32 Algojo-Algojo Bukit Larangan
1
Matahari tepat berada di atas
kepala. Tidak ada awan yang menggelantung di langit, membuat Sang Raja Siang
leluasa memancarkan sinarnya yang terik. Suasana di persada pun menjadi panas
bukan kepalang. Dalam suasana seperti itu, rasanya orang lebih suka memilih
berdiam diri di rumah, atau beristirahat di tempat yang teduh. Tapi, tindakan
seperti itu ternyata tidak dilakukan semua orang. Terbukti di bawah sengatan
sinar matahari yang seperti akan membakar kulit itu, berjalan tiga sosok tubuh.
Tiga sosok tubuh itu
mengenakan pakaian dan ikat kepala yang berwarna sama. Hitam pekat. Di bagian
dada kiri pakaiannya, tampak tersulam dari benang merah gambar gunung yang
menjulang tinggi. Sulaman gambar dari benang yang sama terdapat pula pada
bagian depan ikat kepalanya.
Tanpa mempedulikan suasana
panas membakar, tiga sosok tubuh itu melangkah tenang di jalan tanah yang
berdebu. Sesekali hembusan angin yang berhawa panas, menerbangkan debu-debu dan
menerpa tubuh mereka. Tapi mereka sama sekali tidak perduli.
"Masih jauhkah Perguruan
Tapak Malaikat itu, Pergola?" tanya salah seorang dari tiga sosok tubuh
itu, tanpa menghentikan langkah. Dia adalah seorang laki-laki yang bertubuh
pendek kekar. Wajahnya menyiratkan keangkuhan besar, dan dipenuhi bintik-bintik
hitam bekas jerawat
"Sebelum matahari
tergelincir di Barat, kita telah tiba di sana. Sanca Kala," jawab orang
yang dipanggil Pergola, setelah tercenung beberapa saat lamanya untuk
memperkirakan jarak yang harus mereka tempuh. "Bukan begitu, Gurida?"
Gurida, orang yang satunya
lagi, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berotot, urat tubuh menonjol dan
berkepala botak, menganggukkan kepala, ia membenarkan perkataan Pergola,
seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus,berkumis dan berjenggot jarang.
"Mengapa kau menayakan
hal itu, Sanca Kala?" tanya Pergola seraya menatap wajah rekannya.
"Kau takut? Atau lelah?"
"Aku takut?! Cuihhh...!
Kau keliru, Pergola! Aku malah sudah tidak sabar lagi untuk segera tiba di
sana!" sergah Sanca Kala dengan nada suara tinggi karena tersinggung. Tapi
terdengar lucu di telinga, laki-laki pendek itu ternyata cadel, ia mengucapkan
kata r dengan l.
"Tidak usah tergesa-gesa,
Sanca Kala," sambut Pergola. "Percayalah. Tidak akan lari gunung
dikejar. Lagi pula, apakah kau belum puas berlari-lari terus sejak beberapa
hari yang lalu? Apa salahnya kali ini kita beristirahat dan berjalan santai.
Anggap saja sebagai selingan sebelum kita terlibat dalam kerja keras?"
"Ho ho ho...! Aku pun
mengira kau takut, Sanca Kala!" timpal Gurida dengan suaranya yang keras
menggelegar mirip halilintar.
"Tidak ada kata takut
dalam kamus hidupku, Gurida!" bantah Sanca Kala dengan suara cadel.
"Kalau benar begitu,
tenang saja, Sanca Kala! Percayalah, kita pasti akan tiba di Perguruan Tapak
Malaikat, sebelum matahari terbenam," kata Pergola mantap. Tapi karena
suaranya yang kecil dan melengking mirip ringkik kuda, kemantapannya berkurang.
Sanca Kala tidak membantah.
Dia diam, dan tidak melanjutkan ucapannya. Setelah ia meludah ke tanah dengan
cara kasar dan menjijikkan. Rupanya, itulah kebiasaan buruk Sanca Kala, meludah
ke tanah bila sedang dilanda amarah.
Gurida dan Pergola yang paham
dengan kebiasaan buruk Sanca Kala sama sekali tidak peduli. Mereka terus
melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata lagi.
Gurida, Pergola, dan Sanca
Kala sama sekali tidak mempedulikan suasana sekeliling yang hening. Mereka
tidak ambil pusing, meskipun di sepanjang perjalanan tidak menjumpai seorang
pun.
Suasana sepi tetap mereka
rasakan, kendati mereka telah memasuki mulut sebuah desa. Jalan utama desa yang
cukup lebar tampak sunyi.
"Gila! Ke mana para
penghuni desa ini?!" maki Gurida dengan suara yang keras mengguntur.
Laki-laki bertubuh tinggi ini
menolehkan kepala ke kanan dan kiri. Tapi matanya tidak melihat seorang pun.
Padahal, rumah penduduk cukup banyak. Tapi, daun pintu dan jendelanya tertutup
rapat-rapat.
"Mengapa kau mengurusi
orang-orang yang tidak perlu, Gurida…!" tegur Sanca Kala sambil tersenyum
mengejek. Gembira hatinya karena mendapat kesempatan untuk balas mengejek
Gurida.
Memang tampak aneh sikap
Gurida, Pergola, dan Sanca Kala. Melihat dari pakaian yang dikenakan, bisa
diduga kalau ketiga orang ini mempunyai hubungan satu sama lain. Tapi, bila
melihat dari sikap mereka, terkesan persaingan di antara ketiga orang itu.
Gurida tahu kalau dirinya
sedang diejek. Tapi karena dia tidak tergolong orang yang pandai berdebat,
ejekan Sanca Kala tidak langsung bisa dirangkainya. Beberapa saat lamanya
Gurida terdiam dengan wajah merah padam.
"Apakah kau akan
membunuhi mereka dulu untuk meyakinkan diri sebelum menghadapi orang-orang
Perguruan Tapak Malaikat?!" ejek Sanca Kala lagi, sehingga membuat wajah
Gurida semakin merah.
Gurida menggertakkan giginya,
menahan perasaan geram. Karena ia tak tahan dengan ejekan Sanca Kala yang
semakin memanaskan telinga. Lalu, ia melangkahkan kaki lebar-lebar meninggalkan
kedua rekannya.
"Ha ha ha...!"
Gelak tawa Pergola dan Sanca
Kala mengiringi langkah kaki Gurida yang mendahului mereka.
Masih dengan tawa yang tidak
putus-putus, Pergola dan Sanca Kala mengikuti langkah Gurida yang berjarak
empat tombak di depan.
Sekarang tiga orang aneh itu
meneruskan tujuan mereka, tapi tidak lagi berjalan berbarengan seperti semula.
Gurida berjalan di depan. Sedang Sanca Kala dan Pergola berjalan di
belakangnya.
***
"Berhenti...! Siapa,
kisanak semua?! Dan, apa keperluan Kisanak kemari?!" tanya salah satu dari
dua orang pemuda berpakaian coklat. Tampak di bagian dada mereka tersulam
gambar telapak tangan berwarna putih bersih. Dia adalah seorang pemuda berkulit
hitam dan beralis tebal.
Dua orang itu berdiri di depan
pintu gerbang. Di atas gerbang itu tergantung sebuah papan tebal berukur, dan
bertuliskan 'Perguruan Tapak Malaikat'.
Dua orang yang sebenarnya
adalah murid-murid Perguruan Tapak Malaikat, berdiri berjajar dalam jarak
sekitar setengah tombak. Keduanya saling memiringkan tombak, untuk menghalangi
jalan. Pemuda beralis tebal dan rekannya menatap tajam penuh selidik terhadap
tiga sosok tubuh, yang berdiri di hadapan mereka. Ketiga sosok tubuh itu
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam mengkilat. Pada dada kiri dan
ikat kepala mereka terlihat gambar gunung menjulang tinggi dari sulaman benang
merah.
Tiga sosok tubuh yang bukan
lain Gurida, Sanca Kala, dan Pergola tertawa. Mereka tertawa bersama dan
berbarengan. Tak pelak lagi terdengarlah suara gabungan yang aneh.
"Orang seperti kalian
ingin mengenal kami?!" bentak Gurida. Memang dia memiliki suara keras,
ditambah lagi membentak, tak mengherankan bila terdengar suara yang keras bukan
kepalang. Saking kerasnya suara yang keluar dari mulut Gurida membuat
murid-murid Perguruan Tapak Malaikat, yang menghalangi langkah mereka, sempat
terjingkat ke belakang.
Tapi rasa kaget yang melanda hati
kedua penjaga Perguruan Tapak Malaikat itu hanya sebentar. Kemudian mereka
telah menguasai diri kembali.
"Benar! Kami ingin tahu
siapa kisanak semua. Dan apa pula maksudnya kisanak mengunjungi perguruan
kuini. Semua itu untuk bahan laporan kepada kakak seperguruan kami. Kemudian
diteruskan kepada ketua untuk mempertimbangkan pantas tidaknya menerima
kalian," jawab penjaga pintu gerbang satunya lagi, seorang pemuda
bercambang panjang dan tak mau kalah gertak dengan Gurida.
"Tikus Buduk tak tahu
penyakit!" desis Gurida penuh amarah. Memang, dibanding kedua orang
rekannya, laki-laki tinggi besar ini memiliki sifat berangasan. Mudah marah dan
tersinggung! "Kau rupanya sudah ingin pergi ke akherat, hah?! Baik.
Kuturuti maumu!"
Belum lenyap gema ucapannya, Gurida
telah melangkahkan kakinya ke depan. Tentu saja dua orang penjaga pintu gerbang
Perguruan Tapak Malaikat itu tidak tinggal diam. Tombak yang tadi bersilang
menghalangi jalan, segera ditusukkan ke arah perut dan leher Gurida.
"Hmh...!"
Gurida mendengus. Dengan sikap
sembarangan dan seperti tanpa mengerahkan tenaga sama sekali, diulurkan
tangannya menangkap kedua tombak yang tertuju ke arahnya.
Tap, tappp!
Sepasang mata dua orang murid
Perguruan Tapak Malaikat terbelalak, ketika melihat mata tombak mereka telah
berada dalam cengkeraman tangan Gurida.
Sebelum rasa kaget mereka
lenyap, Gurida telah menggerakkan dan menggertakkan tangannya yang menggenggam
tombak ke atas.
Jerit keterkejutan terdengar
dari mulut kedua orang itu ketika tubuh mereka terlempar ke atas akibat
sentakan tangan Gurida.
Tubuh kedua orang penjaga
pintu gerbang itu melayang setinggi dua tombak ke udara. Kemudian meluncur ke
bawah ketika kekuatan yang melemparkan tubuh mereka ke atas tidak bersisa lagi.
"Sekarang giliran kami, Gurida!"
Hampir berbareng ucapan yang
sama itu keluar dari mulut Sanca Kala dan Pergola.
Meskipun Gurida tidak
memberikan tanggapan atas ucapan Sanca Kala dan Pergola, tapi ia setuju.
Terbukti, dia menyingkir dan tidak mempedulikan nasib kedua orang penjaga pintu
gerbang itu.
Tapi, keduanya tahu kalau
bahaya akan mengancam keselamatan jiwa mereka. Maka keduanya pun berusaha untuk
menyelamatkan diri.
Di saat tubuh mereka meluncur
turun dengan derasnya ke tanah, usaha penyelamatan diri itu dilakukan. Tubuh
mereka berputar beberapa kali di udara. Kemudian dengan bantuan jari-jari kedua
tangan yang disatukan dan dijadikan landasan, kedua orang itu segera menyerang
Pergola dan Sanca Kala dari udara. Tindakan yang mereka lakukan mengingatkan
pada kelakuan burung garuda yang menyambar mangsanya.
Sanca Kala dan Pergola
tersenyum mengejek melihat serangan yang mengancam mereka. Dengan gerakan
sembarangan keduanya mengulurkan tangan menyambuti.
Plak, plakkk...!
Jerit kesakitan terdengar dari
mulut dua murid Perguruan Tapak Malaikat, ketika empat pasang tangan
berbenturan. Untuk kedua kalinya tubuh mereka terlempar kembali ke udara.
Sambungan pergelangan tangan dan sikut mereka langsung terlepas ketika benturan
itu terjadi
Brukkk...!
Suara berdebuk keras terdengar
tatkala tubuh mereka jatuh di tanah, setelah terlempar sejauh satu tombak.
Memang, rasa sakit yang mendera tangan, membuat mereka tidak mampu menguasai
diri. Sehingga, mereka tidak dapat mendarat dengan sempurna.
Tanpa mempedulikan dua orang
penjaga pintu gerbang yang masih berguling-guling menahan sakit, Sanca Kala,
Pergola, dan Gurida melangkah menghampiri pintu gerbang yang daun pintunya
terbuka sedikit.
"Hih...!"
Gurida yang berwatak
berangasan menghantam pintu gerbang itu.
Brakkk!
Suara hiruk-pikuk yang keras
mengiringi hancurnya daun pintu gerbang Perguruan Tapak Malaikat.
Karuan saja suara bergemuruh
itu membuat kaget penghuni Perguruan Tapak Malaikat. Puluhan orang murid yang
tengah berlatih di halaman, dengan bimbingan seorang murid utama, menolehkan
kepala ke asal suara bergemuruh itu.
Wajah-wajah puluhan murid yang
terdiri dari beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok berisi muridmurid yang
setingkatan, langsung merah padam menahan amarah. Setelah mereka mengetahui
kalau suara riuh rendah itu berasal dari daun pintu gerbang yang hancur
berantakan.
Kemarahan semakin berkobar di
dada mereka ketika tiga sosok tubuh berpakaian dan berikat kepala hitam
melangkah masuk. Jelas, ketiga orang inilah yang menghancurkan daun pintu
gerbang perguruan mereka, tebak murid Perguruan Tapak Malaikat.
Yakin kalau Sanca Kala,
Pergola, dan Gurida yang harus bertanggung jawab, puluhan murid Perguruan Tapak
Malaikat yang bertelanjang dada, bersiap mengadakan perhitungan. Tapi...
"Tahan...!"
Suara bentakan itu dikenal
oleh puluhan murid Perguruan Tapak Malaikat, sehingga mereka menghentikan
gerakan "Mengapa kau melarang kami. Kang Sena?" tanya seorang murid
yang mempunyai tahi lalat di dahi.
Ada nada penasaran dalam
ucapan laki-laki bertahi lalat di dahi. Bahkan sorot matanya mengandung
pertanyaan besar ketika menatap wajah Sena. Salah seorang murid kepala
Perguruan Tapak Malaikat yang bermata sipit.
"Kalian jangan bertindak
ceroboh. Kita belum tahu maksud mereka," jawab Sena kalem sambil menatap
adik seperguruannya beberapa saat. Setelah itu pandangannya diedarkan ke
sekeliling.
Semua murid Perguruan Tapak
Malaikat kontan diam. Tidak ada satu pun yang membuat gerakan atau menyambuti
ucapan kakak seperguruan mereka.
Setelah yakin kalau semua adik
seperguruannya sudah tenang, Sena melangkah menghampiri Sanca Kala, Pergola dan
Gurida yang juga tengah menuju ke tempat mereka.
Karena mereka khawatir akan
keselamatan kakak seperguruannya puluhan murid Perguruan Tapak Malaikat pun
melangkah di belakang Sena.
Ketika jarak antara mereka
tinggal tiga tombak lagi, Sena menghentikan langkah. Tentu saja hal itu memaksa
adik-adik seperguruannya yang berada di belakangnya menghentikan langkah pula.
"Siapakah,, kisanak
semua?! Mengapa masuk dengan cara seperti ini?!" tanya Sena tenang dan
penuh wibawa. Sikapnya seperti itu tidaklah aneh, karena dia sering mendapat
tugas pengganti, apabila gurunya berhalangan. Memang masih ada dua orang lagi
yang menjadi murid kepala selain Sena.
Tapi hanya dia yang mendapat kepercayaan dari Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
"Kami datang dari tempat
yang jauh untuk menemui Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Kami yakin kalau kau
bukan orang yang kami maksudkan! Karena itu kau menyingkirlah dari situ dan
panggil ketua kalian kemari!" sambut Sanca Kala dengan suara cadelnya.
"Kalau tidak, kami akan
mencarinya sendiri ke dalam!"
sambung Gurida.
Sena tetap bersikap tenang.
"Sayang sekali, kisanak
semua. Guruku saat ini sedang tidak ingin diganggu. Beliau berpesan untuk tidak
membiarkan seorang pun menemuinya," jawab Sena dengan tenang. "Kalau
Kisanak berkeras ingin bertemu, aku bersedia mewakili guruku. Katakanlah.
Apakah ada yang bisa kubantu?"
"Kau tidak akan mampu
mewakili urusan ini, Tikus Buduk!" sergah Gurida keras. "Panggil gurumu
cepat! Atau..., tanah perguruan ini akan dibanjiri darah kalian!"
"Sayang sekali, Kisanak!
Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu," kata Sena masih dengan sikap
tenang. Dia tidak terpengaruh sama sekali dengan kemarahan lawan.
"Kucing pincang belagak
jadi macan...," desis Pergola nyaring.
"Apa pun pendapat kalian,
aku tidak perduli. Kedatangan kalian kemari tidak sopan saja, sudah menjadi
alasan bagi kami untuk mengusir kalian," kata Sena masih tenang.
"Kang…, mungkin kedua
orang rekan kita telah mereka bunuh," sela laki-laki yang bertahi lalat di
dahi.
Sena terjingkat kaget. Ya.
Mengapa dia bisa melupakan adik-adik seperguruannya yang menjaga pintu gerbang?
Kalau ketiga orang kasar ini bisa masuk ke dalam, berarti telah terjadi sesuatu
atas murid-murid Perguruan Tapak Malaikat yang menjaga pintu gerbang.
"Hmh...!" Gurida
yang berwatak berangasan langsung mendengus keras. "Kami tidak sudi
mengotori tangan dengan membunuh kucing-kucing pincang seperti kalian!"
"Ya! Kami hanya butuh
Ketua Perguruan Tapak Malaikat!" timpal Sanca Kala keras. "Cepat
beritahukan padanya! Atau..., kalian semua akan kubantai! Ini peringatan
terakhir!"
"Sudah kubilang beliau
tidak mau diganggu!" sambut Sena tegas
"Kalau begitu, biar aku
sendiri yang mencarinya ke dalam!" sergah Gurida keras sambil melangkah
maju.
"Kau hanya bisa masuk ke
dalam bila berhasil melangkahi mayatku...!" kata Sena tegas dan mantap
sambil menggeser kakinya ke kanan. Sehingga menghalangi jalan yang akan
ditempuh Gurida.
Gurida menggeram keras seperti
binatang buas yang
murka.
Hih...!" "Kalau begitu,
kau dulu yang
akan kulenyapkan...!
Gurida melancarkan tendangan kaki kanan
lurus ke arah dada Sena. Dalam puncak kemarahan, dikeluarkan seluruh
tenaga dalamnya.
Wuttt...!
Deru angin keras mengiringi
serangan Gurida.
Sena tidak berani bertindak
gegabah. Dia tahu kalau serangan itu mengandung tenaga dalam amat kuat. Maka
murid kepala Perguruan Tapak Malaikat ini buru-buru melempar tubuh ke belakang,
sehingga tendangan Gurida hanya mengenai daerah kosong.
Gurida penasaran bukan
kepalang melihat serangannya berhasil dielakkan. Tanpa memberi kesempatan lawan
ia segera melancarkan serangan susulan dengan menggunakan kaki.
Sena kaget bukan kepalang,
melihat kecepatan serangan lawan. Dia baru saja mendaratkan kaki, serangan
susulan lawan telah meluncur ke arah tubuhnya. Karuan saja membuatnya menjadi
kelabakan.
Untunglah, murid-murid
Perguruan Tapak Malaikat yang memang sudah bersiap siaga sejak tadi, langsung
bertindak cepat.
Beberapa orang mencabut pedang
dan langsung melancarkan serangan ke arah bagian-bagian yang berbahaya di tubuh Gurida. Sedangkan sisanya
langsung menyerbu Sanca Kala dan Pergola.
Melihat sambaran berbagai
macam senjata ke arah bagian berbahaya di tubuhnya, Gurida terpaksa membatalkan
serangan. Kalau ia teruskan, sebelum serangannya mengenai sasaran, pedang
murid-murid Perguruan Tapak Malaikat akan menghantamnya lebih dulu. Gurida
tidak ingin hal itu terjadi. Karena itu ia mengurungkan maksudnya, dan
melemparkan tubuhnya ke samping
"Rupanya kalian
benar-benar menghendaki kematian! Baik kalau itu yang kalian inginkan, aku akan
memenuhinya...!" ucap Gurida ketika telah berhasil memperbaiki
kedudukannya.
Tapi ancaman Gurida disambut
dengan serbuan murid-murid Perguruan Tapak Malaikat. Mereka, di bawah pimpinan
Sena, segera meluruk menyerbu lawan. Dan, serangan itu disambut hangat oleh
Gurida. Tak pelak lagi pertarungan sengit pun meletus.
Kini, di halaman depan
Perguruan Tapak Malaikat, terjadi tiga buah kancah pertarungan! Suara desing
senjata menyambar, dentang senjata beradu diiringi percikan bunga api, jerit
kesakitan dan kematian, menyemaraki pertarungan.
2
Kepandaian Sanca Kala,
Pergola, dan Gurida ternyata berada jauh di atas tingkat kepandaian murid-murid
Perguruan Tapak Malaikat. Sejak awal, hal itu sudah disadari ketiga tokoh
berpakaian hitam pekat itu. Terbukti, mereka sama sekali tidak menggunakan
senjata untuk menghadapi para pengeroyok.
Dengan tangan kosong, Sanca
Kala, Gurida dan Pergola menghadapi hujan serbuan senjata-senjata lawan. Mereka
tanpa ragu-ragu menangkis babatan, tusukan, dan berbagai macam serangan senjata
lawan dengan tangan telanjang.
Dan setiap kali terjadi
benturan, terdengar suara berdetak keras seperti benturan antara benda keras.
Tak sedikit pun tangan atau kaki tiga tokoh yang berpakaian hitam itu terluka,
atau tergores. Tetapi itu bukanlah hal yang aneh. Karena tangan dan kaki Sanca
Kala, Gurida, dan Pergola telah terlindung oleh tenaga dalam. Bahkan sebaliknya
tangan yang menggenggam senjata itu tergetar hebat dari hampir lumpuh. Karuan
saja hal itu membuat murid-murid Perguruan Tapak Malaikat merasa terkejut bukan
kepalang, terutama sekali Sena. Karena hal itu menandakan ketiga orang lawannya
memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
Betapapun murid-murid
Perguruan Tapak Malaikat telah mengerahkan seluruh kemampuan untuk merobohkan,
atau menewaskan lawan. Tapi tetap saja usaha mereka kandas. Setiap serangan
yang mereka lancarkan, selalu dapat dipunahkan ketiga tokoh berpakaian hitam
pekat itu.
Sebaliknya setiap Gurida,
Sanca Kala, maupun Pergola melancarkan serangan balasan, sudah dapat dipastikan
salah satu para pengeroyoknya akan roboh ke tanah dan tewas.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit kematian terdengar
saling susul menyusul seiring dengan
robohnya satu demi satu murid-murid Perguruan Tapak Malaikat. Dan, itu terjadi
setiap kali ketiga orang laki-laki berpakaian hitam itu menggerakkan tangan
atau kaki
Dalam waktu sepuluh jurus
saja, tak kurang dari sembilan orang murid-murid Perguruan Tapak Malaikat,
tergolek tanpa nyawa di tanah.
Sena menggertakkan gigi
melihat adik-adik seperguruannya berguguran. Dengan kemarahan yang meluapluap,
ia memperhebat permainan pedangnya.
Tapi semua usaha Sena tidak
membuahkan hasil sama sekali. Gurida terlalu sakti untuk dilawan, sekalipun dia
telah menghadapinya bersama teman-temannya. Amukannya sama sekali tidak merubah
keadaan. Adik-adik seperguruannya roboh dalam keadaan tanpa nyawa, dan lolong
kematian saling susul-menyusul.
Rasa marah dan sedih berkecamuk
dalam hati Sena melihat kematian adik-adik seperguruannya. Dengan susah payah
dia membimbing dan mendidik mereka. Tapi, secara mudah Gurida, Sanca Kala, dan
Pergola membinasakannya. Bagaimana Sena tidak menjadi terpukul melihat
kenyataan itu?
Seiring dengan makin
sedikitnya jumlah murid-murid Perguruan Tapak Malaikat, maka perlawanan yang
mereka berikan pun semakin tidak berarti. Dan, ketiga tokoh itu dengan mudah
membantai mereka.
Sekarang tinggal beberpa
gelintir murid-murid Perguruan Tapak Malaikat yang tersisa. Dan...
"Akh...! Akh...!
Akh...!"
Jerit kematian beruntun
terdengar kembali ketika Gurida dan rekannya melancarkan serangan. Nyawa Sena
dan adik-adik seperguruannya pun melayang ke alam baka.
Sanca Kala, Gurida, dan
Pergola saling pandang. "Apakah yang harus kita lakukan sekarang? Apakah
kita harus memasuki bangunan
demi bangunan satu persatu. Memeriksa ruangan-ruangan sampai kita menemukan
tempat si tua bangka itu, Pergola?" tanya Sanca Kala sambil menatap wajah
laki-laki tinggi kurus itu.
Pergola tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Dia malah tercenung. Melihat kerut pada keningnya,
bisa diperkirakan kalau dia tengah berpikir.
"Kalau menurutmu
bagaimana, Gurida?" tanya Pergola meminta pendapat rekannya yang berkepala
botak.
Gurida terperanjat. Tampak dia
tidak siap dengan pertanyaan seperti itu.
"Kita bakar saja semua
bangunan yang ada di sini. Mustahil tua bangka itu tidak keluar dari tempat
persembunyiannya!" jawab Gurida lantang.
Pargola dan Sanca Kala
berpikir sejenak, mempertimbangkan usul yang sama sekali tidak mereka duga itu.
Sesaat kemudian, mereka berdua saling pandang, lalu tersenyum lebar.
"Tidak kusangka kau
mempunyai usul yang begitu cemerlang, Gurida," puji Sanca Kala.
Gurida terkekeh keras.
Kebanggaan terlihat jelas baik pada nada suara maupun wajahnya.
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa ngakak Pergola,
Sanca Kala, dan Gurida segera melangkah menghampiri obor yang tergantung di
sudut-sudut bangunan. Kemudian digosokkannya satu sama lain, sehingga timbul
percikan api. Bagi mereka yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, pekerjaan
semacam itu sangat mudah dilakukan.
Begitu api menyala pada sumbu
obor, ketiga orang, yang berpakaian hitam itu melontarkan obor yang menyala ke
arah bangunan Perguruan Tapak Malaikat. Dan, setiap bagunan dilempari dengan
beberapa batang obor. Baik atap, jendela, maupun lantai. Karena mereka ingin
api segera berkobar dan besar.
Brlll...!
Sekejap kemudian, api mulai
menelan bangunanbangunan yang terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar.
Asap hitam dan tebal pun membumbung tinggi ke angkasa.
"Ha ha ha...!"
Gurida, Sanca Kala, dan
Pergola tertawa terbahakbahak melihat kobaran api yang membumbung tinggi. Mereka yakin sekali, Ketua Perguruan
Tapak Malaikat akan keluar dari tempat semadinya.
Dugaan ketiga orang sakti ini
tepat, karena salah satu bangunan yang terbakar hebat itu, mendadak jebol dan
dindingnya berentakan sebelum dijilat api.
Brakkk...!
Pecahan kayu, arang, dan
percikan bunga api berhamburan berpentalan ke sana kemari, seiring dengan
melesatnya sesosok bayangan dari dalam bangunan yang sedang diamuk api.
"Hup...!"
Setelah bersalto beberapa kali
di udara, sosok bayangan itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Indah dan
manis sekali gerakannya. Bahkan ketika kedua kakinya mendarat di tanah, tampak
gerakannya ringan seperti sehelai bulu yang jatuh.
"Iblis! Biadab! Siapa
yang telah melakukan semua ini?" seru sosok bayangan yang ternyata,
seorang laki-laki setengah baya. Wajahnya terlihat sudah keriput dihiasi kumis dan jenggot yang cukup lebat.
Kendati demikian, tubuhnya tampak masih kekar, dan terbungkus pakaian berwarna
coklat. Sebuah sulaman berbentuk sebuah telapak tangan menghias bagian dadanya.
***
"Kaukah Ketua Perguruan
Tapak Malaikat?" tanya Gurida keras. Ada ancaman, baik dalam nada suara
maupun pandangan mata, laki-laki berkepala botak itu.
"Benar! Siapa kalian?
Apakah kalian yang telah melakukan tindakan biadab ini?" tanya laki-laki
berkumis lebat itu geram sambil menunjuk bangunan-bangunan yang terbakar dan
mayat murid-muridnya yang tergeletak di tanah.
Patut dipuji tindakan yang
dilakukan Ketua Perburuan Tapak Malaikat itu. Meskipun ia telah menduga kalau
pelaku kejahatan di perguruannya adalah ketiga orang berpakaian hitam yang
berdiri di hadapannya. Namun, ia tidak langsung melancarkan serangan.
"Ha ha ha...!"
Bagai diperintah, Sanca Kala,
Gurida, dan Pergola tertawa berbarengan. Gabungan suara tawa yang lucu pun
terdengar. Suara parau dan melengking nyaring berbaur menjadi satu.
Melihat ringkah ketiga tokoh
itu wajah Ketua Perguruan Tapak Malaikat memerah. Dia merasa tersinggung
sekali. Betapa tidak? Dia telah mengajukan pertanyaan secara baik-baik, tapi
dijawab dengan tawa bernada mengejek ketiga orang itu!
"Diam...!" bentak
Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu lantaran ia tak mampu lagi menahan perasaan
geram dalam dadanya.
Teriakan yang keluar dari
mulut laki-laki berjenggot lebat keras bukan kepalang. Karena teriakan itu
dikeluarkan melalui pengerahan tenaga dalam.
Bagai kerbau dicocok hidungnya,
suara tawa itu kontan terhenti. Ketiga orang berpakaian hitam pekat itu merasa
terkejut, sehingga tanpa sadar mereka menghentikan tawanya. Begitu mereka
sadar, kemarahanlah yang timbul.
"Keparat! Berani kau
membentak kami?!" bentak Gurida keras dengan nafsu amarah.
"Jangan hanya membentak,
membunuh pun akan kulakukan apabila kalian terbukti telah melakukan semua
kekejian ini!" tegas Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
"Ooo..., begitu?!
Sekarang dengarkan baik-baik, Tua Bangka! Kamilah yang telah membunuh semua
muridmu! Dengar! Kami yang telah melakukan semua itu. Bahkan kami pula yang
telah membakar bangunan-bangunan perguruanmu!" kali ini Sanca Kala
menyambuti dengan suara lantang, meskipun setiap kali bertemu, selalu
tersendat.
"Keparat! Kenapa kalian bertindak
sekejam itu?! Apa salah mereka pada kalian?!" Ketua Perguruan Tapak
Malaikat masih sempat mengajukan pertanyaan, meskipun keinginan untuk menerjang
ketiga orang berpakaian hitam itu sangat menggebu-gebu. Tapi, ia ingin
mengetahui alasan ketiga orang itu melakukan pembantaian di perguruannya,
sebelum turun tangan membasmi mereka.
"Sebenarnya mereka tidak
mempunyai kesalahan apaapa," ucap Pergola kalem, seakan-akan tewasnya
puluhan murid Perguruan Tapak Malaikat itu tak ubahnya seperti kematian nyamuk
saja.
"Jahanam! Lalu, mengapa
kalian membunuhnya?!" kejar Ketua Perguruan Tapak Malaikat dengan suara
meninggi karena kemarahan yang semakin bergelora
"Karena mereka tidak mau
memberitahu kedatangan kami padamu. Tua Bangka!" sambut Gurida keras.
"Ya! Kalau saja mereka
mau memberitahukan kedatangan kami padamu, mereka tidak perlu pergi ke alam
baka. Bahkan terluka pun tidak. Karena kami memang tidak punya urusan dengan
mereka, kecuali denganmu, Tua Bangka!" urai Pergola panjang lebar.
"Aku mempunyai urusan
dengan kalian?!" Masih dengan suara tinggi, laki-laki berjenggot lebat itu
mengernyitkan kening. "Rupanya kalian adalah orang-orang yang kurang
waras! Jangankan aku punya urusan, melihat kalian pun baru sekarang!"
"Hal itu tidak perlu kau
pusingkan, Tua Bangka!" sergah Gurida parau. "Yang penting kau adalah
Ketua Perguruan Tapak Malaikat, karena itu kau mempunyai urusan dengan
kami!"
"Benar!" sambut
Sanca Kala. "Bukankah kau yang bernama Tanjak Gara?"
"Ki Tanjak Gara?!"
alis Ketua Perguruan Tapak Malaikat berkemyit dalam. "Kalian keliru. Aku
Gilang Sangkur, bukan Ki Tanjak Gara."
"Kau Bohong, Tua
Bangka!" bentak Gurida keras sepasang matanya tampak berkilat-kilat
pertanda tengah dilanda kemarahan menggelegak. "Kami tahu kalau Ketua
Perguruan Tapak Malaikat adalah Tanjak Gara! Aku, Gurida, tidak bisa kau
bohongi!"
"Jaga mulutmu yang kotor
itu, Gurida!" teriak Gilang Sangkur tak kalah keras.
Untuk yang kesekian kalinya,
Gilang Sangkur merasa tersinggung. Dia adalah seorang Ketua Perguruan Tapak Malaikat,
sebuah perguruan silat aliran putih yang besar. Ditakuti kawan dan disegani
lawan, tapi sekarang dia dimaki sebagai pembohong oleh Gurida. Siapa yang tidak
menjadi kalap?
"Memang benar Tanjak Gara
adalah Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Tapi itu dulu! Sudah bertahun-tahun
lamanya, dia mengundurkan diri, dan aku yang menggantikan kedudukannya sebagai
ketua perguruan ini!" jelas Gilang Sangkur dengan suara berapi-api.
Gurida, Sanca Kala, dan
Pergola saling pandang. Wajah dan sinar mata mereka memancarkan
ketidakpercayaannya akan kenyataan yang dihadapi.
"Lalu..., kemanakah
perginya, Tanjak Gara?" tanya Sanca Kala mulai melunak. Pertanda dia mulai
percaya dengan ucapan Gilang Sangkur.
"Aku tidak tahu,"
jawab Gilang Sangkur masih dengan nada tinggi. "Dan andaikata aku tahu
pun, tidak akan kuberitahu pada kalian!"
"Hmh...!" Gurida
yang berangasan mendengus. "Ingin kutahu, apakah kau akan tetap bersikeras
apabila kami menyiksamu!"
"Itu memang yang tengah
kutunggu-tunggu!" sambut Gilang Sangkur cepat. "Tanganku sudah
gatal-gatal sejak tadi untuk menghukum kalian. Karena kalian telah lancang
membakar bangunan dan bertindak keji atas muridmuridku!"
"Kau mencari penyakit
sendiri, Tua Bangka...!" desis Gurida sambil melangkah menghampiri.
Gilang Sangkur tidak berani
bertindak gegabah. Begitu melihat Gurida menghampiri, dia memasang sikap
waspada. Sepasang matanya beredar memperhatikan semua gerak-gerik laki-laki
berkepala botak itu.
Mendadak sepasang matanya
terbelalak ketika melihat sulaman gambar yang tertera pada dada kiri maupun
pada ikat kepala Gurida. Rupanya sejak tadi, karena kemarahan yang melanda, ia
tidak sempat melihat sulaman gambar itu.
Karena merasa kurang percaya
dengan sulaman gambar yang ada pada Gurida, Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu
mengalihkan pandangan ke arah Pergola, dan Sanca Kala. Dan keterkejutan yang
membayang di wajahnya pun semakin tampak jelas.
"Apa hubungan kalian
dengan Perguruan Bukit Larangan?" tanya Gilang Sangkur dengan suara
tercekat di tenggorokan.
"Kami memang utusan Ketua
Perguruan Bukit Larangan. Dan kedatangan kami kemari untuk mencari Tanjak Gara.
Dia telah terbukti bersalah," tandas Pergola.
Laki-laki bertubuh tinggi
kurus ini berusaha mempertunjukkan sikap penuh wibawa. Karena itu, dia
mengucapkan kata-katanya satu demi satu. Itu pun masih ditambah dengan
membusungkan dada. Tapi karena suaranya yang cadel, dan tubuhnya kurus, semua
usahanya menjadi sia-sia. Bukan kewibawaan yang nampak malah kelucuan yang
terlihat.
"Aku tidak percaya!"
desis Gilang Sangkur terbatabata. "Tokoh-tokoh Perguruan Bukit Larangan
tidak pernah keluar dari tempatnya! Apalagi sampai menimbulkan bencana seperti
ini! Kalian pasti pengacau-pengacau busuk yang menggunakan nama Perguruan Bukit
Larangan untuk menimbulkan malapetaka!"
"Semua terserah padamu,
Tua Bangka. Mau Percaya atau tidak, itu bukan urusan kami Tapi yang jelas,
beberapa saat lagi kau akan percaya! Hih...!"
Gurida menggulingkan tubuh ke
depan. Dan langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati
dan pusar Gilang Sangkur dengan kedua tangan terkembang membentuk cakar.
Cit, cit...!
Suara bercicitan tajam dari
udara yang terobek oleh gerakan tangan Gurida, pertanda kalau serangan yang
dilancarkan mengandung tenaga dalam tinggi
Gilang Sangkur tahu kalau
serangan lawan berbahaya. Meskipun belum dibuktikannya sendiri, namun ia bisa
memperkirakan kalau jari-jari tangan itu tak kalah tajam dari pisau yang paling
tajam. Suara mendecit nyaring itulah yang telah memberi petunjuk kepadanya.
Karena itu, Ketua Perguruan
Tapak Malaikat ini tidak mau bertindak ceroboh. Dia belum tahu keistimewaan
ilmu lawan, dan perkembangan gerakannya. Maka dia buru-buru melompat jauh ke
belakang, sehingga pukulan Gurida hanya mengenai tempat kosong.
Tapi serangan Gurida tidak hanya
berhenti sampai di situ. Begitu lawannya berhasil mengelakkan serangan, dia
segera melompat dan memburu Gilang Sangkur. Dan, begitu jarak di antara mereka
makin dekat, Gurida kembali melancarkan serangan bertubi-tubi yang mengeluarkan
suara angin bercicitan.
Sambil menggulingkan tubuh ke depan, Gurida
melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar Gilang
Sangkur.
Gilang Sangkur yang belum tahu
kemampuan lawan tidak mau bertindak ceroboh. Dia segera melompat ke belakang
menghindari cakaran Gurida.
Mengerikan dan menggiriskan
sekali ilmu yang dipergunakan Gurida. Kedua tangannya yang membentuk cakar,
selalu menimbulkan decitan angin tajam ketika digerakkan. Baik menyampok,
mengibas, menetak, maupun mengebut.
Menyadari keanehan ilmu lawan,
Gilang Sangkur bertindak hati-hati. Selama beberapa jurus, dia terus menerus
mengelak. Tak sekalipun dia balas menyerang atau menangkis. Ketua Perguruan
Tapak Malaikat memang ingin mengetahui lebih dahulu perkembangan gerakan ilmu
lawan, dan juga kedahsyatannya.
Tindakan Gilang Sangkur yang
berhati-hati itu dinilai lain oleh Gurida. Laki-laki tinggi besar berkepala
botak ini menduga Ketua Perguruan Tapak Malaikat memandang rendah dirinya,
sehingga sampai sekian lama hanya mengelak. Tindakan Gilang Sangkur membuatnya
tersinggung. Akibatnya serangan-serangan yang dilancarkan pun makin dahsyat.
Melihat serangan Gurida,
Gilang Sangkur tidak berani mengelak terus-menerus. Sebab tindakan yang sangat
berbahaya bila hanya mengelak, menghadapi serangan yang semakin bertubi-tubi.
Maka, begitu memasuki jurus kesebelas, mulai mengadakan perlawanan.
Dan, itu dilakukannya ketika
sebuah sampokan tangan kanan Gurida, meluncur cepat ke arah pelipisnya. Ketua
Penjuruan Tapak Malaikat langsung mengangkat tangan kiri untuk melindungi
pelipisnya. Sudah diduga bila serangan lawan mendarat di sasaran, kepalanya
bisa hancur.
Plaakk…!
Suara benturan keras
terdengar, manakala kedua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam itu saling
berbenturan. Akibatnya, kedua tubuh itu sama-sama terhuyung tiga langkah ke
belakang. Jelas, kalau tenaga dalam yang dimiliki kedua tokoh ini berimbang.
Tanpa mempedulikan akibat benturan itu, Gurida dan Gilang Sangkur kembali
menerjang lawan begitu kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung, berhasil
dipatahkan. Pertarungan sengit pun tak bisa dihindarkan lagi Gurida dan Gilang
Sangkur mengerahkan seluruh kepandaian yang mereka miliki. Di samping karena
lawan yang dihadapi memang lihai, kedua belah pihak pun sama-
sama menghendaki pertarungan
berakhir secepat mungkin.
Karena kedua tokoh yang
bertarung itu sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi,
pertarungan pun berlangsung cepat. Yang terlihat hanya kelebatan bayangan hitam
dan coklat. Terkadang mereka saling belit, tapi tak jarang saling pisah satu
sama lain. Namun, terpisahnya kedua bayangan itu hanya berlangsung sebentar.
Karena sesaat kemudian, kedua tokoh itu saling menerjang.
Sanca Kala dan Pergola
memperhatikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar. Kedua tokoh sakti ini
tahu kalau rekan mereka menghadapi lawan yang tangguh. Bukan tidak mungkin
Gurida akan roboh, bahkan bisa tewas di tangan Ketua Perguruan Tapak Malaikat
3
Pertarungan di antara kedua
tokoh itu tampak berlangsung seru dan menarik. Baik Gurida maupun Ki Gilang
Sangkur tengah berusaha keras untuk merobohkan lawan. Beberapa kali tubuh kedua
belah pihak sama-sama terhuyung ke belakang ketika terjadi benturan. Namun hal
itu tidak berlangsung lama, karena keduanya langsung saling menyerang kembali.
Tak terasa pertarungan sudah
berlangsung tujuh puluh lima jurus. Dan selama itu tidak nampak adanya
tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih berlangsung
seimbang, karena keduanya sama-sama memiliki tingkat tenaga dalam, meringankan
tubuh, dan mutu ilmu silat yang berada dalam satu tingkatan.
Melihat hal ini, baik Sanca
Kala maupun Pergola menjadi tidak sabar. Mereka menduga, pertarungan tetap akan
berlangsung alot. Karena tidak ada tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai
pemenang, padahal pertarungan telah berlangsung hampir seratus jurus.
Dugaan kedua tokoh berpakaian
hitam pekat itu memang sama sekali tidak meleset. Sebagai tokoh tingkat tinggi,
mereka bisa memperkirakan hasil akhir pertarungan. Keduanya tahu, kemungkinan
pertarungan akan berubah, dan salah satu di antara mereka akan keluar sebagai
pemenang. Tapi hal itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sementara mereka
diburu waktu untuk secepatnya menyelesaikan urusan.
"Haaat...!"
Dengan diiringi suara jeritan
melengking nyaring, Sanca Kala melompat memasuki kancah pertarungan. Dan selagi
tubuhnya berada di udara, langsung saja ia melancarkan serangan bertubi-tubi ke
arah Ki Gilang Sangkur.
Ki Gilang Sangkur terperanjat
bukan kepalang. Segera tubuhnya dilempar ke belakang, dan bersalto.
"Hup...!"
Ringan dan mantap kedua kaki
Ki Gilang Sangkur mendarat di tanah. Tidak ada serangan susulan sama sekali
terhadapnya. Padahal semula hal itu amat dikhawatirkannya. Sanca Kala dan
Gurida dilihatnya hanya berdiri memperhatikan dirinya. Memang, baik Sanca Kala
maupun Gurida sama sekali tidak mengejar. Kedua tokoh itu merasa malu untuk
melakukan serangan. Karena itu mereka
membiarkan Ki Gilang Sangkur
memperbaiki posisinya.
Hati Ki Gilang Sangkur
berdebar tegang. Dia tahu kalau lawannya ingin mengeroyoknya. Padahal,
menghadapi satu orang saja dia belum tentu mampu mengalahkan. Apalagi
menghadapi dua orang. Padahal ilmu andalannya, 'Tapak Malaikat', telah
dipergunakan!
"Haaat...!" teriak
Gurida keras seraya meluruk ke arah Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Dia
melakukan lompatan harimau, bergulingan di tanah beberapa kali menuju ke arah
lawan. Dan kemudian, langsung menyerang dengan sebuah sapuan ke arah kaki.
Deru angin keras membuat debu
mengepul tinggi ke udara, mengawali tibanya serangan sapuan yang mampu
mematahkan pohon besar.
"Hih…!"
Hampir bersamaan dengan
meluruknya tubuh Gurida, Sanca Kala pun
berteriak keras seraya melampai menerjang. Dan selagi berada di udara, tubuhnya
berputar beberapa kali sebelum meluncur ke bawah. Kedua tangannya yang
terkembang membentuk cakar dilontarkan bertubi-tubi ke arah kepala dan tubuh
bagian atas Ki Gilang Sangkur.
Ketua Perguruan Tapak Malaikat
melihat serangan kedua lawannya. Sanca Kala dan Gurida ternyata memiliki bentuk
penyerangan yang berbeda.
Sanca Kala selalu menyerang
dari atas, sementara Gurida dari bawah. Keduanya memiliki ilmu andalan yang
berbeda satu sama lain.
Akibatnya, Ki Gilang Sangkur
mengalami kerepotan bukan kepalang. Dia harus membagi perhatian terhadap dua
buah serangan, yang meluncur ke arahnya dari dua arah yang berbeda.
Yang lebih merepotkan lagi,
kedua serangan itu tiba pada saat yang bersamaan. Tak pelak lagi, Ki Gilang
Sangkur menjadi repot bukan main menghadapi serangan kedua tokoh itu.
Tapi tidak percuma, Ki Gilang
Sangkur menjadi Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Dalam keadaan kritis dan waktu
yang sempit, dia masih sanggup membuktikan kelihaiannya. Dia melempar tubuh ke
belakang, dan berjumpalitan dengan menggunakan kedua telapak tangan sebagai
tempat bertumpu.
Wuttt, wuttt..!
Sampokan dan sapuan itu lewat
beberapa jari dari sasaran. Begitu tubuh Gurida dan Sanca Kala telah mendarat
kembali di tanah, Ki Gilang Sangkur sudah berhasil memperbaiki kedudukannya.
Tapi, kali ini Gurida dan
Sanca Kala sama sekali tidak memberi kesempatan. Kedua tokoh itu kembali
menyerang dengan keistimewaan mereka masing-masing. Ki Gilang Sangkur
benar-benar dibuat mereka menjadi repot.
Ilmu 'Tapak Malaikat' dikerahkan sampai ke puncak kemampuan, untuk mengatasi
serangan bertubi-tubi dari kedua orang lawan.
Ternyata usaha Ketua Perguruan
Tapak Malaikat ini sia-sia. Ia terpaksa mengakui kalau serangan Gurida dan
Sanca Kala benar-benar terlalu kuat dan sulit diatasi. Serangan yang kompak
dari kedua orang lawannya itulah yang membuat Ki Gilang Sangkur mati kutu!
Kalau saja, dua orang tokoh yang mengaku utusan-utusan Perguruan Bukit Larangan
itu menyerang tanpa kerja sama, tidak mudah ia terdesak hebat! Sekalipun ia
akan mengalami kekalahan.
Memang, patut dipuji kerja
sama antara Gurida dan Sanca Kala. Serangan mereka berdua seperti dikendalikan
oleh satu pikiran. Keduanya, bisa saling melindungi dan memperkuat serangan.
Setiap serangan yang dilancarkan Ki Gilang Sangkur selalu kandas. Sebaliknya,
serangan balasan mereka sulit dibendung lawan. Tidak mengherankan bila
pertarungan belum sampai dua puluh jurus Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini
mulai terdesak hebat.
Sekarang Ki Gilang Sangkur
hanya bisa mengelak, dan sesekali menangkis. Dan, untuk membalas sudah tidak
mungkin lagi. Karena ia tidak mampu lagi melantarkan serangan balasan.
"Hiaaat...!"
Menginjak jurus kedua puluh
tiga, Sanca Kala melompat dan menerjang lawan seraya meluncurkan serangan
bertubi-tubi ke arah ubun-ubun lawan.
Ki Gilang Sangkur terkejut
bukan kepalang. Tidak ada pilihan lain baginya untuk menyelamatkan nyawa,
kecuali menangkis. Karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi. Maka,
dia segera mengangkat kedua tangannya dan memapak serangan yang dapat
membahayakan nyawa.
Plakkk… plakkk...!
Serangan maut itu memang
berhasil digagalkan Ki Gilang Sangkur. Bahkan tubuh Sanca Kala terlempar ke
belalang akibat benturan keras. Sedangkan tubuh Ketua Perguruan Tapak Malaikat
itu terhuyung-huyung ke belakang. Saat itulah serangan Gurida meluncur
bersamaan Sanca Kala melancarkan serangan. Laki-laki berkepala botak itu
menggulingkan tubuhnya, dan langsung melancarkan tendangan ke arah lutut kanan
Ki Gilang Sangkur.
Tukkk...! "Akh...!"
Ki Gilang Sangkur menjerit
tertahan ketika tendangan itu menghantam telak lututnya. Kontan sambungan
tulang lututnya terlepas. Akibatnya, tubuh Ki Gilang Sangkur doyong ke
belakang.
Gurida tidak hanya bertindak
sampai di situ. Kembali tubuhnya berguling, memburu Ki Gilang Sangkur. Begitu
jarak antara mereka telah dekat, kaki kanannya meluncur ke arah perut.
Dan, pada saat yang bersamaan.
Sanca Kala melenting ke arah tubuh Ki Gilang Sangkur. Kedua tangannya dengan
jari-jari terkepal, segera dipukulkan ke arah kedua bahu Ketua Perguruan Tapak
Malaikat itu.
Bukkk, dukkk, dukkk...!
Tiga pukulan keras
bertubi-tubi mendarat di sasaran. Sehingga membuat tubuh Ki Gilang Sangkur
terjungkal jauh ke belakang. Dan, darah segar pun langsung menyembur dari
mulutnya. Tulang-tulang kedua bahunya pun remuk!
Brukkk...!
Setelah melayang sejauh beberapa
tombak, tubuh Ki Gilang Sangkur jatuh di tanah. Karena kekuatan yang
melontarkan tubuh Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini belum habis, tak
mengherankan bila tubuhnya tergulingguling di tanah. Dan, baru berhenti ketika
tenaga luncuran itu sudah habis.
Ki Gilang Sangkur ternyata
bukan sejenis orang yang mudah menyerah. Meskipun kedua tangannya dan sebelah
kakinya tidak dapat digunakan lagi, dia tetap berusaha bangkit.
Tapi usahanya ternyata
sia-sia. Betapapun seluruh kemampuannya telah dikeluarkan, dia tetap tak mampu
bangkit berdiri. Tubuhnya hanya menggeliat-geliat ke sana kemari seperti cacing
kena abu.
"Ha ha ha...!"
Sanca Kala, Gurida, dan
Pergola tertawa berkakakan melihat kelakuan Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
Dengan langkah perlahan dan suara tawa yang tidak putus-putus, Sanca Kala dan
Gurida melangkah menghampiri Ki Gilang Sangkur.
Dua orang utusan Perguruan
Bukit Larangan itu tidak melancarkan serangan, karena mereka tahu Ki Gilang
Sangkur sudah tidak berdaya. Dan, secara perlahan Ketua Perguruan Tapak
Malaikat itu akan tewas. Karena luka-luka yang diderita terlalu parah.
"Cepat katakan di mana Ki
Tanjak Gara berada!" ucap Gurida keras dan penuh ancaman.
"Cuihhh...!"
Ki Gilang Sangkur menjawab
pertanyaan itu dengan semburan air ludah. Walaupun tidak ditujukan ke arah
Gurida, tapi tak urung percikan ludah itu mengenai kaki lakilaki berkepala
botak itu.
Gurida menggeram. Dia merasa
tersinggung sekali melihat sambutan yang diterimanya. Lelaki berkepala botak
itu menatap tubuh lawan yang tergolek di tanah dengan sepasang mata berapi-api
"Ini kesempatan terakhir
bagimu, Gilang Sangkur! Katakan di mana Tanjak Gara!" ancam Gurida. Suara
lakilaki tinggi besar ini terdengar bergetar. Memang dia telah murka bukan
kepalang. Perlahan-lahan kaki kanannya diangkat dan diletakkan di kaki kiri Ki
Gilang Sangkur.
Tapi lagi-lagi jawaban yang
diterima Gurida, semburan ludah Ki Gilang Sangkur. Ketua Perguruan Tapak
Malaikat ini tidak gentar sedikit pun dengan acaman lelaki berkepala botak itu.
Dengan hati tabah ditantangnya pandangan mata lawan.
"Grhhh...!"
Gurida menggeram keras. Kaki
yang berada di atas kaki Ki Gilang Sangkur mengejang, pertanda telah dialiri
tenaga dalam. Dan, sekali kaki laki-laki berkepala botak itu bergerak menekan,
sudah dapat dipastikan kalau kaki Ketua Perguruan Tapak Malaikat akan luluh
lantak.
Namun sebelum hal itu
terjadi... "Tahan, Gurida...!"
Gurida menoleh ke belakang ke
arah Sanca Kala yang melangkah menghampiri. Kemudian ia berdiri di sebelah
Gurida. Sinar mata lelaki berkepala botak itu menyorotkan ketidak senangan
karena tindakannya dihalangi "Mengapa kau mencegahku, Sanca Kala?"
tegur Gurida keras.
Sanca Kala hanya tersenyum
sekilas. Kemudan mengalihkan pandangan ke arah Ki Gilang Sangkur, tanpa
mempedulikan Gurida yang semakin dongkol melihat sikap Sanca Kala.
"Tidak kusangka sama
sekali...," ucap Sanca Kala pelan. "Orang-orang Perguruan Tapak
Malaikat ternyata terdiri dari orang-orang pengecut!"
"Tutup mulutmu!'' sergah
Ki Gilang Sangkur keras. Dia merasa tersinggung mendengar ucapan yang dianggapnya tidak berdasar itu. Pantang
baginya bersikap pengecut! "Aku bukan jenis orang semacam kalian!"
"Keparat...!"
Gurida yang memang sudah
dilanda amarah sejak tadi, tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Kakinya bergerak
menekan.
Krekkk, krekkk...!
Terdengar suara gemeretak
keras ketika tulang-tulang kaki Ki Gilang Sangkur hancur. Rasa sakit yang
mendera, sulit untuk digambarkan. Meskipun begitu, tidak terdengar suara
keluhan sedikit pun dari mulutnya. Namun, tandatanda kalau dia tengah dilanda
rasa sakit yang tak terperikan, terlihat dari bibirnya yang digigit erat-erat
sampai pecah berdarah, dan keringat sebesar biji-biji jagung menghiasi
wajahnya.
"Ucapanmu sama sekali
tidak sesuai dengan kenyataan yang kulihat, Gilang Sangkur," ujar Sanca
Kala tanpa mempedulikan keadaan yang tengah dialami Ketua Perguruan Tapak
Malaikat itu, "Tindakan Tanjak Gara yang menyembunyikan diri ketika
melihat kedatangan kami. Juga sikapmu yang menyembunyikan kebenaran. Kau tidak
jujur dan berbohong, Gilang Sangkur! Kalau kau dan Tanjak Gara yang merupakan
pucuk pimpinan, bersikap pengecut! Sulit aku membayangkan sikap murid-murid
Perguruan Tapak Malaikat...!"
"Mulutmu terlalu keji,
Keparat! Aku mengatakan hal yang sebenarnya!" tandas Ki Gilang Sangkur.
"Bagaimana kami bisa
mempercayai ucapanmu itu, Gilang Sangkur?!" pancing Sanca Kala tenang.
Seolah-olah tidak terpengaruh dengan kemarahan lawan. Gurida dan Pergola kini
mengerti maksud rekan mereka. Karena itu mereka membiarkan Sanca Kala yang
mengurus semuanya.
Ki Gilang Sangkur
menggertakkan gigi karena geram. Dia bukan orang bodoh! Tidak aneh kalau dia
tahu kalau Sanca Kala berusaha memojokkan untuk mengaku.
"Aku bersumpah dan
mempertaruhkan kedudukanku sebagai seorang Ketua Perguruan Tapak
Malaikat!" tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut Ki Gilang
Sangkur.
Sanca Kala, Gurida, dan
Pergola yang berdiri di sebelah kedua rekannya saling pandang. Mereka tahu, Ki
Gilang Sangkur sama sekali tidak berbohong.
Ketua Perguruan Tapak Malaikat
itu mengatakan apa adanya. Nada suara dan sikap Ki Gilang Sangkur yang
sungguh-sungguh, telah meyakinkan hati mereka. Tapi yang lebih meyakinkan
mereka, Ki Gilang Sangkur telah mempertaruhkan kehormatannya sebagai Ketua
Perguruan Tapak Malaikat atas keterangan yang diucapkannya.
"Cuihhh...!"
Gurida menyemburkan ludah ke
arah wajah Ki Gilang Sangkur. Tentu saja tanpa pengerahan tenaga dalam. Karena
bila hal itu dilakukan akan membuat kulit wajah Ketua Perguruan Tapak Malaikat
luka. Perakan air liur yang menjijikkan itu, bila keluar dari mulut Gurida
dengan pengerahan tenaga dalam, tak ubahnya seperti luncuran jarum-jarum!
Ki Gilang Sangkur, tentu saja
tidak rela wajahnya terkena ludah Gurida. Maka, buru-buru diegoskan kepalanya.
Dan, usahanya tidak sia-sia. Luncuran air liur itu tidak mengenai sasaran.
Meskipun begitu, tak urung, percikan itu mengenai beberapa bagian wajahnya
"Iblis Jahanam...!"
hanya desis kegeraman yang bisa dilakukan Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu
atas perlakuan Gurida.
Perasaan sakit hati dan dendam
berkecamuk di dalam hati Ki Gilang Sangkur. Tapi, ia tak dapat melakukan
apaapa. Jangankan menyerang, bangkit saja dia tidak mampu! Hanya sepasang
matanya berkilat sebagai pertanda hatinya geram.
Gurida, Sanca Kala, dan Pergola
tentu saja mengetahui arti pandangan Ki Gilang Sangkur. Tapi, mereka tidak
gentar! Jangankan dalam keadaan Ketua Perguruan Tapak Malaikat tidak berdaya.
Dalam keadaan siap tarung pun hati mereka tidak kecut
"Ha ha ha...!"
Ketiga tokoh Itu tertawa bergelak.
Senang sekali hati mereka melihat lawan mendendam tanpa bisa melampiaskan. Ki
Gilang Sangkur akan tewas dengan hati penasaran! Begitu kesimpulan mereka.
Tentu saja kesimpulan yang
diambil ketiga utusan Bukit Larangan itu bukan sembarangan. Sebagai tokoh-tokoh
yang memiliki kepandaian tinggi, mereka tahu keadaan Ketua Perguruan Tapak
Malaikat itu sangat gawat. Luka-luka yang diderita terlalu parah. Dan, sulit
untuk pulih kembali seperti semula. Andaikan dapat sembuh, mungkin membutuhkan
waktu bertahun-tahun.
"Kami bukan lblis-iblis,
Gilang Sangkur," ucap Pergola ketika tawanya terhenti. "Tapi
algojo-algojo yang akan membunuh kalian. Algojo-Algojo Bukit Larangan. Ha ha
ha...!"
"Lalu..., ke mana lagi
kita harus mencari si Pengecut Tanjak Gara itu, Sanca Kala?" tanya Gurida
yang memang kurang cerdas kalau dibandingkan kedua rekannya.
"Kita cari di tempat
kediaman temannya. Ki Rajung," sahut Sanca Kala setelah berpikir sejenak.
Pergola dan Gurida
menganggukkan kepala. Kemudian tanpa mempedulikan keadaan Ki Gilang Sangkur
lagi, ketiga orang tokoh sakti yang mengaku Algojo-Algojo Bukit Larangan itu
segera melesat meninggalkan Ketua Perguruan Tapak Malaikat yang sekarat.
Kini tidak ada lagi suara riuh
rendah yang terdengar. Suasana hening menyelimuti sekitar tempat itu.
Sosok-sosok tubuh bergeletakan tanpa nyawa dan puing-puing bangunan terhampar
berserakan.
Dalam keadaan berbaring, Ki
Gilang Sangkur mengedarkan pandangan berkeliling. Sepasang matanya memandangi
mayat-mayat muridnya dan bangunan Perguruan Tapak Malaikat yang masih terbakar.
Terlihat kesedihan yang mendalam pada sorot matanya, ia tidak pernah bermimpi
sama sekali kalau perguruannya akan musnah dari kancah dunia persilatan. Rasa
sakit yang mendera dan guncangan batin melihat keadaan perguruannya, membuat Ki
Gilang Sangkur roboh pingsan. Angin senja yang bertiup lembut seakan-akan ingin
menyadarkan Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
4
Sang Dewi Malam mulai
menampakkan dirinya di angkasa, menerangi persada yang diselimuti kegelapan.
Hembusan angin malam yang meniup lembut di kulit membuat dua sosok tubuh
melangkah perlahan.
Dua sosok tubuh itu ternyata
terdiri dari sepasang muda-mudi yang sama-sama berwajah elok. Mereka berjalan
bergandengan, dengan jari-jari tangan saling tergenggam seperti dua sejoli yang
tengah menikmati indahnya suasana malam.
Lelaki berwajah tampan dengan
tubuh tegap terbungkus oleh pakaian berwarna ungu. Rambutnya berwarna putih
keperakan tergerai sampai ke pundak. Sesekali rambut itu disibak angin malam,
sehingga membuat guci perak yang tersampir di punggungnya tertutupi.
Sedangkan gadis berwajah
cantik jelita mengenakan pakaian serba putih seperti warna kulitnya, tampak
semakin menonjolkan kecantikannya karena rambutnya yang putih panjang dibiarkan
terjuntai.
Mendadak langkah kaki gadis
berpakaian putih itu terhenti. Sepasang matanya menatap ke depan. Menilik dari
pandang matanya bisa diketahui kalau dia merasa terkejut.
"Apa itu, Kang
Arya?" tanya gadis berpakaian serba putih sambil menudingkan jari
telunjuknya ke arah kejauhan Lelaki berambut putih keperakan itu tidak lain
Arya Buana. Dan, di gelanggang dunia persilatan ia dikenal dengan julukan Dewa
Arak. Lelaki itu segera mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjukkan gadis
yang berdiri di sampingnya.
"Asap...," gumam
Arya perlahan. "Mungkinkah di sana ada kebakaran?"
"Mungkin dugaanmu benar,
Kang," timpal gadis berpakaian putih.
"Kalau begitu..., kita
harus cepat ke sana, Melati!" sambut Arya memutuskan. "Barangkali di
sana ada yang membutuhkan pertolongan "
Melati, si gadis berpakaian
putih itu menganggukkan
kepala.
Kini pasangan muda-mudi, yang
sama-sama memiliki
kepandaian tinggi itu, melesat
cepat ke arah asap hitam yang berarak ke angkasa. Keduanya berlari dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh agar secepat mungkin tiba di tempat asal
asap.
Gerakan Arya dan Melati cepat
bukan main. Sehingga yang tampak hanya sekelebatan bayangan ungu dan putih yang
melesat cepat. Andaikan ada orang yang melihatnya, mungkin akan menyangka kalau
bayangan ungu dan putih itu adalah dua setan atau makhluk halus lainnya yang
tengah berkejaran di bawah siraman sinar bulan purnama.
Berkat ilmu meringankan tubuh,
sepasang pendekar muda yang telah mencapai tingkat kepandaian tinggi, sudah
dapat melihat asal asap itu
Dahi Arya dan Melati
berkemyit. Dugaan Dewa Arak ternyata tidak meleset. Asap itu memang tidak
terjadi secara wajar. Terbukti di hadapan mereka, dalam jarak sekitar tujuh
tombak, terlihat bangunan bangunan yang terkurung oleh pagar kayu bulat tinggi.
Tapi bukan hal itu yang
membuat dahi Arya dan Melati berkerut. Melainkan keadaan pintu gerbang bangunan
itu.
Bangunan-bangunan yang tidak
tampak dari luar karena tertutup oleh pagar kayu bulat itu, ternyata tidak
mempunyai daun pintu lagi. Tampak dua sosok tubuh tergolek di depan ambang
pintu gerbang, menimbulkan dugaan di benak sepasang pendekar muda Itu, bahwa
telah terjadi pembunuhan keji.
Hal itu membuat Arya dan
Melati jadi semakin mempercepat langkah. Sesaat kemudian, mereka telah berada
di dekat dua sosok tubuh yang telah tak bernyawa itu.
Arya dan Melati memperhatikan
sekilas kedua sosok tubuh itu. Mereka pun tahu, dua sosok tubuh berpakaian
coklat itu telah tewas! Arya dan Melati pun segera mengalihkan pandangan.
"Perguruan Tapak
Malaikat...," gumam Arya pelan ketika sepasang matanya tertumbuk pada
tulisan yang tertera pada kayu berukir dan tergantung di atas pintu gerbang.
Memang, tempat itu adalah
Perguruan Tapak Malaikat. Sedangkan dua sosok tubuh itu adalah mayat dua orang
penjaga pintu gerbang Perguruan Tapak Malaikat. Semula keduanya belum tewas.
Tapi, Gurida yang masih diliputi rasa jengkel membunuh mereka sebelum
meninggalkan tempat itu.
"Biadab...!" kutuk
Arya geram ketika kakinya telah melangkah memasuki ambang pintu gerbang
Perguruan Tapak Malaikat
"Terkutuk...!" maki
Melati.
Pemandangan yang terlihat oleh
sepasang muda-mudi itu memang cukup mendirikan bulu roma. Puluhan sosok tubuh,
yang sebagian besar di antaranya, sudah terlihat tak bernyawa, terhampar di
sana-sini. Sedangkan tak jauh dari situ, tampak bangunan-bangunan yang telah
menjadi puing, berjajar. Asap masih mengepul dari puing-puing itu.
Bergegas Arya dan Melati
menghampiri puluhan sosok tubuh yang tergolek. Barangkali masih ada yang bisa
mereka selamatkan. Kemudian, Arya dan Melati berjongkok dan memeriksa. Setiap
kali mereka memeriksa, setiap kali pula, bangkit dengan sikap lesu.
Berkali-kali hal itu yang
dijumpai Arya dan Melati. Tapi, mereka tidak putus asa dan terus memeriksa.
Mendadak....
"Kang...! Kemari...!
Orang ini masih hidup. !"
Cepat Arya melesat ke arah
Melati yang tengah berjongkok di hadapan sesosok tubuh yang tergolek
terlentang. Menilik dari pakaian yang dikenakan, Arya bisa menduga kalau sosok
itu adalah pimpinan Perguruan Tapak Malaikat "Kau benar, Melati...,"
ucap Arya ketika selesai memeriksa keadaan sosok tubuh yang tak lain Kl Gilang
Sangkur itu. "Dia masih hidup. Tapi.... Keadaannya terlalu parah. Dia
tetap tidak dapat diselamatkan lagi "
Melati menatap ke arah Arya.
Ternyata kesimpulan yang didapat kekasihnya tidak berbeda dengan pendapatnya.
Ki Gilang Sangkur tidak bisa ditolong lagi!
Mendadak Melati dan Arya
mendengar suara langkah kaki. Bergegas merela berpaling. Dan....
"Pembunuh biadab! Rasakan
pembalasan kami!" Suara makian keras dilontarkan ke arah Arya dan
Melati. Belum hilang gema
bentakannya, sang pemilik suara yang terdiri dari dua orang sudah melancarkan
serangan. Mereka mengibaskan dan menusukkan pedang dengan mengeluarkan suara
berdesing nyaring.
"Jangan jatuhkan tangan
jahat, Melati. Mereka salah paham !"
Arya langsung memberi
peringatan pada Melati. Makian kedua orang itu membuat pemuda berambut putih
keperakan itu menduga kalau mereka salah paham. Dan, dugaan itu diperkuat oleh
warna pakaian yang dikenakan dua orang itu sama dengan warna pakaian puluhan
sosok mayat yang bergeletakan di tanah.
Melati bisa menduga mengapa
Arya memerintahkan demikian. Dan, tanpa banyak pikir lagi ia segera
menganggukkan kepala. Sepasang muda-mudi ini melakukan lompatan harimau ke
samping. Arya ke samping kanan dan Melati ke samping kiri. Mereka berdua
bertumpu pada kedua telapak tangan. Lalu, mereka melompat saling mendekati.
Arya dan Melati berhasil
mendaratkan kedua kakinya di tanah tanpa mendapat halangan sama sekali, karena
dua sosok bayangan coklat yang menyerang mereka tidak melanjutkan penyerangan.
Dua sosok bayangan coklat,
yang terdiri dari dua orang laki laki berusia tiga puluhan itu, rupanya lebih
mementingkan keadaan Ki Gilang Sangkur daripada menyerang Arya dan Melati.
Yang seorang di antara mereka
langsung membungkukkan tubuh dan memeriksa keadaan Ki Gilang Sangkur. Dia
adalah seorang laki-laki berambut kecoklatan. Sementara rekannya berdiri
membelakanginya dengan pedang melintang di depan dada.
"Bagaimana keadaan guru,
Randaka?" tanya laki-laki yang berdiri dengan pedang di tangan.
"Tidak ada harapan,
Gunawa," sahut laki-laki berambut kecoklatan yang dipanggil Randaka.
"Iblis-iblis Jahanam!
Kalian harus mempertanggungjawabkan semua kekejian ini! tandas Randaka geram
sambil bangkit berdiri. Wajahnya merah padam. Sepasang matanya berkilat
menyeramkan. Jelas, dia telah dilanda kemarahan hebat.
Bukan hanya Randaka, tapi juga
Gunawa marah besar. Di samping perasaan marah yang berkobar, menyeruak pula
rasa sedih. Pemandangan yang mereka saksikan memang terlalu luar biasa!
Mayat-mayat saudara seperguruan mereka, dan perguruan mereka terbakar, juga
keadaan Ki Gilang Sangkur sudah di ambang ajal. Kenyataan itu memukul batin
mereka.
"Sabar, Kisanak,"
ucap Dewa Arak buru-buru karena khwatir Randaka dan Gunawa akan menyerang,
sebelum ia berhasil memberikan penjelasan yang sebenarnya.
Arya tahu kalau dua orang itu
adalah murid-murid Perguruan Tapak Malaikat. Dan, itu diketahuinya dari pakaian
dan gambar sulaman yang sama dengan para korban.
Panggilan kedua orang itu
terhadap Ki Gilang Sangkur kian mempertebal keyakinan Arya akan dugaannya.
Memang, kedua orang itu adalah murid kepala Perguruan Tapak Malaikat yang
tengah mendapat tugas ke luar perguruan.
"Bukan kami pelaku semua
kekejaman ini!" ucap pemuda berambut putih keperakan lagi.
"Kalian kira kami percaya
alasan itu, Keparat!" sambut Randaka keras bernada kemarahan.
"Mana ada maling
mengaku?!" sambung Gunawa tak kalah keras. Nada suaranya terdengar penuh
ejekan.
"Tutup mulut kalian, Manusia-Manusia
Berhati Kerdil!" sergah Melati tak kalah keras.
Memang putri angkat Raja
Bojong Gading ini merasa tersinggung bukan main, mendengar perkataan kasar dari
dua orang murid Perguruan Tapak Malaikat itu terhadap kekasihnya. Randaka dan
Gunawa terkejut ketika merasakan getaran amat kuat menerpa dada mereka. Dari
sini mereka sudah dapat menduga kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam
teriakan itu. Tidak mereka duga kalau seorang gadis semuda Melati bisa memiliki
tenaga dalam yang kuat. Tapi ketika
teringat kematian semua murid Perguruan Tapak Malaikat dan Ki Gilang Sangkur,
keheranan mereka lenyap.
"Apakah mata kalian
buta?! Tidakkah kalian bisa mengenali siapa orang yang berdiri di hadapan
kalian ini?!" sambung Melati berapi-api.
"Melati...," ucap
Arya pelan bernada menegur, dan berusaha mengingatkan Melati untuk tidak
melanjutkan ucapannya.
Tapi kali ini Melati tidak
mempedulikan teguran Arya. "Kalau kawanku ini mau..., mudah saja baginya
untuk membunuh kalian,
sekalipun jumlah kalian ditambah seratus kali lipat!"
"Melati "
Arya kembali menegur dengan
suara lebih keras dari semula.
"Biar aku yang
menyelesaikannya. Kang," potong Melati cepat. Dia tidak memberikan
kesempatan pada Arya untuk melanjutkan ucapannya.
Arya tidak berbicara lagi. Dia
hanya mengangkat kedua bahunya, pertanda menyerahkan seluruh keputusan kepada
Melati.
Sementara itu, Randaka dan
Gunawa menggertakkan gigi karena geram mendengar ucapan Melati.
"Kematian bukanlah yang
menakutkan bagi kami. Wanita Jahat! Majulah! Dan serang kami! Bunuh kami
seperti kau membunuh rekan-rekan kami! Kami tidak mau menyerang lebih dulu
terhadap seorang wanita!" tegas Randaka agak bergetar karena hatinya
diliputi amarah.
"Cihhh! Sombongnya!"
cibir Melati "Buka telinga kalian lebar-lebar. Kawanku ini bernama Arya
Buana. Dan ia berjuluk Dewa Arak! Kalian dengar, Dewa Arak!"
'"Ah !"
Jerit keterkejutan hampir
berbarengan keluar dari mulut Randaka dan Gunawa. Tanpa sadar sepasang mata
mereka terbelalak lebar. Bahkan kaki mereka pun melangkah ke belakang.
"Dewa Arak...?!"
ucap Randaka dan Gunawa terbatabata karena kaget. "Jadi.... kau.... Dewa
Arak...?!"
Arya menganggukkan kepala.
"Begitulah orang
memberiku julukan," jawab pemuda berambut putih keperakan itu setengah
berdesah. Tidak tampak adanya kebanggaan. Baik dalam ucapan maupun raut
wajahnya.
"Kalau begitu..., maafkan
kami, Dewa Arak. Kami telah menduga yang tidak patut terhadapmu," ucap
Gunawa sambil memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarung, dan diikuti oleh
Randaka.
Memang, kedua orang murid
kepala Perguruan Tapak Malaikat itu pecaya kalau pemuda berpakaian ungu yang
berdiri di depan mereka adalah Dewa Arak. Semua ciri-ciri yang terdapat pada
diri pemuda itu sama seperti yang selama ini mereka dengar. Rambut guci, dan
pakaiannya semuanya ada pada Dewa Arak.
"Lupakanlah. Kami tahu
kalian salah paham. Dan, mungkin aku pun akan melakukan hal yang sama bila
berdiri di pihak kailan," sahut Arya bijaksana.
Diam diam Arya memuji
kecerdikan Melati. Gadis itu telah menemukan cara yang paling tepat untuk
menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka.
"Terima kasih atas
kebaikan hatimu. Dewa Arak," kali ini Gunawa yang mengatakannya.
"Namaku Arya. Panggillah
namaku saja, jangan julukanku. Risih kedengarannya," pinta Arya.
Randaka dan Gunawa saling
pandang sejenak.
"Aku Randaka," ucap
laki-laki berambut kecoklat-an menyebut namanya.
"Aku Gunawa," sebut
rekan Randaka.
"Dan aku Melati,"
ucap Melati tak mau kalah. Randaka dan Gunawa menganggukkan kepala. Diam-
diam mereka memuji kecantikan
Melati. Tentu saja keduanya tidak berani mempelihatkan secara terang-terangan.
"O ya, Arya," ucap
Randaka bernada akrab. "Apakah kau mengetahui pelaku kekejian ini?"
"Sayang sekali, Randaka," sahut Arya bernada penyesalan. "Aku
tidak mengetahuinya. Keadaan sudah seperti ini sewaktu kami sampai di
sini."
"Hhh...! Sayang
sekali...!" keluh Gunawa. "Kalau saja kujumpai, akan kuhancurkan
seluruh tulang-belulang iblis kejam itu"
Berbareng keluarnya ucapan
itu, Gunawa mengepalkan kedua tangannya hingga terdengar suara-suara gemeretak
keras seperti ada tulang-tulang yang patah.
Bukan Gunawa saja yang merasa
geram bukan kepalang. Randaka pun demikian. Raut wajahnya tampak membesi.
Sepasang matanya terlihat berkilat-kilat memancarkan kemarahan.
"Kita bisa mengetahuinya
dari mulut orang yang selamat," kata Arya pelan.
"Tapi.... Rasanya tidak
ada harapan baginya untuk hidup, Arya," lesu terdengar ucapan yang
dikeluarkan Randaka.
"Ya," sambung Gunawa.
"Luka-lukanya terlalu parah
"
Arya menganggukkan kepala.
"Apa yang kalian katakan
sama sekali tidak salah. Luka guru kalian terlalu parah, dan tidak ada harapan
untuk hidup. Tapi, kita dapat memanfaatkan sisa umurnya untuk mengetahui pelaku
kekejian ini!"
"Aku belum mengerti
maksudmu, Arya?" Randaka mengernyitkan alisnya.
"Begini. Aku bisa
menyadarkan guru kalian, sebelum dia meninggal. Dari mulut dia, kita dapat
mengetahui siapa pelaku pembunuhan ini," jelas Arya. "Bagaimana?
Kalian menyetujui usulku?"
Randaka dan Gunawa saling
pandang sejenak. Kemudian, keduanya tahu kalau masing-masing pihak menyetujui
usul yang diajukan Arya.
"Baiklah, Arya,"
dengan berat hati Randaka mengucapkannya. "Kami menyetujui usulmu."
"Terima kasih."
Arya membungkukkan tubuhnya,
dan duduk bersila. Kemudian disusun jari-jarinya. Jari telunjuk dan tengah
diluruskan, sedangkan jari-jari lainnya dilipat ke dalam.
Tuk, tuk, tuk. ! Dengan
kedudukan jari-jari tangan seperti itu, Arya menotok beberapa bagian di tubuh
Ki Gilang Sangkur. Kemudian ia menghentikan totokannya. Lalu, ditariknya napas
dalam-dalam, kedua tangan dipertemukan di depan dada.
Beberapa saat lamanya, Arya
bersikap seperti itu sebelum akhirnya kedua telapak tangannya ditempelkan di
punggung Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
Randaka, Gunawa, dan Melati
mengamati dengan penuh perhatian semua yang dilakukan Arya. Ketiga orang ini
tahu, Dewa Arak tengah menyalurkan hawa murni ke tubuh Ketua Perguruan Tapak
Malaikat
Tak lama kemudian, tampak oleh
mereka asap mengepul dari kepala pemuda berambut putih keperakan itu, setelah
menempelkan kedua tapak tangannya di pungung Ki Gilang Sangkur.
"Huaaakh...!"
Dari mulut Ki Gilang Sangkur
menyembur darah kental berwarna kehitaman. Darah mati. Arya segera melepaskan
kedua tangannya dari punggung Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
"Cepat tanyakan hal-hal
yang ingin kalian ketahui," beritahu Arya.
Peluh tampak membasahi dahi
dan leher Arya. Jelas kalau dia telah mengerahkan tenaga yang cukup banyak
untuk menyadarkan Ki Gilang Sangkur.
Arya buru-buru duduk bersila
untuk memulihkan tenaga dalamnya yang telah terkuras. Sesaat kemudian, dia pun
tenggelam dalam keheningan semadi. Yang terdengar hanyalah napas keluar dan
masuknya udara dari dalam mulut dan hidungnya.
***
Menyadari waktu yang tersedia
amat sedikit, Randaka dan Gunawa buru-buru mendekati Ki Gilang Sangkur.
"Siapa yang telah
melakukan semua kekejian ini, Guru?" tanya Randaka agak bergegas.
Ki Gilang Sangkur yang telah
sadar, membuka matanya yang sudah mulai kehilangan sinar. Napasnya memburu
seperti orang berlari jauh. "U..., utusan... Perguruan... B... Bbb Bukit
Larangan...," sahut Ketua Perguruan Tapak Malaikat terputusputus.
"Perguruan Bukit
Larangan?!" ulang Gunawa setengah tak percaya.
Memang, dia telah mendengar
tentang Perguruan Bukit Larangan. Ya, sebuah perguruan yang penuh rahasia.
Bahkan Ki Gilang Sangkur pun telah melarang muridmuridnya mendekati bukit itu.
Bahkan disediakan hukuman berat bagi murid-murid Perguruan Tapak Malaikat yang
melanggar larangan itu.
"Benar. Mereka-lah yang
telah melakukan semua pembantaian ini," jawab Ketua Perguruan Tapak
Malaikat menegaskan. Kemudian ia menceritakan semua kejadian secara rinci.
Randaka dan Gunawa
mendengarkan penuh perhatian. Keduanya memusatkan seluruh perhatian cerita
Ketua Penjuruan Tapak Malaikat. Karena cerita itu dikeluarkan dengan suara
terputus-putus, dan tak sekali pun mereka menyelak.
"Begitulah kejadiannya,
Randaka," tutur Ketua Perguruan Tapak Malaikat mengakhiri ceritanya.
"O ya. Kini mereka tengah menuju tempat tinggal Dewa Halilintar. Cepat kau
kesana. Katakan padanya akan ancaman bahaya."
"Boleh aku mengajukan
pertanyaan, Guru?" tanya Randaka hati-hati.
"Katakanlah!" sambut
Ki Gilang Sangkur cepat.
"Kami ingin tahu mengenai
Perguruan Bukit Larangan itu, Guru. Bersediakah Guru menceritakannya?"
Ki Gilang Sangkur menatap
tajam wajah dua orang murid secara berganti-ganti.
"Aku... aku tidak tahu
banyak, Randaka. Guruku... Ki Tanjak Gara melarang mendekati tempat itu. Ada
ancaman berat yang akan dijatuhkan bila ke sana...," jawab Ketua Perguruan
Tapak Malaikat. Dengan suara pelan-pelan dan terputus-putus, sehingga sulit
tertangkap.
"Tapi setidak-tidaknya,
ada yang kau ketahui, Guru?" Gunawa ikut mendesak. "Untuk memudahkan
kami melakukan balas dendam atas utusan-utusan Perguruan Bukit Larangan
itu." Ki Gilang Sangkur tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Deru
napasnya makin memburu. Jelas, keadaan Ketua Perguruan Tapak Malaikat sudah
mengkhawatirkan.
"Yang aku tahu sedikit
sekali, Randaka. Bukit Larangan, tempat terlarang untuk dikunjungi. Bagi orang
yang berani mendaki ke sana akan ditemukan mati. Tapi, yang menjadi pertanyaan,
kenapa Guruku melarang pergi ke sana.... Dan "
Sebelum sempat menyelesaikan
ucapannya kepala Ki Gilang Sangkur terkulai, karena nyawanya telah melayang
meninggalkan raga.
"Guru..!" panggil
Randaka pilu. "Guru !" sebut Gunawa serak.
Kepala kedua orang murid
Perguruan Tapak Malaikat tertunduk. Mereka merasa terpukul menyaksikan kematian
Ki Gilang Sangkur. Bahkan hati Melati pun ikut terenyuh melihat kejadian di hadapannya.
"Sudahlah, Randaka,
Gunawa. Yang sudah pergi, relakan pergi. Sekalipun kita mengeluarkan tangis
darah, guru kalian tak akan kembali lagi," hibur Arya yang tahutahu telah
berdiri di sebelah Randaka dan Gunawa, yang duduk bersimpuh dengan kepala
tertunduk
Rupanya Arya telah
menyelesaikan semadi.
Randaka dan Gunawa bangkit
berdiri. Mereka menyadari kebenaran nasihat Arya.
"Lebih baik, kalian
pusatkan untuk mencari pelaku pembunuhan keji ini. Tapi, yang terpenting adalah
menguburkan semua mayat-mayat yang ada-di sini"
Randaka dan Gunawa
menganggukkan kepala. "Terima kasih atas semua nasihatmu. Arya." Ucap
Randaka serak karena perasaan
sedih menyesak hatinya.
Kini dua orang murid Perguruan
Tapak Malaikat sibuk mengumpulkan mayat-mayat saudara seperguruannya. Arya dan
Melati pun turut membantu. Sepasang muda mudi ini menggali beberapa buah lubang
untuk menaman mayatmayat itu.
5
Dewa Arak, Melati, Randaka,
dan Gunawa melesat cepat meninggalkan Perguruan Tapak Malaikat. Tentu saja
Melati dan Arya tidak mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Karena
bila hal itu dilakukan, kedua orang murid Kepala Perguruan Tapak Malaikat itu
akan tertinggal jauh. Apalagi, Arya dan Melati tidak tahu tempat tinggal Dewa
Halilintar.
Kedua alasan itu membuat
sepasang pendekar muda itu terpaksa mengerahkan sebagian kecil ilmu meringankan
tubuh, yang mereka miliki. Agar dapat berlari bersama-sama dengan Randaka dan
Gunawa.
Kerena keempat orang itu
melakukan perjalanan tanpa henti. Di samping itu ilmu meringankan tubuh Randaka
dan Gunawan sudah mencapai tingkatan lumayan. Maka, menjelang tengah malam,
mereka telah melihat bangunan tempat tinggal Dewa Halilintar dari kejauhan yang
diterpa sinar rembulan.
"Rasanya kita sudah
terlambat," ucap Arya di sela-sela ayunan langkah kakinya.
"Celaka...!"
Teriak Randaka dan Gunawa
hampir berbareng di sela ayunan kaki mereka. Dan, karena saat itu keduanya
telah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh, maka suara mereka
pun terputus-putus dan memburu hebat
Arya dan Melati mengalihkan
pandangan ke arah kejauhan. Tampak oleh mereka sebuah rumah yang tengah
terbakar. Tapi, menilik dari kobaran api yang
sudah mengecil, dapat diperkirakan kalau peristiwa itu sudah berlangsung
lama.
"Itukah rumah Dewa
Halilintar?" tanya Arya.
Dewa Arak mengajukan
pertanyaan untuk meyakinkan kebenaran dugaannya. Karena memang dari kejauhan,
hanya ada sebuah rumah yang tampak. Sebuah bangunan yang letaknya terpencil,
jauh terpisah dari bangunan lain.
"Benar," sahut
Randaka lemah. Merasa terpukul sekali melihat kenyataan itu. Mereka berempat
mempercepat lari. Karena itu Randaka dan Gunawa tidak sempat memperhatikan
kalau nada bicara Arya terdengar biasa
saja.
Tidak terputus-putus atau
terengah-engah seperti dirinya "Hhh...!" hanya helaan napas berat
Dewa Arak yang
menyahuti jawaban Randaka.
Arya tahu kecil kemungkinannya
Dewa Halilintar masih hidup, bila dilihat dari keadaan tempat tinggalnya. Tapi,
hal itu tidak diutarakannya agar Gunawa dan Randaka tetap tenang.
Sesaat kemudian, sekitar lima
tombak dari tempat tinggal Dewa Halilintar, keempat orang itu berdiri terpaku
Sedang mata mereka tertuju ke arah bangunan yang terbakar, tempat tinggal Dewa
Halilintar.
Api telah tidak berkobar lagi.
Hanya kepulan asap dan puing-puing bangunan. Samar-samar tercium bau sangit
daging yang terbakar.
Sadar dari keterpakuan,
Randaka dan Gunawa segera menghampiri puing-pung itu. Dengan sebatang kayu
mereka berdua mengais-kais reruntuhan puing, guna mencari mayatmayat yang
terbakar.
Arya dan Melati mengernyitkan
kening, ketika melihat kedua orang murid utama Perguruan Tapak Malaikat itu
menemukan beberapa sosok mayat yang terbakar.
"Apakah Dewa Halilintar
tinggal sendirian di sini?" tanya Arya heran. Ketika melihat Randaka dan
Gunawa menemukan dua sosok mayat yang telah hangus terbakar.
"Tidak," sahut
Gunawa sambil menggelengkan kepala. "Dewa Halilintar tinggal bersama dua
orang pelayan, yang sekaligus menjadi muridnya."
"Berarti..., ada
kemungkinan Dewa Halilintar tidak terhitung dari orang yang tewas," cetus
Melati menduga.
"Siapa bilang aku
tewas?" sambutan sebuah suara yang lain, sehingga membuat Arya, Melati,
Randaka, dan Gunawa memalingkan kepala ke arah asal suara.
Sekitar enam tombak di sebelah
kanan mereka, berdiri sesosok tubuh kecil
kurus. Dalam siraman sinar rembulan yang cukup terang di langit, tampak agak
jelas wajahnya.
Pemilik suara itu ternyata
seorang kakek berwajah tirus. Kulit wajahnya agak keriput, tampak dihiasi kumis
dan jenggot yang jarang-jarang tapi panjang-panjang.
Usai berkata demikian, kakek
kecil kurus itu melangkah menghampiri mereka. Setelah berlari Gunawa dan
Randaka menghampiri pula.
"Ki Rajung...!" seru
Randaka agak tersendat karena tidak menduga kalau kakek kecil kurus itu
ternyata selamat
"Ha ha ha...!"
Dewa Halilintar yang ternyata
bernama Ki Rajung tertawa. Tapi semua orang yang berada di situ tahu, nada tawa
kakek itu tidak keluar dari lubuk hati. Tawanya terdengar sumbang. Jelas, kalau
ia tertawa dengan terpaksa.
"Ah! Apakah mataku tidak
salah lihat? Bukankah kau..., Dewa Arak?!" seru Ki Rajung kaget ketika
melihat Arya secara jelas.
"Hanya sebuah julukan
kosong, Ki," ucap Arya merendah. "Tidak ada artinya bila dibandingkan
dengan nama besarmu."
"Kau terlalu merendah,
Anak Muda," sambut Dewa Halilintar gembira, "Julukanmu telah terkenal
ke seantero dunia akibat sepak terjangmu yang luar biasa. Aku kagum padamu,
Dewa Arak. Semuda ini kau telah membuat nama besar di dunia persilatan."
"Namaku Arya, Ki. Arya
Buana," tegur Arya halus karena merasa risih mendengar Dewa Halilintar
begitu membesar-besarkannya.
"Luar biasa! Kepandaianmu
ternyata bertolak belakang dengan sikapmu, Dewa..., eh... Arya. Kepandaianmu
tak terukur tingginya, begitu yang kudengar. Tapi sikapmu..., terlalu
merendah."
"Maaf, Ki. Apakah ini
tempat tinggalmu?" tanya Arya mengalihkan pembicaraan.
Ki Rajung bukan orang bodoh.
Dia tahu kalau Arya tidak suka melanjutkan pembicaraan itu. Maka, dia pun tidak
memperpanjang lagi.
"Benar, De... eh!
Arya," jawab Dewa Halilintar. "Ini tempat tinggalku. Sayang sekali,
aku tengah tidak berada di rumah ketika pertistiwa ini terjadi. Kalau saja
kutahu siapa pelaku semua kekejian ini…"
"Kami tahu siapa
pelakunya, Ki," potong Randaka
cepat
"Kalian tahu?" tanya
Dewa Halilintar setengah tak
percaya.
"Benar, Ki," kali
ini Gunawa yang menjawab. "Almarhum guru kami yang
memberitahukannya..."
"Almarhum...?!"
tanya Dewa Halilintar setengah menjerit.
Hampir berbareng Randaka dan
Gunawa menganggukkan kepala. Karuan saja hal ini membuat Dewa Halilintar
melongo.
"Jadi "
"Benar, Ki. Guru kami, Ki
Gilang Sangkur telah tewas sore tadi."
"Ahhh...!" desah Ki
Rajung sambil menundukkan kepala. Tampak jelas dia merasa terpukul mendengar
berita itu.
Baik Randaka maupun Gunawa
tidak mau mengganggu. Keduanya segera menghentikan ucapan. Sedangkan Arya dan
Melati diam saja, mendengarkan. Sehingga suasana menjadi hening.
"Siapa yang telah
membunuhnya," ucap Dewa Halilintar sambil mengangkat wajahnya, setelah
berhasil menenangkan guncangan hatinya.
Meskipun demikian kesedihan
pada wajah Dewa Halilintar masih terlihat.
"Orang yang membunuh
Guru, adalah orang yang telah melakukan perbuatan biadab di tempat tinggalmu
juga, Ki," jawab Randaka.
Kemudian secara singkat tapi
jelas diceritakan semua kejadian yang menimpa Perguruan Tapak Malaikat. Randaka
dan Gunawa berganti-ganti menceritakannya.
"Begitulah kejadiannya,
Ki. Kalau saja tidak ada pemberitahuan dari Guru, mungkin kami pun tidak tahu
pelaku kekejian itu," tutur Randaka mengakhiri ceritanya.
"Tidak mungkin!"
tandas Dewa Halilintar keras. "Aku tidak percaya kalau utusan Perguruan
Bukit Larangan yang melakukannya! Kalian pasti salah dengar!" "Kalau
hanya aku yang mendengar, mungkin boleh kau tidak percaya, Ki," bantah
Randaka. "Tapi bukan aku sendiri yang mendengar. Gunawa pun mendengar.
"
"Kami pun mendengar pula
ketika Ki Gilang Sangkur menceritakan semuanya," sambung Arya ikut angkat
bicara.
Dewa Halilintar tercenung.
Menilik dari kerut-kerut pada dahinya, bisa diperkirakan kalau dia tengah
berpikir keras.
"Mungkinkah pelaku
pembunuhan ini adalah utusanutusan Perguruan Bukit Larangan? Lalu, kalau benar,
mengapa?" ucap Ki Rajung pelan seperti ia berbicara dengan dirinya
sendiri.
"O ya, Ki," ujar
Gunawa. "Menurut Guru, semula utusan-utusan Perguruan Bukit Larangan itu
tidak berniat melakukan pembantaian. Karena hanya ingin bertemu dengan Ki
Tanjak Gara. Anehnya, mereka menduga kalau Ki Tanjak Gara Ketua Perguruan Tapak
Malaikat."
"Benar, Ki," sambung
Randaka. "Bahkan utusanutusan itu telah menyiksa Guru secara keji untuk
meminta keterangan tempat berada Ki Tanjak Gara."
Semakin dalam kerutan di dahi
Dewa Halilintar. "Utusan-utusan itu mencari Tanjak Gara Kemudian
ke tempat tinggalku. Berarti
mereka mencariku dan Ki Tanjak Gara. Mungkinkah utusan-utusan itu dikirim untuk
melenyapkan Tanjak Gara dan aku?! Kalau begitu berarti dia telah mengkhianati
perjanjian yang telah disepakati!"
Randaka, Gunawa, Arya, dan
Melati saling pandang.
Mereka tidak mengerti maksud
ucapan Dewa Halilintar.
"Ki..., boleh aku
mengajukan pertanyaan?" ujar Arya dengan hati-hati melihat Dewa Halilintar
tercenung diam.
Ki Rajung menatap wajah Arya.
"Silakan, Arya.
Katakanlah apa yang ingin kau tanyakan padaku?"
Arya berdehem sebentar.
"Lebih dulu aku mohon
maaf, Ki. Aku bukan bermaksud mencampuri urusan ini "
"Langsung saja pada pokok
persoalan, Arya," potong Dewa Halilintar yang membuat Melati mengernyitkan
alis tidak senang.
"Baiklah kalau begitu,
Ki," ucap Arya lega walau wajahnya memerah. "Mengapa kau sepertinya
tidak percaya kalau pelaku semua ini, orang-orang Perguruan Bukit Larangan?
Kalau boleh kutahu, mengapa perguruan itu mempunyai nama yang begitu
aneh?"
Randaka, Gunawa, dan Melati
mengangguk-anggukkan kepala. Memang, mereka pun ingin menanyakan hal itu Tapi,
mereka merasa sungkan. Tidak aneh, begitu Arya menghentikan pertanyaan, mereka
bersiap-siap mendengarkan jawaban Ki Rajung.
***
Dewa Halilintar menarik napas
panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Rupanya dia merasa berat untuk
menceritakan pada Arya dan yang lainnya.
"Sebenarnya ini rahasia
perguruan...," kata Ki Rajung membuka cerita.
"Kalau begitu..., kau
tidak usah menceritakannya, Ki," sergah Arya cepat dengan perasaan tidak
enak.
Ki Rajung menggelengkan
kepala. Kedua tangannya dijulurkan ke depan. Arya tahu, Dewa Halilintar
menyuruhnya diam. Maka dia pun tidak melanjutkan ucapannya.
'Tapi, setelah
kupertimbangkan..., rasanya kailan patut mengetahuinya. Meskipun, semula aku
ingin rahasia itu hanya diketahui oleh kami bertiga. Barangkali, kalian bisa
memberikan bantuan pikiran padaku. Terutama sekali kau, De..., Arya."
Dewa Halilintar menghentikan
ceritanya sejenak. Diedarkan pandangannya berkeliling, dan menatap satu persatu
wajah-wajah yang penuh minat di sekelilingnya.
"Puluhan tahun lalu...,
mungkin sekitar lima puluh tahun lalu. Aku, Tanjak Gara, dan Wiratmaja menjadi
murid seorang tokoh sakti yang mengasingkan diri. Entah karena apa dia
mengasingkan diri, kami sendiri tidak tahu. Maaf, namanya tidak bisa
kusebutkan."
Dewa Halilintar menghentikan
ceritanya sejenak untuk mengambil napas.
"Beliau mempunyai sebuah
bangunan megah di sebuah bukit yang akhirnya dinamakan Bukit Larangan. Karena
tidak diperkenankan seorang pun mendaki bukit itu. Apalagi sampai memasuki
bangunan itu. Pokoknya, siapa pun yang melanggar akan menerima hukuman berat,
dan mati secara mengerikan."
"Kejam!" cetus
Melati tak sabar
Karuan saja ucapan itu membuat
Gunawa, Randaka, dan terutama sekali Dewa Arak menatap ke arah wajah kakek itu.
Ada nada ketidaksenangan dalam sorot mata kakek kecil kurus itu.
Arya tahu kalau Melati telah
keterlepasan berbicara. Lalu, ia langsung menyentuh punggung Melati untuk
memberi isyarat agar gadis itu diam saja.
"Memang kejam,
Nisanak," kata Dewa Halilintar getir. "Tapi, aku yakin ada alasan
yang mendorong guruku bertindak seperti itu. Walaupun sampai sekarang aku tetap
belum mengetahuinya."
"Maafkan atas ucapan
kawanku itu, Ki," ucap Arya buru-buru.
"Ah! Tidak mengapa, Arya.
Memang begitulah sifat orang muda. Aku pun dulu bersikap seperti itu. Jadi, aku
memakluminya," sambut Ki Rajung bijaksana.
"Syukurlah kalau begitu,
Ki," kata Arya gembira. Dia berpura-pura tidak melihat raut wajah Melati
yang berubah cemberut.
"Kita kembali ke pokok
pembicaraan," ujar Dewa Halilintar mengalihkan pembicaraan. "Setelah
guru mangkat, beliau memberikan pesan pada kami bertiga. Dia minta agar kami
bergiliran menjaga bangunan miliknya. Bukit tempat tinggalnya tetap menjadi
daerah terlarang. Dan, itu peraturan yang tidak beleh dilanggar!"
Ki Rajung berdehem sebentar
untuk memulihkan suaranya yang telah serak, karena tenggorokannya kering akibat
terlalu banyak bercerita.
"Melalui sebuah
perdebatan sengit di antara kami bertiga aku, Tanjak Gara dan Wiratmaja saling
mengajukan alasan untuk dapat menjaga bangunan peninggalan guru. Hasilnya nol
besar. Akhirnya diputuskan melalui sebuah pertarungan. Siapa yang keluar
sebagai pemenang, berhak menjaga bangunan itu."
"Jadi..., Ki Wiratmaja
yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan itu, Ki?" setah Randaka
tidak sabar. Dan, ada nada kekecewaan dalam ucapannya ketika mengetahui Ketua
Perguruan Tapak Malaikat kalah bertarung. "Benar," sahut Dewa
Halilintar dengan suara kering. Jelas dia merasa kecewa dengan kekalahannya.
"Wiratmaja keluar sebagai pemenangnya. Dan, dia berhak sebagai penjaga
bangunan itu. Tapi, sesuai perjanjian yang kami sepakati, dia akan menjaganya
selama sepuluh tahun. Setelah itu, diperebutkan kembali lewat
pertarungan."
Ki Rajung menelan air liur
untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Tapi, pertarungan kedua
dan ketiga pun kembali Wiratmaja yang keluar sebagai pemenang. Bahkan, harus
kami akui. Kepandaian yang dia miliki mengalami kemajuan yang pesat. Rupanya
dia memperdalam kepandaiannya dari kitab-kitab yang ada di sana."
Arya mengangguk-anggukkan
kepala. Dia mulai bisa menarik hubungan dari semua peristiwa yang terjadi.
"Kami pun tidak tinggal
diam dan terus melatih diri. Kini, masa pertarungan tinggal belasan hari lagi.
Baik aku maupun Tanjak Gara telah menciptakan ilmu-ilmu baru untuk dipakai
menghadapi pertarungan yang akan berlangsung. Sungguh tidak kusangka akan
terjadi peristiwa unik seperti ini.
Utusan-utusan Perguruan Bukit
Larangan yang datang mencari Tanjak Gara dan aku dengan niat tidak baik.
Padahal, waktu pertarungan tinggal beberapa hari lagi. Aneh! Apakah Wiratmaja
bermaksud mengkhianati persetujuan kami?"
Suasana menjadi hening ketika
Dewa Halilintar menghentikan ucapannya. Karena Arya, Melati, Gunawa, dan
Randaka sama sekali tidak menanggapinya lagi. Rupanya mereka tenggelam dalam
lamunannya masing-masing.
"Tidak mungkinkah ada
orang luar yang bermaksud mengadu domba?" cetus Arya menduga.
Melati, Randaka, dan Gunawa
menganggukkan kepaia. Mereka membenarkan dugaan pemuda berambut putih keperakan
itu.
"Tidak mungkin, Arya.
Karena yang mengetahui rahasia ini hanya aku. Tanjak Gara, dan Wiratmaja. Dan,
kami semua tidak menceritakan hal ini pada murid-murid kami," ucap Ki
Rajung mengajukan alasan.
Arya pun terdiam. "Ah...!
jadi..., kau dan Ki Tanjak Gara saudara seperguruan, Ki?" tanya Randaka
kaget.
"Kalian tidak
mengetahuinya, bukan?" Dewa Halilintar, malah balas mengajukan pertanyaan.
Gunawa menggelengkan kepala.
"Ki Tanjak Gara sama
sekali tidak memberitahukannya pada kami. Entah pada Ki Gilang Sangkur."
"Aku yakin, Tanjak Gara
tidak menceritakan masalah ini pada siapa pun," ucap Ki Rajung mantap.
Keyakinan yang amat sangat tampak jelas, baik pada nada suara maupun sikapnya.
Arya, Melati, Randaka dan
Gunawa diam. Mereka tidak menanggapi ucapan kakek kecil kurus itu
"Lalu..., apa yang harus
kami lakukan, Ki?" tanya Randaka memecahkan keheningan.
"Hm..., maksud kalian
bagaimana? Aku belum mengerti."
Randaka terdiam. Sejenak
memikirkan kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaan Dewa Halilintar.
"Perguruan kami dibasmi,
Ki. Guru dan semua saudara perguruan kami dibantai. Kami tidak bisa membiarkan
peristiwa ini!"
"Jadi..., kalian
bermaksud membalas dendam?" tanya Ki Rajung mulai mengerti maksud
pembicaraan Randaka.
"Hanya itulah yang bisa kami
lakukan untuk membalaskan sakit hati Guru dan semua saudara perguruan kami,
Ki!" Gunawa yang memberikan alasan.
Dewa Halilintar berpikir
keras. Sedang Randaka diam saja, menunggu jawaban dari lelaki berwajah tirus
itu. Sementara Arya dan Melati hanya memandangi mereka. 6
Ki Rajung mengangguk-anggukkan
kepala. Dia dapat memaklumi perasaan yang melanda hati kedua orang murid
Perguruan Tapak Malaikat itu.
"Aku tidak bisa
menyalahkan tindakan yang akan kalian lakukan," ucap Ki Rajung pelan.
"Aku pun mungkin akan melakukan hal yang serupa bila aku berada di pihak
kalian. Tapi "
"Tapi kenapa, Ki?"
potong Gunawa tidak sabar. "Kalian tidak ingat cerita yang baru saja
kubeberkan
tadi ?" tanya Ki Rajung
menjawab pertanyaan Gunawa
Randaka, Gunawa, Arya, dan Melati
terdiam dengan alis bekernyit. Rupanya bukan hanya Ki Rajung dan Gunawa saja
yang jadi tercenung untuk mengingat-ingat cerita Ki Rajung.
"Cerita mengenai pesan
guruku...," tambah Ki Rajung memberi bantuan pada keempat orang muda untuk
mengingat-ingat ceritanya. Randaka dan Gunawa saling pandang. Ucapan tambahan
Ki Rajung membuat mereka mengetahui apa yang dimaksudkan.
"Kalau kalian berniat
untuk membalas dendam, berarti kalian pergi menuju Bukit larangan, kan?"
terka Ki Rajung.
Randaka dan Gunawa mengangguk
membenarkan. Sedang Arya dan Melati hanya mendengarkan. Mereka berdua pun sudah
mengerti arah pembicaraan Ki Rajung.
"Sebagai salah seorang
murid yang baik, aku harus mematuhi semua perintah guruku. Dan, guruku melarang
siapa saja tidak boleh mendaki Bukit Larangan. Apalagi memasuki bangunan
peninggalannya."
Sampai di sini, Ki Rajung
menghentikan ucapannya. Mata Ki Rajung memandangi satu persatu wajah-wajah yang
ada di hadapannya. Dia ingin melihat tanggapan mereka atas ucapannya.
Wajah Arya dan Melati tampak
biasa-biasa saja. Tapi tidak demikian dengan Randaka dan Gunawa. Kedua orang
murid Perguruan Tapak Malaikat ini, tahu kalau mereka akan mendapatkan sebuah
sandungan berat Meskipun Ki Rajung belum menyelesaikan ucapannya, mereka sudah
bisa menebak kalau kakek itu akan menghalangi mereka untuk pergi ke Bukit
Larangan.
"Jadi..., bagaimana kalau
kami ingin pergi ke sana juga, Ki?" tanya Randaka dengan suara bergetar
karena dilanda perasaan tegang.
"Aku akan mencegah
kalian!" tandas Ki Rajung mantap. "Sudah kukatakan, siapa pun tak
akan kubiarkan pergi ke sana! Tanpa kecuali!"
"Kau tidak adil,
Ki!" tandas Gunawa keras. "Kau tahu, kami tidak ingin mencari urusan!
Tapi kami hanya meminta keadilan! Menuntut balas pada orang-orang yang telah
menghancurkan perguruan kami!"
"Apa pun alasan kalian!
Aku tetap tidak dapat membiarkan siapa pun pergi ke sana!" sambut Ki
RaJung tak kalah keras. Jelas amarah kakek kecil kurus ini mulai berkobar.
"Lalu..., haruskah kami
membiarkan iblis-iblis dari Bukit Larangan yang telah melakukan
kekejian-kekejian itu?!" dalam keadaan amarah yang menggelegak, Randaka
memaki sejadi-jadinya.
"Tutup mulutmu. Monyet
kecil!" bentak Ki Rajung keras. Karena amarah yang mendera, teriakan itu
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Tidak aneh kalau membuat kedua kaki
murid Perguruan Tapak Malaikat menggigil keras. Dan, telinga mereka pun terasa
mendengung keras dengan dada bergetar.
Tapi, hal yang seperti itu
sama sekali tidak menimpa Arya dan Melati. Memang, dengan pengerahan tenaga
dalam yang dimiliki, mereka berhasil menekan pengaruh teriakan itu.
"Sekali lagi kau ucapkan
kata-kata kotor itu, aku tak akan segan-segan untuk memukul mulutmu sampai
hancur!" ancam Ki Rajung dengan wajah merah padam. Jelas, dia tengah
dilanda kemarahan hebat.
"Kami bukan orang yang
mudah digertak, Ki!" Randaka malah menyambut ancaman yang diajukan Ki
Rajung. "Demi membela guru dan saudara-saudara seperguruan, kami rela
mati!"
"Ya! Siapa pun yang
menghalangi, kami akan tetap pergi ke bukit tempat tinggal iblis-iblis
itu!" sambung Cunawa tak kalah keras. "Keparat! Hih...!"
Diiringi suara makian keras,
Ki Rajung mengibaskan tangannya ke arah pelipis Gunawa.
Wuttt...!
Dari deru angin keras yang
mengawali datangnya serangan itu, dapat diduga kekuatan tenaga dalam yang
terkandung di dalamnya. Dan, memang kibasan tangan Ki Rajung mampu
menghancurkan batu yang paling keras sekalipun
Kini sasaran yang dituju
adalah pelipis Gunawa, yang merupakan salah satu bagian terlemah dari anggota
tubuh manusia. Akibat serangan ini sudah bisa diterka. Kepala Gunawa akan
hancur berantakan. Tapi sebelum serangan itu mengenai sasaran, sebuah tangan
meluncur memapak
Plakkk...!
Suara benturan keras terdengar
ketika kedua tangan itu berbenturan. Akibatnya, pemilik masing-masing tangan
terhuyung mundur ke belakang.
Ki Rajung menggertakkan gigi.
Dengan sepasang mata bernyala-nyala, segera ia mengalihkan pandangannya ke arah
orang yang telah menangkis serangannya. Dan seperti yang sudah diduga, pemilik
tangan itu tidak lain Dewa Arak!
"Tidak sepantasnya kau
menjatuhkan tangan maut pada orang yang berjiwa pendekar seperti dia, Ki,"
tegur Arya halus.
"Kau tidak usah
mengajariku. Pemuda Sombong!" bentak Ki Rajung keras. Amarahnya, memang
semakin berkobar-kobar karena tindakan Arya, yang telah lancang menangkis
serangannya. Apalagi ketika pemuda berambut putih keperakan itu menegurnya.
"Aku sama sekali tidak
bermaksud demikian, Ki," kata Arya masih dengan suara pelan.
"Jangan kira karena kau
adalah Dewa Arak, lalu bisa seenaknya saja berbicara?!" tanpa peduli pada
jawaban Arya, Ki Rajung terus saja mengumbar kemarahannya. "Jangan kau
kira aku takut padamu, Dewa Arak! Memang, sudah lama aku ingin menjajal
kepandaianmu! Bersiaplah kau!"
"Ki..!" Arya masih
mencoba meredakan kemarahan Ki Rajung.
Tapi sia-sia. Dewa Halilintar
tidak mempedulikan ucapannya. Dia langsung melancarkan serangan ke arah Dewa
Arak. Dia melompat dan menerjang Dewa Arak. Begitu tubuhnya telah berada di
udara, kaki kanannya bergerak mengibas kepala Arya.
Wuttt...!
Kibasan itu lewat di atas
kepala ketika Dewa Arak merendahkan tubuhnya. Menilik dari angin kibasannya,
yang mampu membuat rambut dan pakaian Arya berkibar keras, bisa diperkirakan
kekuatan tenaga dalam yang terkandung pada serangan itu.
"Hup...!"
Dengan cepat kakinya
dijejakkan di tanah, secepat itu pula Ki Rajung melancarkan serangan susulan.
Kaki kirinya meluncur cepat ke arah dada Arya. Tapi, karena saat itu kedudukan
pemuda berambut putih keperakan itu tengah membungkuk, tendangan itu mengancam
kepalanya.
Dewa Arak bersikap tenang.
Dengan sekali menjejakkan kaki, tubuhnya telah dilemparkan ke belakang.
Sehingga untuk kedua kalinya serangan Dewa Halilintar mengenai daerah kosong.
Gerakan Dewa Arak tidak
berhenti sampai di situ saja. Ketika kedua kakinya mendarat di tanah, kembali
ditotolkan. Kali ini lebih keras dari sebelumnya, sehingga tubuhnya terlempar
jauh ke belakang. Hal itu terpaksa dilakukan Arya untuk menghindari serangan
susulan Dewa Halilintar.
Dugaan Arya sama sekali tidak
meleset. Ketika melihat serangannya kembali berhasil dielakkan. Dewa Halilintar
segera melompat dan mengejar.
Kali ini, Dewa Arak memutuskan
untuk mengadakan perlawanan. Disadarinya, menghadapi orang yang memiliki
kepandaian seperti Dewa Halilintar, tanpa mengadakan perlawanan merupakan
perbuatan konyol. Kecuali bila ia menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Setelah mengambil keputusan
demikian, kedua kakinya telah menjejak tanah. Dewa Arak pun bersiap mengadakan
perlawanan. Tapi ia tidak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', melainkan ilmu
yang diwarisi dari ayahnya, ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga" dan ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Dua jenis ilmu yang mempunyai keistimewaan
serupa, sama-sama menitikberatkan pada penyerangan. Pertarungan antara Dewa
Halilintar dan Dewa Arak tak terelakkan lagi. Dan, mereka pun terlibat dalam
pertarungan yang seru dan sengit.
Melati, Randaka, dan Gunawa
memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh minat. Mereka menyaksikan dari
tempat yang berjarak sekitar sepuluh tombak.
Ketika Ki Rajung melancarkan
serangan ke arah Dewa Arak, memang ketiga orang itu buru-buru mundur menghindar
agar tidak terkena serangan nyasar. Kini mereka, terutama sekali, Randaka dan
Gunawa memperhatikan dengan penuh semangat pertarungan yang tengah berlangsung
di depan mata.
Tapi, karena tingkat
kepandaian kedua murid Perguruan Tapak Malaikat itu terpaut jauh, baik dengan
Dewa Arak dan Dewa Halilintar, maka betapapun mereka melihat secara jelas.
Namun tetap saja yang mereka lihat bayangan ungu dan kuning yang berkelebatan
cepat. Terkadang kedua bayangan itu saling belit. Tapi tak jarang saling pisah.
Karena kedua belah pihak
memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, tidak aneh bila pertarungan sudah
berlangsung hampir lima puluh jurus.
Dewa Halilintar menggertakkan
gigi karena setelah sekian lamanya bertarung, tidak juga mampu mengalahkan
lawan. Jangankan mengalahkan, tanda-tanda untuk mendesak pun belum terlihat.
Padahal, tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, telah dikerahkan seluruhnya.
Karuan saja hal ini membuat
Dewa Halilintar penasaran bukan kepalang. Haruskah dikeluarkan ilmu andalannya?
Berbeda dengan lawannya, Dewa
Arak sama sekali tidak merasa berat menghadapi pertarungan itu. Memang, Arya
sama sekali tidak mengerahkan seluruh kemampuannya. Tenaga dalam dan ilmu
meringankan tubuh, hanya ia kerahkan tiga perempat saja. Dengan kemampuan itu,
Dewa Arak sudah cukup untuk mengimbangi Dewa Halilintar.
Bahkan serangan-serangan yang
dilancarkannya pun tidak terlalu menggebu-gebu. Beberapa kali ketika ia
berhasil mendesak lawan, segera ia menghentikan serangan untuk memberi
kesempatan bagi Dewa Halilintar memperbaiki keadaan.
Dewa Halilintar bukan orang
bodoh! Tentu saja dia tahu, Dewa Arak bersikap mengalah. Dan, sikap itu telah
membuat Ki Rajung penasaran. Apalagi ketika menyadari lawan belum mengeluarkan
ilmu 'Belalang Sakti' yang merupakan andalannya.
Menginjak jurus ke delapan
puluh tiga, Dewa Halilintar melemparkan tubuh ke belakang dan bersalto. Kemudian
tubuhnya meluncur turun, ketika telah berjarak sekitar tujuh tombak dari tempat
Arya. Dewa Arak tidak mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan serangan
susulan.
Dewa Halilintar berdiri dengan
kedua kaki terpentang agak lebar. Ditariknya napas dalam-dalam sambil
mengepalkan jari-jari tangan. Suara berkerotokan seperti ada tulang-tulang yang
patah, terdengar tatkala jari-jari tangan kakek kecil kurus ini terkepal.
Dewa Arak hanya memperhatikan
saja. Dia tahu Dewa Halilintar telah bersiap menggunakan ilmu andalannya.
Apalagi kalau bukan ilmu 'Tinju Halilintar' yang telah membuat julukannya
menjulang di dunia persilatan.
Memang julukan Dewa Halilintar
telah menggemparkan dunia persilatan belahan Barat belasan tahun yang lalu.
Dan, itu terjadi karena sepak terjang kakek kecil kurus ini selalu bertindak
brutal terhadap tokoh-tokoh golongan hitam yang menjadi lawannya.
Tapi julukan Dewa Halilintar
hanya menggaung beberapa tahun saja. Setelah itu lenyap dan tak terdengar
beritanya lagi. Karena ia menarik diri dari dunia persilatan untuk
menyempurnakan ilmunya.
Sementara itu, meskipun Dewa
Arak tahu Dewa Halilintar telah mengeluarkan ilmu andalannya, tapi ia belum
berniat mengeluarkan ilmu 'Belalalng Sakti'nya. Dia yakin mampu menahan serbuan
ilmu lawan dengan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang
Tangan Penakluk Naga'.
Mendadak....
"Tahan !" Suara
bentakan keras yang menggetarkan seluruh tempat itu terdengar. Jelas, suara itu
dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Dewa Arak, Randaka, Gunawa,
Melati, dan Dewa Halilintar kontan menolehkan kepala ke asal suara. Tapi yang
paling terkejut justru Dewa Halilintar karena dia kenal betul pemilik suara
itu.
"Tanjak Gara...!"
seru Ki Rajung keras seraya bergerak meninggalkan kancah pertarungan, dan
membatalkan penggunaan ilmu 'Tinju Halilintar'nya.
Bukan hanya Ki Rajung yang
merasa terkejut bukan kepalang. Randaka dan Gunawa pun memiliki perasaan yang
sama. Walaupun jarang bertemu dengan Tanjak Gara, tapi mereka mengenalnya.
Tanjak Gara adalah kakek guru
mereka. Karena guru mereka, Gilang Sangkur, murid Tanjak Gara. Tanjak Gara-lah
yang mendirikan Perguruan Tapak Malaikat
Tapi karena sikap Tanjak Gara
yang aneh, Randaka dan Gunawa tidak berani bergerak mendekat. Mereka hanya
berdiri dan memperhatikan Ki Rajung yang melangkah menghampiri Tanjak Gara
dengan bergegas. Mereka membiarkan Ki Rajung bertemu dengan Tanjak Gara
terlebih dahulu.
***
Dengan raut wajah beseri-seri,
Ki Rajung melangkah menghampiri seorang laki-laki tinggi besar berpakaian
coklat. Wajahnya dipenuhi cambang bauk yang lebat. Dialah Tanjak Gara. Dan,
kini Tanjak Gara melangkahkan kaki menghampiri Ki Rajung.
"Ha ha ha...! Bagaimana
kabarmu, Tanjak Gara?" tanya Ki Rajung gembira seraya mengulurkan tangan
menyambut uluran tangan bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu, dan
mengguncang-guncangkannya. "Ke mana saja kau sehingga tidak pernah muncul
selama ini?"
"Seperti juga kau..., aku
pergi ke tempat yang sunyi untuk memperdalam ilmuku. Kau kan tahu, Rajung. Tak
lama lagi pertarungan untuk memperebutkan bangunan peninggalan guru akan
dimulai. Sesekali aku ingin mencicipi tinggal di tempat itu. Tidak hanya
Wiratmaja saja yang merasakannya," jawab Tanjak Gara panjang lebar sambil
tersenyum dan mengguncang-guncangkan tangan Ki Rajung.
Bagai ada yang memberi
perintah, Ki Rajung dan Tanjak Gara sama-sama melepaskan pegangan tangannya.
"Kukira hanya aku saja
yang melakukan hal itu. Rupanya kau pun melakukan hal yang sama. Ha ha
ha...!" sambut Ki Rajung masih dengan tawa yang tidak lepas dari mulutnya.
"Rupanya kau pintar
berpura-pura tidak tahu, Rajung," ujar Ki Tanjak Gara dengan gembira.
"Bukan kau saja yang menginginkan kemenangan dalam pertarungan nanti. Aku
pun demikian pula! Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
Ki Tanjak Gara pun tertawa
pula.
"Sayang..., aku terlalu
buru-buru mencegah terjadinya pertarungan. Kalau tidak, pasti akan kusaksikan
kedahsyatan ilmu 'Tinju Halilintar'mu itu! O ya..., mengapa kau terlibat
bertarung dengannya, Rajung! Bukankah dia yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya
Ki Tanjak Gara ketika teringat akan ciri-ciri Dewa Arak.
Usai berkata demikian, bekas
Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini mengerling ke arah Arya, yang sudah berdiri
di sebelah Melati. Seperti Randaka dan Gunawa, pemuda berambut putih keperakan
itu hanya memperhatikan pertemuan antara Ki Tanjak Gara dengan Ki Rajung.
Tawa Ki Rajung kontan
berhenti.
"Agak panjang ceritanya,
Gara," pelan terdengar ucapan yang keluar dari mulut Dewa Halilintar.
Kemudian diceritakannya semua persoalan yang menyebabkan terjadinya pertarungan
antara dia dengan Dewa Arak
Ki Tanjak Gara mendengarkan
penuh perhatian. Dan ketika Ki Rajung menyelesaikan cerita, dia
menganggukanggukan kepala.
"Iblis-iblis
Jahanam!" kutuk Ki Tanjak Gara geram. Suara gemeretak dari gigi-gigi yang
beradu terdengar. Ketua Perguruan Tapak Malaikat murka bukan kepalang mendengar
cerita saudara seperguruannya.
"Randaka...! Gunawa...!
Kemarii...!" teriak Ki Tanjak Gara sambil melambaikan tangan.
Dengan kepala tertunduk, dua
orang murid kepala Perguruan Tapak Malaikat itu menghampiri kakek guru mereka.
Di benak mereka sudah terbayang hukuman yang bakal dijatuhkan.
Kali ini Arya tidak bisa ikut
campur lagi. Dia hanya berdiri dan memperhatikan semua kejadian yang
berlangsung di hadapannya. Demikian pula halnya dengan Melati
"Benarkah semua yang
diceritakan Ki Rajung itu?" tanya Ki Tanjak Gara dengan suara keras.
Hampir berbarengan Randaka dan
Gunawa mengangguk membenarkan. Memang mereka mendengar semua cerita Ki Rajung
karena diucapkan dengan suara keras.
"Benarkah kalian akan
mendaki Bukit Larangan itu, tanpa peduli siapa yang akan menjadi
penghalang?" desak Ki Tanjak Gara keras.
"Benar, Ki," sahut
Randaka dan Gunawa jujur. "Bagaimana kalau yang menghalangi tindakan
kalian
adalah aku. Apakah maksudmu
akan diteruskan?!"
Randaka dan Gunawa tersentak.
Tanpa sadar kepala mereka yang semula tertunduk, tertengadah.
"Mana kami berani
bertindak lancang, Ki? Kalau kau yang menghalangi, terpaksa maksud itu kami
batalkan," pelan dan bergetar ucapan yang keluar dari mulut Randaka.
"Hm...!"
Ki Tanjak Gara
mengangguk-anggukkan kepala seraya menatap wajah murid-muridnya. Jari-jari
tangan kanannya mengelus-elus jenggotnya yang lebat.
"Kalian tahu kalau
tindakan kalian itu hanya akan mengantarkan nyawa secara sia-sia?! Apakah
kalian tidak dapat berpikir bahwa orang yang telah berhasil membunuh guru dan
seluruh saudara seperguruan kalian, pasti orang yang berkepandaian jauh di atas
kalian?!"
"Kami mengerti, Ki.
Tapi... kami rela mati asal dapat membalaskan kekejian ini!" sahut Gunawa
mantap.
Ki Tanjak Gara
mengangguk-anggukan kepala.
"Kalau saja Gilang
Sangkur mendengar ucapan kalian, aku yakin dia akan berbangga hati. Ternyata
murid-muridnya sangat berbakti dan tidak berjiwa pengecut! Jangan takut. Aku di
pihak kalian."
"Hahhh...?!"
Randaka dan Gunawa terperanjat
mendengar ucapan Ki Tanjak Gara. Saking kagetnya kedua murid Perguruan Tapak
Malaikat itu menatap wajah kakek guru mereka dengan sinar mata tak percaya.
Ki Tanjak Gara menganggukkan
kepala sambil tersenyum lebar.
"Ya. Aku akan ikut
bersama kalian! Kita minta pertanggungjawaban Perguruan Bukit Larangan
atas kejadian yang menimpa Perguruan
Tapak Malaikat!"
"Ahhh...!"
Ucapan kaget dan sekaligus
kelegaan keluar dari mulut Randaka dan Gunawa. Hati mereka gembira bukan
kepalang ketika mengetahui bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu berada di
pihak mereka.
Bukan hanya kedua orang murid
Perguruan Tapak Malaikat itu yang merasa gembira. Arya dan Melati pun dilanda
perasaan yang sama. Mereka berdua saling pandang sambil tersenyum lega.
Di antara mereka semua, hanya
Ki Rajung yang terkejut bukan kepalang mendengar jawaban Ki Tanjak Gara.
"Gara! Kau ingin mengkhianati kesepakatan yang
telah kita buat bersama?! Apa
kau akan melanggar pesan guru kita?!" tanya Kl Rajung setengah berteriak.
Ki Tanjak Gara menatap wajah
Ki Rajung lekat-lekat. "Kali ini keadaan menghendaki lain, Rajung. Orang-
orang Perguruan Bukit Larangan
telah menghancurkan perguruan yang telah kudirikan dengan susah payah.
Penghinaan ini harus kubalas! Jadi, terpaksa aku melanggar kesepakatan kita
kali ini," sahut bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu mengajukan
alasan
"Lalu..., larangan guru
kita?" desak Ki Rajung penasaran
"Kau harus berpikir
panjang dalam hal ini, Rajung. Kau jangan menuruti perintah itu secara membuta.
Aku yakin andaikata guru masih ada, beliau akan memaklumi tindakanku ini. Toh.
Aku berada di pihak yang benar! Aku ingin meminta keadilan atas kejadian yang
menimpa perguruanku!"
Kali ini Ki Rajung tidak bisa
membantah lagi. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat dalam
ucapan Ki Tanjak Gara. Maka dia pun terdiam tidak berkata-kata lagi. "Ada
satu hal lagi yang perlu kau ingat, Rajung. Wiratmaja sebenarnya sudah menyeleweng
dari pesan yang diberikan guru."
"Menyeleweng?" Ki
Rajung mengernyitkan alisnya.
"Ya. Guru hanya berpesan
untuk menjaga Bukit Larangan dan bangunan tempat tinggalnya. Tapi, Wiratmaja
malah mendirikan perguruan silat. Sungguhpun tidak besar. Kita berdua tahu dia
belum tentu menghuni bangunan itu untuk seterusnya, bila kita memenangkan
pertarungan?" sambung Ki Tanjak Gara menjelaskan. "Lalu
bagaimana nasib perguruannya? Padahal,
dia telah memberikan perguruan itu dengan nama Bukit Larangan!"
"Kau benar, Gara,"
ucap Ki Rajung setelah menghela napas berat.
Bekas Ketua Perguruan Tapak
Malaikat itu lalu mengalihkan perhatiannya ke arah Randaka dan Gunawa.
"Sekarang kita harus ke
sana!" kata Ki Tanjak Gara. "Masalah ini harus diselesaikan
secepatnya."
Usai berkata demikian, bekas
Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini melangkah meninggalkan tempat itu.
"Kau boleh ikut kalau
ingin, Dewa Arak," kata Ki Tanjak Gara sebelum meninggalkan tempat itu.
"Terima kasih atas
kebaikan hatimu, Ki. Sayang kami punya urusan lain yang harus
diselesaikan," kilah Arya.
"Kalau begitu kami pergi
dulu, Dewa Arak," pamit Ki Tanjak Gara, Ki Rajung, Randaka, dan Gunawa pun
melakukan hal yang sama.
"Silakan, Ki,"
sambut Arya sambil menganggukkan kepala. Demikian pula Melati.
Sesaat kemudian, rombongan
kecil itu berangkat meninggalkan tempat itu, menuju Bukit Larangan.
Malam yang sudah larut sama
sekali tidak menghalangi langkah mereka. Arya dan Melati memandangi rombongan
Ki Tanjak Gara hingga lenyap di kejauhan. Baru mereka melanjutkan perjalanan. 7
Hari masih pagi. Kicauan
burung terdengar riuh. Dan, rombongan yang dipimpin Ki Tanjak Gara dan Ki
Rajung, telah berada di lereng Bukit Larangan. Tanpa mengalami kesulitan,
keempat orang itu menotokkan kakinya ke sana kemari. Kini mereka telah tiba di
bagian bukit yang datar.
Mendadak Ki Rajung dan Ki
Tanjak Gara menghentikan langkah, disusul Randaka dan Gunawa. Mereka berdua
memandangi wajah kedua kakek itu berganti-ganti. Sinar-mata mereka memancarkan
keheranan dan ketidakmengertian.
"Mengapa kita berhenti,
Ki? Apakah kita telah tiba di tempat tujuan?" tanya Randaka karena tak
tahan menahan rasa keheranan.
Kepala murid utama Perguruan
Tapak Malaikat itu menoleh ke sana kemari dan memperhatikan keadaan sekitarnya.
Tapi, tidak tampak olehnya bangunan Perguruan Bukit Larangan. Yang terlihat
hanya pepohonan dan semaksemak di sana-sini.
Bukan hanya Randaka yang
merasa heran. Hati Gunawa pun diliputi rasa heran juga. Tetapi dia mampu
menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Walaupun demikian, Gunawa ikut
menolehkan kepala ke sana kemari dan mengedarkan pandangan.
"Diamlah, Randaka. Ada
beberapa orang yang tengah menuju kemari. Rupanya kedatangan kira telah
diketahui," tegur Ki Tanjak Gara pelan.
Randaka kontan terdiam.
Ditelengkan kepalanya untuk lebih menajamkan pendegarannya. Gunawa pun berbuat
yang sama. Tapi, mereka tidak mendengar sama sekali suara apa-apa. Dari sini,
mereka menebak kalau orang-orang yang datang memiliki ilmu meringankan tubuh
amat tinggi.
Tak lama kemudian, mereka baru
mendengar suara yang dimaksudkan Ki Tanjak Gara. Memang, ada beberapa pasang
kaki yang tengah menuju ke arah mereka. Mula-mula hanya terdengar samar-samar.
Tapi semakin dekat semakin jelas. Sekejap kemudian pemilik langkah-langkah itu,
terlihat oleh rombongan Ki Tanjak Gara. "Siapa kalian? Mengapa datang
kemari? Cepat pergi sebelum kami kehilangan kesabaran dan membunuh kalian
semua!" seru salah seorang dari delapan orang laki-laki berpakaian hitam
dan berikat kepala hitam bersulamkan gambar bukit yang menjulang tinggi.
Sikapnya terlihat memandang rendah rombongan Ki Tanjak Gara.
Wajah Ki Tanjak Gara dan Ki
Rajung langsung memerah, karena mereka merasa tersinggung dengan ucapan orang
yang berpakaian hitam itu. Seumur hidup baru kali ini mereka diperlakukan
seperti itu. Tak heran bila kedua tokoh sakti itu menjadi marah. Apalagi kedua
kakek itu, terutama sekali Ki Tanjak Gara, tengah uring-uringan. Tak
mengeherankan bila kemarahan mereka makin berkobar.
"Kami beri peringatan
yang terakhir. Cepat kalian pergi dari ani. Mumpung kami masih berbaik hati
mengampuni kelancangan kalian. Karena kalian belum melewati daerah
larangan!" sambung murid Perguruan Bukit Larangan yang lain.
"Kalau kami tidak mau
pergi kalian mau apa?!" sahut Kt Tanjak Gara menantang.
Suara bekas Ketua Perguruan
Tapak Malaikat itu terdengar bergetar karena pengaruh amarahnya. Tapi,
kemarahan Ki Tanjak Gara tidak sebesar kemarahan yang ada di hati Randaka dan
Gunawa. Kedua orang murid Perguruan Tapak Malaikat ini, merasa tersinggung
sekali melihat tindakan yang tidak sopan terhadap kakek guru mereka. Andaikata
mereka tidak takut dianggap lancang oleh Ki Tanjak Gara, mungkin Randaka dan
Gunawa sudah melompat menerjang murid-murid Perguruan Bukit Larangan yang telah
bersikap terlalu kurang ajar.
"Tua Bangka tidak tahu
diuntung! Kau mencari mati sendiri."
Usai berkata demikian, salah
seorang murid Perguruan Bukit Larangan itu meluruk maju. Kedua tangannya yang
telah terkepal dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Ki Tanjak
Gara.
"Hmh...!"
Ki Tanjak Gara hanya
mendengus. Dibiarkan serangan yang meluncur ke arahnya itu. Tentu saja ia
terlebih dulu mengerahkan tenaga dalamnya.
Bukkk, bukkk, bukkk...!
Ki Tanjak Gara membiarkan saja
serangan yang meluncur ke arahnya.
Bukkk, bukkk, bukkk...!
Bertubi-tubi pukulan murid Perguruan Bukit Larangan itu mengenal sasaran. Tapi
bukan Ki Tanjak Gara yang kesakitan, melainkan yang memukul!
Bertubi-tubi pukulan murid
Perguruan Bukit Larangan itu mengenai sasaran. Tapi bukan Ki Tanjak Gara yang
merasa kesakitan. Melainkan, mereka yang memukul itu yang menjerit kesakitan.
Kedua kepalan tangannya tampak bengkak-bengkak dan terasa sakit bukan main.
Mereka merasa seolah-olah bukan memukul tubuh manusia, tapi gumpalan baja yang
amat keras.
Apa yang dialami oleh rekan
mereka, membuat muridmurid Perguruan Bukit Larangan lainnya terkejut bukan
kepalang. Jelas mereka melihat kalau pukulan rekannya mengenai dada Ki Tanjak
Gara. Tapi, mengapa malah rekannya berteriak-teriak kesakitan? Pikir mereka
bingung.
Memang, murid-murid Perguruan
Bukit Larangan itu sama sekali tidak mengenal Ki Tanjak Gara.
Sementara itu. Ki Tanjak Gara
yang sudah murka, tidak bertindak sampai di situ saja. Tangan kanannya segera
ia kibaskan. Tampak kibasannya dilakukan sembarangan, seperti tanpa pengerahan
tenaga dalam. Tapi hasilnya, murid-murid Perguruan Bukit Larangan yang masih
sibuk dengan rasa sakit itu merasakan hembusan angin yang kencang. Sehingga
tubuh mereka terlempar beberapa langkah ke belakang.
Murid-murid Perguruan Bukit
Larangan mulai sadar. Kakek tinggi besar itu bukan orang sembarangan. Maka,
tanpa ragu-ragu lagi, mereka segera menghunus senjata masing-masing. Sebuah
golok besar yang tajam berkilat.
Srattt, srattt, srattt...!
Sinar-sinar terang tampak
berkilat ketika golok-golok itu keluar dari sarungnya. Bahkan murid Perguruan
Bukit Larangan yang tadi terduduk di tanah telah pula menghunus senjata.
"Serbu...!"
Murid Perguruan Bukit Larangan
yang berkumis tebal memberi aba-aba. Kontan delapan orang itu bergerak
cepat ke arah Ki Tanjak Gara. Begitu
jarak mereka telah dekat, golok-golok yang berada dalam genggaman segera
dikibaskan ke arah Ki Tanjak Gara. Tak pelak lagi, hujan senjata pun meluncur
deras ke arah tubuh Ki Tanjak Gara.
Seperti sebelumnya, bekas
Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu sama sekali tidak melakukan gerakan apa pun.
Dia sama sekali tidak berusaha mengelak atau menangkis.
Takkk, takkk. takkk...!
Delapan batang golok besar itu
mendarat di sasaran masing-masing. Terlihat tidak sedikit pun darah mengalir
dari bagian yang terbabat atau terbacok. Sedikit pun tubuhnya tidak tergores!
Sebaliknya, tangan murid-murid Perguruan Bukit Larangan itu terasa lumpuh. Dan,
senjata yang mereka cekal hampir terlepas dari pegangan, kalau mereka tidak segera
mempererat cengkeramannya.
Mengalami kejadian yang tidak
disangka-sangka itu, membuat delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan itu
terperanjat. Sehingga, untuk beberapa saat, mereka berdiri terpaku dengan mata
terbelalak. Sinar mata mereka memancarkan ketidakpercayaan yang mendalam.
"Kini giliranku,"
pelan ucapan yang keluar dari mulut Ki Tanjak Gara. Begitu gema ucapan itu
lenyap, tubuh bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu bergerak ke depan.
Gerakannya cepat bukan main sehingga yang tampak hanya sekelebatan bayangan
coklat yang meluncur ke arah muridmurid Perguruan Bukit Larangan.
Delapan orang murid Perguruan
Bukit Larangan gugup. Mereka tahu kalau lawan yang dihadapi amat sakti itu
mulai melancarkan serangan balasan. Begitu mendengar ucapan yang keluar dari
mulutnya, seleret bayangan coklat melesat ke arah mereka.
Sayang, gerakan Ki Tanjak Gara
terlalu cepat bagi pandangan mereka. Sehingga mereka tidak dapat melihat kalau
mereka akan diserang. Maka, sebisa-bisanya delapan orang itu membolang-balingkan
golok di depan dada untuk menjaga diri dari serangan yang akan tiba.
Namun, usaha mereka ternyata
sia-sia. Karena mendadak tangan mereka lumpuh dan senjata terlepas dari
pegangan. Sama sekali mereka tidak mengetahui kalau Ki Tanjak Gara telah
menotok sikut mereka. Lalu merampas golok yang mereka genggam.
Delapan orang murid Perguruan
Bukit Larangan itu hanya memandang dengan wajah pucat ke arah Ki Tanjak Gara,
yang telah berada kembali di tempat semula. Kedua tangannya mengenggam senjata-senjata
yang mereka gunakan untuk menebas Ki Tanjak Gara.
Murid-murid Perguruan Bukit
Larangan mulai sadar, kalau Ki Tanjak Gara tak mungkin dapat mereka lawan.
Kepandaian kakek itu terlalu sakti.
Ki Tanjak Gara tentu saja
mengetahui perasaan yang berkecamuk di hati lawan. Tapi, dia tidak peduli
karena telah memutuskan untuk memberikan pelajaran pada orang-orang yang
lancang menghinanya. Maka, dengan raut wajah dingin, digerakkan jari-jari
tangannya. Perlahan saja dan terlihat seperti tanpa pengerahan tenaga dalam.
Namun, akibatnya luar biasa sekali.
Krakkk, krakkk, krakkk...!
Golok besar itu berparahan.
Seolah-olah yang dipatahkan kakek tinggi besar itu bukan batang-batang logam
keras, melainkan batang-batang lidi!
Karuan saja hal itu membuat pandangan
mata delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan itu semakin terbelalak lebar.
Dan saat itulah, tangan Ki Tanjak Gara kembali bergerak. Kali ini, kedua tangan
kakek itu melemparkan potongan-potongan golok itu ke arah delapan orang
lawannya.
Singgg, singgg, singgg...!
Cappp, cappp...!
"Akh, akh...!"
Jerit kesakitan terdengar dari
mulut murid-murid Perguruan Bukit Larangan itu. Karena potongan-potongan golok
itu menancap pada kedua paha mereka. Tak pelak lagi, tubuh delapan orang itu
terguling roboh!
"Mari kita lanjutkan
perjalanan!" ucap Ki Tanjak Gara sambil menolehkan kepalanya ke belakang,
ke arah rombongan kecilnya.
Ki Rajung, Randaka, dan Gunawa
yang sejak tadi hanya menjadi penonton saja, segera bergerak meninggalkan
tempat itu dan mengikuti langkah Ki Tanjak Gara. Mereka tidak mempedulikan
delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan.
Ki Tanjak Gara sama sekali
tidak mengalami kesulitan untuk menuju bangunan Perguruan Bukit Larangan,
karena dia dan Ki Rajung memang pernah tinggal di sana. Tak berapa lama
kemudian, bangunan itu pun telah terlihat oleh mereka.
"Rupanya kedatangan kita
telah diketahui, Ki," kata Randaka ketika melihat belasan sosok tubuh
telah berdiri di depan bangunan Perguruan Bukit Larangan.
"Hm...!" Hanya
gumaman pelan tak jelas yang keluar dari mulut Ki Tanjak Gara. Memang, dia
telah melihat belasan sosok tubuh itu.
Meskipun tahu kalau pihak tuan
rumah telah siaga menyambut mereka, Ki Tanjak Gara tetap melangkah dengan sikap
tenang. Demikian pula sikap yang ditunjukkan Ki Rajung. Tidak tampak
tanda-tanda kalau mereka siap menghadapi segala kemungkinan yang bakai terjadi.
Sementara itu, Randaka dan
Gunawa sudah merasa tegang. Bahkan tangan keduanya telah menyentuh hulu pedang
masing-masing. Siap untuk bertarung.
Apa yang dikhawatirkan kedua
orang murid Perguruan Tapak Malaikat itu pun terjadi. Tiba-tiba telinga mereka
mendengar teriakan-teriakan dari puluhan sosok berpakaian hitam.
"Serbu...!"
Dan puluhan orang berseragam
hitam itu meluruk ke arah rombongan Ki Tanjak Gara dengan senjata di tangan
yang terhunus. Sinar matahari yang memancar ke persada, menimbulkan pantulan
sinar yang menyilaukan mata. Ketika cahaya itu jatuh tepat di batang-batang
golok yang telanjang digenggam tangan lawan.
Sratt, sratt...!
Randaka dan Gunawa segera
mencabut senjata masing-masing. Mereka tidak ingin mati konyol. Karena itu
mereka siap dengan senjata untuk menghadapi serangan yang mendadak ke arah
mereka.
Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung
mengernyitkan alisnya. Kedua kakek sakti ini saling pandang. Raut wajah mereka
memacarkan pertanyaan besar.
"Mengapa Wiratmaja tidak
muncul sama sekali, Gara?" tanya Ki Rajung yang tak kuat menahan rasa
herannya. "Apakah dia ingin mengadakan perang terbuka?"
Ki Tanjak Gara mengangkat
bahu, pertanda ia tidak
tahu. "Kurasa kita harus
memberitahukan kedatangan kita, Gara. Aku tidak ingin ada korban. Padahal, aku
belum yakin kalau dalang semua kekejian pada perguruanmu dan tempat tinggalku
adalah tindakan Wiratmaja...," ujar Ki Rajung lagi
"Kau benar, Rajung!"
Ki Tanjak Gara terjingkat kaget. "Hei! Kalian semua dengarkan! Aku Ki
Tanjak Gara
dan Ki Rajung! Datang ke sini
untuk bertemu ketua kalian. Harap panggil dia kemari! Katakan Rajung dan Tanjak
Gara ingin berbicara dengannya!"
Keras sekali ucapan yang
keluar dari mulut Kl Tanjak Gara, karena dikeluarkan dengan mengerahkan tenaga
dalam. Gema suaranya menggaung ke seluruh penjuru tempat itu. Bahkan, terdengar
sampai ke lereng bukit.
Tapi pemberitahuan Ki Tanjak
Gara sama sekali tidak berguna. Puluhan orang murid Perguruan Bukit Larangan
itu, tidak mempedulikan ucapannya. Mereka terus saja meluruk maju.
Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung
saling pandang. Mereka tahu kalau saat ini sikap lunak sama sekali tidak bermanfaat. Maka, jalan satu-satunya
melakukan tindak kekerasan. Dan, itu akan dilakukan Ki Tanjak Gara dan Ki
Rajung.
Kini rombongan Ki Tanjak Gara
memperhatikan dengan waspada lawan-lawannya yang tengah meluruk ke arah mereka.
"Heiyaaa...! Apa yang
akan kalian lakukan?!" sentak Ki Rajung ketika melihat puluhan orang
berseragam hitam itu an memecah, dan menjadi beberapa kelompok.
Tiap-tiap kelompok mempunyai
anggota berseragam hitam dalam jumlah yang tidak sama.
"Mereka membuat
kelompok-kelompok penyerangan," desis Ki Tanjak Gara kaget seteiah
beberapa saat memperhatikan mereka.
"Ah...!" desah Ki
Rajung kaget
Sebagai seorang tokoh
persilatan yang telah mempunyai pengalaman tak terhitung, Ki Rajung tentu saja
mengerti maksud ucapan rekannya. Tapi, tidak demikian dengan Randaka dan
Gunawa. Mereka sama sekali tidak mengerti dan sama sekali tidak bertanya karena
keadaan sudah tidak memungkinkan lagi. Karena jarak lawan terlampau dekat
dengan mereka. "Hiyaaa...!"
Dengan diawali
teriakan-teriakan nyaring dan membahana, puluhan murid Perguruan Bukit Larangan
mulai melancarkan serangan. Seperti sudah mereka sepakati bersama,
kolompok-kelompok itu menyerang rombongan Ki Tanjak Gara tanpa awut-awutan.
Kelompok yang beranggotakan
lima orang menyerbu Randaka dan Gunawa. Dan, kelompok yang terdiri delapan
orang menyerang Ki Rajung, dan kelompok yang beranggota dua belas orang
menghadapi Ki Tanjak Gara.
Rombongan Ki Tanjak Gara tidak
tinggal diam. Mereka pun mengadakan perlawanan. Hanya Ki Tanjak Gara dan Ki
Rajung belum menggunakan senjata.
Randaka dan Gunawa baru
mengerti maksud ucapan kakek guru mereka. Lima orang yang menyerang mereka,
melakukan penyerangan secara teratur. Meskipun jumlah mereka kecil, tapi mereka
saling bantu-membantu dalam melakukan penyerangan, dan juga saling melindungi
tatkala mendapat serangan balasan. Maka, tak mengherankan mereka dapat membuat
Randaka dan Gunawa mati kutu. Kendati kepandaian lima orang itu berada di bawah
kedua orang murid kepala Perguruan Tapak Malaikat itu.
Randaka dan Gunawa benar-benar
kewalahan. Mereka berdua tidak mampu bekerja sama. Karena itu, tanpa kesulitan
mereka dikurung dan didesak lawan.
Setiap serangan yang
dilancarkan Randaka dan Gunawa selalu kandas, oleh dua orang lawan yang
melakukan tangkisan secara berbarengan. Sebaliknya bila murid-murid Perguruan
Bukit Larangan itu melancarkan serangan mereka senantiasa kelabakan. Tak sampai
sepuluh jurus, Randaka dan Gunawa terdesak hebat.
Sementara pertarungan lain di
arena, murid-murid Perguruan Bukil Larangan belum mampu mendesak lawan.
Padahal, kelompok ini memiliki kepandaian perorangan yang berada di atas
anggota yang mengeroyok Randaka dan Gunawa. 8
Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung
memang belum sungguh-sungguh mengadakan perlawanan. Mereka tampak lebih
memusatkan perhatian pada inti gerakan lawan. Jadi, kedua orang itu hanya
mengelak selama dalam pertempuran. Semua itu berkat ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkatan amat tinggi dan jauh berada di atas lawan.
"Akh...! Akh...!"
Dua lolong kesakitan yang
saling susul menyusul membuat Ki Tanjak Gara terkejut bukan kepalang. Secepat
kilat ia menolehkan kepala ke arah asal suara. Terlihat rasa cemas membayang di
wajahnya
Kecemasan Ki Tanjak Gara
sangat beralasan, karena sepasang matanya menangkap tubuh Randaka dan Gunawa
terhuyung-huyung. Tampak darah segar mengalir dari perut dan pinggang mereka
yang terluka. Melihat dari banyaknya darah yang keluar, bisa diketahui kalau
luka mereka amat parah!
Ki Tanjak Gara menggeram. Dia
murka bukan kepalang, ketika melihat tubuh Randaka dan Gunawa roboh ke tanah,
dan tak bergerak lagi. Tubuh bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini meluncur
ke arah para pengeroyok pewaris ilmunya.
Di dalam cekaman marah yang
berkobar-kobar. Ki Tanjak Gara menghunus pedang dan langsung melancarkan
serangkaian serangan bertubi-tubi ke arah lima orang pengeroyok Randaka dan
Gunawa.
Dengan diiringi suara desingan
nyaring yang menyakitkan telinga, pedang Ki Tanjak Gara meluncur. Lima orang
Itu segera membentuk kedudukan. Tiga di antara mereka, secara bersama-sama,
langsung memapak serangan yang datang. Sedangkan dua orang lagi bersiap
melancarkan serangan susulan.
Tetapi kali ini mereka
terkecoh! Begitu pedang dan golok-golok itu berbenturan, tangan mereka seperti
lumpuh dan senjata-senjata yang digenggam terlepas dan berjatuhan di tanah.
Saat itulah kaki Ki Tanjak Gara bergerak cepat. Melancarkan tendangan
bertubi-tubi ke arah dada tiga orang musuhnya. Cepat bukan main serangan itu
Apalagi serangan itu datang secara tiba-tiba, sehingga ketiga orang murid
Perguruan Bukit Larangan itu tak mampu menghindari. Dan....
Bukkk, bukkk, bukkk...!
Telak dan keras sekali
tendangan Kl Tanjak Gara mengenai sasaran. Tubuh ketiga orang itu langsung
terjungkal jauh ke belakang. Suara berderak keras dari tulang-tulang yang
hancur berantakan terdengar manakala kaki Ki Tanjak Gara mengenal dada ketiga
orang itu
Mengerikan sekali pemandangan
yang terlihat. Darah segar menyembur keluar dari mulut mereka, membasahi tanah
sepanjang tubuh ketiga orang murid Perguruan Bukit Larangan itu melayang. Dan,
nyawa mereka pun terbang seketika tanpa ada suara keluhan sedikit pun.
Ki Tanjak Gara benar-benar
sudah tidak ingat apaapa lagi. Yang ada di benaknya, membalaskan kematian cucu
muridnya. Dan, itulah yang kini dilakukannya. Begitu kedua kakinya mendarat di
tanah, ia langsung melesat ke arah dua orang lawannya yang masih tersisa.
Kedua orang murid rendahan,
itu tak mampu bertahan dari amukan Ki Tanjak Gara. Hanya sekali gebrak saja,
nyawa mereka pun melayang ke alam baka.
Ki Tanjak Gara benar-benar kesetanan.
Delapan orang yang tadi menyerangnya segera ia buru dan langsung diterjangnya.
Kini, ia tidak segan-segan lagi menjatuhkan tangan kejam pada mereka.
Berbeda dengan Ki Tanjak Gara,
Ki Rajung masih belum mau menjatuhkan tangan kejam. Walaupun demikian, tidak
menyalahkan sikap rekannya. Maka, ia membiarkan Ki Tanjak Gara bertarung
menghadapi para pengeroyoknya dengan mengerahkan segenap kemampuan yang
dimiliki.
Beberapa jurus pertama,
delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan itu memang agak menyulitkan Kl
Tanjak Gara. Sehingga cukup lama pertarungan berlangsung sengit
Menginjak jurus ke sebelas, Ki
Tanjak Gara yang sudah mempunyai pengalaman luas, mengetahui inti kerja sama
lawan dan kelemahannya. Hasilnya, dalam beberapa gebrakan saja, kerjasama
delapan orang itu menjadi porakporanda. Satu demi satu mereka berguguran
disertai jeritan kematian menyayat. Andaikata tidak terkena pedang, tangan dan
kaki Ki Tanjak Gara pun telah mengirim nyawa mereka ke akhirat
Tak lama kemudian, delapan
orang itu roboh bergeletakan di tanah dalam keadaan hdak bernyawa.
Pada saat yang bersamaan
dengan tewasnya lawan terakhir Ki Tanjak Gara, Ki Rajung pun berhasil pula
merobohkan lawan-lawannya. Tanpa mengambil nyawa seorang pun.
"Tanjak Gara! Rajung!
Kalian benar-benar biadab...!"
Terdengar bentakan keras.
Belum lagi gema suara itu lenyap, di hadapan Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung telah
berdiri seorang kakek berwajah hitam. Pakaian dan ikat kepala yang dipakai sama
dengan warna kulit wajahnya.
"Kau yang biadab, Wiratmaja!"
sembur Ki Tanjak Gara tak kalah keras.
"Kalian telah melakukan
dua macam kesalahan yang tidak bisa diampuni! Dan hukuman yang tepat untuk
kalian adalah mati!" tandas Wiratmaja. "Pertama, kalian telah berani
memasuki wilayah ini. Bahkan membawa orang luar! Padahal, kalian sudah tahu
larangan itu. Kedua, kalian telah membantai murid-muridku! Bersiaplah, Tanjak
Gara! Rajung! Atas nama guru, aku akan menghukum kalian!"
"Kau kira aku takut
padamu, Wiratmaja?!" sambut Ki Tanjak Gara lantang. Dan....
"Haaat !"
Ki Tanjak Gara meloncat dan
menerjang Wiratmaja. Tanpa ragu-ragu, ia segera mengerahkan ilmu 'Tapak
Malaikat' yang menjadi andalan pada penyerangan pertama.
Ki Tanjak Gara membuka
serangan dengan gedoran kedua telapak tangannya. Angin menderu keras, pertanda
kedahsyatan serangan yang dilancarkan.
Namun Wiratmaja bersikap
tenang. Meskipun begitu tidak berarti dia memandang rendah. Kendari terlihat
belum siaga, tapi sebetulnya sekujur urat-urat syaraf dan ototototnya telah
menegang. Dan, ketika serangan menyambar ke arahnya, dia segera menggerakkan
tangan dan menyambut serangan lawan. Tampak kedudukan jari-jari kedua tangannya
mirip dengan posisi lawan. Prattt...!
Kedua belah pihak sama-sama
terhuyung ke belakang ketika tangan-tangan mereka saling berbenturan. Hanya
Wiratmaja yang terhuyung dua langkah ke belakang. Sedangkan Ki Tanjak Gara
terhuyung empat langkah ke belakang. Itu pun masih ditambah dengan seringai
yang tampak di mulutnya. Jelas, ia merasa kesakitan akibat benturan itu.
Tapi Ki Tanjak Gara sama
sekali tidak peduli. Begitu kedudukannya berhasil diperbaiki, ia kembali
melancarkan serangan susulan. Wiratmaja menyambut serangan itu dengan tak kalah
semangat. Sehingga pertarungan antara dua orang saudara seperguruan itu pun
berlangsung sengit
Ki Rajung hanya mengawasi
jalannya pertarungan dengan hati tidak karuan. Dia belum yakin kalau Wiratmaja
yang menjadi dalang dalam pembantaian terhadap muridmuridnya dan murid
Perguruan Tapak Malaikat. Ingin dia mencegah pertarungan itu, dan menyuruh
kedua orang itu menyelesaikan secara baik-baik. Tapi, dia tahu hal itu tidak
akan mungkin terjadi. Wiratmaja dan Ki Tanjak Gara samasama memiliki watak
keras, dan tak akan mungkin mereka mau menghentikan pertarungan.
Itulah sebabnya Ki Rajung sama
sekali tidak bisa berbuat apa pun, kecuali menyaksikan jalannya pertarungan
dengan hati cemas.
Sementara itu, pertarungan
antara Ki Tanjak Gara dan Wiratmaja berlangsung sengit. Karena kedua belah
pihak sama-sama memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi, sehingga
pertarungan berlangsung sangat cepat. Tak terasa pertarungan sudah memasuki
jurus ke sembilan puluh. Begitu pertarungan memasuki jurus ke sembilan puluh
satu Ki Tanjak Gara mulai terdesak hebat.
Memang, Wiratmaja jauh lebih
unggul daripada Ki Tanjak Gara, baik tenaga maupun kelincahan. Sebenarnya,
sejak memasuki jurus keenam puluh, bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu
sudah terdesak. Hanya saja, belum terdesak hebat seperti saat ini.
Bukkk...! "Akh...!"
Ki Tanjak Gara memekik
tertahan disertai semburan darah dari mulutnya ketika pukulan Wiratmaja
menghantam telak dadanya. Kontan tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh
bergulingan di tanah. Tapi Ki Tanjak Gara pantang menyerah. Dengan
menggertakkan gigi dia mencoba untuk bangkit. Namun....
"Huakkkh !"
Ki Tanjak Gara memuntahkan
darah segar dari mulutnya, pertanda ia mengalami luka dalam.
"Gara !" teriak Ki
Rajung kaget
Buru-buru kakek berwajah tirus
ini melesat mendekat. Kemudian berdiri membelakangi tubuh Ki Tanjak Gara. Dia
berdiri di tengah-tengah antara Wiratmaja dan kakek tinggi besar itu. Hal itu
terpaksa dilakukan Ki Rajung ketika melihat Wiratmaja akan melakukan pukulan
terakhir untuk Ki Tanjak Gara.
"Rupanya kau tidak sabar
untuk menunggu giliranmu, Rajung!" dengus Wiratmaja.
Ki Rajung sama sekali tidak
menyahuti ucapan Wiratmaja. Dia tahu tidak ada gunanya bersilat lidah.
Wiratmaja sudah tidak bisa dicegah lagi. Pertarungan antara mereka berdua pun
tak dapat dielakkan. Maka, ia pun menyiapkan ilmu 'Tinju Halilintar' andalannya.
Rupanya Wiratmaja tidak sabar
lagi. Dengan disertai teriakan menggeledek, dia melompat dan menerjang Ki
Rajung. Sekali menyerang, kakek berwajah hitam ini telah melancarkan pukulan
bertubi-tubi ke arah dada dengan tendangan kaki kanannya.
Ki Rajung segera melompat jauh
ke belakang dan bersalto, sehingga serangan lawan mengenai daerah kosong. Dia
sengaja melakukan hal itu, agar Ki Tanjak Gara selamat dari bahaya serangan
lawan.
Dan seperti sudah diduganya,
Wiratmaja akan melanjutkan serangan kedua, maka Ki Rajung pun bersiap. Tak
pelak lagi pertarungan pun kembali berlangsung sengit.
Pertarungan kali ini tampak
lebih seru dan meriah. Karena suara meledak-ledak seperti ada petir sungguhan
terdengar setiap kali Ki Rajung mengepalkan kedua tangannya.
Seperti juga pertarungan
antara Ki Tanjak Gara dengan Wiratmaja. Pertarungan yang berlangsung ini pun,
seru bukan kepalang. Kedua belah pihak sama-sama memiliki kepandaian tinggi.
Setiap serangan yang mereka lancarkan menimbulkan suara deru angin yang keras
sehingga membuat suasana di sekitar tempat itu menjadi riuh.
Sama halnya dengan Ki Tanjak
Gara, Ki Rajung pun mau tidak mau harus mengakui keunggulan Wiratmaja. Kakek
berwajah hitam itu memiliki kelebihan dalam segala hal. Kalau saja Wiratmaja
tidak habis bertempur dengan Ki Tanjak Gara yang telah menguras sebagian
kemampuannya, mungkin Ki Rajung sudah bisa dirobohkan.
Karena keadaan Wiratmaja yang
sudah lelah, maka ketika pertarungan telah memasuki jurus yang ke seratus, Ki
Rajung belum dapat dikalahkan. Kendati keadaan kakek berwajah tirus itu telah
terdesak
"Haaat..!"
Pada jurus ke seratus tiga,
Wiratmaja memekik keras sambil melancarkan serangan.
"Hiyaaat..!" Ki
Rajung mengeluarkan teriakan pula sambil melancarkan serangan.
Bukkk, bukkk...!
Hantaman Wiratmaja dan pukulan
Ki Rajung samasama mendarat di dada kanan masing-masing pihak. Akibatnya kedua
tubuh tokoh sakti itu sama-sama terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan
di tanah. Darah segar muncrat dari mulut mereka masing-masing.
Wiratmaja dan Ki Rajung sama
sekali tidak berusaha bangkit. Keduanya sadar kalau mereka menderita luka
dalam. Yang dapat mereka lakukan hanyalah saling pandang dengan sorot mata
penuh penasaran.
***
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa yang riuh
dan keras membahana, pertanda suara itu didukung oleh pengerahan tenaga dalam.
Ki Tanjak Gara, Ki Rajung, dan
Wiratmaja sama-sama menolehkan kepala ke arah asal suara. Sebagai tokoh-tokoh
tingkat tinggi mereka tahu kalau pemilik suara itu, orangorang yang berkepandaian
tinggi. Lagi pula jumlah mereka tidak seorang. Karena itu tiga nada suara tawa
terdengar berbeda. Tampak oleh mereka tiga sosok tubuh berdiri dengan senyum
mengejek. Pakaian dan ikat kepala yang mereka kenakah adalah seragam Perguruan
Bukit Larangan.
"Sss... siapa
kalian?" tanya Wiratmaja kaget. Suaranya terdengar mendesis.
Ki Rajung dan Ki Tanjak Gara
saling pandang, dalam jarak berjauhan. Ciri-ciri yang terdapat pada ketiga
orang yang mengenakan seragam Perguruan Bukit Larangan itu persis dengan yang
diberitahukan oleh Kandaka dan Gunawa sebagai Algojo-Algojo Bukit Larangan.
Tapi yang membuat heran kedua
kakek sakti itu ketika mengetahui Wiratmaja tidak mengenal sama sekali ketiga
orang itu. Padahal, jelas-jelas kalau ketiga orang itu mengenakan seragam
Perguruan Bukit Larangan. Dan, dugaan jelek pun berkelebat di hati Ki Tanjak
Gara dan Ki Rajung.
"Kau tidak mengenal
mereka, Wiratmaja?" tanya Ki Rajung bernada khawatir. "Apakah mereka
bukan orang perguruanmu?"
Wiratmaja menggelengkan
kepala.
"Aku sama sekali tidak
mengenalnya. Mereka bukan orang Perguruan Bukit Larangan. Tapi mengapa
mengenakan seragam perguruanku?"
Wajah Ki Rajung kontan pucat
pasi. Terutama sekali wajah Ki Tanjak Gara. Segumpal perasaan bersalah
bersarang di dalam hatinya.
"Kalau itu yang
kutanyakan bisa kujawab sekarang, Wiratmaja. mereka mengenakan seragam
Perguruan Bukit Larangan untuk mengadu domba kita," ujar Ki Rajung seraya
menceritakan semua peristiwa yang terjadi pada perguruan milik Ki Tanjak Gara
dan rumah kediamannya.
Wiratmaja mendengarkan semua
cerita Ki Rajung dengan penuh perhatian. Sama sekali tidak diselaknya hingga kekek berwajah tirus itu menyelesaikan
cerita. Dan, selama Ki Rajung bercerita, wajah Wiratmaja berubah-ubah, sebentar
pucat sebentar merah.
"Terkutuk...!" maki
Ketua Perguruan Bukit Larangan dengan suara keras.
"Ha ha ha...!" Tiga
sosok tubuh yang tidak lain adalah Gurida, Sanca Kala, dan Pérgola tertawa
tergelak mendengar cerita Ki Rajung.
"Kau cerdas juga,
Rajung!" puji Gurida dengan suara keras dan mengguntur. "Tapi, sayang
sekali kesadaranmu terlambat. Sehingga tidak ada gunanya lagi! Karena kalian
semua akan kami bunuh!"
"Keparat! Mengapa kau
berlaku sekeji itu! Bukankah kami sama sekali tidak mempunyai urusan
denganmu!" tandas Ki Rajung penasaran.
"Siapa bilang?! Kalian
dan aku tidak mempunyai urusan!" sergah Sanca Kala dengan suara khasnya
yang melengking nyaring seperti ringkikan kuda. "Kami dan kalian bertiga
punya urusan. Malah sebuah urusan yang sangat besar!"
"Ya! Itulah sebabnya kami
bertekad untuk melenyapkan kalian!" sambung Pérgola.
Wiratmaja, Ki Tanjak Gara, dan
Ki Rajung saling pandang Sepasang mata mereka sama-sama memancarkan
ketidakmengertian.
"Kami ingin tinggal di
tempat ini. Tempat yang menjadi hak kami!" ujar Sanca Kala keras.
"Tutup mulutmu, Keparat!
Tempat ini adalah milik kami bertiga! Warisan dari guru kami!" sergah
Wiratmaja gusar mendengar ucapan Sanca Kala.
"Apakah guru kalian
memberikannya?" tanya Pergola bernada mengejek.
Merah wajah Wiratmaja.
"Memang tidak. Tapi...,
dia menyuruh kami menjaganya...," Jawab Ketua Perguruan Bukit Larangan
terbatabata.
"Nah! Hanya menjaganya!
Sedangkan kami malah diwarisi! Orang yang berhak atas tempat ini, yang telah
mewariskan kepada kami!" tegas Sanca Kala penuh rasa menang.
"Bohong! Guru kami tidak
memiliki murid sama sekali, kecuali kami
bertiga!" sergah Ki Tanjak Gara.
"Siapa yang bilang kami
murid gurumu! Kami memang bukan murid gurumu! Kami murid putra gurumu. Dan
putra gurumu itulah yang telah mewariskan tempat ini pada kami!" Ki Tanjak
Gara, Wiratmaja,dan Ki Rajung saling pandang penuh rasa bingung. Guru mereka
punya anak? Mengapa mereka sama sekali tidak mengetahuinya? Bukankah mereka
telah menjadi murid sejak berusia delapan tahun? Tapi, mengapa mereka tidak mengetahuinya?
"Percuma saja kau
mengobral bualanmu itu. Keparat! Kami tidak akan percaya!" tandas
Wiratmaja keras. "Kalau beliau mempunyai anak, pasti kami akan
mengetahuinya. Dan, guru kami pun pasti akan memperkenalkan anaknya."
Ki Rajung dan Ki Tanjak
Gara menganggukkan kepala, membenarkan
bantahan Ketua Penjuruan Bukit Larangan itu.
"Kalian tidak akan
mengenalnya, karena guru kalian sama sekali tidak mau memperkenalkannya!"
tan das Gurida keras.
"Mustahil!" sergah
Ki Tanjak Gara keras. "Tidak mungkin beliau bersikap demikian!"
"Mengapa tidak?!"
kali ini Pergola yang menyahuti. "Anaknya itu cacat tubuh dan pikiran!
Sebelah kakinya dan sebelah tangannya lebih kecil dari yang lainnya. Itulah
sebabnya dia tidak memperkenalkan kepada kalian. Dia merasa malu sebagai
seorang tokoh sakti mempunyai keturunan seperti itu! Dan, karena takut
kesaktiannya akan punah, dia memungut kalian bertiga sebagai murid! Sementara
anaknya sendiri disembunyikan! Dan kalian tahu di mana ia sembunyikan? Di
tempat yang tidak boleh kalian kunjungi. Ruang semadi guru kalian!"
"Bohong!" bantah
Wiratmaja keras. Sanca Kala tersenyum mengejek.
"Rupanya bukan hanya
kepalamu saja yang hitam, Wiratmaja. Tapi otakmu pun keruh sehingga tidak bisa
berpikir! Apakah kalian tidak menemui kejanggalan pada sikap guru kalian, sejak
dulu?!"
Ucapan itu membuat Wiratmaja,
Ki Rajung, dan Ki Tanjak Gara saling pandang. Memang, dulu mereka sering
melihat keanehan pada sikap guru mereka. Wajah sang guru selalu murung, dan
sering terlihat merenung seperti ada beban berat yang dipikirkannya. Dan, lebih
aneh, beberapa kali guru mereka terlihat membawa banyak sekali buahbuahan dan
daging binatang-binatang hutan ke dalam ruang semadi. Bekal makanan yang dibawa
guru mereka rasanya tak akan habis sampai sebulan. Tapi, anehnya belum sampai
tiga hari kakek itu sudah keluar dari ruang semadi
Tak jarang guru mereka membawa
pakaian-pakaian ke dalam ruang semadi. Dulu mereka tidak pernah berhasil
menjawabnya. Apalagi mereka tidak pernah berani menanyakannya. Kini teka-teki
yang ada dalam pikiran mereka selama ini mulai terjawab!
"Karena anaknya itulah,
dia melarang seorang pun menginjakkan kakinya ke tempat ini! Dan aku yakin,
itulah yang diperintahkannya pada kalian semua! Apakah kalian mengetahui
mengapa perintah itu dikeluarkan?!" sambung Sanca Kala lagi yang bertindak
selaku juru bicara.
Tanpa sadar Ki Tanjak Gara,
Wiratmaja, dan Ki Rajung menggelengkan kepala.
"Karena dia takut
orang-orang akan melihat anaknya. Seorang anak yang serba kurang. Cacat tubuh
dan juga cacat pikiran! Dan, kami adalah pengasuh-pengasuh anak itu!" sela
Gurida.
"Kalau kalian
menginginkan tempat ini, aku tidak keberatan," ucap Wiratmaja bernada
keluh. Dia percaya semua cerita yang didengarnya itu benar. "Tapi mengapa
harus mengadu domba kami!"
"Itulah pesan terakhir
majikan muda kami sebelum meninggal. Dia merasa iri karena ayahnya, tidak
mempedulikan dirinya. Sebaliknya kalian, orang-orang luar dibimbingnya!"
"Jadi majikan kalian itu
sudah meninggal dunia?" tanya Ki Rajung setelah terpekik. Ada rasa kasihan
menyelinap di hati lelaki berwajah tirus itu, ketika mengingat nasib yang
diterima putra gurunya.
"Ya!" Sanca Kala
menganggukkan kepala. "Dia meninggal karena sakit. Mungkin cacat tubuh dan
pikiran itu yang menyebabkan ia meninggal secara mengenaskan. Dan, hanya kami
bertiga yang menemaninya."
"Lalu..., ayahnya ke
mana?" tanya Ki Tanjak Gara terharu.
"Guru kalian tidak
mengetahui. Karena majikan kami menemukan sebuah ruang rahasia yang tidak
diketahui ayahnya. Di situlah majikan kami tinggal," jelas Sanca Kala.
Wiratmaja, Ki Rajung, dan Ki Tanjak Gara saling pandang dengan hati terharu.
Sungguh menyedihkan sekali nasib putra guru mereka. Sekarang mereka tahu,
kenapa guru mereka pergi tanpa sebab. Rupanya ia telah kehilangan putranya.
"Apakah..., kalian pun
disembunyikan oleh guru kami ke ruang semadi itu?" tanya Ki Tanjak Gara.
Sanca Kala menggelengkan
kepala.
"Guru kalian sama sekali
tidak mengenal kami. Karena kami adalah pemburu yang diselamatkan oleh majikan
kami, sewaktu hampir menjadi santapan harimau. Sebagai balas budi kami ikut
tinggal bersamannya. Menemani majikan kami sampai beliau meninggal."
"Bukankah menurut cerita
kalian, putra guru kami cacat pikiran? Tapi mengapa bisa menyelamatkan
kalian?" tanya Ki Rajung heran.
"Cacat pikiran yang
dideritanya hanya muncul kadang-kadang saja, kalau tengah kumat dia
menjerit-jerit keras sambil memegangi kepala. Selain itu, sikapnya sangat baik
terhadap kami."
"Kalian mengaku
pemburu-pemburu, tapi mengapa memiliki kepandaian setinggi ini? Dan menurut
cerita muridku yang kalian bunuh, kalian menguasai ilmu aliran perguruan
kami!" tanya Ki Tanjak Gara penasaran.
"Kami mempelajari
kepandaian itu dari kitab-kitab yang ada di tempat pengasingan majikan kami.
Rupanya, meskipun kecewa, guru kalian masih berbaik hati memberikan kitab-kitab
ilmu silat untuk dipelajari oleh putranya, di samping diturunkannya sedikit
ilmu silat pada majikan muda kami. Dengan ilmu itulah dia menyelamatkan nyawa
kami dari ancaman maut harimau!"
"Mengapa aku atau
murid-muridku sama sekali tidak melihat putra guru kami? Padahal untuk memasuki
ruang semadi kalian harus melalui tempat yang dijaga ketat," Wiratmaja
mengajukan rasa herannya.
Sanca Kala terkekeh.
"Ruang rahasia yang
ditemukan majikan kami, ternyata berhubungan dengan sebuah gua di bukit itu.
Dan, dari situlah kami keluar masuk!"
Wiratmaja, Ki Rajung, dan Ki
Tanjak Gara terdiam "Sudahlah, Sanca Kala! Kurasa sudah tiba saatnya bagi
kita untuk mengirim nyawa mereka semua ke alam baka!" sela Gurida yang
sudah merasa tidak sabar lagi. Pergola menganggukkan kepala membenarkan ucapan
rekannya. Mau tidak mau Sanca Kala pun menghentikan keterangannya.
"Sekarang terimalah
kematian kalian...!"
Setelah berkata demikian,
Pergola, Sanca Kala, dan Gurida melangkah menghampiri tubuh tiga tokoh sakti
yang tergolek tak berdaya. Nasib tiga orang sakti yang sama-sama berasal dari
satu perguruan itu sudah bisa dipastikan!
Di saat gawat itu, melesat dua
sosok bayangan ke arah tiga Algojo Bukit
Larangan itu: Yang satu berwarna ungu, sedangkan yang satu lagi berwarna putih.
Kedua sosok itu langsung melancarkan serangan ke arah tiga orang berpakaian
hitam itu.
Pergola, Sanca Kala, dan
Gurida tentu saja tidak mau mati konyol. Buru-buru mereka melempar tubuh ke
samping dan bergulingan menjauh. Serangan dua sosok bayangan itu pun mengenai
tempat kosong.
Sosok bayangan ungu dan putih
itu sama sekali tidak mengejar mereka. Melainkan mendaratkan kaW di tanah, dan
berdiri membelakangi tubuh tiga orang kakek sakti.
"Dewa Arak..!" seru
Ki Rajung dan Ki Tanjak Gara berbareng.
Memang, dua sosok bayangan itu
tidak lain adalah Arya Buana dan Melati. Rupanya mereka memutuskan untuk menuju
ke Bukit Larangan. Barangkali saja ada yang dapat mereka lakukan. Paling tidak,
mereka ingin mencegah terjadinya pertumpahan darah antara saudara seperguruan.
Sungguh sama sekali tidak disangka kalau mereka tiba pada saat yang tepat.
Arya membalikkan tubuh dan
melemparkan seulas senyum pada Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung. Sedangkan
Wiratmaja hanya memandang dengan sepasang mata terbelalak. Dewa Arak! Sama
sekali tidak menduga kalau dirinya akan bertemu dengan tokoh yang menggemparkan
dunia persilatan itu. Anehnya, mengapa Dewa Arak seperti telah mengenal Ki
Rajung dan Ki Tanjak Gara.
Karena tahu kebingungan yang
melanda hati Wiratmaja, Ki Rajung menceritakan pertemuan mereka dengan Dewa
Arak. Dan kakek berwajah hitam itu pun, mulai mengerti mengapa Dewa Arak dapat
mengenal dua orang saudara seperguruannya.
Sedangkan Dewa Arak dan Melati
sudah tidak bisa memperhatikan tiga orang kakek sakti itu lagi, karena tiga
orang lawannya telah menerjangnya. Pérgola, Sanca Kala, dan Gurida sangat murka karena tindakan
mereka dihalangi.
Dalam kemarahannya, ketiga
orang berpakaian serba hitam itu langsung menyerang berbareng, tanpa ragu-ragu.
Gurida dan Sanca Kala menyerbu Dewa Arak, sedangkan Pérgola meluruk ke arah
Melati.
Tiga lelaki yang mengaku
sebagai Algojo Bukit Larangan itu, langsung mengeluarkan ilmu andalan mereka
masing-masing. Dewa Arak dan Melati pun tidak ingin bersikap sungkan-sungkan.
Mereka segera mengeluarkan ilmu andalannya.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika
Dewa Arak menuangkan guci araknya ke mulut. Suara itu terdengar saat cairan
memabukkan itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian hawa hangat
menjalari perut pemuda berambut putih kerperakan itu. Lalu, merayap ke kepala,
dan membuat kedua kaki Dewa Arak tidak tetap lagi berdiri di tanah. Ini menjadi
pertanda, dia telah siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Pada saat itulah, serangan
Gurida dan Sanca Kala meluncur. Gurida menggulingkan tubuh ke depan dan
menghampiri Dewa Arak. Begitu jarak mereka mendekat, kaki kanannya segera
bergerak menyapu.
Sedangkan Sanca Kala melompat
ke udara, dan bersalto. Dan dari atas, ia mengibaskan golok ke arah batang
leher Dewa Arak.
Menghadapi serangan beruntun
seperti itu, Dewa Arak tidak gugup. Dia
segera melompat ke belakang, sehingga sapuan Gurida mengenai tempat kosong.
Pada saat bersamaan, gucinya diangkat ke atas kepala untuk menangkis serangan
golok Sanca Kala. Dan....
Klanggg !
Benturan keras tedengar
memekakkan teiinga Beberapa tetes arak memercik dari mulut guci saking kuatnya
benturan itu terjadi Dewa Arak yang berada dalam kedudukan kurang
menguntungkan, tubuhnya terhuyung ke belakang.
Hal serupa menimpa Sanca Kala.
Tubuhnya terlontar kembali ke belakang. Bahkan, tangannya yang menggenggam guci
terasa hampir lumpuh. Hal itu pertanda kalau tenaga Dewa Arak berada di atas
lawan.
Meskipun demikian. Sanca Kala
langsung melancarkan serangan lanjutan. Seperti juga Gurida, laki-laki
berkepala botak itu telah melancarkan serangan lebih dulu.
Sesaat kemudian, Dewa Arak
harus menghadapi pengeroyokan Sanca Kala dan Gurida yang memiliki kerja sama
luar biasa. Mereka mampu saling dukung dalam serangan dan saling melindungi
ketika diserang. Pertarungan pun berlangsung menarik dan sengit.
Sementara itu, arena
pertarungan lain, tampak Melati tengah terlibat pertarungan sengit, pula.
Meskipun pertarungan mereka tidak sesengit pertarungan antara Dewa Arak dan
kedua orang lawannya.
Dalam penggunaan ilmu 'Cakar
Naga Merah'nya, Melati berusaha keras mendesak lawannya. Sepasang tangannya
yang berbentuk cakar, dan kakinya yang sesekali melancarkan serangan tak
terduga-duga, memaksa Pergola berjuang keras agar tidak bisa ditaklukkan lawan.
Ki Tanjak Gara, Ki Rajung, dan
Wiratmaja menyaksikan jalannya pertarungan dengan penuh minat. Sepasang mata
mereka berganti-ganti mengawasi pertarungan. Kadang melihat ke arah pertarungan
Dewa Arak, dan terkadang menyaksikan pula pertarungan Melati. Tapi mata mereka
lebih terpaku pada pertarungan Dewa Arak.
Memang, pertarungan yang
terjadi antara Dewa Arak dan dua orang lawannya benar-benar luar biasa menarik.
Dan seru! Kerja sama yang rapi dari lawannya, membuat pertarungan berjalan
alot. Dewa Arak harus mengerahkan seluruh kemampuannya kalau tidak mau digilas
lawan.
Kerja sama antara Gurida dan
Sanca Kala benarbenar luar biasa. Mereka mampu saling melindungi jika mengalami
desakan. Sebaliknya dalam penyerangan, mereka bisa saling memperkuat. Di dalam
pandangan mata mereka berdua. Tapi dalam kenyataan mereka seperti dikendalikan
oleh satu pikiran. Mereka bekerja sama demikian kompak! Diam-diam tiga orang
kakek sakti, yang tengah tergolek tak berdaya harus mengakui, kalau diri mereka
tidak akan mampu menghadapi pengeroyokan Gurida dan Sanca Kala.
Dewa Arak dipaksa bekerja
keras untuk menghadapi kedua musuhnya. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya
merupakan satu kesatuan yang saling tunjangmenunjang untuk menahan setiap
serangan lawan. Sebaliknya, dapat pula menggilas habis setiap pertahanan lawan.
Karena tokoh-tokoh yang
bertarung memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi, maka pertarungan pun
berlangsung cepat. Tak terasa pertarungan mereka sudah hampir mencapai seratus
jurus. Tapi, serama itu belum nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai
pemenang. Pertarungan mereka tetap berlangsung imbang.
Menginjak jurus ke seratus, di
benak Dewa Arak timbul sebuah dugaan. Selama lawannya masih bersamasama akan
sulit untuk dirobohkan. Satu-satunya jalan harus memisahkan mereka berdua.
Setelah mengambil keputusan
demikian, Dewa Arak memutar otak. Siapa di antara kedua orang itu yang harus
dirobohkannya? Setelah menimbang-nimbang, ia memilih Sanca Kala. Posisi Sanca
Kala, lebih mudah untuk didesak daripada posisi Gurida yang selalu berada di
bawah.
Segera Dewa Arak mempraktekkan
keputusannya, ketika Gurida melancarkan tendangan bertubi-tubi ke arah perut
dan dada dari arah bawah. Dan, Sanca Kala menusukkan goloknya dari atas ke arah
dada lawan.
Dewa Arak langsung menotolkan
kakinya, sehingga tubuhnya melenting ke atas. Arahnya menyerong ke belakang,
sehingga kedua serangan lawan mengenai tempat kosong.
Di saat itulah, dengan
keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', tubuhnya berputar beberapa kali di udara,
dan gucinya diayunkan ke arah kepala Sanca Kala. Kontan lawan menjadi terkejut
dengan serangan yang tidak diduganya
sama sekali.
Dengan agak gugup, dipapaknya
serangan guci itu dengan goloknya.
Klanggg...! Saat itulah Dewa
Arak menghentakkan tangan kirinya, melancarkan serangan dengan jurus 'Pukulan
Belalang'.
Wusss...!
Deru angin keras berhawa panas
menyengat meluruk ke arah Sanca Kala. Dia terperanjat dan berusaha semampu
mungkin mengelak. Tapi, kedudukan tubuhnya yang tengah berada di udara,
menyulitkannya. Maka....
Bresss !
Tubuh Sanca Kala kontan
melayang ke belakang disertai jerit kesakitan. Dia tewas seketika sebelum
tubuhnya jatuh berdebuk di tanah dengan tubuh menghitam dan hangus! Bau sangit
daging yang terbakar pun tercium.
Gurida meraung keras melihat
kematian rekannya. Segera ia menggulingkan tubuh dan memburu Dewa Arak yang
akan mendarat. Begitu kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, kaki Gurida
meluncur ke arah pusar lawan.
Tapi Dewa Arak sudah
memperhitungkan hal itu la segera menggerakkan tangan kirinya.
Tappp. !
Kaki Gurida tercekal tangan
Dewa Arak. Lalu, diputar beberapa saat lamanya. Kemudian ia melemparkan tubuh
itu dengan keras.
Wuttt... Crokkk. !
Kepala Gurida kontan hancur
berantakan ketika membentur pohon besar. Darah pun menyembur bercampur otak
dari batok kepalanya yang pecah.
Hati Pergola terguncang bukan
kepalang. Meskipun tidak melihat kematian rekannya. Tapi dari suara lolong
mereka, dia tahu apa yang telah terjadi. Padahal, saat itu keadaannya tengah
terdesak hebat.
"Haaat !"
Melati berteriak keras. Tangan
kanannya disampokkan ke arah pelipis Pergola. Namun, meskipun agak gugup,
laki-laki bertubuh pendek kekar itu berhasil mengelak dengan membungkukkan
badan.
Tapi benar-benar tidak diduga
oleh Pergola. Kalau serangan intinya adalah tangan kiri. Maka, tangan itu pun
meluncur cepat menyampok ke arah pelipis. Dan....
Prokkk. ! Tanpa sempat
melolong lagi, tubuh Pergola ambruk ditanah. Dia tewas seketika dengan tulang
pelipis hancur.
Melati menatap ke arah Arya
yang tengah menatapnya. Kemudian sepasang muda-mudi ini saling melempar senyum.
Sementara itu, Ki Rajung, Ki
Tanjak Gara, dan Wiratmaja pun tersenyum lega melihat ketiga lawan tangguh itu
berhasil dibinasakan Dewa Arak dan Melati.
Waktu terus berlalu. Matahari
naik semakin tinggi. Namun, sekelompok awan yang berarak menutupinya, sehingga
keadaan di situ tidak terasa panas. Alam
tampaknya menyambut kemenangan pasangan pendekar muda itu.
SELESAI