-------------------------------
----------------------------
026 Iblis Iblis Kota Hantu
SATU
SANG surya belum lama muncul
di ufuk timur. Malam yang hitam menggelap di teluk kini digantikan oleh pagi
cerah. Air laut yang tadinya seperti berwarna hitam pekat kini kelihatan lagi
aslinya, biru kehijauan dengan pantulan sinar matahari pagi merah kekuningan.
Setiap pagi seperti itu biasanya teluk ramal dengan nelayan yang baru pulang
melaut.
Perahu berjejer di mana-mana
dan para pembeli ikan ramai menawar ikan yang dibelinya. Namun pagi ini suasana
lain sekali. Belasan perahu memang nampak berjejer di tepi pasir, tapi tak
seorang nelayanpun yang nampak. Pembeli-pembeli ikan tidak kelihatan. Teluk itu
sepi. Dan ada sesuatu keanehan menggantung di situ.
Seorang kakek-kakek berpakaian
compang-camping muncul dari balik bukit kacil di ujung selatan teluk. Dia
melangkah tarseok-seok. Rambutnya telah putih semua, panjang sampai ke
punggung, kotor awut-awutan. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat kayu sedang
di tangan kanan dia membawa sebuah batok kelapa.
Mendadak kakek ini hentikan
langkahnya dan mendongak ke langit.
"Pagi cerah . . . .
" katanya perlahan. "Tapi udara teluk sekali ini terasa lain."
Orang tua itu memandang ke
arah deretan perahu di tepi pantai. Kemudian dia melangkah lebar-lebar manuju
daratan perahu itu dan berhenti tepat di hadapan sesosok tubuh yang
tergelimpang di pasir. Tubuh itu diketuk-ketuknya dengan ujung tongkat. Tak ada
gerakan apaapa.
"Mati!" desis si
orang tua. "Oo ladalah Gusti Allah. Pembunuhan lagi!" Mulut kakek ini
tampak komat-kamit beberapa lama. Berpaling ke arah perahu lain di sebelah
kanannya kembali dia terkejut. Di situ terkapar pula sesosok tubuh. Segera
didatangi dan diperiksanya. Lalu kembali dia mendongak ke langit.
"Oo ladalah! Semurah
inikah nyawa manusia? Lebih murah dari nyawa anjing jalanan ...?!
Eh… itu! Di sana ada satu
lagi!" Kembali si kakek melangkah lebar-lebar mendatangi sosok tubuh yang
ketiga, tergeletak antara pasir dan air laut.
"Ya Allah! Yang satu ini
masih anak-anak! Kasihan . . . Kasihan sekali! Apa dosanya?!" Si kakek
membungkuk dan ketuk-ketukkan tongkatnya ke sekujur tubuh anak yang berusia
sekitar sepuluh tahun itu. Wajahnya kemudian tampak sedikit cerah.
"Hai! Yang satu ini masih
hidup!" Cepat si kakek berjongkok. Tubuh anak itu ditariknya dari air laut
lalu dibaringkannya di atas pasir yang lebih kering.
"Hemm… ada bekas pukulan
di tubuhnya. Ia menderita luka dalam. Edan! Manusia mana yang tega-teganya
memukul demikian kejam?!"
Meskipun tubuhnya sudah reyot,
jalanpun tampak susah, namun disaksikan oleh langit dan laut di pantai itu si
kakak perlihatkan satu kehebatan. Dengan ujung tongkatnya dia mengait leher
pakaian anak itu. Lalu hup! Tubuh si anak tahutahu melayang ke atas dan hup!
Tubuh itu dinantinya dengan bahu kirinya. Setelah memandang berkeliling
sebentar, orang tua ini lantas tinggalkan tempat itu.
Dari caranya mengangkat tubuh
anak tadi, jelas kakek ini memiliki kepandaian luar biasa. Siapakah gerangan
dia?'
Pada masa itu di Jawa Barat
terdapat banyak tokoh silat dari berbagai aliran yang terbagi jadi dua golongan
yakni mereka dari golongan putih dan lainnya yang disebut golongan hitam.
Tokoh-tokoh silat golongan putih seperti tenggelam pamornya oleh
gebrakan-gebrakan yang dibuat oleh para manusia jahat yang dibantu oleh
tokoh-tokoh silat golongan hitam. Tampaknya sampai sebegitu jauh tak banyak
yang diperbuat golongan putih untuk menanggulangi hal itu.
Dengan sendirinya ini
menimbulkan rasa risau di kalangan rimba persilatan, baik di Jawa Barat maupun
sampai ke bagian tengah dan ujung timur pulau Jawa. Salah seorang dari tokoh
silat golongan putih Jaws Barat adalah kakek tadi. Usianya hampir 80 tahun. Dia
hanya dikenal dengan julukan Pengemis Batok Tongkat. Kemana-mana dia tak pernah
ketinggalan dua benda itu, yakni batok kelapa dan tongkat kayu. Pengemis tua
ini membawa anak tadi ke tempat kediamannya, di sebuah rimba belantara yang
terletak antara pantai selatan dan kaki gunung Halimun.
Ketika sadar si anak merasakan
dadanya sakit sekali hingga sulit baginya untuk bernafas. Dari mulutnya
terdengar suara mengerang. Dia coba membuka mata. Ternyata dia berada dalam
pondok kayu jati yang diterangi oleh sebuah lampu minyak, yang apinya
berkelap-kelip tertiup angin. Memandang ke samping kiri disadarinya dirinya
terbaring di atas sabuah balai-balai beralaskan tikar jerami.
"Ayah...." si anak
memanggil ayahnya. Suaranya memelas. Di samping kanan, sudut matanya menangkap
sosok sesorang duduk di tepi balai-balai. Diperhatikannya. Ternyata orang itu
bukan ayahnya. Ayahnya tidak setua itu, tidak berambut putih dan tidak
berpakaian compang-camping walau dia seorang nelayan miskin. Otaknya bekerja.
Ayah! Bukankah ayahnya sudah mati? Mati dibunuh oleh manusia-manusia jahat yang
menunggang kuda itu ....?
"Anak, kau sudah sadar
.... !" si kakek menegur.
Anak itu tak menjawab.
"Dadamu masih sakit ...
?"
"Ayah . . . ayah . .
.?" Anak ini seperti tidak dapat mempercayai jalan pikirannya sendiri.
Hatinya seperti membantah kenyataan bahwa ayahnya sudah mati.
"Ah, satu kejadian besar
telah menimpanya," membantin si kakek. "Salah seorang yang mati di
pantai itu mungkin sekali ayahnya. Kasihan ..."
Kakek itu mengambil sebuah
tempurung berisi godokan obat yang sejak sore tadi disediakannya. Kepala si
anak diangkatnya sedikit.
"Minum obat ini, nak. Kau
pasti lekas sembuh..."
Mula-mula anak itu gelengkan
kepalanya hendak menolak. Namun pandangan mata orang tua itu yang demikian
lembut serta mulutnya yang tersenyum membuat anak ini mau juga membuka mulutnya
dan meneguk obat dalam tempurung. Tenggorokannya terasa hangat. Rasa hangat
torus menjalar ke dada, perut, terus ke ujung kakinya. Bersamaan dengan itu
rasa sakit di dadanya terasa agak berkurang.
Kakek itu kemudian urut-urut
dada si anak. Gerakan tangannya perlahan sekali. Anak ini merasakan ada hawa
dingin keluar dari jari-jari tangan orang tua itu. Selesai mengurut-urut kini
kakek itu tampak sibuk menjengkal-jengkalkan tangannya pada beberapa bagian
tubuh anak itu. Tulang bahu, tulang-tulang iga dan tulang pinggul diketuknya
berulang-ulang.
"Orang tua . . . kau
siapakah?" anak kacil itu bertanya. "Aku ini berada di mana?"
Yang ditanya tak menjawab.
Masih terus sibuk menjengkal dan mengetuk.
"Ah, susunan tulangmu
bagus sekali bocah. Siapa namamu?"
"Handaka ..." jawab
anak itu. Lalu dia ganti tanya. "Kau sendiri siapakah, kek? Apa ini
rumahmu. Mengapa sepi sekali di sini. Tapi di luar sana ada suara-suara
aneh."
Pengemis Batok Tongkat
tertawa.
"Telingamu tajam
juga," katanya. "Dalam pondok kayu jati butut ini memang sepi. Hanya
ada kau dan aku, tambah lampu minyak itu. Hik .., hik .. hik. Tapi di luar
sana, di malam gelap begini rupa seratus macam suara bisa kau dengar. Mulai
dari suara jangkrik sampai suara kodok. Mulai dari suara burung yang ketakutan
sampai lenguh banteng liar. Mulai dari suara monyet sampai auman harimau dan
singa!
"Harimau dan singa?!
Apakah kita berada dalam hutan?" tanya anak usia sepuluh tahun itu.
Kakek itu mengangguk.
"Apa kau takut?" dia
bertanya kemudian.
Handaka menggeleng.
"Bagus kalau kau tidak
takut. Sekarang tidurlah! Kau harus banyak istirahat. Besok pagi aku akan
buatkan bubur untukmu . . . "
"Kenapa tidak sekarang
saja ... ? Perutku lapar."
Pengemis Batok Tongkat
tertawa.
"Malam ini kau belum
boleh makan. Kau masih dalam pengobatan tingkat pertama."
"Lalu bagaimana aku bisa
berada di tempatmu ini? Di mana ayah? Kau belum mengatakan kau ini siapa…"
"Siapa diriku, sejak
kecil aku memang tak punya nama."
"Aneh, masakan ada orang
tidak punya nama. Lalu bagaimana aku harus memanggilmu …"
"Panggil saja aku kakek
pengemis. Dan aku akan panggil kau cucu, bukan anak …."
"Kakek pengemis?
Memangnya kau ...?"
"Betul! Aku memang
pengemis. Lihat saja pakaianku butut compang-camping. Aku jarang mandi. Lihat
tongkat dari batok kelapa di atas meja itu? Itu benda-benda yang kupergunakan
untuk minta-minta. . ."
Handaka seperti tidak percaya.
Namun dia lebih ingin mengetahui di mana ayahnya.
"Di mana ayahmu, itulah
yang aku tidak tahu. Kau sampai ke mari karena aku yang membawamu. Kau
kutemukan pingsan di teluk, kemarin pagi ..."
"Jadi kau telah
menolongku. Ah, aku harus mengucapkan terima kasih padamu ..." Handaka
berusaha untuk bangun. Namun kakek pengemis menahan bahunya dari menyuruhnya
berbaring kembali.
"Segala kejadian di dunia
ini sudah ada yang mengatur, Handaka," katanya. "Semua kodrat Tuhan
di luar maunya manusia. Karena itu hanya pada Dia manusia layak berterima
kasih."
"Ayahku juga bilang
begitu kek," ujar Handaka. "Namun ayah juga mengatakan walau Tuhan
punya kuasa, manusia harus berupaya. . ."
Si kakek tertawa lobar.
"Betul! Betul sekali cucuku. Memang begitu adanya. Nah sekarang kau harus
tidur. Besok sehabis makan kau boleh menceritakan padaku apa yang terjadi di
teluk pagi kemarin."
Si anak terdiam. Dia coba
mengingat-ingat. "Kenapa menunggu sampai besok? Sekarangpun aku bisa
menceritakannya kek. Aku mulai ingat semua yar terjadi di teluk. Orang-orang
jahat itu... para nelayan, ayahku . . ."
"Dadamu tidak
sakit?"
"Rasanya sudah sembuh
kek. Obatmu pasti manjur sekali."
Pengemis Batok Tongkat tertawa
lebar. "Baiklah," katanya. "Kelau kau bisa menceritakan
sekarang, akupun kepingin mendengar."
Maka Handaka pun menuturkan
apa yang terjadi.
***
DUA
PAGI itu para nelayan baru
saja merapatkan perahu masing-masing di teluk Cikandang, siap memunggah hasil
tangkapan ikan yang mereka peroleh malam tadi. Para pembeli termasuk
tengkulak-tengkulak yang sudah lama menunggu segera mendatangi. Di antara orang
banyak yang mendatangi para nelayan itu, terlihat seorang lelaki yang segera
menjadi perhatian. Lelaki ini melangkah terhuyung-huyung. Wajahnya penuh luka
dan babak belur. Ditubuhnya juga kalihatan luka-luka yang masih menganga. Dia
berjalan sambil pegangi dadanya, di mana terdapat sebuah luka besar yang masih
mengucurkan darah.
"Astaga! Apa yang terjadi
dengan Tugiman!" seru seorang nelayan tua seraya melompat dari perahunya.
Namanya Argakumbara. Oleh kelompok nelayan teluk Cikandang dia dianggap sebagai
pimpinan karena usianya dan juga pengglamannya.
Seorang anak lelaki yang ikut
melaut dengan Argakumbara melompat pula dari perahu, berlari ke arah orang yang
luka-luka. Para nelayan lainnya pun segera pula mendatangi. Tugimen roboh ke
pasir saat para nelayan sampai di hadapannya, langsung mengerubunginya.
"Tugiman! Apa yang
terjadi? Siapa yang menganiayamu?!" tanya Argakumbara sambil berlutut di
samping orang yang terkapar di pasir itu.
"Lari . . . lari.
Tinggalkan tempat ini cepat ..."
Tugiman bicara dengan susah
payah.
"Lari? Kenapa musti lari
...?" tanya Argakumbara heran, begitu juga nelayan-nelayan lainnya.
"Jangan bertanya. Larilah selagi kesempatan ada. Selamatkan nyawa kalian.
Serombongan manusia-manusia durjana telah mengganas di kampung, Membunuh,
merampok dan menculik. Kepala kampung mereka gantung. Mereka akan segera datang
kemari..."
Kagetlah semua nelayan yang
ada di situ. Si kecil Handaka walau juga menunjukkan rasa tarkejut namun tidak
ada bayangan rasa takut.
"Siapa manusia-manusia
durjana itu Tugiman?" tanya Argakumbara. "Kampung kita dan daerah
sekitar sini sejak dulu selalu aman tenteram."
Tugiman tidak bisa menjawab
pertanyaan itu. Kedua matanya yang terbuka lebar memandang tak berkesip lagi ke
langit.
"Mati! Dia mati!"
terlompat ucapan itu dari mulut Handaka.
Semua orang tersentak.
"Handaka," kata
Argakumbara pada anaknya, "Kau pergilah ke kampung Cikuray. Langsung ke
rumah bibimu. Tunggu di sana sampai ayah datang. Kami akan mengurus mayat
Tugiman."
Akan tetapi belum sempat bocah
sepuluh tahun itu melakukan perintah ayahnya, enam orang penunggang kuda muncul
memacu kuda masing-masing, bargerak sepanjang tepi pantai ke arah
nelayan-nelayan yang mengelilingi mayat Tugiman. Dua di antara mereka memboyong
seorang gadis yang terkulai di pangkuan masing-masing, entah pingsan entah
keletihan kehabisan tenaga karena meronta-ronta sepanjang jalan. Atau mungkin
juga ditotok!
"Ayah! Pasti ini
manusia-manusia durjana itu …" bisik Handaka seraya pegangi lengan
Argakumbara.
Penunggang kuda terdepan
hentikan kudanya. Sambil menyeringai dia memandangi tubuh Tugiman. Keenam orang
ini rata-rata berbadan tegap besar, bermuka garang dihias kumis melintang dan
cambang bawuk, memiliki mata merah, berpakaian dan berikat kepala serba hitam.
"Ternyata anjing satu ini
lari kemari! Tapi kulihat nafasnya sudah putus. Sialan! Susah-susah kita
mengejarnya!"
"Hai!" kawan di
sampingnya berseru. "Orang itu bicara apa saja pada kalian sebelum dia
mampus?!"
Tak ada yang bergerak. Tak ada
yang berani menjawab.
"Setan! Apakah aku
berhadapan dengan patung-patung!" bentak orang tadi. Lalu kaki kanannya
enak saja menendang kepala seorang nelayan yang ada di dekatnya. Tak ampun
nelayan ini jatuh tergelimpang dengan bibir pecah dan gigi rontok! Serta merta
para nelayan lainnya menjadi kecut, semua bersurut mundur kecuali Argakumbara
dan anaknya.
Penunggang kuda yang barusan
menendang den memboyong seorang gadis di pangkuannya memandang berkeliling,
tertawa sebentar lalu berkata, "Nelayan-nelayan busuk! Kalian dengar
baik-baik apa yang aku katakana! Aku Singkil Alit, bergelar Harimau Hitam,
pemimpin dalam rombongan ini! Kami baru saja membakar kampung kalian, membunuh
orang-orang yang tak mau mendengar. Menculik dua gadis ini karena tidak mau
ikut secara suka rela padahal mau diberi kenikmatan dan hidup mewah! Kami
bahkan telah menggantung kepala kampung kalian yang berani menatang! Jika
kalian di sini ingin mampus semua, mudah saja! Yaitu membangkang atas apa-apa
yang kami katakan! Nah, aku bertanya lagi. Apa yang dikatakan manusia itu
sebelum mampus?!"
Karena tak ada seorangpun di
antara para nelayan, yang berani menjawab maka Argakumbara akhirnya membuka
mulut, "Orang itu keburu mati sebelum sempat mengatakan apa-apa. . ."
"Bagus! Ada juga yang mau
bicara!" kata Singkil Alit. "Coba tadi-tadi ada yang mau menjawab.
Tak perlu kami menurunkan tangan keras, memukul atau menendang. Dasar
nelayan-nelayan picik! Tolol semua!"
Setelah memuntir kumisnya yang
melintang Singkil Alit lanjutkan ucapannya.
"Dengar baik-baik. Mulai
hari ini semua hasil kalian melaut, sawah atau ladang, termasuk ternak yang
kalian punyai di kampung di balik bukit itu berada di bawah kekuasaan kami
berenam. Semua hasil panen harus diserahkan pada kami. Semua ikan yang kalian
dapat harus diberikan kepada kami hasil penjualannya. Nanti kami yang akan
mengatur seperberapa bagian yang boleh kalian ambill Nah, aku mau tahu ada yang
berani membangkang?!"
Sunyi sesaat. Kemudian
terdengar suara Argakumbara.
"Boleh aku bicara?"
Singkil Alit memandang sejurus
pada nelayan tua itu lalu berkata, "Monyet tua, apa yang hendak kau
katakan ucapkan cepat!"
Walaupun orang tua ini tetap
tenang namun wajahnya jelas berubah dipanggil dengan makian monyet tua itu.
"Selama ini kalau kami
membayar pajak, itu kami berikan pada Adipati melalui kepala kampung. Pajak
yang kami bayar tidak ditentukan, sesuai kemampuan. Kami di sini adalah
nelayan-nelayan miskin. Di antara kami memang ada yang punya sawah atau ladang,
tapi dengan petak-petak yang kecil. Kalaupun kami punya ternak itu hanya ayam,
itik atau kambing. Jika kalian hendak menguasai semua milik kami yang hanya
cukup untuk modal hidup, itu sama saja kalian membunuh kami...!"
Singgil Alit alias Harimau
Hitam mendelikkan mata, usap-usap janggutnya yang meranggas lalu tertawa
gelak-gelak.
"Monyet tua ... !"
katanya.
"Ayahku bukan
monyet!" teriak Handaka tiba-tiba.
"Kalian semua
dengar!" bentak Singkil Alit. "Mulai hari ini kalian tak perlu tahu
lagi apa itu kepala kampung, kepala desa ataupun Adipati. Yang harus kalian
patuhi bukan mereka, tapi kami! Aku dan
kawah-kawan akan membangun sebuah kota di daerah ini. Kalian harus tinggal
bersama kami, bekerja untuk kami! Siapa berani membangkang atau mencoba lari
berarti mati!"
Mendengar kata-kata Singkil
Alit, Argakumbara kembali membuka mulut.
"Singkil Alit; siapapun
adanya kau. Aku dan semua nelayan di sini tidak mengerti mengapa kau dan
kawan-kawanmu tega melakukan pererasan. Merampas bahkan membunuh kami
orang-orang tak berdosa. Menculik gadis-gadis kampung kami. Apakah kalian tidak
takut pada petugas-petugas Bupati?"
"Justru petugas-petugas
itu yang harus takut pada kami!" sahut Singkil Alit lalu tertawa
gelak-gelak diikuti lima anak buahnya.
"Kami tidak mungkin
melakukan apa yang kalian minta!" kata Argakumbara tandas.
"Begitu? Majulah lebih
dekat kemari! Ada sesuatu yang perlu aku katakan padamu nelayan tua. Orang lain
tak boleh mendengarnya ...." kata Singkil Alit.
Tak mengerti kalau orang
bermaksud jahat, nelayan tua berhati polos ini melangkah maju. Baru saja dia
bertindak dua langkah, kaki kanan Singkil Alit tiba-tiba menderu ke dadanya.
Argakumbara keluarkan jeritan menyayat hati. Tubuhnya terlempar dan
tergelimpang di pinggir pantai. Darah tampak mengucur dari sela bibirnya. Dia
mengerang beberapa ketika lalu diam tak bergerak lagi. Mati!
"Ayah….!" jerit
Mandaka dan jatuhkan diri menubruk tubuh ayahnya. Anak ini menangis keras.
Tiba-tiba dia hentikan tangisnya. Matanya membentur sebuah pisau besar yang
terselip di pinggang ayahnya. Pisau ini biasa dipergunakan untuk memotong ikan.
Tak berpikir panjang lagi
Handaka ambil pisau itu lalu
menerjang ke arah Singkil Alit, menusuk ke perut lelaki ini!
"Budak! Nyalimu besar
juga!" salah seorang anak buah Singkil Alit, menghalangi gerakan Handaka
sambil hendak menggebuk.
"Biar saja Rangga!"
kata, Singkil Alit mencegah.
Pisau besar di tangan Handaka
mencucuk, ke perut kepala penjahat itu. Yang diserang tertawa mengekeh. Sekali
tangannya bergerak dia sudah menjambak rambut anak itu sementara tangannya yang
satu lagi memuntir lengan kanan Handaka. Anak itu berteriak kesakitan dan
terpaksa lemparkan pisau besarnya. Dengan, tangan kirinya dia berusaha mencakar
muka Singkil Alit. Namun satu, jotosan lebih dulu menghantam dadanya. Handaka
keluarkan keluhan pendek lalu terkulai pingsan. Seperti melemparkan sampah,
Singkil Alit hempaskan tubuh Handaka ke pasir.
***
MENDENGAR penuturan Handaka,
lama Pengemis Batok Tongkat termenung.
"Aneh . . ." katanya
kemudian dalam hati. "Bagaimana dunia yang katanya didiami manusia-manusia
beradab ini masih saja ada orang-orang durjana seperti Singkil Alit dan
kawan-kawannya itu. Singkil Alit, tak pernah kudengar nama itu sebelumnya.
Iblis dari mana yang satu ini ... ?"
"Handaka, apakah ibumu
masih ada?" si kakek tiba-tiba bertanya.
Anak itu menggeleng.
"Kata ayah, ibu meninggal
tak lama setelah melahirkanku. Aku seperti merasa berdosa ... "
"Eh, merasa berdosa
bagaimana?" tanya kakek Pengemis itu.
"Kalau beliau tidak
melahirkanku, beliau tak akan meninggal."
Orang tua itu termenung
sejurus, lalu tertawa mengekeh.
"Cucu, jalan pikiranmu
terlalu jauh. Nyawa manusia bukan diatur oleh manusia lainnya. Tapi Tuhan yang
menentukan hidup mati seseorang!"
"Kalau begitu orang-orang
seperti Singkil Alit dan kawan-kawannya itu bisa dianggap tidak berdosa walau
dia membunuh. Bukankah itu sebenarnya tangan atau kehendak Tuhan yang
berlaku..?"
"Ah, sepintas lalu jalan
pikiranmu bisa dianggap benar. Tapi kalau direnungkan Iagi kau salah besar
cucuku. Tuhan memang yang menentukan. Tapi hak apa manusia merampas nyawa orang
lain? Hak apa manusia boleh mencuri dan merampok, boleh menculik? Segala segi
kehidupan ini sudah diatur dalam kitab Suci dan hadis nabi. Dan manusia harus
mempergunakan akal sehat bukan ikut hasutan setan atau iblis!"
Di usia seperti itu agak sulit
bagi Handaka mengerti kata-kata si kakek. Maka diapun berkata: "Mengapa
kau tanyakan tentang ibuku, kek!"
"Kurasa lebih baik bagimu
untuk tidak kembali ke kampung. Manusia-manusia iblis itu pasti tidak berhenti
pada kematian ayahmu saja. Maukah kau tinggal bersamaku di sini?"
"Apa enaknya tinggal
dalam hutan belantara ini? Tak ada teman ada kawan…. Jauh dari laut yang
kucintai…. " ujar Handaka. Wajah si kakek jelas menunjukkan rasa kecewa
"Tapi mengingat kau sudah
menolong jiwaku, kek. Maka aku tentu seja mau tinggal bersamamu di sini."
"Ah! Kau pandai
mengganggu orang tua ini!" kata Pengemis Batok Tongkat dan tertawa
gelak-gelak.
"Apakah aku tak akan
menyusahkanmu kek?" bertanya Handaka.
"Kau takut aku akan
menyuruhmu jadi pengemis, pergi meminta-minta?'
"Ih, tak ada pikiranku
begitu. Mengemis itu apa salahnya. Pekerjaan halal yang jauh lebih baik dari
mencuri!" jawab Handaka.
"Bagus… bagus!" kata
Pengemis Batok Tongkat dan usap-usap rambut Handaka.
"Cucu, jika kau mau
tinggal di sini, aku akan ajarkan ilmu silat padamu!"
Handaka bangkit danduduk di
ujung balai-balai. Menatap si kakek.
"Kau sungguhan mau
mengajarkari ilmu silat padaku, kek?"
Orang tua itu mengangguk.
"Ah, jika aku jadi jago
silat, aku akan cari Singkil Alit dan komplotan iblisnya. Aku akan basmi
mereka!" kata Handaka bersemangat.
"Cucu baik… cucuku baik.
Sekarang kau tidur. Kau belum sehat betul."
Handaka menurut. Dia baringkan
tubuhnya kembali di atas balai-balai dan pejamkan mata. Namun dua mata anak ini
terpentang lebar kambali ketika di luar sana terdengar bentakan keras.
"Pengemis tua! Lekas kau
serahkan surat yang titipkan pangeran Tanuma pada kami!"
"Kek," ujar Handaka
kaget, berpaling pada kakek pengemis. "Siapa orang di luar sana yang
malam-malam begini berteriak tak tahu sopan?"
Si kakek letakkan telunjuknya
di atas bibir, memberi isyarat agar cucunya itu tidak bicara dan terus
berbaring. Tubuh Handaka ditutupnya dengan kain sampai sebatas kepala. Handaka
turunkan ujung kain agar dapat mengintai. Dilihatnya si kakek mendongak ke atap
pondok. Rupanya orang yang berteriak ada di atas atap bangunan jati itu.
"Tamu dari mana
malam-malam begini ke sasar ke pondokku?!" Terdengar Pengemis Batok
Tongkat bertanya. Suaranya tanang-tenang saja.
***
TIGA
DARI atas atap terdengar
bentakan.
"Kurang ajar! Diperintah
malah berani bertanya."
"Aku bertanya agar kau
tidak salah datang tempat yang dituju!" jawab si pengemis.
"Jangan coba berdalih Di
hutan ini hanya satu pondok. Milikmu. Kami tidak datang ke tempat yang salah.
Lekas kau berikan barang yang dititip pangeran Taruma itu!" kata orang di
atas atap.
"Bagaimana kalau aku
tidak mau memberikannya?!" tanya Pengemis Batok Tongkat.
"Kami akan membakar
pondokmu ini dan membunuh kau. Juga bocah itu!"
"Kek …!" Handaka
julurkan kepalanya. "Orang itu hendak membunuh kita …"
"Sstt…. Cucu, kau tidur
saja!" sahut si kakek itu menutupi muka Handaka dengan selimut tapi anak
itu menurunkannya kembali.
"Hai Pengemis! Kau tunggu
apa lagi ...?"
Kakek itu memang sudah melihat
ada bayangan nyala api di atas atap. Orang-orang di atas sana mungkin membawa
obor.
Tiba-tiba si kakek tertawa.
Orang di atas atap membentak.
"Tua bangka edan! Kami
minta kau menyerahkan surat itu. Bukan tertawa macam orang gila!"
"Aku tertawa karena
kalian kuanggap manusia-manusia bodohl Ada sangkut paut apa aku dengan pangeran
Taruma? Mana mungkin dia menyerahkan soesuatu kepadaku. Sepucuk surat katamu?
Surat Cinta? Untuk diserahkan pada siapa? Ha ... ha ... ha... !"
"Kau berani berdusta dan
coba mengelabui kami!" kata orang di atas atap. "Orang-orang kami
tahu betul, satu bulan lalu kau bertemu dengan pangeran Taruma di istananya di
tikungan kali Citarum. Kau berpura-pura datang sebagai seorang pengemis.
Pangeran memasukkan sesuatu ke dalam batok kelapamu. Sepintas seperti lembaran
uang kertas. Tapi itu adalah sepucuk surat. Surat dengan gambar peta tempat
penyimpanan emas milik sang pangeran. Kau masih mau mungkir?!"
Sebelum menjawab kembali
Pengemis Batok Tongkat tertawa gelak-gelak.
"Orang-orangmu itu
matanya tentu tajam sekali! Tapi mungkin juga mereka handak berbuat lelucon
terhadap kalian! Hampir selama tiga purnama aku tak pernah meninggalkan pondok
ini. Kecuali kemarin pagi! Bagaimana mungkin aku bisa gentayangan sejauh itu
sampai di kali Citarum? Atau mungkin setan atau rohku yang menjelma dan datang
di istana pangeran Taruma?!"
Sesaat tak ada jawaban dari
atas atap. Pengemis Batok Tongkat tahu bahwa ada dua orang di atas sana dan
keduanya tengah bicara berbisik-bisik seperti berunding singkat.
"Sudah selesaikah kalian
berunding? Jika sudah lekas pergi dari tempat ini!" kata pengemis.
"Pengemis licik! Jangan
sangka kau bisa menipu kami dengan keterangan dustamu. Sekali lagi aku beri
kesempatan! Jika peta itu tidak kau serahkan, rumahmu akan kami bakar dan kau
beserta bocah itu akan kami bunuh!"
"Oo ladala...! Malangnya
nasibku kalau begitu!" ujar si kakek tetap tenang. "Maukah kalian
memberi tahu siapa kalian berdua?!"
"Aku Soka Panaran,
bergelar Golok Emas!" menyahut orang di atas atap yang sejak tadi menjadi
jura bicara.
"Aku Sindang Tambra,
berjuluk Raja Lanun Pantai Selatan!"
"Ha... he ... he . .
.!" tanya si pengemis tua begitu mendengar jawaban dua orang di atas atap.
"Soka Panasaran, kalau
kau sudah mendapat gelar Golok Emas, pasti kau punya sebilah golok terbuat dari
emas. Mengapa masih temahok mau dapatkan emas milik orang lain. Dan kau Sindang
Tambra, aku tidak heran kalau bajak laut sepertimu haus harta! Tapi kalian
salah alamat! Peta atau surat apapun tak ada padaku!"
Golok Emas dan Raja Lanun
Pantai Selatan merupakan nama-nama yang cukup menggetarkan dunia persilatan
pada masa itu. Keduanya adalah manusia-manusia berkepandaian tinggi yang masuk
dalam kelompok golongan hitam. Mandengar ucapan si kakek jelas meraka dianggap
enteng. Ini membuat keduanya menjadi marah. Raja Lanun sudah siap untuk
menjebol atap tapi Golok Emas memberi isyarat lalu berteriak.
"Pengemis Batok Tongkat!
Kami memberi kesempatan terakhir. Kau mau serahkan peta itu atau tidak?"
Pengamis tua itu dilihat
Handaka mengambil batok kelapa dan tongkat kayunya dari atap meja lalu
menjawab, "Kalian mengancamku?"
"Kami akan membuktikan
ancaman itu!" jawab Soka Panaran.
"Kalian akan menyesal
sampai ke liang kubur!" sahut si kakek.
"Keparat!" maki Raja
Lanun Sindang Tambra yang sejak tadi sudah tidak sabaran. Kaki kanannya
dihantamkan ke atap bangunan.
Brak! Atap itu jebol.
Sesaat kemudian bernama Soka
Panaran dan melayang turun memasuki pondok kayu jati yang sempit. Masing-masing
memegang obor di tangan kiri!
"Ah, jadi inilah
tampang-tampang manusia yang inginkan harta orang itu? Apakah tidak lebih baik
kalian pergi saja clari sini. Salah-salah nanti aku mengemis pada kalian, minta
uang minta beras!" kata pengemis Batok Tongkat.
Dari bawah selimut Handaka
menjadi heran lihat sikap si kakek. Jelas orang datang dengan maksud jahat tapi
orang tua itu masih saja bicara seenaknya seperti mau melucu!
"Soka!" kata Raja
Lanun Sindang Tambra. "Kau bakar pondok, aku akan patahkan batang leher
tua bangka ini!"
"Kecuali untuk terakhir
kalinya dia mau serahkan peta itu!" kata Soka Panaran alias Golok Emas
yang masih berusaha mencapai tujuan tanpa kekerasan.
"Kambing-kambing
busuk!" maka Pengemis Batok Tongkat. "Kalian telah merusak atap
pondokku kini mengancam mau membakar dan minta benda yang aku tidak
miliki!"
"Kau betul-betul tua
bangka keparat!" Sindan Tambra marah sekali. Dia melompat ke muka sambil
sorongkan api obor untuk menyulut muka si kakek.
"Dua ekor kambing. Kalian
mencari penyakit!" kertak orang tua itu dan sambut serangan Sinda Tambra
dengan melompat ke samping. Api obor lewat di sebelah kanannya. Serentak dengan
itu si kakek tusukkan tongkat kayunya ke arah iga lawan. Tapi serangannya luput
karena tiba-tiba sekali bajak laut ini sudah berkelebat ke kiri lalu kembali
sorongkan obor ke muka si kakek sedang dari bawah kakinya datang menyapu mencari
sasaran pada tulang kering kaki.
"Hup!" Pengemis
Patok Tongkat melompat. Tangan kanannya yang memegang batok kelapa dipukulkan
ke bawah ke arah api obor. Begitu obor keno tersungkup tempurung kelapa itu,
serta merta apinyapun padam. Raja Lanun Sindang Tambra tersentak kaget. Penuh
geram dia pukulkan tangan kiri namun tarpaksa tarik pulang serangannya karena
ujung tongkat di tangan kiri si kakek lebih dulu menusuk ke arah lehernya.
"Kakeki Kambing satu itu
hendak membakar pondoki" teriak Handaka ketika dilihatnya Soka Panaran
menyuiut ujung tikar jerami yang menjadi alas balai-balai.
Mau tak mau Pengemis Batok
Tongkat terpaksa tinggalkan Raja Lanun,dan melompat ke arah Soka Panaran. Mulut
si kakek tampak menggembung. Tiba-tiba dia menghembus ke arah ujung obor.
Serangkum angin keras bertiup. Blep! Api obor padam!
"Keparat!" maki Soka
Panaran lalu kemplangkan bambu obor ke kepala si kakek.
"Kek! Awas di
belakangmu." teriak Handaka.
Orang tua itu tampak seperti
kerepotan dan bingung. Dari depan dia dikemplang dengan bambu sedang dari
belakang Raja Lanun mamukul ke arah punggungnya. Karena dua serangan itu
dilakukan oleh orang berkepandaian tinggi, kalau saja mengenai si kakek pasti
akan membuat die cidera berat.
"Ah, bagaimana kakak tua
ini bisa menyelamatkan diri dikeroyok begitu rupa." Keluh Handaka.
Dia memandang berkeliling
mencari-cari. Dilihatnya sebuah cangkir kaleng tergantung di atas kepala
balai-balai. Cepat diambilnya benda itu dan dilemparkannya ke arah Raja Lanun
yang membokong dari belakang.
Gerakan kakek pengemia yang
seperti repot bingung itu sebenarnya hanyalah hal yang dibuat-buat saja. Untuk
menghadapi dua lawan yang mengeroyok itu sebenarnya dia tidak perlu bantuan
siapapun. Memang baik Soka Panaran alias Golok Emas maupun Raja Lanun Pantai
Selatan bukan manusia-manusia sembarangan. Keduanya memiliki kepandaian tinggi,
tapi si kakek sendiri adalah tokoh tua yang jauh lebih lihay. Sebenarnya jika
kedua orang tadi menyadari kepandaian si kakek meniup api obor dari jauh hingga
mati begitu rupa, keduanya harus menyadari bahwa lawan memiliki tenaga dalam
yang tinggi dan bukan tandingan mereka. Namun rasa amarah ditambah keinginan
untuk mendapatkan benda yang mereka cari membuat keduanya melupakan kenyataan
itu.
Begitulah, si kakek sambut
kemplangan bambu obor dengan lebih dulu selinapkan tusukan ke ketiak Soka
Panaran. Melihat serangan lawan datang lebih cepat dari kemplangan bambunya,
Soka Panaran tidak teruskan kemplangannya melainkan bababatkan bambu itu ke
arah bahu si kakek.
"Jurus silatmu sudah kuno
Soka! Tidak laku untuk dunia silat masa kini!" ejek si kakek. Lalu tongkat
di tangan kirinya berputar ke samping. Sesaat kemudian terdengar pekik Soka
Panaran.
Telinga kanannya mongucurkan
darah. Ujung tongkat si kakek yang kecil runcing telah membuat daun telinga
sebelah kanan orang ini luka besar dan berlubang! Walaupun kawannya mendapat
cidera tapi Sindang Tambra yang menyerang dari belakang merasa punya peluang
besar untuk mendaratkan pukulan tangan kanannya. Tenaga kasar bajak laut ini
sanggup meremukkan kepala kerbau, apalagi saat itu disertai dengan pengerahan
tenaga dalam. Hingga kalau sampai mengenai tubuh kakek pengemis yang sudah tua
kurus itu, pastilah si kakek akan celaka.
Namun satu kehebatan
diperlihatkan lagi oleh orang tua itu. Tanpa menoleh ke belakang dia
telikungkan tangan kanannya ke punggung dengan batok kelapa membelintang
demikian rupa.
Ketika tinju kanan Raja Lanun
sampai, batok kelapa itu menyambutnya dengan tepat. Raja Lanun Sindang Tambra
mengeluh kesakitan sambil pegangi jari tangan kanannya. Jarijarinya ternyata,
tampak merah, dagingnya langsung membengkak. Di saat kesakitan seperti itu
cangkir kaleng yang dilemparkan Handaka melayang deras, dan mendarat tepat di
keningnya hingga kepala bajak ini terluka dan kucurkan darah.
"Bagus Handaka!
Lemparanmu tepat sekali!" ujar Pengemis Batok Tongkat. "Nah, nah! Dua
ekor kambing. Apakah kalian masih belum sadar sudah diberi pelajaran oleh tua
bangka ini dan cucuku itu? Ayo kenapa tidak lekas pergi?!"
"Kami baru pergi kalau
kalian berdua sudah kugorok dengan ini!" sahut Soka Panaran dengan mata
berapi-api. Dari pinggangnya dia cabut golok besar berwarna kuning. Senjata
inilah yang membuat dia mendapat julukan Golok Emas. Walaupun tidak terbuat
dari emas sungguhan, namun warnanya memang kuning seperti emas. Sudah banyak
korban menemui kematiannya oleh senjata ini.
"Ah, golok emas! Hai,
bolehkah kulihat apakah golokmu itu terbuat dari emas sungguhan? Atau hanya
emas palsu?" ejek Pengemis Batok Tongkat sambil merobah kedudukan
kuda-kudanya hingga sekaligus dia dapat mengawasi dua lawan yang dihadapinya.
Melihat kawannya keluarkan
senjata andalannya, Sindang Tambra jadi tidak sungkan-sungkan untuk keluarkan
pula sanjatanya yakni sebuah clurit besar yang badan dan hulunya berwarna hitam
gelap.
Cemaslah Handaka melihat si
kakek bukan seja hanya dikeroyok tapi juga dikurung lawan dengan senjata
terhunus. Apakah si kakek tidak akan keluarkan senjata, pikir anak ini.
Nyatanya memang demikian. Pengemis tua itu hanya tegak tenang-tenang saja,
malah sambil menyeringai. Dalam hidupnya sebagai tokoh silat aneh dia tak
pernah memiliki senjata. Apapun yang terjadi dia selalu menghadapi lawan dengan
tongkat kayu kecil dan batok kelapa itu!
"Kalian tunggu apa lagi?
Majulah biar lekas aku memberi pelajaran pada kalian!" kata si kakek.
Ini tambah membakar kemarahan
Soka Panaran dan Raja Lanun. Masing-masing keluarkan suara menggembor lalu
menyerbu. Soka dari samping kiri sedang Raja Lanun melabrak dari sebelah kanan.
Golok Soka menderu keluarkan sinar kuning terang sedang clurit di tangan
Sindang Tambra berdesing dengan memancarkan sinar hitam pekat!
"Ah, celakahlah kakekku!
Bagaimana aku harus membantu!" keluh Handaka yang tak mau berpangku tangan
tapi tidak tahu harus menolong bagaimana. Tapi dasar anak cerdik dapat saja
satu akal olehnya. Maka perlahan-lahan dia bangkit dari balai-balai itu sambil
menggulung selimut.
Sementara itu pengemi tua yang
mendapat dua serangan sekaligus berkelebat gesit. Tongkat di tangan kirinya
memukul ke perut Soka Panaran, batok kelapa di tangan kanan menyelinap mencari
sasaran disambungan siku kanan Sindang Tambra.
Melihat tangan kiri si kakek
menyorong ke depan, Soka Panaran mengambil keputusan untuk membabat tangan itu,
lebih dulu dengan golok kuningnya. Namun orang ini salah perhitungan. Dia tidak
menyadari kalau gerakan lawan jauh lebih cepat. Hingga sebelum golak besarnya
berhasil membacok lengan Pengemis Batok Tongkat, tongkat kayu si kakek yang
menderu menggeletar, menghantam bagian lengan kanannya di bawah ketiak.
Krak!
Terdengar suara patahan
tulang. Disusul pekik si Golok Emas Soka Panaran. Dia melompat mundur,
menggerang kesakitan sementara goloknya yang jatuh ditempel demikian rupa oleh
si kakek dengan tongkat kayunya. Golok ini melorot turun mengikuti batangan
tongkat lalu dengan mudah ditangkap oleh si kakek.
Pada saat itu pula Raja Lanun
Sindang Tambra yang tengah menyerbu si kakek dengan clurit hitam angkernya
menjadi terkejut ketika tiba-tiba selembar kain berkelebat menebar dan menutupi
kepala serta tubuhnya. Kain ini bukan lain adalah selimut yang dilemparkan
Handaka.
Dalam keadaan ditelikung
seperti itu tentu saja Raja Lanun Pantai Selatan ini tidak dapat lagi melihat
di mana lawannya berada. Serangan cluritnya menjadi mentah. Dan dia memaki
panjang pendek. Suara makiannya berubah menjadi jeritan kesakitan ketika
pengemis tua pukulkan batok kelapanya berulang kali, lalu mengetok dengan
tongkat kayu. Terdengar suara krak berulang kali tanda ada tiliang-tuiang bajak
itu yang patah.
Ketika Raja Lanun Pantai
Selatan berhasil keluar dari kungkungan selimut, tulang belikatnya sebelah kiri
patah hingga tubuhnya miring. Lalu beberapa tulang iganya juga remuk. Dan yang
paling parah adalah tulang kering kaki kanannya, juga patah hingga terpincang-pincang
dia bersurut ke pintu pondok.
Kakek pengemis tegak sambil
mengekeh. "Bagaimana?!" ujarnya. "Sudah kapok atau masih minta
digebuk lagi!"
"Tua bangka keparat!
Terima ini!"
Golok Emas berteriak marah.
Dia pukulkan tangan kirinya. Serangkum angin menyambar ke arah pengemis tua.
Dengan tertawa kakek ini lentingkan tongkat kayunya dari bawah ke atas.
Angin serangan yang
dilepaskanSoka Panaran musnah. Sebaliknya ujung tongkat yang runcing kembali
melenting dan kali ini memukul ke arah mata kanan Soka Panaran. Orang ini
meraung ketika matanya pecah dan darah mengucur.
"Soka! Sebaiknya kita
pergi saja! Lain kali kita buat perhitungan dengan tua bangka keparat
ini!" kata Raja Lanun Sindang Tambra. Lalu tanpa menunggu dia melompat ke
pintu pondok. Soka Panaran sambil pegangi matanya yang kini jadi buta sebelah,
terhuyung-huyung lari pula ke arah pintu.
"Hai! Golok emasmu apa
tidak dibawa?!" seru Pengemis Batok Tongkat.
Tapi Soka Panaran terus saja
lari dan menghilang dalam kegelapan. Mana dia punya nyali lagi untuk mengambil
goloknya itu. Si kakek pungut senjata itu lalu enak saja kedua tangannya
mematahkan golok. Ketika diteliti bagian dalamnya, ternyata golok itu hanya
bagian luarnya saja yang disepuh emas. Sebelah dalam hanya besi hitam campur
baja.
"Emas butut!" kata
si kakek lalu tertawa dan berpaling pada Handaka. "Cucuku! Kau bukan saja
berani, tapi juga cerdik. Tidak percuma aku mengambilmu jadi murid!"
***
EMPAT
DI PANTAI selatan yang
dibatasi oleh teluk Cikandang dan kaki gunung Halimun di sebelah utara, kali
Cirampang di sebelah barat dan bukit Gondal di sebelah timur kelihatan satu
pemandangan baru. Selama enam bulan ratusan manusia menancapkan
batangan-batangan kayu jati setinggi lebih dari tiga tombak dengan ujung-ujung dipotong
runcing. Deretan kayu jati ini berubah menjadi satu pager kukuh yang membatasi
deerah sangat luas, terdiri dari beberapa desa danbelasan kampung. Ada dua
pintu gerbang yang selalu dijaga ketat yakni di sebelah selatan menghadap ke
pantai dan di sebelah utara menghadap gunung Halimun.
Daerah terkungkung ini
merupakan satu kota besar tak bernama. Namun orang telah menyebutnya sebagai
Kota Hantu. Di sinilah Singkil Alit alias Harimau Hitam dan lima kawannya
menjadi penguasa durjana. Secara paksa mereka mengumpulkan hampir tiga ratus
penduduk di daerah itu untuk membangun pager kayu jati. Lalu membangun
rumah-rumah besar untuk mereka. Orang banyak itu dijadikan budak, dipaksa
tinggal dalam kungkungan pagar jati dan dipaksa melakukan dan jadi nelayan. Semua
hasil harus diserahkan pada Singkil Alit. Siapa berani membangkang atau coba
melarikan diri maka tak ada ampun. Mereka akan dipancung.
Mayatnya dipertontonkan agar
semua orang takut dan tak mau meniru perbuatan kawannya itu. Singkil Alit dan
kawan-kawannya juga melatih para pemuda untuk dijadikan pengawalpengawal
mereka. Pemuda-pemuda ini berjumlah sekitar enam puluh orang. Mereka mengawal
enam rumah pimpinan kota hantu itu, yang merupakan rumah-rumah besar mewah,
dilengkapi dengan beberapa orang perempuan atau gadis cantik hasil culikan dari
desa atau perkampungan penduduk.
Di antara keenam manusia
durjana itu adalah orang yang bernama Tembesi memiliki lebih dan lima perempuan
peliharaan di rumahnya. Dari luar Kota Hantu ini tampak tenang. Tapi di dalam,
kehidupan penduduk yang berjumlah lebih dari tiga ratus orang itu merupakan
dunia penderitaan yang tiada taranya. Mereka dipaksa untuk bekerja dan dicambuk
bila dianggap malas atau tidak mengbasilkan apa-apa. Lelaki atau perempuan yang
kelihatan seperti sakit-sakitan lenyap secara aneh. Entah dibunuh entah
dibuang, mayatnya tak pernah ditemukan. Setiap hari selain saja ada orang-orang
dari luar yang diculik dan dipaksa tinggal di Kota Hantu untuk jadi budak kerja
paksa.
Hanya dalam waktu dua belas
bulan saja nama Kota Hantu ini telah dikenal di kawasan Jawa Barat sebelah
selatan. Siapa saja yang mendengar nama kota ini akan merinding bulu kuduknya
karena ngeri membayangkan kehidupan penuh siksa di sana. Apakah sebenarnya
tujuan Singkil Alit dan kawan-kawannya mendirikan kota tertutup itu?
Sebagai seorang tokoh silat
golongan hitam yang punya nama angker Singkil Alit sejak lama bercita-cita
ingin menguasai rimba persilatan di Jawa Barat. Paling tidak di daerah selatan
yang penduduknya rata-rata mempunyai tingkat penghidupan tinggi karena tanahnya
subur dan lautnya kaya dengan ikan. Setelah dia merasa cukup modal harta
kekayaan maka satu demi satu tokoh-tokoh akan diundangnya datang, lalu dibunuh
secara keji.
Singkil Alit tidak mau bekerja
sendiri. Untuk itu maka dikumpulkannya beberapa orang kawannya sealiran. Mereka
adalah Rangga, Pinto Manik, Rah Tongga, Wiracula dan tembesi. Begitulah, sejak
enam bulan terakhir ini dunia persilatan di daerah itu ditandai oleh beberapa
kejadian aneh, yakni lenyapnya tiga tokoh silat berkepandaian tinggi. Dua dari
golongan putih, satu lagi dari golongan hitam. Tak satu orang luarpun yang tahu
kalau ketiga tokoh tersebut telah menemui ajal dibunuh oleh Singkil Alit dan
kawan-kawannya di dalam Kota Hantu.
"Suatu hari ketika keenam
iblis-iblis Kota Hantu itu berkumpul sambil meneguk tuak keras dan
bergelut-gelut dengan perempuan-perempuan culikan mereka, berkatalah Rah
Tongga.
"Singkil, kalau kita
hanya menyingkirkan satu persatu tokoh-tokoh silat itu, kurasa dalam waktu dua
tahun di muka pekerjaan dan tujuan kita belum selesai. Mungkin pula rahasia
kita bocor. Tokoh-tokoh silat putih dan hitam bergabung lalu menyerbu kota kita
ini..."
Singkil Alit turunkan cangkir
bambunya. Sekl bibir dan kumis serta janggutnya yang basah oleh tuak lalu
bertanya, "Kau ada rencana spa, Rah Tongga! Coba katakan. Mataku mulai
mengantuk. Aku ingin bersenang-senang dengan kekasih-kekasihku di dalam…"
Empat kawannya yang lain ikut
mendangarkan dengan seksama.
"Bagaimana kalau kita
adakan perjamuan besar. Kita undang orang-orang dunia persilatan di daerah ini.
Kita beri racun makanan atau minuman mereka! Nah, sekali bertindak semuanya
beres!"
Singkil Alit tegak dari
kursinya. Sesaat dia berkacak pinggang memandang Rah Tongga, lalu maju dan
tepuk-tepuk bahu kawannya itu.
"Karena hal itu tidak aku
pikirkan sebelumnya!" kata manusia berjuluk Harimau Hitam ini,
"Rah Tongga! Usulmu aku
puji dan aku terima. Kau dan kawan-kawan aturlah perjamuan, kirim undangan! Dan
ingat itu harus kita lakukan secepatnya!"
"Jangan kawatir Singkil.
Serahkan semua pada aku dan kawan-kawan!" kata Rah Tongga pula penuh
senang karena usulnya diterima.
Begitulah, pada bulan pumama
sebulan kemudian di Kota Hantu tampak dilangsungkan satu pasta betar. Obor
dipasang di sepanjang pager dan di bagian-bagian tertentu hingga kota yang Was
itu terang benderang. Di sebuah lapangan, di mana pesta dipusatkan, didirikan
sebuah panggung besar. Di sekeliling panggung tampak deretan meja dan kursi
khusus disediakan untuk tuan rumah dan para undangan. Hiasan dan gaba-gaba
tersebar di mana-mana menambah semaraknya pesta. Makanan dan minuman berlimpah
ruah.
Para tamu tamu berjumlah
sekitar dua puluh orang. Rata-rata mereka adalah tokoh-tokoh silat yang punya
nama, terdiri dari golongan hitam dan golongan putih.
"Para tamu yang kami
hormati!" kata Singkil Alit ''Walau kita ada yang berbeda golongan, tapi
dalam pesta ini lupakan semua itu. Kita satu dalam kegembiraan!"
Menjelang tengah malam, di
atas panggung yang sejak tadi diperdengarkan alunan karawitan beserta
pesinden-pesinden yang cantik genit dan bersuara merdu menggairahkan, kini
tiba-tiba saja acara berobah dengan satu pertunjukan tari-tarian yang melanggar
susila. Enam perempuan muda berpakaian sangat tipis melenggang-lenggok mengikuti
alunan terompet bambu dan tabuhan gendang. Semakin cepat tabuhan gendang,
semakin binal gerakan mereka. Tiba-tiba ke enam pesinden itu tanggalkan seluruh
pakaian yang mereka kenakan. Para tamu dari golongan hitam berteriak-teriak
bersuit-suit. Mereka yang dari golongan putih tersentak kaget. Ini adalah satu
hal yang tidak mereka duga. Rasa jengah membuat mereka seharusnya serta merta
hendak tinggalkan pesta perjamuan itu. Namun rata-rata mereka semua sudah
terlalu banyak meneguk tuak keras, hingga hal itu tidak mereka lakukan. Bahkan
mereka menyaksikan tarian telanjang itu dengan mata tak berkesip dan
tenggorokan turun naik.
"Sahabat-sahabat para
tamu!" tiba-tiba Tembesi berdiri dan berseru. "Jika ada di antara
para sahabat yang ingin turut menari silahkan naik ke panggung! Lalu jika para
sahabat berkenan boleh cari pasangan. Di rumah besar sebelah kiri telah
tersedia kamar dimana para sahabat boleh bersenang-senang sampa pagi …!"
Mendengar ucapan Tembesi itu
delapan orang lelaki melompat ke atas panggung. Dari tampang dal pakaian mereka
jelas mereka bukan tokoh silat baik-baik. Keenamnya menari seradak-seruduk
dalam mabuk, lalu turun dari panggung menarik pasangan lelaki yang dua, yang
tidak kebagian pasangan terus saja menari.
"Jangan kawatir!" seru
Tembesi kembali. "Persediaan penari cukup banyak!" Dia bertepuk
tangan. Enam perempuan muda muncul pula dalam pakaian sangat tipis. Dua lelaki
tadi tampak bingung mau mencari pasangan yang mana karana rata-rata penari itu
berwajah cantik. Sementara itu empat lelaki lainnya melompat pula ke atas
panggung.
Seperti dikatakan Tembesi, di
rumah besar di sebelah kiri panggung terdapat sekitar lima belas kamar. Dua
belas tokoh silat golongan hitam itu masuk ke dalam kamar dengan hasrat
berkobar-kobar tanpa mengetahui bahwa bukan kesenangan yang bakal mereka
dapatkan, tetapi maut!
Begitu masuk ke dalam kamar,
para penari segera mengunci pintu dan mempersilahkan setiap tokoh duduk di tepi
tempat tidur sambil memijit-mijit bahunya. Semua ini sesuai dengan yang diatur
dan diperintahkan oleh Singkil Alit. Setelah itu setiap penari menyuguhkan
secangkir tuak pada tamunya. Hanya beberapa saat setelah meneguk habis minuman
itu dua belas tokoh silat yang ada dalam kamar tersungkur muntah darah dan
mengerang nyawa. Mereka mati oleh racun jahat yang dicampurkan dalam minuman!
Kita kembali ke tempat pesta
di sekitar panggung. Empat tokoh silat golongan hitam dan hampir selusin dari
golongan putih duduk sambil mengobrol. Sesekali mata mereka melirik ke
panggung, mengharap ada lagi penari telanjang yang bakal muncul.
Saat itu Singkil Alit memberi
isyarat pada Tembesi. Tembesi bertepuk tangan. Tepuk tangannya yang sekali ini
bukan tepuk tangan biasa, melainkan merupakan satu isyarat pada dua puluh orang
pelayan perempuan yang menyuguhkan tuak. Kedua puluh pelayan itu segera
mendatangi setiap tamu sambil membawa kendi besar berisi tuak yang sudah
dicampur dengan racun. Tuak itu dituangkan ke dalam tempat minum para tamu.
Empat tokoh golongan hitam
segera meneguknya sampai habis. Sepuluh tamu dari golongan putih melakukan hal
yang sama. Hanya seorang yang dalam keadaan mabuk tidak menyentuh minumannya,
tapi berdiri. Sambil meracau tak karuan dia melangkah menari-nari dan naik ke
atas panggung.
"Mana penari untukku ...
Mana penari untukku!" katanya berulang kali. Lelaki ini berusia sekitar
setengah abad, merupakan ketua sebuah perguruan silat di Karangbolong. Semua
tamu yang meneguk tuak beracun itu serta merta menemui ajal dengan cara yang
sama, muntah darah, rubuh dan mati! Sementara lelaki dari Karangbolong masih
terus menari, tidak sadar apa yang telah terjadi karena mabuknya.
Singkil Alit mendekati
panggung dan berkata pada Tembesi. "Lekas suruh Pinta Manik membereskan
yang satu ini. Aku sudah sebal melihatnya. Hari hampir pagi. Kita semua harus
melenyapkan belasan mayat itu lalu butuh istirahat!"
Anggota komplotan iblis yang
bernama Tembesi segera memberi isyarat pada Pinta Manik. Begitu Pinta Manik
mendatangi dia lalu memberi tahu apa yang diperintahkan Singkil Alit. Maka
Pinta Manik naik ke atas panggung sambil menghunus sebilah pedang. Dengan
pedang ini ditembusnya perut tokoh silat yang mabuk dan menari-nari di atas
panggung! Dua puluh satu tokoh silat menemui ajalnya di Kota Hantu pada malam
bulan pumama itu. Kelak lenyapnya orang-orang itu baru diketahui selang
beberapa bulan kemudian.
***
TIDAK seperti biasanya, sajak
dua minggu terakhir laut di pantai barat selalu diselimuti deru angin kencang
serta gulungan ombak besar dan tinggi. Para nelayan yang menggantungkan hidup
dari hasil laut terpaksa tinggal di rumah masing-masing, tak berani turun ke
laut.
Di sebuah teluk sempit agak ke
selatan Karangbolong terdapat sebuah perkampungan kecil. Di sini hanya ada
sebuah rumah bambu besar dikelilingi lima rumah yang lebih kecil. Ini bukanlah
sebuah perkampungan nelayan. Melainkan daerah kediaman dan tempat latihan
orang-orang dari perguruan silat Elang Putih.
Pagi itu seperti biasanya,
sebelum latihan dimulai tiga puluh orang anak murid parguruan duduk bersila di
tepi pantai, bartelanjang dada, menghadap ke laut. Tangan masing-masing
diletakkan di atas pangkuan, mata dipejamkan. Mereka mengheningkan cita rasa
indera sambil berlatih mengatur jalan nafas serta peredaran darah.
Anak murid paling tua, yang
manjadi wakil dari ketua parguruan, bernama Indrajit melangkah mundar-mandir
mengawasi latihan yang dilakukan tiga puluh saudara sepeguruannya itu. Jika ada
yang kurang sempurna atau melakukan kekeliruan dalam hening cita rasa indera
itu, dia memberitahu dan menyuruh mamperbaikinya.
Ketika matahari pagi mulai
naik dan udara terasa memanas, Indrajit siap memerintahkan anak murid
seperguruan untuk rnenghentikan latihan itu, dan seperti biasa akan dilanjutkan
dengan latihan gerakan-gerakan silat.
Baru saja Indrajit memberi aba-aba
dan para murid perguruan Elang Putih melompat sambil mengeluarkan suara keras,
di kejauhan terlihat seorang penunggang kuda bergerak cepat ke arah
perkampungan.
"Ketua pulang . . .
!" seru salah seorang murid.
lndrajit terus memperhatikan
penunggang kuda itu. Kemudian berkata, "Itu bukan ketua kita."
Memang yang datang bukanlah Ki
Mantrayasa sang katua perguruan silat Elang Putih. Penunggang kuda coklat itu
sampai di hadapan Indrajit. Tubuh, muka dan pakaiannya kotor oleh debu tenda
dia telah menempuh perjalanan jauh. Bibirnyapun tampak kering. Jelas penunggang
kuda berusia hampir setengah abad ini kelihatan letih.
"Pamen Gitasula,
kedatanganmu setelah hampir setahun tak pernah muncul sangat menggembirakan
kami. Kau tentunya haus. Biar kusuguhkan minuman segar untukmu!"
Selesai berkata begitu
Indrajit cabut sebilah golok pendek dari pinggangnya. Senjata ini
dilemparkannya ke atas pohon kelapa. Sebutir kelapa yang tertebas oleh golok
ini bukan saja terbabat putus dan jatuh ke bawah, tapi sekaligus ujungnya ikut
terpotong hingga membuat lubang di tengahnya. Dengan tangan kiri Indrajit
menengkap goloknya, sedang tangan kanan menjangkau kelapa yang jatuh lalu
menyodorkannya pada orang bernama Gitasula.
"Silahkan minum
paman!"
Gitasula yang memang sangat
haus dan letih segera meneguk air kelapa muda yang segar dan manis itu sampai
habis, lalu membuang buah kelapanya ke pasir. Ombak menyapu pantai, butiran
kelapa itu terseret laut, terapung-apung dipermainkan ombak.
"Paman Gita, sayang kau
datang pada saat ketua kami tidak di sini. Gerangan apakah yang membawa paman
tiba-tiba ingat kami dan datang ke sini ...?"
Gitasula memandang wajah
Indrajit sesaat, ia menatap ke arah puluhan murid-murid perguruan. Melihat
sikap orang ini Indrajit merasa tidak enak. Terlabih ketika Gitasula berkata:
"Indrajit, mari kita bicara di dalam sana."' Lelaki ini lalu turun
dari kudanya. Seorang anak murid perguruan segera menggiring kuda tunggangannya
den menambatkannya ke batang pohon kelapa. Setelah memberitahukan pada saudara
seperguruannya agar mereka melanjutkan latihan, Indrajit dan Gitasula melangkah
menuju rumah besar, langsung masuk ke ruang dalam dan duduk berhadap-hadapan.
"Nah, paman. Katakanlah
apa maksud kedatanganmu kemari," kata Indrajit pula.
"Aku datang membawa kabar
buruk Indrajit..."
"Kabar buruk apa
paman?" tanya Indrajit. Wajahnya menunjukkan rasa terkejut tapi sikapnya
tetap tenang.
"'Kabar buruk bagi
perguruan Elang Putih."
"Ada yang tidak suka
dengan perguruan kami lalu handak menjajal kekuatan kami. Atau langsung ingin
menyerbu kemari? Seperti yang kejadian dua tahun lalu dengan orang-orang dari
pantai utara itu?"
Gitasula gelengkapan
kepalanya.
"Bukan itu Indrajit.
Sejak kalian menyapu orangorang dari utara tempo hari, sejak itu pula nama perguruan
kaiian menjadi terkenal, dihormati dan disegani. Kabar buruk yang kumaksudkan
adalah mengenai guru atau ketua kalian."
"Kami memang sedang
menunggu-nunggu ketua. Janji beliau paling lambat akan meninggalkan perguruan
satu kali bulan pumama. Tapi ini sudah lewat dua kali pumama …"
"Kau tahu ke mana ketuamu
Ki Mantrayasa pergi!"
Indrajit mengangguk.
"Beliau menerima undangan dari seseorang di pantai selatan…"
"Kau kenal siapa
pengundang itu?"
Indrajit menggeleng.
"Jika beliau tidak kenal, tak akan mungkin pergi memenuhi undangan. Beliau
tak banyak memberi keterangan mengenai undangan, hanya katanya ada pertemuan
tokoh-tokoh silat Jawa Barat di selatan. Memangnya apa yang telah terjadi
paman?"
Gitasula tak segera menjawab.
Sejurus kemudian baru dia membuka mulut berkata: "Kuharap kau menerima
kenyataan ini dengan tabah, Indrajit ..."
"Paman! Katakan apa yang
terjadi!" Indrajit tak sabaran lagi.
"Ketua perguruan Elang
Putih, yang juga merupakan gurumu telah menemui kematian. Dibunuh orang!"
Indrajit bangkit dari
duduknya. Sekujur tubuh pemuda berusia tiga puluh lima tahun ini bergetar.
Kadua matanya memandang mendelik pada Gitasula penuh rasa tak percaya.
"Paman, kabar buruk apakah ini?! Ketua mati dibunuh orang?!"
"Benar Indrajit. Undangan
yang disampaikan orang itu pada Ki Matrayasa adalah undangan maut. Mereka sudah
merencanakan maksud jahat dan keji. Yaitu melakukan pembunuhan. Dan bukan hanya
ketua saja yang mereka bunuh tapi lebih dari lima belas tokoh-silat di Jawa
Barat ini!"
"Paman, jika kau datang
membawa kabar musibah besar ini, berarti kau juga mengetahui siapa pembunuh
ketua kami!"
"Mereka adalah
manusia-manusia iblis dari Kota Hantu!" sahut Gitasula.
"Kota Hantu? Tak pernah
kudengar nama itu sebelumnya. Dan siapa iblis-iblis yang kau maksudkan itu
paman?!"
"Beberapa bulan lalu,
satu komplotan yang ter'diri dari enam manusia durjana di bawah pimpinan
Singkil Alit membangun sebuah kota raksasa, terdiri dari beberapa desa dan
puluhan kampung. Seluruh kota dikelilingi pagar tinggi. Dua pintu gerbang masuk
dan keluar dikawal oleh penjaga-penjaga secara ketat .....
Selanjutnya Gitasula
menuturkan apa yang diketahuinya tentang kehidupan mengerikan di dalam kota
itu. "Penduduk tak lebih dari pekerja-pekerja paksa. Mereka disuruh melakukan
apa saja. Mulai dari bercocok tanam, memelihara ternak sampai menangkap ikan ke
laut. Para pengawal kota kabarnya juga melakukan perampokan di mana-mana.
Mereka menculik perempuan-perempuan cantik untuk diserahkan pada enam manusia
iblis itu! "Siapa saja yang berani membangkang perintah atau coba
melarikan diri pasti dibunuh!"
Lalu Gitasula menceritakan
malapetaka keji yang terjadi di malam bulan purnama dua bulan lalu.
"Kabarnya hampir semua
tamu menemui ajal karena diracun. Tapi ketua kalian, sahabatku Ki Matrayasa
mati ditusuk dengan pedang!"
"Singkil Alit ..."
desis Indrajit dengan dua tangan terkepal dan mata berapi-api. "Kau harus
bayar nyawa ketua dengan nyawamu dan nyawa lima anggota komplotanmu!" Lalu
pemuda ini berpaling pada Gitasula. "Paman katakan siapa sebenarnya
manusia bernama Singkil Alit itu. Di mana letak Kota Hantu dan apa sesungguhnya
maksudnya hingga berbuat sekeji itu?!"
"Siapa sebenarnya Singkil
Alit masih gelap bagiku. Dia bersama teman-temannya muncul begitu seperti setan
di siang bolong! Yang jelas mereka terutama Singkil Alit memiliki kepandaian
tinggi. Disamping itu mereka juga licik dan keji. Ganas melebihi iblis! Kota
Hantu yang mereka bangun dan kuasai terletak di tenggara, enam hari perjalanan
berkuda dari sini, di kaki gunung Halimun. Lalu apa maksud mereka melakukan
semua keganasan itu menurut para tokoh, ada beberapa alasan: Pertama mereka
ingin memiliki harta kekayaan. Kedua mungkin ada rencana untuk menyerbu
Kerajaan. Namun menurut pandanganku Singkil Alit ingin memulai kehidupan
hitamnya dengan pertama sekali menguasai dunia persilatan di Jawa Barat ini.
Itu sebabnya dia membunuh semua tokoh silat yang datang ke perjamuannya!"
"Jika memang demikian
Singkil Alit dan lima iblis lainnya itu harus dimusnahkan!" kata Indrajit
pula. "Dan aku sebagai murid ketua Ki Matraysa bersumpah untuk menebas
batang leher Singkil Alit!"
"Aku dan sisa-sisa tokoh
silat di Jawa Barat ini juga punya pendapat demikian Indra," kata Gitasula
pula. "Namun apapun langkah yang kita susun, kita harus merencanakan
dengan hati-hati. Enam Iblis Kota Hantu itu bukan manusia-manusia sembarangan.
Belum lagi puluhan pengawal mengelilingi mereka, mulai dari pintu gerbang
sampai ke pintu tempat tidur mereka!"
"Aku mengerti
paman," sahut Indrajit. "Jika kita bergabung masakan tidak mampu
menghancurkan mereka. Aku rela mati untuk membalaskan sakit hati guru!"
"Kalau begitu kau
datanglah ke tempatku di Lemburawi di kaki gunung Malabar. Pada hari dua belas
bulan di muka. Aku telah mengatur pertemuan para tokoh di sana. Jika rencana
matang, menyerbu Kuta Hantu dari situ akan lebih cepat karena lebih
dekat."
Jika menurutkan hati amarahnya
Indrajit ingin cepat-cepat menyerbu ke Kota Hantu. Namun menyadari kekuatannya
sendiri dan menghormati rencana yang rupanya sudah disusun oleh paman Gitasula
maka pemuda ini menyetujui rencana Gitasula itu.
***
LIMA
DUA ORANG penjaga pintu
gerbang selatan Kota Hantu segera menghunus senjata masing-masing ketika
seorang penunggang kuda muncul dari kegelapan. Sementara udara malam dingin
menusuk tulang, apalagi angin juga bertiup kencang.
"Siapa dan mau ke
mana?!" bentak salah seorang pengawal ketika mengetahui pandatang bukan
penduduk Kota Hantu.
"Namaku Sirat Gambir,
datang dari pantai barat ingin memasuki kota guna menemui pemimpin
kalian!" jawab penunggang kuda dengan sikap keren.
"Kami tidak pernah
mangenal namamu sebelumnya! Datang di malam buta begini untuk menemui pimpinan
kami! Kau boleh pergi dan datang besok pagi!"
"Kenal aku atau tidak itu
bukan urusan. Aku tidak mau pergi dan harus menemui pimpinan kalian malam ini
juga. Aku membawa urusan penting!"
"Katakan apa
urusanmu!" pengawai kedua buka suara.
"Ini satu urusan rahasia
dan teramat penting. Hanya bisa kukatakan pada Singkil Alit atau salah seorang
anggota pimpinan Kota Hantu lainnya," kata penunggang kuda bernama Sirat
Gambir.
"Apapun urusanmu pimpinan
kami tidak menerima tamu malam hari!"
"Begitut!" ujar
Sirat Gambit sambil menatap tajam pada si pengawal. "Baik, aku akan pergi.
Tapi jika kelak terjadi apa-apa di kota kalian, dan pemimpin kalian mengetahui
bahwa aku datang membawa kabar tapi kalian tidak memberi izin, maka leher
kalian akan ditebas!" Sirat Gambir putar kudanya. Dua pengawal tampak
saling pandang. Salah seorang di antara mereka cepat-cepat berkata,
"Baiklah, kamu kami izinkan masuk kota. Tapi untuk bertemu dengan pimpinan
harus menunggu sampai pagi!"
"Aku akan masuk kota. Dan
kalian harus memberi tahu kedatanganku pada pimpinan kalian. Jika menunggu
sampai besok segala sesuatunya akan terlambat! Urusanku bukan urusan main-main.
Tapi urusan keselamatan pimpinan dan seluruh isi Kota Hentu ini!"
"Kami harus menggeledahmu
lebih dulu!"
"Sialan! Kalau aku
bermaksud jahat, kenapa susah-susah minta izin segala? Mempreteli kalian bardua
bukan soal sulit bagiku. Lihat!"
Tubuh Sirat Gambir tiba-tiba
melesat dari atas punggung kuda. Kakinya kiri kanan tahutahu sudah memijak
kepala kedua pengawal itu, lalu bersalto di utara, di lain saat sudah tegak di
depan pintu gerbang.
Dua pengawal pintu gerbang
terkejut, mereka segera menyadari kalau mau orang bernama Sirat Gambir itu
tadi-tadi dapat menendang hancur kepala mereka!
"Nah, apakah kalian masih
belum mau membuka pintu untukku?!" tanya Sirat Gambir.
Cepat-cepat salah seorang
pengawal segera mengetuk pintu gerbang. Dua kali berturut-turut, lalu tiga
kali. Sebuah lobang empat persegi terbuka pada salah satu bagian pintu gerbang.
Satu kepala muncul dan bertanya, "Ada apa?"
"Buka pintu. Ada tamu
penting untuk pimpinan!" jawab pengawal yang di luar.
"Tamu? Malam-malam
begini?"
"Sudah, jangan banyak
tanya. Dia membawa urusan penting!"
"Siapa namanya, datang
dari mana dan apa urusannya?"
"Aku bertanggung jawab
penuh di sini! Kau tak usah banyak tanya. Lekas buka pintu!"
Pengawal yang di dalam, yang
rupanya berpangkat lebih rendah tak berani lagi menjawab lalu cepat-cepat
membuka palang besi pintu gerbang besar itu.
Dengan di antar oleh dua orang
pengawal berkuda Sirat Gambir kemudian dibawa ke tempat kediaman pimpinan Kota
Hantu.
Walaupun saat itu sudah lewat
tengah malam namun seperti biasa di rumah besar kediaman Singkil Alit suasana
selalu kelihatan ramai. Enam pimpinan Kota Hantu itu hampir setiap malam
berkumpul di situ, menikmati minuman dan makanan lezat, menghibur diri dengan
perempuanperempuan cantik mereka ambil secara paksa atau culik dari desa-desa
sekitar kota.
Pinta Manik tengah menggeluti
tubuh seorang gadis desa yang diculik tiga hari lalu ketika pengawal dari pintu
gerbang selatan ditemani pengawal rumah besar. Melihat kehadiran kedua pengawal
ini Pinta Manik membentak marah.
"Pengawal-pengawal
keparat! Kau minta mati berani kurang ajar datang kemari tanpa
dipanggil?!"
Rangga, Rah Tongga, Wiracula
danTembesi yang sedang di ruangan itu sama-sama berpaling ketika mendengar
bentakan kawan mereka tadi. Singkil Alit saat itu berada di ruangan dalam.
Pengawal rumah besar menjura ketakutan dan buru-buru berkata.
"Mohon maafmu pimpinan.
Pengawal pintu gerbang selatan datang membawa kabar penting."
"Kabar penting! Kabar
penting apa?!" Pinta Manik memandang pada pengawal pintu gerbang.
Pengawal pintu gerbang segera
membuka mulut.
"Seorang bernama Sirat
Gambir mengaku datang dari pantai barat ingin menemui pimpinan di sini. Menurut
dia ada urusan sangat penting yang akan dibicarakannya. Katanya menyangkut
keselamatan para pimpinan bahkan seluruh kota!"
"Hebat sekali!" kata
Pinta Manik lalu memandang pada empat kawannya. Kelima manusia iblis itu
kembali tertawa gelak-gelak.
Pinta Manik memandang ke luar.
Di pekarangan depan rumah besar memang dilihatnya ada seora penunggang kuda
berpakaian warna gelap, berambut gondrong dan memakai ikat kepala, didampingi
seorang pengawal yang juga menunggang kuda dan senjata terhunus.
"Orang yang memakai ikat
kepala itu yang bernama Sirat Gambir?" tanya Pinta Manik.
Dua pengawal mengiyakan.
"Hemm … suruh dia datang
kemari! Jika dia ternyata kucing dapur yang membuang-buang waktuku saja, akan
kupatahkan batang Iehernya!"
Maka Sirat Gambirpun dibawa
menghadap Pinta Manik sementara empat pimpinan Kota Hantu lainnya tinggalkan
tempat masing-masing dan melangkah mengelilingi Sirat Gambir.
"Katakan apa
keperluanmu!" ujar Pinta Manik.
Sirat Gambir menghitung. Hanya
ada lima orang di hadapannya. Setahunya pimpinan Kota Hantu berjumlah enam
orang.
"Ada kabar panting yang
akan kusampaikan. Tapi hanya akan kukatakan atas dasar dua syarat. Pertama,
kalian harus lengkap enam orang. Aku harus tahu yang mane pimpinan tertinggi di
antara kalian. Lalu, untuk berita yang kubawa ini aku minta imbalan paling
tidak sepuluh tail uang emas!"
Sepasang alis Pinta Manik naik
ke atas, keningnya menggerenyit. Tiba-tiba dia tertawa membahak. Empat kawannya
ikut tertawa. Saat itu dari ruang dalam—mendengar suara ramai—keluarlah Singkil
Alit.
"Pesta kalian ramai
sekali. Ada perempuan baru atau ada yang lucu?!" tanya Singkil Alit sambil
betulkan celana hitamnya.
"Singkil! Kita kedatangan
seekor monyet yang bicara besar. Kau lihat sendirilah kemari!" kata Pinta
Manik,
Singkil Alit melangkah ke
hadapan Sirat Gambir sementara Pinta Manik menerangkan nama dan maksud
kedatangan orang yang dikatakannya seekor monyet itu.
"Hemmm ... Sirat Gambir,
coba kau terangkan urusan yang katamu sangat panting itu.
Menyangkut keselamatan kami
dan seluruh kota! Jika berita itu cukup berharga mungkin kami bisa memberi
imbaian. Tapi apapun imbalannya kami yang menentukan, bukan kau!"
"Sepuluh uang emas! Kalau
kalian tidak bisa menerima, lebih baik tak kukatakan dan aku akan pergi seat
ini juga!" kata Sirat Gambir.
Singkil Alit tampak berubah
wajahnya.
Sekian lama menjadi pimpinan
di Kota Hantu itu tak ada seorang pun yang berani bicara seperti itu padanya,
apalagi orang luar. Maka pimpinan Kota Hantu itupun bertanya, "Sirat
Gambir, apakah kau sadar berada di mans saat ini? Dan berhadapan dengan siapa?!"
Sirat Gambir memang bukan
seorang pengecut. Dia tahu jika terjadi ape-apa tak akan mampu baginya,
menghadapi enam manusia iblis itu. Namun mengingat berita yang dibawanya luar
biasa pentingnya bagi enam orang itu, maka dia merasa berada di atas angin.
"Aku cukup maklum berada di mana dan berhadapan dengan siapa. Aku
menghormati kalian dan menganggap sebagai sahabat. Namuh mengingat berita yang
kubawa sangat penting, dan aku tidak main-main maka adalah wajar jika aku
mendapatkan imbalan!"
"Bagus! Aku senang pada
manusia-manusia yang berani bicara terus terang. Tapi aku tidak suka pada orang
yang bicara bertele-tele! Katakan apa berita panting yang ingin kau sampaikan
itu! Soal imbalan kita bicara belakangan! Sepuluh tail emas tidak ada artinya
bagi kami! Tapi jika beritamu ternyata kentuk busuk belaka maka kau harus pergi
dari sini dengan meninggalkan lidahmu!"
"Nah ... nah ...
nah!" ujar Wiracula. "Pemimpi kami malam ini sangat berbaik hati
hanya minta kau meninggalkan lidahmu, dan bukan jantungmu!"
Singkil Alit tersenyum.
"Aku tahu. Soal nyawa
manusia bagi kalian lebih sepele dari kotoran kerbau. Setiap saat kalian bias
membunuhku. Namun itu berarti tabir rahasia berita yang akan kusampaikan tak
akan pernah kalian ketahui. Kalaupun kalian akhirnya mengetahui maka sudah
terlambat. Kota ini mungkin sudah jadi lautan api. Kalian sendiri mungkin sudah
menemui ajal atau cacat seumur hidup!"
"Hebat! Ceritamu hebat!
Tapi gila!" tukas Singkil Alit.
"Betul!" menyahuti
Tembesi. "Aku kepingin tahu siapa yang mau membuat kota ini menjadi lautan
pi dan mampu membunuh kami Enam Iblis Kota Hantu?!"
"Jika kalian tidak
tertarik dengan urusan ini, lebih baik aku pergi!" kata Sirat Gambir jadi
jengkel. Tapi diam-diam dia sudah mencium bahwa bagaimanapun enam manusia Iblis
itu ingin mengetehui apa sebenarnya berita yang hendak disampalkan Sirat
Gambir.
"Baik! Kami tertarik. Nah
katakanlah!" ujar Singkit Alit.
"Bayarannya dulu!"
sahut Sirat Gambir.
"Keparat sialan!"
maki Singkil Alit dengan mata mendelik. Tapi Sirat Gambir hanya ganda tertawa.
"Berikan uang yang diminta bangsat ini!" teriak Singkil Alit
kemudian.
Rangga keruk pinggang
pakaiannya. Lalu lemparan sebuah kentong kain ke hadapan kaki Sirat Gambir.
Orang ini membungkuk untuk mengambil kantong itu. Namun sebelum ujung-ujung
jarinya menyentuh kantong, dari samping Rah Tongga melompat kirimkan satu
tendangan ke kepala Sirat Gambir. Terjadilah hal yang mengejutkan keenam
manusia iblis Kota Hantu itu.
Sirat Gambir sejak semula
sudah mengetahui manusia-manusia bagaimana adanya enam orang yang dihadapinya
itu. Selain bengis ganas mereka juga rata-rata licik. Karenanya sewaktu
membungkuk mengambil kantong kain yang waktu jatuh mengeluarkan suara
bergemerincing, ekor matanya melirik ke kiri dan kanan. Begitu dilihatnya Rah
Tongga membuat gerakan, secepat kilat Sirat Gambir melompat ke kiri,
menyelamatkan kepala sambil ujung jari kaki kirinya menjepit kantong uang.
Kantong itu melesat ke atas, dan ketika dia berdiri di sudut ruangan, kantong
sudah ada dalam genggamannya. Sambil menyeringai Sirat Gambir berkata.
"Aku datang dengan maksud
baik. Antaaa kita tak ada silang sengketa. Tapi jika kalian bertindak licik dan
ganas, kalian akan rasakan sendiri akibatnya!"
Baik Singkil Alit maupun lima
manusia iblis lainnya kaget bukan kepalang. Tendangan yang tadi dilepaskan Rah
Tongga bukan tendangan sembarangan. Merupakan tendangan maut yang sulit untuk
dikelit! Jika orang bernama Sirat Gambir itu sanggup selamatkan diri nyatalah
dia memiliki kepandaian tinggi. Menimbang di situ Singkil Alit buru-buru
berkata.
"Sirat Gambir, jangan kau
salah sangka! Kawanku yang satu ini memang suka usilan. Dia hanya tak sabar
untuk membuktikan bahwa kau bukan orang sembarangan. Yang berarti apapun berita
yang bakal kau sampaikan, pasti akan kami percayai!"
"Hemm begitu? Baik! Tapi
untuk tendangan tadi kalian haus mengeluarkan bayaran tambahan sepuluh mata
uang emas lagi!" kata Sirat Gambir.
"Kurang ajar! Jadi kau
hendak mempermainkan kami?!" sentak Tembesi.
"Bukan aku! Tapi kalian
yang mau mempermainkan aku!" sahut Sirat Gambir pula. "Nah, kalian
berikan apa yang kuminta. Atau aku akan tinggalkan tempat ini!"
"Singkil!" berkata
Wiracula dengan tampang menunjukkan keberingasan. "Anjing jalanan seperti
dia kenapa tidak kita gorok saja batang lehernya?!"
"Tenang Wira; "
bisik Singkil Alit. "Monyet satu ini di samping punya sedikit ilmu juga
licik. Biar aku yang melayaninya." Lalu pada Sirat Gambir pimpinan Kota
Hantu itu berkata,
"Sobatku, jika maksudmu
datang adalah baik, mengapa buru-buru pergi. Jangan khawatir. Tambahan uang
yang aku minta akan kuberikan. Bukan cuma sepuluh tapi lima bola mata uang
emas!"
Singkil Alit memberi isyarat
pada salah seorang anak buahnya. Orang ini masuk ke dalam, ketika keluar dia
membawa sebuah kantong kain. Kantong isi uang ini diserahkan Singkil Alit pada
Sirat Gambir.
"Nah, kau sudah menerima
apa yang kau minta. Sekarang katakan berita penting apa yang hendak kau
sampaikan pada kami?!"
Setelah menghitung terlebih
dulu uang dari kantong kain dan memasukkannya ke balik pakaianya, Sirat Gambir
melangkah mundur ke dekat pintu. Dia sengaja mencari tempat yang baik agar jika
terjadi apa-apa dapat tinggalkan tempat itu dengan cepat. Namun Singkil Alit
yang bergelar Harimau Hitam juga tidak bodoh. Selagi Sirat Gambir sibuk
menghitung uang emas dalam kantong, dia memberi isyarat lima anak buahnya.
Kelima orang ini segera menyusul kedudukan sementara di luar rumah besar, cepat
sekali dua puluh pengawal bersenjata mengurung jalan keluar.
"Singkil Alit, kau dan
kawan-kawanmu ingat peristiwa tiga bulan lalu? Ketika kalian mangadakan jamuan
makan minum. Mengundang puluhan tokoh silat di kawasan barat ini!" berkata
Sirat Gambir.
"Oh, itu.... ? Apa
hubungannya dengan berita yang hendak kau sampaikan?!"
"Kalian mungkin menyangka
bahwa pembunuhan keji yang kalian lakukan terhadap semua undangan itu tidak
bocor keluar. Banyak tokoh silat di luar kini sudah mengetahuinya...."
"Lalu?"
"Mereka kini menyusun
rencana untuk menyerbu Kota Hantu. Menyama-ratakan dengan tanah dan membunuh
kalian berenam!"
Mendengar keterangan Sirat
Gambir itu Singkil Alit memandang pada kawan-kawannya. Keenamnya lalu tertawa
gelak-gelak.
"Masih saja ada
manusia-manusia bodoh ingin melakukan ketololan!" kata Singkil Alit.
"Kota ini bernama Kota Hantu.
Siapa yang berani masuk akan berhadapan dengan hantu-hantu! Akan mampus!"
"Aku hanya
memberitahukan. Orang-orang ini bukan kelompok sembarangan," kata Sirat
Gambir pula.
''Hem.... Katakan kalau kau
tahu siapa mereka!" Pinta Manik berkata sambil tolak pinggang. "Yang
menjadi pengatur rencana adalah seorang tokoh bemama Gitasula. Dia saudara
sepupu Ki Matrayasa, ketua perguruan silat Elang Putih yang ikut jadi korban
pembunuhan tiga bulan lalu. Pucuk pimpinan perguruan itu sekarang dipegang oleh
murid terpandai bernama Indrajit. Tiga puluh anak buah perguruan siap menyerbu
ke sini...."
"Jangankan tiga puluh,
tiga ratuspun mereka boleh datang kemari jika memang mau mati konyol!"
Yang bicara adalah Rah Tongga.
"Nama Gitasula ataupun
Indrajit dengan perguruan silat Elang Putihnya mungkin bukan apa-apa bagi
kalian. Namun dengan mereka juga bergabung beberapa tokoh silat tingkat tinggi.
Yang pertama Ingar Gandra, tokoh silat dari Ujung Kulon yang bergelar Sultan
Maut...."
Singkil Alit dan
kawan-kawannya saling pandang, menekan rasa kaget. Meskipun mereka berenam
tidak takut namun mereka tahu betul Ingar Gandra memang bukan tokoh silat
sembarangan.
"Siapa lagi
lainnya?!" tanya Singkil Alit.
"Datuk Hijau!" jawab
Sirat Gambir.
"Jadi tua bangka keropos
itu juga ikut berkomplot melawan kami!" ujar Singkil Alit sambil puntir
kumis tebalnya. "Ada lagi yang lain?"
"Ada. Tapi mereka tidak
kukenal. Di antaranya seorang bertopeng...." Lalu Sirat Gambir menyambung.
"Nah keteranganku tentang orang-orang itu sudah lengkap. Aku sudah
menerima imbalan dari kalian, saatnya aku pergi. Namun…"
"Namun apa lagi?!"
Rah Tongga tampak tak sabaran.
"Jika kalian mau
memberikan lagi dua puluh lima uang emas, aku akan berikan keterangan di mana
dan dari mana kelompok orang-orang itu akan mengatur serangan."
"Manusia temahak haram
jadah!" maki Tembesi sambil melangkah menghampiri Sirat Gambir, siap untuk
menghajarnya. Namun Singkil Alit cepat memegang bahu kawannya ini. Pada Sirat
Gambir manusia bergelar Harimau Hitam ini berkata, "Uang bagi kami bukan
apa-apa. Katakan di mana mereka mengatur serangan."
"Uangnya dulu!" kata
Sirat Gambir seraya ulurkan tangan dan menyeringai.
"Ambil uang!" seru
Singkil Alit.
Sesaat kemudian sebuah kantong
berisi dua puluh lima keping uang emas sudah berpindah ke tangan Sirat Gambir.
Dengan demikian dia sudah mendapatkan lima puluh keping uang emas. Satu jumlah
yang luar biasa. Seorang Adipati sekalipun di masa itu belum tentu memiliki
uang sebanyak itu.
"Dengar, mereka mengatur
serangan dari sebuah pondok di lembah Cilendak. Setengah hari perjalanan dari
sini ke arah barat laut!"
Singkil Alit manggut-manggut.
"Sirat Gambir,
keteranganmu memang cukup pantas dihargai lima puluh uang emas itu. Kami juga
tidak lupa mengucapkan terima kasih. Jika saja kau suka, kau boleh tinggal
disini bersama kami. Kita menyambut komplotan orang-orang tolol itu. Kau akan
mendapat sebuah rumah dalam kota ini, semua keperluanmu terjamin. Termasuk
perempuan cantik!"
Sirat Gambir tersenyum
mendengar kata-kata pemimpin Kota Hantu itu dan menjawab, "Terima kasih.
Tidak disangka manusia-manusia iblis Kota Hantu berhati polos seperti itu.
Hanya sayang aku tidak begitu suka tinggal di sini dan berkumpul dengan kalian.
Urusan sudah selesai, aku tak butuh berada lebih lama di sini!"
Sirat Gambir putar tubuhnya
namun dia jadi terkejut ketika mendapatkan pintu keluar telah dihadang rapat
oleh puluhan pengawal bersenjata. Lelaki ini sudah mengetahui bahwa para
pengawal itu rata-rata memiliki kepandaian silat cukup tinggi, walaupun cuma
ilmu silat kasar. Mereka dilatih langsung oleh enam iblis Kota Hantu. Sirat
Gambir berpaling pada Singkil Alit dan berkata, "Singkirkan cacing-cacing
busuk ini! Atau mereka akan kubikin amblas ke dalam tanah!"
Singkil Alit tertawa
gelak-gelak.
"Kau singkirkanlah
sendiri!" katanya lalu dia memberi isyarat pada lima kawannya. Keenam
orang itu kemudian membentuk setengah lingkaran dan melangkah mendekati Sirat
Gambir.
Melihat keadaan ini Sirat
Gambir segera menghantam ke kiri. Dua pengawal roboh. Dari pengawal yang ketiga
dia merampas sebilah golok lalu menghantam dengan sebat. Dua pengawal lagi
roboh. Namun yang datang malah tambah banyak. Dari belakang Singkil Alit dan
kawan kawannya mulai menyerang.
Sirat Gambir ternyata memang
bukan orang sembarangan. Setelah membunuh delapan pengawal, melukai empat
lainnya bahkan berhasil menendang Rah Tongga dia berusaha melarikan diri dengan
melompat ke atas atap bangunan. Maksudnya hendak membobol atap itu lalu kabur
di kegelapan malam. Namun sebuah senjata rahasia yang dilemparkan Wiracula dan
tapat mengenai punggung kirinya membuat lelaki ini kehilangan keseimbangan.
Sebelum dia sempat bergayut pada kayu kaso atap, dua dari enam iblis Kota Hantu
sudah melompat. pula ke atas mengejarnya. Satu jotosan menghantam pelipis kiri
Sirat Gambir. Satu sodokan sikut mematahkan dua tulang iganya.
Tubuh Sirat Gambir melayang
jatuh ke bawah. Hebatnya selagi jatuh ini dia masih sempat kirimkan satu
tendangan ke dada salah seorang penyerangnya.
Buk!
Tendangan itu tepat, mengenai
dada Pinta Manik. Darah menyembur dari mulutnya. Manusia iblis satu ini
terhampar jatuh duduk di lantai, cepat ditolong oleh kawan-kawannya. Sementara
itu lebih dari selusin macam senjata para pengawal dihunjamkan ke tubuh Sirat
Gambir yang jatuh dan terkapar tak berdaya.
"Manusia setan
alas!" maki Singkil Alit. "Bawa mayatnya keluar, lemparkan keluar
pagar kota!"
Setelah mayat Sirat Gambir
diseret keluar para pimpinan Kota Hantu ittu kecuali Pinta Manik segera
mengadakan perundingan.
"Siapapun komplotan yang
hendak menyerbu itu aku tidak takut," kata Singkil Alit.
"Namun yang bergelar
Sultan Maut meskipun kita tak akan kalah menghadapinya, perlu diperhitungkan.
Dia dekat dengan Istana Banten…"
"Kalau kita bisa menyusun
rencana kenapa musti khawatir. Aku ada usul." kata Tembesi pula.
***
ENAM
HARI MASIH terang-terang tanah
ketika lima sosok tubuh berpakaian serba hitam berkelebat laksana hantu malam,
bergerak mengelilingi pondok kayu.
Tiba-tiba di dalam pondok
terdengar seruan. "Semua bangun! Ada orang datang."
Serentak pintu depan
terpentang, jandela samping terbuka. Tiga orang tegak di halaman samping,
menghadapi lima lainnya yang berpakaian serba hitam yang bukan lain dalah
Singkil Alit, Rah Tongga, Tembesi, Wiracula dan Rangga.
Tiga orang yang barusan
menghambur dari dalam pondok adalah pemuda Indrajit anak murid Ki Mlatrayasa
dari perguruan siiat Elang Putih, lalu kakek bermuka hijau yang dikenal dongan
sabutan Datuk Hijau. Sedang yang ketiga adalah Gitasula, saudara sepupu
mendiang Ki Matrayasa.
"Hamm,.. kulihat cuma
tiga ekor monyet! Mustinya lebih banyak dari ini. Mana monyet-monyet lainnya?!" Singkil Alit alias Harimau
Hitam buka suara.
Kakek bermuka hijau
perdengarkan suara tartawa. Sambil kucak-kucak mata dia berkata.
"Jauh-jauh menyusun rencana, tahu-tahu yang dicari datang sendiri unjukkan
tampang! Manusia-manusia iblis Kota Hantu. Mana kambratmu yang satu lagi?
Mengapa cuma muncul berlima?!"
Mendengar sebutan iblis Kota
Hantu itu kagetlah Indrajit. Sebelumnya dia memang tak pernah melihat atau
mengenal manusia-manusia ini. Begitu mengetahui kalau lima orang berpakaian
serba hitam bertampang ganas itu adaiah manusia-manuaia durjana yang telah
membunuh gurunya serta merta Indrajit melompat dan membentak.
"Kelian telah membunuh
ketuaku! Sebelum matahari terbit kalian berlima harus mampus di tanganku!"
"Anak muda!" ujar
Rah Tongga. "Ucapanmu karen amat! Apa ingin buru-buru menyusul
ketuamu?!"
Panaslah hati Indrajit.
Mendidih amarahnya. Dia menghantam ke arah Rah Tongga.
"Cacing ingusan! Berani
bermulut besar berani menerima bagian!" kata Rah Tongga dan sambut pukulan
Indrajit dengen tangkisan lengan kiri. Semula manusia iblis ini tidak memandang
sebelah mata pada anak murid perguruan silat Elang Putih itu. Tapi begitu lengan
mereka saling beradu, tampak jelas Rah Tongga mengerenyit menahan sakit.
Sebaliknya Indrajit tersurut satu langkah. Meski tangannya tidak sakit namun
pemuda ini menyadari kalau lawan memiliki tenaga lebih besar. Karenanya dengan
mengerahkan tenaga dalam dia kembali menyerang.
Singkil Alit danWiracuia tak
tinggal diam. Keduanya menyerbu kakek bermuka hijau. Sementara Tambesi dan
Rangga menerjang Gitasula.
Datuk hijau adalah tokoh tua
yang sudah lama tidak muncul dalam dunia persilatan. Sebetulnya kakek ini tidak
berminat lagi mencampuri segala macam urusan dunia persilatan. Dia lebih banyak
menyepi diri. Namun kemunculan enam manusia iblis di bawah pimpinan Singkil
Alit alias Harimau Hitam dan berdirinya Kota Hantu mau tidak mau membangkitkan
semangat muda sang datuk yang ingin melihat tegaknya kebinaran dan hancurnya
kejahatan. Namun niat sang datuk untuk berbuat kebajikan sekali ini rupanya tak
bakal kesampaian karena ternyata dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian
tinggi.
Korban pertama yang jatuh dalam
pertempuran itu adalah Gitasula. Pengeroyokan atas dirinya berlangsung sembilan
jurus ketika Rangga dan Tembesi keluarkan senjata yakni berupa best hitam yang
ujungnya diganduli bola besi penuh duri tajam. Setiap pimpinan Kota Hantu
memiliki senjata seperti itu danselalu mereka keluarkan bilamana lawan yang
dihadapi dianggap cukup kuat tak mungkin dikalahkan dengan ilmu silat tangan
kosong.
Gitasula yang mempertahankan
diri dengan sebilah pedang keluarkan seluruh kepandaiannya. Pedang saatnya
menyabet kian kemari membentuk bayang-bayang masuk. Puncak kehebatan Gitasula
hanya sampai pada kesanggupan merobek perut pakaian Rangga. Di lain saat bola
besi berduri di ujung rantai Tembesi melabrak bahu kanannya hingga lelaki ini
terbanting sempoyongan ke kiri. Daging dantulang bahunya hancur. Darah
membasahi sisi kanan tubuhnya. Dalam keadaan seperti itu Rangga datang
menyerbu. Rantai hitam di tangan kanannya berdesing berputar-putar. Bola berAri
tiba-tiba melesat ke muka Gitasula. Gitasula yang tidak mampu membuat gerakan
mengelak terpaksa angkat tangan kiri untuk menangkis. Dia memilih memukul
rantai besi dari pada memukul bola berduri.
Krak!
Terdengar suara patahnya
tulang lengan Gitasula ketika tangannya beradu dengan rantai besi. ban nyatanya
dia tidak pula berhasil menyelamatkan mukanya karena akibat pukulan pada rantai
besi, bola besi justru melentur melejit menghantam mukanya lebih cepat dan
lebih keras!
Gitasula terlontar beberapa
langkah. Terkapar di tanah dengan muka hancur mengerikan. Melihat kematian
Gitasula, Indrajit berteriak marah. Seperti orang kemasukan setan dia menyerang
Rah Tongga dengan jurus-jurus terhebat dari ilmu silat Elang Putih. Tubuhnya
berkelebat kian kemari. Sepasang tangannya laksana dua sayap burung elong,
mengembang mengirimkan serangan yang tiada henti.
Sedang kakinya kiri kanan pada
waktu-waktu tertentu lancarkan tendangan yang tidak terduga Rah Tongga jadi
kaget ketika dapatkan dirinya terkurung rapat dan tak mampu membalas. Dia
mundur terus sampai akhirnya satu pukulan mengenai rusuk kanannya. Dadanya
terasa sesak, tak dapat dipastikan apakah ada tulangnya yang patah. Yang jelas
amarahnya menggelegak. Terlebih ketika didengarnya ejekan Tembesi.
"Tongga! Ternyata kau tak
sanggup menghadap pemuda yang kau anggap cacing ingusan itu! Sarahkan dia pada
kami!"
"Tutup mulutmu Tembesi!
Sebentar lagi kutekuk batang lehernya!" sahut Rah Tongga dengan muka
marah. Habis berkata begitu manusia iblis ini loloskan rantai hitam yang
ujungnya bola-bola berduri lalu mengamuk menggempur Indrajit. Mendapat serangan
ganas begini rupa, yang tak mungkin dihadapi dengan tangan kosong, murid
mendiang Ki Matrayasa itu segera keluarkan pula senjatanya, sebilah pedang yang
memiliki ketajaman pada kedua sisinya.
Di bagian lain walaupun sudah
mengurung rapat namun Singkil Alit dan Wiracula masih belum sanggup merubuhkan
si kakek muka hijau yang gerakannya ternyata ringan sekali dan
pukulan-pukulannya terarah ke bagian-bagian tubuh berbahaya kedua lawannya.
Namun kematian Gitasula mempengaruhi diri kakek ini, hingga gerakan-gerakannya
menjadi sedikit lamban.
Walaupun begitu tetap sulit
bagi dua lawannya untuk menerobos, susupkan pukulan atau tendangan.
"Setelah menunggu lagi tiga jurus dan tetap tak mampu berbuat lebih
banyak, Singkil Alit berikan isyarat pada Wiracula. "Dari mulut Singkil
Alit keluar suara mengaum separti auman harimau. Tubuhnya miring ke depan,
kedua kakinya menjejak tanah. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke depan, kedua
tangan menggapai mencengkeram, persis seperti harimau yang hendak melahap
mangsanya.
Wiracula keluarkan suara tak
kalah seramnya. Dia menggereng macam harimau terluka. Kalau Singkil Alit
menerjang dari depan maka dia melesat dari samping kiri. Datuk Hijau maklum
kalau dua lawan telah keluarkan jurus-jurus silat mereka yang terhebat.
Karananya diapun tak mau
berbuat lalai. Kedua tangannya bergerak ke pinggang. Sesaat kemudian tangannya
kiri kanan telah memegang sehelai sapu tangan putih. Sapu tangan itu
disapukannya ke mukanya yang hijau. Aneh, begitu disapukan saputangan yang tadi
berwarna putih itu kini berubah jadi hijau. Dan begitu lawan mendekat, Datuk
Hijau kebutkan dua helai sapu tangan itu menyongsong serangan. Angin keras
menderu disertai membersitnya sinar hijau yang jelas kelihatan karena saat itu
hari telah mulai pagi dan terang. Kehebatan ilmu si kakek mau tak mau membuat
kaget dua manusia iblis itu.
"Keparat tua ini ternyata
masih punya kuku. Kalau tak lekas dihabisi bisa berabe!" pikir Singki
Alit. Maka sebelum dua tangannya yang menggapai mencengkeram ke depan bergerak
lebih jauh, tiba-tiba pemimpin Kota Hantu ini berputar berjumpalitan ke kanan.
Di saat itu pula terdengar suara berdesing dan sambaran benda hitam! Ternyata
Singkil Alit telah loloskan rantai hitam yang ujungnya diganduli bola berduri.
Bret!
Sapu tangan di tangan kiri
Datuk Hijau robek Singkil Alit melompat mundur dengan wajah berubah meski dia
berhasil menghancurkan senjata lawan, namun tonjolan runcing pada bola besi
hitamnya tampak rontok! Benar-benar tak masuk akal baginya. Kain yang begitu
lunak sanggup menghancurkan duri besi. Dapat dibayangkan kalau yang kena
dihantam adalah daging atau tulang manusia!
Kehebatan sapu tangan hijau
sang datuk rupanya, dirasakan juga oleh Wiracula. Angin yang keluar dari sapu
tangan di tangan kanan Datuk Hijau seolah-olah badai besar yang datang
menggulungnya hingga gerakannya tertahan. Ketika dicobanya mendobrak ke depan
dengan melipatgandakan tenaga dalam dan lawannya kebutkan sapu tangan hijau,
Wiracula terpental.
Hampir saja dia kena
terserempet serangan susulan Datuk Hijau kalau sang datuk tidak cepat-cepat
tarik serangannya karena dari lain jurusan kembali menderu bola besi yang
dihantamkan Singkil Alit!
Kegesitan dan kecepatan
gerakan mambuat Indrajit berkali-kali hampir mencelakai lawannya. Sebaliknya
Rah Tongga, iblis yang berbadan paling gendut itu makin lama makin lamban
gerakannya. Tenaganya terkuras karena serangan rantai dan bola besinya selalu
mengenai tempat kosong. Karena tidak berhasil menghantam tubuh atau kapala
lawan dengan senjatanya maka, Rah Tongga kini arahkan serangannya untuk memukul
tangan atau pedang Indrajit. Si pemuda yang nengetahui maksud lawan pergunakan
kecerdikan untuk menghindari bentrokan senjata. Akibatnya serangan-serangan Rah
Tongga semakin kacau balau. Memang patut diketahui sabagai murid tertua dari
perguruan silat Elang Putih, dalam ilmu padang Indrajit telah mewarisi seluruh
kapandaian gurunya. Apalagi dia berkelahi dengan semangat tinggi demi untuk
membalas kematian sang guru. Setelah bertempur lebih dari dua puluh lima jurus,
mulai terdengar suara bret… bret! Robeknya pakaian hitam yang dikenakan Rah
Tongga, dicabik ujung padang si pemuda. Menusia iblis ini keluarkan keringat
dingin dan putar rantai besinyamya lebih sebat!
Melihat dua kawannya yaitu
Tembesi dan Rangga hanya tegak cengar cengir sementara dia dan yang
lain-lainnya masih terus bertempur menghadapi lawan tangguh, Singkil Alit jadi
berang dan berteriak.
"Tembesi! Bantu Rah
Tongga! Dan kau Rangga, bantu aku menghadapi tua bangka muka hijau ini!"
Mendengar perintah itu Tembesi segera melompat ke samping Rah Tongga, langsung
menyerang Indrajit dengan rantai hitam bola besi. Rangga juga sudah menerjang
Datuk Hijau dengan senjata yang sama dari arah belakang.
Dengan ketambahan satu lawan
masing-masing, Indrajit dan Datuk Hijau kini berada dalam keadaan terancam.
Bagaimanapun mereka kerahkan kepandaian namun dikeroyok begitu rupanya jurus
demi jurus keduanya semakin terdesak. Datuk Hijau yang dikeroyok tiga mengalami
nasib buruk lebih dahulu. Rantai hitam Wiracula berhasil melibat lengan kanan
kakek muka hijau itu.
Meskipun dengan cepat dia
mampu meloloskan libatan rantai namun dua pengeroyoknya yang lain pergunakan
kesempatan untuk menyerang. Singkil Alit datang dari sebelah kanan, sehingga
dari sebelah belakang. Keduanya dengan hantaman bola-bola besi. Datuk Hijau
jatuhkan diri ke tanahnya terus bergulingan dan memukul ke arah lawan terdekat
yaitu Wiracula. Namun gerakannya hanya ke sia-siaan belaka. Karena begitu
tubuhnya miring ke depan, cepat sekali bola besi di tangan Singkil Alit
membalik menggebuk punggungnya.
Datuk Hijau mengeluh tinggi.
Tubuhnya terhambus ke tanah. Di saat itu pula bola berduri di tangan Rangga
membabat ke bawah, menghantam tengkuk si kakek. Nyawanya putus detik itu juga!
"Tua bangka edan!"
rutuk Singkil Alit. Dia berpaling pada Tembesi dan Rah Tongga yang masih
menempur Indrajit. Dan berteriak. "Hanya seorang pemuda yang kalian anggap
cacing busuk. Kalian tak sanggup menghajannya. Tolol!"
Saat itu sebenamya Indrajit
berada dalam keadaan ginting. Melayani Rah Tongga dia masih sanggup bahkan
dalam beberapa jurus di muka pemuda ini segera akan dapat menghabisi lawannya.
Namun setelah Rah Tongga dibantu oleh Tembesi, keadaan jadi berbalik. Kini
Indrajit yang terdesak hebat. Di satu jurus di mana dua bola besi melesat ganas
mencari sasaran di tubuh dan kepala si pemuda, Indrajit putar pedangnya sambil
melompat. Sambaran bola besi yang mengarah ke dada dapat dielakkan, namun dia
terpaksa pergunakan pedang untuk menangkis sambaran bola besi yang menghantam
ke kepalanya.
Treng!
Pedang di tangan lndrajit
patah dua. Sementara bola besi terus menyambar ke kepalanya. Dalam keadaan tak
mungkin untuk mengelak lagi, pemuda ini lemparkan patahan pedangnya ke arah
Tembesi.
"Pemuda gila!" maki
Tembesi. Dia harus membuat gerakan mengelak jika tak ingin terluka oleh patahan
pedang. Tapi gerakan mengelak tak mungkin dilakukannya jika dia masih terus
memegang rantai hitamnya. Kerena ingin melihat kematian si pemuda maka ia
memilih melepas pegangannya pada rantai hitam. Toh bola besi hanya tinggal
setengah jengkai saja dari kepala lawannya dan Indrajit tak mungkin selamatkan
kepalanya.
"Ah, matilah aku!"
ujar Indrajit dalam hati.
Trak!
Sepotong kayu kecil tiba-tiba
entah dari mana datangnya menyusup menahan hantaman bola berduri. Ujung kayu
itu patah tapi kepala Indrajit selamat. Selagi pemuda ini tidak mengetahui
jelas apa yang telah terjadi tiba-tiba dia merasakan tubuhnya dipanggul orang
dan dilarikan laksana terbang. Di belakangnya terdengar bentakan-bentakan
marah.
"Bangsat rendah! Siapa
yang berani ikut campur urusan kami iblis-iblis Kota Hantu!"
"Tembesi! Kejar orang
itu!" perintah Singkil Alit.
Namun Indrajit tidak melihat
ada yang mengejar. Orang yang melarikannya memiliki ilmu lari luar biasa. Tak
mungkin dikejar. Pemuda ini berusaha untuk melihat wajah orang yang
memanggulnya itu. Tapi tidak bisa karena rambut panjang putih orang itu, yang
tertiup angin, menutupi wajahnya.
***
TUJUH
"DUA PULUH pemuda
menunggang kuda menuruni lembah dengan cepat mengiringi dua orang di sebelah
depan. Orang ini adalah seorang lelaki berjubah putih dan mengenakan topi
berbentuk sorban tinggi juga berwarna putih. Yang kedua seorang pemuda bertubuh
ramping yang secara aneh menutupi wajahnya dengan sehelai kain biru hingga
sepasang alis dan matanya saja yang kelihatan. Rombongan itu bergerak cepat
menuju pondok kayu di lembah Cilendak. Dari jauh pondok tampak sepi. Pintu dan
jendela tertutup.
"Mudah-mudahan kita tidak
terlambat!" kata orang tua bersorban putih. Dia adalah Sultan Maut. Pemuda
di sebelahnya, yang bercadar kain biru hanya dikenal dengan nama Pandu. Dua
puluh anak muda penunggang kuda merupakan murid-murid perguruan silat Elang
Putih. Sesuai dengan perjanjian, pagi itu mereka berkumpul dan bergabung di
lembah Cilendak. Menjelang malam, setelah lebih dulu beristirahat dan
mematangkan siasat baru mereka bergerak menuju Kota Hantu. Di tengah jalan
diharapkan beberapa orang pandai lainnya akan ikut bergabung.
"Sahabat-sahabat! Kami
datang!" seru Sultan Maut. Mulutnya hanya bergerak sedikit tetapi suaranya
keras menggetarkan seantero lembah.
Dari dalam pondok tak ada
jawaban.
"Aneh," kata Pandu.
"Apakah sesiang ini mereka masih ketiduran! Kalau musuh datang membokong
bisa habis mereka semua!"
"Indrajit! Datuk Hijau!
Gitasula!" kembali Sultan Maut memanggil. "Kalian ada di
dalam?!"
Tiba-tiba jendela di samping
kanan pondok terpentang. Sesosok tubuh melesat keluar dan tarkapar di tanah, di
hadapan rombongan yang baru datang. Serta merta semua orang itu menjadi
terkejut. Sepasang mata Sultan Maut sampai mendelik. Dia melompat dari kudanya,
diikuti Pandu serta belasan pemuda lainnya.
"Astaga! Ini
Gitasula!" seru Sultan Maut. Meskipun wajah orang itu hancur namun dia
masih bisa mengenali sahabatnya ini.
"Dia korban
pembunuhan!" desis Pandu dan memandang berkeliling. Lalu memberi perintah
pada puluhan pemuda. "Kurung pondok!" Maka dua puluh murid perguruan
Elang Putih segera mengurung pondok kayu di tengah lembah itu. Masing-masing siap
dengan senjata.
Sultan Maut tak dapat
memastikan dengan botol apa Gitasula dihantam hingga mukanya hancur begitu
rupa. Perlahan-lahan orang tua ini berdiri dan memandang tajam itu arah pondok.
"Siapa di dalam pondok?
Lekas keluar!" orang tua ini membentak. Baru saja bentakan sirap mendadak
pintu pondok terbuka, lebar dan sesosok tubuh dilemparkan keluar.
Sultan Maut dan Pandu melengak
kaget dan sama-sama berseru kaget tegang. Tubuh yang menggeletak di hadapan
mereka adalah tubuh Datuk Hijau. Kakek ini juga mati serba mengenaskan.
Tubuhnya hancur di beberapa bagian.
"Pandu, siapapun yang
membunuh para sahabat kita ini, pembunuhnya pasti ada di dalam pondok itu.
Bersiap untuk menghancurkan bangunan itu!" kata Sultan Maut. Pendu memberi
isyarat pada dua puluh anak murid perguruan. Namun dia ingat sesuatu lalu
berbisik pada Sultan Maut. "Saya belum melihat Indrajit. Apakah dia juga
telah jadi korban dan akan dilemparkan ke hadapan kita kali berikutnya?!"
Tiba-tiba dari dalam pondok
terdengar tertawa bergelak. Lima sosok tubuh berpakaian serba hitam, bertampang
ganas dan masing-masing mencekal rantai hitam yang ujungnya diganduli bola besi
barduri, berkelebat, tegak menyebar. Mereka bukan lain adalah lima dari enam
iblis Kota Hantu.
Singkil Alit angkat tangan
kirinya serta merta kawan-kawannya hentikan tertawa.
"Sultan Maut! Selamat
datang di pondok maut ini!" kata Singkil Alit.
"Iblis terkutuk! Jadi
kalian yang punya pekerjaan ini?!" ujar Sultan Maut geram.
Singkil Alit menyeringai.
"Kami sengaja datang
kemari agar kau dan kawan-kawanmu tidak usah capaikan diri jauh-jauh ke Kota
Hantu. Kami kawatir kalau-kalau tidak dapat menyuguhkan sambutan yang layak di
Kota Hantu. Karenanya kami menunggu di sini. Ketika kami datang ternyata
sahabat-sahabat kalian yang sudah lebih dulu berada di sini, begitu ingin
cepat-cepat mampus. Maka kami membukakan pintu maut baginya." Habis
berkata begitu Singkil Alit dan keempat anak buahnya kembali tertawa
gelak-gelak.
"Setahuku kalian
berjumlah enam manusia. Manusia-manusia iblis puntung neraka. Mana koncomu yang
satu lagi!" membentak Pandu.
"Anak muda, sikapmu boleh
juga. Kau akan jadi korbanku pertama!" sahut Singkil Alit
"Dimana ka wanku yang
satu berada kau tak usah tahu...."
"Lalu di mana
Indrajit?"
"Itupun kau tak perlu
tahu!"
"Kalau begitu makan
tanganku!" Pandu jadi marah. Tubuhnya berkelebat ke depan.
Tangannya menghantarn. Ganda
tertawa Singkil Alit angkat tangan kirirtya. Maksudnya sekali bergerak aja dia
hendak menangkap tangan pemuda bertubuh ramping itu. Apalagi gerak-geriknya
yang kelihatan lembut maka si Harimau Hitam menganggap enteng serangan lawan.
Tetapi alangkah kagetnya
Singkil Alit ketika tiba-tiba serangan tangan itu ditarik pulang, dengan
memiringkan tubuhnya Pandu kini ganti menghantam dengan satu tendangan.
Buk!
Singkil Alit terpekik. Tulang
lengannya seperti patah dan persendian tangan kirinya laksana tanggal.
"Edan!" teriaknya
marah. Dia memeriksa dengan cepat dan hatinya jadi lega ketika mengetahui bahwa
hanya bagian luar lengannya saja yang cidera. "Pemuda keparat! Buka
cadarmu! Aku tidak suka membunuh orang tanpa melihat tampangnya lebih
dulu!"
Pandu tartawa sinis.
"Kalau kau sudah mampus dan berkumpul dengan hantu-hantu liang kubur, baru
nanti kau bisa melihat tampangku!" kata pemuda ini.
"Kau betul-betul minta
mampus!" Singkil Alit marah sekali lalu putar rantai hitamnya.
Empat kawannya tidak tinggal
diam. Dua melompat menghadang gerakan Sultan Maut sedang dua lagi menyerbu
menghadapi dua puluh murid perguruan Elang Putih yang telah pula mulai bergerak
menyerbu.
Pertempuran sangat hebat
berlangsung di lembah Cilendak itu. Tembesi dan Rah Tongga mengeroyok Sultan
Maut, Singkil Alit menghadapi Pandu sedang Wiracula dan Rangga membendung
gempuran dua puluh pemuda bersenjata. Meskipun lawan yang dihadapi dua iblis
terakhir ini jauh lebih banyak namun pemuda-pemuda tersebut belum memiliki
tingkat kepandaian yang bisa diandalkan. Akibatnya terjadilah hal yang
mengerikan. Di mana-mana terdengar jerit kematian. Kedua puluh pemuda murid
perguruan Elang Putih menemui ajal atau luka parah dihantam dan digebuk rantai
hitam atau gandulan besi. Sosok tubuh mereka berkaparan di mana-mana. Erangan
mereka yang luka-luka dan yang meregang nyawa mendirikan bulu roma!
Sultan Maut merasakan darahnya
mendidih. Namun dia tak mau berlaku nekad. Dua lawan yang dihadapinya memiliki
kepandaian tinggi. Jika dia terpengaruh hawa amarah, akan mudah bagi lawan
untuk mencelakainya. Di samping itu dia mencemaskan pula keadaan Pandu yang
bertempur mati-matian dengan Singkil Alit. Pemuda itu, walau memiliki kegesitan
serta kecepatanatan dan tingkat tenaga dalam yang tidak rendah, namun sulit
baginya untuk mengalahkan manusia bergelar Harimau Hitam itu. Apalagi Pandu
sampai saat itu hanya mengandalkan tangan kosong sedang lawan menggempur tiada
henti dengan rantai hitam bola besi berduri. Di satu kesempatan Sultan Maut
ambil sebilah keris dari balik jubahnya dan melemparkan senjata ini ke arah
Pandu.
Dengan sigap si pemuda
menangkap keris itu. Langsung mengeluarkannya dari sarungnya. Sarung di tangan
kiri, keris di tangan kanan, Pandu menghadapi lawannya dengan penuh percaya
diri. Apalagi dia tahu betul keris berluk sembilan milik Sultan Maut merupakan
senjata sakti. Ketika dua kali dia sempat bentrokan senjata dengan lawan, bunga
api memercik. Tangannya yang memegyang keris bergetar hebat tetapi dilihatnya
Singkil Alit juga seperti kesemutan. Dengan mengandalkan kegesitannya, Pandu
menyelusup di antara taburan serangan rantai hitam lawan. Namun untuk
menumbangkan Singkil Alit tentu saja bukan satu hal yang mudah bagi pemuda ini.
Dan dadanya bergetar ketika dilihatnya Wiracula dan Rangga yang baru saja
membantai dua puluh murid perguruan silat Elang Putih, kini tampak siap
bergabung dengan pimpinn mereka.
Kesulitan yang bakal dihadapi
Pandu diketahui pula oleh Sultan Maut. Maka orang tua ini membuat
gebrakan-gebrakan aneh. Setiap menyerang dari mulutnya selalu terdengar suara
tertawa nyaring yang hampir menyerupai suara kuda meringkik. Suara tawa ini
bukan saja menyakitkan telinga kedua pengaroyotcnya tapi juga mempengaruhi
gerakan-gerakan mereka.
Singkil Alit yang punya lebih
banvak pengalaman dari pada empat kawannya segera maklum kalau Sultan Maut
tengah mengeluarkan ilmu andalannya. Maka, cepat dia berteriak member ingat pada
Tembesi dan Rah Tongga agar keduanya menutup jalan suara. Namun terlambat. Saat
itu Sultan Maut berhasil menyusupkan tendangannya ke bawah perut Rah Torrgga.
Lelaki ini menjerit setinggi langit. Tubuhnya terpental dan jatuh tarkapar di
tanah tak berkutik, pingsan.
Seumur hidup kalau dia hidup
kelak dia akan menjadi cacat, tidak lagi memiliki kemampuan kelelakiannya!
Singkil Alit menggereng marah.
Dia putar-putar rantai hitamnya. Bola besi berduri di ujung rantai menderu
sebat. Sesaat ketika dia siap menyerbu ke arah Sultan Maut, tiba-tiba
didengarnya seruan Wiracula.
"Singkil! Lihat! Pemuda
ini ternyata seorang gadis jelita…"
Semua orang terkejut. Terutama
Singkil Alit sedang Sultan Maut diam-diam mengeluh dalam hati. Apakah yang
telah terjadi!
Ketika berlangsung perkelahian
seru antara Pandu dan dua pengeroyoknya, di saat Singkil hendak menerjang ke
arah Sultan Maut, Wiracula berhasil, menjambret cadar biru yang menutupi wajah
Pandu. Begitu kain penutup muka si pemuda tersingkap, kelihatanlah satu wajah
yang tidak terduga. Ternyata pemuda itu adalah seorang gadis berparas cantik.
Singkil Alit sendiri sampai terbelalak. Tak pernah dia melihat dara secantik
itu. Sedang Tembesi yang memang paling buas dengan perempuan tampak
menyeringai. Tenggorokannya turun naik.
"Tangkap dia hidup-hidup!
Dia milikku!" teriak Tembesi.
Selintas akal licik muncul di
benak Singkil Alit. Berempat mereka pasti bakal dapat mengalahkan Sultan Maut.
Namun jika mereka bisa melumpuhkan orang tua berkepandaian tinggi itu mengapa tidak
dilakukan? Maka pimpinan manusia-manusia iblis ini segera berteriak beri
perintah.
"Kelian bertiga tangkap
gadis itu hidup-hidup!"
Tembesi melompat lebih dulu.
Wiracula dan Rangga menyusul. Sultan Maut yang maklum bahaya yang bakal
dihadapi Piranti alias Pandu cepat melompat guna bergabung dengan si gadis.
Namun gerakannya dihadang oleh Singkil Alit.
"Iblis laknat!
Mampuslah!" kertak Sultan Maut. Dari mulutnya keluar suara tertawa
meringkik Singkil Alit cepat tutup pendengarannya dan sebatkan rantainya ke
arah kepala lawan.
Sultan Maut merunduk seraya
balas menghantam dengan pukulen tangan kosong yang didahului siuran angin tanda
orang tua ini memukul dengan pengerahan tenaga dalam. Untuk elakkan serangan
lawan Singkil Alit bergerak cepat satu langkah ke kiri. Dari kedudukannya yang
baru dia ayunkan rantai hitam di tangan kanannya. Rantai ini seperti sebilah
pedang yang menyinarkan warna hitam membabat tangan Sultan Maut sedang bagian
ujungnya yang berbentuk bola berduri menghujam ke arah bahu orang tua itu.
Terpaksa Sultan Maut tarik pulang serangannya dan ganti dengan tendangan ke
arah bawah perut lawan. Tendangan seperti inilah yang tadi menghantam dan
membuat pingsan Rah Tongga.
Namun sekali ini bukan saja
tendangan maut tersebut dapat dielakkan lawan, malah orang tua itu dibikin
kaget oleh seruan salah seorang manusia iblis Kota Hantu yang mengeroyok
Piranti.
"Singkil! Kami telah
meringkus gadis ini!"
Sultan Maut melompat mundur.
Berpaling ke kiri dilihatnya Piranti tegak tak bergerak. Jelas gadis ini telah
ditotok hingga tak bisa bergerak ataupun bersuara.
"Tembesi!" seru
Singkil Alit. "Aku masih belum percaya dia seorang perempuan. Coba
buktikan padaku!"
"Manusia iblis! Jika
kalian berani menjamah tubuhnya kuhancurkan kepala kalian!" mengancam
Sultan Maut.
Tapi Singkil Alit, Wiracula
dan Rangga sudah mengurungnya, membuat orang tua ini tak bisa bergerak.
Sementara itu dengan menyeringai penuh nafsu Tembesi gerakkan tangan kanannya
ke dada Piranti.
Bret!
Dada pakaian gadis itu robek
besar. Dadanya yang putih tersingkap. Sepasang payudaranya jelas terlihat
membusung kencang.
"Ha... ha... ha.!"
tawa Singkil Alit. "Sekarang aku percaya. Lalu dia berpaling pada Sultan
Maut dan berkata, "Orang tua, memandang mukamu dan menimbang hubunganmu
dengan Istana Banten, aku masih suka membuat perjanjian denganmu...."
"Perjanjian apa?!"
tanya Sultan Maut dengan mata melotot.
"Gadis itu tidak akan
kami apa-apakan. Tapi kau ikut dengan kami ke Kota Hantu. Tinggal di sana dan
bekerja untuk kami!"
"'Kau lebih baik bunuh
aku detik ini juga dari pada menjadi budak tawanan!" sahut Sultan Maut
tegas.
"Begitu ....?"
Singkil Alit lambaikan tangannya pada Tembesi. "Bawa gadis itu ke dalam
pondok. Kau boleh memperkosanya sampai puas!"
Kegirangan, tanpa tunggu lebih
lama Tembesi segera panggul tubuh Piranti.
"Tunggu!" seru
Sultan Maut.
"Eh, kau merubah
pikiranmu?!" tanya Singkil Alit. "Kenapa mau jadi orang tolol. Kau
tak bakal menang menghadapi kami. Kau bakal mati percuma dan gadis itu tetap
saja tidak tertolong!"
Sultan Maut merasakan darahnya
seperti mendidih dan dadanya seolah-olah mau meledak oleh amarah. Namun memang
dia tak bisa berbuat banyak. Kalaupun dia melanjutkan pertempuran dengan nekad,
satu atau dua lawannya mungkin sanggup dibunuhnya, namun dia sendiri tak akan
lolos dari kematian. Dan Piranti akan menjadi korban kebuasan manusia-manusia
iblis itu.
"Baiklah " kata
Sultan Maut dengan suara tersendat. "Aku ikut bersama kalian. Tapi pegang
janji kalian. Jangan ganggu cucuku itu...."
"Ah, jadi dia cucumu.
Apalagi cucumu. Masakan kami akan mengganggunya!" ujar Singkil Alit.
"Tembesi, tutup pakaian gadis itu kembali. Biarkan dia tertotok. Kita
harus segera tinggalkan tempat ini!"
"Ah, rejekiku belum
kesampaian. Sayang… sayang...." kata Tembesi agak kesal. Tapi dia tahu,
sesampainya di Kota Hantu perjanjian yang dibuat dengan Sultan Maut saat itu
pasti akan berubah.
***
DELAPAN
UNTUK mempercepat perjalanan
Singkil Alit dan rombongan mengambil jalan pintas lalu menyusuri kali Cikajang.
Di satu tempat di mana air kali mendangkal mereka menyeberang. Sebelum senja
diharapkan mereka sudah sampai di Kota Hantu.
Di sebelah barat langit tampak
menguning tanda matahari segera akan tenggelam. Selagi rombongan menyusuri
hutan kecil di sebelah barat kaki gunung Halimun mendadak terdengar suara
bebunyian.
"Ada yang meniup
seruling!" kata Wiracula sambil mencari-cari kian kemari dari mana
datangnya tiupan seruling itu. Singkil Alit mengangkat tangan kiri, memberi
tanda. Seluruh rombongan berhenti.
"Itu bukan tiupan suling
biasa!" kata pimpinan Kota Hantu ini. "Jelas menusuk telinga,
menggetarkan gendang-gendang. Lagunya aneh, naik turun, tinggi rendah tak
menentu. Tak pernah kudengar nyanyian seperti itu. Kita lanjutkan perjalanan
tapi bersiaplah. Bukan tidak mungkin ada orang pandai yang bermaksud menghadang
kita. Perhatikan kedua tawanan ..."
Yang dimaksudkan dua tawanan
bukan lain adalah Piranti dan Ingar Candra alias Sultan Maut. Si gadis berada
dalam keadaan tertotok den menggeletak di pangkuan Tembesi. Sultan Maut
menunggang kuda dengan tangan terikat dan diapit oleh Wiracula serta Rangga.
Rah Tongga yang dalam keadaan sakit menunggangi kuda setengah tiduran. Keadaan
manusia iblis satu inilah yang membuat rombongan tak bisa bergerak lebih cepat.
Suara tiupan suling semakin santar tanda makin dekat.
"Lihat di atas
sana!" tiba-tiba Rangga berseru sambil menunjuk ke sebuah pohon nangka
hutan yang tinggi dengan cabang-cabangnya yang besar-besar.
Semua mata segera dipalingkan
ke arah yang ditunjuk. Di sebuah cabang pohon tampak duduk seorang pemuda
berambut gondrong. Kepalanya diikat dengan kain putih. Pakaian putihnya tampak
kumal. Dia duduk di cabang pohon yang tinggi itu sambil uncang-uncang kaki.
Ditangannya ada sebuah benda
aneh. Berbentuk kapak bermata dua, memiliki gagang berbentuk tubuh ular naga
dan ada lobang-lobangnya. Ujung gagang yang merupakan kepala seskor naga
menempel ke bibir si pemuda. Gagang senjata itulah yang ditiupnya seperti
sebuah suling. Sepasang mata kapak tampak berkilauan terkena sinar matahari
yang hendak tenggelam.
"Orang gila dari mana
itu?!" ujar Wiracula.
"Dia bukan orang gila!
Tak ada orang gila yang pandai memanjat pohon setinggi itu!" tukas Singkil
Alit. "Tiupan sulingnya tak mungkin bisa menyakitkan telinga kalau dia
tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Dan suling yang dipegangnya jelas bukan
sembarang suling."
"Lalu apa yang akan kita
lakukan?!" ujar Tembesi sambil usap-usap tubuh Piranti. Dia ingin
cepat-cepat sampai di Kota Hantu dan langsung membawa gadis itu ke rumahnya walau
sudah ada perjanjian antara Singkil Alit dan Sultan Maut.
"Kita tetap lewat di
bawah pohon. Jangan perdulikan orang di atas sana. Dan jangan coba mengusik!
Kalau dia yang lebih dulu mencari lantaran baru kita habisi!" jawab
Singkil Alit. Lalu dia memberi tanda agar rombongan segera bergerak. Tapi
gerakan rombongan tertahan ketika di atas pohon pemuda peniup suling mendadak
membuat gerakan aneh.
Tubuh pemuda itu tiba-tiba
jatuh ke bawah, berputar memuntir pada cabang pohon yang tadi didudukinya lalu hup!
Tubuhnya jatuh dan berpindah ke cabang di bawahnya. Di cabang ini si pemuda
kembali duduk uncang-uncang kaki den tiup sulingnya. Sesaat kemudian malah dia
menyanyi membawakan senandung aneh,
Sang surya siap tenggelam
Serombongan setan berjalan
pulang.
Pesta perkawinan telah lama
dimulai.
Lihat kawan duduk bersanding
jadi mempelai
Lima iblis bermuka bengis
Lima durjana ditunggu liang
neraka
Lekas pergi lekas pulang
Terlambat datang sang
pengantin keburu busuk
Habis bernyanyi pemuda itu
kembali tiup sulingnya.
Paras Singkil Alit dan
kawan-kawannya tampak berubah. Jelas lima iblis lima durjana dalam nyanyian itu
yang dimaksudkan adalah dia dan kawan-kawannya. Tapi apa arti kalimat “pesta
perkawinan telah dimulai”, “lihat kawan duduk bersanding jadi mempelai”,
“terlambat datang sang pengantin keburu busuk”.
"Hanya orang gila
berkepandaian sejengkal tak perlu dihiraukan Singkil!" kata Wiracula
kembali. Dia tetap menganggap pemuda di atas pohon nangka itu orang gila.
"Hatiku tidak enak
...." desis Singkil Alit. Sementara itu Sultan Maut sejak tadi memandang
tak berkesip pada pemuda di atas pohon. Yang lalu pusat perhatiannya adalah
kapak bergagang tubuh dan kepala ular naga itu. Dia coba mengingai-ingat. Tapi
menyesali diri sendiri karena di usia setua itu ingatannya tidak terang lagi.
Walau bagaimanapun dia tetap yakin paling tidak pernah mendengar tentang
senjata yang dijadikan suling oleh pemuda tak dikenalnya itu. "Kita
lanjutkan perjalanan!" kata Singkil Alit akhirnya. Rombongan kembali
bergerak. Tapi-lagi-lagi tertahan ketika dari atas pohon terdengar si pemuda
berkata, "Memang kalian harus lekas-lekas berangkat. Aku titip bungkusan
ini. Sekedar hadiah pada pesta perkawinan…"
Dari balik punggungnya pemuda
di atas pohon keluarkan sebuah benda sebesar kepala yang dibungkus dengan
sehelai kertas warna warni. Ujung kertas itu dikuncir dan diikat dengan seutas
benang. Ujung benang yang lain dipegang oleh si pemuda. Perlahan-lahan
bungkusan itu diturunkannya ke bawah, bau anyir busuk menphampar. Bungkusan
bulat terus turun dan agaknya sengaja diarahkan kepangkuan Singkil Alit
sementara bau busuk tambah menjadi-jadi. Saking marahnya karena dipermainkan
begitu rupa Singkil Alit tak dapat menahan diri lagi. Dia hantamkan
tandangannya ke arah bungkusan. Tapi si pemuda di atas pohon cepat menariknya
tinggi-tinggi sehingga pukulan Singkil Alit hanya mengenai angin. Tiba-tiba
pemuda itu lepaskan ujung benang. Bungkusan bulat langsung jatuh ke pangkuan
Singkil Alit. Ketika Singkil Alit hendak melemparkan bungkusan busuk itu si
pemuda berkata, "Kalau kau tak mau ketitipan bungkusen hadiah pesta
perkawinan itu, mengapa tak ingin melihat isinya?!"
"Gila! Siapa sudi melihat
isi bungkusan busuk itu!" bentak Singkil Alit. Lalu lemparkan bungkusan ke
tanah. Bersamaan dengan itu dia memberi isyarat pada Rangga. Dari atas punggung
kudanya Rangga melompat. Ditangannya telah tergenggam rantai hitam berujung
bola besi berduri. Senjata ini berdesing menghantam ke arah pemuda yang duduk
di cabang pohon!
Braak!
Cabang pohon hancur
berantakan. Tapi pemuda yang diserang telah lenyap. Hanya terdengar seruannya,
"Sampai jumpa di pesta perkawinan! Jangan lupa bawakan bungkusan
itu!"
"Keparat!" maki
Singkit Alit. Dia tarik tali kekang kuda, siap untuk tinggalkan tempat itu
sementara hari mulai gelap. Namun hati kecilnya ingin juga melihat apa
sebenarnya isi bungkusan itu. Maka disuruhnya Rangga mengambil bungkusan yang
terjatuh di tanah.
"Buka!" perintah
Singgil Alit.
Ketika dibuka kagetlah lima
ibis Kota Hantu itu.
"Puranda!" seru
mereka hampir berbarengan.
Begitu bungkusan terbuka yang
kelihatan adalah kepala manusia. Kepala manusia ini adalah kepala Puranda, orang
yang dipercayakan menjadi kepala pengawal Kota Hantu karena terkenal
kekejamannya dan pandai menjilat pada enam pimpinan iblis Kota Hantu.
"Ada sebentuk tulisan di
keningnya! Apa itu …?" tanya Singkil ketika melihat secleretan tulisan.
"Bukan tulisan
Singkil…" menyahuti Rangga. "Tapi angka-angka…"
"Angka-angka apa?"
"Dua-Satu-Dua!"
jawab Rangga.
Mendengar tiga angka itu
barulah Sultan Maut ingat. Pemuda di atas pohon tadi adalah Wiro Sableng.
Senjata yang dijadikannya suling adalah Kapak Naga Geni 212.
"Murid Sinto Gendeng ...
Dia ada di sini ..." desis Sultan Maut. Ada kelegaan di hatinya. Tapi
mengapa pemuda itu melenyapkan diri begitu saja? Tidak berusaha menyelamatkan
Piranti atau dirinya, tidak pula berusaha menyerang lima iblis Kota Hantu itu?
Rangga yang melihat wajah pimpinan mereka menjadi pucat segera bertanya.
"Singkil, kau tahu arti tiga angka ini!"
"Singkil Alit tak
menjawab. Tenggorokannya tiba-tiba saja terasa kering. Dia hanya melambaikan
tangan memberi tanda agar rombongan segera melanjutkan perjalanan.
"Aku hanya sering
mendengar nama dan julukan pemuda itu. Apakah dia benar-benar ada? Apakah tadi
itu memang Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng? Kenapa seperti
pemuda gila tak karuan . . ." begitu Singkil Alit membatin sepanjang
jalan. Hatinya semakin terasa tidak enak.
***
DI jalan yang menurun menuju
pintu gerbang utara Kota Hantu ketika kegelapan malam telah lama turun, Singkil
Alit danrombongan hentikan kuda masing-masing. Meskipun mereka berada di pedrr
taran yang cukup tinggi namun pandangan mereka terhalang oleh pagar batangan
pohon jati yang mengelilingi dan membentengi kota. Sesekali kelihatan
kilapannyala lampu.
"Aneh," kata Sinakil
Alit seraya memandang pada keempat kawannya. "Aku mendengar suare alunan
gamelan dari pusat kota ... !"
Tiba-tiba Singkil Alit ingat
pada ucapan pemuda aneh di atas pohon. Pemuda itu berulang kali menyebut pesta
perkawinan. Apakah saat itu benar-benar ada pesta di dalam kota? Seperti
melupakan yang lain-lainnya Singkil Alit memacu kudanya menuju pintu gerbang
utara. Anak buahnya segera mengikuti sambil menggiring Sultan Maut dan membawa
piranti.
Sesampainya di pintu gerbang
semakin heranlah Singkil Alit dan kawan-kawannya. Biasanya di situ selalu ada
dua orang pengawal di sebelah luar dan pintu gerbang seharusnya berada dalam
keadaan terkunci dari dalam. Tapi saat itu sama sekali tak ada pengawal dan
daun pintu gerbang yang besar dan berat itu tampak merenggang. Singkil Alit
pergunakan kaki kirinya untuk mendorong pintu lalu masuk diikuti yang
lain-lainnya. Begitu sampai di dalampun mereka tidak melihat ada penjaga.
Seharusnya terdapat empat pengawal di sebelah belakang pintu gerbang. Memandang
ke tengah kota mereka melihat lampu-lampu terang benderang di salah satu rumah
besar. Juga tampak kerumunan orang banyak di sana. Dan suara pesinden yang
tidak merdu itu, diringi kerawitan yang juga terdengar agak kacau datang dari
rumah besar itu.
"Itu rumah Pinta Manik!
Apa yang terjeadi di sana ... ?!" kata Singkil Alit.
"Tampaknya seperti ads
pesta," menyahuti Tembesi.
"Pesta?! Pesta apa?!
Gila!" maki Singkil Alit. Dengan pelipis dan rahang menggembung, dia
memacu kudanya ke pusat kota. Di tengah jalan dia berpapasan dengan seorang
pemuda yang diketahuinya adalah salah seorang pengawal khusus yang biasa
bertugas di rumah besar. Sekali tangannya bergerak Singkil Alit sudah mencekal
leher pakaian pemuda ini.
"Lekas katakan! Ada apa
di rumah Pinta Manik?"
Pemuda pengawal, yang biasanya
takut melihat Singkil Alit, apalagi sampai dicekal begitu rupa, anehnya kini
hanya mengerenyit kesakitan dan menjawab, "Ada pesta perkawinan! Pinta
Manik jadi pengantin!"
"Keparat! Jangan kau
berani bergurau kurang ajar padaku!" hardik Singkil Alit. Tangan kirinya
bergerak hendak menampar. Tapi tiba-tiba sebuah pisau meluncur ke arah
perutnya. Ditusukkan oleh pemuda itu.
"Singkil awas!"
teriak Wiracula memberi peringatan.
Tanda diperingatkanpun
pimpinan Kota Hantu telah malihat apa yang dilakukan si pemuda. Maka gerakan
tangannya yang tadi menampar kini berubah menjadi hantaman tepi telapak tangan
yang keras.
Praak!
Kepala si pemuda pecah. Tak
ampun lagi nyawanya melayang detik itu juga.
"Keparat!" maki
Singkil Alit seraya meludah dan hempaskan tubuh tak bernyawa itu ke tanah.
"Ada yang tak beres di sini
Singkil!" ujar Rangga.
Tiba-tiba terdengar tawa
Sultan Maut.
"Jika salah seorang anak
buahmu nekad hendak membunuhmu, memang ada yang tidak beres di sini
Singkil!" katanya. "Kuharap saja tidak terjadi pomberontakan di Kota
Hantu ini!"
"Kalau mereka berani
berontak akan kucincang satu demi satu!" kata Singkil Alit.
Kembali Sultan Maut keluarkan
suara tertawa seperti tadi.
"Tutup mulutmu! Kalau
tidak kau pertama sekali yang akan kucincang!" bentak Singkil Alit. Lalu
bersama kawan-kawannya dia memacu kuda menuju rumah besar milik Pinta Manik.
Orang banyak yang berkerumun di tempat itu, yang merupakan penduduk Kota Hantu,
anak buah atau kaki tangan enam iblis itu, menyeruak memberi jalan.
"Mereka datang!"
seseorang berseru.
Gerak-gerik dan sikap penduduk
Kota Hantu jelas-jelas aneh di mata Singkil Alit dan kawankawannya.
"Mana pengawal?!"
teriak pimpinan Kota Hantu itu. Tak ada satu orangpun yang muncul. Orang banyak
yang ada di situ memandang mereka dengan dingin. "Kurang ajar! Laknat
semua!" teriak Singkil Alit marah. Sambil bergerak maju kakinya menendang
kian ke mari. Tangannya memukul tiada henti. Hal yang sama dilakukan oleh empat
iblis lainnya. Akibatnya belasan orang terkapar roboh. Mati dan pingsan!
Di beranda depan rumah besar
kediaman Pinta Manik, Singkil Alit don kawan-kawannya berhenti dan seperti
dipantek di atas kuda masing-masing. Sultan Maut sendiri ternganga dan hampir
tidak dapat memastikan apa sebenarnya yang terjadi.
Di sebelah kiri beranda, duduk
menjelepok serombongan pemain karawitan yang aneh. Memang ada gong dan
klenengan serta kentongan, tetapi mereka juga memakai tetabuhan seperti alu dan
lesung, piring-piring kaleng, potongan-potongan kayu api. Memang ada suling dan
terompet bambu, tapi lebih banyak yang meniup batang-batang padi. Keseluruhan
musik itu mengeluarkan suara centang perenang. Lalu sang pesinden yang suaranya
tinggi rendah tidak menentu ternyata adalah seorang perempuan yang mukanya juga
dicoreng moreng. Rambutnya diikat dengan
kertas aneka warna.
"Pesta gila haram
jadah!" maki Singkil Alit.
"Kurasa wabah penyakit
gila sudah melanda Kota kita Singkil!" kata Wiracula.
Singkil Alit tak menjawab.
Sepasang matanya demikian juga semua mata anak buahnya serta Sultan Maut
tertuju ke bagian tengah beranda luas. Di situ terdapat dua buah kursi besar
penuh hiasan, diapit oleh dua janur besar. Dinding sebelah belakang kursi
ditutup dengan tirai dan kain warna warni, ditaburi gaba-gaba yang kelihatannya
dipasang asal jadi.
Di kursi besar sebelah kanan
duduk Pinta Manik. Mengenakan pakaian pengantin lengkap dengan topi yang
kekecilan. Mukanya dirias seperti muka orang gila berbedak tebal, bergincu yang
berlepotan kian kemari. Pipinya juga diberi merah-merah entah dengan apa,
sepasang alis dan matanya diberi warna hitam mencorong. Pinta Manik duduk
tersandar antara sadar den tidak. Sesekali dia tersenyum atau tertawa
gelak-gelak. Kadang-kadang dia bertariak, "Tuak ... tuak!"
Maka seorang anak lelaki kecil
yang selalu tegak di sampingnya segera mendekatkan bumbung bambu berisi tuak
keras ke mulut Pinta Manik. Setelah menyemburkan tegukan pertama baru dia
meneguk lahap tuak dalam bumbung itu. Minuman itu lebih banyak yang tumpah
membasahi dada dan pakaiannya. Setelah puas minum, dia duduk bersandar kembali
dan tersenyum-senyum seorang diri. Jelas pimpinan Kota Iblis ini berada dalam
keadaan tidak sadar diri karena mabuk berat!
Di kursi sebelah kiri inilah
satu pemandangan yang aneh tapi juga lucu duduk seekor orang hutan betina.
Tinggi besar berbulu hitam. Kedua kakinya diikat ke kaki kursi. Sepasang
tangannya diikat ke lengan kursi. Binatang ini diberi sepotong pakaian yang
hanya menutupi dada serta perutnya. Dilehernya tergantung sebuah kalung besar.
Rambutnya diikat dengan kertas dan kain-kain kecil aneka warna. Kepalanya malah
diberi beberapa potong sunting! Binatang ini tiada hentinya mengeluarkan suara
menguik, menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang besar.
Tapi tak kuasa melepaskan diri
dari ikatannya pada kursi besar. Inilah "sang pengantin perempuan".
Dan seorang anak perempuan kecil yang bertindak seperti dayang-dayang tegak di
samping kursi "pengantin" perempuan sambil tiada hentinya mengipasi
"pengantin" itu!
Tidak tahan melihat apa yang
berlangsung di depannya, Singkil Alit serta Wiracula dan Rangga turun dari kuda
masing-masing langsung melompat ke hadapan Pinta Manik dan orang hutan yang
duduk di atas kursi.
Tembesi tetap di kuda karena
lebih senang mendekapi tubuh Piranti sedang Rah Tongga yang luka parah bagian
bawah perutnya tak mampu turun kalau tak ada yang menolong. Saat itu untuk
kesekian kalinya Sultan Maut coba melepaskan ikatan tali pada kedua tangannya.
Tapi aneh, tali kecil itu laksana gulungan baja yang tak bisa diputusnya.
"Siapa yang punya
pekerjaan ini?!" tiba-tiba Singkil Alit berteriak. Suaranya menggelegar.
Tubuhnya bergetar dan
rahangnya tampak menggembung. Pelipisnya bergerak-gerak. Sepasang matanya
berkilat-kilat. Hembusan nafasnya seperti gerengan harimau lapar. Kedua
tangannya terpentang, siap untuk menghantam.
Tidak ada yang menjawab.
Hanya irama karawitan yang
acak-acakan itu, mendadak berubah dan pesinden bermuka hitam celemongan membuka
mulutnya lebar-lebar membawakan sebuah tembang.
Tamu-tamu besar sudah datang
Pelayan lekas keluarkan
hidangan
Pesta ini pesta luar biasa
Hidangan juga harus lezat cita
dan rasa
Pasta ini bukan pesta biasa
Pesta perkawinan iblis
berkepala manusia
Para tamu bukan tamu biasa
Tapi sekelompok iblis gila
Kota Hantu kotanya iblis
Ada pesta sedang berlangsung
Sampai di situ Singkil Alit
tidak dapat menguasai amarahnya lagi. Jelas-jelas nyanyian itu ditujukan pada
dirinya dan orang-orangnya.
Brak!
Singkil Alit hantamkan kaki
kananya ke lantai bangunan yang terbuat dan kayu jati keras setebal setengah
jengkal. Lantai kayu itu jebol berantakan. Tidak sampai di situ saja, pimpinan
Kota Hantu ini lantas melompat kirimkan tendangan pada si pesinden. Perempuan
yang malang ini pasti akan remuk tubuhnya atau hancur kepalanya dilabrak
tendangan itu kalau saja tidak terjadi satu hal yang mengejutkan Singkil Alit
dan membuatnya menarik pulang tendangannya kembali.
Sebuah gong kecil yang terbuat
dari besi kuning melayang ke arah kaki kanannya. Dalam marahnya Singkil Alit
sekaligus hendak menendang hancur benda itu. Namun dia jadi kaget karena
ternyata gong tersebut melesat demikian rupa, seperti punya mata, kini membeset
ke arah pinggulnya. Mau tak mau Singkil Alit tarik kaki dan melompat selamatkan
diri.
Gong kecil itu terus melayang
ke luar beranda. Sesaat kemudian terdengar suara kuda meringkik dan jatuhnya
sesosok tubuh ke tanah. Apa yang terjadi? Gong yang tidak mengenai Singkil Alit
tadi menderu menghantam kuda tunggangan Rah Tongga. Binatang ini meringkik
kesakitan ketika gong memukul keras bagian lehernya, lalu lari setelah
membantingkan tubuh Rah Tongga ke tanah. Dalam keadaan luka parah akibat
tendangan Sultan Maut, Rah Tongga hanya mampu merangkak menaiki tangga beranda
rumah besar. Tak ada seorangpun yang menolongnya, termasuk Tembesi atau
Wiracula, maupun Rangga.
Dari balik tirai merah yang
tergantung di belakang kursi besar tiba-tiba keluar beberapa sosok tubuh. Yang
pertama adalah seorang anak lelaki berusia hampir sebelas tahun.
"Singkil!" bisik
Rangga. "Bocah itu adalah anak yang ayahnya kau bunuh di desa
nelayan…"
"Ya ... aku ingat!" sahut
Singkil Alit.
Anak lelaki tadi ternyata
adalah Handaka. Putera nelayan tua Argakumbara yang dibunuh oleh Singkil Alit
beberapa bulan silam.
Di belakang Handaka melangkah
terbungkuk-bungkuk seorang kakek berambut putih panjang awut-awutan, berpakaian
compang-camping. Di tangan kanannya ada sebuah batok kelapa sedang di tangan
kiri memegang tongkat kayu. Orang tua ini bukan lain adalah Pengemis sakti
Batok Tongkat yang dulu telah menyelamatkan Handaka di teluk Cikandang sewaktu
Singkil Alit dan komplotannya mengganas di desa ayahnya, merampok, menculik dan
membunuh.
Di sebelah belakang si kakek
menyuruh seorang pemuda berpakaian putih bertampang cakap. Dia adalah Indrajit,
murid pewaris perguruan silat Elang putih. Bagaimana pemuda ini kini berada di tempat
itu .
Seperti dituturkan sebelumnya
ketika Datuk Hijau, Gitasula, Sultan Maut, Piranti dan Indrajit menyusun
rencana untuk menyerbu Kota Hantu dan berkumpul di sebuah pondok di lembah
Cilandak, karena rahasia penggompuran dibocorkan oleh Sirat Gambir maka
orang-orang itu diserbu lebih dulu oleh Singkil Alit dan kawan-kawannya. Dalam
perkelahian melawan Tembesi, Indrajit kalah dan hampir menemui kematian
dihantam bola besi berduri kalau saja tidak muncul seorang penolong aneh.
Penolong yang tak dikenal ini kemudian melarikan pemuda itu tanpa dapat dikejar
oleh Singkil Alit dan kawan-kawannya. Tuan penolong si pemuda ternyata bukan
lain adalah si kakek pengemis yang sebelumnya juga telah menyelamatkan Handaka.
Orang terakhir yang melangkah
ke luar dari balik tirai masih itu adalah juga seorang pemuda yang berpakaian
serba putih, berambut gondrong. Kepalanya diikat dengan sehelai kain putih.
Lagaknya cengar cengir enak-enak saja malah sambil bersiul-siul kecil
cengengesan. Wiracula, Rangga, terlebih lagi Singkil Alit tampak melengak
ketika melihat tampang pemuda ini.
Wiracula cepat membisiki,
"Singkil, pemuda paling belakang itu, bukankah dia yang sebelumnya
menghadang kita di luar kota. Yang melemparkan bungkusan berisi kepala Puranda
si kepala pengawal?"
"Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212!" desah Singkil Alit dengan bibir bergetar. Kedua tangannya
terkepal.
Sebenarnya bagaimnanakah
sampai orang-orang itu muncul di sana dan bagaiman terjadinya pesta aneh, pesta
perkawinan Pinta Manik dengan orang hutan betina itu?
***
SEMBILAN
Berdirinya Kota Hantu dan
munculnya enam manusia iblis di bawah pimpinan Singkil Alit yang menebar
keganasan berupa maut, perampokan, penculikan dan perbudakan itu telah sampai
ka telinga para tokoh silat di daerah timur. Mereka siap menyusun rencana
penumpasan. Tapi tentunya dengan menghubungi para tokoh silat di barat. Sebelum
orang-orang di timur melangkah lebih jauh mereka mendengar bahwa sudah ada
kelompok di barat yang akan mengaclakan penyerbuan ke Kota Hantu, yakni kelompok
tokoh silat golongan putih di bawah pimpinan Datuk Hijau dan Sultan Maut.
Karena hal itu sudah
ditangani, maka orang-orang di timur memutuskan untuk tidak bertindak lebih
jauh dan melihat bagaimana perkembangan setelah para tokoh di Jawa Barat turun
tangan. Untuk menyirap dan mengamati suasana orang-orang di timur sepakat
menugaskan Pendekar 212 Wiro Sableng untuk pergi ke Jawa Barat.
Seperti apa yang tarjadi
ternyata tokoh-tokoh di Jawa Barat mengalami kegagalan jauh sebelum penyerbuan
ke Kota Hantu dilakukan. Malah Datuk Hijau menemui kematian. Sultan Maut dan
Piranti tertawan. Gitasula juga menemui ajal.
Menghadapi keadaan yang
demikian gawat, Wiro tidak kembali ke timur guna memberikan laporan, tetapi
mengambil keputusan untuk menyambangi seorang tokah silat golongan putih. Orang
ini bukan lain adalah Pengemis Batok Tongkat. Di sana dia menemui pula Handaka
yang belum lama diselamatkan oleh si kakek, dan juga Indrajit. Orang-orang itu
mengadakan perundingan.
"Turut mauku," kata
Pengemis Batok Tongkat. "Aku ingin menunggu, sampai beberapa tahun lagi
sampai muridku Handaka ini memiliki kepandaian yang yang bias diandalkan untuk
ikut menghancurkan Iblis-ibiis Kota hantu. Tapi memang ... kejahatan tak boleh
dibiarkan lama menunggu. Kita harus menghancurkan manusis-manusia iblis itu
secepatnva…"
"Apakah kita bertiga
sanggup melakukannya?" tanya Indrajit. Lalu buru-buru menyusuli ucapannya
tadi dengan kalimat, "Maaf, saya tidak bermaksud memandang rendah
kepandaianmu kek dan juga sahabat muda Wiro Sableng. Nama besar kalian cukup
menjadi jaminan. Yang aku tak mau kalau terjadi apa-apa dengan kalian. Ingat
kematian Datuk Hijau, paman Gitasula dan ketuaku sendiri . . ."
Mendengar ucapan itu Pengemis
Botak Tongkat tersenyum dan mendehem beberapa kali.
"Terima kasih kau yang
muda memperhatikan keselamatan kita semua," katanya. "Jika apa yang
kudengar benar, menurut hematku Wiro Sableng sendiri akan mampu menghajar
orang-orang itu. Hanya memang kali ini kita bukan saja menghadapi iblis-iblis
ganas, tapi juga sekaligus licik. Di amping itu aku yang tua ini tak ingin
melihat semua orang di Kota Hantu itu menemui kematian. Sebagian besar dari
mereka jelas budak-budak yang tak berdaya. Dengan kata lain kita harus menyusun
siasat…"
"Betul," kata
Indrajit. "Mengintai kelengahan mereka!"
"Bagaimana pendapatmu
Wiro?" tanya si kakek.
Murid Sinto gendeng
garuk-garuk kepalanya. "Aku hanya menurut apa mau kalian berdua. Hanya
saja, kalau kalian setuju aku ada rencana. Kudengar iblis-iblis Kota Hantu itu
masih berada di lembah Cilendak. Dalam waktu singkat akan segera kembali ke
Kota Hantu. Nah sebelum mereka kembali kita harus sudah siap menyambut…"
Lalu Wiro Sableng menerangkan
rencananya. Setelah mendengar rencana Wiro itu, Indrajit dan si kakek apalagi
Handaka tak dapat menahan tawa. Mereka tertawa terpingkal-pingkal.
"Wiro, kudengar gurumu si
Sinto Gendeng itu edan otaknya. Ternyata kau lebih edan! Rencanamu benar-benar
sableng. Tapi masuk akal dan pantas untuk dilakukan. Kita berangkat sekarang
juga!" Si kakek lalu ambil batok kelapa dan tongkat kayunya.
Sebelum meninggalkan tempat
kediamannya, pengemis tua itu lebih dulu menangkap seekor orang utan betina,
baru mereka menuju Kota Hantu dengan menunggang kuda.
Menerobos masuk ke kota Hantu
bagi orang-orang seperti Wiro atau Pengemis Batok Tongkat bukan hal yang sukar.
Namun sesuai dengan rencana mereka harus memberitahu maksud kedatangan mereka
pada seluruh penghuni Kota Hantu yang ada. Dan karena waktu hanya sedikit maka
hal itu harus dilakukan cepat. Maka Kepala Pengawal Kota Hantu yang bernama
Puranda segera dipanggil datang ke pintu gerbang utama.
Puranda seorang lelaki muda
berbadan tegap, punya tenaga luar laksana badak dan tenaga delam yang cukup
dapat diandalkan. Dia mendapat latihan langsung dari Singkil Alit selama
beberapa bulan sebelum diangkat jadi Kepala Pengawal kepercayaan. Karena
mendapat kepercayaan demikian rupa serta jasa yang cukup besar Puranda menjadi
pongah. Beberapa kali tindakan keganasannya melebihi pimpinannya sendiri.
Begitu berhadapan dengan para
pendatang itu kepala pengawal ini segera saja menunjukkan sikap sombong den
ganasnya.
"Kalian minta mati berani
datang ke Kota Hantu. Membuat aku membuang waktu untuk menemui kalian!"
bentak Puranda. Sesaat dia melirik pada orang hutan yang ada di atas kuda
tunggangan Indrajit.
"Sobat," sahut Wiro.
"Kejahatan yang dilakukan pimpinan kalian sudah selangit tembus.
Kami tahu kau dan yang
lain-lain ikut melakukan itu hanya karena terpaksa di bawah ancaman. Saat ini
sudah waktunya kezaliman pemimpin kalian diakhiri. Kami akan meringkus mereka,
membunuh bila mereka melawan. Kami tidak minta bantuan banyak pada kalian yang
ada di sini, hanya lakukan saja apa yang kami minta!"
"Kau pasti gila!"
sntak Puranda. Dia berpaling pada dua pengawal pintu gerbang. Seraya bertindak
masuk kembali dia berkata, "Bunuh pemuda gila itu. Semuanya!"
Maka dua pengawal bersenjata
golok besar segera melompat ke hadapan Wiro. Puranda yang tidak memandang
sebelah mata pada Wiro dan kawan-kawannya menjadi terkejut dan membalik sewaktu
didengarnya dua jeritan keras dan pengawal yang tadi disuruhnya membunuh Wiro,
terpelanting, terkapar di tana dengan dada remuk. Darah mengalir dari mulut
masing-masing-masing.
"Bagaimana . . . .
?" tanya Wiro. "Kalian ikut kami menumpas manusia-manusia iblis itu
atau mint ditumpas?!"
"Bangsat rendah! Kau
mengandalkan kepandaian apa berani bicara seperti itu!" teriak Puranda
marah. Dari atas punggung kudanya tubuhnya laksana tarbang. Tumitnya meluncur
ke kening Wiro Sableng. Serangannya mengeleparkan angin keras.
"Manusia tolol! Diberi
madu minta racun…" Pengemis Batok Tongkat merutuk. Dia memberi isyarat
pada Wiro. Murid Sinto Gendeng ini segera rundukkan kepala dan ulurkan tangan.
Begitu cepatnya gerakan Wiro hingga kepala pengawal Kota Hantu itu tidak
percaya kalau pergelangan kaki kanannya sudah berada dalam cekalan kedua tangan
lawan.
Perunda coba sentakkan kakinya
untuk melepas cekalan. Bersamaan dengan itu kepalan tangan kanannya dihantamkan
ke depan untuk menggebuk kuda tunggangan Wiro. Namun semua yang dilakukan
kepala pengawal itu gagal karena dengan sangat cepat Wiro memuntir pergelangan
kakinya. Di lain saat Puranda merasakan tubuhnya diayunkan ke bawah. Dia
berusaha jungkir balik menghindari kejatuhan. Malah akibatnya jadi parah. Bukan
saja tubuhnya terbanting keras ke tanah, tangan kirinya pun remuk di bagian
siku.
Kepala pengawal ini cepat
berdiri walau di wajahnya jelas kelihatan dia menanggung rasa sakit yang amat
sangat. Saat itu Wiro sudah melompat turun dari kuda. Puranda langsung
menyerbunya. Entah kapan kepala pengawal ini menggerakkan tangan tahu-tahu dia
sudah menggenggam sebilah golok yang ujung berbentuk segitiga. Enam pengawal
pintu gerbang yang ada di tempat itu segera pula menghunus senjata
masing-masing.
"Indrajit, kau uruslah
mereka. Aku masih letih ...." kata Pengemis Batok Tongkat.
Indrajit turun dari kudanya.
"Aku tahu kalian berenam
adalah pemuda baik-baik. Menjadi pengawal Kota Iblis karena dipaksa. Jika
kalian mau bertobat dan bergabung dengan kami pasti akan mendapat
pengampunan!"
Enam pengawal Kota Hantu sana
menyeringai. Mereka sama sekali tidak tahu berhadapan siapa. Salah seorang
diantara mereka maju menuding: "Kau boleh pidato panjang pendek. Yang kami
tahu siapa berani datang ke Kota Hantu apalagi berani membuat kacau berarti
harus menyerahkan jantungnya!"
"Indrajit! Mereka sama
saja dengan pimpinan. Lekas gebuk mereka!" kata Pengemis Batok Tongkat tak
sabaran.
Keenam pengawal itu tiba-tiba
memencar. Tiga menyerang Indrajit. Tiga lagi menyerbu ke arah kakek.
"Ee ... benar-benar tak
tahu diri. Makan tongkatku ini!"
Tanpa turun dari kudanya
pengemis itu sambut serangan tiga lawan dengan tongkat kayu. Dua pengawal yang
kena gebuk langsung melintir kesakitan. Yang satu menjerit sambil tekap daun
telinga sebelah kirinya yang robek ditusuk ujung tongkat. Satunya lagi
menggeliat-geliat di tanah pegangi perut yang bolong. Pengawal ketiga terkapar
di tanah. Keningnya nampak remuk oleh hantaman batok kelapa si kakek!
Tiga pengawal yang menyerbu
Indrajit mengalami hal yang sama. Dengan tangan kosong pemuda ini menghantam
mereka satu persatu hingga terkapar di tanah. Ada yang tulang iganya remuk, ada
yang hancur mulutnya dihantam jotosan dan yang ketiga tersandar di dinding
pintu gerbang dengan lidah mencelet. Jotosan tangan kiri Indrajit meremukkan
tulang lehernya.
Sementara itu perkelahian
antara Puranda dan Wiro Sableng berjalan berat sebelah. Apapun kepandaian yang
dimiliki kepala pengawal itu dia bukanlah tandingan murid Sinto Gendeng.
Setelah menghajar sampai babak belur, Wiro hentikan serangannya dan berkata.
"Nah, kau yang minta
racun kau sendiri yang merasakan pahitnya. Sekarang apa kau masih tak mau
bergabung dengan kami?!"
Kepala pengawal itu meludah.
Ludahnya bercampur darah. Dengan golok yang masih tergenggam di tangan kanannya
dia kembali menyerang Wiro.
"Ah, kau sengaja mencari
nasib jelek kawan," kata Pendekar 212. Lengan kanannya memukul ke atas.
Krak! Puranda terpekik. Tulang
tangan kanannya patah. Goloknya mental. Senjata ini cepat disambut oleh Wiro.
Begitu hulu go lok tercekal, Wiro babatkan ke leher Puranda. Darah mancur!
"Sahabat Wiro! Aku tak
suka dengan caramu itu. Kita sama saja buasnya dengan iblis-iblis Kota Hantu
ini!" kata Indrajit ketika dia melihat Wiro menjambak rambut Puranda dan
menenteng potongan kepala orang itu.
Wiro melompat ke atas kuda.
"Aku juga tak suka hal ini Indrajit," sahutnya. "Tapi sesekali
kita harus melakukan hal seperti ini untuk membuka mata mereka. Kita tak punya
waktu banyak. Kita tidak mau urusan jadi bertele-tele dan menghadapi ratusan
orang dalam kota ini. Jika mereka melihat aku membawa kepala pimpinan pengawal,
mereka akan berpikir dua kali sebelum menyerang kita .... !"
Pengemis Batok Tongkat
tepuk-tepuk bahu Indrajit seraya berkata, "Anak muda, ini satu pengalaman
baru bagimu. Terkadang hidup di dunia ini tak bisa dihadapi dengan kejujuran
dan welas asih melulu. Pada saatnya kau akan mengerti apa yang dikatakan
sahabatmu itu. Kita tak punya waktu lama. Mari masuk ke dalam kota!"
Kota Hantu gempar ketika
orang-orang itu menerobos masuk. Terlebih menyaksikan kepala Puranda yang
ditenteng Wiro Sableng. Puluhan pengawal segera mengurung, tapi tak ada yang
berani bergerak.
Wiro angkat tangen kirinya
tinggi-tinggi. Kerahkan tenaga dalam dan berkata, "Siapapun kalian semua
di sini tak lebih dari budak yang ditindas oleh enam iblis Kota Hantu. Kami
datang untuk menghancurkan manusia-manusia iblis itu. Bukan untuk memusuhi
kalian. Kami ingin kalian bergabung dengan kami dan bukan seperti kepala pengawal
ini yang minta mati secara tolol! Hari ini adalah hari kehancuran Kota Hantu
dan merupakan hari kebebasan kalian!" Wiro diam sesaat menunggu reaksi.
Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka suara. Maka dia meneruskan. "Aku
dan kawan-kawan tahu, lima dari pimpinan kalian tidak ada di kota. Jika kita.
mau sama-sama menghancurkan orang-orang durjana itu lekas tunjukkan di mana
pimpinan mereka yang seorang lagi! Tapi ingat, jika kalian menipu kami ini
jadinya!" Wiro acungkan kepala Puranda.
"Ikuti kami …!"
tiba-tiba ada yang berkata. Wiro memandang pada orang itu dan anggukkan kepala.
Mereka menuju ke rumah Pinta Manik yang saat itu sudah diberitatahu oleh
beberapa pengawalnya apa yang telah terjadi. Karenanya ketika Wiro den
kawan-kawan datang, dia sudah menyambut dengan rantai hitam berganduian bola
besi berduri di tangan kanan. Lima belas pengawal yang setia padanya tegak
mengelilinginya.
Pinta Manik pelintir kumis
besarnya, memandang garang pada orang-orang itu lalu pusatkan perhatian pada
Wiro Sableng.
"Jadi ini
manusia-manusianya yang berani masuk Kota Hantu. Membunuh pengawal-pengawal,
memancung kepala pengawal! Bagus! Pengawal! Tangkap kakek butut dan pemuda
serta bocah itu. Pembunuh Puranda ini aku sendiri yang akan melumatnya!"
Pinta Manik tutup ucapannya
dengan menghantamkan rantai hitamnya. Wiro kaget sekali ketika rasakan sambaran
angin serta cahaya hitam yang keluar darisenjata itu. Jelas pemimpin Kota Hantu
ini memiliki kepandaian dan tenaga dalam yang tinggi. Dan jika mereka berjumlah
enam orang tak heran kalau mereka bisa menguasai dunia persilatan di Jawa Bara
melakukan keganasan seenak perut mereka! Lima belas pengawal kelas satu
menyerbu ke arah Pengemis Batok Tongkat dan Indrajit. Perkelahian seru terjadi.
Tapi hanya enam jurus. Memasuki jurus ke tujuh, tak satu pun di antara para
pengawal pilihan ini yang masih tegak berdiri. Semua orang yang memang ingin
melepaskan diri dari kebiadaban di Kota Hantu itu semakin terbuka mata mereka.
Mereka tahu kini orang-orang yang datang itu adalah tokoh-tokoh silat
berkepandaian tinggi. Hari itu rupanya memang menjadi hari kebebasan mereka.
Maka mereka mulai bersorak-sorak. Ketika ada yang berteriak agar rumah-rumah
besar milik enam iblis Kota Hantu itu dibakar, Pengemis Batok Tongkat cepat
berseru, "Jangan melakukan tindakan apa pun! Ikuti petunjuk kami!"
Mendengar itu tak ada satu
orang pun yang bertindak lebih jauh. Perhatian semua orang kini terpusat pada
Wiro Sqbleng yang berkelahi menghadapi Pinta Manik masih dengan menenteng
kepala Puranda!
Pinta Manik sendiri diam-diam
merasa terkejut ketika melihat lima belas pengawalnya babak belur di hantam dua
lawan. Rasa was-was semakin mencengkam dirinya ketika mengetahui pula bahwa
pemuda yang dihadapinya ternyata memiliki kepandaian luar biasa. Serbuan rantai
hitam dan bola besi berdurinya yang laksana air hujan tak satupun dapat
menyentuh tubuh pemuda itu.
Sebaliknya lawan jelas
mempermainkannya, menyerang dengan menyorongkan kepala Puranda ke mukanya
hingga pakaian dan wajahnya jadi kotor bercelemong darah!
"Wiro," tiba-tiba
Pengemis Batok Tongkat menegur. "Kita tak punya banyak waktu. Lekas kau
selesaikan iblis yang satu ini!"
Saat itu perkelahian antara
Wiro dan Pinta Manik telah berlangsung delapan belas jurus. Bola besi berduri
mencuit-cuit pulang balik ke arah kepala Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng ini
memperlambat gerakan silatnya. Menyangka lawan mulai kehabisan nafas dan
tenaga, Pinta Manik lipat gandakan daya serangannya. Wiro yang tadi beberapa
kali sempat menyemongi wajah dan pakaian lawan dengan darah di kepala Puranda
tidak menyangka kalau cukup sulit untuk menotok Pinta Manik. Sesual rencana dia
tidak boleh membunuh manusia iblis yang satu ini. Maka terpaksa dia mempercepat
gerakannya kembali.
"Aku harus merampas
rantai hitam itu. Dengan mengandalkan satu tangan sulit melakukannya,"
membatin Wiro. Dia menimbang apakah akan mencampakkan dulu kepala Puranda atau
tetap menghadapi senjata hebat lawan dengan satu tangan tapi mengeluarkan
senjata mustikanya yakni Kapak Naga Geni 212. Wiro memutuskan untuk
mengeluarkan senjata itu.
Sinar putih berkilauan ketika
Kapak Maut Naga Geni 212 keluar. Sesaat membuat Pinta Manik terkesiap. Seumur
hidup belum pernah dia melihat Senjata anah dan memancarkan sinar angker
seperti itu. Maka dia putar rantai hitamnya lebih hebat. Wiro angkat tangannya
yang memegang kapak Sinar putih perak berkiblat.
Trang!
Bunga api memercik.
Rantai hitam di tangan Pinta
Manik putus. Bola besi berduri yang menggandul di ujung rantai terpental liar,
menghantam tiga orang di samping kiri. Ketiganya mati dengan tubuh dan kepala
hancur.
Melihat senjata andalannya
musnah pucatlah Pinta Manik. Dia melompat mundur menjauhi Wiro. Tapi salah
lompat. Dari belakang, ujung tongkat Pengemis Batok Tongkat menusuk kuduknya.
Kontan tubuhnya tak berkutik lagi. Si kakek tertawa mengekeh. Die memandang
berkeliling. "Kita akan mengadakan pesta malam ini!" katanya.
"Pesta perkawinan manusia iblis ini.... !"
Tentu saja semua orang heran
mendengar kata-katanya itu. Dan jadi tambah heran ketika si kakek menyambung,
"Dia akan kita kawinkan dengan orang hutan itu! Kalian lihat saja nanti.
Seret iblis ini. Cekok dia dengan tuak sampai mabuk. Kalau sudah mabuk beri
tahu aku agar kulepaskan totokannya!"
Beberapa orang segera menyeret
Pinta Manik ke dalam rumah. Pengemis Batok Tongkat mendekati Wiro. "Kau
boleh pergi sekarang. Bungkus potongan kepala itu dengan kertas warna warni.
Kedatangan lima iblis lainnya perlu kita sambut dengan meriah…!'
"Bagaimana kalau mereka
muncul dari pintu gerbang selatan hingga aku tak menemui mereka di tengah
jalan?" tanya Wiro.
"Aku yakin mereka
memasuki kota dari arah utara. Itu jalan yang terpendek dari lembah Cilendak.
Aku juga yakin kelimanya tak akan muncul secara utuh."
Who anggukkan kepala. Dengan
membawa kepala Puranda dia tingalkan tempat itu.
***
SEPULUH
SEPULUH TAMU-TAMU penting
sudah datang kenapa tidak segera dihidangkan sesajian?! Pendekar 212 Wiro
Sableng berseru. Lalu dia menjura mempersilahkan Singkil Alit, Rangga dan
Wiracula duduk di tikar permadani. Saat itu Singkil Alit sudah tak dapat lagi
menahan amarahnya dan siap menerjang Wiro. Begitu juga kedua kawannya.
"Eeh! Itu ada tamu yang
terkapar di beranda kenapa tidak ditolong supaya masuk kemari? Belum minum tuak
kenapa sudah mabuk?" ujar Wiro sambil menunjuk pada Rah Tongga yang
terbujur di beranda rumah. Seperti diketahui dia mengalami luka parah bagian
bawah tubuhnya akibat tendangan Sultan Maut.
"Hai itu ada satu lagi
tamu penting berpakaian serba hitam. Kenapa masih duduk di atas kuda? Dapat rejeki
besar seorang gadis hingga tak mau turun melihat pengantin bersanding ....
!"
Wiro menunjuk ke arah Tembesi
yang masih berada di atas punggung kuda sambil pegangi tubuh Piranti.
Setiap kata-kata yang
diucapkan Wiro Sableng diikuti Pengemis Batok Tongkat dengan gelak tawa
mengekeh.
Dari dalam tiga orang gadis
diiringi tiga pemuda keluar membawakan piring-piring dan gelas besar.
Piring-piring itu bukannya berisi makanan melainkan diisi dengan batu, pecahan
kaca, tanah dan pasir. Sedang gelas bukan diisi dengan tuak melainkan dipenuhi
dengan air got!
"Mari silahkan duduk,
silahkan minum dan mencicipi makanan!" kata Wiro. "Atau mungkin para
tamu terhormat hendak bersalaman dengan kedua mempelai lebih dulu .... ?!"
Batas kesabaran Singkil Alit
dan kawan-kawannya habis sudah. Dari tenggorokan pimpinan manusia-manusia iblis
itu keluar suara seperti harimau menggembor. Tubuhnya melesat melewati Pinta
Manik dan orang utan yang duduk bersanding, langsung menerkam ke arah Pendekar
212 Wiro Sableng.
Wiracula dan Rangga tidak
tinggal diam. Mereka nenyerbu ke arah Pengemis Botak Tongkat dan Indrajit.
Sebelum menyembul serangan lawan si kakek sempat berbisik pada Handaka.
"Kau lihat orang berkuda
yang memakai topi seperti sorban?" Maksud si kakek adalah Sultan Maut.
Handaka mengangguk. "Kedua tangannya terikat tali. Tali itu tak bisa
dibuka oleh siapapun kecuali oleh Singkil Alit sendiri. Tapi ada satu cara
untuk membukanya. Ludahi tali itu tiga kali. Orang bersorban itu akan mudah
melepaskan ikatannya. Nah, pergi cepat!"
"Tapi aku harus
membalaskan dendam ayah. Membunuh Singkil Alit!" kata Handaka.
"Jangan kawatir. Setengah nyawanya akan kuberikan padamu!" jawab
Pengemis Batok Tongkat.
Mendengar ini Handaka yang
baru beberapa bulan mendapatkan pelajaran dasar ilmu silat dari si kakek segera
menyelinap mendekati Sultan Maut.
Sementara itu Tembesi yang
masih berada di punggung kudanya bersama Piranti sesaat tampak bimbang. Apakah
dia akan turun membantu pimpinan dan kawan-kawannya. Atau lebih baik
bersenang-senang dengan gadis yang kini berada dalam keadaan tertotok itu?
Sampai di hadapan Sultan Maut,
Handaka tangkap tangan orang yang terikat tali lalu meludahinya tiga kali.
Kalau saja Sultan Maut tadi tidak melihat gerak-gerik Handaka yang berada
bersama Pengemis Batok Tongkat pastilah dia akan memarahi anak yang berani
meludahi tangannya itu. Dia menggerakkan kedua tengannya sedikit. Aneh, tali
yang tadi begitu kokoh dan sulit dibuka kini terlepas mudah sekali.
"Anak baik! Terima kasih
atas pertolonganmu. Siapa namamu?!" tanya Sultan Maut sambil mengusap
kepala si bocah.
"Aku Haerdaka. Murid
Pengemis Batok Tongka dari kaki Halimun...." jawab Handaka bangga.
"Bagus . . . bagus! Kau
memang pantas jadi murid pengemis sakti itu!"
Saat itu Tembesi memutuskan bukan
saja lebih baik bersenang-senang dengan Piranti, tetapi sekaligus selamatkan
diri dari kelompok orang-orang yang diyakininya adaiah jago-jago rimba
persilatan berkepandaian luar biasa. Keadaan yang seperti itu membuat dia tidak
tenang. Lebih baik cari selamat. Tapi dia harus kembali ke rumahnya dulu. Dia
harus membawa beberapa gundik yang disenanginya, juga harta kekayaanncya, baru
diam-diam menyelinap meninggalkan kota. Namun baru saja dia hendak bergerak, di
hadapannya telah menghadang Sultan Maut.
"Turunkan gadis
itu…!" perintah Sultan Maut
Tembesi menyeringai.
"Kalau kedua tanganmu sudah lepas apa kau kira mampu bertahan hidup?! Kau
harus melepas nyawa di Kota Hantu, Sultan!"
Habis berkata begitu Tembesi
segera keluarkan rantai hitamnya, langsung menyerang Sultan Maut. Sang Sultan yang sudah tahu
kehebatan senjata lawan cepat melompat dari kuda, menyembar sebatang tombak
yang dipegang seorang pengawal di tepi beranda. Dengan tombak ini dia
menghadapi gempuran dahsyat rantai hitam berbandul bola berduri lawan. Sultan
keluarkan seluruh kepandaiannya, bergerak cepat dan selalu berusaha
menghindarkan bentrokan senjata. Dia tahu pasti tombak besi yang dipegangnya
tak akan mampu bertahan kalau sampai tersambar senjata lawan. Di samping itu
setiap balas menyerang dia harus berhati-hati karena kawatir tusukan atau
sambaran tombaknya akan mengenai tubuh Piranti yang lintang di punggung kuda.
"Aku harus paksa bangsat
ini turun dari kuda!" kata Sultan Maut dalam hati. Maka tombaknya dipakai
untuk menyerang bagian pinggang ke bawah sedang tangannya yang lain lancarkan
pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi ke arah dada dan
kepala Tembesi. Lambat laun merasakan gerakannya terbatas jika terus berada di
atas kuda, Tembesi akhirnya melompat turun. Tapi dia berlaku cerdik. Sambil
turun dia menarik tubuh Piranti dan memanggulnya bahu kiri. Adanya tubuh si
gadis di atas bahu lawan membuat Sultan Maut tidak leluasa melancarkan
serangan-serangan mautnya. Sebaliknya Tembesi mampu melancarkan serangan dari
berbagai arah dan cara. Jika Sultan Maut menyongsong serangannya dengan balas
menyerang maka dia sorongkan tubuh Piranti ke depan hingga mau tak mau lawan
tarik kembali serangannya. Lambat laun Sultan Maut jadi terdesak, terlebih
ketika tombak di tangan kanannya patah tiga dihantam gandulan besi berduri!
Sultan Maut merutuk panjang
pendek dalam hati. Dia seperti kehabisan akal bagaimana harus menghadapi lawan
yang licik serta memiliki kepandaian tinggi dan memegang senjata amat berbahaya
itu.
Kita tinggalkan Sultan Maut
yang berada dalam keadaan serba salah menghadapi Tembesi. Kita ikuti
perkelahian antara Pengemis Batok Tongkat melawan Wiracula. Senjata rantai
hitam dengan gandulan besi berduri di ujungnya jelas kelihatan lebih
menggebu-gebu dari pada tongkat kayu di tangan kakek pengemis. Orang tua ini
sendiri tahu akan hal itu. Sebelumnya ketika menyelamatkan Indrajit, ujung
tongkatnya pecah remuk sewaktu beradu dengan bola besi berduri itu. Karenanya
dia selalu menghindari bentrokan tongkat kayunya dengan senjata lawan.
Sekalipun senjata Wiracula
kelihatan hebat, mengeluarkan suara menderu-deru dan memancarkan bayangan sinar
hitam yang angker namun dia tidak dapat menandingi kegesitan tubuh kurus si
kakek. Berkali-kali manusia iblis ini terperanjat karena tangan atau bagian
tubuhnya yang lain hampir dimakan ujung tongkat atau digebuk badan tongkdt.
Belum lagi batok di tangan kanan si kakek yang mengemplang ganas ke arah batok
kepala atau menggebuk deras ke bagian badan. Terkadang batok itu seperti diikat
dengan tali atau benang yang tak kelihatan, menyerang laksana terbang, diulur
dan ditarik!
Wiracula keluarkan keringat
dingin ketika di jurus ke sembilan ujung tongkat di tangan kiri lawan mendadak
berubah seperti puluhan banyaknya, melenting melebar seperti kipas dan
mengeluarkan suara bersuit, merobek pakaian hitamnya di bagian dada. Wiracula
melompat mundur dengan muka pucat. Si kakek sebaliknya tertawa mengekeh.
Tongkatnya kembali melenting melebar, menyambar bagian kepala lawan.
"Manusia iblis!"
kata si kakek. "Jangan kawatir baju iblismu yang robek akan kuganti dengan
baru. Kau boleh ambil sendiri nanti di neraka! He... he... he…!"
Mendidih amarah Wiracula
mendengar ucapan itu. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya dan putar senjatanya
lebih sebat. Besi hitam dan gandulan bola duri itu berkiblat lebih sebat, lebih
ganas, suaranya berdesing tambah angker. Seluruh tubuh Pengemis Batok Tongkat
terbungkus serangan lawan. Baju rombeng kakek kelihatan berkibar-kibar tertiup
sambaran senjata lawan, begitu juga rambutnya yang putih panjang.
Traaak!
Tongkat kayu dan gandulan besi
beradu keras.
"Tongkatku!" seru si
kakek ketika melihat tongkat kayunya terlepas dari tangan dan patah dua mental
di udara. Dia melompat seperti hendak berusaha menangkap patahan tongkatnya
itu. Inilah kesempatan baik bagi Wiracula. Rantai hitam dan gandulan besi
berdurinya bersiut ke bawah, melabrak ke pinggang lawan.
"Putus pinggangmu tua
bangka keparat!" seru Wiracula.
Manusia iblis ini tidak tahu
kalau dia sudah termakan tipuan lawan. Pengemis Batok Tongkat Tongkat
membiarkan tongkat kayunya digebuk patah dan pura-pura kalang kabut hendak
menangkap benda itu di udara. Selagi senjata lawan menghantam ke arah pinggang
tubuh kurus si kakek tampak melenting dan jungkir balik di udara. Sesaat
kemudian terjadilah pemandangan yang membuat Handaka ternganga dan orang banyak
yang menyaksikan ikut berdecak kagum. Sepasang betis Pengemis Batok Tongkat
tahu-tahu sudah menjepit batang leher Wiracula. Manusia iblis ini coba menggebuk
dengan senjatanya. Namun dia mengalami kesulitan bernafas dan kraak! Ketika si
kakek memutar kedua betisnya terdengar suara patahnya tulang leher Wiracula.
Orang ini mengeluarkan suara melenguh tercekik. Matanya mendelik lidahnya
mencelet! Dari mulutnya keluar darah, juga dari hidungnya. Senjata rantai hitam
lepas dari tangannya, jatuh ke lantai. Tubuh si kakek kembali melenting. Begitu
dia berdiri di atas kedua kakinya kembali, tubuh Wiracula roboh terkapar di
lantai.
"Mampus! Iblis keparat
itu mampus!" teriak beberapa orang.
"Rasakan! Mengapa kita
tidak membunuh yang satu itu? Yang terkapar di kaki beranda!" seorang
lainnya berseru. Yang dimaksudnya adalah Rah Tongga, salah satu dari manusia
iblis itu, yang cidera berat di bagian perutnya dan berada dalam keadaan antara
sadar dan pingsan. Tiba-tiba saja banyak orang mencabut senjata yang mereka
bawa lalu naik ke beranda rumah besar. Pengemis Batok Tongkat hendak mencegah.
"Ah, peduli amat!"
dengusnya kemudian. "Itu lebih baik baginya!" Maka puluhan macam
senjata menderu menghantami tubuh Rah Tongga. Orang-orang Kota Hantu yang
selama ini dijadikan budak di bawah ancaman kematian, kini melepaskan dendam
kesumat mereka. Dalam waktu singkat tubuh Rah Tongga tidak berbentuk tubuh
manusia lagi, tapi terpotong-potong dan darah menggenang di lantai beranda!
Pengemis Batok Tongkat berdiri
sambil usap-usap batok kelapa di tangan kanannya. Dia memandang berkeliling. Di
sebelah kirinya dilihatnya Indrajit bertempur melawan Rangga. Pemuda ini
memegang sebilah golok yang didapatnya clari seorang pengawal. Golok besar itu
bukanlah tandingan rantai hitam bergandulan bola berduri di tangan Rangga.
Hanya kegesitan pemuda itulah yang banyak menolongnya menghadapi lawan yang
tengguh itu. Namun di mata si kakek dalam waktu beberapa jurus di muka Indrajit
akan menjadi repot, terdesak dan terancam keselamatannya.
Ketika dia memandang ke
jurusan lain, Pengemis Batok Tongket dapatkan Sultan Maut yang bertempur
melawan Tembesi berada dalam keadaan terdesak hebat. Bukan saja karena dia
tidak memegang senjata apa pun, tapi jelas Sultan Maut tidak mampu melancarkan
serangan balasan karena kawatir akan mengenai tubuh cucunya yakni Piranti yang
ada di atas bahu kiri Tembesi.
"Iblis licik!"
gertak Pengemis Batok Tongkot lalu melompat turun ke halaman. Namun saat itu
setelah menggebrak dengan satu serangan dahsyat hingga Sultan Maut terpaksa
melompat mundur, Tembesi cepat melompat ke punggung kudanya dan membedal
binatang itu, melarikan diri menuju bagian timur Kota Hantu.
"Sultan! Mari kita kejar
iblis penculik itu!" kata Pengemis Batok Tongkat seraya menarik bahu
Sultan Maut. Keduanya sama-sama melompat ke atas dua ekor kuda yang ada di
dekat situ dan mengejar.
Jika saja Tembesi langsung
lari meninggalkan Kota Hantu metewati jalan-jalan gelap dan berbelok-belok,
basar kemungkinan dia tak akan terkejar oleh Sultan Maut den Pengemis Batok
Tongkat. Namun saat dia lari menuju rumah besarnya di sebelah selatan kota.
Rencananya adalah untuk lebih dulu mengambil harta bendanya, memboyong beberapa
perempuan peliharaannya yang masih muda-muda dan cantik-caantik, baru melarikan
diri sambil membawa Piranti. Malah dalam benaknya saat itu sudah ada niat untuk
meniduri gadis itu dulu di rumah besarnya.
Ketamakan dan kebejatannya
inilah yang ternyata mendatangkan malapetaka baginya. Sepanjang jalan Sultan
Maut dan Pengemis Batok Tongkat mendapat petunjuk dari penduduk ke arah mana
larinya Tembesi. Mereka menemukan kuda tunggangan manusia iblis itu di hadapan
sebuah rumah besar yang bagian depannya gelap gulita dan tampak sunyi.
"Keparat itu pasti ada di
dalam. Lekas kita dobrak pintu depan!" kata Sultan Maut yang sudah tak
sabaran karena mengawatirkan keselamatan dan kehormatan cucunya.
"Jangan jadi orang
tolol!" ujar Pengemis Batok Tongkat sambil pegang bahu Sultan Maut.
"Di rumah sebesar itu
kita bisa terjebak konyol jika mencoba masuk lewat pintu!"
"Apa usulmu?"
"Naik ke atas atap dan
mengintai lalu menerobos masuk!" jawab si pengemis sakti. Lalu tanpa
bicara lebih banyak dia segera melompat ke atas atap bangunan. Sultan Maut
menyusul. Keduanya yang telah memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi,
mengendap-endap di atas atap, mengintai setiap sudut bagian dalam rumah besar
dengan mudah. Mereka sengaja mengintai bagian rumah yang kelihatan terang
setelah nyala lampu karena di situ pasti ada orangnya. Beberapa kali setelah
melakukan pengintaian tiba-tiba terdengar kutuk serapah Sultan Maut.
"Iblis dajal
terkutuk!"
Pangemis Batok Tongkat cepat
mengintai pula. Di bawah sana, dalam sebuah kamar yang besar dan bagus,
diterangi oleh dua lampu minyak besar, kelihatan tubuh Piranti tergolek di atas
sebuah ranjang. Di sampingnya setengah berjongkok tampak Tembesi tengah
membukai pakaian gadis yang masih berada dalam keadaan tertotok itu.
Brakk!
Sultan Maut hantamkan tumit
kirinya ke atas atap. Atap yang terbuat dari kayu itu hancur berantakan. Sebuah
lobang menganga. Sultan Maut cepat melompat turun, langsung masuk ke dalam
kamar. Pengemis tua menyusul.
"Keparat! Jadi kau berani
menyusul kemari! Benar-benar minta mampus!" Tembesi yang hanya mengenakan
celana dalam sekilas melirik pada Pengemis Batok Tongkat. Dia tadi melihat
bahwa kakek inilah yang telah membunuh Rah Tongga. "Kalian berdua mau
apa?" bentaknya kemudian.
Sultan Maut mendengus. Pengemis
Batok Tongkat mengekeh.
"Orang yang mau mampus
memang suka bertanya aneh-aneh!" kata kakek pengemis sambil usap-usap
batok kelapa di tangan kanannya dengan tangan kiri.
"Kami datang minta
nyawamu!" kata Sultan Maut.
Tembesi segera sambar rantai
hitam yang tergeletak di bagian kepala tempat tidur. Dia sudah menjajal
kehebatan Sultan Maut dan merasa tidak takut terhadap orang ini. Tapi pengemis
lihay yang ada bersama Sultan Maut benar-benar membuat nyalinya berdetak.
Berkelahi dua lawan satu mungkin dia masih sanggup membunuh Sultan Maut.
Mungkin. Tapi dirinya sendiripun tak bakal lolos dari maut. Maka otak
licinnyapun mulai bekerja. Dia berkata, "Dengar, jika kau mau cucunya,
ambillah. Dirinya belum kusentuh! Sudah itu cepat pergi dari sini sebelum senjataku
ini menghancurkan kalian!"
Pengemis Batok Tongkat kembali
tertawa mengekeh. "Gadis itu memang harus kami selamatkan tapi nyawamupun
harus kau serahkan!"
"Bangsat tua ini tidak
main-main…" membatin Tembesi. Maka dia cepat berkata. "Cucumu tak
kuapa-apakan. Jika kalian segera pergi, ada satu peti perhiasan dan uang yang
boleh kalian bawa serta dan bagi dua!"
"Nyawa anjingmu yang akan
kami bagi dua manusia iblis!" teriak Sultan Maut. Lalu dia menubruk ke
depan. Tangannya kiri kanan menghantam. Dua pukulannya itu mengeluarkan angin
deras karena dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tembesi menangkis dengan
mengiblatkan rantai hitamnya. Sinar hitam berkelebat. Gandulan berduri membabat
ganas. Namun Tembesi harus cepat menghindar dan tarik pulang serangannya karena
dari samping saat itu Pengemis Batok Tongkat merangsek dengan kemplangkan batok
kelapanya ke arah kepala! Hanya dua jurus Tembesi mampu merangsek kedua
lawannya dengan serangan-serangan kilat dan ganas. Setelah itu Sultan Maut dan
kakek pengemis cepat mendesaknya.
"Sultan! Kau selamatkan
dulu cucumu. Lepaskan totokannya. Biar aku yang menghadapi manusia iblis
ini!" berkata Pengemis Batok Tongkat. Sultan Maut segera lakukan apa yang
dikatakan si kakek. Piranti ditariknya ke sudut kamar. Di sini dia melepaskan
totokan di tubuh gadis ini, merapikan pakaiannya. Begitu sadar Piranti dengan
cepat segera mengetahui apa yang terjadi dalam kamar besar itu. Maka dengan
tangan koosng diapun menyerbu Tembesi.
Menghadapi tiga lawan seperti
itu tak ada lagi harapan bagi Tembesi. Menyadari hal ini dia masih coba
membujuk dengan berseru. "Di bawah tempat tidur ini ada lima peti berisi
perhiasan dan uang perak, juga uang emas. Kalian boleh ambil asalkan aku bisa
bebas pergi dari sini!"
"Siapa butuh benda itu!"
teriak Sultan Maut. "Roh busukmu boleh membawanya sendiri nanti!"
"Keparat!" maki
Tembesi dalam hati. "Hai!" serunya kemudian. "Aku juga punya
beberapa orang gundik. Semua masih muda dan cantik-cantik. Kalian boleh
ambil!"
Sultan Maut mendengus marah.
Pengemis tua tertawa mengekeh sedang Piranti tampak gemas sekali. Ketiga orang
itu kurung Tembesi lebih rapat. Serangan mereka juga tambah deras.
Membuat iblis Kota Hantu itu
semakin ciut nyalinya. Ilmu silatnya, pertahanan serta serangannya menjadi kacau.
Dia mengumbar tenaga luar dan tenaga dalam secara berlebihan sehingga dalam
waktu satu jurus di muka gebukan pertama mulai menghantam tubuh Tembesi.
Orang ini tersorong ke depan
begitu jotosan Piranti menghantam tulang punggungnya. Karena terlalu memperhatikan
serangan-seranqan Sultan Maut dan Pengemis Batok Tongkat Tembesi melengahkan
rakan-gerakan Piranti, akibatnya tulang punggung remuk. Di saat yang sama
pengemis lihay itu berhasil menangkap gandulan bola berduri senjata Tombak
dengan batok kelapanya. Manusia iblis ini merasa tangannya bergetar ketika dia
berusaha melepaskan senjatanya. Tenaga dalam lawan lebih tinggi dari yang
dimilikinya!
"Gila!" maki
Tembesi. Nekad dia kerahkan ruh tenaga dalamnya dan membetot dengan kakek
Pengemis Batok Tongtcat tertawa mengekeh. Aliran tenaga dalamnya tiba-tiba
diputuskan.
Bola besi berduri, lepas dari
cengkeraman batok dan tanpa dapat diperhitungkan atau dihindari lagi oleh
Tembesi, besi duri itu menghantam mukanya sendiri! Manusia iblis ini menjerit
setinggi langit dan roboh di samping tempat tidur. Selagi meregang nyawa dengan
tangan dan kaki melejang-lejang, Sultan Maut dan Piranti melompat, kaki
keduanya menghantam menginjak perut dan dada Tembesi. Tak ampun lagi nyawa
Tembesi putus detik itu juga. Mati dengan muka hancur, perut jebol dan dada
hancur.
"Kita kembali ke tempat
pesta perkawinan gila itu!" kata Pengemis Batok Tongkat. Ketiga orang itu
segera tinggalkan tempat tersebut.
***
SEBELAS
KETIKA Pengemis Batok Tongkat,
Piranti, dan Sultan Maut sampai di rumah besar milik Pinta Manik yang sedang
jadi "pengantin" pertempuran di sana berlangsung hebat. Baik Singkil
Alit maupun Rangga terdesak hebat.
Kematian Wiracula dan Rah
Tongga sangat mempengaruhi semangat dua manusia iblis yang sedang bertempur.
Yaitu Singkil Alit melawan Pendekar 212 Wiro Sableng dan Rangga menghadapi
Indrajit. Singkil Alit sudah memaklumi tak ada kemungkinan baginya untuk
mengalahkan Wiro Sableng, apalagi saat itu pemuda lawannya itu sudah
mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 yang terkenal angker dan ditakuti dalam
rimba persilatan! Sebaliknya Rangga walaupun yakin dia tidak bakal dapat
dikalahkan dengan mudah oleh Indrajit, namun semangatnya sudah patah lebih
dulu. Berulang kali dia memberi isyarat pada Singkil Alit untuk segera
melarikan diri saja. Singkil Alit alias Harimau Hitam bukannya tidak melihat
isyarat kawannya itu, namun dia belum melihat kesempatan untuk melakukan
sesuatu guna dapat menyelamatkan diri. Pinta Manik yang berada dalam keadaan
mabuk dan duduk di kursi "pengantin" di samping orang hutan betina
yang tak henti-hentinya menguik, jelas tak dapat diharapkan pertolongannya.
Traang! Rantai hitam di tangan
Singkil Alit terbabat putus begitu dihantam Kapak Naga Geni 212! Pucatlah para
pimpinan manusia iblis itu. Tiba-tiba dia berseru, "Tunggu!!"
"Eh, kau mau baca doa
minta ampun sebelum mampus?!" tanya Wiro mengejek.
"Dengar, aku Singkil Alit
alias Harimau Hitam mengaku kalah. Tapi tak ada persoalan yang tak bidsa
diselesaikan. Mari kita berunding!"
"Wiro! Bangsat itu licik!
Lekas tebas saja batang lehernya!" Pengemis Batok Tongkat memberi ingat.
"Tahan!" seru
Singkil Alit. "Bagi kalian mudah saja membunuhku saat ini. Tapi jika mau
berunding itu akan lebih menguntungkan bagi kalian!"
"Apa yang hendak kau
rundingkan! Cara matimu? Kau mau mati cara bagaimana manusia iblis!" ujar
Wiro sambil melintangkan Kapak Napa Geni 212 di depan dada.
"Dengar. Biarkan aku dan
Rangga meninggalkan tempat ini. Semua harta kekayaanku kuberikan padakalian.
Ini kunci kamar rahasiaku. Semus harta itu tersimpan di sana! Ambillah!"
Habis berkata begitu Singkil
Alit lemparkan sebuah anak kunci ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng! Di saat
itulah anak kunci yang dilemparkan mengeluarkan suara seperti meletus dan asap
hitam menggebu menutupi pemandangan!
"Celaka! Aku sudah
memperingatkan!" ujar Pengemis Batok Tongkat.
Wiro juga jadi jengkel melihat
kebodohannya sendiri. Dia kiblatkan kapak saktinya beberapa kali. Sinar perak
menyilaukan berkelebat. Asap hitam lenyap. Tapi Singkil Alit dan Rangga tak ada
lagi di tempat itu.
Karena tak ada seorangpun yang
melihat ke mana kedua manusia iblis itu melarikan diri maka Wiro berseru,
"Dua keparat itu tak mungkin bisa kabur dan lenyap secepat itu. Di tempat
ini pasti ada jalan rahasia! Siapa yang tahu?!"
Seorang pengawal maju ke
hadapan Wiro dan berkata, "Says tahu memang ada jalan rahasia. Tapi tidak
tahu di mana pintu masuknya, hanya tahu jalan keluarnya."
"Bagus! Tunjukkan
padaku!" kata Wiro pula.
"Di luar pagar tinggi
sebelah timur. Kita bisa lewat dari pintu utara . . . ." menerangkan si
pengawal.
"Bagus! Antarkan aku ke
sana!" Wiro segera mengikuti pengawal itu. Ketika si pengawal hendak
menaiki kuda Wiro memegang bahunya. "Tak ada waktu kalau kits harus
berkuda lewat pintu gerbang utara. Dua iblis durjana itu keburu kabur. Kita
harus menuju langsung ke pagar sebelah timur . . ."
"Tapi di situ tak ada
pintu. Tak mungkin memanjat pagar yang begitu tinggi!" kata pengawal.
"Naik saja ke kudamu,
antarkan aku ke jurusan pagar timur yang kau sebutkan itu!"
Ketika kedua orang itu sudah
berada di atas punggung kuda, Pengemis Batok Tongkat memegang lengan Handaka
dan melompat pula ke atas seekor kuda. Sebelum menyusul Wiro dan pengawal dia
berpaling pada Sultan Maut dan berkata, "Sultan, kau dan cucumu serta
Indrajit tetap berjaga-jaga di sini. Bukan mustahil jika dicegat di jalan
keluar dua iblis itu akan kembali ke mari!"
Dari kerumunan orang banyak
terdengar seruan. "Bagaimana dengan iblis yang satu itu? Yang kalian
kawinkan dengan orang utan?!"
"Yang satu itu kalian
punya hak untuk menghukumnya. Kami tidak ikut campur!" sahut pengemis tua.
"Iblis itulah yang telah
membunuh guru dan ketua kami!" tiba-tiba Indrajit berkata keras. "Dia
pantas mati di tanganku!" Lalu pemuda murid perguruan silat Elang Putih
ini mengambil sebilah golok yang tergeletak di lantai.
"Indrajit!" seru
Sultan Maut. "Walau dosanya setinggi langit tapi kau tak bisa membunuh
orang yang berada dalam keadaan mabuk dan tak berdaya!"
Indrajit menyeringai.
"Dia dan kawan-kawannya meracun puluhan tokoh silat tak berdosa ketika
mereka juga berada dalam keadaan tak berdaya. Turut penjelasan yang aku terima
Pinta Maniklah iblisnya yang membunuh guruku selagi mabok! Dia pantas mati
dengan cara yang sama!" sahut pemuda itu. Dia melangkah ke hadapan Pinta
Manik yang duduk di kursi pengantin dalam keadaan meracau mabok. Tanpa
ragu-ragu Indrajit hujamkan goloknya ke perut Pinta Manik. Satu lagi dari enam
iblis Kota Hantu menemui ajalnya.
***
Pengawal itu berhenti di suatu
tempat di hadapan pagar batangan kayu jati yang terletak di timur kota. Dia
berpaling pada Wiro Sableng seraya menduga-duga apa yang hendak dilakukan
pendekar itu lalu berkata, "Lobang jalan keluar rahasia itu terletak di
jurusan pagar ini. Kira-kira dua puluh tombak di dalam rimba. Cukup sulit
mencarinya di malam gelap begini!"
"Di sebelah sana banyak
obor bergantungan. Ambil barang dua buah dan bawa kemari!" kata Wiro. Lalu
sebelum pengawal itu bergerak Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan tangan
kanannya ke arah pagar pohon jati. Sinar putih menyilaukan yang menimbulkan
hawa panas berkiblat. Pagar kayu jati di seberang sana hancur berkeping-keping
dan roboh!
Si pengawal ternganga
menyaksikan hal itu. Handaka menyuruk kaget di samping gurunya. Sedang Pengemis
Batok Tongkat sendiri mendecakkan lidah seraya membatin, "Pukulan sinar
matahari! Sudah lama mendengar baru kali ini menyaksikan sendiri. Pemuda
sableng ini benarbenar memiliki kepandaian luar biasa . . . .!"
Begitu pengawal datang membawa
dua buah obor, orang-orang itu segera meninggalkan kota, menerobos melewati
pagar yang bobol. Kira-kira sepeminuman memasuki rimba belantara di timur kota,
si pengawal menunjuk ke arah sebatang pohon timbul.
"Lihat bagian kanan pohon
itu. Di balik belukar dan rerumpunan alang-alang itu ada sebuah lubang batu.
Itulah jalan ke luar rahasia ...!"
Wiro maju mendekati pohon
timbul, menyorotkan obor di sebelah depan. Memang ada sebuah batu besar di situ
dan pada batu itu terdapat sebuah lobang yang cukup tinggi, sepembungkukan
manusia. Dia menyelidik dengan hati-hati. Tak ada tanda-tanda alang-alang
ataupun semak belukar di sekitar lobang itu telah disibak atau dipijak orang
sebelumnya.
"Mereka belum keluar dari
sini. Mungkin sebentar lagi," katanya memberi tahu pada yang lain.
"Padamkan obor!" Wiro meniup padam obor yang dibawanya. Hal yang sama
dilakukan juga oleh pengawal pengantar. Keadaan dalam rimba itu jadi gelap
bukan kepalang. Namun sesaat kemudian mata mereka mulai biasa. Mereka
berlindung di balik semak belukar di seberang pohon timbul.
Tak lama kemudian Wiro
berbisik. "Mereka sudah mendekati mulut lobang…"
Pengemis Batok Tongkat
mengangguk. Telinganya yang tajam juga memang telah mendengar suara
langkah-langkah kaki mendekat. Kemudian kelihatanlah dua buah tangan menyambak
belukar dan alang-alang. Dua sosok tubuh berpakaian serba hitam keluar dari
dalamlobang. Yang satu berkata, "Keparat! Selamat juga kita sampai di sini
akhirnya…" Yang berkata adalah Singkil Alit.
"Kita selamat tapi
bagaimana dengan semua harta kekayaan kita?" terdengar suara Rangga.
"Saat ini kurasa masih
hidup sudah untung. Lain kali kita buat rencana baru. Kalau
penyerbu-penyerbu keparat itu
sudah pergi kurasa kita bisa kembali ke Kota Hantu untuk mengambil harta
itu…" Singkil Alit putuskan kata-katanya. Matanya melihat ada sesosok
bayangan bergerak dalam gelap. "Siapa itu?" bentaknya seraya siap
melepaskan pukulan tangan kosong sementara Rangga bersiap dengan rantai hitam
gandulan bola besi berdurinya.
Sosok tubuh itu kelihatan
lebih jelas.
"Hai!" seru Rangga.
"Bukankah itu bocah yang ikut para penyerbu di Kota Hantu?!"
"Astaga, memang
dia!" sahut Singkil Alit begitu mengenali Handaka. Kontan suaranya
bergetar dan lututnya goyah. Dalam gelap Rangga sendiri berubah ketakutan
wajahnya.
"Bagaimana bocah keparat
ini bisa berada di sini?!" ujar Singkil Alit.
"Kami yang membawanya ke
mari!" satu suara menjawab. Berpaling ke kanan Singkil Alit dan Rangga
lihat Pendekar 212 Wiro Sableng tegak beberapa langkah di seberang sana. Tangan
kiri berkacak pinggang, tangan kanan mencekal Kapak Naga Geni 212. Di sebelah
kanannya tegak kakek berambut putih berpakaian rombeng yang bukan lain adalah
Pengemis Batok Tongkat. Lalu agak jauh,dari situ kelihatan berdiri seorang
bekas pengawal Kota Hantu. Kedua Iblis ini segera maklum apa yang terjadi Sang
pengawal telah membocorkan rahasia, memberi tahu lobang keluar di dalam rimba
itu!
"Setan alas! Kau yang
berkhianat!" teriak Singkil Alit marah lalu menerkam pengawal penunjuk
jalan. Tapi tubuhnya serta merta terdorong ke samping begitu kakek pengemis
menghantam dengan pukulan tangan kosong. Cepat kepala komplotan manusia-manusia
iblis ini sambar rantai hitam dari tangan Rangga dan menyerbu si kakek dengan
senjata itu.
"Sobat tua, biar aku yang
menghadapi biang iblis ini. Kau layani yang satu itu. Aku tidak lupa pesanmu
agar menyisakan sebagian nyawa keparat ini untuk muridmu!"
Mendengar ucapan Wiro itu
Pengemis Batok Tongkat segera melompat ke arah Rangga sedang Wiro dengan Kapak
Maut Naga Geni 212 menyongsong serangan rantai hitam Singkil Alit!
Gandulan bola besi berduri
lewat di atas kepala Wiro Sableng. Sebaliknya sambaran Kapak Maut Naga Geni 212
juga luput setengah jengkal dari perut Singkil Alit. Sebelum lawan siapdengan
kuda-kuda penyerangan baru Singkil Alit cepat mendahului menyerang dengan
senjatanya. Namun sekali ini kapak sakti di tangan Wiro datang menyapu dari
bawah, menggunting serangan lawan di tengah jalan. Dan Singkil Alit tidak kuasa
untuk manyelamatkan senjatanya dari tebasan kapak. Rantai hitam itu terkutung
dua. Gandulan besinya menancap di pohon timbul, sisanya masih tergenggam di
tangan Singkil Alit.
"Celaka! Aku harus
lari!" keluh Singkil Alit yang merasa tidak punya harapan lagi. Dia
lemparkan potongan besi di tangannya ke arah Wiro lalu memutar tubuh ke jurusan
kiri siap untuk kabur. Tapi gerakannya tertahan. Seperti ada yang menangkap
pergelangan kakinya lalu ada satu gigitan sakit sekali di pahanya. Memandang ke
bawah Singkil Alit dapatkan anak bernama Handaka itulah yang telah melakukannya.
"Budak keparat!"
maki Singkil Alit. Tinju kirinya dihantamkan ke kepala Handaka. Namun pukulan
maut itu tak pernah kesampaian karena di saat yang sama dia merasakan sambaran
angin.
Terdengar suara crass! Bahu
kanannya terasa dingin, lalu ada yang memanasi sekujur sisi kanannya. Ketika
dia memandang ke kanan ternyata tangannya sebelah kanan sebatas bahu telah
putus disambar kapak Wiro. Saat itulah dia baru merasakan sakitnya dan menjerit
kesakitan! Craas!
Kini giliran lengan kiri
manusia iblis itu yang ditebas kapak Naga Geni 212. Tubuh Singkil Alit
menggigil panas oleh hawa dan racun kapak yang mulai bekerja. Dia tersandar
terhuyung-huyung ke sebatang pohon, lalu melosoh jatuh ke tanah.
Wiro dekati Handaka lalu
angsurkan Kapak Naga Geni 212 pada si anak seraya berkata, "Selesaikan
urusanmu dengan manusia yang telah membunuh ayahmu!"
Handaka tampak ragu-ragu.
Bukan saja dia merasa angker melihat senjata yang diangsurkan kepadanya itu,
tetapi juga merasa senjata itu terlalu besar baginya dan tentu berat sekali.
Tetapi ketika Wiro menarik tangannya dan memegangkan kapak ke tangannya,
Handaka terkejut.
Senjata mustika yang begitu
besar ternyata enteng sekali. Seolah-olah dia hanya memegang sebilah pisau
besar biasa. Mendapatkan kenyataan ini maka tetaplah hati Handaka. Sekilas
terbayang olehnya saat-saat ketika ayahnya mati di tangan Singkil Alit. Tanpa
ragu-ragu Handaka ayunkan Kapak Naga Geni 212.
Singkil Alit mendelik dan
berteriak, "Jangan...!"
Mata kapak menancap tepat di
kening manusia iblis itu. Handaka merasakan tangannya gemetar. Dia seperti tak
kuasa mencabut kapak dari kepala Singkil Alit. Terhuyung-huyung anak ini
melangkah menjauhi pembunuh ayahnya itu yang kini sudah jadi mayat. Wiro usap
kepala Handaka lalu ambil Kapak Naga Geni 212.
"Ayahmu akan tenteram
dalam kuburnya Handaka. Dia pasti tahu bahwa kau telah membalaskan sakit
hatinya!" kata Wiro. Kedua mata Handaka tampak berkaca-kaca.
Sementara itu Rangga talah
menerima beberapa kali pukulan dari Pengemis Batok Tongkat. Tulang iganya
sebelah kiri patah. Pelipisnya sebelah kiri benjut besar dan matanya bengkak
serta mengeluarkan darah. Sadar dia tidak mungkin memperta-hankan diri lebih
lanjut apalagi mengetahui Singkil Alit telah mati maka iblis satu ini tiba-tiba
jatuhkan diri seraya meratap.
"Aku mohon kalian
mengampuni selembar nyawaku yang tidak berharga ini! Aku akan bertobat. Aku
berjanji akan menempuh hidup baik!"
"Siapa yang mau mendengar
ratapan iblis!" kata pengemis tua. "Nyawamu memang tidak berharga
karena itu kau layak mampus!" Lalu Pengemis Batok Tongkat hantamkan
tendangan kaki kanannya ke kepala Rangga. Orang ini mencelat dan terkapar di
antara semak belukar.
Separoh dari mukanya yang
dihantam tendangan hancur mengerikan. Sesaat kesunyian menggantung di tempat itu.
"Kita kembali ke Kota
Hantu . . ." kata Wiro.
"Ya, tapi kau sajalah.
Aku dan muridku harus kembali ke tempat kediaman kami. Urusan kami sudah
selesai ..." jawab kakek pengemis.
"Kalau begitu akupun tak
perlu kembali ke sana ..."
"Kau harus," sahut si
kakek. "Paling tidak untuk memberi tahu Sultan Maut dan yang
lainlainnyaserta semua orang di Kota Hantu bahwa enam manusia iblis telah
menemui kematiannya.
Kau harus ikut mengawasi
keadaan di situ. Bukan mustahil penduduk saling berbunuhanmemperebutkan harta
kekayaan enam iblis yang tertinggal. Bukan mustahil para pemuda memperebutkan
perempuan-perempuan cantik bekas peliharaan manusia-manusis keparat itu. Dan
juga apakah kau tidak ingin menemui kembali gadis bemama Piranti yang cantik
jeiita itu.
Kulihat kau terus-terusan
memperhatikannya: Ha... ha... ha..."
Wiro Sableng merasakan mukanya
merah dan garuk-garuk kepala.
"Hai, jika kau tahu aku
memang memperhatikannya, berarti kau juga mengawasi gadis itu!" sahut
Wiro. "Aku yang muda tidak malu mengatakan kagum pada kecantikannya. Tapi
kau yang tua begini masih tertarik pada jidat licin muka jelita. Ha . . he. .
ha ...."
Murid Sinto Gendang itu
hentikan tawanya ketika dia menyadari bahwa si kakek bersama muridnya sudah
meninggalkan tempat itu. Dia tinggal sendirian ditemani mayat Singkil Alit dan
Rangga. Setelah menimang-nimang sesaat akhirnya pendekar ini mengikuti juga
ucapan si kakek tadi, kembali ke Kota Hantu.
TAMAT