Pada saat itulah tiba-tiba
pandangan semua orang terasa kabur. Sepertinya mereka melihat Lin Pingzhi
melesat dan menghadang di depan kuda Mu Gaofeng, namun kemudian mereka juga
melihat pemuda itu sedang duduk santai di bangkunya sambil berkipas-kipas seperti
tidak pernah pergi ke mana-mana. Selagi semua orang merasa bingung, mendadak
terdengar Mu Gaofeng menggertak kudanya agar segera berlari.
Namun, para pesilat papan atas
seperti Linghu Chong, Ren Yingying, dan Yu Canghai dengan jelas dapat melihat Lin
Pingzhi telah menjulurkan tangannya mencolok dua kali ke arah kuda Mu Gaofeng.
Tentu ia telah melakukan sesuatu terhadap hewan kendaraan si bungkuk itu.
Benar juga, baru saja Mu
Gaofeng melarikan kudanya beberapa langkah, tiba-tiba hewan tunggangannya itu
menubruk tiang gubuk. Karena tumbukan tersebut cukup keras dan sangat mendadak,
setengah gubuk pun menjadi ambruk. Dengan cepat Yu Canghai melompat keluar,
sementara kepala Linghu Chong, Lin Pingzhi, dan beberapa orang lainnya teruruk
oleh alang-alang kering yang digunakan sebagai atap gubuk itu. Lekas-lekas
Zheng E membersihkan kepala Linghu Chong, sementara Lin Pingzhi tidak peduli
dan tetap memandang tajam ke arah Mu Gaofeng tanpa berkata sedikit pun.
Sejenak kemudian Mu Gaofeng
tampak bimbang, lalu ia melompat turun dari kudanya dan melepaskan tali
kendali. Kudanya itu lantas berlari sendiri ke depan, tapi segera menubruk
sebatang pohon, kemudian meringkik panjang dan roboh di tanah dengan kepala
berlumuran darah. Begitu aneh kelakuan hewan malang tersebut, ternyata kedua
matanya sudah buta karena dicolok Lin Pingzhi dengan kecepatan luar biasa tadi.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi
melipat kipasnya dan membersihkan ilalang kering yang berserakan di bahunya,
lalu berkata, “Orang buta menunggang kuda picak, sungguh berbahaya.”
Mu Gaofeng bergelak tawa dan
berkata, “Sombong benar kau bocah! Ternyata kepandaianmu boleh juga. Yu Pendek
bilang kau mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis, coba kau tunjukkan padaku.”
Meskipun kudanya dibuat buta, tetapi ia tidak gusar, sebaliknya justru tertawa
terbahak-bahak. Sungguh harus diakui kehebatan orang bungkuk ini dalam
mengendalikan amarah.
“Ya, aku memang hendak
memperlihatkannya kepadamu,” sahut Lin Pingzhi. “Dahulu demi untuk mendapatkan
ilmu pedang keluarga kami, ayah-ibuku telah menjadi korban keganasanmu. Dosa
kejahatanmu tidak lebih rendah daripada Yu Canghai itu.”
Mu Gaofeng termangu-mangu.
Sungguh tak terduga olehnya bahwa pemuda berpenampilan mewah ini ternyata putra
Lin Zhennan. Diam-diam ia pun menimbang, “Bocah ini berani terang-terangan
menantang diriku, tentu ada sesuatu yang ia andalkan. Serikat Pedang Lima
Gunung sekarang telah digabung menjadi satu. Kawanan biksuni dari Perguruan
Henshan ini sudah pasti menjadi bala bantuannya. Hm, Nona Yue adalah istri bocah
ini. Selama perempuan itu ada di tanganku, dia bisa apa?”
Segera tangannya berbalik
untuk mencengkeram ke arah Yue Lingshan. Tak disangka, cengkeramannya itu hanya
mengenai udara kosong, bahkan kemudian ia merasa ada angin menderu menyambar
dari belakang. Sepertinya ada pedang seseorang telah menebas ke arahnya. Dengan
cekatan, Mu Gaofeng segera mengelak ke samping. Ternyata si penyerang itu tidak
lain adalah Yue Lingshan sendiri.
Rupanya Ren Yingying diam-diam
telah memotong tali pengikat Yue Lingshan dan membuka totokan pada tubuhnya,
lalu memberikan sebilah pedang pula. Yue Lingshan pun menggunakan pedang itu
untuk menyerang Mu Gaofeng. Akan tetapi, karena tubuhnya masih kesemutan akibat
tertotok cukup lama, juga karena lukanya di pundak masih terasa sakit, maka ia
tidak melancarkan serangan kedua meskipun dalam hati merasa sangat gemas.
Terdengar Lin Pingzhi
mendengus, “Huh, sebagai tokoh persilatan yang ternama, perbuatanmu sungguh
tidak tahu malu. Sekarang jika kau ingin hidup lebih lama, kau harus merangkak
dan menyembah tiga kali padaku sambil memanggil ‘kakek’ tiga kali pula. Dengan
demikian akan kuberi kau kesempatan hidup setahun lagi. Setahun kemudian aku
akan mencarimu lagi untuk menagih nyawamu, bagaimana?”
Kembali Mu Gaofeng tertawa, “Hahaha,
dasar bocah kurang ajar! Dulu di rumah Liu Zhengfeng di Kota Hengshan kau
menyamar sebagai pemuda bungkuk dan menyembah tiga kali kepadaku, serta
memanggilku ‘kakek’. Kau juga memohon untuk menjadi muridku. Namun, karena aku
tidak berminat, maka kau mengabdi pada si tua Yue dan menjadi menantunya pula,
bukan begitu?”
Lin Pingzhi diam tidak
menjawab. Matanya berkilat-kilat penuh amarah, namun bibirnya tampak tersenyum.
Ia kemudian melipat kembali kipasnya dan kemudian melangkah ke arah Mu Gaofeng.
Sambil berjalan tangan kanannya mengibas membersihkan rumput kering yang
mengotori bajunya. Begitu bergerak seketika bau harum semakin semerbak,
menyengat tajam.
Tiba-tiba terdengar dua
jeritan ngeri. Dua orang murid Qingcheng tampak pucat pasi. Mereka tidak lain
adalah Yu Renhao dan Ji Rentong yang sekejap kemudian roboh dengan dada
bersimbah darah. Keadaan begitu tegang. Orang-orang yang lain tanpa sadar ikut
menjerit karena terkejut. Jelas-jelas mereka melihat Lin Pingzhi berjalan
tenang ke arah Mu Gaofeng. Namun, entah bagaimana ia bisa mencabut pedang dan
membunuh dua lawan sekaligus, kemudian menyarungkan kembali pedangnya itu dalam
beberapa detik saja.
Boleh dikata hanya Linghu
Chong, Yu Canghai, dan Ren Yingying saja yang bisa melihat berkelebatnya pedang
Lin Pingzhi tadi, sementara yang lain hanya melihat seberkas cahaya saja.
Jangankan melihatnya menyerang, bahkan melihat bagaimana ia mencabut pedang
saja mereka tidak mampu. Kontan orang-orang itu semakin kagum sekaligus ngeri
pula.
Menyaksikan itu Linghu Chong
termenung, “Dahulu untuk menghadapi Tian Boguang saja aku sudah merasa
kesulitan. Baru setelah mempelajari Sembilan Jurus Pedang Dugu, aku dapat
mengimbangi kecepatan golok Tian Boguang dengan kecepatan mataku. Namun, untuk
menghadapi kecepatan Lin Pingzhi ini, mungkin Tian Boguang hanya sanggup
bertahan tiga jurus saja. Lantas, bagaimana denganku? Berapa jurus aku sanggup
bertahan menghadapi kecepatan pedang Lin Pingzhi itu?” Berpikir demikian
membuat keringat dingin membasahi tangannya.
Tampak Mu Gaofeng mencabut
pedangnya yang berbentuk melengkung. Sungguh menarik, seorang bungkuk
bersenjata pedang bengkok. Menghadapi Lin Pingzhi yang semakin mendekat itu, Mu
Gaofeng pun menunduk rendah. Dasar tubuhnya bulat dan bungkuk, kini mukanya sampai-sampai
hampir menyentuh tanah. Tiba-tiba ia meraung seperti serigala, lantas
menyeruduk ke depan. Pedangnya yang bengkok itu kemudian menyambar ke pinggang
Lin Pingzhi.
Cepat sekali Lin Pingzhi
melolos pedangnya dan kemudian menusuk ke arah dada musuh. Serangannya lebih
belakangan, tapi tiba lebih dulu pada sasaran. Kembali Mu Gaofeng meraung,
tubuhnya lantas melompat ke arah lain. Ternyata bajunya sudah berlubang di
bagian dada sehingga terlihat bulu dadanya yang lebat.
Serangan Lin Pingzhi itu kalau
agak maju dua-tiga senti lagi, dada Mu Gaofeng pasti sudah berlubang. Semua
orang sampai berseru kaget dan tercengang melihatnya.
Meskipun baru lolos dari maut,
Mu Gaofeng tetap saja ganas dan sedikit pun tidak gentar. Berulang-ulang ia
meraung seperti serigala dan kembali menubruk maju. Kembali Lin Pingzhi
melancarkan tiga serangan kilat, disusul terdengar suara senjata beradu cukup
nyaring. Rupanya serangan-serangan ini dapat ditangkis oleh si bungkuk.
Lin Pingzhi tertawa dingin.
Pedangnya semakin cepat bergerak. Berkali-kali Mu Gaofeng terpaksa melompat ke
atas dan mendekam ke bawah. Pedangnya yang bengkok itu diputar sedemikian
cepatnya sehingga berwujud seperti jaringan sinar perak.
Setiap kali pedang Lin Pingzhi
menusuk masuk ke dalam jaringan sinar pedang itu, dan terkadang membentur
pedang lawan, seketika tangannya terasa kesemutan. Jelas tenaga dalam si
bungkuk jauh lebih kuat dibanding dirinya. Kalau kurang hati-hati bisa jadi
pedangnya akan tergetar lepas. Karena itu Lin Pingzhi tidak berani gegabah
lagi. Ia berusaha mengincar celah kelemahan musuh untuk kemudian melancarkan
serangan maut.
Mu Gaofeng sendiri tidak
peduli dengan serangan-serangan musuhnya. Ia hanya memusatkan perhatian untuk
memutar pedang bengkok di tangan sekencang-kencangnya. Semua anggota tubuhnya
terlindungi oleh jaringan sinar pedang yang rapat tersebut dan sedikit pun
tidak memperlihatkan adanya lubang kelemahan. Betapa pun tinggi ilmu pedang Lin
Pingzhi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan demikian sebenarnya justru
menempatkan Lin Pingzhi pada posisi yang menguntungkan. Sekalipun ia belum
dapat menjatuhkan lawan, namun Mu Gaofeng sendiri jelas tidak mungkin melakukan
serangan.
Linghu Chong dan yang lain
dapat menilai, asalkan sedikit saja Mu Gaofeng bermaksud menyerang, tentu
jaringan sinar pedangnya akan terbuka dan itu berarti peluang bagi Lin Pingzhi
untuk melakukan serangan kilat. Jika hal itu terjadi, maka sukar bagi Mu
Gaofeng untuk dapat menangkisnya.
Pertahanan rapat Mu Gaofeng
dengan cara memutar pedangnya sedemikian kencang sebenarnya sangat menguras
banyak tenaga dalam. Karena hanya dengan kekuatan penuh jaringan sinar pedang
dapat digunakan sebagai perlindungan tubuh bagai air terjun yang mengucur deras
tanpa henti. Namun, sekuat apa pun tenaga dalam seorang pesilat, pasti akan
habis juga jika terus-menerus dikerahkan seperti itu.
Di tengah jaringan sinar
pedangnya yang rapat itu Mu Gaofeng masih juga meraung-raung tanpa berhenti,
membuatnya terlihat semakin ganas. Pedangnya menebas berputar di atas dan di
bawah tubuh. Beberapa kali Lin Pingzhi bermaksud membobol jaringan sinar pedang
itu, tapi selalu saja tertangkis oleh pedang lawan yang bengkok tersebut.
Sekian lamanya Yu Canghai
mengikuti pertarungan ini sampai akhirnya ia dapat melihat jaringan sinar
pedang si bungkuk mulai menipis, pertanda Mu Gaofeng sudah mulai kehabisan
tenaga dalam. Tanpa pikir lagi, ia pun bersuit nyaring dan menerjang maju. Tiga
kali ia melancarkan serangan dengan cepat ke arah titik-titik mematikan pada
punggung Lin Pingzhi. Segera Lin Pingzhi memutar pedangnya untuk menangkis ke
belakang. Pada saat itulah Mu Gaofeng mengayunkan pedangnya untuk menebas kaki
lawan.
Kalau menurut tatakrama dunia
persilatan, dua tokoh angkatan tua seperti Yu Canghai dan Mu Gaofeng mengeroyok
seorang pemuda yang masih hijau, sungguh ini suatu perbuatan yang sangat
memalukan. Namun, orang-orang Perguruan Henshan telah menyaksikan sendiri
betapa tinggi ilmu silat Lin Pingzhi dalam membunuh murid-murid Perguruan
Qingcheng, sehingga melihat pertempuran dua lawan satu itu mereka menganggapnya
sebagai hal yang wajar. Justru kalau kedua tokoh tua itu tidak bergabung,
bagaimana mungkin mereka dapat melayani ilmu pedang Lin Pingzhi yang sangat
hebat itu?
Setelah Yu Canghai turun
tangan, Mu Gaofeng pun mengubah gerak pedangnya untuk bertahan dan menyerang
pula. Melihat itu, Lin Pingzhi justru menjadi senang. Setelah berlalu sekitar
dua puluh jurus, tiba-tiba kipas di tangan kirinya ikut bergerak. Gagang kipas
yang berwarna keemasan itu berbalik lantas menusuk ke depan dengan kecepatan
luar biasa. Tiba-tiba dari ujung gagang kipas tersebut menonjol keluar sebatang
jarum tajam dan kemudian tepat menusuk titik Huantiao di paha kanan Mu Gaofeng.
Mu Gaofeng terkejut. Segera
pedangnya menebas, namun tetap kalah cepat dibanding gerakan Lin Pingzhi.
Akibat tusukan jarum itu kakinya kini terasa kesemutan. Ia tidak berani lagi
sembarangan bergerak, hanya pedangnya yang masih saja berputar kencang
melindungi tubuh. Lambat laun kedua kaki si bungkuk terasa lemas. Tak kuasa
lagi menahan diri, akhirnya ia pun jatuh bertekuk lutut.
“Hahaha. Akhirnya baru
sekarang kau mau menyembah padaku,” sahut Lin Pingzhi bergelak tawa sambil
menangkis serangan Yu Canghai, kemudian menyambung, “namun sudah terlambat!”
Sambil berkata demikian ia kembali menangkis serangan musuh dan seketika balas
menyerang satu kali.
Meski kedua kaki Mu Gaofeng
tidak bisa digerakkan lagi, namun pedang bengkoknya masih tetap diayun-ayunkan
tanpa henti. Rupanya ia sadar bahwa kekalahannya sudah dapat dipastikan. Maka,
setiap jurus serangannya kini dilancarkan secara nekat dan ganas. Jika tadi ia
hanya bertahan tanpa menyerang sedikit pun, sekarang ia ganti menyerang tanpa
bertahan sedikit pun. Ia sudah tidak memikirkan keselamatan jiwanya lagi. Jika
memungkinkan, ia siap gugur bersama musuh.
Yu Canghai sendiri juga
menyadari keadaan gawat tersebut. Jika ia tidak bisa segera mengalahkan Lin
Pingzhi, maka begitu Mu Gaofeng roboh, tentu dirinya akan tertinggal sendiri
dan menjadi sasaran empuk kehebatan pedang lawan. Maka, pendeta pendek itu pun
semakin gencar dalam melancarkan serangan. Namun, tiba-tiba terdengar Lin
Pingzhi tertawa panjang. Sekejap kemudian Yu Canghai merasa pandangannya
menjadi gelap, matanya tidak bisa melihat apa-apa lagi. Menyusul kemudian kedua
bahunya juga terasa dingin. Ternyata kedua lengannya telah terpotong dan
berpisah dari tubuhnya.
Terdengar Lin Pingzhi tertawa
menyeramkan, “Hahahaha. Aku takkan membunuhmu. Kau cukup kubuat buta dan tidak
punya lengan saja. Biar mulai sekarang kau mengembara di dunia sebatang kara.
Murid-muridmu, anggota keluargamu, satu per satu akan kubunuh semua, sehingga
di dunia ini hanya tinggal musuh-musuhmu saja yang tersisa.”
Yu Canghai merasakan kedua
bahunya yang buntung itu sungguh sakit luar biasa. Baginya, perlakuan Lin
Pingzhi ini jauh lebih kejam daripada membuatnya mati dalam sekali tusuk. Dalam
keadaan cacat seperti ini tiada artinya lagi hidup di dunia, dan tentu hanya
akan menjadi bahan olok-olok kaum persilatan lainnya. Karena berpikir demikian,
ia menjadi kalap. Dengan memperhatikan arah suara Lin Pingzhi, ia pun
menyeruduk musuhnya itu.
Lin Pingzhi terbahak-bahak
sambil menghindar ke samping. Tak disangka, karena terlalu senang ia menjadi
lengah. Tanpa sadar gerakannya itu justru mendekati tempat Mu Gaofeng bertekuk
lutut. Tentu saja Mu Gaofeng tidak membuang-buang kesempatan emas tersebut. Ia
pun mengayunkan pedang sekuat tenaga, namun Lin Pingzhi masih dapat menangkis
dan membuat pedang bengkoknya itu terlempar ke udara. Akan tetapi, Mu Gaofeng
semakin nekat. Karena jaraknya yang cukup dekat, ia pun berhasil memeluk kedua
kaki Lin Pingzhi sekencang-kencangnya.
Lin Pingzhi sangat terkejut
dibuatnya. Tampak murid-murid Perguruan Qingcheng serentak memburu maju pula.
Ia berusaha meronta sekuat tenaga untuk membebaskan diri dari pelukan Mu
Gaofeng. Namun, kedua lengan si bungkuk itu terasa sangat kuat bagaikan jepitan
baja. Tanpa pikir panjang, Lin Pingzhi pun menusuk tepat di punggung Mu
Gaofeng.
Tiba-tiba saja dari punggung
si bungkuk muncul cairan hitam menyembur keluar. Baunya sungguh bacin
memuakkan. Lin Pingzhi yang sangat terkejut menjejakkan kedua kakinya hendak
melompat untuk menghindar. Akan tetapi, ia lupa bahwa kedua kakinya masih
dipeluk sekuat tenaga oleh Mu Gaofeng. Maka, tanpa ampun lagi mukanya pun basah
tersiram oleh cairan hitam tersebut. Sungguh perih rasanya tidak terbayangkan,
sampai-sampai pemuda itu menjerit kesakitan.
Rupanya cairan hitam berbau
bacin itu mengandung racun yang sangat menyakitkan. Sungguh tak disangka, Mu
Gaofeng ternyata menyimpan kantong berisi air beracun pada punggungnya yang
bungkuk sebagai senjata rahasia. Lin Pingzhi mengusap wajahnya yang kesakitan
itu dengan tangan kiri. Kedua matanya pun sukar dibuka lagi. Hanya tangan
kanannya yang berulang-ulang menusuk tubuh Mu Gaofeng. Tusukan-tusukan Lin
Pingzhi ini sangat cepat luar biasa. Mu Gaofeng sama sekali tidak sempat untuk
menghindar, karena pada dasarnya ia memang bertekad mati bersama musuh. Maka,
ia pun semakin kencang memeluk kedua kaki Lin Pingzhi.
Pada saat itulah, Yu Canghai
dapat menemukan di mana lawan berada. Dengan mengikuti arah suara Lin Pingzhi
yang menjerit kesakitan, ia pun menubruk maju. Karena kedua lengannya sudah
buntung, maka ia menggunakan mulut untuk menyerang, yaitu menggigit tepat pada
pipi kanan Lin Pingzhi. Ketiga orang itu bergumul dalam keadaan kalap. Lambat
laun ketiganya mulai kehilangan kesadaran. Serentak murid-murid Perguruan
Qingcheng memburu maju untuk ikut menyerang Lin Pingzhi.
Pertempuran sengit ini dapat
diikuti Linghu Chong dengan jelas dari dalam kereta. Ia merasa prihatin
menyaksikan keadaan mereka bertiga yang mengenaskan itu. Namun, begitu melihat
murid-murid Qingcheng telah memburu maju, tanpa pikir panjang ia pun berseru,
“Yingying, tolong kau bantu Adik Lin!”
Tanpa menjawab Ren Yingying
langsung menerjang secepat kilat. Dengan pedang pendek di tangan ia berhasil
memukul mundur murid-murid Perguruan Qingcheng tersebut.
Terdengar suara raungan Mu
Gaofeng sudah mulai reda, sementara pedang Lin Pingzhi masih terus menikam ke
punggung si bungkuk lagi dan lagi. Sekujur badan Yu Canghai sendiri penuh
berlumuran darah namun ia tetap menggigit pipi Lin Pingzhi dan tidak mau
melepaskannya.
Tidak lama kemudian, Lin
Pingzhi mengerahkan segenap tenaga di tangan kiri untuk mendorong tubuh Yu
Canghai hingga terbanting jauh di tanah. Namun bersama itu pula, ia juga tampak
menjerit kesakitan. Rupanya pipi kanannya telah berlubang dengan darah
bercucuran. Jelas sepotong daging pipinya telah tergigit mentah-mentah oleh Yu
Canghai.
Mu Gaofeng sudah mati sejak
tadi, namun ia tetap memeluk erat kedua kaki Lin Pingzhi. Sambil meraba-raba,
Lin Pingzhi lantas mengayunkan pedangnya untuk memotong kedua lengan si
bungkuk. Dengan cara demikian barulah ia berhasil melepaskan diri.
Melihat keadaan Lin Pingzhi
yang mengerikan itu, tanpa sadar Ren Yingying melangkah mundur. Sementara itu,
murid-murid Perguruan Qingcheng beramai-ramai mendekati Yu Canghai untuk
memberi pertolongan tanpa menghiraukan musuh lagi. Namun, kemudian terdengar
suara mereka yang menangis sambil berteriak-teriak, “Guru, Guru, jangan
tinggalkan kami!”
“Guru sudah meninggal! Guru
sudah meninggal!”
Lin Pingzhi tertawa
terbahak-bahak dan berteriak menyeramkan, “Hahaha. Sakit hatiku telah
terbalas!”
Murid-murid Perguruan Henshan
bergidik ngeri melihat keadaan pemuda itu. Wajah mereka pucat pasi dengan mulut
terdiam tanpa suara sedikit pun. Sementara itu perlahan-lahan Yue Lingshan
mendekati suaminya dan berkata, “Adik Ping, aku mengucapkan selamat atas
keberhasilanmu membalas dendam.”
Namun, Lin Pingzhi masih saja
berteriak-teriak seperti orang gila, “Sakit hatiku sudah terbalas, sakit hatiku
sudah terbalas!”
Melihat sepasang mata suaminya
masih terpejam, dengan suara lembut Yue Lingshan bertanya, “Bagaimana dengan
kedua matamu? Air beracun ini harus dicuci.”
Lin Pingzhi langsung terdiam
dan tampak tertegun. Tubuhnya terhuyung-huyung seperti hendak jatuh. Segera Yue
Lingshan memapah dan membawanya ke gubuk selangkah demi selangkah. Di sana ia
mengambil sepanci air jernih untuk kemudian diguyurkannya ke atas kepala Lin
Pingzhi. Merasa sakit dan perih luar biasa, Lin Pingzhi pun menjerit keras,
sampai-sampai para murid Perguruan Qingcheng terkejut mendengar jeritan
tersebut dan tanpa sadar mereka melangkah mundur.
Linghu Chong berkata, “Adik
Kecil, kau ambillah obat ini untuk Adik Lin, dan bawa dia ke dalam kereta kami
untuk beristirahat.”
“Terima ... terima kasih
banyak,” jawab Yue Lingshan.
“Tidak perlu, tidak perlu!”
sahut Lin Pingzhi tiba-tiba. “Orang bermarga Lin mau mati atau hidup ada urusan
apa dengan dia?”
Linghu Chong tercengang. Ia
berpikir, “Apa salahku padamu? Mengapa kau begitu benci padaku?”
Dengan suara lembut Yue
Lingshan berusaha membujuk sang suami, “Obat luka Perguruan Henshan terkenal sangat
mujarab. Kalau .…”
“Kalau apa?” bentak Lin
Pingzhi gusar.
Yue Lingshan menghela napas.
Kembali ia mengguyur perlahan muka Lin Pingzhi. Kali ini Lin Pingzhi hanya
menyeringai untuk menahan sakit. Ia tidak menjerit lagi, tapi segera berkata,
“Huh, kau selalu menyebut-nyebut kebaikannya. Dia memang sangat
memperhatikanmu. Lantas, kenapa kau tidak ikut saja dengannya? Untuk apa kau
masih mengurusi aku?”
Kata-kata Lin Pingzhi ini
benar-benar mengejutkan murid-murid Perguruan Henshan sehingga mereka saling
pandang dengan mulut ternganga. Yihe yang paling berangasan segera memaki
dengan suara keras, “Kau ... kau benar-benar tidak tahu malu!”
Lekas-lekas Yiqing menarik
lengan baju Yihe, “Kakak, jangan melayaninya. Dia hanya sedang kesakitan.
Perasaannya sedang terganggu.”
“Cih!” seru Yihe. “Aku tidak
terima ....”
Sementara itu, Yue Lingshan
mengeluarkan saputangan untuk mengusap luka di pipi Lin Pingzhi. Di luar
dugaan, tangan kanan Lin Pingzhi malah mendorong dengan kuat, sehingga Yue
Lingshan yang tidak berjaga-jaga itu pun jatuh tersungkur.
Linghu Chong menjadi gusar dan
membentak, “Kenapa kau ….” tapi segera teringat olehnya bahwa Lin Pingzhi dan
Yue Lingshan sudah menikah. Tidak pantas orang luar ikut campur pertengkaran
dua orang suami-istri, apalagi kata-kata Lin Pingzhi tadi jelas terkesan
cemburu kepadanya. Perihal dirinya yang memendam cinta kepada sang adik kecil
tentu diketahui dengan jelas oleh Lin Pingzhi. Maka, ia pun langsung terdiam
tanpa suara, sementara tubuhnya gemetar menahan amarah.
Lin Pingzhi kemudian tertawa
dan menanggapi perkataan Yihe tadi, “Hm, kau bilang aku tidak tahu malu?
Sesungguhnya siapa yang tidak tahu malu?” Kemudian ia menunjuk keluar dan
melanjutkan, “Si pendek Yu dan si bungkuk Mu itu yang tidak tahu malu. Lantaran
ingin menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kami, dengan segala
cara mereka berusaha mendesak dan mencelakai ayah-ibuku. Meski cara mereka
cukup keji namun mereka masih terhitung bersikap jantan. Tidak seperti ...
tidak seperti ....” ia kemudian menunjuk ke arah Yue Lingshan, dan melanjutkan,
“Tidak seperti ayahmu yang bernama Yue Buqun alias Si Pedang Budiman Munafik
itu. Dia telah menggunakan siasat yang rendah dan licik untuk merebut kitab
pusaka Keluarga Lin kami.”
Saat itu Yue Lingshan sedang
merangkak bangun. Begitu mendengar ucapan Lin Pingzhi tadi, badannya langsung
gemetar dan kembali jatuh terduduk. Dengan terputus-putus ia menjawab, “Mana …
mana mungkin begitu?”
“Huh, dasar perempuan hina!”
ejek Lin Pingzhi. “Kalian ayah dan anak sengaja berkomplot untuk memancing
diriku. Nona Yue putri ketua Perguruan Huashan sudi menikah dengan anak
sebatang kara yang tidak punya tempat tinggal lagi. Untuk apa tujuannya kalau
bukan demi mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kami? Dan
sekarang setelah kitab pusaka itu didapatkan, untuk apalagi kau masih mengurusi
aku?”
Yue Lingshan menangis keras
dengan perasaan pilu. Ia meratap, “Kau … kau jangan memfitnah orang yang tak
bersalah. Jika benar seperti itu tujuanku sebagaimana yang kau tuduhkan,
biarlah aku di… dikutuk dan mati tak terkubur.”
“Huh, dengan licik kalian
memasang perangkap. Semula aku masih tidak menyadarinya,” lanjut Lin Pingzhi.
“Tapi sekarang setelah kedua mataku buta, tiba-tiba saja hatiku dapat melihat
dengan jelas. Coba katakan, kalau kalian ayah dan anak tidak punya maksud dan
tujuan tertentu, kenapa … kenapa ....”
Yue Lingshan bangkit dan
berjalan perlahan-lahan sambil berkata, “Sudahlah, jangan menuruti pikiran
liarmu. Sedikit pun perasaanku kepadamu tidak berubah dari dulu hingga
sekarang.”
“Huh!” sahut Lin Pingzhi hanya
mendengus.
Yue Lingshan kembali berkata,
“Marilah kita pulang ke Gunung Huashan untuk merawat lukamu. Entah matamu akan
sembuh atau tidak, sikapku kepadamu tak akan pernah berubah. Bila aku, Yue
Lingshan, menyimpan maksud buruk, biarlah kematianku lebih mengenaskan daripada
Yu Canghai ini.”
Lin Pingzhi menjawab, “Aku
tidak tahu apa yang sedang kau rencanakan atas diriku. Kau tidak perlu bicara
manis lagi di depanku.”
Yue Lingshan tidak menjawab.
Ia lantas berkata kepada Ren Yingying, “Kakak, bolehkah aku meminjam salah satu
kereta kalian?”
“Tentu saja boleh,” jawab Ren
Yingying. “Apakah perlu satu-dua kakak dari Perguruan Henshan ikut mengawal
perjalanan kalian?”
“Tidak … tidak usah,” jawab
Yue Lingshan dengan tersedu-sedu. “Terima kasih banyak.”
Ren Yingying lantas menarik
sebuah kereta keledai dan menyerahkan tali kendali kepada Yue Lingshan.
“Mari kita naik ke atas kereta
ini!” ujar Yue Lingshan sambil perlahan-lahan memapah bahu Lin Pingzhi.
Lin Pingzhi terlihat malas.
Namun, kedua matanya tidak bisa melihat lagi, setiap langkah perjalanannya akan
menjadi susah. Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia pun naik juga ke atas
kereta itu.
Segera Yue Lingshan melompat
dan hinggap di tempat duduk kusir. Setelah mengangguk kepada Ren Yingying, ia
pun melecutkan cambuk dan menjalankan kereta itu ke arah barat. Sedikit pun ia
tidak melirik ke arah Linghu Chong.
Linghu Chong sendiri terus
memandang tanpa berkedip mengikuti kepergian kereta itu yang semakin lama
semakin jauh. Ia termangu-mangu dengan perasaan pilu, air mata pun
berlinang-linang di kelopak matanya. Dalam hati ia berpikir, “Kedua mata Adik
Lin sudah buta, Adik Kecil juga sedang terluka. Dalam keadaan begitu bagaimana
kalau mereka sampai mendapat gangguan di tengah jalan? Jika murid-murid
Perguruan Qingcheng mengejar mereka untuk balas dendam, apakah mereka mampu
melawan?”
Dilihatnya murid-murid
Qingcheng telah membungkus jenazah Yu Canghai dan mengangkutnya di atas
punggung kuda. Mereka lantas berangkat menuju arah barat daya. Meskipun arah
yang dituju berlainan dengan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan, namun siapa yang
menjamin kalau mereka tidak akan berputar haluan di tengah jalan dan kemudian
mengejar pasangan itu?
Linghu Chong mencoba menyelami
pertengkaran Lin Pingzhi dan Yue Lingshan tadi. Ia merasa dalam hubungan
suami-istri itu tentu terdapat berbagai rahasia yang sulit diketahui orang
luar. Yang jelas, sejak menikah hubungan mereka tidak lagi mesra seperti dulu.
Sang adik kecil masih muda belia dan disayang oleh kedua orang tuanya bagaikan
mutiara, juga para saudara seperguruan sangat hormat dan mengasihinya. Namun,
kini ia harus mendapat penghinaan lahir batin dari suami sendiri, membuat
perasaan Linghu Chong menjadi pilu dan air matanya pun bercucuran.
Kini hanya tinggal rombongan
Perguruan Henshan saja di tempat itu. Mereka lalu melanjutkan perjalanan
pulang. Setelah belasan li mereka pun menginap di sebuah kuil tua. Linghu Chong
sendiri tidak bisa tidur nyenyak karena beberapa kali terbangun oleh mimpi
buruk. Lewat tengah malam, dalam keadaan setengah sadar tiba-tiba ia mendengar
suara lembut berbisik di telinganya, “Kakak Chong! Kakak Chong!”
Linghu Chong pun terbangun.
Ternyata itu adalah suara Ren Yingying yang memanggilnya dari jauh. “Mari
keluar, ada yang ingin kubicarakan.” Yang digunakan Ren Yingying adalah ilmu
menyalurkan suara seperti yang pernah ia lakukan terhadap Enam Dewa Lembah
Persik di Puncak Songshan tempo hari. Meskipun ia berada jauh di sana, namun
suaranya terdengar jelas masuk menyusup ke dalam telinga Linghu Chong.
Segera Linghu Chong bangkit
dan keluar kuil. Dilihatnya Ren Yingying sedang duduk di undak-undakan batu
sambil bertopang dagu termenung-menung. Linghu Chong mendekati dan duduk di sebelahnya.
Suasana malam itu begitu sunyi. Di sekitar mereka tiada terdengar suara sedikit
pun.
Selang agak lama barulah Ren
Yingying berkata, “Kau pasti mengkhawatirkan adik kecilmu, bukan?”
“Ya,” jawab Linghu Chong.
“Banyak persoalan yang membuatku sukar mengerti.”
“Kau khawatir dia akan
diperlakukan kurang baik oleh suaminya?” sambung Ren Yingying.
Linghu Chong menghela napas,
lalu menjawab, “Itu urusan suami-istri, orang luar mana boleh ikut campur?”
“Bukankah kau juga khawatir
kalau murid-murid Qingcheng akan mengejar mereka untuk balas dendam?” tanya Ren
Yingying.
“Orang-orang Qingcheng tentu
sakit hati atas kematian guru mereka. Apalagi melihat Adik Lin dan Adik Kecil
sedang terluka, tentu wajar kalau mereka mengambil kesempatan untuk balas dendam.
Rasanya bukan sesuatu yang aneh,” jawab Linghu Chong lirih.
“Mengapa kau tidak mencari
akal untuk menolong mereka?” desak Ren Yingying.
Kembali Linghu Chong menghela
napas dan berkata, “Dari nada bicara Adik Lin tadi, sepertinya ia agak cemburu
kepadaku. Meski aku datang membantu mereka dengan maksud baik, jangan-jangan
malah membuat retak hubungan rumah tangga mereka.”
“Itu hanya salah satu
alasanmu,” ujar Ren Yingying. “Tapi sebenarnya kau khawatir akan membuatku
merasa tidak senang, bukan?”
Linghu Chong mengangguk,
kemudian memegang tangan kiri Ren Yingying dengan erat. Telapak tangan gadis
itu terasa sangat dingin. Dengan suara halus ia pun berkata, “Yingying, di
dunia ini hanya kau seorang satu-satunya yang kumiliki. Jika di antara kita
masih timbul rasa curiga, lalu apa artinya semua ini?”
Perlahan-lahan Ren Yingying
meletakkan kepalanya pada bahu Linghu Chong, kemudian berkata, “Jika demikian
perasaanmu, sungguh tidak baik kalau kita masih saling curiga. Jangan sampai
terlambat. Kita harus menyusul mereka secepatnya. Jangan sampai kau menyesal
seumur hidup hanya karena ingin menghindari rasa curiga di antara kita.”
Mendengar perkataan “menyesal
seumur hidup”, seketika Linghu Chong terkesiap dan seakan-akan terbayang dalam
benaknya Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sedang dikepung oleh murid-murid
Perguruan Qingcheng dengan senjata terhunus. Tanpa terasa badannya pun gemetar
memikirkan hal ini.
Terdengar Ren Yingying
berkata, “Akan kubangunkan Kakak Yihe dan Kakak Yiqing supaya memimpin
rombongan pulang ke Henshan lebih dulu. Kita berdua akan mengawal perjalanan
adik kecilmu secara diam-diam, baru kemudian menyusul ke Biara Awan Putih.”
Setelah bangun, Yihe dan
Yiqing segera mendatangi Linghu Chong. Mereka merasa khawatir melihat keadaan
sang ketua yang belum benar-benar sembuh tapi ingin pergi menolong orang.
Namun, karena Linghu Chong sudah bertekad bulat, terpaksa mereka tidak berani
banyak membantah. Keduanya pun menyediakan obat-obat luka dalam sebuah
bungkusan besar dan menaruhnya di dalam kereta. Ren Yingying sendiri hanya diam
mematung dan sama sekali tidak berani memandang ketika Linghu Chong berpamitan
kepada dua murid tertua itu. Ia membayangkan Yihe dan Yiqing pasti menertawakan
kepergiannya bersama Linghu Chong malam-malam begini dalam satu kereta. Setelah
cukup jauh meninggalkan kuil tua tersebut, barulah gadis itu menghembuskan
napas panjang dengan wajah masih bersemu merah.
Ren Yingying ternyata mampu
membedakan arah dengan baik. Begitu menemukan sebuah jalan raya menuju ke arah
barat laut, ia langsung memacu kereta sekencang-kencangnya menyusuri jalur itu.
Ia paham bahwa jalan raya ini adalah satu-satunya jalur menuju Gunung Huashan
dan tidak mungkin salah arah. Kereta yang mereka tumpangi ditarik oleh seekor
keledai yang kuat, sehingga ada kemungkinan besar bisa menyusul kereta Lin
Pingzhi dan Yue Lingshan. Di tengah malam yang sunyi itu hanya terdengar suara
derap kaki keledai dan keriat-keriut roda kereta saja.
Linghu Chong termangu-mangu
menyaksikan Ren Yingying mengemudikan kereta. Ia merenung, “Demi diriku, ia
rela melakukan segalanya. Jelas-jelas ia sadar bahwa aku sedang mengkhawatirkan
Adik Kecil, tetapi ia sama sekali tidak tersinggung, malah mengajakku berangkat
menyusul. Ia dapat memahami perasaanku dengan baik. Entah dalam kehidupan
sebelumnya ada hubungan apa di antara kami berdua? Wahai Linghu Chong, betapa
beruntung dan bahagianya dirimu mendapatkan istri secantik ini dan juga berbudi
luhur seperti ini.”
Ren Yingying melarikan kereta
keledai itu dengan sangat cepat. Beberapa li kemudian tiba-tiba ia melambat dan
berkata, “Kita berusaha melindungi adik kecilmu secara diam-diam. Jika kita
terpaksa turun tangan, maka sebaiknya mereka jangan sampai mengenal kita. Maka,
yang paling baik adalah kita menyamar saja.”
“Benar, kau bisa menyamar
sebagai si gemuk berewok lagi,” sahut Linghu Chong.
“Tidak. Waktu di Puncak
Songshan tempo hari semua orang melihatku memapahmu. Penyamaranku yang itu
tentu sudah diketahui oleh adik kecilmu,” jawab Ren Yingying.
“Lantas, bagaimana kita harus
menyamar?” tanya Linghu Chong.
“Kau tunggu sebentar di sini,”
ujar Ren Yingying. Kemudian cambuknya menunjuk sebuah rumah petani di depan
sana dan ia pun berkata, “Aku akan mencuri pakaian di rumah itu, kemudian kita
menyamar sebagai pasangan ... eh, dua orang petani kakak beradik.” Sebenarnya
ia hendak mengatakan “pasangan petani suami-istri” namun hatinya merasa kurang
pantas sehingga segera mencari kata-kata yang lain.
Linghu Chong yang cerdik tentu
saja mengetahui hal itu. Sebenarnya ia hendak bercanda untuk meledek Ren
Yingying namun mengingat gadis itu sangat pemalu, maka ia hanya tersenyum saja.
Meski demikian, kebetulan Ren Yingying sedang menoleh dan melihat senyuman itu
sehingga wajahnya pun bersemu merah.
“Apanya yang lucu?” sahutnya
kemudian.
“Tidak ... tidak ....” jawab
Linghu Chong. “Aku hanya berpikir seandainya di rumah itu tidak ada anak
perempuan, dan ternyata yang menghuni di sana seorang pemuda dan neneknya,
tentu aku harus memanggilmu ‘nenek’ lagi.”
Ren Yingying hanya mencibir
kemudian tertawa kecil membayangkan masa-masa awal pertemuan mereka dulu. Tanpa
bicara lagi ia pun melompat turun dari kereta dan berlari menuju rumah yang
menjadi sasarannya. Dengan mudah ia melompati pagar rumah itu, menyusul
kemudian terdengar suara anjing menggonggong sekali namun kemudian tidak
terdengar lagi. Sepertinya binatang itu telah dilumpuhkan oleh si nona.
Tidak lama kemudian Ren
Yingying telah kembali dengan membawa setumpuk pakaian. Wajahnya terlihat aneh.
Seperti tersenyum tapi tidak tersenyum. Gadis itu lalu melompat ke dalam kereta
dan tertawa terpingkal-pingkal setelah menaruh bungkusan itu di sampingnya.
Linghu Chong penasaran dan memeriksa isi bungkusan itu, yang ternyata berisi
pakaian petani suami-istri. Di bawah sinar rembulan dapat terlihat kalau
keduanya adalah pakaian petani tua yang sudah ketinggalan zaman. Apalagi
pakaian si wanita tampak sangat longgar dan bermotif bunga-bunga. Selain
mencuri pakaian, Ren Yingying juga sempat mengambil topi petani dan ikat kepala
perempuan, serta sebatang pipa cangklong.
Ren Yingying masih saja
tertawa sambil berkata, “Hahaha. Kau benar-benar manusia setengah dewa.
Tebakanmu memang benar. Di sana tidak ada pakaian anak gadis, yang ada hanya
pakaian nenek tua. Tapi ... tapi di sana juga tidak ada pakaian pemuda ....”
Entah mengapa ia tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
Linghu Chong tersenyum
menanggapi, “Jadi, penghuni rumah itu benar-benar pasangan petani tua kakak
beradik. Yang laki-laki tidak mau menikah, begitu pula dengan yang wanita. Keduanya
tetap melajang sampai usia tujuh puluhan, dan tetap hidup bersama.”
Ren Yingying tersenyum simpul
menjawab, “Tidak seperti itu.”
“Jadi mereka bukan kakak
beradik? Aneh sekali,” ujar Linghu Chong pura-pura bingung.
Ren Yingying masih saja
tertawa dan segera mengambil pakaian perempuan dan mengenakannya di belakang
kereta. Kemudian dengan kedua tangan ia mengusapkan debu pada mukanya sendiri.
Setelah itu barulah ia kembali ke dalam kereta untuk membantu Linghu Chong
mengenakan pakaian penyamarannya.
Jarak mereka berdua kini hanya
beberapa senti saja. Napas Ren Yingying terasa berhembus perlahan, membuat hati
Linghu Chong berdebar-debar. Sungguh, ia ingin sekali memeluk gadis itu dan
menciumnya, namun begitu teringat sifat Ren Yingying yang pemalu dan sangat
keras, sedikit pun ia tidak berani memenuhi hasratnya. Kalau sampai membuat si
nona marah, tentu akibatnya sangat sukar dibayangkan. Karena itu, ia pun
berusaha menahan diri sebisa mungkin.
Ternyata kilatan sinar mata
Linghu Chong yang aneh itu dapat diketahui oleh Ren Yingying. Dengan tersenyum
ia mengusap muka pemuda itu dengan debu sambil berkata, “Anak baik, kalau
seperti ini barulah Nenek sayang padamu.”
Linghu Chong memejamkan mata
menikmati usapan tangan Ren Yingying yang halus itu. Dadanya terasa hangat dan
perasannya begitu nyaman. Sungguh ia berharap si nona akan terus mengusap-usap
wajahnya tanpa berhenti.
Sejenak kemudian Ren Yingying
pun berkata, “Selesai sudah. Adik kecilmu tidak akan mengenalimu lagi di tengah
malam seperti ini. Tapi awas, kau tidak boleh berbicara.”
“Usapkan debu di leherku
juga,” ujar Linghu Chong kemudian.
“Untuk apa? Memangnya siapa
yang akan mengenali lehermu?” jawab Ren Yingying. Begitu memahami maksud nakal
Linghu Chong, ia pun mengetuk perlahan dahi pemuda itu dan kembali duduk di
tempat kusir. Dengan bersuit ia kembali menjalankan kereta. Sepanjang jalan
gadis itu tiada henti-hentinya tertawa terpingkal-pingkal, membuat Linghu Chong
merasa penasaran.
“Memangnya ada kejadian lucu
apa di rumah petani tadi?” tanya Linghu Chong kemudian.
“Aku tidak melihat sesuatu
yang lucu,” jawab Ren Yingying. “Hanya saja kedua petani yang tinggal di sana
itu adalah suami istri yang sudah tua.”
“O, jadi mereka bukan kakak
beradik?” sahut Linghu Chong tersenyum.
“Kau menggodaku. Aku tidak mau
bicara lagi,” ujar Ren Yingying.
“Baiklah, baiklah, mereka
bukan suami-istri, tapi kakak beradik,” sahut Linghu Chong.
“Berhentilah menggoda,” kata
Ren Yingying. “Tadi setelah aku melompati pagar, segera seekor anjing
menggonggong kepadaku. Terpaksa aku memukul binatang itu sampai pingsan. Namun,
suara gonggongannya terlanjur membuat petani kakek-nenek itu terbangun.
Terdengar si nenek berkata, ‘Bapaknya A Mao, coba kau lihat, jangan-jangan ada
maling ayam.’ Lalu si kakek menjawab, ‘Ah, Si Hitam sudah diam, mana mungkin
ada maling?’ Tiba-tiba si nenek tertawa dan berkata, ‘Mungkin maling itu meniru
caramu dulu. Saat tengah malam kau mengendap-endap ke rumahku sambil membawa
sepotong daging untuk menyuap anjingku.’”
“Huh, nenek itu memang
brengsek. Secara tidak langsung dia berani menyebutmu sebagai maling ayam,”
ujar Linghu Chong dengan tertawa. Karena sifat Ren Yingying sangat pemalu, maka
ia sengaja pura-pura tidak tahu bahwa kedua suami-istri petani itu sedang
mengisahkan urusan asmara mereka di masa lalu. Dengan demikian Ren Yingying
akan terus bercerita. Kalau sedikit saja Linghu Chong menyinggung soal
percintaan, tentu gadis itu tidak mau bicara lagi.
Ternyata Ren Yingying justru
menjelaskan sambil tertawa, “Maksud nenek itu adalah kejadian sebelum mereka
menikah ….” sampai di sini tiba-tiba ia menegakkan tubuhnya dan mencambuk
keledai agar kereta berjalan lebih cepat.
“Kejadian sebelum mereka
menikah?” sahut Linghu Chong menegas. “Pasti kelakuan mereka berdua sangat
baik. Sekalipun mereka berduaan di dalam kereta malam-malam, tentu mereka juga
tidak berani saling peluk dan berciuman.”
“Huh!” sahut Ren Yingying
mendengus, kemudian tidak berbicara lagi.
Linghu Chong tersenyum dan
berkata, “Wahai adik manis, adik sayang, apa lagi yang mereka katakan? Tolong
kau kembali bercerita!”
Namun, Ren Yingying tetap saja
diam. Di tengah malam yang sunyi itu hanya terdengar suara derap kaki keledai
dan keriut roda melaju kencang dengan menimbulkan irama yang enak didengar.
Linghu Chong memandang ke
depan. Cahaya bulan tampak menyinari jalan raya yang lurus dan lebar itu. Kabut
pun telah turun menyelimuti pepohonan di kanan-kiri jalan. Suasana menjadi
remang-remang. Perlahan kereta keledai itu menyusup ke tengah kabut sehingga
pemandangan di kejauhan mulai tidak terlihat, bahkan Ren Yingying yang duduk di
sisinya seakan-akan juga terbungkus oleh kabut tipis tersebut.
Saat itu baru permulaan musim
semi. Bau harum bunga-bunga hutan sayup-sayup semerbak mewangi membuat keduanya
merasa begitu nyaman. Ditambah lagi dengan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah
membuat keduanya sangat bahagia. Sudah lama Linghu Chong tidak minum arak,
namun saat ini ia merasa seperti sedang mabuk kepayang.
Ren Yingying tetap
mengemudikan kereta tanpa berbicara sedikit pun, namun bibirnya tiada
henti-hentinya tersenyum simpul. Rupanya ia sedang teringat pada percakapan
petani tua suami istri tadi. Kata si kakek, “Malam itu aku tidak mendapat
daging, terpaksa aku mencuri seekor ayam tetangga dan membawanya sebagai umpan
anjingmu. Oh ya, siapa nama anjingmu itu?”
Si nenek menjawab, “Namanya Si
Belang.”
“Benar, Si Belang,” kata si
kakek. “Setelah diberi ayam, dia menjadi jinak dan diam saja, sehingga
ayah-ibumu tidak tahu kedatanganku. Maka, pada malam itu pula jadilah si A Mao
kita.”
“Hm, yang kau tahu hanya
bersenang-senang sendiri tanpa memikirkan kesulitan orang lain,” sahut si nenek
mengomel. “Kemudian setelah perutku membesar, apa kau tahu kalau aku dipukuli
Ayah sampai hampir mampus?”
“Justru lebih baik kalau
perutmu membesar,” jawab si kakek. “Kalau tidak, mana mungkin ayahmu sudi
menikahkanmu dengan seorang miskin seperti aku ini? Waktu itu aku justru
mengharapkan perutmu lekas membesar.”
Mendadak si nenek marah dan
memaki, “Setan alas! Ternyata waktu itu kau memang sengaja membuat perutku
besar, ya? Mengapa kau tidak bicara terus terang dan baru mengaku sekarang? Aku
tidak … tidak dapat mengampunimu.”
“Ah jangan ribut lagi! A Mao
sekarang sudah dewasa, sudah punya anak pula. Untuk apa kita ribut?” jawab si
kakek.
Khawatir Linghu Chong menunggu
terlalu lama, Ren Yingying tidak berani terus mendengarkan. Lekas-lekas ia
menyambar beberapa potong pakaian dan barang lain, lalu kabur setelah menaruh
sepotong perak di atas meja. Petani suami-istri itu sudah tua, juga sedang
asyik membicarakan masa muda mereka yang mesra sehingga tidak tahu sama sekali
bahwa rumah mereka telah dimasuki orang.
Teringat percakapan
suami-istri tadi wajah Ren Yingying bersemu merah. Untung saat itu malam gelap,
kalau tidak, tentu ia akan sangat malu terlihat oleh Linghu Chong. Kini ia
tidak lagi mempercepat lari keledainya. Kereta pun berjalan lebih perlahan.
Tidak lama kemudian sampailah mereka di tepi sebuah danau yang dikelilingi
pepohonan rindang. Air danau tampak berkilauan tertimpa cahaya rembulan.
“Kakak Chong, apakah kau
tertidur?” Ren Yingying bertanya perlahan.
“Ya, aku sudah tidur, bahkan
sedang bermimpi,” jawab Linghu Chong.
“Mimpi apa?” tanya Ren
Yingying.
“Aku bermimpi membawa sepotong
daging dan mengendap-endap ke tempat tinggalmu di Tebing Kayu Hitam untuk
memberi makan anjing ayahmu,” jawab Linghu Chong.
“Huh, dasar orang aneh,
mimpinya juga aneh,” ujar Ren Yingying tersenyum.
Kedua muda-mudi itu duduk
berdampingan di atas kereta sambil memandangi air danau. Tanpa terasa Linghu
Chong mengulurkan sebelah tangannya untuk memegang tangan Ren Yingying. Tangan
gadis itu agak gemetar namun tidak berusaha menghindar.
Linghu Chong berpikir, “Andai
kami bisa selamanya seperti ini dan tidak berkecimpung lagi di dunia persilatan
yang berbau darah, sekalipun menjadi dewa rasanya juga tidak sebahagia ini.”
“Apa yang sedang kau
pikirkan?” tiba-tiba Ren Yingying bertanya.
Linghu Chong pun berterus
terang mengatakan apa yang ada di pikirannya itu.
Ren Yingying balas menggenggam
erat-erat tangan Linghu Chong dan berkata, “Kakak Chong, sungguh aku merasa
sangat bahagia.”
“Demikian pula aku,” sahut
Linghu Chong.
“Dulu saat kau memimpin ribuan
pendekar menyerbu Biara Shaolin, aku sangat bersyukur dan berterima kasih, tetapi
rasanya tidak sebahagia malam ini,” kata Ren Yingying. “Kau menyerbu Biara
Shaolin untuk menolong diriku karena terdorong oleh rasa setiakawan sesama kaum
persilatan, juga karena merasa berhutang budi padaku. Namun kali ini berbeda.
Yang kau pikirkan hanyalah diriku seorang tanpa terkenang kepada adik kecilmu
….”
Mendengar kata “adik kecilmu”,
seketika hati Linghu Chong tergetar dan merasa harus lekas-lekas menyusul Yue
Lingshan yang mungkin sedang terancam bahaya itu.
Ren Yingying kembali berkata
perlahan, “Baru sekarang aku benar-benar percaya bahwa dalam pandanganmu, dalam
hatimu ternyata kau lebih banyak memikirkan aku daripada adik kecilmu.” Usai
berkata demikian ia lantas menarik tali kendali sehingga kereta keledai kembali
bergerak ke tengah jalan raya. Begitu cambuk dilecutkan, segera binatang itu
berlari lebih cepat menarik kereta.
Setelah lebih dari dua puluh
li terlewati, si keledai sudah mulai kelelahan dan memperlambat langkahnya.
Begitu melewati dua tikungan kemudian, tampak hamparan ladang jagung yang luas
berada di tepi jalan. Di bawah cahaya rembulan ladang luas itu laksana sutra
hijau yang terbentang di bumi raya.
Ketika memperhatikan dengan
seksama, tampak sebuah kereta lain berhenti agak jauh di tepi jalan raya itu.
“Dilihat dari bentuknya, itu
seperti kereta yang ditumpangi Adik Lin dan Adik Kecil,” kata Linghu Chong.
“Mari kita mendekatinya
pelan-pelan,” ujar Ren Yingying sambil menjalankan keretanya maju dengan
perlahan sehingga jaraknya semakin dekat dengan kereta di depan itu.
Tidak lama kemudian, tampak
dengan jelas bahwa kereta itu ternyata tidak berhenti, tetapi berjalan dengan
sangat lambat. Di samping kereta terlihat seorang laki-laki berjalan kaki
seorang diri. Ia tidak lain adalah Lin Pingzhi. Sementara itu, orang yang
menjadi kusir jika dilihat dari belakang tentu adalah Yue Lingshan.
Ren Yingying terheran-heran
melihatnya. Segera ia menarik tali kendali untuk menghentikan kereta, kemudian
bertanya dengan suara lirih, “Mengapa seperti itu?” Setelah diam sejenak, ia lalu
berkata, “Kau tunggu di sini, biar aku menyusul ke sana untuk memeriksa.”
Linghu Chong hendak menyertai
namun lukanya belum sembuh benar sehingga tidak mungkin mengerahkan ilmu
meringankan tubuh. Terpaksa ia hanya mengangguk dan berbisik, “Silakan.”
Ren Yingying segera menyusup
ke tengah ladang jagung itu dan menyusur ke depan untuk kemudian memutar ke
arah kereta Yue Lingshan. Ladang jagung itu sangat lebat sehingga tubuh Ren
Yingying tidak terlihat sama sekali meski keadaan siang sekalipun. Hanya saja,
tangkai-tangkai jagung itu belum terlalu tinggi, sehingga gadis itu harus
berjalan dengan kepala merunduk. Setelah agak dekat, ia pun mengikuti jalannya
kereta dengan memperhatikan suara kaki keledai penariknya.
Terdengar Lin Pingzhi berkata,
“Kitab pusaka keluargaku sudah lama jatuh ke tangan ayahmu. Semua jurus sudah
dilatihnya sampai tuntas. Tapi kenapa kau masih saja mengikutiku?”
Yue Lingshan menjawab, “Kenapa
kau selalu curiga ayahku mengincar kitab pusakamu? Sungguh tidak beralasan.
Coba pikir, ketika awal mula kau masuk Perguruan Huashan dulu, waktu itu apakah
kau membawa kitab pusaka segala? Tapi sejak itu, aku sudah … sudah baik padamu.
Apa karena itu kau lantas menuduhku bermaksud jahat terhadapmu?”
“Jurus Pedang Penakluk Iblis
milik Keluarga Lin kami terkenal di seluruh jagat. Yu Canghai dan Mu Gaofeng
tidak menemukannya pada ayahku, dengan sendirinya sasaran berikutnya adalah
aku. Dari mana aku bisa yakin bahwa perbuatan baikmu kepadaku bukan atas
perintah ayah-ibumu?”
“Jika kau berpikiran begitu,
apa mau dikata? Terserah padamu!” sahut Yue Lingshan tersedu-sedu.
“Memangnya aku salah
menuduhmu?” kata Lin Pingzhi marah. “Bukankah Kitab Pedang Penakluk Iblis
milikku akhirnya jatuh ke tangan ayahmu? Semua orang berkata, barangsiapa ingin
menguasai kitab pusaka itu, maka harus bisa menguasai Lin Kecil dulu. Hm, Yu
Canghai, Mu Gaofeng, atau Yue Buqun, apa bedanya? Hanya saja, Yue Buqun
berhasil dan dia menjadi pemenang, sementara Yu Canghai dan Mu Gaofeng gagal,
maka mereka menjadi pecundang.”
“Kata-katamu sangat
merendahkan ayahku. Memangnya kau anggap aku ini apa?” kata Yue Lingshan dengan
gusar. “Coba kalau bukan … kalau bukan … huh ….”
“Kau mau bicara apa? Kalau
bukan karena mataku buta dan terluka tentu akan kau akan membunuhku, begitu? Mataku
ini sudah buta sejak lama,” tukas Lin Pingzhi sambil berdiri tegak.
“Jadi, perkenalanmu denganku
serta hubungan baik kita dari dulu itu kau anggap karena kau buta?” sahut Yue
Lingshan sambil menarik tali kendali sehingga keretanya berhenti mendadak.
“Benar sekali,” jawab Lin
Pingzhi. “Mana aku tahu bahwa kedatanganmu ke Fuzhou dengan pura-pura membuka
kedai arak ternyata menyimpan rencana jangka panjang? Tujuanmu yang utama
sesungguhnya hanyalah mengincar Kitab Pedang Penakluk Iblis belaka. Kau membiarkan
dirimu digoda oleh bajingan anak Yu Canghai itu padahal ilmu silatmu jauh lebih
tinggi daripada dia. Kau pura-pura tidak bisa silat untuk memancingku supaya
turun tangan membelamu. Wahai Lin Pingzhi, dasar matamu memang buta,
kepandaianmu hanya sedikit tapi berani menonjolkan diri sebagai pahlawan
pembela si cantik segala. Apalagi kau adalah anak perempuan kesayangan
ayah-ibumu. Kalau bukan karena suatu tujuan yang sangat penting mana mungkin
mereka mengizinkanmu keluyuran di luar Huashan dan menjadi penjual arak
rendahan segala?”
“Sebenarnya Kakak Kedua yang
disuruh Ayah pergi ke Fuzhou,” Yue Lingshan menukas. “Aku hanya terdorong oleh
keinginan berpesiar saja. Maka itu, aku bersikeras minta ikut menemani Kakak
Kedua.”
“Hm, ayahmu sangat keras mengawasi
murid-muridnya. Bila dia menganggap sesuatu tidak pantas, maka walaupun kau
berlutut dan menangis tiga hari tiga malam juga takkan dikabulkannya. Sudah
tentu karena dia juga tidak percaya sepenuhnya pada Kakak Kedua, maka kau pun
dikirim sekalian untuk mengawasinya.”
Yue Lingshan terdiam. Apa yang
diucapkan Lin Pingzhi memang masuk akal. Sejenak kemudian barulah ia membuka
suara, “Baiklah, percaya atau tidak terserah padamu. Yang pasti ketika datang
ke Fuzhou aku belum pernah mendengar ada Kitab Pedang Penakluk Iblis segala.
Aku hanya mendengar Ayah mengatakan bahwa Kakak Pertama baru saja menghajar dua
orang murid Qingcheng dan ini membuat hubungan kedua perguruan menjadi kurang
baik. Konon, orang-orang Perguruan Qingcheng telah dikerahkan ke timur dan
mungkin akan merugikan Perguruan Huashan. Maka itu, aku dan Kakak Kedua pun
ditugasi Ayah untuk menyelidiki gerak-gerik mereka.”
Lin Pingzhi menghela napas,
pertanda hatinya sudah agak lunak. “Baiklah, untuk kali ini aku percaya padamu.
Akan tetapi, keadaannya sudah terlanjur seperti ini, untuk apa kau masih tetap
mengikutiku? Memang kita sudah resmi menjadi suami-istri. Tapi pada
kenyataannya, kau masih berbadan perawan. Sebaiknya kau … kau kembali pada
Linghu Chong saja.”
Mendengar kata-kata “Memang kita
sudah resmi menjadi suami-istri. Tapi pada kenyataannya, kau masih berbadan
perawan,” kontan membuat Ren Yingying terkejut. Dalam hati ia bertanya,
“Mengapa bisa begitu?” Namun, segera mukanya bersemu merah dan menganggap
seorang anak gadis seperti dirinya tidaklah pantas mencuri dengar percakapan
pribadi orang lain suami-istri. Apalagi ingin mencari tahu “mengapa bisa
begitu” segala, benar-benar tidak pantas.
Karena itu, ia pun bermaksud
segera pergi. Namun, baru saja mundur beberapa langkah, rasa ingin tahunya
mendesak untuk mendengarkan lebih lanjut percakapan Yue Lingshan dan Lin
Pingzhi itu. Meski demikian, ia khawatir persembunyiannya akan diketahui oleh
mereka sehingga berpindah agak jauh dari tempat semula.
Dengan menggunakan tenaga
dalam dan memusatkan pikiran, ditambah keadaan memang sangat sunyi, ia masih
dapat mendengar Yue Lingshan berkata dengan jelas, “Baru tiga hari kita menikah
segera aku tahu ternyata kau sangat membenciku. Sekalipun satu kamar, namun kau
tidak sudi tidur seranjang denganku. Jika kau tidak sudi satu ranjang denganku,
kenapa… kenapa pula kau menikah denganku?”
“Aku tidak benci padamu,”
sahut Lin Pingzhi sambil menghela napas.
“Kau tidak benci padaku? Tapi
mengapa siang hari kau pura-pura baik kepadaku, namun begitu malam tiba saat
kita di dalam kamar kau lantas bersikap dingin? Sepatah kata pun kau tidak mau
bicara denganku. Berulang kali Ayah dan Ibu bertanya bagaimana perlakuanmu
padaku, selalu saja kujawab sangat baik ….” Sampai di sini mendadak ia menangis
keras-keras.
Lin Pingzhi lantas melompat ke
dalam kereta dan memegangi bahu Yue Lingshan. Dengan suara bengis ia membentak,
“Kau bilang ayah-ibumu berulang kali menanyakan bagaimana aku memperlakukan
dirimu, apakah benar?”
“Sudah tentu benar, untuk apa
aku berbohong?” sahut Yue Lingshan.
“Sudah jelas aku memperlakukan
dirimu tidak baik, sama sekali belum pernah tidur seranjang denganmu, tapi
kenapa kau katakan aku sangat baik padamu?” desak Lin Pingzhi.
“Aku telah menikah denganmu,
maka dengan sendirinya aku menjadi anggota Keluarga Lin,” jawab Yue Lingshan
dengan mencucurkan air mata. “Yang kuharapkan adalah semoga tidak lama lagi kau
berubah pikiran. Aku mencintaimu dengan segenap jiwaku, mana boleh aku
menjelek-jelekkan suami sendiri?”
Lin Pingzhi tidak menjawab,
hanya giginya saja yang berkerut-kerut menahan gemas. Ia kemudian berkata
perlahan, “Hm, tadinya kusangka ayahmu sayang padamu sehingga ia bermurah hati
kepadaku. Andai saja kau tidak membela diriku seperti itu, mungkin sejak dulu
nyawaku sudah melayang di Puncak Huashan.”
“Mana mungkin seperti itu?”
tanya Yue Lingshan. “Kita ini pengantin baru. Meskipun terjadi sedikit selisih
paham juga tidak mungkin seorang mertua lantas membunuh menantunya.”
“Dia ingin membunuhku bukan
karena aku bersikap dingin padamu, tapi karena aku telah mempelajari Jurus
Pedang Penakluk Iblis,” jawab Lin Pingzhi dengan gemas.
Mendengar ini Ren Yingying
semakin penasaran dan maju beberapa langkah.
“Aku benar-benar tidak paham,”
kata Yue Lingshan. “Ilmu pedang yang kau mainkan, juga yang Ayah mainkan
benar-benar sangat aneh dan luar biasa sakti. Ayah berhasil mengalahkan Zuo
Lengchan dan merebut kedudukan ketua Perguruan Lima Gunung, sementara kau
sendiri berhasil membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng. Apakah … apakah ilmu pedang
yang kalian mainkan itu adalah Jurus Pedang Penakluk Iblis?”
“Benar, itulah Jurus Pedang
Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kami,” jawab Lin Pingzhi. “Dengan ilmu pedang
mahasakti itulah leluhurku, Kakek Buyut Yuantu mendirikan Biro Ekspedisi Fuwei
dan malang melintang di dunia persilatan pada zamannya.” Sampai di sini
suaranya terdengar jelas dan nyaring, penuh dengan rasa bangga.
“Tapi ... tapi kau tidak
pernah bercerita padaku .… Kau mengaku tidak pernah belajar ilmu pedang itu!”
kata Yue Lingshan.
“Mana berani aku berkata terus
terang?” sahut Lin Pingzhi. “Linghu Chong berhasil merebut jubah biksu
peninggalan kakek buyutku di Fuzhou. Tapi, rupanya sudah takdir kalau dia gagal
memilikinya. Jubah yang bertuliskan isi Kitab Pedang Penakluk Iblis itu malah
jatuh ke tangan ayahmu ….”
“Tidak mungkin, tidak
mungkin!” seru Yue Lingshan dengan suara melengking. “Menurut Ayah, kitab
pusaka itu telah dikuasai Kakak Pertama. Aku memintanya untuk mengembalikan
kitab itu kepadamu, tapi Kakak Pertama menolak.”
Lin Pingzhi hanya mendengus
dan tertawa dingin.
Yue Lingshan melanjutkan,
“Ilmu pedang Kakak Pertama mahasakti, bahkan Ayah pun bukan tandingannya.
Apakah yang ia mainkan itu bukan Jurus Pedang Penakluk Iblis? Apakah itu bukan
hasil pelajaran dari Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kalian?”
Kembali Lin Pingzhi tertawa
mengejek, lalu berkata, “Sekalipun Linghu Chong itu licik dan penuh muslihat,
tapi kalau dibandingkan dengan ayahmu bisa dikatakan masih ketinggalan jauh.
Lagipula ilmu pedang Linghu Chong kacau-balau, mana bisa dibandingkan dengan
Jurus Pedang Penakluk Iblis keluargaku? Bukankah dalam pertandingan di depan
Panggung Fengshan di Puncak Songshan itu dia terluka oleh pedangmu?”
“Dia … dia sengaja mengalah
padaku,” jawab Yue Lingshan lirih.
“Hm, sungguh dalam cintanya
padamu,” sahut Lin Pingzhi mencibir.
Apabila Ren Yingying mendengar
perkataan ini sehari sebelumnya mungkin ia akan jatuh lemas karena gusar.
Meskipun ia sudah tahu kalau Linghu Chong sengaja mengalah, namun semalam mereka
berdua telah berbicara mesra di tepi danau saling mengungkapkan perasaan dari
lubuk yang paling dalam. Keduanya telah mengutarakan isi hati masing-masing,
sehingga kini Ren Yingying merasa lebih yakin. Ia pun berpikir, “Dulu memang
Kakak Chong sangat baik kepadamu, tapi sekarang dia jauh lebih baik kepadaku.
Bukan salahnya telah berpaling darimu, tetapi karena kau sendiri yang terlalu
keras melukai perasaannya.”
Terdengar Yue Lingshan
berkata, “Rupanya yang dimainkan Kakak Pertama itu bukan Jurus Pedang Penakluk
Iblis, tapi mengapa Ayah selalu menuduhnya sebagai pencuri kitab pusaka
keluargamu itu? Pada saat Ayah mengeluarkannya dari Perguruan Huashan, tuduhan
ini diumumkan kepada kita sebagai salah satu dosa besar Kakak Pertama. Jika
demikian, jika demikian … aku telah salah sangka kepadanya.”
“Hm, salah sangka apanya?”
ejek Lin Pingzhi. “Jelas-jelas di Kota Fuzhou Linghu Chong ikut merebut kitab
pusaka keluargaku. Hanya saja, nasibnya seperti maling ayam bertemu raja
perampok. Dalam keadaan terluka dan jatuh pingsan, Linghu Chong digeledah oleh
ayahmu, kemudian ayahmu sengaja menuduhnya menggelapkan kitab itu. Ini namanya
maling berteriak maling ….”
“Maling apa? Kenapa kau pakai
kata-kata yang tidak enak didengar begitu?” sahut Yue Lingshan gusar.
“Lantas, apakah perbuatan
ayahmu itu enak didengar? Mengapa aku tidak boleh menyebutnya maling?” balas
Lin Pingzhi bengis.
Yue Lingshan menghela napas,
kemudian berkata, “Waktu itu di Gang Xiangyang, orang-orang Perguruan Songshan
telah merebut jubah biksu dari rumah leluhurmu. Untungnya, Kakak Pertama
berhasil membinasakan kedua orang jahat itu dan merampas kembali jubah
tersebut. Kau tidak pantas menuduhnya ingin mengangkangi jubah itu. Kakak
Pertama berjiwa besar dan berhati jujur. Sejak kecil ia tidak pernah serakah
terhadap milik orang lain. Sebenarnya aku pun sangsi ketika Ayah menuduhnya
mencuri kitab pusakamu. Hanya saja, ilmu pedangnya yang tiba-tiba maju pesat
bahkan lebih hebat daripada Ayah, telah membuatku ikut-ikutan menuduhnya.”
Mendengar itu Ren Yingying
berpikir, “Hm, kau bisa berkata seperti itu, ternyata tidak sia-sia Kakak Chong
mencintaimu.”
Lin Pingzhi berkata, “Dia
begitu baik, kenapa kau tidak ikut saja dengannya?”
“Adik Ping, sampai saat ini
ternyata kau masih juga belum bisa menyelami perasaanku,” tukas Yue Lingshan.
“Sejak kecil Kakak Pertama dibesarkan bersamaku. Dalam pandanganku dia tidak
lebih seperti kakak kandungku belaka. Aku menghormati dan menyayanginya sebagai
saudara tua, selamanya tidak pernah menganggapnya sebagai kekasih. Sebaliknya,
sejak kau datang ke Gunung Huashan, dalam waktu singkat saja aku langsung
merasa cocok denganmu. Satu detik tidak bertemu rasanya begitu rindu. Cintaku
padamu selamanya takkan berubah.”
“Kau memang agak berbeda
dengan ayahmu. Kau … kau lebih mirip ibumu,” kata Lin Pingzhi dengan nada
halus. Rupanya hatinya telah tersentuh oleh perkataan sang istri.
Keduanya pun terdiam beberapa
saat. Akhirnya Yue Lingshan membuka suara, “Adik Ping, kebencianmu kepada Ayah
sangat mendalam. Untuk selanjutnya antara kalian berdua tentu sulit berdamai.
Namun, aku telah menjadi anggota Keluarga Lin. Ke mana pun kau pergi tentu aku
akan ikut serta. Lebih baik kita mencari suatu tempat yang damai, yang jauh
dari dunia persilatan dan di sana kita hidup bahagia selamanya.”
“Huh, pikiranmu sungguh
muluk-muluk,” sahut Lin Pingzhi. “Aku sudah membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng,
berita ini tentu sudah tersebar ke mana-mana. Ayahmu pasti akan mengetahui
bahwa aku juga telah berhasil mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis. Mana
mungkin dia sudi membiarkan aku hidup tenang di dunia ini?”
Yue Lingshan menghela napas
dan berkata, “Adik Ping, kau mengatakan Ayah mengincar kitab pusakamu.
Berdasarkan kenyataan yang ada, aku pun takkan membela Ayah. Tapi kau menuduh
Ayah ingin membunuhmu hanya karena kau mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis,
kurasa ini tidak masuk akal. Kitab Pedang Penakluk Iblis memang milik Keluarga
Lin kalian. Jika kau mempelajari ilmu pedang leluhurmu, bukankah itu adalah hal
yang wajar? Bagaimanapun juga Ayah tidak mungkin membunuhmu hanya karena alasan
itu.”
“Kau bicara demikian karena
belum kenal watak ayahmu dan juga tidak tahu seperti apa isi Kitab Pedang
Penakluk Iblis,” jawab Lin Pingzhi.
“Bahkan terhadap isi hatimu
pun aku juga tidak paham,” kata Yue Lingshan.
“Ya, tidak paham. Kau memang
tidak paham! Untuk apa harus paham?” sahut Lin Pingzhi mulai gusar kembali.
Yue Lingshan tidak berani
banyak membantah. Ia hanya berkata, “Mari kita berangkat saja.”
“Ke mana?” tanya Lin Pingzhi.
“Ke mana pun kau pergi, ke
sana pula aku akan ikut. Pergi ke ujung langit sekalipun aku akan tetap
bersamamu,” jawab Yue Lingshan tegas.
“Apa betul ucapanmu ini? Apa
pun yang terjadi kelak kau jangan menyesal,” balas Lin Pingzhi.
“Aku sudah bertekad menjadi
istrimu, hidup bersamamu. Sudah sejak lama ini menjadi tekadku. Lantas, kenapa
aku harus menyesal? Matamu terluka, rasanya masih dapat disembuhkan. Andaikan
tidak bisa pulih juga aku akan selalu mendampingimu, melayanimu, sampai saat
terakhir hidup kita berdua.”
Ucapan Yue Lingshan yang penuh
perasaan ini sangat membuat Ren Yingying terharu. Ia merasa Yue Lingshan
sebenarnya sangat baik, namun sayangnya bernasib malang.
Terdengar Lin Pingzhi mendengus.
Sepertinya ia masih kurang percaya pada tekad Yue Lingshan itu.
Dengan suara halus Yue
Lingshan kembali berkata, “Adik Ping, rupanya kau masih sangsi padaku. Biarlah
malam ini juga aku … aku menyerahkan diriku sepenuhnya kepadamu. Dengan demikian
semoga kau dapat mempercayai aku. Biarlah malam ini kita melakukan malam
pengantin di sini. Marilah kita menjadi suami istri yang sesungguhnya dan untuk
selanjutnya … untuk selanjutnya kita pun menjadi suami istri yang sebenarnya
….” Makin lama suaranya makin lirih hingga akhirnya tidak terdengar lagi.
Ren Yingying merasa heran dan
rikuh mendengar ucapan Yue Lingshan itu. Segera ia bermaksud pergi sambil
berpikir, “Kalau aku masih menguping berarti aku bukan manusia. Nona Yue ini
benar-benar tidak tahu malu. Di tengah jalan raya seperti ini bisa-bisanya ia
mengajak ... mengajak ... huh ....”
Namun, tiba-tiba terdengar Lin
Pingzhi berteriak dengan suara seram dan bengis. Kemudian ia membentak, “Enyah
sana! Jangan dekat-dekat aku!”
Kontan Ren Yingying terkejut
dan penasaran ingin tahu apa yang terjadi. “Apa yang membuat Lin Pingzhi
menjadi beringas seperti itu?” pikirnya.
Menyusul kemudian terdengar
suara Yue Lingshan menangis, namun Lin Pingzhi masih membentaknya, “Pergi sana,
pergi yang jauh! Pergilah sejauh-jauhnya! Aku lebih suka mati dibunuh ayahmu
daripada kau ikut denganku.”
“Mengapa kau menghina diriku
seperti ini? Sesungguhnya apa … apa salahku padamu?” tanya Yue Lingshan sambil
menangis.
“Aku … aku .…” Lin Pingzhi
tertegun, lalu melanjutkan, “Kau … kau ….” tapi lantas ia terdiam.
“Apa yang hendak kau katakan?
Bicaralah terus terang!” pinta Yue Lingshan. “Jika memang aku bersalah atau kau
tidak dapat memaafkan kesalahan ayahku, tidak masalah asal kau bicara terus
terang. Tanpa kau suruh pun aku akan bunuh diri di hadapanmu.” Usai berkata ia
segera melolos pedangnya.
Mendengar itu Ren Yingying
merasa keadaan berubah gawat. “Lin Pingzhi hendak memaksa Nona Yue bunuh diri.
Aku harus menolongnya.” Ia pun maju beberapa langkah sehingga makin mendekati
kereta itu.
“Aku … aku .…” kembali Lin
Pingzhi tergagap-gagap. Selang sejenak, ia lalu menghela napas panjang dan
menyambung, “Kau tidak bersalah. Sesungguhnya aku sendiri yang kurang baik.”
Kembali Yue Lingshan menangis
sedih bercampur bingung.
Lin Pingzhi berkata, “Baiklah,
akan kukatakan terus terang kepadamu.”
“Kau boleh memukulku,
membunuhku, aku rela. Tapi jangan kau buat diriku merasa bingung,” kata Yue
Lingshan.
“Karena perasaanmu padaku
begitu tulus, maka aku akan berterus terang kepadamu, agar selanjutnya kau tak
berharap-harap lagi atas diriku,” kata Lin Pingzhi.
“Kenapa?” tanya Yue Lingshan
semakin bingung.
“Kenapa?” Lin Pingzhi balik
bertanya. “Jurus Pedang Penakluk Iblis sangat terkenal di dunia persilatan.
Ayahmu dan Yu Canghai masing-masing adalah ketua perguruan pedang. Ilmu silat
mereka sangat tinggi, tapi kenapa mereka masih juga mengincarnya? Sebaliknya,
mengapa ilmu pedang ayahku begitu rendah? Sampai-sampai dianiaya orang juga
tidak mampu melawan. Coba jawab, apa sebabnya?”
“Mungkin bakat Ayah Mertua
kurang bagus, atau mungkin badannya terlalu lemah,” jawab Yue Lingshan. “Anak
cucu seorang jago silat hebat tidak berarti harus berilmu tinggi pula.”
“Bukan begitu. Sekalipun ilmu
pedang ayahku sangat rendah, mungkin karena kurang berlatih saja. Tapi mengapa
tenaga dalamnya lemah, ilmu silatnya juga payah? Ternyata Jurus Pedang Penakluk
Iblis yang diajarkannya kepadaku pada dasarnya salah semua. Ilmu pedang yang
kupelajari dari Ayah salah semua,” ujar Lin Pingzhi.
“Ini benar-benar aneh,” sahut
Yue Lingshan.
“Kalau kuceritakan tentu tidak
aneh lagi,” jawab Lin Pingzhi. “Apakah kau tahu orang macam apa sebenarnya
kakek buyutku yang bernama Lin Yuantu?”
“Aku tidak tahu,” jawab Yue
Lingshan.
“Pada mulanya ia seorang
biksu,” ujar Lin Pingzhi.
“Jadi, ia seorang penganut
ajaran Buddha?” ujar Yue Lingshan. “Banyak tokoh persilatan ternama yang pada
hari tua meninggalkan masyarakat ramai dan menjadi biksu. Bukankah ini sering
terjadi?”
“Tidak begitu. Kakek buyutku
tidak meninggalkan rumah pada hari tua,” sahut Lin Pingzhi, “tapi ia justru
menjadi biksu lebih dulu baru kemudian kembali menjadi orang awam.”
“Tapi bukankah pendiri Dinasti
Ming, yaitu Kaisar Zhu Yuanzhang pada mulanya juga seorang biksu dari Biara
Huangjue?” sahut Yue Lingshan.
Mendengar itu Ren Yingying
termenung, “Nona Yue sungguh baik. Kata-katanya selalu bertujuan membesarkan
hati suaminya yang picik.”
Yue Lingshan menyambung,
“Tentang masa muda Kakek Buyut Yuantu apakah kau mendengar dari cerita Ayah
Mertua?”
“Tidak, selamanya Ayah tidak
pernah bercerita, bahkan mungkin juga tidak tahu. Apa kau masih ingat kediaman
lama keluarga kami di Gang Xiangyang di Kota Fuzhou yang pernah kita datangi
pada suatu malam? Di rumah tua itu terdapat ruang sembahyang agama Buddha.”
“Aku masih ingat,” sahut Yue
Lingshan.
“Mengapa Kitab Pedang Penakluk
Iblis tertulis pada selembar jubah biksu? Karena pada awalnya Beliau memang
seorang biksu. Pada suatu hari Kakek Buyut membaca kitab pusaka itu, lalu
menulis ulang isinya pada jubah yang dipakainya. Setelah Beliau kembali hidup
bermasyarakat, di rumah kediamannya dibangun sebuah ruang sembahyang Buddha dan
tetap melakukan ibadah dengan taat.”
“Ceritamu cukup masuk akal.
Namun, mungkin saja kitab pusaka itu diperoleh kakek buyut kita dari seorang
biksu sakti atau kitab pusaka itu memang sejak awal tertulis pada selembar
jubah. Jadi, kakek buyut kita memperoleh kitab pusaka itu dengan cara yang
jujur, bukan mencuri baca,” bujuk Yue Lingshan.
“Bukan begitu,” ujar Lin
Pingzhi.
“Bila kau mempunyai dugaan
lain, tentu ada alasannya,”
“Aku tidak mengada-ada, tapi
Kakek Buyut Yuantu sendiri yang mencatat kisahnya di atas jubah.”
“O, ternyata demikian,” kata
Yue Lingshan.
“Pada bagian akhir catatan
Beliau pada jubah itu tertulis, bahwa pada suatu hari Beliau mendapat
keberuntungan bisa mendengar penuturan dari orang lain tentang sebuah ilmu
sakti. Beliau lalu menulis ulang ilmu sakti tersebut di atas jubah dan kemudian
berhenti menjadi biksu. Namun, Beliau memperingatkan bahwa ilmu sakti ini terlalu
keji dan merugikan. Barangsiapa yang melatihnya pasti akan putus keturunan.
Ilmu keji ini mungkin cocok untuk kaum biksu dan biksuni yang tidak
berketurunan, tapi tetap saja bertentangan dengan sifat welas asih mereka.
Apalagi sebagai orang awam, sebaiknya jangan mempelajarinya.”
“Akan tetapi, Beliau sendiri
tetap saja berlatih ilmu itu?” kata Yue Lingshan.
“Tadinya aku pun berpikir
demikian,” jawab Lin Pingzhi. “Seandainya ilmu sakti itu terlalu keji dan
merugikan, namun mengapa setelah Kakek Buyut menguasainya tetap saja Beliau
bisa memiliki keturunan?”
“Mungkin Beliau menikah dan
mempunyai anak terlebih dulu, baru kemudian berlatih ilmu sakti tersebut?” ujar
Yue Lingshan.
“Tidak mungkin,” sahut Lin
Pingzhi. “Setiap orang persilatan bagaimanapun lihainya, bagaimanapun jujurnya,
sekali ia sudah mengetahui kehebatan jurus pertama sebuah ilmu sakti, tentu
akan berusaha mencari tahu bagaimana jurus kedua. Setelah mengetahui bagaimana
jurus kedua, pasti ingin cepat-cepat berlatih jurus ketiga dan begitulah
seterusnya. Sekalipun ia tahu bahwa ilmu silat tersebut mengandung suatu akibat
buruk juga tak akan dihiraukannya.”
Mendengar sampai di sini, Ren
Yingying merenung, “Ayah pernah bercerita bahwa Kitab Pedang Penakluk Iblis dan
Kitab Bunga Mentari pada dasarnya berasal dari sumber yang sama. Pantas saja
ilmu silat Yue Buqun dan Lin Pingzhi sangat mirip dengan Dongfang Bubai.
Menurut Ayah, jika seorang ahli silat membaca halaman pertama kitab itu, pasti
ia akan langsung terjebak pada keinginan kuat untuk mempelajarinya sampai
tuntas. Padahal, ia tahu kalau kitab tersebut mendatangkan malapetaka, namun
tidak akan dipedulikannya lagi. Ayah sendiri berusaha keras untuk tidak membaca
Kitab Bunga Mentari sedikit pun. Sungguh suatu tindakan bijaksana.”
Tiba-tiba Ren Yingying
terkenang sesuatu, “Tapi, mengapa Ayah memberikan Kitab Bunga Mentari kepada
Dongfang Bubai? Ah, aku paham. Rupanya waktu itu Ayah sudah mengetahui kalau
Dongfang Bubai berniat memberontak kepadanya. Ia pun memberikan kitab itu
dengan harapan Dongfang Bubai mendapat celaka. Bahkan, Paman Xiang yang cerdik
juga tidak mengetahui rencana di balik itu semua. Paman Xiang mengira Ayah
telah terpikat oleh mulut manis Dongfang Bubai dan menyerahkan kitab itu
kepadanya sebagai hadiah. Dongfang Bubai menerima dengan gembira dan ia pun
masuk perangkap Ayah. Namun, rencana manusia masih kalah melawan suratan
takdir. Karena lengah, Ayah dapat diperdaya dan ditangkap oleh Dongfang Bubai,
sehingga selama bertahun-tahun harus menderita dalam penjara gelap di dasar
Danau Barat.”
Ren Yingying termenung-menung
sejenak, kemudian kembali berpikir, “Sebenarnya Dongfang Bubai tidak terlalu
kejam. Andaikan ia langsung membunuh Ayah, atau berhenti mengirim makanan,
tentu Ayah sudah meninggal sejak lama. Ilmu silat dalam Kitab Bunga Mentari
memang luar biasa. Andai saja bukan karena bantuan Kakak Chong, Paman Xiang,
dan Paman Shangguan, tentu Ayah tidak akan bisa membunuh Dongfang Bubai. Andai
saja tidak ada Yang Lianting yang dapat kusiksa, tentu pikiran Dongfang Bubai
tidak akan terbagi, dan sampai saat ini pun ia masih pantas menyandang nama
‘tak terkalahkan’.”
Entah mengapa malam itu ia
merasa begitu kasihan terhadap Dongfang Bubai? Ren Yingying kembali merenung,
“Setelah menyingkirkan Ayah dan merebut jabatan ketua Sekte Matahari dan Bulan,
ia tetap bersikap baik padaku. Aku diperlakukannya bagaikan putri raja. Tapi,
setelah Ayah kembali menjadi ketua, aku justru tidak memiliki kekuasaan sama
sekali .... Aih, aku sekarang sudah memiliki Kakak Chong, untuk apa masih menginginkan
kekuasaan segala? Tapi, Kakak Chong saat ini sedang menderita. Gara-gara
berlatih Jurus Penyedot Bintang, kini di dalam tubuhnya berkumpul berbagai
macam hawa murni liar yang berasal dari banyak aliran. Suatu saat nanti
penderitaan Kakak Chong akan semakin bertambah berat. Selama ia tidak mampu
membuyarkan dan mengendalikan hawa murni liar tersebut, tentu ia akan sangat
kesakitan. Ayah berjanji akan mengajarkan cara mengatasi penyakit itu asalkan
Kakak Chong bersedia masuk agama kami. Mungkin bukan hanya itu, Ayah juga akan
menunjuk Kakak Chong sebagai calon ketua yang baru. Namun, sampai saat ini
Kakak Chong masih saja menolak. Pasti kelak ia akan sangat menderita.”
Seorang diri Ren Yingying
merenung di tengah kebun jagung. Pikirannya sebentar gembira, sebentar kemudian
menjadi waswas. Perasaan senang dan sedih bercampur aduk namun selalu saja
kembali kepada Linghu Chong.
Pada saat itu Yue Lingshan dan
Lin Pingzhi juga sedang terdiam. Tidak lama kemudian Lin Pingzhi membuka suara,
“Setelah Kakek Buyut Yuantu menyalin ilmu sakti tersebut, Beliau langsung
mempelajarinya.”
Yue Lingshan menanggapi, “Ilmu
pedang itu mungkin memang menimbulkan malapetaka, tapi apakah jika dilatih
langsung demikian? Bisa jadi Kakek Buyut Yuantu sempat menikah dan memiliki
anak, baru kemudian malapetaka itu datang kepada Beliau.”
“Bukan, bukan demikian. Semula
aku juga berpikir begitu, tapi kemudian aku lantas paham bukan begitu yang
sebenarnya,” sahut Lin Pingzhi. “Sepertinya kakekku bukan anak kandung Kakek
Buyut Yuantu. Kakek Buyut menikah dan mengambil kakekku sebagai anak angkat
hanya untuk mengelabui semua orang.”
“Ah, untuk apa? Mana mungkin
seperti itu?” ujar Yue Lingshan.
Lin Pingzhi hanya mendengus
tanpa menjawab. Selang agak lama barulah ia membuka suara, “Ketika pertama kali
menemukan jubah berisi kitab pusaka tersebut, hubungan kita masih mesra. Saat
itu aku bermaksud menunda berlatih sampai kita menikah, sampai kita memiliki
anak. Akan tetapi, aku tidak sanggup melakukannya. Aku sangat terdesak ingin segera
mempelajarinya. Akhirnya ... akhirnya aku pun memotong kemaluanku sendiri.”
“Hah!” seru Yue Lingshan
sambil melonjak karena terkejut. “Kau … kau mengebiri diri sendiri untuk
mendalami ilmu pedang jahanam itu?”
“Benar sekali,” jawab Lin
Pingzhi dingin. “Kalimat pertama dalam Kitab Pedang Penakluk Iblis berbunyi:
‘Barangsiapa ingin menguasai dunia persilatan, segera ambil pisau dan kebiri
diri sendiri.”
“Mengapa ... mengapa harus
beg… begitu?” tanya Yue Lingshan dengan suara lemah.
“Untuk mempelajari Kitab
Pedang Penakluk Iblis harus dimulai dengan berlatih tenaga dalam,” jawab Lin
Pingzhi. “Jika tidak mengebiri diri sendiri, maka latihan itu akan
membangkitkan nafsu birahi yang berkobar-kobar. Dalam sekejap saja kau akan
langsung lumpuh dan akhirnya mati kaku.”
“Begitukah?” ujar Yue Lingshan
semakin lemah. Suaranya hampir-hampir bagaikan suara nyamuk.
Dalam hati Ren Yingying juga
berkata, “O, ternyata demikian!” Baru sekarang ia paham mengapa seorang tokoh
hebat seperti Dongfang Bubai akhirnya memakai baju perempuan, menyulam, dan
melayani seorang Yang Lianting yang gagah berewokan dengan mesra. Ternyata
semua itu adalah karena ia berlatih ilmu silat keji, yang akhirnya membuat
dirinya menjadi banci. Laki-laki bukan, perempuan pun bukan.
Terdengar Yue Lingshan
menangis tersedu-sedu dan berkata, “Kakek Buyut Yuantu menikah dan mengambil
anak angkat hanya untuk mengelabui semua orang. Jadi ... jadi ... kau juga
demikian?”
“Tentu saja,” jawab Lin
Pingzhi. “Aku telah menjadi banci demi untuk mendalami Jurus Pedang Penakluk
Iblis. Aku kemudian menikah denganmu untuk mengelabui semua orang, terutama
ayahmu.”
Terdengar Yue Lingshan
menangis semakin keras.
Lin Pingzhi menyambung,
“Sekarang kau sudah tahu rahasiaku. Sekarang kau boleh membenciku sampai ke
tulang sumsum.”
“Aku tidak akan membencimu,”
jawab Yue Lingshan. “Kau hanya terdesak oleh keadaan. Tapi aku sangat benci
kepada ... kepada pencipta ilmu iblis itu. Kenapa dia menciptakan ilmu silat
sekeji itu? Apakah ia bermaksud mencelakai banyak orang?”
Lin Pingzhi tertawa kecil dan
berkata, “Jurus Pedang Penakluk Iblis diciptakan oleh seorang kasim istana.”
“Oh!” seru Yue Lingshan
semakin pilu. Ia berkata, “Jadi ... jadi ... ayahku juga sama ... sama
sepertimu?”
“Ia bahkan lebih dulu
mempelajarinya daripada aku. Dalam hal ini keadaannya mana mungkin berbeda
denganku?” ujar Lin Pingzhi. “Ayahmu seorang ketua perguruan ternama. Bila
perbuatan ayahmu yang mengebiri diri sendiri sampai tersiar ke luar, sudah
pasti dia akan menjadi bahan tertawaan di dunia persilatan. Itulah sebabnya,
apabila dia mendengar aku juga mendalami ilmu pedang ini, pasti aku akan
dibunuhnya. Berulang kali dia bertanya tentang perlakuanku kepadamu adalah
karena dia ingin tahu apakah aku masih mampu melakukan hubungan suami-istri
denganmu atau tidak? Apakah aku telah mengebiri diri sendiri atau tidak? Andai
saja waktu itu kau berkata terus terang, meski hanya mengeluh sedikit saja,
mungkin nyawaku sudah lama melayang.”
“Dan sekarang tentu Ayah sudah
tahu,” kata Yue Lingshan.
“Sudah pasti. Aku telah
membunuh Yu Canghai, membunuh Mu Gaofeng. Dalam waktu beberapa hari saja berita
ini tentu akan tersiar luas di dunia persilatan,” ujar Lin Pingzhi bangga.
“Jika benar demikian, bisa
jadi Ayah benar-benar takkan mengampunimu. Lalu sebaiknya, ke mana kita harus
bersembunyi?” ujar Yue Lingshan.
“Kita?” Lin Pingzhi menegas.
“Kau sudah tahu keadaanku yang sebenarnya dan masih juga mau mengikuti aku?”
“Tentu saja. Semua terjadi
karena terpaksa. Kau tidak patut disalahkan. Adik Ping, cintaku padamu dari
awal sampai akhir tak akan berubah. Nasibmu sungguh malang, pantas dikasihani
….” Belum selesai perkataannya, tiba-tiba ia menjerit dan terlempar ke bawah
kereta. Sepertinya Lin Pingzhi telah mendorong tubuhnya.
Terdengar Lin Pingzhi berkata
gusar, “Aku tidak mau dikasihani! Siapa pula yang minta belas kasihanmu? Ilmu
pedang Lin Pingzhi sudah sempurna. Tak ada lagi yang kutakuti sekarang? Tunggu
sampai mataku sembuh, aku akan menguasai dunia persilatan. Yue Buqun, Linghu
Chong, Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, mereka semua bukan tandinganku!”
Diam-diam Ren Yingying memaki
dalam hati, “Tunggu sampai matamu sembuh? Huh, apa mungkin matamu masih bisa
sembuh?” Sebenarnya ia agak kasihan terhadap nasib Lin Pingzhi yang malang itu.
Namun, begitu menyaksikan sikapnya yang kasar terhadap istri sendiri, juga
mendengar ucapannya yang sombong itu, mau tidak mau timbul rasa gemas dan gusar
bukan main dalam hatinya.
Terdengar Yue Lingshan
menghela napas, lalu berkata sambil naik kembali ke atas kereta, “Paling tidak
kau perlu mencari tempat untuk bersembunyi. Sembuhkan dulu luka pada matamu
itu.”
“Aku sudah mempunyai cara
untuk mengatasi ayahmu,” kata Lin Pingzhi.
“Keadaanmu dan Ayah sama saja.
Kalau kau tidak menyiarkan rahasia ini kepada pihak lain, tentu Ayah tidak
perlu mencarimu,” ujar Yue Lingshan.
“Huh, aku jauh lebih kenal
sifat ayahmu,” sahut Lin Pingzhi. “Mulai besok, terhadap siapa saja yang
kutemui pasti akan kuberi tahu tentang rahasia ayahmu itu.”
“Untuk apa harus berbuat
demikian? Bukankah kau sendiri ….” kata Yue Lingshan.
“Untuk apa? Justru inilah cara
yang dapat menyelamatkan nyawaku. Berita itu akan segera tersebar sampai ke
telinga ayahmu. Setelah Yue Buqun mengetahui bahwa aku telah membeberkan
rahasianya, tentu dia tidak perlu lagi membunuhku untuk melenyapkan saksi.
Justru sebaliknya, dia akan berusaha menyelamatkan jiwaku,” ujar Lin Pingzhi.
“Cara berpikirmu sungguh
aneh,” kata Yue Lingshan.
“Apanya yang aneh? Jika aku
sebarkan rahasia itu tidak mungkin orang lain akan langsung percaya, karena
ayahmu bisa saja memakai kumis dan janggut palsu dengan perekat jika yang asli
mulai rontok. Namun sebaliknya, jika tiba-tiba aku mati secara tak wajar, tentu
setiap orang akan langsung menuduh ayahmu telah membungkam mulutku,” kata Lin
Pingzhi.
Yue Lingshan menghela napas.
Ia tidak tahu harus bicara apa lagi.
Sementara itu Ren Yingying
termenung di tempat persembunyiannya, “Lin Pingzhi ini memang berpikiran tajam.
Rencananya sungguh jitu. Nona Yue benar-benar serbasalah. Jika rahasia ini
sampai tersebar luas, tentu nama besar ayahnya akan hancur. Sebaliknya, kalau
ia mencegah penyebaran rahasia itu, tentu ia akan kehilangan nyawa suami
sendiri.
Lin Pingzhi melanjutkan,
“Sekalipun kedua mataku buta, tapi hatiku tidak buta. Untuk selanjutnya aku
memang tidak bisa melihat apa-apa lagi, namun aku tidak menyesal karena sakit
hati ayah-ibuku sudah terbalas. Dulu Linghu Chong telah menyampaikan wasiat
terakhir Ayah, bahwa ada benda pusaka disimpan di kediaman lama leluhurku di
Gang Xiangyang. Ayah berpesan agar jangan sekali-kali aku sampai memeriksa
ataupun melihatnya. Itu adalah wasiat Kakek Buyut turun-temurun. Namun,
sekarang aku bahkan membacanya sampai tuntas dan juga mendalami isinya. Meski
melanggar pesan leluhur, namun aku dapat membalas sakit hati ayah-ibuku. Kalau
aku tidak berbuat demikian, Jurus Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kami
hanya dikenal orang sebagai nama kosong belaka. Orang-orang Biro Ekspedisi
Fuwei tentu akan dicap sebagai kaum pendusta.”
Yue Lingshan berkata, “Dulu
kau dan Ayah mencurigai Kakak Pertama telah mencuri Kitab Pedang Penakluk
Iblis. Kakak Pertama juga difitnah telah memalsukan wasiat Ayah Mertua ....”
“Aku telah salah menuduh
orang, memangnya kenapa?” sela Lin Pingzhi. “Bukankah waktu itu kau sendiri
juga ikut mencurigai dia?”
Yue Lingshan menghela napas
perlahan dan berkata, “Kau belum lama mengenal Kakak Pertama, sehingga wajar
jika kau berprasangka buruk kepadanya. Tapi aku dan Ayah sebenarnya tidak
pantas mencurigai dia. Di dunia ini yang benar-benar percaya pada Kakak Pertama
hanyalah Ibu seorang.”
Ren Yingying membantah dalam
hati, “Siapa bilang hanya ibumu saja?”
Terdengar Lin Pingzhi
menyahut, “Hm, ibumu memang benar-benar sayang kepada Linghu Chong. Gara-gara
bocah itu, entah sudah berapa kali ayah-ibumu bertengkar?”
“Ayah dan Ibu bertengkar
karena Kakak Pertama? Ayah dan ibuku selamanya tidak pernah bertengkar. Dari
mana kau tahu?” tanya Yue Lingshan heran.
“Selamanya tidak pernah
bertengkar? Itu hanya sandiwara di depan orang lain saja,” ejek Lin Pingzhi.
“Sampai-sampai hal seperti ini juga ditutupi dengan rapih oleh Yue Buqun.
Benar-benar seorang munafik sempurna. Aku mendengar dengan telingaku sendiri
pertengkaran mereka. Mana mungkin aku salah?”
“Aku tidak bilang kau salah,
aku hanya merasa heran,” ujar Yue Lingshan. “Mengapa aku sebagai anaknya tidak
tahu atau tidak pernah mendengar mereka bertengkar. Sebaliknya, kau malah
mengetahui pertengkaran mereka.”
“Baiklah, tiada salahnya kalau
kuceritakan semua kepadamu,” kata Lin Pingzhi. “Ketika di Fuzhou tempo hari,
orang-orang Perguruan Songshan telah merebut jubah biksu peninggalan Kakek
Buyut. Namun, mereka dapat dibinasakan oleh Linghu Chong dan berhasil merebut
kembali jubah itu. Sebaliknya, ia sendiri juga terluka parah dan jatuh pingsan.
Ketika aku menggeledah tubuhnya, ternyata jubah itu sudah hilang entah ke mana
….”
“Jadi, saat di Fuzhou kau
sempat menggeledah tubuh Kakak Pertama?” sahut Yue Lingshan menegas.
“Benar,” jawab Lin Pingzhi.
“Lantas kenapa?”
“Tidak apa-apa,” jawab Yue
Lingshan.
Mendengar itu Ren Yingying
berpikir, “Sungguh kasihan Nona Yue. Ia mendapat suami yang licik dan culas
seperti itu. Jika terus menemani bocah yang angin-anginan dan suka menang
sendiri seperti itu, tentu kelak ia akan banyak menderita.” Sejenak kemudian ia
terkesiap, “Aku telah lama meninggalkan Kakak Chong sendiri. Tentu ia sangat
khawatir.”
Gadis itu lalu memiringkan
kepalanya agar salah satu telinga mengarah ke tempat Linghu Chong berada.
Suasana begitu hening dan sunyi, pertanda Linghu Chong dalam keadaan baik-baik
saja.
Terdengar Lin Pingzhi kembali
berkata, “Karena jubah itu tidak ditemukan pada Linghu Chong, aku yakin pasti
sudah diambil oleh orang tuamu. Maka, begitu pulang ke Gunung Huashan,
diam-diam aku selalu menyelidiki gerak-gerik ayahmu. Akan tetapi, permainan
ayahmu benar-benar rapih, sedikit pun tidak memperlihatkan sesuatu yang
mencurigakan. Waktu itu ayahmu jatuh sakit. Sudah tentu dia sakit karena baru
saja mengebiri diri sendiri. Setiap malam aku berusaha mencari tahu rahasia
orang tuamu. Aku ingin tahu di mana kitab pusaka keluargaku itu disembunyikan.
Aku berusaha mendengar percakapan ayah-ibumu dengan bersembunyi di tepi jurang
dekat kamar tidur mereka.”
“Jadi, kau bersembunyi di tepi
Jurang Tiansheng untuk menguping pembicaraan Ayah dan Ibu?” sahut Yue Lingshan
menegas.
“Benar,” sahut Lin Pingzhi.
“Setiap malam?” desak Yue
Lingshan.
“Benar,” jawab Lin Pingzhi
kembali.
“Kau sungguh telaten.
Benar-benar berkemauan baja,” ujar Yue Lingshan.
“Demi membalaskan sakit hati
ayah-ibuku, terpaksa harus begitu,” jawab Lin Pingzhi.
Tempat tinggal Yue Buqun di
Gunung Huashan memang berdekatan dengan Jurang Tiansheng yang dalam, curam, dan
mengerikan. Orang lain akan mengira Yue Buqun sengaja memilih tempat yang sunyi
agar bisa berlatih dengan baik. Namun sebenarnya, tempat itu dibangun sebagai
benteng pertahanan terhadap serangan mendadak dari musuh-musuhnya, misalnya
Kelompok Pedang cabang Perguruan Huashan sendiri.
Terdengar Lin Pingzhi
melanjutkan, “Setiap malam aku dengan tekun menguping pembicaraan mereka.
Namun, yang kudengar hanyalah pembicaraan biasa-biasa saja. Akhirnya, setelah
lebih dari sepuluh malam, aku mendengar ibumu berkata kepada ayahmu, ‘Kakak,
kulihat raut wajahmu akhir-akhir ini agak berubah. Apakah itu akibat gangguan
ilmu Awan lembayung yang sedang kau dalami? Hendaknya kau jangan terburu nafsu
ingin lekas-lekas mencapai tahap sempurna, tapi malah mengundang masalah.’
Ayahmu menjawab, ‘Ah, tidak
apa-apa. Latihanku berjalan lancar.’
Ibumu tidak percaya dan
berkata, ‘Jangan berbohong padaku. Aku heran mengapa suaramu akhir-akhir ini
agak berubah. Rasanya agak melengking tajam, mirip suara perempuan.’
Ayahmu menjawab, ‘Omong
kosong! Selamanya suaraku juga begini?’ Menurut pendengaranku waktu itu, suara
ayahmu memang melengking tajam, seperti perempuan cerewet yang sedang marah.”
Kemudian ibumu berkata,
‘Kenapa kau bilang tidak berubah? Kau belum pernah berbicara sekasar ini
padaku. Kakak, sesungguhnya ada masalah apa yang menyusahkanmu? Kita sudah
berpuluh-puluh tahun menjadi suami istri. Berterus teranglah kepadaku?’
Ayahmu menjawab, ‘Masalah apa
yang menyulitkanku? Hm, pertemuan di Gunung Songshan sudah semakin dekat. Zuo
Lengchan bermaksud mencaplok keempat perguruan yang lain. Masalah inilah yang
membuatku kesal.’
Ibumu berkata, ‘Aku melihat
ada persoalan yang lain,’
Ayahmu menjadi gusar. Dengan
suara melengking ia berkata, ‘Kau memang suka curiga. Selain itu mana ada
persoalan lagi?’
Ibumu menjawab, ‘Kalau memang
tidak ada yang lain kenapa kau marah? Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan
tuduhanmu yang salah terhadap Chong’er.’
Ayahmu menegas, ‘Chong’er? Dia
jelas bergaul dengan Sekte Iblis dan menjalin hubungan dengan gadis bermarga
Ren dari agama sesat itu. Semua orang sudah tahu akan hal ini. Kenapa kau sebut
aku salah menuduh?’”
Mendengar hubungannya dengan
Linghu Chong diungkit-ungkit, seketika Ren Yingying menjadi sangat geram.
Wajahnya pun terasa panas. Namun kemudian, tiba-tiba saja perasaan mesra
memenuhi rongga dadanya.
Terdengar Lin Pingzhi
melanjutkan kisahnya, “Ibumu menjawab, ‘Dia memang bergaul dengan kaum Sekte
Iblis, sudah tentu ini bukan fitnah. Namun, kau juga telah menuduhnya mencuri
Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Ping’er.’
Ayahmu berkata gusar, ‘Apa
menurutmu kitab pusaka itu tidak dicuri olehnya? Bukankah kau menyaksikan
sendiri ilmu pedangnya mendadak maju pesat, bahkan lebih sakti daripada aku?’
Ibumu menjawab, ‘Mungkin dia
memperoleh keberuntungan lain sehingga mendapat kesaktian mendadak. Aku yakin dia
tidak mengambil Kitab Pedang Penakluk Iblis. Sekalipun watak Chong’er
ugal-ugalan, tapi sejak kecil dia selalu hidup jujur, tidak sudi melakukan
hal-hal yang memalukan. Apalagi Shan’er telah mengesampingkan dia dan lebih
akrab dengan Ping’er. Orang berwatak angkuh seperti Chong’er, sekalipun Ping’er
mempersembahkan kitab pusaka itu kepadanya juga ia tidak sudi menerimanya.’”
Sungguh tidak terkira betapa
senang rasa hati Ren Yingying mendengarnya. Ia berharap bisa langsung bertemu
Nyonya Yue dan memeluk wanita itu sebagai ungkapan terima kasih. “Sungguh tidak
sia-sia Nyonya Yue membesarkan Kakak Chong sejak kecil. Dari sekian banyak
orang-orang Perguruan Huashan hanya kau seorang yang mengenal sifat Kakak Chong
dengan baik. Pantas selama ini Kakak Chong selalu memujimu. Kelak bila ada
kesempatan ingin sekali aku membalas kebaikan Nyonya Yue itu,” demikian
pikirnya.
Lin Pingzhi melanjutkan
ceritanya, “Ayahmu berkata, ‘Jika demikian, kau menyesal karena kita telah
memecat bocah durhaka itu dari Perguruan?’
Ibumu menjawab, ‘Karena dia
melanggar peraturan dan kau pun berusaha menegakkan tata tertib, maka sudah
sepantasnya dia mendapatkan hukuman. Kau sudah menuduhnya bergaul dengan kaum
aliran sesat, rasanya itu sudah cukup. Tapi, mengapa kau juga memfitnahnya
mencuri kitab pusaka milik Keluarga Lin? Padahal kau sendiri jauh lebih tahu
daripada aku. Jelas-jelas kau tahu dia tidak mengambil Kitab Pedang Penakluk
Iblis.’
Ayahmu tiba-tiba berteriak,
‘Dari mana kau tahu?’”
Suara Lin Pingzhi yang
menirukan teriakan Yue Buqun itu melengking tajam memecah kesunyian malam
bagaikan jeritan seekor burung hantu. Bahkan, Ren Yingying sampai merinding
mendengarnya.
Setelah diam sejenak barulah
Lin Pingzhi melanjutkan, “Perlahan ibumu berkata, ‘Sudah tentu aku tahu, karena
... kau sendiri yang telah mengambil kitab pusaka itu.’
Dengan gusar ayahmu kembali
menjerit, ‘Maksudmu, aku … aku ….’ namun hanya sekian saja ucapannya itu
kemudian ia terdiam.
Suara ibumu terdengar semakin
tenang. Ia berkata, ‘Waktu itu aku menemukan Chong’er jatuh pingsan di jalanan
Kota Fuzhou. Aku membawanya pulang ke rumah Keluarga Lin untuk diobati. Saat
hendak menghentikan pendarahannya, aku sempat melihat ia menggenggam erat
selembar jubah biksu yang penuh bertuliskan semacam jurus-jurus ilmu pedang.
Ketika aku memberikan obat untuk yang kedua kalinya serta mengganti perban,
ternyata jubah biksu itu sudah tidak ada lagi. Padahal waktu itu Chong’er masih
belum siuman sama sekali. Selama itu tiada orang lain yang masuk ke kamarnya
selain kau dan aku. Namun yang pasti, aku jelas-jelas tidak pernah mengambil
jubah biksu tersebut.’”
Terdengar Yue Lingshan
menangis, “Ayahku... ayahku...”
Lin Pingzhi melanjutkan,
“Beberapa kali ayahmu bermaksud menyela, namun hanya satu-dua kata yang tidak
jelas dan langsung terhenti. Sebaliknya, suara ibumu terdengar semakin lembut
saat berkata, ‘Kakak, ilmu pedang Huashan memiliki keistimewaan tersendiri.
Ilmu Awan Lembayung juga merupakan ilmu tenaga dalam yang sukar dicari
tandingannya. Ilmu silat Perguruaan Huashan memiliki nama harum di dunia
persilatan, maka kita tidak perlu mencuri ilmu perguruan lain. Hanya saja, Zuo
Lengchan memang sangat bernafsu mencaplok keempat perguruan. Bagaimanapun juga
Perguruan Huashan yang berada di bawah kepemimpinanmu tidak boleh sampai jatuh
ke dalam cengkeraman Zuo Lengchan. Mari kita bersekutu dengan Perguruan
Taishan, Hengshan, dan Henshan. Empat lawan satu kurasa pihak kita tetap ada
kemungkinan unggul. Seandainya kita pada akhirnya tidak bisa menang, namun kita
harus tetap melawan mereka habis-habisan, sehingga di akhirat nanti kita tidak
malu jika bertemu para leluhur Perguruan Huashan. Jika Zuo Lengchan membantai
keempat perguruan, itu berarti cita-citanya untuk melebur kelima perguruan
tidak akan terlaksana karena hanya tinggal Perguruan Songshan saja yang
tersisa.’”
Mendengar sampai di sini, Ren
Yingying memuji, “Nyonya Yue memang benar-benar wanita berjiwa kesatria. Ia
jauh lebih terhormat dan terpuji daripada suaminya.”
Terdengar Yue Lingshan
berkata, “Apa yang dikatakan Ibu memang tidak salah.”
Lin Pingzhi mendengus, “Huh,
tapi waktu itu ayahmu sudah mendapatkan kitab pusakaku dan sudah mulai
mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, mana mau dia mendengar nasihat Ibu
Guru?” Tiba-tiba saja ia menyebut “Ibu Guru”, pertanda dalam hatinya masih
menghormati Ning Zhongze alias Nyonya Yue itu.
Kemudian ia melanjutkan
cerita, “Waktu itu ayahmu menjawab, ‘Kau hanyalah melihat dari sudut pandang
kaum wanita saja. Apabila kita mati dalam pertempuran tetap saja Perguruan Huashan
jatuh ke tangan Zuo Lengchan. Dia bisa saja menempatkan orang-orang
kepercayaannya di setiap perguruan sebagai bonekanya, dan pura-pura membangun
kembali Perguruan Taishan, Hengshan, Henshan, dan Huashan kita. Apa dengan
demikian kita masih berani bertemu muka dengan para leluhur di akhirat?’
Ibumu terdiam beberapa saat,
lalu berkata, ‘Sebenarnya tujuanmu menyelamatkan Perguruan Huashan dengan
segala daya upaya adalah sangat mulia. Hanya saja, Jurus Pedang Penakluk Iblis
lebih banyak ... lebih banyak merugikan jika dipelajari. Bukankah anak cucu
Keluarga Lin tidak ada yang mendalami ilmu pedang tersebut? Saranku sebaiknya
kau jangan melanjutkan berlatih ilmu pedang itu.’
Dengan suara keras ayahmu
menjawab, ‘Dari mana kau tahu? Apa kau selalu mengintip gerak-gerikku?’
Ibumu menjawab, ‘Untuk apa
susah payah mengintip kalau memang aku sudah tahu?’
Ayahmu berkata gusar,
‘Katakan, katakan padaku!’ Suaranya ini keras sekali sampai menggema di
pegunungan yang sunyi malam itu. Meskipun keras, namun suara bentakannya ini
terkesan agak gemetar.
Ibumu tetap tenang menjawab,
‘Akhir-akhir ini suaramu banyak berubah, hal ini dapat didengar jelas oleh
siapa pun juga. Memangnya kau sendiri tidak sadar?’
Ayahmu masih saja mendebat,
‘Selamanya suaraku juga seperti ini.’
Ibumu berkata, ‘Setiap pagi di
atas bantalmu selalu terdapat kumis dan janggut yang rontok ....’
‘Kau melihatnya?’ sahut
ayahmu.
Ibumu berkata, ‘Sudah lama aku
melihatnya, namun aku diam saja. Kumis dan janggut palsu yang kau tempelkan
dengan perekat mungkin dapat mengelabui orang lain, tapi mana bisa mengelabui
adik seperguruan sekaligus istrimu yang telah mendampingimu selama puluhan
tahun ini?’
Karena merasa rahasianya
terbongkar, ayahmu tidak membantah lagi. Selang sejenak barulah ia bertanya,
‘Apakah orang lain ada yang tahu?’
Ibumu menjawab, ‘Tidak.’
Ayahmu bertanya lagi,
‘Bagaimana dengan Shan’er dan Ping’er?’
‘Mereka juga tidak tahu,’ kata
ibumu.
Lalu ayahmu berkata, ‘Baik,
aku menuruti nasihatmu. Jubah biksu ini akan kita usahakan agar bisa kembali ke
tangan Pingzhi. Kemudian kita berusaha pula mencuci bersih nama baik Chong’er.
Mulai malam ini aku pun takkan mendalami lagi ilmu pedang yang menyesatkan
ini.’
Ibumu menjadi senang dan
berkata, ‘Begitulah sebaiknya. Namun, ilmu pedang Keluarga Lin ini jelas-jelas
merugikan siapa pun yang melatihnya, mana boleh kita mengembalikannya kepada
Pingzhi? Kurasa lebih baik dimusnahkan saja.’”
Yue Lingshan menyahut,
“Tentunya Ayah tidak setuju. Kalau Ayah setuju memusnahkan kitab pusaka itu tentu
… tentu kau takkan berubah menjadi seperti ini.”
“Kau salah duga. Ayahmu
ternyata setuju untuk memusnahkan kitab pusaka tersebut,” kata Lin Pingzhi.
“Aku sendiri pun terkejut. Aku bermaksud bersuara untuk mencegahnya, sebab
kitab pusaka itu adalah milik Keluarga Lin kami. Tidak peduli kitab itu
merugikan atau menguntungkan, bagaimanapun juga ayahmu tidak punya hak untuk
memusnahkannya. Pada saat itulah kudengar daun jendela dibuka. Seketika aku pun
menunduk ke bawah. Tiba-tiba suatu benda dilemparkan keluar lewat di atas
kepalaku, ternyata jubah biksu tersebut yang dibuang, menyusul kemudian jendela
lantas ditutup kembali. Melihat jubah biksu itu melayang menuju ke bawah, kalau
kubiarkan tentu akan jatuh ke dalam jurang. Aku pun berusaha menangkapnya namun
meleset. Waktu itu aku merasa jubah itu adalah satu-satunya harapanku untuk
membalaskan kematian Ayah dan Ibu. Maka, tanpa pikir panjang aku segera
menangkapnya dengan kaki sambil tanganku berpegangan pada batuan tebing. Hampir
saja aku jatuh ke dasar jurang bersama jubah itu.”
Di tempat persembunyiannya Ren
Yingying berpikir, “Kau akan lebih beruntung kalau membiarkan jubah itu hilang
di dasar jurang.”
Tiba-tiba Yue Lingshan
menyahut, “Ibu mengira Ayah telah membuang jubah biksu yang berisi salinan kitab
pusaka keluargamu itu ke dalam Jurang Tiansheng, padahal sebenarnya Ayah telah
menghafal semua isinya di luar kepala. Dengan demikian jubah biksu tersebut
jadi tidak berguna lagi, dan karena itu kau bisa mempelajarinya dengan tenang.”
“Benar!” sahut Lin Pingzhi.
“Rupanya sudah suratan
takdir,” kata Yue Lingshan. “Sepertinya semua sudah diatur oleh Kehendak Langit
agar kau dapat membalas sakit hati Ayah dan Ibu Mertua. Benar-benar ... bagus.”
“Akan tetapi, masih ada satu
hal yang membuatku bingung,” lanjut Lin Pingzhi. “Beberapa hari ini aku selalu
pusing memikirkannya. Masalahnya adalah, kenapa Zuo Lengchan juga mampu
memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis?”
“O,” sahut Yue Lingshan acuh
tak acuh. Tampaknya ia tidak terlalu peduli apakah Zuo Lengchan benar-benar
mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis atau tidak.
Sebaliknya, Lin Pingzhi lantas
berkata, “Kau tidak pernah belajar Jurus Pedang Penakluk Iblis, sehingga kau
tidak mengetahui di mana letak keistimewaan ilmu pedang itu. Tempo hari sewaktu
Zuo Lengchan bertempur melawan ayahmu di Panggung Fengshan, ketika pertarungan
mereka sudah memuncak, ilmu pedang yang mereka mainkan ternyata sama-sama Jurus
Pedang Penakluk Iblis. Hanya saja, permainan Zuo Lengchan mula-mula tampak
teratur dan hebat, namun pada akhirnya menjadi kacau balau. Setiap jurus yang
ia mainkan seolah-olah sengaja mengalah kepada ayahmu. Untung saja ilmu
pedangnya memiliki dasar yang kuat sehingga pada detik-detik paling berbahaya
ia masih sanggup mengelak. Akan tetapi, tetap saja ia harus terjebak ke dalam
lingkaran kehebatan Jurus Pedang Penakluk Iblis ayahmu dan akhirnya kehilangan
kedua matanya. Kalau waktu itu ia menggunakan jurus pedang Perguruan Songshan
dan dikalahkan oleh ayahmu, maka hal ini cukup masuk akal karena Jurus Pedang Penakluk
Iblis memang tiada tandingannya di muka bumi. Namun, Jurus Pedang Penakluk
Iblis yang dipelajari Zuo Lengchan hanya setengah-setengah, dan sepertinya ia
juga tidak mengebiri diri sendiri. Entah dari mana Zuo Lengchan mempelajari
jurus pedang keluargaku itu?” Kata-katanya yang terakhir itu mencerminkan
suasana hatinya yang dirundung kebingungan mendalam.
Ren Yingying berpikir,
“Sepertinya sudah cukup aku mendengarkan percakapan mereka. Mungkin Jurus
Pedang Penakluk Iblis yang dipelajari Zuo Lengchan adalah hasil curian sehingga
ia hanya menguasai beberapa gerakan saja. Andai saja kau tahu, ilmu silat
Dongfang Bubai jauh lebih hebat daripada Yue Buqun, tentu kau akan semakin
bingung memikirkannya dan bisa-bisa kepalamu pecah.
Ren Yingying kemudian melangkah
mundur perlahan-lahan. Tiba-tiba terdengar suara derap kaki beberapa ekor kuda
dari jauh menuju ke tempat itu. Sepertinya ada lebih dari dua puluh orang
penunggang kuda yang datang. Khawatir terjadi sesuatu atas diri Linghu Chong,
ia pun lekas-lekas melangkah pergi menuju ke tempat keretanya sendiri.
Sesampainya di sana ia pun
berbisik, “Kakak Chong, ada orang datang!”
“Eh, apa kau mencuri dengar
lagi tentang orang membawa daging sebagai umpan anjing di rumah si gadis?
Kenapa kau mendengarkan sekian lama?” sahut Linghu Chong sambil tertawa
mengolok-olok.
“Cih!” sahut Ren Yingying
dengan wajah merah karena teringat ajakan Yue Lingshan yang ingin melakukan
hubungan suami-istri dengan Lin Pingzhi di dalam kereta tadi. “Mereka … mereka
sedang berbicara tentang … tentang Jurus Pedang Penakluk Iblis.”
“Ah, cara bicaramu gelagapan,
tentu ada sesuatu yang menarik. Ayo naik ke sini dan ceritakan kepadaku dengan
lebih jelas,” pinta Linghu Chong.
“Tidak mau, aku tidak mau!”
sahut Ren Yingying.
“Kenapa tidak mau?” Linghu
Chong memaksa.
“Tidak mau ya tidak mau,” kata
Ren Yingying.
Sementara itu suara derap kaki
kuda yang riuh tersebut terdengar semakin mendekat. Ren Yingying berkata, “Dari
jumlahnya tentu mereka adalah murid-murid Perguruan Qingcheng yang tersisa.
Rupanya mereka benar-benar menyusul kemari untuk menuntut balas.”
Segera Linghu Chong bangkit
untuk duduk. “Mari kita maju perlahan-lahan. Masih ada cukup waktu,” ajaknya.
Ren Yingying memahami perasaan
Linghu Chong yang khawatir terhadap keselamatan sang adik kecil dan ingin
melindunginya meskipun diri sendiri belum sembuh dari luka. Sebenarnya Ren
Yingying siap melaksanakan keinginan Linghu Chong itu namun ia tidak tega jika
harus meninggalkannya seorang diri. Maka, perlahan-lahan ia pun menurunkan
tubuh kekasihnya itu dari kereta.
Ketika kaki Linghu Chong
menyentuh tanah, lukanya kembali terasa sakit dan ia pun berdiri
terhuyung-terhuyung. Tanpa sadar tangannya memegang roda kereta. Sejak tadi
keledai penarik kereta itu diam saja. Kini begitu roda kereta sedikit bergerak,
segera binatang menegakkan kepala hendak meringkik karena mengira perjalanan
hendak dilanjutkan kembali.
Namun, gerakan Ren Yingying
sungguh sangat cepat. Pedangnya lantas menebas satu kali dan kepala keledai itu
langsung terpenggal jatuh ke tanah sebelum sempat bersuara. Diam-diam Linghu
Chong memuji kehebatan Ren Yingying, bukan karena kecepatan jurus pedangnya,
tetapi karena kecepatannya bertindak dengan tegas dan jitu. Dalam sekali tebas
gadis itu telah mencegah si keledai hingga tidak sempat mengeluarkan suara
sedikit pun. Mengenai bagaimana kereta mereka nanti dapat berjalan, itu urusan
belakangan.
Linghu Chong buru-buru
melangkah ke depan karena mendengar derap kaki kuda-kuda itu semakin dekat.
Melihat langkahnya yang tertatih-tatih Ren Yingying berpikir, “Kakak Chong
ingin secepatnya mendekati tempat Nona Yue sebelum musuh datang. Tapi ini bisa
membuat lukanya bertambah buruk. Namun jika aku menggendongnya, apakah ia tidak
merasa malu?”
Sementara itu terdengar suara
derap kuda sudah makin mendekat. Ren Yingying akhirnya berseru, “Permisi, Kakak
Chong!” Tanpa menunggu jawaban ia lantas memegang punggung dan pinggang
kekasihnya itu lalu mengangkat tubuhnya dengan mengerahkan tenaga dalam.
Secepat kilat keduanya pun masuk dan menelusuri ladang jagung yang lebat.
Linghu Chong bersyukur namun
juga merasa geli. Ia selaku ketua Perguruan Henshan, namun digendong oleh
seorang gadis bagaikan bayi. Andai kejadian ini dilihat orang lain tentu bisa
runyam. Namun, kalau Ren Yingying tidak cepat mengambil tindakan, bisa jadi
orang-orang Perguruan Qingcheng tiba lebih dulu, tentu sang adik kecil akan
celaka. Linghu Chong merasa Ren Yingying memang benar-benar bisa menyelami isi
hatinya sehingga berbuat demikian.
Tidak lama kemudian, jarak
kedua pihak sudah semakin dekat. Ren Yingying mencoba melongok keluar. Dalam
kegelapan tampak satu barisan obor datang dari jurusan lain jalan raya
tersebut.
“Berani sekali mereka mengejar
musuh dengan membawa obor,” kata Ren Yingying.
“Mereka sudah gelap mata.
Setelah kematian guru mereka, rupanya orang-orang Qingcheng ini ingin bertempur
habis-habisan. Aduh, ini sungguh mengerikan,” jawab Linghu Chong.
Tiba-tiba Ren Yingying
menyahut, “Celaka! Jangan-jangan mereka hendak membakar kereta Nona Yue!”
“Lekas kita hadang mereka agar
tidak sampai kemari,” kata Linghu Chong.
“Jangan khawatir. Kita masih
mampu untuk menolong mereka,” ujar Ren Yingying.
Linghu Chong sadar kepandaian
Ren Yingying cukup tinggi. Yu Canghai juga sudah mati, maka sisa orang-orang
Perguruan Qingcheng yang datang itu tentu tidak perlu ditakuti lagi.
Ren Yingying menggendong tubuh
Linghu Chong sampai pada jarak belasan meter dari kereta Yue Lingshan, kemudian
perlahan-lahan ia pun menurunkan pemuda itu. “Duduklah yang tenang dan jangan
bergerak,” ujarnya lirih.
Sementara itu, terdengar Yue
Lingshan sedang berkata di dalam keretanya, “Musuh sudah datang secepat ini.
Mereka pasti kawanan tikus dari Perguruan Qingcheng.”
“Dari mana kau tahu?” tanya
Lin Pingzhi.
“Mereka tahu kita terluka
sehingga berani datang dengan membawa obor,” ujar Yue Lingshan.
“Mereka membawa obor?” sahut
Lin Pingzhi menegas.
“Benar,” jawab Yue Lingshan.
“Lekas turun ke bawah. Kawanan
tikus itu hendak membakar kereta ini!” seru Lin Pingzhi. Penderitaan
bertubi-tubi yang sudah lama ia alami membuat pikirannya jauh lebih tajam dan
waspada daripada Yue Lingshan.
“Baik,” jawab Yue Lingshan.
Dengan cepat ia melompat turun dari kereta, lalu memegang tangan Lin Pingzhi
untuk membantu suaminya itu melompat turun pula. Keduanya lantas menyingkir ke
tepi jalan dan menyusup ke tengah ladang jagung. Tempat mereka kini hanya
berjarak beberapa meter saja dari tempat Ren Yingying dan Linghu Chong
bersembunyi.
Sementara itu, orang-orang
Perguruan Qingcheng sudah tiba dan mengepung kereta kosong tersebut. Seorang di
antaranya lantas berteriak, “Anjing Lin Pingzhi! Apa kau ingin bersembunyi
seperti bulus? Mengapa kau tidak menongolkan kepalamu keluar?”
Namun, keadaan kereta itu
sunyi senyap tiada jawaban terdengar. Segera seorang di antara mereka kembali
berkata, “Mungkin dia sudah melarikan diri dan meninggalkan kereta ini.”
Tiba-tiba api obor memecah
kegelapan. Tampak sebuah obor dilemparkan ke arah kereta. Tapi mendadak dari
dalam kereta menjulur keluar sesosok tangan yang langsung menangkap obor itu
dan melemparkannya kembali.
Kontan orang-orang Perguruan
Qingcheng menjadi panik dan berteriak, “Bangsat! Anjing itu berada di dalam
kereta!”
Melihat dari dalam kereta
tiba-tiba menjulur keluar tangan seseorang, tentu saja membuat Ren Yingying dan
Linghu Chong terheran-heran. Mereka tidak menyangka ada orang lain yang juga
bersembunyi dan bermaksud menolong Lin Pingzhi. Sementara itu, Yue Lingshan
jelas lebih terkejut lagi. Sekian lama ia berbicara dengan Lin Pingzhi, sama
sekali tak menduga bahwa di dalam keretanya telah bersembunyi orang lain. Kalau
dilihat dari cara orang itu melemparkan kembali obor kepada musuh, sepertinya
ia memiliki ilmu silat yang tinggi.
Murid-murid Perguruan
Qingcheng berturut-turut melemparkan obor di tangan masing-masing ke arah
kereta, namun semuanya dapat ditangkap dan dilemparkan kembali oleh orang itu.
Jumlah obor yang dilempar dan dikembalikan mencapai lebih dari delapan buah.
Meskipun obor-obor itu tidak sampai melukai seorang pun di antara mereka, namun
ini sudah cukup untuk membuat orang-orang Qingcheng tidak berani melempar lagi.
Mereka lantas mengelilingi kereta itu sambil memaki-maki, “Anak bulus itu tidak
berani keluar. Mungkin dia terluka parah dan hampir mampus!”
Di bawah cahaya obor yang
masih tersisa tampak dengan jelas bahwa orang yang bersembunyi di dalam kereta
itu memiliki lengan yang kecoklatan dan keriput, serta urat-uratnya yang
menonjol, jelas merupakan lengan seorang tua.
“Dia bukan Lin Pingzhi,” seru
salah seorang.
“Dia juga bukan istrinya,”
seru yang lain.
Orang-orang Qingcheng itu
menjadi ragu dan tidak berani sembarangan bergerak. Tiba-tiba sekitar dua
puluhan di antara mereka serentak menusukkan pedang masing-masing ke dalam
kereta. Maka, muncullah seorang laki-laki yang meloncat keluar menembus atap
kereta dengan sinar pedang gemerlapan. Tahu-tahu orang itu sudah melompat ke
belakang barisan orang-orang Qingcheng tersebut. Begitu pedangnya bergerak,
seketika dua orang lawan jatuh terkapar.
Orang itu memakai baju kuning
seperti seragam Perguruan Songshan. Hanya saja wajahnya memakai cadar kain
hitam, sehingga tidak bisa dikenali, kecuali sepasang matanya yang
berkilat-kilat tajam. Perawakan orang itu sangat tinggi, pedangnya pun bergerak
begitu cepat. Hanya beberapa jurus saja kembali dua murid Qingcheng berguguran.
Melihat pertempuran itu, tanpa
terasa tangan Linghu Chong menggenggam erat tangan Ren Yingying. Keduanya
sama-sama berpikir, “Dia memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis.”
Ditinjau dari bentuk tubuhnya,
orang itu jelas bukan Yue Buqun, apalagi Zuo Lengchan yang sudah buta. Kembali
mereka berdua berpikiran sama, “Ternyata selain Yue Buqun, Lin Pingzhi, dan Zuo
Lengchan, masih ada orang keempat yang bisa memainkan Jurus Pedang Penakluk
Iblis.”
Sementara itu, Yue Lingshan
berkata lirih kepada Lin Pingzhi, “Adik Ping, orang itu memainkan jurus pedang
yang mirip denganmu.”
“Apa?” sahut Lin Pingzhi tidak
percaya. “Dia … dia juga dapat memainkan ilmu pedang keluargaku? Apa kau tidak
… tidak keliru?”
Dalam pertempuran tersebut
kembali tiga orang murid Qingcheng roboh terkena pedang lawan. Kini Linghu
Chong dan Ren Yingying sudah dapat melihat dengan jelas. Meski jurus yang
dimainkan orang itu adalah Jurus Pedang Penakluk Iblis, namun kecepatannya
masih kalah jauh dibandingkan Yue Buqun dan Lin Pingzhi, apalagi terhadap
Dongfang Bubai. Hanya saja, ilmu silat orang itu cukup tinggi, ditambah
jurus-jurus Pedang Penakluk Iblis yang ia gunakan memang mengagumkan, sehingga
masih lebih unggul menghadapi orang-orang Qingcheng yang berjumlah lebih
banyak.
“Ilmu pedangnya mirip
denganmu, tapi gerakannya masih tidak secepat dirimu,” kata Yue Lingshan lagi.
“Gerakannya masih kurang
cepat? Ini jelas tidak sesuai dengan intisari ilmu pedang keluargaku,” ujar Lin
Pingzhi. “Akan tetapi siapa … siapa dia? Mengapa dia dapat memainkan jurus
pedang kami?”
Di tengah pertarungan sengit,
tiba-tiba seorang murid Perguruan Qingcheng dadanya tembus oleh pedang orang
itu. Menyusul kemudian orang bercadar itu membentak keras, pedangnya lantas
ditarik dan menebas pula. Kontan seorang di belakangnya terpotong menjadi dua
sebatas pinggang. Orang-orang Perguruan Qingcheng yang lain menjadi ngeri dan
sama-sama melompat mundur.
Kembali orang itu membentak
keras dan menerjang maju. Tiba-tiba seorang murid Qingcheng menjerit ketakutan
dan kemudian memutar tubuh melarikan diri. Kawan-kawannya yang lain menjadi
takut pula dan beramai-ramai mereka menyusul kabur. Ada yang memacu kuda, ada
pula yang lari tunggang langgang tak tentu arah.
Setelah semua murid Qingcheng
menghilang, orang bercadar itu tampak berdiri tegak dengan napas
terengah-engah. Linghu Chong dan Ren Yingying dapat menduga bahwa dalam
pertempuran sengit tadi orang itu telah banyak kehilangan tenaga, bahkan
mungkin juga terluka dalam.
Beberapa obor yang berserakan
di tanah masih menyala sehingga dapat terlihat orang tua bercadar itu
terengah-engah cukup lama. Setelah agak tenang, orang tua berbaju kuning itu
menyarungkan kembali pedangnya, lalu berseru, “Pendekar Lin dan Nyonya Lin, aku
dikirim Ketua Zuo dari Perguruan Songshan untuk datang memberi bantuan.” Dari
suaranya yang bernada rendah dan serak itu sepertinya ia sedang mengulum
sesuatu di mulutnya, seolah sedang menyamarkan suara agar tidak dikenali orang
lain.
“Terima kasih banyak atas
bantuan Tuan. Kalau boleh tahu, siapakah nama Tuan yang mulia ini?” sahut Lin
Pingzhi sambil keluar dari tempat persembunyiannya bersama Yue Lingshan.
Orang tua itu berkata, “Ketua
Zuo mendengar bahwa Pendekar Lin bersama Nyonya terluka parah setelah membasmi
para penjahat. Kini Pendekar Lin berdua handak disergap musuh di tengah jalan.
Aku diperintahkan Beliau untuk melindungi Pendekar Lin berdua dan mencari suatu
tempat istirahat yang aman, supaya tidak bisa ditemukan oleh ayah-mertuamu.”
Baik Linghu Chong dan Ren
Yingying maupun Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sama-sama heran dari mana Zuo
Lengchan mendapat keterangan sejelas itu?
Lin Pingzhi lantas menjawab,
“Maksud baik Ketua Zuo dan Tuan yang mulia sungguh sangat kuhargai. Mengenai
luka ini bisa kupulihkan sendiri, dan aku tidak berani merepotkan Tuan.”
Orang tua itu kembali berkata,
“Tapi kedua mata Pendekar Lin terkena racun Si Bungkuk, sungguh sukar kiranya
untuk bisa melihat kembali. Kalau Pendekar Lin tidak diobati secara langsung
oleh Ketua Zuo, bisa jadi … bisa jadi sepasang mata Pendekar Lin sukar untuk
dipertahankan.”
Sejak kedua matanya terkena
air beracun dari punggung Mu Gaofeng, baik mata maupun wajah Lin Pingzhi terasa
kaku dan gatal luar biasa. Bahkan karena gusarnya, hampir-hampir ia mencongkel
kedua biji matanya sendiri. Syukurlah ia masih mampu bertahan sedapat mungkin.
Setelah termenung sejenak, Lin
Pingzhi menjawab, “Aku bukan teman ataupun keluarga Ketua Zuo, tapi mengapa
Ketua Zuo menaruh perhatian sedemikian rupa kepadaku? Silakan Tuan menjelaskan
lebih dulu. Kalau tidak, sukar bagiku untuk menerima maksud baik Beliau.”
Orang bercadar itu tertawa
terkekeh dan berkata, “Pepatah mengatakan, ‘Musuh dari musuhku adalah teman’.
Ketua Zuo kehilangan penglihatan karena dicelakai secara licik oleh Yue Buqun.
Kalau Yue Buqun mendengar Pendekar Lin mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis,
meski Pendekar Lin berusaha menyingkir ke ujung dunia sekalipun juga akan
diburu olehnya. Kini dia sudah menjadi ketua Perguruan Lima Gunung.
Kekuasaannya besar, pengaruhnya pun luas. Memangnya kau seorang diri hendak
bersembunyi ke mana lagi? Hehe, apalagi putri kesayangan Yue Buqun senantiasa
mendampingimu siang dan malam. Meski Pendekar Lin memiliki kepandaian setinggi
langit, namun tetap sulit berjaga-jaga terhadap musuh dalam selimut ….”
“Kakak Kedua, ternyata
dirimu!” mendadak Yue Lingshan berteriak memanggil orang bercadar itu.
Seketika perasaan Linghu Chong
terguncang mendengarnya. Suara orang tua yang samar-samar dan serak itu memang
seperti sudah akrab di telinganya. Kini setelah Yue Lingshan berteriak, ia pun
langsung sadar bahwa orang tua itu adalah Lao Denuo, bekas adik seperguruannya
nomor dua. Namun, dulu ia mendengar kabar dari Yue Lingshan bahwa Lao Denuo
mati terbunuh di Kota Fuzhou. Jika demikian, kabar tersebut bisa jadi tidak
benar.
Terdengar orang tua itu
berkata dingin, “Hm, bocah yang cukup cerdik. Kau dapat mengenali suaraku.”
Kali ini ia bicara dengan menggunakan suara yang sebenarnya, sehingga semakin
jelas bahwa orang itu memang benar-benar Lao Denuo.
Yue Lingshan berkata, “Kakak
Kedua, di Kota Fuzhou dulu apa kau pura-pura mati dibunuh musuh? Kalau begitu,
tentu … tentunya kau juga yang telah membunuh Kakak Kedelapan, bukan?”
“Bukan,” sahut Lao Denuo.
“Ying Bailuo hanya seorang bocah ingusan. Apa untungnya aku membunuh dia?”
“Kau masih juga menyangkal?”
desak Yue Lingshan gusar. “Kau juga telah melukai punggung Adik Ping waktu itu.
Padahal selama ini ... selama ini aku telah menuduh Kakak Pertama. Huh, perbuatanmu
sungguh keji! Kau telah memalsukan kematianmu dengan cara membunuh seorang tua
dan merusak wajahnya hingga hancur, lalu kau dandani dia dengan pakaianmu.
Akibatnya, kami semua mengira kau telah mati dibunuh musuh.”
“Dugaanmu memang tidak salah,”
jawab Lao Denuo. “Kalau tidak, mana mungkin Yue Buqun membiarkan aku lolos?
Hanya saja, luka di punggung Pendekar Lin itu bukanlah hasil perbuatanku.”
“Bukan kau? Memangnya masih
ada orang lain?” kata Yue Lingshan.
“Memang bukan orang lain,
karena pelakunya adalah ayahmu sendiri,” jawab Lao Denuo.
“Omong kosong!” teriak Yue
Lingshan. “Kau sendiri yang berbuat, tapi masih memfitnah orang lain. Tanpa
sebab yang jelas untuk apa ayahku melukai Adik Ping?”
“Masalahnya waktu itu ayahmu
baru saja mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis dari tubuh Linghu Chong,”
jawab Lao Denuo. “Kitab pusaka itu adalah milik Keluarga Lin, maka orang
pertama yang harus dibunuh oleh ayahmu tentu saja Adik Ping-mu ini. Bila
Pendekar Lin masih hidup di dunia, mana mungkin ayahmu dapat mendalami ilmu itu
dengan leluasa?”
Yue Lingshan berkata, “Omong
kosong! Omong kosong! Jika ayahku hendak membunuh Adik Ping, mana mungkin dalam
sekali serang tidak langsung membuatnya meninggal?”
Tiba-tiba Lin Pingzhi menukas,
“Luka di punggungku waktu itu memang benar-benar hasil perbuatan Yue Buqun.
Ucapan Kakak Kedua sama sekali tidak salah.”
“Kau ... kau juga percaya
kepadanya?” ujar Yue Lingshan.
“Punggungku terluka sangat
parah akibat serangan itu. Aku sadar tidak mampu melawan. Maka, begitu roboh
aku langsung pura-pura mati dan tidak bergerak lagi. Waktu itu aku belum tahu
kalau si penyerang adalah Yue Buqun sendiri,” ujar Lin Pingzhi. “Dalam keadaan
setengah sadar, samar-samar kudengar suara Kakak Kedelapan memanggil ‘Guru!’.
Kemudian ia tidak bersuara lagi.”
“Jadi menurutmu ... Kakak
Kedelapan juga … juga dibunuh oleh ayahku?” sahut Yue Lingshan menegas.
“Memang begitulah adanya,”
jawab Lin Pingzhi. “Aku mendengar Kakak Kedelapan menjerit, ‘Guru!’ dan
kemudian roboh. Aku sendiri lantas jatuh pingsan. Ucapan Kakak Kedelapan telah
menolong nyawaku, tetapi dia harus kehilangan nyawanya sendiri.”
Lao Denuo menyambung,
“Sebenarnya waktu itu Yue Buqun hendak menambah satu tusukan lagi padamu.
Kebetulan aku sendiri baru saja menaruh mayat orang lain sebagai pengganti
diriku di halaman rumahmu. Aku sempat mengintai perbuatan Yue Buqun itu. Di
tempat persembunyianku, aku perlahan mendehem sehingga membuat Yue Buqun gentar
dan lekas-lekas kembali ke kamarnya. Ternyata suara dehemku itulah yang menyelamatkan
nyawamu, Pendekar Lin.”
Yue Lingshan semakin gugup dan
berkata, “Kalau ... kalau Ayah benar berniat membunuhmu, kesempatan selanjutnya
bukankah cukup banyak? Mengapa Ayah tidak turun tangan lagi?”
“Hm, setelah kejadian itu aku
menjadi lebih waspada, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Yue Buqun untuk
turun tangan,” ujar Lin Pingzhi. “Keberadaanmu juga sangat menguntungkan
bagiku. Setiap hari kita selalu bersama, sehingga membuat ayahmu tidak leluasa
untuk membunuhku.”
“Ternyata … selain kau menikah
denganku hanya untuk mengelabui banyak orang, kau juga mendekati aku ... hanya
untuk menjadikanku sebagai tameng belaka,” kata Yue Lingshan sambil menangis
tersedu-sedu.
Lin Pingzhi tidak peduli
dengan tangisan istrinya itu. Ia lalu berkata, “Saudara Lao, sejak kapan kau
berhubungan dengan Ketua Zuo?”
Lao Denuo menjawab, “Ketua Zuo
adalah guruku yang mulia. Aku adalah muridnya yang nomor tiga.”
“O, ternyata kau sudah
berganti perguruan?” kata Lin Pingzhi.
“Aku tidak pindah perguruan,”
jawab Lao Denuo. “Sejak dulu aku memang murid Perguruan Songshan. Hanya saja,
selama ini aku ditugasi guruku untuk menyusup ke dalam Perguruan Huashan.
Tujuannya adalah untuk menyelidiki ilmu silat Yue Buqun serta gerak-gerik
setiap orang Huashan.”
Baru sekarang Linghu Chong
paham permasalahannya. Ketika Lao Denuo masuk Perguruan Huashan memang ia sudah
mahir beberapa ilmu silat. Hanya saja, yang diperlihatkannya adalah ilmu silat
campuran dari berbagai golongan. Sungguh tak disangka kalau ia sebenarnya murid
Perguruan Songshan. Rupanya memang sudah lama Zuo Lengchan merencanakan
pencaplokan terhadap keempat perguruan yang lain. Ia telah menaruh mata-matanya
di mana ia merasa perlu. Maka, kenapa Lao Denuo tega membunuh Lu Dayou serta
mengapa ia mencuri Kitab Awan Lembayung kini terjawab sudah. Bahkan, seorang
yang cerdik dan waspada seperti Yue Buqun ternyata dapat dikelabui juga oleh
Lao Denuo.
Kembali terdengar Lin Pingzhi
berkata, “Saudara Lao telah berhasil membawa Kitab Pedang Penakluk Iblis ke
Gunung Songshan sehingga Ketua Zuo berhasil mendalami ilmu sakti tersebut. Jasa
Saudara Lao terhadap perguruan sungguh besar.”
Linghu Chong dan Ren Yingying
manggut-manggut sependapat dengan ucapan Lin Pingzhi itu. Kini terjawab pula
mengapa Zuo Lengchan dan Lao Denuo dapat memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis,
meskipun tidak sempurna. Ternyata, pikiran Lin Pingzhi dapat bekerja dengan
cepat untuk menarik kesimpulan yang tepat pula.
Lao Denuo menjawab, “Saudara
Lin, kita berdua, juga guruku yang mulia telah sama-sama ditipu mentah-mentah
oleh si keparat Yue Buqun. Orang itu benar-benar culas dan keji. Kita semua
telah diperdaya olehnya.”
“Hm, aku paham,” ujar Lin
Pingzhi. “Tentu Kitab Pedang Penakluk Iblis yang dicuri Saudara Lao adalah
palsu, yaitu hasil tulisan tangan Yue Buqun. Maka itu ….”
“Maka itu, dalam pertandingan
di Panggung Fengshan tempo hari si bangsat Yue Buqun mampu mengalahkan guruku,
begitu?” sahut Lao Denuo sambil mengertakkan gigi.
Lin Pingzhi mengangguk, “Aku
paham sekarang. Jadi, Kitab Pedang Penakluk Iblis yang dicuri Saudara Lao
adalah kitab palsu hasil tulisan tangan Yue Buqun sendiri, dengan mengubah
beberapa bagian di dalamnya.”
Lao Denuo berkata dengan
gemas, “Rupanya sudah sejak lama Yue Buqun menaruh curiga kepadaku. Selama di
Gunung Huashan dia diam saja tidak pernah menunjukkan kecurigaannya. Waktu itu
di Kota Fuzhou aku telah melarikan diri setelah ketahuan mencuri Kitab Awan
Lembayung. Karena kegagalan itu, aku merasa tidak bisa kembali ke Perguruan
Songshan begitu saja. Aku menyusup lagi ke rumah keluargamu sambil menaruh
mayat palsu di halaman. Aku berharap bisa mencuri kembali Kitab Awan Lembayung,
atau bahkan mengambil Kitab Pedang Penakluk Iblis yang telah dikuasai Yue
Buqun. Tak disangka, Yue Buqun telah menyalin isi kitab milik keluargamu itu
dengan banyak pengurangan di sana-sini. Kitab Pedang Penakluk Iblis yang
kuperoleh itu ternyata palsu dan banyak bagiannya yang hilang. Itu sebabnya
jurus-jurus pedang yang kami latih meskipun bagus, ternyata tidak secepat Yue
Buqun dan Pendekar Lin. Kemudian pada pertandingan di Panggung Fengshan yang
menentukan waktu itu, Yue Buqun telah memancing guruku untuk memainkan ilmu
pedang palsu tersebut. Kalau tidak, mana mungkin dia mampu memenangkan
pertandingan dan merebut jabatan ketua Perguruan Lima Gunung?”
“Benar, Yue Buqun memang
sangat licik dan culas. Kita sama-sama telah masuk ke dalam perangkapnya,” ujar
Lin Pingzhi menghela napas.
“Guruku sendiri seorang yang
bijaksana. Meski aku telah membuat urusannya yang mahabesar menjadi kacau-balau,
namun Beliau tidak pernah menyalahkanku,” kata Lao Denuo kemudian. “Namun,
sebagai seorang murid jelas hatiku merasa tidak tenteram. Biarpun masuk lautan
api atau mendaki gunung pedang juga aku akan berusaha membinasakan keparat Yue
Buqun untuk membalaskan sakit hati Guru.” Ucapan yang terakhir ini
dilontarkannya dengan tegas dan gemas. Sepertinya ia memang benar-benar sangat
dendam luar biasa terhadap Yue Buqun.
Lin Pingzhi tidak menanggapi.
Ia sendiri sedang merenungkan kata-kata orang tua itu.
Lao Denuo pun melanjutkan,
“Kedua mata guruku telah rusak. Saat ini Beliau menyepi di puncak barat Gunung
Songshan bersama belasan orang yang juga rusak matanya karena perbuatan Linghu
Chong tempo hari. Bila Pendekar Lin sudi ikut bersamaku ke sana sebagai
satu-satunya ahli waris Jurus Pedang Penakluk Iblis, tentu Beliau akan
menyambutmu dengan penuh penghormatan. Syukur kalau kedua matamu dapat
disembuhkan, kalau tidak, tinggal saja di sana bersama kami untuk bersama-sama
memikirkan bagaimana cara menuntut balas sakit hati yang mendalam ini. Bukankah
ini adalah jalan yang terbaik?”
Lin Pingzhi tertarik juga
mendengarnya. Kedua matanya yang telah rusak tentu sukar untuk bisa sembuh
kembali. Maka, apabila bisa berkumpul dengan orang-orang senasib yang sama-sama
buta, tentu manfaatnya dapat saling bertukar pikiran demi menuntut balas.
Sepertinya ini memang jalan yang paling baik. Hanya saja, ia pun kenal sifat
Zuo Lengchan, bila tidak menyimpan maksud dan tujuan tertentu mustahil
tiba-tiba begitu baik kepadanya. Maka, ia pun menjawab, “Terhadap maksud baik
Ketua Zuo sungguh aku sangat berterima kasih. Tapi apakah Saudara Lao dapat
memberi penjelasan yang lebih lengkap?”
Lao Denuo paham maksud
pertanyaan Lin Pingzhi. Dengan bergelak tawa ia pun berkata, “Pendekar Lin
ternyata seorang yang suka berpikir secara terbuka dan terus terang. Baiklah,
agar kelak kita dapat bekerja sama dengan lebih baik, tentu akan kujelaskan
maksud guruku secara terus terang. Kami, guru dan murid telah tertipu
mentah-mentah karena mendapatkan kitab palsu. Akan tetapi, di sepanjang jalan
aku telah menyaksikan bagaimana Pendekar Lin memperlihatkan ilmu pedang yang
sangat hebat untuk membunuh Mu Gaofeng, Yu Canghai, dan para begundal
Qingcheng. Jelas sekali kau telah memperoleh ilmu pedang yang asli dari Kitab
Pedang Penakluk Iblis yang sesungguhnya. Sungguh aku sangat kagum dan juga …
dan juga sangat tertarik ….”
Lin Pingzhi dapat menangkap
maksud orang tua itu. Ia pun menjawab, “Apakah maksud Saudara Lao hendak
memintaku untuk memperlihatkan kitab pusaka yang asli kepada kalian?”
“Sebenarnya orang luar seperti
kami tidaklah pantas mengincar harta pusaka milik keluargamu itu,” jawab Lao
Denuo. “Tapi, kiranya Pendekar Lin dapat memaklumi, bahwa keadaan guruku dan
Pendekar Lin saat ini jelas tidak mampu untuk membunuh keparat Yue Buqun itu,
kecuali kalau guruku dan aku dapat ikut mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis
yang asli.”
Sesungguhnya Lin Pingzhi
memang sedang bingung bagaimana hidup selanjutnya dalam keadaan buta seperti
itu. Apalagi sekarang kalau dirinya menolak, tentu Lao Denuo akan menggunakan
kekerasan untuk membunuhnya dan juga terhadap Yue Lingshan. Maka, ia lantas
berkata, “Ketua Zuo sudi bersatu denganku, sungguh aku merasa mendapat
kehormatan besar. Keluarga Lin kami hancur dan aku menjadi cacat memang
gara-gara perbuatan Yu Canghai dan Mu Gaofeng. Akan tetapi, tipu muslihat yang
dirancang Yue Buqun juga terhitung sebagai penyebab utama pula. Sudah tentu,
keinginanku membunuh Yue Buqun tidak ubahnya seperti kalian berdua, guru dan
murid. Maka itu jika kita bersatu padu, Jurus Pedang Penakluk Iblis akan
kuperlihatkan kepada kalian secara keseluruhan.”
Lao Denuo sangat senang dan
berkata, “Pendekar Lin ternyata sudi berbaik hati, sungguh kami sangat
berterima kasih bila dapat melihat secara langsung Kitab Pedang Penakluk Iblis
yang asli. Untuk selanjutnya, Adik Lin tak ubahnya seperti saudara sendiri bagi
kami.”
“Terima kasih,” kata Lin
Pingzhi. “Setelah sampai di Gunung Songshan, aku akan segera menguraikan Kitab
Pedang Penakluk Iblis yang asli di luar kepala.”
“Menguraikannya di luar
kepala?” Lao Denuo menegas.
“Ya,” jawab Lin Pingzhi.
“Mungkin Saudara Lao tidak tahu kalau kitab pusaka yang asli itu telah ditulis
leluhurku pada selembar jubah biksu. Jubah itu telah dikangkangi oleh Yue
Buqun, dan dari situ dia dapat mencuri ilmu pedang keluargaku. Namun, secara
kebetulan jubah biksu itu bisa jatuh kembali ke tanganku. Karena aku khawatir
Yue Buqun mengetahuinya, maka aku pun menghafalkan isi kitab itu di luar
kepala, lalu jubah biksu itu kumusnahkan. Bila aku masih menyimpan jubah biksu
tersebut, padahal aku selalu didampingi seorang istri setia seperti dia, hehe,
mana mungkin aku dapat hidup sampai sekarang?”
Sejak tadi Yue Lingshan hanya
diam tanpa bicara. Kini begitu mendengar sindiran itu, kembali ia menangis
sedih. Dengan suara terputus-putus ia berkata, “Kau … kau kenapa ….” Namun ia
tidak sanggup melanjutkan lagi.
Karena Lao Denuo sejak awal
telah bersembunyi di dalam kereta, maka ia pun mendengar semua percakapan Lin
Pingzhi dan Yue Lingshan tadi. Ia pun percaya apa yang dikatakan Lin Pingzhi
itu bukanlah omong kosong semata. Maka, ia lantas menjawab, “Baiklah kalau
begitu. Apakah sekarang juga kita bisa berangkat ke Gunung Songshan?”
Tanpa pikir panjang Lin Pingzhi
menjawab, “Tentu saja!”.
“Kita harus membuang kereta
keledai ini dan menunggang kuda dengan mengambil jalan kecil. Aku khawatir
bertemu Yue Buqun jika tetap melewati jalan raya, karena kita bukan
tandingannya,” kata Lao Denuo. Kemudian ia berpaling kepada Yue Lingshan dan
bertanya, “Adik Kecil, apakah kau akan membantu ayah atau membantu suami?”
“Aku tidak akan membantu siapa
pun!” sahut Yue Lingshan tegas. “Aku … aku memang bernasib buruk. Besok pagi
aku akan mencukur rambut dan menjadi biksuni. Apakah dia ayah atau suami,
selanjutnya aku tidak akan menemui mereka lagi.”
“Memang sangat tepat kalau kau
menjadi biksuni di Henshan,” sahut Lin Pingzhi mengejek.
“Lin Pingzhi!” teriak Yue
Lingshan gusar. “Dulu kau hampir mampus di Kota Hengshan, kalau bukan karena
ditolong Ayah, bukankah jiwamu sudah melayang di tangan Mu Gaofeng? Andaikan
ayahku berbuat suatu kesalahan, aku, Yue Lingshan tetap saja tidak berbuat
suatu hal yang keliru padamu. Apa maksudmu dengan berkata seperti itu?”
“Apa maksudku? Aku hanya ingin
membuktikan tekadku kepada Ketua Zuo,” sahut Lin Pingzhi. Suaranya mendadak
terdengar bengis dan kejam.
“Ah!” tiba-tiba Yue Lingshan
menjerit ngeri.
“Celaka!” teriak Linghu Chong.
Tanpa pikir panjang ia dan Ren Yingying melompat keluar dari tempat
persembunyian. Linghu Chong lantas berteriak, “Lin Pingzhi, jangan kau sakiti
Adik Kecil!”
Keduanya dalam keadaan
menyamar serta suasana masih gelap pula. Sebenarnya Lao Denuo tidak mengenali
mereka. Namun, begitu mendengar suara Linghu Chong itu seketika ia menjadi
sangat terkejut. Hampir-hampir sukmanya lepas meninggalkan raga.
Saat ini yang paling ditakuti
Lao Denuo selain Yue Buqun hanyalah Linghu Chong seorang. Maka, tanpa pikir
lagi segera ia mencengkeram bahu Lin Pingzhi lantas melompat hinggap di atas
punggung kuda peninggalan orang-orang Qingcheng tadi. Dengan sekali hentak, ia
pun memacu hewan itu melaju sekencang-kencangnya.
Karena mengkhawatirkan
keselamatan Yue Lingshan, Linghu Chong tidak sempat berpikir untuk mengejar
kedua musuh tersebut. Dilihatnya Yue Lingshan tersandar di tempat duduk kusir
kereta. Pada bagian dada nyonya muda itu tampak menancap sebilah pedang.
Keadaannya begitu parah, pernapasannya sudah sangat lemah, begitu pula denyut
nadinya.
“Adik Kecil! Adik Kecil!”
Linghu Chong berseru.
“Apakah … apakah Kakak
Pertama?” jawab Yue Lingshan lemah.
“Ya … ya, ini aku!” sahut
Linghu Chong senang.
Segera ia bermaksud mencabut
pedang yang menancap di dada Yue Lingshan itu, tapi Ren Yingying lebih dulu
mencegahnya. Ternyata hampir separuh batang pedang itu telah masuk ke dalam
tubuh Yue Lingshan sampai tembus ke punggung. Kalau pedang itu dicabut hanya
akan mempercepat kematiannya.
Mengetahui adik kecilnya sukar
diselamatkan lagi, Linghu Chong sangat berduka. Sambil menangis ia berkata,
“Adik Kecil … Adik Kecil!”
“Kakak Pertama, kau berada di
sini, sungguh baik sekali,” kata Yue Lingshan dengan suara lemah. “Adik Ping,
apakah … apakah ia sudah pergi?”
“Jangan khawatir, aku pasti
membunuhnya untuk membalas sakit hatimu,” kata Linghu Chong gemas.
“Tidak, jangan!” sahut Yue
Lingshan. “Matanya sudah buta. Kalau kau hendak membunuhnya, tentu dia tidak
sanggup melawan. Aku … aku ingin kembali ke tempat Ibu.”
“Baik, akan kubawa kau menemui
Ibu Guru,” kata Linghu Chong.
Melihat keadaan Yue Lingshan
yang semakin lemah itu, jelas jiwanya akan melayang dalam waktu singkat, tanpa
terasa Ren Yingying juga ikut mengucurkan air mata.
“Kakak Pertama,” kata Yue
Lingshan lirih. “Kau senantiasa sangat baik padaku, tapi aku … aku banyak
bersalah padamu. Aku … akan mati sebentar lagi. Aku ingin memohon se… sesuatu
padamu, hendaknya kau dapat … dapat meluluskan permintaanku ini.”
“Kau takkan meninggal. Aku
akan berusaha menyembuhkanmu,” ujar Linghu Chong. “Silakan bicara, aku pasti
akan memenuhi permintaanmu.”
“Tetapi … tapi kau tentu tak
dapat menerimanya. Ini hanya akan menyusahkanmu …” suaranya semakin lirih,
napasnya juga makin lemah.
“Aku pasti meluluskan
permintaanku, katakan saja,” jawab Linghu Chong.
“Kakak Pertama, … Adik Ping,
suamiku, dia … dia sudah buta. Kas… kasihanilah dia,” kata Yue Lingshan
terputus-putus.
“Ya, aku tahu,” jawab Linghu
Chong.
“Dia sebatang kara di dunia
ini,” lanjut Yue Lingshan. “Semua … semua orang me… memusuhinya. Kakak Pertama
… sesudah aku mati, tolong … tolong kau menjaganya dengan baik. Jangan … sampai
dia dianiaya orang lagi ….”
Linghu Chong tercengang. Sama
sekali tak disangka bahwa Yue Lingshan yang sudah dekat ajalnya itu tetap tidak
melupakan cintanya terhadap Lin Pingzhi, sang suami yang tega menurunkan tangan
keji terhadapnya secara telengas. Padahal, kalau bisa Linghu Chong malah ingin
segera membekuk Lin Pingzhi dan mencincangnya hingga hancur luluh. Bagaimanapun
juga tidak mungkin ia sudi mengampuni jiwa manusia rendah bermarga Lin itu.
Namun, Yue Lingshan malah memintanya untuk mengampuni pemuda tersebut, mana
mungkin ia sudi mengabulkannya?
“Kakak Pertama,” kata Yue
Lingshan, “dia … dia tidak sengaja hendak membunuhku. Dia hanya … karena takut
pada Ayah, dia terpaksa … terpaksa memihak Zuo Lengchan. Aku … aku pun
ditusuknya sekali … Kakak Pertama, aku mohon … mohon padamu … agar men…
menjaganya dengan baik ….”
Dengan gusar Linghu Chong
menjawab, “Manusia rendah yang mementingkan diri sendiri dan tak berbudi itu,
mengapa … mengapa kau masih memikirkannya?”
“Tidak ... tidak,” sahut Yue
Lingshan. “Dia hanya ... tangannya hanya ... hanya lepas kendali dan tidak
sengaja ... menusukku. Aku mohon ... aku mohon jaga dia.”
Di bawah cahaya rembulan,
wajah Yue Lingshan tampak pucat, sinar matanya suram, namun memancarkan
permohonan sepenuh hati. Padahal, sejak kecil apa pun permintaan yang diucapkan
Yue Lingshan belum pernah ditolak oleh Linghu Chong. Meskipun permintaan
tersebut sangat sulit, Linghu Chong pasti berusaha sekuat tenaga untuk
memenuhinya. Apalagi permintaan Yue Lingshan sekarang ini adalah permintaan
pada saat menjelang ajalnya, suatu permintaan terakhir dan juga permintaan yang
paling sungguh-sungguh.
Seketika darah dalam rongga
dada Linghu Chong menjadi bergolak. Ia sadar, sekali menerima permintaan Yue
Lingshan itu, maka untuk selanjutnya pasti akan berakibat besar dan mungkin
akan banyak memaksa dirinya berbuat sesuatu yang bertentangan dengan
keinginannya. Namun, menghadapi wajah dan suara Yue Lingshan yang penuh rasa
memohon itu, Linghu Chong tidak tega untuk menolak. Terpaksa ia pun mengangguk
dan berkata, “Baiklah, aku menerima permintaanmu. Jangan khawatir!”
Mendengar itu, tanpa terasa
Ren Yingying menyela, “Mana … mana bisa kau menyanggupinya?”
Yue Lingshan menggenggam erat
tangan Linghu Chong dan berkata, “Kakak Pertama, terima … terima kasih banyak …
Aku tidak perlu … tak perlu khawatir lagi ….” Tiba-tiba sorot matanya
memancarkan cahaya, mulutnya mengulum senyum pertanda puas.
Linghu Chong yang melihat
wajah gembira Yue Lingshan itu pun berpikir, “Melihat wajahnya berbahagia
seperti ini, aku rela jika harus menghadapi kesulitan apa pun juga.”
Tiba-tiba terdengar Yue
Lingshan bernyanyi perlahan. Seketika dada Linghu Chong seperti dipalu godam,
karena lagu yang dinyanyikan Yue Lingshan itu ternyata lagu rakyat daerah
Fujian. Lagu tersebut berjudul “Mendaki Gunung Memetik Teh” yang pernah
diajarkan Lin Pingzhi kepadanya. Dahulu ketika Linghu Chong dihukum kurung di
Puncak Huashan, perasaannya sangat pedih mendengar Yue Lingshan menyanyikan
lagu tersebut. Kini sang adik kecil kembali menyanyikan lagu yang sama, jelas
sedang mengenang masa percintaannya dengan Lin Pingzhi di Huashan dulu. Suara
Yue Lingshan makin melemah, tangannya yang menggenggam tangan Linghu Chong juga
semakin kendur dan akhirnya terbuka. Perlahan matanya terpejam, nyanyiannya
berhenti pula. Akhirnya, ia pun berhenti bernapas.
Perasaan Linghu Chong seperti
hancur. Seketika langit seakan-akan runtuh pula. Dengan segala upaya ia
berusaha melindungi Yue Lingshan dari serangan orang-orang Qingcheng, namun
sang adik kecil justru meninggal di tangan suami sendiri. Ia ingin menangis
sekeras-kerasnya, tapi tak dapat bersuara. Dipeluknya tubuh Yue Lingshan yang
sudah tak bernyawa itu dan perlahan ia bergumam, “Adik Kecil, jangan khawatir,
Adik Kecil! Akan kubawa kau ke tempat ibumu. Pasti tiada seorang pun yang
berani mengganggumu.”
Ren Yingying melihat punggung
Linghu Chong basah kuyup oleh darah. Baju pemuda itu semakin lama semakin
basah, jelas lukanya kambuh kembali. Namun, dalam keadaan demikian Ren Yingying
tidak tahu bagaimana cara untuk menghiburnya.
Sambil menggendong jenazah Yue
Lingshan, dengan langkah sempoyongan Linghu Chong maju ke depan sambil
menggumam, “Jangan khawatir, Adik Kecil, akan kubawa kau kepada ibumu!” Tapi
mendadak kakinya menjadi lemas dan ia pun jatuh terguling tak sadarkan diri.
Entah sudah berapa lama Linghu
Chong pingsan, dalam keadaan samar-samar didengarnya suara denting kecapi yang
membuat pikirannya terasa segar. Suara kecapi itu mengalun lembut
berulang-ulang. Lagu yang dimainkan seperti sudah dikenalnya dengan baik.
Sungguh nyaman sekali rasa hatinya. Seluruh tubuh terasa lemas sampai-sampai
kelopak mata pun malas untuk dibuka. Ia berharap senantiasa dapat mendengarkan
suara kecapi tersebut tanpa berhenti.
Suara kecapi itu ternyata
benar-benar berbunyi terus tanpa berhenti. Tak lama kemudian, sayup-sayup
Linghu Chong kembali tertidur pulas. Ketika untuk kedua kalinya ia terjaga,
telinganya tetap mendengar suara denting kecapi yang merdu itu, malah hidungnya
mencium semerbak bau wangi bunga. Sewaktu membuka mata, di depannya ternyata
penuh dengan bunga beraneka warna. Ada merah, kuning, putih, dan biru. Ia
kemudian melihat punggung Ren Yingying yang sedang duduk dan memainkan kecapi membawakan
lagu “Kahyangan Biru”.
Linghu Chong kemudian
menjumpai dirinya sedang terbaring di atas tumpukan rumput empuk di dalam
sebuah gua pegunungan. Sinar matahari menyorot masuk melalui mulut gua
tersebut. Segera ia bermaksud bangkit untuk duduk, tapi Ren Yingying lebih dulu
menoleh dan mendekatinya dengan wajah gembira penuh kasih sayang. Saat itu
Linghu Chong merasa sangat bahagia. Ia tahu Ren Yingying yang telah membawa
tubuhnya ke dalam gua tersebut ketika dirinya jatuh pingsan lantaran kematian sang
adik kecil yang mengenaskan itu. Kembali hatinya berduka, tapi lambat laun dari
sorot mata Ren Yingying yang lembut dan mesra itu ia merasa terhibur. Mereka
berdua hanya saling pandang tanpa bicara sampai sekian lama.
Perlahan Linghu Chong mengelus
tangan Ren Yingying. Tiba-tiba di tengah bau harum bunga itu tercium pula bau
sedap daging panggang. Ren Yingying lantas mengangkat setangkai kayu, dan di
atas tangkai itu tertusuk beberapa ekor kodok panggang. “Wah, hangus lagi!”
katanya dengan tersenyum.
Linghu Chong bergelak tawa
teringat kejadian dahulu ketika mereka sedang makan kodok panggang di tepi
sungai. Kini mereka hendak memakan kodok panggang lagi untuk yang kedua
kalinya. Dalam selang waktu sekian lama itu mereka telah banyak mengalami
bermacam-macam kejadian, namun sungguh bersyukur keduanya masih tetap berkumpul
menjadi satu.
Sejenak kemudian Linghu Chong
kembali berduka karena teringat kepada Yue Lingshan. Ren Yingying memapahnya
bangun. Sambil menunjuk sebuah kuburan baru di luar gua ia berkata, “Di situlah
Nona Yue beristirahat untuk selamanya.”
“Terima kasih ... terima kasih
banyak padamu,” kata Linghu Chong dengan menahan air mata. Dalam hati ia merasa
rikuh, lalu menyambung, “Yingying, aku tidak pernah bisa melupakan perasaanku
kepada Adik Kecil, hendaknya kau jangan marah.”
“Sudah tentu aku takkan
marah,” jawab Ren Yingying. “Masing-masing orang mempunyai jodoh
sendiri-sendiri dan pengalaman suka-duka pula,” Lalu dengan suara lirih ia
melanjutkan, “Pertama kali bertemu di luar Kota Luoyang dulu, aku jatuh hati
kepadamu justru karena kau menceritakan kisah cintamu terhadap adik kecilmu
itu. Andai saja kau seorang pemuda tak berbudi yang mudah bergonta-ganti
perasaan, tentu aku takkan menghargaimu.”
Setelah terdiam sejenak, Ren
Yingying melanjutkan, “Sebenarnya … sebenarnya Nona Yue seorang gadis yang
baik, hanya saja ia tidak … tidak ada jodoh denganmu. Andai saja kau tidak
dibesarkan bersamanya sejak kecil, kemungkinan besar dalam sekali pandang dia
akan jatuh hati kepadamu.”
Linghu Chong merenung sejenak,
kemudian menyahut, “Tidak mungkin. Adik Kecil sangat mengagumi kepribadian
Guru. Laki-laki yang dia suka harus pendiam dan santun seperti ayahnya. Aku
hanyalah teman bermain baginya. Selamanya dia tidak … tidak pernah menghormati
aku.”
“Mungkin kau benar. Lin
Pingzhi memang mirip gurumu,” jawab Ren Yingying. “Dari luar tampak alim, tapi
jiwanya begitu kotor.”
Linghu Chong berkata, “Tapi
pada saat-saat terakhirnya Adik Kecil tetap tidak percaya kalau Lin Pingzhi
benar-benar sengaja membunuhnya. Dia masih tetap mencintai Lin Pingzhi sepenuh
hati. Tapi ini juga ada … ada baiknya. Dia tidak meninggal dalam kesedihan. Aku
ingin ... aku ingin melihat kuburannya.”
Segera Ren Yingying memapahnya
keluar gua. Terlihat sebuah kuburan yang bagian atasnya ditumpuki batu dengan
rapi, pertanda Ren Yingying tidak sembarangan menguburkan jenazah Yue Lingshan.
Dalam hati Linghu Chong merasa sangat berterima kasih. Dilihatnya pula di depan
kuburan itu terpancang sepotong dahan pohon yang telah dipangkas tangkai dan
daunnya. Pada kulit dahan itu terukir tulisan, “Tempat istirahat pendekar
wanita dari Perguruan Huashan, Nona Yue Lingshan.”
Kembali Linghu Chong
mencucurkan air mata. “Mungkin Adik Kecil lebih suka dipanggil Nyonya Lin,”
katanya sedih.
“Lin Pingzhi manusia rendah
dan tidak berbudi. Di alam baka Nona Yue pasti sadar dan tidak sudi disebut
Nyonya Lin lagi,” ujar Ren Yingying. Dalam hati ia berpikir, “Sayang sekali kau
tidak tahu bahwa Nona Yue dan Lin Pingzhi hanya sekadar menikah saja, tapi belum
menjadi suami-istri yang sesungguhnya.”
Tempat di mana mereka berada
adalah sebuah lembah yang dikelilingi oleh lereng bukit yang menghijau indah
dengan bunga-bunga hutan yang harum mewangi. Suara burung berkicau merdu
merayu, sungguh suatu tempat yang sangat permai.
“Biarlah untuk sementara ini
kita tinggal di sini sambil menyembuhkan lukamu. Kita juga bisa menemani
kuburan Nona Yue,” kata Ren Yingying.
“Benar,” sahut Linghu Chong
senang. “Adik Kecil sendirian di sini. Meskipun menjadi hantu tetap saja ia
penakut.”
Ren Yingying hanya menghela
napas menanggapi Linghu Chong yang bercanda di dalam kedukaan itu.
Begitulah, mereka berdua pun
tinggal di lembah pegunungan yang indah itu dengan tenang dan bebas. Berkat
obat-obatan manjur dari Perguruan Henshan, ditambah tenaga dalamnya yang bagus,
luka Linghu Chong akhirnya sembuh sembilan puluh persen dalam waktu dua puluh
hari. Linghu Chong lalu melanjutkan belajar memetik kecapi kepada Yue Lingshan
yang sempat tertunda lama. Pada dasarnya ia memang cerdas, serta tekun dan
sabar pula, sehingga kemajuannya dalam seni musik pun cukup pesat.
Beberapa hari kemudian, ketika
Linghu Chong bangun dari tidur di pagi hari, ia melihat pada kuburan Yue
Lingshan telah tumbuh beberapa tunas rumput liar. Dengan sedih ia berpikir,
“Ada rumput tumbuh di atas kuburan Adik Kecil. Entah bagaimana perasaannya di
dalam sana?”
Tiba-tiba terdengar suara
seruling yang sangat merdu. Begitu menoleh, tampak Ren Yingying sedang meniup
seruling sambil duduk di atas batu cadas. Lagu yang dimainkannya adalah
“Kahyangan Biru” yang biasanya ia mainkan menggunakan kecapi. Linghu Chong pun
melangkah mendekati gadis itu. Tampak seruling itu terbuat dari bambu yang
masih segar, sepertinya baru saja diraut oleh Ren Yingying menggunakan pedang.
Segera Linghu Chong memangku
kecapi dan mulai memetiknya mengikuti irama seruling Ren Yingying. Selesai
membawakan sebuah lagu, ia merasa lebih bersemangat dan perasaannya jauh lebih
segar. Kedua muda-mudi itu pun saling pandang dan tertawa bersama.
Ren Yingying berkata, “Kau
sudah mahir memainkan lagu Kahyangan Biru. Bagaimana kalau kita berlatih lagu
‘Menertawakan Dunia Persilatan’ mulai hari ini?”
“Lagu itu sangat sukar. Entah
sampai kapan aku baru bisa menyamaimu?” ujar Linghu Chong.
Ren Yingying tersenyum
berkata, “Lagu ini memang sangat bagus. Aku sendiri masih belum paham secara
keseluruhan. Ada sesuatu yang istimewa dalam lagu ini, namun sulit untuk
dijelaskan. Sepertinya lagu ini memang harus dimainkan oleh dua orang, karena
sifatnya saling melengkapi. Aku pernah memainkannya seorang diri namun rasanya
seperti meraba-raba dalam kegelapan. Jika kita berlatih bersama pasti akan
mendapatkan banyak kemajuan. Mungkin lagu ini memang menggambarkan perasaan
mendalam Nie Zheng kepada kakak perempuannya di mana dua hati mereka telah
bertaut.”
Linghu Chong bertepuk tangan
dan menjawab, “Kau benar. Dulu aku pernah mendengar lagu ini dimainkan oleh
Paman Liu dari Perguruan Hengshan dan Tetua Qu dari Sekte Ib... eh, Sekte
Matahari dan Bulan kalian. Paduan seruling dan kecapi mereka sungguh selaras
dan sangat enak didengar. Menurut Paman Liu, lagu Menertawakan Dunia Persilatan
memang seharusnya dimainkan dengan paduan seruling dan kecapi.”
“Ya, kau memetik kecapi dan
aku meniup seruling. Kita mulai berlatih setahap demi setahap,” kata Ren
Yingying.
Linghu Chong menyahut, “Sayang
sekali yang kau pegang itu seruling, bukan sitar. Kalau kecapi dan sitar pasti
akan serasi seperti suami-istri.”
Wajah Ren Yingying memerah,
dan ia pun menanggapi, “Beberapa hari ini kau jarang bercanda, kukira sifatmu
sudah berubah.”
Linghu Chong buru-buru
memasang wajah jenaka. Meskipun mereka hanya tinggal berdua di dalam lembah
permai yang sunyi itu, namun keduanya tidak pernah bersenda gurau, apalagi
mengucapkan lelucon nakal. Selama ini Linghu Chong hanya sibuk meminta petunjuk
seni musik kepada Ren Yingying. Sekarang tanpa sengaja ia bergurau soal rumah
tangga dan khawatir gadis yang pemalu itu tidak mau bicara lagi dengannya.
Maka, ia pun kembali memasang wajah serius saat melihat Ren Yingying membuka
kitab notasi lagu Menertawakan Dunia Persilatan dan memberikan penjelasan
kepadanya.
Begitulah, sejak hari itu
Linghu Chong dan Ren Yingying mulai berlatih lagu Menertawakan Dunia Persilatan
bersama-sama. Kemampuan seni musik Linghu Chong memang lebih rendah, namun
karena pada dasarnya ia seorang pemuda cerdas sehingga cepat menangkap
pelajaran yang diberikan Ren Yingying. Apalagi ia sudah mempelajari dasar-dasar
bermain kecapi sejak di Hutan Bambu Hijau di luar Kota Luoyang dulu. Maka,
sekitar sepuluh hari kemudian permainan Linghu Chong sudah semakin bagus,
hampir mampu mengimbangi Ren Yingying. Meskipun paduan musik mereka masih kalah
indah dibandingkan dengan permainan Qu Yang dan Liu Zhengfeng, namun bisa
dikatakan sudah mampu menangkap makna yang terkandung di dalam lagu tersebut.
Semakin dekat hubungan mereka,
paduan musik yang mereka hasilkan pun semakin indah. Lembah sunyi dan permai
yang mereka tinggali itu seolah-olah berada di luar dunia nyata. Untuk sesaat
mereka lupa akan kilatan pedang dan percikan darah di dunia persilatan. Kedua
muda-mudi ini sama-sama membayangkan dapat hidup berdampingan di lembah
tersebut hingga hari tua, tentu rasanya akan sangat bahagia.
Pada suatu siang, setelah
Linghu Chong berlatih musik sekian lamanya dengan Ren Yingying, tiba-tiba hawa
murni liar di dalam tubuhnya sedikit mengganggu. Pikirannya terasa kusut dan
sukar untuk ditenteramkan. Beberapa kali irama kecapinya terdengar salah.
“Tentu kau lelah. Silakan
istirahat dulu saja,” ujar Ren Yingying.
“Dikatakan lelah juga tidak.
Entah apa yang terjadi aku tidak tahu,” kata Linghu Chong. “Aku ingin mencari
buah persik dulu. Kita berlatih lagi nanti malam.”
“Baiklah, tapi jangan terlalu
jauh,” kata Ren Yingying.
Linghu Chong mengetahui ada
banyak pepohonan persik tumbuh di sebelah timur lembah tersebut. Apalagi saat
itu adalah musim buah persik matang. Segera ia bergegas menuju ke sana.
Kira-kira berjalan sepuluh li jauhnya, ia pun tiba di depan pepohonan persik
yang lebat dengan buahnya yang sudah berwarna merah menggoda.
Tanpa pikir panjang ia lantas
memetik sebanyak dua buah. Pada pohon selanjutnya ia memetik tiga buah.
Lama-lama ia berpikir bahwa buah-buah tersebut beberapa hari lagi pasti akan
bergururan di tanah dan membusuk. Maka, ia pun terus saja memetik sampai
puluhan buah banyaknya.
“Nanti setelah memakan daging
buah-buah ini, aku dan Yingying akan menebarkan biji-bijinya sehingga kelak
lembah ini akan dikenal orang sebagai Lembah Persik. Aku dan Yingying akan
dijuluki Sepasang Majikan Lembah Persik. Lalu kami memiliki enam orang anak,
dan mereka akan disebut sebagai Enam Dewa Lembah Persik Cilik. Entah bagaimana
kacaunya apabila Enam Dewa Lembah Persik Cilik bertemu dan berdebat dengan Enam
Dewa Lembah Persik Tua?” pikirnya sambil mulut tersenyum-senyum sendiri.
Pada saat itulah tiba-tiba ia
mendengar suara gemerisik bergeseknya ranting-ranting pohon. Segera ia pun
bersembunyi di dalam semak belukar sambil berpikir, “Bagus sekali. Aku sudah
bosan memakan kodok panggang dan buah-buahan. Mungkin ada hewan sebangsa kijang
atau rusa yang datang dan bisa kutangkap.”
Ternyata dugaan Linghu Chong
keliru, karena yang terdengar kemudian adalah suara langkah kaki beberapa orang
berjalan. Ia pun terkejut dan berpikir, “Mengapa ada orang lain di lembah sunyi
ini? Jangan-jangan mereka ke sini untuk mencariku dan Yingying?”
Sejenak kemudian, sayup-sayup
terdengar salah seorang yang datang itu berkata, “Apakah kau tidak salah?
Apakah benar keparat Yue Buqun itu sedang menuju kemari?”
Linghu Chong terkesiap dan
berpikir, “Mereka menyebut-nyebut nama Guru. Siapa sebenarnya orang-orang ini?”
Kemudian terdengar suara
seorang lagi menjawab, “Menurut penyelidikan Pengawas Shi, putri dan menantu
Yue Buqun tiba-tiba menghilang entah ke mana. Jejak mereka sama sekali tidak
ditemukan di kota, di pasar, di desa, ataupun di sungai mana pun juga.
Kemungkinan besar mereka bersembunyi di lembah ini untuk merawat luka. Cepat
atau lambat, Yue Buqun pasti akan ke sini untuk mencari mereka.”
Linghu Chong kembali berpikir,
“Ternyata mereka mengetahui kalau Adik Kecil terluka, namun tidak mengetahui
kalau ia sudah meninggal. Sepertinya banyak sekali yang mencari Adik Kecil dan
Lin Pingzhi, terutama Guru dan Ibu Guru. Andai saja lembah ini tidak terpencil,
pasti mereka sudah ke sini sejak lama.”
Lalu terdengar suara orang
yang pertama tadi berkata, “Jika dugaanmu tidak salah dan Yue Buqun benar-benar
kemari, maka kita perlu memasang perangkap di ujung jalan masuk lembah ini.”
Orang kedua yang bersuara agak
serak menjawab, “Andaikan Yue Buqun tidak segera datang, kita tetap punya
rencana untuk memancing kedatangannya.”
“Akalmu sungguh hebat Saudara
Xue. Tadinya aku memandangmu sebelah mata. Tak disangka, ternyata kau menyimpan
banyak kepandaian,” kata orang yang pertama.
Si marga Xue menjawab, “Terima
kasih, Tetua Ge. Saya sangat mengharapkan bantuan Tetua Ge. Apapun perintah
Tetua Ge kepada saya pasti akan saya laksanakan dengan sepenuh hati.”
Linghu Chong kecewa
mendengarnya dan berpikir, “Hm, ternyata orang-orang Sekte Matahari dan Bulan.
Sebaiknya mereka segera pergi dari sini dan jangan mengganggu kami.” Sejenak
kemudian ia berpikir kembali, “Rupanya mereka berniat mengincar Guru. Meskipun
orang-orang ini mungkin memiliki kepandaian tinggi, rasanya tetap bukan
tandingan Guru yang telah mengalami kemajuan pesat. Apalagi mengenai tipu
muslihat, melawan guru sama seperti peribahasa ‘bertanding kapak melawan Lu
Ban’. Sungguh tidak tahu diri.”
Pada saat itulah tiba-tiba
dari jauh terdengar suara tepuk tangan tiga kali. Si marga Xue lantas berkata,
“Tetua Du sudah tiba pula.”
Tetua Ge segera membalas
dengan tiga kali tepuk tangan pula. Lalu terdengar suara langkah kaki sekitar
empat orang berjalan dengan cepat. Dua orang di antaranya agak tertinggal di
belakang, sepertinya ilmu meringankan tubuh mereka lebih rendah. Namun setelah
dekat, Linghu Chong dapat mendengar bahwa kedua orang yang di belakang itu
ternyata sedang menggotong sesuatu.
Tetua Ge merasa senang dan
berseru, “Tetua Du, ternyata kau berhasil menangkap anak gadis keluarga Yue?
Sungguh jasamu ini sangat besar!”
Lalu terdengar orang yang
bermarga Du itu menjawab dengan suara lantang, “Orang ini memang berasal dari
keluarga Yue. Namun, ini bukan anak gadisnya, melainkan induknya!”
“Hah!” terdengar Tetua Ge
terkejut namun sangat senang. “Jadi ... jadi, orang ini istri Yue Buqun? Kau
telah menangkap istri Yue Buqun?”
Linghu Chong sangat terkejut
mendengar orang yang ditawan oleh para anggota Sekte Iblis itu ternyata
ibu-gurunya sendiri. Ia bermaksud menerjang keluar untuk menolong, tapi segera
teringat bahwa dirinya sedang tidak membawa pedang. Tanpa pedang di tangan
jelas kepandaiannya tidak cukup untuk menandingi tokoh-tokoh semacam Tetua Ge
dan Tetua Du itu. Maka, ia hanya bisa menunggu lebih lanjut di tempat
persembunyian dengan perasaan khawatir.
Kemudian terdengar Tetua Du
bertanya, “Kenapa tidak boleh?”
Tetua Ge menjawab, “Ilmu
pedang Nyonya Yue sangat bagus. Entah bagaimana Saudara Du dapat menangkapnya?
Ah, pasti kau memakai obat bius, bukan?”
Tetua Du tertawa menjawab,
“Perempuan ini masuk ke dalam rumah makan dalam keadaan bingung seperti orang
linglung. Tanpa banyak pikir ia lantas meminum semangkuk teh. Orang-orang
sering memuji betapa hebat Pendekar Wanita Ning Zhongze, istri Yue Buqun. Hm,
ternyata dia begini ceroboh.”
Linghu Chong sangat gusar
dalam hati, “Ibu Guru pasti sudah mendengar putri tersayangnya mendapat luka
dan hilang entah ke mana. Sudah berhari-hari Ibu Guru mencari Adik Kecil dan
tidak menemukan jejaknya, mana mungkin tidak bingung? Huh, berani-beraninya
kalian menyebutnya ceroboh? Sebentar lagi aku akan keluar untuk membinasakan
kalian semua dan menolong Ibu Guru.” Setelah terdiam sejenak ia kembali
merenung, “Tapi bagaimana caraku menghadapi mereka kalau di tanganku tidak ada
pedang? Sebaiknya aku merebut salah satu pedang dari mereka. Tapi kalau tidak
ada pedang, golok pun jadi.”
Terdengar Tetua Ge berkata,
“Setelah istri Yue Buqun berhasil kita bekuk, maka segala urusan menjadi mudah.
Saudara Du, persoalan yang harus kita pikirkan saat ini adalah bagaimana cara
memancing Yue Buqun agar datang kemari?”
“Juga bagaimana selanjutnya
jika dia sudah terpancing kemari?” tanya Tetua Du.
Tetua Ge merenung sejenak,
lalu menjawab, “Kita gunakan istrinya sebagai sandera dan kita paksa dia
menyerah. Suami-istri Yue terkenal sangat rukun dan serasi, sudah tentu dia
tidak akan berani membangkang.”
“Apa yang disampaikan Saudara
Ge sangat masuk akal,” kata Tetua Du. “Tapi aku khawatir kalau-kalau Yue Buqun
ternyata berhati kejam. Cintanya kepada sang istri ternyata tidak mendalam, dan
tidak setia pula. Kalau demikian bisa jadi urusan kita menjadi runyam.”
“Ini memang … memang … eh,
bagaimana pendapatmu, Saudara Xue?” tanya Tetua Ge tiba-tiba.
Si marga Xue menjawab, “Di
hadapan kedua tetua, hamba merasa tidak berhak banyak bicara dan ikut perintah
saja.”
Sampai di sini tiba-tiba dari
arah barat terdengar suara orang bertepuk tangan tiga kali.
“Ah, Tetua Bao sudah datang,”
ujar Tetua Du.
Dalam sekejap saja tampak dua
orang datang berlari dari arah barat dengan kecepatan luar biasa.
“Tetua Mo juga ikut,” kata
Tetua Ge.
Melihat itu Linghu Chong
mengeluh dalam hati, “Mendengar cara mereka berlari, sepertinya kedua orang
yang baru datang ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada si marga Ge
dan Du. Entah bagaimana caraku bisa menyelamatkan Ibu Guru dengan tangan
kosong?”
Terdengar Tetua Ge berkata,
“Saudara Du telah berjasa besar. Ia berhasil menangkap istri Yue Buqun.”
“Bagus sekali, bagus sekali!
Kalian sudah bekerja keras,” kata seorang tetua yang baru datang itu senang.
Tetua Ge menjawab, “Ini semua
berkat jasa Saudara Du.”
Linghu Chong merasa suara
gembong Sekte Iblis yang baru datang itu seperti sudah dikenalnya. “Mungkinkah
aku pernah bertemu dengannya di Tebing Kayu Hitam?” Ia lantas mengerahkan
tenaga dalam agar dapat mendengar lebih jelas suara percakapan orang-orang itu,
namun sama sekali tidak berani melongok keluar untuk mengintai. Ia sadar
gembong-gembong Sekte Iblis ini rata-rata berilmu tinggi, sehingga sedikit saja
dirinya bergerak pasti akan langsung ketahuan.
Sementara itu, Tetua Ge
terdengar berkata, “Saudara Bao dan Saudara Mo, kami di sini sedang berunding
bagaimana cara memancing Yue Buqun kemari agar kita dapat menangkap dan
membawanya ke Tebing Kayu Hitam.”
“Lalu bagaimana rencana
kalian?” tanya seorang sesepuh yang baru datang itu.
Tetua Ge menjawab, “Kami belum
menemukan cara yang tepat. Mungkin Saudara Bao dan Saudara Mo ada saran?”
Tetua yang tadi berkata,
“Ketika orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung bertanding di Puncak Songshan
memperebutkan jabatan ketua, Yue Buqun telah membutakan mata Zuo Lengchan.
Setelah kejadian itu tak seorang pun yang berani lagi menantangnya. Konon ia
telah mendapatkan Jurus Pedang Penakluk Iblis yang asli dari Keluarga Lin, dan
ilmu silatnya kini sangat lain daripada yang lain. Maka itu, jangan sekali-kali
kita memandang remeh kepadanya.”
“Benar, dengan kekuatan kita
berempat rasanya belum tentu kita kalah, juga belum tentu kita menang,” ujar
Tetua Du.
Tetua Mo berkata, “Aku rasa
Tetua Bao tentu sudah memiliki rencana bagus. Tolong katakan saja pada kami.”
Tetua Bao menyahut,
“Sebenarnya aku memang mendapat suatu akal, tapi hanya akal biasa. Aku khawatir
hanya menjadi bahan tertawaan kalian.”
“Mana mungkin? Tetua Bao
terkenal sebagai gudang akal agama kita. Rencanamu pasti sangat bagus,” seru
Tetua Mo, Ge, dan Du bersama-sama.
“Rencanaku ini sebenarnya
hanya suatu akal bodoh,” ujar Tetua Bao. “Kita gali saja sebuah liang yang
dalam, lalu di atasnya kita tutup dengan ranting kayu dan rumput sehingga tidak
terlihat lagi. Setelah itu kita totok nadi perempuan ini dan kita letakkan ia
di pinggir liang itu untuk memancing kedatangan Yue Buqun. Bila ia melihat sang
istri tergeletak di situ, tentu ia akan bergegas datang untuk menolongnya dan …
plung … aduuuh ….” sambil berbicara demikian ia bergaya seperti orang yang
terperosok ke dalam lubang. Maka, tertawalah ketiga tetua lainnya bersama-sama.
“Akal Tetua Bao sungguh hebat,
ditambah lagi kita berempat bersembunyi di dekat liang jebakan itu. Maka,
begitu Yue Buqun terjerumus, serentak kita mengacungkan senjata-masing-masing
untuk menutup rapat mulut lubang tersebut sehingga tidak memberi kesempatan
padanya untuk melompat naik ke atas,” kata Tetua Mo dengan tertawa.
“Benar, namun dalam hal ini
masih ada satu kesulitan,” ujar Tetua Bao.
“Kesulitan?” Tetua Mo menegas.
“Benar juga. Tentu Saudara Bao khawatir pada ilmu pedang Yue Buqun yang sangat
aneh itu. Setelah ia terjerumus ke dalam lubang tetap saja masih sukar bagi
kita untuk membekuknya, bukan begitu?”
“Dugaan Saudara Mo memang
tepat,” ujar Tetua Bao. “Kali ini tugas yang dibebankan kepada kita oleh Ketua
Ren adalah menghadapi tokoh utama Serikat Pedang Lima Gunung yang baru dilebur
itu. Mati atau hidup diri kita nanti sukar diperkirakan. Bila kita sampai gugur
saat menjalankan tugas sungguh merupakan suatu kehormatan yang tak ternilai.
Hanya saja, nama baik agama kita dan wibawa Ketua Ren tentu akan sangat
dirugikan. Pepatah mengatakan, kalau tidak berani mengambil risiko bukanlah
kesatria. Demi meringkus seorang munafik seperti Yue Buqun, terpaksa kita harus
menggunakan cara yang licik. Maka menurut pendapatku, di dalam lubang jebakan
itu rasanya kita masih perlu menambahkan sesuatu.”
“Aha, ucapan Tetua Bao benar-benar
sangat cocok dengan seleraku,” seru Tetua Du. “Aku membawa ‘Bubuk Seratus Bunga
Penghisap Jiwa’ dalam jumlah yang cukup banyak. Kita bisa menebarkan bubuk ini
di antara daun-daun dan rumput-rumput penutup lubang jebakan. Begitu Yue Buqun
terperosok, tentu dia akan menarik napas panjang-panjang untuk berusaha
melompat ke atas. Akan tetapi … hahaha ….” sampai di sini kembali mereka
bergelak tawa bersama-sama.
“Nah, urusan ini jangan
ditunda. Mari kita atur seperlunya,” kata Tetua Bao. “Di mana sebaiknya lubang
jebakan itu kita gali?”
“Dari sini ke barat sana,
kira-kira tiga li jauhnya adalah sebuah jalan setapak yang berbahaya. Di
sebelahnya terdapat jurang yang curam, dan di sisi lain terdapat dinding tebing
yang tinggi. Bila Yue Buqun benar-benar datang kemari, mau tidak mau dia harus
melalui jalan setapak itu.”
“Bagus, mari kita melihat ke
sana,” ajak Tetua Bao sambil mendahului melangkah pergi. Segera orang-orang
yang lain ikut berjalan di belakangnya.
Linghu Chong berpikir, “Mereka
pasti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menggali lubang dalam itu. Ini
kesempatanku untuk memberi tahu Yingying dan mengambil pedang guna menolong Ibu
Guru.”
Setelah menunggu orang-orang
Sekte Iblis itu pergi cukup jauh barulah ia melangkah meninggalkan tempat itu.
Namun, baru berjalan beberapa li, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang
menggali tanah. “Hah, ternyata mereka menggali di sini?” ujarnya dalam hati.
Segera ia bersembunyi di balik pohon dan mencoba mengintip orang-orang itu.
Benar juga, keempat tetua Sekte Iblis tersebut sedang sibuk menggali tanah.
Karena jaraknya cukup dekat, Linghu Chong dapat melihat wajah mereka. Ternyata
ada satu di antaranya yang sudah ia kenali. Orang itu adalah Bao Dachu yang
pernah dilihatnya di Wisma Meizhuang di tepi Danau Barat, di Kota Hangzhou
dulu. Pantas saja yang lain memanggilnya Tetua Bao, ternyata ia adalah Bao
Dachu.
Waktu itu Linghu Chong
mengenal Bao Dachu sebagai utusan Dongfang Bubai yang datang untuk menghukum
Empat Sekawan dari Jiangnan karena kelalaian mereka yang telah menyebabkan Ren
Woxing dapat meloloskan diri dari penjara bawah danau. Bao Dachu inilah tetua
pertama yang tunduk kepada Ren Woxing. Sebelum itu, ia sempat menundukkan Huang
Zhonggong, pemimpin Empat Sekawan dari Jiangnan, sehingga Linghu Chong dapat
mengetahui betapa tinggi ilmu silatnya.
Linghu Chong kembali berpikir,
“Guru telah menjadi ketua Perguruan Lima Gunung, pasti Ketua Ren kini
menganggapnya sebagai musuh yang paling berbahaya. Ketua Ren mengirim para
tetua berilmu tinggi, jelas ia tidak memandang rendah terhadap Guru. Pasti
selain keempat orang ini masih tersembunyi pula bala bantuan lainnya.”
Kini Linghu Chong tidak dapat
mengambil pedang dan memberi tahu Ren Yingying karena penggalian liang itu
telah menutup jalannya. Ia sempat terkejut menyaksikan orang-orang Sekte Iblis
itu menggali tanah tidak menggunakan cangkul atau sekop dan sebagainya, namun
memakai senjata mereka yang berbentuk kapak, tombak, dan sejenisnya. Mula-mula
mereka mencongkel tanah, lalu dengan menggunakan tangan mereka untuk mengorek
tanah yang sudah gembur itu. Cara demikian sudah tentu makan waktu lama. Namun,
Linghu Chong tetap tidak berani meninggalkan sang ibu guru untuk mengambil
senjata dengan cara mengambil jalan memutar menghindari jalan tersebut.
Linghu Chong merasa heran
melihat perubahan tempat galian itu dan berpikir, “Aneh, bukankah tadi mereka
hendak menggali di jalan setapak dekat tebing sana, tapi mengapa sekarang
berpindah ke sini? Ah, aku paham sekarang. Tentu di sana tanahnya keras dan
banyak mengandung bebatuan cadas. Rupanya si marga Ge ini tidak terlalu pandai
dan hanya sembarang bicara saja.”
Tiba-tiba terdengar Tetua Ge
tertawa dan berkata, “Yue Buqun itu sudah tua, tapi istrinya ternyata masih
begini muda dan cantik.”
Tetua Du menanggapi dengan
tertawa pula, “Dia memang cantik, tapi sudah tidak muda lagi. Paling tidak,
usianya sudah sekitar empat puluhan. Kalau memang Saudara Ge tertarik, tunggu
sampai kita menangkap Yue Buqun dan membawanya kepada Ketua Ren. Kemudian, kau
dapat meminta wanita ini sebagai hadiah, bagaimana?”
Tetua Ge menjawab,
“Mengambilnya sebagai hadiah aku rasa tidak perlu. Namun, kalau sekadar untuk
bermain-main kurasa boleh juga.” Sambil berbicara ia tertawa terbahak-bahak.
Mendengar itu, Linghu Chong
semakin gusar. Ia berpikir, “Dasar bajingan tak tahu malu! Berani kalian
merendahkan ibu-guruku seperti ini? Tunggu saja, akan kubunuh kalian satu per
satu.” Karena suara tertawa Tetua Ge yang menjijikkan itu, tanpa terasa Linghu
Chong melongok untuk melihat apa yang dilakukannya. Ternyata pria bermarga Ge
itu sedang mencubit pipi ibu-gurunya satu kali. Ning Zhongze sendiri tidak
mampu bergerak untuk melawan karena titik nadinya sedang tertotok. Terdengar
pula orang-orang Sekte Iblis yang lain ikut bergelak tawa.
“Wah, tampaknya Saudara Ge
sudah tidak sabar lagi. Apakah kau hendak bermain-main dengan perempuan ini
sekarang juga?” kata Tetua Du dengan tertawa.
Linghu Chong yang sudah sangat
murka bermaksud menerjang keluar menolong sang ibu-guru meski pedang tidak ada
di tangannya. Namun, lantas terdengar Tetua Ge menjawab, “Bukan masalah berani
atau tidak berani. Masalahnya aku khawatir menggagalkan tugas yang dibebankan
Ketua Ren kepada kita. Andaikan aku punya seratus kepala juga akan dipenggal
semua oleh Beliau.”
“Bagus sekali,” ujar Bao Dachu
dengan nada dingin. “Sekarang Tetua Ge dan Tetua Du silakan pergi memancing
kedatangan Yue Buqun. Ilmu ringan tubuh kalian sangat bagus. Kira-kira dua jam
lagi segala sesuatu di sini sudah kami bereskan.”
“Baik,” jawab Tetua Ge dan
Tetua Du bersama-sama, kemudian mereka berlari ke arah utara.
Kepergian kedua orang itu
membuat suasana di lembah pegunungan itu kembali sunyi. Yang terdengar kini
hanyalah suara tanah sedang digali saja. Kadang-kadang terdengar pula suara Tetua
Mo memberi petunjuk ini dan itu.
Linghu Chong masih mendekam di
tengah semak-semak rumput dan tidak berani bergerak sedikit pun. Ia merenung,
“Aku sudah pergi terlalu lama, Yingying pasti sangat khawatir. Kalau ia
menyusul kemari dengan mengikuti suara galian, tentu dapat menyelamatkan Ibu
Guru. Bagaimanapun juga orang-orang Sekte Iblis ini pasti akan tunduk kepada
perintah tuan putri mereka. Dengan demikian aku juga tidak perlu bertarung
melawan mereka. Ah, makin lama aku tertahan di sini rasanya justru lebih baik.
Lagipula si marga Ge sudah pergi. Tidak ada lagi yang mengganggu Ibu Guru.”
Akhirnya, orang-orang Sekte
Iblis itu telah selesai menggali lubang jebakan. Mulut lubang tersebut kemudian
ditutupi dengan ranting-ranting kayu dan rerumputan, serta ditaburi pula dengan
bubuk obat bius. Setelah itu, di atasnya ditutup lagi dengan rumput-rumput
pula. Bao Dachu dan rekan-rekannya yang semua berjumlah enam orang lantas
menyusup ke tengah semak-semak di samping lubang jebakan itu untuk menantikan
kedatangan Yue Buqun.
Perlahan-lahan Linghu Chong
memungut sebongkah batu di sebelahnya dan berpikir, “Bagaimanapun juga aku
harus menyelamatkan Guru. Jika nanti Guru datang, aku akan melemparkan batu ini
untuk merusak lubang perangkap itu. Dengan demikian, Guru akan lebih waspada
dan tidak terjebak ke dalamnya.”
Begitulah, baik Linghu Chong
maupun kelompok Bao Dachu sama-sama memasang telinga di tempat persembunyian
masing-masing. Saat itu adalah permulaan musim panas. Selain suara serangga
hutan dan sesekali kicauan burung liar, tidak terdengar lagi suara apa pun
selain itu. Mereka benar-benar memusatkan perhatian kalau-kalau terdengar suara
langkah kaki Yue Buqun sedang mengejar Tetua Ge dan Tetua Du.
Setelah lebih dari satu jam,
tiba-tiba terdengar suara jerit seorang perempuan dari kejauhan. Linghu Chong
terkejut seketika dan berpikir, “Itu suara Yingying. Apakah ia bertemu dengan
Guru ataukah dengan kedua tetua tadi?”
Tidak lama lantas terdengar
suara dua orang berlari mendekati tempat itu. Yang satu berlari di depan dan
yang lain mengejar di belakang. Terdengar suara Ren Yingying kembali berteriak,
“Kakak Chong, gurumu hendak membunuhmu, kau jangan keluar!” Suaranya ini
dikerahkan sekuat tenaga. Rupanya ia tidak tahu di mana Linghu Chong berada dan
ingin sekali memberitahukan tentang hal ini.
Linghu Chong sendiri terkejut
mendengarnya. “Guru di sini hendak membunuhku?” pikirnya.
Ren Yingying kembali
berteriak-teriak, “Kakak Chong, segeralah menyingkir! Gurumu hendak
membunuhmu!” Tak lama kemudian gadis itu muncul dalam keadaan rambut
acak-acakan. Tangannya menghunus pedang, tapi kakinya berlari kencang karena
dikejar Yue Buqun dari belakang.
Tidak lebih dari sepuluh
langkah lagi Ren Yingying pasti akan terjerumus ke dalam lubang perangkap yang
digali orang-orang Sekte Iblis tadi. Baik Linghu Chong maupun kelompok Bao
Dachu sama-sama bingung tidak tahu harus berbuat apa.
Akan tetapi, Yue Buqun lebih
dahulu melompat ke depan. Tangan kirinya mencengkeram punggung Ren Yingying,
sementara tangan kanannya menangkap dan menelikung kedua tangan gadis itu ke
belakang pinggang. Pedangnya tampak jatuh ke tanah pula.
Linghu Chong dan Bao Dachu
sama sekali tidak sempat memberi pertolongan karena kecepatan gerak Yue Buqun
yang luar biasa itu. Padahal, ilmu silat Ren Yingying sangat tinggi, namun
sekarang tidak ada apa-apanya di hadapan Yue Buqun. Dalam sekali serang, gadis
itu sudah dapat diringkus dan dilumpuhkan. Meskipun demikian, tetap saja ia
berteriak-teriak, “Kakak Chong, lekas lari yang jauh! Gurumu hendak
membunuhmu!”
Air mata hangat
berlinang-linang di pelupuk mata Linghu Chong. Ia sangat terharu dan merenung,
“Yingying hanya memikirkan keselamatanku meski bahaya sudah ada di dekatnya.”
Yue Buqun telah menotok
beberapa titik nadi di punggung Ren Yingying sehingga gadis itu jatuh ke tanah
tak bisa bergerak lagi. Pada saat yang sama ia juga melihat istrinya tergeletak
di dekat situ tanpa bergerak.
Yue Buqun sangat terkejut
namun dengan cepat menguasai perasaannya. Dengan tenang ia memeriksa keadaan di
sekitar dan ternyata tiada sesuatu pun yang mencurigakan. Pada dasarnya Yue
Buqun memang sangat cerdik, sehingga tidak berusaha mendekati dan menolong sang
istri, sebaliknya ia berkata dengan suara hambar, “Nona Ren, bajingan Linghu
Chong telah membunuh putri kesayanganku. Tentunya kau pun ikut ambil bagian
atas perbuatan itu, bukan?”
Kembali Linghu Chong terkejut
di tempat persembunyiannya. Ia tidak habis pikir mengapa sang guru menuduhnya
telah membunuh Yue Lingshan.
Maka, terdengar Ren Yingying
menjawab, “Yang membunuh putrimu adalah Lin Pingzhi. Memangnya ada masalah apa
antara kau dengan Linghu Chong? Mengapa kau menuduh Linghu Chong yang membunuh
putrimu?”
Yue Buqun bergelak tawa dan
berkata, “Lin Pingzhi adalah menantuku, memangnya kau tidak tahu? Mereka adalah
pengantin baru. Betapa besar cinta kasih di antara mereka dapat kau bayangkan
sendiri. Mana mungkin seorang suami tega membunuh istrinya?”
Ren Yingying menyambung, “Lin
Pingzhi telah bergabung dengan Perguruan Songshan. Demi mendapatkan kepercayaan
Zuo Lengchan bahwa dirinya benar-benar bermusuhan denganmu, maka ia sengaja
membunuh anak perempuanmu.”
“Hahaha, omong kosong!”
kembali Yue Buqun tertawa. “Kau menyebut Perguruan Songshan? Huh, di dunia ini
Perguruan Songshan sudah tidak ada lagi. Perguruan Songshan telah dilebur ke
dalam Perguruan Lima Gunung. Mana mungkin Lin Pingzhi menggabungkan diri ke
dalam perguruan yang sudah punah? Lagipula ia juga tahu Zuo Lengchan sekarang
ini adalah bawahanku. Tidak mungkin ia meninggalkan ayah mertuanya yang menjadi
ketua Perguruan Lima Gunung, kemudian mengekor kepada seorang buta semacam Zuo
Lengchan yang membela diri sendiri saja susah. Sekalipun orang paling bodoh di
dunia ini juga tidak mungkin berbuat demikian.”
“Persetan jika kau tidak percaya.
Kau bisa mencari Lin Pingzhi dan bertanya sendiri kepadanya,” kata Ren
Yingying.
“Yang kucari saat ini bukan
Lin Pingzhi, tapi Linghu Chong,” seru Yue Buqun dengan nada bengis. “Setiap
kaum persilatan saat ini mengatakan Linghu Chong telah memerkosa putriku.
Karena putriku melawan sekuat tenaga, akhirnya ia dibunuh oleh bajingan itu.
Sekarang kau mengarang cerita untuk menutupi dosa Linghu Chong, jelas kau juga
bukan manusia baik-baik.”
“Huh!” ujar Ren Yingying hanya
mendengus.
Yue Buqun melanjutkan, “Nona
Besar Ren, ayahmu adalah ketua Sekte Matahari dan Bulan yang terhormat,
seharusnya aku tidak perlu menyusahkanmu. Namun, demi untuk memaksa Linghu
Chong muncul kemari, terpaksa aku harus menggunakan sedikit kekerasan atas
dirimu. Aku akan memotong telapak tangan kirimu lebih dulu, kemudian telapak
tangan kanan, kemudian menebas kaki kirimu dan setelah itu kaki kanan. Apabila
Linghu Chong mempunyai perasaan tentu dia akan segera muncul.”
“Memangnya kau berani?” sahut
Ren Yingying dengan suara lantang. “Sekali kau berani mengganggu seujung
rambutku, Ayah pasti akan menyapu bersih seluruh keluargamu tanpa kecuali.”
Yue Buqun menyahut dengan
tertawa, “Aku tidak berani katamu?” Usai berkata ia lantas melolos pedang yang
tergantung di pinggangnya.
Linghu Chong tidak tahan lagi.
Segera ia menerobos keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru, “Guru,
Linghu Chong ada di sini!”
Ren Yingying menjerit terkejut
dan segera berseru, “Lekas lari, lekas lari! Dia tak mungkin berani mencelakai
aku!”
Namun, Linghu Chong menggeleng
sambil tetap melangkah maju, “Guru ….” katanya terputus.
“Bangsat cilik, kau masih
punya muka untuk memanggil ‘guru’ padaku?” bentak Yue Buqun bengis.
Dengan menahan air mata
tiba-tiba Linghu Chong berlutut dan berkata, “Langit menjadi saksi, selamanya
Linghu Chong sangat menghormati Nona Yue, tidak mungkin berani berlaku kasar
sedikit pun. Linghu Chong merasa berhutang budi kepada Guru dan Ibu Guru yang
telah membesarkan diriku ini. Jika hendak membunuhku, silakan lakukan saja.”
Ren Yingying menjadi khawatir
dan berseru, “Kakak Chong, orang ini setengah laki-laki setengah perempuan. Dia
sudah gila, kenapa kau tidak lekas pergi saja!”
Raut muka Yue Buqun berubah
merah mendengar perkataan gadis itu. Serentak ia pun berpaling dan berkata,
“Apa maksud ucapanmu tadi?”
“Demi untuk mendalami Jurus
Pedang Penakluk Iblis, kau telah … telah merusak dirimu sendiri ... kau telah
menjadi … menjadi sebangsa siluman,” sahut Ren Yingying. “Kakak Chong, apakah
kau masih ingat dengan Dongfang Bubai? Dia dan gurumu ini sudah gila semua.
Mereka bukan lagi manusia normal.”
Dalam pikiran Ren Yingying
adalah bagaimana agar Linghu Chong lekas-lekas lari menyelamatkan diri, meski
ia sadar bahwa ucapannya itu pasti akan membangkitkan amarah Yue Buqun dan
berakibat buruk baginya. Namun semua itu sudah tidak dipedulikannya lagi.
Dengan nada dingin Yue Buqun
bertanya, “Kata-katamu yang aneh itu kau dengar dari mana?”
“Lin Pingzhi sendiri yang
bicara demikian,” jawab Ren Yingying. “Kau telah mencuri Kitab Pedang Penakluk
Iblis milik Keluarga Lin, memangnya kau kira dia tidak tahu? Saat kau melempar
jubah biksu yang bertuliskan salinan kitab pusaka itu, Lin Pingzhi sedang
bersembunyi di luar jendela kamarmu sehingga dapat menangkapnya. Maka itu, dia
… dia juga berhasil mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis. Jika tidak, mana
mungkin dia bisa membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng? Bagaimana dia berlatih
Jurus Pedang Penakluk Iblis, dengan sendirinya dia pun tahu bagaimana kau
berlatih sebelumnya. Nah, Kakak Chong, perhatikan baik-baik suara Yue Buqun
yang mirip dengan perempuan ini. Dia … dia sama saja dengan Dongfang Bubai. Dia
sudah … sudah bukan laki-laki normal lagi.”
Waktu itu Ren Yingying
mendengar dengan jelas percakapan antara Lin Pingzhi dan Yue Lingshan di dalam
kereta, sementara Linghu Chong tidak ikut mendengarnya. Ia sadar betapa Linghu
Chong sangat menghormati gurunya sehingga sengaja memendam rahasia itu
rapat-rapat. Namun, kini keadaannya berbeda. Ia terpaksa membocorkan rahasia
tersebut demi untuk menyadarkan Linghu Chong bahwa guru yang dihadapinya
sekarang ini bukan lagi seorang tokoh persilatan terhormat, melainkan seorang
aneh yang sudah tidak normal, seorang gila yang tidak mungkin bisa diajak
bicara tentang budi kebaikan segala.
Benar juga, sorot mata Yue
Buqun bertambah beringas. “Nona Ren, sebenarnya aku bermaksud mengampuni
jiwamu. Namun, karena ucapanmu yang tidak jelas itu, terpaksa aku harus
membereskan nyawamu. Maka, janganlah kau menyalahkan aku bila sebentar lagi kau
harus mampus,” ujarnya.
“Lekas pergi, Kakak Chong,
lekas pergi!” kembali Ren Yingying berteriak-teriak tanpa memedulikan
keselamatan diri sendiri.
Sementara itu Yue Buqun sudah
mulai mengangkat pedangnya. Linghu Chong hafal benar bagaimana kehebatan ilmu
silat sang guru. Sekali pedangnya bergerak, tentu jiwa Ren Yingying akan
langsung melayang. Maka dengan cepat ia berteriak, “Kalau mau bunuh, bunuh saja
aku, jangan mencelakai dia!”
Tiba-tiba Yue Buqun menoleh ke
arah Linghu Chong dan berkata, “Hm, kau hanya mempelajari beberapa jurus cakar
kucing saja lantas mengira dapat malang melintang di dunia persilatan, hah?
Baiklah, angkat pedangmu, akan kuhajar kau supaya mati dengan rela.”
“Sama sekali … sama sekali aku
tidak berani bertarung melawan Gu… melawanmu!” jawab Linghu Chong.
“Dalam keadaan seperti ini kau
masih juga berlagak bodoh?” bentak Yue Buqun gusar. “Dahulu, ketika di atas
kapal di Sungai Kuning, juga ketika berada di Lembah Lima Tiran, kau sengaja
berkomplot dengan kawanan bangsat untuk membuatku malu. Waktu itu sudah timbul
niatku hendak membunuhmu, tapi kutahan sampai sekarang. Boleh dikata kau sangat
beruntung. Waktu di Fuzhou pun kau sudah jatuh ke tanganku. Kalau bukan karena
istriku yang berada di sana tentu sudah lama kuhabisi riwayatmu. Gara-gara salah
perhitungan waktu itu akibatnya malah mengorbankan putriku yang harus mati di
tangan bangsat semacam dirimu ini.”
“Aku tidak … aku tidak ….”
sahut Linghu Chong tergagap-gagap.
“Siapkan pedangmu!” bentak Yue
Buqun murka. “Jika kau mampu mengalahkan ilmu pedangku, maka kau dapat langsung
membunuhku pula. Kalau tidak, maka aku pun takkan mengampuni jiwamu. Siluman
betina Sekte Iblis ini sembarangan mengoceh, biar kubereskan dia lebih dahulu.”
Usai berkata ia langsung menebaskan pedangnya ke arah leher Ren Yingying.
Tanpa pikir lagi Linghu Chong
langsung melemparkan sebongkah batu yang dipegangnya tadi ke arah Yue Buqun.
Yue Buqun terpaksa berkelit menghindar. Secepat kilat Linghu Chong menjatuhkan
diri dan menggelinding ke samping untuk menyambar pedang Ren Yingying yang
terjatuh di tanah tadi. Secepat kilat ia lantas menusuk pula ke arah paha kiri
Yue Buqun.
Apabila serangan Yue Buqun
tadi diarahkan kepada Linghu Chong, maka pemuda itu pasti tidak akan menghindar
dan rela mati di tangan Sang Guru. Namun, melihat Yue Buqun berniat membunuh
Ren Yingying karena telah membongkar rahasianya, maka Linghu Chong pun tidak
bisa tinggal diam. Dilihatnya bagian bawah ketiak kanan Yue Buqun adalah tempat
yang terbuka, maka ia lantas menyerang titik itu dengan lemparan batu untuk
memaksa lawan menarik kembali serangannya.
Benar juga, Yue Buqun segera
menarik pedangnya untuk menangkis. Namun, berturut-turut Linghu Chong kembali
menyerang tiga kali, terpaksa Yue Buqun mundur dua-tiga langkah dengan perasaan
terkejut bercampur heran. Tiga kali pedang mereka beradu membuat tangan Yue
Buqun terasa kesemutan. Memang dalam pertarungan di Biara Shaolin beberapa
bulan yang lalu Linghu Chong tidak mengerahkan segenap kemampuannya, sementara
kali ini ia berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa Ren Yingying.
Setelah mendesak mundur lawan,
Linghu Chong segera membalik sebelah tangannya hendak membuka totokan pada
tubuh Ren Yingying.
Namun, Ren Yingying berseru,
“Jangan khawatirkan aku, awas!”
Tampak sinar putih berkelebat,
rupanya pedang Yue Buqun sudah menusuk kembali. Untungnya Linghu Chong pernah
melihat ilmu silat Dongfang Bubai, Yue Buqun, dan Lin Pingzhi sebelumnya. Ia
pun sadar bahwa gerakan ketiga orang itu sangat cepat seperti bayangan setan.
Jika ia menunggu sampai titik kelemahan lawan terlihat, maka bisa-bisa dirinya
akan terluka lebih dahulu. Oleh sebab itu, tanpa pikir panjang, Linghu Chong
pun mengacungkan pedangnya lantas menusuk perut Yue Buqun secepat kilat.
Yue Buqun kelabakan dan
terpaksa melompat mundur sambil memaki, “Sungguh keji kau, bangsat cilik!”
Padahal, sebagai orang yang
mendidik dan membesarkan Linghu Chong sejak kecil seharusnya Yue Buqun hafal
watak pemuda itu. Apabila ia tidak peduli dengan serangan balasan Linghu Chong
tadi dan tetap menyerang, tentu jiwa lawan sudah melayang di tangannya. Linghu
Chong sendiri meskipun menggunakan siasat hancur bersama musuh, namun dalam
hati ia tidak pernah melupakan budi baik Sang Guru. Sebenarnya ia tidak
sungguh-sungguh menusuk perut gurunya itu. Jadi, dalam hal ini Yue Buqun telah
salah perhitungan. Ia terlanjur mengukur orang lain seperti dirinya sendiri,
sehingga kehilangan satu kesempatan bagus untuk membinasakan lawan.
Setelah beberapa jurus
berlalu, permainan pedang Yue Buqun bertambah gencar namun tetap tidak bisa
mengalahkan lawan. Linghu Chong sendiri menghadapinya dengan tangkas dan penuh
semangat. Semula ia rela mati di tangan sang guru. Namun, begitu teringat bahwa
Ren Yingying telah membuat Yue Buqun sakit hati, maka ia yakin gurunya itu pasti
akan menyiksa si nona sampai mati menderita demi melampiaskan amarah.
Membayangkan hal itu membuat Linghu Chong pantang menyerah dan bertempur dengan
sekuat tenaga.
Puluhan jurus telah terlewati.
Serangan Yue Buqun tampak bertambah rumit. Linghu Chong menghadapi itu semua
dengan memusatkan perhatiannya. Lambat laun pikirannya menjadi terbuka, dan
bertambah paham pula. Yang dipandangnya kali ini hanyalah titik ujung pedang
sang guru saja, sementara yang lainnya sudah tidak ia pedulikan lagi.
Rupanya intisari Sembilan
Jurus Pedang Dugu yang ia mainkan adalah “semakin kuat pihak musuh semakin kuat
pula diri sendiri.” Dahulu sewaktu bertanding melawan Ren Woxing dalam penjara
di bawah Danau Barat, tak peduli bagaimanapun Ren Woxing menyerang dengan
bermacam-macam gerak perubahan selalu saja Linghu Chong dapat melayaninya
dengan jurus-jurus baru yang lahir seketika. Padahal, ilmu silat Ren Woxing
boleh dikata jarang ada bandingannya, namun ia harus mengakui kehebatan dan
kecerdasan Linghu Chong.
Kini Linghu Chong sudah
berhasil pula mendalami Jurus Penyedot Bintang, membuat kekuatan tenaga
dalamnya sukar diukur lagi. Sebaliknya, Jurus Pedang Penakluk Iblis meski aneh,
namun baru beberapa bulan saja dipelajari oleh Yue Buqun. Gerakannya belum
secepat Dongfang Bubai. Tentu keadaannya berbeda dengan Linghu Chong yang telah
setahun lebih menguasai Sembilan Jurus Pedang Dugu dan memperoleh banyak
pengalaman bersama ilmu sakti tersebut. Oleh karena itu, setelah ratusan jurus
berlalu, cara Linghu Chong melayani lawannya sudah tidak perlu menggunakan
pikiran lagi. Betapapun aneh perubahan gerak serangan Jurus Pedang Penakluk
Iblis selalu dapat disambutnya dengan jurus serangan yang sama anehnya pula.
Meskipun Jurus Pedang Penakluk
Iblis memiliki tujuh puluh dua jurus utama, namun setiap jurus memiliki gerak
perubahan yang bermacam-macam. Gerakan-gerakan perubahan dalam jurus pedang
tersebut sangat rumit dan menakjubkan. Jika orang lain yang menghadapinya pasti
akan mati seketika, atau mungkin mati pusing karena kebingungan. Sebaliknya,
meskipun Sembilan Jurus Pedang Dugu hanya memiliki sembilan jurus utama saja,
namun masing-masing tidak memiliki gerak perubahan yang pasti dan terikat. Ilmu
pedang ini secara alami bergerak mengikuti kehebatan lawan. Jika lawan memainkan
satu jurus, maka ia pun menghadapinya dengan satu jurus pula. Dan apabila lawan
memainkan seribu jurus, maka ia pun mampu melayaninya dengan seribu jurus pula.
Dalam pandangan Yue Buqun kali
ini gerak pedang Linghu Chong dirasakannya jauh lebih rumit daripada gerak
serangannya. Rasanya sekalipun bertempur tiga hari tiga malam juga tetap akan
lahir jurus-jurus baru dari tangan Linghu Chong untuk melayaninya.
Karena berpikir demikian
seketika timbul rasa gentar di dalam hati Yue Buqun. Ia pun berpikir, “Siluman
betina Sekte Iblis ini telah membongkar rahasiaku. Bila hari ini aku tidak
dapat membereskan mereka, kelak cerita tentang diriku tentu akan tersiar luas
di kalangan persilatan. Lantas, apakah aku masih punya muka untuk menjabat
sebagai ketua Perguruan Lima Gunung lagi? Sepertinya segala rencana yang
kurancang sekian lama akan hancur seluruhnya. Si keparat Lin Pingzhi telah
membocorkan rahasiaku kepada siluman betina ini. Entah apa yang harus kulakukan
untuk mencegah aib ini agar tidak tersebar luas?”
Karena merasa gelisah,
serangan-serangannya pun bertambah ganas. Akan tetapi, pikiran yang kacau
membuat kecepatan pedangnya agak menurun pula. Padahal, keistimewaan Jurus
Pedang Penakluk Iblis adalah mengandalkan kecepatan untuk mengalahkan lawan.
Maka, jika ratusan jurus telah berlalu dan tidak bisa mengalahkan lawan, dengan
sendirinya semangat dari jurus pedang sehebat apa pun pasti akan berkurang.
Sebaliknya, pikiran Linghu
Chong lebih terbuka dan ia mampu melihat celah kelemahan pada jurus lawan. Keistimewaan
utama Sembilan Jurus Pedang Dugu adalah kehebatannya dalam mengincar
titik-titik kelemahan ilmu silat lawan. Bagaimanapun serangannya, apa pun
senjatanya, setiap jurus pasti memiliki celah kelemahan dan inilah yang selalu
diincar dengan baik oleh Sembilan Jurus Pedang Dugu. Sekali celah kelemahan itu
berhasil dimasuki, maka kemenangan sudah pasti dapat berada di tangan.
Dalam pertempuran di Tebing
Kayu Hitam waktu itu, Linghu Chong bertarung melawan Dongfang Bubai yang hanya
bersenjatakan sebatang jarum sulam. Meskipun pada gerakan Dongfang Bubai
terlihat adanya celah kelemahan, namun karena kecepatannya yang luar biasa
membuat Linghu Chong tidak mampu melancarkan serangan dengan tepat. Setiap kali
ia menusukkan pedang, lawannya itu telah berganti jurus yang baru, sehingga
kelemahan yang tadi langsung tertutup dengan sendirinya.
Selanjutnya, Linghu Chong juga
menyaksikan bagaimana Yue Buqun bertarung melawan Zuo Lengchan di Puncak
Songshan, serta bagaimana Lin Pingzhi membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng.
Akhir-akhir ini ia berusaha keras memikirkan bagaimana cara untuk mematahkan
Jurus Pedang Penakluk Iblis tersebut, namun selalu saja ada satu kesimpulan
membayanginya, yaitu jurus pedang ini sangat-sangat cepat. Setiap kali satu
celah kelemahan dalam suatu jurus dapat diincar selalu saja terlewatkan dan
jurus yang lain pun menyusul datang.
Kini pertarungan Linghu Chong
dan Yue Buqun itu telah berlangsung mendekati dua ratus jurus. Linghu Chong
sempat melihat celah terbuka pada ketiak kanan Yue Buqun ketika lawannya itu
mengangkat pedang. Seketika Linghu Chong teringat bahwa jurus ini sudah
digunakan oleh Yue Buqun sebelumnya. Setelah beberapa gerakan terlewati,
lagi-lagi Yue Buqun memperlihatkan titik kelemahan pada pinggang kirinya. Jurus
ini pun sudah digunakan Yue Buqun sebelumnya. Rupanya rangkaian Jurus Pedang
Penakluk Iblis telah habis dan terpaksa harus diulangi lagi dari awal.
Tiba-tiba seberkas pikiran
muncul dalam benak Linghu Chong, “Jurus Pedang Penakluk Iblis sangat cepat luar
biasa. Celah kelemahannya yang kutemukan bukanlah celah kelemahan yang
sesungguhnya, karena gerakannya begitu cepat, sehingga langsung tertutup oleh
jurus-jurus selanjutnya yang susul-menyusul. Tapi, pada akhirnya aku berhasil
menemukan celah kelemahan yang sebenarnya, yaitu ketika jurus ini diulangi dari
awal.”
Dalam dunia persilatan, ilmu
pedang aliran mana pun, meski bagaimanapun hebatnya, serta betapa pun banyak
jurus-jurusnya, tetap saja pasti akan berakhir. Apabila musuh belum bisa
dirobohkan mau tidak mau rangkaian jurus tersebut harus diulangi kembali dari
awal. Namun demikian, seorang jago silat papan atas pasti memiliki banyak jurus
cadangan sehingga tidak mudah untuk dikalahkan lawan. Akan tetapi, dalam hal
ini Yue Buqun sudah kehabisan akal. Ia sadar tidak bisa menggunakan jurus
pedang Perguruan Huashan ataupun empat perguruan yang lain karena semuanya
sudah dikenal dengan baik oleh Linghu Chong. Satu-satunya yang ia andalkan kini
hanyalah Jurus Pedang Penakluk Iblis dan itu pun harus diulangi lagi dari awal.
Melihat datangnya kesempatan untuk meraih kemenangan, tanpa terasa Linghu Chong
tampak tersenyum senang.
Melihat ujung bibir lawan
sekilas tertarik ke atas membuat Yue Buqun menjadi penasaran. “Mengapa bangsat
cilik ini tersenyum? Apakah dia sudah menemukan jalan untuk mengalahkan
diriku?” pikirnya kemudian.
Maka, ia lantas mengerahkan
segenap tenaga dalam dan kemudian mendesak maju serta mundur sekaligus. Secepat
kilat ia sudah mengelilingi tubuh Linghu Chong dengan rapat. Serangannya pun
bertambah gencar dan membadai. Betapa cepat Yue Buqun berputar membuat Ren
Yingying yang tergeletak di tanah tidak dapat melihat dengan jelas ke mana
serangannya itu ditujukan. Lambat laun ia merasa pusing dan mual pula seperti
orang yang sedang mabuk laut.
Setelah lebih dari tiga puluh
jurus berlalu, tampak jari tangan kiri Yue Buqun menunjuk ke depan. Pedangnya
di tangan kanan pun ditarik. Linghu Chong paham bahwa ini adalah awal dari
rangkaian Jurus Pedang Penakluk Iblis yang akan diulangi lagi untuk yang ketiga
kalinya. Setelah bertarung sekian lama, diam-diam Linghu Chong merasa lelah
karena ia baru sembuh dari sakit akibat luka parah tempo hari. Namun, ia sadar
bahwa keadaan begitu gawat. Di bawah serangan Yue Buqun yang gencar dan cepat
itu, sedikit saja lengah pasti jiwanya akan melayang, bahkan Ren Yingying akan
ikut menjadi korban pula. Oleh sebab itulah ketika melihat serangan lawan
hendak diulangi, segera ia mendahului menusuk ke bawah ketiak kanan Yue Buqun.
Tempat yang diincarnya tepat merupakan titik kelemahan jurus serangan Yue Buqun
itu.
Rupanya gerakan demikian
inilah yang ditemukan Linghu Chong untuk mengalahkan Jurus Pedang Penakluk
Iblis, yaitu menyerang titik kelemahan musuh sebelum melancarkan serangannya.
Maka, sebelum Yue Buqun sempat mengganti jurus yang lain, tahu-tahu ujung
pedang lawan sudah menyambar tiba. Seketika Yue Buqun menjerit terkejut,
suaranya penuh rasa tidak percaya, gusar dan putus asa pula.
Saat itu ujung pedang Linghu
Chong sudah berada di bawah ketiak lawan. Sedikit saja didorong ke depan, tentu
tubuh Yue Buqun akan tertembus. Namun begitu mendengar jeritan tajam Yue Buqun
itu, seketika ia pun sadar, “Ah, kenapa aku sampai lupa diri? Dia ini guruku,
mana boleh aku mencelakainya?”
Segera ia pun menahan
pedangnya dan berkata, “Kalah atau menang sudah jelas. Bagaimana kalau kita
sudahi saja pertandingan ini. Yang paling penting adalah men… nolong Ibu Guru.”
“Baiklah! Aku mengaku kalah,”
jawab Yue Buqun dengan muka pucat seperti mayat.