Buku 051
“Agaknya Prastawa ada di
rumah,” desis Agung Sedayu.
“Ya,” jawab Sekar Mirah, “ia
baru datang malam ini.”
Prastawa menjadi semakin
gelisah.
“Bersama anak ini?” Agung
Sedayu melanjutkan.
“Ya,” berkata Sekar Mirah
selanjutnya, “anak ini ingin menjemput aku dan membawa pergi ke rumahnya.”
Dahi Agung Sedayu menjadi
berkerut-merut karenanya. Namun Sekar Mirah segera berkata, “Tetapi kami,
maksudku, Ki Argajaya dan seisi rumah ini, mengharap ia tinggal di sini bersama
putra Ki Argajaya itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bertanya, “Apakah anak itu
sudah menyatakan keinginannya untuk kembali ke rumah ini?”
“Ya. Ia sudah amat merindukan
keluarganya,” jawab Sekar Mirah. “Tetapi ia tidak berani memasuki rumah ini
lewat pintu depan, karena para pengawal ada di halaman dan kebun belakang rumah
ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum mengerti, bagaimana anak
itu dapat memasuki rumah ini tanpa diketahui oleh para pengawal.
Tetapi agaknya pemimpin
pengawal itu tidak sekedar bertanya-tanya di dalam hati, karena pertanyaan itu
kemudian diucapkannya, “Dari mana ia memasuki rumah ini?”
“Ada dua kemungkinan,” jawab
Sekar Mirah, “demikian hebatnya kedua anak-anak muda ini, atau para pengawal telah
tertidur semuanya.”
Pemimpin pengawal itu
mengerutkan keningnya. Katanya, “Kami selalu bersiaga di halaman.”
Sekar Mirah tersenyum. “Tetapi
suatu kenyataan. Anak itu telah berada di dalam rumah ini.”
Pemimpin pengawal itu dan
Agung Sedayu saling berpandangan sejenak.
“Tetapi kenapa anak ini akan
berlari?” bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
Sekar Mirah terdiam sejenak,
namun kemudian ia menjawab, “Ia tidak yakin, bahwa ia dapat diterima oleh
keluarga ini. Bahkan ia ingin membawa aku bersamanya.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya anak muda yang berdiri temangu-mangu itu.
“Tetapi jangan marah
kepadanya,” Sekar Mirah melanjutkannya, “mungkin sudah terlampau lama ia
ditinggalkan kekasihnya, sehingga ia menjadi salah lihat. Aku sudah menawarkan,
apakah ia bersedia menjadi adikku, karena aku hanya mempunyai seorang saudara
laki-laki.”
Anak muda itu masih berdiri
dengan tegangnya. Sedang Agung Sedayu memandanginya dengan hampir tidak
mengedipkan matanya.
Namun akhirnya Sekar Mirah berkata,
“Yang penting kemudian, apakah kehadiran Prastawa dapat diterima seperti
kehadiran Ki Argajaya di antara para pemimpin Menoreh yang lain, dalam
hubungannya dengan pengampunan umum bersama-sama kawannya ini apabila ia
bersedia?”
Agung Sedayu berpaling kepada
pemimpin pengawal itu. Katanya, “Aku tidak tahu apakah jawabnya?”
“Aku melihat betapa besar
kerinduan yang bergolak di dalam dada ibu dan anak. Juga di dalam dada Ki
Argajaya. Apakah kalian sampai hati untuk memisahkannya kembali?”
Pemimpin pengawal itu
mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Itu bukan hakku. Aku akan menyampaikannya
kepada Ki Argapati, sementara anak itu berada di dalam pengawasan kami di sini.
Tetapi aku sendiri juga mempunyai anak. Aku dapat mengerti arti perpisahan yeng
lama antara orang tua dan anaknya. Namun pengampunan itu berada di luar
kekuasaanku.”
“Ki Argapati akan
mengampuninya,” desis Agung Sedayu. “Aku condong pada pendapat itu. Aku harap
keluarga ini dapat segera pulih kembali.”
Tidak seorang pun yang
menyahut, sehingga ruangan itu dicengkam oleh kesenyapan. Hanya wajah-wajah
yang tegang sajalah yang saling memandang berganti-ganti.
Ketika Nyai Argajaya berpaling
ke arah Prastawa, maka dilihatnya anak muda itu menundukkan kepalanya
dalam-dalam.
Suara Agung Sedayu pulalah
yang kemudian memecahkan kesenyapan. “Aku akan ikut berusaha, agar semuanya
dapat segera kembali seperti sediakala. Tanah Perdikan Menoreh, dan setiap
keluarga yang selama ini terpecah-belah. Mungkin oleh ketakutan sehingga mereka
mengungsi tercerai-berai, mungkin karena sudut pandangan yang berlainan.
Mungkin oleh sebab-sebab yang lain.”
Tidak seorang pun yang
menjawab. Semuanya masih diam, seakan-akan membeku di tempatnya.
Agung Sedayu pun kemudian
terdiam pula. Sehingga dengan demikian ruangan itu kembali menjadi sepi. Hanya
desah-desah nafas sajalah yang terdengar bersahut-sahutan.
Dalam pada itu, Prastawa yang
menundukkan kepalanya itu pun seakan-akan mendapat kesempatan untuk mengerti
tentang dirinya sendiri selama ini. Seakan-akan terbayang di kepalanya, dirinya
sendiri dan beberapa orang kawan-kawannya berkeliaran tidak menentu. Mereka
sama sekali tidak mempunyai tujuan apa pun dengan segala macam perbuatan
mereka, selain melepaskan dendam.
“Apakah hal itu akan
bermanfaat untuk dipertahankan lebih lama lagi?” pertanyaan itu melonjak di
dalam dadanya.
Selagi ia dibayangi oleh
masalah-masalah yang telah mendebarkan jantungnya, tiba-tiba saja terdengar
suara ibunya, “Prastawa, apakah kau sudah menemukan keputusan yang mantap.
Tidak ragu-ragu?”
Prastawa mengangkat wajahnya.
Sejenak ditatapnya wajah ayahnya yang sedang memandanginya pula. Tiba-tiba dari
sela-sela bibirnya terdengar suaranya lambat sekali. “Maafkan aku, Ayah.”
“Prastawa,” Ibunya hampir
memekik.
“Aku menyadari kesalahanku.
Bagaimana pun juga, aku berhadapan dengan orang tuaku.”
Ki Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Nyai Argajaya tidak dapat menahan
perasaan yang melonjak di dadanya. Tiba-tiba ia berlari ke arah anak muda itu.
Seperti anak-anak yang sedang tumbuh, dipeluknya Prastawa sambil menitikkan air
matanya. Katanya, “Kau memang harus kembali padaku, Ngger. Kau tidak boleh
pergi berkeliaran tidak menentu.”
Prastawa tidak menjawab.
Kepalanya tertunduk di dalam pelukan ibunya. Tetapi matanya pun menjadi basah
karenanya.
Sekar Mirah yang berdiri di
pringgitan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Agung Sedayu yang
membeku di samping pemimpin pengawal yang mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku tidak akan pergi lagi,
Ibu,” desis Prastawa. “Meskipun seandainya Paman Argapati tidak memaafkan aku.
Aku akan mengangkat wajahku untuk menerima segala macam hukumanku.”
“Kami, aku dan ayahmu akan
mohon kepadanya, agar kau mendapat kesempatan hidup di antara kami,” suara Nyai
Argajaya menjadi parau.
Prastawa tidak menyahut.
Ketika perlahan-lahan ibunya melepaskan pelukannya, anak muda itu mengusap
matanya yang kemerah-merahan.
Dalam pada itu, anak muda
kawan Prastawa yang masih berdiri termangu-mangu itu tiba-tiba meyadari
keadaannya. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Di muka pintu berdiri Agung
Sedayu dan pemimpin pengawal. Di samping pintu dalam, Sekar Mirah
menimang-nimang pedang yang dirampas dari tangannya, meskipun kepalanya
menunduk, sedang di ruang dalam terdiri Ki Argajaya dan orang tua yang disebut
ayah Sekar Mirah. Agak jauh masuk ke dalam, Prastawa dan ibunya.
Dalam keragu-raguan itu ia
mendengar, “Bagaimana dengan kau?”
Anak muda itu terkejut.
Dilihatnya Agung Sedayu melangkah maju sehingga tanpa disadarinya, ia pun
mundur setapak.
“Aku harap kau pun dapat
menilai keadaan. Kalau kau masih menganggap bahwa perjuanganmu sekarang ini
masih perlu dilanjutkan, maka kau adalah seorang pemimpi yang malang. Bukan
saja karena kau sudah kehilangan kekuatan, tetapi yang lebih parah lagi, kau
sudah kehilangan tujuan.” Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu, “Apakah kau
masih akan berpikir?”
Anak muda itu tidak menjawab.
“Sedang saat yang kau hadapi
kini pun tidak akan dapat kau atasi, apa yang dapat kau lakukan saat ini?”
Anak muda itu masih berdiam
diri.
“Kalau kau masih dapat
berpikir bening, sebaiknya kau menyerah. Sudah tentu perlakuan atasmu berbeda
dengan perlakuan atas Prastawa. Tetapi kau pun pasti akan mendapat kesempatan,
seperti yang pernah diumumkan oleh Ki Argapati, bahwa Ki Argapati akan memberikan
pengampunan kepada mereka yang menyadari keadaan mereka, sejauh itu tidak
berbahaya bagi Menoreh. Nah, pertimbangkan.”
Anak itu sama sekali tidak
menjawab.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Pilihlah. Apakah kau akan kami bawa sebagai
seorang yang menyerah dan menyadari keadaan, atau kau harus kami tangkap dan
kami bawa ke padukuhan induk Tanah Perdikan ini sebagai tawanan?”
Wajah anak itu menjadi tegang,
ia sedang berjuang di antara kenyataan yang dihadapinya dan harga dirinya
sebagai seseorang yang menganggap dirinya seorang pejuang yang tidak ingkar.
“Pilihlah,” desis Agung
Sedayu.
Namun wajah itu pun kemudian
mengendor. Dari sela-sela bibirnya terdengar suaranya dalam, “Aku menyerah.”
Agung Sedayu, pemimpin
pengawal, dan Sekar Mirah menganggukkan kepalanya. Mereka merasa, bahwa jalan
yang akan ditempuh oleh Ki Argapati akan menjadi semakin lancar untuk
memulihkan kembali Tanah yang sudah tersobek-sobek dari dalam itu sendiri.
Malam yang kelam menjadi
semakin kelam. Dingin telah merasuk sampai ke tulang. Namun beberapa wajah
telah dihiasi dengan senyum yang bening.
BAG. IV
YANG SEDANG TUMBUH
Pagi yang cerah telah
membangunkan Tanah Perdikan Menoreh yang sedang lelap. Perlahan-lahan mulailah
kehidupan yang berlangsung dari hari ke hari. Setiap kali lebih sibuk dari hari
yang kemarin, karena tanah-tanah yang kering telah mulai diairi, sawah yang
tidak digarap, telah mulai dicangkul, dan pasar-pasar telah mulai terisi oleh
para pedagang yang selama ini bersembunyi di pengungsiannya.
Ketika matahari menebarkan
sinarnya di lambung pegunungan, pedati yang memuat bahan-bahan makanan telah
mulai mengalir ke pusat-pusat perdagangan di padukuhan-padukuhan yang
berserakan di sepanjang tanah Perdikan yang mulai sembuh dari luka-lukanya,
akibat perang yang berkecamuk di antara keluarga sendiri.
Sekelompok demi sekelompok,
sisa-sisa pasukan Sidanti telah kembali memenuhi panggilan Ki Argapati. Apalagi
setelah Prastawa hilang dari lingkungan mereka. Maka gerombolan-gerombolan yang
semula merasa, bahwa satu-satunya jalan adalah menumbuhkan perasaan takut,
ngeri, dan penyebaran pembalasan dendam, mulai menyadari keadaan mereka, bahwa
mereka masih mungkin menemukan jalan kembali ke dalam kehidupan yang wajar,
tidak seperti rusa yang sedang diburu di tengah-tengah semak-semak yang rimbun,
yang selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.
Betapapun lambatnya namun
pasti, bahwa luka Ki Argapati pun akan sembuh pula. Tetapi ada sesuatu yang
berada di luar kemampuan manusia, bahwa Ki Argapati tidak dapat pulih kembali
seperti sediakala. Betapa pun dukun tua yang bernama Ki Tanu Metir berusaha,
namun pada akhirnya ia hanya dapat mengucap sukur kepada Tuhan, bahwa Ki
Argapati masih juga dapat sembuh dari luka-lukanya, meskipun ada sesuatu yang
telah diambil daripadanya. Kaki kiri Ki Argapati seakan-akan telah mengalami
kelumpuhan karena urat-urat yang terputus oleh luka-lukanya. Sedang tangan
kirinya pun mengalami kelemahan yang meskipun tidak separah kakinya, namun
tangannya itu tidak lagi dapat bergerak leluasa.
“Tuhan telah mengutukku,”
desisnya setiap kali. “Aku ternyata tidak mampu mengendalikan Tanah yang
dipercayakan kepadaku sebaik-baiknya. Kini Tanah ini telah menjadi tenang.
Tetapi seperti tanah ini, maka tubuhku pun tidak dapat pulih seperti
sediakala.”
Meskipun demikian, Ki Argapati
tidak menjadi putus-asa. Ia tidak menyesali nasibnya dengan keluhan-keluhan
yang cengeng. Meskipun kaki dan tangannya tidak dapat pulih kembali, namun ia
masih selalu berada di punggung kudanya, mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh
yang telah mulai hijau kembali. Tanah yang membentang dari perbukitan di
sebelah barat sampai ke daerah-daerah yang berhutan di sebelah barat Kali
Praga, rasa-rasanya sudah mulai hidup kembali.
Dengan bimbingan Ki Argapati,
maka Tanah Perdikan Menoreh mulai mengobati diri mereka. Mereka mulai
menyembuhkan luka-luka yang agak parah sedikit demi sedikit.
Demikian juga dendam yang
selama ini tersebar di atas Tanah itu pun sedikit demi sedikit mulai mencair
dari setiap dada. Terutama anak-anak mudanya, yang semula terbagi di dua pihak.
Meskipun masih ada satu dua
yang mengeraskan hatinya di dalam kesesatan, namun pada umumnya Tanah Perdikan
Menoreh sudah menjadi baik. Seperti juga Ki Argapati yang menjadi baik. Namun
di dalam lubuk hatinya paling dalam, maka masih juga terdapat cacat seperti
cacat pada tubuh Ki Argapati.
Ki Argajaya, adik Ki Argapati,
telah dapat menampakkan dirinya kembali di antara rakyat Menoreh. Karena
kesungguhannya, serta seluruh keluarganya ikut membangun Tanah yang sudah
hampir menjadi abu itulah, maka perlahan-lahan ia mendapatkan tempatnya kembali
sebagai adik seorang Kepala Tanah Perdikan.
Perlahan-lahan, seperti
pertumbuhan Tanah Perdikan itu, tumbuh dan mekar pulalah perasaan yang
tersimpan di dada gadis satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan itu. Putra Ki
Demang Sangkal Putung, ternyata lambat-laun mendapatkan tempat di hatinya.
Sifatnya yang gembira dan terbuka, telah membuat Pandan Wangi sedikit demi
sedikit melupakan kepahitan yang bertimbun-timbun telah menimpanya.
Dengan sadar, Agung Sedayu
berusaha untuk tidak mengganggu hubungan yang sedang mekar di hati kedua
anak-anak muda itu. Apalagi Sekar Mirah untuk sementara masih juga berada di
atas Tanah Perdikan itu. Sedang kedua orang-orang tua, Kiai Gringsing dan
Sumangkar, seperti gembala-gembala yang sedang tekun menunggui domba-domba
gembalaan mereka, masih juga berada di Menoreh. Selain menunggui murid-murid
mereka, maka kedua orang tua itu pun dapat menjadi kawan bercakap-cakap yang mapan
bagi Ki Argapati.
“Kalau kalian tinggalkan kami,
maka aku akan kehilangan kawan berbicara di sore hari,” berkata Ki Argapati
kepada mereka berdua.
Keduanya tersenyum. Kiai
Gringsing pun kemudian menjawab, “Apakah tidak ada orang tua di atas Tanah Perdikan
ini?”
“Mereka terlampau tua untuk
bercakap-cakap tanpa arti,” jawab Ki Argapati sambil tersenyum. “Mereka sukar
untuk berbicara tentang bermacam-macam persoalan yang tidak menegangkan urat
syaraf, namun bermanfaat bagi pengalaman pengenalan kita atas kehidupan di
sekitar kita. Mereka, orang-orang tua di Menoreh hanya senang berbicara tentang
air, padi yang sedang tumbuh, bintang Gubuk Penceng, bintang Waluku dan bintang
Panjer saja.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar tertawa. Berkata Ki Sumangkar, “Itu pertanda bahwa mereka adalah
petani-petani yang rajin. Petani-petani yang tekun di dalam kerja. Kawan mereka
yang terdekat adalah air, musim, dan bintang-bintang yang memberikan petunjuk
kepada mereka, kapan mereka harus memulai musim tanam padi, musim tanam
palawija, dan musim-musim yang lain, termasuk musim mencari ikan di sungai
Praga.”
“He, kau pandai juga membaca
pertanda bintang?”
“Aku juga seorang petani.”
“Petani di istana Kepatihan
Jipang.”
Sumangkar tertawa. “Aku
petani, juru masak, dan sekaligus pemomong di Kepatihan.”
“Jabatan rangkap yang sukar
dikerjakan bersama-sama.”
Ketiga orang tua-tua itu
tertawa. Di dalam kepala mereka terlintas kenangan masa silam mereka. Terutama
Sumangkar. Namun, meskipun ia tertawa seperti anak-anak yang mendapatkan
permainan, namun terasa desir yang halus telah menyengat dadanya. Kenangan itu
sebenarnya tidak begitu menyenangkannya. Tetapi perasaan itu sama sekali tidak
berkesan di wajahnya.
Dalam pada itu, Kiai
Gringising pun kemudian berkata, “Tetapi bagaimana pun juga, akan datang
saatnya, kami minta diri.”
“Ya, aku pun menyadari. Tetapi
sudah tentu tidak besok atau lusa.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terkilas sesuatu di dalam angan-angannya,
tetapi ia tidak mengatakannya.
Di luar rumah, Pandan Wangi
duduk di bawah sejuknya pepohonan di kebun belakang. Di sebelahnya, seorang
anak muda yang gemuk duduk bersandar sebatang pohon melandingan.
Mereka tampaknya sedang asyik
bercakap-cakap. Mempercakapkan diri mereka sendiri. Sedang di dalam dada
mereka, api cinta telah mulai menyala.
“Setiap saat Guru dapat
membawa aku pergi, Wangi,” kata Swandaru.
“Kapan, Kakang?” bertanya
Gadis itu.
“Aku tidak tahu,” berkata
Swandaru, “tetapi aku mengharap tidak segera.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi tatapan matanya jauh menusuk bayangan dedaunan yang menari-nari di atas
tanah yang kering.
“Tetapi sebelum aku
meninggalkan Tanah Perdikan ini, aku akan minta guruku, mewakili ayah dan
ibuku, untuk sementara menyampaikan lamaranku, sampai pada saatnya ayah dan
ibuku sendiri akan aku minta datang kepada ayahmu.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya.
“Aku harap bahwa pada suatu
saat kau pun dapat melihat Kademangan Sangkal Putung. Meskipun tidak sebesar
Tanah Perdikan ini, tetapi Sangkal Putung adalah daerah yang subur dan kaya
raya.”
“Aku ingin sekali melihat
daerah itu,” berkata Pandan Wangi. “Apakah Sangkal Putung sudah tidak pernah
diganggu oleh gerombolan-gerombolan seperti yang pernah kau ceriterakan
kepadaku?”
Swandaru menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Sejak mereka dihancurkan di padepokan Tambak Wedi, maka tidak ada lagi
gangguan yang berarti bagi kademangan itu.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah Sangkal Putung memiliki sawah yang
luas?”
“Ya, amat luas sawah dan pategalan.
Dari ujung sampai ke ujung, Sangkal Putung tampak hijau segar.”
“Aku pasti akan senang
sekali,” desis Pandan Wangi.
“Orangnya pun cukup ramah dan
baik seperti orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”
“O. Menyenangkan sekali.”
“Dan kau akan tinggal di
daerah itu kelak.”
Tetapi Pandan Wangi pun
kemudian mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja sorot matanya menjadi buram.
“Tetapi,” suaranya menurun,
“apakah kelak aku harus meninggalkan Tanah Perdikan ini?”
“Aku mempunyai kewajiban atas
Kademangan Sangkal Putung,” jawab Swandaru. “Aku akan menggantikan Ayah yang
menjadi semakin tua.”
“Aku mengerti. Tetapi
bagaimana dengan Tanah ini? Ayah pun menjadi semakin tua, dan aku adalah
satu-satunya anaknya.”
Kening Swandaru pun berkerut
pula. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
segera dapat menjawab. Ia mengerti kerisauan perasaan gadis itu. Kalau ia
menjadi isterinya kelak, gadis itu wajib mengikutinya ke Sangkal Putung. Tetapi
sebagai satu-satunya anak Kepala Tanah Perdikan ini, ia akan menggantikan
ayahnya. Suaminyalah yang kelak harus menjadi Kepala Tanan Perdikan ini. Tetapi
bakal suaminya yang gemuk itu mempunyai kewajiban sendiri atas tanah
kelahirannya.
“Tetapi jangan hiraukan
semuanya itu,” berkata Swandaru kemudian. “Kita akan dirisaukan oleh masalah
yang masih akan datang kelak. Jangan hiraukan supaya hati kita tidak risau kali
ini. Pada saatnya kita pasti akan menemukan cara, bagaimana kita akan
memecahkan masalah ini.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya.
“Sekarang kita hanya akan
membuang-buang waktu saja. Senyum kita akan terganggu oleh masalah-masalah yang
masih jauh. Jangan hiraukan.”
Pandan Wangi pun kemudian
tersenyum pula. Kini ia sudah mengenal anak yang gemuk itu agak lebih baik
lagi. Swandaru tidak mau diganggu oleh angan-angan yang suram. Ia ingin
menikmati keriangan hari ini. Dan itu dapat menghiburnya di saat-saat kepedihan
menyentuh jantungnya.
“Kenapa kita mesti bermuram
hati?” berkata Swandaru setiap kali. “Lihatlah langit yang cerah. Hati kita pun
harus cerah pula karenanya.”
Dan Pandan Wangi pun berusaha
untuk menyesuaikan dirinya. Perlahan-lahan ia menemukan kegembiraannya kembali.
Kini ia sudah mulai berkeliaran lagi di hutan-hutan perburuan. Tidak sendiri,
tetapi bersama-sama dengan kawan-kawannya yang agaknya sesuai dengan
keadaannya. Kadang-kadang, Pandan Wangi pergi berburu bersama Swandaru, Sekar
Mirah, dan Agung Sedayu. Namun kadang-kadang ia hanya berdua saja dengan anak
muda yang gemuk itu, meskipun dalam waktu yang sangat terbatas sekali, karena
Ki Argapati selalu mengawasi mereka, meskipun tidak mengekang terlampau keras.
Juga Kiai Gringsing, tidak pernah membiarkan keduanya lepas dari pengawasannya,
karena apabila Swandaru tergelincir bersama Pandan Wangi, karena gelora remaja
mereka, maka semua hubungan yang baik itu pun akan menjadi rusak karenanya. Ki
Argapati pasti menganggap muridnya sebagai seorang anak muda yang kurang
menghargai hubungan yang dianggap suci menjelang terjalinnya suatu keluarga.
Diketahui atau tidak
diketahui, Swandaru selalu tidak pernah lepas dari pengamatan dukun tua itu.
Hubungan kedua anak-anak muda
itu pun sama sekali tidak lepas dari pengamatan Argapati. Sebagai seorang ayah
ia mengerti, betapa di hati anaknya sedang tumbuh perasaan seorang gadis dewasa.
Ia menyadari bahwa Pandan Wangi dan Swandaru Geni telah saling mencintai.
Dan Ki Argapati tidak
berkeberatan atas cinta yang sedang bersemi itu, meskipun belum seorang pun
yang pernah menyatakannya kepadanya, sebagai seorang ayah.
Karena Swandaru mempunyai
kesibukan sendiri, maka Agung Sedayu pun mengisi waktunya dengan kesibukannya
sendiri. Kadang-kadang ia bersama Sekar Mirah mengikuti Ki Argapati mengedari
tlatah Menoreh yang sedang membangun, diiringi oleh para pemimpin Menoreh yang
lain. Namun kadang-kadang ia pergi seorang diri mengikuti Ki Argapati tanpa
pengawal. Sedang di saat yang lain, Agung Sedayu berpacu di jalan-jalan yang
berbatu padas, di lereng-lereng bukit bersama Samekta atau Kerti. Bahkan
kadang-kadang Agung Sedayu, hanya berdua saja bersama Sekar Mirah menjelajahi
sawah dan pategalan.
Dengan demikian, maka kedua
anak-anak muda itu rasa-rasanya bukan lagi orang asing di Tanah Perdikan
Menoreh. Setiap orang Tanah Perdikan Menoreh mengenal mereka berdua. Setiap
orang Tanah Perdikan Menoreh menghormati keduanya sebagai orang yang berjasa
bagi Tanah Perdikan ini. Bahkan, anak-anak muda yang sebaya dengan Agung Sedayu
sambil berkelakar menyebut mereka berdua sebagai, Sepasang Orang Berkuda.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah
hanya tertawa saja mendengar sebutan itu. Bahkan Agung Sedayu sering berdesis
kepada Sekar Mirah, “Lain kali, kalau Adi Swandaru sudah tidak terlampau sibuk
dengan masalahnya, dan kedua anak-anak itu sering berpacu di sepanjang
jalan-jalan Tanah Perdikan Menoreh, akan tumbuh sebutan baru bagi kita semua.”
“Sebutan apa kira-kira itu,
Kakang?” bertanya Sekar Mirah.
“Dua pasang Orang-orang
Berkuda.”
Sekar Mirah tertawa. Katanya
kemudian, “Tetapi mereka tidak akan sempat melakukannya.”
“Sekarang. Tetapi pada suatu
saat, mereka pasti akan tertarik. Apalagi Pandan Wangi adalah satu-satunya anak
Ki Argapati.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Pandan Wangi adalah satu-satunya pewaris
Tanah Perdikan ini.”
Namun demikian, di saat-saat
terakhir, Ki Argapati banyak berbicara mengenai Tanah Perdikan ini justru
dengan Agung Sedayu, selain dengan pemimpin-pemimpin Menoreh sendiri. Ki
Argapati sangat menghargai pikiran-pikiran Agung Sedayu yang mantap, yang dapat
memberikan jawaban atas kesulitan yang berkembang di saat-saat Menoreh sedang
menyembuhkan dirinya sendiri.
“Kedua murid Kiai Gringsing
ini memang agak berbeda,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya. “Namun
nampaknya Agung Sedayu agak lebih bersungguh-sungguh dari Swandaru. Anak ini
mempunyai daya pikir yang luar biasa kuatnya. Pantas, kalau ia adalah adik dari
Senapati Pajang yang berkuasa di daerah selatan, Untara.”
Meskipun demikian, Ki Argapati
sama sekali tidak kecewa terhadap Swandaru. Katanya kepada diri sendiri, “Anak
muda yang gemuk ini mempunyai kegembiraan dan kemampuan menyesuaikan diri
dengan keadaan, meskipun agak terlampau didorong oleh perasaannya. Tetapi ia
adalah seorang anak muda yang kuat dan terbuka.”
Karena itulah, maka ketika
pada suatu saat, Kiai Gringsing atas permintaan Swandaru menyampaikan
permohonannya kepada Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan itu tidak terkejut
lagi.
“Maaf, Ki Gede. Agaknya aku
terlampau berani mendahului ayah dan ibu muridku. Tetapi anggaplah bahwa apa
yang aku sampaikan itu sekedar pemberitahuan, bahwa ada hasrat dari Swandaru,
untuk meminang putri Ki Gede. Pada suatu saat, tentu ayah dan ibunya akan
datang mengunjungi Tanah Perdikan Menoreh ini.”
Ki Argapati tersenyum. Katanya
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku mengerti. Dan aku tidak akan dapat
berbuat lain kecuali mengijinkan anakku memilih bakal suaminya sendiri.”
“Terima kasih,” sahut Kiai
Gringsing. “Muridku akan sangat berterima kasih pula.”
“Aku mengenal muridmu yang
gemuk itu. Aku mengetahui serba sedikit tentang anak muda itu. Karena itu maka
keputusanku untuk mengijinkan Pandan Wangi memilih bakal suaminya, sama sekali
bukan berarti bahwa aku telah melepaskannya sama sekali.”
“Anak itu anak bengal, bodoh,
dan kadang-kadang agak kurang mengendalikan dirinya.”
“Ia periang dan berhati
terbuka,” Ki Gede Menoreh mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku tidak
berkeberatan apa pun.”
Kabar itu benar-benar telah
menggembirakan hati Swandaru, sehingga tanpa sesadarnya ia memukul pundak Agung
Sedayu sambil berkata, “Akhirnya aku pun mendapatkan seorang gadis.”
“Hus,” desis Agung Sedayu.
“Kenapa tidak? Kau cukup tampan. Wajahmu cerah seperti matahari.”
“Cukup, cukup,” potong
Swandaru.
Agung Sedayu tertawa, dan
akhirnya Swandaru dan Sekar Mirah pun tertawa pula.
Namun dengan demikian, maka
Swandaru pun mulai berpikir untuk segera pulang ke rumahnya, menyampaikan
masalahnya itu kepada ayah dan ibunya. Meskipun ia yakin bahwa ayah dan ibunya
tidak berkeberatan, namun tiba-tiba saja di luar sadarnya ia berkata, “Ayah dan
ibu harus segera pergi ke Tanah Perdikan ini sebelum jalan dari Sangkal Putung
kemari menjadi sulit dan bahkan tertutup.”
“Kenapa?” bertanya Kiai
Gringsing.
“Bukankah telah tumbuh suatu
daerah baru di atas Alas Mentaok yang dibuka oleh Ki Gede Pemanahan dan
putranya, Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Memang mungkin
hal itu akan menjadi masalah. Tetapi mungkin pula, jalan justru menjadi
bertambah baik karena daerah baru itu.”
Kedua muridnya tidak menjawab.
Sumangkar yang ada di antara mereka pun tidak menyahut pula.
Dengan demikian maka mereka
pun sejenak saling berdiam diri. Namun kini tanpa mereka sadari, angan-angan
mereka telah bergeser dari pembicaraan mereka semula. Mereka tidak lagi
membayangkan apakah orang tua Swandaru akan dengan senang hati memenuhi
permintaan anaknya yang ingin kawin dengan seorang gadis, yang berasal dari
tempat yang cukup jauh, yang tidak berasal dari kademangannya sendiri? Apakah
ayah dan ibunya masih belum mempunyai seorang calon isteri bagi anak
laki-lakinya?
Tetapi menilik sikapnya yang
terbuka atas anak gadisnya yang telah membuat hubungan dengan Agung Sedayu,
yang berasal dari Jati Anom itu, maka agaknya Ki Demang Sangkal Putung pun
tidak akan berkeberatan.
Kini yang mereka pikirkan dan
mereka bayangkan, adalah suatu daerah baru di Alas Mentaok. Daerah yang dibuka
oleh Ki Ageng Pemanahan dan putranya, Sutawijaya.
Dalam keheningan itu kemudian
terdengar Agung Sedayu berkata, “Tetapi, apakah ketika Ki Sumangkar dan Sekar
Mirah melintasi daerah baru itu, tidak ada tanda-tanda apa pun yang dapat
memberikan petunjuk, apakah yang kira-kira akan berkembang di sana?”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Memang sulit untuk menilai apakah yang sedang berkembang
di daerah baru itu. Aku tidak dapat mengatakan, apakah daerah itu akan menjadi
bertambah baik bagi lalu lintas atau justru menjadi semakin sulit.”
“Tetapi bagaimana dengan
perjalanan Kiai bersama Sekar Mirah pada saat Kiai melintasi daerah itu?”
“Kami memilih jalan yang
paling aman. Kami melingkar daerah-daerah yang sedang berkembang, yang mendapat
pengawasan yang tajam.” Ki Sumangkar berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi yang kami
dengar di sepanjang jalan, daerah baru itu selain membangun wilayahnya, namun
juga langsung membangun pertahanannya.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya.
“Itulah yang merupakan
teka-teki bagiku,” berkata Ki Sumangkar. “Tetapi aku sudah berusaha untuk
menjauhi masalah tata pemerintahan di mana pun. Aku tidak akan lagi menghiraukan
apa yang terjadi di Pajang dan daerah yang baru itu, supaya aku tidak terlibat
dalam keadaan yang kadang-kadang cengkah dengan hati nuraniku.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Sepintas terbayang olehnya, keragu-raguan Sumangkar pada saat-saat pasukan Jipang
yang menjadi liar di bawah pimpinan Tohpati, masih merupakan masalah bagi
Pajang.
“Pada suatu saat, aku akan
melihat daerah baru itu,” berkata Kiai Gringsing.
“Aku ikut bersama Guru.
Sekaligus aku ingin menemui Ayah dan Ibu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Nah. Kalau begitu, kita akan
menyelam sekaligus minum sebanyak-banyaknya,” berkata Swandaru.
“Apakah perutmu masih kurang
gembung?” bertanya Sekar Mirah.
”Ini bukan masalah perut,
tetapi masalah yang penting.”
“Penting bagi siapa?” bertanya
Sekar Mirah.
“Bagi Sangkal Putung. Kau
tahu, bahwa Sangkal Putung terletak di sekitar garis yang menghubungkan dua
kekuasaan itu.”
“Kenapa dengan Pajang dan
daerah baru itu?” bertanya Sekar Mirah.
“Aku tidak tahu pasti. Itulah
yang ingin aku ketahui sejauh-jauh mungkin. Tetapi menurut pendengaran kami di
sini, agaknya hubungan antara Pajang dan daerah baru itu tidak begitu baik.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Sebagai seseorang yang telah lama berada di lingkungan kepatihan, yang
hampir setiap hari mempersoalkan tata pemerintahan negara, Sumangkar tidak
dapat mengingkari bahwa di dalam dirinya telah tumbuh beberapa pertimbangan
mengenai masalah itu. Tetapi sejauh-jauh dapat dilakukan, ia tidak ingin
mengucapkannya. Seperti yang telah dikatakan, ia akan menghindari
masalah-masalah yang bersangkut paut dengan masalah pemerintahan.
“Adi Sumangkar,” berkata Kiai
Gringsing, yang tiba-tiba saja bertanya, “bagaimanakah tanggapan Adi sebenarnya
atas hal ini? Mustahillah kalau Adi Sumangkar tidak melihat masalah yang sedang
berkembang. Di dalam tata pemerintahan, dan masalah-masalah yang berhubungan
dengan itu, Adi Sumangkar pasti jauh lebih tajam penglihatannya daripada aku.”
Tetapi Sumangkar menggelengkan
kepalanya. “Aku tidak mempunyai bahan yang cukup untuk menilai perkembangan
daerah baru itu, Kiai.”
“Eh, kau ini,” desis Kiai
Gringsing. “Tetapi baiklah. Agaknya Adi memang sedang berusaha untuk menjauhi
masalah-masalah yang demikian. Begitu?”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Baiklah. Kita akan melihat
kelak, apa yang telah terjadi. Tetapi, bukankah Adi Sumangkar telah mengetahui,
bahwa Ki Pemanahan telah meninggalkan istana dan pulang ke Sela, sebelum
Mentaok diserahkan dengan resmi?”
“Ya. Aku mendengarnya.”
“Baik. Itulah yang sebenarnya
menjadi masalah. Dan Sangkal Putung terletak di antara dua pihak yang terlibat
dalam masalah itu. Mungkin Adi Sumangkar tidak menaruh minat untuk ikut
mempersoalkan masalah itu. Tetapi Sekar Mirah tidak akan dapat acuh tidak acuh.
Sangkal Putung pernah menjadi pusat pertahanan pasukan Pajang menghadapi
Tohpati dan pasukannya.”
“Bukan begitu,” Sumangkar
mencoba membetulkannya. “Yang benar, Pajang telah meletakkan pasukannya untuk
membantu rakyat Sangkal Putung. Bukankah begitu, Angger Swandaru?”
“Ya. Begitulah.”
“Tepat,” sahut Kiai Gringsing.
“Aku keliru. Dan sekarang, bagaimana dengan Sangkal Putung?”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya Kiai Gringsing memang mencoba menariknya ke dalam masalah
itu. Tetapi ia masih menggelengkan kepalanya. “Tergantung sekali kepada Ki
Demang di Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Ternyata Sumangkar masih tetap berusaha
untuk mengelakkan usaha Kiai Gringsing untuk menyatakan pendapatnya tentang
keadaan Alas Mentaok sekarang.
“Memang, yang paling baik bagi
kita adalah melihat sendiri keadaan daerah baru itu,” berkata Kiai Gringsing
kemudian.
“Tepat,” Swandaru menyahut.
“Kapan kita berangkat?”
“Huh,” Sekar Mirah mencibirkan
bibirnya. “Kalau kau, tentu kepentinganmu sendirilah yang lebih dahulu kau
pikirkan. Pulang untuk mengajak Ayah dan Ibu kemari.”
“Tidak,” jawab Swandaru, “sama
sekali tidak. Tetapi seandainya demikian, aku pun tidak akan menolak.”
Gurunya dan Ki Sumangkar
tersenyum. Dan Sekar Mirah menyahut, “Jangan terlampau banyak tingkah. Bukankah
kamu juga setuju bahwa Ayah dan Ibu kita undang untuk datang ke Tanah Perdikan
ini?”
“He,” Swandaru mengerutkan
keningnya. “Kenapa kau marah-marah saja kepadaku? Kau kira akan merampas segala
perhatian Ayah dan Ibu, hingga mereka tidak sempat mengurusmu?”
“Apa urusanku?”
“Ini,” sahut Swandaru sambil
menunjuk Agung Sedayu.
“Sombong kau,” Sekar Mirah
mencubit lengan Swandaru sehingga anak itu menyeringai.
“Mirah, he.”
“Nah, lihat. Kau sekarang
terlampau cengeng. Tentu kau ingin bukan aku lagi yang mencubitmu.”
“Sudahlah. Aku menyerah. Aku
memang tidak pernah menang berbantah dengan kau. Apalagi sekarang, kau
mempunyai pengawal dan aku hanya sendiri.”
“Jangan, jangan.” Swandaru itu
pun kemudian meloncat menjauhi adiknya yang sudah menjulurkan tangannya untuk
mencubitnya lagi. Dan tiba-tiba saja ia menyentuh punggung Agung Sedayu sambil
bertanya, “Kenapa kau diam saja?”
Agung Sedayu hanya tersenyum
saja. Tetapi ia tidak menyahut.
“Dengarlah,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “kita akan segera minta diri kepada Ki Argapati. Aku kira
dua tiga hari lagi. Selain mengurus soal Swandaru, kita singgah untuk
melihat-lihat Alas Mentaok sekarang.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Ayah dan ibu Swandaru pasti sudah menunggu Sekar Mirah pula.
Ibunyalah yang pasti selalu cemas.”
“Ya. Kita tahu hati seorang
ibu. Karena itu, baiklah kita memutuskan saja. Lusa kita berangkat.”
“Semakin cepat makin baik,”
sela Swandaru.
“Makin cepat apa?” bertanya
Agung Sedayu. “Makin cepat kita meninggalkan tempat ini atau makin cepat kita
kembali ke tempat ini?”
Swandaru merenung sejenak.
Jawabnya, “Kedua-duanya. Makin cepat kita pergi untuk semakin cepat kita
kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.”
“Pantas,” desis Sekar Mirah.
Ketika Swandaru membuka
mulutnya untuk menjawab, gurunya mendahului, “Kau tidak usah membantah. Semua
orang tahu, bahwa kau memang ingin demikian.”
“Aku memang tidak akan
membantah, Guru. Aku justru akan mengiakannya.”
Yang mendengar jawaban itu
tertawa. Bahkan Sekar Mirah pun tersenyum pula.
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar, menyampaikan maksud itu kepada Ki Argapati, di
saat-saat mereka duduk di pendapa ketika senja menjadi semakin gelap.
“Begitu tergesa-gesa?” Ki
Argapati mengerutkan keningnya.
“Memang kami agak
tergesa-gesa, Ki Gede, tetapi juga tergesa-gesa untuk segera kembali bersama
ayah dan ibu Swandaru.”
Ki Argapati tersenyum.
Katanya, “Tetapi akulah yang akan menjadi kesepian.”
“Tanah Perdikan ini sudah akan
pulih kembali. Ki Argajaya lambat laun berhasil memperbaiki namanya sendiri.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah,” katanya kemudian, “kami, orang-orang
Menoreh, menunggu kedatangan kalian. Harapan kami beserta dengan murid Kiai
yang gemuk itu. Karena Pandan Wangi adalah satu-satunya anakku.”
Kiai Gringsing dan Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari, bahwa tumpuan harapan Ki
Argapati dan seluruh rakyat Menoreh ada pada Swandaru.
Dan tiba-tiba saja tumbuh
pertanyaan di hati Kiai Gringsing, “Apakah Swandaru menyadarinya? Ia tidak
sekedar meminang Pandan Wangi. Tetapi ia meminang Pandan Wangi beserta segala
macam kewajiban yang akan besertanya.”
“Kapan Kiai akan berangkat?”
bertanya Ki Argapati.
“Lusa,” jawab Kiai Gringsing,
“kami akan berangkat pagi-pagi.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Kami akan menyediakan semua keperluan
kalian. Apakah kalian akan memerlukan kuda?”
Kiai Gringsing merenung
sejenak. Ketika ia memandang wajah Sumangkar, orang tua itu pun tampak
ragu-ragu.
“Bagaimana, Adi Sumangkar?”
“Bukankah kita ingin
melihat-melihat keadaan di sepanjang jalan?”
Kiai Gringsing mengangguk. Dan
sebelum ia menjawab, Ki Argapati sudah bertanya lebih dahulu, “Maksud Kiai,
melihat keadaan daerah baru itu?”
Sumangkar menganggukkan
kepalanya. “Ya. Kami ingin melihat daerah baru itu.”
“Kumandangnya sudah sampai ke
sebelah Sungai Praga. Terutama kumandangnya tentang perdagangan. Mereka
memerlukan beberapa jenis barang dari Menoreh. Para pedaganglah yang lebih
dahulu telah melakukan hubungan tidak resmi. Tetapi laporan tentang daerah baru
itu sudah ada padaku.” Ki Argapati diam sejenak. Lalu, “Kebetulan sekali, kalau
Swandaru mendapatkan beberapa kesimpulan tentang daerah itu kelak, sebelum
Tanah ini menentukan sikap.”
Kiai Gringsing dan Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka menyadari, bahwa dengan demikian
Swandaru sudah mulai membawa tugas bagi Tanah Perdikan ini. Dan tugas itu berat
baginya, meskipun cara mengucapkannya cukup sederhana. Tetapi kesimpulan yang
akan dibawa Swandaru itu menentukan, sesuai dengan kata-kata Ki Gede di
Menoreh, “Sebelum Tanah ini menentukan sikap.”
“Sudah sewajarnya,” berkata
Kiai Gringsing di dalam hatinya, “anak itu harus mulai belajar bersikap dan
berbuat dengan bersungguh-sungguh.”
Namun seandainya tidak ada
yang memperingatkan, maka pasti Swandaru hanya sekedar akan melihat
perkembangan Tanah yang baru dibuka itu menurut seleranya sendiri. Bukan selera
suatu Tanah Perdikan yang besar, Menoreh, yang langsung atau tidak langsung
akan menjadi tetangga dekat dari daerah baru itu.
Demikianlah, maka pada hari
yang ditentukan, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan murid-muridnya telah siap
meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, untuk memulai dengan perjalanannya ke
timur.
Dengan rendah hati, Kiai
Gringsing menyatakan bahwa mereka akan lebih senang berjalan kaki saja sambil
melihat-lihat keadaan daerah-daerah yang dilaluinya.
Segenap pemimpin Tanah
Perdikan Menoreh, Ki Argajaya, dan putranya, mengantar mereka sampai ke regol
halaman rumah Ki Argapati. Meskipun mereka bukan orang-orang Menoreh, tetapi
apa yang sudah mereka lakukan buat Menoreh ternyata tidak segera dapat
dilupakan. Mereka telah ikut serta memadamkan api yang membakar Tanah Perdikan
ini dengan berbagai macam cara. Kasar dan halus. Lahiriah dan batiniah.
Tanpa gembala tua dan
anak-anaknya. Tanah Perdikan ini pasti akan menjadi lebih parah lagi. Apalagi,
apabila luka Ki Argapati tidak dapat disembuhkan.
Pandan Wangi yang sedang mulai
dijalari perasaan seorang gadis merasa menjadi sangat kecewa atas kepergian
Swandaru. Ia merasa kehilangan seseorang yang dapat membuatnya tersenyum dan
tertawa.
“Aku akan segera kembali,”
berkata Swandaru.
“Kau tidak bersungguh-sungguh,
seperti apa yang kau lakukan selama ini. Kau selalu mengatakan tentang sesuatu
yang tidak benar. Kau mengatakan bahwa pada suatu ketika kau akan berhasil
menangkap sesosok tuyul yang sedang mencuri uang di rumahmu. Lain kali kau
katakan bahwa seorang kawanmu mempunyai kuda sembrani yang dapat terbang sampai
ke bulan. Sedang yang benar, kau adalah seorang pemimpi.” Pandan Wangi berhenti
sejenak. Lalu, “Dan bagaimana kalau perlawatanmu ke Menoreh ini nanti kau
anggap sekedar sebuah mimpi?”
“Mungkin,” jawab Swandaru,
“tetapi yang tidak ada hubungannya dengan kau. Sedangkan semua masalah yang ada
bubungannya dengan kau, tentu sama sekali bukan sebuah mimpi.”
“Apakah kau berkata
sebenarnya?”
“Maksudku memang demikian.”
“He?”
“Ya. Ya. Aku berkata
sebenarnya.”
Wajah Pandan Wangi menjadi
bersungut-sungut, tetapi Swandaru kemudian berkata, “Aku akan segera kembali
membawa tiga ekor, eh, tiga orang, maksudku tiga, bilangan tiga untuk
tuyul-tuyul itu.”
“Benar?” tiba-tiba wajah
Pandan Wangi menjadi cerah. “Kau akan membawanya untukku?”
“Ya, ya. Tetapi ……….”
“Katakan bahwa kau bersumpah,
bahwa kau akan segera kembali membawa tuyul.”
“Eh.”
“Nah, bukankah kau berbohong?”
Swandaru menjadi bingung.
Namun kemudian ia berkata, “Baiklah. Aku akan membawa tiga sosok tuyul. Aku
sudah mempunyai dua. Aku tinggal mencari satu.”
“Kau sudah mempunyai dua?”
“Ya.”
“Mana?”
“Itu. Yang satu tuyul jantan,
yang lain tuyul betina,”
“Ah, kau,” desah Pandan Wangi.
Namun Swandaru-lah yang
menyeringai kesakitan karena Sekar Mirah mencubitnya. “Aku kau anggap tuyul ya?
Kalau aku tuyul, termasuk jenis apakah kakaknya?”
“Sudah Mirah. Sudah.”
Pandan Wangi terpaksa
tersenyum karenanya. Sebetulnya tangannya pun hampir saja terjulur. Tetapi
segera ditariknya kembali, karena Swandaru masih belum menjadi keluarga atau
apa pun secara resmi.
Demikianlah, maka rombongan
kecil itu pun segera meninggalkan halaman rumah Ki Argapati. Perpisahan itu
agaknya benar-benar berkesan bagi yang pergi dan bagi yang ditinggalkan. Namun
Kiai Gringsing berkata kepada mereka, “Kami akan segera kembali. Dan bukankah
tanah ini telah menjadi utuh kembali?”
“Kami selalu mengharap
kedatangan kalian,” berkata Ki Argapati.
Maka dilepaslah rombongan
kecil itu berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika beberapa langkah
kemudian Sekar Mirah berpaling, tiba-tiba hatinya berdesir. Ia melihat sorot
mata anak muda yang bernama Prastawa itu seakan-akan menyala membakar
jantungnya. Namun hanya sejenak, karena anak muda itu segera memalingkan
wajahnya, memandang ke kejauhan.
Sentuhan tatapan mata yang
hanya sekejap itu telah meninggalkan kesan yang aneh bagi Sekar Mirah, meskipun
ia berusaha untuk menghalaunya dari hatinya.
“Adalah kebetulan saja ia
memandangku,” katanya di dalam hati, “atau barangkali ia mendendamku?”
Ki Argapati, Ki Argajaya,
Samekta, Kerti dan yang lain, memandangi mereka sampai rombongan kecil itu
hilang di balik sebuah tikungan.
Meskipun demikian, Ki Argapati
yang berdiri bersandar pada sebuah torgkat yang panjang berkata perlahan-lahan,
“Mereka bagaikan sepasukan prajurit yang pulang dari medan. Meskipun mereka
hanya berjumlah 5 orang.”
Ki Argajaya yang berdiri di
sampingnya mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak menjawab. Matanya
masih tersangkut pada tikungan tempat kelima orang itu menghilang.
Yang mula-mula sekali
meninggalkan regol itu adalah Pandan Wangi. Sambil menundukkan kepalanya ia
melangkah dengan tergesa-gesa melintasi halaman.
Ayahnya, Ki Argapati, menarik
nafas dalam-dalam. Ia mengerti, perasaan apakah yang sedang mengganggu
puterinya itu. Hatinya yang sedang mekar, tiba-tiba terputus meskipun hanya
untuk beberapa saat. Namun agaknya, dunianya akan menjadi terlampau sepi untuk
sementara.
Karena itu, maka ketika Ki
Argapati melihat puterinya itu merenung di biliknya, ia sama sekali tidak
menegurnya. Biarlah anak itu berangan-angan sebagaimana kebiasaan gadis-gadis.
Kalau puterinya itu selalu dibebani oleh sepasang pedangnya, tanpa memberi
kesempatan pribadinya sebagai seorang gadis berkembang, maka kelak Pandan Wangi
tidak akan dapat menjadi seorang ibu yang baik.
Argajaya dan puteranya pun
segera minta diri pula, kembali ke rumahnya. Mereka datang sekedar melepaskan
kelima orang itu meninggalkan Menoreh.
“Aku masih mempunyai pekerjaan
di sawah, Kakang,” berkata Argajaya.
“Kau kerjakan sendiri
sawahmu?”
“Tentu hanya sebagian kecil.
Tenagaku sudah tidak sekuat anak-anak muda. Tetapi aku ingin mengisi waktuku
dengan kerja.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Prastawa juga?”
“Ya, Paman. Aku harus membantu
ayah di rumah.”
“Bagus,” desis Ki Argapati.
Keduanya pun kemudian
meninggalkan halaman rumah Ki Argapati. Di atas punggung kuda mereka menyusuri
jalan-jalan padukuhan induk, dan kemudian mereka melintas di jalan yang
membelah sebuah bulak yang panjang.
“Ayah,” tiba-tiba Prastawa
bertanya, “apakah benar, Sekar Mirah itu adik Swandaru?”
“Ya, kenapa?”
“Keduanya sangat berlainan.”
Ayahnya mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Mungkin bentuk tubuhnya. Sudah tentu, bagi seorang gadis kurang
pantas apabila ia bertubuh gemuk seperti Swandaru. Tetapi justru Swandaru
menjadi pantas. Wajahnya yang bulat dan cerah itu memancarkan kesan keterbukaan
hatinya.” Ki Argajaya berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi kalau kau memandang
kening, hidung, dan alisnya, keduanya mempunyai banyak persamaan.”
Prastawa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar ayahnya bertanya, “Kenapa?”
“O, tidak apa-apa,” anak muda
itu tergagap. Lalu, “Bukankah, Swandaru kelak akan menjadi ipar sepupuku?”
“Ya. Agaknya demikian,
meskipun masih belum resmi.”
Prastawa mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Katanya kemudian, “Sekar Mirah adalah gadis yang luar biasa.
Dengan mudah ia menguasai kawanku yang bertubuh kekar seperti badak itu.”
“Gurunya pun luar biasa,
meskipun rendah hati seperti guru Swandaru.”
“Tetapi, saudara seperguruan
Swandaru itu terlampau sombong.”
“Agung Sedayu maksudmu?”
“Ya. Ia menganggap aku seorang
tawanan. Sampai saat ia meninggalkan rumah Paman Argapati.”
“He. Kau salah, Prastawa. Ia
anak yang baik. Ia tidak berbuat apa-apa ketika ia melihat kedatanganmu dan
kawanmu di rumah beberapa saat yang lalu.”
“Tetapi agaknya ia merasa
tidak pantas berbicara dengan aku. Tidak seperti Swandaru, yang suka
berkelakar.”
“Itu adalah sifatnya. Ia
pendiam.”
Prastawa terdiam sejenak.
Terbayang perkelahian yang terjadi sebelum ia kembali kepada ayahnya, ketika
Agung Sedayu berada di bukit bersama Pandan Wangi. Kekalahannya saat itu tidak
dapat dilupakannya.
Tetapi tiba-tiba terbersit
suatu pertanyaan di hatinya, “Kenapa aku mendendam Agung Sedayu, dan tidak
kakak Pandan Wangi?”
Prastawa menelan ludahnya.
Dan ayahnya berkata, “Agung
Sedayu pun anak yang baik. Memang sifatnya agak berbeda dengan anak yang gemuk
itu. Tetapi bukan maksudnya menyombongkan dirinya.”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba ia bertanya, “Apakah benar, Agung Sedayu itu bakal
suami Sekar Mirah?”
“Ya. Tetapi itu pun belum
resmi seperti Swandaru dan Pandan Wangi, meskipun orang tuanya tidak
berkeberatan seperti juga Kakang Argapati.”
Prastawa tidak menjawab.
Tetapi ia tidak mengerti, kenapa wajah gadis, yang bernama Sekar Mirah, itu
selalu membayang. Gadis itu begitu tenangnya menghadapi keadaan. Pada saat ia
datang ke rumahnya, langsung memasuki bilik ibunya yang ditempati oleh gadis,
yang bernama Sekar Mirah itu, gadis itu sama sekali tidak menjadi ketakutan.
Justru ia tersenyum penuh kepercayaan kepada diri sendiri, bahwa ia akan dapat
mengatasi setiap persoalan yang tumbuh.
“Gadis itu luar biasa,”
desisnya tanpa sesadarnya.
Prastawa terkejut ketika
ayahnya bertanya, “Siapa?”
“Maksudku, Sekar Mirah itu
hampir seperti Kakak Pandan Wangi. Meskipun ia seorang gadis, tetapi ia mampu
melindungi dirinya sendiri. Bedanya, Kakak Pandan Wangi bersenjata sepasang
pedang yang ringan, justru gadis ini mempunyai senjata yang aneh. Tongkat baja
putih dan berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan.”
“Senjata yang diterima
turun-temurun, dari guru ke muridnya.”
Prastawa mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Tetapi ia tidak berkata-kata lagi.
Namun pertanyaan-pertanyaan
Prastawa itu telah memberikan kesan yang aneh pada Ki Argajaya. Agaknya anak
itu menaruh perhatian pada Sekar Mirah. Tetapi Ki Argajaya tidak tahu, apakah
yang agaknya telah menarik hati anaknya. Mungkin justru karena senjatanya yang
aneh itu, atau karena jarang sekali terdapat seorang gadis yang memiliki
kemampuan seperti Sekar Mirah dan Pandan Wangi di atas Tanah Perdikan ini.
Justru kebanyakan gadis-gadis hanya menunggu hari-hari perkawinannya dengan
menganyam tikar, atau menunggui perapian untuk membuat gula kelapa di rumah.
“Anak itu akan segera
melupakannya,” berkata Ki Argajaya kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, Ki Tanu Metir,
Ki Sumangkar, dan murid-muridnya berjalan semakin lama semakin menjauhi pedukuhan
induk. Namun di sepanjang jalan beberapa orang yang mengenalnya, selalu
menganggukkan kepalanya sambil bertanya, “Kemanakah kalian akan pergi?”
“Kami akan menengok rumah
kami,” jawab Kiai Gringsing.
“O, apakah kalian tidak akan
kembali kemari?”
“Tentu. Kami akan kembali
lagi.”
“Selamat jalan.”
“Terima kasih.”
Bahkan ada orang-orang yang
mencoba untuk mempersilahkan mereka singgah.
“Kami akan senang sekali kalau
kalian tinggal di rumah kami sehari dua hari.”
“Maafkanlah. Kami harus segera
menyeberangi sungai Praga.”
“Kenapa tergesa-gesa?”
“Tidak apa-apa. Tetapi
anak-anak sudah rindu kepada kampung halaman.”
Demikianlah, maka mereka
berlima berjalan semakin lama semakin cepat. Matahari yang memanjat langit pun
menjadi semakin lama semakin tinggi pula. Panasnya pun menjadi semakin tajam
menggigit kulit.
Semakin lama, maka
padukuhan-padukuhan pun menjadi semakin jarang dan kecil. Hampir tidak ada lagi
orang-orang yang mengenal mereka, Orang-orang di padukuhan-padukuhan itu adalah
orang yang setiap hari selalu tenggelam di dalam kerja, seperti yang selalu
mereka lakukan sehari-hari. Pagi bangun tidur, makan sekedarnya, lalu pergi ke
sawah. Di siang hari mereka berhenti. Makan dan minum. Kemudian mereka
melanjutkan kerja sampai matahari menjadi sangat rendah. Di senja hari mereka
pulang, singgah di sungai sebentar membersihkan diri dan alat-alat mereka.
Barulah mereka pulang. Kadang-kadang mereka masih makan sore, tetapi
kadang-kadang sudah tidak lagi. Mereka langsung pergi tidur apabila tidak ada
keperluan yang penting untuk keluar rumah.
Meskipun demikian, hidup
mereka tampaknya sangat tenteram. Mereka sama sekali tidak mengacuhkan apa pun
yang terjadi di luar pedukuhan mereka. Namun demikian, kemajuan tata kehidupan
mereka pun sangat lamban, karena seolah-olah mereka menutup pintu padukuhan
mereka dengan tata kehidupan yang sudah mereka miliki itu.
Ternyata, tata kehidupan yang
demikian itu sangat menarik perhatian Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah.
Kehidupan yang sangat sederhana.
“Apakah mereka akan tetap
dalam keadaan yang demikian itu sampai puluhan tahun mendatang?” bertanya Agung
Sedayu.
“Tentu tidak.” jawab Kiai
Gringsing.
“Tetapi kalau tidak ada
seseorang yang berani memasuki daerah itu dengan membawa adat dan cara-cara
yang lebih baik untuk meningkatkan kehidupan mereka, mereka akan tetap dalam
keadaannya,” sahut Swandaru.
“Bukankah tanah ini masih
tlatah Menoreh?” tiba-tiba Kiai Gringsing bertanya.
Tidak seorang pun yang
menjawab.
“Nah. Kalau demikian, akan
menjadi tugas Swandaru kelak untuk menerobos masuk sampai ke padukuhan yang
terpencil ini.”
“Ah,” desis Swandaru, sedang
Sekar Mirah tertawa sambil berkata, “Tetapi jangan kau mulai sejak sekarang.
Kau sekarang belum apa-apa di sini.”
“Kupuntir telingamu,” potong
Swandaru. Tetapi Sekar Mirah masih saja tertawa.
Sementara itu, langkah mereka
menjadi semakin jauh. Ketika mereka menengadahkan wajah mereka, ternyata
matahari telah melampaui puncak langit.
“Hem, aku haus,” desis Sekar
Mirah.
“Kau tadi membawa bekal makanan
dari Pandan Wangi, bukan?” bertanya Swandaru.
“Aku haus, tidak lapar,” jawab
Sekar Mirah.
Swandaru terdiam. Tetapi
mereka masih berjalan terus.
Sejenak kemudian mereka pun
segera sampai ke hutan-hutan rindang. Hutan perburuan yang memanjang, sebelum
mereka memasuki hutan lebat di seberatag hutan perburuan ini.
“Apakah kita akan langsung
mencari tempat kediaman Ki Gede Pemanahan dan putranya, Sutawijaya?” bertanya
Swandaru kemudian.
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Tentu tidak. Kita ingin mengetahui keadaan sebenarnya.
Kalau kita langsung mengunjungi Ki Gede Pemanahan dan putranya, maka kita tidak
akan dapat melihat seluruh segi kehidupan di daerah baru itu. Kita hanya akan
melihat apa yang pantas kita lihat, sehingga kita tidak akan dapat menilai
daerah itu seperti yang sebenarnya, dipandang dari sudut kepentingan kita
masing-masing. Bagi Sangkal Putung dan bagi Tanah Perdikan Menoreh.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Besok kita akan memasuki
daerah itu. Kita akan melihat apakah yang sedang tumbuh itu akan bermanfaat
bagi kita, bagi daerah-daerah di sekitarnya dan bagi keseluruhan keluarga besar
di Pulau Jawa ini.”
“Pulau Jawa?” Swandaru
mengerutkan keningnya.
Gurunya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Swandaru mengerutkan
keningnya. Gurunya telah menyebut suatu tempat yang hanya dapat dibayangkan
oleh Swandaru, Pulau Jawa. Suatu daerah yang tentu sangat luas.
“Apakah hubungannya daerah
yang baru dibuka itu dengan Pulau Jawa?” bertanya Swandaru kemudian.
Gurunya tertawa. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Bukan salahmu, kalau kau mengajukan
pertanyaan itu. Akulah yang seharusnya menunjukkan kepadamu, bahwa daerah baru
itu akan mempengaruhi keadaan Pulau Jawa seluruhnya.”
“Tetapi, bukankah Pulau Jawa itu
terbentang dari ujung timur sampai ke ujung barat?”
“Ya.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Dicobanya untuk membayangkan, berapa luasnya daerah yang disebut
oleh gurunya itu, Pulau Jawa.
“Apakah Pajang juga mempunyai
pengaruh yang luas atas Pulau Jawa?” bertanya Agung Sedayu.
“Kau pernah mendengar hal
itu?”
“Aku memang pernah mendengar.”
“Nah. Sekarang kalian tahu,
bahwa pengalaman kalian itu baru setetes dari air yang melimpah-limpah di
telaga. Tetapi untunglah bahwa kalian berada dekat dari pusat pemerintahan,
yang mempengaruhi Pulau Jawa itu.”
“Maksud Guru?”
“Meskipun sudah jauh surut,
tetapi Pajang memang masih mempunyai pengaruh atas Pulau Jawa. Di saat-saat
terakhir Demak masih mengikat kesatuan banyak daerah-daerah di pesisir Utara
membujur ke Timur. Tetapi sebagaimana kalian mengetahui, perpecahan di
saat-saat lahirnya Pajang, telah membuat ikatan itu semakin kendor, sehingga
banyak sekali daerah-daerah yang merasa berhak berdiri sendiri-sendiri.
Kesatuan yang pernah dibina pada jaman Majapahit itu pun sedikit demi sedikit
menjadi mundur.”
“Majapahit pernah
mempersatukan bukan saja Pulau Jawa,” berkata Agung Sedayu.
“Ya. Nusantara. Pulau-pulau
yang dibatasi oleh lautan-lautan yang luas.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia memang pernah mendengar cerita tentang kebesaran Majapahit.
Perpecahan yang kemudian terjadi, sehingga yang masih dapat dilihatnya adalah
perpecahan antara Pajang dan Jipang sepeninggal Sultan Demak yang terakhir.
Sekilas terbayang Kademangan
Sangkal Putung yang kaya raya. Tetapi Sangkal Putung adalah sebagian kecil,
kecil sekali dari seluruh Pulau Jawa. Seluruh Nusantara.
Namun kemudian terbersit
pertanyaan di hatinya, “Benarkah Sutawijaya itu mampu berbuat sesuatu yang akan
dapat mempengaruhi seluruh Pulau Jawa? Memang ia mempunyai banyak kelebihan
dari kami, aku dan Kakang Agung Sedayu, tetapi dalam suatu saat kami pun mampu
memiliki ilmu setingkat itu. Dan apabila demikian, apakah kami pun mampu
berbuat sesuatu yang dapat berkumandang sampai ke ujung-ujung Pulau Jawa ini?”
Tetapi Swandaru tetap
menyimpan pertanyaan itu di dalam hatinya.
“Kalau kalian ingin lebih
jelas lagi,” berkata Kiai Gringsing, “bertanyalah kepada Ki Sumangkar. Sebagai
seorang yang selalu berada di lingkungan kepatihan, ia pasti jauh lebih
mengetahui masalah-masalah pemerintahan daripada aku.”
“Ah,” desis Sumangkar. Namun
Sekar Mirah segera bertanya, “Benarkah begitu, Guru?”
“Aku adalah seorang juru masak
di kepatihan.”
Kiai Gringsing tertawa. Tetapi
ia tidak berkata apa-apa.
“Seharusnya Guru sering
bercerita kepadaku tentang susunan pemerintahan. Kalau Guru bercerita, hanyalah
sekedar garis besarnya saja. Pada suatu saat aku ingin mengetahui lebih banyak
lagi, sehingga aku dapat membayangkan tata pemerintahan dari suatu negara yang
besar. Bukan sekedar sebuah kademangan. Dengan demikian kami tidak merasa bahwa
seolah-olah yang paling penting di muka bumi ini.”
Sumangkar tersenyum. Desisnya,
“Kiai membebani aku pekerjaan yang aku tidak mengerti.”
Kiai Gringsing pun tertawa
pula. “Sudah waktunya hati anak-anak itu terbuka, melihat dunia yang semakin
luas ini. Dengan demikian mereka sadar, bahwa lingkungan mereka sebenarnya amat
luas. Bukan sekedar pasukan Tohpati yang berada di sekitar Sangkal Putung,
kemudian datang Widura dan Untara membawa sebagian kecil dari pasukannya.
Anak-anak harus tahu, bahwa itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan cerita
mengalirnya peme-rintahan sejak jaman dahulu kala. Sejak jaman Sri Rajasa
Batara Sang Amurwabumi. Bahkan sebelumnya, sampai pada jaman kebesaran
Majapahit, kemudian menurun dengan pesatnya sejak Demak kehilangan rajanya yang
terakhir.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Bukankah masalah Tohpati yang
kehilangan sasaran perjuangannya itu akan menjadi sangat berlainan dengan
saat-saat daerah baru yang sedang tumbuh ini? Benturan antara Tohpati dan
Untara di sekitar Sangkal Putung adalah merupakan babak-babak terakhir dari
tenggelamnya kekuasaan Adipati Jipang. Masalahnya merupakan masalah yang dapat
dibatasi menjadi masalah setempat, Sangkal Putung. Tetapi yang sedang tumbuh
ini mendapat sorotan dari segenap wilayah Pajang, karena justru Ki Gede
Pemanahan sendiri yang menyingkir dari lingkungan istana, setelah Ki Penjawi
menempati tanahnya yang baru, Pati.”
Kedua orang-orang tua itu tiba-tiba
berpaling ketika mereka mendengar Swandaru berdesah.
“Swandaru,” berkata Kiai
Gringsing “kau dan Agung Sedayu harus mencoba untuk mengerti masalah-masalah
ini. Kalian akan mempunyai wewenang meskipun di daerah yang kecil. Tetapi
daerah-daerah yang kecil itulah yang menumbuhkan daerah yang lebih besar dan
seterusnya.”
Keduanya pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Terbayang di hadapan mereka masalah yang
jauh lebih besar dari api yang membakar Tanah Perdikan Menoreh.
Masalah daerah baru yang dimulai
dengan nada yang sumbang itu akan langsung menyangkut pimpinan tertinggi
pemerintah. Seperti pada masa Adipati Jipang masih ada. Bukan sekedar
pecahan-pecahan pasukan yang berserakan.
Dengan demikian, maka kelima
orang itu harus mempersiapkan dirinya untuk memasuki suatu daerah yang masih di
bayangi oleh kekelaman, seakan-akan mereka hendak meloncat ke dalam gelap.
Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya ada di belakang kegelapan itu.
Mereka baru mendengar daerah
baru itu dari Sutawijaya. Yang barang tentu, akan memiliki masalah-masalah yang
dapat dikatakannya. Yang tidak, tentu akan disembunyikannya.
Karena itu, Kiai Gringsing
sudah bertekad untuk melihat daerah baru itu langsung tanpa memberitahukan
lebih dahulu kepada Sutawijaya, apalagi Ki Gede Pemanahan.
Namun pada hari itu kelima
orang itu tidak dapat langsung mencapai Alas Mentaok. Hutan yang lebat di
sebelah-menyebelah Kali Praga, agaknya menghambat jalan mereka. Mereka harus
mencari jalan setapak yang sering dilalui para pedagang yang saling tukar
menukar barang-barang antara mereka yang tinggal di sebelah sungai.
Tetapi kelima orang itu sadar,
bahwa kadang-kadang di perjalanan mereka menjumpai penyamun yang masih saja
berkeliaran. Apalagi dengan tumbuhnya daerah baru, maka jalan setapak itu
menjadi lebih sering dilalui, sehingga para penyamun menjadi semakin mantap
melakukan pengintaian. Meskipun demikian, kadang-kadang para penyamun itu gagal
melakukan kegiatannya, karena serombongan pedagang yang lewat, dikawal oleh
orang-orang yang cukup mampu melayani penyamun-penyamun kecil yang berkeliaran
itu.
“Kita bermalam di sebelah
timur sungai,” berkata Kiai Gringsing. “Besok kita mencari tempat yang baik
untuk membuat gubug. Kita akan tinggal di tempat itu untuk sementara.”
“Kita akan tinggal?” bertanya
Sekar Mirah.
“Ya.”
“Berapa hari?”
“Aku tidak dapat menyebutkan,
Mirah. Mungkin sehari, mungkin sebulan.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata, “Sebenarnya aku
ingin tinggal bersama Kiai, Kakang Swandaru, dan Kakang Agung Sedayu,” suaranya
tiba-tiba merendah. Sambil berpaling kepada gurunya ia bertanya, “Tetapi
bagaimana dengan Ibu di rumah, Guru?”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab.
Sebenarnya Sumangkar tidak
begitu senang untuk ikut mencampuri persoalan daerah baru itu, meskipun ia
mengerti, bahwa masalahnya akan langsung menyangkut Sangkal Putung dan Tanah
Perdikan Menoreh. Tetapi sebagai seseorang yang baru saja dilepaskan dari
segala tuntutan oleh Pajang, karena ia langsung atau tidak langsung berada di
dalam pasukan Tohpati, maka untuk ikut serta di dalam persoalan yang akan
menyangkut juga Pajang, ia agaknya menjadi segan. Jauh-jauh telah terbayang di
angan-angannya, bahwa ia akan menjumpai banyak kesulitan apabila masalah daerah
baru itu nanti berkembang seperti yang diperhitungkannya, meskipun tidak dalam
waktu yang dekat.
Kalau Ki Gede Pemanahan dan
Sultan Pajang masing-masing tetap di dorong oleh perasaannya, maka jarak antara
Pajang dan daerah baru itu akan menjadi semakin panjang.
Sudah tentu ia tidak akan
dapat menjerumuskan dirinya sekali lagi dalam persoalan-persoalan yang tidak
sejalan dengan hati nuraninya, seperti adanya di dalam pasukan Tohpati, karena
ia merasa terikat oleh suatu keharusan.
Kali ini, ia pun melihat kedua
belah sisi yang saling berhadapan itu pun telah mengikatnya. Ia merasa
berhutang budi kepada Pajang yang telah melepaskannya dari segala tuntutan.
Sultan Pajang tidak menjatuhkan hukuman atasnya, karena ia tahu, bahwa bukan
seperti yang dilakukan oleh Tohpati, bahkan oleh Adipati Jipang itulah yang
dimaksudkan oleh Sumangkar.
Tetapi ia tahu benar, bahwa
penjelasan tentang pendiriannya itu sebagian terbesar diberikan oleh Ki Gede
Pemanahan, yang menerima langsung penyerahan sebagian laskar Tohpati, yang
menyerah di Sangkal Putung.
Karena itu, apabila ia
melibatkan diri di dalam masalah yang sedang tumbuh itu, ia akan menjumpai
banyak kesulitan di dalam dadanya sendiri.
Ki Sumangkar terkejut ketika
ia mendengar Sekar Mirah mendesaknya, “Bagaimana, Guru. Apakah Ibu tidak
terlampau cemas?”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Sekar Mirah. Aku tahu kesulitanmu.
Kau ingin tinggal di sini bersama kakak-kakakmu, tetapi kau juga mencemaskan
ibumu. Bukankah begitu?”
“Ya, Guru.”
“Dan aku juga mengerti,
bagaimana perasaan seorang ibu. Padahal, selama ini kau tidak pernah berpisah
daripadanya.”
“Ya, Guru.”
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya Kiai Gringsing seakan-akan ia minta pertimbangan
tentang muridnya itu.
Tetapi yang pertama-tama
menyatakan sikapnya adalah Swandaru. “Mirah. Sebaiknya kau pulang saja dahulu.
Katakan kepada ayah dan ibu, agar mereka bersiap-siap dengan sepengadeg pakaian
yang paling baik yang ada di Sangkal Putung. Seperangkat upacara peningset dan
pedang bertangkai gading itu.” Swandaru berhenti sejenak. Lalu, “Ceriterakan
kepada ayah dan ibu, bahwa kita bersama-sama akan pergi melamar gadis Tanah
Perdikan Menoreh. Selain itu, dengan demikian ibu pun tidak akan terlampau lama
menunggu. Aku yakin bahwa ibu tidak akan pernah dapat tidur nyenyak setiap
malam. Kalau salah seorang dari kita sudah datang, dan membawa kabar baik, maka
orang tua kita tidak akan terlampau cemas lagi.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Tetapi ia menjawab, “Kenapa bukan kau saja yang pulang?”
“Aku di sini bersama guru dan
Kakang Agung Sedayu, itu lebih pantas daripada kau yang tinggal di sini.”
Sekar Mirah tidak menjawab. Ia
memang sedang bimbang, apakah ia tinggal bersama kakaknya dan Agung Sedayu,
atau pulang dahulu menemui ibu dan ayahnya.
Dalam kebimbangan itu
terdengar Kiai Gringsing berkata kepadanya, “Memang sebaiknya kau kembali lebih
dahulu, Sekar Mirah.”
“Apakah aku akan mengganggu di
sini?” ia bertanya.
“Tentu tidak,” jawab Kiai
Gringsing, “karena kau bukan seorang gadis yang hanya dapat menggantungkan
keselamatannya kepada orang lain. Kau, seperti juga Pandan Wangi, akan dapat
membantu kami apabila terjadi sesuatu. Bahkan sudah tentu juga gurumu, Ki
Sumangkar. Tetapi yang kita pikirkan bersama adalah ayah dan ibu. Swandaru
pergi sudah sekian lama. Kemudian kau dan gurumu menyusulnya. Tetapi keduanya
tidak terdengar kabar beritanya.”
Sekar Mirah tidak segera
menjawab. Wajahnya masih juga dibayangi oleh keragu-raguan.
“Baiklah, kau aku antar
pulang, Mirah,” berkata Ki Sumangkar. “Seperti kata Kiai Gringsing, soalnya
adalah ayah dan ibumu. Terutama sekali ibumu. Meskipun kepergianmu kali ini
tidak seperti kepergianmu ke Tambak Wedi, namun sebagai ibu, maka ia pasti akan
selalu mengharap kau segera kembali.”
Sejenak Sekar Mirah merenung.
Kemudian jawabnya, “Aku akan menentukan kemudian. Biarlah aku ikut semalam dua
malam berada di Alas Mentaok.”
Sejenak Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar saling berpandangan. Namun keduanya kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya. Berkata Kiai Gringsing, “Apakah begitu menurut pertimbanganmu, Adi
Sumangkar?”
“Baiklah. Biarlah ia melihat
semalam dua malam suasana hutan yang lebat itu, meskipun sebagian sudah menjadi
daerah yang ramai.”
Maka mereka pun kemudian memutuskan,
bahwa Sekar Mirah akan beserta dengan mereka meskipun hanya semalam atau dua
malam di tlatah Alas Mentaok.
Demikianlah, maka ketika hari
telah menjadi buram, kelima orang itu pun segera mencari tempat yang baik untuk
bermalam. Meskipun mereka sudah berada di sebelah Timur Sungai Praga, tetapi
mereka masih belum sampai ke daerah yang telah dibuka oleh Ki Gede Pemanahan.
“Di sini ada jalan,” desis
Sekar Mirah.
“Jalan setapak,” sahut
Gurunya, “tentu jalan para pedagang yang datang dari daerah di luar daerah baru
itu, termasuk dari Tanah Perdikan Menoreh.”
“Bukan ini,” jawab Sekar
Mirah, “jalan dari Menoreh adalah jalan sempit yang kita lalui. Tetapi ini
jalan menuju ke daerah yang lain.”
“Ya, jalan yang serupa.
Mungkin ada padukuhan atau tempat-tempat yang berpenghuni di ujung lorong
sempit ini.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Memang menarik,” sela Agung
Sedayu.
“Apa yang menarik?” bertanya
Swandaru. “Lorong ini lorong biasa saja. Apakah anehnya? Seperti juga lorong
yang kita lalui ini.”
“Memang, tidak ada hal-hal
yang tampaknya menarik. Lorong sempit di tengah-tengah hutan yang lebat.
Meskipun masih terlampau sulit untuk dilalui begitu saja, tetapi tampaknya
lorong ini memang pernah dilalui orang.”
“Bukan sekedar pernah, tetapi
setiap kali. Mungkin sepekan sekali, atau selapan sekali.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkam kepalanya. Sekilas dipandanginya Gurunya yang masih tetap
berdiam diri.
“Yang menarik,” berkata Agung
Sedayu kemudian, “sebuah simpang empat di tengah-tengah hutan.”
“Ya, simpang empat kecil.
Lihat, ujung-ujung lorong ini tampaknya aneh. Seperti juga lorong yang menuju
ke Menoreh ini, sebelum kita lalui tampaknya aneh pula, seolah-olah sebuah
lubang goa di kaki sebuah gunung, yang kadang-kadang terhalang oleh sulur-sulur
dan pepohonan yang roboh,” berkata Sekar Mirah.
Dan tiba-tiba saja Kiai
Gringsing berkata, “Kita mencari tempat untuk bermalam.”
“Di simpang empat ini?”
bertanya Sekar Mirah.
“Tentu tidak,” jawab Kiai
Gringsing. “Di sebelahnya. Tetapi tidak terlampau dekat.”
Mereka pun kemudian menemukan
tempat yang mereka kehendaki. Secercah tanah yang tidak begitu banyak ditumbuhi
oleh pepohonan perdu meskipun agak lembab.
Agung Sedayu, Swandaru, dan
Sekar Mirah segera membersihkan tempat itu. Mereka menimbun ranting-ranting dan
dedaunan kering untuk tempat duduk, karena mereka tidak akan tidur sambil
berbaring.
“Hati-hatilah dengan ular,”
Kiai Gringsing memperingatkan, “di sini ada ular yang paling berbisa di seluruh
daerah yang pernah diambah kaki manusia,”
“Ular apa, Kiai?”
“Bandotan tanah.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Bulu-buluku meremang. Aku lebih senang bertemu dengan Sidanti
daripada ular.”
“Tentu setelah Sidanti tidak
ada lagi.”
“He,” Swandaru membelalakkan
matanya. “Justru sekarang kalau ia datang, aku akan mati lemas.”
Agung Sedayu tertawa kecil.
“Sudahlah. Kita akan makan,”
“Aku haus,” desis Sekar Mirah.
“Bukankah kau sudah minum tadi
di belik dekat sungai Praga?”
“Sekarang aku haus lagi.”
“Tahankanlah. Besok kita cari
mata air, kau harus melatih diri menjadi seorang perantau.”
Sekar Mirah terdiam.
Dipandanginya Swandaru yang makan bekal mereka dengan lahapnya.
Namun dalam pada itu, simpang
empat itu memang menarik perhatian Kiai Gringsing, meskipun tidak dikatakannya.
Setiap kali ia berpaling ke arah jalan sempit yang menyilang jalan yang
dilaluinya.
“Lorong itu, Kiai,” tiba-tiba
Ki Sumangkar berdesis.
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya, “Mungkin aku terlampau hati-hati. Mungkin Swandaru benar, bahwa
lorong itu tidak ada anehnya seperti lorong yang kita lalui,” orang tua itu
berbisik.
Sumangkar terdiam sejenak.
Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu.
Sementara itu, Swandaru, Agung
Sedayu, dan Sekar Mirah, yang telah selesai menyuapi mulut masing-masing, duduk
bersandar batang-batang pohon yang tidak terlampau rimbun. Sekali-sekali mereka
menggeliat sambil menggosok-gosok kaki mereka yang lelah.
“Kenapa Guru tidak makan?”
bertanya Sekar Mirah, “Dan Kiai Gringsing juga tidak?”
“Nanti sajalah,” jawab
Sumangkar.
“Kami sudah menyisihkan untuk
Kiai berdua.”
“Terima kasih. Biarlah di
situ. Nanti, kalau kami sudah lapar, kami akan mengambilnya.”
Sekar Mirah tidak bertanya
lagi. Sekali ia menengadahkan wajahnya. Namun tiba-tiba saja bulu-bulunya
meremang. Dalam kesuraman senja, dedaunan yang rimbun di atasnya tampaknya
bagaikan tangan-tangan raksasa yang siap untuk menerkamnya.
Swandaru yang kemudian duduk
sambil memeluk lututnya memandang jauh menerawang ke dalam kesuraman. Meskipun
demikian ia masih sempat melihat sekilas seekor kijang yang berlari kencang.
“He. Kijang,” desisnya.
“Apakah kau akan mengejarnya?”
bertanya Agung Sedayu.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia masih bergumam, “Aku mengharap ada seekor harimau yang
menerkam salah seorang dari kita.”
“Kenapa, he?”
“Aku memerlukan kulitnya.”
Sekar Mirah menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Kau yakin bahwa kita dapat membunuh harimau itu?”
“Apalagi seekor harimau,
sedang Macan Kepatihan pun dapat dibunuh.”
“Tetapi bukan kau yang
membunuhnya.”
Swandaru tidak menyahut.
Matanya kembali tersangkut ke kejauhan.
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar yang duduk berdekatan, masih juga saling berdiam diri. Sambil
memandang murid-muridnya, mereka merenungkan masalah yang mereka hadapi. Daerah
baru yang ada di sebelah bagian hutan ini.
Malam pun semakin lama menjadi
semakin malam. Karena nyamuk yang berterbangan di telinga Swandaru, anak itu
berdesis, “Kita nyalakan perapian, Kiai.”
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng.
“Kali ini kita tidak menyalakan perapian.”
“Nyamuknya banyak sekali,
belum lagi embun yang dingin ini.”
Yang menjawab adalah Sekar
Mirah, “Tahankanlah. Kau harus melatih diri menjadi seorang perantau.”
Swandaru tidak menyahut.
Diselubungkannya kain panjangnya menutup telinganya.
Namun sebentar kemudian,
karena kantuk dan lelah, maka ketiga anak-anak muda itu pun segera jatuh
tertidur. Sekar Mirah bersandar sebatang pohon, Swandaru memeluk lututnya dan
membenamkan kepalanya di antara lengan-lengannya. Sedang Agung Sedayu duduk
bersila sambil menyilangkan tangannya di dadanya.
“Anak-anak sudah tidur,” desis
Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar menganggukkan
kepalanya. “Ya. Mereka merasa lelah juga.”
“Lebih dari itu, mereka merasa
aman. Itulah sifat anak-anak nakal. Orang tua jugalah yang harus menungguinya.”
Sumangkar tersenyum. Tetapi ia
tidak menyahut.
Keduanya pun kemudian terdiam.
Mereka pun merasa perlu pula untuk beristirahat, meskipun tidak tidur senyenyak
murid-murid mereka. Bahkan tanpa berjanji, keduanya seolah-olah telah membagi
waktu mereka, apabila sesuatu terjadi di tempat yang kurang mereka kenal itu.
Angin yang lembab, yang
mengusap tubuh-tubuh mereka, mengalir perlahan-lahan. Daun-daun yang berdesir
gemerisik seperti suara orang yang berbisik-bisik.
Lamat-lamat di kejauhan
terdengar suara binatang-binatang hutan. Seekor harimau mengaum dengan
dahsyatnya, sehingga Swandaru terbangun karenanya.
“Apakah harimau itu akan
datang kemari?” desisnya.
Meskipun Agung Sedayu masih
saja memejamkan matanya, namun ia menjawab, “Jauh sekali. Apalagi arah angin
justru dari arah harimau itu, sehingga bau keringatmu tidak tercium olehnya.”
Swandaru tidak menyahut lagi.
Kembali ia membenamkan kepalanya dan menutup telinganya dengan kain panjangnya.
Tetapi sekali-sekali ia masih juga harus menggaruk-garuk lengannya yang gatal
dimakan nyamuk.
Suasana malam di hutan itu
telah membuat bulu-bulu roma Sekar Mirah meremang. Tetapi malam ini bukan untuk
pertama kalinya ia bermalam. Ketika ia berangkat dari Sangkal Putung, ia pun
telah bermalam di perjalanan. Dan sekali di tengah-tengah hutan seperti ini,
meskipun Sumangkar membawanya lewat daerah yang tidak selebat tempat ini.
Dalam pada itu, selagi kedua
orang-orang tua itu mulai terkantuk-kantuk, tiba-tiba hampir bersamaan mereka
mengangkat wajah-wajah mereka. Meskipun masih berbaur dengan desir angin, namun
mereka mendengar suara yang lain. Suara yang mereka kenal. Derap kaki-kaki
kuda.
Sejenak kedua orang tua itu
saling berpandangan. Kemudian perlahan-lahan Kiai Gringsing berdesis, “Kau
dengar derap kaki kuda, Adi?”
Sumangkar menganggukkan
kepalanya. “Ya. Aku mendengarnya meskipun agaknya masih jauh sekali.”
“Apakah ada orang yang lewat
jalan setapak itu di malam begini?”
Sumangkar tidak segera menyahut.
Sekilas disambarnya anak-anak muda yang sedang tidur itu dengan tatapan
matanya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.
“Jalan silang itu memang
menarik,” desis Kiai Gringsing.
“Mungkin juga, atau sekedar
suatu kebetulan.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Tetapi ia memasang telinganya baik-baik. Derap kaki-kaki kuda itu terdengar
semakin lama menjadi semakin jelas.
Sejenak keduanya seakan-akan
membeku. Mereka mencoba menebak, siapakah yang berkuda di malam hari, apalagi
di tengah hutan yang lebat ini? Tetapi mereka sama sekali tidak dapat menduga
apa pun karena mereka sama sekali belum mengenal daerah dan isi dari daerah
ini.
Namun demikian jelas bagi
keduanya, bahwa derap kuda itu agaknya menyusur jalan setapak yang menuju ke
daerah baru yang sedang berkembang itu.
“Tidak hanya seekor kuda,”
tiba-tiba Ki Sumangkar berdesis.
“Ya. Tiga atau empat,” sahut
Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kembali ia terdiam.
Dalam pada itu, derap
kaki-kaki kuda itu semakin lama menjadi semakin jelas, sehingga ketiga
anak-anak muda yang tertidur itu pun terbangun karenanya.
Sambil menggosok matanya,
Swandaru mencoba meyakinkan dirinya, apakah ia tidak sedang bermimpi, sedang
Agung Sedayu berdesis, “Aku mendengar suara derap kaki kuda.”
“Ha,” sahut Swandaru, “kalau
begitu aku tidak bermimpi.”
“Ya,” gumam Sekar Mirah dengan
suara parau, “aku juga mendengar.”
“Tenanglah,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “Tinggalah kalian di sini. Aku akan melihat, siapakah yang
berkuda di tengah malam itu.”
“Aku ikut, Guru,” minta
Swandaru.
“Tinggallah di sini bertiga,”
jawab Kiai Gringsing. “Kita belum tahu siapakah mereka itu.”
Swandaru ragu-ragu sejenak.
Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya.
“Aku ikut bersama Kiai.”
berkata Sumangkar.
“Marilah, kita melihat
siapakah mereka itu.” Lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Hati-hatilah di sini.
Daerah ini merupakan daerah asing yang masih penuh dengan rahasia bagi kita.
Kalian harus mengawasi keadaan di segenap arah. Jangan sampai kalian diterkam
oleh kesulitan tanpa sempat membela diri sama sekali.”
“Baik, Guru.”
“Aku dan pamanmu Sumangkar
akan melihat, apakah sebenarnya yang kami dengar ini benar-benar suara telapak
kaki kuda.”
“Atau Sidanti benar-benar
menyusulku?” desis Swandaru.
“Ah, kau,” potong Sekar Mirah.
“Lebih baik aku bertemu dengan Sidanti yang sebenarnya.”
“Jangan hiraukan Swandaru,”
berkata Kiai Gringsing. “Ia sendiri agaknya mulai diraba oleh ketakutan.”
“Tidak, Guru. Aku tidak pernah
mengenal takut,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Kecuali kepada Sidanti sekarang.”
Mau tidak mau Agung Sedayu
terpaksa tersenyum. Katanya, “Biarlah aku yang menemuinya. Ia baik kepadaku.”
Swandaru mengerutkan
keningnya, tetapi ia tidak menjawab. Sejenak kemudian, Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar pun meninggalkan ketiga anak-anak muda itu. Dengan hati-hati mereka
menyusup semak-semak di bawah pohon-pohon raksasa yang menjulang tinggi menusuk
kekelaman malam.
Yang ditinggalkan, ketiga
anak-anak muda itu pun mulai mengatur diri. Tanpa berjanji mereka bergeser maju
dan menunggu apa yang akan dikatakan oleh Agung Sedayu, sebagai orang tertua di
antara mereka.
“Kita mengawasi segala arah,”
desisnya.
“Apakah kita akan duduk beradu
punggung?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu berpikir sejenak,
lalu katanya, “Tidak perlu, tetapi kita harus mencoba menguasai semua arah dari
tempat kita masing-masing. Bukankah dengan duduk berhadapan kita dapat melihat
arah yang berlawanan?”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Ya, kita memang harus berhati-hati dalam suasana yang tidak kita
mengerti.”
“Ya.”
“Kita sama sekali tidak dapat
membayangkan apa yang ada di sekitar kita. Lebih baik kita dikerumuni oleh
binatang-binatang buas daripada rahasia yang sama sekali belum kita kenal.”
“Ya.”
“Menghadapi binatang buas,
kita dapat membuat perhitungan yang mapan.”
“Ya.”
“Tetapi,” Sekar Mirah
tiba-tiba menyela, “kau berbicara terus, Kakang Swandaru. Kalau ada seseorang
yang mengintai kita, kau adalah penunjuk yang baik.”
“O, ya. Aku akan diam.”
“Tetapi, apakah yang akan kau
lakukan kalau kita dikerumuni oleh binatang buas? Membunuh mereka bersama
sekaligus?” bertanya Agung Sedayu.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Memanjat pohon
setinggi-tingginya.”
“Ah, kalian berbicara saja,”
sekali lagi Sekar Mirah memotong. “Dengar. Derap kaki-kaki kuda itu menjadi
semakin dekat.”
“Masih agak jauh,” berkata
Swandaru. “Gemanya melontar ke segenap penjuru di dalam hutan yang sepi
begini.”
Sekar Mirah tidak menyahut
lagi, sedang Agung Sedayu pun kemudian terdiam mendengarkan derap kaki-kaki kuda
yang menjadi semakin jelas.
Tanpa mereka sadari, maka
mereka pun segera mempersiapkan diri masing-masing. Sekar Mirah yang
menggenggam tongkat baja putihnya, mulai membelai kepala tongkatnya yang
berwarna kekuning-kuningan itu. Sedang tanpa sesadarnya, Swandaru telah
mengurai cambuk yang membelit di pinggangnya.
Ketiganya pun menjadi semakin
lama semakin tegang. Agaknya kuda-kuda itu tidak berlari terlampaui kencang.
Mungkin karena jalan yang licin berbatu-batu padas, mungkin karena
rintangan-rintangan lain.
Tetapi mungkin juga karena
penunggang-penunggangnya sengaja memperlambat jalan kuda mereka untuk
kepentingan-kepentingan tertentu.
Sejenak ketiga anak-anak muda
yang masih duduk di tempatnya itu saling berpandangan. Namun agaknya mereka
tidak tenang duduk saja sambil membelai senjata masing-masing, tiba-tiba tanpa
disadarinya Swandaru mulai bergerak sambil berdesis lambat, “Aku akan berdiri.”
Tanpa menunggu jawaban ia pun
kemudian bangkit berdiri, diikuti oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Perlahan-lahan
mereka bergeser memencar. Masing-masing bersandar pada sebatang pohon yang
cukup besar, sehingga seakan-akan mereka telah hilang ditelan oleh
batang-batang yang besar itu.
Sementara itu, Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar pun dengan hati-hati merayap mendekati jalan sempit yang
bersilang di tengah-tengah hutan yang lebat itu.
Dengan telunjuknya, Kiai
Gringsing memberi isyarat kepada Ki Sumangkar, bahwa mereka akan melihat
simpang empat itu, karena menurut perhitungan Kiai Gringsing kuda itu pasti akan
melintas di jalan silang, lorong mana pun yang dilaluinya.
Ki Sumangkar pun menganggukkan
kepalanya.
Perlahan-lahan mereka semakin
maju, sehingga akhirnya mereka berada beberapa langkah saja di sebelah simpang
empat kecil itu.
Ternyata kuda-kuda itu masih
belum lewat, karena suaranya masih menuju ke arah mereka.
“Kita menunggu di sini.” Kiai
Gringsing berbisik. Ki Sumangkar menganggukkan kepalanya.
Sambil menahan desah
pernafasan mereka, maka kedua orang tua-tua itu pun berjongkok di balik
gerumbul-gerumbul yang rimbun, menunggu kuda-kuda yang sebentar lagi pasti akan
lewat.
Ternyata mereka tidak usah
menunggu terlampau lama. Sejenak kemudian, tampaklah bayang-bayang kehitaman di
gelapnya malam, beberapa ekor kuda melintas di lorong sempit itu. Tepat di
jalan silang penunggang kuda yang paling depan menarik kendali kudanya,
sehingga kuda itu pun berhenti, diikuti oleh orang-orang yang berada di
belakangnya.
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar menahan nafasnya, supaya orang-orang berkuda itu tidak mendengarnya.
Sejenak kemudian kedua orang
itu pun terkejut ketika mereka mendengar salah seorang dari mereka berkata,
“Kita tidak menjumpai apa pun. Kita sudah menjelajahi bagian hutan ini.”
Dada kedua orang itu menjadi
berdebar-debar. Mereka kenal suara itu. Suara Raden Sutawijaya yang bergelar
Mas Ngabehi Loring Pasar, sehingga sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi
mereka tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.
“Tetapi,” terdengar yang lain
menjawab, “sebagian dari rakyat menjadi ketakutan karenanya.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Sekarang kemana kita pergi. Ke jalan yang mana?”
“Jalan yang ini menuju ke Kali
Praga.”
“Langsung ke Tanah Perdikan
Menoreh.”
“Ya, dan yang ini akan
menerobos daerah yang masih buas menuju ke tlatah Mangir.”
“Ya,” suara Sutawijaya
merendah. “Lalu kita sekarang ke mana? Ternyata kita tidak pernah menjumpai apa
pun, meskipun sudah tiga malam kita meronda.”
Sejenak pengikut-pengikut
Sutawijaya itu tidak menyahut. Namun sejenak kemudian salah seorang berkata,
“Memang sulit untuk menemukan hantu-hantu itu.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar mengerutkan keningnya. Agaknya Sutawijaya sedang mencari sesuatu.
Hantu, sebenarnya hantu atau seseorang yang telah mengganggu ketenteraman
daerah baru ini?
“Apakah kau yakin, bahwa
rakyat kita benar-benar telah diganggu oleh hantu-hantu?” Sutawijaya-lah yang
bertanya kepada pengikut-pengikutnya.
“Demikianlah menurut
pendengaran kami. Hantu itu berkerudung hitam. Tetapi yang dapat dilihat oleh
rakyat di pinggir hutan yang belum dibuka, hantu-hantu itu kerkepala tengkorak.
Kadang-kadang saja terlihat sepintas apabila kerudung tubuh mereka tersingkap,
tulang-tulang iga yang tampak jelas pada dada mereka.”
“Apakah hantu-hantu itu
berwujud jerangkong?” bertanya Sutawijaya.
“Ya.”
“Aku ingin melihat,” desis
Sutawijaya, “sampai sebesar ini aku belum pernah melihat jerangkong.”
“Bukan saja jerangkong,”
terdengar suara yang lain, “kuda-kuda yang mereka pergunakan bertelapak putih
yang bercahaya. Seseorang pernah melihat di antara dua sosok jerangkong
terdapat sesosok hantu yang lain. Berwarna merah menyala, dan di bagian-bagian
tertentu berkeredipan seperti kunang-kunang.”
“Ya. Aku sebenarnya juga
pernah mendengar keluhan itu. Tetapi aku kira tidak setajam ini, sehingga baru
sekarang aku menaruh perhatian.”
“Hantu-hantu itu benar-benar
mengganggu pembukaan daerah-daerah yang sudah direncanakan. Bahkan beberapa
orang mulai menyingkir ke daerah yang sudah mulai ramai.”
“Baik. Baik,” jawab
Sutawijaya. “Tetapi ke mana kita sekarang?”
Tidak seorang pun yang
menjawab.
“Aku ingin menemukan sarang
hantu,” suara Sutawijaya meninggi sejalan dengan kekesalan hatinya yang
memuncak.
“Hantu-hantu itu dapat
menghilang,” terdengar seseorang menjawab.
“Aku ingin tahu, apakah
hantu-hantu itu mampu melawan pusaka-pusaka Kiai Pasir Sawukir ini, atau Kiai
Naga Kemala. Kalau sentuhan ujung tombakku atau ujung keris Ayahanda Ki Gede
Pemanahan ini tidak mempan, aku akan bersimpuh di ujung kaki
jerangkong-jerangkong itu.”
Suasana menjadi hening. Yang
terdengar hanyalah desah nafas Mas Ngabehi Loring Pasar yang sedang menahan
perasaannya dan yang tiba-tiba saja bertanya keras-keras, “He, kemana kita
sekarang? Apakah kita akan melanjutkan perjalanan yang tidak berketentuan ini
untuk berburu hantu?”
Tetapi suaranya itu pun segera
hilang ditelan oleh geramnya sendiri di hutan yang sepi itu. Tidak seorang pun
dari para pengiringnya yang menjawab.
Terdengar nafas Raden
Sutawijaya itu berdesah. Katanya kemudian, “Baiklah. Kita sekarang pulang. Tetapi
aku tidak akan berhenti sebelum aku menemukan hantu-hantu itu. Kalau kalian
mendengar laporan tentang hantu-hantu itu, kalian harus langsung memberitahukan
kepadaku.”
Tetapi Sutawijaya tidak
menunggu jawaban. Segera ia menarik kendali kudanya, sehingga kudanya segera
bergerak. Sejenak kemudian kudanya itu pun berderap meninggalkan jalan silang,
menuju ke daerah yang sudah menjadi ramai dan berpenghuni padat, diiringi oleh
para pengawal.
Ketika derap kuda itu menjadi
semakin jauh, maka terdengarlah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar hampir
bersamaan menarik nafas dalam-dalam.
“Itulah persoalan yang tumbuh
di daerah baru ini,” berkata Kiai Gringsing.
“Persoalan yang menarik. Sama
sekali bukan persoalan antara daerah baru ini dengan Pajang. Tetapi justru dengan
hantu-hantu.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya kemudian, “Tetapi Anakmas Sutawijaya agaknya tidak percaya, bahwa yang
mengganggu daerah barunya ini benar-benar hantu, iblis, dan gendruwo.”
“Tetapi menilik ceritera para
pengawalnya itu, agaknya mereka yakin atau setidak-tidaknya ada sedikit
kepercayaan bahwa yang berkeliaran dengan bentuk yang menakutkan itu adalah
hantu-hantu. Jerangkong dan yang merah-merah itu adalah banaspati.”
“Bagaimana dengan warna-warna
yang bercahaya di bagian tubuh mereka?”
“Tentu kita belum dapat
menyebutkan, karena kita belum melihatnya sendiri.”
Kedua orang itu pun kemudian
merenung sejenak. Mereka mencoba menghubungkan keterangan-keterangan yang
didengarnya dari orang-orang yang baru saja lewat di jalan silang itu. Tetapi
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Kiai Gringsing berkata, “Aku pun
tiba-tiba ingin melihat hantu itu.”
“Aku pun tertarik pula.
Seandainya aku tidak membawa Sekar Mirah.”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya. Tetapi ia berkata, “Adi Sumangkar. Kita menghadapi suatu keadaan
yang tidak wajar, apakah menurut pertimbangan Adi, Sekar Mirah dapat ikut
serta? Aku yakin bahwa Sekar Mirah bukan seorang penakut, seandainya ia harus
bertempur sebagai seorang prajurit di peperangan yang besar pun ia tidak akan
gentar. Tetapi sebagai seorang gadis, bagaimanakah kira-kira kalau ia melihat
sesuatu yang tidak masuk akal, seperti hantu-hantu itu misalnya. Bukankah
seorang gadis lebih banyak dikuasai oleh perasaannya daripada nalarnya?”
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Itulah yang aku pikirkan. Tetapi juga kegelisahan ibunya
di rumah menjadi persoalan. Dahulu aku berjanji, bahwa aku tidak akan terlampau
lama membawa Sekar Mirah untuk melihat-lihat daerah-daerah di luar kademangan
itu, dan sekaligus mencari berita tentang Swandaru.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Jadi, bagaimana sebaiknya?”
“Aku juga menjadi ragu-ragu
seperti Sekar Mirah sendiri. Apalagi persoalan hantu ini sangat menarik
perhatianku.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
“Tetapi,” berkata Ki Sumangkar
selanjutnya, “aku kira, aku memang lebih baik membawa Sekar Mirah kembali ke
Sangkal Putung lebih dahulu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” katanya, “Memang agaknya lebih baik
demikian. Kalau persoalannya bukan persoalan hantu, mungkin Sekar Mirah akan
dapat ikut serta.”
“Baiklah. Aku akan mengambil
keputusan itu. Aku akan mengatakan kepadanya, bahwa sebaiknya ia kembali lebih
dahulu ke Sangkal Putung.”
“Aku kira begitu,” sahut Kiai
Gringsing.
Demikianlah, maka kedua orang
tua itu telah mengambil suatu keputusan, bahwa Sekar Mirah dan Ki Sumangkar
akan mendahului Kiai Gringsing dan murid-muridnya, kembali ke Sangkal Putung.
Ketika mereka berdua kembali
ke tempat mereka semula, mereka mengangguk-anggukkan kepala, karena mereka
melihat ketiga anak-anak muda itu masih juga bersiaga. Sekar Mirah bersandar
pada sebatang pohon sambil membelai kepala tongkatnya, sedang Swandaru
bermain-main dengan cambuknya. Meskipun Agung Sedayu belum mengurai senjatanya
sama sekali, tetapi ia sudah memegangi tangkainya erat-erat.
“Bagus,” berkata Kiai
Gringsing, “kalian telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang dapat timbul
setiap saat.”
“Ya,” jawab Agung Sedayu,
“apalagi ketika aku mendengar derap kuda itu agaknya berhenti di jalan silang.
Lamat-lamat aku mendengar juga suara seseorang meskipun tidak jelas, apa yang
dikatakannya.”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing,
“salah seorang dari mereka telah berbicara dengan keras.”
“Apakah yang mereka bicarakan?”
bertanya Swandaru.
“Aku menjadi cemas, bahwa
mereka telah melihat Kiai berdua, sehingga timbul salah paham.”
“Tidak. Ternyata mereka hanya
orang-orang lewat, seperti orang-orang lain. Agaknya pedagang-pedagang yang
membawa dagangannya ke daerah baru itu.”
“Apakah mereka tidak takut
bertemu dengan penyamun?” bertanya Sekar Mirah.
“Menilik sikap dan senjata di
lambung masing-masing, mereka tidak takut kepada penyamun-penyamun.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
“Sekarang, kita dapat
beristirahat dengan tenteram. Ternyata tidak ada apa-apa di hutan ini.”
“Selain ular bandotan,” potong
Swandaru.
Agung Sedayu tersenyum, tetapi
ia tidak menyahut. Ia pun kemudian duduk bersandar sebatang pohon. Sekali ia
menguap, kemudian menggosok-gosok matanya yang mulai kantuk lagi.
Namun Swandaru masih berkata,
“Tetapi, terhadap ular bandotan pun kita tidak usah takut. Guru pasti sudah
menyediakan obatnya.”
“Ah, kau,” berkata Kiai
Gringsing. “Tidurlah, kalau kau masih ingin tidur.”
Semuanya pun kemudian duduk
kembali. Masing-masing mencari tempat yang baik untuk tidur sambil duduk
bersandar.
Tetapi orang-orang tua yang
melihat Sutawijaya itu pun, sama sekali tidak dapat memejamkan mata. Mereka
masih dicengkam oleh teka-teki yang tidak akan dapat mereka pecahkan begitu
saja. Mereka memerlukan bahan-bahan yang lebih banyak. Tetapi untuk seterusnya
Sumangkar tidak akan dapat ikut serta, karena ia harus mengantarkan Sekar
Mirah, kembali ke Sangkal Putung.
Ketika matahari terbit di
keesokan harinya, maka kelima orang itu pun segera membenahi dirinya. Mereka
akan meneruskan perjalanan, mencari tempat yang baik bagi mereka yang masih
akan tinggal di daerah yang baru itu.
“Kita akan segera berpisah,”
berkata Sumangkar, “karena aku dan Sekar Mirah akan kembali ke Sangkal Putung.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Katanya, “Jadi kita mendahului, Guru?”
“Ya. Kita mendahului. Bukankah
kau juga memikirkan perasaan ibu dan ayahmu?”
Sekar Mirah menganggukkan
kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Kenapa kita tidak pulang saja bersama-sama?”
“Kakakmu memerlukan bahan yang
cukup dari daerah ini. Untuk kepentingan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan
Menoreh. Dua daerah, yang letaknya berseberangan bagi daerah baru ini.”
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan
kepalanya pula.
“Nah, sekarang kau harus minta
diri kepada Kiai Gringsing.”
Sekar Mirah memandang gurunya
sejenak, lalu berpaling kepada Kiai Gringsing. “Aku minta diri, Kiai.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Hati-hatilah di jalan. Patuhi
perintah gurumu, karena jalan yang akan kau lalui adalah jalan yang masih belum
memiliki kepastian.”
“Mudah-mudahan kita tidak akan
bermalam lagi di jalan,” berkata Ki Sumangkar, “meskipun agaknya kita akan
sampai di Sangkal Putung larut malam. Tetapi hutan di seberang Alas Tambak Baya
tidak ada lagi yang berbahaya dan lebat.”
“Ya. Sampaikan salamku kepada
Ki Demang Sangkal Putung, suami istri.”
“Baiklah.” Lalu kepada Agung
Sedayu dan Swandaru, Ki Sumangkar berkata, “Kawani gurumu. Ia akan segera
menemukan permainan baru di Alas Mentaok.”
Kedua anak-anak muda itu
mengerutkan keningnya. Dan Agung Sedayu pun segera menjawab, “Baik, Kiai. Kami
akan menunggui guru di sini beberapa waktu.”
“Apabila kami sudah selesai,
kami akan segera menyusul,” sela Swandaru.
Sekar Mirah pun kemudian minta
diri pula kepada kakaknya dan kepada Agung Sedayu. “Hati-hatilah kalian
berdua,” berkata gadis itu. “Daerah ini agaknya memang mempunyai nafas yang
menyesakkan.”
“Eh, kau menasehati? Begini
segar udara di hutan ini,” Jawab Swandaru.
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. “Mudah-mudahan kau menemukan macan tutul. Tetapi ingat, bawa
kulitnya pulang ke Sangkal Putung. Aku memerlukannya.”
“Buat apa kau?”
“Selongsong tongkatku.
Bukankah lebih baik aku membuat selongsong dan aku gantungkan di punggung
seperti pedang?”
“Tidak usah kulit harimau.
Kalau aku mendapatkannya akan aku pergunakan sendiri untuk pembalut wrangka
pedangku yang bertangkai gading. Aku sudah mempunyai seutas tali yang berwarna
kuning keemasan untuk mengikatnya.”
Sekar Mirah memberengut.
Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.
Beberapa langkah kemudian,
maka mereka pun berpisah. Sekar Mirah dan Ki Sumangkar berjalan lurus ke Timur,
mengikuti jalan setapak yang membelah hutan yang lebat, tetapi yang sudah mulai
menipis. Sedang Kiai Gringsing dan kedua muridnya, akan menjelajahi daerah itu,
mencari tempat yang dapat mereka pergunakan untuk tinggal beberapa lama,
seperti ketika mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh, sebelum mereka secara
terbuka berpihak kepada Ki Argapati.
Setelah mereka berpisah,
barulah Kiai Gringsing memberitahukan kepada kedua muridnya, apa yang telah
dilihatnya semalam bersama Ki Sumangkar.
“Kenapa Guru tidak memanggil
kami semalam?” bertanya Swandaru.
“Kenapa kau bertanya begitu?”
sahut gurunya.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Memang seharusnya ia tidak usah bertanya begitu.
“Dengan demikian, maka Ki
Sumangkar mengambil keputusan bahwa Sekar Mirah harus dibawa kembali. Mungkin
ia tidak gentar menghadapi apa pun, tetapi berhadapan dengan hantu, masalahnya
jadi lain. Mungkin Sekar Mirah tidak dapat mengendalikan perasaannya melihat
wujud-wujud yang mengerikan. Jerangkong, wedon, banaspati, dan jenis-jenis
hantu yang lain,” berkata Kiai Gringsing.
“Persetan dengan hantu-hantu,”
Swandaru menggeram.
“Jangan congkak,” gurunya
tersenyum, “tetapi memang sebaiknya kalian mempersiapkan diri menghadapi
masalah yang agaknya tidak mudah kita temui di tempat dan di saat lain.”
Kedua anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Agaknya daerah baru ini
mempunyai banyak persoalan.” gumam Agung Sedayu, “Suatu ketika Raden Sutawijaya
baru berbicara tentang Pajang. Dan kita pun harus bertanya-tanya, apakah yang
akan dilakukan oleh Kakang Untara? Sementara ini kita semuanya akan disibukkan
oleh hantu-hantu yang agaknya ikut mengambil bagian dalam kesibukan ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya mendengar kata-kata Agung Sedayu itu. Tanpa sesadarnya ia pun
mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya. Demikianlah agaknya. ”
“Tetapi persoalan daerah ini
dengan Pajang, agaknya masih belum terasa kini,” berkata Agung Sedayu kemudian,
“lebih-lebih bagi orang kebanyakan.”
“Yang terasa agaknya baru
masalah hantu-hantu itu,” sahut Swandaru.
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang yang terasa agaknya barulah masalah hantu-hantu itu.
Mereka yang kini tinggal
bertiga itu pun kemudian sampai pada daerah yang sedang dibuka. Dengan sedikit
merubah langkah kakinya dan lenggang tangannya, serta pakaian yang paling kumal
yang ada padanya. Kiai Gringsing pun kemudian menempatkan dirinya di antara
mereka yang dengan suka rela datang dan ikut membuka daerah baru ini.
“Agaknya Ki Gede Pemanahan
melakukan pembukaan hutan ini dengan tertib sekali,” Berkata Kiai Gringsing.
“Ternyata hutan ini telah terbagi-bagi.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pembukaan hutan yang dilakukan oleh Ki Gede
Pemanahan agaknya telah diatur, sesuai dengan sebuah rencana yang rapi.
Bagian-bagian yang telah ditentukan sajalah yang boleh dibuka oleh para
pendatang. Mereka tidak boleh menebang hutan sesuka hati mereka. Beberapa orang
petugas telah ditempatkan di daerah yang masih akan diperluas, untuk mencegah
meluasnya daerah baru ini yang tidak sejalan dengan rencananya Ki Gede Pemanahan.
“Nah, kita menyatakan diri
sebagai orang-orang yang ingin ikut serta membuka hutan ini,” berkata Kiai
Gringsing kepada dua muridnya.
“Kita harus menghubungi
petugas-petugas itu,” desis Agung Sedayu.
“Ya. Kita minta ijin untuk
ikut serta. Bukankah sampai saat ini masih terus mengalir orang-orang baru yang
ingin bertempat tinggal di tlatah yang baru ini?”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka pun kemudian dengan
caranya yang khusus telah menghubungi para petugas, untuk minta diperkenankan
ikut membuka daerah baru itu.
“Siapa namamu, Kek?” bertanya
petugas itu.
“Truna Podang,” jawab Kiai
Gringsing.
“He, kenapa Podang? Burung
Kepodang adalah burung yang manis.”
“Bukankah aku manis juga,
Tuan.”
Para petugas itu pun tertawa. “Siapa
yang dua orang ini?”
“Anak-anakku, Tuan.”
Para petugas itu pun
mengerutkan keningnya. Mereka memandang Agung Sedayu dan Swandaru
berganti-ganti. Salah seorang dari mereka bergumam seperti kepada diri sendiri,
“Keduanya tidak mirip sama sekali.”
Dan Kiai Gringsing menjawab,
“Keduanya lahir dari ibu yang berlainan.”
“He,” petugas itu
membelalakkan matanya. “Kau dapat juga mendapatkan dua orang istri?”
“Kenapa?”
“Kau yang timpang dan
tampaknya sakit-sakitan itu?”
“Ya, kenapa? Apakah aku ini
tidak semanis podang? Bukan hanya dua orang itu saja yang mau menjadi
istri-istriku, Tuan. Tetapi akulah yang berkeberatan.”
Para petugas itu tertawa.
Sedang Swandaru mengumpat di dalam hatinya. “Bukan hanya berbeda ibu, tetapi
saudara kandung bukan seayah dan ibu.”
“Apakah kalian sudah siap ikut
serta menebang hutan?” bertanya para petugas itu.
“Tentu, Tuan. Kami sudah
sedia.”
“Dimana istri-istrimu itu?”
“Keduanya sudah meninggal. Dan
aku tidak mau kawin lagi meskipun banyak perempuan yang menghendaki.”
“He, jangan membual!” bentak
salah seorang petugas yang tidak senang mendengar kelakar orang tua itu. Tetapi
petugas yang lain tertawa sambil berkata, “Memang sebaiknya kau kawin lagi.
Mungkin masih ada nenek-nenek yang mau menjadi isterimu sebelum masuk ke liang
kuburnya.”
Kiai Gringsing tertawa dengan
nada yang tinggi melengking.
“He, kau tertawa seperti kuda
meringkik,” berkata salah seorang dari petugas-petugas itu. “Agaknya suara
tertawanya itulah yang menyebabkan kau disebut Truna Podang.”
“Mungkin, Tuan. Memang mungkin
sekali.”
“Jangan diajak berbicara,”
sela yang lain, “orang ini akan mengigau terus-menerus.” Kemudian kepada Kiai
Gringsing petugas itu bertanya, “Di mana alat-alatmu?”
“Alat-alat apa, Tuan?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Kau datang kemari mau apa?”
bertanya petugas itu.
“Ikut membuka Alas Mentaok.”
“Kenapa kau tidak membawa
alat-alat untuk menebangi pepohonan?”
“Barangkali ada tanah yang
sudah bersih, Tuan.”
“Tutup mulutmu,” petugas yang
satu itu agaknya terlampau keras. “Bicaralah sungguh-sungguh kalau kau tidak
mau aku tampar mulutmu.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Dipandanginya beberapa petugas yang lain, yang masih
tersenyum-senyum saja. Bahkan kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Kita
perlu memelihara orang-orang macam ini. Yang tua ini pandai berkicau,
anak-anaknya pun tentu pandai menciap-ciap.”
“Lempar saja ia ke
tengah-tengah hutan yang lebat. Biarlah ia dimakan hantu yang berkeliaran itu.”
“Tetapi, tetapi kami ingin
ikut serta Tuan-Tuan, jangan disangka kami tidak bersungguh-sungguh. Meskipun
kami tidak membawa alat-alat untuk itu. Kami menyangka bahwa alat-alat untuk
itu telah disediakan di sini.”
“Kau memang bodoh. Apakah kami
harus menyediakan alat-alat itu untuk ratusan orang? Setiap hari, masih saja mengalir
orang-orang baru yang ingin ikut membuka hutan ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Sejenak ia berpaling kepada kedua anak-anaknya. Tetapi baik Agung
Sedayu maupun Swandaru, tidak dapat memberikan pertimbangan apa pun.
“Jadi bagaimana?” bertanya
petugas itu.
“Tetapi, bukankah hal yang
demikian itulah yang dikehendaki? Semakin banyak orang yang datang ke tlatah
ini, daerah baru ini akan menjadi semakin cepat ramai.”
“Tetapi mereka harus membawa
alat-alatnya masing-masing. Kita tidak akan menyediakan apa pun juga di sini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, “Bagaimana kalau kami
meminjam?”
“Dari siapa kau meminjam?”
“Dari para petugas di sini.
Apakah di sini tidak ada kapak, parang dan sebagainya?”
Petugas itu menggelengkan
kepalanya. Bahkan kemudian ia membentak, “Jangan mengganggu tugas kami.
Pergilah kamu. Kalian memang tidak menyiapkan diri untuk ikut membuka hutan
ini.”
Sejenak Kiai Gringsing
merenung. Ia hampir kehabisan akal untuk menyatakan dirinya ikut serta di dalam
perluasan tanah garapan di daerah yang baru ini.
“Apakah aku harus langsung ke
pusat daerah ini, daerah yang pasti sudah menjadi ramai?” bertanya Kiai
Gringsing kepada diri sendiri, “Tetapi menilik pembicaraan Raden Sutawijaya, maka
hantu-hantu itu berkeliaran terutama di daerah-daerah yang baru dibuka ini.”
“Menyingkirlah! Jangan berdiri
mematung di situ,” bentak seorang petugas.
Dalam kebingungan itu,
tiba-tiba seorang petugas yang lain menghampirinya sambil bertanya, “Kau benar-benar
tidak mempunyai alat-alat?”
“Tidak, Tuan. Kami tidak
mempunyai apa pun di rumah kami. Itulah sebabnya kami mencoba mengadu untung ke
daerah baru ini. Tetapi ternyata tanpa modal alat-alat yang tidak kami miliki
itu, kami tidak dapat berbuat apa-apa di sini.”
“Apakah kau seorang petani?”
Kiai Gringsing mengangguk.
“Ya, Tuan. Kami adalah petani-petani miskin. Bahkan yang paling miskin di
daerah kami.”
“Kalau kau tidak mempunyai
alat-alat, dengan apa kau bertani?”
“Kami mempunyai beberapa macam
alat pertanian. Tetapi tidak ada harganya sama sekali. Cangkul yang geropok,
parang yang sudah patah dan sedikit buntung. Tetapi alat-alat itu sudah tidak
pantas kami bawa kemari.”
Petugas itu merenungi Kiai
Gringsing dan kedua anak-anaknya berganti-ganti. Tersirat keheranan disorot
matanya, melihat tubuh Agung Sedayu yang kuat dan Swandaru yang gemuk.
“Bukankah sayang sekali,
tuan?” berkata Kiai Gringsing. “Aku mempunyai anak-anak yang masih muda dan
kuat. Kalau tenaganya tidak dipergunakan sebanyak-banyaknya, maka ia akan
menjadi beban yang sangat berat bagiku. Padahal keduanya sedang menginjak musim
makan sebanyak-banyaknya.”
“Apakah mereka tidak mau
membantu ayahnya?”
“Tentu mereka mau membantu
aku. Tetapi alat-alat kamilah yang tidak mencukupi, sehingga kami harus bekerja
bergantian.”
Petugas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba kawannya membentak, “Biarlah
mereka pergi. Mereka pasti hanya akan mengganggu saja di sini.”
“Tunggu,” jawab kawannya, lalu
katanya kepada Kiai Gringsing, “Podang. Eh, bukankah namamu, Truna Podang?”
Kiai Gringsing mengangguk.
“Ya.”
“Mungkin kau berguna di sini.
Kau pasti pandai bercerita. Meskipun cerita-cerita khayal sekalipun. Karena
itu, aku menjadi kasihan kepadamu. Kalau kau memang berniat untuk ikut menebangi
pepohonan dan membuka hutan, aku akan meminjamkan alat-alat kepadamu.”
“He? Tentu kami akan sangat
berterima kasih, Tuan.”
“Biasanya di sini orang-orang
baru bekerja di dalam kelompok-kelompok. Mereka bersama-sama membuka suatu
daerah yang kami tunjukkan kepada mereka, menurut rencana yang sudah disusun.
Tetapi karena kalian hanya bertiga, maka kami akan memberikan daerah yang
barangkali tidak terlampau sulit dikerjakan.”
“Terima kasih, terima kasih.”
Sebelum petugas itu berkata
terus, kawannya telah menyahut, “Buat apa kau pelihara orang-orang malas itu?”
“Aku akan melihat, apakah
mereka dapat bekerja atau tidak,” jawab kawannya. Dan kepada Kiai Gringsing ia
berkata, “Aku beri kau daerah yang berada di pinggir patok yang sudah kami pasang.
Agak di tengah. Apakah kalian sanggup mengerjakannya? Tetapi daerah itu tidak
terlalu banyak pohon-pohonnya yang besar.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. “Di mana?” ia bertanya.
“Di bagian utara. Di bagian
ini hutan terlampau lebat untuk kalian bertiga. Tetapi kau perlu mengetahui,
bahwa daerah itu tidak akan dapat sesubur daerah yang lebat ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah, Tuan. Meskipun daerah ini
subur, tetapi kami tidak akan mampu membukanya, karena kami hanya bertiga.”
“Baiklah. Marilah, kita ambil
alat-alat itu. Alat-alat itu bukan milikku sendiri. Tetapi aku mendapat titipan
dari mereka yang tidak kerasan tinggal di sini.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Dan di luar sadarnya ia bertanya, “Kenapa ada yang tidak kerasan
sebelum mereka berhasil menyelesaikan pekerjaan mereka?”
“Satu dua orang yang berhati
kecil, kini sedang menghindari daerah ini.”
“Apa pedulimu?” sahut petugas
yang lain. Sedang petugas yang bersedia meminjamkan alat-alatnya itu hanya
mengerutkan keningnya saja.
Terlintas di kepala Kiai
Gringsing pembicaraan Sutawijaya dengan para pengawalnya. Memang ada satu dua
orang yang menjadi ketakutan dan meninggalkan daerah-daerah yang masih sedang
dibuka, masuk ke tempat yang sudah mulai ramai.
“Marilah. Ikuti aku ke
gubukku,” ajak petugas itu.
Kiai Gringsing pun
menganggukkan kepalanya. Kemudian diikutinya petugas yang bersedia meminjamkan
alat-alat kepadanya dan kepada anak-anaknya. Sedang petugas yang lain, masih
bersungut-sungut, “Kau mencari kesulitan. Orang-orang macam itu tidak akan
bermanfaat. Ia tidak akan berhasil membuka tanah yang bagaimanapun baiknya.”
Tetapi petugas yang membawa
Kiai Gringsing itu tidak mengacuhkannya. Dibawanya Kiai Gringsing langsung ke
sebuah gubuk kecil di antara beberapa gubuk yang lain.
“Inilah rumahku selama aku
bertugas di pinggir hutan ini,” berkata petugas itu.
Kiai Gringsing dan kedua
murid-muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditebarkannya pandangan matanya
berkeliling. Dilihatnya beberapa buah gubuk-gubuk kecil untuk para petugas.
Kemudian gubuk-gubuk yang lebih besar dengan sebuah barak yang panjang.
“Sementara hutan belum dapat
dipergunakan oleh mereka yang membuka tanah, mereka kami tampung di sini,”
berkata petugas itu.
“Berapa ratus orang yang ada
di barak itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak banyak. Yang tinggal di
barak itu selalu bergiliran. Mereka yang sudah berhasil membuka sebidang tanah
garapan dan halaman, mereka akan segera mendirikan gubuk-gubuk mereka sendiri.
Dan mereka akan tinggal di rumah-rumah mereka yang baru.” Orang itu berhenti
sejenak, tetapi suaranya menjadi lambat, “Namun akhir-akhir ini barak-barak itu
menjadi semakin penuh kembali.”
“Begitu banyak orang-orang
yang datang?”
“Tidak. Sekarang sudah tidak
banyak lagi di bagian ini. Tetapi di bagian selatan-lah yang menjadi semakin
ramai.”
“Kenapa?”
“Tetapi aku kira di segala
bagian dari hutan yang dibuka ini, nafsu para pembuka hutan menjadi susut.”
“Kenapa?”
“Mereka menjadi ketakutan
tinggal di rumah-rumah yang telah mereka bangun sendiri, sehingga mereka kini
berhimpit-himpitan di barak itu bersama-sama beberapa keluarga sekaligus. Di
siang hari mereka menggarap tanah mereka, tetapi di malam hari mereka berkumpul
di sini. Yang tidak mendapat tempat di dalam barak, mereka lebih baik tidur di
emper-emper gubuk ini, daripada kembali ke rumah-rumah mereka yang baru selesai
mereka bangun.”
“Kenapa?” desak Kiai
Gringsing.
“Hantu-hantu penghuni hutan
ini, tiba-tiba saja menjadi marah karena penebangan-penebangan ini.”
“Maksud Tuan, hantu-hantu itu
sebenarnya hantu atau perampok-perampok dan penyamun-penyamun yang merasa
terganggu dengan pembukaan hutan ini?”
“Hantu, sebenarnya hantu,”
orang itu berhenti sejenak sambil memandang sudut-sudut gubuknya. “Sebaiknya
aku tidak mengatakannya.”
“Kenapa Tuan? Aku ingin
mendengarnya.”
“Tetapi, hantu-hantu itu pasti
mendengar apa yang aku percakapkan sekarang.”
“Kita tidak berniat jahat.
Kita akan mengatakan apa yang benar-benar telah terjadi.”
Petugas itu masih ragu-ragu
sejenak.
“Bukankah kita tidak bermaksud
apa-apa?”
“Tetapi kau bertanggung
jawab?” bertanya petugas itu.
“Aku bertanggung jawab.”
“Kau terlampau berani. Tetapi
itu karena kau belum melihat hantu itu.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Sebaiknya
aku berterus terang. Daerah yang aku tunjukkan kepadamu, adalah daerah yang
termasuk baik. Daerah yang sudah mulai ditebang, sehingga pohon-pohonan yang
besar sudah tidak banyak lagi. Tanahnya pun cukup subur, tidak seperti yang
sudah aku katakan kepadamu. Tetapi daerah itu sering dilewati hantu-hantu,
bahkan hantu-hantu berkuda semberani.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah kau berani meneruskan
kerja yang terbengkelai itu?”
“Aku akan mencoba. Sudah aku
katakan, bahwa maksud kita baik. Kita sama sekali tidak akan mengganggu mereka,
dan sudah tentu kita mengharap mereka tidak mengganggu kita pula.”
Petugas itu nampak menjadi
gelisah. Katanya, “Baiklah, aku pun akan mengatakan apa yang terjadi tanpa
maksud jelek.” Ia berhenti sejenak. Lalu, “Beberapa orang dari sekelompok
pendatang yang menebang pepohonan, di daerah yang aku katakan kepadamu itu,
jatuh sakit.”
“Sakit apa, Tuan?” bertanya
Kiai Gringsing.
“Panas. Kemudian mengigau,”
orang itu berhenti berbicara. Wajahnya menjadi tegang dan keringatnya mengaliri
seluruh tubuhnya. “Rasa-rasanya badanku pun menjadi panas.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningya. Tetapi ia menggeleng. “Tidak, Tuan. Memang udara terasa panas sekali.
Bukankah aku pun basah oleh keringat?”
“O, jadi kau pun merasa panas?”
“Ya. Panas sekali. Hampir aku
tidak betah tinggal di dalam gubuk yang terlalu rendah ini. Ya, gubuk ini
memang terlalu rendah, sehingga udara di bawah atap ilalang ini terasa amat
panas.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu saling berpandangan sejenak. Mereka
sama sekali tidak merasakan udara yang panas. Bahkan angin bertiup lewat lubang
pintu dari daerah hutan yang hijau lebat itu terasa betapa sejuknya.
“Apakah ada yang meninggal
karenanya?”
“Tidak. Tetapi mereka tidak
berani lagi meneruskan kerja mereka. Bahkan mereka telah pergi meninggalkan
tempat ini. Barang-barangnyalah yang dititipkan kepadaku.” Sekali lagi ia
berhenti untuk menarik nafas dalam-dalam. “Namun ternyata bahwa orang-orang
lain pun melihat hantu itu pula. Kini hantu-hantu itu telah menempuh jalan yang
lebih dekat lagi dari gubuk-gubuk ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagaimana?” bertanya petugas
itu, “Apakah kau berani?”
“Apakah tidak ada bagian lain
yang dapat dibuka?” bertanya Kiai Gringsing. “Kalau ada, apakah kami
diperkenankan memilih tempat itu?”
Petugas itu terdiam sejenak.
Namun kemudian sambil mengerutkan keningnya, ia menggelengkan kepalanya.
Dipandanginya Kiai Gringsing dan kedua murid-muridnya berganti-ganti.
Sesaat kemudian ia berkata,
“Sayang. Kalau aku memberikan bagian-bagian yang lain, kalian bertiga pasti
tidak akan sanggup melakukannya. Apakah kalian bertiga mampu menebas hutan
selebat itu hanya bertiga?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kami memang tidak akan mungkin
melakukannya. Tetapi bagaimana dengan hantu-hantu itu?”
“Tergantung sekali kepadamu
dan kepada anak-anakmu.”
Kiai Gringsing, yang menyebut
dirinya Truna Podang itu berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Apa boleh buat.
Aku akan mencoba meneruskan kerja yang terhenti itu. Aku mempunyai pendirian,
bahwa apabila kita tidak berniat jelek, maka kita pasti tidak akan diganggu.”
“Terserahlah kepadamu. Semua
itu akan menjadi tanggung jawabmu bertiga.”
“Baiklah, Tuan. Kami menerima
pekerjaan itu.”
“Aku tidak memberimu
pekerjaan. Aku memberi kau tanah.”
“Ya, ya. Maksudku, tanah itu
aku terima dengan senang hati dan berterima kasih.”
Petugas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Kalau begitu kau dapat
mempergunakan alat-alat itu. Kalau kau menemui kesulitan, hubungilah aku.
Namaku Wanakerti.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Wanakerti. Ya, aku akan menghubungi Tuan, Ki
Wanakerti.”
Petugas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun berdiri dan mengambil alat-alat
yang dititipkan kepadanya.
“Bawalah apa yang kau
butuhkan.”
“Kami hanya memerlukan tiga
buah kapak, parang dan beberapa gulung tampar.”
“Ambillah.”
Kiai Gringsing beserta kedua
muridnya pun, kemudian memilih beberapa macam alat yang dipergunakan. Sambil
memisahkan alat-alat itu, Kiai Gringsing berkata, “Kami merasa sangat beruntung
atas kebaikan hati Tuan, sehingga kami tidak perlu kembali ke tempat kami
semula. Tempat yang sama sekali tidak memberikan harapan apa pun kepada kami
sekeluarga.”
“Kalau kalian memang bersedia
meneruskan kerja itu, marilah aku tunjukkan letak tanah itu. Bawalah alat-alat
yang kau perlukan itu sama sekali.”
“Marilah, Tuan. Aku akan
melihat, apakah kami akan mampu melakukan kerja itu.”
Sambil menjinjing alat-alat
untuk membuka hutan beserta bungkusan pakaian masing-masing, maka Kiai
Gringsing bersama kedua muridnya itu pun mengikuti petugas yang bernama
Wanakerti itu.
Sampai di tempat para petugas
yang lain menunggui gardu pengawas bagi mereka yang sedang membuka hutan itu,
maka seorang petugas berkata, “He, kau bawa ke mana orang-orang itu?”
“Mereka akan meneruskan kerja
yang terbengkalai itu.”
“Jangan pedulikan mereka.
Suruh mereka pergi orang-orang malas itu, tidak akan berguna,” teriak petugas
yang selalu marah-marah saja.
“Mereka akan mencoba,” jawab
Wanakerti.
“Tidak ada gunanya. Suruh
mereka pergi.”
Tetapi Wanakerti hanya
tersenyum saja.
“Kau bawa juga mereka ke
sana?” petugas itu mendesak.
Wanakerti menganggukkan kepalanya.
Jawabnya, “Ya. Mereka akan melihat daerah itu.”
“Gila!” Tetapi kemudian ia
menggeram, “Persetan dengan orang-orang malas itu.”
Wanakerti tidak menjawab lagi.
Ia berjalan terus diikuti oleh Kiai Gringsing dan kedua muridnya.
“Kenapa ia selalu marah-marah
saja?” bertanya Kiai Gringsing.
“Orang itu tidak marah-marah,”
jawab petugas yang bernama Wanakerti itu.
“Tetapi, ia membentak-bentak.”
“Memang suaranya terdengar
seolah-olah ia membentak-bentak. Apalagi bagi yang belum mengenalnya. Tetapi ia
orang baik. Sebenarnya ia merasa sayang bahwa kalian akan terjerumus ke bagian
yang mulai dijauhi orang.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tetapi kenapa
tuan menempatkan aku dan kedua anak-anakku di sana?”
Wanakerti tidak segera
menjawab. Agaknya ia sedang menyusun jawaban yang tepat atas pertanyaan yang
sulit itu. Namun kemudian ia berkata, “Aku sendiri tidak tahu. Tetapi aku
melihat kelainan pada kalian bertiga. Tetapi kalau kau bertanya, kelainan yang
mana tampak olehku, itu pun aku tidak akan dapat menjawab.”
Terasa debar yang keras
menyentuh dinding jantung Kiai Gringsing. Agaknya daya tangkap mata hati orang
yang bernama Wanakerti ini pun agak lebih baik dari kawan-kawannya.
“Aku kira tidak ada bedanya,
Tuan.”
“Ternyata ada. Aku sudah
pernah bertanya kepada lebih dari sepuluh orang, apakah mereka bersedia
meneruskan kerja yang terhenti itu. Tetapi tidak seorang pun yang berani.”
“Tetapi apakah maksud Tuan,
dengan keinginan Tuan agar tanah itu tetap dibuka?”
“Sebenarnya aku hanya ingin
meyakinkan, apakah yang sudah terjadi itu memang sebenarnya telah terjadi.”
Tetepi tiba-tiba suaranya meninggi, “Maksudku, bukan aku tidak percaya, atau
aku kurang meyakininya. Aku percaya dan aku memang tidak akan berbuat apa-apa.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mengerti bahwa Ki Wanakerti sedang di
ombang-ambingkan oleh perasaannya sendiri. Di antara percaya, bahkan dengan
dibayangi oleh ketakutan, dan keinginannya untuk meyakinkan, apakah hantu-hantu
itu benar-benar seperti apa yang pernah didengarnya? Namun ia tidak mempunyai
cukup keberanian untuk membuktikannya sendiri.
Sejenak kemudian, mereka pun
berjalan sambil berdiam diri. Kiai Gringsing dan kedua muridnya kini dapat
menyaksikan beberapa kelompok orang-orang yang sedang membuka hutan. Sebagian
telah menjadi tanah garapan, pategalan, dan halaman.
Semakin jauh mereka dari gardu
pengawas, maka mereka pun menjadi semakin berdebar-debar. Di bagian lain masih
tampak kelompok-kelompok yang menebang pepohonan yang besar dan tinggi.
Kadang-kadang mereka dikejutkan oleh gemerasak seperti suara prahara, apabila
sebatang pohon yang besar rebah menimpa pepohonan di sekitarnya.
“Bukankah mereka masih juga
meneruskan kerja mereka?” bertanya Kiai Gringsing kepada petugas yang bernama
Wanakerti.
“Ya, di sini. Tetapi, di
sebelah daerah ini adalah daerah yang semakin lama menjadi semakin sepi. Hanya
orang-orang yang tabah sajalah yang berani tetap mengerjakan tanahnya, meskipun
mereka harus berkelompok-kelompok di malam hari.”
“Apakah mereka masih harus
tidur di barak-barak itu?”
“Mereka sudah membuat rumah
sendiri. Bukankah kau lihat tanah yang sudah dibuka dan sudah mulai digarap,
dan gubuk-gubuk kecil di atasnya? Yang mereka kerjakan itu menurut rencana
kami, akan dijadikan tanah persawahan di sebelah padukuhan yang mulai terisi
itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tanah yang akan aku berikan
kepadamu, menurut rencana kami adalah padukuhan berikutnya. Di seberang daerah persawahan
yang sedang dibuka ini,”
“Jadi, apabila tanah ini telah
terbuka, bagian itu akan terletak di seberang bulak?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian ia bertanya pula, “Masih ada
berapa kelompok yang ada di bagian itu?”
“Sudah aku katakan. Tidak
seorang pun yang berani memulainya lagi.”
“He?” Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya.
“Aku sudah mengatakannya.”
“Tetapi bukankah Tuan
mengatakan bahwa daerah itu menjadi semakin sepi, sehingga menurut tangkapanku
masih juga ada orang yang bekerja meskipun semakin sedikit.”
“Bukan daerah yang akan aku
berikan kepadamu. Tetapi yang mereka kerjakan adalah sambungan dari bulak yang
panjang ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia menyadari, bahwa mereka bertiga bersama
murid-muridnya benar-benar akan bekerja tanpa orang lain, di tempat yang
terasing.
Sebenarnyalah, bahwa semakin
jauh mereka berjalan, tampaknya menjadi semakin sepi, meskipun masih juga ada
sekelompok dua kelompok orang-orang yang bekerja. Tetapi seperti apa yang
dikatakan oleh petugas itu, mereka akan berkumpul di tempat yang lebih ramai di
malam hari, di sekitar gubuk dan barak yang sudah disediakan.
“Di malam hari, kau dapat juga
berkumpul bersama kami,” berkata petugas itu.
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya.
“Selama tanah garapanmu belum
menghasilkan apa-apa, kau dan kedua anak-anakmu akan mendapat rangsum makan
dari kami. Tetapi sudah tentu makan yang sederhana.”
“O, kami akan sangat berterima
kasih, Tuan. Di rumah kami, makan sederhana pun jarang-jarang kami peroleh
dengan teratur.”
“Tetapi anakmu yang seorang
itu gemuk sekali.”
Kiai Gringsing berpaling.
Dipandanginya Swandaru yang berjalan beberapa langkah di belakangnya.
“Keduanya senang sekali berburu,
Tuan. Agaknya daging buruannya itulah yang membuat mereka gemuk, terutama yang
muda.”
“O. Jadi kalian senang berburu
juga?”
“Anak-anakku.”
“Hutan ini penuh dengan
binatang buruan. Bahkan binatang-binatang buas. Tetapi di antara para
pendatang, tidak banyak yang berani berburu.”
“Kenapa? Apakah mereka takut
kepada binatang-binatang buas atau kepada hantu-hantu, yang barangkali dianggap
oleh mereka sebagai pemilik binatang-binatang di hutan ini.”
Petugas itu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia pun tidak bertanya pula.
Kini mereka menyusup di antara
pepohonan hutan yang masih rimbun. Kiai Gringsing sudah tidak melihat lagi
kelompok-kelompok yang menebang hutan di daerah ini. Namun nampaknya bahwa
hutan ini pun pernah digarap oleh manusia. Di sana-sini pohon-pohon yang roboh
masih terbujur lintang.
“Inilah tanah yang harus
kalian kerjakan. Sebagian besar dari pepohonan yang tinggi dan besar sudah
dirobohkan. Kalian tinggal meneruskan.”
“Apakah kami bertiga harus
membuka seluruh padukuhan yang direncanakan?”
“Kalian dapat memiliki tanah
seluas dapat kalian kerjakan. Kalau kalian mampu menyelesaikan sisa pekerjaan
untuk seluruh padukuhan yang direncanakan, kami akan mengesahkan bahwa padukuhan
ini milik kalian. Orang-orang yang telah memulainya lebih dahulu, kami anggap
telah melepaskan haknya sama sekali.”
“Kalau kami hanya dapat
membuka sebagian kecil?”
“Hak kalian juga hanya yang
sebagian kecil itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Kini mereka berempat berdiri
termangu-mangu memandang hutan yang masih tampak liar, meskipun sebagian dari
pepohonannya sudah ditundukkan. Sejenak Kiai Gringsing berpaling kepada kedua
murid-muridnya yang sedang melihat-lihat daerah yang akan menjadi tanah garapan
mereka.
“Berapa puluh tahun aku harus
tinggal di neraka ini?” Swandaru mengumpat-umpat di dalam hatinya. “Guru selalu
saja mencari pekerjaan. Apakah dari tempat yang sesepi kuburan ini, aku dapat
melihat daerah baru ini? Dipandang dari segi kepentingan Sangkal Putung dan
Menoreh?”
Setelah mereka melihat-lihat
daerah yang sepi itu sejenak, maka petugas yang menunjukkan tempat itu pun
kemudian membawa Kiai Gringsing beserta anak-anaknya kembali.
“Besok kalian dapat mulai
bekerja. Tinggalkan saja alat-alat kalian di sini. Tidak akan ada yang
mengambilnya. Kalau ada binatang buas yang berkeliaran sampai ke tempat ini
malam nanti, mereka tidak akan menelan kapak dan parang kalian itu,” berkata
petugas itu.
Demikianlah, setelah bermalam
satu malam bersama-sama para pendatang yang sedang membuka hutan itu, Kiai
Gringsing sudah mendapat sedikit gambaran tentang daerah baru yang dihadapinya.
“Ki Gede Pemanahan menyebut
daerah ini, Mataram,” berkata salah seorang dari mereka.
“Mataram yang akan berdiri di
atas alas Mentaok,” desis Kiai Gringsing. Sekilas lewat di kepalanya cerita
tentang kerajaan Mataram Lama. “Apakah Ki Gede Pemanahan menghubungkan daerah
baru ini dalam suatu garis perkembangan kerajaan yang bernama Mataram itu?” bertanya
Kiai Gringsing di dalam hatinya. Namun ia tidak mengucapkan pertanyaan itu
kepada siapa pun juga.
Agung Sedayu dan Swandaru yang
berbicara dengan anak-anak muda sebayanya pun mendengar, bahwa daerah yang
sudah mulai digarap, di seberang bulak yang direncanakan itu memang sudah
ditinggalkan.
“Aku dahulu ikut di dalam
kelompok yang mulai menebangi pepohonan di tempat itu,” berkata seorang anak
muda, “tetapi kelompok kami memutuskan untuk menghentikan pekerjaan kami.
Sebagian telah bergeser ke tempat lain, dan sebagian kembali ke padukuhan
mereka semula.”
“Apakah mereka diganggu oleh
hantu-hantu itu?”
“Ya,” jawab anak muda itu,
“kami telah melihat sendiri. Beberapa orang di antara kami menjadi sakit.”
Agung Sedayu dan Swandaru
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Sementara itu, seorang yang
sudah berjanggut putih berkata kepada Kiai Gringsing, “Jangan meneruskan kerja
yang telah kami tinggalkan. Bekerjalah bersama dengan kami, membuka tanah
persawahan itu. Selain kalian akan selamat, tanah itu pun akan segera
menghasilkan.”
Kiai Gringsing hanya tersenyum
saja. Namun justru di dalam hati, orang tua itu semakin bernafsu untuk melihat,
apa yang sebenarnya sudah terjadi di daerah yang menakutkan itu.
Di pagi harinya, Kiai Gringsing
dan kedua anak-anaknya telah berangkat pada saat fajar menyingsing, ke tanah
garapan yang diperuntukkan bagi mereka.
Beberapa orang yang
mengetahui, bahwa orang tua itu bersama kedua anak-anaknya akan melanjutkan
kerja yang terhenti itu, memandangnya dengan takjub. Seorang yang bertubuh
kurus berkata, “Kasihan. Mereka akan kecewa. Tidak lebih dari sebulan mereka
pasti sudah jera meneruskan kerja itu.”
Sedang orang yang bertubuh
tinggi kekar menyahut, “Salah sendiri. Mereka adalah orang-orang yang bodoh,
tetapi sombong. Bukankah dengan demikian banyak orang akan mengaguminya? Tetapi
mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Pada saatnya mereka pasti akan lari
terbirit-birit. Belum lagi mereka menghasilkan apa pun juga, mereka pasti sudah
pergi. Mungkin mereka tidak akan melaporkan kepergian mereka kepada para
petugas, karena malu.”
Tidak ada orang lain yang
membantah. Tetapi seorang petugas yang mendengarnya menyahut, “Tetapi ia akan
tetap tidur di barak ini di malam hari. Mereka akan kerja di siang hari saja.
Dengan demikian diharap bahwa mereka akan dapat melakukan pekerjaan mereka
tanpa ketakutan.”
“Meskipun mereka hanya bekerja
di siang hari, mereka pasti akan diganggu. Mereka akan jatuh sakit, dan apabila
mereka terlampau sombong, mungkin mereka akan mati.”
Petugas itu pun terdiam. Namun
ia menjadi ragu-ragu pula di dalam hati.
Wanakerti sendiri akhirnya
menjadi ragu-ragu. Bahkan di dalam hati ia berkata, “Apakah aku tidak
menjerumuskan orang tua dan kedua anak-anaknya itu ke dalam kesulitan?”
Namun sambil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata pula, “Aku melihat sesuatu yang lain pada ketiga orang
itu. Mudah-mudahan aku tidak membuat kesulitan bagi mereka, dan bagiku
sendiri.”
Sejenak kemudian, ketika
matahari mulai memanjat langit, maka setiap orang di dalam barak itu pun telah
siap dengan alat-alat masing-masing. Kelompok demi kelompok, mereka berangkat
ke tempat kerja. Sedang mereka yang telah membuat rumahnya masing-masing dan
terletak tidak jauh dari gardu pengawas itu pun meninggalkan rumah mereka pula
untuk meneruskan kerja, membuka hutan untuk membuat tanah persawahan.
Namun rumah-rumah yang
meskipun sudah berdiri dan dirapati dengan dinding-dinding kayu, namun yang
letaknya agak berjauhan, ternyata masih juga tetap dikosongkan.
Kiai Gringsing dan kedua
muridnya yang telah sampai di daerah kerja mereka, tidak segera mulai. Sejenak
mereka mengamati keadaan di sekitarnya. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi dan usaha-usaha yang akan dapat mereka lakukan di atas tanah yang
dianggap angker dan menakutkan itu.
“Aku tidak melihat sesuatu,”
berkata Swandaru.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Aku pun tidak melihat sesuatu yang
memberikan tanda-tanda adanya suatu kelainan atau kemungkinan yang dapat
menumbuhkan dugaan-dugaan tentang hantu-hantu itu.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Seperti kedua muridnya ia pun tidak melihat sesuatu. Karena itu maka katanya,
“Baiklah, kita mulai dengan kerja kita.”
“Tetapi,” bertanya Swandaru,
“apakah kita benar-benar akan membuka daerah ini dan membuatnya menjadi
padukuhan?”
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya, “Bukan itu maksud kita. Sudah tentu kau tidak
akan betah tinggal di sini terlampau lama, seperti tinggal di Tanah Perdikan
Menoreh.”
“Ah,” Swandaru berdesah.
“Kakang Sedayu pun ingin segera pergi ke Sangkal Putung, menyusul Ki
Sumangkar.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian, ia pun tersenyum. Katanya, “Ya. Aku pasti akan
segera menyusul Paman Sumangkar.”
“Tentu,” jawab Kiai Gringsing,
“apalagi kalau Kiai Sumangkar pergi seorang diri.”
Swandaru tertawa sejenak.
Tetapi, kemudian ia bertanya, “Jadi sampai kapan kita akan tinggal di sini,
Guru?”
“Tergantung pada keadaan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Nah. Marilah, alat-alat itu
menunggu kita. Selama kita masih berada di sini, kita akan membuka tanah ini
sampai saatnya kita pergi.”
Kedua murid-muridnya itu pun
kemudian segera mengambil alat-alat yang mereka pinjam. Kapak dan parang. Maka
mereka pun segera mulai menebangi pepohonan. Karena pohon-pohon yang besar
telah rebah, mereka pun tidak begitu banyak lagi mendapatkan kesukaran dengan
pohon-pohon yang agak lebih kecil.
Ternyata bahwa keduanya dapat
bekerja sebagai pembuka hutan yang baik. Swandaru yang memiliki kekuatan yang
besar itu, mengayunkan kapaknya dengan derasnya. Beberapa kali tebas, maka
pohon-pohon yang tidak begitu besar itu pun segera roboh.
“Kita sisihkan kayu-kayu yang
malang melintang ini,” berkata Kiai Gringsing, “sehingga tanah ini pun akan
segera lebih bersih dan lapang.”
Swandaru menganggukkan
kepalanya. Tetapi kemudian keningnya berkerut, “Apakah pohon-pohon sebesar ini
dapat kita angkat hanya bertiga?”
“Ah, kau,” desis gurunya,
“sudah tentu kita harus mempergunakan alat-alat kita. Kita potong dan kita
pecah. Dengan mudahnya kita akan menyingkirkannya.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tersenyum sendiri atas kebodohannya.
Demikianlah maka dengan tidak
mereka sadari matahari pun menjadi semakin rendah di barat. Sebentar lagi
langit menjadi kemerah-merahan. Dan angin pun menjadi semakin sejuk.
“Apakah kita akan kembali ke
perkemahan?” bertanya Swandaru.
“Malam ini kita masih akan
kembali ke sana,” jawab gurunya.
“Bagaimana mungkin kita dapat
mengetahui serba sedikit tentang hantu itu, apabila kita berada di
tengah-tengah mereka, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Besok malam saja kita akan
tinggal di sini, supaya mereka tidak melihat kelainan yang sangat besar pada
kita dan orang-orang lain itu,” jawab Gurunya.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti maksud gurunya, sehingga dengan
demikian tidak segera menumbuhkan kecurigaan, seakan-akan mereka bukannya
orang-orang kebanyakan.
Demikianlah ketika senja
mendatang, ketiganya pun kembali ke barak yang sebenarnya sudah terisi penuh.
Tetapi karena mereka hanya bertiga dan tidak membawa apa pun selain sebungkus
pakaian mereka, maka meskipun hanya sekedar di sudut, mereka masih mendapat
tempat untuk membentangkan tikar pandan yang kasar, yang mereka terima dari
para petugas.
Setelah mereka selesai makan
rangsum yang mereka terima dari para petugas, seperti orang-orang yang lain,
yang masih belum dapat memetik hasil jerih payah mereka, maka beberapa orang
telah mengerumui tiga orang itu sambil bertanya-tanya.
“Apakah kalian mengalami
sesuatu?” bertanya seseorang yang tinggi kurus.
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, “Kami tidak mengalami sesuatu yang aneh menurut penglihatan kami.”
“Angin yang tiba-tiba saja
datang dan berputaran?” bertanya yang lain.
“Angin pusaran maksudmu?”
“Ya, tetapi angin pusaran
tidak akan dapat memutar pepohonan hutan,” jawab orang itu.
Kiai Gringsing menggeleng,
“Tidak. Kami tidak melihat angin semacam itu.”
“Gelundung pringis misalnya?”
bertanya yang lain lagi.
“Juga tidak.”
“Hati-hatilah,” desis orang
yang tinggi besar, yang melihat keberangkatan ketiga orang itu dengan curiga.
“Jangan terlampau sombong. Kalau kepala salah seorang dari kalian telah
terpenggal dan tergantung di ujung pohon yang paling tinggi, yang tidak mungkin
dipanjat oleh manusia, barulah kalian akan menyesal. Apalagi kalau kemudian
kepala itu dapat membara di malam hari dan masih mampu mengeluh kesakitan
meskipun tubuhnya sudah dikubur.”
“Mengerikan sekali,” berkata
Kiai Gringsing. “Apakah hal itu pernah terjadi?”
“Tentu,” jawab orang yang
tinggi kekar itu.
“Kapan dan dimana? Petugas
yang mengantarkan aku tidak mengatakan demikian. Memang ada beberapa orang yang
jatuh sakit. Tetapi tidak sampai meninggal dunia.”
“Hampir, hampir saja hal itu
terjadi. Tetapi kami pernah melihat kepala orang, maksudku tengkorak yang
membara di malam hari selagi kami masih memberanikan diri tidur di tempat kerja
kami itu.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam.
“Demi keselamatan kalian,”
berkata orang yang tinggi kekar itu, “sebaiknya kalian urungkan niat kalian.
Kau sudah terlampau tua, sedang kedua anak-anak itu masih terlampau muda
mengalami hal-hal yang tidak kalian harapkan.”
Kiai Gringsing masih terdiam.
“Apakah kalian memang sudah
berputus asa? Karena kalian tidak mendapatkan kemungkinan lain lagi bagi hidup
kalian, sehingga kalian memilih mati dimakan hantu?”
Kiai Gringsing belum menyahut
sepatah kata pun.
“Aku nasehati kalian bertiga,”
orang yang kekar itu berkata terus, “urungkan niat itu. Kau dengar, he, Truna
Podang?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. “Kami akan mempertimbangkannya,” jawabnya.
Tetapi orang yang tinggi kekar
itu agaknya tidak puas mendengar jawaban Kiai Gringsing. Meskipun ia tidak
berkata apa pun lagi, tetapi nampak di wajahnya, bahwa sesuatu masih tersimpan
di hatinya.
Setelah Kiai Gringsing
bercakap-cakap sejenak, maka ia bersama kedua muridnya pun kemudian
berjalan-jalan di antara mereka yang berada di sekitar barak itu. Tidak begitu
jauh, terletak gardu pengawas yang dijaga oleh beberapa orang petugas
bersenjata. Sedang di sebelah-menyebelah lorong yang menusuk ke daerah yang
sedang dibuka, beberapa buah rumah sudah dihuni oleh beberapa orang keluarga.
Lampu minyak yang bercahaya
kemerah-merahan menyusup di antara dinding yang belum rapat benar, mencuat di
kegelapan malam.
Ternyata bahwa bukan sekedar
di sebelah-menyebelah lorong itu saja berserakan rumah-rumah yang sudah dihuni.
Tetapi di arah yang lain, rumah-rumah pun sudah mulai ditempati oleh beberapa
keluarga sekaligus, sehubungan dengan berita yang telah mengecilkan hati
mereka. Sedang meskipun agak ke tengah rumah-rumah sudah siap pula, namun
rumah-rumah itu kini menjadi kosong kembali, karena penghuninya tidak berani
tinggal hanya sekeluarga saja. Itulah sebabnya maka pada umumnya rumah-rumah
tempat tinggal itu berisi dua atau tiga keluarga sekaligus.
“Suasana sepi sekali,” desis
Swandaru.
“Mereka benar-benar di dalam
ketakutan,” sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah kita pergi ke gardu pengawas.
Apa saja yang dikerjakan oleh para petugas itu di malam hari?”
Ketika Kiai Gringsing
melangkah mendekati gardu pengawas, dilihatnya beberapa orang bersama-sama
berdiri sambil menggenggam senjata masing-masing.
“Kami, Tuan. Truna Podang.”
“Gila kau,” geram seorang di
antara para pengawas itu. “Kami tidak begitu dapat melihat kalian, di
kegelapan. Tetapi agaknya kalian dapat melihat kami dengan jelas.”
“Ya, Tuan.”
“Kenapa kalian kemari? Apakah
kalian tidak lelah setelah sehari bekerja? Atau kalian hanya sekedar
duduk-duduk saja di tanah garapanmu?”
“Tidak, Tuan. Kami bekerja
keras. Yang mula-mula kami kerjakan adalah menyingkirkan kayu-kayu yang
malang-melintang. Kemudian, kami akan segera menyelesaikan penebangan
pohon-pohon yang lebih kecil.”
Petugas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka bertanya, “Lalu apa
kerjamu sekarang?”
“Kami tidak biasa tidur di
sore hari, Tuan. Karena itu, kami hanya sekedar berjalan-jalan saja.”
Para petugas itu menarik nafas
dalam-dalam. Wanakerti yang ada di antara mereka bertanya, “Apakah kau akan
duduk-duduk di sini sebelum kalian akan tidur?”
“Terima kasih, Tuan. Kami
memang ingin kawan bercakap-cakap. Kawan-kawan yang lain rupa-rupanya sudah
malas untuk berbicara. Mereka sudah berbaring di tempat masing-masing.”
“Begitulah kebiasaan mereka.
Kalau senja menjadi gelap, mereka pun segera tidur. Seperti ayam saja agaknya.
Dan gubuk-gubuk yang berserakan itu pun pasti sudah tertutup rapat. Pintu-pintu
pasti telah diselarak. Kalau kau mengetuk salah satu dari pintu-pintu itu,
sebelum mereka pasti siapa yang berada di luar, kau tidak akan mendapat
kesempatan apa pun. Pintu pasti tidak akan terbuka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikianlah ketakutan sudah mencengkam semua
daerah.
“Kalau keadaan ini dibiarkan
terus-menerus, maka nafsu para pembuka hutan itu pun pasti menjadi semakin
susut,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Masuklah,” Wanakerti pun
kemudian mempersilahkan Kiai Gringsing dan kedua anaknya.
Setelah mereka duduk di dalam
gardu yang cukup besar dan kemudian mendapat hidangan air panas, maka mereka
pun segera berbicara tentang daerah yang sepi itu.
“He,” bertanya Wanakerti
tiba-tiba, “bagaimana kau nanti kembali ke barak itu?”
“Kenapa?”
“Apakah kalian tidak takut?”
“Takut?” Kiai Gringsing
menjadi heran. “Bukankah jarak ini tidak terlampau panjang?”
Wanakerti mengangguk. “Tetapi
biasanya tidak seorang pun yang berani berjalan di luar di malam hari, meskipun
jaraknya tidak terlampau jauh.”
“Tetapi ada di antara mereka
yang tidur di luar, di serambi-serambi yang terbuka.”
“Mereka tidur berhimpitan
sambil menyelubungi diri mereka dengan kain panjang. Itu karena mereka tidak
mendapat tempat di dalam barak. Dan di serambi itu agaknya lebih baik bagi
mereka, karena mereka tinggal bersama-sama beberapa keluarga sekaligus,
daripada mereka tinggal di gubuk-gubuk yang sudah mereka buat, tetapi
berpencaran.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenungi keadaan tempat itu, sedang
Swandaru menyuapi mulutnya dengan jenang alot yang dihidangkan oleh Wanakerti
kepada mereka.
Namun tiba-tiba, setiap orang
di dalam gardu itu mengangkat kepala mereka. Lamat-lamat mereka mendengar suara
gemerincing. Semakin lama semakin dekat, dibarengi oleh derap kaki kuda di atas
jalan yang menuju ke perkemahan itu.
“Nah,” desis salah seorang
petugas, “kalian dengar?”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya. Sedang Agung Sedayu bertanya, “Suara apakah itu? “
Tidak seorang pun yang berani
menjawab. Mereka saling berpandangan sambil memegang senjata masing-masing
semakin erat. Tetapi ternyata bahwa tangan mereka menjadi gemetar.
“Suara apakah itu?” Agung
Sedayu mengulangi. Wanakerti menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Orang-orang di dalam gardu itu
benar-benar seakan-akan tercekik. Tidak seorang pun yang berani mengucapkan
sepatah kata pun. Bahkan senjata-senjata di tangan mereka pun menjadi bergetar
oleh gemetar tangan yang menggenggamnya.
Swandaru yang duduk tidak
begitu jauh dari pintu segera melangkah untuk menjenguk keluar. Namun Wanakerti
segera meloncat menariknya. “Jangan gila.”
“Aku ingin melihat,” desis
Swandaru.
“Jangan gila,” Wanakerti
mengulangi.
Sejenak Swandaru berdiri
termangu-mangu. Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang tegang, kemudian wajah
gurunya yang termangu-mangu.
“Aku pemimpin para petugas di
sini,” berkata seorang yang berkumis tebal, “kalian jangan membuat ribut.
Kalian tidak boleh keluar dari tempat ini.”
Swandaru yang benar-benar
bernafsu untuk melangkah ke luar gardu terpaksa mengurungkan niatnya karena
gurunya menggelengkan kepalanya, dan segera duduk kembali di tempatnya.
Sejenak kemudian suara
gemerincing itu menjadi semakin nyata, seperti suara derap kuda itu pula.
“Dua ekor kuda,” Agung Sedayu
berdesis.
“Sst,” pemimpin pengawas itu
menempelkan jarinya di bibirnya.
Agung Sedayu menarik nafas.
Namun ia mencoba mendengar suara apakah itu sebenarnya.
Dalam keheningan itulah ia
mendengar suara itu berputar-putar sejenak mengelilingi gardu pengawas.
Kemudian suara itu agak menjauh. Namun tidak seorang pun yang berhasil melihat
apakah yang telah berbunyi seperti gemerincingnya genta-genta kecil itu. Di
luar gelap malam menjadi semakin pekat, sedang di dalam gardu itu remang-remang
cahaya pelita bergerak-gerak ditiup angin yang lemah.
Kini suara gemerincing itu
bergerak di sekitar barak, kemudian menjauh dan berpindah di antara rumah-rumah
yang sudah tertutup rapat. Suara itu seolah-olah mengelilingi setiap rumah yang
berpenghuni, yang berserakan sebelah-menyebelah lorong kecil dan di sepanjang
daerah yang sudah dapat dihuni.
Suara itu berputaran beberapa
saat lamanya. Sedang para petugas yang ada di dalam gardu itu pun duduk membeku
di tempat masing-masing. Keringat yang dingin menitik dari kening mereka yang
basah.
Baru setelah beberapa lama,
suara itu terdengar menjadi semakin jauh, semakin jauh dan akhirnya hilang.
Ketika malam kembali menjadi
senyap, dan tidak lagi terdengar suara apa pun, para petugas itu menarik nafas
dalam-dalam.
“Hem,” pemimpin petugas itu
berdesah, “belum lagi sampai tengah malam, mereka sudah mulai berkeliaran.”
“Apakah yang lewat itu
hantu-hantu yang menjadi pembicaraan?”
Pemimpin pengawas itu
menganggukkan kepalanya, “Ya. Itulah sebabnya kami melarang kalian keluar.”
“Apakah mereka akan menyerang?”
“Kami tidak tahu. Tetapi
seandainya mereka hanya menerkam orang-orang yang dilihatnya, kami tidak akan
berkeberatan.”
“Lalu, kenapa Tuan menahan
aku?” bertanya Swandaru.
“Aku masih sayang akan
nyawamu. Kau orang baru di sini.”
“Apakah benar-benar sudah ada
yang mati diterkamnya? “
“Mati belum. Tetapi seorang
yang mencoba memberanikan diri melihat hantu itu, di pagi harinya ia mendadak
menjadi sakit keras. Ia mengigau tidak berketentuan. Dan bahwa hantu yang
dilihatnya itu sudah merasuk ke dalam tubuhnya. Dengan nada yang marah, hantu
yang merasuk itu mengancam, bahwa siapa yang berani melihat hantu-hantu itu
sekali lagi, maka tidak akan ada ampun. Nyawanyalah yang akan diambilnya.”
Kiai Gringsing dan kedua
muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan orang tua itu berdesis,
“Aku mengucapkan terima kasih, bahwa Tuan telah mencegah anakku yang gemuk
itu.”
“Tetapi hati-hatilah.
Anak-anakmu agaknya anak-anak yang bengal. Jangan kau biarkan semuanya itu
terjadi atas anak-anakmu itu.”
“Terima kasih, Tuan,” jawab
Kiai Gringsing. Lalu, “Tetapi kini perkenankanlah kami minta diri. Kami akan
segera kembali ke barak.”
“Kalian masih juga berani
keluar?”
“Bukankah hantu itu sudah
pergi?”
“Kalian memang orang-orang
berani,” desis Wanakerti, “tetapi biarlah kalian tidur di sini. Kalian dapat
tidur di atas tikar di sudut itu. Kami para pengawas harus bergantian tidur.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Di dalam hatinya ia bertanya, “Apakah sebenarnya yang mereka awasi?”
Tetapi yang diucapkannya
adalah, “Kami akan memenuhi tempat yang sebenarnya dapat Tuan pakai di sini.
Biarlah kami akan berjalan cepat-cepat ke barak itu.”
Pemimpin pengawas itu
memandangi Kiai Gringsing dengan sorot mata keheranan. Namun kemudian ia
berdesis, “Memang orang-orang baru biasanya masih belum mengenal takut.
Baiklah. Tetapi kalau kalian mengalami sesuatu, cepat-cepat kembalilah kemari
dan tidurlah di sini, di antara para pengawas.”