Buku 103
Orang-orang yang berada di
dalam sanggar itupun menjadi tegang. Mereka mulai membayangkan apa yang bakal
terjadi. Kedua anak muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang
tinggi, sehingga apabila keduanya tenggelam dalam arus perasaan yang tidak
terkendali, maka akan terjadi perang tanding yang sangat dahsyat di dalam
sanggar itu.
Tetapi di dalam sanggar itu
ada orang-orang tua yang tentu akan dapat bertindak apabila keadaan menjadi
gawat. Di dalam sangar itu ada Ki Juru Martani, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar
yang tentu tidak akan tinggal diam apabila keadaan menjadi berbahaya.
Demikianlah, sejenak kemudian
Swandaru telah bersiap. Ia mulai mempersiapkan sebuah serangan. Dengan sengaja
ia memperlihatkan kepada Sutawijaya, agar Sutawijaya bersiap menghadapinya.
Sejenak kemudian Swandaru
telah meloncat dengan serangan ke arah dada. Meskipun ia masih belum
melontarkan serangannya dengan sepenuh tenaga, namun serangan itu adalah
serangan yang berbahaya.
Tetapi semua orang terkejut
melihat sikap Raden Sutawijaya. Ketika Swandaru meloncat menyerangnya, ia sama
sekali tidak beranjak dari tempatnya, bahkan bergerakpun tidak.
Radien Sutawijaya ternyata
telah membuat perhitungan yang sangat cermat. Ia yakin bahwa pertama yang
dilontarkan dengan ragu-ragu itu tentu bukannya serangan yang menentukan.
Tenaga Swandaru tentu tidak seluruhnya telah dilontarkan.
Karena itulah maka Raden
Sutawijaya ingin membuat kejutan untuk yang pertama kali, justru karena ia
berhadapan dengan Swandaru.
Dalam benturan yang pertama
Raden Sutawijaya telah dengan diam-diam mengerahkan ilmunya untuk melambari
daya tahan tubuhnya. Itulah sebabnya ia tetap berdiri tegak tanpa berbuat
sesuatu.
Swandaru sendiri terkejut
melihat sikap Raden Sutawijaya. Sebenarnyalah bahwa ia memang belum mengerahkan
segenap kekuatannya. Namun ia mengharap Raden Sutawijaya mengelak, sehingga
dengan demikian maka ia telah memancing perkelahian selanjutnya.
Tetapi kini ia melihat Raden
Sutawijaya itu tetap berdiri tegak di tempatnya. Tidak menghindar, tetapi juga
menangkis.
Namun Swandaru sudah tidak
sempat menahan serangannya. Itulah sebabnya maka serangannya itupun langsung
mengenai dada Sutawijaya. Meskipun tidak dilambari dengan sepenuh kekuatan,
namun setangan Swandaru adalah serangan yang kuat.
Sesaat kemudian serangan
Swandaru itu telah membentur dada Raden Sutawijaya. Semua orang yang
menyaksikan menahan nafasnya dengan tegang. Bahkan Ki Juru Martani yang tahu
pasti kemampuan Raden Sutawijayapun menjadi berdebar-debar, karena justru ia
belum tahu pasti kemampuan Swandaru dan kekuatan tenaga jasmaniahnya.
Benturan yang terjadi
benar-benar telah menegangkan. Pukulan Swandaru yang mengenai dada Raden
Sutawijaya itu bagaikan hantaman yang akan langsung menghancurkan dada. Namun ternyata
bahwa dada Raden Sutawijaya seolah-olah telah menjadi selembar besi baja,
sehingga hantaman tangan Swandaru itu telah membentur kekuatan yang tidak
beringsut serambutpun.
Ketika benturan itu terjadi,
orang-orang tua yang ada di dalam sanggar itu terkejut. Bahkan dengan serta
merta di luar sadarnya Kiai Gringsing berbisik, “Tameng Waja.”
“Ya,“ desis Ki Sumangkar,
“sama sekali bukan Lembu Sekilan.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar termangu-mangu sejenak. Yang dilihatnya adalah kemampuan yang tidak disangka-sangka.
Jika semula mereka melihat sikap Raden Sutawijaya yang yakin akan dapat
membebaskan diri dari serangan lawannya, mereka menduga bahwa Raden Sutawijaya
tentu akan mempergunakan Aji Lembu Sekilan yang juga dimiliki oleh Sultan
Hadiwijaya sehingga ia terbebas dari rencana pembunuhan yang dilakukan oleh
beberapa orang utusan Arya Penangsang, meskipun orang-orang itu sudah berhasil
langsung memasuki bilik tidurnya dan menyerang dengan keris pusaka Adipati
Jipang.
Tetapi kini ia melihat suatu
perlindungan atas daya tahan tubuh dengan cara yang lain. Ketajaman pandangan
mereka atas ilmu yang mereka saksikan langsung dapat membedakannya antara Aji
Lembu Sekilan dan Aji Tameng Waja.
“Hanya Sultan Trengganalah
yang memiliki ilmu itu. Tetapi hampir tidak dapat dipercaya, bahwa sekarang
Raden Sutawijaya telah menunjukkan kemampuannya mempergunakan Aji Tameng Waja,“
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Ki Sumangkar adalah orang yang
saat itu terlibat dalam pertentangan antara Pajang dan Jipang. Ia tahu benar
kemampuan yang ada pada Sultan Trenggana, Pada Adipati Pajang dan Adipati
Jipang.
Namun tiba-tiba ia dikejutkan
oleh Aji Tameng Waja yang seolah-olah dengan tiba-tiba saja telah nampak pada
anak muda yang bergelar Senapati ing Ngalaga itu.
Ternyata benturan itu telah
menggetarkan dada Swandaru. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa tangannya
seakan-akan telah membentur dinding baju yang kuat. Ia semula agak cemas bahwa
ia akan mematahkan tulang iga Raden Sutawijaya. Namun yang kemudian ternyata
adalah, bahwa Raden Sutawijaya itu tetap berdiri tegak. Dan bahkan sekilas
nampak senyumnya yang membayang di bibirnya.
Pandan Wangi dan Sekar
Mirahpun semula telah dicengkam oleh kecemasan, bahkan Pandan Wangi telah
memalingkan wajahnya sambil menahan nafasnya. Tetapi ia menjadi heran, bahwa
Raden Sutawijaya itu bergeser-pun tidak.
Tetapi kedua perempuan itu
sama sekali tidak mengerti, apa yang telah terjadi sebenarnya. Yang mereka
ketahui bahwa Raden Sutawijaya tentu telah menguasai suatu ilmu yang dahsyat.
Tetapi mereka tidak tahu, ilmu yang manakah yang ada pada Senepati ing Ngalaga
yang berkedudukan di Mataram itu.
Namun, dalam pada itu, yang
diharapkan Raden Sutawijaya adalah meleset. Swandaru yang tidak berhasil
menggetarkan sikapnya, ternyata tidak mau melihat kenyataan itu. Ia merasa
bahwa yang dilakukannya belumlah puncak kemampuan dan kekuatannya. Kerena itu,
maka iapun segera surut selangkah dan mempersiapkan serangan berikutnya.
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Meskipun ia menguasai Aji Tameng Waja, namun ia sadar, bahwa segala
macam kemampuan, dengan nama apapun, tentu ada batasnya. Juga ilmu yang
dimilikinya itu tentu ada batasnya pula. Dengan demikian, maka ia tidak akan
mau menanggung akibatnya, jika kekuatan Swandaru setelah ia meningkatkan diri
itu melampai batas kemampuan aji penahan yang oleh Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar dikenal sebagai Aji Tameng Waja itu, maka ia tentu akan mengalami
kesulitan.
Karena itulah, maka Raden
Sutawijayapun telah mengambil suatu keputusan untuk benar-benar memberikan
kenyataan kepada Swandaru bahwa Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati ing
Ngalaga dan berkedudukan di Mataram memiliki bekal yang cukup untuk melakukan
tugasnya. Raden Sutawijaya telah bertekad untuk memaksa Swandaru mengakui, bahwa
sebenarnyalah Sangkal Putung tidak akan dapat diperbandingkan dengan Mataram
yang telah tumbuh subur dan berkembang.
“Anak ini harus yakin,“
berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. Dan iapun benar-benar ingin
meyakinkan.
Itulah sebabnya, maka Raden Sutawijayapun
kemudian telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak
mau membiarkan Swandaru menghantam dadanya lagi, karena pukulan yang berikutnya
tentu akan dilambarinya dengan segenap kemampuan yang ada padanya.
Sejenak kemudian keduanya
telah bersiap kembali. Swandaru yang merasa dirinya memiliki kemampuan cukup
namun telah membentur kekuatan yang tidak diduganya itu, benar-benar telah
menyiapkan segenap kekuatannya.
Sejenak kemudian Swandaru
telah mengulangi serangannya. Bukan lagi sekedar untuk memancing perkelahian,
tetapi serangan benar-benar telah dilontarkan dengan kekuatan raksasanya.
Raden Sutawijaya tidak
membiarkan kekuatan Swandaru menembus ketahanan Aji Tameng Waja. Meskipun ia
masih mengharap bahwa kekuatan Ajinya tidak dapat tembus oleh kekuatan
Swandaru, tetapi ia tidak mau menyesal jika ia gagal.
Itulah sebabnya, maka iapun
kemudian telah meloncat menghindar dan bahkan kemudian iapun telah terlibat
dalam perkelahian melawan anak Demang Sangkal Putung itu.
Beberapa saat Sutawijaya masih
ingin menjajagi kemampuan dan kekuatan Swandaru. Ia tahu bahwa Swandaru telah
melontarkan segenap kekuatannya. Karena itulah, maka ia harus berhati-hati.
Mula-mula Raden Sutawijaya
mulai dengan benturan-benturan kecil. Kemudian menangkis serangan Swandaru. Dan
bahkan membentur kekuatan serangan anak muda itu.
Namun dengan demikian Raden
Sutawijaya mulai dapat menjajagi kekuatan anak muda yang gemuk itu. Kekuatan
yang terlontar pada serangan-serangannya adalah kekuatan yang luar biasa.
Tetapi sebagian besar masih bertumpu pada kekuatan wadagnya, meskipun Swandaru
sudah melepaskan kekuatan cadangan yang dapat dikuasainya.
Akhirnya Raden Sutawijayapun
pasti, bahwa kekuatan Swandaru betapapun besarnya, dilambari dengan
kemampuannya membangunkan kekuatan cadangan yang ada di dalam dirinya, tidak
akan dapat melampui daya tahan Aji Tameng Waja. Itulah sebabnya, maka
Sutawijaya kembali kepada kepercayaan bahwa ia akan mampu menahan segala
kekuatan yang akan dilontarkan oleh Swandaru. Selama Swandaru tidak melontarkan
kekuatan ilmu yang dapat menyerap bukan saja tenaga cadangan di dalam dirinya,
tetapi juga hubungan kekuatan antara alam yang kecil dan alam yang besar
sebagai kebulatan ujud dari diri pribadi dan lingkungannya.
Tetapi ternyata Swandaru tidak
melakukannya. Ia terlalu percaya kepada dirinya sendiri, dan iapun telah
melatih diri dalam kepercayaan itu, sehingga Swandaru tidak lebih dan tidak
kurang dari orang yang sedang bertempur dengan Raden Sutawijaya itu.
Sejenak mereka masih bertempur
dengan sengitnya. Namun kemudian Sutawijaya telah memantapkan Aji Tameng Waja
yang telah dikuasainya. Karena itulah, maka iapun kemudian bergeser menjauh
selangkah. Kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang dan tangan yang bertolak
pinggang.
Sikap itu benar-benar
menyakitkan hati Swandaru. Ia melihat dada Raden Sutawijaya terbuka seutuhnya.
Bahkan ia melihat seakan-akan Raden Sutawijaya dengan sengaja menunjukkan bahwa
ia adalah orang yang tidak dapat disentuh oleh serangan lawannya.
Swandaru termangu-mangu
sejenak. Namun iapun ingin membuktikan, bahwa ia memiliki tenaga raksasa. Ia
dapat menghancurkan perisai besi dengan bindinya, dan ia mampu menyobek kulit
harimau dengan ujung cambuknya.
Karena itulah, maka iapun
menyiapkan diri dengan ancang-ancang. Kemudian dengan geram ia meloncat sambil
berteriak nyaring. Tangannya langsung menghantam dada anak muda yang dalam
pandangan matanya adalah anak muda yang sangat sombong itu.
Sejenak kemudian terjadi
benturan yang dahsyat. Benturan antara serangan Swandaru yang menghantam dada
Raden Sutawijaya.
Ternyata bahwa Raden
Sutawijaya yang telah matek Aji Temeng Waja seutuhnya itu terdorong juga surut
selangkah meskipun ia masih tetap dapat menguasai keseimbangannya, sehingga ia
tidak terhuyung-huyung karenanya.
Namun dalam pada itu, Swandaru
yang membentur ketahanan tubuh Raden Sutawijaya justru terpental beberapa
langkah surut. Rasa-rasanya kekuatannya telah membentur kekuatan yang tidak
tertembus, sehingga ia justru telah terpental oleh hentakan kekuatannya
sendiri. Selebihnya, terasa tangannya menjadi sakit oleh kekuatannya yang
sepenuhnya dilontarkan, tetapi tertahan oleh ketahanan lawannya.
Swandaru yang terhuyung-huyung
itu menyeringai kesakitan. Sejenak ia berusaha melepaskan diri dari perasaan
sakit. Namun kemudian ia sama sekali tidak segera mengakui bahwa lawannya telah
memiliki perisai yang tidak tertembus oleh kekuatannya.
Sekali lagi Swandaru
ancang-ancang. Dan sekali ia meloncat melontarkan serangan. Namun seperti yang
sudah terjadi, ia sama sekali tidak dapat menembus kekuatan Aji Raden
Sutawijaya yang masih berdiri tegak meskipun ia terdorong sekali lagi selangkah
surut.
Semua orang yang menyaksikan
menjadi berdebar-debar. Mereka mulai yakin, bahwa Swandaru benar benar tidak
akan dapat menembus kekuatan yang ada di dalam diri Raden Sutawijaya.
Sejenak Swandaru termangu
mangu. Dipandanginya wajah Raden Sutawijaya sejenak. Namun ketika ia melihat
senyum di bibir anak muda itu, darahnya terasa telah mendidih. Karena itulah
maka seolah-olah ia tidak melihat kenyataan itu. Dengan wajah yang merah
membara, Swandaru telah menyiapkan serangan berikutnya.
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar,
Pandan Wangi menjadi gelisah melihat keadaan anak muda itu. Tetapi Sekar Mirah
telah menggeretakkan giginya seperti Swandaru. Katanya di dalam hati, “Betapa
sombongnya.”
Swandaru yang kehilangan
pengamatan diri itupun telah meloncat sekali lagi. Ia telah mengerahkan segenap
kekuatan dan kemampuan yang ada untuk menghantam bukan dada, tetapi mengarah ke
kening.
Serangan Swandaru benar-benar
mengejutkan. Raden Sutawijayapun terkejut sekali. Ia tidak menduga, bahwa
Swandaru akan menyerang keningnya. Bukan dadanya.
Ketika tangan Swandaru
membentur kening Raden Sutawijaya dengan kekuatan sepenuhnya, terasa hentakan
yang kuat seolah-olah telah mengguncang isi kepala Raden Sutawijaya. Keadaan
yang tiba-tiba itu benar-benar di luar dugaannya, sehingga ia tidak sempat lagi
untuk mengelak.
Meskipun Raden Sutawijaya
masih dilambari kekuatan Aji yang seakan-akan menahan serangan Swandaru, namun
kekuatan Swandaru yang didorong oleh kemarahan itu telah menyakiti Raden
Sutawijaya. Bahkan kepalanya terasa pening dan hentakan itu telah mendorongnya
bukan saja selangkah surut, tetapi anak muda yang memiliki Aji Tameng Waja itu telah
terhuyung-huyung.
Sutawijaya harus berjuang
untuk mempertahankan keseimbangannya. Tetapi ternyata bukan saja keseimbangan
badannya, tetapi juga keseimbangan nalarnya, karena ia sadar sepenuhnya, bahwa
serangan yang deksura itu seakan akan telah membakar dadanya.
Dalam pertempuran yang
sebenarnya, serangan yang demikian bukan menjadi pantangan. Bahkan menyerang
mata sekalipun dengan ujung-ujung jari. Tetapi sekedar penjajagan yang langsung
mengarah kening adalah suatu perbuatan yang dapat mengungkat kemarahan.
Swandaru yang melihat
Sutawijaya terhuyung-huyung, telah merasa bahwa ia mulai berhasil menembus
ketahanan ilmu anak muda itu. Karena itu, ia justru menjadi semakin bernafsu.
Di hadapan orang-orang yang dianggapnya berpengaruh atas dirinya, Swandaru
ingin menunjukkan, bahwa ia bukan lagi anak-anak. Tetapi ia telah mampu melawan
Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga, sehingga dengan demikian,
iapun pantas mendapat kedudukan yang setimpal dengan kemampuannya.
Karena itu, maka Swandaru
tidak mau kehilangan kesempatan. Iapun segera memburu dan menyerang dengan
sepenuh kekuatannya pula.
Raden Sutawijaya yang sedang
mencari keseimbangannya itu, melihat betapa Swandaru seolah-olah telah membabi
buta. Tetapi ia tidak berkesempatan untuk menghindar. Karena itu, maka iapun
kemudian mempercayakan ketahanan dirinya pada kekuatan ilmunya yang telah
tersalur di tubuhnya, sehingga merupakan daya tahan yang sangat kuat
Sekali lagi serangan Swandaru
yang dahsyat menghantam tubuh Raden Sutawijaya. Betapapun tubuh itu terlindungi
oleh daya tahan yang kuat, namun dorongan serangan Swandaru telah mendesaknya
sehingga sebelum ia menemukan keseimbangannya yang utuh, Raden Sutawijaya telah
terdorong pula dengan kekuatan raksasa.
Raden Sutawijaya benar-benar
tidak dapat menguasai keseimbangannya, meskipun tubuhnya tidak menjadi cidera
oleh serangan itu. Karena itulah maka Raden Sutawijaya justru menjatuhkan
dirinya dan berguling beberapa kali untuk mengambil jarak. Kemudian dengan
lincahnya ia melenting berdiri di atas kedua kakinya yang renggang
Tetapi wajah Raden Sutawijaya
telah menjadi semburat merah oleh kemarahan yang semakin menggelitik hati.
Dalam pada itu, Ki Juru
Martanipun menjadi berdebar-debar. Ia menjadi cemas melihat wajah Raden
Sutawijaya yang membayangkan keresahan hatinya. Namun Ki Juru tidak sempat
berbuat sesuatu. Ia melihat Swandaru sudah menyusul Raden Sutawijaya dengan
serangan berikutnya.
Tetapi kali ini Raden
Sutawijaya telah bersiap. Ia tidak ingin menghindari serangan Swandaru, bahkan
dengan sengaja ia telah membenturkan ilmunya dengan kekuatan raksasa Swandaru
yang menghantamnya.
Benturan itupun terjadi dengan
dahsyatnya. Swandaru benar-benar tidak menyadari, bahwa ia akan dapat mengalami
kesulitan dengan lontaran kekuatannya sendiri.
Ternyata dengan dorongan
kekuatan Raden Sutawijaya, Swandaru itu telah terpental beberapa langkah.
Bahkan Swandaru tidak mampu lagi untuk bertahan atas keseimbangannya. Dengan
tanpa dapat berbuat apa-apa, Swandaru telah terbanting jatuh di tanah.
Ternyata bahwa Raden
Sutawijaya bukan saja menyelubungi dirinya dengan ilmunya, tetapi ia telah
melawan dan mendorong kekuatan Swandaru sendiri dan telah melontarkannya tanpa
dapat dielakkan.
Swandaru yang terjatuh itu,
darahnya benar-benar telah mendidih. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri.
Ketika ia melihat Sutawijaya masih berdiri tegak, maka Swandaru yang menjadi
mata gelap itu telah mengulangi serangannya pula dengan sekuat tenaganya.
Sekali lagi Raden Sutawijaya
sengaja tidak mengelak. Ia telah bersiap untuk membentur kekuatan Swandaru dan
dengan kekuatan ilmunya pula melemparkan anak muda Sangkal Putung itu.
Sekali lagi Swandaru terlempar
dan jatuh terbanting di tanah. Lontaran yang kedua itu terasa jauh lebih pahit
dari yang pertama. Punggungnya bagaikan merasa patah dan sendi-sendinya
seakan-akan pecah karenanya.
Sejenak Swandaru menyeringai
menahan sakit. Namun iapun kemudian berusaha untuk dengan cepat berdiri dan
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi ketika ia mulai
bangkit, ia terkejut ketika ia melihat sepasang kaki di hadapan hidungnya.
Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya. Dan nampaklah Raden Sutawijaya yang
bergelar Senapati ing Ngalaga itu berdiri tegak selangkah di hadapannya.
Swandaru tertegun sejenak.
Tetapi ia masih tetap dicengkam oleh berbagai perasaan yang bergejolak.
“Swandaru,” tiba-tiba
terdengar suara Raden Sutawijaya, “aku kira aku sudah melontarkan sebagian dari
kemampuanku sekedar untuk menunjukkan kepadamu, bahwa aku adalah Senapati ing
Ngalaga yang berkedudukan di Mataram. Aku adalah pemegang pusaka tertinggi dari
Pajang yang langsung diserahkan kepadaku apapun alasannya. Dan aku adalah anak
muda yang telah memenuhi keinginanmu, menunjukkan kemampuanku yang ternyata
berada di atas kemampuanmu sekedar untuk menentukan apakah kau bersedia
menganggap aku seorang pemimpin atau bukan. Kau sudah menjajagi kemampuan Aji
Tameng Waja. Baru Aji Tameng Waja, karena aku belum merasa perlu mempergunakan
yang lain.”
Darah Swandaru bagaikan
mendidih di dalam jantungnya. Perlahan-lahan ia berdiri. Kemudian tegak di
hadapan Raden Sutawijaya.
Ternyata Raden Sutawijaya
membiarkannya. Ia tidak menyerang saat Swandaru berusaha untuk bersikap. Dan
bahkan seolah-olah Raden Sutawijaya itu sekedar menunggu apakah yang akan
dilakukan oleh Swandaru.
Semua orang yang ada di dalam
Sanggar itu menjadi tegang. Kiai Gringsing justru menahan nafasnya. Ia melihat
kemarahan yang masih menyala di mata Swandaru.
Tetapi iapun melihat, bahwa
ada semacam pengakuan dari Swandaru, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa
terhadap anak muda yang bernama Sutawijaya dan bergelar Senopati ing Ngalaga
itu.
Sejenak mereka termangu-mangu.
Ki Jurupun menahan nafasnya, karena iapun sadar, bahwa Raden Sutawijaya yang
juga masih muda itu, akan dapat kehilangan pengamatan diri pada suatu saat.
Namun dalam pada itu, hampir
setiap orang menarik nafas dalam-dalam ketika mereka kemudian melihat Swandaru
tersenyum. Sambil membungkuk dalam-dalam ia berkata, “Raden. Aku seharusnya
memang mengakui, bahwa Raden adalah sepantasnya bergelar Senopati ing Ngalaga
dan berkedudukan di Mataram. Menyimpan pusaka tertinggi dan memimpin daerah
yang akan berkembang mengimbangi perkembangan Pajang yang seakan-akan telah
berhenti.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar saling berpandangan sejenak. Namun nampak mereka seakan-akan telah
terlepas dari himpitan perasaan yang selama itu mencengkam jantung.
Berbeda dengan orang-orang
lain, maka Sekar Mirah mencibirkan bibirnya sambil berkata kepada diri sendiri,
“Sombongnya. Seharusnya kakang Swandaru mengerahkan semua kekuatan yang ada
pada dirinya. Ilmu kebal anak itu masih belum mampu melindungi dirinya mutlak
terhadap setiap serangan.”
Tetapi Sekar Mirah tidak
mengatakan apa-apa. Ia hanya memperhatikan saja apa yang terjadi.
Raden Sutawijaya yang
memperhatikan sikap Swandaru masih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian
tersenyum pula sambil menepuk bahu anak muda itu. Katanya, “Kau luar biasa. Kau
pantas menjadi penggerak di Kademangan Sangkal Putung.”
Suasana di dalam sanggar itupun
segera berubah. Semua orang yang mula-mula mengerutkan kening dengan tegang,
nampak kemudian tersenyum cerah. Merekapun segera berdiri dan mengerumuni kedua
orang yang sedang berdiri tegak di tengah-tengah arena.
Pandan Wangipun sedang
melepaskan ketegangan hatinya. Tanpa di sadarinya, setitik air mata telah
mengambang di pelupuknya. Namun ketika terasa matanya menjadi hangat, maka
cepat-cepat ia menghapusnya sebelum orang lain melihatnya.
“Sudahlah. Marilah kita keluar
dari ruang yang panas ini,“ ajak Kiai Gringsing.
Sesaat kemudian, maka
orang-orang yang ada di dalam sanggar itupun segera keluar dan berjalan ke
pendapa. Beberapa orang pengawal masih berdiri termangu-mangu.
Sekar Mirah yang kemudian
mendekati para pengawal itupun bertanya, “Apakah kalian sangka bahwa Kakang
Swandaru benar-benar tidak dapat memecahkan ilmu Raden Sutawijaya?”
Para pengawal itu tidak
menjawab.
“Kakang Swandaru masih
menghormatinya. Tetapi dalam keadaan yang sesungguhnya Kakang Swandaru tentu
dapat memecahkan ilmu pertahanan Raden Sutawijaya, yang entah Aji apapun
namanya. Kakang Agung Sedayu mempunyai kekuatan yang luar biasa, sehingga ia
akan mampu menembus setiap perisai yang wadag maupun yang halus.”
Para pengawal hanya
mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka melihat sendiri, bahwa dalam setiap
benturan, ternyata nampak bahwa Raden Sutawijaya mempunyai kelebihan dari
Swandaru.
Ternyata pertemuan di pendapa
itupun tidak berlangsung lama. Agaknya Swandarupun telah dicengkam oleh
kekalahan.
Karena itulah, maka iapun
segera minta diri untuk beristirahat.
Meskipun ternyata kemudian
bahwa Swandaru dengan jujur mengakui kelebihan Raden Sutawijaya, namun
pertemuan di Kademangan itu menjadi agak lain dari saat-saat sebelumnya.
Hubungan antara Raden Sutawijaya dengan keluarga Ki Demang rasa-rasanya
dibatasi oleh perasaan segan dan ragu-ragu.
“Kiai,“ berkata Raden
Sutawijaya, “suasana ini agak kurang menguntungkan. Baiklah aku besok pagi-pagi
akan meninggalkan Kademangan ini dan pergi ke padepokan Agung Sedayu. Aku ingin
melihat, apakah yang sudah dilakukannya di padepokannya. Dan apakah ia ingin
memperlakukan aku seperti yang telah dilakukan oleh Swandaru.”
Kiai Gringsing tidak dapat
mencegahnya. Itulah sebabnya, ketika Raden Sutawijaya dan Ki Juru sudah
bermalam semalam, merekapun segera mohon diri.
“Aku ingin segera melihat,
apakah Agung Sedayu berhasil membangun sebuah padepokan.”
“Padepokan kecil yang tidak
berarti,“ sahut Swandaru.
“Itulah yang ingin aku lihat.”
Kiai Gringsing tidak
melepaskan kedua pemimpin dari Mataram itu pergi sendiri. Iapun segera minta
diri pula untuk mengantarkan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani mengunjungi
padepokan kecil yang dihuni oleh Agung Sedayu bersama gurunya dan beberapa
orang lain.
Dalam pada itu, kekalahan
Swandaru ternyata mempunyai beberapa pengaruh atas anak muda itu. Ia
benar-benar tidak dapat ingkar, bahwa Raden Sutawijaya memang seorang yang
memiliki ilmu yang tidak dapat diatasinya. Jika ia melawan lebih lama, itu
berarti bahwa ia akan mengalami penilaian yang semakin buruk dari para pengawal
dan orang-orang Sangkal Putung yang lain. Namun dalam pada itu, maka
keragu-raguannya terhadap kepemimpinan Raden Sutawijaya telah dapat diatasinya.
Ia kemudian yakin dengan jujur bahwa Raden Sutawijaya akan dapat memimpin
Mataram dengan perkembangannya.
Sementara itu, Raden
Sutawijaya dan Ki Juru Martani telah berada di perjalanan bersama Kiai
Gringsing menuju ke Jati Anom. Kiai Gringsing yang sebenarnya ingin berada di
Sangkal Putung lebih lama lagi, terpaksa ikut pula kembali ke padepokan
kecilnya, karena padepokan itu akan dikunjungi oleh dua tamu yang pantas
dihormati, meskipun kedatangan mereka kali ini seolah-olah dalam penyamaran.
Ketika ketiganya lepas dari
padukuhan, maka mereka pun mulai menempuh perjalanan di bulak-bulak panjang.
Mereka menyusuri jalan yang dibatasi oleh hijaunya tanaman di sawah, melintasi
parit-parit yang menyilang jalan di bawah sakak bambu yang kuat.
Tetapi perjalanan itu tidak
dapat berlangsung cepat, karena Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani tidak
membawa kuda tunggangan. Seperti yang mereka kehendaki sendiri, mereka lebih
senang berjalan kaki sambil melihat-lihat sawah dan ladang yang luas. Puncak
Gunung Merapi yang kemerah-merahan oleh cahaya matahari pagi.
Ketika kemudian mereka
menyusur jalan di tepi hutan, maka rasa-rasanya dedaunan yang rimbun yang
seakan-akan berjuntai di atas kepala mereka, telah menahan sinar matahari yang
mulai terasa panas.
Kiai Gringsing yang membawa
seekor kuda terpaksa menuntun kudanya dan berjalan seiring dengan Raden
Sutawijaya.
“Apakah Kiai akan mendahului,“
bertanya Raden Sutawijaya.
“Tidak Raden. Akupun akan
berjalan kaki.“
“Tetapi Kiai membawa seekor
kuda.”
“Itulah kebisaanku sekarang
yang manja. Semula akupun orang yang selalu berjalan kaki kemanapun. Betapapun
panjang jalan yang aku tempuh. Tetapi sekarang aku sudah dijangkiti penyakit
ini.”
Raden Sutawijaya tersenyum.
Katanya, “Bukan suatu kemanjaan. Justru itulah yang wajar. Kamilah yang
seolah-olah tidak mempunyai kewajiban apapun sehingga menghabiskan waktu kami
di sepanjang jalan.”
Kiai Gringsing tertawa.
Katanya, “Tetapi bagi Raden, perjalanan itu sangat bermanfaat, karena tentu ada
sesuatu yang dapat disadap sepanjang perjalanan.”
Kiai Gringsing tertawa ketika
ia melihat Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani yang tertawa pula.
Dalam pada itu, di sepanjang
perjalanan. Raden Sutawijaya dengan hati-hati mulai bertanya tentang kedua
murid Kiai Gringsing. Ia tidak dapat menjajaginya setelah beberapa lama
terpisah. Bahkan ia tidak menyangka bahwa di Sangkal Putung ia akan menghadapi
sikap Swandaru yang aneh.
Pertanyaan-pertanyaan Raden
Sutawijaya telah menimbulkan kegelisahan pula pada Kiai Gringsing. Bahkan Kiai
Gringsing mulai ragu-ragu, apakah Sutawijaya yakin bahwa sikap Swandaru itu
benar benar tumbuh dari hatinya sendiri.
“Apakah Raden Sutawijaya
menyangka bahwa akulah yang telah mendorong Swandaru untuk bersikap deksura?“
bertanya Kiai Gringsing kepada diri sendiri.
Tetapi ia menarik nafas ketika
Ki Juru berkata, “Kiai, sikap Swandaru sebenarnya sangat menarik perhatianku.
Tetapi apakah sikap Agung Sedayu juga akan sama seperti sikap Swandaru?
Sehingga Angger Sutawijaya harus berkelahi lagi dan memamerkan kemampuannya?”
Kiai Gringsing menggeleng.
Jawabnya, “Mudah-mudahan tidak Ki Juru. Meskipun aku tidak mengerti isi hati
seseorang yang sebenarnya, tetapi menurut perhitunganku, Agung Sedayu tidak
akan berbuat demikian.”
“Apakah ada perbedaan sikap
dari kedua murid Kiai itu?“ bertanya Raden Sutawijaya.
“Agaknya memang demikian. Aku
memang cemas melihat perkembangan jiwa Swandaru, justru karena ia merasa
berhasil,“ berkata Kiai Gringsing yang kemudian menceritakan tentang sifat dan
tingkah lakunya. Keberhasilannya membangun Sangkal Putung, membuatnya
kadang-kadang seperti seorang yang kehilangan pengekangan diri.
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Namun kemudian katanya, “Itu adalah sikap yang berbahaya. Ia belum
dewasa menanggapi keberhasilannya. Tetapi ada baiknya ia bertemu dengan aku dan
membenturkan ilmunya dengan ilmuku.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Bahkan Ki Jurupun berpaling memandang wajah Raden Sutawijaya.
Tetapi nampaknya Raden
bersungguh-sungguh. Bahkan kemudian katanya, “Murid Kiai sudah terlanjur
menjajagai ilmuku. Aku akan melakukannya pula atas murid Kiai yang lain. Jika
Agung Sedayu tidak ingin menjajagi ilmuku, akulah yang akan menjajagi ilmunya.”
“Raden,“ potong Ki Juru
Martani.
“Mungkin aku sudah menjadi
gila seperti Swandaru.”
Kiai Gringsing tidak segera
dapat menjawab. Ia tidak tahu, apakah Raden Sutawijaya itu sekedar bergurau
atau bersungguh-sungguh. Namun menilik wajah dan sikapnya, maka agaknya Raden
Sutawijaya itu bersungguh-sungguh.
“Kenapa Kiai menjadi heran,“
bertanya Sutawijaya, “bukankah wajar bahwa anak-anak muda bersikap ingin
mengetahui sejauh-jauhnya? Demikian pula aku. Aku juga ingin mengetahui
sejauh-jauhnya, dengan siapakah aku berhadapan.”
Kiai Gringsing menarik nafas.
Jawabnya, “Aku tahu. bahwa Raden tidak bersungguh-sungguh. Tetapi semuanya
terserah kepada Raden.”
“Aku bersungguh-sungguh Kiai.
Aku ingin menjajagi kemampuan Agung Sedayu. Mataram akan berkembang. Dan
Mataram tentu akan memerlukan kawan sebanyak-banyaknya. Karena itu aku ingin
mengetahui, apakah Agung Sedayu pantas aku jadikan kawan. Terhadap Swandaru
justru aku tidak ragu-ragu lagi. Ia adalah anak yang mungkin agak sombong.
Tetapi ternyata ia jujur dan terbuka seperti sifat-sifatnya yang pernah aku
kenal. Ia mengakui kekalahannya dan ia tidak menjadi gila karena kekalahannya
itu. Nah, aku ingin tahu, apakah Agung Sedayu juga bersikap demikian.”
Kiai Gringsing termangu-mangu.
Ia sadar, bahwa perlakuan Swandaru agak kurang menyenangkan Raden Sutawijaya.
Tetapi kemudian Raden Sutawijaya yang muda itu-pun telah mengambil sikap yang
aneh-aneh pula.
“Apakah itu perlu Ngger?,” bertanya
Ki Juru Martani.
“Kenapa tidak Paman?“ jawab
Sutawijaya.
Ki Juru Martani menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia berpaling memandangi Kiai Gringsing. dilihatnya orang
tua itu menundukkan kepalanya. Kedua tangannya berada di belakang sambil
memegangi kendali kudanya.
Raden Sutawijaya seolah-olah
tidak menghiraukan sikap kedua orang tua itu. Iapun kemudian justru berjalan di
depan dengan kepala tengadah.
Beberapa saat lamanya mereka
yang berjalan beriring itupun saling berdiam diri. Kiai Gringsing yang berjalan
di paling belakang sambil menuntun kudanya masih saja memikirkan sikap Raden
Sutawijaya. Agaknya sikap itu akan mengejutkan Agung Sedayu, karena Kiai
Gringsing tahu pasti, bahwa sifat dan watak Agung Sedayu berbeda dengan sifat
dan watak Swandaru.
“Mungkin Swandaru dapat
melupakan hal itu dalam waktu singkat,” berkata Kiai Gringsing di dalam
hatinya, “tetapi bagi Agung Sedayu hal serupa ini akan mempengaruhinya untuk
waktu yang lama. Mungkin ia akan selalu bertanya-tanya, kenapa hal itu harus terjadi.
Bukan kekalahan yang pasti akan dialaminya. Tetapi kenapa seseorang harus
menjajagi ilmunya. Apalagi ia tidak tahu latar belakang gejolak hati Raden
Sutawijaya yang mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan di Sangkal
Putung.”
Perjalanan yang gelisah itupun
akhirnya sampai pula pada akhirnya. Ketiga orang itupun kemudian memasuki
sebuah lorong sebelum mereka sampai ke Jati Anom. Beberapa tonggak menjelang
pintu gerbang Kademangan Jati Anom, ketiganya berbelok sepanjang lorong yang
agak panjang.
Kedatangan ketiganya ternyata
telah mengejutkan seisi padepokan kecil itu. Yang pertama-tama menyongsong
mereka adalah Ki Waskita yang kebetulan berada di padepokan.
“Marilah Raden, marilah Ki
Juru,“ ia mempersilahkan, “kedatangan Raden sangat mengejutkan, karena kami di
sini sama sekali tidak menyangka bahwa kami akan mendapat kunjungan pimpinan
tertinggi di Mataram.”
Raden Sutawijayapun mengangguk
hormat, disusul oleh Ki Juru Martani sambil berkata, “Padepokan ini sangat
menarik perhatian. Kami sudah membayangkan sejak kami berangkat dari Sangkal
Putung untuk kunjungan khusus ini. Ternyata ketika kami sampai, padepokan ini
lebih baik dari yang kami bayangkan.”
“Ki Juru memuji,“ sahut Kiai
Gringsing, “tentu padepokan ini sebenarnya hanyalah sekedar tempat berteduh.”
Raden Sutawijaya tertawa.
Katanya, “Aku sudah membayangkan bahwa padepokan Kiai Gringsing tentu hanya
sebuah padepokan kecil. Bukan sebuah padepokan yang luas yang dilengkapi dengan
sebuah barak bagi beberapa puluh orang cantrik, jejanggan dan beberapa orang
putut.”
“Ya Raden. Demikianlah
keadaannya.”
“Tetapi akupun sudah
membayangkan bahwa padepokan kecil ini tentu padepokan yang asri dan
terpelihara.”
“Ah,“ desis Kiai Gringsing,
“kami bukannya orang-orang yang mengenal tata keindahan. Kami mengatur asal
saja sesuai dengan selera kami.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu. “Tetapi
marilah. Silahkan naik ke pendapa.”
Raden Sutawijaya dan Ki Juru
masih memperhatikan halaman itu beberapa saat. Sementara Kiai Gringsing
menambatkan kudanya pada patok bambu yang sudah dibuat oleh Glagah Putih.
“Apakah Agung Sedayu tidak ada
di padepokan?“ bertanya Raden Sutawijaya tiba-tiba.
“Ia masih berada di sawah
Raden. Tetapi sebentar lagi ia tentu akan segera pulang,” jawab Ki Waskita.
“Sampai menjelang senja?”
“Kadang-kadang memang
demikian. Apalagi pada masa-masa tanaman padi memerlukan air dan menyiangi.”
“Sendiri?”
“Tidak. Dengan Glagah Putih
dan beberapa orang kawan.”
“Glagah Putih?”
“Putra Ki Widura. Ia berada di
padepokan kecil ini pula.”
Sutawijaya mengangguk-angguk.
Agaknya padepokan kecil ini mempunyai nafas yang jauh berbeda dengan Kademangan
Sangkal Putung, sehingga Raden Sutawijayapun dapat membayangkan, bahwa tata
kehidupan dari kedua murid Kiai Gringsingpun tentu akan mengalami perbedaan
yang besar yang langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pandangan hidup
mereka.
Sejenak kemudian maka Raden
Sutawijaya, Ki Juru dan Kiai Gringsingpun telah duduk di pendapa, sementara Ki
Waskita pergi ke belakang menyalakan api perapian dan menjerang air. Pekerjaan
yang tidak pernah dilakukan di rumahnya, karena ia adalah orang yang cukup
berada dan mempunyai beberapa orang pelayan. Tetapi di padepokan kecil dan
terpisah itu, ia mengerjakan apa saja seperti juga Kiai Gringsing dan penghuni-penghuninya
yang lain.
Ketika api sudah menyala, maka
ditinggalkannya air yang sedang dijerang itu untuk ikut menemui tamu-tamunya
dari Mataram.
“Sebentar lagi Agung Sedayu
tentu akan datang,“ katanya didalam hati, “biar ia sajalah atau Glagah Putih
membuat minuman untuk tamu-tamu itu jika air sudah mendidih.”
Sejenak mereka saling
memperbincangkan keselamatan masing-masing. Kemudian pembicaraan itupun
merambat kepada persoalan-persoalan padepokan kecil itu, sejak saat-saat
dibangun sampai saat terakhir, dimana dedaunan sudah menjadi hijau rimbun, dan
bahkan batang pohon buah buahan yang sudah berbunga.
“Tanah ini adalah tanah
pategalan,“ Kiai Gringsing menerangkan, “sehingga pohon buah-buahan itu memang
sudah ada sejak padepokan ini mulai dibangun.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-angguk.
“Tanah pategalan ini adalah
tanah peninggalan Ki Sadewa seijin Untara. Bahkan ia menjadi berbesar hati
bahwa adiknya telah mulai dengan suatu cara hidup yang baru.”
Raden Sutawijaya ternyata
sangat tertarik kepada isi padepokan itu. Tidak jemu-jemunya ia memandang
berkeliling. Memandangi pohon buah-buahan dan rumpun pohon bunga-bungaan.
“Menyenangkan sekali,”
desisnya beberapa kali. Namun kemudian ia bertanya dengan dahi berkerut, “Kapan
Agung Sedayu kembali?”
“Sebentar lagi,“ jawab Ki
Waskita, “ia tentu sudah berada di perjalanan.”
“Sampai petang?” suara Raden
Sutawijaya berubah.
Ki Waskita menggeleng, “Tidak
Raden. Ia akan segera datang. Sebelum senja.”
Wajah Kiai Gringsing menjadi
tegang. Sementara Ki Waskitapun bertanya di dalam hatinya akan sikap Sutawijaya
yang tidak diketahui maksudnya itu.
Tiba-tiba saja suasana di
pendapa itu telah berubah. Raden Sutawijaya nampak gelisah dan kurang tenang.
Setiap kali ia memandang regol padepokan, seolah-olah ia tidak sabar lagi
menunggu kedatangan Agung Sedayu.
Ki Juru Martanipun telah
menjadi gelisah pula karenanya. Beberapa kali ia mencoba memancing pembicaraan
untuk menarik perhatian Raden Sutawijaya. Tetapi ia tidak berhasil, karena
setiap kali Sutawijaya kembali merenungi regol dengan wajah yang tegang.
Kiai Grigsing yang menjadi
gelisah pula tidak sempat memberitahukan kepada Ki Waskita apakah yang telah
terjadi di Sangkal Putung. Karena itu, kegelisahannya itupun telah membuat Ki
Waskita bertanya-tanya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
memang sedang dalam perjalanan kembali dari sawah bersama Glagah Putih dan
kawan-kawannya yang lain. Wajah mereka nampak cerah, secerah harapan yang
membersit di hati tentang sawah dan ladang mereka. Tanaman mereka nampak hijau
subur dan paritpun rasa-rasanya tidak akan pernah kering jika tidak terjadi
kemarau yang sangat panjang sehingga arus sungai menjadi sangat kecil.
“Jika masih ada orang yang
membuka tanah baru, maka parit itu memerlukan perhatian,” berkata Glagah Putih.
“Ya. Bendungan itu harus
diperbaiki. Sampai sekarang, air dari parit itu sudah terasa cukup. Tetapi jika
kebutuhan air bertambah, maka parit itu memang memerlukan tambahan air,“ jawab
Agung Sedayu. Lalu. “tetapi untuk sementara Ki Demang sudah menghentikan pembukaan
tanah baru karena dipandang sudah cukup. Kitapun untuk sementara tak memerlukan
lagi.”
Glagah Putih
mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi pada suatu saat jumlah penduduk akan
bertambah-tambah.”
“Kita akan membuka tanah baru.
Itulah agaknya, maka sekarang Ki Demang tidak memberikan kesempatan lagi, agar
pada suatu saat kita tidak akan terjepit oleh kesempitan.”
Glagah Putih tidak bertanya
lagi. Tetapi sambil mengamati hutan yang masih cukup luas ia membayangkan
masa-masa mendatang, bahwa hutan itu akan menjadi semakin sempit karena tanah
persawahan menjadi semakin luas.
Kawan-kawannya yang lain
berjalan di belakang Agung Sedayu dan Glagah Putih sambil menjinjing gendi dan
keranjang kecil tempat mereka membawa bekal makanan dan minuman ke sawah.
Tetapi gendi dan keranjang kecil itu telah kosong.
Dalam pada itu, maka merekapun
berjalan tanpa menghiraukan bahwa matahari telah menjadi semakin rendah, dan
bahkan telah bertengger di punggung gunung. Sebentar lagi matahari itu akan
terbenam, dan langitpun akan menjadi kelabu. Mereka berjalan seperti tidak ada
kebutuhan lagi yang harus mereka lakukan. Seenaknya. Bukan saja karena mereka
memang sudah lelah oleh kerja di sawah, tetapi merekapun merasa bahwa kerja
mereka sehari itu sudah selesai.
Karena mereka tidak menyadari,
bahwa Raden Sutawijaya menunggu dengan gelisah di pendapa padepokan kecilnya,
maka Agung Sedayu dan kawan-kawannya masih sempat singgah dan turun ke sebuah
sungai kecil. Mereka sempat membersihkan alat-alat yang mereka bawa dan
kemudian mandi di sebuah pancuran di pinggir sungai itu. Pancuran yang
menyalurkan air dari sebuah belik kecil di bawah sebatang pohon preh yang
besar.
Badan mereka yang lelah dan
kehitam-hitaman disengat cahaya matahari hampir sehari penuh, telah terasa
menjadi segar kembali. Wajah-wajah mereka yang memang cerah, nampak menjadi
semakin cerah oleh segarnya air pancuran.
Tetapi mataharipun menjadi
semakin rendah. Dan langit menjadi semakin merah menjelang senja.
“Ki Waskita tentu sudah
menunggu,“ desis Glagah Putih.
“Ya,“ jawab Agung Sedayu. “Aku
masih harus menanak nasi,“ desis kawannya yang lain.
Merekapun kemudian naik
tanggul sungai kecil itu dan berjalan semakin cepat pulang, setelah badan
mereka terasa menjadi semakin segar.
Dalam pada itu. Raden
Sutawijaya menjadi semakin gelisah. Ia tidak lagi duduk di pendapa, tetapi ia
sudah berdiri dan turun ke halaman.
“Kau gelisah sekali Ngger,“
desis Ki Juru perlahan-lahan, “apakah sebenarnya yang kau kehendaki?”
Adalah di luar dugaan, bahwa
Raden Sutawijaya menjawab dengan lantang seakan-akan dengan sengaja agar
didengar oleh Kiai Gringsing dan Ki Waskita, “Aku akan menjajagi kemampuannya.
Aku sudah diperlakukan demikian. Apa salahnya jika akupun berbuat demikian?”
Ki Waskita mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia tidak lagi menahan kegelisahannya dan bertanya
kepada Kiai Gringsing, apakah yang sudah terjadi.
Dengan singkat Kiai Gringsing
menceriterakan sikap Swandaru yang aneh. Meskipun Swandaru dengan jujur
mengakui kekalahannya, dan nampaknya saat itu Raden Sutawijayapun memaafkannya,
tetapi tiba-tiba saja sikap itu telah berubah ketika mereka berada di
perjalanan. Bahkan dengan keras anak muda itu berniat untuk menjajagi kemampuan
Agung Sedayu.
“Aneh sekali,“ gumam Ki
Waskita.
Kiai Gringsing mengangkat
bahunya. Tetapi seperti juga Ki Juru Martani, ia tidak akan dapat mencegah niat
Raden Sutawijaya yang baginya juga aneh.
“Mungkin ada semacam dendam
meskipun terlalu tajam jika disebut demikian,“ desis Kiai Gringsing, “dan
sasarannya adalah Agung Sedayu yang tidak tahu menahu persoalannya.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Tetapi iapun hanya dapat berdebar-debar dan menunggu apa yang akan terjadi.
Dalam kegelisahan itu,
Sutawijaya berjalan hilir mudik di halaman, sementara langit menjadi bertambah
buram, karena matahari telah berada dibalik bukit.
Pada saat itulah. Agung Sedayu
sampai ke regol padepokannya. Dengan tanpa prasangka apapun ia melangkah
memasuki regol itu bersama dengan Glagah Putih.
Namun demikian ia menginjak
halaman padepokannya, maka tiba-tiba saja ia terkejut. Dengan serta merta Raden
Sutawijaya berkata, “Nah, ia sudah datang. Marilah, kita akan melihat, apakah
kau pantas menjadi seorang sahabat Raden Sutawijaya yang bergelar Senepati ing
Ngalaga.”
Langkah Agung Sedayu tertegun.
Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata,
“Raden, kedatangan Raden benar-benar mengejutkan aku dan tentu saja
kawan-kawanku. Kami tidak menyangka bahwa kami akan mendapat kehormatan,
kunjungan Raden Sutawijaya yang bergelar Senepati ing Ngalaga dan berkedudukan
di Mataram.”
“Lupakanlah basa basi yang
manapun juga. Aku datang untuk menjajagi ilmumu. Letakkan cangkul dan
bersiaplah. Kita akan bertempur di halaman padepokan ini.“ Raden Sutawijaya
menjawab lantang.
Agung Sedayu menjadi bingung.
Dipandanginya Ki Juru, gurunya dan Ki Waskita berganti-ganti.
“Raden,“ Ki Jurulah yang
kemudian bergeser mendekati Raden Sutawijaya, “anak muda itu tentu akan menjadi
bingung. Ia tidak tahu menahu apa yang telah terjadi sebelumnya.”
“Persetan. Aku tidak peduli
apakah ia tahu atau tidak. Tapi aku ingin mengetahui tingkat ilmunya. Sahabat
Raden Sutawijaya haruslah orang-orang yang mumpuni seperti Swandaru Geni di
Sangkal Putung.”
Agung Sedayu menjadi bertambah
bingung. Namun kemudian Ki Juru Martani mendekatinya sambil berkata, “Maaf
Agung Sedayu. Ada sesuatu yang harus kau ketahui tentang adik seperguruanmu.”
Agung Sedayu termangu-mangu.
“Jangan katakan kepadanya,“
geram Raden Sutawijaya, ”tidak ada gunanya ia mengerti persoalannya.”
Ki Juru menjadi bingung.
Sementara itu Raden Sutawijaya
melangkah satu-satu mendekati Agung Sedayu sambil berkata lantang, “Agung
Sedayu. Cepatlah. Sebelum gelap kita akan berkelahi untuk saling menjajagi ilmu
kita masing-masing. Aku dengar kau sudah meningkatkan ilmumu. Karena itu, aku
ingin tahu sampai dimana tingkat ilmumu sekarang, sehingga aku akan dapat
mengerti apakah kau sudah pantas menjadi sahabatku dalam keadaan seperti
sekarang ini.”
Agung Sedayu benar-benar tidak
mengerti. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Apalagi karena gurunya, Ki
Waskita dan bahkan Ki Juru Martani sendiri nampaknya juga kebingungan.
“Cepat, apakah kau takut?”
bentak Raden Sutawijaya.
“Raden,“ Agung Sedayu
termangu-mangu, “aku benar-benar tidak mengerti. Apakah sebenarnya yang sudah
terjadi di sini?”
“Kau tentu tidak banyak
berbeda dengan Swandaru. Cepat, kita akan segera mulai.”
“Aku menjadi bingung Raden.
Benar-benar bingung. Kedatangan Raden di padepokan ini sudah mengejutkan aku.
Apalagi tingkah laku Raden sekarang ini.”
“Cukup,“ bentak Raden
Sutawijaya, “kau tentu sudah memiliki ilmu yang tinggi seperti Swandaru. Kau
tentu ingin menunjukkan bahwa ilmumu sudah setingkat dengan ilmu Sutawijaya
yang bergelar Senopati ing Ngalaga. Karena itu jangan berpura-pura. Kita akan
berkelahi. Sampai seberapa kebenaran angan-anganmu tentang tingkat ilmumu
dibandingkan dengan Raden Sutawijaya.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Dengan hati-hati ia menjawab, “Aku tidak mengerti. Aku sama sekali
tidak merasa bahwa ilmuku sudah meningkat. Di padepokan ini yang aku lakukan
adalah bercocok tanam. Memelihara sawah dan ladang. Dan sedikit membuka hutan.”
“Nah, kau sudah mulai membuka
hutan. Kau tentu tidak puas melihat perkembangan Mataram. Dan kau mencoba untuk
membuka hutan sendiri dan kemudian mengembangkannya menjadi suatu negeri.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Sekilas dipandanginya Kiai Gringsing, seolah-olah ia ingin
mendapatkan pertimbangannya. Tetapi Raden Sutawijaya seolah-olah mengetahui isi
hatinya dan berkata, “Kau tidak usah menunggu pertimbangan gurumu. Lakukanlah
menurut nuranimu sendiri.”
“Tetapi semua yang Raden
katakan itu tidak benar. Aku membuka hutan hanya sekedar membuat tanah
persawahan bagi padepokan kecil ini dengan isinya. Dan bagaimana mungkin aku
berpikir, bahwa aku akan membuka sebuah negeri? Mimpipun aku tidak akan
melakukannya.”
“Apa saja yang kau katakan.
Tetapi cobalah menunjukkan sedikit kejantananmu. Jika kau berani berbuat
sesuatu, kau tentu akan mempertanggung jawabkan.”
“Apa yang harus aku
pertanggung jawabkan? Aku tidak berbuat apa-apa.”
“Aku tidak peduli. Tunjukkan
peningkatkan ilmumu. Mungkin kau sudah dapat menggugurkan gunung atau
mengeringkan lautan dengan sentuhan jari-jarimu. Tetapi ingat, bahwa Raden
Sutawijaya bukannya kanak kanak yang kagum melihat gunung yang runtuh serta
lautan yang menjadi kering.”
“Aku tidak mengerti, sungguh
tidak mengerti Raden.”
“Bohong. Kau hanya
berpura-pura.“
Agung Sedayu benar-benar
bingung. Apalagi gurunya, Ki Waskita dan Ki Juru Martani nampaknya hanya
berdiri termangu-mangu saja tanpa berbuat apa-apa.
Sementara itu. Sutawijaya yang
tidak sabar menunggu lagi, telah melangkah maju beberapa langkah mendekati
Agung Sedayu. Wajahnya menjadi tegang dan tangannya bagaikan hendak meremasnya.
“Cepat,“ Raden Sutawijaya
berteriak, “aku tidak mempunyai banyak waktu.”
Tetapi Agung Sedayu yang
bingung sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ia masih berdiri termangu-mangu
sambil memandang orang-orang yang ada di halaman itu berganti-ganti.
Ketika Raden Sutawijaya
mendekat selangkah lagi, Agung Sedayu justru menjadi semakin bingung.
“Agung Sedayu,“ suara Raden
Sutawijaya menjadi gemetar, “kenapa kau diam saja? Apakah kau ingin menghinaku
dengan sikap dinginmu itu. Kau ingin menunjukkan bahwa kau telah menjadi kebal
dan tidak lagi dapat dikenai oleh serangan apapun juga.”
“Raden menjadi semakin aneh,“
desis Agung Sedayu, “siapakah yang mengatakan bahwa aku kebal dan tidak dapat
disentuh oleh serangan yang manapun juga. Aku masih tetap seperti ini. Aku
selama ini tidak bertambah apa-apa, selain sedikit kemampuan mengerjakan
sawah.”
“O, kau menjadi semakin
sombong. Baiklah. Jika kau tidak mau berbuat apa-apa, biarlah aku mencoba
kekebalanmu. Jika kau tahan pukulanku, maka aku akan berjongkok dan
menyembahmu. Aku akan menyerahkan gelar Senapatiku kepadamu dengan segala macam
kebesaran yang pernah aku terima.”
“Itu tidak masuk akal,” jawab
Agung Sedayu dengan serta merta.
“Aku tidak peduli.”
Sutawijaya nampaknya sudah
tidak sabar lagi. Ia maju semakin dekat dengan sikap yang garang, sementara
Agung Sedayu masih termangu-mangu kebingungan.
Tiba-tiba dalam ketegangan
itu, Glagah Putih yang tidak tahu siapakah anak muda itu sesungguhnya karena ia
belum mengenalnya, meloncat maju sambil melemparkan cangkulnya. Dengan dada
tengadah ia berteriak nyaring, “He anak muda yang belum aku kenal sebelumnya.
Aku tidak mempunyai persoalan dengan kau. Tetapi sikapmu telah membakar hatiku.
Aku tahu kau memiliki kesaktian. Tetapi jika kesaktianmu itu sekedar sebagai
bekal untuk menyombongkan diri, aku akan melawanmu.”
Agung Sedayu yang melihat
Glagah Putih meloncat maju. dengan tergesa-gesa menangkap lengannya. Sambil
menariknya mundur ia berdesis, “Jangan Glagah Putih. Kau belum tahu, siapakah
anak muda itu.”
“Aku sudah mendengar namanya
dan gelarnya. Aku memang pernah mendengar tentang perkembangan atau negeri yang
bernama Mataram, yang justru banyak disebut-sebut orang. Tetapi jika ternyata
Mataram dipimpin oleh seorang anak muda yang sombong dan tamak, apakah artinya
perkembangan Mataram itu.”
“Jangan berkata begitu. Kau
belum mengetahui apapun juga tentang Mataram dan tentang pimpinannya.”
“Aku memang tidak banyak
mengetahui tentang Mataram, tentang Pajang dan tentang pemimpin-pemimpinnya.
Tetapi sekarang, aku sudah mengetahuinya. Ternyata kelahiran Mataram bukannya
didorong oleh cita-cita seorang yang kecewa melihat Pajang yang terhenti
sekarang ini, tetapi sekedar didorong oleh nafsu ketamakan yang
berlebih-lebihan.”
“Glagah Putih,“ potong Agung
Sedayu.
Dalam pada itu, Kai
Gringsingpun dengan tergesa-gesa mendekatinya sambil berkata, “Jangan kau
katakan sesuatu yang tidak kau ketahui Glagah Putih.”
“Kiai,“ Tiba-tiba saja Glagah
Putih menengadahkan kepalanya, “aku adalah anak Ki Widura. Meskipun ayahku
sekedar seorang prajurit kecil, tetapi ayahku dapat menyebut apa yang
diketahuinya tentang Mataram dan Pajang. Ayahku mengajarkan kepadaku, bahwa aku
harus mulai sekarang mencoba mempertajam penilaian dan tanggapan atas segala
peristiwa yang aku hadapi. Aku tahu, bahwa yang aku hadapi bukannya yang aku
pahami sekarang ini. Tetapi aku menjadi kecewa. Kecewa sekali melihat kenyataan
ini. Ketika aku mendengar dari ayahku, seorang pemimpin muda dari Mataram yang
rendah hati dan mumpuni, aku telah mengaguminya. Namun ketika tiba-tiba saja
menantang dengan penuh kesombongan Kakang Agung Sedayu yang ternyata terlalu
sabar itu, hatiku benar-benar menjadi kecewa. Seperti kecewanya seseorang yang
menggenggam pinggan dan terlepas jatuh di atas batu hitam. Pecah menjadi
berkeping-keping.”
“Glagah Putih,“ suara Agung
Sedayu tertahan. Namun ia berkata selanjutnya, “Dari mana kau dapat mengucapkan
kata-kata itu. Kau masih terlampau muda. Dan itu adalah ciri kemudaan bahwa kau
tidak dapat menahan diri.”
“Apakah Raden Sutawijaya itu
juga masih terlalu muda? Jika ia masih terlalu muda, kenapa ia telah
dianugerahi jabatan tertinggi di Mataram.”
“Tentu tidak.”
“Tetapi iapun tidak dapat
menahan diri. Aku kenal Kakang Agung Sedayu. Dan aku yakin bahwa Kakang tidak
berbohong jika Kakang menyatakan bahwa Kakang tidak tahu menahu tentang sikap
yang aneh dari pemimpin tertinggi Mataram itu. Kakang tidak pernah berbohong
dalam hal ini. Dan Kakang tidak berpura-pura. Tetapi anak muda itu benar-benar
kehilangan kendali dan tidak tahu diri.”
“Sudahlah. Sudahlah,“ Agung
Sedayu hampir membentak, “tahanlah dirimu sedikit. Aku akan mohon penjelasan.”
“Kakang, apakah Kakang masih
akan berbicara? Aku kira tidak ada gunanya. Sudah berapa kali Kakang mencoba
berbicara dengan rendah hati. Terlalu merendahkan diri. Tetapi sama sekali
tidak dihiraukannya. Apakah itu bukan berarti suatu penghinaan?”
Agung Sedayu tiba-tiba saja
memeluk Glagah Putih yang masih sangat muda itu. Sambil mengusap kepalanya ia
berkata, “Kau benar Glagah Putih, tetapi biarlah aku menyelesaikan masalah ini
dengan caraku yang barangkali berbeda dengan kata hatimu.”
Agung Sedayu benar benar
menjadi bingung menghadapi anak itu. Karena itulah maka iapun kemudian berkata
dengan berterus terang, ”Glagah Putih, sikamu membuat aku bertambah bingung.
Aku sudah hampir gila menghadapi sikap Raden Sutawijaya yang tidak aku mengerti
dan terasa aneh sekali. Sekarang kau membuat aku semakin kehilangan akal.”
Glagah Putih mengerutkan
keningnya. Namun pengakuan itu ternyata telah menyentuh perasaan Glagah Putih
sehingga iapun justru terdiam karenanya.
“Glagah Putih,“ berkata Agung
Sedayu, “aku memang sedang mencoba melihat keadaan ini dengan kewajaran. Raden
Sutawijaya yang bergelar Senopati ing Ngalaga di Mataram itu memang seorang
anak muda yang rendah hati. Ia bukan seorang yang sombong apalagi tamak dan
dengki. Jika sekarang kau melihat sikap itu padanya, maka kau jangan bersikap
kekanak-kanakan. Itulah yang sebenarnya aku maksudkan. Kau harus menilainya
dengan sedikit cermat. Ayahmu, paman Widura telah mengatakan yang sebenarnya.
Namun jika ternyata terjadi sesuatu yang lain, maka kita harus mencari
sebabnya. Jangan tergesa-gesa mengambil sikap.”
Glagah Putih menarik nafas
dalam-dalam. Dan Agung Sedayu meneruskan, “Demikianlah atas Raden Sutawijaya
ini. Semula aku menyangka bahwa Raden Sutawijaya sekedar bergurau. Tetapi
ternyata tidak. Dan karena tidak, justru ini telah menyimpang dari kemungkinan
yang dapat terjadi atas seorang anak muda yang bergelar Senapati ing Ngalaga
itu. Dan penyimpangan itulah yang harus kita cari.”
Glagah Putih mengangguk. Namun
katanya, “Tetapi sikapnya benar benar menyinggung perasaan, Kakang.”
“Itulah yang aneh. Kenapa ia
dapat melakukannya sehingga langsung menyinggung perasaan orang lain.”
Glagah Putih tidak menjawab
lagi. Ketika Agung Sedayu menariknya menepi, Glagah Putih tidak menolaknya
lagi. Meskipun demikian sekali-sekali ia masih berpaling memandang wajah Raden
Sutawijaya yang mulai disaput oleh keremangan senja.
Sejenak orang-orang yang ada
di halaman itu termangu-mangu. Namun kemudian kesunyian itupun dipecahkan oleh
suara Raden Sutawijaya, “Anak itu benar-benar memiliki sifat seorang prajurit.
Jika ia anak Paman Widura, maka ia akan menjadi seorang yang besar seperti,
bahkan melampaui, ayahnya.”
Suara Raden Sutawijaya telah
berubah sama sekali. Sikapnyapun telah berubah, sehingga Agung Sedayu dan
terutama Glagah Putih menjadi heran. Glagah Putih menyangka bahwa Raden
Sutawijaya akan marah kepadanya dan mencincangnya, tetapi ia sama sekali tidak
takut menghadapi akibat apapun. Tetapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya tidak
berbuat demikian.
Ki Juru yang semula menjadi
bingung dan ragu ragu menghadapi sikap anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Ia mulai mengerti, apakah yang sebenarnya dihadapinya.
Dalam pada itu, keragu-raguan
masih meliputi halaman padepokan kecil itu meskipun sudah mulai nampak gambaran
yang mapan tentang sikap Raden Sutawijaya yang aneh itu.
Glagah Putih yang
keheran-heranan itu bagaikan terbangun dari sebuah mimpi. Ia melihat sesuatu
yang berbeda sekali dengan nalarnya. Raden Sutawijaya itu tidak marah. Bahkan
sambil tersenyum anak muda itu berkata, “Kau akan menjadi orang besar Glagah
Putih. Kau sangat yakin akan sikapmu dan uraianmu tentang persoalan yang kau
hadapi ternyata melamaui kedewasaan umurmu.”
Glagah Putih termangu-mangu
dalam keheranannya.
Namun dalam pada itu, Kiai
Gringsing yang berdiri termangu-mangu itupun kemudian berkata. “Tetapi marilah,
silahkan duduk di pendapa. Jantung tua di dalam dada ini rasa-rasanya sudah
akan rontok, tetapi agaknya akulah yang terlampau bodoh.”
Sutawijaya tersenyum. Iapun
kemudian mengikuti Kiai Gringsing dan Ki Juru Martani yang menuju ke pendapa
dan kemudian duduk dalam satu lingkaran.
“Duduklah di sini Glagah
Putih,“ ajak Kiai Gringsing ketika ia melihat anak muda itu termangu-mangu,
“biarlah kawan-kawanmu pergi ke belakang menyiapkan segala sesuatunya.
Menyalakan lampu dan barangkali semangkuk minuman.”
“Aku sudah menyalakan api dan
menjerang air,“ sahut Ki Waskita seakan-akan ingin pula ikut melepaskan
ketegangannya, “tetapi justru karena aku terikat di halaman, mungkin air itu
belum mendidih, dan api sudah padam.”
Ki Juru tersenyum. Tetapi ia
tidak menjawab.
Merekapun kemudian duduk
melingkar di pendapa dengan sikap yang kaku. Namun Raden Sutawijayalah yang
mulai memecahkan keseganan, “Kiai, maaf jika sikapku kali ini agak
berlebih-lebihan. Aku memang sengaja ingin menjajagi perasaan Agung Sedayu. Aku
mencoba membuatnya marah. Tetapi aku tidak berhasil.”
Kiai Gringsing menarik nafas.
“Ternyata ia mempunyai
kelebihan daripadaku. Aku sebenarnya ingin menguji sikapku sendiri. Apakah
sikapku menanggapi sikap Swandaru di Sangkal Putung itu sudah benar? Di sini
aku dihadapkan pada sebuah cermin. Untunglah bahwa akibatnya tidak justru
meretakkan hubungan Mataram dengan Sangkal Putung, tetapi sebaliknya. Namun di
hadapan Agung Sedayu aku merasa betapa kerdilnya jiwaku dihadapkan kepada kebesaran
jiwanya.”
“Ah,“ Agung Sedayu menjadi
tersipu-sipu.
“Tidak Raden,” jawab Kiai
Gringsing, “aku kira sikap Raden sudah benar menghadapi Swandaru. Aku kira
tidak ada sikap yang lebih tepat dari yang sudah Raden lakukan. Jika Raden
bersikap lain, mungkin Swandaru justru tidak akan dapat menyadari, betapa
kecilnya Sangkal Putung dibanding dengan kebesaran Mataram.”
“Tetapi sikap Agung Sedayu
sangat mengagumkan. Ia benar-benar sudah dewasa.”
“Bagi Raden yang sudah dewasa
pula. Tetapi tidak bagi Swandaru. Aku kira pada suatu saat, Swandaru pun akan
menjajagi ilmu kakak sepergurunnya ini.“
Raden Sutawijaya mengerutkan
dahinya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Tetapi aku
dapat mengerti. Swandaru agaknya kurang yakin akan perkembangan ilmunya
sehingga ia memerlukan perbandingan. Di Sangkal Putung ada Pandan Wangi. Tetapi
karena Pandan Wangi justru telah menjadi istrinya, maka ia kurang mantap untuk
membuat perbandingan dengan ilmunya. Swandaru tentu menyangka bahwa dalam
beberapa hal Pandan Wangi tidak bersungguh-sungguh.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Tetapi iapun menyahut, “Tetapi aku sebenarnya menjadi sangat
berdebar-debar. Seharusnya bukan Radenlah yang menjadi sasaran percobaan
ilmunya itu.”
Raden Sutawijaya tersenyum.
Yang terpandang olehnya kemudian adalah Glagah Putih yang masih
keheran-heranan.
Dengan singkat Kiai
Gringsingpun kemudian menjelaskan kepada Glagah Putih tentang Raden Sutawijaya.
Maksudnya dan juga latar belakang peristiwa yang telah terjadi di Sangkal
Putung.
Glagah Putih menarik nafas
dalam-dalam.
“Aku minta maaf Raden,“ gumam
Glagah Putih kemudian yang seolah-olah hanya dapat di dengarnya sendiri.
Tetapi Raden Sutawijaya
mendengarnya pula. Sambil tersenyum ia menjawab, “Kau akan menjadi seorang anak
muda yang perkasa. Kau tentu telah menempa diri bersama Agung Sedayu atau Kiai
Gringsing dalam jalur ilmunya.”
Raden Sutawijaya menjadi heran
ketika ia melihat Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak
Raden. Ia tidak berada dalam jalur ilmuku seperti Agung Sedayu dan Swandaru.
Tetapi ia berada dalam jalur cabang perguruan Ki Sadewa.”
“He?” Raden Sutawijaya menjadi
heran, “siapakah gurunya? Ki Widura atau kakak Agung Sedayu. Ki Untara?”
“Bukan salah seorang dari
keduanya,“ jawab kiai Gringsing.
Raden Sutawijaya menjadi
termangu-mangu. Jika Glagah Putih berada di bawah bimbingan ayahnya sendiri
atau Ki Untara, maka ilmu Glagah Putih tentu tidak akan dapat melampui
keduanya, karena yang dituangkan dari keduanya masih belum tuntas.
“Siapakah gurunya ? Apakah
pada saat ini masih ada seseorang yang mampu menuangkan ilmu cabang perguruan
Ki Sadewa dengan sempurna?”
“Tentu tidak Raden. Sejak
dahulupun tidak ada seseorang yang mampu menyalurkan ilmu dengan sempurna“
jawab Kiai Gringsing.
“O,“ Raden Sutawijaya
tersenyum, “maksudku, sampai tuntas. Sempurna menurut ukuran manusiawi yang
serba kekurangan.”
Kiai Gringsingpun tersenyum
pula. Namun katanya kemudian, “Tidak ada seorang guru yang akan dapat
memberikan bahan yang cukup kepadanya dalam jalur ilmunya yang dianutnya
sekarang. Tetapi kami sedang berusaha. Dan kami mengharap bahwa Glagah Putih
akan dapat mencapai suatu tingkatan yang baik baginya, jika ia tekun dan
bersungguh-sungguh.”
Raden Sutawijaya memandang
Glagah Putih yang menundukkan kepalanya. Tubuhnya yang agak kekurusan. Menurut
ukuran wajahnya yang masih kekanak-kanakan ia termasuk anak yang bertubuh
tinggi. Kejujuran yang memancar dari wajah yang masih sangat muda itu telah
menarik perhatian Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, beberapa orang
yang di belakang masih saja sibuk menjerang air dan menyalakan lampu. Mereka
memasang lampu-lampu minyak di setiap ruangan. Salah seorang dari mereka telah
membawa lampu ke pendapa pula.
Ketika lampu sudah menyala,
maka Glagah Putih menjadi semakin gelisah. Karena itu, Kiai Gringsing yang
tidak ingin membuatnya bertambah gelisah lagi berkata kepadanya, “Glagah Putih,
jika kau ingin kebelakang, pergilah.”
Glagah Putih menarik nafas
dalam-dalam, seolah-olah ia telah terbebas dari satu tugas yang sedang
mengikatnya.
Anak muda itupun kemudian
minta diri dan dengan tergesa-gesa pergi ke belakang, seakan-akan ia ingin
segera menjauhkan diri agar keputusan Kiai Gringsing itu tidak berubah dan
memanggilnya kembali ke pendapa.
Sementara itu, minuman panas dan
ketela rebus yang hangat sudah dihidangkan di pendapa. Sambil berkelakar Kiai
Gringsing mempersilahkan, “Inilah hasil padepokan kami Raden. Jika ada seorang
tamu, maka kami telah mencabut satu dua batang pohon ketela dan langsung
merebusnya.”
Raden Sutawijaya tersenyum. Ki
Juru Martanipun tersenyum pula. Katanya, “Dengan demikian maka lumbungmu adalah
lumbung yang hidup Kiai.”
Kiai Gringsingpun tertawa.
Kemudian dipersilahkannya Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani untuk minum dan
makan makanan yang sudah dihidangkan.
Sambil mengunyah maka
merekapun masih saja bercakap-cakap, yang kemudian justru merambat pada
persoalan pokok yang sangat penting bagi Raden Sutawijaya.
“Pertemuan antara orang-orang
yang mengaku masih mempunyai darah keturunan Majapahit itu akan segera
dilakukan,“ berkata Raden Sutawijaya.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Beberapa saat terakhir kami sibuk dengan kepentingan
kami sendiri Raden. Sejak perkawinan Swandaru yang hampir saja menenggelamkan
Sangkal Putung dan sekaligus Tanah Perdikan Menoreh jika orang-orang itu
berhasil membunuh Swandaru dan Pandan Wangi, kemudian persoalan Agung Sedayu
dan padepokan kecil ini telah merampas segenap perhatian kami. Namun kamipun
yakin saat itu bahwa pertemuan itu masih belum dilaksanakan karena beberapa
perbedaan pendapat tentang imbangan kekuatan di antara mereka dan terutama
bahwa merekapun telah saling mencurigai.”
“Tetapi agaknya hal itu akan
teratasi. Mereka akan melangsungkan pertemuan itu beberapa saat lagi. Kami masih
selalu membayangi sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami.”
Kiai Gringsing, Ki Waskita dan
Agung Sedayu mendengarkan berita itu dengan kerut merut dikening. Sejak semula
mereka telah melibatkan diri dalam persoalan pusaka yang hilang itu, sehingga mereka
tidak akan dapat menarik diri justru pada saat-saat terpenting.
Karena itu, maka Kiai
Gringsingpun kemudian berkata, “Raden. Jika saatnya tiba, maka kami tentu tidak
akan ingkar. Mungkin ada sesuatu yang dapat kami lakukan. Bahkan mungkin
sebelum saat pertemuan itu tiba.”
“Apa yang dapat kita lakukan
sebelum saat pertemuan itu tiba? Aku kira kedua pusaka itu masih belum pasti
ada di antara mereka sekarang ini. Tetapi menurut perhitunganku, pada saat
pembicaraan mereka itu dengan resmi diadakan, kedua pusaka itu tentu sudah ada
di dalam pertemuan itu sebagai bagian dari pembicaraan mereka,“ berkata Raden
Sutawijaya.
“Kami mengerti. Tetapi maksud
kami, apa yang dapat kami lakukan sebelumnya adalah sekedar pengamatan.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Kiai. Tetapi barangkali yang mereka
lakukan sebelumnya masih dalam usaha mereka mempersiapkan pertemuan itu di
lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, dan yang lebih penting adalah
mempertajam persoalan yang ada antara Pajang dan Mataram. Tetapi yang membuat
aku semakin prihatin sekarang ini adalah keadaan Ayahanda Sultan Pajang.
Menurut keterangan yang aku dengar, sepeninggal Ayahanda Ki Gede Pemanahan yang
bergelar Ki Gede Mataram, maka kesehatan Ayahanda Sultan Hadiwijaya menjadi
semakin buruk. Sementara itu beberapa orang yang memegang pemerintahan di
Pajang menjadi semakin tamak dan mendesak kekuasaan Ayahanda Sultan. Bahkan
terakhir aku sudah mendengar seorang Adipati yang dengan penuh kebencian ingin
menghancurkan Mataram dengan kekerasan.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Dengan wajah yang buram ia bertanya, “Tetapi apakah Adipati
itu mempunyai hubungan dengan orang yang menyebut dirinya keturunan Majapahit
yang berhak menerima warisan atas kekuasaan itu?”
“Aku tidak tahu jelas. Tetapi
menurut perhitunganku, hal itu tentu dalam usaha memperebutkan pengaruh dan
dukungan atas masa depan.”
Kiai Gringsing memandang Agung
Sedayu sekilas. Wajah anak muda itu menjadi tegang. Berbagai persoalan agaknya
telah membelit di hatinya.
“Raden,“ Ki Waskitapun
kemudian bertanya, “apakah peristiwa itu berarti bahwa keadaan menjadi semakin
rumit sekarang ini? Jika seorang Adipati telah melibatkan diri langsung, maka
keadaannya tentu tidak akan menguntungkan semua pihak.”
“Tentu Ki Waskita. Itulah
kesulitan yang tentu akan kita hadapi nanti.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Sepercik keragu-raguan telah membayang di wajahnya. Agaknya ada
sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi ia telah dicengkam oleh kebimbangan.
Tetapi Ki Juru Martani melihat
kebimbangan itu. Karena itu, maka iapun mendahuluinya, “Ki Waskita. Apakah ada
sesuatu yang agaknya ingin kau katakan?”
Ki Waskita termangu mangu.
“Apakah salahnya,“ berkata Ki
Juru Martani pula, “cobalah. Katakan. Setuju atau tidak setuju, kami tentu akan
mempertimbangkannya sebaik-baiknya.”
“Aku mohon maaf Raden,“
berkata Ki Waskita, “aku kira keadaan memang menjadi sangat gawat. Hal ini
tentu bermula karena salah paham sejak Ayahanda Ki Gede Pemanahan meninggalkan
istana Pajang dan kembali ke Sela dalam rangka tuntutannya atas janji Sultan
Pajang untuk menyerahkan Alas Mentaok. Sementara Pati yang sudah menjadi
semakin ramai dan besar telah diberikan langsung kepada Ki Penjawi. Namun
kesalahpahaman itu tidak sebaiknya menjadi semakin berlarut-larut. Sepeninggal
Ayahanda Raden, Ki Gede Pemanahan yang bergelar Ki Gede Mataram, apakah tidak
sebaiknya Raden sendiri berusaha mengakhiri salah paham itu dengan datang
menghadap Sultan di Pajang?”
Wajah Raden Sutawijaya menjadi
semburat merah. Namun Ki Juru Martanipun kemudian tersenyum sambil berkata,
“Itulah yang aku prihatinkan Ki Waskita. Jika Angger Sutawijaya tidak berhati
sekeras batu, maka aku kira akan dapat dicari jalan untuk menghindarkan salah
paham ini.”
“Paman,“ Raden Sutawijaya
memotong, “Paman tidak pernah mendengar penghinaan atasku dan Ayahanda Ki Gede
Pemanahan saat kami meninggalkan istana Pajang.”
“Apakah Ayahanda Sultan pernah
menghina Raden?“ bertanya Ki Waskita.
“Bukan Ayahanda Sultan
Hadiwijaya. Tetapi orang-orang di dekatnya. Orang-orang di sekitarnya.”
“Itulah barangkali yang
membuat hati Ayahanda Sultan sekarang ini selalu muram. Kesalahan beberapa
orang di sekitarnya terhadap Raden, berakibat parah sekali bagi Pajang dan
Mataram. Pusaka-pusaka Pajang yang diserahkan kepada Mataram, gelar Senopati
ing Ngalaga itu tentu diberikan kepada Raden bukannya tanpa maksud. Kecuali
Raden memang sudah berhak atas gelar itu, namun tentu ada juga niat ayahanda
Sultan untuk memanggil Raden kembali memasuki Paseban Agung di Pajang
setidak-tidaknya selapan hari sekali.”
“Paman,“ wajah Raden
Sutawijaya menjadi semakin tegang, “aku sudah mengajukan permohonan kepada
Ayahanda Sultan. Aku akan menghadap ke Paseban Agung bukan saja setiap selapan
hari, tetapi setiap pekan dan saat apapun jika dikehendaki, asal orang-orang
yang tidak aku senangi itu diusir dari istana.”
Wajah Ki Waskita menegang
sejenak. Ketika dilihatnya sekilas wajah Ki Juru, maka nampaknya penyesalan
membayang diwajah yang tua itu. Bahkan katanya kemudian, “Ki Waskita. Akupun
pernah mengajukan permohonan serupa kepada Raden Sutawijaya. Sultan Hadiwijaya
adalah seorang yang mempunyai tiga kedudukan terpenting bagi Raden Sutawijaya.
Ia adalah seorang ayah yang penuh kasih, seorang guru yang cakap dan mumpuni
dalam olah kanuragan dan kesusasteraan. Selebihnya ia adalah seorang Raja yang
bijaksana.”
Wajah Raden Sutawijaya menjadi
buram. Sekilas ia memandang Ki Juru Martani. Kemudian Ki Waskita dan
orang-orang lain berganti-ganti.
Dengan nada yang dalam ia
berkata, “Aku mengerti Paman. Tetapi aku tidak dapat melihat kelemahan semakin
membelit hati Ayahanda Sultan di Pajang. Sebenarnyalah bahwa Ayahanda Sultan
tidak berani melihat kenyataan meskipun ia mengetahuinya. Seharusnya Ayahanda
telah mengusir beberapa orang yang dengan sengaja mempersulit kedudukan dan
rencana-rencana Ayahanda. Bahkan Ayahanda mengetahui bahwa beberapa orang telah
menyalah gunakan kepercayaan Ayahanda untuk kepentingan-kepentingan yang tidak
menguntungkan. Apakah Paman Juru Martani tidak mau mengakui, bagaimana buruknya
pengaruh orang-orang yang dengan sadar dan sengaja didorong oleh pamrih pribadi
telah menjerumuskan Ayahanda ke dalam cengkeraman nafsu yang semakin dalam.
Perempuan perempuan cantik merupakan noda kelemahan yang selalu dipergunakan.”
“Angger,” suara Ki Juru sareh,
“justru dalam keadaan serupa itu. Beberapa puluh kali aku mencoba memberikan
nasehat bahwa jika Angger berada di istana, maka Angger akan dapat membantu
Ayahanda melepaskan diri dari belenggu nafsu yang seolah-olah tidak terkekang
itu.”
Tetapi Sutawijaya menggeleng.
Jawabnya, “Uwa Mandaraka. Berpuluh kali pula aku mohon maaf, bahwa hatikulah
yang tidak dapat dipaksa untuk datang menghadap Ayahanda yang duduk dikitari
oleh penjilat-penjilat yang dengan liciknya telah menjerumuskan Ayahanda ke
dalam belenggu nafsu dan kesenangan duniawi.”
Ki Juru Martani yang juga
bergelar Mandaraka itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
“Aku sudah menentukan sikap,“
berkata Raden Sutawijaya, “aku tetap mencintai Ayahanda Sultan Hadiwijaya
sebagai seorang anak yang menyadari untuk membalas budi yang tidak ternilai,
yang barangkali seumurku tidak akan dapat terbalas selapis tipispun. Dan akupun
tetap menghormati sebagai seorang guru yang mumpuni. Bahkan aku tetap
menjunjung segala perintahnya sebagai seorang Raja yang bijaksana. Namun di
dalam tindakannya yang tidak aku anggap bijaksana maka aku tidak akan dapat
menjunjungnya di atas kepala.”
“Baiklah Raden,“ gumam Ki Juru
kemudian, “aku sudah mendengar pendirian itu berpuluh kali sebanyak aku
mengucapkan harapan dan nasehatku. Tetapi baiklah. Raden sudah cukup dewasa
untuk mengambil sikap. Jika aku tetap berada di sisi Angger, barangkali didalam
sikap dan tindakan Angger sehari-hari masih ada yang perlu dipertimbangkan.”
“Ki Juru,” berkata Raden
Sutawijaya, “bagiku Ki Juru tetap seorang yang penting. Aku selalu melakukan
segala nasehat Ki Juru, selain yang satu itu. Menghadap Ayahanda dalam keadaan
seperti sekarang.”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk. Betapapun buram sorot matanya, tetapi orang tua itu
benar-benar tidak berhasil merubah sikap Raden Sutawijaya dalam satu hal itu.
Sementara itu Agung Sedayu
mendengarkan dengan dada yang berdebar-debar. Dengan demikian Agung Sedayupun
dapat mengerti, bahwa Raden Sutawijaya adalah orang yang keras hati. Apalagi
ketika ia mendengar tentang beberapa orang yang berada di sekitar Sultan
Pajang, yang dengan cara yang licik telah melakukan usaha untuk kepentingan
diri sendiri.
Tetapi kenapa Raden Sutawijaya
tidak berada di dekat ayahandanya Sultan Pajang, justru dalam keadaan seperti
itu? Pertanyaan yang serupa itupun telah mengganggu hatinya.
Dalam pada itu. Raden
Sutawijaya berkata seterusnya. “Karena itu aku harus segera mulai. Tetapi aku
tidak akan mulai dari orang-orang di sekitar Ayahanda Sultan di Pajang. Aku
akan mulai dengan menemukan pusaka-pusaka yang hilang itu dan sekaligus
menghancurkan orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit,
karena aku yakin bahwa jalurnya akan sampai juga ke istana Pajang. Beberapa
orang petugas sandi yang aku tugaskan khusus, telah memberikan laporan yang
menurut uraian dan perhitungan, bayak orang-orang di istana Pajang yang
terlibat, bahkan mungkin mereka adalah pemikir-pemikirnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya bahwa Raden Sutawijaya tidak akan
bertindak dengan tergesa-gesa Tetapi akupun percaya bahwa Raden Sutawijaya
bukan seorang yang tidak melihat perkembangan peristiwa dan keadaan.”
“Ya,” jawab Raden Sutawijaya
singkat, “dan kedatanganku menemui Kiai di antaranya juga dalam usaha
penyelesaian itu. Aku tidak mengatakannya di Sangkal Putung karena suasananya
tidak memungkinkan. Tetapi aku yakin bahwa Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru
masih akan tetap bersedia membantuku. Khususnya menghadapi orang-orang yang
menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu.”
Kiai Gringsing mengangguk.
Jawabnya, “Percayalah Raden. Untuk menghadapi mereka, aku akan berbuat sesuatu
sesuai dengan kemampuanku. Mudah-mudahan yang akan kami lakukan itu cukup
berarti bagi Raden.”
“Tentu Kiai,“ berkata Raden
Sutawijaya, “aku tidak dapat berhubungan dengan Untara, karena aku tidak
mengetahui dengan pasti jalur apakah yang telah mengikatnya di dalam lingkungan
keprajuritan Pajang. Meskipun demikian aku tahu pasti, bahwa Untara adalah
seorang yang setia akan kewajibannya. Ia adalah prajurit Pajang yang sangat
baik. Tetapi justru itu sulitlah bagiku untuk melakukan usaha yang dapat
membawanya bekerja bersama dengan Mataram meskipun dalam persoalan yang
khusus.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk.
“Karena itulah, aku mengharap
bantuan Swandaru, tegasnya Sangkal Putung, dari arah ini, meskipun jika kita
mulai, kita harus menghindari pengawasan Untara. Harapan yang sama juga akan
aku sampaikan kepada Ki Gede di Menoreh. Kedua daerah itu akan merupakan
kekuatan penyumbat lembah antara lereng Merbabu dan Merapi. Kamilah yang akan
memasuki lembah itu dan menghancurkan mereka pada saatnya nanti. Tetapi kami
harus meyakinkan diri, bahwa yang kami lakukan itu akan menguntungkan, dan
menemukan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu.”
Kiai Gringsing, Ki Waskita dan
Agung Sedayu tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi
dari sorot mata mereka, Ki Juru Martani dapat menangkap, bahwa mereka tidak
berkeberatan untuk ikut membantunya.
Sebenarnyalah bahwa Kiai
Gringsing memang merasa wajib untuk setidak-tidaknya ikut mengetahui, siapakah
yang berdiri di belakang kegiatan yang dapat mengguncangkan sendi-sendi
pemerintahan, baik Pajang maupun Mataram. Bahkan dalam keadaan yang paling
parah, maka kekuatan itu benar-benar akan berhasil membenturkan Mataram atas
Pajang. Sifat keras hati Raden Sutawijaya yang kurang menguntungkan bagi
pendekatan antara anak muda itu dengan ayahandanya, benar-benar telah
mencemaskan orang-orang tua.
“Kiai,“ berkata Raden
Sutawijaya kemudian, “baiklah aku berterus terang. Tanpa Kiai, Ki Waskita dan
kekuatan murid-murid Kiai beserta para pengawal Sangkal Putung. maka kami akan
mengalami kesulitan. Karena itu, kami mohon Kiai dapat memberikan bantuan itu.
Seperti yang aku katakan, aku mengharap agar kekuatan dari Sangkal Putung
menyumbat mulut lembah itu dari arah timur sedangkan Tanah Perdikan Menoreh
dari arah barat. Jika tidak berkeberatan, kedua kekuatan itu kami minta
perlahan-lahan memasuki lembah itu semakin dalam, agar kesempatan bergerak
orang-orang yang akan membicarakan bangkitnya Majapahit itu semakin sempit.”
“Baiklah Angger,“ berkata Kiai
Gringsing, “aku harap aku dapat meyakinkan Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi aku
kira, Sangkal Putung tidak akan berkeberatan. Karena perjuangan itu bukannya
sekedar perjuangan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, tetapi
juga akan sangat berpengaruh bagi perkembangan dan pertumbuhan kekuasaan di
atas Tanah ini.”
Raden Sutawijaya memandang
wajah Ki Juru sejenak. Nampak sekilas tampak di wajah orang tua itu,
seolah-olah ingin mengatakan bahwa Kiai Gringsingpun sebenarnya mempunyai
kepentingan khusus dengan orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan
Majapahit itu.
“Kiai,“ berkata Raden
Sutawijaya, “yang aku katakan sekarang ini adalah suatu pemberitahuan, bahwa
kita semuanya harus mulai mempersiapkan diri. Kami masih akan mengadakan
penyelidikan lebih jauh. Seterusnya kami akan selalu berhubungan, meskipun
bukan aku sendiri yang akan datang kemari.”
“Baiklah Raden,” jawab Kiai
Gringsing, “aku akan melakukan sesuatu di sini. Tetapi mungkin karena ketidak
tenanganku. aku juga sekali-sekali ingin melihat perkembangan langsung di
lembah itu.”
“Tentu saja aku akan berterima
kasih Kiai. Karena yang akan Kiai lakukan itupun akan sangat menguntungkan
Mataram. Mudah-mudahan kami dapat menemukan sesuatu yang berharga.
Pusaka-pusaka itu dan orang-orang yang sampai saat ini justru telah
menggoyahkan kekuasaan Ayahanda di Pajang, lewat perbuatan dan
tindakan-tindakan yang licik sekali, di luar kesadaran Ayahanda sendiri.”
Untuk beberapa saat mereka
masih membicarakan persoalan-persoalan yang lebih terperinci. Namun pada
pokoknya, mereka akan bersama-sama memecahkan persoalan pusaka yang hilang
sekaligus tentang orang-orang yang merasa dirinya masih harus mewarisi kerajaan
dan kejayaan Majapahit. Tetapi lebih dari itu, Sutawijaya selalu merasa
terganggu oleh orang-orang yang ada di sekitar Ayahandanya, yang justru tidak
menguntungkan sikap dan wibawanya dalam keseluruhan, tetapi justru telah
menjerumuskan ke dalam kesulitan.
Meskipun dalam hal itu
Sutawijaya yakin, bahwa ada beberapa orang Adipati yang sama sekali tidak
menyetujui sikapnya. Bahkan ada yang dengan serta merta mohon ijin kepada
Sultan Hadiwijaya untuk menghancurkan Mataram sebelum besar, karena ada
tanda-tanda bahwa Mataram akan memberontak, yang ternyata dari sikap Raden
Sutawijaya yang tidak mau menghadap di paseban, namun Sutawijaya sudah
mempersiapkan diri.
“Asal bukan Pajang sendiri
langsung menyerang Mataram, maka Mataram tidak akan dapat digoyahkan,“ berkata
Raden Sutawijaya.
Tetapi keyakinan itu
sebenarnya masih belum lengkap. Mataram masih belum memiliki jumlah pasukan
yang cukup banyak meskipun secara pribadi pengawal-pengawal di Mataram memiliki
kemampuan seorang prajurit pilihan. Jika dua orang Adipati bergabung dan
mendapat ijin dari Sultan atas namanya mempersempit kekuasaan Mataram maka
Mataram akan mengalami kesulitan.
Namun keragu-raguan atas
kepemimpinan Sultan Pajang yang mulai berkembang agaknya telah menyentuh hati
setiap Adipati. Masih ada kesetiaan di antara mereka. Namun mereka mulai
ragu-ragu bahwa Pajang tidak akan dapat lagi diharapkan di hari depannya. Para
Adipati itu mengenal sikap dan pribadi Pangeran Benawa. Satu-satunya putra yang
berhak mewarisi kerajaan dan pemerintahan Pajang. Tetapi nampaknya perhatian
Pangeran Benawa tidak tertuju kepada pemerintahan. Ia lebih suka menyepi dan kadang-kadang
berada dalam lingkungan para ulama. Nampaknya meskipun ia masih berusia muda,
ia lebih senang hidup dalam ketenangan batin daripada digelitik oleh kesibukan
pemerintahan yang rumit
Ia seorang yang luar biasa,
setiap orang memujinya. Dalam usia mudanya, ia telah mewarisi semua ilmu
kanuragan yang ada pada Ayahandanya. Bahkan ia termasuk orang yang aneh, yang
dapat menyadap ilmu yang betapapun sulitnya dalam waktu yang sangat pendek.
Tetapi seolah-oleh ia tidak mempunyai minat pada ilmu-ilmunya. Seolah-olah
dengan terpaksa karena kewajiban seorang putra Sultan sajalah ia mempelajari
ilmu-ilmu itu. Namun kemudian yang didambakannya adalah ketenangan hidup yang
sebenarnya. Kedamaian hati dan ketenteraman rohaniah.
Karena itulah, maka
seakan-akan ia tidak menghiraukan yang terjadi di istana.
Seperti Raden Sutawijaya,
sebenarnyalah Pangeran Benawa telah dikecewakan oleh sikap ayahnya yang terlalu
mudah disentuh oleh kecantikan wajah gadis-gadis muda. Namun dalam bentuk dan
ujud yang lain sesuai dengan kepribadiannya.
Demikianlah, maka Raden
Sutawijaya dan Ki Juru Martani masih berada di padepokan itu untuk sehari.
Mereka telah bersepakat, di pagi harinya, mereka akan meninggalkan padepokan
kecil itu kembali ke Mataram.
“Kita harus segera mulai, agar
kita tidak terlambat,“ berkata Raden Sutawijaya.
Saat-saat yang tersisa,
kemudan dipergunakan oleh Raden Sutawijaya untuk melihat-lihat padepokan itu.
Bahkan iapun berkata kepada Agung Sedayu. “Kita berjalan-jalan ke sawah dan
ladangmu.”
Agung Sedayu tidak menolak.
Merekapun kemudian berjalan-jalan menyusuri jalan di tengah-tengah daerah
persawahan.
Raden Sutawijaya merasa kagum
juga melihat hasil kerja Agung Sedayu. Parit-parit yang membujur lintang di
antara tanaman yang hijau. Lorong-lorong yang panjang dan beberapa batang pohon
pelindung di pinggir jalan.
Kedua anak muda itu berjalan
sambil berbincang. Mula-mula tentang masa depan Mataram dan sekitarnya dalam
hubungannya dengan Pajang. Namun kemudian sampai juga kepada kemampuan yang
telah dicapai oleh Agung Sedayu.
“Aku tidak mendapatkan
kemajuan apapun juga selama ini selain kecakapan memelihara sawah dan ladang
ini,“ berkata Agung Sedayu.
Raden Sutawijaya yang telah
mengenal sifat-sifatnya hanya tertawa saja. Anak muda yang rendah hati ini
memang jauh berbeda dengan saudara seperguruannya, meskipun Raden Sutawijaya
yakin bahwa Agung Sedayu telah mencapai satu tingkatan yang tidak kalah dari
Swandaru.
“Agung Sedayu,“ berkata Raden
Sutawijaya, “di Sangkal Putung aku telah dipaksa untuk menunjukkan kelebihanku
dari Swandaru. Sebenarnya aku agak malu mengingatnya. Tetapi aku tidak
mempunyai cara lain untuk meyakinkan Swandaru.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk.
“Dan kini aku sebenarnya ingin
juga melihat kemampuanmu. Aku sama sekali bukannya hendak menjajagi ilmumu atau
mau mengukur apakah kau pantas atau tidak menjadi seorang Senapati atau dengan
maksud-maksud lain. Aku benar-benar ingin sekedar mengetahuinya.”
Agung Sedayu tersenyum.
Katanya, “Tidak banyak berarti Raden. Yang aku miliki pernah Raden ketahui.
Masih seperti itu. Mungkin ada juga peningkatan. Tetapi sedikit sekali. Dan itu
tidak berarti apa-apa. sehingga karena itu, maka aku kira tidak ada gunanya aku
pamerkan di hadapan Raden.“
Raden Sutawijaya tersenyum
pula Ia memang sudah menduga, bahwa tidak mudah memaksa Agung Sedayu untuk
menunjukkan ilmunya dengan cara apapun juga.
Untuk beberapa saat mereka
berjalan-jalan melintasi bulak-bulak yang tidak begitu panjang. Mereka melihat
juga ladang yang mulai ditanami pohon buah-buahan. Bukan saja pategalan Agung
Sedayu yang diterimanya dari Untara, tetapi daerah pategalan baru yang
dibukanya bersama-sama tanah persawahan dari hutan yang lebat.
Setelah mereka melingkari
semua sudut tanah yang telah dibuka oleh Agung Sedayu, maka keduanyapun kemudian
kembali ke padepokan. Raden Sutawijaya merasa sangat kecewa bahwa ia tidak
dapat melihat tingkat kemajuan ilmu Agung Sedayu meskipun ia benar-benar hanya
sekedar ingin mengetahuinya.
“Swandaru telah mencapai
kemajuan yang pesat. Bahkan ia mampu menggoyahkan ilmuku, aji Tameng Waja. Jika
Agung Sedayu tidak dapat mencapai tingkat yang sama dengan Swandaru, maka
Swandaru tentu akan merasa dirinya lebih penting lagi dan bertindak kurang
bijaksana atas kakak seperguruannya yang akan menjadi adik iparnya itu,“
katanya di dalam hati.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak
mengatakannya kepada siapapun. Juga tidak kepada Agung Sedayu.
Demikianlah, maka Raden
Sutawijaya masih bermalam di padepokan itu, sebelum pada pagi harinya, seperti
yang direncanakannya, meninggalkan padepokan itu kembali ke Mataram.
“Mudah-mudahan semuanya segera
dapat aku selesaikan,“ berkata Raden Sutawijaya saat ia minta diri, “jika
masalah pusaka-pusaka yang hilang dan orang-orang yang mengaku keturunan
Majapahit itu sudah aku selesaikan, maka aku akan dapat memusatkan perhatianku
terhadap perkembangan Pajang. Keadaan Ayahanda Sultan memang menjadi semakin
gawat sedang Adimas Pangeran Benawa agaknya tidak menghiraukannya sama sekali.”
Ki Juru Martani menarik nafas.
Ia kadang-kadang sulit mengerti pikiran anak-anak muda. Raden Sutawijaya dapat
menyalahkan Pangeran Benawa yang kurang memperhatikan jalur pemerintahan dan
keadaan ayahandanya yang dikelilingi oleh orang-orang yang sulit dibedakan
antara mereka yang benar-benar setia dengan jujur, para penjilat, dan bahkan
orang-orang yang dengan sengaja akan menjerumuskannya, sementara dirinya
sendiri tidak langsung ikut serta membantu memecahkan kesulitan yang kurang
disadari oleh Sultan Hadiwijaya itu.
Demikianlah, maka Raden
Sutawijaya dan Ki Juru Martani pun meninggalkan padepokan itu ketika matahari
mulai memanjat langit. Sekali-sekali keduanya masih berpaling. Dengan nada
datar Ki Juru berkata, “Anak yang rendah hati. Ia mulai dari permulaan sekali.
Sebuah padepokan kecil. Tetapi nampaknya padepokan itu cukup tenang dan
mempunyai harapan.”
“Sebenarnya padepokan itu
kurang menguntungkan bagi Agung Sedayu,” sahut Raden Sutawijaya, “di umurnya
masih muda telah terkungkung dalam ikatan daerah yang sempit. Sawah, ladang dan
padepokannya itu.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Sebenarnya ada jalan yang lebih
baik bagi Agung Sedayu untuk mencapai sesuatu di masa depanya. Ia memiliki ilmu
yang cukup, cerdas dan memiliki tanggapan yang tajam. Namun ia lebih senang
berada di tempat yang terasing.”
“Itu adalah watak dan
sifatnya. Agaknya sifat gurunya yang lebih senang hidup tersembunyi itu
menemukan persesuaian di hati anak muda itu.” berkata Ki Juru kemudian.
Raden Sutawijaya
mengangguk-angguk. Namun dari bibirnya terloncat, “Sayang Ia menyia-nyiakan
hari harinya di masa muda.”
Ki Juru Martani tidak
menyahut. Ia menyadari bahwa anggapan Raden Sutawijaya itu lebih banyak tertuju
kepada Agung Sedayu sesuai dengan sifat dan wataknya sendiri. Raden Sutawijaya
adalah seorang yang sejak masa anak-anaknya dipengaruhi oleh lingkungannya. Ia
adalah putra angkat Sultan Hadiwijaya. sehingga ia mengenal segi-segi
pemerintahan dan bahkan kemudian menjadi sebagian besar dari seluruh hidupnya.
Selebihnya, karena Raden
Sutawijaya menginginkan agar Agung Sedayu dengan tegas berada di dalam
lingkungannya. Lingkungan para pengawal di Mataram.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak
dapat mengatakannya berterus terang kepada Agung Sedayu. Ia masih belum tahu
pasti, apakah yang sebenarnya dikehendaki oleh anak muda itu dan gurunya. Bagi
Raden Sutawijaya ternyata Swandaru lebih mudah dapat dikuasainya daripada murid
Kiai Gringsing yang seorang lagi itu. Bahkan tingkat ilmu yang sebenarnyapun
Raden Sutawijaya tidak berhasil mengetahuinya.
Dalam pada itu, sepeninggal
Raden Sutawijaya, Di bagian belakang dari padepokan itu, Glagah Putih menemui
Agung Sedayu dan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya tentang Raden
Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram.
“Ia anak muda yang baik,“
jawab Agung Sedayu.
“Tetapi sikapnya saat Kakang
datang, benar-benar membingungkan aku.”
“Ia hanya bergurau,“ Agung
Sedayu tertawa.
“Tentu tidak. Meskipun aku
sadar, bahwa ia tidak bersungguh-sungguh. Aku menyesal akan sikapku.”
“Ia tidak marah. Sikapmu
adalah sikap yang wajar.”
“Wajar?”
“Wajar bagi anak semuda kau
dan dalam luapan perasaan yang tidak terkendali. Hal itu menjadi pengalaman
yang baik bagimu. Lain kali kau akan menjadi berhati-hati menanggapi
peristiwa-peristiwa yang masih kabur dan kurang meyakinkan. Nah, bukankah kau
lihat, bahwa ia tidak berbuat apa-apa meskipun aku tidak melayaninya?”
“Ya.“ namun kemudian Glagah
Putih menjadi ragu-ragu, “tetapi apakah Raden Sutawijaya benar-benar memiliki
ilmu yang lebih tinggi dari Kakang?”
“Tentu. Tentu. Kau harus yakin
seperti aku yakin.”
Glagah Putih
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Apakah Kakang mau menceriterkan serba
sedikit tentang Mataram?”
“Tentu,“ jawab Agung Sedayu
yang kemudian mulai bercerita tentang Mataram, “Raden Sutawijaya dan usahanya
membuka hutan yang lebat dan menjadikannya sebuah negeri yang ramai dan kuat.”
“O,“ desis Glagah Putih, “jika
demikian, kenapa kita tidak membuka hutan lebih luas dan menjadikannya sebuah
negeri?“
Agung Sedayu tertawa.
Jawabnya, “Ada bermacam-macam unsur yang dapat menjadikan sebuah hutan yang
lebar menjadi sebuah negeri. Alas Mentaok telah diberikan oleh Sultan Pajang
kepada putra angkatnya itu. Dan Alas Mentaok adalah hutan yang besar dan luas.
Beberapa puluh kali lebih luas dari seluruh Kademangan Jati Anom.”
Glagah Putih mengangguk-angguk
pula. Ia mencoba membayangkan hutan yang luas itu telah menjadi sebuah negeri.
“Tentu memerlukan waktu dan
tenaga yang tidak terkira,” katanya.
“Ya. Usaha Raden Sutawijaya
itu berlangsung untuk waktu yang lama dan tenaga yang tidak tanggung-tanggung.
Tetapi Raden Sutawijaya adalah putra Sultan Hadiwijaya. Apalagi sebelumnya
setiap orang mengetahui, bahwa dalam perselisihan antara Pajang dan Jipang,
Raden Sutawijaya seakan-akan telah berhasil menentukan sikap penyelesaian dengan
gugurnya Arya Penangsang. Dengan demikian, maka banyak orang yang
mempercayainya dan bersedia dengan sukarela ikut serta membuka hutan dan
menjadikannya sebuah negeri. Bahkan beberapa kelompok prajurit Pajang telah
menyatakan keinginannya untuk mengikutinya dan langsung menjadi pengawal Tanah
Mataram.”
Glagah Putih mendengarkan
cerita itu dengan saksama. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Jadi Sultan Pajang
telah merestui usaha Raden Sutawijaya itu Kakang?”
“Ya. Benar-benar merestuinya.
Bukan sedekar karena ia merasa wajib berbuat demikian. Pertanda yang pasti
adalah penyerahan beberapa pusaka terpenting dari Pajang kepada Mataram.”
Glagah Putih tidak menyahut.
Tetapi ia mulai mencoba mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi. Namun
kebingungannya masih memaksanya untuk bertanya, “Kakang. Tetapi kenapa beberapa
orang prajurit Pajang tidak menyukai perkembangan Mataram sekarang ini?”
“Siapa yang mengatakannya?”
Glagah Putih menjadi agak
bingung. Namun kemudian jawabnya, “Aku hanya mendengar beberapa orang
mengatakannya demikian.”
“Sudahlah. Pada saatnya kau
akan mendengar lebih banyak dan lebih jelas dari ayahmu dan mungkin dari kakang
Untara. Tetapi kau harus mendengar pula imbangan keterangan dari orang lain.
Tetapi jangan pikirkan sekarang.”
Glagah Putih menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lagi tentang Mataram dan tentang Raden
Sutawijaya.
Sementara itu di pendapa
padepokan kecil itu, Kiai Gringsing dan Ki Waskitapun sedang bercakap-cakap
pula. Mereka mencoba menilai sikap Raden Sutawijaya yang semakin lama menjadi
semakin jelas.
“Aku kurang sependapat dengan
sikapnya Kiai,” berkata Ki Waskita, “seharusnya ia tidak melepaskan diri dari
istana Pajang yang menurut pendapatnya sendiri sedang diamuk oleh sikap dan
nafsu beberapa orang bagi kepentingan pribadi.”
Kiai Gringsing menarik nafas
panjang.
“Aku sependapat sepenuhnya
dengan Ki Juru,“ berkata Ki Waskita seterusnya, “tetapi bukan sekedar
menyerahkan persoalannya kepada Raden Sutawijaya, namun Ki Juru harus menekan
anak muda itu dengan segala pengaruhnya agar ia mau datang menghadap Sultan
Pajang dan kemudian mengambil langkah-langkah penyelamatan di istana Pajang itu
sendiri.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Waskita sekilas. Kemudian dilontarkannya kekejauhan. Dengan nada yang dalam ia
berkata, “Ki Juru sudah mencobanya. Tetapi Ki Juru tidak berhasil.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Namun kemudian katanya, “Kiai, sebenarnya aku masih belum dapat mengerti sikap
dan pendapat Raden Sutawijaya menghadapi Pajang. Kebenciannya kepada orang-orang
yang diduganya akan dapat menggoyahkan pemerintahan telah menjauhkannya dari
ayahandanya, justru saat ayahandanya sangat memerlukannya.” Ki Waskita berhenti
sejenak, lalu. “Kiai. Apakah sikap itu tidak bersangkut paut dengan sikap
ayahanda Raden Sutawijaya, Ki Gede Pemanahan, yang meninggalkan kedudukannya di
istana Pajang sebagai tekanan agar Alas Mentaok segera diserahkan. Dimulai dari
sikap itulah maka Raden Sutawijaya merasa segan untuk pada suatu saat menghadap
kembali ke istana. Dan itulah yang membuat ayahandanya Ki Gede Pemanahan
menjadi sangat berprihatin.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Jawabnya, “Itu adalah salah satu sebab. Tetapi ada beberapa
sebab yang lain.”
Ki Waskitapun
mengangguk-angguk pula. Ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing.
Namun karena itu, maka ia tidak bertanya lebih lanjut.
Tetapi dengan demikian Kiai
Gringsing dapat meraba tanggapan Ki Waskita atas anak muda yang bernama Raden
Sutawijaya dan bergelar Senopati Ing Ngalaga itu. Agaknya ia tidak senang terhadap
sikapnya yang seakan-akan telah menentang ayahanda angkatnya sekaligus guru dan
rajanya menurut istilah Ki Juru Martani. Namun Ki Waskita tidak dapat
mengatakannya. Dalam pada itu, maka pembicaraan kedua orang tua itupun terputus
ketika mereka mendengar derap kaki kuda. Sejenak kemudian mereka melihat
beberapa ekor kuda muncul di halaman. Di paling depan dari mereka adalah
Untara.
“O,” Kiai Gringsing dan Ki
Waskitapun segera berdiri menyongsongnya, “marilah Ngger. Silahkan naik ke
pendapa.”
Untara yang telah meloncat
turun dari kudanyapun mengangguk dalam. Setelah mengikat kudanya, maka ia-pun
segera mengikuti Kiai Gringsing naik ke pendapa beserta Ki Waskita. Sementara
ia memberikan isyarat kepada pengawal-pengawalnya untuk menunggu saja di
halaman.
“Apakah mereka tidak
dipersilahkan naik?“ bertanya Kiai Gringsing.
“Biar sajalah mereka menunggu,
Kiai. Aku tidak akan lama di sini.”
“Ah. Angger Untara tidak
pernah tidak tergesa-gesa. Baru saja Angger datang, Angger sudah menyatakan
ingin pergi lagi.”
Untara tersenyum. Jawabnya,
“Maaf Kiai. Mungkin terbawa oleh sikapku sejak kanak-kanak. Aku tidak pernah
betah tinggal terlalu lama di suatu tempat.”
Merekapun kemudian duduk di
pendapa. Sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mendengar derap kaki kuda
itupun telah datang pula ke pendapa.
“Kakang Untara,“ Glagah Putih
berdesis di belakang Agung Sedayu.
Untara tersenyum. Sambil
melambaikan tangannya ia memanggil, “Glagah Putih, kemarilah.”
Tetapi Glagah Putih masih
tetap saja bersembunyi di punggung Agung Sedayu.
“He,“ desis Agung Sedayu,
“mendekatlah. Kakang Untara memanggilmu.”
Tetapi Glagah Putih masih
tetap saja berada di belakang Agung Sedayu.
“Kenapa kau memandangku
seperti memandang hantu?“ bertanya Untara.
Glagah Putih hanya menundukkan
kepalanya saja, sementara Agung Sedayu berkata, “Anak itu jarang-jarang bertemu
dengan Kakang Untara, sehingga ia nampaknya seperti seorang pemalu yang tidak
pernah bertemu dengan orang lain.”
Untara tertawa. Ia memang
mengenal adik sepupunya itu sebagai seorang pemalu. Itulah sebabnya maka ia
tidak memaksanya. Bahkan katanya. “Baiklah. Biarlah ia bersembunyi saja di
punggungmu. Mudah-mudahan ia tidak selalu berbuat demikian sampai pada masanya
ia bertemu dengan seorang gadis.”
Yang mendengar kata-kata Untara
itu tertawa. Jarang sekali Untara sempat berkelakar. Tetapi agaknya adik
sepupunya itu memang menarik perhatiannya.
Sementara itu, setelah mereka
duduk sejenak, Untarapun mulai bertanya kepada Agung Sedayu sesuai dengan
kepentingannya datang ke padepokan itu, “Sedayu, apakah Raden Sutawijaya dan Ki
Juru Martani telah datang ke padepokan ini, atau bahkan sekarang masih berada
di sini?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Namun ia tidak dapat ingkar. Karena itu maka jawabnya, “Ya Kakang.
Baru saja Raden Sutawijaya meninggalkan padepokan ini.”
“Apakah ia bermalam di
padepokan ini? “
“Ya. Darimana Kakang
mengetahuinya?”
“Seorang petugas sandi telah
mendengar kabar kedatangannya. Ia mula-mula datang ke Sangkal Putung. Kemudidan
ia pergi ke padepokan ini karena di Sangkal Putung kebetulan mereka bertemu
dengan Kiai Gringsing.”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak, sementara Kiai Gringsing menyahut, “Ya Anakmas. Aku memang telah
berjumpa dengan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani di Sangkal Putung. Karena
itu aku persilahkan mereka singgah barang sejenak di padepokan ini.”
Untara mengangguk-angguk.
Kemudian ia bertanya lebih lanjut, “Apakah keperluannya datang ke Sangkal
Putung Kiai.”
“Ah. Aku kira Raden Sutawijaya
hanya sekedar singgah. Seperti biasa ia sering mengadakan perjalanan jauh dalam
pakaian orang kebanyakan.”
“Justru kedatangannya dalam
sikap orang kebanyakan itulah yang telah menimbulkan pertanyaan bagi kami. Aku
masih senapati di daerah ini. Meskipun ia sudah mendapat gelar Senapati ing Ngalaga,
namun seharusnya ia menghubungi aku jika ia berada di daerah ini.”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Namun sebenarnyalah bahwa kakaknya adalah seorang senapati. Karena
itu, dalam kebimbangan ia memandang gurunya sejenak, seolah-olah minta pertimbangannya.
Kiai Gringsing beringsut
setapak. Lalu katanya, “Anakmas benar. Seharusnya kedatangan Raden Sutawijaya
diketahui oleh Anakmas. Tetapi agaknya karena Raden Sutawijaya menganggap
kedatangannya sekedar dalam rangka hubungan yang telah akrab seperti saudara
sendiri yang sudah lama tidak bertemu sehingga menimbulkan kerinduan sajalah,
maka ia tidak memerlukan membertahukan kepada Anakmas.”
“Sudah aku katakan. Kedatangan
yang tidak resmi seperti itulah yang justru harus mendapat perhatian. Jika ia datang
dengan gelar kebesarannya diikuti oleh sepasukan pengawal maka adalah jelas
bahwa ia tidak menyembunyikan sesuatu maksud. Aku sendiri akan menyongsongnya
dan ikut dalam perjalanannya di daerah ini, meskipun seandainya Raden
Sutawijaya belum melaporkan kepada Sultan di Pajang.”
Kiai Gringsing tidak dapat
membantah lagi. Sikap Untara adalah sikap yang seharusnya dilakukan sebagai
seorang senapati yang bertanggung jawab. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun
hanyalah mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Agung Sedayu,“ berkata Untara
kemudian, “aku minta di lain kali, kau melaporkan kepadaku jika kau mendapat
kunjungannya. Bukan saja Raden Sutawijaya, tetapi juga ada pemimpin-pemimpin
prajurit dari Pajang atau siapapun juga.”
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya,
“Ya Kakang Aku akan melakukannya.”
Sementara itu Glagah Putih
yang gelisah sekali-sekali memandang Untara dengan ragu-ragu. Agaknya ada yang
ingin dikatakannya. Tetapi mulutnya masih belum sanggup mengucapkannya.
Untara melihat sikap adik sepupunya
yang gelisah. Tiba-tiba saja ia tersenyum sambil berkata, “Apakah ada yang akan
kau katakan Glagah Putih?”
Glagah Putih menundukkan
kepalanya. Keringat dinginnya mulai membasahi pakaiannya.
“Katakanlah,“ desak Untara.
Glagah Putih memandang wajah
Agung Sedayu sekilas. Lalu katanya terputus-putus, “Ya Kakang. Raden Sutawijaya
tidak berbuat apa-apa di sini Kakang. Ia datang, melihat-lihat kemudian pergi.”
“Ya. ya,“ jawab Untara, “aku
kira ia memang tidak berbuat apa-apa.”
Glagah Putih mengerutkan
keningnya. Ia heran mendengar jawaban Untara. Jika ia mengetahui bahwa Raden
Sutawijaya itu tidak berbuat apa-apa, kenapa ia berkeberatan? Tetapi pertanyaan
itu tidak terucapkan, karena mulutnya tiba-tiba saja terasa menjadi seolah-olah
terkatup rapat-rapat.
Untara melihat keringat yang
mengembun dikening adik sepupunya. Karena itu maka katanya, “Glagah Putih.
Belajarlah mengenal orang lain. Aku memang seorang prajurit. Tetapi aku adalah
kakakmu. Katakan apa yang ingin kau katakan. Itu akan lebih baik daripada kau
simpan saja di dalam hati. Benar atau salah, lepaskanlah pikiranmu jika itu kau
anggap perlu, mungkin pikiranmu itu berguna bagi orang lain meskipun hanya
sebagai bahan pertimbangan. Tetapi jika kau simpan saja di dalam hati, maka
tidak seorangpun yang dapat mengetahuinya atau mempertimbangkannya.”
Glagah Putih termangu-mangu.
Namun kemudian jawabnya, “Tidak Kakang. Aku tidak mempunyai pendapat apapun
juga.”
Kiai Gringsing yang melihat
sikap Glagah Putih itupun tersenyum. Katanya, “Sebenarnyalah Angger Glagah
Putih bukannya seorang yang tidak dapat menyatakan pendapatnya. Dalam kejutan
perasaan, justru semuanya akan tertumpah. Ia dengan serta merta mengatakan apa
yang dirasakannya meskipun belum matang dipertimbangkan sesuai dengan umurnya.”
Glagah Putih menundukkan
kepalanya. Tetapi keterangan Kiai Gringsing itu telah menarik perhatian Untara,
yang kemudian bertanya, “Apakah yang sudah dilakukannya?”
Kiai Gringsing hanya tersenyum
saja. Ia tidak mengatakan, bagaimana Glagah Putih bersikap menghadapi Raden
Sutawijaya yang dengan serta merta seolah-olah telah menantangnya meskipun anak
itu mengetahui bahwa ia tak akan dapat berbuat apa-apa.
“Anakmas Untara,“ berkata Kiai
Gringsing kemudian, “Angger Glagah Putih masih bersikap kekanak-kanakan. Kadang-kadang
ia hanyut pada arus perasaannya, sehingga ia sama sekali tidak menunjukkan
kesan pemalunya. Tetapi justru terhadap Anakmas Untara ia rasa-rasanya ingin
selalu menyembunyikan wajahnya.”
Untara tertawa. Katanya, “Ia
berbuat demikian juga di rumahnya jika aku berkunjung ke Banyu Asri.”
Glagah Putih sendiri tidak
menyahut. Ia masih saja duduk di belakang Agung Sedayu.
Dalam pada itu, setelah
seseorang menghidangkan minuman panas, maka Untarapun segera minta diri sambil
berpesan, “Ingat-ingatlah Agung Sedayu, sampaikan kepadaku jika seseorang yang
justru memegang pimpinan mengunjungi daerah ini dengan maksud apapun juga.”
“Baik Kakang.”
“Lain kali aku ingin melihat,
apa yang kau dapatkan selama kau mengembara.”
Agung Sedayu tersenyum.
Jawabnya, “Aku tidak mendapatan apa-apa Kakang, selain pengalaman dan
penglihatanku sajalah yang bertambah.”
“Itupun sudah baik. Artinya
ada yang bertambah padamu. Dengan demikian kaupun menjadi bertambah dewasa
untuk menangkap getar kehidupan di sekitarmu saat ini, berdasarkan pengalamanmu
masa lampau, sehingga kau akan dapat mengambil langkah bagi masa depanmu.”
Agung Sedayu mengangguk.
Jawabnya, ”Mudah-mudahan aku berhasil menemukan pilihan yang paling tepat bagi
masa depanku.”
“Paling tepat dan berarti.
Bukan saja bagi dirimu sendiri. Tetapi bagi lingkunganmu dan bagi Tanah ini.
Padepokan ini hendaknya hanya sekedar menjadi pancadan yang tidak akan
mengikatmu di sini seperti seorang kakek-kakek yang sudah kehilangan waktu
untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.“
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa yang dimaksud kakaknya adalah
bahwa tidak sebaiknya ia berada di padepokan kecil itu untuk seterusnya.
Tetapi Agung Sedayu tidak
menjawab.
Sementara itu Untara beringsut
dari tempatnya. Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu mengantarkannya
turun ke halaman, sementara Glagah Putih mengikutinya di belakang.
“Mudah-mudahan Kiai segera
dapat memberikan jalan kepada Agung Sedayu,” desis Untara ketika ia sudah
memegang kendali kudanya. Lalu katanya kepada Ki Waskita, “Apakah yang dapat Ki
Waskita lihat pada masa depan anak itu? Kesuraman atau tempurung yang
tertelungkup menyelubunginya?”
Ki Waskita tersenyum.
Jawabnya, “Tidak ada yang jelas bagiku Anakmas. Semuanya sekedar uraian atas
isyarat yang kadang-kadang tidak aku mengerti maknanya sama sekali.”
Untara mengangguk-angguk.
Kemudian sambil menuntun kudanya diikuti oleh pengawal-pengawalnya ia berkata,
“Aku akan menyusul Raden Sutawijaya. Mudah-mudahan aku dapat bertemu. Bukankah
Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani hanya berjalan kaki saja?”
Agung Sedayu menjadi tegang,
sementara Kiai Gringsing bertanya, “Apakah ada yang penting untuk dibicarakan
dengan Angger Sutawijaya?”
“Tidak. Tetapi sebagai
senapati yang lebih rendah tingkatnya, aku harus menemuinya dan menghormati
kedatangannya. Tapi juga mengetahui keperluannya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Sikap Untara tentu tidak akan dapat dirubahnya. Karena itu, ia
tidak bertanya lebih lanjut. Bahkan ia hanya dapat mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Ketika Agung Sedayu akan
bertanya sesuatu, maka Kiai Gringsing telah menggamitnya, karena persoalannya
adalah persoalan Untara sebagai seorang prajurit.
Sejenak kemudian maka kuda
Untarapun telah berderap diikuti oleh para pengawalnya. Seperti yang
dikatakannya, maka iapun berusaha menyusul Raden Sutawijaya.
Tetapi justru karena Raden
Sutawijaya hanya berjalan kaki, maka Untara ternyata menemui kesulitan. Ketika
ia melalui jalan simpang, maka ia tidak dapat menentukan, jalan manakah yang
dilalui oleh Raden Sutawijaya.
“Kita tidak dapat melihat
jejaknya,“ berkata Untara, “jika Raden Sutawijaya berkuda, maka jejaknya akan
nampak jelas di jalan ini. Tetapi jejak kaki seseorang tidak akan dapat kita
kenal di antara jejak yang lain, karena kita tidak dapat mengenal manakah jejak
yang paling baru di antara jejak-jejak yang nampak. Apalagi jalan ini agaknya
sudah menjadi jalan yang semakin ramai.”
Pengawal-pengawalnya hanya
mengangguk-angguk saja. Merekapun tidak tahu, bagaimanakah cara yang
sebaik-baiknya untuk mengetahui kemanakah Raden Sutawijaya pergi.
Namun dalam pada itu Untarapun
berkata, “Marilah. Jalan inilah agaknya jalan yang lebih banyak mempunyai
kemungkinan dilalui oleh Raden Sutawijaya.”
Pengawal-pengawalpun
membenarkannya. Karena itu maka Untarapun segera mempercepat langkah kudanya
menyusul Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, di padepokan
kecil yang ditinggalkan Untara. Agung Sedayu bertanya kepada Kiai Gringsing,
“Apakah Kakang Untara berkeberatan jika Raden Sutawijaya datang ke padepokan
ini?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Bukan berkeberatan. Tetapi kakakmu ingin mendapat
laporan atau setidak-tidaknya diberitahukan bahwa ada seseorang penting yang
datang di daerahnya.”
“Kenapa Kakang Untara
mempersulit dirinya sendiri dengan kecurigaan semacam itu?“ bertanya Agung
Sedayu.
“Kakakmu benar Agung Sedayu,“
sahut Ki Waskita.,“dalam keadaan yang goyah seperti ini, ia mempunyai kewajiban
yang sangat berat. Terutama di daerah ini. Daerah yang benar-benar memerlukan
pengamatan yang saksama.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk.
“Akupun menganggap bahwa Raden
Sutawijaya keliru. Karena di sini ada seseorang yang mendapat limpahan
kekuasaan dari Sultan Pajang, maka Raden Sutawijaya dalam kedudukannya harus
datang atau menyuruh salah seorang pengawalnya untuk memberitahukan
kehadirannya. Dengan demikian maka ia telah melakukan kewajibannya dengan
tertib meskipun ia adalah Senapati ing Ngalaga.”
Agung Sedayu masih
mengangguk-angguk. Namun sekilas ia memandang gurunya yang menarik nafas
dalam-dalam.
“Agaknya Ki Waskita tidak
begitu sependapat dengan Raden Sutawijaya,“ berkata Agung Sedayu di dalam
hatinya. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Baru sejenak kemudian, maka
iapun minta diri kepada gurunya untuk pergi bersama Glagah Putih menengok sawah
dan ladangnya.
“Pergilah,“ jawab Kiai
Gringsing, “jagalah agar air di parit itu dapat mengalir ajeg.”
“Ya Guru,“ jawab Agung Sedayu
yang kemudian bergeser meninggalkan pendapa bersama Glagah Putih.
Ternyata Glagah Putih yang
masih sangat muda itu telah dapat menangkap perasaan yang tersirat di dalam
kata-kata Ki Waskita. Karena itu maka di sepanjang jalan menuju ke sawah ia
bertanya, “Kakang, apakah Ki Waskita tidak senang kepada Raden Sutawijaya?”
“He?“ Agung Sedayu mengerutkan
dahinya, “kenapa kau bertanya demikian?“
“Sikapnya dan agaknya ia
selalu menyalahkan Raden Sutawijaya dalam hubungannya dengan sikap kakang
Untara.”
Agung Sedayu tersenyum.
Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi jangan kau pikirkan. Mungkin Ki Waskita
mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain. Bukan berarti tidak senang kepada
Raden Sutawijaya.”
Glagah Putih
mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya masih ada yang tersisa di perasaannya.
Namun ia tidak mengatakannya.
Meskipun demikian, agaknya
Agung Sedayu masih dapat menangkap gejolak perasaan Glagah Putih yang tersimpan
di hatinya itu.
Dalam pada itu, maka Raden
Sutawijaya dan Ki Juru Martanipun masih dalam perjalanan menuju ke Mataram.
Meskipun mereka tidak tahu,
bahwa Untara akan menyusulnya, ternyata mereka telah memilih jalan memintas,
melalui pematang dan kemudian bahkan melintasi lapangan alang-alang yang cukup
rapat. Mereka menyusuri jalan setapak yang sering dilalui oleh orang-orang yang
sedang mencari kayu bakar ke hutan atau kepentingan-kepentingan yang lain,
namun jarang sekali.
Karena itulah, maka Untara
yang mempercepat lari kudanya, tidak dapat menemukannya. Meskipun Untara sudah
melintasi jarak yang cukup jauh, namun tidak ada tanda-tanda bahwa mereka akan
dapat menjumpai Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani.
“Keterangan yang aku terima
agak terlambat,“ desis Untara, “sehingga akupun lambat sampai ke padepokan
Agung Sedayu.”
“Keterangan dari Sangkal
Putung itu memang baru saja datangnya. Semula orang-orang Sangkal Putung tidak
mengira, bahwa orang yang berjalan beriringan dengan Kiai Gringsing itu adalah
Raden Sutawijaya. Tetapi ternyata bahwa para pengawal yang khusus dipanggil
oleh Swandaru meyakinkan, bahwa anak muda itu memang Raden Sutawijaya. Di
Sangkal Putung ia memamerkan ilmu kebal yang dimilikinya.”
Untara menarik keningnya.
Namun kemudian ia menggeram, “Anak yang masih terlalu muda untuk menyimpan ilmu
yang tinggi seperti dimiliki oleh Raden Sutawijaya. Itulah sebabnya, maka
sekali-sekali ia masih ingin menunjukkan kemampuannya di hadapan orang lain.”
“Ya. Menurut keterangan itu
Raden Sutawijaya sengaja memberikan kesempatan kepada Swandaru untuk memukulnya
dengan kemampuannya yang sudah meningkat jauh. Tetapi ketika Raden Sutawijaya
tersorong, bahkan terguling, maka iapun menjadi marah sehingga permainan itu
hampir-hampir saja telah berubah menjadi arena perang tanding.”
Untara mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Keteranganmu agak berbeda dengan yang aku dengar kemarin.”
“Apa yang Senapati dengar?“
bertanya pengawalnya itu.
“Swandarulah yang memulainya.
Ia ingin meyakinkan diri, apakah sepantasnya Sutawijaya itu disembahnya sebagai
seorang pemimpin.”
Pengawalnya mengerutkan
keningnya. Lalu, “Mungkin demikian. Tetapi yang terjadi kemudian adalah pameran
kekuatan seperti yang sudah aku katakan.”
“Baiklah,“ Untara memotong,
“apapun alasannya, tetapi seharusnya, ia memberitahukan kepadaku, bahwa ia
berada di daerahku. Apalagi jika benar-benar ia mengadakan pameran kekuatan
untuk mempengaruhi mereka yang mengaguminya.”
Pengawal-pengawalnya tidak
menjawab. Namun nampaknya mereka sedang mencoba membayangkan, betapa tingginya
ilmu Raden Sutawijaya. Bahkan ilmu anak Kademangan di Sangkal Putung itu.
“Sangkal Putung telah menyusun
kekuatan,” pengawal-pengawal itu berkata kepada diri sendiri.
Keterangan tentang
perkembangan Sangkal Putung dan kedatangan Raden Sutawijaya memang telah
menumbuhkan berbagai pertanyaan di hati para prajurit di Jati Anom. Apalagi
keterangan yang simpang siur. tentang peristiwa penjajagan ilmu Raden
Sutawijaya oleh Swandaru. Bahkan ada yang menarik arti, bahwa Raden
Sutawijayalah yang justru menjajagi ilmu Swandaru karena ia memerlukan seorang
senapati yang akan dapat membayangi kekuatan Untara sebagai senapati yang
mendapat wewenang dari Pajang. Bukan dari Mataram.
Dengan demikian maka para
prajurit itupun beranggapan bahwa Sangkal Putung yang menjadi semakin kuat
itupun memerlukan pengawasan yang saksama. Hubungan langsung dengan Raden
Sutawijaya mungkin dapat menumbuhkan perkembangan yang lain dari kademangan
itu.
Dalam pada itu, setelah Untara
yakin tidak akan dapat menjumpai Raden Sutawijaya, maka diperintahkannya para
pengawalnya untuk kembali saja ke Jati Anom.
“Sulit untuk menemukannya,”
berkata Untara.
“Apakah kita akan melingkar
sehingga mungkin kita akan menjumpainya lewat jalan lain?“ berkata salah
seorang pengawalnya.
Untara berpikir sejenak.
Kemudian sambil mengangguk ia menjawab, “Tidak ada buruknya. Tetapi aku kira
Raden Sutawijaya tidak akan mengambil jalan yang besar. Tetapi ia akan memilih
lorong-lorong sempit atau bahkan jalan-jalan memintas. Pematang atau
tanggul-tanggul parit dan sungai.”
Meskipun demikian, maka Untara
telah mengambil jalan melingkar untuk kembali ke Jati Anom. Mungkin masih akan
dijumpai kedua orang Mataram itu di jalan lain.
Tetepi seperti yang
diperhitungkan oleh Untara, mereka sama sekali tidak bertemu dengan Raden
Sutawijaya dan Ki Juru Martani. Sampai saatnya kuda mereka memasuki regol rumah
Untara.
Sambil menggelengkan kepalanya
Untara yang naik ke pendapa rumahnya berkata kepada seorang perwira bawahannya,
“Aku tidak menjumpainya.”
Perwira itu mengangguk-angguk.
Jawabnya, “Keterangan itu datangnya memang terlambat. Jadi Raden Sutawijaya
telah meninggalkan padepokan kecil itu?”
“Ya. Tetapi seperti yang kita
dengar, Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani memang telah datang ke Sangkal
Putung dan singgah di padepokan Agung Sedayu. Tetapi aku aku datang sesaat
setelah mereka meninggalkan padepokan itu.”
Perwira itu tidak memberikan
tanggapan langsung menganai kedatangan Raden Sutawijaya itu. Tetapi seperti
juga pada hampir setiap prajurit, maka mereka dengan hati-hati mencoba untuk
menilai sikap dan tingkah laku pemimpin-pemimpin Mataram seorang demi seorang.
Namun dalam pada itu Untara
berkata, “Kedatangan Raden Sutawijaya kali ini tidak ada hubungannya dengan
sikap Mataram. Ia adalah sahabat adikku Agung Sedayu dan adik seperguruannya
Swandaru yang sudah lama tidak saling bertemu. Hanya itu. Jangan membuat
tanggapan sendiri atas kedatangannya.”
Para perwira bawahannya
mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak yakin akan kata-kata Untara. Mereka
sadar sepenuhnya, bahwa Untara berusaha untuk tidak dikaburkan oleh tanggapan
yang bersimpang siur dari prajurit-prajuritnya.
Sebenarnyalah Untara sendiri
memang tidak menganggap kedatangan Raden Sutawijaya sekedar ingin bertemu
dengan Agung Sedayu dan Swandaru. Tetapi ia ingin mendapat tanggapan yang sama
dari anak buahnya, sehingga karena itu, maka ia hanya akan berbicara sesuai
dengan perhitungan dan pertimbangannya dengan beberapa orang saja, sebelum ia
mengambil kesimpulan.
Namun dalam pada itu, agaknya
Untara sama sekali tidak tersentuh keterangan tentang orang-orang yang akan
mengadakan pertemuan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Justru karena
Pajang tidak mengalami gangguan langsung dari mereka yang menyebut dirinya
pewaris kerajaan Majapahit yang sebagian memang berada di istana Pajang
sendiri.
Berbeda dengan Raden
Sutawijaya yang telah diguncang oleh kehilangan pusaka terpentingnya. Bukan
saja nilai dari pusaka-pusaka yang hilang itu, namun Raden Sutawijaya merasa
bertanggung jawab kepada ayahanda angkatnya. Meskipun ia tidak bersedia
menghadap sebelum tekadnya untuk menjadikan Mataram sebuah negeri yang ramai
terpenuhi sebagai jawaban atas tantangan beberapa orang pemimpin Pajang yang
tidak mempercayainya, namun sebenarnyalah bahwa ia sama sekali tidak melupakan
apa yang sudah diterimanya dari ayahanda angkatnya itu.
Bagi Untara, jika keadaan
menjadi semakin baik dan tenang, maka sebagian tugasnya telah tertunaikan,
meskipun ia tidak pernah meninggalkan kewaspadaan. Tetapi karena usahanya untuk
sementara tertuju kepada ketenangan daerah pengawasannya, maka perhatiannya
terbesar ditujukannya kepada ketenangan di dalam rangkah.
Sementara itu sepeninggal
Raden Sutawijaya, maka Swandaru yang telah meyakinkan diri, bahwa Raden
Sutawijaya adalah seorang anak muda yang pilih tanding, tidak mau mengingkari
niatnya. Ia benar-benar bertekad untuk membantu anak muda itu bagi masa depan
Mataram. Apalagi penilaiannya, gurunya Kiai Gringsing juga berdiri dipihak
Mataram jika terjadi perselisihan dengan pihak yang manapun juga. Apalagi
dengan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Mahapahit itu,
meskipun banyak diantara mereka yang berada di dalam lingkungan istana Pajang
tanpa diketahui oleh Sultan.
Bahkan Swandaru telah menarik
kesimpulan bahwa Raden Sutawijaya telah menyatakan niat dan harapannya, bahwa
Sangkal Putung akan bersedia membantu Mataram dalam masa pertumbuhannya.
Demikian juga dengan daerah di sebelah barat Alas Mentaok, Tanah Perdikan
Menoreh.
Dengan demikian, maka
Swandarupun mulai membicarakan dengan ayahnya, niatnya untuk semakin memperkuat
kedudukan Sangkal Putung yang justru berada hampir di garis lurus antara Pajang
dan Mataram dan sekaligus berhadapan dengan kekuasaan Senapati Pajang yang
berkedudukan di Jati Anom.
“Swandaru,“ berkata ayahnya,
“aku tidak berkeberatan. Tetapi kau jangan justru mendahului Raden Sutawijaya.
Sampai saat ini Raden Sutawijaya masih tetap mengakui kekuasaan Pajang. Sultan
Pajang adalah ayahanda angkatnya yang mengasihinya.”
“Tetapi bukankah sikapnya
sudah jelas, Ayah,“ jawab Swandaru.
“Kau masih harus mempelajari
banyak hal tentang sikapnya. Ia tidak mau datang ke Pajang bukan karena ia ingin
menentang ayahandanya. Tetapi ia ingin membuktikan semacam sumpahnya, bahwa
Raden Sutawijaya tidak akan menginjak Paseban Agung di Pajang sebelum Mataram
menjadi sebuah negeri yang besar.”
Swandaru tersenyum. Jawabnya,
“Mungkin Ayah benar. Tetapi bagaimanapun juga jarak itu semakin lama menjadi
semakin lebar. Itulah sebabnya kita harus bersiap-siap. Jika tidak terjadi
sesuatu, syukurlah. Tetapi jika terjadi ledakan antara Pajang dan Mataram, maka
kita semuanya sudah siap. Ledakan apapun alasannya. Mungkin karena orang-orang
dungu di sekitar Sultan Pajang, tetapi mungkin juga karena orang-orang yang
merasa dirinya mempunyai warisan atas Kerajaan Majapahit yang besar.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Jika kau sekedar ingin bersiap-siap saja, aku
kira memang tidak ada buruknya. Tetapi ingat. Yang dapat kita lakukan
benar-benar sekedar mempersiapkan diri. Bukan justru mendahului Raden
Sutawijaya. Jika pada suatu saat, Raden Sutawijaya merasa janjinya terpenuhi,
Mataram sudah menjadi negeri yang ramai, sehingga ia kemudian datang memasuki
Paseban Agung dengan dada tengadah, dan bahkan kemudian menerima limpahan
kekuasaan yang lebih besar lagi dari ayahanda angkatnya yang justru untuk
membersihkan istana dari orang-orang yang dengki dan penuh pamrih pribadi itu,
maka yang terjadi akan jauh berbeda sekali dengan gambaranmu sekarang.”
“Aku sudah memperhitungkan
Ayah. Tetapi menurut pertimbanganku, tentu akan terjadi benturan kekuatan
antara Raden Sutawijaya dengan salah satu pihak. Apakah mereka orang-orang
Pajang sendiri yang harus dibersihkan, atau dengan orang-orang yang menyebut
dirinya pewaris Kerajaan Majapahit. Nah, untuk itulah aku harus bersiap-siap.
Sangkal Putung harus memilih jalan yang tegas, sehingga justru tidak akan terumbang-ambing
oleh keadaan yang kabur.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Namun katanya, “Berhati-hatilah. Kau jangan bertindak tanpa
perhitungan matang.”
Swandaru masih saja tersenyum.
Baginya, ayahnya adalah orang tua yang lamban dan selalu dibayangi oleh
kecemasan dan ketakutan bertindak. Sehingga karena itulah, maka setiap nasehat
ayahnya bagi Swandaru seakan-akan hanyalah hambatan bagi perkembangan yang
dikehendakinya.
“Aku akan membuat Sangkal
Putung menjadi daerah yang tidak ada duanya di daerah selatan ini. Berapa-pun
kekuatan prajurit Pajang di Jati Anom, Untara tidak akan dapat melampui
kekuatan Sangkal Putung.”
Tanpa sesadarnya, ternyata
Swandaru telah menempatkan diri berseberangan dengan Untara. Seolah-olah
Swandaru telah berdiri di pihak Mataram, sedang Untara berdiri di pihak Pajang,
sementara Mataram dan Pajang telah berhadapan dan siap untuk bertempur.
Sikap Swandaru itu semakin
lama benar-benar semakin mencemaskan ayahnya dan Ki Sumangkar. Bahkan agaknya
Sekar Mirahpun telah terpengaruh pula oleh sikap kakaknya.
“Jika Agung Sedayu dapat
mempercepat sedikit hubungannya dengan Sekar Mirah untuk segera memasuki
jenjang perkawinan, maka Sekar Mirah tentu akan mendapatkan pengalaman batin
yang lain,“ berkata Sumangkar kepada diri sendiri, “bagaimanapun jauh bedanya
sifat kedua orang suami istri, namun perlahan-lahan jika mereka menghendaki
dengan sungguh-sungguh rumah tangganya berhasil, semakin lama tentu akan
menjadi semakin dekat dan saling menyesuaikan diri. Kecuali jika mereka tidak berniat
untuk bertahan lebih lama lagi.”
Namun Sumangkarpun menyadari,
bahwa hari-hari perkawinan Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu tentu akan
berlangsung di waktu yang masih jauh. Agaknya Agung Sedayu sama sekali belum
siap menghadapi hari-hari perkawinannya. Bahkan nampaknya apa yang dilakukan di
saat terakhir sama sekali tidak menarik bagi Sekar Mirah.
Tetapi betapapun gelisahnya
hati Sumangkar. ia harus menyaksikan Swandaru bekerja giat untuk memperkuat
Kadernangannya dengan caranya. Sekali-sekali Ki Sumangkar berbincang juga
dengan Ki Demang tentang anak yang mulai menuruti keinginannya sendiri itu.
Namun keduanya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
“Anak itu sulit sekali
dikendalikan,“ berkata Ki Demang.
“Perkembangannya memang agak
mencemaskan Ki Demang,“ sahut Sumangkar, “namun mudah-mudahan ia akan
menyadarinya jika ia sudah mencapai puncak kemampuannya.”
Ki Demang hanya
mengangguk-angguk saja. Namun kemudian ia berdesis seolah-olah kepada diri
sendiri. “Bagaimanakah jika kita minta Kiai Gringsing menungguinya di sini?
Mungkin akan berpengaruh juga bagi perkembangan jiwa Swandaru, karena agaknya
hanya gurunyalah yang diseganinya.”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya. Lalu katanya, “Mungkin juga ada hasilnya. Tetapi baiklah aku akan
berbicara dengan Kiai Gringsing.”
“Mudah-mudahan Kiai Gringsing
bersedia tinggal di sini untuk waktu yang agak panjang. Menurut dugaanku. Agung
Sedayu mempunyai sifat dan watak yang lebih jinak dari anakku, sehingga
seandainya ia ditinggalkan sendiri di padepokan bersama beberapa orang
pembantunya, tidak banyak akan mengalami perkembangan yang menyulitkan. Apalagi
padepokan itu seolah-olah selalu di bawah pengawasan Untara dan Ki Widura.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Namun ia masih ragu-ragu, apakah Kiai Gringsing benar-benar
bersedia tinggal di Kademangan Sangkal Putung justru setelah ia mempunyai
padepokan kecil yang dibuatnya bersama Agung Sedayu meskipun hanya untuk waktu
tertentu, dan barangkali ia tidak akan berkeberatan untuk sekali-sekali
menengok padepokan yang ditinggalkannya itu.
Namun Ki Sumangkar masih akan
mencoba. Ia akan meyakinkan Kiai Gringsing bahwa perkembangan Swandaru agak
menggelisahkan orang tuanya.