mana mengerti ilmu
pedang bagus atau tidak? Tahumu hanya menyapu lantai sampai bersih, menyiram
kembang dan mengampak kayu, Ah, sayang pada malam yang begini indah hanya ada
kau, anak tolol. Hayo kau bersihkan sepatu ini!”
Cin Hai tak berani membantah
dan menggunakan ujung bajunya untuk menyusut sepatu gadis itu yang kotor
terkena debu ketika bersilat tadi.
“Ilmu pedang Siocia memang
bagus sekali,” ia berkata lagi memuji untuk menyenangkan hati puteri majikannya
ini.
“Tentu saja bagi kau yang
tolol tak mengerti apa-apa memang bagus sekali, tapi cobalah kau lihat
Ting-kauwsu bermain pedang!” gadis itu menghela napas dengan rasa kagum.
“Tahukah kau? Ilmu pedang yang kumiliki adalah buah pelajaran darinya!”
Cin Hai merasa heran.
“Bukankah Loya sendiri yang memberi pelajaran padamu, Siocia?” tanyanya.
“Ahh, Ayah tidak begitu suka
melihat aku pandai bermain pedang. Ia bahkan ingin sekali melihat aku mengganti
pedangku dengan jarum sulam! Untungnya ada Ting-kawsu yang mengajarku pada
waktu malam. Sayang, sekarang sudah tidak diijinkan lagi oleh Ayah!” Gadis itu
tampak kecewa sekali dan Cin Hai yang telah selesai membersihkan sepatunya lalu
mundur.
Tetapi tiba-tiba Bin Nio
memanggil dengan suara perlahan.
“Ehh, Cin Hai, maukah kau
membantu aku?”
Cin Hai menjawab perlahan,
“Tentu saja, Siocia. Membantu apakah?”
“Kau berikan suratku kepada
Ting-kauwsu tetapi jangan sampai terlihat oleh orang lain, terutama jangan
sekali-kali terlihat oleh Ayah. Bagaimana?”
“Tentu saja aku mau memberikan
surat itu, Nona. Tetapi kenapa tidak boleh terlihat oleh orang lain?”
“Anak goblok! Tak perlu kau
tahu sebab-sebabnya. Kau turuti saja perintahku dan habis perkara. Nah, ini
suratnya. Besok pagi-pagi kau berikan kepadanya. Tetapi awas, kalau sampai
ketahuan oleh Ayah, kepalamu akan kupenggal dengan pedang ini!” Bin Nio lalu
menempelkan mata pedangnya pada leher Cin Hai.
Cin Hai pura-pura ketakutan
kemudian berkata, “Baik, baik... Nona, tentu akan kukerjakan baik-baik!”
Setelah menerima surat
bersampul itu berikut pesan berkali-kali agar dia berlaku hati-hati untuk
menyampaikan surat rahasia itu, Cin Hai lalu pergi ke kamarnya di tempat
pelayan. Malam itu dia tidak dapat tidur, seluruh pikirannya terganggu oleh
tugas yang diserahkan oleh Bin Nio kepadanya.
Pada waktu itu, dia sudah dua
tahun bekerja sebagai bujang di Bukoan Louw Sun Bi, dan usianya telah hampir
empat belas tahun. Karena telah mendekati masa dewasa, ia dapat menduga bahwa
di antara Louw Bin Nio dengan Ting Sun pasti ada hubungan yang tidak sebenarnya.
Hal ini harus diberantas, pikirnya.
Louw Sun Bi sudah melepas budi
padanya, dan guru silat tua itu hendak dicemarkan oleh anaknya sendiri dan oleh
pembantunya. Dia harus menghalangi hal ini. Sudah menjadi kewajibannya untuk
membela nama baik Louw-kauwsu!
Dengan pikiran ini Cin Hai
lalu membuka surat gadis itu dengan hati-hati sekali kemudian membacanya. Ia
tahu bahwa perbuatannya ini tidak layak dan tidak seharusnya dilakukan oleh
seorang laki-laki, tetapi demi untuk membela dan membalas kebaikan Louw Sun Bi,
ia rela melakukan hal yang tidak patut ini!
Dengan cepat dibacanya surat
Bin Nio untuk Ting Sun itu dan benar saja sebagaimana dugaannya, gadis itu
berjanji hendak menunggu kedatangan guru silat pendek gemuk itu besok malam di
pekarangan tempat berlatih silat! Waktu yang dijanjikan adalah tengah malam!
Cin Hai merasa gemas sekali.
Sungguh manusia-manusia yang tak tahu malu. Ting Sun adalah pembantu Louw Sun
Bi dan masih murid seperguruan dan bahkan mengangkat saudara sehingga Ting Sun
menyebut twako kepada Louw-kauwsu, sebaliknya guru silat she Louw itu menyebut
Ting Sun dengan sebutan adik, hingga boleh dibilang bahwa Bin Nio merupakan
keponakan Ting Sun sendiri! Namun ternyata dua orang itu sudah saling mencinta
bagaikan dua orang kekasih. Cin Hai lalu memutar otaknya, mencari jalan untuk
menggagalkan pertemuan ini.
Semalaman penuh Cin Hai tidak
dapat tidur. Pada keesokan harinya, dengan diam-diam setelah Ting Sun yang
tinggal di luar bukoan itu datang, ia berhasil memberikan surat Bin Nio kepada
guru-silat itu.
Ting Sun menerima surat dan
membacanya dengan wajah gembira. Berbeda dari pada biasanya, dia berlaku manis
terhadap Cin Hai dan bahkan memberi persen uang sepuluh chie. Ia menganggap
anak itu kini dapat merupakan jembatan bagi hubungannya dengan Bin Nio.
Sesudah memberikan surat itu
kepada Ting Sun, Cin Hai lalu menjumpai Louw Sun Bi di kamarnya. Guru silat
yang berhati sabar itu heran melihat betapa Cin Hai datang-datang berlutut di
depannya dan menangis!
Ia cepat memegang pundak anak itu
dan menyuruhnya duduk di atas sebuah bangku.
“Cin Hai kau kenapakah? Siapa
yang sudah mengganggumu? Kau pucat sekali, apakah kau sakit?”
“Loya, saya hendak
menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat Loya marah dan sedih sekali!”
Louw Sun Bi memandang heran.
Ia suka sekali kepada Cin Hai yang jujur, rajin dan tidak banyak cerewet ini.
“Katakanlah, jangan
takut-takut!”
“Sebelumnya saya harap Loya
suka siap sedia menerima pukulan ini dan terlebih dahulu saya mohon maaf
sebesar-besarnya karena sesudah hal ini saya ceritakan kepada Loya, saya hendak
mohon diri dan hendak melanjutkan perantauan saya.”
Kini terkejutlah Louw-kauwsu.
“Apa? Peristiwa hebat apakah yang telah terjadi sehingga kau hendak keluar dari
sini? Ceritakanlah!”
Dengan perlahan Cin Hai lalu
menceritakan mengenai surat Bin Nio dan bahwa malam nanti kedua orang itu akan
mengadakan pertemuan. Cin Hai menutup pembicaraannya dengan berkata sedih,
“Saya sangat bersedih dengan adanya peristiwa ini, Loya. Loya adalah seorang
yang berbudi mulia dan telah berlaku begitu baik kepada saya. Sekarang melihat
Loya yang baik hati tertimpa kejadian macam ini, ahhh...” Cin Hai menundukkan
kepala karena ia tidak berani memandang muka Louw Sun Bi yang makin pucat itu.
Guru silat itu mendengar penuturan
Cin Hai dengan dada terasa panas hampir meledak. Penasaran, marah, malu, kecewa
membuat dia bisu tak dapat berkata-kata. Ia telah tahu akan hubungan puterinya
dengan Ting Sun dan dulu dia bahkan telah melarang anaknya itu belajar ilmu
pedang dari Ting Sun karena dilihatnya gejala-gejala yang kurang sehat timbul
di antara mereka berdua. Tetapi sama sekali tak diduganya bahwa anaknya berani
menulis surat kepada Ting Sun.
Melihat betapa Louw-kauwsu
duduk diam tidak bergerak bagaikan patung batu, Cin Hai terharu sekali, lalu ia
berkata,
“Loya, harap Loya sebagai
orang tua dapat menenangkan hati dan pikiran. Socia tergoda oleh nafsu dan hal
ini tidak aneh, karena manusia manakah yang tak pernah khilaf? Saya teringat
akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa lebih baik Loya menjaga datangnya
penyakit dari pada mengobatinya sesudah datang! Karena itu, maka dari pada
ribut-ribut dan marah sehingga semua orang mendengar hal yang belum terjadi
ini, lebih baik Loya menjaganya agar jangan sampai terjadi. Pertemuan itu belum
belum berlangsung, maka tak perlu dibuat sedih dan menyesal!”
Terhiburlah hati Louw Sun Bi
mendengar ini. Dia memandang wajah Cin Hai dengan hati heran, karena hampir tak
percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut anak itu!
“Cin Hai, kau adalah seorang
anak yang luar biasa dan baik. Peristiwa ini sama sekali tidak menyangkut
dirimu, mengapa kau tadi mengatakan bahwa kau hendak keluar dari sini?”
“Loya, Siocia sudah
mempercayakan kepada saya untuk menyerahkan surat itu. Tetapi dengan lancang
dan tidak tahu malu saya telah membuka dan membaca suratnya itu. Hal ini
membuat saya malu untuk bertemu muka dengan Siocia lagi, maka lebih baik saya
pergi melanjutkan perantauan.”
Louw Sun Bi menghela napas dan
sekali lagi dia terheran akan sikap Cin Hai yang polos dan bersifat gagah ini.
“Kau mundurlah, dan tentang
keluar itu lebih baik kita bicarakan besok setelah peristiwa ini kubereskan.”
“Loya, kalau boleh, saya
hendak pergi hari ini juga.”
Louw Sun Bi memandangnya
tajam. “Apa? Kau takut kepada Ting Sun? Jangan kau takut akan pembalasannya,
ada aku di sini!”
Mendengar ini, terbangun
semangat Cin Hai. “Loya, biar pun saya hanya seorang bodoh dan lemah, tetapi
saya tidak takut menghadapi kebenaran! Baiklah, saya akan menunggu sampai besok
dan jika besok terjadi sesuatu antara Ji-kauwsu dan saya, saya harap Loya
jangan ikut-ikut!” Setelah berkata demikian, ia lalu bertindak keluar.
Malam hari itu bulan bersinar
penuh. Pada menjelang tengah malam, sesosok bayangan hitam dengan gesit sekali
melompat ke atas tembok yang mengelilingi bukoan. Bayangan itu bukan lain Ting
Sun yang hendak menjumpai kekasihnya. Dia langsung meloncat ke pelataran tempat
berlatih silat dan begitu kakinya menginjak tanah, dia langsung berdiri diam
bagaikan patung!
Di sana, di bawah pohon dekat
tembok, duduk di atas bangku dengan kedua lengan di atas dada, Louw Sun Bi
sedang memandangnya dengan kedua mata bersinar tajam!
“Ting Sun, tengah malam buta
kau datang ada keperluan apakah? Lagi pula, kau datang bukan sebagai tamu
tetapi sebagai seorang pencuri!”
Ting Sun kaget bukan main dan
merasa seakan-akan ada petir menyambar kepalanya. Tubuhnya gemetar dan ia tak
kuasa mengucapkan sepatah kata pun!
“Orang she Ting, aku sudah
mengetahui maksudmu yang buruk. Semenjak saat ini kita tidak punya hubungan
apa-apa lagi. Besok kau boleh mengatakan kepada semua murid bahwa kau hendak
pergi jauh dan tidak kembali lagi, sehingga kepergianmu dari kota ini takkan
menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya, jangan kau berani-berani memperlihatkan
mukamu di sini!”
Setelah berkata demikian, Louw
Sun Bi lalu meninggalkan Ting Sun yang masih berdiri bagaikan patung. Otak guru
silat ini berputar.
Celaka sekali! Orang tua itu
telah mengetahui sebelumnya bahwa malam ini ia datang ke situ hingga sengaja
menanti di bawah pohon! Dan ini tentu gara-gara bujang tolol itu! Ting Sun
mengertak giginya dengan gemas sekali. Ia akan pergi meninggalkan tempat ini,
tapi setelah lebih dulu menghancurkan kepala Cin Hai yang membocorkan
rahasianya!
Pada keesokan harinya, sesudah
semua anak murid berkumpul, Louw Sun Bi sengaja mengajak Bin Nio untuk hadir di
sana dan mendengarkan serta menyaksikan Ting Sun berpamit. Sengaja Louw Sun Bi
mengajak Bin Nio untuk memberi pelajaran kepada anak gadisnya itu bahwa sebagai
seorang gadis baik-baik dia harus tahu menjaga kehormatan nama keluarganya, dan
tidak mudah menyerah kepada godaan dari luar.
Melihat betapa Louw-kauwsu
pagi-pagi benar sudah berada di sana, semua murid yang berjumah delapan belas
orang itu saling berbisik dan menduga-duga bahwa tentu akan terjadi hal yang
penting. Bagaikan tak terjadi sesuatu dan tak pernah berani menentang pandangan
mata Bin Nio, Cin Hai melakukan pekerjaan seperti biasanya, yakni pagi-pagi
sekali ia menyapu lantai yang dikotori oleh daun-daun kering yang malam tadi
rontok dari pohon.
Akhirnya orang yang
dinanti-nantikan, Ting Sun, datang dari pintu luar. Dengan tindakan gagah serta
dada terangkat, guru silat itu memasuki pelataran itu lalu menjura kepada Louw
Sun Bi. Kemudian dia melihat ke arah Cin Hai yang sedang menyapu lantai dan
matanya berkilat menahan napas. Akhirnya dia menghadapi semua murid dan
berkata,
“Anak-anak sekalian, aku
membawa berita yang penting sekali untuk kalian. Mulai hari ini kalian akan
dilatih oleh Louw-kauwsu sendiri, karena hari ini juga aku akan berangkat
meninggalkan Ki-bun.”
“Hendak pergi ke mana, Suhu?”
tanya seorang murid.
“Pergi jauh mengerjakan sebuah
tugas penting. Belum tentu aku akan kembali ke sini. Tetapi kalian tidak usah
kuatir, karena di bawah pimpinan Louw-kauwsu, kepandaianmu pasti akan lebih
maju. Sekarang aku datang hanya untuk mengucapkan selamat berpisah kepadamu
sekalian. Sebelum aku pergi, aku hendak menerangkan kepada kalian tentang ilmu
tiam-hoat yang paling penting, yakni untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat
yang ada di punggung. He, bujang tolol, kau ke sinilah!”
Cin Hai maklum bahwa saat yang
dikuatirkan sudah tiba. Dia menghampiri guru silat itu dengan tenang dan
pura-pura tidak melihat pandang mata yang penuh kemarahan dan kebencian itu.
“Nah, anak-anak, seperti biasa
agar lebih jelas terlihat olehmu, aku hendak menggunakan jembel busuk ini untuk
contoh!” Memang sudah biasa Ting Sun memanggil dan menyebut Cin Hai dengan
segala sebutan menghina. “Lihatlah baik-baik, untuk menotok jalan darah
tai-twi-hiat kedudukan jari harus begini.”
Ia menyusun telunjuk dan jari
tengah disatukan dan yang tiga lainnya ditekuk ke dalam.
“Perhatikan tempat yang akan
kutotok!” Sambil berkata demikian dia lalu menggerakkan jarinya itu menotok
punggung Cin Hai.
Tetapi sambil berpura-pura
ketakutan, Cin Hai melompat mundur hingga totokan itu tidak mengenai sasaran.
“Jangan, Siauwya, jangan…!”
Cin Hai berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya mencegah serangan Ting
Sun. Akan tetapi guru silat itu marah sekali melihat betapa tadi totokannya
dikelit.
“Bangsat rendah! Kau berani
melawanku?” bentaknya.
Ia mengirim tendangan ke arah
lambung Cin Hai. Tendangan ini hebat sekali dan kalau terkena, pasti nyawa anak
itu akan melayang ke akhirat.
Louw Sun Bi amat terkejut dan
marah. Pada saat dia bangun berdiri dan hendak loncat menolong, tiba-tiba ia
merasa terheran-heran dan duduk kembali dengan mata terbelalak. Ternyata sambil
terhuyung-huyung mundur ketakutan, ketika kaki Ting Sun menyambar ke arah
lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping hingga tendangan itu tidak mengenai
sasaran.
Dengan terus berpura-pura
ketakutan, Cin Hai berdiri lagi kemudian berlari-lari memutari pelataran
berlatih silat itu. Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan melarikan diri,
anak itu tidak mau lari keluar dari kalangan!
Ting Sun yang tidak mengenal
gelagat, biar pun dua kali serangannya telah dapat dikelit, masih terus
mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang sangat aneh,
tetapi benar-benar terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan sekarang mulai
menari-nari!
Semua murid bukoan itu,
termasuk Bin Nio bukan main herannya melihat sikap Cin Hai. Mereka menganggap
anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana ada orang diserang oleh lawan tidak
berkelit atau menangkis, tetapi bahkan menari-nari?
Dalam pandangan mata anak-anak
murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun merasa kasihan kepada Cin Hai dan
tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk menakut-nakuti saja, maka setiap
pukulan dan tendangannya selalu tidak mengenai sasaran dan hanya menyerempet
sedikit pakaian Cin Hai!
Mereka ini sama sekali tidak
pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut dan
terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus dia menyerang
sambil mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun
pukulannya itu selalu meleset dan tidak pernah mampu mengenai tubuh Cin Hai!
Pada saat pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba saja tubuh atau bagian
tubuh anak muda itu bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh
sekali!
Yang dapat mengetahui hal yang
sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang. Guru silat tua ini duduk bengong
dengan mulut ternganga dan mata terbelalak heran. Ia tahu bahwa Cin Hai sedang
memainkan semacam ilmu silat yang aneh dan yang belum pernah dilihat seumur
hidupnya, akan tetapi yang kelihatannya betul-betul mengherankan. Ia tidak tahu
bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I
Niocu. Biar pun belum banyak mempelajari ilmu silat mujijat ini, namun mana
seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya?
Makin cepat Ting Sun
menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin indah gerakan tarinya.
Sesudah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan dan loncatan, Cin
Hai menganggap sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran kepada guru sombong
itu.
Pada saat Ting Sun menendang,
cepat ia menggeser tubuh ke samping dan tanpa dapat diduga lebih dulu kaki
kirinya bergerak dan menotok urat pergelangan kaki Ting Sun yang berdiri. Maka,
tanpa ampun lagi guru silat itu roboh terguling-guling!
Ting Sun loncat berdiri dengan
marah sekali, tetapi berkali-kali dia dibikin jatuh bangun oleh Cin Hai yang
kini menggunakan Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang ganas! Setelah memainkan
ilmu silat ini barulah Ting Sun dan Louw Sun Bi tahu bahwa Cin Hai memiliki
ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya!
Tetapi karena sudah merasa
terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun berlaku nekat sekali dan mengeluarkan
seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya merupakan makanan yang lunak bagi Cin
Hai. Dengan gerakan Hong-tan-ci atau Burung Hong Mementang Sayap dia berhasil
menotok iga Ting Sun yang merasa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di
atas tanah!
“He, Siauwya, kau kenapakah?”
Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang tubuh Ting Sun yang rebah di atas
tanah.
Dalam gerakan mengoyang-goyang
ini, Cin Hai sengaja memusnahkan totokannya tadi sehingga Ting Sun dapat
bergerak kembali dan pada saat guru silat itu meloncat berdiri Cin Hai sudah
mendahuluinya dengan totokan lain yang membuat guru silat itu berdiri kaku
bagaikan sebuah patung!
“Ehh, ehhh, Siauwya! Mengapa
kau berdiri seperti patung?” kata Cin Hai lagi.
Melihat betapa Cin Hai
mempermainkan Ting Sun, murid-murid bukoan menjadi heran sekali dan pada saat
itu Louw Sun Bi meloncat ke dekat Cin Hai dan tertawa bergelak-gelak.
“Anak-anak semua. Lihat, ini
namanya tiam-hoat yang tepat sekali mengenai jalan darah tai-hwi-hiat hingga
Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah melihat baik-baik? Contohlah anak ini,
sebenarnya dia seorang berilmu tinggi, tetapi dapat bertahan menyembunyikan
rahasianya di sini sampai bertahun-tahun sehingga jangankan kalian, bahkan aku
sendiri tidak tahu bahwa dia adalah murid seorang ahli!”
Sambil berkata begini, Louw
Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang kemudian dapat bergerak kembali. Guru silat
ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin Hai sangat lihai, maka dengan
muka merah karena malu ia lalu lari ke luar dari bukoan tanpa berani menengok
lagi!
Louw Sun Bi mengiringnya
dengan suara tawa bergelak-gelak. Guru silat ini benar-benar kagum kepada Cin
Hai, karena itu dia lalu bertanya, “He, anak muda! Engkau keterlaluan sekali,
sampai-sampai kau tega menipu aku orang tua! Sesungguhnya engkau ini murid
siapakah. Bukankah kau murid dari Liong-san-pai?”
Dengan sikap hormat dan
merendah Cin Hai menjura. “Bukan. Loya, saya bukan murid siapa-siapa.”
Memang ia tidak membohong
karena ia baru belajar silat dari Kanglam Sam-lojin dan Ang I Niocu, sedangkan
mereka ini memang bukan guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa gurunya adalah Bu
Pun Su, tetapi kenyataannya, ia belum pernah belajar silat satu jurus pun dari
gurunya itu.
Louw Sun Bi mengira bahwa Cin
Hai adalah seorang pendekar kecil yang telah dipesan oleh gurunya untuk
menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak berani mendesak lagi, hanya
menyatakan kagumnya. Akan tetapi Cin Hai lalu minta maaf banyak-banyak serta
menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louw-kauwsu terhadapnya sampai dua
tahun lebih itu.
Louw-kauwsu tak dapat lagi
menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan perantauannya. Akan tetapi guru silat
ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan pakaian sebagai pengganti jasanya
yang telah bekerja beberapa tahun itu.
Cin Hai menerimanya dengan
ucapan terima kasih. Kemudian sesudah memberi hormat lagi, Cin Hai pergi
meninggalkan tempat itu. Dia tak lupa memberi hormat sambil berkata, “Siocia,
aku mohon beribu maaf atas segala kesalahanku selama aku berada di sini dan
jagalah dirimu baik-baik!”
Bin Nio hanya menundukkan muka
dan air matanya mengalir turun. Dia insaf betapa dia telah salah mengenal
orang…..
********************
Cin Hai merantau lagi dan
hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa tujuan tertentu. Kini ia telah
berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya terpelihara baik-baik
semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah merupakan seorang pemuda
yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi dan tegap, matanya lebar dan mukanya
bulat, muka yang membayangkan kejujuran dan ketinggian pribudi.
Setelah mengalami banyak
derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa tugasnya sebagai seorang
berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang membutuhkan
pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa hidupnya tak
bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan maksud
ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa ‘Di empat penjuru lautan, semua orang adalah
saudara!’
Dulu ia sering kali menggoda
guru sastera dengan ujar-ujar ini yang dianggapnya kosong dan bohong. Akan
tetapi sekarang dia mengerti betapa tepat serta mulianya ujar-ujar ini.
Ujar-ujar ini harus dipergunakan secara aktip, tidak boleh secara pasip, yaitu
seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang seperti terhadap saudara
sendiri, sehingga sudah sepatutnya kita menolong saudara-saudara itu bila
mereka di dalam kesukaran.
Janganlah kita memandang
ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut
supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku
kepada kita. Memang segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi
buruk, dan yang buruk bisa menjadi baik, semua tergantung sepenuhnya kepada
yang mengganggapnya.
Bila kita dijauhi hendak hidup
sendiri atau hendak senang sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa hidup
ini tidak hanya sekedar makan dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan
hidup itu, masih terdapat banyak sekali tugas-tugas kewajiban yang luhur dan
suci, di antaranya memperhatikan keadaan orang lain atau ‘saudara’ kita yang
hidup menderita kesusahan.
Sesudah menanjak dewasa,
sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap intisari segala ujar-ujar yang
dulu pada waktu masih kecil dihafalkannya di luar kepala bagaikan seekor burung
beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan dan dikehendaki
oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.
Dengan kepandaiannya, walau
pun dia baru mempelajari tiga perempat bagian saja dari Liong-san Kun-hoat dan
setengah bagian dari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat, namun sudahlah cukup untuk membuat
namanya menjadi terkenal. Orang-orang di kalangan kang-ouw menyebutnya
‘Pendekar Bodoh’ karena wajahnya yang tampan dengan mata yang lebar itu memang
tampaknya bodoh.
Pada suatu hari, ketika
memasuki dusun, dia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, dia
lalu mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggota
Sayap Garuda sedang menculik seorang perawan desa yang meronta-ronta di dalam
pelukannya. Sambil memondong korbannya, orang itu meloncat ke atas seekor kuda
besar dan hendak kabur.
Tetapi sekali meloncat saja
Cin Hai sudah menghadang di depannya dan membentak, “Bangsat rendah! Lepaskan
Nona itu!”
Anggota Sayap Garuda itu marah
sekali dan tangan kanannya terayun ke arah Cin Hai. Sebatang piauw (senjata
rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai, tetapi anak muda itu dengan
mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara dua jari tangan.
Melihat kelihaian Cin Hai,
orang itu segera membedal kudanya dan kabur dari situ. Tetapi secepat kilat Cin
Hai lalu menggerakkan tangannya dan mengembalikan piauw tadi yang tepat
menancap pundak anggota Sayap Garuda itu.
Si Penculik menjerit
kesakitan, namun ternyata dia adalah seorang yang bertubuh kuat, karena biar
pun telah terluka, dia tetap masih dapat kabur sambil membawa gadis yang
diculiknya itu!
Cin Hai sudah banyak mendengar
mengenai kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang merupakan barisan pengawal
istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji dan hina mengandalkan
pengaruh serta kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan mata sendiri betapa
salah seorang anggota gerombolan itu menculik seorang gadis dusun, dia menjadi
marah sekali. Dia cepat lari mengejar untuk menolong gadis itu.
Setelah berkejar-kejaran
sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul kuda besar yang lari cepat itu,
tiba-tiba dari depan datang pula serombongan anggota Sayap Garuda yang
dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa Cin Hai mengejar seorang
anggota mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai dan sebentar saja
terjadilah pertempuran yang hebat!
Selama dalam perantauannya,
Cin Hai tidak pernah mempergunakan senjata lain kecuali sulingnya! Dengan
suling bambunya itu dia sudah banyak menjatuhkan lawannya yang bersenjata
tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk menotok jalan
darah lawan.
Akan tetapi sekali ini,
menghadapi keroyokan gerombolan Sayap Garuda yang rata-rata mempunyai
kepandaian tinggi, dia terdesak dan sibuk juga. Akan tetapi berkat kegesitan
tubuhnya untuk beberapa lama dia dapat mempertahankan diri dan dia mengelak ke
sana ke mari.
Tiba-tiba hwesio gundul yang
gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru,
“Semua mundur! Biar pinceng
tangkap bangsat kecil ini!” Hwesio itu merasa penasaran sekali betapa
kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang itu agaknya tidak mudah merobohkan
Cin Hai.
Semua pengeroyok Cin Hai
mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi Cin Hai. Anak muda itu
maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi, karena itu ia
mendahuluinya dan langsung mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke
arah leher lawan.
Tetapi sungguh aneh! Lawannya
tidak berkelit mau pun menangkis dan ketika sulingnya tepat mengenai leher,
tangan hwesio itu sudah terulur maju dan hendak mencengkeram pundaknya dengan
gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan meski pun ujung suling tepat
menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun pendeta gundul itu agaknya tidak
merasa apa-apa!
Cin Hai terkejut sekali dan
terpaksa dia melepaskan sulingnya lantas membuang diri ke belakang untuk
menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa bergelak-gelak melihat
betapa Cin Hai menggelinding di atas tanah dan menjauhinya.
“Ha-ha-ha! Anak kecil, kau
baru tahu kelihaian pinceng, ya?” Dan dengan tindakan kaki lebar, ia
menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong!
Tetapi pada saat itu terdengar
bentakan keras,
“Biauw Leng-sute! Bagus sekali
perbuatanmu, kau telah berani mengotori diri dan bergaul dengan segala kaki
anjing?”
Sebutan kaki anjing merupakan
sebutan untuk menghina kaum pembela Kaisar seperti barisan Sayap Garuda itu.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita
tua yang berwajah buruk sekali! Mukanya hitam bagaikan pantat kuali, pipinya
keriput ada pun matanya yang sebelah kanan buta! Nenek-nenek ini memegang
sebuah hudtim dan di punggungnya tampak gagang pedang.
Ketika Cin Hai memandang, ia
mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai, wanita aneh yang dulu menculik
Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja dia berteriak dan menanyakan hal
Lin Lin, tetapi pada saat itu terdengar jawaban Biauw Leng Hosiang,
“Biauw suci, mengapa kau turut
mencampuri urusanku?”
“Tetapi aku tidak akan tinggal
diam saja kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki anjing. Kau tidak boleh
mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!”
Hwesio itu menghela napas.
“Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan menghalang-halangi Sute-mu yang
hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!”
Setelah berkata demikian,
Biauw Leng Hosiang segera meloncat pergi dan Biauw Suthai juga menggerakkan
tubuh dan lenyap dari situ!
Cin Hai kagum sekali akan
kegagahan kedua orang itu, tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk melamun
terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap Garuda lantas
menumpahkan kegemasan mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu, kepada Cin
Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia tidak bersenjata lagi ia
sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.
Mendadak nampak berkelebat
sinar putih yang gemilang dibarengi dengan sinar merah, dan begitu bayangan itu
bergerak, seorang anggota Sayap Garuda roboh mandi darah!
“Niocu!” Tiba-tiba Cin Hai
berseru keras.
Kedua matanya dikejap-kejapkan
seolah-olah dia tak percaya pada pandangan matanya sendiri. Sesudah jelas bahwa
yang menolong dirinya dan sedang mengamuk itu adalah Ang I Niocu, tak terasa
pula mata Cin Hai basah oleh air mata.
“Niocu... !” sekali lagi ia
berseru dengan lirih dan mesra.
“Hai-ji…” Ang I Niocu menjawab
dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.
Di antara kawanan Sayap Garuda
itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang I Niocu, maka ia berteriak keras,
“Ang I Niocu yang datang,
lekas lari!”
Dan ia mendahului
kawan-kawannya lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar saja kawanan
Sayap Garuda itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik tadi. Melihat
bahwa korban mereka telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak mengejar.
“Niocu...!” Sekali lagi Cin
Hai berseru girang.
Gadis itu memandangnya dengan
matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling pandang dan melihat
betapa Cin Hai sekarang sudah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, tanpa
terasa pula Ang I Niocu mencucurkan air mata karena girang dan terharu. Ia lalu
memegang tangan Cin Hai erat-erat dan berkata.
“Hai-ji, kau baik-baik saja,
bukan?”
“Niocu... Niocu... jangan kau
tinggalkan aku lagi!”
Mendengar ucapan yang masih
bersifat kekanak-kanakan ini, mau tidak mau Ang I Niocu tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka berdua lalu mengantar
gadis yang diculik itu pulang ke dusun. Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin Hai
pergi dari situ. Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya
mengenai pengalaman Cin Hai sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu
dengan senang.
Tanpa menyembunyikan sesuatu
Cin Hai lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya sehingga ketika mendengar
betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I Niocu menangis
tersedu-sedu sambil memegang lengan Cin Hai.
“Dan bagaimana dengan
pengalamanmu, Niocu?” Cin Hai bertanya sambil memandang wajah yang masih tetap
cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis itu dan pakaian
merahnya, ia merasa seakan-akan baru kemarin mereka berpisah.
“Jangan menanyakan hal ini
sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting sekali. Aku sedang menyelidiki
sebuah goa rahasia yang disebut Goa Tengkorak Raksasa. Menurut peta yang
kudapat, ternyata bahwa goa itu berada di puncak bukit yang tampak dari sini
itu! Oleh karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan dapat bertemu dengan
engkau kembali! Kalau sengaja dicari-cari, belum tentu dapat bertemu.”
Dengan singkat Ang I Niocu
menceritakan betapa dia sudah menurutkan jalan di petanya sampai sebulan lebih
dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.
“Bukit itu disebut Bukit
Tengkorak Raksasa,” katanya sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi
tidak jauh dari situ, “dan sekarang juga aku harus dapat mencari goa itu di
sana. Ketahuilah bahwa selain aku, masih terdapat banyak orang-orang pandai
hendak mendahuluiku mendapatkan goa itu. Karena itu marilah kau turut
bersamaku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!”
Melihat bahwa urusan itu
agaknya penting sekali, Cin Hai tidak berani membantah dan dengan hati luar
biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama dengan Ang I Niocu lagi, dia
mengikuti nona itu dan mereka secepatnya mendaki Bukit Tengkorak Raksasa.
Dengan bantuan petanya, akhirnya
Ang I Niocu berhasil juga mendapatkan goa itu yang tertutup oleh tumpukan
batu-batu yang ratusan banyaknya. Dengan tidak mengenal lelah, mereka berdua
membongkar semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah sebuah goa yang luar
biasa besarnya dan gelap!
Mereka masuk ke dalam dan
setelah berjalan dengan hati-hati serta merayap beberapa lamanya, ternyata di
sebelah dalam goa itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah lubang di
atas. Mereka terus maju ke dalam hingga akhirnya tiba di depan sebuah pintu
besar yang tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka mereka terpaksa
mendorong dengan tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa
itu. Dengan hati berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di
belakangnya.
Ketika mereka memasuki ruang
di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan Cin Hai merasa ngeri dan takut.
Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri ruang yang luas dan tinggi itu,
tampaklah tengkorak-tengkorak yang tinggi besar berdiri berderet-deret dengan
mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai memperlihatkan gigi besar-besar.
Tengkorak itu tingginya paling sedikit tiga kali tinggi manusia biasa hingga
dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan pemandangan dalam ruangan besar
itu.
Keduanya berdiri termangu-mangu
dengan bulu tengkuk berdiri. Mendadak Ang I Niocu yang dapat menenangkan hati
lebih dulu, berkata perlahan,
“Hai-ji, lihat di sana itu.
Bukankah aneh sekali?”
Cin Hai bagaikan baru sadar
dari mimpi dan dia memandang ke arah depan. Dan benar saja, di ujung ruangan
itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya terpentang lebar. Daun pintu
itu terbuat dari pada batu yang sangat tebal dan di dalamnya terdapat ruang
atau kamar lain yang gelap hitam.
Di tengah-tengah kamar itu
tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam hio-louw
keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruangan yang luar biasa
luasnya ini dihias raksasa mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar sekali
yang masih mengebulkan asap putih, sungguh pemandangan yang bisa membuat
seseorang menjadi mati ketakutan!
“Aneh,” kata Cin Hai dengan
suara gemetar, “Mengapa hio-louw itu masih mengebulkan asap?”
“Itulah yang kupikirkan,”
jawab Ang I Niocu, “Tak mungkin selama ini api dalam hio-louw tak pernah padam!
Tentu ada orang yang mendahului kita dan membakar dupa di dalam hio-louw itu.”
Cin Hai menganggap kata-kata
Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya bau dupa yang harum sekali.
Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti ini! Tadi pun goa masih
tertutup oleh banyak batu dan pintu kamar ini masih tertutup rapat, dari mana
orang dapat masuk?
Ang I Niocu lalu bertindak
perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Dia berjalan perlahan sambil
memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan kanannya siap di gagang
pedangnya yang tergantung di pinggangnya.
Cin Hai mengikuti di
belakangnya dengan hati berdebar kencang dan mulut terasa kering. Belum pernah
selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.
Seperti halnya Ang I Niocu,
Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan dia merasa seakan-akan sekalian
tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak! Seakan-akan sepasang mata
yang bolong itu melirik-lirik dan gigi yang besar-besar itu berkeretakan! Ia
merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking ngeri dan takutnya.
Tiba-tiba Cin Hai melihat
sesuatu dan mukanya menjadi pucat sekali. Tak terasa lagi dia memegang tangan
kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tidak pernah lepas memandang
kepada sebuah tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.
“Niocu...” katanya
terengah-engah, “lihat...“
Ang I Niocu cepat berpaling
dan apa yang dilihatnya membuat dia menjadi terkejut dan ngeri. Gadis yang
gagah perkasa dan belum pernah merasa takut menghadapi lawan yang betapa
tangguh pun ini, sekarang merasa betapa kedua kakinya menggigil sedikit!
Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan yang kedua lengannya
tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan kepalanya bergerak
ke kanan-kiri!
Ang I Niocu cepat-cepat
mencabut pedangnya kemudian siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Cin Hai
meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tak membawa senjata.
Sulingnya telah terinjak patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga ia kini
bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk tulang-tulang manusia
yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi dia lalu memungut sepotong
tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu dengan
senjata istimewa itu di tangannya!
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema hebat di dalam ruangan itu
dan terdengar menyeramkan sekali.
“Hai-ji, kau berhati-hatilah.
Benar-benar ada orang mendahului kita!”
“Niocu... benar-benar orangkah
yang tertawa itu?”
“Hushh...”
“Kiang Im Giok! Bagus, kau
dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang-orang lain! Lekas sembunyi di
belakang tengkorak! Lekas! He, kau gundul tolol! Kau kira aku tak mengenal
mukamu? Hayo, kau juga sembunyi di belakang tengkorak! Cepat, mereka sudah
datang dan berada di luar goa!”
Kini mereka tahu siapakah yang
bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang luar biasa, Susiok-couw dari Ang I
Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi keduanya meloncat dan bersembunyi
di belakang tengkorak-tengkorak raksasa.
Baru saja Ang I Niocu dan Cin
Hai meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa, tiba-tiba
saja dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap dan tiga bayangan orang
cepat sekali menyambar masuk. Cin Hai heran sekali pada saat melihat bahwa yang
datang itu bukan lain ialah Kanglam Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat
kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua sute-nya!
Akan tetapi pada saat itu tiga
tosu ini nampak tegang dan bersiap sedia untuk bertempur karena Giok Im Cu
telah memegang sebatang ranting pohon. Giok Yang Cu yang tinggi besar itu juga
telah meloloskan pedangnya, sedangkan Giok Keng Cu yang pendek gesit memegang
sebatang golok. Mereka bertiga berdiri di ruangan itu sambil memandang ke kanan
kiri....
“Orang yang berada di dalam
goa, keluarlah untuk bertemu dengan kami!” terdengar Giok Im Cu berteriak.
Suaranya bergema di dalam goa besar itu seakan-akan menjadi jawaban bagi
teriakan itu.
Akan tetapi Ang I Niocu dan
Cin Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah Bu Pun Su
yang sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa heran
kenapa kakek itu bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu ini apa
harus bersembunyi? Ang I Niocu seorang diri pun akan sanggup menghadapinya!
Akan tetapi pada saat itu dari
luar goa terdengar suara orang dengan suara yang parau menyeramkan, “Hai! Siapa
yang berani mampus mendahului aku masuk goa ini?”
Sebelum gema suara ini lenyap,
orangnya sudah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut sekali karena
orang ini ternyata adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi besar yang
bermata besar itu. Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka, memamerkan dadanya
yang berbulu. Juga hwesio ini memegang senjatanya yang lihai, yakni sebatang
tongkat ular.
Ketika melihat Kanglam
Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak sambil berdongak ke atas. Suara
ketawanya mendatangkan gema yang riuh, seakan-akan semua tengkorak raksasa yang
berdiri di dalam goa itu ikut tertawa hingga keadaan menyeramkan sekali!
“Lagi-lagi orang-orang tua
bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang kalian tak akan dapat melarikan
diri lagi dan agaknya memang telah menjadi nasibmu untuk binasa di dalam
tanganku!”
Giok Yang Cu marah sekali.
“Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an kami tidak berhasil membunuhmu
adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh ular-ularmu. Kini kami akan
menebus kekalahan itu!”
“Ha-ha-ha! Boleh, boleh!
Majulah untuk menerima kematian!”
Mereka lalu bertempur hebat,
dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berbisik, “Ah, kepandaian hwesio
gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam Sam-lojin pasti akan kalah!”
Memang benar kata-kata Nona
Baju Merah ini. Memang kepandaian Hai Kong Hosiang dengan ilmu tongkatnya yang
berdasarkan Jian-coa Kun-hoat atau Ilmu Toya Seribu Ular luar biasa sekali
gerakan-gerakannya dan tongkatnya sangat cepat dan hebat sehingga seakan-akan
berubah menjadi ribuan ular yang datang menyerang lawannya. Hwesio itu agaknya
telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin hebat saja.
Hal ini pun terasa sekali oleh
Kanglam Sam-lojin. Ketiga tosu ini segera mengeluarkan kepandaian mereka, yakni
Liong-san Kun-hoat yang juga luar biasa dan lihai. Akan tetapi ketika senjata
mereka beradu dengan senjata Hai Kong Hosiang, mereka terkejut sekali karena
tenaga lweekang dari hwesio itu telah maju pesat dan kini berada setingkat
lebih tinggi dari pada tenaga mereka! Percuma saja mereka mengerahkan seluruh
tenaga dan kepandaian mereka sebab permainan tongkat Hai Kong Hosiang
betul-betul hebat sekali dan mengurung mereka bertiga dengan ancaman-ancaman
maut!
Hai Kong Hosiang yang melihat
betapa dia dapat mendesak tiga orang lawannya, merasa gembira sekali. Hwesio
gundul ini tertawa ha-ha hi-hi sambil memperhebat serangannya. “Ehh, tiga orang
tua bangka! Menyerahlah untuk mampus!”
Akan tetapi, meski pun dia
sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena ketiga tosu itu bukanlah
sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena Liong-san Kun-hoat memang
merupakan ilmu silat yang tinggi, masih tidak mudah bagi Hai Kong Hosiang untuk
dapat merobohkan ketiga lawannya itu dalam waktu pendek.
“Niocu, benar hebat kepandaian
hwesio itu.” kata Cin Hai sambil memandang muka Ang I Niocu yang berada begitu
dekat dengan mukanya sendiri, “dapatkah kau mengalahkan si gundul itu?”
Ang I Niocu membalas pandangan
mata anak muda itu, kemudian bibirnya yang manis dan merah tersenyum.
“Agaknya tak akan mudah
mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!”
Cin Hai telah bertahun-tahun
berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia merindukan Gadis Baju Merah ini.
Sekarang dalam persembunyiannya dia berada begitu dekat Ang I Niocu, maka
hatinya merasa girang dan terharu sekali.
Tanpa terasa Cin Hai
menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia merasa betapa
tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas genggamannya dengan
tekanan kuat, akan tetapi mendadak tangan gadis itu mengendur, dan akhirnya
ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Pada saat pemuda itu memandang, Ang I
Niocu memberi tanda dengan mukanya untuk menonton pertempuran yang masih
berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.
Ketika Cin Hai memandang, ia
mendapat kenyataan bahwa sekarang Kanglam Sam-lojin benar-benar terdesak dan
keadaan mereka sudah berbahaya sekali, sementara itu Hai Kong Hosiang semakin
gagah dan ganas saja.
Pada saat itu kembali
terdengar suara gaduh di luar goa, tetapi kali ini dari suara tindakan kaki
dapat diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang yang besar jumlahnya, bahkan
terdengar pula ringkik dan suara kaki kuda!
“Hai Kong, bangsat gundul! Ada
orang-orang datang, kami tidak punya waktu lagi untuk melayanimu terlebih
jauh,” Giok Im Cu berseru.
“Ha-ha, Kanglam Sam-lojin,
hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah kalian pergi dari
tempat ini dan jangan mengganggu aku!”
Kanglam Sam-lojin yang
menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak menjawab hinaan ini, lalu
mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat berbahaya itu. Hai Kong
Hosiang lalu melangkah maju ke arah balik pintu di mana terdapat hiolouw yang
masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup hiolouw dan menjenguk ke dalamnya.
Asap mengepul semakin banyak
ketika tutup hiolouw itu terbuka dan Hai Kong Hosiang buru-buru mengembalikan
tutup itu. Dia lalu melongok ke sana-sini seperti orang sedang mencari-cari,
kemudian ia mendekati hiolouw itu dan membaca huruf-huruf yang terukir di
hiolouw raksasa itu. Ia mengangguk-angguk dan segera memasang kuda-kuda dengan
kedua kaki dipentang kuat-kuat.
Dia lalu memegang kaki hiolouw
dengan tangan kanan dan mencoba untuk mengangkat hiolouw. Tapi hiolouw itu
tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat, bahkan bergoyang pun tidak!
Hai Kong Hosiang memaki-maki
dan Cin Hai terpaksa mempergunakan tangannya untuk menutupi mulutnya agar
jangan sampai tertawa. Dia geli sekali melihat betapa hwesio itu tidak kuat
mengangkat hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang keluar dari mulut Hai
Kong Hosiang, ia pun merasa geli bercampur heran. Tak pernah disangkanya bahwa
mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makian-makian sekotor itu! Juga Ang I
Niocu memandang dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.
Kini Hai Kong Hosiang turun
tangan dengan sungguh-sungguh. Dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat
hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai bergerak-gerak! Akan tetapi, pada
saat itu dari luar goa masuk seorang hwesio lain yang bertubuh gemuk dan
berkepala gundul.
Cin Hai makin heran ketika
mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang, hwesio yang sangat
lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai! Kenapa ada banyak sekali
orang-orang lihai datang ke goa ini?
Sementara itu, ketika
mendengar suara orang masuk ke dalam goa, Hai Kong Hosiang lalu mengurungkan
maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri memandang ke arah Biauw
Leng Hosiang, wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa tadi ia telah
menggunakan banyak tenaga untuk mencoba mengangkat hiolouw besar itu!
Melihat bahwa yang datang
adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya, dia lantas tersenyum
menyindir, “Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan dan
mencari-cari pusaka ke dalam goa ini?”
Biauw Leng Hosiang membalas
sindiran orang dengan suara memandang rendah, “Hai Kong, bercerminlah dulu
sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada waktu untuk mengobrol
denganmu pada saat ini. Harap kau suka mengalah dan keluar dari sini, nanti apa
bila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau boleh berdiam di tempat ini
sampai selama hidupmu!”
“Biauw Leng, kau sungguh tidak
memandang orang lain! Kepandaian apakah yang kau andalkan maka kau berani
berkata semacam itu kepada orang seperti aku?”
“Sudahlah jangan banyak cakap
lagi dan keluarlah!” Biauw Leng Hosiang yang berwatak keras itu kembali
berkata.
Sekarang Hai Kong Hosiang
menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan menggunakan telunjuknya
menuding sambil berkata keras,
“Biauw Leng! Kau sungguh tak
mengerti aturan kang-ouw! Bukankah aku yang masuk ke sini terlebih dulu?
Mengapa kau mendesak supaya aku keluar dan mengalah kepada kau? Ketahuilah, aku
masih memandang muka Suci-mu, Biauw Suthai yang selain gagah perkasa juga patut
dihargai sebab memegang teguh peraturan kang-ouw. Jangan sampai aku lupa diri
menggunakan kekerasan!”
Kini tiba-tiba Biauw Leng
Hosiang tertawa, suara ketawanya tinggi nyaring seperti suara ketawa seorang
wanita.
”Hai Kong! Sudah kukatakan
tadi, sebelum memaki orang, kau bercerminlah dulu! Kau bilang bahwa kau datang
lebih dulu, akan tetapi, apakah kau kira bahwa aku tidak melihat Kanglam
Sam-lojin keluar dari sini? Aku tidak melihat mereka masuk, akan tetapi melihat
keluarnya. Bukankah ini berarti bahwa mereka masuk lebih dulu dari padamu?”
Hai Kong Hosiang menjadi malu
dan semakin marah. “Tidak perlu kita mengadu lidah! Pendeknya, kalau kau
menghendaki aku keluar, kau pun harus dapat mengantarkan!” Ini adalah
tantangain berkelahi!
“Hai Kong! Kau kira pinceng
tidak akan dapat menyeretmu keluar dari sini?” Biauw Leng Hosiang membentak dan
keduanya telah saling berhadapan, siap untuk bertempur!
Yang paling merasa senang
adalah Cin Hai. Memang sejak kecil ia suka sekali menonton orang bertempur
mengadu kepandaian silat, maka kini tentu saja ia merasa senang sekali melihat
betapa beberapa kali terjadi pertempuran di antara tokoh-tokoh persilatan yang
berilmu tinggi,. Ia maklum akan kelihaian Biauw Leng Hosiang yang pernah
dilawannya, akan tetapi ia pun tahu bahwa Hai Kong Hosiang memiliki kepandaian
tinggi juga.
Sambil berseru keras Biauw
Leng Hosiang yang memiliki darah panas itu sudah mulai menyerang secara hebat.
Hwesio ini menggunakan senjata sebuah kebutan di tangan kiri dan sebuah pedang
pendek pada tangan kanannya, gerakannya cepat dan berat, kedua senjatanya
bergerak bergantian! Hai Kong Hosiang tidak mau didahului dan berbareng
mengirim tangkisan berikut serangan balasan yang tidak kalah hebatnya!
Sambil mengintai Cin Hai
berbisik kepada Ang I Niocu tanpa memandang gadis itu sebab dia sedang
mencurahkan seluruh perhatian ke arah pertempuran. “Niocu, kau duga siapa yang
akan menang?”
Sejak tadi Ang I Niocu melihat
gerak-gerik Cin Hai. Entah bagaimana, ia merasa sayang dan suka sekali kepada
anak muda ini. Dahulu ketika Cin Hai masih kecil dan berkepala gundul, dia
merasa suka dan kasihan sekali dan merasa seakan-akan anak itu menjadi adiknya
sendiri. Kini Cin Hai telah hampir dewasa dan melihat perawakannya, ia bahkan
sudah dewasa karena tubuhnya memang tinggi tegap.
Akan tetapi, semenjak tadi Ang
I Niocu melihat betapa anak muda itu terus memandang pertempuran dengan mata
berkilat-kilat, wajah berseri-seri, serta mulut tersenyum kecil, tanda bahwa
hatinya senang sekali! Hal ini menyatakan betapa sebetulnya dia itu masih
seperti seorang kanak-kanak saja. Ang I Niocu merasa heran dan tidak mengerti
kenapa hatinya seakan-akan berbisik bahwa ia takkan merasa senang dan bahagia
hidupnya jika berada jauh dari Cin Hai!
“Apa katamu?” ia balas
berbisik.
Sesudah Cin Hai mengulangi
pertanyaannya, dia lalu memandang ke arah pertempuran. ”Entahlah siapa yang
akan menang, kepandaian mereka berimbang. Walau pun ilmu silat Biauw Leng
Hosiang lebih tinggi dan lebih lihai geraknya, akan tetapi Hai Kong Hosiang
agaknya lebih menang dalam hal mempergunakan senjatanya yang lihai, juga Hai
Kong memiliki banyak tipu-tipu curang dalam setiap gerakannya. Mungkin
pertempuran ini akan berjalan lama.”
Cin Hai memperhatikan
baik-baik. Baginya, setiap pertempuran merupakan penambahan pengertiannya dalam
ilmu silat, karena dari gerakan-gerakan mereka dia dapat memetik beberapa
pelajaran. Melihat gerakan-gerakan di dalam pertempuran antara jago tua itu,
dia merasa betapa kepandaiannya sendiri sebenarnya masih dangkal sekali. Dia
merasa bahwa untuk dapat mempunyai kepandaian tinggi dan mampu menghadapi
orang-orang seperti Hai Kong dan yang lain-lain, dia masih harus belajar
banyak!
Karena merasa jengkel tidak
dapat segera menjatuhkan Hai Kong Hosiang yang ternyata memiliki kepandaian
lebih lihai dari pada yang semula dia sangka, Biauw Leng Hosiang merasa tidak
sabar dan tiba-tiba dia bersuit keras.
Dari luar goa terdengar
suitan-suitan balasan dan tiba-tiba saja dari luar menerobos lima orang yang
berpakaian seragam. Mereka ternyata adalah perwira-perwira Sayap Garuda yang
sudah tinggi pangkatnya. Begitu masuk kelima orang ini lalu maju mengeroyok Hai
Kong Hosiang!
Perlu diketahui bahwa barisan
Sayap Garuda terdiri dari beberapa tingkat perwira yang dibagi menurut tingkat
kepandaian mereka masing-masing. Dan lima orang yang masuk ini tingkatnya sudah
ke tiga, maka mereka memiliki ilmu kepandaian yang sudah lumayan juga, dan
senjata mereka adalah pedang panjang.
Sudah tentu saja masuknya lima
orang yang membantu Biauw Leng Hosiang ini segera membuat Hai Kong Hosiang yang
memang sudah terdesak, menjadi semakin sibuk lagi. Akhirnya sebuah totokan yang
dilakukan dengan ujung kebutan di tangan kiri Biauw Leng Hosiang tak dapat
dihindarkan sudah mengenai pundak Hai Kong Hosiang hingga hwesio ini berteriak
keras sekali lalu roboh!
Apa bila orang lain yang
terkena totokan kebutan Biauw Leng Hosiang yang dilakukan dengan tenaga
lweekang yang kuat, maka nyawanya tentu melayang. Hai Kong Hosiang bukan orang
lemah dan tubuhnya sudah memiliki kekebalan sehingga ia hanya menderita luka
dalam yang tak membahayakan jiwanya. Akan tetapi, totokan itu cukup hebat untuk
merobohkannya sehingga untuk beberapa lama dia hanya duduk bersila sambil
mengatur napasnya untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan luka di
pundaknya yang menembus hingga dadanya.
”Biauw Leng Sute, kau sungguh
bandel sekali!” tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dan tahu-tahu Biauw
Suthai wanita pertapa dari Hoa-san yang bermuka laksana pantat kuali dan
matanya sebelah kanan buta ini, tahu-tahu telah berada di ruangan itu, tangan
kiri memegang hudtim dan tangan kanan memegang pedang.
Bukan main terkejutnya Biauw
Leng Hosiang melihat suci-nya telah berada di situ! Hal ini sama sekali tidak
pernah diduganya.
Sebenarnya, setelah menegur
adik seperguruannya yang sesat itu pada saat Biauw Leng Hosiang menjatuhkan Cin
Hai, Biauw Suthai segera pergi. Akan tetapi ia masih merasa curiga pada adik
seperguruannya yang sudah berkali-kali melakukan pelanggaran aturan perguruan
mereka dan berkali-kali dia tegur karena menjalankan kejahatan itu. Maka dia
lalu mengikuti adik seperguruannya itu secara diam-diam.
Alangkah marahnya ketika
melihat betapa Biauw Leng Hosiang mengadakan pertemuan lagi dengan para perwira
Sayap Garuda, bahkan bersama lima orang perwira menyerbu ke Goa Tengkorak itu.
Dia terus mengikuti ke mana mereka pergi dan sesudah melihat betapa sute-nya
mengeroyok dan merobohkan Hai Kong Hosiang, ia langsung menyerbu masuk dan
telah mengambil keputusan tetap untuk menghajar sute-nya yang tersesat.
“Biauw-suci, kau lagi-lagi
menghalang-halangi maksud dan sepak terjangku. Sebenarnya ada sangkut paut
apakah segala perbuatanku dengan kau orang tua?” kata Biauw Leng Hosiang yang
mulai memberontak dan hendak melawan karena dia dapat mengandalkan bantuan
kelima perwira yang kosen itu.
“Biauw Leng! Apakah kau sudah
melupakan sumpahmu kepada mendiang Suhu dahulu? Percuma saja kau menjadi
pendeta apa bila kau selalu melanggar pantangan kita dan melakukan
perbuatan-perbuatan sesat. Kau tentunya masih ingat bahwa di antara segala
pantangan, Suhu almarhum paling benci melihat orang membela kaisar lalim dan
menjadi anjing penjilat. Telah berkali-kali kau kuperingatkan dan selalu aku
masih bersabar sebab mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Akan
tetapi tetap saja kau selalu melanggar. Sekarang, marilah kau ikut aku untuk
mengadakan sumpah di depan makam Suhu!”
“Biauw-suci kau sungguh
terlalu! Mengingat bahwa kau dulu sering melatih dan memberi pelajaran
kepadaku, maka aku selalu mengalah saja terhadapmu. Tapi kau jangan terlalu
mendesak! Ingat, seekor semut pun akan membalas dengan gigitan dan akan melawan
jika diinjak, apa lagi aku sebagai manusia. Kau pulanglah, Suci yang baik dan
janganlah kau mempedulikan lagi diriku. Aku bukan anak kecil!”
Wajah Biauw Suthai yang sudah
buruk itu semakin memburuk dan matanya yang tinggal satu di sebelah kiri itu
mengeluarkan cahaya kilat tanda bahwa dia marah sekali. Biauw Leng Hosiang
maklum akan hal ini dan sebenarnya ia menjadi takut dan jeri juga, akan tetapi
ia segera memberi tanda kepada kelima perwira itu.
“Biauw Leng, lepaskan
senjatamu dan kau berlutut!” perintah Biauw Suthai yang tiba-tiba mengeluarkan
sebuah hudtim berbulu merah dari pinggangnya.
Biauw Leng Hosiang terkejut
melihat ini, karena ia ingat bahwa kebutan ini adalah milik mendiang suhu
mereka dan yang apa bila dikeluarkan, berarti bahwa hukuman mati akan
dijatuhkan kepada seorang murid yang murtad! Kini Biauw Suthai sudah
mengeluarkan kebutan merah ini dan jika ia tidak berlutut minta ampun, ia pun
tentu akan dihukum mati oleh suci-nya sendiri!
Akan tetapi, Biauw Leng
Hosiang dapat menetapkan hatinya dan setelah memberi tanda kepada
kawan-kawannya, mereka berenam lalu maju menyerbu dan menyerang Biauw Suthai.
Cin Hai pernah ditolong oleh
Biauw Suthai, yaitu ketika dia dirobohkan oleh Biauw Leng Hosiang, maka dia
merasa bersimpati kepada tokouw ini. Apa lagi kalau dia ingat bahwa tokouw yang
buruk rupa ini adalah guru dari Lin Lin, maka dia tidak dapat lagi menahan
hatinya melihat tokouw itu dikeroyok enam! Ia memegang erat-erat tulang paha
manusia yang masih dipegangnya pada saat ia pergi bersembunyi, lalu ia meloncat
keluar sambil berteriak,
“He, kawanan Sayap Garuda!
Jangan berlaku pengecut dan curang dengan keroyokan!”
Ang I Niocu terkejut sekali
melihat sepak terjang Cin Hai. Dia maklum bahwa kepandaian Cin Hai masih
terlampau lemah untuk melayani orang-orang berilmu tinggi itu, maka dia lupa
akan perintah Bu Pun Su tadi dan meloncat keluar pula mengejar Cin Hai sambil
berseru,
“Hai-ji, hati-hati!”
Biauw Leng Hosiang terkejut
melihat bahwa ternyata di ruangan itu telah ada orang yang datang dan
bersembunyi, akan tetapi dia tak berdaya karena Biauw Suthai mendesaknya dengan
hebat! Terpaksa ia melawan sekuat tenaga.
Sementara itu, ketika melihat
keluarnya seorang pemuda dengan tulang di tangan, untuk sejenak kelima perwira
Sayap Garuda tertegun. Kemudian sesudah Ang I Niocu keluar mereka maklum bahwa
pihak musuh bertambah, maka dua orang di antara mereka lalu menyambut Cin Hai
dan Ang I Niocu.
Cin Hai melawan dengan tulang
itu sambil mengeluarkan ilmu silat yang sudah pernah ia pelajari. Oleh karena
ternyata bahwa lawannya cukup tangguh maka ia lalu mencampur-adukkan Ilmu Silat
Liong san Kun-hoat! Dengan ilmu silat campuran ini ternyata Cin Hai dapat
mengimbangi kepandaian Perwira Sayap Garuda itu.
Ada pun perwira yang bertanding
melawan Ang I Niocu, dalam beberapa gebrakan saja sudah menjadi sibuk dan
dibingungkan oleh ilmu pedang Dara Baju Merah yang bagaikan menari-nari di
depannya itu!
Melihat betapa kini perwira
ini terancam oleh bahaya pedang di tangan Ang I Niocu yang gagah, dua orang
perwira maju pula mengeroyok Ang I Niocu yang masih tetap gagah dan bahkan
nampak gembira sekali dikeroyok tiga! Selain menghadapi ketiga lawannya, nona
ini juga berusaha mendekati Cin Hai sehingga dapat bersiap sedia membela serta
menolong pemuda itu apa bila sampai terdesak dan berada dalam bahaya.
Sementara itu, karena kini
yang mengeroyoknya hanya Biauw Leng Hosiang dan seorang perwira saja, Biauw
Suthai dapat mendesak adik seperguruannya dengan hebat sekali. Suatu saat dia
mengeluarkan seruan keras sekali dan kebutan merah yang dipegangnya telah
dipakai menghantam dan tepat mengenai dada kiri Biauw Leng Hosiang! Hwesio ini
mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh sambil muntah darah dan tewas seketika itu
juga!
Semua perwira merasa amat terkejut
dan melompat mundur dengan wajah pucat. Melihat betapa orang yang mereka
andalkan sudah tewas, maka mereka tidak berani bertempur lagi.
Ketika melihat sute-nya rebah
di atas lantai batu dan telah binasa, tiba-tiba Biauw Suthai menubruk sambil
menangis tersedu-sedu!
“Sute… Sute… mengapa kau
mencari kematian di tanganku?” Tokouw iin berkeluh-kesah dengan suara
memilukan.
Biauw Suthai lantas
menghampiri Hai Kong Hosiang yang masih duduk meramkan mata untuk mengobati
luka di dalam dadanya. Tokouw ini menggunakan tangannya menepuk pundak Hai Kong
Hosiang yang terluka hingga hwesio ini merasa betapa totokan Biauw Leng tadi
dapat dipunahkan dan lukanya menjadi berkurang sakitnya.
“Hai Kong Hosiang, kau maafkan
Sute-ku yang telah menebus dosanya dengan jiwanya.”
Hai Kong Hosiang hanya
mengangguk, kemudian hwesio ini pergi meninggalkan tempat itu. Biauw Suthai
kemudian mengangkat sute-nya dan sambil memondong tubuh yang tak bernyawa lagi
itu, ia hendak meninggalkan goa.
Akan tetapi Cin Hai melangkah
maju dan sambil memberi hormat dia bertanya, “Suthai yang mulia, mohon tanya
tentang keadaan Adikku Lin Lin. Bukankah dia muridmu?”
Biauw Suthai memandang heran
kepada Cin Hai dan bertanya, “Ehh, anak muda yang berani, kau siapakah?”
“Suthai tentu sudah lupa kepada
anak kecil yang dulu bersama dengan Lin Lin ketika kau mencu... ehhh…
membawanya pergi!”
Biauw Suthai teringat akan
anak gundul itu, “Hm, ia baik... ia baik…” Lalu ia pergi sambil memondong
jenazah sute-nya!
Kelima Perwira Sayap Garuda
itu pun pergi dengan cepat karena tanpa pembantu yang pandai, mereka merasa
jeri menghadapi Ang I Niocu yang kelihaiannya tadi telah mereka kenal.
Ang I Niocu juga tidak mau
mengejar karena sebenarnya nona ini sedang merasa kuatir sekali akan mendapat
teguran dari susiok-couw-nya karena sudah berani-berani keluar dari tempat
persembunyiannya. Oleh karena ini, sebelum ia menerima teguran ia segera
membetot tangan Cin Hai dan bersama pemuda itu segera menjatuhkan diri berlutut
di situ sambil berkata,
“Susiok-couw, mohon dimaafkan
kelancangan teecu berdua dan kami bersedia menerima hukuman!”
Akan tetapi tidak terdengar
jawaban apa-apa. Ada pun Cin Hai merasa sangat tidak puas melihat sikap nona
itu yang agaknya sangat takut terhadap Bu Pun Su. Pemuda ini lalu mengangkat
kepala dan bukan main heran dan terkejutnya ketika melihat yang berada di
depannya, telah berdiri seorang yang aneh sekali.
Orang ini bertubuh pendek
sekali, barang kali sama tingginya dengan seorang anak-anak berusia sepuluh
tahun. Kedua matanya bundar besar melirik kian ke mari tiada hentinya seperti
mata sebuah boneka mainan, kedua telinganya lebar sekali laksana telinga gajah,
sedangkan mulutnya berbibir tebal. Ia memakai jubah panjang yang menggantung
hingga ke tanah dan yang mencolok sekali adalah warna jubah ini yang hitam
sekali.
“Eh, siapa orang kate ini?”
Tak terasa pula Cin Hai bangun dari tanah karena ia tidak sudi berlutut di
depan orang kate itu.
Ang I Niocu juga menengok dan
terkejutlah dia, terkejut sebab mengingat betapa lihainya orang ini yang dapat
datang ke sana tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan dia sendiri dalam
berlutut tadi tidak mendengar suara kaki orang, tetapi tahu-tahu orang kate ini
telah berdiri di depannya.
Ketika ia bangun dan
memandang, ia memperhatikan jubah orang kate itu maka kagetlah Ang I Niocu. Ia
dapat mengetahui bahwa orang aneh ini tentulah Hek Moko Si Iblis Hitam yang
telah terkenal sekali sebagai seorang jago tua yang sukar dapat dicari
tandingannya di dunia kang-ouw bagian barat!
Ang I Niocu kemudian
mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil berkata, “Locianpwe kami
yang muda memberi hormat.”
Tiba-tiba Hek Moko tertawa dan
suara ketawanya ini kalau didengar di dalam gelap tanpa terlihat orangnya,
tentu akan disangka orang suara setan. Suara ketawanya mula-mula rendah sekali
bagaikan suara kodok besar, lalu perlahan-lahan meninggi menjadi nyaring dan
kecil. Tiba-tiba Hek Moko menahan tawanya karena mendengar Cin Hai juga tertawa
geli.
“Pemuda tolol! Kau siapakah?
Kau ini apanya Ang I Niocu?” Hek Moko bertanya dengan kata-kata kasar sedangkan
kedua matanya berputar-putar.
Cin Hai tidak menjawab tetapi
bahkan tertawa semakin geli dan keras. Ketika tadi melihat bentuk dan rupa Hek
Moko, ia telah merasa ngeri bukan main, apa lagi melihat sepasang telinganya.
Ketika Ang I Niocu berbicara kepada Hek Moko dan menyebutnya locianpwe (orang
tua gagah), dia merasa semakin geli karena alangkah ganjilnya menyebut seorang
yang tingginya hanya sama dengan tinggi pinggangnya dengan sebutan locianpwe.
Kemudian, ketika Hek Moko
tertawa dengan suara yang menyeramkan dan lucu itu, dia melihat betapa telinga
gajah itu bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar-benar
digerak-gerakkan untuk mengipas tubuh. Maka pemuda ini tidak dapat lagi menahan
rasa geli di hatinya dan tertawa keras. Kini melihat Hek Moko mengajukan
pertanyaan sambil memutar-mutar kedua matanya, Cin Hai makin geli dan
tertawanya makin keras pula.
”Hai, tolol! Kenapa kau
tertawa?” Hek Moko membentak dengan muka heran.
“Kakek kate, aku tertawa
mendengar kau tertawa!”
Hek Moko melengak dan
menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah selama ia merantau ada orang
berani mentertawakan suara tawanya!
“Tolol! Hati-hatilah menjaga
lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?”
Melihat sikap Hek Moko, Cin
Hai tahu bahwa orang ini marah, maka dia berkata, “Orang tua, orang baru
tertawa kalau hatinya senang. Kau tadi tiada hujan tiada angin tertawa,
tentulah berarti kau senang bertemu dengan kami. Aku pun menjadi senang dan
tertawa juga, apa salahnya? Eh, kakek kate, tahukah kau akan sebuah ujar-ujar
tentang tertawa?”
Kembali Hek Moko tertegun. Ia
kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang mempermainkan dirinya, akan tetapi dia
juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang tertawa itu. “Coba kau
ceritakan, aku belum mendengar,” jawabnya dengan dua mata tetap berputar-putar.
Cin Hai lalu mendongakkan
kepala dan dengan suara sungguh-sungguh menirukan suara dan lagak gurunya yang
dulu mengajarnya sastera,
“Mati diantar tangis, lahir
disambut tawa. Namun bagaimanakah sikap orang bijaksana? Kurangi tangis dan
perbanyaklah tawa!”
“Bagus, bagus, bagus!” Hek
Moko memuji dan dia tertawa lagi. Lenyaplah rasa marahnya yang tadi karena
menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.
“Dan kenapakah kau tertawa,
orang tua yang aneh dan lucu?” tanya Cin Hai sedangkan Ang I Niocu
terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang bercakap-cakap dengan kakek itu
bagaikan dua orang sahabat baik sedang mengobrol!
“Kenapa aku tertawa? Ha-ha-ha!
Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel tua itu begitu malas! He, Bu Pun
Su, benar-benarkah kau begitu malas dan memandang rendah kepadaku hingga masih
terus mendengkur dan tidak mau keluar menyambut?”
Tiba-tiba orang kate ini
mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin besar menyambar ke arah salah satu
tengkorak sehingga tengkorak yang dikebutnya itu bergoyang-goyang seakan-akan
hendak roboh!
“Hek Moko, kau jangan terlalu
sheji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk juga!” Tiba-tiba terdengar suara Bu
Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar tidak tahu dari mana datangnya suara
itu, seakan-akan ada beberapa orang yang bicara dari berbagai penjuru!
Ternyata dalam kata-katanya
ini Bu Pun Su telah mendemonstrasikan kehebatan tenaga khikang-nya yang sudah
dapat mengirim suaranya ke berbagai tempat dan biar pun dia tidak meninggalkan
goa itu, namun dia telah tahu bahwa Hek Moko datang bersama Pek Moko.
Hek Moko diam-diam memuji dan
dia lalu mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam menyakitkan anak
telinga. Dari luar goa terdengar pula suara suitan yang sama bunyinya dan
sebelum gema suara suitan itu lenyap, dari luar goa menyambar sinar putih dan
tahu-tahu Cin Hai melihat seorang yang tidak kalah anehnya berdiri di hadapan
Hek Moko!
Orang yang baru datang itu
adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan tetapi anggota
mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya berupa dua garis melintang panjang
sedangkan daun telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!
Hek Moko dan Pek Moko adalah
sepasang saudara seperguruan yang sudah terkenal sekali di dunia kang-ouw,
terutama di daerah barat. Mereka datang dari sebelah selatan Tibet dan memiliki
kepandaian silat yang luar biasa tingginya. Walau pun tubuhnya kate, tetapi Hek
Moko adalah saudara tua dan Pek Moko sute-nya.
Kalau Hek Moko selalu
mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan jubah warna putih
bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut Iblis Hitam dan
Iblis Putih, sedangkan nama asli mereka sudah dilupakan orang.
Berbareng dengan datangnya Pek
Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari balik tengkorak. Kakek tua ini
berjalan dengan tindakan perlahan dan bermalas-malasan.
“Kalian Iblis Hitam dan Iblis
Putih, sesudah lebih dari lima belas tahun tidak berjumpa, kepandaianmu makin
meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju ke sini, apakah juga silau
oleh gemerlapnya emas dan perak?” Bu Pun Su berkata sesudah berhadapan dengan
mereka.
“Bu Pun Su kakek jembel, kau
benar-benar panjang umur! Tak kuduga kau masih hidup. Apakah kali ini kau pun
hendak menjadi perintang bagi kami berdua saudara?” tanya Hek Moko sambil
memutar-mutar matanya.
“Hek Moko, jangan berbicara
seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua bukan manusia usilan.
Asalkan kau tidak mengganggu orang, kenapa takut aku menjadi perintang?
Berbuatlah apa yang kau suka, aku tak akan peduli.”
Girang wajah Hek Moko
mendengar ucapan ini. Memang, semenjak tadi dia telah dapat melihat kakek
jembel yang lihai itu dan ia merasa jeri hingga diam-diam ia menyuruh Pek Moko
menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Belasan tahun yang lampau, ia dan sute-nya
pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh dalam tangan orang tua lihai itu
sehingga mereka masih merasa jeri dan ragu-ragu untuk memusuhi orang tua itu.
“Ha-ha-ha, bagus, Bu Pun Su!”
Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu dan Cin Hai. “Hai, kau Nona
cantik dan anak muda yang aneh. Kalian tadi sudah mendengar kata-kata Bu Pun Su
si Kakek Jembel? Nah, kalian menjadi saksi!”
Setelah berkata demikian, Hek
Moko segera melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang berdiri di tengah
kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan tangan untuk menggeser
hiolouw yang beratnya seribu kati itu. Hiolouw itu bergerak dan tergeser dengan
mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata terdapat sebuah lubang yang cukup besar.
Hek Moko menjenguk dan dia
segera meloncat sambil memperdengarkan suara tawanya yang aneh. Sementara itu,
Pek Moko yang juga ikut menjenguk melihat keadaan lubang, lalu membalikkan
tubuh dan memandang ke arah Bu Pun Su. Kedua kakak beradik yang aneh itu
berdiri bagaikan patung dan memandang ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri tak
mengacuhkan sama sekali.
“Bu Pun Su tua bangka
menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!” Pek Moko berseru dan suaranya
juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar.
“Biarlah sekali lagi kami
mencoba-coba kelihaianmu!” teriak Hek Moko dan tiba-tiba Iblis Hitam ini
menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan sekali ayun saja hiolouw
itu melayang ke arah Bu Pun Su!
Cin Hai merasa terkejut dan
ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri di dekat Bu Pun Su sehingga hiolouw
itu tidak hanya mengancam Si Kakek Jembel saja, tetapi juga sekaligus mengancam
mereka berdua!
Hiolouw raksasa itu begitu
berat sehingga sebelum datang, anginnya sudah menyambar ke arah mereka. Benda
kuno itu beratnya seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan tenaga raksasa
sehingga dapat dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw terbang ini!
Akan tetapi di hadapan Ang I
Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap takut atau ngeri.
Karena itu dia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri dari serangan
hiolouw, hanya berdiri dengan urat-urat seluruh tubuhnya menegang dan mata
terbelalak.
Biar pun telah memiliki
kepandaian tinggi, namun Ang I Niocu mengerti bahwa tenaganya masih belum cukup
untuk menyambut datangnya hiolouw, maka dia hanya bersiap untuk menolak benda
itu ke samping apa bila jatuhnya menimpa dia atau Cin Hai. Gadis ini tentu saja
cukup tahu diri dan tidak bergerak karena di situ terdapat kakek gurunya, takut
kalau-kalau dianggap lancang tangan.
Akan tetapi, alangkah heran
dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su yang berdiri miring
agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw yang menyambar ke arah
dirinya! Keringat dingin mulai keluar membasahi jidat pemuda ini, karena betapa
tabah pun hatinya, menghadapi bahaya maut di depan mata tanpa kuasa
menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.
Ketika hiolouw itu menyambar
dekat sekali hingga Ang I Niocu telah mengangkat kedua tangan hendak menolak
benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su melangkah maju dua langkah dan ia
menyambut hiolouw itu dengan kepalanya! Heran sekali, pada waktu kaki hiolouw
itu menimpa kepalanya maka kepala Bu Pun Su seolah-olah besi sembrani yang
menarik hiolouw itu sehingga kaki hiolouw menempel pada kulit kepala dan
berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw itu kini terletak di
atas kepala Bu Pun Su, seakan-akan benda yang ringan dan yang diletakkan dengan
hati-hati di atas kepala!
Tidak hanya Cin Hai yang tanpa
terasa lagi terpaksa meleletkan lidah saking kagum dan herannya, akan tetapi
Ang I Niocu juga memandang dengan mata kagum karena baru sekarang ia
menyaksikan sucouw-nya mendemonstrasikan kekuatan lweekang-nya yang tak
terbatas tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih juga tertegun.
Terdengar kakek tua itu
tertawa ha-ha hi-hi, lantas berkata dengan suara lemah lembut, “Hek Pek Moko,
hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan bersembahyang, maka harus
dihormati. Apa lagi benda ini umurnya telah ribuan tahun, jauh lebih tua dari
pada kalian atau aku, maka tidak boleh kita merusakkannya. Baiknya kau
melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai menumpahkan isinya. Kalau tidak,
tentu aku tak akan mengampunimu, Hek Moko!”
Sesudah berkata demikian, Bu
Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas kepala lalu berjalan seenaknya
menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi berdiri. Hek Moko dan Pek Moko
melangkah ke kanan kiri dan kedua iblis ini segera bergerak cepat.
Mereka memang maklum bahwa
kepandaian Bu Pun Su masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaian mereka
sendiri dan biar pun mereka mengeroyoknya, belum tentu mereka akan berhasil
merebut kemenangan. Akan tetapi, sekarang melihat bahwa kakek jembel yang lihai
itu sedang berjalan dengan kepala membawa beban yang berat sekali, mereka
melihat keuntungan bagus.
Untuk bisa menahan beban
seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga lweekang-nya dan
meski pun tenaga lweekang kakek itu sangat hebat, namun sedikitnya harus
mempergunakan tenaga itu tiga perempat bagian untuk dapat membawa hiolouw di
atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat menguntungkan mereka, maka mengapa
tidak mempergunakan kesempatan baik ini?
Biar pun mereka tidak
menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka agaknya tak berbeda jauh
karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka, tiba-tiba saja keduanya
lalu mengayun tangan mengirim serangan dari kanan kiri! Serangan kedua iblis
ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak hanya bermaksud untuk
main-main. Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan dan
menampar jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan
kiri menotok urat kematian di iga belakang!
Ang I Niocu mengeluarkan jerit
tertahan sedangkan Cin Hai berseru, “Sungguh curang!”
Akan tetapi dengan tenang
sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan hiolouw itu terlempar ke atas dan
pada saat yang hanya sekejap itu dia sudah mementang kedua lengannya dengan
jari tangan terbuka kemudian mendahului mengirim totokan ke arah pergelangan
tangan kedua iblis yang memukulnya!
Bukan main kagetnya Hek Moko
dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit pun bahwa Bu Pun Su mempunyai
kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau saja mereka tetap meneruskan serangan
mereka, maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai sasaran, tentu terlebih
dahulu pergelangan tangan mereka akan tertotok.
Cepat mereka menarik kembali
tangan mereka untuk disusul dengan serangan lainnya! Mereka berpikir bahwa kali
ini Si Jembel Tua itu tak akan dapat menyelamatkan diri lagi, karena serangan
tidak hanya datang dari mereka yang menyerang dari kanan kiri tetapi juga dari
atas, karena hiolouw yang tadi terlempar ke atas kini melayang turun lagi akan
menimpa kepala Bu Pun Su!
Kini Ang I Niocu tak terasa
lagi berseru, “Celaka!”
Tubuhnya merupakan bayangan
merah segera berkelebat ke arah tempat pertempuran, sedangkan Cin Hai lalu
membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang raksasa yang tadi telah
dilepaskan ke tanah!
Kini Hek Moko menyerang dengan
pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang dari atas ke arah kepala Bu Pun Su!
Sementara itu, hiolouw yang berat itu semakin cepat meluncur ke bawah hendak
menimpa kepala kakek jembel itu sehingga anginnya telah membuat rambut kakek
itu berkibar.
Bu Pun Su tidak saja lihai,
tetapi juga ingin memegang teguh ucapannya. Tadi dia telah mengatakan bahwa
orang harus menghormat hiolouw itu, maka biar pun berada dalam keadaan yang
sangat berbahaya, sekali-kali dia tidak mau membiarkan hiolouw itu jatuh
terbanting ke tanah sehingga isinya tumpah atau rusak. Jika ia tidak menyayangi
hiolouw itu, mudah saja baginya untuk menangkis dan balas menyerang kepada
kedua lawannya. Dengan sekali lompatan saja dia akan berhasil mengelak dari
serangan Hek Moko dan Pek Moko. Akan tetapi, kalau dia melakukan ini, tentu
hiolouw itu akan terbanting di atas lantai dan rusak.
Akan tetapi tidak percuma
kakek jembel ini pernah dijuluki orang sebagai ahli silat nomor satu di kolong
langit. Memang ada jalan ke dua baginya untuk menyelamatkan diri dari pada
serangan dua lawannya, yaitu dengan membarengi mengirim pukulan maut sebagai
serangan balasan, akan tetapi dia tidak sudi menjatuhkan tangan besi dan mengotorkan
tangannya dengan pembunuhan.
Tiba-tiba saja dia
mengeluarkan seruan keras sekali hingga seluruh ruangan itu menjadi tergetar,
sedangkan tengkorak-tengkorak raksasa yang berdiri itu bergoyang-goyang dan
mengeluarkan suara berkelotekan karena tulang-tulang saling beradu. Kedua iblis
itu pun menjadi terkejut dan hawa yang keluar dari tenaga khikang ini membuat
mereka tertegun dan memperlambat datangnya pukulan mereka.
Kesempatan yang hanya beberapa
detik ini digunakan oleh Bu Pun Su dengan sebaiknya karena tiba-tiba saja,
tanpa dapat terlihat oleh mata bagaimana caranya ia menggerakkan tubuhnya,
tahu-tahu tubuhnya itu telah rebah terlentang di atas lantai, melintang di
antara kedua lawannya dan sekaligus ia terlepas dari pada kedua serangan maut
itu.
Perhitungan Bu Pun Su memang
tepat sekali. Hiolouw itu menyambar turun makin cepat dan oleh karenanya hampir
saja menimpa tangan Hek Moko dan Pek Moko yang terulur ke depan ketika
menjalankan pukulan mereka tadi.
Dengan hati terkejut kedua
iblis itu menarik kembali pukulannya sambil meloncat mundur, takut kalau-kalau
tertimpa hiolouw yang berat itu. Akan tetapi mereka bergirang hati, kini Si
Jembel tua sudah rebah terlentang ada pun hiolouw itu dengan kecepatan luar
biasa melayang ke arah dadanya! Tentu akan remuk tubuh si Jembel tua yang
mereka takuti itu.
Akan tetapi kini mereka semua
disuguhi pertunjukan yang benar-benar hebat. Karena tak ada kesempatan untuk
melompat bangun dan menyelamatkan hiolouw itu, sambil rebah terlentang Bu Pun
Su lantas mengangkat kedua kakinya berdiri lurus ke atas, kemudian setelah
menyentuh hiolouw yang menyambar turun dengan cepat sekali, kaki itu bergerak
ke bawah melebihi kecepatan luncuran hiolouw, lantas membuat gerakan melengkung
sedemikian rupa hingga hiolouw itu terayun, dan kekuatan hebat yang ditimbulkan
oleh gaya beratnya dan karena tekanan luncurannya kemudian dibelokkan oleh
ayunan ini.
Arah tekanan yang mula-mula
meluncur ke bawah ini dengan indahnya telah dibelokkan ke samping oleh kedua
kaki Bu Pun Su, kemudian kaki itu menendang sedikit sehingga sekarang luncuran
dibelokkan ke atas kembali! Hiolouw itu bagaikan kena ditendang dan meluncur ke
atas lagi dengan tenaga yang sudah patah hingga tidak sangat laju jalannya.
Sementara itu Bu Pun Su telah meloncat berdiri pula dan dengan kepalanya dia
kembali menerima hiolouw itu! Hebat.....
“Aduh, hebat! Aduh... hebat!”
Cin Hai bersorak memuji, sedangkan Ang I Niocu menarik napas panjang karena
kecemasan yang tadi memenuhi dadanya telah lenyap.
Hek Moko dan Pek Moko hanya
saling pandang saja dan tidak berani lagi sembarangan bergerak ketika Bu Pun Su
dengan tenang bagaikan tak pernah terjadi sesuatu, berjalan terus dan sesudah
tiba di tempat hiolouw, dia memegang kaki hiolouw itu dengan kedua tangan dan
dengan sikap hormat dan berhati-hati sekali dia lalu meletakkan hiolouw itu
kembali ke tempatnya. Hiolouw itu berdiri dengan angker dan angkuh di tempatnya
dan asap putih masih mengepul keluar dari renggangan tutupnya. Setelah itu
barulah Bu Pun Su membalikkan tubuh menghadapi Hek Moko.
“Sungguh kalian dua iblis tua
sangat sembrono, hampir saja kalian merusak hiolouw itu.” Bu Pun Su menegur
dengan suaranya yang halus.
Cin Hai merasa terheran-heran.
Kakek tua itu baru saja terlepas dari pada bahaya maut dan dia tidak menegur
kedua iblis itu untuk penyerangan mereka namun hanya menegur karena mereka
hampir merusak hiolouw. Tampaknya kakek aneh ini lebih mementingkan hiolouw
dari pada tubuh dan nyawanya sendiri!
Hek Moko dan Pek Moko yang
sudah datang dari tempat yang ribuan li jauhnya, tentu saja merasa penasaran
dan tak mau tunduk secara demikian mudah. Berbareng mereka lalu mencabut
senjata mereka yang luar biasa, yaitu sebatang pedang yang bercabang di
ujungnya di tangan kanan dan seikat tasbeh di tangan kiri. Pedang di tangan
mereka itu lihai sekali karena ujungnya yang bercabang itu dapat digunakan
untuk menjepit senjata lawan kemudian diputar hingga senjata lawan akan
terampas.
Akan tetapi tasbeh pada tangan
kiri itu tidak kalah berbahayanya. Tasbeh ini terbuat dari batu-batu hitam yang
keras dan tidak dapat diputuskan dengan senjata tajam, sedangkan ikatannya
dapat dilepas hingga memanjang merupakan pian dari batu yang lihai. Masih ada
lagi keistimewaannya, yaitu apa bila batu-batu hitam itu dilepas dari
untaiannya, dia dapat pula digunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh dan
ganas!
“Ehh, ehhh, kalian masih mau
main-main seperti anak-anak nakal? Boleh, boleh. Kalian menghendaki pertempuran
dan ingin merusak tubuhku, silakan. Asal saja jangan kalian mencoba merusak
hiolouw!”
Mendengar kata-kata yang
diucapkan dengan halus dan sabar ini, kedua iblis itu lantas berbesar hati.
Masih bagus bagi mereka kalau kakek jembel ini tidak marah. Akan tetapi
kata-katanya membuat Pek Moko merasa penasaran dan heran sehingga dia tidak
dapat bertahan untuk tidak bertanya,
”Ehh, tua bangka. Agaknya kau
lebih menyayangi hiolouw besar itu dari pada tubuhmu sendiri!”
Kini jawaban Bu Pun Su
terdengar sungguh-sungguh, “Tentu saja, tentu saja! Tubuhku yang sudah tua dan
lapuk ini apalah gunanya? Kalau tubuhku ini rusak binasa, tidak akan ada yang
dirugikan, dan kalau masih ada pun tidak akan ada gunanya bagi manusia. Tapi
sebaliknya, umur hiolouw ini telah ribuan tahun dan telah banyak jasanya bagi
manusia, dan ratusan atau ribuan tahun kemudian sesudah tubuhku ini lenyap
menjadi kerangka seperti yang berdiri berderet-deret di tempat ini, hiolouw itu
akan tetap berdiri dan masih berguna bagi manusia yang masih hidup, karena dia
menjadi perantara dan saksi akan kehendak manusia yang hendak berhubungan
dengan Tuhan.”
Cin Hai tertegun mendengar
filsafat yang terdengar sederhana namun mengandung arti yang dalam ini, dan
diam-diam dia memutar-mutar otaknya mencari ujar-ujar kuno yang sesuai dengan
filsafat ini, akan tetapi tetap tidak dapat dia temukan.
Sementara itu, Bu Pun Su lalu
melangkah ke tengah-tengah ruangan dan di situ kakek jembel ini lalu duduk
bersila dan berkata kepada Cin Hai,
“He, gundul tolol, muridku.
Lemparkan ke sini senjata keramat di tanganmu itu!”
Cin Hai terkejut. Apakah yang
dimaksudkan oleh Bu Pun Su? Yang dipegangnya hanya sepotong tulang besar,
mungkin tulang bagian lengan atau kaki raksasa, maka dia segera melemparkan
tulang itu ke arah Bu Pun Su yang menyambut dengan muka berseri-seri. Kemudian
dengan memegang tulang itu di tangan kanan, Bu Pun Su lalu meramkan mata dan
tak mengacuhkan lagi keadaan di sekelilingnya!
Cin Hai merasa makin heran
tetapi diam-diam ia girang juga karena ternyata kakek yang lihai itu tidak
marah kepadanya. Hanya ia mendongkol kenapa sampai sekarang ia terus disebut
tolol! Ia lalu berpaling kepada Ang I Niocu yang sedang memandang kepadanya dan
alangkah herannya pemuda itu kenapa kedua mata Ang I Niocu basah dengan air
mata!
Cepat ia melangkah maju dan
hendak memegang tangan dara itu akan tetapi Ang I Niocu menggerakkan tangan
mengelak. Baru teringat oleh Cin Hai bahwa mereka tidak berada berdua saja di
tempat itu dan bahwa di muka umum tidak pantas baginya memegang tangan Ang I
Niocu meski pun dara itu adalah seorang yang sangat dikasihinya, bahkan
satu-satunya orang di dunia ini yang disayangnya.
“Niocu, ada apakah?” bisiknya.
Tetapi Ang I Niocu dengan perlahan menggeleng-geleng kepalanya yang cantik,
lalu menundukkan mukanya.
Pada saat itu terdengar suara
Hek Moko yang keras dan parau,
“Bu Pun Su, kau terlalu
menghina kami! Ketahuilah, kami hendak mengadu ilmu dengan kau, tak peduli kau
mau melayani kami atau tidak!”
Akan tetapi Bu Pun Su tidak
menjawab dan tetap duduk tak bergerak bagaikan patung batu, diam saja menyaingi
diamnya tengkorak-tengkorak yang berdiri di situ merupakan saksi mati dari pada
segala peristiwa yang terjadi di ruangan itu.
Cin Hai dan Ang I Niocu lalu
berpaling memandang dengan kuatir sekali. Mereka melihat betapa kedua iblis itu
dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan sudah berdiri di depan dan
belakang Bu Pun Su!
“Niocu, mari kita turun tangan
membantu Suhu…,” bisik Cin Hai.
Tetapi Dara Baju Merah itu
tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Hai-ji, kau belum mengenal
Susiok-couw. Diamlah dan mari kita menonton saja.”
“Bu Pun Su, awas kau, akan
kuhancurkan kepalamu!” Pek Moko berteriak dari belakang kakek itu, lalu ia
mengayun tasbehnya memukul ke arah belakang kepala Bu Pun Su!
Dalam detik-detik ketika
senjata hebat itu menyambar, jantung Cin Hai berhenti berdetak karena kuatirnya
dan tanpa terasa lagi tangannya memegang tangan Ang I Niocu dan jari-jari
tangan mereka saling genggam dengan erat.
Akan tetapi, seperti ada mata
di belakang kepalanya, ketika tasbeh itu telah menyambar dekat, tiba-tiba Bu
Pun Su menundukkan kepala sehingga tasbeh itu memukul angin! Legalah dada Ang I
Niocu serta Cin Hai dan teringatlah mereka bahwa mereka saling berpegang
tangan, maka buru-buru mereka melepaskan tangan mereka.
Ternyata Bu Pun Su bukan
sedang bersemedhi sebagaimana yang mereka semua kira. Kakek jembel ini
sebetulnya hanya duduk memusatkan pikiran dan kini segala pikiran dan perasaan
dipusatkan menjadi satu sehingga tanpa memandang atau bergerak, dia telah dapat
tahu akan datangnya sebuah serangan dari mana pun datangnya!
Pek Moko dan Hek Moko menjadi
marah sekali. Mereka merasa dipandang rendah sekali oleh kakek tua ini. Dulu,
lima belas tahun yang lalu, biar pun mereka dirobohkan oleh Bu Pun Su, akan
tetapi mereka dikalahkan dalam sebuah pertempuran yang hebat sekali. Sedangkan
semenjak kekalahan mereka dulu itu, mereka berdua melatih diri dan bahkan
mereka sudah menambah senjata pedang mereka dengan sebuah senjata tasbeh yang
lihai.
Dan apakah yang dilakukan oleh
Bu Pun Su sekarang untuk menghadapi mereka? Hanya dengan duduk diam sambil
meramkan mata dan memegang sebuah… tulang! Ini adalah penghinaan yang tiada
taranya bagi mereka, maka di dalam kemarahannya, kedua iblis itu sudah
mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati! Hek Moko segera mengirim
serangan dengan pedangnya, ada pun Pek Moko dari belakang juga mengirim
serangan-serangan kilat yang mematikan.
Betapa pun juga, Cin Hai dan
Ang I Niocu masih merasa kuatir akan keselamatan Bu Pun Su, karena mereka,
terutama Ang I Niocu, maklum bahwa kepandaian kedua iblis ini cukup hebat dan
lihai, masih lebih hebat dari pada kepandaian orang-orang gagah yang tadi
datang ke goa itu. Lebih tinggi tingkat kepandaiannya dari pada Hai Kong
Hosiang, atau Kanglam Sam-lojin, bahkan masih lebih lihai dari pada Biauw
Suthai sendiri! Dan Bu Pun Su hanya menghadapi mereka sambil duduk bersila dan
meramkan mata dengan sepotong tulang di tangan.
Akan tetapi, setelah melihat
agak lama, perasaan kuatir mereka tidak saja lenyap, bahkan mereka menjadi
tertarik sekali berbareng kagum dan terheran! Ternyata bahwa dengan tangkisan
tulang dan gerakan kepala mengelak serangan, Bu Pun Su dapat membela diri
dengan sangat baiknya!
Kakek jembel ini tidak
melakukan banyak gerakan, hanya duduk diam tanpa bergerak. Setelah datang
sebuah serangan, barulah ia bergerak sedikit, yaitu untuk mengelak atau
menangkis! Serangan yang ditujukan ke arah kepalanya dapat ia kelit dengan
mudah dan serangan yang mengarah tubuhnya tentu saja tidak dapat dia elakkan,
maka kemudian ditangkisnya dengan tulang. Biar pun ada empat buah senjata
menyerang berbareng dari empat jurusan, masih dapat ditangkisnya dengan putaran
tulang yang berubah menjadi senjata yang lihai itu!
Kedua iblis itu semakin marah
dan penasaran. Sudah puluhan jurus mereka membacok, menusuk, memukul dan
melakukan berbagai macam serangan lain, akan tetapi hasilnya selalu sia-sia.
Benarkah mereka tak akan berhasil mengalahkan seorang tua yang hanya melawan
mereka dengan duduk sambil meramkan mata dan tanpa membalas sedikit pun? Ahh,
sungguh memalukan! Mereka mengertak gigi dan menyerang lebih gencar dan hebat.
Sementara itu, Ang I Niocu dan
Cin Hai merasa penasaran sekali melihat betapa Bu Pun Su hanya mempertahankan
dan membela diri saja tanpa mau membalas sedikit pun. Tapi apakah daya mereka?
Untuk membantu, Cin Hai merasa bahwa kepandaiannya masih jauh dari pada kuat
untuk melawan kedua iblis yang lihai itu, sedangkan Ang I Niocu yang merasa
sangat tunduk dan takut kepada susiok-couw-nya, tak berani turun tangan tanpa
diperintah.
Cin Hai berpikir, kalau
suhu-nya itu bertahan terus saja, apakah dia tidak akan lelah dan akhirnya
terkena serangan juga? Dia lalu memutar-mutar otaknya, dan tiba-tiba dengan
suaranya yang nyaring dia mengucapkan ujar-ujar yang dulu dipelajarinya,
“Seorang budiman hanya
mencabut pedangnya untuk mempertahankan kehormatan dan namanya. Mengadu senjata
untuk memperebutkan benda dan kesenangan diri, bukanlah perbuatan seorang
gagah, hanya dilakukan oleh kanak-kanak dan orang tolol!” Kemudian dengan suara
yang lebih nyaring lagi Cin Hai menambahkan kata-katanya sendiri, “Aku masih
bingung memilih golongan untuk Hek Pek Moko, apakah mereka berdua termasuk
anak-anak ataukah orang tolol?”
Karena suasana di sana sunyi
dan hanya terdengar suara senjata kedua iblis itu yang kadang kala beradu
dengan tulang di tangan Bu Pun Su, maka suara Cin Hai terdengar jelas dan
nyaring, bahkan bergema di dalam ruang yang luas itu.
Tentu saja kedua iblis itu
dapat mendengar sindiran ini dan wajah mereka memerah. Biar pun hanya
menduga-duga saja, tetapi ternyata kata-kata Cin Hai bahwa mereka sedang
‘memperebutkan benda’ adalah tepat sekali.
Cin Hai memang belum tahu
mengapa para tokoh kangouw itu berturut-turut menyerbu ke Goa Tengkorak. Tetapi
dia dapat menduga bahwa mereka tentu sedang menghendaki dan memperebutkan
sesuatu yang amat penting dan berharga.
Akan tetapi, mana kedua iblis
itu mau mendengarkan nasehat-nasehat yang keluar dari mulut seorang pemuda?
Mereka bahkan memperhebat serangan mereka karena merasa malu dan gemas.
Cin Hai menjadi bingung. Ia
melihat bahwa biar pun Bu Pun Su masih dapat membela diri dengan baik, namun
kulit muka gurunya itu mulai memerah, tanda bahwa kakek itu telah menggunakan
tenaga untuk melayani serangan-serangan berbahaya dari dua lawannya yang
tangguh. Maka pemuda ini lalu berteriak kembali, kini lebih keras dari pada
tadi,
“Nabi yang agung pernah
berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi
kejahatan mesti dilawan dengan keadilan. Orang menyerang secara jahat dan tidak
kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu,
apakah adil namanya?”
Biar pun Cin Hai sudah
berteriak dengan keras, namun Bu Pun Su tidak terpengaruh oleh kata-katanya.
Cin Hai tidak berputus asa, dia mengulangi lagi kata-katanya dengan suara makin
keras sehingga lehernya menjadi kering dan sesak.
Akan tetapi pada waktu itu Bu
Pun Su harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi serangan kedua
lawannya. Apa bila dia membagi perhatiannya sedikit saja kepada hal lain, maka
kedudukannya akan sangat berbahaya dan pertahanannya akan menjadi lemah. Oleh
karena itu teriakan-teriakan Cin Hai hanya merupakan kegaduhan yang hanya
terdengar sayup-sayup olehnya dan tidak menarik perhatiannya.
Cin Hai menjadi makin panik
dan bingung. Juga Ang I Niocu mulai mendapat kenyataan bahwa keadaan
suciok-couw-nya berbahaya sekali. Gerakan-gerakan orang tua itu makin lemah,
sebaliknya kedua iblis itu makin ganas dan mendesak semakin hebat!
Dara Baju Merah ini telah
melolos pedangnya dan bersiap sedia membantu Bu Pun Su. Bila mana nanti kakek
itu benar-benar berada dalam bahaya, maka ia akan berlaku nekat dan membelanya,
biar pun untuk itu ia akan mendapat marah sekali pun!
Cin Hai kemudian berjalan ke
arah tumpukan tulang-tulang yang berserakan di sudut. Dia memilih-milih dan
akhirnya mendapatkan sepotong tulang yang tipis berlubang, agaknya tulang paha
yang sudah lapuk. Setelah memeriksa baik-baik, dia lalu lari ke arah Ang I
Niocu dan berbisik,
“Niocu, lekas buatkan suling
dari tulang ini untukku!”
Walau pun merasa heran, akan
tetapi Ang I Niocu tidak banyak bertanya, karena percaya penuh bahwa dalam saat
yang tegang itu tentu Cin Hai mempunyai alasan kuat untuk mendapat sebatang
suling. Dengan ujung pedang dia menggunakan lweekang-nya untuk melubangi tulang
itu dan sebentar saja jadilah sebatang suling terbuat dari pada tulang itu.
Sungguh merupakan sebuah suling yang istimewa dan bentuknya sangat sederhana.
Cin Hai merasa girang sekali
dan melihat betapa keadaan Bu Pun Su pada saat itu telah sangat terdesak, dia
segera meniup sulingnya. Alangkah heran dan bingungnya ketika suling istimewa
itu mengeluarkan suara yang amat ganjil dan sukar sekali diikuti nadanya! Akan
tetapi Cin Hai cepat-cepat mengerahkan kepandaiannya dan mencurahkan seluruh
perhatiannya hingga bunyi ganjil itu dapat juga berlagu! Maksudnya ialah hendak
menarik perhatian Bu Pun Su agar orang tua itu dapat mendengar kata-katanya.
Maksudnya ternyata berhasil
baik! Mendengar suara yang aneh sekali ini, Bu Pun Su tak dapat bertahan lagi
untuk memusatkan perhatiannya dan mau tidak mau dia pun terpaksa menggunakan
sedikit perhatian untuk mendengar dan memperhatikan suara suling yang nyaring
ini!
Dan sangat untung baginya
karena tidak hanya dia, bahkan juga kedua orang lawannya tertarik oleh bunyi
suling dan bahkan perhatian Hek Pek Moko setengah bagian sudah terpengaruh oleh
bunyi suling. Kalau tidak demikian halnya, maka akan celakalah Bu Pun Su yang
sudah berkurang daya tahannya oleh karena perhatiannya terbagi. Akan tetapi,
karena kedua iblis itu pun terpecah perhatiannya, maka biar pun pertahanan Bu
Pun Su mengendur semua ternyata daya serang kedua itu pun banyak mengendur
pula!
Melihat betapa ketiga orang
itu kadang-kadang melirik ke arahnya tahulah Cin Hai bahwa usahanya berhasil
baik, maka cepat ia menunda sulingnya dan mengulangi kata-katanya tadi dengan
suara nyaring dan keras sekali,
“Nabi yang agung pernah
berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi
kejahatan mesti dilawan dengan keadilan! Orang menyerang secara jahat dan tidak
kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu,
apakah ini dapat dinamakan adil?”
Suara suling tadi memang
nyaring dan ganjil sehingga ketika tiupannya ditunda, seketika keadaan menjadi
hening dan sunyi, maka suara ucapan Cin Hai terdengar sangat terang dan keras
sekali hingga Bu Pun Su dapat mendengarnya dengan baik. Mendadak kakek jembel
ini tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Hek Pek Moko,” katanya dengan
suaranya yang halus sabar, “apa bila bicara mengenai kebijaksanaan, kau masih
belum ada sepersepuluhnya juga dari pada muridku yang tolol ini! Sekarang
apakah kalian tidak mau lekas pergi dan menunggu aku seorang tua turun tangan?”
Akan tetapi Hek Pek Moko yang
tadi telah melihat betapa usaha mereka hampir berhasil, maka mana mereka mau
mengundurkan diri. Mereka bahkan menyerang lebih hebat lagi!
”Siancai… siancai…!” Bu Pun
menyebut.
Orang tua itu kini
menggerakkan tangan kirinya yang semenjak tadi hanya terletak di atas
pangkuannya saja. Sekali tangan kirinya bergerak, maka dia berhasil menangkap
tasbeh Pek Moko yang menyambar ke arah lehernya. Ia menggunakan tenaganya
membetot dan putuslah tasbeh itu hingga biji-biji batu hitam itu terlepas dari
untaiannya kemudian jatuh berserakan! Bu Pun Su lalu memunguti batu-batu kecil
itu dan tangan kirinya bergerak pula menyambit.
Terdengar jeritan-jeritan
karena dengan tepat sekali batu-batu itu mengenai pergelangan tangan Hek Pek
Moko yang memegang senjata sehingga pedang di tangan kanan Pek Moko, serta
kedua senjata di tangan kanan kiri Hek Moko terlepas dari pegangan mereka dan
jatuh berdering-dering ke atas lantai!
Bukan main terkejutnya Hek Pek
Moko menyaksikan kelihaian Bu Pun Su yang masih duduk bersila sambil tersenyum.
Kedua iblis ini lalu menjura dan berkatalah Hek Moko dengan suara parau dan
hampir menangis karena kecewa dan gemasnya,
“Orang tua, kepandaianmu
memang hebat dan kami sekali lagi mengaku kalah!”
Bu Pun Su hanya tersenyum dan
membiarkan kedua iblis itu mengambil senjata mereka kembali dan kemudian tanpa
banyak cakap lagi kedua iblis itu melompat keluar dari Goa Tengkorak dan
melarikan diri.
Ang I Niocu kagum dan girang
sekali melihat akal Cin Hai yang telah berhasil menolong orang tua itu, maka
dia segera maju dan bersama Cin Hai lalu berlutut sambil menyebut,
“Suhu...”
“Susiok-couw, ampunkan teecu
yang telah lancang keluar dari tempat persembunyian.”
“Sudahlah, sudahlah...” Bu Pun
Su menghela napas. “Kalian orang-orang muda memang paling doyan berkelahi!”
Kemudian kakek ini memandang
kepada Ang I Niocu dan berkata dengan suara yang halus akan tetapi terdengar
jelas penyesalannya. “Kiang Im Giok, sekarang kau pergilah ke timur dan mencari
Suci-mu di daerah itu. Kalau sudah bertemu sampaikan teguranku karena
kesembronoan dan keganasannya itu hanya membikin malu saja. Beri peringatan
kepadanya atau kalau dia masih belum insyaf, bawa dia ke mari. Dan kau sendiri,
anak baik, berhati-hatilah terhadap kelemahanmu sendiri!”
Ang I Niocu
mengangguk-anggukkan kepala dan berkata perlahan, “Baik, Susiok-couw!” Kemudian
Dara Baju Merah itu mengerling ke arah Cin Hai dan berkata lagi, “Apakah teecu
harus berangkat sekarang juga?”
“Ya, pergilah sekarang juga.
Mau tunggu apa lagi?”
Ang I Niocu memberi hormat
lagi lalu berdiri dan hendak bertidak pergi, akan tetapi Cin Hai tiba-tiba
berkata,
“Niocu, kau pergi, dan bilakah
kita akan bertemu kembali?” suaranya terdengar pilu dan terharu sehingga Ang I
Niocu menahan kakinya dan berpaling. Ternyata wajah Dara Baju Merah itu pucat
sekali!
“Niocu!” Cin Hai berdiri dan
memburu kepadanya tanpa mempedulikan suhu-nya!
“Anak tolol, kau ternyata
masih belum dewasa!” Bu Pun Su menegur Cin Hai.
Kemudian kakek ini berdiri dan
berkata kepada Ang I Niocu yang hendak melanjutkan tindakan kakinya. “Im Giok,
tunggu sebentar. Aku masih ragu-ragu, apakah jika Suci-mu membangkang, kau
cukup kuat untuk menundukkannya. Coba kau lebih dulu perlihatkan kepandaianmu,
hendak kulihat sampai di mana kekuatan Sian-li Kiam-hoat!”
Ang I Niocu tidak berani
membantah, segera dia melolos pedangnya. Kemudian dia mulai menjalankan ilmu
silat pedangnya yang lihai. Cin Hai merasa kecewa sekali bahwa pada saat itu
dia tidak mempunyai suling bambu yang baik untuk mengiring tarian pedang Ang I
Niocu! Sementara itu, sesudah gerakan Ang I Niocu menjadi cepat sehingga
tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang, Bu Pun Su tiba-tiba berkata,
“Tahan! Coba ulangi
gerakan-gerakanmu yang ke tiga puluh sampai ke lima puluh, tetapi lambat saja.
Kau mempunyai kelemahan-kelemahan di bagian itu!”
Ang I Niocu merasa heran
sekali dan ia mengulangi gerakannya, akan tetapi kini dengan lambat hingga ia
seperti benar-benar sedang menari. Dan heranlah Cin Hai ketika melihat betapa
Bu Pun Su juga menari bersama-sama Ang I Niocu sambil berkata,
“Coba kau serang aku dengan
betul-betul, akan kuperlihatkan kelemahanmu!”
Sungguh pemandangan yang amat
indah ketika kakek itu pun mulai menari di dekat Ang I Niocu, karena tarian
kakek itu ternyata sesuai dan cocok sekali dengan tarian Ang I Niocu hingga
mereka bagai sepasang penari ulung yang mendemonstrasikan kepandaiannya! Sayang
sekali bahwa penari prianya sudah kakek-kakek. Coba kalau yang menari seperti
Bu Pun Su itu seorang pria muda, tentu akan indah dan cocok sekali!
Cin Hai tidak melihat
kelemahan-kelemahan yang disebutkan oleh Bu Pun Su tadi, akan tetapi, sesudah
Bu Pun Su bersama-sama menari, terkejutlah Ang I Niocu. Benar saja, pada tiap
gerakan ternyata kakek yang lihai itu sudah dapat mencari dan dengan gerakan
tangannya yang bagaikan menari-nari itu dia dapat menyerang melalui
lubang-lubang dan kelemahan-kelemahan yang terbuka pada saat ia bersilat! Ia
maklum bahwa dalam suatu pertandingan sungguh-sungguh maka tangan kakek itu
tentu sudah berhasil merobohkan dirinya dengan mudah!
Tiba-tiba saja kakek itu
berhenti menari. “Nah, kau sudah tahu kelemahan dari gerakan-gerakanmu tadi?
Ingat, kau terlalu menitik beratkan kepada keindahan gerakanmu hingga kau lupa
bahwa dalam setiap keindahan itu tentu terdapat kelemahan akibat perhatianmu
terganggu oleh rasa bangga dan keinginan memperlihatkan kepandaian atau
keindahan tarianmu! Kalau lawanmu terpesona oleh keindahan gerak tarianmu tentu
ia takkan dapat melihat kelemahan-kelemahan itu, akan tetapi kalau dia waspada,
maka kau tentu akan celaka. Nah, kau perhatikanlah dan pada waktu kau bersilat
dengan jurus ke tiga puluh sampai ke lima puluh, kau harus mengurangi gerakan
menyerang dengan pedang dan siku tangan yang memegang pedang jangan terlampau
lebar terbuka, sedangkan tangan kirimu harus membuat gerakan Bunga Sembunyi di
Bawah Daun atau Ikan Berenang di Bawah Permukaan Air untuk menjaga supaya
jangan sampai kau dapat terserang pada tempat-tempat yang terbuka karena
gerakan serangan pedangmu. Mengertikah kau?”
Ang I Niocu mengangguk-angguk
dan menghaturkan terima kasihnya. Kemudian kakek itu menyuruhnya berangkat
dengan segera.
“Kalau tidak salah, Suci-mu
itu kini berada di kota Lok-bin-si. Pergilah kau ke sana. Cin Hai mulai saat
ini akan tinggal di sini dengan aku!”
Mendengar disebutnya nama
pemuda itu, mendadak wajah Ang I Niocu berubah merah. Agaknya kakek yang luar
biasa ini sudah dapat menduga akan isi hati dan perasaannya terhadap pemuda
itu! Maka tanpa berani memandang kepada Cin Hai lagi, Dara Baju Merah itu
kemudian berlari cepat meninggalkan tempat itu, ditatap oleh Cin Hai dengan
pandangan mata sedih.
“Nah, anak bodoh! Mulai saat
ini juga kau harus berlatih serta belajar silat dengan rajin. Ketahuilah, aku
orang tua selamanya belum pernah mempunyai murid, tetapi sekali aku mengambil
murid maka dia harus belajar dengan baik-baik supaya tidak akan memalukan yang
mengajarnya. Dan kau dulu sudah berjanji hendak menurut pada segala perintahku,
bukan?”
Cin Hai segera berlutut di
depan suhu-nya untuk memberi hormat. “Teecu akan menurut segala perintah Suhu.”
“Bagus, sekarang pertama-tama
kau harus menceritakan semua pengalamanmu sejak kau meninggalkan rumah keluarga
Kwee. Jangan ada yang kau sembunyikan!”
Cin Hai dengan jelas lalu
menuturkan semua pengalamannya tanpa mengurangi sedikit pun, akan tetapi
setelah dia selesai bercerita, Bu Pun Su berkata,
“Hanya satu hal yang
kusayangkan, yaitu pertemuan dan perkenalanmu dengan Kiang Im Giok!”
Cin Hai tertegun lalu
memandang kepada suhu-nya dengan penasaran dan heran. “Suhu, apakah sebabnya
maka hal itu harus disayangkan? Bukankah Ang I Niocu seorang yang berhati mulia
dan berwatak gagah berani?”
Bu Pun Su menghela napas.
“Itulah sebabnya mengapa aku merasa sayang. Hubungan itu dapat meracuni hati
kalian berdua!”
Cin Hai memang memiliki watak
pemberani dan pantang mundur menghadapi siapa pun juga apa bila dia merasa
bahwa pihaknya benar, maka dia lalu berkata lagi,
“Suhu, apakah yang Suhu
maksudkan dengan racun itu? Menurut teecu, hubungan teecu dengan Ang I Niocu
itu hanya mendatangkan perasaan kasih sayang suci. Kenapa tidak boleh? Teecu
hanya sebatang kara dan hampir semua orang telah memperlakukan teecu dengan
buruk dan jahat, dan hanya Ang I Niocu seorang yang sudah berlaku baik sekali
terhadap teecu! Salahkah bila teecu mempunyai rasa kasih sayang yang besar
padanya yang timbul karena perasaan terima kasih? Ujar-ujar pernah menyatakan
bahwa kasih sayang yang timbul karena hutang budi adalah suci murni!”
Melihat betapa pemuda itu
bicara dengan bernafsu, kakek itu menggeleng-geleng kepala dan tersenyum, lalu
berkata tenang, “Cin Hai, engkau terlalu banyak menghafal ujar-ujar kuno hingga
kepalamu yang besar itu penuh dijejali segala macam ujar-ujar. Ketahuilah bahwa
kenyataan hidup ini jauh sekali bedanya dengan keindahan kata-kata yang disebut
ujar-ujar itu, dan bahkan segala macam ujar-ujar yang terdengar indah itu
ternyata tidak dapat memperbaiki sifat manusia, bahkan menjadikan lebih rusak!
Pernahkah kau melihat orang-orang yang mempergunakan segala keindahan ujar-ujar
untuk menutupi kesalahan dan kejahatannya?”
Cin Hai tertegun dan
teringatlah ia kepada gurunya yang dulu mengajarnya kesusastraan. Memang, sifat
gurunya itu ganjil sekali, dan apa yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak
cocok dengan perbuatannya
”Cin Hai, kau masih terlalu
muda untuk mengerti semua ini. Memang bagimu aku tidak merasa kuatir, akan
tetapi aku lebih kuatir akan Kiang Im Giok. Kasihan sekali kalau anak itu
menjadi korban dari pada kelemahan hatinya sendiri...”
Cin Hai mengerutkan keningnya.
Akan tetapi karena memang tubuhnya saja yang sudah nampak dewasa dan tinggi
tegap, akan tetapi sebenarnya batinnya masih lebih bersifat kanak-kanak, maka
ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suhu-nya. Pada waktu itu usianya
sudah lima belas tahun lebih akan tetapi dalam hal pengertian pergaulan pria
wanita dia masih bodoh dan hijau.
“Sekarang kau harus
memperhatikan pelajaran silat dan jangan pikirkan urusan lain lagi. Ketahuilah,
bahwa pikiran yang bercabang tak akan dapat menghasilkan ilmu yang baik. Dan
kulihat kau telah mempelajari Liong-san Kun-hoat dan Sian-li Kun-hoat. Dari Im
Giok kau juga sudah mempelajari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat. Ketahuilah bahwa segala
macam ilmu silat yang ada di dunia ini, pada dasarnya sama dan berpokok satu,
yaitu menyerang dan membela diri. Betapa pun tinggi ilmu silat seseorang, tapi
apa bila pokok dasarnya tidak kuat, ilmu silatnya itu akan sia-sia belaka.
Segala macam ilmu silat yang dipelajari oleh orang hanya ada tiga ratus enam
puluh gerakan yang dasarnya sama, hanya gaya dan kembangnya saja yang berbeda,
sedangkan kaki hanya ada seratus delapan puluh. Apa bila engkau dapat
mempelajari dasar dan pokok semua gerakan tangan dan kaki ini, maka menghadapi
ilmu silat dari cabang mana pun juga, kau akan dapat melawannya dengan mudah.”
Demikianlah, semenjak hari
itu, Cin Hai digembleng oleh Bu Pun Su dan mempelajari sari dan pokok gerakan
silat. Dengan menerima pelajaran yang hebat dan merupakan rahasia khusus dari
pada semua ilmu silat, maka boleh dikata sama halnya bagi Cin Hai dengan
mempelajari semua ilmu silat yang ada di dunia ini!
Kini ia mengerti dan
terbukalah matanya bahwa Bu Pun Su boleh disebut tokoh persilatan tertinggi
yang memiliki kepandaian maha hebat! Dengan kepandaiannya yang telah dapat
memecahkan semua rahasia pergerakan tangan dan kaki, maka menghadapi seorang
lawan yang bersilat bagaimana pun juga, Bu Pun Su dapat menirukan semua gerakan
itu dengan sama baiknya, biar pun ia belum pernah mempelajari ilmu silat ini,
oleh karena ia telah tahu akan pokok-pokok gerakannya!
Tentu saja, sesudah dapat
mengetahui sifat dan pokok gerakan lawan, mudah saja untuk menghadapinya. Akan
tetapi, pengertian saja masih belum merupakan syarat untuk dapat mengalahkan
lawan itu, masih ada dua hal yang terpenting yang harus dimilikinya, yaitu
kecepatan dan tenaga!
Oleh karena ini, di samping
mempelajari pokok-pokok rahasia gerakan silat, Cin Hai juga mendapat latihan
ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat dirinya bisa bergerak gesit bagaikan
seekor burung walet dan latihan lweekang dan khikang yang membuatnya mempunyai
tenaga dalam yang hebat dan dapat menghadapi kekuatan lawan yang kasar mau pun
halus.
Juga untuk latihan ginkang,
lweekang ataupun khikang, Bu Pun Su mempunyai cara yang khusus dan istimewa,
karena dia memberi pelajaran dasar dan pokoknya. Menurut kakek jembel yang luar
biasa dan aneh ini, tenaga-tenaga ginkang, lweekang mau pun khikang berpusat
pada pusar di mana menjadi tempat tiantan yang mengatur semua tenaga gaib yang
tersembunyi dalam diri manusia.
Oleh karena ini, maka
latihan-latihan yang diberikan kepada muridnya itu hanya ditujukan untuk
memperkuat daya tiantan ini dengan jalan bersemedhi dan mempertebal iman. Jika
iman manusia kuat dan tebal, dan batin yang disebutnya ‘bunga api dari Tuhan’
menjadi bersih, seimbang dan tidak mudah goyah, maka tenaga dalam akan menjadi
kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh segala macam nafsu yang hanya akan
melemahkan tubuh dan batin.
Cin Hai mempunyai dasar-dasar
serta bakat yang baik, maka tanpa banyak mengalami kesukaran ia dapat menangkap
pelajaran yang diberikan oleh suhu-nya sehingga Bu Pun Su merasa girang sekali.
Waktu berjalan cepat sekali
dan tanpa terasa lagi Cin Hai sudah menerima gemblengan dan latihan selama tiga
tahun! Usianya telah delapan belas tahun dan dia sekarang telah menjadi seorang
pemuda dewasa yang bertubuh tinggi dan tegap dengan wajah tampan dan gagah.
Akan tetapi sinar matanya yang jujur itu masih saja nampak bodoh, ada pun
mukanya yang lebar tidak mengurangi ‘tampang bodohnya’!
“Cin Hai,” kata gurunya pada
suatu hari, “kini kau sudah dapat menangkap inti sari dari pada ilmu silat dan
agaknya kau tentu akan dapat menghadapi ilmu silat yang bagaimana pun juga.
Akan tetapi, kau juga maklum bahwa ilmu ini hanya dapat digunakan pada saat
menghadapi seorang lawan dan sama sekali tidak dapat digunakan untuk memamerkan
kepandaian. Kau hanya bisa menjatuhkan seorang lawan apa bila diserang. Karena
kau tidak belajar cara melakukan serangan. Ini baik sekali, muridku, dan
ketahuilah bahwa aku sendiri pun selama hidup belum pernah menyerang orang. Aku
hanya bergerak apa bila diserang. Tahukah kau? Kau mengerti dan hafal akan
ujar-ujar yang baik, maka kau pakailah ujar-ujar itu sebagai pedoman dan jangan
kau menyombongkan kepandaianmu! Karena itu, julukan ‘Pendekar Bodoh’ harap kau
pakai untuk selamanya. Bukankah ada ujar-ujar yang berkata bahwa orang yang
sesungguhnya pintar adalah dia yang insyaf akan kebodohan sendiri?”
Cin Hai mengerti dengan baik
akan maksud suhu-nya ini sebab semenjak berlatih ilmu di dalam Goa Tengkorak
itu makin terbukalah matanya akan rahasia-rahasia hidup. Kini dia tahu akan
maksud suhu-nya yang dahulu memperingatkan bahaya yang akan ada dalam
hubungannya dengan Ang I Niocu. Ia maklum bahwa bahaya itu adalah ‘cinta’ yaitu
cinta dari pihak Ang I Niocu yang usianya jauh lebih tua dari padanya. Kalau
dara itu sampai tergoda cinta padanya sedangkan perjodohan di antara mereka tak
dapat dilangsungkan, bukankah hal ini akan merupakan siksa dan derita bagi Ang
I Niocu?
Ia sendiri masih merasa suka
dan rindu kepada Ang I Niocu, akan tetapi perasaannya ini hanyalah perasaan
kasih seorang adik terhadap kakaknya, atau kalau mau disebut lebih lagi,
seperti kasih seorang anak kepada ibunya. Akan tetapi, siapa tahu isi hati Dara
Baju Merah itu? Ia diam-diam bergidik dan menaruh hati iba terhadap Ang I
Niocu.
Pernah ia bertanya pada
suhu-nya akan segala peristiwa yang terjadi di Goa Tengkorak itu dan mengapa
banyak tokoh persilatan menyerbu ke situ. Bu Pun Su tersenyum dan menceritakan
seperti berikut,
“Goa ini dahulu dibuat oleh
seorang menteri Kerajaan Tang yang bernama Lu Pin. Ketika Raja Hian Tiong
mengangkat seorang Tartar bernama An Lu Shan menjadi panglima, hal ini tidak
disetujui oleh Menteri Lu Pin karena menteri yang waspada ini maklum akan
bahayanya mengangkat seorang asing menjadi panglima yang menguasai tentara.
Akan tetapi nasehatnya itu tidak dipedulikan oleh kaisar. Akhirnya, sesudah
Panglima Tartar ini menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan
di Hopei, lalu memberontak dengan tentara sejumlah lima belas laksa orang dan
memukul ke selatan!
Kaisar yang tidak becus
mengurus pemerintahan ini tak berdaya karena semua pejabat dan panglimanya
hanya mengutamakan kesenangan dan pelesir saja sehingga dengan mudah barisan
kerajaan dapat dimusnahkan oleh An Lu Shan.
Kaisar sendiri kemudian
mengungsi ke Secuan, ada pun ibu kota lalu diduduki oleh An Lu Shan. Semenjak
itu, di mana-mana seluruh rakyat bangkit melakukan perlawanan secara
bergerilya.
Lu Pin sendiri yang merasa
sangat menyesal dan kecewa lalu melarikan diri karena dia dicari-cari oleh An
Lu Shan untuk dibunuh. Seluruh keluarganya terbunuh dan hanya dia sendiri yang
dapat melarikan diri ke daerah ini.
Lu Pin adalah seorang
terpelajar yang memiliki kepandaian seni ukir yang tinggi. Setelah menemukan
goa ini dan memperbaikinya sehingga menjadi sebuah tempat tinggal yang besar
dan aman, dia kemudian mengumpulkan tulang-tulang binatang besar yang banyak
terdapat di goa ini, yakni peninggalan dari jaman purba, lalu dengan
kepandaiannya dia membuat tulang-tulang binatang yang besar itu menjadi
tengkorak-tengkorak seperti yang berdiri berderet-deret itu!
Jangan dikira bahwa itu
benar-benar tengkorak-tengkorak manusia, semua itu hanyalah tulang-tulang
binatang yang diukir kemudian dibentuk sebagai kerangka manusia! Dari sini
dapat dibayangkan betapa hebatnya keahlian seni ukir menteri she Lu itu!
Di dalam pelariannya itu Lu
Pin berhasil membawa banyak barang-barang berharga dari dalam istana, karena
dia khawatir kalau-kalau barang-barang itu terjatuh ke dalam tangan musuh. Dan
karena ini pulalah maka An Lu Shan mencari-cari menteri yang setia itu.
Akan tetapi ternyata, berkat
pertolongan tengkorak-tengkorak ini yang dipasang di depan dan di dalam goa,
tidak ada tentara pemberontak yang berani memasuki goa dan Lu Pin selamat serta
tinggal di sini sampai datang hari ajalnya dan oleh kawan-kawan senasib ia
dikubur di bawah hiolouw itu.
Kemudian hal ini akhirnya
dapat diketahui oleh tokoh kang-ouw dan mereka menyerbu ke sini. Akan tetapi
mereka tidak menyangka bahwa di dalam goa ini terlebih dahulu sudah tinggal
seorang yang tidak mereka sangka-sangka, yaitu keturunan dari Lu Pin sehingga
usaha mereka gagal!
Cin Hai mendengarkan cerita
ini dengan rasa heran. “Suhu, siapakah keturunan dari Lu Pin yang bernasib
malang itu?”
Bu Pun Su tersenyum. “Masih
belum dapat mendugakah kau, anak bodoh? Siapa lagi kalau bukan Suhu-mu
sendiri?”
Dengan terharu Cin Hai lalu
berlutut di hadapan suhu-nya. Tidak tahunya bahwa kakek jembel ini adalah
keturunan seorang menteri di jaman ahala Tang yang bershe Lu?
“Tetapi sebenarnya usaha para
tokoh kang-ouw itu sia-sia belaka. Harta benda itu telah lama tidak berada di
sini pula dan sudah digunakan oleh Lu Pin untuk membiayai usaha perjuangan para
patriot yang melakukan perlawanan gigih terhadap pemberontakan An Lu Shan. Yang
tertinggal hanyalah sebatang pedang kuno dan inilah barang itu!”
Bu Pun Su lalu memberikan
pedang kuno itu kepada Cin Hai. Pedang itu biar pun buruk rupanya dan sudah tua
sekali, akan tetapi masih berkilauan dan sangat tajam. Di dekat gagangnya
terukir dua huruf, yaitu LIONG COAN. Inilah Liong-coan-kiam yang termasyur dan
yang dulu pernah menjadi pedang pusaka Kerajaan Tang itu.
“Pedang ini kuberikan
kepadamu, muridku.”
“Akan tetapi, Suhu. Untuk
apakah teecu diberi pedang ini? Bukankah pedang ini hanya akan menjadi alat
pembunuh dan melukai sesama manusia belaka? Bukankah dulu Suhu pernah berkata
bahwa pedang tak pantas berada di tangan seorang pendekar gagah dan hanya
pantas dibawa-bawa oleh seorang algojo atau pembunuh?”
Bu Pun Su tersenyum. “Bagus,
Cin Hai, kau ternyata masih ingat akan semua nasehatku. Akan tetapi, sebenarnya
bukan pedang yang harus disalahkan dalam soal pembunuhan, akan tetapi orang
yang memegangnya. Segala benda di dunia ini mempunyai sifat sama, dan semuanya
sempurna. Buruk atau pun baik hanyalah terjadi karena akibat dari pada
perbuatan orang dan hanya merupakan pandangan seseorang terhadap benda itu.
Kalau pedang ini dipergunakan untuk maksud baik, maka dia menjadi pusaka
keramat, akan tetapi kalau dipergunakan untuk maksud buruk, ia berubah menjadi
senjata laknat!”
Setelah Cin Hai menerima
pedang Liong-coan-kiam itu, Bu Pun Su lalu berkata kembali, “Sekarang sudah
waktunya kau pergi meninggalkan goa ini, Cin Hai. Ingatlah baik-baik semua
pelajaranmu di sini dan pesanku terakhir ini: Jangan sembarangan menjatuhkan
tangan kejam kepada sesama manusia. Bila terpaksa kau harus membinasakan
seorang lawan, maka lawanmu itu haruslah seorang yang telah melanggar tiga
pantangan besar, pertama membunuh orang tidak berdosa, ke dua melanggar
kesusilaan dan mengganggu anak bini orang, dan ke tiga pengkhianat-pengkhianat
yang sudah mengkhianati bangsa sendiri. Apa bila sekiranya masih ada jalan
lain, terhadap mereka ini pun janganlah kau sembarangan membunuh karena
mengambil nyawa bukanlah pekerjaan orang!”
Cin Hai lalu berlutut dan
menghaturkan terima kasih lalu pergi meninggalkan goa di mana telah tiga tahun
ia tinggal dan mempelajari ilmu dari Bu Pun Su, kakek jembel yang lihai itu.
Ketika meninggalkan Goa
Tengkorak, suhu-nya telah memberinya sekantung emas murni sehingga Cin Hai
tidak kuatir mengenai biaya perjalanannya. Tujuan perjalanannya hanya dua
macam, pertama mencari Ang I Niocu, dan ke dua hendak kembali ke Tiang-an buat
menemui ie-ienya.
Walau pun dia sama sekali
tidak mempunyai niat hendak bertemu muka kembali dengan ie-thio-nya, yaitu
Kwee-ciangkun, akan tetapi dia tak dapat melupakan ie-ie-nya dan ingin sekali
ia menengok bibinya itu. Di dalam dunia ini, selain suhu-nya hanya ada Ang I
Niocu dan bibinya yang menempati hatinya dan merupakan orang-orang yang
dikasihinya…..
********************
Beberapa pekan kemudian
tibalah dia di daerah utara Sungai Huang-ho dan pada suatu hari ketika dia
sedang berjalan di dalam sebuah hutan pohon pek yang indah, tiba-tiba dia
mendengar suara orang bertempur. Cin Hai mempercepat tindakan kakinya dan di
suatu tempat terbuka dia melihat empat orang sedang bertempur hebat sekali.
Cin Hai segera bersembunyi di
balik sebatang pohon besar sambil mengintai dan ketika dia memandang dengan
penuh perhatian, terkejutlah ia karena ia dapat mengenal muka seorang di antara
mereka. Orang ini tak salah lagi tentu pamannya, Kwee-ciangkun atau Kwee In
Liang!
Biar pun muka pamannya telah
berubah kurus dan rambutnya sudah banyak uban, tetapi Cin Hai tidak pangling
melihat wajahnya. Ia heran sekali kenapa pamannya mengenakan pakaian petani
biasa!
Kwee In Liang sedang bertempur
melawan seorang perwira Sayap Garuda yang berbaju putih, tanda pada pinggir
pakaiannya menyatakan bahwa dia adalah seorang tingkat tiga, sehingga lagi-lagi
Cin Hai merasa sangat heran. Mengapa pamannya yang juga seorang panglima,
bertempur melawan perwira istana kaisar? Aneh sekali!
Kemudian ia memperhatikan
orang yang menjadi kawan pamannya, yang juga bertempur dengan hebatnya. Orang
ini adalah seorang gadis muda yang memiliki kepandaian silat, gesit dan hebat,
bahkan dengan sekali pandang saja tahulah Cin Hai bahwa kepandaian gadis muda
ini jauh melebihi kepandaian Kwee-ciangkun sendiri.
Gadis ini mengenakan pakaian
yang atasnya berwarna hijau muda sedang bagian bawah bergaris-garis merah dan
putih. Tubuhnya kecil dan ramping, dan wajahnya manis sekali. Rambutnya dikuncir
dua dan rambut itu panjang dan hitam, diikat dengan sepasang pita merah. Kedua
lengan tangannya yang telanjang karena lengan bajunya hanya sampai di siku,
memakai gelang emas yang berkilauan.
Dara manis ini bertempur
melawan seorang perwira Sayap Garuda tingkat satu yang berkepandaian hebat
sekali! Cin Hai menduga-duga, siapa adanya dara jelita yang walau pun berusia
muda tetapi berkepandaian setinggi itu? Dia lalu memperhatikan lawan gadis itu
yang mengenakan baju merah kehitam-hitaman.
Ia menjadi terkejut karena
kepandaian perwira Sayap Garuda tingkat satu ini benar-benar lihai dan barang
kali tidak berada di bawah kepandaian Kanglam Sam-lojin! Ilmu silatnya model
Mongol, yaitu ilmu pukulan yang dicampur dengan ilmu gulat. Dua lengan tangan
perwira baju merah ini merupakan cengkeraman harimau yang menyerang dengan
buas. Gadis manis itu nampak terdesak hebat!
Sebaliknya, Kwee-ciangkun
dengan ilmu silatnya dari cabang Kun-lun, mampu mendesak lawannya yang hanya
menduduki tingkat tiga di kalangan barisan Sayap Garuda. Lambat tetapi tentu ia
mendesak lawannya sehingga pada suatu saat yang baik, ketika lawannya
menggunakan gerakan nekad menubruk hingga berhasil menangkap lengan tangannya,
Kwee-ciangkun cepat memutar lengan dan tubuhnya berada di belakang tubuh
perwira itu.
Sekali saja ia mengentakkan
lengannya yang tertangkap, maka terlepaslah cengkeraman lawannya sehingga
perwira itu pun terhuyung-huyung ke depan. Kwee-ciangkun tak ingin
menyia-nyiakan kesempatan ini dan ia lalu menangkap baju perwira itu di
punggung dan siap melemparkannya!
Pada saat Kwee-ciangkun
berhasil menangkap lawannya, ternyata perwira baju merah itu pun telah berhasil
pula mengalahkan dara itu! Ia menggunakan gerakan Ular Menyambar dari Bawah
Rumput dan berhasil menotok jalan darah dara muda itu dengan tiam-hoat (ilmu
totok) model Mongol akan tetapi cukup lihai hingga berhasil membuat lawannya
tak berdaya! Melihat betapa kawannya telah tertangkap oleh Kwee-ciangkun, maka
Perwira Sayap Garuda kelas satu itu lalu memegang pundak gadis tadi dan hendak
dilarikannya!
“Keparat she Boan, jangan kau
ganggu anakku!” Kwee-ciangkun membentak dan segera melemparkan perwira yang
telah dikalahkannya tadi. Ia pun lantas memburu.
Pada waktu mendengar betapa
Kwee-ciangkun menyebut dara itu sebagai anaknya, Cin Hai yang mengintai di
balik sebatang pohon menjadi tercengang dan memandang lebih memperhatikan. Maka
setelah melihat wajah manis itu teringatlah bahwa gadis itu bukan lain ia Kwee
Lin atau Lin Lin anak perempuan yang dulu diculik oleh Biauw Suthai!
Hampir saja Cin Hai berseru
memanggil nama Lin Lin karena girangnya. Entah mengapa ketika melihat wajah
Kwee-ciangkun tadi, ia tidak mempunyai niat untuk membantu atau menjumpainya,
akan tetapi kini sesudah tahu bahwa dara muda itu adalah Lin Lin, anak
perempuan yang dahulu sangat jenaka dan nakal itu, timbullah kegembiraan luar
biasa di dalam hatinya.
Untung tadi ia dapat menahan
lidahnya dan kini ia memandang dengan penuh perhatian. Ketika melihat
Kwee-ciangkun bergerak menyerang untuk menolong Lin Lin, perwira baju merah itu
segera mendahului dengan serangan kakinya sehingga Kwee-ciangkun kena tersapu
oleh kaki itu dan tubuhnya terlempar! Ternyata bahwa Kwee-ciangkun bukanlah lawan
perwira yang kosen ini.
“Ha-ha-ha! Orang she Kwee, aku
hendak membawa puterimu, kau mau apa? Kau tolak pinanganku yang kuajukan dengan
halus, baik! Sekarang aku menggunakan cara kasar, lihat, kau bisa berbuat apa?”
Sehabis berkata demikian, ia lalu memondong tubuh Lin Lin hendak dibawa kabur!
Akan tetapi tiba-tiba dari
balik pohon menyambar tiga buah benda kecil ke arah perwira itu! Orang she Boan
ini memang lihai, maka dia cepat mengelak sambaran pertama yang mengarah
lehernya itu dengan miringkan tubuh ke kiri, akan tetapi benda ke dua sudah
cepat menyambar tepat ke arah pundak kirinya. Hampir saja benda itu mengenai
sasaran akan tetapi perwira ini masih dapat menyelamatkan diri dengan
merendahkan tubuhnya. Sungguh tak pernah diduganya bahwa baru saja tubuhnya
merendah, tanpa dapat dikelit pula benda ke tiga telah menyambar pundak
kanannya!
Dia tidak merasa sakit karena
benda yang menyambarnya itu lunak, akan tetapi karena yang disambar adalah urat
penting di bagian pundaknya, maka lengannya menjadi lemas kesemutan sehingga
dia terpaksa melepaskan tubuh Lin Lin.
Dan pada saat yang sama,
kembali melayang dua benda lunak itu ke arah pundak dan lambung Lin Lin dan
sekaligus Lin Lin terlepas dari totokan perwira itu oleh dua sambaran benda
lunak tadi. Lin Lin yang merasa sudah terbebas cepat melompat ke samping dan
menolong ayahnya yang ternyata mendapat luka ringan di kakinya karena babatan
kaki perwira she Boan itu tadi.
Perwira itu merasa kaget
sekali saat melihat bahwa benda yang menyambarnya hanyalah sebutir buah kecil
bulat yang banyak bergantungan di pohon besar yang ada di depannya itu, dan dia
maklum bahwa tentu ada seorang pandai yang mempermainkannya. Ia tahu bahwa
penyerang itu tentu berada di balik pohon besar, maka sekali ini ia menggerakkan
tubuh, ia telah meloncat ke belakang, pohon itu mencari.
Tetapi aneh, di sana tidak
terdapat seorang pun! Ia celingukan dan mencari-cari dengan matanya, akan
tetapi sia-sia saja. Keadaan di hutan itu sunyi dan tak terdapat orang lain
kecuali mereka berempat!
“Orang she Kwee!” kata perwira
itu marah. “Kali ini aku ampunkan kau, tetapi tunggulah kedatanganku pada pesta
ulang tahunmu untuk memberi selamat!”
Kwee-ciangkun tidak tahu bahwa
gadisnya telah tertolong oleh orang lain dan menyangka bahwa benar-benar orang
she Boan itu berlaku murah, maka ia lalu berkata,
“Boan-enghiong, kenapa kau
masih saja merasa penasaran? Ketahuilah, bahwa anakku ini bukan jodohmu dan
semenjak kecil telah kupertunangkan dengan orang lain!”
“Tidak perlu merundingkan hal
ini sekarang,” jawab perwira itu, ”Nanti saja di pesta ulang tahunmu. Kita
berunding kembali dengan baik-baik.”
Sesudah berkata demikian,
perwira itu mengajak kawannya pergi dari situ dengan cepat. Kwee In Liang
menghela napas dan berkata kepada Lin Lin,
“Baiknya dia berlaku murah
hati dan tidak mau mengganggu kita.”
Lin Lin memandang kepada
ayahnya dan menjawab, “Ayah, kau tidak tahu. Apa bila tidak ada orang pandai
yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan kita.”
Ia lalu menceritakan betapa ia
telah dibebaskan dari totokan dengan sambitan dua butir buah angcho, sedangkan
perwira she Boan itu pun sudah kena diserang sambaran buah angcho yang lihai!
“Sayang, orang pandai itu
menolong dengan sembunyi-sembunyi, agaknya dia tidak mau berkenalan dengan kita,”
kata Lin Lin dengan kecewa, karena sebenarnya dia ingin sekali melihat siapa
orangnya yang demikian lihai.
Mendengar ucapan puterinya,
Kwee In Liang terkejut sekali dan cepat ia berseru dengan suara keras,
“Enghiong yang telah membantu
kami, silakan keluar agar kami dapat menyatakan terima kasih kami!”
Akan tetapi biar pun telah
berkali-kali ia berseru, tak seorang pun muncul atau menjawab.
“Sudahlah, Ayah. Agaknya dia
benar-benar tidak mau bertemu muka dengan kita. Ayah, bangsat itu agaknya masih
merasa penasaran dan dia telah menyatakan hendak datang nanti pada hari ulang
tahunmu. Kurasa dia tidak mempunyai maksud baik, karena itu kita harus
berhati-hati dan berjaga-jaga.”
Kwee In Liang menghela napas.
“Kau benar, memang Boan Sip itu kurang ajar sekali. Tapi aku masih ragu-ragu
apakah ia akan bersikap begitu kurang ajar untuk menimbulkan gara-gara dan
mengacau dalam pestaku.”
”Orang macam itu mungkin
melakukan segala perbuatan busuk, Ayah. Baiknya aku pergi untuk minta
pertolongan Guruku. Akan tetapi, Ayah... apa yang kau maksudkan dengan
kata-katamu tadi bahwa... bahwa aku sudah... dipertunangkan...?” Tiba-tiba
wajah gadis manis itu menjadi merah karena malu.
Ayahnya tersenyum. Ia memang
tahu bahwa anaknya ini selain manja juga suka berkata terus terang sehingga
tidak malu-malu bertanya tentang hal pertunangan.
“Tidak, Lin Lin, itu hanya
alasan kosong untuk mencegah dia mendesak lebih jauh.”
“Ayah, mengapa kau menggunakan
alasan itu? Tidak perlu kiranya kita terlalu takut!” kata Lin Lin dengan gemas.
“Kalau Guruku atau suci-ku dapat kuajak datang membantu, aku akan mengajar adat
kepada bangsat rendah itu!”
Sambil bercakap-cakap mereka
melanjutkan perjalanan keluar dari hutan itu. Pada saat mereka sampai di luar
hutan, tiba-tiba dari jauh mereka melihat seorang pemuda berjalan mendatangi.
Pemuda itu berjalan perlahan
sambil membawa sebuah bungkusan pakaian yang terbuat dari pada kain berwarna
kuning. Pakaiannya sederhana bagaikan pakaian seorang petani dengan baju luar
yang lebar dan besar. Tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam tebal itu
diikat dengan kain pita kuning. Jubahnya berwarna biru dan celananya putih.
Kwee In Liang memandang pemuda
yang datang itu dengan penuh perhatian karena dia seakan-akan merasa sudah
kenal pada pemuda ini, sedangkan Lin Lin hanya mengerling sekali tanpa
perhatian. Akan tetapi, ketika pemuda itu telah berada di hadapan mereka,
tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut dan berdiri diam, lalu ia menjura di
hadapan Kwee In Liang sambil berkata,
“Maaf maaf! Bukankah aku
sedang berhadapan dengan Kwee-ciangkun?”
Kwee In Liang memandang tajam.
Juga Lin Lin kini memandang penuh perhatian kepada pemuda ini.
“Betul, aku adalah Kwee In
Liang, dan siapakah Tuan yang telah mengenal padaku?”
Tiba-tiba pemuda itu melepaskan
buntalan pakaiannya kemudian memberi hormat sambil menjura,
“Ie-thio, terimalah hormatku.
Aku yang rendah adalah Cin Hai!”
“Cin Hai... ?” Kwee In Liang
berseru terkejut, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar dingin.
“Engko Hai...!” Lin Lin berteriak
girang sekali. “Ehh, kau sekarang tidak gundul lagi!”
Mendengar kata-kata yang lucu
ini, Cin Hai memandang dan ia tidak dapat menahan geli hatinya sehingga dia
tertawa gembira. Juga Lin Lin tertawa senang sambil memandang dengan sepasang
matanya yang bening dan indah seperti mata burung Hong itu.
“Engko Hai, bertahun-tahun ini
kau pergi ke mana saja?” tanya Lin Lin.
“Aku... aku hanya merantau tak
tentu arah tujuan. Bagaimana Ie-thio, apakah selama ini Ie-thio dan seluruh
keluarga baik-baik saja? Harap Ie-thio sudi memaafkan aku yang telah lama tidak
dapat menghadap.”
“Tidak apa, tidak apa-apa. Cin
Hai, kau sekarang sudah besar dan dewasa. Agaknya kau telah mendapatkan banyak
kemajuan, syukurlah.” kata-kata ini amat sederhana sehingga Cin Hai maklum
bahwa pamannya ini masih saja tidak suka kepadanya, maka dia pun tidak banyak
bicara, hanya berkata singkat,
“Sebenarnya, aku pun hendak
pergi ke Tiang-an dan mengunjungi Ie-ie. Apakah ia dalam keadaan baik-baik
saja?”
“Dia sehat dan selalu merindukanmu,
Engko Hai. Tetapi, kami sekarang tidak lagi tinggal di Tiang-an, telah hampir
tiga tahun Ayah pindah ke Sam-hwa-bun. Tahukah kau, Engko Hai? Ayah sekarang
tidak menjabat pangkat lagi dan kini kami telah menjadi orang-orang biasa yang
hidup sebagai petani!”
Berita ini betul-betul tak
terduga oleh Cin Hai. Ia memandang kepada Ie-thio-nya dengan mata terbelalak
dan mengandung penuh pertanyaan. Akan tetapi, Kwee In Liang malah menegur
puterinya.
“Lin Lin, hal itu tak perlu
kita bicarakan di sini. Cin Hai, sekarang kau hendak ke mana?”
Ucapan ini bukanlah merupakan
sebuah undangan, karena itu Cin Hai juga tidak hendak merendahkan diri sehingga
dia menjawab,
“Aku hendak pergi ke Tiang-an,
akan tetapi karena Ie-thio tidak tinggal di sana lagi, aku... aku akan
melanjutkan perantauanku...”
“Ehh, Hai-ko, kau harus
mengunjungi kami. Alangkah akan girangnya hati lbu!” Memang anak-anak Kwee In
Liang semua menyebut ibu kepada Loan Nio bibi Cin Hai.
Karena tiada ucapan dari orang
tua itu yang mengundangnya, Cin Hai hanya menjawab sederhana, “Baiklah, Adik
Lin. Kalau kebetulan aku lewat di Sam-hwa-bun tentu aku akan mampir.”
“Kebetulan? Ah, Engko Hai,
apakah kau betul-betul telah melupakan Bibimu, melupakan kami? Oh, ya! Nanti
pada hari ke lima belas bulan ini, jadi sepuluh hari lagi, kami akan mengadakan
sedikit perayaan untuk memperingati hari ulang tahun ayah yang ke enam puluh.
Kau harus datang menghadiri pesta itu, Engko Hai!”
“Apakah ini merupakan sebuah
undangan?” tanya Cin Hai sambil memandang kepada Kwee In Liang sehingga
terpaksa orang tua ini berkata,
“Benar, Cin Hai, kau
datanglah. Bibimu telah lama mengenangmu. Lin Lin, sudahlah kita jangan
mengganggu Cin Hai lebih lama lagi! Ia tentu mempunyai keperluan penting. Hayo
kita pergi!”
Maka berpisahlah mereka,
tetapi sekali lagi Lin Lin berpaling sambil berkata keras-keras, “Engko Hai,
jangan lupa hari ke lima belas, dan... kau masih pandai bersuling, bukan?
Jangan lupa bawa serta sulingmu!”
Setelah mereka pergi jauh, Cin
Hai duduk di bawah pohon sambil mengenangkan kedua orang tadi. Jelas bahwa Kwee
In Liang masih mempunyai perasaan tidak suka padanya. Sikap orang tua itu
sungguh dingin hingga ia segan sekali untuk mengunjungi rumahnya.
Akan tetapi Lin Lin
mendatangkan perasaan gembira dan hangat di dalam dadanya. Dara itu sekarang
sungguh cantik jelita dan manis sekali! Dan sikapnya masih sama seperti dulu.
Lincah, jenaka dan gembira. Alangkah indahnya mata gadis itu.
Dan kepandaiannya juga tidak
rendah. Pantas Lin Lin menjadi murid Biauw Suthai yang lihai. Diam-diam ia
bersyukur dan girang sekali melihat bahwa gadis itu telah mewarisi kepandaian
yang tinggi.
Haruskah ia datang pada hari
ke lima belas nanti? Sikap Kwee In Liang demikian dingin, apa lagi nanti sikap
Kwee Tiong dan yang lain-lain. Bagaimana kalau ia tidak dilayani dan dianggap
sepi?
Akan tetapi, ia harus melihat
ie-ie-nya yang sudah lama ia rindukan. Biarlah, biar mereka menghina atau
menganggap rendah kepadanya, karena dia tidak butuh dengan mereka. Di sana
masih ada bibinya, juga ada Lin Lin yang tentu akan menyambut kedatangannya
dengah tamah. Dan yang lebih penting pula, pada hari ke lima belas itu, Lin Lin
terancam bahaya!
Perwira she Boan itu akan
datang mengacau dan melihat kepandaian perwira itu tadi, agaknya sukar bagi Lin
Lin untuk menyelamatkan diri. Dia harus datang, dan hanya akan melihat-lihat
saja dulu. Kalau Lin Lin berhasil memperoleh bantuan gurunya dan lain-lain
orang pandai, dia hanya akan menjadi penonton saja. Akan tetapi apa bila sampai
gadis manis itu terancam bahaya, mau tidak mau dia terpaksa harus turun tangan!
Cin Hai lalu berdiri dan
melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran sekali kenapa wajah Lin Lin yang
manis itu selalu membuat ia tersenyum gembira. Akan tetapi, pada saat dia
teringat akan kata-kata Kwee In Liang bahwa Lin Lin sudah ditunangkan dengan
pemuda lain, tiba-tiba ia merasa kecewa dan tidak senang, heran sekali!
Diam-diam Cin Hai menegur
perasaannya sendiri yang tidak layak ini. Seharusnya ia ikut gembira mendengar
akan pertunangan Lin Lin, mengapa ia harus merasa tidak senang? Ada hak apakah
dia? Pikiran ini membuat hatinya menjadi dingin kemudian dia berusaha sekuatnya
untuk mengusir bayangan wajah Lin Lin dari pikirannya, akan tetapi dia tidak
berhasil!
Dia lalu melayangkan pikirannya
kepada Ang I Niocu. Telah tiga tahun dia tidak bertemu dengan Dara Baju Merah
yang telah berlaku baik sekali kepadanya itu. Ia rindu kepada Ang I Niocu dan
ingin sekali bertemu kembali. Bu Pun Su dulu menyuruh Ang I Niocu mencari
suci-nya, yaitu Kim Lian atau yang dijuluki Giok-gan Kuibo Si Biang Iblis
Bermata Intan.
Hari ke lima belas masih
sepuluh hari lagi dan selama sepuluh hari itu dia akan mencoba mencari Ang I
Niocu. Dia masih ingat bahwa Ang I Niocu disuruh pergi ke Lok-bin-si, sebuah
kota yang letaknya tidak jauh dari situ. Untuk pergi ke sana pulang pergi,
paling lama hanya membutuhkan waktu lima hari, masih ada waktu baginya.
Maka, dengan hati tetap Cin
Hai lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke Lok-bin-si, yaitu sebuah kota di
lereng pegunungan yang banyak hutannya…..
********************
Setelah menerima perintah dari
Susiok-couw-nya, Ang I Niocu pergi mencari suci-nya ke Lok-bin-si. Akan tetapi,
ketika ia tiba di situ, ia mendengar bahwa Giok-gan Kui-bo telah lama pergi
meninggalkan daerah itu dan kabarnya merantau ke arah barat.
Sebenarnya Ang I Niocu ingin
lekas-lekas kembali ke Goa Tengkorak karena semenjak meninggalkan tempat itu,
hatinya tertinggal di sana bersama Cin Hai, pemuda yang telah merebut seluruh
isi hatinya itu. Akan tetapi ia tidak berani kembali dan bertemu dengan
susiok-couw-nya sebelum bertemu dengan suci-nya. Ia maklum bahwa
susiok-couw-nya itu sangat bengis, keras dalam hal memberi tugas. Sebelum tugas
itu diselesaikan, maka ia tidak boleh kembali membuat laporan. Oleh karena ini,
dia segera menyusul ke barat, mencari suci-nya.
Daerah barat sangat luas
sehingga tak mudah mencari seorang yang tidak diketahui jelas di mana
tinggalnya, biar pun orang itu begitu terkenal seperti Giok-gan Kui-bo sekali
pun! Oleh karena ini maka Ang I Niocu merantau sampai dua tahun lebih belum
juga dapat bertemu dengan Giok-gan Kui-bo. Hatinya bingung dan sedih sekali.
Ia merasa amat rindu kepada
Cin Hai, akan tetapi apa dayanya? Pemuda itu sekarang berada dengan
susiok-couw-nya dan dia sekali-kali tidak berani menghadap Bu Pun Su sebelum
tugasnya selesai.
Oleh karena memang berwatak
baik, di sepanjang jalan Ang I Niocu tiada hentinya selalu mengulurkan tangan
menggunakan kepandaiannya untuk menolong mereka yang sedang menderita, membela
kaum tertindas serta membasmi para penjahat yang mengganas. Maka di daerah
barat namanya pun menjadi terkenal sekali.
Setelah dia tiba di sebuah
kota yang disebut Bok-chiu, akhirnya dia mendapat keterangan tentang nama
suci-nya. Kiranya suci-nya terkenal sekali di kota ini sebab dengan seorang
diri saja Giok-gan Kui-bo telah menghajar habis-habisan pada kawanan Piauwsu
Harimau Kuning yang terkenal sekali di kota Bok-chiu.
Pertempuran ini terjadi pada
saat para piauwsu itu bermusuhan dengan seorang piauwsu baru yang belum lama
membuka perusahaan piauwkiok (kantor pengirim barang) di kota itu. Memang
Oei-houw Piauwkiok terkenal mempunyai barisan yang terdiri dari jago-jago silat
berkepandaian tinggi dan karenanya ditakuti oleh semua orang di kota itu. Juga
para penjahat dan perampok yang biasa mencegat di hutan-hutan dan gunung-gunung
apa bila melihat bendera warna kuning dengan gambar kepala harimau, tidak ada
yang berani mengganggu.
Akan tetapi Oei-houw Piauwkiok
memasang tarip terlalu tinggi untuk biaya pengiriman dan pengawalan barang.
Oleh karena itu, pada waktu piauwsu yang baru itu membuka perusahaannya, para
saudagar yang hendak mengirimkan barang mulai mempercayakan barang-barangnya
kepada piauwsu yang bernama Ong Hu Lin itu. Hal ini membuat para piauwsu dari
Oei-houw Piauwkiok menjadi marah sekali dan terjadilah permusuhan.
Ong Hu Lin ialah seorang
piauwsu yang masih muda dan berwajah tampan. Ilmu silatnya lumayan juga dan ia
mempunyai ilmu golok yang lihai. Almarhum ayahnya juga seorang piauwsu yang
ternama di daerah barat dan dia hanya menggantikan kedudukan ayahnya oleh
karena tidak dapat mencari pekerjaan lain. Dengan mengandalkan kepandaiannya,
dia lalu mencari nafkah dengan mengawal barang-barang berharga dan mendapat
upah sekedarnya.
Pada suatu hari, Ong Hu Lin
mendapat kepercayaan dari hartawan Lui untuk mengawal kiriman segerobak cita
yang amat mahal harganya. Ketika melalui sebuah hutan, tiba-tiba dia diganggu
oleh kawanan perampok yang terdiri dari belasan orang.
Ong Hu Lin menghadapi kepala
rampok itu dan berkata, “Sahabat, harap kalian jangan mengganggu aku yang
sedang mencari nafkah. Kalau kalian menghargai persahabatan, maka sepulangku
dari tempat ke mana barang ini harus kukirim, aku akan singgah untuk memberi
hormat dan akan membawa sekedar barang hadiah sebagai tanda hormatku.”
Akan tetapi Ong Hu Lin sama
sekali tidak tahu bahwa perampok-perampok itu bukan lain adalah kaki tangan
para piauwsu di Oei-houw Piauwkiok yang sengaja menyewa tenaga mereka untuk
mengganggu Ong Hu Lin. Maka tentu saja kata-katanya itu ditertawakan saja oleh
kawanan perampok, dan kepala perampok yang tinggi besar itu membentak,
“Piauwsu hijau jangan banyak
cakap. Tinggalkan semua barang-barang ini di sini dan kau pergilah kalau kau
sayangi jiwamu. Orang macam kau tidak pantas menjadi piawsu, dan lebih baik kau
tutup saja perusahaanmu itu! Ha-ha-ha!”
Ong Hu Lin marah sekali.
Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya dan dia lalu dikeroyok. Akan
tetapi, ternyata bahwa kepandaian Ong-piauwsu cukup tangguh hingga tak lama
kemudian beberapa orang anggota perampok telah roboh mandi darah. Dengan ilmu
goloknya yang lihai ia dapat mendesak sekalian perampok itu.
Pada saat itu mendadak muncul
tiga orang yang membantu para perampok mengeroyok Ong-piauwsu dan mereka ini
bukan lain adalah para piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok! Ternyata kepandaian
ketiga orang piauwsu ini lihai juga dan sebentar saja Ong-piauwsu terdesak
hebat dan jiwanya terancam.
Pada saat itu terdengar suara
wanita tertawa yang terdengar halus merdu tapi mendirikan bulu tengkuk sebab
tak terlihat orangnya dan tahu-tahu berkelebat bayangan menyambar para
pengeroyok itu. Sebentar saja habislah para perampok berikut ketiga orang
piauwsu itu disapu oleh seorang wanita yang bergerak menari-nari dengan cepat
dan ganas.
Di mana saja tangan atau
kakinya menyambar, tentu seorang perampok akan terlempar dan bergulingan sampai
jauh! Akhirnya semua perampok lari tunggang langgang sambil membawa kawan-kawan
yang terluka.
Ong Hu Lin berdiri memandang
dengan kedua mata terbelalak. Ternyata yang menolong dirinya dengan kepandaian
luar biasa itu adalah seorang wanita cantik dengan sepasang mata genit dan liar
mengerling kepadanya. Mulut wanita itu tersenyum manis. Rambutnya yang hitam
panjang itu dibiarkan tergantung di punggungnya, bajunya berwarna hijau dan
celananya putih.
Ong Hu Lin sadar dari
keheranannya dan buru-buru dia menjura memberi hormat, “Lihiap yang gagah
perkasa, siauwte sungguh berhutang budi dan tidak tahu bagaimana harus
membalasnya.”
“Ong-piauwsu, janganlah kau
terlalu sungkan. Bukankah kita adalah orang-orang sekaum di kalangan kang-ouw
dan sudah seharusnya saling menolong?” Wanita itu menjawab dengan suaranya yang
merdu.
Ong Hu Lin terkejut.
“Bagaimana Nona bisa mengetahui namaku?”
“Bukankah kau Ong Hu Lin
piauwsu muda yang membuka perusahaan di Bok-chiu?” kata wanita itu yang
ternyata bukan lain ialah Giok-gan Kui-bo adanya. “Kebetulan sekali aku bertemu
dengan tiga orang Piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok itu dan mendengar mereka membicarakan
engkau. Mana bisa aku berpeluk tangan membiarkan saja mereka berlaku
sewenang-wenang?”
“Terima kasih banyak, Lihiap.
Tetapi siapakah nama Lihiap yang lihai bagai bidadari ini?”
Giok-gan Kui-bo mengerling
dengan gaya yang manis dan genit, lalu memandang wajah yang tampan itu dengan
tajam. “Namaku Kim Lian dan orang menyebut aku Giok-gan Lihiap (Pendekar Wanita
Bermata Intan).”
Melihat gerak-gerik dan lagak
wanita cantik ini, tahulah Ong Hu Lin bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita
yang genit, maka dia kemudian berlancang mulut berkata sambil tersenyum manis.
“Sungguh nama dan julukan yang
indah dan manis, sesuai benar dengan orangnya.”
Giok-gan Kui-bo berpura-pura
marah dan memandang dengan mata melotot, tapi bibirnya tetap tersenyum!
“Lihiap, harap kau jangan
kepalang menolong orang,” kata Ong Hu Lin.
“Apa maksudmu?”
“Sudah jelas bahwa diriku yang
tidak punya kawan ini dimusuhi oleh kawanan Oei-houw Piauwkiok yang terdiri
dari orang-orang pandai. Kalau tidak ada engkau yang lihai, Lihiap, tentu aku
telah binasa. Maka sudilah kau mengawani aku berjalan bersama-sama sampai di
tempat tujuan agar mereka itu tidak berani mengganggu lagi.”
“Kalau aku mau apakah
upahnya?” Kim Lian bertanya sambil tertawa genit.
“Apa pun yang kau minta,
Lihiap, biar jiwaku sekali pun akan kuberikan padamu,” jawab Ong Hu Lin yang
ternyata pandai bermain kata-kata.
Demikianlah semenjak saat itu
mereka berdua menjadi kawan baik yang tak terpisahkan lagi. Ketika Ong Hu Lin
bersama Kim Lan kembali ke Bok-chiu, mereka sudah ditunggu oleh kawanan piauwsu
dari Oei-houw Piauwkiok dan dikeroyok, tetapi semua piauwsu itu dengan mudah
saja dapat dihajar oleh Giok-gan Kui-bo! Akhirnya piauwsu-piauwsu itu
menyatakan takluk dan semenjak itu, Ong Hu Lin yang menjadi pemimpin piauwkiok
itu.
Sebaliknya, Giok-gan Kui-bo
tetap menjadi kawan baik Ong Hu Lin. Akan tetapi, karena memang sudah biasa
merantau dan tidak kerasan tinggal di dalam sebuah rumah dan mengurus rumah
tangga, Kim Lan lalu meninggalkan Ong Hu Lin dan membuat tempat tinggal sendiri
di dalam sebuah goa di gunung yang dekat dengan kota Bok-chiu. Goa ini dia
jadikan tempat beristirahat dan kadang-kadang saja dia pergi menemui Ong Hu Lin
di rumahnya.
Giok-gan Kui-bo sama sekali
tak pernah menyangka bahwa Ong Hu Lin sebetulnya telah memiliki seorang isteri!
Dan isterinya ini bukanlah seorang sembarangan karena isterinya ini adalah
Pek-bin Moli Si Iblis Wanita Muka Putih, yakni puteri tunggal dari Pek Moko!
Ong Hu Lin bertemu dengan Pek
Moko dan puterinya, kemudian Pek-bin Moli jatuh cinta kepadanya hingga akhirnya
dipaksa kawin dengan Pek-bin Moli. Sebetulnya bila melihat orangnya, setiap
pemuda pasti akan bersedia dengan senang hati untuk menjadi suami Pek-bin Moli
yang selain muda dan cantik, juga memiliki kepandaian silat tinggi, karena
dalam hal kepandaian silat, selain menerima pendidikan dari ayahnya, Pek Moko,
ia juga menerima pendidikan dari supek-nya, yaitu Hek Moko yang lihai!
Akan tetapi celakanya, Pek-bin
Moli yang cantik jelita ini berotak miring! Gadis ini menjadi gila karena suatu
penyakit panas hingga betapa pun cantiknya, akhirnya Ong Hu Lin tidak tahan
melihat keadaan isterinya dan menjadi jijik dan takut!
Oleh karena ini, maka pada
suatu hari Ong Hu Lin berhasil melarikan diri dan minggat dari isterinya yang
gila ini hingga akhirnya tiba di Bok-chiu dan bertemu dengan Giok-gan Kui-bo
yang walau pun kecantikannya tidak melebihi Pek-bin Moli, akan tetapi sikapnya
menarik hati dan tidak gila!
Suami yang meninggalkan
isterinya ini sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada saat itu, isterinya
yang gila sudah menyusulnya dan berhasil mengetahui tempat tinggalnya! Bahkan
isteri yang gila akan tetapi mewarisi kecerdikan ayahnya ini sudah mengetahui
pula akan perhubungannya dengan Giok-gan Kui-bo! Kalau saja ia tahu, tentu ia
akan lari pergi karena sebenarnya dia takut setengah mati kepada isterinya ini
dan sudah maklum akan kepandaian isterinya yang lihai sekali.
Maka pada suatu malam, ketika
Ong Hu Lin dengan enaknya tidur di dalam kamarnya, tahu-tahu jendela kamarnya
terbuka dari luar dan terdengar suara yang sangat dikenal dan ditakutinya
memanggilnya. Ong Hu Lin membuka matanya dan ia menggosok-gosok mata karena
mengira bahwa ia sedang bermimpi.
Ternyata bahwa sambil
tersenyum-senyum manis tetapi dengan sepasang mata bersinar menakutkan, di
depan pembaringannya telah berdiri Pek-bin Moli, isterinya yang berotak miring
itu! Pek-bin Moli memakai baju kotak-kotak lucu sekali dan celananya berwarna
kuning gading.
“Kau...?!” Ong Hu Lin berseru.
“Hi-hi-hi, kau sudah rindu
kepadaku, suamiku yang manis?” Pek-bin Moli tertawa sambil menghampiri hingga
diam-diam Ong Hu Lin menggigil ketakutan. “Hayo kau beritahukan padaku di mana
adanya sundal yang menjadi kekasihmu itu?”
“Sia... siapa... yang kau...
kau maksudkan...?” Ong Hu Lin bertanya gagap.
“Hi-hi-hi-hi, siapa lagi kalau
bukan Giok-gan Kui-bo? Hayo kau lekas turun dan antar aku menemuinya. Atau
haruskah aku menggunakan paksaan?”
Biar pun suara isterinya
terdengar merdu sekali, akan tetapi sinar matanya mengeluarkan ancaman hebat
sehingga mau tidak mau Ong Hu Lin terpaksa menyanggupi. Dia dapat
membujuk-bujuk isterinya yang gila itu untuk menunggu sampai besok pagi, karena
tidak mungkin malam-malam yang gelap itu mencari goa tempat Giok-gan Kui-bo.
Karena Pek-bin Moli sangat
mencinta suaminya, maka ia menurut dan malam itu Ong Hu Lin terpaksa menuturkan
cerita bohong, dan mengatakan bahwa ia pergi karena hendak merantau dan
meluaskan pengalaman.
Sesudah malam tergantikan
pagi, maka Ong Hu Lin terpaksa mengantarkan isterinya itu mengunjungi goa di
mana Giok-gan Kui-bo tinggal! Semua piauwsu di situ terheran-heran karena tak
ada yang tahu bila mana datangnya seorang wanita cantik yang bersikap dan
berpakaian aneh itu dan tahu-tahu wanita itu telah keluar dari kamar
bersama-sama Ong Hu Lin. Setelah Ong-piauwsu memberitahukan bahwa wanita itu
adalah isterinya, semua orang terkejut sekali tak seorang pun berani banyak
bertanya.
Kebetulan sekali pada hari itu
juga Ang I Niocu tiba di Bok-chiu dan mendengar tentang perhubungan suci-nya
dengan Ong Hu Lin. Dia pergi menyelidik dan mendengar semua peristiwa mengenai
diri Giok-gan Kui-bo yang sekarang kabarnya tinggal di dalam sebuah goa di
gunung yang berada tidak berapa jauh dari kota itu. Maka ia pun lalu menyusul ke
sana!
Giok-gan Kui-bo sedang duduk
seorang diri di dalam goa tempat tinggalnya, menunggu mendidihnya air yang
dimasak, ketika tiba-tiba saja tirai bambu yang dipasang di depan goanya itu
terbuka. Seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian aneh telah berada di
depannya sambil tertawa ha-ha hi-hi.
Kim Lian memperhatikan wanita
cantik ini. Ternyata bahwa rambut wanita ini pun terurai ke belakang dan di
atasnya diikat dengan pita berwarna hijau. Bajunya kotak-kotak hitam dan nampak
lucu sekali.
“Siapa kau?” tanya Kim Lian
tak acuh karena menyangka yang datang hanyalah seorang gadis dusun yang ingin
menemuinya.
“Hi-hi-hi. Inikah Giok-gan
Kui-bo? Inikah sundal tak tahu malu yang merampas suamiku? Ha-ha-ha!”
“Kau... kau gila!” Kim Lian
memaki marah sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Kau yang gila! Kau, bukan
aku!” tiba-tiba wanita itu menuding dengan jari telunjuknya yang runcing. “Kau
harus mampus!”
Sesudah berkata demikian
Pek-bin Moli menampar dengan tangannya ke arah pipi Kim Lian. Giok-gan Kui-bo
marah sekali dan ia menggerakkan tangannya hendak menangkap tangan yang
menampar itu. Akan tetapi alangkah herannya saat tangan yang menampar itu dapat
berkelit dan melanjutkan tamparannya dari lain jurusan dan…
“Plakk!” pipinya kena tampar!
Bukan main marahnya Giok-gan
Kuibo. Selama dia merantau di dunia kang-ouw belum pernah ada orang berani
menghinanya, apa lagi menamparnya!
“Anjing betina! Siapakah kau
berani main gila di depanku?” bentaknya dengan dada turun naik karena marahnya.
“Hi-hi-hi. Sakit ya?” kata
Pek-bin Moli sambil tertawa. “Kau belum kenal aku? Kau belum pernah mendengar
tentang Pek-bin Moli?”
Terkejutlah Giok-gan Kui-bo
mendengar nama ini. “Kau yang disebut Pek-bin Moli? Jadi kau ini puteri Pek
Moko? Lalu mengapa kau datang-datang memaki dan menamparku?” tanyanya heran
hingga untuk sesaat dia melupakan kemarahannya.
“Hi-hi-hi! Kau sudah berani
main gila dengan suamiku dan kau masih bertanya mengapa aku menamparmu?
Ha-ha-ha, suami orang tidak bisa dibagi-bagi!”
Giok-gan Kui-bo melirik keluar
goa dan dia melihat bayangan Ong Hu Lin berdiri dengan wajah pucat dan tubuh
menggigil.
“Hm, jadi orang she Ong itu
suamimu? Tetapi ia tidak pernah bilang bahwa ia suamimu.”
“Ha-ha-ha! Ia terlalu cinta
padaku, mana dia mau mengobral namaku untuk disebut-sebut kepada sembarang
orang? Hi-hi-hi!”
“Pek-bin Moli! Kau sudah
datang ke sini dan jangan kau kira aku Giok-gan Kui-bo takut kepadamu. Sekarang
kau mau apa?”
“Eh, ehh, kau mau melawan?
Baik, kau mampuslah!” Setelah berkata demikian, Pek-bin Moli lalu menyerang dan
keduanya lalu bertempur hebat di dalam goa yang sempit itu!
Apa bila Giok-gan Kui-bo lihai
sekali gerakan tangannya yang seperti menari-nari dengan buasnya itu, adalah
Pek-bin Moli yang bermuka putih halus itu luar biasa lihainya dalam
mempergunakan kedua kakinya! Harus diketahui bahwa di dalam sepatu, tepat di
bawah telapak kakinya, tersembunyi besi baja yang menambah kelihaian setiap
tendangan dan sepakan wanita ini. Selain itu, Pek-bin Moli mempunyai ginkang
luar biasa dan tubuhnya seakan-akan melayang-layang ke atas sambil mengirim
tendangan bertubi-tubi bagaikan kedua kakinya tak pernah menyentuh tanah.
Akan tetapi Giok-gan Kui-bo
melawan dengan sungguh-sungguh. Pertempuran itu sangat menarik dan hebat
sekali. Tendangan dan pukulan sampai menimbulkan angin mendesir dan suaranya
keluar dari goa itu membuat tirai bambu yang berada di luar bergoyang-goyang
seakan-akan terhembus angin besar. Ong Hu Lin berdiri dengan muka pucat dan
tubuh menggigil.
Tiba-tiba dari jauh tampak
oleh Ong Hu Lin setitik bayangan merah yang naik ke tempat itu dengan cepat
sekali. Dia cepat menyelinap ke samping goa dan bersembunyi karena maklum bahwa
yang datang itu tentu seorang yang berkepandaian tinggi. Setelah dekat, dia
melihat bahwa yang datang itu adalah seorang wanita berbaju merah yang luar
biasa cantiknya.
“Ong-piauwsu, kau keluarlah,
tak usah bersembunyi karena aku sudah melihatmu!”
Kaget sekali Ong Hu Lin
mendengar ini dan dengan muka makin pucat ia pun keluar dari tempat
persembunyiannya.
“Dimana adanya Giok-gan
Kui-bo?” Ang I Niocu dengan suara kereng.
Ong Hu Lin makin heran.
Siapakah wanita ini yang agaknya memiliki kepandaian hebat dan yang
datang-datang menanyakan Giok-gan Kui-bo?”
“Kau siapakah?” Ia
memberanikan diri bertanya.
“Tak usah kau tahu. Lekas
katakan saja di mana adanya Giok-gan Kui-bo!” Ang I Niocu membentak marah
sehingga Ong Hu Lin merasa ketakutan. “Dia... dia sedang bertempur melawan
isteriku...“
“Isterimu? Siapakah dia?”
“Pek-bin Moli...”
Mendengar nama ini, Ang I Niocu
memandang ke arah tirai bambu yang tergantung di depan goa yang kini
bergoyang-goyang karena sambaran angin pukulan dari dalam goa. Ia segera
melompat dan menggunakan tangan kiri menyingkap tirai itu.
Pada saat itu pula, dengan
Ilmu Tendangan Siauw-ci-twi, Pek-bin Moli sedang mendesak hebat kepada Giok-gan
Kui-bo yang berkelit ke sana ke mari mengelak tendangan maut yang datang
bertubi-tubi itu. Tepat pada saat Ang I Niocu membuka tirai memandang, sebuah
tendangan kaki kiri Pek-bin Moli sedang melanggar pundak kiri Giok-gan Kuibo
yang mengeluarkan seruan tertahan dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
Pek-bin Moli mengejar hendak
mengirim tendangan maut, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan
tahu-tahu tendangannya itu tertangkis oleh sebuah lengan tangan yang kuat
sekali. Pek-bin Moli terkejut dan melompat mundur sambil memandang Dara Baju
Merah yang menghalang-halangi serangannya tadi.
“Pek-bin Moli, harap kau suka
bersabar dan tenang sedikit. Maafkanlah Suci-ku kalau dia bersalah. Kesalahannya
tidak sangat besar sehingga kau tidak perlu menjatuhkan tangan maut!”
“Siapa kau?” tanya Pek-bin
Moli dengan mata berputar-putar hebat.
“Aku Sumoi-nya.”
Setelah memutar otaknya dan
melihat pakaian itu, agaknya Pek-bin Moli teringat. “Hi-hi, kau tentu Ang I
Niocu bukan? Kau memang cantik jelita!”
“Pek-bin Moli,” kata Ang I
Niocu yang maklum bahwa wanita di depannya itu memang berotak miring maka
percuma saja diajak bicara panjang lebar, “sekarang kau putuskan. Kau pergi
dari sini membawa suamimu sebelum ia lari lagi, atau kau biarkan suamimu lari
pergi dan kau bertempur melawan aku?”
Kedua mata Pek-bin Moli
terbelalak “Apa? Suamiku lari pergi lagi? Mana dia...? He, Ong Hu Lin...!
Tunggu...!”
Wanita gila ini segera berlari
keluar sambil berteriak-teriak memanggil nama suaminya. Sesudah bertemu di
luar, dia lalu menggandeng tangan suaminya itu dan diajak pulang. Ong Hu Lin
hanya menurut saja seperti seekor kerbau ditarik tali hidungnya.
Ang I Niocu menghampiri
Giok-gan Kui-bo yang merintih-rintih. Luka di pundaknya walau pun tidak
membahayakan jiwanya, tetapi terasa sakit sekali.
“Suci, sudah dua tahun ini aku
mencari-carimu di mana-mana. Tidak tahunya di sini kau memperebutkan seorang
laki-laki dengan wanita gila itu!”
Mendengar kata-kata keras ini,
Giok-gan Kui-bo tak menjawab dan hanya menundukkan kepala. Ang I Niocu menghela
napas, karena tahu bahwa kalau berhadapan dengannya, Kim Lian selalu
memperlihatkan sikap lemah dan mengalah. Ia maklum bahwa suci-nya ini mempunyai
kebiasaan buruk dan genit hingga banyak orang kang-ouw menganggap ia sebagai
perempuan lacur, akan tetapi sebenarnya, di dalam hati ia tak begitu jahat.
“Suci, kalau saja kau berada
di pihak benar, belum tentu kau kalah oleh wanita gila itu. Akan tetapi kau
telah berlaku sesat dan membiarkan dirimu dengan mudah saja tergoda oleh
laki-laki, maka sedikit luka itu kau anggap saja sebagai hukuman. Aku datang
atas perintah Susiok-couw!”
Mendengar disebutnya
susiok-couw terkejutlah Giok-gan Kui-bo hingga wajahnya segera berubah pucat.
“Tidak, jangan kau takut.
Susiok-couw belum menjatuhkan keputusan pendek dan tegas. Akan tetapi beliau
minta supaya aku memberi peringatan kepadamu. Sudah berkali-kali kau melanggar
pantangan sebagai orang gagah dan banyak melakukan perbuatan hina. Kau mencuri,
merampok, menculik pemuda-pemuda dan kau sudah mencemarkan nama perguruan kita.
Sekarang jawablah, bagaimana pikiranmu?”
Dengan muka masih tunduk
Giok-gan Kui-bo menjawab, “Im Giok, memang aku sudah bersalah... tetapi apa
dayaku? Aku sebatang kara, hidupku merana menderita. Kalau aku tidak mencari
kesenangan sendiri, siapakah yang dapat memberi kesenangan kepadaku? Apakah aku
harus melewatkan hidup dalam kesunyian dan mati dengan hati menderita?”
Ang I Niocu merasa terharu
mendengar ini, akan tetapi ia mengeraskan suaranya ketika berkata dengan tegas,
“Suci, kau tahu bahwa di dunia ini ada dua macam kesenangan. Kesenangan yang
buruk dan jahat dan ada pula kesenangan yang baik, bersih. Mengapa kau
menurutkan nafsu hatimu yang jahat? Apakah kau tidak mempunyai cukup tenaga
untuk mengekang nafsu jahatmu dan apakah kau tidak lagi mempunyai kebersihan
batin seorang wanita yang sopan dan menjunjung tinggi kesusilaan?”
“Sudahlah, sudahlah...”
tiba-tiba Giok-gan Kui-bo menjatuhkan diri sambil menangis. “Kau mana tahu
tentang kasih sayang, mana tahu tentang cinta! Selama hidupmu agaknya kau tidak
pernah menderita dan merasa bagaimana celakanya hati yang tergoda rasa rindu.
Agaknya hatimu terbuat dari pada batu!” Kim Lian memandang sumoi-nya dengan
mata basah.
Ia sama sekali tidak pernah
menyangka bahwa kata-katanya itu bagaikan mata pedang tajam menusuk ulu hati Im
Giok hingga Ang I Niocu menundukkan kepala dengan wajah pucat. Dara Baju Merah
ini teringat akan perasaan hatinya terhadap Cin Hai! Ahh, Suci, kalau saja kau
tahu betapa berat rasa hatiku karena pemuda itu, pikirnya.
“Im Giok, aku memang sudah
bersalah. Beritahukan saja kepada Susiok-couw bahwa sejak hari ini aku Kim Lian
akan mencukur rambut dan menjadi nikouw (pendeta wanita) dan bertapa di goa
ini. Aku takkan mencampuri urusan dunia lagi dan hanya ingin bertapa menebus
dosa!”
Ang I Niocu tidak tahan lagi
menahan keharuan hatinya. Ia maju menubruk dan memeluk suci-nya dan mereka
berdua sama-sama menangis. Ang I Niocu merasa sangat gembira mendengar akan
keinsyafan suci-nya ini, akan tetapi kata-kata Kim Lian tadi benar-benar
menusuk hatinya.
“Im Giok, mudah-mudahan kau
takkan sampai tersesat seperti aku,” kata Kim Lian sambil mengusap-usap rambut
sumoi-nya yang halus.
“Suci... aku pun hanya seorang
manusia biasa saja yang tidak terbebas dari kesesatan...”
Giok-gan Kui-bo dapat
menetapkan hatinya yang terharu, kemudian dengan tiba-tiba dia mencabut pedang
yang tergantung pada punggung Ang I Niocu. Gerakannya cepat sekali dan
tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan tergantung riap-riapan di
punggungnya itu telah dipotongnya!
Ang I Niocu hanya dapat
memandang dengan hati terharu sekali. Sesudah kedua kakak beradik seperguruan
itu bercakap-cakap saling melepaskan rindu, Ang I Niocu lalu pergi meninggalkan
Kim Lan.
Dara Baju Merah ini berjalan
secepatnya sebab ia ingin segera sampai di Goa Tengkorak dan memberi laporan
kepada Bu Pun Su tentang tugas yang telah diselesaikannya itu. Padahal
sebetulnya karena ingin segera bertemu dengan Cin Hai, maka ia melakukan
perjalanan dengan tergesa-gesa itu!
Ketika dengan hati
berdebar-debar Ang I Niocu memasuki Goa Tengkorak itu, ia melihat Bu Pun Su
duduk bersila menghadapi hiolouw yang mengepulkan asap putih. Dia tidak melihat
Cin Hai di situ dan diam-diam ia merasa kecewa dan kuatir.
Segera ia menjatuhkan diri
berlutut dan berkata,
“Susiok-couw, teecu datang
menghadap.”
“Bagus, Im Giok, kau telah
kembali. Bagaimana dengan usahamu mencari Kim Lian?”
Dengan panjang lebar Ang I
Niocu menceritakan pengalamannya. Ketika ia menceritakan keputusan suci-nya
yang nekad dan mencukur rambut untuk masuk menjadi nikouw, tak tertahan pula ia
mengucurkan air mata.
Bu Pun Su mengangguk-angguk
dan menghela napas.
“Baik juga keputusannya itu.
Betapa pun dosa seseorang, asalkan dia dapat insyaf dan kembali ke jalan benar
untuk selanjutnya menebus kekeliruan yang sudah-sudah dengan tindakan-tindakan
sempurna, maka ia boleh disebut seorang bijaksana.”
Kemudian, sesudah berdiam
untuk beberapa lama sambil memandang wajah gadis yang tunduk itu dengan tajam,
tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara sungguh-sungguh,
“Im Giok, jika aku tidak salah
duga, luka di hatimu akibat gagalnya perjodohanmu dengan pemuda pilihanmu
dahulu agaknya kini sudah sembuh dan kulihat kegembiraan hidupmu telah kembali.
Anak, bagi seorang wanita, mendirikan rumah tangga yang baik dan penuh damai
adalah jalan yang terutama untuk membebaskan diri dari pada godaan dunia dan
untuk memenuhi tugas kewajiban sebagai seorang manusia. Lihatlah contohnya Suci-mu
itu, karena sebagai seorang gadis hidup seorang diri dan tidak mendirikan rumah
tangga, maka banyak penggoda menyesatkan jalan hidupnya. Aku maklum bahwa kau
memiliki iman yang kuat dan batin yang bersih, akan tetapi, apa perlunya
menyiksa diri dengan hidup menyendiri? Kau tidak punya jodoh untuk menjadi
seorang pendeta wanita yang tidak akan kawin selama hidupnya!”
Ang I Niocu mendengarkan
kata-kata orang tua itu dengan hati berdebar-debar, karena kata-kata itu memang
tepat dan seolah-olah susiok-couw-nya dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi
karena merasa malu, ia tidak berani mengangkat muka dan tetap bertunduk.
“Im Giok, baiklah kita
berterus terang saja. Kau perlu mendapat seorang suami yang baik sekali, dan
aku telah melihat seorang pria yang agaknya akan cocok sekali untuk menjadi
kawan hidupmu selamanya.”
Tiba-tiba wajah Ang I Niocu
memerah dan hatinya makin berdebar. Timbul harapan yang diliputi kekuatiran di
dalam hatinya. Siapakah orang laki-laki yang sedang dimaksudkan oleh susiok-nya
ini? Apakah Cin Hai?? Ia tak berani bertanya dan masih tetap tunduk.
“Kalau kau setuju, aku
bersedia menjadi perantara, Im Giok. Biarlah aku mengakhiri masa hidupku dengan
menjadi seorang comblang yang menghubungkan dua orang manusia sehingga menjadi
suami isteri yang hidup rukun dan penuh kebahagiaan.”
Terpaksa Ang I Niocu menjawab
dengan suara hampir tak terdengar,
“Susiok-couw, bagaimana teecu
dapat menjawab kalau teecu tidak tahu siapa... orang yang dimaksudkan itu?”
“Ha-ha-ha, Im Giok. Bukan
orang yang tidak kau kenal, bahkan hubunganmu dengan dia akrab sekali!”
Makin berdebarlah hati Im Giok
dan ia mendengar dengan penuh perhatian.....