Buku 054
“Apakah kau melihat
hantu-hantu itu melempari barak ini dengan batu?”
“He?” orang yang
kekurus-kurusan itu justru terperanjat, bahkan ia bertanya, “apakah rumah ini
dilempari dengan batu?”
“Ya. Tepat pada saat suara
hantu-hantu itu mengitari barak ini.”
“Bodoh kau,” orang yang tinggi
kekar itu berteriak, “hantu-hantu tidak perlu melemparkan batu-batu itu dengan
tangannya seperti kita manusia yang kerdil ini. Hantu-hantu hanya cukup berniat
untuk melakukan dan batu-batu itu akan terbang sendiri mengenai sasarannya.”
“O,” orang-orang yang
mendengar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau begitu, hantu-hantu itu
tidak marah karena orang tua yang bersandar dinding ini, tetapi karena kau yang
berani berada di luar rumah ketika mereka lewat.”
“Kalau mereka marah kepadaku,
mereka dapat berbuat apa saja seketika itu. Mereka dapat membakar aku dengan
sinar matanya yang menyala seperti api. Atau mematuk tubuhku dengan belaian
rambutnya yang terdiri dari ular-ular yang hidup. Atau dengan cara apa pun yang
sangat mudah mereka lakukan.”
Orang yang tinggi kekar itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tampak merenung sejenak. Lalu tiba-tiba
dipandanginya Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang tajam. Selangkah demi
alangkah ia mendekat. Sambil menunjuk wajah orang tua ia berkata, “Kau, kau
sumber dari bencana ini.”
Perlahan-lahan Kiai Gringsing
bergeser. Tetapi ia masih tetap duduk di tempatnya.
“Kau adalah sumber dari semua
bencana yang akan menimpa kita kelak. Kali ini lemparan-lemparan batu. Lain
kali apa lagi. Mungkin hantu-hantu itu akan menyebar racun dan membunuh kita
semuanya.”
Kiai Gringsing masih tetap
duduk di tempatnya. Tetapi ia masih belum menjawab.
“He, orang yang sombong. Hantu
itu marah bukan karena kau telah menghinanya pada saat mereka lewat. Tetapi
mereka pasti marah dan mendendammu karena kau tetap pada pendirianmu, menebas
hutan terlarang itu. Sekarang kau melihat sendiri akibat apakah yang sudah
terjadi atas kita di sini.”
Kiai Gringsing masih tetap
duduk di tempatnya. Meski pun ia mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi
wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa pun juga.
“Dengar hai orang yang keras
kepala. Sekarang, di hadapan orang-orang yang ada di dalam barak ini kau harus
berjanji, bahwa kau akan menghentikan pekerjaanmu yang bodoh itu.”
Kiai Gringsing masih belum
menjawab.
“Kenapa kau diam saja, he?
Apakah aku harus memaksamu untuk berbicara dan menyanggupi kehendak kami untuk
kepentingan kita semua di sini? Kami berjanji bahwa kau akan mendapat bagian
pada salah satu kelompok yang ada di sini, sehingga kau tidak perlu cemas
memandang ke hari depanmu, hari depan anak-anakmu yang masih panjang. Kau
mengerti? Kau mengerti, he?”
Kiai Gringsing tidak segera
menyahut, ia sendiri menjadi bimbang karenanya. Bukan keragu-raguan apakah ia
akan melanjutkan kerjanya atau tidak. Tetapi ia ragu-ragu, bagaimanakah
sebaiknya menghadapi orang yang tinggi kekar ini.
“He, kenapa kau tidak
menjawab?”
“Tenanglah,” berkata Kiai
Gringsing, “aku ingin mendapat kesempatan untuk menjelaskan.”
“Kau hanya dapat menjawab
dengan satu kata, ‘ya’. Tidak ada jawaban lain yang dapat kau sebutkan.”
“Tunggu dulu.”
“Tutup mulutmu. Aku tidak mau
mendengar kata-kata lain.”
Kiai Gringsing menarik nafas.
Tetapi ia diam saja.
“Ayo jawab.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
“Apa kau bisu, he?”
“Apakah kau mau mendengarkan
jawabku?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.
“Kau tinggal mengucapkan
‘ya’.”
“Kau atau aku yang harus
menjawab. Kalau kau sendiri yang akan menjawabnya, jawablah. Tetapi kalau aku
yang harus menjawab pertanyaanmu, maka kau harus mau mendengarkannya.”
Wajah orang itu menjadi merah.
Hampir saja ia kehilangan kesabaran. Namun seperti biasanya orang-orang lain
selalu berusaha menahannya.
“Jangan. Jangan terlampau
cepat marah. Sebaiknya dengar apa yang akan dikatakannya,” berkata seseorang
yang sudah berambut putih.
“Ia sombong sekali,” geram
orang yang tinggi itu.
Kini beberapa orang telah
berdiri dan mengerumuni orang yang berdiri di hadapan Kiai Gringsing yang sudah
berdiri pula. Agung Sedayu dan Swandaru pun telah tegak pula di belakang
gurunya. Wajah-wajah mereka pun menjadi tegang. Namun mereka masih berusaha
untuk menahan diri. Mereka masih belum tahu benar, apakah yang akan dilakukan
oleh gurunya.
“Cobalah dengar,” berkata Kiai
Gringsing, “aku masih ingin mendapat kesempatan sekali lagi atas tanggung
jawabku sendiri. Aku yakin bahwa pada suatu saat aku akan dapat berkata kepada
mereka dalam suasana yang sebaik-baiknya. Aku yakin bahwa Kiai Damar bukan
seorang pembohong.”
Orang yang bertubuh tinggi
kekar itu mengerutkan keningnya, “Kenapa kau singgung-singgung nama Kiai
Damar.”
“Ya, Kiai Damar adalah seorang
dukun sakti yang mampu berhubungan langsung dengan hantu-hantu. Bukankah semua
orang sudah mengenalnya, meski pun belum mengenal namanya.”
Orang yang tinggi kekar itu
tidak menyahut. Tetapi ketika Kiai Gringsing mengedarkan tatapan matanya, maka
setiap orang yang dipandanginya menganggukkan kepalanya.
“Nah, aku yakin akan hal itu.
Yakin bahwa Kiai Damar adalah seorang yang dapat dipercaya.”
Orang yang tinggi besar itu
tampak termangu-mangu.
“Bukankah begitu?”
“Apa katanya?” bertanya orang
itu.
“Ketika aku datang kepadanya
untuk minta obat bagi anakku, ia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itulah
sebabnya aku percaya sepenuhnya kepadanya.”
“Apa yang diketahuinya.”
“Ia berkata kepadaku saat itu
‘Pulanglah, anakmu akan sembuh dengan sendirinya.’ Ternyata anakku benar-benar
telah sembuh. Sudah tentu setelah Kiai Damar berbicara dengan hantu-hantu.”
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Di dalam persoalan tanah garapan itu
pun Kiai Damar sudah berbicara dengan mereka menurut keterangan Kiai Damar.”
“Bohong!”
“Sebenarnya aku tidak boleh
mengatakannya kepada siapa pun sebelum aku berhasil.”
“Apa?”
“Pada saatnya akan aku
katakan. Tetapi di antaranya dapat kalian ketahui, bahwa Kiai Damar
menganjurkan aku bekerja terus. Bekerja menurut petunjuknya.”
“Apa petunjuk itu?”
“Sudah aku katakan, pada
saatnya kalian akan mengetahui. Aku takut mengatakannya sekarang.”
Orang yang kekar itu menjadi
ragu-ragu sejenak.
“Ada sesuatu yang harus aku
lakukan di tanah garapan itu.”
“Kau membual.”
“Aku akan menghadap Kiai Damar
sekali lagi. Kalau aku memang tidak diijinkan untuk meneruskan kerja ini, maka
biarlah persoalannya akan aku serahkan kembali kepada Kiai Damar.”
Orang yang tinggi kekar itu
menjadi semakin ragu-ragu.
“Atau apakah ada di antara
kalian yang akan bertanya kepadanya? Aku akan berterima kasih kalau seseorang
memerlukan membuktikan kebenaran kata-kataku.”
Sejenak orang-orang yang
mengerumuninya itu terdiam. Orang yang tinggi itu pun terdiam pula. Tanpa
sesadarnya ia berpaling memandang orang yang kekurus-kurusan. Tetapi wajah
orang yang kekurus-kurusan itu pun membayangkan keragu-raguan pula.
“Baiklah,” tiba-tiba orang
yang kekar itu berkata, “kalau kau memang sudah mendapat suatu pesan dari Kiai
Damar. Tetapi kalau kau berbohong maka lehermu menjadi taruhan.” Orang itu
berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kenapa hantu-hantu itu marah?”
“Mungkin ada persoalan lain
yang tidak kita mengerti. Hantu-hantu itu pasti tidak akan mempersoalkan
kerjaku lagi. Kerja yang sudah mendapat ijin mereka atau setidak-tidaknya
sepengetahuan mereka.”
Orang yang tinggi kekar itu
masih berdiri di tempatnya. Namun kemudian ia menggeram, “Kita akan
membuktikan, apakah kau sekedar berbohong, atau sebenarnya memang demikian.
Kita akan melihat akibat selanjutnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan bersungguh-sungguh ia memandang orang
yang tinggi kekar itu. Kemudian kepada wajah-wajah yang tegang di sekitarnya.
“Aku tidak berbohong,” ia
berdesis.
Orang yang tinggi kekar tidak
menyahut lagi. Dengan mengumpat-umpat ia pergi meninggalkan Kiai Gringsing dan
kedua anak-anaknya.
Sepeninggal orang yang tinggi
kekar itu, maka beberapa orang masih tetap mengerumuninya. Namun kemudian
seorang demi seorang mereka pun meninggalkannya.
Ketika tidak banyak lagi orang
yang berdiri di dekat Kiai Gringsing maka seseorang telah bertanya, “Apakah kau
berkata sebenarnya?”
Kiai Gringsing yang tidak
mengenal orang itu sampai ke dalam jantungnya mengangguk dan menjawab, “Ya,
tentu aku berkata sebenarnya.”
“Dan kau masih akan mencoba
seperti yang kau katakan?”
“Ya.”
“Berbahaya sekali.”
“Aku yakin Kiai Damar akan
melindungi aku.”
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan melangkah meninggalkan Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing kemudian
bersama-sama kedua murid-muridnya duduk kembali di tempatnya. Sejenak mereka
saling berdiam diri. Namun demikian Kiai Gringsing menyadari betapa kedua
murid-muridnya telah menahan hati mereka.
“Pada suatu saat, dada ini
akan meledak,” desah Swandaru.
Kiai Gringsing tersenyum.
Dilihatnya beberapa orang telah berbaring kembali di tempatnya.
“Suatu latihan kesabaran yang
paling baik, Swandaru.”
“Tetapi sampai kapan?”
“Sampai pada suatu saat yang
tidak akan lama lagi.”
“Saat yang tidak akan lama
lagi itu adalah suatu waktu yang tidak dapat dibayangkan.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Tetapi ia tidak menjawab.
Agung Sedayu yang tidak
bertanya apa pun itu kemudian berbaring pula. Betapa darahnya serasa mengalir
semakin cepat, namun ia masih tetap mencoba menguasai perasaannya.
Swandaru pun kemudian
menyusulnya pula. Berbaring di sampingnya agak berdesak-desakkan. Sedang Kiai
Gringsing duduk bersandar dinding sambil memandang orang-orang yang sudah mulai
mencoba untuk dapat tidur kembali.
“Kasihan. Jiwa mereka bagaikan
daun kering yang diombang-ambingkan gelombang di permukaan wajah lautan. Tidak
menentu dan sama sekali tanpa pegangan.”
Tetapi Kiai Gringsing masih
belum dapat berbuat apa-apa. Yang dapat dilakukannya adalah mengusap dadanya
dengan penuh iba.
“Mudah-mudahan kalian tidak
akan lebih lama lagi mengalami tekanan perasaan serupa itu,” ia berkata di
dalam hatinya.
Ternyata sisa malam sudah
tidak terlampau panjang lagi. Sejenak kemudian langit di ujung timur pun telah
mulai menjadi kemerah-merahan.
Barak itu pun tidak lama
kemudian menjadi terbangun pula karenanya. Beberapa orang dengan sikap
ragu-ragu telah keluar dan turun ke halaman. Seorang demi seorang mereka pergi
ke sumur dan ke parit yang tidak begitu jauh dari barak itu. Namun bagaimana
pun juga mereka masih terap dibayangi oleh ketakutan apabila mereka teringat
kepada suara-suara hantu semalam.
“Tetapi hantu-hantu tidak akan
mau menampakkan dirinya setelah ayam jantan berkokok untuk terakhir kalinya,”
berkata mereka di dalam hati untuk menenteramkan perasaan masing-masing.
Demikianlah maka pada saatnya
mereka pun telah meninggalkan barak dan gardu pengawas pergi ke tempat kerja
masing-masing sambil membawa rangsum masing-masing. Demikian juga Kiai
Gringsing dan kedua muridnya. Mereka pun telah pergi ke tempat kerja mereka,
yang sampai saat terakhir masih menjadi persoalan.
“Kalau mereka berhasil
mengusir kita dan setiap orang yang akan melanjutkan kerja ini, maka lambat
laun mereka akan berhasil mengusir orang-orang yang berada di dalam barak itu
pula dengan cara mereka. Semakin lama maka semakin tipislah usaha untuk
memperluas tanah garapan ini, sehingga pada suatu saat, maka hantu-hantu itu
akan masuk ke tempat-tempat yang lebih ramai dan mengusir orang-orang dari
daerah Mataram yang sedang dibangun ini,” berkata Kiai Gringsing kepada
murid-muridnya. Lalu, “Karena itu, apa pun yang akan terjadi, kita harus tetap
bertahan. Mungkin kita memang harus berkelahi dengan hantu-hantu itu. Tetapi
apa boleh buat.”
Kedua murid-muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sangat menarik sekali apabila pada suatu
saat mereka dapat berkelahi dengan hantu-hantu yang telah mencoba mengganggu
ketenteraman orang-orang yang sedang membuka hutan itu.
“Guru,” tiba-tiba saja Agung
Sedayu berkata, “supaya kita dapat berbuat lebih leluasa, bagaimanakah kalau
kita minta kepada para pengawas untuk dapat tinggal di gubug-gubug kecil yang
telah ditinggalkan oleh penghuninya itu? Kita dapat berbuat sesuai dengan
rencana kita sendiri tanpa ada orang yang menghalanginya, dan sudah tentu, kita
tidak akan mengganggu dan menggelisahkan orang di dalam barak itu apabila kita
dikatakan telah membuat hantu-hantu itu marah yang kemarahannya akan menimpa
semua orang di dalam barak itu.”
Kiai Gringsing merenung
sejenak. Katanya, “Itu suatu pendapat yang baik. Aku setuju. Aku akan mencoba
mengatakannya agar kita diberi kesempatan untuk tinggal di gubug-gubug kecil
yang kosong itu.”
Demikianlah, ketika mereka
telah selesai bekerja sehari penuh, mereka pun segera kembali. Sebenarnya tidak
ada yang mereka kerjakan selain membersihkan beberapa bagian dari rerumputan
liar dan mengawasi tempat itu dengan lebih saksama lagi.
Mereka tidak segera kembali ke
barak, tetapi Kiai Gringsing bersama kedua muridnya telah menemui para pengawas
untuk menyampaikan maksudnya itu.
Para pengawas yang mendengar
permintaan Kiai Gringsing itu menjadi heran. Ada di antara mereka yang tidak
langsung mempercayai pendengarannya sehingga bertanya, “Apakah kau sekedar
bergurau?”
“Tidak, Tuan,” jawab Kiai
Gringsing, “kami bersungguh-sungguh.”
Beberapa orang pengawas
menarik nafas dalam-dalam. Seseorang yang gemuk pendek berambut jarang menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil bergumam, “Aku tidak mengerti.”
Ki Wanakerti, salah seorang
dari para pengawas itu berkata, “Kalian menunjukkan sikap yang lain dari
orang-orang yang ada di sini sejak kalian datang. Kalian pernah mengalami
banyak hal yang dapat mendesak kalian untuk meninggalkan tempat ini, namun
justru kalian menjadi semakin berani.”
“Bukan begitu, Tuan. Kami
hanya bermaksud sekedar menghindari sikap yang dapat berakibat kurang baik dari
beberapa orang yang tidak senang terhadap kami. Karena itu, memang sebaiknya
kami memisahkan diri dari mereka.”
“Aku mengerti, tetapi apakah
kalian pada suatu saat tidak akan mati ketakutan?”
“Bukankah beberapa keluarga
tinggal juga di gubug-gubug itu?”
“Tetapi gubug-gubug yang
sangat berdekatan. Dan gubug-gubug itu sudah berjejal-jejal diisi oleh beberapa
keluarga.”
“Tetapi bukankah masih ada
yang kosong?”
Wanakerti mengerutkan
keningnya. Sejenak ditatapnya wajah Kiai Gringsing, kemudian dipandanginya
wajah kawannya yang keheran-heranan.
“Apa boleh buat,” berkata
pemimpin pengawas itu, “kalau kau memang berniat demikian. Ternyata niat itu
telah menimbulkan sesuatu yang lain di dalam hatiku.” Orang itu berhenti
sejenak, lalu, “Tetapi bukan maksudku untuk menentukan sesuatu atas niatmu
itu,” sekali lagi ia berhenti. Wajahnya menjadi ragu-ragu sejenak, namun
kemudian ia berkata, “Memang aneh. Tetapi aku memang ingin melihat, apakah yang
akan terjadi atas kalian. Atas tempat tinggal yang akan kalian pilih dan
tentang tanah garapan kalian itu. Tetapi sekali lagi, sama sekali bukan
maksudku untuk mempergunakan kalian sebagai bahan percobaan.”
“Kami mengerti,” jawab Kiai
Gringsing. “Memang sama sekali bukan percobaan. Hal ini tumbuh dari keinginan
kami sendiri. Dan kami tidak akan meletakkan tanggung jawab kepada orang lain
di dalam hal ini.”
“Baiklah,” pemimpin petugas
itu menganggukkan kepalanya, “pilihlah sendiri tempat tinggal yang akan kau
pergunakan.”
“Terima kasih, Tuan. Terima
kasih. Sejak malam ini kami akan menempatinya.”
“Sejak malam ini?”
“Ya.”
Sekali lagi para pengawas itu
menjadi heran. Salah seorang dari mereka berkata, “Tingkah laku kalian memang
sangat menarik perhatian.”
“Sama sekali tidak, Tuan. Kami
hanya ingin menjauhkan diri dari pertengkaran yang tidak perlu. Sebenarnyalah
bahwa kami agak merasa takut menghadapi orang yang tinggi kekar dan orang yang
kekurus-kurusan, yang selalu saja mengancam kami.”
“Apakah kau menjadi sedemikian
ketakutan sehingga mengatasi ketakutanmu terhadap hantu-hantu yang hampir
membunuh anakmu?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Kemudian jawabnya, “Terhadap hantu-hantu itu aku sudah mempunyai
jaminan. Kiai Damar dan hantu-hantu pendatang. Di antaranya dari Gunung Merapi.
Tetapi terhadap orang yang tinggi kekar itu aku sama sekali tidak mempunyai pelindung.”
Petugas itu
menggeleng-gelengkan kepalanya pula. Katanya, “Terserah kepada kalian. Kalian
akan bertanggung jawab atas kalian sendiri.”
Demikianlah, maka pada malam
itu Kiai Gringsing minta diri kepada kawan-kawannya yang ada di dalam barak.
Dijinjingnya sebungkus pakaian kumal yang hampir tidak berharga lagi.
“Kalian memang orang-orang
aneh. Berani tetapi bodoh,” desis seseorang.
Kiai Gringstng tersenyum.
Tetapi ia tidak menanggapinya.
Namun ia terpaksa berhenti
ketika di depan pintu dijumpainya orang yang tinggi kekar itu berdiri di
samping orang yang kekurus-kurusan.
“Kalian memang orang-orang
gila,” geram orang yang tinggi.
“Maksud kami, agar kami
terpisah dari kalian. Agar kesalahan-kesalahan yang kami perbuat tidak akan
menimpa kalian pula apabila hantu itu menjadi marah. Misalnya, apabila mereka
melempari kami dengan batu atau cara apa pun juga.”
“Persetan. Tetapi kalian harus
mengurungkan niat ini, atau kalian benar-benar akan ditelan oleh bahaya yang
tidak terkirakan.”
“Relakanlah kami. Kami sangat
berterima kasih atas nasehat dan usaha kalian menyelamatkan kami. Tetapi kami
adalah orang-orang yang keras kepala, yang hanya akan menumbuhkan kesulitan
saja pada kalian.”
Orang yang tinggi itu
menggeram. Namun tiba-tiba saja orang yang kekurus-kurusan berkata, “Lepaskan
mereka. Mereka tidak lagi menjadi tanggung jawab kami.”
Orang yang tinggi besar itu
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menepi sambil berkata, “Baiklah.
Silahkan. Tetapi jalan yang kau tempuh adalah jalan yang paling mengerikan,
yang pernah dikenal orang selama ini.”
Kiai Gringsing tertegun
sejenak. Namun kemudian ia mengangguk-angguk sambil menjawab, “Mudah-mudahan
kami dapat keluar dengan selamat. Kami terlampau percaya kepada Kiai Damar dan
Kiai Dandang Wesi. Mudah-mudahan kami mendapat perlindungan.”
Orang yang tinggi besar itu
memandang Kiai Gringsing dengan sorot mata yang aneh. Terbayang di balik
tatapan matanya itu, sesuatu yang ditahankannya. Kemarahan dan kedengkian yang
tiada taranya.
Orang-orang yang ada di dalam
barak itu pun kemudian melepaskan tiga orang ayah beranak itu dengan tatapan
mata yang dibayangi oleh berbagai macam pertanyaan. Mereka sama sekali tidak
dapat mengerti jalan pikiran orang tua itu. Menurut mereka, ketiganya
seakan-akan sengaja membunuh dirinya di dalam gubug yang telah dipilihnya.
Meskipun demikian masih juga
terngiang di telinga orang-orang itu nama-nama Kiai Damar dan Kiai Dandang
Wesi.
“Apakah benar orang tua dan
kedua anak-anaknya itu akan mendapat perlindungan dari mereka?”
Sepeninggal Kiai Gringsing
orang yang tinggi kekar itu bergumam seolah-olah kepada diri sendiri, “Kenapa
mereka dibiarkan pergi?”
Tanpa berpaling orang yang
kekurus-kurusan menyahut, “Mereka akan menyesal apabila mereka sempat menyadari
tindakan mereka.”
Orang yang tinggi itu hanya
dapat menarik nafas. Kemudian sambil bersungut-sungut melangkah pergi ke
serambi. Beberapa orang telah duduk-duduk di tempat masing-masing karena tidak
ada yang akan mereka kerjakan, selain merenungi jalan hidup yang sampai saat
itu mereka tempuh.
Seseorang mengerutkan
keningnya, ketika orang yang tinggi besar itu duduk di sampingnya sambil
berdesah, “Ada juga orang gila di tempat ini.”
Orang yang duduk di sampingnya
tidak menyahut.
“Memang kita semua adalah
orang gila,” desis orang yang tinggi kekar itu kemudian.
Tidak seorang pun yang
menyahut. Orang yang duduk di sebelah-menyebelah pun hanya berpaling
memandanginya dengan dahi yang berkerut-merut. Tetapi tidak ada yang
mengucapkan sepatah kata pun.
Dan orang yang tinggi itu
berkata selanjutnya, “Apakah sebenarnya yang telah menarik kita ke neraka ini?”
Masih tidak ada seorang pun
yang menjawab.
“Ini adalah kegilaan yang
sebenarnya melampaui kegilaan ketiga ayah-beranak itu,” orang itu berhenti
sejenak. Tetapi agaknya ia memang tidak ingin mendapat jawaban dari siapa pun
juga, karena itu ia berbicara terus, “Kita sama sekali tidak berpengharapan apa
pun di sini. Sebentar lagi hantu-hantu di Alas Mentaok pasti akan mengerahkan
semua pasukannya untuk mengusir kita. Dan kita akan kehilangan segala-galanya.
Waktu, kesempatan, dan tanah garapan. Daerah-daerah yang sudah dibuka itu akan
segara menjadi hutan kembali, jauh lebih lebat dari yang sekarang.”
Orang yang tinggi itu menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian tanpa menghiraukan orang-orang lain, ia pun segera
berbaring menelentang.
Orang-orang yang lain pun
kemudian tidak menghiraukannya lagi. Namun kata-kata yang dilontarkan oleh
orang yang tinggi itu masih saja terngiang di hampir setiap telinga yang
mendengarnya. “Kita sama sekali tidak berpengharapan apa pun di sini.”
“Kita tidak berpengharapan apa
pun,” hati mereka pun bahkan menyahut pula.
Dan sebuah pertanyaan telah
timbul di dalam dada mereka, “Kenapa kita sampai saat ini masih di sini?”
Pertanyaan itu tidak dapat
ditemukan jawaban. Sekilas terbayang pula harapan-harapan yang membubung
setinggi langit selagi mereka mulai membuka hutan ini. Kelak Mataram akan
menjadi sebuah negeri yang besar dan mereka akan mendapatkan kesempatan hidup
tenteram di dalamnya.
“Tetapi gambaran sebuah negeri
yang besar itu justru semakin lama menjadi semakin pudar,” hati mereka pun
menjadi semakin kuncup. “Selama ini kita tidak pernah berpikir, bahwa di
Mentaok kita akan berhadapan dengan hantu-hantu.”
Sementara itu, Kiai Gringsing
dan kedua muridnya telah sampai ke sebuah gubug yang kosong, yang telah mereka
pilih menjadi tempat tinggal mereka. Dari para petugas mereka mendapatkan
sebuah dlupak yang telah terisi minyak kelapa, untuk menerangi gubug itu.
“Kita tidak sempat membersihkan
tempat ini,” desis Swandaru.
“Biarlah,” sahut gurunya,
“besok, pagi-pagi sebelum kita berangkat, kita mengambil waktu sejenak untuk
membersihkannya. Sayang sekali. Gubug ini adalah gubug yang kuat.”
Swandaru pun kemudian
menyalakan dlupak minyak kelapa dan meletakkannya di atas planggrangan bambu
yang memang sudah ada di dalam gubug itu.
Sinar yang kekuning-kuningan
memancar ke seluruh ruangan. Sarang laba-laba yang kehitam-hitaman tersangkut
di setiap sudut. Swandaru terkejut ketika tiba-tiba saja seekor tikus tanah
yang besar berlari melintasi lantai di ruang dalam.
“He, tikus yang cukup besar.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Di mana kita tidur nanti,
Guru?” bertanya Swandaru pula.
Kiai Gringsing tidak segera
menyahut. Ketika ia berpaling ke arah Agung Sedayu, dilihatnya Agung Sedayu
sedang memperhatikan lantai tanah yang kotor dan lembab.
“Kita tidak dapat tidur di
lantai,” desis Agung Sedayu.
“Kenapa?” bertanya gurunya.
“Serangga berkeliaran di
sana-sini. Mungkin juga binatang-binatang melata yang lain.”
Kiai Gringsing
menggangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita tidak akan tidur malam ini.”
“He?” Swandaru membelalakkan
matanya.
“Seorang perantau harus dapat
mencegah kantuk tidak hanya semalam suntuk,” berkata gurunya pula.
Swandaru tidak menyahut.
Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam sambil menggaruk tengkuknya.
“Aku mendapat firasat, bahwa
sesuatu akan terjadi. Besar atau kecil,” berkata gurunya pula.
“Hantu-hantu?” desis Swandaru.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum. Katanya, “Kita akan duduk untuk
semalam suntuk. Nanti lampu minyak itu akan kita sisihkan di balik dinding
itu.”
Agung Sedayu dan Swamdaru
saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Dipandanginya sebuah amben bambu kecil yang sudah hampir roboh,
yang tidak mungkin sama sekali dipakai untuk berbaring. Apa lagi tiga orang,
untuk Swandaru sendiri pun sudah terlampau kecil. Tetapi amben bambu itu masih
cukup untuk tempat duduk mereka bertiga.
Di atas amben itulah mereka
kemudian duduk sambil merenungi suasana, sementara malam di luar menjadi
semakin kelam.
Sejenak kemudian Kiai
Gringsing pun berkata, “Pindahkan lampu itu, supaya tidak seorang pun yang
dapat melihat kita duduk di sini dari luar.”
“Siapakah kira-kira yang akan
mengintip kita, Guru?” bertanya Agung Sedayu. “Hantu-hantu itu?”
Kiai Gringsing menggeleng.
Tetapi ia hanya menjawab, “Itu hanya suatu dugaan. Mudah-mudahan tidak ada.”
Swandaru pun kemudian memindahkan
lampu minyak tanah itu ke balik dinding penyekat ruangan yang sempit itu,
sehingga mereka pun kemudian berada di dalam bayangan yang kegelap-gelapan.
Seperti yang dikatakan oleh
Kiai Gringsing, ketiganya sama sekali tidak dapat membaringkan dirinya. Mereka
harus tetap duduk, betapa pun kantuk telah menjalari mata mereka. Sekali-sekali
Swandaru terlena sehingga kepalanya terangguk-angguk. Namun kemudian
digosok-gosoknya matanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sampai tengah malam, mereka tidak
menjumpai sesuatu yang aneh di dalam gubug itu. Tidak ada tanda-tanda bahwa
akan terjadi sesuatu seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, sehingga
dengan demikian Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian bersandar dinding sambil
memejamkan mata mereka meski pun mereka tidak juga berani tidur.
Hanya Kiai Gringsing sajalah
yang masih tetap duduk bersila di atas amben itu. Tangannya bersilang di dada,
sedang kepalanya tertunduk meski pun matanya tetap terbuka.
Tiba-tiba orang tua itu
mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan diangkatnya kepalanya, seakan-akan ia
mendengar sesuatu.
Ketika Agung Sedayu dan
Swandaru melihatnya, mereka pun mencoba untuk mendengar. Namun ketika Swandaru
akan membuka mulutnya untuk menanyakan sesuatu, Kiai Gringsing memberi isyarat
kepadanya, agar ia tetap berdiam diri di tempatnya dan tidak mengucapkan
sepatah kata pun.
Akhirnya kedua anak-anak muda
itu pun mendengarnya. Desir yang lembut di sudut rumah itu.
Dada mereka menjadi
berdebar-debar karenanya. Apakah mereka pada malam ini harus berhadapan dengan
hantu-hantu?
Sejenak mereka bertiga menahan
nafas. Bahkan Kiai Gringsing sendiri tidak tahu, apakah yang akan dihadapinya
malam ini. Tetapi ia yakin, bahwa ia akan berhadapan dengan bahaya yang
sebenarnya. Lambat atau cepat.
Dalam pada itu suara gemerisik
di sudut rumah itu menjadi semakin jelas. Bahkan kemudian mereka mendengar
seakan-akan dinding bambu yang sudah sangat lemah itu berpatahan.
Ketiga orang yang berada di
dalam gubug itu menjadi tegang. Apalagi Agung Sedayu dan Swandaru. Tanpa mereka
sadari tangan-tangan mereka telah meraba lambung. Ketika tersentuh tangkai
cambuk mereka yang melingkar di bawah baju, hati mereka menjadi agak tenang. Di
dalam keadaan yang memaksa, maka senjata-senjata itulah yang akan dapat membantu
mereka mengatasi kesulitan.
Namun sejenak kemudian, suara
itu pun seolah-olah lenyap begitu saja. Mereka tidak mendengar lagi bambu
berpatahan. Tetapi telinga mereka yang tajam itu masih dapat mendengar desah
nafas yang tertahan-tahan. Karena itu, mereka yang ada di dalam gubug itu masih
tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak sama sekali bahkan nafas mereka pun
seolah-olah tidak lagi dapat didengar oleh orang lain.
“Mereka telah berhasil membuka
sudut gubug ini,” berkata Swandaru di dalam hatinya. “Kini mereka sedang
meyakinkan diri mereka, apakah mereka akan dapat masuk dengan aman atau tidak.”
Sedang Agung Sedayu berpikir
di dalam hatinya, “Pasti bukan hantu. Hantu tidak memerlukan lubang apa pun
karena tubuhnya yang lembut. Menurut kata orang, hantu tidak mengenal lagi
batas, sehingga batas itu tidak berlaku bagi mereka. Kalau ada yang memasuki
gubug ini dengan memecah sudut itu, pasti bukan apa yang selalu diributkan
orang dengan nama hantu.”
Namun dalam pada itu, mereka
masih tetap dicengkam oleh ketegangan. Semakin lama semakin tegang, sehingga
dada kedua anak-anak muda itu seolah-olah akan meledak karenanya. Mereka masih
harus tetap berada di tempat mereka sambil menunggu apa yang akan terjadi
kemudian.
Tetapi sejenak mereka saling
berpandangan ketika mereka mendengar desir langkah kaki. Tidak semakin dekat
memasuki gubug itu, tetapi justru menjadi semakin jauh.
“Apakah artinya ini?”
pertanyaan itu melonjak tidak saja di dalam dada Agung Sedayu dan Swandaru,
tetapi juga di hati Kiai Gringsing. Mereka tidak segera dapat mengerti, kenapa
mereka yang bersusah payah merusak sudut gubug itu, tidak berbuat sesuatu?
“Apakah mereka menyadari,
bahwa kami masih belum tidur?” bertanya Kiai Gringsing pula di dalam hatinya.
Meski pun demikian, ketiganya
masih tetap berdiam diri dengan tegangnya di tempat masing-masing. Mereka masih
menunggu apa yang kira-kira akan terjadi selanjutnya. Apakah mereka yang
merusak sudut gubug itu benar-benar telah pergi seluruhnya? Menilik suara nafas
mereka yang kini sudah tidak terdengar sama sekali maka mereka pasti telah
meninggalkan gubug ini.
Namun dalam pada itu, mereka
telah dikejutkan oleh suara yang lain. Suara desis berkepanjangam di sudut
gubug itu. Semakin lama semakin keras.
Sejenak ketiganya hanya dapat
saling perpandangan. Suara itu adalah suara yang belum mereka kenal. Desir dan
desis yang semakin jelas.
Agaknya Swandaru tidak sabar
lagi menunggu. Dengan serta-merta ia meloncat dari tempat duduknya. Tetapi ia
tertegun karena gurunya menggamitnya dan memberinya isyarat untuk tetap duduk
di tempatnya.
Kening Swandaru menjadi
berkerut-merut. Tetapi ia tidak dapat melawan perintah gurunya.
Sejenak kemudian mereka masih
tetap menunggu. Suara itu menjadi semakin jelas mendekati mereka.
Kiai Gringsing masih tetap
membeku di tempatnya. Namun kemudian tiba-tiba saja ia mengangkat kakinya
sambil berdesis, “Hati-hati. Bahaya itu telah datang menyerang kita. Angkat
kakimu. Kita harus melawannya.”
Agung Sedayu dan Swandaru pun
mengangkat kakinya. Begitu kakinya naik ke atas amben, mereka pun segera
melihat, beberapa ekor ular yang cukup besar menggeliat di atas lantai.
“Apakah kalian sudah melihat?”
bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu dan Swandaru yang
dengan tanpa sesadarnya telah berdiri di atas amben, memandangi ular-ular itu
dengan tegangnya. Ular yang menyelusur lantai adalah ular hitam yang
berbelang-belang putih.
“Weling,” desis Swandaru.
“Tidak. Welang. Ular weling
tidak dapat menjadi sebesar itu,” sahut Agung Sedayu.
“Ya. Welang,” desis Kiai
Gringsing. “Agaknya ular ini sudah terlatih. Mereka mengerti di mana kita
berada. Dan mereka sudah siap untuk menyerang kita.”
“Tetapi, welang tidak
mempunyai bintik-bintik yang bercahaya seperti itu, Guru,” berkata Agung Sedayu
kemudian.
“Memang, ular welang pada
umumnya tidak mempunyai bintik-binitk yang bercahaya. Tetapi kita tidak tahu,
apakah bintik-bintik bercahaya itu benar-benar bintik-bintik ular welang itu.”
“Maksud Guru?”
“Bintik-bintik dan noda-noda
yang dapat memancarkan cahaya itu dapat dibuat.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak sempat bertanya lagi. Ular-ular itu sudah menjadi semakin dekat di bawah
amben mereka.
“Hati-hati, mereka dapat
memanjat. Kita harus berkelahi melawan ular-ular ini.”
Tiba-tiba Swandaru tidak
menunggu lagi. Ia pun segera mengurai cambuk yang membelit dilambungnya. Namun
sebelum ia mempergunakannya gurunya berpesan, “Jangan menimbulkan bunyi
terlampau keras. Kita harus tetap berusaha menyelubungi diri sejauh mungkin,
sebelum kita pasti, apakah yang sebenarnya kita hadapi.”
Swandaru menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian ia melihat bagaimana gurunya menggenggam senjatanya.
Ternyata Kiai Gringsing memegang cambuknya tidak pada tangkainya, tetapi pada
ujungnya.
“Kalian tetap di situ,”
berkata gurunya. Ia tidak menunggu jawaban lagi. Dengan tangkasnya ia
melontarkan dirinya, dan ketika kakinya menjejak di atas tanah, ia sudah
berdiri justru di belakang ular-ular yang merayap maju.
Ternyata seekor ular yang
merayap di paling belakang menjadi terkejut karenanya. Tetapi ketika ular itu
berpaling, dan mencoba memutar diri untuk berbalik menyerang Kiai Gringsing,
tangkai cambuk orang tua itu telah menyambar kepalanya, sehingga ular itu
terpelanting membentur dinding bambu. Tetapi ular itu masih mencoba menggeliat.
Agaknya sentuhan tangkai cambuk Kiai Gringsing itu tidak segera membunuhnya.
Namun sekejap kemudan Kiai
Gringsing telah berdiri di sisinya. Sejenak tangkai cambuknya berputar, dan
sejenak kemudian maka kepala ular welang itu pun sekali lagi terpukul. Kali ini
agaknya Kiai Gringsing tidak perlu mengulanginya lagi.
Tetapi selain ular yang telah
mati itu, masih ada beberapa ekor lagi yang sedang merayap mendekati amben
tempat Agung Sedayu dan Swandaru berdiri. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun
segera mendekatinya dengan hati-hati.
Agung Sedayu dan Swandaru yang
berdiri di atas amben pun telah memutar tangkai cambuk masing-masing. Ketika
perlahan-lahan sebuah kepala tersembul dari bawah amben, maka dengan
serta-merta tangkai cambuk Agung Sedayu dan Swandaru menyambar hampir
bersamaan. Ular welang itu mencoba bertahan sejenak. Namun kemudian ia pun
terjatuh dan mati.
Demikianlah Agung Sedayu dan
Swamdaru telah berhasil membunuh beberapa ekor ular yang mencoba merambat naik
ke atas amben. Sedang yang tersisa sudah dibunuh pula oleh Kiai Gringsing
dengan tangkai cambuknya.
“Apakah sudah habis Guru?”
bertanya Swandaru yang merasa ngeri juga melihat ular-ular itu berkeliaran.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam, “Sudah. Agaknya memang sudah habis.”
“Kita akan menghitung
jumlahnya,” desis Swandaru.
“Tetapi jangan kau pegang
dengan tanganmu. Kita masih belum tahu, apakah yang membuat ular-ular itu
berbintik-bintik dan bercahaya.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan sebatang tongkat bambu yang dilolosnya dari dinding rumah
itu, dikumpulkannya bangkai ular yang berserakan itu.
“Lima,” desis Swandaru.
“Enam,” sahut Agung Sedayu.
“Ya, enam. Besar dan kecil,”
berkata gurunya. “Suatu permainan yang mengerikan.” Kiai Grrngsing berhenti
sejenak, lalu, “kita benar-benar berhadapan dengan orang-orang yang sedang
bermain-main dengan racun. Hampir setiap hambatan yang kita jumpai pasti
mengandung racun. Kuat atau lemah. Kini kita telah terjerumus ke dalam sarang
ular welang yang berbahaya. Tidak mustahil bahwa bintik-bintik yang bercahaya
itu pun mengandung racun pula.” Kepada Swandaru ia berkata, “Ambillah lampu
itu. Kita lihat apakah sebenarnya bintik-bintik yang bersinar kehijau-hijauan
ini.”
Swandaru pun kemudian
melangkah ke balik dinding yang menyekat ruangan di dalam gubug itu. Diambilnya
lampu minyak yang masih menyala kekuning-kuningan.
Kiai Gringsing yang kemudian
menerima lampu itu mengamati bintik yang bercahaya pada tubuh ular-ular itu.
Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, “Tidak beracun,” katanya.
“Apa Guru?” bertanya Agung
Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
“Rena dan kunang-kunang yang
dilekatkan dengan sebangsa getah pada tubuh ular ini, sehingga
binatang-binatang kecil itu masih tetap hidup untuk beberapa lama.”
“Hem,” Swandaru menarik nafas
dalam-dalam, “benar suatu permainan yang mengasyikkan.”
“Demikian pulalah agaknya
setiap cahaya yang terdapat pada hantu-hantu itu. Pada tengkorak-tengkorak
jerangkong dan pada kuda-kuda yang sering disebut-sebut orang.”
“Apakah Guru memastikan?”
“Belum. Tetapi pendapat ini
dapat menjadi bahan penyelidikan seterusnya. Kita harus meyakini, dan kita
harus berusaha memecahkan teka-teki itu. Kalau kita berhasil, kita pun harus
tahu, alasan apakah yang telah mendorong orang-orang itu berbuat demikian.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sadar, gurunya telah mengambil
kesimpulan, bahwa kepercayaannya terhadap hantu-hantu itu menjadi semakin
tipis.
“Tetapi bagaimana dengan
hantu-hantu yang datang dari luar Alas Mentaok?”
“Pada suatu ketika kita akan
mendapatkan jawabnya pula.”
“Dan Kiai Damar?”
“Memang masih banyak sekali
pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab kini. Itulah sebabnya kita masih
harus tetap dalam keadaan kita sekarang.” Kiai Gringsiug terdiam sejenak, “Namun
setelah ular-ular ini, mungkin kita masih akan mendapat mainan yang lain, yang
kita masih belum dapat mengetahuinya.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka pun kemudian merenungi
bangkai-bangkai ular yang berserakan di lantai. Terbayang di dalam angan-angan
mereka, kemungkinan yang lain yang tidak kalah berbahayanya dari ular-ular itu.
“Guru,” tiba-tiba Swandaru
bertanya, “bagaimanakah dengan cambuk-cambuk kita?”
“Kenapa?”
“Kami telah memukul ular-ular
itu dengan tangkai cambuk ini.”
“Tidak apa-apa. Tidak akan
dikotori oleh racun-racun.”
Swandaru mengangguk-angguk
sekali lagi. Tetapi ia masih juga ragu-ragu ketika ia melingkarkan cambuknya di
lambungnya.
Agung Sedayu pun kemudian
menyimpan senjatanya pula. Sementara Kiai Gringsing masih saja mengamati
ular-ular yang sudah tidak bernyawa lagi itu.
“Sudahlah,” katanya, “besok
pagi kita tanam di belakang rumah ini. Sekarang beristirahatlah, meski pun
kalian masih harus berjaga-jaga semalam suntuk. Mungkin masih ada persoalan-persoalan
lain yang akan menyusul kemudian.”
Agung Sedayu dan Swandaru
berpandangan sejenak. Namun tanpa mengucapkan kata-kata, mereka segera duduk
kembali di atas amben bambu bersandar dinding. Dan sejenak kemudian gurunya pun
ikut duduk pula terkantuk-kantuk, meski pun ia sama sekali tidak kehilangan
kewaspadaan.
Ternyata sesudah itu, tidak
ada apa-apa lagi yang menyusul. Dari celah-celah dinding, mereka kemudian
melihat bayangan fajar yang kemerah-merahan.
“Kita masih sempat melihat
fajar,” desis Swandaru.
“Hus,” desis Agung Sedayu.
“Ular-ular itu hampir saja
mengakhiri petualangan kita,” sahut Swandaru.
“Marilah kita tanam di kebun
belakang.”
Mereka pun kemudian membawa
ular-ular itu dengan galah-galah bambu ke belakang gubug. Selagi fajar masih
remang-remang, mereka dengan tergesa-gesa telah menanam bangkai-bangkai ular
itu.
“Kita tidak perlu
mengatakannya kepada siapa pun bahwa kita telah disambut oleh sekelompok
ular-ular yang sisiknya bercahaya,” berkata Kiai Gringsing.
Kedua anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika hari menjadi semakin
terang, maka mereka pun telah selesai dengan kerja mereka. Karena itu, maka
mereka pun segera berkemas. Karena di sekitar gubug itu tidak ada air, maka
mereka terpaksa pergi ke gardu pengawas untuk mencuci muka dan sekaligus
mengambil rangsum mereka sebelum mereka berangkat ke tanah garapan.
“He, apakah kalian dapat
tidur?” bertanya salah seorang petugas.
“Nyenyak sekali. Ternyata
tempat itu jauh lebih baik dari pada ikut berjejal-jejal di dalam barak,” jawab
Swamdaru.
Kiai Gringsing hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja, meski pun ia cemas juga, bahwa
kadang-kadang Swandaru berbicara asal saja melontarkan kata-kata.
Tetapi berkata Swandaru pula,
“Kami masih harus membersihkan tempat yang masih terlampau kotor itu. Agaknya
sejak gubug itu dikosongkan, sama sekali tidak pernah disentuh tangan.”
“’Memang tidak ada orang yang
merasa berkepentingan untuk membersihkannya.”
“Sayang sekali. Dan agaknya
kami kerasan tinggal di dalam gubug itu.”
Petugas itu mengerutkan
keningnya. Tetapi di dalam hati ia berkata, “Kalau pada suatu ketika, kau
didatangi oleh hantu-hantu, maka kau akan berkata lain.”
Setelah mencuci muka, serta
mengambil rangsumnya sama sekali, maka ketiganya pun kemudian kembali ke gubug
yang terpencil itu.
“Kita tidak sempat
membersihkannya pagi ini. Nanti saja setelah kita kembali dari tanah garapan,”
berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Agaknya matahari memang sudah melonjak naik
ke punggung bukit. Meski pun tidak ada seorang pun yang mengharuskan mereka
berangkat pada saat-saat yang lazim, tetapi rasa-rasanya kurang baiklah kiranya
apabila mereka berangkat terlampau siang.
“Tempatkan barang-barangmu di
tempat yang kau kenali baik-baik. Lihatlah segala benda-benda yang ada. Nanti
kalau kita kembali, kita akan melihat, apakah ada perubahan betapa pun kecilnya
di dalam gubug ini.”
“Baik, Guru,” jawab keduanya
hampir bersamaan.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
kemudian mencoba mengenali setiap benda yang ada di dalam gubug itu. Bahkan
sudut-sudut dinding pun mereka amat-amati. Mereka masih melihat sehelai kain
yang kasar di sudut ruang yang terbuka, karena beberapa potong bambu dindingnya
telah dirusak semalam.
“Dengan kain yang kasar dan
tebal inilah mereka membawa enam ekor ular itu,” desis Swandaru.
“Ya. Ular yang telah dilatih
untuk menyerang manusia,” sahut Agung Sedayu.
“Benar begitu?”
“Menurut Guru.”
Swandaru mengerutkan
keningnya, tetapi ia tidak menjawab lagi.
Sejenak kemudian setelah
mereka selesai mengamati setiap benda yang ada di dalam gubug itu, maka mereka
pun segera meninggalkannya setelah mereka menutup pintu lereg.
Sambil menjinjing rangsum
mereka, mereka pun kemudian berjalan ke gardu pengawas. Beberapa orang sudah
berkerumun sambil membawa alat-alat mereka masing-masing. Mereka akan segera
berangkat ke tanah garapan masing-masing setelah mereka mengambil rangsum
mereka.
“He, kau sudah membawa
rangsum?” bertanya seseorang.
“Aku datang jauh sebelum kalian,”
jawab Kiai Gringsing.
“Bagaimana dengan gubug itu?”
bertanya yang lain.
“Menarik sekali,” jawab Kiai
Gringsing. Tetapi sebelum ia melanjutkan kata-katanya, terasa lengannya digamit
seseorang. Ketika Kiai Gringsing berpaling dilihatnya orang yang kekurus-kurusan
itu memandanginya dengan mata terbelalak, “Kau sudah ada di sini sepagi ini?”
ia bertanya.
“Kalian juga sudah ada di
sini,” sahut Kiai Gringsing.
Sejenak orang yang
kekurus-kurusan itu memandangi Kiai Gringsing seperti orang yang keheran-heranan.
“He, kenapa kau memandang aku
seperti itu?” bertanya Kiai Gringsing. “Apakah kau belum pernah melihat aku?”
“O,” orang itu tergagap.
Jawabnya, “Kau memang orang-orang yang berani. Apakah kau tidak diganggu oleh
hantu-hantu dalam ujud apa pun?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, “Tidak. Tidak ada yang mengganggu sama sekali.”
“Belum. Di malam-malam
berikutnya kau tidak akan dapat tidur sama sekali.”
“Mudah-mudahan tidak ada
gangguan apa pun seperti di malam pertama.”
Orang yang kekurus-kurusan itu
masih saja memandanginya dengan herannya. Namun sejenak kemudian ia pun pergi
meniggalkan Kiai Gringsing.
“Kenapa ia tampak menjadi
heran melihat Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Itulah yang menarik
perhatian,” jawab gurunya, “tetapi kita masih belum dapat mengambil kesimpulan
yang pasti.”
Agung Sedayu tidak menyahut
lagi. Tetapi ia terkejut ketika tiba-tiba saja seseorang telah
mengguncang-guncang tubuh gurunya. “Kau masih juga hidup?” terdengar seseorang
menggeram.
Kiai Gringsing dan kedua
muridnya serentak berpaling. Dilihatnya orang yang tinggi kekar itu berdiri di
belakang Kiai Gringsing.
“O, pundakku sakit,” desah
Kiai Gringsing.
“Kau masih hidup, he?” ulang
orang itu.
“Seperti yang kau lihat.”
“Kami seisi barak menjadi
cemas.”
“Kenapa?”
“Aku yang kebetulan saja
melihat. Kau tahu, bahwa aku tidur di serambi.”
“Ya.”
“Hampir tengah malam kami
mendengar suara berdesing berputaran di atas barak. Tetapi semua orang sudah
tertidur.”
“Kau saja yang mendengar?”
“Ya,” orang itu menjadi
bersungguh-sungguh, “ternyata suara itu adalah suara ular Gundala.”
“He, ular apakah itu?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Sejenis ular yang dapat
terbang. Ada dua jenis ular Gundala. Ular Gundala Seta yang berwarna putih dan
ada ular Gundala Wereng yang berwarna hitam.”
“Tetapi…..,” Swandaru hampir
saja menyahut kalau gurunya tidak menggamitnya.
“Lalu, ular apakah yang kau
lihat malam tadi? Yang putih atau yang hitam?”
“Bagaimana aku tahu.”
“Tetapi, kenapa kau tahu bahwa
yang berdesing di udara itu ular Gundala.”
“Baik yang putih mau pun yang
hitam mempunyai ciri yang sama. Keduanya mempunyai bintik-bintik yang
bercahaya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan orang yang tinggi itu berkata, “Ular-ular
itu adalah salah satu dari jenis-jenis senjata pasukan kajiman di Alas Mentaok.
Aku sudah mencemaskan nasibmu, kalau-kalau ular itu menyerangmu.”
“Beruntunglah, bahwa ular-ular
itu tidak menyerang kami.”
“Tidak seorang pun yang mampu
mengelakkan serangannya.”
“Untunglah. Dan bersukurlah
kami bahwa kami tidak menjadi korbannya. Aku berterima kasih atas perhatianmu
dan bukankah kau katakan seisi barak ini menjadi cemas?”
Orang yang tinggi kekar itu
mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandangi wajah Kiai Gringsing. Namun
kemudian ia menyahut, “Kenapa dengan seisi barak ini?”
“Bukankah kau yang mengatakan,
bahwa seisi barak ini menjadi cemas?”
“Dan kau akan mempertentangkan
kata-kata itu dengan kata-kataku, bahwa hanya akulah yang melihat ular itu
terbang?”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Tetapi kesan di wajahnya membenarkannya.
“Tentu bukan semua orang di
barak ini. Aku memang mengatakan kepada beberapa orang.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau memang harus
berhati-hati,” berkata orang yang tinggi itu. “Kau sedang dimusuhi oleh
hantu-hantu. Apalagi kalau kau membuat musuh di antara kita.”
“O, tentu tidak,” jawab Kiai
Gringsing.
“Kau suka mempersoalkan
masalah-masalah yang kecil. Membuat orang lain menjadi bingung. Mempersoalkan
kata-kata yang sedikit terselip. Dan banyak lagi. Tetapi ingat, sebenarnya aku
memang ingin mendapat kesempatan untuk membuat kalian bertiga jera. Aku merasa
bahwa aku akan sanggup melaksanakannya tanpa hantu-hantu itu.”
“Maksudmu?”
Orang itu tampak ragu-ragu
sejenak. Tetapi karena agaknya tidak ada orang lain yang memperhatikannya, ia
berkata, “Aku ingin memukuli kalian pada suatu saat.”
“He, apakah salah kami?”
“Kalian telah mengabaikan
segala nasehatku. Segala niat baikku. Itu suatu penghinaan. Dan kalian merasa
diri kalian pahlawan-pahlawan yang berani. Sombong dan banyak bicara. Ingat,
aku adalah orang yang paling ditakuti di sini. Para pengawas pun tidak berani
berbuat apa-apa atasku. Kalau aku memukuli kalian, tidak akan ada orang yang
berani mencegah apabila itu sudah terjadi. Memang kadang-kadang mereka mencoba
mengurungkan niatku. Mereka adalah orang-orang baik yang tidak suka berselisih.
Tetapi kalau kesabaranku habis, kalian akan menyesal.”
“Jangan begitu,” desis Kiai
Gringsing, “sebaiknya kau berpikir dari arah lain. Lepaskanlah kami. Biarlah
kami dimakan hantu, harimau, atau apa saja. Ular Gundala Seta dan Wereng sekali
pun.”
“Sudah seribu kali aku
katakan. Kau tidak dapat berdiri sendiri di mata hantu-hantu itu. Kau adalah
satu dengan kami.”
Kiai Gringsing tidak menyahut
lagi. Ketika Swandaru bergeser setapak, maka gurunya telah menginjak kakinya,
sehingga Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
“Terserahlah kepadamu. Aku
akan berangkat. Semua sudah selesai,” berkata orang yang tinggi itu.
Ketika Kiai Gringsing
berpaling, dilihatnya gardu itu memang sudah agak sepi. Hanya beberapa orang
yang datang dengan tergesa-gesa karena agak lambatlah, yang masih berada di
muka pintu untuk menerima rangsum mereka. Setelah itu, mereka pun dengan
tergesa-gesa segera berangkat menyusul kawan-kawan mereka yang telah pergi
lebih dahulu.
“Mereka bekerja dalam
kelompok-kelompok,” berkata orang yang tinggi itu, “sehingga mereka harus mulai
bersama-sama. Tetapi itu lebih baik daripada sifat sombong yang kau
pertahankan.”
Kiai Gringsing tidak sempat
menjawab, karena orang itu pun kemudian pergi meninggalkannya.
“Orang aneh,” desis Agung
Sedayu.
“Aku tidak sabar lagi,” sahut
Swandaru.
“Jangan berbuat bodoh,” potong
gurunya. “Marilah, kita pun harus segera berangkat, supaya kita tidak dianggap
sebagai orang-orang malas yang hanya akan menghabiskan rangsum makan saja.”
Ketiganya pun kemudian pergi
lewat di depan gardu pengawas. Sambil membungkukkan kepalanya Kiai Gringsing
berkata, “Kami sudah mendapat rangsum, Tuan.”
Seorang pengawas tertawa
sambil menyahut, “Kalian termasuk orang aneh di sini.”
Kiai Gringsing hanya tertawa
saja. Tetapi ia tidak menjawab. Bersama kedua muridnya ia pun pergi ke tanah
garapan mereka yang dianggap oleh orang-orang yang sedang membuka hutan itu sebagai
daerah yang paling wingit.
Dengan penuh kewaspadaan
mereka bekerja. Setiap kali mereka memperhatikan sesuatu yang agak asing,
karena mereka tahu, bahwa ada pihak-pihak yang sedang bermain-main dengan racun
di daerah ini. Untunglah bahwa Kiai Gringsing adalah seorang dukun tua yang
sudah terlampau kaya dengan pengalaman, dengan segala macam penyakit dan juga
dengan segala macam racun.
Lamat-lamat mereka masih juga
mendengar suara burung kedasih yang umumnya hanya berbunyi di malam hari.
Tetapi karena mereka sudah biasa mendengarnya, maka mereka sudah tidak
menghiraukannya lagi.
Tetapi ternyata sehari itu
mereka, tidak menjumpai peristiwa apa pun. Pada saatnya mereka pulang, mereka
pun segera meninggalkan pekerjaan mereka.
Ketika mereka sampai di gubug
yang telah mereka pergunakan sebagai tempat tinggal, maka mulailah mereka
membersihkannya. Setiap benda mereka amati sebelum mereka pindahkan.
“Tidak ada sebuah benda pun
yang bergeser, Guru,” berkata Agung Sedayu.
“Ya, agaknya memang tidak ada
seorang pun yang memasuki gubug ini. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita dapat
tidur dengan nyenyak nanti malam.”
Agung Sedayu dan Swandaru
saling berpandangan sejenak.
“Jangan takut,” berkata Kiai
Gringsing yang seolah-olah mengerti perasaan kedua anak-anak muda itu, “kita
akan dapat tidur. Tetapi kita harus mengatur diri, sehingga setiap kali pasti
ada yang terjaga di antara kita.”
Demikianlah, setelah gubug itu
menjadi bersih dari sarang-sarang laba-laba dan kotoran-kotoran lain, debu dan
serangga-serangga kecil, mereka pun menjadi semakin kerasan tinggal di dalam
gubug itu.
Swandaru tidak lagi segan
berbaring di pembaringan, meski pun selalu diganggu oleh bunyinya yang
berderit-derit. Tetapi amben bambu itu sudah tidak dilekati lagi oleh debu yang
tebal dan sarang laba-laba yang kehitam-hitaman.
“Di sebelah masih ada beberapa
jenis alat-alat dapur,” desis Swandaru kemudian.
“Kita tidak memerlukannya.
Bukankah kita sudah mendapat makan?”
“Kalau kita haus?”
“Ambil saja di gardu
pengawas,” sahut Agung Sedayu, “bukankah di sana disediakan berapa saja kita
akan minum.”
“Di malam hari kadang-kadang
kita haus. Atau barangkali di pagi hari, begitu kira bangun tidur, ingin juga
rasa-rasanya minum air panas, seperti ketika kita berada di Tanah Perdikan
Menoreh.”
“Hus,” desis Agung Sedayu,
“kau mulai mengigau.
Swandaru tersenyum. Memang
terkilas sebuah kenangan atas Tanah Perdikan itu dengan segala isinya.
“Barangkali kau memang tidak
kerasan, tinggal di sini,” berkata Agung Sedayu, “karena di sini kita hanya
berkawan hantu-hantu saja. Kalau di sini ada orang yang menyediakan minummu di
pagi hari, mungkin kau kerasan juga.”
Swandaru tidak menjawab.
Tetapi ia masih saja tersenyum sambil mengusap-usap pipinya yang gembung, meski
pun beberapa hari terakhir tampak ia agak susut sedikit.
“Nanti kalian tidurlah
dahulu,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku akan berjaga-jaga. Kemudian aku
akan tidur, dan kalian berdualah yang harus berjaga-jaga.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia
memandangi amben yang seolah-olah sudah penuh dipergunakan oleh Swandaru
sendiri
“Minggirlah sedikit,” desis
Agung Sedayu kemudian.
Swandaru tersenyum pula. “Kau
akan tidur sekarang?” ia bertanya.
“Tidak. Aku hanya akan
berbaring sejenak.”
Agung Sedayu pun kemudian
berbaring pula di sisi Swandaru, sementara Kiai Gringsing duduk di sebuah
dingklik kayu yang usang. Sejenak mereka saling berdiam diri. Agaknya mereka
sedang menjelajahi angan-angan masing-masing yang menyelusur ke dunia yang
asing.
Ketika gelap menjadi semakin
pekat, maka mereka pun segera menyalakan lampu minyak kelapa. Dari para
pengawas mereka mendapatkan minyak untuk mengisi pelita.
Demikianlah, maka Agung Sedayu
dan Swandaru-lah yang lebih dahulu akan tidur. Gurunya akan tetap berjaga-jaga
sampai tengah malam, sementara Agung Sedayu dan Swandaru bangun, gurunyalah
yang akan beristirahat.
Sampai menjelang tengah malam,
Kiai Gringsing yang duduk terkantuk-kantuk di dalam lindungan bayangan dinding
yang menyekat ruangan gubug itu tidak melihat tanda-tanda yang mencurigakan.
Meski pun demikian ia tidak kehilangan kewaspadaan. Setiap desir, betapa pun
lembutnya, tidak lepas dari pengamatan telinganya yang tajam.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
mendengar sesuatu yang dapat menumbuhkan kegelisahan.
Sampai tengah malam Kiai
Gringsing duduk tanpa bergerak di tempatnya. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru
telah tertidur dengan nyenyaknya. Meski pun kadang-kadang amben yang mereka
pergunakan berderit-derit keras, kedua anak-anak muda itu tidak
menghiraukannya. Bahkan Swandaru setiap kali berdesah apabila derit
pembaringannya itu telah membangunkannya.
Sedikit lewat tengah malam,
Kiai Gringsing mulai menguap. Ingin juga ia berbaring meski pun hanya sejenak.
Agaknya Agung Sedayu dan Swandaru sudah cukup lama beristirahat.
“Biarlah mereka ganti
berjaga-jaga,” katanya di dalam hati.
Tetapi sebelum ia bangkit dari
tempat duduknya yang terlindung bayangan dinding penyekat terasa sesuatu
berdesir di dadanya, sehingga Kiai Gringsing itu mengurungkan niatnya.
Kini jelas ditelinganya ia
mendengar sesuatu. Tetapi pasti bukan bunyi desis ular seperti semalam.
“Apalagi yang akan terjadi?”
ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi Kiai Gringsing tidak
segera berbuat sesuatu. Ia menunggu saja, apakah kira-kira yang akan terjadi.
Sejenak suara-suara yang
mencurigakannya itu terdiam. Yang didengar oleh Kiai Gringsing hanya desah
nafas Agung Sedaya dan Swandaru yang masih tertidur nyenyak.
“Tetapi tidak,” Kiai Gringsing
berkata di dalam hati, “aku mendengar suara nafas yang lain. Tidak teratur
seperti nafas anak-anak muda yang sedang tidur itu.”
Dengan demikian Kiai Gringsing
mengetahui, bahwa di luar rumah itu ada seseorang yang sedang mengintip,
sehingga orang tua itu sama sekali tidak bergerak dan bahkan nafasnya pun
diaturnya baik-baik.
Dalam keheningan malam, di
antara desah nafas anak-anak muda yang sedang tidur, dan nafas seseorang yang
ada diluar gubug. Kiai Gringsing mendengar suara berbisik, “Mereka sudah
tidur.”
Dada Kiai Gringsing menjadi
semakin berdebar-debar. Kalau begitu pasti tidak hanya seorang saja yang berada
di luar rumah ini. Sedikit-dikitnya pasti dua orang,
“Apakah kita lakukan
sekarang?” bisik yang lain.
Sejenak tidak terdengar
jawaban, sehingga dada Kiai Gringsing pun menjadi tegang pula. Sebuah
pertanyaan melonjak di hatinya, “Apakah yang akan mereka lakukan sekarang?”
Tetapi Kiai Gringsing harus
tetap bersabar. Ia harus tetap berada di tempatnya, di bayangan dinding
penyekat, supaya ia tidak mengejutkan orang-orang yang berada di luar gubug,
sehingga mereka mengurungkan niat mereka.
Yang dilakukan Kiai Gringsing
adalah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala kemungkinan, ia dapat
meloncat selangkah untuk mencapai ujung amben Agung Sedayu dan Swandaru apabila
diperlukan.
Sejenak Kiai Gringsing tidak
mendengar sesuatu selain tarikan nafas yang memburu. Agaknya orang-orang yang
berada di luar rumah itu pun menjadi gelisah.
“Sekarang,” desis salah
seorang dari mereka.
“Ya, sekarang,” jawab yang
lain.
Kiai Gringsing menjadi semakin
tegang. Apalagi sejenak kemudian ia mendengar gemerisik di depan pintu
rumahnya.
“Bunyi apa lagi sekarang?” ia
bertanya di dalam hatinya.
Tetapi bunyi itu sama sekali
berbeda dari bunyi ular yang menyelusur lantai dan berdesis-desis.
Sejenak Kiai Gringsing
menunggu. Dibiarkannya saja apa yang akan dilakukan oleh orang-orang di luar
rumah itu.
Namun ia menjadi
berdebar-debar ketika ia mendengar orang-orang itu bergeser. Kini mereka berada
di sudut gubug. Sekali lagi ia mendengar bunyi yang aneh itu. Gemerisik.
Ternyata bunyi itu
berpindah-pindah dari satu sudut ke sudut yang lain. Bahkan kemudian di
beberapa tempat di seputar rumah itu. Dari sudut ke sudut.
“Cukup?” bertanya salah
seorang dari mereka.
“Cukup,” jawab yang lain.
“Jadi, kita mulai saja
sekarang.”
Tidak ada jawaban.
Sejenak Kiai Gringsing tidak
mendengar sesuatu. Orang-orang itu pun agaknya bergeser menjauh, sehingga desah
nafas mereka tidak terdengar lagi.
Kiai Gringsing duduk sambil
menahan nafasnya. Ia yakin bahwa sebentar lagi akan terjadi sesuatu. Karena
itu, ia tidak berbuat apa pun agar yang akan terjadi itu terjadilah. Ia pun
tidak berusaha untuk menangkap keduanya, agar setiap orang masih tetap
menganggap mereka sebagai petani-petani miskin yang tidak berarti, sehingga
perhatian orang-orang di barak dan para pengawas tidak berubah. Dengan demikian
Kiai Gringsing bermaksud untuk mendapat kesempatan yang agak luas tanpa,
prasangka apa-apa.
Tiba-tiba Kiai Gringsing
terkejut ketika ia mendengar suara gemericik, tetapi bukan suara air. Dengan
serta-merta ia memandang keluar, lewat celah-celah dinding. Sesaat ia tidak
melihat bayangan apa pun di luar karena gelap malam. Tetapi sejenak kemudian
dadanya berdesir tajam. Bayangan kemerah-merahan telah mewarnai lubang-lubang
dinding yang jarang.
“Api,” desisnya. Hampir saja
Kiai Gringsing meloncat mengejar orang-orang yang ada di luar gubugnya. Tetapi
ia pun segera menahan diri. Apalagi ketika dilihatnya Agung Sedayu dan Swandaru
masih tertidur nyenyak.
“Mereka harus segera bangun,”
desisnya.
Kiai Gringsing pun kemudian
meloncat ke pembaringan. Diguncangnya tubuh kedua muridnya itu sambil berdesis,
“Bangun. Rumah ini akan terbakar.”
Agung Sedayu segera meloncat
bangkit. Tetapi Swandaru masih menggeliat sambil berdesis, “Apa lagi, Guru?
“Api. Rumah ini sedang
terbakar.”
Swandaru pun kemudian bangkit.
Tetapi matanya segera terbelalak ketika ia melihat api mulai merayapi pintu.
“Pintu sudah terbakar,” desis
Swandaru.
Kiai Gringsing kini mengerti,
bahwa agaknya suara gemerisik itu adalah suara batang-batang ilalang, daun-daun
rerumputan kering, yang sengaja diletakkan oleh orang-orang yang membakar gubug
ini.
“Kita harus segera keluar dari
rumah ini,” berkata Kiai Gringsing.
Tetapi ternyata api sudah
menjalar hampir di seputar gubug kecil itu.
“Kita sudah dilingkari api,”
berkata Swandaru kemudian.
“Belum. Kita masih mempunyai
jalan. Mari, cepat. Ikuti aku.”
Kiai Gringsing pun kemudian
mengambil ancang-ancang sejenak. Dengan sepenuh kekuatan ia mendorong dinding
yang masih baru mulai dijalari api. Tetapi ternyata dinding itu tidak sekuat
yang diduganya sehingga, kekuatan Kiai Gringsing jauh melampaui kemampuan
dinding bambu itu. Dengan demikian Kiai Gringsing justru terdorong oleh
kekuatannya sendiri sehingga ia terpelanting beberapa langkah. Karena itu, ia
pun segera berguling sekali, lalu dengan sigapnya melenting berdiri.
Meskipun api sudah menjilat
hampir segenap bagian dinding gubug itu, Swandaru masih sempat menyambar
bungkusan pakaian mereka. Sedang Agung Sedayu sempat pula tersenyum melihat
gurunya yang hampir kehilangan keseimbangan.
Kedua anak-anak muda itu pun
kemudian berloncatan pula di atas api yang mulai membakar dinding yang sudah
roboh itu.
“Guru sempat berlatih,
bergumul dengan padas,” desis Swandaru yang melihat juga betapa gurunya
berguling di tanah.
Kiai Gringsing berdiri
bertolak pinggang sambil memandang api yang menjadi semakin besar.
“Aku kira dinding itu masih
cukup kuat,” sahutnya, “apalagi aku agak tergesa-gesa juga.”
“Untunglah bahwa rumah ini
tidak ikut serta roboh. Jika demikian maka kami yang ada di dalam, justru tidak
akan mendapat kesempatan lolos lagi, karena timbunan reruntuhan itu akan segera
dimakan api,” gumam Swandaru.
“Ah kau,” berkata gurunya,
“bukankah kalian bukan cacing-cacing yang mudah sekali menyerah kepada
keadaan?”
Swandaru tidak menyahut.
Tetapi ia masih juga tersenyum membayangkan bagaimana gurunya jatuh
berguling-guling karena kekuatannya sendiri.
Sejenak kemudian mereka
bertiga berdiri tegak memandang api yang menjadi semakin besar menelan gubug
yang dibuat dari kayu dan bambu itu. Begitu cepatnya, seolah-olah gubug itu
merupakan makanan yang sangat lezat bagi api yang melonjak-lonjak
menggapai-gapai langit
“Kenapa gubug itu tiba-tiba
saja terbakar?” bertanya Agung Sedayu kemudian.
Kiai Gringsing menjadi
ragu-ragu sejenak. Dipandanginya saja api yang semakin lama menjadi semakin
besar. Sejenak kemudian mereka mendengar gubug itu berderak-derak roboh.
“Ada kesengajaan,” jawab Kiai
Gringsing kemudian.
“Darimana Guru mengetahui?”
“Aku mendengar suara orang di
luar dan suara rerumputan kering yang ditimbun di muka pintu dan di seputar
gubug itu.”
“Dan Guru membiarkan hal itu
terjadi?”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya, “Aku ingin tahu apa saja yang mereka lakukan. Sampai di mana usaha
mereka untuk menekankan maksudnya, agar kita meninggalkan tempat ini.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memandangi api yang menjilat ke udara.
Sejenak ketiganya saling
berdiam diri. Wajah-wajah mereka menjadi kemerah-merahan tersentuh oleh cahaya
api. Titik-titik keringat tampak mengembun di kening dan dahi.
“Tidak ada seorang pun yang
datang menjenguk,” desis Swandaru tiba-tiba.
“Tentu tidak,” sahut gurunya,
“tidak ada orang yang berani keluar dari barak.”
“Para petugas?”
“Mereka pun tidak berani
keluar dari gardu pengawas.”
“Bagaimana kalau terjadi
kebakaran hutan di dalam keadaan begini?”
“Semuanya akan habis menjadi
abu. Tetapi itu lebih baik. Kita tidak usah menebang pepohonan lagi.”
“Apakah dapat kita coba?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Tidak. Tidak akan dapat. Hutan ini adalah hutan yang
hijau dan lebat. Sulit sekali terjadi kebakaran. Apalagi tanahnya yang lembab
mengandung air.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka masih saja memandangi api yang melonjak-lonjak meski pun
semakin lama menjadi semakin susut.
“Kita kehilangan gubug yang
baru saja kita pergunakan. Kalau tahu, gubug itu akan terbakar, kita tidak usah
membersihkannya,” gumam Swandaru.
“Kalau saja kita tahu,” sahut
Agung Sedayu, “tetapi untunglah bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi,
sehingga dengan demikian kita berbuat sesuatu. Kalau kita tahu apa yang akan
terjadi, maka kita tidak akan berbuat apa-apa.”
“Yang kita tahu pasti,”
berkata gurunya, “besok matahari akan terbit lagi. Kemudian berjalan mengarungi
langit dan tenggelam di sebelah barat. Tetapi apa yang terjadi selama itu,
adalah di luar kemampuan kita untuk mengetahuinya. Bahkan apa yang akan terjadi
atas diri kita sendiri.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia masih saja memandangi api yang masih menyala.
Sekali-sekali masih terdengar derak kayu-kayu yang patah dan bambu yang
meledak.
Namun semakin lama api itu pun
menjadi semakin susut. Gubug yang terpencil itu, sejenak kemudian telah menjadi
seonggok bara yang merah, yang perlahan-lahan menjadi semakin suram.
“Apa yang akan kita lakukan
sekarang, Guru?” bertanya Swandaru kemudian. “Mencari orang-orang yang membakar
gubug kita itu?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, “Tidak. Kita tidak akan dapat mencarinya. Tetapi aku yakin bahwa
pada suatu saat kita akan menemukannya.”
Swandaru mengerutkan keningnya
yang kemerah-merahan oleh cahaya bara yang sudah hampir padam.
“Tidak seorang pun yang berani
keluar dari barak dan dari gardu pengawas,” desis Swandaru kemudian.
“Ya. Mereka telah benar-benar
ketakutan. Itulah yang menyulitkan,” sahut gurunya.
“Kita masih dapat mengerti,
kalau orang-orang yang di dalam barak itu tidak berani keluar. Mereka takut
kepada hantu-hantu, tetapi mereka juga selalu ditakut-takuti oleh orang-orang
tertentu seperti kita,” potong Agung Sedayu. “Tetapi seharusnya tidak demikian
bagi para pengawas digardu itu.”
“Agaknya mereka sudah terlalu
lama berada di tempat ini. Sebaiknya setiap kali para pengawas itu diganti
dengan orang-orang baru, sehingga menumbuhkan kesegaran dan kegairahan kerja di
sepanjang daerah pembukaan hutan ini.”
Kedua muridnya hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudahlah. Relakan gubug itu.
Gubug itu memang bukan milik kita,” berkata gurunya kemudian. Lalu, “tetapi
kita harus bersiap-siap menghadapi orang dari barak itu. Mereka pasti akan
menyalahkan kita dengan segala macam dalih dan kemudian berusaha mengusir
kita.”
“Darimana Guru tahu?”
“Itulah maksud mereka
sebenarnya.”
“Lalu, apakah kita akan
pergi?”
“Tentu tidak. Kita akan tetap
di sini. Kita akan mengetahui lebih lanjut, apakah yang akan terjadi di sini,
yang pasti merupakan salah satu gambaran dari daerah-daerah lain di sepanjang
jalur perluasan Tanah Mataram ini.”
Kedua murid-muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Pada suatu saat kita akan
bertemu dengan usaha Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar
beserta Ki Gede Pemanahan, yang pasti tidak akan tetap tinggal diam menghadapi
keadaan serupa ini.”
Kedua muridnya masih saja
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang justru kalian
akan dapat tidur. Tidurlah, aku akan menunggui kalian.”
“Tidak Guru,” jawab Agung
Sedayu, “kami sudah tidur lebih dari separo malam. Apakah Guru tidak lelah, dan
ingin beristirahat?”
Gurunya tersenyum. Katanya,
“Lihat, langit sudah menjadi kemerah-merahan.
Kedua murid Kiai Gringsing itu
mengangkat kepalanya bersama-sama. Mereka pun melihat warna merah yang membayang
di langit. Sementara bintang-bintang telah bergeser jauh ke barat.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Tetapi masih ada waktu sedikit,
Guru. Kita dapat duduk di bawah pepohonan itu dan melepaskan lelah sejenak.”
Kiai Gringsing tersenyum, “Aku
tidak lelah.”
“Dua malam Guru tidak tidur
sekejap pun.”
“Baru dua malam. Kita harus
dapat menguasai tubuh kita sebaik-baiknya. Tidak hanya dua malam. Dalam keadaan
tertentu, kita harus dapat berbuat lebih banyak lagi. Tetapi sudah tentu bahwa
kita menyadari, kekuatan tubuh kita pun sangat terbatas. Namun demikian dengan
latihan-latihan yang baik, sedikit demi sedikit kita dapat memperlengkapi
kemampuan yang sebenarnya memang sudah ada di dalam diri kita.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Ditatapnya wajah gurunya yang sudah dipenuhi oleh kerut-merut ketuaannya.
Tetapi wajah itu masih tampak segar, sesegar dedaunan yang basah oleh embun.
Sementara Swandaru menundukkan kepalanya sambil mengusap dagunya.
“Tetapi, baiklah,” berkata
gurunya kemudian, “kita tidak perlu berdiri di sini sampai pagi. Kita dapat
duduk di bawah pohon itu sambil menunggu, siapakah orang yang pertama-tama akan
datang kemari.”
Ketiganya pun kemudian duduk
di bawah sebatang pohon di halaman gubug yang sudah terbakar itu. Sejenak
mereka saling berdiam diri. Namun tatapan mereka masih saja melekat pada
seonggok abu yang masih mengepulkan asap yang kehitam-hitaman.
Sementara itu, langit menjadi
semakin cerah. Dan bayangan cahaya matahari pun menjadi semakin terang, menyentuh
mega putih yang bergumpal-gumpal di punggung cakrawala.
Tanpa sesadarnya Agung Sedayu
menyelusuri bayangan fajar yang merah. Tanah Mataram memang sudah terbuka,
seolah-olah menghadap ke timur. Sedang di bagian barat, hutan masih terbujur
seperti dinding raksasa yang membatasi tanah yang sedang tumbuh ini.
Namun angan-angannya justru
menerawang semakin jauh. Terbayang di rongga matanya hutan yang meski pun tidak
sebesar Mentaok, namun cukup lebat adalah hutan Tambak Baya, yang menurut
pendengarannya sudah mulai disentuh pula oleh tangan para pendatang di tanah
Mataram ini. Kalau hutan itu kelak terbuka, maka jalur jalan ke timur menjadi
semakin luas. Batas Tanah Mataram akan langsung bersentuhan dengan padukuhan
dan kademangan-kademangan yang kini ada di sebelah timur Hutan Tambak Baya.
Desa-desa kecil yang terpisah dari jalur-jalur jalan ramai itu akan mengalami
banyak sekali perubahan. Cupu Watu, Temu Agal, Bogeman yang mulai ramai dan
terletak di sisi barat Kademangan Prambanan. Jalur ini akan terus merambat ke
timur, lewat hutan-hutan yang tidak begitu garang, dan yang memang sudah
tertembus oleh jalan-jalan niaga, akan segera sampai ke tlatah padukuhan Benda
dan kemudian Kademangan Sangkal Putung.
Agung Sedayu menarik nafas.
Tanpa sesadarnya ia berpaling memandang wajah Swandaru yang bulat itu. Terkilas
sejenak wajah seorang gadis, adik anak muda yang gemuk itu.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar, bahwa ia sebenarnya ingin juga segera
meninggalkan hutan ini pergi ke Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu,
tiba-tiba matanya seakan-akan telah menembus hutan yang hijau kehitam-hitaman,
menyeberangi Kali Praga menginjak ke tlatah Menoreh. Tanah Perdikan yang baru
saja ditinggalkannya. Tanah Perdikan yang kini sedang berusaha menyembuhkan
luka-luka yang telah mencengkamnya selama ini, seperti juga Ki Gede Menoreh
berusaha menyembuhkan luka-luka pada dirinya.
Sekali lagi Agung Sedayu
berpaling memandangi Swandaru. Dan bahkan terbersit suatu pertanyaan di
kepalanya. “Agaknya Tanah Perdikan Menoreh masih harus mengalami banyak
masalah. Apakah kelak Swandaru akan menjadi Demang di Sangkal Putung sekaligus
Kepala Tanah Perdikan Menoreh atas nama Pandan Wangi, apabila mereka
benar-benar akan menjadi suami isteri?”
Agung Sedayu yang sedang
menerawang di dunia angan-angannya itu, tiba-tiba tersadar ketika Swandaru
menggamitnya sambil berkata, “Hem, aku mengantuk lagi.”
“Tidurlah,” hampir tidak sadar
Agung Sedayu menjawab.
“Tidur? Sekarang ini?”
“O, maksudku, bukan kau sudah
tidur separo malam.”
Swandaru tiba-tiba memandang
wajah Agung Sedayu dengan tatapan mata yang aneh. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata dalam nada yang tinggi, meski pun perlahan-lahan, “He,
agaknya kau sedang melamun, Kakang. Nah, apa saja yang kau pikirkan? Tentu
bukan hutan yang lebat ini, dan tentu bukan hantu-hantu dan eh, kau tahu bahwa
hantu-hantu perempuan, maksudku hantu betina. Mana yang benar, perempuan atau
betina, namanya peri. Apakah kau melihat sesosok peri? Peri berbentuk seorang
perempuan yang sangat, sangat cantik. Seperti bidadari dalam pengertian yang
bertolak belakang. Bentuknya saja seperti bidadari.”
“Kau pernah melihat bidadari?”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Kata orang. Sedang peri itu pun sekedar kata orang.”
“Kau percaya?”
“Tentu, hantu-hantu tidak
semuanya laki-laki. Mereka berumah tangga seperti manusia. Bukankah kesimpulan
daripada itu, ada juga hantu-hantu perempuan? Hanya hantu yang bertingkat
tinggi sajalah yang beristrikan peri. Bukan jerangkong. Kalau jerangkong,
istrinya wewe. Tetapi kalau prayangan, itulah yang beristrikan peri.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi masih saja seperti orang yang tidak menyadari dirinya, ia
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun ia terkejut ketika
tiba-tiba saja Swandaru meraba dahinya sambil berdesis, “Eh, tidak panas.”
“Hus,” desis Agung Sedayu
sambil menggeliat, “jangan main-main. Lihat, langit sudah terang. Sebentar lagi
mereka akan datang.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Tetapi ia pun mengangkat wajah menatap langit. Meskipun demikian ia
masih bertanya kepada Agung Sedayu, “Siapakah yang akan datang? Peri-peri yang
cantik itu?”
“Ah,” desah Agung Sedayu
sambil berdiri, “orang-orang itu pasti sudah bangun. Mereka akan segera
mendengar bahwa rumah kita telah terbakar. Mereka akan beramai-ramai datang
kemari. Orang yang kurus dan orang yang tinggi kekar itu pasti akan marah lagi
kepada kita.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Orang itu meskipun bertubuh kekar, hatinya sekecil menir.
Demikian ketakutan mencengkam jantungnya, sehingga ia begitu bernafsu untuk
mengusir kita.”
“Mungkin tidak begitu,”
berkata Kiai Gringsing, “bukan karena ketakutan yang mencengkamnya. Tetapi
barangkali ia mempunyai maksud-maksud lain.”
“Apakah kira-kira maksud itu,
Guru?” bertanya Swandaru sambil berpaling.
“Itulah yang masih harus kita
selidiki. Kita ingin mengetahui apakah sebenarnya yang dikehendakinya.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan gurunya berkata seterusnya, “Karena itu,
kita harus menahan diri. Kecuali apabila kita sudah terpaksa, kita akan
menentukan sikap sejauh harus kita lakukan. Tetapi pada dasarnya kita akan
tetap berada di daerah ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia kemudian menengadahkan wajahnya,
dilihatnya langit menjadi semakin cerah.
“Sebentar lagi mereka akan
datang,” desisnya.
Sebelum gurunya menyahut,
Swandaru berkata, “Para pengawas pun pasti akan datang juga. Agaknya merekalah
yang melihat api itu lebih dahulu dari gardunya daripada orang-orang yang ada
di dalam barak.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya ketika di dalam keremangan pagi ia melihat seseorang berjalan dengan
tergesa-gesa.
“Siapakah itu?” ia bertanya.
Swandaru dan gurunya pun
kemudian berdiri. Dipandanginya orang yang semakin lama menjadi semakin dekat.
“Seorang petugas.”
“Ki Wanakerti.”
Sebenarnyalah bahwa orang yang
mendekati mereka itu adalah Wanakerti. Dengan suara yang terbata-bata ia
berkata, “Syukurlah kalau kalian selamat. Aku cemas, bahwa kami para pengawas
hanya akan menemukan abu dari kerangka kalian. Sejak api itu berkobar, hatiku
sama sekali tidak tenteram. Karena itu, aku telah mendahului kawan-kawanku
untuk menengok kalian. Ketika aku melihat beberapa sosok tubuh di sini, hatiku
menjadi agak tenteram. Ternyata kalian benar-benar masih selamat.”
“Tuhan masih melindungi kami,”
berkata Kiai Gringsing.
“Syukurlah. Sebentar lagi
beberapa orang petugas yang lain pasti akan datang juga. Mereka pun menjadi
cemas, bahwa mereka tidak akan dapat melihat kalian lagi.”
“Ternyata kami masih akan
menyambut mereka.”
“Sudah tentu orang-orang di
barak itu pun akan datang pula kemari.”
“Ya. Mereka ingin tahu, apa
yang sudah terjadi di sini.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Kami berpendapat, bahwa hantu-hantu itu memang benar-benar
telah marah kepada kalian, sehingga kalian telah dibakarnya hidup-hidup.”
“Tetapi mereka tidak
berhasil.”
Petugas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi keheranan yang sangat telah terbersit di
wajahnya. Di dalam hati ia berkata, “Orang-orang ini memang orang-orang aneh.”
Namun dalam pada itu
pembicaraan mereka pun terhenti. Di kejauhan tampak bayangan beberapa orang
yang berdatangan. Semakin lama menjadi semakin dekat.
Ternyata yang datang adalah
beberapa orang dari barak dan beberapa orang petugas.
“Hem, kalian memang
orang-orang yang bernasib baik,” berkata salah seorang petugas. “Kami sudah
menyangka, bahwa kalian telah menjadi abu.”
“Seperti yang Tuan lihat,”
jawab Kiai Gringsing.
“Jangan sombong,” orang yang
tinggi kekar itu menyahut, “kali ini kalian bernasib baik. Tetapi besok, lusa,
kalian akan mengalami perlakuan yang sangat mengerikan.”
“Seperti yang sudah aku
katakan kepada Ki Wanakerti. Tuhan selalu melindungi kami,” berkata Kiai
Gringsing.
“Tetapi lain kali kau tidak
akan dapat lolos. Dan kami pun tidak dapat memberi kesempatan hal itu terjadi.
Sebab kemungkinan yang paling besar, lain kali barak kami itulah yang akan
menjadi sasaran kemarahan hantu-hantu itu.”
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing, “kami sudah melepaskan diri dari kalian. Tidak ada sangkut pautnya
lagi. Biarlah kemarahan itu menimpa diri kami.”
“Gila. Sudah aku katakan.
Tidak mungkin. Tidak mungkin.”
“Kami sudah siap seandainya
kami harus mengalami perlakuan yang sangat mengerikan seperti apapun. Kami
yakin bahwa Tuhan masih melindungi kami. Itu adalah pendapat kami yang
sebenarnya. Kiai Damar, hantu dari Gunung Merapi yang bernama Kiai Dandang Wesi
dan siapa pun lagi, adalah lantaran-lantaran yang dapat saja dipergunakan oleh
Tuhan untuk menyelamatkan kami. Tetapi adalah menjadi pegangan kami yang
sebenarnya, bahwa kehendak Tuhan-lah yang akan berlaku. Bukan kehendak
hantu-hantu yang manapun juga. Betapa hantu-hantu itu menjadi marah kepada
kami, tetapi selama Tuhan tidak membiarkan kami menjadi korbannya, tidak ada
suatu pun yang dapat dilakukannya atas kami di sini.”
“Persetan,” teriak orang yang
tinggi kekar itu, “kalian telah menghasut kami dan membiarkan kami menjadi
korban. Kalian memang benar-benar pengkhianat yang harus dimusnahkan. Dengar,
bahwa kami pun dapat memusnahkan kalian sekarang juga. Sekarang.”
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Ditatapnya saja wajah orang yang tinggi kekar itu. Wajah yang menjadi
kemerah-merahan oleh perasaannya yang meledak-ledak.
Sekali lagi Kiai Gringsing
harus menggamit Swandaru yang menjadi gelisah.
“Tidak ada maaf lagi bagi
kalian sekarang,” berkata orang yang tinggi kekar itu. “Kami sudah terlampau
banyak memberi kesempatan. Tetapi setiap kali kalian seolah-olah telah
menghinakan kami.”
“Sama sekali tidak,” jawab
Kiai Gringsing.
“Semuanya telah terbukti.
Mula-mula hanya anakmu sajalah yang telah dikutuk oleh hantu-hantu itu sehingga
menjadi sakit dan bahkan hampir mati. Kemudian barak kami telah dilempari
dengan batu. Sekarang salah satu gubug kami telah terbakar. Maka besok atau
lusa, barak kamilah yang akan terbakar habis. Nah, jika demikian, maka kami
semuanya akan menderita. Usaha kami selama ini akan sia-sia.”
“Itu tidak mungkin. Barak
kalian tidak akan terbakar. Biarlah hantu-hantu itu datang kepada kami. Kami
akan memberi mereka penjelasan.”
“Omang kosong. Semuanya omong
kosong,” berkata orang yang tinggi kekar itu. “Kami sudah mengambil keputusan,
bahwa kalian memang harus pergi dari sini. Sekarang tidak akan dapat kau tunda
lagi. Tidak akan ada alasan apa pun yang dapat kalian kemukakan.”
“Tunggu,” sahut Kai Gringsing,
“aku masih mempunyai masalah yang dapat aku katakan kepada kalian.”
“Tidak. Kau tidak mendapat
kesempatan apa pun. Pagi ini kalian harus pergi dari tempat ini. Selama ini
kalian tidak bermanfaat apa pun bagi kami, justru kalian telah membuat kami
semakin tidak tenteram. Karena itu, kalian hanya dapat pergi. Pergi. Bawalah
semua yang kalian punyai di sini. Kalian tidak akan dapat kembali lagi.”
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing
kemudian, “siapakah yang sebenarnya berkuasa dan berhak mengatur tata tertib di
sini. Kau atau para petugas yang resmi di tempatkan di sini?”
“Akulah yang berkuasa,”
berkata orang yang tinggi kekar itu.
“O, tentu tidak. Kau pendatang
seperti kami.”
“Jangan kau bantah lagi.
Akulah yang di dalam kenyataannya berkuasa di sini. Ayo, bertanyalah kepada
para petugas. Di sini ada beberapa orang petugas. Mereka tidak akan berani
berbuat apa-apa terhadap aku.”
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Dipandanginya saja orang yang tinggi kekar itu. Namun sebagai seorang
yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup, ia memang melihat sesuatu
pada orang yang tinggi kekar itu.
“Kesempatan terakhir buat
kalian adalah minta diri. Ayo, berpamitanlah kepada kawan-kawan dan
sahabat-sahabatmu di sini, serta kepada para petugas.”
Kiai Gringsing tidak segera
menyahut, ia masih tetap berdiri termangu-mangu di tempatnya.
“Cepat, sebelum kami kehabisan
kesabaran,” berkata orang yang tinggi kekar itu.
Selagi Kiai Gringsing masih
termangu-mangu, maka seseorang telah maju mendekatinya. Katanya, “Sebenarnya
kami merasa sayang juga kehilangan kalian. Tetapi apa boleh buat. Memang
sebaiknya kalian pergi meninggalkan tempat ini.”
“Kenapa?” bertanya Kiai
Gringsing.
“Setidak-tidaknya kau tidak
akan menimbulkan keributan. Kau tidak akan mengalami nasib yang buruk seperti
yang pernah terjadi. Seseorang yang tidak menjadi sakit karena hantu-hantu,
tetapi justru karena ia keras kepala, sehingga terpaksa diusir dengan kekerasan.
Apalagi orang itu mencoba melawan. Maka akhirnya ia menjadi kecewa dan
menyesal. Ia mengalami luka-luka dan harus meninggalkan tempat ini pula.”
“Siapakah yang melukainya?”
“Orang ini juga. Ia selalu
mencoba menyelamatkan barak kami seisinya dengan menyingkirkan orang-orang yang
mungkin akan mendatangkan bencana bagi kami.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi jawabnya sangat mengejutkan, “Maaf, Ki
Sanak. Kami sudah bertekad untuk tetap tinggal di sini. Selama para petugas
tidak mengusir kami, kami tidak akan pergi. Bahkan seandainya hak kami dicabut
sekalipun oleh para petugas, kami akan menghadap langsung kepada Ki Gede
Pemanahan atau putranya Mas Ngabehi Loring Pasar, karena kami merasa berhak
ikut serta membuka hutan ini.”
“Kami tidak berbicara tentang
hak,” potong orang yang tinggi kekar itu, “tetapi kami ingin menyelamatkan diri
kami.”
“Sudahlah,” berkata orang yang
kekurus-kurusan, “tinggalkan tempat ini selagi kalian masih sehat.”
“Ya,” berkata orang yang lain.
“Lebih baik kalian pergi. Pergilah ke pedukuhan yang telah menjadi ramai di
pusat Tanah Mataram. Kalian akan menemukan lapangan yang cukup untuk mencari
sesuap nasi.”
“Ya, pergilah, pergilah,” yang
lain lagi berkata, “untuk kebaikanmu sendiri.”
Tetapi Kiai Gringsing masih
tetap membungkam. Keningnya menjadi semakin berkerut-merut.
“He, apakah kalian menunggu
kesabaranku habis?” teriak orang yang tinggi kekar itu.
Kiai Gringsing memandang wajah
para petugas yang diliputi oleh keragu-raguan. Mereka berdiri saja mematung
tanpa dapat berbuat apa pun juga, sehingga Kiai Gringsing bertanya kepada
mereka, “Bagaimana Tuan? Apakah aku memang sudah tidak boleh tinggal di sini?”
Sebelum para petugas itu dapat
menjawab, orang yang tinggi itu mendahului, “Tidak ada kesempatan lagi. Pergi,
sekarang ini juga. Kalau kalian masih juga berbicara, maka mulut kalian akan
aku sobek.”
Mata orang itu terbelalak
ketika ia melihat Swandaru membuka mulutnya. Bahkan terlalu lebar. Hampir saja
ia meloncat menampar pipinya yang gembung itu. Tetapi niat itu diurungkannya,
karena ternyata Swandaru hanya menguap.
Namun wajah orang yang tinggi
kekar itu menjadi merah padam, ketika ia mendengar Swandaru berdesis, “Aku jadi
mengantuk sekali.”
Orang yang tinggi kekar itu
benar-benar merasa terhina. Karena itu ia menjadi gemetar. Tetapi ketika ia
melangkah maju, beberapa orang mencoba mencegahnya, “Sudahlah. Biarlah mereka
pergi.”
Salah seorang telah mendekati
Kiai Gringsing sambil berbisik, “Sudahlah. Tinggalkan tempat yang sama sekali
tidak memberikan harapan apa pun ini. Mungkin besok atau lusa, datang giliranku
untuk meninggalkan tempat ini.”
“Maaf,” Kiai Gringsing
menggeleng, “aku tetap tinggal di sini.”
Wajah orang itu menjadi
tegang. Namun kemudian ia berkata, “Terserahlah kepadamu. Kami sudah mencoba
mencegah keributan dan mencoba memberimu peringatan. Tetapi kalau kau tetap
keras kepala, kami tidak dapat berbuat apa-apa apabila sesuatu terjadi atas
kalian. Para petugas itu pun tidak.”
Kiai Gringsing tidak beranjak
dari tempatnya. Bahkan kemudian ia berpaling kepada kedua muridnya. Ketika ia
mengangguk kecil, seperti berebutan Agung Sedayu dan Swandaru berloncatan maju.
“Biarlah Swandaru menguap
lagi,” berkata Kiai Gringsing.
Sikap ketiganya sama sekali
tidak dimengerti oleh orang-orang yang berdiri di seputar mereka. Sejenak
mereka berdiri mematung, sementara cahaya matahari telah mulai menyentuh ujung
dedaunan.
“Matahari telah naik,” Kiai
Gringsing justru berkata, “kenapa kalian tidak mempersiapkan diri untuk pergi
bekerja?”
“Gila, gila!” orang yang
tinggi kekar itu berteriak. “Memang kalian ingin mengalaminya. Minggir!
Minggir!”
Wajah-wajah di sekitar orang
yang tinggi kekar itu menjadi tegang. Mereka kini tidak akan dapat mencegahnya
lagi. Sebagian dari mereka telah menjadi gelisah. Tetapi sebagian yang lain
berkata di dalam hatinya, “Terserahlah. Kami sudah mencoba memperingatkannya.
Tetapi mereka benar-benar orang-orang yang keras kepala.”
Dan orang yang berdiri
termangu-mangu itu pun kemudian menyibak, seolah-olah membuat suatu lingkaran
di sekeliling orang yang tinggi kekar yang kini berdiri berhadapan dengan Kiai
Gringsing itu.
Sementara itu, orang yang
kekurus-kurusan itu pun maju selangkah sambil berkata, “Kalian telah
menyia-nyiakan maksud baik kami. Sekarang, kalian akan mengalaminya. Kalian
akan menyesal karenanya. Tetapi penyesalan itu tidak akan banyak berarti.
Nanti, setelah kalian pingsan, kalian akan dilempar ke pinggir hutan.
Terserahlah akan nasib kalian. Apakah kalian akan mati ditelan harimau, atau
sama sekali disendal mayang oleh hantu-hantu, itu bukan urusan kami lagi.”
“Apakah hal itu dapat
dibenarkan oleh tata tertib kehidupan beradab di Mataram?” bertanya Kiai
Gringsing.
Ternyata pertanyaan itu telah
membuat orang yang kekurus-kurusan itu menjadi ragu-ragu sejenak, sedang Kiai
Gringsing berkata terus, “Kalian telah melakukan pelanggaran tata tertib
kehidupan yang beradab bagi Mataram. Kalau hal itu kalian lakukan, maka
saksi-saksi akan berbicara. Atau Mataram memang tidak mempunyai hukum sama
sekali, sehingga setiap orang berhak berbuat sekehendak hatinya? Apakah di sini
kekuatan akan berarti kekuasaan?”
Orang yang kurus itu masih
termangu-mangu, sementara para petugas mengerutkan keningnya.
Tetapi orang yang tinggi kekar
itu agaknya sama sekali sudah tidak dapat menguasai kemarahannya. Selangkah
demi selangkah ia maju. Bahkan ia pun kemudian berteriak, “Ayo. Kalau kalian
akan melawan, lawanlah bertiga. Kalau tidak, siapa yang lebih dahulu aku pukuli
sampai pingsan?”
Benar-benar di luar dugaan
bahwa Swandaru tertawa karenanya. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat
menggelikan baginya.
Agung Sedayu yang berdiri di
sampingnya menggamitnya. Tetapi ia pun telah tersenyum pula.
“Aku tidak dapat menahan hati
lagi,” berkata Swandaru sambil maju selangkah. Agaknya gurunya memang telah
memberi kesempatan kepadanya. “Pertanyaanmu lucu sekali. Siapa yang dengan suka
rela bersedia dipukuli sampai pingsan? Kau barangkali.”
Wajah orang yang tinggi kekar
itu menegang sejenak. Seperti orang-orang lain, ia tidak menyangka sama sekali,
bahwa anak yang baru saja sembuh itu, dengan beraninya maju mendekatinya selagi
ia marah bukan kepalang.
Namun dengan demikian, orang
itu justru membeku sejenak di tempatnya, seolah-olah ia tidak percaya atas
penglihatannya.
“He, kenapa kau justru
mematung?” bertanya Swandaru yang tidak lagi berusaha mengekang kata-katanya.
“Sebenarnya aku harus mengucapkan terima kasih, karena kau telah memberi air
selagi aku kehausan. Kau ingat? Air apakah yang kau berikan kepadaku itu?”
Swandaru berhenti sejenak. Ditatapnya orang yang tinggi kekar dan orang yang
kekurus-kurusan itu berganti-ganti. “He, kau ingat kepada air itu? Sayang, air
itu tidak berhasil membunuhku. Kemudian, apakah kau dapat meyakinkan kami
tentang ceritera ular Gundala Seta dan Gundala Wereng justru cerita itu
bersamaan dengan serangan beberapa ekor ular di dalam gubug kami? Dan yang
terakhir cerita tentang gubug kami yang terbakar yang kau katakan, dibakar oleh
hantu-hantu?”
Orang yang tinggi kekar itu
tidak dapat menahan hati lagi. Dengan serta-merta ia meloncat maju sambil
mengayunkan telapak tangannya ke pipi Swandaru yang gembung itu, meskipun sudah
agak susut.
Swandaru sama sekali tidak
bergeser. Ia hanya menarik kepalanya sambil berpaling.
Orang-orang yang menyaksikan
peristiwa itu, seakan-akan membeku karenanya. Darah mereka serasa berhenti dan
wajah-wajah mereka menjadi pucat. Orang yang tinggi kekar itu adalah orang yang
mempunyai kekuatan yang luar biasa. Mereka pernah melihat bagaimana ia
kehilangan kesabaran, karena seseorang yang tidak mau menuruti nasehatnya.
Kini hal itu terulang lagi.
Meskipun orang tua itu mempunyai dua orang anak yang masih muda, dan yang
mungkin memiliki keberanian pula untuk berkelahi, tetapi melawan orang yang
tinggi kekar itu sama sekali pasti tidak akan berarti.
Tetapi kini mereka melihat
anak yang gemuk itu tanpa membayangkan kecemasan dan ketakutan sama sekali
telah berdiri menghadapinya.
Apalagi, ketika mereka melihat
tangan orang yang tinggi kekar itu terayun di depan wajah Swandaru, hampir
menyentuh pipinya. Tetapi tangan itu sama sekali tidak menyinggungnya, meskipun
Swandaru masih tetap berdiri di tempatnya.
Orang-orang yang menyaksikan
hal itu menjadi heran. Mereka hampir tidak melihat bagaimana Swandaru
menghindar. Dan mereka menganggap bahwa orang yang tinggi kekar itu telah
bergerak begitu cepatnya.
Orang yang tinggi kekar, yang
merasa tangannya sama sekali tidak menyinggung sasarannya, menjadi semakin
marah. Hal itu tidak pernah terjadi atasnya. Ia pernah memukul seorang anak
muda di dalam lingkungan para pendatang yang mencoba melawan kehendaknya.
Bahkan ia pernah berkelahi melawan sekelompok pendatang yang merasa dirugikan
oleh tindakan-tindakannya. Dan ia pun pernah menghajar seseorang yang tidak mau
diusir dari daerah pembukaan hutan ini, sehingga orang itu menjadi pingsan.
Dan kini anak muda yang gemuk
itu, yang pernah hampir mati karena sakit dan bisa itu, dengan begitu saja
telah berhasil menghindari tangannya.
Karena itu sejenak ia berdiri
mematung. Ditatapnya wajah Swandaru sejenak. Tetapi kemarahan di dadanya serasa
menjadi semakin menyala, karena Swandaru justru tersenyum kepadanya sambil
berkata, “Kau memang terlampau kasar. Apakah, kau benar-benar tidak mau
berbicara lagi?”
Orang itu tidak menjawab. Kini
ia telah bersiap untuk dengan bersungguh-sungguh berkelahi melawan Swandaru.
Karena menurut dugaannya, Swandaru sedikit atau banyak, pasti mampu pula
berkelahi, ternyata dengan caranya menghindari tangannya.
Swandaru melihat sikap orang
yang tinggi kekar itu dengan dada yang berdebar-debar. Kemudian perlahan-lahan
ia mengangguk-anggukkan kepalanya, Swandaru pun menduga, orang ini memang
seorang yang pantas ditakuti di daerah pembukaan hutan ini, bahkan para petugas
yang bersenjata pun tidak dapat berbuat apa-apa atasnya.
Sejenak kemudian, keduanya
telah bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Orang-orang yang berdiri
mengitari mereka pun semakin menyibak pula. Mereka menduga bahwa akan terjadi
suatu perkelahian. Tetapi dalam pada itu mereka menaruh belas yang semakin
mendalam kepada Swandaru yang sombong itu. Kalau orang yang tinggi kekar itu
tidak lagi dapat menahan diri, maka kemungkinan yang paling buruk dapat terjadi
atas Swandaru. Bukan saja ia akan menjadi pingsan, tetapi barangkali lebih
daripada itu. Apalagi kalau saudara laki-lakinya dan ayahnya itu ikut membantu
pula. Maka akibatnya akan menyedihkan sekali.
Swandaru yang sudah bersiap
pula menghadapi orang yang tinggi kekar itu tidak mau bermain-main lagi. Ia
tidak tahu, sampai berapa jauh kemampuan lawannya. Kalau orang itu tidak
berhasil memukul pipinya, itu bukannya suatu ukuran, karena hal itu
dilakukannya sambil lalu saja, dan tanpa memperhitungkan kemungkinan bahwa
lawannya akan menghindar.
Sejenak kemudian, ketegangan
pun memuncak ketika orang yang tinggi itu mulai menyerang. Dengan kecepatan
yang luar biasa ia meloncat langsung menyerang Swandaru, dengan kakinya yang
mendatar, sedang tubuhnya yang miring agak merendah pada lutut kakinya yang
lain.
Namun Swandaru pun telah
bersiap menghadapinya. Dengan tangkasnya pula ia menarik sebelah kakinya.
Ketika kaki lawannya meluncur di sisinya, dengan cepat ia mendorong kaki itu ke
depan. Namun lawannya pun lincah pula. Begitu kakinya yang terlempar itu
menjejak tanah, maka ia pun segera berputar dengan sebuah serangan kaki
mendatar.
Swandaru terpaksa meloncat
surut. Tetapi segera ia bersiap untuk menyerang lawannya yang masih terputar
setengah lingkar. Begitu lawannya itu berhenti berputar, Swandaru meloncat
maju. Tangannya yang kuat langsung menjulur ke arah pundak kanan. Tetapi orang
itu masih sempat menggeliat. Sambil memiringkan tubuhnya ia menangkis pukulan
Swandaru itu. Ia terlampau percaya akan kekuatannya, sehingga ia yakin, bahwa
anak yang gemuk itu pasti akan terpental oleh kekuatannya sendiri.
Tetapi Swandaru ternyata telah
mempergunakan sebagian besar dari kekuatannya, karena ia belum tahu betapa
besar kekuatan lawannya. Karena itu sentuhan pukulan Swandaru dengan lengan
orang yang tinggi kekar, yang menangkis serangannya itu, merupakan suatu
benturan dua kekuatan yang besar. Swandaru tergetar selangkah surut. Namun ia
segera tegak di atas kedua kakinya yang renggang, sedikit merendah di atas
lututnya. Satu tangannya bersilang di muka dadanya, sedang tangannya yang lain
terjulur lurus ke depan. Telapak tangannya terbuka, dan keempat jari-jarinya
merapat, sedang ibu jarinya sedikit merenggang di hadapan telapak tangannya.
Suatu sikap dalam unsur gerak Naga Rangsang.
Dalam pada itu, setiap dada
serasa berhenti berdetak ketika mereka melihat akibat yang terjadi atas seorang
yang tinggi kekar itu.
Tanpa diduga sama sekali oleh
setiap orang, maka orang yang tinggi kekar itu ternyata telah terlempar tiga
langkah. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Hanya dengan susah payah ia
masih dapat tetap bertahan berdiri di atas kedua kakinya.
Karena itu, orang yang tinggi
kekar itu tidak akan sempat untuk berbuat sesuatu, apabila Swandaru langsung
menyerangnya. Sikap Naga Rangsang itu sangat berbahaya baginya. Setiap saat
Swandaru dapat meloncat dan kedua tangannya mematuk seperti seekor naga dari
arah yang berbeda. Jari-jari tangannya yang merapat, adalah senjata dari unsur
gerak itu yang sangat berbahaya. Jari-jari tangan Swandaru yang terlatih baik
itu, akan mampu mencengkam daging lawannya. Apalagi apabila daya tahan lawannya
tidak memadai.
Tetapi ketika Swandaru melihat
akibat benturan itu, ia tidak segera menyerang. Bahkan ia sempat berpaling
memandang gurunya yang berdiri di luar arena.
Swandaru masih melihat gurunya
menggelengkan kepalanya. Karena itu, maka sikapnya pun mengendor pula.
Tangannya kini tidak lagi terjulur lurus ke depan. Kakinya tidak lagi
merenggang dan merendah pada lututnya, meskipun satu tangannya masih bersilang
di depan dadanya.
Benturan itu dapat memberinya
petunjuk, bahwa lawannya bukanlah seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa.
Ia adalah seseorang yang kuat dan berilmu. Tetapi bukan orang yang tidak
terkalahkan.
Meskipun benturan itu belum
berarti penentuan akhir dari perkelahian itu, tetapi setidak-tidaknya Swandaru
telah mempunyai sedikit gambaran tentang lawannya.
Karena itulah, maka ketika
lawannya sedang memperbaiki keadaannya, maka Swandaru melangkah seenaknya
mendekatinya, meskipun sebenarnya ia tidak kehilangan kewaspadaan. Tangan
kirinya masih tetap bersilang di muka dadanya, tetapi tangan kanannya
melenggang di sisi tubuhnya.
“Luar biasa,” ia berdesis.
Wajah orang yang tinggi kekar
itu menjadi merah padam. Ia pun mengerti pula, bahwa Swandaru kini dapat
menilai kemampuannya. Namun demikian orang yang tinggi kekar itu tidak segera
menyerah kepada keadaan. Benturan itu memang bukan penentuan. Karena itu, ia
pun segera mempersiapkan diri. Namun sikap Swandaru kemudian justru sangat
menyakitkan hatinya. Anak yang gemuk itu berjalan seperti ayam aduan menghadapi
lawannya yang sudah terikat kedua belah kakinya.
“Setan alas!” orang yang
tinggi itu mengumpat.
“Jangan menyebut nama itu.
Kalau ada hantu yang mendengar, ia akan marah. Bukankah di sini banyak hantu?”
berkata Swandaru. “Sebutlah yang lain, jangan setan alas. Apalagi Alas Mentaok.
Sebutlah setan gunung atau setan jurang atau setan apa pun.”
Kemarahan orang itu
benar-benar serasa meledakkan dadanya. Karena itu ia tidak menyahut lagi.
Dengan serta-merta ia meloncat menyerang Swandaru. Kali ini ia telah
mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.
Swandaru yang sebenarnya sama
sekali tidak kehilangan kewaspadaan, segera menghindar. Tangan orang yang
tinggi kekar itu terjulur di samping dadanya. Dengan serta-merta Swandaru
memutar tubuhnya sambil menangkap tangan itu. Dengan sekuat tenaga Swandaru
menarik tangan orang itu lewat di atas pundak, sedang tubuhnya merendah di atas
lututnya, membelakangi lawannya.
Orang itu tidak sempat berbuat
apa-apa lagi. Terdorong oleh kekuatannya sendiri, ditarik pula oleh kekuatan
Swandaru, maka orang yang tinggi bertubuh kekar itu terpelanting lewat di atas
kepala Swandaru. Setelah sekali ia terputar di udara, maka ia pun kemudian
terlempar dan jatuh terbanting di tanah.
Setiap mulut hampir saja
berteriak melihat hal itu. Tetapi setiap mulut itu pun tertahan oleh bibir yang
terkatup rapat. Bahkan ada di antara mereka yang menutup mulutnya dengan
telapak tangannya.
Bukan saja orang-orang yang
tinggal di dalam barak, tetapi para pengawas pun menjadi sangat kagum melihat
cara Swandaru menguasai lawannya yang lebih tinggi dan besar daripadanya.
Apalagi melihat tubuh Swandaru yang gemuk itu, mereka menjadi terheran-heran
melihat kelincahannya.
Sejenak orang yang tinggi
kekar yang masih terbaring di tanah itu menggeliat. Mulutnya menyeringai
menahan sakit. Tangannya ditekankan pada lambungnya yang agaknya menjadi sangat
sakit.
Sejenak orang itu tidak segera
mampu berdiri. Perlahan-lahan ia berusaha duduk. Meskipun, matanya menjadi
merah oleh kemarahan yang memuncak, tetapi ia benar-benar tidak segera dapat
bangun.
“Anak iblis!” ia mengumpat.
Swandaru masih berdiri di
tempatnya. Ditatapnya saja wajah orang itu. Wajah yang menjadi semakin tegang.
Namun dalam pada itu,
perhatian setiap orang kini berpindah. Tiba-tiba saja orang yang
kekurus-kurusan melangkahi mendekati orang yang tinggi kekar, yang masih saja
duduk di tanah.
“Berdirilah,” katanya.
Orang itu tidak menjawab.
Tetapi ia tidak segera berdiri.
“Marilah, aku tolong,” berkata
orang yang kurus itu.
Maka orang yang tinggi kekar
itu pun dibantunya berdiri. Meskipun dengan susah payah, akhirnya ia dapat
tegak di atas kedua kakinya.
“Apakah kau masih mampu
berkelahi?” orang yang kekurus-kurusan itu bertanya.
Sekali orang yang tinggi itu
menggeliat. Namun ia tidak segera menjawab.
“Apakah kau masih mampu
berkelahi?” orang yang kekurus-kurusan itu bertanya lagi. Lalu, “Inilah
kebodohan kita. Orang-orang ini adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin
membuat kisruh di tempat ini. Mereka memang bukan orang kebanyakan. Anak yang
gemuk ini telah mampu membantingmu. Agaknya kau menganggapnya terlampau rendah.
Sekarang, hati-hatilah. Bersungguh-sungguhlah. Kalau perlu, kau dapat
mempergunakan senjatamu. Aku akan mengawasi ayah dan kakaknya. Mereka pun bukan
orang-orang kebanyakan.”
Orang yang tinggi kekar itu
menjadi ragu-ragu. Tanpa sesadarnya ia meraba ikat pinggangnya yang besar.
Swandaru berdiri membeku di
tempatnya. Demikian juga Agung Sedayu dan Kiai Gringsing. Mereka memang melihat
hubungan dari keduanya. Tetapi kini semakin ternyata bahwa keduanya memang
bukan orang lain. Keduanya pasti mempunyai ikatan lebih dari kawan di dalam
pembukaan hutan ini.
Namun yang mengherankan,
agaknya orang yang kekurus-kurusan itulah yang mempunyai pengaruh yang lebih
besar daripada orang yang tinggi kekar, sehingga seandainya benar-benar mereka
mempunyai ikatan tertentu, maka orang yang kekurus-kurusan itu pasti mempunyai
kedudukan selapis lebih tinggi.
Dalam pada itu, wajah
Swandaru, Agung Sedayu, dan Kiai Gringsing menegang, ketika mereka melihat
orang yang tinggi kekar itu tiba-tiba mencabut sepasang pisau di kedua
tangannya.
“Nah, tidak ada salahnya kalau
kau mempergunakannya,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu. “Bahkan kalau
terpaksa orang-orang itu mati, sama sekali bukan salah kita. Mereka telah
melawan ketentuan yang ada di sini.”
“Tunggu,” sela Kiai Gringsing,
“siapakah yang berhak mengawasi daerah ini? Kalau ada pelanggaran atau
perlawanan terhadap peraturan yang berlaku, siapakah yang berhak bertindak?”
“Persetan,” desis orang yang
kekurus-kurusan, “kami akan berjasa kalau kami dapat membantu melakukan tugas
para pengawas.”
“Demikian juga kami,”
tiba-tiba saja Swandaru menyahut.
Orang yang kekurus-kurusan,
orang yang tinggi kekar, dan orang-orang yang ada di sekitar arena itu pun
menjadi heran.
“Kami juga merasa membantu
para petugas, apabila kami dapat membuat kalian jera. Kalian adalah orang-orang
yang sama sekali tidak menghargai orang lain, termasuk para petugas yang ada di
sini. Justru kalian menganggap beberapa petugas yang ada itu sama sekali tidak
mampu berbuat apa-apa, sehingga kalian perlu membantu mereka.”
“Diam!” teriak orang yang
kekurus-kurusan.
Suara teriakannya telah
mengejutkan setiap orang yang mendengarnya. Suara itu keras, lantang dan berat,
sehingga sama sekali berbeda dengan sifat-sifat yang setiap kali dilihat oleh
orang-orang di dalam barak itu. Orang yang kekurus-kurusan itu sering menggigil
ketakutan apabila ia melihat sesuatu, bahkan kesannya ia adalah seorang penakut
yang cengeng. Tetapi kini tiba-tiba saja ia menjadi sangat garang dan kasar.
“Jangan biarkan ia berbicara
lagi. Bunuhlah kalau kau terpaksa melakukannya. Kau dan kita semua, tidak akan
dihukum oleh siapa pun.”
Orang yang bertubuh kekar itu
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba matanya menjadi liar dan kemerah-merahan,
sedang kedua pisau di tangannya menjadi gemetar.
Sekilas Swandaru memandang
mata pisau yang bergetar itu. Dadanya menjadi berdebar-debar ketika tampak
olehnya bahwa daun pisau itu berwarna hitam kemerah-merahan. Sama sekali tidak
putih mengkilap seperti sebilah pedang.
Gurunya melihat pula warna
itu, sekaligus melihat keraguan Swandaru. Karena itu, maka ia pun kemudian
berkata, “Hati-hatilah atas sepasang pisau itu.”
Orang yang kekurus-kurusan dan
orang yang tinggi kekar itu pun berpaling kepadanya, sementara Kiai Gringsing
berkata terus, “Pisau itu berbahaya bagimu. Setiap goresan di kulitmu,
akibatnya akan sangat berbahaya bagimu. Ingat, orang-orang itu adalah
orang-orang yang senang sekali bermain-main dengan racun. Demikian juga pisau
itu. Pisau itu tidak sekedar diberi warangan biasa, tetapi warangan yang
mengandung racun yang paling tajam.”
“Persetan dengan igauanmu,”
potong orang yang kekurus-kurusan.
“Tetapi jangan takut,” berkata
Kiai Gringsang pula, “kau adalah orang yang kebal, setidak-tidaknya telah
dibekali dengan berbagai macam obat untuk melawan racun. Berapa kali kau hampir
mati karena racun. Tetapi kau masih tetap hidup sampai sekarang.”
Tetapi suara Kiai Gringsing
terputus ketika orang yang kekurus-kurusan itu berteriak, “Jangan hiraukan
kicau orang tua itu. Cepat, lakukanlah tugas ini sebaik-baiknya.”
Orang yang tinggi kekar itu
memang tidak menunggu lagi. Perlahan-lahan ia maju mendekati Swandaru. Meskipun
tenaganya kini sudah jauh berkurang, namun sepasang pisau itu benar-benar telah
mendebarkan jantung.
Pisau yang beracun itu
seakan-akan terayun-ayun di tangan orang yang tinggi itu. Sekali-sekali
berputar dan sekali-sekali terjulur lurus ke depan.
“Gila,” berkata Swandaru di
dalam hatinya. “Untunglah, bahwa tenaganya sudah hampir habis. Nafasnya pun
agaknya sudah hampir putus. Kalau aku dapat menghindar terus-menerus, tanpa
perlawanan apa pun, ia pasti akan berhenti dengan sendirinya, kehabisan nafas.”
Demikianlah, maka sejenak
kemudian orang itu pun sudah mulai menyerang. Meskipun geraknya tidak lagi
terlampau cepat, tetapi kini ia memusatkan serangannya pada ujung pisaunya.
Swandaru merasa, bahwa ia
harus benar-benar berhati-hati. Menurut gurunya, racun itu adalah racun yang
sangat kuat. Sehingga karena itu, maka ia pun selalu menghindari
serangan-serangan yang segera datang beruntun.
Dengan ragu-ragu Swandaru
mencari kesempatan untuk menyerang. Tetapi sepasang pisau itu benar-benar
sangat berbahaya. Sekali ia memang melihat pertahanan orang itu terbuka. Namun
ternyata Swandaru cukup waspada juga karena ia melihat jebakan-jebakan yang
akan menyeretnya untuk berpelukan dengan maut.
Dalam pada itu, ternyata untuk
beberapa saat Swandaru sama sekali tidak berdaya menghadapi kedua pisau beracun
itu. Ia sama sekali tidak mau tergores meskipun hanya seujung rambut. Dengan
demikian, maka ia hanya dapat berloncatan mundur dan berputar di arena
perkelahian itu tanpa mendapat kesempatan sama sekali untuk menyerang.
“Selesaikan saja anak itu,”
berkata orang yang kekurus-kurusan.
Tetapi seperti yang
diperhitungkan oleh Swandaru, maka orang itu pun sudah menjadi semakin lelah.
Nafasnya menjadi terengah-engah dan keringatnya sudah membasahi seluruh
permukaan kulitnya.
“Apakah kau masih mampu
mempergunakan tenagamu terakhir,” bertanya orang yang kekurus-kurusan.
Orang itu menggeram.
Ditatapnya wajah Swandaru yang menegang sejenak. Tetapi Swandaru itu justru
kemudian tersenyum sambil menjawab, “Mari kita berlomba lari. Berputar-putar di
arena ini. Pada suatu saat, tanpa perlawanan apa pun kau akan pingsan. Nafasmu
tinggal tersangkut di ujung hidungmu.”
“Licik,” teriak orang yang
kekurus-kurusan, “Kau sangat licik. Itu bukan perbuatan jantan.”
“Senjata itu sangat
berbahaya,” sahut Swandaru. “Sentuhan yang tidak berarti dapat membuatku mati.
Dan aku tidak mau. Lebih baik kita berkejar-kejaran sampai kawanmu itu pingsan
sendiri.”
“Kenapa kau tidak pulang
saja?” bertanya orang yang kekurus-kurusan.
“Kenapa?” bertanya Swandaru.
“Menanak nasi seperti
perempuan. Kalau kau laki-laki, kau tidak akan berkelahi dengan cara itu. Kau
pasti akan berusaha melawan meskipun akibatnya mati.”
Wajah Swandaru menegang
kembali. Terasa darahnya melonjak mendengar penghinaan itu. Dan orang yang
kekurus-kurusan itu masih berkata, “Nah, apa katamu sekarang? Orang-orang di
sekitar kita menjadi saksi, bahwa ternyata kau adalah orang yang hanya dapat
berteriak-teriak tanpa arti.”
Sejenak Swandaru tidak
menyahut. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Jadi menurut penilaianmu sekarang ini akulah yang licik meskipun kawanmu yang
menggenggam senjata yang ganas itu?”
Pertanyaan itu benar-benar
tidak diduga-duga. Orang yang kekurus-kurusan itu mengharap Swandaru marah dan
langsung menyerang. Tetapi agaknya anak yang gemuk itu masih saja dapat menahan
diri. Karena itu justru ia sendirilah yang menjadi tidak sabar lagi. Katanya
kepada orang yang tinggi kekar, “Nah, kau telah cukup mendapat istirahat.
Lakukanlah sekarang. Kejar anak gemuk itu sampai dapat. Kalau ia menghadapkan
dadanya tikamlah dadanya. Kalau ia lari tikamlah punggungnya.”
“Kalau aku miring?” bertanya
Swandaru.
“Gila,” teriak orang yang
kekurus-kurusan. “Lakukan sekarang!”
Orang yang kekar itu
menggeram, ia maju selangkah demi selangkah dengan wajah yang semakin liar.
Dalam pada itu Swandaru
menjadi lebih berhati-hati menghadapinya. Namun demikian ia memang merasa,
kalau dengan cara ini maka perkelahian akan berlangsung terlalu lama. Ia harus
menemukan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk mengalahkan lawannya, tetapi
kulitnya sendiri tidak tergores ujung senjata beracun itu.
Namun akhirnya Swandaru
menarik nafas ketika gurunya berkata, “Sudahlah, jangan biarkan permainan ini
berlangsung terlampau lama. Bukankah kita ini gembala yang baik, yang masih
tetap menyimpan cambuk kita masing-masing? Pergunakan cambukmu untuk mencegah
pisau-pisau beracun itu.”
Agung Sedayu menegang sejenak,
memandangi wajah gurunya. Tetapi ia pun segera mengangguk-angguk. Gurunya sama
sekali tidak sekedar diburu oleh kegelisahan. Namun agaknya gurunya memang
merasa tidak perlu lagi menyembunyikan cambuk-cambuk ini. Sebagian dari
cirri-ciri dirinya sudah mulai diperlihatkannya.
Swandaru yang semula juga
ragu-ragu, kemudian tersenyum ketika ia melihat gurunya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Bahkan ia masih sempat berkata, “Apakah aku harus menggembalakan
pisau ini?”
Sebelum Kiai Gringsing
menjawab, orang yang tinggi kekar itu sudah mulai menyerangnya sambil
menggeram, “Persetan dengan gembala gila seperti kalian.”
Swandaru masih harus meloncat
menghindar. Namun kemudian ketika ia berdiri di atas sepasang kakinya,
tangannya sudah menggenggam cambuknya yang diurai dari bawah bajunya.
“Nah,” katanya, “sekarang kita
masing-masing sudah bersenjata. Senjatamu adalah senjata seseorang yang
menguasai racun, sedang senjataku adalah senjata seorang gembala.”
Mata orang yang tinggi kekar
itu menjadi merah padam. Sejenak dipandanginya ujung cambuk Swandaru. Namun
kemudian ia menggeram, “Persetan! Kau sangka aku sekedar seekor kambing domba
yang ketakutan mendengar bunyi cambuk.”
Swandaru tidak menjawab.
Tetapi diputarnya cambuknya di atas kepalanya. Sudah agak lama ia tidak
mempergunakan cambuk itu, sehingga ia merasa perlu untuk melemaskan otot-otot
pergelangan tangannya.
Orang yang tinggi kekar itu
pun tidak sabar lagi. Dengan satu loncatan yang panjang ia menyerang, menyusup
di bawah putaran cambuk Swandaru. Namun, meskipun sudah agak lama Swandaru
tidak mempergunakan cambuknya, ia masih tetap cukup lincah menguasai
senjatanya. Ketika sebuah ledakan melengking, maka terdengarlah keluhan
tertahan. Orang yang tinggi besar itu dengan serta-merta meloncat surut. Sebuah
goresan yang kemerah-merahan telah melekat di kakinya.
“Setan alas!” ia mengumpat.
Ketika ia melangkah maju, ternyata kakinya menjadi timpang.
Swandaru tidak membiarkannya
lagi. Ia pun segera mendesak. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah sepasang
pisau beracun itu. Karena itu, maka dengan tiba-tiba ia pun menyerang. Sekali
lagi cambuknya meledak. Kali ini mengenai pergelangan tangan orang yang tinggi
kekar itu.
Sekali lagi sebuah keluhan
terdengar. Bahkan kemudian disusul dengan umpatan yang kasar. Bukan saja
pengelangan tangannya berdarah, tetapi satu pisaunya telah terlepas dari
tangannya.
“Hem,” orang yang
kekurus-kurusan berdesah, “orang ini memang luar biasa. Minggirlah,” katanya
kemudian kepada orang yang tinggi itu, “aku akan mencobanya.”
Kiai Gringsing sama sekali
tidak terkejut mendengar kata-kata orang yang kekurus-kurusan. Ia memang sudah
menyangka, bahwa orang yang tampaknya sebagai seorang penakut itu, pasti
mempunyai kelebihan dari orang yang tinggi kekar, yang tampaknya sehari-hari
adalah orang yang tidak terkalahkan di barak itu. Bahkan para penjaga pun takut
kepadanya, karena ia memiliki kekuatan raksasa. Namun, meskipun orang yang
kekurus-kurusan ini agaknya tidak memiliki kekuatan jasmaniah sebesar orang
yang tinggi kekar itu, tetapi agaknya orang ini memiliki ilmu yang lebih masak.
Selain Kiai Gringsing, maka
orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi heran. Mereka sama sekali
tidak menyangka, bahwa orang yang kekurus-kurusan itu pada suatu saat dapat
berbuat seperti itu seolah-olah memiliki kemampuan lebih besar dari orang yang
tinggi dan kekar itu.
Namun para petugas yang ada di
tempat itu pun segera dapat mengetahui, bahwa sebenarnya orang yang
kekurus-kurusan itu memang mempunyai kelebihan dari orang yang tinggi kekar
itu.
Swandaru yang masih memegang
cambuknya berdiri termangu di tempatnya. Ia melihat orang yang tinggi kekar itu
masih menyeringai menahan sakit.
“Simpan pisaumu,” berkata
orang yang kekurus-kurusan itu. “Jangan sampai pisaumu menyentuh lukamu
sendiri. Kau akan segera mati karenanya.”
Orang yang tinggi kekar itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia menyarungkan pisau yang masih di
genggamnya.
“Ambil yang satu,” berkata
Swandaru. “Kalau mengenai anak-anak yang sedang bermain-main, maka kau akan
berdosa sepuluh kali lipat.”
Yang terdengar adalah
gemeretak gigi orang yang tinggi kekar itu. Namun yang berkata adalah orang
yang kekurus-kurusan. “Jangan marah. Sepantasnya kau memang hanya
menakut-nakuti anak-anak. Tetapi kalau kau bertemu dengan lawan yang agak kuat,
kau tidak dapat berbuat apa-apa.”
Orang itu sama sekali tidak
menjawab. Setapak demi setapak ia melangkah mendekati pisaunya.
“Ambil,” berkata Swandaru.
“Ya, ambil,” ulang orang yang
kekurus-kurusan.
Orang itu ragu-ragu sejenak.
Tanpa sesadarnya diamat-amatinya pergelangan tangannya yang terluka dan
menitikkan darah.
“Cepat ambil,” desis Swandaru
pula.
“Ya, cepat ambil,” ulang orang
yang kekurus-kurusan.
Meskipun dengan hati yang
bimbang, namun tangannya dijulurkannya pula meraih pisau yang tergolek di tanah
itu.
Namun ia terloncat surut
ketika tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh cambuk Swandaru yang meledak. Dengan
wajah yang tegang ia berdiri termangu-mangu. Tangannya yang berdarah itu pun
menjadi gemetar.
“He, kenapa kau?” bertanya
Swandaru sambil tersenyum.
“Gila,” geram orang yang
kekurus-kurusan, “ambillah. Kenapa kau tiba-tiba menjadi pengecut?”
Orang itu masih berdiri
gemetar. Sejenak ditatapnya wajah Swandaru, kemudian wajah orang yang
kekurus-kurusan itu.
“Ambillah!” teriak orang yang
kekurus-kurusan itu. “Kalau orang itu akan mengganggumu, biarlah aku putuskan
batang lehernya.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Sementara Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat
tingkah laku adik seperguruannya.
“Anak itu memang bengal,”
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun sementara itu, ia melihat bahwa
orang yang kekurus-kurusan itu benar-benar merasa terhina oleh perbuatan
Swandaru.
“Orang yang kekurus-kurusan
ini agaknya lebih berbahaya dari kawannya yang tinggi kekar namun seperti
kerbau itu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Sementara itu, orang yang
tinggi kekar itu pun telah melangkah maju dengan penuh keragu-raguan.
Sekali-sekali ditatapnya wajah kawannya yang kekurus-kurusan itu, kemudian
ditatapnya pula wajah Swandaru.
“Cepat,” berkata orang yang
kekurus-kurusan.
Orang yang tinggi kekar itu
hampir terloncat. Dengan secepat-cepatnya, ia meraih pisaunya yang beracun.
Kemudian ia pun segera meloncat mundur.
Swandaru tidak dapat menahan
tertawanya, sedang Agung Sedayu pun tersenyum pula tertahan-tahan.
“Kau memang terlampau sombong
anak yang gemuk,” berkata orang yang tinggi kekurus-kurusan itu. “Sekarang kau
jangan menyebut dirimu bernama Sangkan. Aku tahu bahwa kau pasti bernama lain.
Dan aku pun kini tahu, selama ini kau berpura-pura menjadi orang-orang bodoh,
miskin dan setengah gila. Tetapi sebenarnyalah bahwa kalian adalah orang-orang
sombong yang tidak ada ada duanya di dunia. Kini kalian akan membuat semua
orang terkejut. Kalian akan mendapat pujian, sebagai orang-orang bodoh yang
ternyata memiliki kelebihan yang luar biasa.”
“He,” tiba-tiba Swandaru
memotong, “apakah kau tidak berbuat seperti itu? Selama ini, orang yang tinggi
kekar itu sajalah yang kau taruh di depan. Kau sendiri selalu bersembunyi di
belakang. Bukankah kau selalu berpura-pura menjadi seorang penakut yang paling
ketakutan apabila ada suara tikus sekalipun? Sekarang kau juga akan tampil
sebagai seorang pahlawan.”
“Diam! Diam kau,” orang yang
kekurus-kurusan itu benar-benar telah menjadi marah. “Aku memang menunggu
kesempatan ini. Selama ini aku memang sedang meyakinkan, bagaimana kita harus
menghadapi hantu-hantu dari Alas Mentaok. Justru untuk kepentingan kita
bersama. Tetapi kedatangan kalian telah merusakkan semua rencanaku. Usaha yang
aku lakukan akan menjadi sia-sia, dan hantu-hantu itu tetap akan marah kepada
kita.”
“He, apakah kita masih harus
berbicara tentang hantu?”
“Gila! Kau sangka kau,
kakakmu, dan ayahmu ini siapa? Betapapun saktinya kalian, kalian tidak akan
dapat berbuat sesuatu di sini tanpa berbicara tentang hantu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia bertanya, “Apakah kau sudah berhasil setelah sekian lama
melakukannya?”
Orang yang kekurus-kurusan itu
terdiam sejenak. Ditatapnya saja wajah Swandaru dengan sorot mata yang
memancarkan kemarahan. Namun pertanyaan itu tidak segera dijawabnya.
“Bagaimana?” Swandaru
mendesaknya.
Orang itu menggelengkan
kepalanya, “Belum. Sebenarnya aku memang sudah hampir berhasil. Tetapi
kedatangan kalian ini telah menjauhkan kami dari mereka, sehingga usaha yang
sudah lama aku lakukan itu, menjadi sia-sia. Karena itu, maka kalianlah yang
harus menanggung akibat kegagalan itu. Kalian terpaksa dikorbankan. Sudah lama
aku ingin membuat korban semacam ini untuk hantu-hantu itu. Korban darah.
Mudah-mudahan mereka menjadi lulut dan dapat mengerti keinginan kami.”
“Apakah korban darah itu?”
bertanya Swandaru.
“Sama dengan korban nyawa.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun tiba-tiba saja ia berkata sambil mengangguk-angguk, “O, jadi
kau ingin membunuh diri?”
“Persetan!” kemarahan orang
itu sudah memuncak.
Agung Sedayu masih saja
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak dapat mencegah Swandaru.
Kebiasaannya yang ternyata menyakitkan hati orang yang kekurus-kurusan itu
tidak dapat dihindarinya.
Sejenak kemudian maka sambil
maju selangkah orang yang kekurus-kurusan itu menggeram, “Kini memang sudah
tiba saatnya. Salah satu dari kalian bertiga akan mati, atau kalau kalian
sama-sama maju, maka kalian bertiga akan mati pula bersama-sama. Semakin banyak
korban yang aku berikan, maka kami yang tinggal di sini akan menjadi semakin
aman.”
Swandaru melihat sorot mata
orang itu. Ia benar-benar sudah ada di puncak kemarahannya. Karena itu, ia kini
tidak dapat berkelakar lagi.
Sejenak kemudian orang yang
kekurus-kurusan itu pun sudah siap. Dengan wajah yang tegang ditatapnya cambuk
Swandaru. Namun sejenak kemudian ia pun segera melenting menyerang dengan
dahsyatnya.
Swandaru memang sudah bersiap
menghadapinya. Cambuknya sudah terlanjur berada di tangannya, sehingga karena
itu, maka cambuk itu pun segera meledak memekakkan telinga.
Tetapi orang yang
kekurus-kurusan itu memang cukup tangkas. Ia masih mampu menggeliat
menghindarkan dirinya, sehingga cambuk Swandaru sama sekali tidak mengenainya.
Namun dalam pada itu, ketika
orang yang kekurus-kurusan itu tegak berdiri di atas kedua kakinya, di
tangannya telah tergenggam seutas rantai besi yang diambilnya dari kantong ikat
pinggangnya. Rantai itu tampaknya tidak begitu besar, hampir sepanjang lengan
tangannya. Tetapi yang berbahaya dari senjata itu adalah sebuah gerigi pada
bola besi sebesar kemiri.
Swandaru menjadi tegang
sejenak. Tanpa diberitahukan lagi, ia sadar, bahwa bola besi yang tampaknya
hanya sekecil kemiri itu pasti sangat berbahaya. Geriginya yang kehitam-hitaman
itu pasti mengandung racun seperti pisau belati orang yang tinggi besar itu.
Ternyata gurunya membenarkan
dugaannya itu. Dengan sungguh-sungguh Kiai Gringsing berdesis, “Hati-hatilah
dengan bola kecil yang bergerigi itu, Swandaru.”
Swandaru menganggukkan
kepalanya. Dan ia pun menjadi kian berhati-hati.
Sejenak kemudian bola kecil
itu sudah berputaran seperti baling-baling. Untunglah bahwa Swandaru pun
mempergunakan senjata yang hampir sejenis. Ujung cambuknya adalah senjata yang
lentur, meskipun tidak kurang berbahayanya. Kalau Swandaru bersungguh-sungguh
mempergunakan senjata itu, maka lecutan sendal pancing apabila menyentuh tubuh
lawannya, pasti akan menyobek kulit, karena karah-karah besi yang melingkar
pada juntai cambuk itu.
Sejenak kemudian keduanya
sudah berhadapan kembali. Sejenak mereka bergeser beberapa tapak. Sedang
orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin berdebar-debar.
Mereka pun berdesakan surut beberapa langkah, karena orang yang kekurus-kurusan
itu selalu memutar rantai yang berbola di ujungnya.
Dengan sedikit membungkukkan
badannya, Swandaru bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Digenggamnya tangkai
cambuknya dengan tangan kanannya, sedang ujungnya dipegangnya dengan tangan
kiri. Namun demikian, cambuk itu siap meledak setiap saat.
Perkelahian yang seru itu
tidak dapat dihindarkannya lagi. Dengan garangnya orang itu menyerang Swandaru
dengan ujung rantainya. Sejenak bola itu melingkar-lingkar di udara, namun
kemudian menukik menyerang dengan cepatnya. Selagi Swandaru menghindarinya,
maka bola itu seperti kepala seekor ular mematuknya dari arah yang lain.
Orang yang kekurus-kurusan itu
benar-benar menguasai senjatanya yang sangat berbahaya itu. Seperti
senjata-senjata beracun lainnya, setiap sentuhan akan berarti maut.
Tetapi Swandaru pun mampu
mempergunakan senjatanya sebaik-baiknya. Setiap kali ia masih sempat meledakkan
cambuknya. Bahkan ujung cambuknya telah beberapa kali menyentuh tubuh lawannya,
sehingga jalur-jalur merah melekat di bahu dan lengannya, setelah karah-karah
besi dijuntai cambuk itu menyobek baju orang yang kekurus-kurusan itu.
Meskipun demikian, orang yang
kekurus-kurusan itu seakan-akan tidak menghiraukannya. Meskipun ia tidak kebal,
tetapi ia sama sekali tidak gentar. Menurut perhitungannya, luka-lukanya itu
sama sekali tidak akan membahayakan jiwanya. Tetapi kalau ia berhasil menyentuh
lawannya, maka itu akan berarti kematian. Sehingga dengan demikian, ia justru
semakin mendesak maju, menyusup di antara ayunan ujung cambuk Swandaru.
Demikianlah, maka perkelahian
itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kadang-kadang kedua senjata itu saling
melilit. Tetapi agaknya keduanya cukup menguasai, dan senjata-senjata itu pun
cukup kuat, sehingga setiap kali, lilitan itu pun segera terurai.
Agung Sedayu dan Kiai
Gringsing menyaksikan perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar. Orang
yang kekurus-kurusan ini ternyata tidak sekedar berkelahi seperti kawannya yang
tinggi itu.
Agaknya Swandaru
mempertimbangkannya juga. Ternyata ia kini menghadapinya dengan
bersungguh-sungguh. Kerut keningnya dan tatapan matanya menunjukkan bahwa ia
tidak lagi bermain-main.
Tetapi ternyata bahwa senjata
orang yang kekurus-kurusan itu pun mempunyai kelebihan dari senjata Swandaru.
Senjata Swandaru dapat melukai kulit, tetapi tidak membunuh dengan kejam
seperti senjata lawannya. Itulah sebabnya, maka Swardaru agak mengalami
kesulitan. Meskipun demikian, latihan-latihan yang berat selama ini membuatnya
menjadi seorang yang tabah menghadapi kesulitan apa pun juga.
Dengan demikian, maka Swandaru
tampaknya selalu terdesak. Ia kadang-kadang melangkah surut, kadang-kadang
berloncatan ke samping. Namun setiap kali ia masih juga berhasil melukai kulit
lawannya. Setiap kali orang yang kekurus-kurusan itu tertegun, apabila cambuk
Swandaru meledak. Dan setiap kali sebuah goresan merah yang baru telah melekat
di tubuh orang itu, bahkan kadang-kadang luka yang menitikkan darah.
Orang yang menyaksikan
perkelahian itu menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi mereka yang tidak
mengerti kedudukan masing-masing. Mereka hanya melihat Swandaru selalu
terdesak, tanpa melihat bagaimana senjatanya berhasil melukai lawannya.
Lawan Swandaru yang
kekurus-kurusan itu pun mengumpat di dalam hatinya. Sekian lama ia bertempur,
namun ia masih belum berhasil menyentuh kulit lawannya. Bahkan kulitnya sendiri
yang semakin lama menjadi semakin parah.
“Persetan,” ia menggeram di
dalam hatinya. “Luka-luka ini hanya akan menimbulkan sedikit gangguan pada
kulitku. Tetapi aku harus menyentuhnya. Ia akan segera mati sebelum
meninggalkan lingkaran perkelahian ini.”
Dengan sepenuh kemampuannya,
orang itu sudah bertekad untuk membunuh Swandaru dengan racunnya. Ia sama
sekali tidak menghiraukan lagi ledakan-ledakan senjata lawannya. Ujung cambuk
yang mengenainya sama sekali tidak dihiraukannya, meskipun kadang-kadang ia
harus menyeringai menahan sakit.
Meskipun Swandaru berhasil
melukai lawannya semakin sering, tetapi Agung Sedayu dan gurunya masih juga
selalu dicemaskan oleh senjata lawannya. Orang yang kekurus-kurusan itu
seolah-olah sama sekali tidak merasa bahwa kulitnya telah terkelupas di
beberapa bagian. Pakaiannya telah menjadi kemerah-merahan karena darah yang
meleleh dari setiap jalur luka, meskipun tidak dalam.
Swandaru pun kemudian menjadi
heran. Kekuatan apakah yang membuat lawannya seperti orang kesurupan. Luka-luka
itu seolah-olah sama sekali tidak terasa. Ia masih saja mendesaknya sambil
mengayunkan bola besinya yang kecil dan bergerigi itu. Setiap kali menyambar di
samping telinganya, kemudian terjulur mematuk lambungnya.
Agaknya lawannya tidak memilih
tempat di tubuhnya. Manapun yang dapat dikenainya akibatnya sama saja. Bahkan
di bagian yang tertutup oleh pakaian, karena gerigi yang tajam itu pasti akan
dapat menembusnya.
“Gila,” geram Swandaru di
hatinya, “apakah orang ini menyimpan nafas kuda atau kulitnya memang sudah
mati, sehingga ia tidak merasakan sakit sama sekali?”
Namun dengan demikian
kemarahan yang merambat di hati Swandaru pun sampai ke puncaknya. Sepercik
kegelisahan telah mewarnai hatinya pula, “Kalau aku tidak segera
melumpuhkannya, akulah yang akan dibunuhnya. Aku dan orang ini mempunyai tujuan
yang lain. Agaknya ia benar-benar akan membunuh aku,” Swandaru mengerutkan
keningnya. “Kalau saja Guru tidak terlalu lembut hatinya, aku bunuh juga orang
ini.”
Dengan demikian, maka
terdengar gigi anak muda yang gemuk itu gemeretak. Agung Sedayu yang selalu
memperhatikan wajah adik seperguruannya, segera menangkap, betapa hati anak
muda yang gemuk itu kini semakin menyala.
Dengan demikian, maka
perkelahian itu pun menjadi semakin cepat. Swandaru pun telah mengerahkan bukan
saja kemampuannya, tetapi juga kekuatannya. Setiap sambaran cambuknya kini
menjadi kian berbahaya. Dan setiap sentuhan juntai berkarah besi itu, menjadi
semakin dalam menyobek kulit.
Orang yang kekurus-kurusan itu
pun setiap kali terpaksa menahan sakit yang menyengat. Ia merasakan pula, bahwa
lecutan cambuk lawannya menjadi semakin keras. Tetapi hatinya yang sekeras batu
sama sekali tidak menahannya. Ia maju terus tanpa menghiraukan badannya yang
seakan-akan sudah menjadi arang keranjang oleh goresan-goresan ujung cambuk
lawannya.
Namun dalam pada itu, karena
Swandaru yang baru saja sembuh dari sakitnya masih belum mendapatkan segenap
kekuatan dan kemampuannya kembali, semakin lama menjadi semakin lelah. Apalagi
setelah ia memeras segenap kemampuan dan tenaganya. Setiap kali ia harus
meloncat menghindari sambaran dan patukan bola besi beracun itu, kemudian
mengerahkan segenap tenaganya untuk mengayunkan cambuknya. Kadang-kadang sundul
puyuh, kadang sendal pancing. Bahkan ia pun menjadi ngeri juga melihat lawannya
yang seakan-akan sudah menjadi merah karena darah. Namun ia masih juga maju
dengan beraninya, seakan-akan sama sekali tidak terjadi apa pun padanya.
“Gila,” desis Swandaru,
“apakah aku berhadapan dengan anak setan Alas Mentaok, atau orang itu telah
kesurupan sehingga daya tahannya menjadi lipat sepuluh dari daya tahan manusia
wajar, atau memang aku sedang bertempur dengan salah satu dari jenis hantu di
Alas Mentaok ini?”
Tetapi Swandaru tidak sempat
merenungi pertanyaan yang mengganggunya itu. Ia masih harus bertempur terus.
Dalam pada itu nafasnya semakin lama menjadi semakin cepat mengalir lewat
lubang hidungnya, sedang kekuatannya pun semakin lama menjadi semakin susut
pula.
“Sebentar lagi, aku akan
kehilangan kekuatan untuk melawannya,” ia berdesis oleh kesadarannya bahwa
ternyata setelah ia sakit kekuatannya masih belum pulih seluruhnya.
Agung Sedayu dan Kiai
Gringsing pun menjadi semakin tegang pula menyaksikan perkelahian itu. Meskipun
cambuk Swandaru sudah berhasil melukai tubuh lawannya bahkan tidak sekadar
disatu dua tempat, namun ia masih belum berhasil mengurangi ketangkasan orang
yang kekurus-kurusan itu. Senjatanya yang beracun itu masih tetap
menyambar-nyambar dan mematuk mengerikan.
Agung Sedayu yang hampir tidak
dapat menguasai perasaan cemasnya, tanpa sesadarnya bergeser maju. Tetapi
gurunya menggamitnya sambil berbisik, “Kita menunggu sejenak. Aku melihat
sesuatu.”
Agung Sedayu tertegun sejenak.
Ia memang tidak akan dapat begitu saja memasuki arena, karena meskipun tanpa
berjanji, adik seperguruannya seolah-olah sedang melakukan perang tanding
seorang lawan seorang. Tetapi ia pasti tidak akan sampai hati melihat kegagalan
Swandaru yang masih belum pulih kembali kekuatannya, apalagi ia sudah harus
berkelahi melawan dua orang berturut-turut.
“Itu tidak adil,” berkata
Agung Sedayu di dalam hatinya.
Namun demikian ia tidak
bergeser maju lagi. Ia mematuhi pesan gurunya.
“Tetapi, apakah yang sudah
dilihat oleh Guru?” pertanyaan itu telah tumbuh di dalam hatinya.
Ketika ia berpaling sedikit,
dilihatnya gurunya mengamati perkelahian itu dengan sangat tegangnya,
seolah-olah ia sedang memperhitungkan setiap gerak dari keduanya.
“Nafas Adi Swandaru sudah
hampir putus, Guru,” bisik Agung Sedayu.
Kiai Gringsing sama sekali
tidak menyahut. Tetapi ia masih mengikuti perkelahian itu.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia pun memperhatikan setiap gerak dari kedua belah pihak yang
terjadi di arena.
Swandaru masih tetap selalu
bergeser surut. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya, sedang nafasnya
menjadi semakin terengah-engah. Cambuknya sudah tidak begitu lincah lagi,
meskipun di saat-saat yang berbahaya, Swandaru masih dapat menghentakkan
tangannya, dan di tubuh lawannya bertambah lagi seleret luka.
Sejenak kemudian agaknya
perkelahian itu sudah memanjat sampai ke puncaknya. Orang yang kekurus-kurusan
itu menjadi semakin liar. Ia semakin mendesak maju, sedang rantainya yang
berujung bola besi bergerigi sebesar kemiri, berputaran semakin cepat. Namun
untuk mempertahankan dirinya, Swandaru pun telah mengerahkan segenap tenaganya.
Untunglah bahwa pikirannya masih tetap tenang, sehingga meskipun tidak sekuat
semula, tetapi ia masih mampu melihat kelemahan-kelemahan pada lawannya yang
akhirnya menjadi seperti orang kesurupan itu, yang tidak menghiraukan lagi
dirinya, betapapun cambuk Swandaru melecut tubuhnya.
Swandaru benar-benar hampir
kehabisan akal. Sekali-sekali ia terhuyung-huyung surut. Sebuah lubang yang
kecil di atas tanah tempat ia berpijak, telah membuatnya hampir-hampir
terbanting jatuh.
Pada saat-saat yang demikian,
Swandaru telah mencoba memeras otaknya, bagaimana ia dapat menjatuhkan
lawannya. Meskipun ia jarang-jarang melakukannya, benar-benar memeras otaknya,
namun ia menemukan juga sikap yang dapat menguntungkannya.
Lawannya sama sekali tidak
menghiraukan lagi sentuhan ujung cambuk Swandaru, sehingga ia menyadari bahwa
ia harus menemukan cara lain untuk menghentikan lawannya. Karena itu, selagi
lawannya menyerang membabi buta dengan senjata rantainya menyambar-nyambar
kepala Swandaru, maka anak yang gemuk itu telah menyerang lawannya dengan
caranya. Disambarnya kaki orang yang kekurus-kurusan itu dengan ujung
cambuknya. Kemudian, selagi ujung cambuk itu masih melilit pergelangan kaki
dengan sekuat-kuat sisa tenaganya, Swandaru telah menghentakkan juntai
cambuknya itu.
Ternyata bahwa sisa tenaga
Swandaru itu masih cukup kuat. Orang yang kekurus-kurusan itu sama sekali tidak
menyangka, bahwa lawannya akan menyerang dengan cara yang aneh itu, apalagi
selama ini ia seolah-olah sama sekali tidak menghiraukan lagi serangan-serangan
lawannya atas tubuhnya. Karena itu, hentakkan ujung cambuk itu telah mengait
kakinya dan seakan-akan menariknya dengan serta-merta.
Hentakkan itu benar-benar
tidak dapat dilawannya. Sejenak ia terhuyung-huyung, namun kemudian dengan
kerasnya ia terbanting jatuh di tanah.
Swandaru sendiri yang telah
mengerahkan sisa tenaganya, ternyata hampir tidak mampu lagi untuk berdiri
tegak. Dengan nafas yang terengah-engah ia mencoba menarik cambuknya yang masih
melilit di kaki lawannya yang kini terbanting di tanah.
Bagaimanapun juga, Swandaru
tidak mau membiarkan dirinya diterkam oleh keganasan racun senjata lawannya.
Karena itu, ia masih harus tetap berusaha melawan dengan senjatanya.
Namun ternyata Swandaru tidak
segera berhasil. Tenaganya sudah tidak cukup mampu untuk menarik cambuknya yang
masih melilit di kaki lawannya, betapapun ia mencoba. Bahkan akhirnya ia
terpaksa menghentikan usahanya ketika nafasnya hampir-hampir menjadi putus
karenanya.
Tetapi, kemudian ia menjadi
heran. Baru setelah ia tidak berhasil menarik senjatanya, ia menyadari, bahwa
lawannya yang terbanting jatuh itu sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk
bangkit. Ternyata setelah ia memeras segenap kemampuan dan tenaganya tanpa
menghiraukan apa pun juga itu, sampai jugalah ia pada batas kekuatan
jasmaniahnya yang sebenarnya telah tidak mampu lagi mendukung hasratnya yang
menyala-nyala di dalam dada. Membunuh lawannya yang gemuk. Karena itu, ketika
ia tersentak oleh keadaan yang tidak terlawan lagi itu, serasa punahlah semua
tenaganya. Perasaan sakit kini serasa telah mencengkeram seluruh urat nadinya.
Pedih dan sakit. Selebihnya, tenaganya serasa telah punah sama sekali.
Swandaru masih berdiri di
tempatnya dengan nafas terengah-engah. Tangannya sudah tidak mampu lagi
memegang tangkai cambuknya. Bahkan dengan susah payah ia bertahan untuk tetap
berdiri di tempatnya.
Semua yang menyaksikan akhir
dari perkelahian itu menahan nafasnya. Sejenak mereka seolah-olah terpukau oleh
peristiwa yang menegangkan itu. Mereka melihat orang yang kekurus-kurusan
tergolek di tanah dengan darah yang memerahi pakaiannya, yang robek-robek
karena senjata Swandaru, seperti kulitnya yang robek-robek pula. Sedang
Swandaru berdiri dengan susah payah mempertahankan keseimbangannya dengan nafas
yang terengah-engah.
Sejenak, tempat itu telah
diliputi oleh suasana yang menegang. Setiap orang berdiri membeku di tempatnya.
Sekali-sekali mereka mendengar orang yang kekurus-kurusan itu mengaduh
perlahan-lahan, sedang nafas Swandaru mengalir semakin tidak teratur. Bahkan
kemudian Swandaru tidak berhasil lagi bertahan berdiri di tempatnya.
Perlahan-lahan ia menjatuhkan diri dan duduk di tanah.
Dalam pada itu, selagi mereka
dicengkam oleh keadaan yang menegangkan, seorang petugas maju mendekati
Swandaru. Sambil bertolak pinggang ia berkata lantang, “Kau sudah membuat onar
di sini. Atas nama kekuasaan Ki Gede Pemanahan dan puteranya Mas Ngabehi Loring
Pasar, kau dan kedua orang yang kini aku ragukan, apakah mereka benar-benar
saudaramu dan ayahmu itu, aku tangkap.”
Swandaru yang masih duduk di
tanah terkejut. Tetapi sebelum ia menyahut, Agung Sedayu telah melangkah maju
mendekati petugas itu sambil bertanya, “Apakah kesalahan kami?”
“Kau sudah membuat onar,
sehingga di sini terjadi perkelahian.”
“Siapakah yang sebenarnya
sudah mulai?”
“Lihat akibat dari perbuatanmu
ini. Kau harus sadar, bahwa kau tidak hidup seperti binatang di dalam rimba
ini. Anak yang gemuk ini sudah membuat seseorang menjadi luka parah.”
“Tetapi bukan maksudnya. Bukan
maksud kami menumbuhkan pertentangan di sini.”
“Aku tidak peduli, apakah kau
bermaksud demikian atau tidak. Tetapi yang terjadi adalah bukti yang tidak
dapat kau ingkari.”
“Tetapi apakah kau tidak
mengikuti perkembangan keadaan yang sebenarnya, sehingga kau mengambil
kesimpulan yang salah, bahwa kamilah yang telah bersalah?”
“Jangan banyak bicara. Kau
berbicara dengan petugas yang mendapat kekuasaan dari Ki Gede Pemanahan.”
“Lalu?”
“Kau harus tunduk kepada kami.
Kau akan kami tangkap, kami ikat dan kami bawa menghadap Ki Gede Pemanahan.”
“Menarik sekali. Tetapi
barangkali orang-orang itulah yang pantas kau tangkap.”
“Tidak. Kalian bertiga.”
“Tunggu,” tiba-tiba terdengar
suara yang lain. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Wanakerti maju
mendekati petugas itu. “Sebenarnya tidak pantas kalau kita berselisih pendapat.
Apalagi di hadapan orang-orang yang seharusnya kita awasi, kita bimbing dan
kita arahkan selagi mereka bekerja di sini. Tetapi aku juga tidak dapat tinggal
diam melihat kesalah-pahaman ini.”
“Apa yang kau anggap dengan
salah paham itu?” bertanya petugas yang ingin menangkap Swandaru. Seorang yang
berwajah keras seperti batu. Berkumis lebat dan berjanggut jarang.
“Sebenarnyalah kita harus
berbicara dulu. Kita bersama-sama akan menentukan siapakah yang bersalah di
dalam hal itu. Terutama kita harus menghiraukan pimpinan kita di sini. Ingat,
kita terikat di dalam ketentuan tugas dan wewenang. Kita mempunyai pemimpin
yang dapat memberikan bimbingan di dalam tugas kita.”
“Persetan,” berkata orang
berkumis itu, “lihat. Apakah yang dilakukan oleh pemimpin kita di dalam keadaan
yang gawat ini? Lihat, ia hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
mencabuti janggut. Aku tidak mempedulikannya.”
Pemimpin dari para petugas,
yang sebenarnya masih belum mempunyai sikap apa pun itu, tiba-tiba merasa
terhina. Selangkah ia maju sambil berkata, “Jangan berkata begitu. Aku memang
tidak bersikap dengan tergesa-gesa. Tetapi kau jangan menyebut aku tidak dapat
berbuat apa-apa.”
“Apa yang sudah kau lakukan,
he?” bertanya orang berkumis itu.
Pemimpin para pengawas itu
berdiri tegang memandangi wajah orang berkumis itu. Sejenak ia tidak
mengucapkan kata-kata. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Akulah yang paling
berkuasa di sini, berdasarkan limpahan kekuasaan dari Ki Gede Pemanahan.”
“Omong kosong,” bantah orang
berkumis itu, “aku akan membuktikan, bahwa Ki Gede Pemanahan akan membenarkan
sikapku.”
“Kau jangan memperbodoh kami.
Kami tahu pasti, bahwa ada ketidakwajaran di antara kalian. Kau, orang yang
gagah itu, dan orang yang sudah dikalahkan oleh anak yang gemuk ini.”
“Apa maksudmu?”
“Setiap hidung akan merasakan
kejanggalan perbuatanmu ini. Di dalam keadaan yang seperti ini, tiba-tiba kau
tampil dan akan menangkap ketiga orang ini. Itu adalah mustahil. Kita harus
bersikap adil. Sebaiknya kedua pihak kita hadapkan kepada Ki Gede Pemanahan
karena keonaran ini.”
“Itu tidak perlu. Yang dua
orang ini kita sudah mengenal sejak lama. Mereka adalah orang-orang yang
bertanggung jawab selama ini. Dengan maksud baik berbuat untuk kawan-kawannya.
Tetapi yang tiga orang ini memang keras kepala.”
“Aku yang menentukan. Aku yang
memutuskan.”
Sejenak keadaan menjadi
semakin tegang. Agung Sedayu kini bahkan berdiri termangu-mangu seperti juga
Wanakerti. Sedang Kiai Gringsing mengikuti setiap perkembangan keadaan dengan
saksama.
Dalam pada itu orang yang
berkumis itu pun menjadi gelisah. Agaknya ia tidak dapat menahan kemarahannya
lagi. Namun ia kini berhadapan dengan pimpinannya. Karena itu ia hanya dapat
menghentak-hentakkan kaki sambil menggeretakkan giginya.
Dalam pada itu, selagi
orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu dicengkam oleh ketegangan, tiba-tiba
mereka hampir terlonjak di tempatnya ketika mereka mendengar pemimpin pengawas
itu tiba-tiba mengaduh sambil terhuyung-huyung.
Kiai Gringsing yang berdiri
selangkah daripadanya, masih sempat meloncat dan menahannya, ketika pemimpin
pengawas itu roboh. Dengan dada yang berdebaran dilihatnya sebuah pisau belati
yang menancap di punggung pemimpin pengawas itu.
Selagi Kiai Gringsmg menahan
pemimpin pengawas yang menjadi lemah, maka Agung Sedayu sampat meloncat ke luar
dari lingkaran orang-orang yang sedang berbantah. Ia sempat melihat sesosok
tubuh berdiri di atas batu padas. Bahkan Agung Sedayu masih melihat orang itu
menggerakkan tangannya melemparkan pisau ke arahnya.
Untunglah bahwa Agung Sedaya
mempunyai bekal ilmu yang cukup. Dengan tangkasnya ia menghindar. Sambil
meloncat ke samping ia memiringkan tubuhnya, sehingga pisau itu meluncur di
sisinya.
Tetapi orang di atas batu
padas itu tidak segera menghentikan serangannya. Sebelum Agung Sedayu sempat
memperbaiki kedudukannya, sebuah pisau yang lain telah meluncur mengarah ke
dadanya.
Dalam keadaan yang sulit,
Agung Sedayu masih sempat menjatuhkan dirinya, meskipun ia masih tetap
menperhitungkan bahwa pisau berikutnya akan menyambarnya pula.
Perhitungannya ternyata benar.
Ia terpaksa berguling sekali ketika sebilah pisau meluncur sekali lagi.
Orang-orang yang menyaksikan
hal itu, bagaikan tonggak-tonggak mati yang membeku di tempatnya. Mereka
rasa-rasanya sedang bermimpi menyaksikan pameran ketangkasan yang luar biasa.
Ketangkasan melontarkan pisau, dan ketangkasan menghindarinya. Namun jantung
mereka serasa menjadi berhenti berdetak, ketika mereka melihat Agung Sedayu
terpaksa berguling-guling menghindari serangan lawannya.
Namun Agung Sedayu sendiri
sudah tentu tidak mau membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan tanpa berbuat
sesuatu. Ketika ia mendapat kesempatan, maka tiba-tiba ia meloncat berdiri.
Hampir tidak kasat mata, bagaimana ia melakukan. Tetapi Agung Sedayu sudah
membalas serangan-serangan pisau itu. Dengan sekuat tenaganya ia melempar orang
yang berdiri di atas batu padas itu. Tidak dengan pisau, tetapi dengan batu
sebesar telur ayam yang disambarnya pada saat ia berguling-guling di tanah.
Ternyata Agung Sedayu masih
memiliki kecakapannya membidik yang dipelajarinya sejak kanak-kanak. Sejak
ayahnya masih ada. Ayahnya pun adalah seorang pembidik yang baik.
Jangankan sasaran yang
seakan-akan terpancang di atas batu padas, sedangkan sasaran yang bergerak di
udara pun, Agung Sedayu mampu mengenainya.
Itulah sebabnya, maka sejenak
kemudian, terdengar pekik kesakitan. Orang yang berdiri di atas batu padas itu
terhuyung-huyung sejenak dan kemudian jatuh terguling di tanah.
Agung Sedayu tidak menunggu
lebih lama lagi. Ia pun segera berlari mendapatkan orang itu.
“Berhenti di situ!” tiba-tiba
terdengar pengawas yang berkumis lebat itu berteriak.
Agung Sedayu tertegun sejenak.
Ketika ia berpaling, dilihatnya orang yang berkumis itu berjalan tergesa-gesa
mendekatinya.