15 - Tinju Penggetar Bumi
Angin berhawa panas membawa
debu berhembus kencang. Saat itu hari memang sudah agak siang. Matahari telah
cukup terik membakar kulit Sebuah iring-iringan kereta yang dikawal oleh
rombongan berkuda tampak melalui sebuah jalan tanah di kaki Gunung Campa.
Tampak dalam kereta kuda itu
duduk seorang bangsawan, atau paling tidak pembesar kerajaan.
Ini dibuktikan oleh sebuah
tangan yang terbungkus baju dari bahan indah dan mewah. Tangan itu menyeruak
tirai yang menutupi pintu kanan kereta.
"Masih jauh Desa Kujang
itu, Cakar Pengejar Sukma?"
Seorang laki-laki bertubuh
kurus dan bermuka pucat kekuningan menoleh. Ditatapnya sejenak raut wajah yang
menyembul dari balik tirai yang tersingkap itu. Kudanya segera diper- lambat
dan disejajarkan di samping kereta kuda itu.
"Tidak begitu jauh lagi,
Gusti Adipati," jawab laki-laki kurus yang rupanya berjuluk Cakar Pengejar
Sukma.
"Aku agak khawatir, Cakar
Pengejar Sukma," desah orang yang berada dalam kereta itu. Dia ternyata
adalah laki-laki pendek gemuk berusiasekitar lima puluh tahun. Kulit wajahnya
yang putih semakin terlihat putih, dalam pakaiannya yang berwarna gelap. Dari
tanda di baju bagian leher, tampaknya dia memang seorang adipati.
"Apa yang dikhawatirkan
Gusti Adipati?" tanya Cakar Pengejar Sukma pelan. Kudanya tetap dijalankan
perlahan agar tidak meninggalkan kereta yang bergerak tertatih-tatih, karena
keadaan jalan yang buruk itu.
"Sering kudengar, di
daerah ini banyak terjadi perampokan, Cakar Pengejar Sukma...."
"Gusti Adipati tidak
perlu khawatir. Jauh-jauh hari, semua ini sudah kuperhitungkan. Bukankah
rekanku yang berjuluk Lutung Tenaga Raksasa telah kuajak untuk ikut mengawal
Gusti? Apabila dia ikut bersama kita, kujamin tidak ada perampok yang berani
mencari penyakit mencegat rombongan Gusti!" tegas Cakar Pengejar Sukma
yakin. "Apalagi masih ada pasukan Gusti sendiri."
Setelah berkata demikian,
Cakar Pengejar Sukma mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang iring-iringan
kereta itu dikawal serombongan prajurit berkuda di kanan, kiri, depan, dan
belakang. Sementara di kanan kereta, ada Cakar Pengejar Sukma. Sedangkan di
kiri kereta,tampak seorang laki-laki tinggi besar dan kekar. Kulitnya hitam
legam. Di telinga telinga kirinya nampak bergantung sebuah anting-anting sebesar
gelang terbuat dari baja hitam. Dialah yang berjuluk Lutung Tenaga Raksasa.
Laki-laki pendek gemuk yang
menjabat adipati itu mengangguk- anggukkan kepalanya. Lenyap sudah kecemasan
yang tadi membayang di wajahnya.
Kembali tangannya digerakkan
untuk menutup tirai pintu kereta. Sesaat kemudian suasana kembali hening. Yang
terdengar hanyalah derak roda kereta yang menggilas jalan tanah berkerikil
tajam.
Tak lama kemudian,
iring-iringan itu mulai menempuh jalan yang agak mulus. Di kanan kirinya terpampang
dinding batu yang menjulang tinggi ke langit.
Cakar Pengejar Sukma mengawasi
sekitar tempat itu. Sebagai orang yang telah mempunyai wawasan luas, dia tahu
kalau tempat ini menguntungkan sekali bagi perampok untuk menjalankan niatnya.
Rombongan perampok tinggal menghujani mereka yang berada di bawah dengan
batu-batu besar dan kecil. Kemudian, menyerang dari arah belakang dan depan.
Maka tidak ada jalan lolos bagi rombongan itu.
Meskipun yakin kalau julukan
rekannya ditakuti kaum perampok, Cakar Pengejar Sukma masih tetap merasa
khawatir juga. Tapi ternyata kekhawa- tirannya sama sekali tidak terbukti.
Ketika hampir tiba di ujung dinding yang terpampang di kanan kiri jalan, tidak
terjadi hal yang dikhawatirkan.
Baru setelah kira-kira sepuluh
tombak lagi keluar dari kungkungan dinding tebing batu yang tinggi, hati Cakar
Pengejar Sukma agak tercekat. Tampak agak jauh di depannya, berdiri seorang
laki-laki setengah tua berpakaian coklat. Rambutnya merah, dan digelung. Kakek
ini berdiri bertolak pinggang di tengah-tengah jalan sempit itu.
"Dewa Rambut Merah. . . ,
" desis Cakar Pengejar Sukma. Keterkejutan yang amat sangat menghias
wajahnya. Memang laki-laki berwajah pucat kekuningan ini kenal betul pada kakek
berpakaian coklat itu.
Srattt, srattt..!
Sinar-sinar terang berkilauan
langsung berpendar, begitu para prajurit yang berada di bagian depan menghunus
senjata masing-masing.
"Tahan...!"
Para prajurit yang sudah
bersiap segera menghentikan gerakan, begitu mendengar cegahan. Mereka mengenal
betul, siapa pemilik suara itu. Cakar Pengejar Sukma! Orang kepercayaan
junjungan mereka, Adipati Kalingga, penguasa Kadipaten Campa. Sebentar
kemudian, Cakar Pengejar Sukma melompat turun dari punggung kudanya.
"Hup!"
Ringan sekali gerakannya.
Jelas, ilmu meringankan tubuhnya telah cukup tinggi. Secepat kedua kakinya
menjejak tanah, secepat itu pula Cakar Pengejar Sukma melangkah maju. Sementara
iring- iringan kereta langsung berhenti.
Ternyata bukan hanya Cakar
Pengejar Sukma saja yang melangkah maju. Lutung Tenaga Raksasa pun melompat
turun dari punggung kuda, lalu melangkah maju. Dan bersama-sama rekannya, dia
berjalan menghampiri kakek berpakaian coklat itu. Langkah mereka berhenti
begitu telah berjarak sekitar empat tombak dari Dewa Rambut Merah.
"Kalau mataku tidak salah
lihat, bukankah sekarang aku tengah berhadapan dengan Dewa Rambut Merah?"
sapa laki-laki berwajah pucat kekuningan itu. Nada suaranya terdengar lembut
dan sopan.
"Kalau betul, memangnya
kenapa, Anjing Kecil?!" sahut kakek berpakaian coklat itu kasar.
Wajah Cakar Pengejar Sukma
seketika berubah merah. Kemarahan yang hebat mulai membakar hati orang
kepercayaan Adipati Kalingga ini. Dengan baik-baik dia bertanya, tapi jawaban
yang diterima benar-benar menyakitkan!
Terdengar geram kemarahan dari
mulut Lutung Tenaga Raksasa. Bahkan bukan hanya laki-laki tinggi besar ini
saja. Malah prajurit-prajurit yang masih bersikap waspada pun menggertakkan
gigi, geram melihat pemimpin mereka dihina.
Meskipun kemarahan hebat
melanda hatinya, Cakar Pengejar Sukma masih berusaha bersabar. Rasa khawatir
akan keselamatan Adipati Kalinggalah yang menyebabkan penghinaan itu ditelan
mentah-mentah. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskan kuat-kuat, untuk
meredakan kemarahan yang bergejolak dalam dadanya.
"Mengapa kau menghadang
jalan jami, Ki? Tidak tahukah kalau yang berada dalam kereta itu Adipati
Kalingga?" suara Cakar Pengejar Sukma sudah tidak selembut sebelumnya.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba tawa kakek yang
diyakini Cakar Pengejar Sukma sebagai Dewa Rambut Merah meledak. Keras sekali
tawanya, dan pasti dikerahkan lewat tenaga dalam penuh.
Kaki seluruh prajurit nampak
gemetar. Bahkan Cakar Pengejar Sukma dan Lutung Tenaga Raksasa
terpaksamengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh suara tawa, yang
membuat dada bagai diguncang-guncang. Telinga mereka pun terasa sakit bukan
main.
Untunglah Dewa Rambut Merah
tidak meneruskan suara tawa. Dengan demikian, para prajurit, Cakar Pengejar
Sukma, serta Lutung Tenaga Raksasa tidak menderita terlalu lama.
"Kau kira aku takut pada
Adipati Kalingga, Kuda Buduk?! Ha ha ha. . . ! Lucu! Jangankan -hanya adipati.
Biar raja sekalipun, aku tidak takut!" sambung Dewa Rambut Merah lagi
setelah tawanya selesai. Nada kesombongan nampak jelas, baik dalam raut wajah
mau pun suaranya.
"Jadi, apa maumu
sebenarnya, Dewa Rambut Merah?" tanya Cakar Pengejar Sukma.
Hati laki-laki bermuka pucat
itu marah bercampur tegang, karena sudah bisa memperkirakan apa yang akan
terjadi. Dia benar-benar marah, karena sudah dua kali dihina Dewa Rambut Merah.
"Hanya sepele
saja...," jawab Dewa Rambut Merah, bernada ringan.
"Apa itu?" Cakar
Pengejar Sukma masih mencoba bersabar.
"Nyawa kalian
semua."
Tetap kalem jawaban kakek
berpakaian coklat itu. Seolah-olah, yang diucapkannya hanya suatu masalah yang
sama sekali tidak ada harganya.
"Keparat!"
Terdengar geraman keras dari
mulut Lutung Tenaga Raksasa. Kema- rahannya tidak bisa ditahan lagi. Meskipun
bukan dirinya yang mengalami penghinaan, tapi baginya Cakar Pengejar Sukma
sudah lebih dari seorang saudara. Maka tangannya pun bergerak cepat. Sebatang
tongkat berwarna coklat dari kayu pohon daru- daru, diputar-putarkan di atas
kepalanya.
Wuk, wuk...!
Suara mengaung keras terdengar
begitu tongkat itu berputar cepat laksana gasing.
Hiyaaa...!"
Seraya mengeluarkan teriakan
melengking nyaring, laki-laki tinggi besar berkulit hitam ini melompat
menerjang.Tongkat yang digenggam dalam kedua tangan, dibabatkan ke arah kepala
Dewa Rambut Merah.
Wuttt!
Desir angin keras hingga
menimbulkan suara mengaung, mengiringi kedatangan serangan tongkat. Jelas,
tenaga dalam yang terkandung dalam ayunan tongkat ini begitu kuat. Hal ini
tentu saja tidak aneh, mengingat julukan yang disandang laki-laki tinggi besar
berkulit hitam ini. Lutung Tenaga Raksasa!
"Hhh...."
Dewa Rambut Merah hanya mendengus. Kemudian kaki kanannya ditarik
selangkah ke belakang, seraya menarik kepala. Maka serangan itu lewat setengah
jengkal di depan wajahnya.
Belum juga kakek berpakaian
coklat ini berbuat sesuatu, serangan dari Cakar Pengejar Sukma menyambar tiba.
Laki-laki berwajah pucat kekuningan ini tahu kalau bukan tandingan Dewa Rambut
Merah. Maka, tanpa ragu-ragu lagi segera membantu Lutung Tenaga Raksasa.
Dan sekali menyerang, Cakar
Pengejar Sukma sudah langsung menggunakan senjata andalan. Sepasang cakar besi
yang bentuk dan panjangnya sama seperti tangan manusia, mulai dari sikut sampai
ke jari-jari.
Cuittt, cuittt...!
Suara bercuitan nyaring dari
udara yang terobek gerakan cakar besi itu mengiringi tibanya serangan Cakar
Pengejar Sukma. Yang kanan menyampok keras ke atas kepala, sementara yang kiri
menyilang di depan dada.
Cepat dan mendadak sekali
tibanya serangan itu. Tapi masih lebih cepat lagi gerakan yang dilakukan Dewa
Rambut Merah. Tubuh kakek berpakaian coklat ini segera merunduk sehingga
serangan itu lewat di atas kepalanya.
Hembusan angin dingin sampai
terasa ke kulit kepala Dewa Rambut Merah, karena cakar itu begitu dekat lewat
di atas kepalanya.
Baru saja serangan itu
berhasil dielakkan Dewa Rambut Merah, kembali serangan Lutung Tenaga Raksasa
meluncur. Rupanya, kakek berpakaian coklat ini sama sekali tidak diberi
kesempatan untuk balas
menyerang.
Walaupun kedua orang lawannya
sama sekali tidak memberi kesempatan untuk melancarkan serangan balasan, namun
Dewa Rambut Merah tak mengalami kesulitan untuk mengelak. Memang selama
beberapa jurus pertama kakek berpakaian coklat ini seperti terdesak. Dihimpit
dan dicecar terus menerus. Tapi menginjak jurus ke lima, Dewa Rambut Merah
mulai unjuk gigi.
Meskipun hanya bertangan
kosong, dan kedua lawannya menggunakan senjata andalan masing-masing, Dewa
Rambut Merah ternyata mampu menahannya. Bahkan perlahan namun pasti mulai dapat
mendesak.
"Haaat..!"
Sebelum Lutung Tenaga Raksasa
berbuat sesuatu, tangan kiri Dewa Rambut Merah telah bergerak cepat .
Tappp. . . ! Tongkat kayu itu
sudah tertangkap.
Lutung Tenaga Raksasa kaget
bukan main. Dia berusaha sekuat tenaga menarik tongkatnya kembali, tetapi
tongkat itu sama sekali tidak bergeming!
Di jurus ke enam, Lutung
Tenaga Raksasa berteriak keras menggelegar laksana guntur. Kemudian tongkat di
tangannya ditusukkan cepat ke arah tenggorokan lawan.
Melihat hal itu, Dewa Rambut
Merah segera memiringkan sedikit kepalanya, sehingga sodokan itu lewat
sejengkal di sebelah lehernya. Dan, sebelum laki-laki tinggi besar berkulit
hitam itu berbuat sesuatu, tangan kirinya telah cepat bergerak.
Tappp...!
Tongkat kayu kuat dan berat
yang terbuat dari batang pohon daru-daru itu tertangkap.
Lutung Tenaga Raksasa kaget
bukan main melihat hal ini. Segera saja seluruh tenaga yang dimiliki
dikerahkannya untuk menarik kembali tongkatnya. Tapi kali ini, dia salah duga.
Tongkat itu sama sekali tidak bergeming. Padahal seluruh tenaganya telah
dikerahkan, sehingga seluruh urat di wajahnya bertonjolan keluar.
Sementara Dewa Rambut Merah
terlihat tenang-tenang saja. Tidak nampak tanda-tanda kalau kakek itu mengerahkan tenaga.
Pada saat yang gawat itu,
Cakar Pengejar Sukma melompat menerjang. Dan dari atas, cakar besinya
disabetkan ke arah kepala Dewa Rambut Merah.
Cuittt... !
"Hih!"
Dewa Rambut Merah
menggertakkan gigi. Sedangkan tangannya yang menggenggam tongkat, bergerak
mencengkeram. Terdengar
suara berkeretakan pelan, disusul hancurnya tongkat pada bagian yang
dicengkeram. Karuan saja, hal ini membuat tubuh Lu- tung Tenaga Raksasa
terhuyung-huyung ke belakang.
Berbarengan dengan itu, tubuh
kakek berpakaian coklat ini merendah sehingga serangan Cakar Pengejar Sukma
lewat di atas kepala. Tidak hanya itu saja. Tangannya segera bergerak cepat
menyambitkan patahan tongkat yang ada di genggaman ke arah Lutung Tenaga
Raksasa yang tengah terhuyung-huyung terbawa tenaga tarikan tongkatnya sendiri.
Singgg... !
Suara mendesing nyaring terde-
ngar, begitu potongan tongkat meluncur. Cepat bukan main lesatannya, tak kalah
dengan anak panah yang lepas dari busur.
Dalam keadaan demikian,
rupanya Lutung Tenaga Raksasa tidak mampu berbuat sesuatu. Matanya hanya
mendelik, menyiratkan ketakutan. Maka .....
Cappp!
Telak dan keras sekali
potongan tongkat itu menghunjam ubun-ubun Lutung Tenaga Raksasa sehingga amblas
ke dalam kepalanya. Cairan merah kental bercampur keputihan langsung
muncrat-muncrat dari ubun-ubunnya yang pecah.
Seketika Lutung Tenaga Raksasa
meraung keras sambil memegangi kepalanya. Tapi hanya sesaat saja, karena
kemudian tubuhnya ambruk dan tidak bergerak lagi.
Cakar Pengejar Sukma kaget
bukan main melihat kejadian yang menimpa rekannya. Perasaan marah dan sedih
langsung bergejolak dalam dada. Dan perasaan yang bercampur aduk itu dilampiaskan
dengan amukan membabi buta terhadap Dewa Rambut Merah.
Pada kenyataannya, kepandaian
laki-laki kurus itu memang jauh di bawah kepandaian Dewa Rambut Merah. Maka
tidak heran kalau setiap serangannya dapat dipatahkan dengan mudah oleh kakek
berpakaian coklat itu.
"Hiyaaa...!"
Kembali pada jurus ke
sembilan, cakar besi di tangan Cakar Pengejar Sukma menyambar deras ke arah
pelipis Dewa Rambut Merah. Lagi-lagi kakek berpakaian coklat itu mendoyongkan
tubuhnya ke belakang, tanpa menggeser kaki. Maka serangan itu lewat di depan
wajahnya.
Dan sebelum Cakar Pengejar
Sukma sempat berbuat sesuatu, kaki kiri Dewa Rambut Merah telah bergerak cepat.
Wuttt..!
Bukkk!
Suara berderak keras dari
tulang patah, terdengar begitu kaki kakek berpakaian coklat itu mengenai
pinggang Cakar Pengejar Sukma. Memang telak dan keras sekali, sehingga tubuh
laki-laki berwajah pucat kekuningan itu terjengkang ke belakang.
Dan belum lagi Cakar Pengejar
Sukma berbuat sesuatu, Dewa Rambut Merah sudah menghentakkan kedua tangan dengan
jari-jari terbuka ke depan.
Bresss!
Terdengar jeritan menyayat
dari mulut Cakar Pengejar Sukma. Tubuhnya seketika kembali melayang jauh ke
belakang. Darah segar seketika keluar dari mulut, hidung, dan telinganya.
Pengawal kepercayaan Adipati Kalingga ini pun tewas seketika, tanpa mampu
bergerak lagi.
Tentu saja kematian dua orang
andalan itu membuat prajurit-prajurit pengawal Adipati Kalingga kaget bukan
main. Bahkan Adipati Kalingga yang melihat kejadian dengan melongokkan kepala
dari pintu kereta, begitu terperanjat .
Tapi hanya sebentar saja
keterkejutan yang melanda para prajurit itu. Yang tinggal kini hanyalah
kemarahan bergelora. Maka sambil berteriak melengking nyaring, seluruh prajurit
yang berjumlah dua belas orang itu menerjang Dewa Rambut Merah dengan senjata
terhunus.
Singgg, singgg, singgg...!
Suara berdesing nyaring
terdengar mengiringi tibanya serangan. Tapi, Dewa Rambut Merah sama sekali
tidak kelihatan gugup. Tubuhnya enak saja berkelebatan di antara hujan serangan
para pengeroyoknya. Memang dengan ilmu meringankan tubuh yang berada amat jauh
di atas lawan-lawannya, bukan merupakan kesulitan untuk mengelakkan semua
serangan.
Sebaliknya setiap kali dia
melancarkan serangan balasan, sudah dapat dipastikan akan ada sosok tubuh yang
roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Jerit kematian terdengar
saling susul, mengiringi setiap tubuh bergelimpang tanpa nyawa. Sesaat
kemudian, tidak ada lagi seorang prajurit pun yang tersisa. Semuanya telah
roboh bergeletakan di tanah.
"Ha ha ha...!"
Dewa Rambut Merah tertawa
bergelak. Ditatapnya sejenak mayat- mayat yang bergelimpangan di tanah.
Kemudian dengan langkah-langkah lebar, dihampirinya kereta.
Tapi sekitar tiga tombak dari
kereta, langkahnya dihentikan. Tampak seorang laki-laki setengah tua bertubuh
pendek gemuk sudah membuka pintu kereta dan melompat keluar. Di tangannya sudah
tergenggam sebatang pedang. Rupanya, Adipati Kalingga juga berniat mengadakan
perlawanan.
"Ha ha ha...!"
Tawa Dewa Rambut Merah kembali
meledak. Sama sekali tidak dipedulikan sikap adipati dari Kadipaten Campa ini.
Kakinya terus melangkah menghampiri.
"Haaat...!"
Adipati Kalingga memekik
melengking nyaring, kemudian meluruk ke arah Dewa Rambut Merah. Seketika pedang
di tangannya dibabatkan ke arah leher.
"Hmh...!"
Dewa Rambut Merah mendengus.
Sekali lihat saja, kakek ini sudah tahu tingkat kepandaian Adipati Kalingga.
Dengan gerakan sembarangan, tangan kirinya digerakkan untuk menangkis.
Takkk!
Terdengar suara berderak
keras, seolah-olah yang berbenturan dengan pedang bukan tangan manusia,
melainkan dua batang logam yang amat keras.
Adipati Kalingga menyeringai.
Seketika sekujur tubuhnya bergetar hebat. Bahkan tangan yang menggenggam pedang
pun terasa lumpuh seketika. Tak pelak lagi, senjata yang digenggamnya pun
terlepas dan jatuh ke tanah.
Di saat itulah tangan kanan
Dewa Rambut Merah menotok cepat ke arah leher. Adipati Kalingga terkejut bukan
main. Sebisa-bisanya, dia berusaha mengelak. Tapi....
Tukkk!
Telak dan keras sekali,
totokan tangan kakek berpakaian coklat itu menghantam sasarannya. Seketika itu
juga, sepasang mata laki-laki bertubuh pendek gemuk ini mendelik. Beberapa saat
Adipati Kalingga mampu berdiri, kemudian ambruk tak bergeming lagi.
"Ha ha ha...!"
Untuk yang kesekian lakinya, meledaklah
tawa dari mulut Dewa Rambut Merah. Sepertinya sebuah tawa kemenangan. Sesaat
kemudian tubuhnya melesat dari situ, tanpa menghentikan tawanya. Dia terus
berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Suara tawa kakek berpakaian
coklat itu semakin lama semakin pelan. Seiring dengan tubuhnya yang semakin
menjauh, suara tawa itu semakin sayup- sayup terdengar.
2
"Aneh...," desah
seseorang bertubuh kekar dan berpakaian abu-abu, pelan. Sepasang matanya
menatap lekat- lekat ke depan. Dahinya nampak ber- kernyit dalam. Jelas ada
sesuatu yang yang membuatnya bersikap begitu.
Menilik dari keadaan rambut,
kumis, dan jenggotnya yang telah memutih, bisa ditebak kalau orang itu telah
berusia lanjut. Tapi anehnya, kulit wajahnya tidak menunjukkan kalau dia telah
berusia lanjut. Kulit wajahnya masih kencang, tidak terlihat kendor ataupun
keriput.
Kakek berpakaian abu-abu itu
masih tetap melayangkan pandangannya ke depan, meskipun kedua kakinya terus
saja melangkah.
"Tidak salahkah
penglihatanku?" gumam kakek itu perlahan. "Bukankah itu burung-burung
pemakan bangkai? Tapi, mengapa berkeliaran di sana? Apakah ada sesuatu yang
menarik per- hatian binatang-binatang itu?"
Sambil berkata demikian, kakek
berpakaian abu-abu itu menyipitkan sepasang kelopak matanya untuk memperjelas
pandangan. Memang jauh di depannya, di udara nampak titik-titik hitam
berkeliaran dan berputar-putar di tempat itu.
"Ah, benar! Tidak salah
lagi! Itu adalah burung-burung pemakan bangkai!" cctus kakek itu lagi.
"Pasti ada sesuatu yang menarik perhatian binatang itu."
Setelah yakin akan dugaannya,
mendadak gerakan kakek berpakaian abu- abu ini berubah. Semula hanya melangkah
perlahan-lahan saja, tapi kini tubuhnya melesat cepat laksana kilat ke depan.
Ternyata kakek berpakaian
abu-abu ini bukan orang sembarangan. Terbukti, sekali kakinya bergerak tubuhnya
sudah berada sekitar sembilan tombak di depan. Dan sesaat kemudian, yang
teriihat hanyalah kelebatan bayangan yang melesat cepat ke depan.
Gerakan kakek ini cepat bukan
main, karena ditunjang ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat
tinggi. Dan sesaat kemudian, dia sudah mendekati tempat burung pemakan bangkai
berkerumun.
"Ah...!"
Terdengar desah keterkejutan
dari mulut kakek berpakaian abu-abu itu, begitu melihat pemandangan yang ada di
depannya. Tampak belasan mayat bergelimpangan di tanah, bermandikan darah.
Kakek berpakaian abu-abu ini
semakin mempercepat langkahnya. Dan semakin dekat jaraknya, semakin jelaslah
keadaan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah itu. Dahi kakek berpakaian
abu-abu ini berkernyit begitu melihat sebagian besar mayat itu berseragam
prajurit .
Terdengar suara gemeretak dari
mulut kakek berjenggot dan berambut putih itu begitu melihat burung-burung
pemakan bangkai tengah sibuk berpesta pora.pora. Segera kedua tangannya diputar
di depan dada, dengan arah gerakan dari luar ke dalam.
Hebat akibatnya! Dari kedua
tangan yang berputaran itu berhembus angin keras ke arah burung-burung pemakan
bangkai. Seketika binatang- bmatang itu berkaokan keras, kemudian buyar
beterbangan kembali ke udara walaupun masih tetap terbang berputaran di atas
mayat-mayat itu. Rupanya kelompok burung itu tidak rela meninggalkan makanan
empuk yang sudah terhidang di hadapan mereka.
"Biadab.. . ! " seru kakek berpakaian abu-abu itu, geram.
"Hanya iblis sajalah yang
bisa berbuat sekeji ini!"
Sambil mengomel panjang
pendek, diperiksanya mayat-mayat yang tergeletak satu persatu.
Sesekali, dia terpaksa
mengirimkan serangan jarak jauh ketika burung-burung pemakan bangkai rupanya
masih penasaran untuk menyambar 'makanan mereka'.
Pada sosok tubuh salah seorang
prajurit, wajah kakek berpakaian abu- abu ini berubah. Ada secercah kekagetan
di wajahnya. Betapa tidak? Prajurit itu ternyata belum mati! .
Begitu mengetahui hal ini,
semangatnya timbul kembali. Kakek itu berpikir, tentu tidak hanya satu orang
saja yang selamat.
Tapi betapa kecewa hatinya,
begitu mengetahui kalau tidak ada lagi yang selamat. Semuanya telah tewas,
kecuali satu orang prajurit tadi. Diperhatikannya wajah prajurit itu. Masih
muda dan cukup tampan. Tampak sebaris kumis tipis menghiasi atas bibirnya.
Anehnya, prajurit itu tidak mengalami luka yang berarti, dan hanya pingsan
saja.
Kakek berpakaian abu-abu itu
lalu mengeluarkan sebuah kendi kecil dari buntalan kain yang tersandang di
bahunya. Dibukanya mulut kendi itu, kemudian didekatkan ke hidung prajurit yang
pingsan.
"Ohhh...!"
Terdengar keluhan lirih dari
mulut prajurit itu. Rupanya uap yang keluar dari kendi itu keras sekali,
sehingga mampu membuat laki-laki berkumis tipis itu siuman dari pingsannya.
Beberapa saat lamanya prajurit
itu menggoyang-goyangkan kepalanya. Sepasang kelopak matanya pun mulai
mengerjap-ngerjap.
"Siapa kau?" tanya
prajurit itu tatkala pandangannya tertumbuk pada sepasang mata kakek berpakaian
abu-abu yang berjongkok di hadapannya.
"Aku sudah tidak ingat
namaku lagi, Anak Muda," sahut kakek itu.
Mulutnya tampak menyunggingkan
senyum lebar. "Tapi..., orang-orang mengenalku sebagai Dewa Obat Tangan
Delapan ....... "
"Ah...!"
Sepasang mata laki-laki
berkumis tipis itu membelalak lebar. Rasa terkejut yang amat sangat nampak
jelas memancar di wajahnya. Ucapan kakek itulah yang membuatnya terkejut. Siapa
yang tidak kenal julukan Dewa Obat Tangan Delapan? Tokoh itu adalah satu di
antara datuk-datuk dunia persilatan.
"Jadi... , kau adalah
datuk yang terkenal itu, Kek?"
"Tidak usah memusingkan
hal itu, Anak Muda," sergah kakek berpakaian abu-abu yang ternyata
berjuluk Dewa Obat Tangan Delapan. Pelan dan lembut suaranya. "Yang penting,
ceritakan. Apa yang terjadi di tempat ini?"
Ucapan Dewa Obat Tangan
Delapan membuat prajurit itu teringat kembali pada kejadian yang menimpa kawan-
kawannya.
"Ohhh...!"
Ada nada keluhan dari mulut
prajurit itu melihat keadaan junjungan dan rekan-rekannya telah tewas. Sepasang
matanya beredar berkeliling, sementara wajahnya pucat pasi."Mereka semua
telah tewas," ucap Dewa Obat Tangan Delapan dengan suara ditekan.
Dan memang, sebenarnya hati
kakek ini sedih sekali. Sebagai orang yang berjuluk Dewa Obat, tidak ada
kesenangan lain baginya kecuali bisa mengobati orang lain sampai sembuh.
Sebisa-bisanya akan diusahakan untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi, kini
di depannya bergeletakan belasan sosok tanpa nyawa. Bagaimana hati kakek ini
tidak menjadi sedih?
"Biadab.. . ! "
prajurit itu berteriak memaki.
"Tidak ada gunanya semua
ini disesali, Anak Muda," hibur kakek berpakaian abu-abu itu pelan.
"Mayat- mayat ini harus
kita kuburkan sebelum menjadi santapan burung-burung pemakan bangkai itu."
Kepala prajurit itu mendongak,
mengikuti arah tudingan telunjuk Dewa Obat Tangan Delapaa Memang tampak, banyak
sekali burung berwarna hitam berkaokan keras, beterbangan di sekitar tempat
itu.
Sekali lagi prajurit itu
menatap ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan tak tentu arah, kemudian
beralih pada kakek berpakaian abu-abu itu. Pandangannya tampak menyiratkan
kebingungan.
"Sampai kapan kita dapat
mengubur mayat sebanyak ini?" tanya prajurit itu pelan.
"Lagi pula tanah di sini
sangat keras. Paling tidak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuat
sebuah lubang yang cukup besar...."
Dewa Obat Tangan Delapan sama
sekali tidak menyahuti ucapan bernada putus asa dari prajurit itu. Bibirnya
hanya tersenyum saja, kemudian kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
Tentu saja hal ini membuat
prajurit itu kaget bukan main.
''Tunggu sebentar, Dewa
Obat!" teriak prajurit itu seraya berlari mengejar.
"Ada apa lagi Anak
Muda?" Dewa Obat Tangan Delapan menghentikan Iangkah, seraya membalikkan
tubuhnya.
"Nggg. . . , maaf.... Kau
mau ke mana, Dewa Obat?" tanya laki-laki berkumis tipis itu.
"Mencari tempat yang
cocok untuk mengubur mayat-mayat ini," jawab kakek berpakaian abu-abu itu.
''Tunggu saja di sana. Jaga
mayat teman-temanmu dari gangguan binatang-binatang keparat itu."
Seketika wajah prajurit itu
pun memerah. Malu. Hatinya telah menyangka yang tidak-tidak pada Dewa Obat
Tangan Delapan. Tanpa berkata apa-apa, tubuh- nya dibalikkan dan segera kembali
ke tempat semula.
"Burung keparat!"
maki prajurit itu begitu melihat beberapa ekor burung yang bergerak turun.
Seketika itu juga dipungutnya sebuah batu sebesar kepalan tangan, kemudian
dilemparkannya ke arah kerumunan burung itu.
Wusss!
Batu itu tidak mengenai
sasaran karena burung-burung itu telah lebih dulu terbang kembali sambil
mengeluarkan suara berkaokan nyaring.
Dewa Obat Tangan Delapan hanya
tersenyum saja. Kemudian kakinya kembali melangkah, dan baru terhenti ketika
menemukan sebuah tempat yang cukup baik untuk menguburkan mayat- mayat itu.
Letaknya dekat pohon-pohon. Jauh dari jalan, namun tidak jauh dari tempat
mayat-mayat berada.
Kakek berpakaian abu-abu itu
melangkah mundur tiga tindak. Dia berdiri tegak dengan sepasang mata mencorong
tajam, memandang ke tanah. Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan teriakan
nyaring, kedua tangannya dihentakkan ke depan.
Wusss!
Angin berhembus keras
menyambar ke depan. Dan....
Blarrr... !
Terdengar ledakan keras begitu
angin pukulan yang dilancarkan Dewa Obat Tangan Delapan menghantam sasaran. Batu-batu
kecil berpentalan, debu mengepul tinggi ke udara. Dan begitu debu itu lenyap,
terlihat sebuah lubang yang cukup besar. Hal itu terus dilakukannya
berkali-kali sampai terbentuk dua buah lubang besar.
****
"Hhh...!"
Prajurit berkumis tipis
menghela napas berat, kemudian perlahan-lahan bangkit dari bersimpuhnya. Memang
sudah agak lama dia berlaku seperti itu, di depan dua buah gundukan tanah
besar, berisi mayat rekan-rekan dan junjungannya.
Prajurit itu kemudian kemudian
melangkahkan kakinya menghampiri Dewa Obat Tangan Delapan yang sejak tadi hanya
berdiri saja mengawasi.
"Hampir saja aku lupa.
Siapa namamu, Anak Muda?"
"Ganda, Kek," jawab
prajurit itu. Terpaksa panggilannya pada Dewa Obat Tangan Delapan dirubah,
karena kakek itu merasa keberatan jika dipanggil julukannya.
"Bisa kau ceritakan,
mengapa semua ini bisa terjadi, Anak Muda?" tanya Dewa Obat Tangan Delapan
lagi. Suaranya terdengar pelan dan lembut. Tidak ada nada desakan di dalamnya.
Prajurit yang ternyata bernama
Ganda, tampak lesu. Kemudian diceritakan semua yang terjadi, dialami, dan
didengarnya.
"Kalau saja tengkukku
tidak terkena hantaman gagang tombak yang nyasar hingga membuatku pingsan,
mungkin aku sudah tewas juga," ucap Ganda mengakhiri ceritanya.
Wajah Dewa Obat Tangan Delapan
berubah hebat.
"Tidak mungkin!"
bantah kakek itu. Raut wajah dan nada suaranya menyorotkan ketidakpercayaan.
"Apanya yang tidak
mungkin, Kek?" tanya Ganda, merasa heran melihat keterkejutan Dewa Obat
Tangan Delapan.
"Pelaku pembunuhan
ini."
"Maksudmu, Kek? "
laki-laki berkumis tipis ini belum mengerti.
"Aku tidak percaya kalau
Dewa Rambut Merah yang melakukan semua ini!"
"Tapi, nama itulah yang
kudengar dari mulut Cakar Pengejar Sukma, Kek. Dan, aku yakin kalau dia tidak
mungkin salah mengenali orang!"
"Hhh...!"
Dewa Obat Tangan Delapan hanya
mendesah pelan.
"Kek...."
"Hm.. . , " kakek
berpakaian abu-abu itu menggumam, seraya menolehkan kepalanya.
"Aku tidak bisa
berlama-lama di sini, Kek. Semua peristiwa ini harus kuberitahukan pada anak
Gusti Adipati di Desa Kujang. Kuucapkan banyak terima kasih atas
pertolonganmu."
Dewa Obat Tangan Delapan hanya
mengangkat bahunya saja. Sama sekali ucapan laki-laki berkumis tipis itu tidak
disahuti. Menilik dari kernyit pada dahi dan sepasang mata yang menatap lurus
pada sebuah titik, dapat diketahui kalau kakek ini tengah berpikir keras.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Ganda segera melangkah menghampiri kereta kuda. Untung dengan adanya
kereta, kuda-kuda itu tidak bisa melarikan diri seperti kuda lainnya.
Dengan agak terburu-buru,
kedua kuda itu dilepaskan dari keretanya. Yang satu ditambatkan di pintu
kereta. Barangkali saja Dewa Obat Tangan Delapan ingin memakainya. Sementara
yang lain dituntunnya.
"Hup...!"
Dengan sebuah gerakan indah
dan manis, Ganda melompat ke punggung kuda. Dan secepat tubuhnya sudah berada
di punggung kuda, secepat itu pula tali kekang kudanya dihentakkan, seraya
mulutnya berdecak pelan.
Seketika itu juga, kuda itu
melesat cepat ke depan.
Debu mengepul tinggi ke udara
begitu kuda itu berlari cepat meninggalkan Dewa Obat Tangan Delapan. Kakek itu
masih saja termenung dengan dahi berkernyit. Sama sekali kepalanya tidak
menoleh hingga Ganda lenyap ditelan jalan. Bahkan ucapan terima kasih laki-laki
berkumis tipis yang dilontarkan sekali lagi tidak dihiraukan sama sekali.
Beberapa saat kemudian kakinya
melangkah menghampiri kuda yang tertambat di kereta, lalu melepaskan tali
ikatan binatang itu. Kemudian dengan sebuah gerakan indah dan manis, kakek ini
melompat naik ke punggung kuda. Dewa Obat Tangan Delapan lalu menghentakkan
tali kekang kudanya. Suara derap langkah kuda terdengar mengoyak keheningan
yang menggigit .
***
"Hiya...! Hiya...!"
Ctarrr... !
Ganda melecutkan pecutnya berkali-kali ke bagian
belakang tubuh kuda, memaksa agar berlari secepat mungkin. Laki-laki berkumis
tipis itu secepatnya ingin memberitahukan berita yang menggemparkan ini pada
anak Adipati Kalingga.
Suatu keuntungan bagi Ganda.
Ternyata kuda itu adalah seekor kuda pilihan yang kuat dan kencang larinya. Sehingga
keinginannya agar kuda berlari kencang, terkabul.
Kecepatan lari kuda itu tetap
tidak berubah ketika memasuki tembok batu batas Desa Kujang.
Ganda tetap memacu kudanya.
Bahkan pecutnya pun berkali-kali menjilat bagian belakang tubuh kuda itu.
Karuan saja beberapa orang
yang kebetulan berada di jalan utama desa itu, bergegas menyingkir. Beberapa di
antara mereka ada yang menyumpah- nyumpah. Namun makiannya segera dihentikan
sambil menyelinap kabur begitu melihat pakaian yang dikenakan Ganda.
Tapi laki-laki berkumis tipis
yang tengah kalap itu, tidak mempedulikan apa pun lagi. Yang ada di benaknya
hanya satu. Menyampaikan kabar secepatnya kepada putra Adipati Kalingga di Desa
Kujang.
Beberapa saat kemudian, rumah-
rumah penduduk semakin jarang terlihat. Semakin lama semakin sedikit, sampai
akhirnya tidak ada sama sekali.
"Hooop...!"
Ganda menarik tali kekang
kudanya. Dan seketika, binatang tunggangan itu menghentikan larinya.
"Hup!"
Laki-laki berkumis tipis ^ini
melompat turun dari kuda. Kemudian, ditambatkannya kuda berwarna coklat putih
itu di sebatang pohon. Baru setelah itu kakinya melangkah menuju pondok.
Kriiit..!
Terdengar suara berderit
tajam, disusul dengan terbukanya daun pintu pondok itu ketika jarak antara
Ganda dengan pintu itu masih ada lima tombak.
Dan begitu daun pintu itu
terbuka lebar, nampak seraut wajah tua muncul di balik pintu. Seorang kakek
bertubuh tinggi kurus bagai bambu. Pakaiannya putih. Wajahnya juga beralis
putih. Tidak ada kumis, atau jenggot yang menghias wajahnya.
Ganda segera membungkukkan
tubuhnya sedikit.
"Maaf, Kek. Bisakah aku
bertemu Dewa Angin Puyuh?" tanya Ganda sopan.
"Aku sendiri orang yang
kau cari itu, Anak Muda," sahut kakek beralis putih yang ternyata berjuluk
Dewa Angjn Puyuh. "Kau siapa? Dan apa keperluanmu mencariku?"
"Aku pasukan Kadipatan
Campa, Kek. Namaku Ganda. Maksud kedatanganku kemari, ingin menyampaikan sebuah
berita."
"Ah...!"
Dewa Angin Puyuh berseru
kaget. Bergegas dipersilakannya laki-laki berkumis tipis itu masuk ke dalam dengan
tergopoh-gopoh. Memang, tadi kakek beralis putih ini sudah mempunyai sebuah
dugaan begitu melihat pakaian prajurit yang dikenakan Ganda. Mungkinkah
prajurit ini yang akan menjemput pulang putra Adipati Kalingga?
Tapi, dugaan itu segera
dibuang jauh-jauh begitu teringat kalau Adipati Kalingga akan datang sendiri
menjemput putranya. Sekaligus, hendak bertemu kembali dengan sahabat lama.
Memang Adipati Kalingga dan Dewa Angin Puyuh merupakan sahabat kental sejak
kecil.
Kini, begitu mendengar ucapan
Ganda, kakek beralis putih ini jadi cemas. Dewa Angin Puyuh menduga, ada
kejadian buruk yang menimpa rombongan Adipati Kalingga. Sikap dan keadaan
prajurit yang bernama Ganda lebih memperkuat dugaannya.
"Di mana Raden
Palageni?" tanya prajurit Kadipaten Campa itu begitu duduk di sebuah kursi
di ruangan dalam.
"Ada di belakang,"
sahut kakek beralis putih itu. Kemudian, bibirnya berkemik-kemik tapi tidak ada
suara yang keluar. Ganda memandangnya penuh keheranan.
"Apa yang telah dilakukan
kakek ini?" tanya laki-laki berkumis tipis ini dalam hati.
Sama sekali prajurit Kadipatan
Campa ini tidak tahu kalau Dewa Angin Puyuh tengah memberitahukan pesan pada
Palageni yang tengah berada di kebun belakang. Inilah ilmu 'Mengirim Suara dari
Jauh'.
Tak lama kemudian, dari ruang
dalam melangkah tenang seorang pemuda tampan, berkulit putih, dan beralis tebal
dan hitam. Pakaiannya terbuat dari bahan sederhana dan berwarna kuning.
"Orang ini adalah anggota
pasukan ayahmu, Palageni," jelas Dewa Angin Puyuh bernada memberi tahu.
Pemuda berbaju kuning yang
ternyata bernama Palageni itu segera mengulurkan tangan pada Ganda. Agak
bergegas, laki-laki berkumis tipis ini menyambut uluran tangan itu setelah
terlebih dahulu memberi hormat dan memperkenalkan namanya.
"Mana Ayah, Ganda?
Mengapa kau hanya datang sendiri?" tanya Palageni tak sabaran.
"Sabar, Palageni.
Duduklah dulu. Ganda ingin menceritakannya. Itulah sebabnya, aku
memanggilmu," Dewa Angin Puyuh menenangkan muridnya.
Pemuda berbaju kuning itu pun
duduk. Sedangkan Ganda kini mengerti, mengapa kakek beralis putih ini tadi
komat-kamit "^tanpa ada suara yang keluar dari mulutnya. Rupanya kakek itu
tengah memanggil muridnya. Meskipun demikian, tetap saja laki- laki berkumis
tipis ini tidak mengetahui, bagaimana hal itu bisa terjadi.
"Nah! Sekarang
ceritakanlah, Ganda," ujar Dewa Angin Puyuh lagi.
Ganda menarik napas panjang-
panjang, lalu menghembuskannya kuat- kuat sebelum memulai ceritanya. Sebentar
ditatapnya wajah Palageni dengan perasaan khawatir. Dia takut kalau batin pemuda
itu terguncang.
Palageni bukan orang bodoh.
Malah sebaliknya, pemuda berbaju kuning ini begitu cerdik. Maka saat melihat
kedatangan Ganda seorang diri tanpa ayahnya, dan pasukan pengawal lainnya, dia
sudah mempunyai dugaan buruk.
Kini dengan hati berdebar
tegang, ditunggunya ucapan yang akan keluar dari mulut prajurit berkumis tipis
itu.
Ganda lalu menceritakan
semuanya. Seperti yang telah diceritakannya pada Dewa Obat Tangan Delapan.
"Begitulah kejadiannya,
Kek, Den Palageni," ucap Ganda menutup ceritanya.
"Jahanam!" Palageni
memekik keras begitu Ganda menyelesaikan ceritanya.
Wajah pemuda berbaju kuning
ini merah padam. Sepasang bola matanya berkilat- kilat penuh kemarahan.
Terdengar suara berkerotokan keras ketika putra Adipati Kalingga ini mengepalkan
kedua tangannya. Napasnya pun memburu dahsyat.
Bukan hanya Palageni saja yang
dilanda perasaan terkejut yang bukan alang kepalang. Bahkan Dewa Angin Puyuh
pun mengalami hal yang sama. Adipati Kalingga adalah sahabat kentalnya sewaktu
kecil. Tapi berbeda dengan muridnya, kakek yang telah kenyang pengalaman hidup
ini mampu mengendalikan perasaannya. Sehingga kekagetan itu tidak nampak pada
wajahnya, kecuali desahan napas berat yang keluar dari mulutnya. Sementara
dahinya berkernyit dalam.
Kakek ini seperti juga Dewa
Obat Tangan Delapan, tidak mempercayai berita yang didengarnya.
"Dewa Rambut Merah!
Tunggulah pembalasanku!" desis Palageni tajam dan bergetar.
Jelas kalau ucapan itu keluar
dari hati yang bergolak menahan amarah yang meluap-luap. Ada ancaman maut
terkandung dalam suaranya.
Dewa Angin Puyuh menatap wajah
muridnya tajam-tajam. Tampak jelas kalau tatapan kakek beralis putih ini
mengandung teguran."Tahan dulu amarahmu, Palageni," ujar kakek itu
bernada menasihati.
"Tapi, Guru. Bagaimana
mungkin aku mendiamkan saja semua kekejaman ini! Ayahku dan semua pengawal
dibunuh secara kejam. Haruskah aku tinggal diam begitu saja?" bantah
pemuda berbaju kuning itu agak keras.
"Aku tidak menyuruhmu
membiarkannya, Palageni," sahut Dewa Angin Puyuh kalem. "Aku hanya
menyuruhmu menahan amarah. Kita harus selidiki dulu kebenarannya...."
"Apa lagi yang harus
diselidiki, Guru?" Palageni masih membantah. "Sudah jelas kalau
pembunuhnya adalah Dewa Rambut Merah."
"Jangan terburu-buru
yakin akan kebenarannya, Palageni," suara Dewa Angin Puyuh kini terdengar
agak keras.
"Hhh...!"
Palageni menghela napas berat.
Kedua tangannya ditekapkan ke wajahnya. Pemuda berbaju kuning ini tidak lagi
membantah, karena merasakan adanya tekanan dalam ucapan gurunya yang terakhir.
Ucapan yang tidak menghendaki ada bantahan darinya.
"Lalu, sekarang apa yang
harus kulakukan, Guru?" tanya Palageni setelah beberapa saat lamanya
berusaha menenangkan amarah yang meledak-ledak.
"Bukan kau," ralat
Dewa Angin Puyuh.
"Bukan aku?" dahi
pemuda berbaju kuniNg itu eerteer,rfyit"f—•"LSTU- -—^siapa, -
Guru?"
"Kita...."
"Kita?" Palageni
masih belum mengerti. Peristiwa yang didengarnya dari mulut Ganda membuat
otaknya buntu. Tidak bisa digunakan untuk berpikir.
"Ya. Kau dan aku,"
tandas kakek beralis putih itu tegas.
"Mengapa begitu,
Guru?"
"Karena kalau benar
pelakunya adalah Dewa Rambut Merah, meskipun aku yakin kalau pelakunya bukan
dia, kau tidak akan mampu menghadapinya."
Palageni terdiam. Barulah di-
sadari kebenaran ucapan gurunya. Dewa Rambut Merah adalah salah seorang dari
datuk-datuk persilatan, seperti juga gurunya, Dewa Angin Puyuh.
"Kalau begitu, aku pamit
saja Kek, Den," pamit Ganda sambil bergerak bangkit dari duduknya.
"Tidak ikut bersama kami,
Ganda?" kata Dewa Angin Puyuh menawarkan.
"Terima kasih, Kek. Aku
harus kembali dulu ke kadipaten."
Kali ini kakek beralis putih
itu tidak menahan lagi. Dibiarkannya saja prajurit berkumis tipis itu melangkah
ke luar.Cuaca siang ini panas sekali. Matahari memancarkan sinarnya seperti
hendak membakar permukaan bumi. Tapi, hal itu seperti tidak dirasakan dua sosok
tubuh yang tengah bergerak cepat menuju puncak Gunung Caringin. Dua sosok tubuh
itu ternyata Dewa Angin Puyuh dan Palageni.
"Guru...," sambil
tetap mengayunkan kakinya, Palageni membuka suara.
"Hm...," Dewa Angin
Puyuh hanya bergumam pelan untuk menyahuti panggilan muridnya.
"Dari mana Guru
mengetahui tempat tinggal Dewa Rambut Merah?" tanya Palageni.
"Hhh...!"
Dewa Angin Puyuh menghela
napas panjang sebelum menjawab pertanyaan itu. Sementara Palageni menunggu
dengan sabar. Diam-diam hati pemuda berbaju kuning itu heran juga melihat sikap
gurunya yang tidak biasanya seperti ini. Tampaknya, Dewa Angin Puyuh tengah
dilanda kebingungan yang amat sangat.
"Aku kenal betul siapa
Dewa Rambut Merah itu, Palageni," sahut Palageni setebh beberapa saat
lamanya termenung.
"Ahhh...!" Palageni
terperanjat.
Bukan ucapan itu yang membuat
Palageni terkejut. Tapi nada suara yang tersembunyi di dalamnya terdengar
begitu getir dan kering.
"Kau terkejut,
Palageni?" tanya Dewa Angin Puyuh.
Kakek beralis putih itu
menoleh. Sepasang matanya menatap wajah muridnya lekat-lekat
Pemuda berbaju kuning itu
menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
Perlahan-lahan kepalanya terangguk.
"Kalau boleh kutahu,
sampai seberapa jauh Guru mengenalnya?" desak Palageni, serak.
"Aku mengenalnya seperti
mengenal diriku sendiri...," sahut Dewa Angin Puyuh. Pelan suaranya, lebih
mirip desahan.
Palageni terperangah, sampai-
sampai langkahnya dihentikan. Dewa Angin Puyuh juga ikut berhenti. Ucapan itu
memberi petunjuk, betapa dekat hubungan gurunya dengan Dewa Rambut Merah.
"Oleh karena itulah,
Palageni,'' sambung Dewa Angin Puyuh lagi. "Terus terang kukatakan padamu,
aku tidak percaya kalau pembunuhan itu dilakukan oleh Dewa Rambut
Merah...."
Pemuda berbaju kuning itu pun
terdiam seketika. Sementara Dewa Angin Puyuh tidak lagi melanjutkan ucapan-nya.
Maka kini, keheningan menyelimuti mereka.
Keduanya lalu melanjutkan
langkah tanpa berkata kata lagi. Sepasang kaki mereka berlompatan ke sana
kemari, mempergunakan ilmu meringankan tubuh sehingga tak lama kemudian telah
terlihat sebuah pondok berdinding bilik. Kontan langkah kedua orang ini pun
semakin dipercepat. Dan kini mereka telah berhenti sekitar tiga tombak di depan
pondok bilik.
"Dewa Rambut Merah. . . !
Aku, sahabatmu datang berkunjung. . . ! " seru Dewa Angin Puyuh memanggil.
Karena dikerahkan dengan
tenaga dalam, maka seruan itu jadi terdengar sampai jauh. Gemanya terdengar
bersahut-sahutan, terbawa angin.
Dewa Angin Puyuh berdiri diam
menunggu. Sepasang matanya beredar memandangi sekalilingnya,kemudian dialihkan
kembali ke pintu pondok yang tertutup.
Sesaat kemudian, daun pintu
pondok itu bergerak terbuka perlahan- lahan. Dan dari baliknya menyembul
seorang kakek berpakaian coklat. Rambutnya berwarna merah, dan digelung ke
atas.
"Ah. . . ! Kiranya kau,
Dewa Angin Puyuh. . . ! " seru kakek yang ternyata Dewa Rambut Merah.
Bergegas kakinya melangkah menghampiri.Dewa Angin Puyuh pun melangkah maju.
Sikapnya kelihatan begitu tenang. Tanpa berkata apa-apa lagi, Palageni ikut
melangkah. Pemuda berbaju kuning ini telah menyerahkan semua urusan pada
gurunya.
"Apa yang mendorongmu
mengunjungi tempatku, Dewa Angin Puyuh?" tanya Dewa Rambut Merah sambil
mengulurkan tangan. Dewa Angin Puyuh bergegas menyambut dan menggenggamnya
erat- erat.
Wajah kedua kakek ini tampak
berseri-seri. Maklum, sudah belasan tahun tidak berjumpa.
"Ah.... Hanya sekadar
menjumpai kawan lama," sahut kakek beralis putih itu kalem.
"Hanya itu?" desak
Dewa Rambut Merah sambil melepaskan genggamannya. Nada suaranya menyiratkan
ketidakpercayaan.
Dewa Angin Puyuh mengernyitkan
dahinya.
"Tidak juga," sahut
Dewa Angin Puyuh masih tetap tenang. "Aku membawa sebuah persoalan yang
menyangkut dirimu, Dewa Rambut Merah."
"Hm.... Sudah
kuduga," kakek berambut merah mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
ditatapnya wajah Palageni sejenak. "Siapa anak muda ini, Dewa Angin
Puyuh?"
"Muridku. . . , "
jawab Dewa Angin Puyuh. "Palageni namanya."
Dewa Rambut Merah mengangguk-
anggukkan kepala. Sementara matanya menatap sekujur tubuh Palageni dari ujung
rambut sampai ujung kaki.
"Dan... , persoalan yang
kubawa menyangkut diri muridku, Dewa Rambut Merah...," sambut Dewa Angin
Puyuh lagi. Nada suaranya terdengar mulai bersungguh-sungguh.
"Hei...?! Mengapa bisa
begitu, Dewa Angin Puyuh?!" seru Dewa Rambut Merah, terkejut.
"Persoalan yang menyangkut diriku dengan muridmu? Aneh...!"
"Kalau mendengar ceritaku
selanjutnya, kau pasti tidak akan menganggapnya aneh," sambung Dewa Angin
Puyuh buru-buru.
Dewa Rambut Merah melirik
sekilas ke arah Palageni "Kemarin, ada seorang prajurit kadipaten yang
mengunjungiku."
Dewa Angin Puyuh memulai
ceritanya seraya menatap wajah Dewa Rambut Merah, untuk melihat tanggapannya.
Tapi tidak nampak ada perubahan pada wajah kakek berambut merah itu. Wajahnya
tetap biasa, tak menunjukkan kekagetan.
"Prajurit itu bercerita,
bahwa rombongannya diserang seseorang. Adipati Kalingga dan seluruh pengawal yang
menyertainya dibantai. Hanya prajurit itu yang berhasil selamat, dan langsung
memberitahukannya padaku."
"Hm.. . . Kenapa prajurit
itu memberitahukannya padamu, Dewa Angin Puyuh?" tanya Dewa Rambut Merah
tidak mengerti.
"Karena rombongan Adipati
Kalingga memang tengah menuju ke tempatku, " jelas kakek beralis putih .
"Heh...?! Apa keperluan
adipati itu mengunjungimu?" tanya Dewa Rambut Merah. Lagi-lagi dengan
perasaan terkejut. Memang cerita yang didengar, belum dimengertinya.
"Membawa pulang putranya."
"Membawa pulang
putranya?! Aku jadi semakin tidak mengerti, Dewa Angin Puyuh."
''Putranya bernama
Palageni...."
"Palageni?!" Dewa
Rambut Merah meminta kepastian. Sepasang matanya membelalak lebar, menatap
pemuda berbaju kuning itu. "Jadi..., pemuda ini "
Dewa Angin Puyuh yang sudah
dapat. menduga kelanjutan ucapan kakek berambut merah itu menganggukkan
kepalanya.
"Dia adalah putra Adipati
Kalingga."
"Ah. . . ! " Dewa
Rambut Merah mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang aku mengerti urusan yang
kau maksud itu, Dewa Angin Puyuh."
"Hm. . . , " kakek
beralis putih itu hanya bergumam tidak jelas.
"Yang dimaksud prajurit
itu aku, kan?!" duga Dewa Rambut Merah langsung pada sasaran.
Kakek berambut merah itu
langsung menatap wajah Dewa Angin Puyuh. Kakek beralis putih balas menatap.
Sesaat lamanya dua pasang mata saling tatap. Kemudian perlahan-lahan kepala
Dewa Angin Puyuh terangguk.
"Dan kau percaya?"
desak Dewa Rambut Merah ingin tahu.
"Tidak," pelan suara
Dewa Angin Puyuh, tapi cukup tegas juga.
"Mengapa kau begitu
yakin, Dewa Angin Puyuh?" desak Dewa Rambut Merah.
"Aku mengenalmu seperti
mengenal diriku sendiri. ..." Jawaban kakek beralis putih seperti memutar.
"Lalu, mengapa kau tetap
datang ke sini?" tanya Dewa Rambut Merah lagi, setelah beberapa saat
lamanya terdiam.
Dewa Angin Puyuh terdiam
sejenak.
"Hanya untuk membuat
urusan ini menjadi jelas , dan sekaligus memberitahukanmu, Dewa Rambut
Merah."
Dewa Rambut Merah mengangguk-
anggukkan kepala pertanda mengerti.
"Aku yakin, ada orang yang
telah memfitnahmu, Dewa Rambut Merah, " sambung Dewa Angin Puyuh lag.
"Hm. . . . Lalu?"
desak Dewa Rambut Merah tanpa gairah sama sekali.
Sepasang alis Dewa Angin Puyuh
seketika bertautan. Sebab, sambutan rekannya benar-benar di luar dugaan.
Padahal, sudah diperkirakannya kalau Dewa Rambut Merah akan kalap bukan
kepalang begitu mendengar berita itu. Tapi kini yang terlihat, benar-benar
membuatnya terkejut bukan main. Kakek berambut merah itu sepertinya tidak
peduli, dan acuh-acuh saja.
"Apakah kau tidak ingin
tahu orang yang telah mengotori nama besarmu itu, Dewa Rambut Merah?"
tanya kakek beralis putih, tak percaya.
Kakek berambut merah itu
menggeleng kepala. Secercah senyum sabar tampak tersungging di bibirnya.
"Mengapa?" desa Dewa
Angin Puyuh karena perasaan yang tidak menentu.
"Aku sudah tidak ingin
terlibat lagi dalam kekerasan dunia persilatan, Dewa Angin Puyuh. Aku sudah
jenuh!"
"Tapi ini menyangkut nama
baikmu, Dewa Rambut Merah!" Dewa Angin Puyuh masih berusaha menasihati.
Malah, nada suaranya terdengar mulai meninggi.
"Biarlah, Dewa Angin
Puyuh. Aku sudah tidak mempedulikan lagi nama baikku. Biarlah orang itu berbuat
sekehendak hatinya. Aku percaya, dia akan menerima balasannya sendiri."
"Kau melupakan kami, Dewa
Rambut Merah," selak Dewa Angin Puyuh.
"Maksudmu?" tanya
Dewa Rambut Merah dengan dahi berkernyit .
Dewa Angin Puyuh terdiam
sejenak. Pertanyaan itu tidak langsung dijawabnya. Sebaliknya, dia malah
menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kua.t Jelas ada sesuatu
yang merisaukan hati kakek ini.
"Kau jangan memandang hal
itu untuk kepentingan dirimu saja, Dewa Rambut Merah," sergah Dewa Angin
Puyuh beberapa saat kemudian.
"Aku tidak mengerti
maksudmu, Dewa Angin Puyuh." Kening kakek berambut merah ini nampak
berkerut dalam.
"Hhh...!"
Dewa Angin Puyuh menghela
napas berat sebelum menjelaskan pertanyaan Dewa Rambut Merah.
Sementara, kakek berambut
merah itu menunggu jawabannya dengan perasaan tidak sabar.
"Maksudku sudah jelas.
Bukan hanya kau saja yang menderita kerugian dengan adanya fitnahan itu. Tapi,
aku dan Dewa Obat Tangan Delapan pun akan tercemar. Aku yakin, julukan kita
bertiga sebagai Tiga Dewa Sungai Naga akan terbawa rusak."
"Jadi, kau ingin agar aku
terjun kembali dalam kerasnya dunia persilatan, Dewa Angin Puyuh? Kau biarkan
aku melanggar janjiku sendiri?" selak Dewa Rambut Merah dengan nada
tinggi.
"Masalahnya lain, Dewa
Rambut Merah. Kau difitnah," Dewa Angin Puyuh masih mencoba menasihati.
"Kalau kau tidak turun tangan, urusan ini akan berlarut-larut. Bahkan
bukan tidak mungkin kalau orang yang telah memfitnahmu itu tengah merencanakan
kejahatan lain."
"Apa pun masalahnya, aku
tidak akan melanggar sumpahku sendiri. Ingat itu, Dewa Angin Puyuh."
"Ahhh. . . ! " Dewa
Angin Puyuh menghela napas berat mengetahui kekerasan hati rekannya.
"Kau tahu, Dewa Angin
Puyuh," sambung Dewa Rambut Merah lagi "Dewa Obat Tangan Delapan baru
saja meninggalkan tempat ini!"
"Ahhh. . . ! "
kembali Dewa Angin Puyuh mendesah kaget "Benarkah apa yang kau katakan
itu, Dewa Rambut Merah?!"
Kakek berambut merah itu hanya
menganggukkan kepala.
"Apa keperluannya datang
kemari, Dewa Rambut Merah?" desak Dewa Angin Puyuh.
Nada suara dan wajahnya
menyiratkan keterkejutan yang amat sangat Dan memang sebenarnya kakek beralis
putih itu terkejut bukan main. Sungguh tidak disangka kalau Tiga Dewa Sungai
Naga bisa singgah di sini, setelah belasan tahun berpisah.
"Sama seperti kau juga,
Dewa Angin Puyuh," jawab Dewa Rambut Merah. "Mengabarkan adanya
fitnah terhadap diriku dan juga menyuruhku terjun dalam dunia persilatan."
"Pasti usulnya kau
tolak," duga Dewa Angin Puyuh.
Dewa Rambut Merah sama sekali
tidak menyahut. Hanya anggukan kepala yang memberikan petunjuk kalau dia
membenarkan dugaan rekannya.
Dewa Angin Puyuh menghela
napas dengan kepala tertunduk dalam. Sepasang matanya menekuri tanah.
"Oleh karena itu, Dewa
Angin Puyuh. Tidak ada gunanya lagi membujukku. Pendirianku tidak akan berubah.
Rasanya, kau hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga saja."
"Kalau begitu, aku pergi dulu,
Dewa Rambut Merah," pamit kakek beralis putih itu. Suaranya terdengar
lesu, selesu wajahnya.
Setelah berkata demikian, Dewa
Angin Puyuh lalu membalikkan tubuhnya.
"Mari kita pergi,
Palageni," ajak kakek itu pada muridnya.
Palageni tidak berani membantah,
walaupun sebenarnya hatinya kecewa sekali melihat penyelesaian yang dilakukan
gurunya. Di samping kecewa, perasaan kaget pun sejak tadi sudah melanda
hatinya. Sungguh tidak disangka kalau antara gurunya dengan Dewa Rambut Merah
terdapat sebuah hubungan yang begitu erat. Namun, mengapa hubungan itu
kelihatannya mu- lai renggang?
Memang, gurunya telah memberi
tahu tentang hubungan dekatnya dengan Dewa Rambut Merah. Tapi, hanya itu saja.
Kakek beralis putih itu tidak memberi tahu kalau dirinya, Dewa Obat Tangan
Delapan, dan Dewa Rambut Merah ternyata juga berjuluk Tiga Dewa Sungai Naga
yang telah menggegerkan dunia persilatan puluhan tahun lalu. Memang, Dewa Angin
Puyuh tidak pernah menceritakan semua masa lalunya pada pemuda berbaju kuning
itu.
Kini kedua orang yang
sama-sama lesu itu bergerak cepat menuruni lereng. Tak ada seorang pun yang
berniat membuka percakapan. Sebenarnya, Palageni ingin menanyakan kepada
gurunya mengenai Tiga Dewa Sungai Naga. Tapi karena tampaknya Dewa Angin Puyuh
sedang kurang senang, sehingga pemuda berbaju kuning ini tidak berani
menanyakannya. Akibatnya, mereka berdua bergerak menuruni lereng tanpa
berkata-kata.
***
"Palageni," panggil
Dewa Angin Puyuh sesampainya di kaki gunung. Sepasang mata kakek ini menatap
tajam wajah muridnya.
"Ya, Guru," sahut
pemuda berbaju kuning, pelan tak bersemangat.
"Aku telah tua, Palageni.
Dan semua kepandaian yang kumiliki telah kuwariskan kepadamu. Maka, kini
wakililah diriku untuk mencari pelaku pembunuhan terhadap orang tuamu. Bagaimana,
Palageni? Kau mau menerimanya?"
Pemuda berbaju kuning ini
menganggukkan kepala. ''Terima kasih atas kepercayaan yang Guru berikan
padaku."
"Pergilah, Palageni. Jangan buang-buang waktu lagi."
"Kalau demikian, aku
berangkat dulu, Guru," sambut pemuda berbaju kuning itu mohon diri.
"Hati-hati,
Palageni," Dewa Angin Puyuh menasihati sambil menepuk-nepuk bahu muridnya.
"Akan kuperhatikan semua
nasihat guru."
Setelah berkata demikian ,
Palageni bergerak cepat meninggalkan tempat itu Gerakannya cukup gesit, karena
ditunjang oleh ilmu meringankan tubuh yang sudah hampir mencapai kesempurnaan.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya semakin mengecil hingga akhirnya lenyap
ditelan jalan.
Sedangkan Dewa Angin Puyuh
hanya menatap kepergian muridnya. Dia baru melangkah pergi dari situ, ketika
tubuh Palageni tidak terlihat lagi. Tubuhnya melesat cepat, disertai ilmu
meringankan tubuh yang telah mencapai tingkat tinggi.
Sementara itu, Palageni segera
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Tubuhnya berkelebatan cepat,
sehingga yang terlihat hanya bayangan yang melesat cepat. Dan ketika matahari
telah condong ke Barat, Palageni tiba di sebuah jalan. Di kanan kiri jalan itu
terbentang padang rumput luas, yang tinggi rumputnya mencapai satu tombak.
Mendadak langkah pemuda
berbaju kuning berhenti, ketika pendengarannya yang tajam menangkap adanya
suara gemerisik pelan di kerimbunan rerumputan. Palageni mengawasi hamparan
padang rumput yang di kanannya. Sepasang matanya bergerak liar, mencari-cari
asal suara mencurigakan yang didengarnya.
Suara gemerisik itu terdengar
semakin keras. Dan belum lagi Palageni bisa menduga-duga, tiba-tiba beberapa
sosok bayangan hitam berlompatan keluar dari balik kerimbunan padang rumput
itu.
Sebentar pemuda berbaju kuning
itu terkesiap, namun segera melentingkan tubuhnya ke belakang. Dia berputaran
beberapa kali di udara, kemudian dengan gerakan indah dan manis, kedua kakinya
mendarat di tanah.
4
Palageni mengedarkan pandangan
ke sekeliling. Matanya menatap tajam beberapa sosok tubuh yang bergerak cepat
mengurungnya. Dalam hati, pemuda berbaju kuning ini menghitung jumlah
pengepungnya. Sebelas orang!
Yang membuat hati murid Dewa
Angin Puyuh ini terkejut adalah gambar tengkorak kepala manusia yang ditopang
dua batang tulang-belulang yang saling bersilangan pada dada para pengepungnya.
Dewa Angin Puyuh telah mence-
ritakan banyak tokoh besar dunia persilatan kepadanya. Baik golongan sesat
maupun putih. Dan salah satu di antaranya, seorang tokoh sesat mengerikan yang
tinggal di sebuah pulau kecil di tengah Danau Bangkai. Julukannya, *Gendruwo
Pulau Setan.
Tokoh sesat itu tidak tinggal
sendirian di pulau itu. Ada puluhan orang anak buahnya yang memiliki kepandaian
mengerikan. Dan kini, Palageni memang tengah bertemu gerombolan iblis yang
bernama Gerombolan Pulau Setan.
Diam-diam Palageni harus
mengakui kalau gerombolan pengepung ini benar terdiri dari orang-orang
mengerikan.
"Haaat..!"
Sambil berteriak menggelegar,
salah seorang anggota Gerombolan Pulau Setan menyerang. Tangan kanannya yang
terkembang membentuk cakar, meluncur cepat ke arah leher.
Pada saat yang sama, dari
samping kiri pemuda berbaju kuning itu, pengeroyok lain melancarkan satu
tendangan miring ke arah pelipis. Sementara dari belakang, menendang lurus ke
arah punggung.
Meskipun mendapat serangan
beruntun, Palageni tidak menjadi gugup. Dengan perhitungan matang, tu- buhnya
dirundukkan dan langsung menendang ke belakang.
Wuttt, wuttt, plakkk...!
Kejadiannya berlangsung begitu
cepat. Serangan dari samping dan depan berhasil dielakkan Palageni. Sementara
dari belakang, berhasil ditangkisnya.
Akibatnya, tubuh anggota
Gerombolan Pulau Setan itu terjengkang ke belakang, dan jatuh terduduk di
tanah.
Mulutnya nampak menyeringai,
menahan rasa sakit yang teramat sangat. Tokoh sesat ini merasakan kakinya
seperti patah-patah tulangnya. Memang, tenaga dalam yang dimiliki Palageni jauh
berada di atasnya.
Melihat betapa mudahnya pemuda
berbaju kuning itu mematahkan serangan-serangan, mereka tidak bersikap main-main lagi. Disadari kalau
pemuda ini adalah seorang lawan yang amat tangguh.
Singgg, srattt, singgg...!
Kini di tangan Gerombolan
Pulau Setan itu tercekal senjata andalan masing-masing. Ada yang menggenggam
pedang, golok, tombak, ataupun trisula.
Srattt.. !
Sinar terang berpendar ketika
Palageni mencabut keluar goloknya. Dan secepat golok itu terhunus, secepat itu
pula diputar-putarkan di depan dada. Senjatanya digerakkan dari kanan atas ke
kiri bawah, dan dari kiri atas ke kanan bawah. Angin menderu keras seperti
amukan topan.
Itulah ilmu 'Golok Angin
Puyuh' yang telah diciptakan Dewa Angin Puyuh dari ilmu tongkatnya. Memang,
kakek beralis putih itu melihat, muridnyalebih berbakat dan lebih suka
bersenjatakan golok daripada tongkat. Makanya jurus yang semula bernama
'Tongkat Angin Puyuh', berubah menjadi 'Golok Angin Puyuh'.
Meskipun ilmu golok itu
diciptakan dari ilmu tongkat, dan sedikit banyak telah mengalami perubahan di
sana-sini, namun kedah- syatannya sama sekali tidak berkurang. Bahkan tidak
kalah hebat dengan induknya.
"Hiyaaat..!"
Diiringi bentakan nyaring,
tubuh beberapa orang anggota Gerombolan Pulau Setan itu meluruk menerjang
Palageni. Desingan nyaring merobek udara terdengar mengiringi tibanya
serangan-serangan itu.
Palageni bersikap tenang.
Golok di tangannya berkelebat cepat menangkis setiap serangan yang datang
bagaikan hujan. Suara berdentang nyaring terdengar berkali-kali begitu senjata
kedua belah pihak berbenturan.
Jerit-jerit keterkejutan
terdengar dari mulut anggota Gerombolan Pulau Setan, begitu merasakan tangan
yang memegang pedang bergetar hebat. Telapak tangan yang menggenggam pun terasa
panas bukan main.
Tindakan Palageni tidak hanya
sampai di situ saja. Golok di tangannya berkelebat cepat
mengancamlawan-lawannya. Tapi anggota-anggota Gerombolan Pulau Setan bukan
tokoh rendahan. Mereka dapat mengelak dan balas menyerang. Beberapa saat
kemudian, pertempuran sengit pun kembali terjadi .
Di jurus-jurus awal,
Gerombolan Pulau Setan bertarung secara sewajarnya. Mereka tidak menggunakan
kelicikan untuk mencari kemenangan. Ketika pertarungan menginjak sepuluh jurus,
Palageni -belum juga berhasil didesak. Dan ini membuat para pengeroyok itu
mulai bermain licik.
"Haaat..!"
Seorang yang berwajah kurus
kering seperti tak berdaging, berteriak keras seraya melompat menerjang.
Tongkat berujung pisau di tangannya menusuk cepat ke arah leher Palageni.
Melihat bahaya maut mengancam
keselamatan nyawanya, Palageni cepat melompat ke belakang. Sehingga, ujung
tongkat berbentuk pisau itu hanya menyambar tiga jengkal di depan lehernya.
Mendadak, tanpa sepengetahuan
Palageni, laki-laki berwajah kurus kering laksana tengkorak itu memijit sebuah
tonjolan kecil yang ada digagang tongkatnya.
Trekkk! Singgg...!Mendadak
saja pisau yang terdapat di ujung tongkat itu terlepas dari batang tongkat,
lalu meluncur cepat laksana anak panah lepas dari busur ke arah tenggorokan
Palageni
Pemuda berbaju kuning ini
terkejut bukan main mendapat serangan yang tidak disangka-sangka itu.
Sebisa-bisanya tubuhnya digeliatkan untuk menghindari serangan. Tapi...
Crasss...!
Palageni kalah cepat,
^-sehingga bahunya terserempet bilah pisau itu. Seketika itu juga cairan merah
kental mengalir dari luka yang tergores. Belum juga Palageni sempat berbuat
sesuatu, lawan yang bertubuh tinggi besar mengibaskan tangannya. Dan...
Serrr... !
Belasan jarum halus menyambar
cepat ke arah pemuda berbaju kuning itu. Ada bau amis «.yang memuakkan,
mengiringi tibanya serangan.
Palageni sadar kalau jarum
yang dilepaskan lawan mengandung racun. Maka dia tidak berani bertindak
ceroboh. Buru-buru goloknya diputar laksana baling-baling hingga terdengar
suara mengaung keras.
Tringgg, tringgg...!
Jarum-jarum itu berpentalan
tak tentu arah begitu tersambar golok murid Dewa Angin Puyuh itu. Beberapa di
antaranya justru menyambar ke arah beberapa anggota Gerombolan Pulau Setan.
Karuan saja hal itu membuat mereka terperanjat dan pontang-panting
menyelamatkan diri.
Tapi, sehabis memunahkan
serangan jarum-jarum beracun itu, tiba-tiba rasa pusing menyerang Palageni.
Bahkan bukan hanya itu saja. Perasaan lemas pun melanda tubuhnya pula. Mulanya
Palageni kebingungan, tapi sesaat kemudian tersadar.
"Racun...," desis
pemuda berpakaian kuning geram.
Benak Palageni berpikir keras,
bagaimana dia bisa terkena racun. Tak salah lagi. Setelah berpikir sesaat,
muncul sebuah dugaan di benaknya. Pasti racun itu berasal dari luka di bahu
kirinya.
Dalam kungkungan rasa pusing
dan lemas yang kian melanda, Palageni menyempatkan diri untuk melihat luka di
bahu kirinya. Seketika hatinya terperanjat, karena ternyata luka itu telah
membengkak dan berwarna kehitaman. Kini sudah jelas asal racun itu.
Racun itu ternyata terhitung
racun yang bekerja cepat. Palageni merasa kan kepalanya semakin pusing. Bahkan
tubuhnya kian melemah. Pandang matanya berkunang-kunang.
"Ha ha ha. . . ! Pemuda
keparat...! Kini baru kau tahu kehebatan Gerombolan Pulau Setan, heh?!"
Terdengar oleh telinga
Palageni, ucapan salah seorang pengeroyoknya yang diiringi suara tawa bergelak
penuh kemenangan.
"Keparat curang! Jangan
harap dapat berbuat sekehendak hati kalian...!"
Seiring dengan terdengarnya
suara bentakan itu, sesosok bayangan putih berkelebat
Tappp...!
Cepat bukan main gerakan sosok
bayangan putih itu. Bahkan sebelum Gerombolan Pulau Setan berbuat sesuatu,
tubuh Palageni telah berhasil disambarnya.
"Hey...!" teriak
anggota gerombolan yang bertubuh tinggi besar .
"Jangan lari kau,
Pengecut...!"
Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Gerombolan Pulau Setan lalu bergerak mengejar. Tapi ternyata sosok
bayangan putih itu memang tidak bermaksud melarikan diri. Terbukti setelah
meletakkan tubuh Palageni di tanah, tubuh bayangan itu berbalik menanti
kedatangan para pengeroyoknya.
Terdengar suara-suara
kekaguman dari mulut anggota Gerombolan Pulau Setan begitu melihat sosok
bayangan putih itu.
"Ah...! Tidak salahkah
penglihatanku ? " seru anggota gerombolan yang bertubuh tinggi besar.
"Benarkah seorang bidadari yang telah berdiri di hadapanku?"
"Luar biasa...!"
sambut laki-laki bermuka teng-korak. "Wajahnya begitu
cantik "
"Bentuk tubuhnya pun
menggiurkan...," yang lain ikut menyahuti.
Memang tidak salah apa yang
dibicarakan Gerombolan Pulau Setan itu. Sosok bayangan putih itu ternyata
seorang wanita berwajah cantik jelita. Kulit wajahnya putih, halus, dan mulus.
Rambutnya panjang hitam dan terurai sampai ke bawah bahu. Sangat pas sekali
dengan pakaiannya yang serba putih.
Gadis berpakaian putih ini
menggertakkan gigi mendengar ucapan orang-orang berseragam merah itu. Kemarahan
mulai menjalari hatinya. Ucapan mereka semakin lama semakin kurang ajar saja.
Pandangan mata mereka tampak liar, seperti hendak menelannya bulat-bulat.
Persis mata seekor serigala lapar yang melihat anak domba.
"Mulut kalian terlalu
kotor.. . ! " seru gadis berpakaian putih itu penuh ancaman.
"Ha ha ha...!" hanya
suara tawa bergelak bernada kurang ajar menyambuti ucapan gadis itu. Dan tentu
saja hal ini membuat gadis itu tambah naik darah.
"Orang-orang seperti
kalian harus diberi pelajaran! Agar tidak sembarangan mengumbar ucapan kotor
lagi...!"
Setelah berkata demikian,
gadis berpakaian putih itu melesat menerjang. Gerakannya cepat bukan main,
sehingga membuat Gerombolan Pulau Setan yang masih tertawa-tawa itu terkejut
bukan main. Mereka memang memandang rendah, setelah mengetahui sosok bayangan
putih itu ternyata adalah seorang gadis muda.
Dan sikap memandang rendah
itulah yang justru mencelakakan mereka. Serangan gadis berpakaian putih itu
terlalu cepat datangnya, sehingga sebisa-bisanya mereka mengelak.
Plakkk, plakkk... !
Dua anggota Gerombolan Pulau
Setan terjengkang ke belakang begitu tepakan kaki gadis berpakaian putih itu
mengenai dada dan perut mereka. Seketika itu juga tubuh kedua orang itu jatuh
bergulingan di tanah. Tampak darah segar muncrat dari mulut mereka.
Tentu saja hal ini membuat
anggota Gerombolan Pulau Setan lainnya terperanjat. Kenyataan ini menyadarkan
mereka kalau gadis berpakaian putih yang cantik jelita laksana bidadari ini
tidak bisa dipandang rendah.
Seketika sikap main-main
mereka pun lenyap. Dan dengan teriakan-teriakan penuh kemarahan, Gerombolan
Pulau Setan menyambut serbuan gadis berpakaian putih. Maka, hujan senjatapun
berhamburaran ke arah gadis itu.
"Hmh. .., " gadis
berpakaian putih itu mendengus. Tiba-tiba kedua tangannya mengembang membentuk
cakar naga. Dan anehnya lagi, kedua tangannya sampai sebatas pergelangan
berwarna merah darah! Serbuan Gerombolan Pulau Setan yang bersenjata dihadapi
dengan tangan kosong! .
Meskipun begitu, gadis
berpakaian putih sama sekali tidak terdesak. Sepasang tangannya yang membentuk
cakar naga berkelebat ke sana kemari mencari sasaran. Dan hebatnya, setiap kali
tangan atau kakinya bergerak, ada sosok tubuh yang roboh di tanah.
Suara jerit kesakitan
terdengar saling susul, diiringi robohnya sosok- sosok tubuh di tanah. Sia-sia
usaha yang dilakukan gerombolan itu untuk merobohkan lawan dengan cara-cara
licik. Gerakan gadis berpakaian putih itu terlalu lincah, sehingga mampu
mengelakkan setiap serangan yang da tang mengancam.
Dua jeritan melengking panjang,
mengakhiri per-awanan Gerombolan Pulau Setan itu. Kini, tidak ada lagi anggota
gerombolan yang berdiri tegak. Semuanya roboh di tanah dalam keadaan terluka
parah. Suara rintihan pelan keluar dari mulut-mulut mereka.
Gadis berpakaian putih itu menatap
sosok-sosok tubuh yang tergolek satu-persatu. Baru kemudian kakinya melangkah
menghampiri tubuh Palageni yang tengah tergolek. Dia bermaksud memeriksa luka
yang dialami pemuda berbaju kuning itu.
Gadis berpakaian putih itu
berjongkok. Diperhatikannya sejenak luka di bahu kiri yang kini telah
membengkak dan berwarna kehitaman. Kemudian dijumput pedang yang tersampir di
punggungnya. Lalu dengan ujung pedang, ditorehnya luka yang telah membengkak
itu .
Seketika itu juga, darah
mengalir dari luka di tubuh Palageni. Warnanya kehitaman dan berbau busuk.
Gadis itu membiarkan darah yang berwarna kehitaman mengalir habis.
Gadis berpakaian putih lalu
mengurut-urut tengkuk Palageni. Tak lama kemudian terdengar keluhan disusul
mengerjap-ngerjapnya sepasang mata pemuda berpakaian kuning itu.
Beberapa saat lamanya sepasang
mata itu terpaku menatap seraut wajah cantik jelita yang berada di dekatnya.
Jantung Palageni seketika berdetak kencang begitu mencium bau harum yang keluar
dari tubuh gadis itu.
"Telan pil ini,"
ujar gadis berpakaian putih itu sambil
mengangsurkan sebuah pil berwarna coklat .
Tahu kalau gadis itu bermaksud
menolongnya, Palageni segera mengulurkan tangan menerima. Dan tanpa ragu-ragu
lagi segera ditelannya pil itu. Tidak sulit bagi orang persilatan untuk menelan
pil itu walau tanpa adanya air.
Mendadak gadis berpakaian
putih itu menoleh ke belakang.
Pendengarannya yang tajam
menangkap suara aneh di belakangnya. Seketika dia bangkit berdiri begitu
melihat dua sosok tubuh berdiri dalam jarak sekitar empat tombak di
belakangnya.
Palageni ikut menoleh. Dan
seketika wajah pemuda berpakaian kuning ini memucat. Dikenalinya betul salah
seorang di antara mereka. Sosok tubuh itu tak lain adalah Dewa Rambut Merah.
Sementara yang seorang lagi tidak dikenalinya.
Sosok itu adalah seorang laki-
laki tinggi besar dan bercambang bauk lebat. Rambutnya hitam, panjang, dan
bergelombang. Dia bertelanjang dada, dan hanya bercelana sebatas lutut berwarna
merah.
Di sekujur tubuhnya, penuh
bulu-bulu lebat. Di pangkal lengan, di pergelangan tangan, di leher, di
pinggang, dan juga di pergelangan kaki, dililit oleh gelang berwarna kuning
keemasan. Gelang ini sebenarnya adalah ular yang telah mati dan dikeringkan.
Wajah Palageni pucat pasi
begitu teringat sosok yang berdiri di sebelah Dewa Rambut Merah ini, walaupun
sebenarnya dia tidak kenal. Gurunya pernah menceritakan kepadanya tentang tokoh
yang memiliki ciri-ciri seperti ini. Kalau tidak salah, dia berjuluk Gendruwo
Pulau Setan. Seorang tokoh hitam yang mengerikan, kejam, dan keji luar biasa.
Tak terasa bulu tengkuknya meremang.
Sebenarnya, Palageni heran. Mengapa Dewa Rambut Merah
seperti tidak mengenalinya? Padahal mereka belum lama habis bertemu. Dan yang
lebih mengherankan, mengapa kakek berambut merah ini berkawan dengan tokoh
sesat macam Gendruwo Pulau Setan? Bermacam-macam pertanyaan benar-benar
menggayuti benaknya.
Sementara itu, Genderuwo Pulau
Setan menatap sosok-sosok tubuh yang tergolek di tanah, yang memang anak
buahnya. Di wajah yang menyeramkan itu, sama sekali tidak terlihat adanya
perasaan apa-apa. Wajah itu terlihat begitu dingin, kaku tanpa perasaan.
Perlahan tangan yang berbulu
lebat itu mengambil kendi kecil yang terletak di pinggangnya. Lalu ikatannya
dibuka. Masih dengan wajah dingin, dibukanya tutup kendi itu.
Gadis berpakaian putih dan
Palageni hanya memandang perbuatan Gendruwo Pulau Setan. Mereka ingin tahu apa
yang akan dilakukan laki-laki tinggi besar dan penuh bulu ini. Dahi kedua orang
ini berkernyit ketika melihat wajah para anggota Gerombolan Pulau Setan
memucat. Terlihat jelas kalau mereka semua dicekam rasa takut yang memuncak.
Tapi wajah Gendruwo Pulau
Setan tetap tidak berubah. Dingin, dan kaku tanpa perasaan. Masih dengan raut
wajah beku, kendi yang telah dibuka itu dituangkan ke tubuh setiap orang yang
tergolek di tanah. Setetes demi setetes cairan kuning keluar dari mulut kendi.
Masing-masing orang mendapati setetes.
Mengerikan! Terdengar suara
mendesis seperti sebatang besi panas membara yang direndam dalam air dingin. Ada
uap tipis mengepul naik ke udara, yang berasal dari bagian tubuh yang terkena
tetesan cairan kuning itu.
Dan seketika itu pula,
terdengar jeritan menyayat hati dari mulut para anggota Gerombolan Pulau Setan.
Jerit yang lebih mirip lolong orang yang tengah di ambang maut. Tubuh mereka
pun menggelepar-gelepar seperti ikan yang terdampar di darat.
Palageni dan gadis berpakaian
putih menatap dengan mata terbeliak lebar. Perasaan ngeri yang hebat mencekam
hati keduanya. Bahkan tanpa disadari, sepasang kaki gadis berpakaian putih itu
menggigil.
Memang pemandangan yang
terlihat terlalu mengerikan. Dari tubuh yang terkena tetesan itu, semula hanya
mengepul uap tipis. Tapi semakin lama, uap itu semakin tebal dan banyak.
Kemudian, menjadi asap putih tebal dan bergumpal-gumpal. Suara mendesis
terdengar mengiringi. Dan jeritan yang keluar pun semakin menyayat hati.
Wajah Palageni dan gadis
berpakaian putih semakin pucat pasi, begitu melihat tubuh anggota gerombolan
itu menciut seiring semakin menebalnya asap yang keluar sampai akhirnya lenyap.
Luar biasa! Cairan kuning itu ternyata memiliki daya rusak yang begitu
mengerikan! Menghancurkan tubuh manusia!
"Ha ha ha...!"
Laki-laki tinggi besar dan
berbulu lebat itu tertawa terbahak- bahak. Begitu mendadak. Dan dengan
tiba-tiba pula, tawanya berhenti. Kemudian dengan raut wajah bengis, ditatapnya
gadis berpakaian putih dan Palageni.
Kontan sekujur tubuh gadis
berpakaian putih itu lemas. Tenaganya seperti musnah semua. Memang, kejadian
yang dilihatnya terlalu mengerikan sehingga membuat hatinya terguncang. Bahkan
tanpa dapat ditahan lagi, dia duduk bersimpuh dengan lututnya. Memang, kedua
kakinya seperti tidak kuat lagi untuk menunjang tubuhnya.
Dengan langkah lambat-lambat,
Gendruwo Pulau Setan dan Dewa Rambut Merah menghampiri Palageni yang masih
terbaring, dan gadis berpakaian putih yang berdiri dengan lututnya.
Gadis berpakaian putih itu
kemudian menggertakkan gigi. Dan....
"Groaaahhh...!"
Suara geraman keras laksana
suara seekor harimau yang hendak melumpuhkan mangsanya, keluar dari mulut gadis
berpakaian putih itu.
Hebat bukan main akibat
geraman itu. Udara terasa tergetar hebat. Daun-daun pohon bergoyang-goyang.
Bahkan Palageni pingsan seketika. Sementara langkah Gendruwo Pulau Setan dan
Dewa Rambut Merah terpaksa berhenti. Keduanya segera mengerahkan tenaga dalam
untuk melawan pengaruh teriakan yang membuat dada terasa bergetar dan kedua
kaki lemas.
Kini gadis berpakaian putih
bangkit berdiri. Tenaga dalamnya telah pulih kembali seperti semula, sehabis
menggeram. Sekarang dia telah bersiap menghadapi kedua orang lawannya.
"Biar aku yang
menghadapinya, Kang!'' ucap Gendruwo Pulau Setan pada Dewa Rambut Merah tanpa
menoleh. Suaranya terdengar keras dan kasar. Kemudian tanpa menunggu jawaban
lagi kakinya segera melangkah menghampiri si gadis.
"Kau hebat,
Nisanak!" puji Gendruwo Pulau Setan dengan suara mengguntur. "Tapi
jangan terlalu berbesar hati dulu. Belum pernah ada seorang pun yang bisa
mengalahkanku!"
Gadis berpakaian putih itu
hanya tersenyum mengejek. Walaupun hatinya sempat terguncang akibat menyaksikan
pemandangan menggiriskan tadi, namun gadis itu segera dapat mengusirnya dengan
tenaga dalam. Dan kini rasa takutnya telah sirna, dan yang ada hanyalah tekad
untuk menghadapi segala yang akan terjadi.
"Aku tidak akan membunuh
lawan yang tidak kuketahui jelas nama atau julukannya," sambung laki-laki
tinggi besar berbulu lebat itu tanpa mempedulikan sikap gadis berpakaian putih.
"Kalau kau bukan seorang pengecut, sebutkan nama dan julukanmu!"
Memang cerdik cara Gendruwo
Pulau Setan ini membuat orang terpaksa membuka mulut. Sebagai seorang yang
kenyang pengalaman, dia tahu kalau gadis ini pantang dimaki sebagai pengecut.
Maka segera dikeluarkan ucapan itu.
Gadis berpakaian putih
menggertakkan gigi, geram. Licik sekali laki-laki tinggi besar yang mengerikan
ini. Sekarang suka atau tidak suka, terpaksa dia harus mengenalkan diri kalau
tidak mau dimaki pengecut.
"Namaku Melati!
Orang-orang persilatan menjulukiku Dewi Penyebar Maut," jawab gadis
berpakaian putih yang ternyata Melati, tak kalah kasar.
Namun ternyata Gendruwo Pulau
Setan sama sekali belum pernah mendengar julukan Dewi Penyebar Maut. Maklum,
julukan itu hanya muncul sebentar saja, kemudian lenyap bagai ditelan bumi.
Tambahan lagi, laki-laki tinggi besar ini tinggal di sebuah pulau terpencil
yang agak terpisah dengan dunia luar.
Gendruwo Pulau Setan menoleh,
menatap wajah Dewa Rambut Merah. Sepasang matanya menyorotkan pertanyaan besar. Kakek berambut merah ini tahu
maksud pandangan laki-laki tinggi besar itu. Apa lagi kalau bukan ingin
mengetahui, apakah dia pernah mendengar julukan itu?
5
Dewa Rambut Merah mengangkat
bahu pertanda tidak mengetahuinya juga.
Gendruwo Pulau Setan kembali
mengalihkan perhatian pada Melati. Gadis berpakaian putih ini sudah bisa
menduga kelihaian lawannya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ilmu andalannya segera
dikeluarkan, yakni 'Cakar Naga Merah'. Dan sebelumnya, untuk pertama kali dalam
usaha memulihkan diri, telah dikeluarkan jurus yang belum pernah
dipergunakannya, 'Raungan Naga Merah'.
Gendruwo Pulau Setan sudah
bisa memperkirakan kalau gadis di hadapannya ini adalah seorang lawan yang
lumayan tangguh. Buktinya suara lengking yang keluar dari mulut gadis itu
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Maka, ilmu andalannya pun
dikeluarkan pula, 'Tinju Penggetar Bumi'!
Kokoh, indah, dan kelihatan
mantap sekali pembukaan jurus dari ilmu 'Tinju Penggetar Bumi' ini. Gendruwo
Pulau Setan membentuk kuda- kuda rendah. Kedua tangan terkepal. yang kiri
terpalang di depan dada, sementara yang kanan tegak lurus ke atas. Letak tangan
kanan berada di depan tangan kiri. Kedua tangan yang mengepal itu mengejang
keras penuh kekuatan.
Derrr... !
Bumi bergetar hebat bagai
terjadi gempa ketika tokoh sesat yang menggiriskan ini menghentakkan kaki ke
tanah. Dan memang inilah yang selalu dilakukan Gendruwo Pulau Setan setiap kali
hendak melancarkan serangan. Hentakan kaki itu bukan tanpa maksud. Karena
dengan melakukan demikian, dia telah mengambil tenaga dari bumi. Dan inilah
yang menyebabkan ilmu 'Tinju Penggetar Bumi' milik Gendruwo Pulau Setan
ditakuti tokoh-tokoh persilatan sekarang ini.
"Hiaaat...!"
Diiringi bentakan menggelegar
yang menggetarkan jantung, pemilik Pulau Setan itu melompat menerjang. Tangan
kanannya meluncur cepat ke arah dada Melati.
Hebatnya, deru angin dahsyat
menyambar sebelum serangan itu tiba. Begitu kerasnya, sehingga membuat tubuh
Melati hampir terlempar jauh. Untung saja, gadis itu cepat mengerahkan tenaga
dalam pada kedua kakinya. Sehingga, sepasang kakinya bagaikan telah terhunjam
ke dalam bumi.
Melati terkejut bukan main
melihat kedahsyatan serangan lawannya. Sulit dibayangkan, sampai di mana
kekuatan tenaga dalam yang dimiliki laki-laki bertubuh tinggi besar ini.
Padahal, serangan yang dilancarkan kekasihnya pun tidak akan menimbulkan
kekuatan dahsyat seperti ini, sekalipun mengerahkan seluruh tenaga dalam.
Melati tidak berani bersikap
ceroboh. Dari deru angin yang timbul, kedahsyatan serangan itu bisa di-
perkirakan. Maka pukulan itu tidak berani ditangkisnya. Gadis berpakaian putih
ini melesat ke samping, melakukan lompatan harimau. Kemudian tubuhnya
bergulingan menjauh. Melati tidak berani mengelakkan serangan yang begitu
dahsyat tanpa menggeser kaki.
Gendruwo Pulau Setan menggeram
keras begitu melihat serangannya berhasil dielakkan lawan. Cepat-cepat dia
bergerak mengejar, memburu Melati. Tapi, gadis berpakaian putih itu lebih cepat
lagi. Tubuhnya melompat ke atas, melewati kepala laki-laki tinggi besar berbulu
lebat itu. Dan ketika berada di atas, kedua cakarnya mengancam kepala belakang
Gendruwo Pulau Setan.
Tokoh sesat yang menggiriskan
itu terkejut bukan main. Kini baru disadari kalau gadis berpakaian putih itu
memiliki ilmu meringankan tubuh yang berada di atasnya. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi,tubuhnya segera ditekuk ke depan sehingga serangan
cakar Melati lewat beberapa jengkal di atas kepalanya. Pada saat yang sama,
kaki kanannya menendang ke atas melalui belakang. Persis seekor kalajengking
yang hendak menyengat lawan dengan ekornya.
Tidak ada jalan lain bagi
Melati. Dalam keadaan berada di udara, merupakan suatu hal yang tidak mungkin
untuk mengelakkan serangan. Satu- satunya jalan untuk meredam serangan itu
adalah menangkisnya. Maka, gadis berpakaian putih ini segera menghentakkan kedua tangannya.
Plakkk... !
Suara berderak keras seperti
beradunya dua batang logam, seketika terdengar. Tubuh Melati terlempar ke atas.
Mulut gadis ini menyeringai menahan rasa sakit yang mendera. Dadanya terasa
sesak. Apalagi kedua tangannya yang terasa bagaikan lumpuh!
Meskipun demikian, dengan
manis dan indah sekali tubuhnya bersalto beberapa kali di udara. Kemudian
kakinya mendarat ringan di tanah, sekitar lima tombak dari lawannya. Ada
perasaan heran yang menyelimuti hati Melati. Mengapa serangan laki-laki tinggi
besar berbulu hitam ini tidak sedahsyat sebelumnya?
Akan tetapi, Melati tidak bisa
berlama-lama tenggelam dalam keheranannya. Gendruwo Pulau Setan sama sekali
tidak memberi kesempatan, dan kembali menerjangnya.
Melati sadar kalau tenaga dalam
Gendruwo Pulau Setan jauh lebih kuat darinya. Jadi, mustahil kalau dia berani
sembarangan menangkis. Gadis berpakaian putih ini tidak mau memberi kesempatan
pada laki-laki tinggi besar itu untuk menekannya dengan kelebihan tenaga
dalamnya.
Sebaliknya dengan menggunakan
kelebihan dalam hal ilmu meringankan tubuh, gadis berpakaian putih ini
mengelakkan setiap serangan lawan. Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun
kembali terjadi.
Suara angin menderu dan
mencicit nyaring, menyemaraki pertarungan antara kedua tokoh berbeda aliran
itu. Bumi bergetar hebat setiap kali Gendruwo Pulau Setan menghentakkan kaki
saat hendak melancarkan serangan.
Pertarungan yang terjadi
berlangsung kurang menarik. Melati sedapat mungkin menghindari terjadinya adu
tenaga dalam dengan lawannya. Setiap serangan Gendruwo Pulau Setan selalu
dielakkannya. Sementara setiap serangannya sendiri selalu ditarik kembali, bila
lawan terlihat akan menangkisnya.
Suatu keuntungan bagi Melati,
ilmu meringankan tubuhnya berada di atas lawan. Sehingga, dia tidak mengalami
kesulitan mengelakkan setiap serangan. Dan karena selalu mengelak, akibatnya
gadis berpakaian putih ini terlihat seperti berada dalam keadaan terdesak.
Tiga puluh jurus telah
berlalu. Dan selama itu, Melati selalu menghindari terjadinya benturan. Tapi
meskipun begitu, ada satu kesimpulan yang berhasil didapat. Kekuatan tenaga
lawan bisa berlipat ganda, karena setiap kali sebelum menyerang kakinya
dihentakkan terlebih dahulu ke tanah.
Itulah sebabnya, setiap kali
Gendruwo Pulau Setan menghentakkan kakinya, Melati selalu menghindar sejauh
mungkin. Kekuatan yang terkandung dalam serangannya terlampau dahsyat.
Jangankan terkena langsung, angin serangannya saja sudah membuat tubuhnya
hampir terlempar.
Gendruwo Pulau Setan mengger-
takkan gigi. Hatinya geram bukan main melihat kegesitan lawannya. Tapi, apa
daya? Ilmu meringankan tubuhnya memang berada di bawah Melati. Tambahan lagi,
ilmu 'Tinju Penggetar Bumi' memang tidak mengandalkan kecepatan gerak.
Jurus-jurus ilmu itu dilakukan dengan tenaga penuh, tapi gerakannya agak lambat
.
Seratus jurus pun terlewat Dan
kini pakaian Melati telah basah oleh peluh yang membanjiri sekujur tubuhnya.
Gadis berpakaian putih ini telah merasa lelah. Pengerahan ilmu meringankan
tubuh yang selalu dilakukan dengan seluruh kemampuanlah yang menjadi
penyebabnya.
Napas gadis itu mulai memburu.
Gerakan-gerakannya juga sudah tidak segesit semula. Sementara serangan-
serangan lawan terlihat masih sedahsyat pertama kali. Tidak ada tanda-tanda
kalau Gendruwo Pulau Setan merasa lelah. Padahal sejak awal jurus, serangannya
selalu dilancarkan dengan kekuatan penuh.
Diam-diam Melati mengeluh
dalam hati. Perasaan heran dan takjub pun merayapi hatinya. Laki-laki tinggi
besar berbulu lebat ini seperti memiliki sumber tenaga yang tidak
habis-habisnya.
Seiring rasa lelah yang
melanda, gerakan Melati semakin lama semakin lambat. Bahkan beberapa kali,
serangan-serangan yang dilancarkan Gendruwo Pulau Setan hampir bersarang di
tubuhnya. Hanya di saat-saat terakhir, gadis ini mampu mengelakkan diri.
Derrr!
Kembali Gendruwo Pulau Setan
menjejakkan kakinya. Sekejap kemudian, serangannya meluncur. Deru angin dahsyat
membuat batu-batu kecil beterbangan ke sana kemari. Debu pun mengepul tinggi ke
udara.
Melati terkejut bukan main.
Apalagi tubuhnya amat lelah. Tenaganya hampir habis terkuras. Meskipun begitu,
Melati berusaha sekuat tenaga menyelamatkan selembar nyawanya. Bibirnya digigit
kuat-kuat, kemudian melompat ke samping.
Usaha terakhir Melati tidak
sia- sia.Serangan lawan berhasil dielakkan, dan hanya mengenai tempat kosong.
Tapi karena kuatnya angin yang mengiringi tibanya serangan itu, tak urung
tubuhnya yang tengah berada di udara terpelanting.
Di saat itulah, Gendruwo Pulau
Setan memburu tubuh yang tengah terhuyung-huyung itu. Tanpa menghentakkan
kakinya lagi, dia bergerak mengejar. Kedua tangannya yang terkepal siap
dipukulkan ke arah dada lawannya.
Wajah Melati seketika memucat.
Disadari kalau serangan itu tidak akan mungkin bisa dielakkan. Menangkis pun
sama dengan mencari mati. Mendapat serangan yang begitu mendadak, apalagi
keadaannya yang demikian, membuat Melati tidak mungkin untuk mengerahkan tenaga
dalam penuh. Sedangkan serangan lawan juga mengandung tenaga dalam sepenuhnya
yang memang berada di atas Melati. Maka akibat yang diterimanya sangat besar.
Di saat yang gawat itu,
melesat sesosok bayangan ungu memotong tibanya serangan ke arah Melati. Dem
angin keras mengiringi sampokan bayangan itu.
Karuan saja hal ini membuat
Gendruwo Pulau Setan terkejut bukan kepalang. Dia sadar kalau gerakannya
diteruskan, serangan sosok bayangan ungu itu akan lebih dulu menghantamnya
sebelum serangannya mengenai tubuh lawan. Terpaksa serangannya dibatal- kan,
kemudian dipapaknya serangan sosok bayangan ungu itu.
Plakkk... !
Baik sosok bayangan ungu
maupun tubuh Gendruwo Pulau Setan sama-sama terpental balik ke belakang. Tapi
dengan indah dan manis sekali, keduanya bersalto beberapa kali di udara,
kemudian mendarat ringan di tanah.
Baik Gendruwo Pulau Setan
maupun sosok bayangan ungu itu sama-sama terkejut bukan main tatkala merasakan
betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan satu sama lain.
Tangan yang berbenturan terasa bergetar hebat. Sesaat keduanya saling tatap
penuh selidik.
"Siapa kau?!"
Ada nada keterkejutan yang
sangat dalam pertanyaan yang keras mengguntur dari mulut Gendruwo Pulau Setan.
Dan memang, sebenarnya dia terkejut sekali ketika melihat orang yang telah
menjegal serangannya.
Sosok bayangan ungu itu
ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun dan berpakaian
ungu. Tapi bukan hal itu yang menimbulkan keterkejutan di hati laki-laki tinggi
besar berbulu lebat ini. Rambut pemuda itulah yang kini jadi perhatiannya.
Rambut itu putih, panjang dan
meriap. Persis se-perti benang-benang perak. Kalau saja orang melihat dari
belakang, mungkin menduga kalau dia telah berusia lanjut. Pemuda berambut putih
seperti benang-benang perak ini memang amat langka. Dia memang pernah mendengar
kalau ada seorang pemuda yang mempunyai rambut seperti ini. Dan pemuda itu
adalah seorang tokoh yang julukannya menggetarkan dunia persilatan.
Sepasang bola mata Gendruwo
Pulau Setan yang tajam dan bersinar kehijauan segera beralih ke pakaian yang
dikenakan pemuda berambut putih keperakan itu. Dan kini keyakinannya semakin
menebal. Jelas, pemuda di hadapannya ini adalah tokoh yang menggemparkan itu.
Apalagi jika mengingat benturan tadi. Tenaga dalam
yang dimiliki pemuda itu tidak
kalah dengan tenaganya sendiri!
"Siapa kau?!" bentak
Gendruwo Pulau Setan lagi. Untuk pertama kalinya dia bersikap waspada, tidak
menganggap remeh lawan.
"Namaku Arya Buana,"
sahut pemuda berambut putih keperakan itu kalem.
"Hmh...!" Gendruwo
Pulau Setan mendengus. "Jadi, kau rupanya Dewa Arak yang telah
menggemparkan dunia persilatan itu...?"
Merah wajah pemuda berpakaian
ungu yang memang Dewa Arak. Terasa ada kesinisan besar dalam suara laki-laki
tinggi besar di hadapannya.
"Begitulah orang-orang
menjulukiku. Aku sendiri lebih suka jika dipanggil Arya saja," sahut Dewa
Arak merendah.
"Tidak usah berpura-pura
merendah, Dewa Arak!" tandas Gendruwo Pulau Setan. Keras dan kasar nada
suaranya.
"Aku telah banyak
mendengar tentang dirimu, yang merasa paling sakti di dunia ini. Sehingga,
selalu saja mencampuri urusan orang lain dengan mengajukan alasan-alasan yang
tidak masuk akal!Dan kini , aku membuktikannya sendiri!"
"Kau salah mengerti,
Kek," merah selebar wajah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Bukannya aku usilan dan sok merasa sakti. Tapi, haruskah kubiarkan saja
kekejaman berlangsung di depan mataku? Membiarkan orang yang tidak berdaya
dibantai olehmu?!"
"Tidak usah membela diri,
Dewa Arak! Kau beralasan menyelamatkan orang yang hendak dibantai! Sementara
kau sendiri? Apa yang kau lakukan?! Jangan merasa sok suci, Dewa Arak!"
"Terserahlah apa maumu,
Kek, " Arya hanya ter-enyum getir. Kepalanya terasa pusing mengadu mulut
dengan Gendruwo Pulau Setan. "Hanya kuminta, lepaskan gadis itu!"
"Kalau aku tidak
mau?!" sahut Gendruwo Pulau Setan bernada menantang.
"Terpaksa akan kugunakan
caraku sendiri!" tandas Arya tegas.
"Ha ha ha...! Boleh coba
kalau mampu, Dewa Usilan!" Gembira hati laki-laki tinggi besar berbulu
lebat ini, melihat kemarahan Dewa Arak. Terus terang, memang ada sedikit
keraguan di hatinya, akan mampukah dia menghadapi Dewa Arak yang terkenal
tangguh ini?
***
Arya tahu kalau lawan di
hadapannya ini memiliki kepandaian tinggi. Dari benturan tadi, sudah bisa
diukur kekuatan tenaga dalam lawan. Buktinya, tangannya sampai tergetar hebat.
Padahal, seluruh tenaga dalamnya tadi sudah dikerahkan.
Bukti lain yang lebih jelas
lagi adalah kekalahan Melati. Kepandaian kekasihnya itu sudah diketahui betul.
Jarang ada yang mampu menandinginya. Apalagi sampai mengalahkan. Kepandaian
Melati tidak berselisih jauh dengan kepandaiannya. Maka, melihat betapa gadis
berpakaian putih itu begitu kewalahan menghadapi Gendruwo Pulau Setan, makin
jelaslah buktinya.
"Haaat..!"
Sambil mengeluarkan teriakan
mengguntur, Gendruwo Pulau Setan menyerang Dewa Arak. Dia melancarkan tendangan
lompat bertubi-tubi ke arah ulu hati, dada, dan leher dengan badan sebelah kiri
menghadap lawan.
Arya tahu kalau lawan belum
mengeluarkan ilmu andalannya. Maka, dia juga tidak ingin menggunakan ilmu yang
telah membuat julukannya menggemparkan dunia persilatan.
Digunakannya saja ilmu warisan
ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Kakinya segera ditarik ke
belakang, sambil mendoyongkan tubuh. Maka serangan bertubi-tubi itu mengenai
tempat kosong, sekitar dua jengkal di depan sasaran.
Pada saat yang sama, tangan
kanan Dewa Arak yang berbentuk cakar menyampok deras ke arah mata kakilawan.
Gendruwo Pulau Setan tentu saja tidak ingin mata kakinya hancur. Maka kakinya
buru-buru ditarik kembali. Dan begitu sampokan itu lewat, sambil melompat
setindak, kakinya kembali menendang bertubi-tubi ke sasaran yang sama.
Arya tidak punya pilihan lain
lagi. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang. Dia bersalto sekali di udara,
kemudian mendarat ringan di tanah.
Gendruwo Pulau Setan tidak mau
memberi kesempatan pada lawannya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa
Arak segera dikejarnya. Sesaat kemudian terjadilah pertarungan sengit antara
mereka.
Pertarungan antara kedua tokoh
sakti ini berlangsung sengit. Apalagi kedua belah pihak benar-benar memiliki
kepandaian seimbang. Baik tenaga dalam maupun kecepatan gerak mereka juga
terlihat setingkat.
Hebat, akibat pertarungan
antara kedua tokoh sakti ini. Batu-batu besar kecil beterbangan tak tentu arah.
Deru dan cicit angin juga ikut menyemaraki.
Beberapa kali kedua belah
pihak sama-sama terjajar mundur setiap kali kedua tangan mereka berbenturan.
Dalam waktu sekejap saja, tiga
puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak ada tanda-tanda yang
akan terdesak. Karuan saja hal ini membuat --kedua belah pihak sama-sama
penasaran bukan main.
"Haaat..!"
Gendruwo Pulau Setan berteriak
mengguntur. Dan seiring teriakan itu, tubuhnya melenting ke belakang. Dia
bersalto beberapa kali di udara, kemudian mendarat beberapa tombak di tanah.
Dewa Arak tidak mengejarnya, dan
hanya berdiri menanti. Dia tahu kalau lawan akan menggunakan ilmu andalan.
Dijumputnya guci yang tersampir di punggung, kemudian dituang ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk... !
Suara tegukan terdengar ketika
arak itu memasuki tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu juga, ada hawa hangat
yang berputar dalam perut Arya, dan perlahan merayap naik ke atas kepala.
Baru saja Arya menyampirkan
kembali gucinya di punggung, serangan Gendruwo Pulau Setan telah menyambar
tiba. Laki-laki tinggi besar berbulu lebat itu menghentakkan kakinya ke tanah
sebelum menyerang.
Dewa Arak terperanjat.
Hembusan angin yang luar biasa kerasnya mengiringi tibanya serangan itu. Dari
bukti ini saja, Arya bisa memperkirakan betapa besar kekuatan yang terkandung
dalam serangan itu. Dan tenaga sedahsyat belum muncul pada serangan-serangan
sebelumnya.
Mungkinkah ilmu andalan itu
mampu menambah tenaganya sampai sedahsyat ini? Mustahil! Arya tidak percaya!
Dia tahu kalau ilmu andalan memang mempunyai banyak keunggulan dibanding ilmu
yang bukan andalan. Meskipun begitu, tidak mungkin dapat menambah tenaga sampai
sekuat ini.
Sesaat Dewa Arak kebingungan.
Hatinya masih kurang percaya kalau tenaga dalam yang terkandung dalam serangan
ini begitu dahsyat.
Dewa Arak adalah orang yang
selalu bersikap hati-hati, dan tidak pernah memandang rendah lawannya. Oleh
karena itu, meskipun tidak percaya kalau tenaga yang terkandung dalam serangan
itu dahsyat bukan kepalang, tapi dia tidak berani coba-coba menangkisnya. Arya
ingin tahu dulu, apakah benar serangan itu mengandung tenaga dalam yang
demikian dahsyat.
Baru saja Dewa Arak memutuskan
untuk mengelak, secara tak sengaja kepalanya menoleh ke belakang. Seketika itu
juga hatinya terkejut. Karena di belakangnya tergolek seorang pemuda berbaju
kuning.
Pemuda berambut putih
keperakan ini jadi kebingungan. Kalau serangan itu dielakkan, sudah dapat
dipastikanpemuda berbaju kuning itu akan menjadi korban. Dewa ^^Arak tidak
ingin mengorbankan orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Maka dia
memutuskan untuk menangkis serangan itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan teriakan
melengking nyaring, Dewa Arak memapak serangan yang menyambar tiba.
Dukkk...!
Suara keras seperti terjadi
benturan antara dua benda besar terdengar. Hebat akibatnya. Tubuh Gen- druwo
Pulau Setan terpental balik ke belakang. Tapi dengan gerakan indah dan manis,
tubuhnya bersalto beberapa kali di udara. Kemudian, kedua kakinya mendarat
ringan di tanah.
Tidak demikian halnya dengan
Arya. Tubuh pemuda itu melayang deras ke belakang. Cairan merah kental menetes
deras dari mulut dan hidungnya, mengiringi tubuh yang terus melayang.
Luncuran itu baru berhenti
ketika menabrak sebatang pohon. Menilik dari getaran keras pada batang pohon
itu, dapat diperkirakan betapa kerasnya benturan tenaga dalam tadi.
Tubuh Dewa Arak merosot dan
jatuh di tanah. Mulut pemuda itu nampak menyeringai begitu bokongnya
menghantam tanah. Cairan merah
kental masih mengalir dari mulut dan hidungnya.
"Kang Arya...!"
Terdengar jerit penuh
kekhawatiran. Disusul melesatnya sesosok bayangan putih ke arah Dewa Arak.
Dengan tertatih-tatih Dewa
Arak bangkit berdiri. Diusapnya darah yang menetes dari hidung dan mulut dengan
punggung tangan. Sekujur tangannya terasa lumpuh. Dadanya pun terasa sesak
bukan main. Dicobanya menarik napas panjang. Kontan mulutnya meringis begitu
ada rasa sakit yang mendera dadanya. Dewa Arak telah terluka dalam.
"Kang Kau... , kau tidak apa-apa?" tanya
Melati. Nada suara dan wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang amat sangat.
Dewa Arak menatap raut wajah
cemas kekasihnya, seraya tersenyum. Perlahan kepalanya digelengkan.
''Tidak, Melati. Aku tidak
apa- apa," sahut Arya, berdusta.
''Tapi, Kang...," Melati
masih mencoba membantah.
"Sudahlah, Melati.
Pergilah! Biar aku yang akan menahannya."
"Ha ha ha...!"
Gendruwo Pulau Setan tertawa bergelak.
Sebagai seorang tokoh tingkat
tinggi, dia tahu kalau Dewa Arak telah terluka dalam yang cukup parah.
"Bersiap-siaplah untuk
menerima kematianmu, Dewa Arak...!"
"Hih...!"
Mendadak Melati menghentakkan
kedua tangannya ke arah Gendruwo Pulau Setan. Seketika itu juga, bertiup
hembusan angin kencang yang menyambar ke arah laki-laki tinggi besar yang
tengah tertawa-tawa penuh kemenangan itu. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang
Mustika'.
Gendruwo Pulau Setan yang
menyadari adanya serangan berbahaya, segera menghentikan tawanya. Buru- bliru
tubuhnya melompat ke samping dan langsung bergulingan menjauh.
Kesempatan yang hanya sekejap
itu tidak disia-siakan Melati. Cepat laksana kilat disambarnya tubuh Dewa Arak,
dan tidak lupa tubuh Palageni.
Melihat hal ini Dewa Rambut
Merah yang sejak tadi hanya menonton saja, bergegas mengejar. Karena pada saat
itu, Gendruwo Pulau Setan tengah mengelakkan diri dan serangan jurus 'Naga
Merah Membuang Mustika'. Namun, tentu saja hal ini membuat Dewa Arak khawatir.
Sekali lihat saja, dia tahu kalau kakek berambut merah itu memiliki kepandaian
tinggi. Gerakannya cepat bukan main. Mungkin kalau dalamkeadaan biasa, Melati
dapat mengung- guli ilmu meringankan tubuh kakek itu.
Tapi, sekarang Melati tengah
membawa dua orang. Jelas gadis itu pasti akan tersusul oleh Dewa Rambut Merah.
Dan menilik dari gerak-gerik Dewa Rambut Merah, Melati akan mengalami sedikit
kesulitan untuk merobohkannya. Dan itu berarti memberi kesempatan pada Gendruwo
Pulau Setan untuk menyusul. Maka bila hal itu terjadi, celakalah mereka.
Tanpa mempedulikan keadaan
dirinya yang telah terluka dalam, Dewa Arak segera menghentakkan kedua tangan
ke arah Dewa Rambut Merah.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas
menyengat, menyambar ke arah Dewa Rambut Merah. Karuan saja hal ini membuat
kakek itu terkejut bukan main.
Sebagai seorang tokoh kondang,
dia mengenal serangan maut. Maka segera pengejarannya dibatalkan, dan langsung
melempar tubuh ke samping dan bergulingan di tanah. Sehingga, serangan Dewa
Arak mengenai tempat kosong.
"Uhk... uhk...!"
Arya terbatuk-batuk. Ada
cairan merah kental memercik keluar dari mulutnya. Luka dalamnya pun semakin
parah. Seharusnya dalam keadaan terluka dalam seperti itu, Arya tidakboleh terlibat
pertarungan kembali yang memaksanya menggunakan tenaga dalam. Karena, hal itu
akan membuat luka dalamnya semakin parah. Apalagi, bila sampai mengerahkan
tenaga dalam yang berlebihan seperti pada jurus 'Pukulan Belalang' itu.
Sebagai seorang yang telah
memiliki kepandaian tinggi, Dewa Arak pun tahu hal itu Tapi, itu terpaksa
dilakukan. Kalau tidak, keadaan yang lebih buruk akan menimpa mereka.
Sekarang Melati dapat bebas
mene- ruskan larinya. Dan begitu Gendruwo Pulau Setan dan Dewa Rambut Merah bangkit
dari bergulingnya, tubuh gadis berpakaian putih itu telah lenyap ditelan
lebatnya padang ilalang. Hal itu memang disengaja oleh Melati. Karena kalau
menempuh jalan terbuka, lawan akan terus mengejarnya. Malah ada kemungkinan
akan bisa menyusul karena dia membawa-bawa beban. Itulah sebabnya, Melati
memilih melalui hamparan padang ilalang luas. Dalam suasana yang sudah agak
gelap ini, kerimbunan ilalang ini cukup melindunginya.
"Keparat..!"
Gendruwo Pulau Setan memaki kalang kabut. Perasaan pena- saran tampak jelas,
baik pada wajah maupun sorot matanya.
"Sudahlah...," hibur
Dewa Rambut Merah seraya menepuk bahu laki-laki tinggi besar berbulu lebat itu.
"Masih ada kesempatan
lain untuk membereskan mereka."
Rupanya hiburan kakek berambut
merah itu dapat diterima Gendruwo Pulau Setan. Terbukti, dia tidak marah-marah
lagi. Hanya saja kedua tangannya tetap mengepal keras, memperdengarkan suara
bergemeretak nyaring. Kemudian perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu.
Meneruskan pencarian di
hamparan padang ilalang tinggi yang luas membentang dalam suasana yang semakin
gelap, adalah sebuah pekerjaan sia-sia.
6
Melati sadar keadaan sangat
membahayakan. Tanpa ragu-ragu seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya
segera dikerahkan, untuk melintasi jalan kecil di antara kerimbunan ilalang
yang tinggi.
Tinggi dan lebatnya kerimbunan
ilalang itu sebenarnya sudah cukup untuk menyembunyikan mereka dari pandangan
para pengejarnya. Apalagi ditambah suasana malam yang cukup gelap. Meskipun
begitu, gadis berpakaian putih ini tetap saja berlari sambil membungkukkan
tubuhnya.
"Cukup, Melati, "
ujar Arya, setelah mengetahui kalau mereka telah berada di tempat yang cukup
jauh dari lawan-lawan yang tangguh tadi. Pelan dan lemah sekali suaranya.
''Turunkan aku."
Melati sama sekali tidak
membantah. Larinya segera dihentikan, kemudian tubuh Arya dan Palageni
diturunkan. Meskipun begitu, sekujur urat-urat syarafnya menegang penuh
kewaspadaan.
"Tenanglah, Melati.
Mereka tidak akan mungkin bisa menemukan kita," ujar Arya untuk
menenangkan hati kekasihnya.
"Apa yang membuatmu
begitu yakin, Kang?" tanya Melati ingin tahu.
"Padang ilalang ini
sangat luas, Melati. Ilalangnya tinggi-tinggi. Belum lagi suasana malam yang
cukup gelap. Aku yakin, mereka akan berpikir dua kali untuk mencari kita."
Melati mengangguk-anggukkan kepala. Alasan yang dikemukakan Arya bisa
diterimanya. Seketika itu juga urat-urat syaraf di tubuhnya mengendur.
Setelah melihat Melati bisa
ditenangkan, Arya lalu duduk bersila. Tanpa diberi tahu, gadis berpakaian putih
ini mengerti kalau Arya hendak mengobati luka dalamnya. Maka dibiarkannya saja
Dewa Arak yang kinibersikap semadi. Melati tahu, tanpa bantuannya pun Arya
mampu mengobati luka dalamnya sendiri. Maka Melati memutuskan untuk
berjaga-jaga. Siapa tahu ada bahaya yang datang mengancam.
Pandangan Melati beredar ke
sekeliling, mengawasi dengan mata curiga. Seluruh urat-urat syaraf di tubuhnya
menegang setiap kali melihat ilalang yang bergoyang-goyang.
Sementara Arya sudah tenggelam
dalam semadinya. Suara helaan napasnya terdengar halus, berirama tetap. Dewa
Arak tengah berusaha mengobati luka dalamnya yang cukup parah.
"Uuuh...!"
Melati menoleh, melihat
Palageni mulai sadar dari pingsannya. Sepasang mata pemuda berbaju kuning itu
mengerjap-ngerjap pelan sebelum akhirnya terbuka.
Sesaat Palageni memperhatikan
keadaan sekelilingnya dengan raut wajah bingung. Kemudian pandangannya
tertumbuk pada Melati. Beberapa saat lamanya dahi pemuda itu berkernyit
dalam,berusaha mengingat-ingat
kejadian yang dialami tadi.
Sekejap kemudian, murid Dewa
Angin Puyuh ini sudah teringat akan semua kejadian yang dialaminya. Perlahan
tubuhnya bangkit berdiri.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Nisanak," ucap Palageni. Sepasangmatanya menatap wajah
Melati penuh kagum. Wajah gadis berpakaian putih itu memang cantik bukan main.
"Aku Palageni. Kalau boleh kutahu, siapakah namamu, Nisanak? Dan mengapa
kau menolongku?"
"Aku melati," jawab
gadis berpakaian putih, tawar. "Aku hanya kebetulan lewat, lalu melihat
kau bertarung.
Dan kulihat, lawan-lawanmu
adalah orang-orang yang curang. Aku paling benci melihat kecurangan. Maka itu
aku segera turun tangan menolongmu."
Palageni menganggukkan
kepalanya.
"Lalu, siapakah orang
itu, Nisanak? Sepertinya dia teriuka...," pemuda berbaju kuning itu
menudingkan telunjuknya pada Arya yang tengah bersemadi.
"Dia kawanku. Julukannya
Dewa Arak. Kalau dia tidak datang menolong, mungkin kita berdua sudah
tewas."
"Dewa Arak?!"
terbelalak sepasang mata Palageni. "Maksudmu..., tokoh yang julukannya
menggemparkan dunia persilatan itu...?"
Melati menganggukkan
kepalanya.
"Ahhh...! Sungguh tidak
kusangka kalau bisa bertemu tokoh digdaya seperti dia," Palageni seperti
tak percaya. "Dan orangnya masih begini muda "Melati hanya tersenyum hambar.
Dia memang tengah tidak
berminat untuk berbicara panjang lebar.
Dan rupanya, Palageni tahu
gelagat. Terbukti, pembicaraannya tidak disambung lagi. Meskipun pemuda itu
ingin sekali berbincang-bincang lagi. Banyak yang ingin ditanyakannya, di
samping memang ingin sekali bercakap-cakap dengan Melati. Rasanya tak jemu
memandang wajah gadis itu, tapi terpaksa sepasang matanya dialihkan ke arah
lain. Dan hanya sesekali dia mengerling wajah gadis itu.
Melati dan Palageni tenggelam
dalam lamunan masing-masing. Terutama sekali Palageni. Dalam benaknya,
berkecamuk berbagai macam pikiran yang memusingkan kepala. Benarkah orang yang
dilihatnya bersama Gendruwo Pulau Setan itu adalah Dewa Rambut Merah? Mengapa
kakek itu seperti tidak mengenali dirinya?
Padahal, dirinya adalah murid
Dewa Angin Puyuh yang juga kawan Dewa Rambut Merah? Benarkah pula kakek
berambut merah itu yang telah membunuh ayah dan pengawal- pengawalnya? Lalu,
apa hubungannya Dewa Arak dengan Melati? Tapi, sampai pusing memikirkan tak
juga ditemukan jawaban semua pertanyaan itu!
Tak lama kemudian Dewa Arak
pun mengakhiri semadinya. Sepasang matanya telah terbuka, dan Melati langsung
menghampirinya.
"Bagaimana luka-lukamu,
Kang?" tanya gadis berpakaian putih itu pelan.
"Sudah mendingan,
Melati," Arya tersenyum lebar. "Dengan sekali lagi bersemadi, mungkin
lukaku akan sembuh sama sekali."
"Syukurlah...,"
sahut Melati dengan suara riang.
"O, ya. Bagaimana kabar
ibu dan saudaramu, Melati? Dan bagaimana kau bisa terlibat keributan dengan
orang tadi?"
"Mereka baik-baik saja,
Kang," sahut gadis berpakaian putih itu. "Aku tinggal bersama mereka
selama dua pekan. Biarpun hanya sekadarnya, kuwariskan sedikit ilmu yang
kumiliki pada Mawar. Yahhh..., setidak-tidaknya untuk jaga diri."
Melati menghentikan ceritanya
sejenak untuk mengambil napas dan mencari kata-kata selanjutnya.
"Setelah itu, aku lalu
mencari jejakmu. Dari berita yang kudapat, kau berada di daerah ini. Sama
sekali tidak kusangka akan bertemu lawan yang begitu tangguh."
Kemudian Melati pun menceritakan
semua kejadian yang dialaminya tadi. Sementara Arya mendengarkan penuh
perhatian. Sama sekali tidak diselak cerita tunangannya.
"Aku sendiri tidak tahu,
siapa orang itu, Kang," desah Melati menutup ceritanya.
"Kalau saja tidak
mendengar lengkingan yang keluar dari mulutmu, mungkin aku tidak pernah tahu
kalau kau tengah terlibat pertarungan. Bukankah lengkingan itu adalah jurus
'Raungan Naga Merah', Melati?"
Melati menganggukkan kepala
sambil tersenyum manis. Sedangkan Arya balas tersenyum, kemudian menoleh ke
arah Palageni.
"Siapakah kau, Kisanak.
Dan mengapa terlibat keributan dengan orang-orang itu?"
"Aku Palageni. Guruku
berjuluk Dewa Angin Puyuh. Aku sendiri tidak tahu apa-apa. Tapi, aku tahu siapa
kedua orang itu. Laki-laki tinggi besar itu berjuluk Gendruwo Pulau Setan.
Sedangkan kakek yang berambut merah berjuluk Dewa Rambut Merah."
Seketika Arya terdiam. Hatinya
terkejut bukan kepalang. Dari cerita yang didengar, pemuda berambut putih
keperakan ini tahu, siapa Gendruwo Pulau Setan itu. Dia seorang tokoh sesat
yang memiliki kepandaian tak terukur dan memiliki kekejaman yang mendirikan
bulu roma.
"Tahukah kau, mengapa
mereka ingin membunuhmu?" tanya Melati ketika Arya tampak termenung.
Sepasang mata gadis ini
menatap tajam wajah pemuda berpakaian kuning. Raut wajah, nada suara, dan
tatapan Melati menyiratkan keingintahuan.
Palageni kemudian menceritakan
kejadian yang menimpa rombongan ayahnya. Melati dan Arya mendengarkan penuh
perhatian.
"Hanya saja menurut
seorang pengawal ayahku yang selamat, pelakunya adalah Dewa Rambut Merah,"
murid Dewa Angin Puyuh itu mengakhiri cerita yang didengarnya dari mulut Ganda,
prajurit yang tersisa. Juga diceritakan kalau Palageni juga telah berkunjung ke
rumah Dewa Rambut Merah.
"Ada keanehan yang tersembunyi
di sini," pelan pemuda berambut putih keperakan itu berkata. Dahinya
nampak bekernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
"Maksudmu, Kang?"
tanya Melati ingin tahu. Palageni pun ikut menoleh. Dia ingin tahu, keanehan
yang dimaksudkan Dewa Arak.
"Kalau tidak salah
dengar, gurumu yang berjuluk Dewa Angin Puyuh dan Dewa Rambut Merah adalah dua
di antara pentolan golongan putih. Benar begitu, Palageni?" Arya menatap
wajah pemuda berbaju kuning itu lekat-lekat.
"Benar. Guruku sendiri
yang mengatakannya," sahut Palageni cepat. "Bersama-sama dengan Dewa
Obat Tangan Delapan, mereka mendapat julukan Tiga Dewa Sungai Naga."
"Itulah yang membuatku
heran, Palageni."
"Maksudmu bagaimana, Dewa
Arak?"
Arya tidak langsung menjawab
pertanyaan itu, tapi sebaliknya menatap wajah Palageni, tepat pada kedua bola
matanya.
"Sekarang aku bertanya
padamu, Palageni," ucap Dewa Arak beberapa saat kemudian.
"Tanyalah, Dewa Arak.
Bila aku tahu, pasti akan kujawab," sahut Palageni. Tegas dan mantap nada suaranya.
Arya tersenyum lebar.
"Menurutmu, mungkinkah
orang seperti Dewa Rambut Merah melakukan perbuatan begitu keji? Mungkinkah
seorang pentolan tokoh golongan putih membantai begitu banyaknya orang?"
"Aku... aku..., nggg...
aku tidak tahu, Dewa Arak. Aku bingung, " jawab Palageni gugup. Pertanyaan
yang diajukan Arya memang di luar dugaannya.
"Katakan saja, Palageni.
Apa yang ada dalam hatimu, keluarkan." Dengan suara halus dan lembut, Arya
memberi saran.
"Entahlah, Dewa Arak. Aku
bingung. Masalahnya, guruku yakin sekali kalau pelaku semua itu bukan Dewa
Rambut Merah. Tapi orang lain. Jadi, aku berpendapat juga demikian. Atau paling
tidak, itu adalah Dewa Rambut Merah palsu."
"Namun, pengawal ayahmu
berani bersumpah kalau pelaku semua kejadian itu adalah Dewa Rambut Merah,
bukan?" selak Arya.
Palageni mengangguk
membenarkan.
"Cakar Pengejar Sukma
juga mengenal Dewa Rambut Merah, tapi hanya mendengar saja."
"Itu betul. Tapi bukankah
menurut cerita yang kudengar darimu, begitu gurumu meminta Ganda menyebutkan
ciri- ciri pelaku pembantaian, semuanya menunjuk pada diri Dewa Rambut
Merah?!" desak Dewa Arak.
Palageni menutup wajahnya
dengan kedua telapak tangan.
"Entahlah, Dewa Arak. Aku
tidak tahu. Aku bingung memikirkannya. Dengan mataku sendiri, telah kulihat
kalau Dewa Rambut Merah ternyata mempunyai hubungan yang amat baik dengan
Gendruwo Pulau Setan. Aku benar-benar pusing, Dewa Arak."
"Hhh. .. ! " Arya
menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan itu. "Masalah ini
memang cukup memusingkan, Palageni. Kalau menurut akal sehat, rasanya tidak
mungkin kalau pelaku pembantaian itu adalah Dewa Rambut Merah. Mengapa? Karena
dia seorang tokoh besar persilatan golongan putih. Tak mungkin dia akan berubah
sekejam itu. Tapi, entah juga bila ada sebab-sebab yang memaksanya bertindak
begitu."
"Jadi menurutmu
bagaimana, Dewa Arak?" tanya Palageni ingin tahu tanggapan Arya.
"Aku tidak mau mengambil
keputusan tergesa-gesa, Palageni," Arya menggelengkan kepala. "Aku
akan menyelidikinya nanti."
Suasana hening sejenak ketika
Arya menghentikan ucapannya. Kini ketiga orang muda itu terlibat dalam lamunan
masing-masing.
"Aku merasa heran dengan
Gendruwo Pulau Setan itu, Kang," kata Melati tiba-tiba, membuat Arya
terpaksa menghentikan lamunannya.
"Apa yang membuatmu
heran, Melati?" pelan Dewa Arak bertanya.
''Tenaga dalamnya."
Arya mengernyitkan keningnya.
"Jadi, kau juga merasakan
adanya keanehan itu, Melati? Kukira hanya aku saja. Aku sendiri sejak tadi tak
habis pikir, mengapa kekuatan tenaga dalamnya jadi berlipat ganda saat
menggunakan jurus andalan."
"Maksudmu, sewaktu dia
mengeluarkan ilmu pukulan yang digerakkan secara lambat itu, Kang?"
"Benar, " Dewa Arak
menganggukkan kepala.
"Kau kurang jeli menduga,
Kang," ralat Melati.
"Maksudmu?" Arya menatap
tunangannya tepat pada bola
matanya.
Melati tidak langsung
menjawab. Sepasang mata gadis itu malah balas menatap Arya. Sesaat lamanya
mereka berdua hanya saling tatap. Dan tak lama kemudian saling tersenyum. Entah
apa yang disenyumkan. Hanya kedua orang itu saja yang tahu.
"Dugaanmu tidak
seluruhnya benar, Kang," sambung Melati lagl. "Memang benar tenaga
dalam Gendruwo Pulau Setan berlipat ganda sewaktu menggunakan ilmu pukulan
yang digerakkan secara lambat itu. Tapi, tidak seluruhnya serangan yang
dilakukan dengan ilmu itu mengandung tenaga dalam berlipat ganda."
"Jadi..., maksudmu tenaga
dalam berlipat ganda itu muncul sekali- sekali saja?" Arya meminta
kete-gasan.
"Begitulah menurut yang
kualami, Kang. Aku cukup lama bertarung ketika ilmu itu digunakan."
"Teruskan, Melati,"
pinta Arya. "Aku sendiri sulit mengambil kesim- pulan, karena hanya
bertarung sege- brakan saja ketika ilmu itu digunakan."
"Tenaga dalamnya bedipat
ganda jika kakinya dihentakkan ke tanah, sebelum memulai penyerangan,
Kang," jelas Melati.
Arya mengernyitkan dahinya.
Memang diakui, apa yang dikatakan Melati itu benar. Gendruwo Pulau Setan
sebelum menyerangnya, tedebih dahulu menghentakkan kakinya ke tanah.
"Jadi, kalau tidak
menghentakkan kaki ke tanah, tenaga dalamnya tidak sedahsyat itu?" tanya
Arya setengah percaya.
"Begitulah menurut
pengamatanku, Kang," jawab Melati tidak berani memastikan.
"Kalau benar apa yang kau
katakan itu, Melati," kata Arya setelah termenung beberapa saat lamanya.
"Dalam hentakan kaki itulah kunci rahasianya."
"Aku juga mengambil
kesimpulan seperti itu, Kang," Melati mendukung dugaan kekasihnya.
Arya tercenung.Dahinya berkernyit dalam. Jelas ada sesuatu yang
dipikirkannya.
"Menurut penuturan
guruku, Gendruwo Pulau Setan mempunyai ilmu dahsyat Kalau aku tidak salah
dengar bernama ilmu 'Tinju Penggetar Bumi'," Palageni tidak tahan berdiam
diri saja. Dan begitu melihat adanya kesempatan, dia segera ikut bicara.
"Tinju Penggetar
Bumi...?" gumam Arya pelan mengulang.
Tak terasa Dewa Arak teringat
kepada dirinya sendiri. Dia juga mempunyai tenaga dalam yang berhawa panas
menyengat, bernama 'Tenaga Dalam Inti Matahari', yang didapatkan dengan
perantaraan penekanan alam bawah sadar (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak
dalam episode perdana "Pedang Bintang").
Mungkinkah Gendruwo Pulau
Setan juga mempunyai tenaga dalam aneh yang juga didapatkan lewat perantaraan
alam bawah sadar dengan memusatkan pikiran terhadap satu tujuan? Sebenarnya hal
ini tidak terlalu aneh jika mengingat tokoh yang menggiriskan itu memiliki ilmu
'Tinju Penggetar Bumi'.
Semakin Arya berpikir dan
menimbang-nimbang, semakin diyakini akan kebenaran dugaannya.
Kemungkinan besar, hentakan
kaki iblis itu adalah satu cara mengambil kekuatan dari dalam bumi. Dan bila
hal itu benar, berarti tokoh yang menggiriskan ini sulit dikalahkan. Gendruwo
Pulau Setan tidak akan pernah merasa lelah. Setiap kali lelah, bisa mendapatkan
bantuan tenaga tambahan dengan menjejakkan kaki ke tanah. Bantuan tenaga yang
sukar diukur kedahsyatannya.
Palageni dan Melati hanya bisa
memperhatikan saja tanpa berani mengganggu Arya yang tengah tercenung dengan
dahi berkerut dalam.
"Ada kesimpulan yang bisa
kau tarik, Kang?" akhirnya kesabaran Melati lenyap. Tak tahan juga
perasaan ingin tahunya disimpan lama-lama.
Arya menggelengkan kepalanya.
"Bukan kesimpulan,
Melati. Tapi hanya satu dugaan," desah Arya.
"Apa itu, Kang?"
tanya Melati tak peduli jawaban kekasihnya. Dia ingin tahu, apa yang dipikirkan
pemuda berambut putih keperakan itu.
"Gendruwo Pulau Setan
mengambil kekuatan dahsyat dari bumi melalui hentakan kakinya."
"Ah...!"
Hampir berbareng Palageni dan
Melati berseru kaget.
"Jadi... Maksudmu,
Kang...?" agak tersendat suara gadis berpakaian putih itu.
"Ya, " Arya yang
sudah tahu akan kelanjutan ucapan
tunangannya menganggukkan kepala. "Dia mempunyai ilmu 'Tenaga Dalam Inti
Bumi'."
Suasana kembali hening begitu
Arya menghentikan ucapannya. Mereka semua tenggelam dalam lamunan
masing-masing.
"Dewa Arak...,"
Palageni memecah- kan keheningan di antara mereka. Arya menoleh.
"Aku mohon diri
dulu," ucap pemuda berpakabn kuning itu, seraya melempar pandang sekilas
ke arah Melati. Gadis berpakaian putih itu tentu saja melihat, tapi
berpura-pura tidak tahu.
"Mengapa, Palageni?"
Arya mengernyitkan keningnya. Meskipun dia memang lebih suka berdua saja dengan
Melati, tapi tidak ingin Palageni pergi karena merasa tidak enak padanya.
"Aku ingin menemui
guruku, Arya. Ingin memberitahukan hal ini padanya. Barangkali saja beliau bisa
memberi petunjuk padaku."
"Silakan, Palageni O, ya.
Sampaikan salamku pada gurumu," sahut Arya dengan hati lega mendengar
alasan yang dikemukakan pemuda berpakaian kuning itu.
Setelah melempar senyum
sekilas ke arah Melati, Palageni segera melesat dari situ. Cepat juga gerakannya.
Sebentar kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan rerimbunan
semak-semak.
Arya dan Melati memandangi
hingga tubuh pemuda berpakaian kuning itu tidak kelihatan lagi.
"Sekarang apa yang harus
kita lakukan, Kang?"
Arya mengangkat bahunya.
"Persoalan ini masih
terlatu gelap, Melati. Kita tidak bisa bertindak sembrono."
"Hm..., jadi?"
"Kita lihat keadaannya
dulu."
Melati mengangguk-anggukkan kepala.
7
Melati dan Dewa Arak melangkah
perlahan keluar dari rerimbunan hamparan ilalang itu. Tapi, langkah mereka
langsung terhenti begitu sekitar tujuh tombak di hadapan mereka berdiri tiga
sosok tubuh.
Arya dan Melati menyipitkan
sepasang mata dalam upaya memperjelas pandangan. Suasana malam itu memang
remang-remang karena bulan hanya sepotong yang nampak di langit karena tertutup
awan tebal dan hitam.
Tapi meskipun demikian, cukup
jelas bagi Arya untuk mengenali salah seorang dari mereka. Orang itu tak lain
adalah Dewa Rambut Merah.
Sedangkan dua orang lainnya,
tidak dikenal. Seorang kakek berbaju abu- abu.Rambut, kumis, dan alisnya telah
memutih semua. Tapi anehnya kulit wajahnya masih kencang seperti layaknya anak
muda. Orang ini tak lain dari Dewa Obat Tangan Delapan.
Sementara yang seorang lagi
adalah kakek bertubuh tinggi kurus bagai bambu. Pakaiannya berwarna putih.
Seperti juga warna alisnya. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat berwarna
hitam mengkilat terbuat dari kayu jati. Inilah Dewa Angin Puyuh, guru Palageni.
Dewa Arak dan Melati bersikap
waspada. Sepasang muda-muda ini melihat gelagat kurang baik dari ketiga sosok
tubuh yang berdiri menghadang jalan itu. Tambahan lagi, baik Arya maupun Melati
telah menge- tahui kalau kakek berambut merah itu kawan Gendruwo Pulau Setan.
Maka, keduanya menduga kalau kedua orang kakek yang berdiri di sebelah Dewa
Rambut Merah adalah tokoh-tokoh persilatan golongan hitam.
Meskipun sudah menduga
demikian, Arya tidak mau bertindak ceroboh. Sikapnya seolah-olah tidak pernah
terjadi apa-apa. Dengan langkah tenang, pemuda berambut putih keperakan ini melanjutkan
lang-kahnya Dan dengan sendirinya, Melati pun mengikuti.
Baru setelah jarak di antara
mereka tinggal sekitar tiga tombak, dan ketiga orang kakek itu tetap tidak mau
menyingkir memberi jalan, Arya terpaksa menghentikan langkahnya.
"Maaf, kami ingin lewat.
Harap kakek bertiga memberi kami jalan," pinta Dewa Arak. Pelan dan lembut
suaranya.
"Kalian boleh meneruskan
perjalanan, apabila bersedia memenuhi permintaan kami," kata Dewa Angin
Puyuh, datar dan dingin suaranya.
"Apa itu, Kek?"
tanya Arya masih dengan nada sopan.
"Nyawa kalian
berdua!" tandas kakek beralis putih keras dan kasar.
"Keparat!"
Melati yang berwatak keras
langsung bangkit amarahnya. Seluruh urat syaraf di tubuh gadis berpakaian putih
ini menegang waspada. Bahkan kedua tangannya yang terkepal nampak menggigil.
Pertanda tenaga dalam telah mengalir deras di dalamnya.
Buru-buru Dewa Arak menyentuh
lengannya, dan langsung mengembangkan senyum ketika Melati menoleh.
"Tenanglah, Melati,"
ujar Arya lembut.
"Tapi, ucapan mereka,
benar-benar keterlaluan, Kang," bantah Melati. Jelas nada suaranya
terdengar tidak puas.
"Sabarlah dulu. Kita
belum tahu masalahnya," hibur Arya menenangkan.
Melati menarik napas
dalam-dalam dan menghem-buskannya kuat-kuat Dicobanya untuk meredakan
kemarahanyang bergejolak dalam dada. Dan memang, amarah yang bergolak perlahan-
lahan mereda kembali .
"Tidak usah berpura-pura,
Dewa Arak!" kembali terdengar bentakan keras dari mulut Dewa Angin Puyuh.
Suara yang sarat dengan kemarahan.
"Apa maksudmu, Kek?"
Arya mengernyitkan alisnya. "Aku benar- benar tidak mengerti?!"
"Sungguh tidak kusangka,
Dewa Arak yang menggemparkan dunia persilatan itu ternyata seorang pe- ngecut!
Tidak berani mengakui perbuatan sendiri!"
Keras dan tajam sekali ucapan
yang keluar dari mulut Dewa Angin Puyuh. Selebar muka Arya merah padam
seketika. Kemarahan seketika menjalari hatinya. Sebagai orang yang menjunjung
tinggi kegagahan, pemuda berambut putih keperakan ini paling benci kalau
disebut pengecut
"Jelaskan maksud
ucapanmu, Kek. Kalau tidak, jangan dianggap kurang ajar, bila aku sebagai orang
muda bersikap tidak pantas padamu," agak bergetar suara yang keluar dari
mulut Dewa Arak. Memang, pemuda berambut putih keperakan ini tengah dilanda
kemarahan yang menggelora.
Terdengar suara gemerutuk dari
mulut kakek beralis putih itu.
"Dewa Arak...!"
sentak Dewa Angin Puyuh. "Aku datang untuk membalaskan kematian
muridku!"
"Muridmu...? Siapa
muridmu?!" tanya Arya dengan kemarahan mulai mereda.
Entah, tokoh mana yang menjadi
murid kakek beralis putih ini. Sudah terlalu banyak tokoh sesat yang tewas di
tangannya. Tapi tentu saja ada alasan kuat yang membuat Arya terpaksa membunuh.
Tokoh-tokoh aliran hitam yang ditewaskannya adalah yang kejahatannya telah
melewati takaran.
"Palageni...," lambat-lambat
dan penuh tekanan Dewa Angjn Puyuh mengucapkannya, setelah beberapa saat
lamanya terdiam.
Arya dan Melati sampai
terlompat ke belakang bagai disengat kalajengking. Berita yang didengar memang
terlalu mengejutkan hati. Jadi kakek beralis putih ini adalah guru Palageni?
Tapi mengapa kakek itu malah menuduh mereka membunuh pemuda berbaju kuning itu?
Tuduhan gila macam apa ini? Bukankah mereka berdua yang malah menyelamatkan
pemuda itu dari ancaman maut Gendruwo Pulau Setan dan Dewa Rambut Merah?
"Kalau begitu, kau salah
paham, Kek. Justru aku dan kawanku inilah yang telah menyelamatkannya dari
tangan Gendruwo Pulau Setan."
Arya sama sekali tidak menyinggung-nyinggung tentang keberadaan
Dewa Rambut Merah bersama tokoh sesat yang menggiriskan itu. Dia belum yakin
kalau orang yang berada bersama Gendruwo Pulau Setan adalah Dewa Rambut Merah.
Dan Arya tidak ingin memperuncing keadaan.
"Kau tidak bisa mungkir
lagi, Dewa Arak! Dewa Rambut Merah telah menyaksikan semua kekejianmu. Kau
telah membunuh muridku dan melemparkannya ke dalam jurang!" keras dan
berapi-api ucapan yang keluar dari mulut Dewa Arak.
"Fitnah!" bantah
Arya keras.
"Hanya karena rasa
cemburu yang membabi buta, kau telah membunuh Palageni yang tengah
bercakap-cakap dengan kawan wanitamu! Bersiaplah, Dewa Arak! Aku, Dewa Angin
Puyuh bersedia mengadu nyawa untuk membalaskan kematian muridku"
Setelah berkata demikian,
kakek beralis putih ini segera menerjang. Tahu akan kelihaian lawannya, tanpa
ragu-ragu lagi segera digunakannya ilmu andalan yang telah membuatnya
memperoleh gelaran Dewa Angin Puyuh, 'Ilmu Angin Puyuh'!
Kakek beralis putih ini
melompat. Dan dari atas, tangan kanannya yang berbentuk cakar meluncur ke arah
ubun-ubun Dewa Arak. Sementara tangan kirinya di pinggang.
Hebat akibatnya! Angin menderu
keras, seolah-olah di tempat itu terjadi badai. Batu batu besar kecil
beterbangan tak tentu arah. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Arya tidak berani bersikap
main- main. Dari suara mengaung keras yang terdengar sebelum serangan itu
sendiri tiba, sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung
dalam serangan lawan.
Jangankan kepala manusia. Batu
karang yang paling keras pun akan hancur lebur apabila terkena hantaman itu .
Buru-buru Dewa Arak
mendoyongkan tubuh ke belakang sambil menarik kepala. Sederhana saja gerakan
yang dilakukan, sehingga hebatnya serangan itu hanya lewat di atas kepalanya.
Seluruh ..... rambut dan pakaian Arya berkibar keras begitu serangan cakar itu
lewat .
Tapi serangan Dewa Angin Puyuh
tidak hanya sampai di situ saja. Begitu serangan cakarnya lolos, kaki kanannya
menyambar cepat ke arah dada. Wuttt...!
Tidak ada pilihan lain bagi
Dewa Arak kecuali melempar tubuh ke belakang, dan berputaran di udara beberapa
kali.
Tapi Dewa Angin Puyuh yang
tengah dilanda amarah tidak mau memberi kesempatan pada Dewa Arak.
Begitu tendangannya berhasil
dielakkan dan kedua kakinya mendarat di tanah, segera kedua kakinya dijejakkan.
Sesaat kemudian, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka lurus menotok ke arah
ulu hati dan dada. Setiap serangan kakek ini menimbulkan dem angin keras
laksana terjadi badai.
Sebuah pertarungan aneh pun
terjadi. Dewa Angin Puyuh yang terus- menerus memburu dengan serangan- serangan
maut Sementara Dewa Arak yang tak henti-hentinya bersalto ke belakang untuk
menyelamatkan diri.
Semula Dewa Arak tidak mau
balas menyerang dan hanya mengelak saja.
Karena, dia yakin kalau Dewa
Angin Puyuh salah paham. Pasti ada orang yang sengaja melempar fitnah
kepadanya. Makanya, sejak tadi dia tidak mengadakan perlawanan, dan hanya
mengelak dan mengelak.
Tapi begitu menyadari betapa
dahsyatnya serangan-serangan yang dilancarkan Dewa Angin Puyuh, Dewa Arak
sadar. Jika terus-terusan mengalah, bukan tidak mungkin dirinya akan celaka di
tangan lawan. Dia harus balas menyerang. Atau paling tidak, menangkis serangan
lawannya. Tidak hanya mengelak terus-menerus.
"Haaat...!"
Arya melempar tubuh ke
belakang lalu bersalto beberapa kali di udara. Dan begitu kakinya hinggap di
tanah, tangannya telah menggenggam guci arak.
Gluk... gluk... gluk... !
Suara tegukan terdengar begitu
Arya menuangkan isi guci itu ke mulutnya. Pedahan hawa hangat merayap di
perutnya dan kemudian naik ke atas kepala.
Begitu kedua kaki Dewa Arak
mendarat di tanah, serangan-serangan Dewa Angin Puyuh kembali bertubi-tubi
menyambarnya. Serangan yang mengancam bagian tubuh mematikan.
Tapi kali ini, Arya tidak
tinggal diam seperti tadi. Dia mulai menangkis dan balas menyerang. Sesaat
kemudian,pertarungan sengit pun terjadi.
***
Melati, Dewa Rambut Merah, dan
Dewa Obat Tangan Delapan, memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh
perhatian.
Mereka adalah ahli silat
tingkat tinggi. Tidak ada kegemaran yang disukai selain bertarung dan melihat
orang mengadu kepandaian. Semakin sakti orang-orang yang bertarung, semakin
gembira dan suka hati mereka.
Pertarungan antara Dewa Arak
dan Dewa Angin Puyuh berlangsung cepat. Hal ini tidak aneh, karena memang kedua
orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.
Sepasang alis Dewa Rambut
Merah dan Dewa Obat Tangan Delapan bertaut, begitu melihat pertarungan itu.
Sementara Melati tampak tersenyum simpul. Kepandaian ketiga orang itu memang
sudah tinggi, sehingga tidak mengalami kesulitan —untuk mengikuti setiap
gerakan dua orang yang tengah bertarung.
Tampak jelas oleh mereka kalau
Dewa Angin Puyuh bukan tandingan Dewa Arak. Baik dalam hal ilmu meringankan
tubuh dan tenaga dalam, kakek beralis putih ini berada di bawah lawannya yang
masih muda.
Dewa Rambut Merah
menggertakkan gigi. Mendadak kakek berambut merah ini berkelebat menuju kancah
pertarungan.
Melati terperanjat melihat hal
ini.
"Manusia pengecut !
Akulah lawanmu...!" teriak Melati keras.
Berbareng dengan suara
teriakannya, tubuh gadis itu melesat cepat menghadang di hadapan Dewa Rambut
Merah. Kakek ini terpaksa mengurungkan niat, karena di hadapannya telah berdiri
Melati.
"Kita ketemu lagi, Dewa
Rambut Merah," kata Melati. Terdengar pelan dan lembut suaranya, tapi di
dalamnya tersirat sindiran. Dewa Rambut Merah ternyata merasakan. Terbukti,
selebar wajah kakek itu memerah.
"Permainan apa lagi yang
kau tunjukkan, Nisanak? Rupanya kau sudah tidak waras lagi. Kapan aku pernah
bertemu denganmu? Kita baru bertemu kali ini!"
"Orang lain bisa kau
kelabui. Tapi jangan harap muslihatmu itu berhasil menipuku!" tandas
Melati tegas.
"Omonganmu semakin
ngacau, Wanita Liar! Terpaksa mulutmu kubungkam!"
Setelah berkata demikian,
kakek berambut merah ini menerjang Melati. Tahu kalau gadis berbaju putih itu
memiliki kepandaian tinggi, seluruh kemampuan yang dimiliki segera
dikerahkannya.
Dewa Rambut Merah membuka
serangan dengan sebuah sambaran cakar tangan kanannya ke arah leher. Gerakannya
cepat bukan main, tak kalah dengan Dewa Angin Puyuh.
Suara berdecit nyaring,
seperti ada tikus terjepit terdengar mengiringi tibanya serangan cakar itu.
Sebuah bukti nyata kalau dalam serangan itu terkandung tenaga dalam tinggi.
Tanpa menggeser kaki, Melati
segera mendoyongkan tubuh ke belakang seraya menarik kepala. Pada saat yang
sama, tangan kirinya digerakkan untuk menangkis dengan arah gerakan dari dalam
ke luar.
Melati yang sudah bisa
memperkirakan kelihaian lawan, segera mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimiliki dalam tangkisan itu
Plakkk... !
Suara berderak keras seperti
beradunya dua ba-tang logam keras langsung terdengar. Baik Dewa Rambut Merah
maupun Melati sama-sama terhuyung satu langkah ke belakang dengan kedua tangan
bergetar hebat. Nampak jelas kalau dalam adu tenaga ini kedua belah pihak
memiliki tenaga dalam seimbang.
Dewa Rambut Merah menggerung
keras. Sungguh di luar dugaan _ ada seorang gadis muda mampu menangkis
serangannya. Ada rasa tidak percaya dalam hatinya. Penasaran, malu, dan marah
bercampur-baur dalam dadanya.
Tapi dari sekian banyak
perasaan yang berkecamuk itu, yang menonjol keluar adalah perasaan marah. Dewa
Rambut Merah adalah seorang datuk yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Kini
berbenturan tangan dengan seorang gadis muda saja, tangannya sudah tergetar
hebat. Kalau ada orang persilatan yang mendengar, bukankah akan menjadi bahan
tertawaan ? .
Dan, hal inilah yang mendorong
Dewa Rambut Merah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Melati pun
bertindak serupa. Akibatnya, pertarungan sengit pun terjadi. Maka kini di
tempat itu terjadi dua kancah pertempuran.
Dua pertarungan tingkat tinggi
yang terjadi di tempat itu hanya disaksikan seorang penonton saja. Dewa Obat
Tangan Delapan. Kakek yang wajahnya masih segar itu menyaksikan jalannya
pertarungan dengan hati berdebar. Terutama sekali ketika melihat pertarungan
Dewa Angin Puyuh menghadapi Dewa Arak.
Semula pertarungan antara Arya
menghadapi kakek beralis putih itu berjalan imbang. Tapi menginjak jurus ke
lima puluh, nampak jelas keunggulan Dewa Arak. Dan memang, sebenarnya tingkat
kepandaian pemuda berambut putih keperakan ini masih lebih unggul ketimbang
lawannya, baik dalam hal tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh.
Akhirnya, Dewa Obat Tangan
Delapan tidak kuat lagi menahan diri. Karena tampak, keadaan Dewa Angin Puyuh
semakin mengkhawatirkan. Kakek beralis putih itu tampak terdesak dan terhimpit.
Beberapa kali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang setiap kali terjadi
benturan di antara mereka.
"Haaat..!"
Dewa Obat Tangan Delapan
berteriak nyaring, seraya melompat menerjang. Tahu akan ketangguhan Dewa Arak,
tanpa ragu-ragu lagi ilmu andalannya segera dikeluarkan. 'Ilmu Tangan Delapan
Naga'!
Begitu menerjunkan diri dalam
kancah pertarungan, Dewa Obat Tangan Delapan langsung melancarkan serangan
bertubi-tubi pada Arya.
Dewa Arak terkejut bukan main
melihat serangan Dewa Obat Tangan Delapan. Kedua tangan lawan seperti berjumlah
delapan buah, dan menyerang dari delapan penjuru! Bukan itu saja. Ada angin
kuat yang menggencet sekujur tubuh Arya dari delapan arah, sehingga membuat dada
pemuda berambut putih keperakan itu terasa sesak.
Dewa Arak tidak berani
bertindak ceroboh. Desakannya segera dibatalkan pada Dewa Angin Puyuh. Lalu
tubuhnya dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Indah dan
manis sekali gerakan Arya. Kedua kakinya mendarat ringan tanpa suara dalam
jarak sekitar tujuh tombak dari kedua lawannya.
Baik Dewa Angin Puyuh maupun
Dewa Obat Tangan Delapan sama sekali tidak mengejar. Dua orang kakek itu adalah
datuk golongan putih.
Pantang bagi mereka melakukan
serangan pada lawan yang belum bersiap. Apalagi kini mereka sudah menghadapi
lawan bersama- sama. Seorang lawan yang masih sangat muda!
"Kau hebat, Dewa
Arak," puji Dewa Obat Tangan Delapan, jujur. "Tapi sayang, kau telah
tersesat. Kau telah menjadi kejam karena perasaan cemburu buta."
"Tidak usah banyak
basa-basi, Dewa Obat!" sergah Dewa Angin Puyuh keras. "Mari kita
lenyapkan pemuda berbahaya ini!"
Setelah berkata demikian,
kakek beralis putih ini langsung menyerang Dewa Arak. Kembali 'Ilmu Angin Puyuh'nya
dikeluarkan, sehingga seketika itu juga angin keras menderu. Seolah-olah, di
tempat itu tengah terjadi badai. Batu-batu besar kecil berpentalan tak tentu
arah. Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Belum lagi serangan itu tiba,
Dewa Obat Tangan Delapan pun turut menyerang. Kedua tangannya bergerak cepat
bukan main! Sehingga, kelihatan- nya tangan kakek itu tidak berjumlah dua,
melainkan delapan! Pantas dia berjuluk Tangan Delapan, di samping berjuluk Dewa
Obat.
Meskipun akibat yang
ditimbulkan serangan Dewa Obat Tangan Delapan tidak terlalu menggiriskan, tapi
yang dirasakan Arya tidak demikian halnya.
Ada kekuatan tak nampak yang
menekan dari delapan penjuru, sehingga membuat dadanya terasa sesak bukan main.
Buru- buru pemuda berambut putih keperakan itu mengerahkan tenaga dalamnya,
sehingga rasa sesak pada dadanya segera sirna.
Kini kekuatan tak nampak yang
menghimpitnya tak lagi terasa.
Sekarang Arya tidak ragu-ragu
lagi untuk mengerahkan seluruh kemam- puan yang dimiliki. Lawan yang
dihadapinya adalah pentolan golongan putih. Bertarung setengah hati, taruhannya
adalah nyawa! Sesaat kemudian, pertarungan sengit kembali terjadi.
8
Di arena lain, Melati tengah
berjuang keras menghadapi Dewa Rambut Merah! Berbeda dengan Arya yang masih
meragukan kesalahan kakek berambut merah ini, Melati yakin sekali kalau pelaku
pembantaian di kaki Gunung Campa adalah Dewa Rambut Merah. Makanya gadis
berpakaian putih itu kini mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Namun
demikian, tampaknya Melati tetap saja tidak mampu mendesak kakek berambut merah
itu. Sampai puluhan jurus, pertarungan masih berjalan seimbang.
Bukan hanya Melati saja yang
berusaha keras mengalahkan lawan. Dewa Rambut Merah pun demikian pula. Bahkan
bila dibandingkan, kakek itu memiliki keingjnan untuk merobohkan yang lebih
besar. Keinginan itu didorong oleh rasa malunya! .
Sementara itu di arena lain,
"Haaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Dewa
Angin Puyuh membabatkan tongkatnya ke arah lutut Dewa Arak. Suara mengaung
keras terdengar mengiringi tibanya serangan itu Arya menjejakkan kakinya, lalu
seketika itu juga tubuhnya melayang ke atas. Akibatnya, tongkat itu meluncur
lewat di bawah kakinya. Tubuhnya kemudian bersalto ke depan, dan dan udara
tangan kanannya meluncur ke arah bahu kanan kakek beralis putih itu.
Plakkk.. !
Perlahan saja kelihatannya,
tangan Dewa Arak menghantam bahu Dewa Angin Puyuh. Hebatnya, tubuh kakek
beralis putih itu terhuyung ke depan seperti diseruduk banteng. Seketika ada
cairan merah kental menyembur dari mulutnya. Kakek ini langsung jatuh terduduk
di tanah.
Baru saja kedua kaki Arya
mendarat di tanah, serangan Dewa Obat Tangan Delapan telah menyambar tiba.
Kedua tangan yang seperti berjumlah delapan buah itu menyerang bertubi- tubi ke
arah ulu hati, dada, dan leher.
Tidak ada jalan lagi bagi Dewa
Arak, kecuali menangkis serangan itu.
Plak, plak, plak... !
Suara berderak keras seperti
beradunya dua logam keras terdengar berkali-kali ketika dua pasang tangan
berbenturan. Akibatnya, tubuh Arya terhuyung-huyung ke belakang. Dewa Arak
memang berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Bahkan sewaktu menangkis
pun, seluruh tenaga yang dimilikinya tidak sempat dikerahkan.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa
mengguntur, sehingga membuat isi dada berguncang. Nampaknya, tawa itu
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Belum lagi gema suara tawa itu
lenyap, sesosok bayangan berkelebat setelah terlebih dahulu menjejakkan kaki
kanan ke tanah hingga membuat bumi bergetar. Gerakannya cepat bukan main, dan
langsung menerjang masuk kancah pertarungan antara Dewa Arak melawan Dewa Obat
Tangan Delapan.Karuan saja hal ini membuat dua orang itu terkejut bukan main.
Apalagi, begitu mengetahui kalau sosok bayangan itu langsung melancarkan
serangan-serangan berbahaya ke arah mereka. Deru angin yang luar biasa keras
mengiringi tibanya serangan.
Dewa Arak dan Dewa Obat Tangan
Delapan yang sedang bertempur menjadi sangat terkejut, ketika tiba-tiba
berkelebat sesosok tubuh tinggi besar ke arah mereka dan langsung melancarkan
serangan-serangan berba- haya! Deru angin yang luar biasa keras mengi-ringi
tibanya serangan orang tinggi besar itu.
Mendapat serangan yang tidak
disangka-sangka, Dewa Arak dan Dewa Obat Tangan Delapan langsung terperanjat.
Apalagi serangan itu datangnya amat mendadak. Sebisa- bisanya, kedua orang itu
menangkis.
Plak, plak...!
Seruan keterkejutan terdengar
dari mulut Dewa Arak dan Dewa Obat Tangan Delapan. Tubuh kedua orang ini
langsung terpental ke belakang. Sementara sosok bayangan yang menyerang, sama
sekali tidak terpengaruh apa-apa.
Baik tubuh Dewa Angin Puyuh
maupun tubuh Dewa Obat Tangan Delapan melayang jauh, kemudian jatuh bergulingan
di tanah.
"Huakkk...!"
Dewa Obat Tangan Delapan
memuntahkan darah segar ketika mencoba bangkit.
Melati dan Dewa Angin Puyuh
terkejut bukan kepalang begitu melihat perkembangan yang sama sekali tidak
disangka-sangka. Melati langsung melesat meninggalkan lawan, memburum ke tempat
Dewa Arak terjatuh. Sementara Dewa Angin Puyuh segera mem- buru tubuh Dewa Obat
Tangan Delapan.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa mengguntur kembali
terdengar. Semua pandangan mata kini tertuju ke arah sosok yang tengah
tertawa-tawa itu.
"Gendruwo Pulau
Setan...," desis Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat Tangan Delapan. Pandangan mata
maupun suara mereka menyiratkan ketidakpercayaan akan apa yang terlihat di
depan mereka.
Berbeda dengan kedua orang
kakek itu, Melati dan Dewa Arak sama sekali tidak terkejut melihat tokoh sesat
yang menggiriskan itu. Mereka telah melihat, dan bahkan telah bertanding dengan
tokoh itu beberapa saat yang lalu.
Keterkejutan Dewa Obat Tangan
Delapan dan Dewa Angin Puyuh semakin menjadi-jadi. Ternyata rekan mereka, Dewa
Rambut Merah malah menghampiriGendruwo Pulau Setan. Dan bahkan berdiri di
sebelahnya.
"Dewa Rambut
Merah.....kau.. . kau...!?" desis Dewa Angin Puyuh kaget Hanya senyum dan
pandangan mata penuh ejekan dari Dewa Rambut Merah yang menyambut ucapan
terbata-bata kakek beralis putih itu
"Kenapa? Kaget?!"
tanya kakek berambut merah itu Nada suaranya terdengar menyakitkan hati.
Wajah Dewa Angin Puyuh dan
Dewa Obat Tangan Delapan yang sudah pucat, jadi semakin pucat mendengar
tanggapan kasar itu. Kedua tokoh Tiga Dewa Sungai Naga ini tidak mampu berkata-
kata lagi. Perasaan kaget yang melanda demikian kuat menghajar hati mereka.
Sehingga keduanya hanya mampu memandang dengan sepasang kelopak mata terbelalak
lebar.
" Perlu kalian
ketahuisemua," kata Dewa Rambut Merah sambil mengedarkan pandangan mata ke
sekeliling, merayapi wajah orang-orang di hadapannya satu persatu. "Akulah
yang membantai rombongan Adipati Kalingga."
"Hahhh...?!"
Dewa Obat Tangan Delapan dan
Dewa Angin Puyuh terlonjak kaget. Andaikan ada petir menyambar, kekagetan yang
dialami tidak akan seperti ketika mendengar berita ini Dewa Rambut Merah salah
satu tokoh Tiga Dewa Sungai Naga melakukan perbuatan keji! Sungguh sukar
dipercaya!
"Kaget, Dewa Angin Puyuh?
Dewa Obat?" Kembali nada penuh ejekan terdengar dari mulut Dewa Rambut
Merah. Sementara Gendruwo Pulau Setan hanya tersenyum lebar.
"Mengapa kau berbuat
sekeji itu, Dewa Rambut Merah?" tanya Dewa Obat Tangan Delapan. Suaranya
pelan, lebih mirip desahan.
"Bukan hanya adipati
keparat itu saja yang kubunuh. Tapi juga kalian semua! Tidak terkecuali kau,
Dewa Arak!" tandas kakek berambut merah itu, seraya menatap wajah Arya.
"Semula kau tidak
termasuk dalam rencanaku, karena sama sekali tidak ada sangkut-pautnya. Tapi
karena kau telah berlaku lancang, dengan mencampuri urusanku, kau pun tak
mungkin dapat lolos dari tanganku. Bukan itu saja. Semua orang yang termasuk
dalam golongan putih akan kubinasakan!"
"Mengapa, Dewa Rambut
Merah?" tanya Dewa Angin Puyuh penasaran .
"Kau bertanya mengapa,
Dewa Angin Puyuh?!" sambut kakek berambut merah, kasar. "Padahal,
baik padamu maupun pada Dewa Obat Tangan Delapan telah kuceritakan, kalau
puluhan tahun yang lalu istriku telah diperkosa dan dibunuh oleh seorang
laki-laki. Aku Aku tidak tahu namanya. dari berita yang kudapat, aku tahu
ciri-cirinya. Dan bahkan telah kuceritakan pada kalian."
Dewa Rambut Merah menghentikan
ceritanya sejenak untuk mengambil napas, di samping mencari kata-kata untuk
melanjutkan ceritanya.
"Puluhan tahun aku
mencari tanpa hasil. Dapat kalian bayangkan, betapa kesalnya hatiku. Apalagi
setelah kutahu, kalau orang yang kucari itu adalah temanmu, Dewa Obat! Dan kau
sengaja melindunginya dengan tidak memberitahukannya padaku. Kau yang mengaku
sebagai pentolan golongan putih telah bertindak begitu menjijikkan. Melindungi
orang yang bermoral bejat!"
Merah wajah Dewa Obat Tangan
Delapan mendengar makian Dewa Rambut Merah. Maka kepalanya periahan-lahan
tertunduk.
"Aku masih mencoba
bersabar. Meskipun saat itu sudah merasa muak dengan gelar pentolan golongan
putih, tapi ketika akhirnya dapat berita baru, aku tidak bisa bersabar lagi!
Bukan hanya kau saja yang menjadi teman orang bejat. Tapi kau juga, Dewa Angin
Puyuh! Maka aku tidak bisa sabar lagi, begitu kulihat keparat itu bepergian.
Mereka pun kubantai habis.Tapi, sayang sekali ada yang sempat lolos dari maut
dan memberi tahu kalian."
Kepala dua kakek Tiga Dewa
Sungai Ular tertunduk. Sama sekali semua yang dikatakan Dewa Rambut Merah tidak
dibantah.
"Kebencianku bertambah
ketika kutahu kau mengangkat putra keparat Kalingga menjadi muridmu, Dewa Angin
Puyuh. Sejak saat itu, aku muak dan benci terhadap orang-orang golongan putih.
Maka kuputuskan untuk membasmi kalian. Dan untuk itulah Gendruwo Pulau Setan,
adik tiriku, tiba di sini."
Suasana jadi hening begitu
Dewa Rambut Merah menghentikan ucapannya.
"Sekarang, terimalah
kematian kalian...!" tegas kakek berambut merah lambat-lambat tapi penuh
tekanan. Kemudian kakinya melangkah menghampiri tubuh dua tokoh Tiga Dewa
Sungai Naga.
Mendadak langkah Dewa Rambut
Merah terhenti. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya langkah kaki
mendekati. Bukan hanya kakek berambut merah itu saja yang menoleh. Gendruwo
Pulau Setan pun menoleh pula.
"Guru...!"
Seorang pemuda berpakaian
kuning melesat cepat ke arah Dewa Angin Puyuh. Siapa lagi kalau bukan Palageni!
Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat
Tangan Delapan terperanjat melihat kedatangan Palageni. Bukankah,muridnya itu
telah tewas di tangan Dewa Arak. Jadi, benar apa yang dikatakan Arya. Semua itu
hanya fitnah!
Dewa Rambut Merah menggeram
keras.
Cepat laksana kilat tubuhnya
melesat ke arah Palageni. Kedua tangannya melancarkan totokan bertubi-tubi ke
berbagai bagian tubuh pemuda berpakaian kuning itu.
Dewa Angin Puyuh, Dewa Obat
Tangan Delapan, Melati, dan Dewa Arak sangat terperanjat. Pemuda berambut putih
keperakan ini sebenarnya sama sekali tidak terluka. Tadi, ketika menangkis
serangan Gendruwo Pulau Setan, Dewa Arak tidak menggunakan tenaga keras.
Jadi, dia hanya menggunakan
tenaga lembut. Dan dengan meminjam tenaga benturan itu, tubuhnya dibiarkan
terlontar ke belakang, dan berpura-pura terluka agar lawan lengah. Dan
ternyata, siasatnya berhasil!
Kini melihat Palageni terancam
maut, pemuda berambut putih keperakan ini cepat menghentakkan kedua tangan ke
arah tubuh Dewa Rambut Merah yang tengah berada di udara. Inilah jurus
'Pukulan Belalang'.
Wusss...!Angin keras berhawa
panas menyengat,menyambar cepat ke arah Dewa Rambut Merah. Karuan saja kakek
ini terkejut bukan main. Serangan Dewa Arak sama sekali tidak diduga. Dia
berpikir kalau pemuda itu tengah terluka. Tapi pada kenyataannya ? .
Wajah Dewa Rambut Merah pucat
seketika. Tubuhnya yang tengah berada di udara, tidak mungkin bisa mengelak.
Apalagi tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan pijakan. Meskipun demikian,
dengan sebisa-bisanya, selembar
nyawanya berusaha diselamatkan. Dewa Rambut Merah menggeliatkan tubuhnya.
Tapi....
Bresss!
"Aaakh...!"
Tubuh kakek berambut merah
terpental jauh ke belakang. Seketika itu juga nyawa kakek ini melayang
meninggalkan raganya sebelum jatuh ke tanah.
Gendruwo Pulau Setan meraung
keras laksana seekor binatang buas terluka melihat kematian kakak tirinya.
Dengan sinar mata penuh ancaman, tokoh sesat yang menggiriskan ini menatap Dewa
Arak. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri pemuda berambut putih
keperakan itu.
Tapi langkah laki-laki tinggi
besar ini terhenti ketika entah dari mana datangnya, di tempat itu telah
berdiri seorang kakek berpakaian putih bersih. Sekujur tubuhnya, terutama
sekali wajahnya, nampak bercahaya. Hal ini membuat orang itu tidak kuat untuk
berlama-lama memandangnya. Alis, jenggot, dan kumisnya telah memutih semua.
Rambutnya yang juga berwarna putih digelung ke atas. Di tangan kakek itu
tergenggam seuntai tasbih.
Begitu melihat kakek ini, wajah Gendruwo Pulau Setan
memucat.Kegentaran yang amat sangat tampak di wajahnya.Cepat tubuhnya berbalik,
lalu disambarnya tubuh Dewa Rambut Merah.Kemudian dia berlari meninggalkan
tempat itu sambil membawa tubuh kakek berambut merah.
Kakek berpakaian putih bersih
yang tak lain dari Ki Gering Langit itu sama sekali tidak mempedulikannya.
Pandangannya tetap tertuju pada Dewa Arak.
"Guru...," Arya
cepat memberi hormat pada kakek itu.
Melati, Dewa Angin Puyuh, dan
Dewa Obat Tangan Delapan nampak terkesima melihat kakek ini. Hanya Palageni
seorang yang tidak terlihat terkejut.
Ki Gering Langit tersenyum
lebar.
"Arya...," ucap
kakek berpakaian putih bersih itu. Suaranya terdengar lembut dan berwibawa.
"Aku sengaja datang menjumpaimu untuk mengambil kembali Pedang Bintang.
Bukankah pedang itu sekarang tidak kau perlukan lagi?"
Dewa Arak mengangkat
kepalanya, menatap wajah Ki Gering Langit. Hanya sebentar saja, karena sesaat
kemudian kepalanya kembali ditundukkan.
"Maafkan aku, Guru,"
sahut Arya pelan "Sebenarnya sudah lama aku hendak mengembalikan pedang
ini. Tapi, dalam perjalanan aku selalu bertemu hambatan, sehingga niatku
tertunda."
"Aku mengerti,
Arya," ucap Ki Gering Langit bijaksana, seraya tersenyum lebar.
"Itulah sebabnya aku kemari menjumpaimu."
Lega hati Arya mendengar
jawaban gurunya. Bergegas dia mengambil Pedang Bintang yang selama ini
tergantung di pinggangnya, kemudian menyerahkan pada gurunya.
Ki Gering Langit mengulurkan
tangan menerima. Dan secepat pedang itu telah berada di genggamannya, secepat
itu pula tubuhnya lenyap dari situ.
Melati, Dewa Obat Tangan Delapan,
dan Dewa Angin Puyuh memandang penuh takjub akan semua yang terjadi. Apalagi
ketika mendadak tubuh Ki Gering Langit lenyap begitu saja dari situ.
Wajah dan sorot mata mereka
menampakkan kebingungan yang amat sangat
"Itulah orang yang
menolongku dari tangan Gendruwo Pulau Setan, Guru," jelas Palageni memberi
tahu Dewa Angin Puyuh. Kemudian, pemuda berbaju kuning ini menceritakan semua
kejadian yang dialaminya.
"Ketika aku telah cukup
jauh meninggalkan Dewa Arak dan Melati, tiba-tiba Gendruwo Pulau Setan dan Dewa
Rambut Merah menghadang. Kalau saja tidak ada kakek itu, mungkin aku sudah
tewas, Guru. Hebat! Kakek itu mengalahkan keroyokan Dewa Rambut Merah dan
Gendruwo Pulau Setan secara mudah. Hanya dalam segebrakan, dan tanpa menggeser
kaki sedikit pun!"
Dewa Angin Puyuh dan Dewa Obat
Tangan Delapan menggelengkan kepala penuh kagum.
"Bagaimana Guru bisa
berada di sini?" tanya Palageni lagi.
"Di perjalanan pulang,
aku khawatir akan keselamatanmu. Lalu, aku kembali lagi. Di tengah jalan aku
bertemu Dewa Obat Tangan Delapan. Kami memutuskan mencarimu bersama-sama,"
kakek beralis putih ini menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas.
"Belum jauh berjalan,
kami bertemu Dewa Rambut Merah. Katanya, kau telah dibunuh Dewa Arak. Akibatnya
kami mencari pemuda itu. Pertarungan pun tidak bisa dihindari lagi. Dan ketika
kami sama-sama lelah, Gendruwo Pulau Setan datang.kejadian selanjutnya, telah
kau saksikan sendiri."
Sehabis berkata demikian, Dewa
Angin Puyuh menoleh ke arah tempat Arya dan Melati. Tapi seketika itu pula
hatinya terperanjat
"Hehhh...?! Ke mana
mereka?" Dewa Obat Tangan Delapan dan Palageni ikut menoleh. Tapi tetap
saja tidak melihat seorang pun di situ. Walaupun mereka telah mengedarkan
pandangan ke sekeliling, Dewa Arak maupun Melati tak juga ditemukan.
Sementara itu, orang yang
dipercakapkan telah berada cukup jauh dan tempat itu.
Dewa Arak dan Melati melangkah
bersisian, menembus keremangan malam.
Menempuh perjalanan hidup yang
masih panjang.
SELESAI