Bab 20 - Mati Ditangan Kekasih (TAMAT)
Semenjak kecilnya, Sun Hauw
memang sudah gagah atau setidak-tidaknya bercita-cita menjadi seorang gagah.
Sering kali Sun Hauw membuat kuda-kudaan dari batang pohon, lalu berlari-lari
"naik kuda" dengan lagak seorang pahlawan berangkat ke medan perang!
Dan di tengah jalan dia melambai-lambaikan tangan kepada Siok Lan yang dibalas
dengan lambaian tangan pula. Sering kali mereka bermain-main, Sun Hauw menjadi
pangeran dan Siok Lan menjadi puterinya, sang pangeran menolong sang puteri
yang ditawan oleh penjahat!
Siok Lan tersenyum dan
kadang-kadang tertawa kecil menutupi mulut dengan tangannya kalau ia teringat
akan semua ini. Sekarang Sun Hauw sudah pulang! Sedangkan ayah Sun Hauw dan
ayahnya sendiri sudah setuju bahwa kalau Sun Hauw pulang, pernikahan antara dua
orang muda ini akan dilangsungkan segera.
Tiba-tiba pintu belakang rumah
itu terbuka dan seorang wanita muda yang cantik juga datang berlari-lari sambil
tertawa,
"Siok Lan, kau sedang apa
di situ? Mengapa tidak lekas-lekas berganti pakaian dan membereskan rambutmu?
Sebentar lagi tentu dia akan datang ke sini...!" kata wanita itu yang
ternyata adalah kakak ipar dari Siok Lan.
"Ahhh... Soso suka
menggoda orang..." jawab Siok Lan dan mukanya yang putih halus meniadi
merah, lesung di atas tahi lalat yang berada di dagu kirinya membayang menambah
kemanisannya.
Dua orang wanita ini lalu
bersendau-gurau dan Siok Lan digoda terus oleh kakak iparnya. Keduanya
tertawa-tawa gembira tidak tahu bahwa tak jauh dari situ dua orang mengintai
dan mendengarkan percakapan mereka.
Kalau di tempat ini terjadi
hal yang menggembirakan, sebaliknya di rumah Sun Hauw terjadi hal yang ribut.
Terdengar ayah pemuda itu berteriak-teriak marah, diseling suara Sun Hauw yang
tenang dan lemah-lembut, agaknya hendak menghibur ayahnya. Akhirnya dengan
suara menyatakan kekecewaan, kemarahan, dan kedukaan, ayah pemuda itu berkata,
"Sudahlah, Sun Hauw.
Kalau kau berkukuh, aku pun tak dapat memaksa, karena kaulah yang akan menikah.
Akan tetapi, untuk membatalkan ikatan jodoh dengan keluarga Tang, harus kau
sendiri yang datang memberitahukan. Aku tidak sampai hati, aku tidak tega
membikin malu dan susah Siok Lan, anak yang baik itu... Baru saja ia masih
demikian lincah gembira... penuh harapan, sekarang kau hendak menghancurkan
hatinya..."
"Ayah, sesungguhnya anak
pun merasa amat kasihan kepada Siok Lan. Akan tetapi apa daya, Ayah. Anak
merasa lebih cocok dan anak mencinta Ang I Niocu seorang wanita gagah yang
lebih sesuai dengan keadaan anak sendiri. Tentang Siok Lan, biarlah anak anggap
sebagai adik sendiri dan kelak anak yang akan mencarikan calon suami."
"Masa bodoh... masa
bodoh... anak muda sekarang memang tidak kenal budi!"
Biarpun secara terpaksa sekali
harus mendapat persetujuan ayahnya, Sun Hauw girang juga bahwa akhirnya ayahnya
menyerahkan hal perjodohan ini kepadanya. Ia lalu cepat meninggalkan rumahnya,
menuju ke rumah Siok Lan. Ia harus cepat-cepat karena khawatir kalau membuat
Ang I Niocu terlalu lama menunggu. Akan tetapi setelah tiba di dekat rumah Siok
Lan, ia merasa berdebar juga hatinya. Bagaimana ia harus menyampaikan hal yang
amat pahit bagi Siok Lan itu? Lebih baik kusampaikan kepada Siok Lan sendiri,
pikirnya. Untuk menyampaikan hal ini kepada ayah Siok Lan, atau kakak Siok Lan,
ia merasa lebih sukar lagi karena hubungannya dengan mereka ini kurang erat.
Semenjak kecilnya memang kakak Siok Lan itu bekerjaa di kota lain dan
pulang-pulang sudah membawa isteri. Akan tetapi kalau dengan Siok Lan, semenjak
kecil ia memang sudah kenal baik sehingga biarpun amat berat rasa hati
menyampaikan hal yang menghancurkan perasaan gadis itu, namun masih lebih mudah
apabila dibandingkan dengan menyampaikan kepada ayah atau kakaknya.
Ketika Sun Hauw melompati
pagar belakang rumah, ternyata ia mendapatkan Siok Lan tengah duduk seorang
diri di bawah pohon. Kebetulan sekali, setelah bergurau dengan kakak iparnya
yang menggodanya, kakak ipar itu kembali kedalam rumah untuk melanjutkan
pekerjaan rumah tangga, dan Siok Lan melamun seorang diri di dalam kebunnya,
mengambil keputusan di dalam hatinya, hanya akan keluar kalau Sun Hauw sudah
datang berkunjung ke rumahnya.
Akan tetapi kini ia telah
berganti pakaian seperti yang dinasihatkan oleh kakak iparnya tadi, dan
rambutnya yang hitam halus dan panjang sudah disisirnya rapi. Mukanya yang
jarang dibedaki, karena ia memang bukan seorang pesolek, akan tetapi yang putih
dan halus, kini bertambah menarik dengan bedak tipis-tipis dan senyumnya tak
pernah meninggalkan bibirnya. Saat-saat seperti ini, menanti datangnya kekasih
hati, memang merupakan saat paling bahagia bagi seorang dara.
Ketika melompat turun ke dalam
kebun itu, untuk sesaat Sun Hauw berdiri tertegun. Ia terharu. Teringat ia akan
masa kanak-kanak dahulu. Setiap kali ia pun memasuki kebun Siok Lan seperti
ini. Hanya bedanya, kalau dahulu ia masuk menerobos pagar kebun yang rusak,
adalah sekarang dengan mudahnya ia melompati pagar tanpa mengeluarkan suara.
"Siok Lan..." Ia
memanggil dengan nada suara seperti dahulu ketika masih kecil pula. Gadis itu
terkejut, serasa dalam mimpi. Seperti pada dulu, ia pun tersenyum, menoleh dan
memandang ke Sun Hauw.
"Hauw-ko... kau baru
datang...?" Kemudian ia teringat bahwa mereka bukan kanak-kanak lagi, maka
merahlah mukanya dan disambungnya dengan kata. kata itu, "Eh, mengapa kau
datang dari belakang?"
Sun Hauw makin terharu melihat
wajah wanita itu tersenyum bahagia, sepasang mata yang sudah dikenalnya baik
semenjak kanak-kanak itu berseri seri, akan tetapi ia tidak bisa membalas
senyum dan wajahnya nampak muram.
"Aku sengaja datang dari
belakang untuk bertemu dan bicara dengan kau, Siok Lan." Ia lalu
menghampiri gadis itu dan diucapkanlah kata-kata yang sudah dirangkai dan
dihafalkannya di sepanjang jalan tadi.
"Siok Lan, semenjak kita
masih kanak-kanak, kita telah menjadi sahabat baik, bahkan boleh dibilang sudah
seperti kakak beradik saja. Oleh karena itu, biarlah sekarang kauanggap aku
bicara selaku kakakmu dan bagi aku, lebih baik aku bicara sendiri denganmu
daripada dengan ayah atau kakakmu. Sebagai seorang kakak aku hendak bicara
terus terang saja, demi kebaikan kita berdua dan demi kebaikan keluarga kita.
Kau tahu bahwa selamanya aku
menganggap kau sebagai adikku, karena aku sendiri tidak mempunyai saudara. Akan
tetapi, ketika aku pulang tadi, aku mendengar dari Ayah bahwa antara kita telah
diikat tali perjodohan."
Mendengar ini Siok Lan
menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali sampai ke telinga dan lehernya.
Ia tidak berani bergerak, hanya tersenyum-senyum malu dan ujung kasutnya
menggurat-gurat tanah di bawah kaki, hanya itulah gerakan satu-satunya yang ia
berani lakukan. Ia merasa malu, jengah, dan juga... girang bukan main.
"Siok Lan, kau sendiri
tentu tahu bahwa aku selalu akan merasa girang dan berterima kasih, bahwa aku
tentu akan menerimanya dengan tangan terbuka dan haiti terbuka, karena kau
memang seorang yang kutahu amat bijaksana, amat mulia, dan seorang dara
pilihan, kalau saja..."
Tiba-tiba wajah menunduk yang
kemerahan itu menjadi pucat dan diangkat, sepasang mata yang bingung dan kaget,
seperti mata seekor kelinci melihat harimau menatap wajah Sun Hauw, membuat Sun
Hauw merasa kerongkongannya tersumbat! Akan tetapi pemuda itu mengeraskan hati
dan ia harus mengakhiri kalimat yang paling sulit diucapkannya itu.
"Kalau saja aku belum
mempunyai seorang kekasih, Siok Lan. Memang ini salahku. Aku sudah jatuh cinta
kepada seorang gadis gagah perkasa bernama Ang I Niocu Kiang Im Giok, dan
aku... aku bahkan sudah bertunangan dengan dia, aku pulang untuk meminta Ayah
meminangnya, maka tali perjodohan antara kau dan aku ini tentu saja tak
mungkin...! Kau tahu Siok Lan, aku sayang kepadamu seperti seorang kakak
menyayang adiknya, dan terhadap Ang I Niocu... dia itu pilihan hatiku, tak
mungkin diganti oleh lain orang..."
Kalau ada geledek menyambarnya
di saat itu, kiranya Siok Lan takkan begitu kaget seperti ketika mendengar
kata-kata ini. Sepasang matanya terbelalak, mukanya pucat, bibirnya gemetar dan
bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata pun, kakinya menggigil dan
akhirnya air mata membanjir keluar dibarengi keluhan suaranya,
"Hauw-ko..." dan gadis ini berlari dengan limbung, memasuki rumahnya.
Sun Hauw menarik napas panjang
dengan perasaan kasihan tercampur lega. Akhirnya kata-kata itu dapat juga
dikeluarkan dan nona itu tentu akan menyampaikannya kepada kakaknya dan ayahnya
dan semua bereslah! Ia lalu membalikkan tubuh dan melompati pagar kebun itu,
kembali ke rumah ayahnya, untuk menyampaikan bahwa hal itu sudah beres.
Biarpun kebun itu sudah
ditinggalkan oleh Siok Lan dan Sun Hauw akan tetapi orang yang semenjak tadi
mengintai di situ masih belum pergi. Ia berdiri bersembunyi, seperti patung,
rupa-rupanya terpengaruh oleh semua yang telah didengarnya, semenjak Siok Lan
bergurau dengan kakak iparnya tentang Sun Hauw sampai pertemuan antara Siok Lan
dan Sun Hauw.
Tiba-tiba terdengar jerit
mengerikan dari dalam rumah sederhana, rumah keluarga Tang itu. Orang yang tadi
bersembunyi, cepat sekali berkelebat, berubah menjadi bayangan merah dan di
lain saat ia telah naik ke atas genteng rumah itu. Dilihatnya dari atas betapa
Siok Lan berlari dikejar oleh kakak dan iparnya. Bayangan merah di atas genteng
hendak melompat turun mengejar, akan tetapi terlambat, Siok Lan sudah sampai di
dinding dan dengan sekuat tenaga gadis yang malang ini membenturkan kepalanya
pada dinding.
Terdengar suara keras dan
gadis itu roboh terkulai, darah mengalir dari pelipisnya, keluar pula dari
mulut, hidung, dan matanya yang terbuka lebar tanpa cahaya, mata seorang yang
sudah tewas...! Kakak Siok Lan menggereng-gereng, isterinya menjerit-jerit dan
seorang kakek tua, yakni ayah Siok Lan, terbungkuk-bungkuk lari dari dalam,
lalu menubruk jenazah puterinya sambil menangis dan berkata-kata tidak karuan
seperti orang yang sudah berubah ingatannya, seperti orang gila saking
sedihnya.
Bayangan merah itu menggigit
bibir dan menghapus dua titik air mata yang membasahi pipinya, kemudian
berkelebat pergi.
***
Sun Hauw menjadi terkejut dan
menyesal sekali ketika mendengar tentang perbuatan Siok Lan yang nekad. Tak
terasa lagi air matanya turun bertitik, karena betapapun juga, ia sesungguhnya
amat sayang kepada Siok Lan. Kalau di sana tidak ada Ang I Niocu, kiranya ia
akan menerima Siok Lan sebagai isteri dengan perasaan gembira dan bahagia.
Ayahnya juga menangis sesenggukan,
membanting diri di atas pembaringan sambil memaki-maki anaknya,
"Sun Hauw, dasar kau
manusia tak kenal budi! Kau telah melakukan perbuatan yang membikin kotor nama
keluarga kita, kau telah melakukan dosa besar sekali, dan sesungguhnya kaulah yang
membunuh Siok Lan...!" Setelah memaki-maki, ayah ini berkata, "Kau
boleh mencari isteri yang mana saja, akan tetapi bagiku, kau sudah mempunyai
isteri Siok Lan! Aku tidak sudi melamarkan lain orang gadis untuk menjadi
isterimu!"
Tentu saja Sun Hauw merasa
amat berduka. Akan tetapi, disamping kedukaannya ini, ia pun diam-diam merasa
girang karena kini perjodohannya dengan Ang I Niocu tidak terhalang oleh apapun
juga lagi! Kalau ayahnya tidak mau meminang, ia dapat minta perantaraan
susioknya. Memang, seorang yang sudah dimabuk cinta kadang-kadang sampai lupa
akan kebajikan, yang diingat hanyalah kesenangan diri sendiri saja.
Setelah meninggalkan sebagian
besar uangnya untuk disumbangkan kepada keluarga Tang, Sun Hauw lalu berpamit
kepada ayahnya untuk melanjutkan perjalanan. Tak dapat dilukiskan betapa remuk
perasaan hati ayahnya. Ayah ini hanya mempunyai seorang putera dan sekarang,
putera ini telah mengecewakan hatinya, bahkan hanya setengah hari saja pulang,
dan hendak pergi lagi.
Sebaliknya, setelah keluar
dari rumahnya, Sun Hauw merasa seakan-akan seekor burung terlepas dari sangkar
yang sempit. Ia berlari-lari menuju ke luar kampung di mana tadi ia berpisah
dari Ang I Niocu. Kemuraman wajahnya yang tadi sudah lenyap terganti seri penuh
harapan dan kegembiraan. Masa depannya penuh madu dan kebahagiaan bersama Ang I
Niocu, dara perkasa yang cantik seperti bidadari, mengapa ia harus berduka?
Dengan hati gembira ia berlari
keluar dari pintu gerbang dusunnya dan dari jauh ia sudah melihat dara baju
merah itu menanti kedatangannya, berdiri tegak dengan gagah dan cantiknya.
Gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya bersinar-sinar menatap wajah Sun
Hauw.
"'Kuharap aku tidak
terlalu lama pergi sehingga kau tidak menjadi kesal hati," kata Sun Hauw.
"Tidak sama sekali,"
jawab Ang I Niocu dengan suara merdu dan sikap menarik. "Saudara Liem,
mengapa selama ini kau tidak pernah bercerita kepadaku tentang maksud-maksud
mendiang ayahku?"
Sun Hauw terkejut, hatinya
berdebar. "Apa yang kaumaksudkan, Niocu?" Ang I Niocu tersenyum
manis. "Ayah sebelum menutup mata meninggalkan pesan kepadaku tentang
kita."
Dapat dibayangkan betapa
girangnya hati Sun Hauw. Jadi kalau begitu selama ini Ang I Niocu sudah tahu
bahwa dia adalah pilihan ayahnya? Dan gadis itu mau melakukan perjalanan
bersama dia. Ah, kalau begini dapat diharapkan sembilan dari sepuluh bagian
cita-citanya terlaksana!
"Jadi kau... kau sudah
tahu, Niocu? Aku diam saja karena tidak ingin membikin kau tak enak hati dan
malu. Memang, mendiang ayahmu dahulu telah. mengusulkan tentang... ikatan jodoh
antara kita..."
"Saudara Liem, apakah kau
suka kepadaku?" tanya Ang I Niocu, sepasang matanya menatap tajam,
mulutnya tetap tersenyum manis. Diam-diam Sun Hauw terheran-heran juga mengapa
gadis inni tidak kelihatan likat dan sungkan, dan bicara tentang ikatan jodoh
nampaknya demikian biasa!
"Suka kepadamu, Niocu?
Ah, kiranya tak perlu kujelaskan dan Niocu yang berpandangan tajam tentu sudah
mengetahui akan isi hatiku. Semenjak pertemuan kita yang pertama kali, aku...
aku sedetik pun tak pernah dapat melupakanmu, Niocu. Aku cinta kepadamu dengan
seluruh jiwaku..." Senyum di mulut Ang I Niocu melebar sehingga nampak
sekilas giginya yang putih dan rapi.
"Begitukah? Akan tetapi
kau harus tahu bahwa sebelum Ayah menyatakan keinginannya agar kau berjodoh
denganmu, aku sudah bersumpah bahwa aku hanya akan menikah dengan seorang pria
yang dapat mengalahkan pedangku. Nah, Saudara Liem, kalau kau memang
benar-benar cinta kepadaku dan hendak memperisteri aku, coba kaukalahkan
pedangku ini!" Sambil berkata demikian Ang I Niocu mencabut pedangnya dan
menanti dengan sikap garang.
Liem Sun Hauw tentu saja
menjadi terkejut, tertegun dan tak tahu harus berbuat apa. Akan tetapi, melihat
senyum Ang I Niocu tadi, hatinya menjadi besar. Melihat gelagatnya, nona ini
pun membalas cinta kasihnya. Sudah tentu saja Ang I Niocu memegang harga diri
dan mengadakan "sayembara" ini untuk mempertinggi harga dirinya, akan
tetapi kalau nona ini membalas cintanya, masa Ang I Niocu akan bertempur
sungguh-sungguh?
Dan pula, andaikata Ang I
Niocu bersungguh-sungguh, ia pun tidak takut karena biarpun dalam hal gin-kang
ia harus mengakui masih kalah oleh nona baju merah ini, namun dalam ilmu
pedang, ia tidak percaya kalau kalah. Ia telah menerima gemblengan dari
mendiang Thian Mo Siansu dan telah mempelajari ilmu pedang yang lebih lihai
daripada ilmu pedang Go-bi-pai.
"Begitukah kehendakmu,
Niocu? Biarlah aku memperlihatkan kebodohanku," katanya sambil mencabut
pedang dan memasang kuda-kuda. Ia sengaja memasang pertahanan untuk memberi
kesempatan kepada Ang I Niocu menyerang lebih dulu. Ang I Niocu tidak
sungkan-sungkan lagi.
"Lihat pedang!"
serunya dan di lain saat Sun Hauw harus cepat-cepat membuang diri ke kiri
sambil menyampok karena pedang gadis itu lenyap berubah sinar bagaikan kilat
menyambarnya, cepat bukan main.
"Hebat...!" tak
terasa lagi Sun Hauw mengeluarkan seruan terkejut dan kembali sinar pedang di
tangan Ang I Niocu menyambarnya. Dalam beberapa jurus Sun Hauw terus terdesak
hebat dan serangan-serangan Ang I Niocu benar-benar luar biasa ganasnya. Akan
tetapi Sun Hauw tidak mau membalasnya, hanya memutar pedang sedapat mungkin
melindungi tubuhnya.
"Balaslah, aku paling
tidak suka melihat orang berlaku mengalah. Memangnya ilmu pedangmu jauh lebih
menang?" kata Ang I Niocu. Sambil berkata-kata, ia melanjutkan
serangan-serangannya dengan cepat.
Melihat gerakan pedang Ang I
Niocu, diam-diam Sun Hauw terkejut sekali dan tahulah ia bahwa gadis itu
benar-benar lihai dan ilmu pedangnya amat tinggi tingkatnya, sukar diduga
gerak-gerik dan perubahannya. Akan tetapi ia masih percaya penuh bahwa tidak
nanti Ang I Niocu mau melukainya, maka sambil tersenyum manis ia berkata,
"Niocu, bagaimana aku
berani menyerangmu? Sejak dahulu ayahmu telah memberi tahu bahwa kepandaianmu
tinggi sekali, malah lebih tinggi daripada ayahmu sendiri. Pula, pedang tidak
bermata, bagaimana aku tega menyerangmu? Kalau sampai kulitmu terluka pedang,
bukankah aku akan menyesal setengah mati?"
Ang I Niocu yang tadinya
bersikap manis, kini mengeluarkan suara ketus, "Orang she Liem, kita dalam
pibu, luka atau mati adalah soal biasa! Aku akan menyerangmu
sungguh-sungguh!"
Sun Hauw masih saja tidak
sadar akan perubahan suara ini. Ia masih tersenyum dan berkata manis,
"Niocu, aku tidak percaya
kau akan melukaiku. Tegakah kau melihat tunangan sendiri menjadi korban ujung
pedangmu? Kalau kau tega, silakan, aku rela mati dalam tangan orang yang paling
kucinta..."
Ang I Niocu tak dapat menahan
marahnya lagi. Ia menghentikan gerakan pedangnya, berdiri tegak dan dengan muka
merah ia menudingkan pedangnya ke arah muka Sun Hauw.
"Bangsat rendah! Kaukira
kau ini orang macam apakah berani sekali bicara seperti itu di depanku?
Ketahuilah, buka telingamu lebar-lebar, jangankan kau tak dapat menangkan
pedangku, andaikata kau dapat menangkan juga, belum tentu aku sudi menjadi
isteri seorang kejam macam kau!"
Kali ini benar-benar Sun Hauw
terkejut. Mukanya berubah pucat ketika ia bertanya,
"Eh, Niocu, mengapa kau
marah kepadaku? Apakah kesalahanku?"
"Manusia rendah, kau
pandai berpura-pura! Tentu Ayah dahulu juga sudah tertarik oleh gerak-gerik dan
kata-katamu yang palsu, mengira kau seorang baik-baik tidak tahunya kau
menyimpan hati yang palsu. Apa yang kau sudah lakukan terhadap Siok Lan?"
Sun Hauw merasa semangatnya
terbang.
"Siok Lan...? Bagaimana
kau bisa tahu...?"
Ang I Niocu tersenyum akan
tetapi kini senyumnya mengiris jantung, senyum mengejek dan memandang rendah.
"Kau sanggup
menghancurkan hati seorang gadis suci seperti Siok Lan, kau telah mempermainkan
perasaan cintanya. Kemudian, setelah gadis itu membunuh diri, masih hangat
jenazahnya, kau sudah berani beraksi dihadapanku seolah-olah aku ini kekasihmu.
Cih, laki-laki tak tahu malu!" Setelah berkata demikian, dengan sikap
menghina sekali Ang I Niocu membalikkan tubuh dan meninggalkan pemuda itu.
Dapat dibayangkan betapa
hancur perasaan Sun Hauw di saat itu. Malu dan marah karena terhina, kecewa dan
berduka karena ditolak cintanya, menyesal sekali atas perbuatannya terhadap
Siok Lan, semua perasaan ini teraduk-aduk menjadi satu dalam hati dan
pikirannya. Kemudian melihat Ang I Niocu meninggalkannya, ia mengejar sambil
rnembentak,
"Ang I Niocu, ayahmu
telah menjanjikan aku menjadi suamimu! Apakah kau hendak melanggar janji ?
Apakah hendak mencemarkan nama baik ayahmu dengan mengingkari janji?"
Tiba-tiba Ang I Niocu
membalikkan tubuh menantangnya dengan pandang mata berapi-api.
"Kau masih berani
menyebut-nyebut ayahku? Bangsat rendah, aku tidak membunuh kau seperti anjing
saja sudah amat untung bagimu. Kau berani menuduh aku mengingkari janji? Kaulah
yang menipu Ayah, kau sudah bertunangan dengan Siok Lan masih berani menerima
uluran tangan Ayah! Kau yang sudah menginngkari janjimu terhadap keluarga Siok
Lan. Adapun aku, aku sama sekali tidak mengingkari janji. Sudah kukatakan tadi
bahwa orang yang hendak menjadi suamiku harus dapat mengalahkan pedangku. Nah,
sanggupkah kau mengalahkan pedangku?" Kata-kata ini disusul dengan tarikan
pedang yang dilintangkan di depan dada dengan gaya menantang sekali.
Hati Sun Hauw yang sudah remuk
dan putus asa yang merasa kebahagiaannya jatuh dan hancur berantakan, kini
menjadi panas dan membuatnya nekad. Ia rela mati kalau tidak bisa mendapatkan
Ang I Niocu I sebagai isterinya. Maka cepat dihadapinya Ang I Niocu dengan
pedang di tangan dan katanya,
"Baiklah, Niocu. Kalau
begitu besar keinginanmu hendak mengadu ilmu, mari kulayani kau!"
Sun Hauw kini menerjang dengan
sengitnya dan sebentar kemudian dua orang muda itu sudah bertanding dengan
seru. Ilmu pedang dari Sun Hauw memang lihai sekali, karena di dalam ilmu
pedang yang berdasar pada ilmu pedang Go-bi-pai ini terdapat pukulan-pukulan
aneh yang dahulu diwarisi oleh Thian Mo Siansu dari orang sakti Hok Peng Taisu.
Pedang di tangannya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung, bagaikan
seekor naga mengejar awan.
Namun kini ia menghadapi Ang I
Niocu, dara perkasa ahli pedang yang mewarisi ilmu pedang dari keluarga Kiang,
kemudian yang sudah menerima petunjuk dari orang sakti Bu Pun Su. Dalam
menghadapi pemuda lihai ini, Ang I Nio tidak berani main-main dan cepat
memainkan limu pedang Sian-li Kiam-sut yang amat indah gerakan-gerakannya namun
di dalamnya mengandung tangan maut yang setiap saat mengancam nyawa lawannya.
Setelah mendapatkan kenyataan
betapa tangguh ilmu pedang Ang I Niocu dan bahwa gadis itu benar-benar hendak
merobohkannya, Sun Hauw menjadi marah dan hatinya sakit sekali. Ia merasa
dipermainkan oleh gadis ini yang tadinya dikira "ada hati" kepadanya.
Dengan seluruh tenaga dan kepandaian yang ada padanya, ia tidak sungkan-sungkan
lagi dan kini ia benar-benar ingin mengalahkan Ang I Niocu, baik dengan
melukainya maupun kalau perlu membunuhnya!
Pertempuran menjadi makin seru
dan hebat di luar kampung Peng-kan-mui. Beberapa orang kampung yang melihat
pertempuran ini memberi kabar kepada lain orang dan sebentar saja di tempat itu
banyak berkumpul orang kampung. Akan tetapi mereka itu hanya menonton saja,
tidak ada yang berani mencampuri. Apalagi dua orang itu bertempur bagaikan telah
saling libat dengan sinar pedang, seperti menjadi satu.
Kalau bukan seorang ahli, mana
bisa mencampuri mereka? Disamping ini, biarpun Sun Hauw orang kampung itu, akan
tetapi ia telah mendatangkan kesan buruk pada penduduk kampung itu dengan
peristiwa yang terjadi pada diri Siok Lan.
Seratus jurus telah lewat dan
tiba-tiba terdengar Ang I Niocu mengeluarkan bentakan nyaring, disusul oleh
robohnya tubuh Liem Sun Hauw yang telah tertusuk dada kirinya oleh pedang dara
baju merah itu. Aneh sekali, dalam menghadapi maut ini, tiba-tiba Sun Hauw
teringat kepada Siok Lan dan seperti dalam mimpi ia berseru,
"Siok Lan... kau
tunggulah aku...!" Dan tewaslah ia dengan pedang masih di tangan. Melihat
ini, Ang I Niocu merasa terharu juga, terharu karena pemuda ini tewas sebagai
akibat mencintainya. Ia menoleh kepada orang-orang kampung yang masih berdiri
memandangnya.
"Yang menewaskan Liem Sun
Hauw adalah aku, Ang I Niocu. Aku membalaskan sakit hati Nona Siok Lan."
Setelah berkata demikian, Ang I Niocu berjalan pergi dengan langkah tenang dan
lambat, akan tetapi anehnya, sebentar saja ia telah lenyap dari pandangan mata
orang-orang kampung.
Ang I Niocu langsung menuju ke
Thai-san untuk menghadiri pertemuan orang-orang gagah yang diadakan oleh
susiok-couwnya. Memang ia sebetulnya tidak diharuskan ke sana, akan tetapi
setelah sekarang ia menjadi seorang perantau, peristiwa ini menarik hatinya dan
ingin ia melihat dan bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang ternama.
Ketika ia tiba di sebuah hutan
di kaki Gunung Thai-san, selagi ia berjalan perlahan, tiba-tiba terdengar
bentakan!
"Perempuan rendah, sudah
lama aku menunggu di sini!"
Ang I Niocu tenang memandang
dan ia melihat Koai-tung Toanio muncul bersama seorang kakek tua yang bermuka
hijau. Ang I Niocu maklum bahwa Koai-tung Toanio tentu akan membalas sakit hati
karena telah dua kali ia kalahkan, apalagi akhir-akhir ini ia telah melukai
pundak seorang puterinya, bahkan telah membunuh dua orang anaknya yang menjadi
anggauta Min-san Sam-kui, yakni Kwan Liong dan Kwan Bi Hwa. Maka tahulah ia
bahwa kali ini ia harus bertempur mati-matian. Terhadap Koai-tung Toanio ia
tidak takut, akan tetapi ia dapat menduga bahwa kakek yang menyertai nenek
galak itu tentulah seorang berkepandaian tinggi.
"Toanio, kita berjumpa
pula di sini. Kali ini apa kehendakmu?" tanya Ang I Niocu tenang akan
tetapi siap sedia.
Sementara itu, kakek bermuka
hijau itu sejak tadi sudah memandang dengan bengong kepada Ang I Niocu.
"Ci Im, inikah nona yang bernama Ang I Niocu?" tanya kakek itu kepada
Koai-tung Toanio yang sebetulnya bernama Kwan Ci Im.
"Betul, Susiok. Dia
inilah siluman betina yang telah membunuh dua orang anakku," jawab
Koai-tung Toanio penuh kebencian.
"Kau keliru, Ci Im. Dia
ini tidak seperti siluman, lebih patut menjadi bidadari. Hemm, alangkah cantik
manisnya. Aku telah hidup lima puluh tahun lebih, baru sekarang ini melihat
seorang wanita secantik ini...! Bukan main...!"
Dapat dibayangkan betapa
mendongkol dan marahnya hati Ang I Niocu mendengar kata-kata bandot tua itu.
Dari kata-katanya sudah dapat dinilai orang macam apa yang sekarang ia hadapi.
"Anjing-anjing tua tak
tahu malu!" makinya sambil mencabut pedangnya. "Kalian menggonggong
di sini mau apakah?"
"Setan perempuan,
kuhancurkan kepalamu!" Koai-tung Toanio sudah tak dapat menahan marahnya
lagi dan tongkatnya menyambar. Ang I Niocu cepat menangkis sehingga tongkat itu
terpental kembali.
"Ci Im, jangan! Biarkan
aku menangkapnya. Sayang kalau sampai kulitnya yang putih halus itu lecet oleh
tongkatmu! Aku akan menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya. Nona manis,
marilah ikut dengan aku!" Kakek tua bermuka hijau itu melompat maju. Kedua
tangannya dikembangkan, jari-jari tangannya seperti cakar setan.
Ang I Niocu marah sekali.
Pedangnya berkelebat membabat dua lengan itu. Kakek itu tertawa bergelak,
tangannya disampokkan ke arah pedang.
"Triiing...!"
Kedua pihak kaget. Ang I Niocu
terkejut sekali karena pedangnya telah ditangkis oleh kuku jari-tangan kakek
itu! Benar-benar kepandaian yang luar biasa dan hebat. Agaknya kakek ini telah
melatih jari tangannya berikut kukunya untuk menghadapi senjata tajam lawan. Di
lain pihak, kakek itu pun kaget setengah mati karena bukan saja ia tidak dapat
merampas pedang seperti yang ia duga semula, bahkan jari tangannya terasa sakit
ketika bertemu dengan pedang.
"Eh, eh, kau ternyata
berisi juga, Nona manis. Akan tetapi sekarang bertemu dengan Tiat-sim Lo-mo
(Iblis Tua Berhati Besi), jangan harap kau dapat berlagak!" Setelah
berkata demikian, ia mencabut keluar sebatang golok yang memakai
gelangan-gelangan kecil pada punggung golok, gelangan yang bisa mengeluarkan
bunyi gemerincing yang gunanya untuk mengacaukan lawan.
Ang I Niocu diam-diam terkejut
juga. Ia pernah mendengar nama julukan Tiat-sim Lo-mo ini, yaitu seorang tokoh
besar Kong-thong-pai yang menyeleweng dan sudah tidak diakui di partainya.
Tiat-sim Lo-mo terkenal sebagai seorang penjahat cabul yang kejam sekali.
Selain ini ia pun seringkali merampok rumah orang dan dalam melakukan semua
kejahatan ini, ia bisa berlaku kejam dan membunuh seisi rumah tanpa berkedip
mata, dari yang tua sampai anak-anak kecil. Oleh karena itulah maka ia diberi
julukan Iblis Tua Berhati Besi untuk menggambarkan betapa kejam hatinya.
"Ah, kiranya kau iblis
jahat. Kebetulan sekali, aku ingin membalaskan sakit hati puluhan orang yang
menjadi korbanmu!" kata Ang I Niocu sambil mainkan pedangnya.
"Ha, ha, ha, ha, kau
sendiri akan menjadi korban baru, bagaimana kau akan membalas sakit hati? Ha,
ha, ha, lebih baik kau menyerah dengan tenang daripada harus lecet-lecet
kulitmu!"
Ang I Niocu tidak mau
melayaninya bicara lagi, pedangnya bergerak hebat dan mengerti bahwa ia
berhadapan dengan orang lihai, Ang I Niocu langsung mengeluarkan jurus-jurus
yang paling lihai dari ilmu pedangnya.
Sebetulnya tingkat dari
Tiat-sim Lo-mo ini lebih tinggi dari Ang I Niocu, akan tetapi oleh karena ia
seorang pemogoran sehingga lwee-kangnya banyak berkurang, pula karena ilmu
pedang dari Ang I Niocu memang luar biasa, sebentar saja ia terdesak hebat dan
goloknya hanya mampu menangkis saja. Baiknya ia masih mempunyai andalan tangan
kirinya yang kadang-kadang melakukan serangan mencengkeram yang berbahaya
sekali sehingga Ang I Niocu harus berlaku hati-hati sekali dan tidak mudah
merobohkan iblis tua ini.
Melihat Tiat-sim Lo-mo belum
juga mampu mendesak, apalagi mengalahkan Ang I Niocu, Koai-tung Toanio menjadi
kecewa dan nenek ini lalu menyerbu dengan tongkatnya, membantu Tiat-sim Lo-mo
dan mengeroyok Ang I Niocu!
Kali ini Ang I Niocu
benar-benar terdesak hebat. Kepandaian nenek bertongkat itu sudah tinggi.
Menghadapi kakek muka hijau itu saja sudah amat berat baginya, apalagi sekarang
nenek itu ikut-ikut mengeroyok. Terpaksa Ang I Niocu mengerahkan tenaga dan
memutar pedangnya melindungi tubuhnya sehingga jangan kata baru senjatat lawan,
biar angin dan air pun takkan mampu menembus benteng sinar pedangnya! Akan
tetapi, pertempuran seperti ini kalau dilanjutkan tentu ia akan kalah juga,
kalah karena kehabisan tenaga. Ia hanya mampu melindungi diri tanpa mendapat
kesempatan membalas sama sekali.
Telah delapan puluh jurus
lebih Ang I Niocu bertahan diri. Ia mulai lelah karena untuk menangkis
serangan-serangan kedua lawannya, ia harus mengerahkan tenaga lwee-kang. Ang I
Niocu merasa gemas sekali. Untuk membalas serangan lawan, ia tidak mampu karena
dirinya sudah dikurung hebat. Untuk melarikan diri, memang dapat karena dalam
hal gin-kang ia masih menang, akan tetapi ia tidak sudi melakukan hal ini. Ia
bertahan terus.
Seratus jurus telah lalu dan
kini peluh telah membasahi jidat dan leher gadis itu. Tiat-sim Lo-mo sudah
tertawa-tawa mengejek dan mengeluarkan kata-kata kotor yang menambah kemarahan
Ang I Niocu.
Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring, "Dua orang siluman bangkotan sungguh tak tahu malu! Ang I Niocu,
jangan khawatir, aku datang membantumu!" Berkelebat bayangan yang cepat
dan gesit gerakannya, sebatang pedang menyerang dan menahan tongkat Koai-tung
Toanio. Serangan ini cukup kuat dan cepat sehingga terpaksa Koai-tung Toanio
meninggalkan Ang I Niocu dan menghadapi lawan baru ini yang ternyata adalah
seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan. Biarpun gerak-geriknya lemah, namun
ternyata ilmu pedang ini cukup kuat dan tenaga lwee-kangnya cukup hebat.
Ang I Niocu melirik dan
melihat pemuda tampan ini, ia menjadi heran. Belum pernah ia bertemu dengan
pemuda ini, mengapa begitu datang terus membantunya dan telah mengenal namanya?
Akan tetapi segera nona baju merah ini mengerutkan kening. Biarpun ia sudah
ditinggalkan Koai-tung Toanio sehingga ia kini dapat membalas dan mendesak Tiat-sim
Lo-mo, akan tetapi sebaliknya, pemuda itu terdesak oleh tongkat Koai-tung
Toanio yang hebat dan ganas. Sekali pandang saja Ang I Niocu dapat mengenal
ilmu pedang pemuda itu, yakni ilmu pedang dari Bu-tong-pai, dan biarpun ilmu
pedang pemuda itu cukup baik, namun masih belum cukup kuat untuk mengalahkan
Koai-tung Toanio.
Di lain pihak, ia sendiri
biarpun mengurung lawan dengan sinar pedangnya, ternyata bahwa Tiat-sim Lo-mo
benar-benar seorang yang luar biasa. Kakek ini sudah banyak sekali pengalamannya
bertempur, maka ia tak mudah ditipu oleh gerakan pedang dan dapat menjaga diri
dengan baiknya, bahkan kadang-kadang tangan kirinya masih melakukan serangan
yang berbahaya.
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa nyaring,
"Ha, ha, iblis tua berani
mengganggu Sumoi? Ini artinya kau akan segera mampus!" Berbareng dengan
ucapan itu sinar pedang gemerlapan menyambar leher Tiat-sim La-mo yang menjadi
kaget sekali karena serangan ini benar-benar cepat dan ganas.
"Giok-gan Kui-bo (Biang
Iblis Bermata Kemala)!" teriak Koai-tung Toanio ketika ia melihat gadis
yang baru datang.
"Enci Kim Lian...!"
Ang I Niocu berseru girang dan juga heran. Dengan majunya Kim Lian mengeroyok
Tiat-sim Lomo sebentar saja kakek itu menjadi kewalahan. Ilmu pedang Kim Lian
biarpun tidak sehebat ilmu pedang Ang I Niocu, namun memiliki keganasan sesuai
dengan wataknya dan dalam lain-lain hal, kepandaian gadis ini hanya kalah
sedikit saja oleh sumoinya. Karena rangsakan dua orang gadis ini, tak lama
kemudian pedang Ang I Niocu telah dapat membabat lehernya, dan pedang Kim Lian
membabat putus lengan kirinya. Kakek itu roboh tanpa dapat berteriak lagi dan
tewas di saat itu juga!
Ang I Niocu tidak segera
menyambut sucinya, melainkan terus saja menyerang Koai-tung Toanio, membantu
pemuda itu.
Mana Koai-tung Toanio dapat
menahannya? Dalam lima jurus kemudian, ia pun roboh binasa oleh pedang Ang I
Niocu.
Setelah itu, baru Ang I Niocu
menoleh kepada sucinya, Kim Lian tertawa akan tetapi sepasang mata yang indah
sekali itu menjadi basah air mata! Ang I Niocu memandang terharu dan di lain
saat dua orang gadis itu saling berpelukan.
"Im Giok... aku girang
sekali kau sudah pulih kembali, sudah gembira dan bertambah cantik!" kata
Song Kim Lian atau dengan julukan baru Giok-gan Kui-bo sambil memandang wajah
sumoinya. Sebaliknya, Ang I Niocu juga memperhatikan sucinya yang sekarang
kelihatan amat pesolek, jauh melebihi dahulu. Bahkan pipi dan bibirnya juga
diberi merah-merah! Pakaiannya indah dan terbuat dari sutera mahal.
Ang I Niocu teringat akan
pemuda itu, lalu ia menoleh dan menghadapinya.
"Tuan siapakah? Sungguh
gegabah sekali berani menyerang Koai-tung Toanio. Kalau tidak cepat-cepat Suci
datang membantu, bukankah kau hanya akan mengantarkan nyawa dengan
cuma-cuma?" tegurnya, akan tetapi suara dan pandang matanya manis.
Pemuda itu menjura dan
sepasang matanya yang bening dan menyinarkan watak jujur dan halus itu berseri,
"Niocu," katanya
tersenyum, "andaikata aku tewas dalam membantumu, aku rela! Aku adalah
Kang Ek Sian dan aku mewakili Bu-tong-pai untuk menghadiri pertemuan di
Thai-san. Di Bu-tong-pai aku telah banyak mendengar tentang kau, Niocu, kau
sudah berjasa mengakurkan kembali Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Budimu terlalu
besar dan nyawaku tidak berharga!"
Mendengar ini, diam-diam Ang I
Niocu menjadi senang dan memuji pemuda yang pandai bicara ini. Akan tetapi
tiba-tiba Giok-gan Kui-bo membentaknya,
"Bocah lancang! Awas
jangan kau berani main gila. Kau sudah jatuh cinta kepada sumoiku, ya? Jangan
kau main-main, orang seperti kau ini mana ada harga untuk mencinta Sumoi?"
"Suci!" Ang I Niocu
menegur gadis itu. "Jangan kau bicara sembarangan dan menghina orang tanpa
alasan. Kalau Susiok-couw mendengarnya, kau akan menerima hukuman!"
Nama Bu Pun Su amat ditakuti
Kim Lian. Ia menjadi pucat dan menengok ke sana ke mari. "Apakah
Susiok-couw berada di sini?" tanyanya.
"Apa kau tidak
tahu?" Ang I Niocu menjawab. "Susiok-couw sedang mengadakan pertemuan
di puncak Gunung Thai-san ini. Sewaktu-waktu Susiok-couw bisa muncul di sini.
Maka jangan kau bicara sembarangan!"
Song Kim Lian menjadi makin
ketakutan. Ia buru-buru pergi sambil berkata, "Aku pergi dulu, Sumoi, ada
urusan penting sekali. Biar lain kali kita bertemu kembali." Akan tetapi
setelah agak jauh, ia mengamang-ngamangkan tinjunya ke arah Kang Ek Sian sambil
berkata,
"Awas kau, aku tahu kau
tergila-gila pada Sumoi!" Dan di lain saat Giok-gan Kui-bo Song Kim Lian
lenyap dari situ.
Kang Ek Sian berdiri seperti
patung, mukanya agak pucat. Ang I Niocu merah mukanya dan ia merasa malu sekali
atas sikap sucinya.
"Harap kau suka memaafkan
Suci, memang wataknya aneh sekali," katanya kepada pemuda itu.
Kang Ek Sian memandangnya
dengan tajam. "Tidak ada yang harus dimaafkan, Niocu. Bahkan aku diam-diam
memikirkan apakah kata-katanya itu tidak tepat sekali."
Sepasang mata Ang I Niocu
memancarkan api kemarahan, akan tetapi melihat wajah yang jujur dan terbuka
itu, ia menahan kemarahannya. Hanya ia merasa mendongkol sekali. Dalam saat
yang sama, dua orang laki-laki telah tergila-gila kepadanya. Tadi si tua bangka
bermuka hijau itu tergila-gila, sekarang pemuda ini! Akan tetapi di samping
kemendongkolannya, timbul perasaan aneh dalam hatinya. Perasaan seperti orang
gembira dan puas. Puas melihat orang-orang lelaki yang tergila-gila kepadanya
karena ia maklum bahwa mereka akan tergila-gila dengan sia-sia belaka, takkan
menerima balasan darinya. Biar mereka itu menjadi korban cinta, pikirnya. Biar
laki-laki bodoh itu makan hati biar sengsara karena kebodohan sendiri telah
mabuk oleh cinta, seperti yang pernah ia alami...!
Kang Ek Sian sadar bahwa ia
telah mengucapkan kata-kata yang kurang patut, maka ia lalu berkata
cepat-cepat, "Maaf, Niocu. Aku... aku hendak mengurus dua jenazah ini
lebih dulu." Pemuda itu lalu menggali lubang dan mengubur jenazah Tiat-sim
Lo-mo dan Koai-tung Toanio. Ang I Niocu melihat ini semua dengan hati memuji.
Pemuda ini benar-benar seorang yang berbudi luhur, biarpun Tiat-sim Lo-mo dan
Koai-tung Toanio adalah penjahat-penjahat keji, namun setelah mereka tewas,
pemuda itu suka mengubur jenazah mereka. Jarang terdapat pemuda yang demikian
baik hati, pikirnya.
"Anak baik, kau
siapa?" tiba-tiba terdengar suara halus.
Belum juga orangnya nampak,
Ang I Niocu sudah cepat menjatuhkan diri berlutut dan betul saja tak lama
kemudian, tiba-tiba di situ berdiri Bu Pun Su, pendekar sakti yang kini
pakaiannya penuh tambalan seperti pengemis. Kakek sakti itu memandang kepada
Ang I Niocu yang memberi hormat sambil menyebut, "Susiok-couw!"
mengangguk-angguk senang lalu menoleh kepada Kang Ek Sian yang sudah selesai
dengan pekerjaannya.
Ketika Kang Ek Sian mendengar
bahwa kakek ini adalah Sin-taihiap Bu Pun Su, ia menjatuhkan diri memberi
hormat dan menjawab,
"Boanpwe adalah Kang Ek
Sian, anak murid Bu-tong-pai. Suhu Lo Beng Hosiang menyuruh boanpwe mewakili
Bu-tong-pai untuk menghadiri pertemuan di puncak Thai-san. Harap Locianpwe
maafkan kalau boanpwe tidak melihat kedatangan Locianpwe sehingga tidak sempat
menyambut."
"Tidak apa, tidak apa.
Kau mengubur jenazah Tiat-sim Lo-mo dan Koai-tung Toanio, itu amat baik! Terima
kasih, orang muda. Dengarlah, dan kau juga Im Giok, pertemuan di puncak tidak
jadi diadakan. Perang sudah meletus, para pemberontak sudah bergerak di
sana-sini. Celakanya, banyak orang-orang gagah di dunia kang-ouw membantu
mereka! Benar-benar dunia kang-ouw telah terpecah dua dengan adanya
pemberontakan ini." Bu Pun Su menghela napas dan memandang ke angkasa.
"Kehendak Thian, siapakah
orangnya dapat membantah? Im Giok, kau jagalah di lereng bukit sebelah barat,
tunggu selama tiga hari. Jika ada orang datang, sampaikan terima kasih dan
salamku, dan katakan bahwa pertemuan tak mungkin diadakan karena banyak
tokoh-tokoh kang-ouw sudah turun tangan, terjun dalam peperangan. Tidak pertu
dirunding-runding lagi. Dan kau, Kang Ek Sian, kau jagalah di lereng timur,
jaga sampai tiga hari dan lakukan seperti yang kukatakan kepada Im Giok tadi.
Aku sendiri hendak meninjau keadaan di mana terjadi perang agar rakyat jangan
terlalu menderita oleh kerusuhan yang timbul karenanya." Dua orang muda yang
berlutut itu menyatakan kesanggupan mereka. Ketika hendak pergi, Bu Pun Su
berkata,
"Im Giok, kelak kau harus
awasi baik-baik sucimu Kim Lian itu. Aku sekarang tidak sempat, sampaikan
peringatanku kepadanya supaya dia menjaga langkah hidupnya jangan menyelewengi!"
Sebelum Ang I Niocu menjawab, kakek itu berkelebat lenyap! Dua orang muda itu
bangkit berdiri, saling pandang dan Kang Ek Sian berkata,
"Alangkah besar untungku,
dapat bertemu dengan pendekar sakti itu. Niocu, setelah kita melakukan tugas
ini dalam tiga hari, bolehkah aku menemuimu di lereng barat? Aku merasa bahagia
dan terhormat sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, dan sudikah kau
menerimaku berkunjung di lereng barat untuk bercakap-cakap?" Permintaan
ini cukup pantas, bagaimana ia dapat menolaknya?
"Apa salahnya? Tentu saja
aku suka menerima kunjunganmu, asal saja aku masih berada di sana,"
jawabnya menyimpang, kemudian gadis itu berlari cepat menuju ke lereng barat,
Kang Ek Sian memandang ke arah bayangan merah itu dengan bengong, semangat dan
hatinya seakan-akan ikut melayang bersama bayangan merah itu.
Benar seperti dugaan Bu Pun
Su, hanya sedikit saja orang yang datang mengunjungi puncak Thai-san untuk
pertemuan. Mereka ini segera turun kembali setelah diberitahu oleh Ang I Niocu
atau Kang Ek Sian. Tidak seorang pun di antara mereka berani mengganggu dua
orang muda ini karena siapakah orangnya berani main-main terhadap orang
kepercayaan Bu Pun Su?
Tiga hari telah lewat dan pada
hari ke empat, pagi-pagi sekali Kang Ek Sian telah berlari-lari menuju ke
lereng sebelah barat untuk bertemu dengan gadis baju merah yang selama tiga
hari tiga malam telah membuat ia tidak dapat memejamkan mata barang semenit!
Akan tetapi setelah tiba di tempat itu, ia tidak melihat lagi bayangan Ang I Niocu.
"Niocu...!" ia
memanggil. Tidak ada jawaban.
"Ang I Niocu...!" ia
memperkeras suaranya. Hanya kumandangnya saja yang menjawab. Sambil berseru
memanggil-manggil nama gadis yang telah merampas hatinya itu Kang Ek Sian
mencari terus di daerah itu, makin lama suaranya yang memanggil-manggil nama
Ang I Niocu makin jauh sampai akhirnya tidak kedengaran lagi.
Bayangan merah berkelebat dari
balik gerombolan pohon dan Ang I Niocu berdiri di situ menarik napas panjang
berkali-kali. Ia tidak mau mendekati Kang Ek Sian. Pemuda ini orang baik-baik
dan memiliki watak yang mulia. Kalau ia dekati, mungkin akan menjadi berubah
seperti halnya Liem Sun Hauw. Bukankah Sun Hauw tadinya juga seorang pemuda
gagah perkasa yang berbudi mulia? Akan tetapi menjadi buta dan tidak kenal
pribudi setelah tergoda oleh cinta. Ia tidak mau melihat Kang Ek Sian menjadi
seperti itu.
Setelah berpikir sebentar, Ang
I Niocu lalu berlari-lari cepat turun gunung. Tujuannya adalah Pek-tiauw-san
(Bukit Rajawali Putih) di mana ia akan mencari telur Rajawali Putih untuk
dibuat obat anti tua agar ia tetap cantik jelita seperti Pek Hoa Pouwsat
dahulu! Ang I Niocu tidak mau melayani kasih sayang pria akan tetapi ia pun
tidak mau menjadi tua, hendak muda selalu, cantik jelita selalu, dan menjatuhkan
hati laki-laki.
Setelah mendapatkan telur
Pek-tiauw dan meminumnya bersama obat sebagaimana yang diajarkan oleh mendiang
Pek Hoa Pouwsat, benar saja Ang I Niocu menjadi makin cantik jelita, mukanya
menjadi makin halus kemerahan dan bercahaya, dan biarpun tahun demi tahun
usianya meningkat, namun wajah dan bentuk tubuhnya masih tetap seperti seorang
remaja berusia tujuh belas tahun!
Tidak terbilang banyaknya pria
yang tergila-gila kepadanya, tua muda, ahli silat dan sastrawan, bangsawan dan
petani, hartawan dan miskin. Namun, Ang I Niocu tetap tak mau menerima seorang
di antara mereka, hanya tersenyum makin manis sambil meninggalkan mereka yang
kehilangan semangat dan hati, pergi meninggalkan mereka yang bertekuk lutut
mengharapkan balasan cintanya. Di samping semua ini, Ang I Niocu tidak lupa
melakukan pekerjaan sebagai seorang pendekar wanita menolong orang-orang yang
tertindas, membasmi si jahat dan si penindas.
Oleh karena itu beberapa tahun
kemudian, terkenallah nama Ang I Niocu sebagai seorang pendekar wanita yang
gagah perkasa, kadang-kadang ganas sekali dan tak mengenal ampun menghadapi
penjahat, seorang pendekar wanita yang cantik jelita seperti bidadari akan
tetapi yang berhati batu, dingin membeku tidak menghiraukan segala bujuk rayu
kaum pria.
Demikianlah, cerita "ANG
I NIOCU" berakhir sampai di sini dan pengalaman-pengalaman selanjutnya
dari Ang I Niocu dan tokoh-tokoh lain dalam cerita ini dapat dibaca dalam
cerita, PENDEKAR BODOH.
TAMAT