Buku 081
Kiai Gringsing memandang Ki
Sumangkar sejenak. Seolah-olah ia minta pertimbangannya. Tetapi Ki Sumangkar
tidak memberikan tanggapan apapun juga. Bahkan orang tua itu sedang menundukkan
kepalanya sambil merenungi persoalan yang sedang berlaku itu.
Ki Demang Sangkal Putung sama
sekali tidak dapat memberikan kesan yang dapat dipertimbangkan. Bahkan ia
sendiri bingung menghadapi keadaan itu. Sehingga karena itu, seperti kedua anak
muda murid Kiai Gringsing, ia duduk berdiam diri sambil menunggu perkembangan
keadaan lebih lanjut.
Sesaat kemudian mereka
mendengar Kiai Gringsing berkata, “Marilah, Ki Juru. Jika diperkenankan aku
akan melihat keadaan Ki Gede Pemanahan.”
“Tentu, bahkan kehadiranmu
memang sudah ditunggu-tunggunya.”
Demikianlah maka Kiai Gringsing
pun kemudian beringsut dari tempatnya. Tetapi ketika kedua muridnya bergerak
pula, Kiai Gringsing berkata, “Tunggulah di sini bersama Ki Demang dan Raden
Sutawijaya. Agaknya lebih baik aku menengoknya sendiri supaya tidak justru
mengejutkan dan menimbulkan kesan yang agak lain.”
Agung Sedayu dan Swandaru
menjadi termangu-mangu. Demikian pula Ki Demang Sangkal Putung yang untunglah
belum bergerak sama sekali dari tempat duduknya.
Yang ragu-ragu kemudian adalah
Sumangkar. Tetapi karena Kiai Gringsing tidak menahannya, maka ia pun kemudian
beringsut pula sambil berdesis, “Aku akan ikut menghadap Ki Gede sambil
mengucapkan terima kasih atas semua kesempatan yang aku terima sampai saat
ini.”
Kiai Gringsing memandanginya
sejenak. Namun kemudian ia pun menganggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah.
Mungkin Ki Gede Pemanahan akan senang melihatmu. Dan kesempatan berikutnya
tentu akan diberikan pula kepada Ki Demang dan kedua anak-anak itu.”
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar pun kemudian mengikuti Ki Juru Martani masuk ke
ruang dalam. Sementara Sutawijaya sendiri masih harus tetap tinggal bersama
tamu-tamunya yang lain.
“Maaf, Ki Demang,” berkata
Raden Sutawijaya, “agaknya Kiai Gringsing lebih senang menengok ayahanda tanpa
mengganggunya.”
“Ah, aku mengerti, Raden.
Ayahandamu memang sedang sakit dan perlu banyak beristirahat. Tentu tidak baik
baginya, jika kami akan berimpitan di dalam bilik Ki Gede Pemanahan.”
“Tetapi ayahanda tentu akan
senang sekali menerima Ki Demang nanti.”
“Dan aku pun akan senang
sekali atas kesempatan itu,” sahut Ki Demang.
Dalam pada itu, maka Kiai
Gringsing dengan hati yang berdebar-debar melangkah mengikuti Ki Juru Martani.
Mereka langsung menuju ke bilik Ki Gede Pemanahan yang sedang ditunggui oleh
seorang pelayan yang duduk di luar pintu.
“Apakah Ki Gede sudah bangun?”
bertanya Ki Juru kepada pelayan yang menunggui itu.
Pelayan itu mengerutkan
keningnya, lalu jawabnya berbisik, “Aku kurang tahu, Ki Juru.”
Ki Juru mengangguk. Katanya,
“Baiklah, aku akan menengoknya.”
Dengan hati-hati Ki Juru
Martani pun kemudian mendorong pintu bilik itu. Ketika pintu itu terbuka
sedikit dilihatnya Ki Gede Pemanahan terbaring diam.
Perlahan-lahan Ki Juru Martani
melangkah masuk. Dipandanginya wajah yang pucat itu. Bahkan wajah yang pucat
itu ternyata dibasahi oleh keringat yang mengembun di kening dan dahi. Namun
nampaknya Ki Gede sempat tertidur meskipun hanya sejenak.
Ketika Ki Juru Martani berdiri
di sisi pembaringan, maka Ki Gede Pemanahan membuka matanya. Ketika dilihatnya
Ki Juru maka ia pun tersenyum. Katanya, “Oh, silahkan, Kakang. Aku sempat
tertidur sejenak.”
“Itu baik sekali, Adi. Tidur
adalah obat yang baik bagi kesehatanmu.” Ki Juru berhenti sejeniak, lalu,
“Kecuali itu Adi, di saat ini orang yang menamakan Kiai Gringsing itu telah
benar-benar datang. Ia berada di luar pintu bilik ini. Jika diijinkan, ia akan
masuk dan menengok Adi barang sejenak.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan
keningnya. Dipandanginya Ki Juru Martani sejenak. Namun di sorot matanya nampak
sesuatu yang bergejolak di dadanya.
Ternyata sepercik kekecewaan
telah melonjak di hati Ki Gede Pemanahan. Selama ini ia mengharap bahwa orang
yang bernama Kiai Gringsing itu memiliki sesuatu yang rahasia di dalam dirinya.
Sudah cukup lama ia ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Kiai
Gringsing. Dan dalam waktu yang lama ini Kiai Gringsing selalu menghindarkan
pertemuan itu, seolah-olah ada sesuatu yang dirahasiakan. Sedang Ki Gede
Pemanahan yang tidak pernah dapat bertemu dengan Kiai Gringsing itu telah
mereka-reka di dalam angan-angannya, bahwa Kiai Gringsing adalah seseorang yang
bukan orang kebanyakan. Seseorang yang memiliki sesuatu yang menempatkannya
pada kedudukan yang khusus.
“Jika tiba-tiba saja ia dengan
suka rela datang kemari, maka agaknya ia memang sebenarnya Kiai Gringsing.
Seorang dukun yang datang dari Dukuh Pakuwon. Tidak lebih dan tidak kurang,” Ki
Gede berkata kepada diri sendiri di dalam hatinya. “Jika ia adalah orang yang
aku harapkan memiliki sesuatu yang tersembunyi, maka apakah ia dengan demikian
mudah dapat dibawa oleh Sutawijaya datang kemari dan menemui aku setelah sekian
lamanya ia berusaha menghindarkan diri?”
Pertanyaan itulah yang
ternyata justru bergejolak di dalam hati Ki Gede Pemanahan.
Dalam pada itu, Ki Juru Martani
yang masih berdiri di sisi pembaringan itu pun kemudian mendesak karena Ki Gede
masih tetap berdiam diri, “Bagaimana, Adi?”
“O,” Ki Gede tergagap,
“baiklah. Bawalah ia masuk, Kakang. Mungkin kedatangannya ada manfaatnya
bagiku.”
Ki Juru Martani mengangguk-angguk.
Katanya, “Baiklah. Ia sudah berada di depan pintu bersama Ki Sumangkar.”
“Sumangkar dari Jipang?” Ki
Gede bertanya.
“Ya. Sumangkar. Orang kedua
yang memiliki tongkat berkepala tengkorak.”
Ki Gede termenung sejenak.
Lalu, “Biarlah ia ikut masuk bersamanya, Kakang.”
“Ya. Ia akan ikut bersama Kiai
Gringsing masuk ke dalam bilik ini, sedang Ki Demang Sangkal Putung masih akan
menunggu.”
“O, kenapa ia tidak dibawa
serta sama sekali.”
“Kiai Gringsing mengharap ia
menunggu lebih dahulu di luar. Ia ingin masuk tanpa orang lain kecuali
Sumangkar yang menyatakan dirinya ingin bertemu denganmu pula.”
Sesuatu terasa bergetar di
dada Ki Gede. Kekecewaannya menjadi kabur. Namun berbagai macam tanggapan telah
bergejolak di dalam dadanya.
“Kakang,” berkata Ki Gede
kemudian, “aku persilahkan mereka masuk.”
Ki Juru Martani pun kemudian
meninggalkan bilik itu. Di luar Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar menunggu tanpa
sepatah kata pun yang meluncur dari mulut mereka. Mereka masing-masing
seakan-akan sedang tenggelam dalam angan-angan yang jauh mengawang mengarungi
alam yang lain.
Mereka terkejut ketika Ki Juru
kemudian datang mendekat sambil berkata, “Silahkan, Kiai. Adi Pemanahan baru
saja bangun dari tidurnya yang nyenyak.”
“O, seharusnya Ki Gede tidak
dibangunkan.”
“Tidak. Aku memang tidak
membangunkannya. Tetapi ia telah terbangun sendiri.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Kemudian ia pun mengikuti Ki Juru Martani melangkah
mendekati pintu. Namun nampaknya langkah Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu.
Di belakang Kiai Gringsing,
Sumangkar berjalan dengan kepala tunduk. Agaknya ia pun merasakah sesuatu yang
bergetar di dalam dadanya.
Ketika Ki Juru Martani sampai
ke pintu, ia pun berhenti dan menepi. Dipersilahkannya Kiai Gringsing melangkah
mendahului masuk ke dalam bilik.
Kiai Gringsing yang tidak
menduga, termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian melangkahkan kakinya ke
pintu bilik itu.
Di depan pintu, ternyata
langkahnya terhenti sejenak. Ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan terbaring,
wajahnya menegang. Apalagi ketika kemudian Ki Gede Pemanahan pun memandanginya
pula.
Untuk sesaat Kiai Gringsing
berdiri diam di pintu bilik itu. Tetapi hanya sejenak. Kemudian wajahnya yang
tegang itu pun menjadi cair kembali.
Tetapi yang sekejap itu dapat
ditangkap oleh Ki Juru Martani yang memiliki ketajaman batin. Bahkan Sumangkar
yang tidak dapat melihat wajah Kiai Gringsing karena ia berada di belakangnya
pun merasakan, bahwa langkah Kiai Gringsing tertegun sejenak, bukan oleh karena
wadagnya, tetapi justru karena sikap batinnya.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing
mendekati pembaringan Ki Gede Pemanahan yang memandanginya dengan saksama.
Seperti Ki Juru Martani, Ki Gede Pemanahan dicengkam oleh berbagai macam
pertanyaan tentang orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu.
Namun seperti juga Ki Juru
Martani, Ki Gede Pemanahan tidak begitu tergesa-gesa. Seperti yang sudah
diduganya, bahwa ia tidak akan dapat menemukan ciri-ciri lahiriah untuk
mengenal orang yang dengan sengaja menyembunyikan diri, karena penyamaran
lahirlah adalah pekerjaan yang mudah sekali dilakukan.
Tetapi justru karena Ki Gede
Pemanahan sedang mencari sesuatu pada tamunya, ia kemudian tergagap ketika
tiba-tiba saja Kiai Gringsing telah berdiri di sampingnya sambil berdesis,
“Maaf, Ki Gede Pemanahan, bahwa aku dan Adi Sumangkar telah mengganggu Ki Gede
yang sedang beristirahat.”
“Tidak, tidak,” jawab Ki Gede
terputus-putus, “silahkan. Silahkan, Kiai,” jawab Ki Gede Pemanahan.
Ia akan mencoba bangkit,
tetapi ditahan oleh Kiai Gringsing sambil berkata, “Jangan, Ki Gede. Sebaiknya
Ki Gede tetap berbaring. Agaknya Ki Gede benar-benar memerlukan istirahat
sepenuhnya.”
Ki Gede mengurungkan niatnya.
Namun terasa bahwa nafasnya telah memburu. Dengan sekuat tenaga ia mencoba
menahan diri dan mengatur pernafasannya.
Tetapi agaknya Ki Gede tidak
segera berhasil. Bahkan terasa seakan-akan nafasnya menjadi sesak.
Kiai Gringsing melihat gejala
itu. Maka katanya kemudian sambil meraba tangan Ki Gede Pemanahan,
“Berbaringlah seenaknya, Ki Gede. Ki Gede harus beristirahat lahir dan batin.
Jangan memaksa diri berbuat sesuatu yang memerlukan tenaga. Baik tenaga bagi
badan wadag, maupun tenaga bagi batin Ki Gede.”
Ki Gede menggeleng lemah.
Jawabnya di antara deru nafasnya, “Tidak, Kiai, aku tidak berbuat apa-apa. Aku
hanya berusaha untuk bangkit. Itu pun telah aku urungkan.”
“Itu adalah gerak lahiriah,”
sahut Kiai Gringsing.
“Lalu maksud Kiai?”
“Apakah Ki Gede tidak sedang
memikirkan sesuatu yang dapat merampas banyak tenaga?”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Agaknya pertanyaan Kiai Gringsing itu adalah
pertanyaan yang wajar. Namun bagi Ki Gede Pemanahan, pertanyaan itu bagaikan
suatu peringatan, bahwa ia tidak perlu mencari sesuatu selain yang nampak oleh
matanya. Sesuatu yang tidak kasat mata.
Ternyata bukan Ki Gede
Pemanahan saja yang dapat merasakan sentuhan serupa. Ki Juru Martani dan Ki
Sumangkar pun merasakan pula peringatan yang lembut itu.
Perlahan-lahan Ki Gede
Pemanahan mulai dapat menguasai pernafasannya kembali. Tanpa disadarinya ia
mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Katanya, “Kiai. Bukankah aku
tidak berbuat apa-apa dan tidak memikirkan apa-apa. Tentu saja aku tidak dapat
membuktikan bahwa aku sedang mencoba mengosongkan perasaan dan pikiranku.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk pula. Jawabnya, “Syukurlah. Aku cemas bahwa Ki Gede Pemanahan
terlampau berpikir tentang putranda. Aku sudah mendengar dari Raden Sutawijaya
apa yang telah terjadi.”
“O,” Ki Gede yang tengah
berbaring itu mengerutkan keningnya. Sesuatu bergetar di dalam dirinya. Bahkan
ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah benar yang dimaksud Kiai Gringsing itu
seperti yang dikatakannya. Karena aku terlampau memikirkan Sutawijaya atau
memikirkan teka-teki tentang diri orang tua itu?”
Ki Juru Martani dan Ki
Sumangkar pun menarik nafas panjang. Mereka juga tergetar oleh kata-kata Kiai
Gringsing. Seolah-olah ia ingin mengarahkan persoalan yang tidak nampak oleh
indra itu pada Raden Sutawijaya yang memang sedang dibelit oleh persoalan yang
rumit.
Sementara itu, maka Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar pun telah dipersilahkan duduk di atas sebuah
dingklik kayu di sebelah pembaringan Ki Gede Pemanahan. Ki Juru Martani yang
duduk di tepi pembaringan itu pun kemudian berkata, “Kiai Gringsing. Menurut
pendengaran kami, Kiai adalah seorang yang memiliki kemampuan untuk mengobati
berbagai macam penyakit. Itulah sebabnya kami mengundang Kiai mengunjungi
Mataram, justru karena Ki Gede Pemanahan berada dalam keadaan yang nampaknya
semakin lama menjadi semakin gawat.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Sebenarnyalah yang aku lakukan
sekedar berusaha seperti yang sudah sering aku katakan. Segala sesuatunya
tergantung kepada Tuhan Yang Maha pengasih. Jika Tuhan berkenan, maka mudah-mudahan
penyakit yang aku obati itu dapat sembuh. Tetapi bahwa pada suatu saat, aku pun
dapat gagal jika usahaku tidak sejalan dengan guratan kehendak Yang Maha
Kuasa.”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk pula. Dipandanginya wajah Ki Gede yang pucat. Namun nampak
pada wajah itu sesuatu yang bergejolak di dalam hati.
“Apakah ada sesuatu yang akan
kau katakan, Adi Pemanahan, atau barangkali sebuah pertanyaan?”
Ki Gede Pemanahan memandang
wajah Ki Juru Martani. Namun kemudian ia menggeleng lemah, “Tidak, Kakang. Aku
tidak ingin mengatakan dan menanyakan sesuatu.”
“Jika demikian, silahkan Kiai.
Kiai dapat melihat keadaan Ki Gede Pemanahan. Silahkan berbuat sesuatu,
mudah-mudahan yang Kiai lakukan itu akan berguna.”
Kiat Gringsing termangu-mangu
sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk sekali lagi. Katanya, “Aku
akan berusaha, Ki Juru. Tetapi Ki Gede Pemanahan pun harus membantu aku
berusaha sebaik-baiknya.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Jawaban Kiai Gringsing itu telah menyentuh perasaannya pula. Seakan-akan ia
dihadapkan pada sebuah cermin. Dan ia melihat dirinya sendiri yang nampaknya
sedang berputus asa.
Namun Ki Gede Pemanahan tidak
segera menyahut. Tetapi tatapan matanya yang sayu bagaikan tersangkut pada atap
bilik itu.
Kiai Gringsing pun kemudian
mendekatinya. Perlahan-lahan ia meraba-raba pergelangan tangan Ki Gede
Pemanahan. Kemudian meraba dadanya dan lambungnya.
Ki Gede masih saja berbaring
diam. Dibiarkannya Kiai Gringsing mengamati seluruh keadaannya. Dari ujung
kakinya sampai ke ujung rambutnya.
Kiai Gringsing merasa betapa
tubuh Ki Gede itu bergetar oleh debar di dalam diri Ki Gede Pemanahan. Namun
juga karena kelemahan yang semakin mencengkam tubuh yang menjadi sangat lemah
itu.
Sementara itu, luka di tubuh
Ki Gede Pemanahan sendiri sebenarnya sudah dapat dikatakan sembuh sama sekali.
“Yang menyebabkannya sakit
bukannya karena luka yang tergores di wadagnya itu,” berkata Kiai Gringsing di
dalam hatinya, “tetapi justru yang batin, karena luka wadagnya itu sebenarnya
sudah sembuh.”
Karena itulah maka Kiai
Gringsing kini menghadapi persoalan yang lebih rumit dari penyakit yang biasa
dihadapinya.
Ki Juru Martani yang kemudian
duduk di atas dingklik kayu dan membiarkan Kiai Gringsing duduk di sisi Ki Gede
Pemanahan di tepi pembaringannya, memperhatikan semua yang dilakukan oleh Kiai
Gringsing dengan saksama. Ia melihat dengan tajamnya, sentuhan tangan Kiai
Gringsing.
Sejenak kemudian Kiai
Gringsing pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Ki Juru Martani
sambil berkata, “Ki Juru. Sebagian terbesar obat bagi Ki Gede Pemanahan justru
berada ada di dalam diri Ki Gede sendiri. Mudah-mudahan Ki Gede dapat
memahaminya.”
Ki Gede Pemanahan yang
terbaring itu pun berkata, “Mungkin keadaanku memang dipengaruhi oleh
perkembangan jiwaku di saat terakhir. Tetapi bukankah yang wadag ini
dipengaruhi pula oleh pengobatan yang wadag pula.”
“Benar, Ki Gede,” berkata Kiai
Gringsing, “tetapi bahwa yang wadag itu sangat dipengaruhi oleh yang halus,
agaknya Ki Gede tentu sudah mengetahuinya pula.”
Tiba-tiba saja Ki Gede
Pemanahan tersenyum. Lalu, “Jika demikian, maka kau adalah seorang dukun yang
sebenarnya pandai. Kau melihat bahwa wadagku sudah tidak mampu lagi mengatasi
kelemahan jiwaku. Dan itulah yang kau lihat sekarang ini.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Juru Martani sejenak, lalu katanya, “Tentu bukan demikian, Ki Gede. Bukankah
yang wadag dan yang halus itu saling mempengaruhi dan saling mendorong selama
masih ada keserasian, keseimbangan nalar dan budi.”
“Benar, Kiai,” jawab Ki Gede,
“tetapi nalar dan budi yang pribadi kadang-kadang tidak dapat melepaskan diri
dari hubungan dalam bebrayan yang luas. Mungkin dengan mementingkan diri
sendiri kita dapat melepaskan pengaruh lingkungan kita. Tetapi bahwa di dalam
bebrayan itu kita diselubungi oleh kepentingan yang saling mengisi, yang
mementingkan diri sendiri dan yang nampaknya dipengaruhi oleh pertimbangan
pengaruh lingkungan tetapi yang sebenarnya juga karena dorongan kepentingan
sendiri semata-mata, bahkan yang nampaknya sebuah pengorbanan bagi sesama.
Tetapi arti yang sebenarnya adalah pamrih yang terselubung.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Sekilas dipandanginya wajah Ki Juru Martani dan Ki Sumangkar yang
menegang. Namun kemudian jawabnya, “Ki Gede. Tidak ada hubungan yang dapat
lepas sama sekali dari kepentingan sendiri. Pengorbanan yang tulus bagi sesama
memang harus dilandasi dengan perbuatan yang tanpa pamrih. Namun itu adalah
jangkauan yang seperti Ki Gede katakan, jauh sekali adanya, sejauh bintang yang
bergayutan di langit. Meskipun demikian, seperti kita meyakini ada bintang yang
gemerlapan itu, maka kita pun meyakini bahwa pengorbanan yang tulus itu
sebenarnya memang ada.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Tetapi
pengorbanan yang tulus tergantung sekali pada arah dan landasannya.”
“Kiai,” berkata Ki Juru
kemudian, “jika arah dan landasam itu kuat, maka apakah yang tulus itu dapat
merupakan beban pada yang wadag.”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Itu adalah tangan kekuasaan yang tidak kasat mata. Tetapi
menurut jangkauan nalar yang picik seharusnya tidak. Namun bahwa yang pasrah
itu dapat mengabaikan usaha lahiriah itulah agaknya yang dapat membebani
wadagnya. Tetapi seperti yang sudah aku katakan semuanya tergantung sekali
kepada tangan Yang Maha Kasih adanya.”
“Dan Kiai melihat yang manakah
yang Kiai hadapi sekarang?”
Wajah Kiai Gringsing menegang.
Dipandanginya wajah Ki Juru sejenak, lalu katanya, “Jawaban itu ada pada Ki
Gede Pemanahan sendiri.”
Mereka yang ada di dalam bilik
itu melihat Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, “Pengorbanan yang tidak
berarti seharusnya tidak disebut sebagai pengorbanan. Ia hilang seperti
hilangnya garam di dalam lautan. Tetapi jika itu memberikan kepuasan jiwa, maka
apakah salahnya jika itulah yang diberikannya.”
“Meskipun demikian, kita dapat
mengadakan pertimbangan. Langkah yang manakah yang akan lebih berarti,” sahut
Kiai Gringsing.
“Adakah dalam keadaan
tertentu, di dalam gejolak jiwa yang miskin akan keseimbangan, ada juga
pertimbangan itu? Kiai, apakah juga memberikan arti yang lebih jika seseorang
menghindar dari dirinya sendiri?”
Pertanyaan itu telah
mengejutkan Kiai Gringsing. Sejenak wajahnya menjadi tegang dan kerut-merut di
keningnya menjadi bertambah dalam.
Namun semua itu hanya terjadi
dalam beberapa kejap saja. Wajah itu pun kemudian menjadi pulih kembali seperti
tidak terjadi sesuatu.
Ki Juru Martani, Ki Gede
Pemanahan, dan Ki Sumangkar melihat dengan jelas perubahan wajah Kiai
Gringsing. Tetapi mereka sama sekali tidak memberikan tanggapan apa pun juga.
“Aku tidak mengerti maksud Ki
Gede Pemanahan,” beikata Kiai Gringsing kemudian, “adakah seseorang dapat
menghindari dari dirinya sendiri? Dan apakah hubungannya dengan keadaan Ki Gede
Pemanahan sekarang ini?”
Ki Gede Pemanahan tersenyum.
Namun wajahnya yang pucat menjadi semakin pucat. Katanya perlahan-lahan, “Kiai.
Mungkin Kiai berpendapat bahwa sebaiknya aku memberikan arti yang lebih besar
bagi hidupku. Jika aku tidak membiarkan diriku hanyut dalam keadaanku sekarang,
maka langkah yang akan aku ambil tentu memberikan lebih banyak arti dari pada
keadaanku sekarang.”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya.
“Kiai. Aku tidak dapat
menghindar dari perasaan yang mencengkam. Dan inilah kelemahanku sekarang ini.
Namun kadang-kadang seseorang akan menjadi lebih berarti jika ia tidak
memberikan arti apa-apa lagi bagi masa-masa selanjutnya.”
“Ah. Itu mirip dengan sikap
putus asa. Memang yang tidak berbuat sesuatu itu lebih bermanfaat dari langkah
yang salah. Namun tidak sebaiknya usaha yang dipertimbangkan dengan masak itu
terhenti sama sekali.”
“Kiai mungkin benar. Tetapi
bagaimana dengan pertanyaanku? Apakah akan memberikan arti yang lebih jika
seseorang menghindar dari dirinya sendiri?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Tentu tidak.”
“Tetapi, jika jalan itu
ditempuh pula?” desak Ki Gede Pemanahan.
Kiai Gringsing masih
menggeleng, “Aku kira tidak ada seorang pun yang akan melakukannya dengan
tujuan yang pasti.”
“Maksud Kiai, jika itu terjadi
adalah semata-mata karena tidak ada lagi pegangan?”
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Dan Ki Gede Pemanahan mendesaknya pula, “Apakah itu juga berarti
bahwa sikap itu mirip dengan sikap putus asa?”
Perlahan-lahan kepala Kiai
Gringsing terangguk kecil. Suaranya menjadi datar dan dalam, “Ki Gede benar.
Jika ada orang yang menghindar dari dirinya sendiri, maka orang itu sudah
berada di ambang pintu keputus-asaan. Setidak-tidaknya orang itu telah
kehilangan cita-citanya.”
Ki Juru Martani yang
mendengarkan pembicaraan itu kemudian menyela, “Memang seorang dapat kehilangan
cita-citanya oleh sesuatu sebab. Tetapi seperti yang Kiai harapkan dari Adi
Pemanahan, dapatkah orang yang kehilangan cita-citanya itu dianggap
menyia-nyiakan umurnya sendiri karena dengan demikian hidupnya seakan-akan
telah terhenti.”
Kiai Gringsing mengangkat
kepalanya. Lalu katanya, “Ki Juru. Ada cita-cita kewadagan, dan ada cita-cita
yang lebih luhur lagi. Seorang yang mengasingkan diri dan bertapa di atas bukit
yang sepi, adalah orang yang tidak lagi mempunyai cita-cita kewadagan. Tetapi
ia justru sedang tekun berusaha untuk mewujudkan cita-cita yang lebih luhur
lagi.”
“Tetapi itu adalah sikap
seorang pendeta,” tiba-tiba Sumangkar pun ikut berbicara, “kita dapat mengerti
bahwa itu adalah cara yang benar bagi seorang pendeta. Tetapi tidak bagi
seorang ksatria. Pengabdian kita memang berbeda meskipun bukan berarti bahwa
ksatria dapat mengabaikan pendekatan rohani bagi masa abadinya. Namun setiap
pengabdian adalah jasa dan ujud dari kasih sesama.”
Kiai Gringsing memandang Sumangkar
sesaat. Kemudian jawabnya, “Adi Sumangkar. Apakah seseorang dapat menempatkan
dirinya dalam pilihan, apakah ia seorang ksatria atau seorang pendeta atau
ulama, seseorang tidak akan dapat menyebut dirinya sendiri dan menempatkan
kakinya di mana ia harus berdiri pada saat ia lahir. Kelahiran belum
menunjukkan jalan hidup yang akan ditempuhnya.”
“Tetapi lingkungannya akan
memberikan warna bagi kelahiran itu, Kiai,” sahut Sumangkar.
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Bagiku tidak. Kelahiran tidak melahirkan perbedaan apa pun
juga. Kita dapat menyebutnya justru setelah seseorang melakukan sesuatu dengan
menempatkan pilihannya.”
Ki Gede Pemanahan yang
terbaring di pembaringannya memotong kata-kata Kiai Gringsing, “Tetapi Kiai,
yang kadang-kadang menumbuhkan pertanyaan dan kekaburan sikap adalah mereka
yang sudah menempuh jalan hidupnya, tetapi tiba-tiba saja ia kehilangan arah
dan mencari pegangan-pegangan baru yang goyah.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Gede yang pucat. Kemudian sambil memijit tangan Ki Gede yang lemah, Kiai
Gringsing berkata, “Setiap pribadi mungkin sekali mengalami perkembangan.
Mungkin perkembangan yang tumbuh semakin subur, tetapi perkembangan sikap yang
surut. Tetapi bahwa perubahan dapat terjadi, kita tidak akan dapat
mengingkarinya.”
“Tentu ada sesuatu yang
memaksa perubahan itu terjadi. Suatu kejutan atau persoalan-persoalan yang
tidak dapat lagi diatasinya atau penyesalan yang tidak ada habisnya.”
Hampir di luar sadarnya Kiai
Gringsing menyahut, “Tidak. Tidak selalu, Ki Gede.”
Jawaban yang tiba-tiba itu
memang sangat menarik perhatian. Apalagi jawaban itu terlontar dengan
serta-merta dari wajah yang menegang.
Namun wajah Kiai Gringsing itu
segera menjadi kendor. Sebuah senyum membayang di bibirnya. Katanya, “Aku kira
tidak selalu demikian. Memang mungkin, kejutan perasaan dan persoalan yang
tidak dapat lagi diatasi dapat mendorong seseorang untuk berpaling dari
sikapnya yang semula. Tetapi tidak setiap perubahan ditumbuhkan oleh sebab yang
serupa.”
“Tentu tidak, Kiai,” Ki Juru
Martani-lah yang menyahut. “Memang ada alasan lain yang membuat seseorang
merubah pandangan dan cara hidupnya. Mungkin karena usianya, mungkin karena
kesadaran akan arti dan nilai-nilai yang lain dari pandangan hidup yang dianut
sebelumnya, atau hal-hal lain lagi.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Ternyata kita telah terlibat dalam
pembicaraan yang tidak ada ujung pangkalnya. Bukankah kehadiranku di sini
sekedar untuk mengobati sakit Ki Gede Pemanahan, sedang Adi Sumangkar masih
akan mengucapkan terima kasihnya karena Ki Gede tidak berbuat apa-apa atasnya
selagi Ki Gede masih menjadi seorang panglima di Pajang atas kesalahannya?”
Ki Gede Pemanahan memandang
Sumangkar sejenak. Katanya, “Ia sudah mengucapkan terima kasih pada saat itu.
Pada saat aku masih berada di Pajang. Ia mengucapkan terima kasih pula ketika
aku menyerahkan kembali senjatanya yang aneh, yang merupakan kembarnya senjata
Macan Kepatihan. Karena itu, ia tidak perlu menambah dengan ucapan terima kasih
yang lain. Bahkan sekarang akulah yang harus menyampaikan terima kasih
kepadanya, karena ia telah ikut serta bersama Sutawijaya menembus ke dalam
sarang Panembahan Agung yang tidak terlawan itu.”
Tetapi Ki Sumangkar
menggelengkan kepalanya, “Aku tidak banyak berbuat apa-apa. Dan Panembahan
Agung bukannya orang yang tidak terlawan. Jika Ki Gede Pemanahan sempat
menjumpainya, maka Ki Gede pun akan dapat menundukkannya.”
Ki Gede menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tanpa akan sulit bagi Sutawijaya untuk dapat keluar lagi
dari jebakan yang mereka pasang. Aku sudah mendengar semuanya.”
Ki Sumangkar tidak menjawab.
Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
Namun dalam pada itu, Ki Gede
Pemanahan pun berkata seterusnya, “Dan di situlah Ki Sumangkar dan Kiai
Gringsing menunjukkan, bahwa bagaimana pun juga, kalian masih tetap seorang
ksatria. Kalian mengabdikan diri kalian bagi kesejahteraan sesama.”
“Ah,” desis Kiai Gringsing,
“kita akan terlibat lagi dalam pembicaraan yang tidak berujung pangkal.”
“Bukan maksudku, Kiai. Tetapi
bahwa perubahan sikap di dalam setiap pribadi tidak selalu merubah pandangan
hidup seseorang. Bagaimana pun juga Kiai Gringsing sampai saat ini masih juga
selalu berjuang untuk membasmi kejahatan. Justu sebagai suatu pengabdian yang
tulus.”
“Bagiku, yang aku lakukan
bukannya suatu perubahan sikap atau cara pengabdian. Sejak masa mudaku, aku
telah menempuh jalan yang sama.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-angguk. Sekilas ditatapnya wajah Ki Juru Martani. Namun Ki Gede
Pemanahan itu menjadi heran. Agaknya ada sesuatu yang menarik perhatian Ki Juru
Martani.
Karena itulah, Ki Gede
Pemanahan pun segera berkata untuk menarik perhatian Kiai Gringsing, “Maksudku,
Kiai. Kiai dapat memberikan pengabdian dengan menolong sesama dengan ilmu obat-obatan
yang Kiai miliki. Tetapi pada suatu saat Kiai menyelamatkan seseorang dari
tangan-tangan yang hitam dengan ilmu olah kanuragan yang mantap.”
“Ah. Sudahlah, Ki Gede,”
berkata Kiai Gringsing sambil tersenyum. “Tetapi apakah aku sudah dapat mulai dengan
suatu usaha untuk berbuat sesuatu atas Ki Gede Pemanahan? Mungkin aku masih
memerlukan beberapa jenis tumbuh-tumbuhan. Empon-empon atau akar-akaran.
Grandel dari akar, batang, kulit, daun sampai kepada bunga dan buahnya. Aku
harus melumatkannya dan mengambil airnya. Barangkali obat itu dapat menyejukkan
tubuh Ki Gede untuk sementara.”
Ki Gede tidak menyahut.
Sekilas dipandanginya Ki Juru Martani yang menarik nafas dalam-dalam. Namun
tampak pada wajahnya, bahwa sesuatu sedang bergejolak di dalam hatinya.
Ketika ia melihat Kiai
Gringsing masih saja memijit-mijit tubuh Ki Gede, maka tiba-tiba katanya,
“Kiai, jika Kiai memerlukan, biarlah Kiai menyuruh satu dua orang pelayan yang
barangkali juga mengerti serba sedikit tentang obat-obatan. Barangkali Kiai
tinggal menyebut jenisnya. Biarlah mereka mencarinya.”
Tetapi Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak boleh keliru, Ki Juru. Karena itu,
aku sendiri akan mencarinya meskipun pelayan itu dapat menyertaiku dan
menunjukkan kemana aku harus mencari di kebun belakang atau di pinggir sungai.”
Ki Juru Martani mengerti bahwa
Kiai Gringsing harus yakin bahwa dedaunan, akar-akaran dan barangkali
empon-empon atau jenis yang lain itu tidak boleh keliru. Namun hal itu ada
baiknya karena dengan demikian ia akan dapat berbicara dengan Ki Gede Pemanahan
tentang sesuatu yang sangat menarik perhatiannya atas Kiai Gringsing yang
dibayangi oleh rahasia pribadinya itu.
Karena itu, maka Ki Juru
Martani pun kemudian berkata kepada Kiai Gringsing, “Baiklah, Kiai. Jika memang
demikian, biarlah seseorang mengantar Kiai dan menunjukkan di mana Kiai
mendapat jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang Kiai perlukan.”
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing pun kemudin diantar oleh Ki Juru Martani keluar bilik itu setelah Ki
Gede Pemanahan menyebut seseorang yang akan dapat melayani Kiai Gringsing di
dalam memilih jenis dedaunan yang diperlukan. Oleh Ki Juru Martani maka
disuruhnya seorang pelayan memanggil orang yang diperlukannya dan kemudian
menyerahkannya kepada Kiai Gringsing. “Silahkan Kiai. Orang ini juga mengerti
serba sedikit tentang jenis-jenis dedaunan dan empon-empon yang dapat dijadikan
obat, sehingga barangkali ia akan dapat menunjukkan di mana Kiai harus mencari
obat-obatan itu.”
“Baik, Ki Juru. Mudah-mudahan
aku dapat menemukannya dan barangkali dapat sedikit menolong,” Kiai Gringsing
berhenti sejenak. Ada sesuatu yang akan dikatakannya. Tetapi agaknya Kiai
Gringsing ragu-ragu.
Ki Juru Martani adalah seorang
yang mempunyai tanggapan yang cukup tajam. Karena itu maka ialah yang kemudian
bertanya, “Kiai, apakah ada sesuatu yang akan Kiai katakan tentang Ki Gede
Pemanahan yang sedang sakit itu?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Ki Juru. Semuanya memang tergantung kepada kekuasaan
Tuhan Yang Maha Kuasa. Tetapi baiklah aku mengatakan kepada Ki Juru, bahwa
sakit Ki Gede Pemanahan sudah menjadi terlampau parah. Hanya karena Ki Gede
Pemanahan adalah seorang prajurit yang luar biasa dan mempunyai kelebihan yang
jauh melampaui ketahanan jasmaniah orang kebanyakan, maka Ki Gede Pemanahan
masih dapat berbicara dengan lancar dan bahkan masih dapat tersenyum dan
sedikit bergurau. Tetapi bagi manusia biasa yang lain, jika ia mengalami sakit
seperti itu, maka orang itu tentu sudah kehilangan segala kemampuan ketahanan
jasmaniahnya. Bahkan mungkin ia sudah kehilangan kesadaran dan harapan sama
sekali untuk dapat sembuh.”
Ki Juru Martani mengerutkan
keningnya. Sebenarnya ia pun sudah melihat kemungkinan serupa itu. Tetapi
keterangan Kiai Gringsing, seseorang yang khusus mempelajari masalah-masalah
serupa itu, menambah keyakinannya, bahwa Ki Gede Pemanahan berada di dalam
keadaan yang gawat. Dan seperti Kiai Gringsing, Ki Juru pun mengetahui bahwa
penyakit yang sebenarnya dari Ki Gede Pemanahan telah datang dari dirinya
sendiri.
“Kiai,” berkata Ki Juru, “aku
tahu kecemasan Kiai. Tetapi kita memang berwenang untuk berusaha. Adalah
goncangan perasaan yang tidak dapat dibayangkan telah melanda hati Ki Gede
Pemanahan. Ia adalah seorang prajurit bahkan seorang Panglima Wira Tamtama. Ki
Gede Pemanahan adalah orang yang paling disegani lawan di peperangan. Namun
agaknya kali ini persoalannya tidak dapat dihadapinya dengan pedang. Dengan
demikian maka Ki Gede pun telah dicengkam oleh kerisauan, kegusaran, dan
berbagai macam perasaan yang lain tanpa dapat disalurkannya keluar dari
dirinya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Demikianlah agaknya sehingga pengobatan yang
bersifat wadag harus disertai dengan pengobatan yang lain, yang barangkali Ki
Juru Martani jauh lebih mengerti daripadaku.”
“Bukan jauh lebih mengerti,
Kiai. Tetapi aku akan berusaha. Mataram sudah mulai nampak besar. Karena itu,
maka sebaiknya Ki Gede segera sembuh meskipun sifatnya hanya sekedar penundaan
waktu, agar ia dapat melihat Mataram dalam keseluruhan sebelum saat terakhir
itu benar-benar merenggutnya dari Tanah garapan yang besar ini.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Juru sejenak, lalu, “Kita akan berusaha bersama-sama. Baiklah aku mohon diri,
Ki Juru. Mudah-mudahan aku mendapatkan yang aku perlukan.”
Demikianlah Kiai Gringsing
kemudian meninggalkan halaman rumah Ki Gede Pemanahan. Kedua muridnya pun tidak
ditinggalkannya. Mereka berempat kemudian menuju ke sebuah kebun yang khusus
ditanami berbagai jenis pepohonan yang dapat dipergunakan untuk obat-obatan.
Sementara itu, Ki Juru Martani
telah kembali pula ke dalam bilik Ki Gede Pemanahan. Sekilas terngiang
kata-kata Kiai Gringsing tentang Ki Gede.
“Sebenarnyalah hanya karena ia
memiliki kelebihan dari orang kebanyakan sajalah maka ia masih sempat
tersenyum,” berkata Ki Juru di dalam hatinya. Namun dengan demikian kecemasan
yang sangat telah menggetarkan dadanya. Wajah yang pucat, mata yang redup, dan
kadang-kadang tanpa disadari telah terpejam sama sekali meskipun di saat yang
lain Ki Gede masih dapat berbicara dengan lancar dan tersenyum cerah.
Ki Juru pun kemudian duduk di
bibir pembaringan. Disentuhnya tubuh Ki Gede Pemanahan yang terasa sangat
dingin.
“Tubuh ini kadang-kadang
terasa sangat panas,” berkata Ki Gede Pemanahan, “tetapi kadang-kadang sangat
dingin.”
Ki Juru tidak segera menyahut,
sedang Ki Sumangkar duduk sambil termangu-mangu.
“Kakang Juru,” berkata Ki Gede
tiba-tiba, “aku melihat ada sesuatu yang sangat menarik perhatian Kakang pada
Kiai Gringsing. Apakah Kakang menemukan sesuatu adanya?”
Ki Juru mengerutkan keningnya,
lalu, “Adi. Aku memang melihat sesuatu. Selagi ia memijit-mijit tangan Adi
Pemanahan. Aku melihat sebuah goresan pada pergelangan tangannya. Goresan yang
mengingatkan aku kepada sesuatu yang pernah aku kenal, meskipun mungkin aku
tidak dapat mengambil kepastian bahwa yang pernah aku kenal itu adalah yang
tergores di tangan dukun tua itu.”
Wajah Ki Gede Pemanahan
menjadi tegang sejenak. Demikian pula Sumangkar. Mereka adalah orang-orang tua
yang memiliki pengetahuan yang luas dan pengenalan atas berbagai masalah yang
pernah terjadi di pusat pimpinan pemerintahan sejak akhir dari pemerintahan
Demak.
“Kakang Juru,” bertanya Ki
Gede Pemanahan, “apakah yang sudah Kakang lihat pada tangan Kiai Gringsing?”
“Adi,” berkata Ki Juru,
“ketika lengan baju Kiai Gringsing tersingsing sedikit, aku melihat guratan di
pergelangan tangannya.”
“Guratan apa Ki Juru?”
Sumangkar pun menjadi kurang sabar.
“Tidak begitu jelas. Tetapi
rasa-rasanya aku pernah mengenalnya.” Ki Juru berhenti sejenak, lalu, “Di
pergelangan tangan itu tergurat sebuah gambar cakra kecil, yang tersangkut pada
ujung cambuk.”
“Cakra,” hampir berbareng Ki
Sumangkar dan Ki Gede Pemanahan berdesis. Bahkan Ki Gede yang terkejut
mengangkat kepalanya. Namun Ki Juru dengan tenang menahannya dan berkata,
“Jangan bangkit, Adi. Keadaan Adi Pemanahan tidak memungkinkannya. Sebaiknya
Adi berbaring saja di pembaringan.”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian suaranya yang datar terdengar seolah-olah bergumam
di dalam mulutnya saja, “Bukankah sebuah cakra kecil di ujung cambuk itu
merupakan ciri dari sebuah perguruan?”
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam. Katanya, “Aku adalah orang yang sudah jauh lebih lama bergaul dengan
orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu. Tetapi, aku belum pernah
berkesempatan melihat cakra kecil yang tergores di pergelangannya. Bahkan aku
pernah melihat Kiai Gringsing membuka bajunya dan sama sekali tidak berusaha
menyembunyikan sesuatu pada dirinya.”
Ki Juru Martani termenung
sejenak. Lalu katanya, “Agaknya memang suatu kebetulan. Selama ini Ki Sumangkar
tidak menyangka bahwa di pergelangan tangan Kiai Gringsing tergores sebuah
guratan kecil itu. Atau mungkin kemampuan Kiai Gringsing dapat menutup, atau
setidak-tidaknya menyamarkan guratan itu sehingga tidak begitu jelas. Tetapi
karena ia mengenakan bajunya saat ini, maka ia tidak berusaha menyamarkannya.
Dan adalah kebetulan sekali bahwa aku sempat melihatnya.”
“Kakang,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “Jika aku tidak salah ingat, atau barangkali karena aku sudah
menjadi semakin lemah ini, ingatanku pun menjadi lemah pula, bahwa ciri yang
demikian itu adalah ciri perguruan Empu Windujati.”
Ki Juru Martani tersenyum.
Dipandangnya Sumangkar sejenak, lalu ia pun bergumam, “Ingatanmu masih cerah.
Menurut ingatanku pun demikian. Nama itu adalah nama yang pernah mengumandang
di seluruh daerah Demak pada masa-masa terakhir. Tetapi jika benar, Kiai Gringsing
mempunyai hubungan dengan perguruan Empu Windujati, maka kita akan kembali ke
dalam suatu teka-teki yang melingkar. Adakah seseorang yang tahu pasti,
siapakah Empu Windujati?”
“Pangeran Windupati,” sahut Ki
Sumangkar.
Tetapi Ki Juru Martani bertanya
pula, “Pangeran Windupati adalah nama yang kita kenal kemudian. Tetapi Pangeran
Windupati pun masih harus dicari.”
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi tabir yang menyelubungi
Pangeran Windupati tidak segelap yang kini menyamarkan Kiai Gringsing. Kita
sama sekali tidak dapat membayangkan, siapakah sebenarnya orang itu. Baru
ketika Ki Juru melihat sebuah guratan yang melukiskan sebuah cakra di ujung
sebuah cambuk, maka kita sedikit dapat menghubungkannya dengan orang lain
kecuali kedua muridnya.”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk. Seperti kepada dirinya sendiri ia bergumam, “Ada gelar lain
yang sering dipergunakan Pangeran Windupati. Ketika ia masih menjadi seorang
senapati di masa terakhir Kerajaan Majapahit ia bergelar Kebo Kumara.”
“Ya. Dan kekecewaan demi
kekecewaan telah mendesaknya ke sebuah padepokan kecil. Kegagalan beberapa
orang pemimpin pemerintahan Majapahit, ketamakan dan nafsu pribadi telah
membuatnya kehilangan harapan bagi masa datang dari sebuah negeri yang pernah
menjadi lambang kesatuan Nusantara yang besar ini,” sahut Ki Gede Pemanahan
perlahan-lahan. Lalu, “Tetapi aku kira, jika yang kau lihat benar, Kakang,
sebuah cakra diujung cambuk, maka kemungkinan itu adalah dekat sekali. Tetapi
cakra itu harus bergerigi sembilan ditambah satu.”
“Ya sepuluh,” desis Ki
Sumangkar, “ada sepuluh wewaler yang tidak boleh dilakukan oleh pengikut Empu
Windujati.”
Ketiga orang tua itu termenung
sejenak. Mereka mencoba mengingat-ingat, apa saja yang pernah mereka kenal dari
Empu Windujati itu.
Tetapi ternyata pengenalan
mereka tidak lebih dalam dari yang pernah dikenal oleh Ki Argapati dari Tanah
Perdikan Menoreh. Dalam keadaan yang serupa. Ki Argapati pun pernah melihat
lukisan di pergelangan tangan Kiai Gringsing itu. Dan ia pun langsung
menghubungkan orang tua itu dengan nama Empu Windujati. Tetapi Kiai Gringsing
seakan-akan sama sekali tidak pernah mengenal nama Empu Windujati.
Meskipun demikian, namun Ki
Juru Martani kemudian berkata, “Aku akan berusaha untuk mengenal Kiai Gringsing
lebih banyak lagi lewat guratan di pergelangan tangannya itu. Satu-satunya ciri
yang dapat kita ketemukan itu harus kita manfaatkan sebaik-baiknya.
Ki Gede Pemanahan yang sedang
sakit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Ki Sumangkar merenung sambil
menundukkan wajahnya. Ia ingin dapat melihat, apa yang telah dilihat oleh Ki
Juru Martani. Agaknya, Ki Juru memang mempunyai ketajaman melampaui dirinya.
Meskipun ia pernah bergaul lebih lama dengan Kiai Gringsing, tetapi ia tidak
pernah berkesempatan untuk melihat guratan di pergelangan tangan itu.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
dan kedua muridnya diantar oleh seorang yang sedikit banyak juga mengenal
berbagai jenis pepohonan dan dedaunan yang dapat dipergunakan sebagai obat, sedang
sibuk mencari di antara berbagai macam jenis tanaman tersebut. Agaknya Kiai
Gringsing tidak mendapatkan kesukaran karena jenis tanaman itu cukup banyak.
Apa yang disebutnya, orang yang melayaninya dapat menunjukkannya. Hanya
kadang-kadang ada sejenis daun yang mereka agak lama memperbincangkannya karena
mereka mempunyai istilah yang berbeda untuk menyebutnya. Namun setelah mereka
menemukan daunnya, maka mereka pun segera sependapat.
Tetapi di dalam penggunaanya,
reramuan dan campurannya, pengetahuan Kiai Gringsing ternyata jauh lebih luas
dari orang yang melayaninya. Karena itulah maka orang yang melayani menjadi
sangat senang karena dengan demikian ia dapat menambah pengetahuannya.
Apalagi Kiai Gringsing agaknya
memang tidak merahasiakan beberapa jenis reramuan. Hanya jika memungkinkan
timbulnya bahaya dari reramuan itu, Kiai Gringsing tidak memberitahukannya
lebih banyak lagi. Misalnya reramuan yang harus dicampur dengan berbagai macam
bisa atau racun. Yang apabila campurannya tidak mapan dalam perbandingan yang
benar, akan dapat membuat obat itu justru sangat berbahaya.
Dengan demikian maka Kiai
Gringsing pun bekerja dengan tekun dilayani oleh orang yang telah ditunjuk oleh
Ki Gede Pemanahan dibantu oleh kedua muridnya. Mereka menyusup di antara berbagai
jenis dedaunan yang memang ditanam di tempat tersendiri untuk kepentingan
obat-obatan.
Selama itu, Ki Demang Sangkal
Putung lebih senang duduk sambil minum dan saling berceritera dengan beberapa
orang yang mengawaninya. Mereka berceritera tentang usaha membuat saluran air.
Membuat bendungan dan menyusun hubungan antara padesan yang satu dengan yang
lain.
“Tetapi pengalamanku tidak
lebih dari menyusun tata padesan yang kecil dan sempit,” berkata Ki Demang
kepada kawannya berbicara. Beberapa orang yang datang sengaja menemaninya.
“Tetapi pengalaman Ki Demang
sangat berguna bagi kami yang baru mulai ini,” berkata salah seorang dari
mereka yang menemaninya.
“Ki Sanak baru mulai di
Mataram ini. Tetapi sebelumnya Ki Sanak tentu sudah memiliki pengalaman yang
luas. Pengalaman mengenai tata kota dan padesan.”
Orang itu tersenyum. Katanya,
“Aku sebelumnya hanya seorang prajurit di medan perang. Sekarang aku harus
mempelajari seluk beluk tata kota sehingga hal ini benar-benar merupakan hal
yang baru bagiku.”
Ki Demang memandang orang itu
sambil tersenyum. Kepalanya kemudian terangguk-angguk sambil berkata,
“Bagaimanapun juga, Ki Sanak akan segera menguasai persoalan yang Ki Sanak
hadapi.”
Dengan demikian maka
pembicaraan mereka itu bergeser dari satu persoalan ke persoalan yang lain. Dan
satu kesulitan kepada yang lain yang masih harus diatasi untuk menyusun kota
Mataram yang luas dan ramai.
“Mataram harus memenuhi syarat
sebagai kota yang memuat segala macam kegiatan. Mataram harus sedikitnya
menyamai Pati dan bahkan menyamai Pajang,” berkata orang itu.
Ki Demang mengerutkan
keningnya. Sedikit banyak ia juga merasakan nafas persaingan antara Mataram,
Pati yang sudah lebih dahulu berkembang dan ramai, dan Pajang sendiri sebagai
pusat pemerintahan.
Namun rencana perkembangan
kota Mataram memang mempunyai persoalannya tersendiri. Meskipun demikian
orang-orang yang bekerja tanpa mengenal lelah itu agaknya akan segera dapat
mengatasinya. Daerah yang ternyata masih tergenang air di musim basah, harus
mendapatkan cara yang tepat menyalurkan air sehigga daerah itu menjadi kering.
Tetapi sebaiknya daerah persawahan yang luas harus mendapat pengairan yang ajeg
di musim kering. Dengan demikian maka daerah itu akan dapat ditanami padi
sepanjang tahun. Tidak hanya di musim hujan saja.
Tetapi juga penguasaan banjir
dan tanggul memerlukan pemikiran. Sungai yang nampaknya tidak begitu besar,
bahkan di musim kering airnya tidak lebih tinggi dari mata kaki di musim hujan
dapat mendatangkan bencana jika tidak dipersiapkan sebaik-baiknya untuk
menguasainya.
Pembicaraan itu pun kemudian
terputus ketika kemudian Kiai Gringsing dan kedua muridnya datang menghampiri
mereka yang sedang sibuk berbicara tentang tata kota. Kiai Gringsing agaknya
sudah mendapat bahan obat-obatan secukupnya, sehingga ia tinggal meramunya dan
kemudian membawanya kepada Ki Gede Pemanahan.
“Bagaimana dengan penyakit Ki
Gede itu, Kiai?” bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia hanya menjawab, “Aku akan segera mencoba mengobatinya.
Mudah-mudahan, mudah-mudahan saja aku dapat berguna di sini.”
Ki Demang mengerutkan
keningnya. Ia merasakan nada yang kurang meyakinkan pada kata-kata Kiai
Gringsing itu. Namun Ki Demang tidak bertanya lebih banyak lagi.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
pun kemudian tidak segera kembali ke dalam bilik Ki Gede, ia masih harus meramu
obatnya. Karena itu, maka ia pun kemudian berpesan agar disampaikan kepada Ki
Gede, bahwa ia masih harus menyiapkan obatnya lebih dahulu.
Karena itulah maka yang kemudian
dipersilahkan memasuki bilik Ki Gede yang sedang sakit itu adalah Ki Demang dan
kedua murid Kiai Gringsing.
Tetapi mereka tidak terlalu
lama berada di dalam bilik itu, karena Ki Demang pun kemudian menyadari bahwa
Ki Gede harus banyak beristirahat.
“Ki Demang,” berkata Ki Gede
Pemanahan kemudian, “aku sangat berterima kasih atas kunjungan ini. Kita adalah
tetangga yang dekat, Sangkal Putung terletak tidak begitu jauh dari Mataram
yang sedang berkembang ini. Karena itu pada suatu saat kita tentu akan banyak
bekerja bersama-sama untuk kepentingan bersama pula.”
“Ah,” desah Ki Demang, “tentu
ada perbedaan. Aku adalah seorang Demang di Sangkal Putung. Aku sudah tidak
tahu lagi, berapa keturunan dari leluhurku yang telah menjabat tugas ini. Sejak
pemerintahan masih belum berpindah dari Demak. Dan untuk seterusnya Sangkal
Putung akan tetap menjadi sebuah kademangan yang kecil seperti sekarang.
Agaknya berbeda sekali dengan Mataram. Bukan karena rakyat Sangkal Putung tidak
mau bekerja memperluas tanah garapan dengan membuka hutan di sekitarnya, tetapi
di Sangkal Putung tidak ada seseorang seperti Ki Gede Pemanahan yang disuyuti
oleh rakyat Pajang dan tidak ada anak muda seperti Raden Sutawijaya yang
bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, putra angkat Kanjeng Sultan di Pajang.
Nama-nama itulah yang memungkinkan Mataram akan menjadi besar dan berkembang
terus.”
Ki Gede tersenyum. Dan Ki
Demang berkata seterusnya, “Apalagi di sini ada Ki Juru Martani. Meskipun
secara resmi Ki Juru bukan seorang pemimpin di pusat pemerintahan Pajang,
tetapi pengaruhnya atas Kanjeng Sultan dan bahkan atas para pemimpin di Pajang
cukup besar.”
“Kau memuji, Ki Demang. Terima
kasih. Tetapi bagaimana pun juga Sangkal Putung adalah daerah yang penting.
Baik bagi Pajang sekarang, maupun jika Mataram kelak berkembang,” sahut Ki Juru
Martani.
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu katanya, “Yang dapat kami lakukan di Sangkal Putung adalah
pasrah diri kepada kemungkinan yang bakal berkembang di hari depan atas Pajang
dan Mataram.”
“Kenapa?” Ki Gede Pemanahan
tiba-tiba saja bertanya.
Ternyata pertanyaan itu agak
membingungkan Ki Demang Sangkal Putung, namun ia pun kemudian menjawab,
“Bukankah akan menjadi kenyataan bahwa Mataram berkembang di samping Pajang?”
Ki Juru tertawa kecil.
Katanya, “Benar, Ki Gede. Memang kita tidak dapat melepaskan kenyataan itu.”
“Karena itu, bagi daerah
sekecil Sangkal Putung tidak akan dapat berbuat banyak, dan apalagi ikut
menentukan apa yang bakal terjadi.”
Ki Juru Martani tidak menjawab
lagi. Tetapi ia menyadari bahwa hubungan yang dingin antara Mataram dan Pajang
tentu sudah terasa di seluruh daerah yang terutama berada di jalur lurus antara
Pajang dan Mataram.
Demikianlah Ki Demang Sangkal
Putung pun kemudian minta diri untuk memberikan kesempatan Ki Gede
beristirahat. Demikian pula Ki Sumangkar dan Ki Juru pun meninggalkan bilik itu
pula.
Sementara Ki Sumangkar dan Ki
Demang pergi ke bilik mereka, maka Ki Juru Martani pun pergi mendapatkan Kiai
Gringsing yang baru melumatkan beberapa jenis dedaunan di atas sebuah pipisan.
Ketika Ki Juru Martani
mendekat, maka sambil tersenyum Kiai Gringsing berkata, “Apakah Ki Juru juga
ingin menjadi seorang dukun seperti aku?”
“Tentu, Kiai. Aku ingin dapat
mengobati orang-orang yang sakit meskipun hanya pertolongan untuk sementara.”
“Mungkin jalan kita memang
berbeda, Ki Juru. Aku mempunyai sedikit pengetahuan tentang obat-obatan. Sedang
Ki Juru mempunyai ketajaman pandangan batin terhadap beberapa hal yang bakal
terjadi.”
“Ah. Apakah Kiai menganggap
aku dapat melihat sesuatu yang bakal terjadi?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya, “Entahlah, Ki Juru. Tetapi ada kelebihan pada Ki
Juru.”
Ki Juru tertawa. Katanya, “Aku
hanya orang yang terlampau banyak berbicara. Karena itu mungkin ada di antara
bicaraku yang banyak itu agak sesuai dengan peristiwa yang kemudian menyusul.
Tetapi itu hanya suatu kebetulan.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak sempat bertanya karena Ki Juru mendahului, “Kiai,
bukalah lengan baju. Kiai menjadi basah karena Kiai melumatkan obat-obatan di
atas pipisan tanpa menyingsingkan lengan baju. Aku tadi melihat Kiai justru
membuka gulungan lengan baju Kiai pada saat aku melihat.”
Sekilas warna merah tampak di
wajah Kiai Gringsing. Tetapi hanya sesaat. Seperti biasa ia pun segera berhasil
menyembunyikan perasaannya.
“Ah, aku tidak sengaja berbuat
demikian. Aku tidak tahan menyingsingkan baju terlampau lama. Tubuhku sudah
terlampau lemah.”
Ki Juru tertawa. Katanya,
“Tubuh Kiai masih mampu bertahan atas tusukan pedang.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Juru sejenak. Tetapi ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Agaknya Ki Juru telah
mendengar cerita dari Raden Sutawijaya tentang seseorang yang mempunyai ilmu
kebal bernama Panembahan Alit. Orang itulah yang mampu bertahan atas tusukan
pedang. Tetapi bukan aku. Oleh tusukan angin pun badanku akan segera merasa
dingin dan nyeri di ujung-ujung tulang.”
Ki Juru pun tertawa pula. Di
sela-sela suara tertawanya Ki Juru berkata, “Itukah ucapan seseorang yang
ternyata mampu membunuh Panembahan Alit.”
Kiai Gringsing pun tertawa
pula. Tetapi ia tidak menyahut. Bahkan tangannya telah sibuk dengan reramuan
yang sedang dilumatkannya dengan pipisan.
Ki Juru yang mendekatinya
kemudian berjongkok di sampingnya. Diperhatikannya reramuan yang menjadi lembut
dan kemudian diberi beberapa titik air jeruk pecel.
“Obat itu harus diminum oleh
Adi Pemanahan?” bertanya Ki Juru.
“Ya, Ki Juru. Obat ini hanya
sekedar menguatkan tubuhnya. Tetapi tidak menyembuhkan sakitnya. Tidak ada obat
yang dapat mengobati sakit Ki Gede Pemanahan selain dirinya sendiri.”
Ki Juru mengangguk-angguk.
“Aku mengatakannya kepada Ki
Juru, karena aku yakin bahwa Ki Juru pun sebenarnya telah mengetahuinya. Ki
Juru adalah orang yang bijaksana dengan memiliki pengamatan batin yang tajam.”
“Siapakah yang mengatakannya
demikian?”
“Setiap orang penting di
Pajang mengetahuinya.”
“Apakah Kiai mengenal
orang-orang penting itu?”
Kiat Gringsing termenung
sejenak, lalu, “Aku tidak mendengarnya langsung. Tetapi para pemimpin prajurit
di Mataram pernah mendengar hal itu dari orang-orang penting di Pajang. Juga
para prajurit di Sangkal Putung yang kemudian bergeser ke Jati Anom setelah
Sangkal Putung tidak diganggu lagi oleh berbagai macam kerusuhan.”
“Untara maksud Kiai?”
“Bukan, tetapi banyak orang
yang berkata demikian kepadaku.”
“Dan bagaimana dengan Kiai
sendiri?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya.
“Kiai,” berkata Ki Juru,
“apakah aku boleh bertanya sesuatu kepada Kiai.”
“O, tentu, tentu. Kenapa?”
“Apakah Kiai memang dilahirkan
di Dukuh Pakuwon dekat Sendang Gabus itu?”
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Tetapi tangannya masih saja sibuk melumatkan obat di pipisan.
“Bukankah Kiai berasal dari
Dukuh Pakuwon? Menurut cerita yang sampai padaku lewat Ki Gede Pemanahan, bahwa
Kiai menemukan Agung Sedayu ketika ia bersama Untara bersembunyi di rumah Kiai.
Dan menurut cerita itu pula Kiai adalah kawan baik dari Ki Sadewa. Ayah Untara
dan Agung Sedayu. Benarkah begitu?”
Kiai Gringsing memandang Ki
Juru Martani sejenak. Lalu sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Ya.
Begitulah. Aku kenal Ki Sadewa dari Jati Anom sebelum ia meninggal. Dan Untara
telah mengenalku pula pada waktu itu.”
“Kiai, apakah sejak
kanak-kanak Kiai berada di Dukuh Pakuwon, atau Kiai merupakan pendatang bagi
padukuhan itu?”
Kiai Gringsing tidak segera
menyahut. Ditatapnya dedaunan yang bergerak di kejauhan, sehingga tanpa
disadarinya maka tangannya pun terhenti pula.
“Ki Juru,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “apakah gunanya Ki Juru mengetahui beberapa hal tentang
diriku? Sebenarnyalah Ki Juru, bahwa yang telah terjadi padaku bukannya hal
yang baik-baik saja. Tetapi juga yang penuh dengan pedih dan nyeri. Karena itu,
sebaiknya aku melupakan saja masa-masa lampau itu. Tetapi jika Ki Juru ingin
tahu, secara kasar dapat aku katakan bahwa aku adalah anak kabur kanginan,
berkandang langit berselimut mega. Aku merantau dari pintu ke pintu rumah yang
lain mohon belas kasihan, sehingga akhirnya aku sampai ke Dukuh Pakuwon. Aku di
pungut anak oleh seseorang yang kini sudah tidak ada pada saat aku dewasa.
Sejak itulah aku berada di Dukuh Pakuwon.”
Ki Juru mengangguk-angguk.
Namun katanya kemudian, “Ada yang lupa Kiai. Darimanakah Kiai mendapatkan
cambuk itu? Maksudku ilmu mempergunakan cambuk yang demikian dahsyatnya?”
“O, sejak kanak-kanak aku
adalah gembala yang selalu bermain-main dengan cambuk.”
“Jadi Kiai Gringsing
menggembalakan kambing sambil merantau dari pintu ke pintu?”
Sekilas wajah Kiai Gringsing
menegang. Namun kemudian ia tertawa, “Demikianlah. Maksudku, hidupku sama
sekali tidak berketentuan. Kadang-kadang aku mendapat upah sebagai gembala
kambing. Pernah aku tinggal selama tiga tahun pada seseorang selagi aku berumur
kira-kira dua belas tahun sampai limabelas tahun, sebelum aku berada di Dukuh
Pakuwon. Aku adalah penggembala waktu itu.”
Ki Juru menarik nafas dalam
sekali. Terasa betapa Kiai Gringsing ingin menghindarkan diri dari
pengamatannya. Karena itu, maka Ki Juru itu pun kemudian bertanya, “Kiai,
apakah di dalam pengembaraan itu Kiai pernah bertemu atau melihat
perguruan-perguruan yang dapat memberikan bekal yang demikian banyaknya kepada
Kiai.”
“Tentu Ki Juru menganggap
bahwa ilmuku tentu aku sadap dari seorang guru. Bukankah begitu?”
Ki Juru Martani tidak segera
menjawab. Jika ia memaksakan pertanyaan-pertanyaannya maka jawabannya akan
menjadi berbelit-belit dan tidak sampai pada sasarannya.
Karena itu, Ki Juru yang
bijaksana tidak mendesaknya terus. Tetapi ia sudah memberikan kesan kepada Kiai
Gringsing bahwa ada sesuatu yang telah tersingkap dari tabir yang dipasangnya.
“Ah,” desah Ki Juru kemudian,
“agaknya aku mengganggu saja, Kiai. Baiklah Kiai menyelesaikan obat itu.
Mungkin Ki Gede Pemanahan segera memerlukannya.”
“Ya, Ki Juru. Ki Gede memang
segera memerlukan.”
Demikianlah, maka Ki Juru
Martani pun kemudian meninggalkan Kiai Gringsing yang segera sibuk kembali.
Tetapi Ki Juru telah mempunyai bahan yang lebih banyak lagi. Ia sudah bertekad
untuk mengetahui latar belakang kehidupan Kiai Gringsing. Hubungannya dengan
sebuah perguruan yang memiliki tanda sebuah cakra yang tersangkut di ujung
sebuah cambuk. Tetapi tentu tidak dapat dengan serta-merta.
Sehari itu, maka Kiai
Gringsing telah menyiapkan obat yang dapat menambah kekuatan tubuh Ki Gede
Pemanahan. Kiai Gringsing dengan berterus terang mengatakan bahwa yang
dibuatnya itu belumlah obat yang sebenarnya, karena ia masih harus menemukan
sakit Ki Gede yang sebenarnya. Tetapi dalam pada itu, Kiai Gringsing pun
berkata, “Obat yang aku buat itu sekedar untuk menambah daya tahan jasmaniah Ki
Gede. Tetapi obat yang paling baik akan datang dari Ki Gede sendiri.”
Ki Gede tersenyum. Tetapi
rasa-rasanya senyumnya adalah senyum yang terlampau dalam. Seolah-olah wajah
itu diselubungi oleh dinding yang tinggi, yang di dalamnya nampak semakin lama
menjadi semakin buram.
Namun dalam pada itu,
sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing sendiri telah didesak ke dalam persoalannya
yang selama ini tidak pernah nampak pada permukaan hatinya, karena ia selalu
mencoba meuyembunyikannya. Tetapi yang pada akhirnya memang harus
dibicarakannya.
Ketika Mataram kemudian
disentuh oleh gelapnya malam, maka untuk beberapa saat lamanya, setelah Ki Juru
Martani dan Sutawijaya makan bersama tamu-tamunya berbicara sejenak mengenai
beberapa hal tentang perkembangan Mataram, maka Kiai Gringsing dan kawan-kawan
serta murid-muridnya pun dipersilahkan beristirahat di tempat yang telah
disediakan.
Sejenak Kiai Gringsing masih
sempat menengok Ki Gede Pemanahan. Nampak bahwa dalam keadaannnya, Ki Gede Pemanahan
tetap tenang dan yang mencemaskan Kiai Gringsing, seakan-akan Ki Gede Pemanahan
memang sudah tidak mempunyai gairah.
“Aneh sekali,” berkata Kiai
Gringsing di dalam hatinya, “Ki Gede Pemanahan adalah seorang Panglima.
Seharusnya ia memiliki kemampuan untuk bertahan atas segala keadaan. Baik
jasmaniah mau pun batiniah. Ia seharusnya tidak segera menjadi putus asa
menghadapi persoalan Raden Sutawijaya yang dalam keadaan seperti itu justru
harus mendapat perhatian sejauh-jauhnya.”
Namun kemudian, seolah-olah
terdengar jawaban di dalam hatinya, “Tetapi Ki Gede bukan saja seorang Panglima
perang, ia adalah orang yang memiliki kebijaksanaan dan meskipun tidak sejauh
Ki Juru Martani, namun Ki Gede Pemanahan mempunyai ketajaman mata hati. Mungkin
ia sudah melihat bahwa ia sudah berjalan sampai ke batas.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ia justru menjadi kagum, bahwa jika Ki Gede Pemanahan memang sudah
merasa bahwa hari-hari terakhirnya memang sudah tiba, namun ia masih tetap
tenang dan tabah. Tanpa kegelisahan sama sekali.
“Seakan-akan Ki Gede Pemanahan
telah dekat sekali dengan kesempurnaan lahir dan batin. Perjalanan kembali ke
asalnya sama sekali tidak mencemaskan dan menggelisahkannya. Dengan tenang dari
tabah ia menunggu saat Yang Menciptakannya memanggilnya kembali.”
Dengan persoalan-persoalan
yang menggelepar di dalam hatinya tentang Ki Gede Pemanahan, tentang dirinya
sendiri, dan tentang berbagai persoalan yang desak-mendesak di dalamya, Kiai
Gringsing masuk ke dalam bilik yang disediakan baginya dan bagi Ki Sumangkar
serta Ki Demang Sangkal Putung.
Sedang kedua murid Kiai
Gringsing agaknya lebih senang berada di regol bersama Raden Sutawijaya.
Namun di antara mereka tidak
banyak lagi yang dibicarakan. Seakan-akan mereka telah dibebani oleh kelelahan,
sehingga mereka pun segera berbaring di tempat masing-masing.
Yang terdengar kemudian adalah
desah angin malam yang dingin. Angin yang basah, yang menggetarkan dedaunan di
halaman.
Dan menjelang tengah malam,
maka Mataram seakan-akan telah menjadi lelap. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru
pun telah berada di dalam bilik pula. Yang terdengar kemudian selain sentuhan
angin di dedaunan adalah suara cengkerik dan bilalang yang berderik di
batang-batang pepohonan. Lamat-lamat suara angkup terdengar ngelangut di
kejauhan.
Namun dalam pada itu, Kiai
Gringsing sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Ia dibebani oleh rahasia
tentang dirinya sendiri, sehingga seakan-akan ia telah didorong ke dalam
keadaan yang telah menyudutkannya.
Lewat tengah malam, Kiai
Gringsing yang tidak dapat tidur itu tiba-tiba terperanjat. Di antara bunyi
malam yang mengiba-iba ia mendengar bunyi yang lain. Bunyi yang mempunyai
pertanda khusus bagi dirinya sendiri.
Kiai Gringsing menjadi heran.
Bahkan hampir tidak percaya bahwa ia mendengar bunyi itu. Bunyi yang sudah lama
sekali tidak pernah didengarnya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
dapat tinggal diam. Bunyi itu sangat menarik perhatiannya sehingga ia tidak
dapat berbaring saja di tempatnya.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing
bangkit. Dilihatnya Ki Sumangkar dan Ki Demang Sangkal Putung masih tetap tidur
nyenyak di tempatnya.
Dengan hati-hati Kiai
Gringsing pun kemudian melangkah ke pintu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu.
Jika ia membuka pintu itu dan pintu itu berderik, maka ia akan membangunkan
orang-orang yang sedang tidur dengan nyenyaknya itu.
“Tetapi aku harus keluar,”
berkata Kiai Gringsing di dalam hati, “bunyi itu aneh sekali bagiku. Seharusnya
aku tidak mendengarnya lagi.”
Perlahan-lahan Kiai Gringsing terpaksa
membuka pintu itu. Ia sudah menyediakan jawaban jika Ki Sumangkar kemudian
terbangun dan bertanya.
Gerit yang lembut ternyata
memang sudah membangunkan Ki Sumangkar. Ketika ia mengangkat kepalanya, dan
melihat Kiai Gringsing di depan pintu, maka ia pun bertanya, “Kemana, Kiai?”
Pertanyaan itu memang sudah
diperhitungkannya, sehingga dengan segera ia menjawab, “Ke belakang. Ke pakiwan
sebentar.”
Ki Sumangkar tidak
menghiraukannya lagi. Dan Kiai Gringsing pun menganggap bahwa meskipun Ki
Sumangkar mendengar bunyi seperti yang didengarnya, namun Ki Sumangkar tentu
tidak akan menghiraukan dan bahkan sama sekali tidak mengerti apakah di
sela-sela bunyi cengkerik, bilalang, dan angkup pohon nangka itu terdengar
bunyi yang lain, yang penting artinya bagi Kiai Gringsing.
Ketika Kiai Gringsing sudah
berdiri di longkangan di muka gandok, ia termangu-mangu sejenak. Di antara
suara-suara malam ia masih mendengar suara yang sudah lama sekali tidak
didengarnya itu.
“Apakah Ki Juru Martani?”
bertanya Kiai Gringsing di dalam hatinya. Lalu, “Jika memang Ki Juru mengenal
bunyi itu dan mampu menirukan tepat seperti seharusnya, maka aku kira aku
memang tidak akan dapat lari lagi.”
Karena itu, maka Kiai
Gringsing tidak menghindarkan diri dari bunyi itu. Telinganya yang tajam segera
menangkap dari mana arahnya.
Sejenak Kiai Gringsing berdiri
tegak di tempatnya. Masih terasa sangat sepi dan dingin.
Selangkah demi selangkah ia
maju mendekati sumber bunyi itu. Meskipun ia kenal benar akan bunyi itu, namun
ia harus berhati-hati, karena sama sekali tidak menduga, bahwa pada suatu saat
di Mataram ia akan mendengar bunyi itu lagi.
Tetapi selain Kiai Gringsing
harus berhati-hati terhadap sumber bunyi itu, ia pun harus berhati-hati pula,
agar tidak ada orang yang dapat melihatnya.
Sekali-sekali Kiai Gringsing
berpaling. Dan akhirnya ia pun menjadi yakin bahwa Ki Sumangkar agaknya tidak
mengikutinya.
Setelah Kiai Gringsing
melewati longkangan, maka ia pun dapat melangkah lebih cepat lagi. Semakin lama
semakin dekat dengan sumber bunyi itu.
Tetapi Kiai Gringsing menjadi
berdebar-debar. Ternyata sumber bunyi itu bergerak. Meskipun ia menjadi semakin
dekat, tetapi rasa-rasanya sumber itu pun bergerak menjauh.
“Hem,” Kiai Gringsing menarik
nafas dalam-dalam, “siapakah yang masih ingin bermain-main dalam saat seperti
ini.”
Sejenak Kiai Gringsing
terhenti. Dipusatkannya ketajaman pendengarannya. Dan ia yakin bahwa sumber
bunyi itu agaknya telah bergerak pula.
Kiai Gringsing pun
termangu-mangu di tempatnya. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya gelap
malam menyelubungi rumah Ki Gede Mataram. Sedang Ki Gede Mataram sendiri pada
saat itu sedang terbaring diam di pembaringannya karena luka-lukanya. Tetapi
saat itu pula di rumah Ki Gede Mataram terdapat dua orang yang memiliki
kelebihan dari orang kebanyakan, Ki Juru Martani dan Ki Sumangkar, di samping
Ki Gede Mataram sendiri.
Ketika suara itu didengarnya
lagi, Kiai Gringsing bergeser pula mendekat. Di regol butulan ada beberapa
orang penjaga yang bertugas. Karena itu, ia harus menghindari penjaga-penjaga
itu jika ia tidak ingin timbul keributan.
Dengan hati-hati Kiai
Gringsing melintasi halaman belakang. Dengan mempergunakan kelebihan yang ada
padanya, Kiai Gringsing berhasil sampai ke dinding halaman bagian belakang
tanpa diketahui orang.
Sejenak Kiai Gringsing
menunggu. Akhirnya suara itu terdengar lagi. Agak dekat di balik dinding itu.
“Jika sumber suara itu
seseorang,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “orang itu tentu memiliki
kelebihan. Ia dapat melihat aku mendekatinya sehingga ia berusaha untuk
memancing aku ke tempat yang terpisah.”
Tetapi Kiai Gringsing pun
memiliki ketajaman indra pula, sehingga ia mampu menangkap suara yang bergeser
itu dengan saksama.
Akhirnya Kiai Gringsing tahu
pasti jarak antara dirinya dan suara itu. Dan ia pun yakin, bahwa ia akan dapat
mendekatinya. Tetapi karena agaknya sumber suara itu sengaja memancingnya
keluar halaman, maka Kiai Gringsing pun menanggapinya.
Sejenak kemudian, sama sekali
tidak dilihat oleh seorang penjaga pun, Kiai Gringsing sudah berada di luar
dinding halaman. Tanpa disadarinya ia meraba cambuk yang membelit di
lambungnya.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing
maju terus mengikuti suara itu. Bahkan akhirnya ia sendiri merasa bahwa
sebaiknya ia berada di tempat yang lebih jauh lagi dari rumah Ki Gede
Pemanahan.
Dada Kiai Gringsing menjadi
berdebar-debar, ketika ia berhasil melihat sesosok bayangan di dalam kegelapan.
Karena itu maka ia semakin pasti bahwa ia akan dapat mendekat dan
setidak-tidaknya bertanya tentang sesuatu kepada bayangan itu.
Tetapi ketika bayangan itu
kemudian berada di sebuah jalan sempit maka bayangan itu pun kemudian berjalan
semakin cepat. Karena Kiai Gringsing mengikutinya semakin cepat pula, maka
bayangan itu pun akhirnya berlari-lari kecil.
Kiai Gringsing tidak mau
melepaskannya. Apalagi ia memang yakin bahwa bayangan itu sengaja ingin
menjumpainya.
Beberapa saat kemudian, maka
mereka pun telah berada di jalan persawahan. Kiai Gringsing menjadi semakin
jelas melihat bayangan yang berlari ke tengah-tengah bulak itu. Dan karena
itulah maka Kiai Gringsing selalu mengikutinya terus.
Namun demikian Kiai Gringsing
masih saja selalu dibayangi oleh teka teki tentang orang yang diikutinya itu.
Bunyi yang khusus itu seharusnya sudah lama tidak terdengar lagi. Bunyi yang
mirip sekali dengan desis seekor ular. Bunyi yang tidak begitu banyak menarik
perhatian selain mereka yang memahami benar-benar arti daripada bunyi itu.
Ketika keduanya sudah berlari
semakin jauh dari padukuhan dan berada di tengah bulak, maka Kiai Gringsing
melihat bayangan itu berhenti. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun segera
berhenti pula pada jarak yang tidak terlampau dekat.
Perlahan-lahan dan dengan
penuh kewaspadaan Kiai Gringsing melangkah mendekat. Selangkah demi selangkah.
Sedang bayangan itu masih saja tetap berdiri di tempatnya.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing
yang berdiri beberapa langkah dari orang itu tidak segera dapat mengenalnya. Ia
melihat dalam keremangan malam wajah yang agak asing baginya. Namun ketajaman tatapan
matanya yang memiliki kelebihan dari tatapan mata orang kebanyakan itu pun
segera mengenal, bahwa ada yang tidak wajar pada wajah itu.
“Siapakah kau sebenarnya?”
bertanya Kiai Gringsing tiba-tiba.
“Kau belum mengenal aku,”
jawab orang itu dengan suara yang besar dan berat.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdesis, seperti kepada diri sendiri, “Jika aku
belum mengenalmu, aku kira kau tidak perlu menyamar wajahmu dan merubah suaramu
yang sebenarnya.”
Orang itu termenung sejenak.
Namun kemudian terdengar ia tertawa sambil berkata, “Pikiranmu aneh. Aku memang
menyamar. Tetapi tidak karena kau. Aku sadar bahwa seorang pemimpin yang luar
biasa di Mataram ini akan dapat mengenalku. Dan aku kira, orang itulah yang
mendekatiku. Ternyata kau orang tua bangka yang tidak tahu malu.”
Kiai Gringsing tertegun
sejenak. Lalu katanya, “Kenapa aku tidak tahu malu,”
“Kenapa kau mengikuti aku? Aku
memberikan isyarat bagi orang yang penting bagiku. Tidak kepadamu.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
Katanya, “Jika demikian aku minta maaf. Aku tidak sengaja mencampuri
persoalanmu.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kenapa kau memanggil salah
seorang pemimpin Mataram dengan isyarat itu?”
“Itu urusanku,” sahut orang
itu.
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Ia mencoba mengamati orang itu dengan saksama. Mula-mula ia menyangka
bahwa orang itu adalah Ki Juru Martani. Tetapi ternyata menurut bentuk
tubuhnya, Kiai Gringsing menganggap bahwa orang itu tentu bukan Ki Juru. Bukan
pula Ki Sumangkar dan apalagi Ki Gede Pemanahan yang sedang terbaring itu. Ki
Gede Pemanahan adalah orang yang bertubuh tegap, tinggi dan kekar, meskipun
tidak berlebih-lebihan.
“Sekarang,” berkata orang itu,
“kembalilah ke rumah itu. Jangan ganggu aku lagi. Aku harus mengulangi
memberikan isyarat bagi pemimpin yang aku cari itu.”
“Siapakah yang kau cari.”
“Itu juga bukan urusanmu.”
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Ia mendengar dengan pasti bahwa isyarat itu adalah isyarat yang
mempunyai arti khusus baginya. Sedang orang itu memberikan isyarat untuk orang
lain.
“Tentu tidak,” berkata Kiai
Gringsing di dalam hatinya, “orang itu tentu mencari aku.”
Karena itu, maka Kiai
Gringsing pun kemudian melangkah maju. Katanya, “Kau jangan berputar-putar.
Katakan saja apakah perlumu. Siapakah kau dan apa yang dapat aku lakukan
bagimu.”
“Aku tidak memerlukan kau,”
bentak orang itu, “bukankah sudah aku katakan. Pergilah dan kembalilah ke
gandokmu sebelum kau menyesal.”
“Aku tidak akan kembali. Aku
lebih senang berada di sini bersamamu.”
“Gila,” suara orang itu
semakin tidak keruan. Kadang-kadang rendah dan dalam. Kadang-kadang melengking
tinggi.
Dan Kiai Gringsing pun
kemudian menyahut, “Lebih baik kau tidak usah merubah-rubah suaramu. Kau akan
menjadi serak. Jika benar aku belum mengenalmu, maka suaramu pun tentu tidak
aku kenal pula.”
“Persetan. Pergilah sebelum
aku bertindak atasmu.”
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing, “aku menjadi curiga padamu. Karena itu, baiklah kita berbicara
dengan baik. Kita sudah bukan anak-anak yang harus bergurau lagi. Katakanlah,
siapakah kau dan apakah maumu.”
Orang itu terdiam sejenak. Di
dalam keremangan malam Kiai Gringsing merasa bahwa orang itu memandanginya
dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata, “Kau sama sekali tidak berarti bagiku.
Pergilah. Jangan mencampuri persoalan orang-orang besar di dalam dunia
kanuragan. Kau tidak lebih dari tikus kecil yang akan ikut serta di dalam
persoalan kucing-kucing yang buas. Karena itu aku peringatkan, lebih baik kau
kembali dan tidur di bawah selimut yang hangat daripada kau ada di sini.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Dan orang itu meneruskan, “Aku masih mempunyai belas kasihan yang
cukup bagi orang-orang yang tidak berarti seperti kau. Tetapi jika orang yang
aku perlukan itulah yang datang, maka aku akan menyelesaikannya.”
“Baiklah,” jawab Kiai
Gringsing, “tetapi apakah kau mau menyatakan dirimu yang sebenarnya. Kenal atau
tidak kenal?”
Orang itu menggeleng. Namun
kemudian membentak, “Setan alas. Kau membuat aku menjadi jengkel. Pergi, cepat
pergi sebelum kau menjadi lumat di sini.”
Sejenak Kiai Gringsing
termangu-mangu. Orang itu cukup aneh baginya. Bahkan kemudian Kiai Gringsing
itu menjadi keheranan. Ia sendiri adalah orang yang senang bermain-main seperti
itu. Menyamar diri dengan topeng, dengan tutup wajah dari ikat kepalanya,
dengan cara-cara yang aneh-aneh. Tetapi kini ia dihadapkan kepada orang yang
berbuat serupa itu pula.
“He, kenapa kau diam saja,”
orang itu hampir berteriak sehingga Kiai Gringsing terkejut.
Bahkan dengan serta-merta Kiai
Gringsing berkata, “Jika kau berteriak semakin keras, maka orang-orang yang
paling dekat dengan tempat ini akan terbangun.”
“Tidak, kita berada di antara
tanah-tanah kosong yang luas. Bukankah Mataram masih mempunyai tanah yang berkelebihan?
Orang-orang tidur itu seperti mati. Mereka tidak akan mendengar.”
“Juga mereka tidak akan
mendengar jika kau sebut namamu.”
“Gila. Ternyata kau termasuk
orang yang keras kepala,” jawab orang itu, lalu. “Baiklah. Jika kau berkeras
untuk mengetahui namaku. Dengarlah baik-baik. Namaku Kudabaruna.”
Mendengar nama itu Kiai
Gringsing tertawa pendek. Katanya, “Memang akulah yang bodoh. Kau dapat
menyebut namamu dengan siapa saja. Kudabaruna, Kebowisesa, Taliprahara atau
siapa saja. Tetapi apakah kau punya ciri yang mantap dan dapat dipercaya?”
Orang itu termenung sejenak.
Lalu katanya, “Kau memang aneh, Orang Tua yang gila. Marilah kita berjanji
untuk tidak bergurau seperti anak kecil.”
“Maksudmu?”
“Aku akan menyebut ciri yang
ada padaku. Tetapi sebut dulu siapa kau, Orang Tua yang bodoh. Kau sangka bahwa
kau bukan orang yang suka bergurau seperti kanak-kanak. Hanya bedanya aku
adalah orang besar, sedang kau adalah orang yang berpura-pura besar. Kau salah
menilai dirimu sendiri, Kiai.”
Kiai Gringsing terkejut
mendengar pertanyaan itu. Dan sebelum ia menyahut orang itu sudah berkata
seterusnya, “Jangan bingung. Aku tahu bahwa nama Kiai Gringsing tidak lebih
dari nama yang kau sebut Kudabaruna, Kebowisesa atau Taliprahara atau Ki Tanu
Metir atau apa pun lagi.”
Wajah Kiai Gringsing menjadi
tegang. Kini ia yakin bahwa orang itu dengan sengaja telah memancing dirinya
dan kini sudah pasti baginya, bahwa orang itu ingin memaksa agar ia menyatakan
dirinya yang sebenarnya.
Sejenak Kiai Gringsing
termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Agaknya kita memang orang-orang
yang aneh, yang bergurau di tengah malam tanpa arti. Aku tidak mengerti
pertanyaanmu. Tetapi kau tentu tidak akan percaya. Nah, jika demikian kita akan
saling menghadapi jalan buntu dengan pertanyaan kita masing-masing.”
“Mungkin. Tetapi kita tidak
dapat berhenti begitu saja.”
“Apa masih ada persoalan?”
“Tentu,” jawab orang itu, “kau
telah melihat kehadiranku di sini. Dan kau sudah menyia-nyiakan kesempatan yang
aku berikan untuk pergi. Sekarang semuanya sudah terlambat. Apalagi kau tidak
mau menyebut dirimu, ciri-cirimu, dan kau dalam keseluruhan. Meskipun kau
sekedar tikus kecil, tetapi lebih baik jika menyebut jenismu. Tikus tanah,
cecurut atau tikus kayu. Jika kau menyesal, itu adalah salahmu sendiri.”
Kiai Gringsing justru tertawa,
seakan-akan ia melihat sebuah permainan yang lucu. Bahkan kemudian ia menyahut,
“Kau ternyata mengenal berbagai jenis tikus. Tetapi baiklah. Sebenarnya kita
sudah saling mengerti, bahwa baik kau maupun aku sedang diliputi oleh teka-teki
tentang diri kita masing-masing. Karena itu, baiklah kita biarkan saja kita
saling berteka-teki.”
“O, sudah aku katakan. Kau
harus mati. Kau sudah mengenal sebagian dari aku.”
Kiai Gringsing masih tertawa.
Namun demikian sekilas terbayang kembali Ki Juru Martani. Orang itu memang
orang yang luar biasa. Tetapi menilik beberapa unsur pada orang itu, maka
agaknya ia bukan Ki Juru Martani.
“Apakah ada orang lain di
sini? Penjawi dari Pati atau barangkali Ki Wila atau Wuragil atau bahkan Ki
Pramanca dari Pajang yang mendapat petunjuk dari Ki Juru Martani?”
Selagi Kiai Gringsing
termangu-mangu, maka orang itu menggeram, “Jangan menyesal. Aku akan
menghilangkan jejak pengenalanmu yang sedikit itu. Bersiaplah untuk mati.”
“Jadi kita akan berkelahi
sekarang?” bertanya Kiai Gringsing.
Mendengar pertanyaan Kiai
Gringsing itu, orang yang tidak mau menyebut dirinya sendiri itu pun
termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Ya. Kita akan berkelahi sekarang.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
Ia sebenarnya tidak tahu pasti maksud orang itu. Apakah ia sekedar bergurau,
atau ia memang mempunyai kepentingan lain. Bahkan dengan caranya, ia
bersungguh-sungguh untuk mencelakainya.
Sekilas terbayang pula wajah
Panembahan Agung, Panembahan Alit, Daksina dan orang-orangnya. Katanya di dalam
hati, “Apakah orang ini salah seorang dari mereka yang masih tertinggal dan
berusaha membalas dendam atas kematian Panembahan Agung atau Panembahan Alit?
Jika demikian maka ia pun harus pergi kepada Ki Waskita untuk membuat
perhitungan yang sama.”
Tetapi agaknya ada sesuatu
yang lain lagi melonjak di dalam hati Kiai Gringsing. Jika orang itu datang
dari pihak Panembahan Agung, mungkin ia datang dari Pajang. Seorang Senapati
yang pilih tanding yang marah karena kehilangan Daksina di padukuhan terpencil
itu.
Namun bagaimanapun juga Kiai
Gringsing sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Jika ia harus bertempur,
maka ia pun akan bertempur. Jika ia harus mempergunakan senjatanya, apa boleh
buat, meskipun mungkin akan mengejutkan banyak orang yang dapat mendengar
letupan senjatanya.
Kiai Gringsing pun segera
bersiap sepenuhnya. Ia merasa bahwa ia sudah pulih kembali. Bekas luka-lukanya
sama sekali tidak lagi mengganggu.
Sejenak mereka saling
berhadapan. Namun sejenak kemudian orang yang menyamar wajahnya itu pun
melangkah maju. Tubuhnya yang agak miring ke sebelah kanan dan langkahnya yang
seperti berat sebelah itu sangat menarik perhatian Kiai Gringsing.
“Nah, kau ternyata telah
terjerumus ke dalam bencana karena kesombonganmu,” berkata orang itu.
“Seharusnya kau tidak keluar dari gandok itu karena kau mendengar isyaratku.
Isyaratku adalah suara dari neraka, dan siapa yang menanggapinya berarti maut.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Ia berdiri tegak menghadap orang itu. Ketika ia melihat orang itu meletakkan
berat tubuhnya pada sebelah kakinya, maka Kiai Gringsing yang memiliki
ketajaman pandangan melampaui kebanyakan orang itu pun segera mengetahui, bahwa
orang itu sudah siap untuk mulai.
Ternyata dugaan Kiai Grinsing
benar, ia tidak menunggu terlalu lama. Orang itu pun tiba-tiba meloncat maju,
disusul dengan sebuah loncatan yang aneh. Ternyata ia tidak langsung menyerang.
Tetapi selangkah ia meloncat ke samping. Baru kemudian serangannya menyambar
lambung.
Tetapi yang diserangnya adalah
Kiai Gringsing. Orang yang memiliki perbendaharaan pengalaman yang luar biasa
itu, sehingga karena itu, maka dengan cepat ia dapat menilai tata gerak
lawannya, dengan sigapnya Kiai Gringsing menarik kakinya surut, kemudian berputar
setengah lingkaran.
Tetapi lawannya tidak
melepaskannya. Seperti seekor tupai ia meloncat cepat sekali. Kali ini
serangannya pun agak aneh. Sambil menghadap penuh ke arah Kiai Gringsing, orang
itu meloncat dan menyerang dengan sebelah kakinya.
Kiai Gringsing mencondongkan
tubuhnya, tetapi ia curiga terhadap gerakan lawannya itu.
Dan ternyata kemudian bahwa
orang itu menggeliat miring dan kini kakinya yang lainlah yang menyambar dengan
cepat sekali.
Kiai Gringsing bukan saja
mencondongkan tubuhnya. Tetapi ia bagaikan berbaring di tanah. Tetapi dalam
pada itu, kaki Kiai Gringsing itu pun dengan cepat menyambar kaki lawannya yang
berpijak di tanah.
Serangan balasan Kiai
Gringsing yang tidak terduga-duga itu mengejutkan lawannya. Namun sebuah
gerakan yang mengagumkan telah melepaskannya dari sentuhan kaki Kiai Gringsing.
Ternyata orang itu mampu meloncat dengan sebelah kakinya berjejak di atas
tanah, karena kakinya yang lain masih terjulur. Meskipun demikian, loncatannya
cukup meyakinkan bahwa ia memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Ketika orang itu kemudian berdiri di atas kedua kakinya yang
renggang, maka Kiai Gringsing pun telah melenting berdiri pula. Ia merasa bahwa
melawan orang yang tidak dikenalnya itu memerlukan kemampuan sepenuhnya, karena
ternyata lawannya adalah orang yang masih asing baginya.
“Tetapi aku harus memaksanya
melepaskan unsur-unsur geraknya yang sebenarnya,” berkata Kiai Gringsing.
“Mungkin aku dapat mengenal serba sedikit, dari manakah orang itu datang.”
Karena itulah maka Kiai
Gringsing pun kemudian tidak hanya sekedar mempertahankan dirinya. Ia
menganggap bahwa lawannya adalah lawan yang seimbang. Sehingga karena itu, ia
wajib bertempur dengan segenap kemampuannya.
Demikianlah maka keduanya pun
bertempur. Semakin lama semakin seru. Sedikit demi sedikit, Kiai Gringsing
mulai melepaskan ilmunya Dan ternyata bahwa orang itu masih tetap mampu
mengimbanginya. Bahkan Kiai Gringsing pun yakin, bahwa orang itu pun belum
sampai ke puncak ilmunya.
Dengan demikian, maka
pertempuran itu semakin lama meningkat semakin sengit. Masing-masing mulai
meningkatkan ilmunya, sehingga tata gerak mereka pun menjadi semakin lama
semakin sulit dan cepat. Bahkan kadang-kadang mereka berloncatan bagaikan tidak
berjejak di atas tanah.
Sekilas Kiai Gringsing sempat
mengenang orang-orang berilmu yang terpaksa pernah dilawannya di medan. Dan
kini ia masih harus berhadapan lagi dengan orang seperti itu.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
dapat sekedar merenungi lawan-lawannya itu. Ia kini benar-benar sedang
bertempur. Dan lawannya benar-benar seorang yang pilih tanding.
Beberapa saat lamanya mereka
bertempur, maka mulailah keduanya tidak lagi dapat berpura-pura. Dalam keadaan
yang sulit, maka kadang-kadang mereka harus melepaskan ilmunya yang sebenarnya.
Namun, karena sebagian besar dari tata gerak mereka masih dilapisi oleh
penyamaran, maka mereka masing-masing tidak segera dapat melihat, dari manakah
sumber ilmu mereka masing-masing.
Agaknya lawan Kiai Gringsing
pun masih tetap berusaha untuk tidak dapat dikenal oleh lawannya lewat ilmunya.
Itulah sebabnya, kadang-kadang ia melakukan beberapa kesalahan sehingga semakin
lama ia menjadi semakin terdesak. Namun demikian, yang menjadi perhatian Kiai
Gringsing, bahwa lawannya itu sama sekali tidak berusaha mempergunakan
senjatanya.
Sebagai seseorang yang
menyimpan perbendaharaan pengalaman yang cukup Kiai Gringsing tidak dapat
melepaskan perimbangannya dari sikap lawannya itu. Meskipun demikian, ia masih
harus meyakinkannya.
Karena itu, maka akhirnya Kiai
Gringsing berusaha untuk memaksa orang itu bersikap. Dengan dahsyatnya Kiai
Gringsing menyerang semakin sengit.
Tetapi meskipun orang itu
harus bergeser surut, namun ia sama sekali tidak mempergunakan senjata apa pun.
“Aneh,” desis Kiai Gringsing,
“atau pada suatu saat ia akan melepaskan senjata rahasia dengan tiba-tiba?”
Oleh pikiran itu, maka Kiai
Gringsing harus menjadi semakin berhati-hati. Meskipun demikian, ia pun masih
belum mempergunakan senjatanya pula. Apalagi di malam hari. Tidak terlalu jauh
dari tempat mereka berkelahi terdapat padukuhan. Jika cambuknya meledak, maka
orang-orang di padukuhan itu tentu ada yang akan mendengarnya. Apalagi para
peronda di gardu-gardu.
Karena itu, apabila tidak
terpaksa sekali, Kiai Gringsing tidak akan mempergunakan senjatanya yang
mengejutkan itu.
Meskipun Kiai Gringsing belum
mempergunakan senjatanya, tetapi ia berhasil mendesak lawannya. Tetapi Kiai
Gringsing sadar bahwa bukan karena lawannya tidak dapat mengimbangi ilmunya,
tetapi karena lawan itu pun masih saja berusaha untuk melindungi diri dengan
ilmu yang masih disamarkan. Karena itulah maka kemampuannya bertahan bukanlah
kemampuannya sepenuhnya.
Namun pada suatu saat, maka
orang itu pun telah kehilangan kesempatannya untuk tetap menyembunyikan diri.
Karena serangan Kiai Gringsing yang semakin dahsyat, akhirnya satu dua unsur
geraknya tidak lagi dapat terhindar dari pengamatan Kiai Gringsing. Namun untuk
mengenal bentuk dan watak ilmu dari sebuah perguruan, tidak dapat ditilik dari
satu dua unsur gerak. Tetapi dari hasil pengamatan atas sikap dan tata gerak
yang tidak dengan sengaja disamarkan.
Namun demikian Kiai Gringsing
masih berusaha terus. Dengan tajam ia mendesak lawannya. Setiap kali ia
menyerangnya dengan tiba-tiba, sehingga lawannya hampir tidak mempunyai
kesempatan untuk berpikir. Dengan demikian maka semakin banyak pula unsur-unsur
gerak yang dapat dikenalnya.
Ketika orang itu sudah menjadi
semakin terdesak, maka memang tidak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali
mempertahankan dengan kemampuan yang ada padanya.
Dengan demikian, maka yang
terjadi kemudian adalah benturan dua macam ilmu yang dahsyat. Ilmu yang jarang
ada duanya di muka bumi. Sehingga perkelahian yang berlangsung kemudian hampir
tidak dapat diikuti dengan penglihatan mata wadag saja.
Kiai Gringsing yang kemudian
menyerang dengan dahsyatnya mencoba untuk mengenal ilmu lawannya yang menjadi
mapan. Ia mencoba memperhatikan setiap benturan kekuatan dan setiap unsur-unsur
gerak yang menentukan. Tetapi karena ia harus mempertahankan dirinya oleh
tekanan yang tidak kalah dahsyatnya pula, maka untuk mengenal ilmu lawannya
diperlukannya waktu pula.
Namun tiba-tiba saja Kiai
Gringsing itu terkejut. Ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Tetapi ia
tidak boleh terlambat. Jika ia terseret oleh arus yang terasa kurang wajar itu
barang sekejap, maka yang akan terjadi adalah sangat merugikannya. Itulah
sebabnya, maka Kiai Gringsing pun segera mengenakan ilmu penglihatan mata
hatinya. Ia tidak saja mempergunakan mata wadagnya, tetapi ketajaman
penglihatan yang lain, yang dapat menembus batas penglihatan lahiriah.
Itulah sebabnya, ketika ia
melihat lawannya tiba-tiba saja menyerangnya sekaligus dari dua jurusan, ia
meloncat surut. Ia masih mendapat kesempatan sekejap untuk menilai keadaan
dengan saksama.
Dalam waktu yang sekejap
itulah ia mengetahui, di manakah lawannya yang sebenarnya itu berada. Dengan
demikian, maka Kiai Gringsing pun segera bersikap untuk menghadapi setiap
kemungkinan. Ia pun menyadari bahwa lawannya tidak akan dapat bertindak lebih
cepat dari pengenalannya, karena untuk melepaskan ilmu seperti itu, lawannya
pun memerlukan waktu.
Sejenak Kiai Gringsing berdiri
dengan kesiagaan sepenuhnya. Ia menghadapi lawannya yang tiba-tiba saja menjadi
dua orang. Tetapi dengan ketajaman pandangan mata hatinya, Kiai Gringsing dapat
mengetahui, yang manakah lawannya yang sebenarnya. Itulah sebabnya, maka ia
berhasil menghadapi lawannya ke arah yang tepat.
Sejenak mereka yang bertempur
itu berdiri termangu-mangu. Seakan-akan mereka justru dengan sengaja
beristirahat barang sejenak.
Ternyata bahwa sikap Kiai
Gringsing membuat lawannya seakan-akan menjadi ragu-ragu. Seakan-akan lawannya
itu dihadapkan pada suatu kenyataan yang tidak diduganya. Tetapi sebenarnya
bahwa Kiai Gringsing memiliki kemampuan untuk menilai keadaannya dengan tepat.
Namun Kiai Gringsing tidak
kehilangan kewaspadaan. Meskipun dengan ilmu yang sedang dihadapinya itu, ia
mulai menemukan arah pengenalannya terhadap lawannya.
“Ki Sanak,” tiba-tiba saja
lawannya yang masih dalam keadaan siaga sepenuhnya itu berkata, “apakah kau
dapat membedakan dua bentuk yang serupa ini?”
Kiai Gringsing merenung
sejenak. Kemudian katanya, “Kau memang luar biasa. Kau dapat merubah dirimu
menjadi dua. Tetapi kau tidak akan dapat melakukan sesuatu, bersama-sama. Satu
di antara kau berdua adalah bentuk semu yang hanya dapat menyentuh penglihatan
batin yang dipengaruhi oleh ilmumu. Tetapi bentuk itu tidak akan dapat berbuat
apa-apa atasku. Karena itu, dua, tiga atau lebih dari bentuk-bentuk serupa itu
tidak akan menggoncangkan perlawananku atasmu.”
Lawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Jadi kau benar-benar memiliki ilmu penglihatan yang dapat
mengatasi kebohongan dari bentuk-bentuk semu serupa ini.”
Kiai Gringsing tertawa pendek.
Bahkan kemudian ia melihat salah seorang bentuk dari kedua lawannya itu menjadi
kabur dan hilang sama sekali.
“Kenapa kau hapus bayangan
itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak ada gunanya,” jawab
orang itu, namun kemudian. “Tetapi kenapa kau tidak dapat berbuat apa-apa
menghadapi Panembahan Agung? Jika saat itu tidak ada seseorang yang menyebut
dirinya Jaka Raras, apakah yang akan terjadi atasmu dan seluruh pasukan Mataram
dan Menoreh?”
“Jasanya cukup besar bagi Mataram
dan Menoreh.”
“Dan kau sama sekali tidak
berbuat apa-apa, padahal kau mempunyai ilmu penglihatan yang melampaui
ketajaman penglihatan aji Sapta Pandulu.”
Kiai Gringsing masih tertawa.
Katanya, “Aku sudah mengatakan kepada murid-muridku, bahwa aku mempunyai
kemampuan untuk mengenal bentuk-bentuk semu. Untuk melihat yang manakah yang
benar dan yang manakah yang sebenarnya hanya bentuk semu. Sebenarnya ilmu itu
sekedar perisai yang menghindarkan aku dari pengaruh ilmu semacam ilmumu itu.”
“Apa pun namanya, tetapi kau
mampu menyelamatkan dirimu.”
“Ya, tetapi sekedar diriku
sendiri.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Meskipun demikian, jika
terpaksa sekali aku dapat mempengaruhi orang lain dengan tingkah laku. Jika aku
menunjukkan bahwa yang mereka lihat itu sekedar bentuk semu, maka mereka pun
akan berbuat sesuatu tanpa menghiraukan bentuk-bentuk yang dilihatnya. Misalnya
ular naga yang besarnya justru tidak masuk akal. Jurang yang tiba-tiba saja
menganga.”
Orang itu mengangguk-angguk.
Katanya, “Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing benar-benar
orang yang pilih tanding. Semula aku menyangka, bahwa dengan ilmu kebohongan
itu aku dapat menundukkan orang yang dikagumi oleh penghuni Alas Mentaok yang
sekarang sudah dibuka menjadi sebuah negeri yang ramai.”
“Kau salah. Tidak ada orang
yang mengagumi aku di mana pun juga.”
“Kau memang seorang yang aneh.
Tetapi aku tahu bahwa seluruh Mataram dan Menoreh mempercakapkan kau. Meskipun
ada yang mengira bahwa orang yang disebut bernama Jaka Raras itulah yang telah
menolong pasukan Mataram dan Menoreh, tetapi ternyata bahwa secara pribadi,
Jaka Raras tidak akan dapat berbuat apa-apa di hadapan Kiai Gringsing.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia pun tertawa, “Tentu tidak. Orang yang bernama Jaka
Raras itu dapat menyelamatkan pasukan Mataram.”
“Aku tidak dapat mengatakan
demikian. Siapakah sebenarnya yang membebaskan pasukan Mataram dari reruntuhan
tebing di mulut lembah itu meskipun ada unsur kebetulan pula. Sedangkan tanpa
Jaka Raras, Kiai Gringsing mampu mengatasi bentuk-bentuk semu yang betapa pun
dahsyatnya.”
“Tetapi aku tidak dapat
membuat lawan menjadi bingung dengan bentuk-bentuk semu pula seperti yang telah
dilakukan oleh Jaka Raras.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Nah,
sekarang sebut namamu yang sebenarnya.”
“Tetapi aku masih akan
bertanya, Kiai, kenapa saat itu Kiai hampir tidak berbuat apa-apa atas
bentuk-bentuk semu itu?”
“Ah, aku sudah berbuat banyak.
Aku sudah memberitahukan kepada muridku bahwa mereka harus mengikuti aku.
Meskipun sebelum aku memastikannya, aku masih ragu-ragu apakah aku dapat
mengatasi bentuk-bentuk serupa itu.”
“Tetapi Kiai mempunyai
kemampuan yang melampaui dugaanku. Kiai dapat menangkap keadaan yang Kiai
hadapi hanya dalam sekejap saja.
“Baiklah,” Kiai Gringsing pun
kemudian melepaskan segala ketegangan, “apakah maksud kedatangan Ki Sanak yang
sebenarnya. Aku tahu bahwa Ki Sanak tidak bermaksud jahat. Ki Sanak tentu hanya
sekedar ingin bergurau. Tetapi bahwa Ki Sanak memilih tempat ini, aku
benar-benar tidak mengerti.”
“Aku akan membunuhmu,”
tiba-tiba orang itu membentak, “tetapi agaknya aku tidak akan berhasil.
Ternyata selain ilmu kebohongan itu, secara kanuragan aku tidak mempunyai
kelebihan apa-apa dari Kiai. Demikian juga Panembahan Agung.”
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Ia masih berdiri termangu-mangu. Tetapi ia masih tetap yakin bahwa
orang yang memancingnya itu sebenarnya memang tidak bermaksud jahat, meskipun
ia harus mengerahkan tenaga untuk mengatasi perkelahian yang telah terjadi
beberapa saat itu.
Namun dalam pada itu Kiai
Gringsing pun berdesah di dalam hati, “Agaknya orang ini dengan sengaja ingin
memancing unsur-unsur gerak untuk dapat dikenalnya.”
Tetapi ternyata bahwa Kiai
Gringsing pun telah berhasil mengenal orang itu pula.
Sejenak kemudian, setelah
mereka termangu-mangu beberapa saat, maka orang itu pun berkata pula, “Nah,
Kiai. Apakah kira-kira aku dapat memenangkan perkelahian ini jika diteruskan?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi aku sudah lelah. Jika kau mau,
biarlah besok saja kita lanjutkan. Mungkin aku dapat minta agar Ki Juru Martani
dan Ki Sumangkar menjadi saksi.”
Lawannya termenung sejenak.
Namun ia pun kemudian tertawa. “Kiai. Baiklah. Agaknya aku tidak usah
berpura-pura lagi, karena aku yakin bahwa permainanku telah gagal.”
“Tidak. Ki Sanak telah
berhasil.”
Orang itu masih tertawa.
Kemudian diusapnya wajahnya hingga jambangnya pun terlepas. Demikian juga
penyamaran yang lain telah direnggutnya sama sekali.
Kiai Gringsing sama sekali
tidak terkejut lagi melihat wajah itu. Bahkan kemudian ia tertawa pula sambil
berkata, “Ah sudah pasti, bahwa aku berhadapan dengan Jaka Raras.”
Ki Waskita yang juga bernama
Jaka Raras itu menarik nafas dalam-dalam.
“Mula-mula aku benar-benar
bingung menghadapi Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi akhirnya aku
menyadari, siapakah sebenarnya lawan yang tidak dapat aku kalahkan ini.”
“Tentu bukan begitu, Kiai,”
sahut Ki Waskita. “Ternyata bahwa Kiai memiliki kelebihan yang hampir tidak
dapat terbayangkan sebelumnya.”
“Ah, tentu tidak. Aku tidak
mempunyai ikat pinggang yang mampu melawan anak panah Panembahan Agung.”
“Cambuk Kiai tidak kalah
dahsyatnya, Panembahan Alit yang memiliki ilmu kebal dapat Kiai kalahkan.
Menurut penilaianku, Panembahan Alit justru lebih berbahaya dari Panembahan
Agung bagi Kiai karena secara pribadi Kiai dapat melepaskan diri dari pengaruh
ilmu semunya.”
“Ya. Hanya untuk diriku
sendiri,” sahut Kiai Gringsing, “seperti yang pernah aku katakan kepada Raden
Sutawijaya bahwa aku dapat menguasai indra wadagku dan menghapuskan bayangan
semu. Tetapi tidak lebih dari diriku sendiri. Aku tidak dapat mempergunakan
ilmuku untuk mempengaruhi orang lain.”
“Dan itu agaknya telah membuat
Kiai menjadi sempurna.”
“Adakah orang yang sempurna di
muka bumi ini?” bertanya Kiai Gringsing tiba-tiba.
“Tentu tidak, Kiai,” jawab Ki
Waskita, “tetapi Kiai adalah orang yang tidak ada duanya.”
“Seperti juga Ki Waskita. Ki
Waskita mempunyai kelebihan tersendiri. Dan itulah ujud kita masing-masing.
Kita masing-masing mempunyai kelebihan dari orang lain, tetapi juga
kekurangan-kekurangan. Sehingga karena itu, maka tidak seorang pun yang berhak
menyebut dirinya orang yang paling mumpuni di dunia ini. Mungkin seseorang
memiliki kelebihan yang tidak terjangkau di bidang ilmu kanuragan, tetapi orang
lain yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan ilmu kekasaran semacam
ini memiliki kelebihan yang tidak dapat kita jangkau pula. Misalnya keluhuran
budi dan pengabdian beralaskan kasih yang tulus.”
Ki Waskita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kiai benar. Dan Kiai mempunyai banyak
kelebihan daripada aku yang masih terlampau dipengaruhi oleh persoalan
lahiriah. Karena itulah maka Kiai tidak tertarik kepada ilmu semu seperti yang
pernah aku pelajari dengan tekun, justru karena Kiai terlampau jujur. Sifat
ksatria yang ada di dalam diri Kiai agaknya telah menahan untuk tidak berbuat
licik seperti yang pernah aku lakukan. Sebagai seorang ksatria, Kiai menghadapi
lawan dengan dada tengadah tanpa kebohongan dan kepura-puraan.”
“Ah. Tentu bukan begitu. Dan
Ki Waskita pun telah berbuat tidak seperti itu dengan ilmu yang mengerikan
itu.”
Ki Waskita tersenyum. Lalu
katanya, “Dan ternyata tidak sia-sialah perjalananku sampai ke tempat ini.
Ketika aku mencari Kiai ke padukuhan induk di Menoreh, ternyata Kiai telah
berada di Mataram, sehingga aku pun kemudian menyusul Kiai kemari.”
“Begitu penting?”
“Penting sekali. Setelah aku
sedikit demi sedikit dapat memperkenalkan istriku dengan sifat-sifat anakku
yang telah berkembang itu, maka aku telah minta diri kepada mereka untuk
mencari Kiai. Tentu saja aku tidak pernah mengatakan bahwa cara inilah yang telah
aku pilih untuk menemukan Kiai. Bukan saja Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir,
tetapi aku mulai melihat ciri-ciri dari perguruan yang pernah aku kenal
sebelumnya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya, “Banyak orang aneh di dunia ini.”
“Kenapa Kiai?”
“Aku tidak mengerti, kenapa
begitu banyak orang yang bersusah payah mencari keterangan tentang diriku.
Sebenarnya bahwa aku adalah aku ini. Tetapi Ki Argapati di Menoreh, Ki Juru
Martani, Ki Gede Pemanahan, bahkan Ki Sumangkar yang sudah sekian lamanya
hilir-mudik bersamaku, masih juga belum mengenal aku. Dan sekarang datang
giliran Ki Waskita.”
Ki Waskita tersenyum. Kemudian
terdengar ia tertawa tertahan-tahan. Dalam keremangan malam nampak Ki Waskita,
mengusap wajahnya yang berkeringat.
“Itu suatu pertanda bahwa Kiai
memang menyimpan rahasia. Jika tidak, maka kita semuanya tidak akan bersusah
payah mencari keterangan tentang Kiai,” berkata Ki Waskita kemudian.
“Itulah anehnya,” sahut Kiai
Gringsing, “seandainya ada rahasia apapun padaku, maka apakah aku ini orang
yang demikian penting sehingga Ki Waskita dan bahkan Ki Juru Martani merasa
perlu untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak aku mengerti.”
Kini Ki Waskita tertawa lebih
keras. Katanya, “Mungkin kami memang ingin mengetahui apa yang Kiai tidak
mengetahui. Tetapi apakah Kiai secara kebetulan saja sampai ke tempat ini?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya, lalu ia pun tertawa pula. Katanya, “Ki Waskita tentu akan bertanya,
kenapa aku mengenal isyarat yang Ki Waskita perdengarkan. Bukankah begitu?
Tentu Ki Waskita akan menghubungkan aku dengan perguruan yang memiliki isyarat
khusus itu.”
Keduanya tertawa
berkepanjangan. Memang tidak ada sesuatu yang dapat disembunyikan di antara
keduanya, seakan-akan keduanya saling dapat melihat isi hati masing-masing.
Meskipun demikian Ki Waskita
pun kemudian berkata, “Demikianlah, Kiai. Aku harus heran, bahwa Kiai mengenal
pertanda khusus dari perguruan itu.”
“Jadi Ki Waskita murid dari
suatu perguruan yang memiliki isyarat khusus itu untuk saling mengenal?”
“Kiai tentu tahu bahwa aku
bukan murid dari perguruan itu. Tetapi Kiai tentu akan bertanya, kenapa aku
mengenal pertanda itu?”
“Ya. Kenapa Ki Waskita
mengenal pertanda itu?”
“Aku mempelajarinya dari
seorang sahabat.”
“Jadi, agaknya tidak semua
orang yang mengenal pertanda itu adalah murid dari perguruan yang memilikinya.
Bukankah begitu? Dan aku pun tidak mengenal perguruan itu sama sekali. Yang
membawa aku kemari adalah tanggapan naluriah. Aku mendengar sesuatu yang asing
bagiku, sehingga aku menjadi curiga. Itulah sebabnya maka aku pun segera
mencarinya. Mungkin isyarat itu datang dari pihak yang tidak senang melihat
Mataram berkembang. Ternyata aku keliru. Isyarat itu datang dari Ki Waskita.”
“Kiai,” berkata Ki Waskita,
“di Mataram ada orang-orang yang memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri
seperti yang Kiai katakan. Ki Gede Pemanahan. Tetapi agaknya Ki Gede baru
sakit. Ki Juru Martani yang mempunyai indra yang sangat tajam. Bukan saja indra
lahiriahnya, tetapi juga indra batinnya. Ki Sumangkar dan mungkin juga Ki
Demang Sangkal Putung. Tetapi kenapa mereka tidak berpendapat seperti Kiai.
Kenapa mereka tidak menganggap bahwa mereka telah mendengar suara yang khusus?
Padahal tentu sulit bagi kita, untuk menyangka bahwa Ki Juru Martani yang
memiliki ketajaman pendengaran melampaui aji Sapta Pangrungu itu tidak
mendengarnya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian menjawab, “Mereka tentu mendengarnya.
Tetapi mereka bukan orang yang hatinya sekecil menir seperti hatiku. Mereka
adalah orang-orang linuwih yang tidak perlu mencemaskan apa pun juga, termasuk
suara itu. Bahkan seandainya ada bahaya sekali pun mereka tidak perlu gentar.
Tetapi aku tidak. Aku selalu dibayangi oleh kecemasan karena aku tidak
mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri.”
“Ah,” Ki Waskita memotong,
“itu adalah ciri Kiai Gringsing selama ini. Merendahkan diri sendiri dan
seolah-olah tidak akan pernah dapat menolong diri sendiri. Tetapi Kiai lupa
bahwa sifat itu pun dimiliki oleh sahabatku yang memberitahukan isyarat yang
aneh dan yang ternyata telah menarik perhatian Kiai.”
“O, Ki Waskita benar. Aku pun
mendengar tentang isyarat itu dari seseorang yang demikian,” Kiai Gringsing
tertawa. Dan Ki Waskita pun tidak dapat menahan tertawanya pula.
“Ki Waskita,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “sudahlah. Jangan membuat aku bingung. Aku tidak mempunyai
persoalan apa pun yang aku sembunyikan. Baik terhadap Ki Waskita maupun
terhadap Ki Gede Pemanahan.”
“Baiklah, Kiai,” berkata Ki Waskita,
“tetapi aku masih ingin mengatakan, bahwa sahabatku adalah seorang murid dari
dua perguruan atas ijin kedua gurunya. Gurunya yang seorang adalah seorang yang
memiliki sikap dan watak yang mantap dan bersungguh-sungguh. Tetapi gurunya
yang lain adakah seorang yang senang bergurau. Keduanya memiliki ilmu yang
berbeda, tetapi luluh menjadi satu pada sahabatku itu.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Tetapi di dalam gelapnya malam, perubahan wajah yang hanya sekejap
itu tidak dapat dilihat oleh Ki Waskita. Dan Ki Waskita pun melanjutkan,
“Tetapi ternyata sahabatku itu tidak seorang diri, ia mempunyai saudara
seperguruan. Saudara tua. Ia tidak berguru kepada dua orang guru. Tetapi ia
sendiri ternyata mampu menyusun ilmu yang melampaui kemampuan gurunya sehingga
akhirnya ia mendapat kepercayaan sepenuhnya dari gurunya itu.”
“Ah, cerita yang menarik
sekali. Agaknya yang tua itu adalah Ki Waskita sendiri. Yang muda adalah
Panembahan Agung.”
“Tidak. Kiai salah.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Dipandanginya Ki Waskita beberapa saat lamanya. Lalu tiba-tiba saja
ia tertawa sambil berkata, “Jika demikian agaknya terbalik, Ki Waskita-lah yang
muda, Panembahan Agung adalah yang tua.”
“Kiai sudah mengetahui bahwa
yang Kiai katakan itu bukan yang seharusnya,” sahut Ki Waskita. Lalu, “Karena
itu Kiai, kenapa kita tidak berbicara dengan hati terbuka? Apakah demikian
dalamnya perasaan kecewa menusuk hati Kiai, sehingga sampai saat ini Kiai masih
tetap mengesampingkan diri sendiri.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Waskita dengan tajamnya. Kemudian sambil tertawa kecil ia berkata, “Ki Waskita
seolah-olah tahu pasti sesuatu tentang diriku. Tetapi sebenarnyalah aku menjadi
bingung. Jika Ki Waskita mengetahui seseorang yang dikecewakan oleh keadaan,
apakah tidak sebaiknya Ki Waskita langsung menyebut namanya. Barangkali aku
dapat mengatakan serba sedikit tentang orang itu, sehingga Ki Waskita tidak
selalu salah sangka.”
Ki Waskita menarik nafas dalam
sekali. Katanya, “Mungkin memang belum datang waktunya. Tetapi pengenalanku
atas Kiai dengan bunyi isyarat itu menjadi semakin dekat.”
“Lupakan, Ki Waskita,” berkata
Kiai Gringsing, “sekarang marilah kita datang kepada Ki Juru Martani dan Ki
Gede Pemanahan. Aku tidak dapat mengatakan apakah yang akan terjadi atas Ki Gede
Pemanahan. Tetapi sakitnya rasa-rasanya menjadi semakin parah. Tentu ia akan
senang sekali bertemu dengan Ki Waskita, karena ia mengetahui apa yang telah
terjadi dalam perjuangan melawan Panembahan Agung.”
“Ah, bukan maksudku untuk
menampakkan diri dengan penuh kebanggaan atas hasil kerja yang tidak seberapa
itu.”
“Tentu bukan. Tetapi apakah Ki
Waskita tidak ingin sekedar memperkenalkan diri dengan ayahanda Raden
Sutawijaya?”
Ki Waskita termangu-mangu
sejenak.
“Tentu tidak ada salahnya, Ki
Waskita.”
Ki Waskita masih merenung.
Namun kemudian ia berharap bahwa jika ia dapat bertemu dengan Ki Gede Pemanahan
dan Ki Juru Martani, maka ia akan dapat berbicara serba sedikit dengan
keduanya. Juga dengan Ki Sumangkar. Kiai Gringsing sendiri mengatakan bahwa
mereka pun seolah-olah selalu dibayangi oleh teka-teki tentang Kiai Gringsing.
Karena itu, maka Ki Waskita
pun kemudian berkata, “Baiklah, Kiai. Aku akan singgah sebentar.”
“Tentu bukan sebentar dalam
arti yang sebenarnya. Mungkin sehari atau dua hari.”
Ki Waskita tertawa. Katanya,
“Ya. Sehari atau dua hari.”
“Jika demikian, marilah kita
masuk kembali ke dalam regol halaman.”
“Apakah Kiai juga keluar lewat
regol?”
Kiai Gringsing menarik nafas.
Jawabnya seperti kepada diri sendiri, “Aku meloncati dinding. Tetapi tidak ada
salahnya kita masuk lewat regol.”
“Kita dapat meloncat lagi,”
berkata Ki Waskita.
“Kehadiran Ki Waskita besok
akan menumbuhkan pertanyaan, karena tidak seorang pun yang melihat Ki Waskita
masuk.”
“Sebaliknya, para penjaga juga
akan heran melihat Kiai sudah ada di luar regol, sedang tidak seorang pun yang
melihat Kiai keluar.”
“Aku masuk lewat regol yang
lain dari regol yang aku lalui ketika aku keluar.”
Ki Waskita tertawa pendek.
Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Terserahlah kepada Kiai. Aku hanya akan
mengikut saja.”
Demikianlah maka keduanya pun
kemudian berjalan ke rumah Ki Gede Pemanahan. Seperti yang dikatakan oleh Ki
Waskita, para penjaga regol menjadi heran melihat Kiai Gringsing sudah berada
di luar regol.
Sambil tertawa Kiai Gringsing
berkata, “Aku tadi keluar lewat regol butulan.”
“Dan siapakah kawan Kiai itu?”
bertanya seorang penjaga.
“Ki Waskita. Seorang sahabat
yang baik.”
Penjaga regol itu
mengangguk-angguk. Dipersilahkannya keduanya masuk. Meskipun para penjaga itu
dibebani oleh perasaan heran, bahwa keduanya datang di malam hari, tetapi
mereka pun tahu bahwa Kiai Gringsing adalah tamu Ki Gede Pemanahan. Bahkan
hampir setiap pengawal sudah mendengar bahwa Kiai Gringsing telah banyak
berbuat bagi kepentingan Mataram. Karena itu para pengawal itu pun tidak
sepantasnya mencurigainya.
Kedatangan Ki Waskita di
gandok telah menumbuhkan berbagai macam tanggapan. Dengan heran Ki Sumangkar
dan Ki Demang yang kemudian terbangun melihat bahwa Ki Waskita telah ada di Mataram.
Agung Sedayu dan Swandaru yang
kemudian terbangun, pula saling berpandangan dan perlahan-lahan Swandaru
berbisik, “Kapan orang itu datang?”
Agung Sedayu menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Kita hampir bersamaan bangun.”
“Besok Ki Gede tentu akan
heran melihat kehadiranku,” berkata Ki Waskita.
“Aku akan menjelaskan
persoalannya,” berkata Kiai Gringsing.
“Ya. Mudah-mudahan Ki Gede
Pemanahan mengerti pula bahasa isyarat itu.”
Ki Sumangkar yang mendengarkan
pembicaraan itu pun bertanya, “Bahasa isyarat yang mana?”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Bahasa isyarat Ki Waskita.”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
pun kemudian mempersilahkan tamunya untuk beristirahat bersama mereka di gandok
itu. Sambil tertawa Kiai Gringsing berkata, “Meskipun bukan aku pemilik rumah
ini, tetapi biarlah aku mempersilahkan Ki Waskita.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Apakah Ki Waskita akan mandi dahulu?”
Ki Waskita pun tertawa. Jawabnya,
“Tidak ada artinya. Aku tidak membawa ganti pakaian sama sekali. Seperti
kebiasaan para perantau. Jika aku mandi sekarang, akhirnya aku akan memakai
pakaian kotor pula.”
“Dan Ki Waskita dapat tidur
tanpa membersihkan diri?” bertanya Ki Demang.
Ki Waskita memandang Ki Demang
sejenak. Memang agak berbeda sedikit tata cara hidup Ki Demang yang serba
teratur di rumahnya, seperti yang dilakukan oleh Ki Waskita sendiri di
rumahnya. Tetapi Ki Waskita pernah menjadi seorang perantau yang dapat tidur di
sembarang tempat. Demikian ia berhenti berjalan, maka ia pun segera merebahkan
diri di atas rerumputan kering di pinggir jalan.
Karena itu, maka ia pun
kemudian menjawab, “Sebentar lagi fajar akan menyingsing Ki Demang. Mungkin aku
sudah tidak sempat tidur.”
“Tentu masih sempat,” berkata
Ki Sumangkar, “aku pun akan tidur lebih dahulu sebelum aku tahu, kenapa
tiba-tiba saja Ki Waskita sudah ada di sini.”
Ki Waskita tersenyum sambil
menjawab, “Kiai Gringsing yang akan memberikan penjelasan tentang segala-galanya.”
“Nah, jika demikian, silahkan
tidur. Aku akan memanfaatkan waktu yang tinggal sedikit ini,” berkata
Sumangkar.
Ketika mereka melihat
Sumangkar kemudian melingkar lagi dipembaringan, maka mereka pun tertawa. Ki
Waskita kemudian bergumam, “Ki Sumangkar memang memiliki kekhususan. Di medan
perang Ki Sumangkar berjaga selama tiga hari tiga malam bahkan lebih tanpa
memejamkan mata barang sekejap pun, tetapi di gandok ini Ki Sumangkar merupakan
seorang tua yang menjadi sangat manja.”
Ki Sumangkar masih dapat
tertawa sambil menjawab, “Di peperangan aku mempergunakan aji mata ikan. Di
sini aji mata ayam.”
Agung Sedayu dan Swandaru yang
tidak ikut dalam pembicaraan itu pun ikut tertawa. Bahkan Swandaru pun kemudian
berbaring sambil berdesis, “Aku sependapat, aku masih kantuk sekali.”
Sejenak kemudian, maka mereka
pun telah kembali berbaring di tempat masing-masing. Ki Waskita pun kemudian
ikut berbaring pula di amben yang besar. Dengan pakaian kotor dan kaki kotor
yang dijulurkan terayun di bibir pembaringan.
Tetapi mereka tidak dapat
tidur terlampau lama, karena sejenak kemudian mereka telah mendengar ayam
jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya di malam itu.
Swandaru yang kemudian
menggeliat sambil duduk di pembaringan bergumam, “Rasa-rasanya aku belum tidur
sama sekali. Hari sudah pagi.”
Agung Sedayu yang sudah
terbangun pula, tetapi masih tetap berbaring menyahut, “Kita harus bangun lebih
dahulu dari Raden Sutawijaya. Kita tamu di sini.”
“Apakah kita juga akan mengisi
jambangan di pakiwan seperti di Menoreh?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Seharusnya. Tetapi aku sudah mendengar senggot timba
berderu. Tentu di sini ada beberapa orang pelayan. Meskipun Mataram belum
menemukan bentuknya yang pasti, tetapi rasa-rasanya kita berada di sebuah
kadipaten. Apalagi Raden Sutawijaya adalah putra angkat terkasih dari Kanjeng
Sultan di Pajang.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Lalu, “Jadi kita harus berbuat apa?”
“Kita keluar dari gandok. Jika
Raden Sutawijaya keluar ke pendapa kita sudah ada di pendapa.”
“Di mana Raden Sutawijaya
sekarang? Apakah ia tidur di dalam, atau di ujung gandok ini atau bahkan di
serambi itu?”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Ia pun kemudian bangkit dan sambil mengusap matanya ia pergi ke pintu.
Tetapi ketika pintu itu
terbuka, Agung Sedayu terkejut. Ia melihat Raden Sutawijaya duduk di amben di
serambi gandok itu seorang diri.
Sambil membenahi pakaiannya,
Agung Sedayu mendekatinya. Kemudian beberapa langkah di sebelah amben itu ia
berhenti sambil bertanya, “Sepagi ini Raden sudah berada di sini?”
Raden Sutawijaya memandang
Agung Sedayu sejenak. Lalu, “Ketika kau meninggalkan regol masuk ke dalam
gandok, aku kembali berada di regol.”
“Jadi Raden tidak tidur sama
sekali?”
Raden Sutawijaya menggeleng.
Katanya, “Aku menunggui Ayahanda beberapa saat. Itulah yang akan aku katakan
kepada Kiai Gringsing.”
“Kenapa dengan ayahanda
Raden?”
“Tidak apa-apa. Ayah masih
selalu tersenyum. Tetapi pernafasannya nampaknya agak lain.”
“Kenapa Raden tidak memanggil
Kiai.”
“Aku tidak ingin mengganggu.”
“Guru juga hampir tidak tidur
semalam. Barangkali sekarang Guru sudah siap pula untuk menghadap jika Raden
memerlukan.”
Raden Sutawijaya
termangu-mangu sejenak. Tetapi dalam pada itu Kiai Gringsing sudah berada di
pintu. Katanya, “Aku memang akan segera menghadap Raden. Maksudku jika sudah
terang. Tetapi jika perlu, aku dapat menghadap sekarang.”
Raden Sutawijaya memandang
Kiai Gringsing sejenak. Nampak wajahnya menjadi sangat murung. Matanya
seakan-akan tidak lagi bercahaya seperti biasanya.
“Marilah, Raden. Tetapi
biarlah aku berkemas sejenak. Dan biarlah aku membawa tamu yang tentu akan
menarik sekali bagi Ki Gede Pemanahan,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Siapa?”
“Silahkan Raden menunggu
sejenak. Aku akan membawa tamu itu ke pakiwan sebentar, membersihkan diri dan
kemudian menghadap.”
Sejenak Kiai Gringsing
menghilang di balik pintu. Namun sejenak kemudian ia pun muncul lagi bersama
seseorang yang disebutnya.
“Ki Waskita,” Raden Sutawijaya
terlonjak.
Ki Waskita tersenyum. Katanya,
“Selamat pagi, Raden. Barangkali aku mengejutkan.”
“Menyenangkan sekali. Seperti
yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Kedatangan Ki Waskita akan menggembirakan
hati ayahanda. Setiap kali ayahanda mengatakan bahwa ayahanda ingin bertemu
dengan orang-orang yang sudah banyak berjasa bagi Mataram. Termasuk Ki
Waskita.”
“Ah, apakah jasaku yang
berarti?”
“Tanpa Ki Waskita, Panembahan
Agung merupakan hantu bagi Mataram.”
“Tidak. Jika Kiai Gringsing
masih ada, maka Panembahan Agung bukan orang yang berbahaya. Jika Kiai
Gringsing berhasil bertemu seorang dengan seorang, maka semuanya akan dapat
diselesaikan.”
“Ah,” sahut Kiai Gringsing,
“jangan berlebih-lebihan. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa Ki Waskita telah
melakukannya. Sekarang, marilah kita membersihkan diri sejenak. Kemudian kita
akan menghadap.”
Demikianlah, mereka yang ada
di gandok itu pun segera membersihkan diri dan sesuci. Setelah semua kewajiban
lahir dan batin mereka tunaikan dengan baik, maka mereka pun kemudian pergi
menghadap Ki Gede Pemanahan di pembaringannya, meskipun matahari masih belum
terbit sehingga pagi masih disaput oleh kegelapan dan rerumputan masih dibasahi
oleh embun.
Kehadiran mereka di bilik Ki
Gede Pemanahan benar-benar telah menarik perhatian. Agar bilik itu tidak
menjadi penuh sesak, maka Agung Sedayu dan Swandaru harus menunggu di luar.
Ki Juru Martani yang sudah ada
lebih dahulu di bilik itu pun kemudian mempersilahkan tamu-tamunya mendekat.
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal Putung dan masih ada seorang
lagi.
Karena baik Ki Juru Martani,
maupun tatapan mata sayu Ki Gede Pemanahan agaknya melontarkan pertanyaan
tentang tamunya yang seorang itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Ki
Gede, maafkan bahwa aku telah membawa seorang tamu lagi yang datang malam
tadi.”
“O,” Ki Gede mengangguk lemah,
“siapakah tamu Kiai itu?”
“Orang inilah yang menyebut
dirinya Ki Waskita dan yang juga bernama Jaka Raras. Ialah orang yang telah
ikut bersama Raden Sutawijaya menyerang padukuhan terpencil yang ternyata
dihuni oleh orang yang menyebut dirinya bernama Panembahan Agung.”
“O,” hampir bersamaan Ki Gede
Pemanahan dan Ki Juru Martani berdesis.
“Jadi, Ki Sanak-lah yang telah
menyelamatkan pengawal dari Mataram itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan kemudian.
“Ah, bukan begitu, Ki Gede.
Aku hanya sekedar membantu, bahkan karena kehadiran Raden Sutawijaya yang
membawa pasukan dari Mataram dan para pengawal dari Menoreh, maka anakku telah
diselamatkan.”
“O,” Ki Gede mengangguk.
“Sebenarnyalah bahwa
kepergianku ke padukuhan terpencil itu bukan karena aku seorang yang memiliki
rasa pengabdian yang tinggi. Tetapi, juga didorong oleh pamrih pribadi, bahwa
anakku ternyata telah hilang dan disembunyikan di dalam sarang Panembahan Agung.
Ki Sumangkar-lah orang yang sebenarnya telah menyelamatkan anakku.”
“Tetapi bagaimana pun juga
kehadiran Ki Waskita sangat berarti bagi perjuangan para pengawal dari
Mataram,” berkata Ki Juru Martani.
“Sebaliknya, tanpa para
pengawal dari Mataram dan Menoreh, aku tentu sudah kehilangan satu-satunya
anakku. Dengan demikian maka hidupku akan tidak berarti lagi. Istriku pun akan
menjadi sangat sedih. Jika demikian, maka apabila dendam telah menyala di dalam
hatiku yang lemah, aku tidak tahu apakah aku dapat bertahan lagi untuk tetap
hidup menyelusuri jalan Tuhan. Jika iblis berkuasa di dalam hati, maka aku
tentu akan menjadi manusia yang lebih jahat lagi dari Panembahan Agung, karena
sebenarnyalah bahwa perjalanan hidupku bukanlah perjalanan hidup yang lurus.”
“Tetapi agaknya Tuhan masih
memelihara kita semua untuk tetap berada dijalan-Nya,” sahut Ki Juru Martani.
“Itulah agaknya maka kita masih harus selalu mengucapkan terima kasih atas
kebesaran-Nya.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam.
“Sekarang,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “adalah kesempatan yang baik sekali bagiku untuk mengucapkan terima
kasih kepada semuanya. Semuanya yang telah memungkinkan Mataram dapat berdiri
tegak sampai saat ini. Mudah-mudahan semuanya untuk selanjutnya akan tetap
bersedia membantu Sutawijaya untuk mengembangkan Mataram.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak ia merenungi wajah Ki Gede Pemanahan. Wajah yang pucat
meskipun masih selalu tersenyum.
Dalam pada itu Kiai Gringsing
sempat memperhatikan wajah Ki Waskita yang diusap oleh cahaya lampu minyak yang
kemerah-merahan. Di luar cahaya pagi mulai meraba dinding. Namun sisa-sisa
keburaman malam masih bertebaran di halaman.
Kiai Gringsing menahan
nafasnya ketika dilihatnya wajah Ki Waskita menegang sejenak. Namun agaknya Ki
Waskita itu pun segera berusaha rnenghilangkan kesan itu dari wajahnya.
Tetapi yang sekejap itu telah
tertangkap oleh Kiai Gringsing. Ia sudah mencemaskan keadaan Ki Gede Pemanahan
menurut penilikan ilmu pengobatannya. Sedang agaknya Ki Waskita pun melihat
isyarat yang hitam pada kesehatan Ki Gede Pemanahan. Namun demikian Kiai
Gringsing masih tetap berdiam diri dan seakan-akan tidak melihat apa pun juga
di dalam bilik itu.
Bahkan Kiai Gringsing pun
kemudian berkata, “Ki Gede. Sebenarnya kedatangan kami sepagi ini adalah karena
kami mendengar bahwa Ki Gede memerlukan sesuatu untuk membantu pernafasan Ki
Gede yang agak berat.”
“O,” Ki Gede masih juga
tersenyum, “aku tidak apa-apa. Siapakah yang mengatakan?”
“Aku, Ayahanda,” sahut Raden
Sutawijaya, “aku melihat pernafasan Ayahanda yang agak lain.”
Ki Gede memandang anaknya
sejenak. Lalu katanya, “Kau terlalu mencemaskan keadaanku Sutawijaya. Aku tidak
apa-apa.”
Sutawijaya tidak menjawab.
“Dimanakah kedua murid Kiai
Gringsing?” berkata Ki Gede.
“Di luar, Ayahanda.”
“Kenapa mereka tidak kau bawa
masuk?”
“Ruangan ini terlampau
sempit.”
Ki Gede masih saja tersenyum.
Katanya, “Jika demikian, kawanilah mereka di luar.”
Raden Sutawijaya
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun segera beringsut. Katanya,
“Baiklah, Ayah. Aku akan berada di luar.”
Sutajwijaya pun kemudian
meninggalkan bilik ayahandanya. Di pintu ia masih terhenti sejenak. Namun
kemudian ia melanjutkan langkahnya. Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang
memberatinya. Tetapi Sutawijaya tidak dapat menolak perintah ayahandanya.
Di luar, Agung Sedayu dan
Swandaru duduk termenung di sebuah amben kayu yang diberi alas sebuah tikar
pandan yang tebal. Ketika mereka melihat Raden Sutawijaya menghampirinya, maka
hampir berbareng keduanya bertanya, “Bagaimana dengan Ki Gede Pemanahan?”
Raden Sutawijaya duduk di
sebelah mereka sambil menjawab, “Nampaknya menjadi semakin baik. Aku tidak
dapat membedakan keadaan Ayah yang sebenarnya. Apakah keadaannya bertambah baik
atau sebaliknya.”
Agung Sedayu dan Swandaru
termangu-mangu sejenak.
“Ayahanda masih selalu
tersenyum.”
“Mudah-mudahan keadaannya
berangsur baik. Apakah kata Guru ketika ia masuk ke dalam bilik Ki Gede
Pemanahan,” bertanya Agung Sedayu.
“Kiai Gringsing tidak
mengatakan apa-apa. Kiai Gringsing hanya memperkenalkan Ayahanda dengan Ki
Waskita. Ia sama sekali tidak menyentuh Ayahanda, apalagi memberikan obat apa
pun kepadanya.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu
mengerutkan keningnya. Tetapi mereka pun mengerti, bahwa Ki Gede Pemanahan
harus minum obat pada waktu-waktu tertentu.
“Tetapi kenapa Raden justru
keluar dari bilik itu?”
“Ayahanda memerintahkan aku
keluar. Mungkin bilik itu terasa terlampau panas, karena ada beberapa orang di
dalamnya.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak bertanya lebih banyak lagi. Karena itu
maka untuk beberapa saat lamanya mereka hanya duduk diam sambil menerawang ke
dunia angan-angan masing-masing.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
yang ada di dalam bilik menjadi cemas melihat perkembangan kesehatan Ki Gede
Pemanahan. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan meraba tangannya yang dingin.
Namun bukan saja Kiai
Gringsing yang menjadi sangat cemas. Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita yang
sepintas melihat isyarat tentang Ki Gede Pemanahan, nampak bahwa kesehatannya
menjadi akan sangat mundur. Bahkan akhirnya nampak di dalam isyarat itu, bahwa
saat untuk kembali ke dunia yang baka menjadi semakin dekat bagi Ki Gede
Pemanahan.
“Apakah memang demikian?” Ki
Waskita bertanya kepada diri sendiri.
Namun menilik keadaan tubuhnya
yang lemah, wajahnya yang pucat dan pernafasannya yang sendat, maka isyarat itu
agaknya mendekati kebenarannya.
Karena itulah maka Ki Waskita
pun menjadi sangat cemas seperti Kiai Gringsing yang melihat keadaan Ki Gede
dari segi yang lain, namun dengan kesimpulan yang sama.
Dalam pada itu, Ki Juru
Martani yang memiliki ketajaman penglihatan batin pun seakan-akan telah
melihat, bukan saja isyarat, tetapi jelas nampak padanya, bahwa Ki Gede
Pemanahan memang sudah sampai saatnya untuk kembali menghadap kepada Tuhannya.
Bukan sekedar karena perasaan kecewa bahwa anaknya telah meloncati pagar ayu,
bukan pula karena penyesalan, tetapi justru demikianlah yang seharusnya
terjadi.
Demikianlah maka suasana di
dalam bilik itu menjadi hening sepi. Meskipun Ki Demang di Sangkal Putung
secara pribadi tidak dapat mengetahui keadaan Ki Gede Pemanahan yang
sebenarnya, tetapi karena umurnya yang sudah cukup dibekali oleh berbagai macam
pengalaman, maka ia pun dapat merasakan suasana yang agak lain di dalam bilik
itu. Meskipun Ki Demang masih juga melihat Ki Gede Pemanahan tersenyum, tetapi
senyumnya rasa-rasanya adalah senyum yang lain.
“Kiai,” tiba-tiba terdengar Ki
Gede Pemanahan berdesis, “apakah menurut penglihatan Kiai, kesehatanku sangat
mundur, dan tidak dapat diharapkan untuk sembuh lagi?”
“Ah, tentu tidak demikian, Ki
Gede,” jawab Kiai Gringsing.
“Berkatalah sebenarnya, Kiai.
Kiai tidak berhadapan dengan anak-anak yang menangis jika ditunjukkan kelemahan
sendiri.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Setapak ia bergeser maju sambil berkata, “Ki Gede. Kita masih
harus berusaha. Kita masih dapat memohon kepada Tuhan untuk mendapatkan
kesembuhan. Tuhan Maha Pengasih. Betapa pun juga keadaan kita menurut
pengamatan manusiawi, tetapi bahwa kuasa-Nya memang tiada taranya.”
Ki Gede tersenyum. Katanya,
“Kiai benar. Kita tidak akan dapat menebak secara pasti, apakah yang
dikehendaki dan akan berlaku oleh kuasa-Nya. Tetapi secara manusiawi kita dapat
memberikan pertimbangan.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Namun kediamannya itu telah memberikan jawaban yang sebenarnya, sehingga Ki
Gede Pemanahan berkata sambil tersenyum, “Baiklah, Kiai. Aku mengerti bahwa
sudah barang tentu Kiai tidak akan dapat mengatakan berterus terang kepadaku.
Tetapi aku sudah menangkap apa yang tersirat di hati Kiai.”
“Ki Gede,” berkata Kiai
Gringsing, “tidak seorang pun dapat melihat rahasia yang tersembunyi di balik
kuasa dan kasih-Nya.”
“Ya, Kiai. Aku mengerti.” Ki
Gede termenung sejenak. Lalu tiba-tiba katanya kemudian, “Tetapi kuasa dan
kasih-Nya pulalah agaknya yang telah mendekatkan aku kepada-Nya. Agaknya aku
telah diperkenankan menghadap dengan sepenuh kesadaran. Aku masih mendapat
kesempatan untuk memohon ampun kepada-Nya atas segala kesalahanku. Itu merupakan
suatu kebahagiaan yang tiada taranya, karena aku akan memasuki kehidupan yang
abadi. Di perbatasan itulah jalan hidup abadiku akan ditentukan. Dan bukankah
kesempatan yang terakhir untuk memohon agar aku diperkenankan memilih pintu di
perbatasan itu adalah suatu kebahagiaan?”
Kiai Gringsing tidak dapat
merjawab. Kepalanya tertunduk lesu.
“Kakang Juru,” berkata Ki Gede
kemudian, “Kakang adalah orang yang mumpuni. Satu-satunya orang yang aku
percaya untuk mengasuh Danang Sutawijaya selanjutnya.”
Ki Juru memandang Ki Gede
Pemanahan dengan wajah sayu. Lalu katanya, “Kita masih dapat memohon, Adi.”
Tiba-tiba saja Ki Gede
menjawab sambil tersenyum, “Bertanyalah kepada Ki Waskita. Menurut
pendengaranku, Ki Waskita dapat melihat apa yang terjadi.”
“Tidak. Tidak, Ki Gede. Bukan
dapat melihat apa yang terjadi. Sekedar melihat isyarat yang kabur.”
“Nah, apakah kata isyarat
itu.”
“Tentang apa Ki Gede?”
“Tentang diriku.”
“O,” keringat dingin mengembun
di punggung Ki Waskita. Adalah sulit sekali baginya untuk mengatakan, apa yang
melintas di dalam penglihatan batinnya. Isyarat yang buram dari ujung jalan
yang dilalui oleh Ki Gede Pemanahan.
Tetapi Ki Gede berkata
selanjutnya, “Kediaman Kiai Gaingsing, keragu-raguan Ki Waskita dan tatapan
mata Ki Juru Martani yang suram telah memberikan gambaran kepadaku, apakah yang
sebenarnya kalian pikirkan.”
Ki Juru Martani menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya dengan nada yang dalam, “Adi Pemanahan. Memang kami
tidak dapat menyembunyikan perasaan cemas di dalam hati kami. Tetapi apakah itu
berarti bahwa kita semua harus menghentikan segala usaha karena kita sudah
berputus asa? Tidak. Kita selalu percaya kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Jika
masih ada kemurahan-Nya, maka kita sudah memohon dengan sepenuh hati. Tetapi,
jika kau memang sudah waktunya dipanggil mendekat, kita pun akan mengucapkan
terima kasih pula. Adalah jarang orang yang sadar sepenuhnya setelah ia berdiri
di ambang pintu perbatasan dan dunia yang fana ini dengan dunia yang tanpa
akhir.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum.
Senyumnya masih saja nampak jernih. Dan dari senyumnya yang jernih itu
terbayang hatinya yang jernih pula Apalagi di saat-saat terakhir.
“Baiklah, Kakang,” berkata Ki
Gede Pemanahan, “adalah tidak baik untuk mendahului keputusan Yang Maha Agung.
Karena itu kita harus berbuat seakan-akan kita masih akan tetap hidup untuk
waktu yang lama, tetapi tidak kecewa, menyesal dan apalagi menolak jika
keputusan itu jatuh.”
Ki Juru Martani
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tatapan mata yang kosong.
“Untuk sementara biarlah
Danang berada di luar mengawani kedua murid Kiai Gringsing,” desis Ki Gede
Pemanahan.
“Ya, Adi,” sahut Ki Juru.
“Tetapi masih ada yang aku
inginkan di saat terakhir ini,” berkata Ki Gede Pemanahan pula.
“Apa itu, Adi?”
Ki Gede masih dapat tertawa.
Tertawanya masih juga sejernih senyumnya, sambil menatap wajah Kiai Gringsing
yang tertunduk.
Hampir bersamaan semua orang
berpaling memandang Kiai Gringsing. Tetapi hanya sekilas. Mereka yang sudah
memiliki kemampuan menanggap keadaan itu, segera mengetahui bahwa sebelum saat
terakhir tiba, Ki Gede Pemanahan masih dibebani oleh suatu keinginan untuk
mengetahui siapakah sebenarnya Kiai Gringsing itu.
Kiai Gringsing pun menyadari
persoalan yang sedang dihadapinya. Karena itu, hatinya rasa-rasanya menjadi
bergejolak tidak menentu.
Di hadapan orang yang sudah
tidak memiliki kelanjutan bagi hidup fananya, bukan waktunya lagi untuk
menyembunyikan dirinya. Tetapi adalah sulit sekali bagi Kiai Gringsing untuk
menyatakan dirinya sendiri. Ia tidak pernah bermimpi untuk pada suatu saat ia
harus menyebut nama lain daripada Ki Tanu Metir dari Dukuh Pakuwon atau nama
yang kemudian menyusul, Kiai Gringsing yang mula-mula sekedar untuk bergurau
dengan Agung Sedayu. Tetapi yang kemudian justru nama itulah yang dipakainya
sehari-hari, meskipun sebelumnya Untara dan orang tuanya menyebutnya Ki Tanu
Metir pula.
Dalam pada itu, dengan suara
yang melemah, Ki Gede Pemanahan berkata, “Nah, terserahlah kepada Kiai
Gringsing. Apakah aku masih sempat mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik
kain gringsingmu itu?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Di luar sadarnya ia memandang berkeliling. Dilihatnya wajah-wajah
yang tiba-tiba saja menjadi bersungguh-sungguh. Wajah Ki Juru Martani, Ki
Waskita, Ki Sumangkar, dan Ki Demang di Sangkal Putung. Seolah-olah wajah-wajah
itu telah menekannya untuk mengatakan sesuatu kepada Ki Gede yang nampaknya
menjadi semakin lemah itu.
“Kiai,” berkata Ki Juru
Martani, “memang sulit untuk memenuhi permintaan itu. Tetapi itu adalah
permintaan Ki Gede yang sedang sakit.”
“Dan barangkali itu adalah
permintaanku yang terakhir. Adalah lamban sekali rasanya perjalanan ini jika
aku tidak mengenal yang satu ini. Mungkin aku tidak akan selalu dibayangi oleh
teka-teki yang aneh ini, jika aku yakin bahwa Kiai sama sekali tidak aku kenal
sebelumnya seperti Ki Waskita, meskipun aku pernah mendengar serba sedikit
tentang ilmunya. Tetapi rasa-rasanya bagiku, Ki Waskita yang juga bernama Jaka
Raras adalah Ki Waskita yang sekarang aku kenal. Tidak ada sesuatu yang terasa
sendat di perasaan.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Waskita sejenak. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Ki Waskita sudah
mendahului, “Aku sudah mengatakan Kiai, bahwa aku adalah Jaka Raras, saudara
seperguruan orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu. Dan namaku yang
sebenarnya memang Waskita, tidak lebih dan tidak kurang. Aku datang dari daerah
tidak dikenal dan aku pun kemudian tinggal di daerah yang tidak dikenal.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Lalu katanya di dalam suasana yang menegang itu, “Ah. Ki Waskita
dengan tergesa-gesa menyelamatkan dirinya, seolah-olah aku ingin mendapatkan
kawan untuk bersembunyi.”
Ki Gede Pemanahan masih dapat
tertawa pula. Katanya dengan lemah, “Demikianlah, sehingga teka-teki yang aneh
telah memaksa aku untuk bertanya tentang Kiai Gringsing. Seorang dukun yang
berada di daerah terpencil di dekat Jati Anom, sahabat Ki Sadewa yang dikenal
oleh setiap orang Pajang, kemudian melakukan pengembaraan tiada berbatas waktu.
Perhatian Kiai terhadap Pajang, kemudian perkembangan Mataram memang sangat
menarik. Bukan sekedar kebetulan saja. Bahkan kadang-kadang Kiai telah
berbicara tentang masa kebesaran Demak dan saat-saat Pajang berhenti sejak
Sultan Hadiwijaya merasa dirinya sudah sampai kepada puncak pencapaiannya. Saat
Sultan Hadiwijaya mulai berpaling dari perjuangan yang pernah dilakukan pada
masa mudanya.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Gede Pemanahan sejenak. Kemudian beralih kepada Ki Juru Martani.
“Kiai mempunyai syarat?”
bertanya Ki Juru Martani.
Kiai Gringsing menggeleng.
Tetapi katanya kemudian, “Sebenarnya aku ingin menganjurkan agar Ki Gede
beristirahat sebanyak-banyaknya. Dengan demikian badannya akan menjadi segar
dan akan sangat berpengaruh bagi kesehatannya.”
“Ya Kiai,” sahut Ki Gede
Pemanahan, “aku memang akan beristirahat sebaik-baiknya. Bukan hanya untuk
waktu yang pendek. Bahkan tidak hanya sehari dua hari. Tetapi aku memang sudah
mendekati tempat peristirahatanku yang abadi.”
“Ah,” desah Kiai Gringsing.
“Adakah orang yang dapat lari
dari kenyataan itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan. “Mungkin sehari ini aku masih
akan tetap dapat tersenyum. Tetapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi malam
nanti. Aku juga tidak tahu apakah besok aku masih sempat melihat matahari itu terbit
dan melemparkan sinarnya menembus lubang-lubang dinding.”
“Tentu, Ki Gede.”
“Kiai, apakah Kiai merasa
bahwa kemampuanmu dengan obat-obat, akan dapat menerobos takdir yang pasti
berlangsung.”
“Tidak seorang pun yang
melihat takdir itu sebelum terjadi. Ki Waskita pun hanya melihat
isyarat-isyarat,” sahut Kiai Gringsing. “Namun sebenarnyalah bahwa Tuhan Maha
Kuasa. Jika yang terjadi itu harus terjadi, tidak seorang pun dapat
merubahnya.”
Ki Gede tersenyum. Lalu, “Nah,
jika demikian apakah Kiai dapat memberikan bekal sehari ini, agar aku tidak
tersendat di perjalanan ini.”
Dada Kiai Gringsing tergetar.
Ki Gede Pemanahan ternyata memiliki firasat yang tajam tentang dirinya, dan
sebagai orang yang mapan, ia sama sekali tidak menjadi gelisah.
Tetapi justru orang lainlah
yang menjadi gelisah. Orang-orang yang mengerti bahwa Ki Gede Pemanahan akan
meninggalkan mereka untuk suatu perjalanan yang sangat panjang tanpa batas.
Namun yang paling gelisah dari
mereka yang sedang gelisah itu adalah Kiai Gringsing. Selain ia menyadari bahwa
Ki Gede Pemanahan benar-benar akan meninggalkan mereka, hari ini atau malam
nanti, juga karena ia tidak akan dapat menghindarkan diri lagi dari pertanyaan
Ki Gede Pemanahan. Justru karena Ki Gede Pemanahan akan meninggalkan mereka
itulah maka Kiai Gringsing tidak sampai hati untuk mengelakkan diri lagi.
“Bagaimana Kiai?” justru Ki
Gede Pemanahan masih tetap tersenyum.
“Ki Gede,” Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam, “apakah dasar dan titik tolak yang dapat aku
pergunakan untuk membuat suatu cerita yang menarik tentang diriku sendiri?”
“Tentu banyak sekali,” berkata
Ki Gede Pemanahan, “sikap dan cara hidup Kiai yang lain dari orang lain. Juga
kelebihan Kiai mempergunakan cambuk atau bertanyalah kepada Ki Juru.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Juru Martani. Sebelum ia bertanya sesuatu Ki Juru-lah yang mendahului,
“Sebaiknya Kiai bercerita tentang guratan di pergelangan tangan Kiai.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Barangkali cerita ini sangat menjemukan.
Tetapi apa boleh buat. Aku akan menceritakan, kenapa tanganku terdapat sebuah
guratan hitam.”
“Berceritalah, Kiai,” berkata
Ki Gede, “rasa-rasanya aku akan mendengarkannya seperti anak-anak yang
mendengar kidung menjelang tidur. Aku pun ingin mendengarkan kidung yang merdu
itu sebelum aku tidur nyenyak dan tidak terbangunkan lagi.”
“Ah,” desis Kiai Gringsing,
“jangan membuat hatiku kuncup. Dengan demikian aku akan kehilangan baris demi
baris dari kidungku ini.”
“Baiklah. Mulailah.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ditatapnya setiap wajah sejenak. Rasa-rasanya semua orang menjadi
tegang, termasuk Ki Gede Pemanahan sendiri.
“Seperti anak-anak muda yang
lain pada waktu itu,” Kiai Gringsing mulai dengan ceritanya, “kami senang
sekali membuat lukisan pada badan kami. Beberapa orang di antara anak-anak muda
ada yang membuat lukisan yang mengerikan di lengannya, di bahunya bahkan di
punggungnya. Mereka mencocok tubuh mereka dengan duri ikan yang sudah mereka
keringkan dan membuat gambar tengkorak, gambar ular naga, dan gambar-gambar
yang lain.”
Ki Juru tertawa. Katanya
memotong, “Kiai mulai lagi dengan cerita tentang pembuatan gambar itu, bukan
makna dari lukisan yang ada di tangan Kiai.”
“O,” Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya, “aku memang akan sampai ke sana. Bahkan aku pun telah
membuat lukisan di pergelangan tanganku dengan arti yang khusus.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Yang khusus itulah yang ingin aku
dengar Kiai.”
“Baiklah.” Kiai Gringsing
bergeser sedikit, “memang bentuk lukisan di tanganku ini adalah khusus sekali.
Sehelai cambuk dengan sebuah cakra bergerigi sepuluh di ujungnya.”
“Itu yang sangat menarik,”
berkata Ki Juru Martani.
Yang lain menjadi semakin
tegang. Ki Demang Sangkal Putung yang berkesempatan mendengarkan pembicaraan
itu menjadi termangu-mangu. Seakan-akan ia mendapat kesempatan untuk
mendengarkan sebuah rahasia yang sangat besar.
Sekilas terkenang olehnya
makhluk yang tidak berhak mendengarkan sebuah rahasia yang maha besar, tanpa
disengaja telah ikut mendengarkannya. Cerita itu berkembang seakan-akan
benar-benar telah terjadi. Seekor cacing yang ada di dalam segumpal tanah liat
yang dipergunakan oleh orang arif menyumbat sebuah lubang kecil dari sebuah
perahu yang dipergunakan oleh mereka untuk membicarakan sesuatu yang bersifat
sangat rahasia. Akhirnya cacing itu justru telah berubah menjadi manusia atas
kesaktian sabda salah seorang arif yang ikut di dalam pembicaraan rahasia di
lautan itu. Justru menjadi manusia yang sakti pula.
“Aku merasa seperti cacing
itu,” berkata Ki Demang di Sangkal Putung di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak berbuat apa
pun juga selain duduk di tempatnya. Katanya di dalam hati, “Jika kesempatan itu
ada padaku, alangkah baiknya. Aku sempat mengetahui siapakah sebenarnya orang
yang selama ini dikenal sebagai seorang dukun dari Dukuh Pakuwon dan bernama Ki
Tanu Metir itu.”
Dakam pada itu, Kiai Gringsing
pun bercerita terus, “Gambar yang ada di pergelangan tanganku ini memang ciri
dari suatu perguruan.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi tidak semua orang
yang melukiskan ciri itu adalah murid dari perguruan itu. Tetapi mereka yang
mendapat perlindungan daripadanya, mendapat ciri itu pula. Mereka yang karena
kedudukannya atau keadaannya menjadi salah seorang yang mendapat belas kasihan
dari perguruan yang besar itu.”
“Dan apakah benar Kiai membuat
lukisan itu dengan duri ikan?” tiba-tiba Ki Juru bertanya.
Kiai Gringsing memandanginya
sejenak. Lalu perlahan-lahan ia menggeleng, “Tidak, Ki Juru. Memang tidak.”
Ki Juru menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyesali keterangan Kiai Gringsing sebelumnya,
karena ia tahu Kiai Gringsing sebenarnya tidak bermaksud buruk. Ia hanya
sekedar ingin menyembunyikan diri lebih lama lagi. Tetapi agaknya menghadapi Ki
Gede Pemanahan yang rasa-rasanya sudah tidak akan mempunyai waktu kelak, Kiai
Gringsing tidak sampai hati untuk mengelakkan diri lagi.
Karena itulah, maka tidak ada
jalan lain bagi Kiai Gringsing untuk memenuhi keinginan Ki Gede Pemanahan.
Dalam pada itu, Ki Juru pun
bertanya selanjutnya, “Jadi, dengan apa Kiai membuat lukisan di pergelangan
tangai Kiai itu?”
Kiai Gringsing memandang Ki
Juru sejenak, lalu jawabnya, “Sebenarnya jawabnya tentu sudah ada di dalam hati
Ki Juru. Aku yakin Ki Juru sudah mengetahuinya, demikian juga yang lain-lain.”
“Sebutlah, Kiai,” desis Ki
Gede Pemanahan.
“Baik. Baiklah,” sahut Kiai
Gringsing. “Aku membuat lukisan ini dengan bara besi baja.”
Hampir bersamaan Ki Juru
Martani, Ki Gede Pemanahan, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Seakan-akan mereka mendengar sesuatu yang telah lama menyesak di
dalam hati mereka. Jawaban Kiai Gringsing itu telah membenarkan dugaan yang
tersimpan di dalam dada masing-masing.
Hanya Ki Demang Sangkal Putung
sajalah yang agak terkejut mendengar hal itu. Sebagai orang tua ia pun berusaha
menempatkan dirinya, sehingga ia masih tetap menahan berbagai macam pertanyaan
di dalam dirinya.
Kiai Gringsing memandang
orang-orang yang ada di sekitarnya. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah
kalian telah menduga bahwa demikianlah jawabanku?”
“Ya,” jawab Ki Waskita, “sejak
semula aku menduga, bahwa lukisan yang ada di dalam tubuh Kiai jika ada, tentu,
dibuat dari bara besi baja. Besi baja yang merah oleh api dilekatkan pada tubuh
Kiai dan akan meninggalkan bekas luka bakar yang sepanjang hidup tidak akan
lenyap. Dan lukisan di pergelangan tangan Kiai itu tentu merupakan bentuk
tertentu.”
“Aku sudah melihatnya,” sahut
Ki Juru.
“O,” Ki Waskita
mengangguk-angguk, “tetapi teruskanlah Kiai. Seandainya Ki Argapati ada di
antara kita, ia tentu akan mengangguk-angguk pula bersama kita semuanya.”
“Ki Argapati pernah melihat
lukisan di pergelangan tanganku.”
“Benar begitu?” Ki Waskita
heran.
“Tentu jawab Kiai atas
pertanyaan Ki Argapati itu sama dengan jawaban Kiai kepadaku pada saat aku
melihat lukisan di pergelangan itu,” sahut Ki juru Martani.
Kiai Gringsing tersenyum.
Kepalanya terangguk kecil sambil menjawab, “Ya, begitulah. Aku mengatakan bahwa
aku telah membuat lukisan itu tanpa maksud apa-apa.”
Ki Sumangkar yang masih saja
mengangguk-angguk menyahut, “Tetapi tentu tersimpan dugaan pada Ki Argapati
seperti apa yang terjadi sebenarnya. Tetapi Ki Argapati tidak akan memaksa agar
Kiai Gringsing mengatakan sesuatu tentang dirinya, apabila hal itu tidak
dikehendakinya.”
“Demikianlah agaknya. Pada
saat itu Ki Argapati juga sedang terluka parah. Pada saat aku mengobatinya,
maka aku kurang memperhatikan pergelangan tanganku, sehingga tiba-tiba saja ia
menangkap tanganku dan bertanya tentang lukisan itu.”
Ki Juru yang juga
mengangguk-angguk berkata, “Nah, jika demikian maka aku berhadapan dengan murid
dari perguruan Windujati.”
“Ada beberapa orang murid dari
perguruan itu,” sahut Ki Waskita, “meskipun aku tidak akan dapat membedakan
yang satu dengan yang lain, tetapi apakah Kiai bersedia menyebut serba sedikit,
barangkali dapat membuka hati kami untuk menyebut nama Kiai yang sebenarnya?
Bukan sekedar Kiai Gringsing, Ki Tanu Metir, dan nama yang mana lagi.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Aku kini berkata sebenarnya. Bukan hanya murid-murid
dari perguruan Windujati sajalah yang boleh memakai tanda seperti ini. Tetapi
mereka yang sudah dianggap keluarga paling dekat dari perguruan Windujati,
diberi pula tanda serupa. Tentu saja mereka yang bersedia, dan menganggap
dirinya satu dengan keluarga Windujati.”
Ki Juru Martani mengerutkan
keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Tetapi perguruan Windujati adalah
perguruan yang dibatasi dengan ketat dari lingkungan perguruan yang lain.”
“Tetapi itu bukan berarti
bahwa Empu Windujati tidak mempunyai sahabat-sahabat terdekat.”
“Apakah Kiai masih akan
mengatakan bahwa Kiai bukan murid dari perguruan Windujati, tetapi sekedar
orang yang dianggap keluarga terdekat?”
“Ya. Dan itu adalah yang
sebenarnya. Aku adalah orang yang berada di dalam lingkungan perguruan Empu
Windujati.”
“Kiai,” berkata Ki Waskita,
“bukankah aku sudah mengatakan, bahwa seorang murid dari perguruan Windujati
mempunyai guru yang lain dari Empu Windujati sendiri, tetapi justru atas
persetujuan Empu Windujati. Ilmu dari murid itu merupakan ilmu yang dahsyat
sekali, karena ilmu kedua gurunya telah luluh di dalam dirinya.”
Kiai Gringsing menelan
ludahnya.
“Alangkah dahsyatnya,” desis
Ki Juru Martani, “aku tidak berani menyebutnya demikian. Tetapi Ki Waskita
telah menebaknya. Dan jika benar demikian, maka yang tampak selama ini adalah
bukan seluruh kemampuan yang ada di dalam dirinya. Kedahsyatan yang tersembunyi
tentu merupakan ilmu yang tiada bandingnya.”