Dua Musuh Turunan Lanjutan (Peng Tjong Hiap Eng) Bagian 3
Menuruti hawa amarahnya, Hek
Moko menyerang pula, secara kalap. Bukan main gencarnya serangan itu. Terang ia
lupa pantangan bergusar untuk orang yang tengah berkelahi, nyata ia sudah kena
terjebak lawannya itu.
Satu kali Tan Hong menabas
lengan orang, untuk herannya, pedangnya merosot di antara lengan itu. Ia tidak
tahu, lawannya mempunyai ilmu silat India yang dinamakan “jie-kee”, yang
membuat lengannya jadi kuat dan licin.
Gusar Hek Moko karena serangan
itu, hingga dia berteriak, “Bocah, akan aku adu jiwaku dengan jiwamu!” Terus
saja dia lompat sambil menyerang dengan tongkatnya.
Dengan berani Tan Hong tangkis
serangan itu, lalu ia membalas.
Hek Moko berlaku cerdik, ia
berkelit sambil lompat jumpalitan, waktu ia menaruh kakinya di lantai, ia
barengi dengan merubuhkan diri, kemudian menyusul itu, dengan kesebatannya, ia
balas menyerang, ujung tongkatnya menyambar lawannya, yang ia sodok hebat
sekali.
Untung bagi Tan Hong, ia telah
berlaku waspada, jeli matanya, lincah gerakannya, maka itu ketika serangan
sampai, ia sempat egoskan tubuhnya. Tentu saja, ia pun tidak mau diam, habis
berkelit, ia maju menyerang.
In Lui telah saksikan satu
pertarungan yang dashyat sekali. Kedua belah pihak tidak mau menyerah satu pada
lain, itulah yang hebat. Sinar hijau dari tongkat kemala seperti bersaing
dengan sinar putih dari pedang. Kalau si Hantu Hitam nampaknya ganas, lawannya
berlaku tenang, sekarang ini tidak lagi si orang she Thio bersenyum-senyum,
sebaliknya, ia berlaku sungguh-sungguh.
Sebenarnya Hek Moko telah
bersilat dengan ilmu tongkat “Thian-mo-thung”, “Tongkat Iblis”, ia andalkan
ilmu tongkatnya itu, akan tetapi kali ini, ia kecele. Sudah seratus jurus lebih
ia layani Tan Hong, sama sekali ia tidak peroleh hasil, maka akhirnya, ia sedot
hawa dingin.
Pek Moko, si Hantu Putih,
telah saksikan pertempuran itu, ia lihat saudaranya berkecil hati, tetapi
karena di antara mereka sudah ada janji, tidak bisa ia nyerbu ke dalam
kalangan, untuk membantu saudara itu. Maka ia Cuma bisa menonton saja.
Selagi pertempuran berjalan
terus, tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok dan burung-burung berkicau di
luar kuburan. Itulah tanda bahwa sang malam sudah lewat dan sang fajar telah
datang menggantikan tugas alam.
Hek Moko menjadi tegang
sendirinya, karena ia tidak dapat peroleh hasil, saking penasaran, ia coba
menyerang dengan terlebih dashyat pula, hingga pertarungan menjadi lebih hebat.
Thio Tan Hong berlaku tenang,
ia tidak biarkan dirinya dipengaruhi kekalapan orang. Ia berlaku waspada,
matanya awas, gerakannya sebat. Ia menangkis dan berkelit dengan beraturan. Ia
membalas menyerang setiap ada ketikanya.
In Lui terus menonton dengan
hati tertarik. Sejak masih kecil ia telah belajar silat kepada Hui-thian
Liong-lie Yap Eng Eng, karena sekarang ia telah berusia tujuh belas tahun,
tepat lamanya sepuluh tahun ia menuntut ilmunya itu. Di samping itu, berkat
didikan gurunya, ia juga kenal pelbagai ilmu silat pedang dari lain kaum,
hingga ia bisa dianggap sudah ulung juga. Hanya kali ini, heran ia atas ilmu
pedangnya Thio Tan Hong. Ia sudah mengawasi begitu lama, ia telah
memperhatikannya dengan seksama, tapi tidak juga ia ketahui, dari golongna mana
ilmu silat pedang itu. Ia merasa ada persamaannya dengan ilmu pedangnya
sendiri, ia pun merasakan ada perbedaannya. Ia merasa seperti pernah lihat ilmu
silat itu, akan tetapi tak pernah ia dengar gurunya menceritakannya. Karenanya,
ia jadi bersangsi, ia jadi heran.
“Ah, mestinya ada hubungannya
antara ilmu pedang itu dengan ilmu pedangku,” akhirnya In Lui ambil kesimpulan
sesudah ia mengawasi pula sekian lama. Karena ini, ia seperti tenggelam dalam
pikirannya sendiri, hingga ia tidak perhatikan jalannya pertempuran. Tiba-tiba
saja ia ingat kata-kata gurunya pada malam sebelum ia turun gunung.
Hari itu adalah malam Tiesek,
satu malam sebelum tahun baru, di puncak bukit Siauw Han San di Su-coan Utara,
di dalam sebuah guha batu, dinyalakan dua belas batang lilin besar. Dan lilin
itu sama rupanya dengan lilin yang ia saksikan sekarang. Ketika itu, di antara
cahaya lilin, yang mengitarinya ada duduk seorang wanita dari usia pertengahan
serta satu nona yang cantik sekali bagaikan bunga. Mereka itu adalah Hui-thian
Liong-lie Yap Eng Eng dan murid satu-satunya yang dia sayangi, ialah In Lui. Di
dalam guha itu telah disediakan barang makanan, tetapi bukan untuk pesta
menyambut tahun baru, hanya guna perjamuan perpisahan antara guru dan muridnya
itu. Pelajaran si nona dianggap sudah sampai pada batasnya dan sang guru
menitahkan muridnya turun gunung, untuk mencari pengalaman. In Lui terima titah
itu, besoknya hendak ia meninggalkan rumah perguruan.
Dari gurunya itu, In Lui telah
ketahui asal-usulnya, tentang sakit hati yang hebat sekali, bagaikan “laut yang
berdarah”. Ia senantiasa memikirkannya, ia selalu memikir untuk
melampiaskannya. Untuk itu ia mesti turun gunung. Untuk itu perlu ia
sempurnakan dahulu ilmu silatnya. Adalah di luar sangkaannya, sang guru menjamu
ia malam itu dan ia diharuskan turun gunung besok paginya. Kenapa guru itu
tidak menyebutkannya, menerangkannya, sejak siang-siang? Kenapa demikian
mendadak?
Maka itu, selagi menerima
titah, In Lui berpikir, pada wajahnya tampak roman heran.
Yap Eng Eng telah lihat tegas
roman muridnya itu, ia diam saja, cawan demi cawan ia keringkan dan setelah
menghabiskan yang ketiga, tiba-tiba ia menghela napas.
“Satu tahun akan dilewatkan
dalam satu malam,” katanya, perlahan. “Pada dua belas tahun yang lampau telah
aku antarkan satu orang, bukan, hanya telah aku usir, dan pada malam ini,
kembali hendak aku mengantar kau pergi…”
In Lui berdiam. Tak mengerti
akan kata-kata gurunya itu, kata-kata yang ia anggap tidak keruan
juntrungannya. Ia melainkan awasi gurunya itu.
Habis mengucap, Hui-thian
Liong-lie menghela napas pula, terus ia tatap muridnya. Dengan
sekonyong-konyong ia berkata kepada muridnya itu, “Setelah kau turun gunung,
kalau nanti kau tiba di Mongolia, apabila kau menemui seseorang, kau katakan
padanya bahwa aku menyuruh dia pulang…”
“Siapakah orang itu, Suhu?”
tanya In Lui, setelah ia berdiam sekian lama.
Ditanya muridnya, tiba-tiba
Hui-thian Liong-lie tertawa. Setelah itu, segera wajahnya menjadi merah.
“Itulah Sam-supehe Chia Thian
Hoa mu,” katanya, dengan perlahan. (Sam-supee ialah paman guru lebih tua yang
ketiga)
“Sam-supee Chia Thian Hoa?” In
Lui ulangi. “Bukankah samsupee telah pergi ke Mongolia untuk menolongi aku
membalas dendam kakekku, ialah guna membinasakan Thio Cong Ciu?”
“Benar!” sahut sang guru.
“Ketika dia pergi ke Mongolia, itu adalah kejadian pada sepuluh tahun yan
glalu, akan tetapi waktu dia berpisah dari aku, itu ada pada malam seperti ini
pada dua belas tahun yang lampau…Ilmu silatnya sudah sempurna, dia pun pendiam
tetapi cerdas. Dia mengatakan dia hendak membalas sakit hati kakekmu, pasti dia
telah mewujudkan maksud hatinya itu, malah untuk itu, tak usah dia tunggu
sampai sepuluh tahun…”
“Kalau begitu, kenapa setelah
pergi sepuluh tahun lamanya, dari dia tidak ada kabar ceritanya?” tanya In Lui.
Sang guru menghela napas pula.
“Aku duga ia memang tidak
berniat kembali,” sahutnya.
“Kenapa begitu, suhu?”
Sang murid benar-benar tidak
mengerti.
Hui-thian Liong Lie tidak
menjawab, ia hanya menyimpang.
“Semua ilmu silat pedang dari
pelbagai partai telah aku ketahui,” berkata guru ini. “Partai banyak sekali
jumlahnya. Melainkan satu macam ilmu pedang dari satu partai, belum pernah aku
melihatnya. Kau katakana, tidakkah ini aneh?”
In Lui berdiam, akan tetapi
hatinya berpikir. Memang jumlah partai ada sangat banyak, dari itu apa yang
dibuat heran kalau ada ilmu silat suatu partai yang belum diketahui. Akan
tetapi, setelah ia dengar lebih jauh perkataan gurunya, ia menjadi heran
sekali, hingga ia terkejut.
Dengan sungguh-sungguh, guru
itu menambahkan, “Itu adalah ilmu silat pedang dari kaum kita sendiri….”
Karena herannya, In Lui jadi
melongo.
Ketika itu, api lilin di dalam
ruangan tengah memain, dalam keadaan seperti itu, teringat In Lui pada gurunya,
pada kata-kata gurunya itu. Ia seperti nampak pula wajah menyesal dari gurunya.
Ketika itu, ia telah minta penjelasan pada gurunya. Dan gurunya itu menjawab,
“Kau tidak tahu, pelajaranmu sekarang ini memang ada dari partai kita, akan
tetapi sebenarnya, apa yang kau dapatkan baru sebagian, separuhnya.”
“Bagaimana, suhu?” In Lui
ingat ia telah menanya gurunya, karena benar-benar ia sangat tidak mengerti. Bukankah
aneh yang ia baharu dapat kepandaian separuhnya saja.
Hui-thian Liong-lie telah
memberikan keterangan terlebih jauh kepada muridnya itu.
Duduknya hal adalah disebabkan
tabeat dari Hian Kee It-su, yaitu couwsee atau kakek guru In Lui. Kakek guru ini
diantaranya mempunyai dua macam ilmu pedang “Ban-liu Tiauw-hay Goan Goan
Kiam-hoat” atau ringkasnya “Goan Goan Kiam-hoat” dan “Pek-pian Im-yang Hian Kee
Kiam-hoat”. Dan kedua ilmu pedang itu diturunkan masing-masing kepada guru dan
paman guru yang ketiga dari In Lui. Namanya saja mereka telah mewariskan penuh,
sebenarnya baharu separuh. Kakek guru itu memberi penjelasan bahwa dengan susah
payah ia telah meyakinkan kedua ilmu pedang itu, yang tidak dapat berbareng
diwariskan kedua-duanya kepada satu murid saja.
Menurut kakek itu, bila kedua
ilmu pedang dipadu satu dengan lain, maka Goan Goan Kiam-hoat dapat diumpamakan
sebagai “naga tidur” dan Hian Kee Kiam-hoat bagaikan “burung hong”. Katanya,
kalau kedua ilmu pedang diyakinkan oleh satu orang, akibatnya adalah ancaman
marah bahaya. Maka itu kedua muridnya dilarang saling mengajarkan satu kepada
lain.
Selagi pikiran In Lui melayang
kepada hal kedua ilmu pedang itu, tiba-tiba ia dengar Thio Tan Hong tertawa
berkakakan, yang mana disusul dengan seruan Pek Moko. Ia terkejut, segera ia
awasi kedua orang yang tengah bertempur itu. Nyata tertawa dan sesruan itu
disebabkan mereka menghadapi saat yang berbahaya. Pek Moko telah menyerang
secara dashyat, tongkatnya menyambar melintang, tapi serangan itu tak memberi hasil,
sebaliknya, ia kena ditikam pada iganya oleh Thio Tan Hong. Maka Tan Hong
tertawa dan ia berseru. Karena ini, tidak berani Pek Moko berlaku sembarangan
lagi.
Mengawasi gerak-geriknya Thio
Tan Hong, tiba-tiba In Lui sadar, “Bukankah ilmu pedang Tan Hong ini ada ilmu
pedang yang guruku belum pernah lihat dan pelajarkan? Mungkinkah selama di
Mongolia, samsupee telah mendapatkan satu murid? Inilah kepandaian yang tak
nanti bisa didapatkan kecuali dengan menyakinkan belasan tahun. Samsupee
bertujuan mewakilkan kakekku membalas dendam, tidak mungkin begitu ia tiba di
Mongolia lantas ia terima murid….”
Lantas In Lui ingat juga surat
dari paman gurunya yang kesatu, yaitu Toasupee Tang Gak, surat yang dikirim
kepada Kim Too Ceecu Ciu Kian. Maka berpikirlah ia terlebih jauh, “Kabarnya
samsupee telah ditawan musuh dan telah dipenjarakan di dalam istana bangsa
Tartar, maka itu mana bisa terjadi dalam tempo yang pendek ia telah menerima
murid dalam istana Mongol itu? Dan umpama kata benar ia terima murid, pastilah
bukan bangsa Han yang ia terima. Sebenarnya bagaimanakah duduknya hal?”
Maka ia menjadi sangat
bingung.
“Guruku sangat puji kepandaian
samsupee dan katanya samsupee bertabiat sangat keras, apa yang dia katakana
mesti dia jalankan, maka itu setelah ia berjanji akan mencari balas untuk
kakekku, pastilah sakit hati itu sudah terbalaskan, malah tentu telah
dijalankan sebelum sampai sepuluh tahun…”
In Lui berpikir demikian, ia
tidak tahu, sampai pada saat itu, Thio Cong Ciu masih ada di Mongolia, musuh
itu masih hidup dan berkuasa besar, sedang samsupeenya, paman guru yang ketiga
itu, entah bagaimana nasibnya.
Di kepala In Lui segera
terbayang keadaan pada malam perpisahan itu. Ia bayangkan gurunya minum
puas-puasan, dengan memakai cawan yang besar pula, sampai tanpa merasa, guru
itu sinting. Adalah waktu itu, sang guru telah menggulung tangan bajunya hingga
pada lengannya tampak tapak luka bekas guratan pedang, yang merupakan setangkai
bunga merah. Dengan sedih, guru itu berkata pada muridnya, “Anak Lui, satu
manusia tak dapat dia umbar adatnya. Siapa yang umbar adatnya, satu kali dia
berbuat salah, dia akan menyesal sesudah kasip. Pada dua belas tahun yang
lampau, aku telah mengusir samsupeemu, setelah itu setiap malam Tie-sek, aku
jadi menyesal dan berduka sekali, sakit hatiku bagaikan disayat-sayat, sampai
tak dapat aku bertahan, aku hunus pedang Ceng-beng-kiam dan mengguratnya di
lenganku ini. Hahaha! Nyata itu adalah obat mujarab sekali! Begitu aku merasa
kesakitan, begitu juga kedukaanku menjadi berkurang, lalu aku gurat-gurat
menjadi tangkaian bunga ini….Kau lihat! Tidakkah bunga merah ini, bunga darah,
ada indah?”
Ketika In Lui coba menghitung
guratan bunga itu, benar jumlahnya ada dua belas, tanpa merasa, ia bergidik.
Selagi ia tercengang, ia dengar gurunya melanjutkan kata-katanya, “Sudah
sepuluh tahun kau ikuti aku, untuk belajar silat, selama itu belum pernah kau
dengar aku tuturkan kau lelakon ini. Kau tahu, pada tiga belas tahun yang
lampau, aku mirip dengan kau, aku adalah satu nona yang bergembira, malah aku
ada terlebih bebas, hingga dengan merdeka dapat aku turuti adatku. Umpama ada
sesuatu yang aku tidak ketahui, mesti aku gunakan segala daya untuk mencari
tahu. Suhu melarang kita saling mengajari ilmu kepandaian, sampai di waktu
berlatih kita dipisahkan, tetapi semakin keras larangan guru, sesmaki keras
juga niatku untuk mengetahui keanehan itu. Thian Hoa dan aku ada bagaikan
saudara kandung, maka dapatlah kau mengerti adanya persahabatan kita. Kakek
gurumu mempunyai lima murid, kecuali ayahmu, In Teng yang keluar dari perguruan
sebelum tamat dan pergi ke Mongolia, kita berempat telah mendapatkan
masing-masing satu macam ilmu kepandaian. Maka itu, sekeluarnya kita dari rumah
perguruan, seolah-olah mempunyai satu partai tersendiri. Sudah kukatakan,
pergaulanku dengan Thian Hoa adalah yang paling rapat, maka selama beberapa
hari telah aku desak ia supaya ia perlihatkan ilmu kepandaiannya itu, tapi ia
selalu menampiknya. Sebetulnya tidak ada niatku akan pelajari kepandaiannya
itu, aku melainkan ingin melihatnya, guna menambah pengetahuan. Biasanya Thian
Hoa selalu menuruti kehendakku, tapi bila kita bicara tentang ilmu kepandaian,
lantas ia bungkam. Pernah pada malaman tahun baru ia datang padaku di gunungku
ini, Siauw Han San, selagi pasang omong, aku kembali minta ia mempertunjukkan
ilmu silatnya itu, aku malah mendesak. Atas desakan itu, ia tetap pada sikapnya
seperti dahulu, ia Cuma tertawa, tak mau ia menjawabnya. Aku menjadi tidak
senang, hingga aku tegur padanya. Aku katakana padanya “kau mengatakan bahwa
kau sangat sayangi aku, nyata semua itu palsu belaka!” Ditegur begitu, pucat
mukanya, beberapa kali bibirnya bergerak, tetapi akhirnya, tetap ia membungkam.
Dalam sengitku, aku cabut pedangku, aku tikam dia pada dadanya. Adalah maksudku
mengancam dia supaya dia menangkis dengan ilmu silatnya yang ingin aku lihat
itu, tapi dugaanku meleset. Dia nyata tidak berkelit juga. Maka pedang yang tak
sempat aku tarik kembali, sudah mengenai lengannya, hingga darahnya menetes
jatuh ke salju yang putih meletak, hingga salju itu jadi bercacat dengan
titik-titik merah, mirip dengan permata mulus bertotolkan merah sebesar kacang
kedele. Aku melengak. Selagi aku berdiam, tiba-tiba dia tutup mukanya, ia
menjerit satu kali, habis itu, tanpa perdulikan lukanya, dia lari turun gunung.
Beberapa hari sejak itu, kakek gurumu datang padaku, dia umbar hawa amarahnya
terhadapku, hampir saja dia hajar mati padaku, syukur toasuheng yaitu
toasupeemu, yang datang bersama, dapat mencegah dan membujuk padanya, dengan
begitu baharulah aku bebas dari kematian. Meski begitu, aku telah dihukum
batin, yaitu selama lima belas tahun, aku dimestikan bertapa menghadap tembok,
selama lima belas tahun itu, aku dilarang turun gunung, tak boleh sekalipun
dengan mencuri berlalu. Selama lima belas tahun itu, aku diperintahkan
melakukan dua hal. Kesatu aku dimestikan mempelajari dua rupa ilmu silat yang
paling sulit untuk diyakinkan. Kedua aku dimestikan mendidik satu murid yang
mesti pandai ilmu silat pedang Pek-pian Imyang Hian Kee Kiam-hoat . Untuk
mendapatkan murid itu, suhu titahkan orang-orang kamu kita tolong
mencarikannya. Padaku diberitahukan, apabila aku telah selesai melakukan dua
hal itu, muridku akan diberikan pedang Ceng-beng-kiam. Sekarang sudah dua belas
tahun, belum dapat aku selesaikan dua rupa ilmu silat itu. Adalah murid yang
mengerti ilmu pedang Hian Kee Kiam-hoat telah aku berhasil mendidiknya.”
Adalah mendengar keterangan
itu, In Lui baharu mengerti kenapa Hui-thian Liong Lie Yap Eng Eng, gurunya
itu, telah mengambil ia sebagai muridnya.
Waktu itu, gurunya masih
menerangkan lebih jauh, “Kau tahu, pergaulanku dengan Toasuheng Tang Gak juga
ada baik sekali. Tiga tahun setelah perkaraku itu, pada suatu waktu atas
titahnya kakek gurumu, dia pergi ke perbatasan Mongolia dan Tibet untuk suatu
tugas. Belum lama sekembalinya dia dari Tibet, kembali dia lakukan perjalanan
yang kedua kali. Kali ini, sebelumnya dia berangkat, dia ambil tempo untuk
sambangi aku. Dia nasihati aku untuk bersabat, akan menyakinkan ilmu silat di
atas Siauw han San. Dia kata, mungkin karena kesabaranku, aku peroleh
keberuntungan. Dia tanya aku “tahukah kenapa suhu melarang demikian keras kau
dan sutee Thian Hoa saling menukar kepandaian? Tahukah kau kenapa suhu jadi
demikian gusar?” Atas itu aku jawab “mana aku tahu? Apa yang aku ketahui,
adalah kebiasaan suhu yang ia suka melakukan sesuatu yang berada di luar
sangkaan. Hanya pernah satu kali aku dengar suhu berkata, kedua ilmu silat itu
bagaikan naga tidur dan burung hong, bahwa naga dan burung hong tak dapat
berada bersama-sama pada satu majikan, bahwa bila berada bersama mereka berdua
dapat mendatangkan bencana. Rupa-rupanya itu adalah suatu ramalan dari suhu,
kata-katanya aku tidak mengerti.” Mendengar keteranganku toasuheng tertawa. Dia
tanya aku “tahukah kau bahwa pada dua puluh tahun yang lalu, suhu pernah
berebut kedudukan kepala Rimba Persilatan dengan satu hantu? Bahwa karena itu,
suhu dan hantu itu sudah bertempur di puncak gunung Ngo Bie San selama tiga
hari dan tiga malam tanpa ada keputusan siapa menang dan siapa kalah?” Aku
jawab “aku tahu” Memang aku ketahui tentang pertempuran suhu itu. Toasuheng
lantas menjelaskan pula “Hantu itu adalah seorang she rangkap Siang-koan,
namnya Thian Ya. Dia adalah satu begal besar dari Rimba Hijau. Setelah pertempuran
itu, Siangkoan Thian Ya lantas menghilang, orang tak tahu dimana ia sembunyikan
diri. Sejak itu, selama dua puluh tahun suhu tak pernah berhati tenang mengenai
hantu itu. Begitulah aku pergi ke perbatasan Mongolia dan Tibet atas titah
suhu, tugasku itu tak lain tak bukan untuk mencari tahu tentang Siangkoan Thian
Ya.”
Kataku setelah aku dengar
penjelasan toasuheng itu “Hantu itu sederajat dengan suhu, dia juga sangat
jumawa, maka itu, andaikata benar dia ketahui sepak terjangmu, aku percaya
tidak nanti dia sudi melayani aku, orang dari golongan muda.”
Keterangan ini membuat hatiku
tetap. Sampai ketika itu, masih belum jelas, bagiku apa hubungannya urusan suhu
itu dengan si hantu dengan soal larangan kita saling menukar kepandaian, maka
karena ingin mengetahui, aku tanya toasuheng. Toasuheng tertawa, lalu ia
menjawab ‘menurut sangkaanku, mungkin suhu menghendaki kau dan sutee Thian Hoa
nanti pergi menghadapi hantu itu, supaya si hantu kena dikalahkan kamu berdua,
supaya kekalahannya itu diketahui oleh orang-orang gagah dari seluruh negara.
Rupanya suhu hendak perlihatkan, tidak usah suhu turun tangan sendiri, cukup
dengan murid-muridnya saja yang mempunyai kepandaian lihai’. Terperanjat aku
dengan keterangan itu. ‘Bagaimana itu bisa terjadi, toasuheng?’ aku kata ‘kalau
kepandaiaan kita dipadu dengan kepandaian suhu, itu adalah seumpama terangnya
kunang-kunang dengan sinar matahari atau rembulan! Mana dapat kita dibandingkan
dengan suhu? Suhu sendiri tidak sanggup mengalahkan hantu itu, sekarang kita yang
dititahkan mewakilkan suhu, apa itu tidak sama saja dengan mengantarkan jiwa?
Ah, toasuheng, tidakkah kau tengah bergurau?’
Toasuheng tertawa berkakakan,
ia kata ‘Jikalau suhu tidak punya kepercayaan, mustahil dia nanti biarkan kamu
pergi untuk mengantarkan jiwa secara Cuma-Cuma. Kau cerdik sekali, akan tetapi
kau tak nanti ketahui maksud suhu!’
Waktu itu aku benar-benar
tidak mengerti. Toasuheng rupanya dapat melihatnya, maka toasuheng berkata pula
‘Goan Goan Kiam-hoan itu, bersama-sama Hian Kee Kiam-hoat, adalah ilmu silat
yang suhu ciptakan dan yakinkan dengan susah payah sesudah ia perhatikan ilmu
silat pelbagai partai lainnya, yang semuanya ia gabung menjadi satu. Dari kedua
ilmu silat itu, bila satu saja orang dapat menguasainya, dia sudah menjagoi dalam
dunia kangouw, apalagi kalau orang pandai dua-duanya, maka tak akan ada
tandingannya di kolong langit ini. Apa yang luar biasa dari kedua ilmu pedang
itu, bertentangan nampaknya, sebenarnya ada bersatu. Dua orang tak usah melatih
diri lagi, bila menggunakannya dengan berbareng, asal menggunakannya dengan
cocok dan tepat. Maka aku percaya, inilah sebab mengapa suhu melarang kamu
berdua saling menukarnya. Suhu tentunya kuatir, bila kamu sudah saling
mengetahui, pemusatan pikiranmu terpecah. Tidakkah kemampuan sesuatu orang ada
batasnya masing-masing? Kedua ilmu silat itu sangat sulit, untuk mempelajari
yang satu saja, orang harus memusatkan seluruh pikirannya, atau orang akan
gagal. Orang pun membutuhkan tempo lebih daripada sepuluh tahun. Dari itu, bila
mempelajari kedua-duanya dengan berbareng, kesukaran tentu sampai di puncaknya.
Lagi pula harus diingat, kedua ilmu pedang itu diperuntukkan dua orang, maka
itu, tak usah orang mendapatkan dua-duanya. Masih ada satu persoalan. Siangkoan
Thian Ya itu sangat lihai, pasti sekali suhu kuatir dia mengetahui lebih dahulu
yang suhu telah meyakinkan suatu ilmu kepandaian untuk mengalahkan dia.’
Baharu sekarang dapat aku
menginsafinya. Terang sudah, suhu kuatirkan kita yang masih berusia muda,
menuruti nafsu hati kita yang muda itu. Umpama kalau kita tahu kita bisa
menjagoi, mungkin kita dapat menerbitkan onar. Atau nanti rahasia bocor dan
Siangkoan Thian Ya mengetahuinya, hingga dia bersiap-siap untuk membuat
perlawanan. Sampai disitu, aku tidak menanyakan terlebih jauh lagi.
Pada esok harinya, toasuheng
lantas berangkat jauh ke perbatasan Mongolia dan Tibet itu. Lalu selang dua
tahun lagi, Thian Hoa juga pergi ke Mongolia. Aku tahu sekarang, kedua ilmu
pedang itu dapat dipakai bersama-sama, akan tetapi belum pernah aku mencobanya.
Malah pedang dari Thian Hoa itu, satu jurus pun aku tak mengerti.”
Itulah semua yang terbayang di
kepala In Lui selagi ia awasi kedua orang bertempur dengan seru dan ulet.
Karena ia sangat cerdas, tiba-tiba ia ingat suatu hal. Ia pikir, “Kalau anak
muda ini benar-benar sedang menggunakan Goan Goan Kiam-hoat, bila aku turut
turun tangan, tidakkah musuh dapat segera dikalahkan?”
Tengan In Lui berpikir
demikian, ia dengar seruan Hek Moko, disusul dengan suaranya Thio Tan Hong,
maka ia lantas awasi pula mereka itu. Sekarang ia tampak suatu perubahan. Hek
Moko tidak lagi bergerak dengan lincah dan hebat seperti tadi, sebaliknya, dia
ayal bagaikan dia sedang menarik suatu benda berat seribu kati, tongkatnya
bergerak-berak ke timur dan barat dengan lambat, seolah-olah ia harus
menggunakan sangat banyak tenaga. Di samping si hantu itu, Thio Tan Hong sudah
lintangkan pedangnya di depan dadanya, wajahnya bersungguh-sungguh, terang dia
tengah memusatkan semangatnya kepada tongkat lawan.
Kedua lawan itu masih saling
menyerang, tapi sekarang serangannya sama ayalnya. Mereka bagaikan tengah
menghadapi hujan angin hebat yang baharu saja menjadi reda. Sedang sebenarnya,
mereka benar-benar sedang adu kepandaian, mereka tengah memperlihatkan kelihaian
mereka masing-masing. Setiap serangan merupakan serangan dari bahaya maut.
Ilmu pedangnya Thio Tan Hong
lihai tapi dia tak dapat menembus pembelaan tongkat kemala. Menampak itu, In
Lui insaf, orang she Thio itu masih kalah dalam hal iweekang atau ilmu dalam
disbanding dengan si hantu, hingga dia agaknya cuma bisa melindungi diri saja.
Ketika itu matahari dari musim
semi sudah mulai naik, cahayanya menembus masuk dari pintu kuburan yang
digempur Thio Tan Hong, yang belum sempat ditutup pula, maka itu, cahayanya
menembus masuk dari pintu kuburan yang digempur Thio Tan Hong, yang, yang belum
sempat ditutup pula, maka itu, cahayanya jadi mengganggu mata, lebih-lebih Thio
Tan Hong, yang matanya tersorot sinar tepat sekali.
Hek Moko dengan tongkatnya
mendesak lawannya, serangan tongkat itu tiap-tiap kali perdengarkan suara
angin. Di pihak sana, cahaya pedang dari Tan Hong jadi semakin kecil, sampai
cahaya itu seperti berputaran di atas kepalanya saja. Adalah setelah itu,
sambil berseru keras, si hantu hitam segera turunkan tangan jahatnya ke arah
batok kepala orang.
In Lui kaget, sampai ia
menjerit, “Celaka!” Tanpa berpikir panjang lagi, ia menyerang dengan tiga
batang Bwee-hoa Ouw-tiap-piauw.
Justeru itu, Tan Hong pun
berteriak, “Hiantee, lekas lari!”
Ketiga batang piauw menyambar
dengan hebat, akan tetapi kesudahannya, tidak ada hasilnya. Ketiga piauw itu
terpental ke lain arah, terkena sampokan pedang dan tongkat yang sedang
bergumul.
Adalah pada waktu itu Pek
Moko, si Hantu Putih, yang sedari tadi diam saja, sudah perdengarkan tertawa
yang nyaring, berbareng dengan mana tubuhnya mencelat bagaikan terbang,
menyambar ke arah In Lui, kedua tangannya yang panjang mencengkeram kepala
orang.
In Lui tangkis serangan itu,
atau segera ia rasakan pinggangnya kaku, maka dengan gesit ia lompat sejauh
setombak lebih. Ia keluarkan napas lega, dengan lintangkan pedangnya, ia
memasang mata.
Cepat luar biasa, pada tangan
Pek Moko sudah tercekal sebatang Pek-giok-thung, tongkat putih, dengan itu ia
ulangi serangannya pada si orang she In ini. Maka itu, berdua mereka jadi
bertempur.
Pek Moko tidak tahu bahwa
lawannya mencekal pedang mustika, ia baru terkejut ketika ujung pedangnya
menyambar pundaknya, hingga bajunya pecah, daging pundaknya turut terluka.
Hasil In Lui ini didapat karena ilmu enteng tubuhnya yang dapat bergerak dengan
gesit dan lincah. Meski begitu, ia juga tak luput dari tangan si hantu putih,
urat cek-sim-hiat di bebokongnya telah tersapu. Syukur, karena kedua-duanya
sama lihai, luka-luka mereka tidak berarti, mereka lanjutkan terus pertempuran
mereka.
Tongkat Pek-giok-thung dari
Pek Moko sama tangguhnya seperti tongkat Lek-giok-thung dari Hek Moko, asalnya
dari batu-batu kemala dari India, di samping itu, tenaga dalam dari si Hantu
Putih ini ada terlebih kuat daripada In Lui, maka itu, mengetahui tenaga besar
dari lawannya tak mau si nona melayani keras dengan keras. Begitu, waktu ia
diserang hebat, ia kelitkan diri.
Pek Moko lihai, ia pun
penasaran, ia perhebat serangannya. Ia desak lawannya hingga In Lui seperti
terkurung cahaya putih dari tongkatnya itu. Tongkat itu panjangnya tujuh kaki,
tetapi waktu digunakan, nampaknya seperti bertambah panjang satu tombak.
Dengan tubuhnya yang enteng,
In Lui berkelit dan mengegos tak hentinya dari hujan serangan, tetapi lama-lama
ia kewalahan juga.
Adalah di luar dugaan Thio Tan
Hong yang In Lui turun tangan, ia menjadi berkuatir untuk si nona. Itu pun
sebabnya mengapa berulang kali ia anjurkan “pemuda” itu untuk lekas angkat
kaki. Melayani Hek Moko, ia kalah tenaga dalam, ia jadi andalkan ilmu pedangnya
yang lihai, dengan itu, dapat ia bela dirinya. Tapi kalangan pedangnya menjadi
ciut, itulah daya pembelaannya yang istimewa, dengan begitu ia membuat Hek
Moko, si lawan, jadi kewalahan mendesak padanya. Dalam keadaan itu, ia mesti
saksikan In Lui, kawannya, yang juga terdesak musuh. Bagaimana ia tak jadi
kuatir? Maka ia lantas kuatkan hatinya, dengan tiba-tiba ia balas menyerang si
Hantu Hitam dengan hebat sekali. Dari terdesak, ia berbalik mendesak. Ia
berpendirian, “Untukku In Lui menghadapi bencana, karenanya, tak dapat aku
membiarkan dia terancam, mana boleh aku hidup sendiri?’
Hek Moko tertawa
terbahak-bahak.
“Apakah kamu berdua,
bocah-bocah, berniat angkat kaki?” katanya secara mengejek. Lalu ia mencoba
mendesak pula. Ia telah lihat In Lui berkelahi, ia percaya Pek Moko,
saudaranya, tidak bakal kalah, dari itu, tabah hatinya untuk kedua pihak
bertempur satu lawan satu.
Selagi ia sendiri didesak,
mendadak Thio Tan Hong dengar teriakan gembira dari In Lui. Nyata nona itu,
setelah dia mendesak dengan dua serangannya, berhasil menikam kaki kiri dan
kaki kanan dari si Hantu Putih, tidak perduli tikaman itu tidak membuat orang
rubuh.
Hek Moko pun mendesak, ia
menyerang hebat, tapi tongkatnya kena disampok terpental, hingga ia jadi
terkejut. Dalam sekejap itu, Tan Hong dan In Lui telah bekerja sama seperti
juga mereka berdua sudah berjanji.
“Kurung mereka!” Hek Moko
berteriak, sambil menganjurkan saudaranya, “Ambil jalan lie, injak jalan sun!”
Lie dan sun adalah garis-garis
Pat-kwa, Delapan Segi, garis-garis mana sudah dicangkok ilmu silat untuk
tindakan kaki.
Ilmu silat tongkat dari Hek
Pek Moko, yang dinamakan Thian Mo Thun atau tongkat Hatu Langit, juga bisa
dipakai bersilat secara bergabung, jadi mirip dengan ilmu pedang Tan Hong dan
In Lui itu. Ilmu silat ini berpokok pada garis-garis dari Pat-kwa, maka juga
Hek Moko perdengarkan anjurannya itu kepada saudaranya. Biasanya, dengan
kurungan ini, kedua hantu itu sukar membuat musuh lolos, tidak perduli lawan
tangguh. Mereka berdua adalah saudara-saudara kembar, yang hatinya atau
firasatnya sama.
Pek Moko tahan rasa sakitnya,
ia turut anjuran saudaranya, ia maju untuk mengurung, malah ia berlaku bengis
dengan serangan-serangannya.
Pertempuran ini membikin mata
keempat saudagar permata menjadi seperti kabur, mereka ini menonton dengan
tubuh seperti terpaku.
Hek Moko menyontek dengan
tongkatnya ke arah tenggorokan In Lui. Ia gunakan tipu silat tongkatnya yang
bernama Thian Mo hian ciu, atau Hantu Langit menyuguhkan arak, habis mana ia
meneruskan tusukannya ke lain arah.
In Lui mainkan tipu-tipu silat
dari Pek-pian Hian Kee Kiam-hoat untuk menghindarkan diri dari mara bahaya,
mula-mula dengan To coan Im-yang atau Memutarbalikkan imyang, ia tangkis
sontekan itu, lalu ia balas mendesak penyerangnya itu. Tapi hek Moko dapat
selamatkan diri berkat pengalamannya.
Di pihak lain, Pek Moko telah
menghajar Thio Tan Hong dengan tongkatnya, apa mau Tah Hong menangkis, demikian
keras, hingga kedua senjata beradu sambil perdengarkan suara nyaring. Begitu
rupa bergeraknya pedang orang she Thio ini, hingga terus menyambar ke arah
leher Hek Moko.
Si Hantu Hitam terkejut,
terpaksa ia biarkan In Lui, ia segera tangkis pedang ke arah lehernya itu. Ia
ada cukup sebat untuk menghindarkan diri dari serangan yang tidak
disangka-sangka itu. Setelah ini, ia geser tubuhnya ke garis kian, sedang Pek
Moko menyamping ke garis twee. Secara begini, kedua saudara ini bisa berbareng
menyerang Thio Tan Hong.
“Celaka!” teriak Thio Tan
Hong, yang belum sempat perbaiki dirinya.
Akan tetapi berbareng dengan
itu, In Lui telah siap dengan tangkisannya, hingga dapat ia talangi kawannya
itu, hingga Tan Hong jadi bebas dari ancaman. Malah setelah itu, dengan
bergeraknya kedua pedang itu, adalah Hek Pek Moko yang menjadi repot.
“Bagus!” teriak In Lui, air
muka siapa menjadi bercahaya terang. “Sepasang pedang telah bergabung, benar
lihai!” Dan kembali ia menyerang, ditimpali serangan Tan Hong, hingga kedua
pedang bergerak-gerak bagaikan ‘naga lincah’ sampai kedua hantu itu mesti
berulang-ulang mundur.
Thio Tan Hong merasa sangat
heran, ia menjadi bercuriga, ketia ia mengawasi si nona, yang ia lirik, In Lui
tertawa.
“Lihat!” kata “pemuda” itu.
“Bukankah tidak kecewa aku menjadi pelindungmu? Tak dapat kita memberi ampun,
mari kita maju bersama!”
Luar biasa gembiranya nona
ini, hingga ia ucapkan kata-kata “maju bersama” dalam arti “pundak rata” ialah
kata-kata kaum kang-ouw yang ia peroleh dari Ciu San Bin.
Tan Hong kaget dan heran, ia
juga merasa lucu. Tapi ia turut anjuran orang, ia ulangi desakannya, karena
mana, Hek Pek Moko mesti keluarkan seluruh kepandaiannya guna membela diri
mereka, walaupun demikian, tetap mereka kena dibikin repot.
‘Bagus, bagus!” berkata Tan
Hong kemudian. “Dengan kita bekerja sama, benar-benar kita ada bagaikan batu
permata yang digabung menjadi satu!”
Mendengar kata-kata orang itu,
In Lui terkejut hingga tanpa merasa wajahnya menjadi merah. Tapi ketika ia
tampak Tan Hong tertawa bergelak-gelak dan pedangnya dimainkan hebat sekali, ia
tidak dapat anggapan jelek mengenai kawan ini, sebab nyata si kawan bukannya
hendak berlaku ceriwis menggoda ia. Sambil tertawa, Tan Hong terus mengawasi
Hek Pek Moko, yang ia rangsek.
Kedua hantu berkelahi dengan
ambil kedudukan Pat-kwa, kalau tadinya mereka menang diatas angin, sekarang
setelah kedua pedang bergabung menjadi satu, mereka terus terdesak, mereka jadi
repot sekali, hingga mereka kewalahan melayani runtunan serangan lawan.
Sanngat rapi desakan In Lui
dan Tan Hong, ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah, semua serangan mereka
ada hubungannya satu dengan lain, pedang mereka bergerak-gerak bergelombang,
saling susul, naik dan turun.
Heran Hek Pek Moko, tidak
perduli mereka telah luas pengalamannya, mereka umpama kata menjadi bengong dengan
mulut ternganga. Maka itu tidak heran kalau Pek Moko kembali terkena satu
tusukan, dan Hek Moko kena dipapas gelang emasnya untuk menggelung rambutnya.
Akhirnya Hek Moko menghela
napas panjang, ia kata, “Ini dia yang dikatakan tua bangka umur delapan puluh
tahun kena dipermainkan bocah cilik. Sudah, sudahlah!” lantas saja, dengan
mendadak, ia tarik Pek Moko, untuk diajak lompat keluar kalangan, sedang
tongkatnya, ia lintangkan. Ia pun terus berseru, “Kamu menang! Tempat ini dapat
kamu kuasai!”
Kata-kata ini disambung dengan
seruan yang panjang, sesudah mana mereka, berikut kedua wanita Iran dan tukang
belinya, begitu juga si empat saudagar permata, yang mukanya pucat pasi, tanpa
berkata suatu apa, terus saja ngeloyor keluar dari kuburan itu.
Thio Tan Hong tertawa.
“Dua saudara itu benar-benar
ada orang aneh!” katanya. “Sayang mereka tak dapat dihitung sebagai orang-orang
gagah! Eh, saudara kecil…”
Baru ia hendak tanya In Lui,
ia terhenti karena kupingnya segera mendengar suara meringkiknya kuda di luar
pintu kuburan, menyusul mana kedua kuda mereka, bergantian lari masuk ke dalam
kuburan. Sebab Hek Pek Moko menepati janji, mereka sudah mengobati kedua kuda
itu, yang terus mereka lepas untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Kuda putih
yang masuk terlebih dahulu, berjingkrakan, dia jilati majikannya.
In Lui segera hampiri kudanya,
untuk diusap-usap lehernya.
“Kudaku yang baik, kau disiksa
makhluk aneh itu!” katanya. “Eh, toako….”
Ia berhenti dengan tiba-tiba
sedang sebenarnya henda ia tanya Thio tan Hong dari mana dia dapatkan ilmu
silat pedangnya itu. Ia berhenti tiba-tiba saja ia rasakan dadanya sesak.
Thio Tan Hong berpaling dengan
segera, hingga ia tampak muka orang, ia kaget.
“Eh, saudara kecil, apakah kau
tadi kena terpukul tangan Pek Moko?” ia tanya. “Jangan, jangan kau bicara….”
In Lui mengerti, ia manggut.
“Lekas empos napasmu!” Tan
Hong berkata pula. “Nanti aku obati kau! Kau telah terluka di dalam…” Ia lantas
ulurkan tangannya.
Dengan tiba-tiba, In Lui geser
tubuhnya, ia berbalik, ia menggeleng-gelengkan kepala, habis itu, ia terjatuh
duduk, terus ia muntahkan darah.
“Tak usah!” katanya. “Aku
dapat mengobati diriku.”
Tan Hong tercengang, tapi
segera ia tertawa.
“Saudara kecil, sampai saat
ini apa kau masih hendak kukuhi pantanganmu?” katanya. “Kau tahu, sejak
siang-siang aku telah melihatnya.”
Merah muka In Lui, akan tetapi
segera ia singkap kopiahnya, hingga terlihat rambutnya yang panjang dan
gomplok.
“Sebenarnya tak selayaknya aku
mendustai kau, toako,” katanya malu. “Memang aku ada seorang perempuan…”
Tan Hong tersenyum, tapi
ketika ia berkata, ia bersungguh-sungguh.
“Kita cocok satu dengan lain,
kita dapat bersahabat, karenanya untuk apa kita ambil mumat bahwa kita ada pria
atau wanita?” katanya. “Saudara kecil, apakah benar kau masih tetap
berpandangan cupat sebagai mereka yang kebanyakan?”
Melihat sikap orang itu, In
Lui tersenyum. Tan Hong itu tidak ceriwis. Walaupun demikian, di dalam hatinya,
masih hendak ia katakana, “Bukankah kita belum kenal baik riwayat
masing-masing?”
Tan Hong awasi nona itu, ia
bersenyum. Kemudian ia goyangkan tangannya.
“Saudara kecil, “ katanya,
“aku tahu masih ada kesangsian, seperti aku. Aku berniat untuk menanyakan kau
beberapa hal. Tapi sekarang kau tengah terluka, tidak selayaknya kau banyak
bicara. Biarlah nanti kita bicara pula, lagi tiga atau lima hari. Kau setuju,
bukan?”
In Lui manggut, tapi tidak
membuka mulut.
Kembali Tan Hong bersenyum. Ia
terus awasi si nona.
“Saudara kecil,” katanya pula,
“bagaimana lukamu? Bagaimana itu harus disembuhkan? Seharusnya aku mesti omong
terus terang padamu.”
In Lui tersenyum, kembali ia
manggut. Ia bungkam, tetapi di dalam hatinya, ia pikir, “Ini engko polos
sekali, aku cocok dengannya. Cuma, mengapa ia selalu bersenyum?”
Tan Hong tidak tunggu orang
membuka mulutnya, ia berkata pula, “Aku lihat lukamu ini disebabkan Pek Moko
telah berhasil menggempur urat cek-sim-hiat di punggungmu, karenanya napasmu
jadi tak jalan lancar, hatimu terasa panas, muka dan matamu merah, nadimu
berdenyut keras. Inilah luka di dalam, yang dilihat dari luar nampaknya enteng,
tetapi sebenarnya berbahaya, jikalau tidak lekas disembuhkan, jalan napasmu
bisa terganggu untuk selamanya, hingga akhirnya, jikalau orang tidak menemui
ajalnya, pasti ia akan bercacat seluruhnya. Syukur untukmu, kau mempunyai dasar
iweekang yang baik, dapat kau Bantu dirimu dengan menyalurkan napasmu
perlahan-lahan dan beraturan. Saudara kecil, akan aku Bantu kau dengan sam-im
dan sam-yang.”
“Engko ini ada luar biasa,”
pikir In Lui, tanpa menjawab perkataaan orang. “Kemarin ini dia menangis dan
tertawa tidak keruan juntrungannya, aku sangka dia orang aneh yang tengah
menjelajah di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi sekarang dia bicara perihal
luka di dalam, nampaknya ia kenal baik ilmu ketabiban.
Apakah benar ia pandai segala
apa?”
Habis bicara, Tan Hong
berhenti sebentar, terus ia tertawa.
“Aku hendak mohon sesuatu dari
kau!” katanya kemudian.
“Silahkan, toako, “ sahut In
Lui dengan perlahan.
Kembali Tan Hong tertawa.
“Saudara kecil, permintaanku
adalah ini, “ia kata, “waktu aku mengobati kau, kau mesti melupakan bahwa aku
adalah pria, begitu juga kau, kau mesti melupakan dirimu adalah wanita.
Sanggupkah kau berjanji?”
In Lui berpikir, “Dia hendak
Bantu aku dengan sam-im dan sam-yang, itu artinya tak dapat tidak, ia mesti
meraba-raba tubuhku…Tapi kita telah angkat saudara, apakah halangannya untuk
itu? Kenapa dia mesih mengatakan demikian?” Lantas ia bersenyum, ia awasi
pemuda itu.
Thio Tan Hong pun awasi si
nona, kedua matanya bersinar jeli, wajahnya tersungging senyuman. Menampak itu,
malu In Lui, hingga air mukanya menjadi merah dadu.
Tan Hong segera menoleh ke
sekitarnya.
“Suasana di dalam lobang kubur
ini mirip dengan Taman Bunga Toh,” berkata dia, “tempat ini cocok untuk kau
berobat dan beristirahat, Cuma kedua kuda itu tak dapat berdiam bersama.”
Ia lantas perdengarkan seruan
panjang, tangannya pun ditepuk. Menyusul itu kuda Ya-ciauw Say-cu-ma, yang
telah mengerti benar majikannya sudah lantas lari keluar.
Kuda merah In Lui, yang sudah menjadi
sahabat kuda putih itu, sudah lantas turut lari keluar gua.
Tan Hong melongok keluar
kuburan, akan perhatikan letak perkuburan itu, habis itu ia masuk pula ke
dalam, untuk menutup rapat pintunya. Sekarang ia perhatikan keadaan di dalam
kuburan dimana terdapat ruangan tengah dan juga kamar. Pantas kuburan itu jadi
kuburan raja-raja muda dari jaman Ahala Chin. Kemudian ia raba-raba sekitar
tembok, ia ketok-ketok itu. Akhirnya ia tertawa.
“Ada kamar rahasia disini!”
katanya. Ia dongko, untuk menjemput sepotong batu panjang, dengan itu ia
menekan pada tembok dimana ada ceglokan, terus ia memutar, ke kiri dan ke
kanan. Sebentar saja, tembok itu bergerak, hingga di lain saat terbentanglah
satu pintu rahasia, hingga sekarang tertampak sebuah ruangan dalam.
Tanpa mensia-siakan tempo,
Thio Tan Hong payang In Lui masuk ke dalam kamar rahasia itu dimana terdapat
sinar terang bergemerlapan dari barang-barang permata, malah meja dan kursi
terbuat dari batu kemala diatas mana tertumpuk barang-barang permata itu.
Tan hong tidak perdulikan
barang berharga itu, ia sampok hingga jathu ke tanah, lalu dengan kakinya, ia
kumpulkan di pojok tembok. Sebaliknya, ia dudukkan In Lui di meja itu.
“Meja ini hawanya adem, inilah
baik untuk membantu menghisap hawa panas dari dalam tubuhmu,” kata si anak
muda, yang segera mulai dengan pengobatannya, bukan dengan makan obat, hanya
dengan menguruti tangannya, dari lengan sampai ke jari-jari, ia mulai dengan
tangan kanan si nona.
In Lui merasa aneh, belum lama
ia diuruti, ia rasakan hawa panas mendesak ulu hatinya, setelah itu, hawa panas
itu mereda dengan perlahan dan akhirnya lenyap diganti dengan hawa dingin di
seluruh tubuhnya.
“Sekarang jalan darahmu telah
kembali semua,” kata Tan Hong, yang segera melepaskan tangannya, akan tunda
urutannya. “Baiklah kau beristirahat supaya kembali kesehatanmu. Nanti aku
mulai lagi.”
Dalam ruang itu ada tersedia
pelbagai macam barang makanan, yang ditinggalkan pergi oleh Hek Pek Moko, maka
Tan Hong dengan merdeka dapat mendahar apa yang ia suka. Ia pun minum banyak,
habis mana, tanpa merasa, ia bernyanyi seorang diri. Ia nyanyi tentang
peperangan, perihal manusia tak dapat hidup untuk selama-lamanya.
“Ya, kalau nanti bangsa
Mongolia menerjang masuk, kita semua baik pria maupun wanita, anak-anak, semua
mesti angkap senjata, “In Lui perdengarkan suaranya. “Kalau kita berkorban
untuk negara, biar kita mati, tidaklah nama kita hidup untuk selama-lamanya?”
Menggetar tubuh Tan Hong
mendengar pengutaraan itu, tanpa merasa, isi cawan ditangannya tumpah.
Lekas-lekas ia bepaling.
“Saudara kecil, kau
beristirahat, jangan kau bicara!” ia kata. “Aku telah minum sampai aku lupa
akan dirimu, hingga aku mengganggu kau. Saudara, terus kau tenangkan dirimu.”
“Tetapi, toako, katakanlah,
benar atau tidak kata-kataku itu?” In Lui tanya.
Tan Hong ceguk araknya.
“Benar, benar,” sahutnya.
“Sudah, saudara kecil, kita bicara lagi nanti saja. Teruskan istirahatmu.”
In Lui berdiam, tetapi hatinya
berpikir. Ia dapat kesan yang baik terhadap mahasiswa ini. Ia hanya merasa
aneh, agaknya orang berduka mendengar disebutnya Mongolia, kalau bangsa
Mongolia menerjang Tionggoan. Maka itu, ia terus awasi anak muda ini.
Tan Hong lihat sikap orang, ia
menghampiri.
“Saudara kecil, “katanya,
“sebenarnya ingin aku bicara dengan kau nanti sesudah kau sembuh, akan tetapi
nampaknya kau kurang puas, kau rupanya, masih tidak mengerti,. Kau tahu, dengan
banyak berpikir, istirahatmu bisa terganggu.”
In Lui tunduk. “Kau benar,”
sahutnya, perlahan.
“Tetapi lukamu, melarang kau
banyak bicara,” Tan Hong menyatakan pula. “Kau harus mengerti, soal-soal yang
akan kita perbincangkan tak dapat diakhiri dalam tempo pendek. Sekarang begini
saja, sekarang kau lanjutkan istirahatmu sebentar, waktu kita bersantap malam,
nanti aku ceritakan sebuah dongeng padamu. Kau tahu, dalam satu hari, kau mesti
dahar satu kali saja, di waktu malam. Menurut dugaanku, setelah tiga hari, kau
akan sembuh seluruhnya. Maka itu, dengan setiap hari aku dongeng satu kali, di
hari keempat, kau akan sudah sehat kembali seperti sediakala. Sampai waktu itu,
saudara kecil, nanti kita saling menuturkan riwayat kita masing-masing.
Saudara, jikalau kau tidak dengar kata-kataku ini, maka dongeng pun tak nanti
aku tuturkan kepadamu. Nah, cukup sudah, sekarang aku larang kau bicara lagi!
Lekas kau bersemedhi!”
Di mata In Lui, sinar mata
Thio Tan Hong seperti mempunyai pengaruh apa-apa. Ia ingat, semasa kecilnya,
setiap malam, waktu ia mau tidur, ibunya selalu mengeloni ia di pembaringan,
ibu itu menyanyikan sebuah lagi Mongolia, untuk menidurkan dia. Ia juga ingat
sinar mata kakeknya setiap kali kakek itu memberi pengajaran kepadanya,
sekarang sinar mata Tan Hong mengingatkan ia kepada sinar mata kakek itu. Sinar
mata Tan Hong ini menjadi halus dan keren, keren tak dapat ditentang. Dan In
Lui, tanpa ia merasa, ia bagaikan kena terpengaruh, hingga hatinya menjadi
tenang dan lantas saja ia beristirahat.
Sudah diketahui, kuburan itu
menyender pada gunung, maka juga samping lainnya dari kamar rahasia itu adalah
lamping gunung, lamping yang batunya licin dan mengkilap bagaikan kaca. Di
sebelah atas, atau bagian wuwungan ruang rahasia itu, ada dua lobang yang
merupakan lobang angin, dari situ hawa udara menembus masuk. Sedang di tembok,
yang menghadapi pitu, ada dipasang sebuah kaca kecil dari kuningan. Dari kaca
ini orang di dalam dapat memandang keluar, sebaliknya, dari luar, orang tak
dapat melihatnya.
Ketika itu sinar matahari
sudah menembus lobang di wuwungan itu, melihat bayangannya, bisa diduga sang
waktu sudah lewat tengah hari. Adalah waktu itu dengan tiba-tiba terdengar satu
suara dari luar, suara seperti orang membongkar pintu. Karena pintu bekas
digempur, dengan hanya membongkar landasannya saja, pintu sudah dengan mudah
dapat dibuka.
In Lui dengar tegas suara itu,
ia memasang mata kepada kaca. Ia tampak satu bayangan orang, samar-samar ia
seperti kenal bayangan itu, bayangan dari satu nona. Segera tergeraklah
hatinya. Dengan tangan bajunya, ia gosok kaca itu, hingga di lain saat,
dapatlah ia melihat lebih jelas. Nona itu tak lain daripada Cio Cui Hong,
gadisnya Hong-thian-lui Cio Eng.
Bagaikan orang meraba-raba Cui
Hong bertindak masuk.
“In Siangkong! In Siangkong!”
ia memanggil-manggil.
In Lui tertawa di dalam hati.
“Kita bersuami-isteri hanya
setengah malaman, siapa sangka ia pikirkan aku begini rupa,” demikian pikirnya.
Ia terus memasang mata.
Ruang kuburan itu guram,
tiba-tiba berbareng dengan suara tekesan, api telah menyala. Cui Hong, yang
menyalakan api. Ketika ia tampak dua belas batang lilin, segera ia sulut semua,
hingga di lain saat, ruangan jadi terang bagaikan siang. Karena ini, pada kaca
di dalam kamar rahasia, terlihat tegas wajah Nona Cio. Menampak roman orang, In
Lui terkejut. Beberapa hari saja ia berpisah dari nona itu, atau sekarang si
nona telah menjadi perok dan kumal.
Masih In Lui mengawasi kepada
kacanya. Ia lihat Cui Hong jalan mondar-mandir di ruang besar, rupanya si nona
tengah mencari dia. Tiba-tiba nona itu berjongkok, lalu menyusul tangisnya.
Cui Hong telah mendapatkan
tanda darah di tanah. Itulah tanda darah dari Pek Moko, yang terluka kena
pedang. Rupanya si nona sangka, itu adalah darah In Lui “suaminya”. Ia tahu Hek
Pek Moko ada langganan dari ayahnya, ia tahu juga lihainya kedua hantu itu.
Mungkin, kalau tidak terbinasa, suami itu terluka parah atau bercacat. Maka
itu, ia jadi sangat berduka.
Tak tega In Lui menyaksikan
orang berduka, ia mau lompat turun, untuk membukakan pintu kamar rahasia, guna
menemui. Tapi Tan Hong di sisinya menekan padanya.
“Tidak perduli apa akan
terjadi di luar, tak dapat kau perdengarkan suara!” si mahasiswa bisiki. Lalu
ia tekan telapak tangan orang, untuk membantu si nona mengempos semangatnya,
untuk membikin darahnya tetap berjalan sempurna.
Cui Hong menangis sekian lama,
lantas dari sakunya ia keluarkan sepotong batu san-hu, terus ia letakkan di
atas meja. Itulah batu yang merupakan tanda mata dari in Lui. Berulang kali ia
raba batu itu, setiap kali ia menangis pula.
“Adik, adik, aku sangat
bersengsara…” keluh si nona kemudian.
In Lui dengar itu, ia merasa
kasihan.
“Enci, aku belum mati, aku
belum mati,” ia menjawab dalam hatinya.
Tentu sekali Cui Hong tidak
dengar itu, ia masih menangis pula.
Habis menangis, tiba-tiba nona
Cio hunus golok yang tergantung di pinggangnya, dengan itu ia mengancam ke udara.
“Adik Lui!” ia berseru, “tidak
perduli bagaimana lihainya kedua hantu itu, akan aku minta ayah membalaskan
sakit hatimu ini!”
Ia jalan beberapa tindak,
mendadak ia berjongkok pula. Dari tanah, ia pungut dua buah gelang emas. Itulah
gelang rambut Hek Moko, yang kena dipapas Thio Tan Hong. Ia awasi gelang itu
dengan mendelong. “Ah, apakah benar hantu itu tidak mendustai aku?” katanya
seorang diri. Gelang itu ia balik-balikkan, terus ia awasi. Kembali ia bengong.
Malam itu seberlalunya In Lui,
Cui Hong menyusulnya dengan menunggang kuda, di tengah jalan, ia berpapasan
dengan Hek Pek Moko, ia tanya kedua hantu itu apa mereka melihat satu anak
muda, roman siapa ia petakan. Ia lukiskan potongan tubuh In Lui serta wajahnya.
“Siapa dia itu?” tanya kedua
hantu itu sambil tertawa dingin.
Cui Hong berikan keterangan
atas mana, Hek Moko perdengarkan suara di hidung, “Hm!” Terus dia berkata,
“Bagus, keponakanku yang baik, kau telah mendapatkan pasangan yang bagus
sekali, ilmu silatnya pun tak ada celanya!”
Nona Cio heran, ia terkejut.
“Bagaimana kau ketahui itu?”
tanyanya.
Kembali Hek Moko tertawa
dingin.
“Dia telah menalangi kau
memenangkan sejumlah harta besar!” sahutnya, tetap dingin. “Semua bandaku
disini telah terkalahkan olehnya! Hong-thian-lui telah mendapatkan baba mantu
semacam dia itu, sungguh, bolehlah dia mencuci tangan, tidak usah dia teruskan
pekerjaannya1”
Cui Hong bertambah kaget.
“Apa? Dia berani tempur kamu?”
ia tanya menegaskan.
Hek Moko mengawasi dengan
sinar mata bengis. Ia menyangka si nona hendak mempermainkan dia. Tapi ia tidak
gubris pertanyaan itu, dengan tetap masih mendongkol, ia ajak Pek Moko
melanjutkan perjalanan mereka.
Cui Hong tahu kuburan yang
menjadi istana kedua hantu itu, ia langsung menuju ke sarang orang itu. Tidak
pernah ia bermimpikan bahwa In Lui dpat mengalahkan Hek Pek Moko. Maka itu,
mendapatkan gelang kepala itu, ia menjadi bersangsi.
“Hek Pek Moko ada sangat
lihai, tidak bisa jadi mereka terkalahkan In Lui…”katanya di dalam hati. “Akan
tetapi Hek Pek Moko ada orang-orang kenamaan yang jujur, tidak nanti mereka
mendusta! Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Mungkinkah ada lain orang yang
mencelakai adik Lui?”
Ia bersangsi pula,
kekuatirannya tak segera lenyap. Ia menduga, darah itu ada darahnya In Lui.
Tengah ia berpikir keras, ia dengar meringkiknya kuda di luar kuburan, menyusul
mana ia tampak satu anak muda bertindak masuk dengan sebelah tangannya menuntun
seekor kuda merah. Ia kenali, itulah kuda In Lui. Bahna kaget dan heran, hampir
ia berseru.
Anak muda itu tidak lain
daripada Ciu San Bin, puteranya Kim-too Ceecu, dia tengah menerima titah
ayahnya untuk suatu tugas, kebetulan ia dapat endus halnya In Lui, selagi lewat
di tempat itu, dia tampak kuda orang, yang asalnya adalah kuda tunggang
sendiri, maka dia lantas tuntun kuda itu. Dan kuda itu lantas perdengarkan
suaranya, seperti juga ia hendak memberitahukan bekas majikannya ini bahwa
majikannya yang baru berada di lobang kubur itu.
San Bin heran, apabila ia
ingat pekuburan itu adalah sarang Hek Pek Moko, kedua hantu yang aneh itu.
Tanpa merasa, ia keluarkan keringat dingin. Tapi ia tidak takut, maka sambil
menuntun kuda merah itu, ia bertindak masuk ke dalam pekuburan. Ia tampak sinar
terang dari api, ia tidak lihat seorang juga, ia menjadi heran dan ragu-ragu.
Ia maju terus. Di saat ia pikir untuk buka suara, untuk memanggil-manggil,
tiba-tiba ia tampak satu nona dengan rambut terurai muncul dari pojok yang
gelap, dan dengan goloknya mendadak nona itu lompat membacok padanya.
Cui Hong menjadi sangat bingung
dan berkuatir, ia tengah bersedih, pikirannya jadi seperti was-was, maka itu,
begitu melihat kuda In Lui, ia sangka San Bin ada seorang penjahat, tanpa
sangsi lagi, ia lompat menerjang.
San Bin terkejut, dia lompat
berkelit.
Cui Hong bagaikan kalap, gagal
dalam bacokannya yang pertama, ia susul itu dengan yang kedua.
San Bin menjadi berkuatir,
terpaksa ia hunus goloknya untuk menangkis.
Cui Hong membacok untuk ketiga
kalinya, lalu untuk keempat kalinya.
“Hai, tahan!” seru San Bin.
“Kita tidak bermusuh, kenapa kau bokong aku?”
Setelah serangannya yang
keempat kali itu, Cui Hong mulai heran, di dalam hatinya dia kata,
“Kelihatannya kepandaian orang ini berimbang dengan kepandaianku, mana pantas
dia jadi lawan In Lui?” Tapi ia masih membacok dua kali, membacok dengan
sia-sia, setelah itu, ia menegur, “Binatang, lekas kau bicara! Dari mana kau
dapatkan kuda merah itu?”
Ditanya begitu, San Bin
mendadak tertawa. Ia lompat kepada kudanya, yang tadi ia lepaskan dari
tuntunannya, ia usap-usap kuda itu.
“Kuda ini asalnya kudaku,
untuk apa kau tanyakan?” ia balik menanya.
Kuda merah itu diam saja
diusap-usap, ia tunjukkan kejinakannya terhadap bekas majikannya terhadap bekas
majikannya itu, ia seperti mau unjuk, San Bin tidak bicara dusta.
Cui Hong telah perdengarkan
suara “Hm!” dan pedangnya sudah digerakkan pula, baru ia mau lompat, atau ia
membatalkannya. Ia dengar pertanyaan orang, ia saksikan kelakuan kuda itu, ia
heran.
“Aku tahu kuda merah ini
binal, kenapa dia sekarang jadi begini jinak?” demikian ia berpikir.
Selagi orang berdiam, San Bin
mengawasi kesekitarnya. Ia lantas lihat sepotong san-hu di atas meja, ia
terkejut, hingga wajahnya berubah, dengan cepat ia lompat maju, untuk mengambil
batu permata itu.
Cui Hong lihat gerak-gerik
orang, dia lompat untuk mencegah.
“Kau hendak bikin apa?” dia
tegur dengan bengis.
“Hai, kau sendiri hendak bikin
apa?” San Bin baliki.
Si nona tertawa dingin.
“Adakah sanhu itu
kepunyaanmu?” dia Tanya.
San Bin tertawa, dia melengak.
“Bicara terus terang, sanhu ini
ada kepunyaanku!” ia jawab. Lalu dengan bengis, dia membentak, “Orang
perempuan, lekas kau bicara terus terang! Darimana kau peroleh batu ini? Kau
mencuri atau merampas?
Memang sanhu itu adalah tanda
mata dari San Bin kepada In Lui, dan In Lui telah memberikannya kepada Cui
Hong. Menampak batu itu, pasti sekali San Bin heran dan bercuriga.
Cui Hong murka sekali, ia
merasa diperhina. Ia lompat dan membacok tanpa mengucap sepatah kta juga.
Kali ini San Bin menangkis
tanpa segan-segan lagi, dia telah menggunakan tenaga besar, hingga golok Cui
Hong tertangkis hampir terpental. Dalam sengitnya si nona bergerak dengan
lincah, sesaat saja, ia telah berada di belakang si anak muda.
San Bin ketahui gerakan orang,
ia mendahului membacok ke belakang sambil ia putar dirinya, atas mana, Cui Hong
menangkis. Maka disitu, mereka jadi bergebrak, sekarang secara sungguh-sungguh,
sebab mereka saling membalas, bukan seperti tadi, San Bin hanya menangkis dan
main berkelit.
In Lui dari tempat sembunyinya
menyaksikan pertempuran itu, ia menjadi gelisah sendirinya, hingga tidak dapat
ia tenangkan diri, untuk bersemedhi terus.
Thio Tan Hong gunakan kedua
tangannya, guna menekan telapakan tangan si nona, sambil berbuat begitu, ia
bisiki, “Jangan kau sibuk tidak keruan! Mereka berdua tidak akan dapat
menangkan satu dari lain. Apakah kau kenal anak muda itu?”
In Lui manggut. Tiba-tiba ia
ingat halnya Tan Hong merobek bendera Jit Goat Kie, maka ia awasi pemuda itu
sambil mendelik. Sikapnya membikin pemuda itu heran.
Pertempuran antara Cui Hong
dan San Bin berjalan terus, sebentar saja sudah melalui tiga puluh jurus lebih.
Benar seperti dugaan Thio Tan Hong, tidak ada satu yang kalah atau menang.
Kalau si anak muda kuat tenaganya, adalah si nona lincah tubuhnya.
Cui Hong telah membacok pula,
habis mana, dia Tanya, “Kau kata sanhu itu ada kepunyaanmu, dapatkah kau
membuktikan?”
San Bin tertawa terbahak pula.
“Kiranya pembegal, kau pun
tidak tahu apa-apa!” katanya. “Coba kau periksa itu, lihat di bawah daun yang
ketiga. Tidakkah disitu ada ukiran satu huruf “Ciu”?”
Cui Hong menyayangi sanhu itu,
ia bulak-balikkan entah berapa ratus kali, tidak heran kalau ia tahu benar
adanya ukiran huruf itu, ia menjadi heran atas pertanyaan si anak muda. Ia
tanya dalam hatinya, kenapa In Lui memberikan ia tanda mata yang berukiran
huruf “Ciu” itu? Tapi ia cerdas, dengan lekas ia sadar. Maka, ia lompat keluar
kalangan.
“Eh, bukankah kau ada saudara
angkat dari In Lui?” ia tanya.
San Bin terkejut saking heran
ia pun mundur.
“Jikalau kau tahu aku ada
saudara angkat dari In Lui,” dia tanya, “kenapa kau tidak tahu bahwa sanhu itu
akulah yang memberikannya kepadanya?”
Teringatlah Cui Hong pada
saat-saat malam pengantin, waktu itu In Lui seperti tak henti-hentinya menyebut
nama saudara angkatnya itu. Maka itu, tanpa merasa, ia lirik anak muda ini.
San Bin kalah cakap dari In
Lui, tapi romannya gagah, ini dapat lantas dilihat oleh nona Cio. Selagi orang
lirik padanya, ia pun melihat si nona, maka sinar mata mereka bentrok satu pada
lain. Ia tampak wajah si nona bersemu dadu.
“Fui!” berseru si nona dalam
hatinya, menyusul mana,ia mendongkol terhadap In Lui. Tentu sekali, San Bin
tidak ketahui apa yang si nona pikirkan itu.
“Aku adalah saudara angkat
dari In Lui, habis kau mau apa?” tanya pemuda ini kemudian. “Lekas kembalikan
sanhu itu kepadaku!”
“Tidak, tidak,” teriak Cui
Hong.
“Ah, bangsat perempuan,” kata
San Bin, “Kau sendirian saja, berani kau membegal barangku?”
“Apa barangmu?” bentak Nona
Cio. “Sanhu ini ada tanda mata dari In Lui untukku! Jikalau aku tidak pandang
saudara In Lui, tentu aku sudah bacok belak tubuhmu!” Untuk sesaat San Bin
melengak.
“Tanda mata?” dia ulangi.
“Pernah apakah kau dengan In Lui?”
“Dia adalah suamiku!” sahut
Cui Hong. “Tak takut aku mengatakannya ini kepadamu.”
Dengan sekonyong-konyong San
Bin tertawa terbahak-bahak. Dengan lantas, ia ingat yang In Lui tengah
menyamar, sebab sendirian ia mesti pergi ke kota raja. Tentu sekali, nona itu
mesti merahasiakan dirinya. Rupanya, sampai pun terhadap nona ini, dia tidak membuka
rahasia.
“Maka aku, baiklah aku juga
tidak membuka rahasianya itu, segera ia dapat pikiran. Maka itu, sehabis
berpikir demikian, ia berhenti tertawa. Ia pun lantas tanya, “Nona, kau she apa
dan namamu siapa? Kapan kau menikah dengan saudara In Lui?”
Cui Hong tidak jengah, dia
malah mendongkol. Dengan cekal keras goloknya, dia mengawasi dengan bengis.
“Hong-thian-lui Cio Eng adalah
ayahku!” sahutnya dengan nyaring. “Kami menikah tiga hari yang baru lalu.
Kenapa, apakah puterinya Cio Eng tidak sepadan dengan adik angkatmu itu?”
Di luar dugaan si nona, San
Bin masukkan goloknya ke dalam sarung, ia lantas angkat kedua tangannya, untuk
memberi hormat.
“Teehu, harap kau tidak
gusar,” dia berkata. “Sebenarnya tidak ada maksudku untuk mempermainkan kau! Apakah
Cio-looenghiong baik?”
“Baik,” sahut si nona dengan
suara yang menyatakan ia masih mendongkol.
“Kamu telah menikah tiga hari,
adakah selama itu kamu berdiam di Cio-kee-chung?” San Bin tanya pula. Dia tidak
mau tanya langsung tentang malam pengantin, dia gunakan kata-kata kiasan.
“Malam itu dia kejar seorang
penjahat berkuda putih, sejak itu tidak ada kabar-kabarnya lagi,” sahut Cui
Hong.
Terkejut San Bin mendengar
keterangan ini. Dia membuat perjanjian justeru karena penjahat berkuda putih
itu.
“Apakah penjahat itu satu
pemuda berkuda putih yang romannya sebagai mahasiswa?” dia tanya, menegaskan.
“Belum pernah aku lihat
romannya,” jawab Cui Hong.
Kuda putihnya hebat sekali,
bukan?” San Bin masih menanya.
“Betul,” si nona sahuti. “Kuda
pilihan dari Cio-kee-chung tidak sanggup mengejar kuda putih itu…”
“Kalau begitu, mari lekas
antar aku kepada Cio Looenghiong,” kata San Bin. “Hendak aku lepaskan panah
Liok-lim-cian untuk membekuk penjahat berkuda putih itu! Ah, jangan-jangan In
Lui telah kena dicelakai pengkhianat itu!”
Cui Hong terkejut, juga In Lui
yang berada di dalam kamar. Nona Cio kuatirkan dugaan San Bin benar, sedang In
Lui kuatir anak muda ini benar-benar melepaskan Liok-lim-cian, ialah “panah
Rimba Persilatan”, suatu cara paling cepat untuk menyampaikan berita. Ia pun
kuatir si mahasiswa benar-benar ada satu pengkhianat.
“Pengkhianat?” kata Cui Hong.
“Yang aku ketahui dia adalah satu penjahat tukang rampas di antara
penjahat-penjahat, cuma ayah menyangkalnya. Pernah aku tanya ayah siapa dia,
tetapi ayah tidak hendak menerangkannya, malah sebaliknya, ayah seperti
menghormati dia. Betul-betul aku heran.”
San Bin tertawa dingin.
“Tentang dia? Hm!”
Tapi she Ciu ini tidak dapat
melanjutkan perkataannya. Bayangan tampak berkelebat di pintu kuburan, lalu
terlihat bertindak masuknya satu orang.