Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 104

Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 104
Buku 104
“Jika gelora di dalam dadanya itu mendapat pengarahan yang tepat, maka gairah yang menyala-nyala di dalam dada Swandaru itu akan dapat menghasilkan sesuatu yang besar bagi kademangannya. Tetapi jika sekedar didorong keinginannya sendiri,“ berkata Sumangkar di dalam hatiya.

Karena itulah, maka setelah berbincang dengan Ki Demang, ia memutuskan untuk pergi ke padepokan kecil Kiai Gringsing di dekat Jati Anom.

“Kenapa Guru pergi ke padepokan itu?” bertanya Sekar Mirah ketika Ki Sumangkar minta diri kepada muridnya.

“Sekedar menengok penghuni-penghuninya. Rasa-rasanya aku sudah rindu kepada Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Apalagi agaknya Ki Waskita masih tetap berada di padepokan itu.”

Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi nampaknya ia tidak menaruh minat sama sekali kepada niat gurunya itu, meskipun ia tahu, bahwa di padepokan kecil itu tinggal Agung Sedayu.

Sementara itu Swandaru seolah-olah acuh tidak acuh saja terhadap maksud Ki Sumangkar itu. Ketika Ki Sumangkar mengatakannya kepadanya, ia hanya mengangguk-angguk saja sambil menjawab singkat, “Silahkan Kiai.”

Meskipun demikian, Ki Sumangkar benar-benar akan berangkat ke Jati Anom atas persetujuan Ki Demang Sangkal Putung.

“Jika Kiai Gringsing tidak dapat datang ke Sangkal Putung maka pertimbangan-pertimbangannyalah yang kita perlukan. Untunglah sampai saat ini Untara yang memegang limpahan kekuasaan Sultan Pajang di daerah ini belum mencurigai perkembangan Sangkal Putung dan mengambil langkah-langkah penertiban. Jika demikian maka tentu akan timbul benturan-benturan kekuatan yang sebenarnya tidak perlu.“ desah Ki Demang menyesali keadaan.


Yang menaruh perhatian atas kepergian Ki Sumangkar ke Jati Anom selain Ki Demang adalah justru Pandan Wangi. Ketika ia berdiri di tangga pendapa menjelang keberangkatan Ki Sumangkar, perempuan itu bertanya, “Apakah Ki Sumangkar akan segera kembali?”

“Ya Pandan Wangi. Aku akan segera kembali.”

“Salamku buat penghuni padepokan kecil itu,” Pandan Wangi menyambung. Kemudian, “Mudah-mudahan Kiai Gringsing menaruh perhatian terhadap perkembangan kakang Swandaru.”

Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia melihat sepercik harapan memancar dari sorot mata Pandan Wangi yang agaknya menjadi cemas pula atas perkembangan watak suaminya.

Sambil mengangguk Ki Sumangkar berdesis, “Aku akan berusaha Pandan Wangi. Kiai Gringsing bukannya orang yang tidak acuh terhadap murid-muridnya.”

Pandan Wangi mengangguk kecil. Ia benar-benar menaruh harapan, agar Kiai Gringsing berada di Sangkal Putung untuk beberapa saat saja. Jika ia melihat sendiri perkembangan Swandaru, maka ia tentu tidak akan tinggal diam.

Demikianlah Ki Sumangkarpun meninggalkan Sangkal Putung di pagi hari yang segar dan cerah. Demikian matahari mulai memancar. Ki Sumangkar telah berada di punggung kudanya meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Ki Demang yang mengantarkannya sampai ke regol menarik nafas dalam-dalam, sementara Sekar Mirah yang ada di belakangnya bergumam, “Perjalanan yang tidak ada gunanya.”

Ki Demang berpaling. Namun Sekar Mirah telah meninggalkannya tanpa memberikan penjelasan apapun juga. Sementara Swandaru dan Pandan Wangi yang berdiri di tangga pendapa sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun juga meskipun Ki Demang seakan-akan dapat melihat perbedaan isi di dalam relung hati masing-masing.

Ki Sumangkar yang meninggalkan Kademangan Sangkal Putung membiarkan kudanya berlari perlahan-lahan. Ia tidak tergesa-gesa untuk sampai ke Jati Anom. Bahkan ia masih sempat memperhatikan sawah dan ladang yang hijau segar, sesegar tubuh Swandaru sendiri.

Ketika terpandang olehnya parit yang mengalirkan air yang bening, rimbunnya tanaman padi dan ayunan daun kelapa di pinggir padukuhan, Ki Sumangkar tidak dapat ingkar, bahwa Swandaru agaknya akan berhasil. Apalagi dengan dentang suara pandai besi yang tidak henti-hentinya, sejak matahari terbit, sampai saatnya matahari hampir terbenam.

“Namun tentu ada celanya,” desis Sumangkar dengan kecewa.

Dalam pada itu, kudanyapun berlari semakin jauh dari Kademangan Sangkal Putung. Setelah ditinggalkannya padukuhan yang terakhir, maka Ki Sumangkarpun telah memasuki bulak yang panjang, sebelum ia akan sampai ke pinggir padang ilalang dan hutan perdu.

Namun tiba-tiba saja Sumangkar mengerutkan keningnya ketika ia melihat di kejauhan dua ekor kuda yang berlari kencang. Kecurigaannyapun kemudian tumbuh ketika ia menyadari bahwa dua ekor kuda itu tidak berlari di jalan yang lapang, tetapi menyusur menurut lorong sempit yang akan melintasi hutan.

Hampir di luar sadarnya Ki Sumangkar mempercepat lari kudanya, seakan-akan hendak menyilang kedua ekor kuda bertari kencang itu. Namun jaraknya memang terlalu jauh, sehingga Ki Sumangkar hanya dapat memandanginya saja ketika dua ekor kuda itu melintas jalan yang akan dilaluinya.

“Bukan prajurit Pajang di Jati Anom,” desisnya.

Menilik pakaiannya, keduanya memang bukan prajurit. Keduanya agaknya saudagar atau petani kaya yang sedang bepergian.

“Nampaknya tergesa-gesa sekali,” desis Ki Sumangkar.

Namun tiba-tiba perhatiannya telah terampas lagi oleh dua orang penunggang kuda yang lain. Juga tergesa-gesa seperti penunggang yang terdahulu, sedangkan ujud lahiriahnya, keduanyapun menyerupai kedua orang yang baru saja menyilang jalan.

Ki Sumangkar termangu-mangu. Di luar sadarnya ia bergumam, “Siapa lagi mereka berdua itu?”

Namun ia tidak dapat mencegah keinginannya untuk mengetahui serba sedikit kedua orang berkuda itu. Sehingga karena itu, maka iapun memacu kudanya kembali.

Kali ini Ki Sumangkar tidak terlambat. Ia berhasil mencapai jalan kecil yang menyilang jalan yang sedang dilaluinya, dan bahkan menghentikan kudanya beberapa langkah di sebelah jalan kecil itu sambil menunggu.

Kedua orang yang sedang berpacu itu memandang Ki Sumangkar sekilas. Tetapi nampaknya keduanya sama sekali tidak menghiraukannya, sehingga mereka tidak mengurangi kecepatan lari kudanya.

Ki Sumangkar tidak senang melihat sikap itu. Karena itu maka kudanyapun diajukannya lagi beberapa langkah sehingga kuda itu berdiri tepat di mulut lorong kecil itu.

Kedua penunggang kuda itu terkejut. Dengan serta merta keduanya menarik kekang kudanya, sehingga kudanya yang terkejut itupun meringkik keras-keras sambil berdiri di kedua kaki belakangnya.

“Kau gila,“ teriak salah seorang dari keduanya, “apakah kau sudah jemu melihat sinar matahari? Jika kudaku yang tegar ini melanggarmu, maka kau akan terpelanting dan mati seketika.”

Ki Sumangkar mengangguk hormat sambil berdesis, ”Maaf Ki Sanak. Kudaku memang sulit dikendalikan.”

“Sekarang minggir,“ teriak yang lain.

Tetapi Sumangkar tetap berada di tempatnya sambil berkata, “Tetapi perkenankanlah aku memperkenalkan diriku.”

“Itu tidak perlu,“ salah seorang dari keduanya berteriak lebih keras. ”Minggir.”

“Jangan berteriak Ki Sanak. Jika suaramu didengar oleh orang-orang yang sedang berada di sawahnya, mereka akan terkejut dan berlari ketakutan.”

Ketenangan Ki Sumangkar ternyata telah menarik perhatian mereka. Tidak banyak orang yang dapat bersikap setenang itu, jika ia bukan orang yang memiliki kepercayaan yang tebal terhadap diri sendiri.

“Apakah maksudmu Ki Sanak,“ bertanya salah seorang dari mereka dengan nada menurun.

Ki Sumangkar memandang keduanya berganti-ganti.Lalu iapun kemudian bertanya, “Akulah yang harus bertanya, siapakah kalian.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. lalu yang seorang menjawab, “Aku datang dari Kademangan Panggung menuju ke Prambanan. Nah. minggirlah.”

“Nanti dulu,” jawab Sumangkar.

“Siapa kau? Siapa? “ Yang seorang bertanya dengan geram.

“Namaku Sumangkar. Aku adalah salah seorang pengawal dari Kademangan Macanan.”

“Apa maksudmu?”

“Aku hanya ingin mengetahui, apakah maksudmu sebenarnya. Perjalananmu nampak sangat tergesa-gesa.”

Kedua orang itu menjadi tegang. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mulai membakar jantung.

Dengan suara yang gemetar salah seorang dari mereka berkata, “Ki Sanak. Apakah hakmu untuk mengetahui siapa dan apakah yang akan aku lakukan?”

“Aku adalah pengawal Kademangan Macanan. Macanan sekarang sedang diganggu oleh kejahatan-kejahatan yang hampir merata. Karena itu, aku harus mencurigai setiap orang yang lewat di daerah Macanan.”

Wajah orang itu menjadi semakin merah oleh kemarahan yang menghentak didadanya. Salah seorang dari keduanya menggeram, “Pengawal yang gila. Seandainya kau pengawal yang mumpuni dari Kademangan Macanan, dan seandainya aku seorang penjahat seperti yang kau sangka, apakah yang dapat kau lakukan sekarang?”

Yang lain tiba-tiba saja menyahut, “Orang dungu. Apakah kau tidak menyesal bahwa dengan demikian kau sudah menuduh kami, bahwa kami adalah dua orang penjahat yang kau maksud?”

“Jangan salah paham Ki Sanak,“ Sumangkar masih tetap tenang, “aku hanya menjalankan tugasku. Semua orang asing mendapat perlakuan yang sama, sehingga sebenarnyalah aku sama sekali tidak menuduh kalian sebagai penjahat yang dimaksud mengganggu kademangan ini. Tetapi agar jelas bagi kami, orang-orang Macanan, katakanlah siapakah kalian, dari mana dan hendak kemana?”

“Minggir orang tua gila,“ seorang dari keduanya berteriak, “aku dapat membunuhmu dengan sekali pukul.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia tahu bahwa orang itu benar-benar memiliki kemampuan. Namun kecurigaannya semakin menjadi-jadi karena sikap keduanya.

“Aku mohon maaf. Jika kalian mengatakan bahwa kalian akan pergi ke Jati Anom menemui senapati di daerah ini, aku akan menyingkir, karena dengan demikian kalian adalah prajurit-prajurit Pajang dalam tugas sandi.”

Tiba-tiba saja tanpa berpikir, salah seorang dari keduanya menjawab, “Ya. Kami akan menghadap Senapati Untara.”

“O,“ Sumangkar mengangguk angguk, “jika demikian aku akan menyingkir untuk memberi jalan kepada kalian berdua. Dan kita akan berjalan bersama-sama ke Jati Anom. Sebenarnyalah akupun akan menghadap Ki Untara untuk melaporkan keadaan Kademangan Macanan seperti yang kami lakukan setiap sepekan sekali untuk mengetahui perkembangan keamanan di daerah kami.”

“Gila,“ orang itu berteriak. Ia tidak mengira sama sekali bahwa orang tua itu akan mengikutinya. Namun dengan demikian maka kemarahan kedua orang itu sudah tidak tertahankan lagi. Salah seorang dari keduanya kemudian menggeram, “Pengawal tua. Mungkin kau mengira bahwa pengawal kademangan akan mampu menahan kami. Ketuaanmu, ketenanganmu, memang nampaknya meyakinkan. Mungkin kau bekas seorang prajurit yang kemudian menjadi pemimpin pengawal kademangan, atau seorang bekas penjahat ulung yang sudah tidak mampu lagi berburu di medan yang luas, sehingga terpaksa kembali ke kampung halaman dan kembali memegang tangkai cangkul sambil menebus dosa, menjadi pengawal kademangan.“ ia berhenti sejenak, “namun jangan mimpi bahwa kau akan dapat berbuat sesuatu atas kami. Apalagi kami sekarang berdua.”

Sumangkar tersenyum, katanya, “Darimana kau tahu tentang diriku Ki Sanak. Aku memang bekas seorang penjahat yang disebut Banaspati. Dan aku memang sedang menebus dosa. Karena itu, Kademangan Macanan untuk waktu yang lama tidak pernah diganggu oleh kejahatan. Jika sekarang kejahatan itu timbul, maka itu adalah suatu penghinaan kepada Sumangkar yang pernah digelari Banaspati.”

Kemarahan yang sangat telah menghentak dada kedua orang berkuda itu. Demikian sesaknya dada mereka, sehingga tiba-tiba saja salah seorang tertawa menghentak untuk melepaskan kepepatan hati sambil berkata, “Apakah kau sudah bersiap untuk mati? Ternyata kau benar-benar keras kepala. Tetapi agaknya kau sudah cukup lama hidup mengalami seribu macam corak kehidupan, sehingga sekarang kau benar-benar ingin mati.”

“Sudahlah Ki Sanak. Marilah, kita akan pergi ke Jati Anom. Bukankah Ki Sanak akan menghadap Senapati Untara ?”

Kedua orang yang marah itu saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang dari keduanya menggeram, “Minggir orang gila, atau aku harus membunuhmu.”

Sumangkar menggeleng lemah sambil menyahut, ”Kita akan pergi bersama-sama ke Jati Anom.”

Kedua orang itu sudah tidak sabar lagi menghadapi sikap Sumangkar yang menjengkelkan itu. Sehingga karena itu, maka salah seorang dari mereka langsung mengayunkan cemeti kudanya dan menghantam punggung Ki Sumangkar.

Tetapi orang itu terkejut. Betapa cepat ayunan cemetinya, namun Sumangkar berhasil mengelakkan dirinya, membungkuk mendatar di punggung kudanya. Bahkan dengan serta merta ia menggerakkan kendali kudanya dan mengatur diri menghadap kepada kedua orang itu.

“Hem,“ orang yang mengayunkan cemetinya itu menggeram, “kau benar-benar bekas seorang penjahat. Tetapi perbuatanmu ini benar-benar perbuatan gila. Jangan kau sangka bahwa seorang penjahat yang ulung-pun akan mampu menahan kami. Apalagi penjahat yang masih mempergunakan nama-nama gila untuk menakut-nakuti orang. Karena penjahat yang demikian tentu justru penjahat-penjahat yang sering mencuri ternak di kandang. Untuk membesarkan namanya, ia mempergunakan sebutan-sebutan yang aneh, seperti yang kau pergunakan. Banaspati.”

“Mungkin Ki Sanak. Tetapi kali ini aku benar-benar ingin berjasa terhadap kampung halaman dan kepada prajurit Pajang di Jati Anom. Karena itu aku sudah bertekad untuk mengantarkan kalian ke Jati Anom, atau menangkap kalian berdua.”

Sumangkar tidak sempat menyelesaikan kata-katanya. Salah seorang dari kedua orang yang marah itu langsung menyerangnya di atas punggung kuda.

Tetapi Ki Sumangkarpun sudah bersedia menghadapinya.

Ketika kuda salah seorang dari keduanya menghampirinya, dan sebuah serangan langsung mengarah ke pelipisnya, Sumangkar sempat mengelak dan kudanyapun bergerak ke samping.

Serangan yang gagal itu membuat orang itu semakin marah. Sesaat kemudian kudanyapun berputar di jalan menyilang lorong yang dilaluinya. Sementara kuda yang lain mulai bergerak dan siap untuk menyerangnya pula.

Perkelahian di atas punggung kuda di jalan yang tidak begitu lebar memang tidak menguntungkan. Itulah sebabnya, maka Sumangkar berniat memaksa lawannya untuk turun dari kudanya.

Itulah sebabnya, maka ketika serangan berikutnya datang, maka Sumangkar telah memperhitungkannya baik-baik. Dengan cepat ia berputar dan di luar dugaan lawannya, ia tidak mengelakkan serangannya, tetapi justru membenturnya dan sekaligus menangkap tangan lawannya.

Sebuah hentakan yang kuat telah menarik lawan Sumangkar itu dari kudanya. Tetapi ternyata orang itu telah berpegangan pada tangan Sumangkar pula, sehingga keduanyapun telah terloncat dari punggung kudanya dan jatuh berguling di tanah.

Tetapi ternyata bahwa keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Karena itulah, maka keduanya mampu menempatkan dirinya, sehingga keduanya tidak cidera karenanya. Bahkan dalam sekejap kemudian, keduanya telah meloncat berdiri dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, seorang lawan Sumangkar yang masih berada di punggung kudanyapun merasa tidak banyak gunanya ia bertahan terus untuk bertempur di atas kudanya. Itulah sebabnya, maka iapun segera meloncat turun dan siap menghadapi Ki Sumangkar berpasangan.

“Ternyata kau memang sedikit mempunyai kemampuan pengawal tua,” salah seorang dari keduanya menggeram, “tetapi bahwa kau sudah merasa dirimu melampaui kemampuan Untara dan berusaha menangkap kami berdua, adalah angan-angan yang gila dan tidak tahu diri. Betapapun tingginya ilmu pengawal kademangan kecil seperti Macanan, ia tidak akan mampu menahan kami. Apalagi berdua.”

Ki Sumangkar mengerutkan keningnya, ia memang harus berhati-hati. Keduanya memang bukan orang-orang kebanyakan. Sehingga karena itulah maka sambil memperhatikan keduanya ia menjawab, “Aku sama sekali tidak merasa diriku melampaui kemampuan Ki Untara. Tetapi aku hanya berkeinginan untuk membawa kalian menghadap Ki Untara.”

“Persetan,“ geram yang seorang, sementara yang lain maju selangkah, “bunuh saja orang ini. Kita tidak banyak mempunyai waktu.”

Serangan berikutnyapun segera datang beruntun. Sumangkar berusaha untuk mengelakkan serangan-serangan itu. Dengan cepatnya ia meloncat menghindar dan bahkan iapun berusaha menyerang dengan garangnya.

Agaknya kedua orang lawannya yang marah itu tidak mempunyai waktu terlalu banyak untuk bermain-main dengan pengawal Kademangan tua itu, sehingga sejenak kemudian keduanyapun telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan Sumangkar yang telah dengan sombong menghentikan mereka.

Demikianlah maka merekapun segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Masing-masing telah berusaha untuk segera memenangkan pertempuran itu.

Tetapi ternyata kemudian, bahwa kedua orang yang dihentikan oleh Sumangkar itu mampu bertempur berpasangan dengan baiknya, sehingga pada suatu saat, Sumangkarpun mulai nampak kebingungan menghadapi kedua lawannya.

Namun demikian, ia masih tetap bertempur mati-matian. Ia masih sempat selalu meloloskan diri dari serangan yang langsung membahayakan jiwanya. Namun demikian, semakin lama nafasnya menjadi semakin berdesakan di lubang hidungnya.

“Orang tua yang gila,“ geram salah seorang dari keduanya, “kami bukan orang-orang yang baik hati dan memaafkan segala kesalahanmu. Kau sudah menghentikan langkah kami. Karena itu, kau harus menyesalinya meskipun tidak perlu terlalu lama, karena sebentar lagi kau akan kami bunuh tanpa ampun.”

Sumangkar tidak menjawab. Ia berusaha untuk bertahan terus. Meskipun ia masih dapat mengelakkan setiap serangan, tetapi semakin lama ia menjadi semakin terdesak.

Dengan segenap sisa tenaganya, Sumangkar masih tetap bertahan melingkar-lingkar. Ia tidak mau beranjak jauh dari tempatnya. Meskipun kadang-kadang ia harus meloncat jauh surut, tetapi ia sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri. Apalagi ketika lawannya berkata lantang, “Tidak ada gunanya kau melarikan diri. Kami yang sudah terlanjur turun dari kuda, akan meninggalkan mayat kalian disini.”

Sumangkar tidak menjawab. Ia mencoba sekilas memandang berkeliling.

“Kau mencari kawan yang sedang berada di sawah atau orang lalu? Jalan ini terlalu sepi. Mungkin akan ada dua atau tiga orang prajurit yang lewat. Tetapi dua tiga orang prajurit itupun akan kami bunuh pula jika mereka ikut serta melibatkan diri. Bahkan seandainya yang datang Untara sekalipun, kami tidak akan gentar.”

“Jangan terlalu sombong,“ geram Sumangkar. Tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Serangan kedua lawannya benar-benar telah mendesaknya.

“Nah Ki Sanak,“ berkata salah seorang dari keduanya, “mulailah dengan penyesalanmu.”

“Tidak. Aku tidak menyesal,“ jawab Sumangkar, “aku akan menangkap kalian. Sekarang semakin kuat dugaanku, bahwa kalian berdua adalah penjahat yang selama ini sering mengganggu dan merampok kademangan-ku.”

“Gila.”

“Aku akan berteriak. Orang-orang yang ada di sawah itu akan berdatangan. Mereka akan membantu aku dan jumlah mereka akan cukup banyak.”

“Itu adalah suatu tindakan yang bodoh. Itu berarti bahwa kau telah membunuh kawan-kawanmu sendiri, karena aku benar-benar akan membunuh siapa saja yang terlibat dalam perkelahian ini.”

Ki Sumangkar termangu-mangu sejenak. Tetapi serangan kedua orang lawannya datang seperti badai dari arah yang berbeda. Karena itulah maka ia harus berputaran seperti angin pusaran.

“Jangan gembira karena kemenangan-kemenangan kecil,“ desis Sumangkar, “karena sebentar lagi orang-orang kademangan ini akan menangkap kalian berdua.”

“Daerah ini terlampau sepi. Orang-orang yang ada di sawah justru telah berlarian dan bersembunyi. Apa yang akan kau katakan?”

Ki Sumangkar tidak sempat menjawab. Serangan keduanya benar-benar hampir menyentuh kulitnya.

Karena itulah maka Ki Sumangkar harus berloncatan menghindarinya. Sekali-sekali ia sempat menyerang. Namun sebagian besar dari tata geraknya adalah sekedar berusaha menghindari serangan lawan.

Tetapi Ki Sumangkar tidak selalu berhasil. Serangan kedua orang lawannya semakin lama menjadi semakin cepat. Betapapun juga Sumangkar berusaha untuk menghindar, namun pada suatu saat, ia telah tersentuh oleh tangan lawannya.

Terdengar Sumangkar menyeringai. Sentuhan itu ternyata telah membuatnya semakin terdesak.

“Kau akan mati,“ geram salah seorang dari kedua lawannya.

Tetapi Sumangkar masih melawan terus. Ia tidak mau meninggalkan arena. Apapun yang akan terjadi, ia akan bertempur terus.

“Kau kira aku seorang pengecut,“ ia menggeram, “akupun pernah menjadi seorang yang pada suatu saat berhasil menyombongkan diri karena kemenangan-kemenangan kecil.”

Sumangkar tidak sempat meneruskan kata-katanya. Sebuah serangan yang cepat dan keras telah mengenai pundaknya, sehingga ia terputar dan terbanting di tanah.

Sekali ia terguling, kemudian dengan serta merta ia meloncat berdiri.

Pada saat yang bersamaan, sebuah serangan kaki mendatar telah mengejarnya. Untunglah, bahwa justru keseimbangannya belum pulih kembali sehingga ia terjatuh tepat pada saat kaki lawannya hampir saja mengenai tengkuknya.

Lawannya yang tidak berhasil mengenainya itu menggeram marah. Ia masih ingin menyerangnya sekali lagi. Tetapi agaknya Sumangkar justru sudah berhasil berdiri dan meloncat jauh-jauh ke belakang.

“Kau akan lari,“ bentak salah seorang dari kedua lawannya.

Sumangkar tidak menyahut. Tetapi sorot matanya semakin lama seakan akan menjadi semakin redup.

“Jangan menyesal,” geram lawannya.

Sumangkar masih tetap berdiam diri. Tetapi ia selalu bersiaga menghadapi kedua lawannya yang memiliki ilmu yang tinggi itu.

Tetapi ternyata bahwa Sumangkar benar-benar telah terjepit. Kedua orang lawannya berhasil mendesaknya ke bawah sebatang pohon Randu Alas yang tumbuh di pinggir jalan itu.

“Kau tidak akan dapat lari meninggalkan kami. Sekarang, katakanlah, apa yang kau kehendaki untuk yang terakhir kalinya.”

“Kenapa yang terakhir?”

“Kau akan mati,“ geram orang itu.

Sumangkar menjadi tegang sejenak. Tetapi ia tidak dapat menyangkal. Serangan kedua orang itu semakin lama menjadi semakin garang. Dan bahkan seakan-akan telah mengurungnya dalam keadaan yang paling gawat.

Dalam saat-saat terakhir dari perkelahian itu Sumangkar terdesak tanpa dapat menahan arus serangan lawannya, sehingga pada suatu saat, ia berdiri di tanggul parit dengan ragu-ragu. Sementara dari dua arah yang berbeda, kedua lawannya mendekat dengan senjata yang sudah teracu.

“Saat kematian itu memang sudah mendekat,“ desis yang lain.

Ki Sumangkar memandang kedua ujung senjata itu. Berganti-ganti. Dalam keadaan yang sulit ia menjawab, ”Jika keadaan yang paling pahit itu harus aku jalani, apa boleh buat. Tetapi pada saat terakhir aku sudah melihat, siapakah orang yang selama ini mengganggu Kademanganku. Mencuri ternak atau sekali-sekali mencuri harta milik dengan merusak dinding.”

“Gila,“ geram yang satu, “kau masih saja gila.”

“Kejahatan yang demikian tentu akan sampai pada batasnya. Jika prajurit Pajang menemukan kalian sedang mencuri kuda, bahkan mencuri ayam, maka kalian akan menyadari bahwa pasukan Pajang bukan terdiri dari pengawal-pengawal seperti aku.”

“Tetapi anggapanmu bahwa kami adalah pencuri-pencuri itu adalah anggapan yang gila sekali. Apakah tampangku seperti pencuri ayam?”

“Aku tidak dapat membedakan tampang seseorang. Tetapi tingkah lakumu mengatakan kepadaku, bahwa kalian berdua adalah pencuri-pencuri yang selama ini sedang kami cari.”

“Aku bukan pencuri. Jika kau sekali lagi menyebut aku pencuri aku akan menyobek mulutmu.”

Sumangkar termangu-mangu. Lalu dengan nada datar ia bertanya, “Jika kalian bukan pencuri ternak dan kuda, kenapa kalian takut aku hadapkan kepada Untara? Ia tidak pernah menghukum orang yang tidak bersalah.”

“Aku bukan pencuri ayam. Jika ada sesuatu yang aku lakukan, maka semuanya itu aku lakukan karena cita-cita?”

Sumangkar tidak menyahut. Ketika tiba-tiba saja ia meloncat surut, melewati tanggul dan parit, salah seorang dari kedua itu telah meloncat memotong arah sambil berkata, “Kau tidak akan dapat lari kemana-mana Kau akan mati.”

Wajah Sumangkar menjadi tegang dan gemetar. Namun ia masih berdesis, “Penjahat yang keji. Bertaubatlah. Kemudian tebuslah dosa-dosamu dengan berbuat kebajikan.”

“Aku bukan penjahat,“ salah seorang dari keduanya berteriak, “orang tua gila,“ ia menggeram, “di ambang pintu maut, dengarlah kata-kataku. Sebenarnyalah aku bukan penjahat seperti yang kau maksud.”

“Jadi. jadi, siapakah kau?” Sumangkar melangkah surut dan turun di tanah persawahan.

Kedua orang itu mendesak semakin ketat dari dua arah, sehingga Sumangkar menjadi semakin terdesak. Bahkan rasa-rasanya kedua ujung senjata orang-orang yang marah itu tidak terkekang lagi memburunya.

“Kami jarang sekali mempergunakan senjata kami,” berkata salah seorang dari keduanya, “tetapi karena aku sekarang sedang berhadapan dengan pengawal gila, maka aku telah mempergunakan senjataku. Tetapi jika senjata ini sudah tertarik dari sarungnya, maka senjata ini tentu akan menghisap darah korbannya.”

Sumangkar tidak menyahut. Sekilas ia melihat kedua ujung senjata yang tajamnya melampaui tajam duri kemarung.

Yang dapat dilakukan Sumangkar kemudian hanyalah sekedar meloncat surut. Semakin lama semakin cepat. Namun di luar penguasaan keseimbangan tubuhnya, kakinya telah menyentuh pematang, sehingga Sumangkar itupun jatuh terlentang di antara tanaman yang hijau segar.

“Ajalmu telah sampai,“ geram salah seorang lawannya.

“Tetapi, kau belum menjawab. Siapakah kalian sebenarnya?”

“Tidak ada gunanya. Kami sudah terlanjur marah dan harus membunuhmu.”

“Sebut nama kalian sebelum aku mati.“

Sejenak keduanya ragu-ragu. Namun salah seorang kemudian berkata, “Namaku tidak ada artinya. Tetapi ketahuilah. Kami bukan penjahat kecil seperti yang kau sebut-sebut. Sebutan itu memang suatu penghinaan yang tidak termaafkan. Aku adalah orang-orang yang sedang mengemban tugas dari para pemimpin yang akan mewarisi kerajaan Agung Majapahit.”

“Majapahit,” Sumangkar menjadi heran.

“Kami adalah orang-orang yang sedang mengemban tugas dalam cita-cita, bukan sehina seperti yang kau sangka.”

“Tetapi, tetapi Majapahit itu sudah tidak ada lagi sekarang ini. Bahkan sudah diganti oleh Kerajaan Demak beberapa keturunan, sehingga akhirnya kerajaan kini berpusat di Pajang.”

“Apa arti Jaka Tingkir anak padesan itu? Ia sama sekali tidak wenang mewarisi kejayaan Wilwatikta. Ia harus terusir dari tahta dan menyerahkan warisan kejayaan Majapahit yang dirampasnya kepada para pemimpin yang berhak.”

“Siapakah yang kau maksud para pemimpin yang berhak itu?”

“Kau tidak perlu tahu tikus kecil. Kau harus mati.”

“O,“ Sumangkar mengangguk-angguk, “jadi kalian adalah para petugas dari Kerajaan Agung Majapahit itu?”

“Ya. Kerajaan Agung Majapahit akan segera lahir.”

“Di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu?”

Kedua orang itu tiba-tiba menjadi tegang. Salah seorang dari keduanya menggeram bertanya, “Dari manakah kau mendengar bahwa ada sesuatu peristiwa penting di lembah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu?”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mencoba berdiri. Tetapi salah seorang dari kedua lawannya membentak. “Jangan bergerak. Itu hanya akan mempercepat kematianmu.”

“Biarlah aku berdiri. Jika ujung senjatamu benar-benar akan menghunjam di jantungku, biarlah aku mendengar keteranganmu lebih banyak lagi.”

“Tidak ada yang akan aku terangkan.”

“Tentang lembah itu,“ Sumangkar masih berusaha untuk berdiri.

“Berdirilah. Kau akan mati sambil berdiri dan jatuh menelentang lagi dengan darah mengalir dari jantungmu yang akan aku sobek dengan senjataku. Bersiaplah. Jika kau benar-benar jantan, berdirilah dengan dada tengadah supaya aku tidak salah memilih arah jantungmu.”

“Baiklah. Aku memang tidak ada pilihan lain. Tetapi sebutlah namamu berdua.”

“Orang matipun tidak perlu mendengar namaku. Berdirilah tegap seperti seorang laki-laki sejati. Dosamu sudah terlalu banyak. Kau sudah menghina utusan Kerajaan Agung Majapahit sebagai penjahat-penjahat kecil. Dan kau sudah mendengar serba sedikit tentang pertemuan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.”

“Aku memang sudah mendengar. Di lembah itu akan dibicarakan pula mengenai kedua pusaka yang hilang dari Mataram. Songsong kebesaran dan yang tak ternilai adalah pusaka terbesar, Kangjeng Kiai Pleret.”

“He, darimana kau tahu? “ salah seorang dari keduanya berteriak.

Sementara yang lain menggeram, “Cepat. Bunuh orang ini. Ia sangat berbahaya. Kecuali jika kau dapat menyebut, bahwa kau adalah petugas di antara kami.”

Tetapi Sumangkar menggeleng, “Aku bukan petugas sandi di antara kalian. Aku benar-benar seorang bekas penjahat yang kini menjadi pengawal sebuah kademangan kecil disini. Dan aku benar ingin menangkapmu jika aku mampu dan membawamu menghadap Senepati Untara.”

“Gila. Kau membenarkan keputusan kami untuk membunuhmu.”

“Baiklah. Tetapi dengarlah penjelasanku tentang diriku,“ Sumangkar melanjutkan.

“Apakah itu penting?“ geram lawannya yang lain.

“Sebelum kau membunuh aku, kau tahu pasti, siapah aku ini.”

“Katakan. Cepat kalau itu memberikan sedikit ketenangan disaat matimu.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berdiri tegak. Dari dua arah ia melihat ujung senjata yang siap menghujam ke tubuhnya. Ketika sekilas ia memandang wajah orang-orang yang menggenggam senjata itu, dilihatnya wajah itu seolah-olah menjadi merah membara.

“Dengarlah,” berkata Sumangkar sambil melangkah surut. Tetapi kedua orang itu melangkah mendekat pula tanpa menghiraukan tanaman yang terinjak-injak kaki.

“Aku adalah seorang penjahat yang paling dibenci oleh orang-orang Pajang. Itulah sebabnya aku berusaha membuat suatu jasa bagi mereka, khususnya prajurit Pajang di daerah ini.”

“Cepat sebut, siapa kau.”

“Aku adalah penjahat besar dari Jipang. Aku adalah adik seperguruan Patih Mantahun. guru seorang Senapati Jipang yang masih muda, Tohpati yang terbunuh di daerah ini pula.”

“Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan pada jaman itu?”

“Ya. Namaku sudah aku sebut. Sumangkar.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Sebutan yang diucapkan oleh Sumangkar tentang dirinya sendiri sebagai saudara seperguruan Tohpati membuat orang itu berdebar-debar.

Namun kemudian salah seorang dari keduanya berkata lantang, “Jangan mengigau orang tua. Jika kau pernah menjadi seorang penjahat kecil, aku memang percaya. Tetapi jika kau mengaku saudara seperguruan dari Patih Mantahun, agaknya syarafmu mulai terganggu di saat kau menghadapi maut.”

Sumangkar memandang orang itu sejenak. Namun ia tersenyum. Katanya, “Mungkin syarafku sudah terganggu. Tetapi aku adalah Sumangkar, adik seperguruan Patih Mantahun.”

“Aku tidak peduli. Sekarang, bersiaplah untuk mati. Kau tidak akan dapat memperpanjang nyawamu dengan cerita-cerita mimpi seperti itu.”

Tetapi Sumangkar masih saja tersenyum. Katanya, “Aku sudah mengetahui tugasmu. Kau tentu dua orang di antara orang-orang yang mengaku dirinya memiliki hak untuk mewarisi Kerajaan Majapahit yang sudah tidak ada lagi itu.”

“Ya. Aku tidak ingkar. Sekarang matilah dengan tenang.”

“Aku masih belum ingin mati. Aku akan melanjutkan perlawananku. Aku juga mempunyai senjata yang akan dapat membantuku melepaskan diri dari ujung senjatamu.”

“Gila,“ geram yang seorang. Sementara yang lain tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menusuk lambung Sumangkar dengan senjatanya.

Tetapi keduanya terkejut melihat perubahan sikap Sumangkar. Dengan tangkasnya ia berhasil menghindar dengan loncatan panjang. Namun lawannya yang lain tidak memberinya kesempatan. Dengan garangnya yang seorang itupun menyerang pula.

Tetapi Sumangkar telah benar-benar berubah. Ia tidak lagi seorang tua yang ketakutan menghadapi maut. Namun wajahnya yang kemudian menjadi tegang, menunjukkan sikap yang sebenarnya dari adik seperguruan Patih Mantahun itu.

“Maaf Ki Sanak,“ berkata Sumangkar kemudian dengan nada datar sambil menghindarkan diri dari serangan lawannya, “aku hanya ingin mendengar pengakuanmu. Menghadapi orang yang akan mati, biasanya seseorang tidak menyembunyikan sesuatu lagi. Dan aku sudah mencobanya meskipun aku tahu bahwa aku sedang bermain-main dengan maut, karena aku akan dapat benar-benar mati.”

“Persetan. Kau memang akan mati,“ teriak salah seorang dari kedua orang itu.

“Aku akan mencoba bertahan. Mudah-mudahan aku berhasil.”

Kedua lawannya tidak menunggu lebih lama lagi. Kemarahan yang memuncak telah mendorong mereka untuk menyerang lebih dahsyat lagi.

Namun Sumangkar bukan lagi seorang pengawal tua yang menghadapi maut. Tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam senjatanya. Sebuah trisula berantai di tangan kanan dan pasangan trisula di tangan kiri, yang langsung digenggam pada tangkainya yang pendek.

Senjata Sumangkar memang menarik perhatian kedua lawannya. Trisula kecil itu memberikan kesan tersendiri.

Namun, meskipun trisula itu telah menggetarkan jantungnya, tetapi ada sesuatu yang membuat mereka berpengharapan. Ternyata senjata orang yang menyebut adik seperguruan Patih Mantahun itu tidak mempergunakan senjata yang mengerikan, ciri perguruannya.

“Kau berbohong,“ geram yang seorang dari kedua lawan Sumangkar, “kau mencoba menakut-nakuti kami dengan menyebut dirimu adik seperguruan Patih Mantahun. Tetapi kau tidak menunjukkan ciri perguruanmu. Tohpati mempunyai tongkat baja dengan bentuk tengkorak berwarna kuning pada tangkainya.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kau mengenal ciri itu?”

“Setiap orang Pajang mengenalnya.”

“Dan kau bagian dari Prajurit Pajang itu. Aku tahu pasti. Kau sudah mengkhianati tugasmu dan bergabung dengan orang-orang yang merasa dirinya mewarisi Kerajaan Agung Majapahit. Itulah sebabnya aku akan menangkapmu,“ Sumangkar berhenti berbicara karena serangan lawannya yang mendesak. Namun kemudian ia meneruskan, “Sedangkan tentang ciri perguruanku itu, karena sangat terbatas jumlahnya, tidak setiap orang memilikinya. Aku sudah menyerahkan senjata itu kepada muridku.”

Kedua orang itu benar-benar menjadi gelisah. Serangan-serangan mereka sama sekali tidak memberikan tekanan lagi kepada Sumangkar.

Dengan demikian merekapun menyadari sepenuhnya, bahwa kekalahan Sumangkar adalah sekedar sebuah pancingan agar mereka mengaku, siapakah mereka sebenarnya.

Kemarahan yang menghentak dada seakan-akan tidak tertahankan lagi. Sehingga dengan demikian, maka keduanya telah bertempur semakin cepat dan keras.

Tetapi desing trisula Sumangkar yang diikatnya dengan rantai di tangan kanannya seakan-akan telah berubah menjadi sebuah perisai rapat. Putaran trisula itu sama sekali tidak dapat ditembusnya dengan ujung senjata. Bahkan kadang-kadang mereka harus menghindar dengan loncatan panjang, jika trisula Sumangkar itu tiba-tiba saja mematuknya.

Perkelahian itupun menjadi semakin sengit. Bahkan mereka tidak lagi menahan diri, apalagi mempertimbangkan bahwa mereka harus menghindarkan diri dari pertumpahan darah dalam arti yang sebenarnya, karena perkelahian itu sudah dihembus oleh nafas maut.

Kedua orang yang merasa terjebak oleh sikap Sumangkar itu benar-benar berusaha untuk membunuhnya dengan cara apapun juga. Sebaliknya Sumangkar yang mengetahui tugas keduanya, berusaha untuk benar-benar dapat menangkap meskipun hanya seorang saja dari keduanya.

Tetapi Sumangkarpun kemudian telah didesak untuk berkelahi mati-matian karena kedua lawannya benar-benar bukan lawan yang dapat diabaikan. Keduanya memiliki kemampuan yang harus diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Apalagi setelah keduanya mengerti, bahwa lawannya bukannya orang kebanyakan. Bukan seorang bekas penjahat kecil yang menjadi pengawal sebuah kademangan kecil seperti yang dikatakan semula. Tetapi lawannya adalah saudara seperguruan Patih Mantahun.

Karena itulah maka pertempuran di antara merekapun menjadi semakin seru. Masing-masing berusaha untuk melumpuhkan lawannya dengan cara yang dapat dilakukan.

Sementara itu, Sumangkar yang harus bertempur mati-matian, harus mempertimbangkan segala kemungkinan. Ia tidak dapat membiarkan dirinya selalu dibayangi oleh kesulitan hanya karena berusaha untuk mengalahkan lawannya dan dapat menangkap mereka hidup-hidup.

“Jika terpaksa aku mengorbankan salah seorang dari keduanya, apa boleh buat. Tetapi yang seorang harus dapat ditangkap hidup-hidup untuk dapat didengar keterangannya,” berkata Ki Sumangkar di dalam hati.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Sumangkar tidak ingin membawanya kepada Untara. Jika ia berhasil menangkap seorang atau keduanya, maka ia akan membawanya ke padepokan Agung Sedayu.

Dalam pada itu, selagi pertempuran menjadi semakin sengit, maka di kejauhan orang-orang yang sedang berada di sawah dicengkam oleh kecemasan. Mereka tidak tahu sebabnya dan tidak mengenal pula kedua belah pihak. Namun perkelahian itu benar benar telah mendebarkan jantung mereka.

Meskipun mereka tidak berani mendekat, tetapi dari kejauhan beberapa orang laki-laki mengawasi pertempuran yang sengit itu. Para pengawal padukuhan terdekat telah berkumpul dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

“Kita akan mendekat,” berkata salah seorang pengawal.

Tetapi pemimpinnya masih mencegahnya. Katanya, “Tunggu. Kita harus dapat melihat kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas dari peristiwa ini. Menurut penglihatanku, mereka yang sedang bertempur itu adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Jika kita melibatkan diri, maka aku kira kita tidak akan dapat menyesuaikan diri.”

Yang lain mengangguk-angguk. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Jika perkelahian itu membuat salah satu pihak menjadi mata gelap dan tanpa sebab mengganggu padukuhan kita ?”

“Kita akan mencegahnya. Jumlah kita cukup banyak meskipun mungkin tidak seorangpun dari antara kita yang memiliki kemampuan yang memadai tetapi bersama-sama kita setidak-tidaknya akan dapat menahannya.”

Para pengawal itu masih tetap termangu-mangu. Tetapi di tangan mereka telah tergenggam senjata.

“Kita hanya akan mempertahankan dan mengamankan padukuhan kita. Kita tidak dapat ikut mencampuri persoalan mereka, karena mereka bukannya orang-orang kebanyakan,“ berkata pemimpinnya, “meskipun ada kewajiban kita memisah setiap perselisihan, ada atau tidak ada sangkut pautnya dengan pedukuhan kita. Tetapi perselisihan yang kita hadapi sekarang adalah perselisihan antara orang-orang berilmu yang kebetulan saja terjadi di daerah ini.”

Sejenak para pengawal itu termangu-mangu. Pertempuran di tengah bulak itu berlangsung semakin sengit.

“Kita minta bantuan ke Sangkal Putung,“ tiba-tiba salah seorang berdesis, “mungkin para pengawal Sangkal Putung, khususnya Swandaru dapat melerai atau bahkan menangkap mereka.”

“Apakah kita sempat melakukannya ?”

Para pengawal itu masih saja termangu-mangu. Meskipun Sangkal Putung tidak terlalu jauh, namun perjalanan ke Sangkal Putung memerlukan waktu.

Akhirnya pemimpin pengawal itu berkata, “Kita akan mengamati saja apa yang terjadi, agar padukuhan kita tidak mereka libatkan dalam perselisihan yang tidak kita ketahui ujung pangkalnya.

Kawan-kawannya mengangguk. Orang-orang laki-laki yang melihat perkelahian itu dari kejauhan menjadi bertambah banyak. Tetapi merekapun tidak berani berbuat apa-apa.

Sumangkar yang harus melawan dua orang yang agaknya termasuk tataran yang tinggi di kalangan orang-orang yang mengaku pewaris kerajaan Agung Majapahit itu harus memeras keringatnya. Perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit itu akhirnya memang harus diakhiri tanpa mempertimbangkan kematian.

Trisula Sumangkar yang berputar itu sekali-sekali mematuk lawannya. Demikian cepatnya, seolah-olah Sumangkar tidak hanya memegang sepasang trisula. Setiap kali kedua lawannya itu terkejut, jika trisula yang hanya sepasang itu telah menyerang keduanya dalam waktu yang bersamaan. Bahkan kadang-kadang trisula yang terikat di ujung rantai itu nampaknya tidak dapat diperhitungkan, kemana arah patukannya. Sehingga semakin sengit mereka bertempur, trisula itu menjadi semakin membingungkan. Seolah-olah telah berubah menjadi berpasang-pasang trisula yang tidak terhitung jumlahnya.

Namun dalam pada itu. Sumangkar yang mulai dijalari oleh panas di dadanya itu, bertempur semakin dahsyat. Kadang-kadang iapun menjadi lupa, bahwa ia memerlukan salah seorang dari kedua lawannya. Jika ia terdesak oleh kedua pucuk senjata lawannya itu, maka iapun menjadi bertambah garang dan menyerang tanpa terkendali.

Keringat yang membasahi seluruh tubuhnya seolah-olah membuatnya semakin garang. Ketika dua serangan datang dengan tiba-tiba, maka Sumangkar menggeram sambil meloncat menghindar. Namun ia tidak mau diburu oleh serangan demi serangan Karena itulah, maka loncatan berikutnya, justru ia mulai menyerang. Dengan tangkasnya ia berusaha menemukan arah serangan yang mapan. Dengan cepat ia mengambil arah di luar garis serangan keduanya, sehingga ia berhasil berdiri di satu sisi.

Yang terjadi berikutnya, adalah serangannya yang tiba-tiba. Trisulanya menyambar lambung dengan gerak mendatar. Lawannya yang berdiri di hadapannya masih berhasil meloncat surut, sehingga ia terlepas dari sambaran trisula Sumangkar.

Tetapi Sumangkar memang sudah memperhitungkan. Bukan orang yang pertama itulah yang menjadi sasaran serangannya. Demikian orang itu meloncat, muka trisula Sumangkarpun berputar menurut arah putaran yang lain. Triula itu berputar dalam bidang yang tegak. Tetapi hanya sesaat, karena sesaat kemudian trisula itu bagaikan meluncur mematuk lawannya dengan dahsyatnya. Bukan lawan yang berdiri terdekat, tetapi justru lawan yang berdiri pada jarak yang lebih jauh, sehingga karena itulah maka serangannya itu kurang diperhitungkan oleh sepasang lawannya.

Serangan yang dilakukan oleh Sumangkar di luar perhitungan lawan-lawannya itu benar-benar telah merusak pertahanan mereka. Ketika trisula itu meluncur, kemudian mematuk lawannya yang justru berdiri di tempat yang lebih jauh, lawannya yang lain bagaikan terpukau oleh desah tertahan kawannya. Dengan mata terbelalak ia melihat darah yang memancar dari luka di pundak.

Tetapi darah itu bagaikan menyadarkannya dari mimpi. Itulah sebabnya, maka lawannya yang berdiri terdekat itu dengan serta merta telah meloncat menyerang Sumangkar.

Sumangkar masih sempat menarik trisulanya, ia mencoba untuk berkisar. Namun ternyata bahwa lawannyapun mampu bergerak cepat, sehingga senjatanya masih berhasil menyentuh tubuh Sumangkar.

Sumangkarpun berdesis ketika ia menyadari bahwa lengannya telah tergores oleh ujung senjata lawannya. Namun goresan itu sama sekali tidak mempengaruhinya meskipun terasa juga perasaan pedih yang menyengat.

Ketika Sumangkar mengambil jarak, ia melihat lawannya yang dapat dilukainya itu terduduk lesu. Agaknya luka di pundaknya cukup dalam dan melumpuhkan sebelah tangannya.

Tetapi Sumangkar tidak dapat termangu-mangu lebih lama lagi. Iapun kemudian mulai dengan perjuangannya untuk mengalahkan yang seorang lagi.

Tetapi adalah di luar dugaannya, bahwa orang yang terluka itupun kemudian masih mencoba berdiri dengan senjata di tangan kirinya. Agaknya ia tidak mau menyerah meskipun pundaknya telah terluka parah. Darah masih saja mengalir dari lukanya, apalagi jika iapun kemudian masih akan mencoba ikut dalam pertempuran.

Lawannya yang seorang ternyata masih sanggup bertempur dengan sengitnya. Apalagi setelah kawannya terluka di pundak. Ia merasa bahwa tanggung jawab perlawanannya terletak pada dirinya.

Dengan ragu-ragu orang yang terluka itu masih juga mendekati arena. Bahkan ternyata kemudian, bahwa ia masih sanggup membantu kawannya dengan sebelah tangannya.

Pertempuran yang sengit itupun masih berlangsung. Sumangkar yang sudah tergores oleh luka itupun bertempur dengan segenap kemampuannya, karena iapun merasa perlu untuk segera mengakhiri perkelahian, sebelum darahnya sendiri terlalu banyak mengalir dari luka yang hanya segores itu.

Dalam pada itu, orang-orang padukuhan dan para pengawal yang menyaksikan pertempuran itu telah dicengkam oleh ketegangan. Mereka mulai melihat darah yang mengalir dari luka. Dengan demikian maka mereka menyadari bawa perkelahian itu benar merupakan perkelahian yang mempertaruhkan nyawa.

Sumangkarpun menyadari, bahwa ia harus bertempur dengan segala kemampuan. Jika ia lengah sedikit saja, maka nyawanyalah yang akan direnggut oleh kedua lawannya. Dengan demikian maka ia tidak akan berhasil mendapat keterangan apapun tentang orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu.

Ketika pertempuran itu berlangsung sesaat lagi, orang yang terluka di pundaknya itu sama sekali sudah tidak berdaya lagi untuk ikut membantu kawannya. Darahnya yang terlalu banyak mengalir membuat tubuhnya menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Setiap geraknya justru bagaikan memeras lukanya dan darahpun mengalir semakin banyak.

Pada saat-saat yang semakin sulit, lawannya sempat melihat kudanya masih saja berkeliaran sambil merenggut rumput rumput hijau di tanggul parit. Kuda itu sama sekali tidak mengerti, apa yang telah terjadi di sekitarnya. Ia tidak tahu bahwa penunggangnya sedang berkelahi mempertaruhkan hidup dan matinya.

Tekanan Sumangkar yang tidak teratasi membuat lawannya mulai memikirkan cara lain untuk menyelamatkan diri. Tetapi jika terpandang olehnya meskipun sekilas kawannya yang terluka, maka lawannya yang seorang itu menjadi bingung.

Namun dalam pada itu, agaknya orang itu tidak melihat jalan lain yang dapat ditempuhnya, kecuali mempergunakan kudanya.

“Tetapi kawanku tidak akan sempat melarikan diri,“ desisnya di dalam hati. Apalagi ketika terlihat olehnya kuda-kuda yang lain berada agak jauh dari arena.

Meskipun demikian, maka maut yang sudah membayang itu memang perlu dihindari dengan cara apapun juga. Termasuk cara yang sudah mulai dipikirkan. Lari dari arena pertempuran yang berat itu.

Orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa pertempuran yang demikian tidak akan dapat dilampauinya betapapun ia berusaha, jika masih saja dibatasi pada perlawanan kekerasan.

Karena itulah, maka sejenak kemudian, iapun berteriak nyaring. Serangannya datang membadai untuk sesaat, sehingga Sumangkar yang terkejut seakan-akan terdesak surut beberapa langkah. Namun yang beberapa kejap itu ternyata telah dipergunakan oleh lawannya untuk meloncat berlari ke arah kudanya.

Sumangkar yang melihat lawannya melarikan diri. dengan serta merta mencoba mengejarnya meskipun ia terlambat beberapa langkah. Namun ia bertekad untuk tidak melepaskan lawannya itu.

Dengan sadar pula Sumangkar tinggalkan lawannya yang lain, yang menurut penilaiannya sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Ia mengharap akan dapat menangkap kedua-duanya.

Tetapi langkah lawannya ternyata cukup cepat, sehingga sebelum Sumangkar dapat mencapainya, ia telah lebih dahulu meloncat ke punggung kudanya.

Sumangkar menggeram marah. Ia masih berlari beberapa langkah saat kuda itu mulai bergerak. Tetapi ia terlambat sekejap. Kuda itu sudah meloncat ketika ia sampai di tempat itu.

Namun yang mengherankan, kuda itu tidak berlari terus. Kuda itu meloncat ke dalam tanah persawahan mendekati orang yang terluka.

“Gila,“ teriak Sumangkar, “apakah ia sempat membawanya?”

Sumangkar tidak membiarkannya terjadi. Karena itu, maka iapun segera berlari lagi mengejar kuda yang turun ke dalam lumpur.

Sumangkar menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat orang yang terluka itu mencoba berdiri. Namun agaknya darah yang terlalu banyak mengalir, membuatnya sangat lemah, sehingga iapun terduduk kembali di atas tanah berlumpur.

Sambil berlari sekencang-kencangnya Sumangkar mencoba menilai keadaan. Jika orang berkuda itu akan membawa kawannya, ia masih harus meloncat turun. Jika demikian, maka ia akan berkesempatan untuk mengejarnya.

Tetapi jika orang itu sempat berdiri dan mampu meloncat ke punggung kuda, maka Sumangkar mungkin akan ketinggalan, sehingga ia tidak akan dapat mencegah kedua orang itu melarikan diri.

Dengan sekuat-kuatnya Sumangkar berlari terus. Namun yang dilihatnya kemudian telah membuatnya menjadi berdebar-debar. Bahkan rasa-rasanya jantungnya akan pecah oleh kemarahan yang membakar dadanya

Dengan sisa tenaga yang terakhir, ternyata orang yang terluka itu masih sempat berdiri. Kemudian menghentakkan diri meloncat ke punggung kuda yang berdiri sesaat, ditolong oleh kawannya yang sudah berada di punggung kuda. Dengan hentakan, maka orang itu berhasil naik ke punggung kuda yang dengan serta merta berlari meninggalkan Sumangkar yang hampir mencapainya.

“Pengecut,“ teriak Sumangkar.

Namun keduanya sama sekali tidak menghiraukannya. Semakin lama kuda itupun menjadi semakin jauh, sehingga akhirnya kuda itulah yang lebih dahulu keluar dari dalam lumpur dan berlari di atas jalan berbatu-batu.

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk mengendapkan kemarahan yang bagaikan akan meledakkan dadanya.

“Gila,“ geramnya, “tetapi yang seorang itu agaknya sudah terlalu parah. Lukanya sendiri tidak akan mematikannya. Tetapi darah yang mengalir ternyata terlampau banyak, sehingga sulit baginya untuk bertahan sampai daerah yang mereka anggap aman. Apalagi lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu.

Sejenak Sumangkar termangu-mangu. Ia masih melihat bintik hitam yang semakin lama menjadi semakin samar, dan kemudian lenyap sama sekali.

“Aku gagal mendapatkan salah seorang dari mereka yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit, atau orang-orang yang berdiri di pihaknya.“ gumam Sumangkar kepada diri sendiri, “namun demikian aku mengetahui bahwa agaknya kegiatan orang-orang itu menjadi kian meningkat, seperti yang pernah disebut-sebut oleh Raden Sutawijaya.”

Sumangkarpun kemudian menyadari, bahwa dirinya telah dikotori oleh lumpur dan bahkan darah yang mengalir dari lukanya yang tidak begitu terasa meskipun ia kemudian mengambil kesimpulan untuk memamapatkan darah yang meskipun hanya beberapa titik itu.

Namun dalam pada itu, Sumangkar terkejut ketika ia melihat beberapa orang laki-laki telah tersembul dari belakang regol padukuhan yang tidak terlalu jauh. Ia pun kemudian menyadari, bahwa orang-orang itu tentu sudah menyaksikan, bahwa ia telah bertempur melawan dua orang yang sempat melarikan diri.”

Tetapi jantungnya menjadi kian berdebar-debar ketika ia melihat, bahwa orang-orang itu ternyata membawa senjata di tangannya.

“Apakah yang akan mereka lakukan?“ pertanyaan itu telah mengganggunya.

Namun hati Sumangkar yang telah menitikkan darah itu menjadi seakan-akan sekeras batu.

“Jika mereka menggangguku, apa boleh buat,“ desisnya.

Karena itulah maka Sumangkar menunggu dengan senjatanya di tangan, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Yang terdepan dari orang-orang padukuhan itu adalah pemimpin pengawalnya. Dengan ragu-ragu pemimpin pengawal itu mendekat. Namun heberapa langkah sebelum sampai di hadapan Sumangkar ia berhenti. Orang-orang yang mengikutinyapun berhenti juga termangu-mangu.

“Ki Sanak,“ bertanya pemimpin pengawal itu, “apakah sebenarnya yang telah terjadi, sehingga Ki Sanak harus bertempur melawan kedua orang itu?”

Sumangkar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku mencurigai mereka. Aku ingin memaksa mereka menghadap Ki Untara.”

Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Dengan nada yang meninggi ia bertanya, “Ki Untara Panglima pasukan Pajang di Jati Anom?”

“Ya.”

“Tetapi siapakah Ki Sanak?”

“Aku adalah orang yang sering lewat jalan ini. Aku Sumangkar dari Sangkal Putung.”

“Sangkal Putung? “ orang itu mengerutkan keningnya, “apakah Ki Sanak memang orang Sangkal Putung?”

“Ya. Aku orang Sangkal Putung.”

Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Kemudian katanya, “Aku mengenal beberapa orang Sangkal Putung.”

“Siapa?”

“Di antaranya anak Ki Demang.”

“Swandaru maksudmu?“ bertanya Ki Sumangkar.

Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk.

“Tentu aku mengenalnya. Swandaru dan adiknya Sekar Mirah. Aku juga mengenal Ki Demang sendiri. Ki Jagabaya, dan para bebahu. Meskipun aku bukan bebahu Kademangan Sangkal Putung. namun aku kadang-kadang mendapat kesempatan untuk berbicara dengan mereka dalam suatu pertemuan.”

Pemimpin pengawal itu mengangguk angguk. Tetapi Sumangkar dapat menyebut nama putra Ki Demang dan bahkan anak perempuannya, sehingga dengan demikian, para pengawal itu mulai mempercayai bahwa Sumangkar memang orang Sangkal Putung.

“Ki Sanak,“ bertanya pemimpin pengawal itu, “sekarang Ki Sanak akan pergi ke mana?”

“Aku akan tetap pergi ke Jati Anom. Ada keperluan yang mendesak selain menghadap Panglima prajurit Pajang di Jati Anom.”

“Dalam pakaian yang kotor bernoda lumpur dan darah?”

Sumangkar mengamat-amati pakaiannya. Pakaiannya memang sangat kotor.

Beberapa saat ia termangu-mangu. Tetapi ia tidak akan kembali ke Sangkal Putung, karena baginya tidak akan ada bedanya. Ke Jati Anom atau ke Sangkal Putung, pakaiannya tentu akan menarik perhatian di sepanjang jalan.

Orang-orang padukuhan yang berada beberapa langkah daripadanya itu agaknya dapat mengerti perasaan Ki Sumangkar. Salah seorang dari mereka berbisik kepada kawannya, “Apakah kita dapat meminjaminya pakaian?”

“Kita belum tahu pasti, apakah benar-benar ia orang Sangkal Putung. Jika ia kemudian ternyata seorang pembohong, maka pakaian itu akan dibawanya lari.” jawab yang lain.

Sementara itu pemimpin pengawal yang berada di paling depan ternyata bertanya dengan ragu-ragu, “Ki Sanak. Apakah aku dapat mempercayai Ki Sanak sepenuhnya, bahwa Ki Sanak memang orang Sangkal Putung.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Terserah kepada kalian. Aku tidak dapat mengatakan lebih banyak lagi tentang diriku.”

“Bagaimana jika ternyata kau bukan orang Sangkal Putung ?”

Sumangkar yang masih dicengkam oleh kekecewaan atas lolosnya dua orang yang dianggapnya dapat menjadi sumber keterangan yang penting tentang orang-orang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu merasa tersinggung. Karena itu jawabnya, “Aku tidak akan memaksa kalian untuk percaya. Kalian boleh tidak percaya. Dan jika kalian tidak percaya, kalian mau apa?”

Pengawal itu cepat-cepat menyahut, “Bukan maksudku Ki Sanak. Kami hanya ingin sekedar meyakinkan. Jika sekiranya Ki Sanak memang orang Sangkal Putung, maka kami dapat berbuat sesuatu agar Ki Sanak tidak menjadi perhatian orang di sepanjang jalan.”

“Apa maksudmu?”

“Kami dapat meminjami pakaian bagi Ki Sanak.”

Sumangkar mengerutkan keningnya. Ternyata orang-orang itu bermaksud baik, sehingga kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Maaf Ki Sanak. Mungkin sikapku terlalu kasar. Tetapi itu agaknya terpengaruh oleh perkelahian yang baru saja terjadi.”

“Kami mengerti.” jawab pengawal itu, lalu. “bagaimana mengenai tawaran kami? Apakah Ki Sanak mau memakai pakaian kami meskipun tidak baik tetapi tidak kotor oleh lumpur dan darah.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia mengamat-amati pakaiannya yang memang sangat kotor. Jika ia melanjutkan perjalanan dengan pakaiannya itu. tentu setiap orang akan memperhatikannya dan bahkan ada yang mencurigainya.

Sejenak kemudian Sumangkarpun menyahut, “Terima kasih Ki Sanak. Jika Ki Sanak percaya kepadaku, aku akan menerima kebaikan hati itu. Nanti, pada saatnya aku akan mengembalikan pakaian itu kemari. Aku adalah Sumangkar dan justru tinggal di rumah Ki Demang Sangkal Putung.”

“Di rumah Ki Demang?”

“Ya. Aku adalah keluarga Ki Demang.“

Orang-orang itu termangu mangu sejenak. Namun nampaknya Sumangkar memang dapat dipercaya, sehingga pemimpin pengawal itu kemudian berkata, “Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, marilah. Singgah di padukuhan kami. Kami akan dapat meminjamkan sepengadeg pakaian kepada Ki Sanak.”

Sumangkar ragu-ragu sejenak. Tetapi iapun melihat ketulusan hati orang-orang padukuhan itu, sehingga iapun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Aku akan menerimanya dengan senang hati.”

Demikianlah Sumangkarpun singgah sejenak di padepokan itu untuk berganti pakaian. Ia tidak dapat meninggalkan pakaiannya yang kotor, karena ia harus mencucinya.

Ketika ia sudah minum hidangan yang diberikan oleh orang-orang padukuhan itu dan makan beberapa potong makanan, maka iapun segera minta diri.

“Berhati-hatilah. Biasanya jalan ini adalah jalan yang tenang. Tetapi agaknya nasib Ki Sanak kurang baik, sehingga Ki Sanak menjumpai persoalan di sepanjang jalan ini.”

Sumangkar mengangguk. Tetapi ia berkata di dalam hatinya, “Akulah yang mencari persoalan. Jika aku tidak menghentikan orang-orang itu, maka tentu tidak akan terjadi sesuatu. Tetapi ternyata bahwa aku gagal menangkap salah seorang, apalagi keduanya.”

Sejenak kemudian maka Sumangkarpun telah meninggalkan padukuhan itu. Beberapa orang pengawal telah berhasil menangkap kudanya, bahkan kuda orang yang melarikan diri sambil membawa kawannya yang terluka.

“Bagaimanakah dengan kuda yang seekor ini?,“ bertanya pemimpin pengawal.

“Biarlah kuda itu di sini,“ jawab Sumangkar.

“Tetapi itu akan dapat menimbulkan bencana bagi kami. Jika kuda ini pada suatu saat dikenal oleh pemiliknya yang ternyata mempunyai ilmu yang tinggi itu, maka mereka akan mempunyai prasangka buruk terhadap kami. Padahal kami tidak ingin terlibat dalam persoalan Ki Sanak dengan orang-orang itu, yang tidak kami ketahui ujung dan pangkalnya. Apakah justru karena kejahatan, atau karena persoalan lain.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang padukuhan itu memang dapat saja menganggap bahwa kedua orang itu telah menyamunnya. Tetapi juga sebaliknya, bahwa ia berusaha menyamun kedua orang itu.

Tetapi Sumangkar sudah mengatakan, bahwa ia akan-menghadap Panglima prajurit Pajang di Jati Anom. Mudah-mudahan dapat menimbulkan kesan, bahwa bukan ialah yang dianggap sebagai seorang penyamun atau seseorang yang melakukan kejahatan lain. Apalagi iapun telah mengaku sebagai keluarga Ki Demang di Sangkal Putung.

Dalam keragu-raguan itu pengawal itu berkata, “Bagaimanakah jika Ki Sanak sajalah yang membawa kuda itu dan menyerahkannya kepada prajurit Pajang. Mungkin kuda itu akan bermanfaat.”

Sumangkar termangu-mangu sejenak. Lalu jawabnya, “Baiklah. Aku akan membawanya. Bukan karena nilai kuda itu sendiri. Tetapi semata-mata karena aku tidak ingin melibatkan kalian ke dalam persoalan yang memang tidak kalian ketahui. Tetapi yakinlah, bahwa persoalannya memang persoalan yang sangat penting sehingga aku harus mempertaruhan nyawa menghadapi orang-orang itu.”

Orang-orang padukuhan itu hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Ki Sumangkarpun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanannya dengan pakaian yang dipinjam dari orang-orang padukuhan yang menyaksikannya bertempur melawan dua orang yang berdiri di pihak mereka yang merasa mewarisi Kerajaan Agung Majapahit.

Perjalanan Ki Sumangkar kemudian merupakan perjalanan yang tergesa-gesa. Rasa-rasanya ada yang mendorongnya untuk ingin segera sampai di padepokan kecil di dekat Jati Anom. Pengenalannya atas orang-orang yang mencurigakan itu bagaikan mencambuknya untuk segera bertemu dengan Kiai Gringsing.

Ternyata sisa perjalanannya itu tidak ditempuh terlalu lama. Beberapa saat kemudian, ia sudah memasuki Kademangan Jati Anom. Tetapi ia tidak berjalan lurus ke induk Kademangan menghadap Untara seperti yang dikatakannya. Tetapi iapun kemudian berbelok menuju ke padukuhan kecil yang telah dihuni oleh Kiai Gringsing dan muridnya, yang kemudian bertambah dengan beberapa orang lagi.

Kedatangan Ki Sumangkar di padepokan itu menumbuhkan kegembiraan bagi Agung Sedayu dan penghuni-penghuni yang lain. Seakan-akan mereka mendapat selingan di dalam tata kehidupan mereka sehari-hari.

“Marilah Kiai,“ Agung Sedayu yang kebetulan ada di halaman segera menyongsongnya.

Ki Sumangkar tersenyum. Diserahkannya kendali kudanya kepada Agung Sedayu yang kemudian mengikatnya pada tonggak yang sudah disediakan oleh Glagah Putih.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang berada dipadepokan pula segera menyambutnya pula dan mempersilahkannya naik ke pendapa.

Sejenak mereka saling menanyakan keselamatan mereka masing-masing. Kemudian mulailah Ki Sumangkar menanyakan isi padepokan itu.

“Isi padepokan ini sekarang sudah bertambah. Selain kami bertiga, Glagah Putih yang sekarang berada di sawah, juga ada beberapa anak-anak muda yang ingin tinggal bersama kami. Anak-anak muda Jati Anom.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus sekali. Dengan demikian kalian tidak perlu menangani semua pekerjaan. Membersihkan rumah dengan segala isinya, halaman, memelihara ternak dan kuda, menggarap sawah dan pategalan.”

“Ya Kiai,“ jawab Agung Sedayu, “dengan beberapa orang kawan kami dapat membagi pekerjaan.”

Sumangkar mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Tetapi masih ada yang kurang di padepokan kecil ini.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya, “Apa yang kurang adi? Semuanya sudah mencukupi menurut ukuran hidup kami penghuni padepokan ini.”

“Tidak ada seorang perempuanpun di padepokan ini yang dapat menangani kebutuhan kalian sehari-hari yang berhubungan dengan rangkaian hidup kalian. Makan, minum dan sebagainya.”

Kiai Gringsing tersenyum. Di luar sadarnya ia berpaling kepada Agung Sedayu yang justru menundukkan kepalanya.

Ki Waskitapun tersenyum pula. Tetapi ketika ia melihat wajah Agung Sedayu yang tunduk itu menjadi kemerah merahan, ia tidak mengatakan sesutu. Apalagi ia melihat sesuatu yang agak buram dalam hubungan kedua anak-anak muda itu meskipun Ki Waskita tidak dapat menguraikan artinya dengan tepat seperti penglihatannya atas Swandaru dan Pandan Wangi.

Namun menilik sifat kedua kakak beradik itu, maka di luar isyarat yang dilihatnya, maka pengenalannya sehari-hari telah memperlengkap penglihatannya bagi masa depan kedua pasang anak-anak muda itu. Ternyata bahwa kedua pasang anak-anak muda itu tidak mempunyai tanggapan yang seimbang pada pasangan masing-masing menghadapi masa depannya.

“Swandaru dan Sekar Mirah adalah anak-anak muda yang penuh dengan cita-cita yang bahkan kadang-kadang agak terlampau jauh melambung ke depan, sementara Agung Sedayu agaknya seorang anak muda yang kadang-kadang tertinggal oleh gejolak keadaan karena keragu-raguannya,“ berkata Ki Waskita di dalam hatinya.

Dengan demikian ia melihat jarak antara kedua murid Kiai Gringsing itu menjadi semakin jauh. Juga jarak antara Agung Sedayu dengan Sekar Mirah.

“Tetapi sifat Agung Sedayu lebih menguntungkan,“ berkata Ki Waskita didalam hatinya, “untuk menderanya agar ia bergerak lebih cepat agaknya lebih mudah dari pada menghentikan Swandaru yang sudah terlanjur berpacu dengan keinginannya untuk membuat Sangkal Putung menjadi daerah yang melampaui daerah di sekitarnya.”

Ki Waskita yang tiba-tiba saja telah terseret ke dalam angan-angannya itu terkejut ketika Ki Sumangkar bertanya kepadanya, “Jadi Ki Waskita sekarang juga akan menetap di padepokan ini?”

“Ah, tentu tidak,“ jawab Ki Waskita terbata-bata, “pada suatu ketika aku harus kembali kepada anak istriku. Tetapi ternyata bahwa padepokan ini telah mengikatku untuk tinggal beberapa saat lamanya. Namun pada suatu saat, anak dan istriku tentu menjadi gelisah karena aku telah terlalu lama pergi, meskipun istriku sudah terbiasa dengan tingkah lakuku itu.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Suatu keuntungan bagi Agung Sedayu. Kehadiran Ki Waskita betapapun singkatnya akan sangat menguntungkan.”

Tetapi Ki Waskita menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak memberikan keuntungan apa-apa selain ikut serta membantu mempercepat habisnya persediaan makan di padepokan kecil ini.”

Mereka yang mendengarnya tertawa. Juga Kiai Gringsing tertawa.

“Agaknya aku juga ingin berbuat demikian. Aku akan tinggal dipadepokan ini beberapa hari. Tentu menyenangkan sekali. Aku akan mendapatkan udara yang lain dari udara Kademangan Sangkal Putung yang sedang bergejolak.”

“Tetapi masa depan Sangkal Putung agaknya cukup cerah. Swandaru akan berhasil membuat Sangkal Putung menjadi daerah yang meningkat ke arah yang dicita-citakannya,“ desis Ki Waskita

Ki Sumangkar tidak segera menjawab. Tetapi nampak keragu-raguan membayang di wajahnya.

Untuk sesaat mereka masih berbincang tentang niat Ki Sumangkar untuk tinggal beberapa hari di padepokan kecil itu, meskipun ketika ia berangkat dari Sangkal Putung, ia hanya berniat untuk menyampaikan persoalan Swandaru kepada Kiai Gringsing dan segera kembali. Jika terpaksa bermalam, maka ia sama sekali tidak ingin bermalam lebih dari satu malam. Namun agaknya suasana padepokan itu telah menahannya meskipun ia tidak melupakan tugasnya

Karena itulah maka dengan kecewa Ki Sumangkar menyadari bahwa beberapa hari baginya adalah beberapa hari yang pendek.

Tetapi sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun minta diri untuk mengerjakan pekerjaannya sehari-hari.

“Kau akan pergi kemana Agung Sedayu?“ bertanya Ki Sumangkar.

“Ke belakang Kiai. Kemudian aku akan menyusul ke sawah.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Dengarlah, aku akan bercerita.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Bahkan Kiai Gringsing dan Ki Waskitapun termangu-mangu sejenak.

“Jika kau keluar padepokan, maka kau akan melihat seekor kuda.”

“Seekor kuda?”

“Ya. Aku membawa seekor kuda. Aku sengaja tidak membawanya masuk, agar kuda tanpa penunggang tetapi sudah berpelana itu tidak mengejutkan kalian. Jika kalian melihat kuda tanpa penunggang itu, akan dapat timbul tafsiran yang salah, yang dapat menggoncangkan ketenanganmu.”

“Kuda siapa Kiai,” bertanya Agung Sedayu dengan berdebar-debar.

“Tidak ada apa-apa. Jangan cemas, bahwa aku berangkat berdua dari Sangkal Putung tetapi yang seorang telah hilang di perjalanan. Sama sekali tidak. Kecemasan semacam itulah yang memaksaku untuk meninggalkan kuda itu keluar. Nah, sekarang, ambillah kuda itu dan bawalah masuk. Aku akan menceritakan, dari mana aku mendapatkannya.”

Agung Sedayu kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan pendapa dan pergi keluar padepokan. Agak jauh dari padepokan ia melihat seekor kuda yang terikat pada sebatang pohon randu di pinggir jalan.

“Tentu kuda itu,“ berkatan Agung Sedavu di dalam hati.

Dengan tergesa-gesa ia berlari kearah kuda itu dan kemudian menungganginya kembali masuk ke halaman padepokan.

“Kuda yang tegar,“ desis Kiai Gringsing dan Ki Waskita berbareng.

Demikianlah ketika Agung Sedayu sudah duduk pula bersama mereka, maka Ki Sumangkarpun kemudian menceritakan. apa yang sudah dialaminya di perjalanan. Usahanya untuk menahan kedua orang itu, atau justru salah seorang saja dari mereka telah gagal. Bahkan ia telah terluka meskipun hanya segores kecil.

Kiai Gringsing. Ki Waskita dan Agung Sedayu mendengarkan penjelasan Ki Sumangkar itu dengan saksama. Seperti Ki Sumangkar sendiri merekapun kecewa bahwa tidak seorangpun di antara mereka yang dapat ditangkap dan dari padanya dapat didengar beberapa keterangan mengenai orang-orang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit.

“Aku gagal menangkap salah seorang dari mereka. Aku kira seorang yang terluka parah itu tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Tetapi ternyata kawannya cukup cerdik, dan orang yang terluka itupun mempergunakan sisa kekuatannya yang terakhir untuk meloncat ke punggung kuda, di belakang kawannya.“ desah Sumangkar dengan nada kecewa.

“Apa boleh buat,“ sahut Kiai Gringsing, “Ki Sumangkar sudah berusaha. Tetapi ada sesuatu di luar perhitungan.”

“Tetapi keterangan Ki Sumangkar itu penting sekali artinya bagi kami,“ berkata Ki Waskita kemudian.

“Benar. Tetapi juga sebaliknya. Yang dialami oleh kedua orang itupun merupakan bahan yang penting sekali bagi mereka. Orang itu tentu akan melaporkan kepada pemimpin mereka, bahwa mereka telah bertemu dengan Sumangkar.”

Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia mengerti, bahwa laporan yang demikian akan dapat membawa akibat yang mungkin merugikan. Orang-orang di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu akan berhati-hati menghadai perkembangan keadaan. Apalagi ketika mierekapun kemudian mengetahui bahwa Ki Sumangkar mempunyai hubungan yang dekat dengan Ki Untara. seperti yang dikatakan oleh Ki Sumangkar sendiri kepada keduanya.

“Kita perlu menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “ia sudah menyiapkan segala sesuatu yang dianggapnya penting menghadapi pertemuan besar itu.”

Ki Sumangkar dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Bahkan Ki Waskita kemudian berdesis, “Mungkin mereka akan mengambil sikap lain. Mungkin pusaka-pusaka itu akan disingkirkan, atau tindakan-tindakan lain.”

“Aku menyesal bahwa aku mengaku akan membawa mereka kepada Ki Untara,“ desis Sumangkar kemudian, “aku tergesa-gesa saat itu. Maksudku, aku ingin menggertak mereka agar mereka tidak terlalu banyak tingkah. Namun ternyata keduanya terlepas.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Persoalannya memang harus ditekuni lebih bersungguh-sungguh. Aku tahu dan yakin, bahwa di lingkungan mereka terdapat beberapa orang penting dari Pajang. Mungkin ada sementara pihak yang akan langsung menghubungi Untara, untuk mengetahui kebenaran keterangan Ki Sumangkar. seolah-olah Ki Sumangkar memang benar-benar sudah mengenal dan orang yang berhubungan erat dengan Untara. Bahkan mungkin di antara mereka sudah mengenal Ki Sumangkar adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang.”

“Jadi?“ bertanya Sumangkar.

“Kita akan membicarakannya lebih saksama,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi tidak tergesa-gesa. Sekarang kami persilahkan Ki Sumangkar untuk sekedar beristirahat. Ke pakiwan dan setelah menikmati hidangan padepokan ini. kita akan berbicara bersungguh-sungguh.”

Ki Sumangkar tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa Kiai Gringsing dan Ki Waskita masih memerlukan untuk menilai keadaan itu secara keseluruhan, sehingga mereka memerlukan waktu untuk sampai pada suatu kesimpulan untuk diperbincangkan bersama.

Ketika kemudian Sumangkar pergi ke pakiwan sebentar, Kiai Gringsing mulai berbincang dengan Ki Waskita. Mereka bersepakat, bahwa keadaan memang cukup gawat. Agar Mataram tidak salah mengambil sikap, maka hal itu perlu diberitahukan kepada Mataram.

Tetapi mereka tidak mengambil kesimpulan lebih banyak lagi. Mereka benar-benar memerlukan waktu untuk berpikir.

Agung Sedayupun kemudian dibiarkannya pergi ke sawah, sementara Kiai Gringsingpun kemudian menunjukkan bilik yang akan dipergunakan oleh Ki Sumangkar.

“Kiai,” berkata Ki Sumangkar di sore hari ketika ia duduk bersama dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita, “sebelum kita sampai pada pembicaraan tentang orang-orang yang mengaku sebagai pewaris Kerajaan Agung Majapahit, mumpung Agung Sedayu tidak berada di antara kita, aku ingin menyampaikan beberapa persoalan tentang Swandaru. Hal itulah yang sebenarnya telah mendorong aku untuk datang kemari.“

Kiai Gringsing dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Kiai Gringsing menyahut, “Aku sudah menduga. Dan aku memang sedang memikirkannya.”

“Menurut pendapat Ki Demang, jika Kiai bersedia tinggal sementara di Sangkal Putung, maka Swandaru tentu akan selalu dapat Kiai awasi. Orang yang paling berpengaruh atas dirinya kini tinggallah Kiai Sendiri. Ki Demang, ayahnya, merasa sudah tidak banyak dapat mengendalikan anak itu.”

Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Adi Sumangkar telah membawa dua persoalan yang sama-sama pentingnya bagi kita. Persoalan Swandaru itu memang merupakan persoalan yang penting. Bukan saja bagi masa depannya sendiri, tetapi juga bagi Sangkal Putung. Selebihnya bagi Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi persoalan yang menyusul kemudian merupakan persoalan yang gawat pula. Persoalan yang akan menyangkut hubungan dengan Mataram dan Pajang.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk.

“Aku belum tahu, yang manakah yang harus aku lalaikan,“ desis Kiai Gringsing kemudian.

“Kita harus mempertimbangkan bersama. Maksudku, kedua masalah itu harus dicari pemecahannya.“ sahut Ki Waskita, “karena keduanya akan saling bersentuhan.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak segera menyahut.

“Adi,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “bagaimanakah halnya jika justru kita melakukan yang sebaliknya?”

“Maksud Kiai ?”

“Bukan aku yang pergi ke Sangkal Putung. Tetapi biarlah Swandaru untuk beberapa saat berada di padepokan ini.”

“Ah, mana mungkin,“ jawab Ki Sumangkar, “ia sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap padepokan kecil ini.”

“Bukan padepokan kecil ini. Tetapi persoalan yang menyangkut orang-orang yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu,“ jawab Kiai Gringsing, “kita akan mengadakan pembicaraan, kemudian tindakan untuk menghadapi mereka bersama Mataram. Tempat kecil ini akan menjadi landasan semua tindakan kita, sehingga kita semuanya harus sudah siap berada di tempat ini. Setiap saat kita akan dapat bertindak sesuai dengan rencana. Tetapi jika tempat kita terpisah-pisah, mungkin dengan demikian sikap kita akan lambat dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.”

Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Agaknya dalih itu agak lebih baik daripada sekedar minta Swandaru tinggal di padepokan kecil itu.

“Aku akan mencobanya,” berkata Ki Sumangkar, “aku akan menyampaikannya kepada Angger Swandaru, bahwa untuk menghadapi masalah yang gawat itu, kita tidak boleh berpencaran.”

“Sementara itu biarlah Pandan Wangi dan Sekar Mirah tetap berada di Sangkal Putung. Sebenarnyalah mungkin sekali terjadi sesuatu di daerah sepanjang garis lurus antara Pajang dan Mataram, sehingga terutama daerah yang subur seperti Sangkal Putung, selalu mendapat pengawasan yang baik.” berkata Kiai Gringsing.

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Jika ia berhasil dan dapat membawa Swandaru kepadepokan kecil itu dengan alasan yang barangkali cukup menarik pula bagi Swandaru, ia akan terpisah dari dunianya selama ini. Dunia yang penuh dengan bayangan masa datang. Bayangan cita-cita yang kadang-kadang masih terlampau pagi untuk diwujudkan menilik lingkungan dan keadaannya.

Namun sebuah pertanyaan telah terlontar dari mulutnya, “Tetapi apakah Swandaru bersedia meninggalkan kademangannya yang mulai bangkit sesuai dengan seleranya.”

“Kita akan mencobanya,“ berkata Kiai Gringsing, “Ki Sumangkar dapat membubuhi persoalan itu sebagai persoalan yang sangat gawat. Tidak dapat ditunda-tunda. Dan barangkali, kita memang akan mengadakan perjalanan lagi.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk.

Sementara itu Ki Waskita berkata, “Memang kedua persoalan itu tidak terpisahkan. Kita harus membicarakannya sekaligus. Sementara persoalan itu tentu akan menyangkut kegiatan prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Agung Sedayu harus sering datang menghadap kakaknya. Mungkin ia mendengar sesuatu jika ada hubungan langsung dengan persoalan yang kita hadapi sekarang.”

Orang-orang itu mengangguk-angguk. Mereka mempunyai bayangan yang mulai mengarah. Jika persoalan Sumangkar itu sampai kepada orang-orang terpenting di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, maka petugas-petugas mereka tentu akan mencari keterangan tentang orang yang bernama Sumangkar. Sementara yang sudah mengenalnya, tentu akan mencoba mendengar, apakah Untara telah mendapat laporan daripadanya.

Ternyata bahwa pembicaraan itu tidak terbatas pada masalah yang terpisah-pisah antara Swandaru dan kedua orang yang ditemui Sumangkar di perjalanan. Pembicaraan mereka menjadi semakin luluh dalam satu persoalan.

Persoalan Swandaru menurut pendapat Ki Sumangkar, memang dapat dikaitkan dengan persoalan orang-orang yang mengaku pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu, sesuai dengan pendapat Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Bahkan peristiwa itu akan menjadi alasan, bahwa sebaiknya Swandaru untuk beberapa saat meninggalan Kademangannya.

“Seperti yang sudah Kiai saksikan sendiri, hubungan antara Swandaru dan Raden Sutawijaya telah diberinya bentuk tersendiri,“ berkata Ki Sumangkar, “Swandaru yang sudah menyaksikan betapa tingginya ilmu Raden Sutawijaya, telah menempatkan dirinya dalam hubungan yang sangat berpengaruh antara Sangkal Putung dan Mataram.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Lebih daripada itu Adi. Raden Sutawijaya sebenarnya memang sudah pernah mengatakan, bahwa Mataram memerlukan bantuan bukan saja kita yang tua-tua, tetapi juga kekuatan pengawal-pengawal kademangannya. Raden Sutawijaya akan memasuki lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu dengan pasukan dari Mataram. Sementara Raden Sutawijaya minta bantuan, jika Ki Demang Sangkal Putung, atau Swandaru tidak berkeberatan, sejumlah pengawal untuk menyumbat jalan keluar di sebelah timur, sementara pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dari sebelah barat.”

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi Raden Sutawijaya menganggap perlu untuk menutup jalan keluar dari lembah itu dengan pasukan yang kuat.”

“Sebenarnyalah karena sampai saat terakhir, Mataram masih belum tahu kekuatan yang sebenarnya dari kelompok-kelompok yang ada di lembah itu. Kelompok-kelompok itu merasa diri mereka cukup kuat sebelum mereka mulai dengan gerakan kekerasan. Tetapi sebenarnyalah bahwa untuk mengatasinya masih perlu dilihat langsung ke dalam lingkungan istana Pajang.”

“Itulah sebenarnya yang harus dilakukan. Aku membayangkan bahwa di dalam istana Pajang kini bersembunyi beberapa orang yang justru berpengaruh, yang dengan diam-diam telah menikam Sultan Hadiwijaya dari belakang,“ desis Sumangkar.

“Kita berhadapan dengan bayang-bayang,“ berkata Ki Waskita kemudian, “kita dapat melihat ujudnya, tetapi kita tidak dapat menyentuhnya. Memang lebih baik kita berhadapan dengan lawan yang jelas. Meskipun kemudian Raden Sutawijaya dapat menumpas orang-orang yang berada di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu, tetapi jika sumbernya masih saja leluasa untuk mengalir, maka air itupun tidak akan dapat dikeringkannya sama sekali.”

Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Memang jalan yang paling baik adalah memasuki istana Pajang dan melihat, apakah di sekitar Sultan sendiri ada kekuatan yang perlu diperhatikan.

“Sebenarnya Raden Sutawijaya sendirilah yang harus melakukan. Tidak ada orang lain,“ desis Ki Waskita kemudian.

“Kekerasan hatinya telah menutup kemungkinan yang sebenarnya akan memberikan hasil yang paling baik,“ sahut Ki Sumangkar, “namun meskipun demikian, mungkin dapat juga dicari dan diketemukan. orang-orang yang akan dapat membuka jalur hubungan itu dari bawah. Sebab kita yakin, bahwa di dalam lingkungan orang-orang yang berada di lembah itu, tentu hadir orang-orang yang memiliki kedudukan di dalam lingkungan pemerintahan Pajang sendiri.”

Demikianlah pembicaraan mereka semakin meningkat pada segi-segi yang lebih kecil dari rencana mereka. Namun yang pada dasarnya, mereka telah bersepakat untuk memanggil. Swandaru dengan pengaruh Kiai Gringsing. Dalam waktu yang dekat, mereka memang harus menanggapi peristiwa yang mereka hadapi, berkumpulnya orang-orang yang mempunyai sikap tersendiri atas Pajang.

“Jadi. yang pertama harus kita lakukan adalah memanggil Swandaru dan memberikan tugas kepada Agung Sedayu untuk selalu berhubungan dengan kakaknya, meskipun dalam sikap yang tidak memberikan kesan itu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “semuanya harus kita lakukan dengan segera. Kita tidak boleh terlambat.”

Beberapa kesimpulan telah mereka ambil. Dan merekapun telah sepakat dengan langkah-langkah yang akan mereka lakukan.

Yang pertama, adalah tugas Ki Sumangkar untuk pergi ke Sangkal Putung memanggil Swandaru atas nama gurunya Kiai Gringsing. Kemudian langkah-langkah berikutnya akan diambil. Mereka harus menghubungi Raden Sutawijaya di Mataram untuk memberikan beberapa keterangan yang barangkali perlu.

Ternyata bahwa Sumangkar hanya bermalam satu malam saja di padepokan kecil itu, meskipun sebenarnya ia masih ingin tinggal. Namun ia akan segera kembali bersama Swandaru untuk melakukan beberapa kewajiban yang mungkin cukup berat baginya.

“Padepokan ini tidak mau menerima aku lebih dari semalam,“ desis Ki Sumangkar.

Sambit tertawa Kiai Gringsing berkata, “Lain kali Ki Sumangkar dapat tinggal di sini berbulan-bulan, bahkan mungkin bersama Swandaru yang sama sekali tidak merasa tertarik kepada padepokan ini.”

Agung Sedayupun kemudian mendapatkan penjelasan dari gurunya, sehingga iapun menyadari bahwa Ki Sumangkar dengan tergesa-gesa akan kembali ke Sangkal Putung.

“Apakah Swandaru bersedia tinggal disini meskipun untuk sementara?“ bertanya Agung Sedayu kepada gurunya.

“Aku masih akan menguji, apakah pengaruhku masih cukup kuat terhadap muridku. Dan apakah Swandaru masih bersedia mengkaitkan diri dengan tugas-tugas yang lebih besar dari tugas pribadinya.”

Di hari berikutnya, mulailah mereka dengan tugas-tugas yang mungkin akan berkepanjangan. Ki Sumangkar telah meninggalkan padepokan kecil itu, sedang Agung Sedyu telah bersiap-siap untuk pergi mengunjungi kakaknya.

Ternyata bahwa kakak iparnya menganggap Agung Sedayu bukan saja sebagai adiknya, tetapi lebih banyak memperlakukannya seperti anaknya. Meskipun Agung Sedayu sudah cukup dewasa, tetapi setiap kali ia masih saja dianggap sebagai anak-anak yang harus dimanjakannya.

“Kasihan. Ia kehilangan masa kanak-kanak yang menyenangkan itu. Ia merasa sangat haus kasih sayang orang tua yang patah sebelum waktunya. Sementara kakaknya bersikap terlalu keras kepadanya.”

Ternyata bahwa sikap kakak iparnya itu telah memberikan kesejukan batin bagi Agung Sedayu. Hidupnya yang serasa gersang itu seakan-akan tersiram oleh setitik air yang sejuk segar.

Dalam saat-saat yang demikian, ia mulai mengenang Sekar Mirah. Sebenarnya ia mengharapkan kesejukan pula dari gadis itu. Tetapi ternyata hati Sekar Mirahpun merupakan hati yang tandus dan keras seperti batu kapur.

Ketika Agung Sedayu minta diri. maka kakak iparnya menahannya. Rasa-rasanya adik iparnya itu belum dapat bertemu dan berbincang dalam suasana keluarga dengan kakaknya Untara.

Namun agaknya Untara sangat sibuk. Menurut kakak iparnya, setiap hari Untara selalu sibuk. Tetapi hari ini ia menerima beberapa orang tamu, perwira prajurit dari Pajang.

“Apakah ada persoalan yang penting?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku tidak tahu Agung Sedayu. Karena itu, tunggu sajalah. Kau jarang sekali mengunjungi kakakmu. Sekarang, mumpung kau di sini. Temuilah ia sebagai kakakmu. Meskipun Kakang Untara agak kaku, tetapi sebenarnyalah ia mengasihimu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tamu-tamu itu memang sangat menarik baginya. Agaknya Untara mendapat kesibukan baru di saat terakhir.

Baru di sore hari Untara mempunyai waktu untuk menemui Agung Sedayu. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, “Apakah kau mempunyai keperluan penting?”

“Tidak Kakang. Aku hanya sekedar berkunjung. Sudah lama aku tidak mengunjungi Kakang untuk memberikan gambaran perkembangan terakhir dari padepokan kecil itu.”

Namun tiba-tiba saja pertanyaan Untara sangat mengejutkan, “Apakah Ki Sumangkar ada di padepokanmu?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia menjawab, “Tidak Kakang. Ki Sumangkar berada di Sangkal Putung.”

“Aku tahu. Tetapi apakah ia tidak meninggalkan Sangkal Putung di saat-saat terakhir?”

“Aku kurang tahu. Tetapi jika perlu, aku akan pergi ke Sangkal Putung untuk melihat.”

“Tidak. Aku tidak memerlukan kepastian itu segera.”

“Apakah ada persoalan dengan Ki Sumangkar?”

Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ada seorang petugas sandi yang melihat Sumangkar meninggalkan Sangkal Putung.”

“Itu mungkin saja terjadi. Tetapi kenapa dengan Ki Sumangkar?”

Untara berpikir sejenak. Lalu, “Aku belum mendapat penjelasan yang terperinci. Tetapi beberapa orang perwira Pajang mulai meragukan kesetiannya kepada Pajang. Selama ini ia memang tidak berbuat apa-apa. Tetapi bahwa ia menetap di Sangkal Putung merupakan pertanyaan besar bagi para perwira di Pajang.”

Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar.

“Agung Sedayu,“ berkata Untara kemudian, “kau adalah saudara seperguruan Swandaru. Aku tidak pernah berprasangka terhadap Kiai Gringsing. Tetapi bahwa sekarang Sangkal Putung memperkuat diri dari segi kepengawalan, apakah itu ada hubunganya dengan kehadiran Sumangkar di Sangkal Putung? Kau tahu, siapakah Sumangkar itu sebenarnya. Sejenak semula ia telah menentang Pajang. Ia merupakan seorang senapati yang disegani di Jipang. Apakah demikian mudahnya ia melupakan kekalahan Jipang pada saat itu?”

“Kakang,“ jawab Agung Sedayu, “menurut pengenalanku atas Ki Sumangkar, ia memang menerima kekalahan Jipang dengan ikhlas. Ia selalu berselisih paham dengan Tohpati saat Tohpati masih meneruskan perlawanannya melawan prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung.”

“Aku tahu, tetapi apakah hal itu bukan sekedar karena pengamatannya yang matang, bahwa saat itu tidak menguntungkan bagi Tohpati untuk melakukan perlawanan bersenjata terus-menerus.”

“Menurut pertimbanganku tidak Kakang, bukan sekedar perhitungan sesaat. Bahkan aku tahu benar, dengan Swandarupun jalan pikirannya tidak dapat sesuai. Hanya karena kecemasannya menghadapi kepunahan ilmunya sajalah maka ia telah mengangkat Sekar Mirah sebagai muridnya.”

Untara mengerutkan keningnya. Lalu, “Aku tahu bahwa kaulah yang lebih tahu tentang Sekar Mirah daripada aku. Tetapi cobalah ikut mengamati. Mungkin kau dapat menyampaikannya kepada Kiai Gringsing. Bukan maksudku mengambil kesimpulan bahwa Ki Sumangkar bersalah. Semuanya masih dugaan dan pertimbangan. Dan mudah-mudahan Kiai Gringsing bersedia membantuku,”

Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi kemudian ia memberanikan diri, “Kakang, apakah Kakang sudah lama mempunyai pertimbangan demikian, atau nampaknya Kakang baru saja mendapat laporan bahwa Ki Sumangkar tidak ada di Sangkal Putung ?”

“Aku sudah berpikir untuk waktu yang cukup lama. Tetapi keterangan terakhir memang agak menekankan kecurigaanku itu. Seorang perwira menyangka bahwa Ki Sumangkar pergi ke Jati Anom justru menjumpai aku. Tetapi ia tidak pernah datang kemari. Seorang petugas sandi yang lain melaporkan bahwa ia melihat Sumangkar telah bertempur di jalan antara Sangkal Putung dengan Jati Anom.”

“Dengan siapa?“ hampir di luar sadarnya Agung Sedayu bertanya menjajagi.

“Kurang jelas. Kedua orang lawannya akhirnya melarikan diri. Tetapi sayang petugas sandi itu tidak dapat memberikan laporan yang jelas tentang kedua lawannya. Tetapi menurut pendengaran orang-orang dari padukuhan itu, Sumangkar mengatakan bahwa ia akan menemui aku di Jati Anom. Namun sampai sekarang ia belum memberikan laporan tentang perkelahiannya kepadaku.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia bukan seorang anak muda yang terlalu tumpul dan malas seperti yang diduga kakaknya. Tetapi dengan segera ia dapat menghubungkan persoalannya.

“Ternyata orang-orang Pajang yang berada di antara mereka yang merasa dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu bergerak cepat seperti yang diperhitungkan oleh Guru,“ berkata Agung Sedayu didalam hatinya. “Dan seperti yang sudah diperhitungkan pula, tentu ada petugas dari antara mereka yang mencari keterangan tentang Sumangkar, dan apakah ia sudah menyampaikan laporan kepada Untara secara terperinci. Untunglah bahwa Kakang Untara belum mengetahui persoalannya. Jika prajurit-prajurit Pajang yang ada di antara mereka yang berada di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu mendengar bahwa Untara sudah mendapat laporan tentang kedua orang yang bertempur melawan Sumangkar, maka mungkin sekali mereka akan mengambil sikap lain.”

Dengan keterangan yang didengarnya dari Untara itu, maka Agung Sedayu mendapat sekedar gambaran tentang orang-orang yang merasa dirinya mewarisi Kerajaan Agung Majapahit itu. Ternyata bahwa mereka mampu, bergerak cepat dan mempunyai tangan-tangan yang kuat di dalam tubuh prajurit Pajang sendiri.

Karena ternyata nampaknya Agung Sedayu tidak banyak mengetahui tentang Sumangkar, maka pembicaraan Untarapun kemudian berkisar. Ia mencoba untuk menasehati Agung Sedayu, agar mulai memikirkan masa depannya.

“Kau bukan seorang yang pantas mengasingkan diri di padepokan kecil semacam itu tanpa melakukan sesuatu untuk kepentingan yang lebih besar. Apalagi aku yakin, bahwa Sekar Mirah tidak akan bersedia menerimamu dalam keadaan seperti kau sekarang. Karena itu, mulailah mengemasi diri,“ berkata Untara.

Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Hal itulah yang sebenarnya yang agak mengurangi gairahnya bertemu dengan kakaknya. Meskipun demikian ia menahan hati. Ia sudah mendapatkan keterangan yang berharga tentang Sumangkar dan orang-orang yang mencarinya.

Namun Agung Sedayu tidak mendapat kesempatan untuk bertanya, siapakah perwira-perwira Pajang yang sedang mencari Sumangkar itu, meskipun mereka memakai dalih apapun. Meskipun mereka mengatakan bahwa mereka mendapat laporan dari petugas sandi dari Pajang.

Pembicaraan selanjutnya justru menjadi kaku, ketika Untara mulai menyatakan keinginan-keinginannya atas adiknya. Namun istri Untaralah yang kadang-kadang berhasil membelokkan pembicaraan kepada masalah-masalah yang tidak membuat pembicaraan itu memanjat semakin tegang.

“Kau harus sering datang kemari Agung Sedayu,“ minta kakak iparnya.

Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Sebenarnyalah aku ingin dapat sering datang kemari. Tetapi aku takut, bahwa aku akan mengganggu Kakang Untara yang nampaknya selalu sibuk.”

“Aku memang sibuk Agung Sedayu. Tetapi jika kau datang, apa salahnya. Kau tentu melihat sesuatu yang menarik bagimu di sini. Kegiatan para prajurit. Syukurlah jika penglihatanmu itu segera dapat menggerakkan hatimu. Sudah berulang kali aku katakan, kau pantas menjadi seorang prajurit.”

Istri Untara menarik nafas. Setiap kali pembicaraan Untara kembali lagi kepada persoalan yang kurang menarik bagi Agung Sedayu, sehingga ia perlu mencari jalan untuk mencari bahan pembicaraan yang lain.

Demikianlah, sehari penuh Agung Sedayu berada di rumah Untara. Menjelang senja barulah Agung Sedayu minta diri.

“Kau tidak bermalam di sini?“ bertanya Untara.

“Di malam hari kadang-kadang aku masih harus pergi ke sawah melihat air. Kadang-kadang air tidak mengalir.”

Untara tidak menahannya lagi. Dilepaskannya Agung Sedayu kembali ke padepokan kecil sampai di muka regol halamannya. Ketika Agung Sedayu meninggalkannya, ia masih sempat berpesan, “Pikirkan Agung Sedayu. Apakah kau akan menenggelamkan usiamu yang panjang itu untuk tetap dalam keadaanmu sekarang? Mungkin kau menemukan ketenangan dan kedamaian hati. Tetapi hidupmu kurang berarti bagi lingkunganmu dan bagi sesama.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku akan memikirkannya Kakang.”

Istri Untaralah yang menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Dipandanginya saja Agung Sedayu yang kemudian melangkah menyusuri jalan induk padukuhan Jati Anom. Semakin lama semakin jauh.

Agung Sedayu memang hanya berjalan kaki. Rasa-rasanya memang menarik sekali berjalan di jalan-jalan yang pernah diselusurinya di masa kanak-kanak.

Satu dua orang anak-anak muda sebayanya menegurnya dengan ramah. Bahkan kadang-kadang ia harus berhenti dan berbicara beberapa saat.

“Aku ingin tinggal bersamamu di padepokan kecilmu,“ berkata salah seorang kawannya.

Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, “Sebenarnya aku senang sekali mempunyai banyak kawan. Tetapi sayang, tempatnya terlampau sempit.”

Kawannya menyahut, “Aku akan tidur di pendapa padepokan.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Apakah aku harus membangun padepokan yang lebih besar?”

Kawan-kawannya tertawa pula.

Demikianlah, lepas dari pintu gerbang Kademangan Jati Anom, Agung Sedayu berjalan semakin cepat. Ternyata kehadirannya di Jati Anom telah mendapatkan hasil yang diperhitungkan. Adalah sangat diharapkan bahwa kakaknya mengatakan sesuatu tentang kedatangan prajurit-prajurit untuk menanyakan Ki Sumangkar.

Kedatangan Agung Sedayu di padepokannya dengan berita yang dibawanya, telah menumbuhkan berbagai pertimbangan. Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang mendengar laporannya secara terperinci telah membuat uraian dengan berbagai macam kemungkinan.

“Apakah mereka yakin, bahwa Untara tidak akan mendapat laporan tentang peristiwa itu?“ bertanya Kiai Gringsing, “mungkin mereka mempunyai pertimbangan, bahwa pada suatu saat, Sumangkar akan datang dan menyatakan semua persoalannya kepada Untara.”

“Mungkin,“ sahut Ki Waskita, “tetapi aku yakin bahwa kini diantara perwira yang ada di sekitar Untara tentu ada yang telah menyatukan diri dengan mereka yang menginginkan bangkitnya lagi para pewaris Kerajaan Agung Majapahit itu. Mereka akan menjadi sumber berita, apakah Sumangkar pada suatu saat datang kepada Untara atau tidak.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku sependapat, tetapi aku masih mempunyai pertimbangan yang lebih jauh, karena persoalannya bagi meraka menyangkut masalah yang besar, maka tentu merekapun tidak akan segan-segan mengambil langkah-langkah yang berat.”

Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Maksud Guru, mereka akan melakukan tindakan kekerasan terhadap Ki Sumangkar selagi Ki Sumangkar belum menyampaikan laporan itu kepada Kakang Untara?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.

Sejenak ia ragu-ragu. Namun kemudian jawabnya, “Hal itu menurut perhitunganku memang mungkin sekali terjadi. Agar mereka menjadi tenang bahwa Ki Sumangkar untuk selamanya tidak akan dapat memberikan laporannya kepada Untara, maka Ki Sumangkar harus dibungkam untuk selama-lamanya.”

Agung Sedayu menjadi cemas. Orang-orang yang merasa sangat berkepentingan itu tentu akan mencari dimana Ki Sumangkar kini sedang berada.

“Guru,“ berkata Agung Sedayu dengan ragu-ragu, “bagaimanakah nasib Ki Sumangkar di perjalanan?”

“Tetapi aku kira, perjalanannya ke Sangkal Putung masih belum akan mengalami gangguan.”

“Maksud Guru, hal itu akan mungkin terjadi saat Ki Sumangkar kembali ke padepokan ini?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang dalam ia menjawab, “Memang mungkin terjadi.”

Agung Sedayu menjadi bertambah tegang. Ketika ia memandang wajah Ki Waskita untuk mendapatkan perimbangan, maka Ki Waskita mengangguk sambil menjawab, “Mungkin hal itu dapat terjadi Agung Sedayu. Jika perhitungan kami sesuai dengan perhitungan orang-orang yang sedang mempersiapkan sebuah pertemuan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu, maka Ki Sumangkar benar-benar berada dalam bahaya. Mereka tidak akan dengan suka rela menanggung akibat laporan yang mereka sangka akan segera sampai kepada Ki Untara.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ketegangan di hatinya nampak menjadi semakin nyata. Dengan gelisah anak muda itu bertanya, “Apakah kita akan berbuat sesuatu?”

“Sebaiknya kita memang harus berbuat sesuatu,“ berkata Ki Waskita, “Tetapi kita tidak boleh tergesa-gesa sehingga yang kita lakukan bukannya justru membuat kesulitan-kesulitan baru. Terutama dalam hubungannya dengan sikap kakakmu Untara. Menurut pertimbanganku, Untarapun pada suatu saat tentu akan menjumpai Ki Sumangkar dan bertanya kepadanya, apa yang telah terjadi di perjalanan, sehingga ia terpaksa harus bertempur melawan kedua orang itu.”

“Banyak yang harus kita lakukan,“ desis Agung Sedayu.

“Ternyata bahwa kita harus segera mulai. Lebih cepat dari yang kita duga semula,“ desis Kiai Gringsing.

“Masalah yang terjadi atas Ki Sumangkar memang harus segera diperhitungkan dengan kemungkinan-kemungkinan mendatang, sementara kita harus menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya.”

Orang-orang tua itupun termangu-mangu sejenak, sementara Agung Sedayu nampak berusaha untuk melihat segala kemungkinan yang dapat terjadi. Sikap orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit dan sikap yang mungkin diambil oleh Untara.

“Guru,“ tiba-tiba saja ia berkata, “sebaiknya aku akan pergi ke Sangkal Putung. Meskipun mungkin kedatanganku harus berbekal dengan hati yang beku menghadapi sikap-sikap keluarga Ki Demang, namun mungkin ada manfaatnya bagi Ki Sumangkar untuk membuat perhitungan bagi langkah-langkahnya mendatang.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Agaknya tidak hanya kau yang akan pergi Agung Sedayu. Kita bersama-sama akan pergi ke Sangkal Putung dan sekaligus ke Mataram.”

“Dan padepokan ini?“ bertanya Agung Sedayu.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya keadaan serupa itulah yang membuatnya selama ini tidak telaten membangun dan tinggal di sebuah padepokan. Rasa-rasanya hidup di perjalanan telah merupakan bagian dari seluruh kehidupannya.

Sejenak Kiai Gringsing berpikir. Kemudian jawabnya, “Kita akan berhubungan dengan Ki Widura. Kita akan menitipkan padepokan ini kepadanya dengan segala isinya, termasuk Glagah Putih.”

“Kasihan anak itu,“ di luar sadarnya Agung Sedayu berdesis.

“Ia akan tinggal bersama ayahnya dan beberapa orang anak-anak muda yang akan membantunya memelihara sawah dan ladang. Memelihara padepokan ini dan barangkali juga menjaganya jika ada seseorang yang akan mengganggu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Tetapi,” berkata Kiai Gringsing, “kau harus juga minta ijin kepada kakakmu.”

“Apa yang harus aku katakan kepada Kakang Untara, Guru?” bertanya Agung Sedayu.

“Katakanlah, bahwa kau akan menghubungi Ki Sumangkar untuk mendapatkan penjelasannya tentang berita yang didengar oleh para prajurit di Jati Anom.”

“Dan apakah aku juga akan minta ijin bagi Guru dan Ki Waskita?”

“Ya. Kau dapat mengatakan, bahwa kemungkinan yang sama akan dapat terjadi diperjalanan. Jika ada rintangan yang harus dipecahkan dengan kekerasan, maka kau memerlukan kawan. Mungkin yang akan dihadapi bukan hanya satu atau dua orang, tetapi mungkin lebih banyak lagi.”

“Kakang dapat menawarkan pengawalan prajurit.”

Tetapi Kiai Gringsing menjawab, “Katakan, bahwa kau tidak ingin membuat prajurit Pajang semakin sibuk. Padahal persoalannya masih belum jelas.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun merasa perlunya bahwa ia harus minta ijin kepada kakaknya agar tidak timbul salah paham, seolah-olah isi padepokan itu pergi begitu saja sekehendak hati sendiri.

“Besok aku akan mengunjungi Kakang Untara lagi,“ berkata Agung Sedayu.

“Hati-hatilah. Mungkin ada perkembangan baru. Yang kita lakukan tidak sepenuhnya diketahui oleh Untara, terutama tentang orang-orang yang ingin mewarisi kerajaan Majapahit itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun mereka-reka apa yang akan dikatakannya kepada Untara. Tetapi iapun mulai menyusun kalimat yang akan diucapkannya kepada Glagah Putih bila datang saatnya ia meninggalkannya dipadepokan.

“Anak itu tentu ingin ikut serta. Jika saja Guru tidak berkeberatan, maka sebuah perjalanan yang pendek seperti ini akan dapat menjadi pengalaman baginya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun agaknya ia ragu-ragu untuk menyampaikannya kepada gurunya.

Meskipun demikian, hal itu agaknya selalu saja menggeletar di dalam dadanya seakan-akan mendesak tanpa tertahankan.

Karena itulah, maka akhirnya Agung Sedayu tidak dapat menahan diri lagi. Dengan ragu-ragu akhirnya ia menyampaikan kepada gurunya, apakah Glagah Putih dapat dibawanya serta.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Memang mungkin. Tetapi selain pergi ke Sangkal Putung, kita akan pergi ke Mataram. Bahkan mungkin kita akan sampai ke tempat yang belum kita pertimbangkan sekarang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, maka akupun harus pergi ke Banyu Asri.”

“Ya. Kau harus singgah di rumah pamanmu jika kau pergi menjumpai kakakmu.”

“Baiklah Guru. Tetapi aku akan menemui kesulitan untuk menyampaikannya kepada Glagah Putih. Aku tidak akan sampai hati menolak jika ia menyatakan keinginannya untuk ikut serta.”

“Baiklah. Biarlah aku saja yang menyampaikannya setelah kau bertemu dengan pamanmu Widura, apakah ia dapat dalam beberapa hari berada di padepokan ini.”

“Baiklah Guru. Jadi kapankah aku harus menjumpai Kakang Untara dan Paman Widura?”

“Secepatnya. Besok pagi-pagi sekali, karena besok kita harus berangkat ke Sangkal Putung. Jika kita terlambat, maka Ki Sumangkar dan mungkin Swandarulah yang lebih dahulu sampai.”

Pembicaraan itupun kemudian terputus ketika Glagah Putih melangkah mendekati mereka. Tetapi karena ia tidak melihat kesan apapun juga, maka iapun tidak menaruh curiga sama sekali bahwa ketiga orang itu akan pergi meninggalkan pedepokan untuk beberapa hari lamanya.

Di hari berikutnya, pagi-pagi benar Agung Sedayu sudah pergi ke Jati Anom. Kali ini Agung Sedayu tidak sekedar berjalan kaki. Ia ingin kerjanya lekas selesai sehingga ia segera dapat berangkat ke Sangkal Putung sebelum Ki Sumangkar justru sudah berada di perjalanan.

Untara terkejut melihat kedatangan Agung Sedayu di pagi-pagi benar. Namun setelah ia mendengar keterangan Agung Sedayu, maka iapun menjadi agak lapang, meskipun ia bertanya seperti yang sudah diduga oleh Agung Sedayu, “Kenapa kau tergesa-gesa ingin pergi menemui Ki Sumangkar?”

“Aku ingin segera mengetahui Kakang, apakah yang sebenarnya telah terjadi atasnya. Dan aku ingin mendengar tentang kedua orang yang telah bertempur melawan Ki Sumangkar itu.”

Untara mengangguk-angguk. Ternyata ia tidak berkeberatan, meskipun iapun bertanya pula tentang Glagah Putih.

“Ia akan tinggal di padepokan, Kakang, bersama Paman Widura yang akan aku beritahu tentang kepergianku bersama Kiai Gringsing dan Ki Waskita untuk beberapa hari.”

Untara mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya kenapa Kiai Gringsing dan Ki Waskita akan ikut pergi pula ke Sangkal Putung, karena Untara menyadari bahwa keterangan tentang Sumangkar yang harus bertempur melawan dua orang berkuda, membuat Agung Sedayu berhati-hati. Mungkin Agung Sedayu sendiri tidak memerlukan kawan. Tetapi gurunya tentu tidak akan melepaskannya pergi sendiri dalam keadaan serupa itu. Lebih baik meninggalkan Glagah Putih di padepokannya bersama ayahnya daripada membiarkan Agung Sedayu pergi ke Sangkal Putung dalam ketidaktenangan. Dan ternyata Untara tidak menawarkan pengawalan bagi mereka yang akan pergi ke Sangkal Putung karena Agung Sedayu sudah mengatakan bahwa ia akan pergi bersama gurunya dan Ki Waskita.

“Tetapi jangan pergi terlalu lama,“ berkata Untara, “yang aku cemaskan bukan perjalananmu, tetapi jika kau sudah berada di Sangkal Putung maka kau akan melupakan padepokan kecilmu. Kau akan terikat lagi dengan Sangkal Putung meskipun kehadiranmu di Sangkal Putung itu telah merendahkan martabatmu. Martabatmu sebagai seorang laki-laki, tetapi juga martabatmu sebagai putra Ki Sadewa.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya dengan nada dalam, “Aku tidak akan tinggal lagi di Sangkal Putung Kakang. Jika perjalananku nanti ternyata lebih dari dua tiga hari, tentu aku tidak berada di Sangkal Putung.”

“Kau akan kemana?”

Pertanyaan itu membingungkan Agung Sedayu. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Kemana saja. Mungkin melakukan perjalanan melingkar sambil kembali ke padepokan memberi kesenangan tersendiri. Sebulan yang di berikan oleh guru beberapa waktu yang lalu, ternyata jauh dari mencukupi, sehingga menyenangkan sekali untuk menambah pengalaman perantauan itu barang sebulan lagi.”

“Tetapi ingat. Di padepokanmu ada Glagah Putih. Kaulah yang mula-mula menyebabkan anak itu ada di sana. Jika ia terlalu lama kau tinggalkan, maka ia akan menjadi kecewa.”

Agung Sedayu mengangguk. Sebenarnyalah ia ingin membawa Glagah Putih. Tetapi gurunya tidak sependapat karena perjalanan mereka akan sangat berbahaya.

Namun akhirnya Agung Sedayupun dilepas oleh kakak dan kakak iparnya. Untara masih memberikan berbagai pesan, terutama agar ia tidak terikat lagi di Sangkal Putung.

Dari rumah kakaknya, Agung Sedayu meneruskan perjalanannya ke Banyu Asri untuk menemui pamannya dan minta diri untuk beberapa saat lamanya, sekaligus menitipkan Glagah Putih kepadanya.

Widura mengangguk-angguk. Ia tidak dapat mencegah kepergian Agung Sedayu bersama gurunya. Meskipun juga kepada Widura Agung Sedayu tidak mengatakan seluruh persoalannya, tetapi seperti Untara, di dalam hati ia dapat melihat kecemasan Agung Sedayu dan gurunya tentang keselamatan Sumangkar.

“Baiklah Agung Sedayu. Aku akan berada di padepokanmu selama kau pergi. Mungkin aku akan mendapat kesenangan tersendiri untuk tinggal di padepokan kecil itu,“ jawab Widura, “aku akan datang sebelum kau berangkat.”

Agung Sedayupun segera kembali ke padepokannya setelah ternyata Widura sama sekali tidak berkeberatan. Namun demikian ia masih saja berdebar-debar, bagaimana ia atau gurunya akan memberitahukan kepada Glagah Putih yang tentu akan minta untuk ikut serta.

“Aku akan mengatakannya, bahwa aku telah mencoba minta ijin kepada paman Widura. Tetapi paman tidak mengijinkan,” katanya kepada diri sendiri.

Tetapi ketika kemudian Agung Sedayu sampai di padepokannya dan menyampaikannya kepada Kiai Gringsing, maka gurunya berkata, “Sebaiknya kita berkata terus terang kepada Glagah Putih, bahwa kita akan menempuh perjalanan yang meskipun pendek, tetapi berbahaya. Karena itu sebaiknya ia tinggal saja di padepokan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi nampak keseganannya untuk mengatakannya kepada Glagah Putih.

“Akulah yang akan mengatakannya,“ berkata Kiai Gringsing kemudian.

Tetapi sebenarnyalah seperti yang diduga oleh Agung Sedayu. Ketika Kiai Gringsing mengatakan kepada Glagah Putih, maka anak muda itu mendesak untuk ikut serta.

“Kau akan tinggal bersama ayahmu di sini Glagah Putih. Perjalanan ini adalah perjalanan penjajagan. Jika keadaan sudah pasti, maka di kesempatan lain kau tentu akan ikut serta bersama kami.“ Kiai Gringsing menjelaskan.

Nampaknya di mata anak muda itu kekecewaan yang sangat. Bahkan mata itu menjadi basah. Namun akhirnya Glagah Putih menunduk sambil berkata dengan nada yang dalam, “Baiklah Kiai. Aku akan tinggal di padepokan.”

“Bagus Glagah Putih. Bukan saja karena perjalanan ini akan berbahaya. Tetapi jika kita semuanya pergi, maka mungkin sekali sawah kita akan kurang terpelihara.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dalam pada itu, selain kepada Glagah Putih, juga kepada anak-anak muda yang lain, yang tinggal di padepokan itu, Kiai Gringsing memberikan pesan-pesannya dengan jelas, agar mereka melakukan kewajibannya sebaik-baiknya.

Demikianlah pada waktu yang sudah direncanakan, maka Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayupun telah bersiap. Ki Widura ternyata memenuhi kesanggupannya dan telah berada di padepokan itu pula.

“Kami tidak akan lama Paman,“ berkata Agung Sedayu kepada pamannya.

Tetapi Ki Widura tersenyum. Katanya, “Ya. Menurut rencanamu, kau tidak akan pergi terlalu lama. Tetapi jika keadaan berkembang selama dalam perjalanan, maka itu adalah di luar rencana.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, sementara Widura meneruskan, “Bahkan kadang-kadang perkembangan keadaan itu menuntut waktu yang jauh lebih panjang dari waktu yang direncanakan.”

“Mungkin sekali Paman,“ desis Agung Sedayu. Tetapi gurunya menyambung, “Kami akan mencoba membatasi perjalanan kami.”

Ki Widura tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan semuanya akan segera kembali dengan selamat.”

Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayupun kemudian meninggalkan padepokannya menuju ke Sangkal Putung. Mereka memacu kudanya agak cepat, agar mereka sempat mendahului Ki Sumangkar yang akan membawa Swandaru ke padepokan kecil itu.

“Mudah-mudahan kita akan sampai lebih dahulu di Sangkal Putung, atau jika mereka sudah berangkat, kita dapat menjumpai di perjalanan,“ berkata Kiai Gringsing.

Karena itulah maka mereka telah menempuh perjalanan lewat jalan yang paling sering mereka lalui dan yang paling mungkin dilalui oleh Ki Sumangkar dan Swandaru jika benar mereka telah berada di perjalanan,

Di tengah-tengah bulak panjang, ketiga ekor kuda itu berpacu. Kiai Gringsing dan Ki Waskita berada di depan, sementara Agung Sedayu berada di paling belakang.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Ki Waskita masih sempat berbicara meskipun harus agak keras, “Ki Sumangkar benar-benar berada dalam bahaya menurut perhitunganku,” berkata Kiai Gringsing.

Ki Waskita mengangguk-angguk. Jawabnya, “Orang-orang yang merasa terancam olehnya tentu akan berusaha untuk berbuat sesuatu. Bahkan mungkin sampai mengancam jiwanya.”

“Itulah yang menurut perhitunganku justru yang paling mungkin,“ sahut Kiai Gringsing, “beberapa orang yang telah menghubungi Untara dan ternyata bahwa Ki Sumangkar belum memberikan laporan kepada senapati itu, tentu akan berusaha untuk mencegahnya. Dan cara yang paling mudah bagi mereka, adalah membungkam Ki Sumangkar untuk selama-lamanya.”

“Tetapi merekapun mengenal, siapakah Ki Sumangkar itu. Jika orang yang kebetulan bertemu di perjalanan itu belum mengenalnya, namun di antara mereka yang berada di lembah antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi atau di antara mereka yang berada di Pajang. tentu ada yang mengenalnya sebagai seorang yang mumpuni dan disegani sejak masa kekuasaan Jipang masih tegak,“ sahut Ki Waskita.

“Akibatnya, maka untuk melakukan rencananya, mereka tentu akan mempergunakan kekuatan yang tidak tanggung-tanggung. Mereka tidak mau mengalami kegagalan lagi. Apalagi jika salah seorang dari mereka harus tertangkap,“ desis Kiai Gringsing.

Ki Waskita mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu yang berada di belakang dapat juga mendengar meskipun tidak begitu jelas.

Demikianlah kuda-kuda mereka itu berpacu terus. Mereka memasuki padukuhan-padukuhan kecil dan kemudian menyelusuri jalan-jalan di tengah bulak.

Hampir bersamaan. Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat dua orang berkuda yang berpapasan arah. Apalagi ketika mereka melihat di belakangnya muncul pula dua orang berkuda yang lain. Mereka tidak memacu kuda mereka cepat-cepat. Tetapi nampaknya mereka sedang menikmati sejuknya udara di antara hijaunya tanaman padi di sawah.

Kiai Gringsing yang berada didepan bersama Ki Waskita itupun berpaling. Dengan isyarat ia memberitahukan kepada Agung Sedayu agar berhati-hati.

Namun semakin dekat. Kiai Gringsing menjadi semakin ragu-ragu. Ternyata mereka adalah prajurit-prajurit Pajang menilik dari tata pakaian mereka.

“Apakah mereka peronda yang dikirim oleh Untara?“ desis Kiai Gringsing, “Namun menilik pakaian dan sikap mereka adalah perwira-perwira yang hanya pantas memimpin sekelompok prajurit peronda. Bukan mereka sekelompoklah yang harus meronda.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Seperti Kiai Gringsing ia menjadi curiga. Para perwira itu nampaknya sedang bepergian tanpa seorang pengawalpun. Jika mereka prajurit-prajurit Pajang yang berada di Jati Anom, agaknya mereka baru kembali dari suatu tugas yang penting atau justru dalam perjalanan pribadi mereka.

Namun demikian, Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak berhenti. Bahkan mereka tetap pada kecepatan mereka, seolah-olah mereka tidak melihat sesuatu yang mereka curigai.

Tetapi mereka harus menarik kekang kuda mereka, ketika para perwira itu memberi isyarat agar mereka berhenti.

“Kita harus berhenti,” desis Kiai Gringsing.

Ki Waskita dan Agung Sedayupun menarik kendali kudanya, sehingga beberapa langkah kemudian, ketiga orang berkuda itu telah berhenti.

Agung Sedayu yang kemudian tepat berada di belakang gurunya berbisik, “Aku belum pernah melihat mereka. Jika mereka para perwira bawahan Kakang Untara, agaknya salah seorang dari mereka tentu sudah pernah aku lihat, meskipun belum mengenalnya dengan akrab.”

“Mungkin mereka orang-orang baru yang menggantikan beberapa orang perwira yang mendapat tugas lain,“ desis Ki Waskita.

Agung Sedayu mengangguk-angguk, meskipun ia tidak yakin akan kata-kata Ki Waskita.

Sesaat kemudian, maka keempat perwira prajurit Pajang itu telah mendekat dan berhenti beberapa langkah di hadapan mereka.

“Ki Sanak,“ sapa salah seorang dari mereka, “siapakah kalian bertiga ?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Agaknya ia sedang memikirkan, apakah jawab yang paling baik diberikan.

Baru sejenak kemudian ia menjawab, “Kami adalah orang-orang dari padepokan Karang. Aku adalah Ki Tanu. Kawanku ini adalah Waskita dan anak muda itu adalah anakku.”

Para perwira itu memandang Kiai Gringsing dengan tajamnya. Dengan nada yang datar salah seorang dari keempat perwira itu bertanya, “Ki Sanak akan pergi kemana?”

“Kami akan pergi ke Sangkal Putung.” jawab Kiai Gringsing.

“Kenapa ke Sangkal Putung? Apakah ada keperluan Ki Sanak di Sangkal Putung?”

“Kami akan memesan sebilah keris dan beberapa macam alat-alat pertanian.”

“Kenapa ke Sangkal Putung? Bukankah di Jati Anom ada juga dua orang pande besi yang mumpuni?”

“Benar Ki Sanak. Tetapi aku sudah terbiasa membuat alat-alat pertanian di Sangkal Putung. Meskipun hasilnya sama, tetapi harganya jauh lebih murah di Sangkal Putung. Apalagi pande besi di Sangkal Putung adalah kemenakanku sendiri.”

Perwira itu mengangguk-angguk. Namun yang lain berkata, “Baiklah. Jika kalian terpaksa harus pergi ke Sangkal Putung, kalian harus menunda perjalanan kalian barang sebentar. Saat ini prajurit Pajang sedang mengadakan pemeriksaan di beberapa padukuhan. Jika mereka sudah selesai Ki Sanak boleh lewat.”

Kiai Gringsing termangu mangu. Kemudian iapun bertanya, “Berapa lama kami harus menunggu?”

“Tidak lama. Dan bukankah keperluanmu tidak tergesa-tesa. Maksudku, kau hanya akan memesan alat-alat dari besi dan baja bagi sawah dan ladangmu. Kau tidak sedang dalam perjalanan menengok keluargamu yang sakit, misalnya.”

Kiai Gringsing mengangguk. Tetapi ia mencoba mendesak, “Aku tidak akan mengganggu. Mungkin aku akan mencari jalan memintas. Sehingga aku tidak akan menjumpai prajurit-prajuirt yang sedang bertugas.“

“Jangan tergesa-gesa. Mereka tidak akan lama.”

“Tetapi, kenapa prajurit Pajang itu mengadakan pemeriksaan di padukuhan-padukuhan? Apakah ada sesuatu yang salah pada mereka?”

“Ki Sanak. Jika kalian belum mengetahui, daerah ini di saat terakhir agaknya sering diganggu oleh kejahatan. Prajurit Pajang mencium keterangan, bahwa penjahat-penjahat itu sebenarnya bukan orang lain, tetapi orang-orang di daerah ini sendiri. Namun demikian untuk menjatuhkan tuduhan itu, diperlukan bukti-bukti yang meyakinkan.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi prajurit Pajang sedang mencari bukti kejahatan itu di antara penduduk padukuhan?”

“Ya. Tetapi yang tidak bersalah tidak perlu cemas. Juga kalian bertiga tidak perlu cemas. Jika kawan-kawanku sudah selesai, mereka akan lewat jalan ini pula dan meneruskan tugas kami di tempat lain yang tidak dapat aku katakan sekarang.”

“Ki Sanak,“ Ki Waskita mendesak, “apakah aku tidak dapat memilih jalan lain. Jika Ki Sanak memberitahukan kepada kami, jalan manakah yang saat ini tidak boleh kami lalui, maka kami akan memilih jalan lain.”

“Jalan inilah yang tidak boleh dilalui saat ini,“ jawab salah seorang dari mereka dengan jengkel.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sebaiknya kita kembali saja ke padepokan. Jalan yang akan kami lalui tidak begitu jauh. Jika kami terhenti di sini setengah hari, maka yang setengah hari itu sama dengan waktu yang kami perlukan untuk seluruh keperluan kami. Berangkat, memesan dan kembali. Sedangkan kami harus berhenti di sini tanpa berbuat sesuatu.”

Salah seorang perwira itu tertawa. Katanya, “Silahkan. Aku kira itu adalah suatu sikap yang bijaksana. Besok kalian dapat pergi ke Sangkal Putung tanpa gangguan apapun juga, sementara ini kalian dapat berbuat apa saja di rumah kalian.”

Kiai Gringsing memandang perwira itu sejenak, lalu katanya, “Terima kasih. Lebih baik bagiku untuk tidur saja di rumah daripada menunggu di sini sampai setengah hari.”

Ki Waskita dan Agung Sedayu yang mendengar pendapat Kiai Gringsing itu termangu-mangu. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa ketika Kiai Gringsing mengajak mereka. “Marilah. Kita kembali saja lebih dahulu. Agaknya sedang ada persoalan di sepanjang jalan yang akan kita lalui sekarang ini.”

Ki Waskita dan Agung Sedayu tidak menyahut. Merekapun kemudian memutar kudanya dan kembali ke arah padepokan.

Kiai Gringsing yang kemudian berkuda di paling depan, seakan-akan tidak menghiraukan kedua kawannya seperjalanan. Bahkan berpalingpun tidak.

Di belakangnya Ki Waskita dan Agung Sedayu mengikutinya tanpa mengerti maksudnya.

“Kenapa begitu mudahnya Kiai Gringsing mematuhi perintah orang-orang itu,“ desis Ki Waskita perlahan-lahan.

“Aku kurang mengerti,“ bisik Agung Sedayu, “tetapi kadang-kadang Guru mengambil sikap yang tidak segera dapat ditangkap maksudnya, bahkan kelihatan aneh.”

Keduanya tidak berbicara lebih jauh. Mereka semakin mendekati Kiai Gringsing yang seakan-akan tidak mengacuhkannya sama sekali.

Tetapi ketika jarak mereka sudah cukup jauh dari para perwira yang menghalangi perjalanan mereka, maka Kiai Gringsingpun memperlambat kudanya sambil berkata, “Mencurigakan sekali.”

Agung Sedayu yang sudah lama ditekan oleh keheranan, dengan serta merta bertanya, “Tetapi tiba-tiba saja Guru mengajak kami kembali.”

“Tentu tidak,“ sahut Kiai Gringsing, “aku justru merasa aneh, bahwa kita tidak boleh melanjutkan perjalanan melalui jalan yang biasa kita lalui. Meskipun seandainya ada semacam penilaian terhadap padukuhan-padukuhan di sepanjang jalan itu, biasanya jalan tidak ditutup sama sekali.”

“Jadi apakah maksud Kiai sebenarnya? “ Ki Waskitapun bertanya.

“Kita mencari jalan lain. Jalan-jalan sempit di sebelah padukuhan. Mungkin kita akan menemukan sesuatu di sepanjang jalan ini.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bergumam, “Tetapi ada juga baiknya. Jika misalnya Ki Sumangkar dan Swandaru hari ini pergi ke padepokan, maka iapun akan terhalang dan kembali ke Sangkal Putung. Dengan demikian, kita tidak akan berselisih jalan.”

“Jika kita masing-masing melalui jalan itu, maka kita tidak akan berselisih jalan, karena kita tentu akan bertemu di perjalanan. Kecuali jika Swandaru mengambil jalan yang tidak biasa kita lalui yang memintas memotong jalur jalan besar itu.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi Ki Waskitalah yang bertanya, “Kita akan menempuh jalan yang mana?”

Ketiganya termangu-mangu. Agaknya Kiai Gringsing juga masih belum siap untuk memilih jalan yang akan dilaluinya.

Ternyata Agung Sedayulah yang kemudian mengusulkan, “Guru, bagaimanakah jika kita melingkari padukuhan sebelah dan kemudian mengikuti jalan kecil di seberang padukuhan itu?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.

“Namun, pada suatu saat kita akan muncul pula di bulak panjang yang barangkali akan dapat dilihat oleh para prajurit, jika di sepanjang jalan ini banyak terdapat prajurit-prajurit yang seperti dikatakan oleh perwira itu sedang melakukan tugasnya.”

“Kita memang menghadapi suatu peristiwa yang mencurigakan. Jika benar terjadi bahwa para prajurit Pajang sedang memeriksa padukuhan-padukuhan atau rumah-rumah yang dicurigainya di sepanjang jalan ini, maka kita tentu akan mengenal sebagian dari mereka, karena yang melaksanakan tugas itu tentu prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom. Bukankah daerah ini merupakan daerah kekuasaan Senapati Untara di Jati Anom?”

“Jadi bagaimanakah menurut pendapat Kiai?“ bertanya Ki Waskita.

“Baiklah. Kita akan menempuh jalan di seberang padukuhan ini. Jika kita muncul di bulak panjang di balik padukuhan ini, maka kita akan memacu kuda-kuda kita. Sementara kita lebih baik menghindar daripada harus berbenturan dengan prajurit-prajurit Pajang. Syukurlah jika kita bertemu dengan prajurit atau perwira prajurit Pajang dari Jati Anom yang sudah kita kenal, yang tentunya di antara sekian banyak orang ada satu atau dua orang yang sudah mengetahui siapakah kau. Adik Untara.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar