-------------------------------
----------------------------
029 Bencana Di Kuto Gede
1
KUTO GEDE sudah jauh di
belakang mereka. Malam tambah gelap dan dinginnya udara semakin mencucuk. Di
langit sebelah tenggara tampak kilat menyambar beberapa kali.
“Turunkan aku di sini!” teriak
gadis di atas panggulan bahu kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Tenang sajalah dan jangan
banyak bicara. Berhenti di tempat ini masih cukup besar bahayanya. Bukan
mustahil orang-orang kerajaan membuntuti kita!”
“Aku tidak takut pada mereka!”
sahut Nawang Suri. Dia adalah gadis yang baru saja diselamatkan Wiro Sableng
ketika pecah perkelahian hebat di istana di awal malam. Di atas bahu sang
pendekar, dara itu berada dalam keadaan tertotok sementara tangan kanannya
patah dan mendenyut sakit tiada henti. Tapi sebagai seorang gadis nekad dan
keras hati tak sedikit pun rintih kesakitan ketuar dari mulutnya. Melihat si
pemuda terus melarikannya, Nawang Suri berkata:
“Jika kau tak mau menurunkan
aku di sini, bawa aku ke lembah Maturwangi di selatan!”
“Eh, kenapa kau minta dibawa
ke sana?” bertanya Wiro.
Semula Nawang Suri tak mau
menjawab. Ketika ditanya beberapa kali akhirnya dia menerangkan:
“Aku harus menemui pasukanku
di situ. Paling tidak sebelum mereka bergerak. Aku akan kembali ke Kota-raja
dan memimpin penyerbuan. Meskipun raja keparat itu sudah kubunuh, tapi sebelum
tahta berada di tanganku belum puas hatiku!” Mendengar kata-kata Nawang Suri,
Wiro Sableng hentikan larinya. Sang dara didudukkannya pada akar sebatang pohon
besar.
“Lepaskan totokanku!” meminta
Nawang Suri. Wiro Sableng gelengkan kepala. Dia duduk menjelepok di tanah di
hadapan sang dara. Untuk beberapa saat sepasang mata mereka saling memandang
tak berkedip.
“Seumur hidup baru kali ini
aku menemui gadis nekad sepertimu!” kata Wiro pula. Ucapan itu membuat sang
dara jadi panas hatinya dan menjawab dengan suara keras.
“Aku bukan manusia nekad! Apa
yang aku lakukan adalah demi keadilan! Demi kedua orang tuaku yang mereka
bunuh! Demi tahta kerajaan yang mereka rampas! Demi masa depan negeri di mana
aku dilahirkan. Dan kau jangan coba menghalangi!”
“Siapa bilang aku
menghalangi!” sahut Wiro sambil garuk kepala.
“Kau sudah membunuh raja! Apa
itu tidak cukup?!”
“Memang tidak cukup!
Tujuan utamaku adalah tahta
kerajaan!”
“Mungkin itu memang belum jadi
rejekimu
“Ini bukan soal rejeki atau
apa! Tapi soal hak…”
“Dalam kehidupan di dunia ini,
soal hak sama tipisnya dengan hembusan angin malam.
“Jangan bersyair di depanku!”
bentak Nawang Suri. Wiro menyeringai kecut. Dan berkata:
“Dalam keadaan terluka begini,
tangan patah, kau hendak menyerbu Kuto Gede. Sia-sia saja. Apakah kau memiliki
pasukan yang kuat serta panglima perang yang tangguh?”
“Aku dan orang-orangku
memiliki semangat…”
“Gadis nekad! Semangat saja
tidak cukup untuk memenangkan peperangan.
“Pemuda tolol macammu mana
tahu soal perang! Sebagai puteri raja aku telah diberi pelajaran dan latihan
untuk perang!”
“Tapi kau bukan mau perang!”
kata Wiro dengan pandangan mengejek.
“Maksudmu aku ini mau apa?”
“Mau bunuh diri!” Kalau saja
tubuhnya tidak kaku karena totokan mungkin Nawang Suri sudah memukuli atau
menampar Wiro Sableng saat itu.
“Bunuh diri atau apapun aku
tak takut mati…”
“Jika kau tetap keras kepala
biar kutinggal saja kau sendirian di sini!” kata Wiro seraya berdiri dan
pura-pura hendak pergi.
“Kau boleh pergi! Tapi
lepaskan dulu totokan di tubuhku!”
“Aku tak akan melakukan hal
itu. Kudengar banyak binatang buas sekitar sini. Biar kau dijadikan mangsa
mereka!” Lalu Wiro melangkah.
“Hai! Jangan tinggalkan aku!”
seru Nawang Suri. Kecut juga hatinya.
“Nah, nah… Kau harus begitu.
Harus mengikuti apa yang aku bilang.
“Tapi kau bukan ayah atau
majikanku! Jangan anggap budi pertolonganmu membuat dirimu merasa berkuasa atas
diriku!” kembali Nawang Suri keluarkan ucapan keras.
“Apa untungku menguasaimu…?”
“Kalau tidak ada maksud
sesuatu mengapa kau melarikan diriku?”
“Eh… eh! Aku bukan
melarikanmu. Apa yang kulakukan adalah menolongmu. Heran, bicaramu mengapa
ngacok melulu dan Wiro hentikan kata-katanya. Disambarnya tubuh Nawang Suri
lalu digotongnya ke balik serumpunan semak belukar lebat. Keduanya menelungkup
sama rata dengan tanah.
“Jangan keluarkan suara” bisik
Wiro yang mendengar suara orang mendekat. Baru saja pendekar itu selesai
bicara, dua tubuh tampak berkelebat dalam kegelapan dan berhenti sejarak
beberapa langkah dari pohon besar di mana mereka sebelumnya berada.
“Heran!” terdengar salah
seorang pendatang berkata pada temannya. Dia mengenakan pakaian biru berikat
pinggang putih. Di tangan kanannya ada sebilah golok besar. Wiro maupun Nawang
Suri segera mengenali orang ini dari suara dan pakaiannya yakni bukan lain Ki
Rawe Jembor, hulubalang pertama keraton Kuto Gede.
“Aku yakin sekali mereka pasti
kabur ke jurusan ini. Tapi mengapa kita tidak menemukan keduanya?! Pemuda itu
tak mungkin bisa lari cepat dengan membawa beban sosok tubuh gadis
pemberontak!” Kawannya terdengar menarik nafas panjang lalu mengusap-usap
pipinya yang cekung. Dia adalah Imo Gantra, hulubalang kedua.
“Bagiku sama sekali tidak
mengherankan. Pemuda itu bukan manusia sembarangan. Sosok tubuh manusia
bagaimanapun beratnya bisa saja seperti sekantong kapas baginya. Sebaiknya kita
kembali ke istana. Aku kawatir keadaan di sana tambah ricuh. Terus terang aku
tak perdaya pada si tua bangka Wulung Kerso. Keris Mustiko Geni ada di
tangannya!”
“Kita sama pendapat. Kakek itu
bisa saja melakukan sesuatu. Ketika kita berangkat mengejar kulihat dia
menyelinap masuk ke dalam istana.
“Ya, akupun melihat.
Gerakannya agak mencurigakan”.
“Ah, manusia satu itu pun
sudah kuketahui belangnya. Ketika Sri Baginda masih hidup dia tak lebih dari
seorang penjilat nomer satu! Dimas Imo Gantra, mari kita kembali!” Kedua tokoh
silat istana itu berkelebat dan lenyap dalam kegelapan malam. Di balik
rerumputan semak belukar Wiro membantu Nawang Suri duduk di tanah. Begitu duduk
sang dara langsung bertanya setengah mendamprat.
“Kenapa tidak kau hantam kedua
bangsat itu?” Wiro gelenggelengkan kepala dan menjawab:
“Aku tak punya permusuhan
dengan mereka.”
“Gila!”
“Eh, siapa yang gila…?” tanya Wiro
melotot tapi mulutnya menyunggingkan senyum.
“Kowe!” sahut Nawang Suri
setengah berteriak. Wiro tertegun sesaat lalu tertawa gelak-gelak.
“Hanya orang gila yang masih
bisa ketawa dalam keadaan seperti ini…!” menyentak Nawang Suri dengan pandangan
mata dan air muka sangat jengkel.
“Sudahlah, sekarang katakan
apa maumu?”
“Antarkan aku ke lembah
Maturwangi! Aku harus bergabung dengan pasukanku sebelum terlambat!”
“Benakmu masih saja dipenuhi
oleh kehendak balas dendam dan pertumpahan darah. Apakah tidak cukup semua itu
lunas dengan kematian raja yang tanganmu sendiri membunuhnya?!”
“Tidak!”, jawab Nawang Suri.
“Nawang Suri, kalau kau hanya
mendasarkan jalan hidupmu pada balas dendam dan darah, kau akan celaka!”
“Biar, aku memang sudah
celaka!” suara sang dara tersendat lalu terdengar sesunggukannya.
“Eh, tidak kusangka dara
dengan hati sekeras batu sepertimu ternyata pandai juga menangis…” ujar Wiro
Sableng menggoda.
“Pemuda edan! Aku bersumpah
menampar mulutmu seratus kali!”
“Sumpah edan!” tukas Wiro.
Lalu dia beringsut mendekati, hingga tubuh dan wajahnya hampir bersentuhan
dengan gadis itu.
“Jangan berlaku kurang ajar!
Apa yang hendak kau perbuat?!”
“Pertama, aku akan menolong
mengobati lengan kananmu yang patah. Setelah itu totokanmu akan kulepaskan.
Setelah itu… terserah padamu. Kau mau ke lembah Maturwangi atau ke lembah
sontoloyo silakan pergi!”
“Lalu dengan gerakan
cepat—yang membuat Nawang Suri terpekik—Wiro Sableng merobek ujung kain yang
dikenakan sang dara. Dia mematahkan sebatang ranting besar, meletakkan batang
kayu ini pada bagian lengan yang patah lalu mengikatnya dengan sobekan kain.
“Beres…” ujar Wiro. Lalu
tangannya bergerak mengurut bagian bahu dekat pangkal leher Nawang Suri
beberapa kali mengurut gadis itu merasakan totokan yang membuat tubuhnya kaku
tegang menjadi sirna.
“Nah, kau sudah bebas
sekarang,” kata Wiro. Lalu diangsurkannya wajahnya dekat- dekat ke hadapan sang
dara.
“Pemuda gila! Apa maumu…?”
“Eh, bukankah tadi kau hendak
menamparku seratus kali? Mengapa tidak segera kau lakukan?!” Nawang Suri hampir
menjerit saking gemasnya. Tangan kirinya sudah diangkatnya siap untuk menampar.
Namun tamparan itu tidak dilakukan. Entah mengapa hatinya tak kuasa untuk
melakukan hal itu.
“Aku benci padamu. Tapi aku
tak bisa menamparmu!” berkata Nawang Suri sambil berdiri dan membalikkan tubuh
membelakangi Wiro.
“Benci itu ada dua arti…”
terdengar suara sang pendekar.
“Benar-benar benci atau benar-
benar cinta. Nah yang mana yang kau pilih…?”
“Kau ternyata bukan saja sableng
tapi juga ceriwis! Siapa yang cinta padamu!” Habis berkata begitu Nawang Suri
dorong dada si pemuda lalu dengan gerakan cepat dia tinggalkan tempat tersebut.
Tinggal kini Pendekar 212 yang tegak tertegun sambil garuk garuk kepala. Akan
diikutinyakah gadis itu? Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke Kuto Gede
saja.
Kapak Maut Naga Geni 2122
Dari rumah penduduk di tepi
desa, Nawang Sari mencuri seekor kuda. Dengan seekor kuda itu dia bergerak ke
arah selatan. Dia memacu bintang itu seperti dikejar setan, karena memang dia
harus sampai di lembah sebelum tengah malam. Namun gadis itu terperangah ketika
sampai di lembah Maturwangi yang dia dapati hanya bekas-bekas perkemahan.
Pasukan yang sebelumnya dia ketahuai berkumpul di sana tak ada lagi disitu.
“Celaka, aku terlambat. Apakah
Empu Soka Panaran berada di antara mereka…?” Nawang Suri berpikir sesaat.
“Aku harus kembali ke
Kotaraja…” katanya dalam hati mengambil keputusan.
Lalu kuda yang sudah letih itu
diputar dan dibedalnya menuju ke utara. Sebelum masuk ke Kuto Gede dia harus
kembali ke rumah Empu Soka Panaran untuk berganti pakaian. Dia akan bergabung
dengan pasukan yang akan menyerbu istana, lalu mencari dan mendapatkan kembali
Keris Mustiko Geni lambang tahta Kerajaan. Sebelum kita ikuti perjalanan Nawang
Suri kembali menuju Kotaraja, marilah kita kembali dulu pada kejadian beberapa
waktu sebelumnya. Sejak kerajaan ditumbangkan dan tahta kerajaan dirampas,
Nawang Suri yang sesungguhnya adalah putri kerajaan yang berkuasa diselamatkan
dan di pelihara oleh Empu Andiko Pamesworo. Mereka bersembunyia di sebuah
pondok kayu di hutan dekat teluk yang sangat sepi. Di tempat itu sang Empu
menurukan seluruh kepandaian silat dan kesaktian yang dimiliknya kepada Nawang
Sari sehingga pada umur 19 jadilah dia dara yang memiliki kepandaian tinggi. Di
samping itu secara diam-diam Empu Andiko Pamesworo menyusun perebutan
kekuasaan.
Dengan mengandalkan kecantikan
Nawang Suri, diatur untuk mendekati orang-orang penting istana. Begitu mereka
terjebak, riwayat masing-masing akan segera dihabisi. Sasaran paling utama dan
paling penting tentunya adalah Sri Baginda sendiri. Dengan berbekal sebilah
keris sakti bernama Mustiko Geni, Nawang Suri menyamar sebagai lelaki dan
meninggalkan pondok Empu Andiko. Tak lama setelah dia pergi tiga orang tokoh
silat istana muncul di situ dan berhasil membunuh sang empu. Di pihak penyerbu,
satu orang menemui ajal. Dua lainnya yakni Gagak Celeng dan Buto Celeng
berusaha mengejar sang dara dan berhasil menghadangnya di daerah pesawahan.
Dengan keris sakti di tangan Nawang Suri menewaskan Gagak Celeng. Tapi pada
saat itu muncul seorang tokoh silat istana lainnya yang berkepandaian tinggi
bernama Sindu Kalasan, dikenal dengan julukan Datuk Tongkat Dari Selatan. Sang
Datuk berhasil membuat mental keris di tangan Nawang Suri.
Penyamarannya terbuka.
Nyawanya terancam.
Saat itulah muncul Pendekar
212 Wiro Sableng menolong dan menyelamatkan Nawang Suri. Keris Mustiko Geni
sempat pula terhindar dari rampasan Datuk Tongkat. Sikap dan gerak-gerik Wiro
yang seperti orang kurang waras itu membuat Nawang Suri tidak mempercayainya.
Dara itu kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kuto Gede.
Sesuai dengan petunjuk Empu
Andiko dia akhirnya sampai ke tempat kediaman Empu Soka Panaran yang tinggal di
pinggiran Kuto Gede dan menyamar sebagai juru ukir barang- barang perak dengan
memakai nama Gama Manyar. Bersama Soka Panaran rencana dimatangkan. Sementara
itu sisa-sisa balatentara kerajaan lama dikumpul dan disiapkan untuk
sewaktu-waktu menyerbu Kota raja. Orang yang pertama menjadi korban adalah
Pangeran Onto Wiryo, Kepala Pasukan Kota Gede. Nawang Suri berhasil membunuhnya
di sebuah telaga sepi. Ketika jenazah sang Pangeran dibaringkan di istana. Empu
Soka Panaran dan Nawang Suri sengaja datang melayat. Perangkap mereka mengena.
Sri Baginda terpikat melihat kecantikan dan kemulusan tubuh sang dara. Maka dia
meminta patih Wulung Kerso untuk mengatur agar gadis itu bisa di jadikannya
gundik. Hal itu berlangsung begitu cepat, sama sekali tidak diduga oleh Empu
Soka Panaran. Maka diatur gerak cepat.
Sementera Nawang Suri dibawa
ke istana malam harinya, sang Empu ke luar kota untuk menyipakan pasukan
penyerbu. Celakanya kemunculan Nawang Suri di Istana terlihat oleh Datuk
Tongkat yang saat itu tengah berkelahi melawan sejumlah pasukan dang perwira
kerajaan, dipimpin oleh tokoh hulubalang tingkat satu yakni Ki Rawa Jembor dan
Imo Gatra. Akibat tipu muslihat Nawang Suri, Datuk Tongkat dituduh sebagai
penghianat yang berserikat dengan kaum pemberontak. Sadar kalau rahasia dirinya
sudah terbuka sementara Datuk Tongkat menemui ajal di tangan para
pengeroyoknya, Nawang Suri melihat tak ada jalan lain dari pada harus membunuh
Sri Baginda saat itu juga. Begitulah, ketika Seri Baginda yang tergila-gila
padanya menyongsong kedatangannya di tangga istana Nawang Suri mencabut Keris
Mustiko Geni dan menikam Sri Baginda hingga tewas saat itu juga! Istana heboh.
Kini Nawang Suri menjadi bulanbulanan, ditangkap hidup atau mati sedang Keris
Mustiko Geni yang terlepas mental akibat hantaman senjata Ki Rawe Jembor
berhasil dirampas oleh Patih Wulung Kerso. Dalam keadaan terdesak dan tangan
kanan patah, Nawang Suri lagi-lagi diselamatkan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.
Untuk jelasnya kisah di atas
baca serial Wiro Sableng berjudul Petaka Gundik Jelita.
Kita kembali ke istana di kota
Gede. Beberapa orang perwira termasuk kepada Pasukan Kotaraja yakni Cokro
Ningrat segera menggotong jenazah Sri Baginda, membawanya ke dalam istana.
Namun Cokro Ningrat tampak memisahkan diri ketika melihat patih Wulung Kerso
bergegas masuk ke ruangan lain sambil membawa Keris Mustiko Geni. Dengan cepat
Kepala Pasukan ini mengikuti si orang tua. Kejadian yang serba cepat ini masih
sempat terlihat oleh K i Rawe Jembor. Sebenarnya dia hendak mengajak kambratnya
Imo Gantra untuk mengintili kedua orang tersebut. Namun saat itu Imo Gantra
telah lari bergegas ke pintu gerbang istana untuk mengejar Pendekar 212 Wiro
Sableng yang membawa lari Nawang Suri. Karena menangkap gadis pemberontak itu
lebih penting akhirnya Ki Rawe Jembor mengikuti Imo Gantra mengejar pendekar
yang kabur bersama boyongannya.
Patih Wulung Kerso memasuki
ruangan khusus di mana disimpan barangbarang dan senjata-senjata pusaka
istana. Di situ dia mencari sarung keris yang dapat dipergunakan untuk rumah
Keris Mustiko Geni yang telanjang dan masih berlumuran darah Sri Baginda.
Karena di situ memang banyak disimpan berbagai macam keris, dalam waktu cepat
sang patih telah mendapatkan sarung yang cocok untuk Mustiko Geni. Tanpa
membersihkan darah di badan keris, Wulung Kerso menyarungkan senjata sakti itu.
Lalu menyimpannya baik-baik di balik pakaiannya.
“Paman Patih Wulung Kerso,
apakah yang kau perbuat di sini?” Patih Wulung Kerso tersentak kaget. Ketika
membalik dilihatnya Raden Cokro Ningrat tegak di ambang pintu ruangan dengan
pandangan mata penuh selidik.
“Raden Cokro, bukankah
seharusnya kau menolong Sri Baginda?”
“Orang yang sudah mati tak
mungkin lagi ditolong. Saya lihat tadi Paman Patih membawa Keris Mustiko
Geni….. Wulung Kerso merasa tidak enak. Namun dia maklum, ketika berhasil
menangkap Mustiko Geni yang terlepas dari tangan Nawang Suri, puluhan mata
menyaksikannya. Jadi hampir semua orang tahu kalau senjata mustika lambang
tahta Kerajaan itu ada padanya. Dalam gugupnya patih Wulung Kerso sekaligus
coba menempelak.
“Raden, tak seharusnya kau
berada dalam ruangan ini. Tugasmu di luar sana. Bukankah mata-mata kita memberi
tahu bahwa ada serombongan pasukan tak dikenal bergerak menuju Kuto Gede. Pasti
mereka pasukan pemberontak yang datang untuk menyerbu. Atas nama kerajaan
kuminta agar Raden segera mengatur bala tentara untuk menghadapi kaum
pemberontak yang muncul setiap saat…” Raden Cokro Ningrat tersenyum penuh arti.
“Soal pasukan musuh, pasukan
pemberontak, apapun namanya tak usah dikhawatirkan. Jika mereka berani muncul
pasti lebur. Saya ingin tahu kau kemanakan Keris Mustiko Geni itu, paman
patih?”
“Ada kusimpan baik-baik. Kau
tak usah khawatir…”
“Mengapa paman yang harus
menyimpan senjata itu? Jika ada musuh menyelinap dan merampasnya bisa
berbahaya. Berikan keris itu padaku. Aku bisa menyimpannya di tempat yang
aman……” Patih Wulung Kerso tersenyum tawar mendengar kata-kata Kepala Pasukan
Kerajaan itu.
“Kau tak usah kawatir Raden
Cokro. Aku tahu bagaimana cara menyimpannya. Senjata itu tak akan muncul
sebelum Raja baru diangkat!”
“Dengar paman patih,” kata
Cokro Ningrat pula.
“Saya tahu dengan kepandaian
yang paman miliki, paman bisa menyimpan dan menjaga keris sakti itu baik-baik.
Tapi jangan lupa. Istana penuh dengan musuh dalam selimut. Kaki tangan musuh
berkeliaran di mana-mana. Keselamatan paman dan senjata itu bisa terancam… Saya
tetap meminta agar Mustiko Geni diserahkan pada saya…..”
“Hal itu tak bisa ku-kabulkan
Raden Cokro. Mustiko Geni tetap kusimpan sampai ada Raja baru yang diangkat dan
duduk di kursi besar sana…..” Raden Cokro Ningrat rupanya tidak senang. Namun
dengan cerdik mulutnya tetap menyunggingkan senyum. Dia melangkah mendekati
sebuah patung terbuat dari batu. Sambil mengusap-usap kaki patung dia berkata :
“Baiklah, kalau paman
menganggap mampu menjaga Mustiko Geni, tak ada salahnya paman yang
menyimpan…..”. Lalu Kepala Pasukan Kotaraja itu bersikap hendak berlalu. Namun
tiba-tiba cepat sekali tangan kanannya menangkap kaki patung batu. Benda itu
dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala Patih Wulung Kerso. Orang tua itu
tersungkur ke lantai. Tangan kanannya menggapai ke depan sementara kepala dan
mukanya berlumuran darah mengerikan.
“Keparat terkutuk. Kau… kau
nyatanya juga seorang musuh dalam selimut…” Dari balik pakaiannya patih tua ini
keluarkan Mustiko Geni lalu dia merangkak mendekati Cokro Ningrat. Keris yang
memancarkan sinar merah itu ditikamkannya ke arah Cokro. Namun sasaran terpisah
jauh. Dia hanya menusuk angin dan kembali tersungkur. Saat itu kembali Cokro
Ningrat menghantamkan patung batu ke kepala Patih Wulung Kerso. Dalam keadaan
terluka parah di kepala, patih yang juga memiliki kepandaian silat dan kekuatan
itu ternyata tidak mau menyerah begitu saja. Sambil merundukkan kepala
menghindarkan hantaman patung batu, Wulung Kerso memukul ke depan. Jotosannya
tepat menghantam lambung Cokro Ningrat. Meskipun tidak begitu telak dan keras
akibat luka yang dideritanya namun jotosan tersebut cukup membuat Kepala
Pasukan itu terhenyak ke belakan dengan perut mual dan dada terasa sesak sakit.
Patih Wulung Kerso maju merangsak. Kini dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang
ada lalu menyergap dengan dua tangan terpentang. Namun Keris Mustiko Geni yang
ada di tangan kanannya hanya mampu merobek pakaian kebesaran Raden Cokro
Ningrat. Diam-diam Kepala Pasuka Kerajaan ini merasakan tekuknya jadi dingin.
Sempat senjata sakti itu menggores kulit dadanya, nyawanya tak akan tertolong!
Darah yang membasahi kepala dan muka Wulung Kerso menutup pemandangan kedua
matanya. Berulang kali dia mengusap wajah dan ini tentu saja merupakan
kesempatan baik bagi Cokro Ningrat. Selagi pemandangan patih tua itu terhalang
secepat kilat Cokro Ningrat gebukkan patung batu di tangannya ke tubuh Wulung
Kerso. Tepat menghantam bahu kiri hingga orang tua ini terkapar di lantai
ruangan. Dari mulut Wulung Kerso keluar suara
rintihan. Patih ini masih
berusaha bangkit sambil mengacungkan Keris Mustoko Geni yang memancarkan sinar
merah angker itu. Namun darah yang terlalu banyak tertumpah membuat Wulung
Kerso kehilangan tenaga. Lututnya goyah, pemandangannya semakin kabur,
tenaganya semakin sirna. Ketika patung batu menghajar keningnya, dia tak punya
daya lagi untuk mengelak. Tubuhnya roboh ke lantai, darah dan cairan otak
berceceran. Keris Mustoko Geni terlepas dari genggamanya dan tercampak di
lantai. Raden Cokro Ningrat cepat mengambil senjata Mustika itu, memasukkannya
ke dalam sarung yang ditariknya dari pinggang Wulung Kerso, lalu meninggalkan
mangan itu. Pintu kamar sengaja dikuncinya dari luar. Ketika dia sampai di
bagian depan istana, Kepala Pasukan Kerajaan ini terkejut Serombongan pasukan
berjumlah sekitar tiga ratus orang tampak berada di seberang sana, siap
menyerbu. Ada tiga orang berkuda yang bertindak sebagai pimpinan. Dua masih muda
dan tak dikenal sedang yang seorang lagi dikenalnya sebagai Manyar Gantra,
orang tua yang diketahui sebagai juru ukur barangbarang perak.
“Pemberontak keparat! Datang
juga mereka akhirnya!” serapah Cokro Ningrat. Pada beberapa orang perwira yang
ada di situ dia segera berteriak memberi perintah. Sejumlah pasukan segera
dihimpun dengan cepat untuk menyambut serangan. Namun karena pasukan yang ada
di situ hanya merupakan pengawal istana, jumlah mereka dengan sendirinya lebih
sedikit. Hal ini membuat serangan pasukan pemberontak tidak tertahankan.
“Kurang ajar!” kertak Cokro
Ningrat. Seorang perwira ditariknya ke balik pilar istana.
“Cepat datangkan pasukan
bantuan dari timur dan selatan. Paling tidak jumlah kita harus dua kali lebih
besar dari pemberontak jahanam itu!”
“Siap Raden!” jawab si perwira
lalu tinggalkan tempat itu. Memandang berkeliling Raden Cokro menjadi beringas.
Dia tak melihat seorang pun tokoh silat istana ada di tempat itu. Karena tak
dapat menunggu lebih lama. Kepala Pasukan ini segera menuruni tangga istana
menyongsong serbuan pasukan dengan sebilah pedang di tangan kanan. Ketika dia
sampai di pertengahan taman istana, dua penunggang kuda yang bertindak sebagai
pimpinan pasukan penyerbu menghadangnya.
“Bangsat pemberontak! Kalian
mencari mampus!” teriak Cokro Ningrat.
“Cokro Ningrat anjing
pengkhianat! Darah rakyat yang pernah kau tumpahkan harus kau ganti dengan
darahmu sendiri!” Balas berteriak salah seorang penunggang kuda. Sekali
goloknya diayunkan, senjata itu membabat ke arah kepala Cokro Ningrat.
Kapak Maut Naga Geni 2123
Tampaknya lelaki muda yang
menyerang Kepala Pasukan itu memang memiliki kepandaian. Namun dibandingkan
dengan kepandaian yang dimiliki Raden Cokro Ningrat, meskipun dia menggempur
bersama seorang kawanya, agak sulit baginya untuk merobohkan Kepala Pasukan
itu. Hal itu menjadi kenyataan sewaktu pedang Cokro Ningrat membacok kura
tunggangan mereka hingga kuda-kuda itu merangkak liar. Membuat keduanya
terpaksa melompat ke tanah. Perkelahian dua lawan satu ini berlangsung sekitar
empat jurus. Di jurus kelima, lelaki di sebelah kanan menemui ajal oleh tusukan
pedang Cokro Ningrat yang tepat menembus dada kirinya. Jurus berikutnya lelaki
kedua menyusul roboh akibat bacokan pedang tepat pada pangkal lehernya.
“Bangsat pemberontak! Kalian
mundur kalau tidak mau mampus percuma! Letakkan senjata dan menyerah!” teriak
Cokro Ningrat. Tapi pasukan penyerbu yang tidak kenal rasa takut itu merangsak
terus. Puluhan di antara mereka sudah mendekati tangga istana sementara puluhan
prajurit di kedua belah pihak tampak berkaparan di taman dan tangga istana.
Saat itulah serombongan pasukan kerajaan yang berjumlah hampir dua ratus orang
muncul dari kiri kanan. Serta-merta gerakan penyerbu tertahan. Semangat
balatentara Kerajaan yang tadi melemah kini pulih kembali. Raden Cokro
terdengar kembali berteriak.
“Jika kalian tidak menyerah
kalian akan mampus percuma! Kalian sudah terkurung!”
“Cokro Ningrat! Mulut besarmu
sudah saatnya ditutup!” Terdengar suara membentak. Satu bayangan putih
berkelebat. Angin serangan membuat Kepala Pasukan ini tergetar dan cepat
bertindak mundur, memandang ke depan dia melihat orang itu itu tegak dengan
sebatang tongkat besi kuning melintang di dada.
“Gama Manyar! Tidak sangka
nyatanya kau adalah seorang gembong pemberontak!” bentak Raden Cokro ketika
mengenali siapa adanya orang tua di hadapannya. Si orang tua menyeringai.
Wajahnya tetap dingin sedang sepasang matanya tidak berkedip.
“Namaku bukan Gama Manyar.
Akulah yang dikenal dengan nama Empu Soka Panaran!” berkata orang tua itu
dengan suara lantang lalu wut… wut! Tongkat besi kuning di tangannya diputar di
depan dada. Sesaat sosok tubuhnya hanya berupa baying-bayang kuning yang
terbungkus oleh putaran tongkat kuning yang amat cepat.
Raden Cokro Ningrat terkejut.
Tapi dia tidak mau memperlihatkan perubahan pada air mukanya. Siapa yang tak
kenal Empu Soka Panaran? Di masa Kerajaan lama dia dalah seorang ahli pembuat
barang-barang ukiran istana. Tapi lebih penting dari itu dikabarkan orang tua
ini memiliki kepandaian silat tinggi dan kesaktian mengagumkan.
“Kau terkejut setelah
mengetahui siapa aku? Takut…?! Lalu mengapa tak lekas menyerah?!” mengejek Empu
Soka Panaran.
“Tua bangka rakus kekuasaan!
Kau sengaja mengorbankan orang-orang tak berdosa untuk mencapai tujuan kotor!”
Soka Panaran tertawa mengekeh.
“Buka matamu lebarlebar,
pasang telingamu baik-baik dan tanyai hati sanubarimu! Siapa di antara kita
yang kotor! Siapa di antara kita yang telah menumpahkan darah rakyat untuk
merebut tahta kerajaan? Kau dan rajamu yang sudah mampus itu dan ratusan
pengkhianat lainnya yang gila kekuasaan! Dulu kau hanya perwira kelas picisan!
Tapi kau bersedia mengkhianati rajamu yang syah hanya untuk mendapatkan
kedudukan Kepala Pasukan! Apakah kau sudah senang dan baik-baik saja dalam
jabatanmu yang penuh lumuran darah itu…?” Merah padam wajah Raden Cokro dan
berdesing panas telinganya mendengar katakata Empu Soka Panaran itu.
“Tua bangka sinting! Ajal
sudah di depan mata masih saja bicara tak karuan!” Habis membentak begitu Cokro
Ningrat menyerang dengan pedangnya. Sementara itu pasukan Kerajaan yang datang
semakin banyak. Puluha prajurit dan beberapa perwira mengelilingi kalangan
pertempuran antara pemimpin mereka melawan Empu Soka Panaran. Mereka maklum orang
tua itu memiliki kepandaian tinggi karenanya perlu berjaga-jaga agar jangan
sampai lolos kalau seandainya Kepala Pasukan mereka mengalami cidera atau
sampai tumbang di tangan orang tua itu. Ternyata memang Empu Soka Panaran bukan
tandingan Kepala Pasukan Kerajaan itu. Setelah menggempur habis-habisan selama
enam jurus tanpa membawa hasil, kini Cokro Ningrat mendapat serangan balik yang
gencar. Tongkat besi kuning di tangan sang empu menderu laksana titiran,
menekan dan mengemplang, menggebuk dan menusuk, membuat Kepala Pasukan itu
terdesak dan berseru keras sewaktu akhirnya pedang di tangannya dihantam mental
oleh pukulan keras ujung tongkat. Raden Cokro Ningrat melompat mundur. Tapi
lebih cepat tongkat lawan datang mengejar ke arah kepala. Masih untung Cokro
Ningrat sempat membuang diri ke samping kalau tidak kepalanya sudah remuk
dihantam tongkat. Meskipun selamat namun ujung senjata lawan menoreh pelipis
dan pipi kanannya hingga mendatangkan gorensan luka yang cukup dalam dan
mengucurkan darah. Melihat pimpinan mereka cidera, beberapa perwira segera
bertindak maju. Menyaksikan hal ini Empu Soka Panaran cepat berteriak mengejek.
“Bagus! Kalian bangsa
pengkhianat memang berjiwa pengecut! Silakan bantu pimpinan kalian agar tidak
mampus lebih cepat!” Merasa malu Cokro Ningrat berteriak pada orang-orangnya.
“Semua mundur! Menghadapi
tikus tua macam ini aku tak butuh bantuan kalian!” Lalu dari balik pakaiannya
Kepala Pasukan Kerajaan itu cabut Keris Mustiko Geni. Sinar merah berkiblat
dalam gelapnya malam di taman istana itu. Terkejutlah Empu Soka Panaran alias
Gama Manyar. Bagaimana Keris sakti lambang tahta Kerajaan itu berada di tangan
Cokro Ningrat. Sejak tadi hatinya memang sudah cemas karena tidak melihat
Nawang Suri. Di mana gadis itu setelah dia diketahui berhasil membunuh Sri
Baginda? ’Tikus tua! Majulah! Bukankah kau ingin mati lebih cepat?” membentak
Cokro Ningrat.
“Pengkhianat busuk! Rajamu
sudah tewas! Keris itu bukan milikmu! Lekas serahkan padaku…!”
“Ha… ha…! Kau takut menemui
kematian di tangan senjata sakti ini?!” ejek Cokro Ningrat.
“Hidupku hanya sekali! Nyawa
hanya satu dan aku tidak takutkan mati!” Hardik Empu Soka Panaran. Wut!. Sinar
kuning berkiblat ketika tongkat besinya diputar sebat. Cokro Ningrat yakin
sekali akan keampuhan keris Mustiko Geni. Dia menyongson sambaran tongkat
lawan. Trang…!! Kliing…!! Empu Soka Panaran berseru kaget dan melompat mundur.
Tongkat besi kuningnya putung sewaktu keris sakti itu membabat hampir sepertiga
dari panjangnya! Tangannya bergetar dan terasa panas.
“Ah, senjata sakti itu…
Mengapa bisa berada di tangan musuh…” keluh Empu Soka Panaran dalam hati. Dia
sadar apapun senjata yang dimilikinya tak bakal sanggup menghadapi Keris
Mustiko Geni. Berarti dia harus mengerahkan kemampuan tenaga luar dalam dan akal
untuk menghadapi lawan.
“Tua bangka pemberontak!”
Cokro Ningrat berkata sambil acungkan Keris Mustiko Geni tinggi-tinggi ke atas.
“Jika kau bersedia menyerah
maka kau akan digantung secara terhormat! Tapi jika terus melawan, tubuhmu akan
gosong oleh keris sakti ini!”
“Aku lebih suka mati di ujung
Mustiko Geni!” jawab Soka Panaran tegas. Tongkatnya yang hanya tinggal dua
pertiga panjang semula meluncur ke depan tapi cepat ditarik ketika keris
Mustiko Geni digunakan lawan untuk menangkis. Serangan tongkat yang tadi berupa
tusukan kini berubah menjadi sabetan kea rah pinggang dan lagi-lagi berbahaya
setelah Mustiko Geni dipakai untuk menangkis. Gerakan yang serba cepat membuat
Cokro Ningrat menjadi kewalahan. Tapi orang ini cukup cerdik. Dia tak mau tenaga
ikut bergera cepat dalam menghadapi lawan. Yang dilakukan adalah tegak di
kalangan pertempuran dan melindungi diri dari setiap serangan dengan Keris
Mustiko Geni. Lalu pada setiap kesempatan yang ada dia kirimkan serangan
balasan. Setelah berkelahi lebih dari dua puluh jurus, nafas Empu Soka Panaran
mulai tersengal. Meskipun dia sanggup untuk terus berkelahi sampai seratus
jurus amun kekuatan serangannya akan mengendur. Hal ini disadari sepenuhnya
oleh orang tua itu. Maka dia pun merubah sasaran serangan. Kalau tadi dia
berusaha menghantam tubuh, kepala atau bagian badan lain dari Cokro Ningrat
maka kini serangannya dipusatkan pada tangan kanan lawan. Apapun yang terjadi
dia harus dapat membuat Cokro Ningrat melepaskan Keris Mustiko Geni dari
genggamannya, celakanya apa yang ada dalam benak si orang tua, diketahui pula
oleh lawan! Kini tampak Cokro Ningrat merobah sasaran serangan. Kalau
sebelumnya dia berusaha menghancurkan senjata lawan maka kini begitu berhasil
mengelakkan satu serangan dia langsung tusukkan keris ke arah bagian tubuh
lawan. Dia tak perlu memilih bagian tubuh lawan. Karena sekali Keris Mustiko
Geni dapat menoreh kulit atau daging lawan, dalam beberapa saat hawa ganas yang
ada pada senjata itu akan menewaskannya. Pada jurus ke enam puluh dua Empu Soka
Panaran mulai lamban gerakannya. Beberapa kali Keris Mustiko Geni hampir
mendarat di tubuhnya. Keadaannya sangat terdesak. Nyawanya tak tertolong lagi.
Pasukan yang datang menyerbu bersamanya, melihat kejadian ini jadi leleh
semangat mereka. Semua hanya tinggal menunggu saja. Jika si orang tua tewas di
tangan Kepala Pasukan Kerajaan itu maka mereka yang hidup hanya ada satu
pilihan. Menyerah atau melarikan diri! Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba
seekor kuda menerjang masuk ke dalam» kalangan pertempuran sambil meringkik
keras. Dua orang prajurit tergelimpang roboh kena terjangan kaki depan. Seorang
perwira tersungkur ke samping. Satu perwira lagi berseru kaget ketika pedang
yang sejak tadi dicekalnya tahu-tahu dibetot lepas. Dalam suasana yang bertambah
kacau terdengar seruan.
“Empu Soka Panaran! Mari kita
musnahkan manusia-manusia perampok tahta dan pengkhianat busuk!” Sekali lagi
terdengar ringkik kuda. Dari atas punggung binatang ini tampak menyambar
sebilah pedang, berkiblat kea rah leher Cokro Ningrat. Masih untung kepala pasukan
ini dalam kejutnya untuk melompat mundur. Begitu selamat dari tebasa pedang
dengan beringas dia menusukkan keris Mustiko Geni ke arah penunggang kuda.
Namun dari samping Empu Soka Panaran datang membabatkan tongkat besi kuningnya
hingga Cokro Ningrat sekali lagi terpaksa melompat mencari selamat. Saat itulah
satu tendangan bersarang di bahu kirinya, membuat Cokro Ningrat hamper roboh ke
tanah kalau tidak di Bantu dua orang perwira. Memandang ke depan Cokro Ningrat
segera mengenali siapa adanya penunggang kuda itu. Bukan lain Nawang Suri,
puteri raja terdahulu. Gadis ini tampak mengenakan pakaian ringkas dan ikat
kepala warna merah.
“Bagus! Aku tak perlu susah
payah mencarimu! Kau ternyata datang sendiri untuk menyerahkan nyawa!” kertak
Cokro Ningrat. Dia memberi isyarat pada para pembantunya. Dua perwira yang
barusan menolongnya bersama- sama tujuh prajurit segera mengurung Nawang Suri
yang masih tetap berada di punggung kuda. Tangan kanan yang patah terbalut kain
sedang tangan kiri memegang pedang rampasan. Meskipun kehadiran Nawang Suri
menyelamatkan dirinya dari serangan lawan, namun Empu Soka Panaran merasa
sangat kawatir. Dia melihat sendiri keadaan Nawang Sari yang cedera tangan
kanan dan hanya mengandalkan tangan kiri. Sementara itu jumlah pasukan kerajaan
semakin banyak. Sulita bagi mereka untuk memenangkan pertempuran. Bagi sang
empu sendiri kematian tidaklah menakutkan. Tapi kiri dia justru mengkhawatirkan
keselamatan putri junjungannya itu!.
“Den Ayu! Keadaan sangat
berbahaya! Tinggalkan tempat ini! Selamatkan dirimu! berseru Empu Soka Panaran.
“Tidak!” sahut Nawang Suri
tegas dan tanpa takut.
“Bukankah kita sudah memilih
mati dari pada hidup dinista?!” Cokro Ningrat tertawa bergolak.
“Kalau sudah masuk ke sarang
harimau mana mungkin keluar dengan selamat?!
Bersiaplah menerima kematian!”
Tangan kanannya bergerak. Sinar merah Keris Mustiko Geni berkiblat ke arah sang
empu sementara Nawang Suri harus menghadapi serbuan dua perwira dan tujuh
prajurit.
Kapak Maut Naga Geni 2124
“Bunuh dulu kudanya!” teriak
salah seorang perwira. Lebih dari selusin prajurit datang menyerbu. Sementara
dua pimpinan mereka melayani Nawang Suri. Prajuritprajurit itu memusatkan
serangan pada kuda tunggangan sang dara. Tombak dan pedang serta kelewang
berserabutan. Bagaimanapun Nawang Suri berusaha menyelamatkan kudanya namun
akhirnya binatang itu roboh bergelimang darah, penuh luka
“Bangsat rendah! Mampus kalian
semua!” teriak Nawang Suri. Dia melompat dari punggung kuda sebelum binatang
ini tergelimpang di halaman istana. Pedangnya diputar deras. Dua prajurit
menjerit dan roboh mandi darah. Dua perwira cepat berteriak memberi aba- aba.
Sepuluh prajurit lagi datang membantu. Kini ada delapan belas prajurit dan dua
perwira mengurung Nawang Suri. Dengan pedang di tangan kiri gadis ini terus
mengamuk. Di jurusan lain Cokro Ningrat menggempur Empu Soka Panaran
habishabisan. Orang tua yang kehabisan tenaga ini tak mampu berbuat banyak.
Beberapa kali tongkat besi kuningnya buntung di babat keris Mustiko Geni hingga
potongan kecil yang masih tersisa di tangannya tak ada gunanya lagi lalu di
lempar kearah Cokro Ningrat. Dengan mudah Kepala Pasukan itu mengelakkan
lemparan besi itu meskipun potongan tongkat ini melesat dan menancap di leher
seorang perwira yang mengeroyok Nawang Suri, yang membuatnya tak ampun lagi
roboh ke tanah dan menemui ajal saat itu juga!. Perwira yang kedua terkejur dan
tercekat melihat kematian kawannya yang berlaku lengah. Hal ini harus
dibayarnya dengan mahal. Pedang di tangan kiri Nawang Suri menghujam di
perutnya tanpa dapat dielakkan! Karena kehilangan dua pemimpin mereka
sekaligus, belasan prajurit yang mengeroyok Nawang SUri menjadi leleh nyali
mereka. Hal ini diketahui benar oleh sang dara hingga dia dapat menebar
serangan maut dengan leluasa. Sebelum prajurit-prajurit kerajaan menjadi korban
keganasan pedang sang dara lebih banyak, dari arah pintu gerbang istana, dua
orang kakek tampak berkelebat dalam kegelapan. Dalam waktu singkat keduanya
telah berada di hadapan Nawang Suri. Gerakan kedua kakek ini membuat sang dara
seperti terdorong tembok keras sehingga dia terpaksa melompat mundur dan
memandang dengan beringa kearah dua pendatang ini. Nawang Suri segera mengenali
mereka yakni bukan lain adalah Ki Rawe Jembor dan Imo Gatra, dua hulubalang utama
istana.
“Hemmm… kalian rupanya! Apa
sudah siap untuk mampus?!” mengejek Nawang Suri sementara sepasang matanya
bergerak liar memperhatikan gerakan belasan prajurit yang kini mengurungnya
dengan rapat. Imo Gantra tertawa buruk. Ki Rawe Jembor memandang dingin tak
berkesip.
“Gadis tolol!” mengejek Imo
Gantra.
“Setelah lolos ditolong
pendekar sableng itu, kau malah kembali muncul mencari kematian!”
“Akan kita lihat siapa yang
mampus duluan, kau atau aku!” sahut Nawang Suri.
“Pasti kau! Bukankah kad ingin
lekas-lekas menyusul kedua orang tuamu…?!” mengejek Imo Gantra. Mendengar orang
tuanya disebut-sebut, Nawang Suri menjerit marah. Tubuhnya berkelebat ke depan.
Pedang di tangan kirinya menyambar deras ke kepala Hulubalang Istana nomor dua
itu. Saat itu keadaan pihak penyerbu boleh dikatakan sudah kritis. Empu Soka
Panaran yang sudah tak berdaya apa-apa lagi hanya tinggal menunggu kematian di
ujung Keris Mustiko Geni. Bala tentara yang tadi hampir tidak tertahankan dan
sempat naik ke tangga istana kini terpukul dan didesak mundur sampai ke pintu
gerbang istana meninggalkan korban tewas bergeletakan di berbagai penjuru. Dan
nasib Nawang Suri jelas tidak menguntungkan. Dengan tangan kanan patah, hanya
dengan mengandalkan pedang di tangan kiri sulit baginya untuk menghadapi dua
tokoh silat istana yang berkepandaian tinggi yakni Imo Gatra dan Ki Rawe
Jembor. Meskipun kedua kakek itu tidak memegang senjata namun dalam beberapa
jurus saja sudah berhasil mendesak sang dara. Dalam satu gebrakan hebat Nawang
Suri bertindak kenat yaitu menerima gebukan tangan Ki Rawe Jembor asalkan dapat
menusuk mati Imo Gatra dengan pedang di tangan kirinya. Buk! Jotosan Ki Rawe
Jembor bersarang tepat di dada sang dara. Sebaliknya tusukan pedang yang
diharapkan akan menewaskan Imo Gantra ternyata menemui kegagalan karena sambil
menjotos dengan tangan kanan, Ki Rawe Jembor pergunakan tangan kiri untuk
mendorong Imo Gantra hingga kakek satu ini selamat dari kematian! Nawang Suri
terhuyung-huyung ke belakang. Pedangnya terlepas dari tangan kiri dan terjatuh
ke tanah. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk mendekap dadanya yang sakit
bukan kepalang. Tulang dadanya serasa melesak. Iga-iganya seperti remuk
berantakan. Darah mengucur di sela bibirnya. Perlahan- lahan tapi pasti dara
ini akhirnya jatuh terduduk di tanah. Saat itulah dilihatnya di kejauhan, Empu
Soka menemui ajal, tewas di tangan Raden Cokro Ningrat. Tewas terkena tikaman
Keris Mustiko Geni. Senjata mustiko sakti lambang kerajaan yang hendak
dibelanya tapi justru dia sendiri yang menemui kematian di ujung keris itu.
Tubuh Empu Soka Panaran tergelimpang tak bergerak lagi. Kulitnya tampak
menghitam hangus!
“Bagus! Pemberontak tua sudah
mampus! Sekarang giliran gadis tolol ini menemui ajalnya!” teriak Ki Rawe
Jembor. Sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Nawang Suri yang
terduduk di tanah tak berdaya. Kakek ini angkat kaki kanannya dan kirimkan
tendangan maut ke arah kepala sang dara. Meskipun saat itu pemandangannya
menjadi kabur namun Nawang Suri masih sempat melihat datangnya bahaya maut.
Sambil jatuhkan diri ke tanah gadis ini angkat tangan kanannya yang terbalut
patah untuk menangkis. Terdengar jeritannya ketika tendangan K i Rawe Jembor
mematahkan tulang lengan itu untuk kedua kalinya. Nawang Suri terguling di tanah
beberapa kali. Gulingan tubuhnya terhenti ketika satu kaki menahan dadanya.
Kaki yang menginjak ini tidak beda dengan batu besar hingga dadanya yang sakit
semakin terasa sakit seperti remuk berantakan. Dia tak kuasa lagi menjerit.
Nafasnya pun hanya tinggal satusatu. Dia memandang ke langit gelap. Lalu pada
orang yang menginjak tubuhnya. Ternyata orang ini adalah Cakra Ningrat. Kepala
Pasukan Kerajaan yang barusan membunuh Empu Soka Panaran.
“Keparat! Pengkhianat busuk!
Tunggu apa lagi? Bunuh aku saat ini juga!” Suara sang dara bergetar. Perlahan,
tapi karena di tempat itu mendadak menjadi sunyi sementara pasukan penyerbu
telah melarikan diri, maka suara yang perlahan itu masih dapat terdengar jelas.
“Mati cepat-cepat saat ini
terlalu enak bagimu! Kau akan kami gantung di tanah lapang! Biar semua orang
menyaksikan hukuman yang layak bagi setiap pemberontak!” berkata Cokro Ningrat.
“Dia sudah minta mati. Kenapa
menunggu- nunggu? Bunuh saja saat ini juga. Habis perkara. Semua urusan beres
sudah!” Yang bicara adalah Ki Rawe Jembor. Raden Cokro Ningrat menyeringai
mendengar ucapan itu. Dia melirik pada Imo Gantra seakan minta pendapat. Imo
Gantra yang mengerti maksud lirikan Kepala Pasukan Kerajaan itu anggukkan
kepala tanda setuju. Maka tanpa pikir panjang lagi Raden Cokro Ningrat
membungkuk dan tusukkan keris Mustiko Geni lurus-lurus kea rah leher Nawang
Suri. Saat itulah terdengar satu suitan nyaring. Disusul dengan deru angin
laksana topan prahara datang menyambar dari langit malam
yang gelap. Semua orang yang
ada di tempat itu merasakan tubuh masing-masing bergetar. Pakaian dan rambut
mereka berkibar-kibar. Sekali lagi terdengar suitan keras dan tubuh Cokro
Ningrat tiba-tiba terpental. Keris Mustiko Geni hampir terlepas dari tangannya.
Dengan sigap Kepala Pasukan ini jatuhkan diri ke tanah sambil babatkan keris
sakti ke depan. Sinar merah berkiblat. Dia selamat dan bangkit dengan cepat
tapi bahu kanannya tampak bengkak besar. Seseorang telah melepaskan tendangan
kilat. Masih untung tendangan itu meleset.
“Keparat! Dia lagi!” terdengar
teriakan Imo Gantra.
“Kali ini tak ada ampun bagimu
pendekar sinting!” menyusul suara bentakan Ki Rawe Jembor. Memandang ke depan
Raden Cokro Ningrat melihat seorang pemuda berambut gondrong sebahu berikat
kepala kain putih tegak dengan kaki merenggang. Kedua tangannya dirangkapkan di
depan dada. Baju putihnya tidak dikancingkan. Pada dadanya yang berotot tampak
tersebul barisan tiga angka yang telah menggetarkan rimba persilatan.
“Pendekar 212…” desis Cokro
Ningrat. Lidah nya terasa kelu, tengkuknya seperti disiram embun pagi!
“Aku sudah memberi peringatan
pada semua Kalian di sini. Jangan berani mengganggu gadis ini! Ternyata kalian
mengabaikan peringatan itu…” Ki Rawe Jembor tampak geram mendengar kata-kata
Pendekar 212 Wiro Sableng yang jelas-jelas menantang dan sekaligus merendahkan
dirinya dan kawan-kawan. Dia maju satu langkah dan membuka mulut dengan suara
lantang.
“Manusia sableng! Kau sendiri
rupanya juga lupa akan peringatanku. Kami telah melepaskan kau dan gadis itu
sore tadi. Kini kalian datang lagi membuat keonaran. Bahkan membunuh
orang-orang kami. Bukankah sudah kukatakan bahwa pembalasan kami lebih kejam
dari siksa neraka…?!”
“Soal siksa neraka mana aku
tahu. Kukira kaupun tidak tahu! Kalau aku kepingin tahu apakah kau bisa
menunjukkan jalan ke neraka?!” Habis berkata begitu Wiro Sableng lalu umbar
tawa bergelak. Karena suara tawanya disertai kekuatan tenaga dalam yang tinggi
maka semua orang yang ada di sana merasakan telinga masing-masing mengiang
memekakkan sedang jantung seperti berguncang! Wiro melangkah mendekati Nawang
Suri.
“Sahabat, kau tak apa-apa…?”
Pendekar ini menegur. Dalam hatinya sang dara memaki panjang
pendek.
“Aku sudah hampir mampus
dikatakan tidak apa-apa! Pemuda edan! Benar-benar sableng!” Walaupun dalam hati
memaki, namun entah mengapa gadis yang tadi sudah nekad dan siap menerima
kematian, kini muncul harapan untuk hidup kembali. Dan dia diam saja ketika
pemuda itu memegang tubuhnya lalu mengangkat dan meletakkannya di bahu, seperti
sebelumnya ketika dia memberi pertolongan. Wiro memandang berkeliling. Saat itu
terdengar Ki Rawe Jembor berkata.
“Jangan harap kali ini kami
memberi ampunan dan membiarkan kalian berdua pergi hidup-hidup!”
“Begitu…?” tukas Wiro.
“Kita akan lihat. Siapa berani
bergerak dia akan mati duluan!” Lalu murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede
ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang di mana tersisip Kapak Maut Naga Geni
212. Imo Gantra tegak tak bergerak. Dia sudah melihat keganasan Kapak Naga Geni
212 itu. Ki Rawe Jembor diam meragu. Tapi Raden Cokro Ningrat yang memegang
Keris Mustiko Geni di tangan kanan, merasa tidak ada yang perlu ditakutkan.
Maka dia pun menyerbu dengan satu tusukan ke arah kepala Wiro Sableng.
“Manusia tolol!” teriak Wiro.
Tubuhnya dirun-dukkan. Keris Mustiko Geni menukik mengikuti gerakannya,
membeset dan menyusup di antara rambutnya yang gondrong. Nawang Suri terpekik
dan semburkan darah dari mulutnya. Gadis ini sungguh luar biasa. Orang lain
menderita luka seperti itu mungkin sudah pingsan. Gerakan tangan Wiro untuk
mencabut Kapak Naga Geni 212 terhalang oleh serangan tangan kosong Imo Gantra
dan Ki Rawe Jembor yang datang dari kiri kanan. Dan terjadilah satu pemandangan
yang luar biasa. Dengan masih memanggul tubuh Nawang Suri di bahu kanannya,
mustahil bagi murid Sinto Gendeng itu untuk selamatkan diri dari dua serangan
tangan kosong dan satu tikaman keris yang disusulkan oleh Raden Cokro Ningrat.
Tanpa perdulikan keadaan sang dara, Wiro lemparkan tubuh Nawang Suri ke udara.
Tangan kanannya menyikut ke arah jotosan Imo Gantra yang datang dari sebelah
kanan sedang tangan kiri menghantam ke depan, memukul ke arah lambung Ki Rawe
Jembor. Untuk Cokro Ningrat, dengan miringkan tubuh ke samping kiri Wiro
lesatkan kaki kanannya, mtmendang ke bawah perut lawan. Selagi Cokro Ningrat
melompat mundur selamatkan selangkangannya dan Imo Gantra terpekik karena tiga
jari tangannya yang dipakai menjotos menjadi bengkak waktu beradu keras dengan
sikut Wiro sementarei Ki Rawe Jembor terhenyak ke belakang dimakan tinju kiri,
maka Pendekar 212 Wiro Sableng berkelebat untuk menangkap sosok tubuh Nawang
Suri, langsung memanggulnya kembali di bahu kanan! Para prajurit kerajaan yang
menyaksikan kejadian itu mau tak mau sama leletkan lidah dan berdecak kagum.
Sesaat mereka terlupa bahwa pendekar yang mereka kagumi itu adalah musuh besar
mereka! Selagi Imo Gantra si kakek muka cekung masih merintih kesakitan, Ki
Rawe Jembor telah berhasil memulihkan rasa sakit pada bagian tubuh yang kena
dijotos Wiro. Kakek ini tampak selusupkan tangan kanannya ke pinggang. Di lain
kejap dia telah menggenggam sebilah tombak pendek bermata tiga terbuat dari
perak berkilat. Dari samping kanan Cokro Ningrat tampak bersiap-siap dengan
Keris Mustiko Geni. Puluhan prajurit dan beberapa orang perwira telah mengambil
posisi mengurung. Imo Gantra kemudian tampak pula meloloskan senjatanya dari
balik pakaian biru, yakni sebilah rantai besi pendek yang ujungnya diganduli
lima keping mata pisau. Kehebatan senjata ini terletak pada kepingan pisau yang
bisa menyerang serentak sekaligus pada satu sasaran atau menebar menghantam
lima sasaran! Melihat kenyataan ini Wiro Sableng jadi menggerendeng. Ternyata
orang-orang itu tidak mungkin diajak berdamai. Maka sekali dia menggerakkan
tangan Kapak Naga Geni 212 sudah berada dalam genggamannya. Sinar perak
bertabur menyilaukan dalam gelapnya malam.
“Kalian semua memang minta
mampus! Majulah serentak agar lekas kupesiangi!” teriak Wiro. Tombak bermata
tiga menderu. Sinar putih menyambar. Rantai besi berpisau lima mata bersiuran
di udara. Lalu sinar merah menabur hawa panas berkiblat ketika Keris Mustiko
Geni ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran. Wiro maklum, apapun kehebatan
senjata di tangan dua kakek berkepandaian tinggi itu, namun Keris Mustiko Geni
tetap merupakan senjata paling berbahaya yang harus diperhatikannya. Pendekar
212 sapukan Kapak Naga Geni di depan dada. Suara seperti ribuan tawon mengamuk
terdengar menderu disertai kilauan sinar putih. Tiga seruan tertahan terdengar
hampir berbarengan sementara puluhan prajurit dan beberapa perwira yang ada di
dekat kalangan pertempuran menyingkir dengan perasaan ngeri. Ki Rawe Jembor,
Cokro Ningrat dan Imo Gantra sama melompat mundur. Rantai besi berpisau lima
bergoyang-goyang. Tombak bermata tiga bergetar keras ketika terkena hantaman
angin kapak sakti. Hanya Keris Mustiko Geni yang tampak masih membersitkan
sinar merah angker. Satu pertanda ijahwa senjata ini memiliki keampuhan luar
biasa dan dapat diandalkan menghadapi Kapak Nage Geni 212. Melihat tiga
lawannya jelas bergeming menghadapi senjatanya, Wiro Sableng melangkah mundur
menjauh. Dia memutuskan untuk mundur segera meninggalkan tempat itu karena hati
kecilnya tetap tak mau menumpahkan darah atas orang-orang kerjaan. Tetapi
celakanya ata perinta Cokro Ningrat, puluhan prajurit dan beberapa perwira
bergerak merapatkan kurungan sementara itu Kepala Pasukan Kerajaan ini telah
memberi isyarat pada dua hulubalang istana. Bersama Imo Gatra dan Ki Rawe
Jembor, dia kembali menyerbu Wiro Sableng. Kali ini ketiganya menyusun taktik
yakni walaupun tampak bergerak berbarengan namun serangan tidak dilancarkan
secara bersamaan. Yang menghantam pertama adalah Ki Rawe Jembor dengan tombak
berkepala tiganya. Ketika Wiro menangkis dengan kapaknya, orang tua ini cepat
melompat mundur, begitu hantaman kapak lewat Imo Gantra meloncat ke depan
sambil hantamkan rantai besi bergandul lima pisau berkilat. Sekali lagi
Pendekar 212 babatkan kapaknya untuk menghantam serangan kedua ini. Seperti
tadi Ki Rawe Jembor, Imo Gantra pun cepat melompat mundur. Di saat itulah Cokro
Ningrat masuk ke dalam kalangan dengan menyusupkan satu tusukan ganas ke arah
dada Wiro Sableng. Sebenarnya serangan Cokro Ningrat mempunyai dua sasaran.
Pertama memang dada wiro, namun jika terpaksa meleset maka ujung keris akan
terus ditikamkannya ke kepala Nawang Suri yang terkulai di atas bahu pendekar
dari Gunung Gede itu!
Kapak Maut Naga Geni 2125
“Wong edan!” maki Pendekar
212. Terpaksa dia lepaskan pegangannya pada tubuh Nawang Suri dan pergunakan
tangan kiri untuk melepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Tinju kiri
dihantamkan luruslurus ke depan ke arah Cokro Ningrat. Begitu lengan membentuk
garis lurus lima jari terkembang membuka. Serangkum angin dahsyat menggebu.
Kepala Pasukan Kerajaan itu merasakan seperti ada batu besar yang menggelinding
menghantam ke arah tubuhnya. Kalau tadi dia hendak nekad menruskan tusukan ke
arah kepala Nawang Suri, kini dalam keadaan tubuh hampir terseret dia terpaksa
menarik pulang tusukannya, melompat ke samping menghindari angin pukulan.
Selagi Cokro Ningrat mengusap dadanya yang terasa sakit dan sesak, di belakang
sana terdengar pekik jerit menggemparkan. Enam prajurit dan seorang perwira
yang terkena hantaman pukulan kunyuk melempar buah mencelat bermentalan. Ketika
tubuh masing-masing tergelimpang di dekat tembok depan halaman istana, empat
orang diantaranya sudah tidak bernafas lagi. Dua lainnya merintih berkelojotan,
siap menyusul empat kawannya, sementara si perwira terduduk sambil memuntahkan
darah kental Kejadian yang menggemparkan ini membuat Imo Gantra dan Ki Rawe
Jembor naik darah. Keduanya berseru keras. Kekuatan serangan tombak dan lima
pisau berantai mereka lipat gandakan dengan pengerahan tenaga dalam penuh
hingga lima pisau tampak berpijar terang dalam gelapnya malam sedang tombak
tiga mata mengeluarkan deru angin dingin menggetarkan. Ketika Wiro dengan
kertakkan rahang memutar Kapak Naga Geni untuk menangkis dua serangan yang
datang, celakanya Nawang Suri yang dari atas bahu Wiro melihat si pemuda berada
dalam keadaan terdesak tiba- tiba hantamkan tangan kirinya ke arah Ki Rawe
Jembor, padahal saat itu dari samping lima pisau di ujung rantai Imo Gantra
membabat sebat tepat membelintang di arah pertengahan lengan Nawang Suri yang
memukul! Pendekar 212 sadar meskipun dia dapat menangkis tusukan tombak Ki Rawe
Jembor namun ke dudukannya tidak memungkinkan menolong Nawang Suri dari senjata
Imo Gatra. Karena tak ingin gadis itu mendapat celaka mau tak mau Wiro Sableng
mengambil keputusan menghamtam lima pisau terlebih dahulu, baru selamatkan diri
sendiri dari tombak tiga mata. Namun baru saja dia menggerakkan kapak ke arah
senjata di tangan Imo Gantra, Cokro Ningrat kembali masuk ke dalam kalangan
pertempuran dengan tikaman Keris Mustiko Geni ke arah dadanya. Pendekar 212
Wiro Sableng benar-benar menghadapi kesulitan yang membahayakan jiwanya! Ki
Rawe Jembor keluarkan suara tertawa ber-gelak.
“Pendekar sableng! Akhirnya
kau harus tinggalkan nyawamu di sini!” kata hulubalang istana itu karena sudah
yakin betul pemuda itu akan menemui kematian dihantam tusukan tombaknya atau
tikaman Keris Mustiko Geni. Wiro yang masih tetap ingin menyelamatkan gadis di
atas panggulannya, meski sadar nyawa terancam tapi tetap saja menyahuti dengan
nada menantang.
“Mana mau aku mati sendirian!
Salah satu dari kalian harus ikut bersama!” Lalu Kapak Naga Geni 212 dibabatkan
ke atas. Tapi tombak di tangan Ki Rawe Jembor sudah menusuk dekat sekali ke
wajah pendekar ini. Di saat yang menegangkan di mana Wiro sudah siap mempertaruhkan
jiwanya tiba-tiba murid Sinto Gendeng merasakan ada yang berkelebat di
belakangnya. Serentak dengan itu tubuh Nawang Suri yang ada di bahunya tertarik
ke atas tanpa dia mampu menahannya. Mengira ada musuh ke empat yang muncul dan
bermaksud menangkap Nawang Suri hiduphidup, Wiro berusaha menendang seperti
seekor kuda menlenjangkan kaki belakangnya.
Justru saat itu terdengar
suara seseorang seperti ngiangan nyamuk di telinganya.
“Anak muda! Biar gadis ini
kuselamatkan lebih dulu. Kutunggu kau di Goa Selarong!” Begitu suara mengiang
lenyap, mendadak bertabur angin deras. Keris Mustiko Geni melesat di samping
perut Wiro. Lima pisau Imo Gantra yang seharusnya membabat lengan Nawang Suri
kini menderu hanya seujung ibu jari di depan hidung Pendekar 212 dan senjata
ini hancur berantakan dihantam Kapak Naga Geni 212. Akan tetapi tusukan tombak
tiga mata yang sudah demikian dekatnya, meskipun agak tergontai-gontai oleh
tiupan angin deras tadi, tetap saja salah satu matanya sempat mengiris pipi
kanan pemuda itu. Dengan pipi mencucurkan darah Wiro melompat menjauhi tiga
pengeroyoknya. Dia menoleh cepat ke belakang, tapi tak melihat lagi sosok tubuh
Nawang Suri ataupun orang yang tadi muncul menarik gadis itu dari bahunya. Di
samping kanan terdengar teriakan Cokro Ningrat.
“Kejar bangsat penculik
berpakaian hitam itu!” Hampir dua lusin prajurit dipimpin oleh tiga orang
kepala regu dan dua orang perwira bergerak cepat, berlari ke arah lenyapnya
Nawang Suri. Sesaat kemudian di kejauhan, dalam kegelapan malam terdengar pekik
jerit kematian. Dari sekian banyak yang melakukan pengejaran, dua orang kembali
ke halaman istana. Yang pertama seorang kepala regu, datang terseokseok karena
salah satu tulang kakinya tampak remuk hancur. Yang satu lagi perwira berwajah
penuh darah karena sebuah matanya tampak pecah!
“Kurang ajar! Aku harus
mengejar bangsat itu!” kertak Imo Gantra marah dan bertindak hendak mengejar
meskipun tangannya masih terasa sakit dan panas akibat bentrokan senjata dengan
Kapak Naga Geni 212 tadi. Ki Rawe Jembor cepat memegang bahu kawannya ini dan
berbisik.
“Jangan dimas. Kalau lebih
dibutuhkan di sini. Aku tidak bermaksud merendahkanmu tapi manusia berpakaian
hitam itu memiliki kepandaian seperti dewa!”
“Aku tidak takut! Mana ada
manusia seperti dewa di dunia ini!” tukas Imo Gantra.
“Kataku jangan dimas!” Ki Rawe
Jembor Akhirnya membentak.
“Kau tahu siapa orang
berpakaian hitam itu?!” Mesti jengkel penasaran tapi Imo Gatra menjawab dengan
menggelengkan kepala.
“Dia adalah Resi Mandra
Gotama, sesepuh kerajaan terdahulu. Mendengar keterangan itu Imo Gantra berubah
parasnya dan menatap tajam pada Ki. Rawe Jembor.
“Kangmas Jembor. Ternyata
manusia itu masih hidup. Ini sangat berbahaya bagi kita semua. Sebaiknya segera
menyusun rencana menumpasnya habis-habisan…”
“Soal itu lain kali saja kita
bicarakan. Saat ini yang penting adalah menamatkan riwayat pemuda sableng satu
ini!” Wiro yang diam-diam mendengarkan pembiaraan kedua orang itu tampak garuk-
garuk kepala. Setelah mengusap darah yang keluar dari luka di pipi kanan dia
mengangkat tangan kiri seraya berkata.
“Orang yang kalian ingin
tangkap atau bunuh sudah tak ada. Kurasa akupun tak ada urusan lagi di tempat
celaka ini. Beri jalan, aku mau pergi…” Cokro Ningrat dan dua kakek hulubalang
istana saling berpandangan sejenak lalu tertawa gelak-gelak.
“Enak saja bicaramu! Cepat
atau lambat kami akan menangkap gadis pemberontak itu. Tapi yang jelas saat ini
kau kami bunuh lebih dulu!” berkata Raden Mas Cokro Ningrat.
“Memang, kunyuk satu ini harus
dibereskan dulu!” ujar Imo Gantra. Dia penasaran sekali karena senjata rantai
berpisau lima miliknya musnah di hantam kappa Naga Geni 212. Meskipun diancam
begitu Wiro Sableng hanya menyeringai. Dia lepaskan pukulan angin puyuh dengan
tangan kiri. Pukulan ini sengaja dihantamkan ke tanah di depannya. Tanah
halaman istana berlobang besar. Bongkahan tanah dan pasir beterbangan ke udara
menutup pemandangan.
“Keparat! Jangan biarkan dia
lolos!” teriak Imo Gantra. Tapi orang-orang di situ tak dapat melihat Wiro.
Selagi pemandangan tertutup begitu rupa Wiro cepat berkelebat, namun di pintu
gerbang halaman puluhan prajurit coba menghadangnya. Ketika Wiro berlagak
hendak menghantam dengan Kapak Naga Geni 212, semuanya langsung buyar
ketakutan. Tapi dari sebelah belakang Imo Gantra tampak mengejar. Sambil lari
dia kelihatan mengerukkan tangan kanan ke dalam sebuah kantong yang tersembunyi
di balik bahu pakaiannya. Ketika dia memukulkan tangannya ke depan maka
berhamburanlah lebih dari selusin senjata rahasia berbentuk paku hitam.
Benda-benda ini melesat di udara hampir tanpa suara dan mengandung racun sangat
jahat. Meskipun senjata rahasia itu tidak mengeluarkan suara namun pendengaran
Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat ditipu. Dia putar Kapak Naga Geni di
belakang kepala. Terdengar suara berdentringan. Seluruh paku maut itu hancur
dan luruh ke tanah, beberapa di antaranya sempat menerpa anggota pasukan yang
ada di dekat situ. Meskipun mereka tidak terluka parah, tapi racun senjata
rahasia yang jahat membuat merasakan nyeri di seluruh peredaran darah lalu
akhirnya menemui ajal setelah terlebih dahulu menjerit-jerit Karen tak kuat
menahan rasa sakit. Sewaktu tadi menghantam luruh serangan paku hitam yang
dilepaskan Imo Gantra dengan Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro sekaligus menekan
sebuah tombol rahasia pada bagian hulu kapak yang berbentuk kepala naga. Serta-
merta dari lubang-lubang pada gagang kapak yang berjumlah enam buah mencuat
keluar enam buah jarum halus yang meskipun malam masih pekat kelam tapi
jarum-jarum itu memancarkan sinar berkilauan. Keenamnya menyambar ke arah Imo
Gantra.
“Dimas awas senjata rahasia!”
teriak Ki Rawe Jembor memberi ingat. Dia lepaskan pukulan tangan kosong. Imo
Gantra sendiri cepat membuang diri ke samping namun kasip. Hanya tiga jarum
yang berhasil dibuat mental oleh pukulan Ki Rawe Jembor, tiga lainnya sudah
keburu menyusup di bahu kiri, pinggang kiri dan perut Imo Gantra. Kakek bermuka
cekung ini merintih membeliak. Tubuhnya sebelah kiri langsung lumpuh sedang
perutnya seperti ada besi menyala di sebelah dalam. Sebelum Imo Gantra
tersungkur jatuh, Ki Rawe Jembor cepat mendekap tubuh kawannya itu lalu
berteriak agar beberapa orang menolong menggotong Imo Gatra ke dalam istana.
Ketika dia memandang berkeliling Ki Rowo Jembor tidak melihat lagi Raden Cokro
Ningrat di tempat itu. Jelas Kepala Pasukan Kerajaan itu mengejar Wiro Sableng.
Lalu kemana dia lenyap bengitu saja ?
Kapak Maut Naga Geni 2126
WIRO SABLENG tidak tahu di
mana letaknya Goa Selarong. Tapi dia ingat bahwa anta ra Muntilan dan kaki barat
laut Gunung Merapi ada sebuah lembah batu kapur bernama Selarong. Kemungkinan
besar itulah tempat yang disebutkan oleh orang yang telah melarikan dan
menyelamatkan Nawang Suri. Resi Mandra Botama. Ini satu nama yang tak pernah
didengar Wiro sebelumnya. Sayang tadi dia tak sempat melihat wajah ataupun
sosok tubuh orang itu. Gerakannya begitu cepat. Sudah lenyap sebelum dia sempat
membalik. Hanya ada satu hal yang sangat pasti tentang orang itu. Yakni dia
memiliki kepandaian tinggi sekali. Orang-orang atau para tokoh silat istana
kelihatannya agak gentar terhadapnya. Benarkah dia sesepuh kerajaan lama
seperti yang disebut-sebut Ki Rawe Jembor ketika berbisik-bisik dengan Imo
Gantra dan sempat terdengar oleh Wiro? Berarti sang resi mempunyai hubungan sangat
dekat dengan Nawang Suri. Tidak mengherankan kalau dia muncul menyelamatkan
gadis itu. Tetapi apakah maksud sang resi menunggunya di Goa Selarong? Wiro
berlari tidak terlalu cepat. Sambil lari dia berusaha mengobati luka pada
pipinya dengan obat bubuk yang selalu di bawanya.
Agaknya tombak Ki Rawe Jembor
meskipun tampak angker ternyata tidak mengandung racun jahat. Kalau tidak pada
saat itu dia pasti telah keracunan. Tapi untuk lebih meyakinkan pendekar itu
menelan sebutir obat lalu mempercepat larinya menuju kearah timur. Menjelang
tengah hari keesokannya Wiro sampai di lembah batu kapur Selarong. Sejauh mata
memandang yang tampak hanyalah batu- batu kapur berwarna putih. Di beberapa
bagian batu-batu itu telah berubah coklat kehitaman di makan waktu. Tak ada
bangunan, tak ada pepohonan. Apalagi menemukan sebuah goa. Wiro menarik nafas
kesal. Kepalanya digaruk berulang kali.
“Gila! Di mana aku bisa
menemukan goa di daerah begini rupa. Jangan-jangan orang itu hanya berdusta.
Tapi dia bicara dengan ilmu luar biasa hingga orang lain tak dapat mendengar.
Berarti pesannya memang ditujukan padaku. Jelas dia tak bermaksud
mempermainkan…” Wiro memandang lagi berkeliling. Tenggorokannya terasa kering.
Bajunya basah oleh keringat dan perutnya terasa keroncongan.
“Gila!” kata pendekar ini
lagi. Lalu mendongak ke langit. Sinar matahari menyilaukan mata. Batu kapur
yang dipijaknya terasa panas membakar telapak kaki. Akhirnya pemuda ini
mendapat akal. Dari pada susahsusah mencari mengapa tidak berteriak saja? Maka
Wiro pun kerahkan tenaga dalamnya dan berteriak keras-keras.
“Resi Mandra Botama! Aku Wiro,
orang yang kau suruh datang! Harap beri petunjuk di mana kau berada!” Suara
teriakan Wiro membahana di lembah batu kapur itu. Bergema panjang
berulangulang membuat sang pendekar merasa ngeri sendiri mendengarnya. Tak ada
jawaban. Siliran angin pun tidak terdengar. Wiro berteriak sekali lagi. Sekali
lagi,terus berulang-ulang. Tetap saja tak ada jawaban, tak ada sesuatu pun yang
bergerak.
“Sialan!” maki pemuda ini. Dia
memutuskan menunggu selama sepeminuman teh di tempat itu. Jika tetap tak ada
seseorang yang muncul dia akan berteriak lagi. Dan jika masih tak ada
tanda-tanda orang yang dicarinya berada di situ maka lebih baik dia pergi saja.
Suatu ketika seekor burung tampak terbang di udara. Berputar-putar beberapa
kali di atas lembah batu kapur. Tiba-tiba binatang itu menukik laksana sebuah
anak panah, menghujam ke pertengahan lembah dan lenyap tak kelihatan lagi.
“Aneh…” membatin Wiro.
“Bagaimana burung itu bisa lenyap
seperti ditelan bumi? Mungkin…” Wiro Melompat dari duduknya. Lalu pendekar ini
lari ke pertengahan lembah, ke arah mana tadi dilihatnya burung menukik turun
dari udara dan lenyap. Sesaat ketika dia sampai di tempat di mana sebelumnya
dengan pasti tampak burung menukik lenyap, Wiro. jadi garuk-garuk kepala dan
memaki. Di situ memang terdapat sebuah lobang. Tapi hanya lobang kecil cukup
untuk satu ekor dua ekor burung. Dan burung tadi memang ada dalam lobang itu.
Binatang ini segera terbang ke udara ketika Wiro datang lebih dekat. Jengkel
dan kesal Wiro memandang berkeliling. Lobang kecil di tanah batu kapur itu
ditendangnya. Tiba-tiba tiga buah lobang seukuran tubuh manusia menganga aneh
di kiri kanan Wiro. Tiga sosok tubuh melesat keluar. Ternyata ketiganya adalah
anak-anak kecil, satu perempuan dua lelaki. Ketiganya berusia sekitar tujuh
sampai delapan tahun. Masingmasing berpakaian seperti prajurit-prajurit
kerajaan, membawa tombak dan perisai. Tombak dan perisai itu adalah yang biasa
dipergunakan oleh prajurit-prajurit kerajaan dalam ukuran sebenarnya hingga
tampak terlalu besar bagi ketiga anak itu. Tapi anehnya ketiganya tidak
menunjukkan tanda-tanda keberatan membawa tombak panjang dan perisai besar itu.
“Kalian bertiga keluar dari
dalam tanah! Kalian ini bangsa tikus, cacing tanah atau manusia benar ?!”
bertanya Wiro keheranan. Anak perempuan di samping kanan tampak membesarkan
bola matanya.
“Tua bangka tidak tahu
peradatan!” Anak perem–puan itu membentak.
“Sebagai tamu kau tak layak
bertanya tapi justru harus memperkenalkan diri!”
“Aha… Ini baru hebat!” seru
Wiro lalu dia berlutut hingga kepalanya sama tinggi dengan si anak perempuan.
Setengah melucu Wiro berkata:
“Nah, sekarang kita sama-sama
tinggi kawan! Bagaimana pendapatmu?” Anak perempuan itu tidak menjawab apalagi
tertawa. Matanya memandang tak berkesip pada Wiro. Mulutnya terbuka sedikit.
Terdengar suaranya mendesis.
“Tamu sinting. Apakah sudah
siap untuk menerima kematian?”
“Heh…?” Wiro berpaling dan
jadi terkejut ketika dapatkan anak lelaki yang satu sudah tegak di samping
kanannya dengan ujung tombak hampir melekat di batang lehernya!
“Gila! Bagaimana aku tidak
sempat melihat gerakannya dan tahu-tahu kini sudah membokong?”
“Tamu sinting! Coba lihat
sebelah kiri!” Si anak perempuan berkata. Wiro berpaling. Astaga! Anak lelaki
kedua ternyata juga sudah menodongkan ujung tombak besarnya ke batang leher
bagian kiri!
“Hai! Apa-apaan ini?!” tanya
Wiro Sableng. Dia menggerakkan tangan untuk menggaruk
kepala. Namun dari kiri kanan,
dua perisai atau tameng besar dihimpitkan ke tubuhnya hingga dia tidak bisa
bergerak. Benar-benar mengherankan. Bagaimana dua anak kecil begitu rupa
memiliki kekuatan demikian hingga dia terjepit di tengah-tengah. Semula hendak
dicobanya meloloskan diri dengan kekerasan adu kekuatan. Namun Wiro tak tega
kalau dua anak lelaki itu sampai cidera. Maka dia pun hanya diam dan berteriak
bertanya. Anak perempuan di depannya menunjuk tepat-tepat dengan jari
kelingking kiri. Demikian dekatnya hingga hidung Wiro Sableng hampir tersentuh.
“Lekas katakan siapa namamu.
Datang dari mana dan apa kepentinganmu datang ke lembah ini!”
“Gadis cilik, lagakmu hebat
sekali. Tapi baik aku akan menjawab pertanyaanmu!” sahut Wiro sambil menyengir.
“Namaku Wiro Sableng! Aku
barusan datang dari Kuto Gede. Aku datang kemari untuk mencari Goa Selarong.
Aku haus dan juga lapar! Nah, apa laporanku bisa diterima?!”
“Soal kau haus atau lapar
bukan urusan krmi! Lekas katakan mengapa kau mencari Goa Selarong?” Anak
perempuan itu bertanya. Suaranya keras dan tegas. Tampaknya dia memang tidak
main-main.
“Seseorang menyuruhku datang
ke goa itu,” menjelaskan Wiro.
“Seseorang siapa? Setan?
Hantu… Tuyul? Rampok atau pengemis?” bertanya lagi si anak perempuan yang
membuat Pendekar 212 mengulum senyum menahan tawa.
“Orang itu bernama Resi Mandra
Botama…”
“Ada apa kau mencari resi itu?
Urusan baik atau urusan jahat?”
“Mana aku tahu. Sang resi
sendiri yang meminta aku datang.” Berdasarkan pertanyaan terakhir yang diajukan
gadis kecil itu Wiro segera maklum bahwa daerah sekitar situ, walaupun dia
masih belum melihat adanya goa, pastilah daerah kediaman orang yang telah
menyelamatkan dan melarikan Nawang Suri. Hatinya puas dan kini dia akan
mempermainkan dan mengganggu ketiga anak kecil itu. Tertama si gadis yang di
depannya. Maka diapun berkata
“Mengenai urusanku dengan sang
resi kau anak-anak ingusan tak perlu tahu. Tapi aku ada membawa tiga permainan
dan tiga kotak gula-gula. Pasti mainan dan gula-gula itu bukan untuk kalian!”
Tiga anak itu saling pandang sesaat. Wiro menyeringai.
“Kami harus menggeledah
tubuhmu!” Si gadis tiba-tiba memutuskan.
“Boleh saja!” sahut Wiro.
“Tapi buat apa susah-susah.
Biar kutanggalkan seluruh pakaianku. Kalau aku sudah telanjang baru kalian
puas!”
“Dan aku juga membawa tiga
ekor tikus besar. Kotor dan bau! Ketiganya pantas untuk kalian. Seorang satu!”
“Ih…!” Kini ketiga bocah itu
sama-sama menunjukkan sikap jijik.
“Katakan, apakah kalian tahu
di mana Goa Selarong? Di mana aku bisa menemukan Resi Mandra Botama?”
“Kau membawa barang busuk dan
kotor. Maksud kedatanganmu terselubung tanda membawa itikad yang tidak baik.
Lekas pergi dari sini!”
“Begitu? Baiklah. Tapi sebelum
pergi aku akan lepaskan tiga ekor tikus besar busuk dan kotor itu. Biar kalian
digigitnya satu persatu!”
“Ternyata maksudmu memang
jahat! Biar kau kami bunuh saat ini juga!” Habis berkata begitu si gadis
memberi isyarat pada dua kawannya. Dua anak lelaki yang ada di kiri kanan Wiro
segera tusukkan tombak masing-masing ke leher pendekar itu. Saat itulah Wiro
kerahkan tenaga. Tangan kiri kanan mendorong keras ke samping, menekan tameng
yang menjepitnya. Kedua anak lelaki itu mencelat mental. Tapi mereka tidak
jatuh atau terguling di tanah. Begitu terpental, keduanya tampak jungkir balik,
mendarat di tanah dengan kedua kaki lebih dulu lalu langsung menyerbu. Si anak
gadis cilik tak tinggal diam. Dia pun telah menerkam dengan satu tusukan tombak
ke perut Wiro Sableng
“Hebat!” seru Wiro memuji
polos karena kagum melihat gerakan ketiga anak itu. Ternyata gerakan mereka
bukan gerakan asal saja. Tapi jelas gerakan jurus-jurus ilmu silat. Meskipun
gerakan tersebut belum disertai kekuatan tenaga dalam, namun jika berlku lengah
sedikit saja dapat menimbulkan bahaya. Wiro sendiri yang semula hendak melayani
secara asal-asalan kini harus bertindak hati- hati. Pertama dia tidak ingin
mendapat cidera , apalagi tertusuk tombak. Kedua, jika menghadapi secara
sungguhan dan membalasnya dengan kekerasan, mana tega dia melukai tiga bocah
yang bersikap tegas tapi tetap bersikap dengan segala kelucuannya sebagai
anak-anak. Setelah mengelak kian kemari akhirnya Wiro dapat akal. Cara terbaik
menghadapi ketiga lawan cilik ini ialah menotok mereka terlebih dahulu. Maka
Wiro pun mempercepat gerakannya. Namun seolah-olah tahu apa yang ada dalam
benak pendekar tersebut, ketiga bocah itu pergunakan tameng di tangan kiri
masing-masing untuk melindungi diri. Karena jengkel akhirnya Wiro memutuskan
untuk menghancurkan tameng kayu berlapis besi tipis itu. Hanya saja sebelum hal
itu sempat dilakukannya tiba-tiba terdengar suara keluar dari tiga lobang di
tanah batu kapur.
“Prajurit-prajuritku! Cukup
sudah sambutan yang kalian berikan. Antarkan tamu itu kedepanku!” Serta-merta
tiga anak kecil itu melompat keluar dari kalangan pertempuran. Ketiganya tegak
membentuk barisan dan menjura kepada Wiro Sableng.
“Ah! Pertunjukan atau
sandiwara apa lagi yang hendak kalian lakukan!” ujar Wiro sambil usap-usap luka
di pipinya. Si gadis kecil menjawab mewakili kawankawannya.
“Junjungan kami ternyata bersedia
menemui paman raden. Silahkan mengikuti kami…..” Wiro Sableng karuan saja jadi
tertawa terbahak ketika dirinya dipanggil dengan sebutan paman raden. Sementara
itu dua bocah lelaki telah menyelinap masuk dan lenyap ke dalam dua lobang di
kiri kanan. Si gadis kecil menunjuk ke lobang yang di tengah seraya berkata
dengan sikap hormat:
“Silahkan paman raden. Kita
masuk lewat lobang itu…”
“Lewat lobang sekecil itu? Dan
masuk ke mana?” tanya Wiro heran.
“Lobangnya tidak kecil!” jawab
si gadis.
“Lihat!” Lalu dengan ujung
tombaknya pinggiran lobang ditusuk-tusuk berulang kali hingga lobang itu
menjadi besar dan dapat dimasuki ukuran dua orang dewasa sekaligus. Ketika
melihat Wiro masih tegak terheran-heran si gadis berkata:
“Bukankah paman raden hendak bertemu
junjungan kami. Resi Mandra Bo- tama? Nah, mau menunggu apa lagi?”
“Hemmm… Jadi kau dan dua
kawanmu tadi itu adalah prajurit-prajurit sang resi.” Wiro manggut-manggut.
“Baiklah. Aku percaya padamu.”
Lalu tanpa ragu-ragu pemuda ini melompat turun ke dalam lobang. Begitu kakinya
menginjak tanah lobang, tubuhnya langsung merosot meluncur. Ternyata bagian
dalam lobang itu seperti sebuah tabung peluncur yang bagian bawah dinding-
dindingnya keras dan licin. Karen gelap Wiro tidak dapat melihat apa-apa. Dia
mendengar, gadis kecil telah ikut meluncur di belakangnya. Terowongan di bawah
tanah itu cukup panjang. Beberapa saat kemudian Wiro melihat sinar terang di
bawah sana. Tak lama setelah itu tubuhnya meluncur melewati sebuah pintu aneh
lalu merosot terjun memasuki sebuah ruangan besar berwarna putih yang diterangi
banyak lampu minyak. Begitu dia masuk ke dalam ruangan itu, disusul oleh gadis
cilik tadi, pintu di belakangnya terhempas keras dan menutup.
Kapak Maut Naga Geni 2127
DUA ANAK lelak menyerang Wiro
ternyata sudah berada dalam ruangan itu, duduk bersila dihadapan seorang kakek
bermuka kelimis lonjong dengan janggut pendek di dagunya. Orang tua ini
mengenakan pakaian hitam, berikat kepala dan berikat pinggang kain putih. Meski
sudah lanjut tapi rambutnya yang panjang masih berwarna hitam. Kakek ini duduk
bersila diatas sehelai tikar kulit harimau yang kepalanya telah dikeringkan dan
menghadap ke arah Wiro dengan mulut menganga. Di belakangnya tampak sebuah
pembaringan dimana tampak terbujur sesosok tubuh yang bukan lain adalah tubuh
Nawang Suri. Gadis cilik dibelakang Wiro cepat melangkah ke hadapan si orang
tua dan duduk bersila disamping dua kawannya.
“Junjungan, tamu sudah kami
antar kehadapanmu. Apakah kami tetap berada di ruangan ini atau menunggu di
taman…”
“Taman…?” Wiro memandang heran
berkeliling. Dimana pula ada taman di ruangan dibawa h tanah itu? Dan dia tidak
melihat pentu lain selain tiga pintu yang berhubungan dengan tiga terowongan
jalan masuk tadi. Sang junjungan menganggukkan kepala pada gadis cilik itu
tetapi sepasang matanya tetap mengarah pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
Pandangan mata itu begitu tajam dan sangat berwibawa, membuat pendekar kita
merasa risih.
“Kalian tetap berada disini
sampai urusan kita dengan tamu ini selesai. Harap kalian pindah duduk ke
sebelah kanan. Beri tempat pada tamu kita untuk duduk dihadapanku. Tiga anak
itu beringsut ke bagian kanan ruangan. Lalu kakek berpakaian hitam memberi
isyarat pada Wiro agar dia pindah duduk lebih dekat kehadapannya. Meski merasa
tidak enak, Wiro menurut saja dan berkata:
“Nah orang tua. Siapapun kau
adanya, saya sudah datang memenuhi permintaanmu. Harap terang kan segala
maksud.” Orang tua itu tersenyum. Tapi hanya sedikit dan sekejap saja. Sesaat
kemudian wajahnya kembali serius.
“Kurasa aku tak perlu
memperkenalkan diri lagi. Kau sudah tahu pasti siapa diriku dari pembicaraan
kasak kusuk orang-orang kerajaan itu. Juga penjelasan dan perajurit-perajuritku
di luar lobang…”
“Saya tahu kau adalah Resi
Mandra Botama. Tak lebih dari itu.” Menjawab Wiro. Si orang tua mengangguk.
Lalu tanpa diminta dia menjelaskan
“Dulu aku adalah pendamping
dan penasihat raja. Dan raja saat itu adalah ayah Nawang Suri, gadis yang telah
beberapa kali kau selamatkan. Untuk semua perbuatanmu itu aku mengucapkan
banyak terima kasih. Kelak hari ini juga akan kubalas semua jerih payahmu….”
“Ah, apapun yang saya lakukan
tidak ada niat untuk minta balas jasa…” jawab Wiro. Dia memanjangkan leher
memandang ke arah pembaringan.
“Gadis itu…bagaimana keadaannya?”
“Tangannya yang patah sudah
dibalut Luka dalam bekas pukulan sudah diobati. Paling tidak membutuhkan waktu
setengah bulan untuk menyembuhkan luka dalam itu dan tiga bulan untuk
menyambung kembali tulang lengan yang patah…Kini dia tertidur nyenyak”.
“Kasihan dia. Saya sudah
berkalikali menasihatkan agar jangan berlaku nekad…”
“Gadis itu tidak nekad!”
memotong Resi Mandra Botama.
“Apa yang diperlihatkannya
adalah satu keberanian sejati, jiwa satria membela hak dan demi kewajiban!.”
Wiro terdiam. Dia tak mau berdebat soal urusan orang-orang ini. Jalan pikiran
mereka jelas berbeda. Setelah berpikir sejenak dia baru berkata memberi
pendapat.
“Saya tidak ingin mencampuri
urusan kalian, apalagi yang menyangkut kerajaan. Hanya saja kalau saya boleh memberikan
pendapat, dan harap maaf kalau pendapat saya keliru, apapun yang hendak kalian
lakukan harus di piker masak-masak. Keadaan di luar sana sudah sangat jauh
berbeda. Kalian berjuang, tapi perjuangan kalian akan sia-sia karena kalian
tidak ada beda dengan sebuah perahu kecil menyongsong badai gelombang yang
dahsyat. Mengapa persoalan hidup tidak di lupakan saja dan memilih jalan hidup
yang tenang tentram ?” Orang tua itu tersenyum lagi. Tapi segera pula wajahnya
menunjukkan keseriusan kembali.
“Pendapatmu mungkin benar.
Tapi jangan lupa badai gelombang yang bagaimanapun besarnya suatu saat pasti
akan reda. Dan saat itulah yang kami tunggu untuk bergerak kembali…”
“Berarti pertumpahan darah tak
akan pernah berhenti!” ujar Wiro pula.
“Itu memang sudah aturan
kehidupan di dunia…” menyahuti sang resi. Wiro menggeleng.
“Kenapa kau menggeleng?”
“Manusia hadir di dunia ini
untuk mengatur dunia. Bukan dunia yang harus mengaturnya!” Resi Mandra Botama
terdiam tapi bibirnya bergetar.
“Resi, sebaiknya urusan itu
tidak usah kita bica-kan karena hanya akan mengundang perdebatan yang tak
putus-putusnya. Jika jalan pikiranmu kau anggap betul, tak ada yang
melarangmu untuk melakukan apa
saja. Tentunya segala akibat dan tanggung jawab berada di pundakmu. Sekarang mungkin
kau lebih baik menerangkan mengapa meminta saya datang ke goa ini….”
“Pertama, seperti kukatakan
tadi untuk mengu capkan rasa terima kasih karena kau telah menolong puteri raja
kami Nawang Suri. Namun ada hal yang lebih penting lagi. Apakah kau bersedia
kawin dengan gadis itu?” Wiro Sableng melengak kaget dan ternganga mendengar
ucapan itu.
“Kau terkejut anak muda?”
tanya si orang tua.
“Tentu saja,” jawab Wiro.
“Pertanyaanmu gi…aneh!” Hampir
saja pendekar ini hendak mengucapkan kata gila. Tapi sang resi langsung
menyambung dengan pertanyaan:
“Apa yang menurutmu gila atau
aneh?”
“Bagaimana kau enak saja
menanyakan hal itu padahal kau bukan orang tua gadis itu…”
“Saat ini kedudukanku lebih
kurang sama dengan orang tuanya….”
“Lain dari pada itu,
bagaimanapun juga Nawang Suri adalah puteri raja sedangkan aku hanya seorang
pemuda gelandangan yang dicap orang sinting dimana-mana. Resi Mandra Botama
tertawa lebar. Ini pertama kali Wiro melihat orang tua itu tertawa
demikian. Keduanya duduk
terpisah lebih dari tiga langkah. Tapi seperti bisa memulur memanjang, tangan
kana sang resi tahu-tahu sudah menepuk-tapu bahu Wiro dengan sikap yang tampak
ramah. Tapi sebaiknya Wiro merasa bahunya seperti dijatuhi batu-batu besar.
Kalau dia tidak lekas-lekas kerahkan tenaga tubuhnya pasti sudah terbanting ke
lantai. Dia maklum kalau orang tengah mengujinya
“Anak muda apa bedanya puteri
atau putera raja dengan orang kebanyakan? Ingat, tadi kau mengatakan bahwa kita
lahir ke dunia untuk mengatur dunia ini agar jangan sampai dunia mengatur kita.
Nah bukankah itu cocok dengan ujarujarmu itu…?”
“Mungkin tapi tidak untuk yang
satu ini. Segala sesuatunya tentu ada pengecualian. Bagaimanapun juga tak
mungkin saya berani menerima pemintaanmu itu. Saya mohon maaf. Kalau urusan
sudah selesai saya mohon diri Resi Mandra Botama menarik tangannya dari bahu
Wiro.
“Urusan yang satu itu kuanggap
belum selesai. Aku memberi waktu satu setengah tahun padamu untuk memberikan
jawaban…”
“Ah…kenapa urusan jadi gila
macam begini?!” membatin Wiro. Di depannya kembali terdengar si orang tua
berkata.
“Anak muda, sementara urusan
perjodohanmu dengan puteri rajaku ditunda dulu, aku ada satu permintaan. Entah
kau sudi menolong atau tidak…”
“Apakah itu?”
“Keris Mustiko Geni,” sahut
sang tesi Kini ha nya tinggal sarungnya saja yang ada pada kami. Keris nya
telah dirampas orang-orang kerajaan. Dapatkah kau membantu mengembalikan
senjata lambang tahta kerajaan itu?”
“Saya tidak dapat memastikan.
Tapi jika itu permintaanmu saya akan mencoba,” jawab Wiro. Lalu dia berdiri
karena ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
“Kau sangat kesusu anak muda?”
bertanya Resi Mandra Botama. Walau Wiro telah berdiri dia tetap saja duduk di
atas tikar kulit harimau.
“Maafkan, saya memang harus
pergi. Saya gembira bisa bertemu denganmu…”
“Jangan buruburu pergi dulu,
anak muda. Ada sesuatu untukmu!”
“Resi, ingat, saya tidak
meminta balas jasa apa-apa. Saya tidak mengandung niat inginkan pamrih…”
“Ini tak ada hubungan dengan
soal kebaikanmu menolong Nawang Suri. Ini semata- mata pemberian dariku karena
aku suka padamu…” Lalu dari balik pakaian hitamnya Resi Mandra Botama
mengeluarkan dua buah benda.
Benda-benda itu diletakkannya
diatas kulit harimau di hadapannya. Besarnya sekira setelapak tangan, berbentuk
bulat yang berlobang dibagian tengahnya dan mempunyai sudut runcing sebanyak
tujuh buah. Satu berwarna merah satu lagi berwarna putih.
“Ini adalah Sepasang Cakra
Dewa.” berkata Resi itu.
“Yang berwarna merah Cakra
Jantan dan yang putih Cakra Betina. Kau boleh mengambil yang merah
“Terima kasih Resi Mandra.
Mohon maaf, saya tak berani menerima pemberianmu…” kata Wiro seraya membungkuk.
“Jangan membuat aku
tersinggung anak muda: Aku tidak bermaksud menyogokmu!” Sang resi tampak agak
marah.
“Saya tidak mengatakan
demikian atau bermaksud begitu,” sahut Wiro.
“Cakra ini bukan senjata
sembarangan. Bila mengenai sasaran atau serangan meleset dia akan berbalik
kembali. Setiap sudut runcingnya memiliki racun mematikan yang tidak luntur
sampai seratus abad. Ambillah yang merah ini. Aku berikan dengan tulus ikhlas…”
Karena Wiro Sableng masih tak mau menerima akhirnya Resi Mandra Botama
menyisipkan Cakra Dewa yang putih lalu berdiri dan melangkah mundur ke sudut
ruangan.
“Kau akan saksikan kehebatan
senjata ini, anak muda!’” kata sang resi. Lalu sekali tangan kanannya bergerak,
Cakra Dewa putih melesat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Suaranya bergaung
aneh. Terkejut mendapat serangan tak terduga itu Wiro berseru kaget dan
cepat-cepat rundukkan kepala. Cakra Dewa berdesing dan membabat putus rambut
yang melingkar di bawah telinga kiri Pendekar 212. Begitu serangan tidak
mengenai sasaran, senjata itu berputardiudara lalu membalik ke arah Resi Mandra
Botama. Orang tua ini cepat menangkapnya dan memasukkannya kembali ke balik
pakaiannya.
“Orang tua, kau hendak
membunuhku…” kata Wiro masih belum sirap kaget dan bergetar suaranya. Sang resi
tertawa. Tidak mudah membunuh pendekar sepertimu, anak muda,” katanya. Lalu dia
memberi isyarat pada ketiga
“prajuritnya”. Tiga anak kecil
yang duduk di sebelah kanan ruangan cepat berdiri, melangkah ke dinding sebelah
belakang. Menekan salah satu bagian dinding. Secara aneh dinding itu menguak ke
samping. Sebuah pintu terbuka.
“Selamat jalan anak muda…”
kata Resi Mandra Botama.
“Terima kasih Resi Mandra.
Saya minta diri. Sekali lagi terima kasih…..” Sebelum keluar dari ruangan itu
Wiro melangkah dulu mendekati pembaringan.
Setelah menatap wajah Nawang
Suri sebentar lalu dia melangkah ke pintu. Di ambang pintu dengan tersenyum
lebar dia menegur tiga anak itu.
“Kalian bertiga benar-benar
hebat. Aku kagum pada kalian. Kalau ada kesempatan, lain kali apakah mau
meneruskan permainan di lembah batu kapur tadi….?”
“Tentu saja paman raden.
Asalkan junjungan kami memberi izin” jawab ketiga anak itu berbarengan. Lalu
mereka menekan dinding belakang dan menutup kembali.
“Aneh… dunia ini memang penuh
keanehan!” katanya pada diri sendiri. Ternyata lobang kediaman Resi Mandra
Botama di sebelah kiri berdampingan dengan bukit yang subur. Jika orang berada
di taman itu, tak satupun yang bakal mengetahui bahwa pada samping batu yang
tertutup rumput terdapat sebuah pintu rahasia.
“Pantas orang-orang Kerajaan
tak pernah berhasil menemukan tempat persembunyian ini…” Dari balik pinggangnya
Wiro keluarkan Cakra Dewa berwarna merah. Sesaat benda itu ditimang-timangnya.
Beberapa belas langkah dihadapannya ada sebatang pohon. Tanpa pikir panjang
Cakra Dewa itu dilemparkannya ke arah pohon. Menancap tepat di pertengahan
batang. Begitu menancap secara aneh senjata ini melejit keluar dan kembali ke
arah Wiro.
Cepat-cepat Wiro menangkap
benda itu, memperhatikannya penuh kagum lalu menyimpannya baik-baik kembali.
Ketika dia hendak melangkah pergi, sekilas dia memandang lagi ke arah pohon
yang tadi ditancapi Cakra Dewa. Tengkuknya merinding. Seluruh pohon itu mulai
dari batang sampai ke daun dilihatnya berubah membiru!
“Racun ganas! Benar-benar
ganas!” Pendekar 212 geleng-geleng kepala lalu tinggalkan tempat itu.
Kapak Maut Naga Geni 2128
“Bagaimana keadaannya…?” tanya
Ki Rawe Jembor. Ahli pengobatan yang menjadi pimpinan gelengkan kepala.
Wajahnya murung.
“Saat ini kita hanya bisa
mencegah tiga buah jarum yang menembus tubuhnya tidak terbawa larut oleh aliran
darah sampai ke jantung. Kami melakukan beberapa totokan. Ki Rawe Jembor
kepalkan tinju kanannya.
“Kalian bertiga harus
menemukan jalan menyembuhkannya. Jika ada pihak lain yang bisa membantu jangan
segan-segan minta tolong!”
“Akan kami perhatikan pesanmu
itu, Ki Rawe.”
“Apakah kalian ada melihat
Raden Mas Cokro Ningrat?” Dua orang menggelengkan kepala. Orang ketiga menjawab
“Tidak.”
“Baiklah. Rawat sobatku itu
baikbaik. Nanti aku segera kembali.” Keluar dari kamar Ki Rawa Jembor segera
memeriksa seluruh istana guna mencari Raden Mas Cokro. Setelah merasa pasti
orang itu tak ada di istana maka dia segera menuju ke tempat kediamannya.
Ternyata di rumah pun Cokro Ningrat tidak ada. Ketika dia hendak meninggalkan
tempat itu seorang lelaki berkuda tiba-tiba mendatangi.
Sebelum Ki Rawe membentak
orang ini sudah bicara.
“Saya diutus oleh Raden Cokro
Ningrat. Hulubalang diminta datang menemuinya di satu tempat. Harap mengikuti
saya….” Pelipis Ki Rawe Jembor bergerakgerak. Rahangnya menggembung. Walaupun
Cokro Ningrat adalah Kepala Pasukan Kerajaan dan dalam keadaan negeri kacau
seperti itu dia memegang kendali tertinggi, namun masih ada Patih Wulung Kerso
atasannya.
“Ada keperluan apa Raden Cokro
memanggil aku? Dan mengapa ke satu tempat rahasia, bukan ke istana?” bertanya
Ki Rawe Jembor.
“Saya tidak tahu, Hulubalang.
Saya hanya diperintahkan saja…”
“Baik, tapi kau ikut aku dulu
ke istana. Ada sesuatu yang harus kukerjakan. Baru nanti kita samasama menemui
Raden Mas Cokro Ningrat.
“Tidak bisa begitu Hulubalang.
Raden Cokro meminta agar Hulubalang ikut saya sekarang ju…” Plaak!! Satu
tamparan mendarat di wajah penunggang kuda itu. Bibirnya pecah. Dua giginya
tanggal dan tubuhnya terpental dari punggung kuda tunggangannya.
“Sekali lagi kau berani bicara
sembrono, kupatah-kan batang lehermu!!” sentak Ki Rawe Jembor. Lalu dia
berangkat kembali menuju istana. Utusan Raden Cokro terpaksa mengikuti sambil
tiada hentinya mengeluh kesakitan. Ketika ingat Patih Wulung Kerso, saat itu
juga Ki Rawe Jembor merasa perlu kembali ke istana. Dia memang tidak suka pada
sang patih namun lenyapnya Wulung Kerso begitu saja membuat dia diam-diam
merasa kawatir. Disusul dengan menghilangnya Cokro Ningrat yang tahu-tahu
kemudian mengirim seorang utusan. Apakah yang terjadi di balik semua ini? Ada
satu lagi yang dikawatirkan hulubalang tertinggi istana ini. Yaitu keselamatan
Pangeran Purbaya. Pangeran inilah satusatunya yang berhak dinobatkan jadi raja
karena dia putra tertua dari istri pertama Sri Baginda. Hanya saja otaknya
kurang cerdas dan kegemarannya berjudi dan menyabung ayam sangat tidak pantas
bagi seorang caloan raja. Tapi siapa pengganti yang lain? Belum lagi urusan
mengenai pemakaman Sri Baginda yang tewas di tangan Nawang Suri. Sungguh banyak
hal yang harus dihadapi Ki Rawe Jembor saat itu. Disamping tanda tanya besar
apakah bala tentara pemberontak yang sudah cerai berai itu akan muncul kembali
di bawah pimpinan Nawang Suri, dibantu oleh Resi Mandra Botama? Lalu kalau
pemuda sableng itu ikutikutan muncul suasana pasti bertambah tak karuan.
Sesampainya di istana Ki Rawe Jembor
memerintahkan tiga puluh
anggota pasukan pengawal istana untuk mencari Pati Wulung Kerso. Tak lama
kemudian dia menerima kabar sang patih ditemui telah jadi mayat dalam kamar
penyimpanan barang-barang dan senjata pusaka istana. Ketika Ki Rawe Jembor
datang sendiri ke kamar itu untuk menyaksikan, hatinya tercekat. Sekujur tubuh
dan wajah Patih Wulung Kerso tampak hangus kehitaman. Siapapun yang membunuh
patih kerajaan itu pastilah mempergunakan Keris Mustiko Geni. Karena hanya
senjata itulah satu-satunya yang memiliki kemampuan ganas seperti itu. Raja dan
Patih tewas! Sungguh satu malapetaka dan bencana besar bagi Kerajaan! Terduduk
di sudut ruangan, Ki Rawe Jembor ingat pada utusan Cokro Ningrat yang berada
dan menunggu di halaman istana. Dia berpikirpikir apakah akan menemui Kepala
Pasukan Kerajaan itu atau menemui Pangeran Purbaya lebih dulu. Akhirnya Ki Rawe
Jembor memutuskan untuk menemui Pangeran Purbaya. Pangeran ini berada di
ruangan besar istana di mana jenazah Sri Baginda dibaringkan. Dikelilingi oleh
istri pertama. Istri-istri lainnya, para selir, pejabat tinggi istana termasuk
putra dan putrinya. Seratus prajurit di bawah pimpinan lima perwira mengawal
ruangan ruangan besar itu. Ki Rawe Jembor melangkah ke belakang kursi di mana
Pangeran Purbaya duduk. Mendengar bisikan orang tua itu pangeran berdiri dan
melangkah mengikuti. Dalam sebuah kamar mereka mengadakan pembicaraan empat
mata. Pembicaraan itu adalah niat Ki Jembor agar Pangeran Purbaya segera
dinobatkan menjadi raja sebelum Sri Baginda dimakamkan esok. Malam itu juga
pengumuman akan disampaikan ke seluruh kerajaan dan upacara resmi tapi singkat
akan diadakan di depan jenazah Sri Baginda. Pangeran Purbaya menyetujui usul Ki
Rawe Jembor. Keduanya keluar dari dalam kamar. Pangeran Purbaya di sebelah
depan, Ki Rawe mengikuti di sebelah belakang. Antara kamar di mana sebelumnya
kedua orang itu berbicara dengan ruangan besar di mana jenazah Sri Baginda
disemayamkan berjarak sekitar dua ratus langkah. Mereka harus melewati gang
yang diapit kamar-kamar, membelok ke kanan baru sampai di ruangan besar. Sesaat
sebelum mencapai ujung gang tiba- tiba pintu kamar di sebelah kiri terbuka.
Seseorang berpakaian ringkas aneh, bertopeng kain menghambur keluar. Di tangan
kanannya tergenggam sebuah senjata yang secara aneh pula dibungkus dengan kain.
Dengan senjata terbungkus ini orang tersebut langsung menyerang Pangeran
Purbaya!. Seperti dituturkan. Pangeran Purbaya bukanlah seorang yang cerdas.
Selain itu dalam usia muda 19 tahun dia tidak pula memiliki kepandaian silat,
apalagi yang namanya tenaga dalam atau kesaktian. Karenanya ketika mendapat
serangan itu dia hanya bisa berseru kaget, bersurut mundur sambil dekap-kan
kedua tangan di muka dada.
“Bangsat kesasar!” teriak Ki
Rawe Jembor. Dia melompat ke depan menyergap penyerang bertopeng dengan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Si penyerang seolah-olah
tersentak kaget melihat Hulubalang istana kelas satu ada di situ. Serangannya
terhadap Pangeran Purbaya terpaksa dibatalkan dan kini dia berusaha
menyelamatkan diri dari pukulan ganas yang dilancarkan Ki Rawe Jembor. Begitu
berhasil menghindar si penyerang membalikkan diri, masuk kembali ke dalam kamar
dari mana tadi dia keluar dan membantingkan pintu di belakangnya. Ki Rawe
Jembor mengejar sambil lepaskan sekali lagi pukulan tangan kosong. Pintu jati
yang kokoh itu hancur berkepingkeping. Ketika masuk ke dalam kamar, ternyata
kamar itu kosong. Di sebelah kanan kelihatan jendela terpentang lebar. Ki Rawe
Jembor mengejar ke jendela tapi di luar sana hanya kegelapan yang menyambut.
“Hemm…” bergumam Ki Rawe
Jembor.
“Seseorang menginginkah
kematian diri Pangeran Purbaya. Keadaan di istana ini semakin tidak karuan.
Kutogede jelas-jelas dalam cengkaman bencana…..” Tanpa menutup jendela itu
kembali, orang tua ini keluar dari kamar. Didapatinya Pangeran Purbaya duduk
tersandar di lantai. Mukanya masih pucat. Ki Rawe tolong membangunkan sang
pangeran lalu mengantarkannya kembali ke ruang besar tempat Sri Baginda
disemayamkan. Setelah itu dia memanggil perwira-perwira yang bertugas,
menceritakan apa yang barusan terjadi dan mengatakan sementara riaden Cokro
Ningrat belum diketahui berada di mana, dia sendiri yang akan mengambil alih
tugas pimpinan sebagai Kepala Pasukan Kerajaan. Dia memerintahkan penjagaan di
luar dan di dalam istana diperlipat ganda. Keselamatan keluarga istana harus
diperhatikan.
“Aku akan meninggalkan istana
barang beberapa lama. Kalian atur persiapan penobatan Pangeran Purbaya,
termasuk pemberitahuan pada seluruh lapisan rakyat. Sebentar lagi pagi akan
tiba. Sebelum matahari naik aku pasti sudah kembali!” Begitu Ki Rawe Jembor
memberikan pesan, lalu lewat jalan samping dia pergi menemui utusan Cokro
Ningrat yang menunggunya sejak tadi. Di sebelah timur langit mulai tampak
terangterang tanah tapi di tepi hutan yang terletak di sebelah barat Kutogede
keadaan masih diselimuti kepekatan menghitam disertai udara dingin yang masih
mencucuk. Tak lama memasuki hutan, dalam kegelapan tampak sebuah rumah kayu.
Bangunan ini bertingkat dua. Bagian atas tampak gelap gulita tapi cii sebelah
bawah ada sinar lampu menyeruak di antara celah-celah dinding papan. Ki Rawe
Jembor berpaling pada orang di sampingnya.
“Raden Cokro menungguku di
bangunan itu?” tanya si orang tua. Penunggang kuda disebelahnya mengangguk. Dia
hendak mengatakan sesuatu tapi tidak kesampaian karena saat itu juga Ki Rawe
Jembor telah menotok tubuhnya hingga tak dapat bicara, tak dapat bergerak. Ki
Rawe lemparkan sosok tubuh yang kaku itu ke dalam semak belukar lalu mengusir
kuda yang kini tak bertuan lagi itu. Dia sendiri kemudian turun dari kuda,
menyelinap dibalik-balik pepohonan dan semak belukar, bergerak mendekati
bangunan bertingkat dua. Tinggal sejarak enam langkah dari dinding bangunan
sebelah kanan tiba-tiba dari tingkat atas berdesing belasan anak panah. Ki Rowo
Jembor mengutuk dalam hati. Dia cepat menyelinap ke balik pohon besar.
“Kurang ajar! Jadi si Cokro
Ningrat sengaja hendak menjebak dan membunuhku di tempat ini! Kau tunggulah!
Lehermu akan kupatahkan lebih dahulu!” Habis memaki dalam hati begitu
hulubalang kelas satu ini berteriak;
“Cokro Ningrat keparat! Jika
kau seorang jantan keluarlah! Tunjukkan dirimu dan katakan apa maumu
sebenarnya!” Sunyi sesaat. Tak ada jawaban. Tapi tiba- tiba di dalam rumah
sebelah bawah terlihat ada gerakan gerakan. Lebih dari satu orang di tempat
itu. Menyusul terdengar seruan bertanya.
“Siapa di luar sana?!”
“Aku Ki Rawe Jembor!
Hulubalang Pertama Kerajaan! Bukankah kau meminta aku datang kemari. Dan
tampaknya kau sengaja memasang jebakan!”
“Ah…!” terdengar suara kaget
dari dalam bangunan.
“Kami kesalahan! Kami kira kau
seorang penyusup!” Pintu rumah terpentang. Sesosok tubuh tampak tegak di ambang
pintu dan melangkah keluar. Ki Rawe Jembor segera mengenali. Orang itu adalah
Raden Cokro Ningrat. Sambil menyiapkan pukulan tangan kosong yang dialiri
tenaga dalam penuh Ki Rawe Jembor keluar dari balik pohon. Dengan hati-hati dia
menyongsong Raden Cokro yang berjalan ke arahnya.
“Cokro! Mengapa Kau menyuruh
orangorang di atas sana memanahku?!” tanya Ki Rawe Jembor begitu tegak
berhadap-hadapan dengan Raden Cokro.
Kapak Maut Naga Geni 2129
KAMI KELIRU!”Sahut Raden Cokro
Ningrat.
“Mohon maafmu kangmas Jembor.
Sebelumnya aku terlah memberi perintah menyerang siapa saja yang mendekati
tempat ini, kecuali dua penunggang kuda. Maksudku kau dan utusanku itu.
Ternyata kau muncul sendirian. Kau tak apa-apa? Heran, apa utusanku tidak
menemuimu?”
“Orang itu memang menemuiku….”
“Nah, dimana dia sekarang?”
“Sudah kulemparkan ke dalam
semak di belakang sana!” sahut Ki Rawe Jembor.
“Raden Cokro! Terus terang aku
tidak suka tindak tandukmu ini. Ada apa sebenarnya?!”
“Mari kita bicara di dalam
kangmas Jembor,” sahut Raden Cokro. Lalu tanpa menunggu jawaban lagi dia membalikkan
tubuh dan melangkah masuk ke dalam rumah. Meski hatinya semakin jengkel namun
Ki Rawe Jembor mengikuti langkah Kepala Pasukan itu. Tapi tangan kanannya
diam-diam tetap dialiri kekuatan tenaga dalam penuh sedang tangan kiri siap
selalu mencabut tombak bermata tiga yang tersembunyi di balik pakaiannya.
Begitu masuk di dalam rumah Raden Cokro menutupkan pintu. Ki Rawe Jembor
memandang sekeliling ruangan. Di situ ada sebuah meja dengan lampu minyak besar
di atasnya. Lampu ini menerangi tiga wajah angker yang duduk di belakang meja.
Sekali lihat saja Ki Rawe Jembor segera mengenali siapa ketiga manusia itu.
Yang pertama seorang kakek bermuka tirus. Sebelah mukanya berwarna putih
sebelah lainnya hitam. Bagian putih itu adalah akibat tumpahan air panas. Namanya
Ronggo Sampenan, dikenal sebagai seorang dukun jahat yang diam di Gunung
Merbabu. Orang kedua bertubuh tinggi besar berperut buncit. Mukanya bulat
berminyak tertutup oleh cambang bawuk serta kumis lebat. Sepasang matanya
sangat besar dan berwarna merah. Kepalanya ditutup dengan kain warna merah. Dia
membawa senjata secara aneh. Senjatanya yakni sebilah golok bermata dua,
diikatkan ke leher dan digantung seperti memakai kalung. Inilah Warok Tumo
Item, raja diraja kaum perampok yang malang melintang di seantero Jawa Tengah
dan bermukim di sebuah hutan di kaki tenggara Gunung Sumbing. Lelaki ketiga
bermuka bopeng. Kedua matanya yang besar tampak menyeramkan karena ada lapisan
putih yang menutupi bagian bola mata yang hitam. Sepintas orang ini seperti memiliki
mata putih tanpa bola mata. Dia mengenakan rompi tak berkancing hingga dadanya
yang berotot dan penuh di tumbuhi bulu selalu dalam keadaan terbuka. Di
lehernya tergantung sebuah lonceng yang terbuat dari tembaga di sepuh emas.
Manusia satu ini dikenal dengan julukan Lonceng Maut.
“Raden Cokro… tidak sangka
kalau kau ter nyata kenal dengan orang-orang ini,” berkata Ki Rawe Jembor.
Hatinya mulai terasa tidak enak. Tiga manusia itu jelas bukan orang baik-baik.
“Bukan hanya kenal kangmas
Jembor. Justru mereka adalah kawankawanku sejak lama. Kawanku berarti kawanmu
juga. Bukan begitu para sobat?” Warok Tumo Item menyeringai mendengar ucapan
Cokro Ningrat. Lonceng Maut mengangyuk. Sebaliknya Ronggo Sampenan hanya diam
saja.
“Tak usah sungkansungkan
kangmas Jembor. Silahkan ambil tempat duduk. Malam ini kita akan mengadakan
perundingan penting. Tetapi satu hal harus diingat. Keputusan harus diambil
cepat. Sebelum matahari muncul di timur…” Perasaan Ki Rawe Jembor semakin tidak
enak… Dia berkata:
“Aku memang tak punya waktu
Raden Cokro. Aku harus kembali ke Kotaraja. Kurasa tempatmu pun di sana. Banyak
masalah yang harus kita pecahkan…”
“Kangmas Jembor betul. Banyak
masalah di istana yang harus kita pecahkan. Tapi masalah yang kita hadapi saat
ini justru paling penting.
Yang akan menetukan kelanjutan
kehidupan kerajaan…..” Hulubalang istana itu menatap paras Raden Cokro sesaat.
Lalu dia mengambil tempat duduk di salah satu kursi yang kosong. Walaupun
matanya masih tetap menatap Raden Cokro namun ekor matanya melirik ke sudut
ruangan di mana tergantung sehelai kain berwarna gelap, berukuran pendek dan
berbentuk aneh.
“Silahkan kau memberi
keterangan akan maksudmu Raden Cokro,” kata Ki Rawe Jembor.
“Kangmas mengetahui, keadaan
kerajaan saat ini dalam kekalutan. Meskipun pasukan pemberontak berhasil kita
hancurkan dan Empu Soka Panaran tewas, tapi pasti bahaya tidak berhenti sampai
di sana. Apalagi Nawang Suri dan Resi Mandra Botama masih hidup. Masalah yang
paling besar adalah wafatnya Sri Baginda. Puncak kekuasaan tak ada yang
mengendalikan. Jika ini berlangsung berlarut karut bencana besar akan muncul!
Karena itu perlu segera diangkat seorang pimpinan baru. Perlu sekali dinobatkan
seorang raja baru…”
“Hal itu sudah kusadari benar
Raden Cokro,” berkata Ki Rawe Jembor.
“Aku bersyukur dan merasa
gembira kalau kangmas menyadari hal itu. Karenanya, mengingat Keris Mustiko
Geni berhasil kuamankan saat ini berada di tanganku, aku tidak merasa sungkan
untuk mengatakan bahwa besok pagi ke seluruh pelosok kerajaan akan segera
penobatan diriku sebagai raja….” Ki Rawe Jembor terkejut bukan main mendengar
kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan itu. Tapi orang tua yang cerdik ini tak mau
memperlihatkan rasa terkejutnya pada air mukanya.
“Kau tak memberi jawaban
apa-apa kangmas…” berkata Cokro Ningrat seraya melayangkan pandangan berarti
pada Ronggo Sampenan, Warok Tumo Item dan Lonceng Maut.
“Niatmu untuk mengatas namakan
keselamatan kerajaan patut kupuji Raden Cokro. Hanya saja Sekalipun Keris
Mustiko Geni lambang tahta kerajaan ada di tanganmu, namun menurut garis
silsilah yang berhak menjadi raja adalah Pangeran Purbaya…”
“Pangeran Purbaya?!” Membuka
mulut dukun jahat Ronggo Sampenan. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
“Pemuda tolol berotak miring
itu hendak dijadikan raja? Bisa kiamat Kutogede!”
“Kangmas Jembor, kau dengar
sendiri pendapat sobat kita Ronggo Sampenan. Apa itu tidak cukup bagimu untuk
menunjang diriku jadi raja?”
“Lagi pula,” ikut bicara si
muka bopeng Lonceng Maut.
“Mengapa kita harus meributkan
soal silsilah. Ketika kita
dulu menumbangkan kekuasaan raja lama dan mengangkat raja baru soal keturunan
hanyalah urusan orang tolol dan gila…”
“Betul sekali,” kata Cokro
Mingrat.
“Aku percaya kangmas Jembor
akan berada di pihak kami. Sebagai balas jasa, kelak jabatan Kepala Pasukan
Kerajaan akan kuberikan pada kangmas Sebagai tokoh persilatan Ki Rawe Jembor
tidak tertarik akan segala macam jabatan. Terus terang dia tidak suka sejak
lama terhadap Raden Cokro Ningrat. Apalagi saat ini ada rasa kecurigaan terhadap
diri Kepala Pasukan itu sehubungan dengan kematian Patih Wulung Kerso dan
adanya usaha penyergapan dan pembunuhan terhadap Pangeran Purbaya.
“Apakah Raden mengetahui kalau
Patih Wulung Kerso telah meninggal dunia?”
“Astaga? Bagaimana hal itu
bisa terjadi?!” Raden Cokro tampak terkejut tapi Ki Rawe Jembor tahu betul itu
adalah satu kepura-puraan belaka. Sementara itu tiga orang lainnya tampak
tenang-tenang saja.
“Dia tewas dibunuh seseorang
yang mempergunakan senjata sakti!”
“Pembunuhan lagi!” seru Raden
Cokro seraya berdiri dan menggebrak meja dengan tangan kirinya.
“Apakah sudah diketahui siapa
pembunuhnya?”
“Saat ini memang belum. Tapi
nanti juga bakal ketahuan!” sahut Ki Rawe Jembor.
“Nah, kangmas lihat sendiri
betapa kacaunya keadaan di istana. Kalau tidak lekas ditangani bencana besar
akan menimpa Kutogede…”
“Bencana sebenarnya sudah
jatuh. Hanya kiamat saja yang belum!” menyahuti Ki Rawe Jembor.
“Kalau begitu kangmas saya
mintakan tolong untuk menyusun rencana pemberitahuan penobatan saya besok pagi.
Upacara pun akan kuserahkan padamu untuk mengaturnya.”
“Hal itu tak mungkin dilakukan
Raden. Sebelum pagi tiba Pangeran Purbaya sudah dinobatkan jadi raja.” Raden
Cokro Ningrat terkejut. Kali ini benar-benar terkejut. Sekali lagi dia tegak dari
kursinya.
“Kalau begitu…” terdengar
suara Lonceng Maut berkata sambil permainkan lonceng kuning yang tergantung di
lehernya.
“Sudah saatnya kita harus
menyerbu istana sekarang juga!”
“Aku harap hal itu tidak
kalian lakukan!” kata Ki Rawe Jembor dengan tegas seraya berdiri dan melangkah
ke pintu.
“Tunggu dulu, sampean mau
pergi ke mana?” bertanya Ronggo Sampenan.
“Aku akan kembali ke
Kutogede.”
“Ah, jangan membuat tiga
sahabat kita ini tersinggung kangmas Jembor!” ujar Raden Cokro lalu menyusul ke
pintu yang tengah dibuka Hulubalang istana itu. Lonceng Maut, Ronggo Sampenan
dan Warok Tumo Item serentak bangkit dari kursi masing-masing lalu bergerak
menuju ke pintu. Cara mereka berdiri di sekitar Ki Rowo Jember jelas mengambil
sikap mengurung.
“Kurasa aku tidak menyinggung
siapapun. Aku hanya minta jangan ada yang melakukan hal-hal tidak pada
tempatnya di saat kerajaan mengalami kekacauan begini rupa. Dan khusus padamu
Raden Cokro, kuharap kau suka mengembalikan Keris Mustiko Geni padaku. Senjata
itu harus berada di istana.” Raden Cokro Ningrat tersenyum.
“Jika begitu permintaan
kangmas, baiklah!” katanya. Lalu dari balik pakaiannya dikeluarkannya Keris
Mustiko Geni. Senjata ini terbungkus kain. Melihat hal ini berubalah paras Ki
Rawe Jembor.
“Jadi, kaulah rupanya yang
malam tadi mencoba menyergap dan membunuh Pangeran ‘ Purbaya! Bukankah keris
berselubung kain itu juga yang kau pergunakan? Sengaja keris sakti kau bungkus
dalam kain agar tidak mudah diketahui senjata apa yang ada di tanganmu!”
“Pikiranmu cerdik, matamu
sungguh tajam. Sudah mengetahui begitu mengapa masih bersikap tidak
bersahabat?!” berkata Lonceng Maut.
“Kalau kami tidak segan-segan
membunuh seorang calon raja apa artinya nyawa manusia seperti-mu!” menimpali
dukun jahat Ronggo Sampenan lalu mengambil sejumput tembakau dari dalam kantong
pakaiannya dan mulai mengunyahnya. Ki Rawe Jembor maklum kalau orang ini memang
suka mengunyah tembakau. Tapi dia juga tahu benar bahwa tembakau itu kerap
digunakan sebagai senjata. Bila di sembur dapat menghancurkan bagian tubuh
manusia dan kalau kena mata pasti pecah dan buta.
“Kangmas Ki Rawe Jembor,
kuminta agar kau berada di pihak kami. Kita sama-sama ke istana.” Raden Cokro
berkata sedang tangannya menahan daun pintu hingga Hulubalang utama kerajaan
itu tak dapat membukanya.
“Kita berada di pihak yang
berlainan Raden. Beri aku jalan. Buka pintu itu…” Melihat Ki Rawe Jembor sukar
dibujuk maka Lonceng Maut membuka mulut:
“Tak perlu kita meminta
seperti pengemis pada manusia tak berguna ini!”
“Betul!” Menimpali Ronggo
Sampenan.
“Jikadia tak mau tinggal
bersama kita, biar nyawanya saja yang ditinggalkan di sini!” Habis berkata
begitu dukun jahat ini semburkan tembakau di dalam mulutnya ke arah muka Ki
Rawe Jembor. Hulubalang utama yang telah berjaga-jaga ini dengan sigap
rundukkan tubuh. Semburan tembakau lewat di atas kepalanya, menancap di dinding
papan. Ki Rawe Jembor tak tinggal diam, tangan kanan yang sejak tadi sudah
dialiri tenaga dalam dihantamkan ke arah Ronggo Sampenan. Meleset dan angin
pukulan melabrak meja hingga terguling dan ambruk berantakan. Lampu minyak di
atas meja ikut terbalik segera membentuk kobaran api. Perkelahian pecah
sementar bangunan di mana mereka berada mulai ikut terbakar. Bagaimanapun
hebatnya Ki Rawe Jembor namun menghadapi empat lawan tangguh begitu rupa, dalam
keadaan tubuh penuh luka, memar dan menghitam akibat racun Keris Mustiko Geni,
akhirnya dia menemui ajal. Tubuhnya kemudian ikut terbakar oleh kobaran api
yang memusnahkan seluruh bangunan kayu itu.
Kapak Maut Naga Geni 21210
MENJELANG pagi. Sang surya
masih belum terlihat menyembul meski langit di sebelah timur mulai tampak
kemerahan. Di ruangan besar istana satu upacara besar siap dilangsungkan. Yakni
penobatan Pangeran Purbaya sebagai Raja. Di ruangan itu pula dibaringkan dua
jenazah. Yang pertama jenazah Sri Baginda dan satunya lagi jenazah Patih Wulung
Kerso. Pangeran Purbaya duduk di sebelah kursi besar berukir kepala harimau
pada dua lengannya dan burung garuda pada sandarannya yang tinggi. Di kiri kanannya
tegak mengapit masing-masing seorang perwira berpakaian kebesaran perang,
lengkap dengan tameng dan tombak sedang pedang tersisip di pinggang. Di kiri
kanan duduk berderet-deret para pejabat dan petinggi kerajaan. Sedang di
belakang kursi Pangeran Purbaya duduk ibundanya, saudara-saudaranya, para istri
dan selir Sri Baginda. Di sebelah belakang lagi serombongan pemain gamelan
menembangkan lagu-lagu sedih. Suara gamelan berangsur perlahan dan akhirnya
sirna ketika dari sebuah pintu muncul keluar seorang gadis membawa baki emas,
melangkah setindak demi setindak menuku tempat duduk Pangeran Purbaya. Di
sampingnya mengawal empat prajurit. Menyusul dua orang tua berjubah putih.
Keduanya adalah pejabatpejabat Istana paling tua yang di percayakan utuk memimpin
upacara penobatan itu. Di atas baki yang dibawa gadis itu, terletak sehelai
kain merah putih terlipat rapi yang berumbai-umbai pada keempat ujungnya. Di
atas kain inilah terletak mahkota emas bertahtakan intan mutu manikam.
Seseorang di sudut ruangan menyerukan kata-kata puji syukur dan Tuhan Yang Maha
Esa. Gadis pembawa mahkota sampai di hadapan Pangeran Purbaya. Bersama seluruh
rombongan dia menjura membungkukkan diri sementara semua yang hadir di ruangan
itu telah berdiri. Dua orang tua berjubah putih maju ke depan. Yang di sebelah
kanan mengulurkan tangan menyentuh mahkota sedang yang sebelah kiri mendongak
seraya berkata lantang:
“Segala puji syukur untuk
Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan Yang mempunyai semua
kekuasaan di Kata-kata itu terputus mendadak karena dari ruangan sebelah depan
istana tiba-tiba menerobos tiga sosok tubuh. Yang satu berkelebat cepat dan
tanpa dapat dicegah langsung menyambar mahkota yang ada di atas baki emas.
Gadis pembawa baki terpekik dan
terdorong jatuh. Dua kakek
berjuah ikut terpelanting.
Tentu saja suasan menjadi
gempar. Pangeran Purbaya terduduk pucat di kursi besar. Dua orang perwira yang
mengawalnya segera berindak cepat. Menerjang ke depan. Salah seorang ayunkan
tombak sambil membentak :
“Rampok-rampok dari mana yang
berani berbuat kurang ajar! Menganggu jalannya upcara penobatan!”.
“Trang…” Tusukan tombak
tertahan oleh sambaran golok bermata dua. Tombak itu patah dua sedang sang
perwira kemudian terdengar menjerit ketika golok yang tadi menangkis kini
menancap di perutnya!
“Kami bukan perampok!” salah
satu dari tiga orang yang menerobos masuk berteriak seraya melompat ke atas
sebuah meja.
“Kalian semua dengar! Kami
datang untuk menyelamatkan kerajaan dari bencana! Musuh berada di mana-mana.
Acara penobatan ini tetap diteruskan tetapi yang akan jadi raja bukan Pangeran
Purbaya! Siapa yang berani menantang nasibnya akan sama dengan perwira itu!”
Sesaat suasana menjadi hening seperti di pekuburan. Ketegangan menggantung di
udara. Tapi hanya sesaat. Suasana gempar tak terkendalikan lagi. Beberapa
prajurit dan perwira-perwira istana coba menyerbu. Tapi siasia. Sebagian orang
yang hadir di tempat itu menyingkir dengan suara gaduh. Belasan pejabat ikut
menjauh. Orang-orang perempuan termasuk ibunda Pangeran Purbaya dilarikan ke
ruangan lain. Pangeran itu sendiri berhasil menyelinap dalam kekacauan dan
lenyap dari ruangan. Orang yang tegak di atas meja kembali berteriak.
“Kalian semua tetap di tempat!
Kalian…” Sebatang anak panah melesat dari arah jendela di samping kanan,
mengarah ke dada orang yang tegak di atas meja. Namun dengan hebat sekali dia
menggerakkan tangan. Anak panah itu mencelat mental. Lalu dia menyambar sebilah
tombak yang terus dilemparkan ke arah jendela. Di belakang jendela terdengar
suara memekik lalu sosok tubuh roboh. Seorang perwira yang tadi melepaskah
panah itu menemui ajalnya. Orang di atas meja berteriak sambil berkacak
pinggang.
“Ada lagi yang hendak coba
membokong?!” Suasana kembali sunyi tapi ketegangan semakin memuncak. Siapakah
tiga manusia yang barusan muncul mengacaukan jalannya upacara besar di istana
itu? Mereka bukan lain adalah Warok Tumo Item, Ronggo Sampenan sedang yang
tegak di atas meja adalah si Bopeng Lonceng Maut.
“Kalian semua dengar! Hari ini
kerajaan akan mendapatkan seorang raja baru! Seorang raja gagasi perkasa! Yang
akan melindungi kerajaan dari bencana keruntuhan dan peperangan. Lalu Lonceng
Maut mengembangkan tangannya ke arah langkan istana. Di situ tampak berdiri
Raden Cokro Ningrat dalam pakaian kebesaran seorang raja. Dia melangkah menuju
kursi besar di ruangan upacara. Di tangan kanannya dia menggenggam Keris
Mustiko Geni yang memancarkan sinar merah, keris sakti mandraguna lambang tahta
kerajaan yang telah merenggut sekian banyak jiwa. Warok Tumo Item yang tegak
memegang mahkota di samping kursi, begitu Raden Cokro sampai di hadapannya
segera meletakkan mahkota itu di atas kepala Raden Cokro. Saat itulah dari
dalam menghambur seorang perempuan sambil berteriak.
“Manusia-manusia rendah! Pengkhianat
busuk!” Perempuan ini ternyata adalah kanjeng ratu ibunda Pangeran Purbaya.
Entah bagaimana setelah tadi disingkirkan ke tempat aman, dia berhasil
meloloskan diri. Dan kini dia menghambur ke arah Raden Cokro sambil menghunus
sebilah pisau besar. Ronggo Sampenan cepat datang menyongsong dan mendekap
perempuan itu.
“Semua orang dengar!” teriak
ibunda Pangeran Purbaya.
“Jangan berdiam diri saja!
Tangkap, bunuh dan usir manusia-manusia pengkhianat itu! Mereka bukan hendak
menyelamatkan kerajaan. Tapi perampok- perampok bejat!” Seperti mendapat
semangat maka sejumlah pejabat, prajurit dan perwira-perwira istana segera
menyerbu Raden Cokro Ningrat dan tiga kambratnya. Namun semua itu tentu saja
merupakan kesia-siaan. Dalam waktu yang singkat ruangan besar Istana itu telah
berubah menjadi ajang kematian. Mayat bergeletakan dimana-mana. Darah membasahi
dinding dan lantai. Suara pekik kematian dan erangan mereka yang meregang nyawa
membuat tempat itu seperti neraka
Kapak Maut Naga Geni 212 11
PERMAISURI yang malang itu
terbaring di tempat tidur kayu. Dia masih saja sesenggukan walaupun kedua
matanya telah belut dan merah karena terus-menerus menangis sehri semalam.
“Tak pernah kusangka nasib
kita akan seburuk ini, Purbaya” terdengar suara perempuan itu di antara
isakannya. Pangeran Purbaya yang duduk di lantai di sudut ruangan batu yang
merupakan penjara itu tak memberi reaksi apa-apa. Tubuhnya tampak kuyu dan
wajahnya pucat seperti tidak berdarah.
“Ayahmu dibunuh. Tahta
dirampas. Entah bagaimana nasib kita dalam waktu sehari dua ini. Entah
bagaimana pula dengan nasib saudara-saudara kita lainnya. Raden Cokro
benar-benar manusia setan…” Pangeran Purbaya menghela nafas dalam.
“Mungkin semua ini sudah
takdir Gusti Allah, ibunda…” katanya kemudian. Sang ibunda bangkit dari
tidurnya da menatap tajam pada putranya.
“Ucapanmu hanya menunjukkan
kelemahan hatimu. Seorang putra mahkota tidak boleh berkata seperti itu…..”
Purbaya gelengkan kepala.
“Saat ini aku bukan lagi
putera mahkota. Kita berdua sudah jadi orang tahanan. Tadi malam saya bermimpi
bertemu ayah. Mungkin itu satu pertanda bahwa dalam waktu dekat kita akan
menyusulnya. Para pengkhianat yang sekarang berkuasa pasti akan menggantung
kita cepat atau lambat Mendengar kata-kata puteranya itu sang permaisuri
semakin keras tangisnya.
“Kita tidak tahu, apakah
ayahmu dikubur secara wajar atau jenazahnya mungkin dibuang begitu saja ke
dalam jurang …” Terdengar rantai pintu besi ruangan batu itu digeser orang.
Sesaat kemudian pintu terbuka. Dua prajurit masuk ke dalam. Tapi tidak masuk
secara wajar karena tubuh keduanya kemudian dibantingkan ke dinding hingga
terkapar pingsan di lantai. Di ruangan itu muncul orang ketiga yang membuat
baik Pangeran Purbaya maupun bekas permaisuri raja jadi terkejut. Pangeran
Purbaya cepat berdiri.
“Mengapa kau berada di sini!
Bukankah kau orangnya yang membantu gadis pemberontak itu?!” Orang yang
dibentuk menyeringai.
“Kau benar Pangeran, dulu aku
membantunya karena dia kuanggap sahabat. Tapi pagi-pagi buta ini aku datang
kemari untuk menolongmu.
“Jangan percaya pada pemuda
gila ini, Purbaya!” Permaisuri memberi peringatan.
“Memang siapa yang percaya
padamu. Kau tidak lebih baik dari empat keparat yang kini menguasai istana
dengan Cokro Ningrat sebagai dedengkotnya!”
“Dengar kalian berdua. Kita
tak punya banyak waktu. Di luar sudah tersedia sebuah kereta yang akan membawa
kalian ke satu tempat. Dari tempat itu akan disebar pengumuman bahwa kalian
berdua masih hidup. Bilamana rakyat sudah mengetahui hal ini maka urusan dengan
empat manusia keparat itu serahkan padaku. Jika nasib kita mujur dan Tuhan
memberi perlindungan serta berkahNya,, kau akan mendapatkan tahta Kerajaan yang
menjadi hakmu itu… Tapi aku ada syarat…” Ibu dan anak saling berpandangan.
Keduanya tetap tidak percaya pada pemuda gondrong yang ada di hadapan mereka,
yang bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.
“Sampai saat ini orang-orang
itu masih terlena dalam pesta pora. Ini kesempatan baik untuk meninggalkan
tempat ini. Mari!” Wiro menepuk bahu Purbaya. Tepukan ini seperti memberi
semangat pada sang pangeran. Purbaya memegang lengan ibunya. Bertiga mereke
menyusup melewati lorong-lorong gelap di bawah istana dan akhirnya sampai di
tembok timur. Dua orang prajurit tampak tegak dekat sepbuah pintu kecil.
Ternyata keduanya adalah orang-orang yang telah diatur oleh Wiro dan berlima
mereka menyelinap menuju kereta yang telah menunggu di luar tembok. Begitu
masuk ke dalam kereta. Pangeran Purbaya dan ibunya terkejut melihat sesosok tubuh
menggeletak di lantai kereta, ketika diamati ternyata orang ini adalah Imo
Gantra, bekas Hulubalang Kedua Kerajaan. Dia masih berada dalam keadaan lumpuh
akibat hantaman jarum.
“Sebelum menyusup ke tempat
tahanan kalian, aku berhasil menemukan dia dan membawanya ke dalam kereta lebih
dulu. Seperti dengan kalian, dengan dia pun aku mengikat sebuah syarat…..”
Mendengar ucapan Wiro itu Pangeran Purbaya bertanya:
“Apa syarat yang kau maksudkan
itu…?”
“Syarat enteng saja. Kalian
kubantu mendapatkan tahta kerajaan kembali, tapi Keris Mustiko Geni akan
kubawa…”
“Mana mungkin begitu!” tukas
ibunda Pangeran Purbaya sementara kereta meluncur dengan cepat.
“Keris itu adalah lambang
ikatan tahta kerajaan yang tak bisa dipisah-pisahkan. Siapa pemiliknya dia yang
berhak jadi raja…”
“Jangan tolol!” jawab Wiro.
“Jika seorang jembel kudisan
di pasar Kliwon memiliki senjata itu, apakah dia bisa jadi raja?!”
Ibu dan anak terdiam.
“Apa perjanjianmu dengan paman
Imo Gantra?” bertanya Pangeran Purbaya.
“Kalian harus mengatakan dulu,
setuju atau tidak dengan syarat tadi…”
“Aku setuju saja!” jawab
Pangeran Purbaya tanpa pikir panjang. Sang ibu hendak membuka mulut namun
akhirnya memutuskan untuk tidak membantah.
“Nah, perjanjianku dengan
orang tua bermuka cekung ini ialah, aku akan mengeluarkan tiga jarum yang
mendekam di tubuhnya. Setelah sembuh dia harus membantuku menggasak empat
keparat yang sekarang bercokol di istana!”
“Kau telah mencelakainya,
apakah paman Imo Gantra menyetujui syaratmu itu?” tanya Pangeran Purbaya. Dari
lantai kereta terdengar jawaban Imo Gantra. Suaranya perlahan saja karena
tubuhnya yang lumpuh memang berada dalam keadaan lemas.
“Aku memang sudah menyetujui
syarat pemuda gila itu….” Kalian tak perlu berdebat lagi. Segala sesuatunya
didunia ini bisa diatur. Ingat itu baik-baik…” Tapi ibunda Pangeran Purbaya
msih belum puas. Dia bertanya.
“Setelah kau mendapatkan Keris
Mustiko Geni, apa yang hendak kau
lakukan dengan senjata itu?”
“Akan kuberikan pada
seseorang. Tapi jangan ditanya siapa orangnya. Yang jelas senjata itu tidak
akan dipergunakan lagi untuk menambah noda darah dalam Istana….”
“Aku percaya padamu. Jalan
hidup manusia memang aneh. Terus terang sebenarnya aku tidak berapa suka jadi
Raja. Lebih enak jadi perjaka yang bisa keluyuran ke manamana…”
“Anak tolol!” bentak bekas
permaisuri ketika mendengar ucapan puteranya itu.
“Sekali lagi kau bicara tak
karuan akan kutampar mulutmu Purbaya!” Wiro tertawa lebar dan berkata:
“Bagaimanapun, tidak sopan
menampar seorang calon raja!” Dia menjenguk keluar.
“Kita hampir sampai…” katanya.
…
MESKIPUN lobang tempat jarum
menyusup sangat kecil dan hampir tertutup, namun dengan keahliannya Wiro
Sableng dapat menemukan yakni pada bagian bahu kiri, pinggang kiri dan perut
Imo Gantra: Disaksikan oleh Pangeran Purbaya dan ibundanya Wiro keluarkan Kapak
Naga Geni 212. Badan kapak yang berkilauan itu ditempelkannya pada setiap
lubang bekas jarum menembus di tubuh Imo Gantra. Kemudian Wiro kerahkan tenaga
dalam untuk menyedot. Inilah pekerjaan yang paling susah. Sekujur tubuhnya
bergetar dan mandi keringat. Biasanya tenaga dalam dipergunakan untuk
melancarkan pemindahan kekuatan dari dalam keluar seperti memukul atau
melepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung ajian kesaktian. Hal itu
sudaha lumprah bagi seorang jago-jago silat kelas tingkat tinggi. Tetapi adalah
jarang dan sulit sekali jika tenaga dalam itu dipergunakan secara berkebalikan
yakni menghimpun kekuatan untuk menarik atau menyedot. Wiro Sableng terduduk di
sudut ruangan dengan nafas turun naik. Tiga buah jarum senjata rahasia yang
sebelumnya dihantamkannya ke tubuh Imo Gantra kini tampak melekat pada badan
kapak, berwarna merah karena terlapis darah. Di atas lantai tanah yang dialasi
jerami, Imo Gantra tampak menggerakkan tubuhnya yang tadinya lumpuh. Lalu
perlahan-lahan dia mencoba duduk dan berhasil.
“Makan ini…” kata Wiro seraya
melemparkan obat berbentuk butiran. Imo Gantra cepat-cepat menelan obat itu.
Wiro berpaling pada dua prajurit yang tegak di pintu.
“Kalian sudah siap?” tanya
Wiro.
“Kami akan pergi sekarang.”
“Bagus! Sebarkan surat
selebaran itu ke seluruh pelosok Kutogede. Kalian tak perlu kembali kemari,
tapi langsung bergabung dengan siapa saja yang bersedia ikut di pihak kita.
Jasamu tentu tak akan dilupakan oleh Pangeran Purbaya…!” Dua prajurit itu
menjura. Keduanya naik ke punggung dua ekor kuda yang membawa masingmasing
sekantong besar surat selebaran berisi pemberitahuan bahwa Permaisuri dan
Pangeran Purbaya masih hidup dan berada di tempat yang aman. Orang-orang yang
telah merampas takhta secara paksa akan mendapat hukumannya. Rakyat dan seluruh
pasukan yang setia pada Pangeran Purbaya dan Permaisuri diminta bersiap-siap
untuk menyerbu istana.
Kapak Maut Naga Geni 212 12
SAMBUTAN rakyat terhadap surat
selebaran itu ternyata tidak terduga dan luar biasa sekali. Meskipun mereka
tidak tahu dimana Pangeran Purbaya dan Permaisuri dan juga belum ada yang
bertindak sebagai pimpinan, namun berbagai senjata di tangan,dalam jumlah
ratusn bahkan ribuan berbondong-bondong menuju Istana. Pasukan kerajaan dan
pasukan pengawal istana yang melihat kejadian ini segera bersiap siaga. Ada
yang langsung melapor ke dalam, tetapi sebagian besar di antara mereka justru
banyak yang menyeberang dan bergabung, disambut dengan tempik sorak gegap
gempita oleh rakyat. Di dalam istana, di mana Raja dan tiga konconya masih saja
asyik berpesta pora, seorang prajurit datang menemui Warok Tumo Item dan
menceritakan apa yang sedang terjadi di luar istana. Lalu kepada Warok itu
diserahkannya surat selebaran yang banyak bertebaran di kalangan rakyat sampai
ke pelosok-pelosok Kutogede. Oleh Warok Tumo Item, surat tersebut
diperlihatkannya pada Raden Cokro yang kini telah mengangkat diri sebaga Raja
dengan gelar Raden Mas Haryo Ing Alaga Cokro Ningrat. Cokro Ningrat meneguk
dulu segelas minuman keras, pemandangannya berkunang- kunang tapi dia masih
dapat membaca apa yang tertulis di surat sele baran itu. Selesai membaca dia
tertawa mengekeh.
“Hanya sebuah surat edan! Apa
yang ditakutkan?! Orang-orang yang penasaran itu tak punya kekuatan untuk
melakukan apapun. Apalagi hendak menyerbu kemari….” ’Tapi di luar istana ribuan
rakyat sudah siap dengan senjata di tangan!” kata Warok Tumo Item.
“Kalau begitu kau pimpin
pasukan. Bunuh semua mereka yang berani melawan!”
“Betul! Bunuh semua!” Yang
bicara adalah si bopeng Lonceng Maut yang duduk berdampingan dengan dukun jahat
Ronggo Sampenan. Keduanya juga sudah sama-sama terpengaruh oleh minuman keras.
“Kalian bertiga enakenakan di
sini berpesta-pora. Aku disuruh menghadapi para penyerbu. Puah! Biar saja orang
lain yang melakukan!” Lalu Warok Tumo Item memanggil seorang perwira dan
memerintahkan ’Tak mungkin dilakukan Warok…” kata sang perwira.
“Balatentara yang masih ada di
istana tinggal beberapa belas orang saja. Yang lain sudah menyeberang ke pihak
musuh….”
“Perduli amat berapa
kekuatanmu! Angkat senjata dan usir para perusuh itu. Kalau mereka melawan
cincang saja!” bentak Warok Tumo Item. Dalam bingungnya perwira tadi pergi jua
menemui sisa-sisa prajurit yang ada di istana. Ternyata ada dua puluh satu
orang yang bisa dikumpulkan. Namun begitu mereka sampai di luar istana, mereka
bukannya menyerang melainkan bergabung dengan rakyat. Praktis tak ada seorang
prajuritpun lagi yang berada dalam lingkungan istana. Para hamba sahaya dan
petugas-petugas dalam istana pun satu demi satu meninggalkan tempat itu karena
kawatir mendapat celaka bila penyerbuan terjadi.
“Sepi! Mengapa sepi! Mana
pelayan?! Mana minuman?!” teriak Cokro Ningrat. Mahkota emas tak pernah ditanggalkan
sejak saat pertama diletakkan di atas kepalanya.
“Orang-orang gila itu agaknya
sudah pergi semua!” berkata Ronggo Sampenan sambil memandang berkeliling.
“Tapi masih ada dua orang gila
di sini!” Tiba-tiba terdengar suara dari arah kiri ruangan besar. Serentak
keempat orang itu sama palingkan kepala… Dan di situ mereka melihat Pendekar
212 Wiro Sableng tegak bersama Imo Gantra. Wiro dengan Kapak Maut Naga Geni 212
di tangan kanan sedang Imo Gantra mencekal dua golok besar di tangan kiri dan
kanan.
“Dua orang gila kesasar!”
teriak Cokro Ningrat. Meskipun terpengaruh oleh minuman keras namun tiga orang
lainnya yang berada bersama sang raja cepat membaca situasi. Lonceng Maut
segera loloskan loncengnya yang tergantung di leher. Begitu juga Warok Tumo
Item cepat-cepat loloskan golok bermata duanya. Sedang Ronggo Sampenan
keluarkan tembakau, berkomat kamit mengunyah tembakau itu sementara tangan
kirinya memegang seutas tali aneh sepanjang dua meter berwarna merah. Melihat
ini Cokro Ningrat segera pula keluarkan Keris Mustiko Geni dari pinggangnya.
“Jika kalian mau menyerah
secara baikbaik, kerajaan akan mengampunkan semua kesalahan kalian. Tapi jika
kalian melawan maka bersiaplah untuk mati!” Keempat orang itu tertawa
gelak-gelak mendengar kata-kata Imo Gantra tadi.
“Dia menyebutnyebut kerajaan.
Kerajaan yang mana yang dimaksudkannya?!” ujar Cokro Ningrat. Lalu sambungnya:
“Apakah kalian tidak sadar
kalau saat ini tengah berhadapan dengan Raja bergelar Raden Mas Haryo Ing Alaga
Cokro Ningrat?! Lekas berlutut minta ampun. Mungkin aku masih bersedia
mengambil kalian berdua menjadi jongos dan perawat kuda!” Keempatnya kembali
tertawa gelak-gelak.
“Kita serbu saja mereka
sekarang. Selagi masih dipengaruhi minuman keras…” Berbisik Imo Gantra. ’Tenang
saja. Siapa di antara mereka yang berbahaya?” balas berbisik Wiro Sableng.
“Si muka bopeng itu.
Senjatanya yang berbentuk lonceng bisa mengganggu pendengaran dan mengacaukan
gerakan. Lalu tembakau di mulut orang berpakaian biru-biru itu. Tapi tali di
tangan kirinya lebih berbahaya. Si Gendut berewokan itu memang hebat tapi
permainan goloknya tak usah ditakutkan. Yang penting hati-hati terhadap Cokro
Ningrat. Dia memegang Keris Mustiko Geni
“Kalau begitu dia yang harus
kita bereskan lebih dahului” kata Wiro pula. Tangan kirinya bergerak ke
pinggang, di masa dia menyimpan senjata aneh pemberian Resi Mandra Botama.
Cakra Dewa! Inilah saat yang tepat untuk menjajal kehebatan senjata itu.
“Astaga! Itu Cakra Dewa
jantan!” ujar Imo Gantra ketika dia melihat apa yang ada di tangan kiri Wiro
Sableng.
“Dari mana kau dapatkan
senjata itu?!”
“Bukan saatnya untuk
bercerita…”
“Kalau begitu kenapa tidak
lekas kau hajar mereka satu per satu?!”
“Sebentar. Tenang saja.
Sebentar lagi Imo!” ujar Wiro. Lalu dia bertanya pada keempat orang itu.
“Jadi kalian tak mau menyerah?
Dan memilih mampus percuma?”
Cokro Ningrat tegak dari
kursinya. Tubuhnya agak terhuyung walau hanya sesaat.
“Sobat-sobatku! Bunuh dua
monyet kesasar itu!” Sang Raja berteriak berikan perintah.
“Diberi susu minta racun!
Terimalah ini!” balas membentak Wiro. Tangan kirinya bergerak. Cakra Dewa
melesat mengeluarkan suara bergaung menyambar ke arah Cokro Ningrat. Percuma
pada kekuatan Keris Mustiko Geni, Cokro Ningrat tidak merasa gentar mendapat
serangan itu. Dia tusukkan senjata mustika itu ke udara. Sinar merah berkiblat
disertai hawa panas menebar. Cakra dewa tampak bergetar. Hawa sakti yang keluar
dari Keris Mustiko Geni membuat senjata itu mengapung ke atas namun selewatnya
sambaran hawa, Cakra Dewa kembali menukik. Cokro Ningrat membentak marah dan
cepat run-dukkan kepala. Cakra Dewa lewat di atas ubun-ubunnya, menghantam
tembok ruangan hingga membentuk lobang besar dan berubah warna menjadi
kebiruan. Sesaat senjata itu seperti hendak tenggelam menembus tembok, namun di
lain kejap melesat kembali ke arah Wiro Sableng. Sang pendekar yang terkagum-
kagum melihat kehebatan senjata itu hampir terlupa menangkapnya kembali.
Lonceng Maut, Warok Tumo Item dan Ronggo Sampenan sementara itu berlompatan
menyerbu. Suara lonceng menggema luar biasa nyaringnya diruangan yang besar
itu. Gendanggendang telinga hendak mau robek dan jantung berdenyut aneh
dibuatnya. Dari mulut Ronggo Sampenan keluar semburan tembakau menghantam ke
arah Wiro dan Imo Gatra. Lalu menyusul sambaran tali merah yang dihantamkan.
Ketika tali itu memukul di udara, terdengar suara petir menyambar disusul
dengan memerciknya api di ujung tali! Warok Tumo Item sudah pula ayunkan golok
bermata duanya hingga lengkaplah kehebatan serbuan tiga tokoh silat itu.
“Imo, kau tahan dulu tiga
bergajul ini!” ujar Wiro yang seenaknya saja menyebut nama si kakek muda cekung
yang jauh lebih tua dari padanya. Imo Gantra memang sudah siap menunggu. Dua
golok di tangannya kiri kanan menderu membentuk dua lingkaran besar. Satu
menyabung ke arah semburan tembakau Ronggo Sampenan, satunya lagi memapasi
serangan golok tunggal Warok Tumo Item, Baik Wiro maupun Imo Gantra begitu
mendengar suara lonceng merobek telinga masing-masing, keduanya segera menutup
indera pendengaran dengan aliran tenaga dalam. Suara lonceng tetap bergema,
tetapi tidak menyakitkan lagi.
“Bangsat-bangsat rendah!
Kalian minta mampus!” Terdengar bentakan Cokro Ningrat.
Dia memburu dengan Keris
Mustiko Geni. Wiro Sableng segera menyongsong. Tapi untuk membantu Imo Gantra,
sebelum bergerak dia lebih dulu sapukan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah
Lonceng maut. Kakek muka bopeng ini tersentak kaget ketika suara menderu
seperti ribuan tawon mengamuk yang keluar dari senjata lawan menindih kehebatan
lonceng kuningnya. Pakaian dan rambutnya berkibar- kibar. Tubuhnya seperti
ditindih batu besar. Ketika dia nekat merangsek terus sambil hantamkan
senjatanya yang berbentuk lonceng itu, Wiro kirimkan satu tendangan keaarah
tulang rusuknya. Ronggo Sampenan pukulkan loncengnya ke bawah. Tapi Wiro sudah
tarik pulang kakinya dan kini kembali Kapak Maut Naga Geni 212 membalik menyapu
setengah lingkaran.
“Edan!” teriak si bopeng
ketika dia merasakan ada sinar putih perak menyambar panas luar biasa. Kalau
dia tidak lekas bertindak mundur, perutnya sudah kena disambar mata kapak.
Kleneng! Longceng di tangan orang itu terbelah dua. Satu belahan mental dan
menancap di loteng ruangan. Sepotongnya lagi masih tergenggam di tangan
pemiliknya! Dan potongan ini terpaksa dilepaskan karena loncengan itu seperti
telah berubah laksana bara api akibat aliran panas yang datang dari Kapak Naga
Geni 212. Lonceng Maut kibas-kibaskan tangannya yang tampak melepuh! Kejadian
ini cukup membuat Loneeng Maut-menjadi leleh nyalinya dan berpikir dua kali
apakah dia akan terus melanjutkan perkelahian itu. Sementara itu Imo Gantra
mendapat lawan seimbang yakni Warok Tumo Item. Namun karena kepala rampok ganas
itu berdua dengan si dukun jahat Ronggo Sampenan maka sangat berat bagi Imo
Gantra untuk melayani keduanya sekaligus. Setelah berhasil melumpuhkan Lonceng
Maut, Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke arah Cokro Ningrat. Tangan kirinya
bergerak seperti hendak melemparkan Cakra Dewa. Cokro Ningrat acungkan Keris
Mustiko Geni ke depan untuk melindungi diri. Namun gerakan Wiro hanya tipuan
belaka. Selagi bagian bawah lawan terbuka, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede
itu baru benar-benar melakukan lemparan. Cakra Dewa membeset di udara. Cokro
Ningrat menjerit keras. Tubuhnya berputar. Cakra Dewa menancap di perutnya,
kemudian melesat kembali, membalik ke arah Wiro. Tampak seperti ada asap tipis
kebiruan mengepul di perut sang raja. Wiro menangkap dan menyimpan Cakra Dewa
lalu memburu ke arah Cokro Ningrat yang saat itu jatuh berlutut di lantai.
Sekujur tubuhnya terutama di bagian bibir tampak membiru. Itulah jahatnya racun
Cakra Dewa. Sekali lagi bekas Kepala Pasukan Kerajaan ini menjerit. Tubuhnya
kemudian terkapar menelungkup. Keris Mustiko Geni lepas dari genggamannya.
Mahkota emas tanggal dari kepalanya dan berguling ke arah kaki Wiro. Dengan
tangan kirinya Wiro mengambil mahkota sedang tangannya cepat memungut Keris
Mustiko Geni. Dengan hati- hati keris tak bersarung itu diselipkan ke pinggang
sedang mahkota emas dikenakan seenaknya di kepalanya.
“Kami menyerah!” teriak Ronggo
Sampenan ketika tali merahnya dibabat putus oleh Kapak Naga Geni 212. Sisa
potongan tali yang dipergunakannya sebagai senjata itu dibuang ke lantai. Warok
Tumo Item juga ikut-ikutan membuang goloknya namun nasibnya malang. Gerakannya
yang agak lamban keburu didahului tusukan golok Imo Gantra. Ketika golok lawan
menusuk dadanya, dia sendiri tak memegang senjata lagi. Tubuhnya terhuyung.
Darah mengucur membasahi lantai. Kedua tangan Warok Tumo Item menggapaigapai
ke udara seperti berusaha berpegangan pada sesuatu: Tapi dia hanya memegang
angin. Tubuhnya jatuh.terduduk di atas kursi raja, tapi belum sempat menyentuh
kursi itu tendangan Wiro membuat dia terpelanting dan terkapar di tanah.
Melihat Ronggo Sampenan mengambil sikap menyerah, Imo Gantra cepat menotok
orang ini. Sementara itu di luar istana terdengar suara gegap gempita. Ratusan
orang menyerbu masuk. Di depan sekali tampak Pangeran Purbaya bersama
ibundanya. Wiro masukkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaian lalu tinggalkan
ruangan ini dan menyongsong Pangeran Purbaya di tangga istana.
“Semuanya sudah berakhir
Pangeran. Aku minta diri sekarang….”
“Apakah kau sudah mendapatkan
Keris Mustiko Geni?” tanya sang pangeran.
“Wiro mengangguk sambil
menepuk pinggangnya. Lalu dia menjura pada Pangeran Purbaya dan ibunya. Ketika
dia hendak berkelebat pergi Pangeran itu tiba-tiba berseru.
“Hai! Kau sudah kuberikan
Mustiko Geni. Jangan ambil pula mahkota emasku!” Wiro tersentak kaget.
“Astaga! Mohon maafmu Sri
Baginda. Aku sampai kelupaan!” kata Wiro lalu cepat-cepat mencopot mahkota yang
masih berada di kepalanya. Orang banyak tertawa lebar. Ibunda Pangeran Purbaya
membisikkan sesuatu pada puteranya. Sang pangeran lalu berkata:
“Pendekar, kau. tidak kami
izinkan pergi. Kau harus menetap di Kutogede karena kami memutuskan untuk
mengangkatmu sebagai Kepala Pasukan Kerajaan!”
Wiro Sableng garuk-garuk
kepala.
“Terima kasih atas
kepercayaanmu Sri Baginda… Tapi…” Wiro goyanggoyangkan tangan kanannya.
“Itu tidak termasuk dalam
perjanjian kita sebelumnya!” Lalu sekali berkelebat dia telah lenyap di antara
ratusan rakyat yang berkerumun di tempat itu.
“Pemuda itu aneh,
kadang-kadang menjengkelkan!” ujar Pangeran Purbaya.
“Dinobatkan pun aku belum.
Enak saja dia menyebutku Sri Baginda…”
“Ya, dia memang seperti
sinting. Tapi hatinya polos!” Memuji sang ibunda.
“Tiba-tiba seseorang
berteriak.
“Gotong raja kita ke
singgasananya!” Lalu puluhan manusia bergerak berebutan untuk menggotong
Pangeran Purbaya dan mendudukannya di atas kursi besar. Imo Gantra tegak
menarik nafas lega. Kelak kakek ini diangkat menjadi Patih Kerajaan.
TAMAT