-------------------------------
----------------------------
042 Badai Di Parangtritis
1
SIANG ITU laut selatan tampak
cerah. Ombak memecah tenang di pantai Parangtritis. Burungburung laut terbang
berkelompok-kelompok dan angin bertiup membendung teriknya sinar sang surya.
Belasan perahu tampak berjejer
di tepi pasir. Para nelayan sibuk memperbaiki dan membenahi jaring masingmasing
untuk persiapan turun ke laut malam nanti. Di tepi pantai, dibawah jejeran
pohonpohon kelapa anak-anak ramai bermain-main. Baik nelayan-nelayan maupun
anak-anak itu semuanya serta merta memalingkan kepala ketika telinga mereka
menangkap suara tiupan seruling yang keras dan merdu. Yang meniup seruling
ternyata adalah seorang bocah bertelanjang dada. Anak ini meniup suling
bambunya sambil duduk di atas punggung seekor kerbau yang melangkah di
sepanjang jalan di teluk.
"Anak si Kantolo itu
pandai sekali meniup suling. Mengalahi kepandaian ayahnya…." berkata salah
seorang nelayan lalu menyedot rokok kawungnya dalam-dalam.
Ketika anak dan kerbau
bergerak menjauhi tepi pasir seorang nelayan berseru, "Bocah pintar!
Berhenti saja di bawah pohon kelapa sana! Teruskan meniup sulingmu agar kami
terhibur!"
Anak di atas punggung kerbau
tertawa lebar. Dia mengacungacungkan suling di tangan kanannya dan terus
berlalu, tidak mengacuhkan permintaan orang.
Saat itu tiba-tiba terdengar
suara ringkik kuda keras dan berkepanjangan. Dari arah berlawanan jalannya
kerbau, muncul sebuah delman ditarik seekor kuda coklat yang lari kencang
seperti dikejar setan sambil tiada hentinya meringkik dan melejang-lejangkan
kaki. Anak yang tadi meniup suling cepat-cepat membawa kerbaunya ke tepi jalan.
Ketika delman itu lewat di depannya si anak tiba-tiba keluarkan pekik
ketakutan, melompat turun dari punggung kerbau dan lari sekencang-kencangnya ke
arah nelayan-nelayan yang ada di sepanjang jejeran perahu. Mukanya pucat dan
nafasnya memburu.
"Ada apa Kambali?!"
bertanya seorang nelayan.
"Del…. delman itu "
bocah bernama Kambali menunjuk dengan muka masih pucat dan tangan gemetar ke
arah delman yang saat itu hampir lenyap di kelokan teluk. Semua orang memandang
ke jurusan yang ditunjuk. Memang ada keanehan. Di atas delman, dari kejauhan
para nelayan sama sekali tidak melihat kusir ataupun penumpang.
Tetapi Kambali yang tadi
sempat dilewati kendaraan itu melihat jelas tiga sosok tubuh bersimbah darah
malang melintang di atas delman!
"Kenapa delman itu
Kambali?" tanya nelayan yang lain.
Nelayan Satunya ikut bicara,
"Bukankah itu delman milik Ageng Lontar, juragan kita?"
"Eh, kau betul! Kambali
katakan lekas! Kau melihat sesuatu! Mengapa wajahmu pucat dan tubuhmu menggigil
anak?!"
"Ada tiga orang…. ada
tiga orang di atas delman itu,"
menerangkan Kambali.
"Semuanya rebah malang melintang. Tubuh mereka penuh luka bergelimang
darah…. Saya takut …."
"Anak ini tidak dusta! Sesuatu
telah terjadi!"
"Jangan-jangan…."
"lebih baik kita berlari
mengejar delman! Kuda itu tampaknya lari ke jurusan rumah kediaman Ageng
Lontar!"
Tanpa diberi aba-aba lagi,
semua nelayan yang ada di teluk serta merta lari berhamburan ke arah lenyapnya
kuda penarik delman tadi.
Mereka lari menuju rumah
kediaman Ageng Lontar, juragan ikan yang memiliki belasan perahu sekaligus
juragan ternak yang mempunyai puluhan kerbau dan sapi, belum lagi kambing itik
dan ayam. Di kaki bukit sebelah timur sawahnya puluhan petak. Ageng Lontar
memang dikenal sebagal orang kaya raya di pantai selatan. Dia terkenal bukan
saja karena kekayaannya tetapi karena sikap pemurahnya kepada orang-orang yang
bekerja untuknya, juga orang-orang lain yang sewaktu-waktu membutuhkan pertolongan
apa saja. Karena itulah penduduk setempat telah sama-sama bersepakat umuk
memilihnya sebagal Kepala Desa pada pergantian jabatan bulan di muka.
Ketika nelayan-nelayan teluk
Parangtritis itu sampai di rumah kediaman Ageng Lontar, halaman rumah itu telah
penuh dengan kerumunan manusia. Selusin lelaki tampak menjirat leher dan empat
kaki kuda coklat hingga binatang yang tadi seperti gila ini kini angsrok ke
tanah tak berkutik. Dan di dalam delman yang tersungkur miring ke tanah,
tampaklah pemandangan yang mengerikan.
Seperti yang sebelumnya
dilihat dan diterangkan bocah bernama Kambali, di dalam delman menggeletak tiga
sosok tubuh bersimbah luka dan darah mulai dari kepala hingga ke tubuh.
Meskipun wajahwajah itu rusak mengerikan namun semua orang masih dapat
mengenali dengan jelas siapa adanya ketiga orang itu.
Yang pertama, yang menggeletak
paling bawah lantal delman adalah Ageng Lontar sendiri. Pakaiannya yang berwana
kelabu tampak merah dan basah oleh darah. Pakaian itu robek-robek di beberapa tempat
menyingkapkan luka-luka mengerikan. Muka Ageng Lontar seperti dicincang. Hancur
mengerikan. Hidungnya hampir sumplung dan salah sebuah dari matanya tak ada
lagi di rongganya!
Orang kedua yang bernasib
malang di atas delman adalah istri Ageng Lontar. Luka-luka pada wajahnya tidak
seberapa dan tubuhnya hampir seperti tidak berpakaian lagi. Mungkin dirobek
sebelum atau sesudah dia dibunuh. Dan berat dugaan orang banyak, perempuan yang
jauh lebih mudah dari Ageng Lontar ini telah diperkosa karena pakaiannya di
sebelah bawah tersingkap menusuk mata!
Korban ketiga yang menggeletak
di lantai delman sebelah depan adalah pemuda yang dikenal dengan nama Jajamat,
orang yang telah bekerja lebih dari lima tahun sebagai kusir kereta keluarga
Ageng Lontar.
Semua orang yang berkerumun di
tempat itu merasakan kuduk merinding dan tubuh menggeletar. Siapa yang telah
melakukan pembunuhan keji biadab seperti ini? Dan hampir tak dapat dipercaya
ada orang yang mau membunuh orang sebaik Ageng Lontar, bahkan juga istri serta
kusir delman! Siapa pelaku jahanam itu? Gerombolan rampok? Tak ada rampok
malang melintang di teluk Parangtritis bahkan di pantal selatan waktu itu.
Musuh? Semua orang tahu Ageng Lontar tak pernah punya musuh! Lalu siapa ?!
Pertanyaan itu belum lagi terjawab.
Tiba-tiba dari arah rumah besar terdengar pekik perempuan. Seorang gadis
menghambur lari ke arah delman sambil tiada henti berseru memanggil.
"Ayah…. ayah!"
Tapi begitu sampai di depan
delman dan menyaksikan pemandangan di dalam kereta, si gadis langsung pingsan
dan rubuh setelah lebih dahulu memekik dahsyat! Beberapa orang segera
menggotongnya ke dalam rumah.
"Mayat-mayat ini harus
diurus! Ambil usungan dan bawa ke dalam rumah!" terdengar seorang
berbicara. Namun belum ada yang bergerak, satu suara laln terdengar lantang.
"Menyingkir! Apa yang
terjadi disini?"
Orang banyak yang berkerumun
di sekitar delman palingkan kepala. Mereka melihat munculnya seorang laki-laki
bertubuh kekar, berambut kelabu dan memegang sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal.
Orang ini adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa Parangtritis.
"Ki Demang! Untung
sampean datang!" seorang nelayan membuka mulut.
"Juragan Ageng Lontar dan
istrinya dibunuh orang. Juga kusir Jajamat!"
Ki Demang Wesi mendorong dan
menyeruak diantara kerumunan orang. Langkahnya terhenti didepan delman.
Parasnya berubah dan rahangnya menggembung.
"Hanya iblis yang bisa
melakukan kekajaman seperti ini!" desis Kepala Desa itu. "Kalian
semua harus membantu atau menemukan si pembunuh!"
"Kami akan membantumu Kepala
Desa!" jawab orang banyak.
Ki Demang memandang
berkeliling. Sepasang matanya berhenti bergerak dan pandangannya tertancap pada
seorang pemuda bertampang tolol, berambut awut-awutan dan tegak memandang ke
arah delman sambil tiada henti geleng-gelengkan kepala. Pakaian putihnya yang
lusuh di bagian dada lampak ada warna merah. Percikan darah.
"Kurasa kalian tidak
perlu bersusah payah membantuku! Aku sudah tahu siapa pembunuhnya!" ujar
Ki Demang yang membuat semua orang terkejut dan memandang tak berkesip pada
Kepala Desa mereka itu. Ki Demang angkat tangan kanannya, menunjuk tepat-tepat
pada pemuda berpakaian putih lalu berseru, "Tangkap pemuda gondrong
itu!"
Beberapa orang dengan cepat
mencekal kedua tangan si pemuda. Ada yang menelikung lehernya, ada pula yang
menjambak rambutnya.
"Hai! Apa-apaan
in?!" teriak si pemuda sambil coba meronta untuk lepaskan pegangan orang
banyak. Tapi tidak bisa, dan saat itu semakin banyak orang yang ikut
mencekalnya.
"Kepala Desa! Apa-apaan
ini?!" pemuda itu kembali bertanya.
"Jangan banyak tanya!
Kaulah pembunuh suami istri Ageng Lontar dan juga kusir delman!"
"Tuduhan gendeng!"
teriak si pemuda tampak marah. "Aku barusan saja sampai di tempat ini!
Bagaimana enak saja kau menuduhku?!"
"Kau orang asing di sini!
Siapa kau akan segera aku usut. Noda darah di pakaianmu menjadi bukti bahwa kau
ada sangkut pautnya dengan kematian ketiga orang dalam delman!"
Si pemuda memperhatikan
percikan darah di pakaiannya. Lalu berkata, "Darah ini memang darah…"
"Nah apalagi! Kau sudah
mengaku!" ujar Ki Demang.
"Kata-kataku belum habis!
Darah ini memercik dari lantai delman, tepat ketika delman rubuh dan aku sampal
didekatnya! Lihat saja, saat inipun masih ada darah yang menetes dari lantai
delman!"
"Siapa percaya
ucapanmu!" sahut Ki Demang ketus. "Sebagian dari kalian bawa pembunuh
itu ke Balai Desa. Selebihnya segera mengurus jenazah-jenazah ini!"
Melihat orang tetap menuduh,
si pemuda jadi penasaran. Kaki kanannya bergerak. Dua orang yang mencekalnya
jatuh tergelimpang.
"Pembunuh biadab! Sekali
lagi kau berani melawan akan kusuruh semua orang di sini mencingcangmu!"
Ki Demang Wesi berteriak marah dan mengancam.
"Aku tidak bersalah! Aku
bukan pembunuh! Siapa yang berani melarang aku membela diri!"
Mendengar ucapan itu KI Demang
Wesi jadi beringas. Lalu berteriak, "Bunuh pemuda itu!"
Orang banyak berteriak ikut
terangsang marah. Berbagai senjata dihunus.
"Kepala Desa, kalau kau
tidak menyuruh orang-orang ini melepaskanku, jangan salahkan aku apa akibat
yang terjadi!"
Ki Demang menyeringai.
"Manusia biadab! Lagakmu hebat sekali! Biar aku yang pertama sekali
menghajarmu!" Habis berkata begitu Ki Demang Wesi tusukan tongkat di
tangan kanannya ke arah mata kiri pemuda yang berada dalam keadaan dicekal
orang banyak.
Jauh sebelum menjadi Kepala
Desa, Ki Demang Wesi adalah murid keempat seorang guru silat di Bukit Tunggul.
Kabarnya guru silat itu juga memiliki berbagai kesaktian yang kemudian
diturunkan pada Ki Demang Wesi. Lalu ada pula kabar bahwa Ageng Lontar masih
punya kaitan atau hubungan dengan guru silat tersebut karena Ageng Lontar
pernah pula berguru pada adik guru di Bukit Tunggul.
Dengan kata lain antara Ageng
Lontar dan KI Demang Wesi ada hubungan dekat lewat guru masing-masing. Pemuda
yang diserang dengan tongkat ke arah mata kirinya tentu saja terkejut melihat
bahaya yang mengancamnya. Apalagi dia dapat merasakan adanya sambaran angin
mendahului tusukan itu. Gerahamnya bergemelatakan menahan marah namun marah itu
akhirnya meledak juga. Didahului satu bentakan si pemuda menyikutkan kedua
tangannya. Bersamaan dengan itu tubuhnya dia jatuhkan ke belakang. Kaki
kanannya menendang ke depan.
Empat orang mencekal si pemuda
terpelanting dan jatuh bergelimpangan di tanah. Meskipun mereka tidak cidera
namun masing-masing mereka merasakan mereka seperti diserang demam panas.
Untuk beberapa lamanya ke
empatnya terhampar ke liangan. Ki Demang Wesi sendiri yang tidak menyangka si
pemuda dapat loloskan diri dari begitu banyak orang yang mencekalnya jadi lebih
terkejut ketika tusukan tongkatnya yang sanggup menembus mata dan batok kepala
si pemuda dapat dielakan bahkan kini satu tendangan mematikan menghantam ke
arah selangkangannya!
Maklumlah kini Kepala Desa itu
bahwa pemuda yang dituduhnya sebagai pembunuh suaml istri Ageng Lontar dan
kusir delman Jajatma bukanlah seorang pemuda sembarangan, tapi pasti sekali
memiliki "isi".
"Bagus! Rupanya kau
mengusal ilmu silat! Jangan harap dengan kepandaianmu itu kau bisa lolos dari
tempat ini!" Lalu KI Demang Wesi susul ucapannya itu dengan teriakan agar
semua orang yang ada di tempat itu melakukan pengurungan, jangan sampai si
pembunuh lolos.
"Kepala Desa, aku bilang
sekali lagi padamu!" sentak pemuda berpakaian putih itu. "Aku tidak
melakukan pembunuhan!"
"Siapa percaya
padamu!" tukas Ki Demang Wesi. Tongkat di tangan kanannya diputar seperti
titiran dan mengeluarkan suara menderu. Dengan senjata ini kembali dia
menyerang pemuda itu. Yang diserang tak tinggal diam. Dia berkelebat beberapa
kali. Memasuki jurus kedua terdengar pemuda ini berseru, "Lihat
tongkat!"
Ki Demang Wesi tidak
perdulikan bentakan orang. Sebagai orang silat yang berpengalaman dia tidak mau
tertipu oleh berbagai gerak ataupun ucapan lawan. Tongkatnya menderu ke arah
dada lalu menusuk ke arah leher. Tapi Kepala desa ini jadi kaget ketika
dirasakan dan dilihatnya sendiri tangan kiri lawan tahu-tahu sudah memegang
ujung tongkatnya padahal ujung senjata itu hanya tinggal seujung kuku dari
tenggorakan lawan!
Kepala Desa Parangtritis coba
selamatkan senjatanya dari rampasan lawan, tetapi si pemuda telah lebih dulu
membetot! Kini giliran si pemuda yang jadi kaget. Karena ketika dia merasa
sudah berhasil merampas senjata lawan, ternyata yang dipegangnya hanyalah
bagian tongkat yang berupa sarung belaka. Sedang di tangan kanan Ki Demang saat
itu tampak bagian lain dari tongkat yang berbentuk hulu lengkap dengan mata
pisaunya yang panjang. Ternyata tongkat itu adalah sebuah golok pendek yang
tajam berkilauan! Ki Demang Wesi menyeringai mengejek.
"Pembunuh, kau telah
tolong membukakan sarung senjataku.
Berarti kau memang sudah siap
untuk menerima kematian sesuai dosamu!"
Si pemuda balas mengejek.
"Lagakmu seperti malaikat maut saja! Aku tidak mau meneruskan perkelahian
ini karena aku memang bukan pembunuh!" Habis berkata begitu pemuda ini
bantingkan sarung golok ke tanah. Benda itu menancap di tanah sampai
setengahnya.
"Kau kira aku takut
dengan pertunjukanmu! Di tempat lain kau boleh pamer ilmu anak muda! Tapi di
hadapanku kau harus serahkan nyawa!" Ki Demang Wesi lalu menyerbu dengan
golok pendeknya.
Senjata ini mengeluarkan angin
deras menebar hawa dingin. Pastilah ini sebuah senjata mustika andalan.
Lima jurus Kepaia Desa itu
menyerbu dengan ganas. Goloknya menyambar dan menusuk ke sana ke mari. Tetapi
dia seolah-olah berkelahi sendiri karena setiap serangannya hanya mengenai
tempat kosong. Lawannya ternyata gesit sekali dan seperti dapat membaca
serangannya, dia mendahului bergerak untuk menghindari tusukan atau sambaran
golok. Kepala Desa itu jadi marah dan juga malu. Dia merasa dipermainkan di
sekian banyak mata penduduk Parangtritis. Didahului oleh bentakan garang dia
rubah permainan silatnya. Tubuhnya kini melompat-lompat ke udara seperti bola
karet yang membal. Golok di tangan kanannya berkiblat secara aneh. Dua jurus
berlalu terdengar suara brettt! Dada pakaian si pemuda robek besar.
Pemuda ini berseru kaget dan
melompat mundur! Golok Ki Demang Wesi bukan saja merobek pakaiannya di bagian
dada, tapi kulit dadanya juga ada yang ikut tergurat!
"Kepala Desa
sialan…" maki sipemuda. "Kau merobek pakaianku! Kau harus menelannya
sekalian!" Lalu semua orang melihat pemuda itu merobek sendiri pakaiannya
di bagian depan.
Robekan kain pakaian
dibuntalnya lalu dia melangkah mendekati Kepala Desa itu. Tentu saja Ki Demang
Wesi kembali menyambutnya dengan serangan golok dalam gerakan melompat-lompat
yang aneh seperti tadi. Hanya saja kali ini dia kecele. Kehebatan dan keanehan
ilmu silatnya itu menjadi tidak berguna karena pemuda lawannya kini telah pula
mengeluarkan jurus dan gerakan aneh. Tubuhnya seperti orang mabuk sempoyangan
kian kemari. Bagi Ki Demang keadaan tubuh lawan seperli itu merupakan sasaran
serangan yang ernpuk.
Tapi sungguh aneh, setiap dia
menyerang, tubuh atau kepala lawan sudah bergerak ke jurusan lain sementara
tangannya yang memegang buntalan kain bergerak-gerak berusaha menggapai ke arah
mulutnya!
Ki Demang merangsak sekali
lagi. Inilah kali terakhir dia mampu menyerang. Karena sesudah itu terdengar
suaranya seperti tercekik.
Sesaat kemudian halaman rumah
Ageng Lontar jadi ramai oleh suara tawa orang banyak, padahal di situ masih
tergelimpang tiga jenazah yang belum sempat diurus!
Apa yang terjadi dan apa yang
kini disaksikan penduduk desa? Di depan mereka tampak Ki Demang Wesi berdiri
dengan mata melotot dan mulut tersumpal potongan kain. Lalu celana luar dan
celana dalamnya kelihatan merosot sampai ke lutut hingga aurat terlarangnya
tersingkap dengan jelas. Kepala Desa ini sadar penuh apa yang terjadi dengan
dirinya, tapi dia tak bisa menggerakan tangan untuk menarik buntalan kain yang
menyumpal mulutnya, juga tidak mampu untuk menarik celananya ke atas. Kepala
Desa ini ternyata berada dalam keadaan kaku tegang akibat satu totokan yang
bersarang di pangkal lehernya. Karena perhatian orang banyak hampir semuanya
tertuju pada sang Kepala Desa, tidak satupun menyadari kalau pemuda berpakaian
putih dan berambut gondrong awut-awutan tadi tak ada lagi di tempat itu.
***
2
MESKIPUN HATINYA kini lega
dapat meninggalkan desa di Parangiritis itu namun masih ada satu tanda tanya
yang mengganjal hati si pemuda. Siapa yang telah membunuh Ageng Lontar dan
istrinya serta kusir delman secara biadab seperti itu. Ingin sekali ia
menyingkap tabir rahasia pembunuhan itu. Namun selama orang desa masih
mencurigainya sebagai pembunuh akan sulit baginya untuk bergerak. Apalagi dia
masih ada satu keperluan penting di timur.
"Kepala Desa sialan! Enak
saja dia menuduhku!" Si pernuda memaki sendirian. Diperhatikannya pakaian
putihnya yang robek besar di bagian dada, kotor bernoda debu dan darah sambil
jalan akhirnya pakaian itu dibuka lalu dilemparkannya ke semak-semak di tepi
jalan. Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara orang mendamprat.
"Manusia sial dangkalan!
Siapa kau yang berani melemparkan pakaian busuk ke atas kepala orang!"
Si pemuda yang telah berjalan
beberapa langkah serta merta berhenti dan palingkan kepalanya. Astaga! Di
pinggir jalan yang barusan dilewatinya tampak berjongkok seorang berpakaian
serba hitam. Tak dapat dia duga apakah orang ilu lelaki atau perempuan karena
sekujur kepalanya sampai ke wajah tertutup oleh pakaian putih yang tadi
dilemparkannya!
"Aneh! Tadi waktu lewat
di situ tak kulihat ada orang sama sekali! Mengapa tahu-tahu dia muncul di situ
dan gila betul! Masakan aku mau-mauan mencampakkan bajuku menutupi kepalanya
begitu rupa!"
Buru-buru pemuda yang kini
bertelanjanq dada itu melangkah mendekati orang yang jongkok di tepi jalan,
lalu mengambil pakaiannya. Begitu pakaian diangkat tampaklah wajah orang itu.
Ternyata dia seorang nenek bermuka
hitam yang ketika menyeringai tampaklah deretan gigi-giginya yang terbuat dari
emas berwarna kuning berkilat-kilat.
"Hai! Pendekar 212 Wiro
Sableng rupanya!" si nenek menegur, membuat si pemuda yang memang Wiro
Sableng menjadi terkejut karena tidak menyangka nenek itu mengenal dirinya
sedang ia sendiri tidak pernah bertemu perempuan tua itu sebelumnya. "Aku
sudah lama mendengar kekonyolanmu pendekar muda. Hanya saja tidak menduga kalau
begini kurang ajar perilakunya terhadap orang tua!
Berani melemparkan pakalan
busuk sampai-sampai menutupi muka dan kepalaku!
Wiro Sableng garuk-garuk
kepalanya. Dia cepat-cepat duduk di hadapan si nenek, memberi hormat
membungkukkan tubuh lalu berkata, "Aku terima salah nek! Bukan maksudku
berlaku kurang ajar.
Tapi waktu lewat tadi sama
sekali tidak melihatmu di sini. Kalau kau memang ada di sini masakan aku berani
berlaku sekurang ajar itu!"
Si nenek tertawa
tergelak-gelak. Gigi-gigi emasnya kembali tampak berkilat-kilat terkena sinar
matahari. Wiro sendiri tak habis pikir bagaimana hal tersebut bisa terjadi.
Jangan-jangan si nenek sengaja mempermainkannya dan tampaknya dia memang bukan
sembarang orang tua.
"Pendekar utama tidak
memiliki mata tajam! Sungguh tak bisa kupercaya!" berkata si nenek sambil
geleng-geleng kepala. Ucapannya bernada keras tapi wajahnya yang keriput terus
saja mengumbar senyum. "Kalau golok terbang atau panah beracun yang
menyambar dari balik semak belukar dan kau tidak sempat melihatnya berarti kau
akan mati konyol anak muda."
Wiro yang tak mau berdebat
dengan si nenek dan menganggap diri merasa salah hanya manggut-manggut saja
lalu berkata, "Harap maafkan diriku…"
Si nenek balas mengangguk.
"Aku terima maafmu, kulihat kau tidak berbaju, apa sengaja hendak
memamerkan senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212 itu…. ?"
Astaga! Wiro baru sadar.
Dengan membuang pakaian dan setengah telanjang seperti itu dia tidak menyadari
senjata saktinya Kapak Maut Naga Geni tersembul dari balik pinggang celana.
Karena tidak membawa bekal pakaian mau tak mau dia harus mengenakan kembali
pakaiannya yang sudah kotor dan robek besar. Ketika dia hendak mengambil
pakaian itu dari tanah, si nenek tertawa lalu berkata,
"Aku memiliki sehelai
pakaian putih. Masih baru. Ukurannya kurasa pasti cocok dengan tubuhmu!"
lalu perempuan tua itu menggerakkan tangan kanannya ke balik punggung. Sesaat
kemudian dia menarik sehelai pakaian putih yang memang ternyata masih sangat
baru. Pakaian itu dilemparkannya ke pangkuan Wiro. "Pakailah!"
"Ah, pakaian bagus!"
seru Wiro sambil mengembangkan pakaian putih berlengan panjang dengan potongan
kerah yang menarik. "Kau baik sekali nek. Terima kasih… " Wiro segera
berdiri dan kenakan pakaian putih itu. Ternyata memang cocok sekali dengan
tubuhnya.
Pakaian putih itu terasa enak
dipakai. Pada bagian dada sebelah kiri tampak sulaman benang merah bergambarkan
mahkota dan keris silang.
"Kau senang mengenakan
pakaian itu pendekar muda?" si nenek bergigi emas bertanya.
"Senang sekali nek, sedap
dipakainya. Tapi kalau aku boleh bertanya apa arti sulaman gambar mahkota dan
keris bersilang ini?"
"Ah, itu hanya sekedar
gambar yang disukai pembuatnya. Apakah mahkota, keris atau gambar ular tak ada
bedanya…" Sambil bicara si nenek mematahkan sepotong belukar kering di
samping jalan lalu dengan potongan kayu itu dia menggurat-gurat di tanah. Ada
garis panjang, ada yang berbentuk bola, garis bersilang dan terakhir sekali si
nenek membuat garis panjang mulai dari tepi jalan di sebelah depannya sampai
tepi jalan di dekat dia duduk.
"Lukisan apa yang kau
buat nek?" Wiro bertanya.
"Ah, hanya iseng saja.
Orang sepertiku mana pandai melukis. Aih kulihat kau benar-bener gagah dengan
pakaian itu pendekar muda. Aku jadi teringat pada Suto Engging. Wajah dan
potongan tubuhmu banyak kesamaannya dengan dirinya di masa muda."
"Siapa orang bernama Suto
Engging itu nek?"
"Kekasihku di masa muda,
Lima tahun yang lalu kami berpisah. Dia ke barat aku ke timur. Tak pernah
kudengar lagi kabar tentang dirinya. Tapi aku yakin dia masih hidup!"
"Ah, pengalaman hidupmu tentu
banyak sekali nek. Dan aku yakin di masa muda kau pasti memiliki paras cantik
jelita. Sekarangpun kau masih kulihat cantik."
Si nenek tampak merah mukanya.
Tapi hatinya berbunga-bunga mendapat pujian itu dan tertawalah dia mengekeh.
"Pendekar muda, kau pandai menyenangkan hati orang. Pangalaman hidup jadi
bekal pelajaran masa depan bagi setiap orang. Pengalaman hidup itu pula yang
mengajarku agar tidak melakukan perkawinan dengan siapapun!
Dan percaya atau tidak anak
muda sampai hari ini aku yang tua renta masih seorang perawan sejati! Hik… hik…
hik…!"
Wiro merasa tenggorokannya
seperti tercekik dengan keterangan si nenek. Dia cepat-cepat mengangguk dan
berkata, "Aku percaya nek. Dan aku melihat buktinya. Meskipun tua kulihat
tubuhmu masih kencang, tak banyak guratan di wajahmu…"
Si nenek tertawa panjang
sampai keluar air mata.
"Nek, aku harus
melanjutkan perjalanan. Kau tahu namaku dan pasti tahu banyak tentang diriku.
Sebelum kita berpisah maukah kau mengatakan siapa dirimu ini?"
"Waktu kecil aku diberi
nama Tuwini Jenti. Sudah tua begini orang-orang memanggilku Nenek Hitam Bergigi
Emas.
Hik…hik..hik…"
"Terima kasih kau telah
menerangkan siapa dirimu. Juga terima kasih lagi atas pemberian pakaian ini.
Aku minta diri sekarang!" Wiro menjura dua kali berturut-turut. Ketika dia
hendak melangkah pergi dan pada saat kaki kanannya mendekati garis panjang yang
tadi dibuat si nenek dengan belukar kering, mendadak Wino merasakan seperti ada
satu kekuatan yang mendorong kaki kanan itu hingga dia tidak bisa meneruskan
langkah, malah kakinya terbanting ke belakang.
Dicobanya sekali lagi, sekali
lagi, sekali lagi lalu dengan mengerahkan seluruh tenaga tetapi tetap saja dia
tidak mampu melewati garis di tanah itu! Maka diapun berpaling pada nenek yang
saat itu masih tetap jongkok di tepi jalan sambil senyum-senyum.
"Kau memiliki ilmu
kesaktian yang mengagumkan, mataku jadi terbuka betapa luas dan tingginya ilmu
kepandaian dan kesaktian di atas dunia ini. Dan apa yang aku miliki sekarang
hanya merupakan satu tetesan kecil belaka! Nek, aku mau jalan. Mohon diberikan
petunjuk…."
Si nenek tersenyum. Dalam hati
dia berkata, "Pemuda ini begitu sopan penuh peradatan. Mengapa banyak
orang mengatakannya kurang ajar, konyol dan bersifat seenaknya? Ah, lama-lama
aku bisa jatuh hati padanya"
"Nek, kau seperti
melamun. Aku minta petunjuk bagaimana harus melewati garis aneh yang kau gurat
di tanah ini…"
"Oh itu! Mudah saja anak
muda. Pergunakan tangan kirimu menghapus garis itu. Setelah garis hapus kau
bisa lewat…. " menjawab Nenek Hitam Bergigi Emas.
Wiro lakukan apa yang
dikatakan si nenek. Dia membungkuk.
Dengan telapak tangan kirinya
dihapusnya guratan garis yang memanjang di tanah jalanan. Setelah hapus dia
coba melangkah.
Ternyata dia kini bisa
melangkah. Kekuatan aneh yang tadi mendorong tak ada lagi.
"Kau luar biasa
nek!" memuji Wiro.
Si nenek tertawa. Dia gerakkan
tangan kanannya ke mulut. terdengar suara kraak. Apa pula yang dilakukan
perempuan ini, pikir Wiro. Tiba-tiba si nenek ulurkan tangannya seraya berkata,
"Ambillah! Mungkin ada gunanya di saat kau kesusahan…"
Wiro ulurkan tangannya. Si
nenek letakkan sesuatu ke telapak tangan si pemuda. Ketika diteliti ternyata
sebuah gigi emas yang masih basah oleh ludah! Wiro kerenyitkan kening.
"Aku tidak berani menerima
pemberianmu ini nek," kata Pendekar 212.
"Kau jijik?!"
"Tidak…" jawab Wiro
agak gagap karena memang walau gigi palsu itu terbuat dari emas namun ada rasa
jijik dalam dirinya. "Jika ini kau berikan berarti kau akan kehilangan
salah satu gigimu!"
"Ambil saja! Aku punya
banyak persediaan gigi seperti itu!" berkata si nenek.
"Lihatlah!"
Lalu dari dalam sebuah kantung
perempuan tua ini mengeluarkan beberapa potong gigi emas. Dia mengambil tiga
buah lalu mecocokkannya dengan baglan giginya yang ompong. Gigi kedua ternyata
bisa menempel dengan baik. Dia tersenyum sambil menunjukkan barisan gigi
emasnya. "Lihat, gigi-gigiku utuh kembali."’
Wiro garuk-garuk kepala.
"Terima kasih atas pemberian gigi emas ini nek. Aku minta diri
sekarang!" Wiro menjura lalu melangkah pergi sambil menggenggam gigi emas
di tangan kanannya.
***
TIGA HARI setelah suami isrti
Ageng Lontar dimakamkan, Kepala Desa Parangtritis Ki Demang Wesi mendatangi
rumah kediaman orang kaya di daerah selatan itu bertemu dan bicara dengan puteri
yang merupakan anak tunggal mendiang suami istri yang Malang itu, yakni Winayu
Tindi.
"Anakku Winayu…."
Begitu Ki Demang Wesi memulai pembicaraan. Dia memang biasa memanggil gadis itu
dengan sebutan anak mengingat hubungannya dengan Ageng Lontar yang terkait pada
hubungan guru mereka masing-masing. "Kedatanganku malam ini guna
menyambung pembicaraan kita dua hari lalu."
"Apakah pakde Wesi sudah
mengetahui siapa pembunuh ayah dan ibu saya?" Winayu langsung ajukan
pertanyaan. Dan gadis ini terbiasa memanggil Kepala Desa dengan sebutan pakde
begitu.
"Belum Winayu. Tapi kita
akan mengetahuinya. Ada orang atau kelompok yang akan dapat membongkar rahasia
pembunuhan ayah dan ibumu. Namun kita harus berlaku hati-hati serta bersedia
memberikan sesuatu sumbangan untuk menunjang perjuangan kelompok
tersebut…"
Sulit bagi Winayu untuk
mencerna ucapan Ki Demang Wesi itu.
Maka diapun bertanya,
"Apa maksud Pakde? Kelompok mana yang pakde katakan tadi? Lalu sumbangan
bagaimana. Pakde juga menyebut-nyebut perjuangan. Saya tidak mengerti. Kepala
saya pusing…."
"Jika kau merasa kurang
sehat, pembicaraan ini bisa kita tunda sampai beberapa hari di muka."
"Tapi saya ingin
mengetahui pembunuh biadab itu pakde! Malam ini juga! Bahkan saat ini juga
kalau bisa!"
"Itu tidak mungkin aku
lakukan, anakku. Kelihatannya ada masalah besar di balik kematian kedua orang
tuamu. Dan satu-satunya yang bisa membongkar tabir rahasia ini lalu membekuk
pembunuh itu adalah kelompok yang aku katakan tadi. Aku akan menerangkan
siapa-siapa yang ada dalam kelompok itu…."
"Tunggu dulu pakde. Hari
ketika ayah dan ibu ditemukan tewas di atas delman bukankah pakde telah
mencurigai seorang pemuda. Pakde menyuruh tangkapnya tapi gagal. Orang itu
berhasil melarikan diri…"
"Memang berat dugaanku
saat itu bahwa pemuda tersebutlah yang melakukan pembunuhan. Kepandaiannya
terlalu tinggi hingga aku tidak berdaya menghadapinya. Namun aku yakin dia
tidak bekerja seorang diri. Aku telah menyebar mata-mata untuk mencari tahu di
mana pemuda itu berada. Pimpinan pasukan wilayah juga telah bersedia untuk
mengirimkan sejumlah pasukan guna membantu menangkap pemuda itu."
Winayu Tindi menyeka peluh di
keningnya. "Sekarang ceritakan kelompok yang pakde katakan tadi!"
Ki Demang Wesi mengangguk.
"Aku akan terangkan Winayu, asal kau mau berjanji untuk merahasiakan
apa-apa yang kita bicarakan selanjutnya. Ini menyangkut masalah
Kerajaan…."
Bertambah tidak mengerti
jadinya gadis itu. Namun karena ingin mendapatkan keterangan dan lebih dari itu
ingin mengetahul siapa pembunuh kedua orang tuanya maka Winayu anggukkan kepala
dan berkata, "Saya berjanji akan merahasiakan apa-apa yang bakal kita
bicarakan."
"Baik kalau begitu. Aku
akan mulai. Dengar baik-baik dan jangan bertanya sebelum keteranganku
selesai," kata Ki Demang Wesi pula.
"Seperti kau sendiri
mengetahui anakku, saat ini Baginda terbaring sakit. Raja kita sedang gering.
Di dalam keraton tersiar kabar bahwa ada kemungkinan orang-orang tertentu
tengah menyiapkan calon pengganti yang sebenarnya belum sampai haknya atau
tidak syah menurut jenjang usia maupun kedudukan ibunya. Dikawatirkan Sri
Baginda telah membuat surat wasiat. Sebelum baginda wafat, sebelum orang yang
tidak berhak menduduki tahta kerajaan, maka sekelompok pejabat Kerajaan yang
didukung oleh enam orang Adipati bermaksud mencalonkan pangeran Adi Bintang
Sasoko sebagai pewaris tahta.
Menurut silsilah saat ini
dialah yang berhak memegang tampuk kerajaan karena dia putera tertua meskipun
bukan dari istri pertama Sri Baginda
"Tetapi bukankah Pangeran
itu diketahui menderita penyakit kurang ingatan sejak dia berusia empat belas
tahun..?" ujar Winayu pula.
"Itu hanya titnah yang
sengaja disebar ke mana-mana dan perjuangan kelompok yang mendukung Pangeran
Adi Bintang ini mendapat dukungan pula dari Keraton Sura, ditambah oleh banyak
sekali tokoh-tokoh rimba persilatan. Jika semua rencana berjalan baik, kelompok
itu bersama ribuan rakyat yang menjadi pendukungnya akan masuk ke Kotaraja.
Begitu tahta jatuh ke tangan Pangeran Adi, semua para pendukungnya termasuk aku
dan kau tidak akan dilupakan. Jabatan tinggi apa saja bisa kau minta pada Sri
Baginda nanti…"
"Saya tidak menginginkan
jabatan tinggi pakde. Saya hanya ingin mengetahui siapa pembunuh ayah dan ibu.
Lalu menuntuk balas. Itu saja!" Kata Winayu Tindi.
"Betul, betul… Aku juga
tidak melupakan hal itu anakku. Justru itulah sebabnya kuterangkan panjang
lebar mengenai kelompok orang-orang penting ini. Hanya mereka yang bisa
membongkar rahasia pembunuh orang tuamu!"
"Jadi pakde adalah salah
seorang anggota kelompok tersebut?"
"Ya, juga ayahmu. Begitu
rencananya. Tapi dia tewas sebelum masuk. Kini kaulah yang menjadi
penggantinya. Kau harus bergabung dengan kelompok kami, Winayu!"
"Harus katamu
pakde?"
"Harus. Demi meneruskan
cita-cita ayahmu. Jika kau sudah masuk kelompok banyak yang akan membantu
mencari tahu siapa pembunuh ayah dan ibumu! Sebaliknya saat ini kelompok sangat
membutuhkan bantuan dana. Baik dalam bentuk uang, senjata dan makanan! Kau bisa
menyumbangkan dua hal. Uang dan makanan!"
Winayu tegak dari duduknya.
Setelah melangkah mundar-mandir gadis yang berusia delapan belas tahun ini
berkata, "Saya tidak mau ikut campur urusan kelompok pakde itu. Soal
bantuan saya tidak keberatan…."
"Terima kasih anakku.
Kalau kau bersedia membantu kelompok kami sudah sama artinya kau telah
bergabung dengan kami…." Ki Demang Wesi ikut berdiri. Dia menyerahkan
sebuah bungkusan pada Winayu.
"Apa ini pakde?"
"Kebaya dalam berwarna
biru muda polos. Budemu sendiri yang menjahitkannya untukmu. Aku pergi sekarang
Winayu. Jaga dirimu baik-baik…"
Sesaat setelah Kepala Desa itu
meninggalkan rumahnya Winayu Tindi membuka Wungkusan yang tadi diserahkan Ki
Demang. Ketika dibuka ternyata memang sehelai kebaya panjang berwarna biru
muda, polos dengan renda-renda di bagian dadanya. Lalu ketika kebaya itu
dibentang, Winayu melihat sulaman gambar mahkota dan keris bersilang dari
benang merah, terletak di bagian dada kiri kebaya itu.
***
3
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
terheran-heran sejak dia mulai memasuki pinggiran Wonosari. Semua orang yang
ditemuinya dan dipapasinya pasti menjura hormat, paling tidak menganggukkan
kepala atau merendahkan bahu.
"Eh, jadi siapa aku hari
ini rupanya! Semua orang memberi hormat. Seolah-olah aku ini seorang
pangeran!" begitu murid Sinto Gendeng tak habis pikir dalam hati.
Ketika perutnya terasa lapar
dan pendekar ini memasuki sebuah kedai makanan, penyambutan orang kedai dan
tamu-tamu yang ada di situ membuat Wiro jadi salah tingkah. Semua orang yang
sedang makan langsung tegak berdiri begitu dia muncul di pintu kedai.
Pemilik kedai bersama istri
dan seorang pelayannya buru-buru datang menyambut dan mempersilahkannya duduk
di kursi paling bagus, di ujung meja besar.
"Raden, maafkan keadaan
kedai yang sangat sederhana ini. Orang seperti raden tidak pantas makan di
sini. Ini satu kehormatan besar bagi kami suami istri mendapat kunjungan
raden…" begitu pemilik kedai berkata.
"Raden…Aku dipanggil
raden …." ujar Wiro dalam hati sambil garuk-garuk kepala dan tertawa
lebar. "Bintang apa yang jatuh di kepalaku hari ini…"
"Raden, silahkan duduk
menunggu. Tidak lama. Kami akan hadiahkan makanan paling enak dan segar. Apakah
raden ingin minum tuak nomor satu…?" bertanya istri pemilik kedai.
"Terima kasih. Beri aku
air putih biasa saja. Uangku tak cukup banyak untuk membeli tuak nomor
satu…" Jawab Wiro polos.
"Ah, jangan berkata
begitu raden, " kata pemilik kedai. "Kami mana berani memungut
bayaran untuk orang seperti dan sepenting raden. Semua demi perjuangan
raden…"
Lalu suami istri pemilik kedal
itu masuk ke dalam menyiapkan hidangan. Wiro memandang berkeliling. Setiap
orang yang kebetulan melihat kejurusannya buru-buru menganggukkan kepala.
"Aku ini dikatakan orang
penting…Gila! Apa sebenarnya yang terjadi di kota ini. Jangan-jangan mereka
salah sangka. Jangan-jangan ada seorang terhormat yang tampangnya mirip wajahku
yang jelek ini.
Ha..ha..Eh, tadi orang kedai
itu mengatakan perjuangan! Perjuangan apa…? Ah perduli setanlah! Perutku lapar,
makan dan bayar lalu pergi.
Tapi orang kedai itu bilang
aku tak usah bayar! Rejeki besar kalau begitu! Tapi bagaimana semua ini bisa
terjadi…?!"
Tak lama menunggu hidanganpun
diletakkan di atas meja. Mulai dari sebakul nasi putih harum mengepul, dua
potong ikan mas bakar, satu panggang ayam, sayur semangkuk besar lalu masih ada
kerupuk tempe dan sayur segar lengkap dengan sambal terasi di cobek besar.
"Silahkan makan raden,
silahkan…" Kata pemilik kedai berulang kali sambil membungkuk-bungkuk
sementara istrinya meletakkan sebuah cangkir tanah dan buli-buli berisi tuak
harum.
Tanpa tunggu lebih lama Wiro
menyantap makanan yang dihidangkan. Selesai makan dia meneguk tuak nikmat dan
harum, lalu duduk terperangah kekenyangan. Kedua matanya setengah terpejam
saking enaknya tapi juga mengantuk.
Istri pemilik kedai mendatangi
dan berkata, "Raden, jika kau mengantuk dan ingin istirahat, kami sudah
menyiapkan kamar untukmu… "
Wiro menguap lebar-lebar,
tersenyum dan menjawab, "Terima kasih, aku harus melanjutkan perjalanan
saat ini juga." Lalu Wiro mengeruk saku celananya dan meletakkan sejumlah
uang di atas meja untuk membayar makanan dan minuman yang telah disantapnya.
Melihat hal ini suami istri
pemllik kedai cepat mendatangi dan berkata, "Raden, jangan! Ambil kembali
uang itu. Semua yang kau telah makan dan minum tidak usah dibayar…"
Wiro geleng-geleng kepala.
"Aneh…aneh…" katanya dalam hati.
"Tidak usah bayar demi
perjuangan. Begitu…?
"Betul sekali
raden."
"Kalian keliru. Justru
demi perjuangan aku harus bayar!" Lalu Wiro cepat-cepat tinggalkan kedai
itu. Ketika dia pergi semua orang berdiri dan membungkuk memberi hormat.
Suami istri pemilik kedai
saling pandang satu sama lain. Sang suami berkata, "Baru sekali ini aku
menemui yang seperti dia. Benarbenar pejuang yang tidak mau memberatkan rakyat.
Simpan baik-baik uang itu istriku. Jangan sampai terlihat dan diketahui oleh
orang-orang Pangeran Adi Bintang Sasoko. Bisa-bisa kita dituduh menghambat
perjuangan!"
Di luar Wonosari terdapat
sebuah bukit kecil. Di sini tumbuh pohon-pohon jati muda. Karena ingin mengambil
jalan pintas agar lebih cepat, Wiro sengaja mendaki bukit. Perjalanan ini
menarik sekali karena semakin tinggi ke atas semakin bagus pemandangan tampak
di bawah bukit. Wiro berlari-lari kecil sambil bersiul-siul. Suara siulannya
bergema di hutan jati itu. Tiba-tiba pendekar kita hentikan siulannya. Ada
suara derap kaki kuda di belakangnya. Ketika berpaling, Wiro melihat ada
delapan penunggang kuda mendaki bukit jati dengan cepat. Dalam waktu singkat
delapan orang itu sudah berada di sekelilingnya. Dari sikap mereka jelas mereka
sengaja mengurung Wiro. Dan ternyata mereka adalah tujuh orang prajurit
kerajaan, dipimpin oleh seorang perwira muda.
Perwira itu memperhatikan Wiro
sesaat. matanya tertuju pada sulaman mahkota dan keris bersilang di dada kiri
pakaian putih sang pendekar lalu diapun berkata, "Kami tidak ingin
membunuhmu, kecuali jika kau tidak mau menyerah secara baik-baik’"
Seorang prajurit bersenjatakan
kelewang maju mendekati perwira Itu dan berkata, "Kenapa tidak dibunuh
saja bangsat yang satu ini?"
"Kelihatannya dia
mempunyai kedudukan yang tinggi. Kita bisa menguras banyak keterangan darinya.
Kembali ke tempatmu prajurit!" Jawab sang perwira dengan suara agak
berbisik.
"Kalian ini mau
mengapakan aku?" Wiro bertanya sambil garukgaruk kepala. Baru saja
beberapa waktu lalu mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang membuatnya
merasa seperti seorang pangeran, kini tahu-tahu dia menghadapi perlakuan yang
jauh berlainan. Agaknya bintang terangnya sedang redup!
"Karena kau masih
bertanya dengan baik maka aku akan menjawab dengan baik pula," menyahuti
si perwira muda. "Kau kami tangkap dan akan dibawa ke Kotaraja!"
"Eh, apa salahku sampai
ditangkap? Aku tidak membunuh, tidak mencuri dan merampok!"
Perwira di atas kuda tertawa
lalu keluarkan suara mendengus.
"Jangan berpura-pura
tolol!" dia mulai keluarkan suara keras.
"Perbuatanmu lebih jahat
dari membunuh, merampok atau mencuri! Kau mau menyerah secara baik-baik atau
terpaksa aku menurunkan tangan kasar?!"
"Gila! Tidak bersalah
tidak apa-apa disuruh menyerah! Apaapaan ini!"
"Kalau begitu kau minta
digebuk dulu!" Perwira muda itu tampak marah lalu berterlak pada anak
buahnya untuk menangkap Wiro.
Tujuh prajurit melompat turun
dari kuda masing-masing. Tiga orang menghunus senjata untuk melindungi empat
kawannya yang ingin meringkus Wiro.
Pendekar 212 tegak tak
bergerak sambil bertolak pinggang.
"Perwira, suruh
prajurit-prajurit ini mundur! Kalian mungkin keliru menangkapku!"
"Tidak! Gerak-gerikmu
sudah kami kuntit sejak di Wonosari! Dan dari pakaianmu itu jelas kau adalah
salah seorang pentolan berbahaya yang tengah dicari-cari!"
"Pentolan? Aku pentolan?
Pentolan apa…?"
"Masih berani
berpura-pura!" gertak perwira muda tadi lalu sekali laqi dia berteriak
memberi perintah anak buahnya agar segera menangkap Wiro. Maka tujuh prajurit
itu kembali bergerak. Kali ini mereka bergerak dengan cepat. Empat orang
berusaha mencekalnya sementara yang tiga todongkan senjata masing-masing.
"Gila!" Wiro mulai
jengkel. Prajurit terdekat yang hendak mencekal lehernya dihantamnya dengan
satu jotosan sehingga orang ini terpental dan menjerit kesakitan. Dua kawannya
balas menggebuk, tapi mengalami nasib sama karena lebih dahulu diterjang
jotosan pendekar 212. Melihat ini prajurit-prajurit yang memegang senjata tanpa
menunggu perintah lagi langsung tusukkan senjata masingmasing ke tubuh dan muka
Wiro!
Saat itu Wiro sudah mencekal
tubuh salah seorang prajurit yang tadi dihantamnya dan kini mengerang kesakitan
sambil pegangi perutnya yang kena tonjok. Ketika tiga senjata datang menusuk
Wiro lemparkan prajurit yang dicekalnya ke arah tiga prajurit bersenjata.
Melihat hal ini tentu saja mereka yang menyerang dengan senjata terpaksa
menarik pulang serangan masing-masing agar tidak melukai kawan sendiri.
"Kurang ajar! Kau berani
melawan dengan mengandalkan kepandaianmu!" Perwira muda di atas kuda marah
sekali. Dia melompat turun dari atas kuda sambil menghunus sebilah golok pendek
yang menjadi senjatanya. Belum lagi kakinya menjejak tanah, senjata di tangan
kanannya itu sudah berkesiuran membabat ke arah kepala Pendekar 212 Wiro
Sableng. Ini satu pertanda bahwa perwira ini memang terlatih dan memiliki ilmu
bela diri yang tinggi.
Begitu kedua kakinya menjejak
tanah, perwira itu kirimkan serangan susulan yang sangat ganas tanda dia memang
ingin membunuh lawannya saat itu juga. Wiro berkelebat mengelak dengan cepat.
Lima jurus menempur habis-habisan sang perwira hanya menghantam tempat kosong.
"Perwira! Sebaiknya lekas
pergi dari sini. Bawa semua anak buahmu! Aku tidak ada silang sengketa
denganmu!"
"Kau memang tidak ada
silang sengketa denganku secara pribadi! Tapi kau punya silang sengketa besar
dengan Kerajaan!" Menyahuti perwira itu lalu kembali memburu dengan
serangan-serangan gencar.
"Gila! Silang sengketa
apa maksudmu?!" tanya Wiro.
"Kau yang gila!
Berkomplot menjatuhkan Raja kini bertanya pura-pura tidak tahu!"
Kagetlah murid Sinto Gendeng
dari gunung Gede itu. Dia hendak berseru ajukan satu pertanyaan lagi namun
terpaksa bungkam karena di depannya kembali perwira muda itu menyerbu. Gerakan
goloknya tampak berubah dan serangan senjata itu benar-benar berbahaya kini.
Wiro sadar dia tak bisa
bertahan dan mengelak terus-terusan. Satu kali senjata lawan pasti akan
mencelakai dirinya. Ketika dia bersiap untuk kirimkan serangan balasan
tiba-tiba seorang prajurit muncul menunggang kuda dan berteriak.
"Perwira! Bahaya
mengancam di bawah bukit!"
Perwira muda itu melompat
mundur, melintangkan golok di depan dada dan berpaling pada prajurit yang
barusan datang. "Ada apa?!"tanyanya.
"Serombongan pasukan
musuh bersenjata lengkap, berjumlah sekitar lima puluh orang tengah menuju
kemari. Mereka dipimpin oleh dua orang tokoh silat dari timur. Kita harus
menyingkir dari sini. Kekuatan sangat tidak berimbang!" Begitu prajurit yang
datang memberikan laporan.
"Kalian semua lekas
menghadang di lereng bukit. Aku akan bergabung dengan kalian setelah menamatkan
riwayat pemberontak yang satu ini!" jawab Perwira muda itu.
"Perwira! Kita semua akan
mati konyol jika berani menghadapi kekuatan lawan yang begitu besar!"
jawab prajurit yang datang melapor.
"Aku yang memerintah di
tempat ini! Kalian jangan berani menampik!"
Mendengar itu delapan prajurit
yang ada di tempat itu tidak berani membuka mulut lagi. Mereka segera naik ke
atas kuda masingmasing, padahal beberapa di antaranya berada dalam keadaan
terluka di dalam akibat gebukan Wiro tadi. Kedelapan prajurit itu segera
menuruni buklt, menyongsong gerakan pasukan basar yang datang dari bawah.
"Perwira tolol! Kau
menyuruh anak buahmu bunuh diri!"
"Mereka memang pantas
untuk mampus! Kau! Mari hadapi golokku beberapa jurus lagi!"
"Edan! Perwira macam apa
kau ini!" teriak Wiro penasaran.
Dalam hatinya kini muncul niat
untuk menghajar perwira itu habishabisan.
Tapi sebelum menghajarnya dia
ingin mempermainkan lebih dulu agar si perwira benar-benar tahu rasa.
Dengan tangan kirinya Wiro
patahkan sebatang ranting. Lalu ranting ini dia pergunakan sebagai senjata
untuk menghadapi golok lawan.
"Jika kau punya senjata
sebaiknya dikeluarkan saja agar kau tidak mati percuma!"
Wiro menyeringai mendengar
ucapan perwra itu dan menjawab:
"Menghadapi perwira tolol
sepertimu mengapa harus pakai segala macam senjata. Ranting ini sudah lebih
dari cukup!"
"Bangsat! Kau akan
menyesal sampai ke liang kubur!"
"Mulutmu terlalu besar.
Jangan menganggap rendah semua orang!" sahut Wiro. Ranting di tangan
kirinya diputar berlawanan arah dengan putaran golok si perwira. Perwira ini
merasakan adanya sambaran angin deras mengepung gerakannya. Angin yang keluar
dari ranting bukan saja membuat goloknya terbendung, tapi tubuhnya sampai
bergoyang keras.
"Lepas!" tiba-tiba
Wiro membentak. Ranting di tangan kirinya menusuk ke arah tenggorokan lawan.
Sewaktu si perwira berkelit ke samping rnurtd Sinto Gendeng cepat pukulkan
ranting ke kiri.
Terdengar suara sang perwira
terpekik kesakitan ketika ranting itu menghantam belakang tangannya yang
memegang golok. Senjatanya benar-benar lepas mental. Dia coba melompat untuk
menyambar golok itu, tapi kakinya tiba-tiba dihantam ranting. Untuk kedua
kalinya perwira itu menjerit kesakitan. Sewaktu dia turun ke tanah kembali
dilihatnya Wiro sudali tegak dengan senyum mengejek sambil bolang-bolangkan
golok milik si perwira yang kini berada di tangan kanannya.
"Memalukan! Perwira totol!
Kalau aku jadi Raja, manusia macammu tak akan terpakai! Ini, ambil kembali
golokmu!"
Habis berkata begitu Wiro
lemparkan golok di tangan kanannya ke tanah. Senjata ini menancap satu jengkal
di depan kaki sang perwira dan menghujam tanah sampai setengahnya.
Merasa malu dan marah karena
dipermainkan dan diejek begitu rupa, perwira muda itu cabut goloknya dari
tanah. Dengan senjata itu dia hendak menyerbu lawannya habis-habisan. Tetapi
alangkah kagetnya dia ketika golok yang menancap di tanah itu tak sanggup
dicabutnya. Dia kerahkan tenaga dalam sekuat-kuatnya, lalu pergunakan pula
tenaga dalam. Sekujur tubuhnya mandi keringat. Golok di tanah sama sekali tak
bergeming! Tak sanggup dicabutnya.
"Memalukan! Benar-benar
memalukan! Ayo kerahkan tenagamu lebih besar perwira muda! Kalau mencabut golok
saja tidak sanggup bagaimana mau berperang melawan musuh!"
"Keparat kurang
ajar!" maki si perwira. Dia kerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut
golok. Ternyata senjata itu kini mudah sekali dicabut. Hingga tak dapat
dicegah, begitu golok tercabut perwira itu langsung jatuh terjengkang di tanah.
Wiro tertawa tergelak-gelak. Merah padam muka si perwira. Golok yang ada dalam
pegangannya dilemparkannya ke arah Wiro. Senjata ini menderu dengan ujungnya
yang runcing tajam menyambar ke arah dada sang pendekar. Murid Sinto Gendeng
angkat tangan kirinya yang memegang ranting. Begitu golok dan ranting menempel,
Wiro putar tangannya. Golok membalik ke kanan, berputar di pertengahan ranting
seperti sebuah titiran.
"Manusia keparat, jangan
kira aku sudah kalah! Mari kita berkelahi dengan tangan kosong!" teriak
perwira muda itu lalu sekali lompat dia sudah menerjang dengan tendangan dan
jotosan. Untuk sesaat Wiro masih asyik memutar-mutar golok di ujung ranting.
Tiba-tiba pendekar ini tarik ranting dari badan golok. Senjata ini mental ke
bawah, gagangnya menghantam kening si perwira dengan keras. Sang perwira
menjerit kesakitan, mundur terhuyunghuyung sambil pegangi keningnya yang
mengucurkan darah!
Pada saat itulah dua orang
berpakaian hitam menunggang kuda muncul di tempat itu diikuti oleh hampir lima
puluh penunggang kuda lainnya yang kebanyakan berpakaian kelabu.
Dua penunggang kuda di sebelah
depan adalah dua orang kakek berwajah hampir mirip satu sama lain. Pada dada pakaian
hitam yang mereka kenakan tampak ada gambar mahkota dan keris bersilang yang
disulam dengan benang merah. Anggota rombongan lainnya juga memiliki gambar itu
pada pakaian masing-masing tetapi terbuat dari sulaman benang berwarna biru.
Dua kakek berpakaian hitam
yang membekal sebitah senjata berbentuk tombak pendek di pinggangnya
masing-masing, tampak sama manggut-manggutkan kepala. Yang di sebelah kanan
keluarkan ucapan" "Ah..ah..ah…! Kalian berdua baru saja selesai
berlatih!"
Kakek yang satu menimpali,
"Latihan kalian pasti berat dan keras! Buktinya kulihat salah satu dari
kalian sampai-sampai mengucurkan darah di kening!"
Perwira muda itu hanya berdiam
diri. Sesaat dia tampak masih sibuk menyeka luka darah yang masih mengucur dari
luka di keningnya. Sementara Wiro bertanya-tanya dalam hati siapa pula dua
kakek yang datang membawa rumbongan manusia begini banyak. Tadi jelas dia
mendengar sendiri bahwa orang-orang yang baru datang ini adalah serombongan
pasukan musuh. Tetapi kini setelah berhadapan satu sama lain dengan perwira
muda itu, mereka sama sekali tidak nampak sebagai bermusuhan. Wiro memandang
berkeliling. Dia tidak melihat delapan prajurit yang tadi dikirimkan untuk
melakukan penghadangan.
"Saudara-saudara, kita
tidak punya waktu banyak. Malam ini ada pertemuan penting. Pangeran tidak ingin
melihat ada yang datang terlambat! Mari…."
"Eh, apakah kau bicara
denganku juga?!" tanya Wiro pada si kakek yang barusan bicara.
"Apa kau kira aku bicara
dengan penghuni gaib bukit Jati ini?!" sahut si kakek.
Wiro perhatikan gambar mahkota
dan keris bersilang di dada pakalan si kakek. Untuk pertama kali dia ingat akan
gambar yang sama di dada pakaiannya sebelah kiri.
"Eh …apa artinya
gambar-gambar itu. Mengapa sulaman di dadaku sama dengan sulaman di dada
pakalan mereka. Apakah mereka juga mendapat pakaian itu dari Nenek Hitam
bergigi Emas…?"
Wiro tak dapat menjawab
pertanyaannya sendiri. Untuk bertanyapun dia merasa tak enak. Lalu mengapa
kakek tadi mengajaknya ikut serta? Melihat gambar-gambar yang sama di dada
pakaian mereka dan di dada pakaiannya sendiri apakah ini berarti mereka berada
dalam satu kelompok yang sama? Selagi Pendekar 212 Wiro Sableng berpikir-pikir
seperti itu dilihatnya perwira muda tadi membuka pakaian seragam Kerajaannya.
Ketika pakaian itu dibuka dan dilemparkannya ke tanah ternyata di balik pakalan
itu kini tampak sehelai pakaian biasa, berwarna hitam yang juga ada sulaman
benang merah bergambar dan keris bersilang di dada kirinya! Wiro jadi memandang
lagi pada gambar yang sama yang ada di dada pakaiannya.
"Berikan dua kuda pada
sahabat-sahabat ini!" Salah seorang kakek berseru. Dua orang lalu maju
menuntun dua kuda besar. Satu diserahkan pada si perwira, satu lagi pada Wiro.
Sesaat Wiro dan si perwira saling pandang.
"Kita berangkat!"
terdengar kakek tadi berteriak memberi abaaba.
Si perwira muda langsung
melompat ke atas punggung kuda. Wiro masih tegak terheran-heran.
"Eh, kenapa kau tampak
seperti orang bingung, sahabat?!" bertanya si kakek hitman di samping
kiri.
"Kalian mau mengajakku
kemana?!" tanya Wiro sambil garukgaruk kepala.
"Kemana lagi kalau bukan
ke Parangtritis, markas Pangeran Adi Bintang Sasoko. Apakah kau masih mau
bertanya? Kita orang-orang satu golongan! Aku sudah melupakan kejadian tadi!
Anggap benarbenar sebagal latihan!" Yang bicara adalah perwira muda itu
"Gila!" desis Wiro sambil meinandang berkeliling. "Apa yang
sebenarnya terjadi saat ini! Apa arti semua ini! Dan sulaman gambar mahkota
serta keris bersilang ini…! Gila ! Hanya ada satu cara mencari jawaban. Aku
harus ikut dengan mereka!" Wiro lalu melompat ke atas kuda. Rombongan
bergerak menuruni bukit Jati. Di satu lereng bukit Who melihat delapan sosok
tubuh berseragam prajurit kerajaan menggeletak di tanah. Semuanya sudah
meregang nyawa dengan tubuh penuh luka. Wiro melirik ke arah perwira muda yang
kini mengenakan pakaian hitam, yang menunggang kuda tak jauh di sampingnya. Di
saat yang sama perwira itu juga berpaling ke arahnya, tersenyum kecil dan
kedipkan mata!
***
4
DALAM perjalanan ke Parangtritis
tak satupun anggota rombongan ada yang membuka mulut atau bicara. Tampaknya
mereka diperintahkan untuk membungkam diri. Dua kakek berpakaian serba hitam
bergerak di sebelah depan lalu menyusul perwira muda yang ternyata adalah
seorang pembelot. Di belakang ke tiga orang ini bergerak puluhan penunggang
kuda berpakaian kelabu. Dan Pendekar 212 Wiro Sableng sengaja menyatu di
tengah-tengah mereka. Walau ada hasrat untuk menyelinap dan kabur dari
rombongan itu, namun lebih besar lagi niatnya untuk ikut terus guna mengetahui
siapa sebenarnya orangorang itu. Siapa pula Pangeran Adi Bintang Sasoko. Lalu
apakah dia akan bertemu lagi dengan Nenek Hitam Bergigi Emas yang memberikan
pakalan putih bersulam mahkota dan keris bersilang itu?
Karena rombongan tidak mau
menempuh jalan umum maka perjalanan menjadi satu setengah kali lebih panjang
dan lama. Maka menjelang matahari tenggelam mereka baru sampal di tujuan yakni
bagian teluk Parangtritis yang agak terpencil dan jarang didatangi orang.
Disini ternyata sudah terdapat ratusan orang yang kebanyakan berpakaian kelabu.
Banyak pula yang berseragam perajurit Kerajaan.
Kelompok ini tangsung memberi
hormat ketika melihat kemunculan perwira muda yang mereka kenal. Semua kuda
ditambatkan, ada yang dibawa ke kandang darurat untuk diberi makan dan minum.
Angin laut bertiup kencang.
Salah seorang dari dua kakek
berpakalan hitam memandang berkeliling, mencari-cari Wiro Sableng yang saat itu
duduk memencilkan diri di bawah sebatang pohon kelapa. Kakek ini segera menghampirinya
lalu memberi isyarat untuk mengikuti. Bersamasama dengan perwira muda dan kakek
yang satu lagi, Wiro melangkah mengikuti orang tua itu. Mereka bergerak ke
bagian teluk yang penuh ditumbuhl pohon-pohon bakau. Setelah merancah air laut
sebatas mata kaki dan menyibak kelebatan pohon-pohon bakau keempat orang itu
sampai di sebuah gundukan tanah keras bercampur batu yang di bagian tengahnya
merupakan sebuah lobang besar atau mulut goa selebar dan setinggi tiga tombak.
Kakek yang memimpin memandang sesaat pada perwira muda itu, lalu pada Wiro dan
akhirnya memberi isyarat agar mengikutinya memasuki goa.
Bagian dalam goa merupakan
satu tanjakan yang terbuat dari batu, mulai dari bagian bawah sampai dinding
dan langit-langitnya.
Kira-kira sepeminuman teh
berjalan Wiro melihat ada cahaya terang di sebelah depan. Tak lama kemudian
mereka sampai pada ujung goa yang ternyata tertetak pada sebuah bukit kecil
yang penuh ditumbuhi semak belukar dan pepohonan rapat. Sinar matahari yang
hendak tenggetam masih sempat menyeruak di antara dedaunan. Beberapa belas
tombak dari luas bukit kecil itu sengaja dirambas dan di situ dibangun sebuah
gubuk panjang tanpa dinding.
Sepanjang gubuk terdapat meja
papan kasar yang diapit oleh bangku-bangku panjang yang juga terbuat dari kayu
hutan, setiap sisi meja memiliki dua lapis bangku. Dan di situ Wiro melihat
kira-kira selusin orang duduk memandang ke arah mereka sementara di kepala meja
sebelah kanan tampak duduk seorang pemuda berpakaian sangat mewah, bermuka agak
pucat dan setiap saat selalu tersenyum-senyum menyunggingkan gigi-giginya yang
tonggos.
Di samping pemuda itu duduk
seorang lelaki gemuk yang terus menerus menyedot sebatang pipa panjang. Bau
tembakau yang terbakar memenuhi tempat itu. Di atas meja, terutama di kepala
meja terdapat banyak makanan. Kendi-kendi tanah berisi tuak tak terbilang
banyaknya. Tampaknya makanan dan tuak itu belum disentuh sama sekali. Mungkin
masih menunggu sesuatu.
Wiro memandang berkeliling,
mencari-cari. Namun orang yang dicarinya yakni si Nenek Hitam Bergigi Emas tak
tampak hadir di tempat itu. Kakek berpakaian hitam memberi isyarat pada Wiro
dan perwira muda itu. Lalu keempat orang yanog baru datang ini mengambil tempat
duduk. Dua kakek di kepala meja sebelah kiri sedang Wiro dan si perwira di
bangku panjang lapis belakang bagian tengah.
Lelaki gemuk yang menghisap
pipa, sesaat memangdang berkeliling lalu lepas pipanya, berpaling pada pemuda
berpakaian mewah yang sebentar-bentar tertawa dan berkata, "Semua yang
ditunggu sudah hadti. Apakah pertemuan penting ini bisa kita mulai Pangeran
Adi?"
Pemuda berpakaian mewah yang
rupanya adalah Pangeran Adi Bintang Sasoko mengangguk lalu tertawa gelak-gelak.
"Aku sudah lama menunggu. Kalian juga! Sudah lapar dan haus! Sebelum
memulai pembicaraan kita makan dan minum dulu sekenyangkenyangnya! Ha…ha…ha…!
Eh, kau setuju calon patih Kerajaan?!"
Si gemuk yang disebut sebagal
calon patih membuka mulut dan setengah berteriak menjawab, "Setuju!"
Maka semua orang yang ada di
situ langsung menyambar hidangan dan meneguk minuman yang ada di atas meja.
"Hai! Sampean tidak lapar
dan haus? Mengapa melongo seperti patung tolol?!" seorang lelaki
berpakaian penuh tambalan menegur Wiro yang sampal saat itu masih duduk berdiam
diri.
"Atau mungkin dia
menunggu sampai calon patih kita marah?!"
seseorang berseru. Lalu orang
itu tertawa gelak-gelak, diikuti tawa beberapa orang lainnya.
Wiro akhirnya mengulurkan
tangan juga menjangkau piring besar berisi ketan kunlng yang dihiasi goreng
paha ayam. Sebentar saja makanan itu sudah berpindah ke dalam perutnya. Ketika
dia hendak mengambil cangkir dan menuang tuak ke dalamnya tiba-tiba dia
mendengar suara halus seperti nyamuk mengiang di telinganya.
"Pendekar muda…. Kau
boleh sumpal perutmu dengan semua makanan yang ada di atas meja! Tapi jangan
sekali-kali kau minum tuak itu! Minuman yang nikmat itu telah berubah menjadi
minuman celaka! Minuman itu beracun!"
Wiro tersentak kaget. Kedua
matanya berputar memandang berkeliling. Siapa gerangan yang barusan bicara
jarak jauh dengannya itu? Satu persatu dipandanginya wajah orang-orang yang ada
di tempat itu. Semua mereka, termasuk Pangeran Adi Bintang Sasoko sibuk
menyantap makanan masing-masing. Wiro memperhatikan terus sambil melahap paha
ayam. Semua orang termasuk Pangeran Adi meneguk tuak yang dihidangkan, malah
ada yang begitu lahap hingga berceceran menumpahi dagu dan pakaiannya. Wiro
melihat bahwa ada dua di antara orang-orang yang ada di situ hanya berpura-pura
minum.
Tuak yang diteguknya hanya
dilelehkan ke bawah dagu!
"Semua sudah kenyang dan
puas mlnum?!" tiba-tiba si gemuk yang disebut calon patih berseru.
"Kenyang! Puas!"
orang banyak menyahuti. Si gemuk berpaling pada Pangeran Adi. "Pangeran,
saatnya kita mulai melakukan pembicaraan!"
Pangeran Adi mengangguk,
matanya berputar-putar lalu Pangeran yang berotak tidak waras ini tertawa
gelak-gelak.
Si gemuk berdiri dari
bangkunya. Ujung pipa diselipkannya ke sela bibir. Dia memandang berkeliling
dengan sepasang matanya yang sipit lalu berkata, "Sebelum pembicaraan
penting dimulai, tempat pertemuan ini harus benar-benar dijaga kerahasiaannya!
Pohon di sekitar sini bisa jadi telinga musuh! Apalagi manusia penyusup!"
Sekali lagi si gemuk memandang
berkeliling. Tatapan kedua matanya sesaat tak berkedip ke arah Pendekar 212
membuat murid Sinto Gendeng jadi menahan nafas.
"Sebelum pembicaraan
dimulai setiap yang hadir harus memperkenalkan diri agar kita saling kenal satu
sama lain!" Si gemuk berteriak. "Pertama akan kuperkenalkan dulu
Pangeran Adi Bintang Sasoko. Beliau adalah calon Raja kita semua, calon
pemimpin tunggal Kerajaan! Pangganti satu-satunya Raja yang saat ini sedang
gering! Bukan begitu Pangeran Adi?!"
Pangeran Adi berdiri dari
duduknya, menjura dan berteriak.
"Betul! Aku yang bakal
memegang kekuasaan dan menduduki tahta Kerajaan! Hanya aku! Ha… ha…hal…!"
Si gemuk kembali membuka
mulut. "Aku sendiri adalah Suto Gunoto, bergelar Si Tapak Api. Sesuai
dengan kehendak Pangeran Adi, bakal menduduki jabatan Patih Kerajaan!"
Habis berkata begitu si gemuk usap-usapkan kedua telapak tangannya satu sama
lain.
Terdengar suara meletup dan
lidah api mencuat keluar dari celah dua telapak tangan itu.
Semua orang berdecak kagum
melihat hal itu dan sambil tertawa mengakeh Suto Gunoto kembali duduk. Dia
memberi isyarat pada orang di sebelahnya. Orang ini berdiri dari duduknya,
menjura lalu memperkenaikan diri.
"Aku Jaliteng Teguh,
Adipati Klaten, siap berjuang di pihak Pangeran Adi. Seratus orang perajuritku
siap sedia di timur Patrangtritis!"
Orang ketiga tegak pula dari
bangku kayu. Seperti Adipati Klaten tadi dia juga menjura, mendongak sebentar
lalu membuka mulut.
"Namaku jelek, tampangku
jelek, pakaianku jelek dan pekerjaanku juga jelek. Ha-ha-ha…! Aku Sumo Kandil,
diberi julukan Pengemis Kaki Kayu! Aku berjuang bersama Pangeran Adi! Di usia
tua ini aku ingin menghabiskan sisa hidup dengan tenang menjadi pejabat
Kerajaan!" Habis berkata begitu Pengemis Kaki Kayu melompat ke atas meja.
Ternyata kaki kanannya memang terbuat dari kayu. Dengan satu gerakan seperti
asal-asalan saja orang ini hantamkan kaki kayunya ke meja. Papan meja yang
terbuat dari kayu hutan yang tebal dan kasar itu langsung hancur dan berlobang
besar! Orang banyak bertepuk tangan. Sumo Kandil kembali ke tempat duduknya.
Orang keempat berdiri dari bangkunya.
Dia seorang kakek bermuka cekung, mengenakan baju hijau yang kebesaran dengan
sulaman mahkota dan keris bersilang di dada kiri. Sulaman seperti ini juga
terdapat pada semua pakaian para yang hadir di tempat itu, termasuk Wiro
Sableng sendiri. Ketika orang ini meletakkan kedua tangannya di atas meja,
tampaklah sepuluh jari tangan yang memiliki kuku-kuku panjang berbentuk aneh
seperti seperti pisau-pisau kecil!
"Aku tua bangka jelek ini
sudah lama lupa nama sendiri. Tapi orang memanggilku. Si Pengupas Kepala! Itu
saja. Aku tidak mau banyak cerita. Kelak kalian akan melihat sendiri siapa aku
ini adanya!" dengan tenang lalu si kuku panjang ini duduk kembali ke
bangkunya.
Orang kelima sampai ke
sembilan ternyata adalah Adipati dari daerah utara dan barat. Setelah
menyebutkan nama masing-naasing dan berasal dari Kadipaten mana, sambil tak
lupa mengatakan bahwa desekia puluh atau sekian ratus perajuritnya sudah
bersiap sedia, maka masing-masing kembali duduk di bangku panjang.
Orang yang ke sepeluh adalah
satu dari dua kakek berpakaian hitam. "Aku juga ikut-ikutan pikun. Lupa
nama. Bersama adikku ini…" Si kakek menunjuk pada kakek satunya yang duduk
di sebelahnya, "Kami dikenal dengan julukan Sepasang Tombak Dewa! Aku
mendapat kepercayaan menjadi Panglima Pasukan Kerajaan dan adikku menjadi
wakilnya. Panggil saja aku ini Tombak Dewa! Kesatu dan adikku Tombak Dewa
Kedua! Soal kepandaian kami pernah merajai rimba persilatan di pantai selatan
ini. Tapi saat ini kami tidak enak badan, tak mau pamer kepandaian!
Ha-ha-ha!"
Orang kedua belas adalah
perwira muda yeng duduk di samping Wiro Sableng. Setelah mengerling sesaat pada
Wiro, orang ini berdiri dan memperkenalkan diri.
"Namaku Aryo Ladam.
Jabatan terakhir Perwira Muda pada pasukan kerajaan. Tapi mulai detik ini
jabatan itu tidak kupakai lagi karena ingin menyumbangkan bakti pada calon Raja
kita yang baru yaitu Pangeran Adi Bintang Sasoko. Soal kepandaian mungkin
banyak di antara para hadirin memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dariku.
Sebelum berangkat ke mari aku
telah berhasii membina sekitar enam puluh perajurit dan dua perwira muda untuk
berjuang di pihak kita.
Mereka semua berada di
Kotaraja. Mereka akan melakukan gerakan menyusup dan menghantaan lawan di pusat
Kota. Mereka siap menunggu perintah!"
Suto Gunoro
mengangguk-anggukkan kepala sementara Pangeran Adi Bintang Sasoko
tersenyum-senyum sambil meneguk tuak.
Sambil mengangkat kendi tuak
Pangeran itu berkata, "Sesuai janji, kau akan aku angkat sebagal Kepala
Pengawal Raja. Pangkatmu dinaikkan dua tingkat!"
"Terima kasih
Pangeran," kata Aryo Ladam dengan senang hati seraya menjura lalu duduk ke
tempatnya kembali.
Kini giliran Pendekar 212 Wiro
Sableng memperkenalkan diri. Setelah menggaruk kepala lebih dulu, pendekar ini
berdiri dan menjura ke arah Pangeran Adi serta Si Tapak Api. Sikap ini membuat
kedua orang itu merasa senang karena sebelumnya tidak ada seorangpun yang
memberikan penghormatan ketika memperkenalkan diri.
"Mohon dimaaafkan kalau
namaku jelek didengar. Aku Wiro Sableng! Pendekar pengangguran yang dicap
berotak kurang waras. Apa yang menjadi tujuan para tokoh yang hadir di sini
menjadi tujuanku pula! Kita bersama-sama berjuang!" Wiro lalu duduk
kembali. Dalam hati dia menyumpah. "Persetan dengan perjuangan gila ini? Aku
ingin buru-buru pergi dari sini! Edan, mengapa aku sampai terdampar di antara
para pengkhianat ini!"
Terdengar suara batuk-batuk
beberapa kali, lalu disusul suara orang bicara. Yang bicara adalah Sumo Kandil
alias Pengemis Kaki Kayu. "Sungguh luar biasa! Tidak disangka-sangka kalau
tokoh silat muda terkenal sepertimu ikut berada di antara kita Pendekar 212,
apakah keikutsertaanmu bersama kami mendapat restu dari gurumu di puncak Gunung
Gede…?!"
"Ah, si kaki kayu ini
rupanya tahu banyak tentang diriku dan guruku," membatin Wiro. Pendekar
ini agak gugup mendapat pertanyaan itu tapi cepat kuasai diri dan menjawab,
"Ketika aku melapor, guru sedang tidak di tempat. Aku hanya meninggalkan
pesan tertulis memberitahu apa yang aku lakukan…" Wiro berdusta.
"Bagus…bagus… Sebetulnya
kau bisa mengajak beberapa tokoh utama lainnya menyertai kita. Tapi yang ada
sekarangpun sudah cukup!" kata Pengemis Kaki Kayu pula.
Orang ke empat belas yang
duduk di samping kiri Wiro memperkenalkan diri sebagai Tumenggung Gandana
Jipang. Seperti Aryo Ladam dia juga menerangkan bahwa ada sejurnlah besar
pasukan kawal Istana yang berhasil ditariknya.
Orang terakhir atau yang ke
lima belas adalah yang paling lucu, paling konyol gerak-geriknya. Dia
mengenakan baju merah menyala yang sangat besar tetapi seperti yang lainnya di
dada pakaiannya juga tersulam gambar mahkota dan keris bersilang. Rambutnya
yang panjang digulung ke atas dan pada ujung gulungan diberi pita merah.
Mukanya dirias secara seronok
yaitu bedak tebal bertotol-totol, lalu gincu berlepotan dari bibir sampai ke
pipi dan dagu sedang alis mata diberi jelaga hitam bercelemongan. Orang ini
berdiri dengan sikap malu-malu seperti perempuan. Suaranya kecil ketika
memperkenalkan diri,
"Namaku Tatata Tititi.
Aku tidak bergelar tidak berjuluk! Tidak punya kepandaian silat! Tapi pandai
bermain sulap, kalau perlu menyihir. Lihaat!" Orang itu menunjuk pada
sepiring makanan di atas meja. "Saat ini kalian melihat ada makanan di
alas piring itu! Tapi coba pejamkan mata kalian sekejapan! Lalu buka dan lihat
lagi ke arah piring! Kalian tidak akan melihat makanan lagi! Nah
lakukanlah!"
Karena tertarik, hampir semua
orang yang ada di tempat itu termasuk Wiro pejamkan matanya. Ketika kedua mata
dibuka dan mereka memandang ke arah piring! Astaga! Memang diatas piring itu
kini yang mereka lihat bukan lagi makanan, tapi seonggok tahi kerbau! Semua
orang mengerenyit jijik. Tak percaya pada pemandangan masing-masing dan banyak
yang mengusap-usap kedua matanya!
"Jadi tadi kalian bukan
bersantap enak. Tapi makan tahi kerbau…hik…hik..hik!" orang bermuka
celemongan itu tertawa cekikikan. "Aku hanya bergurau! Hanya bergurau.
Lihat sekali lagi. Apa yang ada di piring memang makanan!"
Dan ketika semua orang
memandang lagi ke arah piring, memang di situ kini tampak makanan seperti
semula. Terdengar orang tadi berkata, "Jika aku bisa merubah makanan jadi
tahi kerbau, aku juga bisa merubah wajah Sri Baginda menjadi tahi kerbau!
Hik…hik…hik!"
"Tukang sulap!"
tiba-tiba Suto Gunoro alias Si Tapak Api berseru. "Coba terangkan, kau ini
lelaki atau perempuan!"
"Hik..hik..hik! Aku bukan
lelaki bukan perempuan!" jawabnya Tatata Tititi.
"Maksudmu….?!"
Pangeran Adi Bintang yang kini ajukan pertanyaan.
"Aku banci!
Hik..hik..hik!"
"Jangan melantur! Kau
berhadapan dengan calon Sri Baginda!"
Membentak Si Tapak Api.
"Hik..hik..hik! Aku tidak
melantur. Aku memang banci. Jika tidak percaya akan kusingkapkan pakaianku! Mau
melihat…?!"
Pangeran Adi Bintang tertawa
gelak-gelak dan goyanggoyangkan tangannya ketika Tatata Tititi hendak
menyingkapkan pakalannya yang lebar.
"Sudah! Kami percaya
padamu siapapun kau adanya. Kau telah menjadi satu kelompok dengan kami!"
ujar Pangeran Adi sambil senyum-senyum. "Silahkan duduk Tatiti…."
"Maaf, namaku Tatata
Tititi, Pangeran. Bukan Tatiti …. !"
"Oh, ya aku
kesalahan!" Pangeran Adi tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada Suto
Gunoro dan berbisik, "Saatnya untuk melakukan pembersihan, patih!"
Suto Gunoro mengangguk lalu
cabut pipanya dan berdiri. Sepasang matanya yang sipit tampak tambah sipit
ketika dia memandangi satu persatu semua orang yang ada di tempat Itu.
"Saudara-saudara satu
perjuangan. Sebelum pembicaraan amat rahasia kita mulai, tempat ini harus
dibersihkan darl penyusup matamata musuh!"
"Eh…! Apakah ada
mata-mata kerajaan disini?!" angkat bicara Pengemis Kaki Kayu alias Sumo
Kandil.
Suto Gunoro menyeringal buruk.
Dia berpaling pada kakek bermuka cekung yang tadi memperkenalkan diri dengan
juiukan Si Pengupas Kepala. Lalu Suto anggukkan kepalanya.
Melihat isyarat ini Si Pengupas
Kepala bangkit dart kursinya. Kedua matanya memandang menyorot satu persatu
pada orang-orang yang ada di sekitar meja. Kedua tangannya sailing
digosok-gosokkan.
Kuku-kukunya yang beradu satu
sama lain mengeluarkan suara bergemericik, tidak beda seperti pisau-pisau
saling bergesekan, menggidikkan kedengarannya. Orang ini melangkah memutari
meja, mengitari lima belas orang yang duduk laksana terpaku. Wiro merasakan
tengkuknya dingin ketika menyadari bahwa Si Pengupas Kepala berhenti melangkah
dan tegak tepat dibelakangnya.
"Jangan-jangan orang ini
mencurigaiku. Pasti aku yang dimaksudkannya dengan mata-mata musuh tadi!
Celaka!" Wiro segera pusatkan tenaga dalam ke tangan kanan, diam-diam
menyiapkan pukulan sakti "sinar matahari". Kedua telinganya dipasang
tajamtajam. Begitu terdengar orang bergerak maka serta merta dia akan
menghantam.
Dibelakangnya Si Pengupas
Kepala dengan gerakan sebat dan tiba- tiba mengangkat tangannya, mencekal leher
orang yang duduk di sebelah kiri Wiro. Dia adalah Tumenggung Gandana Jipang!
Wiro menarik nafas lega.
"Mata-mata keparat!
Berani kau menyusup ke sarang harimau!" teriak Si Pengupas Kepala.
Tumenggung Gandana Jipang
tampak kaku sekujur tubuhnya.
Mukanya seputih kertas.
Suaranya tercekik ketika bicara. "Lepaskan! Jangan! Kau salah tuduh! Aku
bukan mata-mata Kerajaan! Aku datang kemari justru untuk bergabung! Bukankah
aku yang memberikan berita-berita rahasia tentang sakitnya Raja….?!"
Si Tapak Api tertawa mengekeh.
Si Pengupas Kepala menimpali dengan suara menggereng. Cekalannya mengencang.
Tubuh Tumenggung Gandana Jipang dilemparkannya ke atas meja besar. Begitu orang
ini terpentang di atas meja, sepuluh jari tangannya yang memillki kuku sekuat
dan setajam pisau bergerak cepat seperti menggerlnda. Terjadilah satu
pemandangan luar biasa mengerikan.
Tumenggung Gandana Jipang
menjerit setinggi langit, melolong dan menghempas-hempaskan tubuhhya sementara
kepalanya mulai dari kulit kepala sampai kulit muka dikelupas oleh kuku-kuku
maut itu!
Hanya beberapa kejapan mata
saja kepala itu kini tinggal tengkorak berselimut darah! Tubuh Tumenggung
Gandana Jipang tak berkutik lagi.
"Gusti Allah…" bisik
Wiro dalam hati dan membuang muka ke jurusan lain.
Kesunyian yang dicengkam
ketegangan menggantung di tempat itu. Dan Kesunyian ini dirobek oleh suara tawa
mengekeh Pangeran Adi Bintang dan Suto Gunoro alias Si Tapak Api sementara Si
Pengupas Kepala sibuk membersihkan tangan dan kukunya yang bersimbah darah.
Sambil membersihkan tangannya dia memandang berkeliling, lalu berkata,
"Manusia ini bukan Tumenggung Gandana Jipang! Dia mata-mata Kerajaan yang
coba menyusup. Tumenggung Gandana Jipang yang sebenarnya berada dalam
penjara!"
Wiro tidak perduli apa yang
diucapkan oleh orang itu. Ingin
sekali dia meninggalkan tempat
itu. Ketika dia hendak bergerak bangkit tiba-tiba Si Tapak Api berseru.
"Ada tamu datang! Bersihkan meja!"
Pengemis Kaki Kayu cepat
berdiri. Kaki kayunya bergerak ke atas meja. Tubuh Tumenggung Gandana Jipang
mencelat mental dan lenyap diantara pohon-pohon lebat yang mulal tenggelam
dalam gelapnya malam yang baru turun.
***
5
YANG DATANG ternyata ada dua
orang. Yang pertama seorang lelaki tinggi kekar berambut kelabu dan memegang
sebuah tongkat sepanjang tiga jengkal di tangan kanannya. Di samping orang ini,
agak ke belakang sedikit berjalan seorang gadis berkebaya panjang biru dangan
sulaman gambar mahkota serta keris bersilang di dada kirinya. Gadis ini tampak
agak ragu-ragu untuk melangkah lebih dekat ke arah meja besar dimana
berkeliling belasan orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Tapi lelaki
berambut kelabu cepat berbisik dan memegang tangannya. "Tak ada yang harus
ditakutkan, anakku. Kita berada di tengah-tengah teman seperjuangan…"
"Aha! Ki Demang Wesi!
Akhirnya kau datang juga! Untung pembicaraan rahasia belum dimulai!" Si
Tapak Api berseru. Sesaat matanya jelalatan menatap wajah cantik gadis di
samping lelaki berambut kelabu yang ternyata adalah Ki Demang Wesi, Kepala Desa
Parangtritis.
"Harap maafkan….
"sahut Ki Demang Wesi sambil menjura.
"Aku terlambat karena
harus meyakinkan anakku ini dulu bahwa perjuangan kita adalah perjuangan yang
besar. Bahwa masa depannya akan seribu kali lebih baik begitu perjuangan
selesai! Aku perkenalkan putriku, Winayu Tindi. Sebenarnya dia adalah puteri
almarhum Ageng Lontar, orang paling kaya di Parangtritis. Tapi aku sudah
menganggapnya sebagai anak sendiri dan dia sudah menganggap aku sebagal ayah!
Dan yang penting, Winayu Tindi telah memutuskan untuk menyumbang kekayaannya
bagi perjungan kita!"
"Hebat!" seru Si
Tapak Api.
Pangeran Adi Bintang Sasoko
tiba-tiba bangkit dari kursinya. Matanya memandang tak berkesip pada Winayu
Tindi. Tangan kanannya diangkat. Jari telunjuknya diarahkan tepat-tepat pada
gadis itu, tenggorokannya turun naik. "Cantik! Cantik sekali puterimu ini
Ki Demang! Sumbangannya untuk perjuangan sangat besar! Apakah balas jasa yang
paling baik harus kita berikan pada si cantik jelita ini…?!"
Tak ada yang menjawab. Mungkin
tak ada yang berani menjawab. Tapi tiba-tiba Wiro berdiri. "Menurut pendapatku,
dia pantas menjadi istri pangeran. Menjadi permaisuri begitu pangeran
dinobatkan jadi Raja!"
"Hah?! Tepat! Tepat
sekali!" teriak Pangeran Adi lalu tetawa gelak-gelak.
Yang lain-lainnya ikut
bertepuk tangan dan mengatakan setuju.
Di antara tepuk tangan dan
suara riuh itu tiba-tiba Wiro mendengar ada suara seperti nyamuk mengiang
dikedua telinganya, "Anak tolol! mengapa mulutmu selancang itu mengatur
perjodohan orang?! Sableng!"
Wiro merasakan mukanya jadi
merah dan panas. Dia memandang berkeliling, mencari-cari siapa diantara yang
hadir yang barusan mengirimkan ucapan itu. Sulit baginya untuk menduga. Mungkin
Pengemis Kaki Kayu atau mungkin Si Tapak Api.
Atau mungkin pula salah satu
dari Sepasang Tongkat Dewa? Ketika tepuk tangan dan suara riuh lenyap,
terdengar suara Winayu Tindi. Wajah gadis ini tampak sangat merah.
"Sesuai janji, saya
memberikan sumbangan demi untuk mencari tahu siapa pembunuh ayah dan ibu
saya…!"
"Oh begitu? Urusan
gampang!" sahut Si Tapak Api.
"Calon permaisuriku! Kau
tak usah kawatir! Jangankan mencari tahu siapa pembunuh orang tuamu! Mencari
tahu beberapa banyak bintang di langitpun akan kulakukan!" berkata
Pangeran Adi yang disambut dengan suara riuh rendah oleh orang banyak.
Ki Demang Wesi membimbing
Winayu lalu keduanya duduk di bagian meja yang masih kosong ini adalah di
samping Wiro. Begitu melihat si pemuda kening Ki Demang Wesi jadi berkerut.
"Eh, anak muda!
Kau…"
"Rupanya kita orang-orang
satu golongan. Apakah kau masih menduga aku yang melakukan…?" Wiro mendahului.
"Tidak, tentu saja
tidak!" jawab Ki Demang Wesi cepat.
Winayu Tindi tidak mengerti
apa yang dibicarakan kedua orang itu. Tapi sejak mendengar ucapan Wiro tadi,
gadis ini sudah sempat sebal lebih dulu. Begitu Wiro memandang padanya gadis
ini segera menempelak dengan ucapan, "Mulutmu lancang benar! Apa
keuntunganmu mengatakan itu tadi…"
Untuk kedua kalinya Wiro
merasa wajahnya menjadi merah. Sadar kalau mulutnya ketelepasan.
"Maafkan aku sahabat. Aku
tidak bermaksud lancang. Tapi katakataku tadi memang tidak pada tempatnya.
Kurang ajar! Aku tahu jangankan gadis secantikmu, kambing betina yang bengekpun
tidak mau jadi istri Pangeran gila itu…!"
Suto Gunoro sang calon patih
Kerajaan bangkit dari tempat duduknya. Setelah menghisap pipanya panjang-panjang
diapun menyatakan bahwa pembicaraan rahasia segera dimulai. Adapun pembicaraan
itu menyangkut rencana penyerbuan Kraton dari tiga jurusan dengan kekuatan
hampir seribu orang. Lalu melakukan penculikan terhadap Sri Baginda dan
menculik atau membunuh Pangeran Ikronegoro yakni Pangeran yang diduga akan
diangkat dan dinobatkan menjadi Raja begitu Sri Baginda mangkat. Setelah itu
dilakukan penggantian terhadap pucuk pimpinan Kerajaan, termasuk para Adipati,
kecuali Adipati yang berpihak dan membantu Pangeran Adi bintang Sasoko.
Diatur pula taktik bahwa
penyerbuan akan dilakukan dua hari dimuka, dini hari menjelang subuh. Sebelum
itu, pada permulaan malam akan dilakukan pembunuhan terhadap para tokoh silat
Istana. Dan ini dilaksanakan oleh tiga orang yaitu Si Pengupas Kepala, Pengemis
Kaki Kayu dan Pendekar 212 Wiro Sableng!
Menjelang tengah malam
pertemuan rahasia itu berakhir, Ki Demang Wesi meneguk tuak sampaii sekendi
penuh. Winayu Tindi sama sekali tidak menyentuh minuman ini, dan juga tidak
mencicipi makanan. Ini kelak menyelamatkan dari racun mematikan yang ada dalam
minuman.
Selain bangunan panjang tanpa
dinding yang dijadikan tempat pertemuan itu, ternyata masih ada tiga bangunan
lain yang dibuat berpencar di tiga tempat dan merupakan rumah-rumah kecil.
Salah Satu rumah itu ditempati oleh Pangeran Adi Bintang Sasoko bersama Si
Tapak Api. Rumah kedua dan ketiga tadinya dibagi-bagi untuk para anggota
komplotan pemberontak itu namun yang satu kemudian harus diberikan pada Winayu
Tindi karena sudah diputuskan bahwa sejak kedatangan mereka malam itu ke tempat
itu, tidak satu orangpun diperkenankan meninggalkan tempat rahasia itu.
Penjagaan ketat dilakukan di setiap sudut.
Malam itu Wiro pura-pura tidur
mendengkur di bangku panjang. Udara dingin sekali dan suara deburan ombak di
pantai terdengar mengerikan. Setelah pertemuan berakhir tadi, Wiro sempat
melihat Pangeran Adi, Si Tapak Api dan Ki Demang Wesi melakukan pembicaraan
singkat. Lalu ketiganya menuju rumah kecil di sebelah kanan. Murid Sinto
Gendeng yakin sekali pasti ada pembicaraan.
Ketika dilihatnya gelagat
baik, Pendekar 212 cepat mengendap-endap, menyelinap di kegelapan malam lalu
melompat ke atas pohon yang salah satu cabangnya menjuntai tepat di atas rumah
di mana ketiga orang itu berada. Dari atas pohon Wiro dapat mendengar
pembicaraan orang-orang itu cukup jelas.
"Ki Demang Wesi, malam
dingin begini aku ingin berada dekat puterimu yang cantik itu. Apa jawabmu Ki
Demang?" terdengar suara Pangeran Adi.
"Pangeran, gadis itu
masih terguncang jiwanya akibat kematian kedua orang tuanya. Tunggulah beberapa
hari. Dia akan menjadi permaisuri Pangeran jika Pangeran memang
menyukainya…" Begitu jawaban Ki Demang Wesi.
"Tentu saja aku
menyukainya! Ha..ha…ha! Seperti aku menyukai sarapan pisang goreng dan kopi
hangat pada pagi hari! Ha.. ha.. ha.. !"
"Ki Dernang, tadi aku
mendengar gadis itu menyatakan bahwa sumbangan diberikannya dengan imbalan kita
harus mencari tahu siapa pembunuh kedua orang tuanya. Bukankah persoalan itu
sudah kuserahkan agar kau selesaikan dengan tuntas?" Yang bicara adalah Si
Tapak Api.
"Telah aku usahakan Suto.
Hanya sayang aku salah menjatuhkan tuduhan. Aku tidak tahu kalau pemuda asing
yang aku tuduh itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, orang kita sendiri….
"
"Terus terang aku menaruh
curiga pada pendekar satu itu. Meski orangnya keblinger dan kepandaiannya
tinggi namun sejak lama dia dikenal sebagai tokoh bersih dari golongan
putih…."
"Dunia bisa berubah,
apalagi manusia!" ujar Ki Demang Wesi.
"Tapi tak ada salahnya
untuk menyelidiki, siapa yang membawanya masuk dalam kelompok kita…"
Melihat hal ini Ki Demang Wesi
minta diri untuk meninggalkan tempat itu. Sebelum Ki Demang membuka pintu
terdengar Si Tapak Api berkata, "Kau jaga baik-baik Winayu Tindi itu, Ki
Demang! Dia calon Permaisuri!"
"Akan aku lakukan Sumo.
Tentu saja!"
"Satu hal lagi haruss kau
jaga baik-baik, Ki Demang!"
"Apa itu…?"
"Jangan sampai dara itu
mengetahui kalau kaulah pembunuh kedua orang tuanya…"
Ki Demang Wesi mengangguk
perlahan. Ada rasa tidak enak di hatinya mendengar kata-kata Sumo Gunoro itu.
Maka diapun berkata, "Kalau bukan demi perjuangan, sebenarnya aku tidak
akan mau berlaku sekeji itu Sumo… Lagi pula dia menolak untuk diajak serta.
Bahkan mengancam akan melaporkan komplotan kita ke Istana!"
"Memang manusia seperti
dia pantas disingkirkan. Tapi kudengar istrinya telah dirusak kehormatannya
sebelum dibunuh! Apa yang kau lakukan Ki Demang?"
"Ya, ceritakan apa yang
kau lakukan Ki Demang!" terdengar suara sang Pangeran.
Terdengar Ki Demang Wesi
menarik nafas. Lalu terdengar jawabannya. "Perempuan itu terlalu cantik
dan masih sangat muda untuk dihabisi. Sayang dia banyak tahu dari suaminya
tentang komplotan kita. Juga kusir kereta…. "
"Aku tidak bertanya si
kusir delman itu! Tapi apa yang situ lakukan terhadap istri Ageng Lontar! Ha…
ha…ha…. ! Ceritakan saja saja Ki Demang…. "
"Aku memang dirasuk
nafsu. Perempuan itu kutiduri baru kubunuh. Untuk menutup rahasia kusir delman
terpaksa pula kubunuh!"
"Kau makan sendirian Ki
Demang! Tidak membagi-bagi kami! Ha…ha…. ha….!"
"Kau boleh pergl Ki
Demang! Dan janjiku padamu pasti akan kutepati! Kau bukan saja akan terus jadi
Kepala Desa Parangtritis, tapi akan kuangkat jadi Adipati!"
"Terima kasih Pangeran.
Aku minta izin mengundurkan diri…."
Terdengar suara pintu dibuka
lalu ditutupkan kembali. Di atas pohon Pendekar 212 Wiro Sableng tersentak
kaget seperti disengat kalajengking mendengar rentetan pembicaraan yang
terakhir.
"Manusia setan haram
jadah! Jadi dia pembunuh kedua orang tua gadis itu! Benar-benar dajal!"
Amarah membuat murid Sinto Gendeng ini lupa berada dimana dia saat itu. Begitu
melihat sosok tubuh Ki Demang Wesi keluar dari dalam rumah dia segera hendak
melompat turun guna menghajar manusia itu. Tapi gerakannya tertahan ketika tiba-tiba
ada suara mengiang di telinganya.
"Jangan tolol! Kendalikan
amarahmu! Belum saatnya! Belum saatnya untuk memamerkan kehebatan!"
"Sialan! Dia lagi!"
maki Wiro. Matanya dibuka lebar-lebar dan dia memandang berkeliling. Tidak
nampak seorangpun, kecuali Ki Demang Wesi yang melintas dibawah pohon. Saat itu
pintu rumah terdengar terbuka kembali. Lalu tampak Si Tapak Api keluar dan
bergegas menyusul Ki Demang. Kedua orang ini sama berhenti di bawah pohon,
tepat di atasnya Wiro mendekam.
"Sumo, aku perlu bertanya.
Apakah tuak itu benar-benar kau campur racun?"
"Seperti yang kita
rencanakan, sobatku! Dalam waktu dua minggu yang minum akan mampus! Putus dan
hancur ususnya! Dan kita memang tidak memerlukan mereka lagi! Juga tidak
Pangeran gila dan tolol itu!"
"Kalau begitu lekas
berikan padaku obat penawar racun itu! Aku tidak mau mati konyol!"
Si Tapak Api tertawa mengekeh.
Lalu dikeluarkan sebutir benda putih dari dalam saku pakalannya dan diserahkan
pada Ki Demang. Kepala Desa ini cepat menelan obat penawar racun itu.
"Jadi kau tetap akan
menghabisi Pangeran Adi begitu tahta direbut?" terdengar Ki Demang
bertanya.
"Bukankah itu yang kita
rencanakan? Aku jadi Raja, kau menjadi Patih…! Nah, hari hampir pagi. Kau
pergilah tidur. Mudah-mudahan mimpi enak…" Si Tapak Api menepuk bahu Ki
Demang Wesi. Keduanya berpisah.
"Jahanam! Benar-benar
manusia-manusia jahanam! Jadi benar bisikan orang itu. Minuman itu ternyata
beracun!"
Wiro memandang lagi
berkeliling. Sangat halus, tapi dia masih sempat mendengar ada suara bergeresek
di belakangnya. Dia cepat berpaling. Tapi terlambat. Dia hanya sempat melihat
bayangan dalam gelap. Dia coba memburu. Bayangan itu lenyap! Tapi dari sosok
tubuh yang sekelebatan itu dia rasa rasa bisa menduga siapa adanya orang itu.
Wiro memperhatikan suasana sekeliling seolah-olah tengah meronda. Dilihatnya
tokoh silat yang mengaku banci dan bernama Tatata Tititi tengah tidur mengorok
dekat kaki meja besar. Tadi dia tidak melihat orang itu tidur di sana,
Bagaimana kini tahu-tahu dia bisa ada di situ? Wiro melangkah mendekati orang
ini.
Memperhatikannya sejenak. Dia
melihat ada kotoran kehijauan pada pakaian merah Tatata Tititi. Lalu
diperhatikannya tangan sendiri. Noda yang sama juga terdapat pada kedua telapak
tangannya. Kotoran Itu adalah lumut pohon yang dipanjatnya. Pendekar 212
tersenyum.
Dalam hati dia berkata,
"Hemmm… Jadi dia rupanya!" Wiro manggutmanggut dan diam-diam merasa
lega.
Paling tidak dia tahu kalau
dia tidak sendirian ditempat yang sangat berbahaya itu.Ada seorang teman bersamanya
walau dia masih tidak dapat memastikan siapa adanya orang itu. Sambil
garuk-garuk kepala Wiro melangkah ke bangku panjang di mana dia berbarlng
sebelumnya. Dibelakangnya Tatata Tititi yang masih keluarkan suara mengorok
tampak membuka mata kirinya. Ada sekelumit senyum dimulutnya yang celemongan
oleh gincu itu. Dalam hati dia berkata, "Ah, pemuda itu sudah tahu
rupanya…"
***
6
SEJAK SIANG hujan turun terus.
Menjelang sore reda sebentar tetapi begitu matahari menggelincir ke ufuk
tenggelamnya hujan menderas menggila. Air laut bergelombang menggemuruh.
Suaranya menakutkan. Ombak memecah di teluk bergulung-gulung setinggi rumah. Di
kejauhan terdengar suara angin menderu mengerikan.
Tampak kilat sambar-menyambar
lalu suara guntur menggelegar seperti hendak membalikan isi laut. Beberapa
pohon kelapa di tepi pasir patah berderak, tumbang ke laut. Ringkik kuda yang
ketakutan terdengar berulang kali.
Di dalam rumah kecil Si Tapak
Api tampak melangkahi mundar mandir sementara Pangeran Adi tegak di sudut
sambil tersenyumsenyum lalu menyanyi-nyanyi kecil seolah-olah mengiringkan deru
hujan dan angin serta gemuruh air laut. Sepasang Tombak Dewa berdiam diri
sedang Pengemis Kaki Kayu duduk manggut-manggut sambil permainkan kaki kayunya.
Tokoh aneh bernama Tatata Tititi berdiri dekat pintu rumah, memegang sehelai
kapas berwana merah.
Tengah berhias rupanya si
banci ini! Si Tapak Api diam-diam memaki melihat tingkah laku orang-orang yang
ada disitu. Terutama jengkel terhadap Pangeran Adi dan Tatata Tititi.
"E… Hujan celaka !"
akhirnya meledak kejengkelan Si Tapak Api, alias Buto Gunoro sang calon Patih
Kerajaan. "Mengapa justru turun saat pasukan kita siap bergerak!"
"Tenang saja Suto.
Sebentar lagi hujan pasti berhenti. Begitu berhenti kita segera bergerak menuju
Kotaraja," berkata Pengemis Kaki Kayu.
"Kalau segera berhenti,
kalau tidak…? Kita bisa terlambat dan kesiangan sampai di sasaran!"
"Kalaupun hujan tidak
berhenti, apakah kita takut menempuh malam dan hujan?" bertanya Dewa
Tongkat Kesatu.
"Tidak ada yang perlu
kita takuti di dunia ini, tapi jangan tolol.
Cuaca bisa membuat kacau
gerakan kita!" kata Si Tapak Api tambah jengkel. "Apa sebenarnya yang
terjadi di luar sana? Siapa yang pandai melihat cuaca?! Tatata Tititi, kau
pasti tahu soal cuaca. Coba lihat keluar, apakah hujan akan reda atau
tidak?!"
Tatata Tititi tampak terkejut.
Dia hentikan membenahi wajahnya dengan bedak merah itu, memandang Si Tapak Api
dan tersenyum. Lalu terdengar suaranya yang kecil.
"Kalau aku berhujan-hujan
keluar, bedakku, gincuku, alisku… semua akan luntur! Hik…hik! Mukaku akan lebih
buruk dari pantat kuali! Suruh saja yang lain…"
Si Tapak Api menjadi sewot
perintahnya ditampik begitu rupa.
Dia menjangkau sebuah caping
lebar dari bambu dan melemparkarnya pada Tatata Tititi. "Pakai caping itu!
Wajahmu tak akan kehujanan! Ingat! Kekuasaan dan perintah tertinggi ada pada
Pangeran Adi. Dan aku mewakilinya. Jadi jangan ada yang berani menolak
perintah…"
Tatata Tititi batuk-batuk
beberapa kali. Caping yang dilemparkan orang terpaksa disambutnya dan
dikenakannya di atas kepalanya. Lalu dibukanya pintu rumah. Saat itu udara di
luar mulai gelap. Hujan lebat seperti tidak bisa ditembus dengan pandangan
mata. Dengan langkah terhuyung-huyung Tatata Tititi berjalan menuju bagian
bukit yang agak tinggi. Seharusnya dari situ dia bisa melihat teluk dan laut.
Tapi malam yang mulai turun dan derasnya hujan membuat pemandangannya terbatas
hanya sampal dua tombak saja. Sambil menggigil kedinginan Tatata Tititi
memandang berkeliling, mencaricari pohon yang baik dan mudah untuk dipanjat.
Dia menemukan sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi dengan cabang-cabang
yang berdekatan satu sama lain. Sekali lagi orang yang mengaku banci ini
memandang berkeliling. Lalu sekali dia menggenjot kaki maka tubuhnya pun
melayang ke atas cabang kedua. Walaupun dia kini berada di atas pohon, tetap
saja dia tidak papat melihat jauh ke arah laut. Yang kelihatan hanya
sambaran-sambaran kilat lalu suara guntur yang seperti hendak merobek langit.
Namun sebenarnya bukan untuk dapat melihat laut yang menjadi tujuan si muka
celemong ini untuk naik ke atas pohon. Dari dalam sakunya dia mengeluarkan
sebuah benda bulat panjang sebesar ibu jari. Bagian atas benda ini ada sumbunya
sedang sebelah bawah ditancapi sepotong bambu kecil sebesar lidi. Dari sakunya
yang lain dia mengeluarkan sepasang batu api.
"Celaka, batu api ini
basah…!" Lalu Tatata Titi gosok-gosokkan dua batu api itu kepakaiannya
agar kering. Sementara itu di dalam rumah kecil, Si Tapak Api terdengar marah-marah
karena sepasang batu apinya lenyap entah kemana. Padahal yang kini berada di
tangan Tatata Tititi itulah batu api miliknya, dicuri oleh si muka seronok!
Setelah sepasang batu api
kering dan dia berusaha sedapat mungkin melindungi benda bulat bersumbu agar
tidak terkena air hujan, maka Tatata Tititi mulai menggosok sepasang batu api
itu satu sama lain. Karena dia menggosok dengan ketakutan kuat dan keras maka
sebentar saja apipun memerclk. Tetapi ketika lidah api didekatkan ke sumbu
benda bulat panjang, tiupan angin yang keras mematikanya.
"Setan alas!" maki
Tatata Tititi. Sampai empat kali dia mencoba akhirnya baru sumbu itu dapat
dibakarnya dengan nyala api. Karena terbuat dari sejenis kain yang cepat
dimakan api, sumbu itu serta merta terbakar. Api menyulut ke bagian benda
bulat. Terdengar suara mendesis panjang. Tatata Tititi lepaskan pegangannya
pada bambu kecil. Seperti didorong oleh sesuatu kekuatan yang keras, dalam
keadaan menyala benda bulat panjang itu melesat ke udara. Siapapun yang berada
di delapan penjuru angin pasti akan melihat nyala terangnya, walaupun hanya
seketika yakni sebelum padam diterpa air hujan dan udara dingin. Tatata Tititi
untuk sesaat masih mendekam di atas pohon itu. Dia lebih banyak mempergunakan
ketajaman telinganya dari pandangan mata.
"Ada badai yang bakal
turun. Air laut akan segera naik. Pasang pasti akan menenggelamkan goa…."
Lalu dia turun dari atas pohon
kembali ke dalam rumah.
"Bagaimana? Apa yang bisa
kau laporkan…?!" Si Tapak Api langsung bertanya begitu Tatata Tititi
muncul di pintu.
"Kita harus berangkat
saat ini juga. Ada badai besar berkecamuk di laut. Dalam waktu cepat air laut
akan pasang dan goa panjang satusatunya jalan menuju ke pantai akan terendam
air!"
Mendengar keterangan Tatata
Tititi itu Pangeran Adi Bintang Sasoko melompat dan memegang lengan Si Tapak
Api kuat-kuat.
Wajahnya menunjukkan
ketakutan. "Aku tak mau mati ditabrak badai! Aku tak mau mampus tenggelam
di tempat ini! Aku harus hidup karena aku harus jadi Raja! Dan permaisuriku itu….
Dia yang nomor satu harus diselamatkan…!"
"Tenang Pangeran… tenang!
Semua akan kita atur dengan cepat. Kita akan segera meninggalkan tempat
ini!" Si Tapak Api lalu memanggil semua tokoh silat dan para Adipati yang
ikut dalam pertemuan malam tadi, termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kita semua akan
beprangkat saat ini juga. Kalian harus mengambil kedudukan dan tanggung jawab
sesuai yang sudah diberi tahu. Aryo Ladam, kau dan Tongkat Dewa Kedua serta dua
orang Adipati bertugas mengawal dan menjaga keselamatan pangeran Adi dan Winayu
Tindi! Ingat, sebelum mencapai jembatan di dukuh Sitomulyo, mereka harus kalian
bawa ke tempat rahasia yang sudah ditetapkan dan menunggu di sana sampai ada
utusan datang! Aryo, cepat kau jemput gadis itu bersama Ki Demang Wesi…"
Aryo Ladam cepat tinggalkan
tempat itu, berlari di bawah hujan menuju rumah kecil di mana Winayu Tindi dan
Ki Demang Wesi berada. Tak lama kemudian calon Kepala Pegawal Raja ini kembali
dengan muka pucat.
"Ada apa…. ? Mana kedua
orang itu…?!" tanya Si Tapak Api.
"Gadis itu tak ada di
dalam rumah sana. Ki Demang Wesi kutemui dalam keadaan tertotok. Aku berusaha
melepaskan totokannya tapi tidak bisa!"
Pangeran Adi Bintang Sasoso
keluarkan suara seperti meraung menangis lalu lari menghambur keluar, diikuti
oleh yang lain-lain. Ketika sampai di rumah sebelah memang di situ hanya
ditemui Ki Demang Wesi tegak kaku tak bergerak di tengah ruangan, menghadap ke
dinding membelakangi pintu. Winayu Tindi sama sekali tak ada di tempat itu.
Si Tapak Api memeriksa keadaan
Ki Demang Wesi sesaat lalu menusukkan dua ujung jari tangan kanannya ke
punggung untuk melepaskan totokan di tubuh orang itu. Tapi gagal. Totokan itu
tidak musnah. Paras Si Tapak Api tampak berubah.
"Ini bukan totokan
sembarangan! Tak mungkin gadis itu yang melakukannya lalu melarikan diri! Ada
pengkhlanat di antara kita! Musuh telah menyusup di tempat ini!" kata
calon Patih itu dengan mata berapi-api lalu menatap semua orang yang ada di
situ satu persatu. "Ka1au begitu pendapatmu, berarti calon permaisuri
telah diculik orang!" kata Dewa Tongkat Kesatu.
Mendengar ini kembali Pangeran
Adi Bintang Sasoko meraung dan jatuhkan diri ke lantai lalu menangis seperti
anak kecil.
"Manusia gila!
Sedeng!" maki Si Tapak Api dalam hati. Dia sama sekali tidak memperdulikan
sang Pangeran. Beberapa kali dia berusaha melepaskan totokan di tubuh Ki Demang
Wesi, tapi tetap saja tak berhasil.
"Biar aku yang tolol dan
banci ini mencobanya!" berkata Tatata Tititi. Dia maju mendekati Ki Demang
Wesi, menelitinya sesaat lalu tiba-tiba sekali dia menarik celana Kepala Desa
Parangtritis itu hingga melorot ke bawah. Di sebelah muka tampak perut dan
pusatnya yang penuh bulu, di sebelah belakang tampak pantatnya yang jelek
hitam.
"Manusia banci! Apa yang
kau lakukan ini?!" teriak Si Tapak Api sementara yang lain-lain tampak
senyum-senyum dan Wiro sendiri hanya garuk-garuk kepala.
"Jangan berpikir yang
bukan-bukan!" Sahut Tatata Tititi. "Pusat pengunci totokan aneh ini
ada dipusarnya!" Lalu Tatata Tititi menusuk pusar Ki Demang Wesi kuat-kuat
dengan jari telunjuk tangan kanannya. Ki Demang menjerit.
Duuutttt!
Angin busuk keluar dari bagian
bawah Ki Demang Wesi membuat semua orang menyumpah dan menekap hidung karena
baunya yang seperti hendak meruntuhkan bulu hidung. Namun di saat itu pula Ki
Demang Wesi tampak bergerak lalu menggeliat dan akhirnya membuat gerakan
seperti meronta. Ternyata dia kini telah bebas dari totokan aneh luar biasa
itu.
"Ki Demang! Ceritakan apa
yang terjadi ?!" tanya Si Tapak Api.
"Aku mendengar suara
angin bersiur, lalu tubuhku terdorong ke depan dan ketika aku sadar, kudapati
tubuhku sudah kaku, tak bisa bergerak, tak bisa bersuara. Winayu Tindi
lenyap!"
"Kau sama sekali tidak
melihat siapa yang melakukan?" tanya Dewa Tongkat Kedua.
Ki Demang Wesi menggeleng.
"Permaisuriku…
Permaisuriku!" Kembali terdengar raungan Pangeran Adi Sasoko.
"Pangeran tenanglah. Kita
pasti menemukan gadis itu…." kata Tatata Tititi. Tapi sang Pangeran terus
meraung seperti anak kecil.
Tiba-tiba seseorang muncul di pintu.
Dia adalah salah seorang yang ditugasi memimpin satu kelompok pasukan.
"Ada apa?!"
membentak Si Tapak Api.
"Saya datang untuk
melaporkan keadaan di luar. Air laut mulai menggenangi mulut goa. Badai dari
laut mulai menerjang tepi pantai.
Pohon-pohon bertumbangan.
Banyak kuda yang terlepas dan lari. Anggota pasukan mulai resah…"
Si Tapak Api mendekati
Sepasang Dewa Tongkat. Ketiga orang ini bicara berbisik-bisik. Lalu Si Tapak
Api berkata pada orang yang melapor. "Kembali ke tempatmu. Beritahu semua
orang untuk bersiap-siap. Kita akan segera meninggalkan tempat ini. Langsung
menuju Kotaraja! Atur pasukan dan siapkan senjata masing-masing! Aryo Ladam,
kuminta kau pergi bersama orang ini… "
Aryo Ladam mengangguk lalu
tinggalkan tempat itu, tetapi si pelapor masih tetap berdiri di tempatnya.
"Ada lagi satu hal penting terjadi di luar sanal Dua orang pengintai
melihat ada tiga rombongan besar pasukan Kerajaan. Mereka datang dari timur,
utara dan barat, menuju ke arah teluk, mengurung semua jalan keluar!"
Terkejutlah semua orang yang
ada di situ. Suasana berubah tegang sementara Pangeran Adi masih terus
meraung-raung sambil jambaki rambutnya sendiri.
"Kurang ajar! Bagalmana
ini bisa terjadi kalau tidak ada ponghianatan diantara kita! Musuh dalam
selimut! Penyusup keparat…!" teriak Si Tapak Api sambil kepalkan kedua
tangannya.
"Lekas mengaku! Siapa di
antara kalian yang jadi penghianat di tempat ini! Siapa di antara kalian yang
jadi mata-mata Kerajaan! Kalau tidak ada, masakan pasukan Kerajaan tahu-tahu sudah
berada di sekitar teluk! Berarti mereka paling tidak sejak satu hari lalu sudah
bersembunyi di luar sana!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada
yang menjawab.
"Baik!" ujar Si
Tapak Api dengan rahang menggembung, mata berapi-api dan suara bergetar saking marahnya.
"Tidak apa kalau tidak ada yang mau mengaku! Tapi dengar kalian semua!
Malam lalu kalian telah berpesta pora dengan tuak harum! Tapi tuak itu
mengandung racun ganas. Dalam dua minggu kalau tidak dapat obat penawarnya,
kalian akan mampus dengan usus hancur dan rasa sakit luar biasa!
Siapa yang ketahuan menjadi
pengkhianat, begitu Kotaraja jatuh dan tahta Kerajaan direbut, jangan harap
akan kuberikan obat penawar racun!"
Mendengar kata-kata Si Tapak
Api itu tentu saja semua orang yang ada di situ jadi terkejut dan marah.
Beberapa di antaranya segera melompat ke hadapan Si Tapak Api. Si Pengupas
Kepala angkat kedua tangannya. Si Tapak Api mundur selangkah. Sambil
menyeringai dia berkata, "Aku tidak takut mati! Kalian boleh membunuhku
sekarang juga! Tapi kalian sendiri akan mampus dua minggu kemudian! Silahkan
pilih! Ikut bersamaku meneruskan rencana semula dan kuberi obat penawar atau
kalian memilih bunuh diri sendiri-sendiri dengan racun yang ada dalam perut dan
darah kalian!"
"Jahanam kau Tapak Api!"
mendamprat Pengemis Kaki Kayu.
"Kami sudah percaya
padamu dan ikut bersamamu! Mengapa harus menipu dan mencelakai kami dengan
racun dalam minuman?!"
"Manusia keparat! Pasti
dia menyembunyikan satu maksud yang tidak baik terhadap kita! Jangan-jangan kita
hanya dijadikan alat belaka!" Membuka mulut Tatata Tititi.
"Tidak satupun di antara
kalian yang akan mati, kecuali para penghianat. Aku akan memberikan obat
penawar pada hari ke tiga belas! Jabatan dan hadiah yang telah dijanjikan tetap
akan menjadi bagian kalian! Sekarang bukan saatnya bicara panjang lebar. Lekas
tinggalkan tempat ini… "
Baru saja Si Tapak Api
mengakhiri kata-katanya, tiba-tiba angin dahsyat menderu. Bangunan kecil di
mana mereka berada terdengar berderak. Lalu terdengar suara gemuruh ketika atap
rumah itu terbang dihantam angin bersama sebagian dinding bangunan. Beberapa
pohon di sekitar tempat itu terdengar berderak bertumbangan.
"Badai sudah sampai di
sini!" teriak Tombak Dewa Kesatu.
Semua orang melompat keluar
darl runtuhan rumah kecuali Pangeran Adi Bintang Sasoko. Dia masih saja
menjelepok di lantai dan meraung. Si Tapak Api cepat angkat tubuhnya namun sang
Pangeran meronta sambil berteriak-teriak. "Aku tidak mau pergi! Mana
permaisuriku! Cari dulu dia! Aku harus pergi bersamanya!"
"Pangeran! Permaisurimu
pasti akan kita temui! Yang penting saat ini kita harus tinggalkan tempat ini!
Sebentar lagi badai akan menghancurkan semua yang ada di bukit ini! Air laut
akan semakin naik dan jalan menuju goa akan tertutup!" berkata Si Tapak
Api. Tapi Pangeran berotak miring itu malah menjerit, dan menggembor lalu
menyerang Si Tapak Api. Si Tapak Api tak dapat menahan kejengkelannya lagi.
Begitu sang Pangeran sampai di hadapannya serta merta ditotoknya hingga kaku
dan gagu.
"Pendekar 212! Tugasmu
memanggul tubuh calon Raja kita!" memerintah Si Tapak Api.
"Bukankah tugasku bersama
Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala berangkat duluan menuju Kotaraja
untuk menghabisi tokoh-tokoh silat Istana?" menjawab Wiro.
"Jangan toloi! Jangan
berani menampik perintahku!" bentak Si Tapak Api dengan mata mendelik.
"Kalau pasukan Kerajaan sudah muncul di Parangtritis apa kau kira para
tokoh itu masih buta tidak mengetahul apa yang terjadi? Apa kau kira mereka
enak-enakan tidur dan ngorok?! Jalankan perintahku!"
Wiro garuk-garuk kepala lalu
memanggul tubuh Pangeran Adi.
"Bebanku berat! Aku tak
bisa berjalan cepat! Kalian berangkatlah duluan!" ujar murid Sinto Gendeng
pula.
Ketika orang-orang itu
berjalan menuruni bukit dan satu demi satu memasuki goa panjang menuju ke
pantai, Pandekar 212 dengan cepat turunkan beban sang Pangeran lalu
menyandarkannya ke sebuah pohon. Dengan mempergunakan akar gantung Wiro
mengikat tubuh pangeran itu ke pohon tersebut!
Selesai mengikat Pangeran Adi
Wiro lari ke bagian timur bukit, menyelinap ke balik serumpun semak belukar.
Sesosok tubuh perempuan berpakaian biru yang basah kuyup oleh air hujan, tampak
dalam kegelapan malam. Kedua matanya terpejam. Perempuan ini ternyata adalah
Winayu Tindi yang sebelumnya telah dilarikan oleh Wiro untuk diselamatkan lalu
disembunyikan di semak belukar itu.
Dengan tangan kanannya Wiro
mengurut melepas totokan pada tengkuk Winayu Tindi. Kedua mata gadis ini tampak
bergerak lalu membuka. Mulutnya terbuka dan siap untuk menjerit. Wiro cepat
menutup mulut sang dara.
"Anak manis… jangan
menjerit. Jangan takut. Kita bisa selamat dari tangan-tangan pemberontak itu
asalkan kau mau menuruti nasihatku…"
"Kau! Kau menyebut mereka
pemberontak, kau sendiri salah seorang dari mereka!" tukas Winayu Tindi.
Wiro menyeringai. "Kau
tidak beda dariku, anak manis…"
"Jangan sebut aku anak
manis! Aku bukan anak-anak…"
Tapi kalau orang-orang
Kerajaan tahu kau membantu kaum pemberontak, nasibmu akan lebih buruk dariku.
Sekarang dengar baik-baik! Aku tahu siapa pembunuh kedua orang tuamu dan kusir
delman itu!"
Paras Winayu Tindi berubah.
Dia berdiri dengan cepat. "Siapa?!"
tanyanya menjerit di antara
deru hujan dan angin. Sementara malam tambah gelap dan udara dingin bukan main.
"Aku akan katakan itu
nanti. Yang penting mari tinggalkan tempat celaka ini!"
Gadis itu tidak menolak lagi
ketika Wiro menarik tangannya. Ketika melewati pohon di mana Pangeran Adi
terikat sang dara berbunyi. "Apa yang terjadi dengan Pangeran gila
itu?!"
"Dia sedang mimpi jadi
raja! Dan kau permaisurinya!" jawab Pendekar 212.
"Kau sama saja saja
sablengnya dengan Pangeran itu! Dalam keadaan seperti ini masih bisa bergurau!
Keterlaluan!" Winayu merengut jengkel tapi dalam hati dia merasa geli juga
melihat tingkah laku pemuda itu.
Di mulut goa dengan susah
payah Wiro berhasil mendapatkan dua ekor kuda yang sebelumnya memang
ditambatkan di sekitar situ.
"Aku akan berangkat lebih
dulu menyusul orang-orang itu. Kau berjalan di sebelah belakang. Tapi ingat,
harus mengatur jarak. Meski hujan dan gelap, tokoh-tokoh silat itu punya mata
setajam setan! Jangan sampai kau terlihat oleh mereka!"
***
7
WIRO MEMACU kudanya
meninggalkan Winayu Tindi. Saat itu hujan mulai mereda tetapi tiupan angin
tambah menggila dan malam semakin pekat. Air laut naik terus. Di bagian tepi
pantai yang tertinggi mencapai sebatas kuku kuda. Di sebelah depan ratusan
pasukan pemberontak bergerak di bawah pimpinan Aryo Ladam dan tiga orang
Adipati. Menyusul di sebelah belakang masing-masing menunggang kuda adalah Si
Tapak Api, Sepasang Tombak Dewa lalu Ki Demang Wesi. Di belakang ketiga orang
ini bergerak Pengemis Kaki Kayu dan Si Pengupas Kepala. Sedang Tatata Tititi
yang memakai caping menunggang kuda agak jauh di ujung kanan pasukan.
Pasukan pemberontak bergerak perlahan.
Bukan saja karena hujan dan angin badai tetapi juga karena semuanya kini
diliputi kebimbangan. Rasa bimbang ini berasal pada apa yang kini mereka
katahui dan hadapi yaitu munculnya tiga kelompok besar pasukan Kerjaan secara
tidak terduga dan menjepit mereka dari tiga jurusan.
Padahal sebelumnya mereka
penuh semangat den harapan untuk menyerbu Kotaraja dengan serangan mendadak di
mana pasti lawan berada dalam keadaan lengah. Kini sebaliknya malah pasukan
Kerajaan yang datang muncul dan menyerbu di pusat markas mereka di teluk
Parangtritis. Dua badai harus mereka hadapi kini. Badai alam berupa hujan dan
angin serta pasukan musuh!
Wiro mengusap mukanya yang
basah oleh air hujan lalu memacu kudanya mendekati Tatata Tititi. Sejarak lima
belas langkah dari banci berbaju gombrang merah itu mendadak Wiro mendengar
suara mengiang. "Dalam setiap urusan dan kesempatan, selalu perempuan
cantik saja yang jadi perhatianmu. Kau lemparkan kemana Pangeran Gila itu?
Hik…hik…hik…"
"Eh, suara itu
lagi…" desis Wiro. Dia memandang ke arah orang bercaping itu lalu bergerak
mendekatinya. "Hanya dia tokoh silat yang terdekat denganku…" Begitu
berada di samping Tatata Tititi. Wiro menegur. "Aku sudah curiga sejak
sehari lalu, kau pasti orang yang mengirimkan ucapan jarak jauh itu! Dan aku
yakin kau bukan banci! Siapa kau ini sebenarnya badut celemongan?!"
Orang yang ditegur tertawa
haha-hihi. Kedua tangannya bergerak lalu bret-bret-breettt dia merobeki pakaian
merah yang dikenakannya.
"Hai! Kau mau
menelanjangi diri sendiri?!" seru Wiro. Dalam hati dia berkata, "Lain
pula cara gila manusia satu ini!"
Tatata Tititi terus saja
merobeki pakaiannya lalu mencampakkan pakaian itu ke tanah yang telah digenangi
air laut. Ternyata di balik pakaian merah yang ada sulaman mahkota dan keris
bersilang itu dia masih mengenakan sehelai pakaian berwarna hitam. Selagi Wiro
keheranan melihat kelakuan orang ini, si muka celemongan angkat capingnya dari
atas kepala lalu acuh tak acuh tapi lebar dari bambu ini dilemparkannya ke arah
kiri. Benda ini melesat deras di udara, menembus hujan dan angin lalu
menghantam Adipati Klaten Jaliteng Teguh. Ternyata lemparan caping itu
merupakan satu totokan yang hebat. Karena begitu caping itu menghantam
punggungnya, serta merta Jaliteng Teguh menjadi kaku dan gagu tanpa orang-orang
di sekitarnya menyadari kejadian itu. Mereka hanya melihat sang Adipati tetap
duduk di atas punggung kuda yang terus bergerak.
Karena kepalanya tidak lagi
memakai caping maka air hujan mengguyur wajah Tatata Tititi membuat luntur
bedak tebal, gincu dan alis yang celemongan itu. Kini kelihatanlah wajah yang
asli. Wajah itu berkulit hitam pekat!
"Hai!" Wiro berseru
kaget."Jadi kau Nenek Hitam Bergigi Emas! Tapi mengapa gigi-gigimu tampak
putih?!"
Si nenek tertawa pendek. Lalu
buka mulutnya lebar-lebar dan masukkan jari-jari tangannya ke dalam mulut itu.
Dia seperti menarik sesuatu berbentuk lapisan kenyal tipis berwarna putih.
Begitu lapisan tipis itu tanggal, kelihatan barisan gigi-giginya yang terbuat
dari emas.
Selagi Wiro tercengang-cengang,
si nenek berkata, "Anak muda, kalau orang-orang Kerajaan melihatmu dalam
pakaian bersulamkan lambang pemberontak mahkota dan keris bersilang itu, kau
akan mereka cincang habis-habisan! Lekas kau tanggalkan pakaian itu!"
"Hem mm… Jadi itu sebabnya
kau membuang baju merahmu tadi, nek…!" Wiro berkata. "Baju darimu ini
cukup bagus, sayang kalau dibuang. Biar sulamannya saja yang aku robek!"
Wiro angkat bagian dada kiri pakaian ke mulutnya, lalu menggigit sulaman benang
merah dan sekalipus menariknya. Breeett! Dada kiri pakaian itu kini bolong
sebesar telapak tangan. Sulaman mahkota dan keris bersilang lenyap.
"Aku tak mau
kedinginan…." kata Wiro. "Nek, aku tak tahu banyak tentang dirimu.
Tapi karena kau yang memberikan pakaian bersulam ini beberapa hari yang lalu,
apakah kau bukannya salah seorang dari pentolan pemberontak itu?"
Nenek Hitam Bergigi Emas
menyeringai. "Anak muda, aku adalah salah seorang tokoh silat Istana yang
berhasil menyusup ke dalam komplotan dan markas pemberontak. Kita sama satu
haluan. Apa salahnya aku mengajakmu membantuku, berbakti kepada Kerajaan!"
"Lalu apa yang akan kita
lakukan sekarang? Sebentar lagi dua pasukan akan bertemu muka dan beradu
senjata!"
"Kita harus berusaha
menangkap hidup-hidup. Terutama Si Tapak Api. Dialah dalang dari pemberontakan
ini. Dia punya rencana keji. Berpura-pura merebut tahta untuk Pangeran gila
itu, padahal begitu dia menang, Pangeran itu akan dibunuhnya lalu mengangkat
diri sebagai Raja…"
"Aku sudah tahu hal itu.
Apakah dua malam yang lalu kau ikut mencuri dengar pembicaraan rahasia antara
Si Tapak Api dengan Ki Demang Wesi?" bertanya Wiro.
Si nenek tertawa. "Aku
berada di pohon satunya ketika kau mendekam di pohon yang lain …. Dengar, kita
tidak punya waktu lama. Usahakan Pengemis Kaki Kayu dan Si Tapak Api. Yang
lainlainnya bagianku!"
Namun terlambat. Di depan sana
dua ujung tombak pasukan sudah saling bertamu. Pertempuran hebat tidak dapat
dielakkan lagi. Dua pasukan yang berkekuatan hampir sama baku hantam. Suara
beradu senjata, pekik kesakitan dan kematian ditimpal oleh ringkikan kuda serta
deru hujan dan angin. Darah mengucur, membuat genangan air laut tampak merah
dalam kegelapan malam.
Di ujung sebelah depan pasukan
pemberontak, Aryo Ladam dan tiga Adipati mengamuk ganas. Belasan prajurit
Kerajaan tewas di tangan mereka. Seorang penunggang kuda bertubuh tinggi besar
merangsek ke depan menghadang gerakan Aryo Ladam. Dia membentak, "Manusia
pengkhianat, kau kuberi kesempatan menyerah, kecuali kalau menginginkan mampus
dengan noda memalukan!"
Si tinggi besar itu adalah
perwira tinggi atasan langsung Aryo Ladam.
"Majurai! Jangan bicara
besar di depan malaikat mautmu! Aku tawarkan kau menyebrang ke pihakku atau
akan mampus percuma!"
Majurai si perwira tinggi
mendengus marah lalu sabatkan kelewang di tangan kanannya. Bekas bawahan dan
atasan itu langsung terlibat dalam pertempuran satu lawan satu yang seru. Namun
setelah beberapa kali gebrakan Aryo Ladam tak dapat menandingi kehebatan
atasannya yang memang terlatih dalam pertempuran di atas kuda.
Kelewang Majurai mercbek dada
Aryo Ladam. Perwira muda yang memberontak karena mengharapkan jabatan dan
pangkat yang lebih tinggi ini terhuyung-huyung dengan dada bersimbah darah lalu
terjungkal ke tanah. Terdengar sesaat suara erangannya, sesudah itu nafasnyapun
berhenti!
Majurai putar kudanya. Namun
gerakannya tertahan. Tiga Adipati bersenjata golok panjang mengurungnya. Tanpa
memberi banyak kesempatan ketiga Adipati langsung menyarang. Kali ini kehebatan
Majurai tidak sanggup menghadapi keroyokan salah seorang dari tiga lawannya
namun dirinya sendiri kemudian menderita dua bacokan parah, membuatnya menjadi
korban pertama berpankat tinggi di pihak Kerajaan.
Dari arah belakang barisan
pasukan Kerajaan, tiga penunggang melesat dengan sebat. Satu di antaranya
langsung menuju dua Adipati yang tadi mengeroyok si perwira tinggi. Empat
prajurit pemberontak yang juga menunggang kuda cepat menyongsong. Dua hantamkan
tombak, satu tusukkan pedang dan yang keempat membabat dengan golok. Yang
dikeroyok tampak gerakkan tangan ke pinggang. Dalam kegelapan berkilat sinar
biru hampir kehitaman. Terdengar suara menderu lalu suara senjata berdentrangan
dan terakhir suara jeritan empat penyerang. Tubuh mereka sesaat tergontai di
atas punggung kuda masing-masing. Senjata tak lagi tergenggam di tangan. Ada
luka yang mengeringkan di dada, leher, perut dan kepala. Darah mengucur. Satu
demi satu tubuh yang tergontai itu rubuh dan jatuh ke tanah yang digenangi air
laut.
"Iblis Pedang Biru!"
desis Si Tapak Api dengan suara bergetar ketika mengenali siapa adanya
penunggang kuda yang barusan membabat empat prajurit dengan satu gebrakan saja!
"Dia bukan tokoh silat Istana! Bagaimana tahu-tahu muncul dan berada di
pihak Kerajaan…?!"
Si Tapak Api berpaling ke
kiri. Pada saat itu dua penunggang kuda yang tadi melesat ke depan bersama
Iblis Pedang Biru sudah berada pula di sekitar situ. Melihat dua orang itu
kembali Si Tapak Api jadi tergetar. Yang muncul lagi-lagi bukan tokoh silat
Istana, tetapi dua datuk dunia persilatan golongan putih yang sama sekali tidak
diduga akan muncul di pihak Kerajaan. Mereka adalah Si Benang Malaikat lalu
Pendekar Paku Beracun. Seperti Iblis Pedang Biru, kedua datuk persilatan inipun
sudah tua renta dan sama-sama berambut putih panjang. Ketika memandang ke
jurusan lain, Si Tapak Apt melihat dua tokoh silat Istana muncul dengan membawa
senjata aneh di tangan yakni satu berupa cakra besi yang diberi bertongkat
hingga berbentuk payung kecil dan satunya lagi sebuah kelewang yang memiliki
rantai-rantai kecil. Pada setiap ujung rantai terdapat potongan besi berbentuk
mata tombak! Si Tapak Api sama sekali tidak takutkan dua tokoh silat Istana
ini. Tapl kemunculan tiga tokoh silat lainnya tadi benar-benar membuatnya harus
memutar akal dengan cepat. Dia memandang ke arah Ki Demang Wesi. Kepala Desa
Parangtritis ini tak bakal sanggup menghadapi salah satupun dari tokoh silat
Istana itu. Maka dia berseru dan memberi isyarat pada Sepasang Tombak Dewa,
bahkan berteriak ke arah Si Pengupas Kepala.
"Hadapi tiga orang di
sebelah depan itu! Aku akan menghadang dua tokoh silat Istana. Ki Demang minta
Pendekar 212 dan Pengemis Kaki Kayu membantu! Cepat!"
Ki Demang Wesi segera
menghambur ke arah di mana Wiro Sableng berada. Tapi begitu dia menghampiri
pendekar ini, belum sempat membuka mulut, satu totokan keras menghantam pangkal
lehernya. Kepala Desa Parangtritis ini terhuyung lalu menelungkup kaku di atas
punggung dan leher kuda.
"Bagus!" memuji
Tatata Tititi alias Nenek Hitam Bergigi Emas.
Lalu perempuan ini tarik leher
tunggangan Ki Demang Wesi hingga binatang ini menghadap ke arah pantai.
"Pergi ke tepi pasir dan tunggu di sana!" Si nenek usap kepala
binatang itu, lalu tepuk pinggulnya. Seolah-olah mengerti perintah itu, si kuda
berlari menuju ke pantai, tepat dari arah mana Winayu Tindi mendatangi.
"Tapak Api, kulihat
urusan bisa jadi kapiran tidak karuan!" terdengar suara Pengemis Kaki
Kayu.
"Apa maksudmu?!"
tanya Si Tapak Api.
"Aku tidak takut
menghadapi lima musuh kelas berat itu! Yang aku khawatirkan justru dirimu! Jika
kau mampus di tangan mereka, bagaimana dengan obat penawar racun itu! Kami
tidak ingtn mati konyol di hari ke tiga belas sedangkan kau sudah mampus
duluan!"
"Aku tidak akan mati
lebth cepat darimu, Pengemis Kaki Kayu!
Mari kita serbu mereka!"
Terdengar suara bergemerincing. Ternyata itu adalah suara kuku-kuku jari Si
Pengupas Kepala yang seperti potongan-potongan besi tipis dan tajam.
"Kau saja yang menyerbu
mereka sendirian Tapak Api!" berkata Si Pengupas Kepala. "Tetapi
berikan dulu obat penawar racun itu!
Aku mendapat kisikan dari
Tatata Tititi bahwa kau dan Ki Demang Wesi punya maksud busuk tersembunyi.
Perjuangan yang katamu untuk menobatkan Pangeran Adi adalah sandiwara keji
belaka. Bila Kotaraja jatuh kau akan membunuh Pangeran itu lalu mengangkat diri
jadi Raja. Dan kami yang membantumu dan semua yang sudah kau racuni secara keji
akan kau biarkan mati konyol!"
Paras Si Tapak Api berubah.
"Dusta keji! Manusia banci itu ternyata seorang tukang fitnah!"
Terdengar suara tertawa gelak.
Semua orang berpaling dan melihat Pendekar 212 beserta seseorang yang
sebelumnya tak pernah mereka lihat.
"Sahabatku Tatata Tititi
tidak pernah dusta dan tidak pernah fitnah! Dua malam lalu aku turut mencuri
dengar rencana kejimu itu waktu kau bicarakan dengan Ki Demang Wesi seusai
pertemuan!"
"Bangsat keparat! Ada
komplotan busuk dalam perjuangan ini! Mana manusia banci Tatata Tititi
itu!"
Si nenek di samping Wiro
tertawa ngekeh. "Dia bukan banci. Namanya bukan Tatata Tititi tapi Nenek
Hitam Bergigi Emas! Tokoh silat Istana! Dan akulah orangnya"
"Penyusup pengkhianat!
Sepasang Tombak Dewa! Bunuh tua bangka keparat bermuka hitam itu! Dan kau! Biar
aku yang menghajar Pendekar Sableng ini! Sejak semula aku memang sudah curiga
padanya!"
Sepasang Tombak Dewa serta
merta menyerbu Nenek Hitam Bergigi Emas sedang Si Tapak Apt gosokkan kedua
tangannya keraskeras. Terdengar suara meletup. Lidah api keluar dari sela kedua
tangan yang digosokkan, langsung menyambar ke arah Wiro Sableng!
Murid Sinto Gendeng itu
melompat dari punggung kuda sambil cabut Kapak Naga Gent 212. Terdengar kuda
yang tadi ditungganginya meringkik keras, disusul bau daging hangus terbakar.
Kuda itu tampak rebah ke tanah. Sebagian tubuhnya hangus dihantam lidah api
serangan Si Tapak Api!
Sepasang Tombak Dewa
sebelumnya sudah tahu betul siapa adanya Nenek Hitam Bergigi Emas, maka begitu
menyerang, keduanya sudah pergunakan tombak pendek masing-masing. Tiga tokoh
silat yaitu Iblis Pedang Biru, Si benang Malaikat dan Pendekar Paku Beracun tampak
terheran-heran ketika melihat di antara sesama pentolan pemberontak saat itu
terjadi saling serang!
Lain halnya dengan dua tokoh
silat Istana yang membekal senjata aneh. Mereka sudah mengetahui bahwa Nenek
Hitam bergigi Emas memang sengaja disusupkan ke dalam komplotan pemberontak,
namun mereka tidak mengenal siapa adanya pemuda yang saat itu diserang Si Tapak
Api dengan lidah apinya yang ganas.
Iblis Pedang Biru mengambil
sebuah terompet yang tergantung di leher kuda lalu meniupnya kuat-kuat. Mendengar
tiupan terompet itu, seluruh pasukan Kerajaan hentikan pertempuran dan cepat
mundur sampai sejarak lima tombak dari pasukan pemberontak, membuat pasukan
pemberontak terheran-heran.
"Kalian akan diberikan
pengampunan jika menyerah!" teriak Iblis Pedang Biru.
Teriakan ini dikumandangkan
lagi oleh beberapa perwira Kerajaan. Demiklah sambung menyambung hingga seluruh
pasukan pemberontak mendengar dan diam-diam mereka merasa gembira. Saat itu
sebenarnya kedudukan mereka telah terjepit dari tiga arah.
Semangat hampir patah, apalagi
ketika melihat para pimpinan mereka kini malah baku hantam satu sama lain!
Setelah berhasil menguasai keadaan, Iblis Pedang Biru memberi isyarat pada
kawan-kawannya. Tokoh-tokoh silat Kerajaan itu bersama belasan perwira langsung
membentuk lingkaran, mengurung kalangan pertempuran.
Nenek Hitam Bergigi Emas
tertawa gelak ketika dapatkan dirinya diserang oleh Sepasang Tombak Dewa.
"Pengkianat-pengkhianat
tolol! Apakah kalian tidak punya senjata lain hingga menyerangku dengan ular-ular
laut?!" Si nenek berseru.
"Jangan lihat
pedang!" teriak Pengemis Kaki Kayu.
Tapil terlambat. Sepasang
Tombak Dewa dalam keterkejutan mereka sama melihat pada pedang masing-masing.
Justru inilah kesalahan mereka karena di situ kekuatan sihir si nenek muka
hitam.
Tombak itu sebenarnya tidak
berubah, tetapi di mata Tombak Dewa Kesatu dan adiknya Tombak Dewa Kedua,
senjata mereka tampak benar-benar seperti seekor ular laut. Panjang hijau dan
licin berkilat!
Keduanya sama menjerit dan
kepretkan senjata masing-masing.
Begitu senjata itu jatuh ke
air laut ternyata kini mereka melihat kembali bentuk astinya. Sadarlah mereka
kalau sudah tertipu. Cepatcepat keduanya melompat dari alas kuda untuk
mengambil senjata masing-masing. Tetapi terlambat. Sebilah pedang biru menempel
di leher Tombak Dewa Kesatu sedang Tombak Dewa Kedua dapatkan dirinya tergulung
oteh benang putih halus tapi semakin dicobanya membebaskan diri, semakin
kencang tubuhnya teriris. Itulah kehebatan senjata tokoh silat bergelar Si
Benang Malaikat! Dua pentolan pemberontak itu jadi tak berdaya. Beberapa
perwira Kerajaan segera meringkusnya setelah Iblis Pedang Biru menotok
keduanya.
Kini semua mata tertuju pada
pertempuran yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Si Tapak Api. Iblis
Pedang Biru menanyakan pada Pendekar Paku Beracun siapa adanya pemuda tanpa
pakaian yang bersenjatakan kapak tengah menghadapi Si Tapak Api itu.
"Apa kau buta?"
sahut Pendekar Paku Beracun. "Tadinya akupun tidak mengenali siapa dia.
Tapi coba kau lihat angka 212 di kapak berkilat di tangan kanannya…!"
"Astaga! Jadi dia
Pendekar 212! Murid nenek sakti dari gunung Gede itu…!" berucap Iblis
Pedang Biru. "Tidak disangka dia muncul di sini dan ikut berbakti pada
Kerajaan…!"
Si Tapak Api menghujani Wiro dengan
serangan-serangan dahsyat. Setiap pukulan atau jotosan atau gerakan apapun yang
dibuat tangannya maka lidah api yang panas berkiblat. Wiro merasakan tubuhnya
panas seperti terpanggang. Setelah berkelebat kian kemari dan menyadari kalau
dia tak bisa bertahan lebih lama maka pendekar ini segera putar Kapak Naga Geni
212. Sinar putih menyilaukan membelah kegelapan malam. Terdengar suara bergaung
seperti seribu lebah mengamuk. Lidah api serangan Si Tapak Api terpental dan
membalik menghantam ke arah Si Tapak Api sendiri. Orang ini berteriak kaget dan
kesakitan. Lidah api membakar muka dan sebagian dadanya! Dia jatuhkan diri ke
tanah dan celupkan kepala serta tubuhnya ke air laut saking tidak sanggup
menahan panas. Tapi begitu luka bakar itu terkena air lout, rasa sakitnya malah
semakin menggila. Si Tapak Api meraung. Dia buka matanya lebar-lebar, tapi dia
tidak dapat melihat apa-apa. Kedua matanya yang terbakar lidah apinya sendiri
ternyata kini telah menjadi buta! Kembali orang ini meraung lalu lari menghambur
merancah air laut.
Iblis Pedang Biru berpaling
pada Pendekar Paku Beracun lalu anggukkan kepala. Melihat isyarat ini Pendekar
Paku Beracun segera mengeruk saku pakalannya. Gerakan ini terlihat oleh Si
Pengupas Kepala dan Si pengemis Kaki Kayu. Keduanya yang kawatirkan ancaman
maut yang bakal merenggut nyawa mereka jika tidak mendapatkan obat penawar,
padahal obat itu ada pada Si Tapak Api, Mereka sama-sama berteriak,
"Jangan bunuh dia!"
Namun terlambat. Dua buah paku
beracun sudah keburu melesat. Satu menacap di batok kepala Si Tapak Api,
satunya lagi menembus pinggangnya. Orang ini tersungkur ke dalam genangan air
laut. Racun paku membuat tubuhnya serta merta menjadi biru!
Pengemis Kaki Kayu dan Si
Pengupas Kepala sama-sama terbelalak. Keduanya melompat ke arah mayat Si Tapak
Api dengan menggeledah pakaiannya. Tapi mereka tidak menemukan obat itu!
"Celaka!" seru
Pengemis Kaki Kayu.
"Apakah ini yang kalian
cari…?" terdengar orang bertanya disusul suara tawa mengekeh. Si Pengupas
Kepala dan Pengemis Kaki Kayu sama berpaling.
Dia melihat Nenek Hitam
Bergigl Emas menimang dua benda bulat berwarna putih. Keduanya jadi beringas
lalu melompati si nenek. Tapi maksud mereka mengambil obat-obat penawar itu
tidak berhasil karena si nenek cepat tarik tangannya.
"Aku bersumpah membunuhmu
jika kau tidak berikan obat penawar racun itu!" teriak Pengemis Kaki Kayu
lalu angkat kaki kayunya yang merupakan senjata.
"Tunggu dulu!"
berteriak Si Pengupas Kepala. "Bagaimana aku yakin itu memang obat
penawar?!"
Nenek Hitam Bergigi Emas
tertawa. "Kalau aku sanggup mencuri batu api milik Si Tapak Api, apa
susahnya mencuri obat ini? Dan padaku bukan cuma ada dua! Tapi lima belas
butir! Hik..hik..hik…!
Aku akan berikan obat ini pada
kalian, tapi dengan satu syarat! Kalian harus menyerahkan diri pada pasukan
Kerajaan. Dibawa ke Kotaraja dan diadili sesuai dengan dosa-dosa kalian
berkomplot memberontak melawan Kerajaan!"
"Kalau begitu biar kami
memilih mati bersamamu!" teriak Si Pengupas Kepala. Lalu dia menyerbu
Nenek Hitam Bergigi Emas. Begitu juga Pengemis Kaki Kayu.
Terdengar suara bergemerincing
jari-jari kuku Si Pengupas Kepala ketika berkelebat menyambar ke arah batok
kepala si nenek.
Sekali kena pastilah kulit
kepala dan kulit muka perempuan tua itu akan terkelupas dan kepalanya akan
berubah jadi tengkorak. Tapi dari samping saat ituu menyambar sinar putih yang
sangat menyilaukan.
"Anjing kurap! Berani kau
ikut campur!" teriak Si Pengupas Kepala begitu melihat Wiro menghantamkan
kapaknya memapasi serangannya. Sepuluh jari tangannya kini diarahkan untuk
menangkap tangan dan lengan kanan Wiro. Murid Sinto Gendeng putar kapaknya.
Tring-tring-tring…. Si
Pengupas Kepala berseru kaget dan melompat mundur. Tiga kuku jarinya yang
sekeras besi itu somplak!
"Pendekar gagah! Serahkan
dia padaku! Sudah lama aku ingin menjajal tukang kupas kelapa ini!
Ha…ha…hah….!" Yang berseru adalah Si Benang Matalkat. Dia putar-putar
gulungan benang halus berwarna putih. Melihat ada lagi yang hendak
menyerangnya, Si Pengupas Kepala jadi makin gusar. Dia menggereng ketika
melihat benang halus di tangan Si kakek berambut putih bergulung-gulung ke
arahnya. Si Pengupas Kepala menyambar ujung benang itu dengan tujuh kuku
jarinya yang masih utuh.
Des …des…des…
Ujung benang sakti berputusan.
Si Pengupas Kepala menyeringai merasa menang dan yakin dapat membunuh lawannya
itu. Namun dia kecele. Benang yang putus kini diulur dan tampak makin panjang.
Si Pengupas Kepala kembali menggebrak dengan kedua tangannya. Sekali ini
serangannya luput. Malah ujung benang menyelinap ke bawah dan tahu-tahu kedua
tangannya sudah terlibat mulai dari pergelangan tangan sampai ke bawah bahu!
"Setan haram jadah!"
maki Si Pengupas Kepala. Dia kerahkan tenaga untuk lepaskan ikatan benang. Tapi
kulitnya serta merta teriris dan darah mulal mengucur. Sadar kalau dirinya tak
bisa lolos, tokoh silat sesat ini jatuhkan diri dan duduk menjelepok di tanah
tanda menyerah!
"Hebat sekali kekuatan
benang itu!" membatin Wiro di dalam hati. Ini mengingatkannya pada benang
sutera halus yang menjadi senjata Dewa Tuak.
Setelah berhasil meringkus Si
Pengupas Kepala yang merupakan tokoh silat sangat berbahaya itu Si Benang
Malaikat turun dari kudanya. Maksudnya untuk menotok tubuh Si Pengupas Kepala
lalu menyerahkannya pada pasukan untuk dibawa ke Kotaraja. Tapi tidak diduga,
begitu Si Pengupas Kepala berada di hadapannya, tubuh yang duduk menjelepok di
tanah itu tiba-tiba melesat. Kaki kanannya menendang dengan deras.
Dukk!
Tendangan keras itu menghantam
dada si Benang Malaikat tanpa pendekar tua ini sempat mengelak. Tubuhnya
terpental dan lalu terjengkang di pasir. Dari mulutnya menyembur darah segar.
"Pembokong jahanam!"
teriak Iblis Pedang Biru. Pedang mustikanya langsung membabat. Sinar biru pekat
berkiblat di gelapnya malam. Sesaat kemudian kepala Si Pengupas Kepala
menggelinding di atas pasir.
Melihat kejadian itu Pengemis
Kaki Kayu. Merasakan tengkuknya dingin. Begitu banyak tokoh-tokoh silat kelas
satu di sekelilingnya. Tak mungkin baginya untuk menghadapi mereka semua. Tapi
untuk menyerah begitu saja tentu tak mungkin dilakukannya. Maka diapun
berpaling pada Nenek Hitam Bergigi Emas.
"Jika kau berikan obat
penawar racun itu padaku, aku bersedia meninggalkan teluk ini dan melupakan
semua silang sengketa di antara kita!"
"Silang sengketa
katamu?!" si nenek tertawa
"Ini bukan silang
sengketa kaki kayu! Kau memberontak terhadap Kerajaan! Kau berkomplot untuk
merebut tahta Sri Baginda!
Memimpin pembunuhan terhadap
prajurit dan perwira serta kami tokoh-tokoh silat Kerajaan. Dosamu setinggi
langit sedalam lautan!"
"Jika kami berikan obat
penawar racun itu, apa yang bisa kau berikan kepada kami?!" Iblis Pedang
Biru bertanya.
Pengemis Kaki Kayu
menggerendeng. "Apa yang kau minta?!" sentaknya.
"Satu tanganmu dan satu
matamu!" sahut Iblis Pedang Biru.
"Aku memilih bertempur
melawanmu sampai ada yang mati di antara kita!"
Sebagal jawaban Iblis Pedang
Biru melintangkan pedangnya di depan dada melompat turun dari kuda. Pengemis
Kaki Kayu susul melompat. Begitu berhadapan dengan lawan, kaki kayunya yang
terbuat dari kayu yang merupakan senjata langsung ditusukkan ke bawah perut
Iblis Pedang Biru. Yang diserang babatkan pedangnya ke bawah.
Traang!
Pedang dan kaki kayu beradu
keras. Sungguh hebat, pedang sakti dan tajam itu tidak sanggup memutus ataupun
merusak kaki kayu itu! Sadarlah Iblis Pedang Biru kalau kaki kayu lawan tidak
bisa dianggap sepele. Maka diapun mengirimkan serangan kilat pada titik
kelemahan lawan yakni tubuh sebelah kiri yang menjadi tumpuan kekuatan Pengemis
Kaki Kayu. Berkelahi di alas pasir yang digenangi air laut ternyata bukan hal
yang mudah bagi Pengemis Kaki Kayu. Meskipun dia memiliki keentengan tubuh yang
tinggi namun tak jarang kaki kirinya yang menjadi tumpuan bobot tubuhnya
melesat ke dalam pasir sedangkan kaki kayunya beberapa kali terseok akibat
lekatan pasir dan genangan air. Ketika lawannya mengajak bertempur
berputar-putar, tokoh silat yang ikut terbujuk memberontak ini jadi kerepotan
dan keteter. Lalu sewaktu satu tusukan pedang melukai pinggul kirinya, Pengemis
Kaki Kayu mulai kehilangan akan kepercayaan diri. Hal ini membuatnya menjadi
nekat dan coba menyerang dengan segala kekuatan dan kemampuan yang ada.
Akibatnya dengan mudah dia dijadikan bulan-bulanan ujung pedang oleh Iblis
Pedang Biru.
Pengemis Kaki Kayu hanya
sanggup bertahan satnpai empat belas jurus di muka bahkan sempat menggebuk
kakek berambut putih itu dengan kaki kayunya walau tidak tepat. Namun untuk itu
dia harus membayar mahal dengan jiwanya sendiri. Ujung pedang menembus dada
kirinya, tepat di arah jantung!
Teluk yang gelap kini
diselimuti kesunyian. Hujan telah berhenti, angin badai mulai mereda.
Pertempuran antara dua pasukan juga sudah berhenti meninggalkan puluhan korban.
Mulai dari prajurit rendah sampal perwira dan tokoh silat. Pendekar 212
melompat ke atas kuda. Dia menjura ke arah Nenek Hitam Bergigi Emas dan para
tokoh silat Istana.
"Ada satu urusan lagi
yang harus kuselesaikan. Aku minta diri. Dan kau nek, aku sangat berharap di
lain waktu dapat bertemu lagi denganmu…!"
"Hai! Kau mau ke mana
pendekar gagah? Ikut kami dulu ke Kotaraja!" berseru iblis Pedang Biru.
Namun Wiro telah menggebrak kudanya.
"Astaga! Aku baru ingat
dia! Di mana Pangeran pemberontak itu?!" berseru Iblis Pedang Biru.
Yang menjawab adalah Nenek
Hitam Bergigi Emas. "Menurut Pendekar 212 tadi, dia telah menotok lalu
mengikat Pangeran itu pada sebatang pohon di bukit tak berapa jauh dari mulut
goa sebelah selatan. Sebelum air pasang naik lebih tinggi, sebelum goa
terendam, kita harus mengirimkan orang untuk menyelamatkannya. Pangeran gila
itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya dipakai sebagai alat oleh Si Tapak Api dan Ki
Demang Wesi…."
"Kepala Desa Pemberontak
itu! Aku baru ingat! Dia tidak kelihatan!" ujar Iblis Pedang Biru.
Si nenek muka hitam
mengangguk. "Justru itulah yang hendak diurus oleh Pendekar 212. Kewajlban
kita saat ini adalah mengurus jenazah kawan-kawan…."
Semula Winayu Tindi berniat
hendak menjauh ketika seekor kuda dengan penunggang yang terbujur menelungkup
bergerak mendekatunya. Namun ketika tinggal beberapa langkah saja lagi dan dia
mengenali siapa orang yang tertetungkup di atas punggung binatang itu, kagetlah
gadis ini.
"Pakde!" teriak si
gadis. Dia melompat dari atas kudanya, lalu lari ke arah orang di atas kuda.
"Pakde! Kau pingsan atau bagaimana…?"
Tubuh dan wajah Ki Demang Wesi
ditepuk-tepuknya. Tapi tubuh itu tidak bergerak dan dipanggil-panggil tetap
tidak menjawab. Dengan susah payah Winayu Tindi menurunkan tubuh Ki Demang
Wesi, Karena di bagian itu air laut telah mencapai ketinggian di atas mata
kaki, gadis terpaksa menarik tubuh lelaki yang dianggapnya sebagai ayah sendiri
itu ke bagian yang agak ketinggian, lalu membaringkannya di situ. Kebetulan ada
sebatang pohon kelapa.
Punggung dan kepala Ki Demang
Wesi disandarkannya ke batang kelapa. Lalu kembali dia berusaha membangunkan
orang yang disangkanya pingsan itu karena dia tidak melihat adanya bekas-bekas
luka. Setelah berusaha berulang kali tak juga berhasil akhirnya Winayu Tindi
mulai keluarkan suara sesenggukan menahan tangis. Winayu Tindi tidak tahu entah
berapa lama dia tegak menangis di tempat itu ketika di kejauhan dilihatnya ada
seorang penunggang kuda muncul dan memacu kudanya ke arah tempat dia berada.
Yang datang ternyata adalah
pemuda yang dikenalnya sebagai penculik dirinya dan yang sebelumnya juga telah
menyuruhnya agar menjauh dari daerah pertempuran. Wiro melompat turun dari kuda
lalu menghampiri Winayu Tindi.
"Anak manis, kau kulihat
menangis. Apakah kau menangisi orang itu? Dia cuma pingsan karena
ditotok."
"Saudara lekas kau tolong
dia. Lepaskan totokannya!" berkata Winayu Tindi.
"Kecintaanmu pada Ki
Demang Wesi besar sekali, bukan?"
"Tentu saja! Dia adalah
pakdeku! Orang yang kuanggap seperti ayahku sendiri!" sahut sang dara.
"Justru dia adalah
manusia paling keji dan paling terkutuk dalam hidupmu!" ujar Wiro.
"Maksudmu…. ?" tanya
Winayu Tindi tak mengerti.
"Ingat, aku berjanji akah
menerangkan padamu siapa pembunuh kedua orang tuamu dan juga kusir delman itu?
Dialah orangnya!"
Winayu Tindi seperti disambar
petir. Tak percaya pada apa yang didengarnya. "Aku tidak percaya. Kau
berdusta. Memfitnah. Dia orang yang aku anggap seperti ayah sendiri?
Pakdeku!"
"Jika kau tidak percaya
kau tanya sendiri!" jawab Wiro lalu lepaskan jalan suara Ki Demang Wesi
tapi tubuhnya tetap dalam keadaan tertotok.
"Pakde…Benar kau yang
membunuh ayah dan ibu…?" Winayu Tindi bertanya begitu melihat Ki Demang
Wesi gerakkan mulut. "Siapa yang mengatakan fitnah dan bohong besar itu,
anakku?"
Winayu Tindi menuding ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Ki Demang Wesi meludahi pemuda itu. "Bangsat!
Kau memang tidak kupercaya sejak semula! Dialah yang membunuh ke dua orang
tuamu Winayu! Dia pemuda yang hendak kutangkap tempo hari tapi berhasil
melarikan diri!"
"Keparat kalau
begitu…!"
"Tunggu dulu saudari,
jangan mudah tertipu!" kata Wiro cepat begitu dilihatnya sang dara menjadi
galak dan melangkah ke hadapannya. "Aku punya saksi hidup jika kau tidak
percaya padaku. Kedua orang tuamu dibunuh karena mereka menolak untuk bergabung
dengan komplotannya, memberontak pada Kerajaan. Ayahmu mengancam akan
melaporiaan kamplotan itu ke Kotaraja. Ki Demang Wesi lalu membunuh ayahmu,
juga ibumu dan kusir delman itu untuk menutup rahasa. Bahkan ibumu… dia merusak
kehormatan Ibumu sebelum membunuhnya!"
"Dusta! Fitnah!"
teriak Ki Demang Wesi.
"Apa yang dikatakan
sahabat mudaku itu tidak dusta! Kau memang manusia paling busuk di dunia ini Ki
Demang Wesi. Aku menjadi saksi atas apa yang diucapkan Pendekar 212 tadi!"
Tahu-tahu di tempat itu telah muncul Nenek Hitam Bergigi Emas.
"Winayu anakku! Jangan
percaya pada omongannya. Dia juga sama dustanya dengan pemuda itu!" teriak
Ki Demang Wesi.
Si nenek ganda tertawa lalu
lemparkan segulung kertas pada Winayu Tindi seraya berkata, "Bacalah! Itu
surat Perintah dari Sri Baginda untuk menangkap Ki Demang Wesi. Surat itu sudah
lama kusimpan. Hanya saja keadaan tidak memungkinkan aku mengeluarkannya lebih
cepat!"
Winayu Tindi membuka gulungan
kertas lalu membaca tulisan yang tertera di situ. Di sebelah bawah terdapat cap
Kerajaan. Perlahan-lahan surat itu terlepas dari tangan Winayu Tindi, melayang
jatuh ke dalam air laut. Tiba-tiba gadis itu menjerit dan lari ke hadapan Wiro.
Sebelum pendekar itu sadar apa yang dilakukan Winayu, Wiro merasa Kapak Naga
Gent 212 yang terselip tersibak di pinggangnya ditarik lepas. Lalu ada sinar
putih berkiblat disertai gaungan keras.
"Winayu! Jangan!"
seru Wiro ketika melihat gadis itu menghantamkan kapak ke batok kepala Ki
Demang Wesi. Dia berusaha melompat untuk menangkap tangan gadis itu. Tapi Nenek
Hitam Bergigi Emas memegang bahunya hingga gerakannya tertahan. Di depan sana
terdengar pekik Ki Demang Wesi. Darah muncrat dari batok kepalanya yang hampir
terbelah.
Winayu Tindi menyusul menjerit
ketika melihat dan menyadari apa yang barusan dilakukannya. Lalu gadis ini
berdiri terhuyung. Satu tangan menekap wajah, tangan yang lain melepaskan Kapak
Naqa Geni 212. Wiro cepat menyambut senjata mustika itu sebelum jatuh ke air
lalu menopang tubuh sang dara agar tidak terjungkal.
Pasang semakin naik. Malam
bertambah gelap dan udara dingin menusuk tulang. Wiro menuntun gadis itu lalu
menaikkannya ke atas punggung kuda. Jiwa yang tergoncang membuat Winayu menjadi
lemas dan limbung. Terpaksa Pendekar 212 ikut naik ke punggung kuda dan duduk
di sebelah belakang sang dara, menjaganya agar jangan sampai jatuh.
Tiba-tiba ada suara mengiang.
"Pendekar muda, aku merasa cemburu pada gadis cantik itu. Kapan kira-kira
aku bisa naik kuda berdua-dua denganmu! Hik…hik…hik…!"
Wiro berpaling. Astaga! Nenek
Hitam Bergigi Emas tak ada lagi di tempat itu. Tapi pasti sekali dialah yang
barusan mengirimkan ucapan jarak jauh itu. Murid Sinto Gendeng hanya bisa
menyerigai. Dan hidungnya jadi kembang kempis ketika Winayu Tindi menyandarkan
kepalanya ke dadanya.
TAMAT