-------------------------------
----------------------------
015 Mawar Merah Menuntut Balas
1
ANAK perempuan berumur delapan
tahun itu berlari-lari kecil sambil tiada hentinya menyanyi. Di tangan kanannya
tergenggam lebih dari selusin tangkai bunga yang baru dipetiknya di dalam
hutan. Saat itu matahari pagi telah naik tinggi.h Si anak mempercepat larinya.
Dia takut kalau kalau orang tuanya mengetahui bahwa dia telah pergi ke hutan
lagi. Tentu dia akan dilecut seperti kemarin.
Baru saja dia memasuki jalan
kecil yang akan menuju keperkampungan, anak perempuan ini dikejutkan oleh derap
kaki kuda yang banyak dan riuh sekali. Dia tak ingin mendapat celaka diterjang
kaki-kaki kuda. Cepat-cepat dia menepi dan berlindung di balik sebatang pohon.
Tak lama kemudian serombongan penunggang kuda lewat dengan cepat. Si anak tak
tahu berapa jumlah mereka semuanya, tapi yang jelas amat banyak dan semua
berpakaian serba hitam, rata-rata memelihara kumis melintang serta cambang
bawuk yang lebat. Tampang-tampang mereka buas bengis. Dan masing-masing membawa
sebilah golok besar di pinggang. Meski rombongan penunggang kuda itu telah
berlalu jauh namun debu jalanan masih beterbangan menutupi pemandangan. Setelah
debu itu sirna barulah si anak keluar dari balik pohon dan berlari
sepanjangjalan menuju ke kampungnya.
Kampung itu terletak di sebuah
lembah subur yang dialiri sungai kecil berair jernih. Sekeliling perkampungan
terbentang sawah ladang yang luas. Saat itu padi tengah menguning hingga
kemanapun mata memandang warna keemasan yang kelihatan.
Anak perempuan itu terus lari.
Dia harus lewat kebun di belakang rumah agar tidak kelihatan oleh orang tuanya.
Kemudian dia akan masuk ke dalam kamar dan menyembunyikan bunga-bunga itu
dibawah kolong tempat tidur. Kemudiannya lagi …. Jalan pikiran si kecil itu
terhenti dengan serta sewaktu dari arah kampungnya terdengar suara hiruk pikuk.
Suara itu bercampur aduk. Ada suara ringkikan kuda, suara teriakan orang
laki-laki, pekik jerit orang-orang perempuan dan anak-anak, lalu suara
beradunya senjata yang sekali-kali diseling oleh suara ringkik kuda yang
membuat kecutnya hati anak perempuan itu.
Ada apakah di kampung? Begitu
si anak berpikir. Hatinya yang kecut membuat larinya terhenti-henti. Satu
perasaan takut memperingatkannya agar jangan pergi ke kampung, jangan pulang.
Namun kaki-kaki yang kecil itu terus juga bergerak meskipun dalam
langkah-langkah perlahan. Dilewatinya kebun di belakang rumah dan sampai di
sebuah gubuk reyot. Gubuk ini adalah tempat ayahnya menyimpan segala
barang-barang rongsokan.
Justru di sini anak tersebut
menghentikan langkahnya. Sekujur tubuhnya gemetaran, parasnya yang tadi
kemerahan karena berlari saat itu berubah menjadi pucat pasi karena ketakutan.
Dia ingin berteriak, dia ingin menangis tapi mulutnya terkancing oleh rasa
takut yang amat sangat. Di samping rumah dilihatnya ayah serta kakak
laki-lakinya tengah berkelahi melawan dua orang berpakaian serba hitam. Agaknya
kedua orang berpakaian hitam itu tidak sanggup menghadapi ayah dan kakaknya
karena dalam waktu yang singkat keduanya roboh mandi darah, Namun pada saat itu
muncullah tiga orang penunggang kuda bertubuh kekar bertampang ganas. Salah
seorang dari ketiganya memaki dan melompat dari punggung kuda, langsung
menyerang ayahnya. Dua kawannya yang lain menyusul dan saat itu juga terjadilah
perkelahian dua lawan tiga. Tiga manusia bertampang ganas itu ternyata amat
tinggi ilmu silatnya karena tak berapa lama kemudian si anak mendengar jeritan
ayahnya. Senjata di tangan salah seorang lawan telah membabat dada ayahnya
hingga laki-laki itu tersungkur dan tak bisa bergerak lagi, diperhatikannya
bagaimana kakaknya menjadi kalap oleh kematian ayahnya lalu mengamuk hebat.
Tapi nasibnya juga malang karena dua senjata lawan berbarengan mampir di perut
serta di pundak kakaknya. Salah seorang dari manusia-manusia jahat itu lalu
membakar rumah orang tuanya. Pada saat api berkobar hebat, dari pintu belakang
keluar dua orang perempuan. Mereka lari ke arah kebun. Keduanya adalah ibu dan
kakak perempuan anak kecil yang berdiri disamping gubuk. Si anak hendak
berteriak memanggil ibunya tapi tak jadi. Salah seorang dari tiga manusia jahat
itu rupanya berhasil melihat kakak perempuan dan ibunya, lalu berseru keras dan
mengejar.
"Ha-ha! Ternyata ada
isinya juga rumah ini!" Mendengar seruan itu salah seorang kawannya
berpaling. Begitu melihat dua orang perempuan melarikan diri dia segera ikut
menyusul mengejar.
"Bagianku yang muda,
Tunjung!" seru laki-laki yang paling depan. Sebentar saja dia berhasil
mengejar si gadis, merangkulnya dan menciuminya dengan penuh nafsu. Gadis itu
menjerit dan meronta. Ibunya coba memberikan pertolongan namun tubuhnya sendiri
kemudian tenggelam dalam dekapan tangan-tangan kasar. Seperti anaknya, diapun
diciumi secara buas!
"Bagus sekali perbuatan
kalian!" satu bentakan terdengar. Yang membentak ternyata adalah laki-laki
ketiga yang tadi telah membunuh ayah anak perempuan kecil di dekat gubuk reyot.
"Aku sudah bilang setiap perempuan cantik di kampung ini menjadi milikku
dan tak boleh diganggu!"
Kedua laki-laki itu berpaling,
seorang diantaranya membuka mulut. "Bayunata! Sudah lebih dari selusin
perempuan di kampung ini kau nyatakan milikmu! Masakan pada sobat sendiri yang
dua ini masih hendak kau ambil?!"
"Heh, sejak kapan kau
berani bicara membangkang terhadapku, Sawier Tunjung?!" gertak lakilaki
yang bernama Bayunata. Sepasang bola matanya yang merah menyorot garang. Mau
tak mau Sawer Tunjung terpaksa melepaskan rangkulannya dari tubuh padat si
gadis. Begitu lepas si gadis hendak melarikan diri tapi Bayunata cepat
mencengkeram bahunya, memutar tubuh gadis itu hingga paras mereka saling
berhadap-hadapan dekat sekali.
"Sawer Tunjung! Ini
adalah gadis yang tercantik di seluruh kampung! Dan kau hendak
mengambilnya!" ujar Bayunata menyeringai dan tertawa gelak-gelak. Kawannya
yang bemama Sawer Tunjung memencongkan mulut lalu meludah ke tanah.
"Kalau tidak dia biar
yang ini saja untukku!" kata Sawer Tunjung seraya menunjuk pada perempuan
berumur sekitar tigapuluh lima tahun yang tengah didekap oleh kawannya yang
bemama Singgil Murka.
"Tidak bisa!"
Singgil Murka memberi reaksi. "Ini punyaku! Sampai saat ini aku belum
dapat satu perempuanpun!"
"Kalian berdua tak perlu
berbantahan! Perempuan itupun harus menjadi milikku!" kata Bayunata.
Memang Bayunata adalah seorang laki-laki bernafsu besar yang tak boleh melihat
perempuan berwajah cantik. Semuanya ingin dimilikinya sekalipun saat itu lebih
selusin dari perempuan-perempuan kampong telah diambilnya.
Singgil Murka dan Sawer
Tunjung menggerutu habis-habisan. Bayunata sebaliknya malah tertawa.
"Kelak kalau aku sudah
mencicipi mereka, kalian bakal mendapat bagian yang lumayan. Jadi tak perlu
menggerutu!"
"Kau keterlaluan,
Bayunata!" ujar Sawer Tunjung.
"Diam!" Bayunata
membentak marah. "Bawa perempuan itu ke kuda dan awas kalau kau berani
mengganggunya!" Bayunata kemudian berpaling pada gadis dalam dekapannya
yang saat itu masih menjerit dan meronta.
"Kau ikut aku, gadis
molek. Tak usah menjerit, apalagi meronta. Kau bakal hidup senang! Mari
…!"
"Tidak, lepaskan aku! Kau
menusia jahanam!"
"Jangan bikin aku
marah," kata Bayunata. Tapi si gadis terus meronta dan memaki.
"Kau ingin aku berbuat
kasar sebelum waktunya?! Baik!" Tangan kanan Bayunata bergerak dan bret!
Robeklah baju yang dipakai si gadis. Dadanya tersingkap lebar. Memuncaklah
birahi Bayunata melihat dada yang padat putih itu. Dilumatnya dada itu dengan
ciuman bertubi-tubi sedang dari mulutnya keluar ucapan, "Dada bagus ….
dada bagus … uh … uh!"
"Lepaskan aku! Manusia
dajal ….!"
Bayunata tertawa mengekeh dan
memanggul tubuh si gadis lalu melompat ke atas kuda. Pada saat itulah anak
kecil yang berdiri di samping gubuk berteriak.
"Ibu …. kakak!"
Namun suara teriakannya itu sama sekali tidak keluar karena satu telapak tangan
berwarna amat hitam dan berkeringatan menutup mulutnya!
"Jangan berteriak anak, jangan
berteriak! Kalau mereka melihatmu, pasti kau dibunuh! Kau tahu tak satu anak
kecilpun yang mereka biarkan hidup di kampung ini!"
Gadis kecil itu berpaling dan
dia hampir jatuh pingsan sewaktu melihat paras orang yang menekap mulutnya.
Paras itu menyeramkan sekali. Seperti paras setan-setan yang pernah diceritakan
oleh kakaknya jika dia mau tidur! Paras itu cuma punya satu mata yaitu di
sebelah kanan sedang mata yang kiri hanya merupakan lobang hitam yang dalam.
Manusia bermuka hitam itu cekung sekali kedua pipinya sedang hidungnya melesak
penyet!
"Jangan takut anak,
jangan takut!" kata manusia bermuka seram. Ketika dilihatnya ketiga
penunggang kuda itu sudah berlalu maka baru dilepaskannya tangannya yang
menekap mulut si gadis cilik.
"Mari ikut aku, anak! Kau
anak manis, tulang-tulangmu bagus. Anak perempuan yang sepertimu ini yang
kucari-cari!"
‘Tidak!" si gadis cilik
meronta ketakutan dan melejang-lejangkan kedua kakinya.
"Kalau kulepaskan kau mau
lari ke mana, anak?!"
"Ibu … ibu … aku akan mengejar
ibu!" jawab si anak.
"Ah … akan mengejar ibumu
dan melawan perampok-perampok jahat itu?!"
"Ya!"
Manusia bermuka hitam seram
yang temyata adalah seorang nenek-nenek itu tertawa mengekeh.
"Sekecil ini kau telah
menunjukkan hati jantan! Bagus! Memang calon muridku harus bersifat demikian!
Dan sampai saat ini kau tidak menangis! Hebat!"
Si muka hitam lalu mendukung
gadis cilik itu dan berkelebat meninggalkan tempat tersebut. Tapi satu bayangan
putih memapas larinya dan satu bentakan mengumandang keras!
"Perempuan muka hitam!
Anak itu sudah ditakdirkan menjadi muridku!"
Sang nenek terkejut bukan main
dan menghentikan larinya.
"Bangsat! Setan alas dari
mana yang berani mengumbar mulut seenaknya terhadapku?!"
2
DI HADAPAN si nenek yang
mendukung tubuh anak kecil itu berdiri seorang kakek-kakek berpakaian putih.
Kumis dan janggutnya panjang menjulai, melambai-lambai ditiup angin. Mengenali
orang yang berdiri di depannya si nenek kembali membentak,
"Munding Wirya Kau
rupa-rupanya yang berani-beranian bicara seenak perutmu terhadapku! Lekas
menyingkir sebelum aku berobah pikiran untuk mencekik batang lehermu!"
Si kakek tertawa perlahan dan
ketuk-ketukan tongkat bambu kuning yang di tangan kanannya ke tanah. Meski
tombak itu besarnya tidak lebih dari sebesar jari tangan, namun hebatnya tanah
yang diketuk terasa bergetar!
"Serahkan bocah itu
padaku, Camperenik! Lalu pergilah dengan aman!" berkata Munding Wirya.
Si nenek yang ternyata bernama
Camperenik menggembung kedua pipinya yang cekung lalu menghentakkan kaki
kirinya ke tanah. Tanah itu bergetar dan melesak! Sekaligus si nenek hendak
menunjukkan bahwa tenaga dalamnya tidak kalah hebat dengan tenaga dalam si
kakek.
"Enak betul bicaramu!
Bertahun-tahun aku berkeliling mencari calon murid yang baik.
Sesudah dapat ada yang mau
memintanya! Puah! Bertempur sampai seribu juruspun aku bersedia
mempertahankannya!"
"Aku tak punya waktu
untuk bertempur dengan manusia macam kau. Serahkan anak itu secara baik-baik
padaku agar kau tidak menyesal tujuh turunan!"
Camperenik tertawa
gelak-gelak.
"Kau mengancam aku,
Munding? Ya?! Puah! Kau andalkan apakah?"
"Kau harus tahu diri
Camperenik. Anak itu tidak sudi ikut dengan kau, kenapa dipaksa?!"
"Lantas apa sangkut
pautmu?!" tukas si nenek. "Sudahlah. Kataku serahkan anak itu. Dia
sudah ditakdirkan untuk jadi muridku!"
"Langkahi dulu mayatku,
baru kau boleh ambil bocah ini!" jawab Camperenik tegas dan ketus.
Munding Wirya usut-usut
janggut putihnya dan geleng-gelengkan kepala.
"Otak tololmu sekeras
batu nenek-nenek pikun! Anak baik-baik itu tidak pantas jadi muridmu! Turunan
baik-baik tak boleh dijadikan murid orang golongan hitam macammu!"
"Menyingkir dari
hadapanku kakek-kakek sialan! Kalau kau masih berani berbacot, hati-hatilah
kepalamu!"
"Begini saja, Camperenik.
Kita suruh saja anak perempuan itu memilih salah seorang dari kita. Kalau dia
mengatakan ikut denganmu, aku akan mengalah dan kau boleh bawa dia."
Camperenik yang bermuka buruk
seram tentu saja tidak mau menerima usul itu karena dia yakin si anak pasti
tidak akan memilihnya.
"Dalam urusan ini tak ada
segala macam janji dan usul! Lekas minggat dari hadapanku!" Munding Wirya
mengusut lagi janggutnya.
"Jadi kau tak mau
menyerahkan anak itu secara baik-baik?!"
"Tidak! Dan kau mau
apa?!" tantang Camperenik.
"Kau akan menyesal!"
desis Munding Wirya. Dia maju selangkah demi selangkah. Tiba-tiba tongkat bambu
kuningnya yang kecil itu disabatkan ke depan ke arah kedua kaki Camperenik. Si
nenek berteriak marah dan melompat setengah tombak. Selagi melayang di udara
kaki kanannya ditendangkan ke muka. Tongkat kuning di tangan Munding Wirya
cepat berputar memapas. Si nenek terkejut. Tak disangkanya gerakan lawan
demikian sebat. Cepat-cepat kakinya ditarik pulang dan ganti menyerang dengan
satu cengkeraman dahsyat ke muka lawan. Namun lagi-lagi dia harus membatalkan
serangannya karena saat itu kembali tongkat lawan menderu memapaki tangannya!
Maklum bahwa sulit baginya
untuk menyerang secara langsung, Camperenik merubah siasat. Dia mulai
melepaskan pukulan-pukulan tangan kosong yang hebat dari jarak lima langkah.
Kali ini si kakek terpaksa tidak bisa mengandalkan terus tongkat bambu
kuningnya untuk menangkis serangan lawan. Dia musti bergerak cepat. Tubuhnya
merupakan bayang-bayang putih kini, menyambar kian kemari. Tongkatnya lenyap
menjadi gulungan-gulungan kuning yang menderu kian kemari menyambar ke tabuh
lawan!
Pertempuran antara si kakek
dan si nenek telah berjalan hampir seratus jurus. Keduanya samasama hebat,
lebih-lebih si nenek muka hitam karena sambil bertempur dia masih terus
mendukung anak perempuan itu di tangan kirinya. Munding Wirya tiba-tiba
berteriak nyaring dan merobah permainan silatnya. Si nenek mendadak sontak
merasa tekanan serangan yang hebat dan gencar. Dalam penasarannya dia berpikir
ilmu silat apakah yang tengah dikeluarkan lawan, yang demikian asing dan hebat?
Ketika dia tak sanggup membendung lebih lama hujan serangan Munding Wirya,
Camperenik segera mencabut senjatanya dari balik pinggang. Senjatanya ini yaitu
seekor ular yang telah dikeringkan menjadi tongkat dan bisa menyemburkan racun
jahat. Di tangan Camperenik ular yang sudah keras kaku itu bisa dibuat demikian
rupa laksana hidup dan menyambar kian kemari!
Munding Wirya sekitar dua
tahun yang lalu telah pernah bertempur dengan Camperenik, karenanya dia sudah
tahu kehebatan senjata lawan dan cepat-cepat menutup jalan pernafasannya. Betul
saja, baru satu jurus bertempur dengan mempergunakan senjata ularnya,
Camperenik tibatiba menekan badan ular dan menyemprotlah racun kuning dari
mulut tongkat ular ke muka Munding Wirya.
Si nenek jadi amat penasaran
melihat lawannya tidak roboh oleh semburan racun tongkat ularnya. Dengan geram
dia merangsak ke depan. Dan terjadilah baku tongkat yang amat seru. Lima puluh
jurus lagi berlalu. Masing-masing mengeluarkan ilmu silat simpanan. Serangan di
balas serangan. Tipu daya dibalas tipu daya pula. Masing-masing mengintai
kelengahan lawan.
"Camperenik!"
Munding Wirya tiba-tiba berseru sewaktu pertempuran memasuki jurus ke tujuh
puluh. "Apakah kau tetap tak mau menyerahkan anak perempuan itu
padaku?!"
"Sekali aku bilang tidak,
sampai nyawaku terbang kenerakapun aku tetap bilang tidak!" jawab si nenek
seraya hantamkan tongkat ularnya ke batok kepala Munding Wirya. Si kakek
miringkan tubuh dan kiblatkan tongkat bambu kuningnya.
"Trang!"
Kedua senjata itu beradu
keras. Masing-masing tangan tergetar hebat dan itu adalah peraduan yang keenam
puluh dua kalinya!
Masing-masing pihak melompat
mundur lalu sama-sama menyerbu kembali. Dua jurus di muka Munding Wirya keluar
dari kalangan pertempuran. Tongkat bambu kuningnya dimelintangkan di depan
dada. Sepasang matanya menatap tajam pada Camperenik.
"Untuk penghabisan
kalinya aku tanya. Kau masih belum mau menyerahkan anak itu?!"
Camperenik meludah ke tanah.
"Jilatlah ludah itu! Baru
aku serahkan anak ini padamu!"
Merahlah wajah Munding Wirya.
Tongkat di tangan kanannya dipindahkan ke tangan kiri. Tubuhnya dibungkukkan ke
depan, sedang jari-jari tangan kanan dikepalkan. Sesaat kemudian kepalan itu
mengeluarkan sinar biru pekat.
Paras Camperenik kontan
berobah. Dia tahu pukulan apa yang bakal dilepaskan lawan. Dan dia tahu pula
bahwa dia tak bakal sanggup menerima pukulan itu!
"Bagaimana,
Camperenik?!" tanya Munding Wirya. "Serahkan anak itu atau kau akan
mati konyol dilabrak pukulan buana biru ini?!"
Mulut Camperenik komat-kamit.
Pelipisnya menggembung. Otaknya bekerja keras. Dia tak bakal sanggup menerima
pukulan buana biru itu. Laripun percuma. Tiba-tiba dia membentak keras,
"Kau mau bunuh aku dengan
pukulan itu?! Baik! Lakukanlah cepat!"
Habis berkata begitu
Camperenik acungkan anak perempuan yang didukungnya di depan tubuhnya! Munding
Wirya jadi kaget terkesiap. Walau bagaimanapun tak mungkin baginya untuk
meneruskan melepaskan pukulan buana biru. Meski Camperenik bakal menemui
kematian, tetapi anak perempuan itu sendiri pasti akan ikut mati bersama-sama
si nenek!
"Keparat betul si
Camperenik ini! Apa yang harus kulakukan?" maki dan pikir Munding Wirya
geram.
"Ayo Munding! Kau tokh
mau bikin mampus aku?! Silahkan lakukan!" Camperenik berteriak dengan
sunggingkan senyum mengejek, membuat Munding Wirya tambah geram.
‘"Kalau kau tak mampu
melakukannya, sebaiknya lekas angkat kaki dari hadapan tuanmu!" ejek
Camperenik lagi.
Tiba-tiba satu bayangan putih
melesat dari samping. Munding Wirya tersentak kaget. Camperenik mengeluarkan
seruan terkejut. Dan tahu-tahu anak perempuan yang diacungkannya terbetot lepas
dari pegangan kedua tangannya! Sesosok tubuh berpakaian putih sementara itu
dengan sebat berlalu cepat dan lenyap.
"Kurang ajar! Edan!"
jerit Camperenik marah lalu hendak mengejar. Namun dari samping satu sinar biru
menderu laksana topan prahara. Nenek-nenek ini terkejut. Munding Wirya temyata
telah melepaskan pukulan “buana biru” begitu si nenek bersikap lengah.
Camperenik menjerit lagi dan membuang diri ke belakang. Nyawanya selamat tapi
angin serangan masih sempat memapas pinggulnya membuat nenek-nenek ini roboh
dan terguling pingsan! Munding Wirya tak menunggu lebih lama, segera dia angkat
kaki mengejar orang yang telah merampas anak perempuan tadi dari tangan
Camperenik!
Di tepi lembah Munding Wirya
masih sempat melihat orang yang dikejarnya lari ke jurusan timur. Dengan
mengandalkan ilmu larinya yang hebat si kakek terus mengejar. Tapi bagaimanapun
diusahakannya tetap saja dia hanya bisa memperdekat jarak sampai tiga puluh
langkah. Kalau saja dia tidak kawatir akan keselamatan anak yang berada di
tangan si penculik, sudah sejak tadi dia melepaskan pukulan buana biru saking
gemas hatinya. Sekali-kali dilihatnya si penculik berpaling ke belakang
seolah-olah mengejeknya. Munding Wirya tidak ingat sudah berapa lama dia
mengejar orang itu sementara matahari sudah condong ke barat dan hari hampir
senja. Dan sampai saat itu dia masih belum mampu mengejar orang yang melarikan
anak perempuan itu. Si penculik sendiri agaknya tidak mau melenyapkan diri dari
pemandangan kedua mata Munding Wirya dan masih terus juga berpaling sekali-kali
ke belakang. Ini menimbulkan tanda tanya besar di hati si orang tua. Siapakah
gerangan adanya orang itu yang demikian hebat ilmu larinya?!
Tepat pada saat matahari
tenggelam diufuk barat, tiba-tiba orang yang dikejar Munding Wirya lenyap dari
pemandangan!
Kakek-kakek itu menghentikan
larinya dan memandang berkeliling. Orang itu tak kelihatan, lenyap laksana di
telan bumi di senja hari itu!
"Benar-benar edan …
!" maki Munding Wirya dalam hati. Sekali lagi diselidikinya tempat sekitar
situ. Tetap dia tak menemukan apa-apa. "Mungkin belum jodohku anak itu.
Tapi betulbetul aneh dan hebat. Siapakah orang yang telah melarikannya
itu?"
Dengan hati kecewa Munding
Wirya menggerakkan kaki melangkah meninggalkan tempat tersebut. Namun satu
langkah dia bertindak tiba-tiba terdengar suara memanggil.
"Orang tua
kemarilah!"
Munding Wirya terkesiap. Dia
mendongak ke atas. Dan astaga! Tepat di atasnya, disebuah cabang pohon besar di
bawah mana dia berdiri, duduk sesosok tubuh berpakaian putih tengah memangku
anak perempuan yang hendak diambilnya jadi murid! Dengan serta merta Munding
Wirya menjejakkan kedua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat dan di lain kejap
dia sudah berada di atas cabang pohon besar di mana orang yang melarikan anak
perempuan itu duduk. Terkejutlah Munding Wirya ketika dia melihat bahwa orang
yang menculik si anak adalah seorang perempuan tua berambut putih jarang. Pada
kulit kepalanya tertancap lima buah tusuk konde. Kulitnya yang hitam kelihatan
lebih hitam karena selempang kain putih yang dikenakannya, ditambah lagi oleh
kegelapan senja yang datang.
"Pantas … pantas. Engkau
rupanya Sinto. Pantas saja aku tak sanggup mengejarmu!". Habis berkata
begitu Munding Wirya menjura dalam-dalam.
Perempuan tua di depannya
tertawa kecil sementara si anak dalam pangkuannya saat itu telah tertidur
nyenyak.
"Empat puluh tahun tidak
bertemu, sekarang kau muncul lagi di luaran. Sungguh satu hal yang
menyenangkan," kata Munding Wirya lagi, lalu dia bertanya. "Kalau aku
boleh tahu, urusan apakah yang membuat kau meninggalkan puncak gunung Gede?
Kudengar kabar kau sudah bertekad untuk mengundurkan diri dari dunia yang penuh
kotor ini."
"Betul … itu betul
sahabatku Munding Wirya. Setelah puluhan tahun mendekam di puncak gunung Gede
tubuh tua rongsokan ini masih belum juga mau mampus! Aku kesal dan kesepian!
Terpaksa iseng-iseng turun gunung melihat-lihat?"
Munding Wirya tertawa
gelak-gelak. Hatinya ingin menanyakan apa sebabnya perempuan tua itu melarikan
si anak perempuan, apakah hendak mengambilnya sebagai murid pula, tetapi si
kakek kemudian membatalkan maksudnya karena dia kawatir perempuan tua itu akan
tersinggung. Siapakah sebenarnya perempuan tua itu? Dia bukan lain Eyang Sinto
Gendeng, guru pendekar 212 dari puncak gunung Gede, tokoh silat yang pernah
merajai dunia persilatan selama berpuluh tahun!
Sambil mengusap kepala si anak
perempuan, Sinto Gendeng berkata,
"Anak bagus. Cerdik,
berani. Aku tak ingin dia jadi murid tokoh jahat golongan hitam. Karenanya
kurampas dari tangan Camperenik. Ini kau ambillah!"
Legalah hati Munding Wirya.
Namun demikian sebagai basa-basi dan peradatan dia berkata, "Jika kau
ingin mengambilnya jadi murid, silahkan kau bawa ke gunung Gede." Sinto
Gendeng tertawa,
"Aku memang mau kembali
ke gunung Gede dan anak ini mempunyai susunan tubuh serta bakat bagus. Tapi
sayang dalam hidupku aku sudah berjanji untuk cuma punya satu murid. Aku tak
bisa mengambilnya. Kuharap kau akan mendidik dan menggemblengnya menjadi gadis
pendekar yang hebat agar dapat membalaskan sakit hati atas apa yang telah
menimpa orang tua dan saudara-saudaranya."
"Jadi kau juga tahu apa
yang telah terjadi di kampung itu, Sinto?" Sinto Gendeng mengangguk
perlahan.
"Kekotoran-kekotoran
macam itu harus dilenyapkan. Dan biarlah anak ini kelak yang bakal menuntut
balas!" Sinto Gendeng mengusap kepala anak perempuan itu sekali lagi lalu
menyerahkannya pada Munding Wirya. Laki-laki tua ini terkejut sekali karena
baru saja si anak berada dalam dukungannya, Sinto Gendeng tahu-tahu telah
berkelebat lenyap dari cabang pohon. Munding Wirya gelengkan kepala dan tarik
nafas panjang. "Tak dapat kuukur betapa tingginya ilmu kepandaian manusia
itu!" Setelah memandang berkeliling sesaat, kakek-kakek inipun melompat
turun dari cabang pohon dan lenyap dalam kegelapan malam.
3
HUTAN Bludak merupakan hutan
yang paling lebat di daerah selatan Jawa Barat. Penduduk yang diam dibeberapa
desa sekitar hutan tersebut menganggapnya sebuah hutan angker yang jarang di
datangi manusia. Menurut penduduk disitu, selain penuh dengan bindtang buas
juga dihuni oleh berbagai macam makhluk halus. Di samping itu hutan Bludak juga
merupakan sarang manusia-manusia jahat.
Di pertengahan hutan yang
angker lebat itulah gerombolan rampok Bayunata mendirikan markas mereka.
Rumah-rumah mereka atau lebih tepat dikatakan pondok-pondok didirikan di atas
pohonpohon raksasa dalam hutan yang keseluruhannya berjumlah hampir dua puluh
buah. Bayunata sengaja mendirikan pondok di atas-atas pepohonan agar jangan
diganggu oleh binatangbinatang buas. Disamping itu juga untuk menjaya jika
sewaktu-waktu terjadi penggrebekan oleh pasukan kerajaan Banten atau Pajajaran.
Selama bertualang malang melintang memimpin gerombolan rampok bersama Singgil
Murka dan Sawer Tunjung, telah dua kali Bayunata diserang oleh orang-orang
kerajaan. Pertama dari Pajajaran dan yang terakhir dari Banten. Meski anak
buahnya banyak yang jatuh menjadi korban, namun Bayunata dan kawan-kawannya
berhasil menghalau prajurit-prajurit penyerang.
Saat itu baru saja memasuki
malam. Di dalam sebuah pondok di atas pohon terdengar sedu sedan tangis dua
orang perempuan. Mereka adalah Galuh Asih dan Ratih, ibu dan kakak perempuan
anak perempuan kecil yang dibawa oleh Munding Wirya. Di dalam pondok itu juga
terdapat lima orang perempuan yang rata-rata berparas cantik. Namun dibalik
paras cantik masing-masing, jelas kelihatan sikap dengki dan bengis. Salah
seorang dari kelima perempuan itu tiba-tiba berdiri dan membentak, "Kalian
ibu dan anak sama-sama keblingernya! Kalian harus berterima kasih tidak dibunuh
oleh Bayunata! Kalian harus bersyukur diambil jadi istri!"
Galuh Asih menyusut air
matanya dan memandang tepat-tepat pada perempuan yang membentak itu, lalu
berkata dengan suara pelahan tapi menusuk tajam.
"Aku dan anakku menangis
karena kami bukanlah manusia-manusia macam kau dan lainlainnya! Kalian
bersyukur jadi perempuan-perempuan peliharaan Bayunata itu urusan kalian.
Jangan coba-coba mempengaruhi kami!"
"Ho-oo! Kau ibu dan anak
mau mengandalkan apakah hendak menolak kehendak Bayunata? Lebih baik menurut
saja! Kalian akan dapat uang, pakaian dan harta perhiasan!"
"Enyahlah dari tempat
ini!" bentak Galuh Asih.
Perempuan yang dibentak cuma
tertawa sinis.
Dikeluarkannya sebuah botol
berisi cairan hitam lalu melangkah kehadapan Galuh Asih.
"Perempuan macammu ini
biasanya mempunyai jalan pikiran lebih baik mati daripada jadi peliharaan
seorang kepala rampok! Inil Minumlah racun ini kalau kau memang mau mati!"
Tiba-tiba pintu pondok terbuka
lebar-lebar dan sesosok tubuh masuk ke dalam seraya membentak.
"Perempuan bangsat!
Berani kau menyuruh Galuh Asih minum racun?!"
Perempuan itu menjerit.
Tubuhnya terbanting ke lantai pondok. Di hadapannya berdiri Bayunata dengan
bertolak pinggang dan mata membeliak.
"Warinah! Sudah sejak
lama kudengar kau berperangai buruk! Menghasut, memfitnah bahkan main gila
dengan beberapa orang anak buahku! Berdiri!"
Warinah, demikian nama
perempuan itu berdiri dengan perlahan. Parasnya sepucat kertas.
"’Bawa sini botol
itu!" bentak Bayunata lalu merampas botol racun dari tangan Warinah dan
membuka tutupnya.
"Sekarang kau sendiri
yang harus meneguk racun ini! Ayo, teguk!" perintah Bayunata.
"Ampun … ampun Bayunata.
Aku, aku tidak bermaksud …"
"Minum cepat!"
teriak Bayunata sementara empat orang perempuan lainnya kawan-kawan Warinah
berdiri di satu sudut dengan ketakutan. Warinah mundur beberapa langkah.
"Minum kataku!"
teriak Bayunata lagi lalu melompat dan, menjambak rambut Warinah. Racun dalam
botol dituangkannya ke mulut Warinah tetapi perempuan itu lebih cepat menutup
bibirnya rapat-rapat!
"Oo … kau tak mau mampus
cara begini hah?! Baik! Aku memang sudah bosan padamu, sudah muak! Lihat, kau
akan mampus dengan cara yang lebih mengerikan!"
Bayunata menangkap pinggang
Warinah lalu melemparkan tubuh perempuan itu keluar pintu pondok! Pondok itu
terletak di atas pohon raksasa yang hampir duapuluh tombak tingginya. Di luar
terdengar pekik ngeri Warinah lalu sunyi tanda tubuhnya telah menemui kematian
di bawah sana!
Di dalam pondok Bayunata
memandang pada empat perempuan kawan Warinah lalu membentak mereka agar
meninggalkan pondok itu! Keempatnya berebutan cepat keluar dan lari sepanjang
jembatan gantung kecil yang terbuat dari tali yang menyambungkan pondok itu
dengan pondok lainnya. Kepala rampok Bayunata memutar tubuh dan memandang ganti
berganti pada Galuh Asih dan Ratih.
"Walau
bagaimanapun," katanya, "bunuh diri adalah perbuatan paling
tolol!"
"Kami mernang tak ingin
bunuh diri! Bebaskan kami dari tempat terkutuk ini!" menyahut Galuh Asih.
"Itu tindakan yang lebih
tolol lagi!" kata Bayunata pula.
"Kau telah memiliki
perempuan-perempuan peliharaan berlusin-lusin. Apakah itu belum cukup? Masih
kurang? Demi Tuhan lepaskan kami!"
"Jangan sebut-sebut nama
Tuhan!" teriak Bayunata marah. "Setiap ada yang menyebut Tuhan selalu
saja aku ditimpa kesialan!"
"Bebaskan kami!"
"Tidak bisa! Kau harus
jadi istriku! Jadi peliharaanku, tahu?! Memang aku punya lusinan perempuan di
sini. Aku sudah bosan dengan mereka semua! Kau musti tahu setiap perempuan
berbeda! Punya keistimewaan sendiri-sendiri!" Dan habis berkata begitu
Bayunata tertawa gelakgelak. Dia melangkah ke pintu dan berteriak. Seorang anak
buahnya datang dengan cepat.
"Bawa gadis itu ke
pondokku! Usir perempuan-perempuan yang ada di sana dan jaga dia baikbaik! Awas
kalau kau berani berbuat kurang ajar!"
Dalam keadaan menjerit-jerit
Ratih dipanggil oleh anggota rampok itu. Ketika hendak dibawa pergi Galuh Asih
cepat menghadang.
"Lepaskah dia! Lepaskan
anakku!"
"Jangan tolol Galuh
Asih!" bentak Bayunata seraya menarik lengan perempuan itu kemudian
sekaligus dirangkulnya. Galuh Asih memekik dan menangis keras sewaktu anak
gadisnya lenyap diluar pintu.
Bayunata menutup pintu pondok
dan tegak menunggu sampai tangis Galuh Asih mereda. Bila perempuan itu tampak
agak tenangan sedikit dia melangkah mendekati.
"Kau tak usah kawatir akan
keselamatan diri anakmu …"
"Pergi! Jangan dekati
aku! Jangan jamah tubuhku!"
"Oh, begitu? Apakah kau
mau aku memanggil sepuluh anak buahku dan menjamah sekujur tubuhmu
sekaligus?!"
"Bangsat! Demi Tuhan
matilah kau!" teriak Galuh Asih lalu melompat dan memukulkan kedua
tinjunya kemuka Bayunata.
Dengan mudah kepala rampok
hutan Bludak itu menangkap kedua lengan Galuh Asih dan dilain kejapperempuan
itu sudah tenggelam dalam rangkulannya. Ciumannya bertubi-tubi. Galuh Asih
melejang meronta-ronta berusaha melepaskan diri namun sia-sia saja malah lambat
laun tenaganya semakin mengendur dan dia tak berdaya apa-apa sewaktu Bayunata
membaringkannya di atas kasur jerami kering. Kekuatan perempuan ini timbul
kembali sewaktu Bayunata mulai menanggalkan pakaiannya dengan kasar. Keduanya
bergumul berguling-guling dan pada akhirnya Galuh Asih kembali menyerah
kehabisan daya! Dia hanya meramkan mata, tak bisa menolak sewaktu Bayunata
meneduhi tubuhnya. Galuh Asih tiba-tiba menjerit keras ketika dirasakannya
bulu-bulu dada kepala rampok itu menggeremangi buah dadanya. Dia menjerit
sekali lagi, sekali lagi lalu pingsan di bawah tindihan tubuh laki-laki
terkutuk itu!
Sepeminuman teh lewat.
Bayunata dengan tubuh
keringatan dan terhuyung-huyung melangkah ke pintu. Dibukanya pintu itu. Untuk
beberapa lamanya dia berdiri memandangi kegelapan. Disekanya peluh yang
berciciran dikeningnya. Dia berpaling kebelakang. Galuh Asih terbujur diatas
kasur jerami dalam keadaan tak berpakaian. Sepasang matanya terpejam. Dada dan
perutnya jelas kelihatan turun naik. Betapa bagusnya tubuh telanjang itu
dipandang demikian rupa. Dan tentu tubuh anaknya yang, masih perawan jauh lebih
bagus dari itu, pikir Bayunata..
Kepala rampok hutan Bludak ini
memalingkan kepalanya, kembali memandang keluar pondok. Dia kemudian berteriak
memanggil dua orang tangan kanannya. Tak lama muncullah Singgil Murka dan Sawer
Tunjung. Bola-bola mata kedua manusia ini membesar sewaktu mereka memandang ke
dalam pondok dan melihat tubuh Galuh Asih yang terbaring telanjang diatas kasur
jerami.
"Sobat-sobatku, kau lihat
pemandangan di dalam sana?!" ujar Bayunata sambil menyeringai dan
menunding dengan ibu jarinya. "Hari ini jangan katakan lagi aku temahak
perempuan! Kalian berdua boleh perbuat apa saja sekarang terhadapnya! Tapi …
jangan main serobotan. Dia masih letih ….!" Habis berkata begitu Bayunata
tertawa mengekeh lalu meninggalkan ambang pintu, meniti jembatan tali yang
menuju kepondok lainnya.
Sawer Tunjung cepat-cepat
melangkahkan kaki masuk ke dalam pondok. Tapi bahunya dipegang oleh Singgil
Murka.
"Mau kemana Sawer? Aku
tokh lebih tua darimu? Aku yang lebih dulu!"
Sawer Tunjung mengeluarkan
suara menggerutu.
"Lagi-lagi soal umur kau
gunakan untuk lebih dulu dapat mencicipi perempuan itu! Sekalisekali aku tokh
boleh saja lebih dulu dari kau?! Aku tak ingin selalu jadi tukang cuci
mangkok!"
Singgil Murka menyeringai
memperlihatkan barisan gigi-giginya yang besar, hitam kotor tak pernah digosok.
"Yang sekali ini lain,
sobat! Betul-betul lain!" desis Singgil Murka tanpa melepaskan bahu
kawannya.
Sawer Tunjung jadi penasaran.
Ditepiskannya lengan Singgil Murka dan berkata keras.
"Justru karena yang
sekali ini lain maka aku yang musti lebih dulu!"
Sementara kedua kawanan rampok
itu bertengkar, perlahan-lahan. Galuh Asih membuka kedua matanya. Dia sadar apa
yang telah terjadi atas diri nya. Mendengar pertengkaran Singgil Murka dan
Sawer Tunjung dia sadar pula apa yang bakal menimpa dirinya. Noda kotor baru
saja menimpa dirinya dan kini kembali kekotoran itu akan jatuh. Galuh Asih
se-olah-olah mendapat kekuatan gaib. Tidak saja perempuan ini bangkit dan
berdiri tanpa memperdulikan keadaan tubuhnya. Dia menjerit keras lalu secepat
kilat lari ke ambang pintu.
"Hai!" Singgil Murka
dan Sawer Tunjung berseru hampir bersamaan. Keduanya melompat ke pintu tapi
terlambat. Tubuh Galuh Asih melayang dalam kegelapan malam. Jeritannya
mengumandang mengerikan. Dan suara jeritan itu dengan serta merta berhenti
sewaktu tubuh perempuan tersebut jatuh dengan keras ke tanah! Kepalanya
rengkah, lehernya patah!
4
BAYUNATA tengah meniti
jembatan gantung yang terbuat dari tali-tali besar, menuju ke pondok di mana
Ratih berada, dijaga oleh dua orang anak buahnya. Pada saat itulah didengarnya
lengking jerit yang mengejutkan di malam pekat itu. Dia membalikkan tubuh dan
samar-samar di kegelapan malam dilihatnya sesosok tubuh berambut panjang tanpa
pakaian melayang jatuh dari pondok di seberang sana. Lamat-lamat terdengar
suara tubuh itu terhampar di tanah lalu sunyi. Dipondok seberang sana Singgil
Murka dan Sawer Tunjung berlarian keluar dan memandang ke bawah. Bayunata
berteriak memanggil kedua orang itu.
"Apa yang terjadi?!"
tanya Bayunata meski dia sudah dapat menduga apa yang barusan terjadi.
"Perempuan itu, Bayu! Dia bunuh diri!" jawab Singgil Murka.
"Kalian biarkan dia bunuh
diri hah?!"
"Kami … kami tengah
bertengkar. Dia tiba-tiba bangkit dari pembaringan dan lari sangat cepat ke
pintu. Kami tidak sempat mencegahnya!" jawab Sawer Tunjung.
Geraham-geraham Bayunata
berkeretakan. "Kalian memang kerbau-kerbau dogol yang tidak tahu diri!
Berlalu dari hadapanku!" sentak Bayunata.
Singgil Murka dan Sawer
Tunjung segera meninggalkan tempat itu. Mereka turun ke tanah untuk menyuruh
urus mayat Galuh Asih dan juga mayat Warinah yang sebelumnya telah dilemparkan
oleh Bayunata. Bila kedua pembantunya itu telah berlalu, Bayunata meneruskan
meniti jembatan gantung dari tali menuju ke pondok di hadapannya.
"Kalian boleh
pergi," kata kepala rampok ini pada dua orang anak buahnya yang mengawal
dipintu.
Bila Bayunata membuka pintu
pondok maka kelihatanlah gadis itu berdiri di sudut ruangan tengah menangis
tersedu-sedu. Pondok itu adalah tempat kediaman Bayunata. Selain paling besar
juga di dalamnya terdapat perabotan-perabotan yang serba mewah.
"Hentikan tangismu.
Sekarang bukan waktunya lagi untuk menangis terus-terusan." kata Bayunata
seraya menutupkan pintu pondok.
Dari sebuah rak kayu jati
diambilnya dua seloki besar. Seloki-seloki itu diisinya sampai setengahnya
dengan anggur harum.
"Minumlah, kau tentu
haus," kata si kepala rampok dan mengacungkan seloki yang di tangan
kanannya ke muka Ratih.
Si gadis memandang seloki itu
seketika lalu mengambilnya dan dengan tiba-tiba anggur di dalam seloki
disiramkannya ke muka Bayunata.
Kepala rampok itu undur
beberapa langkah. Dia mengerenyit. Kedua matanya yang tersiram anggur terasa
perih. Setelah menggosok-gosok kedua matanya itu beberapa lama sehingga rasa
perihnya hilang, Bayunata duduk ke sebuah kursi. Untuk pertama kalinya dia
tidak menjadi beringas marah diperlakukan seperti itu. Dipandangnya Ratih
dengan kedua matanya yang merah dan perlahan-lahan diteguknya anggur dalam
seloki.
"Gadis galak, kau memang
pantas jadi istriku! Terangkan siapa kau punya nama."
Jawaban dari Ratih adalah
bentakan keras. "Keluarkan aku dari sini! Keluarkan!" Bayunata
tertawa perlahan.
"Setiap perempuan yang
kubawa kemari selalu berteriak minta dikeluarkan, minta dibebaskan! Mereka
harus tahu bahwa sekali mereka masuk ke sini tak mungkin keluar, tak mungkin
bebas! Kecuali kalau mereka mencari jalan tolol bunuh diri!" Dan Bayunata
hendak menerangkan tentang kematian Galuh Asih kepada gadis itu, tetapi
maksudnya itu kemudian dibatalkan.
"Hentikan tangismu.
Jangan bikin aku muak dan marah." Bayunata berkata bilamana Ratih masih
dilihatnya menangis.
Sebagai jawaban Ratih
melemparkan seloki di tangan kananpya. Dengan tangan kirinya Bayunata menangkap
seloki itu. Ditimang-timangnya benda itu seketika lalu berkata,
"Aku berjanji tidak akan
memperlakukan kau seperti perempuan lain sebelumnya. Aku tidak akan
menyakitimu."
"Persetan dengan
ucapanmu!" tukas Ratih. "Keluarkan aku dari sini. Juga ibuku!"
Kembali Bayunata tertawa
perlahan. Seloki dikedua tangannya diletakkannya di atas sebuah meja kecil lalu
melangkah mendekati Ratih. Di lain pihak si gadis cepat-cepat menjauh.
"Seorang penjahat memang
tak dapat dipercaya. Tapi kau sekali ini kau musti percaya dengan
ucapanku," dan Bayunata mendekat lagi. Ratih mundur lagi sampai tubuhnya
tertahan oleh pondok.
"Aku tak akan menyakitimu.
Siapa namamu gadis… ?"
Ratih memepet ke dinding.
Tiba-tiba disampingnya dilihatnya sebuah jambangan besar dari kuningan. Tanpa
pikir panjang lagi disambarnya benda itu dan dilemparkannya ke kepala Bayunata.
Melihat sikap Ratih yang keras
demikian rupa meskipun dia telah menghadapinya dengan lembut, kini naiklah
darah si kepala rampok. Sekali tinju saja jambangan besar itu hancur
berkeping-keping.
"Tingkahmu tidak ada beda
dengan kau punya ibu yang sudah mampus bunuh diri!" bentak Bayunata beringas.
Ratih kaget bukan main.
"A … apa?! Ibuku bunuh
diri …?!" tanyanya membeliak.
"Bunuh diri dan
mampus!" jawab Bayunata lalu sekali lompat saja kedua tangannya telah
mencengkeram bahu Ratih. Gadis itu dilemparkannya ke tempat tidur dan
ditindihnya sekaligus. Ratih berguling-guling, meronta dan menerjang untuk
melepaskan tubuhnya dari rangkulan kepala penjahat itu. Namun ini hanya
menghabiskan tenaganya sementara setiap kesempatan yang ada dipergunakan oleh
Bayunata untuk merenggut dan merobek pakaian yang melekat di tubuh sang dara
hingga dalam waktu yang sihgkat pakaian yang melekat di tubuh Ratih sudah tak
karuan rupa lagi. Penuh robek dan terbuka di sana-sini!
Satu kali Bayunata berhasil
menindih tubuh gadis itu. Namun dengan sisa-sisa tenaganya yang ada Ratih masih
sanggup menerjangkan kaki kanan menghantam perut Bayunata. Kepala rampok itu
mengeluh kesakitan. Dijambaknya rambut Ratih. Keduanya terguling dan jatuh di
lantai pondok. Benturan yang keras pada belakang kepalanya dilantai membuat
pemandangan Ratih berkunang-kunang dan tenaganya semakin lemah sedang jambakan
Bayunata masih lengket dirambutnya dengan keras.
Ratih tahu dia tak dapat
bertahan lebih lama.
Mungkin sudah menjadi takdir
bahwa dirinya akan ditimpa kecemaran terkutuk begitu rupa. Air mata berderaian
meleleh pipinya. Nafas Bayunata menghembus panas diwajahnya. Dirasakannya
jari-jari tangan laki-laki itu membuka lilitan kain ditubuhnya. Dirasakannya
tangan yang lain dari Bayunata menjalar meremas dadanya. Ratih menangis keras.
Usaha terakhir yang bisa dilakukannya ialah merapatkan kedua kakinya
sedapat-dapatnya. Dan inipun gagal karena Bayunata dengan mudah sekali
menyibakkan kedua kakinya itu!
"Tuhan! Tolonglah hambamu
ini!" Ratih memohon jauh dilubuk hatinya.
Dan pada saat itu pertolongan
Tuhan benar-benar datang!
Pintu pondok tanpa suara
sedikitpun tiba-tiba terbuka. Juga tanpa suara sesosok tubuh bergerak cepat
masuk ke dalam. Bayunata merasakan kedua pergelangan kakinya dicengkeram. Dan
sebelum dia tahu apa yang terjadi, mendadak sontak tubuhnya telah dibantingkan
ke lantai pondok!
5
BAYUNATA adalah seorang kepala
rampok yang berilmu tinggi. Begitu tubuhnya terbanting keras ke lantai dia
sanggup bangun kembali dengan gerakan kilat seraya melepaskan satu tendangan ke
arah mana sudut matanya melihat sosok bayangan putih yang barusan masuk. Yang
diserang nyatanya bukan seorang yang berkepandaian rendah pula, karena
tendangan kilat Bayunata berhasil dielakkannya dengan miringkan tubuh ke
samping kiri. Di lain kejap kedua orang itu telah berdiri berhadap-hadapan.
"Bangsat rendah! Siapa
kau?!" bentak Bayunata.
Di hadapannya berdiri seorang
pemuda berbadan tegap. Baju putihnya tidak dikancing hingga kelihatan dadanya
yang lebar bidang. Pemuda ini berdiri bertolak pinggang. Rambutnya yang menjela
bahu bergoyang-goyang ditiup angin yang berhembus dari pintu.
"Jika saja aku bertindak
bukan atas nama orang lain, sudah kupecahkan kepalamu, Bayunata!" kata si
pemuda.
"Kurang ajar! Kutekuk
batang lehermu, bangsat haram jadah!"
Bayunata menggembor lalu
berkelebat dengan sepuluh jari tangan terpentang. lniiah gerakan yang dinamakan
"sepasang lengan baja meminta jiwa." Selain cepat serangan ini
menimbulkan angin yang luar biasa derasnya.
Pemuda ditengah ruangan
cepat-cepat menyingkir sewaktu dilihatnya sepuluh jari lawan dengan amat cepat
menyambar ke batang lehernya. Namun tak terduga begitu dia berhasil mengelak,
sepasang lengan lawan laksana palu godam tiba-tiba membabat ke kepala dan
pinggang! Si pemuda membuang diri ke samping. Tangan kiri menekan lantai sedang
kaki kanan berkelebat ke atas menendang ke arah salah satu lengan Bayunata! Ini
adalah satu gerakan yang sukar dilakukan. Tetapi si pemuda bersikap seolah-olah
gerakan itu adalah gerakan main-main! Ini memb’uat Bayunata penasaran setengah
mati. Dia bertekad untuk membuntoh pemuda tak dikenal itu saat itu juga.
Disambarnya golok besar di kaki tempat tidur. Sesaat kemudian senjata yang
beratnya hampir duapuluh kati itu sudah lenyap menjadi sinar putih yang
berkiblat ganas ke arah tubuh pemuda berambut gondrong!
Pemuda yang diserang amat
terkejut. Belum pernah dia melihat permainan golok yang demikian hebat. Selain
golok itu besar dan berat serta mendatangkan angin deras, sekali berkiblat
senjata ini telah menebar tiga tabasan dan empat tusukan ke arah tujuh bagian
tubuh si pemuda!
Dalam tempo yang singkat
pemuda itu dibikin sibuk dan terdesak hebat. Golok lawan menyambar berputar
menderu-deru. Beberapa kali hampir saja membuat dirinya celaka. Ketika dia
mempunyai kesempatan si pemuda menyambar pakaian Bayunata yang tercampak di
lantai. Pakaian itu diputar-putarnya dan digunakan untuk menghadapi lawan.
Bayunata merasa dianggap enteng, apalagi pakaian yang tangan si pemuda adalah
miliknya sendiri. Permainan goloknya diperhebat namun dia harus berhatihati
karena meskipun cuma sehelai pakaian namun di tangan si pemuda benda itu
berobah menjadi satu senjata yang berbahaya.
Golok Bayunata membabat ke
dada, membalik memapas ke lambung kiri pemuda berambut gondrong. Di lain pihak
pakaian di tangan si pemuda meluncur berputar-putar, menyusup di bawah golok
lawan lalu sekali benda itu disentakkan, seluruh badan golok tahu-tahu telah
terlibat!
Bayunata berseru kaget.
Cepat-cepat goloknya dibetot. Tapi apa yang terjadi ialah senjatanya itu tahu-tahu
sudah terlepas dari tangannya! Bayunata berteriak marah. Dia menerjang ke muka
dengan melepaskan satu pukulan sakti. Namun sebelum hal itu sempat
dilaksanakannya si pemuda lebih cepat menghantamkan telapak tangan kanannya ke
kening kepala penjahat itu. Tak ampun lagi Bayunata terpelanting dan jatuh
punggung di lantai, tak sadarkan diri! Keningnya yang bekas dipukul kelihatan
berwarna hitam, di situ tertera pula tiga barisan angka berwarna putih, angka
212!
"Pergunakanlah seperai
tempat tidur untuk menutup pakaianmu!" kata pemuda berambut gondrong pada
Ratih.
Bila si gadis sudah menutupi
tubuhnya yang hampir keseluruhannya bertelanjang bulat itu dengan kain seperai
maka si pemuda berkata lagi, "Kita harus meninggalkan tempat ini."
"Kau musti membunuh
manusia itu, saudara. Kau harus membunuhnya!" kata Ratih.
Si pemuda menggeleng.
"Aku dipesan untuk tidak
melakukan hal itu. Kelak hari pembalasan akan tiba."
"Kalau begitu aku sendiri
yang akan menabas batang lehernya!" kata Ratih. Dia membungkuk mengambil
golok besar milik Bayunata. Ketika tangannya bergerak hendak melaksanakan
niatnya, si pemuda mencekal lengannya.
"Belum saatnya dia harus
dibunuh, saudari!"
"Kau tak berhak
melarangku! Lepaskan tanganku!"
Si pemuda mengambil golok
besar dari tangan Ratih, melemparkannya ke sudut kamar. "Mari ikut
aku!"
"Tidak! Aku tidak percaya
padamu! Kau juga manusia jahat! Pergi!" Ratih mengangkat tinjunya
tinggi-tinggi, hendak memukul si pemuda.
"Kau terlalu banyak
cerewet!" si pemuda kehilangan kesabarannya. Ditotoknya leher gadis itu.
Dalam keadaan kaku tegang
Ratih kemudian dipangulnya. Namun begitu dia sampai di ambang pintu, dua orang
rampok muncul dengan golok di tangan! Dan tanpa banyak cerita keduanya terus
menyerang si pemuda.
"Bagus! Kalian minta mampus,
marilah lebih dekat!"
Rampok yang pertama berteriak
keras. Tendangan melanda perutnya. Tubuhnya mental keluar pintu. Rampok yang
kedua melengak kaget. Jika begini naga-naganya lebih baik dia angkat kaki.
Namun sebelum hal itu sempat dilakukannya, rambutnya telah kena dijambak. Di
lain detik terdengar kepalanya diadu dengan sanding pintu pondok yang keras.
Rampok itu melosoh dijembatan gantung tanpa nyawa. Si pemuda dan Ratih sesaat
kemudian telah lenyap dari tempat itu.
***
Bukit itu berbentuk bulat.
Tepat di pertengahannya terdapat tanah yang muncung ke atas, juga berbentuk
bulat. Karena bentuknya yang demikian itulah bukit tersebut kemudian dinamakan
bukit Gong.
Pada tanah yang muncung
dipertengahan puncak bukit Gong berdirilah sebuah bangunan kayu jati
berukir-ukir amat bagus. Siapakah yang diam di tempat itu?
Sebelum kita mencari tahu
siapa pemilik atau siapa penghuni pondok tersebut marilah kita ikuti perjalanan
Ratih, gadis yang telah dibawa oleh pemuda berambut gondrong dari hutan Bludak
yang menjadi sarang rampok Bayunata.
Sewaktu fajar menyingsing di
timur, kedua orang itu berada di sebuah anak sungai berair jernih. Si pemuda
menurunkan gadis yang dipanggulnya dan menyandarkannya di sebuah batu besar di
tebing sungai. Begitu totokannya dilepaskan Ratih berkata dengan keras.
"Aku tidak sudi ikut
dengan kau!"
"Oh?" si pemuda
menggaruk kepala. "Jadi kepingin kubawa kembali ke hutan Bludak?!"
"Aku tidak percaya
padamu! Kau harus antarkan aku kembali ke kampungku!" Si pemuda tertawa
perlahan.
"Kalau kau mau kembali,
pergilah sendiri. Aku hanya dipesan untuk menyelamatkanmu, lain tidak."
"Siapa yang
memesan?"
"Seorang kakek-kakek.
Adikmu berada di tempatnya."
"Kau berdusta! Kau hendak
menjebakku!" kata Ratih masih tak percaya.
"Tidak disangka gadis
cantik macammu ini punya hati curiga setengah mati!"
"Aku tidak pernah percaya
pada laki-laki. Apalagi laki-laki dari dunia persilatan!"
"Kelak kau bakal kawin
dengan laki-laki, bukan dengan perempuan!"
Merahlah paras Ratih mendengar
ucapan itu. Si pemuda yang bukan lain adalah Wiro Sableng si pendekar 212
berdiri.
"Aku akan mandi di tepian
sebelah sana," katanya pada Ratih. "Jika kau hendak melarikan diri,
silahkan!"
Ratih tetap duduk tak bergerak
di tempatnya. Diperhatikannya Wiro Sableng melangkah sepanjang tepi sungai dan
menghilang di balik rerumpunan pohon pohon bambu. Walau bagaimanapun hatinya
masih diselimuti kebimbangan. Pemuda itu telah menyelamatkannya dari tangan
kepala rampok Bayunata di hutan Bludak. Dia tak kenal siapa pemuda itu adanya.
Seorang kakek-kakek memesannya untuk menyelamatkan dirinya. Dan si pemuda
menerangkan bahwa adiknya ada bersama si kakek. Siapa gerangan adanya si kakek?
Dan ke mana dia hendak dibawa?
Dia tak bisa mempercayai
pemuda itu begitu saja. Ratih mendengar suara orang terjun ke dalam sungai. Dia
menghela nafas dalam. Ketika dia hendak berdiri barulah disadarinya bahwa saat
itu tubuhnya hanya terbungkus dengan sehelai seperai. Bagaimana mungkin dia
akan melarikan diri dalam keadaan begitu rupa? Dengan mengomel dalam hati dia
duduk di tempat semula. Tak ada jalan lain dari pada menunggu kembalinya si
pemuda dan pasrah ke mana dirinya akan dibawa. Mudah-mudahan saja pemuda
berambut gondrong itu bukan manusia jahat seperti yang dicurigainya.
Tengah dia melamuni nasib
dirinya, Ratih melihat semak-semak di depannya terseruak. Di lain saat dari
seruakan semak belukar itu muncullah seorang pemuda. Pemuda ini bertampang
cakap. Tapi gerak-geriknya menyatakan dia bukan seorang yang berotak sehat.
Baju dan celana yang dipakainya terbalik. Kaki kanan dibungkus dengan kain
hitam yang berbentuk kasut. Dia berdiri dengan kedua tangan diletakkan di atas
kepala, memandang pada Ratih, tersenyum dan mengedip ngedipkan matanya beberapa
kali, lalu tertawa lebar-lebar.
"Inilah! Inilah!"
katanya sambil mengusapusap mukanya, "Inilah gadis yang kucari-cari! Amboi
cantiknya! Aku telah bersumpah hanya akan kawin dengan gadis yang berpakaian
aneh! Hari ini aku telah menemuinya! Amboi! Aku akan kawin! Asyiik…!"
Pada mulanya Ratih merasa
takut terhadap pemuda ini. Tapi melihat sikapnya yang aneh serta edan itu
hatinya jadi geli. Dan pura-pura marah dan membentak.
"Setan gila dari mana ini
muncul pagi-pagi buta?!"
"Amboi! Suaramu merdu
amat!" pemuda itu menyahut. "Tapi dengar dulu dengar dulu
keteranganku. Aku memang gila, otak miring, sedeng sinting keblinger. Tapi aku
bukan setan, bukan jin, bukan pula dedemit, juga bukan iblis. Aku manusia, sama
dengan kau! Bedanya kau perempuan dan aku laki-laki. Bedanya kau berotak sehat,
aku gila. Nah, kau mengerti …. ?"
Mau tak mau Ratih tertawa
mendengar ucapan pemuda itu. "Aku mengerti," katanya.
Dan si pemuda tertawa senang.
"Bagus! Memang calon
istri harus mengerti sifat suaminya! Amboi calon istriiiiiii … !!"
"Pemuda! Kau boleh bicara
lucu. Tapi jangan ngelantur! Siapa bilang aku calon istrimu! Siapa sudi jadi
istri orang gila macammu!"
"Amboi! Aku yang bilang
kau adalah calon istriku! Aku yang bilang. Sudi atau tidak itu urusan nanti.
Kau mengerti?!"
"Tidak! Kali ini aku tak mau
mengerti!"
"Kau harus
mengerti!"
"Tidak!"
"Harus!"
"Tidak!"
"Kalau begitu kau juga
gila sepertiku!" kata pemuda itu lalu tertawa panjang-panjang.
"Berlalulah dari
hadapanku. Lama-lama aku jadi muak melihatmu!" kata Ratih pura-pura marah.
"Soal muak atau tidak tak
usah diperbincangkan. Sekarang aku terangkan satu hal lagi. Tadi kau bilang aku
setan gila yang muncul pagi-pagi butal Dengar dulu … dengar, aku akan
terangkan. Pagi adalah nama waktu. Pagi ya pagi, bukan siang bukan malam. Pagi
nama waktu, bukan binatang bukan manusia, bukan makhluk hidup. Jadi pagi itu
tak mungkin punya mata. Apalagi kalau matanya buta. Pagi buta … lucu sekali!
Memangnya ada pagi yang tidak buta? Pagi ya pagi. Kau mengerti?"
Kembali Ratih tertawa
mendengar kata-kata pemuda sinting itu.
"Amboi kau tertawa! Kau
tambah cantik kalau tertawa. Kedua pipimu jadi merah! Dan betapa nikmatnya
kalau hidungku kubenamkan di kedua belah pipimu itu! Amboi!"
Kalau tadi dia tertawa tapi
kini mendengar ucapan si pemuda kembali Ratih menjadi marah.
"Lancang amat mulutmu!
Dasar manusia tidak berotak, bicaranya kurang ajar!"
"Kalau aku berotak sehat,
masakah aku bicara begitu?" jawab si pemuda. Dia melangkah maju.
"Jangan mendekat!"
sentak Ratih.
"Tidak boleh?"
"Pergilah!"
"Aku akan pergi, tapi kau
musti ikut bersamaku."
"Siapa yang sudi ikut
bersama kau. Orang gila …!"
"Orang gila tidak
selamanya jahat. Ayo kau ikut aku. Kau harus bertemu ayah. Beliau pasti gembira
melihat calon menantunya yang begini cantik, montok dan … "
"Pergi!" bentak
Ratih. "Jangan bikin aku marah! Kalau kau tidak pergi jangan menyesal
kalau…"
"Kalau … kalau … kalau
apa?!" tanya si pemuda.
"Nanti kutampar
mulutmu!"
Si pemuda tertawa lalu
setengah berlari dia datang ke hadapan Ratih dan mengulurkan kepalanya.
"Kau mau tampar aku? Nah tamparlah!" kata pemuda berotak miring itu.
"Plak!"
Karena kesal hatinya Ratih
betul-betul menampar muka pemuda itu dengan keras. Demikian kerasnya hingga
salah satu sudut bibirnya menjadi pecah dan berdarah! Melihat ini Ratih merasa
menyesal dan kasihan. Tetapi sebaliknya si pemuda malah tertawa dan
jingkrak-jingkrakan macam anak kecil.
"Sedap sekali tamparanmu,
gadis manis! Betul-betul sedap! Kelak jika kita dikawinkan aku akan minta agar
ditampari sampai seribu kali olehmu sebagai mas kawinnya! Amboi mas
kawiiiiinnnn …!"
Lagi-lagi Ratih terpaksa geli
melihat tingkah laku dan ucapan pemuda itu.
"Nah, sekarang kau
tertawa lagi. Berarti kau tidak betul-betul marah terhadapku! Berarti kau
sebetulnya kepingin juga ikut bersamaku …! Bukan begitu?"
"Cis! Jangan bicara
ngelantur!" tukas Ratih dengan mencibirkan bibir.
Cibiran bibir itu membuat si
pemuda tertawa membahak. "Kau lucu … kau lucu! Tapi sebelum hari bertambah
siang, sebaiknya kau ikut saat ini juga denganku!"
Habis berkata begitu si pemuda
lantas meraih pinggang Ratih dan memanggul gadis itu dibahu kirinya. Ratih
hendak menjerit memanggil Wiro, namun satu tekanan halus pada punggungnya
membuat dia mendadak sontak tak bisa mengeluarkan suara barang sedikitpun! Si
pemuda temyata telah menotok jalan suaranya dengan cara yang teramat lihay!
Karena tak dapat berteriak,
sebagai gantinya Ratih mempergunakan kedua tangannya untuk mendambun punggung
pemuda itu bertubi-tubi sepanjang jalan.
"Pukullah terus!
Pukullah! Enak sekali rasanya, seperti dipijit-pijit!" kata si pemuda
seraya lari dan tertawa-tawa.
Lambat laun Ratih menjadi
letih sendiri dan sakit kedua tangannya. Si pemuda membawanya berlari laksana
angin, dan sambil tiada hentinya tertawa!
"Kau mau bawa aku ke
mana?" tanya Ratih.
"Aku sudah bilang tadi!
Kau harus ketemu dengan ayahku … "
Ratih menggigit bibir. Kalau
anaknya gila begini macam, tentu bapaknya tujuh kali lebih gila dari dia,
begitu si gadis memikir. Dan nasib apa pula yang bakal menimpa dirinya kelak?
Diamdiam dia teringat pada Wiro Sableng. Akhirnya gadis ini meramkan mata dan
pasrahkan diri pada ketentuan yang sudah ditakdirkan Tuhan.
6
KETIKA Ratih membuka kedua
matanya teryata dia sudah berada dalam hutan. Dan si pemuda masih terus berlari
dengan cepat di selasela pohon-pohon yang tumbuh rapat bahkan kadangkadang dia
melompati semak belukar yang tinggi dan beberapa kali pemuda itu melompat dari
satu cabang pohon ke cabang lainnya membuat Ratih merasa gamang dan memejamkan
matanya kembali.
"Nah kita sampai!"
terdengar si pemuda berkata.
Ratih membuka kedua matanya.
Di hadapannya tampak sebuah gubuk kajang beratap rumbia.
"Ayah! Lihat apa yang
kubawa ini!" si pemuda berseru lalu pintu gubuk yang tertutup langsung
dilabrak hingga menimbulkan suara berisik.
Seorang laki-laki berumur
setengah abad yang berada di dalam pondok dan tengah menimangnimang seuntai
tasbih jadi terkejut.
"Ranata! Apa-apaan kau
ini?" bertanya laki-laki itu dengan suara lantang. Matanya membesar sedang
kulit keningnya mengerenyit.
"Lihat apa yang kubawa
ini, ayah!" kata si pemuda yang ternyata bernama Ranata. Lalu Ratih
diturunkannya dari bahunya dan didudukkannya di atas tikar di hadapan ayahnya.
Sang ayah bertambah heran begitu pakaian yang menutupi tubuh Ratih yang bukan
lain hanya sehelai kain sepereil Dia berpaling pada anaknya dan bertanya.
"Siapa gadis ini?"
"Calon istriku! Calon
menantumu!" jawab Ranata. Lalu dia tertawa gelak-gelak dan menari memutari
Ratih. Sang ayah geleng-gelengkan kepala.
Sementara itu Ratih memandang
berkeliling. Dari luar, gubuk itu buruk dan kecil serta kotor. Tapi bila sudah
berada di dalam ternyata besar dan bagus serta amat bersih.
"Kau ada-ada saja, Rana!
Kau hanya membuat susah orang tua. Gadis siapa pula yang kau culik ini?!"
"Amboi! Aku sama sekali
tidak menculiknya. Pada dasarnya dia sendiri yang mau ikut aku! Silahkan tanya
kalau ayah tidak percaya!"
"Betul?" tanya si
ayah seraya memandang pada Ratih.
Ratih tak menjawab.
"Astaga, aku lupa membuka
totokannya!" kata Ranata. Lalu dijentikkannya satu jarinya. Setiup angin
halus menyambar ke punggung Ratih dan lenyaplah totokan yang membuatnya tak
bisa bersuara.
"Betul kau sendiri yang
bersedia ikut ke sini bersama anakku?"
"Dia dusta!" jawab
Ratih. "Saya dipaksanya!"
Sang ayah menarik nafas dalam
dan mendelikkan matanya pada anaknya.
"Dia yang dusta ayah!
Dusta pada dirinya sendiri!" Ranata berkata. "Buktinya kalau dia tak
sudi di bawa kemari, detik dia masuk di gubuk kita pasti dia angkat kaki
melarikan diri! Dan itu tidak dilakukannya!"
Merahlah paras Ratih. Ranata
tertawa gelak-gelak sedang ayahnya kembali geleng-gelengkan kepala.
"Siapa namamu, anak?
Bagaimana kau bisa sampai di bawa kemari dan kenapa kau berpakaian aneh begini
macam?" tanya laki-laki itu.
Semula Ratih menduga kalau si
anak gila tentu ayahnya tujuh kali lebih gila. Tetapi nyatanya lakilaki itu
amat baik dan bertanya dengan lemah lembut. Ini membuat Ratih bersedia membuka
mulut memberikan jawaban.
"Nama saya Ratih, pak.
Saya berada di tepi sungai tengah menunggu kawan yang mandi sewaktu anak bapak
datang." Lalu Ratih menceritakan sampai dia pada akhirnya diboyong oleh
Ranata ke gubuk itu.
"Kau bikin aku susah
Ranata! Kawan gadis ini pasti akan datang ke mari dan marah padamu!" kata
sang ayah pula.
"Itu memang sudah
sewajarnya dia berlaku begitu," menyahut Ranata dengan nada keren.
"Tapi ayah jangan lupa
akan sumpahku tempo hari. Yaitu bahwa aku hanya akan kawin dengan gadis yang
berpakaian aneh! Dia kutemui di tepi sungai, tubuhnya terbungkus alas tempat
tidur! Masakan aku akan melupakan sumpahku begitu saja?!"
Si ayah lagi-lagi menarik
nafas panjang.
"Soalnya sekarang ayah
harus setuju menerimanya jadi menantu! Harus setuju mengawini aku dengan
dia!"
Sang ayah tertawa rawan.
"Anak orang kau larikan,
lalu meminta aku mengawinimu dengan dia! Otakmu memang miring! Tapi jangan
suruh aku ikut-ikutan miring! Soal kawin bukan soal mainan! Aku harus
berkenalan dulu dengan orang tua gadis ini dan melamarnya secara baik-baik.
Ranata, kau harus tahu diri, nak. Harus ingat manusia macam apa kau adanya!
Jangan bikin malu orang tuamu yang sudah hampir masuk ke liang kubur ini …
"
Butiran-butiran air mata
meleleh jatuh ke pipi laki-laki itu, membuat Ratih merasa terharu dan
ditundukkannya kepalanya. Ketika dia coba mengangkat kepala dilihatnya Ranata
duduk diambang pintu, memandang keluar dengan mata berkaca-kaca. "Jika
kita melamar secara baik-baik, kukira tak seorangpun yang bakal mau menerima
diriku jadi suami! Tak seorangpun mau mengambil aku jadi menantu … " Air
mata berderaian di pipi Ranata. Keharuan semakin mendalam di hati Ratih.
Siapakah ayah dan anak ini
sebenarnya? Ratih memperhatikan lagi paras Ranata. Pemuda ini berwajah cakap.
Cuma sayang pikirannya kurang sehat. Tak terasa tetesan-tetesan air matapun
jatuh berderai di pipi si gadis.
"Eh amboi! Kenapa kau
menangis?!" Ranata bertanya tiba-tiba seraya berdiri.
Ratih menangis bukan karena
haru terhadap dua beranak itu tetapi karena ingat akan kematian ayahnya dan
ibunya yang bunuh diri serta adiknya yang sampai saat ini tak tahu entah berada
di mana.
"Ratih, kau boleh
meninggalkan tempat ini. Berjalanlah ke arah matahari terbit dan kau akan
keluar dari hutan ini tanpa kesukaran. Harap maafkan segala perbuatan anakku
…"
"Tapi ayah!" Ranata
maju ke muka.
"Ranata!" desis si
ayah dengan memandang tajam pada anaknya. Pandangan mata itu penuh wibawa.
"Kataku jangan bikin aku susah. Gadis ini bukan jodohmu. Kelak kau bakal
dapat yang lebih cocok dengan dirimu."
"Kalau begitu … "
Ranata sesenggukan, "lebih baik kau bunuhlah aku ayah!" Ranata lalu
lari ke dalam kamar. Ketika keluar dia membawa sebilah pedang. Sinar terang
berwarna kuning memancar sewaktu pedang itu dicabutnya dari sarungnya. Dia
bersujud di depan ayahnya dan berkata, "Bunuh, bunuhlah aku ayah! Lebih
baik mati dari pada kehilangan gadis itu! Amboi … amboi!"
Dengan air mata berlinangan
sang ayah mengambil pedang dan memasukkannya kembali ke dalam sarungnya.
"Senjata mustika jangan
dibuat main, anakku. Dan jangan bicara segala hal kematian!"
Ranata menggerung lalu
menubruk ayahnya. Kedua beranak itu menangis saling berangkulan. Air mata
runtuh ke pipi Ratih. Sepeminuman teh lewat. Suasana sunyi. Ratih memandang
pada kedua beranak yang kini duduk berhadapan dengan menundukkan kepala. Ayah Ranata
mengangkat kepalanya sedikit. "Ratih, kau tunggu apa lagi. Pergilah …
" Untuk beberapa lamanya gadis itu masih duduk berdiam diri di tempatnya.
"Bapak!" Ratih
berkata tiba-tiba, "aku sendiri sebenarnya yatim piatu. Kampung halamanku
musnah dibakar orang-orang jahat. Memang ada seorang adikku, tapi entah di mana
sekarang. Hidupku tak ubah sebatang kara, luntang lantung di bawa nasib. Aku
hiba melihat keadaanmu di sini. Jika boleh biarlah aku tinggal untuk sementara
di sini guna merawatmu sebisanya … "
Berubahlah paras ayah Ranata.
Si pemuda sendiri tiba-tiba melompat, berteriak keras, berjingkrak-jingkrak dan
tertawa gembira.
"Anak, apakah kau tidak
akan menyesal mengambil keputusan begitu rupa?" tanya ayah Ranata.
Ratih menggeleng dan Ranata
tertawa lagi lebih gembira. Pada saat itu diambang pintu muncullah sesosuk
tubuh.
"Maaf kalau kedatanganku
ini mengganggu kegembiraan orang-orang di sini!" Orang yang baru datang
berkata.
Semua orang berpaling.
7
"WIRO!" seru Ratih
begitu dia melihat dan mengenali orang yang masuk.
"Siapa dia?!" tanya
Ranata dan pada parasnya jelas kelihatan rasa cemburu. Ayah pemuda berotak
miring ini diam-diam meneliti Pendekar 212 Wiro Sableng dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki.
"Kawanku yang sebelumnya
telah kuceriterakan," sahut Ratih.
Wiro memandang pada orang tua
yang duduk di hadapannya. Untuk seketika pandangan mereka saling bentrokan.
Masing-masing merasakan getaran-getaran tertentu dan sama-sama menyadari bahwa
orang yang di hadapan mereka bukan orang sembarangan.
"Orang muda, silahkan
duduk!" berkata ayah Ranata.
"Terima kasih!"
sahut Wiro. Dia menjura memberi hormat tetapi tidak duduk. "Ratih,
bagaimana kau bisa berada di tempat ini … ?"
"Aku yang membawanya,
aku!" Ranata yang menjawab. Wiro mengawasi pemuda ini sesaat. Agaknya ada
yang tidak beres dengan manusia yang satu ini, Wiro berpikir.
"Aku telah memutuskan
untuk tinggal di sini, Wiro." berkata Ratih.
Pendekar 212 Wiro Sableng
terkejut.
"Kau memutuskan untuk
tinggal di sini?" tanya Wiro. "Ini adalah aneh!"
"Amboi, ini tidak aneh!
Dia senang padaku, suka kasihan ayahku dan bersedia tinggal di sini. Bukan
anehl Bukan aneh!"
Wiro tidak perdulikan ucapan
Ranata meskipun hatinya geli melihat tingkah pemuda sinting itu.
"Bagiku adalah tetap satu
keanehan," kata
Wiro sambil memandang pada
orang tua di hadapannya. "Aku sedang mandi di sungai. Tahutahu gadis ini
lenyap dan kutemui berada di sini. Dan tahu-tahu dia memutuskan untuk tinggal
di sini padahal antara kalian sebelumnya tak saling kenal. Bukankah itu aneh
kalau tidak ada apaapanya?"
Si orang tua tertawa kecil
sedang Ranata terusterusan membantah bahwa itu tidak aneh.
"Murigkin aneh, mungkin
juga tidak, orang muda … "
Ranata memotong ucapan
ayahnya, "Tuhan sudah menakdirkan bahwa dia akan tinggal di sini.
Tuhan!"
"Aku sudah katakan, Wiro.
Aku tinggal di sini atas kehendakku sendiri … "
"Dan jangan paksa dia
untuk membatalkan niatnya itul Dia calon istriku! Amboiiii! Calon istriku! Kau
dengar sobat berambut gondrong … ?" ujar Ranata pula menyambung ucapan
Ratih dan sambil bicara itu wajahnya didekatkannya ke muka Wiro.
Paras Ratih kelihatan merah
jengah. Sedang Wiro Sableng kerenyitkan kening. Sambil garukgaruk kepala dia
memandang ganti berganti pada ketiga orang di hadapannya, dan akhirnya pendekar
ini tertawa terbahak-bahak!
"Orang tua, betulkah
kiranya ucapan anakmu ini?!"
"Jangan perdulikan
ucapannya. Kau tentu maklum keadaan dirinya … "
Wiro tersenyum dan anggukkan
kepala.
"Nah, nah! Sekarang
kuharap kau tinggalkan gubuk ini. Calon istriku perlu istirahat!" kata
Ranata. Tangannya ditundingkan ke pintu. Tapi Wiro tak bergerak dari tempatnya.
"Orang tua, apapun yang
terjadi di sini itu bukan urusanku. Tetapi aku telah mendapat satu tugas untuk
membawa gadis ini ke satu tempat."
"Begitu …? Siapakah yang
memberi tugas dan ke mana kau akan bawa gadis ini?"
"Itu tak bisa
kuterangkan," jawab Wiro.
"Aku yakin manusia
gondrong ini bicara dusta!" Ranata berkata sambil bertolak pinggang.
Wiro ganda tertawa mendengar
ucapan itu. "Sobat, kuharap kau bisa mengunci mulutmu sebentar. Aku bicara
dengan ayahmu, bukan dengan kau…"
"Bah … ?!" Ranata
tertawa gelak-gelak. "Kau suruh aku mengunci mulut? Memangnya mulutku ini
pintu? Pintu yang bisa dikunci? Bisa diselot? Bah… ! Tampangmu cukup keren
sobat. Tapi siapa nyana otakmu tidak lebih lumayan dariku!" Dan kembali
Ranata tertawa gelak-gelak.
Wiro penasaran dan
menggerendeng dalam hati.
"Ratih, berdirilah. Kau
musti ikut dengan aku!"
"Jangan paksa calon
istriku!" Ranata membentak marah, dia melangkah ke hadapan Wiro dan
berkacak pinggang.
Sementara itu ayah Ranata
berkata pula, "Kau tak bisa memaksanya, pemuda. Kau tak punya hak untuk
memaksanya!"
"Aku memang tidak, tetapi
tugasku mempunyai seribu macam hak untuk melakukan apa saja untuk kebaikan
gadis ini."
"Tinggal di sini sudah
merupakan satu kebaikan baginya."
"Begitu? Jadi kau juga
telah menganggapnya sebagai calon menantumu? Kurasa orang tua semacammu
mempunyai pikiran yang jernih dan memegang tata cara serta peradatanl Gadis ini
bukan seekor burung yang ditangkap di tengah rimba, lalu dikawinkan dengan
burung yang sudah ada dalam kurungan!"
Merahlah paras si orang tua
mendengar ucapan itu namun di bibirnya tetap tersungging seulas senyuman.
Sebaliknya Ranata marah bukan main. Tinju kanannya diayunkan ke muka Wiro.
"Ranata! Tahan!"
seru sang ayah.
"Biar kuberi hajaran
manusia bermulut lancang ini, ayah! Agar dia tahu rasa!"
Ranata mundur. Dari mulutnya
keluar ucapanucapan gusar.
"Sekarang begini saja
orang muda," berkata si orang tua. "Kita buat perjanjian. Kau hadapi
anakku dalam tiga jurus. Jika kau berhasil mengalahkannya, gadis itu boleh kau
bawa. Sebaliknya jika kau yang kalah, Ratih tetap di sini dan kau musti berlalu
dari gubukkul Bagaimana?"
"Itu perjanjian yang
cukup baik. Tapi aku datang kemari bukan untuk membuat segala macam
perjanjian!"
Ranata tertawa bergelak.
"Nyata sekali
kepengecutanmu, manusia rambut gondrong!" kata Ranata pula.
Wiro pencongkan hidungnya.
"Jika kau hendak
main-main, nantilah aku carikan seorang kawan yang kira-kira cocok menjadi
lawanmu," kata Pendekar 212 pula.
"Jangan sembunyikan
kepengecutanmu dengan ejekan!" kata Ranata tandas disertai dengan
dengusan.
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi
terbakar dadanya. Dua kali dikatakan pengecut sudah sangat keterlaluan. Dia
menunding ke pintu.
"Aku tunggu kau di
luar!"
Ranata tertawa.
"Kenapa musti di luar?
Ruangan ini cukup besar. Dan amboi …, biarlah calon istriku menyaksikan sendiri
bagaimana hebatnyarilmu silatku! Di samping itu ayahku akan menjadi saksi bahwa
dalam pertempuran nanti kau tak akan melakukan kecurangan! Nah, kau sudah siap
rambut gondrong?!"
"Silahkan mulai!"
kata Wiro.
"Amboi, tamulah yang
lebih dulu!" sahutRanata pula.
Wiro meneliti sikap pemuda
itu. Dia sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan sikapnya acuh tak acuh.
"Kau sudah siap?"
"Aku sudah siap dari
kemarin, sobat!" kata Ranata dengan senyum sinis.
"Kalau begitu perhatikan
kepalamu!" seru Wiro. Di dahului dengan suitan nyaring tubuhnya
berkelebat. Tangan kanannya terpentang lurus ke depan lalu cepat kilat membabat
ke arah kepala Ranata. Inilah gerakan yang dinamakan "pecut sakti menabas
tugu".
"Ha … ha Kalau cuma
serangan macam ini tutup matapun aku sanggup mengelakkannya!"
teriak Ranata dan sekali dia
bergerak tubuhnya berkelebat lenyap dan tahu-tahu sesaput angin menderu kepada
Wiro Sableng. Pendekar 212 terkejut sekali melihat cara mengelak lawan. Tadinya
dia hendak susul dengan satu serangan lain namun lagi-lagi dia dikejutkan oleh
serangan balasan yang dilancarkan secara aneh bahkan hampir saja satu jotosan
melabrak dadanya!
"Sekarang jurus
kedua!" terdengar ayah Ranata berkata.
Jurus yang kedua ini Wiro
membuka serangan dengan gerakan "membuka jendela memanah rembulan".
Lengan kiri laksana tongkat baja memukul melintang dari atas ke bawah sedang
tangan kanan mengirimkan satu jotosan kilat ketenggorokan lawan!
Diserang hebat begitu rupa
kembali Ranata keluarkan suara tertawa mengejek. Tubuhnya lenyap lagi dari
pemandangan. Di lain detik Wiro melihat satu tendangan sudah meluncur deras ke
arah kepalanya sedang dua serangannya tadi secara aneh entah bagaimana bisa
dielakkan dengan mudah oleh si pemuda sinting itu! Sebelum kakinya menjejak
tanah yang berarti berakhirnya jurus ke dua, Wiro membentak garang. Sekaligus kedua
tangannya dihantamkan ke depan mengirimkan serangan "kipas sakti
terbuka".
Di hadapannya Ranata
mengembangkan kedua tangannya laksana mau terbang. Lalu dengan sangat tiba-tiba
sekali kedua lengan itu menyusup ke bawah. Wiro sadar meskipun serangannya bisa
menghantam muka lawan namun serangan selusupan dari Ranata tak mungkin pula
dihindarkannya. Pendekar 212 melompat dalam gerakan "gunung meletus batu
melesat ke luar".
"Sekarang jurus
terakhir!" ayah Ranata memberi tahu.
"Dan ini adalah jurus
kekalahanmu, manusia gondrong!" seru Ranata. Tubuhnya merunduk.
Kepalanya diluruskan demikian
rupa seperti hendak dipakai melabrak perut Wiro. Tentu saja ini sasaran yang
empuk bagi Pendekar 212. Lutut kanannya diangkat sedang dari atas tangan
kirinya menderu. Tidak dapat tidak salah satu dari dua serangannya itu pasti
akan m ngenai sasaran!
Namun untuk kesekian kalinya
Wiro dibikin terkejut dan kecewa. Lawannya setenga jalan bergerak ke samping.
Dalam satu gerakan tahu-tahu jari-jari tangan kiri sudah mencengkeram ujung
pakaian Wiro.
"Celaka!" keluh
Wiro.
Segera Pendekar 212 keluarkan
gerakan "orang gila melenggang ke awan" untuk melepaskan diri. Tapi
terlambat.
"Bret!"
Pakaiannya robek.
"Buk!"
Satu tempelak menghantam
bahurlya sebelah kanan. Wiro menggigit bibir menahan sakit. Dengan penasaran
dia hendak menggempur lawan dengan jurus "menepuk gunung memukul
bukit". Tetapi justru pada saat itu si orang tua berseru memberi tahu
bahwa waktu tiga jurus telah berlalu dan berarti berakhirnya perkelahian. Mau
tak mau meskipun gelora amarah menyesakkan dadanya, Pendekar 212 terpaksa
menghentikan gerakannya.
"Amboi … ! Kau kalah
rambut gondrong!" kata Ranata dengan tertawa dan menari-nari.
"Yeah … aku mengaku
kalah!" sahut Wiro. Betapa perihnya mengeluarkan ucapan itu. Betapa
sakitnya menelan kekalahan. Namun itu adalah satu kenyataan. Kenyataan pahit
yang harus diteguknya!
"Dan dengan demikian …
" kata Ranata pula, "Ratih tetap tinggal di sini, kau silahkan angkat
kaki … "
Mulut Pendekar 212 Wiro Sableng
komat-kamit. Tanpa tunggu lebih lama dia segera memutar tubuh.
"Tunggu dulu, orang
muda," terdengar ayah Ranata berkata. "Mungkin ada sesuatu yang bakal
kau ucapkan?"
"Ya, memang ada!"
sahut Wiro tanpa berpaling.
"Katakanlah."
"Mudah-mudahan kau lekas
dapat cucu!" Paras si orang tua kontan menjadi merah. Dia hendak
mengatakan sesuatu tetapi Wiro Sableng sudah lenyap dari pintu sedang Ranata
tertawa gelak-gelak. "Cucu! Amboi dapat cucuuuuuuuu … !"
Siapakah sesungguhnya orang
tua ini? Mengapa memiliki seorang putera yang berotak sinting seperti Ranata
itu? Kita kembali pada masa sekitar delapan tahun yang silam sewaktu kerajaan
Pajajaran berada dalam masa kejayaannya, sewaktu kesultanan Banten masih belum
berdiri. Di antara sekian banyak para menteri istana yang menjadi pembantu
Prabu Pajajaran, seorang diantaranya ialah Citrakarsa, ayah Ranata. Citrakarsa
terkenal sebagai menteri yang baik, penuh tanggung jawab serta jujur. Di
samping itu dia juga memiliki kepandaian silat yang tinggi. Ketika Mapatih
Pajajaran meninggal dunia, Sang Prabu memutuskan untuk mengangkat Citrakarsa
sebagai penggantinya. Namun sebelum pengangkatan dilaksanakan, terjadilah satu
peristiwa hebat menimpa calon Mapatih itu dan keluarganya. Kedudukan Mapatih
Pajajaran sesungguhnya sudah sejak lama menjadi incaran seorang menteri yang
berhati jahat culas. Sewaktu didengarnya bahwa Citrakarsa hendak diangkat
menjadi Mapatih Pajajaran maka disiapkannya satu rencana busuk.
Suatu hari diundangnya
Citrakarsa berikut istri dan anaknya yaitu Ranata ke satu perjamuan. Makanan
dan minuman yang diberikan kepada ketiga orang itu diam-diam dimasukkannya
racun yang bisa membuat seseorang jatuh menderita penyakit gila yang hebat.
Begitulah, sesudah pulang dari perjamuan, Citrakarsa merasakan kepalanya amat
pusing. Dunia ini tampak gelap dan tak karuan. Hal yang sama juga dialami oleh
istri dan anaknya. Satu hari kemudian ketiga beranak itu telah berubah
ingatannya. Kotaraja Pajajaran menjadi heboh sewaktu Citrakarsa dan anak
istrinya berlari-lari sepanjang jalan dalam keadaan setengah telanjang.
Apa yang terjadi atas diri
menterinya itu disampaikan kepada Sang Prabu. Tabib-tabib pandai di datangkan
guna mengobati penyakit Citrakarsa, tapi tiada gunanya. Malah seminggu kemudian
istri Citrakarsa menemui kematian. Mati bunuh diri dengan sebilah keris yang
ditusukkannya sendiri ke tenggorokannya.
Citrakarsa dan Ranata kemudian
melarikan diri ke dalam hutan. Satu tahun kemudian, penyakit yang diderita
Citrakarsa mulai sembuh. Ini disebabkan karena dia mempunyai ilmu yang tinggi
dan kekuatan bathin yang besar. Setelah menjalankan semedi hampir selama
tujuhpuluh hari, tanpa makan dan cuma minum sedikit akhirnya Citrakarsa sehat
seperti semula. Hanya badannya saja kini yang kurus kering tinggal kulit pembalut
tulang.
Beberapa bulan kemudian
meskipun keadaan kesehatannya sudah pulih seperti sediakala tetapi Citrakarsa
tidak mau kembali ke Kotaraja. Dia merasa malu untuk kembali dan berusaha
menekan dendam kesumatnya terhadap Sutawija, yaitu menteri yang telah
mencelakakannya. Di samping itu putera tunggalnya Ranata sampai saat itu masih
belum berhasil disembuhkan. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Citrakarsa
namun tetap saja Ranata menderita penyakit jiwa. Dalam keputus-asaan untuk
menyembuhkan penyakit puteranya akhirnya Citrakarsa menciptakan sebuah ilmu
silat aneh yang khusus diajarkannya kepada Ranata. Meski otaknya tidak sehat
namun pada dasarnya Ranata adalah seorang yang cerdas. Ilmu silat yang
diajarkan ayahnya berhasil dikuasainya secara sempurna dalam tempo hanya tiga
tahun. Masa beberapa tahun kemudian dipergunakannya untuk memperdalam ilmu
bathin, terutama ilmu tenaga dalam di samping ilmu meringankan tubuh.
Adapun ilmu silat yang
diciptakan Citrakarsa berbeda dan terbalik seratus delapan puluh derajat dari
ilmu silat yang ada di rimba persilatan pada masa itu. Gerakan-gerakan dan
jurus-jurus yang dimainkan serba aneh dan terbalik. Itulah yang membuat
hebatnya ilmu silat yang dimiliki Ranata sehingga Pendekar 212 Wiro Sableng
sanggup dipercundanginya hanya dalam tempo tiga jurus!
Matahari bersinar panas
membakar kulit sewaktu Wiro keluar dari hutan itu. Dengan mempergunakan ilmu
larinya yang hebat pemuda ini laksana terbang menuju ke utara. Pada raut
wajahnya jelas kelihatan bayangan ketegangan dan rasa penasaran yang mendalam.
Dalam berlari sampai saat itu ingatannya masih tertuju pada pertempuran yang
telah dilakukannya dengan pemuda gila bernama Ranata. Bertahun-tahun turun
gunung, bertahun-tahun malang melintang di dunia persilatan, belasan macam
musuh dan permainan silat yang telah dihadapinya. Namun baru hari ini dia
dikalahkan cuma dalam tiga jurus!
"Tiga jurus! Betul-betul
edan!" kata Wiro dalam hati. "Ilmu silat apakah yang dimiliki pemuda
itu hingga aku demikian tololnya menerima kekalahankekalahan?! Gila!"
Sambil lari Wiro mengingat
terus. Jurus pertama perkelahian dia telah membuka dengan gerakan "pecut
sakti menabas tugu". Ranata dilihatnya bergerak cepat sekali dan tahu-tahu
dalam satu gerakan silat yang aneh dia telah menyusupkan satu jotosan yang
hampir saja menghantam dada Wiro. Dengan penasaran Wiro menghentikan larinya.
Dia berdiri dan membuat gerakan "pecut sakti menabas tugu ". Gerakan
ini dilakukannya dengan perlahan. Dicobanya mengingat gerakan Ranata waktu
diserang itu. Seharusnya si pemuda membuat gerakan mengelak dari kiri ke
samping kanan. Tapi dia ingat betul Ranata justru membuat gerakan dari samping
kanan ke kiri dan lalu entah bagaimana tahu-tahu dia telah menyusupkan satu
jotosan ke dada. Di sinilah keanehan gerakan Ranata.
Dengan gerakan yang juga
sengaja diperlahankan, Wiro membuat gerakan "menentukan serangan yang
dilancarkannya dalam jurus kedua sewaktu menghadapi Ranata. Pemuda itu membuat
gerakan setengah terhuyung dan lenyap tetapi tahu-tahu tendangannya meluncur ke
kepala dari satu jurusan yang sebenarnya tidak bisa dilakukan dalam ilmu silat
yang wajar. Wiro merenung sejenak. Lalu membuat gerakan "kipas sakti
terbuka". Pada waktu itu Ranata mengembangkan kedua tangannya laksana
seekor burung besar hendak terbang. Dalam ilmu silat wajar gerakan seperti ini
benar-benar satu keadaan yang amat empuk untuk diserang karena bagian dada
sampai ke kaki tiada terjaga. Seharusnya Ranata membuat kuda-kuda pertahanan
dengan menutupkan kedua lengannya di muka dada. Tapi justru dengan cara aneh
begitu rupa Ranata berhasil merobek ujung pakaiannya dengan tangan kiri dan
memukul bahunya dengan tangan kanan!
"Betul-betul edan! Ilmu
silat apa yang dimiliki orang sinting itu!" kata Wiro. Digaruknya
kepalanya berkali-kali. Otaknya berpikir terus. Kembali setahap demi setahap
diingat dan dibayangkanrya gerakan Ranata. Hampir sepeminuman teh memeras
otaknya akhirnya baru Pendekar 212 berhasil memecahkan keanehan dan kehebatan
ilmu silat yang dimiliki Ranata. Dan pendekar ini jadi tertawa gelak-gelak!
Sebenarnya dasar permainan
silat yang dimiliki Ranata tidak ada bedanya sama sekali dengan ilmu silat
manapun. Cuma dalam gerakan-gerakan yang dipakainya, semuanya dilakukan secara
terbalik hingga dengan sendirinya aneh dan sukar di duga. Dan satu-satunya cara
untuk dapat menghadapi ilmu silat seperti itu ialah dengan jalan membuat
gerakan-gerakan silat secara terbalik pula!
***
Bukit Gong. Seperti telah
dituturkan sebelumnya bukit ini berbentuk bulat. Pada pertengahannya terdapat bagian
tanah yang tinggi memuncung ke atas yang juga berbentuk bulat. Bentuknya yang
seperti itulah yang membuat bukit itu dinamakan bukit Gong. Sebuah bangunan
kayu jati berukir-ukir amat bagus berdiri di puncak bukit Gong. Inilah tempat
kediamannya Munding Wirya, orang tua sakti yang telah membawa gadis cilik adik
kandung Ratih. Dan ke sini pulalah Pendekar 212 Wiro Sableng menuju. Wiro
sampai di bukit Gong sewaktu matahari telah jauh condong ke barat. Dia langsung
masuk ke dalam dan menjura di hadapan Munding Wirya.
Di samping si orang tua saat
itu duduk gadis kecil yang kelak akan menjadi muridnya.
"Mohon maafmu, orang tua.
Pesan dan tugas yang kau berikan gagal kulaksanakan. Sesuatu telah
terjadi," kata Wiro.
Munding Wirya meneliti paras
Wiro Sableng, memperhatikan ujung pakaiannya yang robek lalu bertanya.
"Apakah yang telah
terjadi?"
Wiro lalu menuturkan peristiwa
yang dialaminya.
Munding Wirya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Coba terangkan ciri-ciri
orang tua itu," katanya. Wiro menerangkan.
"Tak salah lagi, pasti
dia adalah Citrakarsa," kata Munding Wirya. Diwajahnya menyeruak sebuah
senyum kecil.
"Siapakah orang tua yang
bernama Citrakarsa itu sebenarnya, juga anaknya yang berotak miring tapi
berilmu lihay itu?" tanya Wiro ingin tahu.
Munding Wirya menarik nafas
panjang lalu menjawab,
"Dulu dia adalah seorang
menteri kerajaan Pajajaran. Berilmu tinggi, berotak cerdas, berbudi luhur,
bijaksana serta jujur … " Lalu Munding Wirya menceritakan asal usul sampai
Citrakarsa bersama anaknya melarikan diri dan tinggal di dalam hutan. Mau tak
mau Pendekar 212 merasa terharu juga mendengar kisah yang menyedihkan itu.
"Mungkin sekali, karena
hiba terhadap orang tua itulah Ratih mengambil keputusan untuk tinggal di situ
… " kata Wiro.
"Kurasa demikian …"
menyahut Munding Wirya.
Setelah saling berdiam diri
beberapa lamanya dengan berbisik-bisik Wiro kemudian menerangkan tentang
kematian Ibu Ratih di hutan Bludak.
Munding Wirya mengatupkan
bibirnya rapatrapat dan membelai kepala gadis kecil di sampingnya. "Kelak
hari pembalasan akan tiba bagi manusiamanusia terkutuk di hutan Bludak itu…
" desis Munding Wirya.
"Mungkin ada pesan atau
tugas lain yang harus kulaksanakan sehubungan dengan pertemuanmu dengan guruku
…?" bertanya Wiro.
Munding Wirya menggeleng.
"Jika begitu perkenankan
aku minta diri sekarang. Munding Wirya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
8
DENGAN terpincang-pincang
Camperenik berlari menuju ke selatan. Tepat pada waktu matahari tenggelam,
sampailah dia disebuah sungai dan menyusuri sungai ini ke arah muara. Waktu itu
terang bulan hingga dengan mudah dia bisa melihat jalan yang ditempuhnya dan
dengan mudah pula bisa lari secepatnya. Akhirnya perempuan tua renta ini sampai
juga ke muara. Pada tempat pertemuan air sungai dengan air laut terdapat sebuah
delta subur berbentuk pulau kecil. Di sini berdirilah sebuah bangunan bambu
yang pada puncak atapnya ditancapi dengan sehelai bendera hitam bergambar
kepala burung hantu berwarna kuning. Dengan berenang dan dalam keadaan basah kuyup
Camperenik akhirnya berhasil sampai kebangunan tersebut. Jauh-jauh dia sudah
berteriak .
"Soka! Soka … ! Adakah
kau di dalam?!"
"Buset! Tamu dari manakah
yang berkaok-kaok magrib-magrib begini?!" terdengar suara menyahut. Lalu
pintu bangunan terbuka dan sesosok tubuh keluar terbungkuk-bungkuk.
"Buset! Kau rupanya
Camperenik! Heh, kenapa larimu pincang?!"
"Camperenik sampai di
hadapan laki-laki tua itu dan langsung menangis tersedu-sedu. Air mata berderai
matanya yang cuma satu dan membasahi pipinya yang cekung keriputan.
"Buset, begitu muncul tak
ada hujan tak ada angin kau lantas menangis di hadapanku! Apaapaan kau ini
Camperenik?!"
Teguran itu membuat tangis
Camperenik semakin keras dan rawan.
"Kalau tak ada apa-apa,
masakan aku menangis!" katanya.
Damar Soka, demikian hama
laki-laki tua renta berbadan bongkok itu goleng-golengkan kepala, memegang bahu
Camperenik lalu membimbingnya masuk. Setelah Camperenik duduk disebuah kursi
bambu maka berkatalah Damar Soka.
"Nah, sekarang kau
terangkanlah apa yang membuatmu sampai menangis. Juga terangkan kenapa kakimu
pincang."
Untuk beberapa lamanya
Camperenik tak menjawab dan masih terus menangis. Damar Soka menarik ujung
pakaiannya lalu dengan sikap yang lucu seperti dua orang muda mudi tengah
berkasih sayang, disekanya air mata yang membasahi pipi Camperenik dan dia
berbisik.
"Hentikan tangismu,
Camperenik. Hatiku tak tahan melihat kau menangis. Katakan siapa yang berbuat
hingga kau sampai menangis begini rupa …" Camperenik hentikan tangisnya.
"Sebelas tahun aku
mencari-cari seorang calon murid. Ketika aku akan mendapatkannya, ketika calon
murid itu sudah befada di tanganku, tahu-tahu datanglah Munding Wirya hendak
merebutnya…"
"Dan dia berhasil merebut
calon muridmu itu?" tanya Damar Soka seraya mengusap mukanya.
Baik muka maupun kedua
tangannya berwarna kuning. Sepasang matanya besar hitam, alisnya tebal menjulai
dan hidungnya tinggi bengkok. Bibirnya lebar dan tipip. Keseluruhan parasnya
persis seperti burung hantu. Sudah hampir tujuh tahun Damar Soka mendekam di
muara sungai. Siapa saja yang keluar masuk muara itu terutama kaum nelayan,
diwajibkannya membayar pajak yang dibuatnya sendiri. Dan merekamereka yang tak
mau mematuhi hal itu pasti akan mendapat celaka. Banyak orang yang mengeluh
namun tak seorangpun yang berani turun tangan. Damar Soka berhati sejahat
iblis. Karena itulah dia cukup pantas mendapat gelaran "Hantu
Kuning".
"Tidak, bangsat tua
bangka itu tak berhasil merampas calon muridku. Tetapi ketika aku dan dia
tengah bertempur, sesosok bayangan yang aku tidak kenal telah menyambar calon
muridku dan melarikannya. Aku hendak mengejar, namun Munding Wirya keparat itu
melepaskan pukulan buana biru yang berhasil menyerempet pinggulku hingga lariku
jadi pincang!" dan Camperenik menangis lagi macam anak kolokan.
"Sudahlah, nanti aku akan
beri hajaran pada Munding Wirya …" berjanji Damar Soka seraya membelai
rambut Camperenik.
"Tapi calon muridku itu …
"
"Kita akan cari sampai
dapat … "
"Dan pinggulku yang sakit
ini?" mengajuk Camperenik.
"Ah, aku akan
mengobatinya" jawab Damar Soka. "Coba kau bukalah kainmu … "
kata lakilaki ini dengan tersenyum.
Camperenik dengan sikap
malu-malu dan kegenit-genitan memperlonggar buhul kain yang melekat di tubuhnya
hingga kain itu merosot sampai ke pangkal pahanya.
"Buset … tubuhmu masih
semulus dulu juga," kata Damar Soka pula sambil tertawa mengekeh meskipun
sesungguhnya keadaan tubuh Camperenik telah dibalut dengan kulit-kulit loyo dan
keriput!
Camperenik mencubit lengan
Damar Soka. Damar Soka menangkap lengan nenek-nenek itu lalu menciuminya.
"Genit kau, Soka! Genit!
Obati dulu pinggulku!" kata Camperenik pula seraya menarik
tangannya dan menjiwir telinga
Damar Soka. Laki-laki tua itu tertawa mengekeh dan dengan tangan kanannya
dibelainya pinggul Camperenik yang agak kebiru-biruan. Camperenik menggeliat
kegelian. Darah tuanya hangat. Kulitnya yang lembek berkeriput menjadi bergetar
oleh sentuhan tangan Damar Soka.
"Bagaimana rasanya
sekarang?" bertanya Damar Soka setelah mengusap-usap beberapa lamanya.
"Agak mendingan … Usaplah
terus, Soka. Usaplah terus … " bisik si nenek bermata satu penuh lirih.
Jika saat itu ada orang ketiga
di situ pastilah dia akan merasa amat jijik melihat tingkah laku kedua manusia
tua bangka ini. Dan Damar Soka terus juga mengusap pinggul Camperenik. Bahkan
tangannya kemudian bergerak mengelus perut Camperenik hingga nenek-nenek ini
menggeliat kegelian dan menundukkan kepalanya menggigit tengkuk Darnar Soka.
Damar Soka memekik kecil.
Tangannya lebih berani lagi menyelusur ke bawah pusat si nenek. Carrrperenik
terpekik dan meloncat dari kursinya. Kainnya merosot lepas dan jatuh ke lantai.
Tanpa memperdulikan kain itu dalam keadaan setengah telanjang begitu dia lari
ke dalam kamar. Hidung Damar Soka kembang kempis. Mulutnya komat kamit dan
matanya yang hitam bersinarsinar. Dengan tubuh bergetar dia menyusul masuk ke
dalam.
Camperehik berbaring menghadap
ke dinding membelakanginya. Nafas Damar Soka memburu. Dia duduk di tepi tempat
tidur. Diletakkannya tangannya di atas paha tua itu Camperenik diam saja. Damar
Soka mengelus paha itu. Tiba-tiba Camperenik membalik dan menggigit ibu jari
Damar Soka hingga si tua ini terpekik kesakitan.
"Soka … soka … ",
bisik Camperenik berulang- ulang sambil menggayuti leher laki-laki tua itu ,
dengan kedua tangannya. "Enam bulan aku tidak bertemu kau … Sudah terlalu
lama Soka … Terlalu lama … "
"Ya, terlatu lama …
" berbisik Damar Soka dan tangannya menjalar lebih berani membuat
Carnperenik kelangsatan dan menggelinjang di atas tempat tidur. Dari balik
pakaiannya Camperenik kemudian mengeluarkan sebuah topeng kain. Sewaktu topeng
itu dilekatkannya ke mukanya, wajahnya kini berubah menjadi wajah seorang gadis
yang amat cantik.
Damar Soka tertawa bergumam.
Dari balik pakaiannya dikeluarkannya pula sehelai topeng kain. Begitu dipakai
maka wajahnya yang kuning buruk itu kini berubah menjadi wajah seorang pemuda
tampan. Kedua manusia itu saling pandang sejenak.
"Kau cantik,
Camperenik!"
"Kau gagah! Gagah
sekali!" balas Camperenik. Kedua kakinya bergerak dan sesaat kemudian
tubuh Damar Soka sudah dikempitnya, digelung dan dipeluknya penuh nafsu. Kedua
kakek nenek itu berguling-guling di tempat tidur. Mereka lupa bahwa mereka
sudah tua bangka begitu rupa. Mereka merasa tak beda dengan sepasang muda-mudi.
Camperenik tertawa kecil
sewaktu Damar Suka membuka pakaian yang melekat di tubuhnya. Dengan nafsu
berkobar-kobar dia sendiri kemudian menolong membukakan seluruh pakaian
kakek-kakek itu.
"Enam bulan Soka … enam
bulan … " bisik Camperenik.
"Enam bulen! Buset …
!" balas Damar Soka. Dijambaknya rambut si nenek lalu ditindihnya tubuh
perempuan tua itu!
Dalam dunia persilatan di Jawa
Barat, nama Camperenik dan Damar Soka bukan nama-nama yang asing lagi. Kedua
orang ini sejak masih muda dikenal sebagai manusia kotor yang setiap bertemu
selalu berbuat cabul. Mereka hidup tiada beda seperti suami istri tanpa kawin
syah. Dan sampai tua bangka begitu rupa segala perbuatan cabul itu masih terus
juga mereka lakukan setiap mereka bertemu. Dapat dibayangkan bagaimana kegilaan
mereka melakukan kecabulan itu. Dalam umur tua begitu mereka sengaja
mempergunakan topeng-topeng kain untuk merubah paras mereka menjadi muda
kembali hingga menggelegakkan kobaran nafsu birahi kotor di dalam diri
masing-masing!
Sewaktu matahari tetah tinggi
ke esokan paginya baru Damar Soka terbangun. Disibakkannya lengan Camperenik
yang memeluk pinggangnya. Lalu dengan terhuyung-huyung dia duduk di tepi tempat
tidur. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri tetapi dirasakannya satu pegangan
mencekal lengannya.
Dia berpaling. Dilihatnya
Camperenik telah bangun dan tersenyum kepadanya.
"Kau mau ke mana,
Soka?"
"Bangunlah! Bukankah kita
musti berangkat untuk mencari Munding Wirya dan calon rnuridmu yang dilarikan
itu?"
"Betul. Tapi sekarang
masih pagi," sahut Camperenik pula.
"Buset! Masih pagi
katamul Coba kau lihat matahari telah hampir ke-ubun-ubun."
Camperenik tertawa. Sampai
saat itu keduanya masih mengenakan topeng-topeng kain di muka masing-masing.
"Bagiku masih pagi, Soka.
Bagi kita masih pagi saat ini. Persetan dengan matahari. Munding Wirya bisa
menunggu saat kematiannya. Calon muridku yang hilang tokh pasti akan kita
temukan… " Camperenik menarik lengan Damar Soka dan memeluk tubuh
laki-laki itu kembali.
Nafsu kotor masih belum lenyap
dari tubuh nenek-nenek ini dan membuat Damar Soka kembali ketularan rangsangan
birahi pula.
"Enam bulan Soka … enam
bulan … "
"Tapi bused! Kau mau
bikin aku lumpuh?!" desis Damar Soka. Dan meskipun demikian untuk kesekian
kalinya kembali ditindihnya tubuh Camperenik!
9
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
berhenti di tepi lembah itu. Dia duduk di sebuah batu dan memandang
berkeliling. Bagus sekali pemandangan yang terhampar di bawah lembah. Jauh
disebelah timur kelihatan menjulang puncak sebuah gunung. Di barat menghampar
sawah yang tengah menguning tak ubahnya seperti hamparan permadani raksasa.
Ketika dia memandang ke bawah
lembah tampaklah sebuah telaga yang dikelilingi oleh pohonpohon besar berdaun
rimbun hingga suasana di situ kelihatan sejuk sekali. Wiro berdiri dan
memutuskan untuk pergi ke telaga itu guna mandi agar tubuhnya lebih segar.
Kira-kira dua ratus langkah dari telaga itu, Wiro tiba-tiba mendengar suara dua
orang tertawa gelak-gelak, lalu suara orang terjun ke dalam telaga dan bersimbur-simburan
air.
"Pasti ada sepasang muda
mudi yang tengah mandi di sana," pikir Wiro. Dia bermaksud untuk
membatalkan niatnya pergi mandi karena tak ingin mengganggu pasangan yang
tengah bergembira itu. Lalu didengarnya lagi suara tertawa gelak-gelak. Wiro
tak jadi memutar langkahnya. Suara tertawa itu agak aneh. Bukan suara tertawa
sepasang muda mudi. Akhirnya dengan hati bertanya-tanya dan ingin tahu Wiro
meneruskan langkahnya menuju tepi telaga.
Kira-kira dua puluh langkah
dari tepi telaga, Wiro menyeruakkan semak belukar dan memandang ke depan.
Terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini sewaktu menyaksikan apa yang ada di
hadapannya. Matanya terbuka lebar-lebar, mulutnya menganga. Di situ, di tepi
telaga seorang nenek-nenek tua goyangkan pinggulnya.
"Gila … betul-betul
gila!" kata Wiro dan cepatcepat dipalingkannya kepalanya.
Hampir sepeminuman teh lewat.
Perlahan-lahan Wiro rnemalingkan kepalanya.
"Setan alas!"
Pendekar 212 cepat-cepat memutar tubuh kembali. Semula disangkanya adegan kotor
itu, telah berakhir. Tetapi sewaktu barusan dia menoleh ternyata adegan yang
dilihatnya lebih kotor dan lebih gila lagi. Kalau tadi si kakek yang dilihatnya
berada di sebelah atas kini malah tampak si nenek yang tengah
"memperkuda" laki-laki tua itu sambil tertawa-tawa, sambil
menyeringai-nyeringai!
"Geblek, biar kulempar
mereka dengan umbi keladi hutan ini!", kata Wiro dalam hati. Lalu
dibetotnya sebatang pohon keladi. Ketika hendak dilemparkannya ke arah kedua
insan yang tengah lupa daratan itu, terpikir oleh si pemuda bukan mustahil
kedua kakek nenek itu adalah suami istri. Dan adalah berdosa serta tidak sopan
sekali kalau dia mengganggu kesenangan mereka. Akhirnya dengan memandang ke
jurusan lain Wiro menunggu.
Tak berapa lama kemudian
ketika Wiro memalingkan kepalanya kembali, dilihatnya kedua orang itu terbaring
berdampingan di tanah dan bercakap-cakap dengan suara perlahan. Diam-diam Wiro
melangkah mendekati mereka.
"Kita mandi lagi Soka …
" terdengar suara si nenek.
"Buset! Sebentar lagilah.
Tubuhku masih keringatan … " sahut si kakek dan si nenek tertawa
cekikikan.
"Enam bulan Soka … "
"Sudah, sudah! Jangan
sebut lagi masa itu! Kau mau bikin aku benar-benar lumpuh apa?!" Si nenek
tertawa lagi macam tadi. Lewat beberapa saat si nenek membuka suara kembali.
"Kita cari anak itu dulu
atau pergi ke tempat si Munding Wirya lebih dulu?"
Pendekar 212 Wiro Sableng di
tempat persembunyiannya merasa terkejut sewaktu mendengar nama Munding Wirya
disebut-sebut. Dipertajamnya telinganya lalu didengarnya laki-laki tua yang
dipanggilnya Soka itu menjawab,
"Tempatnya si Munding
sudah jelas. Bagusnya kita datangi dulu dia … "
"Betul, lebih cepat dia
mampus lebih baik. Kalau tidak gara-gara bangsat tua bangka itu pasti calon
muridku tak akan dilarikan orang!"
Wiro mengerenyitkan kening.
Tiba-tiba kedua orang tua renta itu berdiri dan sambil bergandengan tangan lari
ke telaga, terjun ke dalam air dan bergelut lagi seperti tadi!
Sewaktu matahari telah jauh
condong ke barat barulah kedua kakek nenek yang bukan lain Damar Soka dan
Camperenik adanya mengambil pakaian masing-masing, mengenakannya lalu laksana
terbang lari kejurusan timur. Tanpa menunggu lebih lama Wiro Sableng segera
berkelebat mengikuti keduanya. Dari pembicaraan kedua tua renta itu tadi, Wiro
tahu bahwa mereka mempunyai maksud jahat terhadap Munding Wirya.
Tetapi baru saja Pendekar 212
menggerakkan kakinya, dia dikejutkan oleh satu suara yang megap-megap .
"Sau … sauda … ra … tol …
tolonglah … "
Wiro berpaling. Semak belukar
di sampingnya tiba-tiba tersibak dan seorang laki-laki melangkah tertatih-tatih
sambil memegangi dadanya yang berlumuran darah. Pada bahunya ada sebuah kantung
kulit.
"Sau … saudara … "
Laki-laki itu hampir terjatuh menyungkur tanah kalau Wiro tidak memegang
bahunya dengan cepat!
Wiro segera hendak memeriksa
luka di dada laki-laki itu sewaktu tiba-tiba sekali lima orang berpakaian serba
hitam bertampang buas menyeruak dari balik semak belukar. Salah satu di
antaranya mereka memegang sebatang golok yang basah oleh darah. Karena tak
sempat memberi pertolongan lebih lanjut, Wiro segera menotok urat besar di
leher laki-laki yang di hadapannya, membaringkannya di tanah lalu berdiri
dengan cepat.
"Siapa kalian?!"
Manusia buas yang memegang
golok menyeringai.
"Manusia rambut gondrong!
Berlalulah dari sini kalau tak ingin mampus!"
"Hebat sekali
bicaramu!" ejek "Wiro. "Kau menyebut-nyebut soal mampus! Agaknya
kau sendiri yang ingin berpisah nyawa dengan badan!"
"Setan alas! Tak ada
seorang bangsatpun yang boleh bicara kasar terhadap anak buah Bayunata!"
Laki laki itu memutar goloknya dengan sebat.
10
WIRO Sableng keluarkan siulan
nyaring. "Jadi kalian adalah monyet-monyetnya si Bayunata hah? Bagus!
Majulah bersama-sama agar lebih cepat aku bisa merenggut nyawa kalian!"
Sambil berkata begitu Wiro
berkelit mengelakkan serangan golok yang ganas berbahaya. Anak buah Bayunata
menjadi penasaran melihat serangannya mengenai teropat kosong. Secepat kilat
dilancarkannya lagi satu serangan susulan yang lebih berbahaya. Namun saat itu
Wiro telah lenyap dari hadapannya. Sebelum dia sempat mengetahui di mana pemuda
itu berada, satu jambakan telah mencengkeram rambutnya dan di lain kejap
tubuhnya terbanting keras ke tanah!
Perampok itu mengeluh tinggi.
Untuk bebarapa lamanya dia terkapar di tanah tanpa bisa bergerak.
Tulang-tulangnya serasa remuk, pemandangannya gelap. Goloknya telah terlepas
entah ke mana.
"Sret!"
Suara golok dicabut terdengar
susul menyusul. Empat rampok yang lainnya begitu melihat kawan mereka dihajar
demikian rupa, serentak mencabut senjata masing-masing dan tanpa banyak cerita
langsung menyerang Wiro Sableng. Empat golok besar bersiuran, mencari sasaran
di empat bagian tubuh Wiro. Jika serangan itu berhasil dapat dibayangkan
bagaimana Pendekar 212 akan mati dengan tubuh terkutung-kutung. Namun
serangan-serangan tersebut tak akan berhasil, tak akan pernah berhasil. Di
dahului dengan bentakan nyaring, Wiro melompat satu setengah tombak ke udara.
Dua orang penyerang saling bentrokan senjata satu sama lain. Sementara itu dari
atas Wiro berkelebat turun. Kaki kanan dan tangan kirinya menablir serangan.
Dua pekik kematian terdengar.
Rampok yang disam ping kanan terbanting ke tanah dengan kepala rengkah sedang
rampok yang di sebelah kiri melosok dengan dada hancur melesak!
Rampok-rampok yang masih hidup
terkesiap kaget lalu tanpa tunggu lebih lama segera memutar tubuh untuk larikan
diri. Namun masing-masing mereka hanya bisa bergerak sejauh dua langkah, karena
sangat cepat Wiro telah menjambak rambut mereka. Mula-mula hendak dibenturkannya
kepaia kedua rampok itu satu sama lain. Tetapi setelah berpikir sejenak, dengan
menyeringai Wiro melemparkan keduanya ke dalam telaga. Celakanya masing-masing
mereka tidak bisa berenang.
"Tolong!" jerit
mereka sambil menggelepargelepar dalam air. Keduanya laksana gila, berteriak
don menggelepar. Tubuh mereka sedikit demi sedikit mulai tenggelam. Semakin
keras dan cepat gerakan yang mereka buat, semakin lekas tubuh mereka amblas ke
dalam air. Beberapa menit kemudian keduanya lenyap dari permukaan air telaga.
Wiro memutar tubuh dan
melangkah mendapati laki-laki yang menggeletak luka parah. Dibukanya totokan
pada urat di leher orang ini. Darah yang tadi berhenti kini kelihatan kembali
mengucur. Dari mulut orang itu terdengar suara erangan sedang kedua matanya
terpejam. Wiro mengeluarkan bubuk obat dari dalam saku pakaiannya. Darah yang
mengucur tak lama kemudian segera berhenti sesudah bubuk obat itu ditaburkannya
di atas luka. Dengan cabikan pakaian Wiro membalut luka itu kemudian menelankan
sebutir obat ke mulut laki-laki tersebut dan menyandarkannya di sebuah pohon.
Kira-kira sepeminuman teh berlalu orang itu membuka kedua matanya.
"Bagaimana rasanya, masih
sakit?" tanya Wiro.
"Mendingan … te … terima
kasih, Sau … dara."
"Bernafaslah dengan
teratur, pasti rasa sakitmu akan lebih berkurang," menasihatkan Wiro.
Dan bila orang itu dilihatnya
agak segar dia berkata, "Sekarang terangkanlah siapa kau dan apa yang
terjadi dengan dirimu."
"Aku adalah seorang kurir
Adipati Ekalaya dari Parangsari. Aku ditugaskan ke Kotaraja untuk menyampaikan
uang emas yang ada di dalam kantong kulit dipunggungku ini. Entah bagaimana
perjalananku bocor ke tangan penjahat-penjahat di hutan Bludak itu. Aku
dihadang di tengah jaian. Ketika aku menolak untuk memberikan uang emas yang
kubawa, kelima penjahat itu mengeroyokku. Aku berusaha melawan. Namun jumlah
mereka terlalu banyak dan rata-rata memiliki ilmu yang tinggi. Sewaktu salah
seorang dari mereka mencabut golok, aku tak berdaya lagi. Dadaku luka parah.
Dalam keadaan begitu rupa aku berusaha melarikan diri. Aku sampai di tempat ini
dan berternu dengan kau …"
Laki-laki itu meraba dadanya
sebentar ialu menarik nafas panjang dan berkata lagi.
"Aku berhutang besar
padamu, Saudara. Berhutang nyawa. Sebagai balasan aku tak bisa memberikan
apa-apa. Kuharap kau mau mengambil sepertiga dari uang emas yang ada di dalam
kantong kulit ini. Bagaimana nanti dengan Adipati Ekalaya adalah
urusanku." Dan laki-laki itu hendak membuka ikatan kantong kulit
dipunggungnya. Wiro Sableng tertawa dan digelengkannya kepalanya.
"Menolong sesama manusia
adalah satu hal yang menyenangkan bagiku. Lebih dari itu, menolong merupakan
satu kewajiban. Menolong berarti tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balas jasa.
Karenanya jangan sebut-sebut segala hutang nyawa dan segala pembalasan … "
"Uang ini kuberikan
dengan penuh rasa rela. Dan aku yakin Adipati Ekalaya tidak keberatan."
"Sudahlah sobat.
Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Sebentar lagi matahari akan tenggelam dan
malam akan tiba."
Keduanya berdiri.
"Aku akan antarkan kau ke
tepi sungai. Kau bisa melanjutkan perjalanan ke Kotaraja dengan menumpang
perahu." kata Wiro pula.
Laki-laki itu mengangguk.
Ketika malam tiba mereka
sampai di satu tikungan sungai di mana terdapat sebuah pangkalan perahu
tumpangan.
"Kita berpisah di sini,
sobat. Selamat jalan!" kata Wiro sambil menepuk bahu laki-laki di
sampingnya.
"Ya. Terima kasih atas
segala bantuanmu. Sebelum berpisah harap kau sudi menerangkan nama dan tempat
tinggalmu … " Laki-laki itu berpaling dan astaga! Terkejutlah dia. Wiro
Sableng sudah lenyap dari sampingnya.
Sekarang marilah kita ikuti
perjalanan dua tua bangka cabul yakni Damar Soka alias Hantu Kuning dan
nenek-nenek bermuka hitam bermata satu si Camperenik. Dengan mengandalkan ilmu
lari masingmasing, menjelang tengah malam mereka berhasil mencapai Bukit Gong
tempat kediaman Munding Wirya. Pada saat itu Munding Wirya tengah hendak
bersemedi. Beberapa kali telah dicobanya untuk menutup panca inderanya namun
sia-sia belaka. Dia sama sekali tak dapat memusatkan pikiran sedang entah
karena apa hatinya selalu tidak enak. Dihelanya nafas panjang, dibukanya kedua
matanya kembali. Di sampingnya tertidur pulas gadis cilik yang akan menjadi
muridnya. Setelah lewat kira-kira sepeminuman teh, Munding Wirya coba untuk
bersemedi kembali. Namun lagi-lagi dia tak bisa memusatkan pikirannya. Selagi
dia termenung diombang-ambing jalan pikiran yang tak menentu, mendadak
telinganya yang tajam mendengar suara di luar.
"Siapa?!" Munding
Wirya bertanya.
Baru saja pertanyaannya itu
selesai diucapkan, pintu pondok tiba-tiba terbuka dan sesosok tubuh masuk ke
dalam.
"Selamat berjumpa
kembali, Munding Wirya!" orang yang baru masuk berkata dengan seringai
bermain di mulut. Matanya yang cuma satu membuka besar-besar sewaktu melihat
gadis cilik yang tengah tidur pulas di samping Munding Wirya.
"Ada apa kau ke sini? Apa
hajaran yang kuberikan padamu beberapa waktu yang lewat masih kurang?"
"Aha! Jangan bicara besar
malam ini, Munding Wirya!" sahut Camperenik. "Aku datang untuk
menenagih hutang berikut bunganya. Tiada dinyana calon muridku juga ada di
sini! Sekali merangkuh, dua tiga pulau terlalui. Bukankah keadaan cocok sekali
dengan pepatah itu heh?!" Munding Wirya mengusap janggutnya yang panjang
putih.
"Aku tidak percaya kau
punya nyali untuk datang seorang diri kemari! Siapa orang di luar yang agaknya
menjadi andalanmu?!"
Pada saat itu di luar pondok
terdengar suara batuk-batuk. Menyusul masuknya seorang lakilaki bermuka kuning
dan berbadan bungkuk.
"Hem … Kau rupanya Damar
Soka. Sudah sejak lama dunia persilatan mengetahui kekotoran yang kau perbuat
bersama nenek-nenek tua keriput ini! Sekarang kalian berdua keluarlah dari
pondokku. Haram kaki kalian menginjak tempat ini!"
"Buset … buset …
buset!" Damar Soka goleng-golengkan kepala. "Haram atau halal itu
urusan kemudian. Yang jelas kau harus berterima kasih lantaran aku ikut kemari
bersama Camperenik!"
Munding Wirya kerenyitkan
kening.
"Sangkut paut apa aku
musti berterima kasih padamu, Hantu Kuning?!"
"Camperenik hendak minta
kau punya jiwa, hendak membunuhmu! Tapi dengan adanya aku di sini pembalasannya
yang kejam bisa diperingan sedikit. Nah, kau lekaslah bunuh diri!"
Berubahlah paras Munding
Wirya.
"Keluar dari sini atau
aku terpaksa mengusir kalian secara kekerasan?!"
"Sebagai tuan rumah kau
terlalu kurang ajar, Wirya!" kata Camperenik. Lalu dikeluarkannya
senjatanya yaitu ular yang telah dikeringkan. "Bersiaplah untuk
mampus!"
Camperenik menerjang ke muka.
Senjatanya berkelebat. Racun kuning menyembur. Namun Munding Wirya siang-siang
sudah berpindah tempat hingga serangan Camperenik hanya mengenai tempat kosong.
Dengan sebat nenek-nenek
bermata satu bermuka hitam ini membalikkan tubuh. Pada saat itu satu gulungan
berwarna kuning datang di hadapannya dengan amat cepat. Camperenik tidak
menduga sama sekali kalau dikejapan itu Munding Wirya akan melancarkan serangan
balasan dengan tongkatnya. Dia bersurut mundur namun serangan tongkat bambu
kuning Munding Wirya telah mengurung sekujur tubuhnya kemudian dengan sebat
menderu ke kepalanya. Munding Wirya sengaja mengeluarkan jurus serangan yang
amat hebatnya bernama "naga sakti menggulung bumi mematuk bulan".
Camperenik berseru tertahan.
Tak ada kesempatan lagi baginya untuk berkelit ataupun menangkis! Sekejap lagi
tongkat bambu kuning Munding Wirya akan membuat otak Camperenik bertaburan,
tiba-tiba tubuh orang tua ini menghuyung. Selarik angin panas menyambar dari
samping, satu pukulan kemudian melanda lengannya, hampir saja membuat
tongkatnya terlepas dari tangan!
"Kurang ajarl Kau mau
main keroyokan Damar Soka?!" sentak Munding Wirya marah.
Damar Soka alias Hantu Kuning
menyeringai buruk. "Tidak seorang manusiapun tega melihat kekasihnya
dihajar orang. Termasuk aku!"
"Kalau begitu
lanjutkanlah hidup cabul kalian di neraka!" kata Munding Wirya pula seraya
mengiblatkan bambu kuningnya dan mengirimkan dua serangan kepada kedua
lawannya. Perkelahian dua lawan satupun berkecamuklah.
Seperti telah diketahui,
bertempur satu lawan satu bukan hal yang mudah bagi Munding Wirya untuk
mengalahkan Camperenik, apalagi saat itu si nenek muka hitam dibantu pula oleh
Damar Soka, seorang tokoh silat jahat yang kepandaiannya tiga tingkat lebih
tinggi dari Camperenik!
Sementara itu gadis cilik
delapan tahun yang tadi tidur pulas kini telah terbangun dan dengan terkejut
serta takut menyaksikan pertempuran itu disudut pondok. Jurus demi jurus
pertempuran semakin hebat. Mereka yang berkelahi hanya merupakan bayang bayang
saja kini. Taburan serangan yang dilancarkan Munding Wirya laksana curahan
hujan datangnya. Namun cuma sampai lima jurus orang tua itu sanggup menunjukkan
kehebatannya. Jurus-jurus selanjutnya dia mulai mendapat tekanan-tekanan untuk
kemudian dia musti bertahan mati-matian.
Dalam satu gebrakan hebat dijurus
ke sembilan, Munding Wirya terpaksa membiarkan tongkatnya kena dirampas oleh
Damar Soka demi untuk menyelamatkan kepalanya dari hantaman tongkat ular
Camperenik. Dan mulai detik inilah Munding Wirya betul-betul terancam jiwanya.
"Camperenik, hati-hati,
bangsat tua ini hendak mengeluarkan pukulan buana biru!" Damar Soka
berteriak memberi ingat sewaktu dilihatnya Munding Wirya menggerakkan tangan
kanannya yang saat itu sudah berwarna biru.
Peringatan Damar Soka percuma
saja. Meski Camperenik berusaha untuk menyingkir namun terlanlbat. Sebagian
sinar pukulan yang mengandung racun jahat menderu memapas pinggang Camperenik.
Nenek-nenek ini melolong setinggi langit. Tubuhnya mencelat bersama-sama dengan
dinding pondok yang hancur berantakan, terhampar di tanah, berkutik
melejang-lejang seketika lalu diam tak bergerak lagi. Di saat yang sama
terdengar pula pekik Munding Wirya.
Meskipun Munding Wirya
berhasil menewaskan Camperenik dengan pukulan buana biru namun dia sama sekali
tidak sempat mengelakkan tendangan kaki kanan Damar Soka yang membabat dari
samping. Tangan kanan Munding Wirya sampai sebatas pergelangan remuk hancurl
Dengan menggigit bibir menahan sakit orang tua ini melompat keluar dari
kalangan pertempuran.
Munding Wirya menyadari
sepenuhnya bahwa sekalipun dia tidak menderita seperti saat itu, adalah
mustahil baginya untuk dapat bertahan menghadapi Damar Soka. Karenanya
cepat-cepat dia berpaling pada gadis cilik di sudut pondok dan berteriak.
"Mawar! Larilah! Tinggalkan tempat ini cepat!" Gadis cilik berumur
delapan tahun itu nampak ragu-ragu. Munding Wirya berteriak lagi. Si anak
segera hendak lari tapi Damar Soka sudah mengha dang di pintu menutup jalan.
Dengan penasaran Munding Wirya menerjang dan melancarkan satu tendangan ke
bawah perut Damar Soka. Manusia bermuka kuning itu berkelit gesit dan dengan
satu gerakan cepat yang sukar diukur, tinju kanan Damar Soka bersarang di dada
Munding Wirya. Tak ampun lagi orang tua ini terpelanting dan jatuh terjengkang
di lantai pondok. Dengan terhuyung-huyung dicobanya berdiri. Sebelum dia bisa
mengimbangi tubuh, Munding Wirya terbatuk-batuk beberapa kali lalu muntah darah
dan melosoh kembali ke lantai. Dadanya terasa panas dan sakit bukan main.
Nafasnya tersendat-sendat sedang pandangan matanya berbinar-binar.
Hantu Kuning tertawa mengekeh.
Dia melanygkah mendekati Munding Wirya.
"Bangsat tua bangka! Hari
ini kutamatkan riwayatmu sampai di sini!"
Hantu Kuning menggerakkan kaki
kanannya. Sesaat sebelum tendangan yang dilancarkan lakilaki ini sampai dikepala
Munding Wirya, dari arah pintu menderu lima buah benda berwarna putih perak
menyilaukan. Hantu kuning terpaksa membatalkan tendangannya kecuali kalau dia
inginkan kakinya dilabrak senjata rahasia itu. Lima senjata rahasia menancap di
dinding pondok. Bendabenda ini berbentuk bintang yang bertuliskan angka-angka
212 di tengah-tengahnya!
11
BEGITU terkejut melihat
barisan tiga buah angka itu, secepatnya Damar Soka memutar tubuh ke pintu. Rasa
terkejutnya kini berubah menjadi rasa heran. Sekitar duapuluh tahun yang silam
angka 212 itu telah menggetarkan dunia persilatan. Setiap muncul angka 212
berarti munculnya seorang nenek-nenek sakti bernama Sinto Gendeng.
Tetapi hari ini yang dilihat
Damar Soka bukan seorang nenek-nenek, melainkan seorang pemuda bertubuh kekar,
berpakaian putih-putih dan berambut gondrong, Pemuda ini menyengir seenaknya
kepadanya!
"Buset kau budakl Lekas
terangkan siapa kau!" Si rambut gondrong bersiul lalu tudingkan ibu
jarinya ke belakang.
"Lekas keluar dari
sini!"
"Hah?!" Damar Soka
beliakkan kedua matanya. "Kau menyuruh si tua bangka ini keluar dari
sini?!" Dan meledaklah tawa Damar Soka. Sesaat kemudian dihentikannya
tawanya itu. Dia memandang lekatlekat ke wajah pemuda di hadapannya dan
berkata, "Kau memiliki angka pengenal 212. Apa sangkut pautmu dengan Sinto
Gendeng dari gunung Gede?"
"Aku suruh kau keluar,
bukan mengajukan segala macam pertanyaan!" bentak si pemuda.
Marahlah Damar Soka. Kedua
tangannya dipentang. Begitu sepasang tangan tersebut diayunkan, dua larik sinar
kuning pekat menggebu-gebu. Terdengar satu siulan. Si rambut gondrong lenyap
dari pemandangan. Dikejap yang sama serangkum sinar putih berkiblat dari
samping, menyapu ke arah tubuh Damar Soka.
"Pukulan sinar
matahari!" seru Damar Soka kaget dan buru-buru menjatuhkan diri ke lantai
pondok. Terdengar suara hiruk pikuk yang hebat. Dinding pondok sebelah kanan
hancur berkepingkeping dan hangus. Tercekat hati Damar Soka. Satu-satunya
manusia yang memiliki pukulan sakti itu adalah Sinto Gendeng. Dan kini si pemuda
telah melancarkan ilmu pukulan tersebut secara hebat! Pasti dia murid Si Sinto
Gendeng!
Dengan bola mata
berkilat-kilat Damar Soka berdiri. Kedua tangannya yang berwarna kuning saling
digosok-gosokkan sedang mulutnya berkomat-kamit.
"Budak, dulu gurumu
selama bertahun-tahun telah menjadi seteru tokoh-tokoh silat golonganku. Jika
aku dan kawan-kawan masa itu tak dapat menghancurkan batok kepala Sinto
Gendeng, biarlah hari ini aku cukup puas mengirim muridnya ke liang
kubur!"
Wiro Sableng tertawa perlahan.
Munding Wirya yang sejak tadi
menyaksikan baku hantam antara kedua orang itu dalam keadaan megap-megap hampir
kehabisan nafas, mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan berseru memberi
peringatan.
"Wiro, awas! Tua bangka
cabul ini hendak melepaskan pukulan waja kuning! Lekas menyingkir dan
selamatkan gadis cilik itu!"
Wiro masih tertawa.
"Terima kasih atas
peringatanmu, orang tua. Tapi biarlah aku mau lihat dan mau tahu kehebatan
pukulan yang hendak dilepaskannya!"
Dan diam-diam Pendekar 212
Wiro Sableng memusatkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri dan tangan
kanan. Perlahan-lahan Damar Soka meluruskan tubuhnya yang bungkuk. Tanpa
melepaskan pandangannya dari Damar Soka Wiro berkata pada gadis cilik di sudut
ruangan.
"Anak, kau lekas
tinggalkan pondok ini. Tunggu di luar. Lekas …. "
Mawar si gadis cilik delapan
tahun dengan kaki gemetar lari ke pintu. Sementara itu Damar Soka mengembangkan
kedua tangannya ke samping laksana burung besar hendak terbang. Kedua tangan
itu memancarkan sinar kuning yang menyilaukan dan menggidikkan. Tiba-tiba dari
tenggorokan Damar Soka alias Hantu Kuning keluar jeritan dahsyat laksana
seratus serigala melolong di malam butal Dan serentak dengan itu kedua
tangannya didorongkan ke muka.
Pondok itu laksana di landa lindu.
Dua larik gelombang sinar kuning menderu dahsyat ke arah Pendekar 212. Di lain
pihak Wiro Sableng begitu lawan bergerak melancarkan serangan segera pula
memukulkan kedua tangannya ke depan. Tangan kanan melancarkan ilmu pukulan
"dewa topan menggusur gunung" yang dipelajarinya dari Tua Gila sedang
tangan kiri melancarkan pukulan "sinar matahari" yang diwarisinya
dari Eyang Sinto Gendeng.
Terjadilah hal yang hebat.
Pondok di mana pertempuran adu kesaktian itu terjadi hancur berantakan laksana
diledakkan. Atap dan dinding beterbangan ke udara. Munding Wirya yang terhampar
di lantai, mental terguling-guling. Demikian juga tubuh tak bernafas dari
Camperenik.
Di dalam kepekatan malam di
atas reruntuhan pondok, Wiro Sableng dan Damar Soka kembali saling berhadapan.
Pendekar 212 saat itu merasakan dadanya sakit berdenyut-denyut, aliran darahnya
tidak teratur dan kepalanya sedikit pusing. Di lain pihak Hantu Kuning
mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa berdiri dengan betul. Lututnya
bergetar, sekujur tubuhnya panas dingin. "Tak mungkin aku sanggup
menghadapi budak ini lebih lama … Dia kelihatan masih segar bugar." kata
Damar Soka dalam hati.
Tiba-tiba si tua renta ini
melompat ke samping dan menyambar tubuh Camperenik terus hendak melarikan diri!
Wiro bersuit nyaring. Tubuhnya laksana terbang melesat ke muka. Damar Soka
kaget dan penasaran bukan main sewaktu tahu-tahu si pemuda telah menghadang
larinya. Meskipun sadar bahwa dalam keadaan terluka di dalam begitu rupa adalah
berbahaya untuk metancarkan serangan yang mengandalkan tenaga dalam namun di
landa hawa amarah yang amat sangat maka Damar Soka memukulkan tangan kanannya.
Selarik angin hitam berkiblat. Wiro membentak nyaring. Di kegelapan malam dia
melompat setinggi tiga tombak dan sambil melayang turun dia melepaskan pukulan
"sinar matahari" yang terkenal ampuh itu.
Sehabis melancarkan serangan
tadi, Damar Soka merasakan dadanya seperti dipanggang. Nafasnya menyesak dan
tidahnya menjulur keluar laksana orang dicekik. Sedetik kemudian bukubuku darah
merah kehitaman menyembur dari mulutnya. Damar Soka tersungkur. Tangan kirinya
masih merangkul pinggang Camperenik. Sebelum tubuh Damar Soka mencium tanah,
pada saat itulah pukulan "sinar matahari" yang dilepaskan Wiro
Sableng datang menyapu!
Damar Soka terbanting ke
tanah. Camperenik lepas dari rangkulannya. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun
Damar Soka amblas ke tanah sedalam beberapa senti. Tubuhnya dan juga tubuh
Camperenik hangus hitam. Nyawanya lepas meninggalkan badan!
Wiro mengatur jalan darah
serta pernafasannya dengan cepat. Kalau dia memandang berkeliling. Dilihatnya
Munding Wirya menggeletak di antara puing-puing pondok, di sampingnya bersimpuh
gadis cilik itu. Wiro cepat mendatangi si orang tua.
Dalam keadaan megap-megap
begitu Munding Wirya masih bisa sunggingkan senyum dan memuji.
"Kau hebat Wiro, hebat
sekali … Tak percuma kau jadi murid Sinto Gendeng. Hatiku … puas.
Sebelum menutup mata aku …
masih sem… sempat menyaksikan kematian dua man … manusia cabul itu … "
Wiro Sableng meraba dada Munding
Wirya. Dada itu terasa panas. Sewaktu disibakkannya pakaian si orang tua
kelihatanlah kulit dadanya kuning pekat sedang tulang dada melesak ke dalam.
Beberapa iga jelas kelihatan
patah. Pendekar kita segera alirkan tenaga dalam ke dada Munding Wirya.
"Tak usah Wiro …
jangan", kata Munding Wirya pelahan dengan senyum masih di bibir.
"Aku sudah mendapat firasat bahwa umurku cukup sampai di sini … "
"Telanlah obat ini",
kata Wiro tanpa perdulikan ucapan Munding Wirya.
Orang tua itu menggeleng.
Sepasang matanya semakin menyipit dan kabur. "Kehendak Tuhan segera akan
berlaku atas diriku. Satu permintaanku padamu, bawalah Mawar pada Citrakarsa.
Maksudku untuk mengambilnya jadi murid tidak kesampaian. Biar Citrakarsa yang
melanjutkan. Aku … Wiro kurasa … kurasa … "
Ucapan Munding Wirya cuma
sampai di situ. Nafasnya meninggalkan jazad. Orang tua ini menghembuskan nafas
penghabisan dengan senyum masih membayang dibibirnya. Gadis kecil di sampingnya
menangis terisak-isak.
Pendekar 212 Wiro Sableng
menghela nafas panjang. Sampai saat itu telah puluhan kali dia melihat
manusia-manusia meregang nyawa. Ada yang secara baik-baik, banyak dalam cara
mengerikan. Diam-diam dia berpikir entah kapan pula malaikat maut akan
mendatanginya, menagih nyawanya dan mati!
***
"Dulu hidup ini sunyi dan
sepi,
Kini indah berseri.
Dulu hidup ini penuh duka
derita,
Kini semarak bercahaya.
Betapa tak akan indah,
Betapa tak akan berseri.
Apa yang dicita muncul di
mata,
Telah datang seorang calon
istri.
Dulu hidup ini ………………………..
"
Ranata mendadak menghentikan
nyanyiannya. Dia berdiri dengan cepat. Sepasang telinganya telah menangkap
suara orang berlari dikejauhan. Semak-semak di depannya tersibak, sesosok tubuh
berpakaian putih mendukung tubuh seorang anak kecil muncul.
"Amboi! Kau datang lagi,
rambut gondrong! Eh, siapa anak dalam dukunganmu itu?!" Ranata
berseru."Ayahmu ada di dalam?" tanya orang yang datang yaitu Wiro
bersama Mawar.
"Ngaco! Di tanya malah
bertanya!" damprat Ranata. Mau bikin apa tanya-tanya ayahku segala?!"
Wiro menahan kegusarannya.
Sebelum dia membuka mulut memberi jawaban dari dalam gubuk mendadak terdengar
seruan perempuan.
"Mawar! Adikku … !"
Seorang gadis yang bukan lain
adalah Ratih menghambur keluar, merebut Mawar dari dukungan Wiro, memeluknya
dan menangis tersedu-sedu. Wiro terharu sedang Ranata berdiri bingung.
"Amboi .., amboi! Mengapa
calon istriku menangis?! Siapa gadis cilik yang ditangisi? Adikmu…? Ah …
wajahnya … wajahnya memang hampir sama. Adik calon istriku … ipar … ya iparku
kalau begitu! Amboi iiiipaaaar!"
"Semua yang ada di luar,
masuklah ke dalam," tiba-tiba terdengar suara Citrakarsa dari dalam gubuk.
‘"Amboi! Semua
masuk!" kata Ranata pula lalu dia yang pertama sekali melompat masuk,
menyusul Ratih yang mendukung Mawar dan belakangan Wiro. Pendekar ini menjura
di hadapan Citrakarsa.
"Duduklah dan ceritakan
apa yang telah terjadi!" kata Citrakarsa pula.
Semua orang duduk dan
memandang pada Wiro Sableng sementara pemuda ini mulai menuturkan malapetaka
apa yang telah menimpa Munding Wirya di bukit Gong.
"Begitulah, orang tua …
" kata Wiro menutup keterangannya. "Sebelum menutup mata Munding
Wirya meninggalkan pesan agar membawa adik Ratih ke sini, meminta agar kau
mengambilnya menjadi murid karena dialah kelak yang bakal menuntut balas
terhadap kematian orang tuanya."
Setelah berdiam diri sejenak,
Citrakarsa baru membuka mulut berikan jawaban.
"Apa yang dipesankan
Munding Wirya adalah satu kewajiban luhur. Jika saja pesan itu tidak lekas
sampainya ke sini, mungkin aku sudah lebih dahulu menyuruh Ranata untuk
mengobrakabrik bangsat-bangsat di hutan Bludak itu."
Tiba-tiba Ranata mendongak ke
atas. Citrakarsa bertanya dengan suara keras. "Siapa di luar?!"
Dan Pendekar 212 dalam kejap
itu telah melompat ke pintu. Sekelebat dilihatnya sesosok bayangan hitam tinggi
langsing di atas atap gubuk. Wiro cepat mengejar namun orang itu lenyap dari
pemandangan. Betapapun dia menyelidik dengan teliti di sekitar tempat itu tetap
tak berhasil mencari jejak ke mana lenyapnya si bayangan hitam tadi!
Dengan menduga-duga siapa
adanya manusia tersebut, Wiro masuk kembali ke dalam gubuk. Saat itu dilihatnya
Citrakarsa tengah memegang sehelai kertas putih, bersama Ranata dia membaca
serentetan tulisan yang ada di atas kertas itu.
Ketika Wiro menghambur keluar
gubuk tadi, dari atas atap rumbia melesat segulung kertas yang saat itu tengah
dipegang oleh Citrakarsa. Kertas apakah yang di tangan orang tua itu, demikian
Wiro berpikir sambil kembali duduk ke tempatnya semula. Citrakarsa mengangkat
kepalanya, memandang tepat-tepat pada Wiro. Hal yang sama dilakukan pula oleh
Ranata. Tiba-tiba pemuda itu melompat dan menari berputar-putar mengelilingi
Wiro Sableng.
"Aku akan sembuh! Aku
akan sembuh dan … amboi! Ratih … Ratih! Dengarlah! Aku akan sembuh dan nanti
suamimu bukan orang gila lagi, bukan orang sedeng, bukan orang sinting, bukan
orang edaaaannn!"
Wiro memandang Ranata dan
Citrakarsa berganti-ganti. Apa-apaan pula ini, tanyanya dalam hati. Tiba-tiba
Citrakarsa mengulurkan tangannya yang memegang kertas.
"Bacalah!" kata
orang tua ini.
Wiro menerima kertas yang
diberikan lalu membaca rangkaian tulisan yang tertera di atasnya. Ternyata
merupakan sebuah surat yang ditujukan kepadanya dan berbunyi:
Wiro muridku,
Percuma kau menguasai 1001 macam
ilmu pengobatan kalau dihatimu tak ada niat untuk
mengobati Ranata.
Sinto Gendeng.
Wiro Sableng tertegun
melengak. Tiada dinyananya akan mendapat surat seperti itu. Pantas saja dia
tadi tak berhasil mengejar sosok tubuh hitam yang berkelebat di atas atap gubuk
karena ternyata orang tersebut adalah gurunya sendiri!
"Bisakah kau memberi
sedikit keterangan akan bunyi surat gurumu itu?" bertanya Citrakarsa
sementara saat itu Ranata masih juga menari-nari seputar Wiro.
"Aku memang pemah membaca
dan mempelajari sebuah kitab tentang berbagai ilmu pengobatan beberapa waktu
yang lalu. Kitab itu ditulis oleh Kiai Bangkalan…."
"Kiai Bangkalan!",
kata Citrakarsa setengah berseru. "Dalam dunia persilatan memang dialah
satu-satunya ahli pengobatan yang paling lihay". Dan harapan besar jelas
terbayang di wajah si orang tua.
"Jika betul kau sudah
mempelajari ilmu pengobatan yang ditulisnya, aku yakin Ranata akan bisa
disembuh kan!"
Wiro mengangguk pelahan.
"Menurut keterangan yang
kudapat dari Munding Wirya sebelum orang tua itu meninggal, anakmu telah
delapan tahun menderita sakit. Ini berarti membutuhkan waktu yang cukup lama
pula untuk menyembuhkannya. Sekurang-kurangnya setengah dari masa
sakitnya"
"Aku tak perduli berapa
tahunpun! Yang penting anakku bisa disembuhkan!" kata Citrakarsa pula.
"Ya, yang penting aku
sembuh! Sembuh dan …. kawin! Amboi kaawwwwiiiinnnn!" menimpali Ranata.
Wiro menarik nafas dalam, lalu
pejamkan mata dan menepekur. Hampir sepeminuman teh baru dia mengangkat
kepalanya kembali dan memandang pada Citrakarsa lalu berkata :
"Pertama sekali harus
disediakan satu guci anggur merah. Lalu disiapkan tujuhpuluh lembar daun sirih,
tujuhpuluh serabut akar cendana dan tujuh ekor katak putih. Semuanya dimasukkan
ke dalam anggur merah lalu di godok. Minuman itu harus diminum oleh anakmu
sebanyak tujuh sendok setiap malam selama empat tahun."
Citrakarsa
mengangguk-anggukkan kepala.
"Daun sirih dan akar
cendana mudah dicari. Tetapi katak putih, dimanakah binatang-binatang itu
didapat? Seumur hidup baru kali ini aku mendengar ada katak putih!" kata
Citrakarsa pula.
"Dalam buku yang ditulis
Kiai Bangkalan diterangkan bahwa di dunia ini ada tujuh tempat dimana terdapat
katak-katak putih itu. Salah satu diantaranya di Pulau Jawa ini. Di dasar kawah
gunung Tangkuban Perahu."
"Dasar kawah Gunung
Tangkuban Perahu. Aku akan ke sana mengambilnya!" kata Citrakarsa.
"Untuk menangkap
binatang-binatang itu ada syaratnya pula. Yaitu pada malam hari sewaktu muncul
bulan tujuh hari atau ketika bulan dalam keadaan setengah lingkaran."
"Betapa pun sulitnya
semua itu akan kulaksanakan." kata Citrakarsa pula. Lalu orang tua iri
berulang kali mengucapkan terima kasih atas segala pertolongan dan petunjuk
Wiro. Tak lama kemudian pendekar tersebut pun minta diri sementara Ranata saat
itu kembali menari-nari kegirangan.
12
SEWINDU telah berlalu. Banyak
hal telah terjadi. Peristiwa buruk dan peristiwa jahat silih berganti dalam
dunia yang semakin tua ini. Di suatu pagi hari yang cerah, di depan sebuah
gubuk reyot di hutan belantara yang jarang di datangi manusia kelihatanlah
seorang kakek-kakek berambut putih tengah menempur seorang gadis jelita berbaju
merah. Gerakan si kakek sebat cepat dan ranting kayu di tangan kanannya
berkelebat kian ke mari, menusuk dan memapas, kadang-kadang menotok ke jalan
darah di tubuh lawannya. Gadis berbaju merah sebaliknya amat gesit pula
gerakannya. Tubuhnya laksana bayangbayang. Dia juga memegang sebuah ranting
kering di tangan kanan. Benda ini menderu-deru menangkis serangan si kakek bahkan
kadang-kadang berbalik merupakan serangan yang mematikan!
Kedua orang itu tengah melatih
ilmu silat. Dan mereka bukan lain adalah Citrakarsa serta Mawar. Di dekat pintu
gubuk berdiri Ratih mendukung seorang anak laki-laki berumur dua tahun. Di
sampingnya tegak Ranata. Berkat obat yang ditunjukkan oleh Pendekar 212 Wiro
Sableng, Ranata telah sembuh dari sakitnya sejak empat tahun yang silam. Dan
sejak empat tahun yang lalu itu pula Ratih dengan kerelaan dan kasih sayang
yang dimilikinya telah bersedia diambil istri oleh pemuda tersebut. Dua tahun
berumah tangga mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang mungil dan lucu.
Betapapun Citrakarsa
mengeluarkan segala kepandaian silatnya, namun sukar sekali baginya untuk dapat
mengalahkan Mawar. Berkali-kali diusahakannya memukul lepas ranting kayu di
tangan gadis itu, berkali-kali pula dicobanya untuk mehggoreskan ujung ranting
kepakaian Mawar namun sia-sia belaka. Hati Citrakarsa gembira bukan main. Tidak
sia-sia dia menghabiskan waktu sekian lama untuk menggembleng Mawar menjadi
seorang dara berkepandaian tinggi. Bahkan kalau dibandingkan dengan Ranata,
ilmu yang dimiliki Mawar hampir satu tingkat lebih tinggi!
"Sudah! Sudah …
sudah!" Citrakarsa berseru seraya melompat keluar dari kalangan
pertempuran. "Hatiku puas, puas dan gembira! Ternyata kau benar-benar tak
mengecewakan!"
Mawar tersipu-sipu dan
berkata, "Walau bagaimanapun kepandaianku masih jauh di bawahmu, guru. Aku
harus berlatih lebih rajin."
Citrakarsa tertawa.
"Ranata!" katanya sambil berpaling pada anaknya. "Cobalah kau
hadapi Mawar barang beberapa jurus. Aku yakin kau bakal dikalahkannya di bawah
sepuluh jurus!"
Ranata tersenyum. Disambutnya
ranting kayu yang dilemparkan ayahnya. Maka mulailah dia menghadapi adik
iparnya. Pertandingan berjalan hebat dan cepat. Betul saja, setelah baku hantam
tujuh jurus, ujung ranting di tangan Mawar berhasil memukul pundak Ranata.
"Aku kalah!" seru
Ranata dan melompat dari kalangan.
"Kakak sengaja
mengalah." kata Mawar lalu membuang ranting kayu di tangannya.
"Melihat kehebatanmu, aku
tak ragu-ragu lagi untuk melepasmu guna menuntut balas terhadap manusia-manusia
jahat yang telah membunuh orang tua dan kakakmu," berkata Citrakarsa.
"Dengar baik-baik Mawar. Mereka terdiri dari tiga manusia biadab yang memimpin
gerombolan bejat di hutan Bludak. Yang pertama bernama Bayunata, lalu Singgil
Murka dan yang ke tiga Sawer Tunjung. Ketiganya bertanggung jawab atas kematian
ayah bundamu. Bertanggung jawab atas semua nyawa penduduk kampung kelahiranmu.
Mendiang Munding Wirya dan juga aku serta semua yang ada di sini, dalam pada
itu termasuk pula arwah-arwah mereka yang telah menemui kematian di tangan tiga
bergundal kejahatan itu, sama mengharapkan agar kau dapat membalaskan segala
sakit hati dan dendam kesumat. Aku yakin kau akan berhasil melaksanakannya. Kau
boleh pergi setiap saat bersama doa restuku!"
"Jika diizinkan, murid
ingin pergi hari ini juga!" kata Mawar.
"Bagus, memang lebih
cepat lebih baik." Citrakarsa berpaling pada Ranata dan berkata, "Kau
pergilah bersamanya, anakku!"
"Guru, kenapa murid tak
boieh pergi seorang diri?"
"Bukan tidak boleh,
Mawar. Tetapi kau harus maklum. Dunia luar tidak seperti dunia kita di dalam
hutan ini. Dunia luar penuh dengan seribu satu macam bahaya, penuh dengan
seribu satu macam tipu daya serta seribu satu macam manusia berhati culas.
Dengan pergi seorang diri, apalagi kau seorang gadis tentu banyak
manusia-manusia jahat yang bakal merintangimu di tengah jalan hingga kau akan
mendapat banyak kesukaran sebelum berhasil melaksanakan pembalasan terhadap
musuh besarmu. Karena itu pergilah bersama kakak iparmu!"
"Jika demikian, murid
menurut saja," kata Mawar, lalu dia masuk ke dalam untuk bersalin pakaian.
***
Hutan Bludak. Disarangnya
Bayunata saat itu tengah diadakan pesta besar. Mereka baru saja berhasil
menyikat serombongan pedagang yang tengah menuju Kotaraja. Delapan orang
pedagang berikut selusin pengawal dibunuh, seluruh barang dagangan dirampok.
Singkat cerita, dalam suasana pesta pora itulah Mawar dan Ranata sampai di
hutan Bludak.
"Mereka tengah pesta pora
lupa daratan," desis Ranata dari balik semak-semak.
Mawar mengangguk. Keduanya
mengatur rencana, lalu berpencar. Tak lama kemudian di salah satu pondok rampok
yang terletak agak terpisah dari lain-lainnya kelihatanlah api berkobar-kobar.
Tiga orang anak buah Bayunata yang ada di situ dalam keadaan setengah mabuk
akibat terlalu banyak minum anggur lari keluar pondok dan berteriak-teriak.
Tiga orang perempuan dalam keadaan setengah telanjang ikut berlarian
menyelamatkan diri. Beberapa kawan merekan segera datang memberi pertolongan.
Untuk memadamkan api sudah tak mungkin. Dalam pada itu sebuah pondok lagi di
ujung kiri kelihatan telah dimakan api pula. Rampok-rampok yang ada di dalamnya
yang tengah pesta minuman dan pesta perempuan berlarian keluar. Pondok ketiga,
keempat dan kelima kemudian menyusul di kobari api. Suasana di sarang
gerombolan rampok itu jadi kacau balau kini, lebih sewaktu api mulai pula
menjilat dan membakar jembatan-jembatan gantung dari tali yang menghubungkan
satu pondok dengan pondok lainnya.
Dari dalam sebuah pondok
Bayunata keluar terhuyung-huyung. Dia cuma mengenakan celana dalam. Di tangan
kanannya ada sebuah buli-buli anggur sedang tangan kirinya menggelung pinggang
seorang perempuan muda yang tak mengenakan sehelai pakaianpun. Matanya sembab
karena menangis. Perempuan ini diculik oleh gerombolan Bayunata tiga hari yang
lewat di sebuah desa.
"Lima pondok di makan api
dalam waktu yang hampir bersamaan … " desis Bayunata. "Pasti ini
disengaja. Pasti ada yang berbuat …!" Pemimpin rampok hutan Bludak ini
mengeluarkan suara suitan nyaring. Sesaat kemudian muncullah Singgil Murka dan
Sawer Tunjung. Seperti Bayunata, kedua orang inipun hanya mengenakan celana
dalam karena mereka sebelumnya tengah pesta anggur dan pesta perempuan.
"Lekas selidiki apa yang
terjadi!" perintah Bayunata.
Singgil Murka dan Sawer
Tunjung cepat berlalu sedang Bayunata kembali masuk ke dalam pondok dan
merebahkan diri di atas tempat tidur, menggelungi tubuh perempuan di
sampingnya. Di teguknya anggur di dalam buli-buli lalu buli-buli itu
diletakkannya di lantai.
"Persetan dengan
keributan di luar sana. Persetan … !" kata pemimpin rampok ini. Tangan
kanannya bergerak menjamah setiap lekuk tubuh perempuan di sampingnya.
Ciumannya bertubitubi di muka, leher dan dada si perempuan. Keduanya kemudian
tenggelam dalam gelimang kekotoran.
Beberapa buah pondok lagi
sementara itu telah dimakan api pula. Perampok-perampok banyak yang turun ke
tanah melalui tangga-tangga tali. Maksud mereka untuk menyelamatkan diri. Namun
tak tahunya di bawah sana seorang gadis jelita berpakaian merah menyambut ke
datangan mereka dan "menghadiahkan" hadiahkan"
tendangan-tendangan serta pukulan-pukulan maut.
Hampir selusin anak buah
Bayunata telah bergeletakan tanpa nyawa. Ada yang hancur kepalanya, ringsek
dadanya atau bobol perutnya.
Seorang anggota rampok lagi
kelihatan menuruni tangga tali dengan cepat. Sesampainya di bawah dia terkejut
melihat apa yang terjadi atas diri kawan-kawannya. Dan lebih terkejut lagi
sewaktu mengetahui bahwa yang membunuh kawan-kawannya itu adalah seorang gadis
cantik berpakaian merah. Nafsu kotornya pun timbul.
"Bidadari dari mana yang
datang menebar maut di sini?! Lekaslah serahkan diri padaku. Dan kau akan
selamat dari tangan maut Bayunata!"
Mawar mendengus.
"Kau inginkan diriku? Ini
terima dulu hadiahku!" kertak si gadis. Secepat kilat tinjunya di
hantamkan kedada laki-laki itu. Anggota rampok yang satu ini rupanya memiliki
kepandaian yang lebih tinggi dari kawan-kawannya sebelumnya. Dia sempat
mengelak lalu menerjang dengan golok yang sudah berada di tangan!
"Aku akan tebas batang
lehermu kalau tidak mau menyerah! Ayo lekas serahkan diri! Kalau tidak kau akan
menyesal sampai di liang kubur!"
Sekali lagi Mawar mendengus
dan sekali lagi pula dia menerjang. Golok di tangan lawan berkelebat. Terdengar
satu keluhan. Golok itu terlepas dari tangan anak buah Bayunata, dirampas oleh
Mawar dan sebelum dia tahu apa yang terjadi satu tabasan telah memutus batang
lehernya!
"Bangsat betina kurang
ajar! Mampuslah!" terdengar satu bentakan.
Mawar berpaling. Lima orang
anggota rampok ternyata telah mengurungnya. Seorang di antara mereka mendahului
kawan-kawannya melancarkan satu serangan golok. Mawar miringkan tubuh. Begitu
senjata lawan lewat di sampingnya, kaki kanannya menderu dan si penyerang
mencelat sejauh dua tombak, jatuh tak bergerak lagi karena perutnya sudah bobol
dihantam tendangan!
Empat kawan mereka melengak
kaget. Tanpa banyak cerita lagi mereka segera menyerbu. Satu demi satu mereka
dibikin melosoh oleh Mawar. Rampok yang kelima sengaja tak dibunuh, hanya
dilukai salah satu bahunya. Mawar menjambak rambut laki-laki ini.
"Naik ke atas sana!
Beritahu pimpinanmu bahwa semua ini aku yang melakukan! Aku Mawar Merah datang
untuk menuntut balas! Katakan bahwa aku menunggu mereka di sini!"
Dengan ketakutan rampok itu
menaiki tangga tali kembali, lalu lari sepanjang jembatan. Di salah satu cabang
jembatan dia berpapasan dengan Singgil Murka dan Sawer Tunjung. Segera
dilaporkannya apa yang telah terjadi!
"Kurang ajar! Siapa
gerangan iblis betina itu, hah?!" gertak Singgil Murka. Dia berpaling pada
Sawer Tunjung dan berkata: "Lekas beri tahu Bayunata. Aku akan menghajar
iblis betina itu!"
Sawer Tunjung berlalu sedang
Singgil Murka bersama anak buahnya yang memberikan laporan segera menuju ke
tempat di mana Mawar Merah berada.
"Itu dia
manusianya!" kata anggota rampok sambil menunjuk ke bawah pohon.
Singgil Murka beliakkan
matanya lebar-!ebar. Manusia yang disebutnya "iblis betina" itu
nyatanya memiliki kecantikan yang luar biasa. Dengan cengar-cengir Singgil Murka
melangkah maju. Berdiri tujuh langkah di hadapan Mawar Merah dan
geleng-gelengkan kepala.
"Apakah kau bangsatnya
yang bernama Bayunata?!" bentak Mawar Merah. Matanya menyorot meneliti
laki-laki yang hanya mengenakan celana dalam di hadapannya itu.
"Ha … ha! Aku adalah
Singgil Murka. Orang ketiga yang menjadi pimpinan rampok-rampok hutan
Bludak!" menyahut Singgil Murka. "Ada apakah kau mencari Bayunata?
Dan kenapa pula kau menabur maut begini rupa?!"
"Hem … jadi kau
bergundalnya yang bernama Singgil Murka! Sekitar delapan tahun yang lalu kau
pernah memusnahkan kampung Waru, membunuh semua orang yang ada di sana,
termasuk ayah dan kakak laki-lakiku! Ibuku bunuh diri karena kebiadaban kalian!
Hari ini aku menagih hutang darah dan nyawa itu!"
Singgil Murka tertawa
gelak-gelak.
"Gadis, kau yang begini
cantik dan mulus berani-beranian menantang maut! Aku tidak ingat lagi peristiwa
delapan tahun yang silam. Yang jelas sekali Bayunata melihatmu pasti kau akan
celaka. Sebaiknya mari ikut aku. Aku akan sembunyikan kau disatu tempat yang
aman, mengambil seluruh harta kekayaan yang aku miliki lalu meninggalkan hutan
Bludak ini. Sudah sejak lama aku muak dengan kehidupan begini macam!"
Mawar Merah sunggingkan seringai tajam.
"Maksudmu memang cukup
bagus! Tapi tempat yang paling bagus bagimu bukan di dunia ini, melainkan
neraka!"
Habis berkata begitu Mawar
Merah mencabut pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekejap kemudian
bertaburlah selarik sinar merah!
Singgil Murka kaget bukan
main. Cepat-cepat dia menyurut seraya cabut goloknya. Maka terjadilah
pertempuran yang hebat. Mula-mula Singgil Murka bertempur hanya setengah hati,
tetapi sewaktu dalam satu jurus pertama itu dia merasakan kehebatan ilmu pedang
lawan, manusia ini tak mau main-main lagi. Dia merangsak ke depan berusaha
memukul lepas pedang si gadis!
Tapi sebaliknya si gadis
berkelit gesit dan melancarkan serangan-serangan yang amat aneh hingga dalam
jurus kedua Singgil Murka terdesak hebat sedang dalam jurus ketiga terdengar
seruan lakilaki ini sewaktu golok di tangan kanannya dihantam pedang lawan
hingga mental!"
"Celaka!" keluh
Singgil Murka. Nyatanya benar si cantik ini inginkan nyawanya. Tanpa pikir
panjang Singgil Murka putar tubuh dan ambil langkah seribu. Namun dia cuma
sanggup menyingkirkan diri beberapa langkah saja karena laksana terbang, Mawar
Merah melesat dan memburu dari samping. Pedang merahnya berkelebat, dan
"cras"! Mengge!indinglah kepala Singgil Murka! Satu dari tiga musuh
besarnya berhasil dimusnahkan. Mana yang dua lainnya?!
Mawar Merah memandang
berkeliling. Setitik air mata mengambang di sudut-sudut matanya yang bening.
Dia tak melihat anggota rampok yang tadi datang bersama Singgil Murka, mungkin
sudah kabur. Tiba-tiba pada salah satu jalur jembqtan tali dilihatnya dua orang
laki-laki berbadan tegap berewokan dan hanya mengenakan celana dalam berlari
cepat kejurusannya.
13
SAWER Tunjung mengetuk pintu
pondok dengan keras.
"Siapa?!" tanya
Bayunata sementara tubuhnya menggelepar-gelepar di atas tubuh perempuan yang
tengah ditidurinya.
"Aku, Sawer
Tunjung!"
"Tunggu sebentar!"
jawab Bayunata.
Di luar pondok Sawer Tunjung
tahu apa yang tengah dilakukan Bayunata dan dia merutuk habis-habisan.
Keterlaluan sekali jika dalam suasana begitu rupa Bayunata masih menghabiskan
waktu untuk memuaskan nafsunya!
Di atas tempat tidur Bayunata
merasakan tubuhnya mengejang dan panas. Dari mulutnya keluar suara erangan
geram dan dari hidungnya menghembus nafas membara. Di gigitnya leher perempuan
di bawahnya hingga perempuan itu mengeluh kesakitan. Tubuhnya yang mandi
keringat kemudian terbadai di pembaringan.
"Bayunata!
Lekaslah!" terdengar suara Sawer Tunjung di luar pondok.
Pemimpin rampok itu berdiri
terhuyung. Diteguknya anggur di dalam buli-buli, dilemparkannya buli-buli itu
ke sudut pondok lalu dikenakannya celananya. Golok besar yang tergantung dekat
pintu disambarnya lalu dia keluar.
"Apa yang terjadi?!"
tanya Bayunata.
"Lebih dari dua lusin
anak buah kita kutemui mati digantung di sebelah timur. Delapan pondok musnah
dimakan api. Seorang laki-laki yang tak diketahui siapa adanya telah melakukan
hal itu. Kemudian seorang anak buah melaporkan bahwa di jurusan barat ada satu
gadis cantik berpakaian serba merah. Belasan anak buah kita menemui kematian di
tangannya. Kepada anak buah yang masih hidup dia menyuruh menyampaikan pada
kita bahwa namanya Mawar Merah, bahwa dialah yang melakukan pembunuhan
besar-besaran terhadap anak-anak buah kita!"
"Kurang ajar!"
kertak Bayunata. "Aku ingin melihat di sebelah timur dulu!"
Keduanya berlari-sepanjang
jembatan gantung. Apa yang dikatakan Sawer Tunjung bukan isapan jempol. Dua
puluh delapan anggota rampok hutan Bludak telah jadi mayat, mati di gantung
dengan tali-tali jembatan. Beberapa lainnya berhamparan di atas jembatan dalam
keadaan mengerikan.
Pelipis Bayunata
bergerak-gerak. Rahangnya menonjol. Dia memutar tubuh dan segera lari kejurusan
barat diikuti oleh Sawer Tunjung sementara di belakangnya terdengar suara
robohnya sebuah pondok yang musnah di makan api. Tak berapa jauh dari situ segerombolan
perempuanperempuan dalam tubuh yang hampir tak tertutup pakaian berlarian
berebutan menuruni tangga tali.
Dalam waktu yang singkat
Bayunata dan Sawer Tunjung telah sampai di tempat Mawar Merah berada. Saking
geramnya pemimpin rampok ini turun ke tanah tanpa melalui tangga tali melainkan
langsung melompat ke tanah. Dari caranya melompat yang tanpa menimbulkan suara
itu Mawar Merah segera maklum kalau manusia yang satu ini memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Amarah yang meluapi sekujur tubuh Bayunata serta merta
jadi mengendur manakala dia menyaksikan paras dara jelita yang mengaku bernama
Mawar Merah itu. Demi iblis belum pernah dia melihat perempuan yang secantik
ini!
"Sawer, inikah manusianya
yang bernama Mawar Merah?"
"Pasti sekali, Bayu! Pasti!"
sahut Sawer Tunjung dan dia memandang berkeliling mencari-cari di mana adanya
Singgil Murka. Namun yang dilihatnya adalah seorang laki-laki berpakaian putih
tak dikenal. Mungkin ini adalah kawan dara berbaju merah yang telah
menggantungi anggotaanggota rampok di sebelah timur, pikir Sawer Tunjung.
Di lain pihak Mawar Merah
melintangkan pedangnya di depan dada, memandang tajam pada Bayunata. Kening
laki-laki itu kelihatan hangus hitam dan di bagian tengahnya tertera angka 212.
Tidak bisa tidak tentu itu perbuatannya Pendekar 212 Wiro Sableng, kata Mawar
dalam hati. Dia pernah mendengar kisah dari kakaknya bahwa sewaktu
menyelamatkan Ratih, Wiro telah baku hantam dengan pemimpin rampok itu.
"Cantik, tetapi
buas!" kata-kata itu mendesis dari sela bibir Bayunata.
"Bangsat berjidat hangus,
kau pastilah Bayunata dan kawanmu itu Sawer Tunjung!"
Bayunata tertawa lebar-lebar.
Sambil usap-usap dadanya yang penuh bulu dia berkata: "Kau kenal aku, dara
buas?!"
"Aku juga kenal jalan ke
neraka untuk kalian berdua!" sahut Mawar Merah.
Kembali Bayunata tertawa
lebar-lebar.
"Bayu, biar aku yang beri
pelajaran pada gadis ini!" kata Sawer Tunjung.
"Tidak sobatku. Kau
bereskan laki-laki di sebelah sana. Pasti dia kambrat si baju merah ini.
Aku sendiri akan main-main
sejurus dua dengannya!"
Maka Bayunatapun maju ke
hadapan Mawar Merah. Golok besarnya masih berada dalam sarung dan dipegangnya
di tangan kiri.
"Sebelum nyawamu minggat
ke neraka, aku akan berikan satu hadiah bagus bagimu, Bayunata keparat!"
kata Mawar Merah. Dan tangan kirinya yang sejak tadi disembunyikannya di
belakang bergerak. Sebuah benda bulat sebesar kepala melesat ke arah pemimpin
rampok hutan Bludak. Bayunata cepat mengelak. Benda itu jatuh dibelakangnya dan
terkejutlah Bayunata, demikian juga Sawer Tunjung. Benda yang dilemparkan Mawar
Merah ternyata adalah kepala Singgil Murka!
"Betina keparat haram
jadah!" bentak Bayunata marah sengaja mencabut golok besarnya yang hampir
20 kati beratnya itu, "lekas serahkan diri atau kucincang detik ini juga
seluruh tubuhmu yang bagus ini!"
Mawah Merah menyeringai.
"Justru hari ini aku
harus serahkan jiwamu sebagai imbalan jiwa orang tua serta kakak dan seluruh
penduduk kampung Waru yang telah kau musnahkan secara biadab delapan tahun yang
lewat!" jawab Mawar Merah lalu membuka serangan pertama.
Melihat ini nafsu untuk
memiliki tubuh si gadis yang tadi berkobar di diri Bayunata menjadi lenyap,
berubah dengan kemarahan yang meluap. Golok besarnya ditebaskan ke depan untuk
menangkis senjata lawan. Namun dibikin terkejut karena sesaat senjata mereka
saling bentrokan, tahu-tahu pedang si gadis menyusup turun dan dalam gerakan
yang aneh berkelebat ke pinggangnya!
Tiga jurus bertempur Bayunata
mulai keluarkan keringat dingin. Ilmu pedang yang dimainkan si gadis aneh dan
tidak dimengertinya. Setiap serangan yang dilancarkan oleh pemimpin rampok ini
senantiasa menghantam tempat kosong. Sebaliknya dengan matimatian dia harus
mengelakkan serangan-serangan lawan yang datang laksana curahan hujan.
"Setan, ilmu silat apakah
yang dimainkan betina jalang ini?!" gertak Bayunata dalam hati. Cepat
dirobahnya permainan goloknya. Jurus-jurus terhebat yang selama ini disimpannya
sebagai andalan saat itu segera dikeluarkannya. Golok besarnya menderu-deru
menebar serangan ganas luar biasa. Lima jurus lamanya Mawar Merah harus
bertindak hati-hati. Jurus berikutnya begitu dia melihat liku-liku kelemahan
ilmu golok lawan, kembali gadis ini merangsak.
Untuk kesekian kalinya
Bayunata mengeluh. Bagaimanakah mungkin gadis secantik dan semuda ini memiliki
ilmu pedang yang aneh dan lihay begitu rupa?!
Tiba-tiba Bayunata berseru
keras. Goloknya membabat pulang balik sampai tiga kali. Serentak dengan itu
tangan kirinya dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin yang luar biasa
panasnya menggebu-gebu. Mawar Merah membabatkan pedangnya ke depan. Dengan
serta merta serangan golok serta pukulan sakti yang dilepaskan Bayunata musnah.
"Kalau begini
naga-naganya, aku bisa mampus percuma!" pikir Bayunata dalam hati.
Sementara itu di lain bagian
Sawer Tunjung telah berhadapan pula dengan Ranata.
"Kakang Ranata, jangan
bunuh bangsat itu! Biar aku yang membereskannya!" seru Mawar Merah.
"Kau tak usah kawatir,
Mawar." sahut Ranata. Di antara tiga pimpinan rampok hutan Bludak, Sawer
Tunjung adalah yang paling rendah ilmunya. Setelah bertempur tiga jurus, Ranata
berhasil merampas pedang laki-laki itu dan menotok urat besar di pangkal
lehernya hingga Sawer Tunjung menjadi kaku tegang laksana patung!
Serangan-serangan pedang Mawar
Merah semakin bertubi-tubi. Bayunata mundur terus. Hanya kegesitan
gerakannyalah yang masih menolong. Namun batas kemampuan Bayunata hanya sampai
jurus ke empat belas. Golok besar yang menjadi senjatanya patah dua dan
terlepas mental dari tangannya sewaktu terjadi satu bentrokan senjata yang
keras!
Bayunata melompat mundur.
Mukanya sepucat mayat, keringat dingin mengucur di keningnya. Tiba-tiba dia
menjatuhkan diri, bersujud di hadapan Mawar Merah.
"Gadis, ampunilah
selembar jiwaku yang tak berguna ini! Biarkan aku hidup! Segala harta kekayaan
yang aku miliki kupasrahkan padamu! Ampuni jiwaku … !"
"Kau minta ampunan,
Bayunata?! Jangan minta padaku! Mintalah pada setan-setan di neraka!"
Pedang merah di tangan Mawar
Merah memapas turun.
"Cras!!"
Bayunata menjerit. Tangan kanannya
putus. Darah menyembur. Pemimpin rampok ini karena dilanda sakit yang amat
sangat menjadi kalap. Dia melompat ke muka mengambil patahan goloknya lalu
menyerang Mawar Merah dengan membabi buta. Pedang di tangan si gadis menderu
lagi. Kini bahu kiri Bayunata yang menjadi sasaran. Untuk kedua kalinya
pemimpin rampok itu menjerit kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke tanah.
"Ampuni selembar nyawaku,
ampuni!" dia masih memohon dengan meratap.
Pedang merah itu diayunkan
lagi dua kali berturut-turut, memapas putus kaki kiri kanan Bayunata. Tubuhnya
yang terkutung-kutung itu berkolojotan kian kemari. Darah membanjir. Terakhir
sekali Mawar Merah membacokkan senjatanya ke kening Bayunata hingga kepala
manusia bejat ini hampir terbelah dua!
Sawer Tunjung tak berani
menyaksikan apa yang terjadi atas diri Bayunata. Terlalu ngeri untuk
disaksikan.
"Lepaskan totokannya
kakang Ranata!" terdengar suara Mawar Merah.
Begitu totokannya dilepaskan
begitu Sawer Tunjung jatuhkan diri dan meratap minta diampuni jiwanya. Ampunan
yang didapatnya tidak berbeda dengan nasib yang dialami Bayunata. Tubuhnya
menemui kematian dalam keadaan terkutung-kutung!
Tiba-tiba Mawar Merah membuang
pedangnya ke tanah, berlutut dan menangis sambil menutupi wajahnya.
"Ibu, ayah, kakak … Hari
ini semua sakit hati dan dendam kesumat telah berbalas! Semoga kalian bisa
tenteram di alam baka … !"
"Sudahlah Mawar,"
kata Ranata. Dipegangnya pundak gadis itu. "Berdirilah. Kita harus
kembali."
Perlahan-lahan Mawar Merah
berdiri. Di sekanya air mata yang membasahi pipinya. Keduanya bergerak
meninggalkan tempat itu. Tapi mendadak sontak dari depan berkelebatan seorang
berpakaian putih. Rambut dan wajahnya tertutup kerudung hitam. Hanya sepasang
matanya yang kelihatan, memandang tajam kepada Ranata dan Mawar Merah.
"Manusia bercadar, siapa
kau?!" bentak Ranata.
"Bangsat! Kalian berdua
harus pasrahkan jiwa padaku sebagai imbalan jiwa Bayunata yang telah dibunuh!
Aku adalah kakak seperguruannya!"
"Sret!"
Mawar Merah mencabut
pedangnya.
"Jika begitu kau harus
mampus di tanganku!" kata Mawar Merah seraya menghunus pedangnya.
"Aku tahu kaulah yang
membunuh Bayunata! Tapi aku tak bisa bertempur denganmu! Aku mempunyai
pantangan untuk bertempur dengan perempuan! Harap wakilkan dirimu pada kau
punya kawan!”
"Persetan dengan
pantanganmu!" sentak Mawar Merah seraya maju ke depan.
Ranata memegang bahu gadis
itu.
"Kali ini biar aku yang
turun tangan, Mawar. Aku tak bakal punya muka untuk selama-lamanya jika tak
berani menerima tantangan manusia macam begini!"
Mawar Merah mengalah juga
meski hatinya panas sekali.
"Perkelahian macam mana
kau ingini? Pakai senjata atau tangan kosong?!" bertanya manusia bercadar
hitam.
Ranata tertawa.
"Untuk menghadapi manusia
macam kau, perlu apa pakai senjata! Majulah!"
"Kau yang silahkan maju
duluan!" tantang si cadar h itam.
Ranata membuka serangan.
Gerakan yang dibuatnya aneh dan terbalik seratus delapanpuluh derajat dari ilmu
silat yang wajar. Sekejap tinjunya akan mencium dada lawan, si cadar hitam
berkelebat, membuat gerakan yang sama dengan gerakan Ranata dan tahu-tahu tinju
kanannya hampir saja mendarat di perut Ranata.
Baik Ranata maupun Mawar Merah
jadi kaget. Gerakan yang dimainkan oleh lawan persis gerakan ilmu silat yang
diajarkan kepada mereka oleh Citrakarsa. Dengan penasaran Ranata membuka jurus
kedua. Setengah jalan tiba-tiba si cadar hitam tertawa bergelak dan memapaskan
tangan dari kiri ke kanan sedang kaki membuat kuda-kuda aneh. Ranata terkejut
lagi. Apa yang dilakukan lawan juga gerakan ilmu silat yang dimilikinya. Dia
tak bisa berpikir lebih jauh. Cepat-cepat dia mengelak ke kiri. Dan justru saat
itu si cadar hitam membuat gerakan aneh lagi, cepat dan tak terduga.
"Bukk!"
Ranata terhuyung-huyung. Bahu
kanannya kena dipukul lawan, tapi dia tidak merasa sakit sama sekali. Ini
membuat Ranata jadi heran. Jika lawan inginkan jiwanya mengapa dia cuma
melancarkan serangan begitu rupa? Padahal dengan mengerahkan sedikit tenaga
dalam saja pastilah bahunya akan remuk!
Si cadar hitam tertawa
gelak-gelak.
Sementara itu Mawar Merah
menjadi penasaran melihat kekalahan kakak iparnya. Cepat dia maju hendak
menyerang. Di depan sana si cadar hitam tiba-tiba mengerakkan tangan menarik
cadar yang menutupi wajahnya,
"Wiro!" seru Ranata
dan Mawar Merah ketika mereka mengenali paras yang kini tak tertutup itu.
Pendekar 212 Wiro Sableng
tertawa gelak-gelak dan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
"Apa-apaan kau ini
Wiro?" tanya Ranata.
"Eh sobat lamaku! Kau
ingat peristiwa dulu sewaktu kau mengalahkan aku hanya dalam tiga jurus? Sehari
suntuk aku berusaha memecahkan kelihayan ilmu silatmu dan aku berhasil! Apa
yang kulakukan barusan hanyalah sekedar membalas penghormatanmu itu,
sobatku!" dan Wiro tertawa lagi lalu berkelebat lenyap meninggalkan kedua
orang tersebut. Ranata geleng-gelengkan kepala, berpaling pada Mawar Merah.
Lalu keduanyapun meninggalkan tem pat itu. Kelak bersama Ratih dan anak serta
ayahnya, Ranata akan berangkat menuju Kotaraja, darimana dia dan ayahnya dulu
berasal dan ke tempat mana mereka akan kembali.
TAMAT