Buku 083
Ki Waskita tidak menyahut.
“Memang terlalu sekali. Mereka
sama sekali tidak menghormati perjalananku untuk menyampaikan kabar wafatnya Ki
Gede Pemanahan. Setiap orang berhak membenci aku, dan bahkan berusaha untuk
mencelakai aku sekalipun. Tetapi tidak dalam keadaan seperti sekarang ini.”
“Ki Juru,” berkata Ki Waskita,
”tetapi agaknya hal itu akan terjadi di hadapan kita sekarang ini.”
Ki Juru mengerutkan keningnya.
“Apakah kita akan berjalan
terus atau mencari jalan lain?” bertanya Ki Waskita.
Sekilas Ki Juru memandang
songsong berwarna kuning yang ditutup dengan selongsong putih.
Tiba-tiba saja ia menggeram,
”Kita berjalan terus. Aku memandi payung tertinggi yang dihadiahkan oleh
Kanjeng Sultan kepada Danang Sutawijaya yang akan bergelar Senapati Ing
Ngalaga.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
“Ki Waskita,” berkata Ki Juru,
”apakah Ki Waskita mempunyai pertimbangan lain? Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita
tidak boleh mengalami perlakuan seperti itu, karena Ki Waskita tidak terlibat
apa pun juga di dalam pertentangan antara Mataram dan beberapa orang di dalam
pimpinan pemerintahan Pajang. Apalagi Ki Waskita adalah seorang tamu bagi
Mataram.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, ”Kita memang bukan prajurit, Ki Juru. Tetapi kita dapat
saja bersikap seperti seorang prajurit yang menghadapi medan betapa pun
beratnya. Dan Ki Juru jangan lupa, aku adalah orang pengawal yang mengikuti Ki
Juru.”
Ki Juru Martani masih sempat
tersenyum. Ia sudah mendengar bahwa Ki Waskita mempunyai kemampuan bertempur
yang tidak ada taranya. Karena itu Ki Juru berkata, ”Baiklah. Aku mempunyai
seorang pengawal yang pilih tanding. Sekarang pengawalku harus membuktikan
kepadaku kemampuannya. Kemudian aku akan menentukan apakah ia masih akan tetap
dapat menjadi pengawalku atau aku harus memecatnya.”
Ki Waskita pun kemudian
tertawa pula. Katanya, ”Baik, Ki Juru. Marilah. Kita berjalan terus.
Sebenarnyalah pekerjaanku kali ini tidak akan terlampau berat, karena orang
yang aku kawal memiliki kemampuan hampir tidak ada batasnya.”
“Ah,” desah Ki Juru. Tetapi ia
tidak menjawab.
Demikianlah maka kuda mereka
pun mulai bergerak kembali. Tidak terlampau cepat. Tetapi mereka menjadi sangat
berhati-hati.
Terasa angin yang lembut
mengusap wajah-wajah yang tegang itu. Sehelai-sehelai rambut Ki Juru yang sudah
mulai dihiasi dengan warna putih, seakan-akan menggelepar di luar ikat
kepalanya. Sedang matanya dengan tajamnya memandang ke depan, ke segala bentuk
yang ada di hadapannya.
Ki Juru Martani itu pun
kemudian menarik nafas panjang. Ia melihat sesuatu bergerak di balik
gerumbul-gerumbul liar.
Ternyata bahwa bukan hanya Ki
Juru sajalah yang melihat sesuatu yang bergerak di balik gerumbul, tetapi Ki
Waskita pun mulai melihatnya pula.
“Agaknya kita memang harus
mengatasi kesulitan ini, Ki Juru,” berkata Ki Waskita.
Ki Juru Martani merenung
sejenak. Ia membawa payung pemberian Sultan Pajang. Karena itu, ia harus
mempertahankannya jika ada orang lain yang ingin merampasnya.
Perlahan-lahan kepalanya
terangguk. Katanya seperti kepada dirinya sendiri, ”Tidak ada pilihan lain.”
Mereka berdua pun kemudian
terdiam. Bayangan yang bergerak di balik gerumbul itu pun seakan-akan menjadi
semakin banyak.
“Cukup banyak orang,” berkata
Ki Juru, ”agaknya mereka merasa berhasil dengan cara itu. Meskipun Ki Gede
tidak langsung terbunuh, tetapi menurut anggapan mereka, akhirnya Ki Gede
Pemanahan pun wafat pula.”
“Mereka mengulangi cara yang
pernah dilakukannya itu.”
Ki Juru mengangguk-angguk.
Katanya, ”Mengulangi cara yang pernah dilakukan di dalam persoalan seperti ini
sebenarnya adalah perbuatan yang bodoh. Tetapi ternyata mereka pun agaknya akan
berhasil. Kitalah yang sebenarnya lebih bodoh dari mereka, karena kita telah
mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan.”
Ki Waskita tidak menyahut,
tetapi kepalanya terangguk-angguk.
Kuda kedua orang Mataram itu
pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan gerumbul liar di pinggir sawah
itu. Orang-orang yang menunggu itu pun menjadi gelisah pula. Sebentar lagi
mereka harus meloncat menerkam lawan yang menjadi semakin dekat.
“Memang hanya dua orang,”
desis salah seorang prajurit yang mencegat perjalanan Ki Juru itu.
“Mereka memang orang-orang
dungu,” berkata lurah prajurit yang memimpin mereka. “Mereka mengulangi
kesalahan yang pernah dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan.”
Tetapi yang lain menjawab,
”Bukan karena dungu. Tetapi mereka adalah orang-orang sombong yang merasa
dirinya tidak terkalahkan. Mereka menganggap bahwa orang-orang Pajang tidak
akan berdaya menghadapi Ki Juru Martani dan pengawalnya itu.”
“Bukan main,” desis yang lain,
”keduanya benar-benar harus dibinasakan. Bukan saja karena perintah dalam
hubungannya untuk mencegah meluasnya Mataram. Tetapi mereka memang sudah
menghina kita.”
Para prajurit itu pun segera
bersiap. Mereka berada di sebelah-menyebelah jalan. Namun mereka sudah
bersepakat, apabila mereka mendengar aba-aba diteriakkan, mereka akan
berloncatan bersama-sama menerkam Ki Juru Martani dan pengawalnya.
Demikian teliti lurah prajurit
yang memimpin pencegatan itu mengatur anak buahnya, sehingga siapa yang harus
menerkam Ki Juru Martani, dan siapa yang harus menyerang pengawalnya sudah
ditentukan pula.
“Sepuluh orang harus melawan
Ki Juru Martani,” berkata Lurah prajurit itu, ”selebihnya melawan pengawalnya.”
Dengan hampir tidak sabar lagi
prajurit itu menunggu. Kuda Ki Juru Martani dan pengawalnya rasa-rasanya
berjalan terlampau malas.
Akhirnya kuda itu menjadi
semakin dekat. Lurah prajurit itu pun sudah siap meneriakkan aba-aba. Demikian
kedua ekor kuda itu memasuki daerah mereka, maka aba-aba pun harus diteriakkan.
Ki Juru dan Ki Waskita yang
sudah melihat orang-orang yang bersembunyi itu pun menjadi semakin
berhati-hati. Meskipun tidak pasti jumlahnya, tetapi mereka berdua dapat
menduga, bahwa orang-orang yang mencegat mereka itu jumlahnya cukup banyak.
“Kita memerlukan waktu yang
panjang,” berkata Ki Juru, ”sedang jenazah Adi Pemanahan minta segera
diselesaikan.”
“Ya, Ki Juru,” berkata Ki
Waskita, “Atau bahkan kita tidak akan dapat kembali sama kali untuk selamanya.”
Ki Juru Martani menarik nafas
dalam-dalam. Orang-orang yang mencegatnya tentu orang-orang pilihan. Mereka
tentu menyadari bahwa yang harus mereka hadapi adalah Ki Juru Martani.
“Apakah orang-orang itu juga
seperti orang-orang yang mencegat Ki Gede Pemanahan,” bertanya kedua orang yang
menyadari bahaya yang dihadapinya itu di dalam hati masing-masing.
“Ki Juru,” berkata Ki Waskita
kemudian, ”agaknya jika kita harus bertempur melawan mereka, kita akan
memerlukan waktu lama, atau barangkali malahan kita tidak akan dapat kembali
sama sekali.”
“Lalu, apa maksud Ki Waskita?”
bertanya Ki Juru.
“Bagaimana jika kita lari saja
meninggalkan mereka sebelum mereka mengepung kita.”
“Kembali ke Pajang?”
“Tidak. Tetapi kita dapat
menerobos tanah persawahan dan meninggalkan orang-orang itu sebelum terlambat.
Meskipun sawah itu basah, dan barangkali berlumpur, tetapi kuda akan lebih
cepat dari orang-orang itu.”
Ki Juru memandang sawah yang
basah di sebelah-menyebelah. Katanya, ”Lumpur itu cukup dalam. Jika kaki kuda
kita terperosok, maka kita akan terikat di tengah-tengah sawah dan menjadi
sasaran yang lunak bagi mereka.”
Ki Waskita merenung. Lalu,
”Jadi tidak ada jalan lain kecuali kembali ke Pajang?”
Ki Juru mengangguk.
Tetapi tiba-tiba Ki Waskita
berkata, ”Kita berhenti sejenak dan bersembunyi di balik gerumbul seperti
mereka.”
“Maksudmu?”
“Marilah, Ki Juru. Barangkali
kita dapat berunding sejenak.”
Ki Juru Martani
termangu-mangu. Dipandanginya wajah Ki Waskita dengan sorot mata yang
mengandung berbagai macam pertanyaan.
“Kita turun sejenak, Ki Juru,”
berkata Ki Waskita kemudian.
Ki Juru menjadi semakin heran.
Katanya kemudian, ”Apakah dengan demikian kita tidak akan kehilangan waktu
lebih banyak lagi.”
“Mungkin kita dapat mengatasi
kesulitan ini dengan tidak usah bertempur. Dengan demikian kita akan dapat
mempersingkat waktu.”
Ki Juru masih bimbang, tetapi
ketika Ki Waskita meloncat turun, Ki Juru pun segera turun pula.
“Marilah kita bersembunyi, Ki
Juru,” ajak Ki Waskita.
“Tetapi mereka tentu sudah
melihat kita.”
“Apa salahnya?”
Ki Juru Martani menjadi
semakin heran. Tetapi ia tidak membantah lagi. Diikutinya Ki Waskita menuntun
kudanya dan kemudian berlindung di balik gerumbul-gerumbul liar.
“Maaf, Ki Juru, sebaiknya
payung itu pun ditundukkan sedikit agar tidak dapat dilihat oleh orang-orang
itu.”
Ki Juru tidak menjawab. Tetapi
payung itu pun ditundukkannya di balik sebatang pohon perdu.
“Nah, marilah kita mulai
bermain-main dengan orang-orang itu, Ki Juru.”
“Maksud Ki Waskita?”
Ki Waskita tidak menjawab.
Tetapi ia sudah siap dengan ilmunya. Karena itu, sejenak kemudian maka seekor
kuda yang tegar berlari kencang dari balik gerumbul itu melintas tanah
persawahan.
Ki Juru terkejut melihat
bentuk itu seolah-olah dirinya sendirilah yang melarikan diri di atas kudanya
sambil membawa payung pemberian Kanjeng Sultan. Namun sejenak kemudian Ki Juru
itu dapat menguasai dirinya. Ia pun segera menyadari bahwa Ki Waskita sedang
bermain-main dengan bentuk semunya.
Seperti Kiai Gringsing,
sebenarnyalah Ki Juru mempunyai kemampuan yang mampu membedakan antara bentuk
semu dan bentuk sebenarnya. Karena itulah maka ia pun segera melihat, bagaimana
dirinya sendiri memacu kudanya di dalam lumpur, sambil tersenyum. Kudanya yang
tegar seolah-olah mendapat kesulitan karena kakinya yang terbenam. Namun kuda
itu dapat berlari cukup kencang.
Ki Juru Martani tertawa
tertahan ketika ia menyadari maksud Ki Waskita sebenarnya. Karena sejenak
kemudian ia melihat beberapa orang yang bersembunyi di balik gerumbul itu pun
berlari-larian mengejar kuda yang berlari-lari di tengah-tengah sawah itu.
“Jangan sampai lolos,” teriak
pemimpin kelompok prajurit yang mencegatnya itu.
Beberapa di antara mereka pun
memburu dengan senjata telanjang. Mereka berlari-larian di pematang sambil
mengacu-acukan senjata mereka.
Kuda yang berlari di dalam
lumpur itu nampaknya memang mendapat kesulitan. Tetapi kuda itu dapat juga
berlari cukup cepat.
Ki Juru yang tertawa melihat
permainan itu pun kemudian menyadari, bahwa kesempatan itu harus dipergunakan
sebaik-baiknya.
Ketika ia mencoba menghitung
orang-orang yang mengejar kuda yang berlari di tengah sawah itu. Ia melihat
beberapa orang yang sudah dikenalnya. Di antara mereka adalah lurah prajurit
itu sendiri.
“Hem, jadi merekalah yang
telah mencoba mengacaukan hubungan antara Mataram dan Pajang,” desisnya.
Orang-orang yang mengejar kuda
yang berlari di tengah sawah itu menjadi semakin lama semakin jauh. Akhirnya
mereka telah melintasi beberapa kotak sawah dengan nafas terengah-engah. Sedang
kuda yang berlari itu masih belum dapat berlari terlampau kencang, sehingga
orang-orang itu masih mengharap dapat menangkap penunggangnya.
Beberapa orang berusaha
mendahului melalui pematang dan tanggul-tanggul parit, kemudian melingkar
mencegatnya.
Dalam pada itu, ternyata masih
ada beberapa orang yang tinggal. Lurah prajurit itu memerintahkan tiga orang
untuk tinggal dan menangkap pengawal Ki Juru yang tidak ikut berlari
ketengah-tengah sawah.
Ketiga orang itu pun perlahan-lahan
mencoba merunduk. Menurut perhitungan mereka, pengawal Ki Juru masih
bersembunyi di belakang gerumbul-gerumbul liar. Karena itu, maka mereka pun
merayap dengan senjata teracu, siap untuk membunuh.
Namun ketika mereka menjadi
semakin dekat, tanpa mereka sadari, terasa tengkuk mereka tersentuh sisi
telapak tangan Ki Juru Martani. Dua orang dari mereka pingsan. Sedang orang
ketiga tidak dapat berbuat lain kecuali menyerah, karena sebilah keris telah
melekat di lambungnya.
Ki Juru Martani dan Ki Waskita
tidak menunggu lebih lama lagi. Ki Waskita kemudian melepaskan bentuk semunya
yang sudah terkepung. Dengan serta-merta maka Ki Juru dan Ki Waskita segera
meloncat ke punggung kudanya sambil membawa seorang tawanan bersama mereka,
yang harus berkuda bersama dengan Ki Waskita.
Ketika kedua ekor kuda itu
berpacu, maka bentuk yang sudah terkepung itu mulai menjadi kabur dan kemudian
bahkan lenyap seperti asap ditiup angin.
Orang-orang yang mengepung Ki
Juru yang lenyap itu tertegun diam. Mereka bagaikan dicengkam oleh pesona yang
tidak pernah mereka alami sebelumnya. Bahkan beberapa orang di antara mereka
telah menggosok-gosok matanya.
“Apakah kita sudah gila,”
teriak lurah prajurit itu.
Prajurit-prajurit yang lain
masih berdiri mematung. Mereka memandang dengan mata tanpa berkedip ketempat
bekas seekor kuda dan penunggangnya berdiri tegak setelah terkepung rapat.
Namun tiba-tiba kuda dan penunggangnya itu lenyap begitu saja.
Dalam pada itu, mereka pun
terkejut ketika mereka mendengar kuda berderap. Ketika mereka berpaling, mereka
melihat dua ekor kuda berpacu dengan penunggangnya masing-masing.
“Itulah Ki Juru Martani dan
pengawalnya,” teriak seorang prajurit.
Yang lain diam membeku. Bahkan
lurah prajurit itu berkata, ”Di siang hari begini kita bertemu dengan hantu.
Tentu bukan sekedar hantu-hantuan seperti yang pernah kita dengar di Alas
Mentaok. Tetapi yang kita lihat sebenarnya adalah hantu jadi-jadian.”
“Apakah ini tuah Ki Gede
Pemanahan yang meninggal itu?”
Terasa bulu tengkuk mereka
meremang. Jika benar yang mereka alami adalah karena tuah Ki Gede Pemanahan,
maka untuk seterusnya mereka akan selalu dikejar oleh hantu-hantuan serupa itu
tidak henti-hentinya.
Selagi para prajurit itu
kebingungan, maka pemimpinya pun berkata, ”Marilah kita lihat kawan-kawan kita
yang tinggal.”
Para prajurit itu pun kemudian
dengan tergesa-gesa kembali kepada kawan-kawan mereka. Namun mereka menjadi
semakin gelisah, bahwa dua di antara mereka pingsan dan yang seorang telah
hilang.
“Aku tidak tahu apakah yang
sedang kita alami ini di percaya oleh pemimpin-pemimpin kita nanti,” berkata
lurah prajurit itu. ”Agaknya Ki Legawa akan menjadi sangat marah. Jika seorang
kawan kita yang dibawa oleh pengawal Ki Juru tadi dapat diperas, maka
persoalannya tentu akan berkepanjangan.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nama kita akan disebutnya dan
terlebih-lebih lagi Ki Legawa, karena orang yang tertangkap dan dibawa oleh Ki
Juru itu tahu pasti bahwa kita mendapat perintah dari Ki Legawa,” berkata lurah
prajurit itu.
Dengan demikian, maka mereka
pun menjadi sangat gelisah. Mereka sadar, bahwa yang mereka lakukan itu
bukanlah tugas mereka yang sewajarnya. Mereka adalah orang-orang yang membenci
perkembangan Mataram, bukan karena persoalan yang sebenarnya dapat tumbuh
antara Mataram dan Pajang, tetapi karena mereka mempunyai pamrih pribadi.
Apalagi upah yang langsung mereka terima di dalam tugas-tugas seperti itu dan
janji-janji yang menggairahkan di masa depan yang gemilang bagi Pajang setelah
Mataram runtuh.
“Tetapi tanggung jawab
terbesar tidak terletak kepada kami,” berkata lurah prajurit itu. ”Memang
mungkin kita akan dihukum. Tetapi Ki Legawa dan senapati-senapati yang lebih
tinggilah yang akan memikul tanggung jawab terbesar.”
Prajurit-prajuritnya hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka
berkata, ”Siapakah yang akan mengusut persoalan ini lebih jauh? Kita adalah
prajurit-prajurit Pajang. Apakah orang-orang Mataram dapat menangkap prajurit
Pajang.”
“Kau sangat bodoh,” sahut
lurahnya, ”bukan orang-orang Mataram. Tetapi orang-orang Pajang sendiri.”
“Apakah para senapati dan
pemimpin Pajang tidak justru akan melindungi kami?” bertanya seorang prajurit.
“Pemimpin di Pajang tidak
bulat pendapatnya mengenai Mataram. Ada pemimpin-pemimpin yang tidak
berkeberatan melihat kenyataan Mataram berkembang. Tetapi ada yang
berkeberatan. Dan kita adalah prajurit-prajurit yang berkeberatan melihat
Mataram berkembang. Pajang akan menjadi susut, dan barangkali akan musnah sama sekali.
Kita hanya akan dapat mengenang kebesaran Pajang dan tugas-tugas kita sebagai
prajurit. Itulah sebabnya aku bersedia bekerja di bawah perintah Ki Legawa.”
Prajurit-prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka tidak dapat menyisihkan perasaan
gelisah.
Bahkan kemudian seorang
prajurit yang lain berkata, ”Apalagi Kanjeng Sultan Pajang. Kasihnya kepada
Raden Sutawijaya membuatnya sangat lemah menghadapi perkembangan daerah baru
itu.”
“Persetan semuanya,” lurah
prajurit itu akhirnya menggeram, ”kita akan kembali dan melaporkannya kepada Ki
Legawa.”
“Bagaimana dengan kedua kawan
kita yang pingsan?”
“Mereka sudah sadar,” sahut
yang lain.
Keduanya memang sudah sadar
meskipun rasa-rasanya masih sangat lemah. Namun keduanya telah dapat bangkit
berdiri dan kemudian berjalan tertatih-tatih bersama kawan-kawannya kembali ke
kota.
“Kita harus memencar seperti
saat kita berangkat,” perintah Lurahnya.
Demikianlah mereka membagi
diri ke dalam kelompok-kelompok yang kecil. Mereka bertiga atau berdua menuju
ke kota sambil menyembunyikan senjata-senjata mereka di bawah kain panjang.
Namun perasaan mereka masih
saja selalu dibebani oleh kecemasan, bahwa akan datang utusan dari Mataram dan
mengusut peristiwa itu. Bahkan mungkin juga peristiwa terbunuhnya Ki Gede
Mataram.
“Jika Raden Sutawijaya sendiri
datang menghadap Kanjeng Sultan, maka persoalannya akan menjadi semakin pahit
bagi kita.”
“Ia tidak berbuat demikian
meskipun ada beberapa orang yang tertangkap pula saat Ki Gede Pemanahan dicegat
di pinggir Kali Opak. Bahkan Untara pun dapat menawan beberapa orang dari
mereka yang berusaha membunuh Ki Gede.”
“Tetapi jalur itu terputus.
Tidak ada di antara mereka yang dapat menghubungkan jalur ke atas.”
Prajurit yang sedang berbicara
itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah pada waktu itu, mereka yang mencegat Ki
Gede Pemanahan berada di bawah perintah empat orang bersaudara yang memiliki
ilmu yang tinggi itu. Jika pada saat itu Untara tidak datang dan kemudian
disusul dengan kehadiran Sutawijaya, maka Ki Gede Pemanahan tentu sudah binasa.
Orang-orang yang kemudian
tertangkap, tidak mengetahui urutan yang lain, kecuali keempat bersaudara itu,
sehingga bagaimana pun mereka diperas, namun tidak akan ada seorang pun yang
dapat menyebut nama pemimpin-pemimpin di Pajang.
“Berbeda dengan keadaan yang
baru saja terjadi itu,” berkata prajurit-prajurit itu di dalam hati.
Dalam pada itu, maka Ki Juru
Martani dan Ki Waskita yang berhasil menawan seorang prajurit Pajang, semakin
lama menjadi semakin jauh. Mereka tidak lagi berpaling karena mereka yakin,
bahwa orang-orang yang mencegat mereka tidak akan dapat mengejarnya.
Namun demikian kemungkinan itu
masih dapat terjadi. Jika orang-orang yang kehilangan seorang kawannya itu
merasa perlu untuk menghilangkan jejak, maka mereka tentu akan berusaha untuk
merebut kawannya yang dibawa oleh Ki Waskita.
“Tetapi jarak yang sudah ada
cukup panjang,” berkata Ki Juru kepada diri sendiri, ”orang-orang itu tentu
akan kembali terlebih dahulu ke Pajang untuk mengambil beberapa ekor kuda.
Barulah mereka akan mengejar sementara itu aku sudah menjadi jauh sekali dan
tidak mungkin dapat dikejarnya lagi meskipun seekor dari kuda-kuda kami harus
membawa beban dua orang.”
Namun beban yang terlampau
berat itu mempengaruhi laju kuda Ki Waskita. Meskipun kadang-kadang tawanan itu
harus berpindah ke kuda yang dipergunakan oleh Ki Juru, tetapi perjalanan
mereka menjadi semakin lama.
“Kita meminjam kuda di
perjalanan,” berkata Ki Waskita.
“Apakah ada orang yang sudah
kau kenal?” bertanya Ki Juru.
“Barangkali justru Ki Juru
yang mempunyai banyak sahabat di sepanjang jalan antara Pajang dan Mataram.”
“Ki Waskita,” berkata Ki Juru,
”sekarang amat sulit untuk memilih sahabat yang manakah yang sebenarnya
bersedia membantu kita setulus hati. Jika aku singgah di rumah yang salah,
karena sikapnya yang tidak sesuai dengan sikap kita terutama tentang Mataram,
maka perjalanan kita justru akan semakin terganggu.”
Ki Waskita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, ”Kita justru singgah di
rumah orang yang sama sekali belum kita kenal, kita meminjam seekor kuda.”
“Mereka akan berkeberatan.”
“Kita meninggalkan sesuatu
kepada mereka, Ki Juru. Aku mempunyai sesuatu yang bernilai lebih dari seekor
kuda. Kita titipkan barang itu kepadanya dan kita meminjam kudanya barang tiga
hari. Besok kita dapat mengembalikannya jika pemakaman Ki Gede sudah selesai.”
“Apakah yang dapat Ki Waskita
titipkan?”
“Cincin ini,” sahut Ki Waskita
sambil menunjukkan cincin emas yang melingkar di jarinya.
Ki Juru mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia tersenyum.
“Kenapa Ki Juru?”
Ki Juru menggeleng.
Disela-sela senyumnya ia menjawab, ”Cincin itu adalah cincin sebenarnya.”
“Tentu, Ki Juru. Bukan sekedar
sebuah permainan dari ilmu kebohongan itu. Aku tidak akan dapat berbuat
demikian kepada seseorang yang tidak mempunyai sangkut paut apa pun.”
Ki Juru mengangguk-angguk.
Namun katanya, ”Tetapi mungkin mereka masih tetap berkeberatan, karena kuda
bagi seseorang kadang-kadang mempunyai nilai lebih dari nilai kuda itu sendiri.
Seekor kuda kadang-kadang dapat dianggap sebagai sahabat yang akrab dan baik.”
“Bukankah Ki Juru membawa
payung itu? Setiap orang tentu akan menghargainya.”
Ki Juru merenung sejenak.
Lalu, ”Baiklah. Kita akan mencoba. Justru kepada orang yang belum kita kenal
sama sekali.”
Dan ternyata bahwa usaha yang
mereka lakukan itu berhasil. Mereka memperoleh seekor kuda yang cukup. Tetapi
mereka harus menunggu sejenak di rumah orang itu selama kuda itu dipersiapkan.
Dalam pada itu, seperti yang
sudah diperhitungkan oleh Ki Juru dan Ki Waskita, ketika laporan mengenai
kegagalan para prajurit yang mencegat Ki Juru itu sampai ke telinga Ki Legawa,
maka wajahnya pun menjadi merah padam. Kegagalan itu dan sekaligus bahwa
seorang anak buahnya dapat ditangkap membuatnya menjadi sangat marah dan
lebih-lebih lagi menjadi cemas.
“Kau tahu akibat dari
kebodohanmu itu?” bertanya Ki Legawa kepada Lurah prajurit.
“Yang terjadi adalah di luar
kemampuan kami Ki Legawa. Kami dihadapkan pada permainan yang tidak kami
mengerti.”
Tetapi ketika Lurah prajurit
itu bercerita, maka Ki Legawa membentak, ”Bohong. Kalian ingin melindungi
kebodohanmu. Aku tidak peduli kepada ceritamu itu. Sekarang kita harus mengejar
mereka. Merebut seorang yang tertawan itu dan membunuh keduanya. Kuda mereka
tentu tidak akan dapat berlari cepat, karena yang seekor harus dibebani oleh
dua orang bersama-sama.”
Prajurrit-prajuritnya tidak
membantah lagi. Mereka pun segera mempersiapkan kuda masing-masing meskipun
harapan untuk menyusul Ki Juru agaknya sangat tipis.
Prajurit-prajurit itu tidak
dapat lagi membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil. Yang dapat mereka
lakukan hanyalah memilih jalan yang paling sepi dan jauh dari
padukuhan-padukuhan yang ramai.
Sebenarnyalah ketika sekelompok
prajurit memacu kudanya di antara padukuhan-padukuhan kecil yang sepi, maka
orang-orang di padukuhan itu menjadi saling bertanya-tanya. Apakah sebenarnya
yang telah terjadi.
Namun seorang tua di antara
mereka berkata, ”Prajurit-prajurit itu akan pergi ke Mataram.”
“Kenapa?”
“Ki Gede Pemanahan telah
meninggal. Mereka tentu akan pergi untuk memberikan penghormatan yang
terakhir.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari mereka bertanya, ”Kenapa mereka
tidak melalui jalan raya?”
“Mereka mencari jalan
memintas. Ki Juru agaknya telah mendahului kembali ke Mataram.”
Yang lain sekali lagi
mengangguk-angguk. Dan mereka tidak bertanya apa pun lagi.
Sementara itu, sekelompok
orang-orang berkuda itu memacu kudanya semakin cepat. Mereka harus dapat
menyusul Ki Juru Martani sebelum Ki Juru memasuki daerah yang ramai, daerah
yang akan dapat mengenal apa yang telah mereka lakukan.
“Jika kita dapat menyusulnya
di Sangkal Putung, kita harus membawa keluar dari daerah itu lebih dahulu,”
berkata Lurah Prajurit itu.
Demikianlah mereka berpacu
semakin cepat. Di luar kota mereka berbelok dan menuju ke jalan raya
satu-satunya yang menghubungkan Pajang dan Mataram. Selain jalan itu, adalah
jalan yang sekedar dapat dilalui. Sempit, jelek dan barangkali terputus.
Dengan kecemasan yang mendera
di dalam hati setiap prajurit itu, mereka pun telah mendera kuda-kuda mereka.
Semakin lama semakin cepat. Beberapa ratus langkah lagi mereka akan segera
sampai di jalan raya. Di jalan itu mereka tidak akan kehilangan jejak Ki Juru
Martani.
Tetapi ketika mereka mendekati
jalan raya, tiba-tiba lurah prajutir itu terkejut. Di kejauhan mereka melihat
beberapa orang berkuda di dalam iring-iringan.
“Siapakah mereka?” bertanya
lurah itu.
Seorang prajurit di sebelahnya
menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berkata, ”Kita tidak memerlukan mereka. Kita
lampaui saja iring-iringan itu.”
Namun semakin dekat mereka
dengan jalan raya semakin jelas pada mereka, bahwa iring-iringan itu adalah
iring-iringan beberapa orang pemimpin, bahkan Senapati Pajang.
“Gila. Ke manakah mereka akan
pergi?” geram Lurah prajurit itu.
Setiap orang di dalam kelompok
prajurit berkuda itu menjadi berdebar-debar. Ternyata di hadapan mereka, di
jalan raya, beberapa orang pemimpin dari Pajang sedang menuju ke Mataram dalam
iring-iringan.
“Ki Lurah,” berkata seorang
prajurit, ”agaknya mereka pun akan memberikan penghormatan terakhir.”
“Selain mereka siapa lagi,
he?” bentak lurah prajurit itu.
“Maksudku, maksudku mereka
akan pergi ke Mataram.”
“Setan alas,” lurah prajurit
itu menggeram. Ia terpaksa memperlambat lari kudanya. Agaknya para pemimpin
yang sedang berkuda ke Mataram itu sudah melihat prajurit-prajurit itu pula.
Tetapi mereka tidak begitu menghiraukannya. Agaknya mereka juga mengira bahwa
prajurit-prajurit itu akan pergi ke Mataram untuk memberikan penghormatan
terakhir kepada Ki Gede Pemanahan.
“Lalu, apakah kita akan
mendahului mereka, Ki Lurah?” bertanya seorang prajurit.
“Tidak mungkin.”
“Kita akan mencari jalan
lain?”
“Juga tidak mungkin. Jika kita
mencari jalan lain, maka perjalanan kita akan menjadi sangat lama dan panjang.
Tentu kita akan terlambat. Ki Juru tentu sudah berlalu.”
“Jadi?”
Lurah prajurit itu menarik
nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menggeram, ”Yang harus kita lakukan,
teryata ada di luar kemampuan kita. Sekarang aku baru sadar, bahwa kita memang
tidak mampu melakukan tugas ini. He, apakah kau ingat cerita tentang Panembahan
Agung yang dapat dikalahkan oleh orang-orang Mataram dan Menoreh?”
“Kenapa?”
“Panembahan Agung dapat
membuat ujud yang sebenarnya tidak ada. Bukankah kita mengalaminya?”
“Maksud Ki Lurah?”
“Kuda yang seakan-akan
berlari-larian di tengah sawah dengan Ki Juru Martani di punggungnya itu?
Ternyata ujud itu adalah ujud yang semu. Seperti ujud yang diciptakan oleh
Panembahan Agung. Dan bukankah yang sampai ke telinga kita, orang-orang Mataram
dan Menoreh memiliki ilmu seperti itu pula.“
Prajurit-prajuritnya
mengangguk-angguk. Namun akhirnya salah seorang dari mereka bertanya pula,
“Lalu, apa yang akan kita kerjakan sekarang?”
“Kembali kepada Ki Legawa dan
mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Kita tidak akan dapat merebut
seorang kawan kita yang tertawan itu. Keadaannyalah yang tidak mengijinkannya.”
Prajurit-prajurit itu tidak mempunyai
pilihan lain. Mereka pun segera berbalik dan memacu kuda mereka kembali ke
barak untuk melaporkan semua peristiwa yang mereka alami itu kepada Ki Legawa.
Namun prajurit-prajurit itu
tidak menyadari, bahwa sepasang mata selalu mengikuti perjalanan mereka. Dan
sepasang mata itu pun segera dapat mengerti, bahwa perjalanan itu telah gagal
justru karena di depan mereka sebuah iring-iringan pemimpin-pemimpin dan
senapati-senapati Pajang sahabat-sahabat Ki Gede Pemanahan sedang lewat.
“Kegagalan yang jauh lebih
berbahaya dari kegagalan yang pernah terjadi atas Ki Gede Pemanahan,” desis
orang itu.
Karena itu, maka ia pun segera
berpacu secepat-cepatnya kembali menghadap orang yang disebutnya Kakang Panji.
“Jadi tidak ada cara lain
untuk merebut orang itu?” bertanya orang yang di sebut Kakang Panji.
Senapati yang mengamati
perjalanan kembali prajurit-prajurit yang gagal itu menggeleng. Katanya,
”Mereka kembali dengan tangan hampa.”
Pemimpinnya mengerutkan
keningnya. Kemudian dengan suara parau ia berkata, ”Jalur itu harus diputuskan.
Jika tidak semua rencana kita akan gagal.”
Senapati yang diajak berbicara
itu mengerti. Perintah itu adalah perintah yang juga tidak boleh gagal agar
jalur itu terputus. Jika ia gagal memutuskan jalur itu, maka ia sendirilah yang
harus dilepaskan dari jalur itu pula.
“Baiklah, Kakang Panji,”
berkata senapati itu, ”aku minta diri.”
“Kau tidak usah pergi ke
mana-mana. Legawa akan mencarimu dan melaporkan semua kegagalannya,” jawab
pemimpinnya. ”Ki Juru tidak akan segera sempat memeras keterangannya dari
kawannya itu.”
“Tetapi bagaimana jika Ki
Legawa menyadari keadaannya, dan segera menghilang?”
Orang yang disebut Kakang
Panji itu pun mengangguk-angguk. Lalu, ”Baiklah. Pergilah menurut
perhitunganmu. Yang penting adalah jalur ini dapat diputuskan.”
Senapati itu pun kemudian
dengan tergesa-gesa pergi ke tempat Ki Legawa menunggu orang-orangnya. Ketika
ia sampai di tempat itu ternyata prajurit-prajuritnya sudah berada di tempat
itu dan pemimpinnya sedang melaporkan apa yang terjadi.
“O,” berkata senapati itu,
”silahkan, barangkali aku mengganggu. Lebih baik aku berada di luar. Jika yang
sedang kalian bicarakan adalah rahasia.”
Ki Legawa mengerutkan
keningnya. Lalu, ”Tidak apa-apa. Silahkan.”
“Tidak. Silahkan menyelesaikan.
Aku menunggu. Kedatanganku sama sekali tidak ada persoalan yang penting.”
Ki Legawa termangu-mangu
sejenak. Namun ia pun kemudian menyadari bahwa seharusnya senapati itu tidak
langsung dikenal oleh prajurit-prajuritnya. Sehingga karena itu, maka dipersilahkannya
senapati itu menunggu di luar.
“Apakah senapati itu
mengetahui rencana kita?“ bertanya lurah prajurit kepada Ki legawa.
Ki Legawa menggelengkan
kepalanya. Katanya, ”Tidak. Tidak ada orang yang mengetahuinya selain orang
tertinggi dari jalur perintah ini. Orang yang akan dapat menempatkan dirinya
sejajar dengan Ki Gede Pemanahan.”
Prajurit-prajurit itu tidak
bertanya lagi. Mereka menyadari bahwa mereka tidak akan dapat mengetahui lebih
banyak dari yang sudah mereka ketahui.
“Tidak ada seorang pun yang
tahu, siapakah sebenarnya orang itu,” berkata Ki Legawa, ”aku pun tidak. Dan
kita memang tidak memerlukan lebih banyak dari meyakini cita-citanya yang
luhur.”
Prajurit-prajurit itu
mengangguk-angguk.
Ketika laporan itu dianggap
sudah selesai, maka Ki Lurah itu pun segera meninggalkan Ki Legawa yang bukan
saja marah, tetapi juga cemas dan gelisah. Tetapi ia masih ingin mendengar
sikap dan pendapat senapati yang datang kepadanya itu.
“Aku telah gagal,” berkata Ki
Legawa, ”aku menyadari bahwa hal ini akan dapat berakibat buruk bagiku.”
“Maksudmu?”
“Kau dapat menjadi lantaran
untuk memutuskan jalur yang melalui aku, karena ada seorang yang sudah
tertawan.”
“Aku tidak mengerti,” desis
senapati itu. Tetapi ia sudah menjadi gelisah. Jika Ki Legawa menyadari
kedudukannya dan bersiap di tengah-tengah anak buahnya, maka ia akan mendapat
banyak kesulitan karenanya.
“Kau jangan pura-pura bodoh,”
desis Ki Legawa.
Senapati itu termenung
sejenak, lalu, ”Ki Legawa. Kita harus bertindak cepat. Aku tidak mengerti
bagaimana tanggapanmu. Tetapi kita harus pergi ke Mataram. Mungkin tidak ada
orang lain yang pantas untuk pergi selain aku. Jika kau bersedia, kita akan
pergi bersama dengan seorang lagi yang dapat kau tunjuk di antara
orang-orangmu.”
“Maksudmu?”
“Kita menyusul mereka yang
sedang melayat. Jika kita sudah ada di Mataram, maka tawanan itu harus kita
ambil atau kita bungkam untuk selamanya. Tugas ini memang tugas yang berat,
yang bahkan akan dapat berakibat mati. Tetapi apa boleh buat.”
Ki Legawa termangu-mangu.
“Jika kau merasa kurang yakin,
bawalah dua orang pengawal yang terpercaya.”
Ki Legawa masih merenungi
tawaran itu. Lalu, ”Jadi apakah kita akan pergi.”
“Secepatnya. Kita masih harus
singgah sebentar ke rumah Kakang Senapati Sanggabumi. Ia memiliki jarum-jarum
beracun yang dapat kita pergunakan untuk membunuh dari jarak yang agak jauh.
Aku sudah diajarinya mempergunakan jarum-jarum yang sudah dirancang dalam
warangan keris itu.”
Ki Legawa termenung sejenak.
Ia masih tetap bercuriga meskipun nampaknya senapati itu bersungguh-sungguh.
Bahkan senapati itu sudah menawarkan kepadanya untuk membawa dua orang
pengawal.
“Nah, jika kau sependapat,
bersiaplah. Kaulah yang tahu pasti yang manakah orangmu yang tertangkap itu.”
Ki Legawa mengangguk-angguk.
Kemudian ia pun bertanya, ”Jadi kita bergabung dengan orang-orang yang melayat
itu?”
“Ya. Dengan demikian tidak
akan ada kecurigaan apa pun atas kehadiran kita di Mataram. Tentu Ki Juru
Martani belum sempat bertanya apa pun kepada tawanan itu, karena ia harus
menyelenggarakan pemakaman Ki Gede Pemanahan. Dan barangkali Ki Juru pun tidak
akan mengira bahwa kita akan segera menyusulnya.”
Ki Legawa merenung sejenak.
Kemudian, ”Baiklah. Aku akan membawa dua orang pengawal. Aku akan pergi
mendahului, bergabung dengan para pemimpin dan senapati yang pergi ke Mataram.
Kau sajalah singgah di rumah Kakang Senapati Sanggabumi. Kemudian kau menyusul
aku pula ke Mataram. Kita akan bertemu di perjalanan, karena orang-orang yang
melayat itu tentu tidak akan berpacu secepat kau dan aku.”
Senapati itu menegang sejenak.
Agaknya ia menemui kesulitan untuk melenyapkan Ki Legawa, karena agaknya Ki
Legawa sudah mengerti apa yang dapat terjadi atasnya karena kegagalannya.
Tetapi senapati itu masih
mencoba membujuknya, ”Apakah kita tidak sebaiknya pergi bersama-sama?”
“Aku akan pergi lebih dahulu.”
Senapati itu berpikir sejenak.
Agaknya ia masih mempunyai harapan untuk membinasakan Ki Legawa di perjalanan,
atau sesudah mereka memasuki daerah Mataram di antara sibuknya orang yang
menyelenggarakan pemakaman itu.
Karena itu maka senapati itu
pun berkata, ”Baiklah, Ki Legawa. Jika demikian, aku akan mendahului menghadap
Kakang Senapati Sanggabumi.”
Ki Legawa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, ”Jangan terlampau lama. Aku menunggu kau di perjalanan.”
Senapati itu menjadi
tergesa-gesa. Ia harus segera meninggalkan rumah itu dan mempersiapkan diri
sebaik-baiknya. Ia tidak dapat pergi seorang diri. Apalagi Ki Legawa dengan
demikian akan mendapat kesempatan tidak hanya membawa dua atau tiga pengawal.
Tetapi lebih daripada itu.
“Tentu tidak terlalu banyak,”
berkata Senapati itu di dalam hati. “Jika ia membawa pengawal lebih dari tiga
orang, maka ia pasti akan dicurigai,” berkata Senapati itu di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun segera
minta diri. Ia akan membawa senapati yang bernama Sanggabumi dan beberapa orang
petugas sandi yang terpisah-pisah. Ki Legawa harus dibungkam untuk
selama-lamanya agar dalam suatu saat ia tidak menyebut-nyebut nama para
senapati yang terlibat di dalam usaha pembunuhan Ki Juru Martani yang gagal
itu, yang tentu akan segera dihubungkan dengan usaha pembunuhan Ki Gede
Pemanahan beberapa waktu yang lampau.
“Baiklah, Ki Legawa,” berkata
Senapati itu, ”segera sajalah bersiap. Aku juga akan segera berangkat setelah
aku mendapatkan jarum-jarum beracun itu.”
Ki Legawa tidak menjawab. Ia
mengantarkan senapati itu sampai ke pintu.
Tetapi ketika senapati itu
melangkahkan kakinya melewati tlundak pintu, maka terasa bajunya ditarik dari
dalam. Senapati itu terkejut. Dengan serta-merta ia berpaling. Yang dilihatnya
adalah wajah Ki Legawa. Tetapi wajah itu bukanlah wajah Ki Legawa yang cemas
dan menyesal oleh kegagalannya, dan ketakutan atas kemungkinan buruk yang akan
terjadi atasnya. Namun wajah itu bagaikan wajah hantu yang siap menerkam
sesosok mayat yang baru saja diletakkan di dalam kubur.
“Ki Legawa,” senapati itu
menggeram.
Tetapi ia sama sekali tidak
mempunyai kesempatan. Yang terasa adalah sengatan nyeri yang tiada taranya pada
lambungnya.
Ketika matanya menjadi kabur,
ia masih sempat melihat tangannya yang basah oleh darah yang menyembur dari
luka di lambungnya itu.
“Pengecut,” senapati itu
mencoba membelalakkan matanya. Tanpa disadarinya tangannya meraba hulu
kerisnya.
Tetapi ia tidak sempat berbuat
apa pun juga. Matanya menjadi semakin kabur dan lambungnya terasa menjadi
semakin nyeri.
Akhirnya senapati itu jatuh
terjerembab di lantai. Sekilas ia masih sempat melihat wajah Ki Legawa yang
bagaikan hantu itu. Namun sejenak kemudian, maka ia pun menghembuskan nafasnya
yang penghabisan.
Ki Legawa berdiri
termangu-mangu. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa menjadi gemetar. Ternyata ia
telah melakukan sesuatu di luar sadarnya. Oleh ketakutan dan kecemasan yang
sangat akan nasib buruk yang menimpanya karena kegagalannya, maka ia telah
berbuat terlebih dahulu atas senapati itu yang diyakininya akan membunuhnya di
suatu saat.
Sejenak Ki Legawa mematung.
Namun kemudian ia pun dengan tergesa-gesa memanggil prajurit-prajurit
kepercayaannya.
Lurah prajurit yang memimpin
penyergapan yang gagal itu pun menjadi heran. Tetapi sebelum ia bertanya Ki
Legawa berkata, ”Singkirkan. Jangan ada orang yang mengetahuinya.”
Ki Lurah termangu-mangu.
Tetapi Ki Legawa membentak, ”Cepat. Jangan bertanya sekarang. Nanti aku
jelaskan semuanya.”
Lurah prajurit itu masih
termangu-mangu. Ketegangan yang sangat telah membayang di wajahnya. Dengan
suara yang dalam ia bertanya, ”Bukankah yang terbunuh itu seorang senapati?”
“Ya,” bentak Ki Legawa,
”carilah akal untuk menyingkirkan tanpa diketahui oleh siapa pun selain kalian.
Ingat. Kedatangam senapati ini ada hubungannya dengan kebodohan kalian karena
kalian gagal membunuh Ki Juru Martani. Ia sudah memanggil kalian untuk
menjatuhkan hukuman mati karena kegagalan itu agar kalian tidak membuka mulut.
Kawan kalian yang tertangkap itu dapat membahayakan kedudukan kalian, aku dan
senapati itu. Karena itu ia akan membunuh semua yang terlibat.”
Ki Lurah termangu-mangu
sejenak.
“Cepat!”
Para prajurit itu tidak sempat
berpikir. Mereka pun kemudian mencari akal untuk menyingkirkan mayat itu.
“Kita sembunyikan saja dahulu
sampai malam hari. Nanti malam baru kita bawa keluar kota dan kita kuburkan di
mana saja.”
“Sekarang?”
“Kita masukkan ke dalam kolong
amben yang besar itu. Kita bungkus dengan tikar dan kita ikat seperti seonggok
kayu bakar.”
Para prajurit itu pun kemudian
mencari selembar tikar yang besar. Setelah senapati yang terbunuh itu dibungkus
dan diikat, maka mayat itu pun kemudian disembunyikannya di bawah kolong.
Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian membersihkan darah yang memercik di
lantai dan di tlundak pintu.
Namun peristiwa itu membuat
setiap hati dari oranng-orang yang terlibat menjadi cemas. Tentu akan ada
peristiwa- peristiwa berikutnya yang dapat berakibat buruk bagi mereka.
“Aku harus meninggalkan tempat
ini,” berkata Ki Legawa kepada diri sendiri. ”Aku akan pergi ke Mataram dan
pasrah diri kepada Raden Sutawijaya.”
Namun ia menjadi ragu-ragu.
Seorang senapati telah dibunuhnya. Senapati yang dikenalnya sebagai seorang
penghubung dengan pimpinan tertinggi yang disebut Kakang Panji. Tetapi Ki
Legawa sendiri tidak tahu pasti, siapakah sebenarnya yang bernama Panji itu.
Mungkin ia telah mengenal orangnya, atau bahkan bergaul setiap hari. Tetapi ia
tidak tahu bahwa orang itulah yang menyebut dirinya Panji dan dipanggil oleh
kawan-kawannya Kakang, sebagai pertanda bahwa ia adalah orang tertua dari
kelompok itu.
“Apakah yang dapat aku katakan
kepada Raden Sutawijaya tentang orang-orang tertentu yang telah melakukan
pengkhianatan terhadap Ki Juru Martani? Orang yang tertangkap itu tentu akan
menyebut nama lurah prajurit itu dan tentu namaku pula. Jika aku tidak dapat
mengatakan nama orang yang lebih tinggi tatarannya di dalam tugas ini, maka aku
tentu akan dicurigai. Atau bahkan mungkin akulah yang harus mengalami
akibatnya.”
Ki Legawa yang menjadi bingung
itu akhirnya memutuskan di dalam hatinya, ”Apa pun yang akan aku lakukan,
tetapi aku harus melarikan diri dari tempat ini. Kemana pun.”
Ki Legawa pun kemudian
berkemas di dalam biliknya. Barang-barang yang dianggapnya penting dibawanya
serta. Sebilah keris pusakanya diselipkan di punggungnya, sedang sebilah lagi
dianggarnya di lambung, tergantung pada ikat pinggangnya. Selain kedua
kerisnya, ia telah mempersiapkan sebuah pedang yang akan digantungkan pada
kudanya.
“Tidak ada seorang pun yang
boleh mengetahui,” berkata Ki Legawa di dalam hatinya. ”Dan aku tidak perlu
menunggu sampai gelap. Semuanya tentu sedang berlangsung sekarang ini, seperti
roda yang berputar perlahan-lahan akan menggilas tubuhku.”
Karena itu, setelah semuanya
siap, maka Ki Legawa pun keluar dari biliknya. Ia harus menyiapkan kudanya.
Anak buahnya pun tidak boleh mempunyai kesan bahwa ia akan meninggalkan Pajang
untuk waktu yang tidak ditentukan.
Lurah prajurit yang melihatnya
mendekatinya sambil bertanya, ”Apakah yang harus kita lakukan setelah mayat itu
dikubur?”
Ki Legawa termangu-mangu
sejenak. Kemudian katanya, ”Aku akan menghubungi beberapa orang kawanku.
Mungkin mereka akan dapat memberikan jalan, bagaimana kita harus menghindarkan
diri dari pemimpin-pemimpin kita yang kecewa atas kegagalan itu.”
“Kenapa kita yang harus
melakukannya sehingga kita sekarang mendapat kesulitan?” bertanya lurah
prajurit itu.
“Itu adalah akibat yang wajar
karena kita sudah memilih pihak. Tetapi dalam keadaan yang gawat adalah wajar
pula bahwa kita mencari jalan keluar.”
Lurah itu mengangguk-angguk.
“Jagalah anak buahmu
baik-baik. Mayat itu masih berada di bawah kolong. Sebaiknya aku berusaha untuk
kepentingan kalian. Aku mempunyai banyak kawan di Pajang ini.”
Ternyata Ki Legawa telah
menemukan kesempatan untuk menyiapkan kudanya di muka pintu. Ia pun kemudian
masuk ke dalam biliknya sejenak untuk mengambil bekal yang sudah disiapkan.
Dengan tanpa menumbuhkan kecurigaan, ia pun kemudian meloncat ke punggung kuda
dan sesaat kemudian kuda itu sudah berpacu.
Ki lurah termangu-mangu di
antara beberapa orang prajurit. Apalagi ketika seorang dari
prajurit-prajuritnya bertanya, ”Ki Legawa membawa dua bilah keris pusakanya,
sebuah pedang dan pakaian rangkap.”
“Maksudmu?”
“Pakaian yang dikenakan bukan
hanya selembar.”
Lurah prajurit itu
termangu-mangu. Ia mulai curiga terhadap kepergian Ki Legawa. Karena itu maka
ia mulai mempertimbangkan setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Apalagi ketika salah seorang
prajuritnya berkata, “Ki Lurah, aku melihat sebuah kampil tergantung diikat
pinggang Ki Legawa.”
“Kampil?” bertanya Lurah
prajurit itu.
“Tentu kampil uang,” jawab
prajurit itu.
“Jadi apa artinya?”
Prajurit-prajuritnya saling
berdiam diri.
“Apakah Ki Legawa melarikan
diri dan meninggalkan kita dalam keadaan yang tidak menentu?”
Beberapa wajah menjadi tegang.
Dan seorang prajurit berkata, ”Memang mungkin sekali.”
Lurah prajurit itu menggeram.
Tiba-tiba ia berkata, ”Siapkan kudaku. Kita bertiga akan pergi mencarinya.”
“Bertiga dengan siapa?”
Ki Lurah segera menunjuk dua
orang prajurit yang terbaik. Kemudian setelah kuda mereka siap, maka mereka pun
segera meloncat ke punggung kuda itu.
“Tunggulah di sini. Aku tidak
akan lari seperti Ki Legawa. Apa pun yang dapat terjadi atas kita semua, akan
kita alami bersama. Aku akan mencari Ki Legawa dan membawanya kembali hidup
atau mati.”
Sejenak kemudian ketiga orang
itu pun segera berpacu meninggalkan kawan-kawannya yang termangu-mangu.
“Apakah mereka juga akan lari
seperti Ki Legawa?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Tidak. Menurut perhitunganku,
Ki Lurah tidak akan meninggalkan kita. Jika ia harus lari, maka ia akan lari
bersama-sama dengan kita.”
Demikianlah Ki Lurah itu pun
dengan kemarahan yang memuncak berusaha untuk menyusul Ki Legawa. Namun, ketika
ia sampai di jalan simpang, seorang pengawalnya bertanya, ”Kita akan pergi ke
mana?”
Ki Lurah termangu-mangu
sejenak. Tetapi ia pun kemudian berkata, ”Jalan lari yang terbaik adalah ke
Mataram. Berkhianat dan mencari perlindungan.”
“Tetapi apakah ia tidak akan
ditangkap justru karena salah seorang kawan kita yang tertawan akan menyebut
namanya?”
“Ia akan pasrah diri dan
menyebut nama-nama lain yang harus mempertanggung-jawabkan semua rencana ini.
Ia akan bebas dari segala pertanggungan jawab. Sedang kitalah yang akan
dibebani oleh kegagalan yang baru saja terjadi. Mungkin kita akan ditangkap dan
diserahkan kepada Mataram atau akan dihukum oleh pemimpin Pajang yang tidak
berkeberatan melihat perkembangan Tanah Mataram.”
“Jika demikian Ki Legawa harus
tertangkap,” desis seorang prajuritnya.
“Mungkin ia akan menggabungkan
diri dengan orang-orang yang akan melayat ke Mataram,” desis lurah prajurit itu.
“Marilah kita lihat.”
“Apakah kita tidak akan
dicurigai?”
“Untuk sementara tentu tidak.
Tetapi jika tidak kita jumpai Ki Legawa di antara mereka kita akan kembali. Ia
tentu masih bersembunyi di kota ini.”
Prajurit-prajuritnya tidak
menyahut. Mereka pun berpacu semakin kencang. Orang-orang yang pergi ke Mataram
itu tentu sudah menjadi semakin jauh. Tetapi agaknya mereka tidak berkuda
terlampau cepat.
Dalam pada itu, sebenarnyalah
bahwa Ki Legawa akan mencoba untuk pergi ke Mataram. Ia mempunyai beberapa
rencana. Jika ia berhasil, ia akan membunuh saja tawanan itu. Tetapi pekerjaan
itu tentu pekerjaan yang sangat sulit. Ia harus mencari di mana tawanan itu
disimpan. Sedangkan Mataram merupakan daerah yang asing baginya.
“Tetapi jika aku gagal, maka
aku akan menyerah. Atau barangkali aku akan mengambil keputusan lain. Yang
penting aku harus lolos dari orang-orang gila itu,” berkata Ki Legawa di dalam
hatinya. Lalu, ”Meskipun aku barangkali tidak dapat menyebut orang-orang yang
memegang peranan terpenting di dalam usaha memecah Mataram dan Pajang, sehingga
akibatnya akan menenggelamkan Mataram, aku dapat menyebut salah seorang di
antara mereka. Penting atau tidak penting. Senapati yang bernama Sanggabumi
itu.”
Dengan demikian maka Ki Legawa
pun berpacu terus. Ia pun ingin menyusul para pemimpin Pajang yang akan melayat
ke Mataram dan bergabung bersama mereka. Dengan demikian untuk sementara
perjalanannya akan menjadi aman.
Tetapi tiba-tiba saja ia
terkejut. Di tikungan dilihatnya seorang yang duduk di punggung kudanya.
Agaknya dengan sengaja kuda itu menyilang jalan yang akan dilaluinya.
Ki Legawa menjadi
berdebar-debar. Tetapi ia tidak berhenti. Ia ingin meyakinkan, siapakah yang
melintang di tengah jalan itu. Namun hampir di luar sadarnya, sebelah tangannya
telah meraba hulu kerisnya yang tergantung di lambung.
Beberapa langkah dari kuda
yang menyilang itu, Ki Legawa berhenti. Dengan kerut-merut di kening ia
bertanya, ”Apakah Ki Sanak sengaja menghentikan perjalananku?”
“Ya, Ki Legawa.”
“Apa maksudmu?”
“Bukan aku, tetapi orang di
belakangmu itulah yang berkepentingan denganmu.”
Ki Legawa termangu-mangu. Dan
orang itu berkata seterusnya, ”Kenapa kau tidak mau berpaling. Apakah kau kira
aku akan berbuat sesuatu atasmu selagi kau berpaling?”
Ki Legawa menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya orang itu mengerti keragu-raguannya. Namun demikian Ki
Legawa masih belum berpaling karena sebenarnyalah bahwa ia mencurigai orang
yang belum dikenalnya itu.
“Ki Legawa,” berkata orang
yang menyilangkan kudanya itu, ”apakah Ki Legawa menganggap bahwa aku berniat
buruk dan dengan curang akan menyerang selagi kau lengah? Tidak, Ki Legawa. Aku
tidak akan berbuat apa-apa. Tugasku hanya menghentikan perjalananmu sekarang.
Persoalan seterusnya ada di tangan orang yang berdiri di belakangmu itu.”
“Sebut, siapakah yang berdiri
di belakangku?”
“Berpalinglah. Jika kau takut
aku menyerangmu, maka aku akan mengangkat kedua tanganku dengan jari-jari yang
terkembang.”
Ki Legawa masih berdiam diri.
Tetapi orang itu benar-benar mengangkat kedua tangannya dengan jari-jari yang
terkembang.
“Jika aku ingin membunuhmu
selagi kau lengah, maka aku telah menyerangmu tanpa menghentikanmu lebih
dahulu. Aku dapat melemparkan sebuah tombak pendek, atau melepaskan sebuah anak
panah atau cara lain.”
Ki Legawa menarik nafas.
Alasan orang itu dapat dimengertinya sehingga ia pun kemudian berpaling
meskipun ia tidak melepaskan kewaspadaan.
Namun dalam pada itu, ketika
ia melihat orang yang berdiri di belakangnya, darahnya serasa berhenti mengalir.
Orang itu sudah dikenalinya meskipun secara pribadi belum terlampau akrab.
“Sanggabumi,” Ki Legawa
berdesis.
“Ya. Aku adalah Senapati
Sanggabumi,” orang itu menyahut.
“Apa maksudmu menghentikan
perjalananku?”
“Ki Legawa,” suara Sanggabumi
datar, ”aku tidak mempunyai banyak kepentingan dengan kau. Tetapi aku hanya
ingin bertanya barang sedikit.”
“Apa yang ingin kau ketahui?”
“Ki Legawa, dimanakah senapati
yang datang kepadamu hari ini?”
Terasa dada Ki Legawa
terguncang. Namun ia masih berusaha menahan perasaannya. Dengan hati-hati ia
berkata, ”Ia datang kepadaku dan memaksa aku untuk pergi ke Mataram. Sekarang
aku sedang memenuhi perintahnya.”
“Maksudku, di manakah orang
itu sekarang?”
Ki Legawa menjadi semakin
berdebar-debar. Jawabnya, “Tentu aku tidak tahu, Ki Sanggabumi. Aku dengan
tergesa-gesa mengemas diri dan berangkat.”
“Apakah Senapati itu pergi
lebih dahulu dari kau?”
Ki Legawa menjadi bingung.
Jawabnya, ”Tidak. Aku pergi lebih dahulu.”
“Jadi ia masih menunggui
barakmu?” Ki Sanggabumi maju selangkah, ”Bukankah itu mustahil bahwa tamumu kau
tinggal sendiri di barakmu, sedang kau pergi ke Mataram.”
“Aku tidak pergi ke Mataram
atas kehendakku sendiri. Tetapi aku pergi ke Mataram atas perintahnya. Ia
sengaja tinggal beberapa saat lamanya agar tidak menumbuhkan kecurigaan. Aku
tidak tahu, siapakah yang akan mencurigainya.”
“Ki Legawa,” berkata Ki
Sanggabumi, ”kau jangan menganggap aku anak-anak yang baru pandai bertanya
tentang oleh-oleh jika ibu pergi ke pasar. Aku adalah orang yang mempunyai
pengalaman yang cukup seperti kau, Ki Legawa. Kau ternyata seorang yang
memiliki pengamatan yang tajam dan memiliki kecepatan berpikir. Kau agaknya
telah bertindak lebih cepat dari senapati yang ragu-ragu itu.”
“Aku tidak tahu maksudmu.”
“Baiklah aku jelaskan,” Ki
Sanggabumi menarik nafas dalam-dalam, ”aku adalah senapati yang dekat dengan
Kakang Panji. Ketika Kakang Panji memerintahkan senapati itu untuk membunuhmu,
Kakang Panji sudah ragu-ragu. Aku mendapat perintah untuk mengamati apa yang
terjadi. Dan aku mengambil kesimpulan bahwa sebelum kau dibunuhnya, kau sudah
membunuhnya lebih dahulu. Kemudian kau akan pergi ke Mataram atau kemanapun
juga untuk menghilangkan jejak dan mencari perlindungan.”
Wajah Ki Legawa menjadi
tegang. Namun ia berusaha untuk menguasai perasaannya. Bahkan kemudian ia masih
dapat berkata, ”Ki Sanggabumi. Aku tidak mengerti, kenapa kau segera menarik
kesimpulan buruk.”
“Ki Legawa. Aku tidak tahu
apakah kesimpulanku itu benar atau salah. Sebaiknya marilah kita pergi
menghadap Kakang Panji. Kau akan mendapat kehormatan untuk mengenalnya. Mungkin
kau diperlukan sebagai ganti senapati yang kau bunuh itu, atau katakanlah, jika
hal itu tidak benar, senapati yang hilang itu.”
Ki Legawa termangu-mangu
sejenak. Namun seperti terhadap senapati yang datang kepadanya, ia tetap
bercuriga terhadap Sanggabumi.
Karena itu, maka Ki Legawa pun
segera mencari jalan keluar. Ia sadar bahwa jalan di sebelah-menyebelah telah
tertutup. Tetapi ia tidak percaya bahwa apabila ia menghadap orang yang disebutnya
Kakang Panji itu ia akan dapat keluar lagi dengan selamat.
Tetapi ternyata Ki Legawa
masih dapat mengatasi gejolak perasaannya dengan bertanya, ”Di manakah rumah
Kakang Panji itu.”
“Marilah, ikutlah bersamaku.”
“Kau hanya berjalan kaki?”
“Kudaku ada di belakang
gerumbul itu.”
Ki Legawa mengangguk-angguk.
Desisnya, ”Apakah kau dapat aku percaya?”
“Kenapa? Kau memang selalu
diliputi oleh kecurigaan dan prasangka. Ki Legawa, jika demikian maka kau
sepanjang umurmu tidak akan dapat hidup tenang.”
Ki Legawa termangu-mangu
sejenak. Sekilas ia memandang orang berkuda yang melintang di tengah jalan.
Wajahnya yang gelap dan tatapan matanya yang garang.
“Aku belum pernah
mengenalnya,” berkata Ki Legawa di dalam hatinya. ”Jika ia orang Pajang, tentu
aku sudah pernah melihatnya. Atau setidak-tidaknya aku mengenal ujud dan
coraknya. Tetapi agaknya orang ini mempunyai ciri orang asing di daerah ini.”
Dengan demikian kecurigaan Ki
Legawa menjadi semakin tumbuh. Tetapi ia masih tetap diam di atas punggung kudanya.
“Kenapa kau termangu-mangu?”
bertanya Senapai yang bernama Ki Sanggabumi.
Ki Legawa mengangguk-angguk.
Katanya, ”Baiklah. Marilah. Tetapi kau harus menjamin bahwa orang yang kau
namakan Kakang Panji itu tidak boleh berbuat apa pun atasku.”
“Aku berjanji.”
Ki Legawa mengangguk-angguk
pula.
Namun dalam pada itu,
tiba-tiba saja kaki Ki Legawa menghentak perut kudanya. Selangkah kudanya
melonjak, kemudian meloncat berlari ke arah Ki Sanggabumi.
Ki Sanggabumi terkejut bukan
buatan. Dengan gerak naluriah ia meloncat menghindari terkaman kaki kuda yang
terkejut dan berlari seperti didera hantu. Namun karena loncatan yang
tergesa-gesa dan di luar pertimbangan, maka Ki Sanggabumi pun terdorong
beberapa langkah dan terperosok ke dalam parit.
Hanya karena ia seorang yang
memiliki ilmu yang cukup sajalah ia mampu menjaga keseimbangannya, sehingga ia
tidak jatuh terlentang.
Namun demikian orang berkuda
yang terkejut pula, segera meloncat berlari mendekatinya.
“Bagaimana, Ki Senapati?” ia
bertanya.
“Bodoh. Cepat kejar orang
itu.”
Orang itu pun segera berlari
dan meloncat kembali ke punggung kuda. Sejenak kemudian kudanya pun berpacu
mengejar kuda Ki Legawa.
Ketika Ki Legawa muncul dari
sudut padukuhan, dan berlari di tengah bulak panjang, ia melihat beberapa ekor
kuda berlari ke arahnya. Sejenak Ki Legawa termangu-mangu. Namun kemudian ia
memutuskan untuk memacu kudanya terus. Jika ia kembali, ia akan berhadapan
dengan Ki Sanggabumi dan kawannya. Bahkan mungkin tidak hanya dua orang itu.
Ketika kuda-kuda di bulak itu
menjadi semakin dekat, maka Ki Legawa pun segera mengenal, bawa mereka adalah
prajurit-prajuritnya. Karena itu, maka serasa setitik embun telah membasahi
jantungnya yang sudah menjadi kering.
Dalam jarak yang masih agak
jauh, Ki Legawa sudah memberikan isyarat kepada ketiga orang prajuritnya.
Diangkatnya tangannya tinggi-tinggi.
Dalam pada itu, Ki Lurah dan
kedua orang prajuritnya yang juga sudah melihat Ki Legawa menjadi heran. Karena
pada dasarnya mereka sudah bercuriga, maka mereka pun selalu berhati-hati
menghadapi kedatangan Ki Legawa yang agaknya tergesa-gesa.
Ketika mereka bertemu, maka
kuda-kuda itu pun berhenti berhadapan beberapa langkah. Ki Legawa-lah yang
pertama-tama bertanya, ”Kemanakah kalian?”
Lurah prajurit itu menjadi
termangu-mangu. Tetapi akhirnya ia pun berkata berterus terang. ”Ki Legawa.
Sebenarnya kami memerlukan penjelasan. Kemanakah sebenarnya Ki Legawa akan
pergi? Kami melihat sesuatu yang kurang wajar pada Ki Legawa.”
“Aku akan pergi ke Mataram.”
“Meninggalkan kami begitu
saja?”
“Tentu tidak. Aku harus
mengambil kawan kita yang tertawan itu. Besok sebelum fajar, aku harus sudah
kembali ke barak kita. Aku membawa uang yang aku tabung bertahun-tahun, apabila
perlu untuk mempermudah usahaku. Aku tidak yakin bahwa orang-orang Mataram
tidak mau menerima uang.”
Ki Lurah mengangguk-angguk.
Namun ia pun tidak segera percaya kepada keterangan itu sehingga ia bertanya
pula, ”Tetapi kenapa Ki Legawa tidak berterus terang kepada kami?”
“Sebenarnyalah bahwa aku
selalu dibayangi oleh kecurigaan. Siapa tahu di antara kalian ada orang yang
akan melaporkan kepergianku. Entah kepada Ki Sanggabumi atau kepada orang-orang
yang berpihak kepada Mataram.”
Lurah prajurit itu menarik
nafas. Tetapi sebelum ia bertanya lagi, maka Ki Legawa sudah berkata, ”Lihatlah
orang berpacu itu. Ia mengejar aku. Orang itu adalah anak buah Sanggabumi.
Mereka benar-benar berusaha membunuh kita semua. Kali ini aku, mungkin besok
atau bahkan nanti kau dan prajurit-prajurit yang terlibat.”
Lurah prajurit itu mengerutkan
keningnya.
“Sebentar lagi Sanggabumi pun
tentu akan datang. Kita tidak akan dapat terus-menerus lari.”
“Maksud Ki Legawa.”
“Kita binasakan saja Ki
Sanggabumi.”
Lurah prajurit itu bimbang
sejenak, lalu, ”Apakah hal itu tidak justru menambah kesulitan saja.”
“Kita memang sudah berdiri di
atas seribu macam kesulitan. Kita bunuh Sanggabumi, kemudian kita kubur
diam-diam di tengah pategalan yang rimbun itu.”
“Lalu, bagaimana dengan kita?”
“Aku tetap akan mengambil
tawanan itu. Hidup atau mati.”
Mereka tidak sempat berbincang
lebih lama lagi. Kuda yang menyusul Ki Legawa itu sudah semakin dekat. Tetapi
Ki Legawa tidak lagi berpacu melarikan diri. Justru ialah yang kemudian
melintangkan kudanya di tengah jalan.
Dalam pada itu Lurah prajurit
yang semula mengejar Ki Legawa dengan penuh kecurigaan itu menjadi
termangu-mangu. Sejenak ia memandang kedua prajuritnya berganti-ganti. Tetapi
pada wajah prajurit-prajurit itu, ia pun melihat kebimbangan seperti di hatinya
sendiri.
“Jangan bingung menghadapi
keadaan seperti ini,” berkata Ki Legawa, ”kita harus mengambil sikap.”
Lurah prajurit itu tidak
menjawab. Tetapi ia mengambil sikap, bahwa ia akan berpihak Ki Legawa untuk
sementara. Jika ada perkembangan keadaan, ia akan mengambil sikap lain.
Dalam pada itu, orang yang
berpacu mengejar Ki Legawa sudah menjadi semakin dekat, dan kemudian berhenti
beberapa langkah di hadapannya.
“Kau tidak lari terus?”
bertanya orang itu.
“Tidak,” jawab Ki Legawa, ”aku
memang menunggu kau berdua. Di mana Ki Sanggabumi?”
Tetapi orang itu tidak perlu
menjawab. Mereka segera mendengar derap kaki kuda mendekat. Ternyata Ki
Sanggabumi telah menjadi semakin dekat pula.
“Bagus,” berkata Ki Legawa
kemudian, “sekarang kita harus saling berterus terang. Apakah yang sebenarnya
kau kehendaki dari kami.”
“Bertanyalah kepada Ki
Sanggabumi.”
Ki Legawa mengerutkan
keningnya. Ia menunggu sejenak sehingga Ki Sanggabumi sudah menjadi semakin
dekat dan berhenti di samping kawannya.
“Ki Legawa,” berkata Ki
Sanggabumi dengan suara bergetar karena getar jantungnya yang menjadi semakin
cepat, ”kenapa kau lari?”
“Aku tidak lari. Seperti yang
kau lihat, aku berhenti di sini.”
“Tetapi bukankah pembicaraan
kita belum selesai.”
“O,” Ki Legawa
mengangguk-angguk, ”baiklah. Jika demikian apakah kita akan menyelesaikannya
sekarang.”
“Tentu. Bukankah sudah aku
katakan, bahwa Kakang Panji memerlukan kedatanganmu?”
Ki Legawa menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, ”Baiklah, aku berterus terang Ki Sanggabumi. Aku tidak
dapat mempercayaimu. Kau tentu tidak ubahnya seperti kawan-kawanmu yang ingin
memutus jalur yang menghubungkan orangku yang tertawan dengan orang yang kau
sebut Kakang Panji itu.”
“Kau terlampau berprasangka.”
“Dalam keadaan seperti aku
sekarang ini, maka aku harus berwaspada.”
“Kau keliru, Ki Legawa.”
“Tidak. Aku tidak keliru.“ Ki
Legawa berhenti sejenak, lalu, ”Ki Sanggabumi, sebaiknya kau tidak usah
menghiraukan aku lagi. Aku tetap bertanggung jawab atas orangku yang hilang
itu. Jika kau memang bermaksud baik, biarlah aku pergi ke Mataram mengurus
orangku yang tertawan itu. Aku akan mengambilnya hidup atau mati. Jika kau
ingin memutuskan jalur itu, aku pun demikian. Tetapi tentu saja bahwa aku tidak
ingin jalur yang terputus itu adalah pada diriku. Bagiku lebih baik membunuh
tawanan itu dengan cara apa pun dari pada aku sendiri yang harus mati.”
Ki Sanggabumi mengerutkan
keningnya. Ia melihat kecurigaan yang memuncak pada tatapan mata Ki Legawa.
Karena itu, maka ia tidak membuang waktu lebih lama lagi. Katanya berterus terang,
“Baiklah, Ki Legawa. Agaknya kau memang sudah tidak dapat diajak berbicara.
Jika kau mencurigai kami sampai ke ujung ubun-ubun, maka aku pun wajib
mencurigamu sampai ke pusat jantung. Jika kau akan pergi ke Mataram, tentu
bukan untuk mengambil tawanan itu. Tetapi kau tentu akan mencari perlindungan.
Kau tentu akan menyebut namaku dan Kakang Panji meskipun kau belum mengetahui
siapakah Kakang Panji itu sebenarnya. Tetapi bahwa ada di antara Senapati
Pajang yang disebut Kakang Panji, tentu akan kau katakan untuk kepentingan
keselamatanmu sendiri. Kau tidak akan segan-segan berkhianat atas kami
semuanya.”
“Terserahlah penilaianmu, Ki
Sanggabumi,” berkata Ki Legawa, ”tetapi aku akan berusaha untuk keselamatanku
dan orang-orangku. Jika aku berhasil membunuhnya, maka aku dan anak buahku yang
lain akan selamat. Sebenarnya kau pun akan selamat pula.“
“Itu bagi kami merupakan
sebuah dongeng ngayawara. Bagi kami, kau tentu hanya sekedar akan melarikan
diri setelah kau membunuh seorang senapati yang bertugas memanggilmu dengan
niat yang baik.”
“Omong kosong!”
“Jika demikian, maka di antara
kita tidak ada lagi yang dapat dibicarakan. Yang dapat dicari persesuaiannya.
Kau teguh pada sikap curiga dan prasangka. Sedang aku mencoba untuk menemukan
jalan keluar yang sebaik-baiknya.”
“Ki Sanggabumi. Hanya ada satu
pilihan bagiku. Pergi ke Mataram untuk menyalamatkan anak buahku. Jika karena
itu aku akan ditangkap dan digantung oleh orang-orang Mataram atas ijin Kanjeng
Sultan Pajang, aku tidak peduli.”
Wajah Ki Sanggabumi menjadi
merah padam. Katanya, ”Jangan menjadi besar kepala. Kau kira bahwa tiga orang
anak buahmu itu dapat menggetarkan dadaku. Ki Legawa, aku tahu bahwa kau adalah
seorang prajurit pilihan. Tetapi aku adalah Sanggabumi dan kawanku yang seorang
ini adalah tamuku dari pesisir utara yang di kenal dengan sebutan Angin Laut.
Sedang sebenarnya namanya adalah Kuda Pradapa. Kami adalah saudara seperguruan.
Karena itu Ki Legawa, kalian berempat tidak akan banyak berarti bagi kami
berdua.”
Sebelum Ki Legawa menyahut,
tiba-tiba Ki Lurah berkata, “Ki Legawa. Aku kira kami bukan empat ekor tikus
yang bertemu dengan dua ekor kucing.“
Mendengar jawaban lurah
prajurit itu, Ki Legawa menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat menangkap makna
yang tersirat. Dengan demikian lurah prajurit itu akan berpihak kepadanya.
Meskipun demikian, Ki Legawa
yang sedang diliputi oleh kecemasan dan kecurigaan itu tidak mengetahui apa
yang akan dilakukan oleh prajurit-prajuritnya setelah pertengkaran dengan Ki
Sanggabumi selesai.
Namun dalam pada itu, jawaban
lurah prajurit itu membuat Ki Sanggabumi menjadi semakin marah. Katanya,
”Kalian seharusnya mengerti siapa Senapati Sanggabumi. Seterusnya terserah
kepada kalian.”
“Hampir setiap prajurit
mengerti siapakah Sanggabumi. Tetapi juga setiap prajurit tidak akan membiarkan
kepalanya dipenggal tanpa berbuat apa pun juga. Selebihnya, aku adalah seorang
lurah prajurit yang dalam keadaan tanpa pilihan. Karena itu, sebaiknya aku
mempertahankan diriku. Jika aku dapat tetap hidup, meskipun Ki Legawa tidak ada
ke mana pun ia pergi, aku akan dapat mengatakan, bahwa orang yang lebih tinggi
kedudakannya di dalam hubungan antara prajurit, yang menghendaki runtuhnya
Mataram adalah Ki Sanggabumi, seorang senapati linuwih.”
“Persetan,” geram Sanggabumi. Lalu
katanya kepada kawannya, ”Kuda Pradapa, kita akan membagi tugas. Biarlah aku
mengurus Ki Legawa. Jika prajurit-prajurit itu akan membantunya, aku tidak
berkeberatan. Kau bungkam saja mulut lurah itu untuk selamanya, agar ia tidak
lagi dapat menyebut namaku di hadapan orang Pajang atau orang Mataram.”
Orang yang bernama Kuda
Pradapa itu menganggukkan kepalanya. Katanya, ”Aku memang sudah muak
mendengarnya. Meskipun aku baru mengenalnya hari ini, tetapi benciku kepadanya
melampaui benciku kepada musuh bebuyutan.”
”Bagus,” sahut Ki Lurah, ”agar
kita dapat bertempur bersungguh-sungguh, maka kita harus saling membenci sampai
ke ujung ubun-ubun.”
Kuda Pradapa sama sekali tidak
menjawab. Tetapi gejolak perasaannya sudah tidak terkendali lagi. Dengan
serta-merta ia pun langsung menyerbu lurah prajurit yang dianggapnya terlampau
sombong itu.
Tetapi lurah prajurit itu
memang sudah bersiap. Dalam sekejap ia sudah menggenggam senjata. Ketika
serangan itu tiba, ia menggerakkan kendali kudanya dan siap untuk melawan.
Sejenak kemudian keduanya
telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Kuda mereka berlari-larian
melingkar di jalan yang terlampau sempit bagi pertempuran di atas punggung
kuda. Karena itu, maka kuda-kuda itu pun segera turun ke sawah yang sedang kering.
Dua orang prajurit yang
mengawal Ki Lurah itu tidak membiarkan pimpinannya bertempur seorang diri.
Mereka pun segera terjun ke dalam arena, sehingga empat orang berkuda
berkejar-kejaran dengan senjata telanjang di tangan.
Dalam pada itu Ki Legawa pun
sudah siap pula menghadapi Ki Sanggabumi. Ki Legawa sadar sepenuhnya, bahwa
orang yang bernama Sanggabumi itu memiliki kemampuan yang luar biasa. Tetapi Ki
Legawa sendiri yakin akan dirinya. Bahkan di dalam hatinya ia berkata, ”Aku
baru mendengar nama dan kelebihannya dari mulut ke mulut. Tetapi aku belum
pernah melihatnya di medan perang.”
Seenak kemudian Ki Sanggabumi
yang sudah sampai ke puncak kemarahannya itu pun mendekat. Dengan wajah yang
merah ia berkata, ”Ki Legawa. Sebutlah nama ibu bapamu untuk yang terakhir.
Sebentar lagi, yang tinggal hanyalah namamu saja. Ki Legawa. Seorang yang tidak
pernah berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik.”
Ki Legawa mengerutkan
keningnya. Namun tiba-tiba ia mendera kudanya sehingga kudanya meloncat maju
Sebentar kemudian keduanya pun
telah bertempur pula dengan sengitnya. Seperti Ki Lurah yang bertempur bersama
kedua pengawalnya melawan Kuda Pradapa di tengah-tengah sawah, maka kuda Ki
Legawa dan Sanggabumi pun telah menginjak-injak tanaman palawija yang sedang
tumbuh.
Kedua belah pihak di dua
lingkaran pertempuran itu pun mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri
masing-masing. Apalagi ketika mereka menyadari, bahwa ternyata ada satu dua
orang yang melihat dari kejauhan perkelahian berkuda di tengah-tengah sawah
tanpa menghiraukan tanaman yang rusak.
Tetapi kedua belah pihak tidak
mau melepaskan kesempatan untuk keluar dari arena dengan selamat. Ki Sanggabumi
yang merasa dirinya seorang senapati pilihan menjadi heran, bahwa ternyata Ki
Legawa adalah seorang yang memiliki pengalaman yang luas di dalam perang
tanding. Ia adalah seorang penunggang kuda yang baik. Senjatanya berputaran dan
sekali-sekali mematuk dengan cepatnya.
Karena itu Sanggabumi tidak
lagi menganggap dirinya seorang senapati yang memiliki kemampuan jauh di atas
lawannya. Semakin lama terasa olehnya, bahwa jika Ki Legawa berani menentang
dan melawannya langsung berhadapan, adalah karena Ki Legawa memang memiliki
bekal yang cukup untuk melakukannya.
Sementara itu, Kuda Pradapa
pun bertempur dengan gigihnya. Ki Lurah adalah seorang yang kasar, kuat dan
kadang-kadang tidak dapat diduga tata geraknya. Dibantu oleh dua orang
prajuritnya, menjadikannya seorang yang berbahaya. Karena itu, Kuda Pradapa
yang memiliki gelar di Pesisir Utara Angin Laut itu ternyata harus memeras
segenap kemampuannya untuk melawan tiga orang yang dapat bergerak dengan cepat,
kasar, dan bahkan mengejutkan sama sekali.
Tetapi orang yang bergelar
Angin Laut itu memiliki pengalaman yang luas pula seperti Sanggabumi dan Ki
Legawa.
Bahkan, ia mempunyai kelebihan
dari orang kebanyakan sehingga ia disebut Angin Laut. Angin yang kencang dan
dapat menimbulkan prahara di lautan. Jika Angin Laut mengerahkan segenap
kemampuannya, maka lautan pun bagaikan diaduk dan batu-batu karang menjadi
retak dan pecah berguguran.
Orang yang bernama Angin Laut
itu menjadi heran melihat lawan-lawannya. Ia adalah seorang lurah prajurit yang
biasa bertempur dalam kelompok yang besar dan hanya mempunyai sekedar kemampuan
membela diri di peperangan apabila diperlukan harus bertempur seorang lawan
seorang. Tetapi lurah prajurit Pajang ini mempunyai kemampuan perang tanding
yang luar biasa. Kekasarannya kadang-kadang dapat menumbuhkan kecemasan di hati
lawannya. Apalagi sekali-sekali lurah itu berteriak nyaring sambil mengayunkan
senjatanya.
Pertempuran itu memang menarik
perhatian orang yang melihat dari kejauhan. Beberapa orang menjadi ketakutan.
Tetapi yang lain justru memanggil kawan-kawannya.
“Sawah Ki Panut menjadi debu.
Tanamannya hancur,” berkata seorang petani kepada kawannya.
“Panggil Ki Panut.”
“Tidak ada gunanya. Ia tidak
akan dapat berbuat apa-apa.”
“Siapakah yang bertempur itu?”
“Tidak tahu. Di antaranya ada
prajurit Pajang.”
“Mungkin prajurit Pajang
sedang mengejar penjahat.”
Tetapi mereka tidak dapat
mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka melihat perkelahian itu dari
kejauhan. Mereka tidak melihat, bahwa prajurit Pajang ada di kedua belah pihak
yang sedang bertempur itu.
Demikian besar usaha mereka
untuk saling membunuh, maka mereka pun telah mengerahkan segenap tenaga yang
ada. Segenap kemampuan dan ilmu.
Ki Legawa yang mempunyai ilmu
yang tangguh, berusaha untuk dapat mengimbangi kemarahan Ki Sanggabumi. Seorang
senapati yang pilih tanding.
Tetapi Ki Sanggabumi tidak
mengetahui, bahwa sebenarnyalah Ki Legawa telah membawa bekal yang cukup ketika
ia harus melakukan pendadaran. Ki Legawa tidak perlu menunjukkan separo dari
kemampuannya untuk dapat mencapai batas kemampuan yang harus dimiliki oleh
calon prajurit. Kemudian kedudukannya dengan cepat meloncat.
Namun akhirnya ia terperosok
ke dalam lingkungan para prajurit yang mempunyai sikap tersendiri. Kebenciannya
kepada Mataram dan ketamakannya atas kemungkinan yang berlebihan di masa
datang, telah menyeretnya ke dalam lingkungan orang-orang seperti Ki
Sanggabumi. Kemampuannya yang tinggi itulah yang membuatnya mendapat
kepercayaan dari senapati penghubung yang telah dibunuhnya dan disimpannya di
kolong amben.
Dan kini Ki Legawa itu
berhadapan dengan Ki Sanggabumi sendiri dalam perang tanding di atas punggung
kuda.
Dan perang tanding itu adalah
perang tanding yang sangat sengit. Masing-masing telah memeras kemampuan mereka
mengendalikan kuda masing-masing, selain mengerahkan segala macam ilmu yang
pernah mereka pelajari. Ilmu ketangkasan, olah kanuragan dan senjata. Tetapi
juga akal dan kepandaian memperhitungkan waktu. Sekejap pun akan dapat berarti
maut di dalam perang tanding yang demikian.
Ki Sanggabumi yang menganggap
bahwa membunuh Ki legawa bukan suatu tugas yang berat, menjadi sangat marah
ketika ia melihat kenyataan bahwa Ki Legawa mampu mempertahankan dirinya untuk
waktu yang lama. Bahkan sampai saat terakhir masih belum ada tanda-tanda bahwa
ia akan mampu membinasakan orang yang menjadi salah satu mata rantai yang dapat
menghubungkan nama orang yang tertawan dengan orang yang disebut Kakang Panji.
Karena itu, Ki Sanggabumi
menjadi tidak sabar lagi. Ia harus dapat membunuh Ki Legawa dengan cara apa pun
juga.
Karena itu, maka Ki Sanggabumi
pun menjadi semakin garang. Segenap tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya
segera dikerahkannya, sehingga tandangnya menjadi semakin cepat dan garang.
Tetapi ternyata bahwa Ki
Legawa pun berbuat serupa. Tenaga cadangan dan ilmu pamungkas yang dibawanya
dari perguruannya sejak ia memasuki lingkungan keprajuritan telah dikerahkannya
pula untuk melawan kedahsyatan ilmu Ki Sanggabumi.
Dalam pada itu, saudara
seperguruan Ki Sanggabumi pun harus mengerahkan kemampuannya untuk melawan
lurah prajurit bersama kedua kawannya. Mereka bertempur bersama dengan
dahsyatnya. Semakin lama menjadi semakin kasar dan bahkan menjadi agak buas.
Kuda Pradapa yang juga disebut
Angin Laut itu pun harus berbuat seperti saudara seperguruannya. Ia harus
mengerahkan segala kemampuan yang ada padanya. Namun ketiga lawannya ternyata
memiliki ilmu yang tangguh. Setiap kali Kuda Pradapa mendesak salah seorang
lawannya, maka yang lain pun segera mengisi kelemahan itu dengan serangan yang
sengit. Sehingga dengan demikian, Kuda Pradapa tidak sempat untuk membinasakan
salah seorang pun dari ketiganya.
“Aku harus membinasakan mereka
bersama-sama,” geram Kuda Pradapa di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun segera
mempersiapkan diri. Jika ia tidak berhasil maka ia tidak akan dapat segera
menyelesaikan perkelahian itu. Apalagi ketika ia sadar, orang yang melihat
perkelahian itu semakin lama menjadi semakin banyak meskipun dari kejauhan.
“Pada suatu saat, maka
prajurit-prajurit Pajang akan mendapat laporan dan segera akan mengepung kami
semuanya,” berkata Kuda Pradapa di dalam hatinya. Seperti juga lurah dan kedua
prajuritnya bergumam di dalam diri masing-masing.
Dengan demikian mereka pun
bersama-sama telah mengerahkan kemampuan yang ada di dalam diri mereka
masing-masing, sehingga pertempuran itu menjadi semakin dahsyat.
Namun karena itu maka
kemampuan mereka pun bersama-sama meningkat, sehingga pertempuran itu masih
tetap seimbang.
Ki Kuda Pradapa tidak dapat
membiarkan dirinya terlibat terlampau lama dalam peperangan itu. Ia tidak mau
menjadi seorang tawanan prajurit Pajang karena terlibat dalam persolan yang
tidak menyangkut dirinya dan perjuangan bagi dirinya sendiri, selain karena
permintaan saudara seperguruannya.
Karena itu, maka Kuda Pradapa
pun mempersiapkan senjata pamungkasnya. Seperti saudara seperguruannya, Ki
Sanggabumi, maka Kuda Pradapa pun mempunyai senjata yang aneh. Ia mempunyai
semacam pisau kecil beracun. Dalam keadaan yang genting ia dapat mempergunakan
senjata itu.
Kuda Pradapa merasa bahwa
keadaannya memang sudah sangat gawat baginya. Setiap saat prajurit Pajang akan
segera datang. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia mengambil pisau kecil itu
dari ikat pinggangnya.
Ki Lurah masih sempat melihat
ikat pinggang Kuda Pradapa yang dipenuhi dengan pisau-pisau kecil yang berjajar
melingkar sepanjang ikat pinggangnya. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan
berbuat apa pun juga. Memang sekilas ia teringat kata-kata Ki Legawa bahwa Ki
Sanggabumi mempunyai semacam jarum beracun. Agaknya pisau-pisau kecil itulah
yang dimaksud.
Belum lagi ia sempat menentukan
sikap, ia melihat seperti kilat meloncat di langit, tangan Kuda Pradapa itu
terjulur ke arahnya. Ia merasa sesuatu menyentuh dadanya. Namun kemudan ia
sadar, bahwa yang menyentuh dadanya itu adalah sebilah pisau kecil.
Agaknya kedua prajuritnya pun
melihat hal itu. Tetapi ternyata mereka masih mempunyai kesempatan. Selagi Kuda
Pradapa melemparkan pisau itu maka mereka sempat mendera kuda mereka dan
berlari menjauh ke arah yang berbeda.
Kuda Pradapa tidak segera
mengejar mereka. Ia masih bersiap menghadapi sikap terakhir dari Ki Lurah itu.
Ternyata Ki Lurah masih
berusaha untuk menyerangnya dengan senjata teracu. Tetapi racun yang bekerja di
dalam tubuhnya adalah racun yang sangat tajam, sehingga dalam beberapa saat
yang pendek, Ki Lurah sudah kehilangan tenaganya. Karena kudanya masih saja
berlari, tubuh Ki Lurah yang menjadi lemah itu seolah-olah tertunduk dan
menelungkup di punggung kudanya.
Dalam pada itu, Ki Legawa
melihat senjata yang dipergunakan oleh Kuda Pradapa. Sekilas ia teringat bahwa
Ki Sanggabumi pun tentu memiliki senjata yang serupa. Sehingga karena itu, maka
ia pun segera memperhatikan apa yang dilakukan oleh Sanggabumi.
Tidak mustahil bahwa Ki
Sanggabumi pun akan segera menyerangnya dengan senjata beracun itu.
Apa yang diduga oleh Ki Legawa
agaknya benar-benar akan dilakukan. Karena itu, Ki Legawa tidak mau melepaskan
kesempatan untuk membela diri pada saat terakhir. Dengan cepatnya ia mencabut
kerisnya. Ia tidak menyerang dengan mendera kudanya maju mendekat, karena
dengan demikian ia akan kehilangan waktu.
Yang dilakukannya kemudian
adalah menyerang Ki Sanggabumi dengan kerisnya dari jarak yang agak jauh. Keris
pusakanya itu telah dilontarkannya dengan sekuat tenaganya.
Namun bersamaan dengan itu,
ternyata sebelah pisau telah meluncur pula dari tangan Ki Sanggabumi. Seperti
Ki Legawa, Ki Sanggabumi pun terkejut melihat senjata yang dengan kecepatan
yang tak terelakan telah menyambarnya.
Hampir pada saat yang
bersamaan, terdengar keluhan tertahan dari kedua belah pihak. Pada saat yang
hampir bersamaan kedua senjata yang melayang di udara itu telah menyambar
sasaran masing-masing. Keris Ki Legawa menghunjam di dada Ki Sanggabumi hampir
mengenai jantungnya, sedang pisau Ki Sanggabumi telah menancap di bahu kiri Ki
Legawa
Meskipun pisau kecil itu
sebenarnya tidak menusuk tempat yang berbahaya, tetapi racunnyalah yang telah
merambat ke segenap urat nadi Ki Legawa seperti juga warangan di kerisnya yang
seakan-akan telah membekukan darah Ki Sanggabumi.
Keduanya masih sempat berpandangan
sesaat. Betapa kemarahan nampak memancar dari mata masing-masing. Namun sejenak
kemudian mereka pun tidak lagi dapat bertahan. Perlahan-lahan mereka menjadi
lemah, dan akhirnya terjatuh dari punggung kuda masing-masing.
Kuda Pradapa melihat keduanya
menghembuskan nafas terakhir seperti juga lurah prajurit yang dikenainya.
Sekilas ia melihat dua orang prajurit berkuda yang memandanginya dengan penuh
kebencian.
Tetapi agaknya kedua prajurit
itu hanya memandanginya saja dari kejauhan. Setelah lurahnya terbunuh, mereka
tidak lagi berniat untuk melanjutkan pertempuran. Apalagi mereka pun sadar,
bahwa pisau-pisau kecil itu pun akan dapat membunuh mereka seperti membunuh
lurahnya yang lengah itu.
Kuda Pradapa masih berada di
tempatnya. Di atas punggung kuda di tengah sawah yang ditanami palawija. Tetapi
tanaman itu sudah berserakkan seperti di bajak lagi.
Tiba-tiba saja Kuda Pradapa
melihat debu mengepul di kejauhan. Ia pun segera sadar, bahwa tentu ada
seseorang yang telah melaporkan pertempuran itu. Karena itulah maka ia tidak
berpikir terlampau panjang lagi. Segera ia mendera kuda yang meloncat dan
berlari kencang seperti sedang berpacu dengan hantu, meninggalkan mayat
lawannya dan mayat saudara seperguruannya.
Namun demikian Kuda Pradapa
itu rasa-rasanya masih saja seperti bermimpi, bahwa saudara tua seperguruannya,
Ki Sanggabumi tiba-tiba saja sudah mendahuluinya. Baru beberapa saat lamanya,
saudara seperguruannya itu mengajaknya menunggu Ki Legawa lewat. Kini ia sudah
tidak lagi dapat berbuat apa pun juga.
“Aku datang untuk menengoknya.
Sudah lama aku tidak pernah bertemu. Baru sehari aku di sini, ia sudah
meninggalkan aku dalam perkelahian yang seru. Agaknya Ki Legawa itu pun seorang
yang memiliki kemampuan yang tinggi,” katanya di dalam hati.
Dalam pada itu kudanya masih
berpacu terus. Ia tidak tahu dengan pasti, kemana ia pergi. Tetapi ia tidak
menghiraukannya lagi. Ia harus menjauhi arena pertempuran sebelum para prajurit
di Pajang mengepung dan menangkapnya.
Ketika ia berpaling, ternyata
tidak ada seorang pun yang mengejarnya. Jaraknya memang terlampau jauh. Karena
itu maka ia tidak perlu berpacu secepat-cepatnya lagi.
“Apakah kedua prajurit itu
tidak melarikan diri?” bertanya Kuda Pradapa di dalam hatinya.
Sebenarnyalah kedua prajurit
yang bertempur melawan Kuda Pradapa itu tidak melarikan diri. Mereka tidak
dapat ingkar lagi bahwa pada suatu saat mereka akan dapat tertangkap. Karena
itu, daripada mereka harus bersembunyi dan hidup dalam ketakutan, lebih baik
menyerahkan diri.
“Kami bukan orang yang
bertanggung jawab,” berkata salah seorang dari kedua prajurit itu kepada
kawannya, ”karena itu biar sajalah kami menyerah.”
Yang lain menganggukkan
kepalanya. Katanya, ”Aku sependapat. Tidak ada gunanya lagi untuk bersembunyi.
Mudah-mudahan pimpinan prajurit di Pajang mengerti duduk persoalannya.”
“Kita dapat memberikan
penjelasan.”
Dengan demikian maka keduanya
sudah sependapat bahwa mereka akan menyerah saja kepada sekelompok prajurit
berkuda yang datang.
Prajurit-prajurit yang datang
itu pun terkejut ketika mereka melihat dua sosok mayat yang tergolek di tanah.
Mereka sudah mengenal keduanya dengan baik.
“Dua orang senapati pilihan,”
desis lurah prajurit berkuda yang memimpin kelompok itu.
“Ya, Ki Legawa dan Ki
Sanggabumi.”
Prajurit-prajurit berkuda itu
pun kemudaan melihat mayat yang lain. Lurah prajurit yang mereka kenal juga.
Lurah yang memimpin pasukan
berkuda itu pun kemudian memandang kedua orang prajurit yang sudah turun dari
kudanya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, ”Siapakah yang telah membunuh mereka?”
Salah seorang prajurit itu
berkata, ”Kedua Senapati itu saling berbunuhan. Mereka telah mati sampyuh dalam
petang tanding.”
“Dan lurahmu itu.“
”Seorang yang bernama Kuda
Pradapa telah membunuhnya.”
“Siapa Kuda Pradapa?”
“Menurut keterangan yang aku
dengar sebelum kami berkelahi, Kuda Pradapa adalah saudara seperguruan Ki
Sanggabumi.”
“Apakah sebabnya kalian
berkelahi?”
Kedua prajurit itu
termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari mereka pun berkata berterus terang
apa yang sebenarnya sudah terjadi. Sejak mereka mendapat tugas untuk mencegat
Ki Juru Martani. Kemudian perselisihan antara Ki Legawa dengan seorang senapati
yang memberikan perintah kepadanya, sehingga Ki Legawa telah membunuhnya.
Akhirnya sampyuh dengan Ki Sanggabumi dan lurahnya terbunuh oleh Kuda Pradapa.
Prajurit itu menceritakan
segala-galanya sehingga lurah yang memimpin kelompok prajurit berkuda itu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bukan main,” berkata Lurah
prajurit itu, ”suatu usaha pembunuhan yang tidak terduga-duga sama sekali.
Ternyata bahwa usaha pembunuhan yang dilakukan atas Ki Gede Pemanahan beberapa
saat yang lalu masih juga ada ekornya. Ternyata di Pajang memang ada sekelompok
prajurit yang benar-benar tidak mau melihat Mataram tumbuh dan berkembang.”
“Ya.”
“Maaf, Ki Sanak,” berkata
lurah itu, ”kalian berdua terpaksa kami tangkap. Mungkin tidak terlalu lama.
Setelah kalian memberikan keterangan seperlunya, kalian akan dibebaskan lagi.”
“Atau digantung di alun-alun,”
desis salah seorang dari kedua prajurit itu.
Lurah prajurit berkuda yang
datang kemudian mengangkat bahunya.
“Semuanya akan diputuskan oleh
yang berwenang,” berkata Lurah itu.
Demikianlah, maka kedua
prajurit itu dengan tanpa berbuat apa pun telah menyerahkan diri. Sementara Ki
Lurah yang menangkapnya telah memerintahkan beberapa orang penghubung untuk
melaporkan kematian senapati yang di bunuh oleh Ki Legawa.
“Mayat itu adalah di dalam
barak. Karena itu harus diusahakan agar dapat diambil tanpa salah paham. Biarlah
orang yang berkepentingan menghubungi pimpinan yang masih ada di dalam barak
itu,” berkata Ki Lurah kepada penghubung yang diperintahkannya untuk melaporkan
peristiwa itu.
Namun dalam pada itu, kematian
Ki Legawa dan Ki Sanggabumi itu telah sampai pula ke telinga orang yang disebut
Kakang Panji itu.
Dengan kemarahan yang
memuncak, orang yang disebut Kakang Panji itu berjalan hilir-mudik di dalam
biliknya. Ia telah kehilangan dua orang pembantu setia sekaligus pada hari yang
sama. Bahkan seakan-akan mereka terbunuh dalam keadaan yang tidak berarti sama
sekali.
“Keduanya gila dan bodoh,”
geram orang yang disebut Kakang Panji itu, ”kenapa mereka harus mengorbankan
diri hanya oleh seekor kelinci gila yang bernama Legawa itu.”
Seorang pembantunya yang ada di
dalam bilik itu hanya menundukkan kepalanya saja.
“He, Adi Dadap Wereng. Kau pun
seorang senapati pilihan seperti Sanggabumi. Tetapi kau jangan lengah dan
ragu-ragu. Akibatnya sudah dapat kau lihat.”
Orang bernama Dadap Wereng itu
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, ”Bagiku kematian mereka tidak perlu
disesali.”
“Mereka adalah tenaga yang
baik bagiku dan dapat dipercaya. Dari mulut mereka tidak akan dapat keluar
rahasia apa pun juga. Kini kita tinggal bertiga dengan Sorohpati. Pada suatu
saat kita akan kehabisan tenaga.”
Dadap Wereng tertawa. Katanya,
”Kakang Panji tidak perlu cemas. Bukankah kita dapat mengangkat kawan-kawan
baru. Bukankah masih ada Ki Taksini, Ki Reksanata yang kadang-kadang disebut
Kiai Bandotan.”
“Aku belum meyakini kesetiaan
mereka di dalam hubungan sehidup semati di antara kita.”
“Kita tidak tergesa-gesa. Yang
penting, kali ini kita sudah diselamatkan oleh kematian Ki Legawa. Memang
sayang sekali bahwa kedua kawan kita itu mati. Tetapi apa boleh buat. Mungkin
besok atau lusa akulah yang akan mati atau Sorohpati. Tetapi kita sudah
menyadari bahwa semua itu adalah akibat langsung dari cita-cita kita untuk
menenggelamkan Mataram, kemudian meringkihkan Pajang. Dengan demikian maka
adalah wajar jika ada korban yang harus diberikan. Memang aku berharap agar
korban itu bukan aku, sehingga aku dapat menikmati kamukten yang bakal kita
dapatkan.”
“Kau gila.”
Dadap Wereng tertawa. Katanya,
”Bukankah Kakang Panji juga berharap akan dapat hidup sampai saat Pajang jatuh?
Bahkan kemudian menjadi seorang pemimpin tertinggi? Barangkali Kakang Panji
memang tidak ingin menjadi raja karena seorang raja memerlukan banyak
pertimbangan. Tetapi bagaimana dengan guru Kakang Panji yang menurut ceritera
adalah keturunan langsung dari Majapahit itu?
“Kau jangan mengigau. Jangan
pula kau sebut-sebut guru.”
“Kenapa? Bukankah Kakang Panji
yang mengatakan bahwa guru Kakang Panji itu putera Pangeran Banjarpati, seorang
Pangeran dari Majapahit?”
Orang yang disebut Kakang
Panji itu mengerutkan keningnya. Tetapi kepalanya terangguk-angguk lemah.
“Dan bukankah Kakang Panji
yang mengatakan bahwa guru Kakang Panji itu kini hidup sebagai pertapa yang
terasing dan sama sekali tidak menunjukkan derajadnya yang sebenarnya?”
“Ya. Tetapi ia tetap berhak
menuntut warisan nenek moyangnya.”
Dadap Wereng mengangguk pula.
Katanya, ”Barangkali ia memang lebih berhak dari Karebet. Apalagi anak
Pemanahan yang kini berkuasa di Mataram sepeninggal ayahnya. Kenapa guru Kakang
Panji itu tidak menyatakan dirinya saja sebagai Banjarpati Kedua sehingga
dengan demikian ia akan segera mendapat dukungan dari orang-orang yang masih
merindukan kebesaran Majapahit?”
“Bukankah keturunan Majapahit
telah tersingkir?”
“Orang akan menyadari bahwa
akhirnya mereka memerlukannya. Apa yang dapat diberikan oleh Karebet bagi
Pajang sekarang ini selain kehidupan yang mewah bagi dirinya sendiri. Isteri
yang berlimpah jumlahnya. Tetapi tanpa usaha yang nyata bagi kebesaran Pajang?”
Orang yang disebut Kakang
Panji itu tidak segera menyahut.
“Kakang Panji, saatnya sudah
tiba. Sebaiknya Kakang Panji menghadap Putra Pangeran Banjarpati itu. Ia tentu
menyadari betapa gawat saat sekarang ini. Sebelum terlambat, maka kita wajib
segera bertindak.”
Tetapi orang yang disebut
Kakang Panji menggeleng. Katanya, ”Kita tetap dalam rencana. Pajang dan Mataram
pada suatu saat akan berbenturan. Barulah kita akan mulai dengan perjuangan
yang sebenarnya.”
“Kakang. Tetapi Kakang harus
ingat, bahwa sudah ada orang yang mampu mengalahkan Panembahan Agung. Bukankah
menurut perhitungan kita, Panembahan Agung hanya dapat dihancurkan oleh guru
Kakang Panji itu?”
“Semua sudah diperhitungkan.
Meskipun demikian, aku akan menghadap. Setelah Ki Gede Pemanahan dimakamkan,
kita akan melihat ke arah manakah Mataram akan berkembang di bawah pimpinan
Sutawijaya.”
“Disampingnya ada Ki Juru
Martani. Dan meskipun tidak menentukan, tetapi orang bercambuk itu sangat
memuakkan. Selebihnya kekuatan yang telah menghancurkan Panembahan Agung harus
diperhitungkan sebaik-baiknya.”
“Aku mengerti. Aku menunggu
sampai satu dua pekan lagi setelah Ki Gede Pemanahan dimakamkan. Siapakah yang
akan memegang peranan di Mataram. Ki Juru Martani atau orang bercambuk itu.”
Dadap Wereng
mengangguk-angguk. Katanya, ”Aku hampir tidak sabar lagi. Tetapi Kakang Panji-lah
yang memegang pimpinan di sini.”
Orang yang disebut Kakang
Panji itu tidak menyahut. Ia berjalan hilir-mudik dengan gelisahnya.
Bermacam-macam bayangan berganti-ganti nampak di rongga matanya.
“Guru memang sudah sangat
tua,” katanya di dalam hati, ”ia harus ada di pusat kerajaan sebelum umurnya
merenggut hidupnya. Kemudian aku adalah satu-satunya muridnya dan guru memang
tidak mempunyai anak keturunan, sehingga apabila benar-benar guru mendapat
dukungan untuk memegang kekuasaan karena derajat keturunannya dari Majapahit,
maka semuanya tentu akan mengalir kepadaku.”
“Apa yang sedang kau
renungkan?” bertanya Dadap Wereng.
“Sutawijaya,” jawab Panji itu,
”ia tidak akan berkuasa lebih dari Alas Mentaok sekarang.”
Dadap Wereng
mengangguk-angguk.
“Dadap Wereng,” berkata orang
yang disebut Kakang Panji itu, ”kau harus membicarakan perkembangan keadaan ini
dengan Sorohpati. Mungkin aku akan bertemu dengan Ki Reksanata, tetapi tidak
dalam kedudukanku ini. Aku ingin menjajagi pendapatnya lebih dahulu. Aku memang
lebih tertarik kepada Reksanata daripada Taksini yang tamak.”
“Terserahlah kepada Kakang
Panji. Tetapi bagiku Taksini adalah orang yang bodoh dan keras hati.”
“Aku akan melihatnya kelak.
Sekarang, meskipun Legawa dan bahkan kedua senapati kita sudah mati, kau harus
tetap berhati-hati. Awasilah perkembangan keadaan.”
“Aku akan melihat, apakah yang
akan dilakukan oleh prajurit-prajurit Pajang atas mayat-mayat itu. Mungkin
mereka akan menangkap anak buah lurah yang terbunuh itu.”
“Mereka akan menyerahkan
kepadamu. Kau sebagai seorang senapati yang langsung bertanggung jawab atas
kelompok prajurit yang mendapat tugas pengamanan kota hari ini.”
Dadap Wereng tertawa. Katanya,
”Mungkin sudah ada satu dua orang yang menunggu aku di gardu induk. Tetapi Adi
Surapada ada di gardu. Ia akan mengambil kebijaksanaan selama aku tidak ada. Ia
adalah seorang perwira yang cekatan. Aku mempercayainya sehingga aku tidak
perlu gelisah.”
Orang yang disebut Kakang
Panji itu mengangguk-angguk. Lalu tiba-tiba saja ia bertanya, ”Bagaimana dengan
Surapada itu?
“Ia seorang perwira yang baik.
Tangkas. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang baik. Tidak mudah untuk
berbicara dengan dia tentang pendirian kita.”
“Selain kedua Senapati yang
terbunuh, kita memerlukan orang yang dapat menggantikan kedudukan Daksina.
Seorang yang dengan cekatan berpetualang di luar kota Pajang dan bahkan sampai
ke sekitar tanah yang sedang berkembang itu. Ia adalah seorang pembantu
Panembahan Agung yang baik, tetapi juga pengawas yang teliti.”
Dadap Wereng
mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, ”Sulit bagi kita untuk menemukan
orang seperti Daksina. Tetapi aku akan berusaha.”
“Perhatian Mataram harus
terpecah. Jika mereka hanya sekedar menatap ke Pajang, apalagi Sultan Pajang
masih tetap bersikap memanjakan Sutawijaya, maka kita akan segera dapat
diketahuinya. Karena itu, Mataram harus memperhatikan gangguan-gangguan lain di
luar Pajang.”
Dadap Wereng menarik nafas
panjang sekali. Katanya, ”Ah, lain kali sajalah kita berbicara tentang pengganti
Daksina. Sekarang aku akan melihat, apa yang sudah dilakukan oleh
prajurit-prajuritku atas orang-orang yang terbunuh itu. Sikap apakah yang sudah
diambil oleh Surapada.”
Orang yang disebut Kakang
Panji tidak menahannya lagi. Dibiarkannya Dadap Wereng kembali ke tugasnya.
Tetapi semuanya sudah ditangani oleh pembantunya, Ki Surapada. Mayat-mayat yang
ada di tengah sawah, dan bahkan yang ada di barak Ki Legawa pun sudah diambil
tanpa terjadi sesuatu
Meskipun demikian, ketegangan
telah memuncak ketika sekelompok prajurit datang mendekati barak tempat
senapati yang terbunuh oleh Ki Legawa itu disembunyikan. Baru ketika para
prajurit di dalam barak itu mendapat penjelasan bahwa mereka hanya akan
mengambil mayat yang disembunyikan di bawah kolong di dalam bilik Ki Legawa,
mereka tidak berbuat apa-apa, meskipun prajurit yang ada di dalam barak itu
telah menyisipkan senjata masing-masing.
Dengan bijaksana, Suradapa
sendiri yang memimpin prajuritnya mengambil mayat itu menjelaskan bahwa tidak
akan ada tindakan apa-apa, karena tanggung jawab atas kematian senapati itu ada
pada Ki Legawa.
Tetapi Suradapa masih harus
bekerja dengan tekun. Ia harus mencari sebab kematian senapati itu. Kemudian
kematian Legawa yang bertengkar dengan Sanggabumi.
“Apakah mereka mempunyai
persoalan pribadi?” bertanya Suradapa kepada diri sendiri. Sedang orang yang
kemudian akan diajaknya memperbincangkannya adalah senapati atasannya langsung
yang bernama Dadap Wereng.
Karena itu, maka semua
penyelidikan menjadi sangat sulit. Apalagi Dadap Wereng agaknya mengambil
kesimpulan yang sangat mudah seperti dugaannya semula, ”Tentu ada perselisihan
pribadi. Apalagi ternyata bahwa Sanggabumi telah membawa seorang saudara
seperguruannya yang bernama Kuda Pradapa, dan Legawa membawa tiga orang
prajurit setelah ia membunuh seorang senapati di baraknya. Senapati itu tentu
sahabat Sanggabumi.”
Suradapa tidak puas dengan
kesimpulan itu. Tetapi untuk sementara ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dan
laporan sementara kepada pimpinan prajurit Pajang pun berbunyi demikian.
Tetapi Suradapa bertanya
kepada diri sendiri, ”Bagaimanakah jika prajurit-prajurit itu kelak mulai
memberikan keterangan?”
Ternyata keterangan-keterangan
yang kemudian diterimanya dari para prajurit, terutama dua orang prajurit yang
bertempur dengan Kuda Pradapa memberikan sedikit petunjuk, apa yang sebenarnya
telah terjadi. Mereka menyebut pula bahwa seorang kawan mereka telah ditangkap
oleh Ki Juru Martani. Dan mereka memberikan gambaran bahwa Legawa terpaksa
melakukan hal itu untuk membela diri.
Suradapa mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berkata kepada diri sendiri, ”Ternyata kematian Ki Legawa dan
Sanggabumi telah memutuskan jalur penyelidikan selanjutnya.”
Ketika Dadap Wereng mendapat
laporan tentang keterangan yang dapat disadapnya dari prajurit, ia terkejut.
Lalu katanya, ”Jika demikian, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa di
Pajang ada sekelompok prajurit yang ingin berkhianat. Mereka ingin mengeruhkan
hubungan antara Pajang dan Mataram. Agaknya mereka juga yang telah mencegat Ki
Gede Pemanahan beberapa waktu yang lalu.”
“Aku belum sampai pada
pertanyaan tentang itu,” jawab Ki Suradapa.
“Baiklah,” berkata Dadap
Wereng, ”prajurit-prajurit itu harus tetap ditahan. Aku sendiri akan memeras
keterangan dari mereka.”
Ki Suradapa mengangguk-angguk.
Tetapi terlintas di kepalanya bahwa nasib prajurit-prajurit itu akan sangat
buruk di tangan Dadap Wereng.
“Ki Dadap Wereng tentu marah
sekali mendengar pengkhianatan serupa itu,” berkata Ki Suradapa di dalam
hatinya, “dan agaknya kekasarannya akan membuat prajurit-prajurit itu
menderita.”
Tetapi Suradapa tidak dapat
berbuat apa-apa, karena Dadap Wereng adalah atasannya.
Dalam pada itu, Dadap Wereng
sama sekali tidak merasa cemas lagi terhadap keterangan yang dapat diberikan oleh
prajurit-prajurit itu. Yang mereka ketahui tidak lebih dari Ki Legawa. Kemudian
prajurit-prajurit itu sekedar menduga, bahwa Sanggabumi pun agaknya terlibat
pula. Ki Legawa dan Sanggabumi berusaha untuk saling melenyapkan. Tetapi
selebihnya dari Sanggabumi yang telah mati mereka tidak tahu siapa pun juga.
Menduga pun tidak akan mampu.
Dengan demikian maka Dadap
Wereng pun tidak segan-segan lagi bertindak seperti yang biasa dilakukannya
terhadap anak buahnya yang berbuat salah. Dan setiap keterangan yang keluar
dari mulut prajurit itu, membuat mereka menjadi semakin terdesak untuk
mengatakan sesuatu yang tidak mereka ketahui.
Namun apa pun yang mereka
katakan, mereka tidak akan pernah mengetahui bahwa Dadap Wereng itu sendiri
sebenarnya salah seorang dari para senapati yang telah menggerakkan mereka dari
balik tirai.
Sementara itu, selagi
orang-orang di Pajang sibuk membicarakan perkelahian yang tidak mereka ketahui
ujung pangkalnya, maka orang-orang Mataram menyambut kedatangan Ki Juru Martani
di ujung malam dengan berbagai pertanyaan. Kecuali kedatangannya membawa
seorang yang mencurigakan, juga karena Ki Juru membawa sebuah payung yang
ditutup dengan selongsong putih.
“Pamanda,” bertanya
Sutawijaya, ”apakah yang telah terjadi?”
“Perjalanan ayahandamu akan
terulang kembali atasku Sutawijaya,” jawab Ki Juru Martani.
“Maksud Pamanda, perjalanan
Pamanda juga dicegat oleh beberapa orang di pinggir Kali Opak?”
“Tidak di pinggir kali Opak.
Aku baru saja meninggalkan kota. Salah seorang dari mereka berhasil aku
tangkap. Ki Waskita-lah yang membuat sebuah permainan yang menarik.”
Wajah Sutawijaya menjadi
merah. Tetapi Ki Juru berkata, ”Jangan digoncangkan oleh perasaan semata-mata.
Kita masih akan menyelenggarakan pemakaman ayahandamu. Biarlah orang ini ditawan
dan dijaga sebaik-baiknya. Kita akan mengurus jenazah ayahmu.” Ki Juru Martani
berhenti sejenak, lalu, ”Bagaimana dengan keluarga yang lain? Apakah semuanya
sudah terkumpul?”
“Sudah, Pamanda. Keluarga dari
Sela sudah datang seluruhnya.”
“Jika demikian semuanya akan
dapat berlangsung sesuai dengan rencana.”
“Ya, Pamanda,” sahut
Sutawijaya. Tetapi ia pun tidak dapat menahan keinginannya untuk mengetahui,
payung apakah yang telah dibawa oleh Ki Juru Martani dan Ki Waskita itu.
“Apakah aku boleh mengetahui
serba sedikit?”
“Ini adalah songsong hadiah
dari Kanjeng Sultan Pajang.”
“Maksudnya?”
Ki Juru tersenyum. Sambil
berpaling kepada Ki Waskita ia berkata, ”Ah, sebaiknya setelah ayahandamu
dimakamkan, aku akan bercerita tentang perjalananku. Untunglah aku membawa
seorang pengawal yang luar biasa.”
“Ah,” desis Ki Waskta.
Sutawijaya menyadari bahwa
mereka sedang disibukkan oleh acara pemakaman ayahandanya. Jenazah Ki Gede
masih akan bermalam semalam lagi. Dan agaknya Ki Juru sudah menempuh perjalanan
yang sangat melelahkan. Ketika Ki Juru menginjakkan kakinya di pendapa, langit
menjadi semakin kelam, dan gelap yang pekat menyelubungi Tanah Mataram.
Betapa pun keinginan
orang-orang yang ada di pendapa itu untuk mendengar ceritanya, tetapi mereka
terpaksa menahan sampai kesempatan yang lain. Orang-orang tua yang menyambut
kedatangannya, kemudian mempersilahkannya membersihkan diri terlebih dahulu
bersama Ki Waskita, sebelum mereka di persilahkan makan malam, karena yang lain
telah mendahuluinya.
Ki Juru Martani dan Ki Waskita
pun kemudian pergi ke ruang belakang. Setelah mereka masing-masing mandi di
pakiwan, maka mereka pun duduk menghadapi makan malam yang sudah dingin. Tetapi
orang-orang di dapur sempat memanaskan sayur asam yang pedas dan pecel lele.
Ternyata bahwa selama keduanya
bersiap untuk makan, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung
ikut duduk pula bersama mereka, meskipun ketiganya telah makan lebih dahulu.
“Silahkan, Ki Juru,” berkata
Kiai Gringsing.
“Sebentar lagi tentu akan
datang tamu-tamu dari Pajang. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir
kepada Ki Gede Pemanahan. Aku kira sebelum tengah malam mereka sudah akan
datang.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Lalu ia pun bertanya, ”Siapa sajakah di antara mereka?”
“Sudah barang tentu
sahabat-sahabat Ki Gede. Para senapati dan pemimpin pemerintahan. Sayang
Kanjeng Sultan sendiri tidak dapat hadir.”
Kai Gringsing
mengangguk-angguk. Sementara Sumangkar bertanya, ”Jadi, orang-orang yang tidak
senang melihat perkembangan Mataram masih saja mencoba mengganggu? Untunglah Ki
Juru dan Ki Waskita sempat melepaskan diri dari mereka.”
“Agaknya mereka juga
tergesa-gesa,” berkata Ki Waskita, ”sehingga mereka sekedar berpegangan kepada
jumlah orang yang banyak. Ada seorang pemimpinnya yang mungkin memiliki
kemampuan yang dapat dipercaya. Namun kami dapat melepaskan diri, bahkan
menangkap salah seorang dari mereka.”
“Dengan sedikit permainan,” Ki
Juru Martani menyahut sambil tersenyum.
Kiai Gringsing pun tersenyum.
Dan Ki Demang Sangkal Putung menyambung, ”Agaknya jaring-jaring itu benar-benar
sudah mempunyai akar yang kuat di Pajang. Apakah kira-kira tawanan itu dapat
memberikan petunjuk tentang usaha pembunuhan itu? Terutama nama pemimpinnya?”
“Aku tidak tahu. Tetapi aku kira
sulit untuk menyadap keterangan daripadanya. Meskipun demikian orang itu
mungkin akan ada artinya.”
Yang mendengarkannya
mengangguk-angguk dengan hati yang berdebar-debar. Namun kemudian Kiai
Gringsing mempersilahkan Ki Juru Martani dan Ki Waskita yang masih belum juga
mulai untuk makan malam.
Meskipun kemudian mereka
menyenduk nasi ke dalam mangkuk dan kemudian mulai menyuapi mulut mereka, namun
Ki Sumangkar masih juga bertanya, ”Bagaimana dengan payung itu?”
Ki Juru Martani ragu-ragu
sejenak. Diedarkannya tatapan matanya ke sekelilingnya. Katanya, ”Aku akan
mengatakannya kepada Raden Sutawijaya pada kesempatan yang paling baik.” Ia
berhenti sejenak, lalu, ”Tetapi sebelumnya, aku tidak berkeberatan mengatakan
kepada orang-orang tua yang ada di dalam ruangan ini. Tetapi khusus dan tidak
akan sampai kepada siapa pun.”
Ki Sumangkar menarik nafas.
Dan Ki Juru Martani berkata, ”Maaf, bahwa aku telah memberikan pesan seperti
kepada anak-anak. Tetapi bukan maksudku untuk berbuat demikian.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, ”Tidak apa-apa, Ki Juru. Semuanya itu didorong oleh maksud baik, Ki
Juru.”
Ki Juru mengangguk-angguk.
Kemudian sesuap nasi masuk ke dalam perutnya. Katanya kemudian sambil memandang
Ki Waskita, ”Ki Waskita sajalah yang bercerita.”
“Ah,” desah Ki Waskita, ”aku
lebih baik makan saja, Ki Juru.”
Ki Juru tersenyum. Katanya,
”Baiklah. Aku sudah biasa makan sambil bercerita. Tetapi tentu ceritaku menjadi
lamban.”
Yang mendengar kata-kata itu
pun tersenyum pula. Tetapi mereka tidak menyahut.
Namun agaknya Ki Juru tidak
segera mengatakan apa yang dilihatnya di Pajang dan yang dialaminya di
sepanjang jalan. Baru setelah suap yang terakhir masuk ke dalam mulutnya dan
setelah ia meneguk minumannya dari mangkuk mulailah ia menceritakan serba sedikit
tentang perjalanannya. Yang terpenting bagi orang tua-tua itu adalah payung
yang dibawanya. Payung berselongsong putih itu.
“Payung itu berwarna kuning
seluruhnya,” berkata Ki Juru, ”payung yang melambangkan keagungan tertinggi
seperti warna payung Kanjeng Sultan sendiri.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bertanya, “Apakah ada pesan?”
“Angger Sutawijaya diwisuda di
luar kehadirannya menjadi Senapati Ing Ngalaga di Mataram.”
Yang mendengarkan keterangan
itu terdiam sejenak. Jabatan itu pada dasarnya adalah jabatan di dalam
lingkungan keprajuritan. Tetapi di balik jabatan itu, Sutawijaya telah disahkan
mendapat kekuasaan tertinggi di Mataram. Bahkan dengan songsong berwarna kuning
emas itu, agaknya Kanjeng Sultan telah memberikan perlambang bahwa Sutawijaya
yang kemudian bergelar Senapati Ing Ngalaga itu akan mendapat kekuasaan yang
lebih besar lagi. Bukan saja di Mataram, tetapi di seluruh daerah Pajang.
Namun agaknya masih terlampau
pagi untuk mempersoalkan maksud yang sebenarnya dari Kanjeng Sultan karena
Kanjeng Sultan sendiri mempunyai seorang putra laki-laki. Meskipun Pangeran
Benawa bukan seorang Pangeran yang kuat hatinya meskipun sebagai seorang putra
Mas Karebet yang kemudian menjadi Sultan Pajang, ia memiliki kemampuan ilmu
yang tinggi, namun masih banyak yang harus dipersoalkan antara putra angkatnya
dan putranya sendiri itu.
Dengan keterangan Ki Juru
Martani tentang songsong dan pesan Kanjeng Sultan, maka mereka yang
mendengarkan cerita itu mempunyai berbagai macam tanggapan. Namun mereka masih
menyimpannya di dalam hati karena semuanya masih tetap suram bagi mereka,
bahkan bagi Ki Juru Martani sendiri.
Dalam pada itu, setelah Ki
Juru dan Ki Waskita selesai dengan makan malam, maka Ki Juru pun kemudian
berkata, ”Kita masih akan mendapat tamu-tamu dari Pajang. Sebaiknya kita
bersiap menerima mereka dan mempersiapkan tempat bagi mereka, karena jika ada
di antara mereka yang lelah dan ingin beristirahat, kita sebaiknya menyediakan
satu dua bilik di gandok sebelah-menyebelah.”
“Siapa saja di antara
sahabat-sahabat Ki Gede itu, Ki Juru?” bertanya Ki Sumangkar.
“Aku tidak tahu dengan pasti.
Tetapi sahabat-sahabat Ki Gede itu benar-benar ingin memberikan penghormatan
yang tulus di saat terakhir.”
Demikianlah maka mereka pun
kemudian meninggalkan ruang belakang itu. Ki Juru pun kemudian minta agar
Sutawijaya memerintahkan mempersiapkan beberapa ruangan dan mempersiapkan
jamuan bagi tamu-tamu yang masih akan datang.
Seperti yang dikatakan oleh Ki
Juru, maka tamu-tamu yang dikatakan itu benar-benar datang menjelang tengah
malam. Raden Sutawjaya dan beberapa orang pengawal serta Agung Sedayu dan
Swandaru sibuk menerima kuda-kuda mereka dan menambatkannya di pinggir halaman.
Sedang orang-orang tua mempersilahkan mereka naik ke pendapa.
Kedatangan mereka ke Mataram
membuat keluarga Ki Gede Pemanahan menjadi berbesar hati. Meskipun mereka sudah
tidak berada di pusat pemerintahan lagi, namun kawan-kawan dan
sahabat-sahabatnya masih juga datang di saat terakhir kali.
Dan di antara para tamu yang
datang melayat itu terdapat seorang senopati yang berwajah tampan dengan sikap
rendah hati dan penuh pengertian atas kesusahan yang telah menimpa keluarga Ki
Gede Pemanahan, sehingga wajah yang tampan itu nampak muram dan sedih seperti
wajah langit yang dibayang oleh mendung yang tipis.
“Mengejutkan sekali,” berkata
senapati itu kepada Ki Juru Martani, ”aku sama sekali tidak menyangka. Karena
itu aku menyampaikan perasaan berduka cita yang sedalam-dalamnya.”
“Terima kasih,” berkata Ki
Juru dengan tulus. Kemudian dipersilahkan senapati itu duduk pula di pendapa
bersama dengan tamu-tamu yang lain. Ia sama sekali tidak menaruh prasangka apa
pun terhadap senapati yang ramah-tamah di dalam pergaulan sehari-hari. Penuh
pengertian dan bersahabat dengan setiap orang itu.
Sinapati itu adalah senapati
pilihan. Tandangnya di peperangan agak berlawanan dengan sikapnya sehari-hari,
karena di peperangan, senapati itu oleh kawan-kawannya sering disebut Pencabut
Nyawa.
Dan nama senapati itu adalah
Sorohpati.
Tidak ada seorang pun yang
pernah menyangka bahwa Sorohpati sebenarnya adalah tangan kanan orang yang
sering disebut Kakang Panji. Ia adalah kawan yang baik dari Dadap Wereng dan
Sanggabumi yang telah terbunuh. Tetapi sikap Sorohpati agak berbeda dengan
sikap Dadap Wereng yang kasar. Ia adalah seorang senapati yang sangat menarik
perhatan. Ia selalu tersenyum dan tertawa. Kadang-kadang justru merendah dan
sama sekali tidak mengagung-agungkan pangkat senapatinya.
Namun di balik itu semua, ia
benar-benar seorang pencabut nyawa yang tidak ada duanya di Pajang. Bukan saja
di peperangan. Tetapi di mana pun ia kehendak.
Kedatangannya di Mataram
bersama-sama dengan para pemimpin dan senapati yang melayat adalah dalam rangka
tugas yang diberikan oleh kelompoknya di bawah pimpinan orang yang disebutnya
Kakang Panji. Ia tahu bahwa ada seorang prajurit yang tertangkap. Dan ia tahu
bahwa Ki Juru telah membawa sebuah payung berselongsong putih dari dalam
istana. Tetapi ia tidak tahu bahwa Sanggabumi telah terbunuh oleh Ki Legawa
meskipun Dadap Wereng kemudian telah memerintahkan seorang penghubung untuk
memberikan berita itu kepadanya dan perintah-perintah selanjutnya dari orang
yang disebut Kakang Panji. Tetapi penghubung itu masih belum berhasil
menghubungnya dan menyampaikan semuanya itu kepadanya, meskipun ia berhasil
sampai pula ke Mataram dengan selamat.
Sorohpati yang berada di
Mataram itu mendapat tugas untuk mengetahui, apakah arti payung itu bagi Ki
Gede yang telah meninggal atau bagi Sutawijaya. Kemudian ia harus mengetahui
pula kekuatan dan kemampuan yang sebenarnya tersimpan di Mataram.
Untuk menghormati Ki Gede
Pemanahan yang akan dimakamkan dengan segala kehormatan itu, maka sebagian
besar kekuatan di Mataram akan nampak. Senapati-senapati tertinggi dan
pengawal-pengawalnya yang terpilih akan dapat dikira meskipun hanya sepintas
dan dalam bentuk dan ujud kasarnya saja.
Malam itu, para tamu setelah
mendapat jamuan sekedarnya dipersilahkan beristirahat di bilik-bilik yang sudah
disediakan. Besok mereka akan ikut serta memberikan penghormatan pada saat Ki
Gede dimakamkan.
Dalam biliknya, beberapa orang
pemimpin dari Pajang itu masih sempat menilai sikap Raden Sutawijaya. Berbeda
dengan yang mereka gambarkan, bahwa Sutawijaya menjadi sombong dan angkuh tanpa
bersedia datang menghadap lagi ke Pajang. Tetapi ternyata Sutawjaya masih tetap
Sutawijaya yang dahulu. Bahkan ia masih dengan rendah hati menerima kedatangan
para pemimpin dari Pajang, bahkan menerima kuda-kuda mereka.
“Sikapnya tidak mudah
dimengerti,” desis seorang dari mereka.
Sorohpati mendengar
pembicaraan itu dengan acuh tak acuh. Ia bahkan berbaring di sebuah pembaringan
yang disediakan untuknya bersama-sama dengan beberapa orang senapati yang lain,
seolah-olah ia tidak mendengar pembicaraan itu sama sekali. Namun dengan
demikian, ia dapat menjajagi tanggapan para pemimpin Pajang sendiri terhadap
Raden Sutawijaya.
“Apakah arti payung yang
dibawa oleh Ki Juru?” tiba-tiba saja seorang dari mereka bertanya di antara
kawan-kawannya.
Yang lain menggeleng. Dan
seorang senapati yang sudah separo baya berkata, ”Tidak ada seorang pun yang
tahu. Tetapi, kita tidak dapat mengabaikan cerita-cerita yang pernah aku
dengar. Meskipun cerita itu sekedar desas-desus.”
“Tentang apa?”
“Raden Sutawijaya,” sahut senapati
itu, ”tetapi aku tidak berani mengatakannya semasa hidup Ki Gede Pemanahan. Aku
adalah orang yang sangat hormat dan kagum kepadanya. Baik ia sebagai manusia
maupun pada saat Ki Gede menjadi panglima di Pajang.”
“Apa?” yang lain ingin
mendengar,
“Tentu di antara kalian ada
yang pernah mendengar, siapa sebenarnya Raden Sutawijaya itu.”
“Ah,” tiba-tiba seorang
perwira yang bertubuh tinggi berdesis, ”cerita khayalan yang tidak masuk akal.”
“Kau sudah mendengar?”
bertanya yang lain.
“Ya, Aku pernah mendengar
dongengan tentang Raden Sutawijaya. Pada saat Raden Sutawjaya lahir, Kanjeng
Sultan secara kebetulan mengunjunginya. Itulah sumber dari dongeng ngayawara
itu.”
Perwira yang sudah separo baya
itu tersenyum. Seolah-olah ia yakin bahwa ia mengetahui lebih banyak dari
cerita tentang secara kebetulan itu.
“Apa yang kau dengar?”seorang
senapati yang lain mendesak.
“Kau masih terlalu muda untuk
mengetahui,” perwira yang lain lagi menyahut, ”aku juga sudah mendengar. Tetapi
aku pun menganggap bahwa cerita itu tidak benar.”
“Tetapi bukankah kalian juga
mengetahui bahwa saat ini tombak Kanjeng Kiai Pleret ada di Mataram? Dan kalian
juga melihat songsong yang dibawa oleh Ki Juru Martani itu?”
“Tetapi kita belum melihat
warna payung itu.”
Perwira yang separo baya itu
mengangguk-angguk. Katanya, ”Ya. Kita belum melihat.”
Seorang senapati yang masih
muda menunggu cerita yang akan dikatakan oleh perwira yang lebih tua itu.
Tetapi ternyata ia masih tetap berdiam diri.
Tidak ada orang yang
menanyakan lagi kepadanya. Agaknya mereka ragu-ragu untuk membicarakannya.
Bahkan beberapa orang pun kemudian bergeser dan duduk di antara mereka,
membicarakan masalah-masalah yang lain.
Tetapi perwira yang sudah
separo baya itu agaknya tidak merasa lelah dan mengantuk sama sekali, meskipun
tengah malam sudah lewat. Bahkan ia pun kemudian berdiri di depan pintu butulan
memandang ke dalam kegelapan di luar sinar obor yang ada di regol nampak
memerah pada dedaunan. Dan sekali-sekali ia masih melihat beberapa orang yang
masih saja sibuk menyiapkan pemakaman Ki Gede Pemanahan besok.
Namun agaknya udara yang panas
telah mendorongnya untuk melangkah keluar pintu. Sambil mengibaskan bajunya
perwira itu merasakan udara yang agak sejuk di luar.
Tetapi di luar dugaannya,
senapati muda yang menunggu ceritanya itu pun mengikutinya. Bahkan kemudian
sambil menggamitnya ia bertanya, “Ceritamu agaknya sangat menarik.”
“Cerita tentang apa?”
“Raden Sutawijaya.”
“Ah, hanya desas-desus.”
“Ya, desas-desus itu. Aku
benar-benar belum pernah mendengar.”
Perwira itu melayangkan
tatapan matanya ke sekelilingnya.
“Tidak ada orang lain.”
Perwira yang sudah separo baya
itu tertawa pendek. Katanya, ”Kenapa kau begitu bernafsu untuk mengetahui?”
“Tidak apa-apa.”
Perwira yang sudah separo baya
itu tidak segera mengatakan apa-apa. Apalagi ketika datang seorang senapati
yang agaknya merasa kepanasan pula di dalam ruangan.
Sambil membungkuk dengan
ramahnya, senapati itu berkata, ”Ah, Kakang ada di sini pula.”
“Ya. Udara serasa membakar
kulit.”
Senapati yang menyusul itu pun
tersenyum. Katanya, ”Ya, Kakang. Memang udara terasa sangat panas. Apakah
Kakang akan mandi?”
“Ah,” desis perwira yang masih
muda, ”kita dapat menjadi sakit jika kita mandi di dalam udara yang panas
begini, apalagi di malam hari.”
“Memang tidak begitu baik
untuk mandi”
Senapati muda itu menjadi
gelisah. Jika ada orang lain maka perwira separo baya itu tentu tidak mau
mengatakannya. Karena itu maka ia pun kemudian bertanya kepada senapati yang
menyusul kemudian, ”Apakah Kakang akan berjalan-jalan?”
“O, tidak.”
“Di regol masih banyak
pengawal yang berjaga-jaga. Barangkali asyik juga berbicara dengan mereka.”
Senapati yang datang kemudian
itu tersenyum. Sikapnya memang terlampau ramah, ”Tidak, Adi. Ah, agaknya aku
lebih senang berada di sini. Apakah Adi berkeberatan?”
Senapati muda itu menjadi
bingung. Katanya, ”Tentu tidak. Tetapi ….?” Senapati itu tidak melanjutkannya.
Perwira yang baru datang itu
tertawa. Katanya, ”Maaf, Adi. Aku tidak ingin mengganggu. Sama sekali tidak.”
Senapati yang masih muda itu
termangu-mangu. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat menyuruh orang
lain itu pergi hanya karena ia ingin mendengarkan sebuah cerita.
Apalagi kemudian perwira yang
baru datang itu tertawa sambil berkata, ”Tetapi sebenarnyalah bahwa aku juga
ingin mendengar dongeng itu.”
“Dongeng apa?” senapati muda
itu bertanya.
“Maaf, Adi,” perwira itu
menunduk sejenak, lalu, ”aku menduga bahwa Adi memang menyusul Kakang Senapati
untuk mendengarkan desas-desus itu. Tiba-tiba saja timbul pula keinginanku. Dan
sudah tentu Kakang Senapati tidak akan menolak. Pada dasarnya Kakang Senapati
sudah mengatakan, bahwa itu hanya sekedar desas-desus yang tidak dapat
dipertanggung-jawabkan dan dibebankan kepada siapa pun.”
Perwira yang sudah separo baya
itu pun tertawa. Katanya, ”Adi Sorohpati. Apakah kau juga tertarik kepada
sebuah dongeng saja?”
Perwira yang tidak lain adalah
Sorohpati itu tersenyum pula. Katanya, ”Untuk melengkapi khayal menjelang
tidur, apakah salahnya mendengarkan sebuah dongeng tentang desas-desus yang
mana pun juga. Apalagi desas-desus tentang orang besar.”
Dan perwira yang separo baya
itu berkata, ”Aku tidak berkeberatan untuk mengatakan. Apa salahnya? Seperti
yang kau katakan, Adi Sorohpati, tidak ada yang dapat dibebani tanggung jawab
tentang desas-desus serupa ini.”
Senapati yang masih muda itu
pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Jika Kakang tidak berkeberatan.”
Perwira yang sudah agak lanjut
itu pun berkata, ”Aku memang tidak berkeberatan. Tetapi memang sebaiknya
desas-desus semacam ini tidak usah dikembangkan lebih luas lagi.”
“Baik, Kakang. Aku berjanji,”
berkata perwira yang masih muda.
Tetapi Sorohpati berkata,
”Bukankah Kakang juga mendengar pesan itu ketika ada orang yang menceritakannya
kepada Kakang.”
Senapati yang sudah separo
baya itu justru tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, ”Memang begitulah
agaknya. Tetapi aku masih ingat betul, siapakah yang mengatakan kepadaku. Jika
pada suatu saat ada tuntutan pertanggungan jawab dan ditelusur siapakah sumber
cerita itu, aku masih akan dapat menunjukkan siapakah orangnya. Tetapi
barangkali lebih aman bagiku jika apabila salah seorang dari kalian menunjuk
aku yang telah menceritakan kepada kalian, maka aku akan ingkar. Dan kalian aku
tuduh telah memfitnah aku.”
Sorohpati tertawa, dan
senapati yang masih muda itu pun tersenyum masam.
“Sekarang, sebaiknya Kakang
bercerita saja,” berkata Sorohpati. ”Sebentar lagi malam sudah akan menjelang
dini hari. Jika masih sempat, aku ingin berbaring lagi barang sejenak.”
“Bukankah Adi Sorohpati
seorang senapati yang gemblengan? Yang biasa di medan perang tanpa tidur tiga
hari tiga malam bahkan lebih.”
“Di peperangan, Kakang. Tetapi
jika disediakan pembaringan, rasa-rasanya ingin juga memejamkan mata.”
Perwira itu tertawa lagi.
Katanya kemudian, ”Baiklah. Dengarlah. Aku ingin menceritakan desas-desus
tentang Raden Sutawijaya.”
“Bahwa Raden Sutawijaya akan
mewarisi kerajaan karena ayahnya minum kelapa muda yang dipetik oleh Kiai Ageng
Giring?”
Perwira yang sudah separo baya
itu mengerutkan keningnya. Lalu, ”Ya. Itu sebagian. Memang Raden Sutawijaya
mempunyai harapan terbesar untuk merajai tanah ini. Bukankah sudah takdir harus
berlaku demikian? Kiai Ageng Giring-lah yang mendengar suara dari batang kelapa
yang hanya berbuah satu butir sepanjang hidupnya, yang mengatakan bahwa barang
siapa yang dapat meneguk air kelapa muda itu sampai habis sekaligus, ia akan
dapat menurunkan raja-raja terbesar di tanah ini. Kiai Ageng Giring dengan
serta-merta memetik buah itu dan menyimpannya di rumah. Ia pergi untuk
menghauskan diri dengan bekerja di sawah setelah berpesan, tidak seorang pun
boleh mengambil kelapa muda itu. Tetapi yang terjadi adalah di luar kemampuan
manusia untuk menolaknya. Kiai Ageng Pemanahan-lah yang kemudian datang dari
perjalanan yang panjang. Betapa hausnya sehingga tanpa minta ijin ia telah
meneguk kelapa muda itu sekaligus sampai tuntas.”
“O,” senapati yang muda itu
mengerutkan keningnya. Katanya, ”Betapa marahnya Kiai Ageng Giring kepada Ki
Gede Pemanahan.”
“Tentu,” Sorohpati tersenyum,
”marah sekali. Jika ia mampu, Ki Gede tentu dibunuhnya. Juga Nyai Ageng Giring
sendiri.”
“He, kenapa Nyai Ageng
Giring?”
Sorohpati tertawa. Tetapi
perwira yang sudah separuh baya itu mendahului, ”Ia sudah memberikan kelapa
muda itu. Atau setidak-tidaknya tidak mempertahankannya sebaik-baiknya.”
“Kenapa Kakang Sorohpati
tertawa?” bertanya perwira muda itu.
“Tidak apa-apa. Bukankah itu
suatu kepahitan?”
“Tetapi kenapa harus
ditertawakan?”
“Kau sangka bahwa hal itu terjadi
sebenarnya atas sebutir kelapa muda?”
“He.”
“Ya,” perwira yang sudah
separo baya itu memotong, ”itu terjadi sebenarnya atas sebutir kelapa muda.
Kiai Ageng Giring pun mendengar sebenarnya suara itu. Jangan mencari arti yang
lain yang dapat memburamkan kejadian yang sebenarnya itu.”
Sorohpati masih tertawa.
Meskipun tidak terlalu keras, namun nada tertawanya mengandung arti yang
tersendiri. Apalagi kemudian ia berkata, ”Adi. Itulah orang yang bernama Ki
Gede Pemanahan yang sekarang meninggal dunia. Yang telah berhasil membuka hutan
Mentaok.”
“Ah,” perwira yang sudah
separo baya itu memotong, ”aku sudah mengatakan, jangan mencari arti yang lain
dari sebutir kelapa muda itu sendiri.”
Sorohpati mengerutkan
keningnya. Tetapi ia pun tertawa pula. Nadanya semakin tinggi di antara
kata-katanya, ”Apa salahnya kita mempunyai gambaran yang sebenarnya tentang Ki
Gede Pemanahan? Ia bukan orang yang sepi dari kesalahan. Dan ia sudah membuat
kesalahan seperti anaknya yang membuat kesalahan serupa atas gadis dari
Kalinyamat itu.”
Tiba-tiba saja sebelum
Sorohpati selesai berbicara, perwira muda itu meloncat maju sambil menggeram,
”Kakang Sorohpati. Kau menghina Ki Gede Pemanahan. Justru pada saat ia akan
dimakamkan hari ini. Kita datang untuk menghormatinya. Tidak menghinanya. Kau
dapat berkata apa pun juga terhadap Raden Sutawijaya. Tetapi tidak terhadap Ki
Gede Pemanahan.”
Sorohpati memandang perwira
muda itu dengan tajamnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, ”Ah maaf,
Adi. Bukan maksudku demikian. Kadang-kadang aku hanyut dalam sikap yang
barangkali tidak baik dipandang. Tetapi itu semata-mata didorong oleh sikap
batinku. Sebagai seorang ksatria Pajang aku menghormati trapsila dan sopan
santun. Aku memang tidak senang melihat siapa pun yang menodai dirinya sendiri
dengan perbuatan serupa itu. Tetapi itu bukan berarti aku tidak menghormatinya.
Aku sadar, bahwa itu adalah suatu kekhilafan. Dan orang yang melakukannya telah
mendapat hukuman dari penyesalan mereka sendiri.” Ia berhenti sejenak, lalu,
”Sekali lagi aku minta maaf bahwa aku sudah terdorong kata. Sama sekali bukan
maksudku untuk menghinanya.”
Perwira yang masih muda itu
masih berdiri tegang. Namun kemudian perwira yang sudah separo baya itu
menggamitnya sambil berkata, ”Jangan bertengkar. Bukankah kita sudah bersiap
untuk mendengarkan desas-desus. Terserahlah kepada kita masing-masing. Apakah
kita masing-masing percaya atau tidak.”
Perwira yang masih muda itu
menarik nafas dalam-dalam. Dan Sorohpati pun membungkuk dalam-dalam sambil
berkata, ”Aku tidak sengaja mengatakannya.”
“Sudahlah. Sebentar lagi ayam
jantan akan berkokok.”
“Tetapi,“ perwira yang masih
muda itu memotong, ”Kakang belum mengatakan apa-apa.”
Perwira itu tersenyum. Lalu,
”Jika aku mengatakannya, bukan maksudku menghina Ki Gede Pemanahan. Tetapi
semata-mata mengatakan bahwa desas-desus itu ada.”
“Ya.”
“Tentang Raden Sutawijaya.
Kenapa ia bernama Sutawijaya?”
“Ya, kenapa? Bukankah nama itu
wajar.”
“Ia adalah putera Hadiwijaya,”
desis Sorohpati.
“Tentu tidak harus berarti
demikian,” sahut perwira yang masih muda itu. ”Jika artinya demikian apa
salahnya karena sejak lahir ia sudah diangkat menjadi putra Sultan Pajang.”
Perwira yang sudah separo baya
itu pun tertawa pula. Katanya, ”Sudah aku katakan. Kita masing-masing dapat
percaya atau tidak. Tetapi agaknya Adi Sorohpati sudah mendengar desas-desus
itu.”
“Jika yang dimaksud adalah
bahwa Sutawijaya itu putra Sultan Pajang, aku sudah mendengar, Kakang. Aku kira
ada desas-desus lain yang lebih menarik.”
Perwira yang masih muda itu
menjadi tegang. Lalu, ”Kenapa desas-desus itu timbul?”
“Pada saat Ki Gede Pemanahan
bertapa, maka sahabatnya seperguruan yang merayap menjadi orang besar di Pajang
selalu mengunjungi padukuhannya. Tentu ia tidak sampai hati melihat Nyai Gede
Pemanahan yang saat itu masih muda dan cantik menjadi kesepian.”
“Bohong,” desis perwira yang
masih muda itu, ”itu fitnah.”
“Ah, sudahlah. Aku sudah tidak
ingin menceritakannya. Tetapi kau memaksa,” jawab perwira yang sudah separo
baya itu, ”dan bukankah sudah aku katakan bahwa yang aku katakan itu sekedar
desas-desus. Dan desas-desus ini dikuatkan oleh saat kelahiran Raden
Sutawijaya. Bayi itu tidak segera mau lahir. Ibunya mengalami kesulitan. Tetapi
ketika Sultan Pajang datang dan mengusap kepala Nyai Gede Pemanahan, maka bayi
itu pun lahir.”
“Bukan sekedar mengusap,”
sahut Sorohpati, ”tetapi kepala ibu yang sedang melahirkan itu dipangkunya. Dan
bayi itu pun segera lahir.”
”Bohong, bohong kau,” wajah
perwira muda itu menjadi merah.
“Tunggu,” perwira yang sudah
separo baya itu menyabarkannya. ”Seribu kali aku katakan. Itu hanya sekedar
desas-desus. Hanya itu. Dan karena itulah maka Kanjeng Sultan sangat mengasihi
Raden Sutawijaya. Tentu songsong yang dibawa Ki Juru Martani itu pun songsong
kebesaran pula.”
“Kalian tidak mau berpikir,”
bantah perwira muda itu, ”desas-desus itu saling bertentangan. Jika benar Ki
Gede Pemanahan mengambil kelapa muda, apa pun artinya dan yang kelak akan
menurunkan raja yang berkuasa di tanah ini maka tentu bukan Raden Sutawijaya-lah
yang akan menjadi besar dan memerintah Mataram sebagai pancadan kekuasaannya
kelak. Dan bukan Sutawijaya-lah yang menerima songsong kebesaran itu seandainya
benar, karena menurut desas-desus yang kemudian Raden Sutawijaya adalah putra
Kanjeng Sultan Pajang. Itu berarti, bahwa ia bukan keturunan Ki Gede
Pemanahan.”
Perwira yang sudah separo baya
itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Sorohpati yang termangu-mangu pula.
Sementara itu senapati muda itu masih berkata, ”Nah, apakah yang dapat kita
yakini dari desas-desus itu? Bukankah sama sekali tidak masuk akal?”
Perwira yang sudah separo baya
itu mengangguk-angguk. Katanya, ”Ya, Agaknya memang demikian. Jika Sutawijaya
itu bukan putra Pemanahan sendiri, maka sama sekali tidak ada hubungannya
dengan kelapa muda itu, karena menurut suara yang didengar oleh Kiai Ageng
Giring, mereka yang dapat meneguk air kelapa itu sekaligus, ia akan menurunkan
raja-raja yang akan berkuasa di tanah ini.”
Tetapi tiba-tiba Sorohpati
tertawa. Katanya, ”Kenapa kita risaukan desas-desus itu. Namanya memang
desas-desus. Mungkin sumber desas-desus itu pun bukan hanya seorang. Mungkin
dua atau tiga, yang masing-masing mempunyai kebenarannya sendiri dan mungkin
juga beberapa tambahan yang tidak meyakinkan.”
“Maksudmu?” bertanya senapati
muda itu.
“Mungkin juga Ki Gede
Pemanahan singgah dirumah Kiai Ageng Giring pada saat Kiai Ageng Giring tidak
ada. Kemudian timbul desas-desus tentang kelapa muda yang dapat menurunkan
raja-raja itu. Itulah yang barangkali tidak dapat kita percaya.”
“Tentang kelapa muda itu?”
“Ya. Tetapi peristiwa yang
terjadi di balik pintu rumah Kiai Ageng Giring tidak dapat diketahui oleh siapa
pun.”
“Bohong. Kau telah
mereka-reka. Kau pandang segalanya dari sudut yang buram.”
Sorohpati tertawa pula. Katanya,
”Tidak. Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya mengatakan bahwa yang terjadi
tidak seorang pun yang mengetahuinya.” Senapati itu berhenti sejenak, lalu,
”Kemudian tentang Raden Sutawijaya. Jika itu merupakan hukum balas-berbalas,
maka yang dilakukan oleh Sultan Pajang itu adalah buah dari pekerjaan sendiri
yang dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan. Sudah barang tentu tidak ada
hubungannnya, siapakah yang sebenarnya akan menurunkan raja-raja di tanah ini.”
“Kau bohong. Kau mengigau,”
senapati muda itu meloncat ke hadapan Sorohpati dengan wajah yang merah padam.
Sambil mengacungkan tangannya ke hadapan wajah Sorohpati ia berkata, ”Kau sudah
memberikan arti yang buruk dari desas-desus itu. Aku tidak menolak cerita yang
dikatakan oleh Kakang Senapati. Ia benar-benar menceritakan sebuah desas-desus.
Tetapi ia tidak memberikan arti tersendiri seperti kau.“
Sorohpati mengerutkan
keningnya. Ia tidak senang melihat sikap senapati muda itu. Tetapi ia justru
surut selangkah sambil membungkuk dalam-dalam. ”Aku minta maaf, Adi. Bukan
maksudku berbuat demikian. Mungkin aku dapat kau anggap mempunyai maksud buruk.
Tetapi sebenarnya tidak sama sekali, karena yang aku katakan itu pun sekedar
yang aku dengar. Desas-desus itu sudah dilengkapi dengan cerita tentang
hubungan yang masih disamarkan itu.”
“Persetan,” bentak senapati
yang masih muda itu, ”seharusnya Kakang Sorohpati tidak menceritakan kepada
siapa pun. Aku yakin bahwa cerita itu mempunyai tujuan tertentu untuk
menjatuhkan nama Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya.”
“Adi,” Sorohpati nampaknya
masih sareh, ”kenapa kau hanya marah kepadaku saja. Bukankah Kakang Senapati
juga mengatakan desas-desus itu? Coba, apa yang dapat dikatakan tentang Raden
Sutawijaya. Apa hubungannya dengan saat kelahirannya? Nah, tentu arah ceritanya
juga akan ke sana.”
Perwira yang sudah separo baya
itu kemudian berkata dengan hati-hati, ”Sudahlah. Sebaiknya kita tidak
meributkan suara yang tidak berujung pangkal itu. Sejak semula aku sudah
mengatakan bahwa itu hanya sekedar desas-desus. Kita dapat percaya dan dapat
tidak. Aku memang tidak bermaksud menghubungkan kedua macam desas-desus itu.
Tetapi sudahlah. Kita jangan membicarakannya lagi. Sebaiknya kita sekarang
beristirahat. Besok kita akan memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Gede
Pemanahan. Karena itu marilah kita tidak mengotori angan-angan kita dengan
desas-desus yang tidak dapat diyakini kebenarannya.”
“Bukan tidak dapat diyakini
kebenarannya. Tetapi aku yakin bahwa cerita itu bohong.”
“Nah, lebih baik begitu. Kita
harus mempunyai sikap terhadap sebuah desas-desus. Karena itulah sebenarnya aku
ragu-ragu mengatakannya di hadapan orang banyak. Aku takut jika akan timbul
pertengkaran karena mereka mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap
desas-desus itu.”
Senapati yang masih muda itu
tidak menyahut lagi, sedangkan Sorohpati tersenyum sambil berkata, ”Baiklah.
Marilah kita pergunakan waktu yang sedikit ini untuk beristirahat. Besok kita
akan memberikan penghormatan terakhir. Kemudian kita akan kembali ke Pajang.”
“Mungkin lusa,” berkata
perwira yang sudah separo baya itu.
“Ya, mungkin lusa,” sahut
Sorohpati. Dan di dalam hatinya ia berkata, ”Sebaiknya memang lusa. Aku masih
ingin banyak melihat dan mendengar di Mataram ini. Lebih baik jika aku sempat
menemukan tempat anak buah Legawa di tahan. Mungkin aku dapat memotong jalur
itu langsung di ujungnya, sebelum persoalannya menjalar ke mana-mana. Meskipun
barangkali Legawa sudah dimusnahkan pula.”
Demikianlah senapati-senapati
itu pun kemudian masuk kembali ke dalam biliknya. Namun senapati muda itu masih
saja dipengaruhi oleh desas-desus yang didengarnya. Rasa-rasanya sikap
Sorohpati memang agak lain dengan perwira yang sudah separo baya itu.
Bagi senapati muda itu,
perwira yang sudah separo baya itu menceriterakan desas-desus yang didengarnya
sebagaimana ia bercerita tanpa tujuan dan maksud tertentu. Tetapi bagi senapati
muda itu, sikap Sorohpati memang berbeda. Sorohpati dengan sengaja telah
mengambil kesimpulan yang buram dari desas-desus itu.
Tetapi senapati muda ttu tidak
tahu maksudnya. Apakah senapati yang bernama Sorohpati itu dengan sengaja ingin
menyuramkan nama Ki Gede Pemanahan, atau memang ia seorang yang senang menilai
orang lain dengan caranya.
Ketika senapati muda itu
kemudian mengangkat kepalanya, dilihatnya Sorohpati sudah berbaring di
pembaringannya. Bahkan agaknya ia sudah tertidur dengan nyenyaknya, seolah-olah
tidak ada lagi yang dipikirkannya.
Senapati muda itu menarik
nafas dalam-dalam. Ketika kemudian ia melihat senapati yang sudah separo baya
itu pun tertidur pula di antara kawan-kawannya yang lain, maka ia pun berkata
kepada diri sendiri, ”Agaknya aku memang terlampau tajam menanggapi desas-desus
itu. Sorohpati agaknya sama sekali tidak menghiraukannya lagi.”
Ia pun kemudian berbaring pula
di pembaringannya. Tetapi untuk beberapa saat lamanya ia tidak dapat tertidur
juga. Ia masih mendengar beberapa orang hilir-mudik di luar dan di longkangan.
Bahkan kemudian ia mendengar suara seseorang yang berdri di muka pintu bilik
itu.
“Tentu keluarga KI Gede Pemanahan
yang sibuk menyiapkan upacara pemakaman besok pagi,” pikir senapati muda itu.
Baru sesaat menjelang pagi,
senapati muda itu dapat tertidur barang sesaat.
Tetapi yang sesaat itu telah
memberi kesempatan kepada Sorohpati untuk mendengarkan isyarat sandi di luar
pintu. Seolah-olah seseorang yang berbicara di antara orang-orang yang sedang
sibuk. Tetapi orang itu hanyalah seorang diri.
Beberapa kali hal itu terjadi,
tetapi Sorohpati tidak berbuat sesuatu. Baru setelah ia yakin, bahwa
orang-orang lain telah tertidur nyenyak, barulah ia pergi ke luar pintu.
Di luar pintu ia melihat
seseorang yang duduk sambil menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia
mendekatinya dan bertanya, ”He, siapa kau?”
Orang itu menengadahkan
kepalanya dan berkata, ”Aku, Ki Sorohpati.”
“Kau siapa?”
“Aku mendapat perintah dan Ki
Rambatan.”
Sorohpati mengangguk-angguk.
Lalu, ”Apakah kau sudah mengenal aku?”
“Tentu sudah, Ki Sorohpati.
Aku adalah seorang prajurit yang banyak mengenal senapati perang, yang apalagi
memiliki kelebihan seperti Ki Sorohpati.”
“Kau mendapat pesan khusus
dari Ki Rambatan.”
“Ya. Aku mendapat pesan khusus
dari Ki Rambatan.”
“Pesan apa?” bertanya Ki
Sorohpati, ”dan dari mana kau tahu bahwa kau harus berbicara dengan dirimu
sendiri untuk memberikan isyarat agar aku mengenalmu?”
“Ki Rambatan telah berpesan
demikian.”
“Aku tidak kenal dengan Ki
Rambatan,” bentak Sorohpati meskipun tidak terlalu keras, ”tetapi pesan apakah
yang kau bawa?”
Orang itu menjadi heran.
Bahkan ia bertanya, ”Kenapa Ki Sorohpati tidak kenal dengan Ki Rambatan.”
“Aku memang mengenalnya.
Tetapi sekedar menganggukkan kepala jika berjumpa di tengah jalan. Tetapi aku
belum mengenalnya secara pribadi,” sahut Sorohpati. ”Nah, katakan. Apakah
pesannya?”
“Aku harus memberitahukan
bahwa Ki Legawa telah meninggal.”
“Ki Legawa? Kenapa?”
Prajurit itu pun segera
menceritakan apa yamg sudah terjadi dengan Ki Legawa. Tetapi yang dapat
diceritakannya hanyalah sekedar yang nampak. Bahwa K Legawa dan seorang lurah
prajurit meninggal sampyuh dengan Ki Sanggabumi.
Sejenak Ki Sorohpati menegang.
Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, ”Berita yang
menyedihkan bagi Pajang. Tetapi aku tidak tahu, kenapa aku harus mendapat pesan
khusus tentang hal itu. Terima kasih. Apakah aku harus menyampaikan kabar ini
kepada senapati yang lain?”
Prajurit itu menjadi bingung.
Tetapi ia menjawab, ”Aku tidak mengerti. Aku hanya mendapat pesan khusus bagi
Ki Sorohpati.”
“Baiklah. Terima kasih. Apakah
ada pesan lain?”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak,
lalu, ”Ki Sorohpati. Meskipun aku tidak mendapat pesan tersendiri tentang sifat
perjalananku, tetapi rasa-rasanya perjalananku adalah perjalanan rahasia. Aku
tidak boleh menemui siapa pun selain Ki Sorohpati. Aku mendapat petunjuk
bagaimana sikapku agar aku segera dapat dikenal. Tetapi agaknya Ki Sorohpati
menerima pesanku seolah-olah bukan persoalan yang harus dirahasiakan.”
“Apa yang harus dirahasiakan?”
bertanya Sorohpati, ”bukankah banyak orang yang melihat apa yang telah terjadi.
Legawa dan Sanggabumi mati di tengah sawah. Manakah yang dapat dirahasiakan.”
Prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebenarnyalah bahwa ia tidak mengerti,
bahwa berita itu memberitahukan kepada Sorohpati, bahwa kematian Ki Legawa dan
Sanggabumi telah memutuskan jalur penghubung antara tawanan yang ada di Mataram
dengan pimpinan kelompoknya yang disebutnya Kakang Panji.
“Tetapi orang yang disebut
Rambatan tentu sebuah saluran baru yang setiap saat perlu diputuskan pula,”
katanya di dalam hati.
Tetapi Sorohpati percaya
kepada Dadap Wereng dan orang yang disebutnya Kakang Panji. Mereka tidak akan
memilih sembarang orang. Dan sebenarnyalah bahwa Sorohpati memang sudah
mengenal Ki Rambatan. Tetapi ia tidak boleh terlampau percaya kepadanya dan
kepada orang yang membawa berita itu.
“Setelah pesan ini sampai
kepadaku, apakah yang harus kau lakukan?”
“Kembali secepatnya ke
Pajang.”
Ki Sorohpati
mengangguk-angguk. Lalu, ”Hati-hatilah. Jika kau menarik perhatian dengan sikap
bodohmu, maka kau tentu akan ditangkap.”
“Apakah yang dapat menarik
perhatian?”
“Berita yang kau anggap rahasa
itu. Tetapi jika demikian, maka kau benar-benar harus merahasiakan. Aku tidak
tahu, apakah kepentingan Ki Rambatan dengan rahasia itu.” Sorohpati berhenti
sejenak, lalu, ”Tetapi jika ia memang menganggap rahasia, maka kau harus
merahasiakannya, agar kau tidak melanggar perintahnya. Karena kau dapat jatuh
ke dua tangan dengan akibat yang sama. Ditangkap oleh orang-orang Mataram, atau
oleh Ki Rambatan sendiri. Akibatnya, kepalamu akan dipenggal.”
Orang itu menjadi semakin
bingung. Katanya, ”Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa Ki Rambatan dapat
menangkap aku.”
“Jika kau melanggar pesannya,”
“Bagaimana jika Ki Sorohpati
yang melanggar?”
Ki Sorohpati mengerutkan
keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, ”Aku bukan kanak-kanak.
Percayalah. Tetapi kau memang harus berhati-hati. Apakah ada pesan lain?”
Prajurit itu menjadi
ragu-ragu.
“Kenapa kau ragu-ragu. Cepat
katakan dan cepat kembali ke Pajang. Kau orang tidak dikenal di sini. Dan kau
tidak mengenakan pakaian keprajuritan. Tetapi jika kau mengenakan pakaian
keprajuritan pun kau akan tetap dicurigai, karena hanya pengawal yang resmi
dibawa oleh para senapati sajalah yang ada di sini,” namun tiba-tiba Ki
Sorohpati berbisik, ”tetapi tentu ada di antara mereka yang mengenalmu.”
Orang itu menjadi semakin
bingung. Tetapi kemudian katanya, ”Baiklah, Ki Sorohpati. Aku akan keluar
segera dari Mataram. Tetapi sesudah matahari terbit. Justru tidak akan
menimbulkan kecurigaan apa-apa, seperti orang yang bepergian atau sekedar lewat
daerah ini.”
“Bagus.”
“Tetapi masih ada satu pesan
lagi.”
“Apa?”
“Songsong yang dibawa oleh Ki
Juru Martani ternyata songsong yang berwarna kuning seutuhnya. Dan songsong
itulah yang akan menjadi pertanda kebesaran Sutawijaya.”
“He.”
“Nama songsong itu adalah Kiai
Mendung.”
Wajah Sorohpati menjadi
tegang. Dengan suara yang sendat ia berkata, ”Kau katakan bahwa songsong itu
Kanjeng Kiai Mendung?”
“Ya.”
“Bohong. Bohong.”
Prajurit itu menjadi bingung.
Namun katanya kemudian, ”Aku tidak tahu pasti. Tetapi demikianlah yang aku
dengar dari Ki Rambatan.”