SATU
Pergiwa memandang saudara-saudaranya dengan tajam, seolah ingin memastikan semangat mereka yang telah bulat. Padahal dia sendiri merasa tidak yakin apakah mampu melakukannya.
“Apakah kau tidak mau ikut Pergiwa?” tanya Somantri saudara tertua mereka.
“Kenapa tidak? Seperti juga kalian, aku pun sangat mendendam kepada Pendekar Pulau Neraka yang telah membunuh ayah kita. Tapi dengan kemampuan kita seperti sekarang ini, aku tidak yakin kita dapat mengalahkannya....”
“Hm, jadi kau menunggu apa lagi? Harus berapa tahun lagi kita berguru agar bisa membalas sakit hati orangtua kita?” tanya Bagira dengan nada tak senang.
Pergiwa memandang saudara nomor duanya itu sekilas. Bagira memang berangasan dan selalu tidak pernah sabar kalau mempunyai keinginan. Apalagi hal ini menyangkut soal dendam kesumat mereka bersama.
“Aku mempunyai peta....”
“Aaah! Selalu itu yang kau bicarakan! Apa kau pikir dengan peta mainanmu itu kau berangan-angan akan memperoleh harta karun yang merupakan kitab ilmu silat peninggalan tokoh sakti!” potong Bagira kesal.
“Kenapa kalian selalu tidak pernah percaya...?” tanya Pergiwa sedikit kesal mendengar cemoohan saudaranya itu.
“Apa kau pikir kami bisa mempercayai begitu saja keteranganmu itu? Sudahlah, Pergiwa. Jangan terlalu banyak berangan-angan! Peta yang kau peroleh itu hanya buatan orang iseng belaka!” sahut Bagira semakin jengkel saja dengan sikap adiknya itu.
“Benar, Pergiwa. Kalau memang peta yang kau temukan itu benar, tidak mungkin pengemis tua itu mau memberikannya begitu saja padamu. Apa dia tidak bernafsu untuk mempelajari warisan tokoh sakti yang dikatakannya sangat hebat itu?” sahut Somantri mendukung pendapat Bagira.
Pergiwa terdiam sambil menghela napas pendek. Kemudian melirik pada adiknya, Palguna.
“Apakah kau pun tak mempercayai kata-kataku, Palguna?” tanyanya pelan. Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu memandang abangnya sekilas, kemudian mengangkat bahunya.
“Aku sependapat dengan Kakang Somantri dan Kakang Bagira. Kalau memang peta itu sangat berharga dan merupakan petunjuk tempat di mana bersemayamnya tokoh sakti yang konon katanya telah berusia ratusan tahun dan meninggalkan kitab ilmu silat yang sangat dahsyat, tentu pengemis tua itu tak akan memberikannya begitu saja dan sebagai imbalan sepiring nasi yang kau berikan padanya...,” sahut Palguna.
“Nah, sekarang bagaimana sikapmu? Kau mau ikut atau tidak?!” tanya Bagira menegaskan.
Pergiwa berpikir beberapa saat lamanya. “Tidak usah terlalu banyak berpikir. Persoalannya sudah jelas, dan jawabannya pun mudah. Kau mau ikut atau tidak?!” kembali Bagira mengulangi pertanyaannya dengan nada sedikit jengkel.
“Dendam orangtua kita adalah dendam kita bersama. Kenapa aku musti tidak ikut? Kalau memang keputusan kalian telah bulat, apa boleh buat!” sahut Pergiwa.
“Seharusnya kau mengatakannya dari tadi dan jangan berbelit-belit. Dengan begitu urusan akan cepat selesai!” dengus Bagira sambil bersungut-sungut kesal.
“Sudah! Sudah! Tidak perlu bertengkar segala untuk urusan ini,” kata Somantri menengahi.
“Apa yang harus kita kerjakan sekarang?” tanya Pergiwa.
Somantri memandang ke arah Palguna dengan tajam.
“Apa yang kau peroleh, Palguna?” tanyanya.
“Menurut apa yang kudengar, Pendekar Pulau Neraka saat ini sedang berada dalam perjalanan menuju ke timur. Jika kita perkirakan dari Desa Gedong tempat yang dia lalui, maka kini dia menuju..., Desa Kayutiga!” sahut Palguna.
“Bagus! Berarti kita akan menunggunya di sana!” sahut Somantri sambil bangkit berdiri dan mencabut golok yang terselip di dinding ruangan itu.
Saudara-saudaranya yang lain pun mengikuti hal yang sama. Kini di pinggang mereka masing-masing terselip sebuah golok yang sangat tajam. Keempat orang itu berdiri sejenak di pekarangan rumahnya ketika seorang laki-laki tua bertubuh kurus dengan wajah penuh keriput, menghampiri mereka dengan wajah sedih.
“Apakah Aden tetap bersikeras untuk menantang Pendekar Pulau Neraka?” tanya orang tua itu.
“Benar, Paman Sampuro. Kalau terjadi apa-apa terhadap kami, harap Paman sudi menjaga dan memelihara rumah ini sebagaimana mestinya,” sahut Somantri.
Orang tua yang dipanggil Paman Sampuro itu memandang keempatnya dengan harapan mereka mengurungkan niatnya itu. Namun setelah bicara begitu, Somantri lalu mengajak adik-adiknya berlalu dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Ki Sampuro hanya bisa memandang kepergian mereka dengan wajah murung. Perlahan-lahan dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang.
“Dasar anak-anak keras kepala. Kenapa sifat mereka menuruni adat ayahnya yang keras kepala dan merasa dirinya hebat itu...?” gumam Ki Sampuro sambil melangkah masuk ke dalam rumah yang kini terasa lengang dan sepi itu.
***
Desa Kayutiga terletak dalam wilayah Kadipaten Bumiagung yang terkenal ramai dan banyak dikunjungi orang dari berbagai tempat. Setelah melewati desa itu, barulah mereka akan tiba dikadipaten. Sehingga sebagai suatu daerah yang merupakan jalan pintas menuju kadipaten, jelas bahwa Desa Kayutiga termasuk wilayah yang terus berkembang dan ramainya tak kalah dengan di kadipaten sendiri.
Hari belum lagi terlalu siang ketika pemuda berwajah tampan berambut gondrong dan memakai baju terbuat dari kulit harimau itu tiba di mulut desa. Pemuda itu tak lain dari.Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka. Dia memandang berkeliling dan menghentikan kudanya di muka sebuah kedai yang terlihat ramai dikunjungi orang. Setelah menambatkan kudanya di depan, Bayu melangkah masuk perlahan-lahan.
Beberapa orang memandangnya sekilas, kemudian kembali melanjutkan santapannya. Bayu melangkah menuju ke sebuah meja yang kosong.
“Pelayan, tolong sediakan sepiring nasi beserta lauk-pauknya...!” katanya pada seorang pelayan yang mendekatinya.
Pelayan itu cepat mengangguk dan segera berlalu untuk menyediakan pesanan Bayu. Pendekar Pulau Neraka memandang ke sekeliling ruangan dan mengamati pengunjung yang berada di tempat itu sekilas sambil menunggu pesanannya tiba.
Di pojok ruangan terlihat dua orang laki-laki yang memiliki penampilan sangat berbeda sekali. Yang seorang memiliki wajah galak dengan berewok lebat, serta mengenakan baju warna merah menyala. Tangan kirinya yang menggenggam sebatang pedang yang warangkanya terukir indah. Yang seorang lagi memiliki wajah bersih dan berkesan terpelajar, serta memakai baju berwarna putih dan rapi. Tangan kanannya yang menggenggam sebatang pedang, diletakkan di atas meja.
Seperti pedang yang dimiliki oleh si berewok tadi, pedang miliknya pun memiliki warangka yang indah berwarna keperakan. Kedua orang itu sejak tadi memandang Pendekar Pulau Neraka dengan seksama.
“Hm, kenapa mereka memandangku begitu rupa...?” gumam Bayu dalam hati sambil memalingkan wajah dan tidak mempedulikan mereka.
Dia bukannya tidak mengetahui bahwa sejak tadi mereka memperhatikannya terus. Si berewok tampak memperlihatkan sorot mata dendam dan amarah, sedangkan kawannya yang berbaju putih tampak lebih tenang. Seolah-olah sinar matanya tidak menafsirkan apa-apa.
Sehingga hal itu membuat Bayu terus bertanya-tanya di hati. Namun karena dia tidak ingin membuat persoalan dengan mereka, maka pemuda itu lebih baik memilih diam dan tidak mempedulikan mereka. Hingga ketika pesanannya tiba dia mulai melahapnya, tidak ada reaksi dari kedua orang itu. Bayu melirik mereka sekilas, dan kedua orang itu agaknya masih tetap mengawasinya tanpa berbuat apa-apa.
Setelah selesai makan dan membayar harga makanannya pada pemilik kedai itu, Bayu bangkit dan segera berlalu. Dia menoleh sekilas. Dugaannya ternyata benar, kedua orang itu pun bangkit dan mengikutinya dari belakang.
“Biarlah aku sengaja memperlambat lari kudaku. Mungkin ada yang ingin mereka selesaikan padaku...,” pikir Bayu.
Maka tidak heran jika Bayu akhirnya secara sengaja memperlambat lari kudanya hingga mereka tiba di pinggir desa. Di sebuah tempat yang sepi, dua orang yang mengejarnya dengan menunggang kuda itu mulai memperlihatkan gejala niat mereka. Keduanya memacu kudanya dengan kencang hingga melewati Bayu dan berhenti persis di depannya.
“Kisanak, berhentilah kau...!” bentak si berewok dengan wajah garang.
Dengan sikap tenang Bayu menghentikan lari kudanya, kemudian memandang keduanya dengan wajah heran.
“Kisanak, siapakah kalian berdua ini dan ada keperluan apa mencegat perjalananku?” tanya Bayu sopan.
“Cuiiih! Tidak usah banyak mulut segala kau, keparat! Cabutlah senjatamu! Hari ini kita selesaikan segala hutang-piutang nyawa!” sentak si berewok garang dengan mata melotot lebar.
“Kebo Genggong, sabarlah kau sedikit! Kendalikanlah amarahmu itu...!” kata kawannya yang berbaju putih dengan suara pelan.
“Kala Kembara, kenapa kau ini? Sudah jelas kita telah bertemu dengan si keparat itu. Untuk apa berbaik-baik segala?!” sahut si berewok yang dipanggil Kebo Genggong itu geram.
Namun kawannya yang bernama Kala Kembara itu tidak mempedulikan. Dia turun dari punggung kudanya dan melangkah mendekati Bayu.
“Kisanak, kaukah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka?” tanyanya dengan nada perlahan dan sikap sopan.
“Benar. Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu?” sahut Bayu.
“Ya....”
“Apa itu?”
“Kami menginginkan jiwamu itu!” sahut Kala Kembara dingin.
Bayu tidak begitu terkejut mendengar jawaban itu. Melalui sikap Kebo Genggong yang berangasan dia sudah menduga maksud mereka terhadapnya.
“Hm, itu suatu hal yang berat, sobat. Mungkin aku tidak bisa membantumu....”
“Kalau demikian maka kami terpaksa memaksanya!”
“Maaf, kalian menginginkan sesuatu yang tidak bisa kuberikan, dan aku berhak mempertahankannya,“ sahut Bayu sambil melompat turun dari punggung kudanya.
Bayu melangkah mendekati laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu sehingga jarak mereka hanya terpaut tiga langkah lagi.
“Kisanak, cabutlah senjatamu dan pertahankanlah jiwamu...!” kata Kala Kembara dengan sorot mata tajam.
“Ayo, cepaaat..!” bentak Kebo Genggong yang agaknya sudah tidak sabar mendengar debat omongan itu dari tadi.
Bayu hanya tersenyum tipis. “Kisanak, setiap orang punya alasan menginginkan sesuatu. Maka kalian pun tentu demikian. Apakah alasannya sehingga kalian menginginkan jiwaku ini?”
“Keparat...!” setelah membunuh saudara seperguruan kami apa kau pikir bisa lolos begitu saja dari sini? Huh, orang-orang boleh takut padamu tapi jangan coba-coba terhadap kami...!”
Setelah berkata begitu Kebo Genggong langsung menyerang Pendekar Pulau Neraka. Amarahnya yang meluap-luap sejak tadi agaknya tidak tertahan lagi, sehingga dengan garang dia mengeluarkan segenap kemampuannya untuk menghabisi lawan secepatnya.
“Yeaaah...!”
***
Wut!
Plak!
“Hiiih!”
Kepalan tangan Kebo Genggong menghantam ke arah wajah Pendekar Pulau Neraka. Bayu memiringkan kepalanya sehingga serangan lawan lewat beberapa jengkal dari wajahnya. Namun kepalan tangan Kebo Genggong langsung menyapu ke pangkal leher dan membuat pemuda itu harus mundur ke belakang sambil merendahkan kepalanya. Bersamaan dengan itu tangan kirinya menangkis, namun dengan ganas Kebo Genggong mengayunkan satu tendangan berat ke perut Pendekar Pulau Neraka.
“Uts...!”
“Yeaaah...!”
Tubuh Pendekar Pulau Neraka bergerak miring ke kanan untuk berkelit dari serangan lawan, untuk kemudian melenting menjauhi Kebo Genggong. Namun pada saat itu juga Kala Kembara membentak nyaring sambil melompat menyerangnya.
“Maaf, Sobat. Kami terbiasa untuk maju berdua. Yeaaah...!”
Bayu tidak menyangka akan hal itu sehingga keadaannya tidak begitu menguntungkan. Dengan terpaksa dia menangkis serangan lawannya.
Plak!
Wuk!
“Uhhh...!”
Tap! Tap!
Ketika Kala Kembara mengayunkan kepalan tangannya yang berisi tenaga dalam penuh dan menghantam ke arah dada, mau tak mau Pendekar Pulau Neraka terpaksa menangkis dengan tenaganya kalau tidak mau celaka dia. Namun pada saat itu keadaan Pendekar Pulau Neraka tengah mengapung di udara dan dia pun tidak mengira bahwa Kala Kembara akan menyerangnya selagi dia belum siap.
Tidak heran maka dia mengeluh kesakitan ketika kedua tangan mereka berbenturan. Meskipun begitu Pendekar Pulau Neraka masih sempat menekuk kedua kaki dan kepalanya untuk menghindari serangan susulan berupa tendangan keras ke arah atas dan bagian bawah tubuhnya.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, saat itu juga tubuhnya kembali melenting setinggi dua tombak ke arah batang pohon di dekatnya untuk menghindari sapuan tendangan menyilang yang dilakukan Kala Kembara. Melihat kesempatan itu, Kebo Genggong tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Tubuhnya langsung melompat menyerang sambil mengerahkan tenaga dalamnya kuat-kuat
“Yeaaah...!”
Tap!
“Huuup...!”
Bayu sudah menduga keadaan itu maka dia segera membuat taktik. Begitu Kebo Genggong dan Kala Kembara melompat bersamaan, saat itu juga kedua kakinya menotok di batang pohon. Menggunakan tenaga lompatan itu tubuhnya berputar ke arah lawan sambil mengayunkan tendangan keras.
Des! Des!
“Aaakh...!”
Kedua orang itu terjungkal sambil terhuyung-huyung kesakitan. Mereka berusaha bangkit sambil mendekap dadanya yang terkena tendangan keras. Kebo Genggong yang berangasan sudah langsung mengamuk.
Sringngng!
“Keparat! Mampuslah kau! Yeaaah...!”
Bettt! Bettt!
Merasa tidak unggul menggunakan tangan kosong, Kebo Genggong langsung mencabut pedangnya dan mengeluarkan jurus pedang yang sangat diandalkannya untuk secepatnya menghabisi lawannya. Pendekar Pulau Neraka cepat menguasai keadaan. Tubuhnya bergerak lincah ke sana kemari menghindari sambaran pedang Kebo Genggong. Namun hal itu tidak lagi bisa diandalkan ketika Kala Kembara pun mulai mendesaknya dengan jurus-jurus pedangnya.
“Pendekar Pulau Neraka, keluarkanlah senjatamu! Kalau tidak kau akan mati sia-sia!” bentak Kala Kembara mulai kesal karena lawan belum juga mau mengeluarkan senjatanya.
Hal itu tentu saja sangat meremehkan mereka. Tapi Kebo Genggong mana mau mengerti hal itu. Lawan menggunakan senjata atau tidak dalam menghadapinya, tidak menjadi alasan baginya untuk merasa sungkan.
“Mampuslah kau...!” desisnya geram ketika ujung pedangnya menyambar bagian bawah tubuh lawan.
Pendekar Pulau Neraka melipat kedua kakinya dalam keadaan memiringkan tubuh karena pada saat yang bersamaan, Kala Kembara membabat bahu kirinya.
Bet!
Wuk!
“Uhhh...!”
Pendekar Pulau Neraka menghela napas pendek sambil mengeluh pelan. Paduan ilmu pedang kedua lawannya tidak bisa dianggap enteng. Mereka betul-betul hebat. Dan lebih dari itu, keduanya bersungguh-sungguh untuk mencabut nyawanya. Sudah barang tentu dia tidak bisa membiarkan hal itu berlangsung terus.
“Kisanak, aku peringatkan kalian! Bukankah sebaiknya pertarungan ini dihentikan saja?”
“Keparat! Seenaknya saja kau bicara setelah membunuh saudara seperguruan kami. Huh, kalau kau belum mampus kami tidak akan pernah hidup tenang!” geram Kebo Genggong.
“Bagaimana denganmu, Kala Kembara?”
“Tidak usah banyak bicara! Pertahankan saja jiwamu itu...!” sahut Kala Kembara tidak mempedulikan tawaran Bayu.
“Banyak orang yang telah terbunuh di tanganku, dan sebagai manusia tentu saja aku bisa salah membunuh. Tapi kebanyakan dari mereka jelas-jelas menyimpang dan merugikan banyak orang. Aku telah memperingatkannya sebelum akhirnya membunuh orang itu. Dan hal itu pun kulakukan pada kalian.”
“Setan! Apa kau pikir dirimu itu malaikat yang mampu mencabut nyawa manusia seenakmu sendiri?! Heh, kau tidak perlu berkotbah di depanku. Setinggi apa pun kepandaian yang kau miliki itu, jangan harap kami akan takut!” geram Kebo Genggong semakin garang.
Setelah berkata demikian kembali dia menyerang lawan dengan ganas. Demikian pula halnya dengan Kala Kembara. Meskipun dia tidak banyak bicara, namun dari caranya menyerang yang bukan main ganasnya, Bayu bisa menyimpulkan bahwa Kala Kembara pun memiliki dendam yang sama dengan Kebo Genggong. Dia menghela napas pendek, namun tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegah tindakan mereka.
Kedua orang itu memiliki ilmu pedang yang hebat Apalagi saat mereka menyerang secara bersamaan. Dan Pendekar Pulau Neraka bukannya tidak menyadari hal itu. Kalau dia terus berusaha mengelak dan menghadapi mereka dengan tangan kosong maka kemungkinan terluka atau tewas di tangan mereka besar sekali. Maka....
“Yeaaah...!”
Singngng!
“Heh?!”
Takkk! Takkk!
Karena tidak mempunyai pilihan lain terpaksa Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya. Maka Cakra Maut di tangan kanannya meluncur dengan cepat bagai kilat menyambar-nyambar tubuh lawan. Kebo Genggong dan Kala Kembara tersentak kaget ketika mereka melihat benda berbentuk segi enam meluncur deras menghantam pedang di tangan mereka hingga patah menjadi dua bagian. Dan....
Desss! Desss!
“Aaakh...!”
Bersamaan dengan itu pula satu tendangan keras yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka membuat keduanya terjungkal sambil memuntahkan darah segar. Keduanya berusaha untuk bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang nyeri. Sementara itu Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak memperhatikan mereka dengan Cakra Maut di tangan kanannya siap untuk dilontarkan.
“Bunuhlah kami! Ayo, bunuhlah kami...!” teriak Kebo Genggong gemas karena lawannya tidak juga bergerak untuk menghabisi nyawa mereka.
“Apalagi yang kau tunggu, Pendekar Pulau Neraka? Bunuhlah kami! Kau pikir kami seorang pengecut?!” timpal Kala Kembara sambil mendengus geram.
Bayu diam membisu dan tidak menyahut sepatah kata pun.
“Keparat! Kau pikir bisa menakut-nakuti dengan sikapmu itu? Huh, Yeaaah...!”
Singngng!
Cras!
“Hokh...!”
“Kebo Genggong...!”
***
DUA
Kejadian itu cepat sekali berlangsung. Dengan amarah yang meluap-luap, Kebo Genggong mengerahkan sisa-sisa tenaganya yang masih ada kemudian dengan nekat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Tubuh Bayu berkelebat bagai kilat sambil melontarkan Cakra Maut ke tubuh Kebo Genggong. Yang terlihat kemudian adalah tubuh Kebo Genggong yang ambruk ke bumi dengan dada berlubang bermandikan darah.
Kala Kembara tersentak kaget dan buru-buru mendapati saudara seperguruannya itu sambil menjerit keras memanggil namanya. Namun Kebo Genggong tidak bisa diselamatkan lagi, nyawanya telah lepas melayang.
“Pendekar Pulau Neraka, aku akan mengadu jiwa denganmu...!” geram Kala Kembara sambil berpaling.
Namun Pendekar Pulau Neraka telah lenyap dari tempat itu bersama kuda tunggangannya. Hal itu membuat Kala Kembara semakin geram saja.
“Ke mana pun kau akan kucari! Aku akan membuat perhitungan denganmu...!” teriaknya dengan suara menggelegar.
Setelah itu terlihat perlahan-lahan Kala Kembara mengangkat tubuh Kebo Genggong yang telah menjadi mayat dan membawanya pergi dari tempat itu sambil menuntun kuda Kebo Genggong. Sementara itu Pendekar Pulau Neraka langsung melompat ke punggung kudanya dan melesat cepat dari tempat itu sambil menyarungkan kembali Cakra Mautnya.
Hal itu memang sengaja dilakukannya untuk menghindari bertambahnya korban. Sebab dia tidak yakin, bila tetap berada di tempat itu Kala Kembara pasti tetap akan berusaha untuk membunuhnya meski menyadari bahwa keadaannya tidak memungkinkan. Hal itu terbukti dengan Kebo Genggong tadi. Apalagi setelah kematian saudara seperguruannya itu.
Sudah pasti Kala Kembara tetap bersikeras hati hendak mengadu jiwa. Maka selagi dia sadar, Bayu langsung saja meninggalkan tempat itu. Pemuda itu kini telah berada di perbatasan desa Kayutiga. Setelah merasa yakin bahwa Kala Kembara tidak mungkin menyusulnya, dia segera memperlambat lari kudanya. Namun justru pada saat itu melesat empat sosok tubuh di hadapannya. Sikap mereka menunjukkan tidak bersahabat. Itu terlihat dari sorot mata mereka yang garang.
“Kaukah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka?” tanya salah seorang dari mereka yang bertubuh sedang dengan nada dingin.
“Benar. Siapakah kalian dan ada keperluan apa menghadang perjalananku?” sahut Bayu dengan ramah.
“Masih ingatkah kau dengan seseorang yang telah kau bunuh sepuluh bulan yang lalu?”
“Kisanak, aku tidak mungkir banyak orang yang terbunuh di tanganku. Tapi aku tidak punya waktu untuk mengingat-ingat satu persatu nama dan wajah mereka....”
“Keparat! Kau telah membunuh ayah kami, tahu!” dengus orang yang berada di belakang laki-laki yang pertama bicara tadi.
Wajah orang itu tampak keras dan matanya melotot garang. Jelas dia seorang yang berangasan dan tidak sabaran dengan kata-kata itu.
“Aku tidak tahu telah membunuh ayah kalian, yang ku tahu kebanyakan dari mereka yang kubunuh adalah orang-orang yang membuat kekacauan dan tindakannya merugikan orang banyak. Itu pun karena mereka memaksaku untuk bertindak keras. Sebaiknya kalian berpikir tenang dan coba renungkan apakah ayah kalian orang baik-baik atau memang tindakannya selalu meresahkan orang banyak,” sahut Bayu dengan tenang.
“Kau tidak perlu menggurui kami! Apa pun yang diperbuatnya, itu bukan urusanmu. Urusanmu hari ini adalah mempertanggungjawabkan perbuatanmu itu. Kau harus mati, Pendekar Pulau Neraka!” sentak laki-laki berwajah garang itu.
“Tidakkah kalian bisa berpikir lebih tenang dan menilai sesuatu dengan benar? Jangan menuruti hawa nafsu. Dan lebih dari itu aku sedang tidak bersemangat untuk berkelahi. Maafkan aku, Sobat”
Setelah berkata begitu, Bayu bermaksud menghela kudanya, namun laki-laki berwajah garang itu sudah langsung melompat ke hadapannya sambil mencabut golok dan menebas leher kuda tunggangannya.
“Kau pikir bisa menghindar seenaknya saja? Mampuslah kau. “Hiiih...!”
“Heee...!”
Takkk!
Begitu golok di tangannya berkelebat, saat itu juga kuda tunggangan Bayu meringkik keras sambil menaikkan kedua kaki depannya ke atas. Laki-laki itu tersentak kaget. Dia bermaksud menarik pulang serangannya, namun sebelah kaki kuda itu lebih cepat menghantam pergelangan tangannya.
“Aaakh...!”
“Bagira...! Kau tidak apa-apa?” laki-laki pertama buru-buru menghampiri saudaranya itu dan memeriksa pergelangan tangannya yang patah akibat hantaman kaki kuda tunggangan Pendekar Pulau Neraka.
“Tanganku...! Tanganku...!” laki-laki yang dipanggil Bagira itu mengeluh kesakitan sambil menunjukkan pergelangan tangan kanannya yang membiru.
“Kurang ajar! Pendekar Pulau Neraka, kau harus membayar semua ini. Yeaaah...!” sambil membentak nyaring, laki-laki itu mencabut golok yang terselip di pinggangnya dan langsung melompat menyerang lawan.
Perbuatan itu diikuti oleh kedua orang saudaranya. Sehingga tampak Bayu dikeroyok tiga orang dalam waktu yang bersamaan.
***
Bayu mendesah kecil sambil menggeleng lemah. Dia tidak punya pilihan selain menghadapi lawan-lawannya itu. Mereka tampak begitu bernafsu sekali untuk membinasakannya. Dengan menepuk pantat kuda tunggangannya sehingga hewan itu melompat ke depan, tubuh Pendekar Pulau Neraka bersalto di udara sekaligus menghindari tebasan golok-golok lawan.
“Hup!”
Bettt! Bettt!
Namun baru saja Pendekar Pulau Neraka luput dari serangan pertama, maka serangan berikutnya telah kembali menyambar leher, dada, dan bagian perutnya. Bayu tersentak untuk sesaat, namun dengan lincah dia berkelit dengan tubuh meliuk-liuk bagai orang yang sedang menari.
Wuttt!
Plakkk!
“Uts...!”
Saat tubuhnya melompat ke atas untuk menghindari dua tebasan senjata lawan, Pendekar Pulau Neraka menjauh ke belakang. Baru saja kedua kakinya menjejak ke tanah, satu tusukan maut menyambar jantungnya. Pemuda itu mengelak ke kanan sambil menghantam pergelangan tangan lawan dengan tangan kirinya.
“Yeaaah...!”
Tap!
Rrrt...!
“Kakang Somantri, jangaaan...!”
Pada saat yang bersamaan, seorang lawan yang lain melompat dengan senjata terhunus ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dengan cepat pemuda itu menangkap pergelangan tangan lawan di dekatnya dan menariknya keras sambil menekuk tangannya.
Golok dalam genggaman lawan terlepas dan tubuhnya menjadi tameng dari serangan lawan yang satunya lagi. Laki-laki itu berteriak keras dengan wajah pucat pasi. Namun gerakan yang dilakukan saudaranya sedemikian cepatnya dan tidak mampu lagi untuk ditarik kembali. Akibatnya....
Blesss...!
“Aaa...!”
“Palguna...! Palguna...!”
Tidak ampun lagi golok di tangan lawan menembus ke jantung saudaranya yang dijadikan tameng oleh Pendekar Pulau Neraka. Saudaranya itu memekik kesakitan. Bayu melepaskannya, dan laki-laki yang bernama Somantri itu tersentak kaget dengan wajah tidak percaya bahwa dia telah membunuh adiknya sendiri.
Sambil mencabut goloknya dia menubruk tubuh adiknya yang bermandikan darah sambil memanggil-manggil namanya berkali-kali.
“Kurang ajar! Kau harus menebus nyawa adikku, Keparat! Yeaaa...!” Bagira menerjang Pendekar Pulau Neraka sambil mengayunkan golok di tangan kirinya.
Bersamaan dengan itu, kedua saudaranya yang lain langsung bangkit dan ikut menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan serangan yang gencar dan membabi buta. Meski serangan-serangan mereka hebat dan bertenaga kuat, namun terlihat bahwa Pendekar Pulau Neraka dengan mudah dapat mengelak. Hal itu karena mereka tidak lagi memperhatikan sasarannya serta taktik yang jitu, sehingga berkesan bahwa serangan yang mereka lakukan asal pukul saja.
“Hup!”
Tubuh Pendekar Pulau Neraka meliuk ke samping ketika ayunan golok Somantri menebas kepalanya dari atas ke bawah. Tubuhnya langsung melompat ke depan ketika Bagira membabat pinggangnya. Pada saat yang bersamaan, seorang lawannya yang lain menghunuskan golok ke arah jantung.
Desss!
Crasss!
“Aaakh...!”
“Bagira...!” kembali Somantri menjerit kaget ketika melihat salah seorang adiknya memekik kesakitan sambil mendekap perutnya yang robek.
“Kakang Bagira, kau..., kau...!” sentak saudaranya yang lain dengan wajah pucat.
“Pergiwa, apa yang kau lakukan...?!” bentak Somantri dengan amarah yang meluap-luap kepada adiknya yang tinggal seorang itu.
“Aku..., aku...,” ucap Pergiwa tergagap sambil menyesali dirinya atas apa yang telah terjadi pada saudaranya itu.
Apa yang menimpa Bagira memang bukan kesalahan Pergiwa. Ketika mengayunkan golok ke arah lawan, saat itu juga tubuh Pendekar Pulau Neraka mencelat ke atas sambil bersalto beberapa kali. Sebelah kakinya dengan keras menendang punggung Bagira yang berada di hadapannya. Tubuh Bagira terdorong ke depan dan langsung disambut golok adiknya itu tanpa bisa dielakkan lagi.
“Ini semua gara-garamu...! Kau harus mampus di tanganku, Bangsat! Kau harus mampusss...!
Yeaaah...!” teriak Pergiwa nyaring. Seperti orang kesurupan dia mengamuk sejadi-jadinya menyerang Pendekar Pulau Neraka. Namun dengan sikap tenang Bayu mengelakkan serangan-serangan itu dengan mudah. Sementara itu Somantri mendengus geram. Sambil meludah ke tanah, dia mendengus geram.
“Puih...! Hari ini kalau tidak aku yang mati maka kau yang akan binasa!” Tubuh Somantri langsung melesat menyerang lawannya kembali dengan gencar. Bayu mengelak ke kanan sambil merendahkan tubuh untuk menghindari sambaran golok Pergiwa. Kaki kirinya menghajar pergelangan tangan Somantri yang tengah menggenggam senjatanya. Namun dengan cepat laki-laki itu merendahkan tangan dan balik menyambar kaki lawannya.
Pendekar Pulau Neraka menekuk kaki kirinya dan menyambar pundak lawan dan langsung menariknya dengan sentakan kuat untuk diadukan dengan saudaranya yang saat itu tengah mengayunkan goloknya.
“Hiiih...!”
“Pergiwa, jangan...!” teriak Somantri memperingatkan dengan wajah pucat. Pergiwa tersentak kaget Buru-buru dia menarik serangannya.
Agaknya laki-laki itu kali ini lebih waspada dengan tipu muslihat lawannya. Namun Pendekar Pulau Neraka tidak berhenti sampai di situ. Begitu melihat Pergiwa mengurungkan niatnya untuk mengayunkan golok, secepat itu pula kaki kiri Pendekar Pulau Neraka bergerak menghantam tengkuk dan punggung Somantri dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa.
Duk!
Begkh!
“Aaakh...!”
Blesss!
“Aaa...!”
Tubuh Somantri melesat ke depan sambil menjerit kesakitan. Dadanya langsung menyambar ujung golok yang masih dipegang adiknya.
“Kakang Somantriii...!” bukan main terkejutnya Pergiwa melihat keadaan itu. Dua kali dia dipermainkan lawan yang mengakibatkan kematian dua orang saudaranya di tangannya sendiri. Ujung golok di tangannya sampai menembus punggung belakang Somantri.
Pergiwa memapah tubuh saudaranya itu sambil menangis tersedu-sedu. Masih terlihat wajah Somantri yang terbelalak menahan rasa sakit dan marah sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.
***
“Kuharap ini bisa menjadi pelajaran yang berguna bagimu. Tidak ada gunanya kita menurutkan dendam dan hawa nafsu yang tidak pada tempatnya. Dan sebaiknya kau dapat berpikir lebih jernih lagi...,” kata Pendekar Pulau Neraka menasihati sambil membalikkan tubuh dan melangkah pelan menaiki kudanya.
“Pendekar Pulau Neraka, jangan pergi kau...!” sentak Pergiwa garang.
Bayu memandang ke arah anak muda itu. Dilihatnya Pergiwa berdiri tegak memandangnya dengan sorot mata tajam berbinar-binar penuh kebencian. Di tangannya tergenggam goloknya yang telah berlumuran darah.
“Kisanak, aku peringatkan kau agar tidak lagi terjadi pertumpahan darah di antara kita. Pulanglah kau....”
“Tutup mulutmu! Setelah apa yang kau lakukan terhadap saudara-saudaraku ini, lantas seenaknya saja kau berkata begitu. Hutang nyawa harus dibayar nyawa. Nah turunlah kau, hadapilah aku kalau kau memang jantan!”
“Kisanak, pikirkanlah kata-kataku sebelum kau menyesal. Pulanglah....”
“Keparat! Apa kau pikir aku takut denganmu? Huh, yeaaah...!” geram Pergiwa sambil melompat menerjang lawannya.
Bayu mendesah kecil sambil mengayunkan kaki kanannya memapaki serangan senjata lawan. Begitu sejengkal lagi ujung golok lawan akan menebas kakinya, Pendekar Pulau Neraka memiringkan kakinya sedikit, lalu bagaikan belitan seekor ular, dengan lincah kaki kanannya menghantam pergelangan lawan.
Plak!
Desss!
Golok di tangan Pergiwa terpental dan dia sendiri menjerit kesakitan sambil memegangi tangannya yang membiru. Namun belum lagi dia menyadari apa yang telah terjadi, mendadak ujung kaki Pendekar Pulau Neraka telah menghantam dadanya dengan telak dan membuat tubuhnya terjungkal ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
“Seharusnya kau memang lebih baik menyusul saudara-saudaramu saja. Tapi aku masih berbaik hati dengan kekerasan kepalamu itu. Mudah-mudahan hajaranku tadi bisa membuat kepalamu lebih dingin sehingga otakmu bisa berpikir tenang...,” kata Bayu sambil mendengus pelan.
“Keparat! Aku tidak takut mati! Bunuhlah aku...! Ayo, bunuhlah akuuu.... Hoakh...!”
Pergiwa berteriak-teriak dengan amarah yang meluap-luap dan berusaha bangkit untuk menghajar Bayu. Tapi baru saja melangkah dua tindak, dia menjerit kesakitan sambil memuntahkan darah segar. Tubuhnya tersungkur ke depan sambil menahan rasa nyeri di dadanya. Agaknya tendangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka membuat luka dalam yang cukup parah.
“Kisanak, pulanglah kau dan lupakan segala dendam di hatimu. Jangan paksa aku untuk bertindak keras terhadapmu...,” kata Bayu sambil menaiki kudanya.
“Keparat kau Pendekar Pulau Neraka! Aku tidak akan pernah melupakan peristiwa ini seumur hidupku. Ke mana pun kau berada akan kucari dan dendam ini harus terbayarkan!”
“Kisanak, kau akan termakan oleh dendam mu itu. Hal itu akan lebih menyiksa dirimu sendiri...,” sahut Bayu tenang sambil memacu kudanya berlalu dari tempat itu.
“Kau ingat itu, Pendekar Pulau Neraka! Aku akan mencarimu ke mana pun kau pergi! Kau akan membayar semua ini dengan nyawamu! Kau akan mampus di tanganku...! Kau akan mampus di tangan kuuu...!” Pergiwa kembali berteriak-teriak dengan nada penuh amarah yang meledak-ledak.
Namun kesudahannya dia sendiri yang tersiksa ketika rasa sakit di dadanya semakin hebat dan membuat tubuhnya limbung kemudian ambruk sambil berguling-gulingan. Beberapa kali dia memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Bayu sempat menoleh sekilas dan melihat lawannya itu tergeletak tidak berdaya lagi. Mungkin telah tewas atau juga pingsan. Tapi dia tidak mempedulikannya lagi dan sudah langsung memacu kudanya kencang-kencang untuk segera berlalu dari tempat itu. Ada perasaan sedih di hatinya, karena melakukan itu terhadap mereka. Dia ingin menghindar, namun mereka tidak memberi kesempatan padanya sedikit pun. Terpaksa dia harus mempertahankan diri kalau tidak ingin nyawanya melayang karena mereka begitu kalap serta bermaksud menghabisinya.
Hari telah mulai gelap ketika dia tiba di tepi sebuah hutan. Bayu memutuskan untuk berhenti dan beristirahat di tempat itu. Setelah mengumpulkan ranting-ranting kering yang cukup banyak, pemuda itu mulai membuat api unggun. Hawa dingin mulai merambat turun, dan Bayu mendekatkan dirinya pada nyala api unggun untuk menghangatkan tubuhnya. Sambil menekuk kakinya, dia mendekap kedua lututnya dan menatap kosong ke arah nyala api itu.
“Mudah-mudahan Wulandari saat ini sudah lebih sehat...,” gumamnya perlahan di dalam hati. Keadaan Wulandari memang sudah agak membaik setelah diobati tabib terkenal beberapa minggu yang lalu.
Meskipun belum sehat betul Wulandari bersikeras pergi ke suatu tempat untuk urusan pribadinya. Bayu telah berusaha untuk mencegah kepergiannya tapi Wulandari tetap pada pendiriannya. Dan Bayu bermaksud menemani gadis itu dalam perjalanannya, tapi Wulandari bersikeras menolaknya.
Gadis itu akhirnya memang pergi seorang diri. Tapi mana bisa Bayu membiarkannya begitu saja. Sore harinya Bayu berangkat menyusul gadis itu. Tapi dia tidak tahu ke arah mana gadis itu pergi sehingga sampai detik ini jejaknya belum bisa diketahuinya.
“Hi hi hi...! Kasihan, sungguh kasihan...! Seorang pemuda gagah dan tampan melamun seorang diri di malam yang dingin begini...!”
Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang merdu membelah keheningan malam. Bayu terkejut dan mencari-cari sumber suara itu.
“Heh?!”
***
TIGA
Bayu telah berusaha mencari-cari ke sekeliling, tapi yang terlihat hanya pepohonan dan kegelapan malam. Tidak terlihat sedikit pun sosok tubuh atau siapa pun di tempat ini. Namun Bayu berusaha tenang dan tidak mempedulikannya. Sikapnya seolah-olah tidak mempedulikan kehadiran orang lain di tempatnya.
“Hi hi hi...! Bocah gagah, bocah bagus...!” agaknya kau memiliki keberanian yang hebat. Tidakkah kau merasa takut berada di tempat ini seorang diri? Jangan-jangan nanti kau dicekik kuntilanak yang kelaparan!” kembali terdengar suara tawa nyaring yang merdu.
Bayu tersenyum kecil. Dia mengetahui betul bahwa itu adalah suara seorang wanita. Bahkan dari nada suaranya dia bisa mengetahui bahwa pemilik suara itu adalah seorang wanita muda. Kalaupun dia tidak mempedulikannya itu karena dia memang telah mengetahui di mana wanita itu bersembunyi, dan tidak mau menunjukkan keterkejutannya pada wanita itu.
“Kalau kuntilanak sepertimu, untuk apa aku takut? Kurasa malah setiap laki-laki ingin bertemu dengan kuntilanak sepertimu,” sahut Bayu tenang.
“Hi hi hi...! Belum apa-apa kau sudah membuat aku tertarik, Bocah. Jarang aku bisa tertarik pada orang lain. Kebanyakan dari mereka lari setelah bertemu denganku, sebab aku tidak akan membiarkan mereka melihatku. Aku akan melahap dan mencincang mereka hidup-hidup...!” sahut suara itu dengan nada menakut-nakuti.
“Apakah kau menginginkan aku takut padamu? Kalau benar, baiklah aku memang takut. Tapi jangan kau kira aku akan kabur dari sini. Aku masih merasa enak dan tidak ingin meninggalkan tempat ini!” sahut Bayu seenaknya seperti hendak mengejek orang itu.
“Hi hi hi...!”
Tap!
“Hmmm...!”
Mendadak saja sesosok tubuh telah berdiri dihadapan pemuda itu sambil cekikikan. Bayu menggumam pelan dengan sikap tidak peduli. Dia mendongakkan wajahnya untuk melihat orang itu, dan....
“Heh...!”
“Kenapa? Kau takut melihatku, bukan? Kenapa kau memalingkan mukamu? Aku tahu meskipun kau mengatakan takut padaku tapi sesungguhnya kau hanya mengejek aku dengan menunjukkan bahwa kau tidak takut. Nah, ayo lihatlah aku kalau memang kau berani! Kenapa malah memalingkan wajah?”
Bayu memang segera berpaling, tapi bukan karena takut melainkan jengah. Sesosok tubuh di hadapannya memang seorang wanita muda dan berwajah cantik. Namun penampilannya sungguh seronok sekali. Rambutnya panjang sampai ke lutut dan dibiarkan terurai lepas begitu saja. Tapi bukan itu yang membuat Bayu terpaksa memalingkan muka melainkan karena..., gadis itu sama sekali tidak mengenakan penutup tubuhnya!
“Nisanak, tidakkah kau bisa sedikit lebih sopan dari ini...?” tanya Bayu sambil tetap memalingkan wajahnya.
“Kurang ajar! Apa kau kira kedatanganmu ke sini cukup sopan?!” bentak wanita muda itu dengan suara pedas.
“Maksudku pakailah pakaian yang sopan untuk menutupi bagian tubuhmu yang terlarang itu....”
“Pakaian? Apa itu pakaian? Kulit yang melekat ini adalah pakaian terbaik bagi suku kami!” sahut gadis itu seenaknya.
“Hm, begitukah...? Kalau memang demikian, terserah kau saja,” kata Bayu sambil beranjak dan bermaksud meninggalkan tempat itu.
“Hei, mau ke mana kau?!” sentak gadis itu kesal karena pemuda itu sama sekali tidak mempedulikannya.
“Aku mau pergi...,” sahut Bayu tenang tanpa menoleh.
“Huh, kau pikir bisa pergi dari tempat ini seenakmu saja?!” dengus gadis itu.
“Apa maksudmu? Aku bisa pergi kapan saja aku suka dan tidak seorang pun bisa menghalanginya,” sahut Bayu sambil melompat ke punggung kudanya.
Bersamaan dengan itu gadis cantik tersebut langsung bersuit nyaring.
“Heh...?!” Bayu tersentak kaget.
Suitan nyaring yang dilakukan gadis itu ternyata bukan sembarangan. Suaranya memekakkan telinga dan membuat kuda tunggangannya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Bayu buru-buru menenangkan kuda itu sambil menepuk-nepuk lehernya. Dan ketika kuda itu telah tenang kembali, dia dikejutkan oleh peristiwa lain.
Di tempat itu telah berkumpul lebih dari dua puluh orang gadis berambut panjang serta..., dalam keadaan bugil!
“Oh, apakah aku sedang bermimpi...?!” ucap Bayu sambil mengucek-ucek matanya berkali-kali.
Namun ketika pada akhirnya dia mencubit lengannya untuk lebih meyakinkan bahwa dia memang tidak sedang bermimpi, pemuda itu bingung sendiri.
“Hi hi hi...! Sekarang apa kau pikir bisa pergi sesuka hatimu dari tempat ini?” ejek gadis yang tadi bicara dengannya sambil melompat ke hadapan pemuda itu.
“Nisanak, jangan memaksaku....”
“Tutup mulutmu! Kau telah berada dalam wilayah Suku Dayang, karena itu kau kini adalah tawanan kami. Kalau kau coba-coba untuk melawan, maka kematianlah yang akan kau terima!” sentak gadis itu memotong kata-kata Bayu.
“Tawanan? Hm, aku semakin tidak mengerti dengan apa yang kalian bicarakan!”
“Kau telah memasuki wilayah kami tanpa izin dan itu sudah cukup bagi kami untuk menangkapmu. Kau akan mendapat hukuman yang setimpal!” dengus gadis itu geram.
Bayu terbingung-bingung beberapa saat lamanya, tapi kemudian dia tertawa sendiri seperti orang gila.
“Kalian cukup hebat bersandiwara. Tapi aku tidak ada waktu untuk meladeninya. Maaf, aku harus buru-buru melanjutkan perjalananku yang tertunda...,” kata Bayu sambil menghela kudanya.
Tapi saat yang bersamaan gadis itu membentak nyaring.
“Tangkap dia...!”
“Heh...?!”
***
Bayu tersentak kaget ketika melihat gadis-gadis itu mengurung dirinya sambil menghu-nuskan tombak-tombak runcingnya. Sikap mereka jelas tidak bersahabat. Tidak terlihat sedikit pun senyum tersungging di bibir mereka.
“Nisanak, aku tidak ingin mempersulit dirimu sendiri. Biarkan aku akan pergi dari sini dengan tenang...,” sahut Bayu sambil memandang pada gadis itu.
“Ringkus dia...!” sahut gadis itu sebagai jawabannya.
“Hiyaaa...!”
“Hup!”
Bersamaan dengan itu belasan ujung tombak gadis-gadis yang mengepungnya itu menyambar dirinya. Bayu melompat ke atas sambil menghalau kudanya menjauhi serangan-serangan mereka. Tubuhnya hinggap di salah satu cabang pohon yang berada di dekatnya tadi.
“Hiiih...!”
“Yeaaah...!”
Dengan tidak disangka-sangka beberapa orang lawannya langsung melesat ke atas sambil mengayunkan tombak ditangannya.
Tas!
Crab!
“Uhhh...!”
“Yeaaah...!”
Cabang pohon yang dipijaknya langsung patah dihantam ujung tombak lawan. Sementara beberapa ujung tombak lainnya menancap di dahan pohon yang dipijaknya. Namun tubuh Bayu telah melesat jauh ke bawah. Baru saja dia menjejakkan kedua kakinya, mendadak kembali bersiut angin kencang. Lima orang gadis-gadis berambut panjang itu mengayunkan ujung tombak di tangannya menghantam bagian kepala, dada, dan bawah tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Pemuda itu terkejut dan buru-buru melompat ke belakang. Tubuhnya terus berputar-putar sambil melompat ke samping untuk menghindari kejaran serangan-serangan lawan yang gencar.
“Hiyaaa...!”
Pendekar Pulau Neraka membentak nyaring sambil menyorongkan kepalan tangannya menghantam salah seorang lawan yang terdekat. Namun lawannya itu malah menyambutnya dengan tusukan tombak di tangannya. Sebelum ujung tombak itu menyentuh kepalan tangannya, Pendekar Pulau Neraka bergerak ke kanan sambil menarik tangannya dan menangkap batang tombak itu dengan tangan kirinya.
Tangan kanannya menghantam pergelangan tangan lawan. Bersamaan dengan itu, tangan kirinya menyentak keras dan kaki kanannya menendang perut lawan.
Tap!
Bettt!
“Uhhh...!”
Desss!
“Aaakh...!”
Gadis itu menjerit keras ketika tubuhnya terjerembab jatuh. Saat itu juga kawan kawannya langsung mengayunkan tombak mereka menghajar Pendekar Pulau Neraka. Tapi Bayu telah siap menyambutnya dengan tombak rampasan di tangannya.
“Hiyaaa...!”
Trak!
Trangngng!
Wukkk!
Pendekar Pulau Neraka membentak keras. Beberapa tombak lawan terpental dihajarnya, dan terdengar mereka mengeluh kesakitan sambil mengusap-usap telapak tangannya yang terkelupas. Gadis-gadis itu tersentak kaget melihat serangan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka. Mereka tersentak mundur ketika pemuda itu mengayunkan ujung tombak ke hadapan mereka. Beberapa orang menggeram sambil mengayunkan tombak di tangannya. Kembali Pendekar Pulau Neraka menyapu senjata di tangan mereka dengan ganas.
“Hiiih...!”
Trang!
Tring!
“Uhhh...!”
Seperti tadi, tombak-tombak di tangan mereka terpental dan gadis-gadis itu mengeluh kesakitan sambil merasakan telapak tangan mereka yang mengelupas. Pendekar Pulau Neraka mengancam mereka sambil memutar-mutar ujung tombak itu ke muka lawan-lawannya.
“Jangan paksa aku untuk bertindak keras. Kalau kalian tetap memaksa, maka aku tidak akan segan-segan menyakiti kalian...!” ancam pemuda itu dengan wajah serius.
Gadis-gadis itu terdiam dengan wajah bingung. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana dengan sekali hajar, pemuda di hadapannya itu mampu membuat senjata-senjata mereka terpental. Dan kini dengan tombak di tangannya itu, tentu tidak ada kesukaran baginya untuk mencelakakan mereka.
“Apa yang kalian tunggu lagi?! Serang dia...!” bentak gadis yang agaknya pimpinan mereka itu dengan suara melengking garang.
Maka tanpa diperintah dua kali, mereka kembali menyerang Pendekar Pulau Neraka. Kali ini terlihat mereka bersungguh-sungguh seperti tadi dan bermaksud meringkus pemuda itu.
“Yeaaah...!”
Trang!
Trak!
“Hup!”
Begitu mereka serentak maju bersamaan, Pendekar Pulau Neraka langsung memapaki sambil mengayunkan tombak di tangannya dan menghantam senjata-senjata lawan sehingga berpentalan. Setelah itu kaki kirinya bergerak cepat menghantam dua orang lawan yang terdekat.
Desss! Desss!
“Aaakh...!”
Kedua gadis itu berteriak kesakitan. Tubuh mereka jatuh terjerembab. Tapi Pendekar Pulau Neraka tidak berhenti sampai di situ saja. Ketika tubuhnya melompat ke atas sambil menangkis beberapa senjata lawan, kedua kakinya kembali menendang.
Begkh!
Duk!
“Aaakh...!”
Tiga orang kembali tersungkur sambil menjerit keras!
“Huh, kau pikir bisa berbuat seenakmu saja disini? Yeaaah...!”
Gadis yang sejak tadi memberi perintah itu agaknya geram juga melihat tidak seorang pun anak buahnya yang mampu meringkus Pendekar Pulau Neraka, sehingga dia merasa perlu untuk turun tangan sendiri menghajarnya. Maka sambil membentak nyaring dia menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan melakukan gerakan indah dan ringan. Tiba-tiba saja telah tergenggam sebilah pedang yang cukup panjang di tangan kanannya dan menyambar-nyambar tubuh pemuda itu.
Bettt! Bettt!
“Uts...!”
Cras!
Bukan main terkejutnya Pendekar Pulau Neraka melihat serangan lawan. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis itu mampu bergerak sedemikian cepatnya. Sehingga ketika ujung pedangnya menyambar ke arah leher, Pendekar Pulau Neraka menundukkan kepala. Tapi gadis itu mengayunkan satu tendangan ke arah dada membuatnya terpaksa mengayunkan tombak di tangannya. Gadis itu menarik pulang kakinya.
Tubuhnya berbalik cepat sambil mengayunkan pedang menyambar kedua kaki lawan. Tidak ada waktu lagi bagi Pendekar Pulau Neraka untuk mengayunkan tombak di tangannya. Tubuhnya melesat cepat di atas sambil berjumpalitan dan menekuk kedua kakinya.
Tapi bersamaan dengan itu tubuh gadis itu pun melesat ke atas mengikutinya sambil memutar tubuh bagai gasing, lalu tiba-tiba saja dadanya terasa perih. Ketika Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kedua kakinya di tanah, gadis itu telah berdiri di hadapannya pada jarak lima langkah sambil menghunus pedang yang ujungnya masih terlihat noda darah.
“Aku bisa mencabut nyawamu kalau saja aku mau...!” dengus gadis itu dengan sombong.
“Hm, ilmu pedang yang hebat!” puji Pendekar Pulau Neraka sambil tersenyum kecil.
“Aku tidak butuh pujian dari seorang tawanan! Sekarang jangan coba-coba membantah lagi. Karena kau adalah tawananku dan harus ikut pada semua perintahku!” kata gadis itu menegaskan.
“Nisanak, berapa kali aku harus mengatakan padamu, kalau aku tidak bisa mengikuti keinginanmu itu. Kalau memang aku melanggar wilayah mu, maka aku minta maaf. Itulah sebabnya aku ingin buru-buru meninggalkan tempat ini. Tapi untuk menjadi tawananmu?! Maaf, kuanggap kau sungguh keterlaluan...,” sahut Bayu tenang.
Setelah berkata demikian Bayu langsung melangkah dengan tenang untuk mendekati kudanya. Gadis itu merasa bahwa pemuda itu meremehkannya. Maka dengan geram dia melompat menyerang dari belakang.
Trangngng!
Wuttt! Wuttt!
“Hup!”
Merasakan desiran angin serangan, Pendekar Pulau Neraka langsung mengayunkan tombak di tangannya untuk menangkis senjata lawan. Tubuhnya berbalik dan ujung tombak itu menghajar tubuh si gadis dan memaksanya untuk bergerak lincah menghindari serangan-serangan gencar yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka.
Agaknya Pendekar Pulau Neraka memang ingin membuktikan pada gadis itu bahwa dia tidak bisa seenaknya memerintah orang. Pendekar Pulau Neraka sama sekali tidak memberi kesempatan pada gadis itu untuk memperbaiki kedudukannya.
“Yeaaah...!”
“Uts...!”
“Hiiih!”
Ujung tombak di tangan Pendekar Pulau Neraka berputar-putar menyambar ke mana saja lawan bergerak menghindar. Sehingga terlihat gadis itu kerepotan menghindarinya. Beberapa kali dia mencoba menangkis tombak di tangan lawannya, namun pedangnya seperti menghantam tombak baja yang amat tebal dan membuat tangannya kesemutan dan jantungnya berdetak lebih kencang.
Tapi Bayu kagum dengan kehebatan gadis itu. Meski tenaga dalamnya tidak terlalu hebat, namun gerakannya sangat gesit. Dia mampu bergerak bagai lesatan anak panah. Terbukti ketika keadaannya tengah terdesak, gadis itu melompat ke bawah sambil bergulingan. Padahal Pendekar Pulau Neraka telah menunggunya dengan tendangan sebelah kaki kiri. Tapi gadis itu lebih cepat lagi bergulingan menghindari.
Bahkan ketika ujung tombak Pendekar Pulau Neraka menghajar pinggangnya, tubuh gadis itu melenting ke atas dan dengan cepat mengayunkan pedangnya ke wajah lawannya.
Trang!
Dengan cepat Pendekar Pulau Neraka menangkis serangan lawan dengan pangkal tombaknya dan balas menyapu pinggang gadis itu dengan pengerahan tenaga kuat Tubuh gadis itu merunduk untuk kemudian melesat ke belakang sejauh lima langkah. Baru saja dia akan kembali melompat menyerang lawan, maka saat itu juga terdengar bentakan nyaring.
“Sekar Mayaaang..., hentikan perbuatanmu itu...!”
“Ayah. Oh...!” gadis itu tersentak kaget dan cepat menghentikan serangannya. Wajahnya tertunduk dalam dan dia diam mematung dengan sikap bersalah ketika seorang laki-laki tinggi besar hadir di tempat itu sambil memandang tajam ke arahnya.
Laki-laki itu berusia sekitar enam puluh tahun dan memiliki jenggot panjang yang telah memutih. Rambutnya juga panjang dan memutih dibiarkan lepas begitu saja hingga batas pinggang. Hingga kalau saja orang tidak melihat kumis dan jenggotnya yang panjang, tentu saja sepintas lalu akan menduga dia seorang perempuan.
Laki-laki itu tidak memakai baju dan hanya sedikit kain yang menutupi bagian terlarang di pangkal pahanya. Dengan memegang tongkat panjang di tangannya, dia memandang gadis-gadis itu dengan sikap marah. Gadis-gadis itu seperti mengerti apa yang akan mereka perbuat, diam membisu dan menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Apa yang kalian lakukan ini, he...?! Apa yang kalian lakukan di sini terhadap orang asing itu...?!” bentak laki-laki tua itu dengan suara menggelegar.
Bayu tersentak kaget. Suara laki-laki tua itu agaknya bukan sekadar membentak belaka. Bersama suara itu pula dia mengerahkan tenaga batinnya yang kuat. Bayu sendiri merasakan jantungnya berdetak lebih kencang dan kulitnya seperti terbakar dengan gendang telinganya seolah mau pecah.
Yang terjadi pada gadis-gadis itu ternyata lebih parah lagi. Beberapa orang di antara mereka menjerit kesakitan sambil mendekap telinga dan hidungnya yang mengucurkan darah segar. Mereka lalu ambruk ke tanah sambil berguling-gulingan menahan rasa sakit.
“Ampun, Ki Guntur Agung...! Ampunilah kesalahan kami...!” rintih mereka dengan suara memelas.
***
EMPAT
“Kisanak, hentikanlah perbuatanmu...!” kata Bayu dengan sopan. Meskipun dia berkata pelan namun Bayu mengerahkan tenaga batinnya lewat suara itu sehingga mampu membuat orang tua itu terkejut dan menghentikan teriakannya. Dia memandang ke arah Pendekar Pulau Neraka dengan tajam, kemudian terlihat perlahan-lahan tersenyum tipis.
“Kalau memang kau menginginkan demikian tentu saja dengan senang hati kukabulkan...,” sahut orang tua itu tenang seperti tidak terjadi apa-apa di tempat itu.
Bayu sedikit heran dengan sikap orang tua yang tadi dipanggil Ki Guntur Agung itu. Kenapa dia seolah-olah begitu patuh dengan kata-katanya?
“Mereka memang nakal dan suka mengganggu orang. Maafkan kelakuan mereka, Kisanak. Aku tahu betul, jika engkau hendak melukai mereka maka dengan mudah hal itu bisa kau lakukan sejak tadi,” lanjut orang tua itu dengan sikap hormat. Bayu membalas salam hormat orang tua itu sambil memperkenalkan dirinya.
“Orang tua, namaku Bayu Hanggara. Maaf kalau memang aku memasuki wilayah kalian tanpa seizinmu. Hal itu sama sekali tidak sengaja karena kebodohanku....”
“Tidak mengapa, Anak Muda. Namaku Guntur Agung, dan aku adalah ketua suku Dayang yang menguasai lembah ini. Dan yang tadi bertemu denganmu itu adalah anak bungsuku yang bernama Sekar Mayang. Dia memang bandel sekali dan suka mengganggu orang...,” sahut Ki Guntur Agung.
“Terima kasih, Ki Guntur. Kalau demikian aku pamit dulu untuk melanjutkan perjalananku...,” kata Bayu sambil memberi salam hormat pada orang tua itu.
“Kisanak, tidakkah kau berminat untuk mampir barang sejenak di gubuk kami? Barangkali sekadar menghilangkan dahaga atau mengisi perut, kami memiliki banyak makanan dan minuman ditempat kami. Silakan...!”
Bayu tersenyum sambil memandang orang tua itu. Ada kekuatan yang dipancarkan orang tua itu untuk membuatnya tidak mampu menolak keinginannya. Tapi Bayu menyadari bahwa hal itu bukan kebetulan semata. Orang tua itu sepertinya ingin mengujinya dengan sorot matanya yang tajam mengandung daya sihir kuat. Untuk sesaat Bayu merasakan tubuhnya lemah tidak berdaya. Tidak ada gairah dan semangat hidup dalam dirinya. Tapi pemuda itu cepat sadar dan perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan pengaruh sihir orang tua itu.
“Ki Guntur, terima kasih. Tapi ada sesuatu yang harus kukerjakan dan mesti buru-buru...!” sahut Bayu sambil tersenyum tipis dan balas memandang orang tua itu dengan tajam.
“Hm, bukankah di tempat ini sangat dingin? Kau tentu akan sangat tersiksa sekali. Cobalah rasakan...,” lanjut Ki Guntur Agung sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke muka.
Bersamaan dengan itu mendesir angin dingin yang mampu melinukan sumsum tulang dan membuat geraham bergemeletukan. Beberapa orang gadis itu buru-buru menjauh melihat keadaan itu.
“Kisanak, kau ternyata salah sebab saat ini udara belum terasa dingin, malah sangat panas...!
Cobalah kau rasakan!” sahut Bayu sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke depan. Ki Guntur Agung kini merasakan sebaliknya, angin panas nyaris membakar kulitnya kalau saja dia tidak buru-buru menghindar. Orang tua itu mencoba memapaki dengan pukulan berhawa dingin yang dilancarkannya. Namun cuma mampu bertahan sesaat sebab pukulan berhawa panas yang dikerahkan pemuda itu sedemikian kuatnya sehingga memaksanya untuk melompat ke sana kemari menghindarinya.
“Ki Guntur, kurasa cukuplah kau merasakan hawa di tempat mu ini. Aku hendak mohon pamit dulu...,” sahut Bayu sambil menarik kembali pukulannya.
“Hm, aku benar-benar kagum padamu, Kisanak silakan...!” kata orang tua itu sambil menyilahkan Bayu untuk berlalu.
“Terima kasih, Ki Guntur Agung. Kuharap kita bisa bertemu kembali di lain waktu...,” sahut Bayu sambil melompat ke punggung kudanya dan berlalu dari tempat itu secepatnya.
Ki Guntur Agung memandangnya sampai pemuda itu hilang dari pandangannya. Dia menghela napas pendek sambil mendesah pelan.
“Hm, usianya masih sangat muda tapi kepandaiannya sudah demikian hebat. Pastilah dia bukan orang sembarangan di dunia persilatan...,” gumamnya pelan.
“Ki Guntur Agung...!” panggil salah seorang gadis yang berada di tempat itu.
“Hm...,” orang tua itu berpaling sambil bergumam pelan.
“Ni Sekar Mayang tidak ada di tempat...,” lanjut gadis itu.
“Apa?!” sentak Ki Guntur Agung sambil mencari-cari di sekeliling tempat itu.
“Kami telah mencarinya, tapi dia tidak ada...,” sahut gadis itu kembali.
“Cepat cari dia! Tidak usah kembali kalau kalian tidak menemukannya...!” bentak Ki Guntur Agung garang.
“Baik, Ki...,” sahut gadis-gadis itu serentak.
Tidak berapa lama kemudian mereka segera berlalu meninggalkan tempat itu.
***
Bayu memacu kudanya dengan kencang agar secepat mungkin dia bisa keluar dari lembah itu. Setelah dirasakannya cukup jauh, pemuda itu berhenti dan memandang ke sekeliling tempat itu. Tiba-tiba dia tersenyum kecil sambil menggeleng pelan.
“Kenapa kau mengikutiku...?!” tanyanya dengan suara keras.
Tak terdengar sahutan. Sepertinya pemuda itu tidak waras karena bicara sendiri. Tapi sebenarnya dia mengetahui bahwa seseorang berada di tempat itu dan sejak tadi mengikutinya.
“Pergilah kau dan jangan lagi mengikutiku. Apakah kau ingin mengatakan bahwa tempat ini pun termasuk dalam wilayah mu sehingga dengan seenaknya kau menganggapku tawananmu...?!” lanjut Bayu dengan suara lebih keras.
Saat itu juga melesat turun sesosok gadis berwajah cantik dengan rambut panjang terurai, dan tanpa mengenakan selembar pakaian pun! Di tangan kanannya tergenggam sebatang pedang panjang. Gadis yang tidak lain Sekar Mayang itu menundukkan kepalanya tidak berani memandang wajah pemuda itu.
“Kenapa kau mengikutiku...?”
Gadis itu diam membisu tidak menjawab sepatah kata pun.
“Hm, gerakanmu cukup hebat dan tiada duanya. Kurasa aku pun tidak mampu mengimbanginya. Kalau kau menginginkan aku mengalah, maka kukatakan aku pasti kalah jika bertarung denganmu. Nah, pergilah...!” sahut Bayu merendah agar urusannya itu cepat selesai.
“Aku tidak ingin bertarung denganmu...,” sahut Seka Mayang pelan.
“Jadi apa maumu?”
“Ayah pasti akan memarahiku karena perbuatanku tadi. Aku..., aku tidak berani pulang...,” sahut gadis itu lirih.
“Perbuatan apa yang kau maksud?”
“Mengganggumu dan mengerahkan pasukan untuk kepentingan diri sendiri. Apalagi aku mengatakan bahwa kau adalah tawananku, padahal itu tidak dibenarkan. Bahwa ayah selalu melarang kami untuk bertemu dengan orang luar. Siapa yang melanggar peraturan itu pasti akan mendapatkan hukuman berat. Kau harus menolongku!” sahut gadis itu memandang wajah Bayu dengan penuh harap.
“Apa yang bisa kubantu?”
“Kau harus menjelaskan pada ayahku bahwa kau telah memaafkan semua kesalahanku....”
“Hm, aku tidak bisa!” sahut Bayu tegas.
Gadis itu memandangnya dengan wajah tidak percaya. Kemudian dia berucap lirih.
“Kalau begitu aku tidak mau kembali....”
“Terserah. Kau boleh pergi ke mana saja kau suka. Siapa yang mau melarangmu?”
“Aku akan ikut denganmu....”
“Apa?!” pekik Bayu karena terkejut mendengar jawaban gadis itu.
“Aku mau ikut denganmu!” sahut gadis itu tegas seperti tidak merasakan bahwa kata-katanya itu membuat Bayu tersentak kaget.
“Tidak bisa! Aku mau pergi sendiri dan kau tidak boleh mengikutinya!” sahut Bayu tegas.
“Kenapa tidak? Bukankah kau tadi mengatakan bahwa aku boleh pergi ke mana saja aku suka, dan tidak seorang pun yang bisa melarangnya? Kenapa kau sekarang malah melarangku?!” tanya gadis itu seperti menuduh pemuda itu tidak menepati ucapannya.
“Tapi maksud ku bukan seperti itu. Kau boleh pergi ke mana saja kau suka asal tidak mengikutiku!” sambung Bayu mengulangi kata-katanya sambil menekan pada si gadis hal-hal yang tidak boleh dilakukannya.
“Hm, kau sama saja seperti apa yang dikatakan oleh ayahku...,” sahut gadis itu bergumam pelan sambil berpaling.
“Apa yang dikatakan oleh ayahmu itu...?” tanya Bayu tertarik.
“Orang asing itu pembohong dan tidak bisa dipercaya. Itulah sebabnya kami dilarang mendekat pada mereka...,” sahut gadis itu menjelaskan.
“Kata-kata ayahmu itu salah. Karena tidak semuanya orang asing itu mempunyai sifat buruk...,” sergah Bayu.
“Tapi aku baru saja membuktikannya. Kau tidak menepati kata-katamu sendiri!” tuding gadis itu keras.
“Tapi itu lain...!” sahut Bayu mencoba membantah.
Gadis itu tidak menjawab, melainkan memandang pemuda itu dengan seksama dengan sikap tetap mendakwanya. Bayu menggeleng lemah sambil menghela napas pendek. Perlahan dia menambatkan kudanya dan mengumpulkan kayu-kayu kering. Gadis itu pun mengikuti perbuatannya. Bahkan membantunya ketika pemuda itu mulai membuat api unggun. Bayu diam membisu dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Kenapa kau tidak mau berpaling kalau bicara denganku...?” tanya gadis itu sedikit kesal.
“Kau tanyakanlah saja pada dirimu sendiri. Apakah pantas seorang wanita berkeliaran dalam keadaan sedemikian?”
“Tapi di tempat kami hal ini adalah biasa!” sanggah gadis itu.
“Tapi di luar kau akan menjadi bahan tontonan orang banyak!” sahut Bayu kesal.
“Jadi harus bagaimana...?” tanya gadis itu tidak mengerti.
“Pakailah baju dan tutupi bagian tubuhmu dari pangkal leher sampai mata kaki!” sahut Bayu seenaknya.
“Tapi saat ini aku tidak punya apa pun untuk menutupi tubuhku. Lalu dengan apa aku harus menutupinya...?”
“Itulah sebabnya kau tidak boleh ikut dengan ku!” sahut Bayu menegaskan.
Aku tidak boleh ikut denganmu karena penampilanku yang begini ini?” tanya gadis itu menegaskan.
“Ya....”
“Kalau begitu setelah aku menutupi tubuhku berarti boleh ikut denganmu, bukan?”
Bayu tersentak kaget. Kenapa dia sebodoh itu menjawab? Gadis ini kelihatannya cerdik dan otaknya cerdas meski pengalamannya tidak banyak. Bahkan kalau mendengar kata-katanya berkesan polos. Dia hanya mengerti sebatas kata-kata yang diucapkan lawan bicaranya dan tidak mengerti makna-makna di balik kata-kata itu. Dan kini Bayu terjebak dengan kata-katanya sendiri.
“Maksudku bukan begitu...,” ucap Bayu tidak jadi meneruskan kata-katanya ketika melihat gadis itu memandangnya dengan heran bercampur dakwaan. Seolah-olah menuduhnya telah dua kali berkata tidak benar di hadapannya.
“Berarti kata-kata ayahku benar, bahwa orang asing itu tidak bisa dipercaya...,” gumam gadis itu lirih.
“Ya, aku memang tidak bisa dipercaya. Karena itu kau tidak boleh mengikutiku!” sahut Bayu kesal.
Gadis itu memandangnya kembali dengan seksama. Namun seperti tadi, Bayu sama sekali tidak mau berpaling padanya. Dia tetap membelakangi gadis itu.
“Aku tidak percaya sebab ayahku tidak hanya berkata seperti itu. Beliau juga mengatakan bahwa orang asing yang laki-laki suka berbuat tidak baik pada gadis-gadis sepertiku. Tapi aku tidak tahu berbuat tidak baik seperti apa yang dimaksud beliau. Yang jelas itu pasti akan menyakiti diriku...,” lanjut gadis itu.
“Aku telah mengusir mu berkali-kali dan kau pasti merasa sakit hati. Oleh sebab itu aku telah berbuat tidak baik terhadapmu. Ayahmu benar, oleh sebab itu pergilah kau sebelum aku menyakiti lebih keras lagi!” sahut Bayu mendongkol.
“He he he...! Sekar Mayang, meskipun kau tidak tahu apa-apa tapi aku yakin sekali bahwa pemuda itu baik dan tahu sopan santun...!” ucap seseorang yang mendadak tiba-tiba terdengar suara tawanya yang nyaring lalu diikuti melesatnya sesosok tubuh dengan ringannya ke hadapan pemuda itu.
“Heh...?!”
***
Bayu langsung bangkit berdiri dengan sikap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Tapi kemudian dia kembali bersikap tenang ketika mengetahui siapa yang hadir di tempat itu. Orang tersebut tidak lain dari Ki Guntur Agung, ayah gadis itu. Tapi sungguh hebat gerakannya sehingga Bayu sama sekali tidak mengetahui kehadirannya di tempat itu.
“Ki Guntur Agung, syukurlah kau datang ke sini. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana dengan sikap keras kepala putrimu itu. Dia ingin ikut denganku, mudah-mudahan kau bisa melarangnya,” kata Bayu berharap orang tua itu mampu menyelesaikan persoalannya.
“Ayah, maafkan kelakuanku. Tapi pemuda ini telah memaafkannya sehingga Ayah tidak boleh menghukumku...,” kata Sekar Mayang membela diri.
Ki Guntur Agung memandang keduanya dengan seksama secara bergantian dengan kedua tangannya berada di belakang sejak tadi. Dia sendiri tidak beranjak dari tempatnya berdiri sejak tadi.
“Bayu, putriku telah berbuat kesalahan karena mengganggumu, oleh sebab itu dalam suku kami dia patut mendapat hukuman. Apakah kau setuju dengan hal itu?” tanya Ki Guntur Agung perlahan.
“Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku hendak bertanya lebih dulu. Beratkah hukuman yang akan diterimanya?”
“Dalam adat kami berat atau tidaknya hukuman itu tergantung dari bagaimana seseorang itu menerimanya. Nah, sebagai seorang pendekar yang mendukung sikap-sikap bijaksana, tentulah kau tidak menolak jika seseorang yang telah berbuat kesalahan harus mendapat hukuman? Sebab dalam suku kami perbuatan putriku ini jelas merupakan kesalahan!” sahut Ki Guntur Agung.
Bayu berpikir sejenak. Orang tua itu ternyata tidak sebodoh apa yang terlihat dari penampilannya. Tidak ada jawaban lain yang bisa dilakukannya selain mengangguk dan membenarkan kata-kata orang tua itu.
“Dalam adat kami hukuman harus dijatuhkan oleh ketua suku, yaitu aku sendiri. Tapi hari ini kau mendapat kehormatan untuk membantuku....”
“Bantuan apakah yang bisa kuberikan, Ki Guntur?”
“Menyetujui hukuman yang akan kuberikan pada putriku,” sahut Ki Guntur Agung.
“Maaf, orang tua. Aku tidak bisa membantumu sebelum aku mengetahui jenis hukuman yang akan menimpa putrimu nanti. Kalau dia mendapat hukuman berat, tentu saja aku tidak bisa menambah beban yang dideritanya,” sahut Bayu tegas.
“Kalau aku memberikan hukuman ringan baginya apakah kau akan menyetujuinya?” tanya Ki Guntur Agung membalikkan kata-kata pemuda itu.
“Ng..., kurasa jawabannya ya...,” sahut Bayu ragu karena merasa terjebak oleh kata-katanya sendiri.
“Sungguh-sungguhkah kau mau membantuku?”
“Baiklah...!” sahut Bayu mantap.
“Bawalah putriku mengembara bersamamu....”
“Orang tua, maaf. Kalau hal itu aku tidak bisa!” sahut Bayu cepat memotong pembicaraan orang tua itu.
“Aku mengerti apa yang kau rasakan, juga mengerti kenapa kau menjawab demikian. Namun sebelumnya, tolong dengarkan dulu penjelasanku. Aku sudah tua dan sebagai seorang kepala suku pastilah harus digantikan oleh putriku satu-satunya itu. Tapi kepala suku harus pula mereka yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Telah lama aku memikirkan hal itu.
Sedangkan putriku belum memenuhi syarat untuk itu. Dia terlalu polos dan tidak banyak mengerti tentang pengalaman hidup dan bergaul. Begitu tadi melihatmu aku lantas mengetahui bahwa kau seorang yang baik dan bisa dipercaya. Bayu, aku tidak akan mempercayakan putriku kepadamu kalau saja aku yakin kau memiliki kelakuan yang buruk. Bawalah dia mengembara bersamamu untuk mencari pengalaman hidup yang berguna baginya kelak. Setelah kau rasa cukup, kau boleh mengantarkannya kembali padaku....”
Bayu termenung beberapa saat lamanya, kemudian memandang wajah orang tua itu dengan lesu.
“Ki Guntur, banyak hal yang membuatku tidak bisa mengajak putrimu turut serta...,” sahutnya lirih.
“Aku mengerti bahwa dia harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan kalian. Untuk itulah aku bawakan baginya satu stel pakaian lengkap untuknya...,” sahut Ki Guntur Agung sambil mengangsurkan satu stel pakaian wanita kepada putrinya dan menyuruh gadis itu mengenakannya.
Bayu memperhatikan sejenak ketika gadis itu telah berpakaian kemudian tersenyum kecil.
“Nah, bagaimana pendapatmu sekarang...?” tanya Ki Guntur Agung kembali.
“Ki, terus terang agar kalian ketahui bahwa aku telah bertunangan dengan seorang gadis lain. Apa jadinya kalau dia melihat putrimu berjalan bersamaku...?” sahut Bayu akhirnya berterus terang agar mereka mengerti keberatannya.
“Hm, hal itu tidak menjadi masalah. Kau bisa menjelaskannya kalau dia melihatmu. Tunanganmu pasti bisa mengerti. Bayu anggaplah bahwa perbuatanmu nanti sebagai pertolongan terhadap kami. Kaulah orang yang bisa kupercaya untuk saat ini,” sahut Ki Guntur Agung enteng.
Bayu berpikir beberapa saat lamanya. Berat hatinya untuk mengajak Sekar Mayang, namun Ki Guntur Agung terus memaksanya sehingga membuatnya menjadi tidak enak hati. Apalagi ketika orang tua itu mulai mengungkit-ungkit soal janjinya tadi. Maka akhirnya dia terpaksa menganggukkan kepalanya tanda setuju.
“Baiklah...”
“Terima kasih, Bayu. Sekar Mayang, jagalah dirimu baik-baik...!” setelah berkata demikian tubuh Ki Guntur Agung melesat cepat dari tempat itu dan membuat desah kekaguman di hati Bayu.
***
LIMA
Berjalan bersama gadis itu memang tidak mudah dan hal itu disadari betul oleh Bayu. Sekar Mayang dengan seenaknya saja memeluk tubuhnya ketika mereka hendak tidur.
“Kenapa?” tanyanya merasa tidak bersalah ketika Bayu menepisnya pelan.
“Sekar Mayang, satu hal yang perlu kau ketahui bahwa tidak patut antara laki-laki dan wanita tidur dengan cara demikian sebelum mereka menikah. Hal itu amat tabu!” jelas Bayu.
Mula-mula Sekar Mayang tidak bisa menerima hal itu sehingga terpaksa Bayu menjelaskan sedikit tentang adat kesopanan dan tata krama pergaulan di dunia mereka sehingga gadis itu akhirnya mengerti juga.
Mereka kemudian tidur pada tempat terpisah pada jarak agak jauh. Dan agaknya gadis itu cepat tanggap pada apa yang dikatakan pemuda itu. Buktinya ketika mereka bangun pagi-pagi sekali dan Bayu mengajaknya untuk menunggang kuda, dia sama sekali tidak berani memegang pinggang Bayu. Padahal kuda itu berlari demikian kencang. Kalau saja dia tidak memiliki keseimbangan tubuh yang hebat niscaya sudah sejak tadi gadis itu terlempar ke belakang.
“Kenapa kita ke tempat ini...?” tanya gadis itu ketika Bayu membawanya pada salah seorang petani yang banyak memelihara kuda tunggangan.
“Aku akan membelikan mu seekor kuda dan kemudian baru mengganti pakaian yang kau kenakan?” jelas pemuda itu.
“Apakah pakaian yang kukenakan ini aneh bagimu?” tanya Sekar Mayang.
“Tidak. Tapi terlalu buruk dan sudah lusuh. Kau akan lebih cantik bila memakai pakaian yang lebih pantas,” sahut pemuda itu.
Sekar Mayang mematut-matut dirinya dengan pakaian yang agak kekecilan dan lusuh yang dikenakannya itu. Sepintas orang akan melihatnya seperti seorang pengemis. Setelah membayar harga kuda yang disetujui, gadis itu menunggang kuda berwarna coklat yang kelihatan gagah serta perkasa. Sama sekali dia tidak merasa kesulitan sehingga menambah kekaguman di hati pemuda itu saja.
“Melihat caramu berkuda tentu hewan itu tidak asing lagi padamu...,” kata pemuda itu seperti pada dirinya sendiri.
“Ya, di tempat kami kuda memang sudah tidak asing lagi. Setiap wanita pasti mahir menungganginya,” sahut Sekar Mayang dengan wajah cerah.
Keduanya segera memacu kudanya ke bagian desa yang agak ramai. Bayu membelikan pakaian warna biru muda terbuat dari bahan halus untuk gadis itu. Dan ketika Sekar Mayang keluar dengan pakaian barunya itu, Bayu tersenyum kecil.
“Nah, dengan begitu kau kelihatan cantik...!” pujinya.
"Terima kasih. Aku kini mengerti setelah melihat pengemis-pengemis yang banyak berkeliaran di desa ini. Kau tentu tidak ingin aku terlihat seperti pengemis-pengemis itu, bukan?” sahut gadis itu sambil menduga apa yang terlintas di benak pemuda itu.
“Sebagian begitu dan sebagian lagi karena kau putri kepala suku maka sudah sepatutnya kau berpakaian secara layak dan bagus. Sebaiknya rambutmu yang panjang diikat dan pedangmu itu selipkan saja di pinggang,” sahut Bayu sambil memberitahukan apa yang pantas dilakukan gadis itu.
“Bagaimana sekarang?” tanya Sekar Mayang setelah melakukan apa yang diperintahkan Bayu tadi.
“Nah, kini kau lebih cantik lagi...!” puji Bayu kembali.
“Aku.... Aku lapar...,” kata gadis itu ketika mereka keluar dari toko yang tadi dimasuki keduanya.
“Ya, aku juga mulai merasa lapar. Sebaiknya kita mencari kedai dan makan dulu...,” sahut Bayu sambil mengajak gadis itu memasuki sebuah kedai yang cukup besar di desa itu.
Gadis itu hanya menurut saja ketika pemuda itu mengajaknya masuk ke dalam kedai itu. Bola matanya memperhatikan keadaan di seputar ruangan kedai. Di situ terlihat beberapa orang tengah bersantap. Dua orang laki-laki yang berwajah kasar terkekeh-kekeh kecil sambil mengedipkan sebelah mata pada gadis itu. Sekar Mayang menatap mereka dengan tidak mengerti.
“Kenapa mereka tertawa-tawa dan mengerdipkan mata padaku...?” tanyanya pada Bayu dengan wajah bingung.
“Diamkan saja dan jangan pedulikan. Mereka sedang menggodamu karena kau cantik dan menarik...,” sahut Bayu.
Sekar Mayang buru-buru mengalihkan perhatian, namun kedua laki-laki itu malah penasaran dan mendekati mereka terus.
“He he he...! Bocah cantik, siapa namamu? Maukah kau menemaniku makan di meja sana...?” tanya salah seorang dari kedua laki-laki itu sambil menjawil dagu Sekar Mayang.
Gadis itu diam saja dan memperhatikan keduanya dengan heran. Melihat keadaan itu, kedua laki-laki itu merasa bahwa gadis itu tidak menolak kejahilan mereka. Maka dengan sangat bernafsu, salah seorang dari mereka bermaksud meremas dada si gadis. Namun sebelum hal itu terjadi, Bayu telah menangkap pergelangan tangannya dan menatap tajam ke arah keduanya.
“Kisanak, jangan berbuat kurang ajar! Pergilah kalian dari sini...!” tegas terdengar suara Bayu.
“He, kau berlagak jago di sini? Kurang ajar...!” kawannya membentak dan langsung menghantamkan kepalan tangannya ke dada Bayu.
Plak!
Wuttt!
Desss!
Dukkk!
“Aaakh...!”
***
Pendekar Pulau Neraka cepat menangkis serangan lawan dengan tangan kirinya. Orang itu mengeluh kesakitan ketika lengan tangannya beradu dengan Pendekar Pulau Neraka yang langsung menekuk tangan orang yang tadi ditangkapnya. Dengan kesal orang itu diadukannya dengan kawannya hingga menjerit kesakitan. Beberapa buah meja dan kursi hancur berantakan.
“Aduh, maaf Den. Tolong kalau membuat keributan jangan di sini. Lebih baik keluar sajalah...!” kata pemilik kedai itu dengan wajah cemas penuh ketakutan.
“Kisanak, maafkan keributan kecil ini. Tapi aku akan mengganti kerusakanmu...!” sahut Bayu sambil mengeluarkan dua keping uang emas.
Si pemilik kedai melotot kegirangan dan buru-buru menangkap uang emas itu. Kerusakan yang terjadi amat kecil dibandingkan dengan imbalan yang diterima pemilik kedai itu. Bahkan dengan uang itu dia bisa membeli sepuluh buah kursi dan meja.
“Eeeh, apakah engkau tidak jadi makan? Kisanak...! Eh, terima kasih...,” si pemilik kedai akhirnya bergumam pelan setelah dia berteriak-teriak memanggil Bayu dan Sekar Mayang yang terus berlalu meninggalkan kedai itu tanpa mempedulikan panggilan pemilik kedai itu.
“Kurang ajar! Berhenti kau, hei Keparat..!” maki orang yang tadi dihajar Pendekar Pulau Neraka.
Srakkk!
“Kau akan merasakan akibatnya karena berani berurusan dengan orang-orang Gagak Paksi!” dengus kawannya sambil melompat ke depan dan menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan mencabut golok yang terselip di pinggangnya.
Tapi sebelum pemuda itu bergerak, Sekar Mayang telah lebih dulu bertindak. Tubuhnya bergerak gesit menghindari tebasan golok lawan. Tangan kirinya menghantam pergelangan tangan sehingga membuat genggaman golok di tangan laki-laki berangasan itu terlepas. Kemudian secepat kilat gadis itu menghajar dada lawan dengan satu tendangan keras.
Dukkk!
“Aaakh...!”
Untuk kedua kalinya laki-laki itu tersungkur. Kali ini keadaannya lebih parah karena tendangan gadis itu sedemikian kerasnya membuat dadanya terasa nyeri dan memuntahkan darah segar.
“Gadis liar...! Kau akan rasakan akibatnya, yeaaah...!” bentak kawan laki-laki tadi yang langsung menyerang Sekar Mayang dengan kalap.
“Uts...!”
Tap!
Desss...!
“Hokh...!”
Sekar Mayang bergerak ke kiri sambil memiringkan tubuh sehingga tebasan golok lawan lewat begitu saja di depannya. Tangan gadis itu menyikut dadanya dan diikuti oleh hantaman kepalan tangan kanan yang membuat lawan terjungkal sambil terdesak kesakitan. Tubuhnya terjerembab dan tidak bergerak lagi. Entah pingsan atau mati!
“Hebat! Sungguh hebat ilmu silatmu, Nisanak. Tapi kenapa musti berlaku keras terhadap mereka...?” tegur seseorang yang hadir di tempat itu sambil memuji tindakan gadis itu.
Bayu dan Sekar Mayang langsung berpaling dan melihat seorang laki-laki bertubuh besar dengan kumis melintang di tempat itu. Di pinggangnya terselip sebilah golok yang berukuran panjang. Si pemuda mengetahui bahwa laki-laki itu berkata dengan suara menyindir. Maka dia segera menyahut dengan sikap sopan.
“Kisanak, maafkan sikap kawanku tadi. Nama ku Bayu, dan kami hanya kebetulan mampir untuk mengisi perut di kedai ini. Tapi kedua kawanmu itu telah berbuat kurang ajar terhadap kawanku ini, sehingga terpaksa aku menghajarnya,” jelas Bayu kepada laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan itu.
“Hm, namamu Bayu...? He, di mana pernah kudengar nama itu. Ah, tidak salah lagi, kau Pendekar Pulau Neraka, bukan?!” tebak orang itu dengan wajah cerah.
***
“Kisanak, begitulah orang-orang menyebutku...,” sahut Bayu dengan sikap sopan.
“Oh, maafkan sikap anak buahku, Bayu. Mereka memang sungguh keterlaluan! Aku Ki Baladewa, Ketua Perguruan Gagak Paksi!” sahut laki-laki itu dengan sikap sangat hormat sekali.
“Sudahlah. Kuanggap selesai persoalan ini. Kalau demikian kami permisi dulu,” kata Bayu sambil mengajak Sekar Mayang berlalu dari tempat itu.
“Eh, maaf Bayu. Kalau tidak keberatan, kami bermaksud hendak mengundangmu ke tempat kami. Bagaimana? Mudah-mudahan kalian tidak menolaknya,” lanjut Ki Baladewa dengan penuh harap.
“Ki Baladewa, aku akan suka sekali dengan
undanganmu itu. Tapi maafkanlah karena kami harus buru-buru. Barangkali lain waktu kami bisa memenuhi undangan mu...,” sahut Bayu menolak dengan cara halus.
Mendengar jawaban itu Ki Baladewa tidak bisa memaksa lagi. Dia hanya mampu memandang keduanya sambil menggeleng kepala.
“Hm, aku melihat wajah orang itu sangat kagum begitu mengetahui siapa kau sebenarnya. Pendekar Pulau Neraka, begitukah orang-orang menyebutmu?” tanya Sekar Mayang.
Bayu mengangguk pelan.
“Kau agaknya orang terkenal yang sangat dihormati, Kakang.... Eh, bolehkan aku menyebut mu Kakang Bayu?”
Bayu tersenyum sekilas kemudian tersenyum kecil.
“Kau boleh memanggilku dengan sebutan apa saja yang kau suka...,” sahutnya datar.
“Kakang, aku masih heran. Kenapa kau begitu marah dan sampai menghajar kedua orang itu?” tanya Sekar Mayang heran.
“Sekar, ketahuilah bahwa kedua orang itu telah membuat kurang ajar terhadapmu. Seorang gadis tidak boleh diperlakukan begitu oleh laki-laki yang tidak dikenalnya. Itu namanya tidak sopan dan kurang ajar Mereka patut mendapat hajaran...,” sahut Bayu menjelaskan.
Sekar Mayang mengangguk mengerti mendengar penjelasan itu.
“Bagaimana kalau laki-laki yang kita kenal melakukan hal itu?” tanya Sekar Mayang lagi.
“Tergantung....”
“Tergantung bagaimana, Kakang Bayu...?”
“Tergantung apakah kau merasa senang atau tidak. Tapi tetap saja itu tindakan yang tidak sopan. Dari semua sikap yang tidak sopan antara laki-laki dan wanita, hal itu menjadi biasa setelah mereka menikah...,” sahut Bayu menjelaskan secara gamblang.
Sekar Mayang kembali mengangguk mengerti mendengar penjelasan pemuda itu. Mendadak saat itu terdengar jeritan panjang seorang wanita muda sambil berlari-lari ke tengah jalan dengan wajah panik.
“Bayiku, tolooong...! Tolong bayiku diculik orang! Tolooong!” teriaknya berulang-ulang.
“Ke sana! Kejar dia! Kejaaar...!” teriak seseorang yang langsung melompat ke arah yang ditunjuknya tadi.
Mendengar teriakan laki-laki itu, beberapa orang penduduk desa itu langsung mengikutinya dari belakang sambil berteriak-teriak kalap.
“Hajar dia...! Bunuuuh...!”
“Sekar, ayo kita kejar orang itu...!” teriak Bayu.
“Baiklah...,” sahut gadis itu sambil memacu kudanya kencang. “Heaaah...!”
Kedua orang itu menghela kuda-kuda mereka dengan kencang seolah ingin mendahului penduduk desa yang tengah mengejar seseorang yang mereka curigai sebagai penculik bayi wanita muda tadi yang berteriak-teriak histeris.
“Sekar, kau ke arah sana dan aku menyusuri jalan ini! Kita bertemu di depan sana. Tapi kalau berpisah, kita kembali ke desa tadi. Kau mengerti?!” teriak Bayu tidak mempedulikan jawaban gadis itu karena dia telah memacu kudanya dengan kencang ke arah kanan.
“Iya, iya...!” sahut gadis itu bingung. Namun meskipun demikian dia tetap memacu kudanya ke arah kiri.
Dia masih tidak mengerti apa yang diinginkan pemuda itu, namun ketika melihat para penduduk desa yang berlari lurus, gadis itu mulai menduga bahwa Bayu bermaksud mengepung penculik bayi yang tengah mereka kejar dengan mendahului penduduk desa itu.
Bayu telah jauh memacu kudanya, namun jejak penculik bayi yang dikejarnya tidak kunjung terlihat. Pemuda itu jadi bingung sendiri sambil menghentikan lari kudanya dan memasang kuping dengan tajam agar mampu mendengar lebih jelas.
“Kakang...!”
“Hm...,” Bayu menggumam pelan ketika Sekar Mayang telah tiba di tempat itu.
“Apakah penculik bayi itu telah kau temukan?”
Bayu menggeleng lemah sambil melompat ke punggung kudanya.
“Aneh...!” desisnya pelan.
“Kenapa?” tanya Sekar Mayang bingung.
“Kalau benar dia penculik bayi itu maka akan celaka orang-orang....”
“Kenapa?”
Ilmu larinya cepat sekali. Padahal dia baru saja menculik bayi itu tapi aku tak mampu mengejarnya. Tapi kau lihat sendiri, kita telah berlari cepat dan berada jauh dari desa itu namun jejaknya pun tidak kutemui!” sahut Bayu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Kakang, jangan cepat menduga begitu. Siapa tahu bayi yang telah diculik itu dilarikan saat ibunya tengah tidak sadarkan diri lalu penculik itu leluasa mengambilnya....”
“Maksudmu bayi itu telah lama dilarikannya?”
Sekar Mayang mengangguk.
“Lalu kenapa laki-laki tadi menunjukkan ke satu arah. Seolah-olah dia yakin betul bahwa si penculik itu baru saja menculik seorang bayi?”
“Siapa tahu malah dia penculiknya. Setelah menculik bayi, lalu dia menyembunyikannya di suatu tempat kemudian sambil berteriak-teriak menunjuk ke satu arah agar orang banyak ke sini, lalu dengan leluasa dia melarikan diri,” jelas Sekar Mayang.
“Keparat! Kita telah ditipunya mentah-mentah kalau begitu. Eh, tunggu dulu!”
“Ada apa?” tanya Sekar Mayang.
“Sekilas rasa-rasanya aku pernah melihat laki-laki yang menuju ke arah sini!” desis Bayu sambil mengingat-ingat. Namun setelah sekian lama tidak juga kunjung diingatnya.
“Sebaiknya kita ke desa tadi untuk membuktikan apakah dugaanku tadi benar atau salah...,” ajak Sekar Mayang setelah yakin bahwa Bayu tidak mampu mengingatnya.
“Ya, kalau benar. Dengan begitu kita akan semakin tahu apakah dugaanmu benar atau salah,” sahut Bayu sambil menghela kudanya perlahan-lahan.
Bayu memandangi gadis itu beberapa kali ketika mereka berkuda, kemudian tersenyum kecil ketika gadis itu pun menoleh padanya. Sekar Mayang jadi ikut-ikutan tersenyum.
“Kenapa kau tersenyum, Kakang...?”
“Tidak, aku hanya mengagumimu. Kau tidak saja cantik dan polos, tapi juga pintar. Mudah-mudahan kau mampu menjadi kepala suku yang adil serta bijaksana seperti yang diharapkan ayahmu,” sahut Bayu memuji.
“Terima kasih, Kakang...,” sahut Sekar Mayang tersenyum malu-malu.
“Ada satu hal yang aku inginkan....”
“Apa itu?”
“Maukah kau mengabulkannya?
“Kalau kuanggap baik, kenapa tidak?”
“Tapi sebelumnya aku ingin bertanya dan kau harus menjawabnya, yaitu apakah perbedaan antara kita dengan hewan...?”
“Tentu saja banyak, Kakang!” sahut Sekar Mayang cepat.
“Salah satunya?”
“Binatang itu tidak sedap dipandang, bodoh, bebal, dan banyak yang lainnya.
“Binatang juga tidak mempunyai sopan-santun, budaya, adab, serta rasa malu. Hal itu ditunjukkan dengan aurat mereka yang terbuka, kawin sembarangan pada betina atau jantan mana pun yang mereka sukai, dan sama sekali tidak merasa malu ditonton orang banyak. Nah, kita bukannya binatang. Kita manusia, punya peradaban, punya akal, dan punya budaya. Kita harus menjaganya dengan baik. Lalu salah satu yang terlihat jelas membedakan kita dengan binatang adalah, dengan menutupi tubuh kita,” jelas Bayu.
“Apakah Kakang memintaku untuk terus mengenakan pakaian?” tanya Sekar Mayang menduga-duga.
“Syukurlah kau sudah pintar menebak. Tapi permintaanku lebih dari itu, yaitu suruhlah rakyat suku mu mengenakan pakaian agar kita berbeda dengan binatang. Bisakah kau penuhi?”
“Tentu saja, Kakang! Bahkan aku telah berpikir begitu sebelum kau minta!” sahut Sekar Mayang cepat.
Bayu tersenyum kecil. Gadis itu pun tersenyum. Keduanya memacu kuda mereka perlahan-lahan!
***
Apa yang diduga Sekar Mayang memang benar. Mereka bertanya-tanya tentang laki-laki yang tadi berteriak sambil menunjuk ke satu arah itu. Tidak seorang pun dari penduduk desa itu yang mengetahuinya. Dan mengetahui kenyataan itu semakin membuat Bayu geram saja. Dia merasa dibodohi padahal si penculik berada di depan matanya sendiri saat itu.
Sepanjang perjalanan tidak henti-hentinya pemuda itu menggeram dengan wajah kesal. Tapi Sekar Mayang selalu menghiburnya. Dan keadaan itu seperti berbalik pada mereka. Seharusnya Bayu yang memberi pelajaran bagaimana seharusnya bersikap dengan baik pada gadis itu, tapi kini dengan arifnya, malah Sekar Mayang yang menyadarkannya.
Menyadari hal itu Bayu jadi tersenyum-senyum sendiri dan mengakui bahwa naluri kewanitaan ternyata masih melekat erat di sanubari gadis itu. Namun ketika mereka kembali melewati beberapa buah desa, penculik-penculik semakin santer saja menjadi momok yang menakutkan. Dan yang membuat pemuda itu menjadi geram, karena si penculik sangat lihai dan sulit ditangkap.
Beberapa orang pemuda-pemuda desa yang gagah berani telah mencoba mengadakan ronda siang maupun malam untuk menangkap penculik bayi itu, namun penculikan bayi tetap saja terjadi. Tentu saja hal ini membuat mereka geram dan dendam bukan main.
“Kurang ajar...! Penculik bayi itu lihai sekali sehingga sampai saat ini kita belum juga mampu menangkapnya!” desis Bayu geram ketika mereka tiba di sebuah desa dan tempat itu hangat oleh cerita-cerita mengenai si penculik bayi.
“Kakang, bagaimana kalau si penculik itu kita pancing?” tanya Sekar Mayang mengusulkan.
“Pancingan bagaimana? Kok malah cengar-cengir?”
“Kakang kelihatannya gelisah dan kesal. Bagaimana kalau tenangkan hati baru kemudian kukatakan rencanaku....”
Mendengar nasihat gadis itu Bayu malah ikut-ikutan tersenyum. Dia menghela napas pendek, kemudian berkata dengan suara datar.
“Nah, aku kini lebih tenang. Coba ceritakan rencanamu...”
“Kita bersembunyi di rumah salah seorang keluarga yang mempunyai bayi atau hendak yang melahirkan. Ketika si penculik itu muncul, lalu kita sergap. Kita sudah punya gambaran bahwa penculik itu laki-laki dan masih berusia muda...”
“Tapi bagaimana caranya mendekati keluarga itu? Salah-salah malah kita yang dituduh akan menculik!” Sekar Mayang tersenyum.
“Kakang, bukankah nama Pendekar Pulau Neraka disegani dan dihormati banyak orang? Tidak ada salahnya sedikit membanggakan diri untuk rencana yang akan dijalankan. Kita datangi kepala desa dan ceritakan rencananya. Siapa tahu kepala desa bisa membantu untuk menjelaskan pada keluarga tersebut akan niat baik kita,” sahut Sekar Mayang menjelaskan.
Bayu memandang gadis itu sambil mengangguk pelan. “Hm, baik juga rencanamu. Kau betul-betul cerdas dan berbakat jadi kepala suku yang baik, Sekar!” puji Bayu.
“Sudahlah, simpan dulu pujian itu. Lebih baik kita bekerja, maka hasilnya akan lebih baik lagi. Ayo, kita temui dulu kepala desa ini!”
“Baiklah. Ayo...!” sahut Bayu sambil mengajak gadis itu menemui kepala desa yang berada di wilayah ini.
***
Laki-laki muda itu tampak gelisah sambil berjalan mondar-mandir di depan rumahnya. Sesekali dia duduk di bale-bale, namun tidak berapa lama telah berdiri kembali. Beberapa kali dia melirik ke dalam seolah meyakinkan bahwa segalanya akan berjalan dengan lancar.
Seorang pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun tampak berada di depan sebuah kamar sambil mempersiapkan segala sesuatunya sebagaimana layaknya menolong seseorang melahirkan.
“Kang Dadang, tenang saja. Lebih baik menunggu di sini...,” kata pemuda itu sambil memanggil laki-laki yang berada di luar.
Dadang memang gelisah. Hari ini dia akan menjadi seorang ayah. Dan menunggu kelahiran anak pertama memang amat menggelisahkan. Terlebih lagi setelah mendengar penculikan bayi yang demikian santer belakangan ini diberbagai desa. Meskipun kepala desa telah menghubunginya dan mengatakan bahwa rumahnya akan aman dijaga oleh dua pendekar hebat, namun hatinya masih belum tenang.
Kini dia memandang pemuda itu dengan sikap curiga. Sejak tadi dia memang tidak pernah mengalihkan perhatian sedikit pun terhadap pemuda itu. Nyai Lasinah yang membantu kelahiran anak pertamanya hari ini membawa pemuda bernama Damuri. Perempuan tua yang selama ini dikenal sebagai dukun beranak dari desa sebelah mengatakan bahwa pemuda itu adalah cucunya yang baru tiba dari desa lain.
Padahal selama ini Dadang belum pernah melihatnya. Nyai Lasinah hanya mengatakan Damuri diperlukan untuk membantunya. Sehingga ketika pemuda itu menyuruhnya masuk, dengan cepat Dadang ke dalam tanpa berkata apa-apa.
“Sebentar lagi, Kang...,” kata-kata Damuri yang bermaksud menghibur Dadang berhenti ketika dari dalam terdengar jeritan seorang bayi yang menangis kencang atas kehadirannya di bumi ini.
“Anakku! Oh, anakku...!” sentak Dadang sambil melompat girang ke dalam kamar. Mendadak pada saat itu terdengar teriakan nyaring dari arah luar.
“Tolooong...! Anakku diculik, tolooong...!”
***
Bayu dan Sekar Mayang yang berada tidak begitu jauh dari rumah Dadang tersentak kaget.
“Mayang, kau tetap di sini dan aku akan melihat apa yang terjadi di sana!” kata Bayu sambil melesat pergi dari tempat itu.
“Baik, Kakang...!” sahut gadis itu cepat. Setelah pemuda itu melesat pergi dari tempat itu, Sekar Mayang langsung ke dalam untuk memeriksa keadaan bayi Dadang.
“Apa yang telah terjadi Nisanak...?” tanya Dadang ketika melihat gadis itu di ambang pintu.
Sekar Mayang menghela napas lega. Dia melihat bayi Dadang sehat Istrinya pun memandangnya sambil tersenyum. Begitu juga dengan Nyai Lasinah.
“Entahlah. Bayu sedang memeriksanya...,” sahutnya datar.
“Jangan-jangan bayinya Nyi Murtinah...,” kata Dadang sambil tertegun.
“Nyi Murtinah? Siapa dia?” tanya Sekar Mayang.
“Apakah kepala desa tidak memberitahukan kalian berdua?” sahut Dadang balik bertanya.
Sekar Mayang menggeleng meskipun dia tidak begitu yakin.
“Bayi Nyi Murtinah baru berusia tiga bulan. Kasihan kalau dia menjadi korban...,” desah Dadang.
“Aku ingin membantu tapi Kakang Bayu..., dia mengatakan bahwa aku harus menjaga kalian di sini. Siapa tahu si penculik itu malah ke tempat ini,” sahut Sekar Mayang.
Mereka menunggu beberapa saat lamanya di tempat itu hingga Bayu kembali dengan wajah lesu.
“Bagaimana, Kakang...?” tanya Sekar Mayang cepat sambil memburu pemuda itu di depan pintu.
“Penculik itu kabur...,” sahut Bayu lesu.
“Bayi siapa yang diculiknya?”
“Seorang wanita bernama..., Nyi Murtinah.”
“Astaga! Kasihan wanita itu...!” desis Dadang serta mereka yang berada di tempat itu.
“Si penculik membayar dua orang untuk mengecohku...,” lanjut Bayu geram.
“Mengecoh bagaimana?” tanya Sekar Mayang.
“Ketika wanita muda berteriak-teriak, kulihat dua orang berlari dengan arah yang berbeda. Sebagian penduduk mengejar seorang dan seorang lagi kukejar. Mereka ternyata hanya membawa sebatang kayu yang diselimuti kain, sedangkan penculik yang sebenarnya berhasil kabur tanpa diketahui ke mana larinya. Aku telah mencari-cari ke sekeliling desa ini namun tidak menemui jejaknya,” jelas pemuda itu.
“Keparat!” desis Dadang geram terhadap kedua kaki tangan si penculik.
“Lalu ke mana kedua orang itu sekarang?” tanya Sekar Mayang.
“Yang seorang terluka parah dan dalam keadaan tidak sadarkan diri dihajar oleh penduduk desa, sedangkan yang seorang lagi kuserahkan kepada kepala desa untuk diadili. Aku telah memaksanya untuk mengatakan di mana si penculik itu berada, namun mereka sama sekali tidak mengetahuinya. Kedua orang itu adalah pengemis, dan mereka sama sekali belum pernah bertemu dengan orang yang menyuruhnya itu sebelumnya. Walaupun aku telah memaksa, hasilnya tetap saja nihil. Mereka benar-benar tidak mengetahui di mana penculik itu berada,” sahut Bayu kembali dengan wajah lesu bercampur geram.
“Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang...?” tanya Sekar Mayang.
Bayu menghela napas sambil melangkah pelan ke beranda depan diikuti oleh Sekar Mayang.
“Apa yang diinginkan si penculik itu sebenarnya? Apakah sekadar membuat kekacauan ataukah tumbal untuk mendapatkan ilmu hitam..., he?!”
“Kau menemukan sesuatu, Kakang?” tanya Sekar Mayang ketika melihat perubahan wajah pemuda itu.
Bayu memandangnya dengan seksama. “Sudah berapa banyak bayi yang berhasil diculiknya...?”
“Yang kita ketahui saja lebih dari sepuluh orang...,” sahut Sekar Mayang dengan wajah sedih.
“Ya, kita tak mengetahui yang lainnya...,” timpal Bayu kembali lesu.
“Kau menduga tentang apa, Kakang...?”
“Kurasa ini ada kaitannya dengan tumbal untuk mendapatkan ilmu hitam...!” desis pemuda itu lirih.
“Ilmu hitam? Ilmu apa itu?”
“Ilmu yang diperoleh dengan jalan tidak baik dan menyusahkan orang lain untuk mendapatkannya. Seperti si penculik bayi itu....”
“Apakah Kakang yakin bahwa si penculik itu sedang menjalankan syarat untuk mendapatkan ilmu hitam?”
“Entahlah, mungkin benar, tapi mungkin juga salah....”
“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, Kakang...?”
Bayu tidak langsung menjawab melainkan melirik orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka menatap dirinya sejak dari tadi dengan wajah penuh harap. Pemuda itu kembali memalingkan wajah ke arah Sekar Mayang.
“Tidak keberatankah kau kalau kita menunggu mereka barang sehari atau dua hari...?”
“Kenapa aku mesti keberatan?” Bayu tersenyum tipis.
“Kalau begitu syukurlah....”
***
Sesosok tubuh itu terus berlari dengan kencang menembus kegelapan malam dan menerobos semak belukar di pinggiran hutan yang tidak terlalu lebat. Dari mulutnya tidak henti-henti terdengar tawanya yang menyeramkan.
“Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka, kembali kau terkecoh! Ha ha ha...! Setelah urusan ini selesai maka kau akan menjadi tumbal yang terakhir! Ha ha ha...!”
Sesosok tubuh itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya tak buruk namun berkesan sadis dan menunjukkan sinar mata yang menyeramkan seperti menyiratkan dendam kesumat yang mendalam di hatinya. Kedua tangannya membopong seorang bayi yang sejak tadi terus menangis.
Laki-laki muda itu terus berlari menjauh ke kaki sebuah gunung yang menjulang tinggi. Tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya dia terus mendaki lereng gunung itu hingga ke puncaknya. Langit terlihat gelap karena sejak sore tadi mendung terus menebal. Beberapa kali terlihat kilat membelah angkasa ditingkahi geledek yang keras. Pemuda itu tiba di mulut sebuah gua ketika rintik hujan mulai turun.
“He he he...! Eyang Denowo, hari ini kau akan bangkit dari tidur panjangmu! Kau akan menurut pada perintahku, dan kita akan mengejutkan jagat ini...!” teriaknya sambil tertawa girang.
Ruangan di dalam gua itu terlihat suram. Satu-satunya penerangan hanya sebuah obor yang tergantung di salah satu dinding ruangan. Di tengah-tengah ruangan gua itu terdapat sebuah altar batu berbentuk segi empat dengan tinggi sekitar lima jengkal dari permukaan tanah. Di atasnya terlihat sesosok tubuh tergeletak diam tak bergerak.
“He he he...! Sabarlah sebentar lagi, Eyang. Kau akan bangkit dan kita akan mengejutkan jagat ini!” lanjut pemuda itu sambil terkekeh-kekeh.
Dia memperhatikan dengan seksama tubuh yang tergeletak di altar itu. Pakaiannya compang-camping dan kulitnya hitam serta kotor. Rambutnya panjang dan hitam lebat tidak terurus. Tubuhnya kurus dengan tulang rusuk yang bertonjolan. Kuku-kuku kaki dan tangannya panjang dan runcing.
Pemuda itu menyalakan pedupaan sehingga asapnya mengepul memenuhi ruangan gua. Dia sendiri duduk bersila dengan bayi yang berada di depannya. Mulut pemuda itu komat-kamit membaca mantra. Perlahan-lahan dia mengeluarkan sebilah pisau tajam dari balik pinggangnya dan diletakkan di dekat si bayi.
“Eyang Denowo, hari ini kau akan bangkit! Hari ini kau akan bangkit untuk mematuhi segala perintahku...!” kata pemuda itu dengan suara berat dan mengandung daya sihir yang kuat.
Bersamaan dengan suara geledek menggelegar dan cahaya kilat yang menerangi ruangan gua itu untuk sesaat, pemuda itu berdiri tegak sambil mengangkat tubuh si bayi dengan tangan kiri.
Sementara tangan kanannya menggenggam pisau. Si bayi yang sejak tadi kedinginan masih terus menangis ketika tubuhnya diangkat di atas tubuh seorang yang tergeletak di altar itu. Lalu sambil komat-kamit membaca mantra, si pemuda itu mengangkat pisau di tangan kanannya tinggi-tinggi, dan....
Blesss...!
Tubuh bayi itu ditikamnya! Si bayi menjerit keras, namun dengan sadis si pemuda mencabik-cabik tubuhnya hingga darahnya bertetesan ke bawah. Setelah darah si bayi tumpah memenuhi tubuh di bawahnya, si pemuda mencampakkannya begitu saja membentur dinding gua itu. Dia melumuri darah di tubuh mayat yang tergeletak di altar sampai rata sambil membaca mantra.
“Eyang Denowo, hari ini darah bayi yang telah genap membasuh tubuhmu dua puluh orang. Seperti usiamu yang telah dua ratus tahun, maka kau akan bangkit! Demi roh-roh liar yang bersemayam dalam jagat ini, maka bangkitlah kau! Tunduklah pada segala perintahku! Aku adalah penguasamu, aku adalah jiwamu, dan kau adalah pembantuku! Bangkitlah Eyang Denowo, bangkitlah...!”
Kilat kembali membelah angkasa diiringi geledek menggelegar. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Wajahnya terlihat cerah dan sepasang matanya melotot gembira ketika melihat jari-jari tangan dan kaki mayat yang dipanggilnya Eyang Denowo itu bergerak-gerak.
“Ayo, bangkit! Bangkitlah cepat..!” teriaknya dengan girang.
Perlahan-lahan Eyang Denowo bangkit dan duduk di atas altar itu. Kelopak matanya yang tadi terkatup, perlahan-lahan terbuka dan memancarkan sinar kesadisan yang membuat takut siapa saja yang memandangnya. Pemuda itu terkejut untuk beberapa saat lamanya. Namun dengan mantap dia membalas tatapan mata itu sambil berkata dengan suara berat.
“Eyang Denowo, hari ini kau telah bangkit dan aku yang membangkitkan mu! Aku Pergiwa yang telah membangkitkan mu! Untuk itu kau harus patuh terhadap perintahku...!” kata si pemuda yang menyebut namanya Pergiwa.
Eyang Denowo berdiri tegak dengan mulut terkatup. Bola matanya masih memandang tajam ke arah pemuda itu. Kemudian terdengar suaranya yang berat dan parau.
“Par... giwa, a... ku patuh pa... damu...!”
“Bagus! Bagus...! Menurut catatan di peta yang ada padaku maka dahulu kala kau adalah seorang tokoh sakti yang tidak terkalahkan. Ilmu kesaktianmu hebat tiada tara. Maka dengan kesaktianmu itu kau harus membantuku!” sahut pemuda itu tegas.
“Apa yang bisa kubantu untukmu...?” sahut Eyang Denowo dengan suaranya yang serak dan berat.
“Aku mempunyai dendam yang dalam terhadap seorang yang bernama Pendekar Pulau Neraka. Kau harus membunuhnya untukku! Dia harus mampus! Kau ingat itu...?!”
“Pendekar Pulau Neraka akan mampus...!” ulang Eyang Denowo.
“Bagus! Bagus...! Ha ha ha...! Kakang Somantri, Kakang Bagira, serta adikku Palguna..., hari ini akan kita balas dendam kita terhadap si keparat itu! Salah kalian sendiri, kenapa dulu tidak percaya pada kata-kataku! Aku telah membuktikan bahwa isi peta itu benar! Aku telah membuktikannya...! Ha ha ha...! Tapi jangan khawatir, aku akan bereskan segalanya...!” teriak Pergiwa dengan suara menggelegar nyaring seakan hendak meruntuhkan dinding-dinding gua itu.
Beberapa saat kemudian kedua orang itu berlari-lari kencang menuruni bukit Beberapa kali Pergiwa tampak tertinggal. Kecepatan bergerak Eyang Denowo sungguh luar biasa. Namun laki-laki tua yang kelihatan masih berusia sekitar empat puluh tahun itu menunggunya dengan sabar, lalu dengan cepat disambarnya tubuh Pergiwa dan dibawanya menuruni lereng gunung dengan berlari kencang!
***
Di ujung Desa Pasirjaya, hujan masih turun dengan deras. Tidak seorang pun penduduk yang mau keluar dalam cuaca seperti ini. Semuanya tenggelam dalam lelap dan mimpi indah sambil menyelimuti diri dari hawa dingin yang turun seperti menggigit sumsum tulang.
Kesunyian dan ketenangan desa seperti tersentak ketika dari kejauhan terdengar teriakan-teriakan panjang dengan nada ketakutan. Mula-mula terdengar sayup-sayup, namun lama-kelamaan semakin semarak karena setiap rumah mulai ambruk satu persatu.
“Tolooong...! Tolooong...!”
“Ada apa?” tanya beberapa orang dengan wajah kaget.
“Ada orang gila mengamuk. Tolooong, dia membunuh banyak orang dengan kejam!”
“Kurang ajar...!” geram beberapa pemuda desa sambil mencabut senjata tajam mendatangi orang gila yang dikatakan itu.
Apa yang dikatakan orang-orang sedang berlarian menyelamatkan diri itu memang benar. Dua orang asing yang sama sekali bukan penduduk desa itu mengamuk sejadi-jadinya. Mereka menghancurkan beberapa rumah yang menghalangi jalannya. Beberapa orang penduduk yang dekat dengan mereka binasa terkena hantaman pukulan-pukulannya. Tentu saja hal itu semakin membuat geram pemuda-pemuda desa itu. Dengan serentak mereka mengepung kedua orang gila itu.
“Hei, Iblis Laknat! Menyerahlah kau untuk menerima hukuman!” bentak salah seorang dari pemuda-pemuda itu garang sambil menghunuskan goloknya yang tajam.
“Ha ha ha...! Kecoa-kecoa busuk. He, ke sinilah kalian kalau mau mampus di tangan Pergiwa. Ayo, ke sini!” bentak salah seorang dari kedua orang gila yang berusia muda itu sambil balas mengacungkan golok.
“Keparat!” maki seseorang. Bersama dua orang kawannya dia langsung melompat menyerang kedua lawannya itu.
“Hup...!”
“Uts...!”
Crasss!
Brettt! Brettt!
“Aaakh...!”
Terdengar pekikan ketiga pemuda desa itu ketika tubuh mereka terpental sambil bermandikan darah. Golok di tangan Pergiwa menyambar leher salah seorang di antara mereka setelah dia berhasil mengelakkan sambaran senjata lawan.
Sementara seorang lagi yang tidak lain dari Eyang Denowo, langsung menyambar kedua lawannya dengan mengibaskan kuku-kuku tangannya yang runcing. Kedua pemuda desa itu sempat terkejut ketika golok mereka sama sekali tidak mampu melukai kulit tubuh lawannya. Dan keduanya tidak sempat lagi menyelamatkan diri ketika Eyang Denowo menghajar dada mereka hingga robek lebar.
“Keparat! Dia telah membunuh tiga orang kawan kita. Ayo, kita hajar keduanya beramai-ramai...!” teriak salah seorang pemuda desa lainnya memberi aba-aba.
Maka dengan amarah yang meluap-luap, lebih dari lima belas orang pemuda desa itu langsung menyerang kedua lawannya yang sedang mengamuk dengan garang.
“Hiyaaa...!”
Crakkk!
Brettt!
“Aaa...!”
Dengan geram Pergiwa memapaki serangan mereka sambil bergerak ke sana kemari menghindari tebasan golok lawan lawannya. Lalu dengan cepat dia menghunuskan golok menyambar dua orang yang terdekat Kembali terdengar jeritan panjang ketika kedua orang itu ambruk bermandikan darah saat ujung golok lawan menebas leher mereka.
Sementara apa yang dilakukan Eyang Denowo lebih dahsyat lagi. Tubuhnya yang tidak mempan senjata tajam, membuatnya leluasa membantai lawan-lawannya. Sekali saja dia bergerak, maka dua jiwa melayang. Sedangkan orang itu mampu bergerak secepat kilat. Sehingga tidak mengherankan bila dalam waktu singkat saja korban banyak berjatuhan.
“Lariii...! Kita tidak mampu menghadapi mereka. Kedua orang itu bukan manusia melainkan iblis!” teriak salah seorang memberi komando.
Dua orang pemuda desa yang tersisa langsung mengambil jurus seribu dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Namun kedua orang lawannya tidak membiarkannya begitu saja. Terlebih-lebih Eyang Denowo. Tubuhnya langsung melesat dengan ringan mengejar keduanya.
Brettt..!
“Aaakh...!”
Kedua orang itu menjerit setinggi langit ketika punggung mereka robek dicakar Eyang Denowo dari belakang. Keduanya tersungkur ke depan sambil bermandikan darah. Nyawa mereka melayang beberapa saat kemudian.
“Lari...! Selamatkan diri kalian...!” teriak yang lainnya memberi peringatan.
Maka penduduk desa Pasirjaya yang tadi tenang, kini sibuk menyelamatkan diri sambil membawa apa saja yang mereka sambar. Namun kedua orang itu agaknya tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Sebagian penduduk desa itu mereka hadang dan dibantai dengan kejam, sementara sebagian lagi berhasil menyelamatkan diri.
“Ha ha ha...! Ayo, larilah kalian! Larilah sejauh-jauhnya dan katakan bahwa Pergiwa akan menggetarkan jagat ini...! Ha ha ha...!” teriak pemuda bertubuh sedang itu sambil berteriak dengan suara menggelegar diiringi hujan dan geledek yang masih terus turun.
***
Desa Watumekar termasuk kawasan yang cukup ramai penduduknya. Selain itu di daerah ini pun terdapat sebuah perguruan silat yang namanya cukup termashur di rimba persilatan, yaitu Perguruan Bambu Kuning yang diketuai oleh Ki Pergola.
Orang tua yang berusia sekitar enam puluh tahun itu terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat sehingga tidak heran bila dia dijuluki Pendekar Pedang Maut. Senjatanya yang khas terbuat dari bahan yang sederhana, gagang pedang dan warangkanya terbuat dari bambu kuning yang amat langka.
Selain berusia ratusan tahun karena merupakan warisan turun-temurun, bambu kuning itu pun tidak pernah pudar warnanya dan sedikit pun tidak menunjukkan tanda-tanda keropos.
Pagi yang cerah menyelimuti desa itu ketika semalam hujan turun dengan lebatnya mengguyur bumi. Penduduk desa itu mulai keluar satu persatu untuk mencari nafkah. Sementara itu dua orang bertampang lusuh memasuki desa itu dengan langkah perlahan-lahan.
Yang seorang adalah pemuda bertubuh sedang dengan golok terselip di pinggangnya, sedangkan yang seorang lagi adalah laki-laki kurus dengan pakaian compang-camping. Sorot mata mereka tajam menusuk. Dan tidak sedikit pun senyum tersungging dibibirnya. Beberapa orang yang berpapasan dengan keduanya langsung menyingkir dengan perasaan seram.
Salah seorang bocah berusia tujuh tahun tengah berlarian sambil berkejaran dengan dua orang kawannya. Secara tidak sengaja dia menabrak laki-laki bertubuh kurus itu. Laki-laki itu menggeram buas. Anak kecil itu terhenyak ketakutan dengan wajah ketakutan.
“Ma... maaf, Pak...,” katanya dengan suara gemetar.
“Hhh...!”
Tappp!
Sambil menggeram marah, laki-laki itu langsung mencengkeram tengkuk anak kecil itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Lalu....
Plas!
“Aaa...!”
Tanpa mengenal rasa kasihan tubuh anak itu dihempaskannya keras menghantam sebuah dinding rumah yang langsung jebol berantakan. Anak kecil itu memekik keras, tubuhnya remuk begitu menyentuh tanah. Nafasnya mengap-mengap untuk beberapa saat sebelum nyawanya lepas dari raga.
“Anakku...! Keparat kau...!” seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang tidak lain dari bapak anak itu tersentak kaget.
Dengan cepat dia mengejar anaknya dengan amarah yang meluap-luap bercampur rasa sedih yang mendalam. Melihat kelakuan pendatang itu, beberapa penduduk desa langsung mengepungnya dengan senjata terhunus dan sikap marah.
“Hei, Iblis Keparat! Perbuatanmu sungguh biadab! Menyerahlah kau untuk menerima hukuman!” bentak salah seorang dengan garang.
“Hei, kau! Minggirlah kalau tidak ingin mampus!” sahut si pemuda yang berada di samping laki-laki bertubuh kurus itu dengan sikap tak kalah garangnya.
“Keparat! Kalian rupanya benar-benar iblis laknat. Lebih baik kau mampus dulu!” sahut orang tadi sambil menghunuskan golok menyambar pemuda itu.
Wuttt!
“Uts...!”
Ketika golok itu menyambar ke arah dada, dengan cepat pemuda itu mengelak ke samping. Lalu dengan cepat dia mencabut golok dan menyambar leher lawannya.
Crasss!
“Aaa...!”
Orang itu menjerit keras. Tubuhnya langsung ambruk bermandikan darah dengan leher nyaris putus. Hal ini membuat yang lainnya menjadi kalap dan menyerang keduanya dengan garang dan amarah yang meluap-luap. Namun melihat penduduk desa mengeroyoknya, kedua orang yang berwajah kumuh dan sadis itu bukannya menjadi takut. Mereka malah menyambutnya dengan bersemangat sambil tertawa-tawa.
“Ha ha ha...! Ayo, maju kalian semua! Maju kalau mau ingin cepat mampus!”
“Yeaaah...!”
Bettt!
Crasss!
“Aaa....”
Korban kembali berjatuhan dengan sekali berkelebat Gerakan kedua orang itu cukup gesit untuk menghindar dari serangan-serangan. Lalu dengan tiba-tiba menyerang dengan cara yang tidak terduga. Tubuhnya ringan sekali melayang, lalu melesat dengan cepat sambil mengayunkan cakar mautnya menyambar lawan. Dia seperti tidak peduli dengan senjata-senjata lawannya yang menghantam tubuhnya dengan telak. Tak satu pun dari senjata-senjata itu yang mampu melukai kulit tubuhnya.
“Gila! Laki-laki kurus itu memiliki ilmu kebal. Percuma saja kita membacoknya!” desis salah seorang penyerangnya dengan wajah kaget. Padahal dia telah membacok punggung laki-laki bertubuh kurus itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya.
Brettt!
“Aaa...!”
Orang itu langsung menjerit kesakitan ketika dengan tiba-tiba cakar lawan berhasil merobek perutnya sehingga isinya terurai keluar. Tubuhnya langsung ambruk bermandikan darah. Beberapa orang kawannya yang hendak membantunya kembali ambruk dengan dada robek terkena cakaran laki-laki kurus itu.
Sepak terjang laki-laki kurus itu sangat dahsyat Dalam waktu singkat dia telah berhasil menewaskan sepuluh orang lawannya. Hal itu membuat yang lainnya berpikir dua kali untuk menyerangnya. Bahkan banyak di antara penduduk desa itu yang langsung lari menyelamatkan diri. Sementara sisanya yang tinggal beberapa orang itu habis dihajar oleh kedua orang itu tanpa ampun.
“Ayo, siapa lagi yang mau mampus?! Majulah ke sini! Hari ini tidak seorang pun yang boleh menghalang-halangiku! Aku Pergiwa adalah penguasa jagat..!” teriak pemuda yang berada di sebelah laki-laki bertubuh kurus itu sambil menepuk dada dengan sombong.
Sambil melangkah pelan memasuki desa, mereka menghajar siapa saja yang berani mendekat. Sepak terjang kedua orang itu membuat penduduk desa menjadi gempar dan ketakutan. Mereka sibuk menyelamatkan diri, sementara yang berada di dalam rumah langsung mengunci pintunya rapat-rapat.
“Kisanak, hentikan perbuatan biadabmu...!”
“Huh apakah kalian mau mampus juga? Ayo, majulah ke sini?!” bentak Pergiwa dengan garang, ketika tujuh orang pemuda seusianya melompat ke hadapannya.
***
Ketujuh orang pemuda itu masing-masing menggenggam sebatang pedang bambu kuning. Mereka adalah murid-murid Perguruan Bambu Kuning. Mendengar keributan di tengah desa, mereka langsung ke tempat ini dan menghadang kedua orang laki-laki itu. Salah seorang yang bertubuh tegap dan memakai baju kuning maju tiga langkah sambil menatap tajam ke arah Pergiwa dan kawannya.
“Kisanak, tindakanmu sungguh biadab dan tidak memiliki belas kasihan. Kalian adalah iblis-iblis yang musti dilenyapkan dari muka bumi ini!” geram pemuda berbaju merah.
“Hei, kutu busuk! Tutup mulutmu! Lebih baik kau menyingkir dari hadapanku, kalau tidak ingin mampus!” sahut Pergiwa balas membentak.
“Keparat! Agaknya kalian memang patut diberi pelajaran. Lihat serangan ini!” bentak pemuda berbaju merah itu geram sambil melompat menghunus pedangnya.
Sringngng!
Trak!
Wuttt!
Pergiwa langsung menyambutnya dengan gesit. Ketika senjata mereka beradu, terlihat pemuda berbaju merah itu mengeluh menahan rasa sakit pada telapak tangannya. Hal itu membuktikan bahwa tenaga dalam lawan lebih tinggi satu tingkat dibandingkan dengannya. Namun hal itu tidak membuatnya patah semangat. Dia kembali menyerang lawannya dengan dahsyat.
Sementara itu murid-murid Perguruan Bambu Kuning yang lainnya langsung menyerang kawan Pergiwa yang tidak lain dari Eyang Denowo. Laki-laki bertubuh kurus itu menggeram buas dan melompat bagai seekor harimau liar. Dari mulutnya terdengar erangan-erangan mendirikan bulu roma.
“Hup!”
Trak!
Brettt...!
Dua orang langsung mencabut pedangnya dan langsung menghantamkan ke perut dan pinggang lawannya. Tapi alangkah terkejutnya mereka ketika senjata itu seperti menghantam dinding baja yang tebal. Lalu dengan cepat Eyang Denowo mengayunkan cakarnya ke tenggorokan mereka.
“Aaa...!”
“Keparat! Mampuslah kau, yeaaah...!” dua orang kawannya langsung membabatkan pedangnya dengan geram dan amarah yang meluap-luap begitu melihat kawannya tewas dengan cara yang mengerikan. Sementara itu kedua orang lagi mengepung dari kiri dan kanan.
Eyang Denowo sama sekali tidak bergeming melihat keadaan itu. Tanpa mempedulikan pedang lawannya yang membabat pinggang dan perutnya, dia memapaki kedua senjata lawan yang berada di depannya dengan pergelangan tangan.
Takkk!
“Heh?!” seperti kawannya tadi, kedua orang itu tersentak kaget ketika merasakan pedang mereka seperti menghantam benda yang sangat keras.
Brettt! Brettt!
“Aaa...!”
Pada saat keduanya tertegun, Eyang Denowo langsung mengibaskan tangan dengan keras. Dua orang lawan di depannya menjerit tertahan ketika leher mereka robek lebar. Begitu juga dengan lawan yang berada di sebelah kanannya. Perut mereka robek tersambar kuku kaki kanan Eyang Denowo yang sangat tajam.
“Yeaaah...!”
“Aaa...!”
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, laki-laki kurus itu langsung melompat menyerang lawannya yang tinggal seorang lagi. Bersamaan dengan itu, Pergiwa pun baru saja menyelesaikan pertarungannya. Pedang di tangan lawannya terlepas saat senjata mereka beradu. Kaki kanannya langsung menyodok ke arah perut Pemuda berbaju merah itu terpekik ketika tubuhnya terjungkal kebelakang. Dengan buas Pergiwa melompat mengejar dan menyabetkan goloknya ke arah perut Lawannya kembali terpekik. Isi perutnya terurai keluar, dan tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat sebelum diam tidak berkutik.
Trak!
Brettt!
“Aaa...!”
Sementara itu sisa murid Perguruan Bambu Kuning tidak punya pilihan lain untuk menangkis serangan lawan selain mengayunkan pedangnya. Tapi hal itu percuma saja, sebab dengan sekali tepis pedangnya berhasil dibuat terpental oleh lawan. Kaki kanan laki-laki kurus itu menyodok ke arah dada. Kuku-kukunya yang panjang dan runcing langsung menembus ke jantung lawan. Lalu dengan sadis, ujung kakinya itu mengoyak dada lawan sehingga isinya terurai berantakan.
“Keparat! Jahanam! Mampuslah kau...!”
Bersamaan dengan itu terdengar bentakan nyaring yang penuh luapan amarah. Tanpa menoleh Eyang Denowo langsung menangkis dengan tangannya. Tubuhnya mencelat ke atas sambil berputar. Tangan kanannya menyodok ke dada lawan yang baru datang itu.
“Hiiih!”
“Uts...!”
Brettt!
Orang itu terkejut setengah mati melihat kecepatan lawan bergerak. Dia bermaksud mengelak dengan merendahkan tubuhnya, namun tetap saja kuku tangan lawan berhasil merobek dadanya sedikit Ketika dia berguling-gulingan menyelamatkan diri, Eyang Denowo telah berputar di atas tubuhnya bagai seekor elang mengincar mangsanya.
“Yeaaah...!”
Orang itu membentak nyaring. Dari telapak tangannya melesat selarik sinar merah pudar ke arah lawan. Namun dengan gesit Eyang Denowo berkelit menghindar. Eyang Denowo menggeram hebat, dan bersamaan dengan itu dari telapak tangannya melesat sinar lembayung yang berhawa panas menerpa tubuh lawannya tanpa bisa dielakkan lagi.
Blarrr!
“Ki Sontang Perwira...!” terdengar seseorang berteriak dengan wajah terkejut.
***
DELAPAN
Seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun diikuti dengan beberapa orang bersenjata pedang bambu kuning mendapati sesosok tubuh yang hancur berantakan dihajar pukulan Eyang Denowo. Orang tua yang memakai baju putih tampak terhenyak. Seolah dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lama dia tertegun sebelum akhirnya berdiri tegak memandang tajam ke arah laki-laki kurus itu.
“Siapa kau sebenarnya? Kesaktianmu sungguh hebat, namun kelakuanmu lebih hebat lagi dengan mengacau dan membunuh orang-orang tanpa sebab?” tanya orang tua itu dengan suara tajam menusuk.
Eyang Denowo diam tak menjawab. Dia memandang orang tua itu dengan tatapan mata tajam. Pergiwa langsung melangkah mendekati sehingga jarak mereka hanya lima langkah.
“Aku Pergiwa penguasa jagat ini Kuperintahkan kau tunduk dan mencium kakiku...!” katanya dengan pongah.
“Pemuda keparat! Kau pikir siapa dirimu berani memerintah Ki Pergola, he?!” sahut orang itu mengeram marah sambil menyebutkan namanya.
“Siapa yang peduli denganmu, he? Ciumlah kakiku atau kau bakal mampus!” bentak Pergiwa hebat.
“Setan! Kepandaian kawanmu itu memang hebat sehingga dia dengan mudah berhasil membinasakan kawanku. Tapi ingin kulihat, sampai di mana kepandaianmu!” desis Ki Pergola yang tidak lain adalah Ketua Perguruan Bambu Kuning itu sambil menyodokkan ujung warangka pedang bambu kuningnya ke dada lawan.
“Uts...!”
Dengan gesit Pergiwa mengelak ke samping, namun tiba-tiba ujung sarung pedang lawan telah berada dekat dengan lehernya. Cepat cepat dia menjatuhkan diri, dan terpaksa melompat ke belakang sambil berteriak ketika ujung pedang lawan hampir saja menyodok dadanya.
“Eyang Denowo, bunuh dia...!”
“Yeaaah...!”
Takkk!
“Heh...?!”
Saat itu juga Eyang Denowo langsung melompat memapaki serangan lawan. Ki Pergola memutar warangka pedangnya sambil menyambar dada lawan. Namun dengan gesit Eyang Denowo menangkis dengan tangan kirinya. Ki Pergola tersentak kaget. Padahal dia telah mengerahkan tenaga dalamnya yang paling tinggi untuk menghantam lawan, namun tangannya bergetar hebat seperti menghantam dinding baja yang amat tebal. Belum lagi habis rasa kagetnya, mendadak ujung kuku kaki lawan yang runcing nyaris merobek perutnya kalau saja dia tidak cepat melompat ke belakang.
“Hup!”
“Yeaaah...!”
Eyang Denowo langsung melompat mengejar lawan tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk lolos. Cakar tangan kirinya menyambar dada lawan. Ki Pergola memutar tubuhnya sambil mengibaskan ujung warangka pedangnya ke batok kepala lawan. Namun bukannya mengelak, Eyang Denowo malah menangkapnya. Lalu bersamaan dengan itu kaki kirinya menyambar perut lawan.
“Uts...!”
Sringngng!
“Yeaaah...!”
Tubuh Ki Pergola bergerak ke samping dan terus melompat ke belakang sambil menarik pedangnya dari warangka yang masih dalam genggaman lawan. Dengan warangka pedang lawan yang berada di tangannya, Eyang Denowo langsung melesat cepat menghajar lawan.
Tras! Trak!
Brettt!
“Aaakh...!”
Dengan cepat Ki Pergola membabat warangka pedangnya, dan batang pedangnya terus membabat pergelangan tangan lawan. Eyang Denowo tidak berusaha menghindar, dan hal itu tentu saja membuat Ki Pergola terkejut. Pedang pusakanya sama sekali tidak mampu melukai lengan lawan. Malah cakar kiri lawan nyaris mengoyak dadanya kalau saja Ki Pergola tidak cepat-cepat menjatuhkan diri. Tak urung dadanya berhasil digores cakar lawan yang sangat tajam.
“Celaka...! Kuku-kukunya mengandung racun...!” desis Ki Pergola tersentak kaget ketika di sekitar goresan di dadanya itu terlihat berwarna ungu kehitam-hitaman.
Ki Pergola berusaha menotok jalan darah di sekitar goresan luka untuk menghilangkan rasa sakit serta menghambat jalannya racun ke jantung. Namun keadaan Ki Pergola demikian kritis, sebab pada detik itu juga lawan telah melompat menyerangnya dengan kecepatan kilat Beberapa orang muridnya yang cemas melihat keadaan gurunya itu, berusaha menolong dengan menghadang serangan lawan. Namun hal itu sepertinya tidak menghalangi Eyang Denowo untuk menghajar guru mereka, sebab kecepatan bergerak laki-laki kurus itu tidak mampu diimbangi oleh murid-murid Perguruan Bambu Kuning.
Sementara itu dengan tabah Ki Pergola berusaha bertahan sambil bersiap memapaki serangan lawan. Dia mengeluh dalam hati, sebab merasa yakin bahwa dia tidak akan mampu melawan serangan lawan meskipun dengan senjata pusaka di tangannya. Racun akibat cakaran lawan sangat dahsyat Walaupun Ki Pergola telah menotok jalan darahnya, agar racun itu tidak menyebar ke seluruh tubuh, namun tetap saja tangan kanannya mulai kesemutan dan sukar digerakkan. Sementara jantungnya sendiri mulai terasa sakit seperti dihimpit benda keras.
“Yeaaah...!”
Plakkk!
Wuttt!
“Heh...?!”
***
Pada saat-saat yang kritis bagi jiwa Ki Pergola, tiba-tiba melesat sesosok tubuh putih yang langsung menangkis serangan lawan. Tubuh Eyang Denowo melenting cepat dan langsung menyambar lawan yang baru datang itu dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. Namun lawan barunya itu dengan gesit menghindari serangannya, lalu dengan tiba-tiba telah berada di atas kepala sambil mengayunkan satu tendangan menggeledek. Tubuh Eyang Denowo berputar ke samping menghindari serangan. Tapi tiba-tiba....
Dukkk!
Satu hajaran keras membuat tubuh Eyang Denowo terjajar beberapa langkah ke belakang. Tidak terdengar keluh kesakitan dari mulutnya. Dia sudah bersiap untuk menyerang lawan barunya itu kalau saja Pergiwa tidak melarangnya.
“Eyang Denowo, hentikan dulu seranganmu...!”
Eyang Denowo menggeram keras, namun dia amat patuh dan tegak berdiri mengawasi lawannya itu. Sementara Pergiwa tertawa girang ketika mengetahui siapa orang yang baru datang itu.
“Pendekar Pulau Neraka, agaknya kau datang menjemput mautmu sendiri...!”
Orang yang baru datang itu memang adalah Bayu Hanggara alias Pendekar Pulau Neraka. Bersamanya juga terlihat seorang gadis cantik berambut panjang dan lebat dengan pedang panjang yang terselip di pinggangnya. Gadis itu tidak lain dari Sekar Mayang.
“Pergiwa, hm.... Kenapa tidak terpikir olehku bahwa kerusuhan yang selama ini terjadi adalah ulahmu...,” sahut Bayu dingin.
“Ha ha ha...! Dasar pendekar tolol, padahal aku pernah beberapa kali berada di depan hidungmu dengan melakukan penculikan-penculikan bayi itu. Tapi dengan mudah aku mengecohmu. Dan hari ini bukan saja aku akan mengecohmu melainkan akan melenyapkanmu selama-lamanya!” sahut Pergiwa sambil tertawa penuh kemenangan.
“Hm, jadi kaukah yang menculik bayi-bayi itu? Kau apakan tubuh-tubuh tak berdosa itu?” tanya Pendekar Pulau Neraka dingin.
“Inilah dia jawabannya!” sahut Pergiwa singkat sambil menunjuk ke arah Eyang Denowo.
Pendekar Pulau Neraka segera mengerti ke mana arah pembicaraan pemuda itu. Wajahnya terlihat geram.
“Pergiwa, kau betul-betul iblis berwujud manusia. Hatimu kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Tega benar kau membunuh bayi-bayi tak berdosa itu, demi keinginan untuk menuruti dendam kesumat di hatimu!” desis Pendekar Pulau Neraka.
“Ha ha ha...! Kau boleh berkata apa saja yang kau suka, tapi sebaiknya kau siapkan saja dirimu sendiri untuk menjemput ajalmu, karena sebentar lagi Eyang Denowo akan menghajarmu sampai mampus! Ha ha ha...!
Pendekar Pulau Neraka yang katanya sangat hebat, hari ini akan mampus di tangan Pergiwa!” sahut Pergiwa dengan suara keras dan tertawa terbahak-bahak.
Bayu mencibir mendengar kata-kata pemuda itu. Dia kemudian berpaling ke arah Sekar Mayang.
“Sekar, maukah kau membantuku untuk melenyapkan iblis keparat ini?!”
“Tentu saja. Dengan senang hati akan kulakukan, Kakang...!” sahut gadis itu cepat.
“Huh, segala gadis ingusan hendak kau andalkan untuk menghadapiku!” dengus Pergiwa sinis.
Bayu cuma tersenyum di hati. Dia tahu betul kehebatan Pergiwa, dan tidak mungkin dalam waktu seminggu dia mampu menambah kepandaiannya dengan cepat. Ilmu silat Sekar Mayang memang tidak begitu hebat, tapi bukan berarti berada di bawah kepandaian Pergiwa. Lagi pula gadis itu sangat cerdik dan memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat hebat. Meski Pendekar Pulau Neraka bisa merasakan bahwa tenaga dalam Pergiwa berada di atas gadis itu. Paling tidak kalau mereka bertarung, Sekar Mayang mampu bertahan puluhan jurus. Dan kalau gadis itu cerdik dengan mencari peluang kelemahan lawan lalu bergerak cepat, bukan tidak mungkin Pergiwa dapat dikalahkannya.
Sementara itu mendengar kata-kata yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka, Pergiwa menjadi cemas sendiri dan langsung memerintahkan Eyang Denowo untuk menyerang musuh besarnya itu.
“Eyang Denowo, inilah dia orangnya yang bernama Pendekar Pulau Neraka. Dialah musuh besar kita yang harus dilenyapkan segera. Kau harus bertarung habis-habisan dengannya! Kau harus membuatnya mampus...!” teriak Pergiwa berulang-ulang dengan suara seperti mengandung daya sihir.
Selesai dengan kata-katanya itu, Eyang Denowo menggeram buas dan langsung melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
“Yeaaah...!”
Bersamaan dengan itu Sekar Mayang pun melompat menyerang Pergiwa.
“Uts...!”
Pendekar Pulau Neraka sedikit terkejut melihat lawannya mampu bergerak secepat kilat menyerangnya. Hampir saja kuku tangan kiri lawan berhasil merobek tenggorokannya kalau saja dia tidak menundukkan kepalanya ke belakang lalu tubuhnya melenting sambil mengayunkan kedua kakinya menendang perut lawan yang tengah mengapung di atasnya.
Dukkk!
Tubuh Eyang Denowo terlempar ke atas, namun dalam keadaan berputar, lalu melesat turun dengan deras menyambar tubuh Pendekar Pulau Neraka. Bayu mendecak kagum sambil menggelengkan kepala melihat kekebalan tubuh lawannya. Padahal tendangannya tadi sangat kuat dan mampu menghancurkan batu karang. Namun Eyang Denowo sepertinya tidak merasakan sakit sama sekali.
Bettt!
“Uhhh...!”
Pendekar Pulau Neraka mengeluh pelan ketika cakar tangan kiri lawan nyaris merobek mukanya. Namun dengan begitu dia bisa merasakan hawa racun yang kuat yang ada di kuku-kuku lawannya dan hal itu membuat dirinya harus lebih hati-hati lagi agar cakar lawan jangan sampai menggores di tubuhnya.
Wukkk!
Desss!
“Aaakh...!”
Ketika tubuhnya bergerak ke samping untuk menghindari cakaran tangan kiri lawan, saat itu juga tubuh Eyang Denowo berputar. Ujung kaki kanannya yang memiliki kuku-kuku runcing mengibas dua kali dalam gerak meluruk ke atas ke bawah. Pendekar Pulau Neraka terpaksa melompat ke belakang. Namun pada saat itu dengan tiba-tiba, tumit lawan dengan telak menghajar dadanya.
Pendekar Pulau Neraka mengeluh kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah karena dadanya seperti dihantam godam yang sangat berat. Namun masih untung dia mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya meski dengan kuda-kuda yang limbung.
Dari sudut bibirnya menetes darah segar. Tapi saat itu juga tubuh Eyang Denowo telah melesat cepat menyerang ke arahnya. Lawan seperti tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun padanya untuk bernapas.
Singngng!
Srettt!
“Aaakh...!”
***
Merasa bahwa dengan tangan kosong dia bisa celaka walaupun mampu menghindari serangan-serangan lawan, maka pemuda itu langsung mengebutkan tangan kanannya dengan kuat. Eyang Denowo tersentak kaget. Wajahnya tampak pucat begitu melihat benda berwarna keperakan melesat cepat ke arahnya.
Tapi orang itu sepertinya tidak mau menarik serangannya, seolah-olah dia ingin menguji sampai di mana kekebalan tubuhnya terhadap senjata tajam. Dan ketika Cakra Maut itu menyambar dadanya, kedua orang itu sama-sama terkejut! Eyang Denowo terpekik kesakitan sambil menggelepar-gelepar.
Tubuhnya untuk sesaat limbung. Namun kemudian orang itu bangkit sambil meraung-raung dengan kemarahan yang memuncak. Dadanya tampak robek dan mengeluarkan darah segar terkena sambaran Cakra Maut. Baru kali ini ada senjata tajam yang mampu merobek kulit tubuhnya.
Pendekar Pulau Neraka tampak juga terkejut, karena melihat Cakra Mautnya tidak berhasil membinasakan Eyang Denowo. Biasanya Cakra Mautnya itu sangat ampuh, dan mampu menembus tubuh lawan. Tapi tidak halnya dengan Eyang Denowo, Cakra Maut itu hanya mampu merobek kulit luarnya saja tanpa mampu menembus tubuhnya.
Eyang Denowo bersiap-siap menyerang Pendekar Pulau Neraka. Kuku-kuku tangannya yang panjang dan runcing menyambar-nyambar ke segala arah. Dari kuku yang panjang dan tajam itu mengepul uap putih yang sangat menyesakkan dadanya. Dengan melentingkan tubuhnya, Pendekar Pulau Neraka berhasil menghindari serangan-serangan itu. Eyang Denowo sangat murka melihat serangan-serangannya berhasil dihindari lawan dengan mudah.
Dalam kemarahannya yang meluap-luap itu, Eyang Denowo kembali mengerahkan segenap kekuatan dalam dirinya untuk membinasakan lawan. Telapak tangannya disorongkan ke muka dan dari telapak tangannya itu melesat selarik sinar lembayung menghajar Pendekar Pulau Neraka. Bayu berusaha menghindari serangan itu tapi terlambat. Dadanya dengan telak terkena pukulan jarak jauh lawan. Tubuh Pendekar Pulau Neraka terjajar dua langkah dan dari bibirnya menetes darah segar.
Melihat lawan terluka Eyang Denowo meningkatkan serangannya. Kuku-kuku tangannya yang runcing dan tajam menyambar-nyambar ke wajah Pendekar Pulau Neraka dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa, dengan susah payah sambil berguling-gulingan Pendekar Pulau Neraka menghindari serangan itu. Dan pada suatu kesempatan dia berhasil melepaskan diri dari serangan lawan. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya ke wajah lawannya itu.
Singngng!
Crab!
“Aaakh...!”
Eyang Denowo tersentak kaget melihat benda keperakan berbentuk segi enam melesat cepat ke arahnya. Tanpa mampu dihindari lagi Cakra Maut itu berhasil menancap tepat di mata kanannya. Eyang Denowo meraung-raung setinggi langit dengan suara menggelegar, tubuhnya langsung limbung dan dari matanya mengalir darah segar. Pendekar Pulau Neraka tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sambil berteriak keras dia kembali menyerang lawan dengan pukulan mautnya.
“Yeaaah...!”
Buk! Buk!
“Aaa...!”
Eyang Denowo kembali terpekik keras ketika pukulan maut Pendekar Pulau Neraka berhasil menghantam kepalanya dengan telak. Tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat sebelum akhirnya diam untuk selama-lamanya. Bersamaan dengan binasanya Eyang Denowo, tubuh Pendekar Pulau Neraka menjadi lemas dan dia jatuh terduduk.
“Kakang, kau tidak apa-apa...?” tanya Sekar Mayang dengan tergopoh-gopoh menghampiri pemuda itu.
“Aku.... Aku tidak apa-apa. Bagaimana Pergiwa...?”
“Dia sudah kubuat mampus, Kang! Ilmu silatnya ternyata tidak seberapa, sehingga dengan mudah aku berhasil membinasakannya...!” sahut Sekar Mayang sambil menyandarkan pemuda itu di bawah sebatang pohon.
“Ah, syukurlah. Aku tahu kau hebat dan bisa diandalkan....”
“Kakang, kau terluka dalam. Sebaiknya kita ke tempat ayahku. Beliau mampu merawatmu dengan baik,” kata Sekar Mayang dengan wajah cemas sambil menyeka darah yang menetes dari sudut bibir Bayu.
“Apakah itu berarti kau telah siap pulang...?”
“Kakang, jangan pikirkan itu dulu. Pikirkanlah keselamatanmu sekarang...!” sahut gadis itu sambil memapah tubuh Bayu menaiki kudanya.
Pada saat itu beberapa orang murid Perguruan Bambu Kuning menghampiri keduanya.
“Kisanak, guru kami menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan kalian menyingkirkan kedua manusia iblis ini,” kata salah seorang dari mereka.
“Oh, ya. Bagaimana keadaan gurumu...?” tanya Bayu.
Namun agaknya pemuda itu tidak perlu menunggu jawaban murid Ki Pergola karena dilihatnya orang tua itu diam tak bergerak, sementara beberapa orang muridnya yang lain menangis terisak-isak sambil memangku tubuh orang tua itu.
“Racun itu telah merenggut nyawanya, meskipun beliau telah berusaha, namun racun itu sangat dahsyat..,” jelas orang itu.
Pendekar Pulau Neraka tertunduk lesu. Bola matanya memandang sayu ketika perlahan-lahan dia mendekati orang tua itu. Lalu ketika murid-murid Perguruan Bambu Kuning berpamitan untuk mengebumikan jenazah gurunya itu, Bayu masih tetap duduk terpaku.
“Kakang, kenapa kau bersedih? Apakah orang tua itu saudaramu?” tanya Sekar Mayang heran.
Bayu menggeleng.
Lalu kenapa kau musti bersedih? Bukankah dia bukan saudaramu?”
“Kita patut bersedih karena dia tewas untuk membantu orang banyak dari kekacauan yang ditimbulkan dua iblis tadi...,” jelas Bayu.
“Tapi bukankah kita yang membinasakan kedua iblis itu? Kenapa musti bersedih pada orang tua itu?”
“Usaha yang dilakukannya mulia, jadi bukan berarti kita harus melupakannya begitu saja karena dia gagal dan tewas. Hukum peradaban manusia lebih menekankan perasaan halus seorang manusia dengan dasar cinta dan kasih sayang kepada sesamanya. Merasa bahwa semua manusia itu adalah saudara...,” jelas Bayu singkat sambil melompat ke punggung kudanya.
Sekar Mayang masih bingung, dan sambil mengejar Bayu yang telah lebih dulu melesat dengan memacu kudanya kencang, gadis itu berpikir keras tentang apa yang dikatakan Bayu tadi, lalu memperbandingkannya dengan pelajaran hidup yang diperolehnya selama melakukan perjalanan dengan pemuda itu.
SELESAI