Buku 104
“Jika gelora di dalam dadanya
itu mendapat pengarahan yang tepat, maka gairah yang menyala-nyala di dalam
dada Swandaru itu akan dapat menghasilkan sesuatu yang besar bagi
kademangannya. Tetapi jika sekedar didorong keinginannya sendiri,“ berkata
Sumangkar di dalam hatiya.
Karena itulah, maka setelah
berbincang dengan Ki Demang, ia memutuskan untuk pergi ke padepokan kecil Kiai
Gringsing di dekat Jati Anom.
“Kenapa Guru pergi ke
padepokan itu?” bertanya Sekar Mirah ketika Ki Sumangkar minta diri kepada
muridnya.
“Sekedar menengok
penghuni-penghuninya. Rasa-rasanya aku sudah rindu kepada Kiai Gringsing dan
Agung Sedayu. Apalagi agaknya Ki Waskita masih tetap berada di padepokan itu.”
Sekar Mirah tidak menjawab
lagi. Tetapi nampaknya ia tidak menaruh minat sama sekali kepada niat gurunya
itu, meskipun ia tahu, bahwa di padepokan kecil itu tinggal Agung Sedayu.
Sementara itu Swandaru
seolah-olah acuh tidak acuh saja terhadap maksud Ki Sumangkar itu. Ketika Ki
Sumangkar mengatakannya kepadanya, ia hanya mengangguk-angguk saja sambil
menjawab singkat, “Silahkan Kiai.”
Meskipun demikian, Ki
Sumangkar benar-benar akan berangkat ke Jati Anom atas persetujuan Ki Demang
Sangkal Putung.
“Jika Kiai Gringsing tidak
dapat datang ke Sangkal Putung maka pertimbangan-pertimbangannyalah yang kita
perlukan. Untunglah sampai saat ini Untara yang memegang limpahan kekuasaan
Sultan Pajang di daerah ini belum mencurigai perkembangan Sangkal Putung dan
mengambil langkah-langkah penertiban. Jika demikian maka tentu akan timbul
benturan-benturan kekuatan yang sebenarnya tidak perlu.“ desah Ki Demang
menyesali keadaan.
Yang menaruh perhatian atas
kepergian Ki Sumangkar ke Jati Anom selain Ki Demang adalah justru Pandan
Wangi. Ketika ia berdiri di tangga pendapa menjelang keberangkatan Ki
Sumangkar, perempuan itu bertanya, “Apakah Ki Sumangkar akan segera kembali?”
“Ya Pandan Wangi. Aku akan
segera kembali.”
“Salamku buat penghuni
padepokan kecil itu,” Pandan Wangi menyambung. Kemudian, “Mudah-mudahan Kiai
Gringsing menaruh perhatian terhadap perkembangan kakang Swandaru.”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya. Ia melihat sepercik harapan memancar dari sorot mata Pandan Wangi
yang agaknya menjadi cemas pula atas perkembangan watak suaminya.
Sambil mengangguk Ki Sumangkar
berdesis, “Aku akan berusaha Pandan Wangi. Kiai Gringsing bukannya orang yang
tidak acuh terhadap murid-muridnya.”
Pandan Wangi mengangguk kecil.
Ia benar-benar menaruh harapan, agar Kiai Gringsing berada di Sangkal Putung
untuk beberapa saat saja. Jika ia melihat sendiri perkembangan Swandaru, maka
ia tentu tidak akan tinggal diam.
Demikianlah Ki Sumangkarpun
meninggalkan Sangkal Putung di pagi hari yang segar dan cerah. Demikian
matahari mulai memancar. Ki Sumangkar telah berada di punggung kudanya meninggalkan
Kademangan Sangkal Putung. Ki Demang yang mengantarkannya sampai ke regol
menarik nafas dalam-dalam, sementara Sekar Mirah yang ada di belakangnya
bergumam, “Perjalanan yang tidak ada gunanya.”
Ki Demang berpaling. Namun
Sekar Mirah telah meninggalkannya tanpa memberikan penjelasan apapun juga.
Sementara Swandaru dan Pandan Wangi yang berdiri di tangga pendapa sama sekali
tidak memberikan tanggapan apapun juga meskipun Ki Demang seakan-akan dapat
melihat perbedaan isi di dalam relung hati masing-masing.
Ki Sumangkar yang meninggalkan
Kademangan Sangkal Putung membiarkan kudanya berlari perlahan-lahan. Ia tidak
tergesa-gesa untuk sampai ke Jati Anom. Bahkan ia masih sempat memperhatikan
sawah dan ladang yang hijau segar, sesegar tubuh Swandaru sendiri.
Ketika terpandang olehnya
parit yang mengalirkan air yang bening, rimbunnya tanaman padi dan ayunan daun
kelapa di pinggir padukuhan, Ki Sumangkar tidak dapat ingkar, bahwa Swandaru
agaknya akan berhasil. Apalagi dengan dentang suara pandai besi yang tidak
henti-hentinya, sejak matahari terbit, sampai saatnya matahari hampir terbenam.
“Namun tentu ada celanya,”
desis Sumangkar dengan kecewa.
Dalam pada itu, kudanyapun
berlari semakin jauh dari Kademangan Sangkal Putung. Setelah ditinggalkannya
padukuhan yang terakhir, maka Ki Sumangkarpun telah memasuki bulak yang
panjang, sebelum ia akan sampai ke pinggir padang ilalang dan hutan perdu.
Namun tiba-tiba saja Sumangkar
mengerutkan keningnya ketika ia melihat di kejauhan dua ekor kuda yang berlari
kencang. Kecurigaannyapun kemudian tumbuh ketika ia menyadari bahwa dua ekor
kuda itu tidak berlari di jalan yang lapang, tetapi menyusur menurut lorong
sempit yang akan melintasi hutan.
Hampir di luar sadarnya Ki
Sumangkar mempercepat lari kudanya, seakan-akan hendak menyilang kedua ekor
kuda bertari kencang itu. Namun jaraknya memang terlalu jauh, sehingga Ki
Sumangkar hanya dapat memandanginya saja ketika dua ekor kuda itu melintas
jalan yang akan dilaluinya.
“Bukan prajurit Pajang di Jati
Anom,” desisnya.
Menilik pakaiannya, keduanya
memang bukan prajurit. Keduanya agaknya saudagar atau petani kaya yang sedang
bepergian.
“Nampaknya tergesa-gesa
sekali,” desis Ki Sumangkar.
Namun tiba-tiba perhatiannya
telah terampas lagi oleh dua orang penunggang kuda yang lain. Juga tergesa-gesa
seperti penunggang yang terdahulu, sedangkan ujud lahiriahnya, keduanyapun
menyerupai kedua orang yang baru saja menyilang jalan.
Ki Sumangkar termangu-mangu.
Di luar sadarnya ia bergumam, “Siapa lagi mereka berdua itu?”
Namun ia tidak dapat mencegah
keinginannya untuk mengetahui serba sedikit kedua orang berkuda itu. Sehingga
karena itu, maka iapun memacu kudanya kembali.
Kali ini Ki Sumangkar tidak
terlambat. Ia berhasil mencapai jalan kecil yang menyilang jalan yang sedang
dilaluinya, dan bahkan menghentikan kudanya beberapa langkah di sebelah jalan
kecil itu sambil menunggu.
Kedua orang yang sedang
berpacu itu memandang Ki Sumangkar sekilas. Tetapi nampaknya keduanya sama
sekali tidak menghiraukannya, sehingga mereka tidak mengurangi kecepatan lari
kudanya.
Ki Sumangkar tidak senang
melihat sikap itu. Karena itu maka kudanyapun diajukannya lagi beberapa langkah
sehingga kuda itu berdiri tepat di mulut lorong kecil itu.
Kedua penunggang kuda itu
terkejut. Dengan serta merta keduanya menarik kekang kudanya, sehingga kudanya
yang terkejut itupun meringkik keras-keras sambil berdiri di kedua kaki
belakangnya.
“Kau gila,“ teriak salah
seorang dari keduanya, “apakah kau sudah jemu melihat sinar matahari? Jika
kudaku yang tegar ini melanggarmu, maka kau akan terpelanting dan mati
seketika.”
Ki Sumangkar mengangguk hormat
sambil berdesis, ”Maaf Ki Sanak. Kudaku memang sulit dikendalikan.”
“Sekarang minggir,“ teriak
yang lain.
Tetapi Sumangkar tetap berada
di tempatnya sambil berkata, “Tetapi perkenankanlah aku memperkenalkan diriku.”
“Itu tidak perlu,“ salah
seorang dari keduanya berteriak lebih keras. ”Minggir.”
“Jangan berteriak Ki Sanak.
Jika suaramu didengar oleh orang-orang yang sedang berada di sawahnya, mereka
akan terkejut dan berlari ketakutan.”
Ketenangan Ki Sumangkar
ternyata telah menarik perhatian mereka. Tidak banyak orang yang dapat bersikap
setenang itu, jika ia bukan orang yang memiliki kepercayaan yang tebal terhadap
diri sendiri.
“Apakah maksudmu Ki Sanak,“
bertanya salah seorang dari mereka dengan nada menurun.
Ki Sumangkar memandang
keduanya berganti-ganti.Lalu iapun kemudian bertanya, “Akulah yang harus
bertanya, siapakah kalian.”
Kedua orang itu saling
berpandangan sejenak. lalu yang seorang menjawab, “Aku datang dari Kademangan
Panggung menuju ke Prambanan. Nah. minggirlah.”
“Nanti dulu,” jawab Sumangkar.
“Siapa kau? Siapa? “ Yang
seorang bertanya dengan geram.
“Namaku Sumangkar. Aku adalah
salah seorang pengawal dari Kademangan Macanan.”
“Apa maksudmu?”
“Aku hanya ingin mengetahui,
apakah maksudmu sebenarnya. Perjalananmu nampak sangat tergesa-gesa.”
Kedua orang itu menjadi
tegang. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mulai membakar jantung.
Dengan suara yang gemetar
salah seorang dari mereka berkata, “Ki Sanak. Apakah hakmu untuk mengetahui
siapa dan apakah yang akan aku lakukan?”
“Aku adalah pengawal
Kademangan Macanan. Macanan sekarang sedang diganggu oleh kejahatan-kejahatan
yang hampir merata. Karena itu, aku harus mencurigai setiap orang yang lewat di
daerah Macanan.”
Wajah orang itu menjadi
semakin merah oleh kemarahan yang menghentak didadanya. Salah seorang dari
keduanya menggeram, “Pengawal yang gila. Seandainya kau pengawal yang mumpuni
dari Kademangan Macanan, dan seandainya aku seorang penjahat seperti yang kau
sangka, apakah yang dapat kau lakukan sekarang?”
Yang lain tiba-tiba saja
menyahut, “Orang dungu. Apakah kau tidak menyesal bahwa dengan demikian kau
sudah menuduh kami, bahwa kami adalah dua orang penjahat yang kau maksud?”
“Jangan salah paham Ki Sanak,“
Sumangkar masih tetap tenang, “aku hanya menjalankan tugasku. Semua orang asing
mendapat perlakuan yang sama, sehingga sebenarnyalah aku sama sekali tidak
menuduh kalian sebagai penjahat yang dimaksud mengganggu kademangan ini. Tetapi
agar jelas bagi kami, orang-orang Macanan, katakanlah siapakah kalian, dari
mana dan hendak kemana?”
“Minggir orang tua gila,“
seorang dari keduanya berteriak, “aku dapat membunuhmu dengan sekali pukul.”
Sumangkar mengerutkan keningnya.
Ia tahu bahwa orang itu benar-benar memiliki kemampuan. Namun kecurigaannya
semakin menjadi-jadi karena sikap keduanya.
“Aku mohon maaf. Jika kalian
mengatakan bahwa kalian akan pergi ke Jati Anom menemui senapati di daerah ini,
aku akan menyingkir, karena dengan demikian kalian adalah prajurit-prajurit
Pajang dalam tugas sandi.”
Tiba-tiba saja tanpa berpikir,
salah seorang dari keduanya menjawab, “Ya. Kami akan menghadap Senapati
Untara.”
“O,“ Sumangkar mengangguk
angguk, “jika demikian aku akan menyingkir untuk memberi jalan kepada kalian
berdua. Dan kita akan berjalan bersama-sama ke Jati Anom. Sebenarnyalah akupun
akan menghadap Ki Untara untuk melaporkan keadaan Kademangan Macanan seperti
yang kami lakukan setiap sepekan sekali untuk mengetahui perkembangan keamanan
di daerah kami.”
“Gila,“ orang itu berteriak.
Ia tidak mengira sama sekali bahwa orang tua itu akan mengikutinya. Namun
dengan demikian maka kemarahan kedua orang itu sudah tidak tertahankan lagi.
Salah seorang dari keduanya kemudian menggeram, “Pengawal tua. Mungkin kau
mengira bahwa pengawal kademangan akan mampu menahan kami. Ketuaanmu,
ketenanganmu, memang nampaknya meyakinkan. Mungkin kau bekas seorang prajurit
yang kemudian menjadi pemimpin pengawal kademangan, atau seorang bekas penjahat
ulung yang sudah tidak mampu lagi berburu di medan yang luas, sehingga terpaksa
kembali ke kampung halaman dan kembali memegang tangkai cangkul sambil menebus
dosa, menjadi pengawal kademangan.“ ia berhenti sejenak, “namun jangan mimpi
bahwa kau akan dapat berbuat sesuatu atas kami. Apalagi kami sekarang berdua.”
Sumangkar tersenyum, katanya,
“Darimana kau tahu tentang diriku Ki Sanak. Aku memang bekas seorang penjahat
yang disebut Banaspati. Dan aku memang sedang menebus dosa. Karena itu, Kademangan
Macanan untuk waktu yang lama tidak pernah diganggu oleh kejahatan. Jika
sekarang kejahatan itu timbul, maka itu adalah suatu penghinaan kepada
Sumangkar yang pernah digelari Banaspati.”
Kemarahan yang sangat telah
menghentak dada kedua orang berkuda itu. Demikian sesaknya dada mereka,
sehingga tiba-tiba saja salah seorang tertawa menghentak untuk melepaskan
kepepatan hati sambil berkata, “Apakah kau sudah bersiap untuk mati? Ternyata
kau benar-benar keras kepala. Tetapi agaknya kau sudah cukup lama hidup
mengalami seribu macam corak kehidupan, sehingga sekarang kau benar-benar ingin
mati.”
“Sudahlah Ki Sanak. Marilah,
kita akan pergi ke Jati Anom. Bukankah Ki Sanak akan menghadap Senapati Untara
?”
Kedua orang yang marah itu
saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang dari keduanya
menggeram, “Minggir orang gila, atau aku harus membunuhmu.”
Sumangkar menggeleng lemah
sambil menyahut, ”Kita akan pergi bersama-sama ke Jati Anom.”
Kedua orang itu sudah tidak
sabar lagi menghadapi sikap Sumangkar yang menjengkelkan itu. Sehingga karena
itu, maka salah seorang dari mereka langsung mengayunkan cemeti kudanya dan
menghantam punggung Ki Sumangkar.
Tetapi orang itu terkejut.
Betapa cepat ayunan cemetinya, namun Sumangkar berhasil mengelakkan dirinya,
membungkuk mendatar di punggung kudanya. Bahkan dengan serta merta ia
menggerakkan kendali kudanya dan mengatur diri menghadap kepada kedua orang
itu.
“Hem,“ orang yang mengayunkan
cemetinya itu menggeram, “kau benar-benar bekas seorang penjahat. Tetapi
perbuatanmu ini benar-benar perbuatan gila. Jangan kau sangka bahwa seorang
penjahat yang ulung-pun akan mampu menahan kami. Apalagi penjahat yang masih
mempergunakan nama-nama gila untuk menakut-nakuti orang. Karena penjahat yang
demikian tentu justru penjahat-penjahat yang sering mencuri ternak di kandang.
Untuk membesarkan namanya, ia mempergunakan sebutan-sebutan yang aneh, seperti
yang kau pergunakan. Banaspati.”
“Mungkin Ki Sanak. Tetapi kali
ini aku benar-benar ingin berjasa terhadap kampung halaman dan kepada prajurit
Pajang di Jati Anom. Karena itu aku sudah bertekad untuk mengantarkan kalian ke
Jati Anom, atau menangkap kalian berdua.”
Sumangkar tidak sempat
menyelesaikan kata-katanya. Salah seorang dari kedua orang yang marah itu
langsung menyerangnya di atas punggung kuda.
Tetapi Ki Sumangkarpun sudah
bersedia menghadapinya.
Ketika kuda salah seorang dari
keduanya menghampirinya, dan sebuah serangan langsung mengarah ke pelipisnya,
Sumangkar sempat mengelak dan kudanyapun bergerak ke samping.
Serangan yang gagal itu
membuat orang itu semakin marah. Sesaat kemudian kudanyapun berputar di jalan
menyilang lorong yang dilaluinya. Sementara kuda yang lain mulai bergerak dan
siap untuk menyerangnya pula.
Perkelahian di atas punggung
kuda di jalan yang tidak begitu lebar memang tidak menguntungkan. Itulah
sebabnya, maka Sumangkar berniat memaksa lawannya untuk turun dari kudanya.
Itulah sebabnya, maka ketika
serangan berikutnya datang, maka Sumangkar telah memperhitungkannya baik-baik.
Dengan cepat ia berputar dan di luar dugaan lawannya, ia tidak mengelakkan
serangannya, tetapi justru membenturnya dan sekaligus menangkap tangan
lawannya.
Sebuah hentakan yang kuat
telah menarik lawan Sumangkar itu dari kudanya. Tetapi ternyata orang itu telah
berpegangan pada tangan Sumangkar pula, sehingga keduanyapun telah terloncat
dari punggung kudanya dan jatuh berguling di tanah.
Tetapi ternyata bahwa keduanya
adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Karena itulah,
maka keduanya mampu menempatkan dirinya, sehingga keduanya tidak cidera
karenanya. Bahkan dalam sekejap kemudian, keduanya telah meloncat berdiri dan
siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, seorang lawan
Sumangkar yang masih berada di punggung kudanyapun merasa tidak banyak gunanya
ia bertahan terus untuk bertempur di atas kudanya. Itulah sebabnya, maka iapun
segera meloncat turun dan siap menghadapi Ki Sumangkar berpasangan.
“Ternyata kau memang sedikit
mempunyai kemampuan pengawal tua,” salah seorang dari keduanya menggeram,
“tetapi bahwa kau sudah merasa dirimu melampaui kemampuan Untara dan berusaha
menangkap kami berdua, adalah angan-angan yang gila dan tidak tahu diri.
Betapapun tingginya ilmu pengawal kademangan kecil seperti Macanan, ia tidak
akan mampu menahan kami. Apalagi berdua.”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya, ia memang harus berhati-hati. Keduanya memang bukan orang-orang
kebanyakan. Sehingga karena itulah maka sambil memperhatikan keduanya ia
menjawab, “Aku sama sekali tidak merasa diriku melampaui kemampuan Ki Untara.
Tetapi aku hanya berkeinginan untuk membawa kalian menghadap Ki Untara.”
“Persetan,“ geram yang
seorang, sementara yang lain maju selangkah, “bunuh saja orang ini. Kita tidak
banyak mempunyai waktu.”
Serangan berikutnyapun segera
datang beruntun. Sumangkar berusaha untuk mengelakkan serangan-serangan itu.
Dengan cepatnya ia meloncat menghindar dan bahkan iapun berusaha menyerang
dengan garangnya.
Agaknya kedua orang lawannya
yang marah itu tidak mempunyai waktu terlalu banyak untuk bermain-main dengan
pengawal Kademangan tua itu, sehingga sejenak kemudian keduanyapun telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan Sumangkar yang telah dengan
sombong menghentikan mereka.
Demikianlah maka merekapun
segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Masing-masing telah berusaha
untuk segera memenangkan pertempuran itu.
Tetapi ternyata kemudian,
bahwa kedua orang yang dihentikan oleh Sumangkar itu mampu bertempur
berpasangan dengan baiknya, sehingga pada suatu saat, Sumangkarpun mulai nampak
kebingungan menghadapi kedua lawannya.
Namun demikian, ia masih tetap
bertempur mati-matian. Ia masih sempat selalu meloloskan diri dari serangan
yang langsung membahayakan jiwanya. Namun demikian, semakin lama nafasnya menjadi
semakin berdesakan di lubang hidungnya.
“Orang tua yang gila,“ geram
salah seorang dari keduanya, “kami bukan orang-orang yang baik hati dan
memaafkan segala kesalahanmu. Kau sudah menghentikan langkah kami. Karena itu,
kau harus menyesalinya meskipun tidak perlu terlalu lama, karena sebentar lagi
kau akan kami bunuh tanpa ampun.”
Sumangkar tidak menjawab. Ia
berusaha untuk bertahan terus. Meskipun ia masih dapat mengelakkan setiap
serangan, tetapi semakin lama ia menjadi semakin terdesak.
Dengan segenap sisa tenaganya,
Sumangkar masih tetap bertahan melingkar-lingkar. Ia tidak mau beranjak jauh
dari tempatnya. Meskipun kadang-kadang ia harus meloncat jauh surut, tetapi ia
sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri. Apalagi ketika lawannya berkata
lantang, “Tidak ada gunanya kau melarikan diri. Kami yang sudah terlanjur turun
dari kuda, akan meninggalkan mayat kalian disini.”
Sumangkar tidak menjawab. Ia
mencoba sekilas memandang berkeliling.
“Kau mencari kawan yang sedang
berada di sawah atau orang lalu? Jalan ini terlalu sepi. Mungkin akan ada dua
atau tiga orang prajurit yang lewat. Tetapi dua tiga orang prajurit itupun akan
kami bunuh pula jika mereka ikut serta melibatkan diri. Bahkan seandainya yang
datang Untara sekalipun, kami tidak akan gentar.”
“Jangan terlalu sombong,“
geram Sumangkar. Tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Serangan kedua
lawannya benar-benar telah mendesaknya.
“Nah Ki Sanak,“ berkata salah
seorang dari keduanya, “mulailah dengan penyesalanmu.”
“Tidak. Aku tidak menyesal,“
jawab Sumangkar, “aku akan menangkap kalian. Sekarang semakin kuat dugaanku,
bahwa kalian berdua adalah penjahat yang selama ini sering mengganggu dan
merampok kademangan-ku.”
“Gila.”
“Aku akan berteriak.
Orang-orang yang ada di sawah itu akan berdatangan. Mereka akan membantu aku
dan jumlah mereka akan cukup banyak.”
“Itu adalah suatu tindakan
yang bodoh. Itu berarti bahwa kau telah membunuh kawan-kawanmu sendiri, karena
aku benar-benar akan membunuh siapa saja yang terlibat dalam perkelahian ini.”
Ki Sumangkar termangu-mangu
sejenak. Tetapi serangan kedua orang lawannya datang seperti badai dari arah
yang berbeda. Karena itulah maka ia harus berputaran seperti angin pusaran.
“Jangan gembira karena
kemenangan-kemenangan kecil,“ desis Sumangkar, “karena sebentar lagi
orang-orang kademangan ini akan menangkap kalian berdua.”
“Daerah ini terlampau sepi.
Orang-orang yang ada di sawah justru telah berlarian dan bersembunyi. Apa yang
akan kau katakan?”
Ki Sumangkar tidak sempat
menjawab. Serangan keduanya benar-benar hampir menyentuh kulitnya.
Karena itulah maka Ki
Sumangkar harus berloncatan menghindarinya. Sekali-sekali ia sempat menyerang.
Namun sebagian besar dari tata geraknya adalah sekedar berusaha menghindari
serangan lawan.
Tetapi Ki Sumangkar tidak
selalu berhasil. Serangan kedua orang lawannya semakin lama menjadi semakin
cepat. Betapapun juga Sumangkar berusaha untuk menghindar, namun pada suatu
saat, ia telah tersentuh oleh tangan lawannya.
Terdengar Sumangkar
menyeringai. Sentuhan itu ternyata telah membuatnya semakin terdesak.
“Kau akan mati,“ geram salah
seorang dari kedua lawannya.
Tetapi Sumangkar masih melawan
terus. Ia tidak mau meninggalkan arena. Apapun yang akan terjadi, ia akan
bertempur terus.
“Kau kira aku seorang
pengecut,“ ia menggeram, “akupun pernah menjadi seorang yang pada suatu saat
berhasil menyombongkan diri karena kemenangan-kemenangan kecil.”
Sumangkar tidak sempat
meneruskan kata-katanya. Sebuah serangan yang cepat dan keras telah mengenai
pundaknya, sehingga ia terputar dan terbanting di tanah.
Sekali ia terguling, kemudian
dengan serta merta ia meloncat berdiri.
Pada saat yang bersamaan,
sebuah serangan kaki mendatar telah mengejarnya. Untunglah, bahwa justru
keseimbangannya belum pulih kembali sehingga ia terjatuh tepat pada saat kaki
lawannya hampir saja mengenai tengkuknya.
Lawannya yang tidak berhasil
mengenainya itu menggeram marah. Ia masih ingin menyerangnya sekali lagi.
Tetapi agaknya Sumangkar justru sudah berhasil berdiri dan meloncat jauh-jauh
ke belakang.
“Kau akan lari,“ bentak salah
seorang dari kedua lawannya.
Sumangkar tidak menyahut.
Tetapi sorot matanya semakin lama seakan akan menjadi semakin redup.
“Jangan menyesal,” geram
lawannya.
Sumangkar masih tetap berdiam
diri. Tetapi ia selalu bersiaga menghadapi kedua lawannya yang memiliki ilmu
yang tinggi itu.
Tetapi ternyata bahwa
Sumangkar benar-benar telah terjepit. Kedua orang lawannya berhasil mendesaknya
ke bawah sebatang pohon Randu Alas yang tumbuh di pinggir jalan itu.
“Kau tidak akan dapat lari
meninggalkan kami. Sekarang, katakanlah, apa yang kau kehendaki untuk yang
terakhir kalinya.”
“Kenapa yang terakhir?”
“Kau akan mati,“ geram orang
itu.
Sumangkar menjadi tegang
sejenak. Tetapi ia tidak dapat menyangkal. Serangan kedua orang itu semakin
lama menjadi semakin garang. Dan bahkan seakan-akan telah mengurungnya dalam
keadaan yang paling gawat.
Dalam saat-saat terakhir dari
perkelahian itu Sumangkar terdesak tanpa dapat menahan arus serangan lawannya,
sehingga pada suatu saat, ia berdiri di tanggul parit dengan ragu-ragu.
Sementara dari dua arah yang berbeda, kedua lawannya mendekat dengan senjata
yang sudah teracu.
“Saat kematian itu memang
sudah mendekat,“ desis yang lain.
Ki Sumangkar memandang kedua
ujung senjata itu. Berganti-ganti. Dalam keadaan yang sulit ia menjawab, ”Jika
keadaan yang paling pahit itu harus aku jalani, apa boleh buat. Tetapi pada
saat terakhir aku sudah melihat, siapakah orang yang selama ini mengganggu
Kademanganku. Mencuri ternak atau sekali-sekali mencuri harta milik dengan
merusak dinding.”
“Gila,“ geram yang satu, “kau
masih saja gila.”
“Kejahatan yang demikian tentu
akan sampai pada batasnya. Jika prajurit Pajang menemukan kalian sedang mencuri
kuda, bahkan mencuri ayam, maka kalian akan menyadari bahwa pasukan Pajang
bukan terdiri dari pengawal-pengawal seperti aku.”
“Tetapi anggapanmu bahwa kami
adalah pencuri-pencuri itu adalah anggapan yang gila sekali. Apakah tampangku
seperti pencuri ayam?”
“Aku tidak dapat membedakan tampang
seseorang. Tetapi tingkah lakumu mengatakan kepadaku, bahwa kalian berdua
adalah pencuri-pencuri yang selama ini sedang kami cari.”
“Aku bukan pencuri. Jika kau
sekali lagi menyebut aku pencuri aku akan menyobek mulutmu.”
Sumangkar termangu-mangu. Lalu
dengan nada datar ia bertanya, “Jika kalian bukan pencuri ternak dan kuda,
kenapa kalian takut aku hadapkan kepada Untara? Ia tidak pernah menghukum orang
yang tidak bersalah.”
“Aku bukan pencuri ayam. Jika
ada sesuatu yang aku lakukan, maka semuanya itu aku lakukan karena cita-cita?”
Sumangkar tidak menyahut.
Ketika tiba-tiba saja ia meloncat surut, melewati tanggul dan parit, salah
seorang dari kedua itu telah meloncat memotong arah sambil berkata, “Kau tidak
akan dapat lari kemana-mana Kau akan mati.”
Wajah Sumangkar menjadi tegang
dan gemetar. Namun ia masih berdesis, “Penjahat yang keji. Bertaubatlah.
Kemudian tebuslah dosa-dosamu dengan berbuat kebajikan.”
“Aku bukan penjahat,“ salah
seorang dari keduanya berteriak, “orang tua gila,“ ia menggeram, “di ambang
pintu maut, dengarlah kata-kataku. Sebenarnyalah aku bukan penjahat seperti
yang kau maksud.”
“Jadi. jadi, siapakah kau?”
Sumangkar melangkah surut dan turun di tanah persawahan.
Kedua orang itu mendesak
semakin ketat dari dua arah, sehingga Sumangkar menjadi semakin terdesak.
Bahkan rasa-rasanya kedua ujung senjata orang-orang yang marah itu tidak
terkekang lagi memburunya.
“Kami jarang sekali
mempergunakan senjata kami,” berkata salah seorang dari keduanya, “tetapi
karena aku sekarang sedang berhadapan dengan pengawal gila, maka aku telah
mempergunakan senjataku. Tetapi jika senjata ini sudah tertarik dari sarungnya,
maka senjata ini tentu akan menghisap darah korbannya.”
Sumangkar tidak menyahut.
Sekilas ia melihat kedua ujung senjata yang tajamnya melampaui tajam duri
kemarung.
Yang dapat dilakukan Sumangkar
kemudian hanyalah sekedar meloncat surut. Semakin lama semakin cepat. Namun di
luar penguasaan keseimbangan tubuhnya, kakinya telah menyentuh pematang,
sehingga Sumangkar itupun jatuh terlentang di antara tanaman yang hijau segar.
“Ajalmu telah sampai,“ geram
salah seorang lawannya.
“Tetapi, kau belum menjawab.
Siapakah kalian sebenarnya?”
“Tidak ada gunanya. Kami sudah
terlanjur marah dan harus membunuhmu.”
“Sebut nama kalian sebelum aku
mati.“
Sejenak keduanya ragu-ragu.
Namun salah seorang kemudian berkata, “Namaku tidak ada artinya. Tetapi
ketahuilah. Kami bukan penjahat kecil seperti yang kau sebut-sebut. Sebutan itu
memang suatu penghinaan yang tidak termaafkan. Aku adalah orang-orang yang
sedang mengemban tugas dari para pemimpin yang akan mewarisi kerajaan Agung
Majapahit.”
“Majapahit,” Sumangkar menjadi
heran.
“Kami adalah orang-orang yang
sedang mengemban tugas dalam cita-cita, bukan sehina seperti yang kau sangka.”
“Tetapi, tetapi Majapahit itu
sudah tidak ada lagi sekarang ini. Bahkan sudah diganti oleh Kerajaan Demak
beberapa keturunan, sehingga akhirnya kerajaan kini berpusat di Pajang.”
“Apa arti Jaka Tingkir anak
padesan itu? Ia sama sekali tidak wenang mewarisi kejayaan Wilwatikta. Ia harus
terusir dari tahta dan menyerahkan warisan kejayaan Majapahit yang dirampasnya
kepada para pemimpin yang berhak.”
“Siapakah yang kau maksud para
pemimpin yang berhak itu?”
“Kau tidak perlu tahu tikus
kecil. Kau harus mati.”
“O,“ Sumangkar
mengangguk-angguk, “jadi kalian adalah para petugas dari Kerajaan Agung
Majapahit itu?”
“Ya. Kerajaan Agung Majapahit
akan segera lahir.”
“Di lembah antara Gunung
Merapi dan Gunung Merbabu?”
Kedua orang itu tiba-tiba
menjadi tegang. Salah seorang dari keduanya menggeram bertanya, “Dari manakah
kau mendengar bahwa ada sesuatu peristiwa penting di lembah Gunung Merapi dan
Gunung Merbabu?”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Perlahan-lahan ia mencoba berdiri. Tetapi salah seorang dari kedua
lawannya membentak. “Jangan bergerak. Itu hanya akan mempercepat kematianmu.”
“Biarlah aku berdiri. Jika
ujung senjatamu benar-benar akan menghunjam di jantungku, biarlah aku mendengar
keteranganmu lebih banyak lagi.”
“Tidak ada yang akan aku terangkan.”
“Tentang lembah itu,“
Sumangkar masih berusaha untuk berdiri.
“Berdirilah. Kau akan mati
sambil berdiri dan jatuh menelentang lagi dengan darah mengalir dari jantungmu
yang akan aku sobek dengan senjataku. Bersiaplah. Jika kau benar-benar jantan,
berdirilah dengan dada tengadah supaya aku tidak salah memilih arah jantungmu.”
“Baiklah. Aku memang tidak ada
pilihan lain. Tetapi sebutlah namamu berdua.”
“Orang matipun tidak perlu
mendengar namaku. Berdirilah tegap seperti seorang laki-laki sejati. Dosamu
sudah terlalu banyak. Kau sudah menghina utusan Kerajaan Agung Majapahit
sebagai penjahat-penjahat kecil. Dan kau sudah mendengar serba sedikit tentang
pertemuan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.”
“Aku memang sudah mendengar. Di
lembah itu akan dibicarakan pula mengenai kedua pusaka yang hilang dari
Mataram. Songsong kebesaran dan yang tak ternilai adalah pusaka terbesar,
Kangjeng Kiai Pleret.”
“He, darimana kau tahu? “
salah seorang dari keduanya berteriak.
Sementara yang lain menggeram,
“Cepat. Bunuh orang ini. Ia sangat berbahaya. Kecuali jika kau dapat menyebut,
bahwa kau adalah petugas di antara kami.”
Tetapi Sumangkar menggeleng,
“Aku bukan petugas sandi di antara kalian. Aku benar-benar seorang bekas
penjahat yang kini menjadi pengawal sebuah kademangan kecil disini. Dan aku
benar ingin menangkapmu jika aku mampu dan membawamu menghadap Senepati
Untara.”
“Gila. Kau membenarkan
keputusan kami untuk membunuhmu.”
“Baiklah. Tetapi dengarlah
penjelasanku tentang diriku,“ Sumangkar melanjutkan.
“Apakah itu penting?“ geram
lawannya yang lain.
“Sebelum kau membunuh aku, kau
tahu pasti, siapah aku ini.”
“Katakan. Cepat kalau itu
memberikan sedikit ketenangan disaat matimu.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ia sudah berdiri tegak. Dari dua arah ia melihat ujung senjata
yang siap menghujam ke tubuhnya. Ketika sekilas ia memandang wajah orang-orang
yang menggenggam senjata itu, dilihatnya wajah itu seolah-olah menjadi merah
membara.
“Dengarlah,” berkata Sumangkar
sambil melangkah surut. Tetapi kedua orang itu melangkah mendekat pula tanpa
menghiraukan tanaman yang terinjak-injak kaki.
“Aku adalah seorang penjahat
yang paling dibenci oleh orang-orang Pajang. Itulah sebabnya aku berusaha
membuat suatu jasa bagi mereka, khususnya prajurit Pajang di daerah ini.”
“Cepat sebut, siapa kau.”
“Aku adalah penjahat besar
dari Jipang. Aku adalah adik seperguruan Patih Mantahun. guru seorang Senapati
Jipang yang masih muda, Tohpati yang terbunuh di daerah ini pula.”
“Tohpati yang bergelar Macan
Kepatihan pada jaman itu?”
“Ya. Namaku sudah aku sebut.
Sumangkar.”
Kedua orang itu
termangu-mangu. Sebutan yang diucapkan oleh Sumangkar tentang dirinya sendiri
sebagai saudara seperguruan Tohpati membuat orang itu berdebar-debar.
Namun kemudian salah seorang
dari keduanya berkata lantang, “Jangan mengigau orang tua. Jika kau pernah
menjadi seorang penjahat kecil, aku memang percaya. Tetapi jika kau mengaku
saudara seperguruan dari Patih Mantahun, agaknya syarafmu mulai terganggu di saat
kau menghadapi maut.”
Sumangkar memandang orang itu
sejenak. Namun ia tersenyum. Katanya, “Mungkin syarafku sudah terganggu. Tetapi
aku adalah Sumangkar, adik seperguruan Patih Mantahun.”
“Aku tidak peduli. Sekarang,
bersiaplah untuk mati. Kau tidak akan dapat memperpanjang nyawamu dengan
cerita-cerita mimpi seperti itu.”
Tetapi Sumangkar masih saja
tersenyum. Katanya, “Aku sudah mengetahui tugasmu. Kau tentu dua orang di
antara orang-orang yang mengaku dirinya memiliki hak untuk mewarisi Kerajaan
Majapahit yang sudah tidak ada lagi itu.”
“Ya. Aku tidak ingkar.
Sekarang matilah dengan tenang.”
“Aku masih belum ingin mati.
Aku akan melanjutkan perlawananku. Aku juga mempunyai senjata yang akan dapat
membantuku melepaskan diri dari ujung senjatamu.”
“Gila,“ geram yang seorang.
Sementara yang lain tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat
menusuk lambung Sumangkar dengan senjatanya.
Tetapi keduanya terkejut
melihat perubahan sikap Sumangkar. Dengan tangkasnya ia berhasil menghindar dengan
loncatan panjang. Namun lawannya yang lain tidak memberinya kesempatan. Dengan
garangnya yang seorang itupun menyerang pula.
Tetapi Sumangkar telah
benar-benar berubah. Ia tidak lagi seorang tua yang ketakutan menghadapi maut.
Namun wajahnya yang kemudian menjadi tegang, menunjukkan sikap yang sebenarnya
dari adik seperguruan Patih Mantahun itu.
“Maaf Ki Sanak,“ berkata
Sumangkar kemudian dengan nada datar sambil menghindarkan diri dari serangan
lawannya, “aku hanya ingin mendengar pengakuanmu. Menghadapi orang yang akan
mati, biasanya seseorang tidak menyembunyikan sesuatu lagi. Dan aku sudah
mencobanya meskipun aku tahu bahwa aku sedang bermain-main dengan maut, karena
aku akan dapat benar-benar mati.”
“Persetan. Kau memang akan
mati,“ teriak salah seorang dari kedua orang itu.
“Aku akan mencoba bertahan.
Mudah-mudahan aku berhasil.”
Kedua lawannya tidak menunggu
lebih lama lagi. Kemarahan yang memuncak telah mendorong mereka untuk menyerang
lebih dahsyat lagi.
Namun Sumangkar bukan lagi
seorang pengawal tua yang menghadapi maut. Tiba-tiba saja di tangannya telah
tergenggam senjatanya. Sebuah trisula berantai di tangan kanan dan pasangan
trisula di tangan kiri, yang langsung digenggam pada tangkainya yang pendek.
Senjata Sumangkar memang
menarik perhatian kedua lawannya. Trisula kecil itu memberikan kesan
tersendiri.
Namun, meskipun trisula itu
telah menggetarkan jantungnya, tetapi ada sesuatu yang membuat mereka
berpengharapan. Ternyata senjata orang yang menyebut adik seperguruan Patih
Mantahun itu tidak mempergunakan senjata yang mengerikan, ciri perguruannya.
“Kau berbohong,“ geram yang
seorang dari kedua lawan Sumangkar, “kau mencoba menakut-nakuti kami dengan
menyebut dirimu adik seperguruan Patih Mantahun. Tetapi kau tidak menunjukkan
ciri perguruanmu. Tohpati mempunyai tongkat baja dengan bentuk tengkorak
berwarna kuning pada tangkainya.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kau mengenal ciri itu?”
“Setiap orang Pajang
mengenalnya.”
“Dan kau bagian dari Prajurit
Pajang itu. Aku tahu pasti. Kau sudah mengkhianati tugasmu dan bergabung dengan
orang-orang yang merasa dirinya mewarisi Kerajaan Agung Majapahit. Itulah
sebabnya aku akan menangkapmu,“ Sumangkar berhenti berbicara karena serangan
lawannya yang mendesak. Namun kemudian ia meneruskan, “Sedangkan tentang ciri
perguruanku itu, karena sangat terbatas jumlahnya, tidak setiap orang
memilikinya. Aku sudah menyerahkan senjata itu kepada muridku.”
Kedua orang itu benar-benar
menjadi gelisah. Serangan-serangan mereka sama sekali tidak memberikan tekanan
lagi kepada Sumangkar.
Dengan demikian merekapun
menyadari sepenuhnya, bahwa kekalahan Sumangkar adalah sekedar sebuah pancingan
agar mereka mengaku, siapakah mereka sebenarnya.
Kemarahan yang menghentak dada
seakan-akan tidak tertahankan lagi. Sehingga dengan demikian, maka keduanya
telah bertempur semakin cepat dan keras.
Tetapi desing trisula
Sumangkar yang diikatnya dengan rantai di tangan kanannya seakan-akan telah
berubah menjadi sebuah perisai rapat. Putaran trisula itu sama sekali tidak
dapat ditembusnya dengan ujung senjata. Bahkan kadang-kadang mereka harus
menghindar dengan loncatan panjang, jika trisula Sumangkar itu tiba-tiba saja
mematuknya.
Perkelahian itupun menjadi
semakin sengit. Bahkan mereka tidak lagi menahan diri, apalagi mempertimbangkan
bahwa mereka harus menghindarkan diri dari pertumpahan darah dalam arti yang
sebenarnya, karena perkelahian itu sudah dihembus oleh nafas maut.
Kedua orang yang merasa
terjebak oleh sikap Sumangkar itu benar-benar berusaha untuk membunuhnya dengan
cara apapun juga. Sebaliknya Sumangkar yang mengetahui tugas keduanya, berusaha
untuk benar-benar dapat menangkap meskipun hanya seorang saja dari keduanya.
Tetapi Sumangkarpun kemudian
telah didesak untuk berkelahi mati-matian karena kedua lawannya benar-benar
bukan lawan yang dapat diabaikan. Keduanya memiliki kemampuan yang harus
diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Apalagi setelah keduanya mengerti, bahwa
lawannya bukannya orang kebanyakan. Bukan seorang bekas penjahat kecil yang
menjadi pengawal sebuah kademangan kecil seperti yang dikatakan semula. Tetapi
lawannya adalah saudara seperguruan Patih Mantahun.
Karena itulah maka pertempuran
di antara merekapun menjadi semakin seru. Masing-masing berusaha untuk
melumpuhkan lawannya dengan cara yang dapat dilakukan.
Sementara itu, Sumangkar yang
harus bertempur mati-matian, harus mempertimbangkan segala kemungkinan. Ia
tidak dapat membiarkan dirinya selalu dibayangi oleh kesulitan hanya karena
berusaha untuk mengalahkan lawannya dan dapat menangkap mereka hidup-hidup.
“Jika terpaksa aku
mengorbankan salah seorang dari keduanya, apa boleh buat. Tetapi yang seorang
harus dapat ditangkap hidup-hidup untuk dapat didengar keterangannya,” berkata
Ki Sumangkar di dalam hati.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki
Sumangkar tidak ingin membawanya kepada Untara. Jika ia berhasil menangkap
seorang atau keduanya, maka ia akan membawanya ke padepokan Agung Sedayu.
Dalam pada itu, selagi
pertempuran menjadi semakin sengit, maka di kejauhan orang-orang yang sedang
berada di sawah dicengkam oleh kecemasan. Mereka tidak tahu sebabnya dan tidak
mengenal pula kedua belah pihak. Namun perkelahian itu benar benar telah
mendebarkan jantung mereka.
Meskipun mereka tidak berani
mendekat, tetapi dari kejauhan beberapa orang laki-laki mengawasi pertempuran
yang sengit itu. Para pengawal padukuhan terdekat telah berkumpul dan
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
“Kita akan mendekat,” berkata
salah seorang pengawal.
Tetapi pemimpinnya masih
mencegahnya. Katanya, “Tunggu. Kita harus dapat melihat kemungkinan-kemungkinan
yang lebih luas dari peristiwa ini. Menurut penglihatanku, mereka yang sedang
bertempur itu adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Jika kita
melibatkan diri, maka aku kira kita tidak akan dapat menyesuaikan diri.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Namun salah seorang dari mereka berkata, “Jika perkelahian itu membuat salah
satu pihak menjadi mata gelap dan tanpa sebab mengganggu padukuhan kita ?”
“Kita akan mencegahnya. Jumlah
kita cukup banyak meskipun mungkin tidak seorangpun dari antara kita yang
memiliki kemampuan yang memadai tetapi bersama-sama kita setidak-tidaknya akan
dapat menahannya.”
Para pengawal itu masih tetap
termangu-mangu. Tetapi di tangan mereka telah tergenggam senjata.
“Kita hanya akan
mempertahankan dan mengamankan padukuhan kita. Kita tidak dapat ikut mencampuri
persoalan mereka, karena mereka bukannya orang-orang kebanyakan,“ berkata
pemimpinnya, “meskipun ada kewajiban kita memisah setiap perselisihan, ada atau
tidak ada sangkut pautnya dengan pedukuhan kita. Tetapi perselisihan yang kita
hadapi sekarang adalah perselisihan antara orang-orang berilmu yang kebetulan
saja terjadi di daerah ini.”
Sejenak para pengawal itu termangu-mangu.
Pertempuran di tengah bulak itu berlangsung semakin sengit.
“Kita minta bantuan ke Sangkal
Putung,“ tiba-tiba salah seorang berdesis, “mungkin para pengawal Sangkal
Putung, khususnya Swandaru dapat melerai atau bahkan menangkap mereka.”
“Apakah kita sempat
melakukannya ?”
Para pengawal itu masih saja
termangu-mangu. Meskipun Sangkal Putung tidak terlalu jauh, namun perjalanan ke
Sangkal Putung memerlukan waktu.
Akhirnya pemimpin pengawal itu
berkata, “Kita akan mengamati saja apa yang terjadi, agar padukuhan kita tidak
mereka libatkan dalam perselisihan yang tidak kita ketahui ujung pangkalnya.
Kawan-kawannya mengangguk.
Orang-orang laki-laki yang melihat perkelahian itu dari kejauhan menjadi
bertambah banyak. Tetapi merekapun tidak berani berbuat apa-apa.
Sumangkar yang harus melawan
dua orang yang agaknya termasuk tataran yang tinggi di kalangan orang-orang
yang mengaku pewaris kerajaan Agung Majapahit itu harus memeras keringatnya.
Perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit itu akhirnya memang harus
diakhiri tanpa mempertimbangkan kematian.
Trisula Sumangkar yang
berputar itu sekali-sekali mematuk lawannya. Demikian cepatnya, seolah-olah
Sumangkar tidak hanya memegang sepasang trisula. Setiap kali kedua lawannya itu
terkejut, jika trisula yang hanya sepasang itu telah menyerang keduanya dalam
waktu yang bersamaan. Bahkan kadang-kadang trisula yang terikat di ujung rantai
itu nampaknya tidak dapat diperhitungkan, kemana arah patukannya. Sehingga
semakin sengit mereka bertempur, trisula itu menjadi semakin membingungkan.
Seolah-olah telah berubah menjadi berpasang-pasang trisula yang tidak terhitung
jumlahnya.
Namun dalam pada itu.
Sumangkar yang mulai dijalari oleh panas di dadanya itu, bertempur semakin
dahsyat. Kadang-kadang iapun menjadi lupa, bahwa ia memerlukan salah seorang
dari kedua lawannya. Jika ia terdesak oleh kedua pucuk senjata lawannya itu,
maka iapun menjadi bertambah garang dan menyerang tanpa terkendali.
Keringat yang membasahi
seluruh tubuhnya seolah-olah membuatnya semakin garang. Ketika dua serangan
datang dengan tiba-tiba, maka Sumangkar menggeram sambil meloncat menghindar.
Namun ia tidak mau diburu oleh serangan demi serangan Karena itulah, maka
loncatan berikutnya, justru ia mulai menyerang. Dengan tangkasnya ia berusaha
menemukan arah serangan yang mapan. Dengan cepat ia mengambil arah di luar
garis serangan keduanya, sehingga ia berhasil berdiri di satu sisi.
Yang terjadi berikutnya,
adalah serangannya yang tiba-tiba. Trisulanya menyambar lambung dengan gerak
mendatar. Lawannya yang berdiri di hadapannya masih berhasil meloncat surut,
sehingga ia terlepas dari sambaran trisula Sumangkar.
Tetapi Sumangkar memang sudah
memperhitungkan. Bukan orang yang pertama itulah yang menjadi sasaran
serangannya. Demikian orang itu meloncat, muka trisula Sumangkarpun berputar
menurut arah putaran yang lain. Triula itu berputar dalam bidang yang tegak.
Tetapi hanya sesaat, karena sesaat kemudian trisula itu bagaikan meluncur
mematuk lawannya dengan dahsyatnya. Bukan lawan yang berdiri terdekat, tetapi
justru lawan yang berdiri pada jarak yang lebih jauh, sehingga karena itulah
maka serangannya itu kurang diperhitungkan oleh sepasang lawannya.
Serangan yang dilakukan oleh
Sumangkar di luar perhitungan lawan-lawannya itu benar-benar telah merusak
pertahanan mereka. Ketika trisula itu meluncur, kemudian mematuk lawannya yang
justru berdiri di tempat yang lebih jauh, lawannya yang lain bagaikan terpukau
oleh desah tertahan kawannya. Dengan mata terbelalak ia melihat darah yang
memancar dari luka di pundak.
Tetapi darah itu bagaikan
menyadarkannya dari mimpi. Itulah sebabnya, maka lawannya yang berdiri terdekat
itu dengan serta merta telah meloncat menyerang Sumangkar.
Sumangkar masih sempat menarik
trisulanya, ia mencoba untuk berkisar. Namun ternyata bahwa lawannyapun mampu
bergerak cepat, sehingga senjatanya masih berhasil menyentuh tubuh Sumangkar.
Sumangkarpun berdesis ketika
ia menyadari bahwa lengannya telah tergores oleh ujung senjata lawannya. Namun
goresan itu sama sekali tidak mempengaruhinya meskipun terasa juga perasaan
pedih yang menyengat.
Ketika Sumangkar mengambil
jarak, ia melihat lawannya yang dapat dilukainya itu terduduk lesu. Agaknya
luka di pundaknya cukup dalam dan melumpuhkan sebelah tangannya.
Tetapi Sumangkar tidak dapat
termangu-mangu lebih lama lagi. Iapun kemudian mulai dengan perjuangannya untuk
mengalahkan yang seorang lagi.
Tetapi adalah di luar
dugaannya, bahwa orang yang terluka itupun kemudian masih mencoba berdiri
dengan senjata di tangan kirinya. Agaknya ia tidak mau menyerah meskipun
pundaknya telah terluka parah. Darah masih saja mengalir dari lukanya, apalagi
jika iapun kemudian masih akan mencoba ikut dalam pertempuran.
Lawannya yang seorang ternyata
masih sanggup bertempur dengan sengitnya. Apalagi setelah kawannya terluka di
pundak. Ia merasa bahwa tanggung jawab perlawanannya terletak pada dirinya.
Dengan ragu-ragu orang yang
terluka itu masih juga mendekati arena. Bahkan ternyata kemudian, bahwa ia
masih sanggup membantu kawannya dengan sebelah tangannya.
Pertempuran yang sengit itupun
masih berlangsung. Sumangkar yang sudah tergores oleh luka itupun bertempur
dengan segenap kemampuannya, karena iapun merasa perlu untuk segera mengakhiri
perkelahian, sebelum darahnya sendiri terlalu banyak mengalir dari luka yang
hanya segores itu.
Dalam pada itu, orang-orang
padukuhan dan para pengawal yang menyaksikan pertempuran itu telah dicengkam
oleh ketegangan. Mereka mulai melihat darah yang mengalir dari luka. Dengan
demikian maka mereka menyadari bawa perkelahian itu benar merupakan perkelahian
yang mempertaruhkan nyawa.
Sumangkarpun menyadari, bahwa
ia harus bertempur dengan segala kemampuan. Jika ia lengah sedikit saja, maka
nyawanyalah yang akan direnggut oleh kedua lawannya. Dengan demikian maka ia
tidak akan berhasil mendapat keterangan apapun tentang orang-orang yang
menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu.
Ketika pertempuran itu
berlangsung sesaat lagi, orang yang terluka di pundaknya itu sama sekali sudah
tidak berdaya lagi untuk ikut membantu kawannya. Darahnya yang terlalu banyak
mengalir membuat tubuhnya menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya ia tidak
dapat berbuat apa-apa lagi. Setiap geraknya justru bagaikan memeras lukanya dan
darahpun mengalir semakin banyak.
Pada saat-saat yang semakin
sulit, lawannya sempat melihat kudanya masih saja berkeliaran sambil merenggut
rumput rumput hijau di tanggul parit. Kuda itu sama sekali tidak mengerti, apa
yang telah terjadi di sekitarnya. Ia tidak tahu bahwa penunggangnya sedang
berkelahi mempertaruhkan hidup dan matinya.
Tekanan Sumangkar yang tidak
teratasi membuat lawannya mulai memikirkan cara lain untuk menyelamatkan diri.
Tetapi jika terpandang olehnya meskipun sekilas kawannya yang terluka, maka
lawannya yang seorang itu menjadi bingung.
Namun dalam pada itu, agaknya
orang itu tidak melihat jalan lain yang dapat ditempuhnya, kecuali
mempergunakan kudanya.
“Tetapi kawanku tidak akan
sempat melarikan diri,“ desisnya di dalam hati. Apalagi ketika terlihat olehnya
kuda-kuda yang lain berada agak jauh dari arena.
Meskipun demikian, maka maut
yang sudah membayang itu memang perlu dihindari dengan cara apapun juga.
Termasuk cara yang sudah mulai dipikirkan. Lari dari arena pertempuran yang
berat itu.
Orang itu tidak dapat
mengingkari kenyataan, bahwa pertempuran yang demikian tidak akan dapat
dilampauinya betapapun ia berusaha, jika masih saja dibatasi pada perlawanan
kekerasan.
Karena itulah, maka sejenak
kemudian, iapun berteriak nyaring. Serangannya datang membadai untuk sesaat,
sehingga Sumangkar yang terkejut seakan-akan terdesak surut beberapa langkah.
Namun yang beberapa kejap itu ternyata telah dipergunakan oleh lawannya untuk
meloncat berlari ke arah kudanya.
Sumangkar yang melihat
lawannya melarikan diri. dengan serta merta mencoba mengejarnya meskipun ia
terlambat beberapa langkah. Namun ia bertekad untuk tidak melepaskan lawannya
itu.
Dengan sadar pula Sumangkar
tinggalkan lawannya yang lain, yang menurut penilaiannya sama sekali sudah
tidak berdaya lagi. Ia mengharap akan dapat menangkap kedua-duanya.
Tetapi langkah lawannya
ternyata cukup cepat, sehingga sebelum Sumangkar dapat mencapainya, ia telah
lebih dahulu meloncat ke punggung kudanya.
Sumangkar menggeram marah. Ia
masih berlari beberapa langkah saat kuda itu mulai bergerak. Tetapi ia
terlambat sekejap. Kuda itu sudah meloncat ketika ia sampai di tempat itu.
Namun yang mengherankan, kuda
itu tidak berlari terus. Kuda itu meloncat ke dalam tanah persawahan mendekati
orang yang terluka.
“Gila,“ teriak Sumangkar,
“apakah ia sempat membawanya?”
Sumangkar tidak membiarkannya
terjadi. Karena itu, maka iapun segera berlari lagi mengejar kuda yang turun ke
dalam lumpur.
Sumangkar menjadi semakin
berdebar-debar ketika ia melihat orang yang terluka itu mencoba berdiri. Namun
agaknya darah yang terlalu banyak mengalir, membuatnya sangat lemah, sehingga
iapun terduduk kembali di atas tanah berlumpur.
Sambil berlari
sekencang-kencangnya Sumangkar mencoba menilai keadaan. Jika orang berkuda itu
akan membawa kawannya, ia masih harus meloncat turun. Jika demikian, maka ia
akan berkesempatan untuk mengejarnya.
Tetapi jika orang itu sempat
berdiri dan mampu meloncat ke punggung kuda, maka Sumangkar mungkin akan
ketinggalan, sehingga ia tidak akan dapat mencegah kedua orang itu melarikan
diri.
Dengan sekuat-kuatnya
Sumangkar berlari terus. Namun yang dilihatnya kemudian telah membuatnya
menjadi berdebar-debar. Bahkan rasa-rasanya jantungnya akan pecah oleh
kemarahan yang membakar dadanya
Dengan sisa tenaga yang
terakhir, ternyata orang yang terluka itu masih sempat berdiri. Kemudian
menghentakkan diri meloncat ke punggung kuda yang berdiri sesaat, ditolong oleh
kawannya yang sudah berada di punggung kuda. Dengan hentakan, maka orang itu
berhasil naik ke punggung kuda yang dengan serta merta berlari meninggalkan
Sumangkar yang hampir mencapainya.
“Pengecut,“ teriak Sumangkar.
Namun keduanya sama sekali
tidak menghiraukannya. Semakin lama kuda itupun menjadi semakin jauh, sehingga
akhirnya kuda itulah yang lebih dahulu keluar dari dalam lumpur dan berlari di
atas jalan berbatu-batu.
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ia mencoba untuk mengendapkan kemarahan yang bagaikan akan
meledakkan dadanya.
“Gila,“ geramnya, “tetapi yang
seorang itu agaknya sudah terlalu parah. Lukanya sendiri tidak akan
mematikannya. Tetapi darah yang mengalir ternyata terlampau banyak, sehingga
sulit baginya untuk bertahan sampai daerah yang mereka anggap aman. Apalagi
lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu.
Sejenak Sumangkar termangu-mangu.
Ia masih melihat bintik hitam yang semakin lama menjadi semakin samar, dan
kemudian lenyap sama sekali.
“Aku gagal mendapatkan salah
seorang dari mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit,
atau orang-orang yang berdiri di pihaknya.“ gumam Sumangkar kepada diri
sendiri, “namun demikian aku mengetahui bahwa agaknya kegiatan orang-orang itu
menjadi kian meningkat, seperti yang pernah disebut-sebut oleh Raden
Sutawijaya.”
Sumangkarpun kemudian
menyadari, bahwa dirinya telah dikotori oleh lumpur dan bahkan darah yang
mengalir dari lukanya yang tidak begitu terasa meskipun ia kemudian mengambil
kesimpulan untuk memamapatkan darah yang meskipun hanya beberapa titik itu.
Namun dalam pada itu,
Sumangkar terkejut ketika ia melihat beberapa orang laki-laki telah tersembul
dari belakang regol padukuhan yang tidak terlalu jauh. Ia pun kemudian
menyadari, bahwa orang-orang itu tentu sudah menyaksikan, bahwa ia telah
bertempur melawan dua orang yang sempat melarikan diri.”
Tetapi jantungnya menjadi kian
berdebar-debar ketika ia melihat, bahwa orang-orang itu ternyata membawa
senjata di tangannya.
“Apakah yang akan mereka
lakukan?“ pertanyaan itu telah mengganggunya.
Namun hati Sumangkar yang
telah menitikkan darah itu menjadi seakan-akan sekeras batu.
“Jika mereka menggangguku, apa
boleh buat,“ desisnya.
Karena itulah maka Sumangkar
menunggu dengan senjatanya di tangan, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Yang terdepan dari orang-orang
padukuhan itu adalah pemimpin pengawalnya. Dengan ragu-ragu pemimpin pengawal
itu mendekat. Namun heberapa langkah sebelum sampai di hadapan Sumangkar ia
berhenti. Orang-orang yang mengikutinyapun berhenti juga termangu-mangu.
“Ki Sanak,“ bertanya pemimpin
pengawal itu, “apakah sebenarnya yang telah terjadi, sehingga Ki Sanak harus
bertempur melawan kedua orang itu?”
Sumangkar termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku mencurigai mereka. Aku ingin memaksa
mereka menghadap Ki Untara.”
Pemimpin pengawal itu
mengerutkan keningnya. Dengan nada yang meninggi ia bertanya, “Ki Untara
Panglima pasukan Pajang di Jati Anom?”
“Ya.”
“Tetapi siapakah Ki Sanak?”
“Aku adalah orang yang sering
lewat jalan ini. Aku Sumangkar dari Sangkal Putung.”
“Sangkal Putung? “ orang itu
mengerutkan keningnya, “apakah Ki Sanak memang orang Sangkal Putung?”
“Ya. Aku orang Sangkal
Putung.”
Pemimpin pengawal itu
termangu-mangu. Kemudian katanya, “Aku mengenal beberapa orang Sangkal Putung.”
“Siapa?”
“Di antaranya anak Ki Demang.”
“Swandaru maksudmu?“ bertanya
Ki Sumangkar.
Pemimpin pengawal itu
mengangguk-angguk.
“Tentu aku mengenalnya.
Swandaru dan adiknya Sekar Mirah. Aku juga mengenal Ki Demang sendiri. Ki
Jagabaya, dan para bebahu. Meskipun aku bukan bebahu Kademangan Sangkal Putung.
namun aku kadang-kadang mendapat kesempatan untuk berbicara dengan mereka dalam
suatu pertemuan.”
Pemimpin pengawal itu
mengangguk angguk. Tetapi Sumangkar dapat menyebut nama putra Ki Demang dan
bahkan anak perempuannya, sehingga dengan demikian, para pengawal itu mulai mempercayai
bahwa Sumangkar memang orang Sangkal Putung.
“Ki Sanak,“ bertanya pemimpin
pengawal itu, “sekarang Ki Sanak akan pergi ke mana?”
“Aku akan tetap pergi ke Jati
Anom. Ada keperluan yang mendesak selain menghadap Panglima prajurit Pajang di
Jati Anom.”
“Dalam pakaian yang kotor
bernoda lumpur dan darah?”
Sumangkar mengamat-amati
pakaiannya. Pakaiannya memang sangat kotor.
Beberapa saat ia
termangu-mangu. Tetapi ia tidak akan kembali ke Sangkal Putung, karena baginya
tidak akan ada bedanya. Ke Jati Anom atau ke Sangkal Putung, pakaiannya tentu
akan menarik perhatian di sepanjang jalan.
Orang-orang padukuhan yang
berada beberapa langkah daripadanya itu agaknya dapat mengerti perasaan Ki
Sumangkar. Salah seorang dari mereka berbisik kepada kawannya, “Apakah kita
dapat meminjaminya pakaian?”
“Kita belum tahu pasti, apakah
benar-benar ia orang Sangkal Putung. Jika ia kemudian ternyata seorang
pembohong, maka pakaian itu akan dibawanya lari.” jawab yang lain.
Sementara itu pemimpin
pengawal yang berada di paling depan ternyata bertanya dengan ragu-ragu, “Ki
Sanak. Apakah aku dapat mempercayai Ki Sanak sepenuhnya, bahwa Ki Sanak memang
orang Sangkal Putung.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Terserah kepada kalian. Aku tidak dapat mengatakan lebih
banyak lagi tentang diriku.”
“Bagaimana jika ternyata kau
bukan orang Sangkal Putung ?”
Sumangkar yang masih dicengkam
oleh kekecewaan atas lolosnya dua orang yang dianggapnya dapat menjadi sumber
keterangan yang penting tentang orang-orang yang merasa dirinya pewaris
Kerajaan Agung Majapahit itu merasa tersinggung. Karena itu jawabnya, “Aku
tidak akan memaksa kalian untuk percaya. Kalian boleh tidak percaya. Dan jika
kalian tidak percaya, kalian mau apa?”
Pengawal itu cepat-cepat
menyahut, “Bukan maksudku Ki Sanak. Kami hanya ingin sekedar meyakinkan. Jika
sekiranya Ki Sanak memang orang Sangkal Putung, maka kami dapat berbuat sesuatu
agar Ki Sanak tidak menjadi perhatian orang di sepanjang jalan.”
“Apa maksudmu?”
“Kami dapat meminjami pakaian
bagi Ki Sanak.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Ternyata orang-orang itu bermaksud baik, sehingga kemudian sambil
menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Maaf Ki Sanak. Mungkin sikapku terlalu
kasar. Tetapi itu agaknya terpengaruh oleh perkelahian yang baru saja terjadi.”
“Kami mengerti.” jawab
pengawal itu, lalu. “bagaimana mengenai tawaran kami? Apakah Ki Sanak mau
memakai pakaian kami meskipun tidak baik tetapi tidak kotor oleh lumpur dan
darah.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak ia mengamat-amati pakaiannya yang memang sangat kotor.
Jika ia melanjutkan perjalanan dengan pakaiannya itu. tentu setiap orang akan
memperhatikannya dan bahkan ada yang mencurigainya.
Sejenak kemudian Sumangkarpun
menyahut, “Terima kasih Ki Sanak. Jika Ki Sanak percaya kepadaku, aku akan
menerima kebaikan hati itu. Nanti, pada saatnya aku akan mengembalikan pakaian
itu kemari. Aku adalah Sumangkar dan justru tinggal di rumah Ki Demang Sangkal
Putung.”
“Di rumah Ki Demang?”
“Ya. Aku adalah keluarga Ki
Demang.“
Orang-orang itu termangu mangu
sejenak. Namun nampaknya Sumangkar memang dapat dipercaya, sehingga pemimpin
pengawal itu kemudian berkata, “Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, marilah.
Singgah di padukuhan kami. Kami akan dapat meminjamkan sepengadeg pakaian
kepada Ki Sanak.”
Sumangkar ragu-ragu sejenak.
Tetapi iapun melihat ketulusan hati orang-orang padukuhan itu, sehingga iapun
kemudian mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Aku akan
menerimanya dengan senang hati.”
Demikianlah Sumangkarpun singgah
sejenak di padepokan itu untuk berganti pakaian. Ia tidak dapat meninggalkan
pakaiannya yang kotor, karena ia harus mencucinya.
Ketika ia sudah minum hidangan
yang diberikan oleh orang-orang padukuhan itu dan makan beberapa potong
makanan, maka iapun segera minta diri.
“Berhati-hatilah. Biasanya
jalan ini adalah jalan yang tenang. Tetapi agaknya nasib Ki Sanak kurang baik,
sehingga Ki Sanak menjumpai persoalan di sepanjang jalan ini.”
Sumangkar mengangguk. Tetapi
ia berkata di dalam hatinya, “Akulah yang mencari persoalan. Jika aku tidak
menghentikan orang-orang itu, maka tentu tidak akan terjadi sesuatu. Tetapi
ternyata bahwa aku gagal menangkap salah seorang, apalagi keduanya.”
Sejenak kemudian maka
Sumangkarpun telah meninggalkan padukuhan itu. Beberapa orang pengawal telah
berhasil menangkap kudanya, bahkan kuda orang yang melarikan diri sambil
membawa kawannya yang terluka.
“Bagaimanakah dengan kuda yang
seekor ini?,“ bertanya pemimpin pengawal.
“Biarlah kuda itu di sini,“
jawab Sumangkar.
“Tetapi itu akan dapat
menimbulkan bencana bagi kami. Jika kuda ini pada suatu saat dikenal oleh
pemiliknya yang ternyata mempunyai ilmu yang tinggi itu, maka mereka akan
mempunyai prasangka buruk terhadap kami. Padahal kami tidak ingin terlibat
dalam persoalan Ki Sanak dengan orang-orang itu, yang tidak kami ketahui ujung
dan pangkalnya. Apakah justru karena kejahatan, atau karena persoalan lain.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Orang-orang padukuhan itu memang dapat saja menganggap bahwa kedua
orang itu telah menyamunnya. Tetapi juga sebaliknya, bahwa ia berusaha menyamun
kedua orang itu.
Tetapi Sumangkar sudah
mengatakan, bahwa ia akan-menghadap Panglima prajurit Pajang di Jati Anom.
Mudah-mudahan dapat menimbulkan kesan, bahwa bukan ialah yang dianggap sebagai
seorang penyamun atau seseorang yang melakukan kejahatan lain. Apalagi iapun
telah mengaku sebagai keluarga Ki Demang di Sangkal Putung.
Dalam keragu-raguan itu
pengawal itu berkata, “Bagaimanakah jika Ki Sanak sajalah yang membawa kuda itu
dan menyerahkannya kepada prajurit Pajang. Mungkin kuda itu akan bermanfaat.”
Sumangkar termangu-mangu
sejenak. Lalu jawabnya, “Baiklah. Aku akan membawanya. Bukan karena nilai kuda
itu sendiri. Tetapi semata-mata karena aku tidak ingin melibatkan kalian ke
dalam persoalan yang memang tidak kalian ketahui. Tetapi yakinlah, bahwa
persoalannya memang persoalan yang sangat penting sehingga aku harus
mempertaruhan nyawa menghadapi orang-orang itu.”
Orang-orang padukuhan itu
hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Ki Sumangkarpun segera minta diri untuk
melanjutkan perjalanannya dengan pakaian yang dipinjam dari orang-orang
padukuhan yang menyaksikannya bertempur melawan dua orang yang berdiri di pihak
mereka yang merasa mewarisi Kerajaan Agung Majapahit.
Perjalanan Ki Sumangkar
kemudian merupakan perjalanan yang tergesa-gesa. Rasa-rasanya ada yang
mendorongnya untuk ingin segera sampai di padepokan kecil di dekat Jati Anom.
Pengenalannya atas orang-orang yang mencurigakan itu bagaikan mencambuknya
untuk segera bertemu dengan Kiai Gringsing.
Ternyata sisa perjalanannya
itu tidak ditempuh terlalu lama. Beberapa saat kemudian, ia sudah memasuki
Kademangan Jati Anom. Tetapi ia tidak berjalan lurus ke induk Kademangan
menghadap Untara seperti yang dikatakannya. Tetapi iapun kemudian berbelok
menuju ke padukuhan kecil yang telah dihuni oleh Kiai Gringsing dan muridnya,
yang kemudian bertambah dengan beberapa orang lagi.
Kedatangan Ki Sumangkar di
padepokan itu menumbuhkan kegembiraan bagi Agung Sedayu dan penghuni-penghuni
yang lain. Seakan-akan mereka mendapat selingan di dalam tata kehidupan mereka
sehari-hari.
“Marilah Kiai,“ Agung Sedayu
yang kebetulan ada di halaman segera menyongsongnya.
Ki Sumangkar tersenyum.
Diserahkannya kendali kudanya kepada Agung Sedayu yang kemudian mengikatnya
pada tonggak yang sudah disediakan oleh Glagah Putih.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
yang berada dipadepokan pula segera menyambutnya pula dan mempersilahkannya
naik ke pendapa.
Sejenak mereka saling
menanyakan keselamatan mereka masing-masing. Kemudian mulailah Ki Sumangkar
menanyakan isi padepokan itu.
“Isi padepokan ini sekarang
sudah bertambah. Selain kami bertiga, Glagah Putih yang sekarang berada di
sawah, juga ada beberapa anak-anak muda yang ingin tinggal bersama kami.
Anak-anak muda Jati Anom.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus sekali. Dengan demikian kalian tidak perlu
menangani semua pekerjaan. Membersihkan rumah dengan segala isinya, halaman,
memelihara ternak dan kuda, menggarap sawah dan pategalan.”
“Ya Kiai,“ jawab Agung Sedayu,
“dengan beberapa orang kawan kami dapat membagi pekerjaan.”
Sumangkar mengangguk-angguk.
Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Tetapi masih ada yang kurang di
padepokan kecil ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Lalu iapun bertanya, “Apa yang kurang adi? Semuanya sudah mencukupi
menurut ukuran hidup kami penghuni padepokan ini.”
“Tidak ada seorang
perempuanpun di padepokan ini yang dapat menangani kebutuhan kalian sehari-hari
yang berhubungan dengan rangkaian hidup kalian. Makan, minum dan sebagainya.”
Kiai Gringsing tersenyum. Di
luar sadarnya ia berpaling kepada Agung Sedayu yang justru menundukkan
kepalanya.
Ki Waskitapun tersenyum pula.
Tetapi ketika ia melihat wajah Agung Sedayu yang tunduk itu menjadi kemerah
merahan, ia tidak mengatakan sesutu. Apalagi ia melihat sesuatu yang agak buram
dalam hubungan kedua anak-anak muda itu meskipun Ki Waskita tidak dapat
menguraikan artinya dengan tepat seperti penglihatannya atas Swandaru dan
Pandan Wangi.
Namun menilik sifat kedua
kakak beradik itu, maka di luar isyarat yang dilihatnya, maka pengenalannya
sehari-hari telah memperlengkap penglihatannya bagi masa depan kedua pasang
anak-anak muda itu. Ternyata bahwa kedua pasang anak-anak muda itu tidak mempunyai
tanggapan yang seimbang pada pasangan masing-masing menghadapi masa depannya.
“Swandaru dan Sekar Mirah
adalah anak-anak muda yang penuh dengan cita-cita yang bahkan kadang-kadang
agak terlampau jauh melambung ke depan, sementara Agung Sedayu agaknya seorang
anak muda yang kadang-kadang tertinggal oleh gejolak keadaan karena
keragu-raguannya,“ berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Dengan demikian ia melihat
jarak antara kedua murid Kiai Gringsing itu menjadi semakin jauh. Juga jarak
antara Agung Sedayu dengan Sekar Mirah.
“Tetapi sifat Agung Sedayu
lebih menguntungkan,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya, “untuk menderanya
agar ia bergerak lebih cepat agaknya lebih mudah dari pada menghentikan
Swandaru yang sudah terlanjur berpacu dengan keinginannya untuk membuat Sangkal
Putung menjadi daerah yang melampaui daerah di sekitarnya.”
Ki Waskita yang tiba-tiba saja
telah terseret ke dalam angan-angannya itu terkejut ketika Ki Sumangkar
bertanya kepadanya, “Jadi Ki Waskita sekarang juga akan menetap di padepokan
ini?”
“Ah, tentu tidak,“ jawab Ki
Waskita terbata-bata, “pada suatu ketika aku harus kembali kepada anak istriku.
Tetapi ternyata bahwa padepokan ini telah mengikatku untuk tinggal beberapa
saat lamanya. Namun pada suatu saat, anak dan istriku tentu menjadi gelisah
karena aku telah terlalu lama pergi, meskipun istriku sudah terbiasa dengan
tingkah lakuku itu.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Suatu keuntungan bagi Agung Sedayu. Kehadiran
Ki Waskita betapapun singkatnya akan sangat menguntungkan.”
Tetapi Ki Waskita menggeleng
sambil menjawab, “Aku tidak memberikan keuntungan apa-apa selain ikut serta
membantu mempercepat habisnya persediaan makan di padepokan kecil ini.”
Mereka yang mendengarnya
tertawa. Juga Kiai Gringsing tertawa.
“Agaknya aku juga ingin
berbuat demikian. Aku akan tinggal dipadepokan ini beberapa hari. Tentu
menyenangkan sekali. Aku akan mendapatkan udara yang lain dari udara Kademangan
Sangkal Putung yang sedang bergejolak.”
“Tetapi masa depan Sangkal
Putung agaknya cukup cerah. Swandaru akan berhasil membuat Sangkal Putung
menjadi daerah yang meningkat ke arah yang dicita-citakannya,“ desis Ki Waskita
Ki Sumangkar tidak segera
menjawab. Tetapi nampak keragu-raguan membayang di wajahnya.
Untuk sesaat mereka masih
berbincang tentang niat Ki Sumangkar untuk tinggal beberapa hari di padepokan
kecil itu, meskipun ketika ia berangkat dari Sangkal Putung, ia hanya berniat
untuk menyampaikan persoalan Swandaru kepada Kiai Gringsing dan segera kembali.
Jika terpaksa bermalam, maka ia sama sekali tidak ingin bermalam lebih dari
satu malam. Namun agaknya suasana padepokan itu telah menahannya meskipun ia
tidak melupakan tugasnya
Karena itulah maka dengan
kecewa Ki Sumangkar menyadari bahwa beberapa hari baginya adalah beberapa hari
yang pendek.
Tetapi sejenak kemudian, maka
Agung Sedayupun minta diri untuk mengerjakan pekerjaannya sehari-hari.
“Kau akan pergi kemana Agung
Sedayu?“ bertanya Ki Sumangkar.
“Ke belakang Kiai. Kemudian
aku akan menyusul ke sawah.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Dengarlah, aku akan bercerita.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Bahkan Kiai Gringsing dan Ki Waskitapun termangu-mangu sejenak.
“Jika kau keluar padepokan,
maka kau akan melihat seekor kuda.”
“Seekor kuda?”
“Ya. Aku membawa seekor kuda.
Aku sengaja tidak membawanya masuk, agar kuda tanpa penunggang tetapi sudah
berpelana itu tidak mengejutkan kalian. Jika kalian melihat kuda tanpa
penunggang itu, akan dapat timbul tafsiran yang salah, yang dapat menggoncangkan
ketenanganmu.”
“Kuda siapa Kiai,” bertanya
Agung Sedayu dengan berdebar-debar.
“Tidak ada apa-apa. Jangan
cemas, bahwa aku berangkat berdua dari Sangkal Putung tetapi yang seorang telah
hilang di perjalanan. Sama sekali tidak. Kecemasan semacam itulah yang
memaksaku untuk meninggalkan kuda itu keluar. Nah, sekarang, ambillah kuda itu
dan bawalah masuk. Aku akan menceritakan, dari mana aku mendapatkannya.”
Agung Sedayu kemudian dengan
tergesa-gesa meninggalkan pendapa dan pergi keluar padepokan. Agak jauh dari
padepokan ia melihat seekor kuda yang terikat pada sebatang pohon randu di
pinggir jalan.
“Tentu kuda itu,“ berkatan
Agung Sedavu di dalam hati.
Dengan tergesa-gesa ia berlari
kearah kuda itu dan kemudian menungganginya kembali masuk ke halaman padepokan.
“Kuda yang tegar,“ desis Kiai
Gringsing dan Ki Waskita berbareng.
Demikianlah ketika Agung
Sedayu sudah duduk pula bersama mereka, maka Ki Sumangkarpun kemudian
menceritakan. apa yang sudah dialaminya di perjalanan. Usahanya untuk menahan
kedua orang itu, atau justru salah seorang saja dari mereka telah gagal. Bahkan
ia telah terluka meskipun hanya segores kecil.
Kiai Gringsing. Ki Waskita dan
Agung Sedayu mendengarkan penjelasan Ki Sumangkar itu dengan saksama. Seperti
Ki Sumangkar sendiri merekapun kecewa bahwa tidak seorangpun di antara mereka
yang dapat ditangkap dan dari padanya dapat didengar beberapa keterangan
mengenai orang-orang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit.
“Aku gagal menangkap salah
seorang dari mereka. Aku kira seorang yang terluka parah itu tidak akan dapat
berbuat apa-apa lagi. Tetapi ternyata kawannya cukup cerdik, dan orang yang
terluka itupun mempergunakan sisa kekuatannya yang terakhir untuk meloncat ke
punggung kuda, di belakang kawannya.“ desah Sumangkar dengan nada kecewa.
“Apa boleh buat,“ sahut Kiai
Gringsing, “Ki Sumangkar sudah berusaha. Tetapi ada sesuatu di luar
perhitungan.”
“Tetapi keterangan Ki
Sumangkar itu penting sekali artinya bagi kami,“ berkata Ki Waskita kemudian.
“Benar. Tetapi juga
sebaliknya. Yang dialami oleh kedua orang itupun merupakan bahan yang penting
sekali bagi mereka. Orang itu tentu akan melaporkan kepada pemimpin mereka,
bahwa mereka telah bertemu dengan Sumangkar.”
Kiai Gringsing termangu-mangu.
Ia mengerti, bahwa laporan yang demikian akan dapat membawa akibat yang mungkin
merugikan. Orang-orang di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu akan
berhati-hati menghadai perkembangan keadaan. Apalagi ketika mierekapun kemudian
mengetahui bahwa Ki Sumangkar mempunyai hubungan yang dekat dengan Ki Untara.
seperti yang dikatakan oleh Ki Sumangkar sendiri kepada keduanya.
“Kita perlu menyampaikannya
kepada Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “ia sudah menyiapkan
segala sesuatu yang dianggapnya penting menghadapi pertemuan besar itu.”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
mengangguk-angguk. Bahkan Ki Waskita kemudian berdesis, “Mungkin mereka akan
mengambil sikap lain. Mungkin pusaka-pusaka itu akan disingkirkan, atau
tindakan-tindakan lain.”
“Aku menyesal bahwa aku
mengaku akan membawa mereka kepada Ki Untara,“ desis Sumangkar kemudian, “aku
tergesa-gesa saat itu. Maksudku, aku ingin menggertak mereka agar mereka tidak
terlalu banyak tingkah. Namun ternyata keduanya terlepas.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Persoalannya memang harus ditekuni lebih bersungguh-sungguh.
Aku tahu dan yakin, bahwa di lingkungan mereka terdapat beberapa orang penting
dari Pajang. Mungkin ada sementara pihak yang akan langsung menghubungi Untara,
untuk mengetahui kebenaran keterangan Ki Sumangkar. seolah-olah Ki Sumangkar
memang benar-benar sudah mengenal dan orang yang berhubungan erat dengan
Untara. Bahkan mungkin di antara mereka sudah mengenal Ki Sumangkar adik
seperguruan Patih Mantahun dari Jipang.”
“Jadi?“ bertanya Sumangkar.
“Kita akan membicarakannya
lebih saksama,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi tidak tergesa-gesa. Sekarang
kami persilahkan Ki Sumangkar untuk sekedar beristirahat. Ke pakiwan dan
setelah menikmati hidangan padepokan ini. kita akan berbicara
bersungguh-sungguh.”
Ki Sumangkar tersenyum sambil
mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa Kiai Gringsing dan Ki Waskita masih
memerlukan untuk menilai keadaan itu secara keseluruhan, sehingga mereka
memerlukan waktu untuk sampai pada suatu kesimpulan untuk diperbincangkan
bersama.
Ketika kemudian Sumangkar
pergi ke pakiwan sebentar, Kiai Gringsing mulai berbincang dengan Ki Waskita.
Mereka bersepakat, bahwa keadaan memang cukup gawat. Agar Mataram tidak salah
mengambil sikap, maka hal itu perlu diberitahukan kepada Mataram.
Tetapi mereka tidak mengambil
kesimpulan lebih banyak lagi. Mereka benar-benar memerlukan waktu untuk
berpikir.
Agung Sedayupun kemudian
dibiarkannya pergi ke sawah, sementara Kiai Gringsingpun kemudian menunjukkan
bilik yang akan dipergunakan oleh Ki Sumangkar.
“Kiai,” berkata Ki Sumangkar
di sore hari ketika ia duduk bersama dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita,
“sebelum kita sampai pada pembicaraan tentang orang-orang yang mengaku sebagai
pewaris Kerajaan Agung Majapahit, mumpung Agung Sedayu tidak berada di antara
kita, aku ingin menyampaikan beberapa persoalan tentang Swandaru. Hal itulah
yang sebenarnya telah mendorong aku untuk datang kemari.“
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
mengangguk-angguk. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Kiai Gringsing menyahut,
“Aku sudah menduga. Dan aku memang sedang memikirkannya.”
“Menurut pendapat Ki Demang,
jika Kiai bersedia tinggal sementara di Sangkal Putung, maka Swandaru tentu
akan selalu dapat Kiai awasi. Orang yang paling berpengaruh atas dirinya kini
tinggallah Kiai Sendiri. Ki Demang, ayahnya, merasa sudah tidak banyak dapat
mengendalikan anak itu.”
Kiai Gringsing termangu-mangu.
Namun kemudian katanya, “Adi Sumangkar telah membawa dua persoalan yang
sama-sama pentingnya bagi kita. Persoalan Swandaru itu memang merupakan
persoalan yang penting. Bukan saja bagi masa depannya sendiri, tetapi juga bagi
Sangkal Putung. Selebihnya bagi Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi persoalan yang
menyusul kemudian merupakan persoalan yang gawat pula. Persoalan yang akan
menyangkut hubungan dengan Mataram dan Pajang.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk.
“Aku belum tahu, yang manakah
yang harus aku lalaikan,“ desis Kiai Gringsing kemudian.
“Kita harus mempertimbangkan
bersama. Maksudku, kedua masalah itu harus dicari pemecahannya.“ sahut Ki
Waskita, “karena keduanya akan saling bersentuhan.”
Ki Sumangkar mengangguk-angguk
pula. Tetapi ia tidak segera menyahut.
“Adi,“ berkata Kiai Gringsing
kemudian, “bagaimanakah halnya jika justru kita melakukan yang sebaliknya?”
“Maksud Kiai ?”
“Bukan aku yang pergi ke
Sangkal Putung. Tetapi biarlah Swandaru untuk beberapa saat berada di padepokan
ini.”
“Ah, mana mungkin,“ jawab Ki
Sumangkar, “ia sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap padepokan kecil
ini.”
“Bukan padepokan kecil ini.
Tetapi persoalan yang menyangkut orang-orang yang merasa dirinya pewaris
Kerajaan Agung Majapahit itu,“ jawab Kiai Gringsing, “kita akan mengadakan
pembicaraan, kemudian tindakan untuk menghadapi mereka bersama Mataram. Tempat kecil
ini akan menjadi landasan semua tindakan kita, sehingga kita semuanya harus
sudah siap berada di tempat ini. Setiap saat kita akan dapat bertindak sesuai
dengan rencana. Tetapi jika tempat kita terpisah-pisah, mungkin dengan demikian
sikap kita akan lambat dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya. Agaknya dalih itu agak lebih baik daripada sekedar minta Swandaru
tinggal di padepokan kecil itu.
“Aku akan mencobanya,” berkata
Ki Sumangkar, “aku akan menyampaikannya kepada Angger Swandaru, bahwa untuk
menghadapi masalah yang gawat itu, kita tidak boleh berpencaran.”
“Sementara itu biarlah Pandan
Wangi dan Sekar Mirah tetap berada di Sangkal Putung. Sebenarnyalah mungkin
sekali terjadi sesuatu di daerah sepanjang garis lurus antara Pajang dan
Mataram, sehingga terutama daerah yang subur seperti Sangkal Putung, selalu
mendapat pengawasan yang baik.” berkata Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Jika ia berhasil dan dapat membawa Swandaru kepadepokan kecil
itu dengan alasan yang barangkali cukup menarik pula bagi Swandaru, ia akan
terpisah dari dunianya selama ini. Dunia yang penuh dengan bayangan masa
datang. Bayangan cita-cita yang kadang-kadang masih terlampau pagi untuk
diwujudkan menilik lingkungan dan keadaannya.
Namun sebuah pertanyaan telah
terlontar dari mulutnya, “Tetapi apakah Swandaru bersedia meninggalkan
kademangannya yang mulai bangkit sesuai dengan seleranya.”
“Kita akan mencobanya,“
berkata Kiai Gringsing, “Ki Sumangkar dapat membubuhi persoalan itu sebagai
persoalan yang sangat gawat. Tidak dapat ditunda-tunda. Dan barangkali, kita
memang akan mengadakan perjalanan lagi.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk.
Sementara itu Ki Waskita
berkata, “Memang kedua persoalan itu tidak terpisahkan. Kita harus
membicarakannya sekaligus. Sementara persoalan itu tentu akan menyangkut
kegiatan prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Agung Sedayu harus sering datang menghadap
kakaknya. Mungkin ia mendengar sesuatu jika ada hubungan langsung dengan
persoalan yang kita hadapi sekarang.”
Orang-orang itu
mengangguk-angguk. Mereka mempunyai bayangan yang mulai mengarah. Jika
persoalan Sumangkar itu sampai kepada orang-orang terpenting di lembah antara
Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, maka petugas-petugas mereka tentu akan
mencari keterangan tentang orang yang bernama Sumangkar. Sementara yang sudah
mengenalnya, tentu akan mencoba mendengar, apakah Untara telah mendapat laporan
daripadanya.
Ternyata bahwa pembicaraan itu
tidak terbatas pada masalah yang terpisah-pisah antara Swandaru dan kedua orang
yang ditemui Sumangkar di perjalanan. Pembicaraan mereka menjadi semakin luluh
dalam satu persoalan.
Persoalan Swandaru menurut
pendapat Ki Sumangkar, memang dapat dikaitkan dengan persoalan orang-orang yang
mengaku pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu, sesuai dengan pendapat Kiai
Gringsing dan Ki Waskita. Bahkan peristiwa itu akan menjadi alasan, bahwa
sebaiknya Swandaru untuk beberapa saat meninggalan Kademangannya.
“Seperti yang sudah Kiai
saksikan sendiri, hubungan antara Swandaru dan Raden Sutawijaya telah diberinya
bentuk tersendiri,“ berkata Ki Sumangkar, “Swandaru yang sudah menyaksikan
betapa tingginya ilmu Raden Sutawijaya, telah menempatkan dirinya dalam
hubungan yang sangat berpengaruh antara Sangkal Putung dan Mataram.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Lebih daripada itu Adi. Raden Sutawijaya
sebenarnya memang sudah pernah mengatakan, bahwa Mataram memerlukan bantuan
bukan saja kita yang tua-tua, tetapi juga kekuatan pengawal-pengawal
kademangannya. Raden Sutawijaya akan memasuki lembah antara Gunung Merapi dan
Gunung Merbabu itu dengan pasukan dari Mataram. Sementara Raden Sutawijaya
minta bantuan, jika Ki Demang Sangkal Putung, atau Swandaru tidak berkeberatan,
sejumlah pengawal untuk menyumbat jalan keluar di sebelah timur, sementara
pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dari sebelah barat.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi Raden Sutawijaya menganggap perlu untuk
menutup jalan keluar dari lembah itu dengan pasukan yang kuat.”
“Sebenarnyalah karena sampai
saat terakhir, Mataram masih belum tahu kekuatan yang sebenarnya dari
kelompok-kelompok yang ada di lembah itu. Kelompok-kelompok itu merasa diri
mereka cukup kuat sebelum mereka mulai dengan gerakan kekerasan. Tetapi
sebenarnyalah bahwa untuk mengatasinya masih perlu dilihat langsung ke dalam
lingkungan istana Pajang.”
“Itulah sebenarnya yang harus
dilakukan. Aku membayangkan bahwa di dalam istana Pajang kini bersembunyi
beberapa orang yang justru berpengaruh, yang dengan diam-diam telah menikam
Sultan Hadiwijaya dari belakang,“ desis Sumangkar.
“Kita berhadapan dengan
bayang-bayang,“ berkata Ki Waskita kemudian, “kita dapat melihat ujudnya,
tetapi kita tidak dapat menyentuhnya. Memang lebih baik kita berhadapan dengan
lawan yang jelas. Meskipun kemudian Raden Sutawijaya dapat menumpas orang-orang
yang berada di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu, tetapi jika
sumbernya masih saja leluasa untuk mengalir, maka air itupun tidak akan dapat
dikeringkannya sama sekali.”
Kedua orang tua itu mengangguk-angguk.
Memang jalan yang paling baik adalah memasuki istana Pajang dan melihat, apakah
di sekitar Sultan sendiri ada kekuatan yang perlu diperhatikan.
“Sebenarnya Raden Sutawijaya
sendirilah yang harus melakukan. Tidak ada orang lain,“ desis Ki Waskita
kemudian.
“Kekerasan hatinya telah
menutup kemungkinan yang sebenarnya akan memberikan hasil yang paling baik,“
sahut Ki Sumangkar, “namun meskipun demikian, mungkin dapat juga dicari dan
diketemukan. orang-orang yang akan dapat membuka jalur hubungan itu dari bawah.
Sebab kita yakin, bahwa di dalam lingkungan orang-orang yang berada di lembah
itu, tentu hadir orang-orang yang memiliki kedudukan di dalam lingkungan
pemerintahan Pajang sendiri.”
Demikianlah pembicaraan mereka
semakin meningkat pada segi-segi yang lebih kecil dari rencana mereka. Namun
yang pada dasarnya, mereka telah bersepakat untuk memanggil. Swandaru dengan
pengaruh Kiai Gringsing. Dalam waktu yang dekat, mereka memang harus menanggapi
peristiwa yang mereka hadapi, berkumpulnya orang-orang yang mempunyai sikap
tersendiri atas Pajang.
“Jadi. yang pertama harus kita
lakukan adalah memanggil Swandaru dan memberikan tugas kepada Agung Sedayu
untuk selalu berhubungan dengan kakaknya, meskipun dalam sikap yang tidak
memberikan kesan itu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “semuanya harus kita
lakukan dengan segera. Kita tidak boleh terlambat.”
Beberapa kesimpulan telah
mereka ambil. Dan merekapun telah sepakat dengan langkah-langkah yang akan
mereka lakukan.
Yang pertama, adalah tugas Ki Sumangkar
untuk pergi ke Sangkal Putung memanggil Swandaru atas nama gurunya Kiai
Gringsing. Kemudian langkah-langkah berikutnya akan diambil. Mereka harus
menghubungi Raden Sutawijaya di Mataram untuk memberikan beberapa keterangan
yang barangkali perlu.
Ternyata bahwa Sumangkar hanya
bermalam satu malam saja di padepokan kecil itu, meskipun sebenarnya ia masih
ingin tinggal. Namun ia akan segera kembali bersama Swandaru untuk melakukan
beberapa kewajiban yang mungkin cukup berat baginya.
“Padepokan ini tidak mau
menerima aku lebih dari semalam,“ desis Ki Sumangkar.
Sambit tertawa Kiai Gringsing
berkata, “Lain kali Ki Sumangkar dapat tinggal di sini berbulan-bulan, bahkan
mungkin bersama Swandaru yang sama sekali tidak merasa tertarik kepada
padepokan ini.”
Agung Sedayupun kemudian
mendapatkan penjelasan dari gurunya, sehingga iapun menyadari bahwa Ki
Sumangkar dengan tergesa-gesa akan kembali ke Sangkal Putung.
“Apakah Swandaru bersedia
tinggal disini meskipun untuk sementara?“ bertanya Agung Sedayu kepada gurunya.
“Aku masih akan menguji,
apakah pengaruhku masih cukup kuat terhadap muridku. Dan apakah Swandaru masih
bersedia mengkaitkan diri dengan tugas-tugas yang lebih besar dari tugas
pribadinya.”
Di hari berikutnya, mulailah
mereka dengan tugas-tugas yang mungkin akan berkepanjangan. Ki Sumangkar telah
meninggalkan padepokan kecil itu, sedang Agung Sedyu telah bersiap-siap untuk
pergi mengunjungi kakaknya.
Ternyata bahwa kakak iparnya
menganggap Agung Sedayu bukan saja sebagai adiknya, tetapi lebih banyak
memperlakukannya seperti anaknya. Meskipun Agung Sedayu sudah cukup dewasa,
tetapi setiap kali ia masih saja dianggap sebagai anak-anak yang harus
dimanjakannya.
“Kasihan. Ia kehilangan masa
kanak-kanak yang menyenangkan itu. Ia merasa sangat haus kasih sayang orang tua
yang patah sebelum waktunya. Sementara kakaknya bersikap terlalu keras
kepadanya.”
Ternyata bahwa sikap kakak
iparnya itu telah memberikan kesejukan batin bagi Agung Sedayu. Hidupnya yang
serasa gersang itu seakan-akan tersiram oleh setitik air yang sejuk segar.
Dalam saat-saat yang demikian,
ia mulai mengenang Sekar Mirah. Sebenarnya ia mengharapkan kesejukan pula dari
gadis itu. Tetapi ternyata hati Sekar Mirahpun merupakan hati yang tandus dan
keras seperti batu kapur.
Ketika Agung Sedayu minta
diri. maka kakak iparnya menahannya. Rasa-rasanya adik iparnya itu belum dapat
bertemu dan berbincang dalam suasana keluarga dengan kakaknya Untara.
Namun agaknya Untara sangat
sibuk. Menurut kakak iparnya, setiap hari Untara selalu sibuk. Tetapi hari ini
ia menerima beberapa orang tamu, perwira prajurit dari Pajang.
“Apakah ada persoalan yang
penting?“ bertanya Agung Sedayu.
“Aku tidak tahu Agung Sedayu.
Karena itu, tunggu sajalah. Kau jarang sekali mengunjungi kakakmu. Sekarang, mumpung
kau di sini. Temuilah ia sebagai kakakmu. Meskipun Kakang Untara agak kaku,
tetapi sebenarnyalah ia mengasihimu.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Tamu-tamu itu memang sangat menarik baginya. Agaknya Untara
mendapat kesibukan baru di saat terakhir.
Baru di sore hari Untara
mempunyai waktu untuk menemui Agung Sedayu. Sambil mengerutkan keningnya ia
bertanya, “Apakah kau mempunyai keperluan penting?”
“Tidak Kakang. Aku hanya
sekedar berkunjung. Sudah lama aku tidak mengunjungi Kakang untuk memberikan
gambaran perkembangan terakhir dari padepokan kecil itu.”
Namun tiba-tiba saja
pertanyaan Untara sangat mengejutkan, “Apakah Ki Sumangkar ada di padepokanmu?”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Baru kemudian ia menjawab, “Tidak Kakang. Ki Sumangkar berada di
Sangkal Putung.”
“Aku tahu. Tetapi apakah ia
tidak meninggalkan Sangkal Putung di saat-saat terakhir?”
“Aku kurang tahu. Tetapi jika
perlu, aku akan pergi ke Sangkal Putung untuk melihat.”
“Tidak. Aku tidak memerlukan
kepastian itu segera.”
“Apakah ada persoalan dengan
Ki Sumangkar?”
Untara termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya, “Ada seorang petugas sandi yang melihat Sumangkar
meninggalkan Sangkal Putung.”
“Itu mungkin saja terjadi.
Tetapi kenapa dengan Ki Sumangkar?”
Untara berpikir sejenak. Lalu,
“Aku belum mendapat penjelasan yang terperinci. Tetapi beberapa orang perwira
Pajang mulai meragukan kesetiannya kepada Pajang. Selama ini ia memang tidak
berbuat apa-apa. Tetapi bahwa ia menetap di Sangkal Putung merupakan pertanyaan
besar bagi para perwira di Pajang.”
Agung Sedayu menjadi semakin
berdebar-debar.
“Agung Sedayu,“ berkata Untara
kemudian, “kau adalah saudara seperguruan Swandaru. Aku tidak pernah
berprasangka terhadap Kiai Gringsing. Tetapi bahwa sekarang Sangkal Putung
memperkuat diri dari segi kepengawalan, apakah itu ada hubunganya dengan
kehadiran Sumangkar di Sangkal Putung? Kau tahu, siapakah Sumangkar itu
sebenarnya. Sejenak semula ia telah menentang Pajang. Ia merupakan seorang
senapati yang disegani di Jipang. Apakah demikian mudahnya ia melupakan
kekalahan Jipang pada saat itu?”
“Kakang,“ jawab Agung Sedayu,
“menurut pengenalanku atas Ki Sumangkar, ia memang menerima kekalahan Jipang
dengan ikhlas. Ia selalu berselisih paham dengan Tohpati saat Tohpati masih
meneruskan perlawanannya melawan prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung.”
“Aku tahu, tetapi apakah hal
itu bukan sekedar karena pengamatannya yang matang, bahwa saat itu tidak
menguntungkan bagi Tohpati untuk melakukan perlawanan bersenjata terus-menerus.”
“Menurut pertimbanganku tidak
Kakang, bukan sekedar perhitungan sesaat. Bahkan aku tahu benar, dengan
Swandarupun jalan pikirannya tidak dapat sesuai. Hanya karena kecemasannya
menghadapi kepunahan ilmunya sajalah maka ia telah mengangkat Sekar Mirah
sebagai muridnya.”
Untara mengerutkan keningnya.
Lalu, “Aku tahu bahwa kaulah yang lebih tahu tentang Sekar Mirah daripada aku.
Tetapi cobalah ikut mengamati. Mungkin kau dapat menyampaikannya kepada Kiai
Gringsing. Bukan maksudku mengambil kesimpulan bahwa Ki Sumangkar bersalah.
Semuanya masih dugaan dan pertimbangan. Dan mudah-mudahan Kiai Gringsing
bersedia membantuku,”
Agung Sedayu termangu-mangu.
Tetapi kemudian ia memberanikan diri, “Kakang, apakah Kakang sudah lama
mempunyai pertimbangan demikian, atau nampaknya Kakang baru saja mendapat
laporan bahwa Ki Sumangkar tidak ada di Sangkal Putung ?”
“Aku sudah berpikir untuk
waktu yang cukup lama. Tetapi keterangan terakhir memang agak menekankan
kecurigaanku itu. Seorang perwira menyangka bahwa Ki Sumangkar pergi ke Jati
Anom justru menjumpai aku. Tetapi ia tidak pernah datang kemari. Seorang
petugas sandi yang lain melaporkan bahwa ia melihat Sumangkar telah bertempur
di jalan antara Sangkal Putung dengan Jati Anom.”
“Dengan siapa?“ hampir di luar
sadarnya Agung Sedayu bertanya menjajagi.
“Kurang jelas. Kedua orang
lawannya akhirnya melarikan diri. Tetapi sayang petugas sandi itu tidak dapat
memberikan laporan yang jelas tentang kedua lawannya. Tetapi menurut
pendengaran orang-orang dari padukuhan itu, Sumangkar mengatakan bahwa ia akan
menemui aku di Jati Anom. Namun sampai sekarang ia belum memberikan laporan
tentang perkelahiannya kepadaku.”
Agung Sedayu menarik nafas
panjang. Ia bukan seorang anak muda yang terlalu tumpul dan malas seperti yang
diduga kakaknya. Tetapi dengan segera ia dapat menghubungkan persoalannya.
“Ternyata orang-orang Pajang
yang berada di antara mereka yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Agung
Majapahit itu bergerak cepat seperti yang diperhitungkan oleh Guru,“ berkata Agung
Sedayu didalam hatinya. “Dan seperti yang sudah diperhitungkan pula, tentu ada
petugas dari antara mereka yang mencari keterangan tentang Sumangkar, dan
apakah ia sudah menyampaikan laporan kepada Untara secara terperinci. Untunglah
bahwa Kakang Untara belum mengetahui persoalannya. Jika prajurit-prajurit
Pajang yang ada di antara mereka yang berada di lembah antara Gunung Merapi dan
Gunung Merbabu itu mendengar bahwa Untara sudah mendapat laporan tentang kedua
orang yang bertempur melawan Sumangkar, maka mungkin sekali mereka akan
mengambil sikap lain.”
Dengan keterangan yang
didengarnya dari Untara itu, maka Agung Sedayu mendapat sekedar gambaran
tentang orang-orang yang merasa dirinya mewarisi Kerajaan Agung Majapahit itu.
Ternyata bahwa mereka mampu, bergerak cepat dan mempunyai tangan-tangan yang
kuat di dalam tubuh prajurit Pajang sendiri.
Karena ternyata nampaknya
Agung Sedayu tidak banyak mengetahui tentang Sumangkar, maka pembicaraan
Untarapun kemudian berkisar. Ia mencoba untuk menasehati Agung Sedayu, agar
mulai memikirkan masa depannya.
“Kau bukan seorang yang pantas
mengasingkan diri di padepokan kecil semacam itu tanpa melakukan sesuatu untuk
kepentingan yang lebih besar. Apalagi aku yakin, bahwa Sekar Mirah tidak akan
bersedia menerimamu dalam keadaan seperti kau sekarang. Karena itu, mulailah
mengemasi diri,“ berkata Untara.
Agung Sedayu hanya dapat
menundukkan kepalanya. Hal itulah yang sebenarnya yang agak mengurangi
gairahnya bertemu dengan kakaknya. Meskipun demikian ia menahan hati. Ia sudah
mendapatkan keterangan yang berharga tentang Sumangkar dan orang-orang yang
mencarinya.
Namun Agung Sedayu tidak
mendapat kesempatan untuk bertanya, siapakah perwira-perwira Pajang yang sedang
mencari Sumangkar itu, meskipun mereka memakai dalih apapun. Meskipun mereka
mengatakan bahwa mereka mendapat laporan dari petugas sandi dari Pajang.
Pembicaraan selanjutnya justru
menjadi kaku, ketika Untara mulai menyatakan keinginan-keinginannya atas
adiknya. Namun istri Untaralah yang kadang-kadang berhasil membelokkan
pembicaraan kepada masalah-masalah yang tidak membuat pembicaraan itu memanjat
semakin tegang.
“Kau harus sering datang
kemari Agung Sedayu,“ minta kakak iparnya.
Agung Sedayu mengangguk.
Jawabnya, “Sebenarnyalah aku ingin dapat sering datang kemari. Tetapi aku
takut, bahwa aku akan mengganggu Kakang Untara yang nampaknya selalu sibuk.”
“Aku memang sibuk Agung
Sedayu. Tetapi jika kau datang, apa salahnya. Kau tentu melihat sesuatu yang
menarik bagimu di sini. Kegiatan para prajurit. Syukurlah jika penglihatanmu
itu segera dapat menggerakkan hatimu. Sudah berulang kali aku katakan, kau
pantas menjadi seorang prajurit.”
Istri Untara menarik nafas.
Setiap kali pembicaraan Untara kembali lagi kepada persoalan yang kurang
menarik bagi Agung Sedayu, sehingga ia perlu mencari jalan untuk mencari bahan
pembicaraan yang lain.
Demikianlah, sehari penuh
Agung Sedayu berada di rumah Untara. Menjelang senja barulah Agung Sedayu minta
diri.
“Kau tidak bermalam di sini?“
bertanya Untara.
“Di malam hari kadang-kadang
aku masih harus pergi ke sawah melihat air. Kadang-kadang air tidak mengalir.”
Untara tidak menahannya lagi.
Dilepaskannya Agung Sedayu kembali ke padepokan kecil sampai di muka regol
halamannya. Ketika Agung Sedayu meninggalkannya, ia masih sempat berpesan,
“Pikirkan Agung Sedayu. Apakah kau akan menenggelamkan usiamu yang panjang itu
untuk tetap dalam keadaanmu sekarang? Mungkin kau menemukan ketenangan dan
kedamaian hati. Tetapi hidupmu kurang berarti bagi lingkunganmu dan bagi sesama.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku akan memikirkannya Kakang.”
Istri Untaralah yang menarik
nafas panjang. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Dipandanginya saja Agung
Sedayu yang kemudian melangkah menyusuri jalan induk padukuhan Jati Anom.
Semakin lama semakin jauh.
Agung Sedayu memang hanya
berjalan kaki. Rasa-rasanya memang menarik sekali berjalan di jalan-jalan yang
pernah diselusurinya di masa kanak-kanak.
Satu dua orang anak-anak muda
sebayanya menegurnya dengan ramah. Bahkan kadang-kadang ia harus berhenti dan
berbicara beberapa saat.
“Aku ingin tinggal bersamamu
di padepokan kecilmu,“ berkata salah seorang kawannya.
Agung Sedayu tersenyum sambil
menjawab, “Sebenarnya aku senang sekali mempunyai banyak kawan. Tetapi sayang,
tempatnya terlampau sempit.”
Kawannya menyahut, “Aku akan
tidur di pendapa padepokan.”
Agung Sedayu tertawa. Katanya,
“Apakah aku harus membangun padepokan yang lebih besar?”
Kawan-kawannya tertawa pula.
Demikianlah, lepas dari pintu
gerbang Kademangan Jati Anom, Agung Sedayu berjalan semakin cepat. Ternyata
kehadirannya di Jati Anom telah mendapatkan hasil yang diperhitungkan. Adalah
sangat diharapkan bahwa kakaknya mengatakan sesuatu tentang kedatangan
prajurit-prajurit untuk menanyakan Ki Sumangkar.
Kedatangan Agung Sedayu di
padepokannya dengan berita yang dibawanya, telah menumbuhkan berbagai
pertimbangan. Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang mendengar laporannya secara
terperinci telah membuat uraian dengan berbagai macam kemungkinan.
“Apakah mereka yakin, bahwa
Untara tidak akan mendapat laporan tentang peristiwa itu?“ bertanya Kiai
Gringsing, “mungkin mereka mempunyai pertimbangan, bahwa pada suatu saat,
Sumangkar akan datang dan menyatakan semua persoalannya kepada Untara.”
“Mungkin,“ sahut Ki Waskita,
“tetapi aku yakin bahwa kini diantara perwira yang ada di sekitar Untara tentu
ada yang telah menyatukan diri dengan mereka yang menginginkan bangkitnya lagi
para pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu. Mereka akan menjadi sumber berita,
apakah Sumangkar pada suatu saat datang kepada Untara atau tidak.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku sependapat, tetapi aku masih mempunyai
pertimbangan yang lebih jauh, karena persoalannya bagi meraka menyangkut
masalah yang besar, maka tentu merekapun tidak akan segan-segan mengambil
langkah-langkah yang berat.”
Wajah Agung Sedayu menjadi
tegang. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Maksud Guru, mereka akan melakukan
tindakan kekerasan terhadap Ki Sumangkar selagi Ki Sumangkar belum menyampaikan
laporan itu kepada Kakang Untara?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam.
Sejenak ia ragu-ragu. Namun
kemudian jawabnya, “Hal itu menurut perhitunganku memang mungkin sekali
terjadi. Agar mereka menjadi tenang bahwa Ki Sumangkar untuk selamanya tidak
akan dapat memberikan laporannya kepada Untara, maka Ki Sumangkar harus
dibungkam untuk selama-lamanya.”
Agung Sedayu menjadi cemas.
Orang-orang yang merasa sangat berkepentingan itu tentu akan mencari dimana Ki
Sumangkar kini sedang berada.
“Guru,“ berkata Agung Sedayu
dengan ragu-ragu, “bagaimanakah nasib Ki Sumangkar di perjalanan?”
“Tetapi aku kira,
perjalanannya ke Sangkal Putung masih belum akan mengalami gangguan.”
“Maksud Guru, hal itu akan
mungkin terjadi saat Ki Sumangkar kembali ke padepokan ini?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Dengan nada yang dalam ia menjawab, “Memang mungkin terjadi.”
Agung Sedayu menjadi bertambah
tegang. Ketika ia memandang wajah Ki Waskita untuk mendapatkan perimbangan,
maka Ki Waskita mengangguk sambil menjawab, “Mungkin hal itu dapat terjadi
Agung Sedayu. Jika perhitungan kami sesuai dengan perhitungan orang-orang yang
sedang mempersiapkan sebuah pertemuan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung
Merbabu itu, maka Ki Sumangkar benar-benar berada dalam bahaya. Mereka tidak
akan dengan suka rela menanggung akibat laporan yang mereka sangka akan segera
sampai kepada Ki Untara.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Tetapi ketegangan di hatinya nampak menjadi semakin nyata.
Dengan gelisah anak muda itu bertanya, “Apakah kita akan berbuat sesuatu?”
“Sebaiknya kita memang harus
berbuat sesuatu,“ berkata Ki Waskita, “Tetapi kita tidak boleh tergesa-gesa
sehingga yang kita lakukan bukannya justru membuat kesulitan-kesulitan baru.
Terutama dalam hubungannya dengan sikap kakakmu Untara. Menurut pertimbanganku,
Untarapun pada suatu saat tentu akan menjumpai Ki Sumangkar dan bertanya
kepadanya, apa yang telah terjadi di perjalanan, sehingga ia terpaksa harus
bertempur melawan kedua orang itu.”
“Banyak yang harus kita
lakukan,“ desis Agung Sedayu.
“Ternyata bahwa kita harus
segera mulai. Lebih cepat dari yang kita duga semula,“ desis Kiai Gringsing.
“Masalah yang terjadi atas Ki
Sumangkar memang harus segera diperhitungkan dengan kemungkinan-kemungkinan
mendatang, sementara kita harus menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya.”
Orang-orang tua itupun
termangu-mangu sejenak, sementara Agung Sedayu nampak berusaha untuk melihat
segala kemungkinan yang dapat terjadi. Sikap orang-orang yang merasa dirinya
pewaris kerajaan Majapahit dan sikap yang mungkin diambil oleh Untara.
“Guru,“ tiba-tiba saja ia
berkata, “sebaiknya aku akan pergi ke Sangkal Putung. Meskipun mungkin
kedatanganku harus berbekal dengan hati yang beku menghadapi sikap-sikap
keluarga Ki Demang, namun mungkin ada manfaatnya bagi Ki Sumangkar untuk
membuat perhitungan bagi langkah-langkahnya mendatang.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Agaknya tidak hanya kau yang akan pergi
Agung Sedayu. Kita bersama-sama akan pergi ke Sangkal Putung dan sekaligus ke
Mataram.”
“Dan padepokan ini?“ bertanya
Agung Sedayu.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya keadaan serupa itulah yang membuatnya selama ini tidak
telaten membangun dan tinggal di sebuah padepokan. Rasa-rasanya hidup di
perjalanan telah merupakan bagian dari seluruh kehidupannya.
Sejenak Kiai Gringsing
berpikir. Kemudian jawabnya, “Kita akan berhubungan dengan Ki Widura. Kita akan
menitipkan padepokan ini kepadanya dengan segala isinya, termasuk Glagah
Putih.”
“Kasihan anak itu,“ di luar
sadarnya Agung Sedayu berdesis.
“Ia akan tinggal bersama
ayahnya dan beberapa orang anak-anak muda yang akan membantunya memelihara
sawah dan ladang. Memelihara padepokan ini dan barangkali juga menjaganya jika
ada seseorang yang akan mengganggu.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam.
“Tetapi,” berkata Kiai
Gringsing, “kau harus juga minta ijin kepada kakakmu.”
“Apa yang harus aku katakan
kepada Kakang Untara, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Katakanlah, bahwa kau akan
menghubungi Ki Sumangkar untuk mendapatkan penjelasannya tentang berita yang
didengar oleh para prajurit di Jati Anom.”
“Dan apakah aku juga akan
minta ijin bagi Guru dan Ki Waskita?”
“Ya. Kau dapat mengatakan,
bahwa kemungkinan yang sama akan dapat terjadi diperjalanan. Jika ada rintangan
yang harus dipecahkan dengan kekerasan, maka kau memerlukan kawan. Mungkin yang
akan dihadapi bukan hanya satu atau dua orang, tetapi mungkin lebih banyak
lagi.”
“Kakang dapat menawarkan
pengawalan prajurit.”
Tetapi Kiai Gringsing
menjawab, “Katakan, bahwa kau tidak ingin membuat prajurit Pajang semakin
sibuk. Padahal persoalannya masih belum jelas.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Iapun merasa perlunya bahwa ia harus minta ijin kepada
kakaknya agar tidak timbul salah paham, seolah-olah isi padepokan itu pergi
begitu saja sekehendak hati sendiri.
“Besok aku akan mengunjungi
Kakang Untara lagi,“ berkata Agung Sedayu.
“Hati-hatilah. Mungkin ada
perkembangan baru. Yang kita lakukan tidak sepenuhnya diketahui oleh Untara,
terutama tentang orang-orang yang ingin mewarisi kerajaan Majapahit itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Iapun mereka-reka apa yang akan dikatakannya kepada Untara.
Tetapi iapun mulai menyusun kalimat yang akan diucapkannya kepada Glagah Putih
bila datang saatnya ia meninggalkannya dipadepokan.
“Anak itu tentu ingin ikut
serta. Jika saja Guru tidak berkeberatan, maka sebuah perjalanan yang pendek
seperti ini akan dapat menjadi pengalaman baginya,” berkata Agung Sedayu di
dalam hatinya. Namun agaknya ia ragu-ragu untuk menyampaikannya kepada gurunya.
Meskipun demikian, hal itu
agaknya selalu saja menggeletar di dalam dadanya seakan-akan mendesak tanpa
tertahankan.
Karena itulah, maka akhirnya
Agung Sedayu tidak dapat menahan diri lagi. Dengan ragu-ragu akhirnya ia
menyampaikan kepada gurunya, apakah Glagah Putih dapat dibawanya serta.
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Memang mungkin. Tetapi selain pergi ke Sangkal Putung, kita akan
pergi ke Mataram. Bahkan mungkin kita akan sampai ke tempat yang belum kita
pertimbangkan sekarang.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian,
maka akupun harus pergi ke Banyu Asri.”
“Ya. Kau harus singgah di
rumah pamanmu jika kau pergi menjumpai kakakmu.”
“Baiklah Guru. Tetapi aku akan
menemui kesulitan untuk menyampaikannya kepada Glagah Putih. Aku tidak akan
sampai hati menolak jika ia menyatakan keinginannya untuk ikut serta.”
“Baiklah. Biarlah aku saja
yang menyampaikannya setelah kau bertemu dengan pamanmu Widura, apakah ia dapat
dalam beberapa hari berada di padepokan ini.”
“Baiklah Guru. Jadi kapankah
aku harus menjumpai Kakang Untara dan Paman Widura?”
“Secepatnya. Besok pagi-pagi
sekali, karena besok kita harus berangkat ke Sangkal Putung. Jika kita
terlambat, maka Ki Sumangkar dan mungkin Swandarulah yang lebih dahulu sampai.”
Pembicaraan itupun kemudian
terputus ketika Glagah Putih melangkah mendekati mereka. Tetapi karena ia tidak
melihat kesan apapun juga, maka iapun tidak menaruh curiga sama sekali bahwa
ketiga orang itu akan pergi meninggalkan pedepokan untuk beberapa hari lamanya.
Di hari berikutnya, pagi-pagi
benar Agung Sedayu sudah pergi ke Jati Anom. Kali ini Agung Sedayu tidak
sekedar berjalan kaki. Ia ingin kerjanya lekas selesai sehingga ia segera dapat
berangkat ke Sangkal Putung sebelum Ki Sumangkar justru sudah berada di
perjalanan.
Untara terkejut melihat
kedatangan Agung Sedayu di pagi-pagi benar. Namun setelah ia mendengar
keterangan Agung Sedayu, maka iapun menjadi agak lapang, meskipun ia bertanya
seperti yang sudah diduga oleh Agung Sedayu, “Kenapa kau tergesa-gesa ingin
pergi menemui Ki Sumangkar?”
“Aku ingin segera mengetahui
Kakang, apakah yang sebenarnya telah terjadi atasnya. Dan aku ingin mendengar
tentang kedua orang yang telah bertempur melawan Ki Sumangkar itu.”
Untara mengangguk-angguk.
Ternyata ia tidak berkeberatan, meskipun iapun bertanya pula tentang Glagah
Putih.
“Ia akan tinggal di padepokan,
Kakang, bersama Paman Widura yang akan aku beritahu tentang kepergianku bersama
Kiai Gringsing dan Ki Waskita untuk beberapa hari.”
Untara mengangguk-angguk. Ia
tidak bertanya kenapa Kiai Gringsing dan Ki Waskita akan ikut pergi pula ke
Sangkal Putung, karena Untara menyadari bahwa keterangan tentang Sumangkar yang
harus bertempur melawan dua orang berkuda, membuat Agung Sedayu berhati-hati.
Mungkin Agung Sedayu sendiri tidak memerlukan kawan. Tetapi gurunya tentu tidak
akan melepaskannya pergi sendiri dalam keadaan serupa itu. Lebih baik
meninggalkan Glagah Putih di padepokannya bersama ayahnya daripada membiarkan
Agung Sedayu pergi ke Sangkal Putung dalam ketidaktenangan. Dan ternyata Untara
tidak menawarkan pengawalan bagi mereka yang akan pergi ke Sangkal Putung
karena Agung Sedayu sudah mengatakan bahwa ia akan pergi bersama gurunya dan Ki
Waskita.
“Tetapi jangan pergi terlalu
lama,“ berkata Untara, “yang aku cemaskan bukan perjalananmu, tetapi jika kau
sudah berada di Sangkal Putung maka kau akan melupakan padepokan kecilmu. Kau
akan terikat lagi dengan Sangkal Putung meskipun kehadiranmu di Sangkal Putung
itu telah merendahkan martabatmu. Martabatmu sebagai seorang laki-laki, tetapi
juga martabatmu sebagai putra Ki Sadewa.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Jawabnya dengan nada dalam, “Aku tidak akan tinggal lagi di
Sangkal Putung Kakang. Jika perjalananku nanti ternyata lebih dari dua tiga
hari, tentu aku tidak berada di Sangkal Putung.”
“Kau akan kemana?”
Pertanyaan itu membingungkan
Agung Sedayu. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Kemana saja. Mungkin melakukan
perjalanan melingkar sambil kembali ke padepokan memberi kesenangan tersendiri.
Sebulan yang di berikan oleh guru beberapa waktu yang lalu, ternyata jauh dari
mencukupi, sehingga menyenangkan sekali untuk menambah pengalaman perantauan
itu barang sebulan lagi.”
“Tetapi ingat. Di padepokanmu
ada Glagah Putih. Kaulah yang mula-mula menyebabkan anak itu ada di sana. Jika
ia terlalu lama kau tinggalkan, maka ia akan menjadi kecewa.”
Agung Sedayu mengangguk.
Sebenarnyalah ia ingin membawa Glagah Putih. Tetapi gurunya tidak sependapat karena
perjalanan mereka akan sangat berbahaya.
Namun akhirnya Agung Sedayupun
dilepas oleh kakak dan kakak iparnya. Untara masih memberikan berbagai pesan,
terutama agar ia tidak terikat lagi di Sangkal Putung.
Dari rumah kakaknya, Agung
Sedayu meneruskan perjalanannya ke Banyu Asri untuk menemui pamannya dan minta
diri untuk beberapa saat lamanya, sekaligus menitipkan Glagah Putih kepadanya.
Widura mengangguk-angguk. Ia
tidak dapat mencegah kepergian Agung Sedayu bersama gurunya. Meskipun juga kepada
Widura Agung Sedayu tidak mengatakan seluruh persoalannya, tetapi seperti
Untara, di dalam hati ia dapat melihat kecemasan Agung Sedayu dan gurunya
tentang keselamatan Sumangkar.
“Baiklah Agung Sedayu. Aku
akan berada di padepokanmu selama kau pergi. Mungkin aku akan mendapat
kesenangan tersendiri untuk tinggal di padepokan kecil itu,“ jawab Widura, “aku
akan datang sebelum kau berangkat.”
Agung Sedayupun segera kembali
ke padepokannya setelah ternyata Widura sama sekali tidak berkeberatan. Namun demikian
ia masih saja berdebar-debar, bagaimana ia atau gurunya akan memberitahukan
kepada Glagah Putih yang tentu akan minta untuk ikut serta.
“Aku akan mengatakannya, bahwa
aku telah mencoba minta ijin kepada paman Widura. Tetapi paman tidak
mengijinkan,” katanya kepada diri sendiri.
Tetapi ketika kemudian Agung
Sedayu sampai di padepokannya dan menyampaikannya kepada Kiai Gringsing, maka
gurunya berkata, “Sebaiknya kita berkata terus terang kepada Glagah Putih,
bahwa kita akan menempuh perjalanan yang meskipun pendek, tetapi berbahaya.
Karena itu sebaiknya ia tinggal saja di padepokan.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Tetapi nampak keseganannya untuk mengatakannya kepada Glagah
Putih.
“Akulah yang akan
mengatakannya,“ berkata Kiai Gringsing kemudian.
Tetapi sebenarnyalah seperti
yang diduga oleh Agung Sedayu. Ketika Kiai Gringsing mengatakan kepada Glagah
Putih, maka anak muda itu mendesak untuk ikut serta.
“Kau akan tinggal bersama
ayahmu di sini Glagah Putih. Perjalanan ini adalah perjalanan penjajagan. Jika
keadaan sudah pasti, maka di kesempatan lain kau tentu akan ikut serta bersama
kami.“ Kiai Gringsing menjelaskan.
Nampaknya di mata anak muda
itu kekecewaan yang sangat. Bahkan mata itu menjadi basah. Namun akhirnya
Glagah Putih menunduk sambil berkata dengan nada yang dalam, “Baiklah Kiai. Aku
akan tinggal di padepokan.”
“Bagus Glagah Putih. Bukan
saja karena perjalanan ini akan berbahaya. Tetapi jika kita semuanya pergi,
maka mungkin sekali sawah kita akan kurang terpelihara.”
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, selain kepada Glagah Putih, juga kepada anak-anak muda yang
lain, yang tinggal di padepokan itu, Kiai Gringsing memberikan pesan-pesannya
dengan jelas, agar mereka melakukan kewajibannya sebaik-baiknya.
Demikianlah pada waktu yang
sudah direncanakan, maka Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayupun telah
bersiap. Ki Widura ternyata memenuhi kesanggupannya dan telah berada di
padepokan itu pula.
“Kami tidak akan lama Paman,“
berkata Agung Sedayu kepada pamannya.
Tetapi Ki Widura tersenyum.
Katanya, “Ya. Menurut rencanamu, kau tidak akan pergi terlalu lama. Tetapi jika
keadaan berkembang selama dalam perjalanan, maka itu adalah di luar rencana.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam, sementara Widura meneruskan, “Bahkan kadang-kadang perkembangan
keadaan itu menuntut waktu yang jauh lebih panjang dari waktu yang
direncanakan.”
“Mungkin sekali Paman,“ desis
Agung Sedayu. Tetapi gurunya menyambung, “Kami akan mencoba membatasi
perjalanan kami.”
Ki Widura tersenyum. Katanya,
“Mudah-mudahan semuanya akan segera kembali dengan selamat.”
Kiai Gringsing, Ki Waskita dan
Agung Sedayupun kemudian meninggalkan padepokannya menuju ke Sangkal Putung.
Mereka memacu kudanya agak cepat, agar mereka sempat mendahului Ki Sumangkar yang
akan membawa Swandaru ke padepokan kecil itu.
“Mudah-mudahan kita akan
sampai lebih dahulu di Sangkal Putung, atau jika mereka sudah berangkat, kita
dapat menjumpai di perjalanan,“ berkata Kiai Gringsing.
Karena itulah maka mereka
telah menempuh perjalanan lewat jalan yang paling sering mereka lalui dan yang
paling mungkin dilalui oleh Ki Sumangkar dan Swandaru jika benar mereka telah
berada di perjalanan,
Di tengah-tengah bulak
panjang, ketiga ekor kuda itu berpacu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita berada di
depan, sementara Agung Sedayu berada di paling belakang.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
dan Ki Waskita masih sempat berbicara meskipun harus agak keras, “Ki Sumangkar
benar-benar berada dalam bahaya menurut perhitunganku,” berkata Kiai Gringsing.
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Jawabnya, “Orang-orang yang merasa terancam olehnya tentu akan berusaha untuk
berbuat sesuatu. Bahkan mungkin sampai mengancam jiwanya.”
“Itulah yang menurut
perhitunganku justru yang paling mungkin,“ sahut Kiai Gringsing, “beberapa
orang yang telah menghubungi Untara dan ternyata bahwa Ki Sumangkar belum
memberikan laporan kepada senapati itu, tentu akan berusaha untuk mencegahnya.
Dan cara yang paling mudah bagi mereka, adalah membungkam Ki Sumangkar untuk
selama-lamanya.”
“Tetapi merekapun mengenal,
siapakah Ki Sumangkar itu. Jika orang yang kebetulan bertemu di perjalanan itu
belum mengenalnya, namun di antara mereka yang berada di lembah antara Gunung
Merbabu dan Gunung Merapi atau di antara mereka yang berada di Pajang. tentu
ada yang mengenalnya sebagai seorang yang mumpuni dan disegani sejak masa
kekuasaan Jipang masih tegak,“ sahut Ki Waskita.
“Akibatnya, maka untuk
melakukan rencananya, mereka tentu akan mempergunakan kekuatan yang tidak
tanggung-tanggung. Mereka tidak mau mengalami kegagalan lagi. Apalagi jika
salah seorang dari mereka harus tertangkap,“ desis Kiai Gringsing.
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Sementara Agung Sedayu yang berada di belakang dapat juga mendengar meskipun
tidak begitu jelas.
Demikianlah kuda-kuda mereka
itu berpacu terus. Mereka memasuki padukuhan-padukuhan kecil dan kemudian
menyelusuri jalan-jalan di tengah bulak.
Hampir bersamaan. Kiai
Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu menjadi berdebar-debar ketika mereka
melihat dua orang berkuda yang berpapasan arah. Apalagi ketika mereka melihat
di belakangnya muncul pula dua orang berkuda yang lain. Mereka tidak memacu
kuda mereka cepat-cepat. Tetapi nampaknya mereka sedang menikmati sejuknya
udara di antara hijaunya tanaman padi di sawah.
Kiai Gringsing yang berada
didepan bersama Ki Waskita itupun berpaling. Dengan isyarat ia memberitahukan
kepada Agung Sedayu agar berhati-hati.
Namun semakin dekat. Kiai
Gringsing menjadi semakin ragu-ragu. Ternyata mereka adalah prajurit-prajurit
Pajang menilik dari tata pakaian mereka.
“Apakah mereka peronda yang
dikirim oleh Untara?“ desis Kiai Gringsing, “Namun menilik pakaian dan sikap
mereka adalah perwira-perwira yang hanya pantas memimpin sekelompok prajurit
peronda. Bukan mereka sekelompoklah yang harus meronda.”
Ki Waskita mengerutkan
keningnya. Seperti Kiai Gringsing ia menjadi curiga. Para perwira itu nampaknya
sedang bepergian tanpa seorang pengawalpun. Jika mereka prajurit-prajurit
Pajang yang berada di Jati Anom, agaknya mereka baru kembali dari suatu tugas
yang penting atau justru dalam perjalanan pribadi mereka.
Namun demikian, Kiai
Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak berhenti. Bahkan mereka tetap pada
kecepatan mereka, seolah-olah mereka tidak melihat sesuatu yang mereka curigai.
Tetapi mereka harus menarik
kekang kuda mereka, ketika para perwira itu memberi isyarat agar mereka
berhenti.
“Kita harus berhenti,” desis
Kiai Gringsing.
Ki Waskita dan Agung Sedayupun
menarik kendali kudanya, sehingga beberapa langkah kemudian, ketiga orang
berkuda itu telah berhenti.
Agung Sedayu yang kemudian
tepat berada di belakang gurunya berbisik, “Aku belum pernah melihat mereka.
Jika mereka para perwira bawahan Kakang Untara, agaknya salah seorang dari
mereka tentu sudah pernah aku lihat, meskipun belum mengenalnya dengan akrab.”
“Mungkin mereka orang-orang
baru yang menggantikan beberapa orang perwira yang mendapat tugas lain,“ desis
Ki Waskita.
Agung Sedayu
mengangguk-angguk, meskipun ia tidak yakin akan kata-kata Ki Waskita.
Sesaat kemudian, maka keempat
perwira prajurit Pajang itu telah mendekat dan berhenti beberapa langkah di
hadapan mereka.
“Ki Sanak,“ sapa salah seorang
dari mereka, “siapakah kalian bertiga ?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Agaknya ia sedang memikirkan, apakah jawab yang paling baik
diberikan.
Baru sejenak kemudian ia
menjawab, “Kami adalah orang-orang dari padepokan Karang. Aku adalah Ki Tanu.
Kawanku ini adalah Waskita dan anak muda itu adalah anakku.”
Para perwira itu memandang
Kiai Gringsing dengan tajamnya. Dengan nada yang datar salah seorang dari
keempat perwira itu bertanya, “Ki Sanak akan pergi kemana?”
“Kami akan pergi ke Sangkal
Putung.” jawab Kiai Gringsing.
“Kenapa ke Sangkal Putung?
Apakah ada keperluan Ki Sanak di Sangkal Putung?”
“Kami akan memesan sebilah
keris dan beberapa macam alat-alat pertanian.”
“Kenapa ke Sangkal Putung?
Bukankah di Jati Anom ada juga dua orang pande besi yang mumpuni?”
“Benar Ki Sanak. Tetapi aku
sudah terbiasa membuat alat-alat pertanian di Sangkal Putung. Meskipun hasilnya
sama, tetapi harganya jauh lebih murah di Sangkal Putung. Apalagi pande besi di
Sangkal Putung adalah kemenakanku sendiri.”
Perwira itu mengangguk-angguk.
Namun yang lain berkata, “Baiklah. Jika kalian terpaksa harus pergi ke Sangkal
Putung, kalian harus menunda perjalanan kalian barang sebentar. Saat ini
prajurit Pajang sedang mengadakan pemeriksaan di beberapa padukuhan. Jika
mereka sudah selesai Ki Sanak boleh lewat.”
Kiai Gringsing termangu mangu.
Kemudian iapun bertanya, “Berapa lama kami harus menunggu?”
“Tidak lama. Dan bukankah
keperluanmu tidak tergesa-tesa. Maksudku, kau hanya akan memesan alat-alat dari
besi dan baja bagi sawah dan ladangmu. Kau tidak sedang dalam perjalanan
menengok keluargamu yang sakit, misalnya.”
Kiai Gringsing mengangguk.
Tetapi ia mencoba mendesak, “Aku tidak akan mengganggu. Mungkin aku akan
mencari jalan memintas. Sehingga aku tidak akan menjumpai prajurit-prajuirt
yang sedang bertugas.“
“Jangan tergesa-gesa. Mereka
tidak akan lama.”
“Tetapi, kenapa prajurit
Pajang itu mengadakan pemeriksaan di padukuhan-padukuhan? Apakah ada sesuatu
yang salah pada mereka?”
“Ki Sanak. Jika kalian belum
mengetahui, daerah ini di saat terakhir agaknya sering diganggu oleh kejahatan.
Prajurit Pajang mencium keterangan, bahwa penjahat-penjahat itu sebenarnya
bukan orang lain, tetapi orang-orang di daerah ini sendiri. Namun demikian
untuk menjatuhkan tuduhan itu, diperlukan bukti-bukti yang meyakinkan.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya, “Jadi prajurit Pajang sedang mencari bukti kejahatan itu di antara
penduduk padukuhan?”
“Ya. Tetapi yang tidak
bersalah tidak perlu cemas. Juga kalian bertiga tidak perlu cemas. Jika
kawan-kawanku sudah selesai, mereka akan lewat jalan ini pula dan meneruskan
tugas kami di tempat lain yang tidak dapat aku katakan sekarang.”
“Ki Sanak,“ Ki Waskita
mendesak, “apakah aku tidak dapat memilih jalan lain. Jika Ki Sanak
memberitahukan kepada kami, jalan manakah yang saat ini tidak boleh kami lalui,
maka kami akan memilih jalan lain.”
“Jalan inilah yang tidak boleh
dilalui saat ini,“ jawab salah seorang dari mereka dengan jengkel.
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sebaiknya kita kembali saja ke padepokan.
Jalan yang akan kami lalui tidak begitu jauh. Jika kami terhenti di sini
setengah hari, maka yang setengah hari itu sama dengan waktu yang kami perlukan
untuk seluruh keperluan kami. Berangkat, memesan dan kembali. Sedangkan kami
harus berhenti di sini tanpa berbuat sesuatu.”
Salah seorang perwira itu
tertawa. Katanya, “Silahkan. Aku kira itu adalah suatu sikap yang bijaksana.
Besok kalian dapat pergi ke Sangkal Putung tanpa gangguan apapun juga,
sementara ini kalian dapat berbuat apa saja di rumah kalian.”
Kiai Gringsing memandang
perwira itu sejenak, lalu katanya, “Terima kasih. Lebih baik bagiku untuk tidur
saja di rumah daripada menunggu di sini sampai setengah hari.”
Ki Waskita dan Agung Sedayu
yang mendengar pendapat Kiai Gringsing itu termangu-mangu. Tetapi mereka tidak
dapat berbuat apa-apa ketika Kiai Gringsing mengajak mereka. “Marilah. Kita
kembali saja lebih dahulu. Agaknya sedang ada persoalan di sepanjang jalan yang
akan kita lalui sekarang ini.”
Ki Waskita dan Agung Sedayu
tidak menyahut. Merekapun kemudian memutar kudanya dan kembali ke arah
padepokan.
Kiai Gringsing yang kemudian
berkuda di paling depan, seakan-akan tidak menghiraukan kedua kawannya
seperjalanan. Bahkan berpalingpun tidak.
Di belakangnya Ki Waskita dan
Agung Sedayu mengikutinya tanpa mengerti maksudnya.
“Kenapa begitu mudahnya Kiai Gringsing
mematuhi perintah orang-orang itu,“ desis Ki Waskita perlahan-lahan.
“Aku kurang mengerti,“ bisik
Agung Sedayu, “tetapi kadang-kadang Guru mengambil sikap yang tidak segera
dapat ditangkap maksudnya, bahkan kelihatan aneh.”
Keduanya tidak berbicara lebih
jauh. Mereka semakin mendekati Kiai Gringsing yang seakan-akan tidak
mengacuhkannya sama sekali.
Tetapi ketika jarak mereka
sudah cukup jauh dari para perwira yang menghalangi perjalanan mereka, maka
Kiai Gringsingpun memperlambat kudanya sambil berkata, “Mencurigakan sekali.”
Agung Sedayu yang sudah lama
ditekan oleh keheranan, dengan serta merta bertanya, “Tetapi tiba-tiba saja
Guru mengajak kami kembali.”
“Tentu tidak,“ sahut Kiai
Gringsing, “aku justru merasa aneh, bahwa kita tidak boleh melanjutkan
perjalanan melalui jalan yang biasa kita lalui. Meskipun seandainya ada semacam
penilaian terhadap padukuhan-padukuhan di sepanjang jalan itu, biasanya jalan
tidak ditutup sama sekali.”
“Jadi apakah maksud Kiai
sebenarnya? “ Ki Waskitapun bertanya.
“Kita mencari jalan lain.
Jalan-jalan sempit di sebelah padukuhan. Mungkin kita akan menemukan sesuatu di
sepanjang jalan ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bergumam, “Tetapi ada juga baiknya. Jika
misalnya Ki Sumangkar dan Swandaru hari ini pergi ke padepokan, maka iapun akan
terhalang dan kembali ke Sangkal Putung. Dengan demikian, kita tidak akan
berselisih jalan.”
“Jika kita masing-masing
melalui jalan itu, maka kita tidak akan berselisih jalan, karena kita tentu
akan bertemu di perjalanan. Kecuali jika Swandaru mengambil jalan yang tidak
biasa kita lalui yang memintas memotong jalur jalan besar itu.
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi Ki Waskitalah yang bertanya, “Kita akan menempuh jalan yang mana?”
Ketiganya termangu-mangu.
Agaknya Kiai Gringsing juga masih belum siap untuk memilih jalan yang akan
dilaluinya.
Ternyata Agung Sedayulah yang
kemudian mengusulkan, “Guru, bagaimanakah jika kita melingkari padukuhan
sebelah dan kemudian mengikuti jalan kecil di seberang padukuhan itu?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya.
“Namun, pada suatu saat kita
akan muncul pula di bulak panjang yang barangkali akan dapat dilihat oleh para
prajurit, jika di sepanjang jalan ini banyak terdapat prajurit-prajurit yang
seperti dikatakan oleh perwira itu sedang melakukan tugasnya.”
“Kita memang menghadapi suatu
peristiwa yang mencurigakan. Jika benar terjadi bahwa para prajurit Pajang
sedang memeriksa padukuhan-padukuhan atau rumah-rumah yang dicurigainya di
sepanjang jalan ini, maka kita tentu akan mengenal sebagian dari mereka, karena
yang melaksanakan tugas itu tentu prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom.
Bukankah daerah ini merupakan daerah kekuasaan Senapati Untara di Jati Anom?”
“Jadi bagaimanakah menurut
pendapat Kiai?“ bertanya Ki Waskita.
“Baiklah. Kita akan menempuh
jalan di seberang padukuhan ini. Jika kita muncul di bulak panjang di balik
padukuhan ini, maka kita akan memacu kuda-kuda kita. Sementara kita lebih baik
menghindar daripada harus berbenturan dengan prajurit-prajurit Pajang.
Syukurlah jika kita bertemu dengan prajurit atau perwira prajurit Pajang dari
Jati Anom yang sudah kita kenal, yang tentunya di antara sekian banyak orang
ada satu atau dua orang yang sudah mengetahui siapakah kau. Adik Untara.”