Pandan Wangi masih belum
menyahut. Tetapi ia mendengar seorang yang lain berkata, “Lihat, ia membawa
sepasang pedang di lambungnya.”
Orang yang berdiri di paling
depan, yang berwajah mengerikan dengan kumis dan jambang yang tumbuh bagaikan
rumput liar di musim hujan itu tertawa. “Ya, ya. Ia membawa sepasang pedang di
lambungnya seperti seekor ayam betina yang bertaji di kakinya.”
Dada Pandan Wangi menjadi
semakin berdebar-debar. Sikap orang-orang yang tidak dikenalnya itu terasa
semakin memuakkan. Meskipun demikian dengan sekuat-kuat hati, ditahankannya
gelora di dalam dadanya, supaya ia tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan,
yang justru akan menutup setiap kemungkinan untuk bertemu dengan kakaknya.
Lebih dari itu, ia tidak mau menyalakan setitik api dalam genangan minyak
seperti yang terjadi saat itu di Menoreh. Ia sejauh mungkin akan menghindar,
supaya ia tidak menjadi sebab apabila Tanah ini harus menjadi hangus terbakar
oleh api pertempuran di antara keluarga sendiri.
Tetapi sikap dan suara tertawa
orang yang berdiri paling depan itu terlampau menyakitkan hati. Meskipun
demikian Pandan Wangi masih juga berkata perlahan-lahan, “Paman, apakah aku
boleh lewat?”
“He,”orang yang berkumis dan
berjambang itu mengerutkan keningnya, “tentu. Tentu boleh. Tetapi siapa namamu
he? Pandan Wangi? Nama itu terlampau manis. Aku tidak menyangka bahwa di atas
bukit yang berbatu padas ini ada wajah semanis wajahmu.”
Pandan Wangi menahan hatinya
sehingga keringatnya telah membasahi seluruh pakaiannya. Hampir saja ia
menyebut dirinya sebagai puteri Kepala Tanah Perdikan. Tanah ini. Tetapi maksud
itu diurungkannya. Seandainya orang-orang ini benar-benar ingin membuat Tanah
ini menjadi kisruh, maka dengan menyebutkan dirinya ia tidak akan mendapatkan
keuntungan apa-apa. Bahkan mungkin ia akan dijadikan sebab kekisruhan yang
menyeluruh. Karena itu maka dikatupkannya saja mulutnya rapat-rapat.
“He, Pandan Wangi, siapakah
yang sedang kau cari? Apakah kau mencari aku atau salah seorang dari kami?”
berkata orang yang berdiri paling depan itu disambut oleh suara tertawa dari
beberapa orang di belakangnya.
Pandan Wangi tidak menjawab.
Semakin lama ia menjadi semakin segan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
orang-orang itu.
“Kau mencari siapa, he?”
Pandan Wangi masih tetap diam.
“Turunlah,” berkata orang itu,
“tidak baik berbicara dengan orang tua-tua di atas punggung kuda.”
Pandan Wangi menjadi
ragu-ragu. Orang itu benar juga. Dan apakah sikap orang-orang itu, yang
dirasakannya terlampau menyakitkan hati karena sikapnya yang kurang sopan?
Apakah sebaiknya ia meloncat turun dan minta maaf supaya segala persoalan
segera selesai dan ia diperbolehkan lewat tanpa terjadi hal-hal yang tidak
menyenangkan? Tetapi Pandan Wangi masih juga ragu-ragu.
“Turunlah,” orang yang berdiri
di paling depan itu melangkah maju semakin dekat sehingga bulu-bulu tengkuk
Pandan Wangi meremang. Sedang orang itu berkata lebih lanjut, “Aku hanya mau
berbicara, menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, apabila kau berlaku agak sopan
sedikit. Kalau kau berbicara dengan orang-orang yang lebih tua, jangan dari
atas punggung kuda. Apakah orang tuamu tidak pernah memberitahukan kepadamu?”
Nada suara orang itu terasa
begitu bersungguh-sungguh sehingga Pandan Wangi menjadi semakin ragu-ragu.
“Mungkin ia tersinggung oleh
sikapku,” katanya di dalam hati, “sehingga ia tampak menjadi terlampau kasar.”
“Turunlah, Ngger.” berkata
orang itu pula sambil bersungut-sungut.
Dada Pandan Wangi menjadi
bergetar. Sekali lagi dipandanginya wajah orang itu. Keningnya berkerut-merut
dan alisnya hampir bertemu di atas hidungnya.
“Ia agaknya benar-benar
tersinggung,” berkata Pandan Wangi pula di dalam hatinya yang menjadi kian
berdebar-debar. Namun kemudian diputuskannya untuk memenuhi permintaan orang
itu. Turun dari kuda.
Dan Pandan Wangi pun kemudian
perlahan-lahan turun dari kudanya. Sambil mengangguk ia berkata, “Maaf, Paman,
apabila aku Paman anggap kurang sopan. Aku agak terlampau tergesa-gesa,
sehingga aku telah melupakan suba-sita. Sekarang apakah aku boleh lewat?”
Wajah orang itu menjadi
tegang. Tiba-tiba, tanpa disangka-sangka oleh Pandan Wangi, orang itu
membungkukkan badannya dalam-dalam. Terlampau dalam. Tetapi ternyata tangannya
meraih sesuatu di atas tanah. Dan tanpa diduga-duga pula orang itu telah
melempar kuda Pandan Wangi dengan sebutir batu sehingga kuda itu terkejut,
meringkik dan melonjak. Karena Pandan Wangi sama sekali tidak menduganya maka
kendalinya pun terlepas dari tangannya.
Lemparan yang kedua telah
mendorong kuda itu meloncat berlari kencang sekali. Orang-orang yang berdiri di
tengah-tengah jalan itu dengan lincahnya berloncatan menepi, menghindarkan diri
dari injakan kaki-kaki kuda Pandan Wangi itu.
Sejenak Pandan Wangi berdiri
terpaku seperti sebatang tonggak mati. Tidak ada yang segera dikerjakannya
selain berdiri tegak di tempatnya. Ia tersadar ketika kemudian didengarnya
suara tertawa meledak hampir di telinganya. Suara orang yang telah melempar
kudanya sehingga Pandan Wangi terkejut bukan buatan. Selangkah ia mundur.
Ditatapnya wajah orang yang sedang tertawa itu tajam-tajam.
Pandan Wangi itu pun
menggeretakkan giginya. Kini ia merasa tertipu oleh sikap orang itu. Apalagi
kemudian orang-orang yang lain pun tertawa pula berkepanjangan.
“Kau berhasil, Kakang,”
terdengar salah seorang berteriak. “Kau berhasil memetik bunga dari atas bukit
karang ini, meskipun agaknya bunga itu berduri.”
Kata-kata itu terasa menusuk
perasaan Pandan Wangi terlampau dalam. Pedih sekali. Hampir saja ia menjerit
keras-keras. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa kini ia membawa sepasang
pedang di lambungnya. Ia kini bukan seorang gadis cengeng yang takut melihat
tikus berkejar-kejaran.
Selangkah Pandan Wangi surut.
“Nah, begitulah, Nak,” berkata
orang yang berkumis dan berjambang itu, “begitulah berbicara dengan orang
tua-tua. Kau harus hormat dan jangan bersikap melawan. Bukankah kau mendengar,
bahwa seorang kawanku menyebutmu sebagai bunga bukit karang meskipun berduri?
Tetapi tidak ada gunanya melawan kami. Kami adalah orang-orang yang paling liar
di atas bumi ini. Kami berbuat apa saja yang ingin kami lakukan. Juga atasmu.
Kau ternyata terlampau cantik bagi kami.”
Dada Pandan Wangi berdesir
tajam sekali mendengar kata-kata itu. Dengan tegang Pandan Wangi berdiri tegak
di atas kedua kakinya yang merenggang. Orang-orang itu kini benar-benar nampak
terlampau liar seperti yang dikatakannya sendiri.
Ternyata bahwa Pandan Wangi
sama sekali belum mempunyai pengalaman yang cukup untuk menghadapi orang-orang
seperti itu. Dengan mudahnya ia dapat ditipunya sehingga ia kehilangan kudanya.
Apalagi kini ia menghadapi sikap yang paling menyakitkan hati dari laki-laki
yang kasar dan liar itu.
“Kenapa kau diam saja Pandan
Wangi?” terdengar suara orang yang berkumis dan berjambang itu.
Pandan Wangi sama sekali tidak
menjawab, yang terdengar adalah gemeretak giginya beradu.
“Kau marah, he?”
Tidak ada jawaban.
“Jangan kau sesali lagi kudamu
yang telah lari itu. Aku akan mencari gantinya yang jauh lebih baik
daripadanya. Tidak hanya seekor, tetapi berapa yang kau minta. Setidak-tidaknya
kami masing-masing yang berada di sini dapat memberimu seekor seorang.” Orang
itu kemudian berpaling kepada kawan-kawannya sambil bertanya, “Begitu, bukan?”
Terdengar gelak tertawa
meledak di antara mereka. Salah seorang dari mereka menyahut, “Aku akan
memberinya dua ekor.” Dan yang lain lagi mengatasi suaranya, “Aku empat ekor.”
Sedang yang berada di sisi lain, yang kecil kurus berwajah panjang, “Aku,
berapa saja yang dimintanya.”
Orang yang berdiri di paling
depan mengerutkan keningnya tetapi kemudian ia pun tertawa pula. Katanya, “Nah
kau dengar. Semua bersedia memberikan berapa saja yang kau minta. Tetapi sudah
tentu bahwa kau pun harus memberikan apa yang kami minta.” Orang itu berpaling
dan berkata lagi kepada kawan-kawannya, “Bukankah begitu?”
“Ya. ya. Tentu, tentu,”
meledak pulalah jawaban mereka, di antara gelak tertawa yang riuh.
“Sikap yang memuakkan yang
pernah aku lihat,” gumam Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi mulutnya masih
terkatup rapat-rapat dan giginya masih bergemeretakkan.
“Nah, apakah katamu?” bertanya
orang itu pula. “Kini letakkan saja senjatamu. Tidak pantas seorang perempuan
membawa pedang. Apalagi sepasang. Aku kira kau akan lebih cantik apabila kau
memakai pakaian yang lumrah bagi seorang perempuan.”
Pandan Wangi sama sekali tidak
menyahut
“Jangan diam saja,” berkata
orang itu pula, “jawablah barang sepatah kata. Apa maumu sebenarnya. Sebab
bagiku, bagi kami, biasanya tidak pernah memperhitungkan kemauan orang lain.
Aku kira juga kemauanmu tidak akan kami perhitungkan meskipun kami ingin
mendengarnya. Yang kami dengar dan kami perhatikan adalah kemauan kami sendiri.
Dan kemauan kami atasmu sudah jelas. Aku bukan orang Menoreh. Aku datang ke
tempat ini karena aku diperlukan. Maka Menoreh harus memberikan sambutan yang
sebaik-baiknya bagi kami. Penghuninya dan terutama perempuan-perempuannya.”
Pandan Wangi masih tetap
mematung.
“Hem,” laki-laki yang
memuakkan itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya pula, “Ingat, jangan
membuat kami kecewa supaya kami dapat berbuat sebaik-baiknya atas Tanah ini.
Kau harus membantu kami seperti kami akan membantu kalian. Kami memerlukan
perempuan-perempuan seperti kau. Kami akan lebih senang apabila kau memanggil
kawan-kawanmu di saat yang lain, supaya kami tidak sayang mengorbankan jiwa
kami untuk kepentingan kalian.”
Pandan Wangi benar-benar sudah
tidak tahan lagi. Sebagai seorang gadis hatinya menjadi terlampau ngeri. Ia
dapat membayangkan apa yang akan terjadi atasnya apabila ia jatuh ketangan
orang-orang ini. Tetapi sebagai seorang gadis yang mengenakan sepasang pedang
di lambungnya, ia dapat berbuat sesuatu. Ia dapat bertahan, meskipun seandainya
ia tidak dapat melawan semua orang itu bersama-sama, maka ia akan terbunuh.
Tetapi terbunuh ternyata akan lebih baik baginya daripada jatuh ke tangan
mereka. Karena itu, maka wajah Pandan Wangi menjadi semakin merah seperti
darah. Kini kedua tangannya telah bersilang memegang hulu sepasang pedangnya.
“He,” orang yang berdiri di
paling depan berseru, “apakah kau akan melawan?”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi sorot matanya memancarkan kemarahan yang meluap-luap di dadanya.
Orang yang berjambang itu
tertawa. Katanya, “Jangan nakal. Jangan bermain-main dengan senjata. Lihat,
kami pun bersenjata. Pedangmu terlampau kecil untuk melawan golok-golok kami
yang jauh lebih besar ini. Mungkin kau pernah melihat seseorang bermain pedang
dan kau ingin melakukannya. Tetapi jangan bermain-main dengan kami. Apabila
sikapmu menimbulkan kemarahan kami, maka kami akan dapat berbuat jauh lebih liar
daripada yang pernah kau bayangkan.”
Tetapi Pandan Wangi tidak
bergerak dan tidak menjawab. Bahkan darahnya kini benar-benar telah mendidih.
“Lepaskanlah ikat pinggangmu
yang kau gantungi dengan sepasang pedang itu,” berkata orang itu. “Cepat. Kami sudah
tidak sabar lagi. Buanglah senjata-senjata yang tidak akan berarti sama sekali
bagimu, bagi keselamatanmu dan bagi apa pun itu.”
Kini Pandan Wangi telah sampai
pada batas kemampuannya untuk menahan dirinya. Meskipun sebagai seorang gadis,
terasa juga bulu-bulu tengkuknya yang meremang, tetapi karena ia bersenjata di
lambung, maka terpercik tekad di dadanya untuk melawan orang-orang itu. Ia
belum tahu betapa jauh kemampuan orang-orang itu bersama-sama. Tetapi ia harus
melawan, membela dirinya dari kemungkinan yang lebih jelek daripada mati. Hal
ini pasti akan menjadi peringatan bagi orang-orang Menoreh sendiri, bahwa
mereka harus berhati-hati terhadap orang-orang yang tidak dikenal ini. Dan
bahwa mereka dapat membuat bencana yang lebih dahsyat lagi di atas Tanah
Perdikan ini.
Maka ketika orang yang
berkumis dan berjambang itu kemudian maju lagi selangkah sambil tertawa seperti
suara tertawa hantu di pekuburan melihat mayat, maka Pandan Wangi selangkah
lagi surut. Namun sekejap kemudian kedua-belah tangannya telah menggenggam
sepasang pedangnya.
Langkah laki-laki berjambang
itu terhenti. Tampak keningnya berkerut. Namun sejenak kemudian ia tertawa
lagi. Lebih keras. Dibarengi oleh suara tertawa orang lain di belakangnya.
“Ah, jangan nakal, Nak,”
berkata orang yang berkumis dan berjambang itu. “Aku sudah berpengalaman
menghadapi lebih dari seratus orang gadis. Ada yang penurut, ada yang
malu-malu, dan ada juga yang keras kepala seperti kau ini. Apa kau kira pedang
mu itu akan berguna?”
Pandan Wangi sadar, bahwa
orang-orang yang berdiri di hadapannya itu benar-benar sebuas serigala
kelaparan. Karena itu maka ia harus berhati-hati. Ia tidak boleh terpengaruh
oleh kengerian yang bergetar di dalam jantungnya, jantung seorang gadis. Tetapi
ia harus tegak dengan sepasang pedangnya itu.
“Letakkan pedangmu, Anak
manis,” terdengar suara orang itu menggelitik hati. Benar-benar mengerikan.
“Tidak kami sangka bahwa di tanah yang keras dan di sekitar bukit padas ini
dapat berkembang bunga secantik ini. Meskipun justru karena itu maka kau
menjadi semakin cantik.”
Kini seluruh bulu-bulu Pandan
Wangi seolah-olah serentak meremang. Terasa tubuhnya menjadi dingin dan
keningnya telah basah oleh keringat. Ia tidak dapat melepaskan diri sama sekali
dari perasaan kegadisannya.
“Letakkan senjata itu, Anak
manis, letakkanyah. Kau lebih cantik tanpa membawa senjata semacam itu. Ya,
letakkanlah. Mari, Nak.”
Tangan Pandan Wangi menjadi
gemetar. Wajah-wajah itu benar-benar mengerikan sekali. Terbayang di dalam
angan-angannya kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi atasnya.
“Bagus,” desis orang itu
sambil tersenyum, “letakkanlah. Letakkan. Letakkan di situ.”
Ujung pedang Pandan Wangi
menjadi semakin tunduk. Kengerian itu telah sampai di puncaknya dan
hampir-hampir saja membuatnya kehilangan kesadaran dan pingsan. Tetapi ketika
ujung pedangnya menyentuh tanah, Tanah Kelahirannya, serasa sesuatu menggeletar
di dalam dadanya. Tiba-tiba dadanya serasa bergolak dahsyat sekali. Terbayang
di matanya, dirinya terbaring diam di atas tanah yang ditumbuhi oleh
rumput-rumput liar dan batang-batang ilalang. Terbayang wajah-wajah yang buas
itu berada di sekitarnya sambil tertawa berkepanjangan.
“Setan!” tiba-tiba giginya
gemeretak. Tanpa disangka-sangka oleh laki-laki yang berjambang itu, maka ujung
pedang Pandan Wangi terangkat kembali. Bahkan kini terjulur lurus-lurus ke
depan. Terdengar ia kemudian berkata, “Lepaskan niatmu. Aku akan memusnahkan
kalian.”
Orang yang berkumis dan
berjambang itu mengerutkan keningnya. Kini mereka tidak tertawa lagi.
Dilihatnya mata Pandan Wangi memancarkan sinar yang begitu tajamnya menusuk
dada mereka langsung menembus ke pusat jantung.
Laki-laki yang mengerikan itu
merasakan segores keheranan di dalam dadanya. Gadis ini agaknya
bersungguh-sungguh.
Dan Pandan Wangi memang
bersungguh-sungguh. Ia sama sekali tidak ingin bergurau dengan orang-orang gila
yang buas dan liar itu. Karena itu, maka ia berkata pula, “Orang-orang seperti
kalian ini benar-benar harus dimusnahkan. Kalau tidak, lain kali kalian pasti
akan berbuat serupa. Adalah penghinaan tiada taranya bagi kaumku, apabila
kalian melakukan perbuatan terkutuk itu. Apalagi apabila kalian bertemu dengan
gadis-gadis yang lemah dan sama sekali tidak mampu melawan. Bukan saja gadis
Menoreh. Tetapi di manapun juga di muka bumi ini.”
Sejenak wajah laki-laki
berjambang dan berkumis itu menjadi tegang, namun kemudian sekali lagi
meledaklah suara tertawanya. Sambil menunjuk kepada kawan-kawannya ia berkata,
“Apakah kau akan memusnahkan kami semua ini?”
“Ya,” jawab Pandan Wangi
tegas.
“Hem,” orang itu menarik
nafas, “aku semakin senang kepadamu. Kepada seorang gadis pemberani. Tetapi
ketahuilah bahwa kedatanganku kemari atas permintaan putra Kepala Tanah
Perdikan Menoreh beserta pamannya. Nah, dengarlah, bahwa kami di sini adalah
tamu dari orang-orang yang paling penting.”
Dada Pandan Wangi berdesir
mendengar keterangan itu. Bukan karena orang-orang itu akan mendapat
perlindungan dari kakaknya, tetapi justru dengan demikian ia mengerti, bahwa
kakaknya sudah mengundang bencana yang paling dahsyat di atas Tanah
kelahirannya sendiri.
Maka dengan penuh kemarahan ia
menjawab, “Aku tidak peduli siapakah kalian. Aku tidak peduli siapakah yang
mengundang kalian. Tetapi perbuatan terkutuk itu harus dihentikan. Perbuatan
yang menentang sendi peradaban manusia dan apalagi menentang ketentuan yang
digariskan oleh Sumber Hidup kita di dalam pergaulan antar umatnya.”
Kening orang yang berkumis itu
semakin berkerut. Tetapi ia tertawa lagi sambil berkata, “Jangan gurui aku. Aku
bukan seorang yang terikat akan peradaban manusia. Aku bukan orang yang
mengikatkan diri kepada yang tidak pernah aku ketahui adanya. Aku hanya
menyadari adaku, akal dan kehendakku sendiri. Aku tidak pernah tergantung dan
menggantungkan diri kepada apa pun dan siapa pun. Karena itu jangan berharap
bahwa kami akan mengurungkan niat kami.”
Pandan Wangi menggeretakkan
giginya. Terdengar ia menggeram, “Baik. Baik. Sekarang aku pun tetap pada
pendirianku. Kalian harus dimusnahkan. Kalian ternyata adalah orang-orang yang
paling terkutuk di muka bumi. Kalian tidak saja ingin merusak Tanah kelahiran
ini, tetapi kalian ingin merusak peradaban yang tumbuh di atasnya. Ketahuilah,
aku adalah putri Kepala Tanah Perdikan ini. Aku dapat berbuat atas nama ayahku.
Termasuk membinasakan kalian.”
Orang-orang yang berdiri
dengan sikap yang paling memuakkan itu terkejut mendengar kata-kata Pandan
Wangi itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak kemudian orang
yang berkumis itu menjawab, “Jangan menakut-nakuti aku dengan mengaku dirimu
sebagai seorang saudara perempuan dari orang yang mengundang kami. Karena aku
berkata bahwa aku diundang oleh putra Kepala Tanah Perdikan ini, maka kini kau
mengaku sebagai seorang putrinya. Dengar. Aku tidak percaya. Aku tidak dapat
kau tipu seperti kau merasa tertipu karena kudamu lari. Sekarang kami tidak
dapat kau ajak berbicara berkepanjangan. Menyerahlah.”
Darah Pandan Wangi kini telah
benar-benar mendidih. Ia telah berhasil menindas perasaan kegadisannya. Kini,
yang tegak berdiri menghadapi orang yang liar itu adalah Pandan Wangi, murid
dan putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang sedang menggengam sepasang senjatanya.
Karena itu, maka ketika
laki-laki yang memuakkan itu melangkah selangkah maju lagi, Pandan Wangi tidak
menghindar. Bahkan ia pun menyongsongnya selangkah maju.
Sikapnya itu benar-benar
mengherankan. Namun justru dengan demikian laki-laki yang berdiri di hadapannya
itu terpaksa harus berpikir. Apakah yang telah mendorong gadis ini untuk
berbuat demikian berani.
“Ia telah berputus asa,”
laki-laki itu mencoba menemukan jawabnya, “aku harus segera berbuat sebelum ada
orang yang melihatnya.”
Maka laki-laki itu menjadi
semakin bernafsu. Wajahnya pun menjadi merah karena darahnya yang naik sampai
ke ubun-ubunnya. Setiap kali ia menelan ludahnya. Gadis yang berdiri di hadapannya
itu memang terlampau cantik baginya. Tetapi justru karena itu, maka ia telah
benar-benar menjadi gila karenanya.
“Aku masih memberimu
kesempatan,” orang itu menggeram. “Letakkan senjatamu supaya kami tidak menjadi
semakin buas dan liar.”
Tetapi Pandan Wangi menjawab,
“Serahkan lehermu. Manusia semacam kalian tidak pantas hidup di atas bumi
Menoreh.”
Bagaimanapun juga laki-laki
itu merasa terhina sekali. Apalagi yang menghinanya itu adalah seorang
perempuan. Seandainya Pandan Wangi bukan seorang gadis yang cantik maka dengan
satu gerakan saja, ia ingin merontokkan tulang-tulang iganya. Tetapi menghadapi
Pandan Wangi, laki-laki itu masih merasa sayang. Betapapun dadanya bergolak,
namun ia masih berusaha untuk tidak melukainya. Karena itu maka katanya, “Kalau
kau tidak mau melepaskan senjatamu, maka biarlah aku yang memaksanya. Kemudian
memaksamu untuk menyerah.”
“Aku hanya menyerah terhadap
maut,” tantang Pandan Wangi.
“Bagus,” jawab orang itu,
“tetapi aku mempunyai cara untuk memaksamu menyerah sebelum kau mati. Aku
mempunyai ilmu yang barangkali sama sekali tidak dapat kau bayangkan. Aku dapat
menyentuh bagian-bagian tubuhmu, sehingga kau menjadi lemas dan tidak berdaya.
Nah, apakah kau akan melawan dalam keadaan yang demikian? Membunuh diri pun kau
tidak akan mampu.”
Tetapi orang itu menjadi
heran. Pandan Wangi sama sekali tidak terkejut dan heran mendengar kemampuan
ilmunya. Bahkan Pandan Wangi menyahut, “Aku tidak peduli. Tetapi sebelum kau
berhasil menyentuh tubuhku, kau atau aku pasti sudah mati.”
“Hem, kau benar-benar keras
kepala,” orang itu menggeram.
“Kau yang biadab,” potong
Pandan Wangi.
Orang itu sudah tidak bersabar
lagi. Kecuali kecantikan Pandan Wangi yang telah membakar jantungnya, ia merasa
terhina pula. Karena itu maka ia pun segera bersiap. Selangkah ia maju lagi.
Kedua tangannya terjulur kedepan, sedang tubuhnya merendah pada lututnya.
Katanya, “Aku ingin meminjam pedangmu, Nak.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi ia pun telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Ternyata laki-laki itu
tidak membawa kawannya untuk ikut bertempur. Laki-laki itu merasa dirinya
terlampau kuat untuk melawan seorang gadis kecil.
Meskipun Pandan Wangi telah
memegang sepasang senjatanya namun laki-laki berkumis itu sama sekali tidak
merasa perlu untuk mempergunakan goloknya. Ia ingin merampas pedang Pandan
Wangi dengan tangannya, kemudian menyentuh punggungnya dan membuatnya tidak
berdaya. Apabila demikian, maka ia akan dapat berbuat sekehendak hatinya.
Apapun yang akan dilakukan oleh gadis itu kemudian, sama sekali bukan
tanggung-jawabnya. Biar sajalah gadis itu membunuh dirinya atau apa pun yang
ingin dilakukan.
Karena itu maka sekejap
kemudian, laki-laki itu melenting seperti belalang di padang rerumputan. Cepat
seperti kilat dan hampir-hampir tidak dapat dilihat dengan mata. Kawan-kawannya
berdiri saja tegak di tempatnya dengan mulut ternganga. Tetapi mereka memang
sudah mengetahui kelebihan orang yang berkumis itu. Karena itu, tanpa mereka
angkat, laki-laki berkumis itu menganggap dirinya pemimpin dari laki-laki yang
lain. Dan laki-laki yang lain pun tidak pernah menolak anggapan itu.
Kali ini pun mereka mengharap
mudah-mudahan usaha laki-laki berkumis itu segera berhasil. Dengan demikian
maka mereka pun akan dapat berbuat serupa. Apalagi sebelumnya usaha laki-laki
itu memang tidak pernah gagal. Dengan demikian ketika mereka melihat bahwa
laki-laki berkumis itu sudah siap dan bahkan kemudian segera meloncat seperti
tatit, hati mereka pun menjadi berdebar-debar pula.
Pandan Wangi melihat orang
berkumis itu meloncat dengan kecepatan yang tinggi. Tetapi ia adalah murid dan
sekaligus putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang baru saja menyelesaikan
ilmunya sampai pada tingkat tertinggi. Karena itu, Pandan Wangi sama sekali
tidak heran melihat loncatan laki-laki berkumis itu. Bahkan demikian kemarahan
merayapi dadanya, sehingga ia tidak terlampau banyak memberi kesempatan kepada
lawannya.
Kedua tangan laki-laki
berkumis itu dengan cepatnya menerkam kedua pergelangan tangannya. Seandainya,
yang menggenggam pedang itu bukan Pandan Wangi atau seseorang yang mempunyai
ilmu yang cukup, maka pergelangan tangannya pasti akan segera disentakkan, dan
pedang di dalam genggaman itu akan terjatuh.
Tetapi ternyata yang terjadi
sama sekali tidak demikian. Meskipun pada mulanya Pandan Wangi tampaknya
berdiri saja seperti patung dan tidak sempat berbuat apa-apa, namun pada saat
terakhir, Pandan Wangi menarik kedua tangannya bersama-sama. Hanya sejengkal.
Dan ternyata, yang sejengkal itu telah membuat lawannya berteriak
mengumpat-umpat. Ternyata tangan laki-laki itu tidak menerkam pergelangan
tangan Pandan Wangi, tetapi tepat pada saat terkaman itu mencengkam sasarannya,
pada saat itulah Pandan Wangi menarik kedua tangannya, sehingga kedua tangan
laki-laki berkumis itu tepat mencengkam tajam pangkal pedang Pandan Wangi.
Kawan-kawan laki-laki itu
melihat bahwa Pandan Wangi masih tetap berdiri di tempatnya. Tetapi terhalang
oleh tubuh laki-laki berkumis itu sendiri, mereka tidak melihat apa yang
sebenarnya telah terjadi. Yang mereka lihat kemudian adalah laki-laki berkumis
itu meloncat mundur sambil berteriak kesakitan, sedang dari kedua telapak
tangannya mengalir darah yang segar.
Betapa hati di setiap dada
laki-laki yang berada di tempat itu bergetar dahsyat sekali. Mereka sama sekali
tidak menyangka bahwa hal itu dapat terjadi. Mereka tidak melihat, bagaimana
mungkin kedua tangan laki-laki berkumis itu terluka bersama-sama. Karena itu,
maka sejenak justru mereka terdiam seperti patung dengan mulut yang
ternganga-nganga.
Mereka terkejut ketika mereka
mendengar suara laki-laki itu mengguntur, “He, apakah kalian buta. Cepat,
kepung perempuan gila ini. Ia harus ditangkap hidup-hidup. Ia harus menerima
hukuman yang paling keji dari kita sekalian.”
Suara itu telah membangunkan
orang-orang yang sedang membeku. Segera mereka berloncatan sambil menarik
senjata masing-masing mengepung Pandan Wangi di segala arah. Dada Pandan Wangi
menjadi semakin berdebar-debar. Kini ia benar-benar harus bertempur melawan
laki-laki itu semua. Enam orang. Sedang seorang dari mereka, yang berkumis dan
berjambang itu, telah berhasil dilukainya tanpa menyerang sama sekali. Namun,
menghadapi enam orang laki-laki yang buas dan liar itu sekaligus, bagi Pandan
Wangi bukannya suatu pekerjaan yang mudah.
“He, kenapa kalian masih
menunggu?” teriak laki-laki yang terluka itu sambil menyeringai menahan sakit.
Kedua telapak tangannya yang terluka dikatupkannya dan kadang-kadang
ditiup-tiupnya untuk mengurangi pedih.
Kini setiap laki-laki yang
berada di seputar Pandan Wangi telah bersiap. Satu-satu mereka melangkah maju.
Sedang Pandan Wangi masih tegak berdiri di tempatnya dengan sepasang pedangnya
yang telah diwarnai oleh darah lawannya.
“Tangkap hidup-hidup!” teriak
laki-laki berkumis itu. “Ia harus merasakan hukumannya. Ia harus tahu, betapa
kami dapat berbuat di luar dugaannya.”
Ketika laki-laki di sekitarnya
mulai bergerak, maka Pandan Wangi pun tidak menunggunya lagi. Seperti kijang ia
berloncatan. Begitu tiba-tiba, sehingga benar-benar telah mengejutkan lawannya.
Ketika mereka sadar, maka sebilah pedang telah terlempar dan seorang dari
antara mereka dengan wajah tegang menggenggam pergelangan tangannya yang
terluka.
Tetapi hai itu, ternyata telah
mengobarkan kemarahan kawan-kawannya. Mereka segera merasa terhina. Dalam saat
yang demikian pendek, gadis itu telah berhasil melukai dua orang laki-laki dari
enam orang yang biasa melakukan petualangan tanpa dapat dihalangi. Di sini, di
sekitar bukit padas, seorang perempuan telah berhasil menitikkan darah mereka.
Dengan demikian maka mereka
pun serentak menyerang bersama-sama dari segala penjuru. Serangan itu datang
seperti pusaran air yang melibat Pandan Wangi di tengah-tengahnya.
Untunglah bahwa Pandan Wangi
telah berhasil menguasai ilmu ayahnya hampir sempurna. Karena itu maka ia masih
juga dapat memberikan perlawanan yang cukup baik. Apalagi ia sudah bertekad
bahwa ia tidak akan dapat ditangkap hidup-hidup. Orang-orang itu baru akan
dapat menjamahnya apabila ia sudah menjadi mayat.
Dengan demikian, maka Pandan
Wangi pun segera mengerahkan segenap kemampuannya. Seperti sikatan. Ia
menyambar-nyambar dengan sepasang pedang tipisnya. Sekali mematuk, kemudian
sebuah sabetan mendatar menyentuh kulit lawan-lawannya.
Laki-laki yang bertempur
bersama-sama Pandan Wangi itu telah dicengkam oleh keheranan, bahwa di daerah
ini ada seorang perempuan yang mampu bertempur sedemikian dahsyatnya. Adalah
tidak lazim sama sekali, bahwa seorang perempuan menggenggam senjata, apalagi
bertempur dalam unsur gerak perkelahian yang mapan dan bahkan begitu
dahsyatnya. Namun sejenak kemudian luapan kemarahan mereka pun segera mereka
tumpahkan. Mereka berkelahi dengan segenap kekuatan yang ada pada mereka.
Mereka menyerang beruntun seperti ombak lautan. Susul-menyusul dari arah yang berbeda-beda.
Pertempuran itu pun segera
meningkat semakin seru. Masing-masing telah mempergunakan setiap kemungkinan
yang ada di dalam diri mereka. Segala kemampuan dan segala macam ilmu
Ternyata laki-laki yang
bertempur bersama-sama melawan Pandan Wangi itu pun bukanlah orang-orang
kebanyakan. Ternyata mereka memiliki bekal yang cukup sehingga mereka mendapat
kehormatan memenuhi panggilan Sidanti.
Dengan demikian, ketika Pandan
Wangi telah berhasil menjajagi kemampuan lawan-lawannya, terasa debar jantungnya
menjadi semakin cepat. Terasa olehnya, bahwa kemampuan mereka bersama-sama
benar-benar berbahaya baginya. Pandan Wangi tidak akan tergetar serambut pun
apabila ia harus melawan seorang demi seorang. Tetapi kini ia harus menghadapi
mereka bersama-sama. Enam orang meskipun yang dua telah terluka. Tetapi luka
itu tidak melumpuhkannya. Yang seorang masih dapat menggenggam pedang dengan
tangan kirinya, sedang yang seorang lagi, masih mampu mempergunakan tangannya
yang terluka itu, meskipun tanpa senjata. Tetapi kelincahan dan kecepatannya
bergerak, benar-benar telah mengganggu ketenangan Pandan Wangi.
Tetapi Pandan Wangi telah
bertekad untuk bertempur sampai kemungkinan terakhir. Ia sudah tidak dapat
mundur lagi. Apalagi menyerah. Menyerah baginya akan berakibat dahsyat sekali.
Dan ia yakin bahwa akhirnya ia pun akan mati. Mati dengan cara yang paling
mengerikan. Itulah sebabnya ia telah memeras segala kemampuan yang ada padanya.
Bagaikan gumpalan asap, pedangnya berputaran melindungi dirinya, dan yang dengan
tiba-tiba saja telah menyerang melibat lawan-lawannya.
Demikianyah, maka perkelahian
itu semakin lama menjadi semakin meningkat. Ketika tubuh-tubuh mereka telah
basah oleh keringat, maka tandang mereka pun menjadi semakin dahsyat.
Sekali-sekali orang-orang yang bertempur bersama-sama itu berhasil mengepung
Pandan Wangi di dalam suatu lingkaran yang rapat. Tetapi sesaat kemudian
beberapa orang harus berloncatan menyibak karena serangan Pandan Wangi datang
bagaikan prahara. Dengan demikian maka kepungan itu pun pecah, sehingga mereka
harus berhadapan dengan Pandan Wangi dari satu arah.
Sekali-sekali terdengar
laki-laki yang kedua tangannya telah terluka karena sikapnya sendiri itu
menggeram. Ia menyesal bahwa ia kurang berhati-hati. Seandainya pada saat itu
ia masih dapat menggenggam goloknya, maka perkelahian ini pun pasti akan lebih
cepat selesai. Tetapi kini perempuan itu berhasil mempertahankan dirinya agak
lebih lama. Namun setiap laki-laki itu pasti bahwa akhirnya Pandan Wangi yang
lincah itu akan jatuh ke tangan mereka.
Tetapi Pandan Wangi
benar-benar tidak akan menyerah. Betapa dahsyatnya serangan-angan datang
beruntun, selalu dilawannya. Kadang-kadang ia harus membenturkan senjata karena
ia tidak sempat lagi menghindar. Namun di dalam benturan-benturan yang terjadi,
laki-laki yang garang itu pun menjadi heran. Kekuatan Pandan Wangi benar-benar
mengagumkan, meskipun ia seorang gadis. Bagi mereka yang agak lemah, terasa
getaran pada telapak tangannya, sehingga telapak tangannya itu menjadi pedih. Bahkan
ada diantara mereka yang hampir-hampir saja kehilangan senjatanya, seandainya
kawannya tidak menolong menyelamatkannya.
Pandan Wangi ternyata telah
membuat setiap laki-laki yang melawannya itu menjadi heran dan kagum. Tetapi
juga kemarahan mereka menjalar sampai ke ujung kepalanya. Bahkan kemarahan itu
kemudian telah berubah pula menjadi dendam. Dan mereka mengharap bahwa mereka
akan dapat melepaskan dendam mereka dengan cara mereka.
Namun betapapun juga Pandan
Wangi mencoba memeras tenaganya tetapi yang dilawannya adalah enam ekor
serigala yang kelaparan. Bagaimanapun juga, akhirnya Pandan Wangi merasa bahwa
ia tidak akan mampu mengimbangi kekuatan mereka bersama-sama. Ternyata mereka
pun bukan sekedar orang-orang kebanyakan yang hanya dengan kebetulan sajalah
membawa pedang di lambungnya. Ternyata enam orang itu pun adalah orang-orang
yang terlatih baik. Mungkin oleh guru-guru mereka, dan mungkin pula oleh
pengalaman petualangan mereka yang penuh dengan kekerasan yang buas dan liar.
Demikianlah maka semakin lama
semakin nampak jelas, bahwa Pandan Wangi menjadi terdesak semakin parah. Bahkan
sekali-sekali ia harus meloncat jauh-jauh mengambil jarak yang cukup untuk
melawan keenam orang yang segera memburunya, dengan senjata yang teracu-acu
kepadanya.
Tetapi Pandan Wangi lebih
berani menatap ujung-ujung senjata itu daripada harus memandang setiap wajah
dari laki-laki yang buas dan liar itu. Ia lebih senang disentuh oleh
ujung-ujung senjata itu, meskipun melubangi dadanya sama sekali. Tetapi tidak
disentuh oleh tangan-tangan mereka yang penuh dengan noda dan dosa.
Karena itu, betapa tenaganya
menjadi jauh susut, Pandan Wangi masih tetap melakukan perlawanan. Ketika ia
melihat beberapa orang lawannya menitikkan darah, maka seolah-olah tenaganya
menjadi tumbuh kembali. Namun hanya sesaat. Sesaat berikutnya ia merasa
tenaganya seolah-olah telah terperas habis.
Dada Pandan Wangi semakin lama
menjadi semakin berdebar-debar. Apakah pada suatu saat ia benar-benar akan
jatuh ke tangan orang-orang itu?
“Tidak,” Pandan Wangi
menggeram, “apabila aku tidak mampu melawan mereka, maka tusukan yang terakhir
dari ujung pedangku adalah menghunjam ke dalam dadaku sendiri. Biarlah aku
menjadi tumbal. Mudah-mudahan mayatku akan. menjadi peringatan bagi Kakang
Sidanti, bahwa seharusnya Tanah ini dan segala isinya tidak dikorbankannya
untuk kepuasan pribadi.”
Pandan Wangi tersentak ketika
terasa sebuah sengatan pada pundaknya. Sengatan ujung senjata lawannya. Dengan
gerak naluriah ia meloncat mundur. Pedangnya segera bergetar melindungi
dirinya. Tetapi ternyata darahnya pun kemudian menitik dari segarit luka yang
tergores di pundaknya itu.
Dada Pandan Wangi berdesir
tajam. Hatinya terasa menjadi pedih jauh lebih pedih dari luka itu sendiri.
Tetapi terlebih pedih lagi ketika ia mendengar laki-laki yang kedua tangannya
terluka itu berkata lantang, “Jangan kau bunuh dia. Gadis itu harus ditangkap
hidup-hidup.”
Gelora di dada Pandan Wangi
telah mendorongnya untuk bertempur mati-matian dengan sisa-sisa tenaganya. Tiba-tiba
ia menjadi semakin garang dan pedangnya pun menjadi semakin cepat berputaran.
Sekali ia meloncat maju dengan tiba-tiba di antara ujung-ujung senjata. Dengan
serangan yang rendah ia mematukkan senjatanya, dan ketika ia meloncat mundur
terdengar salah seorang dari keenam laki-laki itu berdesis, kemudian mengaduh
pendek.
“Gila,” Laki-laki itu
menggeram, “ia melukai lambungku. Aku harus membalasnya.”
“Jangan bunuh dia,” teriak
laki-laki yang berkumis.
“Seandainya aku tidak
membunuhnya, tetapi aku harus membalas hinaan ini dengan penghinaan yang paling
memalukan. “
“Terserah kepadamu. Tetapi ia
harus tertangkap hidup-hidup.”
Pembicaraan itu terdengar
berputar-putar di telinga Pandan Wangi. Pengaruhnya jauh lebih berat dari
dentang senjata-senjata yang sedang beradu. Kengerian yang luar biasa telah
mencengkam jantung dan hatinya, sehingga sekali lagi ia mengambil keputusan
apabila memang sudah tidak mungkin lagi ia menghindar dari kekalahan, maka ia
akan menikamkan senjata untuk yang terakhir kalinya pada dadanya sendiri
langsung menghunjam jantung.
Sementara itu, di lorong yang
memanjang di dalam pedukuhan itu, Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan Argajaya sedang
berkuda perlahan-lahan menyelusur jalan. Tidak ada tujuan yang ingin
didatanginya. Mereka hanya ingin melihat perkembangan suasana di saat-saat
terakhir. Mereka ingin melihat imbangan kekuatan yang ada di antara mereka.
Sidanti dan Argapati. Karena itu, maka perjalanan itu sama sekali tidak
dipengaruhi oleh matahari yang semakin lama semakin meninggi hampir sampai ke
puncak langit.
Namun tiba-tiba mereka
terperanjat. Di hadapan mereka tampak sebuah lingkaran perkelahian. Beberapa
orang telah terlibat di dalamnya.
“Siapakah mereka itu?” desis
Sidanti. Argajaya tidak segera menyahut. Tetapi di antara pepohonan yang
jarang-jarang di pategalan dan kebun-kebun kosong, Argajaya melihat beberapa
orang yang bentuknya pernah dikenalnya.
“Mereka adalah beberapa orang
dari antara orang-orang yang kita harap bantuannya, Sidanti.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia bertanya pula, “Tetapi dengan siapa mereka berkelahi?”
“Entahlah,“ Argajaya
menggelengkan kepalanya, “tidak begitu jelas bagiku. Tetapi pasti seorang yang
pilih tanding yang mampu berkelahi melawan orang-orang itu. Tidak sekedar
seorang lawan seorang, tetapi agaknya beberapa orang telah terlibat di
dalamnya.”
“Setan,” Sidanti bergumam.
“Apakah Argapati sudan mulai? Marilah kita lihat, siapakah yang telah mencoba
menyombongkan dirinya melawan orang-orang kita. Mudah-mudahan orang-orang kita
tidak mengalami apa pun juga.”
Sidanti segera melecut
kudanya, sehingga kuda itu meloncat dan berlari kencang mendekati lingkaran
perkelahian yang masih berlangsung dengan sengitnya. Tetapi tenaga Pandan Wangi
sudah semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun lawan-lawannya juga
demikian. Namun karena lawannya berjumlah enam orang, maka kemungkinan baginya
untuk dapat melepaskan diri dari tangan laki-laki yang buas itu menjadi semakin
sempit.
Betapapun mereka sedang
dibelit oleh perkelahian yang seru, namun mereka masih sempat mendengar derap
beberapa ekor kuda mendekati mereka. Semakin lama menjadi semakin dekat.
Ternyata derap kaki-kaki kuda itu cukup berpengaruh kepada mereka yang sedang
bertempur. Salah seorang laki-laki yang sedang melawan Pandan Wangi itu
berdesis, “Derap kaki-kaki kuda.”
Pandan Wangi pun mendengarnya
pula. Tetapi ia masih belum sempat berpaling untuk melihat siapakah yang
datang. Ia masih sibuk memperhatikan ujung-ujung senjata yang bertubi-tubi
menyerangnya. “Mereka datang,” teriak salah seorang dari mereka.
“Ha,” sahut yang lain, “kini
sampailah akhir dari perlawananmu anak manis. Meskipun agaknya kita pun
terganggu pula sedikit, tetapi akhirnya maksud kami pun akan sampai pula.
Mereka tidak akan dapat berbuat lain daripada membantu kami menangkapmu.”
Dada Pandan Wangi menjadi
semakin berdebar-debar. Derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Tidak
hanya seekor kuda. Timbullah kengerian yang tajam di dalam dadanya.
Bagaimanakah seandainya ia benar-benar jatuh ke tangan laki-laki yang liar itu.
Apalagi mereka akan mendapat kawan, orang-orang yang datang berkuda itu
meskipun Pandan Wangi masih belum sempat melihat orang-orang yang baru datang
itu.
Dalam kepepatan hati, maka
Pandan Wangi sampai kepada keputusannya. Ia harus mati. Kalau ujung-ujung
senjata lawannya tidak mampu membunuhnya, maka ia akan membunuh dirinya
sendiri.
Karena itu, maka tiba-tiba
Pandan Wangi itu berdiri tegak sambil merentangkan tangannya yang masih
menggenggam pedangnya. Ia berharap bahwa serangan yang datang beruntun dengan
tiba-tiba akan sempat menusuk dadanya.
Tetapi ternyata sikapnya itu
benar-benar mengejutkan. Sebelum ujung-ujung senjata menyentuh tubuhnya,
tiba-tiba laki-laki yang kedua tangannya telah terluka berteriak, “Berhenti!
Berhenti! Jangan lukai dia.”
Setiap laki-laki yang sudah
siap menjulurkan pedangnya tiba-tiba tertegun. Mereka berdiri seperti patung,
meskipun pedang mereka masih terjulur lurus-lurus ke depan.
“Sudah aku katakan, tangkap ia
hidup-hidup. Agaknya anak manis ini telah menyerah.“
Kata-kata itu menyengat hati
Pandan Wangi melampaui sengatan ujung pedang. Ternyata usahanya untuk
menyelesaikan pertempuran itu dengan lubang di dadanya tidak berhasil. Karena
itu, maka tiba-tiba ia meloncat mundur sambil berkata lantang, “Jangan mengharap
kalian dapat menyentuh tubuhku selagi aku masih hidup.”
Laki-laki berkumis itu
mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau mau apa, Pandan Wangi?”
“Kalian hanya akan mendapatkan
mayatku,” sahut Pandan Wangi tegas. Sementara itu ia telah mengangkat pedangnya
siap untuk menembus dadanya.
Tetapi tiba-tiba mereka
terkejut, ketika terdengar suara menggelagar, “Pandan Wangi. Apakah yang akan
kau lakukan?”
Dengan gerak naluriah Pandan
Wangi berpaling. Dilihatnya di atas punggung kuda kakaknya duduk dengan
cemasnya. Sejenak kemudian Sidanti itu segera meloncat dan berlari mendapatkan
adiknya. “Pandan Wangi, kenapa kau?”
Pandan Wangi memandangi
kakaknya dengan sorot mata yang dipenuhi oleh keragu-raguan. Bahkan kemudian ia
melangkah surut sambil berkata, “Jangan dekati aku.”
Sidanti tertegun sejenak.
Ditatapnya wajah Pandan Wangi yang pucat. Keringat yang membasahi pakaiannya
dan yang kemudian dilihatnya adalah titik darah yang menetes dari lukanya.
“Kenapa kau, Wangi?” sekali
lagi terloncat pertanyaan itu dari mulut Sidanti.
Pandan Wangi terdiam sejenak.
Ditatapnya wajah kakaknya yang kecemasan. Tetapi ia masih dipengaruhi oleh
kengerian yang sangat, sehingga ketika kakaknya maju selangkah, ia pun mundur
selangkah.
“Kau biarkan orang-orangmu
menghina aku. Bukan saja sebagai seorang putri Kepala Tanah Perdikan, tetapi
lebih-lebih lagi aku sebagai seorang gadis.”
Dada Sidanti berdentangan
mendengar kata-kata itu. Sekilas hatinya dipengaruhi oleh kepentinganya atas
orang-orang yang kebetulan telah mencegat Pandan Wangi. Mereka adalah
orang-orang yang diperlakukannya dalam tujuan yang dianggapnya penting. Tetapi
tiba-tiba terbayang di wajah Pandan Wangi yang pucat itu wajahnya semasa
kanak-kanak. Dilihatnya wajah itu sebagai wajah Pandan Wangi pada saat ia masih
kecil. Menangis dan merajuk. Anak itu selalu minta perlindungannya. Pada
saat-saat kawan-kawannya nakal, maka gadis kecil itu selalu berlari kepadanya
sambil menangis, “Kakang, Kakang Sidanti. Aku dinakali.”
Setiap saat ia menjadi marah.
Setiap kali ia selalu berkata, “Bermainlah di sini. Siapa yang nakal, nanti aku
pukul punggungnya.” Dan setiap kali Pandan Wangi akan terdiam. Ia akan bermain
di sampingnya dengan tenteram.
Tiba-tiba Sidanti itu
menggeram. Tiba-tiba saja ia memutar tubuhnya menghadap laki-laki yang liar
yang masih menggenggam pedang di tangan mereka. Tanpa diduga-duga, maka Sidanti
itu segera mencabut pedangnya sambil berteriak. “Hai cucurut-cucurut hina.
Kalian hanya berani melawan seorang gadis kecil. Ayo inilah Sidanti. Kalau
kalian benar-benar jantan, lawanlah Sidanti. Berkelahilah bersama-sama. Enam
orang, atau panggil sepuluh orang kawanmu lagi.”
Perlahan-lahan Sidanti
melangkah maju. Matanya memancarkan api kemarahan tiada terhingga. Pedangnya
terjulur lurus ke depan. “Ayo, siapakah yang lebih dahulu?”
Sikapnya itu sama sekali tidak
terduga-duga. Laki-laki liar itu sama sekali tidak menyangka, bahwa Sidanti
akan bersikap demikian, justru kepada mereka.
Karena itu maka sejenak mereka
berdiri saja mematung. Kemudian mereka saling berpandangan. Namun tidak seorang
pun dari mereka yang mengerti, apakah yang seharusnya mereka kerjakan. Sedang
di atas punggung kuda masing-masing, Argajaya dan Ki Tambak Wedi pun masih juga
duduk termangu-mangu.
Dalam pada itu masih terdengar
suara Sidanti, “Ayo, ayo, siapa yang paling jantan di antara kalian?”
Belum ada seorang pun yang
beranjak dari tempatnya. Tetapi laki-laki yang berkumis dan berjambang tampak
mengerutkan keningnya. Wajahnya kemudian semakin menegang, sedang kedua telapak
tangannya masih ditelakupkannya.
Namun sejenak kemudian ia
melangkah maju sambil berkata dengan suara yang gemetar, “Apakah maksudmu,
Sidanti?”
“Jelas, membunuh kalian
bersama-sama.”
Laki-laki itu menjadi semakin
tegang. Katanya, “Jadi kau undang aku kemari sekedar untuk berkelahi?”
Sidanti terdiam sejenak.
Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya. Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku
memang memerlukan kalian. Tetapi tidak untuk menghina gadis-gadis.”
“Siapakah perempuan ini?”
“Adikku,” sahut Sidanti
pendek.
Laki-laki berkumis itu menjadi
semakin tegang. Kini dahinya menjadi berkerut-merut. Desisnya, “Kami tidak tahu
bahwa gadis ini adikmu.”
“Sekarang kalian sudah tahu.
Ayo, bersiaplah. Kita akan mempertahankan nama kita masing-masing.”
“Tetapi kau memerlukan kami
untuk suatu kepentingan yang lain.”
“Aku tidak peduli. Tetapi
penghinaan bagi gadis-gadis apalagi adikku sama sekali tidak dapat dimaafkan.”
Wajah laki-laki itu menjadi
semakin berkerut-merut. Tetapi sejenak kemudian ia berkata, “Aku tidak tahu
bahwa perempuan ini adalah adikmu. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Sekarang
terserah kepadamu. Kalau benar-benar kau memutuskan untuk membersihkan nama
kita masing-masing, marilah. Aku sudah datang ke tempat ini. Aku memang sudah
membuat perhitungan. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah, aku tidak akan
keluar lagi dari lingkungan ini.”
“Bagus, bersiaplah.”
“Tetapi Sidanti, jangan kau
memakai alasan serupa itu. Jangan kau pergunakan kesempatan ini sekedar untuk
mengobarkan nafsumu berkelahi. Jangan kau katakan, bahwa tidak dapat dimaafkan
lagi karena kami mengganggu gadis-gadis, atau menghinakannya. Sebutlah alasan
yang lain, dan kami akan melayaninya.”
“Itulah alasan yang
sebenarnya. Kalian ternyata adalah orang-orang yang paling terkutuk.”
“Karena kami menghina dan
mengganggu gadis-gadis?”
“Ya.”
“Omong kosong,” tiba-tiba
orang yang berkumis dan terluka kedua telapak tangannya itu tertawa. Katanya pula
kemudian, “Apakah kau kira kami belum pernah mendengar apa yang pernah kau
lakukan di Sangkal Putung? Apakah kau sangka bahwa kami tidak tahu, apa yang
kau perbuat atas Sekar Mirah?”
Wajah Sidanti tiba-tiba
menyala semerah api. Sejenak ia justru mematung di tempatnya. Mulutnya bergetar
seperti getaran jantungnya yang semakin cepat. Tetapi tidak sepatah kata pun
yang dapat diucapkan.
Dan laki-laki berkumis itu
masih tertawa, “Nah, apa katamu tentang Sekar Mirah itu.”
Terdengar gigi Sidanti
bergemeretak. Sesaat kemudian ia menjawab dengan suara gemetar, “Kebodohanmu
adalah bahwa kau tidak dapat melihat perbedaan di antara sikapmu dan sikapku.
Aku mencintainya. Aku mengambilnya dengan suatu cita-cita, bahwa suatu ketika
aku akan hidup bersamanya dalam lingkungan kekeluargaan yang aku junjung
tinggi. Mungkin aku termasuk seorang yang buas di dalam lingkaran pertempuran.
Aku pernah membunuh dan mencincang musuhku. Tetapi aku menghormati hubungan
yang tinggi di antara manusia di dalam hubungan kekeluargaan.”
Laki-laki berkumis itu
mengerutkan keningnya. Namun ia tertawa pula, “Aku tidak melihat bedanya. Kau
juga tidak menghormatinya, menghormati perasaannya. Kau berbicara tentang
cita-cita dan keluarga, tetapi kau tidak berbicara tentang perasaan orang lain.
Nah, bukankah tidak ada bedanya? Aku juga tidak berbicara tentang orang lain.
Akupun hanya sekedar menuruti keinginanku. Yang berbeda di antara kita hanyalah
keinginan kita. Kau inginkan dan kau paksa gadis itu untuk menjadi isterimu
apabila berhasil, tetapi aku hanya menginginkannya sekarang.”
Kemarahan Sidanti benar-benar
telah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Ia benar-benar terhina karenanya. Namun
justru karena itu sekali lagi ia terbungkam. Hanya ujung pedangnya sajalah yang
bergetar semakin cepat.
“Nah apa katamu?” berkata
laki-laki berkumis itu. “Kalau ingin berkelahi, marilah kita berkelahi. Tetapi
jangan halangi aku meskipun gadis itu adikmu. Aku sudah terlanjur mulai. Atau
barangkali kau berbaik hati, meyerahkannya kepada kami supaya kami bersedia
membantumu.”
“Cukup, cukup!” suara itu
benar-benar mengejutkan. Bukan suara Sidanti, karena mulut Sidanti justru
terkunci oleh kemarahan yang menyumbat dadanya.
Ketika mereka serentak
berpaling, maka mereka melihat Argajaya meloncat turun dari kudanya dengan
wajah yang merah padam. Digenggamnya tombaknya erat-erat. Terdengar suaranya
bergetar, “Gadis itu adalah kemenakanku pula. Marilah kita bertempur. Aku yakin
bahwa kalian sebentar lagi akan menjadi bangkai.”
Sekali lagi setiap laki-laki
yang berwajah liar dan buas itu menjadi heran. Keadaan ternyata berkembang
tanpa dapat dikekang lagi. Namun mereka pun tidak ingin merendahkan nama
mereka. Sehingga dengan garangnya, laki-laki yang telah terluka tangannya itu menggeram,
“Baik, baik. Kami tidak berkeberatan. Marilah. Enam orang di pihak kami
meskipun di antaranya telah terluka dan empat orang di pihakmu, bersama-sama
dengan gadis itu. Kita akan bertempur. Tetapi kami minta, taruhannya adalah
seorang gadis cantik yang bernama Pandan Wangi. Setuju?”
Sidanti sudah tidak dapat
menahan hatinya lagi. Penghinaan itu sudah berlebih-lebihan. Apalagi ketika ia
sadar, bahwa pamannya telah menjadi marah pula. Keenam orang itu tidak segera
dapat mengalahkan Pandan Wangi seorang diri. Apalagi apabila mereka harus
bertempur melawan dirinya dan pamannya bersama-sama. Sudah tentu Pandan Wangi
sendiri akan serta. Terlebih-lebih lagi apabila gurunya membantunya pula. Maka
membunuh keenam orang itu tidak akan memerlukan waktu sepenginang.
Tetapi sebelum Sidanti
meloncat terdengar suara gurunya, “Sidanti. Tunggu.”
Sidanti tertegun sejenak.
Bersamaan dengan pamannya ia berpaling.
“Jangan terburu nafsu,”
berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
“Mereka menghina aku, Guru,”
berkata Sidanti.
“Ya. Tetapi jangan
tergesa-gesa mengambil tindakan. Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan
dengan saksama. Aku sependapat dengan kau dan pamanmu Argajaya. Tetapi aku
tidak sependapat bahwa kalian harus bertempur di sini.”
“Di mana kami harus
bertempur?” bertanya Argajaya.
“Bukan di mana. Tetapi
perkelahian di antara kita memang harus dicegah. Kita sudah terlalu kenyang
dihantam oleh pengalaman. Kita selalu dihancurkan karena kita selalu bertengkar
dengan diri sendiri.”
“Tetapi penghinaan itu sudah
melampaui batas.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang masih pucat. Lamat-lamat
dilihatnya bayangan wajah Rara Wulan pada wajah gadis itu. Dan setitik keringat
telah membasahi keningnya.
“Hem,” Ki Tambak Wedi menarik
nafas dalam-dalam. “Persoalan itu selalu kembali pada setiap keadaan.” desisnya
di dalam hati, “persoalan perempuan. Sejak masa itu, sejak jauh sebelum Sidanti
dilahirkan, maka persoalan perempuan selalu saja melibatkan diri. Kemudian
kegagalan Sidanti di Sangkal Putung, di Tambak Wedi dan kini di Menoreh,
persoalan itu selalu saja ditemuinya kembali.”
Tetapi sebelum Ki Tambak Wedi
menentukan sikapnya, maka sekali lagi mereka telah dikejutkan oleh derap
kaki-kaki kuda. Sejenak mereka terdiam. Dan suasana pun menjadi hening sepi.
Yang terdengar adalah silirnya angin pegunungan menyentuh dedaunan dan suara
derap kaki kuda yang semakin lama semakin menjadi jelas.
“Hanya seekor kuda,” desis Ki
Tambak Wedi, sehingga karena itu maka ia pun tidak menjadi cemas karenanya.
Ketika tanpa dikehendakinya ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari
telah melampaui titik puncaknya di pusat langit.
Sejenak kemudian dari balik
dedaunan, mereka melihat seekor kuda seakan-akan terbang di jalan pedukuhan.
Namun sejenak kemudian langkah kuda itu pun diperlambat. Agaknya penunggangnya
telah melihat, beberapa orang yang berada di tempat itu. Tetapi kuda itu tidak
berhenti. Semakin lama semakin dekat dan dekat.
Ketika terlihat oleh mereka,
penunggang kuda itu, maka terdengar Pandan Wangi berteriak memanggil “Paman.
Paman Samekta.”
Orang berkuda, yang bernama
Samekta itu, menghentikan kudanya. Dengan herannya ia memandang Pandan Wangi
yang masih menggenggam sepasang pedangnya. Kemudian dipandanginya Sidanti,
Argajaya, Ki Tambak Wedi, dan beberapa orang laki-laki yang kasar dan liar itu.
“Angger Pandan Wangi,”
terdengar suaranya tertahan-tahan, “apakah yang telah terjadi?”
Pandan Wangi masih berdiri di
tempatnya. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Karena itu, sebelum ia menjawab, maka
ia pun bertanya, “Kemanakah Paman akan pergi?”
Samekta tidak segera menjawab.
Sekali lagi dipandanginya Sidanti dan Argajaya berganti-ganti. Baru sejenak
kemudian ia berkata, “Aku mendapat tugas dari Ki Gede Menoreh untuk
menjemputmu. Ki Gede mencemaskan kau dan memerintahkan aku untuk mencarimu
apabila tengah hari kau belum kembali. Apakah yang telah terjadi di sini?“
Pandan Wangi memandangi wajah
Sidanti yang kini menjadi ragu-ragu.
“Apakah kalian telah
berkelahi?” terdengar lagi suara Samekta.
Pandan Wangi mengangguk. “Ya,
Paman.”
Tiba-tiba wajah Samekta
menjadi tegang. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya dan berkata, “Kenapa kau
berkelahi, Ngger. Apakah terjadi sesuatu atasmu? “
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi tanpa disadarinya tangannya meraba lukanya. Setitik darah telah memerah
di telapak tangannya.
“Kau terluka,” suara Samekta
meninggi. Wajahnya kian menegang.
Pandan Wangi mengangguk.
“Siapakah yang telah
melukaimu, Ngger?”
Pandan Wangi tidak segera
menyahut. Tetapi dipandanginya beberapa orang laki-laki liar yang masih tegak
berdiri di tempatnya.
Sejenak mereka dilontarkan
dalam kediaman masing-masing. Tetapi mata Pandan Wangi telah berbicara, yang
melukainya adalah satu dari antara laki-laki liar yang sedang dipandanginya
itu. Sehingga meskipun Pandan Wangi tidak mengucapkan kata-kata, namun pemimpin
pengawal tanah Perdikan Menoreh itu segera mengetahuinya bahwa salah seorang
dari laki-laki itulah yang melukainya. Karena itu maka tiba-tiba ia menggeram.
Ia tahu pasti bahwa laki-laki itu adalah termasuk sebagian dari orang-orang
yang tak dikenal di Tanah Perdikan ini yang datang atas permintaan Sidanti dan
Argajaya. Karena itu maka dengan sorot mata yang menyala dipandanginya Sidanti
dan Argajaya berganti-ganti. Dan tanpa disadarinya tangan Samekta telah melekat
di hulu pedangnya.
Namun agaknya Pandan Wangi
menangkap getar hati Samekta. Sehingga ia berkata pula, “Untunglah, bahwa
Kakang Sidanti dan Paman Argajaya segera datang dan menolong aku. Kalau tidak,
maka Paman akan tinggal mengenang namaku.”
“He?” Samekta terkejut
mendengar keterangan itu. Sejenak ia berdiri keheranan. Bahkan seolah-olah ia
tidak yakin akan pendengarannya, bahwa Sidanti dan Argajaya-lah yang telah
menolongnya. Tetapi perasaan itu disimpannya di dalam hatinya. Ia terpaksa
mempertimbangkan keadaan untuk menyatakan suatu sikap saat itu. Ia merasa
berdiri di tempat yang tidak diketahui dengan pasti. Menilik keadaan dan arah
sikap masing-masing, Samekta percaya kepada keterangan Pandan Wangi. Tetapi
beberapa persoalan masih terasa kabur di dalam kepalanya.
Sesaat mereka hanya saling
memandang dengan perasaan masing-masing. Samekta yang keheranan, Argajaya dan
Sidanti yang marah, Pandan Wangi yang masih pucat dan laki-laki liar itu pun
bertambah liar. Sedang Ki Tambak Wedi yang duduk di atas punggung kudanya masih
juga duduk sambil mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba kesenyapan itu
dipecahkan oleh Ki Tambak Wedi, “Apakah maksudmu datang kemari?”
Samekta berpaling kepada Ki
Tambak Wedi. Jawabnya, “Aku menjemput Pandan Wangi.”
“Pandan Wangi berada bersama
kakaknya,” berkata Ki Tambak Wedi pula. “Tinggalkan dia.”
Samekta heran mendengar
kata-kata itu. Tetapi ia mendengar Pandan Wangi menyahut, “Tidak. Jangan kau
tinggalkan aku, Paman Samekta. Tunggulah, kita pulang bersama-sama.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
dahinya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang masih pucat. Sejenak kemudian
dipandanginya wajah Sidanti dan Argajaya yang masih merah.
Yang terdengar kemudian adalah
kata-kata Samekta, “Aku memang mendapat perintah dari Ki Argapati untuk
menjemput Angger Pandan Wangi. Ki Argapati mencemaskannya, apabila terjadi
sesuatu di sepanjang jalan, seperti yang ternyata sekarang. Untunglah Angger Sidanti
dan Ki Argajaya menolongnya. Untuk itu, mendahului Ki Argapati aku mengucapkan
diperbanyak terima kasih.”
Dada Sidanti menjadi
berdebar-debar karenanya. Ia sadar bahwa yang diucapkan Samekta itu hanyalah
sekedar tata kesopanan. Tetapi apakah Argapati akan benar-benar berterima kasih
kepadanya? Mungkin untuk persoalan ini saja. Persoalan Pandan Wangi. Tetapi
untuk seterusnya, Argapati pasti akan memusuhinya. Karena itu, maka jawabnya,
“Kau tidak usah mengucapkan terima kasih kepadaku. Juga Argapati. Aku berbuat
atas kehendakku dan tanggung jawabku sendiri. Aku telah menolong adikku. Aku
tidak peduli, apakah hubungannya semua persoalan ini dengan Argapati, yang sama
sekali tidak bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Terhadapku dan ternyata
pula kini terhadap Pandan Wangi. Seandainya aku tidak ada, apakah yang terjadi
dengan gadis ini.”
“Kakang,” terdengar suara
Pandan Wangi, “Kakang jangan berkata demikian. Adalah wajar bahwa ayah
mengucapkan terima kasih kepadamu dan kepada Paman Argajaya. Jangan dikaitkan
persoalan ini dengan persoalan-persoalan lain yang masih terlampau gelap.
Justru aku saat ini ingin menemuimu untuk kepentingan itu.”
Sidanti menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku adalah kakakmu Pandan Wangi.
Lepas dari setiap persoalan yang kini sedang membakar Tanah Perdikan ini.”
“Dan lepas dari setiap
persoalan itu pula Ki Gede Menoreh akan mengucapkan terima kasih kepada
kalian.”
“Tidak perlu. Aku tidak
memerlukan terima kasih dari orang lain. Aku menolong adikku. Itu adalah
kewajibanku. Aku tidak memerlukan terima kasih itu.”
Tanpa diduga-duga Argajaya
berkata, “Tetapi, Kakang Argapati adalah ayahnya, Sidanti. Ia mempunyai
kewajiban pula untuk menyatakan terima kasih kepada mereka yang menolong
putrinya. Siapa pun orangnya.”
Dada Sidanti berdesir
mendengar kata-kata Argajaya itu. Tetapi sesaat kemudian disadarinya bahwa
Argajaya itu adalah adik Argapati. Hampir-hampir saja ia berteriak memaki.
Tetapi sebelum mulutnya bergerak terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa pendek.
Katanya, “Kalian adalah anak-anak cengeng. Kalian mempersoalkan suatu masalah
yang sama sekali tidak berarti. Biar sajalah, apakah Argapati akan mengucapkan
terima kasih atau tidak.”
Sidanti sejenak terbungkam di
tempatnya. Hatinya bergolak tidak menentu. Ia tidak tahu kini, kepada siapa
sebenarnya marah. Kepada laki-laki liar yang mengganggu Pandan Wangi itu,
kepada Samekta atau justru kepada Argajaya? Karena itu, maka dadanya menjadi
pepat dan terdengar giginya gemeretak.
“Kalian benar-benar telah kehilangan
akal.” berkata Ki Tambak Wedi. “Sekarang lepaskan semua persoalan. Biar sajalah
Pandan Wangi menentukan sikapnya. Apakah ia akan kembali ke rumah ayahnya atau
ia akan pergi kepada paman dan kakaknya.”
Namun mereka terkejut ketika
mereka mendengar isak Pandan Wangi yang ditahannya kuat-kuat. Gadis itu masih
menggenggam sepasang pedang. Ia tidak menangis ketika ia berhadapan dengan enam
laki-laki liar dan bahkan sampai kemungkinan bahwa ia akan mati terbunuh atau
membunuh diri. Tetapi kini ketika perasaannya sebagai seorang gadis tersentuh
pada hubungan keluarganya yang kisruh maka hatinya menjadi terlampau pedih.
Sehingga ia tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia kini berdiri sebagai
seorang gadis. Seorang gadis yang seakan-akan berada di persimpangan jalan. Ia
berdiri tegak di antara ayahnya dan kakaknya. Tetapi ayah dan kakaknya itu sama
sekali tidak mempunyai sangkutan darah sama sekali. Dan persoalan itulah yang
agaknya ikut menjadi sebab menyalanya api yang akan membakar Tanah Perdikan ini.
Keenam laki-laki liar yang
telah bertempur melawan Pandan Wangi itupun menjadi heran. Gadis itu tidak
gentar melihat mereka dan ujung-ujung pedang mereka. Tetapi kini, ketika ia
sudah selamat dan tidak lagi berada di dalam bahaya, justru ia menangis.
Dalam keadaan itu, terdengar
Samekta berkata, “Sudahlah, Ngger. Marilah kita kembali.”
Tangis Pandan Wangi belum
mereda. Tetapi ia mencoba menahannya sekuat hati, sehingga dadanya menjadi
pepat, dan seakan-akan hendak meledak.
“Pulanglah, Wangi,” terdengar
suara Argajaya. Betapapun juga gadis itu adalah kemenakannya. Seperti Sidanti,
Argajaya telah dilibat oleh kenangan di masa gadis itu masih kecil. Gadis kecil
itu sering didukungnya, dibawanya bermain-main ke rumahnya sebelum ia sendiri
mempunyai anak perempuan. Meskipun kini anaknya sendiri telah hampir sebesar
Pandan Wangi, namun kenangan itu masih jelas di dalam ingatannya.
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya, ia memang ingin pulang kepada ayahnya. Namun sebelum ia melangkah, terdengar
ia berkata di antara isak tangisnya, “Kakang Sidanti. Kau akan melihat
persoalan yang lebih buruk lagi di saat-saat mendatang, apabila kau masih tetap
di dalam pendirianmu. Itulah yang akan aku, katakan, Kakang.”
Dada Sidanti berdesir
mendengar kata-kata adiknya. Sejenak ia terdiam. Sekilas terasa kebenaran
kata-kata Pandan Wangi. Sebelum persoalan ini meluas, maka ia telah menjumpai
peristiwa yang disesalkannya, justru menimpa adiknya sendiri. Lalu apakah yang
akan terjadi seandainya pergolakan yang kemelut ini menjadi semakin memburuk?
Kekisruhan pasti akan terjadi
di mana-mana. Orang-orang yang ingin meneguk di air yang keruh akan mendapat
kesempatan seluas-luasnya. Kini ia telah dihadapkan pada suatu contoh yang
baik.
Dalam pada itu terdengar suara
Pandan Wangi, “Kakang, apa pun yang pernah terjadi atasmu, kau adalah anak dari
Tanah ini. Tanah Perdikan Menoreh. Apakah dengan demikian kau sampai hati
melihat Tanah ini menjadi ajang keributan dan kekisruhan? Apakah kau sampai
hati melihat orang-orang tak dikenal seperti orang-orang liar ini, berbuat
sekehendak hatinya di sini. Membunuh, merampok, dan memperkosa, justru kitalah
yang mengundang mereka dan memberikan tempat terhormat kepada orang-orang itu.
Mempersilahkan mereka merampas kekayaan di rumah kita sendiri dan sekaligus
membakar rumah kita ini?”
Sidanti tegak sebagai karang.
Terasa tusukan-tusukan yang tajam di jantungnya. Ia melihat kebenaran kata-kata
Pandan Wangi. Betapa pertentangan terjadi di dalam rumah tangga sendiri, bukan
seharusnya kita membawa tetangga-tetangga kita, betapapun baiknya. Apalagi
seliar laki-laki yang telah mengganggu Pandan Wangi itu, untuk ikut serta
mengeruhkan suasana.
Ternyata bukan saja Sidanti
yang langsung tertusuk oleh kata-kata itu, tetapi juga Argajaya sebagai putera
Tanah Perdikan Menoreh. Sudah tampak di depan matanya, pepucuk dari segala
macam bencana yang akan menimpa Tanah ini. Tanah Perdikan yang kini dipimpin
oleh kakaknya sendiri.
Tetapi berbeda tanggapan Ki
Tambak Wedi yang masih saja berada di atas punggung kudanya. Ia melihat gelagat
pada wajah-wajah Sidanti dan Argajaya. Terasa darahnya meluap karenanya. Ia
sadar bahwa kata-kata Pandan Wangi itu langsung mengenai sasarannya. Tetapi ia
tidak dapat membiarkannya. Persoalan ini sudah terlanjur sampai pada suatu
tingkatan yang cukup parah. Sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat melangkah
surut, apa pun yang terjadi. Karena itu maka, ia harus segera berbuat sesuatu.
Membungkam Pandan Wangi sebelum ia berkata terlampau banyak dan berhasil
melemahkan hati kakak dan pamannya. Apabila demikian, maka ia akan berdiri
sendiri dan bahkan mungkin ia akan berhadapan dengan orang-orang yang selama
ini berada di pihaknya. Dan yang paling menyakitkan hati apabila anaknya
laki-laki, Sidanti, terpengaruh pula oleh kata-kata adiknya itu.
Hampir saja Ki Tambak Wedi
memilih jalan yang paling berbahaya baginya tanpa mengenal unggah-ungguh.
Hampir saja ia berbuat kasar terhadap Pandan Wangi. Mengusirnya dan berteriak
keras-keras membantah kata-kata itu dengan seribu macam alasan. Tetapi ternyata
ia pun tidak sampai hati berbuat demikian. Justru karena wajah Rara Wulan
membayang di wajah gadis itu. Wajah seorang perempuan yang telah ikut
menentukan jalan hidupnya. Perempuan yang telah mendorongnya untuk berperang
tanding dan mempertaruhkan nyawa dan kehormatann di bawah Pucang Kembar
beberapa puluh tahun lampau.
Bayangan itulah yang telah
mengekangnya. Dan karena itu yang dilakukan kemudian adalah, mencari jalan
untuk segera mengusir Pandan Wangi itu dengan cara yang lain.
Maka berkata orang tua itu,
“Pandan Wangi. Ayahmu telah memerintahkan bawahannya untuk menjemputmu.
Pulanglah, supaya ayahmu tidak menjadi cemas.”
“Ya, Kiai,” jawab Pandan
Wangi, “aku akan segera pulang. Aku telah puas dapat bertemu dengan Kakang Sidanti,
dapat mengatakan meskipun hanya sebagian kecil dari persoalan-persoalan yang
tersimpan di dalam hatiku.”
“Kami berterima kasih atas
peringatanmu itu. Tetapi kami mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri.
Baiklah, aku kira saat ini yang harus kau lakukan adalah memenuhi panggilan
ayahmu. Aku tahu, betapa gelisah hati orang tua menunggu anaknya pulang.
Apalagi dalam keadaan serupa ini.”
Ternyata usaha Ki Tambak Wedi
itu berhasil. Pandan Wangi segera merasa ingin untuk dapat bertemu secepatnya
dengan ayahnya. Katanya di dalam hati, “Ayah pasti menjadi gelisah karenanya.”
Karena itu maka kemudian
disarungkannya sepasang pedangnya dan berkata kepada kakaknya, “Aku minta diri,
Kakang. Ingat-ingatlah peristiwa ini.”
Sidanti tidak menyahut.
Dipandanginya wajah adiknya yang pucat dan basah oleh keringat dan air mata.
Kemudian ia mengangguk kecil.
“Aku minta diri, Paman,”
berkata Pandan Wangi pula.
“Hati-hatilah, Wangi. Apakah
kau hanya berjalan kaki saja?”
Pandan Wangi menggeleng,
“Tidak, Paman. Aku berkuda. Tetapi kudaku telah lari.”
“Kenapa?”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi dipandanginya beberapa orang laki-laki liar yang masih berdiri di
tempatnya masing-masing.
Argajaya menggeram. Ia tahu,
bahwa orang-orang itulah yang telah sengaja melepaskan kuda Pandan Wangi.
Karena itu maka kemudian katanya, “Pandan Wangi, pakailah kudaku. Aku masih
mempunyai beberapa ekor di rumah.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Ternyata hubungan antara paman dan kemanakannya tidak dapat segera
diputuskan oleh persoalan yang tumbuh kini. Meskipun demikian Ki Tambak Wedi
tidak berkeberatan. Dengan demikian maka Pandan Wangi itu akan segera pergi.
Maka sejenak kemudian, setelah
menyarungkan sepasang pedangnya, Pandan Wangi itu pun sekali lagi minta diri
kepada paman dan kakaknya, kemudian kepada Ki Tambak Wedi. Ia masih ingin
berpesan sesuatu, tetapi Ki Tambak Wedi mendahuluinya, “Selamat jalan, Anak
manis. Hati-hatilah di jalan.” Lalu kepada Samekta ia berpesan, “Jagalah gadis itu
baik-baik. Mungkin banyak bahaya di sepanjang jalan. Ayahnya pasti sudah
menunggunya.”
“Baik, Kiai,“ sahut Samekta,
meskipun hatinya mengumpat orang tua yang licik itu.
Sesaat kemudian maka kedua
ekor kuda itu pun segera berderap meninggalkan mereka yang masih berdiri
mematung di tempatnya.
Sejenak mereka yang
ditinggalkan itu pun masih tegak sambil berdiam diri. Mereka seolah masih belum
dapat melepaskan diri dari peristiwa yang baru saja terjadi. Di tangan mereka
masih tergenggam senjata-senjata masing-masing. Golok, pedang, dan tombak
pendek di tangan Argajaya. Bahkan ketegangan yang mencengkam mereka sama sekali
masih belum mereda.
Dalam keadaan demikian itu
terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa, “Jangan bermain-main lagi.”
Semua orang berpaling kepadanya,
dan ia berkata seterusnya, “Kadang-kadang kita memang perlu memanaskan diri,
supaya apabila terjadi persoalan yang sebenarnya kita benar-benar sudah
bersiap. Tetapi sebaiknya pemanasan itu tidak terjadi dalam kesalah-pahaman.
Sebaiknya memanaskan diri itu harus terjadi secara sadar.”
Tidak seorang pun yang
menyahut. Sekian banyak laki-laki itu seolah-olah masih membeku.
“Sekarang sarungkanlah pedang
kalian” berkata Ki Tambak Wedi seterusnya.
Ketika masih belum ada yang
melakukannya, maka ia berkata kepada Sidanti, “Sidanti. Jangan dipengaruhi oleh
perasaan yang kekanak-kanakan itu. Berpikirlah dewasa, seperti orang yang lain
pun harus berpikir dewasa.”
Laki-laki yang berkumis dan
berjambang itu tiba-tiba menyadari dirinya. Dan tiba-tiba pula ia berkata, “Aku
bukan barang mainan di sini. Aku datang atas undangan kalian. Tetapi di sini
aku sekedar akan dihinakan. Aku tidak mau. Aku harus berbuat sesuatu untuk
menebus hinaan ini. Jangan kau sangka aku berdiri sendiri. Di sini ada beberapa
puluh orang yang datang atas undangan kalian. Seperti aku. Apabila terjadi
sesuatu atasku, maka mereka pasti akan berpikir tentang nasib mereka pula.
Apalagi kalau aku berbicara tentang orang-orangku sendiri di tempatku. Mereka
tidak akan tinggal diam. Kalian harus tahu akibat yang akan melanda Tanah ini.”
Wajah Sidanti yang masih
tegang menjadi kian menegang. Dengan serta-merta ia menjawab, “Tetapi, kami
tidak mengundang kalian untuk menghinakan gadis-gadis kami di sini. Apalagi
Pandan Wangi adalah adikku.”
Laki-laki berkumis itu
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah gadis itu adikmu?”
“Ya.”
Laki-laki berkumis itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya, “Aneh sekali. Kau telah bertekad
untuk melawan Ayahmu. Ayahmu. Tetapi kau sangat terikat kepada adikmu. Kenapa
adikmu tidak kau bawa bersamamu? Menilik pengamatanku, adikmu agaknya berpihak
kepada Ayahmu. Padahal meskipun ia seorang gadis, ternyata ia seorang gadis
yang luar biasa. Lihat, tanganku telah terluka karenanya. Beberapa orang
kawanku pun terluka pula,”
“Salahmu sendiri. Untunglah
adikku mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Kalau tidak, maka kalian pun akan
menjadi mayat di sini.”
“He,” Laki-laki itu
membelalakkan matanya. “Jadi kau benar-benar menghendaki pertengkaran? Ayo,
kami ternyata tidak akan berkeberatan.”
Hampir saja Sidanti berteriak
menjawab tantangan itu, tetapi gurunya mendahuluinya, “Sudah aku katakan.
Apabila kalian ingin memanaskan diri jangan dalam suasana salah paham.
Sarungkan senjata kalian. Yang terluka harus segera diobati. Setiap saat kalian
akan diterkam oleh bahaya. Apalagi sejak Pandan Wangi mengalami perlakuan ini.”
“Jadi kalau terjadi benturan
antara kalian dengan Argapati, kalian ingin menyalahkan kami karena kami
mencegat Pandan Wangi?”
“Bukan itu soalnya. Maksudku,
peristiwa ini akan dapat menjadi penyebab, meledaknya kemelut yang selama ini
seolah-olah, tersekap dalam dekapan yang rapat.”
“Lalu bagaimana maksudmu?
Apakah kami harus menunda perhitungan ini sampai persoalan kalian dengan
Argapati selesai?”
“Tidak. Aku sama sekali tidak
menghendaki persoalan ini berlarut-larut. Seharusnya Sidanti menyadari
kedudukannya, dan tidak membuat persoalan-persoalan baru dengan pihak lain,”
Sidanti terkejut mendengar
kata-kata gurunya, sehingga dengan serta-merta ia berpaling. “Apakah maksud
Guru?”
Ki Tambak Wedi menarik nafas
dalam-dalam. Terasa mulutnya terlampau berat untuk mengucapkannya. Bahkan
perasaannya pun seakan-akan telah mengekangnya. Tetapi ia mencoba mempergunakan
pikirannya. Ia harus memperhitungkan setiap keadaan dengan nalar, tidak dengan
perasaan. Meskipun wajah Rara Wulan seolah-olah terbayang di wajah Pandan
Wangi, namun ketika gadis itu sudah tidak berada di hadapannya, diusahakannya
untuk mengusir bayangan itu dengan pikirannya.
“Apakah yang harus aku
kerjakan Guru?” bertanya Sidanti.
Ki Tambak Wedi tidak segera
menyahut. Di pandanginya wajah Argajaya yang menegang pula. Kemudian
wajah-wajah dari beberapa laki-laki liar yang sedang dilanda oleh kemarahan
itu.
“Maksudku,” berkata Ki Tambak
Wedi, “jangan terjadi persoalan di antara kalian. Aku mengharap kalian yang
kami undang pun dapat menempatkan diri kalian sebagai tamu yang terhormat,
tetapi aku mengharap pula bahwa Sidanti dan pamannya dapat menjadi Tuan rumah
yang baik. Dengan demikian kalian tidak akan terlibat dalam persoalan-persoalan
yang tidak perlu.”
“Tetapi semuanya telah
terjadi,” potong laki-laki berkumis itu. “Kami telah merasakan hinaan atas diri
kami. Baik dari perempuan yang bernama Pandan Wangi maupun dari Sidanti.”
“Itulah yang ingin aku
selesaikan sekarang,” berkata Ki Tambak Wedi. “Persoalan kalian dengan Sidanti
harus kalian anggap tidak pernah terjadi. Sidanti dan Argajaya harus
beranggapan demikian pula,”
“Tetapi mereka telah menghina
adikku,” Sidantilah yang kemudian memotong kata-kata gurunya.
“Persoalan mereka dengan
Pandan Wangi bukanlah persoalan kita, Sidanti.”
“H?,” hampir bersamaan
Argajaya, dan Sidanti bertanya lantang, “Kenapa? Kenapa bukan persoalan kita?”
Sekali lagi Tambak Wedi
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera mengucapkan jawabnya.
Tetapi Sidanti, dan Argajaya
menjadi semakin lama semakin tegang. Mereka ingin mendengar penjelasan dari
orang tua yang masih saja tenang-tenang duduk di atas punggung kudanya.
“Guru,” berkata Sidanti,
“kenapa persoalan Pandan Wangi bukan persoalan kita?”
“Sidanti,” berkata Ki Tambak
Wedi, “kau sudah berbuat tepat saat ini. Sebagai seorang kakak, kau sudah
melakukan kewajibanmu. Tetapi kau juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang lain,
yang juga harus kau lakukan, dan kau pertanggung jawabkan, sehingga kewajiban
yang satu, dan yang lain harus menjadi seimbang.”
Wajah Sidanti menjadi semakin
tegang, dan ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata pula, “Maksudku begini Sidanti.
Kau memang bertanggung jawab terhadap adikmu itu apabila kau melihatnya.
Seandainya peristiwa ini terjadi, dan kau tidak melihatnya, maka tidak seorang
pun yang dapat menyalahkan kau.”
“Melihat atau tidak melihat,
Guru, tetapi peristiwa ini benar-benar peristiwa yang memalukan.”
“Tetapi kehadiran orang-orang
itu sama sekali bukan peristiwa yang memalukan, sebab didorong oleh suatu
cita-cita yang jauh lebih bernilai dari persoalan-persoalan harga diri seorang
gadis. Persoalan yang kita tangani, dan yang mendorong kita mengundang mereka
adalah persoalan Tanah Perdikan. Persoalan yang menyangkut hidup, dan mati
seluruh rakyat di Tanah Perdikan ini. Sedang Pandan Wangi adalah hanya satu
dari antaranya, dari antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh ini. Seperti halnya
kita sendiri. Jangankan kehormatan, tetapi jiwa, dan raga kita, kita
pertaruhkan.”
“Guru. Betapapun tinggi nilai
dari perjuangan kita, tetapi bukankah hal-hal serupa ini tidak perlu terjadi?
Hal-hal yang menyangkut harga diri, dan kehormatan seorang gadis? Guru,
keduanya sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Perjuangan itu dapat berjalan,
dan berlangsung terus, tetapi perampasan kehormatan serupa ini harus
dihentikan.”
“Kau berada di dalam suatu
dunia angan-angan yang hanya dapat terjadi di dalam mimpi, Sidanti. Kehadiran
orang-orang itu di sini, sama sekali tidak dapat dibatasi menurut keinginan
kita. Mereka hadir dengan segala keadaan mereka. Dengan segala sifat, dan watak
mereka. Sehingga hal-hal yang akan terjadi sesuai dengan sikap, dan watak
mereka seharusnya sudah kita perhitungkan sejak semula. Itulah sebabnya aku
tidak terkejut apabila terjadi hal-hal serupa ini. Tetapi hal serupa ini harus
terjadi di luar pengetahuan kita, di luar tanggung jawab kita. Dengan demikian,
kita tidak akan tersangkut dengan perbuatan-perbuatan mereka, tetapi kita juga
tidak akan membuat persoalan dengan mereka yang datang atas undangan kita.”
“Ah,” Sidanti berdesah.
Tetapi sebelum ia berkata
gurunya mendahului, “Adalah kebetulan bahwa yang menjadi korban pertama-tama
adalah adikmu, Sidanti. Tetapi apa boleh buat. Perjuangan yang besar memang
memerlukan pengorbanan.”
“Kiai,” Argajaya tiba-tiba
menyahut, “Kiai dapat berkata begitu karena Kiai tidak mempunyai sangkut paut
dengan gadis itu. Tetapi ia adalah kemanakanku. Bagaimana mungkin aku dapat
membiarkan hal itu terjadi?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Tetapi kemudian ia tersenyum. “Kau memang aneh. Kau sudah menentukan
sikap. Kau telah memilih pihak di dalam pertentangan ini. Kalau kau masih
terikat kepada hubungan keluarga, maka kau harus mempertimbangkannya sepuluh
kali lagi. Argapati adalah kakakmu. Bukan sekedar kemanakanmu. Kau telah berada
di dalam suatu rencana bersama dengan kami. Argapati harus disingkirkan. Apakah
kau juga masih bertanya, bagaimana kau dapat membiarkan hal itu terjadi?”
Terasa desir yang tajam
tergores di jantung Argajaya. Jawaban Tambak Wedi tepat mengenai sasarannya,
sehingga sejenak ia terbungkam. Betapa dahsyatnya gejolak di dalam dadanya,
tetapi ia tidak dapat menemukan jawaban yang tepat atas kata-kata Ki Tambak
Wedi itu.
Sekilas dipandanginya Sidanti.
Ia sadar, bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan dapat mengemukakan persoalan serupa
itu kepada Sidanti, karena Argapati bukanlah Ayahnya.
Suasana yang hening, sejenak
mencengkam setiap hati laki-laki yang ada di tempat itu. Hanya mata-mata mereka
sajalah yang bergerak-gerak hinggap dari satu orang ke orang yang lain.
Dalam keheningan itulah
kemudian mereka mendengar suara Ki Tambak Wedi, “Nah, seharusnya kita pun
saling memelihara setiap hubungan baik yang telah ada. Orang-orang itu kini
sudah tahu bahwa Pandan Wangi adalah adik Sidanti, sehingga mereka tidak akan
dapat berbuat sesuatu atasnya di hadapan Sidanti, dan Argajaya.”
Urat-urat darah Sidanti, dan
Argajaya serasa akan pecah. Tetapi mereka tidak dapat menjawab. Mereka tahu
tujuan kata-kata gurunya, dan mereka pun sadar bahwa Ki Tambak Wedi hendak
mengorbankan apa saja untuk kepentingan rencananya. Apalagi perempuan.
Perempuan yang sama sekali tidak mendapat tempat yang baik di hatinya, sejak ia
terlibat dalam persoalan yang rumit sampai di hari tuanya. Rara Wulan.
Dan Ki Tambak Wedi itu berkata
seterusnya, “Nah aku tetap pada pendirianku. Kalian harus melupakan apa yang
telah terjadi supaya tidak ada retak betapapun kecilnya yang akan dapat
mengganggu kekuatan kita. Tetapi itu tidak berarti bahwa kita masing-masing
boleh berbuat sekehendak diri kita. Kita harus tetap dalam satu ikatan. Yang
satu berusaha untuk tidak menyinggung perasaan yang lain. Kita harus dapat
saling membatasi diri masing-masing,”
Ketika Sidanti akan berbicara,
Ki Tambak Wedi mendahului. “Sidanti, kalau masih ada persoalan di dalam dirimu
atau di dalam diri pamanmu, marilah kita bicarakan di rumah. Tetapi
bagaimanakah tanggapan kita bersama atas peristiwa ini seperti yang aku maksudkan?”
Lalu kepada setiap laki-laki yang masih berdiri mematung di sekitarnya Ki
Tambak Wedi berkata, “Apakah kalian dapat mengerti? Tetapi ingat, Tanah ini
bukan padang rumput yang hijau bagi kawanan kambing yang bodoh. Tetapi Tanah
ini harus bersama-sama kita perjuangkan, kita semai, dan kita pelihara
bersama-sama, supaya kita kelak dapat memetik hasilnya. Bukan sebaliknya,
menjadi arena persengketaan tanpa ujung dan pangkal.”
Sejenak mereka saling
berpandangan. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang segera menjawab.
Sekali lagi mereka terdampar
ke dalam suatu suasana yang hening. Namun terasa bahwa sorot-sorot mata mereka
memancakan pergolakan di dalam dada masing-masing.
Ki Tambak Wedi yang masih
duduk di atas punggung kudanya memandang wajah-wajah yang tegang itu satu demi
satu, seakan-akan ingin melihat perasaan apakah yang tersembunyi di dalam hati
mereka. Pengamatannya yang tajam mengatakan kepadanya bahwa dentang jantung
orang-orang yang telah berkelahi bersama Pandan Wangi itu agak mereda. Sehingga
tanpa sesadar mereka, senjata-senjata mereka pun telah terkulai menunduk
dalam-dalam. Maka ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi berkata kepada mereka,
seakan-akan mereka telah digerakkan oleh tenaga yang tidak mereka mengerti
untuk memenuhinya.
“Sarungkanlah senjata-senjata
kalian.”
Orang-orang liar itu pun
segera menyarungkan senjata-senajata mereka. Sidanti, betapapun kebimbangan
masih melanda dadanya, namun senjatanya pun telah disarungkannya pula.
“Marilah kita kembali,
Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kita akan berbicara terlampau
panjang di sini. Marilah, Ngger Argajaya.”
Sejenak Sidanti dan Argajaya
saling berpandangan. Meskipun mereka mempunyai persamaan sikap tentang Pandan
Wangi, namun ternyata bahwa di dalam hati mereka tumbuh pertentangan yang tidak
mereka sadari. Betapapun juga Argajaya tidak dapat melepaskan kesadaran tentang
dirinya, bahwa ia paman Pandan Wangi, adik ayah gadis itu, dan sama sekali
tidak mempunyai sangkut-paut apapun dengan Sidanti, kakak Pandan Wangi. Sedang
Sidanti pun menyadari hal itu pula. Kesadaran itu merupakan bibit yang tertanam
di dalam hati masing-masing yang mungkin dapat tumbuh. Mungkin pula dapat
menjadi subur, dan berbuah.
Tetapi Ki Tambak Wedi yang
mempunyai pengamatan yang tajam itu pun menyadari keadaan itu pula. Ia
menyadari bahwa benih itu dapat tumbuh dengan subur, dan menghasilkan buah yang
lebat tetapi beracun. Karena itu, maka ia harus menjaga agar benih itu menjadi
kering, dan mati sebelum sempat tumbuh ngrembaka.
Dan agaknya Ki Tambak Wedi
mempunyai keahlian di dalam hal itu.
Sejenak kemudian, Sidanti, dan
Argajaya yang masih tegak berdiri di tempatnya, mendengar Ki Tambak Wedi itu
berkata pula kepada mereka, “Marilah kita pulang. Dapatkah kuda itu kalian
pakai berdua? Kalau tidak, pakailah kudaku. Aku akan berjalan kaki saja.”
Sidanti dan Argajaya sekilas
saling berpandangan. Namun kemudian Sidanti berkata, “Kudaku cukup kuat, Paman.
Marilah silahkan.”
Argajaya tidak menjawab.
Tetapi ia melangkah mendekati kuda Sidanti. Maka kemudian mereka mempergunakan
kuda itu berdua, bersama Ki Tambak Wedi kembali ke rumah Argajaya. Tetapi
keduanya masih sekali lagi berpaling memandang wajah-wajah yang liar, yang
masih berdiri termangu-mangu di tempatnya.
Namun Sidanti segera mengekang
kendali kudanya ketika ia mendengar salah seorang dari orang-orang liar itu
berkata, “Persoalan kami dengan Pandan Wangi bukanlah persoalan kalian.”
Hampir saja Sidanti meloncat
dari kudanya apabila gurunya tidak berkata, “Jangan bodoh, Sidanti. Aku perlu
memberi penjelasan kepadamu di rumah. Kau harus sadar sejak semula, bahwa
korban yang harus diberikan kadang-kadang terlampau memberati perasaan. Tetapi
dalam perjuangan ini kalian jangan terlampau dikuasai oleh perasaan. Tetapi
kalian harus mempergunakan pikiran, supaya perhitungan kalian tidak
terombang-ambing.”
“Maksud Guru?”
“Sudah aku katakan, jangan
mengurusi soal-soal yang tidak bersangkut paut dengan perjuanganmu. Salahnya
sendiri, apabila Pandan Wangi bertemu dengan orang-orang liar itu. Biarlah ia
mempertanggung-jawabkan dirinya sendiri. Bukankah Argapati lebih banyak
mempunyai tanggung jawab atasnya daripada kau?”
Terasa dada Sidanti, dan Argajaya
bergetar. Tetapi mereka masih mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Betapa aku
akan hancur didera oleh peraaanku, apabila aku membiarkan perasaan itu
berbicara. Aku sama sekali tidak dapat melepaskan ingatanku apabila aku melihat
wajah Pandan Wangi. Wajah itu adalah bayangan wajah Rara Wulan. Aku berkata
berterus terang kepadamu, Sidanti, karena Rara Wulan adalah ibumu. Tetapi untuk
kepentingan yang lebih besar, aku paksa diriku sendiri untuk melepaskan
angan-angan, dan bayangan itu, supaya orang-orang liar itu tidak menusuk kita
dari belakang.”
Sidanti dan Argajaya tidak
menyahut. Mereka kini mengerti sepenuhnya maksud Ki Tambak Wedi. Namun demikian
terasa dada mereka masih berdentangan.
“Kita bukan manusia-manusia
cengeng yang hanya dikuasai oleh perasaan. Kita harus mempunyai perhitungan
yang pasti. Kita harus mampu membuat perimbangan, apakah yang kita korbankan
dan apakah yang dihasilkan karenanya.”
Sidanti dan Argajaya masih
tetap berdiam diri. Tetapi kini terjadi percikan-percikan persoalan di dalam
dada mereka. Kata-kata Ki Tambak Wedi itu ternyata seperti ujung jarum yang
menusuk jantung mereka, dan meninggalkan bintik-bintik luka beracun.
Sementara itu, Pandan Wangi
dan Samekta sedang mengendarai kuda mereka meninggalkan tempat terkutuk itu.
Tetapi karena tubuh Pandan Wangi yang lelah, maka ia tidak berpacu terlampau
cepat. Kuda pamannya itu pun masih belum begitu dikenalnya, sehingga
kadang-kadang ia masih harus berusaha menyesuaikan diri.
Tiba-tiba mereka terpaksa
mengekang kuda-kuda mereka ketika serombongan kambing berlari-larian memotong
jalan. Agak jauh di belakang mereka seorang gembala berlari-lari pula,
mengejarnya dengan sebuah cambuk di tangan.
Pandan Wangi menarik nafas.
Namun tiba-tiba ia mengerutkan keningnya dan bergumam, “Sejak beberapa lama,
baru kali ini aku melihat seorang gembala menggembalakan kambing-kambingnya di
ladang terbuka. Apakah gembala itu tidak takut, bahwa kambing-kambingnya akan
dirampas orang atau apa pun, yang dapat berbahaya bagi kambing-kambingnya, dan
bahkan bagi dirinya sendiri?”
Samekta tidak menjawab.
Matanya terikat kepada gembala yang berlari-larian di belakang kawanan
kambingnya yang memotong jalan. Gembala yang bermandi peluh dan kelelahan.
Ketika gembala itu mencoba
meloncati parit di pinggir jalan, ternyata satu kakinya tergelincir dan gembala
itu jatuh terguling ke dalam air. Tertatih-tatih ia mencoba berdiri, sedang
tubuhnya telah menjadi basah kuyup. Bukan karena keringat, tetapi karena air
yang agak keruh. Gembala itu mencoba mengusap mukanya yang kotor. Kemudian sambil
bersungut ia berjalan perlahan-lahan dekat di depan Samekta dan Pandan Wangi,
menyeberangi jalan.
Sesaat Pandan Wangi melupakan
keadaan diri sendiri. Ia tersenyum melihat gembala yang basah kuyup itu.
Gembala itu ternyata sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi ia adalah seorang
anak muda yang telah dewasa.
Ketika gembala itu sampai di
pinggir jalan seberang, ia membungkuk memungut serulingnya yang tiba-tiba saja
terjatuh. Diusapnya seruling itu dengan ujung kainnya yang telah basah pula.
“Hati-hatilah lain kali,”
tanpa sesadarnya Pandan Wangi berkata.
Gembala itu berpaling.
Kemudian membungkuk hormat sekali. “Aku tergesa-gesa sehingga aku tergelincir.”
“Kenapa kau tergesa-gesa?”
bertanya Pandan Wangi pula.
“Menurut orang-orang tua,
keadaan daerah ini agak kurang baik sekarang.”
“Tetapi kenapa kau pergi
menggembala juga?”
“Aku kasihan melihat
kambing-kambingku. Sekali-sekali aku bawa juga ke luar meskipun hanya
sebentar.”
“Kalau dalam waktu yang
sebentar itu kambingmu dirampas orang, bagaimana dengan kau? Apakah
kambing-kambing itu kambingmu sendiri?”
“Ya, kambing-kambing ini
adalah kambing-kambing ayahku sendiri. Aku memeliharanya dengan baik, supaya
kambing-kambing itu dapat berkembang biak dengan baik pula. Kepada
kambing-kambing itulah kami meletakkan harapan kami. Sawah kami terlampau
sempit, dan pekerjaan-pekerjaan lain terlampau sulit didapatkan. Mudah-mudahan
kambingku cepat menjadi banyak.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa
keadaan di daerah ini agak kurang baik? Siapakah yang berkata demikian, dan
apakah sebabnya?”
“Ah, apakah aku mengerti
persoalan itu? Aku tidak tahu. Menurut orang-orang tua dan anak-anak muda yang
ikut bersiap-siap, keadaan semakin hari menjadi semakin buruk. Ki Gede Menoreh
sedang berselisih dengan putranya sendiri. Benarkah begitu? Akulah yang
bertanya, sebab bukankah kau putri Ki Gede Menoreh pula?”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Ia tidak menjadi heran bahwa seseorang segera dapat mengenalnya
sebagai putri satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan ini, meskipun ia sendiri
tidak mengenal gembala itu. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak dapat bercerita
banyak kepada gembala itu, sehingga jawabnya, “Nah, sekarang pulanglah.
Hati-hatilah. Memang keadaan kini agak kurang baik. Tetapi mudah-mudahan segera
dapat diselesaikan.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mudah-mudahan. Kami akan menjadi
senang, karena kami dapat menggembalakan kambing-kambing kami dengan leluasa
dan tidak terganggu oleh rasa takut, dan cemas. Kami pun akan dapat mengerjakan
sawah kami dengan tenang. Bukankah begitu? Kami tidak mengharap terlampau
banyak.”
Pandan Wangi mengernyitkan
alisnya. Ketika ia berpaling kepada Samekta dilihatnya wajah pimpinan pengawal
Tanah Perdikan itu sedang berkerut.
Harapan gembala itu memang
sederhana, dan terlalu wajar. Mereka tidak mengharap terlampau banyak.
Ketenangan untuk bekerja, tanpa dihantui oleh bermacam-macam persoalan yang
menakutkan.
“Siapakah namamu?” tiba-tiba,
Samekta bertanya.
“Gupita,” jawab gembala itu
dengan serta merta.
“He,” Samekta menyahut, “nama
itu terlampau baik buat seorang gembala. Nama itu baik sekali, lebih baik dari
namaku sendiri. Gupita.”
“Siapakah nama Tuan?”
tiba-tiba gembala itu bertanya. Wajahnya memancarkan kejujuran hatinya. Ia
memang ingin tahu nama yang kurang baik dari namanya itu. Dan ia bertanya.
Wajar sekali baginya.
Samekta mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tersenyum dan menjawab, “Samekta. Namaku, Samekta. Bukankah namamu
lebih baik dari namaku?”
Tanpa disangka-sangka gembala
itu mengangguk, “Ya. Memang namaku agak lebih baik. Tetapi tidak terpaut
banyak. Samekta juga nama yang baik meskipun tidak sebaik Gupita. Bukankah
begitu?”
Mau tidak mau Samekta dan
Pandan Wangi terpaksa tertawa. Sejenak mereka melupakan persoalan-persoalan
yang sedang kemelut di Tanah Perdikan ini. Dan dengan demikian mereka mendapat
gambaran, bahwa sebenarnya para gembala, para petani, para penarik pedati,
tidak terlampau banyak mengharap untuk kepentingan mereka. Ketenangan.
Ketenangan bekerja. Tidak ada ketakutan dan ancaman. Hidup damai dalam
lingkungan keluarga yang damai. Mereka sama sekali tidak membayangkan atau
mimpi untuk memiliki sepuluh ekor kuda tunggangan yang paling baik. Tidak ingin
memiliki lima belas pasang lembu yang besar-besar, dan tidak mimpi untuk
mempunyai rumah joglo gandeng tujuh. Tidak. Mereka hanya memerlukan ketenangan,
dan kedamaian hati.
Samekta yang masih tertawa itu
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat mata gembala itu. Terasa
sesuatu berdesir di dalam dadanya. Mata itu seolah-olah memercikkan sesuatu.
“Harapan,” desisnya di dalam
hati. “Mungkin ia terlampau mengharap ketenangan, dan kedamaian hati.
Mudah-mudahan segera akan terpenuhi.”
Sejenak kemudian maka Pandan
Wangi dan Samekta itu segera menyadari keadaannya. Mungkin ayahnya kini sudah
menjadi terlampau gelisah. Karena itu, maka Pandan Wangi pun berkata, “Marilah,
Paman, Ayah menungguku, dan lukaku memerlukan pengobatan pula, meskipun tidak
seberapa dalam.”
“Oh, marilah. Kita
hampir-hampir lupa waktu karena gembala yang aneh ini.”
“Apakah aku menghambat
perjalanan Tuan?” bertanya gembala itu.
Samekta menggeleng, “Tidak.
Kami sendirilah yang menghentikan perjalanan kami.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya sambil menunjuk di
kejauhan, “Apakah orang-orang itu kawan Tuan?”
Samekta dan Pandan Wangi
serentak berpaling. Sebuah goncangan telah memukul dada mereka. Orang-orang itu
adalah orang-orang liar yang telah mencegat Pandan Wangi, sedang berjalan
tergesa-gesa ke arah mereka.
Sekilas Pandan Wangi dan
Samekta saling berpandangan. Terasa tangan mereka gemetar, dan tanpa sesadar
mereka, mereka telah meraba hulu pedang masing-masing.
Gupita yang berdiri di pinggir
jalan memandangi mereka dengan mulut ternganga-nganga. Sesaat ia berpaling
kepada orang-orang yang berjalan tergesa-gesa itu, dan sesaat ia memandangi
Pandan Wangi dan Samekta.
“Apakah mereka bukan
kawan-kawan Tuan?” Gupita bertanya sekali lagi.
Samekta menggeleng. Tetapi
tidak menjawab. Bahkan ia berkata kepada Pandan Wangi, “Mereka benar-benar
orang yang buas.”
Meskipun Pandan Wangi bukan
seorang penakut, tetapi terasa bulu-bulunya meremang. Ia tidak takut seandainya
ia harus bertempur di antara hidup, dan mati. Tetapi kerakusan orang-orang
itulah yang telah membuatnya terlampau ngeri.
“Untung Angger Sidanti telah
menyelamatkanmu,” desis Samekta.
Pandan Wangi mengangguk.
Katanya, “Aku sudah sampai kepada keputusan untuk membunuh diri. Tetapi berdua
dengan Paman Samekta aku mengharap dapat membinasakan mereka.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi Ki Gede Menoreh akan menjadi
terlampau gelisah. Ki Gede telah menunggumu.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Tetapi terasa tangannya terlampau gatal. Kemarahan, dan kebencian
telah membakar jantungnya. Meskipun demikian ia berkata, “Apakah yang sebaiknya
kita lakukan, Paman?”
“Kembali. Kembali dahulu
kepada ayahmu. Kemudian terserah, apa yang akan kau lakukan. Seandainya aku
harus ikut bersamamu, aku pun tidak akan berkeberatan.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Orang-orang itu semakin lama menjadi semakin dekat. Tetapi mereka pasti tidak
akan dapat mengejarnya seandainya Samekta dan Pandan Wangi melarikan kuda
mereka, meskipun tidak usah dipacu. Karena itu Samekta dan Pandan Wangi tidak
menjadi tergesa-gesa. Bahkan Pandan Wangi masih dapat berkata kepada Gupita,
“Gupita. Apakah kau tidak berusaha untuk menyingkirkan kambing-kambingmu?”
“Kenapa ?”
“Mudah-mudahan orang-orang itu
tidak tertarik kepada kambing-kambingmu yang gemuk itu. Tetapi kalau kau
sempat, singkirkanlah. Apabila mereka tiba-tiba saja ingin daging kambing maka
kau pasti akan kehilangan. Mereka akan mengambil begitu saja tanpa banyak
persoalan. Karena itu, lebih baik bagimu untuk menyingkir.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak berbuat demikian. Ia tidak berlari
dengan tergesa-gesa menggiring kambing-kambingnya. Tetapi ia masih berdiri
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun kini ia berdiri memandang ke
arah orang-orang itu dengan tajamnya.
“Enam orang,” desisnya.
“Ya, enam orang,” ulang
Samekta.
Dan Pandan Wangi menyahut,
“Karena itu singkirkan kambing-kambingmu.”
Samekta berpaling ke arah beberapa
ekor kambing yang sedang makan rumput dengan asyiknya dipinggir-pinggir
pategalan. Sejenak kemudian matanya berkisar kepada orang-orang yang baru
datang itu.
Dan tiba-tiba saja ia
bergumam, “Enam orang. Bukankah mereka berenam? Dua di depan, dan empat di
belakang. Bukankah begitu?”
“Ya. Mereka memang berenam.
Kenapa?”
“Seandainya mereka ingin makan
daging kambing, mereka tidak akan dapat menghabiskan seekor yang tidak
terlampau besar.”
“Tetapi mereka tidak akan puas
dengan demikian. Mungkin mereka akan mengambil tiga empat ekor. Atau bahkan
seorang satu. Mereka bawa kambing-kambing itu ke pondok mereka. Setiap hari
mereka menyembelih seekor daripadanya. Apabila kambing itu telah habis, mereka
akan mencarimu atau mencari kandang-kandang kambing yang lain di
padukuhan-padukuhan itu.
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia masih belum beranjak pergi. Bahkan kemudian ia berdesis,
“Aku akan mempertahankan milikku. Kambingku tidak lebih dari tujuh ekor selain
anak-anaknya. Aku akan mempertahankan milik keluargaku itu.”
Samekta dan Pandan Wangi
terperanjat. Hampir bersamaan mereka berkata, “Jangan. Jangan kau coba, Gupita.
Mereka adalah orang-orang yang paling buas yang pernah aku temui. Karena itu,
menyingkirlah. Kau tidak akan dapat melawan mereka. Seorang daripadanya pun kau
tidak akan dapat mengalahkannya, apa lagi mereka berenam.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Katanya, “Mereka tidak berhak berbuat demikian. Kambing itu adalah kambing
keluarga kami. Kalau mereka minta dengan baik-baik, mungkin aku akan memberinya
seekor. Kalau tidak, maka aku akan bertahan. Mereka akan dapat dihukum dengan
melakukan perampasan itu.”
“Siapakah yang akan menghukum
mereka?”
“Ki Gede Menoreh. Ki Gede
Menoreh harus melindungi kami.”
Pandan Wangi dan Samekta
terkejut mendengar jawaban itu. Sejenak mereka terdiam, dan saling
berpandangan. Tetapi kata-kata itu sama sekali tidak salah.
“Apakah kami harus membiarkan
diri dirampas hak-hak kami? Itu tidak adil.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia mencoba untuk menasehati. “Jangan berbicara tentang hak dan keadilan
pada saat-saat seperti ini, Gupita. Aku hargai keberanianmu, tetapi kau harus
mencoba menyesuaikan dirimu.”
“Kenapa?” bertanya gembala
itu.
“Kini baru terjadi benturan
kekuatan di atas Tanah ini. Benturan kekuatan yang kadang-kadang melanggar
segala macam nilai-nilai yang selama ini kita junjung tinggi. Hak dan keadilan,
bahkan kebenaran sedang berada di dalam ujian. Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh
mampu menegakkannya dengan melenyapkan kekuatan-kekuatan yang akan menodainya.”
Gembala itu meggeleng lemah,
“Aku tidak mengerti. Tetapi kambing itu kambingku. Tak ada orang lain yang
berhak atasnya. Juga orang-orang itu. Bahkan kalian pun tidak berhak pula
merampasnya.”
Samekta dan Pandan Wangi
menjadi berdebar-debar. Orang-orang itu kini sudah menjadi semakin dekat.
Karena itu maka Pandan Wangi berkata pula, “Menyingkirlah. Aku pun akan
menyingkir karena Ayah menungguku. Apabila tidak, maka aku akan membantumu.
Tetapi kesempatan yang paling baik saat ini bagimu adalah menyingkir
cepat-cepat bersama kambing-kambing itu. Cobalah, berusahalah meskipun mereka
telah semakin dekat.”
Gembala itu memandang Pandan
Wangi dengan mata yang hampir tidak berkedip. Namun sesaat kemudian pandangannya
beralih kepada Samekta, dan sesaat pula kepada orang-orang yang berjalan
semakin dekat. Tetapi ia bertanya, “Apakah orang-orang yang merampas hak orang
lain itu tidak akan dihukum?”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Amat sulitlah agaknya memberi penjelasan kepada gembala itu.
Meskipun demikian ia menjawab, “Seharusnya ia dihukum. Tetapi kalau ia
berpedang di lambungnya, maka untuk menghukumnya diperlukan kekuatan yang dapat
melampaui kekuatan pedang orang-orang itu.”
Gembala itu masih belum mengerti
menilik pandangannya yang termangu-mangu. Tetapi Pandan Wangi dan Samekta sudah
tidak mempunyai kesempatan lagi. Orang-orang liar itu kini telah menjadi
semakin dekat.
“Pergilah, lain kali kita
berbicara. Di mana rumahmu?” bertanya Samekta.
“Di Randu Putung.”
“Randu Putung? Padukuhan itu
dekat dengan Pucang Kembar, he?”
Gembala itu menganggukkan
kepalanya, “Ya, di sebelah utara.”
“Kenapa kau menggembala sampai
ke tempat ini? Bukankah jarak ini terlampau jauh, apalagi dalam keadaan seperti
ini?”
Gembala itu mengerutkan
keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab, “Aku mengikuti saja ke mana
kambing-kambingku pergi.”
Sejenak Samekta dan Pandan
Wangi saling berpandangan. Tetapi sebelum mereka berkata sesuatu, mereka
berpaling. Terdengar salah seorang dari laki-laki yang datang itu berteriak,
“He, Pandan Wangi, apakah kau menunggu aku, he?”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi ia berkata kepada gembala itu, “Pergilah. Aku pun akan segera pergi.”
“Tunggulah. Aku segera
datang,” terdengar yang lain berteriak pula. Langkah mereka ternyata menjadi
semakin cepat, pergi ke arah mereka. Bahkan orang yang berjalan di paling
belakang berlari-lari kecil menyusul kawan-kawannya yang sudah lebih dahulu
daripadanya.
Pandan Wangi mengerutkan
dahinya. Lalu ia bergumam, “Marilah, Paman. Sebelum mereka terlalu dekat. Aku
tidak yakin bahwa aku dapat menahan kebencianku kepada mereka. Sehingga lupa
diri dan berusaha berbicara dengan pedangku.”
“Marilah, Ngger,” sahut
Samekta, meskipun tangannya pun melekat di hulu pedangnya. Agaknya kebenciannya
pun meluap sampai di ujung ubun-ubunnya. Bahkan ia menggeram, “Seandainya Ki
Gede tidak menunggu.”
Keduanya kemudian menggerakkan
kuda mereka perlahan-lahan. Mereka masih mencoba meyakinkan gembala itu supaya
pergi. Tetapi mereka tidak mau menunggu orang-orang liar itu supaya mereka
tidak tertahan-tahan lagi.
“He, ke mana kau, Pandan
Wangi? Bukankah kau menunggu aku?”
Pandan Wangi sama sekali tidak
menghiraukannya. Perlahan-lahan kudanya mulai melangkah meninggalkan gembala
yang masih berdiri termangu-mangu.
“Pergilah, pergilah. Jangan
menarik perhatiannya,” desis Samekta.
Tetapi Samekta
menggeleng-gelengkan kepalanya ketika gembala itu sama sekali tidak beranjak
dari tempatnya.
“Apa boleh buat,” desis Pandan
Wangi. “Kami sudah mencoba memperingatkannya. Gembala itu jujur. Tetapi agak
dungu.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara kudanya berjalan meninggalkan Gupita yang masih berdiri di
tempatnya. Mereka masih mendengar orang-orang yang berjalan ke arah mereka
berteriak. “Tunggu, tunggu, Pandan Wangi. Aku ingin berbicara. Sedikit saja.”
Tetapi Pandan Wangi dan
Samekta tidak menghiraukannya lagi. Semakin lama langkah-langkah kuda mereka
justru menjadi semakin cepat, meskipun kadang-kadang mereka masih berpaling.
Mereka masih melihat orang-orang itu melambaikan tangan mereka dan berkata
lantang, “Aku ingin berbicara sedikit kepadamu, Wangi. Aku tidak akan
mengganggumu lagi.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Tetapi Samekta berkata, “Jangan hiraukan mereka. Mereka adalah
orang-orang yang licik dan tidak mengenal tata kehidupan yang baik sebagaimana
seharusnya.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kudanya berjalan semakin cepat. Lambat laun
kuda itu pun berlari. Derap kakinya terdengar semakin lama semakin cepat, dan
keras memukul-mukul jalan berbatu padas. Ketika mereka berdua berpaling, mereka
melihat laki-laki itu berdiri berjajar di tengah-tengah jalan tanpa
menghiraukan Gupita sama sekali.
“Mudah-mudahan anak itu tidak
diganggu,” desis Pandan Wangi.
“Mudah-mudahan,” sahut
Samekta. “Aku melihat sesuatu yang aneh pada gembala itu. Aku semula
menganggapnya jujur tetapi bodoh seperti sangkamu. Tetapi aku melihat sesuatu
yang lain pada sorot matanya.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ia berdesis, “Ya, aku melihat juga sinar matanya yang
berkilat-kilat. Tetapi mungkin ia memang seorang gembala yang jujur tetapi
bodoh, namun ia memiliki sesuatu yang lain di dalam dirinya. Ah, tetapi ia
ter-lampau mengharapkan sesuatu di hari mendatang. Pancaran harapannya itulah
yang agaknya membuat matanya bersinar-sinar.”
Samekta tidak menjawab. Ketika
ia sekali lagi berpaling, ia melihat gembala itu berdiri di antara orang-orang
liar itu. Tetapi mereka telah agak jauh, sehingga mereka tidak dapat melihat
dengan jelas apakah yang kemudian dapat terjadi.
“Mudah-mudahan anak itu selamat.
Mudah-mudahan ia tidak berkeras kepala mempertahankan haknya, supaya kepalanya
tidak dipenggal.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang gembala itu sangat menarik perhatian.
Ada berapa ratus gembala yang pernah dilihatnya dan bahkan dikenalnya. Tetapi
gembala yang satu ini ternyata agak lain. Sikapnya, kata-katanya, walaupun
sederhana, dan sorot matanya.
Sepeninggal Pandan Wangi dan
Samekta, orang-orang liar itu ternyata tertarik akan kehadiran gembala yang
masih tegak di tempatnya. Salah seorang daripadanya segera menghampirinya, dan
bertanya, “Apa kerjamu di sini? Menggembalakan kambing-kambing itu?”
Gembala itu berpaling kepada
kambing-kambingnya. Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya, aku sedang menggembalakan
kambingku itu.”
Laki-laki itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak menaruh perhatian sama sekali. Tetapi
tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Kita tebus kegagalan kita dengan
daging kambing.”
Agaknya pendapat itu memang
menarik perhatian kawan-kawannya. Tanpa berjanji, mereka serentak berpaling ke
arah sekumpulan kambing yang sedang makan dengan asyiknya. Kambing itu tampak
gemuk dan segar, sehingga hampir serentak orang-orang itu menyahut, “Ya, kita
tebus kegagalan kita dengan daging kambing.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Tetapi ia masih tetap berdiam diri. Ketika ia berpaling, maka Samekta dan
Pandan Wangi sudah tidak dilihatnya lagi. Perlahan-lahan ia menarik nafas dan
tiba-tiba ia tersenyum.
“He, apakah kambing-kambing
itu milikmu?” bertanya salah seorang daripada orang-orang yang berwajah seram
itu sambil memilin kumisnya.
“Ya,” Gupita menganggukkan
kepalanya, “punyaku.”
“Aku memerlukannya. Kau
tinggalkan sajalah kambing-kambing itu di sini. Biarlah kami yang
memeliharanya. Kau harus menyumbang kepada perjuangan yang sedang kami lakukan
ini, untuk kepentingan putra Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang akan membuat
kalian terlepas dari kekuasaan Argapati yang buas itu. Apakah kau mengerti?”
Tiba-tiba saja Gupita
menggeleng. “Aku tidak mengerti,” jawabnya.
Orang-orang itu mengerutkan
kening mereka. Sejenak mereka saling berpandangan. Dan sejenak kemudian mereka
tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Pantas kalau kau tidak mengerti.
Kau tidak perlu mengerti, gembala dungu. Sekarang, pulanglah. Tempat ini
sungguh-sungguh berbahaya. Untung kedua orang berkuda itu tidak memenggal
kepalamu sehingga kau masih tetap hidup. Nah, pergilah. Kalau kedua orang itu
kembali maka kau pasti tidak akan dapat pulang ke rumahmu selain namamu. Mereka
pergi karena mereka takut akan kedatangan kami, sehingga kamilah sebenarnya
yang telah menolong nyawamu. Karena itu tinggalkanlah kambing-kambingmu untuk
kami. Kami akan berterima kasih atas sumbanganmu itu. Kau sudah ikut serta
membantu perjuangan kami.”
Gembala itu memandang
laki-laki itu satu demi satu. Dan tiba-tiba pula jawabnya mengejutkan, “Tidak.
Aku tidak dapat memberikan kambing-kambing itu kepada kalian. Kambing-kambing
itu adalah milik kami yang paling berharga.”
“He,” laki-laki berkumis dan
berjambang, yang kedua tangannya telah terluka membelalakkan matanya, “kau
membantah?”
“Kambing-kambing itu adalah
hakku. Kalau kau memaksa kau akan dihukum.”
“He, siapakah yang akan
menghukum kami?”
“Argapati. Ki Gede Menoreh
yang kini memimpin Tanah Perdikan ini.”
Orang-orang itu hampir
serentak tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “Ki Gede Menoreh sebentar
lagi akan mati, yang kemudian akan memimpin Tanah ini adalah putranya. Sidanti.
Kau dengar?”
“Itu bukan urusanku. Tetapi
kini yang berkuasa adalah Argapati. Bukan Sidanti. Justru Sidanti kini sedang
melawan kekuasaan ayahnya sendiri, yang sejak kecil memberinya makan dan minum.
Memberinya tempat berteduh, memberinya pakaian, dan memberinya segala-galanya
yang diperlukan. Ternyata Sidanti itu kini melawannya. Ia tidak puas dengan
segala macam pemberian itu, bahkan janji untuk memegang kekuasaan kelak. Ia
ingin terlampau cepat dan karena keinginan yang membara di dadanya itulah maka
ia telah sampai hati untuk melawan ayahnya sendiri. Mungkin pengaruh gurunyalah
yang memaksanya berbuat demikian. Dan kau adalah alat-alatnya yang paling
memuakkan. Kau cegat Pandan Wangi dengan caramu yang paling kasar. Untunglah
bahwa Sidanti masih merasakan ikatan kekeluargaan yang tidak dapat dilupakan
dengan tiba-tiba.”
“He,” Orang-orang itu
terperanjat, “kau melihat hal itu?”
“Aku melihatnya. Aku
menggembala tidak jauh dari tempat itu ketika hal itu terjadi. Aku bersembunyi
di balik gerumbul-gerumbul, dan dinding batu. Ketika Sidanti datang dan
ternyata berpihak kepada Pandan Wangi, aku diam-diam pergi. Aku merasa bahwa
gadis itu dapat diselamatkan seperti yang ternyata kemudian. Kini, kau akan
menebus kegagalan itu dengan merampas kambing-kambingku. Aku tidak boleh. Itu
adalah hakku. Kalau kau minta, aku dapat memberimu seekor menurut pilihanku,
karena aku kasihan melihat kalian kelaparan.”
Wajah-wajah yang buas itu
tiba-tiba menjadi merah padam. Mereka tidak menyangka, bahwa mereka akan
bertemu dengan seorang gembala yang gila, yang berani mengusik mereka, dan
bahkan seolah-olah menantang mereka. Karena itu, maka salah seorang dari mereka
yang tidak dapat menahan diri lagi maju beberapa langkah. Ditamparnya pipi
Gupita sehingga gembala itu terhuyung-huyung beberapa langkah. Hampir saja ia
terjatuh, tetapi segera ia berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya.
“Kau tahu akibat dari
penolakanmu itu, he, gembala gila?” teriak laki-laki yang menampar pipinya itu.
Gupita mengerutkan keningnya.
Dengan mantap ia menjawab, “Ya.”
“Akibat itu adalah akibat yang
paling buruk dapat terjadi atasmu. Kau dengar?”
“Ya. Mungkin kalian akan
membunuh aku, sebab kalian lebih menghargai kambing-kambing itu daripada nyawa
seseorang. Bukankah begitu?”
“Setan!” bentak laki-laki yang
lain. Orang itu tidak sekedar menampar pipi Gupita, tetapi dipukulnya pelipis
anak itu, sehingga sekali lagi gembala itu terhuyung-huyung beberapa langkah
surut. Tetapi ia tidak juga jatuh terbanting di tanah.
“Jagalah mulutmu,” geram
laki-laki itu, “aku akan menyobeknya atau menyumbatnya dengan ujung pedang.
Dengar, kau harus segera pergi. Tinggalkan kambing-kambingmu di sini. Kalau kau
tidak rela, laporkanlah kepada pelindungmu, Argapati. Aku tidak takut meskipun
seandainya ia akan datang kemari, dan akan mencoba menangkap kami. Kami sudah
siap.”
Gupita menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Aku tidak akan melaporkan hal ini kepada siapa
pun. Kalau di daerah ini masih berlaku wewenang peraturan-peraturan yang
diakui, aku memang akan melaporkannya. Tetapi agaknya kalian sudah menjadi
terlampau liar, sehingga kalian sudah tidak menghargai setiap peraturan yang
ada. Kalian agaknya membanggakan diri kalian karena kalian berpedang di
lambung. Kalau demikian, baiklah. Aku akan mempergunakan cara serupa untuk
mempertahankan hakku. Aku tidak perlu menurut peraturan yang berlaku pula. Aku
akan bertindak sendiri, karena kalian adalah orang-orang liar yang berdiri di
luar peraturan yang manapun juga.”
Jawaban itu benar-benar tidak
disangka-sangka oleh orang-orang liar itu. Karena itu, maka darah mereka pun
segera mendidih. Laki-laki yang kekurus-kurusan agaknya benar-benar tidak dapat
menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya. Dengan sekuat
tenaganya diayunkannya pedangnya sambil berteriak, “Matilah kau, gembala gila.”
Tetapi ternyata gembala itu
tidak dengan suka-rela menyerahkan lehernya. Bagaimanapun juga ia berusaha
untuk melepaskan dirinya dari sentuhan maut. Karena itu ketika ia melihat
seseorang mengayunkan pedangnya, ia pun berusaha untuk menghindar. Tetapi
ketika ia mencoba melangkah surut, tiba-tiba kakinya terperosok, sehingga ia
jatuh berguling. Tetapi ternyata bahwa dengan demikian ia terlepas dari ujung
pedang itu, karena begitu ia terpelanting, maka pedang itu terbang secengkang
dari atas kepalanya.
“Setan alas!” teriak laki-laki
yang kekurus-kurusan itu. Ia terseret dua langkah oleh kekuatannya sendiri.
Gupita yang terjatuh itu
segera merangkak-rangkak untuk berdiri. Ketika ia tegak di seberang parit yang
dangkal, ia melihat orang-orang liar itu memandangnya dengan mata merah.
Apalagi yang kekurus-kurusan, yang telah gagal menebaskan pedangnya.
“Kau tidak akan dapat lari,”
geram laki-laki yang kekurus-kurusan itu. “Kau pasti akan mati. Bangkaimu akan
menjadi makanan burung-burung gagak yang berkeliaran di langit itu.”
Gupita masih berdiri di
tempatnya. Dipandanginya wajah-wajah yang buas itu satu demi satu. Kemudian ia
berkata, “Sebelum terlambat, lebih baik kalian mengurungkan niat kalian.
Pergilah. Kembalilah kepada Sidanti dan Argajaya. Berkatalah kepada mereka dan
kepada Ki Tambak Wedi, bahwa perbuatan mereka benar-benar tidak dapat
dimengerti oleh orang-orang Menoreh yang berpikiran bening. Apalagi tindakan
kalian yang liar melampaui keliaran perampok-perampok di waktu malam, sebab
kalian merampok di siang hari tanpa berusaha menyembunyikan diri kalian dari
kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh.”
“Tutup mulutmu!” bentak orang
yang berkumis dan berjambang. “Sadarilah dengan siapa kau berhadapan.”
“Aku sadar sesadar-sadarnya.
Kau pun harus sadar dengan siapa kau berhadapan. Kau orang yang tidak dikenal
di sini, dan ternyata kau pun belum mengenal Tanah ini. Kau tidak dapat
mengalahkan Pandan Wangi seorang diri meskipun ia hanya seorang gadis. Aku sengaja
mengintai perkelahian itu. Dan kalian tidak usah ingkar sebab aku melihat
sendiri. Sekarang kau berhadapan dengan salah seorang gembala yang paling dungu
di atas Tanah Perdikan ini. Dengar, aku yakin bahwa kau akan dapat menilai,
betapa kekuatan yang tersimpan di Tanah ini. Apakah gunanya kalian berusaha
untuk membantu Sidanti kalau kalian sama sekali tidak berarti di hadapan
orang-orang Menoreh.”
Darah yang telah mendidih,
menjadi semakin mendidih, sehingga wajah-wajah orang-orang liar itu terasa menjadi
semakin panas. Tiba-tiba salah seorang dari mereka meloncati parit itu pula
dengan pedang di tangan. “Aku akan membunuhmu. Tetapi aku tidak akan berbuat
curang. Aku beri kesempatan kau melawan. Cepat, bersiaplah. Kawan-kawanku akan
menjadi saksi.”
“Apakah sikapmu itu sudah kau
pikirkan masak-masak?” jawab gembala itu. “Kau pasti akan menyesal. Karena itu,
berkelahilah berbareng.”
“Cepat! Aku hampir tidak dapat
menahan diri lagi. Jangan berbicara lagi, supaya aku tidak segera ingin
menyobek mulutmu.”
“Kau juga hanya berbicara
saja. Cepat, lakukanlah.”
Panas hati laki-laki itu bukan
buatan. Selangkah ia maju perlahan-lahan sambil menjulurkan pedangnya tepat ke
wajah gembala yang dianggapnya gila itu sambil berkata, “Lihat, mulutmu akan
benar-benar aku sobek dengan pedang ini.”
Laki-laki itu tidak segera
ingin menusukkan pedangnya dengan bersungguh-sungguh. Ia hanya ingin supaya
Gupita segera melawannya. Karena itu, maka pedangnya terjulur perlahan-lahan
meskipun benar-benar mengarah ke mulutnya.
Tetapi ternyata laki-laki itu
tidak menyangka bahwa Gupita benar-benar berbuat gila. Tanpa di sangka-sangka
anak muda itu merendahkan dirinya, dan benar-benar seperti orang gila ia
melecut tangan laki-laki itu dengan sekuat-kuat tenaganya. Ketika ujung cambuknya
membelit pergelangan tangan lawannya, maka dengan sekuat tenaganya cambuk itu
disentakkannya.
Perbuatan itu benar-benar
perbuatan yang tidak diduga oleh siapa pun. Namun ternyata hentakan cambuknya
yang tiba-tiba serta dengan sekuat tenaga itu, membuat pedang lawannya
benar-benar terlepas dan jatuh di tanah.
Laki-laki itu menyeringai
menahan sakit di pergelangan tangannya. Ujung cambuk yang membelit tangannya,
serta tarikan yang menyentak itu telah meninggalkan jalur-jalur merah pada
pergelangan tangannya.
Terdengar laki-laki itu
menggeram. Matanya benar-benar menjadi semerah darah. Segera ia meloncat untuk
memungut pedangnya. Tetapi sekali lagi, tanpa diduga-duga, Gupita meloncat dan
menginjak hulu pedang itu dengan kakinya, sementara tangannya dengan membabi
buta mengayunkan cambuknya. Anak itu benar-benar seperti kerasukan setan.
Lecutan-lecutan yang menghentak-hentak langsung memukul laki-laki yang sedang
membungkuk untuk memungut pedangnya, tetapi yang karena injakan kaki Gupita
maka ia tidak segera dapat mengambilnya. Sementara itu, tiba-tiba saja terasa
tubuhnya seolah-olah telah dirajang dengan ujung cambuk tanpa hitungan.
Yang terdengar kemudian adalah
sebuah jeritan yang seram bercampur-baur, dengan gemeretak gigi. Laki-laki itu
berusaha untuk menghindar. Secepat-cepatnya ia meloncat mundur. Tetapi
sementara ujung cambuk Gupita masih juga berhasil menyambar wajah, dan lehernya
beberapa kali.
Peristiwa itu benar-benar
tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Seorang gembala yang menjadi gila dan
membabi buta mempertahankan haknya dengan cara yang tersendiri. Ia tidak
berkelahi dengan ilmu tata bela diri yang teratur dari perguruan manapun,
apalagi yang namanya sudah dikenal. Tetapi ia mempergunakan cara seperti
seorang yang kerasukan setan.
Kawan-kawannya yang melihat
berdiri ternganga, tanpa berbuat sesuatu. Mereka seolah-olah terpukau oleh
peristiwa yang belum pernah disaksikannya, sehingga justru karena itu, mereka
tidak segera dapat berbuat sesuatu. Baru setelah mereka mendengar kawannya
mengerang sambil mengumpat-umpat, mereka sadar apa yang telah terjadi. Salah
seorang dari mereka telah menjadi sedemikian lemahnya oleh lecutan yang tidak
terkendali sama sekali.
Dengan demikian maka sejenak
kemudian terdengar setiap mulut menggeram dengan sorot mata yang seolah-olah
memancarkan api.
Tetapi mata gembala itu pun
seolah-olah telah menyala pula. Giginya pun menjadi gemeretak. Sejenak
dipandanginya setiap wajah yang berdiri berjajar di hadapannya. Satu demi Satu.
Sedang dikeningnya mengalir titik-titik keringat membasahi wajah.
Laki-laki yang
kekurus-kurusan, yang pendek berwajah mengerikan, yang bertubuh sedang dan
berdahi seperti lapangan, yang berkumis dan berjambang lebat, dan yang
lain-lainnya, masih terpukau di tempatnya. Namun tangan mereka menjadi gemetar
seperti jantung di dada mereka yang serasa akan meledak.
Tetapi, sekali lagi
orang-orang liar itu dicengkam oleh keadaan yang tidak di sangka-sangkanya.
Tiba-tiba saja gembala itu meloncat dan berlari secepat dapat dilakukan meninggalkan
lawan-lawannya. Yang terdengar kemudian adalah suaranya melengking, “Aku tidak
sempat melayani kalian lebih lama lagi. Lain kali kita akan bertemu. Agaknya
ayahku telah berhasil menyembunyikan kambing-kambingku. Kalian tidak akan dapat
menemukannya, sebab perhatian kalian terikat kepadaku.”
Namun orang-orang itu segera
menyadari keadaan. Tanpa berjanji segera mereka berloncatan, berlari mengejar
Gupita. Tetapi agaknya langkah Gupita cukup cepat, sehingga jarak mereka
semakin lama tidak menjadi semakin dekat, tetapi justru menjadi semakin jauh.
“Kau tidak akan lepas dari
tangan kami,” teriak laki-laki yang agak pendek. Tetapi ia sendiri tidak yakin
bahwa hal itu dapat mereka lakukan. Sebab ternyata Gupita kini menjadi kian
jauh. Anak itu ternyata cukup berpengalaman, berlari-lari di atas pematang yang
basah dan licin.
“Setan alas!” yang
kekurus-kurusan mengumpat. Nafasnya menjadi tersengal-sengal. “Anak itu
benar-benar anak setan.”
Akhirnya orang-orang itu
berhenti mengejar. Di antara mereka mengumpat tidak habis-habisnya. Dan bahkan
yang berkelahi melawan Gupita dan tubuhnya telah dirajang dengan ujung cambuk
berkata, “Anak itu harus mati. Sayang aku menjadi lengah karena aku tidak menyangka
bahwa ia akan menjadi gila seperti itu.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi yang berkumis dan berjambang berkata,
“Tidak. Jangan disangka ini suatu kebetulan. Aku tidak percaya bahwa gembala
itu adalah seorang gembala yang dungu. Aku tidak percaya bahwa karena
tingkahnya yang membabi buta itu ia mampu melakukan ini semua. Merampas pedang
dan kemudian menjelajahi tubuh itu dengan ujung cambuknya. Dua kali kita telah
tertipu selama kita berada di Menoreh. Aku telah tertipu oleh gadis yang
bernama Pandan Wangi itu sehingga pada gerak yang pertama, kedua tanganku telah
terluka. Sekarang salah seorang dan kita telah terkelabuhi pula oleh anak muda
yang mengaku dirinya seorang gembala itu. Tidak. Aku tidak percaya bahwa ia
sekedar seorang gembala yang dungu. Lihat, apakah kita berhasil mengejarnya?
Lihat apakah kita akan dapat menemukan kambing-kambingnya lagi yang katanya
telah disingkirkan oleh ayahnya? Siapakah ayahnya itu, dan kenapa kita sama
sekali tidak melihat bagaimana caranya menyingkirkan kambing-kambingnya?”
Kawan-kawannya tertegun
mendengar keterangan itu. Barulah kini mereka berpikir, bahwa gembala itu pasti
bukan hanya sekedar seorang gembala, pasti bukan. Meskipun ia berkelahi dengan
cara yang liar, namun saat-saat yang menentukan yang diambilnya, benar-benar
hasil dari perhitungan yang matang.
Orang berkumis itu berkata
pula, “Apakah kau sangka suatu kebetulan pula bahwa ia terjatuh ketika
kepalanya hampir tersentuh pedang yang terayun demikian derasnya? Pasti tidak.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir berbareng mereka bergumam, “Ya, pasti
tidak.”
“Karena itu, kita harus
menemukannya. Betapa cepat larinya, ia pasti tidak akan pergi terlampau jauh
dari kawanan kambing-kambing itu. Dan betapa cepat lari kawanan kambing-kambing
itu, pasti masih belum terlampau jauh. Dan kambing-kambing itu pasti tidak akan
secerdik gembalanya, untuk bersembunyi sambil menenggang nafasnya. Seandainya
kita hanya menemukan kambing-kambingnya dan tidak menemukan orangnya, biarlah
kita pakai sebagai penawar kejengkelan di dalam hati.”
Kawan-kawannya mengerutkan
keningnya. Tetapi mereka pun bersetuju. Kalau terpaksa mereka tidak dapat
menemukan Gupita, maka cukuplah kiranya mereka menangkap kambing-kambingnya
saja.
Demikianlah, maka segera
mereka berjalan kembali. Diikutinya lah jejak kawanan kambing-kambing yang
telah tidak tampak lagi, lari ke balik rerumputan. Tetapi jejak-jejaknya masih
dapat dilihat dengan jelas, jejak kambing itu berbondong-bondong menyeberangi
jalan. Ternyata bahwa dugaan mereka benar. Kambing-kambing itu memang tidak
secerdik orangnya. Kambing-kambing itu tidak dapat berusaha untuk menghilangkan
atau menyembunyikan jejaknya.
Tetapi yang mengejutkan mereka
adalah, bahwa di belakang sekelompok jejak kambing itu terdapat jejak
seseorang.
“Orang inilah yang disebut
ayahnya, yang berusaha menyembunyikan kambing-kambing itu,” desis salah seorang
dari mereka.
“Ya,” jawab yang lain.
“Tetapi hati-hatilah. Orang
itu bukan orang kebanyakan. Seandainya benar ia seorang gembala, maka ia adalah
gembala yang memiliki kekhususan. Ia adalah seorang gembala yang tangguh.”
Kawan-kawannya tidak menjawab.
Mereka berusaha berjalan semakin cepat. Mereka mengharap bahwa mereka akan
dapat menemukan, setidak-tidaknya beberapa ekor kambing. Sehingga dengan
demikian, maka sakit hati mereka agak dapat diobati.
Ternyata kambing-kambing itu
sama sekali tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka tidak tahu, bahwa
orang yang menggembalakannya sedang melakukan sebuah permainan yang berbahaya.
Karena itulah, maka mereka pun tidak berusaha untuk berdiam diri. Beberapa ekor
di antaranya, tanpa prasangka apa pun telah mengembik sahut-menyahut.
“Sst, sst,” seorang gembala
tua mencoba menenteramkan kambing-kambing itu. Tetapi ternyata tidak berhasil.
Mereka masih saja mengembik-embik dan bahkan berkejar-kejaran.
“Sst, sst,” gembala tua itu
menjadi berdebar-debar. Ia memang mempunyai dugaan, bahwa langkahnya akan
diikuti oleh orang-orang yang tadi berkelahi melawan Gupita.
Tetapi kambing-kambing itu
sama sekali tidak menghiraukannya. Beberapa ekor kambing yang masih sangat
muda, berteriak-teriak memanggil induknya, dan induknya pun menyahut tidak
kalah kerasnya.
“Sst, sst,” gembala tua itu
masih mencoba. Tetapi ia sama sekali tidak berhasil membungkam
kambing-kambingnya yang masih saja berbuat sekehendak mereka sendiri.
Tiba-tiba gembala tua itu
terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya beberapa wajah yang keras dan kasar
menjenguk dari balik dedaunan.
“Nah, ke mana kau akan lari?”
terdengar salah seorang dari mereka menggeram.
Gembala tua itu berdiri dengan
lutut gemetar. Dipandanginya saja wajah-wajah yang kasar dan keras itu, tanpa
dapat mengucapkan sepatah kata pun.
“Di mana Gupita?” bentak yang
lain, yang kekurus-kurusan. Gembala tua itu tidak segera menyahut. Wajahnya
memancarkan kecemasan dan ketakutan yang tidak terhingga. Tampak bibirnya
bergerak-gerak, seperti orang kedinginan, tetapi tidak sepatah kata pun
meloncat dari mulutnya.
“Di mana Gupita?” bentak yang
agak pendek.
Perlahan-lahan orang tua itu
menggelengkan kepalanya. Dengan suara bergetar ia menjawab, “Aku tidak tahu,
Tuan. Bukankah tadi, Gupita ada bersama Tuan. Aku hanya sekedar bersembunyi
bersama-sama dengan kambing-kambing ini.”
“Bohong! Kau pasti tahu, di
mana Gupita bersembunyi.”
“Apakah ia bersembunyi?”
gembala tua itu justru bertanya.
“Ya, ia lari dan bersembunyi.”
“Di mana ia bersembunyi,
Tuan?”
“Ia berlari ke sana, ke arah
pohon cangkring di sudut padesan, di sebelah. Kami kehilangan jejaknya, dan
kami mencoba mencari saja kambing-kambingnya.”
“Ternyata Tuan lebih tahu
daripada aku. Kenapa Tuan bertanya kepadaku tentang anak bengal itu?”
Sejenak orang-orang itu
terbungkam. Ternyata mereka tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Yang dapat
mereka lakukan hanyalah saling berpandangan sesaat.
“Bohong!” tiba-tiba yang
berdahi lebar membantah. “Kau pasti tahu ke mana anak itu pergi. Bukankah anak
itu kawanmu menggembala? Bahkan anak itu menyebutmu ayah? Apakah ia anakmu?”
“Ya, Tuan. Anak itu adalah
anakku. Tetapi aku benar-benar tidak tahu ke mana ia berlari. Kami sama sekali
tidak berjanji apa pun untuk menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja kami
jumpai ini, sehingga aku tidak tahu apakah yang dikerjakan oleh anak dungu itu.
Aku hanya melihat ia berada di antara Tuan, kemudian aku pergi menjauhkan kambing-kambing
ini dan menjauhkan diriku sendiri.”
“Bohong, bohong! Kalau kami
tidak dapat menemukan Gupita, maka kau akan kami ambil sebagai gantinya. Kau
harus menanggung kesalahannya. Dan kau harus menerima hukumannya.”
“Tidak, Tuan. Jangan,” minta
orang tua itu hampir merintih. “Dan apakah sebenarnya kesalahan anak itu
terhadap Tuan?”
Sekali lagi orang-orang itu
tidak dapat menjawab. Bahkan pertanyaan itu terulang di dalam dada mereka,
“Apakah sebenarnya kesalahan anak itu?”
Tetapi mereka sama sekali
tidak menghiraukan gema yang memantul dari dinding hati itu. Orang yang
berkumis dan berjambang segera berteriak, “Anak itu telah berani melawan
kehendak kami. Kami tidak pernah gagal untuk memenuhi kehendak kami. Tetapi
anak itu mencoba membantahnya, dan kau mencoba menyembunyikan kambing-kambing
itu.”
“Apakah keinginan Tuan itu?”
“Kambing-kambingmu semua.
Tetapi karena Gupita telah membuat kami marah, maka tuntutan kami sekarang
adalah kambing-kambingmu semua dan Gupita atau kau, Kakek tua.”
“Jangan, Tuan,” sekali lagi
orang tua itu merintih.
“Aku tidak peduli meskipun kau
akan menangis sambil mencium ujung kakiku. Selama Gupita masih belum
tertangkap, kau harus berada bersama kami. Apabila kesabaran kami kemudian
habis, maka kaulah yang akan menerima hukuman kami.”
“Tetapi, tetapi aku tidak
bersalah, Tuan, dan anakku pun tidak bersalah. Anakku hanya lari dan
bersembunyi. Apakah itu kesalahan yang harus dipertanggung-jawabkannya?”
“Apa?” teriak laki-laki yang
tubuhnya dijalari oleh jalur-jalur bekas lecutan cambuk Gupita. “Kau sangka
anakmu hanya lari dan bersembunyi? Lihat, seluruh tubuhku menjadi merah biru.”
Orang tua itu mengerinyitkan
alisnya, “Kenapa, Tuan?”
“Inilah pokal anakmu sebelum
lari. Dengan membabi buta ia mencambuk tubuhku tanpa aku sangka-sangka.
Kemudian ia berlari meninggalkan kami dan bersembunyi.”
“Apakah anak itu berhasil
mengenai Tuan?”
“Kenapa kau bertanya, Kakek
tua? Kau lihat sendiri, betapa tubuhku menjadi berjalur-jalur merah hitam.”
Orang tua itu
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecik. “Anak itu luar biasa. Aku tidak
menyangka, bahwa ia mampu melakukannya. Ternyata ia memiliki keberanian
berbuat.”
“Apa, apa yang kau katakan
tentang anak itu? Kau heran dan kagum akan keberaniannya? Anak gila itu
kemudian lari. Lari dan bersembunyi. Itukah keberanian yang kau katakan itu?”
Orang itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-engah menahan marah.
Lalu, “Karena itu, kau harus aku tangkap. Kalau anakmu tidak segera datang, kau
akan mendapat hukum cambuk seperti anakmu mencambuk aku. Bahkan sepuluh kali
lipat.”
“Jangan, Tuan, jangan.”
“Aku tidak peduli. Sekarang,
sebelum kami menentukan hukuman itu kau harus membawa kambing-kambingmu bersama
kami. Dengan demikian kau akan mendapat keringanan hukuman sekedarnya.”
“Tetapi, tetapi,” orang tua
itu berkata terpotong-potong. “Tetapi kambing-kambing itu adalah milik kami
yang paling berharga, Tuan. Kalau kambing-kambing itu Tuan ambil, kami akan
kehilangan milik kami. Hidup kami akan menjadi semakin miskin, dan mungkin kami
akan kehilangan sumber makan kami sekeluarga, karena kami tidak dapat menjual
setiap kali untuk membeli kebutuhan-kebutuhan kami sehari-hari.”
Jawaban orang tua itu sama
sekali tidak dihiraukan oleh orang-orang yang keras dan kasar itu. Mereka sama
sekali tidak peduli, apakah hal itu akan menutup kemungkinan bagi keluarga
orang tua itu untuk mendapat makan, atau kemungkinan apapun. Mereka hanya ingin
kehendak mereka terpenuhi, meskipun sangat merugikan bagi orang lain.
Karena itu orang yang
kekurus-kurusan berkata, “Jangan banyak bicara. Ikut kami bersama
kambing-kambingmu.”
“Jangan, Tuan. Anak-anak dan
isteriku akan menunggu aku pulang bersama dengan kambing-kambing itu. Kalau
kambing-kambing itu tidak pulang, apalagi bersama aku, maka hidup mereka akan
terguncang. Mereka tidak akan dapat mencari makan. Dan milik mereka yang paling
berharga telah hilang pula.”
“Jangan banyak bicara!” teriak
yang agak pendek. “Kalau kau membantah sekali lagi, mulutmu akan aku remas
sampai hancur.”
Orang tua itu menggigil.
Wajahnya menjadi tegang. Agaknya ia masih ingin berbicara, tetapi kedua telapak
tangannya menutupi mulutnya.
“Cepat!” teriak yang lain.
Tetapi orang tua itu belum
beranjak dari tempatnya. Ia masih berdiri gemetar di tempatnya dengan wajah
yang tegang. Kedua telapak tangannya masih saja menutup mulutnya.
“Cepat! Atau aku cambuk kau
dengan pedang, he?”
Laki-laki tua itu sama sekali
tidak berani berbicara, karena orang yang agak pendek itu mengancam apabila ia
berbicara sepatah kata lagi, maka mulutnya akan diremas sampai hancur.
Namun dalam ketegangan itu,
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki seekor kuda. Semakin lama semakin
dekat. Suaranya gemeretak di atas tanah berbatu padas.
“Setan! Siapakah yang berkuda
itu? Sidanti atau Argajaya atau siapa?” bertanya yang berkumis dan berjambang
lebat.
Kawan-kawannya tidak segera
dapat menjawab, sebab mereka pun ingin bertanya demikian pula. Mereka hanya
saling pandang memandang untuk sejenak. Lalu menggeram hampir bersamaan. Sedang
derap kuda itu menjadi semakin dekat. Seolah-olah mengarah ke tempat mereka.
Tetapi agaknya kuda-kuda itu
sama sekali tidak menuju ke tempat itu. Kuda itu berderap terus, meskipun agak
dekat dari tempat mereka. Tetapi mereka tidak dapat melihat kuda itu, terhalang
oleh pepohonan dan gerumbul-gerumbul di sekitar mereka.
“Siapakah orang itu?” sekali
lagi orang berjambang itu berdesis. “Apakah ia sengaja mencari kita di sini?”
Tak ada jawaban. Namun
wajah-wajah itu menjadi semakin tegang. Dan ketegangan itu menjadi semakin
tegang ketika sekali lagi mereka mendengar derap seekor kuda yang lain,
seolah-olah sedang mengejar kuda yang pertama. Berpacu tidak kalah cepatnya,
dan suara derap kakinya pun gemeretak menyentuh batu-batu padas di sepanjang
jalan.
“Apakah yang telah terjadi?”
desis yang kekurus-kurusan. “Apakah mereka orang-orang Pandan Wangi yang telah
mendengar tentang persoalannya?”
Kawan-kawannya tidak menyahut.
Tetapi ketegangan semakin mencengkam dada mereka. Meskipun derap kuda yang
kedua ini pun semakin lama menjadi semakin jauh, dan lambat laun lenyap pula
dari pendengaran mereka.
“Kita harus segera kembali,”
desis yang berkumis dan berjambang. “Mungkin kita harus segera mempersiapkan
diri kita. Siapa tahu, Argapati telah mulai menggerakkan orang-orang karena
persoalan Pandan Wangi.”
“Marilah,” sahut yang lain.
“Tetapi kita bawa orang tua ini dan kambing-kambingnya pula.”
Sejenak mereka saling
memandang. Namun kemudian yang seorang lagi berkata, “Ya, kita bawa orang tua
ini beserta kambing-kambingnya.” Lalu kepada gembala tua itu ia membentak,
“Cepat, sebelum aku memanggal lehermu.”
“Tetapi, tetapi,” gembala tua
itu ingin berbicara.
Tetapi suaranya terpotong,
“Tutup mulutmu. Ayo bawa kambing-kambingmu segera bersama kami.”
Gembala itu berpaling.
Dilihatnya kambing-kambingnya yang gemuk-gemuk sedang makan dengan asyiknya,
rerumputan dan daun-daun muda pada gerumbul-gerumbul di sekitarnya, di dalam
pategalan. Orang tua itu membawa kambing-kambingnya ke tempat itu untuk
bersembunyi dan menyembunyikan kambing-kambing itu, tetapi ternyata orang-orang
itu dapat menemukannya.
Agaknya ia tidak dapat berbuat
lain daripada menuruti perintah orang-orang yang buas itu. Membawa
kambing-kambingnya berserta mereka. Betapapun beratnya.
Tetapi sekali lagi mereka
dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Sekali lagi mereka mendengar derap
seekor kuda, dari jurusan yang sama dari kuda-kuda yang telah mendahuluinya.
Berpacu seperti angin. Cepat sekali derap itu mendekat dan lewat tidak jauh
dari tempat itu.
“Gila,” geram salah seorang
dari orang-orang itu. “Kita harus melihat siapakah mereka itu. Cepat, kita
keluar dari pategalan ini. Tetapi hati-hati, jangan menampakkan diri kita
sebelum tahu siapakah mereka itu.”
Sejenak mereka tidak mengingat
lagi kepentingan mereka dengan kambing-kambing itu. Perlahan-lahan mereka
merayap ke pinggir pategalan, supaya dari atas dinding batu, mereka dapat melihat
lepas menyeberang bulak yang sempit, sampai ke jalan kecil yang melintas di
tengah sawah yang sempit pula. Suara kuda yang berderap itu, agaknya berasal
dari jalan sempit itu.
Belum lagi mereka sampai ke
pinggir dinding batu, ternyata suara derap yang sudah hampir tidak terdengar
lagi itu disusul oleh derap kaki-kaki kuda berikutnya. Secepat kuda-kuda yang
terdahulu pula.
“Apakah artinya ini?” desis
yang berdahi lebar. Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka merangkak
semakin cepat supaya mereka dapat melihat siapakah yang sedang berkuda dengan
cepatnya itu.
Ketika mereka menjengukkan
kepala mereka, ternyata kuda itu telah agak lampau, sehingga mereka hanya dapat
melihat punggung seseorang di atas kudanya yang berpacu secepat tatit.
Nampaknya seorang anak muda dengan pakaian yang baik, dan sebilah keris di
punggungnya.
Sejenak keenam orang itu
seolah-olah membeku. Mereka tidak melihat wajah orang berkuda itu, dan mereka
tidak dapat mengenalnya. Lebih daripada itu, mereka sama sekali tidak dapat
menduga, orang-orang siapakah yang berkuda berurutan dari arah dan menuju ke
arah yang sama. Apakah mereka sekelompok orang-orang tertentu, ataukah mereka
saling berkejaran.
Wajah-wajah yang kasar itu pun
sejenak menegang. Mereka saling berpandangan, tetapi mereka tidak menemukan
jawaban apapun pada wajah-wajah yang kasar dan tegang itu.
Dalam kesenyapan itu tiba-tiba
yang berkumis dan berjambang menggeram, “Kita harus segera kembali. Mungkin
sesuatu segera akan terjadi di atas Tanah Perdikan ini. Mungkin Argapati tidak
dapat mengendalikan diri lagi karena Pandan Wangi mengatakan apa yang telah
terjadi atasnya.”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Marilah. Kita memang harus segera kembali.”
“Tetapi bagaimana dengan
kambing-kambing itu?”
Yang berkumis dan berjambang
mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian berkata, “Kita tidak dapat menunggu
lebih lama lagi. Orang-orang berkuda itu merupakan teka-teki bagi kita.
Marilah, lain kali saja kita pasti akan mendapatkannya lebih banyak dari kambing-kambing
itu.”
Ajakan itu ternyata merupakan
yang paling baik buat melepaskan ketegangan hati mereka. Karena itu, maka
ketika orang yang berjambang, dan berkumis itu meloncati pagar batu, maka yang
lain pun segera berloncatan pula tanpa berpaling lagi kepada sekawanan
kambing-kambing yang sedang asik makan rerumputan. Dengan tergesa-gesa mereka
berjalan beriringan menuju ke rumah Argajaya untuk mendapat penjelasan, apakah
yang sudah terjadi? Apakah api di atas bukit Menoreh memang sudah mulai berkobar?
Bagi mereka, apabila hal itu terjadi lebih cepat, memang lebih baik. Mereka
akan segera lebih leluasa lagi untuk melakukan kehendak mereka. Merampas dan
merampok, dan apa saja selain janji mereka membantu Sidanti mengalahkan
Argapati.
Sementara itu, Pandan Wangi
dan Samekta telah hampir sampai ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan berdebar-debar mereka mempercepat langkah kuda-kuda mereka. Mereka ingin
segera sampai kepada Argapati, supaya orang tua itu tidak terlampau cemas
menunggu puterinya.
Ketika mereka semakin dekat
dengan padukuhan induk, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tiba-tiba
saja dari balik dedaunan, mereka melihat ujung-ujung senjata berkilat-kilat. Di
mulut jalan berkumpul beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan, siap
dengan segala perlengkapan perang. Bahkan beberapa ekor kuda dan
perlengkapan-perlengkapan lain yang diperlukan.
“Apakah artinya ini, Paman
Samekta?” bertanya Pandan Wangi.
“Ini adalah ujud dari
kecemasan seorang Kepala Tanah Perdikan yang kehilangan seorang anaknya,” jawab
Samekta. “Ketika aku berangkat ayahmu berpesan, supaya aku membawamu pulang.
Kalau tidak, maka pertumpahan darah akan segera terjadi.”
“Ah,” Pandan Wangi tiba
berdesah, “jangan. Jangan, Paman.”
“Tergantung kepada Ki Argapati
dalam menanggapi keadaan ini.”
Wajah Pandan Wangi tiba-tiba
menjadi tegang. Tanpa sesadarnya dilecutnya kudanya dengan ujung kendali,
sehingga kuda itu pun meloncat, dan berlari semakin cepat.
Ketika mereka memasuki mulut
padukuhan induk, maka Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar karenanya.
Dilihatnya ujung senjata seperti ujung batang ilalang. Bertebaran di halaman,
di sisi-sisi jalan. Para pengawal Tanah Perdikan yang masih setia kepada
Argapati ternyata sudah benar-benar siap melakukan tugasnya. Meskipun mereka
dipersiapkan dengan tergesa-gesa, namun karena kesiagaan mereka, maka kekuatan
mereka pun cukup mendebarkan jantung.
Terasa ketegangan mencengkam
dada Pandan Wangi. Sejenak kudanya terhenti ketika ia menarik kendali.
Diedarkannya pandangan matanya di sekitarnya, dan dilihatnya wajah yang tegang
dan menahan kemarahan. Tetapi wajah-wajah itu membayangkan kelegaan hati ketika
mereka melihat Pandan Wangi datang kembali bersama utusan Ki Argapati, yang
bertugas untuk menjemputnya. Tiba-tiba Pandan Wangi terkejut ketika ia
mendengar suara memanggilnya, “Pandan Wangi.”
Suara itu adalah suara yang
telah sangat dikenalnya. Dan ketika ia berpaling, maka dilihatnya ayahnya
berdiri tegak dengan sebatang tombak pendek di tangannya.
Melihat sikap ayahnya, debar
di dada Pandan Wangi terasa semakin berguncang. Ia kenal sikap itu. Ayahnya
dengan tombak pendek itu di tangan, adalah pertanda bahwa ia sudah siap untuk
melakukan apa pun.
“Ayah,” tiba-tiba Pandan Wangi
meloncat turun dari kudanya, dan segera berlari kepada ayahnya. Seperti
kanak-kanak yang mendapat perlakuan yang nakal dari kawan-kawannya, Pandan
Wangi memeluk pinggang ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.
“Apakah yang sudah terjadi,
Wangi?” bertanya ayahnya. Pandan Wangi tidak menyahut. Bahkan isak tangisnya
serasa semakin menyumbat dadanya.
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan dirinya sendiri, dan menenangkan hati
puterinya. “Jangan menangis, Wangi. Berkatalah apa yang telah terjadi denganmu.
Aku telah memerintahkan Pamanmu Samekta, untuk menjemputmu dengan segala macam
akibat yang dapat terjadi. Dan aku kini telah siap, apa pun yang akan dilakukan
oleh Sidanti, anak durhaka itu.”
“Tidak, Ayah, tidak,” desis
Pandan Wangi disela-sela tangisnya. “Ayah jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Dengan nada yang dalam ia bertanya, “Kenapa, Wangi?”
Sejenak Pandan Wangi tidak
menyahut. Terasa isaknya semakin menyekat dadanya. Ketika ia melepaskan
pelukannya, dan memandang berkeliling, dilihatnya beberapa orang pemimpin
pengawal Tanah Perdikan sedang mengerumuninya. Dari wajah-wajah mereka
memancarlah tekad hati yang bulat, untuk melakukan apa saja yang diperintahkan
oleh Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Terasa jantung Pandan Wangi
menjadi semakin cepat berdetak. Terbayang di pelupuk matanya, apa yang dapat
terjadi atas Tanah kelahiran ini. Pertumpahan darah dan pepati. Tanah yang
selama ini selalu dinafasi oleh kedamaian dan ketenteraman tiba-tiba kini
bergolak demikian dahsyatnya.
“Pandan Wangi,” terdengar
suara Argapati, “kita sudah tidak mempunyai pilihan lain daripada ini.”
Pandan Wangi tidak segera
menjawab. Tetapi titik-titik air matanya masih mengalir di pipinya.
“Apalagi apabila telah terjadi
sesuatu dengan kau. Maka aku sama sekali tidak akan menunda lagi, meskipun saat
purnama naik sudah berada di depan hidungku. Aku tidak akan menunggu lagi,
betapapun aku akan disebut sebagai seorang yang kehilangan sifat-sifat
kejantananku, karena aku tidak memenuhi janjiku.” Argapati diam sejenak. Lalu,
“Apakah terjadi sesuatu atasmu?”
Perlahan-lahan Pandan Wangi
mengangguk lemah.
“He,” wajah Argapati menjadi
semakin merah. “Katakan, apakah yang sudah terjadi, supaya hati ini menjadi
semakin terbakar oleh kepastian, bahwa aku akan menghancurkannya.”
Sejenak Pandan Wangi
berpaling. Dipandanginya Samekta yang kini telah berdiri di belakangnya pula.
Dan sejenak kemudian ia mulai menceriterakan apa yang telah dialaminya. Ketika
ia dihentikan oleh orang-orang yang tidak dikenalnya dengan wajah-wajah yang
bengis dan kasar.
Terdengar Argapati menggeram.
Tangannya menggenggam tangkai tombaknya semakin erat. Hampir tidak sabar ia
mendengarkan Pandan Wangi masih juga meneruskan ceriteranya. “Aku bertempur
dengan mereka, Ayah,” desis Pandan Wangi. “Mereka berenam berkelahi
bersama-sama.”
Mata Argapati kini seakan-akan
telah menyala. Dan hanya dengan susah payah ia masih berhasil menahan dirinya
untuk mendengar ceritera puterinya itu. Meskipun semakin lama dadanya menjadi
semakin panas dan bahkan hampir meledak karenanya.
“Tidak ada pilihan lain. Aku
harus mulai sekarang, apapun yang akan terjadi.”
“Aku belum selesai Ayah.”
“Aku sudah tahu akhir dari
ceriteramu. Untung Samekta datang tepat pada waktunya, sehingga ia dapat
membantumu melepaskan diri dari tangan mereka,” nada suara Argapati terlampau
dalam, dan datar. Tetapi ketika ia bergerak untuk berbuat sesuatu, tangannya
ditahan oleh puterinya.
“Bukan, bukan begitu, Ayah,”
berkata Pandan Wangi.
Argapati mengerutkan
keningnya. “Bagaimanakah akhirnya?”
Pandan Wangi berpaling kepada
Samekta. Dan tanpa sesadarnya Samekta menggelengkan kepalanya dan berkata,
“Memang bukan begitu. Aku datang agak terlambat.”
“Kau terlambat?” Argapati
membelalakkan matanya, “Jadi kau tidak dapat menolongnya sama sekali.”
Samekta mengangguk. Tetapi ia
menjawab, “Aku memang terlambat Ki Gede, justru setelah Pandan Wangi mendapat
pertolongan.”
Ki Gede Menoreh mengerutkan
keningnya. Dan ia mendengar Samekta itu berkata seterusnya, “Dan Pandan Wangi
itu pun terselamatkan dari kebuasan orang-orang liar itu.”
“Siapakah yang telah
menolongnya?” suara Argapati seolah-olah tertahan di kerongkongannya.
“Sidanti dan Argajaya.”
“He,” Argapati terperanjat
sehingga ditatapnya wajah Samekta dengan tajamnya. “Jadi yang menolong Pandan
Wangi adalah Sidanti dan Argajaya?”
Samekta menganggukkan
kepalanya, “Ya, Ki Gede.”
Argapati seolah-olah tidak
percaya kepada keterangan itu, sehingga kemudian ia bertanya kepada Pandan
Wangi, “Benar begitu, Wangi. Yang menolongmu adalah Sidanti dan Argajaya?”
Pandan Wangi mengangguk.
Jawabnya, “Ya, Ayah. Kakang Sidanti datang tepat pada waktunya. Pada saat aku
hampir menjadi putus asa.”
“Apakah Sidanti kemudian
berkelahi melawan mereka?”
“Hal itu hampir saja terjadi,”
jawab Pandan Wangi. “Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi masih berhasil menahan
mereka.”
“Tambak Wedi?” bertanya Ki
Argapati. “Jadi ia hadir juga ketika itu dan menahan Sidanti dan Argajaya
supaya tidak berkelahi?”
“Ya,” jawab Pandan Wangi.
“Tetapi terasa betapa dendam telah membakar hati masing-masing.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Bahkan di dalam hati ia berdesah, “Oh, kenapa Sidanti dan
Argajaya? Kenapa anak itulah yang telah menolong Pandan Wangi, sehingga aku
merasa berhutang budi kepada mereka? Adalah wajib bagiku untuk mengucapkan
terima kasih kepada mereka karena mereka telah melepaskan anakku dari malapetaka
bahkan kematian, meskipun Sidanti itu kakak seibu Pandan Wangi.”
Perlahan-lahan wajah Argapati
itu menunduk. Perlahan-lahan pula ia melangkahkan kakinya sambil menjinjing
tombaknya, selangkah-selangkah menuju ke mulut lorong yang membelah padukuhan
induk itu. Ketika ia sudah berdiri selangkah di luar padukuhan, ia berhenti.
Dilontarkannya pandangan matanya jauh-jauh ke depan, seolah-olah ingin
dilihatnya langsung rumah adiknya, Argajaya.
Sekali lagi Ki Gede Menoreh
menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan di dalam hatinya pula ia berkata,
“Apabila tidak ada Ki Tambak Wedi, maka persoalannya akan menjadi jauh
berbeda.”
Lama sekali Ki Argapati tidak
beranjak dari tempatnya. Tatapan matanya masih saja melekat di kejauhan. Jauh
sekali, sejauh angan-angannya yang membumbung ke daerah yang tidak bertepi.
Pandan Wangi merasakan, betapa
benturan-benturan yang dahsyat telah terjadi di dalam dada ayahnya.
Persoalannya telah mendorong ayahnya menjadi semakin jelas bahwa di Tanah ini
telah hadir kekuatan-kekuatan dari luar rangkah, yang justru akan menambah
kemelutnya keadaan. Tetapi ia tidak segera dapat berbuat banyak atas Sidanti
dan adiknya Argajaya, apalagi setelah mereka menolong Pandan Wangi sendiri dari
kehancuran mutlak, bahkan melepaskannya dari maut yang akan ditentukannya
sendiri.
Ki Argapati masih tegak
berdiri di tempatnya. Tampaklah di dalam rongga matanya seolah-olah
gelembung-gelembung udara yang bergerak-gerak. Dalam terik matahari yang
membakar di siang hari, Ki Argapati merasakan betapa panasnya hati yang membara
di dalam dadanya.
Beberapa orang berdiri tegak
di belakangnya. Mereka telah bersiap menunggu perintah. Dan bahkan Pandan Wangi
pun kini telah berdiri selangkah di sampingnya. Sekali-sekali Pandan Wangi
ikut, sekali-sekali ditatapnya wajah Ayahnya yang keras seperti batu padas
serta memandang ke kejauhan, ke dalam terik sinar matahari dan di pegunungan,
tidak larut oleh titik-titik air hujan, dan tidak retak dibakar terik matahari.
Setiap dada menjadi
berdebar-debar karenanya. Keheningan itu berpusar kepada Ki Gede Menoreh, yang
dadanya sedang bergetar dengan dahsyatnya. Setiap katanya kini akan menentukan
apakah yang akan terjadi di atas Bukit Menoreh itu. Apakah bukit itu akan dibakar
oleh api peperangan, ataukah pengawal-pengawal yang telah siap untuk melepaskan
senjata-senjatanya akan ditarik kembali ke dalam kubunya.
Perlahan-lahan matahari
bergeser di langit yang cerah. Semakin lama semakin condong ke barat.
Bayang-bayang dedaunan dan pepohonan mendadak semakin lama semakin panjang.
Ki Argapati masih berdiri
mematung. Wajahnya menjadi basah oleh keringat yang merentul di keningnya.
Kulitnya pun kini telah menjadi semerah warna tembaga.
Ki Argapati adalah seorang
pemimpin yang tegas. Yang menentukan sikap tanpa ragu-ragu, apabila
perhitungannya sudah menentu. Ia dapat berbuat apa saja untuk kepentingan Tanah
Perdikannya. Bahkan kalau perlu kekerasan.
Tetapi dada Ki Argapati kini
dibakar oleh keragu-raguan yang dahsyat. Perasaan yang hampir tidak pernah
dikenalinya sebelumnya. Tetapi karena ia sadar akan akibat tindakannya kali
ini, maka justru karena itulah ia menjadi ragu-ragu. Sudah tentu ia sama sekali
tidak menginginkan Tanah yang dibinanya selama ini akan dimakan oleh benturan
di antara mereka sendiri. Sudah tentu ia tidak ingin melihat api akan menjilat
langit di atas Tanah Perdikan Menoreh, dan menelan rumah, dan lumbung-lumbung
padi. Sudah tentu ia tidak ingin melihat batang-batang padi muda yang sedang
menghijau di sawah-sawah akan disasak oleh kaki-kaki kuda yang mendukung
orang-orang bersenjata di atas punggungnya. Dan sudah tentu hatinya akan
menjadi terlampau pedih melihat air-air di parit-parit yang jernih, sejernih
embun, akan berwarna merah karena dinodai oleh darah yang mengalir dari luka di
dada.
Ketegangan yang dahsyat telah
melanda setiap jantung. Mereka menungu, dan menunggu. Sedang Argapati masih
berdiri tegak bagaikan patung yang mati.
Akhirnya ketegangan itu
memuncak ketika tiba-tiba Ki Argapati memalingkan wajahnya. Dipandanginya
pengawal-pengawal Tanah Perdikan yang berada di belakangnya, yang tersebar di
halaman-halaman, dan yang berkumpul di belakang gardu. Dipandanginya
ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat di sela-sela pepohonan, dan yang
mencuat di atas dinding-dinding batu.
Sejenak ia diam membisu,
kemudian menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.
Para pemimpin pengawal yang
berdiri dekat di belakangnya menjadi berdebar-debar. Mereka menduga-duga
perintah apakah yang akan diterimanya. Mereka sudah tidak ada pilihan lain.
Mereka tidak dapat menunggu anak harimau itu menjadi dewasa dan buas, yang
kelak akan dapat menerkam mereka itu sendiri.
Perlahan-lahan Ki Argapati
memanggil Samekta dan beberapa orang lainnya dengan isyarat tangannya. Kemudian
dipanggilnya pula Pandan Wangi mendekat. Ia tidak dapat melepaskan pertimbangan
puterinya. Dan ia tidak dapat menutup kenyataan bahwa Sidanti dan Pandan Wangi
adalah dua orang bersaudara yang lahir dari ibu yang sama.
Ketika orang-orang itu telah
dekat sekali di samping dan di belakangnya, terdengar suaranya parau, “Kita
urungkan pertumpahan darah hari ini.”
Kata-kata itu menggetarkan
setiap hati para pengawal itu. Sejenak mereka terpaku diam di tempatnya. Mereka
sama sekali tidak mengharap bahwa tindakan Ki Argapati atas orang-orang yang
sudah jelas melawannya itu tertunda. Beberapa pasang mata kemudian hinggap pada
wajah Pandan Wangi, seolah-olah ingin berkata kepadanya, bahwa gadis itulah
agaknya yang menunda tindakan yang seharusnya dilakukan oleh ayahnya. Bahkan
saat ini pun sudah agak terlambat menurut perhitungan para pengawal itu.
Karena itulah, maka tidak
seorang pun yang segera beranjak dari tempatnya. Para pengawal itu masih
berdiri dengan wajah dan hati yang tegang.
“Kita masih harus menunda tindakan
ini,” sekali lagi mereka mendengar Ki Argapati berdesis.
Beberapa orang menundukkan
kepalanya sambil menggigit bibirnya. Bahkan salah seorang dari mereka bertanya
dengan suara gemetar, “Kenapa kita masih harus menundanya Ki Gede?” Ki Gede
Menoreh tidak segera menjawab. Tetapi tatapan matanya sekali lagi menembus
terik matahari hinggap di kejauhan yang seolah-olah tidak bertepi.
Baru sejenak kemudian
terdengar suaranya dalam, “Aku akan memberitahukan kemudian. Tetapi jangan
tinggalkan kesiap-siagaan. Besok malam, purnama akan naik. Aku akan mendapatkan
kepastian, pada saat purnama itu turun, dan hilang di balik bukit.”
Para pengawal itu saling
berpandangan sejenak. Besok malam memang purnama akan naik. Saat itu
seolah-olah mempunyai arti yang luar biasa bagi Ki Argapati. Beberapa orang
memang pernah mendengar, meskipun tidak jelas, bahwa Ki Gede Menoreh pernah
berjanji bahwa mereka akan menunggu purnama naik.
“Hari itu adalah hari yang
menentukan masa depan Tanah Perdikan ini,” desis Ki Gede kemudian.
Dada Pandan Wangi tiba-tiba
berdesis mendengar saat yang diucapkan oleh ayahnya. Saat purnama naik, saat
ayahnya akan bertemu dengan Ki Tambak Wedi.
Tiba-tiba terasa bulu-bulu di
seluruh tubuh gadis itu meremang. Betapa ia menjadi ngeri, membayangkan apakah
yang akan terjadi dengan ayahnya pada saat yang telah ditentukannya itu.
Sejenak Pandan Wangi terpukau
diam karena angan-angan tentang saat yang mendebarkan jantung itu. Berbagai
bayangan hilir mudik di dalam rongga matanya. Sejenak ia terkenang yang pernah
diceritakan ayahnya kepadanya, pada saat purnama naik beberapa puluh tahun yang
lampau, seumur kakaknya Sidanti. Pada saat ayahnya bertempur melawan Ki Tambak
Wedi untuk kehormatan nama masing-masing. Pertempuran yang dahsyat sekali, yang
tidak dapat ditentukan siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah.
Peristiwa itu besok malam akan
terulang lagi di bawah Pucang Kembar. Ayahnya akan bertempur pula melawan Ki
Tambak Wedi. Seorang lawan seorang untuk mempertaruhkan harga diri
masing-masing, dalam mempertahankan sikap dan tindakan.
Sepercik kecemasan telah
menusuk jantung Pandan Wangi dengan tajamnya, sehingga tanpa sesadarnya gadis
itu memegang dadanya. Dan tanpa sesadarnya pula Pandan Wangi menggigit bibirnya
keras-keras.
Sekali lagi ia merasa berdiri
di persimpangan jalan yang sama-sama menuju ke dalam lembah yang gelap. Betapa
sulitnya untuk memilih jalan yang akan ditempuhnya. Yang berdiri berhadapan
dengan ayah kandungnya adalah kakaknya sendiri. Kakak seibu. Yang selama ini
dicintainya sepenuh hati. Baru setelah ibunya itu meninggal, ia melihat
seberkas noda melekat pada warna yang selama ini dianggapnya putih bersih,
sebersih bunga menur.
Namun tiba-tiba Pandan Wangi
itu meloncat berlari memeluk ayahnya sambil berkata di antara isak tangisnya,
“Tidak, Ayah. Jangan ditunda. Sebaiknya sekarang Ayah bertindak sebelum
terlambat. Sebelum besok Ayah sampai pada saat purnama naik.”
Ki Argapati terperanjat.
Sejenak ia berdiri mematung. Namun kemudian ia dapat menangkap perasaan
puterinya, Pandan Wangi mencemaskan nasibnya besok apabila ia harus bertempur
melawan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.
“Ayah jangan menunggu Ki
Tambak Wedi beserta orang yang tidak kita kenal itu mendahului Ayah. Karena
itu, Ayah harus melakukannya sekarang.”
Ki Argapati menahan nafasnya.
Perlahan-lahan tangannya bergerak membelai rambut anaknya. Dengan nada yang
berat ia berkata, “Tidak, Wangi. Aku tidak dapat melakukannya sekarang. Aku
ingin sampai pada janjiku dengan Ki Tambak Wedi. Sesudah itu, barulah aku akan
melakukannya.”
“Tetapi, tetapi …………” suara
Pandan Wangi patah di tengah.
“Aku tahu yang kau cemaskan,
Wangi. Bagaimanakah seandainya aku tidak dapat lepas dari perkelahian itu, dan
untuk seterusnya aku akan kehilangan kesempatan mempertahankan Tanah ini?”
“Ayah,” Pandan Wangi memekik
kecil.
“Jangan kau cemaskan. Aku akan
berusaha sebaik-baiknya agar aku masih berkesempatan untuk mempertahankan Tanah
ini. Aku akan berusaha. Apabila usahaku tidak berhasil, maka demikianlah takdir
yang harus aku jalani. Tetapi aku tidak menyerah tanpa melakukan sesuatu. Dan
aku siap untuk melakukannya. Jangan kau cemaskan aku, Wangi.” Ki Argapati
berhenti sejenak. Tatapan matanya masih jauh hinggap pada tempat yang tidak
terbatas. Titik-titik keringat mengembun di kening dan dahinya.
“Tetapi Ayah harus bertindak
cepat, sebelum Ki Tambak Wedi sempat mempersiapkan diri.”