Eps 23 - Setan Mabok
Hari sudah agak siang. Sang
surya pun telah hampir di atas kepala. Tapi karena ada awan tebal yang
menutupinya, suasana di bumi jadi agak gelap. Mendung.
Dalam suasana yang tidak panas
dan angin bertiup lembut, tampak empat orang berwajah kasar sedang me-langkah
memasuki sebuah kedai di Desa Koneng. Rata-rata mereka mengenakan rompi dengan
sebilah golok ter-selip di pinggang.
Dengan sikap kasar dan jumawa
mereka masuk ke dalam kedai, lalu mengedarkan pandangan berkeliling. Pengunjung
kedai itu ternyata ramai juga, terbukti hampir semua bangku terisi.
Melihat kedatangan empat orang
itu, pemilik kedai yang ternyata seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun dan bertubuh kurus kering tergopoh-gopoh me-langkah menghampiri. Wajahnya
yang kurus dan terlihat kering itu dihiasi kumis dan jenggot yang
jarang-jarang. Sehingga, makin menambah kegersangan wajahnya. Menilik dari
sikapnya, jelas kalau pemilik kedai ini mengenal empat orang kasar itu
"Aduh, Den ...!"
Belum apa apa pemilik kedai itu sudah meratap-ratap. "Kasihani aku, Den.
Tolong, jangan buat keributan di sini"
Sambil berkata demikian,
laki-laki kurus kering ini merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil
membungkuk-bungkukkan badan. Sementara pengunjung lain yang tengah menikmati
makan pun tampak ketakutan. Kini, mereka tidak lagi menyantap makanan,
melainkan bersiap-siap kaliur dari situ. Ini bisa dibuktikan dari sepasang mata
mereka yang menatap liar ke sana kemari.
Tapi, rupanya keempat orang
kasar itu sudah memperhitungkannya. Maka begitu masuk ke dalam kedai, dua di
antara mereka telah berdiri menghadang di ambang pintu. Tangan kiri bertolak
pinggang. Sementara tangan
kanan mengelus-elus dagu.
"Hmh...! Kau berani
menantangku, Giri?!"
Salah satu dari dua orang kasar
yang dihampiri pemilik kedai itu, mendengus. Tangan kanannya mencengkeram leher
baju laki-laki bertubuh kurus kering yang ternyata bernama Giri. Sementara
penduduk sekitar Desa Koneng sering memanggil dengan sebutan Ki Giri.
Dan sekali tangannya bergerak
mengangkat, tubuh Ki Giri telah terangkat naik. Mau tak mau kedua kakinya kini
tergantung sekitar dua jengkal di atas tanah. Apalagi orang yang melakukannya
memiliki tubuh tinggi besar, dan yang pasti kepandaiannya patut diperhitungkan.
Cambang bauk yang lebat tampak menghias wajahnya. Kedua tangannya yang
besar-besar, juga berbulu lebat Seperti layaknya seekor monyet
Seketika wajah Ki Giri pucat
karena mendapat per-lakuan seperti itu. Kakinya coba digerak-gerakkan untuk
mencapai lantai. Dan memang keadaan seperti itu menyakitkan lehernya. Tapi,
usahanya ini sia-sia. Kedua kakinya tetap saja tidak bisa mencapai lantai.
Jarak antara kakinya dengan lantai terlalu jauh untuk bisa dijangkau.
"Ti… ti.... Tidak, Den
Jagar...," meskipun terputus-putus, Giri berhasil juga membuka suara.
"Mana aku berani..."
"Ha... ha... ha...!"
Jagar tertawa terbahak-bahak.
Keras sekali suaranya, dan jelas dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam
tinggi. Sehingga pemilik kedai itu sampai menekapkan kedua tangan pada telinganya
karena merasa bising.
Begitu tawa itu selesai,
tangan yang mencengkeram leher baju itu bergerak melemparkan tubuh Ki Giri.
Enak saja laki-laki bertubuh tinggi besar itu melakukannya. Seolah-olah, tubuh
laki-laki kurus kering itu tak ubahnya sehelai karung basah.
Ki Giri langsung menjerit
ketakutan begitu tubuhnya melayang deras ke belakang. Dan....
Brakkk...!
Suara berderak keras seketika
terdengar begitu tubuh pemilik kedai yang malang itu menghantam bangku dan
meja. Tak pelak lagi, bangku-bangku itu terguling ke sana kemari.
Ki Giri mengaduh-aduh
kesakitan. Apalagi tubuhnya sebagian besar hanya terdiri dari tulang-tulang
saja. Bisa dibayangkan, betapa sakitnya terbentur bangku dan meja.
Jagar tidak mempedulikan
keadaan laki-laki kurus kering itu. Begitu kepalanya diegoskan, maka seketika
itu juga ketiga orang rekannya bergerak menghampiri para pengunjung kedai.
Sedangkan Jagar hanya berdiam diri, sambil mengawasi dengan kedua tangan
berkacak pinggang. Jelas, laki-laki bertubuh tinggi besar ini adalah pimpinan
gerombolan itu.
Jagar tersenyum sambil
memilin-milin kumisnya yang tebal. Matanya terus mengawasi ketiga orang
rekannya yang telah mulai dengan tugas yang memang sudah direncanakan. Merampok
harta para pengunjung kedai memang sudah jadi rencana mereka. Maka tentu saja
hal itu membuat para pengunjung kedai panik bukan kepalang. Apalagi, bagi
mereka yang kebetulan habis men-jual barang dagangannya.
"Cepat serahkan semua
hartamu...!" bentak rekan Jagar yang bertubuh kurus dan berkulit kuning,
pada salah seorang pengunjung kedai tanpa menghunus goloknya.
Rupanya, dia merasa tidak
perlu menggunakan golok-nya. Dan sambil berkata demikian tangan kanannya
diulur-kan untuk merampas buntalan uang yang terselip di pinggang.
Tapi, rupanya calon korban itu
tidak sudi membiarkan begitu saja uangnya diambil. Maka diputuskanlah untuk
mengadakan perlawanan, begitu melihat orang yang hendak merampas buntalan
uangnya seperti orang penyakitan. Kebetulan, pengunjung ini memiliki bentuk
tubuh kekar dan berotot.
Maka begitu tangan laki-laki
bertubuh kurus itu me-luncur ke arah pinggang, bergegas tangannya menangkap.
Kreppp...!
Begitu tangan laki-laki
berkulit kuning ini berhasil ditangkap, langsung dilayangkannya tinju kanan ke
arah wajah orang yang hendak merampas uangnya.
"Hmh...! Berani kau
memukul Gojang?!" dengus laki-laki bertubuh kurus yang ternyata bernama
Gojang. Tangan kirinya pun seketika bergerak. Dan...
Tappp...!
Hanya sekali gerak saja,
serangan laki-laki bertubuh kekar itu bisa dikandaskan. Bahkan jari-jari tangan
Gojang sudah mencengkeram pergelangan tangan pengunjung kedai itu.
Gojang tidak hanya bertindak
sampai di situ saja. Ber-bareng dengan gerakan tangan kiri, pergelangan
tangan-nya pun diputar.
Gila! Hanya sekali memutar
pergelangan saja, Gojang telah membuat cekalan laki-laki bertubuh kekar itu
ter-lepas. Bahkan dengan gerak tangan luar biasa, dia malah telah balas
mencekal pergelangan lawan. Hasilnya, kini Gojang telah berhasil menangkap
kedua pergelangan lawan.
Sebelum laki-laki bertubuh
kekar itu berbuat sesuatu, kedua tangan Gojang telah cepat bergerak membetot.
Tak pelak lagi, rubuh pengunjung kedai yang sial itu tertarik deras ke depan,
ke arah Gojang! Begitu kerasnya tenaga betotan itu, sampai tubuhnya
terhuyung-huyung.
Langsung laki-laki bertubuh
kurus itu tertawa menye-ramkan. Dan begitu tawanya habis, kepalanya digerakkan.
Jelas, maksudnya adalah mengadu kepala pengunjung kedai itu dengan kepalanya
sendiri. Dan karena terhuyung-huyung, kepala laki-laki bertubuh kekar itu
bergerak maju lebih dulu daripada kaki atau tubuhnya.
Duggg...!
Benturan antara dua buah
kepala yang begitu keras tak dapat dielakkan lagi. Menilai dari besarnya kedua
kepala, sebenarnya kepala Gojanglah yang akan menerima akibat yang lebih buruk.
Tapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya! Laki-laki bertubuh kekarlah yang
justru memekik keras kesakitan. Dari bagian dahinya yang terluka nampak
mengalir darah.
Tubuh laki-laki yang sial itu
seketika terkulai. Tidak pingsan atau mati, tapi lemas. Sementara kepala Gojang
tetap utuh! Jangankan terluka, tergores pun tidak.
"He... he... he...!"
Gojang tertawa terkekeh-kekeh,
sehingga terdengar menyeramkan sekali. Kini pegangan tangannya berpindah.
Tangan kiri mencekal leher baju, dan tangan kanannya bergerak menampar wajah
laki-laki bertubuh kekar itu.
Plak, plak, plak...!
Suara keras beradunya telapak
tangan dengan pipi terdengar berkali-kali. Kepala pengunjung kedai yang malang
itu sampai terpaling ke kanan dan ke kiri. Darah segar muncrat-muncrat dari mulutnya.
Bahkan ada be-berapa benda putih sebesar kuku jari kelingking yang terlompat
keluar dari dalam mulutnya. Jelas, benda itu adalah gigi.
Tanpa mengenal rasa kasihan,
Gojang terus saja meneruskan tindakannya. Darah segar pun keluar lebih banyak
lagi. Bahkan kali ini tidak hanya dari mulut saja, tapi juga dari hidung.
Setelah merasa puas, Gojang
lalu melepaskan cekalan-nya. Akibatnya, rubuh laki-laki sial itu pun ambruk di
tanah seperti sehelai kain basah.
"Cuhhh…!”
Segumpal ludah kental keluar
dari mulut Gojang, dan mendarat dengan manisnya di wajah laki-laki bertubuh
kekar yang sudah megap-megap seperti ikan terdampar ke darat.
Rupanya, laki-laki berkulit
kuning ini masih belum puas dengan apa yang dikerjakannya. Sambil menyeringai
kejam yang nampak di mulutnya, kakinya ditaruh di kepala laki-laki bertubuh
kekar. Dan sekali kakinya bergerak menekan, nyawa pengunjung kedai yang sial
itu melayang ke alam baka seiring terdengarnya suara gemeretak ketika kepala
itu pecah berantakan.
Darah segar pun kembali
muncrat-muncrat.
"Ha... ha... ha...!"
Gojang tertawa terbahak-bahak.
Keras sekali sehingga membuat suasana di dalam kedai menjadi gaduh. Apalagi
ketika ketiga orang kasar lainnya pun tertawa pula. Bahkan dinding-dinding
kedai itu sampai bergetar seperti akan runtuh.
Melihat kejadian mengenaskan
yang menimpa laki-laki bertubuh kekar itu, karuan saja membuat nyali para
pengunjung lain menjadi ciut. Mereka kini pasrah saja ketika rekan-rekan Jagar
merampas semua harta benda yang ada.
Tapi meskipun tidak ada yang
mengadakan perlawanan, bukan berarti para pengunjung kedai bebas dari
ke-kejaman. Dan memang, tetap saja mereka mendapat hadiah dari tiga orang kasar
itu.
Suara pukulan-pukulan nyaring
terdengar silih berganti diiringi jerit dan keluh kesakitan dari mulut
pengunjung kedai.
Tubuh-tubuh pengunjung yang
sial itu satu persatu roboh di lantai. Memang, tidak ada seorang pun yang tewas
kecuali laki-laki bertubuh kekar tadi. Tapi meskipun begitu, tidak ada seorang
pun di antara mereka yang sanggup berdiri.
Darah kini telah membasahi
lantai kedai. Semua pengunjung kedai menderita luka yang lumayan. Ada yang
patah kaki, namun tidak sedikit yang patah tangan atau copot giginya.
"Ha... ha... ha...!"
Jagar tertawa keras begitu
melihat ketiga orang rekannya telah menyelesaikan tugas, dan bergerak
menghampirinya dengan harta rampasan di tangan.
"Terima kasih, Ki
Giri…!" seru laki laki bercambang bauk lebat itu dengan suara keras
menggelegar. "Lain kali, kami pasti datang lagi...!"
Masih sambil tertawa-tawa,
Jagar dan kawan-kawannya melangkah meninggalkan kedai. Tidak ada seorang
penduduk pun yang mengetahui atau mendengar adanya keributan di situ. Memang,
letak kedai agak jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya. Tambahan lagi, pada
saat seperti ini sebagian besar penduduk Desa Koneng tengah berada di sawah.
Tidak heran, karena penduduk desa itu sebagian besar adalah petani.
Suasana kembali menjadi sepi
ketika Jagar dan rekan-rekannya telah cukup jauh meninggalkan tempat itu. Kini
yang terdengar hanyalah suara rintihan dan keluhan dari mulut-mulut orang yang
terluka.
***
Belum berapa lama Jagar dan
ketiga rekannya meninggalkan kedai milik Ki Giri, nampak seorang laki-laki
berwajah gagah dan berpakaian kuning berjalan perlahan mendekati kedai.
Usia laki-laki itu tak kurang
dari tiga puluh tahun. Kumis dan jenggotnya terawat baik, sehingga menambah
kegagahannya. Sebatang pedang bergagang kepala naga juga tampak tersampir di
punggung. Bisa ditebak kalau laki-laki ini memiliki kepandaian saat ini bisa dibuktikan
dengan adanya sulaman benang hijau bergambar seekor naga di bagian dada sebelah
kiri pakaiannya.
Dengan langkah gesit dan
ringan, laki-laki berkumis rapi ini melangkah memasuki pintu kedai. Tapi baru
sebelah kakinya masuk ambang pintu, dia terperanjat melihat sosok-sosok tubuh
yang bergeletak tak tentu arah di lantai. Bahkan beberapa buah meja dan kursi
nampak terbalik. Malah ada beberapa di antaranya yang patah-patah.
Kalau saja laki-laki
berjenggot rapi ini tidak bersiul-siul sewaktu melangkah menghampiri kedai,
mungkin akan terdengar rintihan dan keluhan dari mulut para pengunjung kedai
yang terluka.
"Ki…!”
Laki-laki berkumis rapi ini
berseru ketika melihat Ki Giri yang tengah berusaha bangkit. Memang, di antara
semua orang yang berada di situ, laki-laki bertubuh kurus kering inilah yang
menderita luka paling ringan. Dari ucapannya, bisa diketahui kalau laki-laki
berkumis rapi ini mengenal Ki Giri.
Sambil berseru demikian,
laki-laki berkumis rapi itu ber-gerak cepat menghampiri tubuh pemilik kedai.
Menilik dari gerakannya yang cepat bisa diperkirakan kalau tingkat
kepandaiannya tidak bisa dianggap enteng.
"Apa yang terjadi, Ki?!
Katakanlah...!" desak laki-laki berkumis rapi, ketika tubuhnya sudah
berjongkok di dekat tubuh Ki Giri. Ada suara gemeretak keras keluar dari
mulutnya, pertanda kalau dirinya tengah dilanda perasaan geram.
"Para pengacau datang,
merampok dan menganiaya para pengunjung kedai ini. Den Subarji...." Jelas
Ki Giri dengan suara tersendat-sendat
Laki-laki berjenggot rapi yang
ternyata bernama Subarji mengepalkan kedua tangannya, sehingga terdengar bunyi
berderak keras seperti ada tulang-tulang yang patah.
Ki Giri mengangguk.
"Siapa, Ki?!" tanya
Subarji lagi.
"Jagar dan
kawan-kawannya," jawab Ki Giri pelan, mirip desahan.
"Hm.... Kiranya
Jagar....”
Subarji mengangguk-anggukkan
kepala. Dia memang telah sering mendengar nama Jagar, sebagai orang yang selalu
membuat onar. Bukan hanya di Desa Koneng saja, tapi juga di desa-desa
sekitarnya. Maka meskipun belum pernah bertemu, tapi Subarji telah mengetahui
ciri-ciri laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
"Baru saja mereka pergi,
Den Subarji...," Ki Giri kembali membuka suara.
"Ke arah mana perginya,
Ki?"
"Barat, Den."
Memang, Ki Giri tadi sempat
melihat kepergian Jagar dan kawan-kawannya ke samping kanan kedainya. Dan itu
berarti mereka pergi ke arah Barat
"Kalau begitu, mereka
harus cepat kukejar...! Orang-orang seperti mereka harus dilenyapkan
selama-lamanya."
Setelah berkata demikian,
Subarji segera bangkit berdiri dan melesat keluar kedai. Dan secepat tubuhnya
telah berada di luar, secepat itu bergerak mengejar ke arah Barat.
***
2
Subarji berlari cepat
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Ucapan Ki Giri yang
memberi tahu kalau Jagar dan rekan-rekannya belum lama meninggalkan kedai,
membuatnya bertindak seperti itu.
Ternyata, pemberitahuan
pemilik kedai itu tidak salah. Belum berapa lama Subarji berlari, di kejauhan
terlihat empat sosok tubuh yang berjalan cepat. Kontan semangat laki-laki
berkumis rapi ini bangkit. Meskipun belum pasti kalau keempat sosok tubuh itu
adalah orang yang dicari, tapi melihat dari jumlahnya, Subarji yakin kalau yang
dilihatnya adalah Jagar dan kawan-kawannya.
Karena Subarji berlari
mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sementara empat sosok tubuh itu berlari
seenak-nya, maka jarak di antara mereka semakin lama semakin bertambah dekat.
Seiring semakin bertambah dekatnya jarak, maka sosok-sosok tubuh itu pun
semakin jelas terlihat
Dan begitu jarak di antara
mereka terpisah lima tombak lagi, Subarji yakin kalau empat sosok itu adalah
orang-orang yang dikejarnya.
Memang meskipun hanya melihat
dari belakang, laki-laki berjenggot rapi ini bisa mengetahui kalau empat sosok
tubuh di hadapannya adalah Jagar dan ketiga orang rekan-nya. Dia telah
mendengar kalau Jagar selalu mengenakan rompi berwarna kuning, yang pada bagian
belakangnya bergambar seekor kelabang. Dan kini gambar itu telah dilihatnya.
Jagar dan tiga orang rekannya
yang tengah berbincang-bincang, sama sekali tidak mengetahui kalau di belakang
ada orang yang mengejar. Mereka terus saja berlari tanpa mengerahkan ilmu
meringankan tubuh.
"Berhenti...!"
Keempat orang kasar ini baru
terkejut ketika mendengar bentakan. Belum juga mereka menyadari, sesosok
bayangan kuning telah melesat melewati kepala mereka dan tahu-tahu telah
berdiri menghadang.
Bagai diberi aba-aba, keempat
orang ini berhenti melangkah. Kini kedua belah pihak berdiri berhadapan dalam
jarak sekitar tiga tombak, dengan mata saling mengamati.
"Hmh…!"
Jagar mendengus geram begitu
melihat sosok bayangan kuning telah menghadang perjalanan mereka. Memang dia
tidak mengenal orang yang menghadang ini. Tapi dari pakaian yang dikenakan, dan
sulaman gambar naga dari benang hijau pada dada sebelah kiri, bisa diketahui
asal perguruan laki-laki berkumis rapi ini.
"Tikus usilan dari
Perguruan Naga Hijau rupanya...," kata laki-laki bercambang bauk lebat ini
sambil tersenyum mengejek.
Jagar memaki Subarji demikian
karena Perguruan Naga Hijau beraliran putih. Para muridnya selalu menentang
tindak kejahatan. Tidak heran jika murid-murid perguruan yang telah cukup
kemampuannya, harus mengamalkan ilmu. Mereka kebanyakan menyebar di berbagai
desa. Dan Subarji memilih tinggal di Desa Koneng, desa kelahirannya.
"Jadi, kau rupanya yang
bernama Jagar...," kata Subarji.
Ada nada kegeraman dalam suara
Subarji. Ditatapnya sosok tubuh tinggi besar di hadapannya penuh selidik dari
ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ooo... Kau baru tahu
rupanya?" Jagar tersenyum sinis. "Memang! Akulah Jagar! Lalu, kau mau
apa?!"
"Pasti kau dan
rekan-rekanmu ini yang telah merampok kedai Ki Giri, bukan?!"
Subarji langsung mengedarkan
pandangan ke arah buntalan kain yang dibawa keempat orang berwajah kasar di
depannya.
"Ha... ha... ha...! Tidak
salah...!" jawab Jagar, lantang. "Kau ingin merampasnya kembali?
Silakan!"
Subarji menggertakkan gigi
mendengar kata-kata bernada tantangan itu. Sementara, tiga orang rekan Jagar
segera melemparkan buntalan-buntalan kain yang berisi harta rampasan di tanah.
Memang, harta yang dirampas dari para pengunjung kedai, biasa dimasukkan ke
dalam buntalan kain.
"Kirim tikus usilan itu
ke neraka...!" perintah Jagar pada ketiga orang rekannya.
Srattt, srattt, srattt...!
Sinar-sinar terang berkeredep
tatkala ketiga orang kasar itu menghunus golok masing-masing, seiring lenyapnya
perintah laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Mereka tahu, lawan yang kali ini
dihadapi tidak sama dengan orang-orang di kedai. Maka, tanpa ragu-ragu mereka
segera menggunakan senjata.
Begitu golok telah berada dj
tangan, ketiga orang itu menyebar mengurung Subarji. Sudah bisa ditebak
maksudnya. Ingin menyerang laki-laki berjenggot rapi ini dari tiga jurusan.
"Hm...."
Sambil menggumam, Subarji
mencabut pedangnya. Sepasang matanya beredar berkeliling, memperhatikan
gerak-gerik ketiga orang lawan yang semakin dekat dan semakin mengurungnya.
Telah diputuskannya untuk melenyapkan gerombolan Jagar sebelum semakin
meraja-lela dan menimbulkan korban baru. Itulah sebabnya Subarji langsung
menghunus senjatanya.
"Haaat...! "
Sambil mengeluarkan pekik
nyaring, laki-laki berkulit kuning mendahului menyerang. Goloknya meluncur
deras ke arah dada. Memang, saat itu dia berhadapan dengan lawannya.
Belum juga serangan laki-laki
bertubuh kurus itu tiba, serangan dari dua orang lain datang menyusul. Orang
yang berada di kanan, menyabetkan goloknya ke arah leher. Sementara yang di
kiri menusuk ke arah pinggang.
Suara angin mendesir cukup
nyaring mengiringi tibanya ketiga serangan yang masing-masing mampu mengantarkan
nyawa ke alam baka bila mendarat.
Namun Subarji tetap bersikap
tenang. Melihat dari kecepatan serangan itu, sudah bisa diketahui kalau ilmu
meringankan tubuh ketiga orang lawan cukup jauh di bawahnya, itulah sebabnya,
dia tidak terburu-buru ber-tindak.
Baru ketika serangan itu
menyambar semakin dekat, Subarji menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya
melayang ke atas. Maka semua serangan lawan hanya mengenai tempat kosong, lewat
di bawah kakinya.
Tindakan laki-laki berkumis
rapi ini tidak hanya sampai di situ saja. Begitu tubuhnya berada di udara,
pedang di tangannya langsung meluncur deras ke arah ubun-ubun laki-laki
bertubuh kurus. Sementara kaki kanannya menendang ke arah kepala lawan yang
berada di sebelah kanan. Sedangkan lawan yang berada di sebelah kiri, disampok
dengan tangan kirinya ke arah pelipis.
Balasan serangan mendadak ini
tentu saja membuat ketiga orang rekan Jagar terperanjat. Apalagi, datangnya
terlalu tiba-tiba! Mereka baru mengetahui adanya bahaya setelah serangan itu mendekati
sasaran. Hembusan angin cukup keras yang mengiringi tibanya serangan, membuat
mereka sadar akan adanya bahaya mengancam.
Karena mengelak sudah tidak
mungkin lagi, maka ketiga orang kasar itu pun memutuskan untuk menangkis.
Laki-laki bertubuh kurus menangkis dengan golok, sementara dua rekannya
menangkis dengan tangan kanan.
Tranggg, plakkk, plakkk...!
Suara berdentang keras
diiringi suara tangan dan kaki berbenturan terdengar bertubi-tubi. Akibatnya,
tubuh ketiga orang rekan Jagar terhuyung-huyung ke belakang. Sekujur tangan
yang digunakan untuk menangkis seketika bergetar hebat dan terasa ngilu bukan
main. Jelas, tenaga dalam mereka masih jauh di bawah lawan.
Sebuah keuntungan bagi mereka,
karena Subarji tidak bisa melancarkan serangan susulan. Keadaannyalah yang
tidak memungkinkan. Tubuhnya saat itu tengah berada di udara. Maka begitu semua
lawan terhuyung-huyung sehabis menangkis serangan, kedua kakinya pun men-darat
di tanah.
Begitu laki-laki berkumis rapi
ini hinggap di tanah, ketiga orang lawannya telah berhasil memperbaiki sikap
kembali. Bahkan kemudian kembali menyerang.
Dan kini pertarungan sengit
pun terjadi. Baik Subarji maupun ketiga orang rekan Jagar, sama-sama
mengerah-kan seluruh kemampuan masing-masing. Kedua belah pihak memang sudah
berniat merobohkan lawan secepat-nya.
Suara bercuitan yang cukup
nyaring pun terdengar mengiringi pertarungan itu. Masing-masing pihak
mengeluarkan ilmu andalan dalam usaha untuk meroboh-kan lawan.
Tapi, ternyata Subarji terlalu
lihai untuk bisa di-pecundangi ketiga lawannya. Belum juga pertarungan
menginjak jurus kesepuluh, laki-laki berkumis rapi itu sudah bisa mendesak
lawan-lawannya, hingga terpontang-panting ke sana kemari dalam usaha
menyelamatkan selembar nyawa.
"Keparat..!"
Jagar menggertakkan gigi
melihat keadaan rekan-rekannya yang terdesak. Maka goloknya segera dicabut dan
dengan senjata tercekal di tangan, laki-laki bertubuh tinggi besar ini melompat
menerjang. Jadi, kini Subarji dikeroyok empat orang!
Mau tak mau, Subarji harus
berjuang lebih keras lagi untuk menanggulanginya. Memang dengan ikut sertanya
Jagar dalam kancah pertarungan, membuat keadaan ketiga orang rekannya tidak
terlalu dikejar-kejar maut seperti tadi.
Tapi ketiga orang berwajah
kasar itu tidak bisa terlalu lama menarik napas lega. Bantuan dari Jagar
ternyata hanya berguna tak lebih dari tiga puluh jurus saja. Setelah masuknya
laki-laki bercambang bauk lebat itu pun, justru Subarji kembali berhasil
mendesak kembali.
Betapapun Jagar dan ketiga
rekannya berusaha keras menanggulangi Subarji, tapi terap saja tidak mampu.
Kepandaian laki-laki berkumis rapi itu memang masih lebih tinggi dibanding
mereka berempat. Padahal, seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikeluarkan.
Bahkan semakin lama mereka semakin terdesak. Sampai pada suatu saat...
Crasss...!
Telak dan keras sekali pedang
Subarji membabat leher laki-laki yang bertubuh kurus. Kontan darah memercik
keras dari leher yang terobek ujung pedang. Tubuh laki-laki berkulit kuning itu
terpelanting jatuh ke tanah, laki diam tak bergerak lagi untuk selamanya. Suara
mengorok terdengar keluar dari mulutnya sebelum tewas.
Gerombolan Jagar menggeram
hebat melihat kematian salah seorang rekan mereka. Tapi apa daya? Subarji
memang terlalu lihai dihadapi! Darah yang keluar dari leher laki-laki bertubuh
kurus itu belum juga berhenti ketika dua orang rekan Jagar yang tersisa
menjerit keras. Pedang Subarji kembali telah menelan korban! Tubuh mereka
langsung jatuh ke tanah, dan diam tidak bergerak lagi.
Jagar meraung melihat kematian
ketiga orang rekannya. Tanpa mempedulikan keselamatannya lagi, laki-laki
ber-tubuh tinggi besar itu melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Subarji.
Tak dipedulikan lagi pertahanannya yang terbuka di sana-sini. Yang ada di
benaknya hanya satu. Membalas kematian ketiga orang rekannya, meskipun harus
kehilangan nyawa!
Tapi bagaimana mungkin Jagar
dapat melakukannya? Dengan dibantu tiga orang rekannya saja tidak mampu
mengalahkan Subarji, apalagi kini yang tinggal hanya dia seorang. Semua
serangannya dengan mudah dapat dipatahkan lawan. Dan kini robohnya Jagar hanya
tinggal menunggu saat saja.
Dan belum juga pertarungan
kedua orang itu ber-langsung lama, tiba-tiba....
"Telah lama kudengar
kalau orang-orang Perguruan Naga Hijau memang usil! Tapi baru kali ini kulihat
sendiri kenyataannya. Mereka menganggap orang lain jahat karena sering
membunuhi orang. Tapi, padahal apa yang mereka lakukan? Membelai-belai orang?
Sama sekali tidak! Justru yang kulihat malah sebaliknya! Orang Per-guruan Naga
Hijau membunuhi orang seperti membunuh nyamuk! Keji! Sungguh keji!"
Jagar dan Subarji terperanjat.
Meskipun suara itu terdengar pelan saja, tapi mengandung getaran yang membuat
isi dada terguncang hebat. Maka dengan sendiri-nya, pertarungan antara kedua
orang itu pun terhenti.
Baru saja gema suara itu
lenyap, meluncur cepat bagai kilat seleret benda hitam yang langsung membelit
mata pedang Subarji.
Karuan saja laki-laki berkumis
rapi ini terkejut bukan main. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, benda hitam
panjang yang ternyata sebuah cambuk berwarna hitam telah membetot pedangnya.
Keras bukan main tenaga tarikan itu, sehingga Subarji sama sekali tidak
menyangka. Bahkan tidak mampu mempertahankan senjatanya.
Subarji tidak rela pedangnya
dirampas. Maka segera tubuhnya melompat untuk menangkap kembali senjatanya.
Matanya juga sempat sekilas melihat pemilik cambuk itu. Seorang laki-laki
bertubuh kecil kurus, mengenakan rompi berwarna hitam. Sebaris bulu-bulu
berwarna hitam dan tebal menghias atas bibirnya.
Hanya ciri-ciri itu yang
sempat dilihat Subarji, karena dirinya harus sudah sibuk merampas kembali
pedangnya. Tapi sungguh di luar dugaan, belitan cambuk itu mengendur. Tak pelak
lagi, pedang Subarji terjatuh di tanah. Dan sebelum laki-laki berkumis rapi ini
berbuat sesuatu, ujung cambuk itu telah memapak lompatannya, dan langsung
melecut dadanya.
Ctarrr...!
Subarji menggigit bibir untuk
menahan rasa sakit yang mendera dada ketika ujung cambuk itu telak dan keras
sekali menghantam dada. Seketika itu juga, tubuhnya terjengkang kembali ke
belakang. Darah kental langsung menetes di sudut-sudut bibirnya.
Meskipun begitu, Subarji masih
mampu membuktikan kalau dirinya bukan tokoh sembarangan. Kedua kakinya masih
mampu mendarat di tanah walaupun agak ter-huyung-huyung,
"Hmh...!"
Laki-laki kecil kurus berkumis
tebal mendengus. Dan kini sama sekali tidak dilancarkannya serangan lagi.
Sikapnya jelas memandang rendah sekali pada Subarji.
Subarji tidak mempedulikannya.
Dirinya tengah disibuk-kan rasa sakit yang mendera dadanya. Ditariknya napas
dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat sekadar untuk menghilangkan rasa
sakit.
Ctarrr...!
Ledakan cambuk membuat laki-laki
berkumis rapi ini terkejut dan bersiap-siap menghadapi serangan susulan. Tapi
ternyata tidak ada serangan yang tertuju ke arahnya. Cambuk hitam itu sama
sekali tidak menuju ke arahnya, tapi ke arah pedang miliknya yang tertancap di
ranah.
Rrrttt..!
Laksana ular membelit
mangsanya cambuk itu melilit batang pedang. Dan begitu laki-laki berkumis tebal
ini bergerak membetot pedang itu pun tercabut.
"Kukembalikan
pedangmu...!" seru laki-laki bertubuh kecil kurus itu.
Sesaat kemudian pedang yang terlilit
cambuk itu meluncur deras ke arah Subarji hingga mengeluarkan suara mendesing
nyaring. Padahal, kelihatannya pelan saja cambuk itu bergerak. Dari pertunjukan
ini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemilik
cambuk itu.
Sementara itu Subarji terkejut
bukan kepalang. Terdengar suara mengaung mengiringi tibanya luncuran pedang
itu. Maka laki-laki berjenggot rapi ini segera menjumput sarung pedangnya,
langsung menangkis serangan itu. Tanpa tanggung-tanggung lagi segera
dikeluarkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya.
Trakkk...!
Sarung pedang itu kontan
hancur berantakan ketika kedua benda itu saling berbenturan. Subarji terkejut
bukan kepalang. Tangannya seketika terasa sakit dan ngilu bukan kepalang
Tubuhnya pun tanpa dapat ditahan lagi ter-huyung-huyung ke belakang. Jelas
kalau tenaga yang terkandung dalam luncuran pedang itu lebih kuat daripada
tenaga dalam miliknya.
Hal ini benar-benar membuat
Subarji terperanjat. Apalagi, diketahuinya kalau tenaga dalam lawan belum
seluruhnya dikeluarkan sewaktu melemparkan pedang dengan cambuk. Baru dengan
tenaga sebegitu saja Subarji sudah tidak mampu bertahan. Lali bagaimana kalau
pemilik cambuk itu mengerahkan seluruhnya? Sulit bagi laki-laki berkumis rapi
ini untuk membayangkannya.
Mendadak tubuh Subarji yang
terhuyung-huyung, ber-henti seketika tatkala membentur sosok tubuh berpakaian
kuning yang mendadak muncul di belakangnya.
Karuan saja hal ini membuat
Subarji kaget. Secepat tubuhnya membentur, secepat itu pula melompat ke depan.
Tubuhnya langsung berbalik dan bersikap siap siaga menghadapi serangan
mendadak.
Tapi sekujur urat-urat syaraf
dan otot-otot laki-laki berkumis rapi ini mengendur kembali ketika melihat
sosok tubuh yang dibenturnya.
"Guru...!" sebut
Subarji seraya melangkah menghampiri dan memberi hormat.
Dia ternyata seorang kakek
bertubuh tinggi kekar. Orang yang dipanggil guru oleh Subarji langsung
tersenyum. Raut wajahnya memang menyenangkan bagi orang lain yang melihatnya.
Wajahnya bulat seperti juga perutnya, dan selalu dihiasi senyum. Rambutnya yang
putih, digelung ke atas.
"Menyingkirlah,
Subarji...! Dia bukan tandinganmu...!" ujar kakek bertubuh tinggi kekar
itu.
Terdengar sungguh-sungguh dan
penuh perintah ucapan yang dikeluarkan kakek itu. Tapi begitu melihat wajahnya,
orang akan mengira kalau dia tengah bercanda! Kakek itu mengucapkan perintah
begitu sungguh-sungguh, disertai senyum di bibir dan sepasang mata
bersinar-sinar seperti orang menang lotre! Selebar wajahnya pun merautkan
kegembiraan.
Tanpa menunggu perintah dua
kali, laki-laki berkumis rapi ini segera melangkah mundur. Dibiarkan saja
gurunya itu melangkah mendekati si pemilik cambuk. Telah diketahuinya kelihaian
gurunya. Maka Subarji percaya kalau kakek berwajah penuh senyum itu akan mampu mengalahkan
lawan.
"Ha... ha... ha...!"
laki-laki berompi hitam itu tertawa ber-gelak. "Sungguh tidak kusangka
kalau kau bisa keluar dari kandangmu yang menjijikkan itu, Buntara!"
Kakek berwajah penuh pesona
yang ternyata bernama Buntara, sama sekali tidak merasa marah atau tersinggung
atas pertanyaan yang bernada kasar. Bahkan mulutnya tetap menyunggingkan senyum
lebar.
"Aku terpaksa keluar dari
kandang untuk mengambil sisa kotoranku yang tertinggal di sini. Dan kaulah
kotoran itu. Kera Bukit Setan!"
Luar biasa sekali ucapan
Buntara. Meskipun dikeluar-kan dengan wajah penuh keceriaan, namun mampu
membuat kuping panas. Seketika selebar wajah laki-laki berompi hitam yang
berjuluk Kera Bukit Setan jadi merah padam menahan amarah.
Sementara kedua orang itu
terlibat dalam adu mulut, Jagar dan Subarji sibuk dengan urusan masing-masing.
Jagar tampak sibuk menenangkan deru napasnya yang masih memburu sehabis
bertarung dengan Subarji. Sementara, laki-laki berkumis rapi itu tampak menahan
geram. Sehingga, tampak wajahnya masih memerah.
Meskipun begitu, tidak berarti
kalau kedua orang itu tidak mendengar percakapan antara Buntara dengan Kera
Bukit Setan. Dan karena itulah mereka tahu, kedua orang yang tengah berhadapan
itu ternyata saling mengenal satu sama lain.
Sama sekali Subarji dan Jagar
tidak mengetahui kalau Buntara maupun Kera Bukit Setan sudah saling mengenal.
Di samping itu, Subarji juga tidak kenal siapa Kera Bukit Setan itu. Juga Jagar
tidak tahu, siapa Buntara itu. Mereka hanya mengetahui dari ciri-ciri yang
pernah didengar.
Kera Bukit Setan menggeram.
Dia memang tidak bisa berdebat. Maka begitu mendapat balasan makian dari
Buntara, dia tidak bisa membalasnya.
Sambil menghentakkan kaki
sehingga membuat tanah amblas sampai semata kaki, laki-laki berompi hitam ini
menyelipkan cambuknya di pinggang.
"Tidak ada seorang pun
yang boleh menghina Kera Bukit Setan...!" teriak laki-laki bertubuh kecil
kurus keras.
Dan belum habis gema ucapan
itu, tubuhnya telah meluruk cepat ke arah Buntara. Kedua tangannya yang
berbentuk cakar, meluncur cepat ke arah dada dan ulu hati secara bertubi-tubi.
***
3
Wuttt, Wuttt...!
Deru angin keras terdengar
begitu serangan cakar Kera Bukit Setan meluncur cepat ke arah sasaran.
Buntara tahu kedahsyatan
serangan yang mengandung tenaga dalam kuat itu. Apabila terkena, batu yang
paling keras pun akan hancur berantakan. Maka, laki-laki tua itu tidak berani
bersikap main-main. Buru-buru kaki kanannya melangkah ke kanan sambil
mendoyongkan tubuh. Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya dikibaskan ke arah
pelipis lawan.
Wukkk...!
Kera Bukit Setan tidak
terkejut melihat serangan lawan, karena memang sudah diperkirakan. Baik
mengenai serangannya yang dapat mudah dielakkan, maupun balasan serangan itu
sendiri.
Karena sudah memperkirakannya,
maka laki-laki kecil kurus ini sudah bersiap-siap menangkalnya. Buru-buru
tangan kirinya digerakkan untuk menangkis serangan itu. Arah gerakannya dari
dalam ke luar.
Takkk...!
Suara keras seperti terjadi
benturan antara dua benda logam terdengar ketika kedua tangan yang sama-sama
dialiri tenaga dalam tinggi itu beradu.
Tubuh Kera Bukit Setan
langsung terhuyung-huyung ke belakang. Mulutnya seketika menyeringai, jelas
benturan itu terasa benar akibatnya. Sekujur tulang-tulang tangan kirinya
terasa sakit bukan kepalang. Disadarinya kalau tenaga dalam Buntara berada di
atasnya. Buktinya, kakek berwajah penuh senyum itu sama sekali tidak
terpengaruh oleh benturan tadi.
Tapi Kera Bukit Setan sama
sekali tidak mempedulikan hal itu. Begitu kekuatan yang membuat tubuhnya
terdorong habis, kembali dilancarkannya serangan susulan.
Buntara yang kini sudah bisa
memperkirakan kepandaian lawan, segera menyambutnya. Tak pelak lagi,
pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama sakti itu pun berlangsung sengit.
Jagar dan Subarji
memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh perhatian. Meskipun mereka
tidak bisa melihat terlalu jelas karena begitu cepatnya kedua tokoh itu
bergerak, tapi setidak-tidaknya bisa memperkirakan siapa yang mulai unggul.
Memang karena perbedaan
pakaian yang dikenakan antara kedua tokoh itu terlalu menyolok, sehingga
mem-buat Jagar dan Subarji tidak mengalami kesulitan me-mastikannya.
Karena cepatnya pertarungan
kedua tokoh itu, maka yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning dan
hitam. Terkadang saling belit, tapi tak jarang pula saling pisah.
Berkali-kali Jagar dan Subarji
melihat kalau bayangan hitam sering keluar dari kancah pertarungan. Tapi itu
tidak berlangsung lama, karena sosok bayangan kuning langsung memburunya.
Sehingga, dua bayangan itu kembali saling belit.
Ternyata perbedaan tingkat
kepandaian antara kedua tokoh itu terpaut terlalu jauh. Buktinya, belum juga
pertarungan itu berlangsung dua puluh lima jurus, Kera Bukit Setan sudah
terdesak. Kini tokoh sesat ini selalu bermain mundur, dan hanya sesekali saja
menangkis. Namun, ternyata menangkis serangan justru merugikan dirinya sendiri.
Maka dia memutuskan untuk mengelak. Hal ini disebabkan, tenaga dalamnya berada
cukup jauh di bawah lawan.
"Hih...!"
Kera Bukit Setan menggertakkan
gigi seraya melompat ke belakang. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah,
cambuknya langsung dilecutkan. Dia benar-benar khawatir kalau lawan akan
menyerangnya.
Tapi ternyata Buntara sama
sekali tidak melancarkan serangan susulan. Kakek berwajah penuh senyum itu
membiarkan lawannya melompat ke belakang, sehingga serangan cambuk sama sekali
tidak mengenainya. Ujung cambuk itu meledak di udara, menimbulkan suara nyaring
yang memekakkan telinga.
Buntara tidak berani bertindak
gegabah. Padahal tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi daripada tingkat
kepandaian yang dimiliki Kera Bukit Setan. Dan memang, dia tidak mau meladeni
lawan yang menggunakan senjata andalan dengan tangan kosong. Sebab, akibat yang
dihadapinya tidak kecil.
Maka begitu melihat lawan
mengeluarkan senjata andalan, dia pun segera menjumput pedangnya.
Srattt..!
Sinar terang berpendar ketika
pedang itu keluar dari sarungnya.
Kini dengan senjata andalan di
tangan masing-masing, kedua tokoh sakti itu kembali saling gebrak. Maka, kini
serangan-serangan kedua tokoh itu berlangsung lebih sengit. Suara mengaung,
mendesing, dan meledak-ledak meramaikan pertarungan antara Buntara dan Kera
Bukit Setan.
Tapi hanya beberapa puluh
jurus saja pertarungan antara kedua tokoh sakti itu berlangsung cukup seru.
Menginjak jurus ketiga puluh lima, Kera Bukit Setan kembali terdesak. Suara
meledak-ledak yang keluar dari lecutan cambuknya perlahan semakin jarang
terdengar. Sebaliknya, suara mendesing dan mengaung yang kini sering terdengar.
Menjelang jurus keempat puluh
tiga, keadaan Kera Bukit Setan semakin gawat. Tubuhnya sudah terpontang-panting
ke sana kemari dalam upaya menyelamatkan selembar nyawa. Sudah bisa
diperkirakan, tewasnya laki-laki bertubuh kecil kurus ini hanya tinggal
menunggu saatnya saja.
Kini ledakan cambuk laki-laki
berompi hitam itu sudah hampir tidak terdengar lagi. Yang terdengar hanyalah
suara mendesing dan mengaung dari pergerakan pedang Buntara yang memekakkan
telinga.
"He... he... he...! Lucu!
Lucu sekali...! Ada kambing kurus dan kerbau gendut tengah menari-nari!
Menari-nari..., la... la... la...!"
Suara pelan dan tak jelas
seperti keluar dari mulut orang yang tengah mengigau terdengar. Itu pun masih
di-tambah lagi dengan suara tegukan keras. Tampaknya pemilik suara itu tengah
menenggak minuman dengan cara kasar.
Hebatnya, sungguhpun terdengar
pelan saja, tapi suara itu mampu mengalahkan suara desingan dan aungan ribut
yang keluar dari gerakan pedang Buntara!
Buntara dan Kera Bukit Setan
terkejut bukan main. Sebagai tokoh sakti yang berpengalaman, mereka segera tahu
ada tokoh tangguh luar biasa datang. Bagai diberi aba-aba, kedua orang ini
segera melompat ke belakang dan langsung menoleh ke arah asal suara. Dengan
sendirinya, pertarungan pun terhenti.
Sekitar lima tombak di sebelah
kanan mereka, tampak berdiri seorang kakek bertubuh pendek gemuk dan ber-perut
buncit. Kepalanya botak dan licin. Tidak ada sedikit pun bulu yang menghiasi
wajahnya. Bahkan sama sekali tidak memiliki alis!
Karena perut kakek itu gendut
sekali, rompi yang terbuat dari anyaman bulu burung garuda itu sama sekali
tidak mampu menutupi bagian depan tubuhnya. Tampak di tangan kanan kakek ini
tergenggam sebuah guci besar yang selalu dituang ke mulutnya.
Glek.. glek... glek...!
Suara tegukan terdengar ketika
kakek berperut buncit itu menuangkan arak dalam guci besar itu ke mulutnya.
Kini jelas sudah, mengapa tadi sewaktu kakek itu berkata-kata terdengar juga
suara tegukan.
Beberapa tetes arak jatuh ke
tanah ketika kakek ber-kepala botak itu menuangkan araknya. Bahkan sekitar
mulutnya dibasahi arak.
Dengan gerakan kasar dan
sembarangan, kakek ber-perut buncit itu mengusap mulut dengan punggung tangan,
sehabis menuangkan arak. Kemudian, guci arak itu di-turunkan dari atas wajahnya
seraya melangkah maju.
Buntara dan Kera Bukit Setan
mengerutkan alisnya melihat kakek berkepala botak itu berkali-kali hampir jatuh
ketika melangkah. Tubuhnya oleng ke sana kemari. Jelas, kakek ini dalam keadaan
mabuk.
Mendadak wajah kedua tokoh sakti
itu memucat ketika teringat seorang tokoh yang mempunyai ciri-ciri seperti itu.
Seorang tokoh sesat yang tak kenal ampun, dan sudah lama mengasingkan diri.
Sehingga, julukannya sudah mulai dilupakan orang! Setan Mabuk, itulah
julukannya! Tapi bukankah tokoh yang menggiriskan ini tinggal di Gunung
Langkat, yang jauh dari tempat ini? Mengapa sampai tiba di sini? Berbagai
pertanyaan berkecamuk di benak kedua orang itu.
***
"He he he...! Mengapa
berhenti. Sapi Gendut..?!" sambil melangkah sempoyongan, kakek berkepala
botak yang berjuluk Setan Mabuk itu menegur Buntara. "Mengapa tarian sapi
gendut itu dihentikan?!"
Mendengar kata-kata yang
bernada hinaan, selebar wajah Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau itu merah padam.
Meskipun begitu, tetap saja raut wajahnya tidak menampakkan kemarahan. Wajah
Buntara tetap cerah, dan senyum tetap mengembang di bibirnya. Sepasang matanya
pun berbinar-binar.
"Kau juga, Kambing Kurus.
Mengapa berhenti menari? Teruskan...!"
Sambil berkata demikian. Setan
Mabuk kembali mengangkat guci araknya yang besar, dan menuangkan ke mulutnya.
Glek... glek... glek...!
Suara tegukan keras terdengar
ketika arak itu melalui tenggorokan kakek berkepala botak itu.
"Ah...! Nikmaaat..!"
Dengan punggung tangan. Setan
Mabuk mengusap tumpahan arak yang membasahi sekitar mulutnya. Kasar sekali
caranya. Bahkan berkesan menjijikkan.
"Keparat...!"
Kera Bukit Setan berteriak
memaki. Laki-laki berompi hitam ini tidak tahan dihina seperti itu. Maka....
Ctarrr...!
Suara menggelegar keras diiringi
mengepulnya asap berwarna putih terdengar ketika ujung cambuk itu melecut di
udara. Baru kemudian, ujung cambuk itu meluncur cepat ke arah ubun-ubun kepala
Setan Mabuk.
Kejam dan telengas sekali
gerakan Kera Bukit Setan. Sekali menyerang sudah meluncurkan serangan yang
dapat membuat nyawa kakek berkepala botak itu pergi ke alam baka. Ubun-ubun
merupakan salah satu bagian terlemah pada tubuh manusia. Dan kini, ujung cambuk
yang mampu menghancurkan batu karang itu meluncur deras ke bagian itu.
Buntara terperanjat juga
melihat serangan maut itu. Apalagi, tampaknya Setan Mabuk seperti tidak
mengetahui adanya bahaya. Dia masih sibuk mencium-cium bau araknya.
Melihat hal ini, semula kakek
berwajah penuh senyum itu ingin menolong. Tapi niatnya segera diurungkan ketika
teringat kalau kakek ini memiliki kepandaian amat tinggi. Hal itu bisa
diketahui dari suara Setan Mabuk yang mampu menindih suara gerakan pedangnya.
Padahal, tokoh sesat pemabukan itu hanya pelan saja mengucapkannya.
Tindakan Buntara menahan gerakannya
ternyata tepat sekali. Buktinya, begitu ujung cambuk itu hampir mengenai
sasaran, tanpa mengangkat wajah, Setan Mabuk mengulur tangan menyambut.
Wajah Buntara dan Kera Bukit
Setan berubah seketika. Apa yang dilakukan Setan Mabuk benar-benar di luar
dugaan! Ujung cambuk yang mampu menghancurkan batu yang paling keras sekalipun,
hanya ditangkis dengan tangan kosong! Suatu hal yang tidak akan mungkin dapat
dilakukan Buntara!
Itulah sebabnya, tindakan
Setan Mabuk benar-benar menimbulkan keterkejutan Buntara dan Kera Bukit Setan.
Apalagi, cara kakek berkepala botak itu memapak, seperti-nya tanpa mengerahkan
tenaga dalam sama sekali. Gerakannya begitu sembarangan saja!
Prattt..!
Telak dan keras sekali ujung
cambuk itu berbenturan dengan tangan Setan Mabuk. Dan sebelum Kera Bukit Setan
sempat berbuat sesuatu, tangan kakek berbaju rompi bulu burung itu bergerak
menangkap. Dan...
Tappp...!
Tanpa mampu dicegah, ujung
cambuk Kera Bukit Setan telah tertangkap tangan Setan Mabuk. Dan secepat cambuk
itu tercekal, secepat itu pula kakek berkepala botak ini membetotnya.
Kera Bukit Setan tentu saja
tidak merelakan senjata andalannya dirampas. Maka begitu lawan membetot,
seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk mempertahankannya.
Tapi usaha yang dilakukan laki-laki
berompi hitam ini sia-sia. Tenaga betotan itu memang terlalu kuat. Karena
bersikeras mempertahankan cambuk, maka Kera Bukit Setan pun ikut tertarik ke
depan.
Masih bersikap sembarangan,
Setan Mabuk kembali menggerakkan tangannya. Kali ini tangan yang meng-genggam
cambuk diputar-putarkan.
Gila! Betapapun Kera Bukit
Setan berusaha memper-tahankannya, tetap saja tubuhnya ikut terbawa arah
gerakan tangan Setan Mabuk. Dan kini tubuh laki-laki berompi hitam itu
terputar-putar di udara. Dan dengan sendirinya, Kera Bukit Setan tidak mampu
mengadakan perlawanan lagi. Tidak ada lagi landasan baginya untuk dijadikan
tempat menahan putaran tangan lawan. Kini, dia hanya bisa pasrah saja.
"He... he... he...!
Menarik sekali..! Ada kambing kurus yang bisa terbang dan berputaran di
udara...!"
Setan Mabuk tertawa-tawa
gembira. Bahkan juga menambah tenaga putaran tangannya, sehingga membuat
putaran tubuh Kera Bukit Setan semakin cepat.
Laki-laki kecil kurus itu
menggigit bibir. Pening kepala-nya karena diputar-putar seperti itu.
Sekelilingnya tampak berputar cepat. Disadari, kalau tidak berbuat sesuatu,
keadaannya semakin gawat.
***
Buntara memperhatikan semua
itu dengan mata terbelalak. Kalau tidak melihatnya sendiri, dia mungkin tidak
akan percaya akan kenyataan ini. Telah dibuktikan-nya sendiri kelihaian Kera
Bukit Setan. Tapi, mengapa Setan Mabuk mampu melumpuhkannya dalam se-gebrakan?
Sulit dibayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu kakek berkepala botak ini.
Melihat kenyataan ini saja,
Buntara tahu kalau dirinya pun bukan tandingan kakek pemabukan itu. Tapi
meskipun begitu, kakek berwajah penuh senyum ini tidak sudi ber-sikap pengecut
dan melarikan diri. Buntara memutus-kan untuk tetap berada di situ, dan melihat
perkembangan yang akan terjadi.
Sementara itu putaran tubuh
Kera Bukit Setan semakin menjadi-jadi. Tubuh laki-laki berompi hitam itu sudah
tidak tampak lagi oleh pandangan mata, karena tubuhnya begitu cepat berputar.
Yang terlihat kini hanyalah sekelebatan bayangan hitam yang berputaran cepat di
atas kepala Setan Mabuk.
"He... he... he...!
Sekarang kambing kurus ini akan pergi ke neraka...!"
Setelah berkata demikian,
kakek berkepala botak itu melepaskan cekatannya pada cambuk itu. Tak pelak
lagi, tubuh yang tengah berputaran itu terlontar jauh!
Bagai diberi aba-aba, tiga
buah kepala sama-sama memandang ke arah tubuh Kera Bukit Setan melayang. Kepala
Buntara, Jagar, dan Subarji mengikuti arah tubuh Kera Bukit Setan yang meluncur
deras.
Kera Bukit Setan saat itu
sudah setengah sadar. Rasa pusing dan mual seketika berkumpul menjadi satu.
Bahkan telah hampir pingsan! Mungkin kalau Setan Mabuk sedikit menunda
lemparannya, laki-laki kecil kurus ini sudah pingsan.
Karena masih ada kesadaran
yang tersisa, sehingga membuat Kera Bukit Setan berusaha menyelamatkan selembar
nyawanya. Dia berusaha melihat keadaan tempat tubuhnya meluncur. Tapi rasa
pusing yang mendera, membuat pandangannya tetap berputar.
Dalam kesadaran yang hanya
tinggal sedikit itu, laki-laki berompi hitam ini berusaha terus menggunakan
akalnya. Dia tahu, saat ini pandangannya tidak bisa diandalkan. Betapapun telah
dipaksakan melihat ke depan, tetap saja seperti berputar.
Maka, untung-untungan
laki-laki kecil kurus ini men-julurkan kedua tangannya ke depan seraya
mengerahkan seluruh tenaga dalam. Maksudnya, agar bila membentur pohon besar
atau batu, kedua tangannya itulah yang menahannya lebih dulu. Dan karena
tangannya telah dilindungi pengerahan tenaga dalam, kemungkinan untuk celaka
kecil sekali.
Srakkk...!
Rupanya keberuntungan masih bersahabat
dengan Kera Bukit Setan. Dan memang, ternyata tubuhnya meluncur deras ke arah
semak-semak. Suara berkerosakan nyaring yang diakhiri suara berdebuk keras
terdengar ketika tubuh laki-laki berompi hitam itu menerobos kerimbunan semak
dan roboh di tanah.
"He... he... he...!
Rupanya nasib kambing kurus itu bagus juga...!" kata Setan Mabuk sambil
terkekeh.
Setan Mabuk dan juga tiga
orang lainnya terus memperhatikan tubuh Kera Bukit Setan. Guci arak kakek
berkepala botak itu segera diangkat kembali ke arah wajah, lalu menuangkan
isinya ke mulut. Suara tegukan nyaring kembali terdengar ketika arak itu
meluncur menuju perutnya.
Dengan gerakan kasar, kakek
berkepala botak itu menurunkan kembali guci araknya, lalu dipegang dengan
tangan kiri. Sementara tangan kanannya, dengan gerakan kasar mengusap mulutnya
yang penuh ceceran arak di sana-sini.
"He... he... he. .!
Kalian pun akan mengalami hal yang serupa apabila tidak mau menunjukkan di mana
Dewa Arak sekarang berada. He... he... he...!"
Dengan terputus-putus karena
pengaruh hawa arak, kakek berkepala botak itu mengucapkan ancaman seraya
melangkah terhuyung-huyung mendekati Buntara.
"Dewa Arak...?!"
Hampir berbareng Buntara,
Subarji, dan Jagar meng-gumamkan julukan itu. Raut wajah mereka seketika mem-bayangkan
keterkejutan yang hebat.
"He... he... he...!
Benar! Dewa Arak...!" dengan suara tawa terkekeh yang tidak pernah tinggal
dari mulutnya, kakek berkepala botak itu menyahuti. Jelas, pengaruh araklah
yang membuatnya mudah sekali tertawa. "Kalau tidak mau memberi tahu di
mana dia berada, kalian akan mengalami nasib yang sama."
Sambil berkata demikian, Setan
Mabuk menatap tajam ke arah Buntara. Sepasang mata kakek berkepala botak ini
tampak merah menyala. Entah karena memang warna matanya yang demikian, atau
karena terlalu banyak minum arak.
"Aku memang sering
mendengar nama besarnya. Tapi aku tidak tahu di mana adanya pendekar besar itu.
Andaikan tahu, tidak bakalan akan kuberitahukan padamu!"
Tegas dan mantap kata-kata
yang keluar dari mulut kakek berwajah penuh senyum itu. Jelas, seperti
men-cerminkan kekukuhan yang tidak mungkin mampu digoyahkan. Apalagi sehabis
mengucapkan kata-kata itu, Buntara menyilangkan pedangnya di depan dada.
Semakin terlihat keteguhan hatinya memegang ucapannya. Hanya saja, raut wajah
kakek ini tidak terlihat bersungguh-sungguh. Sehingga orang yang melihatnya,
akan mengira Buntara bersikap main-main.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk kembali tertawa terkekeh-kekeh. "Rupanya sapi gendut ini minta
cepat-cepat disembelih!"
Buntara sama sekali tidak
mempedulikan hinaan itu. Bahkan tanpa ragu-ragu lagi segera melangkah
mendekati. Langkahnya tidak sembarangan, tapi menyilang. Semen-tara sepasang
matanya beredar mencari-cari bagian tubuh lawan yang akan diserang.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa
terkekeh saja melihat sikap lawannya, dan tampak memandang remeh sekali.
"Haaat..!"
Diiringi teriakan keras yang
menggetarkan jantung, dan membuat kedua kaki Jagar dan Subarji mendadak lemas,
Buntara menusukkan pedang ke arah dada Setan Mabuk. Suara mendesing nyaring
dari udara yang terobek terdengar ketika pedang itu meluncur menuju sasaran.
***
4
Setan Mabuk tertawa terkekeh.
Kemudian dengan langkah terhuyung seperti akan jatuh, kakinya melangkah ke
kanan sambil mendoyongkan tubuh. Maka serangan itu pun kandas, lewat setengah
jengkal di samping kiri tubuhnya.
Buntara menggertakkan giginya.
Rasa penasaran melanda hatinya. Maka begitu serangan pertamanya ber-hasil
dielakkan, segera disusuli dengan serangan bertubi-tubi lainnya.
Wakil Ketua Perguruan Naga
Hijau ini mengerahkan seluruh kemampuannya. Pedang di tangannya ber-kelebatan
cepat ke arah berbagai bagian tubuh lawan. Menusuk, membacok, menetak, dan
menyontek. Tapi, tak satu pun yang mengenal sasaran. Setan Mabuk dengan gerakan
seperti akan jatuh, membuat semua serangan Buntara kandas percuma!
Meskipun berkali-kali
serangannya gagal, kakek ber-wajah penuh senyum itu tidak putus asa. Dia terus
melancarkan serangan bertubi-tubi. Tekadnya tidak akan membiarkan lawan melancarkan
serangan balasan.
Sampai dua puluh jurus lebih,
Buntara mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjatuhkan serangan pada
anggota tubuh Setan Mabuk. Tapi semua usahanya sama sekali tidak membuahkan
hasil seperti yang diharap-kan. Setan Mabuk dengan gerakan-gerakan aneh
benar-benar membuat serangan Buntara jadi kandas.
"He... he... he...! Kini
giliranku, Sapi Gendut..!" kata Setan Mabuk.
Dan begitu ucapannya selesai,
gerakannya pun berubah mendadak. Tidak lagi lemas dan meliuk-liuk seperti akan
jatuh. Namun kejang, keras, dan kasar penuh kekuatan.
Dan kini tangan kanan Setan
Mabuk mendadak dan tiba-tiba meluncur deras ke arah pelipis.
Buntara terkejut bukan
kepalang menghadapi perubahan yang begitu mendadak ini, sehingga membuat-nya
agak gugup. Tanpa pikir panjang lagi dia melompat ke belakang.
Usaha kakek berwajah penuh
senyum ini ternyata tidak sia-sia. Sambaran tangan itu berhasil dielakkan,
lewat beberapa jengkal dari sasaran semula.
Tapi serangan Setan Mabuk
ternyata tidak hanya sampai di situ. Begitu serangan pertama berhasil
dielak-kan, segera menyusuli dengan serangan selanjutnya.
Kini setelah kakek berkepala
botak itu melancarkan serangan balasan, dan tidak hanya mengelak saja seperti
sebelumnya, Buntara baru merasakan betapa dahsyat lawannya. Memang diakui dia
kalah dalam segala-galanya dibanding Setan Mabuk. Baik ilmu meringankan tubuh,
tenaga dalam, maupun mutu ilmu silat.
Dan begitu kakek berkepala
botak mulai balas menyerang, serangan Buntara berhenti seketika. Wakil Ketua
Perguruan Naga Hijau ini hanya mampu mengelak. Tubuhnya harus
terpontang-panting ke sana kemari untuk menghindari serangan yang berkali-kali
hampir merenggut nyawanya.
Kini Buntara hanya mampu
mengelak. Menangkis pun hanya kalau ada kesempatan saja. Bila mengelak sudah
tidak memungkinkan lagi, sementara menyerang pun hanya sekali-sekali saja
dilakukannya. Kakek berpakaian kuning ini benar-benar terdesak hebat. Sudah
bisa dipasti-kan kalau robohnya Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini hanya
tinggal menunggu waktu saja.
Wuttt..!
Dengan gerakan tidak
terduga-duga karena posisi kakinya tidak tetap. Setan Mabuk mengayunkan gucinya
ke arah kepala Buntara.
Karena tidak ada kesempatan
mengelakkan serangan, terpaksa Buntara memutuskan untuk menangkis demi
menyelamatkan selembar nyawanya.
Tranggg..!
Suara berdentang nyaring
terdengar ketika pedang Buntara berbenturan dengan guci Setan Mabuk. Akibatnya,
kakek berwajah penuh senyum itu langsung memekik tertahan. Tangannya terasa
lumpuh, sehingga tanpa dapat ditahan pedangnya terlepas dari pegangan dan
terlempar jauh.
Sebelum Buntara berhasil
memperbaiki posisi, tangan Setan Mabuk telah meluncur deras ke arah dadanya.
Dan....
Bukkk...!
Tubuh Buntara terlempar ke
belakang diiringi suara berderak keras dari tulang-tulang yang patah terkena
pukulan. Darah segar langsung berceceran seiring melayangnya tubuh kakek
berwajah penuh senyum itu.
Brukkk...!
Tidak ada geliat-geliat pada
tubuh Buntara begitu menghantam tanah. Memang, nyawa Wakil Ketua Perguruan Naga
Hijau ini telah melayang selagi tubuhnya berada di udara.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa
terkekeh-kekeh melihat lawannya kini diam tidak bergerak lagi. Sejenak,
diperhatikannya tubuh yang tergolek diam di tanah.
***
Subarji terpaku menatap mayat
gurunya. Tapi, hanya sesaat saja dia berlaku demikian. Karena, kemarahan yang
amat sangat telah menyadarkannya kembali dari ke-terpakuan.
Maka, sambil meraung keras
seperti binatang buas ter-luka, Subarji melompat ke atas. Beberapa kali
tubuhnya berputar di udara, lalu dari atas pedangnya menusuk cepat ke arah
ubun-ubun.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa
terkekeh. Dengan gerakan sembarangan, tangan kanannya segera terulur. Dan….
Tappp…!
Sungguh di luar dugaan, mata
pedang Subarji berhasil ditangkap! Bahkan tidak sedikit pun tangan Setan Mabuk
terluka. Dan secepat senjata itu tertangkap, secepat itu pula dibetotnya.
Tak pelak lagi, tubuh Subarji
pun tertarik ke bawah. Tenaganya memang jauh di bawah tenaga Setan Mabuk. Jadi,
tidak aneh jika dia ikut tertarik ke bawah sewaktu kakek berkepala botak itu
membetotnya. Apalagi, keadaannya memang tidak memungkinkan. Tubuhnya tengah
berada di udara, dan tidak memiliki tandasan untuk berpijak.
Begitu tubuh Subarji telah
tertarik. Setan Mabuk langsung menyodokkan pedang yang digenggamnya.
Blesss...!
"Akh...!”
Subarji menjerit keras ketika
gagang pedang miliknya amblas ke dalam perutnya sendiri hingga sampai ke
punggung. Darah segar seketika muncrat-muncrat dari lukanya. Dan begitu kakek
berkepala botak itu melepaskan pegangan, tubuh Subarji ambruk ke tanah.
Sebentar laki-laki berkumis rapi itu menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi.
Mati.
Perhatian Setan Mabuk kini
beralih pada Jagar yang berdiri dalam jarak sekitar tujuh tombak di hadapannya.
"Tahan, Setan
Mabuk..!" seru Jagar keras seraya men-julurkan kedua tangannya ke depan.
Laki-laki bertubuh tinggi
besar ini sengaja buru-buru berteriak mencegah, sebelum kakek berkepala botak
itu melakukan tindakan terhadapnya.
"He... he... he...!
Mengapa, Lutung Jelek?! Apakah kau tahu di mana Dewa Arak sehingga berani
mencegahku? Perlu kau ketahui, aku tidak akan mengampunimu kalau kau tidak
memberi tahu di mana adanya orang yang berani-beraninya menyaingi
julukanku!"
Jagar menelan ludah untuk
membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Ucapan kakek berkepala botak itu
membuatnya merasa gentar bukan kepalang.
"Aku memang tidak
mengetahui di mana Dewa Arak, Setan Mabuk. Tapi aku tahu, bagaimana caranya
supaya dia datang mencarimu!"
Setan Mabuk mengangguk-anggukkan
kepala.
"He... he... he...!
Bagus! Bagus sekali...! Bagaimana caranya, Lutung Jelek?!"
Sambil berkata begitu. Setan
Mabuk melangkah meng-hampiri Jagar. Tentu saja dengan langkahnya yang
ter-huyung-huyung seperti akan jatuh.
Kedua kaki Jagar mendadak
lemas tatkala kakek ber-kepala botak itu mendekatinya. Rasa gentar dan ngeri
membuat kedua kakinya lemas mendadak.
"Buat kekacauan saja...!
Pasti, Dewa Arak akan datang."
"Kalau dia tidak muncul,
bagaimana...?!"
"Pasti datang, Setan
Mabuk'" sahut Jagar yakin. "Aku tahu betul, Dewa Arak adalah orang
yang mempunyai sifat usilan. Dia selalu ikut campur urusan orang lain."
Jagar menghentikan ucapannya
sejenak. Diperhatikan-nya wajah Setan Mabuk lekat-lekat. Tegang hatinya ketika
melihat kakek berkepala botak itu mengernyitkan dahinya, pertanda tengah
berpikir keras. Dua pilihan kini tengah ditunggunya. Apakah Setan Mabuk ini
menolak, atau menerimanya.
"Aku yakin, dia akan
muncul ke tempat kekacauan itu, Setan Mabuk. Karena aku tahu. Dewa Arak telah
berada di wilayah ini. Itu kudengar dari mulut perampok Hutan Gembor yang
diampuninya."
"He... he... he...! Kau
benar, Lutung Jelek! Aku pun men-dengarnya. Itulah sebabnya, mengapa aku keluar
dari tempatku. Ingin kulihat, seperti apa orang yang berani menyaingi
julukanku! He... he... he..!"
"Kalau begitu, aku akan
menghubungi rekan-rekanku dulu. Setan Mabuk."
"He... he... he.... Untuk
apa, Lutung Jelek?!"
"Tentu saja untuk membuat
kekacauan di mana-mana. Tapi..."
"Tapi apa?!" sentak
Setan Mabuk begitu Jagar meng-hentikan ucapannya.
Terlihat Jelas, laki-laki
bercambang bauk lebat itu merasa ragu-ragu meneruskan ucapannya. Jagar tidak
langsung menjawab, dan hanya berdiam diri dengan sikap gugup.
"Cepat katakan, sebelum
kesabaranku hilang dan kau kujadikan bangkai..!" ancam Setan Mabuk.
Wajah Jagar seketika memucat
mendengar ancaman kakek berkepala botak itu. Dia tahu. Setan Mabuk tidak pernah
bermain-main dengan ancamannya. Laki-laki ber-tubuh tinggi besar ini merasakan
adanya nada kesung-guhan dalam ucapan tokoh sesat yang menggiriskan itu.
"Selama ini, tindakan
kami selalu dihalang-halangi murid-murid Perguruan Naga Hijau...," sahut
Jagar dengan nada terpaksa.
"He... he... he...!
Kukira apa! Tak tahunya hanya itu saja, Lutung Jelek?! Mengenai Perguruan Naga
Hijau, biar aku yang urus! Aku akan datang ke sana untuk memusnahkan perguruan
itu selama-lamanya!" tandas Setan Mabuk. Keras dan lantang suaranya.
"Tapi... Tapi..., di tiap
desa ada murid-murid Perguruan Naga Hijau yang menetap, Setan Mabuk...!"
Kakek berkepala botak itu
kebingungan sesaat.
"Kau boleh pergi dengan
si kambing kurus itu...!" kata tokoh sesat pemabukan itu sambil
menudingkan telunjuk-nya ke arah kerimbunan semak-semak, tempat Kera Bukit
Setan tadi terjatuh.
Tak puas hanya dengan
menunjuk. Setan Mabuk melangkah menghampiri kerimbunan semak-semak itu. Luar
biasa! Hanya sekali langkah saja, tubuhnya telah melesat sejauh sebelas tombak.
Dari sini saja sudah bisa diketahui, betapa tingginya ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki kakek berkepala botak ini. Tidak heran dalam sekejapan saja, dia
sudah berada di tempat yang dituju.
Srakkk…!
Terdengar suara berkerosak
ketika semak itu tersibak.
Dan bertepatan dengan
terkuaknya kerimbunan semak-semak itu. Kera Bukit Setan baru saja bangkit dari
ber-baringnya.
"Kau mau menjadi anak
buahku, Kambing Kurus?!" tanpa menunggu lebih lama lagi. Setan Mabuk
langsung mengajukan pertanyaan.
Tanpa pikir panjang lagi. Kera
Bukit Setan menganggukkan kepala.
"Jawab kalau kutanya,
Kambing Kurus?!" sergah kakek berkepala botak itu keras.
"Aku bersedia...!"
jawab Kera Bukit Setan.
"He... he... he...!
Sekarang dengar baik-baik perintahku." Langsung saja Setan Mabuk memberi
perintah. "Kau ber-sama lutung jelek itu harus membuat kekacauan di setiap
desa. Dan bila telah melihat kedatangan Dewa Arak, segera beri tahu aku...!
Mengerti?!"
"Mengerti, Setan
Mabuk."
"He... he... he...!
Bagus...! Bagus...! Kau memang tidak terlalu dungu, Kambing Kurus!"
Sambil berkata demikian,
tangan Setan Mabuk bergerak menepuk-nepuk pipi Kera Bukit Setan yang hanya bisa
berdiam diri saja. Laki-laki berompi hitam ini tahu, tidak ada gunanya melawan
kakek berperut buncit itu. Melawan, berarti mati. Maka lebih baik mengalah
saja.
"Ada satu lagi yang perlu
kau ingat, Kambing Kurus," sambung Setan Mabuk lagi.
"Apa itu, Setan
Mabuk?!"
"Setiap membuat
kekacauan, jangan kau membinasa-kan semua orang. Sisakan beberapa orang agar
memberi laporan pada Dewa Arak. Katakan! Bila Dewa Arak tidak ingin semua ini
terjadi, dia harus datang dan meladeni tantanganku! Jelas?!"
"Jelas!" Kera Bukit
Setan menganggukkan kepala.
"Kalau begitu,
pergilah...!"
Kakek berkepala botak ini lalu
mengibaskan tangannya. Perlahan saja kelihatannya, tapi akibatnya tubuh Kera
Bukit Setan terlempar jauh. Apalagi laki-laki kecil kurus ini sama sekali tidak
menduga mendapat perlakuan seperti itu.
Baru ketika tubuhnya telah
berada di udara, Kera Bukit Setan berusaha keras agar tubuhnya tidak terbanting
di tanah. Dengan kelihaiannya, tidak sulit mematahkan daya lontaran itu.
Kemudian, kakinya mendarat ringan dan mantap di sebetah Jagar.
"Ingat! Kalau main-main,
tahu sendiri akibatnya...!"
Seketika tubuh Setan Mabuk pun
berkelebat dari situ. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuhnya sudah
berupa titik hitam. Semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di
kejauhan.
"Hhh...!"
Hampir berbareng Jagar dan
Kera Bukit Setan menghela napas lega. Kini hati mereka tenang kembali begitu
Setan Mabuk tidak terlihat lagi. Keduanya kemudian saling pandang sejenak
"Kau bersedia menjadi
anak buahnya?" tanya Kera Bukit Setan sambil menatap wajah Jagar
lekat-lekat.
"Apa boleh buat, daripada
nyawaku melayang," sahut laki-laki bercambang bauk lebat itu. "Toh,
tidak ada ruginya mempunyai pimpinan seperti dia. Kepandaiannya luar biasa!
Bersama dia, aku akan bebas berbuat semauku tanpa takut lagi pada orang-orang
usilan dari Perguruan Naga Hijau! Dan pasti perguruan itu tak lama lagi akan
musnah!"
"Heh...?!" Kera
Bukit Setan terperanjat "Benarkah ucapanmu itu?"
Jagar mengangguk.
"Setan Mabuk pergi ke
sana untuk menghancurkannya."
Kera Bukit Setan
mengangguk-anggukkan kepala per-tanda mengerti.
***
Setan Mabuk berlari cepat
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Tokoh sesat berkepala
botak itu ingin buru-buru tiba di tempat yang ditujunya. Padahal, markas
Perguruan Naga Hijau terletak cukup jauh dari tempatnya sekarang berada. Namun
bila dibanding desa-desa lainnya. Desa Koneng memang ter-letak paling dekat
dengan Perguruan Naga Hijau di lereng Gunung Koneng.
Berkat ilmu meringankan tubuh
yang sudah amat tinggi, dalam waktu tak berapa lama kakek berkepala botak ini
telah berada di kaki Gunung Koneng. Dan kini, dia mulai sibuk mendaki ke atas.
Lincah dan gesit laksana kera,
Setan Mabuk ber-lompatan ke sana kemari. Tubuhnya melenting ke atas, kemudian
hinggap pada batu-batuan yang menonjol. Begitu ujung kakinya menotok bebatuan,
tubuhnya kembali melenting ke atas. Begitu seterusnya. Memang bagi seorang yang
memiliki ilmu meringankan tubuh sepertinya bukan merupakan hal yang sulit untuk
melakukan semua itu.
Tak lama kemudian, pandangan
matanya sudah menangkap bangunan besar dan megah di kejauhan.
Melihat hal ini, semangat
Setan Mabuk pun semakin bertambah. Dan dengan demikian, larinya pun semakin
cepat pula.
Sementara itu di Perguruan
Naga Hijau, dua orang murid penjaga gerbang tampak mengernyitkan dahi. Mereka
melihat di kejauhan ada sesosok tubuh yang tengah bergerak mendekati perguruan.
Karena belum mengetahui maksud kedatangan sosok tubuh yang tengah bergerak,
kedua orang itu harus bersikap waspada.
"He... he... he...!"
Begitu telah berjarak dua
tombak dengan kedua orang penjaga pintu gerbang. Setan Mabuk tertawa terkekeh,
setelah terlebih dahulu menghentikan langkahnya. Kemudian, diangkatnya guci yang
sejak tadi digenggam dengan tangan kiri.
Dan kini terdengar suara
tegukan ketika cairan arak melewati tenggorokan kakek berkepala botak itu.
"Siapa kau?!" tegur
seorang murid Perguruan Naga Hijau yang berkulit kemerahan. "Apa
keperluanmu datang kemari?"
"He... he... he...!"
Setan Mabuk menurunkan guci
araknya, seraya mengusap sekitar mulutnya yang basah dengan punggung tangan.
Kemudian dengan keadaan tubuh doyong ke sana kemari, kakinya melangkah
mendekati kedua orang murid Perguruan Naga Hijau.
"Aku? Kau bertanya siapa
diriku. Kodok Buduk?! He... he... he...! Lucu! Kau tidak mengenalku? Aku Setan
Mabuk! Dengar, Setan Mabuk! Dan keperluanku adalah akan membasmi perguruan
kalian!"
"Keparat!" maki
penjaga pintu gerbang yang seorang lagi.
Dan...
Srattt...!
Sinar terang berkilatan ketika
penjaga itu meloloskan pedang dari sarungnya.
"Cabut senjatamu, Setan
Mabuk! Sebelum pedang di tanganku merobek-robek perutnya yang bulat seperti
guci arakmu!"
"Hm...!" terdengar
suara gumaman dari hidung Setan Mabuk.
Mendadak...
Pruhhh...!
Dari mulut Setan Mabuk
tiba-tiba keluar butir-butir arak. Rupanya kakek berperut buncit ini tadi tidak
meminum arak seluruhnya. Sebagian disimpannya di mulut, dan langsung
disemburkan ke arah murid Perguruan Naga Hijau yang telah menantangnya.
Semburan arak Setan Mabuk
tidak bisa dianggap remeh, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam
tinggi. Sehingga, semburan itu tak ubahnya luncuran anak panah.
Kedua orang murid Perguruan
Naga Hijau yang menjaga pintu gerbang seketika terperanjat Apalagi, rekan si
laki-laki berkulit kemerahan yang mendapat serangan itu. Dengan agak gugup
pedangnya digerakkan untuk menangkis serangan semburan arak itu.
Tring, tring. tring...!
Tasss, tasss, tasss…!
"Akh...!"
Murid Perguruan Naga Hijau
menjerit memilukan ketika butiran-butiran arak itu mengenai beberapa bagian
wajahnya. Akibatnya mengerikan sekali. Sekujur wajah yang terkena semburan arak
itu berlubang. Darah segar langsung menetes dari bagian yang terkena. Tak pelak
lagi, selebar wajah murid yang sial itu dipenuhi darah. Rasa sakit dan perih
yang amat sangat mendera rekan laki-laki berkulit kemerahan itu.
Dan belum sempat murid yang
sial itu berbuat sesuatu, tangan Setan Mabuk telah bergerak melambai. Seketika
murid Perguruan Naga Hijau itu tertarik keras ke depan. Dan begitu tubuhnya
telah dekat, kakek berkepala botak itu mengayunkan gucinya ke arah kepala.
Wuttt ! Prakkk..!
Suara berderak keras
mengiringi pecahnya kepala rekan laki-laki berkulit kemerahan. Cairan merah
bercampur putih seketika muncrat-muncrat. Tubuh orang itu langsung ambruk tanpa
bersuara lagi. Saat itu juga, nyawa murid Perguruan Naga Hijau seketika
melayang meninggalkan raganya
Laki-laki berkulit kemerahan
terperanjat melihat kematian kawannya secara begitu mudah dan mengerikan. Tapi
sesaat kemudian, rasa terkejutnya segera sirna dan berganti kemarahan yang amat
sangat. Kakek ini datang-datang telah menurunkan tangan maut pada rekannya. Ini
tidak bisa didiamkan.
Srattt...!
Laki-laki berkulit kemerahan itu
pun mencabut pedang, dan langsung menusukkannya ke arah dada kakek berperut
buncit.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa
terkekeh. Sama sekali tidak dipedulikannya sambaran pedang yang meluncur cepat
ke arah perutnya.
Takkk...!
Pedang murid Perguruan Naga
Hijau langsung terpental kembali begitu mengenal sasaran. Sepertinya, yang
ditusuk laki-laki berkulit kemerahan adalah gumpalan karet kenyal! Maka
laki-laki berkulit kemerahan itu terperanjat begitu melihat perut lawan sama
sekali tidak terpengaruh oleh tusukan pedangnya. Bahkan justru tangannya yang
terasa bergetar hebat.
Belum lagi rasa terkejutnya
hilang, tangan Setan Mabuk telah mencengkeram pangkal lehernya. Langsung
dibentur-kannya kepala murid Perguruan Naga Hijau dengan kepalanya sendiri.
Prakkk...!
Terdengar suara berderak keras
ketika kepala laki-laki berkulit kemerahan itu hancur berantakan. Tubuhnya
limbung sejenak, lalu ambruk ke tanah. Sebentar dia menggelepar, kemudian tak
berkutik lagi.
"He... he... he...!”
Setan Mabuk tertawa terkekeh
melihat lawan tak ber-daya lagi. Kemudian bagaikan melempar sebuah karung
basah, mayat laki-laki berkulit kemerahan itu dicampakkan begitu saja ke tanah.
Lalu, tokoh sesat itu melesat ke dalam.
***
Baru saja melewati pintu
gerbang yang memang terbuka, di hadapan Setan Mabuk telah berdiri belasan orang
berseragam kuning bergambar naga pada dada kirinya. Semuanya murid Perguruan
Naga Hijau. Rupanya, mereka mendengar adanya keributan di luar, sehingga
berbondong-bondong menuju ke luar.
Betapa terkejutnya hati
murid-murid Perguruan Naga Hijau begitu melihat seorang kakek berkepala botak
telah melesat masuk sambil tertawa terkekeh-kekeh. Dari sikapnya yang kasar,
bisa diduga golongan kakek gendut itu berasal. Tidak salah lagi! Pasti golongan
hitam!
Melihat orang kasar seperti
kakek itu bisa masuk ke dalam, sudah dapat dipastikan kalau masuknya pasti
dengan cara paksa. Dan itu berarti dua orang penjaga pintu gerbang telah
berhasil digilasnya. Tanda noda darah di bagian kepala Setan Mabuk kian memperjelas
persoalannya.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh
melihat keterkejutan belasan murid Perguruan Naga Hijau di hadapannya. Kakek
berkepala botak ini memang sudah memutuskan untuk menghancurkan Perguruan Naga
Hijau, bukan karena ingin membantu Jagar, tapi karena ingin membuat kerusuhan
sebanyak mungkin agar Dewa Arak muncul.
Maka tanpa sungkan-sungkan
lagi, segera diserbunya belasan murid Perguruan Naga Hijau yang memang sudah
bersiap dengan senjata di tangan.
Sekali menyerang, Setan Mabuk
langsung mengeluar-kan ilmu andalannya, 'Seribu Satu Gerakan Setan Mabuk'.
Kedua tangannya yang terbentuk cakar aneh, guci, dan juga araknya dikeluarkan
untuk menghadapi belasan orang pengeroyoknya.
Sepak terjang Setan Mabuk
benar-benar menggiriskan. Setiap kali tangan, guci, atau araknya meluncur,
sudah dapat dipastikan ada sosok tubuh yang ambruk ke tanah. Dalam waktu
sebentar saja, empat orang murid Perguruan Naga Hijau roboh bergelimpangan
untuk selama-lamanya.
Murid-murid Perguruan Naga
Hijau yang tersisa terkejut bukan main melihat kehebatan kakek berperut buncit
itu.
Sungguh tidak disangka kalau
dalam beberapa gebrakan saja, Setan Mabuk mampu membinasakan keempat rekan
mereka.
Pikiran seperti itu membuat
mereka memaksakan diri untuk mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Senjata-senjata mereka pun berkelebat mencari sasaran.
Tapi perlawanan keras
murid-murid Perguruan Naga Hijau sama sekali tidak berarti banyak. Setan Mabuk
terlalu tangguh untuk dapat ditandingi. Setiap serangan pedang yang menyambar,
selain ke arah matanya dibiarkan saja.
Hebatnya, setiap serangan yang
menyambar berbagai bagian tubuh Setan Mabuk kembali membalik seperti menghantam
gumpalan karet kenyal. Tidak hanya itu saja. Tangan yang menggenggam pedang pun
bergetar hebat seperti akan lumpuh.
Sebaliknya, setiap serangan
kakek berperut buncit itu selalu diakhiri oleh lolong kesakitan yang menyayat
hati. Kedua tangan, guci, dan arak kakek itu sudah beberapa kali merenggut
nyawa. Penjagalan manusia secara tak ber-perikemanusiaan pun berlangsung di
halaman Perguruan Naga Hijau.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk kembali tertawa
terkekeh begitu tidak ada lagi lawannya yang berdiri tegak. Semua tergolek di
tanah dalam keadaan tidak bernyawa.
Setelah puas memperhatikan
mayat-mayat yang ter-kapar di tanah. Setan Mabuk bergerak menghampiri bangunan
Perguruan Naga Hijau. Diambilnya beberapa batang kayu dari sekitar bangunan,
lalu digosokkannya satu sama lain.
Dengan tenaga dalam yang
dimilikinya, bukan hal yang sulit untuk menyalakan api. Sesaat kemudian, api
pun memercik dan mulai membakar kayu-kayu itu.
"He... he... he...!"
Masih dengan tawa terkekeh,
Setan Mabuk melempar-kan potongan-potongan kayu itu ke arah bangunan.
Tak lama kemudian, api mulai
membakar bangunan itu. Semakin lama, api semakin besar dan membumbung tinggi.
Asap tebal dan hitam pun memenuhi angkasa. Tidak ada jerit kematian, karena
seluruh murid Perguruan Naga Hijau memang telah dibinasakannya. Namun, entah
berada di mana ketua perguruan itu. Mungkin saja dia tengah bersemadi di puncak
Gunung Koneng.
Seiring semakin membesarnya
api, sekeliling tempat itu pun terasa panas di kulit Setan Mabuk laki melangkah
ke belakang, karena hawa panas mulai menyengat kulit tubuhnya. Kakek berperut
buncit ini memperhatikan api yang membakar bangunan perguruan itu dari jarak
yang cukup jauh.
"He... he... he...!"
Dengan tawa terkekeh yang
selalu keluar dari mulutnya, Setan Mabuk melangkah meninggalkan tempat itu.
Dengan langkah agak terhuyung-huyung, tubuhnya melesat cepat bagai kilat.
Semakin lama, suara tawa kakek
berkepala botak itu semakin mengecil. Suara tawa itu akhirnya lenyap, seiring
dengan tubuhnya yang lenyap di kejauhan.
***
Suara gemeretak kayu yang
terbakar diiringi meletiknya beberapa gelintir bara api, menyemaraki kesibukan
seorang pemuda tampan berambut putih keperakan yang tengah memanggang seekor
ayam hutan.
Dengan jakun turun naik dan
air liur yang hampir menitik, pemuda berpakaian ungu itu terus tenggelam dalam
kesibukannya. Tangan kanannya mengebut-ngebutkan daun nangka yang dijadikannya
kipas. Sedang-kan tangan kirinya sibuk memutar-mutar bambu yang memanggang
ayam.
Cuping hidung pemuda itu
kembang kempis begitu mencium bau sedap daging terbakar. Memang sebelum
memanggang, dia telah membubuhkan bumbu secukupnya. Tidak aneh jika akhirnya
tercium bau sedap, sehingga perut yang sudah lapar semakin menjerit-jerit minta
segera diisi.
Setelah yakin kalau
panggangannya telah matang, pemuda berambut putih keperakan itu mulai
menik-matinya. Tentu saja setelah tidak terasa panas menyengat mulut lagi.
Rupanya, pemuda itu dilanda
lapar yang amat sangat. Terbukti begitu potongan yang pertama telah habis
disikat lalu dilanjutkan dengan potongan selanjutnya. Dalam waktu tak lama,
panggang ayam hutan itu telah habis dilahap.
"Ahhh...!"
Pemuda berambut putih
keperakan itu mendesah puas. Diusapnya pinggir-pinggir mulut yang penuh minyak
dengan punggung tangan. Kemudian, tubuhnya disandarkan di pohon seraya
menepuk-nepuk perutnya yang kini sudah tidak kempes lagi.
Perlahan-lahan dijumput guci
arak yang tadi diletakkan di dekatnya, lalu didekatkan ke mulut. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar tegukan ketika arak
itu melewati tenggorokan. Menilik dari warna rambut, pakaian yang dikenakan,
dan guci arak yang terbuat dari perak, sudah bisa diterka sosok pemuda itu. Ya!
Dialah Arya Buana alias Dewa Arak.
Tentu saja sewaktu meminum
arak, Dewa Arak tidak bermaksud mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Pemuda
berambut putih keperakan itu hanya minum sekadarnya saja. Itulah sebabnya.
Begitu araknya diminum, dia tidak terpengaruh sama sekali.
Perut kenyang, tubuh
bersandar, dan angin pagi yang semilir, tidak aneh kalau membuat orang
mengantuk. Begitu pula dengan Arya. Rasa kantuk ini mulai menyerang matanya.
Perlahan-lahan sepasang matanya terpejam sendiri.
Tapi rasa kantuknya kontan
menguap entah ke mana ketika terdengar langkah-langkah kaki mendekati
tempat-nya. Seketika itu juga sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot Arya
menegang waspada, siap menghadapi segala kemungkinan.
Semakin lama, langkah kaki itu
semakin jelas terdengar. Jelas, pemilik langkah itu tengah bergerak mendekati
Dewa Arak. Maka pemuda berambut putih keperakan ini lang-sung bergerak bangkit.
Guci arak yang tergeletak di
samping kanannya, dibiarkan saja, karena saat ini memang belum diperlukan.
Kini Dewa Arak duduk tegak
menunggu. Ingin diketahui-nya pemilik langkah itu. Menilik dari suaranya, dia
tahu kalau pemilik langkah itu tidak hanya seorang saja.
Tak lama kemudian, dari arah
sebelah kiri Dewa Arak tampak muncul serombongan orang berwajah angker. Empat
orang di antara mereka memikul sebuah tandu.
Melihat hal ini, kewaspadaan
Dewa Arak mulai mengendur. Menilik dari tandu itu, bisa diduga kalau rombongan
yang seluruhnya berjumlah enam belas orang adalah pengawal pemilik tandu yang
akan pindah tempat.
Arya melirik sekilas ke arah
rombongan itu. Tampak empat orang berada di depan tandu yang dipikul oleh empat
orang bertubuh kekar dan kuat. Sementara di belakang, berjalan tak kurang dari
delapan orang.
Kemudian tanpa mempedulikan
lagi, Dewa Arak segera menyandarkan punggungnya kembali ke pohon. Memang pohon
tempatnya bersandar berada di hadapan bagian hutan yang biasa dijadikan orang
untuk menempuh perjalanan. Maka, sudah bisa ditebak kalau tidak lama lagi
rombongan orang itu akan berlalu di depan Arya.
Semula Arya menduga kalau
pemilik banyak langkah itu adalah rombongan perampok. Itulah sebabnya, mengapa
sikapnya begitu waspada. Maka begitu tahu kalau pemilik langkah itu hanyalah
rombongan orang yang mengawal sebuah tandu yang sudah pasti dimiliki seorang
saudagar, dia pun tidak ambil peduli lagi.
Semakin lama rombongan itu
semakin dekat dengan tempat Arya bersandar. Meskipun terlihat tidak peduli,
tapi tetap saja Dewa Arak memasang pendengarannya tajam-tajam. Maka dia bisa
tahu, rombongan itu semakin men-dekati tempatnya.
Mendadak, terdengar suara
pelan seperti ada kain ter-singkap. Dewa Arak yang merasa curiga segera membuka
mata. Secepat matanya terbuka, secepat itu pula hatinya tercekat. Suara kain
yang tersingkap ternyata berasal dari samping kanan tandu.
Yang mengejutkan Arya bukan
tirai yang tersingkap, tapi 'sesuatu' yang melesat cepat dari dalam tandu.
Ternyata, empat bilah pisau melesat ke arahnya disertai suara mendesing
nyaring.
Namun Dewa Arak tidak berani
bertindak ceroboh. Menilik dari suara mendesing nyaring yang mengawali tibanya
serangan, sudah bisa diterka kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Dewa Arak tidak berani menangkis, karena tidak ada kesempatan lagi untuk
mengambil guci.
Arya tidak punya pilihan lain
lagi kecuali menggulingkan tubuhnya ke samping.
Cappp, cappp...!
Tiga bilah pisau langsung
menancap sampai gagangnya di batang pohon tempat bersandar Dewa Arak tadi. Dari
sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam orang yang
melemparkannya.
Belum juga Arya sempat
memperbaiki keadaannya, dari batik tirai tandu melesat sesosok bayangan putih.
Langsung dicecarnya pemuda berambut putih keperakan itu dengan pukulan
bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati.
Kali ini Dewa Arak terpaksa
menyalahi kebiasaannya. Biasanya, pemuda berpakaian ungu ini tidak pernah
menangkis langsung serangan sebelum bisa memper-kirakan kekuatan tenaga dalam
lawan. Tapi kali ini, karena kesempatan yang dimiliki tidak memungkinkan,
terpaksa tangannya bergerak menangkis. Sadar akan kekuatan tenaga dalam lawan,
tanpa sungkan-sungkan lagi segera seluruh tenaga dalam yang dimilikinya
dikerahkan dalam tangkisan itu.
***
6
Plak, plak…!”
Serangan sosok bayangan putih
itu semuanya berhasil dikandaskan Dewa Arak. Bahkan tubuh sosok bayangan itu
pun terpental balik ke belakang. Sementara kedua tangan Arya hanya terasa
bergetar hebat.
Lagi-lagi sebelum pemuda
berambut putih keperakan itu berhasil memperbaiki keadaannya, kembali datang
serangan dahsyat. Kali ini bukan dari sosok bayangan putih, melainkan dari
orang-orang berwajah angker yang mengawal tandu.
Secara serempak, mereka semua
meluruk memburu tubuh Dewa Arak yang masih tergeletak di tanah. Senjata-senjata
yang tergenggam dj tangan segera berkelebatan cepat ke arah berbagai bagian
tubuh Dewa Arak.
Sing, sing, sing...!
Suara-suara mendesing nyaring
mengawali tibanya serangan senjata para pengawal tandu itu.
Kali ini, Dewa Arak sama
sekali tidak mengelakkan serangan. Arya tahu, perbedaan kekuatan tenaga dalam
antara dirinya dengan orang-orang berwajah angker itu sangat jauh. Dengan
kekuatan tenaga dalam yang dimiliki, semua senjata itu mampu ditangkisnya tanpa
terluka.
Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras terdengar
berulang-ulang ketika senjata-senjata itu berbenturan dengan kedua tangan Dewa
Arak. Arya yang tidak mau bersikap main-main lagi, langsung mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimiliki.
Akibatnya sudah bisa diduga.
Seketika terdengar jeritan-jeritan kaget dari mulut para pengawal tandu itu
ketika tangan mereka mendadak lumpuh. Tak pelak lagi, senjata yang digenggam
pun terlepas dari tangan dan berpentalan entah ke mana.
Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan Dewa Arak. Kedua tangannya pun diputar di depan dada. Kontan dari
kedua tangan yang berputaran itu muncul angin keras. Akibatnya, tubuh para
pengeroyoknya berpentalan tak tentu arah seperti dilanda angin topan.
“Hih…!”
Sambil mengeluarkan teriakan
keras menggetarkan jantung, sosok bayangan putih itu melompat menerjang Dewa
Arak. Tapi kali ini, Arya sama sekali tidak ingin menangkis serangan, karena
empat orang pemikul tandu telah bergerak menghampiri guci araknya yang
tertinggal. Sudah bisa diperkirakan tindakan yang akan dilakukan mereka.
Maka seketika tubuh Arya
melenting ke atas, melompati tubuh sosok bayangan putih. Pemuda berambut putih
keperakan ini berburu dengan waktu. Guci araknya harus cepat diambil lebih dulu
sebelum empat orang pemikul tandu itu merampasnya.
Menyadari kalau tidak akan
sampai lebih dulu, karena jaraknya dengan guci terlalu jauh, dan sementara
empat orang itu sudah hampir mencapainya. Dewa Arak tidak mempunyai pilihan
lain lagi. Sambil melompat, langsung dilancarkannya pukulan jarak jauh ke arah
dua di antara empat orang yang sudah hampir mencapai guci.
Wuttt..!
Bresss...!
Jeritan-jeritan ngeri
terdengar ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak telak dan keras sekali menghantam
punggung dua orang yang ditujunya. Seketika itu juga, darah segar muncrat dari
mulut ketika tubuh dua orang pemikul tandu itu terjungkal ke depan. Tubuh kedua
orang yang sial itu menggelepar-gelepar sejenak, kemudian diam tidak bergerak
lagi selama-lamanya.
Sementara dua orang lainnya
terkejut bukan main melihat kejadian ini. Dengan sendirinya, langkah mereka
terhenti. Dan di saat itulah tubuh Arya melayang cepat. Seperti seekor burung
garuda menyambar mangsa, dia meluruk dan menyambar guci araknya.
Tappp...!
Dewa Arak melentingkan
tubuhnya beberapa kali. Dan begitu kedua kakinya hinggap di tanah, pandangannya
langsung beredar ke arah para pengeroyoknya yang ternyata tidak melancarkan
serangan kembali. Arya sempat melihat kalau sosok bayangan putih itu melarang
para pengawalnya untuk melancarkan serangan lagi. Kini, sosok bayangan putih itu
melangkah menghampiri pemuda berpakaian ungu itu.
"Siapa kalian? Mengapa
menyerangku?" tanya Dewa Arak, penuh wibawa.
Mata pemuda itu langsung
menatap sosok bayangan putih yang ternyata seorang laki-laki berwajah pucat
seperti mayat. Tampangnya benar-benar menyeramkan. Pakaian-nya yang berwarna
putih, semakin menambah seram penampilannya.
"Aku berjuluk Mayat
Kuburan Koneng," sahut orang ber-pakaian putih itu. Suaranya terdengar
aneh. Pelan, tapi bergaung mirip hantu kuburan. Kedua belah pipinya hampir
tidak bergerak sama sekali ketika berbicara. Mungkin itulah yang membuat
suaranya terdengar tidak jelas. "Memang tidak setenar julukanmu, Dewa
Arak!"
Arya mengernyitkan alisnya.
Dia memang tidak mengenal Mayat Kuburan Koneng.
"Mengapa kau menyerangku,
Mayat Kuburan Koneng?" tanya Arya lagi, karena laki-laki berpakaian putih
bersih itu sama sekali tidak menyahuti pertanyaannya.
"Aku hanya ingin menjajal
kepandaianmu saja, Dewa Arak. Apakah julukan yang kau sandang sebanding dengan
kepandaianmu, sehingga menggemparkan dunia per-silatan?!"
"Hhh...!"
Arya mengela napas berat.
Disadari kalau pertarungan tidak bisa dielakkan lagi.
"Kudengar, Setan Mabuk
menantangmu. Terpaksa aku mendahuluinya. Karena apabila dia lebih dulu
bertarung denganmu, kau tidak akan pernah bisa bertarung kembali denganku, Dewa
Arak'" sambung Mayat Kuburan Koneng
Pemuda berambut putih
keperakan ini mengerutkan alisnya.
"Setan Mabuk menantangku?
Mengapa aku tidak tahu? Jangankan tahu tentang tantangan itu, mendengar
julukan-nya saja baru kali ini! Tapi yang jelas, tokoh itu pasti memiliki
kepandaian yang amat tinggi. Mayat Kuburan Koneng yang diketahuinya memiliki
kepandaian tinggi, secara tidak langsung mengakui kalau Setan Mabuk memiliki
kepandaian di atasnya," kata hati Dewa Arak
"Ada satu hal lagi yang
membuatku terpaksa men-dahului Setan Mabuk, Dewa Arak'"
Kali ini suara laki-laki
berpakaian putih itu terdengar ber-sungguh-sungguh. Ada nada ancaman dalam
suaranya yang terdengar mengerikan itu.
"Kau kenal
Janggulapati?"
Arya mengernyitkan alisnya
sebentar, mengingat-ingat nama yang diucapkan Mayat Kuburan Koneng. Baru sesaat
kemudian, dia teringat Janggulapati adalah suami Gayatri. Mereka berdua
terkenal berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar (Untuk jelasnya, silakan baca
serial Dewa Arak dalam episode "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar").
Perlahan-lahan kepala pemuda
berpakaian ungu itu ter-angguk-angguk. Sementara tangan kanannya memegang dagu.
"Dia tewas di tanganmu,
bukan?!" desak laki-laki ber-pakaian putih dengan suara semakin tidak enak
didengar.
"Benar!" sahut Dewa
Arak, mantap. Memang dialah yang telah menewaskan Janggulapati.
"Perlu kau ketahui, Dewa
Arak. Janggulapati terhitung saudara seperguruanku. Walaupun setelah itu kami
menempuh cara sendiri-sendiri untuk memperdalam ilmu, tapi aku tidak rela dia
dibunuh orang! Bersiaplah, Dewa Arak. Aku akan membuat perhitungan denganmu
atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap Janggulapati!"
Belum juga gema suara itu
habis. Mayat Kuburan Koneng telah meluruk menerjang Dewa Arak. Laki-laki
berpakaian putih ini membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah
dada.
Arya segera menarik kaki kanan
ke belakang seraya mendoyongkan tubuh. Maka serangan itu tidak mencapai
sasaran, masih berjarak sekitar sejengkal di hadapannya.
Tapi, Mayat Kuburan Koneng
tidak sudi memberi kesempatan. Begitu Dewa Arak berhasil mengelakkan serangan,
segera disusulinya dengan serangan berikut. Kaki kanannya kini sedikit ditarik
pulang, lalu meluncur lagi mengancam leher Arya dengan sebuah tendangan miring
Kali ini Arya terpaksa
melompat ke belakang untuk mengelakkan serangan itu. Kemudian dia bersalto
beberapa kali di udara. Dan begitu hinggap, tangannya telah menggenggam sebuah
guci arak.
Gluk.. gluk.. gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika
Arya menuangkan arak ke mulutnya. Sesaat kemudian, hawa hangat merayapi
perutnya, dan perlahan naik ke atas kepala membuat tubuhnya oleng ke kanan dan
ke kiri.
Dan bertepatan dengan pemuda
berpakaian ungu itu menurunkan guci araknya, serangan dari Mayat Kuburan Koneng
telah datang menyambar.
Tak pelak lagi, pertarungan
sengit pun tidak bisa dihindari.
Mayat Kuburan Koneng mengamuk
seperti banteng terluka. Dia rupanya sangat mendendam atas kematian
Janggutapati di tangan Dewa Arak. Terbukti, setiap serangannya selalu mengancam
bagian-bagian yang mematikan. Bahkan selalu dilepaskan lewat pengerahan tenaga
dalam penuh.
Suara angin bercicitan
mengiringi tibanya setiap serangan yang dilancarkan Mayat Kuburan Koneng.
Jelas, setiap serangannya mengandung tenaga dalam tinggi.
Tapi orang yang diserangnya
kali ini adalah Dewa Arak. Seorang pendekar yang meskipun masih berusia muda,
tapi telah memiliki kepandaian amat tinggi. Ilmu andalannya, yang bernama
'Belalang Sakti' merupakan sebuah ilmu aneh yang dahsyat. Dan kini menghadapi
lawannya, ilmu andalannya itu langsung dikeluarkan.
Mayat Kuburan Koneng
menggertakkan gigi karena perasaan geram yang melanda hatinya. Telah belasan
jurus menyerang kalang kabut, tapi tak satu pun yang mengenai sasaran. Padahal
sepertinya Dewa Arak hanya mengelak dengan gerakan-gerakan tidak teratur.
Tapi anehnya, setiap serangan
yang dikirimkan Mayat Kuburan Koneng selalu mengenai tempat kosong. Serangan
itu selalu dielakkan Dewa Arak dengan gerakan-gerakan seperti orang akan jatuh.
Bahkan terkadang seperti memapak serangan yang dilancarkan dengan tubuhnya.
Anehnya, justru dengan berbuat seperti itu, serangan lawan bisa dikandaskan.
Semula, Arya sama sekali tidak
bermaksud mengadakan perlawanan. Dia sama sekali tidak mempunyai perselisihan
dengan Mayat Kuburan Koneng. Tambahan lagi, rasanya tak ada alasan untuk
membunuh laki-laki berpakaian putih ini. Arya belum melihat adanya kejahatan
yang tidak terampunkan pada Mayat Kuburan Koneng.
Tapi rupanya sikap mengalah
Dewa Arak ditafsirkan lain oleh Mayat Kuburan Koneng. Laki-laki berpakaian
putih ini malah menganggap pemuda berambut putih keperakan itu meremehkannya.
Dan sebagai akibatnya, serangan-serangannya pun berlangsung semakin dahsyat.
Kesabaran Dewa Arak pun habis.
Tokoh sesat ber-pakaian putih ini benar-benar tidak bisa dikasih hati. Dia
yakin, Mayat Kuburan Koneng tahu kalau dirinya telah terlalu banyak mengalah.
Laki-laki berpakaian putih itu adalah seorang tokoh sesat yang memiliki
kepandaian tinggi. Jadi, mustahil bila tidak mengetahui kalau dirinya telah
terlalu banyak mengalah! Begitu kesimpulan yang didapat Arya.
Maka, setelah pertarungan
berlangsung lebih dari tiga puluh lima jurus, dan serangan-serangan Mayat
Kuburan Koneng malah semakin membabi buta, Arya pun memutuskan untuk mengadakan
perlawanan.
Seketika itu pula gerakan Dewa
Arak berubah dahsyat. Kini gerakan-gerakannya tidak lagi meliuk-liuk dan lemas
seperti sebelumnya, tapi diselingi gerakan-gerakan kasar dan keras secara
mendadak. Bahkan boleh dibilang, sulit ditebak. Terkadang lemas seperti tidak
bertenaga, dan ter-huyung-huyung seperti akan jatuh. Tapi di lain saat, berubah
menjadi kasar, keras, dan penuh kekuatan. Gerakan-gerakannya pun jadi terlihat
liar! Ini pertanda kalau pemuda berpakaian ungu itu telah mengeluarkan Jurus
'Belalang Mabuk'nya.
Mayat Kuburan Koneng
terperanjat begitu merasakan perubahan yang begitu mendadak ini. Terasa adanya
tekanan-tekanan berat dari setiap serangan Dewa Arak. Seketika itu juga, porsi
serangan laki-laki berpakaian putih ini berkurang banyak.
Memang setelah Arya mulai
balas menyerang, Mayat Kuburan Koneng tidak lagi bisa leluasa melancarkan
serangan membabi buta seperti sebelumnya. Dan biasanya melakukan penyerangan
berarti membuka pertahanan. Semakin banyak menyerang, semakin banyak pertahanan
yang terbuka di sana-sini.
Tadi sewaktu Dewa Arak sama
sekali tidak melakukan perlawanan, laki-laki berpakaian putih ini bebas
menge-luarkan serangan, tanpa mempedulikan pertahanan lagi. Tapi kini pemuda
berpakaian ungu itu mulai balas me-nyerang. Dan bila Mayat Kuburan Koneng terus
menyerang membabi buta seperti sebelumnya, maka mudah bagi Dewa Arak untuk
memasukkan serangan ke berbagai bagian tubuh yang terbuka.
Memang hebat bukan kepalang,
Jurus 'Belalang Mabuk' itu. Sesuai dengan nama jurusnya, serangan-serangan itu
memang terlihat liar, ganas, dan penuh tekanan. Tidak aneh kalau dalam beberapa
jurus saja, Mayat Kuburan Koneng telah kewalahan.
Serangan-serangan Mayat
Kuburan Koneng semakin berkurang. Bahkan sebaliknya lebih banyak mengelak,
karena menangkis pun akan menimbulkan akibat buruk. Tenaga dalam Dewa Arak
jelas-jelas masih berada di atasnya. Maka bila terus-menerus menangkis
serangan, jelas akan menderita kerugian.
Berbeda dengan Mayat Kuburan
Koneng, keadaan Dewa Arak malah sebaliknya. Serangan-serangan pemuda ini
semakin bertubi-tubi menghujani lawan.
Dalam menghadapi Mayat Kuburan
Koneng, Arya tidak menguras seluruh kemampuannya. Bahkan gucinya tidak
digunakan, karena lawan belum menggunakan senjata. Meskipun begitu, sesekali
guci araknya dijumput dan ditenggak isinya. Kemudian gucinya disampirkan
kembali ke punggung.
Tentu saja hati Mayat Kuburan
Koneng semakin ber-tambah geram. Pemuda berambut putih keperakan itu dianggap
sengaja memperlihatkan, kalau sambil minum arak, mampu bertarung. Berarti,
Mayat Kuburan Koneng sama sekali tidak dianggap Dewa Arak. Maka, kontan
kemarahannya semakin berkobar.
Kemarahan hebat yang membakar
dada, membuat Mayat Kuburan Koneng mengambil keputusan untuk mengadu nyawa. Dia
tahu, Dewa Arak terlalu sakti untuk bisa dikalahkan. Pemuda berambut putih
keperakan itu telah terlalu banyak membuatnya malu di hadapan anak buahnya.
Padahal, dendam atas kematian Janggulapati saja belum bisa terbalaskan. Yang
jelas, kalau tak bisa menewaskan Dewa Arak, dia tidak akan bisa mati meram.
Dengan munculnya tekad untuk
mengadu nyawa, kini Mayat Kuburan Koneng kembali melancarkan serangan secara
membabi buta. Bahkan tidak dipedulikan lagi per-tahanan dirinya. Yang ada di
benaknya hanya satu. Meningkatkan serangan terhadap Dewa Arak.
Arya terkejut begitu merasakan
perubahan mendadak pada serangan lawan yang menjadi liar dan kalang-kabut
kembali. Sama sekali tidak mempedulikan pertahanan diri sendiri.
Plak... plak... plak..!
Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan
Mayat Kuburan Koneng berhasil ditangkis Dewa Arak. Akibatnya, tubuh laki-laki
berpakaian putih itu terhuyung-huyung ke belakang seraya meringis kesakitan.
Kedua tangan terasa linu dan sulit digerakkan.
Tapi, Mayat Kuburan Koneng
yang telah kalap langsung mematahkan kekuatan yang mendorong tubuhnya itu.
Kembali dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh Dewa
Arak.
Melihat hal ini, Arya sadar
kalau lawan mengajaknya me-ngadu nyawa. Tentu saja pemuda berambut putih
ke-perakan itu tidak meladeninya. Maka kembali di-gunakannya jurus 'Delapan
Langkah Belalang' untuk menghindari diri dari setiap serangan lawan.
Kembali pertarungan
berlangsung seperti pada jurus-jurus awal Mayat Kuburan Koneng menyerang kalang
kabut, sementara Dewa Arak mengelak ke sana kemari dengan jurus 'Delapan
Langkah Belalang’.
Mayat Kuburan Koneng
menggertakkan gigi. Rasa marah, malu, sakit hati, dan penasaran bercampur aduk
dalam hatinya. Keinginan untuk membunuh Dewa Arak telah begitu menggebu-gebu.
Tapi sayangnya hal itu tidak mampu diwujudkannya, sehingga membuat dadanya
terasa seperti akan pecah menahan berbagai macam luapan perasaan yang
bergejolak.
Lebih dari dua puluh jurus
laki-laki berpakaian putih ini menyerang kalang kabut. Tapi, tetap saja tidak
mampu menyarangkan tangan atau kakinya pada sasaran. Bahkan, mendesak Dewa Arak
pun belum mampu.
Mayat Kuburan Koneng ingin
menjerit keras saking bingungnya. Pertarungan telah berlangsung lebih dari
seratus lima puluh jurus, tapi sampai selama itu tetap saja belum mampu
mendesak Dewa Arak.
Sementara kelelahan perlahan
mulai melandanya. Padahal lawannya tampak masih segar seperti sediakala.
Melihat keadaan ini, Mayat
Kuburan Koneng khawatir tidak akan bisa mewujudkan maksudnya untuk membunuh
Dewa Arak. Maka tanpa ragu-ragu lagi, anak buahnya segera diberi isyarat untuk
membantunya.
Begitu melihat tanda dari
pemimpinnya, belasan orang itu segera bergerak meluruk ke arah Dewa Arak.
Memang, sejak tadi orang-orang berwajah angker itu tinggal menunggu perintah
saja. Mereka sudah bersiap-siap dengan senjata terhunus di tangan.
Tak pelak lagi, hujan belasan
senjata itu menyerang ke arah Dewa Arak disertai desingan-desingan nyaring yang
merobek udara.
Arya terkejut bukan kepalang
melihat hai ini. Serangan belasan orang berwajah angker itu sama sekali tidak
diduga. Padahal, serangan Mayat Kuburan Koneng baru saja dielakkannya. Tambahan
lagi, para pengeroyok itu menyerangnya dari berbagai jurusan. Sudah dapat
diterka kalau belasan orang itu sudah terbiasa melakukan serangan secara
bersama-sama.
Tanpa membuang-buang waktu
lagi. Dewa Arak segera memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Maka
kejadian seperti yang sebelumnya terulang kembali. Tubuh sebagian para
pengeroyoknya berpentalan ke belakang seperti dilanda angin topan.
Senjata-senjata mereka pun berpentalan tak tentu arah.
Sedangkan serangan dari yang
lainnya dibiarkan saja mengenai tubuhnya. Arya memang langsung mengerahkan
tenaga dalam agar tubuhnya tak mempan dihantam senjata. Memang dengan perbedaan
tenaga dalam di antara kedua pihak yang terlalu jauh, pemuda berambut putih
keperakan itu sama sekali tidak mengalami kesulitan membuat tubuhnya tidak bisa
dilukai senjata.
Sementara, sungguh di luar
dugaan Dewa Arak kalau pada saat yang sama, Mayat Kuburan Koneng melancar-kan
serangan susulan ke arahnya. Bertubi-tubi, dan meng-ancam berbagai bagian
tubuhnya. Tidak ada kesempatan lagi bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan
itu. Dan andaikata bisa, serangan lanjutan dari laki-laki berpakaian putih itu
sulit dielakkannya. Memang sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Arya tahu
kalau serangan yang di-lancarkan Mayat Kuburan Koneng kali ini merupakan
serangan dalam satu rangkaian. Susul-menyusul dan sambung-menyambung laksana
gelombang laut.
Karena tidak ada pilihan lain
lagi, terpaksa Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan. Langsung
digunakannya jurus 'Pukulan Belalang".
Wusss...!
Angin keras berhawa panas
berhembus keras dari kedua tangan Arya yang dihentakkan.
Mayat Kuburan Koneng terperanjat.
Apalagi tubuhnya tengah berada di udara, dan jaraknya sudah terlalu dekat
dengan Dewa Arak. Maka tidak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindari
serangan itu, dan hanya sempat membelalakkan sepasang matanya. Maka....
Bresss...!
"Aaa...!"
Jeritan ngeri terdengar dari
mulut laki-laki berpakaian putih itu, begitu pukulan jarak jauh Dewa Arak keras
dan telak sekali menghantam perutnya.
Seketika itu juga tubuh Mayat
Kuburan Koneng terlempar jauh ke belakang, dan baru mendarat keras di tanah
ketika telah melayang-layang jauh. Laki-laki ber-pakaian putih ini tewas dalam
keadaan seluruh tubuh gosong. Bau sangit daging yang terbakar seketika menyebar
di tempat itu.
Belasan pasang mata anak buah
Mayat Kuburan Koneng terbelalak begitu melihat kematian laki-laki ber-wajah
pucat itu. Tahu kalau lawan yang masih muda itu memiliki kepandaian luar biasa,
mereka pun cepat-cepat membalikkan tubuh dan berlari tunggang-langgang. Sama
sekali tidak dihiraukan rekan-rekan mereka yang belum mampu bangkit karena luka
yang diderita.
Namun Arya sama sekali tidak
mengejar, dan juga tidak mempedulikan para pengeroyok yang merintih-rintih di
tanah tak mampu bangkit.
Sambil menghela napas berat,
dihampirinya tubuh Mayat Kuburan Koneng yang tergolek di tanah. Kini tokoh sesat
yang berjuluk 'mayat’ itu benar-benar telah menjadi mayat. Untuk kesekian
kalinya, ada perasaan sesal di hati Dewa Arak karena telah menjatuhkan tangan
maut pada lawannya. Memang, Arya sebenarnya tidak ingin membunuh.
Pemuda berambut putih
keperakan itu menatap sebentar mayat yang tergolek dalam keadaan hangus itu.
Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Paling tidak itu
untuk mengusir perasaan sesal yang merayapi hatinya. Arya menghibur hatinya
sendiri agar perasaan sesalnya hilang. Toh, dia memang tidak ber-maksud
membunuh. Tapi, lawanlah yang terlalu memaksanya.
"Urus mayat pemimpin
kalian. Mengerti?!" ujar Dewa Arak pada beberapa orang anak buah Mayat
Kuburan Koneng yang masih tergolek di situ. Mereka semua menundukkan kepala,
karena khawatir Dewa Arak akan melepaskan tangan kejam.
"Mengerti, Tuan
Pendekar...." Hampir berbareng para pengeroyok yang tergolek, dan
berjumlah lima orang itu menganggukkan kepala.
Arya tersenyum pahit, kemudian
melangkah meninggal-kan tempat itu. Masih sempat didengarnya desah kelegaan
dari kelima orang pengeroyoknya. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu
penyebabnya. Apa lagi kalau bukan karena tidak jadi dibunuh?
***
7
Matahari sudah naik tinggi
ketika di kejauhan Dewa Arak melihat tembok batas sebuah desa. Kontan wajah
pemuda berambut putih keperakan itu jadi berseri. Dia memang merasa agak lelah,
dan ingin singgah sebentar di sebuah kedai. Di samping untuk minum dan sedikit
melepaskan lelah, juga untuk mengisi guci araknya kembali. Memang, guci araknya
telah hampir kosong.
Terdorong perasan ingin
buru-buru tiba, Dewa Arak menambah kecepatan larinya. Hasilnya, dalam waktu
sekejap saja sudah berada dalam jarak sekitar delapan tombak dari tembok batas
gerbang desa.
Mendadak dahi pemuda berambut
putih keperakan ini berkernyit, ketika melihat sesuatu pada tembok batas desa
itu. Perasaan penasaran mendorongnya untuk bergerak lebih mendekati.
Hanya dalam sekejap saja, Dewa
Arak telah berada di dekat tembok batas desa itu. Sepasang matanya yang sejak
tadi menatap penuh rasa ingin tahu, kini malah terbelalak.
Pada tembok batas desa itu
tertancap sebatang kayu sebesar jari telunjuk sepanjang tiga jengkal. Tapi
bukan itu yang menyebabkan Dewa Arak terkejut. Sebagai seorang pendekar yang
telah memiliki kekuatan tenaga dalam tinggi, dia tidak kaget melihat ada
sebatang kayu tertancap di tembok batu sedalam lebih dari setengah jengkal. Dia
sendiri pun mampu melakukan hal yang sama. Bahkan tidak hanya dengan kayu, tapi
sebatang lidi!
Yang membuat Arya terkejut
adalah sehelai kain berisi tulisan yang tertancap oleh kayu itu. Dengan
perasaan ingin tahu, pemuda berpakaian ungu itu membacanya.
Dewa Arak....
Melalui surat ini,
kuberitahukan padamu.... Kalau kau
sampai tidak datang menemuiku,
di Kuburan Desa
Koneng, kejadian yang menimpa
desa ini akan terulang
lagi di desa lain.
Setan Mabuk
"Setan Mabuk..?"
sebut Dewa Arak dengan kening berkernyit.
Lagi-lagi didengarnya julukan
tokoh itu. Pertama kali dari mulut Mayat Kuburan Koneng. Dan kini dari surat
tantangan yang ditancapkan di tembok desa. Tokoh itu sendirilah yang
mengirimkannya.
Baru saja Arya mengulurkan
tangan hendak mencabut kayu itu, pendengarannya yang tajam menangkap suara
langkah kaki. Arahnya dari dalam desa.
Maka, terpaksa niatnya diurungkan.
Kemudian kepala-nya menoleh ke arah asal suara itu.
Dari suara langkah kaki itu,
Arya tahu kalau orang yang datang memiliki kepandaian. Dan dari situ pula,
diketahui kalau kepandaian yang dimiliki orang itu tidak terlalu tinggi.
Sesaat kemudian, di hadapan
Dewa Arak telah muncul seorang gadis cantik. Rambutnya digelung ke atas.
Pakai-annya kuning dan ada gambar seekor naga yang disulam dari benang berwarna
hijau pada dada kiri pakaiannya. Jelas kalau gadis itu ada hubungannya dengan
Perguruan Naga Hijau.
"Kaukah orang yang
berjuluk Dewa Arak?!" tanya gadis berambut digelung itu tatkala telah
berada di hadapan Arya.
"Benar," jawab Arya
sambil menatap gadis itu penuh selidik.
Pemuda berambut putih
keperakan ini sama sekali tidak terkejut mendengar gadis yang baru saja
dilihatnya itu telah tepat menebak dirinya. Dan memang, ciri-ciri yang
dimilikinya amat mencolok.
Yang membuat Arya terkejut
adalah ketika melihat ada kesedihan di wajah gadis cantik itu. Bahkan sepasang
matanya yang bening dan indah itu terlihat menyimpan kesedihan yang mendalam.
Bisa diterka kalau gadis itu telah mengalami kejadian yang menyedihkan.
"Kau harus bertanggung
jawab atas semua musibah yang terjadi di sini, Dewa Arak!"
Keras dan penuh tekanan ucapan
yang keluar dari mulut gadis berpakaian kuning itu. Sepasang matanya pun
berkilat-kilat pertanda hatinya tengah dilanda kemarahan hebat. Bahkan
tangannya pun telah menyentuh gagang pedangnya.
"Sabar, Nisanak..!"
bujuk Arya menenangkan, sambil menjulurkan kedua tangan ke depan untuk mencegah
gadis itu melanjutkan tindakannya. "Aku sama sekali tidak mengetahui
maksudmu."
Gadis berambut digelung itu
menatap wajah Arya penuh selidik. Dia melihat adanya kesungguhan, baik pada
raut wajah maupun pada ucapan pemuda yang berdiri di hadapannya. Maka perlahan
tangan yang telah mengejang itu mengendur, kemudian turun kembari ke sisi
pinggang.
"Kau benar-benar tidak
mengerti?'' tanya gadis itu ber-usaha memastikan. Nada suaranya terdengar
bergetar.
Arya menggelengkan kepala sambil
tersenyum pahit.
"Apakah wajahku mirip
wajah seorang penipu?" pemuda berpakaian ungu itu balas bertanya, setengah
bergurau "Aku baru saja tiba di daerah sini, Nisanak. Jadi, sama sekali
tidak mengerti maksud pembicaraanmu ini!"
Gadis berpakaian kuning itu
mengalihkan pandangan ke arah kain yang tertancap di tembok batas desa.
"Kau sudah membaca
tulisan itu?" tanya gadis berambut digelung itu lagi, seraya menudingkan
telunjuknya ke arah kain yang terpampang di tembok batas desa.
"Sudah," jawab Dewa Arak,
mantap.
"Dan kau masih belum
mengerti?!" tanya gadis ber-pakaian kuning itu setengah tidak percaya.
Dahinya nampak berkernyit ketika mengajukan pertanyaan itu.
"Sedikit," sahut
Arya kalem.
Semakin dalam kerutan pada
dahi gadis berambut digelung itu.
"Apa kesimpulan yang kau
dapat dari surat itu?" desak gadis berpakaian kuning.
"Ada orang yang
mengajakku bertarung untuk alasan yang aku sendiri belum tahu. Anehnya, kenapa
dia mem-bawa-bawa penduduk dalam masalah ini?"
"Karena Setan Mabuk
khawatir kau tidak berani me-menuhi tantangannya," sabut gadis berambut
digelung, cepat.
"Hm..." gumam Arya
pelan, untuk menyambuti ucapan gadis berpakaian kuning itu.
"Kau tahu..., sudah
berapa lama surat itu terpampang di situ?"
Arya menggelengkan kepala. Dan
memang, hal itu sama sekali tidak diketahuinya.
"Sudah dua hari. Setan
Mabuk tidak sabar lagi me-nunggu. Dikiranya, kau menganggap ancamannya hanya
gertak sambal belaka. Maka, ancamannya pun diwujudkan. Gerombolannya kemudian
menghancurkan Desa Gempol."
"Ah...!"
Dewa Arak mendesah kaget.
Memang pemuda be-rambut putih keperakan itu terkejut bukan kepalang. Betapa
tidak? Dia sama sekali tidak tahu tentang tantangan, tapi kenapa para penduduk
yang menjadi sasaran.
"Kalau hari ini kau tidak
datang menemuinya..., desa lain akan menjadi giliran selanjutnya," sambung
gadis berambut digelung itu. "Di mulut Desa Gempol pun dipancangkan surat
tantangan seperti ini."
Sambil berkata demikian, gadis
berpakaian kuning itu menudingkan telunjuk kanannya ke arah carikan kain yang
terpampang di tempat batas Desa Koneng.
"Apakah..., tidak ada
orang yang menentang tindakan Setan Mabuk itu?" tanya Arya setelah
beberapa saat lamanya terdiam.
"Memang ada. Tapi hanya
ada beberapa gelintir saja.
Dan mereka adalah murid Perguruan
Naga Hijau." jawab gadis berambut digelung seraya tersenyum getir.
"Lalu..., hasilnya
bagaimana?" tanya Dewa Arak setengah hati.
Namun Arya seketika baru
menyadari, betapa bodoh pertanyaannya, ketika teringat sesuatu. Tidak mungkin
usaha murid-murid Perguruan Naga Hijau akan berhasil. Buktinya sudah jelas,
sudah banyak desa dihancurkan. Itu saja sudah merupakan jawaban
ketidakberhasilan usaha mereka.
"Mereka semua
tewas," Jawab gadis berpakaian kuning dengan suara bergetar. Jelas kalau
ucapannya diutarakan penuh perasaan.
Arya pun mengerutkan alisnya.
Terdengar ada nada kesedihan yang mendalam pada suara gadis berambut digelung
itu. Apakah ada hubungan antara gadis itu dengan murid-murid Perguruan Naga
Hijau yang terbunuh?
Tanpa sadar, pandangan Dewa
Arak tertumbuk pada sulaman benang hijau bergambar naga yang menempel di bagian
dada kiri pakaian gadis itu. Naga hijau! Apakah gadis ini juga murid Perguruan
Naga Hijau? Kembali pertanyaan itu menggayuti benak Dewa Arak.
"Apakah mereka saudara seperguruanmu?"
tanya Arya hati-hati.
Gadis berambut digelung itu
hanya menganggukkan kepala. Tapi hal itu sudah cukup untuk menjadi jawaban bagi
pertanyaan yang diajukan Dewa Arak.
"Ah...! Maaf...!"
ucap Arya buru-buru. "Aku sama sekali tidak mengira akan hal itu. Aku
turut berduka cita."
"Terima kasih,"
hanya ucapan itu yang keluar dari mulut gadis berpakaian kuning itu.
"Apakah hal itu sudah kau
beritahukan pada gurumu?" tanya Arya lagi.
Gadis berambut digelung itu
menggelengkan kepalanya.
"Mengapa?" kejar
Arya lagi.
"Guruku yang sekaligus
ayah kandungku tengah ber-semadi di puncak Gunung Koneng. Beliau tak ingin
terjun dalam rimba persilatan, karena sudah benar-benar tidak mau mencampuri
urusan duniawi lagi. Dan yang jelas, Perguruan Naga Hijau telah musnah."
"Ah...!"
Keluh keterkejutan keluar dari
mulut Dewa Arak begitu gadis berambut digelung itu mengakhiri ucapannya. Ada
isak tertahan yang keluar dari mulut gadis itu seiring ucapannya selesai.
Terdengar suara gemeretak dari
mulut Dewa Arak. Jelas, pemuda berambut putih keperakan ini dilanda kemarahan
yang amat sangat.
"Keji...!" Arya
mendesis pelan, tapi tajam penuh tekanan karena keluar dari hati yang penuh
diliputi amarah. "Siapa yang melakukan semua kekejian itu?"
"Setan Mabuk..."
jawab gadis berpakaian kuning masih dengan suara serak. "Dia seorang diri
mengamuk dan membasmi semua murid Perguruan Naga Hijau, dalam usahanya untuk
memancing kedatanganmu. Itulah sebab-nya, ada beberapa murid Perguruan Naga
Hijau yang tidak dibinasakannya. Dia berharap, murid-murid itu akan
menyampaikan pesannya kepadamu. Apakah kau bertemu mereka?''
Arya menggelengkan kepala.
"Sedangkan murid-murid
Perguruan Naga Hijau yang berada di desa-desa dibasmi kaki tangan Setan Mabuk.
Memang, dengan lenyapnya Perguruan Naga Hijau, mereka bebas berbuat
kejahatan."
"Heh...?!" Dewa Arak
terperanjat "Mengapa begitu?"
"Karena selama ini, semua
orang yang bermaksud jahat selalu berhasil dipukul mundur murid-murid Perguruan
Naga Hijau," gadis berpakaian kuning tersenyum getir. Rupanya, dia
teringat kembali sewaktu Perguruan Naga Hijau masih berdiri.
Kali ini Arya sama sekali
tidak menyahuti ucapan gadis berpakaian kuning itu. Dan karena gadis itu
sendiri tidak melanjutkan ucapannya, suasana pun menjadi hening.
"O, ya.... Siapakah
namamu, Nisanak?" tanya Arya tibatiba. "Rasanya aneh kalau kita telah
berbincang-bincang sekian lamanya, tapi belum saling mengenal nama."
"Aku sudah tahu
julukanmu," kalem suara gadis berambut digelung itu. Sebuah senyuman yang
dipaksakan tersungging di bibirnya.
"O, ya?" Dewa Arak
yang ingin membuat gadis itu terlupa dengan kesedihannya mencoba melucu.
"Ayah sudah sering
membicarakanmu. Rupanya beliau amat mengagumimu."
Dewa Arak hanya tersenyum
getir mendengar namanya banyak dikagumi tokoh persilatan. Dia memang paling
risih namanya dipuja-puja orang.
"Lalu, bagaimana
kejadiannya hingga murid-murid Per-guruan Naga Hijau dibantai Setan
Mabuk?" tanya Dewa Arak mengalihkan pembicaraan.
"Aku tidak tahu bagaimana
kejadiannya. Yang jelas, ku-temui mayat Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau
bersama mayat Kakang Subarji di tengah jalan..."
"Kakang Subarji..?"
Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Murid Perguruan Naga
Hijau yang telah keluar perguruan," jelas putri Ketua Perguruan Naga Hijau
itu dengan suara yang tidak begitu serak lagi. Rupanya dia sudah mulai bisa
menguasai perasaannya.
Dewa Arak menganggukkan kepala
pertanda mengerti.
"Jadi..., kau tidak
melihat siapa pembunuh mereka?"
Gadis berpakaian kuning itu
mengangguk.
"Lalu..., dari mana kau
tahu kalau pembunuhnya adalah Setan Mabuk?" desak Dewa Arak ingin tahu.
"Dari mulut Kakang
Subarji, sebelum tewas," jawab gadis berambut digelung itu.
"Rupanya kau mengikuti
kepergian mereka secara diam-diam...," tuduh Arya dengan nada mendesah.
Wajah gadis itu kontan
memerah.
"Ayah telah berpesan agar
aku tidak pergi ke mana-mana. Maka diam-diam aku mengikuti Paman Buntara. Aku
juga ingin mengetahui, seperti apa orang yang julukannya telah begitu
menggemparkan...."
"Tak seperti yang kau
bayangkan, bukan," tukas Arya buru-buru.
"Terus terang, aku agak
kaget melihatmu, Arya? Nama-mu Arya, kan?"
Pemuda berpakaian ungu itu
tersenyum getir.
"Kau curang,
Nisanak."
"Curang?!" dahi
gadis berpakaian kuning itu berkenyit.
"Ya! Kau telah tahu
namaku, tapi aku sama sekali tidak tahu namamu."
"Namaku Malinda,"
sebut gadis itu malu-malu.
"Malinda... sebuah nama
yang bagus," tanggap Arya.
Pujian Dewa Arak membuat wajah
gadis berpakaian kuning yang ternyata bernama Malinda jadi bersemu merah.
Rupanya, dia risih juga menerima pujian. Apalagi datangnya dari mulut orang
seperti Dewa Arak! Seorang pemuda berwajah tampan dan berkepandaian tinggi.
Hati siapa yang tidak berbunga-bunga?
"Laki, apa tindakanmu
selanjutnya, Dewa Arak?" tanya Malinda, pelan.
"Memenuhi tantangan yang
diajukan Setan Mabuk!" jawab Arya tegas.
"Kalau begitu, mari kita
ke sana!" ajak Malinda cepat.
"Kau tahu tempatnya,
Malinda?" Malinda menganggukkan kepala.
"Bagaimana? Setuju?"
Mulut Dewa Arak menyunggingkan
senyuman lebar, kemudian perlahan kepalanya terangguk.
Tanpa mengeluarkan sepatah
kata pun, gadis berambut digelung ini melesat meninggalkan tempat itu.
Arya menggeleng-gelengkan
kepala. Bisa diduga kalau gadis berpakaian kuning itu ingin menguji
kepandaiannya. Maka begitu gadis itu melesat kabur, dia pun bergerak
menyusulnya.
Sesaat kemudian, yang terlihat
hanyalah dua sosok bayangan yang berkelebatan cepat. Yang satu berwarna ungu,
sementara yang satu lagi berwarna kuning.
Malinda berlari cepat
mengerahkan seluruh kemampuannya. Dia memang bermaksud menguji kemampuan Dewa
Arak. Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera dikeluarkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya.
Semula Malinda sudah merasa
gembira begitu tidak melihat adanya bayangan pemuda berpakaian ungu itu di
belakangnya. Tapi, keceriaannya langsung memupus tat-kala mendadak di samping
kanannya muncul sesosok bayangan ungu. Seketika senyum yang tadi mengembang di
bibirnya pun lenyap.
Karuan saja hal ini membuat
Malinda merasa pe-nasaran bukan kepalang. Digertakkan gigi dalam usahanya
menambah kecepatan larinya. Tapi semua usaha yang di-lakukannya sia-sia saja.
Tetap saja Dewa Arak berada di samping kanannya.
Malinda semakin terkejut
ketika melihat raut wajah Dewa Arak. Wajah itu sama sekali tidak menunjukkan
kalau tengah mengerahkan tenaga sewaktu berlari. Raut wajah itu masih tetap
tenang seperti semula.
Setelah cukup lama berlari
sambil mengerahkan seluruh tenaga, nampak Dewa Arak masih tetap berada di
sebelahnya. Maka, gadis berpakaian kuning itu akhirnya mengalah. Perlahan-lahan
kecepatan larinya dikendurkan, dan akhirnya berhenti sama sekali.
Bertepatan dengan berhentinya
kaki Malinda, Arya pun menghentikan langkah kakinya pula.
Malinda menatap wajah Dewa
Arak. Perasaan terkejut semakin melanda hatinya tatkala melihat wajah Arya sama
sekali tidak menampakkan perubahan apa pun. Wajah itu tetap mulus, seperti
sediakala. Setetes pun tak ada peluh menggantung di sana. Deru napas pemuda itu
pun biasabiasa saja, tidak terengah-engah.
Sedangkan dirinya? Peluh
membasahi sekujur wajah. Terutama sekali dahi dan lehernya. Napasnya pun
menderu-deru hebat. Meskipun tidak melihat sendiri, Malinda sudah bisa
memperkirakan kalau wajahnya merah padam.
"Masih jauhkah tempat itu
dari sini, Malinda?" tanya Arya. Suaranya terdengar biasa saja, tidak
terputus-putus dan memburu seperti layaknya orang habis berlari jauh.
Gadis berpakaian kuning itu
tidak langsung menjawab pertanyaan, dan malah sibuk menenangkan deru napasnya
yang memburu. Memang dia tadi berlari dengan mengerah-kan seluruh kemampuan yang
dimilikinya.
"Tidak jauh lagi."
sahut Malinda.
Mendengar jawaban itu, Arya
melayangkan pandangan ke depan. Tak jauh di depannya, tampak mulut sebuah
hutan.
"Hutan...?!" Dewa
Arak mengerutkan alisnya. Padahal, belum lama dia keluar dari hutan itu.
"Ah...! Hanya sebuah
hutan kecil, Dewa Arak. Tapi di hutan itulah letaknya Kuburan Koneng."
Arya mengangguk-anggukkan
kepala saja. Dewa Arak memang tidak mengetahui, di mana letaknya kuburan yang
dimaksudkan Setan Mabuk. Maka begitu mendengar jawaban itu, dia tidak
membantahnya. Tanpa bicara lagi, langkah kakinya dilanjutkan.
Kini Dewa Arak dan Malinda
melanjutkan perjalanannya dengan berjalan biasa. Dan tak lama kemudian, mulut
hutan pun sudah dilalui. Malinda terus saja melangkah. Begitu pula Arya yang berada
di sampingnya.
Mendadak Malinda menghunus
pedang yang tergantung di pinggang. Dan secepat pedang itu lolos dari
sarungnya, secepat itu pula disabetkannya ke leher Dewa Arak.
Singgg..!
Suara mendesing nyaring yang
terdengar menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan
pedang itu.
Arya terperanjat. Keterkejutan
yang amat sangat seketika melandanya. Memang serangan itu sama sekali tidak
disangkanya. Tapi meskipun begitu, karena memang sudah terbiasa berhadapan
dengan hal yang tiba-tiba, Dewa Arak masih bisa mengelak.
Crasss...!
Namun tak urung, ujung pedang
Malinda berhasil juga menyerempet pundak Arya. Kontan darah segar mengalir
keluar dari bagian yang terluka.
Tidak hanya itu saja menimpa
pemuda berpakaian ungu. Begitu kedua kakinya mendarat, mendadak landasan yang
diinjaknya naik ke atas. Tahu-tahu, tubuh Dewa Arak telah terkurung dalam
sebuah jaring yang tergantung di atas pohon.
Arya terperanjat begitu
menyadari tubuhnya telah terkurung dalam jaring. Segera dicengkeram tali-tali
jaring itu, laki dikerahkan tenaga dalam untuk memutuskannya. Tapi ternyata
tali-tali itu alot bukan main. Betapapun telah dikerahkan seluruh tenaga
dalamnya, tetap saja tidak mampu.
"Hi hi hi...!”
Malinda tertawa terkikih.
Lenyap sudah sorot kesedihan dari sinar matanya. Yang terlihat kini hanyalah
sorot kebengisan dan dendam. Dan semua itu tertuju pada Dewa Arak.
Arya terperanjat melihat sorot
mata gadis itu. Namun dia masih belum mengerti maksud gadis berpakaian kuning
ini bertindak seperti itu terhadapnya.
"Malinda...! Apa maksud
perbuatanmu ini..?!" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Maksudku sudah jelas.
Pemuda Sombong! Aku ingin membalaskan kematian ayahku!" tandas gadis
berambut digelung dengan nada bengis.
"Heh ..?! Bukankah ayahmu
tengah bersemadi, dan saudara seperguruanmu dibunuh oleh Setan Mabuk?"
kejar Arya penasaran.
"Kau percaya dengan semua
cerita itu, Pemuda Dungu?!" sergah Malinda keras.
"Jadi..?!" Dewa Arak
mulai paham.
"Ya! Semua cerita itu
hanya karanganku saja! Ayahku telah mati terbunuh di tanganmu, Dewa Arak!
Kutegaskan sekali lagi, ayahku tewas di tanganmu!"
Pemuda berpakaian ungu itu pun
terdiam.
"Siapakah ayahmu,
Malinda?" tanya Arya, masih tetap lembut suaranya. Pemuda berpakaian ungu
ini masih mengharapkan semua hanya sebuah kesalahpahaman belaka.
Suiiit...!
Terdengar suitan nyaring dari
mulut Malinda. Keras dan melengking pertanda didukung pengerahan tenaga dalam.
Tak lama kemudian terdengar
suara berkerosakan, disusul munculnya beberapa sosok tubuh yang dikenal Dewa
Arak. Mereka adalah anak buah Mayat Kuburan Koneng.
Sekejap kemudian, orang-orang
berwajah angker yang jumlahnya tak kurang dari sebelas orang itu telah berdiri
di belakang Malinda dengan kepala tertunduk. Jelas kalau kedudukan gadis itu
lebih tinggi dari mereka.
"Kau kenal mereka, Dewa
Arak?" tanya Malinda dengan bibir menyunggingkan senyuman sinis.
"Kenal sih, tidak. Tapi
aku memang pernah bentrok dengan mereka," jawab Dewa Arak, tenang.
"Kini kau bisa menerka,
siapa ayahku bukan?"
Arya mengerutkan keningnya
sejenak.
"Mayat Kuburan
Koneng?" duga Dewa Arak, pelan.
Arya masih merasa ragu
mengingat Malinda mengena-kan pakaian seragam yang bersulamkan gambar naga,
yang dikatakan gadis itu adalah lambang Perguruan Naga Hijau. Ataukah cerita gadis
itu semua hanyalah hasil karangan belaka, termasuk cerita mengenai Perguruan
Naga Hijau dan kehancurannya?
"Jadi, semua ceritamu
tadi hanya hasil karanganmu saja?" tanya Arya sambil memikirkan cara untuk
meloloskan diri.
"Tidak seluruhnya, Dewa
Arak!" gadis berpakaian kuning itu menyahut, namun tetap menyunggingkan
senyum sinis. “Perguruan Naga Hijau memang benar ada dan hancur di tangan Setan
Mabuk. Begitu pula tentang maksud ke-pergiannya untuk menemuimu."
Pemuda berpakaian ungu itu
terdiam. Kini sudah dimengerti masalahnya.
"Kini sudah tiba saatnya
bagiku untuk membalas dendam, Dewa Arak!"
"He... he... he...!"
Mendadak terdengar suara tawa
yang menggetarkan jantung, menggema di sekitar tempat itu. Jelas, suara itu
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.
Semua yang berada di situ
terperanjat mendengar tawa mendadak itu. Hanya saja, ada perbedaan tanggapan di
antara mereka. Dewa Arak hanya terkejut saja. Tapi, tidak demikian halnya
dengan Malinda dan anak buah ayahnya. Wajah mereka mendadak pucat pasi. Dan
memang, mereka tahu pemilik suara tawa itu. Siapa lagi kalau bukan Setan Mabuk!
Dan sebelum suara tawa itu
lenyap, berhembus angin berkesiur pelan. Tak lama kemudian, muncul seorang
kakek bertubuh pendek gemuk, berperut buncit, dan ber-kepala botak. Benar!
Dialah Setan Mabuk.
Malinda menggertakkan gigi.
Dia tahu kalau tidak ber-tindak cepat, maka Dewa Arak tidak akan bisa
dibunuhnya. Dan yang jelas Setan Mabuk akan mendahuluinya. Maka tanpa
mempedulikan akibatnya nanti, gadis itu melompat. Pedangnya meluncur deras ke
arah tubuh Dewa Arak yang tengah terkurung di dalam jaring.
***
8
Singgg...!
Menilik dari suara mendesing
nyaring yang mengiringi tibanya serangan, sudah bisa diperkirakan kekuatan
tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh.
Tubuhnya yang pendek berkelebat, memotong serangan Malinda. Tangan kanannya
cepat terulur. Dan....
Tappp...!
Sungguh mengagumkan! Pedang di
tangan gadis ber-pakaian kuning itu telah tertangkap tangan Setan Mabuk. Dan
sekali tangan kakek berkepala botak itu bergerak menekan, maka pedang di tangan
putri Mayat Kuburan Koneng pun patah jadi dua.
Dan sebelum Malinda sempat
berbuat sesuatu, tangan kiri Setan Mabuk telah meluncur cepat ke arah dadanya. Seketika
gadis berambut digelung ini kaget bukan kepalang. Apalagi, tubuhnya tengah
berada di udara. Dengan sebisa-bisanya tubuhnya digeliatkan untuk mengelakkan
serangan itu. Tapi....
Plakkk…!
Tangan kakek berkepala botak
itu tetap saja meng-hantam tubuhnya. Hanya saja tidak mengenai dada, melainkan
bahu. Seketika itu juga tubuh putri Mayat Kuburan Koneng terlempar ke belakang
dan bergulingan di tanah. Darah segar langsung muncrat dari mulutnya. Jelas
Malinda telah terluka dalam.
"He... he... he...!"
Begitu kedua kakinya mendarat
di tanah, kakek ber-perut buncit itu sudah tertawa terkekeh-kekeh. Dengan sorot
mata penuh ancaman, kakinya melangkah meng-hampiri tubuh Malinda.
"Jangan harap bisa
mendahuluiku, Wanita Liar! Kau tahu, di semua mulut desa telah kusebar anak
buahku. Dan mereka langsung memberitahuku begitu melihat Dewa Arak. Dan atas
kelancanganmu berani mendahului tin-dakanku, kau akan menerima akibatnya!"
Melihat bahaya mengancam putri
majikannya, anak buah Mayat Kuburan Koneng tidak tinggal diam. Walaupun dalam
hati merasa jeri terhadap Setan Mabuk tetapi mereka tetap bergerak menyerang
kakek berkepala botak itu. Senjata-senjata di tangan mereka berkelebatan cepat,
menyambar berbagai bagian tubuh Setan Mabuk yang mematikan, diiringi suara
mendesing nyaring,
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh.
Tanpa mempedulikan semua serangan yang bertubi-tubi mengancam, guci araknya
diangkat.
Glek… glek... glek...!
Suara tegukan dari arak yang
melewati tenggorokan Setan Mabuk terdengar. Dan di saat itulah senjata-senjata
anak buah Mayat Kuburan Koneng tiba.
Takkk, takkk, takkk..!
Gila! Semua senjata yang
mengenai berbagai bacaan tubuh kakek berkepala botak itu terpental balik,
seakan-akan menghantam gumpalan karet keras. Bukan hanya itu saja. Tangan yang
menggenggam senjata itu pun terasa sakit-sakit
"He... he... he...!”
Setan Mabuk hanya tertawa
terkekeh seraya meng-gerakkan tangannya. Jerit-jerit kesakitan pun terdengar
diiringi robohnya satu persatu anak buah Mayat Kuburan Koneng. Pukulan jarak
jauh yang dilepaskan Setan Mabuk sungguh dahsyat! Buktinya tidak seorang pun
dari para pengeroyok yang tersisa. Mereka semua roboh, dan tak bangun lagi.
Kini sambil tertawa
terkekeh-kekeh, Setan Mabuk me-langkah menghampiri Malinda yang belum mampu
bangkit. Memang, akibat serangan kakek berperut buncit itu hebat bukan main,
meskipun hanya mengenai bahu.
Putri Mayat Kuburan Koneng itu
berusaha bangkit, tapi tidak mampu. Sebuah seringai kesakitan yang muncul di
mulutnya telah menjadi tanda kalau gadis itu telah terluka dalam yang cukup
parah. Dan Malinda hanya bisa menatap Setan Mabuk yang menghampirinya dengan
dada berdebar tegang.
Setan Mabuk menghentikan suara
tawanya begitu telah berada di dekat Malinda. Sesaat sepasang matanya
meng-awasi sekujur tubuh gadis berpakaian kuning itu, kemudian tangan kanannya
bergerak.
Brettt..!
Suara dari kain robek
terdengar ketika tangan Setan Mabuk merenggutnya. Malinda langsung terpekik
ngeri. Pakaian yang dikenakan, dari bagian dada sampai perut telah sobek.
Arya terkejut bukan kepalang
melihat hal ini. Diakui, Malinda adalah seorang wanita sesat, dan mendendam
padanya. Tapi biar bagaimanapun, dia tidak tega kalau gadis itu diperkosa Setan
Mabuk.
Sementara kakek berkepala
botak yang sudah kerasukan nafsu setan, begitu melihat pemandangan indah yang
terpampang di hadapannya, segera menubruk tubuh Malinda dan menciuminya dengan
kasar. Tangannya juga mulai sibuk melucuti sisa pakaian putri Mayat Kuburan
Koneng itu.
Malinda yang tengah tertuka
dalam, tidak mampu berbuat apa-apa selain menjerit-jerit keras dan
meronta-ronta. Tapi hal itu justru menambah nafsu setan kakek ber-perut buncit
itu membara. Dan dengan sendirinya, tindakannya pun semakin brutal
"Setan Mabuk!
Tahan...!" teriak Arya keras. "Kalau per-buatanmu dilanjutkan, aku
tidak akan sudi meladeni tantanganmu!"
Kakek berkepala botak itu
langsung menoleh dengan napas menderu hebat. Sepasang matanya telah memerah,
karena nafsu telah bergolak dalam dirinya. Tapi peringatan Dewa Arak-lah yang
membuatnya bimbang.
Setan Mabuk memang bukan orang
yang suka mem-perkosa wanita. Dan perbuatan yang akan dilakukannya terhadap
Malinda, semula bukan terdorong nafsu. Melain-kan, keinginan untuk
menghancurkan gadis itu. Namun, begitu melihat kemulusan tubuh gadis itu, dia
menjadi ter-pengaruh. Hanya saja, ancaman Dewa Arak telah mem-buatnya bimbang.
Beberapa saat lamanya Setan
Mabuk tercenung memikirkannya.
"Kali ini kau kuampuni,
Wanita Liar! Menyingkirlah cepat sebelum pikiranku berubah!"
Dengan kedua tangan menutupi
bagian tubuhnya yang terbuka lebar, Malinda berusaha bangkit. Luar biasa! Kali
ini usaha gadis berambut digelung itu berhasil. Rupanya rasa takut yang melanda
akan terjadinya peristiwa yang mengerikan, membuat kekuatannya muncul kembali.
Memang, meskipun seorang wanita sesat, tapi Malinda masih seorang gadis tulen.
"Akan kuingat budimu.
Dewa Arak...!"
Setelah berkata demikian,
gadis berpakaian kuning ini melangkah terseok-seok meninggalkan tempat itu. Tak
lama kemudian, bayangan tubuhnya lenyap ditelan lebat-nya pepohonan.
Setan Mabuk memungut pedang
yang berserakan di tanah, kemudian melontarkannya ke arah tali yang menggantung
Jaring pengurung tubuh Dewa Arak
Tasss...!
Tali itu putus seketika.
Dengan sendirinya, jaring yang membungkus tubuh Dewa Arak pun terjatuh ke
tanah. Maka, Arya pun bergegas keluar dari dalam jaring.
Begitu Arya keluar dari
jaring. Setan Mabuk langsung saja menyerang. Kedua tangannya terkembang
mem-bentuk cakar dan menyambar bertubi-tubi ke arah perut, dada, dan ulu hati
pemuda berpakaian ungu itu.
Arya langsung terperanjat.
Datangnya serangan yang ter-lampau tiba-tiba, membuatnya terkejut bukan
kepalang. Disadari kalau dirinya tidak akan bisa mengelakkan serangan itu.
Tidak ada pilihan lagi, kecuali menangkisnya. Tanpa ragu-ragu lagi, segera
dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk menangkis.
Plak, plak, plak...!
Suara berderak keras terdengar
berkali-kali ketika kedua tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi
berbenturan. Akibatnya, kedua belah pihak sama-sama terhuyung mundur selangkah
ke belakang. Jelas, tenaga dalam kedua tokoh ini berimbang.
Setan Mabuk mengawasi Dewa
Arak dari ujung rambut sampai ujung kaki. Namun Dewa Arak pun berbuat serupa.
"He... he... he...! Semua
berita yang kudengar tentang dirimu ternyata cocok sekali dengan kenyataan yang
kulihat," kata Setan Mabuk setelah puas memperhatikan Dewa Arak.
"Tapi aku belum puas, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian,
Setan Mabuk kembali menerjang Dewa Arak. Gucinya yang besar itu sama sekali
tidak dipergunakan. Memang, kakek ini belum mau mengeluarkan ilmu simpanannya.
Sebagai seorang tokoh
persilatan yang mempunyai kepandaian tinggi, Arya tentu saja tahu kalau lawan
belum menggunakan ilmu andalan. Maka Dewa Arak pun hanya mengeluarkan ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'
untuk menghadapinya.
Kedua macam ilmu yang dimiliki
Dewa Arak, menitik-beratkan pada penyerangan. Begitu pula ilmu yang dimiliki
Setan Mabuk. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun terjadi.
Dalam sekejap saja,
pertarungan sudah berlangsung tiga puluh lima jurus. Dan selama itu, belum
nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.
"Cukup, Dewa
Arak..!"
Terdengar seruan keras dari
mulut Setan Mabuk. Pada saat yang bersamaan, tubuhnya pun melenting ke belakang
menjauhi kancah pertarungan.
Arya pun menghentikan
gerakannya. Kini kedua belah pihak saling menatap, dengan penuh selidik.
"Kau tahu, mengapa aku
mencari dan menantangmu, Dewa Arak?" tanya Setan Mabuk dengan senyum ter-kembang
di bibir. Kakek berperut buncit ini merasa puas begitu mengetahui kelihaian
Dewa Arak.
Memang sudah menjadi penyakit
seorang ahli silat dia merasa gembira bila bertemu lawan yang setingkatan.
Arya menggelengkan kepala.
Memang, pemuda ber-pakaian ungu itu belum mengetahuinya.
"Karena kau berani
berjuluk Dewa Arak!" tandas Setan Mabuk lagi. "Kau tahu, sebelum kau
lahir ke dunia ini, aku sudah terkenal sebagai dedengkotnya arak. Sudah tidak
terhitung lagi, berapa kali aku mengadu kuat minum arak. Dan karena tidak
pernah terkalahkan, aku mendapat julukan-julukan Setan Mabuk."
Kakek berperut buncit itu
menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah Dewa
Arak untuk mengetahui tanggapannya.
"Karena merasa sudah tua,
sekitar satu tahun yang lalu, aku mengundurkan diri dari dunia persilatan.
Tapi, ter-paksa aku keluar lagi, karena kudengar di dunia persilatan ada tokoh
muda yang berani berjuluk Dewa Arak. Jadi, aku merasa tertantang ingin
kubuktikan sendiri, apakah orang itu berhak mendapat julukan seperti itu."
Kini Arya mengerti akan duduk
permasalahannya.
"Baiklah. Agar tidak
terjadi korban di antara orang yang tidak bersalah, aku menerima tantanganmu,
Setan Mabuk"
"Bagus!" sahut Setan
Mabuk gembira. "Tapi perlu kau ketahui, Dewa Arak. Kita tidak hanya
bertanding dalam minum arak saja. Tapi, juga dalam ilmu silat."
"Aku mengerti," kata
pemuda berambut putih keperakan itu. "Kapan waktunya, Setan Mabuk?"
"Purnama depan!"
"Purnama depan?!"
Arya mengerutkan alisnya. Karena waktu yang ditentukan masih lebih dari
sepekan. "Mengapa harus menunggu begitu lama, Setan Mabuk?"
"Karena, bulan purnama
depan adalah waktu bagi rajaraja arak untuk mengadu kekuatan minum dan ilmu
silat," jelas kakek berperut buncit itu. "Bertahun-tahun akulah
juaranya. Tapi tahun kemarin, aku tidak mengikutinya. Sehingga, aku tidak tahu,
siapa yang menjadi juaranya."
Arya mengernyitkan dahinya.
Sungguh tidak disangka kalau persoalannya jadi semakin membesar begini.
"Bila ingin julukanmu
diresmikan raja-raja arak, kau harus mengikuti pertarungan di sana, Dewa Arak.
Dan kalau tidak, hanya dunia persilatan saja yang mengakuimu. Tapi, tidak bagi
jago-jago minum. Bagaimana? Kau bersedia?!"
"Aku sudah berjanji,
Setan Mabuk. Jadi, mau tak mau harus memenuhinya. Aku akan datang. Tapi..., di
mana pertarungan itu dilangsungkan?"
"Tempatnya selalu
berpindah-pindah, Dewa Arak" jawab Setan Mabuk. "Tapi yang jelas,
mereka selalu memilih tempat-tempat yang sepi. Kudengar, tahun ini tempat
pertarungan itu akan berlangsung di Pulau Selaksa Setan. Kau tahu tempatnya,
Dewa Arak?!"
Arya menganggukkan kepala.
Memang dia tahu, di mana letak pulau itu.
"Kau ingin bersamaku atau
ingin pergi sendiri, Dewa Arak?!" tanya Setan Mabuk.
"Aku pergi sendiri
saja," Jawab Dewa Arak mantap.
"He... he... he...!”
Setan Mabuk tertawa terkekeh.
Dan seiring suara tawanya, tubuh kakek berperut buncit itu berkelebat dari
situ. Hanya dalam sekejapan saja, dia telah berada dalam jarak lebih dari
sebelas tombak.
Arya menggeleng-gelengkan kepala.
Dia memang sudah menduga kelihaian kakek ini dari pertarungan tadi, meskipun
hanya bertarung sebentar saja. Disadari kalau Setan Mabuk adalah seorang lawan
yang amat tangguh.
"Hhh....!”
Pemuda berambut putih
keperakan itu menghela napas berat. Dipandanginya tubuh Setan Mabuk yang
semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di kejauhan.
Kemudian baru kakinya
melangkah meninggalkan tempat itu. Dia harus bergegas menuju tempat yang
dimaksud, untuk memenuhi janjinya terhadap Setan Mabuk.
Apa yang akan ditemui Dewa
Arak di Pulau Selaksa Setan? Siapakah yang akan memenangkan pertarungan adu
minum itu? Dan bagaimana nasib Malinda yang mendendam pada Dewa Arak, tapi juga
ingin membalas budi? Lalu bagaimanakah Kera Bukit Setan, Jagar, dan yang lain-lain?
Apakah Arya tidak membasmi mereka? Jawaban untuk semua itu ada dalam judul
"Pertarungan Raja-Raja Arak'. Di sana, Dewa Arak akan menemui kejadian
yang sama sekali tidak pernah diduganya.
SELESAI