Bab 9 - Jurus Erotis
Memang benar apa yang
dikatakan oleh Pek Hoa kepada Im Giok. Kok Beng Hosiang, tokoh ke tiga dari
Siauw-lim-pai, murid ke dua dari Hok Bin Taisu yang dulu ikut pula menyerbu
Thian-te Sam-kauwcu bersama suhengnya untuk mengambil kembali kitab yang
tercuri, pada waktu itu sedang keluar dari Siauw-lim-si dan berada di sebuah
kelenteng yang tidak jauh letaknya menyebarkan Agama Budha di belakang
kelenteng lain. Dalam perjalanan ini ia dikawani oleh dua orang muridnya. Hal
ini diketahui oleh Kam Kin yang segera memberi tahu kepada Pek Hoa dan siap
pula membantunya.
Kam Kin yang berjuluk
Giam-ong-to adalah seorang bekas perampok tunggal yang kini sudah mengundurkan
diri setelah berhasil mengumpulkan banyak harta kekayaan. Ia kini hidup sebagai
seorang hartawan muda yang tidak beristeri, akan tetapi bukan rahasia lagi
bahwa ia mempunyai banyak selir dan dia pun terkenal sebagai seorang hartawan
mata keranjang yang tidak segan-segan mempergunakan harta dan kepandaiannya
untuk merampas anak bini orang lain. Kalau orang tidak merasa takut terhadap
pengaruh hartanya, tentu ia akan merasa gentar menghadapi goloknya, karena Kam
Kin memang termasuk seorang ahli silat kelas tinggi.
Biarpun Kam Kin bukan murid
Thian-te Sam-kauwcu, namun ia memang termasuk adik seperguruan dari Pek Hoa,
karena Pek Hoa pernah pula menjadi murid Cheng-jiu Tok-ong (Raja Beracun
Berlengan Seribu), seorang tokoh besar rimba persilatan di daerah barat.
Sedangkan raja beracun ini adalah guru dari Kam Kin. Hanya bedanya, kalau Kam
Kin hanya menerima kepandaian silat dari Cheng-jiu Tok-ong, adalah Pek Hoa
melanjutkan pelajaran dan berguru kepada banyak tokoh lain sehingga kepandaian
Pek Hoa tentu saja lebih lihai daripada kepandaian Kam Kin.
Semenjak berusia belasan
tahun, Pek Hoa memang sudah bejat moralnya. Ketika masih berguru kepada
Cheng-jiu Tok-ong, ia sudah jatuh hati kepada Kam Kin yang lebih muda dan
memang tampan. Kedua orang ini seperti sampah dengan keranjang, cocok sekali
dan sudah lama mempunyai perhubungan yang tidak bersih.
Lewat tengah hari mereka tiba
di depan kelenteng yang dimaksudkan. Dengan tenang Pek Hoa melompat turun dari
kudanya, diikuti oleh Kam Kin dan Im Giok, kemudian tiga ekor kuda itu diikat
pada pohon yang tumbuh di halaman kelenteng.
Sunyi saja di kelenteng itu.
Akan tetapi meja depan dipasangi lilin, tanda bahwa ada penghuninya di dalam
kelenteng.
˜Kok Beng Hosiang, keluarlah
untuk menerima binasa!! Pek Hoa berseru keras.
Terdengar suara orang dari
dalam kelenteng dan muncullah dua orang hwesio muda. Mereka merangkap kedua
tangan di depan dan sebagai tanda penghormatan, lalu seorang di antara mereka
bertanya,
˜Sam-wi dari manakah dan ada
keperluan apa mencari Suhu yang sedang bersembahyang?!
˜Kalian ini dua orang keledai
gundul murid Kok Beng Hosiang? Bagus, berangkatlah dulu ke neraka untuk
mempersiapkan tempat bagi gurumu!! kata Kam Kin yang sudah mencabut goloknya
sambil bergerak maju menyerang secara hebat sekali. Im Giok terkejut bukan
main, juga merasa penasaran dan ngeri, maka ia cepat melompat mundur dan
berdiri di tempat jauh sambil menonton. Hatinya berdebar tidak karuan, dan
kembali rasa tidak suka menyerang batinnya, kini bahkan demikian hebat sehingga
mulai timbul benci di dalam hatinya kepada Pek Hoa dan Kam Kin.
˜Eh, eh, kalu ini perampok
atau orang gila?! hwesio muda itu berteriak marah sambil mengejek. Kemudian
secepat kilat kedua orang hwesio itu menyerang, yang pertama menendang ke arah
sambungan lutut, yang kedua menghantam ke arah lambung. Mereka adalah
murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah diperkenankan ikut guru mereka merantau,
ini menjadi bukti bahwa kepandaian mereka bukan rendah, maka tentu saja mereka
tidak mudah dirobohkan oleh serangan golok Kam Kin bahkan dapat membalas dengan
serangan yang cukup berbahaya.
Sekali pandang saja Pek Hoa
cukup maklum bahwa ia tak perlu membantu sutenya. Tingkat kepandaian sutenya
masih lebih tinggi dari dua orang hwesio muda ini. Maka sekali menggerakkan
tubuh, ia telah melompat di dekat Im Giok dan menonton jalannya pertempuran.
Im Giok mendongkol bukan main.
Ia anggap Pek Hoa dan Kam Kin keterlaluan sekali, datang-datang menyerang dua
orang pendeta yang tidak terang apa salahnya. Akan tetapi tentu saja untuk
membantu dua orang hwesio itu atau mencela Kam Kin ia tidak berani kepada
gurunya. Untuk melampiaskan kemendongkolannya, ia sengaja berkata kepada
gurunya,
˜Enci Pek Hoa, tidak tahunya
julukan Susiok Giam-ong-to kosong belaka. Menghadapi dua orang hwesio bertangan
kosong saja ia tidak mampu menjatuhkan!
Mendengar ini, Pek Hoa menjadi
merah mukanya. Kata-kata itu biarpun ditujukan untuk mengejek Kam Kin akan
tetapi seperti juga menampar mukanya sendiri karena Kam Kin adalah sutenya. Ia
memandang lagi ke arah pertempuran dan harus ia akui bahwa kiranya sutenya itu
masih agak lama untuk dapat mengalahkan dua orang lawannya. Maka dengan gemas
sekali ia melompat mendekati tempat pertempuran, lalu mengayun tangan kiri
sambil berseru,
˜Sute, lekas robohkan mereka.
Untuk apa main-main dengan dua ekor keledai macam ini?!
Gerakan tangan kiri Pek Hoa
tadi bukan sembarangan gerakan, melainkan gerakan melepaskan Pek-hoa-ciam yang
lihai. Segera dua orang hwesio muda itu terhuyung-huyung dan dua kali golok
besar di tangan Kam Kin berkelebat, muncratlah darah dan robohlah dua orang
hwesio itu dengan leher terbacok dan nyawa melayang.
˜Omitohud...! Siluman wanita
Pek Hoa, kau benar-benar keji sekali dan tidak kenal tobat. Datang-datang kau
telah membunuh murid-murid pinceng, benar-benar siluman jahat.!
Kata-kata ini disusul dengan
keluarnya seorang hwesio gemuk yang memegang senjata rantai panjang. Dahulu
dalam pertempuran di lembah Sungai Yalu Cangpo, hwesio ini sudah merasai
kelihaian Pek-in-ong, seorang di antara guru-guru Pek Hoa.
Maka kali ini ia berlaku
hati-hati menghadapi Pek Hoa, maklum bahwa wanita siluman ini lihai sekali,
apalagi senjata rahasianya.
Melihat musuhnya sudah berdiri
di depannya, tanpa banyak cakap lagi Pek Hoa lalu mencabut siang-kiamnya dan
melakukan serangan secepat kilat. Kok Beng Hosiang, hwesio gemuk itu, cepat
pula menggerakkan senjata rantainya menangkis. Terdengar suara nyaring dan
bunga api berpijar ketika pedang bertemu dengan rantai. Kemudian terjadilah
pertandingan ilmu silat tinggi yang seru.
Im Giok tidak senang sekali
melihat Kam Kin tadi membunuh dua orang hwesio muda, kini ia lebih gelisah
melihat hwesio tua gemuk bertempur melawan gurunya. Kalau saja para pendeta itu
bertempur dengan lain orang, bukan dengan gurunya, kiranya Im Giok akan turun
tangan membantu pendeta-pendeta itu. Biarpun baru empat lima tahun ia berlatih
silat, namun berkat latihan sungguh-sungguh dan ilmu silat tinggi yang
diturunkan oleh Pek Hoa, kepandaian Im Giok sudah lumayan dan nyalinya besar
sekali. Kini melihat Kok Beng Hosiang bertempur melawan gurunya... Im Giok
dapat menduga bahwa hwesio itu takkan menang.
Pertandingan itu cukup hebat.
Sebagai tokoh ke tiga dan Siauw-lim-pai, kepandaian Kok Beng Hosiang tinggi
sekali. Tenaga lwee-kangnya sebenarnya masih mengatasi tenaga Pek Hoa, dan ilmu
silatnya amat kokoh kiuat dan tangguh dalam pertahanan. Namun ia harus mengaku
kalah gesit dan kalah cepat oleh nona itu. Gerakan Pek Hoa cepat sekali,
menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda hingga Kong Beng Hosiang nampak
terdesak.
Betapapun juga, jago
Siauw-lim-si ini dapat mempertahankan diri sampai lima puluh jurus lebih
sebelum pundaknya terserempet ujung pedang kiri Pek Hoa. Gerakan yang dilakukan
oleh Pek Hoa dalam penyerangan yang berhasil itu memang hebat sekali,
mengandalkan gin-kang yang sudah tinggi. Sebuah serangan Kok Beng Hosiang
dengan rantainya yang menyambar pinggang, dapat ia elakkan dengan lompatan
indah dan cepat bagaikan burung tebang, kemudian selagi tubuhnya masih berada
di udara, nona ini membalikkan tubuh dan sepasang pedang nya menyerang
bertubi-tubi dari atas. Kok Beng Hosiang sudah berusaha menangkis, namun ia
kalah cepat sehingga pedang kiri Pek Hoa yang menyambar leher masih saja dapat
menyerempet pundaknya, darah membasahi jubah pendetanya.
Kok Beng Hosiang terhuyung ke
belakang. Sambil tertawa nyaring dan mengejek, Pek Hoa mendesak terus, siap
memberi tusukan-tusukan terakhir. Tiba-tiba berkelebat bayangan dan ˜traang!!
pedang Pek Hoa yang sudah menyambar ke arah ulu hati Kok Beng Hosiang bertemu
dengan sebatang pedang lain.
˜Im Giok....!! Pek Hoa berseru
marah sekali ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah muridnya
sendiri. Bocah ini melihat gurunya mendesak dan hendak membunuh hwesio tua
gemuk, tak dapat menahan perasaannya lagi, mencabut pedang pendek dan menangkis
pedang Pek Hoa!
˜Enci, untuk apa membunuh
seorang pendeta yang suci? Dia sudah kalah terluka, tak perlu didesak terus,
Enci.!
˜Bocah, kau lancang sekali!!
Kam Kin melompat dan sekali bergerak ia telah merampas pedang Im Giok dan
menyambar tubuh bocah itu, dipeluk pinggangnya terus dikempit. Im Giok yang
tidak menduga sebelumnya tidak berdaya dan terpaksa ia hanya membikin tubuhnya
kaku dalam kempitan susioknya yang tertawa-tawa menyebalkan.
Sementara itu, Pek Hoa terus
mendesak Kok Beng Hosiang dengan sepasang pedangnya. Kok Beng Hosiang melawan
terus, namun dalam beberapa gebrakan saja, kembali ujung pedang Pek Hoa telah
melukai lengannya.
˜Hwesio keparat, mampuslah
kau!! Pek Hoa menggerakkan sepasang pedangnya secara istimewa, menyerang dari
kanan kiri dengan gerak tipu Kim-peng-tian-ci (Garuda Emas Mementang Sayap).
Kok Beng Hosiang yang sudah terluka mana dapat menjaga serangan yang datang
dari kanan kiri dengan hebat ini? Ia tahu bahwa kali ini ia takkan dapat
menghindarkan maut lagi, maka ia hanya menarik napas panjang.
˜Pek Hoa Pouwsat, kau
benar-benar keterlaluan sekali!! terdengar suara bentakan halus dan Pek Hoa
mengeluarkan jerit kecil ketika tiba-tiba pedangnya terbentur oleh sesuatu
sehingga terpental. Ia cepat melompat ke belakang dan ketika ia memandang,
ternyata yang menangkis pedangnya tadi adalah sebatang ranting yang dipegang
oleh seorang pengemis yang amat dikenalnya, yakni Han Le! Orang sakti itu
tersenyum.
Han Le adalah seorang yang
berwajah tampan dan menarik. Walaupun kini rambut dan jenggotnya tidak
terpelihara dan pakaiannya seperti seorang gembel, namun setelah berhadapan
muda dan memandang penuh perhatian, ternyatalah oleh Pek Hoa Pouwsat bahwa
kulit muka itu bersih dan terawat baik-baik, merupakan wajah seorang jantan
yang menggerakkan hati wanitanya! Han Le dan Bu Pun Su merupakan dua orang yang
paling berbahaya di antara musuh-musuhnya.
Kini melihat Han Le berdiri di
hadapannya dengan ranting di tangan, bibir tersenyum dan wajah tenang, dua
macam pikiran memasuki kepala Pek Hoa Pouwsat. Pertama bahwa Han Le seorang
laki-laki yang sudah masak dan menarik hatinya, kedua bahwa akan mengun tungkan
sekali baginya kalau ia dapat memikat hati musuh besar ini, selain ia dapat
memuaskan hatinya, juga ia mendapat jalan untuk membalas dendam!
Dengan senyum yang manis
sekali, Pek Hoa Pouwsat menghadapi Han Le, memainkan matanya yang sinarnya
dapat membetot hati setiap pria, baru ia berkata,
˜Eh, kiranya Han Le Tai-hiap
yang muncul. Kebetulan sekali, siauwmoi sudah lama sekali ingin mengunjungimu dan
melihat-lihat keadaan Pulau Pek-le-thio!!
Kulit muka di balik cambang
itu memerah dan Han Le menekan perasaan hatinya yang berdebar aneh ketika ia
melihat sikap Pek Hoa Pouwsat dan mendengar wanita cantik itu menyebut diri
sendiri ˜siauwmoi! (adinda)! Semenjak pertama kali bertemu dengan Pek Hoa
Pouwsat, memang diam-diam di dalam hatinya Han Le kagum sekali dan merasa
menyesal serta sayang mengapa seorang wanita demikian manis jelita telah
tersesat dan menyeleweng jalan hidupnya.
Han Le adalah seorang yang
tidak mudah tertarik oleh kecantikan wanita, bahkan semenjak muda ia terkenal
sebagai seorang pria pembenci wanita. Akan tetapi, kali ini menghadapi Pek Hoa
Pouwsat yang segala-galanya serba cocok dengan seleranya, dan amat menarik
hatinya, Han Le harus mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaan yang
tergoncang.
Akan tetapi Han Le dengan
pandang mata keren menegurnya,
˜Pek Hoa Pouwsat, mengapa kau
melukai dan hendak membunuh hwesio Siauw-lim-si ini?!
Pek Hoa mengerling ke arah Kok
Beng Hosiang yang masih sibuk mengobati luka-lukanya, lalu tersenyum dan dengan
tubuh digerak-gerakkan secara genit dan kepala dimiringkan, ia berkata kepada
Han Le,
˜Dia ini musuh besarku,
mengapa tidak harus kubunuh? Akan tetapi karena Han Le Tai-hiap datang dan melihat
muka Tai-hiap, biarlah kali ini siauwmoi mengampuni kepala gundul ini. Kok Beng
Hosiang, kau tidak lekas pergi dari sini? Apa menanti sampai aku bergerak lagi?
Hayo pergi lekas!!
Kok Beng Hosiang sudah merasa
bahwa ia takkan menang menghadapi Pek Hoa Pouwsat. Biarpun kini ia melihat
kedatangan Han Le, akan tetapi ia telah dibikin malu dan tidak ada muka untuk
berdiam terus di tempat itu.
˜Kau telah menghina
Siauw-lim-si, nantikan pembalasan kami!! katanya geram, lalu hwesio ini pergi
dengan langkah lebar. Akan tetapi ia tidak pergi jauh karena ia mengambil jalan
memutar dan dengan sembunyi ia mengintai, ingin menyaksikan bagaimana Han Le
memberi hajaran kepada Pek Hoa Pouwsat dan kawan-kawannya.
Kok Beng Hosiang diam-diam
merasa sakit hati dan mendongkol sekali, maka ingin ia melihat wanita yang
membikin malu padanya itu menerima hajaran keras. Akan tetapi, apa yang dilihat
oleh hwesio Siauw-lim-si ini membuat sepasang matanya terbelalak lebar, mukanya
merah seperti kepiting direbus dan kepalanya yang gundul licin
berdenyut-denyut.
Setelah Kok Beng Hosiang
pergi, Pek Hoa mendekati Han Le dengan lenggang dibuat-buat, amat menarik hati
karena memang wanita ini memiliki bentuk tubuh yang indah menarik.
˜Tai-hiap, seperti kukatakan
tadi, sudah lama aku mendengar bahwa Pulau Pek-le-to tempat tinggalmu
mengandung banyak rahasia, juga amat indah seperti sorga. Bolehkah aku
mengunjungimu? Bawalah aku ke sana, Tai-hiap.!
Han Le mengerutkan keningnya.
˜Pek Hoa Pouwsat, permainan apakah yang kau keluarkan ini? Kau adalah murid
Thian-te Sam-kauwcu dan kau tahu bahwa aku dan suhengku, juga kawan-kawan lain
telah...!
Pek Hoa mengangkat kedua
lengannya, digoyang-goyang seperti orang mencegah. Dari dalam lengan bajunya
keluar keharuman bunga cilan!
˜Han-taihiap, harap kau jangan
menyebut-nyebut lagi soal itu. Yang sudah lewat, sudahlah. Terhadap seorang
gagah seperti Tai-hiap, bagaimana siauwmoi berani menaruh dendam hati? Yang ada
di dalam hati siauwmoi bukanlah dendam dan marah, melainkan... kekaguman dan
ingin sekali mempererat persahabatan...! Suaranya terdengar demikian merdu dan
penuh gaya sehingga wajah Han Le sebentar merah sebentar pucat.
˜Gembel busuk, lekas pergi
dari sini!! Tiba-tiba Giam-ong-to Kam Kin yang semenjak tadi mendengarkan
percakapan itu dan melihat sikap genit sucinya dengan hati sebal dan cemburu,
lalu menggerakkan sepasang goloknya menyerang Han Le!
˜Sute... jangan...!! Pek Hoa
membentak Kam King akan tetapi terlambat karena sepasang golok itu dengan
ganasnya telah menyambar tubuh Han Le.
Bentakan ini sebetulnya bukan
dikeluarkan karena Pek Hoa khawatir akan keselamatan Han Le, bahkan sebaliknya
ia amat khawatir akan keselamatan sutenya. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Han
Le jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian Kam Kin.
Memang betul apa yang
dikhawatirkan oleh Pek Hoa Pouwsat itu, karena tidak saja Han Le dapat
menghindarkan diri dari serangan sepasang golok Kam Kin, bahkan secara cepat
dan tak terduga, rantingnya telah menotok pundak lawannya tanpa dapat dielakkan
oleh Kam Kin. Giam-ong-to Kam Kin menjerit dan roboh berkelojotan.
Pek Hoa menghampiri dan sekali
menepuk punggung dan leher sutenya, Si Golok Maut itu terbebas dari rasa sakit
yang luar biasa! Ia bangkit berdiri dan menyeringai, mukanya merah sekali.
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia mengambil sepasang golok yang tadi
terlempar di atas tanah ketika ia roboh, memasukkan sepasang golok itu di dalam
sarung golok, lalu ia melompat ke pinggir, ke dekat Im Giok yang memandang
semua itu dengan kagum.
Kam-susiok, mengapa baru
sejurus kau mundur lagi?! tanya Im Giok kepada Giam-ong-to dengan nada suara
mengejek. Anak ini memang tidak suka kepda Kam Kin, maka kini ia mendapat
kesempatan untuk mengejek. Kam Kin memandang kepada bocah itu dengan mata
mendelik. Im Giok menahan geli hatinya lalu menengok dan menonton apa yang akan
terjadi antara gurunya dan pengemis sakti itu.
˜Han-taihiap, kau makin gagah
saja, benar-benar siauwmoi kagum dan tunduk. Siauwmoi ulangi lagi keinginan
hati siauwmoi untuk pergi berkunjung ke pulaumu, di mana kita dapat saling
menukar ilmu dan bercakap-cakap gembira tanpa gangguan orang lain.!
˜Pek Hoa Pouwsat, kau bicara
apakah? Kau dan sutemu telah berlaku kejam, membunuh dua orang hwesio
Siauw-lim-si dan menghina seorang tokoh Siauw-lim. Untuk perbuatan jahat ini
mana bisa aku mendiamkannya saja?!
Sambil berkata demikian, Han
Le sudah menggerakkan ranting di tangannya, mengirim serangan langsung ke arah
leher Pek Hoa Pouwsat. Biarpun ia harus mengaku bahwa hatinya amat tertarik,
kejantanannya bangkit oleh kecantikan dan kelembutan yang demikian memikat
hati, namun kesadaran Han Le masih penuh sehingga ia mengeraskan hati dengan
anggapan bahwa wanita cantik menarik yang dihadapinya adalah seorang jahat dan
keji dan sebagai seorang pendekar ia harus membasminya.
Pek Hoa Pouwsat mencelat ke
belakang, tersenyum manis dan berkata menyindir, ˜Ayaa, Han-taihiap, galak
sekali. Baiklah, mari kita main-main sebentar!! Sambil berkata demikian, Pek
Hoa Pouwsat cepat mencabut siang-kiamnya lalu menghadapi Han -Le dengan sikap
gagah menarik.
˜Awas serangan!! Han Le
memusatkan semangatnya dan mulai melakukan penyerangan sungguh-sungguh. Ia
maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah, karena dahulu ia pernah menghadapi
Pek Hoa Pouwsat dan tahu akan kelihaiannya. Akan tetapi, beberapa hari saja
berkumpul dengan suhengnya Bu Pun Su, Han Le telah memperoleh kemajuan yang
amat banyak. Sehari berkumpul dengan Bu Pun Su dan mendengar nasihat serta
penjelasannya dalam hal ilmu silat, sama halnya dengan berlatih satu tahun di
bawah pimpinan guru pandai.
Oleh karena itu, pertemuan
akhir-akhir ini dengah Bu Pun Su membuat Han Le memperoleh kemajuan banyak
dalam ilmu silat, dan Bu Pun Su telah membuka matanya untuk melihat
kelemahan-kelemahan dan kekeliruan-kekeliruan sendiri.
Oleh nasihat Bu Pun Su ia
maklum bahwa orang seperti Pek Hoa Pouwsat mengandalkan kelihaiannya dengan
kecepatan, kelincahan, dan siang-kiam-hoat yang tidak terduga gerakannya,
mengandalkan gin-kang yang tinggi. Untuk melawan orang seperti ini ia harus berlaku
tenang, tidak boleh mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawan, sebaliknya
berlaku tenang dan mengandalkan lwee-kang membentuk pertahanan yang kuat dan
melindungi tubuh dengan hawa pukulan dari rantingnya.
Maka ketika Han Le mendapat
kesempatan bercakap-cakap dengan suhengnya, ia minta petunjuk untuk
menyempurnakan ilmu pedangnya bagian gerakan Jit-in-to-goat (Tujuh Awan
Membungkus Bulan), sebuah gerakan ilmu pedangnya yang merupakan benteng
pertahanan kuat sekali.
Han Le melakukan gerakan ini
dengan tenang dan nampaknya ia tidak banyak bergerak. Kedua kakinya hanya
dipentang sedikit, hampir sama dengan kuda-kuda yang disebut Kung-si dengan
tubuh agak dibungkukkan seperti dalam kuda-kuda Ci-kung-si. Biarpun kedudukan
tubuhnya sederhana saja, akan tetapi kedudukan ini memungkinkan dia untuk
menggerakkan rantingnya ke mana.saja sepasang pedang Pek Hoa meluncur. Tanpa
banyak mengeluarkan tenaga, Han Le dapat menangkis semua serangan Pek Hoa yang
pedang itu susul-menyusul ramai seperti sepasang ular berlumba.
˜Han-taihiap, kau benar-benar
mengagumkan sekali. Sekarang lihatlah ilmu pedangku yang baru, kaulihat bagus
atau tidak!!
Perubahan hebat terjadi pada
gerakan pedang Pek Hoa Pouwsat. Biarpun sepasang pedang itu masih melakukan
serangan-serangan berbahaya sesuai dengan ilmu silat tinggi, namun
gerakan-gerakannya demikian indah dan menarik, tak ubahnya seperti sedang
menari saja.
˜Indah sekali...!!
berkali-kali Im Giok mengeluarkan seruan memuji. Gadis cilik ini tadinya
bersikap dingin dan kaku karena Kam Kin berada di dekatnya, akan tetapi
sekarang melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh gurunya, ia lupa sama sekali
akan adanya Kam Kin di situ. Sepasang matanya bercahaya, wajahnya berseri dan
tanpa berkedip ia menonton ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Im
Giok memang mempunyai darah seni, suka sekali akan keindahan, maka tarian
pedang itu benar-benar mempesonakannya.
˜Aaiih, memalukan sekali...!
kata Kam Kin dan cemburunya makin menghebat. Biarpun ia tidak terkena pengaruh
langsung dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat, namun keindahan
gerakan pedang, kelemasan gerakan tubuh Pek Hoa, tetap saja terasa olehnya
sebagai gerakan-gerakan yang memikat hati, gerakan yang tidak sopan.
Pinggang Pek Hoa seakan-akan
tidak bertulang, menggeliat-geliat seperti ular, menggerak-gerakkan tubuh
bagian bawah, bibir tersenyum manis dan merah membasah, sepasang mata setengah
redup dan berkaca-kaca, semua ini ditujukan kepada Han Le.
Pengemis sakti itu masih
menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dari serangan dua batang pedang yang
lihai itu. Akan tetapi ketika Pek Hoa Pouwsat merubah ilmu pedangnya dan mulai
dengan ilmu pedang yang seperti tarian indah itu, hati Han Le terguncang hebat.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa lawannya sedang memainkan ilmu pedang
Bi-jin-khai-i, ilmu silat yang sebenarnya merupakan setengah ilmu sihir karena
di dalamnya mengandung pengaruh mujijat dari kecantikan wanita untuk merobohkan
hati pria. Inilah ilmu silat aneh yang selama ini dilatih secara mendalam oleh Pek
Hoa Pouwsat, disediakan untuk merobohkan musuh-musuh besarnya yang tangguh dan
kini untuk pertama kalinya, ia pergunakan dalam menghadapi Han Le!
Ilmu silat Bi-jin-khai-i ini
memang hebat. Andaikata dimainkan oleh seorang perempuan yang berwajah buruk dan
bertubuh tak menarik sekalipun, tetap akan mengeluarkan pengaruh yang dapat
merobohkan hati laki-laki. Apalagi sekarang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat yang
cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh sepenuhnya wanita, tentu saja daya
rangsangnya berlipat ganda. Dalam belasan jurus saja, Han Le mulai terkena
pengaruhnya.
Dalam penglihatan Han Le,
sepasang pedang itu tidak lagi mengancamnya, hanya merupakan tari pedang yang
amat indah. Tubuh yang berlenggak-lenggok dan menggeliat-geliat itu seakan-akan
melambai dan mengajaknya bergembira dan menari. Lebih hebat lagi, makin lama
gerakan Pek Hoa dalam mata Han Le makin luar biasa sehingga nampak olehnya
benar-benar seperti lawannya yang cantik itu sedang menanggalkan pakaian
sedikit demi sedikit!
Walaupun tidak sehelai pun
pakaian tanggal dari tubuh nya, namun gerakannya menanggalkan pakaian demikian
sewajarnya sehingga sebentar saja Han Le jatuh dalam pengaruh Pek Hoa. Pendekar
sakti yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan wanita ini sekarang
menjadi lemas seluruh tubuhnya, semangatnya seakan-akah terbang meninggalkan
tubuhnya dan pertahanannya menjadi gempur karena caranya bersilat sudah kacau
sekali! Demikianiah lihainya ilmu silat Bi-jin-khai-i yang dimainkan oleh Pek
Hoa Pouwsat.
Kalau sekiranya Pek Hoa
menghendaki, sekarang dengan lemahnya pertahanan Han Le, dengan mudah ia akan
dapat merobohkan dan menewaskan pengemis sakti itu. Akan tetapi Pek Hoa
berpikir lain! Wanita ini memang sudah mendengar tentang keadaan Han Le sebagai
seorang laki-laki yang selamanya tidak pernah mau berdekatan dengan wanita,
terkenal sebagai seorang laki-laki pembenci wanita, hidup seorang diri di Pulau
Pek-le-tho dan menjadi sute dari Bu Pun Su. Ini saja sudah menarik hatinya,
apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa Han Le pada dasarnya memiliki wajah
yang tampan dan gagah. Maka timbullah hati suka dan ia ingin menjadikan pria
pembenci wanita ini sebagai kekasihnya.
Tidak saja demikian, juga ia
mempunyai niat untuk mempelajari ilmu silat yang lihai dari Han Le. Disamping
semua ini, ia pun ingin menarik Han Le di pihaknya untuk membantunya
menghancurkan musuh-musuhnya, kemudian setelah usahanya berhasil dan ia sudah
merasa bosan, mudah baginya untuk melenyapkan Han Le dari muka bumi ini.
Pek Hoa memperhebat gerakan-gerakannya
yang penuh gairah dan pengaruh ajaib. Han Le makin mabuk sehingga akhirnya
dengan napas memburu pengemis sakti ini mengeluh,
˜Pek Hoa Pouwsat...
hentikanlah... aku tidak kuat lagi...!
Pek Hoa tersenyum lebar,
gembira dan puas bukan main. Kalau ia mau, dengan sekali tusuk saja akan tembus
dada Han Le. Dengan ilmu silatnya yang baru ini, ia akan dapat menjagoi dunia
kang-ouw! Tentu saja tidak begitu besar pengaruhnya terhadap lawan wanita namun
untuk menghadapi lawan wanita, ia cukup memiliki ilmu silat tinggi. Biar Bu Pun
Su sekalipun ia tidak takut menghadapinya!
˜Han-taihiap, tidak indahkah
tarianku ini...?! tanya Pek Hoa dengan suara berlagu.
˜Indah, indah sekali, Pek Hoa
Pouwsat. Bukan main indahnya,! jawab Han Le sambil berusaha menggerakkan.
ranting karena masih saja sepasang pedang itu menyambar dan mengancam, biarpun
digerakkan dengan cara yang amat manis dan sedap dipandang.
˜Sukakah kau melihat aku
memainkannya?!
˜Suka, Pek Hoa Pouwsat, aku
suka sekali...!
˜Han-taihiap,! suara Pek Hoa
Pouwsat makin merdu merayu sambil ia memperhebat gerakan-gerakan tubuhnya
secara tidak tahu malu. ˜Sukakah kau kepadaku...??!
Agak lama Han Le tak dapat
menjawab, akan tetapi sepasang matanya tak pernah berkedip menelan semua
gerakan tubuh lawan dan ia seperti terkena hikmat, terpesona oleh keindahan dan
kecantikan yang telah mencengkeram seluruh semangat dan perasaannya. Kini ia
sudah tidak menggerakkan rantingnya lagi, berdiri bagaikan patung dan tidak
ingat lagi bahwa ia tengah menghadapi lawan, tengah bertempur.
˜Aku suka sekali padamu, Pek
Hoa...! akhirnya ia menjawab dengan suara perlahan, seperti bukan suaranya
sendiri.
Terdengar suara ketawa Pek Hoa
Pouwsat, suara ketawa yang terdengar nyaring dan merdu, penuh kegenitan, akan
tetapi bagi yang sadar, suara ketawa ini mengandung sesuatu yang mengerikan.
Namun bagi Han Le terdengar merdu menarik. Di lain saat Pek Hoa Pouwsat telah
menyimpan sepasang pedangnya, melompat maju dan menggandeng lengan kanan Han Le
dengan gaya yang manja dan genit, tersenyum-senyum dan melirik-lirik ke arah
wajah pengemis sakti itu, membetotnya dan berkata,
˜Kalau begitu, Han-taihiap,
marilah kita pergi ke pulaumu!!
Han Le yang sudah berada dalam
cengkeraman pengaruh jahat, sudah seperti orang mabuk atau orang bermimpi,
hanya menurut saja ketika ia ditarik-tarik oleh Pek Hoa Pouwsat. Pek Hoa
berpaling kepada Kam Kin yang memandang semua itu dengan mata melotot marah. Ia
penuh dengan hati cemburu, akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan? Ia tidak
berdaya di depan sucinya atau kekasihnya yang memang lebih lihai daripadanya.
˜Sute, kau pulanglah dulu, aku
titip murid keponakanmu Im Giok, biar menanti kembaliku di rumahmu.! Kemudian
dengan suara ketawa seperti siluman, Pek Hoa Pouwsat yang menggandeng lengan
Han Le menarik bekas lawannya itu. Han Le tidak membantah dan keduanya berlari
cepat sambil bergandengan!
˜Tidak! Aku tidak mau ikut,
jangan sentuh aku!! Dengan gerakan lincah Im Giok melompat dan mengelak
menjauhi Giam-ong-to Kam Kin yang hendak menggandeng tangannya.
Kam Kin menyeringai dan
memandang kepada Im Giok selaku seekor kucing memandang tikus. Tadinya ia marah
dan jengkel sekali melihat sikap Pek Hoa yang pergi bersama Han Le. Laki-laki
mana yang takkan menjadi gemas menyaksikan kekasihnya main gila dengan lelaki
lain? Akan tetapi setelah ia memandang Im Giok, kegemasannya lenyap, terganti
oleh kegembiraan.
Biarpun Im Giok baru berusia
sepuluh tahun lebih, namun gadis cilik ini sudah mempunyai kecantikan luar
biasa. Ia hampir menyerupai Pek Hoa dan pantaslah kalau ia disebut Pek Hoa
kecil atau seorang adik dari Pek Hoa Pouwsat. Dalam pandang mata Kam Kin, Im
Giok merupakan seorang calon bidadari, atau seperti sebuah kuncup kembang yang
tidak kalah menariknya oleh kecantikan Pek Hoa Pouwsat. Dan bocah mungil ini
dititipkan kepadanya! Dengan girang ia lalu mendekati Im Giok dan hendak
menggandeng. Akan tetapi siapa kira, bocah itu menolak dan menjauhinya.
˜Im Giok, jangan banyak
tingkah. Gurumu telah menyerahkan kau dalam rawatanku. Hayo ke sini dan ikut
aku pulang!! kata Kam Kin sambil melangkah lebar menghampiri gadis cilik itu.
˜Aku tidak mau! Kau pergilah
sendiri, aku tidak mau ikut denganmu.! Im Giok membandel.
˜Eh, eh, bocah bandel. Kalau
kau tidak makin manis kalau membandel, tentu sudah kutempeleng kepalamu. Hayo
ke sini, berani kau membantah susiokmu?! Kini Kam Kin melompat dan tangannya
diulur untuk menangkap pergelangan tangan Im Giok.
˜Tidak, aku tidak punyai
susiok seperti engkau. Aku tidak mau ikut!! Im Giok mengelak, kemudian melihat
Kam Kin berusaha menangkapnya, ia segera melarikan diri.
˜Kurang ajar! Sekecil ini
sudah kurani ajar dan keras kepala. Benar-benar calon kuda betina liar! Kuncup
mawar berduri! Ke sini kau, Im Giok!! Kam Ki mengejar. Akan tetapi Im Glok
mempercepat larinya. Dasar bocah ini memang lincah dan ringan tubuhnya,
ditambah lagi oleh latihan gin-kang yang ia terima dari Pek Hoa Pouwsat.
Sekarang, perasaan wanitanya memperingatkan bahwa ia menghadapi bahaya besar
yang mengancam membuat ia ketakutan, maka larinya cepat seperti rusa muda.
˜Im Giok, berhenti kau...!!
Kam Kin mulai marah dan mengejar secepatnya. Betapapun juga, ia seorang
laki-laki dewasa dan ilmu silatnya sudah tinggi maka tentu saja ia dapat
mengejar dan menyusul Im Giok. Hanya kelincahan anak itu yang membuat ia
mengkal sekali. Setiap kali ia telah mendekat dan hendak menangkap, anak itu
tiba-tiba miringkan tubuh dan mengganti arah sehingga Kam Kin terpaksa harus
membalikkan tubuh dan kembali telah tertinggal agak jauh.
Namun Im Giok maklum pula
bahwa ia takkan dapat menghindarkan diri lebih lama. Kam Kin telah memiliki
ilmu lari cepat yang tak dapat dilawannya. Ia berlari terus dan akhirnya Im
Giok memasuki sebuah hutan. Di sini ia lebih leluasa mempermainkan Kam Kin
karena hutan ini banyak pohonnya. Dengan cara melompat ke sana ke mari dari
balik pohon ini ke pondok itu ia dapat menghindarkan diri.
˜Manusia tak tahu malu!!
makinya berkali-kali. ˜Mengapa kau tidak mau membiarkan aku pergi? Kau mau
apakah? Cih, tak tahu malu. Namanya saja besar, Giam-ong-to, hemm, tak tahunya
seorang laki-laki tiada guna, pengecut dan pengganggu anak kecil!!
Kam Kin makin marah. ˜Siluman
cilik, kau tunggu saja dan rasakan kalau kau sudah tertangkap olehku!! Dengan
amat bernafsu ia menubruk lagi, akan tetapi kemball ia memeluk batang pohon
karena Im Giok telah melompat ke tempat persembunyian lain dengan cekatan
seperti seekor kera.
˜Awas kau, setan cilik,
kulumatkan dagingmu, kugerogoti tulangmu...!! Kam Kin memaki-maki gemas. Akan
tetapi ia menjadi girang sekali ketika melihat bahwa Im Giok makin mendekati
lapangan terbuka yang tidak ada pohonnya. Adapun Im Giok saking sibuknya dan
gugupnya, tidak tahu bahwa di belakangnya adalah lapangan terbuka, tempat yang
tidak ada pohon dan berarti ia tak akan dapat menyembunyikan diri seperti kalau
berada di hutan yang lebat. Kam Kin memaki-maki, mengancam-ancam dan mengejar
terus. Akhirnya, Im Giok memekik kaget ketika ia melompat dari pohon terakhir,
ia tiba di padang rumput yang tiada berpohon.
˜Ha, ha, ha, kupu-kupu cantik,
kau hendak lari ke manakah? Lebih baik kau berlaku manis dan menurut saja pergi
dengan susiokmu. Kalau kau menurut dan tidak banyak membantah, aku takkan
bersikap kasar kepadamu, Im Giok yang jelita,! kata Kam Kin sambil tertawa
lebar.
Im Giok melompat dan melarikan
diri lagi. Saking gugupnya kakinya terjerat rumput dan ia roboh terguling. Di
belakangnya ia mendengar suara Kam Kin tertawa bergelak. Im Giok dalam
terguling itu, kedua tangannya menyambar batu dan kayu kering. Kemudian ia
melompat berdiri, tangan kirinya digerakkan dan batu tadi melayang ke arah
kepala Kam Kin yang hendak menubruknya.
˜Eh, kau berani melawanku!!
bentak Kam Kin yang mudah saja mengelak dari sambaran batu. Kemudian ia
melangkah maju, tangan kanan digerakkan untuk menangkap.
˜Jangan sentuh aku!! Im Giok
berteriak keras dan ranting kering yang tadi diambilnya dari atas tanah ketika
ia jatuh, cepat ditusukkan ke arah pusar susioknya.
Kam Kin terkejut, cepat
mengelak. Biarpun yang menyerangnya hanya seorang gadis cilik yang berusia
sepuluh tahun, akan tetapi serangan itu dilakukan menurut ilmu silat tinggi,
dan biarpun masih kecil, tenaga Im Giok bukanlah tenaga biasa, melainkan tenaga
yang sudah teriatih. Apalagi kalau dilihat bagian yang diserang pun bukan
bagian tubuh yang kuat. Setelah mengelak Kam Kin lalu menubruk lagi. Namun
sia-sia, Im Giok yang sudah berlatih selama empat tahun tidak membuang waktu
sia-sia. Ia telah memiliki dasar ilmu silat tinggi dan telah memiliki gerakan
yang otomatis dan lincah sekali. Tubrukan Kam Kin dapat ia hindarkan dengan lom
patan ke kiri dan sebagai pembalasan, rantingnya kini meluncur cepat menusuk ke
arah mata paman gurunya. Tusukan ke arah mata ini hanya pancingan belaka karena
ujung ranting, itu sebelum lawan mengelak, telah meluncur, ke arah jalan darah
di leher!
Inilah serangan hebat dan luar
biasa bagi seorang anak kecil itu. ˜Kurang ajar!! Kam Kin membentak marah dan
juga kaget karena kalau tangannya tidak cepat-cepat menyampok, hampir saja
jalan darah di lehernya terkena totokan ujung ranting, dan hal ini bukan
merupakan hal yang tidak berbahaya baginya. Saking marahnya, Kam Kin lalu
mengeluarkan kepandaiannya, sepasang tangannya ditekuk merupakan kuku harimau
dan ia mengeluarkan ilmu silat Hauw-jiauw-kang. Beberapa kali saja ia bergerak,
ranting di tangan Im Giok telah kena disambar dan dibetot terlepas dari
pegangan Im Giok. Kemudian ia menubruk lagi, Im Giok mencoba untuk mengelak.
˜Breettt!! pakaian Im Giok
bagian pundak kiri robek hingga nampak kulit pundak yang putih bersih dan
halus. Melihat ini, Kam Kin makin menggila dan sambil tertawa-tawa ia menubruk
lagi.
Im Giok menjadi bingung. Hanya
dengan menjatuhkan diri dan bergulingan ia dapat menghindarkan tubrukan Kam
Kin. Kemudian ia melompat lagi dan berlari secepatnya. Diam-diam ia mengeluh
karena sekarang habislah dayanya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi ia pun
mengambil keputusan nekat untuk melawan mati-matian, kalau perlu ia akan
melawan dengan dua pasang kaki tangan dan juga giginya.
Setelah mendengar derap kaki
pengejarnya sudah dekat sekali di belakangnya sampai-sampai ia mendengar dengus
napas Kam Kin, Im Giok memasang kuda-kuda dan membalikkan tubuh, langsung
menyerang dengan menonjokkan kedua tangannya ke depan.
˜Ha, ha, ha, kau kuda betina
liar...! Kam Kin tertawa sambil menggerakkan tangan kiri. Di lain saat, tangan
kirinya itu telah memegang erat-erat sepasang pergelangan tangan Im Giok,
membuat gadis cilik itu tak dapat berkutik, namun Im Giok sudah nekat.
˜Lepaskan tanganku!! bentaknya
dan kakinya menendang ke arah bawah pusar. Biarpun kakinya kecil, namun
sekiranya tendangan ini mengenai sasaran, biarpun Kam Kin berkepandaian tinggi,
kiranya Kam Kin akan roboh binasa atau setidaknya pingsan!
Kam Kin cepat menangkap kaki
kecil ini dengan tangan kanannya dan di lain saat tubuh Im Giok sudah
diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil tertawa terbahak-bahak.
˜Ha, ha, ha, burung cilik,
coba kulihat kau mau berbuat apa lagi sekarang, ha, ha, ha!!
Tiba-tiba Kam Kin merasa tubuh
Im Giok meronta keras atau seperti juga direnggut orang dari tangannya. Ia
tidak tahu betul apa yang telah terjadi, akan tetapi tahu-tahu kedua tangannya
sudah kosong dan Im Giok sudah lenyap. Ketika ia membalikkan tubuh, ia melihat
bocah itu telah berdiri di atas tanah dan di sebelahnya berdiri seorang kakek
yang bermata bintang!
Sepasang mata kakek ini
demikian tajam berpengaruh sehingga Kam Kin merasa gentar juga, maklum bahwa ia
menghadapi seorang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, karena ia tidak mengenal
siapa adanya kakek ini, Kam Kin memberanikan hatinya dan membentak keras,
˜Anjing tua, siapa kau berani
bermain gila di depan Giam-ong-to Kam Kin?!
˜Kakek, jangan takut. Nama
Giam-ong-to hanya untuk menakut-nakuti belaka, sebetulnya dia pengecut besar!!
Im Giok berkata dan nona cilik ini kembali dengan nekat maju menyerang Kam Kin
dengan pukulan ke arah lambung.
Dengan mudah Kam Kin
menangkis, kini karena ia merasa gemas, tangkisannya keras membuat tubuh Im
Giok terhuyung lalu roboh tertelungkup di atas rumput. Namun gadis cilik itu
tidak menjadi kapok atau takut, bahkan dengan marah ia bangkit kembali dan
menyerang susioknya.
˜Bocah edan, apakah kau ingin
aku marah dan memukul mampus padamu?! bentak Kam Kin dan kali ini ia kembali
dapat menangkap tangan Im Giok.
˜Boleh pukul mampus, siapa
takut?! bentak Im Giok yang meronta-ronta.
˜Lepaskan dia!! tiba-tiba
kakek itu membentak keras dan aneh sekali. Biarpun Kam Kin tidak melihat kakek
itu bergerak, namun ia merasa tangannya. yang memegang lengan Im Giok menjadi
lemas dan gadis cilik itu dapat merenggut diri dan terlepas.
Kam Kin memandang kepada kakek
itu dengan mata merah.
˜Bangsat tua, kau berani
mencampuri urusanku?! Sepasang tangannya bergerak dan tahu-tahu golok besarnya
telah berada di tangan dan di lain saat ia telah mengirim serangan hebat ke
arah kakek itu. Golok itu dibacokkan ke arah kepala untuk kemudian disusul
dengan babatan ke leher. Memang permainan golok dari Kam Kin amat ganas dan
kuat, dan tidak terlalu dilebihkan kalau ia mempunyai julukan Golok Maut.
Akan tetapi, alangkah
terkejutnya ketika tiba-tiba kakek itu dengan tenang dan cepat menggerakkan
tangan kiri, lalu menyentil golok itu dengan jari tangannya. Terdengar suara
˜Cring! yang keras dan golok itu menjadi somplak! Sentilan kedua menyusul dan
kini golok itu terlempar jauh. Kam Kin tidak kuasa menahan karena seakan-akan
golok itu direnggut oleh tangan yang bertenaga raksasa.
˜Ini untuk kekurang-ajaranmu
kepadaku, dan ini untuk kekejamanmu terhadap seorang gadis cilik!! kakek itu
berkata sambil menggerakkan jari tangannya menyentil.
Kam Kin menjerit kesakitan
sambil memegangi kedua telinganya yang daunnya sebelah bawah hancur terkena
sentilan jari tangan kakek yang lihai itu. Biarpun luka itu tidak berbahaya
sama sekali, akan tetapi sakitnya cukup membuat Kam Kin mengaduh-aduh. Darah
mengalir di sepanjang lehernya kanan kiri.
˜Setan tua, harap suka
memperkenalkan nama. Kelak Giam-ong-to Kam Kin pasti akan membalas penghinaan
ini!! Kata Kam Kin sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri.
Kakek itu tersenyum duka,
mengeleng-geleng kepalanya lalu berkata perlahan, ˜Untuk mencapai tingkat
kosong, kau harus belajar puluhan tahun lagi, dan kalau kau sudah mencapai
tingkat itu, aku pun sudah mati. Akan tetapi kalau kau menghendaki, biarlah kau
tahu bahwa aku kakek tua bangka ini tidak punya nama juga tidak punya
kepandaian. Nah, kau pergilah!!
Tiba-tiba wajah Kam Kin
menjadi pucat sekali. Ia melangkah mundur tiga tindak seakan-akan kata-kata itu
merupakan pukulan yang menyambar mukanya.
˜Bu Pun Su...!! katanya
setengah berbisik, kemudian ia lari lintang-pukang tanpa menghiraukan goloknya
yang masih menggeletak di atas tanah.
Tiba-tiba Bu Pun Su
mengeluarkan suara terkejut dan terheran ketika anak perempuan yang baru saja
ditolongnya itu menyerangnya kalang-kabut. Im Giok menyerang dengan nekat, sama
nekatnya ketika ia tadi menyerang Kam Kin.
˜Eh, eh, bukan laku seorang
gagah menyerang orang tanpa memberitahukan sebab-sebabnya. Bocah galak, mengapa
kau menyerang aku?! tanya Bu Pun Su tanpa mempedulikan tangan Im Giok yang
memukul tubuhnya.
˜Karena kau bernama Bu Pun Su
dan menurut guruku, Bu Pun Su adalah seorang paling jahat di dunia ini dan
harus dibasmi,! jawab Im Giok sambil melompat mundur karena pukulannya yang
mengenai tubuh kakek itu seakan-akan mengenai tumpukan kain belaka, membuat
terheran dan gentar.
Bu Pun Su mengerutkan kening
lalu tertawa. ˜Gurumu memang betul, siapa sih nama gurumu yang mulia.!
˜Guruku adalah Bi Sian-li Pek
Hoa Pouwsat,! jawab Im Giok bangga. Ia memang selalu merasa bangga mengaku Pek Hoa
sebagai gurunya, bukan hanya bangga karena ilmu kepandaian Pek Hoa yang tinggi,
terutama sekali bangga karena Pek Hoa dianggapnya wanita paling cantik di dunia
ini dan amat mengagumkan hatinya.
Akan tetapi, kalau biasanya
orang-orang lelaki mendengar nama Pek Hoa Pouwsat nampak kagum dan gembira,
tidaklah demikian dengan kakek ini. Sepasang matanya yang seperti bintang itu
bercahaya dan memandang kepada Im Giok dengan tajam berapi seakan hendak
membakarnya.
˜Dan kau she Kiang?!
˜Betul, aku she Kiang bernama
Im Giok,! kata gadis cilik itu kini tiba gilirannya terheran.
˜Sungguh tak baik! Kalau kau
dipelihara dan diambil murid seekor serigala kiranya takkan begitu buruk. Dan
kau bahkan girang dan bangga menjadi muridnya. Benar-benar tanda tak baik bagi
keluarga Kiang. Eh, bocah tolol, tidak tahukah kau bahwa kau telah diculik oleh
siluman betina yang ganas dan jahat?!
˜Enci Pek Hoa bukan siluman
betina dan aku suka menjadi muridnya,! Im Giok membantah, biarpun di dalam
hatinya ia sudah mulai tak suka kepada gurunya itu semenjak mereka turun gunung
dan ia melihat perbuatan-perbuatan yang ganjil dan memalukan dari gurunya.
˜Bodoh, tolol! Tak tahukah kau
bahwa penculikan terhadapmu ini mengakibatkan matinya ibumu dan gilanya
ayahmu?! Bu Pun Su membentak.
Wajah Im Giok seketika menjadi
pucat. Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu terpentang menatap
wajah Bu Pun Su tanpa berkedip, kemudian perlahan-lahan mata itu menjadi basah
dan air mata mulai menitik turun.
˜Ibu... meninggal?! Anak ini
sudah lupa lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya yang telah pergi meninggalkan
ibunya semenjak ia masih kecil sekali. Selama ia pergi ikut Pek Hoa, yang
terbayang di depan matanya hanya wajah ibunya dan ia memang merasa amat rindu
kepada ibunya. Kini mendengar bahwa ibunya telah meninggal, tentu saja hatinya
seperti diiris-iris dan hanya kemauan dan perasaan yang keras saja yang dapat
menahannya sehingga ia tidak menjerit-jerit. Sebaliknya, ia hanya menggigit
bibirnya menahan pekik tangis sampai-sampai bibirnya terluka dan berdarah!
Pandangan mata Bu Pun Su agak
berubah, kini, ia merasa kagum melihat bocah itu. Tadinya ia mengira bahwa Im
Giok tentu akan menangis menjerit-jerit mendengar tentang ibunya meninggal dan
ayahnya gila. Perempuan-perempuan cantik biasanya mengandalkan tangisnya. Akan
tetapi, sungguh di luar dugaan bahwa gadis cilik ini tidak menangis, bahkan
memperlihatkan kekerasan hatinya dengan menggigit bibir sampai berdarah.
Baru berusia sepuluh tahun
sudah memiliki kekerasan hati seperti itu, benar-benar seorang anak yang
berbakat untuk menjadi orang gagah, pikir Bu Pun Su senang. Kakek ini mendengar
tentang nasib Kiang Liat, merasa kasihan sekali. Maka, kini melihat puteri
Kiang Liat ˜ada isinya!, ia ikut gembira.
˜Kau tidak ingin bertemu
dengan ayahmu?!
Kesedihan membuat Im Giok tak
dapat berkata-kata sampai beberapa lama. Kemudian ia mengeraskan hati menindas
perasaannya, dan bertanya.
˜Di mana ayah? Mengapa ia
menjadi gila dan mengapa ia dahulu meninggalkan ibu?!
Bu Pun Su mengerti bahwa anak ini
sudah terkena pengaruh Pek Hoa, dapat dilihat tanda-tandanya dari cara anak ini
berpakaian, bersolek dan bergaya ketika bicara, maka ia sengaja hendak
menjauhkan hati anak ini dari Pek Hoa.
˜Ibumu meninggal adalah karena
Pek Hoa telah menculikmu. Di depan ibumu, Pek Hoa mengaku sebagai dewi dan
dipercaya penuh oleh ibumu. Tidak tahunya, di balik semua itu, Pek Hoa hendak
membalas dendam kepada ayahmu yang membencinya. Sengaja Pek Hoa membawamu untuk
membikin duka ibumu. Betul saja, ibumu menjadi sedih, bingung dan akhirnya
jatuh sakit lalu meninggal. Ayahmu menjadi gila karena melihat ibumu
meninggal.!
Im Giok adalah seorang yang
masih kecil, usianya baru sepuluh tahun lebih. Tentu saja ia mudah dibakar
hatinya. Mendengar kata-kata Bu Pun Su mukanya yang tadi pucat kini menjadi
merah sekali.
˜Kalau begitu, Suci Pek Hoa
yang membunuh ibuku dan merusak hidup ayahku!!
Diam-diam Bu Pun Su menyesal
karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang buruk, yakni menanam kebencian
dalam hati seorang anak-anak. Akan tetapi ini demi kebaikannya sendiri,
pikirnya. Kalau anak ini tidak membenci Pek Hoa, banyak bahayanya kelak ia akan
meniru sepak terjang Pek Hoa yang dikaguminya.
˜Kau boleh anggap begitu. Akan
tetapi ibumu sudah meninggal, tak perlu diributkan lagi. Yang penting adalah
ayahmu, karena kalau tidak cepat-cepat kau hibur hatinya, kiraku tak lama lagi
ayahmu akan menyusul ibumu.!
Bercucuran air mata dari
sepasang mata gadis cilik itu ketika mendengar kata-kata ini. Akan tetapi tetap
saja ia tidak memperdengarkan isak tangis.
˜Kakek, harap kau suka
membawaku kepada Ayah...!
Kata-kata terhenti dan di lain
saat Im Giok telah ˜terbang!. Pergelangan tangannya dipegang oleh Bu Pun Su dan
ketika kakek ini berlari, Im Giok merasa seakan-akan ia telah terbang. Kedua
kakinya tidak menginjak tanah, akan tetapi tubuhnya melayang sedemikian
cepatnya sehingga ia terpaksa harus menutup kedua matanya. Hanya telinganya
saja yang mendengar suara angin dan mukanya terasa dingin tertiup angin.
Diam-diam bocah ini merasa kagum
dan juga terkejut sekali. Ia tadi memang telah menyaksikan betapa lihainya
kakek ini yang dengan mudah mengalahkan Kam Kin. Akan tetapi karena memang ia
memandang rendah kepada Kam Kin, kemenangan Bu Pun Su tadi tidak dianggap
istimewa. Gurunya sendiri pasti dengan mudah mengalahkan Kam Kin. Akan tetapi
berlari cepat seperti ini, benar-benar luar biasa sekali dan gurunya sendiri
kiranya tak mungkin dapat menirunya.
***
Di luar kota tembok
Liong-san-mui terdapat sebuah kelenteng tua yang sudah lama tak pernah
mengebulkan asap hio, tanda bahwa kelenteng itu tidak dipakai orang lagi. Sudah
bertahun-tahun kelenteng itu tinggal kosong dan makin lama makin rusak tidak
terpelihara. Penghuninya hanya laba-laba yang membuat sarang di setiap sudut,
membuat kelenteng itu nampak menyeramkan sekali. Tidak ada orang berani masuk
ke dalam, bahkan para gembel yang tidak mempunyai tempat tinggal dan
mempergunakan ruang depan kelenteng itu untuk tempat tidur dan berteduh, tidak
berani sembarangan masuk ke dalam kelenteng.
Akan tetapi akhir-akhir ini,
kurang lebih seminggu sudah, terjadi perubahan besar. Tidak ada lagi gembel
yang berani tinggal di situ dan keadaan kelenteng itu tidak kosong lagi.
Seorang laki-laki bertubuh gagah dan tampan, berpakaian sebagai seorang pendekar,
menjadikan itu tempat tinggalnya. Orang ini gerak-geriknya aneh sekali,
wajahnya selalu nampak muram dan berduka, akan tetapi tidak jarang orang
mendengar gema suara ketawanya memecah kesunyian tengah malam. Semenjak ia
mengusiri semua gembel dari ruang depan kelenteng, kemudian memukul kocar-kacir
belasan orang pengemis yang datang hendak merampas kembali tempat berteduh,
tidak ada lagi orang berani datang mengganggunya.
˜Dia pendekar aneh,! kata
seorang yang mengerti ilmu silat, ˜gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa dia
seorang ahli silat tinggi. Lihat saja cara ia menyarungkan pedangnya, tentu
pedang pusaka.!
˜Dia berotak miring,! berbisik
orang ke dua, ˜Pernah di tengah malam aku mendengar dia tertawa bergelak
seperti iblis, dan pernah aku mendengar ia menangis tersedu-sedu dan akhirnya
memaki-maki.!
˜Dia orang aneh, benar-benar
pendekar aneh,! demikian akhirnya orang mengambil kesimpulan. Tadinya penduduk
Liong-san-mui mengeluarkan sebutan ˜pendekar aneh! ini dengan nada mengejek dan
menertawakan, akan tetapi tiga hari kemudian semenjak orang itu berada di situ,
sebutan ini berubah menjadi sebutan yang disertai rasa kagum, segan, dan
menghormat. Tak seorang pun berani lagi menganggapnya ˜berotak miring!
betapapun aneh kelakuan orang ini. Hal ini terjadi setelah pendekar aneh yang
dianggap gila ini pada suatu malam, seorang diri dan bertangan kosong, telah
merobohkan serombongan perampok yang mengganggu kota Liong-san-mui, dan
menyerahkan rombongan perampok terdiri dari tujuh belas orang ini kepada yang
berwajib!
Tikoan, pembesar yang menerima
tawanan perampok itu, menghaturkan terima kasih dan menanyakan nama orang gagah
itu. Akan tetapi, benar-benar orang aneh. Dia tidak mengaku bahkan nampak
marah-marah ketika berkata,
˜Kewajiban Taijin hanya
menerima dan menghukum orang-orang jahat itu, habis perkara. Perlu apa
tanya-tanya namaku? Aku tidak minta hadiah!! Maka pergilah ia meninggalkan
Tikoan yang menjadi bengong akan tetapi tidak berani berbuat apa-apa terhadap
orang-orang yang bersikap aneh dan kurang ajar itu. Karena sikap yang kurang
ajar ini, maka selanjutnya pada pembesar setempat tidak mau dan sungkan
menghubunginya. Akan tetapi betapapun juga, penduduk amat berterima kasih dan
menganggapnya sebagai tuan penolong atau pendekar budiman.
Siapakah pendekar aneh itu?
Untuk mengenalnya, mari kita melihat ke dalam kelenteng dan mengikuti
gerak-geriknya.
Di ruangan yang paling dalam
di kelenteng itu, ruangan yang gelap akan tetapi bersih dari sarang laba-laba
karena ruangan ini dijadikan kamar tidur dan telah dibersihkan, nampak seorang
laki-laki duduk bersila di atas lantai yang telah disapu bersih. Seperti
seorang bersamadhi, laki-laki ini duduk bersila menghadapi meja sembahyang yang
sudah tua dan sudah amat lama tak pernah dipakai orang. Kalau orang melihatnya
dari belakang, tentu mengira bahwa ia sedang bersamadhi, tak bergerak seperti
patung.
Akan tetapi kalau orang
melihat dari depan dan berada dekat dengannya, akan kelihatan jelas bahwa orang
biarpun tubuhnya tak bergerak, akan tetapi bibirnya bergerak-gerak dan
terdengar ia bercakap-cakap dengan suara perlahan. Dari sepasang mata yang
dipejamkan itu bercucuran air mata dan kalau orang mendengar ia seperti
bercakap-cakap tanya jawab dengan seorang yang tidak kelihatan, orang tentu
akan menganggap ia gila.
˜Bi Li, aku memang berdosa
besar padamu, isteriku... Aku mengaku sekarang akulah sebenarnya yang
membunuhmu, aku yang memaksamu meninggal dunia karena menyiksa hatimu. Aku
orang berdosa besar, Bi Li. Kau ampunkan suamimu yang hina dan bodoh ini,
isteriku.!
Mendengar ucapan dalam bisikan
ini, tahulah kita bahwa orang itu bukan lain adalah Jeng-jiu-san Kiang Liat.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah menerima pukulan hebat dari
penuturan Ceng Si bekas pelayan isterinya bahwa sesungguhnya isterinya itu
tidak berdosa apa-apa, dan bahwa isterinya meninggal dunia karena menyesal dan
berduka ditinggal suaminya, Kiang Liat seperti orang gila. Hatinya penuh
penyesalan dan ia merantau ke sana ke mari. Hidupnya hanya bertujuan satu, yakni
mencari puterinya yang diculik oleh Pek Hoa Pouwsat. Kalau kiranya Bi Li tidak
meninggalkan anak, tentu Kiang Liat sudah membunuh diri untuk menyusul
isterinya yang tercinta. Ia tidak mempedulikan lagi keadaan tubuhnya yang
menderita pukulan batin dan membuat ia kadang-kadang muntah darah.
Akan tetapi ia mulai
mengumpulkan uang, dan sesuai dengan wataknya, ia memberantas kejahatan. Tiap
kali ia membasmi penjahat, selalu ia merampas milik penjahat itu dan sebentar
saja ia telah dapat mengumpulkan harta kekayaan yang besar juga, yang
disembunyikan dalam sebuah gua. Selama empat tahun lebih ia merantau,
mencari-cari Pek Hoa akan tetapi sia-sia belaka, tak seorang pun di dunia
kang-ouw tahu ke mana siluman itu menghilang.
Kiang Liat mengumpulkan uang
bukan sekali-kali karena ia ingin hidup bersenang-senang, akan tetapi ia
sengaja mengumpulkan harta untuk kelak dipakai menyenangkan hidup Im Giok
anaknya.
Bahkan ia mulai pula mengganti
pakaiannya yang kotor dengan pakaian bersih dan indah, karena ia ingin kelihatan
gagah apabila ia berhasil bertemu dengan puterinya. Setiap malam ia teringat
kepada isterinya itu. Keadaan pendekar ini benar-benar amat memilukan hati.
Hukuman yang dideritanya akibat kecerobohannya terhadap isterinya, benar-benar
amat berat.
Setelah mengeluarkan kata-kata
itu sambil memandang ke atas meja, Kiang Liat diam beberapa lama, sikapnya
seperti mendengarkan orang bicara kepadanya. Kemudian ia mengangguk-angguk dan
berkata,
˜Tentu saja, Bi Li. Aku pasti
akan mencari Im Giok sampai dapat. Aku akan mengadu nyawa dengan siluman Pek
Hoa dan merampas kembali anak kita. Sudah empat tahun aku mencari jejaknya
dengan sia-sia, akan tetapi aku tidak putus asa. Sebelum putus nyawaku, aku
takkan berhenti berusaha mencari Im Giok.!
Kemudian Kian Liat menarik
napas panjang, menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya dan berkata
lagi,
˜Kau tidak percaya kepadaku,
Bi Li? Sudah sepantasnya kalau kau tidak mempercaya seorang suami goblok
seperti aku, seorang suami buta yang menuduh isterinya yang setia berlaku tidak
patut. Memang kau berhak tidak percaya kepadaku, Bi Li isteriku. Akan tetapi,
biarlah aku Kiang Liat bersumpah, aku akan mencari Im Giok sampai saat
penghabisan. Biarlah rambutku menjadi saksi!!
Setelah berkata demikian,
Kiang Liat mencabut pedangnya dan berlutut. Dengan tangan kiri dijambaknya
rambutnya yang hitam panjang, dan tangan kanan yang memegang pedang bergerak
membabat rambutnya sendiri! Putuslah rambut di kepalanya dan kepala itu kini
hanya tinggal ditumbuhi rambut pendek saja.
˜Ayaaah....,!! Tiba-tiba
bayangan merah melayang turun dan ternyata yang melompat turun adalah seorang
gadis cilik berpakaian merah sedangkan di belakangnya turun seorang kakek.
Kiang Liat memandang dengan
mata bengong, tidak mengenal siapa adanya anak yang menyebut ayah kepadanya
itu. Kemudian ketika ia melirik ke arah kakek yang telah berdiri di belakang
gadis cilik itu ia terkejut sekali, melempar pedangnya dan menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek itu. Kiang Liat boleh jadi agak gendeng dan miring
otaknya apabila ia tenggelam dalam lamunan sendiri dan mengingat akan
isterinya, akan tetapi di lain saat ia merupakan seorang manusia biasa yang
sadar,